AUXILIARY WORLD SCHOOL “WELCOME TO AUXILIARY WORLD SCHOOL”
*** Seorang gadis dengan perawakan yang tak cukup tinggi—katakanlah sedang-sedang saja—berjalan dengan santai ke arah gedung sebuah sekolah yang sangat megah. “Auxiliary World School.” gumam gadis itu. Ia melihat seluruh penjuru gedung dari gerbang depan tepat di mana ia berdiri, “Jadi, di sinikah aku akan tinggal?” “Ehem! Maaf nona! Kau siapa?” “Eh?” gadis itu membalikkan badannya dan ia melihat seorang perempuan yang lebih tinggi darinya. Tubuhnya yang proporsional, rambutnya yang agak keriting, serta kulitnya yang putih mulus membuatnya semakin cantik. “Siapa kamu?” tanya gadis yang tinggi itu. Sebut saja, Risa. “Aku Rina. Aku siswi baru di sekolah ini.” “Ah, aku Risa! Salam kenal ya! Hey, sebaiknya, kau persiapkan jantungmu dari sekarang, Rina! Hahaha!” “Hm? Untuk apa?” “Di sekolah ini, banyak laki-laki tampannya lho!” “Hah?” Rina sweatdrop dengan sukses. “Iya! Tak heran murid-muridnya tampan, kepala sekolahnya saja paling tampan! Kyaaa!” “Oh? Err, kurasa kau benar.” Rina mencoba mengingat-ingat proses saat ia memberikan berkas-berkas pada kepala sekolahnya menjelang kepindahannya. Boleh dibilang, kepala sekolah yang sok cool itu cukup tampan. Tapi jika sampai fangirling seperti Risa, sepertinya agak berlebihan. “Oh iya, Rina! Kalau kau ingin ikut kegiatan organisasi, silahkan saja! Ada banyak di sini! Atau jika kau ingin ikut kegiatan OSIS, aku bisa membantumu, karena aku juga anggota OSIS di sana! Aku bertugas sebagai sekretaris!” jelas Risa dengan wajahnya yang berseri-seri. “Hmm, aku rasa itu bisa kupertimbangkan nanti ... terima kasih atas tawarannya!” “Ah, jangan sungkan-sungkan! Hehe...” “Ngomong-ngomong, kau di kelas mana?” “Seharusnya aku yang bertanya begitu ... err, aku ada di kelas 2 ruang 1, atau singkatnya, 2-1! Kalau perlu aku, datang saja ke kelas!” “Oh, baiklah!” “Aku sebaiknya pergi! Akan ada rapat OSIS sebentar lagi! Dah!” “Dadah!” maka gadis bernama Risa pun pergi masih dengan semangat yang belum padam. “Baik, aku juga harus semangat!” pikir Rina, lalu memantapkan langkahnya menuju sekolah barunya.
*skip time...* ~kelas 2-2~pkl 07.00~ Bel tanda masuk sudah berbunyi. Pertanda bahwa kelas sudah harus dimulai. Beberapa siswa di kelas 2-2 masih ada yang mengobrol. “Hey! Tahu tidak? Katanya, di kelas kita akan ada murid baru!” sahut seorang gadis dengan kunciran kudanya yang bernama Ingrid. “Iya, aku dengar, dia pindahan dari sekolah lain yang cukup jauh dari sini! Apa ya? Hmm, aku juga agak lupa namanya!” ujar temannya yang lain dengan kacamata yang membuat wajahnya semakin manis, yaitu Arum. Ketika tengah asyik mengobrol, suara yang menggemparkan kelas pun terdengar! BRAK! Dobrakan pintu yang keras menggema di kelas 2-2. Ya, yang mendobrak pintu itu adalah wali kelas mereka, Pak Rio. Salah seorang guru killer dari yang terkiller, bahkan lebih killer dari pada guru killer di semua sekolah. Semua murid pun beranjak duduk dengan perasaan tegang. “Pagi anak-anak!” sapa Pak Rio. “Pagi Paaak..” sahut seluruh siswa dan siswi di sana. “Hari ini, kita kedatangan murid baru! Hey, murid baru! Masuk ke dalam! Cepat!!” Semua murid sweatdrop. Rina pun memasuki kelas dengan sama takutnya pada Pak Rio. GLEK! Dia meneguk ludahnya pelan, ‘Aku harus berani!’ teriaknya dalam hati. Tak lama kemudian, Rina pun berdiri di depan kelas. Ia menatap semua murid di sana yang tengah memperhatikannya dengan wajah penasaran. “Nah, cepat perkenalkan siapa kau karena aku akan segera memulai pelajaran!” sahut Pak Rio sarkatis. “B-baik!” ujar Rina, “A-aku Rina ... aku pindahan dari Sylph. Alasan aku pindah ke mari, karena urusan pekerjaan orang tuaku. Selain itu—“ “Cukup!! Waktumu habis, dan cepat cari tempat duduk!” “I-iya!!” Maka dengan rasa tegang, ia cepat-cepat menduduki tempat duduk yang kosong. Dia duduk tepat di antara Arum dan Ingrid di dekat jendela. “Sabar ya, dia memang begitu...” sahut Ingrid—dengan berbisik tentunya—. “I-iya...” ujar Rina memaklumi. “Aku Ingrid! Yang ada di sebelahmu itu, Arum!” Rina menoleh ke arah Arum yang tengah tersenyum manis padanya, “Ah salam kenal Ingrid, Arum..” dan mereka memutuskan menunda perkenalan. Karena jika sampai Pak Rio mengetahui mereka mengobrol saat jam pelajaran, habislah mereka. *skip time waktu belajar.....* Sudah saatnya pulang! Err, mungkin bisa dibilang saatnya kembali ke asrama. Karena siswa yang bersekolah di sini harus tinggal di dalam asrama yang telah disediakan oleh pendiri sekolah hingga lulus. Ketika dalam perjalanan menuju kamar, Ingrid, Arum, dan Rina bercakap-cakap sedikit mengenai kepindahan Rina ke Auxiliary World School—atau singkatnya
AWS—. “Wah, pasti kau sangat senang ya sekolah di luar AWS!” ujar Ingrid saat mendengar cerita Rina yang dulu sekolah di Sylph. “Iya, lumayan. Tapi suasananya kurang menyenangkan, jadi aku rasa, aku juga ingin sekalian mencari suasana baru di sini! Hahaha...” sahut Rina sambil tertawa garing. “Tapi di AWS peraturannya cukup ketat lho!” Arum mulai berkomentar, “Apalagi, soal aturan pembayaran pajak wilayah anak-anak anggota geng kelas 3!” “Geng? Ternyata di sini juga ada geng ya? Aku kira hanya ada di Sylph! Hahaha...” Rina tertawa dengan polosnya. “Yang namanya geng pasti selalu ada di mana-mana, Rina...” Ingrid sweatdrop. “Apalagi kepala gengnya! Uh, dijamin deh! Kamu pasti langsung takut melihat dia!” Arum semakin mengompori. “Memang yang mana sih kepala gengnya?” tanya Rina. TAP TAP TAP “ITUUU!!” Ingrid dan Arum menunjuk ke arah yang sama. Rina menolehkan pandangannya ke arah yang dituju. Seorang pria tengah berjalan menghampiri dengan memakai sweater dan celana jeans, bertubuh tinggi besar berdiri di hadapan tiga gadis itu. “Oh, jadi kau murid barunya?” tanya pria itu dengan suara yang cukup berat. Rina memasang wajah sebal, karena sikap orang di hadapannya ini sombong sekali, “Iya, kenapa?” “Kau pasti sudah tahu ‘kan, aku ini siapa? Aku Fikri! Kepala geng kelas 3 di AWS! Aku harap, kau sudah mengerti bagaimana sikapku ketika menagih pajak wilayah pada tiap siswa! Jadi, aku tak perlu repot-repot menjelaskannya padamu!” “Iya, aku mengerti kok...” “Nah, kalau begitu, untuk keringanan, aku minta kau membayar pajak sekarang! Khusus murid baru, aku rasa dipotong saja setengahnya! Bagaimana?” “Aku tidak mau...” “Apa?!” “Aku bilang aku tidak mau...” “Berani sekali kau!” “Hey kalian!!” suara yang cukup keras dan lantang muncul tak jauh dari tempat kejadian saat ini. Seorang pria dengan tubuh yang sama tinggi besar, memakai seragam guru, berjalan menghampiri. “Wah, itu Bapak Wakasek!!” sahut Ingrid dan Arum histeris seperti sedang melihat artis Korea yang datang ke Indonesia. “Ada apa ini?” tanya Wakasek itu, atau sebut saja Pak Arie, “Kenapa murid baru juga ada di sini? Ditambah lagi bersamamu, Fikri!” Fikri menanggapi dengan malas, “Aku hanya mencoba memperkenalkan budaya di sekolah kita, Pak! Supaya dia cepat terbiasa!”
