“Transisi Menuju Demokrasi: Studi Kasus Orde Baru Menuju Orde Reformasi” Awal Mula Keterlibatan Militer Dalam Pemerintahan Indonesia diawali ketika lahir doktrin dwifungsi ABRI di masa pemerintahan Soeharto. Dwifungsi ABRI ini pulalah yang menjadi bumerang dalam perjalanan pemerintah Soeharto yang mengedepankan pendekatan keamanan untuk menjaga stabilitas politik Indonesia. Pemerintahan berkembang sedemikian rupa sehingga menumbuhkan penguasa-penguasa kecil di daerah yang patuh pada penguasa tertinggi yaitu Soeharto, mengeksploitasi kekayaan alam bagi kepentingan elit semata. Di sinilah terjadi sentralisasi pemerintahan di tangan pemerintah pusat. Penggunaan kekuatan militer menjadikan Indonesia sebagai negara yang stabil namun semu karena rakyat tidak memiliki kebebasan sebenarnya dalam bernegara. Suara tidak puas dari rakyat di daerah dan lawan politik Soeharto yang menderita dan tertindas berujung pada terjadinya demonstrasi besar-besaran menuntut Soeharto mundur pada tahun 1998. Namun bukti-bukti keterlibatan Soeharto dalam pembunuhan massal terhadap berjuta-juta jiwa rakyat yang dicurigai mengikuti paham komunis bahkan setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) menjadi bibit tumbuhnya rasa kekecewaan mendalam di hati rakyat yang terpinggirkan, hidup penuh penderitaan sebagai orang miskin maupun pesakitan. Bahkan kejatuhan Soeharto pada bulan Mei 1998 belum dapat dijadikan momen membongkar kekerasan yang terjadi pada masa Orde Baru. Sejak saat itu gelombang kekecewaan dari pihak teraniaya baik kalangan media masa dan kelompok-kelompok yang mengusulkan pembongkaran bukti-bukti pembunuhan massal diancam dengan kekerasan. 1 Ketakutan akan kembalinya rejim otoriter yang menggunakan kekuatan senjata dalam menekan aspirasi kritis rakyatnya bahkan masih terjadi sampai saat ini. Kenyataan berbicara bahwa Indonesia memiliki sejarah kelam berlatar budaya yang penuh kekerasan (a violent culture). 2 Masa Orde Baru: Di Bawah Bayang-Bayang Rejim Militer Soeharto (1966-1998) Soeharto memimpin Indonesia selama 32 tahun (1966-1998) dalam era yang dikenal sebagai orde baru. Di dalam konstitusi (Undang-undang Dasar 1945 atau UUD 1945), ia merupakan kepala negara dan memiliki kewenangan sangat besar dalam militer sebagai panglima komando tertinggi. Pasal 10 dari UUD 1945 mengatakan bahwa “The President shall hold the highest authority over the Army, the Navy and the Air Force.” Kemudian di dalam penjelasan UUD 1945 tertera, “The President holds the powers provided in these Articles by virtue of his position as President and after the MPR (the People National Assembly), the President is the highest executive of the State. Authority and responsibility are vested in the hands of the President.” 3 Pada tahun 1958, Jenderal Abdul Harris Nasution, kepala staf angkatan darat dalam pemerintahan Soekarno, mencetuskan doktrin militer yang disebut sebagai dwifungsi ABRI, dimana militer memiliki peran dalam bidang pertahanan dan juga di dalam pembangunan sosial. Pada tahun 1971, Ali Moertopo, perwira militer andalan di masa orde baru, kemudian membahas mengenai doktrin dwifungsi dalam makalah berjudul, The Acceleration and Modernization of 25 Years’ Development. Ia berpendapat bahwa rakyat dan angkatan bersenjata bersatu karena “Militer Indonesia lahir dari rakyat pada masa perang gerilya melawan pemerintah kolonial Belanda, “the Indonesian military had been generated by the people in the guerilla struggle
1 Vaudine England, “Coffins Broken into as Multi-Faith Service for People Killed in Anti-Communist Crackdown Prevented,” SCMP, 27 Maret 2001. 2 Elizabeth Fuller Collins, Asian Survey, vol. xlii no. 4, Juli/Agustus 2002, hal. 582-604. Diterjemahkan oleh Nico Harjanto dan Putut Widjanarko atas ijin penulisnya.. 3 Bourchier, David and Vedi R. Hadiz, eds. Indonesian Politics and Society (USA: RoutledgeCurzon, 2003), 36.
