PENGARUH TERAPI GUIDED IMAGERY AND MUSIC (GIM) TERHADAP SKALA NYERI LUKA PASIEN POST OPERASI SECTIO CAESAREA (SC) DI RSUD ENDE Maria Luise Viana Amri**, Faridah Aini*, Rosalina* Program Studi Keperawatan-STIKES Ngudi Waluyo Ungaran ABSTRAK Nyeri adalah masalah yang paling mendominasi pada post operasi sectio caesarea (SC). Terapi guided imagery and music (GIM) dapat menimbulkan relaksasi dengan pelepasan endorfin untuk mengurangi nyeri. GIM merupakan tindakan mandiri perawat yang mengombinasikan bimbingan imajinasi dan musik. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh terapi GIM terhadap skala nyeri luka pasien post operasi SC di RSUD Ende. Desain penelitian ini adalah quasi eksperimental dengan rancangan penelitian nonequivalent control group design. Populasi adalah pasien post operasi SC di RSUD Ende. Sampel diambil menggunakan purposive sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Jumlah sampel 28 orang (14 responden kelompok kontrol dan 14 responden kelompok intervensi). Variabel independen adalah terapi GIM dan variabel dependen adalah skala nyeri luka. Skala nyeri luka diukur dengan Numeric Rating Scale (NRS). Hasil uji Wilcoxon Test pada kelompok kontrol adalah p value = 1,000 (α = 0,05) dan pada kelompok intervensi p value = 0,000 (α = 0,05), sedangkan hasil uji Mann Whitney pada kedua kelompok adalah p value = 0,000 (α = 0,05). Dari hasil penelitian ini terbukti terapi GIM dapat mempengaruhi skala nyeri luka pasien post operasi SC di RSUD Ende. Saran dari peneliti terapi GIM direkomendasikan sebagai intervensi mandiri perawat untuk mengurangi nyeri luka post operasi SC. Kata kunci: Terapi GIM, skala nyeri luka. ABSTRACT Pain is the most dominating issue in post-sectio caesareas (SC). Guided imagery and music (GIM) therapy can make relaxation and the release of endorphins to reduce pain. GIM therapy is one of the nursing intervention which combine guided imagery and music. The purpose of this study is to determine the effect of GIM therapy on wound pain scale of post sectio caesarea patients at RSUD Ende. The design was quasy experiment with nonequivalent control group design. Population patient of post SC at RSUD Ende. Samples were taken by purposive sampling based on inclusi and exclusi criteria. There were 28 samples (14 respondents as the control group and 14 respondents as the intervention group). Independent variable was GIM therapy and dependent variable was wound pain scale. The wound pain scale was measured by Numeric Rating Scale (NRS). The analysis result of Wilcoxon Test in the control group p = 1,000 (α = 0,05), and the intervention group p = 0,000 (α = 0,05), while the result of Mann Whitney Test of both group p = 0,000 (α = 0,05). The result of this study indicate that GIM therapy has proven to reduce wound pain scale of post-SC patient at RSUD Ende. GIM therapy is recommended for independent nursing intervention to reduce post-SC pain. Keywords: GIM therapy, wound pain scale.
