BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sesuai dengan definisi museum menurut International Council of Museum (ICOM), museum mengemban tugas yang tidak ringan. Museum berkewajiban melayani masyarakat dalam bidang pendidikan, penelitian, dan rekreasi melalui koleksi yang dimiliki. Untuk mencapai tujuan tersebut museum bertanggung jawab melaksanakan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan pelestarian koleksi yaitu dengan cara mengumpulkan benda-benda yang memenuhi syarat sebagai koleksi, merawatnya, dan kemudian mengkomunikasikannya kepada masyarakat luas antara lain melalui pameran. Pemahaman
mengenai
museum
tersebut
diperkuat
oleh
regulasi
pemerintah melalui UU Cagar Budaya No 11 tahun 2010 pasal 18 ayat 2 yang menyatakan: Museum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi berupa benda, bangunan, dan/atau struktur yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budata atau yang bukan Cagar Budaya, dan mengomunikasikannya kepada masyarakat. Regulasi
tersebut
menjadi
dasar
hukum
pelaksanaan
kegiatan
permuseuman di Indonesia. Apabila dicermati, ketentuan yang tercantum dalam ayat tersebut memiliki tiga butir penting yaitu museum, koleksi, dan masyarakat yang tidak dapat dipisahkan. Koleksi merupakan bagian penting dari museum, yang menghubungkan museum dengan masyarakat. Koleksi juga menjadi ciri 1
yang membedakan museum dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain, karena tanpa koleksi, lembaga tidak dapat disebut sebagai museum. Asumsi tersebut berdasarkan pada pengertian museum dalam UU CB No.11 Tahun 2010 pasal 18 sebagaimana dikutip di atas. Peraturan Pemerintah No.66 Tahun 2015 yang merupakan penjabaran dari UU CB No.11 Tahun 2010 memberikan ketentuan, bahwa: Koleksi Museum yang selanjutnya disebut Koleksi adalah Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya dan/atau Bukan Cagar Budaya yang merupakan bukti material hasil budaya dan/atau material alam dan lingkungannya yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, kebudayaan, teknologi, dan/atau pariwisata.
Mengacu pada ketentuan tersebut, maka benda-benda yang menjadi koleksi sebuah museum harus memiliki nilai penting.
Direktorat Museum
berpendapat bahwa dengan nilai penting yang melekat padanya, koleksi museum menjadi penghubung antara masa lampau dan masa kini yang selanjutnya dikomunikasikan secara luas kepada masyarakat sekaligus dilestarikan (Direktorat Museum, 2010: 20-21). Pada saat dikomunikasikan melalui pameran, koleksi diberi interpretasi sesuai pemahaman kurator, dan pengunjung “dipaksa” untuk mengerti dan memahami informasi yang diberikan tersebut. Hal ini sering menjadi kendala bagi pengunjung pada saat berusaha memahami dan mengeksplorasi informasi yang disajikan dalam bingkai kurator. Ruang pamer museum yang menempati gedunggedung tua dengan tata pamer “seadanya” memberi kesan seram, gelap, dan tidak
2
menarik. Perawatan koleksi yang dipamerkan juga kurang diperhatikan sehingga koleksi menjadi kotor bahkan rusak. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan museum jarang dilirik apalagi dikunjungi masyarakat luas. Menyikapi kondisi tersebut, muncul keinginan untuk bangkit, mengembangkan diri, dan menjadikan museum sebagai bagian penting dari masyarakat. Dunia permuseuman terus berkembang seiring dengan teori dan paradigma yang juga terus berkembang pesat. Pada awalnya tugas museum terkonsentrasi pada koleksi. Hal ini sangat wajar seiring dengan sejarah panjang museum yang dapat dikatakan sebagai “gudang budaya”, yang dimaknai sebagai tempat bagi “sesuatu” yang diambil dari konteks alami mereka untuk diberi identitas sebagai koleksi. Di tempat tersebut, “sesuatu” yang telah ditetapkan sebagai koleksi dikelola dengan dibuat klasifikasi ulang untuk kemudian disimpan dan atau dipamerkan (Annis, 