http://raconquista.wordpress.com
[email protected] against Dutch colonialism. 4 Alhasil, militer harus terlibat bekerja bahu membahu dengan rakyat untuk membangun dan memimpin Indonesia. Ali Moertopo bersama dengan para cendekiawan berlatar pendidikan Amerika kemudian mendirikan the Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang kemudian menjadi lembaga pemikir orde baru. Soeharto kemudian banyak mengeluarkan dekrit presiden yang menguatkan posisinya sebagai kepala negara, seperti halnya dekrit presiden nomor 11/1963, disebut juga ssebagai undangundang anti subversif dan digunakan untuk melawan para pengkritik Soeharto. 5 Soeharto juga menekan kebebasan pers dengan mendirikan badan sensor nasional. Kemudian muncul pasal nomor 134-137 dan Undang-undang tentang Kriminalitas yang menjerat orang atau lembaga yang dicurigai menyebarkan kebencian terhadap pemerintah. Soeharto menciptakan sistem seleksi pegawai negeri sipil (PNS). Setiap pelamar yang memiliki kaitan hubungan persaudaraan dengan Partai Komunis dahulu akan gugur dalam seleksi masuk PNS. Akibatnya banyak kandidat berkualitas untuk pemerintahan yang lebih baik dan juga posisi di bidang akademis yang ditolak dalam proses ini. Banyak mata-mata berkeliaran di lingkungan kampus untuk memonitor mahasiswa atau para dosen yang dicurigai menyebarkan pandangan politik berseberangan dengan Soeharto. Namun demikian, Soeharto tergolong sebagai pemimpin karismatik bagi banyak rakyat Indonesia. Sebagian besar rakyat tersebut mendambakan seorang penyelamat yang dapat meningkatkan kondisi perekonomian mereka. Program ekonomi lima tahunan (Repelita) mengantarkan Indonesia menjadi salah satu kekuatan ekonomi Asia. Pencapaian ini didapat melalui penggunaan kekuatan militer dalam lingkup sosial dan politik. Soeharto menunjuk sejumlah perwira militer yang setia untuk mengisi posisi gubernur untuk mengamankan rencana lima tahunannya. Lembaga internasional dan pemerintah negara Barat memuji keberhasilan Soeharto. Undang-undang Pemerintah Daerah Nomor 5/1974 memainkan peranan penting dalam meluaskan kekuasaan pemerintah pusat di daerah. Penunjukan perwira militer dalam posisi gubernur membuka jalan bagi anggota militer untuk mendapatkan keuntungan dari menjalankan peran dwifungsi dengan berpartisipasi dalam banyak bisnis untuk mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia seperti minyak bumi, kayu, dan bijih mineral. Sementara perwira militer bergabung dalam bisnis berlaba besar, perwira di pangkat lebih rendah menjual jasa pengamanan di manapun dibutuhkan. Kadang kala perwira rendahan ini menjual jasa pelayanan sebagai penjaga keamanan perusahaan yang terlibat konflik dengan rakyat di daerah. Di bawah pemerintahan Soeharto, warga negara elit keturunan tionghoa bekerja sama erat dengan penguasa militer sehingga terciptalah kesenjangan ekonomi bertambah lebar antara warga negara asli Indonesia dan warga keturunan tersebut. Pembangunan yang terpusat di wilayah bagian barat Indonesia (Jawa dan Sumatera) daripada di wilayah timur (Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Papua). Akibatnya terjadi pembangunan tidak merata dan kemiskinan semakin meluas di daerah pedesaa. 6 Demikian pula dengan masalah sosial, seperti kejahatan, kemiskinan, dan rawan gizi dan nutrisi. Soeharto tidak dapat memberikan pemecahan masalah yang tegas untuk mengatasi persoalan tersebut. Soeharto tumbuh menjadi pemimpin yang otoriter. Segala hal berkaitan dengan negara harus tunduk pada titahnya. Soeharto telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai kepala negara dan panglima komando tertinggi militer untuk memperkaya keluarga dan kroninya, termasuk para perwira militer yang setia padanya. Eksploitasi besar-besaran perusahaan minyak multinasional pada wilayah yang memiliki sumber minyak mentah hanya mendatangkan keuntungan bagi elit di Jakarta dan kroninya di daerah, bukan bagi rakyat daerah. Pada tahun 1997 terjadi krisis 4
Ibid, 35. Joseph Saunders, “Academic Freedom in Indonesia: Dismantling Soeharto-Era Barriers,” Human Rights Watch (August, 1998) http://www.hrw.org/reports98/indonesia2/Borneote-02.htm. (accessed May 30, 2005). 6 William R. Liddle, “Asia: Indonesia,” in Comparative Governance, ed. W. Phillips Shively (USA: The McGraw-Hill Companies, 2005), 200. 5