*Dosen Program Studi Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo Ungaran **Mahasiswa Program Studi Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo Ungaran dan perawat RSUD Ende - NTT
PENDAHULUAN Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut (Mochtar, 1998 dalam Jitowiyono & Weni, 2012). Masalah paling umum terjadi post operasi SC adalah nyeri karena kerusakan kontinuitas jaringan yang disebabkan pelepasan mediator kimia yang kemudian mengaktivasi nosiseptor dan memulai transmisi nosiseptif (Whalley, et al. 2008). Nyeri yang tidak teratasi dapat mengakibatkan berbagai masalah pada ibu, yaitu Activity Daily Living (ADL) dan mobilisasi ibu menjadi terbatas karena adanya peningkatan intensitas nyeri apabila ibu bergerak. Dampak terhadap bayi yaitu dalam pemberian ASI, sebagai makanan terbaik dan mempunyai banyak manfaat bagi bayi tidak dapat diberikan secara optimal (Purwandari, 2009 dalam Kristiani & Latifah, 2013). Penanganan nyeri dapat dilakukan dengan dua cara yaitu farmakologis dan non farmakologis. Secara farmakologis dengan menggunakan obat analgesik, sedangkan non farmakologis dapat diberikan terapi guided imagery and music (GIM). Terapi GIM merupakan gabungan antara terapi imajinasi dan musik. Menurut penciptanya sendiri, Helen L. Bonny (1990) yang dikutip dalam Djohan (2006) GIM adalah proses yang terjadi ketika imajinasi yang ditimbulkan selama mendengarkan musik. Hasil studi pendahuluan tanggal 05 Juni 2015 kepada kepala ruangan nifas I RSUD Ende didapatkan, umumnya pasien post SC yang mengalami nyeri penanganan berfokus pada farmakologis yaitu pemberian analgesik. Sedangkan untuk terapi non farmakologis yang diajarkan adalah menarik nafas dalam, akan tetapi untuk terapi GIM belum pernah diterapkan dalam mengatasi nyeri post SC. Terapi GIM sudah diteliti sebelumnya oleh Falupi (2014). Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian
Falupi adalah sesi terapi, dimana pada penelitian sebelumnya terapi dilakukan 3 kali selama 3 hari sedangkan pada penelitian ini dilakukan 1 kali terapi. Hal ini sesuai teori yang dikemukakan Djohan, (2006) yaitu terapi GIM dapat dilakukan dengan sesi yang lebih pendek dan dimodifikasi sesuai kondisi yang dihadapi. Perbedaan lainnya adalah pada penelitian sebelumnya kedua kelompok tetap diberikan terapi farmakologis berupa obat analgesik non opoid dan selanjutnya diberikan terapi GIM hanya pada kelompok intervensi, sedangkan kelompok kontrol tidak. Pada penelitian ini kedua kelompok tidak dipengaruhi terapi analgesik dan hanya diberikan terapi GIM pada kelompok intervensi. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh terapi GIM terhadap skala nyeri luka post operasi SC di RSUD Ende. Manfaat penelitian ini diharapkan setelah mengetahui dan mempelajari terapi GIM dapat menjadi salah satu intervensi mandiri keperawatan dalam mengatasi nyeri pasien post SC. BAHAN dan CARA Desain penelitian ini quasi eksperimental dengan rancangan nonequivalent control group design. Kelompok intervensi diberikan perlakuan berupa terapi GIM, sedangkan kontrol tidak. Kedua kelompok diawali dengan pengukuran skala nyeri (pre tes), dan setelah diberikan perlakukan, kembali dilakukan pengukuran skala nyeri (pos tes). Penelitian dilakukan RSUD Ende khususnya di 2 ruangan nifas yaitu nifas I, II dan nifas III. Waktu penelitian tanggal 13-24 Agustus 2015. Populasi pada penelitian pasien post operasi sectio cesarea. Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah purposive sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi adalah pasien operasi SC pertama kali, berusia 20-35 tahun, dengan anastesi spinal, post operasi SC pada hari ke 2, tepatnya setelah 4 jam