1994: 21). Dalam perkembangannya saat ini, museum memiliki peran yang lebih kompleks. Museum tidak hanya bertanggung jawab terhadap koleksi yang dimiliki melainkan juga terhadap masyarakat luas. Oleh karena itu museum hendaknya dapat mengemas dirinya sedemikian rupa, sehingga mampu menjembatani antara koleksi dan pengunjung, sekaligus mampu berperan sebagai media ekspresi dan interaksi yang melahirkan pengalaman dan pembelajaran. Gultom (2011:17) berpendapat, bahwa perkembangan yang terjadi pada paradigma museum yang awalnya memandang museum sebagai sebuah gudang budaya menjadi museum sebagai ruang publik menuntut sebuah konsekuensi, yaitu museum harus dapat berkomunikasi dengan publik. Museum tidak dapat
3
hanya diam dan menjadi lembaga pasif yang sekedar menyediakan ruang bagi koleksi. Museum juga harus menyediakan ruang bagi publik untuk dapat berinteraksi dengan koleksi. Salah satu caranya adalah dengan mempertemukan koleksi secara langsung dengan publik melalui pameran. Pada tahap berikutnya, berkembang paradigma baru yang tidak lagi terfokus pada koleksi, melainkan lebih berorientasi pada pengalaman yang diperoleh pengunjung pada saat datang ke pameran museum. Lynda Kelly (2011:5) menyatakan bahwa masing-masing pengunjung memiliki bekal pengetahuan dan ketertarikan yang berbeda terhadap koleksi. Hal tersebut selanjutnya menjadi dasar bagi pengunjung dalam menginterpretasikan makna koleksi yang dipamerkan. Dengan demikian kurator memberi kesempatan dan kebebasan kepada pengunjung untuk bereksperimen dan kemudian berinterpretasi. Dalam perkembangan saat ini, dunia permuseuman di Indonesia masih berada pada tahap museum menjadi ruang publik bagi masyarakat luas, dengan masih terfokus pada koleksi dan pemahaman yang diberikan oleh kurator. Komunikasi dengan publik dilakukan melalui pameran yang diselenggarakan oleh museum. Kaplan (2005:37) berpendapat bahwa pameran menjadi media untuk menyampaikan ide-ide yang telah diolah oleh pihak museum untuk disampaikan kepada publik. Dalam penyajian ide-ide tersebut harus dipikirkan bobot materi yang akan disajikan, jenis media yang akan digunakan, serta unsur pendukung yang diperlukan untuk menyajikan informasi tersebut (Arbi, 2011: 63). Oleh karena itu, selain bernilai informatif, tata pamer museum harus memiliki nilai estetika supaya
4
dapat memenuhi tugas museum, yaitu menyediakan sarana edukasi sekaligus kesenangan (Soepeno, 2000:47). Dinamika
museum
yang berkembang saat
ini
cenderung ingin
menyediakan pengalaman kepada pengunjung, antara lain dengan memberi kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan koleksi. Hal tersebut dapat berdampak kurang baik bagi koleksi, karena kontak yang terjadi pada saat pengunjung mengekplorasi koleksi dapat menyebabkan risiko terhadap koleksi itu sendiri. Pentingnya menciptakan tata pamer yang estetik, menarik, dan komunikatif harus diimbangi dengan perhatian terhadap keterawatan koleksi. Lebih lanjut Arbi (2011:57) menjelaskan, bahwa dalam memamerkan koleksi harus memperhatikan beberapa faktor, termasuk melakukan pemantauan terhadap faktor-faktor yang menjadi penyebab kerusakan, memberi batas pengaman bagi koleksi agar terhindar dari kontak langsung dengan pengunjung, menggunakan bahan-bahan yang aman bagi koleksi, serta menjaga kedudukan koleksi agar tetap dalam posisi stabil. Idealnya, koleksi harus disajikan dengan suatu cara yang dapat meminimalkan risiko sekaligus dapat melindungi koleksi. Hal tersebut penting dilakukan mengingat koleksi yang berada di ruang pamer cenderung lebih mudah rusak dibandingkan koleksi yang berada di storage, baik karena tata cahaya, cara penyajian, maupun faktor lain. Dalam hal ini diperlukan pertimbangan konservasi supaya kerusakan koleksi dapat diminimalkan tetapi komunikasi antara pengunjung dengan koleksi tetap tercapai.
