MARKET
PERSPECTIVE
Wealth Management Newsletter - Desember 2016
BACK TO NEW NORMAL Naiknya level bunga/ yield dari kondisi abnormal di tahun 2016 menandai bangkitnya global market di tahun 2017
Greetings Nasabah yang terhormat, Terima kasih atas kepercayaan Anda menjadi Nasabah setia Commonwealth Bank. Pada edisi e-Market Perspective kali ini, Kami mengulas mengenai pergerakan pasar saham dan pasar obligasi sepanjang tahun 2016 yang keduanya mencatatkan kinerja positif. Seperti halnya negara emerging market lain, Indonesia menjadi salah satu negara yang menikmati derasnya aliran dana global yang mencari yield yang lebih tinggi serta potensi pertumbuhan di tengah rendahnya pertumbuhan ekonomi global dan yield yang ditawarkan negara developed market. Meskipun demikian, pasar keuangan dalam negeri tidak luput dari global shock event yang terjadi sepanjang 2016 seperti keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS. Memasuki tahun 2017, Kami juga mengulas potensi dan risiko yang akan dihadapi oleh para investor saham maupun obligasi. Belajar dari tahun sebelumnya, di tahun 2017 akan terjadi serangkaian event politik global yang kemungkinan akan mempengaruhi pergerakan pasar keuangan. Namun dengan adanya perbaikan fundamental ekonomi serta paket-paket kebijakan ekonomi yang dilakukan pemerintah, diharapkan akan membuka mata investor asing bahwa saat ini Indonesia memiliki potensi pertumbuhan yang cukup baik di antara negaranegara emerging market dan memutuskan untuk menempatkan investasinya di Indonesia. Pada kesempatan ini Kami segenap keluarga besar Commonwealth Bank juga ingin mengucapkan Selamat Natal bagi Anda yang merayakan dan Selamat Tahun Baru 2017 untuk seluruh Nasabah setia Kami. Jika Anda membutuhkan informasi lebih lanjut mengenai strategi dan rekomendasi produkproduk investasi, Anda dapat menghubungi Relationship Manager Kami di cabang terdekat.
Dewi Rustini Director of Retail Banking
Market Perspective | Wealth Management Newsletter | Desember 2016 | 1
EQUITY MARKET REVIEW -2016 Di tahun 2016 ini merupakan tahun kembalinya emerging market menjadi primadona investor global. Di saat kekhawatiran pelaku pasar meningkat akan potensi resesi global, emerging market memberikan alternatif solusi bagi para investor yang menginginkan growth. Rendahnya inflasi akibat harga komoditi terutama minyak justru memberikan berkah bagi negara-negara berkembang. Dengan kualitas infrastruktur yang masih di bawah dari level kompetitif, turunnya cost of fund memberikan kesempatan bagi negara-negara berkembang untuk melakukan percepatan pertumbuhan infrastruktur. Indonesia merupakan salah satu negara yang diuntungkan dengan tren inflasi rendah. Turunnya cost of fund dijadikan momentum untuk pemerintah meningkatkan kualitas infrastruktur. Tahun 2016 juga diisi dengan agenda-agenda besar yang memberikan hasil mengejutkan dan memberikan dampak masif pada pasar ekuitas dan obligasi. Dari pasar global hasil referendum Inggris yang menunjukkan hasil untuk keluar dari Uni Eropa mengejutkan pasar dan membuat investor memindahkan asetnya ke safe haven, sementara hasil pemilihan presiden AS yang di luar dugaan memberikan dampak luar biasa terutama pada pasar negara berkembang, pernyataan-pernyataan presiden terpilih AS yang cenderung proteksionisme & ekspansi fiskal membuat faktor ketidakpastian meningkat pesat. Dari dalam negeri sendiri beberapa agenda besar banyak memberikan sentimen positif untuk pasar. Dimulai dengan disetujuinya program tax amnesty yang diusulkan pemerintah pada awal bulan Juli, hingga kembalinya Sri Mulyani sosok yang sangat dihormati pasar menduduki kembali posisi Menteri Keuangan di bulan Juli lalu.
Belanja Infrastruktur Terus meningkat 450
Rptn
400
% 2.8
Government infra spending % of GDP (RHS)
350
2.5
300 250 200 150
1.6
100
1.6
1.5
1.4
50 0
20
06
20
07
20
08
20
09
20
10
1.6
1.8
1.9
1.8
1.5
1.3
20
11
20
12
20
13
20
14
20
15
16
F
17
3 2.8 2.6 2.4 2.2 2 1.8 1.6 1.4 1.2 1
F
Sumber: Pemerintah, CLSA
Pergerakan IHSG YTD
Seolah déjà vu seperti pada krisis 2008, ketika pasar global serempak terkoreksi, Indonesia seolah bergerak sendirian tetap bertahan di zona positif. Pasar meyakini Indonesia telah mulai memasuki tahap recovery setelah mengalami perlambatan ekonomi di 2015. Hal ini terjustifikasi dengan rilis data GDP 4Q15 Indonesia pada bulan maret menunjukkan angka 5,04%. Pasca periode awal tahun kekhawatiran investor global perlahan lahan berkurang. Didukung dengan sinyal dari gubernur The Fed, Janet Yellen bahwa kenaikan suku bunga masih belum akan dilakukan dalam waktu dekat karena data inflasi dan sektor manufaktur sebagai indikator belum cukup meyakinkan. Pernyataan ini membuat investor menjadi cukup tenang di mana AS belum akan menaikkan suku bunganya dalam waktu dekat yang dapat menyebabkan capital outflow pada emerging market. Pada 23 Juni hasil referendum Inggris yang menunjukkan masyarakatnya lebih mendukung untuk keluar dari Uni Eropa sempat menyebabkan pasar terkoreksi. Namun uniknya koreksi hanya terjadi 2-3 hari, dan selanjutnya justru malah menjadi awal rally dari emerging market. Indonesia sendiri seolah menjadi pemimpin rally emerging market ditopang berita positif disetujuinya program tax amnesty oleh parlemen. Setelah pasar global mengalami rally yang cukup signifikan selama 2-3 bulan pasca Brexit, kenaikan tersebut cukup tertahan setelah Jackson Hole meeting di akhir bulan Agustus Vice President The Fed, Stanley Fisher mengatakan kenaikan suku bunga AS dapat dilakukan dengan didukung data ekonomi yang cukup baik. Menjelang pemilihan presiden AS pasar kembali menguat dengan didukung semakin berpotensinya Hillary Clinton yang disukai pelaku pasar menjadi presiden AS selanjutnya. Dengan terpilihnya Hillary sebagai presiden pasar meyakini kebijakan yang akan dilakukan tidak akan jauh berbeda dari Obama, yang sama-sama berasal dari partai demokrat. Namun kejutan yang dapat dikatakan terbesar pada 2016 kembali terjadi. Membalikkan mayoritas survei pasar, Donald Trump dari partai republik keluar sebagai pemenang pemilihan Presiden AS. Dengan sikap dan pernyataan Trump yang kontroversial dan cenderung proteksionisme membuat pelaku pasar melakukan aksi jual secara serentak. Koreksi pasar kembali semakin dalam akibat potensi akan meningkatnya inflasi AS dampak kebijakan fiskal stimulus yang diusulkan Trump. Sementara pada bulan Desember ECB menyatakan akan kembali memperpanjang program Quantitative Easing dari sebelumnya akan berakhir di Maret menjadi di Desember 2017, namun dengan nominal yang akan diturunkan. Berita besar terakhir dari Eropa di 2016 adalah voting konstitusi Italia yang hasilnya memilih untuk tidak mendukung perubahan membuat Perdana Menteri Matteo Renzi mundur dari jabatannya. Agenda terpenting terakhir yang terjadi di 2016 adalah kenaikan suku bunga AS pada 14 Desember yang sesuai ekspektasi. Namun pernyataan yang dikeluarkan oleh pejabat The Fed memberikan indikasi bahwa kenaikan suku bunga AS pada 2017 dapat lebih dari 2x dan membuat pasar bereaksi negatif dengan melakukan aksi jual. Terhitung YTD hingga 15 Desember indeks MSCI global mengalami kenaikan 4,66%, MSCI emerging market naik 8,49%, dan IHSG naik 14,40%. Capital inflow yang masuk mencapai Rp 15 triliun berbanding terbalik dari 2015 investor asing melakukan aksi jual Rp 22 triliun.