pemberian analgesik selesai, yang bersedia menjadi responden. Sedangkan kriteria eksklusi pasien post operasi SC yang mengalami keterbatasan fisik maupun mental yang tidak dapat berkomunikasi dengan baik (tuna rungu, tuna grahita), gangguan kejiwaan, kegawatdaruratan, mengalami komplikasi, penurunan kesadaran, dan dengan skala nyeri luka berat yaitu 8-10. Instrumen penelitian adalah prosedur terapi GIM dan numeric pain scale (NPS). Alat yang digunakan adalah satu buah alat pemutar musik berupa mp3, satu buah earphone, jam, buku dan balpoint. Sampel dipilih secara selangseling. Peneliti menjelaskan pada pasien tentang tujuan, manfaat, prosedur penelitian dan menanyakan kesediaan menjadi responden dan yang bersedia menandatangani informed consent. Skala nyeri luka pre tes pada kedua kelompok diukur dengan menggunakan NPS. Setelah itu kelompok intervensi diberikan terapi GIM: selama 20 menit. Sedangkan kelompok kontrol tidak tetapi tetap mendapatkan asuhan keperawatan sesuai standar ruangan. Pengukuran skala nyeri post tes pada kelompok intervensi dilakukan 10 menit setelah diberikan terapi GIM sedangkan kelompok kontrol diukur skala nyeri luka 30 menit setelah pengukuran skala nyeri luka pre tes. Analisa skala nyeri luka pasien post operasi SC sebelum dan sesudah terapi GIM pada kedua kelompok, dengan data disajikan dalam bentuk numerik yang dijelaskan dengan median, nilai minimal dan maksimal pada confidence interval (CI) 95%. Sedangkan untuk mengetahui pengaruh pemberian terapi GIM terhadap skala nyeri luka pasien post operasi SC di RSUD Ende. Dalam analisa perlu dilakukan uji normalitas data menggunakan Saphiro Wilk dan hasilnya data tidak berdistribusi normal. Lalu dilakukan uji homogenitas data dengan Mann Whitney hasilnya kedua kelompok data pre test mempunyai varians homogen,
sehingga kedua dibandingkan.
kelompok
bisa
HASIL 1. Tabel 1 Gambaran Skala Nyeri Luka Sebelum dan Sesudah Diberikan Terapi GIM Pada Kelompok Kontrol dan Intervensi di RSUD Ende. Skala nyeri luka Kelompok intervensi Kelompok kontrol Pre Post tes tes Median 6 4 Min 5 3 Max 7 5 CI 5,6499 3,8800 95 % 6,4929 4,5486
∆ 2 2 2
Pre Post tes tes 6 6 5 5 7 7 5,4743 5,4743 6,2399 6,2399
∆ 0 0 0
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan skala nyeri luka sebelum diberikan terapi GIM pada kelompok intervensi paling rendah sebesar 5, paling tinggi sebesar 7, dan median 6 sedangkan pada kelompok kontrol paling rendah sebesar 5, paling tinggi 7, dan median 6. Skala nyeri luka setelah diberikan terapi GIM pada kelompok intervensi paling rendah sebesar 3, paling tinggi sebesar 5, dan median 4 sedangkan pada kelompok kontrol paling rendah sebesar 5, paling tinggi 7, dan median 6. 2. Tabel 3 Perbedaan Skala Nyeri Luka Sebelum dan Sesudah Diberikan Terapi GIM Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol di RSUD Ende. Uji Wilcoxon Signed Rank Test Kelompok intervensi Kelompok kontrol
Mean Rank Z P value
Sebelum 0,00
Sesudah 7,50
-3,557 0,000
Sebelum 0,00
Sesudah 0,000
0,00 1,000
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui hasil analisis data pada kelompok intervensi menggunakan didapatkan p value = 0,000 (α = 0,05), sehingga dapat disimpulkan ada perbedaan yang signifikan skala nyeri luka post
operasi SC sebelum dan sesudah pemberian terapi GIM. Hasil analisis data pada kelompok kontrol juga didapatkan p value = 1,000 (α = 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan skala nyeri luka post operasi SC di RSUD Ende sebelum dan sesudah penelitian. 3.Tabel 5. Pengaruh Terapi GIM Terhadap Skala Nyeri Luka Pasien Post Opersi SC di RSUD Ende. Variabel