“Terbiasa dari mana? Jangan mencoba mengekang siswi baru dengan penagihan pajak wilayahmu yang konyol itu! Cepat kembali ke kamarmu! Lagipula ini koridor siswi kelas 2!’” “Tch, iya iya...” maka Fikri pun pergi dengan malas. Mungkin ditambah kecewa juga, karena ia gagal mendapatkan pajak hari ini. “Terima kasih Pak..” ujar Arum, Ingrid dan Rina bersamaan. “Tak apa ... sebaiknya, kalian cepat kembali ke kamar, sebelum ia kembali menagih pajak ... ah, aku sudah pusing bagaimana menangani anak itu...” “Kurasa aturannya harus diperketat lagi Pak..” seorang laki-laki dengan perawakan tinggi—yang juga memiliki wajah tampan—serta rambut blonde, tiba-tiba saja datang menghampiri. Dia nampak seperti blasteran Jepang dan Inggris dengan matanya yang sipit itu. “Ah, Seiji...” sahut Pak Arie dengan senyum, “Oh iya, Rina, perkenalkan, ini adalah Seiji, anak dari kepala sekolah di sini...” Rina melihat Seiji dengan tatapan mencurigai. SRET Seiji mengulurkan tangan kanannya, “Aku Seiji ... salam kenal...” Rina pun menjabat tangan Seiji, “Salam kenal juga ... aku Rina..” “Kyaaa~” Arum dan Ingrid bersorak-sorak pelan dari belakang Rina. Nampaknya dia merupakan pujaan para gadis di sekolah ini. Ditambah lagi, dia adalah anak dari kepala sekolah. Tentu saja banyak gadis yang akan jatuh cinta padanya. “Nah, Seiji, antar ketiga gadis ini ke kamar mereka ya?” sahut Pak Arie yang kemudian pergi dengan terburu-buru. Sepertinya masih ada tugas yang harus ia kerjakan. Sementara itu, Rina dan Seiji bertatapan sejenak. “....” “....” Hening.... “Baiklah..” Seiji akhirnya angkat bicara, “Kuantar kau ke kamar...” maka Seiji, Rina, Ingrid, dan Arum, pergi menuju kamar masing-masing. *kemudian...* ~di depan kamar Rina~ “Sudah, sampai sini saja...” ujar Rina pada Seiji setelah lelaki itu mengantar Arum dan Ingrid ke kamarnya masingmasing. “Perlu kuantar sampai dalam?” Seiji menyeringai jahil. “Maumu! Sudah sana!” “Iya iya...”
Tiba-tiba.... “Seijiiiiiiii!” seorang siswi dengan perawakan yang cantik dan manis datang dan tiba-tiba merangkul Seiji! “Seijiku sayaang, ayo kita ke lapangan! Pertandingan persahabatan antar tim basket 2-1 dan 2-3 yang kupimpin akan segera dimulaiii! Aku tak ada teman! Temani yaaa? Ya? Ya? Ya?” Rina sweatdrop. Dilihat-lihat, sepertinya dia ini kekasih Seiji. “Err, baiklah, baik...” ujar Seiji agak kaku. Kenapa dia? “Hm?” gadis itu melirik ke arah Rina, “Oh, kau pasti murid baru itu ya? Aku Puti! Ketua tim basket kelas 2-3 dan ketua umum klub basket di sekolah ini! Salam kenal!” ia tersenyum. ‘Cantik ... sepadan dengan Seiji yang memang tampan ... ah, pasangan ini lucu sekali..’ Rina ikut tersenyum, “Aku Rina, salam kenal...” “Eh, Rina! Mau ikut melihat pertandingan basket kelasku? Kalau perlu, sebagai bonus tontonan, aku akan ikut bermain di laga kali ini! Bagaimana?” tawar Puti. “Hmm, bagaimana ya? Ah … Baiklah, aku ikut!” lumayan daripada tak ada kerjaan. *sesampainya di lapangan basket...* “Wah, lapangan basketnya luas...” ujar Rina terkagum-kagum dengan fasilitas di sekolahnya yang baru ini. ‘Bahkan antara lapangan basket, voli, dan sepak bola dipisah ... punya lapangan masing-masing ... hebat...’ “Nah, Rina!” Puti datang ke lapangan dengan menggunakan seragam basketnya. Tangan dan jemarinya yang lihai memainkan bola basket itu terekspos secara terang-terangan, “Perhatikan sang ahli beraksi...” ia menyeringai. Sepertinya semangatnya sedang tinggi. “Berjuanglah!” ujar Rina tak kalah semangat. PRRIIITT! Pertandingan pun dimulai! Puti menguasai bola, dan ia maju menerobos lawan yang menghalanginya dengan lincah. “Wah, pacarmu hebat ya, Seiji!” ujar Rina terkagum-kagum. “Yah, dia memang ketua tim basket terbaik....” Seiji tersenyum. Sepertinya dia juga bangga terhadap kekasihnya ini. TENG TENG! PRIITT! “Skor untuk kelas 2-3!” ujar sang wasit. “Waaah, Puti hebat!!” Rina melompat kegirangan. “Kau ini berlebihan sekali...” Seiji sweatdrop. “Huh, pacarmu ‘kan sangat hebat, Seiji! Kenapa kau tak ikut memberinya sorak?” “Aku sudah terlalu sering melihat pemandangan ini ... jadi kurasa sudah tak aneh juga bagiku ... bahkan kalau boleh jujur, aku bosan...” “Eh? Bosan? Kenapa?”
