ndonesia
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia Makalah Akhir Februari, 2015 Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Laporan Akhir
Februari 2015
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Prakata Laporan ini menyajikan hasil kajian “Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan di Sektor Berbasis Lahan” (KKF-PRLSBL) berdasarkan studi pustaka, hasil wawancara, dan diskusi dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Bappenas dan dengan beberapa pemangku kepentingan lainnya yang terkait dengan sektor berbasis lahan. Dua kunjungan lapangan ke Provinsi Jambi dan D.I. Yogyakarta telah dilakukan, sekaligus melaksanakan diskusi grup terfokus (FGD) dan kunjungan ke Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Studi pustaka juga telah dilakukan, meliputi lebih dari 200 laporan dan hasil kajian. Kajian ini memberikan perhatian khusus pada tiga bidang: a) hambatan kelembagaan untuk keberhasilan kebijakan; b) implikasi anggaran; dan c) dampak terhadap PDB dan emisi gas rumah kaca sehingga dapat dipergunakan sebagai bahan masukan untuk konsultasi para pemangku kepentingan di masing-masing bidang. Laporan ini dibuat berdasarkan hasil temuan selama kajian. Temuan-temuan kunci dibahas dalam konsultasi dengan para pihak, antara lain Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Bappenas, dan kelompok pemangku kepentingan lain yang lebih luas. Kajian ini diperkuat berdasarkan umpan balik dari konsultasi para pihak. KKF-PRLSBL mengidentifikasi kebijakan di bidang kehutanan dan pertanian yang diharapkan dapat memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan berkelanjutan, yang menunjukkan seberapa lama pemanfaatan sumber daya alam dapat mendukung pertumbuhan ekonomi di tengah tantangan perubahan iklim. Kajian ini menunjukkan potensi dampak dari kebijakan penggunaan lahan terhadap keseimbangan pasokan pangan dan emisi gas rumah kaca. Kerangka kebijakan ini diharapkan dapat memberikan orientasi tentang arah perubahan anggaran dan memberikan masukan terkait beberapa target yang diharapkan dapat dicapai dalam kebijakan penggunaan lahan untuk pembangunan berkelanjutan. Semoga hasil kajian ini bermanfaat bagi para pihak, khususnya yang terkait dalam penyusunan kerangka kebijakan fiskal untuk pembangunan ramah lingkungan pada sektorsektor berbasis lahan. Laporan ini disiapkan oleh tim yang terdiri dari Kit Nicholson, Dodik Rochmat dan Federica Chiappe. Laporan ini dapat berhasil atas dukungan Program Rendah Karbon Pemerintah Inggris kepada Kementerian Keuangan oleh Bp. Ismid Hadad. Kerjasama yang baik dengan Pusat Perubahan Iklim dan Kebijakan Pembiayaan Multilateral (PKPPIM) di Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan dibawah kepemimpinan Kepala Pusat Dr. Syurkani Ishak Kasim dengan pengawasan manajemen oleh Bp. Suharto Haryo Suwakhyo. Mitra utama di PKPPIM adalah Bp. Aditya Hakim dengan dukungan dari Ibu Dwi Utari and Dr. Joko Tri Haryanto.
Disclaimer Issue Paper ini telah disiapkan melalui Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan Republik Indonesia untuk tujuan pengembangan kebijakan dan pembahasan/ diskusi. Pandangan yang diungkapkan dalam Laporan Akhir ini adalah dari penulis sendiri dan sama sekali tidak harus ditafsirkan sebagai cermin pandangan dari Kementerian Keuangan atau Pemerintah Indonesia"
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
i
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Pertanyaan Mengenai Makalah Pertanyaan mengenai Laporan Akhir ini atau laporan lainnya dari program LCS dapat ditujukan kepada
[email protected].
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
ii
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
DAFTAR ISI Prakata ........................................................................................................................ i Daftar Singkatan ......................................................................................................... vi Daftar Istilah .............................................................................................................. viii Ringkasan Eksekutif ................................................................................................... ix 1 Pendahuluan ........................................................................................................... 1 1.1 Latar belakang ............................................................................................................ 1 1.2 Tujuan dan Ruang Lingkup KKF-PRLSBL .................................................................. 1 1.3 Metodologi dan Struktur Laporan ................................................................................ 3 2. Situasi Saat Ini ....................................................................................................... 5 2.1 Pembangunan Ekonomi dan Situasi Fiskal ................................................................. 5 2.2 Mitigasi ....................................................................................................................... 6 2.3 Kerentanan ................................................................................................................. 7 2.4 Lingkungan ................................................................................................................. 9 3. Kebijakan-Kebijakan yang Berlaku dan Belanja Saat Ini ....................................... 10 3.1 Telaah Kebijakan Saat Ini ......................................................................................... 10 3.2 Pendapatan dan Belanja Saat Ini ............................................................................. 13 4 Komponen Kebijakan Kunci KKF-PRLSBL ........................................................... 18 4.1 Kehutanan ................................................................................................................ 18 4.1.1 Pengendalian deforestasi: perizinan dan penerimaan kehutanan ..................... 21 4.1.2 Pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) ................................................................ 23 4.1.3 Perlindungan dan Konservasi Hutan.................................................................. 28 4.1.4 Rehabilitasi Lahan Hutan Terdegradasi ............................................................. 30 4.1.5 Rehabilitasi dan Pemanfaatan Lahan Gambut Berkelanjutan ............................ 36 4.1.6 Imbal Jasa Ekosistem (IJE) .......................................................................... ….38 4.2 Pertanian .................................................................................................................. 40 4.2.1 Penggunaan lahan terdegradasi untuk pertanian, termasuk Kebun Sawit ......... 41 4.2.2 Pertanian Cerdas Iklim ..................................................................................... 44 4.2.3 Infrastruktur Irigasi yang Tahan Perubahan Iklim ............................................... 47 4.2.4 Subsidi Pupuk dan Pupuk Organik .................................................................... 48 4.2.5 Asuransi Pertanian ............................................................................................ 54 4.2.6 Biofuels ............................................................................................................. 56 5. Konsistensi dan Tantangan KKF-PRLSBL ............................................................ 60 5.1 Keseimbangan, Konsistensi dan Sinergi Kebijakan-Kebijakan Kunci ........................ 60 5.2 Tantangan Kebijakan ................................................................................................ 61 6 Dampak Kebijakan KKF-PRLSBL.......................................................................... 63 6.1 Implikasi untuk Penggunaan Lahan .......................................................................... 63 6.2 Dampak Kebijakan Terhadap Pertumbuhan PDB dan Ketahanan Pangan ............... 64 6.3 Dampak terhadap belanja dan pendapatan .............................................................. 66 6.4 Dampak terhadap Emisi GRK ................................................................................... 71 7 Implementasi Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan di Sektor Berbasis Lahan (KKF-PRLSBL) .............................................................. 73 7.1 Instrumen ................................................................................................................. 73 7.2 Perubahan Perencanaan dan Penganggaran di Kementerian Pertanian, sKementerian Kehutanan, Bappenas dan Kementerian Keuangan .......................... 73 Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
iii
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
7.3 Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi ......................................................................... 74 7.4 Langkah Tindak Lanjut ............................................................................................. 75 Referensi .................................................................................................................. 76 Lampiran 1 Pengeluaran Kegiatan Kehutanan dan Pertanian Ramah Lingkungan ........... 80 Lampiran 2 Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) .................................................. 83 Lampiran 3 Ringkasan Kesenjangan (Gap) Kebijakan Kehutanan .................................. 84
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
iv
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Daftar Tabel Tabel X1 Ringkasan komponen kunci kebijakan prioritas berdasarkan tingkatan dampak terhadap anggaran ...................................................................................................xv Table X2 Belanja untuk kegiatan-kegiatan prioritas kunci ...................................................... xvi Tabel 1 Target Penurunan Emisi Kehutanan dan Pertanian Berdasarkan RAN GRK ............. 6 Tabel 2 Kerentanan terhadap Risiko Dampak Perubahan Iklim ............................................. 8 Tabel 3 Daftar Kebijakan Ramah Lingkungan untuk Sektor Berbasis Lahan dalam Kebijakan Saat ini ................................................................................................... 11 Tabel 4 Anggaran Pendapatan dan Belanja KKF-PRLSBL Priorities (2011-2014, Rp miliar) 14 Tabel 5 Kegiatan-kegiatan DAK Kehutanan ......................................................................... 15 Table 6 Klasifikasi dan luas kawasan hutan (juta hektar, 2012) ........................................... 19 Tabel 7 Nilai Kini Bersih dari Biaya dan Pendapatan Hutan Tanaman ................................. 34 Tabel 8 Skenario Program Reboisasi Lahan Terdegradasi .................................................. 35 Tabel 9 Deskripsi Biaya Manfaat Pengusahaan Beberapa Kategori Lahan Terdegradasi (Juta Rupiah/ha)...................................................................................................... 43 Tabel 10 Sistem dan Jumlah Subsidi Input Pertanian pada Beberapa Negara di Asia ........... 50 Tabel 11 Alokasi Sumberdaya dan Dampak pada Prioritas KKF-PRLSBL ............................. 63 Tabel 12 Implikasi Anggaran dari Kebijakan Prioritas KKF-PRLSBL (Rp Miliar) ..................... 69 Tabel 13 Indikator Monitoring untuk Prioritas KKF-PRLSBL ................................................... 75
Daftar Gambar Gambar 1 Lokasi lahan-lahan terdegradasi di Indonesia .......................................................... 30 Gambar 2 Nilai kini bersih manfaat dari opsi mitigasi lahan gambut (Rp triliun) ........................ 37 Gambar 3 Kompensasi minimal untuk efektivitas mekanisme IJE (PES).................................. 40 Gambar 4 Tingkat subsidi untuk pupuk tahun 2008 sampai dengan 2012. ............................... 49 Gambar 5 Implikasi penggunaan lahan .................................................................................... 64 Gambar 6 Kerangka waktu dampak bersih terhadap anggaran ................................................ 71 Gambar 7 Dampak terhadap emisi GRK .................................................................................. 72
Daftar Kotak Kotak 1 Kotak 2 Kotak 3 Kotak 4 Kotak 5 Kotak 6 Kotak 7 Kotak 8 Kotak 9
Harga dan nilai ekonomi karbon ................................................................................ 7 PDB Hijau dan Pendekatan Sisnerling ...................................................................... 9 Dana Reboisasi (DR) .............................................................................................. 16 Beragam Manfaat Hutan ......................................................................................... 20 REDD+.................................................................................................................... 25 Studi Kasus Wanagama .......................................................................................... 33 Tipe Hutan Tanaman............................................................................................... 35 Pengalaman Indonesia dengan Imbal Jasa Ekosistem (IJE) ................................... 39 Lahan yang Diperlukan berdasarkan Perhitungan Pencapaian Target Kementerian Pertanian............................................................................................ 41 Kotak 10 Pengurangan Emisi dari Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit Rakyat ............... 42
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
v
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Daftar Singkatan jt tr ha Rp lt t tCO2e tDM BAU BAPPENAS BKF BPS CIFOR CSO DAK DAU DFID DNPI DR FORDA FPA GDP GERHAN GRK GIZ HHBK ICCTF IPB IDR IGIF JICA Kem. ESDM Kementan KLH Kemenkeu Kemenhut Kemendagri Kem. PU KPH LULUCF MAC MACC MFF MP3EI MP3KI MTEF NBSAP NPV NTFP PEP PDB PES/IJE
juta (1.000.000) triliun (1,000,000,000,000) hektar Rupiah liter ton ton carbon dioxide equivalent tons Dry Matter (ton material kering) Business As Usual Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Kebijakan Fiskal Badan Pusat Statistik Centre for International Forestry Research Civil Society Organizations Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Umum UK Department for International Development Dewan Nasional Perubahan Iklim Dana Reboisasi Forestry Research & Development Agency, Kementerian Kehutanan Fiscal Policy Agency, Kementerian Keuangan Gross Domestic Product Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Gas Rumah Kaca Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (Badan Kerjasama Internasional Jerman) Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia Climate Change Trust Fund Institut Pertanian Bogor Indonesian Rupiah Indonesia Green Investment Fund Japanese International Cooperation Agency Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian Pertanian Kementerian Lingkungan Hidup Kementerian Keuangan Kementerian Kehutanan Kementerian Dalam negeri Kementerian Pekerjaan Umum Kesatuan Pengelolaan Hutan Land Use, Land Use Change and Forestry Marginal Abatement Cost Marginal Abatement Cost Curve Mitigation Fiscal Framework Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengentasan Kemiskinan 2011-2025 Medium Term Expenditure Framework National Biodiversity Strategy & Action Plan Net Present Value Non Timber Forest Products Pemantauan Evaluasi dan Pelaporan Produk Domestik Bruto Payment for Ecosystem Services/Imbal Jasa Ekosistem
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
vi
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
PFM PIP PKPPIM PLN PPP RAD-GRK RAN-API RAN-GRK REDD RPJM RPJP RKA-KL RKP RKPD SILK SNC SVLK UKP4 UNDP UNFCCC USAID
Public Financial Management Pusat Investasi Pemerintah Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Perusahaan Listrik Negara Public-Private Partnership Rencana Aksi Daerah untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Rencana Aksi Nasional untuk Adaptasi Perubahan Iklim Rencana Aksi Nasional untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation (penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan) Rencana Kerja Pembangunan Jangka Menengah Rencana Kerja Pembangunan Jangka Panjang Rencana Kerja & Anggaran – Kementerian/Lembaga Rencana Kerja Pemerintah Rencana Kerja Pemerintah Daerah Sistem Informasi Legalitas Kayu Second National Communication to UNFCCC Sistem Verifikasi Legalitas Kay Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan & Pengendalian Pembangunan United Nations Development Programme United Nations Framework Convention on Climate Change US Agency for International Development
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
vii
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Daftar Istilah Adaptasi. Aksi atau tindakan yang membantu peningkatan daya tahan untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Ketahanan Iklim. Perubahan desain dari suatu tindakan untuk membuatnya lebih tahan terhadap dampak perubahan iklim dan seringkali melibatkan penguatan infrastruktur untuk mengurangi kerusakan akibat bencana. Deforestasi. Deforestasi adalah perubahan kondisi dari hutan menjadi non hutan. Oleh karena itu, istilah deforestasi melekat pada definisi legal hutan. Setiap negara atau lembaga memiliki definisi sendiri tentang hutan. Di Indonesia, hutan didefinisikan sebagai lahan dengan luas lebih dari 0,25 hektar yang ditumbuhi pepohonan dengan tinggi lebih dari 5 meter dan tutupan kanopi lebih dari 30 persen (Permenhut 14/2004). Dengan demikian, deforestasi terjadi hanya jika hutan telah rusak di bawah ambang batas definisi hutan, jika tidak maka kita menyebutnya sebagai degradasi hutan. Namun demikian, dalam kajian ini istilah "deforestasi" tidak mengacu definisi legal, tetapi mencakup semua kegiatan yang tidak mengikuti pengelolaan hutan lestari dan/atau konversi hutan. Diskonto. Penambahan biaya dan manfaat di masa yang akan datang dengan mengurangi nilainilai di tahun-tahun mendatang dengan faktor diskon. PDB hijau. Perubahan dari Produk Domestik Bruto (PDB) konvensional dengan memasukkan penaksiran nilai deplisi dan kerugian akibat degradasi sumber daya alam dan sumber daya manusia. Mitigasi. Tindakan yang mengurangi emisi gas rumah kaca. Harga Karbon. Harga karbon adalah nilai yang diberikan oleh perusahaan swasta maupun pemerintah terhadap penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam satuan tertentu. Dari perspektif perusahaan swasta, harga karbon adalah harga saat ini pada pasar karbon dunia, yaitu antara USD 1-5/tCO2e pada akhir 2014. Dari perspektif kebijakan pemerintah, yang diarahkan oleh pertimbangan rasional untuk kesejahteraan penduduk, harga karbon harus ditetapkan pada biaya sosial karbon, yang merupakan total kerusakan yang disebabkan oleh perubahan iklim dibagi dengan emisi GRK total, dinyatakan sebagai USD/tCO2 (diperkirakan oleh Laporan Stern menjadi sekitar USD 50/tCO2e untuk harga tahun 2014). Beberapa analis kebijakan memilih untuk menggunakan nilai pasar karbon sebelum runtuhnya mekanisme perdagangan karbon Eropa, yaitu sekitar USD 30/tCO2e. Perlu digarisbawahi, penggunaan harga karbon berdasarkan nilai ekonominya lebih mencerminkan nilai karbon secara menyeluruh (ekologi, sosial, ekonomi) dan oleh karena itu, pendekatan ini dipandang sesuai untuk evaluasi prioritas pembangunan. Namun demikian, pendekatan harga karbon untuk perhitungan penerimaan dan belanja negara, serta transfer fiskal, disarankan menggunakan harga pasar. Berkelanjutan. Kata ini mulai digunakan secara luas setelah konferensi bumi di Rio de Jeneiro pada tahun 1992 dan digunakan untuk menekankan pentingnya memperluas perspektif perencanaan pembangunan konvensional untuk menyertakan manfaat ekonomi jangka panjang, keadilan sosial, dan lingkungan. Dalam kerangka ini diasumsikan bahwa istilah berkelanjutan juga memerlukan penilaian terhadap pentingnya perubahan iklim.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
viii
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Ringkasan Eksekutif Kerangka Strategis. Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan di Sektor Berbasis Lahan (KKF-PRLSBL) ini disusun berdasarkan kebijakan-kebijakan strategis nasional yang berlaku saat ini dan laporan-laporan hasil kajian yang telah dilaksanakan sebelumnya.
Aksi-aksi pada KKF-PRLSBL meliputi jangka waktu tahun 2015 sampai dengan 2025, sejalan dengan Rencana Jangka Panjang Pembangunan Nasional (RPJP). Aksi ini diusulkan dengan melihat konteks kerusakan jangka panjang dari perubahan iklim dan degradasi sumber daya alam (SDA).
Setelah menyelesaikan tahapan pembangunan jangka panjang pada tahun 2025, Indonesia diperkirakan akan menjadi negara berpenghasilan tinggi (High Income Country/HIC) pada tahun 20331. Hal ini memerlukan prasyarat pertumbuhan PDB secara kontinu sebesar 7% per tahun. Sektor-sektor berbasis lahan, khususnya sektor pertanian dan kehutanan, tidak dapat dibebani dengan target pertumbuhan yang tinggi. Pertumbuhan PDB di kedua sektor ini diperkirakan hanya sekitar 5% per-tahun. Hal ini penting digarisbawahi karena dalam konteks pembangunan ramah lingkungan, pertumbuhan PDB pertanian dan kehutanan Indonesia ke depan diharapkan berlangsung tanpa melakukan deforestasi dan sekecil mungkin menimbulkan kerusakan lingkungan. Namun demikian, pertumbuhan ini hanya dapat dicapai dengan menghindari risiko kerugian akibat dampak perubahan iklim dan degradasi SDA yang diprediksi akan terjadi sampai dengan tahun 2050.
Indonesia diperkirakan akan mampu mencapai dan mempertahankan swasembada beras, kecuali jika menghadapi situasi cuaca ekstrem seperti kekeringan atau banjir. Untuk mewujudkan swasembada beras nasional diperlukan peningkatan produksi sebesar 21% pada tahun 2025.
Sesuai dengan RAN-GRK, emisi gas rumah kaca Indonesia pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 2.183 mtCO2e per-tahun, dimana pada saat itu rasio emisi karbon per PDB akan mencapai 1,45 kg CO2e/USD PDB. Rasio ini diduga akan meningkat menjadi sekitar 3,0 kg CO2e/USD PDB pada tahun 2033, setara dengan rata-rata rasio emisi/PDB negara-negara industri maju. Pada saat itu, kontribusi sektor-sektor berbasis lahan terhadap total emisi nasional akan menurun, dari 50% pada saat ini, menjadi kurang dari 20% pada tahun 2033, sebagaimana umumnya negara-negara industri maju. Energi dari biofuel diperkirakan akan meningkat menjadi 5% dari total konsumsi energi nasional. Profil pendapatan dan belanja sektor pertanian dan kehutanan saat ini. Kebijakan fiskal untuk pembangunan sektor pertanian dan kehutanan ramah lingkungan tercermin dari alokasi anggaran sekitar Rp 9,0 triliun dari APBN 2014, terutama untuk membiayai kegiatan-kegiatan: perlindungan hutan dan rehabilitasi lahan gambut (Rp 4,5 triliun); adaptasi tanaman untuk antisipasi perubahan iklim (Rp 2,4 triliun); pengembangan tanaman perkebunan (Rp 0,7 triliun); dan pemeliharaan irigasi (Rp 1,4 triliun). Selain itu, terdapat Rp 3,7 triliun pengeluaran di bawah skema DAK (Rp 2,5 triliun untuk pertanian, Rp 0,6 triliun untuk kehutanan dan Rp 0,6 triliun untuk infrastruktur irigasi) dan Rp 2,6 triliun untuk dana bagi hasil (DBH) kehutanan yang meliputi Rp
1
Berdasarkan simulasi hasil studi KKF-PRLSBL.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
ix
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
1,4 triliun Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Rp 0,1 triliun untuk Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH) dan Rp 1,0 triliun Dana Reboisasi (DR). Rencana pendapatan dari sektor kehutanan dalam tahun anggaran 2014 sebesar Rp 5,0 triliun, termasuk: Rp 2,4 triliun dari DBH DR; Rp 1,8 triliun dari PSDH; Rp 0,3 triliun dari IIUPH; dan Rp 0,6 triliun dari izin penggunaan atau izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Rencana pendapatan dari sektor pertanian masih terbatas yaitu kurang dari Rp 30 miliar yang berasal dari penjualan tanaman pangan dan hasil ternak. Kebijakan. Kebijakan-kebijakan fiskal kunci untuk mendukung sektor-sektor berbasis lahan yang berkelanjutan adalah sebagai berikut:
Penurunan laju deforestasi. Kebijakan moratorium pemberian izin pada hutan gambut saat ini akan terus diberlakukan. Penebangan liar merupakan salah satu dari dua sumber emisi gas rumah kaca yang paling penting (bersama dengan kerusakan lahan gambut) dan juga menghasilkan kepunahan keanekaragaman hayati. Hal ini akan dikontrol dengan peningkatan koordinasi dalam penegakan hukum izin-izin kehutanan antara pemerintah pusat dan daerah.
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). KPH dan PHBM adalah kebijakan utama pemerintah untuk meningkatkan perlindungan dan pemanfaatan hutan ramah lingkungan melalui pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Paket standar pembiayaan untuk penguatan kelembagaan 80 KPH di hutan produksi kurang lebih Rp 9,25 miliar per KPH, sehingga secara keseluruhan diperlukan anggaran sebesar Rp 740 miliar. Untuk memperluas program penguatan kelembagaan terhadap 350 KPH, termasuk KPH di hutan lindung dan hutan konservasi, diperlukan tambahan anggaran sebesar Rp 2,5 triliun. Biaya ini dimaksudkan sebagai investasi bagi KPH selama beberapa tahun awal beroperasi, namun sulit memprediksi waktu yang dibutuhkan KPH untuk mencapai kemandirian dan keberlanjutan finansial. Jika dalam pelaksanaannya nanti KPH diberikan kewenangan untuk mengontrol atau bekerjasama dengan perusahaan konsesi hutan, maka akan ada beberapa potensi penurunan pendapatan dari iuran izin usaha pemanfaatan hutan (IIUPH). Mengingat keterbatasan aparat, KPH juga perlu bekerjasama dengan masyarakat untuk memastikan seluruh kawasan hutan dapat terkontrol dan terkelola dengan baik. Dengan demikian, diharapkan nantinya pendapatan dari sektor kehutanan dapat semakin banyak dinikmati oleh masyarakat dan kontribusi PDB kehutanan juga akan meningkat.
Perlindungan hutan. Perlindungan hutan merupakan salah satu tugas utama Kementerian Kehutanan dengan alokasi anggaran yang cukup besar untuk penegakan hukum di kawasan hutan lindung dan konservasi. Namun demikian, pada saat ini masih terdapat beberapa ambivalensi kebijakan yang terkait dengan kewenangan dan tanggungjawab pemberian iuran izin usaha pemanfaatan hutan (kawasan, hasil hutan, dan jasa lingkungan) dan pendapatan dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) kehutanan dari kawasan hutan lindung antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Dana untuk perlindungan hutan memang sangat terbatas dibandingkan dengan luas kawasan hutan. Oleh karena, perlu didorong penguatan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan kolaborasi dengan masyarakat untuk memberikan perlindungan hutan secara optimal.
Rehabilitasi lahan kritis. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan ada sekitar 27 juta ha lahan kritis dan sangat kritis yang saat ini tidak dapat dipergunakan secara produktif. Lahanlahan ini rawan erosi dan berpotensi memicu terjadinya aliran permukaan (run-off) yang besar sehingga memicu terjadinya banjir. Kegiatan rehabilitasi lahan kritis ini menelan biaya hingga Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
x
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Rp 10 juta/ha/tahun. Di masa mendatang biaya untuk rehabilitasi lahan diharapkan dapat dikompensasi dari keuntungan yang diperoleh dari penjualan kayu yang ditanam dan atau dari dana penyimpanan dan penyerapan karbon. Secara teknis, hal ini tidak mudah diwujudkan mengingat produktivitas lahan kritis yang rendah, memerlukan biaya penyiapan dan pengolahan lahan yang tinggi, serta belum adanya regulasi yang jelas terkait pemanfaatan kayu hasil rehabilitasi. Produktivitas lahan biasanya rendah dan biaya rehabilitasinya lebih tinggi. Program yang diusulkan melibatkan tiga opsi kebijakan untuk empat kategori lahan kritis: sangat rentan; sebagian terdegradasi; sedikit terdegradasi; dan pasca tambang. Masing-masing membutuhkan kombinasi dukungan teknis, insentif dan peraturan yang berbeda. Skenario yang diusulkan akan membutuhkan biaya kurang lebih Rp 1,6 triliun per tahun untuk menghutankan kembali sekitar 0,5 juta ha lahan per tahun.
Rehabilitasi lahan gambut. Secara teoritis kebijakan rehabilitasi lahan gambut ini dapat mengurangi emisi gas rumah kaca, lebih dari semua kebijakan lainnya. Namun demikian hingga saat ini belum ada teknik untuk memulihkan lahan gambut yang terpercaya dan akan memerlukan waktu cukup lama untuk memperoleh hasil yang diharapkan, sehingga secara umum kebijakan ini diduga hanya akan memberikan manfaat ekonomi yang rendah.
Imbal jasa eksosistem (IJE). IJE memberikan kesempatan bagi pemerintah, sektor swasta dan masyarakat untuk memberikan kompensasi satu sama lain atas nilai manfaat yang dihasilkan ekosistem (misalnya tata air, keanekaragaman hayati, dan pengelolaan tanah). Pelaksanaan mekanisme reward tidak mudah, tetapi skema ini memiliki potensi dan telah berhasil diwujudkan di beberapa tempat di Indonesia (misalnya: IJE untuk pelanggan PDAM di Provinsi NTB, serta Insentif Hulu Hilir antara Kab. Kuningan dan Kota Cirebon).
Pemanfaatan lahan terdegradasi untuk pertanian. Budidaya pertanian di lahan terdegradasi secara teknis memerlukan tambahan biaya investasi untuk menstabilkan struktur tanah dan pasokan nutrisi, terutama dalam kurun waktu 5 tahun pertama. Selama periode ini, hasil pertanian juga masih rendah. Untuk membangun perkebunan kelapa sawit pada lahan terdegradasi, misalnya, rata-rata diperlukan tambahan biaya input sekitar Rp 3,5 juta/ha. Dalam rangka optimasi penggunaan lahan terdegradasi untuk pertanian, diperlukan strategi insentif fiskal yang tepat sehingga dapat mendukung keberhasilan budidaya tanaman yang sesuai dan bernilai ekonomi tinggi, yang pada akhirnya berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat dan mampu meningkatkan penerimaan pajak bagi negara.
Pertanian cerdas iklim (climate smart agriculture/CSA). Ada berbagai teknik pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim (CSA), yang seringkali juga disebut sebagai pertanian cerdas iklim atau pertanian ramah iklim. Pada prinsipnya teknik ini bertujuan untuk meningkatkan daya tahan tanaman terhadap perubahan iklim dan sekaligus juga dapat mengurangi emisi. Teknik ini mencakup: pertanian berbasis konservasi, sistem pemanenan air (termasuk air hujan) atau penggunaan air berkelanjutan, dan pengelolaan hama terpadu. Teknik CSA ini memiliki risiko investasi baik dari segi waktu maupun dana, karena ada jeda waktu dalam mengembangkan sumberdaya untuk menguasai dan menerapkannya. Pada saat ini skema pemberian insentif kepada petani untuk mengadopsi teknik CSA masih terbatas pada proyek-proyek di daerah tertentu saja. Implementasi teknik CSA mempersyaratkan kerjasama yang kuat antar petani. Jika ada kerjasama yang baik antar petani, teknik CSA akan sangat efektif dalam membantu mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan diperkirakan mampu menghasilkan tambahan 2 juta ton beras per tahun pada tahun 2024.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
xi
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Sistem irigasi yang adaptif terhadap iklim. Pengembangan sistem irigasi yang adaptif terhadap iklim adalah salah satu cara yang paling efektif untuk meningkatkan ketahanan pertanian di Indonesia yang harus menghadapi tingginya variasi curah hujan sepanjang tahun. Dukungan fiskal diperlukan untuk meningkatkan sistem irigasi pada areal seluas 7,2 sampai 8,0 juta hektar dalam kurun waktu 10 tahun. Untuk menjamin terlaksananya program pemeliharaan sistem irigasi secara efektif diperkirakan perlu peningkatan anggaran sebesar Rp 0,6 triliun sampai Rp 1,1 triliun. Efektivitas dari sistem irigasi yang dibangun sangat tergantung pada kapasitas kelembagaan dan keuangan kelompok petani pemakai air, untuk memastikan bahwa infrastruktur tersier dipertahankan. Kebijakan ini diperkirakan dapat menghasilkan tambahan 6 juta ton produksi beras per-tahun pada tahun 2024 dan merupakan salah satu faktor penentu untuk mewujudkan PDB pertanian tumbuh sebesar 5%.
Pupuk. Anggaran 2014 meliputi alokasi Rp 21 triliun untuk subsidi pupuk, sehingga harga pupuk urea untuk pertanian menjadi sekitar setengah dari harga pasar. Hal ini mengakibatkan tingginya penggunaan pupuk urea (over dosis, pemborosan pupuk) oleh petani, dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran subsidi, perbaikan sistem atas penerima pupuk bersubsidi mutlak diperlukan. Dalam hal ini, setengah dari subsidi pupuk akan beralih ke dalam bentuk dukungan pertanian yang lain, termasuk dukungan untuk pupuk organik dan teknik pertanian berkelanjutan lainnya yang mendukung kesuburan tanah, termasuk didalamnya program pertanian cerdas iklim (CSA). Hal ini diperkirakan akan berakibat pada penurunan produksi beras sebesar 2 juta ton, tetapi sumberdaya yang dialihkan akan menghemat anggaran yang cukup untuk mendanai seluruh program fiskal ramah lingkungan sektor-sektor berbasis lahan, khususnya pertanian.
Asuransi Pertanian. Asuransi pertanian memainkan peran penting dalam strategi ketahanan pangan di negara-negara maju. Di Indonesia, uji coba Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) telah dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian pada tahun 2012 yang mencakup areal seluas 3.000 hektare di tiga provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Selatan dengan luas masing-masing 1.000 hektar. Menurut Menteri Pertanian, rencananya nanti premi asuransi akan dikenakan sebesar Rp 180 ribu per hektar lahan. Kementerian Pertanian memperkirakan untuk membiayai premi program asuransi pertanian untuk lahan seluas 13,1 juta hektar diperlukan anggaran sebesar Rp 1,9 triliun sampai dengan 2,3 triliun untuk lahan pertanian secara keseluruhan. Namun demikian, sumber dana untuk membayar premi asuransi tersebut sampai saat ini belum juga ditemukan. 2 Kementerian Pertanian mengharapkan program asuransi pertanian dapat terwujud pada 2015 dan telah mengusulkan anggaran sebesar Rp 150 miliar untuk bantuan subsidi premi asuransi pertanian bagi petani di beberapa lokasi percontohan, setelah pada tahun 2014 tertunda pelaksanaannya. 3
Bahan bakar nabati (biofuels). Pada tingkat harga BBM saat ini, diperlukan subsidi sebesar Rp 3.000/liter untuk memungkinkan biodiesel bersaing dengan solar bersubsidi dari bahan bakar fosil. Jika subsidi bahan bakar fosil dikurangi, subsidi biodiesel juga dapat dikurangi. Hal ini harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari terganggunya industri yang relatif masih baru (infant industry). Jika diberikan subsidi riil untuk biodiesel sebesar Rp 1.000
2
Bahan paparan Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) pada acara Diskusi Reformasi Kebijakan Subsidi Pupuk di IPB ICC, 18 September 2014; Tempo, 15.09.2014, Kontan, 28.09.2014 3 Kemenkominfo http://infopublik.kominfo.go.id/read/62512/kementan-ajukan-anggaran-asuransi-pertanian.html (13.12.2013), diskusi dengan Kepala Badan Litbang Kementerian Pertanian 15.09.2014 dan Direktur Jenderal PSP Kementerian Pertanian 18.09.2014, serta komunikasi informal dengan salah satu Direktur di Kementerian Pertanian 11.12.2014 Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia xii
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
rupiah/liter, sesungguhnya biaya yang dikeluarkan nilainya kurang dari seperempat potensi keuntungan dari pengurangan emisi gas rumah kaca. Efektivitas kebijakan. Deforestasi menghasilkan keuntungan ekonomi yang tinggi, dimana sekitar setengah dari PDB kehutanan berasal dari aktivitas konversi dan pembalakan yang tidak lestari. Hal ini menjadi tantangan besar untuk merumuskan kerangka kerja yang dapat mempertahankan PDB kehutanan tanpa menimbulkan lebih banyak emisi. Mengandalkan insentif untuk mencegah deforestasi diprediksi akan memerlukan biaya yang sangat mahal dan sulit merancang skema yang sesuai karena besarnya perbedaan kondisi lingkungan. Dengan kondisi demikian, penegakan hukum yang konsisten terhadap pemegang konsesi hutan merupakan instrumen terpenting untuk mengurangi laju deforestasi. Karena aktivitas pembalakan dan konversi hutan merupakan sumber pendapatan yang penting di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, maka diperlukan suatu mekanisme insentif-disinentif sebagai kompensasi kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk berpartisipasi aktif dalam penegakan hukum kehutanan dalam rangka menghentikan laju deforestasi dan mengurangi degradasi hutan. Ada beberapa peraturan teknis pelaksanaan yang menimbulkan kerancuan dalam mekanisme pengaturan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor kehutanan, termasuk peraturan yang mengatur kewenangan dan tanggungjawab pemerintah pusat dan provinsi dalam beberapa hal terkait PNBP kehutanan. Secara umum ada banyak kekuranglengkapan dan perbedaan data tentang kehutanan di Indonesia, termasuk indikator pengelolaan hutan yang paling mendasar seperti laju deforestasi. Inisiatif kebijakan “satu data” akan membantu untuk memecahkan masalah keragaman data. Lebih dari itu, yang tidak kalah penting adalah adanya studi aplikatif tentang parameterparameter dasar yang memengaruhi efektivitas kebijakan. Sesungguhnya, potensi peningkatan PDB pertanian tinggi. Sebagian besar inisiatif pertanian memerlukan penyesuaian program agar lebih adaptif terhadap perubahan iklim. Beberapa teknik yang paling menjanjikan diantaranya adalah inisiatif pertanian yang adaptif terhadap iklim (Climate Smart Agriculture/CSA), pemeliharaan irigasi, dan peningkatan efektivitas kelembagaan kelompok pemakai air. Saat ini ada kelompok-kelompok tani yang berhasil, tetapi untuk mereplikasinya memerlukan anggaran yang cukup dan waktu sekitar 5-10 tahun untuk membangun kelembagaan kelompok tani yang kuat. Dampak terhadap anggaran. KKF-PRLSBL merekomendasikan pengurangan belanja publik untuk kebijakan prioritas dari 1,69% pada tahun 2014 menjadi diperkirakan sebesar 1,26% dari total PDB pada tahun 2025. Hal ini dicapai antara lain dengan mengalihkan setengah dari subsidi pupuk kepada jenis dukungan lain untuk pertanian (membutuhkan sekitar Rp 13 triliun) dan menggunakan bagian dari subsidi pupuk untuk mengkompensasi hilangnya pendapatan yang timbul dari dihentikannya deforestasi selama lebih dari 10 tahun (senilai sekitar Rp 2 triliun). Pada tahun 2025, sekitar 55% dari total belanja dikelola oleh Kementerian Keuangan, melalui subsidi, transfer dan insentif, dan 45% dikelola oleh Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Pekerjaan Umum. Pada tahun 2025, ketika program 10 tahun selesai, akan ada sekitar Rp 8,5 triliun tambahan pengeluaran per-tahun, dibandingkan dengan tahun 2014, yang akan dipenuhi dari anggaran rutin pada tahun tersebut, dengan asumsi bahwa anggaran untuk Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Pekerjaan Umum (untuk irigasi) juga naik seiring dengan kenaikan PDB. Dampak terhadap anggaran disajikan dalam Tabel X1 dan X2 pada bagian akhir ringkasan eksekutif. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
xiii
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Dampak terhadap penurunan emisi GRK. RAN GRK bertujuan untuk mengurangi emisi sebesar 767 mtCO2e pada tahun 2020, yang berasal dari pengurangan 672 mtCO2e di sektor kehutanan dan lahan gambut dan 40 m tCO2e dari pertanian. Terdapat 12 kebijakan yang diidentifikasi dalam KKF-PRLSBL berkontribusi terhadap pengurangan gas rumah kaca sebesar 468 mtCO2e pada tahun 2020 dan 731m tCO2e pada tahun 2025. Sekitar 95% dari pengurangan berasal dari kebijakan-kebijakan terkait hutan dan lahan gambut, dimana 75% diantaranya berasal dari pengurangan deforestasi dan restorasi lahan gambut. Implementasi kerangka kebijakan fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan di Sektor Berbasis Lahan (KKF-PRLSBL). Kebijakan fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan di Sektor Berbasis Lahan akan dilaksanakan melalui mekanisme perencanaan dan sistem penganggaran yang berlaku. Kebijakan ini akan diterapkan bersama dengan dokumen strategis lainnya, agar anggaran yang disediakan oleh Kementerian Keuangan dapat dipergunakan oleh Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Pekerjaan Umum untuk menyusun rencana dan membiayai program-program pembangunan yang (lebih) ramah terhadap lingkungan tanpa menambah total alokasi anggaran.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
xiv
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Tabel X1 Ringkasan komponen kunci kebijakan prioritas berdasarkan tingkatan dampak terhadap anggaran Kebijakan Kunci
Aksi yang membutuhkan anggaran rendah
Dampak terhadap anggaran yang lebih tinggi
Kehutanan Mengendalikan deforestasi
KPH/PHBM
Perlindungan Hutan Reforestasi lahan terdegradasi
Penegakan aturan pemungutan royalty/pungutan Pemetaan dan tata batas kawasan
Peraturan tentang pembalakan liar Meningkatkan royalti/iuran Kewajiban yang jelas untuk royalti/iuran Peraturan yang memberikan hak perizinan KPH Reformasi lahan dan resolusi konflik Dukungan teknis untuk KPH Peraturan tentang ekspor kayu Mempromosikan pasar kayu Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) untuk mendukung Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Memfasilitasi pendanaan untuk KPH Moratorium perizinan baru Klarifikasi hak dan kewajiban perizinan Pemetaan dan penataan batas Klasifikasi lahan terdegradasi Peraturan yang memungkinkan pelaksanaan land swap Peraturan terkait drainase dan kebakaran hutan Merasionalisasi klasifikasi Reformasi lahan untuk land swap
Penegakan hukum Pendanaan publik untuk rehabilitasi Biaya reformasi lahan
Swasta ke swasta/masyarakat
Pemerintah ke swasta/masyarakat
Fasilitasi kepemilikan lahan, untuk memastikan hak kepemilikan dan pertukaran lahan
Insentif untuk mengkompensasi biaya tambahan Biaya reformasi kepemilikan lahan
Restorasi Lahan Gambut IJE
Hibah inisiasi penyelenggaraan KPH Dukungan untuk penegakan aturan Memaksimalkan pendapatan dari DR dan DAK Kehutanan Pengalihan pendapatan negara dari izin konsesi/perizinan lain ke KPH Pelatihan SVLK dan akreditasi REDD+ Pemetaan dan penataan batas Penegakan hukum Kehilangan penerimaan dari perizinan baru Insentif (pajak atau subsidi) untuk mengkompensasi biaya tambahan/ produktivitas yang lebih rendah
Pertanian Lahan terdegradasi untuk pertanian Teknik pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim Teknik irigasi yang adaptif terhadap perubahan iklim Pemeliharaan Irigasi
Reformasi pupuk
Asuransi Pertanian
Bioenergi
Perluasan pertanian/penelitian, dukungan terhadap kelompok petani
Investasi publik dalam aksi ketahanan terhadap perubahan iklim
Fasilitasi kerjasama dengan masyarakat
Fasilitasi kelompok pengguna air irigasi
Fasilitasi kelompok pengguna air irigasi Klarifikasi peraturan pendanaan kelompok pengguna air irigasi untuk pemeliharaan tersier Dukungan terhadap investasi sektor swasta untuk pupuk organik
Regulasi untuk asuransi swasta Jaminan keuangan untuk peserta asuransi Peraturan untuk bioenergi (% dalam bahan bakar) Formula harga biofuel Informasi dan promosi
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
Investasi publik dalam memelihara infrastruktur primer dan sekunder Keuntungan dari pengalihan subsidi Target pengawasan yang lebih besar Penyuluhan penggunaan pupuk yang efisien
Subsidi terhadap biaya asuransi
Subsidi harga untuk bioenergi (setara dengan subsidi untuk BBM fosil) Pinjaman lunak untuk investor Penegakan peraturan
xv
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Table X2 Belanja untuk kegiatan-kegiatan prioritas kunci (Rpbn) 2014 Prioritas KKF-PRLSBL Kehutanan Pengurangan laju deforestasi Perizinan/fee/royalti penebangan hutan alam Pengelolaan perizinan/fee/royalti Kemenhut KPH dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Anggaran Kemenhut 80% DBH & 1/3 DAK Kehutanan Perlindungan hutan Anggaran Kemenhut 60% DR & 20% DBH Rehabilitasi lahan terdegradasi Anggaran Kemenhut 40% DR & 1/3 DAK kehutanan Restorasi lahan gambut Anggaran Kemenhut (2014 dari anggaran 2012) 1/3 DAK kehutanan Imbal Jasa Ekosistem/IJE (bilateral) Total Pertanian Pertanian di lahan terdegradasi (termasuk sawit) Penerimaan dari sawit di lahan terdegradasi Anggaran Kementan dari lahan terdegradasi Insentif Kemenkeu untuk lahan terdegradasi Pertanian Cerdas Iklim Anggaran produksi pertanian (10% CSA 2014) DAK pertanian (asumsi 10% CSA 2014) Pengembangan irigasi ramah iklim Anggaran Kementerian PU DAK irigasi Pengelolaan/ppengalihan subsidi pupuk Biaya Kementan untuk mengelola subsidi Pengeluaran Kemenkeu untuk subsidi Asuransi pertanian (Kemenkeu) Minyak nabati/Biofuel (insentif Kemenkeu) Total Jumlah Total Anggaran kementerian/lembaga Kebijakan fiskal Kemenkeu 1
2025
Pend/ Peng1
% PDB
2049 2065 -16 -560 -267 -294 -3096 -2186 -910 -2714 -2135 -580 -889 -705 -184 0 -5210
0,11%
-103 -103 0 -520 -262 -258 -4365 -1442 -2923 -21332 -283 -21049 -150 0 -26470 -31680 -7397 -24283
-0,03%
-0,17%
-0,14%
-0,05%
0,00% -0,28% -0,01%
-0,03%
-0,23%
-1,14%
-0,01% 0,00% -1,41% -1,69%
Pend/ Peng1 -30 -30 -2500 -1250 -1250 -5952 -4202 -1750 -6869 -4155 -2715 -1760 -1406 -354 0 -17111 -498 200 -198 -500 -3002 -1006 -1996 -14565 -6542 -8023 -10525 -2105 -8420 -318 500 -28408 -45519 -20893 -24626
Mitigasi % PDB 0,00%
m tCO2e 2025
Jk Pendek Menengah Panjang
300 Menengah Panjang
-0,07%
70 Men/Panj. Pend/Men
-0,17% Men/Panj. Menengah -0,19%
80 Men/Panj. Menengah
-0,05%
250 Men/Panj. Menengah -
0,00% -0,48%
700
-0,01%
18 Panjang Men/Panj. Men/Panj.
-0,08%
Men/Panj. Men/Panj.
