KITAB HISTORIOGRAFI TRADISIONAL; ANTARA YANG TERSURAT DAN YANG TERSIRAT
IG. Krisnadi ∗
Abstract: Traditional historiography contains contemporary events mixed with imagination and consequently the implied meaning is often difficult to grasp. With the use of auxiliary disciplines of anthropology, sosiology, politics, philology and literature theory, the implied meaning of traditional historiography can be understood. Historical aspects of traditional historiography include historical events through the role of historical actors, exposition of the implied meaning in post-factum story, symbols, suggestions, and hagiography with the use of comparative information. Imajinative aspects of traditional historiography included: mythology, legends, symbol, hagiography and suggestions.
Keywords: traditional historiography, mythology, auxiliary disciplines,
1.
Pengantar
Pujangga di dalam menyusun kitab historiografi tradisional seperti kitab babad, hikayat, kronik, tambo menggunakan bahan baku peristiwa sejarah yang diolah dengan menggunakan bahan “penyedap” berupa rekaan (aspek imajinasi) dan penggunaan bahasa (sastra) yang artistik. Dalam hal ini para pujangga pencipta kitab historiografi tradisional tidak terikat oleh data, maupun kaidah-kaidah dalam seperangkat kerangka teori dan metodologi sejarah kritis, melainkan mereka memiliki kebebasan untuk mengembarakan imajinasinya kemanapun mereka suka.Kadang kala mereka mengelanakan imajinasinya dengan memasuki wilayah mitologi, simbol, legenda, sugesti, hagiografi maupun memasuki kawasan adat-istiadat, seni-budaya masyarakat setempat, sehingga isi cerita kitab yang ditulisnya tampak kacau.Hal ini tampak isi kitab yang ditulisnya antara aspek sejarah (peristiwa sejarah) berbalut menjadi satu dengan unsur-unsur imajinasi seperti mitologi,
simbol, legenda, sugesti, hagiografi. Tidak adanya
pemaparan kisah sejarah secara kronologis, semakin menyulitkan bagi setiap orang yang akan ∗
Dosen Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Jember.
memahami makna yang tersirat di dalam kitab historiografi tradisional yang ditulis pujangga. Misal alur cerita yang dibangun pujangga di dalam kitab Babad Tanah Jawi terkait dengan pembagian zaman yang dimulai dari zaman nabi-nabi, zaman munculnya tokoh-tokoh pewayangan, selanjutnya diikuti zaman kerajaan-kerajaan hingga Kerajaan Mataram (Islam) masa Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Yogyakarta.Jika dicermati berdasarkan pembagian zaman tersebut, selain menunjukkan alur cerita yang tidak kronologis, juga bertentangan dengan akal sehat. Hal ini tampak adanya kejanggalan yaitu raja-raja Mataram Islam keturunan tokoh-tokoh pewayangan atau keturunan sebangsa jin (makhlus halus) penguasa pantai selatan (Ratu Kidul) dan penguasa Gunung Merapi (Leluhur Juru Mertani), serta keturunan bidadari (Nawang Wulan). 1 Akal sehat tentu menyangsikan kebenaran kitabBabad Tanah Jawi terkait dengan anggapan bahwa raja-raja Mataram termasuk “trahing kusuma, rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih,” yaitu keturunan orang-orang kudus, raja-raja Majapahit, dan juga masih keturunan bidadari. 2Sartono Kartodirdjo menolak anggapan tersebut. Ia beranggapan bahwa asal-usul raja-raja Mataram berasal dari kalangan wong cilik (kalangan petani). 3 Pujangga pencipta kitab Babad Tanah Jawi dengan sengaja menyusun silsillah (mitologi) dimaksudkan untuk kepentingan justifikasi.Hal ini sesuai dengan tujuan penyusunan kitab Babad Tanah Jawi pada khususnya dan kitab historiografi tradisional pada umumnya yaitu untuk kepentingan justifikasi raja atau bupati atau dinasti yang sedang memerintah guna melestarikan kekuasaannya.Berkenaan dengan itu, kebenaran yang ada dalam kitab-kitab historiografi tradisional lebih bersifat “sebagaimana baiknya” daripada “sebagaimana adanya.” Kitab historiografi tradisional sebagai karya sastra-sejarah maupun sebagai kitab puja sastra yang disusun oleh para pujangga berisi peristiwa-peristiwa sejarah di masa lampau sebagai bahan baku yang bercampur aduk atau masih “terbungkus” dalam suatu simbol-simbol budaya dalam rupa kosmogonis dan kosmologis baik yang terdapat di dalam mitologi, legenda, simbol, sugesti, hagiografi sebagai bahan penyedap kitab historiografi tradisional. Untuk mengungkap makna yang tersirat di dalam kitab historiografi tradisional diperlukan ilmu bantu maupun teori
1
IG. Krisnadi (a), Mbedhah Isi Babad Tanah Jawi, dalam Jaya Baya No. 21, 25 Januari 1998.,hlm.20. IG. Krisnadi (b), Pujangga Kraton: Mbangun Sastra, Marsudi Basa.(Makalah Proceeding), Kongres Bahasa Jawa IV di Semarang, Oktober 2006. 3 Sartono Kartodirdjo (a), Segi-segi Strukturil Historiografi Indonesia, dalam Lembaran Sedjarah No. 3. Yogyakarta: Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada, 1969., hlm. 14-17. 2
yang mampu mengungkap makna dari simbol-simbol tersebut, sehingga dapat diketahui kondisi sosi-kultural suatu masyarakat setempat sebagai “penggerak sejarah.” Artikel ini mencoba mengungkap makna yang tersirat di dalam kitab-kitab historiografi tradisional seperti kitab Babad Tanah Jawi, Babad Sultan Agung, Babad Demak, Pararaton, Negara Kertagama
dengan menggunakan pendekatan antropologi, sosiologi, filologi, ilmu
politik. Menurut Sartono Kartodirdjo, pendekatan antropologi akan mampu mengungkapkan nilai-nilai atau simbol-simbol budaya yang mendasari perilaku sejarah, status dan gaya hidup para pelaku sejarah yang tersirat di dalam cerita kitab-kitab historiografi tradisional. Selain itu ilmu bantu antropologi akan mampu mengungkapkan sistem kepercayaan yang berlaku di suatu masyarakat yang mendasari pandangan hidup para pelaku sejarah tentang makro kosmos dan mikro kosmos.Sedangkan pendekatan sosiologi akan mampu meneropong segi-segi sosiokultural dari peristiwa sejarah di masa lampau yang tersirat dalam kisah cerita di dalam kitab historiografi tradisional, misalnya golongan sosial mana yang berperan, konflik kepentingan dan sebagainya. Ilmu bantu politik dapat digunakan untuk mengungkapkan makna yang tersirat dalam kitab historiografi tradisional terkait dengan struktur kekuasaan, jenis kepemimpinan, herarki sosial, konflik kepentingan dalam memperebutkan kekuasaan.Demikian juga ilmu bantu filologi dapat digunakan untuk mempelajari tentang naskah-naskah kuna yang mencakup bidang kajian yang meliputi penggunaan bahan naskah, jenis tulisan naskah, otentik atau tidak otentik naskah, kodifikasi penulisan naskah, tujuan penulisan naskah. Pisau analisis yang digunakan untuk menganalisis secara lebih mendalam di dalam pengkajian kitab-kitab historiografi tradisional dapat dilakukan dengan menggunakan teori sastra-babad. Teori ini mampu menjawab setiap permasalahan yang muncul di dalam studi kitabkitab historiografi tradisional terkait dengan aneka ragam, sifat anonim, kedudukan pujangga maupun tujuan penulisan
kitab historiografi tradisional. Selain itu teori sastra-babad akan
mampu mengungkapkan aspek sejarah dan aspek imajinasi sebagai bahan baku dan “bumbu” pengkisahan kitab historiografi tradisional. Menurut F.A. Sutjipto, teori sastra-babad akan mampu mengungkap aspek historisitas yang tersirat di dalam kitab historiografi tradisional menyangkut masalah pelaku, spasial, temporal, pristiwa maupun proses kejadiannya. Sedangkan
aspek imajinasi yang tersirat di dalam kitab historiografi tradisional yang dapat diungkap menyangkut unsur mitologi, legenda, simbul, sugesti dan hagiografi. 4
2.
