Forestry Research and Development Agency (FORDA) Ministry of Forestry In cooperation with: Forest Carbon Partnership Facility
REDD+ READINESS PREPARATION The Forest Carbon Partnership Facility (FCPF)
Monitoring
Permanent
Sample
di Provinsi Sumatera Selatan
Bogor, Pebruari 2014
Forestry Research and Development Agency (FORDA) Ministry of Forestry In cooperation with: Forest Carbon Partnership Facility
REDD+ READINESS PREPARATION The Forest Carbon Partnership Facility (FCPF)
Monitoring
Permanent
Sample
di Provinsi Sumatera Selatan
Bogor, Pebruari 2014
Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot (PSP) di Provinsi Sumatera Selatan Editor: 1. Dr. Ir. Kirsfianti L. Ginoga 2. Ir. Achmad Pribadi, M.Sc 3. Deden Djaenudin, S.Si, M.Si 4. Mega Lugina, S.Hut, M.Sc.For ISBN: 978-602-7672-52-9 © 2014 Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotocopy, cetak, mikrofilm, elektronik maupun bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau nonkomersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya sebagai berikut:
Ginoga, K.L., Pribadi, A., Djaenudin, D., dan Lugina, M. (eds). 2013. Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot (PSP) di Provinsi Sumatera Selatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor, Indonesia. Diterbitkan oleh: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan – Kementerian Kehutanan Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16118, Indonesia Telp/Fax: +62-251 8633944/+62-251 8634924 Email:
[email protected]; website: http://puspijak.litbang.dephut.go.id atau www.puspijak.org
ii
Kata Pengantar Puji syukur kehadirat Allah SWT atas tersusunnya Prosiding “Workshop Monitoring dan Pelaporan PSP di Provinsi Sumatera Selatan”. Prosiding ini merupakan hasil dari Workshop dengan judul Strategi Monitoring dan Pelaporan PSP di Tingkat Provinsi yang dilaksanakan di Palembang pada tanggal 8-9 Oktober 2013.
Kegiatan workshop ini merupakan kelanjutan kegiatan kerjasama FCPF REDD+ Readiness Preparation pada Tahun 2012 yaitu “Pembangunan Permanent Sample Plot (PSP) sebagai Upaya Penyediaan Data dan Monitoring Stok Karbon serta Perubahan Stok Karbon pada berbagai Tipe Tutupan Hutan di Sumatera Selatan”. Penghargaan dan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah berperan secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan prosiding ini. Semoga prosiding ini memberikan manfaat bagi semua pihak. Aamiin. Bogor,
Pebruari 2014
Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan Kepala,
Dr. Ir. Kirsfianti L. Ginoga, M.Sc NIP. 19640118 199003 2 001
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
iii
Daftar Isi Kata Pengantar..............................................................................iii Daftar Isi........................................................................................v Rumusan Workshop.....................................................................vii 1. Pendahuluan..............................................................................1 1.1 Latar Belakang.................................................................................................. 3 1.2 Tujuan Workshop............................................................................................. 4 1.3 Hasil yang diharapkan..................................................................................... 4 1.4 Pembicara dan Tema......................................................................................... 4 1.5 Penyelenggaraan Workshop............................................................................ 5 1.6 Sambutan ......................................................................................................... 5
2. Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi...........................................................................9 2.1 Strategi dan Kebijakan Provinsi Sumatera Selatan untuk Mencapai Target Penurunan Emisi: Pengalaman dari Penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) ........................................................................................... 11 2.2 Overview dan Lessons Learned dari Pembangunan PSP Untuk Monitoring Karbon Hutan Pada Kegiatan FCPF Tahun 2012 ................ 33 2.3 Pengalaman Pembangunan PSP dan Rencana Pengelolaannya Pasca 2014 di Provinsi Sumatera Selatan ............................................................... 35
3. Pengembangan Sistem Monitoring PSP yang Terintegrasi dan Partisipatif di Provinsi......................................................47 3.1 Integrasi TSP/PSP dan Plot Contoh Lainnya ............................................ 49 3.2 Enumerasi Permanent Sample Plot/ PSP dan Temporary Sample Plot/ TSP Di Provinsi Sumatera Selatan .............................................................. 53
4. Hutan dan Karbon ..................................................................61 4.1 Kandungan Biomasa di Atas Permukaan Tanah pada Beberapa Tipe Hutan di Sumatera Selatan........................................................................... 63 4.2 Hutan Kota dan Ruang Terbuka Hijau Sebagai Penyerap Karbon di Perkotaan......................................................................................................... 77 4.3 Kajian Nilai Ekonomi Kandungan Karbon di KPHP Lalan Mangsang Mendis Provinsi Sumatera Selatan............................................. 87
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
v
4.4 Pola Kemitraan dalam Restorasi dan Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Terdegradasi untuk Penurunan Emisi dan Peningkatan Serapan Karbon di Sumatera Selatan........................................................................................ 95 4.5 Evaluasi Kesehatan Hutan Kota Sebagai Penyerap Karbon.....................107 4.6 Cadangan dan Serapan Karbon pada Hutan Rakyat Bambang Lanang (Michelia champaca L.) .................................................................................121 4.7 Evaluasi Emisi Karbon dari Subsidensi Gambut dan Penurunan Muka Air Tanah Pada Lahan Gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan..........................................................................................127
5. Kesimpulan dan Rekomendasi...............................................139 5.1 Kesimpulan...................................................................................................141 5.2 Rekomendasi................................................................................................141
Lampiran................................................................................... 143 Lampiran 1. Agenda Kegiatan..................................................................................145
Lampiran 2. Notulensi Diskusi ................................................................................147
Lampiran 3. Hasil FGD...........................................................................................153
Lampiran 4. Presentasi...............................................................................................157
Lampiran 5. Dokumentasi.........................................................................................233
Rumusan Workshop 1. Perlu penyamaan persepsi tentang batasan PSP.
2. P embangunan dan pengelolaan PSP melibatkan berbagai pihak baik dari pemerintah, swasta, perguruan tinggi, lembaga riset, LSM, donor internasional, namun tetap diperlukan leading agent. 3. Daerah tempat PSP berada perlu dukungan SDM yang berkompeten, infrastruktur, dan finansial. 4. Proses monitoring memerlukan sinkronisasi antar pihak terlibat dalam MRV, format dan mekanisme pelaporan standar.
5. Sumber dana dapat dari dalam negeri (APBN, APBD, Swasta), dan luar negeri (donor internasional). 6. Perlu dibangun komitmen untuk membangun dan memelihara PSP ke dalam rencana pembangunan daerah (Rencana Pembangungan Jangka Menengah Daerah/RPJMD). 7. Koordinasi dan komunikasi para pihak terkait perlu ditingkatkan. 8. Perlu pembangunan database dan jaringan informasi. 9. Perlu upaya pengamanan (safeguard) hutan.