2
http://raconquista.wordpress.com
[email protected] ekonomi Asia yang menumbangkan Soeharto dengan mempertontonkan hasil pembangunan ekonomi tidak merata yang disembunyikan oleh orde baru. Pada tanggal 21 Mei 1998, gerakan reformasi diprakarsai oleh mahasiwa memaksa Soeharto untuk turun dari pucuk kekuasaan. Militer Dan Budaya Kekerasan Dalam Politik Indonesia Peristiwa kudeta berdarah pada kurun waktu tahun 1965-1966 mengindikasikan keterlibatan sekelompok elit militer dalam menyingkirkan kelompok komunis yang berkembang secara pesat sebagai kekuatan politik di Indonesia. Berbagai argumen mengenai siapa pihak paling bertanggunjawab terhadap peristiwa tragis tersebutpun bermunculan, seperti PKI, elit militer, ataupun Soeharto sendiri, namun belum ada satupun bukti yang cukup meyakinkan siapa pelaku utama. Menurut Benedict R. Anderson dan Ruth McVey, berpendapat bahwa kudeta tersebut lebih merupakan karena adanya perpecahan dikalangan Angkatan Darat. 7 Indikasi keterlibatan militer dalam membunuh ratusan ribu jiwa di bawah komando Soeharto menjadi fokus penelitian para cendekiawan manca negara, seperti halnya penelitian Robert Hefner tentang kekerasan di wilayah Jawa Timur, berkesimpulan bahwa, “Pada akhirnya, kekerasan di dataran tinggi Pasuruan dalam pemahaman yang sederhana sekalipun bukanlah semata-mata hasil/produk dari pembelahan sosial kelas lokal atau keagamaan. Itu semua diatur oleh aparat-aparat negara dan termasuk di dalamnya adalah wakil-wakil dari berbagai macam lembaga swadaya masyarakat, khususnya Nahdlatul Ulama.” 8 Situasi ekonomi dan politik memburuk di tahun 1965 seolah mendapatkan kesempatan mengikis habis PKI yang dianggap sebagai biang keladi gerakan melawan pemerintah, yaitu dengan cara mempersenjatai kelompok pemuda seperti analisa Damien Kingsbury: “Pemerintahan dibawah Sukarno nyaris kehilangan kendali atas ekonomi...laju inflasi secara umum mencapai 500%, dan harga beras yang berada dalam persediaan yang menipis naik sekitar 900%. Defisit anggaran naik menjadi 300% dari pendapatan pemerintah, dan jika pembayaran kembali hutang-hutang luar negeri untuk tahun 1966 dilakukan sesuai jadual, maka hal itu senilai dengan hampir keseluruhan pendapatan dari ekspor." 9 Percaya atau tidak, sejarah kekerasan oleh militer dengan dalih menjaga stabilitas politik Indonesia tumbuh menjadi budaya. Militer tumbuh dari rakyat merupakan awal terbentuknya militia (kelompok sipil bersenjata atau paramiliter) dalam memperjuangkan kemerdekaan. Setelah perang kemerdekaan para pemuda yang tergabung dalam kelompok paramiliter mendapatkan pelatihan khusus dari tentara untuk membantu mengatasi perlawanan separatis seperti di Aceh dan Timor Timur. Oleh karena, kelompok paramiliter berkembang dengan tempaan militer, maka merekapun terlatih untuk menggunakan berbagai cara-cara ala militer, termasuk senjata. Mereka tidak segan menggunakan kekerasan seperti membunuh dengan cara yang keji. Tidak jarang, kelompokkelompok ini tumbuh menjadi liar, berani menteror rakyat tidak bersalah, memeras, dan berbuat kriminal. Fungsi mereka membantu milter berubah menjadi semacam tentara bayaran, bertindak sesuai pesanan pihak berkuasa. Kelompok paramiliter yang tidak masuk dalam struktur kekuasaan ini rupanya dimanfaatkan elit tertentu untuk menekan pihak oposan di masa orde baru. 7 Periksa, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1971). Adam Schwartz berkesimpulan, “Although not without its flaws- in particular its view that the Communist Party was not involved at all in the coup- on balance the Cornell Paper seems to offer a more credible interpretation of events than the army’s contention that the communists were solely responsible.” Periksa dalam A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s (Boulder, CO: Westview Press, 1994), hal. 20. 8 Robert Hefner, The Political Economy, hal. 66. 9 Dalam bahasa Inggris artikel ini pernah dimuat dalam Asian Survey, vol. xlii no. 4, Juli/Agustus 2002, hal. 582-604. Diterjemahkan oleh Nico Harjanto dan Putut Widjanarko atas ijin penulisnya
3
http://raconquista.wordpress.com
[email protected]