Pujangga dan Proses Penciptaan Kitab Historiografi Tradisional
Istilah pujangga secara etimologi tidak terdapat di dalam bahasa Jawa Kuna maupun Sansekerta.Di dalam bahasa Sansekerta terdapat istilah mirip dengan istilah pujangga yaitu bhujangga, artinya ahli sastra, ulama (pendeta). Demikian juga di dalam bahasa Jawa Kuna terdapat istilah yang mirip dengan istilah pujangga yaitu janggan, artinya dukun (para normal), dan ahli membuka rahasia mimpi yang disebut sebagai peramal. 5 Berkenaan dengan itu Darusuprapta berpendapat, asal-usul istilah pujangga itu karena terjadinya kekeliruhan orang Jawa pada zaman dahulu yang ingin mengucapkan bhujangga menjadi pujangga.Hal ini bisa terjadi karena istilah bhujangga itu merupakan istilah dari bahasa asing (Bahasa Sansekerta), sehingga lidahnya orang jawa pada zaman dahulu sulit mengucapkan istilah tersebut. Kekeliruhan orang Jawa pada zaman dahulu mengucapkan bhujangga menjadipujanggabermula dari kekeliruhan mengucapkan huruf b dengan p yang terdapat di awal lingga, dan keduanya (huruf b dan p ) merupakan “aksara lambe” yang menjadi satu dasar suara. 6Menurut Gonda, istilah bhujangga dan pujanggadiperuntukkan bagi orangyang memiliki keahlian dalam menulis kitab sastra atau kitab sejarah. Istilah bhujangga ataupujangga diperuntukkan bagi pegawai istana atau kabupaten yang memiliki kewajiban menyusun silsillah dan kitab sejarah kerajaan yang masih banyak dibumbui unsur-unsur rekaan/sastra. Selain itu, Gonda juga berpendapat, bahwa istilah bhujangga atau pujangga diperuntukkan bagi orang yang memiliki kewajiban sebagai pemimpin upacara keagamaan, mengembangkan bahasa dan kesusastraan, menjaga kelestarian adat-istiadat kerajaan, peramal, ahli ilmu perbintangan, memiliki pengetahuan luas dalam hal pemerintahan. 7 Pujangga mempunyai kedudukan sosial sebagai pegawai istana maupun kabupaten.Ia sebagai pegawai istana atau kabupaten digaji berupa pemberian tanah garapan yang disebut tanah lungguh, dan segala kebutuhan hidupnya telah dicukupi oleh raja atau bupati yang sedang 4
F.A. Sutjipto, Struktur Politik dan Historiografi Tradisional, dalam Ilmu-ilmu Sastra Indonesiaa No. 03.Jakarta: Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, 1982), hlm. 29. 5
Th. G. Pigeaud, Java in 14 th Century, a Study in Cultural History(The Hague-Martinus Nijhoff, 1963), hlm. 360. Darusuprapta, Jejer Kalenggahaning Pujangga ing Kasusastran Jawi.Ing Widya Parwa No. 22.(Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa, 1982), hlm. 3-5. 7 Ibid.,hlm. 81. 6
memerintah, sehingga mereka mempunyai kewajiban utama yaitu mengabdikan dirinya kepada raja atau bupati yang sedang berkuasa. Raja atau bupati di dalam melaksanakan pemerintahan memerlukan
dukunganrakyatnya. Oleh karena itu seorang raja atau bupati memerintahkan
kepada pujangga untuk menulis kitab historiografi Indonesia tradisional sebagai sarana legitimasi pemerintahan agar mendapat dukungan dari rakyatnya.Bentuk historiografi yang demikian ini sering dikenal sebagai kitab puja-sastra atau sastra magis. Kitab semacam ini memiliki fungsi sosial-politik yaitu untuk melegitimasi dinasti yang sedang memerintah. Mengingat historiografi tradisional sebagai media legitimasi, sehingga isi ceritanya cenderung mengagungkan kemegahan raja atau bupati dan para leluhurnya, sedangkan “noda-noda hitam” atau perbuatanaib seorang raja atau bupati, dihilangkan atau dikaburkan. Kitab historiografi tradisional biasanya bersifat anonim, maksudnya siapa penulis tidak dicantumkan, sehingga sulit untuk menentukan siapa penulis kitab tersebut ditulis. Bagi seorang pujangga pada waktu itu, dicantumkan atau tidak dicantumkan bukan persoalan penting, karena pujangga sebagai abdi dalem kerajaan atau kabupaten, segala keperluan hidupnya telah dicukupi oleh raja atau bupati yang sedang memerintah. Berkenaan dengan itu, ada tugas yang lebih penting bagi seorang pujangga daripada sekedar mencari populeritas diri dengan mencantumkan namanya di dalam kitab yang ditulisnya.Para pujangga pada waktu itu selain memiliki kedudukan sebagai pegawai istana atau kabupaten, mereka jugadikenal
sebagai seorang
cendekiawan maupun sebagai seorang budayawan (sastrawan). Ia mengandalkan a kemampuan intelektual dan daya imajinasinya untuk menciptakan kitab historiografi tradisional, sehingga hasil penulisannya dikenal sebagai kitab sastra sejarah. Isi cerita di dalam kitab historiografi tradisional untuk mengkultuskasn atau mengagungkan raja atau bupati yang sedang berkuasa, sehingga kitab tersebut dikenal sebagai kitab sastra magis atau kitab puja sastra, dan memiliki kebenaran sejarah yang subyektif.
Proses Penciptaan Kitab Historiografi Tradisional W A R I S A N 1. 2. 3. 4.
M A S A L A M P A U
Kepercayaan yang ada di tengah-tengah masyarakat Adai-istiadat yang ada di tengah-tengah masyarakat Pengetahuan keagamaan Pengetahuan tentang kitab-kitab kuna
5. 6. 7. 8. 9.
Tradisi lesan Seni dan budaya Pengetahuan pemerintahan Pengetahuan kemiliteran, kanuragan Dan sebagainya.
M A S Y A R A K A T
S E Z A M A N
Realitas Kehidupan (Peristiwa Sejarah sebagai Bahan Baku Penyusunan Kitab Historiografi Tradisional) P
U J A N G G A
ASPEK IMAJINASI HISTORISITAS Dikemas dalam bahasa sastra Jawa (Kawi, Kawi Muda, Jawa Baru) yang artistik seperti dalam bentuk macapat: Dandang Gula, Mijil, Sinom, Pucung, Mas Kumambang, Megatruh, dan sebagainya.
H I S T O R I O G R A F I
1. 2. 3. 4. 5.
ASPEK IMAJINASI (BUMBU PENYEDAP) Mitologi Legenda Simbol Sugesti Hagiografi
6. Dan sebagainya.
T R A D I S I O N A L
ASPEK SEJARAH (BAHAN BAKU) 1. Pelaku/Tokoh Sejarah 2. Struktur Pemerintahan
3.Kondisi Sosio-kultural 4.Kondisi Sosial-politik 5.Kondisi Sosial-ekonomi 6.Dan sebagainya
T U J U A N: S A R A N A L E G I T I M A S I K E K U A S A A N
Walaupun para pujangga di dalam menulis kitab historiografi tradisional menggunakan bahan baku sejarah berupa peristiwa sejarah di masa lampau, maupun para pujangga masih dengan bebas mengembarakan imajinasinya di dalam kitab yang ditulisnya, sehingga masih banyak dijumpai aspek imajinasi yang mengaburkan bahan bakunya yaitu fakta sejarah di masa lampau. Proses terciptanya kitab historiografi tradisional dapat dilihat pada bagan berikut ini. Tingkat intelektualitas seorang pujangga ditentukan oleh seberapa luas pengetahuan yang dimilikinya melalui pembacaan kitab-kitab lama maupun sezaman atau diperoleh melalui pelajaran-pelajaran di perguruan-perguruan agama (padepokan, pesantren).Hal penting bagi seorang pujangga menulis kitab historiografi tradisional terletak seberapa banyak pengalaman yang diperolehnya baik dari dirinya maupun dari masyarakat pada masanya.Seluruh kemampuan pengetahuan dan pengalamannya diendapkan dan dicerna untuk dilahirkan melalui kemampuannya sebagai sastrawan. 8 Beberapa aspek yang mempengaruhi pujangga di dalam upaya menciptakan kitab historiografi tradisional meliputi: pengalaman atau pewarisan masa lampau, pengalaman hidup sezaman, kemampuan intelektual maupun kemampuan daya imajinasinya serta kemampuan seorang pujangga di dalam penggunaan bahasa dan sastra yang artistik sebagai layaknya seorang sastrawan. Pewarisan pengetahuan masa lampauyang diperoleh
pujangga sebagai modal
referensial di dalam menciptakan kitab historiografi tradisional seperti: kepercayaan tentang Ratu Kidul sebagai penguasa pantai selatan, kepercayaan terhadap jin-jin penguasa Gunung Merapi dan sebagainya.Pengetahuan adat-istiadat yang diperoleh para pujangga sebagai pewarisan masa lampau dan digunakannya sebagai referensial di dalam menciptakan kitab historiografi tradisional seperti adat-istiadat berupa tata sembah, upacara jumenengan raja yang berlaku di kerajaan-kerajaan terdahulu. Pengetahuan keagamaan maupun kesusastraan yang diperoleh para pujangga sebagai pewarisan masa lampau untuk digunakan sebagai bahan referensial para
8
F.A. Sutjipto., op. cit., hlm. 111.
pujangga
yang diperoleh dari kitab-kitab lama seperti: Tripitaka, Weda, Adiparwa,
Wirataparwa, Uttarakanda, Tantu Panggelaran, Calonarang, Harsawijaya, Pararaton, Arjuna Wiwaha, Sotasoma, Gathotkaca Sraya, Bharata Yudha, Ramayana. 9Aspek-aspek itu semuanya sebagai modal yang dimiliki pujangga dalam menciptakan kitab historiografi tradisional. Pewarisan masa lampau yang diterima pujangga yang hidup pada masyarakat sezaman merupakan kekayaan rohaniah seorang pujangga untuk menciptakan kitab historiografi tradisional.Warisan tersebut meliputi kepercayaan yang hidup di masyarakat, juga pengetahuan agama, adat-istiadat, naskah lama, kitab ilmu pengetahuan, pola pemikiran, tradisi lesan, cerita rakyat dan sebagainya. Berbagai warisan masa lampau yang diterima pujangga akan memperluas cakrawala pemikirannya, sehingga memperkuat kemampuan dalam
berimajinasi, berkreasi,
bernarasi maupun berfilsafat. Hal ini berpengaruh terhadap proses penciptaan kitab historiografi tradisional. Semakin banyak warisan masa lampau yang diterima pujangga, iasemakin berpotensi, berkreasi dan berkualitas di dalam menciptakan kitab historiografi tradisional. Realitas kehidupan di dalam masyarakat sezaman berupa peristiwa sejarah, dijadikan sebagai bahan baku untuk menciptakan kitab historiografi tradisional. Misal Adi Langu II dan Tirta Wiguna menulis kitab Babad Tanah Jawi menggunakan bahan baku peristiwa sejarah Mataram yang diolah dan diberi “bumbu”melalui daya imajinasinya serta dikemas dengan penggunaan bahasa dan sastra yang artistik (edi-peni), sehingga jadilah kitab Babad Tanah Jawi sebagai karya historiografi tradisional yang monumental dengan seting sejarah Mataram. Keahlian seorang pujangga membuat cerita yang ditulisnya menjadi hidup, bahkan pengetahuan tentang wayang menjadi bahan untuk melukiskan secara indah tentang keluhuran dan keperkasaan raja, keindahan istana dan perlengkapan pengiring raja, kesentausaan kerajaan dan sebagainya. Fakta-fakta sejarah dan unsur kronologis tidak dapat mengekang kebebasan pujangga di dalam proses kreativitas, namun ia akan tunduk kepada raja atau bupati yang memerintahkannya untuk menulis kitab historiografi tradisional. Walaupun demikian, karena pujangga itu sebagai sastrawan (seniman), sehingga naluri keseniannya (bebas) suatu ketika muncul di dalam karyanya yaitu berupa tindakan kritik tajam terhadap penguasa (raja atau
9
R.M. Ng. Poerbatjaraka., Kapustakan Djawi (Djakarta: tanpa badan penerbit, 1957).