Sumber: Bloomberg
Tidak seperti biasanya, di awal tahun 2016 pasar ekuitas global terkoreksi hingga mencapai belasan persen hanya dalam 1 -2 bulan pertama. Kekhawatiran akan resesi global terlihat semakin nyata dengan angka inflasi eropa dan jepang menyentuh level negatif (deflasi), diperparah dengan AS sebagai lumbung konsumsi dunia mulai melakukan tightening/ pengetatan dengan menaikkan suku bunga di Desember 2015 untuk pertama kali sejak 2006.
BOND MARKET REVIEW -2016 Tidak terasa 2016 sudah diujung tahun. Pergerakan pasar obligasi domestik sepanjang 2016 didorong oleh sentimen positif dari perbaikan kondisi makro ekonomi Indonesia meskipun event global yang hasilnya di luar ekspektasi menahan kenaikan pasar obligasi lebih tinggi lagi.
2 | Market Perspective | Wealth Management Newsletter | Desember 2016
Hingga 19 Desember pasar obligasi domestik mencatatkan kinerja positif sebesar 13,72% YTD berdasarkan Bloomberg Indonesia Local Sovereign Index (BINDO Index) dibandingkan dengan 2,90% di 2015. Yield obligasi 10 tahun telah turun sebanyak 83 bps dari 8,75% ke 7,92%. Hampir setiap bulan BINDO Index membukuan kinerja positif hingga bulan September sebelum meningkatnya ketidakpastian kondisi ekonomi global yang membuat pasar obligasi terkoreksi cukup dalam. Positifnya pasar obligasi pada kuartal I-2016 di awali dengan dirilis data inflasi 2015 yang relatif rendah di level 3,35% YoY serta direspon oleh diturunkannya BI rate yang pertama kali sejak Februari 2015 ke level 7,25% dan dilanjutkan pada dua bulan berikutnya masingmasing 25 bps hingga ke level 6,75%. Selain itu harga minyak yang anjlok hingga menyentuh harga terendah selama 12 tahun di kisaran USD 28,00/barel mulai meningkatkan kekhawatiran akan pencapaian target inflasi di developed market. Di kuartal I-2016 pasar dikejutkan oleh bank sentral Jepang, Bank of Japan (BoJ) yang menerapkan kebijakan suku bunga negatif yang membuat yield JGB 10 tahun bergerak menuju ke zona negatif. Selain itu juga Bank Sentral Eropa, ECB, menerapkan suku bunga rendah dengan menurunkan ECB Rate sebesar 5 bps menjadi 0,00%. Memasuki kuartal II-2016 Bank Indonesia menahan tingkat BI rate hingga bulan Mei sebelum kembali menurunkan sebanyak 25 bps ke level 6,50% di bulan Juni. Data-data makro ekonomi Indonesia sepanjang kuartal II-2016 cenderung baik seperti inflasi yang relatif rendah di 3,45% YoY pada akhir Juni, cadangan devisa yang terus bertambah hingga USD 109,7 miliar, neraca perdagangan yang terus mencatatkan surplus, hingga terapresiasinya rupiah yang berada dikisaran rata-rata Rp 13.300 per dolar AS. Meskipun pasar obligasi diwarnai tekanan dari lebih rendahnya data pertumbuhan PDB Indonesia 1Q16 sebesar +4,92% YoY dibanding +5,05% YoY pada kuartal sebelumnya dan kembali meningkatnya ekspektasi kenaikan FFR target pada bulan Juni serta terjadinya Brexit. Di paruh kedua 2016, pasar obligasi mendapatkan sentimen positif yang datang dari dalam negeri setelah DPR mensahkan undangundang amnesti pajak pada akhir Juni dan mencatatkan uang tebusan yang menggembirakan dengan mencapai Rp 100 triliun pada tahap I. Dimana dianggap program amnesti pajak yang tersukses di dunia. Selain itu Bank Indonesia pada 29 Agustus merubah suku bunga acuan menjadi BI 7 days reverse repo rate dari BI rate sekaligus menurunkannya sebanyak dua kali hingga ke level 4,75% pada saat ini. Namun mulai akhir bulan Agustus sentimen negatif global terus membanjiri pasar obligasi setelah Janet Yellen memberikan keterangan dengan nada hawkish terkait kenaikan FFR target pada pidato di Jackson Hole disusul oleh dikejutkannya pasar dengan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS pada awal November. Dengan terpilihnya Trump sebagai Presiden, sontak merubah ekspektasi pasar atas pandangan ekonomi AS yang diperkirakan akan tumbuh lebih cepat dan diikuti oleh kenaikan inflasi dan FFR target yang lebih cepat. Ekspektasi tersebut mulai tercermin dari hasil FOMC meeting pada tanggal 14-15 Desember yang lalu, dimana The Fed akhirnya memutuskan untuk menaikkan FFR target sebesar 25 bps ke level 0,50%-0,75%. Walaupun kenaikan tersebut sesuai dengan ekspektasi pasar namun pandangan The Fed yang lebih hawkish mengejutkan pasar. The Fed melihat bahwa kenaikan FFR target di tahun 2017 akan terjadi sebanyak tiga kali dari sebelumnya hanya dua kali. Lebih hawkish-nya The Fed kembali menekan yield UST 10 tahun ke level tertinggi dalam tahun ini di level 2,59%. Tekanan itupun berdampak pada pasar obligasi Indonesia terutama yang berdenominasi dolar AS. Yield INDON 10 tahun kembali menyentuh 4,5%, level yang sama ketika terjadi sell-off setelah Donald Trump terpilih menjadi Presiden. Untuk mengantisipasi risiko yang bersumber dari ketidakpastian ekonomi dan keuangan global terutama terkait arah kebijakan AS
dan Tiongkok, Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan BI 7-days Reverse Repo Rate di level 4,75% pada pertemuan Desember. Bank Indonesia memandang pelonggaran kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial yang telah dilakukan sepanjang tahun ini akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi pada tahun depan.