-0,40%
3 Men/Panj. Menengah
-0,29%
-0,01% 0,01% -0,79% -1,26%
9
1 31 731
Pendek Pend/Men Semua Men/Panj.
Pend = pendapatan (nilai positif); Peng = pengeluaran (nilai negatif) Asumsi DR: Tahun 2014, Kemenhut 60% digunakan untuk perlindungan dan 40% untuk rehabilitasi lahan terdegradasi DBH: Tahun 2014, Kemenhut 20% digunakan untuk perlindungan dan 80% untuk PHBM DAK Kehutanan: Tahun 2014, 1/3 untuk KPH/HKm, rehabilatasi lahan terdegradasi, restorasi lahan gambut
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
xvi
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
1 Pendahuluan 1.1 Latar belakang Ketertarikan global dalam pertumbuhan berkelanjutan telah berkembang dalam lima tahun terakhir, yakni menggabungkan perhatian tentang dua dimensi perubahan iklim (mitigasi dan adaptasi) dengan komitmen untuk tiga dimensi pembangunan berkelanjutan (ekonomi, masyarakat, dan lingkungan). Ada berbagai definisi pertumbuhan berwawasan lingkungan, tetapi Kerangka Kerja Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan di Sektor Berbasis Lahan (KKF-PRLSBL) mendefinisikan kebijakan fiskal untuk pertumbuhan ramah lingkungan sebagai kebijakan fiskal yang memberikan kontribusi untuk lingkungan, irigasi dan atau adaptasi perubahan iklim. Hal ini mengasumsikan bahwa perumusan kebijakan fiskal untuk pembangunan berkelanjutan menekankan pada pentingnya keadilan sosial dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Strategi nasional Indonesia selalu menekankan baik pada aspek pertumbuhan ekonomi maupun pengurangan kemiskinan. Selama ini aspek lingkungan telah dimasukkan dalam rencana nasional tetapi dirasakan masih kurang mendapatkan perhatian dan kurang mendapat alokasi anggaran yang memadai. Padahal, pemerintah Indonesia telah memainkan peran penting dalam perjanjian perubahan iklim internasional dan telah membuat komitmen nasional yang kuat melalui berbagai kebijakan yang mengarah pada rencana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, diantaranya RAN-GRK, RAD-GRK, dan komitmen untuk melakukan adaptasi perubahan iklim melalui RAN-API. Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM), Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan bertanggungjawab untuk memastikan bahwa kebijakan fiskal memperhitungkan tantangan yang ditimbulkan oleh dampak perubahan iklim. Sebagai bagian dari tanggung jawab ini, PKPPIM menyusun panduan strategis dalam bentuk kerangka kerja fiskal untuk mitigasi dan implikasi anggaran yang dapat mendukung RAN-GRK. PKPPIM juga telah menyelesaikan kajian Strategi Perencanaan dan Penganggaran Hijau, yang mempertimbangkan implikasi dari pemakaian pandangan ekonomi hijau dalam perencanaan dan penganggaran. Kedua dokumen ini mempertimbangkan semua sektor ekonomi. KKF-PRLSBL memberikan panduan yang lebih rinci tentang kemungkinan dampak terhadap anggaran untuk melaksanakan kebijakan mitigasi dan adaptasi di sektor-sektor berbasis lahan, terutama kehutanan dan pertanian.
1.2 Tujuan dan Ruang Lingkup KKF-PRLSBL Tujuan nasional yang lebih luas. Kerangka kerja ini menggunakan pandangan jangka panjang, sampai tahun 2025, karena kebijakan berkelanjutan berkaitan dengan rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) nasional dan memerlukan pertimbangan atau antisipasi situasi jangka panjang dari populasi penduduk, iklim dan sumber daya alam. Hal ini mengasumsikan beberapa tujuan jangka panjang sebagai berikut: Pertumbuhan ekonomi. Indonesia diperkirakan akan menjadi negara berpenghasilan
tinggi (HIC) pada tahun 2033, yang akan memerlukan pertumbuhan PDB sebesar 7% per Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
1
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
tahun secara berkelanjutan4. Untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan diperkirakan akan ada beberapa diversifikasi dari sektor pertanian dan kehutanan, yang akan tumbuh hanya sebesar 5% per tahun. Proyeksi dampak perubahan iklim. Tahap awal dari sebagian besar proyeksi perubahan
iklim adalah pada tahun 2050. Hal ini diasumsikan bahwa kerusakan akibat perubahan iklim akan meningkat secara bertahap dalam kurun waktu 35 tahun, sampai dengan tingkat kerusakan yang diproyeksikan pada tahun 2050. Keseimbangan pangan. Indonesia akan mencapai dan mempertahankan swasembada
produksi beras, kecuali di tahun-tahun dimana terjadi kekeringan yang luar biasa atau banjir. Hal ini memerlukan peningkatan produksi beras sebesar 21% pada tahun 2025. Mitigasi. Emisi gas rumah kaca akan mengikuti komitmen RAN-GRK, sebesar 2,183 miliar
tCO2e/tahun pada tahun 2020 pada titik dimana 1,45 kgCO2e/USD PDB. Nilai emisi CO2e/PDB pada tingkat ini sebanding dengan negara-negara Eropa, yang paling efisien dalam pemanfaatan energi di antara negara-negara berpenghasilan tinggi. Kontribusi sektor berbasis lahan terhadap emisi akan turun dari tingkat saat ini, yaitu lebih dari 50% menjadi 10%, sejalan dengan norma-norma negara berpenghasilan tinggi. Energi dari biofuel diperkirakan akan meningkat menjadi 5% dari total konsumsi energi. Keseimbangan fiskal. Tujuan-tujuan pengurangan emisi CO 2 ini akan tercapai tanpa
adanya permintaan tambahan biaya pada sektor pertanian dan kehutanan ketika dinyatakan sebagai persentase dari PDB. Tujuan Khusus. KKF-PRLSBL bertujuan untuk meningkatkan kualitas anggaran di sektorsektor berbasis lahan, menggambarkan bagaimana analisis yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian dapat membantu untuk menjustifikasi pengusulan anggaran mereka dan memberikan referensi kerangka kerja untuk membantu Kementerian Keuangan dalam menilai dan bernegosiasi atas anggaran yang diusulkan. Untuk mencapai hal ini, tujuan langsung dari KKF-PRLSBL adalah sebagai berikut: Mengkaji kontribusi kehutanan dan pertanian untuk pembangunan ramah lingkungan dan untuk menilai kompatibilitasnya dengan kerangka kebijakan fiskal berkelanjutan. Mencatat kebijakan yang telah ada, termasuk kebijakan yang memengaruhi pendapatan dan biaya. Menilai efisiensi, efektivitas, konsistensi, koherensi dan keberlanjutan kebijakan tersebut. Mengembangkan kerangka kebijakan fiskal di sektor berbasis lahan dalam jangka menengah.
4
Diasumsikan pertumbuhan PDB 7% per-tahun dari USD 3.475 pada tahun 2013, sementara pertumbuhan penduduk menurut secara bertahap dari 1,1% saat ini menjadi nol pada tahun 2050 dan batasan negara berpendapatan tinggi (HIC) adalah USD 12.746 per-kapita, Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
2
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Ruang lingkup KKF-PRLSBL. KKF-PRLSBL mengkaji kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan penggunaan lahan, khususnya untuk kepentingan pemanfaatan kehutanan dan pertanian. Salah satu bagian kajian adalah melihat efektivitas kebijakan dalam memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan PDB, khususnya dalam skema PDB hijau, dengan mempertimbangkan kendala kelembagaan dan prospek untuk mengatasi hambatan yang ada. Berbeda dengan skema PDB konvensional, perhitungan PDB hijau juga mempertimbangkan sejauh mana kebijakan akan dipengaruhi oleh perubahan iklim dan oleh perubahan akuntansi nasional yang bertanggung jawab atas biaya dari degradasi sumber daya alam. Kajian ini juga merekomendasikan opsi-opsi kebijakan fiskal yang sesuai untuk pembangunan berkelanjutan pada sektor-sektor berbasis lahan. Sektor. Sektor berbasis lahan akan mencakup kehutanan dan pertanian. Dalam strategi pembangunan ramah lingkungan, dua dari duapuluh satu prioritas utama adalah di bidang kehutanan (perlindungan hutan/reboisasi/produktivitas dan lahan gambut) dan tiga di sektor pertanian (adaptasi tanaman, produktivitas perkebunan dan irigasi). KKF-PRLSBL mempertimbangkan kebijakan ini secara lebih rinci dan menambahkan kebijakan lain, termasuk antara lain: insentif untuk peningkatan pemanfaatan lahan terdegradasi, produktivitas hutan, pertanian cerdas iklim (climate smart agriculture), pupuk organik dan bahan bakar nabati (biofuel). Skala waktu. Meskipun tujuan nasional disajikan dalam jangka panjang dengan mempertimbangkan rencana pembangunan jangka panjang nasional hingga tahun 2025 dan dampak perubahan iklim pada tahun 2050, KKF-PRLSBL juga fokus pada perubahan yang mungkin diperlukan dalam jangka menengah selama 5 tahun ke depan (2015-2019), dan menghasilkan proyeksi dampak bersih pada anggaran (net impact budget) selama periode ini. Instrumen. KKF-PRLSBL mencakup instrumen sebagai berikut:
Pengeluaran pemerintah, termasuk investasi, insentif dan dana pinjaman. Fokus utama dari KKF-PRLSBL adalah pengeluaran publik di tingkat nasional dan lokal, serta transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Instrumen yang terkait dengan regulasi, promosi dan peningkatan kesadaran (misalnya penyuluhan), beberapa di antaranya mungkin menghasilkan pendapatan.
Pendapatan, termasuk penerimaan negara bukan pajak dari sektor kehutanan.
Biaya-biaya terkait pendanaan, terutama yang berhubungan dengan kegiatan operasional Bulog dalam anggaran intervensi pembelian komoditas.
Perubahan peraturan yang mungkin memiliki efek tidak langsung dan jangka panjang terhadap anggaran.
1.3 Metodologi dan Struktur Laporan Fokus utama dari KKF-PRLSBL adalah pada efektivitas kebijakan fiskal berkelanjutan di sektor kehutanan dan pertanian, serta implikasinya terhadap belanja dan pendapatan ke depan. Dalam menilai efektivitas kebijakan tersebut, KKF-PRLSBL bertujuan untuk mempertimbangkan fundamental ekonomi dari kebijakan dan kendala kelembagaan yang Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
3
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
mempengaruhi kementerian/lembaga pada sektor-sektor berbasis lahan agar lebih termotivasi untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip pembangunan ramah lingkungan. KKF-PRLSBL menganalisis efektivitas dan dampak kebijakan sektor-sektor berbasis lahan terhadap pertumbuhan ekonomi, lingkungan, mitigasi dan adaptasi. Dengan membandingkan dampak ini dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam bagian 1.2, KKF-PRLSBL mendefinisikan program fiskal ramah lingkungan sesuai dengan tujuan dengan mempertimbangkan kinerja fiskal dari kebijakan sektor-sektor berbasis lahan.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
4
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
2. Situasi Saat Ini 2.1 Pembangunan Ekonomi dan Situasi Fiskal Pembangunan Ekonomi. Selama sepuluh tahun terakhir, PDB Indonesia telah tumbuh antara 5% sampai dengan 6,5% per tahun. Pertumbuhan yang tinggi ini didorong oleh tingginya tingkat investasi yang mencapai 28% dan 35% dari PDB. Selama sepuluh tahun tahun terakhir kinerja keuangan Indonesia menunjukkan tren positif, baik dilihat dari transaksi berjalan, transaksi modal, dan neraca pembayaran. Namun, pada tahun 2012, transaksi berjalan menjadi negatif. Hal ini diantaranya disebabkan oleh penurunan ekspor minyak dan gas serta komoditas ekspor lainnya yang dibarengi oleh peningkatan impor. Menurunnya transaksi berjalan sebagian telah diimbangi dengan peningkatan modal dan finansial, terutama dari investasi-investasi berkapital besar. Secara umum situasi moneter relatif stabil, tetapi ada tanda-tanda peningkatan tekanan pada inflasi dan nilai tukar. Cadangan nasional kuat, baik utang pemerintah maupun swasta nasional yang relatif rendah. Inflasi berkisar antara 3% dan 11%, dengan tingkat inflasi yang lebih tinggi pada saat-saat terjadi tekanan fiskal, termasuk pada tahun 2008 dan 2013. Meskipun terjadi tekanan pada neraca pembayaran dan beberapa kecenderungan kenaikan inflasi, nilai tukar rupiah relatif stabil –walaupun dua tahun terakhir ini (2013-2014) terjadi pelemahan nilai tukar rupiah. Pemerintah menyadari bahwa ekonomi bergerak ke tahap baru dimana manajemen ekonomi makro yang sehat akan menjadi semakin penting untuk menjaga stabilitas ekonomi dan investasi. Investasi-investasi bernilai tinggi akan dikelola secara lebih baik dalam rangka menumbuhkan iklim usaha yang menarik dan sehat. Kebijakan perdagangan menekankan perlunya mempertahankan nilai ekspor serta pada saat yang bersamaan mempromosikan nilai tambah di dalam negeri, sehingga dapat meningkatkan devisa dari ekspor dan mengurangi pengurangan devisa untuk impor. Situasi fiskal. Penerimaan pemerintah pusat relatif rendah antara 15% dan 20% dari PDB. Pengeluaran pemerintah pusat (termasuk transfer ke pemerintah daerah) juga relatif rendah, di antara 16% dan 20% dari PDB. Pada tahun 2012, pengeluaran terdiri atas subsidi (4,2% dari PDB); pengeluaran lainnya (5,4%); pengeluaran pembangunan (2,7%); dan transfer ke daerah (5,8%). Lebih dari 85% dari subsidi adalah untuk energi, dan sebagian besar sisanya untuk subsidi pertanian. Selama sepuluh tahun terakhir, terjadi defisit anggaran antara 0% dan 2% dari PDB. Defisit anggaran sebesar 2,5% dari PDB terjadi pada tahun 2013 dan mungkin juga pada tahun 2014, karena besarnya tekanan pengeluaran dan terjadinya penurunan dari beberapa sumber pendapatan. Kebijakan saat ini bertujuan untuk mengurangi defisit anggaran pemerintah pusat, dimana dari data tahun terakhir sebesar 2,5% dari PDB menjadi kurang dari 1,5% pada tahun 2018. Pendapatan akan dipertahankan pada sekitar 16% dari PDB, yang diharapkan akan menghasilkan pertumbuhan riil sekitar 6%, sesuai dengan PDB. Akan ada sedikit perubahan Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
5
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
dalam struktur pendapatan. Pengeluaran juga akan tetap pada tingkat saat ini, yaitu sekitar 18% dari PDB, dengan opsi penurunan belanja untuk subsidi yang memungkinkan beberapa peningkatan pengeluaran pembangunan. Kebijakan ini berarti terbuka beberapa ruang untuk peningkatan belanja, sejalan dengan pendapatan tambahan yang timbul dari pertumbuhan PDB. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, kebijakan fiskal sektor-sektor berbasis lahan bertujuan untuk mempertahankan investasi dan pertumbuhan, serta untuk pengeluaran yang melindungi pertumbuhan ini melalui perhatian pada sumber daya alam dan perubahan iklim.
2.2 Mitigasi Komunikasi Nasional Kedua (Second National Communication/SNC) melaporkan bahwa emisi pada kondisi Business as Usual (BAU) tahun 2020 akan menjadi 2950 tCO2e, dengan emisi dari kehutanan (1.344 tCO2e) dan pertanian (221 tCO2e) menyumbang lebih dari setengah emisi tersebut. RAN-GRK berkomitmen untuk pengurangan 50% emisi kehutanan dan pengurangan 18% emisi pertanian pada tahun 2020, dibandingkan dengan BAU. RANGRK menguraikan target penurunan emisi yang diharapkan dari kehutanan dan pertanian ke dalam kebijakan sebagai berikut.
Tabel 1 Target Penurunan Emisi Kehutanan dan Pertanian Berdasarkan RAN GRK Kode
Kegiatan
Lembaga
Target penurunan emisi (m tCO2e)
Kemenhut Kemenhut
FO3
Kesatuan Pengelolaan Hutan (120) Perbaikan izin usaha pemanfaatan kayu (2.5 jt ha) dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)/Jasa Lingkungan. DA REDD+ (2 lokasi)
Kemenhut
3.0
FO4
Pengukuhan batas kawasan hutan (25.000km)
Kemenhut
102.3
FO5
Reklamasi (0.45 jt ha), pemeliharaan (1.2 jt ha)
Kemen. PU
4.3
FO6
Pemanfaatan lahan gambut berkelanjutan(325,000ha)
Kementan
86.2
FO7
Rehabilitasi lahan gambut terdegradasi (250,000ha)
83.5
FO8
Rehabilitasi DAS (2,45 jt ha), kota, mangrove
Kementan Kemenhut
FO9
83.7
FO12
Kemenhut Hutan Kemasyarakatan (2.5 jt ha), Hutan Rakyat (0.25 jt ha) Pemantauan kebakaran hutan mengurangi 20%kejadian dengan tingkat Kemenhut keberhasilan 67% Kemenhut Penegakan hukum kehutanan Kemenhut Pengelolaan ekosistem dan perlindungan hutan
FO13
Perbaikan kinerja hutan tanaman (3 jt ha)
Kemenhut
91.3
AG1
Perbaikan irigasi (1.34 jt ha) dan pemeliharaan (2,32 jt ha)
Kemen. PU
0.0
AG2
Pembukaan lahan pertanian tanpa bakar (300.500ha)
Kementan
1.3
AG3
Perbaikan teknologi perlindungan tanaman (2, 03 jt ha)
Kementan
9.9
AG4
Pupuk organik dan bio-pestisida (250.000ha)
Kementan
3.1
AG5
Pembangunan perkebunan di lahan terdegradasi (1.65 jt ha)
Kementan
25.2
AG6
Biogas berbasis ternak masyarakatditerapkan di 1.500 lokasi
Kementan
0.3
FO1 FO2
FO10 FO11
25.8 20.2
76.1
18.0 1.9 75.7
Prioritas kegiatan mitigasi tergantung pada kemampuan praktis untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan biaya yang diperlukan untuk penurunan emisi tersebut. Kotak 1 mengulas beberapa pendekatan untuk memberi nilai karbon, yang kemudian dapat dibandingkan dengan biaya satuan kebijakan mitigasi, untuk menentukan efektifitas biaya suatu kebijakan. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
6
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Kotak 1 Harga dan nilai ekonomi karbon Biaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca biasanya dinyatakan dalam USD/ton karbon dioksida ekuivalen (USD/tCO2e). Beberapa kebijakan (misalnya yang berkaitan dengan efisiensi energi) memiliki nilai USD negatif/tCO 2e, karena mereka mendukung mitigasi yang menguntungkan. Sebagian besar kebijakan penurunan emisi memerlukan biaya bersih. Peringkat kebijakan dalam kurva biaya pengurangan emisi marginal (Marginal Abatement Cost/MAC) sesuai dengan unit biaya yang dikeluarkan, kemudian dibandingkan dengan standar harga karbon untuk menentukan apakah efektifitas biaya suatu kebijakan. Dari perspektif perusahaan swasta, harga karbon adalah harga pasar karbon dunia saat ini (yaitu kurang dari USD 1/tCO2e pada akhir 2014). Dari perspektif anggaran, harga ini relevan jika perusahaan swasta dapat memperoleh pembayaran dari pasar karbon, sehingga ada penurunan permintaan untuk insentif anggaran. Dari perspektif kebijakan pemerintah yang lebih luas, yang dipandu oleh kekhawatiran rasional untuk kesejahteraan penduduk, harga karbon harus ditetapkan pada biaya sosial karbon, yang merupakan total kerusakan yang disebabkan oleh perubahan iklim dibagi dengan emisi gas rumah kaca total, yang dinyatakan dalam USD/tCO 2e (dalam laporan Stern nilai karbon diperkirakan menjadi sekitar USD 80/tCO2e pada tahun 2014). Namun, pemerintah di beberapa negara berpendapat bahwa mereka harus menggunakan nilai yang lebih rendah karena mereka tidak menerima tanggung jawab atas kerusakan global atau karena negara mereka tidak mengalami kerusakan perubahan iklim yang tinggi. Beberapa analis kebijakan, termasuk kajian ini, memilih untuk menggunakan nilai pasar karbon sebelum runtuhnya mekanisme perdagangan karbon Eropa, yaitu sekitar USD 30/tCO2e. Pasar karbon jatuh pada tahun 2008 dan stabil di kisaran harga antara USD 20 dan USD 25/tCO2e pada tahun 2009 dan pertengahan 2011. Selama tahun 2012 harga karbon berkisar antara USD 7 dan USD 10/tCO 2e dan jatuh menjadi USD 5/tCO2e, bahkan kurang dari USD 1/tCO2e dalam beberapa bulan terakhir.
2.3 Kerentanan RAN API mengidentifikasi delapan risiko perubahan iklim yang mungkin berdampak pada Indonesia, seperti yang dirangkum dalam Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa ketahanan pangan sangat dipengaruhi oleh hampir semua risiko dampak perubahan iklim. Satu-satunya risiko dampak perubahan iklim yang bukan dianggap ancaman untuk ketahanan pangan dalam RAN API adalah peningkatan tahun kekeringan – yang secara akademis sebenarnya mungkin dapat diperdebatkan. Hutan dianggap rentan terhadap perubahan pola musim, curah hujan, dan hilangnya infrastruktur akibat banjir.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
7
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
DIS
URB
Kawasan khusus
CSI
WAT
FOR
ECO
INF
HOU
Lingkungan
HEA
Ekonomi Kesejahteraan
ENE
Risiko dampak perubahan iklim
AGR
Tabel 2 Kerentanan terhadap Risiko Dampak Perubahan Iklim
Peningkatan evapotranspirasi Y Y Y Y Y Y Risiko peningkatan serangan hama Y Y Y Y Y Penyebaran penyakit tanaman melalui udara dan air Y Y Kekeringan Y Y Y Y Y Y Penurunan curah hujan Y Y Y Y Y Peningkatan frekuensi tahun kering Y Y Y Perubahan musim/pola curah hujan Y Y Y Y Y Y Peningkatan intensitas hujan/angin/badai/gelombang Y Y Banjir akibatbadai dan gelombang Y Y Y Kerusakan infrastruktur akibat cuaca ekstrem Y Y Y Y Y Y Y Y Perubahan air laut terhadap perikanan dan terumbu Y Y Y Y Y karang Peningkatan muka air laut Y Y Y Intrusi air laut ke sungai/air tanah Y Y Y Y Catatan: AGR = ketahanan pangan; ENE = ketahanan energi; HEA = kesehatan; HOU = perumahan; INF = infrastruktur; ECO = ekosistem dan keanekargaman hayati; FOR = kehutanan; CSI = pesisir dan pulau-pulau kecil; DIS = penurunan risiko bencana Sumber: RAN-API, risiko-risiko iklim yang mungkin terjadi.
Pada umumnya pengukuran kerentanan terhadap perubahan iklim secara Internasional menggunakan tiga dimensi, yaitu: (1) paparan terhadap risiko perubahan iklim; (2) kepekaan terhadap paparan; dan (3) kapasitas untuk beradaptasi dengan sensitivitas tertentu (Aliance Development Works 2012; Bours, McGinn et al 2013). Indonesia adalah salah satu negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim di antara negara-negara berpenghasilan menengah, karena rentan dalam ketiga dimensi risiko perubahan iklim. Laporan Khusus IPCC atas Kejadian Ekstrem (SREX) menghasilkan analisis pertama terhadap perubahan yang diduga dalam kejadian ekstrem (IPCC 2012a), yang memperkuat pesan dari pentingnya RAN-API. Analisis SREX menunjukkan bahwa peristiwa cuaca yang tidak biasa cenderung menjadi dua kali lebih sering pada tahun 2050. Secara umum, hal ini kemungkinan akan berlaku baik terhadap kejadian ekstrem (seperti banjir dan kekeringan) dan peristiwa anomali tertentu (seperti kekeringan pendek di musim hujan atau musim tak terduga). Menurut laporan SREX, kesimpulan ini berlaku untuk semua wilayah di dunia, dengan beberapa variasi. Perubahan kejadian ekstrem cenderung merupakan risiko dampak perubahan iklim yang paling penting di sebagian besar negara. Antara tahun 2003 dan 2005, terjadi 1.429 bencana di Indonesia, 53% di antaranya terkait hidrometeorologi (SNC 2010). Indonesia juga sangat rentan terhadap kenaikan permukaan laut akibat garis pantai yang sangat panjang dan konsentrasi penduduk di kota-kota pesisir, kota dan masyarakat pulaupulau kecil. Kenaikan permukaan laut sebesar 100 cm akan berdampak pada 130.000 orang di Jakarta, 114.000 di Semarang dan 122.000 di Surabaya (SNC 2010).
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
8
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
2.4 Lingkungan Hilangnya sumber daya alam yang paling mendapat sorotan di Indonesia terjadi karena deforestasi. Data statistik menunjukkan bahwa deforestasi di Indonesia secara umum telah mengalami penurunan dalam sepuluh tahun terakhir, walaupun data yang pasti masih menjadi bahan perdebatan para peneliti. Statistik resmi menunjukkan bahwa laju deforestasi bervariasi antara 0,8 juta ha/tahun dan 1,2 juta ha/tahun pada tahun 2000-an. Data statistik kehutanan resmi terbaru menunjukkan bahwa deforestasi telah menurun menjadi kurang dari 0,2 juta ha dalam beberapa tahun terakhir (Kemenhut 2013), sementara beberapa studi terbaru berbasis data penginderaan jauh menunjukkan bahwa laju kehilangan pohon sekitar 2 juta ha/tahun, meskipun telah dilakukan moratorium (Broich, Hansen et al. 2011;. Hansen, Potapov et al. 2013; Margono, Potapov et al. 2014). Dalam kondisi lahan kritis, beberapa bukti menunjukkan bahwa erosi tanah menurunkan hasil tanaman sebesar 4% per tahun (Santikayasa, 2011). Hal ini dapat terjadi pada 27 juta hektar lahan yang tergolong kritis di Indonesia. Kotak 2 PDB Hijau dan Pendekatan Sisnerling PDB Hijau membuat penyesuaian terhadap PDB konvensional dengan mengurangi nilai sumber daya alam yang hilang atau rusak. Kerangka fiskal yang berkelanjutan serta ramah lingkungan seharusnya mengukur kinerja dengan PDB hijau daripada PDB konvensional, karena ini membutuhkan perspektif jangka panjang. Nilai yang melekat pada sumber daya alam yang hilang atau rusak mencerminkan, sebagian, hilangnya manfaat masa depan, serta nilai intrinsik ditempatkan pada sumber daya oleh masyarakat. Nilai hutan yang hilang telah dilaporkan dalam Statistik Indonesia oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada saat penghitungan PDB hijau, melalui pendekatan Sistem terintegrasi neraca lingkungan atau “Sisnerling” (BPS 2013). Perkiraan Sisnerling menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB hijau (yang mengurangi nilai sumber daya alam yang hilang) akan menjadi sebesar 4%, lebih rendah dari pertumbuhan PDB konvensional sebesar 7% (Gastami 2012). Namun, sebagian besar penurunan ini disebabkan oleh eksploitasi sumber daya mineral, meskipun hilangnya hutan juga berkontribusi sebesar sepertiga dari kerugian kehilangan sumberdaya hutan yang tinggi dalam beberapa tahun (Repetto, Magrath et al. 1989). Terdapat rencana untuk memperluas praktik Sisnerling untuk memperhitungkan degradasi sumber daya hutan, serta hilangnya hutan, dan untuk memperluas sumber daya alam lainnya. Hal ini akan dibantu oleh proyek WAVES5, dengan dukungan dari Bank Dunia
5
Wealth Accounting and the Valuation of Economic Services (WAVES) adalah sebuah kerjasama internasiona yang mempromosikan pengarusutamaan nilai-nilai sumberdaya alam di dalam perencanaan dan akutansi nasional. WAVES mencakup pemerintah, internasional, CSO dan mitra korporasi. WAVES aktif di 8 negara, termasuk Indonesia. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
9
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
3. Kebijakan-Kebijakan yang Berlaku dan Belanja Saat Ini
3.1 Telaah Kebijakan Saat Ini Strategi Nasional. Perencanaan pembangunan nasional dipandu oleh rencana pembangunan jangka panjang di tingkat nasional dan daerah (RPJP-N dan RPJP-D) serta rencana pembangunan jangka menengah (RPJM-N dan RPJM-D) yang disiapkan oleh Bappenas. RPJP terbaru untuk periode tahun 2005-2025 dan RPJM yang baru (2015-2019) saat ini sedang dipersiapkan. Rencana strategis jangka menengah juga disiapkan oleh masing-masing kementerian dan lembaga (RENSTRA-KL) dan provinsi (RENSTRA-SKPD). Rencana jangka panjang dilengkapi dengan dua rencana induk (2011-2025), yaitu: Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia (MP3KI). RPJMN (2010-2014) mengharapkan pertumbuhan sektor pertanian dan kehutanan sebesar 3,5%-3,6% per tahun. RPJMN mengacu pada pertanian sebagai sektor yang memberikan kontribusi untuk keamanan pangan, yang merupakan prioritas kelima dari sebelas prioritas. Enam area yang teridentifikasi untuk ketahanan pangan, yaitu: memperjelas zonasi lahan dan kepemilikan lahan serta memperluas lahan pertanian sebesar 12 juta hektar; infrastruktur pertanian; penelitian dan pengembangan; promosi investasi untuk pertanian dan agribisnis; gizi; dan adaptasi perubahan iklim. RPJMN ini juga mencakup komitmen untuk memastikan bahwa harga pangan terjangkau dan petani dapat 'hidup sejahtera'. Kehutanan tidak menjadi prioritas nasional dalam RPJMN, tetapi RPJMN melihat kehutanan sebagai sektor yang menerima dana DBH dan melihat sektor kehutanan dan pertanian sebagai penerima dana DAK. Indonesia memainkan peran penting di antara negara-negara berpendapatan menengah yang berkomitmen dalam merencanakan pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan. Komitmen nasional untuk mengurangi gas rumah kaca (GRK) telah tertuang dalam Rencana Aksi Nasional penurunan Gas Rumah Kaca (RAN GRK) dan komitmen daerah yang dituangkan dalam Rencana Aksi daerah untuk penurunan Gas Rumah Kaca (RAD GRK). Kementerian Keuangan telah memperhitungkan upaya pencapaian target RAN GRK dalam Kerangka Fiskal untuk Mitigasi Gas Rumah Kaca. Pemerintah juga telah menanggapi ancaman perubahan iklim dengan menyusun Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN API). Ada juga berbagai hal lain terkait strategi, rencana dan studi, termasuk: Strategi Keanekaragaman Hayati Nasional dan Rencana Aksi (NBSAP); Kajian Hijau: Strategi kebijakan ekonomi dan fiskal untuk mitigasi perubahan iklim di Indonesia, Kemenkeu (2009)6; Laporan DNPI tentang Kurva Biaya Pencegahan Karbon (2009); Studi Ekonomi Lingkungan dan Pembangunan oleh DNPI, (NEEDS, 2009); Peta Jalan Perubahan Iklim Sektoral Bappenas (ICCSR, 2010); dan Kerangka Fiskal untuk Mitigasi, Kemenkeu (MFF, 2012). Indonesia memiliki berbagai rancangan inisiatif dalam rangka mewujudkan pertumbuhan ekonomi hijau (pertumbuhan ekonomi ramah lingkungan yang berkelanjutan), termasuk: kertas kerja Strategi Perencanaan dan Penganggaran Hijau oleh Kementerian Keuangan untuk menganalisis dampak pada anggaran jika mengambil pendekatan ekonomi hijau.
6
MoF Green Paper (2009): Economic and Fiscal Policy Strategies for Climate Change Mitigation in Indonesia
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
10
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Strategi dan rencana aksi yang ditetapkan pemerintah Indonesia terkait perubahan iklim mengacu pada kebijakan-kebijakan yang terkait dengan sektor berbasis lahan, yang kesemuanya tercantum dalam Tabel 3. Beberapa kebijakan yang dijelaskan dari daftar kebijakan pada Bab 4, disusun berdasarkan pertimbangan pentingnya kontribusi yang diharapkan untuk tujuan mencapai pertumbuhan hijau sebesar 5% di sektor-sektor berbasis lahan, tanpa memerlukan tambahan anggaran dan dengan mempertimbangkan situasi ekonomi dan kelembagaan. Kajian dilakukan berdasarkan diskusi dengan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian serta berdasarkan masukan dalam lokakarya para pemangku kepentingan. Tabel 3 Daftar Kebijakan Ramah Lingkungan untuk Sektor Berbasis Lahan dalam Kebijakan Saat ini
Green Paper
WB GG AAA
RAN-API
RAN-GRK
Lingkungan
Pemerataan
Ekon. berkelanjutan
Mitigasi
Kegiatan
Resiliensi
Relevansi terhadap Sumber data ekonomi hijau
Kehutanan, lahan gambut dan keanekaragaman hayati Kesatuan Pengelolaan Hutan
Y
Izin usaha pembukaan/pemanfaatan hutan: regulasi/penegakan hukum
½
REDD+: hibah, regulasi, insentif, PEP
Y
Reklamasi lahan basah/mangrove
Y
Regulasi untuk budidaya lahan gambut berkelanjutan
Y
Rehabilitasi lahan gambut terdegradasi
Y
Rehabilitasi hutan
Y
Hutan Kemasyarakatan/Hutan Tanaman Rakyat/Hutan Rakyat
Y
Y
Y Y
Tukar guling lahan terdegradasi Konservasi hutan untuk ketahanan air dan biodiversitas
Y
Rehabilitasi ekosistem terdegradasi
Y
Pertanian dan air Y
Infrastruktur irigasi cerdas iklim Penyiapan lahan pertanian tanpa bakar
Y
Peningkatan teknologi perlindungan tanaman
Y
Penggunaan pupuk organik dan bio-pestisida
Y
Y Penanaman/pembangunan perkebunan di lahan terdegradasi Pengembangan varietas tanaman yang lebih tahan kekeringan, banjir, Y Y dan fluktuasi curah hujan Asuransi pertanian: pendanaan untuk benih, regulasi, penjaminan Catatan: Bagian yang diberi warna berbeda mengindikasikan bahwa kebijakan tersebut berkontribusi terhadap relevansinya dengan Ekonomi Hijau; Y mennandakan bahwa kebijakan tersebut disitasi dalam referensi Sumber: RAN AGRK, RAN API, NBSAP, Green Paper (Kemenkeu, 2009)
Strategi dan Kebijakan Kehutanan. Kebijakan Kehutanan dipandu oleh Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) tahun 2011-2030. RKTN mengidentifikasi 14 bidang kebijakan, yang diimplementasikan melalui 50 program aksi untuk melaksanakan kebijakan ini. 1. Hasil hutan (jasa lingkungan, ekoturisme, HHBK, energi terbarukan, benih).