bupati) yang kurang bijaksana di dalam menjalankan pemerintahannya. Misal tercermin di dalam kitab Wicara Keras karangan R.Ng. Rangga Warsita. 10 Pujangga sebagai pegawai istana atau kabupaten digaji dan segala kebutuhan hidupnya dicukupi oleh raja atau bupati yang sedang berkuasa, sehingga ia berkewajiban utama untuk memperkuat kedudukan raja atau bupati yang sedang memerintah. Ia menciptakan kitab historiografi tradisional yang memuat cerita yang mengagungkan kemegahan raja dan leluhurnya, sedangkan noda-noda hitam raja atau bupati atau para petinggi istana yang sedang memerintah diringkas, dihilangkan atau dikaburkan. Hal inilah yang menjadi perhatian utama bagi seorang pujangga. Sedangkan masalah dicantumkan atau tidak dicantumkannya nama penulis (anonim) tidak menjadi persoalan pokok pada waktu itu.
3. Bahan Baku 3.1 Peristiwa Sejarah Seorang pujangga di dalam mencipta kitab historiografi tradisional menggunakan bahan baku peristiwa sejarah yang termasuk di dalamnya adalah para tokoh sejarah, kejadian-kejadian yang dialami pemegang peranan dalam konteks alam pikiran pujangga, kehidupan seni-budaya, susunan tata pemerintahan, adat-istiadat, tradisi lisan dan segala hal-ikwal semasa itu. Di dalam kitab historiografi tradisional, nilai historisitasnya tampak di dalam peranan tokoh istana maupun petinggi daerah dalam menggerakkan jalannya sejarah. Hal ini terbukti sifat pengkisahan kitab historiografi tradisional adalah raja sentris dan istana sentris. Pujangga yang mencipta kitab historiografi tradisional memiliki status sosial sebagai pegawai istana yang digaji oleh raja atau pegawai tinggi di daerah yang segala keperluan hidupnya dicukupi oleh raja atau pegawai tinggi di daerah (kadipaten), sehingga ia harus mengabdikan seluruh hidupnya kepada raja atau pegawai tinggi di daerah. Ia di dalam mencipta kitab historiografi tradisional dengan menggunakan bahan baku peristiwa sejarah sezaman berdasarkan pedoman bagaimana sebaiknya terjadi yang mengacu kepada keperluan legitimasi dinasti yang sedang memerintah. Segi referensial di dalam kitab historiografi tradisional menunjukkan kepada fakta sejarah yang sunguh-sungguh terjadi, dan fakta-fakta fiktif dari pujangga yang diciptakan berdasarkan pola-pola pikiran dan perasaan yang hidup di dalam
10
Soenarto Timoer, Kajian Literer Unsur Keterbukaan Nilai Budaya Tradisional Jawa (Makalah Seminar). Jember: Fakultas Sastra Universitas Jember.
masyarakat yang berpengaruh pada diri pujangga sebagai salah seorang anggota masyarakat sezaman. Menurut A. Teauw, segi fiksional dan referensial di dalam kitab historiografi tradisional berpadu sebagai satu kesatuan di dalam materi cerita historiografi tradisional. 11 Peristiwa sejarah sebagai bahan baku untuk menyusun kitab historiografi tradisional diolah pujangga.Pujangga di dalam mengelola peristiwa sejarah sebagai bahan baku penyusunan kitab historiografi tradisional tidak terikat oleh prosedur di dalam metodologi sejarah ilmiah. Ia dengan bebas mengelanakan imajinasinya untuk menyusun kitab historiografi tradisional dengan berpedoman pada “bagaimana sebaiknya” peristiwa sejarah itu ditulis.Bahan baku yang digunakan pujangga untuk menyusun kitab historiografi tradisional diperoleh dari berbagai pihak. Dari pengalaman dan pengamatan pribadi atau melalui informasi yang tersimpan di perpustakaan dan arsip keraton.Hal ini bermanfaat bagi pujangga untuk mengenal kejadiankejadian di luar baik yang sezaman maupun masa lampau. Bahan baku lainnya yang digunakan pujangga dapat berupa kepercayaan masyarakat sezaman maupun masa lampau seperti mitologi, magi, mistik, agama, kanuragan, pulung, tuah, jimat, santet, ramalan, tafsir mimpi, makhluk halus dan sebagainya. Bahan-bahan tersebut mengendap di dalam kesadaran pujangga untuk kemudian dituangkan ke dalam kitab historiografi tradisional dengan ramuan-ramuan artistik dari bakat kesenimannya.Di dalam kitab historiografi tradisional muncul uraian tentang peranan tokoh-tokoh atasan, kekebalan seorang tokoh, hubungan seorang tokoh dengan makhluk halus, tuah berbagai pusaka kerajaan.Demikian pula tanda-tanda alam dihubungkan dengan suatu peristiwa besar baik yang menyangkut diri seorang raja, bangsawan, maupun kewibawaan kerajaan. Demikian juga kadang kala suatu ramalan yang dihubungkan dengan peristiwaperistiwa yang akan terjadi, tetapi sebenarnya telah terjadi atau bersifat post-factum. 12
3.2 Kritik Terhadap Pemaparan Cerita Bersifat Post-factum Seorang pujangga mencipta kitab historiografi tradisional bertujuan untuk keperluan sarana legitimasi penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Mereka itu biasanya para raja atau para bupati yang sedang memerintah. Demi legitimasi pemerintahan, tidak jarang seorang pujangga menyusun cerita tentang ramalan yang dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang akan terjadi, pada hal peristiwanya itu sebenarnya telah terjadi. Bentuk penyusunan atau 11
Sulastin Sutrisno, Sastra dan Historiografi Tradisional., dalam Ilmu-ilmu Sastra Indonesia No.3. (Fakultas Sastra: Universitas Indonesia, 1982), hlm. 210. 12 F.A. Sutjipto., op. cit., hlm. 235.
pemaparan cerita yang demikian ini bersifat post-factum.Misal, pujangga penulis kitab Pararaton memiliki referensial bahwa pendiri Kerajaan Singosari adalah Ken Angrok yang berhasil menghancurkan penguasa (Akuwu) Tumapel.Hal ini suatu kenyataan sejarah. Namun Ken Angrok setelah berkuasa di Kerajaan Singosari memerlukan sarana legitimasi kekuasaan, sehingga ia memerintahkan seorang pujangga untuk menulis kitab Pararaton. Pujangga penulis kitab tersebut menyusun cerita yang bersifat post-factum yang tampak pada cerita seorang perempuan desa bernama Ken Endhok yang mengirim makanan kepada suaminya yang sedang bekerja di sawah, namun di tengah jalan (di Tegal Lelateng) ia “ditemui” Dewa Brahma sampai dirinya hamil, dan akhirnya melahirkan seorang jabang bayi. Ken Endhok setelah melahirkan, membuang bayinya ke tempat kuburan. Bayi tersebut memiliki keistimewaan yaitu memancarkan sinar terang di sekujur tubuhnya yang bisa menerangi seluruh kuburan, dan pada malam itu juga bayi tersebut ditemukan seorang pencuri (Lembong), selanjutnya bayi itu diberi nama Ken Angrok serta dirawatnya. 13 Pujangga penulis kitab Pararaton secara sengaja mengisahkan bahwa bayi Ken Angrok mengeluarkan sinar terang pertanda bahwa bayi ini kelak akan menjadi raja besar yang akan menjadi penguasa Jawa. Hal ini selain menunjukkan ramalan masa depan Ken Angrok yang akan menjadi penguasa Jawa, kisah ini ditulis setelah Ken Angrok berhasil menjadi raja di Kerajaan Singosari dengan menghancurkan Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung, sehingga kisah cerita yang disusun pujangga tersebut bersifat post-factum. Hal ini dilakukan oleh pujangga tersebut untuk keperluan legitimasi Ken Angrok beserta keturunan sebagai penguasa sah atas Jawa, sehingga ia akan didukung oleh segenap rakyatnya. Hal ini dibenarkan oleh Buchari yang menyatakan bahwa Ken Angrok setelah membunuh Tunggul Ametung, ia memerlukan dukungan untuk keperluan legitimasi guna mempertahankan kekuasaannya dengan memerintahkan seorang pujangga untuk mencipta kitab Pararaton. Ketika terjadi suksesi di Kerajaan Mataram, Pangeran Puger (Sunan Paku Buwana I) berhasil merebut singgasana dari penguasa sah yaitu Sunan Mangku Rat III (putra mahkota), ia segera melakukan konsolidasi internal maupun eksternal. Pangeran Puger melakukan konsolidasi eksternal dengan caracoercive power maupun non-coercive power. Konsolidasi secara coercive power dilakukan melalui penguasaan secara fisik dengan pemaksaan melalui senjata (tumpes kelor) atau melalui papag perang, dan melalui ancaman sampai pemaksaan secara 13
Nugroho Notosusanto,Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 397-398.