5
Konservasi dimaknai sebagai tindakan yang dilakukan dengan tujuan melindungi warisan budaya, agar dapat terus dimanfaatkan oleh generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Tindakan konservasi dapat dibedakan menjadi 3, yaitu konservasi preventif, konservasi kuratif, dan restorasi (ICOM CC, tanpa tahun). Konservasi preventif merupakan tindakan pencegahan, yang dilakukan untuk menghindarkan dan atau mengurangi risiko rusaknya koleksi. Hal ini berbeda dengan konservasi kuratif yang bersifat penanggulangan atau perawatan. Sementara
itu,
restorasi
merupakan
tindakan
yang
dilakukan
untuk
mengembalikan kondisi koleksi seperti semula. Konservasi kuratif hanya dilakukan apabila koleksi memang sudah rusak, sehingga memerlukan tindakan untuk mengembalikan kondisi koleksi kembali baik. Tindakan ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati, sedapat mungkin menerapkan “minimum intervensi” dan harus menggunakan bahan yang reversible, sehingga pada saat terjadi kesalahan dapat dilepas kembali untuk diperbaiki ulang (Budiharja dkk, 2009 : 3-5). Oleh karena itu konservasi kuratif hanya boleh dilakukan oleh konservator yang memiliki keahlian dengan spesifikasi khusus, sesuai dengan jenis atau bahan koleksi yang rusak. Tindakan konservasi kuratif memerlukan biaya yang cukup tinggi dan sering menggunakan bahan kimia yang cenderung berbahaya bagi koleksi, konservator, dan lingkungan. Berdasar pertimbangan tersebut, maka langkah-langkah konservasi preventif sebaiknya diutamakan untuk mengurangi dan mencegah perlunya tindakan konservasi kuratif. Dalam penanganan koleksi museum, konservasi
6
preventif dianggap lebih aman dan jauh lebih ekonomis dibandingkan konservasi kuratif. Knell (2005:92) mendefinisikan konservasi preventif sebagai setiap tindakan yang dilakukan untuk mencegah kerusakan maupun untuk mengurangi risiko potensi terjadinya kerusakan, sehingga nilai koleksi dapat dipertahankan. Science Museum (tanpa tahun) merekomendasikan pentingnya konservasi preventif untuk menjaga koleksi tidak rusak, karena pengaruh cahaya, panas, kelembaban udara, partikel polutan, hama, faktor kimia dan faktor biologis, baik pada saat koleksi tersebut dipamerkan maupun disimpan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memberikan lingkungan yang ideal bagi koleksi, yang dapat dicapai dengan menjaga kebersihan lingkungan serta merekayasa ruang pamer supaya sesuai bagi koleksi. Pada dasarnya, kerusakan pada koleksi merupakan suatu proses alami yang terjadi secara berkesinambungan yang disebabkan oleh beberapa faktor. Canadian Conservation Institute (CCI) mendata adanya 10 faktor yang harus diwaspadai karena dapat membawa penurunan kualitas dan kerusakan pada koleksi apabila tidak dikelola dengan baik. Kesepuluh faktor tersebut adalah: air, api, cahaya, hama, polutan, disosiasi, pencurian dan vandalisme, kerusakan fisik, suhu yang tidak tepat, dan kelembaban udara yang tidak tepat (Michalski: 2014a). Masing-masing faktor perusak dapat menyebabkan kerusakan yang berbeda pada koleksi, dengan tingkat kerusakan yang juga berbeda, tergantung pada jenis bahan koleksi. Mengetahui risiko yang berpotensi dialami oleh koleksi merupakan langkah awal dari konservasi preventif, yang kemudian ditindaklanjuti dengan pengelolaan terhadap risiko tersebut. CCI merekomendasikan 5 langkah
7
efektif untuk mencegah kemungkinan terjadinya kerusakan karena 10 faktor penyebab kerusakan yaitu dengan menghindari, memblokir, mendeteksi, merespon, dan melakukan penanganan kerusakan (Michalski: 2014a). Idealnya langkah-langkah konservasi preventif tersebut diterapkan oleh museum, baik pada saat koleksi dipamerkan, disimpan, dan pada saat dipindahkan. Akan tetapi pada saat ini belum semua museum menerapkan langkah-langkah konservasi preventif, terutama pada saat memamerkan koleksi yang memiliki nilai penting tinggi. Pada saat memamerkan suatu koleksi, museum tidak hanya bertujuan menunjukkan bentuk atau keindahan koleksi kepada masyarakat. Informasi, makna, serta nilai-nilai intangible menjadi bagian penting dari biografi objek yang ingin disampaikan oleh museum. Orbasli (2008:37) menyatakan bahwa bangunan bersejarah tidak hanya menjadi bukti ilmiah masa lalu, tetapi juga membentuk hubungan emosional dan memberikan pengalaman ruang dan tempat sebagaimana hal itu telah dialami oleh para pendahulu kita. Sejalan dengan pendapat Orbasli tersebut, tentunya tak hanya bangunan, akan tetapi benda serta situs/kawasan bersejarah memiliki kapasitas yang sama dalam menyediakan bukti ilmiah serta membentuk hubungan emosional dari peristiwa dan pelaku sejarah dengan masyarakat sekarang. Hal tersebut menjadi bagian dari nilai penting suatu benda, bangunan, situs, dan menjadi alasan yang mendasari pentingnya tindakan pelestarian, dalam hal ini konservasi. Tindakan konservasi menjadi salah satu bentuk upaya agar benda, bangunan, maupun situs beserta nilai-nilai yang melekat padanya tetap terjaga sehingga dapat dinikmati oleh generasi mendatang.