10. Perlu rehabilitasi kawasan hidrologi dan Nilai Konservasi Tinggi (NKT). 11. Pedoman pembangunan PSP dengan SOP yang terstandarisasi.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
vii
BAB 1
Pendahuluan
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
1.1 Latar Belakang Deforestasi dan degradasi hutan belakangan ini sangat erat dikaitkan dengan isu lingkungan, khususnya isu pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim. Perubahan iklim terjadi dengan proses yang panjang akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) terutama karbondioksida (CO2) di atmosfer. Sekitar 20% dari seluruh emisi GRK berasal dari deforestasi dan degradasi hutan. Hutan mengabsorpsi CO 2 selama proses fotosintesis dan menyimpannya sebagai materi organik dalam biomassa tanaman. Banyaknya materi organik yang tersimpan dalam biomassa hutan per unit luas dan per unit waktu merupakan pokok dari produktivitas hutan. Produktivitas hutan merupakan gambaran kemampuan hutan dalam mengurangi emisi CO 2 diatmosfir melalui akt ivitas fisiologi-nya. Pengukuran produktivitas hutan relevan dengan pengukuran biomassa. Biomassa hutan menyediakan informasi penting dalam menduga besarnya potensi penyerapan CO2 dan biomassa dalam umur tertentu yang dapat dipergunakan untuk mengestimasi produktivitas hutan (Heriansyah, 2005).
Pengukuran stok karbon dapat dilakukan melalui pengukuran langsung di lapangan dan/atau memanfaatkan teknologi penginderaan jauh. Untuk memperoleh data stok karbon dan perubahannya dengan pengukuran langsung di lapangan, maka perlu dibangun Petak Ukur Permanen (PUP)/Permanent Sample Plot (PSP) yang dapat merepresentasikan dinamika pertumbuhan biomasa dari berbagai penggunaan lahan khususnya hutan.
Informasi mengenai karbon hutan yang tersimpan menjadi penting dalam kegiatan REDD+. Hal tersebut terkait dengan salah satu persyaratan dalam mekanisme perdagangan karbon dalam REDD+ untuk menghitung potensi stok karbon secara Measureable, Reportable danVerifiable (MRV) yang comparable, koheren, lengkap dan akurat. Untuk menanggapi hal tersebut maka diperlukan suatu sistem atau mekanisme pengelolaan karbon hutan secara berkelanjutan.
Pada tahun 2012, Indonesia melalui Kementerian Kehutanan bekerjasama dengan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) telah membangun sejumlah PSP di 5 (lima) lokasi kegiatan FCPF, yaitu di Provinsi Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara dan Maluku. Pengukuran biomasa dan karbon hutan yang mencakup 5 pool karbon telah dilaksanakan di kelima lokasi tersebut. Setidaknya terdapat dua tantangan dalam pengelolaan PSP, yaitu (1) bagaimana pengelolaan PSP yang telah menjadi aset daerah tersebut dapat dilakukan secara berkelanjutan di masa depan, dengan atau tanpa dana bantuan dari FCPF dan (2) bagaimana menyelaraskan semua data hasil pengukuran biomasa dan karbon hutan di tingkat Provinsi dalam suatu sistem yang terkomputerisasi agar dapat dimonitor dan di-update secara berkala. Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
3
Untuk itu diperlukan suatu Workshop yang melibatkan stakeholder di daerah untuk membahas Strategi Monitoring dan Pelaporan PSP secara berkelanjutan serta untuk merancang blue print usulan sistem dan mekanisme monitoring PSP dan karbon hutan di tingkat Provinsi.
1.2 Tujuan Workshop Tujuan workshop ini adalah untuk (1) merumuskan strategi pengelolaan PSP secara berkelanjutan, (2) merancang blue print sistem monitoring karbon hutan, (3) merumuskan pengintegrasian data Sistem Pemantauan Hutan Nasional (NFMS) dengan Sistem Monitoring Karbon Hutan tingkat provinsi yang akan dibangun, (4) menyamakan persepsi tentang peran dan tanggungjawab para pihak di tingkat provinsi dalam pemantauan karbon hutan dan (5) memberikan masukan untuk pengembangan kebijakan terkait pengelolaan PSP dan pemantauan karbon hutan tingkat provinsi.
1.3 Hasil yang diharapkan Hasil yang diharapkan dari workshop ini yaitu tersusunnya strategi pengelolaan PSP berkelanjutan, terancangnya blue print sistem monitoring karbon hutan, terintegrasinya data Sistem Pemantauan Hutan Nasional (NFMS) dengan Sistem Monitoring Karbon Hutan tingkat Provinsi yang akan dibangun, terciptanya persamaan persepsi tentang peran dan tanggung jawab para pihak di tingkat Provinsi dalam pemantauan karbon hutan dan adanya masukan untuk pengembangan kebijakan terkait pengelolaan PSP dan pemantauan karbon hutan tingkat Provinsi.
1.4 Pembicara dan Tema 1.4.1 Sesi 1: Strategi Monitoring PSP untuk mencapai target RAD dan SRAP Provinsi 1. Strategi dan Kebijakan Provinsi Sumatera Selatan untuk Mencapai Target Penurunan Emisi: Pengalaman dari Penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) oleh: Titin Muhalimah Gustina, SP 2. Overview dan Lessons Learned dari Pembangunan PSP Untuk Monitoring Karbon Hutan Pada Kegiatan FCPF Tahun 2012 oleh: Ir. Achmad Pribadi, M.Sc 3. Pengalaman Pembangunan PSP dan Rencana Pengelolaannya Pasca 2014 di Provinsi Sumatera Selatan oleh: Ir. R. Dody Prakosa, M.Sc 4
Pendahuluan
1.4.2 Sesi 2: Pengembangan Sistem Monitoring PSP yang Terintegrasi dan Partisipatif di Provinsi 1. Integrasi TSP PSP dan Plot Contoh Lainnya oleh: Dr. Ernawati
2. Numerasi Permanent Sample Plot/ PSP dan Temporary Sample Plot/ TSP Di Provinsi Sumatera Selatan oleh: Ir. Kholid
1.5 Penyelenggaraan Workshop Workshop Strategi Monitoring dan Pelaporan PSP di Provinsi Sumatera Selatan ini di ikuti oleh peserta yang berasal dari unsur pemerintah, swasta, LSM dan perguruan tinggi. Pada acara ini narasumber-narasumber yang mempresentasikan makalahnya adalah: Ir. Achmad Pribadi, M.Sc (Kabid Pengembangan Data dan Tindak Lanjut Puspijak), Titin Muhalimah Gustina, SP (BAPPEDA Provinsi Sumatera Selatan), Ir. R. Dody Prakosa, M.Sc (Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang), Dr. Ernawati (Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan), Ir. Kholid (BPKH Wilayah II Palembang ). Moderator sesi pertama pada workshop ini yaitu Dr. (Cand) Syafrul Yunardy, S.Hut, ME sedangkan pada sesi kedua dimoderatori oleh M. Farid (Dewan Nasional Perubahan Iklim)