fisik.Sedangkan upaya mempertahankan atau memperluas kekuasaan secara non-coercive power dilakukan melalui penguasaan non-fisik dengan menguasai daya kesadaran kritis secara halusmembius.Iamelakukan konsilidasi secara non-coercive power dengan memerintahkan pujangga istana yaitu Pangeran Adi Langu dan Carik Bajra untuk menciptakan kitab Babad Tanah Jawidengan tujuan untuk keperluan legitimasi atas pemerintahannya. 14 Berkenaan dengan itu kedua pujangga tersebut menyusun kisah cerita secara post-factum seperti dalam paparan berikut ini. Ki Ageng Giring (Ki Ag. Panderes) ketika sedang mencangkul di ladang, ia dikejutkan suara dari buah kelapa muda “barang siapa minum kelapa muda kelak ia dan keturunannya akan berkuasa atas tanah Jawa”. Ki Ageng Giring dengan perasaan amat gembira segera memanjat pohon kelapa dan memetik buah tersebut dan segera dibawa pulang.Ia tidak segera meminum air kelapanya, karena belum haus, sehingga buah kelapa tersebut diletakkan di atas sebuah papan tempat tidur, dan nanti akan diminumnya setelah haus. Ki Ageng Giring akhirnya pergi ke ladang melanjutkan pekerjaannya. Selama ia bekerja di ladang, datang Ki Ageng Pemanahan (sahabat) di rumahnya, namun ia tidak bertemu dengan Ki Ageng Giring, dan menemukan buah kelapa muda tergolek di atas sebuah papan tempat tidur dan segera diminum air kelapa muda tersebut sampai tetes yang penghabisan. Hal ini sangat mengejutkan Ki Ageng Giring sekalipun ia lama membisu (tertegun) ketika melihat air kelapa muda miliknya diminum Ki Ageng Pemanahan. Akhirnya ia
memintaKi Ageng Pemanahan agar keturunannya kelak boleh
menyelingi kedudukan keturunan Ki Ageng Pemanahan menjadi raja di Mataram. Setelah Ki Ageng Giring mendesak, akhirnya Ki Ageng Pemanahan memperbolehkan keturunan Ki Ageng Giring (Pangeran Puger) kelak menjadi raja Mataram sebagai keturunan yang ketujuh.Kisah cerita tersebut di atas bersifat post-factum disusun oleh pujangga Pangeran Adi Langu dan Carik Bajra dengan maksud selain meramal bahwa Pangeran Puger sah menjadi raja Mataram dengan gelar Sunan Paku Buwana I dan keturunan atau trah Ki Ageng Giring telah dinyatakan sah menjadi raja Mataram yang ketujuh. 15
3.3 Kritik atas Penulisan nama Tokoh Sejarah
14
Poerwadi, Babad Tanah Jawi; Menelusuri Jejak Konflik (Jogyakarta: Penerbit Pustaka Alif, 2001),hlm. 9. Nama raja-raja Mataram yang pertama hingga ketujuh secara berturut-turut sebagaie berikut: Panembahan Senapati, Panembahan Krapyak, Sultan Agung, Sunan Mangku rat I, Sunan Mangku Rat II, Sunan Mangku rat III, Sunan Paku Buwana I (Pangeran Puger)
15
Upaya yang perlu diperhatikan oleh seorang sejarawan di masa kini untuk mengetahui nilai historisitas di dalam kitab historiografi tradisional yaitu harus mampu memahami kebiasaan kekurang-tepatan atau bahkan kekeliruhan seorang pujangga sebagai pencipta kitab historiografi tradisional di dalam menyebut nama-nama para pelaku sejarah yang bukan pribumi atau terlebihlebih untuk mengenal nama-nama orang Belanda.Berkenaan dengan itu seorang sejarawan di dalam melakukan pengkajian kitab-kitab historiografi tradisional secara ilmiah guna mengetahui seberapa jauh aspek sejarah di dalam kitab yang dipelajarinya harus diperlukan untuk melakukan identifikasi. Misal di dalam kitab Babad Giyanti terdapat istilah Hohendorep, sedangkan di dalam kitab Babad Sepei terdapat istilah Paterlo, Eglaret, Monte, dan di dalam Babad Sultan Agung terdapat istilah Mur Jang Kung. Menurut F.A. Sutjipto, istilah-istilah tersebut sebenarnya hanya kesalahan pujangga pencipta kitab historiografi tradisional dalam mengucapkan atau menyebut nama tokoh-tokoh sejarah berkebangsaan Belanda. Istilah-istilah tersebut dapat dilacak di dalam lembaran sejarah Indonesia, dan kemudian dapat diperoleh identifikasi nama-nama sebagai berikut: penyebutan nama Hohendorep untuk menyebut nama seorang komandan kompeni yang bermarkas di Kartasura yaitu J.A. van Hohendorf,. Sedangkan penyebutan istilah Paterlo untuk menyebut nama seorang residen ketujuh Yogyakarta yang memerintah pada 16 Agustus 1803 sampai 25 Pebruari 1808 yaitu M. Waterloo. Istilah Eglaret merupakan kesalahan pujangga (penulis Babad Sepei) untuk menyebut P. Engelhard (Residen Ke-8 Yogyakarta) yang memerintah 25 Pebruari 1808 sampai 19 November 1808. Istilah Monte merupakan kesalahan pujangga untuk menyebut H.W. Muntinghe yaitu Sekretaris Rafles.Sedangkan yang dimaksud istilah Mur jang Kung di dalam Babad Sultan Agung merupakan kesalahan pujangga penulis kitab tersebut menyebut Gubernur Jenderal VOC yang bernama Jan Pieter Zoen Coen di Jakarta. 16
3.4 Mencari Sumber Pembanding Seorang sejarawan di dalam upaya mencari aspek sejarah di dalam kitab historiografi tradisional dengan cara melacak pada prasasti, berbagai benda purbakala dan arsip. Misal untuk menentukan apakah seorang tokoh Ken Angrok di dalam kitab Pararaton atau Negara Kertagama sebagai mitos atau sungguh-sungguh sebagai tokoh sejarah, maka sejarawan dapat melacaknya pada prasasti, arsip maupun berbagai peninggalan benda purbakala yang telah tersedia. Menurut C.C. 16
F.A. Sutjipto., op. cit., hlm. 238.
Berg,
Ken Angrok bukan sebagai tokoh sejarah, melainkan hanya tokoh a-historis yang
merupakan hasil imajinasi pujangga penulis kitab Negara Kertagama atau Pararaton. Setelah ditemukan Prasasti Mulamalurung, anggapan tersebut salah, dan tokoh Ken Angrok dianggap sebagai tokoh sejarah. Sejarah Kerajaan Singosari dan Majaphit banyak diungkap oleh kitab Pararaton dan Negara Kertagama.Orang awam menganggap bahwa kedua kitab ini sebagai kitab sejarah yang telah diyakini kebenarannya. Namun bagi para sejarawan bahwa kedua kitab tersebut memang disusun berdasarkan atau dengan menggunakan bahan baku sejarah, tetapi isi ceritanya masih banyak dicampuradukkan dengan unsur-unsur imajinasi dari pujangga pencipta buku tersebut, sehingga kedua kitab ini harus dipahami secara kritis untuk memperoleh kebenaran sejarah yang sesuai dengan fakta sejarah. Di dalam kitab Pararaton dikisahkan tabiat negatifRaja Majapahit, Jayanegara sebagai raja yang gemar “main” perempuan. Kitab ini mengisahkan Raja Jayanegara telah menodai (memperkosa) istri Tanca (dokter pribadi raja), dan sebagai akibat perbuatannya, ia wafat dibunuh Tanca di tempat tidur pada tahun 1328. Kitab Pararaton juga mengisahkan kegemaran Raja Jayanegara terhadap perempuan yakni ia akan memperistri secara paksa adik perempuannya (lain ibu), sehingga para ksatria yang datang ke Majapahit dibunuhnya. Demikian pula di dalam cerita sandiwara radio serial Mahkota Mayangkara dalam episode Wanita-wanita Persembahan yang bersumber pada kitab Pararaton digambarkan bagaimana bejatnya moral Raja Jayanegara sebagai seorang raja berhidung belang dan gemar perawan-perawan muda yang cantik jelita.Alur cerita di dalam percakapan serial Mahkota Mayangkara sangat menarik, sehingga anak-anak sekolah, para mahasiswa, guru (dosen) dan masyarakat mengutuk dan memaki-maki tokoh Jayanegara yang menjijikkan. 17 Berdasarkan respon masyarakat terhadap cerita serial Mahkota Mayangkara, berarti masyarakat telah meyakini kebenaran cerita tersebut yang hanya berdasarkan pada kitab Pararaton sebagai kitab historiografi tradisional.Saya merasa khawatir apabila anak-anak sekolah menjawab pertanyaan yang diberikan oleh gurunya dengan berdasarkan pada pengetahuan yang diperoleh dari cerita serial Mahkota Mayangkara.Lebih payah lagi jika guru atau bahkan dosen sejarah yang mengajar anak didiknya dengan berdasarkan pada ceritatersebut, sehingga dapat membelokkan jalannya sejarah terhadap anak-cucu kita di kelak kemudian hari.
17
IG.Krisnadi ©, “Wilayah” Pujangga dalam Mencipta Historiografi Tradisional.” (Jember: Pusat Penelitian Universitas Jember, 1994), hlm. 33-34.