Contoh-contoh pembunuhan seperti petrus (penembak misterius) pada tahun 1984 merupakan salah satu contoh penggunaan paramiliter dalam memberangus musuh politik Suharto, yang menyebutkannya sebagai sebagai “shock treatment.” 10 Di akhir orde baru, terjadi demonstrasi besar-besaran dimotori oleh mahasiswa memaksa Soeharto turun. Puncak kemarahan mahasiswa terjadi pada tanggal 13 Mei 1998 ketika empat demonstran tewas tertembak di kampus Universitas Trisakti. Kala itu muncul figure Letjen Prabowo Subianto, yang merupakan menantu Soeharto dan Komandan Kopassus, memanfaatkan chaos sebagai lompatan menuju puncak karir tertinggi dengan menumbangkan penguasa, tanpa berkoordinasi dengan atasannya Jenderal Wiranto. Prabowo percaya akan mendapatkan dukungan rakyat untuk mengembalikan stabilitas nasional dengan menggunakan kekuatan militer, seperti yang telah dilakukan pendahulunya, Soeharto dengan petrus 11 Selanjutnya, sejarah mencatat Prabowo diduga melakukan percobaan kudeta dengan menggunakan mobilisasi pasukan militer untuk mengambil alih kekuasaan Habibie, pemegang mandat presiden sesaat setelah Soeharto turun. Menurut memoar kontroversial, Habibie, Detikdetik Yang Menentukan (2006), prabowo sebagai pangkostrad tidak loyal terhadap atasannya Wiranto, gagal dalam melaporkan maksud mobilisasi pasukan dilakukan, sehingga layak dicopot jabatannya. 12 Budaya kekerasan semakin berkembang pasca orde baru 1998, tidak hanya didukung pemerintah seperti pemuda pancasila binaan partai Golkar, akan tetapi sudah berubah menjadi gerakan lebih bersifat etnik keagamaan, seperti halnya Forum Betawi Rempug (FBR) dan Front Pembela Islam (FPI), menjadikan ketakutan sebagai cara paling ampuh untuk memaksakan kepentingan elit politik. Hubungan Sipil-Militer Pasca Orde Baru Sipil dan militer pada hakekatnya adalah dua entitas yang berbeda. Sipil dalam istilah politik dapat diartikan sebagai rakyat jelata atau public yang merupakan sekelompok obyek yang dikenai kebijakan politik pemerintahan suatu negara. Sedangkan militer merupakan alat negara dalam menjamin keamanan dan ketertiban sehingga pelaksanaan kebijakan politik dapat berjalan lancar tanpa mengalami gangguan dan melindungi rakyat sipil agar haknya sebagai warga negara tidak terlanggar. Penjelasan mengenai keberadaaan dua entitas memerlukan interaksi agar terjadi hubungan yang harmonis. Sipil butuh perlindungan militer, begitu pula militer butuh sipil untuk dilindungi dan dijaga ketertiban dan keamanannya. Amatlah naif apabila kita beranggapan bahwa keamanan dan ketertiban datang dengan sendirinya. Apalagi apabila suatu masyarakat mempercayakan keamana dan ketertiban yang dijaga oleh segerombolan sipil bersenjata yang memiliki kuasa menindak apabila ada anggota masyarakat berlaku di luar batas normal. Pertanyaannya, siapa yang berhak menghukum anggota gerombolan bersenjata tersebut apabila salah seorang anggotanya bertindak sewenang-wenang? Karena militer nasional berada di bawah payung 10
Lihat David Bouchier, “Crime, Law, and State Authority in Indonesia,” dalam State and Civil Society in Indonesia, ed. Arief Budiman, Monash Paper in Southeast Asia, no. 22 (Clayton, Vict.: Monash University, Center of Southeast Asian Studies, 1990); and James Siegel, A New Criminal Type in Jakarta: Counter-revolution Today. (Durham: Duke University Press, 1998). 11 Dalam bahasa Inggris artikel ini pernah dimuat dalam Asian Survey, vol. xlii no. 4, Juli/Agustus 2002, hal. 582-604. Diterjemahkan oleh Nico Harjanto dan Putut Widjanarko atas ijin penulisnya 12 B.J. Habibie, Detik-Detik Yang Menentukan. (Jakarta: PT. Gramedia, 2006). Baca transkrip wawancara Prabowo sesaat setelah memberikan pernyataan pers menanggapi tudingan Habibie kepada keterlibatan dirinya dalam menggerakan “pasukan liar” mengepung istana, kepada sejumlah media massa di Gedung Bidakara, Jakarta Selatan, pada bulan Oktober 2006. Wartawan Tempo Jobpie Sugiharto, Fajar W.H., dan Purwanto memberikan wawancara tambahan menanyakan “Apakah benar ada pergerakan pasukan Kostrad di luar komando?” Prabowo mengatakan, “Seandainya ada, terus untuk apa? Apa mau kudeta? Kalau saya punya niat, saya panglima 34 batalion. Kenapa saya tidak lakukan? Letkol Untung yang hanya punya dua batalion saja bisa melakukan G30S/PKI. Jadi, tergantung individunya.” Kebenaran dalam pernyataan ini masih perlu pembuktian secara empiris karena saat wawancara Prabowo menolak memberikan pernyataan lebih lanjut.