1.6 Sambutan Pengantar Kepala Bidang Pengembangan Data Dan Tindak Lanjut Penelitian Pusat Litbang Perubahan Iklim Dan Kebijakan Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam sejahtera bagi kita semua Yth. Bapak Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan atau yang mewakili Yth. Bapak Kepala Bappeda Provinsi Sumatera Selatan atau yang mewakili Yth. Bapak-bapak Kepala Dinas Kehutanan Kota dan Kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan atau yang mewakili Yth.Bapak dan Ibu Dosen/ Pengajar Perguruan Tinggi di Sumatera Selatan, sahabatsahabat dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan hadirin sekalian yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
5
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam sejahtera bagi kita sekalian Untuk mengawali kegiatan ini marilah bersama-sama kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, karena semata hanay atas perkenanNya sajalah kita semua dapat bersama-sama berkumpul pada kesempatan yang berbahagia ini. Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (Forest Carbon Partnership Facility/FCPF) hadir untuk membantu Negara-negara berkembang dalam upaya mencegah, mengurangi dan mengatasi permasalahan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim tersebut melalui pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, meningkatkan serapan karbon, konservasi, dan pengelolaan hutan lestari. Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang mendapat dukungan pendanaan FCPF untuk meningkatkan kapasitas dalam menyiapkan kerangka infrastruktur untuk implementasi REDD+. Kegiatan FCPF yang secara resmi mulai dilaksanakan pada tahun 2011 ini dilaksanakan secara kolaboratif oleh Badan Litbang Kehutanan melalui Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan (PUSPIJAK), Pusat Standarisasi dan Lingkungan Kementerian Kehutanan (PUSTANLING), Dewan Kehutanan Nasional (DKN) dan World Bank. Kegiatan FCPF sendiri meliputi 4 (empat) kelompok besar kegiatan (focus area) yang meliputi (1) Analytical Works, (2) Management of Readiness Process, (3) REL and MRV dan (4) Regional Data Collection and Capacity Building. Bapak, Ibu, Saudara-saudara dan hadirin sekalian Salah satu kegiatan dalam focus area FCPF adalah pembuatan Petak Sampel Permanent Sample Plot (PSP) dan sistem pemantauannya. Untuk inisiasi REDD+, PSP mempunyai peran yang sangat penting karena dengan adanya PSP, kita dapat mengetahui riap dan biomassa pada suatu bentang lahan hutan. Semua informasi tersebut pada akhirnya akan diperlukan untuk membangun apa yang disebut tingkat acuan emisi di sektor pertanian dan kehutanan. Atau dalam bahasa yang digunakan para komunitas REDD+ adalah untuk mengetahui baseline dan REL/RL di sektor LULUCF. REL/RL diperlukan untuk mengetahui tingkat emisi masa lalu, masa kini dan masa datang pada kondisi tidak ada intervensi untuk mengurangi emisi GRK (CO2e). REL/RL tersebut selanjutnya akan digunakan sebagai acuan kita untuk menetapkan berapa besar emisi yang akan diturunkan melalui cara-cara antara lain seperti yang disebutkan dalam RAN dan RAD GRK. 6
Pendahuluan
Pada tahun 2012 lalu Puspijak bersama teman-teman daerah telah membangun PSP di 5 Provinsi yakni Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara dan Maluku. Di Sumatera Selatan Puspijak bersama-sama dengan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan dan Balai Penelitian Kehutanan Palembang telah membangun PSP sebanyak 12 unit yang terletak di Gunung Dempo Kota Pagar Alam sebanyak 3 PSP, KHDTK Kemampo dan PT.REKI sebanyak 3 PSP, Kabupaten Empat Lawang sebanyak 3 PSP dan di Kabupaten Ogan Komering Ilir sebanyak 3 PSP. Saat ini tiba saatnya bagi kita untuk mulai membahas dan mendiskusikan bagaimana langkah lanjutan setelah PSP terbentuk, baik dari sisi kebijakan maupun aspek teknis pemantauannya. Bapak, Ibu, Saudara-saudara yang saya hormati, Workshop selama dua hari ini selanjutnya akan mempresentasikan, membahas dan merekomendasikan kedua hal tersebut, Strategi Pengelolaan PSP dan Pengembangan sistem monitoringnya. Hari pertama kita akan mendengarkan dan mendiskusikan presentasi teman-teman kita dari Bappeda, Ditjen Planologi, BPKH Wilayah II Palembang, Balai Penelitian Palembang dan Puspijak yang dilanjutkan dengan diskusi terfokus (FGD) terhadap dua topik yakni Strategi Pengelolaan PSP dan Pengembangan sistem monitoringnya. Pada hari kedua akan dilaksanakan penanaman di salah satu lokasi PSP yaitu di KHDTK Kemampao. Sebagai penutup, semoga kegiatan yang akan kita ikuti bersama hari ini dapat berjalan dengan lancar, sehingga tujuan mulia dari kegiatan ini dapat tercapai dan pada akhirnya dapat memberikan kontribusi bagi upaya mendorong kesiapan implementasi REDD+ di Indonesia yang akan kita rasakan bersama hasilnya di masa yang akan datang. Terimakasih atas perhatiannya. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera dan Damai bagi kita semua
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
7
BAB 2
Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
9
2.1 Strategi dan Kebijakan Provinsi Sumatera Selatan untuk Mencapai Target Penurunan Emisi: Pengalaman dari Penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) oleh: Titin Muhalimah Gustina, SP (BAPPEDA Provinsi Sumatera Selatan) Berdasarkan Peta Iklim dan Geografi, Provinsi Sumatera Selatan berada pada koordinat 1° - 4° LS - 102° - 106° BT. Topografi terbagi menjadi 3 (tiga) zona utama, yaitu Zona Pegunungan, Zona Transisi dan Zona Daratan. Zona Daratan sendiri terbagi lagi menjadi Zona Rawa Gambut dan Pesisir. Provinsi Sumatera Selatan sama hal nya dengan daerah lainnya di Indonesia memiliki 2 musim yaitu musim hujan dan musim kemarau dengan iklim tropis dan basah. Secara hidrologi, terdapat 10 sungai yang melintasi keseluruhan wilayah Provinsi Sumatera Selatan, diantaranya: Sungai Musi, Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Kelingi, Sungai Rupit, Sungai Rawas, Sungai Mesuji, Sungai Lalan, Sungai Banyuasin. Saat ini isu perubahan iklim menjadi perhatian kalangan internasional, oleh karena itu penting bagi kita untuk melaksanakan antisipasi dari perubahan iklim. Beberapa fenomena alam telah terjadi yang dipengaruhi oleh perubahan iklim, diantaranya: 1. Trend perubahan temperatur menunjukkan penurunan selama seratus tahun terakhir, tetapi terdapat kenaikan yang cukup konsisten dengan laju rata-rata sebesar 0.25° C selama 25 tahun terakhir.