Menurut seorang epigraf (ahli membaca prasasti), M. Sukarto K. Atmodjo, tuduhan Raja majapahit, Jayanegara yang bejat moral seperti yang dikisahkan di dalam serial Mahkota Mayangkara, berlainan dengan fakta sejarah yang bersumber dari prasasti-prasasti yang telah ditemukan.Di dalam Prasasti Sukamarta (1296 Masehi) disebutkan Raja Majapahit, Jayanegara adalah seorang putra mahkota yang sangat baik.Pujian itu diungkapkan melalui kata-kata prabhu sukumara sulaksana, yang berarti putra mahkota yang baik dengan tanda-tanda yang baik. Di dalam Prasasti Adan-adan (1301 Masehi), dijelaskan bahwa Raja Jayanegara adalah sang kirnna sulaksana yang berarti seorang yang bersifat baik yang kebaikannya tersebar di mana-mana. Raja Jayanegara seorang raja taruna yang bertingkah laku baik. Di dalam Prasasti Malambangan yang berangka tahun 1316 Masehi, disebutkan Raja Jayanegara dikenal sebagai sumapwana geleh-gelohing rat, yang artinya seorang raja yang berhasil menyapu bersih kemurkaan dunia. Di dalam kitab Negara Kertagama disebutkan Raja Jayanegara sebagai raja yang wrinwrin ares tikang jagat I kaprawiran ira sang narendra siniwi, artinya sebagai seorang raja yang diikuti oleh seluruh dunia dan rakyat merasa cemas melihat keperwiraan Jayanegara sebagai raja yang bertahta di Majapahit. 18
4. “Bumbu Penyedap” Kitab Historiografi Tradisional 4.1 Aspek Mitologi Menurut Sulastin Sutrisno, di dalam kitab historiografi tradisional terdapat aspek imajinasi dan aspek sejarah. Hal ini karena seorang pujangga di dalam menciptakan kitab historiografi tradisional menggunakan bahan baku berupa realitas kehidupan di masyarakat (peristiwa sejarah yang faktual) yang kemudian diolah dengan “dibumbui” menggunakan kemampuan daya imajinasi, bernarasi dan berikutnya dikemas secara rapi dalam penggunaan bahasa sastra yang artistik. Aspek imajinasi yang terdapat di dalam kitab historiografi tradisional meliputi: mitologi, legenda, simbol, hagiografi dan sugesti. 19 Secara etimologi, istilah mitologi berasal dari bahasa Yunani yaitu mite yang berarti kisah atau cerita tentang alam semesta. 20Sedangkan istilah mitologi yaitu ilmu yang mempelajari tentang mitos.Namun Mudji Sutrisno, mengartikan mitos sebagai kisah, lambang atau suatu simbolisasi yang digunakan untuk menandaskan adanya suatu “tata” yang menjadi penentu 18
Ibid., hlm. 34. Sulastin Sutrisno,op. cit., hlm. 209. 20 K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1975), hlm. 12. 19
keteraturan, kenyataan, dan oleh karena itu wajib untuk ditaati. Mitos berfungsi untuk membangun jagad yang bebas dari pertentangan, kekacauan, huru-hara atau pertikaian social maupun politik.Sedangkan titik rawan fungsi social mitos adalah apabila digunakan secara sengaja untuk kepentingan penyodor mitos yang meniadakan semua sikap kritis masyarakat, sehingga mitos berperan sebagai instrument pembenaran bagi si-pemakainya. 21 Seorang pujangga menciptakan mitologi di dalam kitab historiografi tradisional atas pesanan raja atau bupati yang sedang memerintah untuk disajikan kepada masyarakat luas dengan tujuan untuk menciptakan kesan bahwa pihak penguasa telah layak menyelenggarakan pemerintahannya. Oleh karena itu perlu memperoleh dukungan segenap rakyatnya. Mitologi yang terdapat di dalam kitab historiografi tradisional merupakan hasil imajinasi terkait unsur genealogi atau silsillah raja-raja yang dihubungkan dengan tokoh dewa-dewi, tokoh pewayangan, nabi, orang-orang suci, tokoh-tokoh sejarah legendaris maupun makhluk halus seperti jin, setan, peri. Seorang pujangga atas perintah penguasa (raja atau bupati) menyajikan aspek mitologi di dalam kitab historiografi tradisional tentang asal-usul raja yang dihubungkan dengan awal-mula kehidupan manusia di dunia. Pujangga seringkali menyajikan mitologi yang menceritakan para penghuni surgawi dari dunia kedewataan (khayangan) yang dianggap sebagai nenek moyang raja atau bupati yang telah memerintahkannya untuk disajikan kepada masyarakat, sehingga memperoleh martabat dan kebangsawanannya, sekalipun di dalam realitas sejarah raja atau bupati penyodor mitologi tersebut adalah seorang kraman (pembrontak). Di sinilah letaknya titik rawan fungsi sosial mitos seperti yang dikemukakan Mudji Sutrisno yakni pihak raja atau bupati melalui seorang pujangga yang berperan sebagai penyodor mitos mampu menidurkan sikap kritis masyarakat demi melestarikan kekuasannya. Hal ini tampak seperti di dalam kitab Babad Tanah Jawi yang menyajikan mitologi kepada masyarakat atas perintah raja Mataram yang sedang berkuasa pada waktu itu dengan tujuan untuk membangun image bahwa raja-raja Mataram sah untuk berkuasa atas Jawa dan mampu menciptakan
perdamaian dan dapat mendatangkan
kemakmuran bagi rakyatnya. Oleh karena itu rakyat berkewajiban untuk memberikan dukungan sepenuhnya kepada pihak penguasa.Mitologi yang disajikan pujangga di dalam kitab Babad tanah Jawi dapat dilihat melalui penyajian silsillah raja-raja Mataram seperti dalam bagani. 22
21
Mudji Sutrisno, SJ.,Nuansa-nuansa Peradaban (Ypgyakarta: Penerbit Kanisius, 1993), hlm. 109. Sudibyo, Z.H., Babad Tanah Jawi (Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1980). Lihat pula dalam Suwito Santosa,Babad tanah Jawi (Jakarta: tanpa badan penerbit, 1970). 22
Berdasarkan silsillah yang disajikan, dapat dikaji secara ilmiah bahwa pujangga sebagai penyodor mitos di dalam kitab Babad Tanah Jawi berupaya mengembarakan imajinasinya secara bebas dengan tujuan untuk keperluan legitimasi Dinasti Mataram, sehingga menjadi layak sebagai penguasa tanah Jawa.Pujangga menyajikan silsillah tersebut untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa raja-raja Mataram memiliki keunggulan trah. Hal ini terbukti bahwa dari garis ibu (lihat garis kanan), raja-raja Mataram keturunan orang-orang suci yaitu keturunan Syeh Wali lanang, Sunan Giri I, Sunan Giri II, Pangeran saba dan anak perempuan (putri) dari Pangeran saba. Sedangkan dari garis ayah (garis tengah) dan garis kiri, maka raja-raja Mataram masih keturunan raja Majapahit yaitu Brawijaya V sebagai raja Majapahit yang terakhir, dan masih keturunan seorang bidadari yang sedang mandi di telaga di Desa Tarub yang bernama Dewi Nawang Wulan.
Garis Kanan
Garis Tengah (Nabi Adam (1-45) Brawijaya V
Syeh Wali Lanang Sih
Garis Kiri
Ki.Ag.Tarub x Nawang Wulan
Bondan Kejawan (Lembu Peteng) ------------------- x --- Nawang
Sunan Giri I
Ki Getas Pendhawa (48)
Sunan Giri II
Ki.Ag. Sela (49)
Pangeran Saba
Ki.Ag. Ngenis (50)
Juru Mertani dan Adiknya (Puteri) --------------- x ------------------------ Ki.Ag. Pemanahan (51) Panembahan Senapati (52) Panembahan Krapyak (53) R.M. Wuryah (Martapura)
------------
Sultan Agung (54)
Sunan Mangku Rat I (55) Sunan Mangku Rat II (56) Sunan Mangku Rat III (57) seterusnya.
Sunan Paku Buwana I (Pangeran Puger) (58), dan
Pujangga pencipta kitab Babad Tanah Jawi sengaja menyodorkan mitos berupa penyusunan sillah seperti pada bagan tersebut bertujuan menciptakan image kepadamasyarakat Jawa pada waktu itu bahwa raja-raja Mataram termasuk trahing kusuma, rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih, sehingga raja-raja Mataram layak menduduki singgasana Kerajaan Mataram. Oleh karena itu harus mendapat dukungan sepenuhnya dari seluruh rakyat Jawa. Di dalam pengkajian kitab historiografi tradisional (Babad Tanah Jawi) secara ilmiah, penyajian silsillah tersebut hanyalah mitos sejarah, dan sebagai hasil imajinasi pujangga untuk melegitimasi raja-raja Mataram berkuasa atas Jawa. Namun ironisnya, kitab Babad tanah Jawi sebagai salah satu kitab historiografi tradisional sarat dengan subyektivitas sejarah. Hal ini karena kitab Babad Tanah Jawi hanya sebagai kitab puja sastra sarat dengan pengkultusan raja-raja Mataram guna melanggengkan kekuasannya. Raja Mataram memerintahkan pujangga untuk menyodorkan mitos di dalam kitab Babad Tanah Jawi kepada masyarakat luas, menurut Antonio Gramsci merupakan upaya raja-raja Mataram untuk memperoleh hegemoni (authority) secara non-coercive power. Hal ini dapat ditempuh oleh pujangga dengan cara menyodorkan mitos tentang pembuatan silsillah raja-raja Mataram, sehingga mampu menguasai daya kesadaran kritis secara halus yang membius rakyat Mataram. Melalui penyajian mitos tersebut, pihak pemegang statusquo dalam hal ini raja-raja Mataram dapat menidurkan daya kritis rakyatnya, sehingga proses pembodohan rakyat dapat berlangsung secara halus-membius, sehingga hegemoni atau authority (kekuasaan) dapat dipertahankan. Sedangkan bagi rakyat atau penguasa-penguasa daerah yang tidak tunduk kepada Kerajaan Mataram, berarti mengancam hegemoni tersebut, dan diambil tindakan tegas untuk pengamanan terhadap hegemoni tersebut secara coececive power dengan cara pemaksaan melalui senjata (tumpes kelor) atau melalui papag perang. Aspek mitologi yang terdapat di dalam kitab historiografi tradisional selain melalui penyajian berupa penyusunan sillah raja-raja, juga
dilakukan melalui penyajian genealogi.