“Jika ia terus-terusan menang, dan tak pernah kalah, ia tak akan bisa introspeksi diri ... selain itu, jika dia terus menerus merasa senang, kapan ia akan membagi kesedihannya untukku? Justru setahuku, gunanya seorang kekasih itu untuk selalu menemani di saat suka dan duka ‘kan? Suka sudah terlalu sering kurasakan bersamanya ... tapi duka, rasanya belum pernah sama sekali ... aku ingin aku ini berarti lebih baginya..” “Seiji...” “Ah, apa yang kubicarakan? Sudah, lupakan saja...” Rina pun diam, dan kembali memperhatikan jalannya pertandingan dan memikirkan kata-katanya yang dalam itu. PUK Tiba-tiba seorang pria dengan tampang yang tak kalah tampannya—meski sedikit terlihat dewasa—menepuk bahu Seiji dari belakang, “Seiji...” Seiji menoleh, “Ayah?” Oh Tuhan, itu kepala sekolah! “Selamat siang Pak!” ujar Rina dengan hormat. “Iya, selamat siang...” balas Pak Kepsek, atau sebut saja Taufik. “Ada apa ayah?” tanya Seiji. “Ayah ingin bicara denganmu ... ikut ayah ke kantor..” “Baik..” Maka Taufik dan Seiji berlalu dari lapangan. Rina memperhatikan, dan entah kenapa, ia merasa harus mengikuti mereka berdua! Menguping? Oh, itu tak baik! Tapi apa boleh buat? Untuk menghilangkan rasa penasaran tak ada salahnya! Dengan memastikan Puti tak melihatnya berlalu, ia pun lari menembus kerumunan orang-orang yang tengah menonton jalannya pertandingan. *skip time...* ~di depan ruang kepala sekolah~ Rina memutuskan untuk menguping pembicaraan pribadi antara Ayah dan anak ini. Mungkin dia bisa saja mati kena hukum oleh ketua OSIS bila ia ditemukan menguping di ruang Kepala Sekolah. Tapi apa boleh buat, rasa penasaran sudah terlanjur menyelimutinya. ~di ruang Kepsek~ “Aku ingin melanjutkan pembicaraan kita yang kemarin, Seiji...” ujar Taufik memulai pembicaraan. Atau tepatnya, Bapak Taufik. Tapi ia terlihat masih muda, jadi sepertinya Taufik saja. “Ya, lanjutkanlah...” sahut Seiji serius. “Aku telah mencoba meneliti di laboratorium pengawas tentang kedatangan murid baru itu, dan kurasa, dia memang pilihan yang pas...” “Jadi, bagaimana? Kita langsung rekrut semua sekaligus?” “Ini kondisi mendesak, jadi kurasa, memang sebaiknya secepat mungkin kau rekrut mereka semua...”