2. Ancaman bahaya (hazard) iklim, berpotensi menyebabkan kekeringan dan ketidakpastian musim. Selain itu, variabiltas interdekade (antar-dasawarsa) berpengaruh cukup besar terhadap iklim di Sumsel, meskipun diperkirakan tidak akan menyebabkan perubahan yang cukup drastis dalam dua puluh tahun ke depan. 3. Berdasarkan data observasi dan model, kenaikan tinggi muka laut pada tahun 2030 berkisar antara 12 cm ~ 20 cm dan berdasar IPCC 4th Assessment Report Meningginya sea level tahun 1990-2010 dari 0,09 – 0,88 m, global warming meningkat 3°C – 8°C dalam jangka 50 tahun.
4. Berdasarkan model IPCC-AR4, curah hujan sampai dengan tahun 2030-an diproyeksikan tidak banyak berubah dari kondisi rata-rata 30 tahun terakhir, sedangkan perubahan temperatur diproyeksikan mengikuti trend perubahan temperatur global yakni sekitar 1°C. 5. Tinggi muka laut berpotensi naik lebih dari 1 m pada tahun 2100. Kenaikan suhu permukaan laut ±0.2°C/dekade. Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
11
6. Tinggi permukaan laut, masing-masing mempunyai korelasi rendah sampai sedang dan rendah dengan El Nino- Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD). Tinggi gelombang ekstrim disebabkan penguatan kecepatan angin pada skala lokal. Dari beberapa indikasi ini, Provinsi Sumatera Selatan adalah salah satu daerah yang pasti terkena pengaruh dampak perubahan iklim tersebut. Saat ini Provinsi Sumatera Selatan telah memiliki Peta Risiko Akibat Kenaikan Muka Air Laut. Hasil Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim (KRAPI) tahun 2012, daerah yang beresiko terkena dampak kenaikan muka air laut sebagian di daerah pesisir dan rawa gambut, tepatnya di Ogan Komering Ilir (OKI) dan sebagian besar terjadi di daerah Musi Banyu Asin.
Gambar 1. Peta Risiko Akibat Kenaikan Muka Air Laut Hasil studi KRAPI lainnya adalah terkait Peta Risiko Penurunan Produksi Padi. Studi ini memproyeksikan penurunan padi pada tahun 2030 baik di lahan basah maupun lahan kering. Resiko penurunan produksi padi pada lahan basah sebagian besar terdapat di daerah Musi Banyu Asin, sedangkan untuk lahan kering resiko tersebut terdapat di daerah sentra produksi padi yaitu di Ogan Komering Ulu Timur. 12
Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi
Gambar 2. Risk of Dryland Paddy on 2030 (a); Risk of Wetland Paddy on 2030 (b) Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
13
Dari peristiwa terkait perubahan iklim yang telah diuraikan di atas, maka Presiden Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2020. Sebagai penjabaran atas komitmen tersebut, maka dibuatlah Perpres Rencana Aksi Nasional (RAN) Penurunan Emisi GRK yang juga menjadi pedoman bagi daerah dalam penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) Penurunan Emisi GRK yang telah diakomodir dalam komitmen untuk hidup lebih rendah emisi tanpa mengurangi pertumbuhan. Target Provinsi Sumatera Selatan untuk menurunkan GRK adalah 10,19%. Pada tahun 2012 Provinsi Sumatera Selatan membuat Pedoman Penyusunan RAD-GRK melalui Peraturan Gubernur No.34/2012 RAD-GRK Sumatera Selatan sebagai penjabaran komitmen daerah untuk mendukung target penurunan emisi nasional melalui 6 sektor utama (pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi, transportasi dan industri, pengelolaan limbah). Beberapa langkah antisipasi perubahan iklim yang dilaksanakan di Provinsi Sumatera Selatan, diantaranya:
1. Provinsi Sumatera Selatan telah memiliki Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim (KRAPI) yang memetakan dampak perubahan iklim dan upaya adaptasinya di sektor pertanian, pesisir, sumber daya air, dan kesehatan. 2. Provinsi Sumatera Selatan juga telah memiliki Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) yang mengidentifikasi emisi GRK saat ini, aksi penurunan emisi, dan target penurunan emisi GRK di tahun 2020 pada sektor pertanian; kehutanan & lahan gambut; energi; transportasi; industri; & pengelolaan limbah.
3. Untuk memastikan bahwa upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim akan sinkron dengan pembangunan daerah Sumatera Selatan, maka upaya-upaya tersebut perlu diarusutamakan ke dalam RPJMD Provinsi Sumatera Selatan 2013-2018. Dalam rangka mendukung kegiatan terkait perubahan iklim maka telah diterbitkan SK Gubernur Sumatera Selatan No. 465/KPTS/Bappeda/2011 tentang Pembentukan Tim Koordinator dan Pokja Perubahan Iklim Provinsi Sumatera Selatan yang terdiri dari: 1. Pokja Adaptasi yang dipimpin oleh Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Selatan. 2. Pokja Mitigasi yang dipimpin oleh Bappeda Provinsi Sumatera Selatan.
3. Pokja REDD+ yang dipimpin oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. 14
Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi
Tabel 1. Sumber Emisi GRK Provinsi Sumatera Selatan No.
Sumber Emisi
1
Budidaya Padi
2
Peternakan
3
Emisi Historikal (ton CO2-eq)
No.
Sumber Emisi
Emisi Historikal (ton CO2-eq)
3,223,876.50
11
Kendaraan bermotor
174,106.73
12
Industri Cpo
53,539.53
Perubahan Penutupan Lahan
25,202,079.78
13
Industri Crumb Rubber
91,568.56
4
Gambut
38,630,468.11
14
Industri Makanan
100,828.87
5
PLTU
1,195,541,239.00
15
Industri Pulp and Papper
979,250.40
6
PLTD
30,224.24
16
Industri Semen
1,014,235.00
7
PLTG (PLN)
931,805,297.73
17
Industri Pupuk
286,832.29
8
PLTG dan PLTMG (Swasta)
1,385,986.93
18
Timbunan
467,460.00
9
Bahan Bakar Minyak (tanpa transportasi
19
Open burning
182,910.00
20
Komposting
10
Kayu Bakar
21
Limbah Cair Domestik
32,831.34 7,822,913.70
2,036,551.78
7,140.00 947,100.00
Limbah komposting merupakan sektor pendukung bukan merupakan sektor inti, namun sektor ini tetap harus diperhatikan karena pendukung utama.
2.1.1 Target dan Kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka Penurunan Emisi di Provinsi Sumatera Selatan 2.1.1.1 Bidang Pertanian Target Penurunan Emisi (66,9 %): 1,421,465.4 ton CO2 eq, kegiatan yang dilaksanakan yaitu : 1. Subsektor Budidaya Padi
Perbaikan dan optimalisasi sistem irigasi, Implementasi budidaya padi berbasis System of Rice Intensification (SRI) Organik, Penanaman padi varietas rendah emisi, Pengembangan padi organik, Pengembangan pemupukan spesifik lokasi, Penyuluhan dan edukasi.