GLOBAL MARKET OUTLOOK From Abnormal to New Normal Dapat dikatakan tahun 2017 akan menjadi ujian terbesar akan kesatuan Uni Eropa. Pada tahun ini terdapat dua pemilu negara besar anggota European Union (EU) yaitu Jerman dan Perancis. Setelah sebelumnya Inggris memutuskan untuk keluar dari EU serta melemahnya dukungan pro EU di Italia yang berujung mundurnya perdana menteri Matteo Renzi setelah referendum yang diusulkan tidak didukung masyarakat. Apabila pemilu di Jerman dan Perancis kembali dimenangkan partai pendukung yang menginginkan keluar dari Uni Eropa maka kesatuan EU hanyalah tinggal menunggu waktu. Bila pada dua dekade silam kerjasama multilateral menjadi tren untuk membangun ekonomi yang lebih kuat, maka saat ini kembali pada tren awal 1900an dimana proteksionisme diutamakan untuk melindungi kepentingan dalam negeri. Contoh kecil dari masyarakat anggota EU yang lebih maju yang pada umumnya di bagian utara menginginkan keluar dari Uni Eropa adalah karena usia pensiun mereka yang harus diperpanjang untuk ikut menanggung beban negara anggota EU yang rawan default akibat kelalaiannya mengelola hutang. Selain risiko politik, Uni Eropa juga memiliki pekerjaan besar untuk menaikkan inflasi sebagai tolak ukur meningkatnya aktivitas ekonomi. Dengan rata-rata masyarakatnya berada pada usia tidak produktif, sementara non perfoming loan di beberapa negara mencapai belasan persen, maka ECB memiliki tugas sulit untuk memperbaiki kondisi moneter negara anggotanya. ECB sendiri baru saja mengeluarkan kebijakan untuk kembali memperpanjang Quantitative Easing (QE) hingga Desember 2017 namun jumlah dana akan diturunkan dari Eur 80 miliar per bulannya menjadi Eur 60 miliar. Wacana selesainya QE tidak hanya berisiko pada capital outflow negara emerging market, namun juga ketahanan perbankan Uni Eropa yang berpotensi default menghadapi risiko kenaikan suku bunga. Bila tema pada 2016 adalah periode abnormal di mana yield obligasi pemerintah di beberapa negara maju berada di bawah level 1% atau bahkan negatif, maka di 2017 periode abnormal ini perlahan-lahan berakhir dan yield kembali ke level yang wajar / the new normal. Beberapa katalis pendukung yield akan kembali ke level normal dapat dilihat dari rencana AS menaikkan suku bunga acuan 2-3x tahun 2017. Sementara di Uni Eropa, walaupun belum menunjukkan perbaikan yang signifikan, namun ECB telah menargetkan jumlah besaran stimulus perlahan-lahan akan dikurangi yang menunjukkan keyakinan inflasi akan meningkat dan dapat mencapai 2% di 2018. Dengan kesepakatan pemangkasan produksi minyak oleh para negara anggota OPEC harga minyak WTI naik menjadi USD 53 saat ini. Semakin membaiknya kondisi ekonomi global di 2017 dapat mendorong harga minyak naik ke level yang lebih tinggi. Konsensus memperkirakan kenaikan harga minyak berkisar antara 15-20% pada 2017. Walaupun begitu sulit mengharapkan harga minyak dapat melampaui angka tersebut, karena pada titik tersebut shale gas dan banyak ladang minyak berada di level ekonomisnya sehingga supply akan meningkat pesat.
Market Perspective | Wealth Management Newsletter | Desember 2016 | 3
Namun, pertumbuhan ekonomi memiliki batas. Batas tersebut adalah full employment di mana setelah ekonomi mencapai batas tersebut hanya dapat tumbuh pada tingkat potensialnya dengan menjaga kestabilan inflasi. Ketika pertumbuhan ekonomi di atas batas potensialnya maka akan memicu percepatan inflasi dan disusul oleh kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral untuk menjaga ekonomi agar tidak over heating.
Yield AS, Jerman, Jepang terus meningkat
Saat ini potensi pertumbuhan ekonomi AS berada di sekitar 1,5% hingga 2,0% p.a. dibandingkan dengan 2,5% p.a. sebelum krisis finansial terjadi. Potensi pertumbuhan itu dirasa terlalu rendah namun angka tersebut sejalan dengan perkiraan potensi pertumbuhan oleh The Fed dan Congressional Budget Office, yang bertanggungjawab untuk melakukan proyeksi ekonomi. Sumber: Bloomberg
Tingkat Pengangguran AS Corporate Debt China Dalam Rasio yang mengkhawatirkan
% 18 14
% 18 14
U6 underemployment rate
10
10
6 2 Mar-95
6 underemployment rate Mar-00
Mar-05
Mar-10
Mar-15
2
Sumber: CBA
Hal tersebut juga konsisten dengan dua fakta yang muncul setelah resesi yakni 1) pertumbuhan ekonomi AS hanya tumbuh rata-rata 2,2% sejak resesi berakhir; 2) pertumbuhan tersebut mendorong penurunan tingkat pengangguran dengan rata-rata 0,7% per tahun. Dengan tingkat undereployment (setengah pengangguran) yang turun drastis, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi AS pasca resesi telah berada di atas potensinya.
Sumber: Bloomberg
Rendahnya potensi pertumbuhan ekonomi AS mencerminkan lemahnya pertumbuhan angkatan kerja. Seperti kebanyakan negara maju, potensi pertumbuhannya yang menurun disebabkan struktur demografi yang mengalami penuaan.
Rencana pemerintah Tiongkok melakukan shifting model ekonomi mereka dari mengandalkan ekspor dan investasi menjadi konsumsi merupakan ide yang sudah terdengar dari beberapa tahun lalu. Dengan pertumbuhan perdagangan global terus menurun dan tren negara-negara besar melakukan proteksi membuat strategi ekspor tidak lagi menjadi relevan. Dengan banyak pabrik di Tiongkok mengalami over capacity membuat pemerintah melakukan strategi supply reform. Salah satu contohnya adalah dengan memangkas hari kerja penambang batubara dari 330 hari menjadi 276 hari. Strategi ini untuk tetap mempertahankan lapangan kerja penambang batubara yang begitu besar dan demi terus berjalannya cash flow perusahaan batubara Tiongkok yang memberikan exposure risiko besar pada perbankan Tiongkok. Kebijakan ini tergolong cukup sukses untuk menstabilkan supply & demand batubara dan membuat harga naik signifikan dari awal tahun berada di USD 49 /mt menjadi USD 87 /mt. Perlambatan ekonomi masih tetap menjadi concern utama ekonomi Tiongkok ditambah hutang BUMN yang berada dalam rasio mengkhawatirkan. Rencana shifting model ekonomi menjadi consumption-driven juga masih jauh dari realisasi, terefleksi dari pertumbuhan investasi yang mencapai double digit menunjukkan Tiongkok masih sangat mengandalkan investasi untuk mengejar pertumbuhan, sementara pertumbuhan gaji relatif stagnan sehingga sulit untuk menaikkan pertumbuhan konsumsi. Setelah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden dengan serangkaian rencananya, AS akan menjadi perhatian dunia pada tahun 2017. Donald Trump berjanji untuk meningkatkan ekonomi AS hingga 4% p.a. yang dua kali lebih cepat dari rata-rata pertumbuhan sejak ekonomi AS bangkit dari resesi. Dengan rencana ekspansi anggaran, sangat mungkin bahwa ekonomi AS akan tumbuh pesat sebesar 3-4% p.a. dalam beberapa tahun ke depan.
