BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Era pasar global yang salah satunya ditandai dengan kemajuan teknologi, menyebabkan terjadi ketidakpastian dan ambiguitas, perubahan pasar yang semakin kompleks, usia produk inovatif menjadi semakin pendek, dan adanya tuntutan bagi perusahaan untuk dapat melindungi diri dari tekanan pesaing. Persaingan merupakan inti dari keberhasilan perusahaan, yang dapat menentukan ketepatan strategi maupun aktivitas perusahaan seperti inovasi yang dapat menyokong kinerja,.
Secara universal, inovasi dianggap sebagai kunci
kelangsungan hidup perusahaan, tidak cukup hanya dengan menjadi lebih baik, tetapi juga harus berbeda, lebih cepat diterima pelanggan ataupun harga lebih murah. Inovasi teknologi dapat menurunkan biaya, sekaligus meningkatkan diferensiasi. Penurunan biaya juga dapat diperoleh melalui berbagi pengetahuan (Denning, 2005; Porter, 2008: 13─19). Sebagai produsen suatu perusahaan harus selalu agresif mengejar semua peluang, sehingga dibutuhkan kreativitas para manajer untuk memperoleh profitabilitas jangka panjang. Perusahaan yang sukses selalu berinvestasi pada bidang pengetahuan, manajemen, dan teknologi. Investasi tersebut penting untuk memelihara kemampuan inovasi, menjalankan proses inovasi yang efektif, meningkatkan produktivitas, dan melakukan efisiensi. Dengan demikian dihasilkan produk yang berkualitas, dan kinerja bisnis yang superior (Crema et al.,
1
2
2014; Kafetzopoulos & Psomas, 2013; Lawson & Samson, 2001; Rosenbusch et al., 2010). Beberapa literatur menunjukkan, bahwa inovasi merupakan mekanisme perusahaan
untuk
menghasilkan produk, proses, dan sistem baru yang
dibutuhkan dalam persaingan dan beradaptasi dengan perubahan pasar (Hana, 2013; Mumford, 2000; Wang & Noe, 2010). Walaupun inovasi menjadi topik populer dalam kegiatan perusahaan, namun pada kenyataannya hal itu sulit diwujudkan, sehingga banyak perusahaan kalah bersaing (Hort & Vehar, 2012; Pratoom & Savatsomboon, 2012). Darroch (2005), menyatakan tidak mudah bagi manajer yang ingin meningkatkan kinerja, tanpa inovasi. Perusahaan tersebut berisiko kehilangan posisi kompotitif dan akan tertinggal dari kancah persaingan. Menurut Porter (1995: 140-141), perkembangan suatu industri melalui sejumlah tahapan yaitu perkenalan, pertumbuhan, kedewasaan, dan penurunan. Perusahaan dapat mempengaruhi tahapan yang dilalui melalui inovasi produk dan penataan kembali posisinya, serta meluaskannya dengan berbagai cara agar tidak terjadi penurunan pada tahapan kedewasaan, bahkan tahap pertumbuhan. Inovasi membutuhkan: (1) kreativitas, (2) kemampuan dinamis, (3) penciptaan pengetahuan, dan (4) keterampilan baru (Esteve and Sanchez, 2012; Hana, 2013; Parthasarathy et al., 2011). Demikian pula halnya pada Usaha Mikro dan Kecil (UMK), upaya kreatif dan inovatif sangat diperlukan untuk dapat bertahan dari tekanan persaingan yang berat. Industri kerajinan perak di Bali khususnya di Desa Celuk dan di Desa Singapadu sedang berada pada tahapan kedewasaan, bahkan penurunan. Hasil
3
wawancara pada studi pendahuluan, diketahui bahwa dalam beberapa tahun terakhir, terdapat 10 buah toko seni yang merupakan show room industri kerajinan perhiasan perak di sepanjang jalan raya Celuk beralih fungsi, bahkan tutup. Hal yang sama juga terjadi pada tujuh (7) buah toko di sepanjang jalan raya Singapadu. Para pengusaha kerajinan perhiasan perak
mengeluhkan sepinya
pengunjung, ekspor menurun, harga bahan baku perak relatif mahal, perhatian pemerintah yang kurang intensif, tidak tahu apa keinginan pasar, dan akhirnya pasrah tidak tahu harus berbuat apa. Hal ini terjadi karena keterbatasan pengetahuan pengusaha tentang perubahan pasar, karena terbatasnya kesempatan mengikuti pameran di luar daerah, apalagi di luar negeri, maka sharing informasi dan pengetahuan juga terbatas. Di pihak lain
negara China telah berhasil membuat pengganti perak
dengan Titanium (besi putih) dan membuat batu permata dari plastik sehingga dapat menjual perhiasan dengan harga yang lebih murah dengan kualitas yang dianggap jauh lebih baik. Di samping itu, tuntutan pelanggan tentang kualitas semakin tinggi sehingga para pengusaha kerajinan perak merasa kalah bersaing dengan negara Cina, Thailand, dan India. Dengan memperhatikan kenyataan ini, maka menarik untuk dilakukan penelitian terkait dengan inovasi sehingga industri kerajinan perak di Bali dapat membuat perhiasan dengan kualitas yang lebih baik, tidak terjadi tahapan penurunan dan dapat memenangkan persaingan. Dengan demikian maka Desa Celuk dan Desa Singapadu tetap sebagai sentra industri kreatif kerajinan perak terbesar di Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya.