2. Subsektor Peternakan
Penggunaan dan pengembangan pakan ternak rendah emisi, Pemanfaatan kotoran ternak sebagai sumber biogas, Seleksi genetik sapi yang mempunyai produktivitas tinggi, Penyuluhan dan edukasi.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
15
Tabel 2. Emisi BAU-Baseline Provinsi Sumatera Selatan Tahun
Pertanian
Kehutanan dan Lahan Gambut
Energi
Transportasi
Industri
Sampah/ Limbah
Total
------------------------------------------------------ ton CO2 eq / tahun -------------------------------------------------2010 2011
-
-
974,980.54
2,136,618,492.94
-
-
734,948
2,137,353,440.94
63,832,547.89 2,232,766,325.12
-
-
869,604
2,298,443,457.55
973,349
2,418,569,243.84
20412
1,069,250.78 78,814,596.44 2,333,240,809.75 2,036,551.78 2,434,686.09
20153
1,139,476.17 93,796,644.99 2,438,236,646.19 2,342,034.55 2,556,420.39 1,056,370 2,539,127,592.29
2014
1,245,053.33 108,778,693.54 2,547,957,295.27 2,693,339.73 2,684,241.41 1,124,324 2,664,482,947.28
2015 1,347,720.88 123,760,742.09 2,662,615,373.56 3,097,340.69 2,818,453.48 1,182,424 2,794,822,054.70 2016 1,456,741.55 134,995,793.53 2,782,433,065.37 3,561,941.80 2,959,376.16 1,233,801 2,926,640,719.41 2017 1,575,666.98 146,230,844.97 2,907,642,553.31 4,096,233.07 3,107,344.97 1,280,583 3,063,933,226.30 2018 1,705,436.62 157,465,896.40 3,038,486,468.21 4,710,668.03 3,262,712.22 1,324,223 3,206,955,404.48 2019 1,847,079.48 168,700,947.84 3,175,218,359.28 5,417,268.23 3,425,847.83 1,365,720 3,355,975,222.66 2020 2,001,726.32 179,935,999.28 3,318,103,185.44 6,229,858.47 3,597,140.22 1,405,766 3,511,273,675.73
Nilai ini tanpa melakukan kegiatan apa-apa (business as usual), maka kita harus melaksanakan RAN GRK ini dengan tetap memperhatikan pertumbuhan sektor ekonomi namun kelestarian lingkungan pun harus tetap dipertahankan.
Perkiraan Penurunan Emisi GRK Sektor Pertanian Sumsel 2011-2020 2.500.000,00 2.000.000,00 1.500.000,00 1.000.000,00 500.000,00
2.001.726,32 Target Penurunan BAU Baseline 580.260,92
0,00
Gambar 3. Grafik Perkiraan Penurunan Emisi GRK Sektor Pertanian Sumsel 2011-2020 16
Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi
2.1.1.2 Bidang Energi Target Penurunan Emisi (5,36%): 177,833,229.24 ton CO2eq, kegiatan yang dilaksanakan yaitu : 1. Kebijakan yang dilaksanakan untuk menunjang RAD-GRK.
Penyuluhan hemat energy (100 peserta), Pembinaan dan Pengawasan Pengusahaan Ketenagalistrikan Lintas Kabupaten/Kota, Audit Energi pada gedung pemerintah (2 instansi), Pengembangan Potensi dan Kecukupan Bahan bakar (15 kab/kota), Sosialisasi Pemanfaatan konversi energy gas dan LPG 3 kg, Inventarisasi dan evaluasi perkembanga kondisi PLTS dan PLTMH terpasang (5 kab/kota).
2. Pengelolaan Lahan Gambut untuk pertanian berkelanjutan.
Pengadaan dan Pemasangan PLTS, Pembangunan dan operasi PLTP Lumut Balai Muara Enim, Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro, Implementasi hemat energi. Perkiraan Penurunan Emisi GRK Sektor Energi Sumsel 2010-2020 3.318.103.185,44
3.500.000.000,00 3.000.000.000,00 2.500.000.000,00 2.000.000.000,00 1.500.000.000,00 1.000.000.000,00 500.000.000,00 0,00
3.140.269.956,20
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 Target Penurunan 2.136 2.232 2.227 2.330 2.437 2.550 2.613 2.736 2.865 2.999 3.140 BAU Baseline 2.136 2.232 2.333 2.438 2.547 2.662 2.782 2.907 3.038 3.175 3.318
Gambar 4. Grafik Perkiraan Penurunan Emisi GRK Sektor Energi Sumsel 2010-2020 2.1.1.3 Bidang Industri Target Penurunan Emisi (26%): 1,727,961.78 ton CO2 eq, kegiatan yang dilaksanakan yaitu : 1. 2. 3. 4. 5.
Program Peningkatan kapasitas IPTEK dalam sistem produksi. Program pengembangan IKM. Implementasi Teknis Penurunan Emisi GRK. Program Peningkatan Kemampuan Teknologi Industri. Program Monitoring dan Evaluasi RAD-GRK.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
17
Keterangan: PUP I : Hutan Alam Primer Dataran Tinggi PUP III : Hutan Rakyat Bambang Lanang
PUP II : Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah PUP IV : Hutan Alam Gambut Sekunder
Gambar 5. Perkiraan Penurunan Emisi GRK Sektor Industri Sumatera Selatan 2.1.1.4 Bidang Transportasi Target Penurunan Emisi (33%): 2,055,853.30 ton CO2 eq, kegiatan yang dilaksanakan yaitu : 1. Park and Ride di 4 lokasi 2. Membangun Infrastruktur untuk pejalan kaki dan Pesepeda 3. Kebijakan untuk MultimodaTransport 4. Mengembangkan Jaringan BRT 5. ITS 6. Promosi/Campaign for Clean Air Transport 7. Provide Converter Kit for Gasoline 8. Mendorong Modal shift ke Angkutan Umum dengan cara 9. Peningkatan Transportasi Multimoda 10. Pencatatan rutin Emisi di Sumatera Selatan 18
Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi
11. Capacity Building 12. Centre of Excellence for Multimodal Transport 13. Membangun Multimodal Organization 14. Membangun CO2 Emission data base.
Gambar 6. Perkiraan Penurunan Emisi GRK Sektor Transportasi Sumatera Selatan 2.1.1.5 Bidang Sampah/Limbah Target Penurunan Emisi (17%): 239,048 ton CO2 eq, kegiatan yang dilaksanakan yaitu :
1. Program Penyusunan Perencanaan Pengelolaan Persampahan. 2. Penyusunan Master Plan Persampahan 15 kota/kabupaten, Penyusunan Studi Kelayakan dan DED TPA kota/kabupaten, Penyusunan AMDAL TPA 10 kota/ kab, Perencanaan Teknik TPST 3R. 3. Program Minimasi Sampah dengan prinsip 3R. 4. Pembangunan TPS Terpadu (TPST), Sosialisasi 3 R dan Pemilahan Sampah, Pendirian Bank Sampah, Bantuan Sarana dan Bimtek Komposting Sampah Domestik untuk Reklamasi Tambang (pola Kemitraan), Komposting sampah organik pedesaan dengan sistem gali-timbun (kearifan lokal sumsel), Program Kampung Iklim (15 K/K) dan Menuju Indonesia Hijau (5 K/K).