4
http://raconquista.wordpress.com
[email protected] pemerintahan dengan kepala negara sebagai panglima komando angkatan bersenjata tertinggi, maka kedudukannya dapat dengan mudah terjawab bahwa militer Indonesia patuh pada pemerintah yang berkuasa. 13 Oleh karena presiden mendapat mandat dari rakyat melalui pemilihan umum langsung untuk memerintah, maka militer secara implisit wajib patuh pada rakyat. Pendekatan Orde Baru yang selalu mengedepankan dwi fungsi ABRI karena latar belakang sejarah lahirnya militer dari rakyat yang berjuang di daerah-daerah dengan bergerilya melawan penjajah kolonial Belanda, merupakan usaha rejim Soeharto dalam memberikan pembenaran bahwa tindakan represif militer yang selama ini dilakukan adalah demi kepentingan stabilitas rakyat juga. Padahal yang terjadi rakyat telah menjadi bulan-bulanan pemerintahan Orde Baru, terpinggirkan karena suara mereka menjadi penting hanya pada saat pemilihan umum saja. Definisi lain dari hubungan sipil-militer masa Orde Baru datang dari tulisan Agus W. Kusumah, seorang militer intelektual yang semasa hidupnya diabdikan untuk menjunjung tinggi martabat militer yang bersih, jauh dari intervensi politik yang menguntungkan bisnis elit militer dan politik semata. Beliau menekankan pentingnya ABRI (saat ini TNI minus POLRI), sebagai kekuatan bersenjata, untuk melakukan perubahan. Karena menurutnya, “tangan ABRI telah merambah ke segenap ruang Orde Baru. Keberadaannya lalu tidak hanya dalam batas-batas fungsi ke militeran saja, tapi juga menjadi aktor penting yang memegang kendali kehidupan politik rakyat Indonesia. Karena itu, tidaklah berlebihan jika secara institusional sebenarnya ABRI adalah pihak yang juga bertanggung jawab terhadap baik buruknya Orde Baru, dan logis pula kalau turunnya Pak Harto tersebut bisa juga ditafsirkan sebagai akhir "kedigdayaan" ABRI.” 14 Saat itu militer Indonesia sedang mengalami krisis kepercayaan akibat hujatan dan cacian yang datang berkaitan dengan keterlibatan mereka dalam peristiwa berdarah di Aceh, Lampung, Tanjung Priok, Irian Jaya, Timor Timur, penculikan para mahasiswa dan aktivis politik, dan banyak pihak mengkritisi kegagalan militer dalam mengatasi kerusuhan yang timbul di berbagai tempat sejak Mei 1998. Di luar pakem militer berkecimpung dalam politik, Agus berpendapat bahwa ABRI harus sesegera mungkin meninggalkan panggung politik. ABRI yang selama ini hidup di balik dominasi kekuasaan sentralistis yang mampu memaksakan kehendak politik mereka atas nama stabilitas politik, sekarang dihadapkan dengan perubahan yang memaksa mereka untuk peka terhadap tuntutan sipil, termasuk tuntutan untuk melindungi mereka bukan mengintimidasi pihak yang berseberangan dengan penguasa karena berbeda pendapat. Akibatnya militer seolah-olah lupa akan fungsinya dalam menjaga ketertiban dan keamanan serta melindungi rakyat. Kenyataan ini menurut Agus datang dari pemahaman militer bahwa ada “dua hal penting di dalam tubuh ABRI yaitu doktrin "perang semesta" (total war) dan pengidentifikasian sebagai "tentara rakyat". Doktrin perang semesta merupakan kerangka untuk melihat Indonesia. Dalam doktrin ini sebuah negara (Indonesia) dibayangkan selalu berada di bawah ancaman perang, dan ancaman perang itu tidak hanya datang dari luar negeri tapi juga dari dalam negeri sendiri.” 15 ABRI yang lahir dan datang dari rakyat sesungguhnya merupakan bentuk penafsiran tentang diri (militer) sendiri yang berbeda dengan penafsiran yang dikemukakan oleh kalangan akademisi dan dikutip di berbagai media sebagai tentara rakyat, namun tidak lebih sebagai jargon politik ABRI dalam melanggengkan tindakannya di arena politik. Menurut Agus, “ABRI memahami 13