4
Industri kreatif merupakan salah satu industri yang menjadi target pembangunan industri di Indonesia saat ini.
Industri kreatif
merupakan
kelompok industri yang terdiri atas berbagai jenis industri yang memiliki keterkaitan dalam proses penggalian ide. Indonesia memiliki SDM kreatif yang besar dan kekayaan budaya yang tidak kalah besar seperti arsitektur, kerajinan, musik, dan seni tari (Kusmanto, 2013). Ekspor perhiasan perak Bali mencapai 78% dari total ekspor perhiasan perak Indonesia pada tahun 2011. Secara kuantitas, ekspor Indonesia menurun di tahun 2011 dari 2010 yaitu sebesar 11,67% dari 287 ton menjadi 254 ton. Namun, dari segi nilai, ekspor Indonesia untuk produk ini mencapai US$ 76,12 juta atau meningkat 12,97%. Dua negara tujuan ekspor utama produk perhiasan perak asal Indonesia, adalah Hong Kong dan Singapura, Hong Kong merupakan pusat mode perhiasan di Asia. Secara umum, tren ekspor Indonesia ke Hong Kong menunjukkan pertumbuhan positif, rata-rata 29,06% per tahun selama periode 2007─2011, namun ekspor ke Singapura menurun dengan tren minus 2,58% selama periode yang sama (Publikasi Direktur
Jendral Pengembangan Ekspor Nasional
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, 2012). Itu berarti bahwa terdapat peluang besar bagi UMK kerajinan perhiasan perak di Bali meraih potensi pasar yang lebih besar karena perhiasan perak Celuk memiliki ciri khas. Oleh karena itu, pimpinan perusahaan harus kreatif agar
mampu berinovasi secara
berkesinambungan. Pemilik atau pimpinan UMK berfungsi sebagai agen utama dalam mengembangkan UMK yang inovatif dan kreatif (Wuryaningrat, 2013).