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
19
5. Program Peningkatan Sarana-Prasarana Persampahan. 6. Rehabilitasi/Pembangunan TPA Un-managed Deep menjadi Semi-aerobic Landfill di 15 kota/kabupaten, Operasional TPA semi-aerobic; pengadaan tanah timbun, Penambahan sarana - prasarana persampahan. 7. Program Peningkatan Pengelolaan Gas Sampah. 8. Recovery gas metan di TPA I Sukawinatan (CDM-Project). 9. Penyusunan Perencanaan Pengelolaan Air Limbah. 10. Penyusunan Master Plan Air Limbah 15 kota/kabupaten, Studi Kelayakan dan DED Septik Tank Komunal, Studi Kelayakan & DED MCK Sanimas, Sosialisasi Rencana Pembangunan Septik Tank Komunal, Penyusunan SOP Pengelolaan Septik Tank Komunal. 11. Pembangunan prasarana Waste Water Treatment Pemukiman. 12. Pembangunan MCK Plus, Pembangunan MCK Sanimas, Pembangunan Septic Tank Komunal. 13. Program Pengelolaan Badan Air. 14. Sosialisasi prokasih/superkasih, Pemantauan kualitas air permukaan di sungai, rawa dan kolam retensi. 15. Program Pemberdayaan Kesehatan Lingkungan dan Masyarakat. 16. Sosialisasi, Penyuluhan dan Pengkajian Kebijakan Lingkungan Sehat, Pembentukan lembaga Sadar Sanitasi di setiap kelurahan, PHAST Pasar, Sekolah, STBM, CLTS, PHBS, Sosialisasi kebersihan dan kesehatan kota (plus sosialisasi pelarangan open burning), Pembinaan Sekolah Peduli dan Berbudaya Lingkungan (Adiwiyata). 17. Program Inventori dan Pengelolaan Limbah Industri. 18. Pemantauan dan inventori limbah cair (inlet) dan padat per sektor industri, Sosialisasi Clean Development Mechanism, Standarisasi pemanfaatan limbah Pabrik Kelapa Sawit (PKS), Sosialisasi pemanfaatan limbah PKS, Standarisasi bangunan dan perawatan IPAL industri Crum Rubber. 2.1.1.6 Bidang Kehutanan dan Lahan Gambut Target Penurunan Emisi (96,21%): 173,314,374.31 ton CO2 eq, kegiatan yang dilaksanakan yaitu: 1. Peningkatan, rehabilitasi, operasi, dan pemeliharaan jaringan reklamasi rawa 2. Pengelolaan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan 3. Pengembangan pengelolaan lahan pertanian di lahan gambut terlantar dan terdegradasi untuk mendukung sub sektor perkebunan, peternakan dan hortikultura
20
Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi
4. Program perlindungan hutan dan konservasi SDH 5. Program rehabilitasi hutan dan lahan gambut.
1.600.000
Perkiraan Penurunan Emisi GRK Sektor Sampah/Limbah Sumsel 2010-2020
1.400.000
1.405.766
1.200.000
1.166.718
1.000.000 800.000 BAU Baseline
600.000
Target Penurunan
400.000 200.000 0
Gambar 7. Perkiraan Penurunan Emisi GRK Sektor Sampah/Limbah Sumatera Selatan 6.
Program Peningkatan Ketahanan Pangan Melalui Pembangunan Desa Mandiri Pangan dan
7.
Program Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Hutan
8.
Program Pengembangan Sentra-sentra Produksi Perkebunan.
Pembangunan Lumbung Desa
Gambar 8. Target Penurunan Emisi GRK Provinsi Sumatera Selatan dari Keenam Sektor
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
21
Gambar 9. Kerangka Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim dalam Pembangunan Daerah Sumatera Selatan
2.1.2 Mekanisme Koordinasi RAD-GRK Provinsi Sumatera Selatan 2.1.2.1 Perencanaan Contoh koordinasi pelaksanaan RAD-GRK pada tahap perencanaan
1. Mainstreamingkan RAD-GRK ke dalam RPJMD Provinsi Sumsel dalam 5 tahun ke depan periode tahun 2013-2018. 2. Mainstreamingkan RAD-GRK ke dalam RPJMD Kab/kota (terutama bagi kabupaten/kota yang baru merevisi RPJMD kabupaten/kota-nya). 3. Mainstreaming isu RAD-GRK Sumatera Selatan ke dalam RPJMD dan Renstra Kota Pagar Alam (Pilot Site, proses sedang berjalan). 2.1.2.2 Penganggaran Koordinasi pelaksanaan RAD-GRK pada tahap penganggaran
1. Melalui mekanisme musrenbang daerah sampai musrenbangnas terutama dalam upaya penganggaran, agar dimungkinkan adanya koordinasi cost sharing. 2. Cost Sharing baik dari dan antar Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota. 22
Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi
2.1.2.3 Pelaksanaan Koordinasi pelaksanaan RAD-GRK pada tahap pelaksanaan
1. Sektor kehutanan yang melakukan penghijauan di lahan kritis terutama pada kawasan hulu DAS Sungai Musi. 2. Sektor Persampahan (dengan leading sektor dari BLH) telah melakukan capacity building sampai ke tingkat kabupaten/kota. 3. Tersusunnya panduan inventaris GRK di sektor persampahan dan inventarisasi serta estimasi pengolahan limbah domestik.
4. Peningkatan kapasitas dan kemampuan para pengumpul data di tingkat Kabupaten/Kota dalam melakukan survey dan inventarisasi limbah padat. 5. Road show guna mengidentifikasi kegiatan RAD-GRK yang telah dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota. 2.1.2.4 Pemantauan Evaluasi dan Pelaporan Contoh koordinasi pelaksanaan RAD-GRK pada tahap pemantauan evaluasi dan pelaporan
1. Masing-masing sektor melakukan penyampaian laporan pelaksanaan kegiatan periode tri wulanan dari Kabupaten/Kota ke Bappeda Kabupaten/kota.
2. Selanjutnya masing-masing sektor melakukan penyampaian laporan pelaksanaan kegiatan per-tri wulanan pada level Provinsi ke Bappeda Provinsi Sumatera Selatan.
3. Dilanjutkan dengan penyampaian laporan ke Sekretariat RAN-GRK sebagai aksi mitigasi yang diupayakan oleh Provinsi Sumatera Selatan guna mendukung upaya level Nasional.
4. Provinsi Sumatera Selatan merupakan provinsi percontohan dalam kegiatan inventarisasi Gas Rumah Kaca kerjasama Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Badan Lingkungan Hidup (BLH) dan Japan-Indonesia Cooperation Agency (JICA) untuk sektor limbah.