8
Nilai penting suatu koleksi dapat ditentukan dengan mempertimbangkan elemen-elemen yang membentuk makna koleksi. Ada banyak cara atau tolok ukur untuk menentukan nilai penting koleksi, salah satunya adalah kriteria nilai penting yang dikembangkan oleh Heritage Collections Council sebagai panduan untuk menentukan nilai penting koleksi. Panduan tersebut telah diterapkan pada objekobjek yang menjadi koleksi galeri, arsip, perpustakaan, dan museum di Australia untuk berbagai tujuan. Pemahaman terhadap nilai penting koleksi dapat menjadi dasar membuat keputusan dalam kaitannya dengan manajemen koleksi, baik untuk konservasi, pameran, pengadaan koleksi, bahkan penghapusan koleksi (Russell dan Winkworth, 2001: 5-7). Lebih lanjut, Russell and Winkworth (2001:11) mengusulkan empat kriteria utama yang dapat menjadi patokan dalam menentukan nilai penting sebuah koleksi, yaitu nilai penting sejarah, nilai penting estetik, nilai penting ilmu pengetahuan dan penelitian, serta nilai penting sosial spiritual. Selain kriteria utama tersebut, dapat digunakan lima kriteria pembanding untuk menentukan tingkat nilai penting koleksi yaitu asal, keterwakilan, kelangkaan, kondisi, serta potensi interpretif. Koleksi museum yang mengandung kriteria-kriteria tersebut diasumsikan memiliki nilai penting yang tinggi. Koleksi yang memiliki nilai tinggi tentunya memerlukan penanganan yang lebih khusus dibandingkan koleksi dengan nilai lebih rendah. Hal tersebut mencakup penanganan pada saat koleksi disimpan, dipamerkan, dalam proses pemindahan (transportasi), maupun pada saat dikonservasi. Kondisi keterawatan koleksi dapat mempengaruhi nilai koleksi,
9
karena koleksi yang memiliki nilai tinggi apabila tidak terawat dan rusak, maka nilainya akan berkurang, demikian pula sebaliknya. Pada Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, koleksi yang dimiliki mempunyai biografi yang erat kaitannya dengan sejarah perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan tugas dan fungsi Museum Benteng Vredeburg sebagai museum khusus sejarah perjuangan. Koleksi-koleksi tersebut diperoleh melalui beberapa cara, yaitu hibah, pengadaan (pembelian), hasil penelitian, serta pinjaman. Di antara seluruh koleksi, ada yang merupakan benda asli yang disebut sebagai realia dan ada yang merupakan replika atau tiruan dari koleksi asli. Dalam pengelolaannya, koleksi Museum Benteng Vredeburg dikelompokkan dalam 14 kategori, yaitu peralatan perang, peralatan upacara, peralatan religi, heraldik, bangunan, peralatan kesehatan, dokumen, numismatik, peralatan rumah tangga, peralatan kantor, pakaian dan perlengkapan, peralatan perhubungan, visualisasi, dan benda perlengkapan seni. Koleksi tersebut tidak seluruhnya dipamerkan, melainkan ada yang disimpan di storage. Koleksi di storage akan dipamerkan pada pameran tetap pada saat rotasi koleksi, serta dipamerkan pada pameran temporer (wawancara Ibu Winarni dan Bpk. V. Agus Sulistya). Pada saat ini Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta menaungi dua unit museum, yaitu Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta (Unit 1) di Jl A. Yani No.6 Yogyakarta serta Museum Perjuangan Yogyakarta (Unit 2) di Jl. Kolonel Sugiono No.24 Yogyakarta. Pameran tetap di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta Unit I (selanjutnya disebut MBVY) dibagi dalam 4 ruang pamer, yang
10