Lalu apakah rencana Trump untuk mendorong pertumbuhan 4% p.a. dapat tercapai? Secara umum rencana pemotongan pajak pendapatan perorangan dan perusahaan serta peningkatan belanja negara akan memicu naiknya inflasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Masih ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi AS berada di level 4% namun hal tersebut sepertinya tidak akan terjadi secara berkelanjutan karena inflasi akan melonjak disusul The Fed menaikan FFR lebih tinggi serta menguatnya nilai tukar dolar AS. Namun hal tersebut lebih dapat terwujud dengan 1) meningkatkan angka pertumbuhan angakatan kerja. Tenaga kerja bisa tumbuh lebih cepat dengan meningkatkan partisipasi dalam angkatan kerja. Salah satunya dengan cara meningkatkan imigran usia produktif untuk bekerja di AS; 2) meningkatkan produktivitas melalui pendidikan yang lebih baik dan pelatihan para pekerja. Persaingan ketat merupakan dorongan yang baik untuk mengangkat produktivitas.
Pertumbuhan PDB AS % 6
% 6
YoY %
3
3
0
0
QoQ %
-3 -6 Jun-86 Sumber: CBA
-3
Jun-91
Jun-96
Jun-01
Jun-06
Jun-11
Jun-16
-6
4 | Market Perspective | Wealth Management Newsletter | Desember 2016
EQUITY MARKET OUTLOOK “The Hunt Of Hidden Treasures“
dimana GDP hanya tumbuh di bawah 5%. Proses recovery yang dilakukan saat ini tergolong lambat. Ekspor Indonesia masih mengalami tren penurunan disebabkan harga komoditi yang terkoreksi. Permintaan semen hanya meningkat single digit, lesunya bisnis properti membuat permintaan semen bag, kontributor terbesar penjualan semen, masih tetap rendah.
Konsumsi Semen Nasional Indonesia 20,000
m tonnes
National
18,000 16,000 14,000 12,000 10,000 Sumber: Media
8,000
1Q
Masih ingat karakter ini? Rasanya hampir tidak ada yang tidak menonton film Pirates of Caribbean, bahkan sekuelnya yang kelima akan rilis pada 2017 mendatang. Film Pirates of the Caribbean bermula dari seorang bajak laut Inggris bernama Jack Sparrow sedang berada di Jamaica. Apa yang dicari oleh orang Eropa di Jamaica negara out of nowhere? Tentu saja harta! Sudah sejak dulu masyarakat selalu terbuai akan impian meraih kekayaan melalui penjelajahan ke negara-negara yang dipercaya memiliki hidden treasure. Ironisnya Indonesia sendiri merupakan salah satu korban dari pemikiran ini. Akibat kepercayaan kaum mercantilis akan kebutuhan mengakumulasi kekayaan dan perdagangan dengan negara lain, Indonesia dijajah selama 350 tahun oleh bangsa Eropa. Walaupun konsep penjajahan telah lama ditinggalkan oleh masyarakat global, namun kegemaran masyarakat untuk mencari hidden treasure masih terus berlanjut hingga sekarang ini. Bila di waktu lalu penjajah menginginkan Indonesia yang kaya akan rempah-rempah, maka saat ini investor global fokus berburu “growth”. Negara-negara maju telah berubah menjadi sangat kaya, gemuk, dan menua sehingga mengalami kesulitan untuk berlari, bahkan untuk berjalan saja membutuhkan alat bantu (stimulus). Kondisi ini membuat para investor global memutar otak untuk kembali mencari “growth“ dan pada akhirnya kembali pada hidden treasure yang kini dinamakan emerging market.
Harta Karun Bernama Indonesia Ketakutan yang menghantui investor akan kondisi ekonomi dunia yang rentan menghadapi resesi global pada awal 2016, memberikan berkah pada negara emerging market. Dengan “growth” menjadi barang langka yang dapat ditemukan oleh investor di negara maju membuat investor global kembali memusatkan perhatian pada emerging market yang masih berada dalam fase bertumbuh setelah sempat ditinggalkannya pasca tapering AS pada 2013. Bila pada tahun 2000an emerging market begitu identik dengan BRIC yaitu Brazil, Russia, India, dan China. Maka saat ini semakin banyak negara yang menyandang status emerging market dengan potensi ekonomi yang menarik seperti Indonesia dan Filipina. Pertumbuhan GDP Indonesia sebesar 5% sesungguhnya bukan angka yang istimewa seperti Tiongkok pada masa economic boom-nya, namun dari negara anggota G-20 hanya India dan Tiongkok yang saat ini memiliki pertumbuhan di atas Indonesia. Walaupun perekonomian Indonesia memiliki potensi yang besar namun sampai sejauh ini belum mampu memenuhi potensi terbaiknya. Setelah mengalami perlambatan ekonomi pada 2015
13 Q13 Q13 Q13 Q14 Q14 Q14 Q14 Q15 Q15 Q15 Q15 Q16 Q16 Q16 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3
Sumber: ASI, CLSA
Kenaikan belanja infrastruktur di APBN untuk meningkatkan kualitas ekonomi Indonesia dan mendorong pertumbuhan belum dapat ditutup dengan peningkatan pendapatan pemerintah. Rasio penerimaan pajak masih tetap rendah dan penerimaan lainnya menurun akibat terkoreksinya harga komoditas. Menurunnya bisnis pertambangan di luar pulau Jawa dan lesunya sektor properti membuat sektor ritel juga ikut merasakan dampaknya. Setelah sebelumnya di 2015 mencatatkan pertumbuhan negatif, maka di tahun 2016 rata-rata penjualan bertumbuh masih dikisaran single digit. Meskipun pemulihan ekonomi sektor riil Indonesia masih terlihat lambat bila dibandingkan kondisi ekonomi global namun Indonesia berada dalam posisi yang jauh lebih baik. Bank sentral negara maju kecuali AS telah mati-matian mengeluarkan kebijakan moneter yang ada untuk memacu inflasi (sinyal adanya aktivitas ekonomi), melalui program pembelian aset berharga, pemangkasan suku bunga, menurunkan giro wajib minimum, hingga langkah paling ekstrem memperkenalkan kebijakan suku bunga negatif. Namun langkah-langkah ini belum mampu memacu naiknya inflasi seperti yang diharapkan. Kondisi semakin diperparah dengan terus menurunnya pertumbuhan perdagangan global dan tren proteksionisme yang dilakukan oleh negara-negara maju untuk melindungi ekonominya. Tren semakin menurunnya perdagangan global akan merugikan negara-negara berkembang yang mengandalkan ekspor dalam ekonominya. Sementara negara yang lebih mengandalkan konsumsi domestik sebagai tulang punggung ekonominya relatif lebih resilient terhadap risiko tersebut. Indonesia merupakan negara dengan kriteria terakhir, dimana konsumsi domestik merupakan motor penggerak ekonomi.