UUD 1945 pasal Presiden angkatan bersenjata. Jakarta, 25 Mei 1999, disampaikan oleh Mayjen TNI Agus Wirahadikusumah, saat menjabat Asisten Perencanaan Umum Panglima TNI, dalam seminar nasional "Mencari Format Baru Hubungan Sipil-Militer" Jurusan Ilmu Politik Fisip UI, 24 - 25 Mei 1999. Agus Wirahadikusumah (1951-2001), Hubungan Sipil-Militer= Visi, Misi dan Aksi 15 Ibid, Agus (2001). 14
5
http://raconquista.wordpress.com
[email protected] tentara rakyat secara "khas" pula (berdasarkan tafsirannya sendiri), dan pemahaman itu lebih bersifat "politis" daripada "historis". Sebutan tentara rakyat lebih sebagai "pernyataan", bukan "kenyataan". 16 Amat disayangkan pemikir politik berseragam militer seperti Agus harus berpulang ketika puncak usia dan karir militer sedang menanjak di tahun 2001. Walaupun banyak pihak menduga indikasi keterlibatan elit politik dan militer yang anti-reformasi di balik kematiannya, namun yang pasti, beliau sudah memberikan pemahaman lain dari dalam tubuh militer sendir bahwa pola hubungan sipil-militer di kemudian hari harus Hubungan sipil-militer untuk Indonesia tidak dalam bentuk dikotomi sipil-militer lagi. Suatu harapan yang memang sedikit demi sedikit menjadi kenyataan di era pemerintahan SBY-JK. Senada dengan semangat Wirahadikusumah menghapuskan dikotomi sipil-militer, Arif Yulianto dalam bukunya Hubungan Sipil Militer Pasca Orba Di tengah Pusaran Demokrasi (2002) menawarkan alternatif dari teori Alfred Stepan mengenai penyebab terjadinya hubungan sipilmiliter demokratis, karena adanya lima tipe hubungan: “(1) posisi bagi pemimpin militer yang tidak dapat dipertahankan lagi; (2) posisi bagi para pemimpin sipil demokratis yang hampir tidak dapat dipertahankan lagi; (3) akomodasi sipil yang tidak seimbang; (4) kontrol sipil; dan (5) akomodasi sipil-militer.” 17 Yulianto juga menyebutkan bahwa hasil dari penelitian, terdapat lima masalah yang memerlukan pemecahan menuju militer profesional, yaitu: (1) posisi militer dalam sistem dan kegiatan politik nasional; (2) koordinasi dan kerja sama lintas institusi di sektor pertahanan-keamanan; (3) peran militer dalam intelijen negara; (4) keterlibatan militer dalam bisnis; serta (5) pelanggaran HAM dan tindak kekerasan militer. Lebih lanjut Yulianto menuturkan bahwa dari kelima hubungan tersebut, maka tugas paling berat dari militer adalah penanganan pelanggaran HAM dan tindak kekerasan militer. Di indikator ini, hubungan sipil-militer berada di kotak merah yang menunjukkan militer masih otonom dan independen dari pengawasan dan kendali otoritas politik sipil. Pasca Orde baru, ditandai dengan terpisahnya lembaga Kepolisian dan TNI dari ABRI merupakan langkah awal menuju militer profesional. Tanggung jawab mereformasi tubuh TNI diikuti pula dengan gerakan kembalinya militer ke barak, menandakan era militer dalam politik sudah ditinggalkan. Tidak ada lagi pemberian jatah kursi khusus di legislatif untuk militer, tidak ada lagi hak istimewa. Militer hanyalah orang biasa yang direkrut oleh negara, dilatih dan dipersenjatai untuk menjaga kehormatan bangsa dan negara. Oleh karena itu mereka sewajarnya berhutang budi pada rakyat dengan memberikan perlindungan pada rakyat sipil. Namun demikian, menurut Yulianto, reformasi di militer di tubuh TNI masih sukar terwujud karena militer masih otonom dan independen dari pengawasan dan kendali otoritas politik sipil. TNI masih enggan melepaskan dirinya dari politik oleh karena pencitraan dirinya yang sangat lekat dengan label tentara politik. Lebih lanjut, TNI tampaknya masih akan menikmati hak-hak privilege-nya lebih lanjut dalam politik Indonesia karena belum lengkapnya regulasi politik yang mengatur posisi TNI dalam sistem politik Indonesia. Perundangan atau regulasi yang mengatur TNI selama ini, misalnya: UUD 1945 (Pembukaan UUD 1945 dan Bab Pertahanan Keamanan Negara), Tap MPR No VI dan VII (2002), UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta UU No 3/2002 tentang Pertahanan 16