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
11
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
2. Konsolidasi definisi kawasan hutan dan pemanfaatan. 3. Insentif baru (DAK Kehutanan, Dana Dekonsentrasi, SVLK). 4. Penelitian dan pengembangan. 5. Desentralisasi pengelolaan hutan, termasuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan peran yang lebih jelas bagi otoritas lokal. 6. Koordinasi lintas sektoral/kementerian, termasuk untuk perdagangan dan jasa lingkungan DAS 7. Informasi kehutanan 8. Kerja sama internasional 9. Penegakan hukum 10. Konservasi alam, termasuk taman nasional 11. Kontribusi terhadap lingkungan global (REDD+, pengelolaan lahan gambut ) 12. Percepatan rehabilitasi hutan dan lahan 13. Diversifikasi hasil hutan, termasuk tanaman non-konvensional ”perkebunan” dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat
kehutanan/
14. Perencanaan wilayah RKTN disesuaikan dengan RENSTRA-KL Kementerian Kehutanan (2010-2014) yang mengidentifikasi enam prioritas kebijakan yaitu: stabilisasi kawasan hutan; rehabilitasi hutan dan peningkatan pengelolaan daerah aliran sungai; pengamanan hutan dan pengendalian kebakaran; konservasi keanekaragaman hayati; revitalisasi industri kehutanan; dan hutan kemasyarakatan. Hal ini diimplementasikan melalui delapan program dan berbagai macam kegiatan. Strategi Kebijakan Pertanian. Kementerian Pertanian telah menetapkan daftar Indikator Kinerja Kunci (Key Performance Indicator) yang menguraikan rencana pelaksanaan Rencana Strategis Kementerian Pertanian (RENSTRA Kementan). Strategi ini berfokus pada beberapa target, yaitu: produksi tanaman unggulan; diversifikasi beras; nilai tambah dan daya saing; serta pendapatan petani. Setiap unit kerja di Kementerian Pertanian kemudian memiliki indikator kinerja yang lebih rinci. Kementerian Pertanian juga telah menetapkan Peta Jalan Pertanian dan Perubahan Iklim tahun 2011. Peta jalan (road map) tersebut diimplementasikan melalui beberapa kebijakan sebagai berikut: 1. Kesiapan kelembagaan, termasuk: data dan pemetaan, analisis dampak, penelitian, penyuluhan dan reformasi regulasi. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
12
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
2. Mitigasi. a. Lahan gambut, termasuk pengelolaan lahan gambut yang sudah dibudidayakan secaraberkelanjutan dan sistem peringatan dini kebakaran. b. Tanaman pangan, termasuk penggunaan teknologi rendah emisi, pupuk organik, konversi limbah pertanian untuk energi dan agroforestry. c. Tanaman perkebunan, termasuk pemanfaatan lahan tidur, peningkatan efisiensi, konversi limbah pertanian untuk energi, dan peremajaan tanaman perkebunan. d. Ternak, melalui pengolahan pupuk kandang dan peningkatan efisiensi pemberian pakan. e. Irigasi, termasuk perbaikan dan pemeliharaan, untuk mengendalikan dan menahan laju peningkatan emisi. 3. Adaptasi. a. Tanah dan air, mengutamakan optimasi pemanfaatan lahan yang tersedia, daripada memperluas lahan baru, meningkatkan efisiensi penggunaan air dan teknik penyediaan air. b. Tanaman pangan, melalui pengembangan varietas tanaman baru, perbaikan tanah dan pengelolaan air, ekstensi untuk inovasi, diversifikasi dan asuransi jaminan risiko cuaca. c. Tanaman perkebunan, melalui pengembangan varietas tanaman baru, diversifikasi, teknik pengelolaan tanah dan air dan penggunaan jaring pengaman sosial. d. Ternak, melalui pengenalan keturunan dan spesies baru, penggunaan konservasi makanan (misalnya silase), sistem pertanian campuran dan bio-security. 4. Penelitian dan pengembangan di berbagai kebijakan mitigasi dan adaptasi. 5. Program lintas sektor, untuk mempromosikan kerjasama antar-departemen, termasuk untuk irigasi, industri, perdagangan, transportasi, peraturan perundangundangan mengenai lahan dan kehutanan. Program ini juga akan melibatkan sektor swasta dan masyarakat sipil, termasuk organisasi pertanian. Kementerian Pertanian telah menetapkan Strategi Teknologi dan Inovasi Pertanian untuk menghadapi perubahan iklim pada tahun 2007, yang berfokus pada pilihan untuk memperkenalkan teknik pertanian cerdas iklim (Climate Smart Agriculture). Pada tahun 2009, Kementerian Pertanian mengeluarkan pedoman bantuan eksternal paralel dengan penyusunan RENSTRA Kementerian Pertanian tahun 2010-2014. Prioritas utama layanan Kementerian Pertanian sesuai dengan Renstra antara lain: meningkatkan daya saing dan kontribusi pertanian terhadap PDB, kemudian mengidentifikasi empat strategi utama, yaitu: ketahanan pangan, diversifikasi dan keamanan pangan; keberlanjutan dalam konteks perubahan iklim; aktivitas nilai tambah dan pendapatan petani kecil; serta kesiapsiagaan dan manajemen bencana.
3.2 Pendapatan dan Belanja Saat Ini Belanja untuk kebijakan dan kegiatan berbasis ekonomi ramah lingkungan disajikan dalam Tabel 4. Dari Tabel tersebut dapat dilihat bahwa besaran belanja Kementerian Kehutanan relatif stabil, sementara belanja Kementerian Pertanian lebih berfluktuasi, terutama yang Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
13
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
berkaitan dengan infrastruktur irigasi, dan juga untuk mendukung program-program pertanian dalam arti luas, yang terutama disebabkan oleh perubahan besar dalam mendukung program perlindungan tanaman dan untuk pengurangan kerugian pasca panen. Tabel 4 miliar)
Anggaran Pendapatan dan Belanja KKF-PRLSBL Prioritas (2011-2014, Rp
2011 Realisasi
2011 Anggaran
2012 Anggaran
2013 Anggaran
2014 Anggaran
Pendapatan Dana Reboisasi (DR) Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)
Na Na
Penggantian Nilai Tegakan (PNT)
Na Na
Iuran usaha kehutanan (9 jenis)
na na
1.505
na
2.440
na
1.790
na
1.305 na
na
640
na
na
na
Total
292 5.162
Belanja Kehutanan (Kementerian Kehutanan) Monitoring pembangunan hutan Perencanaan DAS
126
155
153
130
118
2.073
2.608
2.107
2.229
2.034
Konservasi dan pengelolaan hutan
434
544
556
680
557
Pengelolaan Taman Nasional
465
514
609
719
635
Pengukuhan kawasan hutan
173
187
429
520
532
Penelitian dan pengembangan
194
232
225
251
200
Penyuluhan, KPH, usaha kehutanan
103
178
157
175
131
61
119
174
173
85
Kontrol api dan keamanan hutan Kegiatan lainnya
262
317
297
327
226
3.889
4.854
4.708
5.204
4.519
Peningkatan praktik pertanian yang baik
2.328
1.811
2.759
1.191
1.027
Input kegiatan pertanian
1.486
777
482
163
283
851
721
901
1.265
1.082
1.400
1.706
1.057
719
695
582
677
816
756
641
4.168
4.505
157
184
164
10.814
10.196
6.171
4.277
3.892
Total Belanja Pertanian (Kementerian Pertanian, kecuali irigasi)
Penelitiian dan pengembangan Pertanian perkebunan Irigasi dan pengelolaan air (Kementan) Infrastruktur irigasi (Kem. PU) Total Pembelanjaan diluar anggaran K/L Subsidi pupuk
21,049
Subsidi pupuk
16.344
Subsidi benih
97 Na
16.400
13.959
16.229
21.049
120
130
1.454
1.565
1.087
1.044
1.518
1.447
DBH SDA kehutanan: IIUPH
Na
76
30
10
137
DBH SDA kehutanan: Dana Reboisasi (DR)
Na
740
989
DAK kehutanan
512 na
602
Na Na
na
DBH SDA kehutanan: PSDH
DAK pertanian
490
539
558
1.880
2.542
2.580
Na na DAK irigasi 1.349 1.614 2.923 Catatan: lihat Lampiran 1 untuk anggaran kegiatan selengkapnya. Sumber: APBN 2014; Kementerian Kehutanan (2011-2014)
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
14
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Pengeluaran diluar anggaran kementerian dikelola sebagai berikut: Subsidi pupuk yang dibayarkan kepada produsen untuk memungkinkan mereka menjual pupuk dengan harga terjangkau dan menguntungkan. Sedangkan subsidi benih biasanya diberikan kepada petani atau masyarakat melalui Kementerian Kehutanan atau Kementerian Pertanian. DBH adalah transfer ke daerah yang bertujuan untuk mempromosikan pembangunan ekonomi yang lebih merata. Untuk PSDH dan IIUPH, 20% yang dibayarkan kepada Kementerian Kehutanan dan 80% diberikan kepada daerah (16% untuk provinsi dan 64% untuk kabupaten atau kota). Dari 64% proporsi untuk kabupaten/kota, 32% diantaranya diberikan kepada kabupaten/kota penghasil penghasil dan 32% sisanya dibagi rata kepada kabupaten dan kota dalam satu provinsi. Kewenangan penggunaan PSDH dan IIUPH berada di tangan pemerintah lokal. Terdapat beberapa fleksibilitas dalam penggunaannya, tetapi bentuk penggunaan akhir harus disetujui Kementerian Keuangan. Untuk DR, 60% dikelola oleh Kementerian Kehutanan dan 40% oleh kabupaten atau kota penghasil. Penggunaan DR oleh pemerintah daerah terbatas hanya untuk reboisasi dan rehabilitasi lahan, dan untuk pemerintah pusat dapat pula dipergunakan mendanai kegiatan pendukung termasuk perlindungan hutan, pencegahan kebakaran, kontrol batas, pengawasan, penelitian dan pengembangan serta pengembangan benih. DAK ini dikelola bersama oleh kementerian dan pemerintah daerah dan penggunaannya disepakati melalui proses diskusi dan negosiasi. Pada tahun 2012, DAK Kehutanan disalurkan ke 382 kabupaten/kota, dan dihasilkan sebanyak 268 laporan pengeluaran dari penggunaan DAK kehutanan. Tabel 5 mengulas kegiatan yang didanai oleh DAK Kehutanan. Selain itu, dimungkinkan untuk menyediakan hibah yang langsung diberikan kepada pemerintah daerah. Hal ini biasanya dilakukan oleh organisasi-organisasi internasional.
Akhirnya, skema Dana Insentif Daerah (DID) juga disusun untuk memungkinkan pembayaran kepada pemerintah daerah, yang apabila memungkinkan disusun berdasarkan kinerja pada indikator agregat emisi karbon atau indikator terkait seperti area deforestasi atau reforestasi, dan kejadian kebakaran lahan gambut. Tabel 5 Kegiatan-kegiatan DAK Kehutanan Kegiatan DAK Peningkatan fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS) Peningkatanfungsi hutan mangrove danpesisir Perluasan/pembangunan hutan Rehabilitasilahan di luar kawasan hutan pada berbagai ekosistem Rehabilitasi lahan kritis di dalam kawasan hutan Pengelolaan taman nasional Bangunan konservasi tanah dan air Fasilitasdan infrastruktur hutan lindung Fasilitasdan infrastruktur taman nasional Fasilitas dan infrastruktur KPH Peningkatan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Sumber: Medrilzam (2013)
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
15
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Kotak 3 Dana Reboisasi (DR) DR merupakan instrumen untuk memperoleh pendanaan reboisasi dan rehabilitasi hutan melalui retribusi berdasarkan volume kayu. Sebesar 60% dari pendapatan DR dialokasikan untuk pemerintah pusat dan 40% masuk ke pemerintah kabupaten/kota, sesuai dengan jumlah retribusi yang diterima dari masing-masing kabupaten/kota, dan persyaratan untuk rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Mandat DR adalah untuk mendukung reboisasi dan rehabilitasi lahan dan hutan yang rusak; Namun, penggunaannya sering tidak digunakan sebagaimana diamanatkan7. Antara tahun 2004 dan 2006, dilakukan pembaruan peraturan untuk meningkatkan implementasi penggunaan DR. Bagian DR untuk Pemerintah Daerah tidak lagi diperlakukan sebagai bagian dari Dana Alokasi Khusus (DAK-DR) tetapi termasuk dalam Dana Bagi Hasil Sumberdaya Alam (DBH SDA-DR), dan semua dana DR daerah dialokasikan langsung ke pemerintah kabupaten/kota (tidak ke pemerintah provinsi). Lembaga pembiayaan seperti BP2H, yang didirikan pada tahun 2007 menyediakan dana bergulir untuk pembangunan hutan. BP2H menerima Rp 2,5 triliun antara tahun 2010 dan 2014, untuk menyediakan pinjaman lunak pembangunan hutan dengan tingkat bunga 6% dan masa tenggang 8 tahun. Pinjaman ini tersedia untuk kegiatan masyarakat, termasuk: penanaman di hutan produksi (>15ha per-kelompok); hutan kemasyarakatan (>2 hektar perkk); dan penundaan penebangan hutan rakyat ("kredit tunda tebang hutan rakyat"). Fasilitas dana bergulir (FDB) adalah skema yang lebih luas dalam rangka memberikan pinjaman, bagi hasil, usaha patungan dan partisipasi syariah untuk setiap perusahaan, termasuk perusahaan milik negara, perusahaan swasta dan instansi. Dana ini tersedia untuk usaha di sektor kehutanan maupun pertanian. Pada umumnya pengelolaan dana internasional masih mengikuti mekanisme yang dipercaya atau dikembangkannya sendiri, walaupun dalam beberapa hal juga dapat dijalankan dengan sistem pemerintah (misalnya DAK atau hibah). Ada dua lembaga pengelola dana internasional untuk perubahan iklim di Indonesia, yaitu: pertama, Lembaga amanat dana perubahan iklim internasional atau the Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) dikelola oleh Bappenas dan digunakan terutama untuk: mitigasi berbasis lahan (terutama terkait dengan upaya mengurangi deforestasi dan restorasi lahan gambut); mitigasi energi; dan adaptasi. Kedua, terdapat pula dana untuk REDD+ di Indonesia (FREDDI) yang juga merupakan dana perwalian dan dikelola oleh Badan REDD+. Mekanisme kelembagaan REDD+ masih dikembangkan, mencakup penguatan kelembagaan, prioritas pemerintah daerah, hibah kompetitif dan program hibah kecil. Ada 31 sumber pendapatan kehutanan yang diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pendapatan publik sebesar Rp 5.017 miliar dalam anggaran 2014. Sumber-sumber pendapatan negara bukan pajak (PNBP) kehutanan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12/2014 (yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 22/1997 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59/1998) 8 sebagai berikut (Lampiran 2 menyajikan daftar lengkap sumber PNBP kehutanan):
7
Kementerian Keuangan (2009) Sampai dengan terbitnya PP 12/2014, PNT dipungut berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 22/1997 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 59/1998. Padahal PP yang diacu oleh Peraturan Menteri Kehutanan itu tidak menyebut PNT, sehingga landasan hukum pemungutan PNT sangat lemah. Akibatnya, dana PNT yang dipungut sebelum keluarnya PP 12/2014 tidak dapat didistribusikan. 8
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
16
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Dana Reboisasi (DR – Rp 2.440 miliar dalam anggaran 2104) dikumpulkan sebagai biaya tetap per meter kubik kayu hutan alam dan ditujukan untuk membiayai DAK Kehutanan. Biaya tetap mencerminkan biaya penanaman kembali pada lahan kritis.
Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH Rp 1.790 miliar) dikenakan pada semua produksi kayu dari izin pemanfaatan kayu dan 10% dari nilai kayu yang dihasilkan, untuk pohon berdiameter> 30 cm.
Penggantian Nilai Tegakan (PNT - Rp 640 miliar) dipungut untuk memastikan bahwa perusahaan hanya memperoleh keuntungan normal dari aktifitas penebangan hutan alam dan selisihnya dibayarkan kepada negara. Biaya dihitung sebagai nilai produksi kayu dikurangi DR dan PSDH.
Ada sembilan jenis biaya perizinan dengan total PNBP sebesar Rp 292 miliar untuk beberapa izin usaha yang berbeda (IIUPHHK-HA/RE/HTR/HKM/HD, THPB, IIUPHHBK, IIUPJL, IIUPJJK).
Ada juga berbagai sumber pendapatan yang lebih kecil, termasuk diantaranya ganti rugi tegakan (GRT)9, dua jenis denda; dua biaya yang berkaitan dengan pemanfaatan alam dan empat terkait dengan penggunaan air; tiga biaya yang terkait dengan penggunaan benih; tujuh biaya yang berkaitan dengan penggunaan penelitian dan informasi.
Selain itu, perusahaan kehutanan tunduk pada regulasi tentang pajak negara (yaitu pajak penghasilan - PPh, pajak pertambahan nilai – PPn, dan pajak bumi dan bangunan pajak - PBB) dan pungutan sah atau retribusi yang dibebankan oleh pemerintah daerah.
Total pendapatan Kehutanan diharapkan mencapai Rp 5,017 Triliun, sementara pendapatan untuk pertanian sangat kecil, sekitar Rp 29 Miliar yang berasal dari hasil penjualan tanaman dan ternak dan sedikit pendapatan dari irigasi.
9
Ganti Rugi Tegakan (GRT) adalah pungutan sebagai pengganti nilai tegakan yang rusak dan atau hilang akibat dari perbuatan melanggar hukum pidana sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan –lihat Permenhut 52/2014. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
17
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
4 Komponen Kebijakan Kunci KKF-PRLSBL Setiap kebijakan kunci akan dinilai dengan menggunakan aspek berikut:
Konteks, termasuk peluang dan tantangan atas suatu kebijakan.
Koherensi, konsistensi dan sinergi (saling melengkapi) dengan kebijakan lain.
Kendala kelembagaan, termasuk berbagai kepentingan instansi terkait (pemerintah dan swasta) yang berpotensi menghambat keberhasilan kebijakan dan tindakan yang memungkinkan untuk menghapus kendala.
Efektivitas dan efisiensi dalam memberikan manfaat dan implikasi dari perubahan iklim dan kehilangan atau degradasi sumber daya alam
Dampak yang diharapkan dan keberlanjutan manfaat
Anggaran terbaru
Pemantauan
4.1 Kehutanan Menurut BPS, nilai nominal PDB kehutanan sebenarnya cenderung naik atau setidaknya secara riil statis, sejak tahun 2004. Namun demikian, kontribusi relatif kehutanan terhadap PDB terus mengalami penurunan dari 1,05% pada tahun 2004 menjadi hanya sebesar 0,63% pada tahun 2013. Pada tahun 2013 kehutanan memberikan kontribusi sekitar Rp 57 triliun terhadap PDB berdasarkan harga berlaku. Dua PDB produk turunan yang juga tergantung pada hutan, yaitu: produk kayu, yang memberikan kontribusi Rp 94,7 triliun pada harga saat ini dan kurang lebih tetap statis pada periode tahun 2004-2013; dan produk kertas dan percetakan, yang cenderung mengalami peningkatan dan memberikan peningkatan kontribusi dari Rp 72,8 triliun tahun 2013 pada harga berlaku. Selain peningkatan kontribusi terhadap PDB, sektor kehutanan juga diharapkan mengambil peran penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Pada tahun 2008, tercatat sekitar 17% penduduk Indonesia tinggal di pemukiman sekitar hutan yang diklasifikasikan sebagai “masyarakat desa hutan” dan 32% dari masyarakat di desa-desa ini tergolong miskin. Tabel 6 menyajikan kawasan hutan di bawah pengelolaan Kementerian Kehutanan. Lebih lanjut, terdapat area hutan tanaman dengan luasan sebesar kurang lebih 9,4 juta ha pada tahun 2010 menurut statistik FAO.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
18
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Table 6 Klasifikasi dan luas kawasan hutan (juta hektar, 2012) Kawasan Hutan
Tutupan Vegetasi Berhutan Tidak Berhutan Total
HL KSA/PA 24.8 16.0 7.4 5.2 32.2
21.2
HP 20.3 13.9
HPT 18.8 4.0
Total 79.8 30.6
HPK 10.3 10.6
34.1
22.8
110.4
20.9
NonKawasan Luas Hutan Daratan Total APL 90.1 8.6 98.7 41.1 48.0 89.2 131.3
56.6
187.8
Catatan: HL=Hutan Lindung; KSA/KPA=Kawasan Suaka Alam; HP=Hutan Produksi; HPT=Hutan Produksi Terbatas; HPK=Hutan Produksi Konversi; APL=Area Penggunaan Lain Sumber: Statistik Kemenhut (2012)
Menurut UU Kehutanan 41/1999, ada tiga jenis pemanfaatan hutan yang dapat dilakukan di hutan lindung dan hutan produksi, yaitu: izin usaha pemanfaatan kawasan (IUPK), izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL) dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan (IUPHH), dengan beberapa variasi dan aturan (Dermawan et al. 2011). Izin usaha pemanfaatan hasil hutan terdiri atas beberapa macam, antara lain: Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK), Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) dan Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK). Izin pemungutan hasil hutan dikeluarkan untuk usaha kecil, dengan luasan area yang lebih kecil dan jangka waktu yang lebih pendek. Sementara, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) terdiri dari beberapa jenis, antara lain: Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) yang dahulu dikenal dengan sebutan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT), yang terdiri dari Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) dan Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR). Ada banyak perbedaan data, termasuk perbedaan definisi hutan, klasifikasi hutan, dan berbagai analisis data dan metode. Hal ini menyebabkan perbedaan dalam memperkirakan tutupan hutan dan deforestasi. Data luas kawasan hutan belum terintegrasi dan laju deforestasi di Indonesia berbeda-beda tergantung pada sumber yang dipergunakan, dan perbedaan terjadi dari tahun ke tahun (Indrarto et al. 2012). Infrastruktur Data Spasial Nasional (IDSN) saat ini sedang diperkenalkan di Indonesia ('One Map' Policy atau kebijakan peta tunggal). Kebijakan ini bertujuan membuat data deforestasi lebih mudah tersedia dan konsisten. Google.com baru-baru ini juga meluncurkan sebuah akses peta penginderaan jarak jauh yang terbuka untuk seluruh dunia, yang sangat berguna untuk mengidentifikasi dan melacak terjadinya deforestasi di berbagai negara. (http://earthenginepartners.appspot.com/science-2013-global-forest).
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
19
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Kotak 4 Beragam Manfaat Hutan Kebijakan kehutanan bertujuan untuk menyeimbangkan berbagai manfaat hutan, termasuk: ekstraksi kayu, hasil hutan bukan kayu (HHBK), manfaat DAS, keanekaragaman hayati dan manfaat rekreasi. Data lengkap tentang nilai ekonomi hutan di Indonesia masih sangat terbatas, tetapi ada beberapa literatur yang dapat dipergunakan sebagai referensi. Pearce (2001) berdasarkan serangkaian studi membuat estimasi nilai manfaat ekonomi hutan tahunan sebagai berikut (dalam USD/ha/tahun): ekstraksi kayu yang berkelanjutan 30-266; kayu bakar 40; HHBK 0-100; manfaat DAS 15-850; dan rekreasi 2-470. Selain itu, ada manfaat dan biaya yang terkait dengan penebangan hutan alam: ekstraksi kayu 200-4.400; keanekaragaman hayati 0-3.000; dan simpanan karbon 360-2.200 (dengan asumsi harga karbon USD 37/tCO2e).Sebuah penelitian valuasi SDH di Indonesia menunjukkan rentang nilai yang berbeda, tetapi juga menunjukkan pentingnya nilai manfaat ekonomi hutan (Yusran dan Darusman, 2003). Pedoman IPCC merekomendasikan untuk menggunakan nilai standar perhitungan stok karbon biomassa di atas tanah dan pertumbuhan bersih di hutan hujan tropis: untuk hutan alam, stok material kering 300 ton/ha dan pertumbuhan dari 7 ton/ha material kering; dan untuk perkebunan, stok 150 ton/ha material kering dan pertumbuhan dari 15 ton/ha/tahun material kering. Tingkat pertumbuhan tanaman yang lebih tinggi dimungkinkan dengan penanaman jenis cepat tumbuh seperti Eucalyptus. Gambaran ini mengacu pada asumsi 20 tahun pertama pertumbuhan hutan. Secara umum produktifitas hutan tropis semakin menurun (misalnya hutan kering atau hutan pegunungan) serta memiliki stok dan pertumbuhan tegakan yang secara signifikan lebih rendah. Pada umumnya angka yang sebenarnya ditaksir kurang lebih sebesar 20% dari nilai-nilai standar. Harga kayu di pabrik sangat bervariasi di seluruh Indonesia, dengan harga tertinggi berada di Jawa, khususnya untuk produsen kecil, karena pasar yang lebih kompetitif. Rata-rata harga di pabrik adalah antara Rp 250.000 dan Rp 500.000/ton, dengan total output sekitar Rp 75 juta/ha, dan asumsi panen dari sekitar 200 ton/ha kayu. Pangsa nilai tambah (yaitu pendapatan tenaga kerja dan keuntungan) dalam total output untuk kegiatan berbasis lahan biasanya sekitar 70%, menurut tabel input-output, menunjukkan bahwa penebangan hutan alam menyumbang sekitar Rp 50 juta/ha terhadap PDB. Untuk lahan perkebunan, dengan asumsi panen tahunan rata-rata 15 ton/ha/thn, rata-rata kontribusi terhadap PDB adalah sekitar Rp 4 juta/ha/tahun. Untuk pengelolaan hutan alam, dengan asumsi panen tahunan 7 ton/tahun, rata-rata kontribusi terhadap PDB sekitar Rp 2 juta/ha/tahun. Sekitar tiga perempat dari stok karbon hutan berada di atas tanah.Bagian dari stok yang dapat diekstrak sebagai kayu bulat meningkat dari sekitar 50% pada 50 tahun pertama menjadi sekitar 70% setelah 100 tahun. Kandungan material kering dari kayu keras bervariasi antara 0,6 dan 0,8 t/m3 dan kandungan karbon kayu biasanya diperkirakan 0,5 tC/ton material kering, atau 1,8 tCO2e/ton material kering. Dengan demikian, penebangan hutan hujan tropis menyebabkan hilangnya cadangan karbon sekitar 300 tCO2e/ha, sementara hasil pengelolaan hutan lestari menghasilkan keuntungan bersih sekitar 8 tCO2e/ha/tahun dan hutan tanaman memberikan keuntungan bersih sekitar 16 tCO2e/ha/tahun. Emisi dari pengeringan lahan hutan hujan tropis diperkirakan sebesar 3 hingga 14 tCO2e/ha/tahun.Dalam hutan hujan tropis yang sudah mencapai klimaks, secara umum emisi bersih antara penyerapan dan pengeluaran karbon akan mendekati titik keseimbangan.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
20
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
4.1.1 Pengendalian deforestasi: perizinan dan penerimaan kehutanan Konteks dan dimensi ramah lingkungan. Penebangan liar merupakan masalah besar di Indonesia. Data estimasi proporsi kayu ilegal sangat beragam. Sebuah artikel yang merangkum lima estimasi proporsi kayu ilegal di Indonesia berkisar antara 19% sampai 57%, bahkan dua laporan memperkiraan lebih dari 70% (Luttrell et al., 2011). Kajian ini menggunakan estimasi proporsi kayu ilegal sekitar 40%. Pembalakan liar didorong oleh dua faktor ekonomi utama, yaitu: pertama, keuntungan yang tinggi dari menjual kayu; dan, kedua, keuntungan selanjutnya yang didapatkan dari menggunakan lahan hutan untuk keperluan pertanian, termasuk perkebunan, khususnya kelapa sawit. Net Present Value dari marjin penjualan kayu yang ditebang dan dari hasil perkebunan di atas lahan hutan yang telah ditebang sangat tinggi. Margin ini jauh lebih tinggi daripada yang dapat diperoleh dari usaha pengelolaan hutan lestari. Kebijakan. Karena insentif dari kegiatan deforestasi sangat tinggi, maka perlu adanya kebijakan yang menggabungkan insentif dan regulasi. Dalam banyak kasus, kebijakan sebenarnya sudah ada dan apa yang diperlukan sesungguhnya adalah memperkuat insentif dan penegakan hukum. Kebijakan utama yang dilakukan pemerintah adalah sebagai berikut. • Melanjutkan moratorium izin baru untuk konversi hutan. Menurut angka resmi, moratorium izin baru telah membantu memperlambat deforestasi, meskipun pemegang izin yang telah ada masih diperbolehkan membuka hutan. • Penegakan hukum untuk mencegah deforestasi. Pada kenyataannya, deforestasi cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir, meskipun angka deforestasi resmi besarnya berfluktuasi. Pengendalian deforestasi ilegal merupakan prioritas utama KKFPRLSBL. Secara teori, hukum memungkinkan pemerintah untuk menuntut individu dan perusahaan yang terlibat dalam pembalakan liar. Namun, dalam praktiknya banyak pelaku pembalakan liar dan perambahan hutan hanya dihukum ringan. • Fee dan royalti kehutanan pada dasarnya dirancang untuk memungut sebesar mungkin surplus keuntungan dari kegiatan deforestasi dan mengurangi insentif untuk kegiatan tebang habis. Namun, dalam praktiknya disinsenif melalui pungutan-pungutan kehutanan tersebut tidak selalu berfungsi secara efisien. Bahkan, fee dan royalti dapat membuat insentif buruk, mendorong pemerintah menerbitkan izin untuk meningkatkan pendapatan, terutama oleh pemerintah daerah. • Pemberlakuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di seluruh Indonesia, untuk hutan tanaman skala besar, dan juga pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
Koherensi, konsistensi dan sinergi. Ada beberapa ketidaksinkronan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah atas tanggung jawab untuk mengumpulkan pendapatan dan beberapa kewenangan pengeluaran di sektor kehutanan (lihat Lampiran 3). Dalam banyak kasus, keberadaan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) benar-benar menciptakan insentif bagi pemerintah daerah mempercepat pemanfaatan hutan untuk tujuan produktif, terutama untuk meningkatkan pendapatan daerah. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
21
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Besaran tarif yang ditetapkan untuk DR dan PSDH yang telah berlaku enam tahun perlu ditinjau kembali, untuk memastikan bahwa disinsentif ini sudah cukup untuk memengaruhi keputusan pelaku usaha dalam pembukaan hutan. Kerusakan hutan juga disebabkan oleh kurangnya informasi dan kesadaran pelaku usaha tentang prosedur pengelolaan hutan lestari dan terbatasnya kesempatan untuk berbagi informasi. Dalam banyak kasus, pengusaha dan masyarakat tidak memanfaatkan hutan dengan prosedur yang benar, sehingga mereka tidak dapat beroperasi secara efisien dan kelestarian hutan tidak terjaga. Efisiensi, efektivitas, dampak dan keberlanjutan. Biaya transaksi yang terkait dengan berbagai insentif yang tinggi akan menciptakan hambatan untuk pengelolaan hutan yang efisien, mengurangi pendapatan hasil usaha dan menjadi disinsentif bagi usaha kehutanan yang sah. Hal ini terutama terlihat dari kesulitan yang dialami dengan pelaksanaan proyek berbasis DR. Banyak provinsi memiliki saldo besar dari iuran kehutanan dan biaya yang belum dibayar. Kelembagaan. Insentif yang tersedia dalam peraturan saat ini tidak cukup besar untuk mendorong pengelolaan hutan lestari, kecuali para pengambil keputusan secara kelembagaan didorong untuk lebih memerhatikan keuntungan non-komersial, seperti manfaat keanekaragaman hayati dan DAS, serta keseimbangan insentif hulu-hilir dalam rangka mendukung pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan. Hal ini juga akan mempengaruhi insentif bagi pemegang hak pemanfaatan hutan, pemerintah daerah, dan LSM. Implikasi fiskal. Hilangnya pendapatan pemerintah yang hilang dari sektor kehutanan berdampak serius dan estimasi nilainya sangat beragam. Salah satu laporan menyebutkan bahwa pemerintah kehilangan pendapatan sekitar Rp 20 triliun pada tahun 2006 (Human Rights Watch, 2009). Kerugian ini berasal dari berbagai sumber, termasuk fee dan royalti yang hilang, kerugian dari penggelapan pajak, serta kerugian yang terkait dengan praktikpraktik penetapan harga yang tidak adil. Estimasi kehilangan pendapatan dari sektor kehutanan ini tergolong tinggi, mengingat bahwa pendapatan dari hutan hanya Rp 5,2 triliun dalam anggaran 2014, dan kontribusi kehutanan dalam angka PDB resmi sekitar Rp 57 triliun. Pendekatan sederhana untuk memperkirakan pendapatan yang hilang akan diperoleh dengan asumsi bahwa pembalakan liar sepenuhnya dikenakan pajak dan jumlahnya sekitar 40% dari total penebangan, maka anggaran pendapatan dari kegiatan kehutanan akan meningkat dari Rp 5,2 triliun menjadi Rp 8,7 triliun. Dalam kasus apapun, penghentian deforestasi secara bertahap dalam kurun waktu lebih dari 10 tahun akan berarti bahwa pendapatan saat ini yang diperoleh dari deforestasi (yang diperkirakan sebesar Rp 2,0 triliun, jika diasumsikan 40% dari pendapatan total hutan), akan hilang pada tahun 2025. Jika rencana pengenaan pungutan pajak hasil pertanian tetap dilaksanakan (tidak dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi), maka perkiraan potensi pendapatan dari peningkatan pemungutan pajak dari sektor minyak kelapa sawit menunjukkan pendapatan tambahan yang dapat diperoleh lebih dari Rp 100 triliun (Prastowo, 2014). Tidak ada aturan bahwa pajak hasil pertanian harus dialokasikan secara khusus untuk prioritas KKF-PRLSBL. Dalam praktiknya, kontribusi terbesar terhadap perekonomian berkelanjutan adalah regulasi yang mengatur pengendalian perkebunan kelapa sawit, sehingga akan mengurangi tekanan untuk ekspansi kebun ilegal. KKF-PRLSBL mengasumsikan bahwa potensi peningkatan
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
22
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
pendapatan akan dicapai selama 5 tahun dan 10% dari perbaikan akan tersedia untuk prioritas KKF-PRLSBL di sektor kehutanan. 4.1.2 Pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) Konteks dan dimensi ramah lingkungan. Terdapat tradisi panjang kehutanan masyarakat di Indonesia, termasuk dukungan untuk Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah salah satu cara untuk menghindari akses terbuka terhadap kawasan hutan, serta mempromosikan pemanfaatan hutan yang lebih produktif dan berkelanjutan melalui penguatan lembaga untuk mengelola sumber daya hutan di tingkat tapak. Sebanyak 600 KPH direncanakan dibangun, termasuk yang terkait dengan fungsi produksi (KPH-P), lindung (KPH-L) dan konservasi (KPH-K). Saat ini hampir 200 KPH sudah ditetapkan dari rencana untuk membangun 600 KPH dalam kurun waktu sekitar 4 tahun. Dari 80 KPH yang telah aktif, 17 KPH diantaranya telah membuat rencana usaha (business plan) jangka panjang. Selain mendorong terbentuknya KPH, pemerintah melalui Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN 2011) juga telah mengalokasikan sekitar 6 juta ha untuk pengusahaan hutan skala kecil atau kurang 5% dari 130 juta ha kawasan hutan. Walaupun telah mendapatkan perhatian, namun luas yang dialokasikan untuk pengusahaan hutan skala kecil dalam RKTN masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan luas kawasan hutan yang dialokasikan untuk konsesi skala besar seluas 41% dari kawasan hutan (52 juta ha). Kebijakan. Tujuan kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) adalah untuk meningkatkan area pengelolaan hutan bersama masyarakat dan memastikan bahwa sumber daya alam dikelola dengan cara yang lestari.
Kebijakan pendukung KPH diperlukan untuk memastikan agar kawasan hutan yang sangat luas dapat dikelola dengan baik, terkait pemanfaatan hasil hutan baik kayu maupun bukan kayu secara berkelanjutan dan perlindungan hutan dari tindakantindakan ilegal. Kementerian Kehutanan menjalankan program untuk menginisiasi pembentukan KPH dengan alokasi dana sebesar Rp 9 miliar/tahun per KPH untuk 80 KPH-P. Dana inisiasi pembentukan KPH ini dipergunakan untuk rekrutmen karyawan, pembangunan kantor, dan pengadaan kendaraan.
Skema kredit untuk PHBM dimulai pada tahun 1988 melalui kegiatan usaha tani konservasi Daerah Aliran Sungai (KUK-DAS) terpadu antara intensifikasi pertanian dan penerapan konservasi tanah, yang disalurkan sebesar Rp 42 miliar antara tahun 1988 dan 1998. Skema kredit untuk pengembangan kelompok usaha hutan rakyat (KUHR) yang disalurkan sebesar Rp 108 miliar antara tahun 1997 dan 2000. Tingkat pengembalian atas pinjaman awal ini sangat rendah. Dilanjutkan dengan BLU P2H (Pembiayaan Pembangunan Hutan) yang diluncurkan pada tahun 2007. Sebuah laporan pada tahun 2010 menunjukkan bahwa masih perlu peningkatan kesadaran para peminjam untuk tidak menggunakan skema untuk tujuan selain kehutanan.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
23
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Dana Alokasi Khusus (DAK) membuka ruang kepada pemerintah pusat untuk mendukung kegiatan kehutanan. Dana Reboisasi (DR) adalah bagian dari sistem DAK dan ditujukan khusus untuk kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan.
Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kegiatan PHBM meliputi Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), pola kemitraan, dan Hutan Rakyat (HR).
Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan izin usaha kehutanan dan pungutan kehutanan, baik yang bersifat fee maupun royalti.
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) juga dapat memperoleh manfaat dari kebijakan yang memberikan insentif berupa Imbal Jasa Ekosistem (IJE). Sebagian besar skema IJE yang sejauh ini telah dikembangkan berupa imbal jasa pasokan air bersih dan atau fungsi tata air, karena pengguna merasakan manfaat yang nyata sehingga bersedia memberikan sumber dana untuk IJE. Berdasarkan berbagai pengalaman IJE yang terkait dengan pasokan air bersih atau tata air, inisiatif PHBM juga berpotensi untuk dikembangkan dalam beberapa skema pembayaran IJE untuk jasa lingkungan lainnya, misalnya keanekaragaman hayati dan karbon, melalui skema REDD+. Detail lebih lanjut dijelaskan lebih detil pada bagian 4.1.6.
Skema REDD+ dapat dilaksanakan pada level KPH maupun dalam PHBM yang akan dijelaskan lebih lanjut di Kotak 5.