Penerimaan Pajak Terhadap GDP 17.0% 16.0% 15.0% 14.0% 13.0% 12.0% 11.0% 10.0% 9.0% 2009
Total revenue % to GDP
2010
Sumber : Pemerintah, CLSA
2011
2012
2013
Tax revenue % to GDP
2014
2015
2016F
2017F
Market Perspective | Wealth Management Newsletter | Desember 2016 | 5
Menghadapi tahun 2017 yang berada dalam ketidakpastian, risiko meningkatnya yield, proteksionisme, dan potensi disintegrasi Uni Eropa, Indonesia justru berada dalam posisi yang diuntungkan dengan ditopang 5 katalis utama. Pertama, konsolidasi partai politik pendukung pemerintah. Menjelang Pilkada serentak pada bulan Februari mendatang tensi politik menjadi memanas. Namun keberhasilan mejaga kedamaian Pilkada akan memberi sentimen positif untuk pasar. Terlebih bila dilihat dari pemerintah, dengan didukung mayoritas parlemen membuat situasi politik lebih terkendali dan memudahkan pemerintah dalam menjalankan kebijakannya. Contoh sukses disetujuinya program tax amnesty di 2016 ini juga merupakan hasil dari terkonsolidasinya dukungan dari parlemen. Kedua, kesuksesan penerimaan tax amnesty yang sudah mencapai IDR 101 triliun dan dana deklarasi hampir mencapai IDR 4.000 triliun meningkatkan potensi penerimaan pajak pemerintah tahun depan. Selain dari itu multiplier effect seperti meningkatnya konsumsi akan memberikan dampak positif pada perekonomian dan sektor konsumsi pada khususnya. Selanjutnya adalah pulihnya harga CPO dan batubara. Salah satu alasan utama rendahnya penerimaan pemerintah adalah akibat turunnya penerimaan non pajak yang kontribusi paling besar berasal dari pertambangan batubara dan kelapa sawit. Dengan harga dua komoditas andalan Indonesia tersebut telah pulih maka akan meningkatkan penerimaan non pajak pemerintah tahun depan.
Konsumsi Sebagai Kontributor Terbesar GDP Indonesia GDP Breakdown 100%
Meskipun tingkat kehati-hatian sangat tinggi oleh investor global akibat potensi kenaikan suku bunga AS yang dapat mencapai 3x di tahun 2017, dan membuat investor global cenderung mengurangi porsi investasi di emerging market, namun terdapat beberapa negara emerging market yang tetap dijadikan pilihan investasi oleh para investor global termasuk salah satunya adalah Indonesia. Struktur ekonomi Indonesia yang mengandalkan konsumsi domestik seperti menjadi berkah pada saat tren proteksionisme terus meningkat. Sementara ekonomi domestik yang baru menjalani fase recovery dan hendak memulai fase ekspansinya lagi merupakan momentum yang sangat menarik bagi investor.
BOND MARKET OUTLOOK Domestic Investor Will Support Demand Indonesia yang menikmati besarnya likuiditas global yang mengalir ke emerging market pada tahun ini akibat banyaknya negara developed market yang menawarkan yield negatif akan menghadapi risiko capital outflow pada tahun depan. Dengan menguatnya nilai tukar dolar AS serta meningkatnya ekspektasi kenaikan FFR target hingga tiga kali pada 2017 akan memicu investor global untuk mempertimbangkan dananya kembali ke negara yang dianggap risk free. Yang dapat menahan besarnya risiko capital outflow pada tahun depan adalah berlanjutnya perbaikan makro ekonomi Indonesia serta tingginya permintaan obligasi dari investor lokal.
80% 60% 40% 20% 0% -20%
Sementara dengan suku bunga acuan telah dipangkas hingga 175 bps dari awal 2016 dan paket ekonomi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi insentif yang mendorong IHSG bertumbuh lebih pesat di 2017. Konsensus analis memproyeksikan laba bersih IHSG dapat naik 17%-18% di 2017, lebih baik dari tahun ini yang hanya naik single digit.
2010
2011 Consumption
2012
2013
Government Exp
2014 Investment
2015
2016
E-I
Sumber : Bloomberg diolah oleh Commonwealth
Keempat, harga minyak yang tetap rendah. Uniknya walaupun harga CPO dan batubara telah pulih namun harga minyak saat ini masih berada dikisaran USD 50/barel. Dengan banyaknya supply dari ladang minyak ataupun shale gas, yang secara nilai keekonomisan baru menguntungkan ketika harga minyak di level USD 60, maka dapat dikatakan terdapat resisten kuat yang akan membuat harga minyak akan naik terbatas dari level saat ini. Terkendalinya harga minyak maka akan memudahkan pemerintah dalam mengendalikan inflasi. Terakhir, status Investment Grade. Belum didapatnya status investment grade dari lembaga pemeringkat S&P di 2016 membuka peluang untuk diberikan pada 2017, dan akan membuat risk premium Indonesia turun. Terlebih salah satu kekhawatiran utama S&P adalah defisit fiskal dan kredit macet yang saat ini relatif terselesaikan dengan meningkatnya harga komoditas andalan dan mulai menurunnya rasio kredit macet.
Inflasi diperkirakan akan mengalami tekanan pada tahun depan akibat adanya rencana kenaikan tarif listrik dan meningkatnya harga komoditas. Namun risiko kenaikan inflasi diperkirakan akan mulai meningkat pada 2Q17 karena Presiden telah menginstruksikan untuk tidak ada kenaikan harga BBM (premium, solar, dan minyak tanah) serta tarif listrik hingga Maret 2017. Faktor penting lainnya adalah stabilitas nilai tukar rupiah yang dapat mendorong investor asing lebih nyaman untuk berinvestasi di Indonesia. Bank Indonesia berkomitmen untuk selalu berada di pasar untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, terbukti ketika terjadi sell-off di November Bank Indonesia melakukan intervensi dengan menggunakan cadangan devisa dimana tercatat turun ke level USD 111,46 miliar pada November dari USD 115,04 miliar di bulan sebelumnya. Cadangan devisa Indonesia juga relatif lebih besar jika dibandingkan dengan tahun 1998 dimana rupiah berada di level yang tidak jauh dari level saat ini.