disebut sebagai Ruang Diorama 1, Ruang Diorama 2, Ruang Diorama 3, dan Ruang Diorama 4. Penamaan ruang pamer tersebut mengacu pada pemanfaatan bangunanbangunan tersebut sebagai ruang pamer khusus diorama. Sebelum tahun 2010, koleksi realia dipamerkan secara terpisah dari pameran diorama, yaitu di Gedung D serta di halaman museum. Ruang Diorama khusus digunakan untuk memamerkan diorama-diorama peristiwa sejarah. Seiring dengan perubahan pemanfaatan gedung D, maka mulai tahun 2012 pameran koleksi realia digabungkan di Ruang Diorama, yaitu Ruang Diorama 1, 2, 3, dan 4. Selain di dalam Ruang Diorama, koleksi juga dipamerkan di teras Ruang Diorama 1 serta di halaman museum. Sementara itu pameran di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta Unit II, yaitu Museum Perjuangan Yogyakarta (selanjutnya disebut MPY) mencakup dua ruang pamer, yaitu di lantai atas dan lantai bawah gedung museum. Lantai atas berfungsi sebagai ruang pamer tetap, sementara lantai bawah berfungsi sebagai ruang pamer temporer. Pada saat ini, tata pamer dan konservasi koleksi di MBVY dan MPY belum mempertimbangkan nilai penting koleksi. Seluruh koleksi memperoleh perlakuan yang sama. Koleksi berukuran kecil dipamerkan di dalam vitrin, sementara koleksi yang berukuran besar (misal: mesin cetak Kedaulatan Rakyat) dipamerkan tanpa vitrin dan diletakkan di atas pedestal. Beberapa koleksi baik realia maupun replika yang dipamerkan tanpa vitrin, diberi pelindung berupa pagar pembatas.
11
Dalam pengamatan sementara yang dilakukan, koleksi-koleksi yang membutuhkan penyangga untuk menjaga posisi dan kondisinya tetap stabil belum memperoleh perlakuan yang ideal jika dilihat dari sudut pandang konservasi. Hal tersebut antara lain terlihat pada koleksi plakat perjuangan yang dipamerkan dengan meletakkan di atas penyangga berbentuk datar. Bentuk penyangga menyebabkan punggung buku tidak tersangga dengan baik sehingga bagian jilidan menjadi rusak (lihat Foto 1.1.). Tata pamer koleksi yang lainpun cenderung mengutamakan sisi estetika, dan kurang memperhatikan sisi konservasi. Hal tersebut masih umum dijumpai di museum-museum lain yang ada di Indonesia.
Foto 1.1. Salah Satu Tata Pamer Koleksi di MPY Dokumentasi: Sofwan Noerwidi
12
Kondisi tata pamer tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang konservasi preventif pada tata pamer di MBVY dan MPY yang merupakan satu kesatuan unit. Di dalam penelitian ini juga dilakukan kajian mengenai nilai penting dari koleksi yang dipamerkan. Hasil yang diperoleh akan menjadi dasar dari evaluasi penerapan konservasi preventif pada tata pamer Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta dan Museum Perjuangan Yogyakarta. Dengan demikian diharapkan kondisi koleksi Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta dan Museum Perjuangan Yogyakarta, terutama koleksi yang memiliki nilai penting tinggi dapat terjaga keterawatannya sehingga dapat dinikmati dan dipelajari oleh generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka dirumuskan
permasalahan yaitu: 1. Bagaimana kondisi koleksi yang dipamerkan dalam tata pamer di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta dan Museum Perjuangan Yogyakarta? 2. Bagaimana nilai penting koleksi yang dipamerkan dalam tata pamer di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta dan Museum Perjuangan Yogyakarta? 3. Bagaimana tata pamer di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta dan Museum Perjuangan Yogyakarta yang berwawasan konservasi preventif?