N
Skala Nyeri Post test Kelompok Intervensi
14
Mean Rank 8,07
Skala Nyeri Post test Kelompok Kontrol
14
20,93
Z -4,309
p value 0,000
Berdasarkan tabel 5 terlihat hasil analisis data menggunakan Mann Whitney Test didapatkan p value = 0,000 (α = 0,05), disimpulkan bahwa ada pengaruh signifikan terapi GIM terhadap skala nyeri luka pasien post operasi SC di RSUD Ende. PEMBAHASAN 1. Skala Nyeri Luka Post Operasi SC Sebelum dan Sesudah Dilakukan Terapi GIM Pada Kelompok Kontrol dan Intervensi. Nyeri pasca operasi merupakan efek samping perlengketan jaringan akibat operasi yang dikarenakan adanya luka sebagai akibat terputusnya continuitas jaringan (Dongoes, 2002 dalam Jitowiyono & Weni, 2012). Pada saat sel saraf rusak, maka terbentuklah zat-zat kimia seperti bradikinin, serotonin dan enzim proteotik. Kemudian zat-zat tersebut merangsang dan merusak ujung saraf reseptor nyeri dan rangsangan tersebut akan dihantarkan ke hypothalamus melalui saraf asenden sehingga individu mengalami nyeri. Andarmoyo (2013), mengungkapkan proses atau mekanisme nyeri akan melalui beberapa tahapan yaitu: (1) stimulus, jika terjadi maka stimulasi itu akan diubah menjadi impuls saraf pada saraf afren primer, (2) transduksi adalah proses
rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf, dimana terjadi perubahan patofisiologis karena mediatormediator kimia yang keluar menimbulkan nyeri, (3) transmisi merupakan proses penerusan impuls nyeri dari nosiseptor saraf perifer melewati cornu dorsalis dan corda spinalis menuju korteks serebri, (4) modulasi adalah proses pengendalian internal oleh sistem saraf, dapat meningkatkan atau mengurangi penerusan impuls nyeri melalui endorfin yang dikeluarkan oleh sel otak dan neuron di spinalis. Hasil penelitian didapatkan responden pada kelompok intervensi dan kontrol saat pre test mempunyai skala nyeri luka rata-rata sama yaitu dari 5-7. Dalam penelitian ini responden pada kelompok kontrol berusia antara 21-34 tahun, dengan jumlah responden terbanyak berusia 33 tahun, 3 orang dan 34 tahun, 3 orang. Sedangkan pada kelompok intervensi berusia 23-34 tahun, dengan jumlah responden terbanyak berusia 27 tahun 3 orang. Hal ini sesuai dalam teori yang dikemukakan oleh Prawirohardjo, S (2005), masa reproduksi sehat yaitu usia 20-35 tahun, sedangkan faktor resiko kehamilan sering terjadi antara usia < 20 tahun dan > 35 tahun. Responden baik kelompok kontrol maupun intervensi memiliki memiliki skala nyeri yang tidak sama yaitu dari 5-7. Hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan Kozier et al. (2010) yang menjelaskan nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan dan sangat individual dan tidak dapat dibagi dengan orang lain. Potter & Perry (2005) juga menjelaskan bahwa tidak ada individu yang mengalami nyeri yang sama dan tidak ada dua kejadian nyeri yang sama menghasilkan respons atau perasaan yang identik pada seorang individu. Hasil penelitian, kedua kelompok tidak ada skala nyeri luka 8 atau lebih. Skala nyeri pre test pada kedua kelompok responden berkisar 5-7. Dalam