Kebijakan-kebijakan pengembangan KPH dan PHBM memerlukan dukungan Kementerian Kehutanan dan pemerintah daerah, baik untuk bantuan teknis maupun dalam hal penegakan hukum. Secara khusus, upaya-upaya penegakan hukum harus diarahkan untuk mencegah pembalakan liar, dimana KPH memerlukan dukungan hukum yang kuat dan aparat kepolisian yang memadai.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
24
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Kotak 5 REDD+ Program Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) di negara berkembang adalah respon UNFCCC untuk memberikan dukungan keuangan dan teknis dari negara-negara maju untuk membatasi deforestasi dan degradasi hutan. Rencana internasional untuk REDD yang dimulai pada tahun 2009 dan telah meluas menjadi REDD+, yang mencakup konservasi dan pengelolaan hutan .Praktik standar internasional mengadopsi tiga fase untuk implementasi: kesiapan (termasuk rencana dan lembaga); pelaksanaan (melibatkan pembangunan kapasitas dan demonstrasi); dan pembayaran untuk kinerja (dimana pembayaran dilakukan untuk hasil yang terkait dengan mitigasi). Hasil yang diterima juga dapat diperluas untuk keanekaragaman hayati dan, bahkan, mata pencaharian yang berkelanjutan. Namun, ada beberapa contoh dimana REDD+ telah bergerak di luar fase kesiapan. Kemajuan program REDD+ terhambat oleh buruknya kinerja pasar karbon internasional. Pembentukan Lembaga REDD+ di Indonesia diharapkan dapat mempercepat kemajuan program REDD+.Keberhasilan penguatan kelembagaan REDD+masih memerlukan kebijakan lebih lanjut. Dana REDD+untuk Indonesia (FREDDI) yang dikelola oleh Badan REDD+, terlibat dalam hibah percontohan kecil yang bertujuan untuk cepat bertindak dengan dampak tinggi dan berkelanjutan, sejalan dengan pentahapan yang lebih luas untuk percontohan dan scale-up REDD+ (BP REDD+, 2014). Ada empat tantangan utama yang terkait dengan keuangan REDD+ (Angelsen et al, 2012.), yaitu: mendefinisikan biaya dan pembiayaan; memobilisasi pembiayaan yang memadai; mengalokasikan dan menyalurkan pembiayaan secara efisien; dan memenuhi harapan penerima dan pemberi dana. Di Indonesia, pengalaman dari Program Karbon Hutan Berau (PKHB) menunjukkan bahwa tantangan utama di tingkat lokal adalah ambiguitasperan antara pemerintah kabupaten dan provinsi; metodologi akuntansi dan indikator pengukuran stok karbon dan insentif pembiayaan yang memadai (OPM, Juli 2014). Setidaknya ada empat komponen biaya utama dalam REDD+, yaitu::biaya kesempatan penggunaan lahan; pengembangan kesiapan REDD+; pelaksanaan REDD+; dan biaya transaksi REDD+ untuk pasar kredit karbon (Prasetyo, 2013). Perkiraan biaya kesempatan pengembangan REDD+ bagi Indonesia bervariasi dari USD 1.590/ha/tahun (WertzKanounnikoff dan Kongphan-Apirak, 2009) untuk NPV USD 10.330/ha dan daur lebih dari 25 tahun (Prasetyo, 2013). Readiness dan biaya start-up sekitar USD 25/ha (Prasetyo, 201310); biaya implementasi sekitar USD 0.51/tCO2e; dan biaya transaksi sekitar USD 0.38/tCO2e. Emisi gas rumah kaca bersih rata-rata konversi hutan alam untuk perkebunan kelapa sawit sekitar 149tCO2e/ha (yaitu stok karbon hutan alam dari 225 tCO2e/ha menjadi stok karbon kelapa sawit kurang dari 76tCO2e/ha), menunjukkan biaya kegiatan REDD+ per-satu hektar hutan, termasuk biaya kesempatan, adalah sekitar USD 25 untuk biaya set-up dan sekitar USD 130 untuk biaya tahunan transaksi dan implementasi. Biaya peluang tidak mencakup seluruh manfaat penurunan deforestasi, karena pada umumnya biaya non-pasar tidak diperhitungkan. Melalui metode penilaian Kontingensi, biaya non-pasar adalah USD 2,3 miliar, yang diperkirakan berasal dari keuntungan rata-rata USD 130/ha, untuk 18 juta ha areal konsesi (Caravani, 2011). REDD+ juga dapat didanai baik di bawah skema APBN maupun anggaran daerah (APBD). APBN 2014 untuk REDD+ adalah Rp 8,6 triliun. Pendanaan dapat dikaitkan langsung dengan arus masuk pembiayaan karbon internasional, terutama untuk REDD+. DAK juga dapat digunakan secara langsung untuk program REDD+. Koherensi, konsistensi dan sinergi. Tidak terdapat inkonsistensi substansial di antara kebijakan-kebijakan yang mengatur tentang Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
10
Prasetyo berasumsi bahwa pendapatan dari penebangan kayu (up front) sebesar USD 1.099/ha; rata-rata hasil tbs kelapa sawit 3.89 t/ha; biaya pembangunan USD 3800/ha; biaya tahunan USD 280/ha; dan bunga diskonto 5,75%. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
25
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
(PHBM). Namun demikian, terdapat beberapa inkonsistensi antara kebijakan PHBM dan kebijakan-kebijakan lainnya, yang akan dibahas dalam bagian 5.1. Efisiensi, efektivitas, dampak dan keberlanjutan. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) mencerminkan kesadaran bahwa Kementerian Kehutanan tidak memiliki sumberdaya untuk mengelola secara efektif semua lahan hutan. Pemberdayaan KPH yang melampaui beberapa tanggung jawab pengelolaan kepada masyarakat, dalam pertukaran hak untuk mengelola lahan secara berkelanjutan. Pada umumnya KPH memiliki sumberdaya terbatas. Secara teori, seorang rimbawan (pegawai KPH) hanya dapat mengawasi areal hutan sekitar 10 hektar. Artinya, KPH dengan luas 100.000 hektar akan membutuhkan 10.000 orang, yang jauh melampaui ketersediaan sumberdaya manusia yang memiliki kapasitas dan tertarik untuk bekerja di hutan. Tingkat bunga dibatasi oleh pendapatan yang diterima. Secara teori, ekstraksi kayu yang berkesinambungan dari 1 ha hutan alam sekitar 7 ton/tahun akan memberikan pendapatan kotor sekitar Rp 7 juta. Jika margin pada pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan yang berasal dari hutan tanaman (yaitu sekitar 50%) akan memberikan penghasilan tahunan sekitar Rp 3,5 juta. Hal ini berarti diperlukan luas pemanfaatan hutan antara 5 ha sampai 10 ha per orang untuk mendapatkan penghasilan yang kira-kira sebanding dengan rata-rata PDB per kapita Indonesia dan upah minimum provinsi11.Dalam praktiknya, biaya pemanenan pohon di hutan alam cenderung lebih tinggi daripada di hutan tanaman. Pendapatan dari PHBM yang berkelanjutan perlu dibandingkan dengan pendapatan dari konversi/penebangan hutan yang biasanya memberikan keuntungan sekitar Rp 150 juta/ha, dan kemudian menggunakan lahan untuk pertanian, yang dalam kasus kelapa sawit, menghasilkan manfaat tahunan Rp 10 juta – Rp 30 juta/ha dan menghasilkan Nilai Kini Bersih (NPV) antara Rp 50 juta-Rp 300 juta/ha (Budidarsono et al., 2012, World Growth, 2011). Efektivitas KPH dan PHBM perlu dilihat dalam konteks berbagai manfaat yang dihasilkan secara menyeluruh dan kesulitan atau hambatan untuk penyediaan insentif (Subarudi, Achmad et al. 2014). Dalam praktiknya, ada tantangan dalam mendorong masyarakat untuk berbagi keuntungan hasil ekstraksi kayu dan penggunaan lahan untuk tanaman campuran kehutanan dan pertanian yang berkelanjutan. Salah satu opsi yang paling efektif, misalnya melalui pola agroforestry (Maryudi dan Krott, 2012). Angka standar IPCC menunjukkan bahwa PHBM, termasuk pola agroforestry, diperkirakan dapat memanfaatkan minimal 5 ton/ha kayu setiap tahun, yang akan bernilai sekitar Rp 2,5 juta/ha untuk rata-rata jenis pohon dan dua atau tiga kali lipat lebih besar untuk kayu keras tropis bernilai tinggi. Harga ini kira-kira sesuai dengan nilai-nilai yang disajikan pada Kotak 3. Selain kayu bulat, masyarakat juga memperoleh nilai manfaat kayu bakar yang diperkirakan setara dengan Rp 0,4 juta/ha. Sementara, manfaat jasa lingkungan dari Daerah Aliran Sungai (DAS) tergantung pada lokasi hutan dan apakah ada pemukiman besar di dekatnya yang memiliki akses terbatas terhadap sumber-sumber alternatif air bersih. Nilai manfaat keanekaragaman hayati lebih subyektif, sehingga sampai dengan saat ini masih sulit untuk direalisasikan melalui skema imbal jasa ekosistem (IJE). 11
Untuk sebagian besar provinsi, upah minimum provinsi (UMP) tahun 2014 adalah antara Rp 1,2 juta dan Rp 1,8 juta/bulan, dimana tingkat UMP terendah adalah Rp 0,91 juta (di Jawa Tengah) dan tertinggi Rp 2,44 juta (di DKI Jakarta). Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
26
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Nilai mitigasi dari kegiatan PHBM memerlukan analisis yang cermat. Untuk hutan hujan tropis primer (mendekati vegetasi klimaks), pada umumnya telah terjadi keseimbangan antara pengeluaran dan penyerapan karbon sehingga total hanya ada sedikit perubahan dalam cadangan karbon pada biomassa di atas tanah, di dalam tanah, dan di bawah tanah. Penyerapan bersih GRK dari atmosfer kecil dan penyerapan GRK oleh biomassa hidup kirakira setara dengan GRK yang dihasilkan dari dekomposisi biomassa yang mati, baik pada permukaan tanah maupun di dalam tanah. Pemanenan pohon dalam skema PHBM berguna untuk memanfaatkan pohon-pohon yang telah tua dan mencegah pohon tua membusuk sehingga akan mengurangi emisi. Jika menggunakan parameter dalam Kotak 2, pengurangan emisi karbon dari kegiatan PHBM sekitar 8 tCO 2e/ha atau senilai sekitar Rp 0,25 juta/ha, dengan asumsi harga karbon dari USD 30/tCO 2e (Lihat Kotak 1). Kelembagaan. Pengembangan dan penguatan kelembagaan KPH dan REDD+ yang melibatkan masyarakat perlu dilakukan. Instrumen kelembagaan lainnya selain KPH dan REDD+ mungkin dapat pula diterapkan, namun diduga akan memerlukan keterlibatan langsung pemerintah pusat atau pemerintah daerah dan kemungkinan menggunakan transfer bersyarat dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. KPH dan inisiatif PHBM tampaknya lebih berhasil diterapkan di Pulau Jawa daripada di daerah lain karena adanya pasar kayu yang lebih efisien. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh tradisi PHBM yang sudah cukup lama diterapkan di Pulau Jawa, tetapi juga dipengaruhi oleh maraknya pasar kayu, dimana masyarakat dapat dengan mudah menjual kayu dari hutan rakyat kepada pedagang kayu atau industri pengolahan kayu. Di luar Pulau Jawa, biaya transportasi yang lebih tinggi dan jumlah industri pengolahan kayu skala kecil juga lebih sedikit. Hal ini mengakibatkan menguatnya integrasi vertikal dalam industri kehutanan skala besar, sehingga harga kayu rakyat jauh lebih rendah daripada di Pulau Jawa. Pemerintah daerah merupakan salah satu elemmen kunci untuk mencapai komitmen pengurangan emisi karbon karena sebagian kewenangan perencanaan tata ruang dan perizinan berada dalam yurisdiksi mereka. Setelah desentralisasi dan implementasi undangundang otonomi daerah di Indonesia, sebagian besar kewenangan administratif dan regulatif ditransfer dari pemerintah pusat ke pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota. Secara khusus, pemerintah kabupaten menerima banyak fungsi pemerintahan yang penting, termasuk mandat untuk merancang dan mengelola strategi pembangunan kabupaten, dan peran yang lebih besar dalam pengelolaan hutan, seperti mengeluarkan izin penebangan kayu dan konversi hutan skala kecil, melaksanakan penggunaan lahan mereka sendiri rencana tata ruang, dan merumuskan strategi pembangunan kabupaten12. Implikasi fiskal. Skema pemberian hibah termasuk dalam anggaran pengeluaran. Pembatasan penebangan akan mengakibatkan kerugian sekitar 220 juta ton dari ekstraksi kayu dan pengelolaan hutan berkelanjutan akan mengurangi sekitar sepertiga dari produksi kayu saat ini. Implementasi skema ini diperkirakan akan memerlukan sekitar 5 juta hektar hutan yang dikelola dengan manajemen yang berkelanjutan dan membutuhkan biaya sekitar Rp 25 triliun. Jika skema ini diterapkan secara bertahap selama lebih dari 10 tahun, maka biaya tahunan yang diperlukan sebesar Rp 2,5 triliun.
12
Pada akhir tahun 2014 Undang Undang Pemerintahan Daerah Nomor 32 Tahun 2004 diganti dengan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014, dimana sebagian kewenangan pemerintah kabupaten/kota ditarik ke provinsi. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
27
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Penyediaan dana bergulir untuk KPH dianggap sebagai bagian dari skema pembiayaan dan dampak negatifnya pada anggaran dapat dilihat dari sejauhmana dana bergulir gagal berputar sebagai akibat dari tunggakan pembayaran dan bunga. Pengalokasian lahan hutan untuk hutan kemasyarakatan (HKm) berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan, namun kemungkinan juga akan mengurangi PNBP kehutanan dari royalti. 4.1.3 Perlindungan dan Konservasi Hutan Konteks dan dimensi ramah lingkungan. Data Statistik Kehutanan (2012) menyebutkan terdapat hutan konservasi seluas 22,4 juta ha, selain itu 31,5 juta ha diklasifikasikan sebagai hutan lindung dan 5,5 juta ha merupakan cagar alam. Kebijakan. Banyak kebijakan yang terkait dengan perlindungan dan konservasi sumberdaya hutan memerlukan biaya yang besar. Kebijakan perlindungan dan konservasi sumberdaya hutan mencakup: regulasi yang mengatur kegiatan apa yang diizinkan di hutan lindung dan konservasi; penegakan hukum kehutanan; mendefinisikan batas-batas; proteksi kebakaran; dan perizinan, yang semuanya diperlukan dalam mengendalikan deforestasi. Kegiatan ini dikelola oleh Kementerian Kehutanan, yang menentukan alokasi optimal dari anggaran rutin untuk mencapai tujuan dalam perlindungan hutan dan konservasi sumberdaya hutan. Namun, ada beberapa ambiguitas tanggung jawab antara pemerintah pusat dan provinsi terkait penerimaan negara bukan pajak (PNBP) (Lampiran 3). Salah saru fungsi dari KPH adalah untuk membentuk kapasitas lokal untuk berkontribusi dalam perlindungan hutan dan kebijakan-kebijakan yang mendukung KPH agar dapat berpengaruh untuk meningkatkan perlindungan hutan. Koherensi, konsistensi dan sinergi. Dalam beberapa hal DBH Kehutanan (Dana Bagi Hasil dari Sektor Kehutanan) dirasakan kurang efektif karena keterbatasan kapasitas dan perbedaan kepentingan pemerintah daerah dan masyarakat lokal dalam pengelolaan dan perlindungan hutan. Terdapat beberapa masalah dalam prinsip-prinsip perhitungan DBH, yang terkait dengan produksi kayu dan perlindungan sumberdaya hutan. Selain itu, target penerimaan dari DBH yang terus meningkat dalam rencana anggaran tahunan juga dirasakan semakin sulit untuk dicapai. Kementerian Keuangan telah berusaha untuk mengatasi hal ini dengan mengaitkan target penerimaaan DBH dengan rata-rata realisasi DBH dalam tiga tahun terakhir, namun hal ini mengakibatkan target DBH yang underestimate. Penentuan target DBH juga menimbulkan masalah dan dialami oleh Kementerian Kehutanan dan pemerintah daerah yang membuat pemerintah daerah hanya memiliki sedikit waktu untuk menggunakan dana. Masalah-masalah ini menyebabkan kebingungan dalam proses pelaporan triwulanan. Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi (BP2HP) tidak terlibat dalam proses manajemen tersebut, yang membuatnya sulit untuk merespon secara efektif. Pencairan Dana Reboisasi (DR) lambat. Hal ini terkait dengan Peraturan Pemerintah No. 35/2002 tentang Dana Reboisasi (DR) yang membatasi penggunaan DR oleh pemerintah daerah hanya untuk reboisasi dan rehabilitasi lahan, namun pemerintah pusat dapat mempergunakannya untuk kegiatan pendukung. Ada beberapa masalah terkait dengan administrasi DR, PSDH dan IIUPH, terutama menyangkut keterlambatan dalam pelaporan dan pembayaran. Hal ini disebabkan selain karena keterbatasan kapasitas pelaksana, juga diakibatkan oleh peraturan tentang prosedur
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
28
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
dan tanggung jawab antara tingkat pemerintahan yang kurang jelas dan terkadang bertentangan (Lampiran 3). Efisiensi, efektivitas, dampak dan keberlanjutan. Manfaat utama dari kegiatan perlindungan hutan terkait dengan nilai manfaat keanekaragaman hayati, jasa DAS dan rekreasi. Indonesia belum menetapkan standar untuk penilaian manfaat ini. Dalam praktiknya, kebijakan tentang perlindungan hutan didasarkan pada upaya mempertahankan daerah yang ditunjuk sebagai hutan lindung dan menggunakan sumberdaya anggaran yang tersedia di Kementerian Kehutanan dengan cara yang paling efektif untuk menegakkan perlindungan hutan tersebut. Anggaran kegiatan yang berkaitan dengan perlindungan hutan yang diterima sekitar Rp 850 miliar pada tahun 2012, termasuk 23 miliar untuk pelaksanaan tata batas; 53 miliar untuk pengendalian kebakaran; 121 miliar untuk penegakan hukum kegiatan-kegiatan illegal kehutanan; dan 653 miliar untuk pengelolaan ekosistem dan perlindungan hutan. Salah satu tantangan utama kebijakan adalah kondisi lokal yang cukup bervariasi sehingga jika menstandarisasi kebijakan nasional akan menciptakan insentif yang berbeda. Misalnya, total biaya pemanenan dan transportasi untuk kayu dari hutan tanaman bervariasi dari Rp 500.000 sampai Rp 800.000/m3. Jika harga kayu di pintu gerbang pabrik adalah Rp 1.200.000/m3, maka pungutan DR dan PSDH yang dikenakan sebesar Rp 264.000/m 3. Setelah dikurangi pajak dan pungutan lainnya, keuntungan yang diterima perusahaan bervariasi antara 13%, yaitu keuntungan yang dianggap kurang memadai bagi perusahaan dalam menutup pengeluarannya, sampai dengan 65%, yaitu keuntungan yang berlebihan 13. Secara khusus, pemanenan kayu di hutan yang dekat dengan daerah-daerah maju biasanya akan memerlukan biaya transportasi rendah dan keuntungan yang tinggi, tetapi sumberdaya hutan di daerah tersebut juga akan cenderung memiliki manfaat DAS tertinggi, serta manfaat rekreasi tinggi pula. Perlu dipertimbangkan perubahan sistem pungutan perizinan berbasis penggantian output berdasarkan biaya untuk DR dan PSDH sebagaimana berlaku saat ini, dengan pungutan berdasarkan keuntungan. Hal ini akan memberikan insentif yang lebih efisien, tetapi diperkirakan juga akan berimbas pada biaya transaksi yang lebih tinggi. Masalah terbaru dalam pemungutan biaya pengganti nilai tegakan (PNT), terkait dengan perbedaan pendapat tentang biaya satuan standar karena kompleksitas peraturan berbagai macam pungutan. Mengingat kesulitan dalam menegakkan peraturan terkait pungutan-pungutan yang berlaku saat ini, perlu dipertimbangkan suatu reformasi sistem pungutan kehutanan dengan mengenakan pungutan berdasarkan keuntungan dalam jangka waktu yang lebih panjang. Kelembagaan. Serupa dengan kelembagaan pengelolaan hutan lestari bersama masyarakat, kelembagaan perlindungan dan konservasi sumberdaya hutan perlu diperkuat dengan lebih memerhatikan pola-pola sosial, ekonomi, dan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Partisipasi aktif masyarakat dalam perlindungan dan konservasi sumberdaya hutan hanya dapat terjadi jika kegiatan dan program yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
13
Harga kayu bervariasi tergantung terutama pada jenis dari kayunya. Harga 1.2 juta IDR.m3 akan digunakan untuk kayu keras yang berkualitas tinggi misalnya jati. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
29
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Implikasi fiskal. Kebijakan-kebijakan kunci yang berkaitan dengan perlindungan hutan dan konservasi sumberdaya hutan merupakan tanggung jawab dari Kemenhut. Biaya untuk menegakkan kebijakan harus dipastikan dapat dipenuhi oleh anggaran Kemenhut sehingga kebijakan dapat diimplementasikan secara efektif. KKF-PRLSBL mengasumsikan bahwa pengeluaran untuk perlindungan hutan akan meningkat sejalan dengan rata-rata pengeluaran publik, yang akan mengakibatkan peningkatan sebesar 92% secara riil pada tahun 2014202514, dari perkiraan total sebesar Rp 3.096 miliar hingga Rp 5.952 miliar. 4.1.4 Rehabilitasi Lahan Hutan Terdegradasi Konteks dan dimensi ramah lingkungan. Lahan terdegradasi adalah lahan kritis dan mengalami kerusakan akibat kehilangan tutupan vegetasi dan kehilangan sebagian besar fungsi ekosistemnya, termasuk pengendalian erosi, penahan air, siklus nutrisi, pengaturan iklim dan penyimpanan karbon. Menurut Statistik Kementerian Kehutanan (2012), ada 27,3 juta ha lahan kritis dan seluas 5,3 juta ha diantaranya sangat kritis. Sekitar 35% dari lahanlahan terdegradasi berada dalam kawasan hutan (Verchot, Petkova et al. 2010), dan 65% sisanya berada di luar kawasan hutan. Kementerian yang berbeda menggunakan definisi yang berbeda untuk lahan terdergradasi. Gambar 1 menunjukan distribusi secara geografis dari lahan terdegradasi berdasarkan Kementerian Kehutanan, meskipun definisinya berbeda dengan yang ada pada Buku Statistik Kementerian Kehutanan 2012. Gambar 1. Lokasi lahan-lahan terdegradasi di Indonesia
Antara tahun 2008 dan 2012, seluas 3.2 juta ha lahan hutan telah direboisasi (termasuk reboisasi, lahan hutan perkotaan, hutan kemasyarakatan dan hutan bakau), dengan menghabiskan anggaran sebesar Rp 3.956 miliar, dengan biaya rehabilitasi rata-rata sekitar Rp 1,2 juta/ha. Kebijakan. Kegiatan hutan tanaman perlu dikembangkan pada lahan kritis, karena perluasan hutan tanaman dengan mengkonversi hutan alam primer dan hutan gambut secara signifikan 14
Diasumsikan bahwa belanja publik akan turun dari18,5% dari PDB pada tingkat saat ini menjadi 16,9% sesuai dengan MTEF. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
30
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
akan meningkatkan emisi dan merusak lingkungan. Pada saat yang sama, industri kehutanan nasional perlu memenuhi kebutuhan kayu nasional. Kesenjangan antara permintaan dan penawaran kayu bulat di Indonesia saat ini diperkirakan mencapai 30 juta ton/tahun. Pilihan untuk meningkatkan pasokan kayu legal dirasakan terbatas baik dari pertumbuhan hutan tanaman –di kawasan hutan negara maupun hutan rakyat- atau meningkatkan produksi dari hutan alam. Pembangunan hutan tanaman di lahan gundul dan alang-alang adalah salah satu strategi pemungkin yang secara bersamaan diharapkan dapat memenuhi produksi kayu dan tujuan perubahan iklim (IFC, 2010). Sejumlah faktor yang dirasakan sebagai pembatas perkembangan rehabilitasi lahan hutan terdegradasi di Indonesia antara lain: tingginya biaya rehabilitasi; kurangnya ekspektasi pendapatan khususnya dalam jangka pendek; kurangnya kapasitas sumber daya manusia; dan lemahnya kerangka tata kelola untuk alokasi lahan untuk hutan tanaman pada lahan kritis (Dalfelt, Næss et al. 1996; IFC 2010). Pemanfaatan padang rumput pada umumnya dianggap sebagai salah satu masalah dalam pengelolaan hutan. Bahkan, di banyak lokasi padang rumput yang diklaim dan digunakan oleh masyarakat setempat sebagian besar dipergunakan untuk perladangan berpindah. Demikian pula penggunaan lahan olehpetani tradisional atau masyarakat adat diatur melalui hak-hak tradisional atau hukum adat, yang dalam banyak kasus tidak sama dengan peraturan (hukum positif) yang dipergunakan sebagai dasar hukum oleh pemerintah. Oleh karena itu, pada umumnya tidak ada skema kompensasi bagi petani atau masyarakat adat yang kehilangan lahan karena upaya reboisasi pemerintah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan reboisasi, antara lain: terjadinya kebakaran yang tidak terkendali, yang mungkin timbul dari kurangnya dukungan untuk upaya reboisasi besar-besaran dari masyarakat setempat. Kurangnya dukungan dari masyarakat dapat disebabkan oleh: komunikasi dan kerjasama yang tidak memadai antara pemerintah atau investor dengan petani lokal; kurang jelasnya hak kepemilikan lahan; dan kurangnya pengetahuan teknis di kalangan petani. KKF-PRLSBL mempertimbangkan empat kebijakan, untuk berbagai jenis lahan kritis. 1. Lahan marjinal. Sektor swasta akan tertarik berinvestasi pada lahan marjinal terdegradasi yang masih produktif, selama persyaratan kelembagaan telah disiapkan. Lahan ini mencakup beberapa lahan yang diklasifikasikan marjinal oleh Kementerian Pertanian dan untuk sementara tidak digunakan. Kebijakan ini akan fokus pada fasilitasi penghapusan hambatan kelembagaan untuk rehabilitasi lahan. Hal ini dapat mencakup penyelesaian masalah kepemilikan lahan, misalnya melalui pertukaran lahan dan melalui dialog dengan masyarakat setempat untuk memastikan bahwa hak-hak dan kepentingan mereka diselesaikan secara konstruktif. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh Kemenhut dengan melibatkan beberapa lembaga terkait. Antara tahun 1989 dan 2006 seluas 10,3 juta ha izin hutan tanaman industri telah diberikan. Namun, pada tahun 2006 hanya 30% dari total izin tersebut yang telah direalisasikan. 2. Lahan terdegradasi sebagian. Ini akan melibatkan sebagian besar lahan kritis yang cukup serius terdegradasi untuk mencegah investasi swasta, tetapi tidak berisiko besar akan terjadinya degradasi cepat yang lebih lanjut. Insentif akan dibutuhkan untuk lahan ini, namun tingkat insentif akan lebih rendah daripada insentif untuk kategori lahan yang rentan secara ekstrim. Tingkat yang tepat perlu ditetapkan melalui kegiatan percontohan, Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
31
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
tetapi Tabel 7 menunjukkan bahwa angka anggaran Rp 3 juta/ha dapat mencukupi. Karena lahan yang sebagian terdegradasi ini tidak membutuhkan restorasi, beberapa di antaranya dapat dibiarkan untuk regenerasi alami, jika ada minat terbatas dari perusahaan perkebunan/HTI. Hal ini akan memberikan beberapa manfaat lingkungan dan mitigasi tetapi manfaat yang dirasakan hanya terbatas pada rumah tangga. 3. Lahan kritis ekstrim. Merupakan lahan yang berisiko terdegradasi dengan cepat jika dibiarkan tanpa pengelola, termasuk lahan yang berisiko mengalami erosi tanah yang parah. Sebagian besar lahan yang diklasifikasikan oleh Kementerian Kehutanan sebagai 'sangat kritis' akan dimasukkan dalam kategori ini, tetapi beberapa lahan di luar Kawasan Hutan juga akan disertakan. Untuk lahan ini, fasilitasi tidak akan memadai karena lahan tidak akan cukup produktif untuk memberikan hasil kepada investor swasta. Lahan ini akan membutuhkan insentif dan peraturan untuk dapat dikelola. Insentif akan diberikan kepada investor swasta, termasuk hibah, untuk menutupi biaya tambahan menanam kembali, dan jaminan pinjaman untuk mengkompensasi investor terhadap pengembangan perkebunan yang lebih lambat. Tingkat subsidi perlu dikembangkan melalui serangkaian studi percontohan, bersama dengan pengaturan kelembagaan untuk pengelolaan insentif. Skema ini akan dipengaruhi oleh sifat degradasi serta dengan lokasi lahan dan kemudahan akses ke pasar kayu. Analisis pada Tabel 7 menunjukkan bahwa subsidi dengan NPV sekitar Rp 10 juta/ha akan diperlukan, mengingat bahwa lahan itu akan menjadi lahan yang paling rusak dan akan memerlukan penanaman kembali dengan teknik yang paling kompleks, hati-hati dan mahal. Karena pentingnya menyelesaikan masalah pada kategori lahan ini, maka insentif akan didukung oleh peraturan yang mengharuskan Kementerian Kehutanan dan pemerintah daerah untuk menghutankan kembali lahan ini, berdasarkan jadwal yang disepakati. 4. Reklamasi pasca pertambangan. Pada saat ini sudah ada peraturan terkait dengan kewajiban reklamasi pasca pertambangan. Pada prinsipnya perusahaan tambang secara hukum berkewajiban untuk mendanai kegiatan reklamasi ini. Namun demikian, pada kenyataannya hingga sekarang masih banyak perusahaan tambang yang belum melakukan kegiatan reklamasi sesuai dengan ketentuan. Oleh karena itu, ke depan kebijakan akan difokuskan pada penegakan kewajiban perusahaan pertambangan melakukan reklamasi. Untuk mendukung empat kebijakan di atas, sangat penting untuk mendapatkan data spasial tentang lahan terdegradasi untuk menentukan kebijakan mana yang akan dilaksanakan untuk setiap lahan yang terdegradasi (Verchot, Petkova et al. 2010). Hal ini diatur dengan Peraturan Dirjen P.4/V-SET/2013 tentang Petunjuk Teknis dalam Penyusunan Data Spasial untuk lahan terdegradasi.Pilihan strategi tergantung pada kriteria efisiensi ekonomi, pada preferensi masyarakat setempat, serta dampaknya terhadap lingkungan.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
32
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Kotak 6 Studi Kasus Wanagama Wanagama adalah hutan pendidikan hasil reboisasi dan rehabilitasi lahan terdegradasi seluas 600 hektar yang dikelola oleh Universitas Gadjah Mada (UGM). Wanagama terletak di Kabupaten Gunungkidul, sekitar 35 km dari kota Yogjakarta. Pada tahun 1964, tanah di Wanagama sangat marjinal/kritis. Di sana hampir tidak ada pohon, solum tanahnya sangat tipis dan didominasi oleh bebatuan di atas permukaan. Reboisasi dimulai dengan tujuan mencari model rehabilitasi lahan kritis dan sebagai fasilitas layanan edukatif bagi mahasiswa UGM. Nama Wanagama berasal dari dua kata, yaitu wana yang berarti “hutan”, dan “gama” yang merupakan singkatan dari “Gadjah Mada”. Kegiatan rehabitasi dimulai dengan penanaman lahan kritis seluas 10 hektar pada tahun 1964. Upaya itu ternyata berhasil dan kemudian menarik perhatian Kementerian Kehutanan. Lahan untuk reboisasi diperluas menjadi 79,9 hektar dan terus bertambah hingga saat ini menjadi 600 hektar, yang terbagi menjadi 9 kompartemen. Tiga strategi yang dipergunakan dalam rehabilitasi lahan kritis di Wanagama, yaitu: a) Pendekatan teknis (terasering, aplikasi pupuk kandang); b) Pendekatan biologi (penanaman spesies kacang-kacangan untuk perbaikan struktur tanah dan suksesi vegetasi); dan c) Pendekatan sosial (sistem agroforestry, tanaman pakan ternak dan kayu bakar, tenaga kerja, dan penyuluhan). Mulberry (Morus alba) adalah tanaman perdu yang banyak ditanam di Wanagama. Tanaman ini dipilih karena daun dapat digunakan untuk makanan ulat sutera dan tidak mudah roboh. Sejak awal, masyarakat telah banyak terlibat dalam proyek penanaman murbei dan budidaya ulat sutera, sehingga menciptakan mata pencaharian baru. Teknik rehabilitasi hutan juga dilakukan dengan menerapkan metode “bushing”. Tanaman pionir ditanam untuk memperbaiki struktur tanah, kondisi air dan iklim mikro. Tanaman pioner yang ditanam sebagian besar adalah kacang-kacangan (leguminaceae) yang dapat menghasilkan nitrogen untuk meningkatkan kesuburan tanah. Biomasa tanah lapisan atas semakin bertambah karena adanya dekomposisi daun, sehingga membantu untuk menyuburkan tanah. Metode “bushing” telah diadopsi dan menjadi model untuk rehabilitasi lahan kritis di tempat-tempat lain. Saat ini, terdapat sekitar 40 jenis fauna dan lebih dari 1.000 jenis flora, termasuk 65 jenis kayu hutan dan ratusan herba yang hidup di Wanagama. Jati (tectona grandis) adalah jenis pohon kayu komersial yang paling banyak ditanam di hutan pendidikan Wanagama. Keberadaan fauna, khususnya burung-burung, sangat penting bagi ekosistem Wanagama karena mereka adalah agen penyerbukan bagi beberapa jenis tanaman yang menunjang keberhasilan reboisasi. Setelah dilakukan reboisasi, lebih dari 5 mata air yang dulunya pernah hilang kembali muncul dan tidak kering sepanjang tahun, sehingga menghasilkan jasa ekosistem yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar.15
15
http://www.ugm.ac.id/id/p2m/3533-laboratorium.kehutanan
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
33
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Koherensi, konsistensi, dan sinergi. Dalam praktiknya terdapat beberapa masalah dengan DAK Kehutanan yang dialokasikan untuk reboisasi dan rehabilitasi lahan. Hal ini biasanya terkait dengan masalah kapasitas dan kurangnya kejelasan dan pengalaman pemerintah daerah tentang bagaimana penggunaan dana tersebut. Ada juga pemerintah daerah yang merasa kebingungan, menyangkut sejauhmana DAK kehutanan dapat dipergunakan untuk melaksanakan program pengurangan emisi gas rumah kaca dan tentang cara menghitung pengurangan emisi tersebut. Kementerian Keuangan sedang mencoba untuk mengklarifikasi beberapa masalah terkait DAK kehutanan dengan menghubungkan pembayaran DAK Kehutanan dengan rencana RAD-GRK yang sedang dipersiapkan oleh pemerintah daerah. Efisiensi, efektivitas, dampak, dan keberlanjutan. Terdapat variasi yang besar terkait profitabilitas usaha hutan tanaman. Hal ini terjadi karena perbedaan biaya (termasuk persiapan lahan, pemanenan, dan transportasi), perbedaan produktivitas dan perbedaan pendapatan. Tabel 7 menggambarkan perbedaan pendapatan di tiga lokasi. Analisis IFC dari tabel tersebut menunjukkan bahwa pengurangan biaya transportasi memiliki dampak besar pada profitabilitas dan memastikan bahwa kegiatan usaha yang menguntungkan untuk hutan tanaman pada semua jenis lahan terdegradasi. Variasi besar dalam angka hasil analisis IFC menggambarkan sulitnya menentukan klasifikasi sederhana yang diterapkan untuk usaha hutan tanaman. Tabel 7 Nilai Kini Bersih dari Biaya dan Pendapatan Hutan Tanaman
Provinsi Riau Kalimantan Barat Kalimantan Timur
NPV Hutan NPV Hutan Tanaman Kayu Campuran Tanaman pada Kerapatan pohon Kerapatan pohon Kerapatan pohon Lahan rendah sedang tinggi terdegradasi -3,126 11,442 13,938 20,176 -12,762 -9,936 -10,377 -11,478 -3,126 -12,044 -15,419 -23,860
Sumber: IFC (2010) dalam Rp 000/ha. Hutan tanaman yang dikembangkan pada lahan kritis dapat memberikan kontribusi untuk pengurangan emisi. Jika hutan tanaman industri terutama untuk kayu pulp ditanam pada setengah luasan lahan kritis, maka target pengurangan emisi diperkirakan akan tercapai 812%. Sementara hutan tanaman industri untuk tujuan non-kayu pulp (kayu pertukangan) diperkirakan dapat memberikan kontribusi 22-33% dari target pengurangan emisi (Verchot et al. 2010). Kelembagaan. Komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi sebagian besar dibebankan pada Kementerian Kehutanan, yang juga bertugas mengurangi kesenjangan antara pasokan dan permintaan kayu legal. Penguatan kelembagaan KPH sangat diperlukan, demikian pula dengan skema REDD+ yang telah berjalan juga perlu diperkuat kelembagaannya. Pemerintah pusat perlu menyediakan dana untuk pembentukan dan penguatan kelembagaan KPH secara selektif untuk memastikan bahwa dana yang diberikan dapat dipergunakan sesuai dengan sasaran secara efektif. Pemerintah daerah akan dilibatkan dalam administrasi dan pemantauan KPH, serta aspek yang lebih luas dari perencanaan dan program kehutanan.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
34
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Kotak 7 Tipe Hutan Tanaman Hutan Tanaman Industri (HTI). Aktivitas hutan tanaman yang dominan di Indonesia adalah hutan tanaman industri (HTI), dengan jenis tanaman Acacia dan Eucalyptus terutama untuk kayu pulp. Indonesia memiliki sekitar 4 juta ha areal hutan tanaman industri. Kementerian Kehutanan menargetkan untuk menambah 5 juta ha HTI pada tahun 2016. Meskipun tersedia subsidi untuk penghijauan dan reboisasi, secara umum target penanaman akan sulit tercapai karena pendapatan dari penjualan kayu HTI yang jauh lebih rendah daripada biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan (Verchot, Petkova et al. 2010). Harga kayu HTI sangat rendah karena struktur pasar kayu HTI cenderung monopsoni (dibeli oleh industri kayu yang masih satu group perusahaan). Pada umumnya perusahaan HTI di luar Jawa yang tidak bergabung dengan industri pengolahan kayu tidak akan dapat bertahan karena rendahnya harga kayu HTI. Dalam usaha HTI keuntungan yang besar diperoleh industri hilirnya, bukan didapatkan oleh perusahaan HTI. Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Kementerian Kehutanan juga berusaha untuk meningkatkan pasokan kayu bulat melalui percepatan program hutan tanaman rakyat yang disebut HTR, untuk merevitalisasi sektor pengolahan kayu tradisional dan mendukung penyediaan bahan baku untuk industri. Namun, pelaksanaan program ini berjalan lambat karena manfaat ekonomi yang terbatas akibat peraturan jenis tanaman yang terlalu ketat dan tidak banyak pilihan sehingga kurang menarik bagi petani. Hanya 350.000 ha yang HTR telah terbentuk dari 1,2 juta ha yang ditargetkan untuk dibangun pada periode tahun 2007- 2009. Implikasi fiskal. Pada tahun 2008-2012, telah dilakukan reforestasi pada hutan dan lahan seluas 3,2 juta ha (termasuk reboisasi, penghijauan lahan perkotaan, hutan rakyat dan hutan mangrove) yang menghabiskan anggaran sebesar Rp 3.956 miliar, dengan biaya rehabilitasi rata-rata sekitar Rp 1,2 juta/ha. Biaya rata-rata rehabilitasi hutan dan lahan relatif rendah, sehingga lahan dengan biaya rehabilitasi rendah diarahkan untuk dipilih terlebih dahulu. Tabel 8 menggambarkan sebuah skenario program reforestasi dan kebutuhan biayanya. Tabel 8 Skenario Program Reboisasi Lahan Terdegradasi Kategori Lahan Lahan marjinal Lahan terdegradasi sebagian Lahan kritis ekstrim Reklamasi pasca tambang Total
Area yang direboisasi (ha/tahun) 200.000 200.000 100.000 20.000 520.000
Dukungan teknis (Rp/ha) 50.000 50.000 100.000 200.000
Insentif (Rp /ha) 0 3.000.000 10.000.000 1.000.000
Total biaya (Rp miliar/thn) 10 610 1.010 20 1.650
Sumber: skenario KKF-PRLSBL
Keberhasilan rehabilitasi lahan kritis dengan penanaman pohon berkayu diperkirakan akan dapat memasok 45% kebutuhan kayu secara berkelanjutan yang diperlukan untuk mengimbangi berkurangnya pasokan kayu dari hutan alam. Hal ini akan dicapai dengan penanaman hutan di lahan kritis seluas 10 juta ha. Dengan asumsi biaya satuan Rp 2 juta/ha, maka rehabilitasi lahan kritis akan memerlukan total biaya sekitar Rp 20 triliun, selama kurun waktu 10 tahun. Biaya pendampingan dan pengembangan kelembagaan sosial diperkirakan memerlukan 1040% dari total biaya untuk pembangunan HTI. Biaya untuk kegiatan pemeliharaan termasuk penyiangan dan pemupukan pada luasan 20.000 ha diperkirakan sekitar Rp 500-700 juta selama masa rotasi tanam pertama (IFC 2010 ).