Cadangan Devisa vs Nilai Tukar Rupiah
2017 Merupakan Saatnya Lepas Landas Dengan ekonomi Indonesia yang mulai pulih, terefleksi dari beberapa indikator, para ekonom memproyeksikan GDP Indonesia dapat bertumbuh antara 5,1%-5,4% di 2017.
Sumber: Bloomberg
6 | Market Perspective | Wealth Management Newsletter | Desember 2016
Di sisi lain, naiknya harga komoditas dapat membantu menambah pendapatan pajak pemerintah serta memperbaiki kinerja ekspor yang selama tahun 2016 masih belum sepenuhnya pulih walaupun selalu mencatatkan surplus sepanjang tahun. Pemerintah saat ini sangat memerlukan pendapatan yang besar untuk menunjang rencana percepatan infrastruktur. Di tengah tingginya kebutuhan belanja pemerintah namun belum disertai dengan tingginya rasio penerimaan pajak dapat menimbulkan risiko defisit anggaran. Dengan tidak terpenuhinya target penerimaan pajak (short fall) di tahun depan akan memperlebar defisit anggaran dan memicu penambahan penerbitan obligasi. Strategi ini akan menyerap likuiditas di pasar terutama sektor perbankan. Namun pemerintah diperkirakan akan tetap mempertimbangkan hal tersebut tercermin dari penerbitan obligasi global ketimbang menerbitkan dalam denominasi rupiah untuk kebutuhan pre-funding di awal tahun 2017.
Fokus Fiskal Pemerintah di tahun 2017 A more realistic optimization of the state revenue Continuing fiscal incentives, encouraging investment climate and business activities Focusing on revenue, especially on trade sector and private taxpayers
sebesar 4,34% masih cukup atraktif dibanding peers seperti India (2,88%), Malaysia (2,50%), dan Thailand (2,29%). Dari global, kebijakan yang akan diambil oleh Presiden AS terpilih Donald Trump akan menjadi fokus di tahun depan. Nilai ekspor Indonesia ke AS yang tidak terlalu besar tidak akan terlalu dirugikan terhadap rencana proteksi perdagangan oleh Trump. Sementara likuiditas global diperkirakan akan berkurang dengan mulai bangkitnya perekonomian negara-negara developed market. Bank sentral negara maju akan mulai melakukan pengetatan kebijakan seperti yang telah dilakukan oleh The Fed dan rencana ECB untuk mengurangi jumlah nilai stimulusnya.
Real Yield ID IN SG MY TH PH CN HK SK TW -2.0
-1.0
0.0
1.0
Sumber : Pemerintah, CLSA
Percent
2.0
3.0
4.0
5.0
Tax expansion and control via Geo Tagging Improving tax base and taxpayers compliance by strengthening tax database, optimizing IT usage, and confirming the status of taxpayers Optimizing international tax treaties Using excise and other taxes to decrease the consumption of certain products with negative externalities Optimization of non-tax revenue while still paying attention to the preservation of natural resources and improving the quality of public service Focusing on fiscal sustainability Maintaining the budget deficit below 3% of GDP Improving the financing mechanism for infrastructure projects and SMEs The government will be more selective in conducting investment Improving the guarantee mechanism to accelerate infrastructure development Sumber : Kementerian Keuangan, Mandiri Sekuritas
Dari segi permintaan, obligasi investor lokal diharapkan akan menjadi penyeimbang risiko capital outflow tahun depan. Permintaan dari perusahaan asuransi dan dana pensiun diprediksi masih akan besar didorong oleh kebutuhan pemenuhan kewajiban investasi pada SBN hingga 30% yang akan berakhir pada tahun 2017. Dari kategori bank komersil, juga diperkirakan masih tinggi mengingat prediksi penyaluran kredit tahun depan masih relatif rendah di level 7,5%-8,5%, yang memicu bank untuk meningkatkan pendapatan dari sisi bisnis trading. Permintaan Bank Indonesia sendiri kemungkinan ikut meningkat seiring rencana Bank Indonesia untuk mengganti instrumen operasi pasar terbuka dari SBI menjadi SBN secara gradual hingga 2024. Setelah adanya sell-off terhadap obligasi Indonesia di November, minat investor asing terhadap obligasi Indonesia mulai menunjukkan peningkatan. Tercermin dari posisi net-buy yang dilakukan investor asing sebesar Rp 10,2 triliun sepanjang Desember (per 19 Desember). Begitu pula incoming bid pada lelang SBN terakhir yang tercatat meningkat pesat. Yang kami yakini dipicu oleh real yield yang ditawarkan obligasi Indonesia
RISKS TO WATCH Dari global, pemilihan presiden dan perdana menteri yang akan diselenggarakan Perancis dan Jerman pada 2017 dapat menjadi risiko politik terbesar akan kesatuan Uni Eropa dan dapat memberikan risiko sistemik mengingat besarnya ekonomi Uni Eropa. Semakin banyaknya simpatisan pendukung partai yang menginginkan untuk keluar dari Uni Eropa membuat risiko semakin meningkat. Berdasarkan kebijakan 100 hari yang direncanakan presiden terpilih Donald Trump sejauh ini tidak terlihat kebijakan yang kontroversial. Namun investor global masih sangat berhati-hati akan kemungkinan kebijakan Donald Trump yang unpredictable, terutama yang mengenai perdagangan dan proteksionisme. Dengan ekonomi AS telah menunjukkan pemulihan dan rencana fiskal stimulus Donald Trump membuat The Fed berpotensi menaikkan suku bunga secara agresif di 2017 untuk menyesuaikan dengan angka inflasi yang saat ini berada dikisaran 1,5%. Kenaikan suku bunga yang terlalu agresif dapat menganggu kestabilan pasar finansial seperti yang terjadi di 2015. Sementara risiko dari domestik, pilkada serentak yang akan diselenggarakan pada Februari mendatang menjadi ujian bagi Indonesia memastikan pemilihan dapat berjalan dengan aman. Terlebih dengan demo besar-besaran yang terjadi belum lama ini. Rendahnya penerimaan pajak di tengah kebutuhan dana yang besar untuk belanja pemerintah akan memperlebar defisit anggaran, yang memicu meningkatnya supply obligasi di pasar. Risiko capital outflow akan menghantui pasar keuangan di tahun depan. Harus diakui bahwa porsi kepemilikan investor asing di pasar saham maupun obligasi relatif besar. Dengan membaiknya kondisi ekonomi AS maka memperbesar tekanan outflow untuk keluar dari emerging market yang dapat memberikan tekanan baik di pasar saham maupun obligasi. Adanya potensi outflow likuiditas meningkatkan risiko melemahnya nilai tukar rupiah serta tingginya volatilitas. Stabilitas nilai tukar menjadi sangat penting karena tidak hanya memperngaruhi pasar keuangan namun juga akan mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan di Indonesia.