13
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang diangkat, penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap penerapan konservasi preventif pada tata pamer koleksi di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta dan Museum Perjuangan Yogyakarta.
1.4. Keaslian Penelitian Tulisan tentang Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta sudah cukup banyak, akan tetapi belum ada yang mengkaji tentang prinsip konservasi preventif pada tata pamer. Tulisan sebelumnya lebih banyak menyoroti hal-hal yang berkaitan dengan publik (pengunjung museum), secara lebih spesifik mengupas tentang program publik museum, manajemen koleksi, evaluasi pameran berbasis pada visitor studies, serta pendidikan di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta Ridlo (2012) mengkaji masalah penyajian pameran dan menawarkan pengembangan pameran yang berkiblat pada pengunjung. Sulistya (2013) melakukan evaluasi terhadap program publik yang telah dilaksanakan di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Ia juga menawarkan strategi pengembangan program publik yang lebih melibatkan masyarakat dan meningkatkan dukungan terhadap pencapaian visi dan misi museum. Kajian mengenai pengelolaan koleksi dilakukan oleh Winarni (2013), supaya dapat mengembangkan pengelolaan koleksi yang mudah diakses oleh masyarakat sebagai salah satu bentuk pelayanan museum terhadap kebutuhan masyarakat akan informasi. Sementara itu Kurniawati (2013) fokus pada kajian
14
tentang peran Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta sebagai sarana pendidikan Nasionalisme. Kajian pertimbangan konservasi pada display objek museum ditulis oleh Bambang Srigati dan dimuat dalam majalah Museografi No.2 tahun 1996/1997. Beliau mencermati tentang beberapa faktor yang harus diperhatikan pada saat memamerkan koleksi yaitu keadaan iklim, faktor cahaya, sarana tempat koleksi, bangunan, seni display, dan faktor keamanan serta dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh faktor-faktor tersebut. Kajian ini bersifat umum dan belum mencakup
seluruh
faktor
penyebab
kerusakan
yang
harus
diwaspadai
sebagaimana direkomendasikan oleh CCI. Direktorat Museum (2011) telah menerbitkan buku berjudul “Konsep Penyajian Museum” yang mengupas bagaimana menyusun pameran yang kreatif dan komunikatif, mulai dari pemilihan koleksi, desain komunikasi visual hingga tata ruang pamer. Diantaranya disebutkan bahwa dalam pameran, pertimbangan konservasi harus dipikirkan sejak awal dan harus memperhatikan beberapa faktor, yaitu: pemantauan terhadap kelembaban dan suhu udara, pemantauan dari bahaya serangga, memberi batas agar koleksi tidak tersentuh oleh pengunjung, penggunaan material bebas asam, serta menjaga kedudukan koleksi agar selalu ajeg terhadap getaran maupun benturan. Topik tentang konservasi di museum telah menjadi perhatian cukup banyak ahli, dengan spesialisasi berbeda. Suzan Keene (2002) adalah salah satu ahli yang mendalami masalah manajemen konservasi di museum. Ia berpendapat, bahwa program perawatan koleksi dalam manajemen koleksi berlangsung tidak
15
hanya di storage, namun juga di tempat pamer dan pada saat proses memindahkan (handling and moving). Keene juga menyatakan bahwa perawatan koleksi (konservasi) dapat dibedakan menjadi konservasi preventif, konservasi perbaikan, serta restorasi dan pengawetan . Andriana (2013) melakukan evaluasi terhadap konservasi koleksi Museum PT.TWC Prambanan. Ia mengupas tentang kondisi koleksi dan manajemen konservasi koleksi di museum tersebut dengan mengamati kondisi benda dan faktor-faktor yang dapat menyebabkan kerusakan pada koleksi. Adriana bertujuan mengetahui kondisi koleksi dan lingkungannya, mengetahui manajemen konservasi yang telah dilakukan dan membuat perencanaan manajemen konservasi koleksi. Tinjauan terhadap kondisi koleksi yang dilakukan Adriana juga dilakukan dalam penelitian ini. Perbedaan tulisan ini dengan Adriana adalah: 1) tulisan ini fokus pada konservasi preventif, sementara Adriana melakukan evaluasi terhadap konservasi preventif dan kuratif. 