“Hmm, biar kupastikan ... delapan orang, ‘kan?” “Iya ... dan ingat, kau termasuk salah satu di antara mereka...” “Baik...” “Semoga saja, kalian bisa membantu dalam mempertahankan sekolah ini..” “Bagaimana dengan kerajaan Nowheresville? Apa mereka sudah sepakat dengan negosiasi yang kau berikan?” “Belum ... tepatnya, tidak ... mereka tetap ingin menguasai sekolah ini ... ah, ini salahku juga, telah menyimpan benda berharga warisan keluarga kita di sekolah ini...” “Apakah belum terlambat untuk menghancurkan benda itu? Aku rasa jika benda itu dihancurkan, mereka tak akan mengincar sekolah ini lagi...” “Sekalipun benda itu tak ada, mereka akan tetap mencoba menguasai sekolah ini! Karena di dalam sekolah ini, semua siswanya cocok untuk mereka jadikan budak...” “Bahaya...” “Ya ... aku sudah bingung, dan kurasa memang ini satu-satunya cara...” “Serahkan padaku! Akan kuusahakan!” “Iya, aku menggantungkan nasib sekolah ini padamu, nak...” “Baik ayah!” ~di depan pintu Kepsek~ CKLEK Seiji membuka pintu ruangan, lalu menutupnya kembali. Rasa kaget menyertainya ketika ia melihat Rina tepat di samping pintu sambil menyandar ke dinding dengan tampang curiga. “A-apa yang kaulakukan?” tanya Seiji. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku dibawa-bawa dalam urusan kalian? Benda yang kalian maksud ... benda apa itu?” Rina langsung memberikan segudang pertanyaan. “Hm, jangan di sini, mari di tempat lain...” Maka Rina dan Seiji pergi ke taman belakang sekolah. ~di taman~ “Tolong, terima ini...” Seiji memberikan sebuah cincin pada Rina. “Hah?! Apa kau gila?! Kita masih sekolah kau sudah berani melamarku?! Kita bahkan belum kenal dekat!!” Rina spontan gugup dan menolak mentah-mentah. “Jangan bodoh!! Siapa yang mau melamarmu?! Ini bukan cincin biasa, cincin ini berguna suatu saat nanti untuk masa depan sekolah ini...” “Hah? Apa?”
“Dengan cincin ini, kau memiliki kekuatan yang spesial!” “Apa itu?” “Kau akan tahu, jika sudah tiba saatnya ... lihat?” Seiji memperlihatkan cincin yang ia gunakan di jari manisnya. Warnanya perak dengan permata kecil berwarna hijau di atasnya. “Indahnya...” mata Rina berbinar melihat cincin itu. “Aku juga memakainya satu. Sekali kau pakai, maka cincin ini tak akan bisa lepas jika misi kita belum selesai...” “APA?!?” “Cepat pakai!” “Aku tidak mau!! Aku tak mau terlibat dengan misi bodohmu itu!!” “Jangan bilang begitu, cepat pakai!!” “Aku tak mauuu!!” “Baiklah, ini!” Seiji memberikan cincin itu pada Rina—belum dipakaikan lho—. “Simpan baik-baik ... jika kau merasa ingin memakainya, dan berubah pikiran, segera hubungi aku ... akan kuberikan nomor teleponku, atau kau bisa datang ke kelasku di kelas 2-4...” Rina hanya diam, ‘Bagaimana ini?’ *sementara itu...* Dengan jarak yang cukup jauh dari AWS, sebuah kerajaan kegelapan dengan nama Nowheresville berdiri dengan kokohnya. Seluruh isi kerajaan adalah vampire! Karena itu, kerajaan ini tak pernah disinggahi orang-orang kecuali bagi mereka yang sudah menyerah pada hidup dan ingin memberikan darahnya pada vampire di sini. Di mana ada kerajaan, pasti ada raja dan ratu, bukan? Di sinilah mereka. Duduk dengan angkuhnya di atas kursi kerajaan. Tak lama kemudian, seorang gadis cantik dengan wajah yang pucat datang menghampiri raja dan ratu, “Ayah! Ibu! Kapan kita akan bermain ke sekolah itu lagi? Aku ingin bertemu pangeran idamanku!” sahut sang permaisuri dengan nama, Ochi. “Sebentar lagi nak ... sebentar lagi, kita akan mendapatkan sekolah itu, dan mengambil banyak darah segar...” sahut sang ratu dengan angkuhnya, sebut saja Cynthia. “Ahh, aku juga sudah lapar!! Aku tak sabar ingin meminum banyak darah! Sebaiknya, kita percepat pergerakan kita, sebelum semuanya terlambat! Pastikan, seluruh pasukan siap! Kita akan lakukan penyerangan besok!” ujar sang raja yang memiliki perut maju beberapa senti itu. Sebut saja dia Yogi. “Baik! Akan kuberitahu mereka!” ujar Ochi riang, lalu tertawa senang. Ia pun berjalan meninggalkan ruangan raja dan ratu dan menuju markas para pasukan besar vampire kerajaan, “Fufufu, darah segar, aku dataaang...” Bersambung…