Market Perspective | Wealth Management Newsletter | Desember 2016 | 7
REKOMENDASI INVESTASI Pada pasar Saham, tema global di 2017 adalah mengembalikan growth dari emerging market ke developed market dengan beberapa cara termasuk salah satunya yang populer proteksi ekonomi. Dengan outlook tersebut membuat investor global cenderung berhati-hati menempatkan investasinya di emerging market, terutama pada negara yang ekonominya sangat mengandalkan ekspor. Kondisi ini cukup menguntungkan Indonesia yang ekonominya lebih ditopang konsumsi domestik, dan saat ini diperkirakan sedang melakukan shifting dari periode recovery menuju ekspansi. Ditambah dengan kebijakan suku bunga rendah maka di 2017 merupakan momentum yang tepat untuk IHSG meningkatkan kinerja melebihi 2016. Kami memandang positif potensi pertumbuhan laba bersih yang dapat mencapai dua digit di 2017. Secara jangka panjang kami masih tetap bullish pada equity dan memberikan rekomendasi aset alokasi 50% seimbang dengan obligasi.
Pada pasar obligasi, nampak sedikit berbeda dengan pasar saham yang diuntungkan dengan rendahnya suku bunga. Di tahun 2017 pasar obligasi akan menghadapi tantangan dengan meningkatnya yield di negara maju yang akan memicu yield obligasi Indonesia terutama yang berdenominasi dolar AS. Potensi yang lebih baik terlihat pada obligasi domestik (denominasi rupiah) di tengah masih tingginya demand dari investor domestik dan atraktifnya real yield yang ditawarkan. Namun, untuk menghadapi masih tingginya ketidakpastian kondisi global dan risiko yang akan dihadapi pasar obligasi di tahun depan, kami merekomendasikan untuk menurunkan durasi portofolio untuk meminimalisir risiko volatilitas. Kami memandang pasar obligasi masih dapat memberikan total return yang positif pada tahun depan meskipun diperkirakan tidak akan sebesar pada tahun 2016. Secara jangka panjang obligasi masih kami pandang menarik dengan merekomendasikan alokasi yang sama dengan instrumen saham sebesar 50%.
ANALISA VALAS Di akhir tahun 2016, USD masih tetap kuat terhadap hampir semua mata uang negara G10, walaupun melemah sesaat namun tetap masih berada dalam tren bullishnya. Indeks dollar berakhir di kisaran 102.00 di sesi terakhir perdagangan tahun 2016. Selama kurun waktu 1 tahun, indeks dollar AS menguat 3,7%. indeks dollar mencapai level terendah di Mei di level 91,80 dan kemudian berbalik menguat. Setelah Donald Trump menang di Pemilu november lalu, indeks dollar terus menerus menguat naik 4% karena market cukup percaya dengan kebijakan Trump yang berpotensi mendukung pertumbuhan ekonomi amerika. Di Desember kemarin indeks dollar mencapai puncaknya di 103.57, tertinggi dalam 14 tahun, dipicu keputusan Federal Reserve menaikkan bunga dan juga pernyataan dari bank sentral sendiri mengenai peluang kenaikan suku bunga tiga kali di tahun 2017.
USD/IDR Pergerakan USD/I DR hingga akhir Desember 2016 tergolong cukup stabil dengan range antara 13260 – 13610 dengan kecenderungan USD menguat ditengah optimisme penguatan USD yang disebabkan oleh euforia kebijakan Trump yang diprediksi akan membuat ekonomi US tumbuh. Fokus market masih tertuju pada inagurasi Donald Trump pada 20 Januari mendatang. Sementara itu laju inflasi indonesia mengalami perlambatan di kisaran level 3,02% dibanding sebelumnya di 3,58%, memasuki akhir desember rupiah kembali melemah terhadap USD, inflasi domestik yang rendah akan memberikan daya tarik tersendiri terhadap aset berdenominasi rupiah walaupun akan ada tekanan inflasi dari pencabutan subsidi listrik di tahun 2017.
Kekhawatiran fiskal mulai meredup melihat defisit APBN-P 2016 yang hanya dikisaran 2,64% terhadap PDB hingga Desember 2016. Sentimen positif terhadap rupiah diperkirakan akan lebih dominan di bulan ini. serta pencapaian uang tebusan untuk tax amnesty periode II yang mencapai Rp103,3 triliun atau 86% dari target. Repatriasi mencapai Rp 141 triliun, deklarasi luar negeri Rp 1.013 triliun dan deklarasi dalam negeri Rp 3.143 triliun. Diperkirakan nilai tukar Rupiah akan berada di rentang 13,250 – 13,550 pada kisaran bulan Januari ini.
AUD/USD Pada bulan Desember kemarin AUD bergerak cenderung melemah signifikan dengan range 0.7160 – 0.7520, suku bunga RBA kembali dipertahankan di level terendah di 1,50%. Dalam pernyataannya, RBA akan fokus dengan sektor tenaga kerja domestik yang menjadi indikator umum dari pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) Australia. Pertumbuhan tenaga kerja paruh waktu cukup kuat namun secara keseluruhan pertumbuhan pasar tenaga kerja Australia melambat. Hal ini memberikan indikasi ke market bahwa suku bunga masih bisa bertahan di level sekarang paling tidak sampai pertengahan
tahun 2017. Untuk jangka waktu pendek AUD masih cenderung berpotensi kembali menguat terhadap mata uang lainnya, akan tetapi untuk jangka menengah masih cenderung bergerak terbatas dikarenakan kebijakan ekonomi Trump dan prospek kenaikan suku bunga US untuk tahun ini masih cukup menyita perhatian market. Diperkirakan AUD/USD akan cenderung bergerak dengan rentang 0.7140 – 0.7370 pada kurun waktu bulan Januari 2017.
8 | Market Perspective | Wealth Management Newsletter | Desember 2016
EUR/USD Nilai tukar Euro terhadap USD mengalami pelemahan yang signifikan dengan range 1.0385 – 1.0875 di bulan Desember, dipicu oleh pengumuman kebijakannya ECB yang memutuskan untuk memperpanjang program QE hingga Desember 2017 dari jadwal semula pada Maret 2017. Bank sentral Eropa juga akan mengurangi jumlah pembelian aset menjadi Eur 60 milyar dari level saat ini yang sebesar USD 80 milyar, mulai bulan April 2017. Sementara suku bunga acuan dan suku bunga deposito dipertahankan tidak berubah di
0,00% dan -0,40%. mengakibatkan EUR bergerak melemah terhadap USD. Ditambah lagi dengan ketidakjelasan perundingan antara Uni Eropa dan Inggris dimasa depan mengenai Brexit di mana ini bisa berpotensi menekan EUR lebih lanjut. Diperkirakan EUR/USD akan cenderung bergerak dalam rentang 1.0320 – 1.0680 pada kurun waktu bulan Januari 2017.
GBP/USD Poundsterling kembali melemah signifikan di bulan Desember ini dengan range 1.2200 – 1.2765 disebabkan oleh Bank Sentral US yang menaikkan suku bunga dan euforia kebijakan Trump yang dipercaya bisa mendongkrak perekonomian US menyebabkan GBP kembali tertekan. Ditambah lagi dengan makin dekatnya ancaman
akan dirilisnya pasal 50 perjanjian Lisbon yang otomatis meresmikan keluarnya inggris dari Zona Eropa. Diperkirakan GBP/USD akan cenderung bergerak dalam rentang 1.2150 – 1.2470 pada kurun waktu bulan Januari 2017.