2.1.3 Sektor Kehutanan dan Lahan Gambut SK Gubernur Sumatera Selatan No. 465/KPTS/Bappeda/2011 tentang Pembentukan Tim Koordinasi dan Kelompok Kerja Perubahan Iklim Provinsi Sumatera Selatan berupa POKJA REDD+ yang di pimpin oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
23
Pengertian Deforestasi dan Degradasi Hutan Deforestasi adalah hilangnya penutupan vegetasi dari semula hutan, hutan alam maupun hutan tanaman, menjadi berpenutupan vegetasi bukan hutan. Degradasi hutan adalah diganggu, diusik, dirusaknya dan atau ditebangnya hutan, terjadi penurunan kualitas hutan, dari hutan alam primer menjadi hutan alam sekunder, namun masih berpenutupan vegetasi berupa hutan.
Tabel 3. Laju Deforestasi Hutan di Tk. Kab/Kota se Sumsel No.
Nama Kab/Kota
Laju Deforestasi 2000-2010 Ha
%
Ha/tahun
%/tahun
1
Kab. Banyuasin
10,041
4.51
1,004
0.45
2
Kab. Empat Lawwang
896
3.08
90
0.31
3
Kab. Lahat
4,241
4.79
424
0.48
4
Kab. Ma Enim
11,012
8.63
1,101
0.86
5
Kab. Muba
42,295
21.24
4,230
2.12
6
Kab. Mura
9,972
3.14
997
0.31
7
Kab. Organ Ilir
8
Kab. OKI
(84,595)
-
(105.70)
(8,460)
(10.57)
9
Kab. OKU
1,021
1.89
102
0.19
10
Kab. OKU Selatan
38,242
31.56
3,824
3.16
11
Kab. OKU Timur
763
3.80
76
0.38
12
Kota Lubuk Linggau
-
13
Kota Pagar Alam
14
Kota Palembang
-
-
15
Kota Prabumulih
-
-
Total Prov. Sumsel
467
-
3.04
34,355
3.40
47
0.30
3,435
0.34
Tabel 4. Laju Degradasi Hutan per Fungsi Kawasan Hutan per- Kab/Kota se Sumsel Laju Degradasi Hutan (Ha/Tahun) No.
Kabupaten/Kota
Hutan Konversi
Hutan Lindung
Hutan Produksi
Di Luar Kawasan
Total
1,959
5,121
3
456
7,539
1
Kabupaten Banyuasin
2
Kabupaten Empat Lawang
-
-
-
-
3
Kabupaten Lahat
-
-
-
-
4
Kabupaten Muara Enim
5
Kabupaten Musi Banyuasin
24
5
Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi
-
-
-
-
-
827
773
1,605
Laju Degradasi Hutan (Ha/Tahun) No.
Kabupaten/Kota
Hutan Konversi
Hutan Lindung
Hutan Produksi
Di Luar Kawasan
Total
71
6
Kabupaten Musi Rawas
-
-
-
71
7
Kabupaten Ogan Ilir
-
-
-
-
8
Kabupaten Ogan Komering Ilir
-
-
-
-
9
Kabupaten Ogan Komering Ulu
-
-
-
-
10
Kabupaten OKU Selatan
-
-
-
-
11
Kabupaten OKU Timur
-
-
-
-
12
Kota Lubuk Linggau
-
-
-
-
13
Kota Pagar Alam
-
-
-
-
14
Kota Palembang
-
-
-
-
15
Kota Prabumulih Prov. Sumatera Selatan
2,035
-
-
-
-
5,121
830
1,229
9,215
Tabel 5. Distribusi Luas Kekritisan DAS Musi
Bengkulu
Prov.
Kab/Kota
Jambi
Potensi Kritis
Kritis
Sangat Kritis
Tidak Kritis
Grand Total
Kabupaten Kepahyang
28,246.76
26,533.73
7,701.28
564.70
738.69
63,785.16
Kabupaten Rejang Lebong
80,153.80
40,270.99
22,748.56
3,697.89
5,640.51
152,511.75
108,400.57
66,804.71
30,449.83
4,262.59
6,379.20
216,296.90
Kabupaten Batanghari
35,886.29
2,244.82
12,989.40
78.77
49,893.23
101,092.51
Kabupaten Muaro Jambi
74,312.33
2,433.41
48,692.26
599.88
10,818.05
136,855.93
Kabupaten Sarolangun
749.49
166.64
991.17
3.15
26,267.17
28,177.62
Kabupaten Tanjung Jabung Timur
2,649.40
302.52
4,148.11
210.01
9.11
7,319.15
113,597.50
5,147.39
66,820.94
891.81
86,987.55
273,445.19
16,129.75
2,932.03
3,237.15
886.30
928.55
24,113.78
1,355.17
-
1,095.45
-
-
2,450.62
17,484.92
2,932.03
4,332.60
886.30
928.55
26,564.39
Total
Total
Lampung
Agak Kritis
Kabupaten Lampung Barat Kabupaten Way Kanan Total
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
25
Sumatera Selatan
Prov.
Kab/Kota
Agak Kritis
Potensi Kritis
Kritis
Kabupaten Banyuasin
292,944.37 201,614.44
Kabupaten Empat Lawang
139,745.45
Kabupaten Lahat
Sangat Kritis
Tidak Kritis
Grand Total
340,573.81
22,294.88
15,156.48
51,331.60
968.23
20,502.89
227,704.65
227,825.55
17,695.58
66,071.19
9,107.55
59,821.29
380,521.16
Kabupaten Muara Enim
417,183.62
69,385.44
123,523.09
36,197.93
209,312.65
855,602.73
Kabupaten Musi Banyuasin
557,028.81
78,097.40
285,398.08
44,277.05
481,842.60 1,446,643.94
Kabupaten Musi Rawas
465,368.57
36,682.15
333,073.18
10,847.92
371,403.44 1,217,375.26
59,442.06
87,587.09
Kabupaten Ogan Ilir
349,479.49 1,206,906.99
74,463.60
4,126.82
219,316.36
92,701.18
54,489.81
103,373.33
9,570.25
56,333.56
368,819.93
20,525.27
76,430.66
3,394.21
37,714.35
385,212.63
Kabupaten OKU Timur
29,907.58 119,212.39
46,958.41
3,860.79
125,360.41
325,299.58
Kota Pagar Alam
38,961.48
5,938.79
6,382.65
321.27
10,909.31
62,513.50
Kota Palembang
3,022.87
8,224.97
726.49
1,357.09
24,387.52
37,718.94
Kota Prabumulih
33,387.84
3,069.43
2,673.06
1,157.96
5,422.05
45,710.34
24,950.75
954.10
8,145.21
19.33
7,277.26
41,346.65
Kabupaten Ogan Komering Ilir
473,020.92
Kabupaten Ogan Komering Ulu
145,052.98
Kabupaten OKU Selatan
247,148.14
Kota Lubuk Linggau Total
11,255.85
236,875.42
288,926.70 1,265,675.80
191,710.64
3,154,990.96 910,343.98 1,738,440.73 240,202.45 2,059,949.37 8,103,927.48
Grand Total
3,394,473.95 985,228.11 1,840,044.10 246,243.15 2,154,244.67 8,620,233.97
Sumber: BPDAS Musi 2012
Tabel 6. Informasi Sebaran Hotspot dan Luaran Kebakaran Provinsi Sumsel Tahun 2009-2012