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
35
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
4.1.5 Rehabilitasi dan Pemanfaatan Lahan Gambut Berkelanjutan Konteks dan dimensi ramah lingkungan. Lahan gambut menyimpan lebih banyak karbon dibandingkan jenis lahan lainnya dan degradasi di lahan gambut menghasilkan emisi yang lebih besar daripada degradasi dari ekosistem lainnya. Lahan gambut kering mengeluarkan emisi karbon, dan emisi berlanjut sampai simpanan karbon habis atau lahan tersebut direhabilitasi. Pemanfaatan lahan gambut yang tidak berkelanjutan memberikan kontribusi kurang dari 1% dari PDB, namun menyumbang hampir 50% dari emisi (Bappenas 2009). Kanalisasi lahan rawa gambut sepanjang sungai untuk mengambil kayu mempengaruhi sifat fisik, kimia dan biologis air. Kehadiran kanal meningkatkan laju erosi, drainase rawa gambut, risiko kebakaran, ancaman terhadap habitat keanekaragaman hayati dan gangguan pada perikanan (Nyoman dan Suryadiputra 2004). Kebijakan. Saat ini, belum ada metode yang dapat diterima semua pihak untuk budidaya lahan gambut tanpa risiko kebakaran, tetapi ada beberapa kegiatan percontohan pemanfaatan lahan gambut yang relatif baik. Kebijakan nasional terus berupaya melakukan restorasi lahan gambut dan mencakup unsur-unsur berikut (Bappenas 2009).
Peningkatan praktik pengelolaan lahan gambut. o Menegakkan kepatuhan para pemegang izin konsesi hutan dan perkebunan yang ada terhadap peraturan yang melarang budidaya gambut pada ketebalanlebih dari tiga meter. o
Memberikan insentif, sanksi dan menegakkan: (a) kebijakan tanpa bakar (zero burning) untuk pembukaan lahan oleh perusahaan dan (b) praktik terbaik untuk pengelolaan air untuk mengurangi emisi penurunan karbon dari oksidasi di lahan gambut yang ditanami.
o
Menetapkan praktik terbaik dalam pengelolaan tanah termasuk penambahan amelioran untuk mengurangi emisi. Rehabilitasi lahan gambut yang rusak melalui pendekatan terpadu untuk mencegah kebakaran, rehabilitasi hidrologi, reforestasi, dan pembangunan sosial-ekonomi. Revisi alokasi lahan, rencana tata ruang dan izin penggunaan lahan untuk mengurangi emisi melalui arahan penggunaan lahan untuk kepentingan ekonomi tidak dilakukan pada lahan gambut tetapi pada tanah mineral.
o
Reklasifikasi hutan di zona pengembangan non-kehutanan (APL) untuk perlindungan atau kawasan konservasi (revisi rencana tata ruang)
o
Reklasifikasi lahan gambut tersisa yang belum dikenakan izin pemanfaatan untuk perlindungan atau konservasi (tidak ada izin baru di lahan gambut dan revisi rencana tata ruang).
o
Relokasi perizinan atau bagian dari perizinan dari lahan gambut ke tanah mineral (land swap) untuk perusahaan yang belum memulai operasi di lapangan.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
36
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Dalam rangka pengelolaan lahan gambut lestari perlu dibuat peta lahan gambut nasional yang akurat, peraturan atas perluasan penggunaan lahan gambut, dan insentif kepada perusahaan untuk biaya investasi yang dibutuhkan dalam mengubah praktik pengelolaan (misalnya kontrol air). Efisiensi, efektivitas, dampak dan keberlanjutan. Biaya mengelola lahan gambut yang berkelanjutan (misalnya biaya pengendalian “inflow” air dan drainase) perlu dipertimbangkan. Efisiensi dapat dievaluasi berdasarkan biaya budidaya lahan gambut yang berkelanjutan dibandingkan dengan hasil dan biaya menggunakan lahan lainnya. Bappenas (2009) melakukan analisis terhadap opportunity cost yang mungkin untuk opsi kebijakan merevisi alokasi izin usaha di lahan gambut. Gambar 3 menunjukkan nilai kini bersih dari PDB, pendapatan pemerintah pusat dan pendapatan daerah selama tiga aksi mitigasi yang berbeda terkait dengan lahan gambut dan untuk opsi BAU. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat kemungkinan lahan mineral terdegradasi yang cukup tersedia untuk penggunaan yang produktif di masa depan sebagai alternatif untuk lahan gambut, dengan hasil yang lebih tinggi dan biaya lebih rendah pada pemanfaatan tanah mineral. Gambar 2. Nilai kini bersih manfaat dari opsi mitigasi lahan gambut (Rp triliun)
Sumber: Bappenas (2009)
Terdapat beberapa bukti bahwa tanaman pertanian sebenarnya lebih menguntungkan dibudidayakan di tanah mineral yang terdegradasi daripada di lahan gambut dan pemilik lahan pertanian akan tertarik untuk mengubah produksinya, jika dimungkinkan untuk melaksanakan pertukaran lahan (Elson 2011). Menurut hasil FGD di Yogyakarta, lahan gambut di Riau memiliki produktivitas jauh lebih rendah dibandingkan di Jawa. Untuk membuat budidaya di lahan gambut menguntungkan setidaknya diperlukan lahan seluas 5-10 hektar. SNC menggunakan data untuk emisi lahan gambut yang berasal dari tahun 2004. Estimasi terbaru menunjukkan bahwa emisi gas rumah kaca lahan gambut adalah sebesar 86 tCO2e/ha/tahun, ketika dikeringkan pada kedalaman 0,95 m. Emisi gas rumah kaca sebesar 15 tCO2e/ha/tahun ketika dikeringkan pada kedalaman 0,33 m (Hooijer, Page et al. 2010). Oleh karena itu, pengurangan emisi gas rumah kaca dari rehabilitasi lahan gambut jauh lebih tinggi dari sumber mitigasi lain. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
37
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Kelembagaan. Peraturan tentang perlindungan dan pengelolaan lahan gambut telah tersedia, namun pada umumnya masih terjadi perbedaan penafsiran pada tataran implementasi. Pemerintah daerah memiliki kepentingan yang kuat untuk pemanfaatan lahan gambut, namun kadang-kadang memiliki persepsi yang berbeda dengan pemerintah pusat terkait peraturan tentang pemanfaatan lahan gambut. Perusahaan yang melakukan budidaya di lahan gambut harus menerapkan praktik pertanian yang baik dan ramah lingkungan. Demikian pula dengan kelembagaan organisasi kelompok tani yang mengolah lahan gambut juga harus memperoleh perhatian, misalnya melalui pendampingan, pelatihan, dan penyuluhan. Implikasi fiskal. Dalam APBN tahun 2012, dana yang dialokasikan untuk reklamasi dan pemeliharaan rawa gambut sebesar Rp 705 miliar. Sejak 2012, lahan gambut belum menerima anggaran khusus (masuk di dalam anggaran program K/L) dan hal ini menyebabkan sulitnya untuk mengidentifikasi apakah telah ada perbaikan dalam prioritas restorasi lahan gambut. Reformasi sistem anggaran yang memungkinkan identifikasi pemulihan lahan gambut secara terpisah akan membantu untuk meningkatkan konsistensi kinerja pengelolaan lahan gambut mengingat statusnya sebagai salah satu elemen terpenting dalam RAN GRK. 4.16 Imbal Jasa Ekosistem (IJE) Konteks dan dimensi ramah lingkungan. Imbal Jasa Ekosistem (IJE) merupakan salah satu mekanisme yang dianggap efektif untuk mengejar tujuan ekonomi hijau. IJE mengacu pada skema dimana pengguna layanan ini mengkompensasi pemilik lahan (hutan), sebagai pengakuan atas fakta bahwa lahan dapat dikonversi untuk penggunaan lain yang akan mengurangi atau meniadakan jasa lingkungan. Kebijakan. Pengembangan kesepakatan bersama untuk implementasi Imbal Jasa Ekosistem (IJE) antar daerah di sepanjang daerah aliran sungai (DAS). Dengan adanya kesepakatan bersama untuk mengimplementasikan IJE, sejumlah pembayaran akan diberikan oleh Pemerintah Daerah di bagian hilir kepada pemerintah daerah di bagian hulu yang menyediakan pelayanan lingkungan. Pelaksanaan skema imbal jasa ekosistem (IJE), seperti yang dijelaskan dalam Kotak 4, adalah salah satu opsi kebijakan pembangunan ramah lingkungan yang menarik. Terdapat pula pengalaman IJE internasional yang baik, tetapi sebagaimana halnya dengan inisiatif REDD+, pada umumnya masih ada persoalan dalam standar dan metode pemantauan, evaluasi, dan pelaporan dan verifikasi (PEP). Selain pemerintah daerah, pemerintah pusat juga perlu terlibat dalam pelaksanaan PEP.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
38
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Kotak 8 Pengalaman Indonesia dengan Imbal Jasa Ekosistem (IJE) Beberapa percontohan skema IJE di Indonesia yang dilaksanakan oleh Pemerintah, LSM dan swasta, antara lain: Insentif Hulu-Hilir jasa air dari Taman Nasional Gunung Ciremai antara Pemerintah Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon. Program RUPES yang dilaksanakan oleh ICRAF di Singkarak, Sumatera Barat dan Bungo, Jambi. Skema WWF di Gunung Rinjani, Lombok dan penelitian persiapan yang dilakukan di Koridor WKapuas Hulu di Kalimantan Barat. Dua program yang dijalankan oleh LP3ES di Cidanau dan di Sungai Citarum, Jawa Barat. Forum Komunikasi Daerah Aliran Sungai Cidanau yang didukung oleh CSR PT. KTI. Skema di Sungai Brantas, dikelola oleh PJT1, dengan dukungan dari YPP dan LP3ES. Rencana kerjasama Provinsi DKI Jakarta dan daerah-daerah penyangga di sekitarnya yang meliputi program rehabilitasi hulu DAS di Provinsi Jawa Barat (Bogor, Cianjur, Sukabumi, Depok) dan Provinsi Banten untuk mencegah banjir di daerah hilir. Beberapa skema IJE yang dilaksanakan melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) misalnya program CSR di hutan pendidikan Gunung Walat Sukabumi, yang dikelola oleh Institut Pertanian Bogor (IPB). Koherensi, konsistensi dan sinergi. Jika kesepakatan bersama dalam Imbal Jasa Ekosistem (IJE) tidak terjadi, maka intervensi kebijakan fiskal dapat memainkan peran. Salah satu alternatif kebijakan fiskal “hijau” yang terkait dengan pelaksanaan konsep IJE adalah melalui pemberian Dana Alokasi Khusus (DAK) konservasi. Pemerintah pusat dapat memberikan pendanaan khusus untuk konservasi (DAK Konservasi) dalam jumlah yang memadai kepada pemerintah daerah di hulu DAS sebagai bentuk insentif kepada daerah hulu atas kontribusinya dalam menyediakan jasa lingkungan. Efisiensi, Efektivitas, Dampak, dan Keberlanjutan. Dalam jangka pendek, skema DAK sebagai salah satu perwujudan Imbal Jasa Ekosistem (IJE) cukup menarik dan mungkin cukup efektif. Namun, dalam jangka panjang skema DAK tidak terlalu efektif karena skema ini hanya memberikan perhatian di sisi penghargaan (rewards), tetapi mengabaikan sisi pemberian hukuman (punishment). Oleh karena itu, skema IJE akan efektif jika dan hanya jika keuntungan yang berasal dari jasa ekosistem (misalnya: fungsi hidrologis, penyerapan karbon dan/atau penyimpanan karbon, nilai keanekaragaman hayati, dsb.) serta dana alokasi khusus yang diberikan kepada daerah yang peduli konservasi (“nilai konservasi”) nilainya lebih tinggi daripada manfaat yang diperoleh apabila dilakukan konversi hutan atau ekstraksi sumberdaya alam yang diperhitungkan sebagai “nilai konversi”. Pembayaran minimum IJE harus sama dengan nilai yang diperoleh dari selisih nilai konversi dan nilai konservasi, sedangkan nilai maksimum IJE akan sama dengan nilai total biaya akibat adanya aktivitas konversi.16 Tanpa peraturan yang melengkapi, pembayaran minimum IJE harus lebih besar dari selisih antara nilai konversi dan nilai konservasi seperti yang ditunjukkan pada tabel 3.
16
Lihat Pagiola, S and G. Platais (2007). Payments for Environmental Services: From Theory to Practice. World Bank, Washington; Engel, S., Pagiola, S and S. Wunder (2008). Designing payments for environmental services in theory and practice: An overview of the issues. Ecological Economics 65 (2008) 663-674. Elsevier. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
39
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Gambar 3. Kompensasi minimal untuk efektivitas mekanisme IJE (PES)
CONVERS ION VALUE
CONSERVAT ION VALUE
CONSERVA TION VALUE + PES
Sumber: Pagiola & Platais (2007): Engel et al. (2008)
Kelembagaan. Jika IJE terkait dengan pungutan terhadap masyarakat maka diperlukan payung hukum, yakni Undang Undang dan peraturan pelaksana. Namun, apabila IJE dilakukan dengan skema pembayaran antar perusahaan, antar pemerintah daerah, atau skema tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), maka pelaksanaannya cukup diatur dengan peraturan yang telah ada saat ini. Implikasi Fiskal. Mekanisme Imbal Jasa Ekosistem (IJE) merupakan salah satu opsi skema pembiayaan untuk pembangunan berkelanjutan untuk sektor berbasis lahan yang perlu didorong karena hampir tidak memerlukan tambahan pendanaan dari pemerintah, tetapi dapat turut serta mendukung kelestarian lingkungan melalui jaminan kesinambungan jasa ekosistem.
4.2 Pertanian KKF-PRLSBL mempertimbangkan kontribusi pertanian terhadap lingkungan, termasuk untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Kerangka kerja ini memerlukan perhatian Kementerian Pertanian untuk mencapai ketahanan pangan, yang termasuk sebagai tujuan utama dari KKFPRLSBL. Hal ini memengaruhi keseimbangan optimal antara penggunaan lahan untuk produksi pangan, kehutanan, dan biofuel. Menurut data BPS, PDB pertanian tumbuh antara 2,7% dan 4,0% per tahun pada periode tahun 2004-2013, berdasarkan harga konstan tahun 2000. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB nasional menurun dari 11,7% menjadi 9,4% selama periode tersebut. Pertumbuhan sama di tiga sub-sektor tanaman pangan (5,9% dari PDB pada tahun 2013), perkebunan (2,0%) dan peternakan (1,6%). Sub-sektor makanan dan minuman menyumbang 7,1% dari PDB pada tahun 2004 dan 7,0% pada tahun 2013.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
40
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Kotak 9 Lahan yang Diperlukan berdasarkan Perhitungan Pencapaian Target Kementerian Pertanian Kementerian Pertanian membuat perhitungan tahunan sebagai dasar permohonan kepada Menteri Kehutanan untuk pengeluaran izin baru konversi hutan alam menjadi perkebunan dan penggunaan pertanian lainnya. Menurut Direktur Perluasan Lahan Pertanian (2013) Kementerian Pertanian memerlukan tambahan lahan baru seluas 50 juta ha untuk menjamin seluruh target produksi komoditas pertanian terpenuhi. Sementara, berdasarkan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN 2011) Kementerian Kehutanan hanya dapat mengalokasikan 17,9 juta ha kawasan hutan untuk dikonversi menjadi peruntukan di luar kehutanan, termasuk untuk kepentingan sektor pertanian, secara bertahap sampai dengan tahun 2030. Untuk menekan laju konversi hutan serendah mungkin dan memastikan bahwa target produksi pertanian juga tercapai diperlukan upaya-upaya yang keras untuk membangun sistem pertanian intensif berdasarkan prinsip-prinsip praktik pertanian yang baik (good agriculture practices) dan fokus pada pencapaian target produksi beberapa komoditas unggulan yang terpenting dan bernilai strategis.
4.2.1 Penggunaan lahan terdegradasi untuk pertanian, termasuk Kebun Sawit Konteks dan dimensi ramah lingkungan. Prioritas adaptasi pertama yang tercantum dalam Peta Jalan Pertanian dan Perubahan Iklim Kementerian Pertanian tahun 2011 adalah pengembangan lahan pertanian dengan menggunakan lahan yang ada, daripada memperluas pembukaan lahan pertanian yang baru. Hal ini agak berbeda dengan RPJMN (2010-2014), yang memprediksi perluasan pertanian sebesar 12 juta hektar. Pemanfaatan lahan kritis untuk kebun sawit kemungkinan akan menjadi kebijakan yang menarik, karena memberikan hasil tertinggi di antara tanaman tadah hujan lainnya dan memungkinkan perusahaan perkebunan memperluas lahan usahanya. Kebijakan. Secara umum pemanfaatan lahan terdegradasi kurang menarik bagi investor dibandingkan dengan pembukaan lahan hutan karena mereka tidak menerima manfaat awal dari penebangan kayu dan karena kualitas kesuburan tanah di lahan yang baru dibuka kemungkinan lebih baik dari pada lahan kritis. Kebijakan pencegahan deforestasi akan membantu memastikan bahwa investor beralih ke lahan terdegradasi untuk memperluas perkebunan. Beberapa insentif barangkali diperlukan agarhasil yang diperoleh investor dapat bersaing secara komersial dan untuk memfasilitasi kendala kelembagaan. Insentif ini meliputi hal-hal sebagai berikut.
Kebijakan mengenai pajak properti konsesi yang berkaitan dengan lahan terdegradasi sebagaimana diaturdalam UU 41/2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 12/2012. Kebijakan yang memfasilitasi pertukaran lahan, memberikan kompensasi kepada investor yang siap untuk menyerahkan perizinan pada lahan hutan dalam skema pertukaran dengan lahan kritis. Insentif berupa kompensasi atas biaya tambahan bagi investor yang bersedia menggunakan lahan yang direhabilitasi, bukan dengan cara mengkonversi hutan.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
41
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Kotak 10 Pengurangan Emisi dari Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit Rakyat Tim World Resources Institute (WRI) juga melakukan kajian tentang hutan dan tataguna lahan di Indonesia (termasuk pekerjaan sebelumnya dikenal sebagai proyek “Potico”) bekerjasama dengan para pemangku kepentingan dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan hutan yang menguntungkan dan berkelanjutan. Tujuannya adalah untuk mencegah deforestasi dengan mengalihkan alokasi lahan perkebunan kelapa sawit di luar kawasan hutan dan daerah yang sudah terdegradasi, yang meliputi:
menyediakan data lingkungan dan tata kelola sumber daya alam di atas lahan hutan. menyediakan data yang dapat diakses melalui peta interaktif, laporan dan alat-alat lain (www.wri.org/resources/maps/suitability-mapper untuk data kesesuaian peta dan www.wri.org/resources/maps/forest-cover untuk data tutupan hutan) menafsirkan data dalam konteks kebijakan Indonesia bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat sipil untuk meningkatkan pemantauan hutan. bekerjasama dengan industri untuk memungkinkan perluasan usaha yang berkelanjutan dari komoditas utama. melakukan peningkatan kapasitas untuk mempercepat implementasi di tingkat tapak.
Koherensi, konsistensi, dan sinergi. Ketidakpastian atas kebijakan konversi lahan hutan di masa mendatang menyebabkan ketidakpastian investor dalam melakukan usaha di lahan kritis. Kurangnya insentif yang jelas untuk mendorong usaha di lahan-lahan kritis/terdegradasi menyebabkan terbatasnya minat investasi padalahan terdegradasi. Efisiensi, efektivitas, dampak, dan keberlanjutan. Belum banyak studi yang mengevaluasi produktivitas relatif dan biaya rehabilitasi lahan dibandingkan dengan penggunaan lahan hutan yang baru dibuka. Beberapa laporan menyebutkan bahwa penyiapan usaha pertanian di lahan kritis memerlukan waktu 50% lebih lama dibandingkan dengan penggunaan lahan yang normal. Pemanfaatan lahan kritis mungkin akan membantu peningkatan produksi tanaman perkebunan secara nasional, tetapi upaya ini memerlukan biaya tambahan untuk kegiatan konservasi tanah dan pengelolaan unsur hara, yang diperkirakan mencapai Rp 10 juta/ha. Hasil kajian Boer et al. (2012) di Kalimantan Tengah menyebutkan bahwa tukar menukar lahan (land swap) dan peningkatan produktivitas sawit rakyat berpotensi untuk mengurangi laju konversi hutan dan menurunkan emisi GRK. Pada umumnya kebun sawit rakyat produktivitasnya rendah karena ditanam di lahan marginal, menggunakan bibit asalan, dan miskin input. Peningkatan produktivitas kebun sawit rakyat berpotensi untuk berkontribusi pada pengurangan permintaan lahan kelapa sawit sekitar 232.000 hektar, sehingga beberapa lahan hutan yang telah dialokasikan untuk kelapa sawit dapat diselamatkan. Pemerintah dapat melindungi dan melestarikan lahan hutan dari kegiatan konversi tanpa secara signifikan mengurangi tingkat produksi kelapa sawit. Pemerintah perlu mengevaluasi kembali status lahan yang dialokasikan untuk kebun kelapa sawit. Jika lahan yang dialokasikan masih tertutup oleh hutan dan tidak ada Hak Guna Usaha (HGU) yang telah dikeluarkan maka konversi hutan perlu ditunda dan dibatalkan. Agar ini terjadi, kepemilikan lahan perlu ditangani oleh pemerintah pusat dan daerah, dengan dukungan transisi keuangan. REDD+ dan kerjasama pembangunan internasional diharapkan menjadi sumber utama keuangan tersebut, terutama pada tahap awal implementasi.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
42
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Pelaksanaan land swap dan program peningkatan produktivitas sawit rakyat akan berdampak positif untuk pengurangan emisi dari deforestasi sekitar 480 juta ton CO2. Jika pemerintah memutuskan untuk mempertahankan semua lahan hutan yang sedianya dialokasikan untuk kebun sawit untuk tidak dikonversi, maka pengurangan emisi akan naik menjadi 746 juta ton CO2. Dengan pengurangan ini, potensi penghasilan yang diterima dari kredit karbon dapat menutupi bagian dari biaya tambahan yang diperlukan untuk program peningkatan produktivitas sawit rakyat. Efek pengganda dari peningkatan produktivitas sawit rakyat akan menghasilkan peningkatan manfaat yang jauh lebih tinggi daripada biaya tambahan yang diperlukan. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang menyediakan fleksibilitas dalam insentif pemanfaatan lahan kritis. Secara teori, salah satu cara yang efisien untuk mengelola lahan kritis dapat dilakukan melalui proses tender, untuk memberikan hak atas lahan kritis kepada investor yang bersedia menerima insentif terendah. Namun, dalam praktiknya hal ini akan sulit untuk diterapkan dan perlu dikembangkan sistem kategori sederhana, sesuai dengan yang disajikan dalam tabel berikut ini. Tabel 9 Deskripsi Biaya Manfaat Pengusahaan Beberapa Kategori Lahan Terdegradasi Tipe Tidak terdegradasi Lahan marginal (A) Lahan terdegradasi sebagian (B) Lahan kritis ekstrem (C)
Siklus tanam (tahun) 30 40 50 50
Biaya Tambahan (Rp juta/ha) Kelembagaan
Rehabilitasi
Penanaman
Insentif (Rp juta/ha)
0 0.5 1.0
0 0 2.0
0 1.0 2.0
0.5 + 0.1/th 2.0 + 0.2/th
2.0
10.0
2.0
5.0 + 0.2/th
Catatan: insentif indikatif merujuk pada subsidi “one-off” yang dibayar setelah tanam (dimaksudkan untuk menutupi sekitar setengah biaya tambahan), ditambah subsidi tahunan yang berlangsung 10 tahun untuk mengkompensasi penanaman yang lambat. (Sumber: kategori ilustrasi untuk KKF-PRLSBL).
Usaha pertanian dan perkebunan sebenarnya lebih menguntungkan jika dilakukan di tanah mineral yang terdegradasi daripada di lahan gambut (Elson 2011). Jika temuan ini disebarkan dan diterapkan secara luas, maka diperlukan revisi sistem subsidi agar pemilik usaha pertanian tertarik untuk beralih dari lahan gambut kepemanfaatan lahan kritis. Kompensasi mungkin dapat diberikan berdasarkan atas pembayaran kembali sebagian biaya pembangunan perkebunan baru. Dampak bersih konversi lahan terdegradasi menjadi perkebunan kelapa sawit terhadap emisi gas rumah kaca tergantung pada kondisi vegetasi asal di atas lahan kritis tersebut. Emisi bersih dari kebun sawit bervariasi sepanjang siklus hidup perkebunan, tetapi rata-rata sekitar 7 tCO2e/ ha/tahun, ketika tidak dilakukan aktivitas deforestasi dan tidak dibudidayakan di lahan gambut (Bessou, Chase et al. 2012). Nilai ini hampir sama dengan penyerapan karbon pada padang rumput di daerah tropis, tetapi serapan karbon di padang rumput diperkirakan setara dengan dekomposisi dan terdapat kontribusi bersih lebih sedikit terhadap cadangan karbon. Di kebun sawit juga terjadi dekomposisi, tetapi ada akumulasi bersih simpanan karbon yang berkontribusi atas sedikitnya 50% dari penyerapan karbon tahunan, jika batang pohon sawit yang ditebang pada saat peremajaan (replanting) dimanfaatkan sebagai kayu pertukangan atau bahan bakar. Kelembagaan. Salah satu fungsidari DAK Kehutanan yang diberikan melalui Dana Reboisasi, adalah untuk menyediakan sumberdaya bagi implementasi kebijakan yang mempromosikan rehabilitasi lahan terdegradasi. Namun, hal ini juga memerlukan perbaikan Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
43
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
substansial dari kapasitas pemerintah daerah untuk mengatur kebijakan secara baik dan transparan. Sampai dengan saat ini pemerintah daerah cenderung masih mengharapkan sumberdaya pemerintah pusat dan beberap verifikasi independen untuk membantu klasifikasi lahan terdegradasi. Implikasi fiskal. Implikasi anggaran untuk insentif penggunaan lahan terdegradasi untuk pertanian sulit diperkirakan sampai dengan skema disiapkan dan diujikan sepenuhnya. Namun, dengan menggunakan nilai-nilai dalam Tabel 8, dan dengan asumsi luas area yang sama dari tipe lahan A, B dan C, dan bahwa skema di atas membutuhkan sumberdaya tambahan sebesar 30% dari insentif, total insentif yang diperlukan untuk mengkonversi 1 juta hektar per tahun untuk perkebunan akan menjadi sekitar Rp 3,5 triliun untuk insentif awal, diikuti dengan insentif tahunan sekitar Rp 0,5 triliun selama sepuluh tahun. Setelah sepuluh tahun, 1 juta hektar perkebunan baru harus memberikan keuntungan minimal Rp 2 juta/ha dan memberikan kontribusi penerimaan pajak sebesar Rp 0,2 triliun per tahun. 4.2.2 Pertanian Cerdas Iklim Konteks dan dimensiramah lingkungan. Produksi tanaman rentan terhadap peningkatan frekuensi dan kerusakan akibat kekeringan dan banjir, baik secara langsung maupun melalui dampaknya terhadap pertumbuhan tanaman dan kematangan, dan secara tidak langsung melalui kecenderungan variabilitas cuaca yang meningkatkan ancaman hama dan penyakit. Petani terus menyesuaikan teknik-teknik beradaptasi dengan perubahan iklim, namun Kementerian Pertanian berperan dalam mengkaji opsi-opsi dan menyediakan informasi bagi petani tentang opsi-opsi untuk pertanian cerdas iklim atau climate-smart agriculture (CSA). Teknik-teknik baru meliputi beberapa hal, antara lain:
Penggunaan mulsa dan menghindari pembakaran jerami adalah cara yang paling efektif untuk mengelola kelembaban tanah dan melindungi hasil pertanian terhadap pola curah hujan yang bervariasi. Menghindari pembakaran jerami juga memiliki manfaat untuk mengurangi risiko kebakaran di sekitar hutan dan lahan gambut. Namun, teknik ini mungkin menimbulkan masalah terkait dengan kebutuhan tenaga kerja serta pengendalian hama dan penyakit.
Pemanenan air dapat memberikan manfaat besar dalam hal kenaikan permukaan air, meningkatkan kelembaban tanah dan sebagai sumber daya untuk irigasi air tanah.
Manajemen hama terpadu merupakan teknik untuk menghindari risiko wabah hama dan penyakit yang meningkat akibat praktik monokultur yang menjadi tantangan terkait isu perubahan iklim. Ledakan hama dan penyakit sering terjadi sebagai respon atas periode yang tidak biasa dari cuaca kering atau basah dan perubahan suhu.
Varietas benih tanaman baru akan memengaruhi efektifitas biaya untuk meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim. Pusat Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) telah merilis 32 varietas baru padi pada tahun 2006-2010, banyak diantaranya yang dikembangkan dengan tujuan untuk membantu petani mengatasi kekeringan, banjir dan musim yang tak terduga dari perubahan pola curah hujan.
Kebijakan. Beberapa kebijakan yang terkait dengan pengembangan sistem pertanian cerdas iklim (climate smart agriculture) antara lain: Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
44
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Kebijakan penelitian Kementerian Pertanian untuk mengembangkan varietas tanaman baru dan praktik pertanian baru, baik dengan mengadaptasi penelitian internasional maupun melalui penelitian di Indonesia.
Kebijakan penyuluhan Kementerian Pertanian untuk membuat petani sadar varietas dan praktik-praktik baru dan mendorong petani untuk bertindak bersama-sama, dimana kelangsungan suatu teknik membutuhkan kerjasama, terutama dalam hal pengelolaan hama terpadu. Pengembangan sekolah lapang petani dapat sangat efektif dalam mempromosikan kerjasama serta peningkatan keterampilan teknis.
Peraturan yang melarang praktik-praktik pertanian yang kurang ramah lingkungan.
Pembiayaan bagi petani dan pengusaha di pedesaan, termasuk pengganda benih dan pengecer benih dan input lainnya. Banyak teknik CSA baru yang memerlukan waktu sampai lima tahun untuk memperoleh manfaat dan petani menghadapi risiko selama masa transisi, sehingga skema pembiayaan pedesaan dapat membantu untuk memberikan insentif yang diperlukan untuk mengadopsi CSA.
Koherensi, konsistensi dan sinergi. Kebanyakan kebijakan CSA memerlukan penyesuaian terhadap penelitian dan penyuluhan yang dilakukan oleh Kementan, sehingga salah satu tantangan pelaksanaan CSA adalah penyesuaian dari program yang sudah ada. Tantangantantangan untuk penyesuaian program semacam inibiasa dijumpai dalam praktik CSA di seluruh dunia, termasuk tantangan yang berkaitan dengan: mengintegrasikan penelitian dan penyuluhan; memfasilitasi pertukaran pengalaman di antara petani; dan menyediakan insentif dengan cara yang mendorong peran sertasektor swasta. Efisiensi, efektivitas, dampak dan keberlanjutan. Penelitian dan penyuluhan adalah kegiatan dengan biaya yang relatif rendah, dibandingkan dengan investasi besar pada irigasi dan rehabilitasi lahan. Namun, kegiatan penelitian dan penyuluhan hanya akan efektif jika didukung sumberdaya dan anggaran yang memadai.Banyak pengalaman internasional yang menunjukkan bahwa keuntungan ekonomi dari hasil varietas tanaman baru sangat tinggi, banyak inovasi pertanian yang populer dan diterima secara luas oleh petani. Dalam kebanyakan kasus, inovasi pertanian memberikan manfaat yang dirasakan secara bertahap dan manfaat ini diperkirakan akan meningkat seiring terjadinya perubahan iklim. Beberapa inovasi pertanian, seperti yang terkait dengan revolusi hijau, ternyata dapat menghasilkan keuntungan yang cepat dan dapat diterima secara luas oleh petani. Terobosan lainnya seperti pengelolaan hama terpadu dan pertanian konservasi, memerlukan perubahan besar dalam praktik pertanian karena terkait dengan risiko kegagalan tanpa adanya komitmen dan kolaborasi yang kuat antar petani. Dengan demikian, meskipun mungkin tidak memerlukan pengeluaran anggaran yang terlalu besar, penelitiandan penyuluhan memerlukan investasi yang besar dalam sumberdaya manusia. Pengalaman di beberapa negara tentang praktik pengelolaan hama terpadu (IPM) menunjukkan bahwa manfaat penerapan IPM sangat tinggi jika praktik berhasil (Swinton dan Williams 1998; Yonggong dan Shu 2004; Fernandez-Cornejo dan Rakshit 2006). Keuntungan dari teknik pemanenan air juga bisa sangat tinggi, terutama jika mereka diimplementasikan menggunakan teknik alami, seperti penggunaan “vetiver grass” (Olaolu 2009; Yudelman,
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
45
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Greenfield et al. -). Pertanian konservasi juga telah terbukti menghasilkan manfaat yang tinggi tetapi memerlukan keterampilan yang kompleks (Mazvimavi 2011; Majanen et al. 2011). Kelembagaan. Banyak teknik CSA memerlukan kerjasama yang baik antara petani. Hal ini berlaku terutama untuk IPM, dimana teknik ini tidak akan memberikan dampak positif jika tidak semua petani mengadopsinya, begitu puladengan teknik lain. Jika investasi “pemanenan air” dilaksanakan oleh beberapa petani, tetapi petani-petani lainnya justru mengeksploitasi sumberdaya berlebihan maka ini skema ini juga tidak akan berhasil. Negara-negara dengan pertanian konservasi paling sukses adalah negara dimana kelompok taninya bekerja sama untuk mengembangkan solusi bersama untuk masalah yang muncul, dengan prinsip-prinsip umum pertanian konservasi. Sektor publik dapat membantu untuk mendorong perilaku kelompok, namun pada akhirnya keberhasilan tergantung pada kemauan petani untuk bekerjasama. Implikasi fiskal. CSA memerlukan penyesuaian kegiatan Kementerian Pertanian yang sudah ada dan fokus pada penguatan ketahanan pertanian terhadap variabilitas cuaca. Oleh karena itu, ada kebutuhan anggaran untuk penerapan kebijakan CSA. Dana dapat diperoleh tanpa menambah total anggaran tetapi dengan membuat pergeseran anggaran atau perubahan prioritas dari program-program yang ada. Namun, banyak teknik CSA terbaru memang membutuhkan investasi yang cukup besar, baik dari segi input maupun tenaga kerja. Risiko yang mungkin terjadi adalahhasil panen petaniyang menurunpada tahun-tahun awal adopsi. Penerapan teknik baru CSA sulit dilakukan secara swadayapada tahap awal penerapan karena keuntungan baru didapatkan setelah teknik CSA dijalankan, sehingga tidak mungkin petani akan menerima biaya awal dan risiko, tanpa dukungan pembiayaan dari pemerintah atau sektor swasta. Biaya adopsi CSA perlu dianalisis secara lebih rinci, tetapi berdasarkan pengalaman di beberapa tempat, penerapan teknik CSA memerlukan biaya sekitar Rp 5 juta/ha. Sebagian biaya akan ditanggung oleh petani yang menyadari atas manfaat CSA di masa depan, namun dukungan pemerintah tetap diperlukan, setidaknya sebesar sepertiga dari biaya-biaya tersebut. Total anggaran yang diperlukan untuk penerapan CSA sebesar Rp 15 triliun dalam kurun waktu 10 tahun. Meningkatnya tantangan sektor pertanian sebagai dampak perubahan iklim membawa konsekuensi terhadap semakin tingginya alokasi anggaran Kementerian Pertanian untuk penerapan CSA yang menggeser prioritas pengeluaran untuk kegiatan lainnya. Penyesuaian anggaran memerlukan argumen yang kuat untuk memastikan bahwa alokasi anggaran kegiatan Kementerian Pertanian yang terkait dengan CSA telah memadai. Hal ini dapat dilakukan, misalnya melalui kebijakan alokasi anggaran kegiatan CSA yang ditetapkan sekian persen dari PDB. Penerapan program CSA berpotensi memberikan manfaat bagi penghematan anggaran secara keseluruhan. Keberhasilan program CSA akan mengurangi risiko diperlukannya tambahan anggaran yang tinggi untuk program-program kesejahteraan sosial pemerintah setelah banjir atau kekeringan. Peningkatan hasil pertanian dengan program CSA akan mengurangi kebutuhan impor yang dapat menghemat devisa, tetapi pada saat yang sama juga memengaruhi pendapatan dari bea masukuntukhasil pertanian yang tidak dibebaskan dari bea masuk. Selain itu, program CSA akan memperkuat ketahanan pangan yang pada gilirannya akan menyebabkan harga pangan lebih stabil. Hal ini akan membatasi permintaan untuk intervensi pemerintah dalam mengendalikan harga pangan dan mengurangi risiko pembengkakan anggaran yang tak terduga untuk mendukung kebijakan intervensi harga. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
46
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
4.2.3 Infrastruktur Irigasi yang Tahan Perubahan Iklim Konteks dan dimensi ramah lingkungan. Irigasi adalah salah satu cara yang paling penting di mana petani dapat melindungi diri dari perubahan pola curah hujan yang diduga akan semakin bervariasi seiring dengan terjadinya perubahan iklim. Saat ini, telah dikembangkan sistem irigasi yang mencakup areal sekitar 7,2 juta ha dari potensi 10,9 juta ha, dengan 0,6 juta ha lebih lanjut pada tahap perencanaan. Sebagian besar irigasi menggunakan limpasan air sungai dan hanya 11% yang menggunakan “reservoir”. Sekitar 85% dari produksi beras nasional dihasilkan dari lahan sawah yang memiliki sistem irigasi. Rata-rata hasil panen padi dari sawah irigasi 4,7 ton/ha dengan indeks tanaman per-tahun 1,4. Di lapangan, produktifitas bervariasi mulai dari 5,8ton/ha dan indeks tanaman 1,9 per tahun di Jawa dan 3,8 ton/ha dan indeks tanaman 1,0 per tahun di Papua (Nouchsin 2012).17 Lebih dari setengah produksi padi dan daerah irigasi berada di Pulau Jawa. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7/2004, pemeliharaan jaringan irigasi merupakan tanggung jawab pemerintah pusat untuk skema irigasi yang mencakup luasan lebih dari 3.000ha dan untuk skema irigasi lintas provinsi. Untuk skema irigasi antara 1.000 dan 3.000ha, tanggung jawab di tangan pemerintah provinsi dan untuk skema irigasi pada luasan yang lebih kecil merupakan tanggung jawab pemerintah kabupaten. Kebijakan. Pengembangan sistem irigasi yang tahan iklim dilaksanakan melalui beberapa kebijakan sebagai berikut:
Kebijakan pendanaan langsung dari pemerintah untuk investasi dalam skema irigasi, termasuk membangun skema baru dan merevisi skema yang ada.
Kebijakan kelembagaan untuk memastikan bahwa petani bertanggung jawab untuk pemeliharaan saluran tersier dan penguatan kelembagaan kelompok pengguna air. Pemerintah bertanggungjawab untuk pemeliharaan saluran primer dan sekunder.
Kebijakan yang mendorong efisiensi skema yang ada, termasuk penggunaan teknik yang lebih efisien, praktik pengelolaan air skala kecil, penerapan teknik konservasi dan panen air.
Kebijakan penggunaan DAK untuk perbaikan irigasi.