USD/JPY Setelah bergerak sangat fluktuatif pada bulan November, JPY kembali melemah terbatas dengan range 112.90 – 118.65 di bulan Desember ini disebabkan oleh potensi kebijakan Trump yang diprediksi akan cenderung mendukung pertumbuhan ekonomi US. BoJ juga memberikan indikasi akan tetap berkomitmen menggunakan
suku bunga dan pembelian aset sebagai alat kebijakan utama untuk menghidupkan kembali perekonomian. Diperkirakan USD/JPY akan cenderung bergerak dengan rentang 116.00 - 119.30 pada bulan Januari 2017.
RECOMMENDATION USD/IDR
EUR/USD
GBP/USD
AUD/USD
USD/JPY
Expected buying level
13.250 - 13.300
1.0300 - 1.0350
1.2150 - 1.2200
0.7100 - 0.7150
116.00 - 116.50
Expected selling level
13.500 - 13.550
1.0600 - 1.0650
1.2400 - 1.2450
0.7350 - 0.7400
118.50 - 119.00
Long profit taking
13.500 and above
1.0600 and above
1.2400 and above
0.7350 and above
118.50 and above
Short profit taking
13.300 and below
1.0350 and below
1.2200 and below
0.7150 and below
116.50 and below
Long cut loss
13.150 - 13.200
1.0200 - 1.0250
1.2050 - 1.2100
0.7000 - 0.7050
115.00 - 115.50
Short cut loss
13.600 - 13.650
1.0700 - 1.0750
1.2500 - 1.2550
0.7450 - 0.7550
119.50 - 120.00
Entry Point Profit Taking Cut Loss
*Data di atas hanya bersifat indikatif dan dapat berubah sewaktu-waktu tergantung kondisi pasar.
DISCLAIMERS Kecuali dinyatakan lain, semua data bersumber dari berita media massa, dan tidak diterbitkan oleh PT Bank Commonwealth (PTBC). PTBC harus dijamin untuk dibebaskan dari tanggung jawab, termasuk tetapi tidak terbatas pada penuntutan hukum oleh pihak ketiga. PTBC beserta direkturnya, karyawannya dan perwakilannya dalam Lampiran ini selanjutnya bersama-sama disebut sebagai “Grup”. Laporan ini diterbitkan semata-mata untuk tujuan informasi dan tidak boleh ditafsirkan sebagai suatu ajakan atau penawaran untuk membeli efek atau instrumen keuangan. Laporan ini telah disusun tanpa mempertimbangkan tujuan, situasi keuangan dan kapasitas untuk menanggung kerugian, pengetahuan, pengalaman atau kebutuhan orang-orang tertentu yang mungkin menerima laporan ini. Tidak ada anggota dari Grup yang melakukan atau harus melakukan penilaian kelayakan atau penyesuaian laporan untuk penerima laporan ini yang karenanya tidak mendapat manfaat dari perlindungan peraturan dalam hal ini. Laporan ini bukan nasihat atau petunjuk. Semua penerima laporan ini harus, sebelum bertindak atas dasar informasi dalam laporan ini, mempertimbangkan kewajaran/kelayakan dan kesesuaian informasi, dengan memperhatikan tujuan-tujuan mereka sendiri, situasi keuangan dan kebutuhan, dan jika perlu mencari profesional yang tepat, memperhatikan kondisi valuta asing atau nasihat keuangan tentang isi laporan ini sebelum membuat keputusan investasi. Kami percaya bahwa informasi dalam laporan ini adalah benar dan setiap pendapat, kesimpulan atau rekomendasi yang cukup telah diadakan atau dibuat, berdasarkan informasi yang tersedia pada saat kompilasi, tetapi tidak ada pernyataan atau jaminan, baik tersurat atau tersirat, yang dibuat atau disediakan untuk akurasi, kehandalan atau kelengkapan setiap pernyataan yang dibuat dalam laporan ini. Setiap pendapat, kesimpulan atau rekomendasi yang ditetapkan dalam laporan ini dapat berubah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan dan mungkin berbeda atau bertentangan dengan, kesimpulan, pendapat atau rekomendasi yang diungkapkan oleh Grup di tempat lain. Kami tidak berkewajiban untuk, dan tidak, memberitahukan perkembangan terkini atau harus terus mengikuti informasi terkini yang terdapat dalam laporan ini. Grup tidak menerima tanggung jawab untuk setiap kerugian atau kerusakan yang timbul akibat dari penggunaan seluruh atau setiap bagian dari laporan ini. Setiap penilaian, proyeksidan prakiraan yang terkandung dalam laporan ini didasarkan pada sejumlah asumsi dan perkiraan dan tunduk pada kontinjensi dan ketidakpastian. Asumsi dan perkiraan yang berbeda dapat mengakibatkan hasil material yang berbeda pula. Grup tidak mewakili atau menjamin bahwa salah satu proyeksi penilaian atau prakiraan, atau salah satu dasar asumsi atau perkiraan, akan dipenuhi. Kinerja masa lalu bukan merupakan indikator yang dapat diandalkan untuk kinerja masa depan. Grup tidak menjamin kinerja dari produk investasi atau pembayaran kembali modal dengan produk yang didistribusikan oleh PTBC. Investasi dalam produk ini bukan merupakan simpanan atau kewajiban lainnya dari Grup atau anak perusahaannya dan setiap jenis produk investasi memiliki risiko investasi termasuk hilangnya pendapatan dan modal yang diinvestasikan. Contoh yang digunakan dalam komunikasi ini hanya untuk ilustrasi. Semua materi yang disajikan dalam laporan ini, kecuali bila ditentukan lain, berada di bawah hak cipta Grup. Tak satu pun dari materi, maupun isinya, maupun salinannya, dapat diubah dengan cara apapun, ditransmisikan ke, disalin atau didistribusikan kepada pihak lain, tanpa izin tertulis dari perusahaan terkait yang menjadi bagian dalam Grup. Grup, berikut agennya, asosiasinya dan kliennya memiliki atau telah memiliki posisi panjang atau pendek pada efek atau instrumen keuangan lainnya yang disebut di sini, dan dapat setiap saat melakukan pembelian dan/atau penjualan terhadap kepentingan atau surat berharga dalam kapasitasnya sebagai prinsipal atau agen, termasuk menjual atau membeli dari klien atas dasar pokok dan dapat terlibat dalam transaksi yang tidak konsisten dengan laporan ini. Silakan melihat website kami di www.commbank.co.id untuk informasi lebih lanjut. Jika Anda ingin berbicara dengan seseorang mengenai instrumen keuangan yang dijelaskan dalam laporan ini, silakan hubungi Call Centre kami di 15000 30 atau email kami di
[email protected].
10 | Market Perspective | Wealth Management Newsletter | Desember 2016