Ibid, Agus (2001). Arif Yulianto, Hubungan Sipil Militer Pasca Orba Di Tengah Pusaran Demokrasi:, Cetakan I , Jakarta: Rajawali Pers, November 2002. Lihat Andi Widjajanto (2002), “Mencari Pola Hubungan Sipil-Militer untuk Indonesia
17
6
http://raconquista.wordpress.com
[email protected] Negara, masih berjalan sendiri-sendiri bahkan menguatkan peran militer di satu sisi. Yulianto menambahkan bahwa sekurangnya ada empat regulasi yang perlu segera dibuat dalam rangka percepatan reformasi militer, yaitu: regulasi tentang kebijakan pertahanan nasional, regulasi tentang institusi dan prajurit TNI, regulasi tentang sumber daya pertahanan, dan regulasi tentang prosedur pengerahan TNI. 18 Hubungan sipil-militer tampaknya masih menunggu langkah para pembuat kebijakan, eksekutif dan legislatif, dalam menghasilkan kesepakatan politik Keberadaan pemimpin tertinggi pemerintahan dari kalangan militer non-aktif masih perlu pembuktian, mewujudkan janji politik SBY berpihak pada sipil yang membawanya ke tampuk kepemimpinan di tahun 2004. Masa Orde Reformasi: Ujian Terhadap Ketangguhan Negara Kesatuan Republik Indonesia Segera Setelah Peristiwa Mei 1998, Soeharto menyerahkan kekuasaan eksekutif kepada wakil presiden B.J. Habibie. Selang beberapa waktu setelah penyerahan mandat tersebut, presiden baru B.J. Habibie harus bergulat dengan beragam konflik separatis di berbagai daerah seperti Timor Timur, menstabilkan iklim politik, dan mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan untuk mengembalikan kekuatan ekonomi mereka. Namun, usaha Habibie untuk mengembalikan stabilitas politik Indonesia menemui jalan tidak mulus. Kebijakannya semisal membiarkan propinsi termuda Indonesia, Timor Timur untuk melepaskan diri dari NKRI dinilai oleh sebagian pemain lama politik justru mendorong lepasnya wilayah lain. Berikut kemampuan Habibie sebagai seorang teknokrat diragukan banyak kalangan untuk memimpin Indonesia. Keinginan elit militer dan politik untuk kembali ke puncak kekuasaan memaksa Habibie untuk melangsungka pemilihan umum dengan membuka akses berdirinya partai baru di luar 3 partai rekayasa Orde baru, Golkar, PDI, dan PPP, akhirnya membuka babak baru demokrasi Indonesia yang terlanjur diwarnai munculnya gerakan di daerah memisahkan diri dari NKRI. Sementara itu, krisis ekonomi telah meluluhlantakan tatanan ekonomi Indonesia. Pemerintah pasca reformasi sudah kehabisan akal untuk mengeluarkan bangsa Indonesia dari krisis sosial ekonomi tak berkesudahan. Di tengah-tengah keterpurukan Indonesia, muncul lembaga donor internasional sebagai ‘malaikat’ penyelamat dengan skema bantuan berupa pinjaman. Sayangnya lembaga donor internasional yang diwakili oleh IMF dengan program restrukturisasi dan World Bank dengan program desentralisasinya, ternyata tidak hanya menolong Indonesia keluar dari krisis, akan tetapi semakin menjerumuskan Indonesia ke dalam jerat hutang internasional. Krisis ekonomi Asia di tahun 1997 membawa dampak jatuhnya penguasa militer di Indonesia. Situasi memaksa Indonesia untuk berpaling pada lembaga donor internasional untuk mendapatkan pinjaman, dan bantuanpun datang dalam bentuk program restrukturisasi berupa Structural Adjustment Programs (SAPs). Dalam pengawasan ketat dari lembaga donor, Indonesia kemudian meluncurkan program desentralisasi yang ekspansif. Pasca reformasi memunculkan rancangan perundangan baru mengenai desentralisasi pemerintahan dengan maksud memperbaiki sistem pemerintah otoriter masa lalu. Tidaklah mengherankan, undang-undang mengenai desentralisasi kemudian dirancang tanpa melihat kondisi nyata di daerah yang beragam. Perpindahan kekuasaan seketika dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah kemudian dirayakan dengan munculnya euphoria rakyat di daerah. Terbutakan oleh kekuasaan yang baru diperoleh dan terlalu banyaknya beban tanggung jawab dalam waktu singkat, pemerintah daerah berjuang keras untuk mengikuti perubahan.
18
Ibid, Yulianto, 2002.