Koherensi, konsistensi, dan sinergi. Tantangan utama dalam hal konsistensi kebijakan adalah infrastruktur irigasi yang baru harus sesuai dengan skema pemeliharaan yang efisien di semua tingkatan. Hal ini memerlukan koordinasi antara Kementerian PU dan Kementerian Pertanian untuk infrastruktur primer dan sekunder, serta antara Kementerian Pertanian dan petani (kelompok pengguna air) untuk infrastruktur tersier dan peralatan irigasi di lapangan. Efisiensi, efektivitas, dampak, dan keberlanjutan. Irigasi memberikan manfaat besar bagi petani. Pembangunan jaringan irigasi dan pemeliharaan sistem irigasi adalah kegiatan terpenting dalam menjaga fungsi irigasi bagipara petani.Jika hasil panen padi dan intensitas tanam di seluruh Indonesia dapat ditingkatkan setara dengan rata-rata capaian di Pulau Jawa, maka produksi beras akan dapat meningkat hampir dua kali lipat dari 38 juta ton menjadi lebih
17
Informasi dari Kepala Badan Litbang Kementan dan Plt. Dirjen Tanaman Pangan Kementan di Institut Pertanian Bogor (IPB) 15.09.2014, menunjukkan bahwa produktifitas rata-rata sawah pada tahun 2013 telah melampaui angka 5 ton/ha. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
47
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
dari 60 juta ton. Sebenarnya swasembada beras pada tahun 2014 ini telah tercapai 18dan hanya diperlukan peningkatan produksi sekitar 6 juta ton untuk mempertahankannya sesuai dengan estimasi kebutuhan beras berdasarkan pertumbuhan penduduk sampai dengan 20 tahun ke depan. Peningkatan produksi beras sebesar 6 juta ton ini akan memberikan tambahan nilai hampir Rp 24 triliun dan memberikan total margin bagi petani sekitar Rp 10 triliun. Namun, evaluasi dari beberapa skema irigasi menunjukkan bahwa ketika manfaat irigasi dapat dicapai, seringkali tingkat pendapatan yang diterima petani ternyata lebih rendah dari yang diharapkan ketika skema dirancang (ADB 2008; Sugimoto 2010; Mukherji, Fuleki et al. 2010). Tingkat rata-rata peningkatan pendapatan petani diperkirakan mendekati 20% ketika skema dirancang, tapi evaluasi ex-post menemukan bahwa peningkatan pendapatan petani hanya sekitar 10%. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mencapai peningkatan produksi beras sebesar 6 juta ton, investasi tahunan untuk irigasi harus meningkat setidaknya sekitar Rp 5 triliun setiap tahun, dari tingkat yang ada sekarang sebesar Rp 1,9 triliun. Emisi gas rumah kaca dari lahan sawah biasanya sekitar 5 tCO 2e/ha. Oleh karena itu, dengan total luas sawah di Indonesia 8 juta ha, diperkirakan akan menyumbang sekitar 40 mtCO 2e per tahun. Beberapa cara untuk penurunan emisi dari sawah memungkinkan, misalnya dengan peningkatan efisiensi penggunaan air. Skala pengurangan emisi dapat bervariasi tetapi tidak mungkin lebih tinggi dari 10%. Kelembagaan. Kelembagaan Kelompok Pengguna Air (KPA) adalah kunci untuk pengelolaan irigasi berkelanjutan. Dalam hal ini, sangat penting untuk memastikan dukungan teknis yang efektif untuk membangun keterampilan dan kelembagaan KPA, serta menyusun pedoman yang jelas tentang pembagian tanggung jawab antara Kementan dan KPA. Implikasi fiskal. Target KKF-PRLSBL antara lain adalah memperluas irigasi dari 7,2 juta menjadi 8,0 juta hektar kurun waktu 10 tahun. Rencana ini memerlukan biaya sekitar Rp 3,2 triliun per tahun. Selain itu, apabila akan ada investasi untuk meningkatkan efisiensi irigasi di seluruh Indonesia akan memerlukan biaya sebesar Rp 7,0 triliun dalam kurun waktu 10 tahun. Anggaran untuk pemeliharaan irigasi selama ini dirasakan sangat kurang, terutama di tingkat provinsi dan kabupaten. Kondisi ini berdampak besar pada produksi padi di hampir 70% dari areal sawah dengan saluran irigasi yang dikelola oleh pemerintah provinsi dan kabupaten. Anggaran untuk pemeliharaan irigasi dalam beberapa tahun terakhir sebesar Rp 700 miliar sampai Rp 800 miliar yang hanya cukup untuk mempertahankan kurang dari 10% jaringan irigasi. Akibatnya, sebagian besar jaringan irigasi dipaksa bekerja dalam kondisi yang tidak efisien sehingga cepat mengalami kerusakan dan kemudian memerlukan biaya rehabilitasi yang besar. Untuk memelihara jaringan irigasi secara baik di seluruh Indonesia diperkirakan memerlukan anggaran sebesar Rp 5 triliun per tahun. 4.2.4 Subsidi Pupuk dan Pupuk Organik Konteks dan dimensi ramah lingkungan. Kebijakan fiskal sektor berbasis lahan berkaitan dengan subsidi pupuk kimia dan opsi penggunaan pupuk organik yang dianggap lebih ramah lingkungan. Produksi pupuk dari bahan organik yang lebih terorganisir berpotensi
18
Pernyataan Kepala Badan Litbang Kementan dan Plt. Dirjen Tanaman Pangan di IPB 15.09.2014
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
48
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
meningkatkan produksi tanaman dan margin hasil pertanian dengan emisi yang lebih rendah dibandingkan dengan pupuk kimia. Indonesia mulai memberikan subsidi pupuk pada tahun 1971 (OECD, 2012). Harga eceran tertinggi (HET) dikaitkan dengan harga beli hasil pertanian dan biaya subsidi meningkat tajam selama tahun 1970 dan 1980-an. Biaya subsidi dikurangi setengahnya pada tahun 1990-an, tetapi masih menyumbang hampir 20% dari belanja pemerintah untuk pertanian. Pada tahun 1998, pemerintah bermaksud untuk menaikkan subsidi pupuk, tetapi tidak terealisasi karena biaya yang tinggi akibat krisis keuangan dan devaluasi rupiah, sehingga rencana peningkatan subsidi pupuk itu dibatalkan dan diganti dengan peningkatan subsidi untuk harga pangan. Pada tahun 2003, subsidi diberikan untuk empat jenis pupuk (urea, TSP / SP36, ZA dan NPK) yang dijual kepada petani yang memiliki kurang dari 2 hektar lahan. Subsidi diberikan melalui lima perusahaan milik negara yang memproduksi pupuk dengan harga eceran tertinggi (HET) yang ditentukan oleh pemerintah. Meskipun telah dilakukan kontrol ketat atas distribusi dan ritel pupuk, masih banyak laporan terkait kebocoran subsidi kepada pengusaha/petani besar, melalui berbagai cara. Upaya untuk memperketat pengawasan distribusi pupuk bersubsidi diperkenalkan pada tahun 2009, namun masih banyak laporan yang terkait dengan masalah dengan kebocoran distribusi pupuk bersubsidi. Ekspor hanya diperbolehkan setelah permintaan domestik terpenuhi. Pada tahun 2000-an, Indonesia menggunakan antara 5,0 juta sampai 6,5 juta ton pupuk bersubsidi, sekitar tiga perempat diantaranya adalah urea. Sejak tahun 2008 penggunaan pupuk bersubsidi terus meningkat dan menjadi hampir 9,5 juta ton pada tahun 2010, terutama melalui peningkatan penggunaan pupuk non-urea. Harga dunia pupuk terkait erat dengan harga energi. Lonjakan harga energi pada tahun 2008 menyebabkan lonjakan harga pupuk dunia, lebih dari dua kali lipat dari harga tahun 2000-an. Dengan tidak adanya perubahan HET, biaya untuk anggaran subsidi pupuk meningkat tajam menjadi lebih Rp 18 triliun. Pada saat harga pupuk dunia mendekati puncaknya, HET pupuk bersubsidi dinaikkan sedikit. Walaupun telah dinaikkan, tetapi HET hanya sekitar setengah dari harga paritas impor. Akibatnya biaya subsidi pupuk sebesar Rp 21 triliun dalam tahun anggaran 2014 akan meningkat menjadi Rp 35 triliun pada tahun anggaran 2015. Gambar 4 menunjukkan bahwa tingkat subsidi dipertahankan antara 45% dan 65% untuk sebagian besar jenis pupuk. Gambar 4. Tingkat subsidi untuk pupuk tahun 2008 sampai dengan 2012.
Catatan: Tingkat subsidi (1-(HET maksimum untuk harga tersubsidi/biaya produksi)) Sumber: Kementerian Pertanian (2014) Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
49
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Pengalaman berbagai negara terkait subsidi pupuk berbeda-beda. Pada tahun 1990-an, sebagian besar negara menerapkan subsidi pupuk dengan argumen yang cukup kuat. Namun, dalam sepuluh tahun terakhir, kebijakan di berbagai negara telah berubah dan banyak yang telah menggeser pola subsidi dari subsidi produsen kepada infrastruktur atau subsidi untuk membantu peningkatan pendapatan petani. Selain Indonesia, beberapa negara yang masih menerapkan subsidi input antara lain China, India, Bangladesh, Srilanka, Filipina, dan Malaysia (Kementerian Pertanian, 2014). Tabel 10 Sistem dan Jumlah Subsidi Input Pertanian pada Beberapa Negara di Asia Luas Lahan Jenis Subsidi Pertanian Negara (juta ha) Indonesia 247 24.9 HET (Urea, SP, ZA, NPK, organik) Philipina 95 4.8 Kupon petani (Urea, NPK) India 1200 137.8 Subsidi berbasis nutrisi, kel. Harga China 1300 200.6 Subsidi produsen Bangladesh 154 15.2 HET Sri Lanka 20 3.3 HET Malaysia 29 .05 Petani padi Sumber: Subsidi Kementerian Pertanian (2014); Rumah tangga petani(Lowder et al., 2014) Jumlah Penduduk (juta)
Total Subsidi (triliun) 15.8 0.2 204.7 316.8 17.2 4.0 0.8
Subsidi / pertanian (Rp juta) 0.63 0.04 1.49 1.58 1.13 1.21 16.00
Bank Dunia (2010) dalam laporan Pengeluaran Publik Pertanian cenderung menentang kebijakan subsidi pupuk. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa subsidi memberikan manfaat substansial yang lebih banyak bagi para petani kaya daripada yang diterima petani miskin. Barangkali salah satu argumen utama dalam pemberian subsidi pupuk adalah untuk menjamin kecukupan pasokan pangan. Secara teori, efisiensi penggunaan urea menghasilkan respon minimal 3 ton beras untuk setiap ton urea, dengan benefit cost ratio minimal 2,0. Subsidi menyebabkan petani cenderung untuk menggunakan urea secara tidak efisien karena harga pupuk urea bersubsidi jauh lebih murah dibandingkan dengan harga pasar. Akibatnya, rata-rata penggunaan urea di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Oleh karena itu, Kementerian Pertanian telah mengusulkan skema pengurangan subsidi pupuk secara bertahap melalui peningkatan Harga Eceran Tertinggi (HET) agar lebih mendekati Harga Pokok Produksi (HPP). Pemerintah khawatir bahwa subsidi pupuk kimia mendorong ketergantungan dan penggunaan pupuk kimia yang tidak efisien serta mengarah pada pengabaian pupuk organik, termasuk pupuk kandang dan mulsa untuk bahan baku kompos. Pupuk organik mencegah risiko penurunan kesuburan lahan dalam jangka panjang sebagaimana diduga terjadi jika menggunakan pupuk kimia. Pupuk organik sebagian besar juga merupakan karbon netral, sementara pupuk kimia menyebabkan emisi gas rumah kaca yang cukup besar. Untuk mengatasi masalah ini, skema subsidi baru (BLP) telah diperkenalkan untuk mendukung pengembangan pupuk organik, walaupun masih terbatas pada sekitar 0,4 juta ton pada tahun 2010 (OECD 2012). Pemerintah juga telah memberikan dukungan dengan mendistribusikan Unit Pembuatan Pupuk Organik (UPPO) untuk masing-masing kelompok tani, termasuk 35 ekor sapi, ditambah kandang, alat pengolahan pupuk dan kendaraan. Setiap UPPO mampu memproduksi 135 ton pupuk per tahun, yang dijual dengan harga terkendali. Pada akhir tahun 2009, sebanyak 1.345 UPPO telah didistribusikan, yang seharusnya telah memproduksi 0,18 juta ton pupuk.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
50
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Penggunaan pupuk kimia memiliki implikasi yang kompleks untuk emisi gas rumah kaca. Kebanyakan perhatian ditujukan untuk emisi yang timbul dari penggunaan pupuk. Namun, ada juga dampak positif pada emisi gas rumah kaca dari penggunaan pupuk karena peningkatan fotosintesis pada tumbuhan yang memanfaatkan pupuk. Efektivitas pupuk organik diketahui, tetapi masih bisa diperdebatkan apakah biomassa sebaiknya dipergunakan langsung sebagai pupuk organik, atau apakah biomassa tersebut sebaiknya digunakan sebagai sumber pakan ternak, yang kemudian menghasilkan pupuk kandang. Skema untuk pengolahan kotoran hewan menjadi biogas, hasilnya sangat bervariasi tergantung pada efisiensi dan skala sistem yang dipergunakan (Gebrezgabher et al. 2009, Frandsen et al. 2011, Morup 2012). Kebijakan. Untuk menghadapi tantangan yang dihadapi subsidi pupuk kimia, Kementerian Pertanian telah mengusulkan pengurangan parsial dalam skema subsidi pupuk melalui peningkatan HET secara bertahap agar semakin mendekati biaya produksi. Reformasi subsidi pupuk akan berdampak besar pada hasil pertanian, pada kelestarian lingkungan dan pada anggaran. Reformasi mencakup tiga hal utama, yaitu:
Menjaga subsidi lebih tepat sasaran dan pertanian komersial tidak mendapat keuntungan dari subsidi.
Setengah dari belanja subsidi akan dialihkan ke subsidi pertanian lainnya, termasuk dukungan untuk pertanian cerdas iklim dan irigasi. Perubahan ini akan terjadi melalui tiga langkah tahunan.
Mendukung pengembangan pupuk organik untuk mengimbangi pengurangan penggunaan nutrisi kimia dan untuk menciptakan kesuburan tanah dalam jangka panjang, yang mencakup: a) dukungan untuk penggunaan pupuk; dan b) dukungan untuk mulsa dan teknik yang terkait.
Beberapa kebijakan yang terkait dengan subsidi pupuk dan penggunaan pupuk organik antara lain adalah: Sejauh ini kebijakan yang paling penting pada pupuk adalah subsidi urea. Kementerian Pertanian mengupayakan beberapa kebijakan agar petani menyadari penggunaan pupuk yang optimal dalam pemanfaatannya, baik dari aspek ekonomi maupun lingkungan. Kementerian Pertanian juga telah mengupayakan program penyuluhan, hibah alat, subsidi suku bunga dan jaminan pinjaman bagi petani untuk mendorong mereka menggunakan lebih banyak pupuk organik. Koherensi, konsistensi, dan sinergi. Pemberian subsidi pupuk dan hibah alat untuk pengembangan pupuk organik merupakan cara-cara yang ditempuh Kementerian Pertanian untuk meningkatkan kesuburan tanah. Namun, kedua cara tersebut memiliki implikasi yang berbeda dalam pembangunan rendah karbon: penggunaan pupuk kimia secara efisien memberikan kontribusi untuk peningkatan produksi pangan dan mengurangi tekanan pada lahan; sementara penggunaan pupuk organik memberikan kontribusi terhadap peningkatan kesuburan dan kelembaban tanah, sehingga meningkatkan ketahanan atas iklim, dan juga menciptakan kesempatan untuk menyediakan makanan berkualitas tinggi yang menghasilkan manfaat ekonomi bagi produsen dan manfaat kesehatan bagi konsumen.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
51
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Efisiensi, efektivitas, dampak, dan keberlanjutan. 1. Perhatian lebih untuk penetapan target subsidi. Beberapa perkiraan menunjukkan bahwa sebanyak 60% dari subsidi diterima oleh petani terkaya sebesar 40% dari petani, meskipun terdapat upaya untuk menetapkan target subsidi kepada petani terkecil dan termiskin. Penegakan lebih lanjut atas aturan penetapan target subsidi akan disosialisasikan dengan tujuan menghemat 20% dari subsidi tanpa mengurangi penggunaan pupuk oleh petani miskin. Penargetan ini akan membutuhkan investasi yang signifikan dalam penegakan aturan dan setengah penghematan anggaran akan disediakan untuk menegakkan peraturan baru. 2. Pengalihan 50% dari subsidi pupuk untuk pendukung pertanian lain. Keseimbangan data-data dan bukti internasional akan efektivitas subsidi pupuk amat beragam. Pada sebagian besar tahun 1990-an, terdapat argumen yang kuat melawan subsidi pupuk. Namun, dalam sepuluh tahun terakhir, keseimbangan pendapat telah bergeser dan ada beberapa contoh program subsidi yang dianggap berhasil. Secara teori, efisiensi penggunaan urea menghasilkan respon minimal 3 ton beras untuk setiap ton urea (Manzoor et al., 2006). Dalam teori ini berarti jika 5 juta ton urea digunakan pada tahun 2010 untuk menghasilkan beras, maka harus dapat menghasilkan 15 juta ton tambahan beras. Dalam praktiknya, produksi beras dalam 10 tahun terakhir telah meningkat hampir 20 juta ton/tahun atau sekitar 37%, menurut data Statistik Indonesia. Sekitar 60% dari peningkatan ini dapat diperhitungkan dari perluasan pertanian di daerah dan 40%-nya (yaitu sekitar 8 juta ton) dari kenaikan hasil. Angka-angka ini konsisten dengan saran bahwa sebagian besar dari kenaikan hasil disebabkan oleh peningkatan penggunaan pupuk kimia. Dampak pengurangan subsidi pupuk tergantung pada sejauh mana hal itu akan menyebabkan berkurangnya penggunaan pupuk yang akan berdampak pada produksi pertanian dan pendapatan petani. Beberapa laporan menunjukkan bahwa elastisitas harga dari permintaan pupuk adalah antara 0,1 dan 0,2, yang berarti peningkatan 100% pada harga urea akan mengakibatkan penurunan 10% sampai 20% permintaan pupuk (Warr dan Yusuf, May, 2013). Estimasi atas elastisitasharga pupuktersebut sangat sensitif terhadap faktor-faktor lain, seperti perilaku harga input lain dan pola cuaca. Tingkat penggunaan pupuk urea di Indonesia hampir dua kali lipat dari negara-negara lain di Asia Tenggara, sehingga kemungkinan penghematan subsidi dari penggunaan pupuk cukup besar. Penghapusan subsidi input pupuk tanpa pergeseran ke subsidi infrastruktur atau peningkatan pendapatan petani diperkirakan mengurangi penggunaan pupuk sekitar 0,7 juta ton (0,5-1,0 juta ton), yang mengarah pada penurunan produksi beras sekitar 2 juta ton. 3. Peningkatan dukungan untuk pupuk dan mulsa. Dampak peningkatan dukungan untuk menggunakan pupuk kandang sebagai pupuk organik terbatas baik oleh biaya 19 19
Efektifitas biaya dari unit-unit pengolahan pupuk organik saat ini perlu dievaluasi. Evaluasi internasional terhadap biodigester menunjukkan bahwa pengolahan pupuk organik dapat menguntungkan, tetapi mempersyaratkan biaya operasional yang sangat efisien. Gebrezgabher, S. A., Meuwissen, M., Lansink, G. O. & Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
52
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
dan oleh pasokan potensi pupuk kandang. Belum ditemukan studi mengenai pasokan potensial, tapi perkiraan awal dapat diperoleh dari dari data jumlah hewan ternak. Menurut Statistik Indonesia (BPS), ada sekitar 16 juta ekor sapi dan kerbau, 35 juta kambing dan domba, 8 juta ekorbabi dan 1.900 juta unggas di seluruh Indonesia. Hewan ternak ini menghasilkan sekitar 1,9 juta ton nutrisi per tahun20, dibandingkan 4.6 juta ton nutrisi dari pupuk kimia (FAOSTAT data). Jika kebijakan untuk mempromosikan pupuk organik mampu memobilisasi nutrisi tambahan sebesar 10% dari pasokan potensial teoritis, mereka akan menggantikan kurang dari 5% dari nutrisi yang disediakan oleh pupuk kimia. Manfaat dari pupuk kandang terhadap tanah melampaui pasokan nutrisi utama dan termasuk nilai bahan organik dan mikro-nutrisi, tetapi analisis ini memberikan beberapa indikasi bahwa pupuk hanya akanmemberikan kontribusi sederhana. Skala potensi manfaat dari penggunaan mulsa jauh lebih tinggi daripada penggunaan pupuk kandang karena volume bahan organiknya jauh lebih tinggi. Namun demikian, penggunaan alternatif bahan organik yang potensial digunakan untuk mulsa, termasuk untuk pakan ternak, sangat bersaing. Terdapat perkembangan pesat pemakaian mulsa di dunia internasional. Di Brazil, pada 30 tahun terakhir telah terjadi transformasi praktik pertanian dan lebih dari 55% dari semua tanaman sekarang tumbuh menggunakan pengolahan nol, yang bergantung pada daur ulang nutrisi dari mulsa dan memungkinkan pengurangan penggunaan pupuk kimia tanpa pengurangan hasil. Peningkatan penggunaan teknik yang sama terjadi di Australia dan Amerika Utara dan terdapat pilihan-pilihan yang dikembangkan untuk produksi padi, (misalnya menggunakan prinsip-prinsip Sustainable Rice Intensification). Teknik-teknik ini adalah pusat untuk praktik Pertanian Cerdas Iklim (CSA) seperti yang disebutkan di atas. Sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya, Penggunaan pupuk kimia memiliki implikasi kompleks untuk emisi gas rumah kaca. Pada umumnya kekhawatiran timbul terhadap emisi yang timbul secara langsung dari pemakaian pupuk kimia. Namun, sesungguhnya ada pula dampak positif dari penggunaan pupuk kimia dalam reduksi emisi karena adanya peningkatan fotosintesis pada tanaman yang memanfaatkan pupuk. Efektivitas pupuk organik telah diketahui meskipun masih dapat diperdebatkan apakah bahan organik/biomasa tumbuhan paling baik digunakan sebagai sumber pakan ternak, dan menghasilkan pupuk yang akan diterapkan dalam bentuk kotoran hewan. Keuntungan yang dihasilkan dari pengolahan kotoran hewan menjadi biogas berbeda-beda, tergantung pada efisiensi dan skala usahanya (Gebrezgabher, Meuwissen et al 2009;. Frandsen, Rodhe et al 2011;Morup 2012). Penurunan penggunaan pupuk juga memiliki implikasi untuk emisi karena emisi ratarata dari pembuatan dan aplikasi pupuk sekitar 13 tCO 2e per berbasis pupuk nitrogen
Prins, B. 2009. Economic analysis of anaerobic digestion - A case of Green power biogas plant in the Netherlands Case Study 17th International Farm Management Congress, Morup, C. 2012. Viability of Household Biogas Plants in Vietnam: A Social Cost-Benefit Analysis. Aarhus School of Business MSc Thesis.). 20 Diasumsikan bahwa hewan ternak termasuk kerbau memproduksi 4t/kepala/tahun OECD 2012. Review of Agricultural Policies: Indonesia. and the production for other animals is roughly proportional to their bodyweight and so is 0.4t/head/yr for sheep/goats, 0.8t/head/yr for pigs and 0.015 for poultry. Assume also that the NPK content of all manure is 1.7%. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
53
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
(WF, ZX et al. 2013). Penurunan penggunaan pupuk 0,7 juta ton dengan demikian mengurangi emisi gas rumah kaca sekitar 9 juta tCO 2e, senilai sekitar Rp 2,7triliun. Dampak ini sebagian juga akan diimbangi oleh hilangnya produktivitas tanaman, yang terkait dengan penyerapan CO2 yang lebih rendah selama fotosintesis. Namun demikian, jika alternatif ini mampu mendukung pertanian cerdas iklim dan mengembalikan hasil ke tingkat terbaik –walaupun tanpa penurunan penggunaan pupuk kimia, maka hal ini akan memberikan keuntungan dalam hal penyerapan emisi gas rumah kaca tanpa kehilangan produktivitas. Kelembagaan. Kementerian Pertanian berupaya untuk mendorong petani menggunakan pupuk organik dan menggunakan pupuk kimia bersubsidi secara lebih rasional. Kementerian Pertanian menggandeng perusahaan swasta untuk menyediakan peralatan pengolahan pupuk organik dan mendorong bank untuk bersedia memberikan pinjaman untuk lembaga pengolahan pupuk organik. Selain itu, Kementerian Pertanian juga mendorong keterlibatan lembaga penelitian nasional dan internasional serta lembaga-lembaga terkait mekanisme pembangunan bersih (CDM) untuk mendukung petani menggunakan pupuk organik. Kelembagaan distribusi dan pengawasan pupuk bersubsidi juga perlu dibenahi untuk mengurangi kebocoran pupuk bersubsidi ke tangan pihak yang tidak berhak menerima. Disamping itu, kelembagaan penyuluhan juga harus diperkuat agar petani lebih rasional (tidak berlebihan) dalam menggunakan pupuk. Implikasi fiskal. Subsidi mencapai sekitar 60% dari seluruh pengeluaran pertanian dan subsidi pupuk adalah yang terbesar dari subsidi pertanian, yaitu sebesar Rp 21 triliun dalam tahun anggaran 2014. Pada tahun 2013, Menteri Pertanian mengusulkan menurunkan subsidi pupuk dan menggunakan pengalihan sumberdaya tersebut untuk meningkatkan irigasi dan praktik pertanian lainnya. Namun demikian, dalam RAPBN tahun 2015 ternyata rencana pengeluaran untuk subsidi pupuk justru meningkat menjadi sekitar Rp 35 triliun. 4.2.5 Asuransi Pertanian Konteks dan dimensi ramah lingkungan. Asuransi pertanian diperlukan oleh petani untuk melindungi terjadinya kerugian akibat kegagalan tanaman karena peningkatan frekuensi musim yang buruk. Tantangan dalam pelaksanaan asuransi tanaman untuk mengatasi gagal panen sebagian besar terkait dengan kompleksitas biaya pengukuran dan verifikasi. Sistem yang lebih sederhana berdasarkan asuransi indeks iklim adalah yang lebih hemat biaya (Boer, 2012; IFC, -). Kebijakan. Subsidi diberikan kepada perusahaan asuransi yang memungkinkan mereka menerapkan asuransi pertanian untuk mengganti risiko kehilangan pendapatan petani di tahun-tahun dengan musim yang buruk. Undang Undang Nomor 19/2013 dikeluarkan dalam rangka menyediakan kebijakan pemungkin yang mendukung asuransi pertanian, dimana Pasal 37 undang-undang tersebut menyatakan bahwa:
Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya wajib untuk melindungi kegiatan usaha tani dalam bentuk asuransi pertanian;
Asuransi pertanian didirikan untuk melindungi petani dari kerugian gagal panen yang disebabkan oleh: bencana alam; serangan hama tanaman; wabah penyakit hewan menular; dampak perubahan iklim, dan/atau jenis risiko yang ditetapkan oleh peraturan.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
54
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Kementan telah menerapkan proyek percontohan asuransi pertanian pada usahatani padi di tiga provinsi: Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, dengan dukungan dari JICA di bawah program Pengembangan Kapasitas untuk Strategi Perubahan Iklim di Proyek Indonesia. Pelajaran dari proyek percontohan tersebut antara lain sebagai berikut (BKF, 2013). o
Undang-Undang Pemberdayaan dan Perlindungan Petani merupakan salah satu elemen kunci dalam adaptasi perubahan iklim dan mendukung pengembangan sektor pertanian.
o
Asuransi pertanian sangat penting dalam menjamin ketahanan pangan dengan harga stabil, serta mencapai target permintaan dan penawaran.
o
Asuransi pertanian akan memainkan peran penting dalam banyak komoditas yang melibatkan pengeluaran publik dan swasta.
o
Peran pemerintah (pusat dan daerah) sangat penting dalam mempromosikan dan menjamin implementasi asuransi pertanian yang baik dan adil.
o
Mitra pembangunan dapat membantu inisiatif melalui penyediaan kapasitas pengetahuan dan berbagi kebijakan dan praktik terbaik dalam melaksanakan asuransi pertanian.
Koherensi, konsistensi, dan sinergi. Asuransi pertanian adalah subyek yang kompleks. Fakta bahwa asuransi pertanian dipergunakan di beberapa negara menunjukkan bahwa asuransi pertanian memainkan peran yang penting dalam mendukung pembangunan pertanian. Namun, agar efektif asuransi pertanian perlu dikelola dengan sangat hati-hati. Jika asuransi pertanian diimplementasikan tanpa persyaratan yang jelas, maka insentif untuk mengadopsi sistem pertanian cerdas iklim (CSA) berkurang dan petani mungkin lebih cenderung untuk menerima risiko. Untuk beberapa hal, asuransi pertanian ini akan menjadi kebijakan yang rasional secara nasional karena akan mengatasi dampak kerugian petani akibat masalah cuaca lokal sehingga dapat mengejar produktivitas nasional yang lebih tinggi. Namun, jika asuransi pertanian ini dirancang dengan cara yang mengabaikan upaya petani untuk mengurangi risiko maka dikhawatirkan dapat merusak insentif bagi keberhasilan pertanian cerdas iklim (CSA). Pada saat ini dirasakan adanya kebutuhan yang semakin mendesak untuk menerapkan asuransi pertanian dalam menghadapi kondisi perubahan iklim (IFAD, 2010). Beberapa studi menunjukkan bahwa skema asuransi pertanian dapat bekerja secara efektif dalam beberapa keadaan, baik dalam skala makro maupun mikro. Namun demikian skema asuransi pertanian harus dirancang dengan sangat hati-hati untuk menyesuaikan dengan berbagai kondisi (Balzer dan Hess, 2010). Pemerintah perlu mendorong sektor swasta agar mulai menawarkan produk asuransi pertanian untuk menghadapi risiko cuaca (perubahan iklim) kepada petani, atau menerapkan asuransi pertanian melalui beberapa skema percontohan. Efisiensi, efektivitas, dampak, dan keberlanjutan. Di negara-negara maju dengan pasar asuransi yang tinggi, seperti Amerika Serikat, ternyata penerapan asuransi risiko tanaman (asuransi pertanian) masih tergantung pada dukungan publik (subsidi pemerintah). Namun demikian, berbagai skema asuransi dapat diterapkan dalam beberapa sistem kontrak pertanian. Biaya untuk merancang dan mengelola skema asuransi pertanian di negaranegara berpenghasilan menengah cukup tinggi dan sering disubsidi (misalnya hingga 92% di
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
55
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Cina dan 90% di Brasil) (IFAD 2010). Tidak diketahui, apakah skema subsidi ini akan berlangsung terus atau secara bertahap akan menjadi swadana. Subsidi pemerintah diperlukan untuk mempertahankan skema asuransi pertanian (indeks cuaca). Subsidi ini dapat dibenarkan, jika biayanya lebih rendah daripada pilihan alternatif untuk biaya tanggap bencana. Skema asuransi pertanian juga dapat membantu mengurangi volatilitas harga komoditas pertanian selama tahun-tahun kegagalan tanam/panen dan dengan demikian membantu untuk mengurangi biaya intervensi ad hoc di pasar beras. Namun, seperti kebanyakan subsidi, efektifitas nyata dari kebijakan tidak tergantung pada keuntungan jangka pendek dari pemberian subsidi dan efisiensi dari subsidi yang diberikan, tetapi pada implikasi jangka panjang sampai dengan keputusan produksi diubah oleh subsidi. Kelembagaan. Skema asuransi pertanian akan dilaksanakan oleh perusahaan asuransi dan Kementerian Pertanian memberikan subsidi bagi petani. Kementerian Pertanian mengusulkan anggaran untuk asuransi pertanian senilai Rp 150 miliar. Implikasi Fiskal. Pengalaman dengan skema asuransi pertanian (berdasarkan indeks cuaca) di negara-negara berpenghasilan menengah lainnya menunjukkan bahwa petani membayar premi bervariasi dari USD 13/ha (India) sampai USD 24/ha (Cina) dan 11% sampai 17% dari uang pertanggungan (Brazil). Biaya pengelolaan skema bervariasi mulai dari 15% dari premi yang diterima di India dan sekitar 20% di Brazil. Skema percontohan saat ini memiliki anggaran yang tidak terlampau besar. Jika skema percontohan ini ditingkatkan untuk 500.000 ha selama lebih dari 10 tahun, maka dengan mengacu pada biaya tahunan bersih minimal USD 10/ha, asuransi pertanian membutuhkan anggaran sebesar Rp 25 miliar. 4.2.6 Biofuels Konteks dan dimensi ramah lingkungan. Menurut Dewan Energi Nasional, Indonesia termasuk salah satu dari 15 negara pengkonsumsi minyak terbesar di dunia dengan volume mencapai sekitar 1.384 juta barel/hari. Sementara itu, cadangan energi fosil nasional terus menipis dan diprediksi hanya mampu bertahan 10 hingga 15 tahun dengan cadangan terbukti hanya sekitar 4,03 miliar barel. Oleh karena itu pengembangan energi baru dan terbarukan atau Biofuel tidak hanya diperlukan tetapi menjadi sebuah keharusan. 21 Biofuels juga dapat berkontribusi mengurangi emisi gas rumah kaca dari penggunaan energi fosil. Namun, pada saat yang sama biofuel juga menimbulkan persaingan dalam penggunaan lahan dan dapat menjadi salah satu penyebab deforestasi yang berdampak pada peningkatan emisi, bukan pengurangan emisi (Yuliani, Indriatmoko et al., 2010) serta dapat menjadi pemicu kelangkaan pangan (Oxfam 2008). Secara teori, akan ada kemungkinan untuk membatasi produksi biofuel dengan mengutamakan untuk penggunaan produk sampingan. Namun demikian, hal ini biasanya memerlukan biaya besar dan akan mengurangi produksi tanaman pangan, karena petani akan beralih menanam tanaman penghasil biofuel jika harga produknya lebih tinggi daripada harga produk tanaman pangan. Kebijakan. Pada tahun 2014 DPR telah mengesahkan sebuah Kebijakan Energi Nasional dan energi terbarukan. Penggunaan energi terbarukan diperkirakan meningkat dari 5% pada
21
Majalah TROPIS Edisi 05/Tahun VII/Agustus-September 2014
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
56
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
tahun 2010 menjadi 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050. Rencana terbaru Pembangunan Tenaga Listrik Nasional PLN (2010-2019) menyebutkan bahwa pasokan energi terbarukan akan didominasi oleh panas bumi dan hidro, sedangkan biofuel hanya berkontribusi sekitar 6% dari total energi terbarukan. Dalam RAN-GRK diasumsikan bahwa biofuel akan memberikan kontribusi sekitar 1,4% dari total energi terbarukan. Menurut Peraturan Menteri ESDM Nomor32/2008, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 25/2013, industri dan perdagangan diwajibkan menggunakan campuran biofuel sebesar 20-25% dalam konsumsi bahan bakar pada tahun 2025 dan pembangkit listrik wajib menggunakan campuran biofuel sebesar 30%. Kebijakan utama untuk mencapai target tersebut mencakup harga, pembiayaan dan peraturan yang mengatur pangsa energi yang harus disediakan dari biofuel.
Produsen biofuel menerima manfaat dari subsidi (sebagaimana didefinisikan dalam Peraturan Presiden Nomor 45/2009) dan keringanan pajak. Produsen biodiesel menerima subsidi dari Rp 3.000/lt dan produsen bioetanol menerima Rp 3.500/lt (Damuri & Atje, 2012). Selain itu, produsen biofuel juga memenuhi syarat untuk pengembalian PPN, tetapi hal ini hanya dapat diklaim secara berlaku surut. Mereka juga memenuhi syarat untuk skema pengurangan pajak penghasilan dan penyusutan yang dipercepat.
Pemerintah mengeluarkan formula harga bahan bakar nabati dan bahan bakar etanol. Distributor bahan bakar seperti PT. Pertamina wajib menerapkan formula harga tersebut dalam tender mereka untuk biofuel. Saat ini formula harga untuk biodiesel adalah MOPS 0,25 persen minyak dan gas dikurangi alpha. Rumus harga bahan bakar etanol adalah harga FOB etanol Argus Thailand dikali 1,05.
Petani biofuel, khususnya yang berasal dari perkebunan kelapa sawit, dapat menerima manfaat dari pemberian pinjaman lunak. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/2007 (yang berkaitan dengan pangan dan tanaman energi) dan Peraturan Pemerintah Nomor 8/2007 (yang berfokus pada proyek-proyek investasi jangka panjang). Pinjaman lunak dapat diperoleh dari perbankan nasional.