5
Pemimpin kreatif mendefinisikan dan mengartikulasikan misi teknis, sehingga dapat merangsang inovasi (Mumford et al., 2008). Sebagian besar manajer telah berupaya merangsang bakat karyawan, menjaga pengalaman menjadi aset organisasi, mengembangkan penciptaan pengetahuan, dan mempertahankan daya saing (Mathuramaytha, 2012). Jika perusahaan ingin bertahan hidup dan berkembang, maka diperlukan orang-orang yang giat, visioner, imajinatif, kreatif, dan inovatif (Srivastava dan Gupta, 2007). Kepemimpinan yang efektif memerlukan kreativitas. Kreativitas merupakan sumber utama dari kemampuan pemimpin untuk membayangkan inspirasi berjangka, beradaptasi dengan perubahan, dan merancang paradigma baru untuk menggantikan model lama yang telah usang (Allio, 2005). Berdasarkan wawancara dengan empat orang pimpinan perusahaan kerajinan perak yang masih tetap eksis, ketua Celuk Design Center (CDC), dan sepuluh orang perajin perak di Desa Celuk dan Singapadu diketahui bahwa agar dapat bertahan dalam menghadapi tantangan pasar global, maka perusahaann harus terus kreatif dan inovatif. Artinya, selalu menghadirkan produk-produk baru yang unik, inovasi baik dalam bahan baku, peralatan, proses, maupun pengelolaannya. Perajin dituntut mampu membuat perhiasan dengan desain baru, hal mana merupakan hasil coba-coba. Perhiasan yang dibuat ditawarkan kepada pelanggan ketika ada hal yang kurang berkenan, pemimpin akan melakukan sharing informasi, pengalaman dengan tukang/perajin, sampai pemimpin maupun pelanggan merasa puas. Sharing di antara para pengusaha terjadi pada saat pesta kesenian Bali yang diselenggarakan
di Art Center Bali. Selain itu CDC
6
mengadakan pelatihan desain setiap tahun sekali bekerja sama dengan Intitut Seni Indonesia Denpasar. Bagi industri yang kurang inovatif, upaya yang dilakukan oleh pimpinan perusahaan kerajinan perak dalam lingkungan yang berubah dengan cepat tampaknya belum cukup sehingga diperlukan upaya lain untuk meningkatkan daya saing. Inovasi dalam organisasi dapat terjadi melalui upaya berbagi informasi, pengalaman, dan ide (Mumford et al., 2008; Nevalainen & Maijala 2012; Hendriks, 1999; Wang &Noe, 2010). Knowledge sharing adalah sarana dasar bagi tukang/perajin agar dapat memberikan kontribusi untuk menerapkan pengetahuan baru yang diperoleh, inovasi, dan akhirnya keunggulan bersaing. Pelaksanaan knowledge sharing yang baik setiap anggota organisasi, diberikan kesempatan memberi maupun menerima pengetahuan dari anggota lainnya (Shahin & Zahra, 2010; Wang & Noe, 2010). Intervensi manajerial dapat mendorong dan memfasilitasi knowledge sharing yang sistematis (Hsu, 2008). Inisiatif berbagi pengetahuan dimulai dari manajemen puncak. Hal ini dimungkinkan karena menurut Menkhoff et al.(2005) manajemen puncak memiliki kapasitas mendorong pendistribusian informasi dan pengetahuan dengan bebas.
Pekerja perlu didorong agar berbagi dan
mengumpulkan pengetahuan, mengembangkan keterampilan dan meningkatkan kompetensi (Wang & Noe, 2010; Shahin & Zahra, 2010). Praktik knowledge sharing di setiap organisasi sangat penting karena dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan karyawan, untuk mempelajari teknik baru, memecahkan masalah, menciptakan kompetensi inti, dan
7
memulai situasi baru (Hsu, 2008). UMK harus memiliki kemampuan untuk mencari pengetahuan yang bermanfaat bagi kemajuan perusahaan dan mengelola pengetahuan melalui proses informal yaitu knowledge sharing (terutama melintasi batas perusahaan), mensintesis pengetahuan yang sudah ada, dan menggunakan kembali atau menerapkan pengetahuan baru (Gray, 2006, Hutchinson & Quintas, 2008). Dari kajian literatur, diketahui bahwa untuk meningkatkan inovasi di dalam suatu perusahaan diperlukan kapasitas belajar suatu unit dan kemampuan mengakses pengetahuan eksternal (Crema et al., 2014; Mei & Nie, 2007; Tsai, 2001). Terkait dengan upaya untuk mendapatkan dan menggunakan pengetahuan eksternal dapat dikatakan bahwa perusahaan UMK relatif kurang intensif (Gray, 2006). Demikian pula halnya yang terjadi pada industri kerajinan perak di Bali, khususnya di Celuk dan Singapadu. Pengetahuan dapat diperoleh dari sumber internal dan eksternal