2) Adriana bertujuan membuat perencanaan manajemen konservasi koleksi, sementara hasil akhir dari tulisan ini adalah membuat usulan cara memamerkan koleksi yang berwawasan konservasi preventif, dengan berpedoman pada hasil analisis nilai penting koleksi dan kondisi koleksi. Mengacu pada pentingnya keterawatan koleksi serta beragamnya faktorfaktor yang dapat menyebabkan kerusakan koleksi, maka penelitian ini akan mengkaji penerapan konservasi preventif pada tata pamer di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta dan Museum Perjuangan Yogyakarta. Penelitian ini akan
16
bersandar pada 10 agent of deterioriation sebagai langkah dini menghindari risiko timbulnya kerusakan koleksi. Sebagai hasil akhir adalah suatu rekomendasi tentang jenis tindakan konservasi preventif yang sebaiknya dilakukan serta display koleksi yang aman. Penelitian sejenis juga dilakukan oleh Denny Sutrisna (2011) yang mengambil topik Strategi Konservasi Preventif Penyajian Koleksi Fauna Awetan di Museum Zoologi Bogor. Meskipun topik yang diangkat sangat mirip, akan tetapi tulisan ini memiliki beberapa perbedaan. Pertama, jenis koleksi yang dihadapi berbeda. Koleksi yang dikaji oleh Sutrisna seluruhnya berupa fauna awetan yang tentunya membutuhkan jenis perawatan yang hampir mirip, sementara itu koleksi di MBVY dan MPY sangat beragam jenisnya, yang tersusun dari bahan organik, anorganik, dan campuran keduanya. Kondisi tersebut tentunya membutuhkan penanganan dan perawatan berbeda satu sama lain dan tentunya berbeda dengan koleksi di Museum Zoologi Bogor (MZB). Perbedaan yang kedua, yaitu kondisi lingkungan, tata pamer, dan penanganan preventif yang telah dilakukan di MZB dan yang ada di MBVY serta MPY. Kondisi tersebut berdampak pada faktor kerusakan, jenis kerusakan, serta jenis penanganan yang tentu juga berbeda, meskipun landasan teori yang digunakan sama. Pada strategi konservasi preventif, Denny mengusulkan beberapa jenis vitrin yang dapat digunakan MZB, sementara pada tulisan ini berupaya membuat usulan display koleksi terutama penyangga (support). Pada tulisan ini juga dilakukan kajian tentang bobot koleksi yang dipamerkan di MBVY dan MPY, sebagai pertimbangan dalam penentuan prioritas
17
konservasi yang diperlukan. Penyajian benda-benda koleksi yang dilakukan dengan memperhatikan aspek konservasi preventif (tidak hanya aspek estetis) diharapkan akan dapat meminimalkan perlunya tindakan konservasi aktif/kuratif, akan tetapi kelangsungan hidup koleksi dapat tetap dipertahankan.
1.5. Batasan Penelitian Penelitian ini akan dibatasi pada: 1. Koleksi yang dipamerkan di Ruang Diorama 1, 2, 3, 4 MBVY dan di ruang pamer MPY akan tetapi tidak mencakup koleksi diorama dan relief dinding. Diorama dan relief dinding sifatnya lebih statis, sehingga tidak lagi membutuhkan suatu teknik penyajian, meskipun tetap membutuhkan perawatan preventif berupa pembersihan rutin. 2. Penelitian ini tidak mencakup konservasi preventif pada tata pamer di pameran temporer baik di MBVY maupun MPY.
1.6. Metode Penelitian Tulisan ini menggunakan kerangka pikir induktif, yang dilakukan dengan penelitian langsung ke lokasi penelitian untuk melakukan pengamatan secara cermat terhadap situasi dan kondisi serta mewawancarai secara intensif para informan. Dengan demikian, maka tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pengumpulan data, analisis data, dan kesimpulan. Data primer berupa data di lapangan serta hasil wawancara, sementara itu data sekunder mencakup buku, artikel, jurnal ilmiah, serta data-data dari internet.