penelitian ini bahkan ada 3 responden pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol yang mengalami skala nyeri luka 5. Menurut peneliti hal ini disebabkan pengukuran skala nyeri pre test dilakukan tidak langsung pada hari pertama post operasi SC namun pada hari ke dua. Hal ini dipengaruhi proses adaptasi responden terhadap nyeri yang dirasakan. Dalam teorinya. Potter & Perry (2005) mengungkapkan individu pada usia dewasa lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan baru yang akan mempengaruhi respon responden terhadap tingkat kecemasan, dimana kecemasan berbanding lurus dengan skala nyeri. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Falupi, dkk (2014) pada pasien post SC, dimana pengukuran skala nyeri pre test responden dilakukan 7 jam post SC dan hasilnya sebagian besar mengalami nyeri dengan intensitas 9. Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa skala nyeri sesudah diberikan terapi GIM pada kelompok kontrol berada pada rentang skala 5-7. Sedangkan kelompok intervensi berada pada skala 3-4. Hal ini menunjukkan pada kelompok kontrol tidak ada seorang responden pun yang mengalami perubahan skala nyeri luka. Pada kelompok intervensi sebagian besar responden mengalami perubahan skala nyeri sebesar 2, hanya 2 orang responden mengalami perubahan sebesar 1. 2. Perbedaan Skala Nyeri Luka Pasien Post Operasi SC Sebelum dan Sesudah Diberikan GIM Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol Dalam uji Wilcoxon Signed Rank Test pada skala nyeri pre dan post kelompok intervensi menunjukkan p value = 0,000 (α = 0,05), sehingga disimpulkan bahwa ada perbedaan skala nyeri luka pada pasien post operasi SC di RSUD Ende sebelum dan setelah diberikan terapi GIM, sedangkan hasil uji Wilcoxon Signed Rank Test pada skala nyeri pre dan post kelompok kontrol menunjukkan p value = 1,000 (α = 0,05), sehingga disimpulkan
bahwa tidak ada perbedaan skala nyeri luka post operasi SC di RSUD Ende sebelum dan sesudah penelitian pada kelompok kontrol. Beberapa faktor mungkin mempengaruhi terjadinya perbedaan skala nyeri luka pada kelompok intervensi pasien post operasi SC sebelum dan diantaranya usia, lingkungan, tingkat pendidikan dan koping individu. Dalam penelitian ini yang menjadi responden kelompok intervensi berusia antara 22-34 tahun. Responden berada pada usia dewasa awal. Dalam teorinya Black dan Jane (2014) mengatakan bahwa usia dapat mengubah persepsi dan pengalaman nyeri. Menurut persepsi orang dewasa nyeri dapat berarti kelemahan, kegagalan atau kehilangan kontrol. Usia berkaitan dengan pengalaman dan kematangan jiwa, sehingga pada usia dewasa lebih cepat beradaptasi terhadap tingkat kecemasan, dimana kecemasan ini berbanding lurus dengan intensitas nyeri. Faktor lingkungan, seperti fasilitas ruangan juga berbeda-beda, dimana di ruang nifas kelas I dan II memiliki fasilitas dan tingkat kenyamanan yang lebih baik dibandingkan nifas III. Walaupun demikian pada saat melakukan terapi GIM di ruang nifas III, peneliti meminta bantuan bidan atau perawat ruangan untuk meminta keluarga keluar ruangan hingga terapi selesai diberikan. Hal ini yang membuat skala nyeri antara responden di ruangan nifas I dan II tidak ada perbedaan yang signifikan dengan nifas III. Short (2003) dalam Falupi (2015) menjelaskan GIM dilakukan di ruangan yang tenang dan kondusif di rumah sakit, akan tetapi ada beberapa keadaan yang dapat mengganggu dalam proses pelaksanaan GIM, seperti interupsi dari orang maupun staf dan suara-suara mengganggu lainnya. Responden akan mudah berkonsenterasi terhadap apa yang disampaikan terapis jika suasana nyaman. Dalam penelitian ini tingkat pendidikan kelompok intervensi sebagian besar adalah perguruan tinggi 10