organisasi. Kedua sumber pengetahuan tersebut harus dikombinasikan dan dikelola untuk menghasilkan pengetahuan baru dan ide baru. Hal ini tidak mudah, tetapi diperlukan waktu belajar yang tidak pernah berhenti. Pengelolaan sumber daya manusia pada industri perak Celuk menuntut pengembangan pengetahuan dan keterampilan agar memberikan manfaat bagi inovasi. Karena keterbatasan sumber daya manusia, maupun sumber daya keuangan yang dimiliki oleh perusahaan, maka diperlukan lebih banyak belajar mandiri (Mumford, 2000). Individu berperan sebagai aktor utama dalam penciptaan pengetahuan, sedangkan perusahaan berperan dalam penciptaan dan
8
penerapan pengetahuan di samping mengintegrasikan pengetahuan khusus pada individu untuk mempoduksi barang dan jasa (Grant, 1996). Kemampuan untuk menyerap informasi dari sumber eksternal dikenal sebagai absorptive capacity yang memungkinkan perusahaan berubah sesuai dengan dinamika pasar (Cohen &Levinthal, 1990; Zahra & George, 2002). Organisasi dengan tingkat absorptive capacity yang tinggi akan memanfaatkan
pengetahuan baru dari unit lain, baik dalam maupun luar organisasi, dapat mentransfer pengetahuan dari satu unit ke unit lain untuk membantu kegiatan inovasi. Absorptive capacity memungkinkan
perusahaan belajar melakukan
sesuatu yang sangat berbeda (Lane et al., 2006). Pengembangan absorptive capacity pada UMK akan mendorong
lebih banyak wirausaha dapat
mengidentifikasi dan menggali peluang bisnis yang mudah berubah (Gray, 2006). Penelitian inovasi telah banyak dilakukan. Namun, karena inovasi sangat kompleks, masih ditemukan hal yang kontradiktif seperti nampak dari hasil penelitian Darroch (2005), menunjukkan hasil yang berbeda, dimana tidak terdapat pengaruh inovasi terhadap kinerja. Walaupun ada temuan penelitian yang tidak konsisten, tidak mudah bagi manajer yang ingin meningkatkan kinerja, tanpa inovasi. Oleh karena itu, dilakukan studi tentang anteseden inovasi pada industri kerajinan perak di Bali, khususnya terkait dengan absorptive capacity, knowledge sharing, dan creative leadership agar dapat bertahan hidup dan berkembang. Penelitian ini membahas konsep creative leadership yang telah dikembangkan dari konsep Rickards and Moger (2000), yang menyebutkan
9
bahwa perilaku kepemimpinan kreatif terkait dengan pengembangan produk baru. Selain itu, Allio (2005), juga menegaskan bahwa kreativitas merupakan sumber utama kemampuan pemimpin untuk beradaptasi dengan perubahan dan merancang paradigma baru. Lebih lanjut Rickards dan Moger (2000), menegaskan bahwa, perilaku pemimpin kreatif terkait dengan peran fasilitator tim dalam pelaksanaan sistem pemecahan masalah dan pengembangan produk baru. Pemimpin membantu membangkitkan potensi kreatif karyawan karena pemimpin itu sendiri kreatif. Akan tetapi, dalam penelitian ini mengembangkan lebih lanjut yaitu perilaku pemimpin kreatif, memfasilitasi aliran pengetahuan dan mengalokasikan waktu khusus untuk pengembangan ide dan kreativitas. Hal tersebut dikembangkan mengingat industri kerajinan perak memang memerlukan seorang pemimpin kreatif, yang mampu mengajak karyawan memandang segala sesuatu yang berkaitan dengan kerajinan perak dari perspektif yang berbeda, memberikan kesempatan berbagi pengetahuan (knowledge sharing), dan meningkatkan kemampuan menyerap informasi eksternal (absorptive capacity), sehingga dapat meningkatkan inovasi. Penelitian ini diharapkan dapat mengisi kesenjangan konsep creative leadership yang telah ada sebelumnya. Selanjutnya, penelitian ini diarahkan untuk menguji pengaruh knowledge sharing terhadap inovasi. Di sisi lain diketahui bahwa, UMK memiliki keterbatasan sumber daya. Agar tercipta pengetahuan baru, maka akan sangat efektif jika dilakukan berbagi pengetahuan, pengalaman, dan ide (knowledge sharing) oleh pimpinan dan semua karyawan (Hendriks, 1999; Mumford et al., 2008; Nevalainen & Maijala, 2012; Wang & Noe, 2010). Orang yang kreatif,
10