Genealogi adalah pengetahuan tentang asal-mula kehidupan manusia di alam semesta. Pujangga menyajikan unsur genealogi dengan cara menyusun kisah-cerita raja atau bupati sebagai pemegang statusquo dikaitkan dengan awal-mula kehidupan manusia di bumi. Misal di dalam kitab Babad Tanah Jawi disajikan unsur genealogi melalui pemaparan tentang pendiri Kerajaan
Mataram yaitu Panembahan Senapati jika ditarik garis ke atas (lihat bagan di atas) maka nenek moyang raja-raja Mataram masih keturunan para nabi yang dimulai dari Nabi Adam. Jajaran nabi-nabi tersebut selanjutnya menurunkan tokoh-tokoh pewayangan dan dikaitkan dengan nama-nama dewa-dewi seperti: Bethara Guru, Bethara Narada, Dewa Indra, Dewa Bayu, Dewi Sinta. Selanjutnya ditarik lagi ke zaman kerajaan seperti Kerajaan Trenggiling Wesi, Medang Kamulan, Kerajaan Pajajaran sampai ke raja terakhir Majapahit yang bernama Brawijaya V dan dilanjutkan ke nama raja-raja Mataram seperti Panembahan Senapati, Panembahan Krapyak, dan seterusnya. 23 Di dalam kitab Hikayat Raja-raja Pasai, seorang pujangga menyajikan unnsur genealogi dengan menyajikan kisah asal-usul raja-raja di Kerajaan Samodera Pasai berasal dari keturunan seorang anak yang dipelihara seekor gajah besar dengan Putri Petung. Lain halnya dengan kitab Hikayat Aceh, disajikan unsur genealogi dengan mengisahkan raja-raja Aceh berasal dari keturunan anak yang kawin dengan Putri Buluh.Di dalam kitab Hikayat Banjar, disajikan unsur genealogi yang mengisahkan raja-raja di Kerajaan Banjar masih keturunan Putri Junjung Buih.Pujangga pencipta kitab Silsillah Kutai menyajikan unsur genealogi dengan mengisahkan bahwa raja-raja Kutai masih dianggap berasal dari keturunan anak yang lahir dari bola emas yang diturunkan dari Khayangan oleh tujuh dewa. Sedangkan pujangga yang menulis kitab Sejarah Melayu menyajikan unsur genealogi dengan mengisahkan raja-raja Melayu dianggap masih berasal dari tokoh sejarah-legendaris bernama Iskandar Zulkarnain yang turun dari Bukit Siguntang. 24
5. Aspek Legenda Aspek lain yang terdapat di dalam kitab historiografi Indonesia tradisional adalah legenda. Menurut Sulastin Sutrisno, legenda merupakan suatu cerita yang berkaitan dengan unsur-unsur air, tanah, api, tumbuh-tumbuhan dan udara. 25 Di dalam kitab Negara Kertagama terdapat penyajian unsur legenda yang nampak dalam kisah pembagian Kerajaan Kahuripan menjadi dua yaitu Kerajaan Jenggala dan Kerajaan panjalu oleh Empu Bharada atas permintaan Raja 23
F.A. Sutjipto,op. cit., hlm. 116.
24
IG. Krisnadi ©,op. cit.,hlm. 21. Sulastin Sutrisno, op. cit., hlm. 209-210.
25
Kahuripan, Erlangga. Kisah selengkapnya legenda tersebut yakni ketika Raja Kahuripan, Erlangga yang berencana ingin mengundurkan diri sebagai Raja Kahuripan, dan menyerahkan tahtanya kepada anak perempuannya yang bernama Kili Suci dari putri permaisuri. Namun permintaan Raja Erlangga tersebut ditolak oleh Kili Suci, karena dirinya telah memilih jalan hidupnya sebagai seorang pertapa.Berkenaan dengan penolakan tersebut, terjadi persoalan suksesi di dalam Kerajaan Kahuripan yakni kedua anaknya dari istri selir berebut tahta Kerajaan Kahuripan.Raja Erlangga bersikap adil dengan memerintahkan Empu Bharada untuk membagi wilayah kerajaannya menjadi dua yaitu Kerajaan Jenggala dan Panjalu.Empu Bharada dengan senang hatimelaksanakan tugasnya dengan terbang sambil membawa kendi berisi air suci untuk dikucurkan ke bawah. Namun ketika ia sedang mengucurkan air kendi, tiba-tiba jubbah yang ia kenakan tersangkut pohon asam di Desa Palungan, dan air suci yang berada di dalam kenditersebut tumpah seketika mengalir deras ke tanah menjadi Sungai Brantas. Sungai ituh kemudian dijadikan batas wilayah Kerajaan Jenggala dan Panjalu yakni wilayah Kerajaan Jenggala berada di sebelah timur Sungai Brantas, sedangkan wilayah Kerajaan Panjalu berada di sebelah barat Sungai Brantas. Empu Bharada merasa kesal ketika jubahnya tersangkut pohon asam, kemudian ia mengutuknya menjadi pohon asam yang kerdil. 26 Pujangga yang mencipta kitab Negara Kertagama menyajikan kisah cerita legenda tersebut bersifat genealogis dan kosmogonis, maksudnya pujangga memanfaatkan kondisi alam setempat sebagai bahan cerita. Misal di daerah Kediri terdapat Sungai Brantas, kemudian pujangga penulis kitab Negara Kertagama menganggap bahwa sungai tersebut berasal dari pancuran air suci di dalam kendi yang dibawa terbang Empu Bharada. Sedangkan pohon asam kerdil yang berada di Desa Palungan itu pernah ada yang kemudian digunakan pujangga sebagai penyaji legenda sebagai bahan cerita yaitu sebagai pohon asam yang membuat jubbah Empu Bharada tersangkut. Hal ini merupakan legenda Sungai Brantas dikaitkan dengan fakta sejarah bahwa pada waktu itu secara faktual pernah terdapat dua kerajaan yaitu Jenggala dan Panjalu yang wilayahnya memang dipisahkan oleh Sungai Brantas. Hal ini dapat dilihat dalam Prasasti Turun Hyang yang angka tahunnya tidak dapat dibaca. 27 Di dalam kitab Babad Sultan Agung terdapat legenda tentang kisah percintaan Ratu Kidul sebagai penguasa Pantai Selatan dengan Raja Mataram, Sultan Agung.Kisah cerita legenda
26 27
Nugroho Notosusanto, op. cit., hlm. 257-258. Ibid., hlm. 259.