7
http://raconquista.wordpress.com
[email protected] Pegawai pemerintah daerah di beberapa tempat menemukan cara baru untuk memperkaya diri, keluarga, dan kroninya. Ketika rakyat di daerah kemudian menyadari bahwa kepentingan mereka tidak penting bagi pemerintahnya yang hanya tertarik untuk memperkaya diri, merekapun perlahan mulai memperjuangkan hak-hak mereka. Seringkali perjuangan rakyat daerah mencetuskan kekerasan etnik dan keagamaan ketika rakyat daerah terbagi-bagi berdasarkan etnik dan agama. Di lain tempat, masih terdapat pasukan gerilya yang telah berjuang sejak lama untuk melawaan kesewenangan eksploitasi hasil alam oleh pemeirntah pusat seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Secara garis besar, pemerintah pusat menolak pelimpahan kewenangan pada pemerintah daerah demi mempertahankan kekuasaannya sedapat mungkin. Pemerintah pusat kemudian menarik kembali Undang-undang Pemerintah Daerah Nomor 22/1999 untuk direvisi menjadi Undang-undang Pemerintah Daerah Nomor 32/2004 yang menyebabkan pemerintah daerah kembali sebagai obyek, menjadikan mereka curiga terhadap upaya mengembalikan kekuasaan pada pemerintah pusat. Di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, salah satu isu yang kerap menghantam pemerintahan orde reformasi adalah gerakan separatisme yang berupa keinginan kelompok tersebut untuk merdeka, melepaskan diri dari NKRI. Terhitung, insiden 29 Juni 2007 mencatat penyusupan para penari Cakalele membentangkan bendera RMS berukuran raksasa, telah mencoreng kewibawaan simbol negara yaitu sosok Presiden SBY yang berdiri tepat di depannya. Seolah mengekor insiden di Provinsi Maluku, Kongres Masyarakat Adat Papua secara gegap gempita menyerukan Papua merdeka. Gelombang reaksi pro dan kontra berdatangan dari dalam negeri maupun luar negeri. Bahkan Congressman Amerika Serikat, Eni Faleomavaega, pada awalnya datang secara khusus memenuhi undangan datang ke Papua demi mendukung niatan merdeka tersebut, sebelum akhirnya diberhentikan langkahnya secara diplomatis oleh pemerintah Indonesia di istana negara saja. Terlepas dari kemampuan diplomatis wakil presiden membujuk sang Congressman untuk meyakinkan bahwa selama ini Pemerintah AS sudah salah menilai Indonesia pada kasus Papua, namun kenyataan di bumi Papua bukanlah isapan jempol. Nun jauh di timur Indonesia, ada sekelompok minoritas meneriakkan merdeka, menisbatkan diri mereka bukan bagian dari NKRI. Sudah waktunya pemerintah, kalangan akademisi, bahkan kelompok-kelompok diskusi dalam masyarakat membuka diri terhadap perubahan, termasuk diantaranya memberikan peluang untuk ide bangunan negara 19 federal secara akademik untuk muncul kembali dalam perdebatan publik. Bila perlu perdebatan sehat semacam ini diakomodasi dalam pembahasan rancangan amandemen Konstitusi selanjutnya semisal di dalam joint session MPR. Demi membangun otonomi daerah yang bertanggung jawab dan demi membangun tatanan bangunan negara baru tersebut, langkah selanjutnya adalah membuang jauh-jauh sentimen terhadap gerakan separatisme, karena pada hakekatnya isu separatisme telah hidup puluhan tahun setua umur republik ini. Separatisme muncul karena ada kepentingan minoritas yang terabaikan pemerintah pusat. Mengingat konsep kekuasaan dari rakyat untuk rakyat yang sepertinya lebih banyak ditawarkan oleh sistem federal, maka tidak ada salahnya mencoba kembali pemberlakuan sistem federal. Namun demikian, bercermin pada pengalaman RIS di masa lalu, perlu kita sadari bersama bahwa pemberlakuan sistem federal harus didasari oleh pengkajian lebih dalam.
19 Bangunan negara harus dibedakan dengan bentuk negara. Bentuk negara berkaitan dengan kepala negara ada dua macam: Republik dikepalai oleh presiden dan Monarki dikepalai oleh seorang raja atau ratu. Sedangkan bentuk pemerintahan merujuk pada sistem yang menandakan hubungan yang terjadi antara eksekutif dan legislatif yaitu: sistem parlementer dan presidensiil. Sedangkan bangunan negara di dunia ada tiga jenis: Unitarian, Federasi, dan Konfederasi. Lihat I Made L. Wiratama, “Purifikasi Sistem Presidensiil,” dalam Disain Baru Sistem Politik Indonesia, ed. Indra J. Piliang dan Tommy A. Legowo (CSIS: 2006), 27.
8
http://raconquista.wordpress.com
[email protected] Untuk sementara waktu, pemerintah harus bersikap tegas dalam usahanya mengakomodasi kepentingan minoritas tanpa harus mengorbankan kepentingan nasional. Jangan sampai pemerintah kemudian terjerumus dalam konflik etno-regional lebih dalam yang justru mengesampingkan kenyataan bahwa masih banyak rakyat kelaparan. 20 Hal inilah yang justru dapat mendatangkan malapetaka lebih besar yaitu runtuhnya bangunan NKRI oleh karena banyaknya rakyat lapar dan marah daripada berdebat ‘kusir’ tentang keniscayaan negara federasi. Oleh karena itu, peraturan mengenai desentralisasi kekuasaan politik, ekonomi, dan pemerintahan menyalakan konflik pemerintah pusat dan daerah sehingga mengantarkan Indonesia ke arah ketidakstabilan politik akibat ketidakjelasan pembagian kekayaan dan kekuasaan antara tiap tingkatan pemerintah dan munculnya revisi perundangan mengenai desentralisasi.
20
Prosentase penduduk miskin hanya turun kurang lebih 1 persen menjadi 16,58% atau 37,17 juta di bulan Maret 2007 dari 17,75% atau 39,30 juta di bulan Maret 2006. Bisnis Indonesia, BPS dituding rekayasa data kemiskinan: Jumlah penduduk miskin turun, Bisnis.com online (3 Juni 2007) http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/ekonomimakro/1id12665.html (diakses 16 Juli 2007).
9