tetapi tidak membagikan pengetahuannya tidak dapat berkontribusi banyak bagi organisasi (Reychav et al., 2012). Demikian juga halnya dengan para perajin pada industri kerajinan perak di Desa Celuk. Artinya, praktik knowledge sharing perlu ditingkatkan, tidak hanya di dalam perusahaan, tetapi juga dengan perajin dari luar perusahaan. Pada tahap berikutnya dikembangkan hubungan konsep creative leadership dengan knowledge sharing yang pada penelitian sebelumnya kurang dibahas secara mendalam. Seperti yang disarankan dalam penelitian Denti dan Hemlin (2012) agar dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai bagaimana proses inovasi berinteraksi dengan upaya para pemimpin memfasilitasi proses kognitif. Davenport dan Prusak (1998), Liao (2006) menyebutkan bahwa knowledge sharing berpengaruh terhadap absorptive capacity. Demikian juga menurut Gray (2006), bahwa absorptive capacity positif dan signifikan
pengaruhnya pada
inovasi. Rickards dan Moger (2000) menyatakan bahwa creative leadership memiliki banyak kesamaan dengan kepemimpinan transformasional yang dikemukakan oleh Bass dan Avolio (1990, 1994). Morales et al. (2012) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional positif memengaruhi inovasi melalui pembelajaran organisasi (akuisisi pengetahuan, berbagi pengetahuan). Studi Reychav et al. (2012) menunjukkan bahwa kreativitas memiliki hubungan positif dengan inovasi, melalui mediasi knowledge sharing. Dalam penelitian ini mengembangkan peran mediasi knowledge sharing dalam hubungan creative leadership, yang dapat menjadikan inovasi lebih bernilai. Selanjutnya, dalam
11
penelitian ini mengkaji pengaruh knowledge sharing terhadap inovasi dengan mediasi oleh absorptive capacity. Seperti disampaikan oleh Liao (2006) dan Wuryaningrat (2013), bahwa knowledge sharing dapat diubah menjadi kemampuan inovasi jika didukung oleh absorptive capacity yang tinggi. Akhirnya, penelitian ini juga mengembangkan konsep creative leadership yang dihubungkan dengan absorptive capacity, yang dalam penelitian sebelumnya belum banyak diungkap. Berdasarkan uraian tersebut maka keunikan dari penelitian ini adalah mengembangkan konsep creative leadership yang dihubungkan
dengan
absorptive capacity, yang dalam penelitian sebelumnya belum banyak diungkap, selain itu juga mengkaji tentang pengembangan konsep
pengaruh creative
leadership terhadap inovasi. Hal lain yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini mengembangkan konsep peran knowledge sharing sebagai pemediasi creative leadership terhadap inovasi.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut. 1. Bagaimanakah pengaruh creative leadership terhadap inovasi? 2. Bagaimanakah pengaruh knowledge sharing terhadap inovasi? 3. Bagaimanakah pengaruh creative leadership terhadap knowledge sharing? 4. Bagaimanakah pengaruh knowledge sharing terhadap absorptive capacity? 5. Bagaimanakah pengaruh absorptive capacity terhadap inovasi?
12
6. Bagaimanakah peran memediasi knowledge sharing pada creative leadership terhadap inovasi? 7. Bagaimanakah peran memediasi absorptive capacity pada knowledge sharing terhadap inovasi? 8. Bagaimanakah hubungan antara creative leadership dengan absorptive capacity?
1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut. 1. Pengembangan konsep pengaruh creative leadership terhadap inovasi. 2. Menguji pengaruh knowledge sharing terhadap inovasi. 3. Memprediksi konsep creative leadership terhadap knowledge sharing. 4. Menjelaskan pengaruh knowledge sharing terhadap absorptive capacity. 5. Menjelaskan pengaruh absorptive capacity terhadap inovasi. 6. Pengembangan konsep peran knowledge sharing sebagai pemediasi creative leadership terhadap inovasi. 7. Menjelaskan peran absorptive capacity sebagai pemediasi knowledge sharing terhadap inovasi. 8. Pengembangan konsep hubungan antara creative leadership dengan absorptive capacity
13
1.4 Manfaat Penelitian 1. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemikiran dalam bidang ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia mengenai creative leadership, knowledge sharing, absorptive capacity, dan inovasi. 2. Penelitian ini juga merupakan sarana untuk membuktikan pengembangan teori tentang pengaruh creative leadership, knowledge sharing, dan absorptive capacity terhadap inovasi. 3. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber informasi dan bahan pertimbangan bagi pihak manajemen dan pengambil keputusan.