orang (71,43%). Beberapa penelitian menunjukkan tidak ada hubungannya tingkat pendidikan dengan nyeri pasien namun berpengaruh dalam proses penyerapan informasi. Faucett, et. al. (1994) dalam Kristiani & Latifah (2013) pada 543 pasien pasca bedah menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara intensitas nyeri dan tingkat pendidikan. Harsono (2009), tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mendukung peningkatan pengetahuan yang berkaitan dengan daya serap informasi. Tingkat pengetahuan yang cukup membuat responden dapat menerima dan memahami penjelasan yang diberikan sehingga dapat melakukan terapi sesuai dengan yang diinstruksikan. Koping individu merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi skala nyeri luka. Penelitian oleh Novita, (2012) menyebutkan ada perbedaan tingkat nyeri sebelum dan sesudah pemberian terapi standar pada pasien post operasi ORIF di ruang rawat nginap RSUDAM propinsi Lampung dengan p value < 0,05. Penelitian oleh Branon, Feist & Updegraff (2013) dalam Falupi (2014), GIM dapat mengurangi nyeri, kesemasan, kesedihan, dan kehilangan, stres dan burnout situasi, trauma, pemikiran negatif, kenangan lama dan membebani yang perlu diselesaikan. Nyeri pasca operasi merupakan efek samping yang terjadi setelah menjalani operasi, disebabkan perlengketan jaringan akibat operasi dikarenakan luka akibat terputusnya continuitas jaringan (Dongoes, 2002 dalam Jitowiyono & Weni, 2012). Pada saat sel saraf rusak karena trauma jaringan akibat operasi, maka terbentuklah zat-zat kimia seperti bradikinin, serotonin dan enzim proteotik. Kemudian zat-zat tersebut merangsang dan merusak ujung saraf reseptor nyeri dan rangsangan tersebut akan dihantarkan ke hypothalamus melalui saraf asenden sehingga individu mengalami nyeri. Selain dihantarkan ke hypotalamus nyeri dapat menurunkan
stimulasi terhadap reseptor mekanik sensitive pada termosensitif sehingga dapat juga menyebabkan atau mengalami nyeri Skala nyeri luka pasien post operasi pada kelompok kontrol dapat dipengaruhi faktor koping individu, dimana pada kelompok kontrol tidak diberikan terapi non farmakologis dalam hal ini terapi GIM, yang dapat meningkatkan koping sehingga mengurangi skala nyeri. Selain itu pengukuran skala nyeri pada pre dan post test kelompok kontrol hanya berselang 30 menit, dimana dalam waktu singkat responden tidak mengalami penurunan nyeri walaupun sedikit. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Black dan Jane (2014), yang menjelaskan nyeri pasien dapat diatasi dengan terapi farmakologis dan terapi non farmakologis. Terapi farmakologis mengahambat produksi prostaglandin atau pelepasan serotinin, menggantikannya dengan efek menurunkan atau meredakan nyeri pada neurotransmiter. Sedangkan terapi non farmakologis merupakan intervensi fisik dan kognitif-perilaku, dimana terapi GIM dapat mengubah persepsi responden terhadap nyeri yang dirasakan. 3. Pengaruh Terapi GIM Terhadap Skala Nyeri Luka Pasien Post Operasi SC di RSUD Ende. Hasil uji Mann Whitney Test menunjukkan bahwa ada pengaruh terapi GIM terhadap skala nyeri luka pasien post operasi SC di RSUD Ende. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p value = 0,000 (α = 0,05), disimpulkan ada pengaruh pemberian terapi GIM terhadap skala nyeri luka pasien post operasi SC di RSUD Ende. Pada penelitian ini kelompok intervensi diberikan perlakuan berupa terapi GIM sedangkan kelompok kontrol tidak. Penurunan skala nyeri luka tampak terjadi pada kelompok intervensi. Hal yang sama dikemukakan Branon, Feist & Updegraff (2013) dalam Falupi (2014), GIM dapat mengurangi nyeri, kesemasan,