Pemerintah perlu terus memberikan dukungan untuk pengembangan biofuel karena diyakini bahwa pengembangan biofuel akan memainkan peran penting dalam bauran energi di Indonesia dan memastikan bahwa kebijakan ini akan tetap memungkinkan untuk mencapai tujuan ketahanan pangan dengan mengakomodasialokasi penggunaan lahan untuk biofuel. Alokasi anggaran hendaknya difokuskan untuk mendorong munculnya industri biofuel yang lebih efisien. Dengan demikian kebutuhan untuk subsidi akan berkurang dalam jangka waktu lebih dari 10 tahun, sampai biofuel dapat dikelola sepenuhnya oleh swasta, dengan target produksi yang ditentukan oleh pemerintah. Koherensi, konsistensi, dan sinergi. Berbagai sasaran yang berkaitan dengan biofuel tidak konsisten dan implikasi dari target tersebut terhadap biaya dan emisi belum ditetapkan. Misalnya, target pemerintah untuk meningkatkan persentase penggunaan biodiesel tanpa dibarengi mekanisme pengurangan subsidi bahan baku fosil sehingga harga biodiesel tidak kompetitif. Efisiensi, efektivitas, dampak, dan keberlanjutan. Catatan pengalaman internasional tentang efektivitas biaya biofuel bervariasi. Laporan IPCC tahun 2012 tentang energi Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
57
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
terbarukan menyebutkan bahwa unit biaya bervariasi tergantung pada teknologi yang digunakan dan skala kegiatan (IPCC, 2012). Teknologi yang paling efisien menghasilkan listrik atau panas dengan biaya kurang dari 5 c/kWh, yang menjadikannya menjadi sumber termurah dari energi terbarukan dan kompetitif dengan generasi bahan bakar fosil. Namun, teknologi dengan skala yang lebih kecil cenderung lebih mahal dan pada umumnya memerlukan biaya sebanyak 20 c/kWh. Nilai pengurangan emisi GRK dari energi biomassa diperkirakan akan mengurangi biaya sekitar 1,8 c/kWh, dengan asumsi emisi senilai USD30/tCO2e (Lihat Kotak 1). Studi mengenai profitabiltas atas budidaya kelapa sawit terhadap penggunaan lahan lainnya masih terbatas. Di Indonesia, hasil kelapa sawit rata-rata adalah 3.500 kg/ha (setara dengan sekitar 3.000 lt/ha biodiesel) yang bernilai sekitar Rp 20 juta/ha untuk petani. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil padi sebesar 4.600 kg/ha, senilai sekitar Rp 15 juta/ha. Membandingkan profitabilitas kedua jenis tanaman ini pun cukup rumit karena budidaya padi menghabiskan biaya tahunan yang lebih tinggi, sementara kelapa sawit memerlukan investasi dimuka sampai dengan tujuh tahun sebelum memperoleh hasil yang menguntungkan. Dalam praktiknya, profitabilitas kedua tanaman untuk petani kurang lebih sama, meskipun kecenderungan perluasan perkebunan kelapa sawit menunjukkan bahwa masyarakat, terutama dengan “kultur kebun” lebih memilih membudidayakan kelapa sawit. Data mengenai biaya penggunaan minyak sawit untuk diesel masih terbatas. Sebuah penelitian terbaru di Indonesia menyatakan bahwa biaya pembuatan biodiesel dari minyak sawit sekitar Rp 4.800/lt, dimana Rp 3.300 adalah biaya pertanian dan Rp 1.500 adalah biaya pengolahan (Sahirman, Saparso et al. 2013), dengan asumsi hasil kelapa sawit 4-6 ton/ha. Studi terbaru lain menyebutkan biaya pembuatan biodiesel sekitar Rp 6.300/lt, berdasarkan data dari Malaysia dan dengan asumsi hasil kelapa sawit berkisar 5-6 ton/ha (Ong, Mahlia et al.). Namun, studi-studi ini menggunakan asumsi bahwa produk dari kelapa sawit yang dihasilkan 50% lebih tinggi dari hasil rata-rata di Indonesia, sehingga biaya rata-rata pembuatan biodiesel antara Rp 7.000-9.000/lt. Biaya ini lebih tinggi dibandingkan dengan biaya solar bersubsidi sebesar Rp 5.500/lt, namun lebih rendah dibandingkan dengan harga solar tanpa subsidi Rp 10.000/lt. Hal ini menunjukkan bahwa harga biodiesel dari minyak sawit akan kompetitif dengan solar tanpa subsidi dan bahwa fungsi utama dari subsidi saat ini untuk biodiesel sawit adalah memberikan subsidi bagi produsen biodiesel sawit yang kira-kira setara dengan subsidi yang disediakan untuk solar. Hal ini menunjukkan bahwajika subsidi bahan bakar fosil dihapus, subsidi juga dapat dihapus dari biodiesel. Namun, hal ini perlu dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari rusaknya kepercayaan pasar. Biodiesel sawit juga dapat dianggap sebagai produk karbon netral, karena semua karbon yang dikeluarkan oleh pembakaran akan diserap melalui fotosintesis dalam pertumbuhan kelapa sawit. Kandungan karbon dari satu liter diesel adalah sekitar 2,6 kgCO 2e, yang bernilai Rp 780/lt, dengan asumsi harga karbon sebesar USD30/tCO 2e. Oleh karena itu, subsidi biodiesel tidak serta merta harus dihapus menyusul pencabutan subsidi bahan bakar fosil, karena penggunaan biodiesel akan memberikan manfaat pengurangan emisi karbon. Walaupun kelapa sawit adalah tanaman penghasil biodiesel dengan produktivitas yang sangat tinggi, namun kebijakan pemanfaatan sawit diprioritaskan untuk pangan. Oleh karena itu, sumber bioenergi baru dan terbarukan dari biomasa hutan dapat dipertimbangkan. Ada 147 jenis tanaman yang berprospek tinggi sebagai sumber energi biomasa. Beberapa tanaman hutan dan pekarangan yang dapat dikembangkan sebagai sumber energi Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
58
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
diantaranya adalah Nyamplung, Malapari, Bintaro, Akor, Kaliandra, Gamal, dan Lamtoro Gung. Biaya pengembangan tanaman penghasil energi ini sekitar Rp 17 juta per-hektar, jauh lebih rendah dibandingkan dengan biaya pembangunan kebun sawit yang mencapai sekitar 30 juta per-hektar. Dalam satu hektar dapat ditanam sedikitnya 400 tanaman penghasil energi dengan jarak tanam 5 x 5 m.22 Selain tidak berkompetisi dengan kebutuhan pangan, tanaman hutan penghasil energi pada umumnya dapat tumbuh di lahan-lahan marginal, kering, maupun terdegradasi. Oleh karena itu, tanaman-tanaman ini dapat dipertimbangkan sebagai tanaman reboisasi dan rehabilitasi lahan. Dengan demikian, rehabilitasi lahan dengan menggunakan tanaman penghasil energi akan menghasilkan manfaat ekologi (rehabilitasi lahan) dan sekaligus juga manfaat ekonomi (sebagai sumber energi terbarukan). Menurut Kementerian Kehutanan, saat ini setidaknya ada 9 juta ha kawasan hutan yang belum dibebani izin yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman penghasil energi. Salah satu tanaman hutan yang memiliki produktivitas tinggi adalah Nyamplung yang biasanya tumbuh di daerah pantai berpasir dengan produktivitas biji mencapai 12 ton/ha/tahun. Inti biji Nyamplung memiliki kadar minyak 40-73% dengan rendemen 0,14%.23 Biomasa dari tanaman ini dapat diolah menjadi bahan bakar nabati (BBN) seperti biopelet maupun biodiesel. Sebagaimana telah diuraikan rata-rata biaya pembuatan biodiesel Rp 7.000-9.000/lt, sehingga jika subsidi BBM dicabut maka harga biodiesel dapat kompetitif. Kelembagaan. Kebijakan harga untuk biofuel ditentukan oleh Kementerian Keuangan dengan berkonsultasi dengan Kementerian ESDM, untuk menentukan besaran subsidi yang dibayarkan kepada produsen. Keterlibatan pemerintah juga diperlukan dalam penguatan peraturan dan denda, pengawasan, dan kontrol kualitas biofuel. Budidaya, pengolahan dan penjualan biofuel hendaknya dikelola melalui saluran pasar normal dan tidak memerlukan lembaga khusus. Implikasi fiskal. Biofuel perlu menerima subsidi sesuai dengan subsidi yang disediakan untuk bahan bakar fosil. Agar biodiesel sawit dapat bersaing dengan bahan bakar fosil, diperlukan subsidi dengan besaran rata-rata sebesar Rp 1.000/lt, setidaknya untuk 10 tahun ke depan. Jika 5% dari konsumsi bahan bakar ditargetkan dari biodiesel maka kebijakan ini akan membutuhkan peningkatan pasokan biodeiesel menjadi sekitar 500 juta lt, dan subsidi yang diperlukan menjadi sebesar Rp 500 miliar. Hal ini akan membutuhkan 0,17 juta hektar lahan.
22 23
Majalah TROPIS Edisi 05/Tahun VII/Agustus-September 2014 Majalah TROPIS Edisi 05/Tahun VII/Agustus-September 2014
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
59
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
5. Konsistensi dan Tantangan KKF-PRLSBL 5.1 Keseimbangan, Konsistensi dan Sinergi Kebijakan-Kebijakan Kunci Keseimbangan. KKF-PRLSBL perlu mempertimbangkan keseimbangan antara lahan yang digunakan untuk kehutanan, tanaman pangan, tanaman keras, dan tanaman energi. Hal ini mencakup penilaian terhadap produksi pangan minimum untuk menjamin ketahanan pangan dan sejauh mana hal ini dapat dicapai melalui peningkatan produktifitas dan perluasan lahan produksi. Analisis ini mencakup implikasi dari perubahan iklim terhadap produktifitas tanaman dan lahan yang dibutuhkan. 1. Prioritas pertama secara keseluruhan adalah untuk memastikan bahwa negara mempertahankan swasembada beras, dan juga melaksanakan praktik budidaya yang menunjang kesuburan tanah dalam jangka panjang. 2. Prioritas kedua adalah untuk mencapai tingkat tutupan hutan yang stabil, dalam jangka panjang, sehingga menghilangkan kontribusi deforestasi terhadap emisi gas rumah kaca. 3. Setelah dua tujuan ini terpenuhi, memungkinkan untuk mengandalkan kekuatan pasar untuk menentukan penggunaan optimal dari sisa lahan apakah untuk tanaman komersial dan/atau energi, sepanjang ketentuannya telah ada untuk memastikan bahwa penggunaan optimal tidak akan menyebabkan degradasi SDA. Hal ini akan memastikan bahwa lahan Indonesia digunakan untuk tujuan yang memaksimalkan pertumbuhan PDB dalam jangka panjang. Namun, karena pasar pertanian dan energi sangat dipengaruhi oleh berbagai subsidi, kebijakan diperlukan untuk memastikan bahwa keputusan petani tidak terdistorsi oleh subsidi ini. Kebijakan ini juga akan membantu mengurangi biaya untuk anggaran subsidi. Setelah menetapkan luasan lahan yang dibutuhkan untuk produksi pangan, studi ini juga mempertimbangkan kontribusi penggunaan lahan alternatif (yaitu: kehutanan, tanaman komersial, dan tanaman energi) terhadap pertumbuhan ekonomi dan dampak bersihnya terhadap anggaran. Konsistensi kebijakan. Sejumlah masalah konsistensi dan koherensi yang berkaitan dengan kebijakan fiskal sektor berbasis lahan. Salah satu masalah yang memengaruhi implementasi kebijakan sektor kehutanan antara lain adalah pengumpulan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari penggantian nilai tegakan (PNT). Prosedur untuk perhitungan PNT ini tidak sepenuhnya jelas, sehingga diajukan uji materi ke Mahkamah Agung. Ada juga beberapa ambiguitas dalam istilah yang berkaitan dengan pembayaran denda karena adanya beberapa peraturan PNBP di sektor kehutanan yang terkesan saling bertentangan (Lampiran 3). Konsistensi dalam peraturan. Terdapat beberapa ketidakjelasan dalam prosedur rinci yang ditetapkan untuk mengatur PNBP kehutanan. Peraturan Pemerintah Nomor 12/2014 adalah peraturan terbaru yang mengatur tentang PNBP kehutanan. Peraturan ini dalam beberapa hal sulit diimplementasikan karena terdapat perbedaan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35/2002 tentang Dana Reboisasi dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 18/2007 Petunjuk
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
60
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Teknis Tata Cara Pengenaan Pemungutan dan Pembayaran Provisi Sumber Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi. Menurut Peraturan Pemerintah, dasar untuk pembayaran PSDH dan DR dari HPH adalah laporan hasil inventarisasi tegakan sebelum penebangan (timber cruising), sedangkan Peraturan Menteri Kehutanan menghitung pembayaran PSDH dan DR berdasarkan laporan hasil produksi kayu. Ada juga beberapa ambiguitas terkait Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 18/2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38/2007 yang mengatur tanggung jawab pemerintah provinsi dalam mengumpulkan PNBP. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 18/2007, pemerintah provinsi berperan dalam pengelolaan penerimaan negara bukan pajak (DBH Kehutanan, DR, PSDH dan IIUPH). Namun, Peraturan Pemerintah Nomor 38/2007 tidak memberikan kewenangan kepada pemerintah provinsi dalam pengelolaan penerimaan negara bukan pajak dari sektor kehutanan (Nurfatriani et al. 2013).
5.2 Tantangan Kebijakan Berikut adalah beberapa tantangan kunci untuk kebijakan yang efektif:
Keuntungan dari penebangan hutan dan konversi lahan untuk perkebunan dan tanaman pangan sangat tinggi.
Keuntungan dari sektor kehutanan sangat bervariasi secara geografis, sehingga perlu dirancang suatu sistem insentif yang efisien, karena untuk beberapa lokasi besaran insentif mungkin tidak akan memadai, sementara di lain tempat tidak diperlukan insentif yang tinggi. Oleh karena itu, pemberian insentif harus dikombinasikan dengan sistem regulasi dan penegakan hukum, yang juga memerlukan sumberdaya dan biaya yang memadai.
Salah satu solusi untuk mempromosikan perlindungan hutan adalah dengan melibatkan masyarakat melalui KPH, tetapi ini adalah tugas yang tidak ringan karena kondisi wilayah yang sangat bervariasi dan banyak KPH masih perlu berjuang untuk dapat memiliki kemampuan finansial secara berkelanjutan, tanpa dukungan subsidi pemerintah. Program REDD+ dan IJE mungkin dapat mendukung KPH secara finansial tetapi masih menghadapi kendala, antara lain pemantauan, evaluasi, dan pelaporan (PEP) PEP yang cukup rumit dan memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Pemulihan lahan kritis untuk kehutanan dan pertanian menghadapi masalah terutama terkait beragamnya kondisi lahan. Sifat degradasi lahan sangat bervariasi, sehingga skema insentif perlu mempertimbangkan fleksibilitas dengan berbagai kondisi. Biaya yang dibutuhkan untuk rehabilitasi lahan kritis cukup tinggi dan rentang kendalinya cukup luas sehingga menyebabkan tingginya biaya PEP.
Potensi kerusakan lingkungan pada lahan gambut lebih tinggi dan lebih sulit dipulihkan daripada lahan hutan lainnya. Oleh karena itu, mungkin perlu insentif yang lebih tinggi untuk perlindungan dan pelestarian lahan gambut, yang juga berarti memerlukan biaya PEP yang lebih tinggi.
Kebijakan kehutanan masih terkendala oleh ketidakjelasan hak atas tanah (masalah tenurial) dan interpretasi praktis atas hak-hak tersebut (Safitri 2010).
DBH Kehutanan belum efektif karena kapasitas masyarakat lokal terbatas dan rendahnya kepentingan para pihak akan konservasi.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
61
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Ada sejumlah kendala untuk pengelolaan keuangan kehutanan yang efisien sebagaimana dibahas dalam Bab 4 dan pada bagian 5.1.
Sistem pertanian cerdas iklim atau pertanian cerdas iklim (CSA) berpotensi memberikan manfaat finansial yang cukup tinggi, namun memerlukan banyak perbaikan dan perubahan dalam praktik-praktik yang secara teknis tidak mudah dan berisiko. Oleh karena itu diperlukan insentif untuk menghadapi kemungkinan terjadinya risiko finansial pada saat awal penerapan CSA.
Implementasi teknik CSA memerlukan kerjasama yang kuat antar petani dan untuk mewujudkannya perlu dukungan pemerintah, misalnya melalui pengembangan sekolah lapang bagi petani dan penguatan kelembagaan kelompok tani.
Subsidi pupuk berkontribusi besar dalam mendukung pasokan pangan di Indonesia. Namun, pada kenyataannya subsidi pupuk ini juga tidak efisien, sehingga perlu dipertimbangkan pengalihan subsidi pupuk untuk mendukung pendanaan berbagai program CSA, pembangunan dan pemeliharaan irigasi, serta pengembangan pupuk organik.
Asuransi pertanian menawarkan prospek yang menarik, tetapi membutuhkan waktu beberapa tahun untuk membangun skema yang meyakinkan baik bagi petani maupun perusahaan asuransi.
Biofuel memiliki potensi untuk menjadi kompetitif di Indonesia, ketika subsidi untuk bahan bakar fosil dihapus. Produksi tanaman pangan berpotensi memenuhi kebutuhan sesuai dengan pertumbuhan penduduk tanpa melakukan ekspansi lahan dengan mengkonversi kawasan hutan, asalkan dukungan untuk CSA dan irigasi berjalan. Hal ini akan menciptakan ruang untuk pemanfaatan lahannon-produktif dan/atau peningkatan produktifitas lahan untuk pengembangan biofuel.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
62
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
6 Dampak Kebijakan KKF-PRLSBL Dampak kebijakan yang dijelaskan dalam Bab 4 dalam kaitannya untuk pencapaian tujuan sebagaimana disebutkan dalam bagian 2.1, termasuk dampak pada pertumbuhan dan ketahanan pangan, serta pada anggaran dan emisi gas rumah kaca. Dampak ini diringkas dalam Tabel 11 dan disajikan secara lebih rinci dalam bab ini. Tabel 11 Alokasi Sumberdaya dan Dampak pada Prioritas KKF-PRLSBL Biaya tahunan saat ini
Sumber anggaran
Rp tr Kehutanan Hutan/penerimaan kelapa sawit KPH & Pengelolaan Hutan Lestari Perlindungan Reforestrasi lahan terdegradasi Restorasi lahan gambut REDD+ Total forestry Pertanian Lahan terdegradasi utk pertanian Pertanian cerdas iklim (CSA) Climate proofing irrigation Pemeliharaan irigasi Reformasi subsidi pupuk Asuransi Biofuel Total pertanian TOTAL Penerimaan dari pertumbuhan hijau (5%)
(Biaya)/ penghematan selama 10 tahun Rp tr
-
Kondisi Tahun 2025 Biaya tambahan
Penerimaan tambahan
Dampak thd PDB
Penurunan GRK
Rp tr
Rp tr
Rp tr
m.tCO2e
MoF 0,70 DBH/DAK 2,00 MoFor DBH/DAK DBH/DAK FREDDI 2,70 -
(80,00) (13,80) (40,00) (10,00) (20,00) (2,40) (166,20)
-
-
(17,50) (7,50) (32,00) (11,20) 105,00 (0,80) 35,90 (130,20)
-
2,10 0,80 0,60 21,00 24,50 27,20
DAK MoA MPW MoA MoF MoF MoF -
(1,40) 4,00 2,60
10,00 1,50 -6,00 0,75 6,25 2,00
(0,80) (1,10) 11,60 0,10 (0,10) 9,70 12,30 1,10
2,00 8,30
-
Luas kawasan
jt ha
40,00 300,00 80,00 250,00 29,80 699,80
-
7,50 (30,00) 7,50 (15,00) 10,00 4,00 7,00 4,50 (3,50) 22,00 7,00
17,50 0,40 2,80 9,00 1,30 31,00 730,80
5,00 5,00 0,80 5,60 20,00 0,50 0,17
5,00 1,00 5,00 5,00 2,00 -
Sumber: perhitungan KKF-PRLSBLmenggunakan asumsi pada Bab 4 dan 5
6.1 Implikasi untuk Penggunaan Lahan Kebijakan KKF-PRLSBL berimplikasi terhadap penggunaan lahan, seperti yang disajikan pada Gambar 4. Tidak ada perubahan dalam kawasan hutan lindung dan produksi. Beberapa kerugian finansial dari penghentian konversi hutan akan terjadi, akan tetapi ini secara bertahap akan turun menjadi nol selama lebih dari sepuluh tahun, meninggalkan tutupan hutan permanen sekitar 42% dari total lahan. Akan ada beberapa konversi lahan terdegradasi, pada tingkat 1,0 juta ha per tahun, dialokasikan untuk penggunaan lahan berikut: 40% untuk hutan tanaman; 40% untuk kelapa sawit; dan 20% untuk tanaman lainnya. Tanah garapan akan tetap tidak berubah, dengan pertumbuhan produksi yang berasal dari peningkatan produktivitas, bukan dari perluasan area garapan. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
63
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Lahan pertanian yang tidak terpakai sementara akan mulai digunakan pada tingkat 0,5 juta ha per tahun, dilokasikan sebesar 60% untuk kelapa sawit dan 40% untuk tanaman lain. Perumahan, pertambangan dan lahan industri akan memperluas areanya sebesar 10% per tahun. Gambar 5. Implikasi penggunaan lahan 100% 90%
Lainnya
80%
Perkotaan, tambang dan kawasan industri Pertanian: tidak terpakai sementara
70%
Pertanian: tanaman tetap lainnya
60% 50%
40% 30% 20% 10%
Pertanian: kelapa sawit Pertanian: Layak tanam Hutan tanaman (bagian dari APL) Lahan terdegradasi di luar kawasan hutan Lahan terdegradasi di kawasan hutan Berhutan: konversi (HPK)
0%
Sumber: Statistik Kehutanan 2012; Statistik Pertanian 2013; Statistik kota dari http://www.demographia.com/dbworldua.pdf; tidak ada data pertambangan yang tersedia sehingga digunakan asumsi 0,5 juta ha telah digunakan.
6.2 Dampak Kebijakan Terhadap Pertumbuhan PDB dan Ketahanan Pangan Tujuan KKF-PRLSBL adalah mempertahankan PDB kehutanan secara riil, meskipun kehilangan pendapatan dari hasil deforestasi, dan meningkatkan pertumbuhan PDB pertanian dari tingkat saat ini 3,5% menjadi 5%. Pertumbuhan sektor kehutanan. Kontribusi relative PDB Kehutanan nilainya statis selama 10 tahun terakhir, sekitar Rp 55 triliun berdasarkan harga tahun 2014 (BPS, 2014). Perkiraan nilai PDB kehutanan tidak membedakan antara kontribusi dari deforestasi dan dari hutan tanaman. Perkiraan PDB yang didasarkan dari deforestasi menunjukkan setidaknya mencapai setengah dari PDB kehutanan24, sementara perkiraan lain menunjukkan hal itu bisa jadi hanya sepertiganya (ITS Global, September 2011). Oleh karena itu untuk mempertahankan PDB kehutanan sebesar Rp 55 triliun secara riil setelah deforestasi dihentikan dalam jangka panjang, maka akan diperlukan upaya untuk menghasilkan tambahan sebesar Rp 20 triliun sampai Rp 30 triliun per tahun dari produksi yang
24
Berdasarkan Box 4, nilai tambah dari penebangan hutan alam sekitar 50 juta rupiah/ha. Rata-rata laju deforestasi sekitars sejuta hektar per tahun dan ini diprediksi akan berkontribusi sekitar 50 triliun rupiah. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
64
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
berkelanjutan. KKF-PRLSBL meramalkan dapat mencapai ini melalui langkah-langkah sebagai berikut: Melaksanakan pengelolaan hutan alam yang berkelanjutan seluas 5 juta ha akan memberikan kontribusi terhadap PDB tahunan sebesar kurang lebih Rp 10 triliun 25 . Bagian 4.1.2 menunjukkan bahwa biaya untuk melaksanakan pengelolaan hutan yang berkelanjutan di bawah KPH memerlukan biaya sebesar Rp 5 juta per hektar. Hal ini menjadikan total biaya program ini akan mencapai Rp 25 triliun. Jika program akan dilaksanakan secara tahunan selama 10 tahun, dibutuhkan biaya tahunan sebesar Rp 2,5 triliun per tahun. Konversi 5 juta ha lahan terdegradasi untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) akan berkontribusi sebesar Rp 13 triliun terhadap PDB tahunan 26 dengan asumsi bahwa lahan kritis hanya memiliki tingkat produktivitas sebesar dua pertiga produktivitas HTI lainnya. Biaya satuan reforestasi lahan kritis mungkin perlu ditingkatkan menjadi Rp 2 juta per hektar, sehingga membutuhkan total biaya sebesar Rp 10 triliun dalam jangka waktu 10 tahun. • Sebagian besar lahan hutan yang sudah dialokasikan diubah penggunaannya untuk non kehutanan akan digunakan untuk pertanian. Sekitar 2 juta ha akan digunakan untuk hutan tanaman yang memberikan kontribusi sekitar Rp 8 triliun terhadap PDB. • Beberapa nilai tambah akan dicapai dengan mendorong diversifikasi nilai tambah, termasuk kegiatan pengolahan kayu, HHBK, IJE, pendapatan dari jasa DAS, pendapatan pasar karbon dan pendapatan rekreasi. Transisi dari hasil ekonomi kayu yang diperoleh dari kegiatan deforestasi ke produksi ekonomi kayu yang didasarkan pada pemanenan kayu berkelanjutan diperkirakan akan memakan waktu 10 tahun. Insentif dari pemerintah diperlukan untuk menerapkan pengelolaan hutan lestari dan untuk memotivasi investasi swasta pada lahan kritis. Selama masa transisi sepuluh tahun, laju deforestasi akan menurun dari level saat ini sebesar 1 juta ha/tahun sampai ke titik nol, yang dilakukan pada areal konsesi hutan. Hal ini akan menyebabkan pengurangan luasan sekitar 5 juta ha hutan, namun setelah itu sektor kehutanan di Indonesia akan dapat dikelola secara sepenuhnya berkelanjutan dan semua hutan yang tersisa akan dapat terlindungi. Swasembada produksi beras. KKF-PRLSBL bertujuan untuk menjadikan PDB pertanian tumbuh sebesar 5% per tahun. Hal ini lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan PDB sektor pertanian selama 10 tahun terakhir dari sekitar 3,5% dan sesuai dengan asumsi dalam RPJMN (2010-2014) bahwa pertumbuhan sebesar 3,5% ini akan terus bertambah. Target yang lebih tinggi yang ditetapkan dalam KKF-PRLSBL mencerminkan pentingnya pemanfaatan sumber daya alam lestari dalam ekonomi berkelanjutan. Langkah pertama dalam kebijakan ini adalah mempertahankan swasembada produksi beras. Menurut proyeksi Bank Dunia, penduduk Indonesia diperkirakan akan tumbuh sebesar 8,4% pada periode tahun 2013-2025, dari 250 juta sampai 271 juta. Dengan demikian, dalam rangka mempertahankan swasembada produksi beras yang dapat mengimbangi
25
Berdasarkan Box 4, melalui pengelolaan hutan berbasis masyarakat untuk melakukan pemanenan terhadap rata-rata riap tahunan di hutan alam seharusnya memberikan kontribusi terhadap PDB sekitar 2 juta rupiah/ha/tahun 26 Berdasarkan Box 2, hutan tanaman dapat berkontribusi terhadap GDP sekitar 4 juta rupiah/ha/tahun Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
65
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
pertumbuhan penduduk Indonesia, mengandung arti bahwa produksi beras harus ditingkatkan sebesar 21% pada tahun 2025 dari 38 juta ton menjadi 46 juta ton. Pada saat yang sama, diperlukan diversifikasi sehingga menghasilkan nilai tambah tanaman yang lebih tinggi, untuk mempertahankan tingkat pertumbuhan di sektor pertanian sebesar 5%. Hal ini akan dicapai melalui beberapa upaya sebagai berikut.
Pertanian Cerdas Iklim (CSA) akan diadopsi pada 5 juta hektar lahan pertanian selama 10 tahun. Hal ini memerlukan biaya awal untuk petani sebesar Rp 25 triliun dan akan mengakibatkan berkurangnya pendapatan sementara teknik baru ditetapkan. Setelah itu, para petani akan memperoleh keuntungan tahunan lebih dari Rp 20 triliun, sebagian dengan mengurangi biaya dan sebagian dengan meningkatkan hasil panen sebesar 10%, yang akan meningkatkan produksi sebesar 2 juta ton. Subsidi pemerintah diperlukan selama masa transisi, sebesar kurang lebih Rp 15 triliun.
Daerah irigasi akan meningkat dari 7,2 juta hektar sampai 8 juta hektar, menghasilkan 2 juta ton tambahan beras per tahun. Kebijakan ini akan menelan biaya sekitar Rp 32 triliun selama lebih dari 10 tahun.
Efisiensi dari sistem irigasi yang ada di luarPulau Jawa akan meningkat sebesar 20%, mengakibatkan hasil rata-rata produksi padi di luar Pulau Jawa naik dari 60% pada tingkat di Pulau Jawa menjadi 72% pada level ini. Hal ini akan meningkatkan produksi lebih dari 4 juta ton. Kebijakan ini memerlukan biaya sebesar Rp 35 triliun selama lebih dari 10 tahun.
Pengalihan setengah dari subsidi pupuk kepada dukungan pertanian lainnya akan mengurangi penggunaan pupuk, yang akan memiliki dampak negatif pada produksi. Bagian 4.2.4 menunjukkan bahwa hal ini dapat menyebabkan penurunan produksi beras sebesar 2 juta ton.
Sebagai hasil dari kebijakan ini, kenaikan bersih potensi produksi beras akan berjumlah sekitar 8 juta ton, lebih banyak 2 juta ton dari jumlah yang dibutuhkan untuk memasok pasar domestik. Akibatnya, sekitar 0.5 juta hektar lahan pertanian dapat dialihkan dari tanaman padi ke tanaman yang bernilai lebih tinggi, sehingga memberikan kontribusi bagi pertumbuhan PDB pertanian sebesar 5%.
6.3 Dampak terhadap belanja dan pendapatan Prioritas KKF-PRLSBL memiliki berbagai implikasi, baik untuk anggaran belanja kementerian (terutama oleh Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Pekerjaan Umum) dan kebijakan fiskal yang dikelola oleh Kementerian Keuangan. Hal ini dijelaskan dalam bab 4 dan meliputi hal-hal berikut ini: • Mengurangi deforestasi. Jika diasumsikan bahwa 40% dari pendapatan hutan saat ini berasal dari penebangan hutan alam (lihat bagian 4.1.1), maka akan terdapat pendapatan yang hilang sebesar lebih dari Rp 2 triliun pada tahun 2025. Biaya yang sekarang dikeluarkan untuk mengelola penerimaan akan terus berlanjut, dan meningkat sejalan dengan rata-rata pengeluaran publik.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
66
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
• Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). Kegiatan PHBM membutuhkan biaya sebesar Rp 5 juta/ha. Untuk areal seluas 5 juta ha (sesuai dengan target RKTN) selama lebih dari 10 tahun, biaya tahunan yang dibutuhkan sebesar Rp 2.500 miliar. Hal ini akan membutuhkan dukungan teknis dari Kementerian Kehutanan, di bawah anggaran K/L, serta insentif bagi KPH, yang diberikan melalui DBH dan DAK kehutanan serta kemungkinan dari BP2H. • Perlindungan hutan. Hal ini diasumsikan bahwa pengeluaran untuk perlindungan hutan meningkat sesuai dengan pengeluaran publik rata-rata (yaitu dengan peningkatan 92% secara riil, yang mencerminkan tingkat pertumbuhan PDB sebesar 7% dan penurunan pengeluaran publik dari 18,5% menjadi 16,9% terhadap PDB). • Reboisasi lahan terdegradasi. Program ini memerlukan beberapa dukungan teknis dari Kementerian Kehutanan, terutama didanai oleh insentif yang diberikan melalui DR, DAK kehutanan dan transfer lainnya. Pengeluaran yang ada akan meningkat sebesar Rp 1.650 miliar/tahun, di atas kenaikan standar sesuai dengan pengeluaran publik ratarata. • Pemulihan lahan gambut. Belum ada anggaran khusus untuk hal ini sejak tahun 2012. Hal ini diasumsikan bahwa pengeluaran akan bertambah seiring dengan pengeluaran publik rata-rata, yaitu encapai Rp 705 miliar pada tahun 2012. • Imbal Jasa Ekosistem (IJE). Hal ini akan sebagian besar didanai melalui serangkaian pembayaran bilateral antara perusahaan swasta, masyarakat dan pemerintah daerah. Saat ini belum memungkinkan untuk memperkirakan dampak kegiatan IJE terhadap anggaran. • Lahan terdegradasi untuk pertanian. Dukungan untuk mengkonversi lahan kritis untuk pertanian diperkirakan membutuhkan tiga paket insentif, tergantung pada tingkat kerusakan. Biaya tahunan yang dibutuhkan untuk areal seluas 1 juta ha diharapkan sebesar Rp 0,5 triliun. • Pertanian Cerdas Iklim (CSA). Diasumsikan bahwa 10% dari pengeluaran untuk produksi tanaman dikhususkan untuk Pertanian Cerdas iklim dan hal ini akan meningkat menjadi 20% pada tahun 2025. Selain itu, DAK pertanian akan ditingkatkan untuk memberikan tambahan sebesar Rp 1,5 triliun per tahun untuk Pertanian Cerdas Iklim (CSA), didanai sebagai bagian dari pengalihan sumber daya dari subsidi pupuk. • Irigasi. Perluasan irigasi dan pembangunan infrastruktur irigasi yang ramah iklim adalah kebijakan yang paling mahal di KKF-PRLSBL dan akan memerlukan tambahan biaya sebesar Rp 10,5 triliun per tahun selama sepuluh tahun untuk meng-upgrade semua irigasi di Indonesia. Diasumsikan bahwa hal ini akan didanai setengahnya melalui anggaran irigasi Kementerian PU dan setengahnya melalui ekspansi besar dari DAK irigasi. • Subsidi pupuk. Diasumsikan bahwa penghematan 20% subsidi akan dicapai melalui penetapan target penerima subsidi, tapi setengah dari cadangan ini akan dibutuhkan untuk pengawasan. Hal ini kemudian diasumsikan bahwa setengah subsidi pupuk yang Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
67
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
tersisa akan beralih ke dukungan lain dan untuk mengkompensasi hilangnya pendapatan kehutanan dari penghentian deforestasi. • Asuransi pertanian. Diasumsikan bahwa asuransi pertanian akan berkembang dari pengeluaran skema uji coba saat ini dan selanjutnya akan sejalan dengan rata-rata pengeluaran pemerintah. • Bioenergi. Diasumsikan bahwa skema insentif baru membutuhkan biaya sebesar Rp 500 miliar per tahun yang akan mulai disosialisasikan. Perubahan-perubahan tersebut dirangkum dalam Tabel 12.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
68
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Tabel 12 Implikasi Anggaran dari Kebijakan Prioritas KKF-PRLSBL (Rp Miliar) 2014 Prioritas KKF-PRLSBL Kehutanan Pengurangan laju deforestasi Perizinan/fee/royalti penebangan hutan alam Pengelolaan perizinan/fee/royalti Kemenhut KPH dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Anggaran Kemenhut 80% DBH & 1/3 DAK Kehutanan Perlindungan hutan Anggaran Kemenhut 60% DR & 20% DBH Rehabilitasi lahan terdegradasi Anggaran Kemenhut 40% DR & 1/3 DAK kehutanan Restorasi lahan gambut Anggaran Kemenhut (2014 dari anggaran 2012) 1/3 DAK kehutanan Imbal Jasa Ekosistem/IJE (bilateral) Total Pertanian Pertanian di lahan terdegradasi (termasuk sawit) Penerimaan dari sawit di lahan terdegradasi Anggaran Kementan dari lahan terdegradasi Insentif Kemenkeu untuk lahan terdegradasi Pertanian Cerdas Iklim Anggaran produksi pertanian (10% CSA 2014) DAK pertanian (asumsi 10% CSA 2014) Pengembangan irigasi ramah iklim Anggaran Kementerian PU DAK irigasi Pengelolaan/ppengalihan subsidi pupuk Biaya Kementan untuk mengelola subsidi Pengeluaran Kemenkeu untuk subsidi Asuransi pertanian (Kemenkeu) Minyak nabati/Biofuel (insentif Kemenkeu) Total Jumlah Total Anggaran kementerian/lembaga Kebijakan fiskal Kemenkeu 1
Pend/ Peng1
% PDB
2049 2065 -16 -560 -267 -294 -3096 -2186 -910 -2714 -2135 -580 -889 -705 -184 0 -5210
0,11%
-103 -103 0 -520 -262 -258 -4365 -1442 -2923 -21332 -283 -21049 -150 0 -26470 -31680 -7397 -24283
-0,03%
-0,17%
-0,14%
-0,05%
0,00% -0,28% -0,01%
-0,03%
-0,23%
-1,14%
-0,01% 0,00% -1,41% -1,69%
2025 Pend/ Peng1 -30 -30 -2500 -1250 -1250 -5952 -4202 -1750 -6869 -4155 -2715 -1760 -1406 -354 0 -17111 -498 200 -198 -500 -3002 -1006 -1996 -14565 -6542 -8023 -10525 -2105 -8420 -318 500 -28408 -45519 -20893 -24626
Mitigasi % PDB 0,00%
m tCO2e 2025
Jk Pendek Menengah Panjang
300 Menengah Panjang
-0,07%
70 Men/Panj. Pend/Men
-0,17% Men/Panj. Menengah -0,19%
80 Men/Panj. Menengah
-0,05%
250 Men/Panj. Menengah -
0,00% -0,48%
700
-0,01%
18 Panjang Men/Panj. Men/Panj.
-0,08%
Men/Panj. Men/Panj.
-0,40%
3 Men/Panj. Menengah
-0,29%
-0,01% 0,01% -0,79% -1,26%
9
1 31 731
Pendek Pend/Men Semua Men/Panj.
Pend = pendapatan (nilai positif); Peng = pengeluaran (nilai negatif) Asumsi DR: Tahun 2014, Kemenhut 60% digunakan untuk perlindungan dan 40% untuk rehabilitasi lahan terdegradasi DBH: Tahun 2014, Kemenhut 20% digunakan untuk perlindungan dan 80% untuk PHBM DAK Kehutanan: Tahun 2014, 1/3 untuk KPH/HKm, rehabilatasi lahan terdegradasi, restorasi lahan gambut
Setelah periode 10 tahun investasi, ada beberapa biaya tahunan yang diperlukan, terutama terkait dengan PHBM, perlindungan hutan, pemeliharaan irigasi dan dukungan untuk CSA. Hal ini akan memerlukan biaya sebesar Rp 8,5 triliun per tahun, termasuk sebesar Rp 6,5 triliun untuk kehutanan dan Rp 2,0 triliun untuk pertanian. Dampaknya pada pendapatan akan sedikit negatif, karena tambahan pendapatan dari hasil kayu dan minyak sawit akan sedikit Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
69
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
lebih kecil dari pendapatan yang hilang dari penghentian deforestasi. Profil anggaran diperkirakan akan terus membaik sebagai dampak dari kebijakan pengalihan setengah dari subsidi pupuk. Besaran anggaran diperkirakan lebih tinggi Rp 11,6 triliun dalam jangka waktu 10 tahun ke depan, daripada anggaran tahun 2014. Selain struktur anggaran yang lebih baik dengan berkurangnya subsidi pupuk, PDB juga akan lebih tinggi sebesar Rp 7 triliun dibandingkan dengan Business as Usual (BAU) pada tahun 2025. Hal ini dicapai melalui pertumbuhan yang lebih baik, terutama di bidang pertanian. Demikian pula kebijakan kehutanan, diperkirakan dapat mengkompensasi sekitar setengah pendapatan yang hilang dari penghentian deforestasi. Dampak tambahan PDB setara dengan peningkatan PDB sektor kehutanan dan pertanian sebesar 3,5%. Sumber pendanaan. Pendanaan KKF-PRLSBL berasal dari penghematan dalam subsidi pupuk dan beberapa peningkatan pendapatan, terutama dari pajak perusahaan kelapa sawit dan dari berbagai pajak dan pungutan yang diterapkan pada pengusahaan kayu. Banyak kebijakan yang juga melibatkan investasi besar dari pihak swasta yakni oleh petani dan pemilik kebun dan biaya-biaya ini tidak dimasukkan dalam analisis. Hal ini konsisten dengan penilaian oleh High Level Advisory Group on Climate Finance yaitu sekitar setengah biaya dari adanya perubahan iklim akan dipenuhi oleh sektor swasta (HLAG2010). KKF-PRLSBL akan memberikan kontribusi besar untuk target mitigasi RAN GRK, mengurangi emisi gas rumah kaca tahunan sekitar 700 juta tCO 2e, pada tahun 2025. Sebagian besar berasal dari dihentikannya deforestasi dan dari restorasi lahan gambut. Emisi gas rumah kaca akan bernilai Rp 21 triliun, dengan asumsi menggunakan nilai ekonomi karbon sebesar USD30/tCO2. Penggunaan nilai ekonomi karbon penting dilakukan untuk mengevaluasi nilai manfaat dan biaya sosial bersih, namun tidak dapat dipergunakan sebagai dasar dalam kebijakan transfer fiskal. Namun, perlu digarisbawahi hampir setengah pengurangan emisi gas rumah kaca berasal dari penghentian deforestasi dan pada kenyataannya mungkin lebih sulit untuk mendapatkan pendanaan pasar karbon untuk mengurangi emisi daripada untuk kegiatan yang berkontribusi positif terhadap pengurangan emisi. Diharapkan, pada tahun 2025, pasar karbon internasional akan berfungsi secara efisien dan bahwa setidaknya setengah nilai ini akan terwujud, menunjukkan bahwa pasar ini harus memainkan peran utama dalam menyediakan 50% dari sumber keuangan yang akan datang selain dari pemerintah. Gambar di bawah ini menyajikan kerangka waktu dampak fiskal. Sebagian besar dari program 10 tahun berlangsung pada tingkat pengeluaran yang konstan setiap tahun. Beberapa program memakan waktu lebih lama, termasuk yang terkait dengan PHBM dan asuransi pertanian, karena memerlukan pembentukan dan penguatan kapasitas kelembagaan jangka panjang.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
70
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Gambar 6. Kerangka waktu dampak bersih terhadap anggaran
Sumber: perhitungan KKF-PRLSBL menggunakan asumsi pada Bab 4 dan Bab 5
6.4 Dampak terhadap Emisi GRK Pergeseran dari aktivitas kehutanan dari deforestasi menuju pengelolaan hutan berkelanjutan mengandung arti bahwa kehutanan akan beralih dari menghasilkan emisi bersih sebesar 1.344 juta tCO2e pada tahun 2020, sebelum komitmen RAN-GRK, menjadi kontributor bersih penyerapan GRK sekitar 80 juta tCO2e/tahun dari pengelolaan hutan lestari, 150 juta tCO2e/tahun dari hutan tanaman di lahan terdegradasi dan 30 juta tCO 2e/tahun dari hutan tanaman di lahan yang baik. Emisi dari deforestasi diperkirakan akan berhenti setelah 5 tahun yang akan mengurangi emisi tahunan sebesar 300 juta tCO2e. Restorasi lahan gambut juga akan menghasilkan kontribusi pengurangan emisi sekitar 250 juta tCO 2e yang dikeluarkan dari lahan gambut pada tahun 2025. Kontribusi bersih keseimbangan karbon Indonesia akan bernilai sekitar Rp 78 triliun per tahun jika pasar karbon pulih ke tingkat lima tahun yang lalu dan jika pasar mendekati biaya sosial karbon secara penuh dalam jangka panjang. Pasar karbon tidak mungkin berfungsi penuh selama 10 tahun ke depan sehingga pendapatan ini tidak dapat berkontribusi langsung sebagai insentif yang diperlukan dalam jangka menengah. Ketika pendapatan dari pasar karbon tersedia, maka sebagian besar akan diterima oleh pengusaha swasta, bukan oleh pemerintah, dan hal ini akan memiliki dampak yang terbatas pada fiskal. Namun, kondisi ini akan membantu memastikan pertumbuhan yang sehat dari sektor kehutanan dan pertanian sehingga memberikan kontribusi pendapatan secara umum dari kedua sektor ini. Secara umum dapat dikatakan kontrol emisi untuk pertanian lebih sulit. Data dan bukti ilmiah tentang sejauh mana Pertanian Cerdas Iklim (CSA) mengurangi emisi masih terbatas. Perluasan daerah irigasi cenderung meningkatkan emisi dari sawah, namun kemajuan dalam meningkatkan efisiensi penggunaan air mungkin dapat mengimbangi dalam pengurangan Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
71
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
emisi dari sawah berigasi. Mengganti komoditas pertanian dengan tanaman yang bernilai lebih tinggi dapat menghasilkan emisi yang lebih sedikit daripada yang dihasilkan sawah, tetapi beberapa opsi komoditas yang dikembangkan mungkin juga akan terkait dengan hewan ternak yang menghasilkan emisi yang signifikan. Perlu studi yang lebih mendalam untuk memahami pentingnya tren ini. Dampak gabungan dari kebijakan KKF-PRLSBL akan mengurangi emisi gas rumah kaca lebih dari 700 juta tCO2e per tahun pada tahun 2025, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Sebagian besar pengurangan emisi ini berasal dari penghentian deforestasi selama lebih dari 5 tahun dan dari restorasi lahan gambut yang secara bertahap akan mempercepat pengurangan emisi selama periode tersebut. Oleh karena itu, instrumen dan lembaga baru perlu dikembangkan untuk membuat skema KKF-PRLSBL layak diimplementasikan. Rehabilitasi lahan terdegradasi dan pengelolaan hutan lestari juga berkontribusi besar dalam pengurangan emisi gas rumah kaca. Gambar 7. Dampak terhadap emisi GRK
GHG Emission Reductions (million tCO2e)
800 700
Biofuels
600
Asuransi pertanian
500
Reformasi subsidi pupuk
400
Pemeliharaan sarana irigasi
300
Sistem Irigasi adaptif perubahan iklim
200
Pertanian cerdas iklim
100
Lahan pertanian terdegradasi
0
Sumber: perhitungan KKF-PRLSBL menggunakan asumsi pada Bab 4 dan 5.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
72
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
7 Implementasi Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan di Sektor Berbasis Lahan (KKF-PRLSBL) 7.1
Instrumen
Kehutanan. Tiga kebijakan kehutanan yang melibatkan sebagian besar pengeluaran (yaitu: KPH dan pengelolaan hutan lestari, reboisasi lahan, dan pemulihan lahan gambut yang rusak) semuanya dikelola melalui gabungan belanja pemerintah pusat dan belanja pemerintah daerah, terutama menggunakan DBH sumber daya alam dan DAK. Sejumlah dana tambahan dari hibah juga tersedia terutama dari pendanaan internasional. Secara umum, investasi yang akan didanai oleh pemerintah daerah dan Kementerian Kehutanan akan bertanggung jawab untuk pendanaan dukungan teknis, pengawasan dan kontrol kualitas. Namun dalam lima tahun pertama, Kementerian Kehutanan perlu terlibat dalam beberapa uji coba skema baru, seperti yang digunakan untuk mendukung pembangunan KPH dan uji coba teknik restorasi lahan gambut. Pertanian. Sebagian besar kebijakan KKF-PRLSBL di sektor pertanian memerlukan dukungan dana dari pemerintah pusat, baik melalui Kementerian Pertanian atau Kementerian Pekerjaan Umum. Dana ini mencakup investasi dan dukungan teknis untuk penelitian, penyuluhan dan kontrol kualitas. Namun, insentif untuk mengkonversi lahan kritis menjadi lahan pertanian, termasuk kelapa sawit, akan dikelola menggunakan dana DAK. Kebijakan KKF-PRLSBL di bidang pertanian dapat mempergunakan investasi baru di bidang pertanian, untuk memanfaatkan peluang-peluang yang tersedia untuk petani dan pemilik perkebunan. Pasar Karbon. Saat ini, ruang lingkup dalam penggunaan pasar karbon untuk mendorong partisipasi sektor swasta dalam kebijakan KKF-PRLSBL sebagian besar masih terbatas untuk pasar sukarela dan skema Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR). Pemerintah Indonesia mengharapkan situasi ini lebih baik sebagaimana konsolidasi komitmen internasional, setelah COP 21 di Paris pada tahun 2015. Program REDD+ dapat menjadi penghela untuk sektor berbasis lahan, dan harus dapat menarik sejumlah besar pendanaan internasional, baik dana pemerintah maupun swasta. Pada tahun 2025, diharapkan bahwa setengah dari semua pendanaan untuk kebijakan KKF-PRLSBL akan disediakan oleh sektor swasta, sejalan dengan analisis yang diberikan oleh High Level Group on Climate Finance (HLAG Nov 2010).