18
Tahap pengumpulan data dilakukan dengan 2 cara yaitu observasi di lapangan serta wawancara. Observasi dilakukan untuk melihat dan mengamati objek di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta dan Museum Perjuangan Yogyakarta, yaitu untuk mengetahui secara lebih detail tentang kondisi lingkungan ruang pamer, kondisi vitrin, tata pamer koleksi di MBVY dan MPY, 10 faktor penyebab kerusakan, serta kondisi koleksi yang dipamerkan. Dalam pelaksanaan observasi, peneliti menggunakan beberapa alat bantu, diantaranya adalah luxmeter, thermohygrometer, kamera, serta alat tulis. Untuk melengkapi data hasil observasi, dilakukan wawancara. Wawancara dilakukan untuk mengetahui beberapa hal, yaitu bagaimana teknik penyajian yang dilakukan dalam penataan pameran tetap, bagaimana prinsip-prinsip konservasi preventif yang telah diterapkan dalam pameran tetap, apa jenis dan sifat bahan yang digunakan dalam penyajian, bagaimana kondisi koleksi, serta apa pertimbangan pemilihan koleksi yang dipamerkan. Untuk dapat memperoleh semua informasi tersebut, maka wawancara dilakukan dengan teknik purposif. Menurut Ratna (2010:226), teknik purposif merupakan teknik wawancara yang didasarkan pada kemampuan yang dimiliki masing-masing informan. Dalam penelitian ini, informan kunci yang akan dipilih adalah staf-staf MBVY yang bertanggung jawab dan terlibat langsung dalam penataan koleksi pada pameran tetap MBVY dan MPY. Mereka adalah staf dari bagian kurator, konservator, dan preparator. Dalam perkembangannya nanti tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan teknik bola salju (snow ball). Ratna (2010: 227), menyatakan teknik bola salju dilakukan pada saat informan kunci
19
menunjuk informan lain yang dianggap lebih memahami tentang topik yang ditanyakan. Dalam hal ini, kurator dan preparator menyarankan untuk melakukan wawancara terhadap teknisi listrik, staf perencana, dan tim teknis yang terlibat dalam revitalisasi, mengingat penataan koleksi di ruang pamer MBVY merupakan bagian dari kegiatan revitalisasi MBVY. Kajian pustaka dilakukan untuk menggali teori-teori dan konsep yang telah dikemukakan para ahli terdahulu, mengikuti perkembangan penelitian pada bidang yang diteliti, serta untuk menghindari terjadinya duplikasi penelitian. Kajian pustaka pada penelitian ini fokus untuk mencari literatur yang mengkaji tentang teknik konservasi preventif serta teknik penyajian benda-benda koleksi dalam sebuah tata pameran tetap. Data yang diperoleh digunakan sebagai acuan untuk menyusun usulan cara memamerkan koleksi yang memenuhi unsur estetis dan berwawasan konservasi preventif. Kajian juga dilakukan terhadap dokumen-dokumen yang berkaitan dengan data koleksi yang dipamerkan untuk mengetahui biografi koleksi yang diperlukan untuk menentukan bobot koleksi tersebut. Bobot koleksi akan menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukan langkah konservasi preventif serta teknik penyajian yang sebaiknya dilakukan dalam tata pamer koleksi. Setelah data tersebut terkumpul, selanjutnya dilakukan analisis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Metode analisis data yang dipakai pada penelitian ini adalah deskriptif-analitis kualitatif. Data-data yang diperoleh dari observasi dan wawancara selanjutnya dideskripsikan untuk kemudian dianalisis dengan menggunakan teori dan konsep yang diperoleh dari
20
kajian pustaka. Analisis yang dilakukan diharapkan dapat menentukan bobot koleksi untuk kemudian dapat diusulkan bentuk konservasi preventif yang tepat. Selain berdasarkan pada bobot koleksi, tindakan konservasi preventif yang diusulkan juga memperhatikan bahan koleksi, kondisi koleksi, serta 10 faktor penyebab kerusakan. Pada akhirnya, analisis terhadap bobot koleksi, konservasi preventif, dan tata pamer disintesiskan dalam suatu evaluasi tata pamer yang berwawasan konservasi preventif.
21
Bagan Alur Penelitian
Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta dan Museum Perjuangan Yogyakarta
Sumber Pustaka
Pengamatan
Kajian Pustaka
Kondisi Koleksi
Tolok Ukur Nilai Penting
Tata Pamer
Prinsip Konservasi Preventif
Analisis
Hasil Penelitian: Evaluasi Konservasi Preventif pada Tata Pamer
Kesimpulan dan Saran
22
23