kesedihan, dan kehilangan, stres dan burnout situasi, trauma, pemikiran negatif, kenangan lama dan membebani yang perlu diselesaikan. Terapi GIM merupakan tindakan mandiri seorang perawat dalam mengatasi respon nyeri pasien. Terapi GIM merupakan gabungan antara guided imagery dengan terapi musik yang dalam pelaksanaannya, perawat membimbing pasien berimajinasi sambil mendengarkan musik memberikan rasa rileks pada seseorang sehingga dapat mengurangi nyeri. Terapi GIM dilakukan dalam 4 tahap yang pertama tahap prelude, dilakukan 10 menit, karena pada fase awal pasien sering mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi dan rileksasi sehingga peneliti membutuhkan waktu yang lebih lama. Selama masa prelude, perhatian pasien lebih fokus pada apa yang diucapkan peneliti. Peneliti meminta pasien untuk tidur atau duduk dengan posisis yang nyaman dan rileks. Fase ini mulai dapat menciptakan rasa nyaman dan relaksasi pada pasien meskipun pasien tampak lebih rileks pada fase selanjutnya. Fase induction berlangsung 2 menit. Secara umum pada fase ini perawat memberikan sugesti verbal untuk merilekskan tubuh pasien, mengurangi ketegangan sehingga mencapai efek positif tertentu. Fase music-imagery experience, pasien mendengarkan musik sambil berimajinasi hal yang menyenangkan. Fase ini berlangsung selama 3 menit. Mekanisme fisiologi yang tepat belum ditemukan, namun beberapa teori termasuk distraksi, pelepasan opoid endogen, atau disasosiasi terlibat di dalamnya. Alur auditori berintraksi dengan sistem opiat endogen dibeberapa fosi di dalam otak, termasuk hipotalamus dan sistem limbik. Area ini diketahui memproyeksikan grisea periventrikel (PVG), yang mengakibatkan adanya mekanisme yang berkontribusi pada penurunan atau peredaan nyeri melalui aktivitas pada cerebral maupun respon medula spinalis yang diatur oleh serat desendens dari nukleus rafi dan lokus sereleus. Menurunnya nyeri dicapai
melalui respon fisiologis terhadap relaksasi yang diatur oleh hipotalamus. Fase postlude berlangsung 5 menit saat musik selesai perawat membimbing pasien secara perlahan untuk kembali pada kondisi normal. Perawat memberikan sugesti positif kepada pasien yang membuat tubuh pasien lebih rileks dan segar, kemudian diikuti dengan proses hitungan beberapa detik untuk membawa pasien kembali membuka mata. Secara umum terapi GIM mempengaruhi proses internal di dalam tubuh. Proses timbulnya nyeri post operasi SC pada hari pertama setelah disebabkan nosiseptor mekanik akibat sayatan benda tajam. Namun pada post operasi SC hari ke dua nyeri yang timbul lebih disebabkan nosiseptor polimodal, yang berespon terhadap semua jenis rangsangan yang merusak, seperti prostaglandin dari sel rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast, serotonin dari trombosit, dan substansi P dari ujung saraf nyeri. Kemudian terjadi proses transmisi atau proses penerusan impuls nyeri dari nosiseptor saraf perifer melewati cornu dorsalis dan corda spinalis menuju korteks serebri. Serabut saraf perifer (misal reseptor nyeri) berakhir di sini dan serabut traktus sensori asenden berawal di sini. Transmisi nyeri terjadi melalui serabut saraf aferen C yang peka terhadap nyeri tumpul dan lama yang disebut second pain/slow pain. Jalur nyeri lambat diaktifkan oleh zat-zat kimia, terutama bradikinin, suatu zat yang dalam keadaan normal inaktif dan diaktifkan oleh enzimenzim yang dikeluarkan ke dalam CES oleh jaringan yang rusak, tidak hanya membangkitkan nyeri tetapi juga berperan dalam respon peradangan terhadap cidera jaringan. Saat pasien diberikan terapi GIM, terjadi proses modulasi dalam tubuh, oleh sistem saraf yang dapat mengurangi penerusan impuls nyeri. Hambatan terjadi melalui sistem analgesia endogen yang melibatkan endorfin yang dikeluarkan oleh sel otak dan neuron di spinalis. Endorfin