tersebut didahului dengan Raja Sultan Agung sedang melakukan ritual (pamujan) untuk menemui Ratu Kidul ketika sedang mengalami kesulitan terkait dalam menyelenggarakan pemerintahan di Mataram.Tidak terlalu lama Sultan Agung melakukan ritual, datang Ratu Kidul menemui Sultan Agung. Seperti biasanya, kedua insan itu saling bercumbu-rayu dalam suasana romantik
yang selanjutnya kedua insan itu melakukan “hubungan asmara”seperti layaknya
suami-istri. Setelah acara cumbu-rayu selesai, Sultan Agung menyampaikan maksud yang sebenarnya untuk menemui Ratu Kidul yakni ingin menebang hutan di Gunung Imogiri untuk keperluan tempat pemakaman raja-raja Mataram. Berkenaan dengan itu iaminta bantuan Ratu Kidul untuk menyingkirkan segala rintangan. Sultan Agung sebelum menemui Ratu Kidul telah memerintahkan para prajurit Mataram di bawah pimpinan Kiai Penghulu dan Tumenggung Wiraguna untuk membabat hutan di Gunung Imogiri. Namun para prajurit Mataram di bawah pimpinan Kiai Penghulu maupun Tumenggung Wiraguna gagal melaksanakan tugasnya karena banyak yang mati digigit ular dan diganggu roh-roh halus penghuni tempat tersebut. Segala gangguan tersebut kemudian dapat disingkirkan
Ratu Kidul, dan sejak saat itu proses
pembangunan makam raja-raja Mataram di puncak Gunung Imogiri berjalan lancar. Kisah cerita legenda ini juga dikenal sebagai legenda Imogiri. 28 Pujangga penulis kitabBabad Sultan Agung di dalam menyajikan kisah cerita legenda percintaan Sultan Agung dengan Ratu Kidul dengan menggunakan bahan baku fakta sejarah yaitu makam raja-raja Mataram di Imogiri. Pujangga sebagai penyaji legenda tersebut memanfaatkan alam setempat yang kemudian disusun cerita menarik dengan dikaitkan kepercayaan yang hidup di masyarakat setempat pada waktu itu yaitu Ratu Kidul sebagai penguasa Pantai Selatan.Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa legenda percintaan Sultan Agung dengan Ratu Kidul masih bersifat teogonis dan kosmogonis. 29 Menurut Sri Wulan Rujiati Mulyadi, di dalam kitab historiografi tradisional selalu terdapat unsur legenda yang merupakan hasil kebudayaan setempat. Misal legenda yang kisah ceritanya bermotif “bidadari yang sedang mandi”, yang mana legenda ini memiliki penyebaran di seluruh Indonesia. 30
28
Soenarko, H., Poespita, Babad Sultan Agung (Jakarta: 1980)., hlm. 59-62. Sartono Kartodirdjo (b), Garis-Garis Pokok Pola Perkembangan Historiografi Indonesia, dalam Lembaran Sejarah No.9 (Yogyakarta: Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada, 1970), hlm. 8. 30 Sri Wulan Rujiati Mulyadi, Kebudayaan Setempat dan Historiografi Tradisional, dalam Ilmu-ilmu Sastra Indonesia No.03. (Jakarta: Sastra Indonesia dan Daerah, 1982)., hlm. 256. 29
6. Aspek Simbol Aspek imajinasi lainnya yang terdapat di dalam kitab historiografi tradisional adalah unsur simbol yang berupa cahaya berkelarat di angkasa, benda pusaka keramat atau dapat juga berupa kata-kata kiasan. 31 Unsur simbol digunakan seorang pujangga sebagai salah satu bahan untuk menciptakan kitab historiografi tradisional dengan cara menggunakan kata-kata kiasan. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan atau mengaburkan perbuatan raja atau pejabat tinggi istana yang dapat menurunkan martabatnya.Unsur simbol digunakan pujangga untuk keperluan melegitimasi seorang raja, bupati atau pejabat tinggi istana atau daerah yang sedang memerintah. Beberapa contoh unsur simbol yang berfungsi menghilangkan atau mengaburkan perbuatan raja atau petinggi istana atau daerah yang menurunkan martabatnya, missal di dalam kitab Pararaton. Kitab ini
mengkisahkan suatu cerita bahwa Ken Endok ketika sedang
mengirim makanan untuk suaminya yang sedang bekerja di sawah, namun di tengah jalan (Tegal Lelateng) ia ditemui Dewa Brahma, sehingga ia hamil, dan akhirnya melahirkan seorang anak bernama Ken Angrok. Ken Endok setelah melahirkan, membuang bayinya ke tempat kuburan. Bayi Ken Angrok memiliki keistimewaan yaitu memancarkan sinar di sekujur tubuhnya, dan pada suatu malam bayi tersebut ditemukan oleh seorang pencuri bernama Lembong, selanjutnya bayi tersebut dirawat. 32 Menurut Boechari, sang amawa bhumi (seorang penguasa dunia) yang telah memperkosa Ken Endok sampai ia mengandung bayi dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Ken Angrok, adalah seorang yang berkuasa atas wilayah dan rakyat Tumapel. Penguasa yang memperkosa tersebut adalah Akuwu Tunggul Ametung. 33 Pujangga penulis kitab Pararatonberupaya
menghilangkan jejak atau perilaku seorang petinggi daerah (Akuwu
Tunggul Ametung) yang tidak terpuji, karena ia sebagai pegawai istana yang segalaa kebutuhan hidupnya dicukupi oleh raja. Sedangkan keistimewaan bayi Ken Angrok mampu mengeluarkan sinar, hal ini merupakan upaya pujangga pencipta kitab Pararaton dalam melegitimasi Ken Angrok yang kelak akan menjadi raja besar di Pulau jawa. Berkenaan dengan itu, Soemarsaid Moertono berpendapat bahwa “wahyu” menurut tradisi Jawa biasanya berupa cahaya terang yang kadang-kadang berbentuk bintang.“Wahyu” juga dapat berupa seberkas cahaya yang berwarna biru mengkilat, hijau atau putih.Cahaya semacam ini oleh masyarakat Jawa dikenal 31
Sulastin Sutrisno, op. cit., hlm. 209. Nugroho Noto Susanto,op. cit.,hlm. hlm. 309. 33 Ibid.,hlm. 402. 32
sebagai pulung atau ndaru. 34 Masyarakat Jawa pada waktu itu beranggapan bahwa seseorang yang hendak menjadi raja atau pemimpin masyarakat biasanya ditandai dengan menerima pulungatau ndaru.Sinar terang yang keluar dari bayi Ken Angrok merupakan simbol (lambang) bahwa Ken Angrok telah menerima pulung, sehingga menurut kepercayaan masyarakat Jawa ia telah sah menjadi raja di tanah Jawa. Unsur simbol di dalam kitab Babad Tanah Jawi tampak di dalam penggunaan istilah “lembu peteng” yang diperuntukkan Bondan Kejawan anak dari raja Majapahit yang terakhir yaitu Brawijaya V sebagai hasil hubungan gelap atau hasil perselingkuhan dengan seorang putri dusun. Pada zaman dahulu ada kebiasaan seorang raja, bupati, akuwu atau para petinggi istana atau daerah (kadipaten) berburu binatang ke hutan. Pada saat berburu biasanya seorang raja atau para petinggi istana maupun daerah menghabiskan waktu sepanjang hari atau sampai larut malam atau malah kadang kala mereka membuat perkemahan. Selama berburu seorang raja atau petinggi istana atau daerah berjumpa seorang putri dusun, dan terpikat dengannya, selanjutnya ia dijadikan selir atau wanita simpanannya. Orang tua perempuan dusun tersebut memaknai hal ini sebagai karunia Tuhan, sekalipun anaknya tidak bersedia melayani raja atau petinggi istana maupun daerah.Dalam keadaan demikian biasanya raja atau petinggi istana maupun daerah bermalam untuk beberapa pekan dan kemudian meninggalkannya sambil memberi tanda berupa pusaka kesayangannya sambil berpesan agar anak yang di kandungnya kelak kalau sudah dewasa diperkenankan menghadapi ke istana untuk menemui ayahnya sambil membawa tanda bukti berupa pusaka milik raja atau petinggi istana.Anak hasil hubungan perselingkuhan tersebut dalam tradisi budaya Jawa dikenal sebagai lembu peteng. Pujangga penulis kitab Babad Tanah Jawi menggunakan kata-kata kiasan seperti lembu peteng dan ia tidak terus terang memaparkan cerita yang sebenarnya perilaku Raja Brawijaya V terhadap seorang putri dusun. Hal ini secara sengaja dilakukan oleh pujangga pencipta kitab Babad Tanah Jawi karena pujangga sebagai pegawai istana atau kadipaten yang segala keperluan hidupnya telah dicukupi oleh raja, sehingga ia berkewajiban menghilangkan “nodanoda” hitam sebagai hasil perilaku raja atau petinggi istana atau petinggi daerah yang akan dapat menurunkan martabatnya. Hal ini juga untuk menjaga agar jagad (dunia) tidak gonjang-ganjing (prahara/huru-hara) akibat perilaku raja atau petinggi daerah yang tidak senonoh tersebut.
34
R.O.G., Benedict Anderson, Gagasan Tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa (Tanpa kota daan badan penerbit, 1972), hlm. 16.
7. Aspek Sugesti Unsur imajinasi lainnya yang terdapat di dalam kitab historiografi Indonesia tradisionaladalah unsur sugesti.Unsur sugesti di dalam hal ini dapat berupa ramalan, firasat, suara gaib, mimpi dan pemali. 35 Di dalam kitab Kidung Ronggolawe terdapat unsur sugesti berupa mimpi. Penguasa Kabupaten Tuban, Ronggo Laawe terprovokasi salah seorang rekannya yang memiliki ambisius terhadap tahta Majapahit yang bernama Ramapati. Ia memprovokasi Ronggolawe dengan mengatakan bahwa Raja Majaphit, Raden Wijaya tidak bersikap adil terhadap Ronggolawe terkait dengan pengangkatan Nambi sebagai patih di Majapahit, sementara itu Raden Wijaya menjauhkan Ronggolawe dari pusat ibu kota pemerintahan Kerajaan Majapahit. Ronggolawe terprovokasidan
melakukan pembrontakan terhadap Kerajaan Majapahit, namun ia dicegah
istrinya dengan mengatakan bahwa semalam ia bermimpi bahwa dirinya membawa bakul yang kemudian disambar oleh se-ekor burung gagak hingga bakul itu tumpah. Mimpi tersebut disampaikannya kepada Ronggolawe sambil menangis dan memohon agar Ronggolawe mengurungkan niatnya untuk melakukan pembrontakan kepada Kerajaan Majapahit, karena mimpi tersebut dirasakan istri Ronggolawe sebagai firasat jelek (kematian) terkait dengan keberangkatan Ronggolawe di medan perang. Namun Ronggolawe tidak mendengarkan permohonan
istrinya
dan
berangkat
memimpin
pasukannya
untuk
melakukan
pembrontakan.Akhirnya di dalam perang tanding (perang satu lawan satu) di dalam sungai, Ronggolawe gugur bersama musuhnya bernama Kebo Anabrang. 36 Di dalam masyarakat Jawa terdapat kepercayaan secara turun-temurun bahwa burung gagak adalah simbol atau lambang kematian. Bagi seseorang yang bermimpi kehadiran burung gagak maka mengandung firasat akan terjadi kematian pada salah satu keluarganya. Hal ini tidak aneh jika istrinya Ronggolawe menyampaikan mimpinya kepada suaminya yang akan berangkat di medan peperangan sambil menangis dan penuh permohonan agar Ronggolawe yang menjadi pujaan hatinya untuk mengurungkan niatnya agar musibah kematian tidak menimpa dirinya. Namun Ronggolawe yang memiliki kesaktian luar biasa yang tidak bisa dilukai oleh berbagai jenis senjata tajam, menganggap mimpi istrinya tidak akan menimbulkan firasat kematian terhadap dirinya, bahkan mimpi tersebut hanya dianggapnya sebagai kembange wong turu, maka
35 36
Sulastin Sutrisno, op. cit., hlm. 211. F.A. Sutjipto,op. cit., hlm. 67.
berangkatlah Ronggolawe memimpin pembrontakan terhadap Kerajaan Majapahit. Namun firasat tersebut menjadi kenyataan, ia gugur dalam peraang tanding dengan panglima perang Majapahit bernama Kebo Anabrang. Pujangga penulis Kidung Ronggolawe menggunakan bahan baku kepercayaan secara turun-temurun di kalangan masyarakat Jawa melalui penggunaan katakata kiasan berupa se-ekor burung gagak sebagai firasat kematian untuk digunakan sebagai unsur sugesti di dalam menciptakan kitab Kidung Ronggolawe. Burung gagak di dalam mimpi tersebut selain sebagai lambang gugurnya Ronggolawe di medan perang, juga sebagai firasat atau sugesti Ny. Ronggolawe terhadap kematian suaminya di dalam pertempuran melawan Kebo Anabrang.