7.2 Perubahan Perencanaan dan Penganggaran di Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Bappenas dan Kementerian Keuangan Strategi. KKF-PRLSBL diharapkan memiliki implikasi penting bagi strategi sektor. RENSTRA-KL Kementerian Kehutanan yang baru perlu memasukkan program yang realistis untuk menghentikan deforestasi selama jangka menengah dan menentukan anggaran yang realistis untuk program dalam KKF-PRLSBL. Data dan asumsi yang lebih tepat akan membantu Kementerian Kehutanan untuk membuat kebijakan yang lebih terarah.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
73
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Beberapa kunci kebijakan KKF-PRLSBL untuk sektor kehutanan memerlukan penguatan kelembagaan secara substansial, terutama yang terkait dengan perlindungan hutan, REDD+, penggunaan DBH dan DAK Kehutanan. Hal ini memerlukan sumberdaya dan kepemimpinan politik di tingkat pusat dan daerah. Kepemimpinan politik ini mungkin dapat muncul jika ada dukungan rakyat atas kebijakan lingkungan yang kuat dan jika dukungan ini menyebar dari tren positif reforestasi dan aforestasi di Pulau Jawa ke seluruh negeri. Peta Jalan Pertanian dan Perubahan Iklim Kementerian Pertanian sudah menyediakan dasar yang kuat untuk melaksanakan KKF-PRLSBL. Prioritas pertama di Kementerian Pertanian adalah untuk memastikan bahwa kebijakan yang diidentifikasi dalam Peta Jalan dan KKFPRLSBL dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Fokus Kementerian Pertanian adalah untuk meningkatkan produktivitas pada lahan yang ada (intensifikasi), dibandingkan untuk memperluas ke lahan baru (ekstensifikasi), dengan pengecualian untuk lahan kritis, yang dapat digunakan secara produktif, sementara juga memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan serta jasa tanah dan air. RPJMN perlu menekankan pentingnya memerhatikan aspek lingkungan dan perubahan iklim dan memberikan arahan yang memungkinkan Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Pekerjaan Umum untuk menjustifikasi pengajuan anggaran yang sejalan dengan RENSTRA-KL mereka, KKF-PRLSBL dan dokumen strategis lainnya. Prosedur anggaran. Kementerian Keuangan sudah membuat pengaturan untuk anggaran K/L dengan menyertakan persyaratan bagi semua kementerian untuk mempersiapkan anggarannya dengan mempertimbangkan konsep pembangunan yang ramah lingkungan. Penyaluran anggaran untuk Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian mencerminkan kebijakan berwawasan lingkungan dengan menunjukkan bagaimana pendekatan pembangunan berkelanjutan dijadikan prioritas tambahan untuk beberapa aspek kebijakan. Hal ini akan memengaruhi cara dimana kegiatan-kegiatan masing-masing K/L diusulkan dan dijustifikasi serta memengaruhi dokumen pendukung yang diberikan oleh kementerian untuk anggaran mereka secara keseluruhan. Hubungan dengan Pemerintah Daerah. Diskusi yang sedang berlangsung tentang penggunaan DBH dan DAK untuk kehutanan dan pertanian akan terus berlanjut. Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian akan berkonsultasi dengan provinsi untuk menilai sejauh mana mereka mampu memberikan kontribusi pada kebijakan yang ditetapkan dalam KKF-PRLSBL. Sementara kontribusi dari masing-masing provinsi akan tergantung pada kepentingan provinsi, tetapi pemerintah memberikan beberapa indikasi dari kontribusi yang diharapkan untuk setiap provinsi.
7.3 Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi Koordinasi. KKF-PRLSBL berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi lintas kementerian/lembaga antara lain Kementerian Keuangan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, Pemerintah Daerah dan Bappenas. Kementerian Keuangan akan memantau perkembangan KKF-PRLSBL, sebagai bagian dari tugasya untuk mengelola keseimbangan fiskal.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
74
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Monitoring. KKF-PRLSBL tidak memerlukan kegiatan pengumpulan data terpisah dan akan dipantau dengan menggunakan data yang ada. Hal ini mencakup indikator-indikator yang disajikan dalam Tabel 13. Sebagian besar indikator melibatkan daerah yang terkena dampak kebijakan tersebut. Dalam praktiknya, indikator ini perlu didukung oleh beberapa penilaian terhadap efektivitas kebijakan di daerah yang bersangkutan, sebagaimana tercermin dalam bukti tentang manfaat per-hektar lahan yang dihasilkan oleh kebijakan. Hal ini dapat dinilai melalui konsultasi para ahli, didukung dengan referensi pada studi kasus. Laporan tahunan yang dibuat hendaknya berdasarkan indikator kunci di bawah ini. Data manfaat dan kendala kelembagaan hendaknya terus diperbaharui. Tabel 13 Indikator Monitoring untuk Prioritas KKF-PRLSBL Kebijakan Kunci Kehutanan KPH & Pengelolaan Hutan Lestari Perlindungan hutan Reforestasi lahan terdegradasi Restorasi lahan gambut REDD+ Pertanian Pemanfaatan lahan kritis untuk pertanian Pertanian Iklim pintar (CSA) irigasi tahan Iklim pemeliharaan irigasi Reformasi subsidi pupuk asuransi pertanian Biofuels
Indikator Luas di bawah pengelolaan aktif oleh KPH/CBF (ha) Luas hutan lindung secara efektif (ha) Luas lahan terdegradas iyang ditanami pepohonan (ha) Luas lahan gambut dipulihkan (ha) Luas hutan di bawah program REDD+ (ha) Luas lahan kritis yang ditanami tanaman (ha) Luas lahan menggunakan berbagai praktik CSA (ha) Luas skema irigasi baru (ha) % dari lahan irigasi yang dilayani oleh skema dalam kondisi baik Tingkat subsidi sebagai % dari harga pasar Luas yang dicover asuransi pertanian (ha) Liter biofuel yang dihasilkan
7.4 Langkah Tindak Lanjut Langkah selanjutnya meliputi kegiatan sebagai berikut:
Banyak kebijakan prioritas sedang diuji coba dan dilaksanakan kegiatan-kegiatan penyiapan. Hal ini termasuk pembangunan KPH, restorasi lahan gambut, REDD+ dan asuransi pertanian. Uji coba ini akan terus berlanjut dan akan digunakan sebagai dasar perluasan kegiatan untuk mencapai tujuan KKF-PRLSBL.
Pengujian kegiatan saat ini untuk memperkuat penggunaan DAK bagi perubahan iklim dan lingkungan yang akan diimplementasikan secara intensif dan akan diusahakan untuk melakukan perluasan kegiatan.
Peneliti terapan dalam kegiatan kehutanan dan pertanian hendaknya dilibatkan untuk terus memperkuat KKF-PRLSBL. Inisiatif “kebijakan satu data” akan membantu implementasi KKF-PRLSBL.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
75
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Referensi ADB (2008). "Indonesia: Northern Sumatra Irrigated Agriculture Sector Project." Alliance Development Works (2012). "World Risk Report 2012." Angelsen, A., M. Brockhaus, et al. (2012). Analysing REDD+: Challenges and Choices. Bogor, Center for International Forestry Research. Anwar, S. Land degradation and Desertification asssessment In indonesia. 2011. Ministry of Forestry. Balzer, N. and U. Hess (2010). "Climate change and weather risk management: evidence from index-based insurance schemes in China and Ethiopia." in Revolution: from Food Aid to Food Assistance - Instruments by WFP. Bessou, C., L. Chase, et al. (2012). "PalmGHG, the RSPO greenhouse gas calculator ". Boer, R. (2012). Asuransi Iklim sebagai Jaminan Perlindungan Ketahanan Petani terhadap Perubahan Iklim. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 10: Pemantapan Ketahanan Pangan dan perbaikan Gizi Berbasis Kemandirian dan Kearifan Lokal, Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific, Bogor Agricultural University. Boer, R., Nurrochmat, D.R., Ardiansyah,M., Purwawangsa,H., Hariyadi, and G. Ginting. (2012). Reducing agricultural expansion into forests in Central Kalimantan, Indonesia. Analysis of implementation and financing gaps.Center for Climate Risk & Opportunity Management (CCROM). Bogor Agricultural University. Bours, D., C. McGinn, et al. (2013). "Monitoring & evaluation for climate change adaptation: A synthesis of tools, frameworks and approaches. ." SEA Change CoP, Phnom Penh and UKCIP, Oxford. BP REDD+ 2014. Freddi/Indra: Funding Instrument REDD+ in Indonesia. BPS (2013). "Compilation of Environmental Economic Accounts." Presentation to the International Conference on Global Implementation Programme for the SEEA, New York, 17-19 June 2013. Broich, M., M. Hansen, et al. (2011). "Remotely sensed forest cover loss shows high spatial and temporal variation across Sumatera and Kalimantan, Indonesia 2000– 2008.Enviromental Research Letters, vol. 6. Budidarsono, S., Rahmanullah, A. & Sofiyuddin, M. 2012. Economics Assessment of Palm Oil Production. Technical Brief No. 26: palm oil series. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office. 6p. Caravani (2011). " Market and Non-Market Costs of REDD+ Perceived by Local Communities." REDD Network Publication. Dalfelt, A., L. O. Næss, et al. (1996). "Reforestation of Degraded Grasslands in Indonesia as a Climate Change Mitigation Option." CICERO Report 1996:5. Dermawan, A., Petkova, E., Sinaga, A., Muhajir, M. M. & Indriatmoko, Y. 2011. Preventing the risk of corruption in REDD+ in Indonesia. United Nations Office on Drugs and Crime and Center for International Forestry Research, Jakarta and Bogor, Indonesia. Elson, D. (2011). Cost-Benefit Analysis of a Shift to a Low Carbon Economy in the Land Use Sector in Indonesia. Jakarta, UK Climate Change Unit of the British Embassy. Engel, S., Pagiola, S and S. Wunder. (2008). Designing payments for environmental services in theory and practice: An overview of the issues. Ecological Economics 65 (2008) 663-674. Elsevier. Fernandez-Cornejo, J. and A. Rakshit (2006). "The Economic Impacts of IPM Adoption: Review of the Empirical Evidence." Presentation at the 5th National IPM Symposium. Frandsen, T. Q., L. Rodhe, et al. (2011). "Best Available Technologies for pig Manure Biogas Plants in the Baltic Sea Region." Published by Baltic Sea 2020. Gastami (2012). "Indonesian Experience in Developing Sustainable Development Indicators." Presentation material. Gebrezgabher, S. A., M. Meuwissen, et al. (2009). "Economic analysis of anaerobic digestion - A case of Green power biogas plant in the Netherlands " Case Study 17th International Farm Management Congress. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
76
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Hansen, M. C., P. V. Potapov, et al. (2013). "High-Resolution Global Maps of 21st-Century Forest Cover Change." Science 15 November 2013: Vol. 342 no. 6160 pp. 850-853 HLAG (2010). "Report of the Secretary-General’s High-level Advisory Group on Climate Change Financing." November, 2010. Hooijer, A., S. Page, et al. (2010). "Current and future CO2 emissions from drained peatlands in Southeast Asia." Biogeosciences, 7, 1505–1514, 2010. Human Right Watch 2009. “Wild Money”: The Human Rights Consequences of Illegal Logging and Corruption in Indonesia’s Forestry Sector. IFAD (2010). "The Potential for Scale and Sustainability in Weather Index Insurance for Agriculture and Rural Livelihoods." IFC (2010). "Using Climate Change Revenues to Grow More Wood and Reduce Net Carbon Emissions: Dual-Purpose Forest Plantations." IFC (undated). Weather Index Insurance for Maize Production in Eastern Indonesia - A Feasibility Study, Jakarta. Indarto, G. B., Murharjanti, P., Khatarina, J., Pulungan, I., Ivalerina, F., Rahman, J., Prana, M. N., Resosudarmo, I. A. P. & Muharrom E. 2012. The Context of REDD+ in Indonesia: Drivers, agents and institutions. Working Paper 92. CIFOR, Bogor, Indonesia. IPCC 2006. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories: Volume 4 Agriculture, Forestry and Other Land Use. IPCC (2012). "Managing the Risks of Extreme Events and Disasters to Advance Climate Change Adaptation: Full Report." IPCC (2012). "Renewable Energy Sources and Climate Change Mitigation: Special Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change." ITS Global Sept 2011. The Economic Contribution of Indonesia's Forest-Based Industries. ITTO 2009. Encouraging industrial forest plantations in the Tropics. Lowder, S. K., Skoet, J. & Singh, S. 2014. What do we really know about the number and distribution of farms and family farms in the world? . ESA Working Paper No. 14-02. Background paper for The State of Food and Agriculture 2014 Luttrell, C., Obidzinski, K., Brockhaus, M., Muharrom, E., Petkova, E., Wardell, A. & Halperin, J. 2011. Lessons for REDD+ from measures to control illegal logging in Indonesia. CIFOR Working Paper 74. Manzoor, Z., Awan, T. H., Zahid, M. A. & Faiz, F. A. 2006. Response of Rice Crop (Super Basmati) to Different Nitrogen Levels. J. Anim. Pl. Sci. 16(1-2): 2006. Margono, B. A., P. V. Potapov, et al. (2014). "Primary Forest Cover Loss in Indonesia over 2000-2012." Nature Climate Change. Maryudi, A. and M. Krott (2012). "Poverty Alleviation Efforts through a Community Forestry Program in Java, Indonesia." Journal of Sustainable Development5(2): 43-53. Mazvimavi, K. (2011). "Socio-Economic Analysis of Conservation Agriculture in Southern Africa." FAO Network Paper 02. Medrilzam (2013). "Perbaikan dan Peningkatan Insentif Daerah Berbasis Kinerja dalam Peningkatan Tata Kelola Hutan dan Lahan: ... mungkinkah? Jakarta: Bappenas." Milder, J., T. Majanen, et al. (2011). "Performance and Potential of Conservation Agriculture for Climate Change Adaptation and Mitigation in Sub-Saharan Africa: an assessment of WWF and CARE projects in support of the WWF-CARE Alliance’s Rural Futures Initiative." [MoF] Ministry Of Finance (2009). Ministry of Finance Green Paper: Economic and Fiscal Policy Strategies for Climate Change Mitigation in Indonesia. Ministry of Finance and Australia Indonesia Partnership, Jakarta. [MoFor] Ministry of Forestry (2013). "Forestry Statistics 2012." Morup, C. (2012). "Viability of Household Biogas Plants in Vietnam: A Social Cost-Benefit Analysis." Aarhus School of Business MSc Thesis. Mukherji, A., B. Fuleki, et al. (2010?). "Irrigation reform in Asia: A review of 108 cases of irrigation management transfer ". Nouchsin, P. (2012). "Irrigation Management to Increase Agricultural Production: Indonesian Experiences." Presentation to COMCEC Agriculture Working Group. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
77
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Nurfatriani, F., Darusman, D., Nurrochmat, D.R., Yustika, A.E. (2013). Analisis Kebijakan Fiskal Pembangunan Rendah Karbon di Sektor Kehutanan. Laporan Akhir. SEAMEO BIOTROP: Bogor. Tidak diterbitkan. Nurfatriani, F, Nurrochmat, D.R. (2014). Evaluasi Kebijakan Fiskal Sektor Berbasis Lahan. IPB: Bogor. Tidak Diterbitkan. Nyoman, I. and N. Suryadiputra (2004). "Recent Experiences in Peatland Rehabilitation in Indonesia." International Workshop on Integrated Management and Rehabilitation of Peatlands Kuala Lumpur. OECD 2012. Review of Agricultural Policies: Indonesia. Olaolu, B. (2009). "Effect of Vetiver Grass Strip in Controlling Soil Erosion in Traditional Farming Practices and Improvements in the Yields of Crops." Ong, H. C., T. M. I. Mahlia, et al. (no date). "Life cycle cost and sensitivity analysis of palm biodiesel production." OPM (2014). "Developing a framework for jurisdictional performance-based incentives as a financial mechanism for REDD+ in Indonesia." July, 2014. Oxfam (2008). Another Inconvenient Truth - How biofuel policies are deepening poverty and accelerating climate change Briefing Paper, Oxfam. Pagiola, S and G. Platais. (2007). Payments for Environmental Services: From Theory to Practice. World Bank, Washington. Pearce, D. W. (2001). The Economic Value of Forest Ecosystems. Prasetyo, E. (2013). "Converting or Conserving the Forests: A Cost-Benefit Analysis of Implementing REDD in Indonesia." School of Public and International Affairs, Columbia University. Repetto, R., W. Magrath, et al. (1989). "Wasting Assets: Natural Resources in the National Income Accounts." Safitri, M. A. (2010). "Forest tenure in Indonesia : the socio-legal challenges of securing communities'rights." Sahirman, S., Saparso, et al. (2013). "Palm Oil Biodiesel Life-cycle Cost Analysis ". Santikayasa, I. P. 2011. DPSIR Framework Analysis of Soil Degradation in Indonesia. Subarudi, M. M., B. Achmad, et al. (2014). "Community Forestry for Poverty Reduction: lessons learned in Indonesia." Proceedings of the regional workshop on forests for poverty reduction. Sugimoto, M. (2010). "Ex-Post Evaluation of Japanese ODA Loan Project “Way Sekampung Irrigation Project (I) (II) (III)” ". Swinton, S. M. and M. B. Williams (1998). "Assessing the Economic Impacts of Integrated Pest Management: Lessons from the Past, Directions for the Future." MSU Dept of Ag Econ Staff Paper 98-12. Verchot, L. V., E. Petkova, et al. (2010). Reducing forestry emissions in Indonesia. Bogor, Center for International Forestry Research (CIFOR). Thompson, D. & Matthews, R. 1989. The Storage of Carbon in Trees and Timber. Forestry Commission Research Information Note 160. TIMNAS BBN 2006. Pengembangan bahan bakar nabati di Indonesia. Paper presented at Workshop Nasional Bisnis Biodiesel dan BioEthanol di Indonesia, Jakarta, Indonesia, 21 November. Verchot, L. V., Petkova, E., ObidzinskI, K., Atmadja, S., Yuliani, E. L., Dermawan, A., Murdiyarso, D. & Amira, S. 2010. Reducing forestry emissions in Indonesia. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR). Warr, P. and A. A. Yusuf (2013). "Fertilizer subsidies and food self-sufficiency in Indonesia " Center for Economics and Development Studies, Department of Economics, Padjadjaran University. May, 2013. Wertz-Kanounnikoff, S. and M. Kongphan-Apirak (2009). "Emerging REDD+: A preliminary survey of demonstration and readiness activities." CIFOR. WF, Z., D. ZX, et al. (2013). "New technologies reduce greenhouse gas emissions from nitrogenous fertilizer in China." World Bank 2010. Indonesia Agricultural Public Expenditure Review. World Growth 2011. The Economic Benefit of Palm Oil to Indonesia. Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
78
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Yonggong, L. and X. Shu (2004). "Results of a Social and Economic Impact Assessment of Integrated Pest Management Strategies in Brassica Vegetable Crops in China." Center for Integrated Agricultural Development, ACIAR, Working Paper 47. Yudelman, M., J. C. Greenfield, et al. (unknown). "New Vegetative Approaches to Soil and Moisture Conversation." Yuliani, E. L., Y. Indriatmoko, et al. (2010). Biofuel policies and their impact on local people and biodiversity: a case study from Danau Sentarum. Case Study, Borneo Research Bulletin. Yusran, R.H. and D. Darusman (2003). "Management of Natural Resources and Autonomy: Economic Valuation and Policy Perspectives."
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
79
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Lampiran 1 Pengeluaran Kegiatan Kehutanan dan Pertanian Ramah Lingkungan Kode Keg
Prioritas KKFPRLSBL
Kemhut Kemhut
2309
F2
2310
F2
Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut
2313 2314
F1 F2
2283
F2
Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut
2284 2285 2286 2287 2288
F3 F1 F1 F1 F1
2300 2301 2302 2303 2304 2305 2306
F2 F2 F2 F2 F2 F2 F2
Kem
2291 2292
F1 F4
2293
F4
Kegiatan
2011 Aktual
Perencanaan makro sektor kehutanan dan konsolidasi kawasan hutan Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Pengendalian Kawasan Hutan untuk Pengembangan Kegiatan di Luar Kawasan Hutan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Persiapan Konsolidasi Kawasan Hutan Penetapan kawasan hutan Perumusan perencanaan makro kawasan hutan Dukungan Manajemen Ditjen Planologi Kehutanan Peningkatan Usaha Kehutanan Pemantauan Pemanfaatan Hutan dan Pengembangan Ganis WASGANIS PHPL Peningkatan Distribusi Pungutan Kehutanan Peningkatan Pengusahaan Hutan Alam Peningkatan Pengusahaan Hutan Tanaman Peningkatan Perencanaan Bisnis dan Pemanfaatan Kawasan Hutan Peningkatan Industri Kehutanan Primer Dukungan Manajemen Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan Konservasi keanekaragaman hayati dan perlindungan hutan Pengembangan Area Konservasi, Ekosistem Esensial, Hutan Lindung Konservasi dan Pengembangan Spesies Genetik Pengembangan Jasa Lingkungan Pengendalian Kebakaran Hutan Penyelidikan dan Pengamanan Hutan Manajemen Pengembangan Konservasi Sumber Daya Hutan Alam Pengembangan dan Pengelolaan Taman Nasional Dukungan Manajemen Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Peningkatan Fungsi dan kapasitas pengelolaan DAS berbasis masyarakat Pengembangan Perhutanan Sosial Pelaksanaan Rehabilitasi Lahan / Hutan / Daerah Aliran Sungai Pengembangan Penerapan Manajemen Daerah Aliran Sungai
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
2010 Budget
2011 Budget
2012 Budget
2013 Budget
2014 Budget
41.5
64
43.3
38.5
35.3
8.3
11.5
10
13.6
16.6
7
6.3
12.8 173.1
36
15.4 187.1 31.15 15.58 65.44
29.1 429.4 31.73 15.87 66.65
10.3 520.1 32.33 16.17 67.92
10.5 532.1 32.77 16.39 68.85
155.2
153
129.9
118.1
71 57 93 125.6 22.5 13.4 16.8 6.4 12.3
63 49 45 19 24 100
27.1 29 26.5 14.9 43.9 44.24
26.9 13.5 17.3 9.1 14.2 45.06
29.7 18.1 20.2 11.9 19.3 45.92
15.5 11.1 10.9 13.1 14.7 46.55
17.9 10.5 14.9 28.6 32.4 409.2 464.8
268 90 90 300 162
445
49.6 17.5 17 56 62.8 512.6 513.6 59.14
44 17.8 17.3 53.1 121.1 533.6 609.2 60.23
49.4 20.2 21.2 98.7 74.2 631.5 719.4 61.38
27 15 20.5 41.8 43.2 542.5 635 62.22
16.1 53.9
1.238.40 1.541.49
17.9 58.8
15.9 37.6
27.7 38.3
17.6 34
15.3
138
52.5
13.4
29.5
11.9 80
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Kem
Kode Keg
Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut
2294 2295 2296 2297 2298
Prioritas KKFPRLSBL F4 F4 F4 F4 F1
Kegiatan
2272 2273 2274 2275 2311
F2 F2 F2 F2 F2
2317
F1
Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut Kemhut
2318 2319 2320 2267 4016
F2 F1 F1 F1 F1
Pengembangan Benih Tanaman Hutan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) Perencanaan, Pengembangan Kelembagaan dan Evaluasi Hutan Mangrove Pelaksanaan Benih Pohon Hutan Pengembangan Sutra Alam Dukungan Manajemen Ditjen Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Program Kehutanan Lainnya Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional I Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional II Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional III Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional IV Area Konservasi Hutan Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan Pengembangan Penyuluhan Kehutanan Peningkatan Layanan Penyuluhan Kehutanan
Kemtan Kemtan Kemtan Kemtan Kemtan Kemtan Kemtan Kemtan Kemtan Kemtan Kemtan Kemtan Kemtan Kemtan Kemtan
1753 1763 1764 1765 1767 1768 1769 1770 1771 1772 1773 3993 1798 1799 1800
A2 A2 A2 A2 A2 A2 A2 A2 A2 A2 A2 A4 A2 A2 A1
Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian Manajemen System Pasokan Tanaman Pangan Penguatan Perlindungan Tanaman Pangan Dari Gangguan hama dan DPI Penanganan Pasca Panen Tanaman Pangan Metode Pengujian Mutu Benih dan Laboratorium Peramalan pengembangan serangan tanaman hama Produktivitas & Kualitas Tanaman Buah Berkelanjutan Produktivitas & Kualitas Florikultura Berkelanjutan Produktivitas & Kualitas Tanaman Sayuran & Tanaman Obat Pengembangan Sistem Benih Hortikultura Pengembangan Sistem Perlindungan Tanaman Hortikultura Fasilitas Pupuk dan Pestisida Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pasca Panen Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
2011 Aktual
2010 Budget
2011 Budget
2012 Budget
2013 Budget
2014 Budget
18.1 2003.3 15.5 78.2 14.9
21
20.5 2496.9 18.4 77.5 13.7 261.32
17.1 2056.4 17.4 71.5 13.2 266.15
21.1 2161 18.6 78.1 18.1 271.24
13.8 1988 17.6 69.4 13.6 274.94
3.9 4.2 3.9 4 24.4
4.5 4.6 4.4 4.9 31.1
4 4.1 3.9 4.3 22.8
6.2 6.8 5.6 9.4 48.5
4.7 4.7 3.7 6.2 14.6
17.2
19
29.7
31.7
24.4
91.5 71.8 13.6 14.8 9.9
104.3 79.2 30 18.5 12
87.5 88.4 19.9 11.9 45.7
96 98 25.6 67.5
77.9 80.7 17.2 52.9
15.8 1440 313.7 119.6 5.3 7.3 92.3 35.6 90.9 93.8 113.6 1485.7 25.6 17.9 101.6
17 1226.4 84.9 88.1 6 7 107.3 46.5 104.7 66 57.2 776.6 26.1 17.1 75.4
17.3 1404.5 542.4 338.8 7.2 9.1 145.9 48 101.6 80.6 63.4 481.6 28.7 20 72.8
24.1 201.4 232.2 161.1 8.3 12.2 124.3 51.5 103.3 127 145.9 162.5 72.7 44.3 125.1
22.2 131.4 192.3 216.4 7.2 10.4 119.3 48.6 108.6 75 95.1 283.2 40.6 26 102.9
160
81
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Kemtan Kemtan Kemtan Kemtan Kemtan Kemtan Kemtan
1801 1802 1803 1804 1805 1807
Prioritas KKFPRLSBL A2 A2 A2 A2 A2 A2
1775
A2
Kemtan Kemtan LIPI LIPI Kemtan PU PU
1777 1779 3395 3396 1794 2422 2423
A2 A2 F2 F2 A3 A3 A3
PU
2424
A3
Kem
Kode Keg
Kegiatan Diseminasi Inovasi Teknologi Pertanian Penelitian / Rekayasa dan Pengembangan Mekanisasi Pertanian Penelitian / Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Penelitian dan Pengembangan Tanaman Hortikultura Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Rempah dan Penyegar Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Tahunan Dukungan Perlindungan Tanaman Pengembangan Konservasi Tanaman Indonesia – Kebun Raya Baru Pengembangan Konservasi Tanaman Indonesia – Kebun Raya Irigasi Pengelolaan Air untuk Pertanian Pengembangan Irigasi, rawa, kolam, Air Baku dan Air Tanah Pengembangan O & M Sumber Daya Air untuk Bencana / Tanggap Darurat Pengembangan sungai, danau, waduk, Lahar Pengendalian dan Keamanan Pantai
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
2011 Aktual
2010 Budget
2011 Budget
2012 Budget
2013 Budget
2014 Budget
344 16.1 23.8 69.6 116.4 135.7
319.8 16.7 18.2 57.5 85.1 104.7
435.8 17.6 24.7 71.5 95.3 134.5
529.9 41 28.1 102.3 135.7 185.7
518.4 22 36.5 94.9 112 128.4
1232
1526.8
730.5
349.8
340.1
81.6 28.5 4 54.3 581.7 4167.7 1200.2
89.3 30.5 4 55.4 676.9 4505.4 1307.6
221.8 34.2 5.5 64.7 816 156.6 450.2
205.6 77.4 18.1 68.2 755.9 183.6 297
186.3 84.7 7 76.9 641.2 164.1 499.4
5403.6
5963.5
145.4
204
137.1
82
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Lampiran 2 Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Peraturan Pemerintah Nomor 12/2014 mengatur jenis-jenis penerimaan negara bukan pajak dari Kementerian Kehutanan adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
Dana Reboisasi (DR); Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH); Iuran lzin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IIUPHHK-HA); Iuran lzin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman dengan Sistem Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB); 5. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IIUPHHBK); 6. Iuran lzin Pemanfaatan Kawasan; 7. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IIUPHHK-RE) pada Hutan Produksi; 8. Iuran lzin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan pada Hutan Produksi (IIUPJL); 9. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat (IIUPHHK-HTR), Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Kemasyarakatan (IIUPHHK-HKm), Iuran lzin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Desa (IIUPHHK-HD); 10. Ganti Rugi Tegakan; 11. Penggantian Nilai Tegakan; 12. Transaksi kegiatan penyerapan dan atau penyimpanan karbon dari kawasan hutan; 13. Hasil Silvopastural Sistem; 14. Hasil Silvofishery Sistem; 15. Denda Pelanggaran Eksploitasi Hutan (DPEH); 16. Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam; 17. Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar; 18. Denda Administratif bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam; 19. Hasil lelang kayu temuan, dan hasil lelang tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi Undang-Undang; 20. Iuran Usaha Pemanfaatan Air (IUPA) dalam Kawasan Hutan Konservasi; 21. Iuran Usaha Pemanfaatan Energi Air (IUPEA) dalam Kawasan Hutan Konservasi; 22. Pungutan Usaha Pemanfaatan Air (PUPA) dalam Kawasan Hutan Konservasi; 23. Pungutan Usaha Pemanfaatan Energi Air (PUPEA) dalam Kawasan Hutan Konservasi; 24. Kegiatan Perizinan Dibidang Perbenihan; 25. Sertifikasi Benih; 26. Iuran Pengumpulan/ Pengunduhan Benih dan Anakan; 27. Jasa Laboratorium; 28. Produk Samping Hasil Penelitian; 29. Jasa Perpustakaan; 30. Jasa Penggunaan Sarana dan Prasarana yang terkait dengan tugas dan fungsi; dan 31. Jasa Lainnya.
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
83
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
Lampiran 3 Ringkasan Kesenjangan (Gap) Kebijakan Kehutanan
1
Instrumen Kebijakan Regulasi
2
Fiskal
3
Administrasi
No
Kesenjangan a.
Adanya penerapan pungutan kehutanan berupa Pengganti Nilai Tegakan (PNT) yang ditetapkan berdasarkan Permenhut tetapi belum memiliki payung hukum di tingkat Peraturan Pemerintah dan Undang-Undang, serta dianggap oleh beberapa pihak sebagai pungutan berganda dengan obyek yang sama dengan PSDH dan DR. a. Revisi peraturan perundangan terkait PNBP kehutanan yang berjalan lama dan kurang partisipatif b. Adanya ketidaksesuaian antara implementasi pengelolaan PNBP di lapangan dengan isi peraturan yang diacu di tingkat Permenhut, PP dan UU. c. Pemerintah belum menyusun kebijakan insentif bagi: Sektor swasta yang bergerak di usaha pemulihan fungsi hutan dan pengurangan deforestasi dan degradasi Petani hutan rakyat yang mengelola hutan negara Upaya konservasi hutan dan pemeliharaan jasa lingkungan Upaya pengurangan emisi GRK d. Belum disusunnya kerangka kebijakan pendanaan penurunan emisi GRK yang formal dan dapat dioperasionalkan melalui integrasi kebijakan tersebut dalam kebijakan penganggaran APBN, APBD atau pengelolaan dana hibah e. Kontribusi kehutanan terhadap pembangunan nasional masih dilihat dari aspek ekonomi saja sehingga indikator kinerja sektor kehutanan hanya dilihat dari aspek ekonomi saja, padahal manfaat hutan sangat luas tidak hanya diukur dari segi ekonomi tapi juga manfaat ekologi dan sosial a. Tarif DR/PSDH yang terlalu rendah dan selama 6 tahun belum direvisi b. Terdapat sejumlah dana penerimaan PNBP kehutanan yang tidak dapat termanfaatkan karena: Tidak ada dasar hukumnya (PNT) Aturan penggunaan terlalu kaku (DR) c. Terdapat sejumlah dana tunggakan DR, IIUPH dan PSDH d. Mekanisme penggunaan dana DR masih bersifat keproyekan dan efektifitasnya rendah e. Efektifitas dana Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan dianggap rendah f. DBH kehutanan belum menjadi insentif bagi pelestarian hutan di daerah g. Masih ada ego sektoral berupa keinginan daerah untuk meningkatkan proporsi DBH kehutanan bagi daerah penghasil h. Pemerintah pusat dan daerah lebih memandang anggaran sebagai tujuan sehingga menginginkan anggaran yang sebesar-besarnya yang menyebabkan penganggaran tidak efektif a. Banyaknya praktik tata administrasi pengelolaan PNBP dan DBH kehutanan yang tidak tertib dari mulai perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, monitoring dan evaluasi b. Kurangnya inisiatif dari Kementrian teknis dalam mengajukan review atau usulan penggunaan dana PNBP yang belum bisa dimanfaatkan c. Pemungutan iuran kehutanan masih belum optimal: Masih terdapat kebocoran, Pelaporan penerimaan kehutanan masih belum akurat (perbedaan data dll)
Adanya illegal logging/misreporting produksi Alur mekanisme pembayaran panjang melalui Kemenhut d. Tata hubungan kerja dan koordinasi secara vertical dan horizontal yang belum optimal antar institusi pengelola PNBP kehutanan di tingkat pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
84
Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ramah Lingkungan pada Sektor Berbasis Lahan di Indonesia
No
Instrumen Kebijakan
Kesenjangan
e. Kompetensi SDM pelaksana penagihan DR/PSDH/IIUPH di daerah masih banyak yang belum memenuhi kriteria a. Sistem informasi online terkait Penatausahaan Hasil Hutan dan Penatausahaan PSDH/DR masih belum sempurna karena terkendala keterbatasan infrastruktur, fasilitas komputer, SDM, dan dukungan pembiayaan yang baik. b. Minimnya kegiatan sosialisasi, diklat, dan pelatihan regular di daerah terkait pengaturan DBH termasuk administrasinya yang dilaksanakan oleh Kemenkeu sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam penyaluran DBH. c. Belum ada sistem informasi pengalokasian dan penyaluran DBH kehutanan yang mendorong kelestarian hutan. Saat ini sistem informasi yang ada baru sebatas sistem pelaporan, belum electronic based sehingga sistem ini masih memiliki ketidakpastian tinggi dari segi jumlah salur dan waktu salur. d. Proses revisi atas UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah belum banyak disosialisasikan ke berbagai pihak melalui konsultasi public dan ke berbagai media. e. Belum ada mekanisme penyaluran informasi mengenai kebijakan pungutan kehutanan di daerah yang terstruktur. Sumber: Nurfatriani dan Nurrochmat (2014) 4
Informasi
Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia
85