memiliki efek relaksasi pada tubuh dengan cara menghambat transmisi substansi zat kimia yang dikeluarkan dari jaringan yang cedera, sehingga membuat koping pasien menjadi meningkat dan emosi pasien menjadi positif. Pasien post SC akan menjadi tenang dan rileks sehingga tidak berfokus pada nyeri. Setelah terjadi peningkatan koping dan pasien lebih rileks, persepsi yang dirasakan pasien merupakan hasil interaksi sistem saraf sensori, informasi kognitif (korteks serebri) dan pengalaman emosional (hipokampus dan amigdala). Dimana pada penelitian ini persepsi pasien yang muncul setelah diberikan terapi GIM adalah skala nyeri luka menjadi berkurang. Faktor lingkungan dan tingkat pendidikan juga mempengaruhi terlaksananya terapi GIM. 4. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini tentunya memiliki keterbatasan yaitu: Peneliti tidak dapat mengontrol variabel perancu seperti perhatian dan daya konsentrasi masingmasing responden yang mempengaruhi pelaksanaan terapi GIM. KESIMPULAN dan SARAN A. Kesimpulan Ada pengaruh signifikan terapi GIM terhadap skala nyeri luka pasien post operasi SC di RSUD Ende B. Saran Setelah mengetahui terapi GIM dapat mempengaruhi skala nyeri luka maka peneliti merekomendasikan GIM sebagai intervensi mandiri dalam mengatasi nyeri pasien post SC. Bagi peneliti selanjutnya dapat membuat improvisasi manfaat terapi GIM yang tidak hanya digunakan untuk skala nyeri saja namun indikator lainnya seperti kecemasan, kualitas tidur, tekanan darah, stres maupun burnout situasi.
DAFTAR PUSTAKA Andarmoyo, S. (2013). Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media. Black, J. M & Jane H. W. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis Untuk Hasil yang Diharapkan. Terjemahan: dr. Rizal Azari Nampira, dkk. Singapura: Elsevier. Djohan. (2006). Terapi Musik: Teori Dan Aplikasi. Jogyakarta: Galangpress. Falupi. (2014). Konsep Guided Imagery And Music (Gim). Kuliah Ners. (Online), (http://www.journal.unair.ac.id/file rPDF/pmnjf44cf97a9full.doc), diakses 6 Juni 2015. Harsono. (2009). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intensitas Nyeri Pasca Bedah Abdomen dalam Konteks Asuhan Keperawatan Di RSUD Ade Mohammad Djoen Sintang. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan. (online), (http://www.lib.ui.ac.id/file?file= digital/124910TESIS0605%20Har%20N09fFaktor-faktor-HA.pdf), diakses 15 April 2015. Jitowiyono, S & Weni, K. (2012). Asuhan Keperawatan Post Operasi dengan Pendekatan Nanda, Nic, Noc. Jogyakarta: Nuha Medika. Kozizer, et al. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik, Edisi 7, Vol. 1. Jakarta: EGC. Kristiani, D & Latifah, L. (2013). Pengaruh Teknik Relaksasi Autogenik Terhadap Skala Nyeri Pasien Post Operasi Sectio Cesarea di RSUD Banyumas. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan. Sripsi. Banyumas: UNSOED. Novita, D. (2012). Pengaruh Terapi Musik Terhadap Nyeri Post Operasi Open Reduction and Internal Fixation
(ORIF) di RSUD DR. H. Abdul Moeloek Propinsi Lampung. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan. (online). (http://www.lib.ui.ac.id/file?file=di gital/20328120-T30673Pengaruhterapi.pdf ), diakses 21 April 2015. Potter, P. A & Perry A. G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, Praktik. Jakarta: EGC. ----- (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, Praktik. Jakarta: EGC. Prawirohardjo, S. (2005). Ilmu kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka. Whalley, et al. (2008). Panduan Praktis Bagi Calon Ibu: Kehamilan dan Persalinan. Jakarta: PT Buana Ilmu Populer.