8. Aspek Hagiografi Hagiografi merupakan aspek imajinasi di dalam kitab historiografi tradisional.Hagiografi adalah hasil rekaan yang melukiskan kemukjizatan atau kesaktian luaar biasa seorang tokoh yang disajikan dalam bentuk tulisan.Tokoh-tokoh tersebut dengan kesaktiannya dapat menciptakan sesuatu yang luar biasa. 37 Misal di dalam kitab Babad Sultan Agung, unsur sugesti tampak dalam kisah cerita kesaktian Juru Mertani terbang membawa Sultan Agung yang sedang duduk di atas singgasana untuk mengintip kekuatan pasukan tempur Kerajaan Banten yang dianggap sebagai musuh kuat Kerajaan Mataram. 38 Unsur hagiografi di dalam kitab Babad Demak tampak di dalam kisah kesaktian tokoh Sultan Hadiwijaya. Pada suatu malam Raja Pajang bernama Sultan Hadiwijaya sedang tertidur nyenyak, tiba-tiba datang seorang bernama Ki Bocor yang secara sembunyi-sembunyi memasuki tempat tidur Sultan Hadiwijaya dengan tujuan ingin membunuh Sultan hadiwijaya. Sesampai di tempat tidur, ia menusuk-nusukkan sebilah kerisnya ke tubuh Sultan Hadiwijaya, namun mkeris tersebut tidak mampu menembus tubuh Sultan hadiwijaya yang sedang tertidur pulas, sampai akhirnya Ki Bocor tertunduk lemas kehabisan tenaga di samping Sultan hadiwijaya yang sedang tidur. Ketika Ki Bocor kehabisan tenaga, sehingga ia tidak bisa menusukkan kerisnya ke tubuh Sultan Hadiwijaya, akhirnya Sultan Hadiwijaya terbangun dan menanyai Ki Boocor maksud keberadaannya di tempat tidurnya pada malam hari. Setelah Ki Bocor menyampaikan maksud kedatangannya yang ingin membunuh Sultan Hadiwijaya dan gagal melaksanakannya, namun
37 38
Sulastin Sutrisno, loc. Cit. Soenarko H. Poespita, op. cit., hlm. 8.
Sultan Hadiwijaya tidak marah,
malahan mengampuni dosa-dosa Ki Bocor, kemudian ia
dipersilahkan untuk meninggalkan tempat tersebut.39 Unsur hagiografi yang disusun pujangga pencipta kitab Babad Sultan Agung yang mengkisahkan kesaktian Juru Mertani sambil terbang membawa Raja Mataram, Sultan Agung duduk di atas singgasana untuk mengintip kekuatan militer Kerajaan Banten, dimaksudkan pujangga tersebut ingin membentuk image (pencitraan) kepada masyarakat luas bahwa Kerajaan Mataram tangguh dan sudah selayaknya berkuasa atas Jawa. Demikian juga pujangga pencipta kitab Babad Demakyang menyusun hagiografi terkait dengan kisah kesaktian Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya yang sedang tertindur pulas tidak dapat dilukai oleh sebilah keris Ki Bocor. Melalaui kisah hagiografi tersebut, pujangga ingin menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya selain sebagai seorang raja yang sakti dan sudah selayaknya raja ini memerintah Jawa.Tentu ini semuanya sebagai hasil imajinasi pujangga pencipta kitab tersebut.
9. Simpulan Kitab historiografi tradisional merupakan bentuk penulisan sejarah tradisional yang ditulis oleh pujangga atas dasar pesanan raja atau bupati yang sedang memerintah.Kitab ini dicipta sebagai sarana legitimasi pihak penguasa atau dinasti yang sedang memerintah, sehingga isi kitab selain bersifat raja sentris dan istana sentris juga memiliki kebenaran bersifat subyektif. Kebutuhan legitimasi sebagai tujuan utama, sehingga nama penulis dicantumkan atau tidak dicantumkan bukan menjadi persoalan penting, dan biasanya bersifat anonim. Modalitas yang dimiliki seorang pujangga di dalam menyusun kitab historiografi tradisional meliputi pengalaman atau pewarisan masa lampau, pengalaman hidup sezaman, kemampuan intelektual, kemampuan berimajinasi dan kemampuan menggunakan bahasa dan sastra yang artistik.Berdasarkan modal dan potensi tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk penulisan kitab historiografi tradisional atas dasar pesanan raja atau para petinggi daerah untuk keperluan legitimasi pemerintahan. Pujangga mencipta kitab historiografi tradisional menggunakan bahan baku fakta sejarah (peristiwa sejarah) yang diperoleh dari pengalaman dan pengamatan pribadi, melalui informan tentang kejadian sezaman. Hal tersebut diperoleh melalui studi arsip, kitab-kitab kuna, prasasti, 39
Sudibyo, Z.H., Babad Demak (Jakarta: Proyek Penerbitan Buku sastra Indonesia dan Daerah, 1982), hlm. 46.
berbagai benda purbakala, pengetahuan masa lampau maupun pengetahuan sezaman tentang adat-istiadat, sosial-politik, seni-budaya, pemerintahan, kemiliteran, kanuragan
maupun
pengetahuan keagamaan. Bahan baku tersebut dituangkan dalam bentuk tulisan dengan menggunakan bahasa dan penyusunan pengkisahan cerita secara mitologis, legenda, simbol, sugesti, maupun hagiografi sebagai “bumbu penyedap” kitab historiografi tradisional. Mitologi merupakan unsur imajinasi terkait dengan genealogi atau silsillah yang dihubungkan dengan tokoh orang-orang suci, raja besar, dewa-dewi, roh halus, tokoh wayang.Legenda sebagai aspek imajinasi yang ceritanya memanfaatkan kondisi alam yang telah ada.Simbol atau lambang yang telah hidup dan dipercayai masyarakat setempat dan hagiografi yang menggambar kemukjizatan maupun kesaktian seorang tokoh (raja atau bupati)digunakan pujangga sebagai pelengkap “bahan penyedap”kitab historiografi tradisional.
Daftar Pustaka Anderson,Benedict., 1972.Gagasan Tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa.Tanpa kota dan badan penerbit. Bertens, K., 1975. Sejarah Filsafat Yunani.Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Darusuprapta, 1982.Jejer Kalenggahaning Pujangga ing Kasusastran Jawi.Ing Widya Parwa No. 22.Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa. Krisnadi, IG (a)., Mbedhah Isi Babad Tanah Jawi, dalam Jaya Baya No. 21, 25 Januari 1998. Krisnadi, IG (b).,Pujangga Kraton: Mbangun Sastra, Marsudi Basa.(Makalah Proceeding), Kongres Bahasa Jawa IV di Semarang, Oktober 2006. Krisnadi, IG ©., 1994. Wilayah” Pujangga dalam Mencipta Historiografi Tradisional, (Jember: Pusat Penelitian Universitas Jember. Mudji Sutrisno, SJ. 1993.Nuansa-nuansa Peradaban.Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Nugroho Notosusanto, 1984.Sejarah Nasional Indonesia Jilid II.Jakarta: Balai Pustaka. Pigeaud, Th.G., 1963. Java in 14 th Century, a Study in Cultural History. The Hague-Martinus Nijhoff. Poerbatjaraka, R.M. Ng. 1957.Kapustakan Djawi. Djakarta: tanpa badan penerbit. Poerwadi, 2001.Babad Tanah Jawi; Menelusuri Jejak Konflik.Jogyakarta: Penerbit Pustaka Alif. Sartono Kartodirdjo (a), 1969. Segi-segi Strukturil Historiografi Indonesia, dalam Lembaran Sedjarah No. 3. Yogyakarta: Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada. Sartono Kartodirdjo (b)., 1970. Garis-Garis Pokok Pola Perkembangan Historiografi Indonesia, dalam Lembaran Sejarah No.9.Yoguakarta: Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada. Soenarko , H., Poespita, 1980. Babad Sultan Agung.Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan Sastra Indonesia. Soenarto Timoer, 1988.Kajian Literer Unsur Keterbukaan Nilai Budaya Tradisional Jawa (Makalah Seminar). Jember: Fakultas Sastra Universitas Jember.
Sri Wulan Rujiati Mulyadi, 1982.Kebudayaan Setempat dan Historiografi Tradisional, dalam Ilmu-ilmu Sastra Indonesia No.03. Jakarta: Sastra Indonesia dan Daerah. Sudibyo, Z.H., 1980.Babad Tanah Jawi.Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. ------------------.,1982. Babad Demak.Jakarta: Proyek Penerbitan Buku sastra Indonesia dan Daerah. Sulastin Sutrisno, 1982.Sastra dan Historiografi Tradisional., dalam Ilmu-ilmu Sastra Indonesia No.3.Fakultas Sastra: Universitas Indonesia. Sutjipto, F.A., 1977. Struktur Politik dan Historiografi Tradisional, dalam Ilmu-ilmu Sastra Indonesiaa No. 03. Jakarta: Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Suwito Santosa, 1970. Babad tanah Jawi.Jakarta: tanpa badan penerbit.