2009 No.
1
Kab/Kota
Kabupaten Banyuasin
2
Kabupaten Empat Lawang
3
Kabupaten Lahat
4
Kota Lubuk Linggau
5
Kabupaten Muara Enim
26
2010
Luas Hotspot Terbakar (ha) 373.00
2,405.85
Hotspot 36.00
2011
Luas Terbakar (ha) 232.20
Hotspot 639.00
2012*
Luas Terbakar (ha) 4,121.55
Luas Hotspot Terbakar (ha) 688.00
4,437.60
48.00
309.60
7.00
45.15
53.00
341.85
57.00
367.65
168.00
1,083.60
49.00
316.05
131.00
844.95
129.00
832.05
22.00
141.90
10.00
64.50
4.00
25.80
17.00
109.65
536.00
3,457.20
157.00
1,012.65
944.00
6,088.80
834.00
5,379.30
Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi
2009 No.
6
Kab/Kota
Kabupaten Musi Banyuasin
2010
Luas Hotspot Terbakar (ha) 648.00
Hotspot
4,179.60
137.00
2011
Luas Terbakar (ha) 883.65
Hotspot 1,163.00
2012*
Luas Terbakar (ha)
Luas Hotspot Terbakar (ha)
7,501.35 1,263.00
8,146.35
7
Kabupaten Musi Rawas
803.00
5,179.35
136.00
877.20
581.00
3,747.45 1,040.00
6,708.00
8
Kabupaten Ogan Ilir
223.00
1,438.35
54.00
348.30
288.00
1,857.60
1,580.25
9
Kabupaten Ogan Komering Ilir
2,814.00
18,150.30
102.00
657.90
2,429.00
10 Kabupaten Ogan Komering Ulu
226.00
1,457.70
34.00
219.30
253.00
1,631.85
245.00
15,667.05 1,813.00 11,693.85 244.00
1,573.80
11 Kabupaten OKU Selatan
154.00
993.30
25.00
161.25
204.00
1,315.80
196.00
1,264.20
12 Kabupaten OKU Timur
128.00
825.60
19.00
122.55
120.00
774.00
127.00
819.15
13 Kota Pagar Alam
4.00
25.80
3.00
19.35
6.00
38.70
5.00
32.25
14 Kota Palembang
8.00
51.60
4.00
25.80
6.00
38.70
4.00
25.80
135.45
27.00
174.15
15 Kota Prabumulih Total
46.00
296.70
25.00
161.25
21.00
6,201.00
39,996.45
798.00
5,147.10
6,842.00
44,130.90 6,689.00 43,144.05
*) Data samapi dengan September 2012 Sumber: Satelit Terra Aqua MODIS, diproses oleh: UPTD Pengendalian KebakaranHutan dan Lahan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan
Gambar 10. Grafik frekuensi titik api (hari titik api/tahun) dalam kurun 2001-2007 Dari grafik terlihat bahwa kebanyakan titik api ditemukan di lahan gambut di Kabupaten OKI, Muba dan Banyuasin.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
27
Tabel 7. Perkembangan Investasi Pembangunan Hutan Tanaman Industri per Kabupaten/Kota se Provinsi Sumatera Selantan
Investasi Pembangunan Hutan Tanaman Industri
No.
Kabupaten/ Kota
1 Kabupaten Banyuasin
Izin Terbit s/d 2012 (ha) Luas Areal Izin IUPHHHK-Htn
RKT Tahun 2011 (ha)
RKT Tahun 2012 (ha)
ReaReaTanamNeraca lisasi Produksi lisasi an TanamTanam(m3) TanaPokok an an man
Tahun 2013 dst. (ha)
RKT Neraca Produksi Tanam Tanam(m3) Tahun an 2013
Sisa Target Tanam Pokok
52,035
36,425
3,253 16,253
197,869 11,575
23,283
937,057
28,752 13,142
28,000
19,600
1,611 11,425
171,066
2,740
12,784
122,284
4 Kabupaten Muara Enim
166,960 116,872
9,332 66,184
990,974 15,876
74,054
708,381
15,100 42,818
5 Kabupaten Musi Banyuasin
306,160 214,312
18,637 101,555
843,205 17,958 114,087
723,059
54,812 100,225
6
179,505 125,654
4,107 28,760
429,790
307,228
13,400 91,938
12,944 206,302 1,356,413 31,062 224,084 1,053,932
33,589 211,972
2 Kabupaten Empat Lawang 3 Kabupaten Lahat
Kabupaten Musi Rawas
7,093
33,715
1,500
6,816
7 Kabupaten Ogan Ilir 8 Kabupaten Ogan Komering Ilir
622,936 436,055
9 Kabupaten Ogan Komering Ulu
15,000
10,500
867
6,151
10 Kabupaten OKU Selatan
15,076
10,553
999
1,200
92,098
1,475
6,882
40
1,039
65,835
3,618
3,000
9,514
11 Kabupaten OKU Timur 12 Kota Lubuk Linggau 13 Kota Pagar Alam 14 Kota Palembang 15 Kota Prabumulih Prov. Sumatera Selatan
28
1,385,672 969,971
51,750 437,830 4,081,415 87,819 489,928 3,917,776 150,153 480,043
Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
29
Kabupaten Muara Enim
Kabupaten Musi Banyuasin
Kabupaten Musi Rawas
Kabupaten Ogan Ilir
Kabupaten Ogan Komering Ilir
Kabupaten Ogan Komering Ulu
Kabupaten OKU Selatan
Kabupaten OKU Timur
Kota Lubuk Linggau
Kota Pagar Alam
Kota Palembang
Kota Prabumulih
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Prov. Sumatera Selatan
Kabupaten Lahat
Kabupaten Empat Lawang
2
3
Kabupaten Banyuasin
Kabupaten/Kota
1
No.
Kabupaten/Kota
Hutan Produksi
1,865,349
86,490,807
57,834,568
20,863,251
17,483,787
67,666,148
Di Luar Kawasan
13,526,302
28,673
-
46,788,980
216,728
129,337
4,881,925
2,994,571
22,013,008 12,231,507
16,865,821 85,029,573
484,781
4,215,089
1,963,414
4,031,534
2,435,999
27,717,881
31,999,375
35,616,092
76,456,746
23,948,823
181,021 58,849,255 230,495,312
2,444,902 143,837,664
32,372,683 35,654,494
17,072,515 58,476,125
19,168,001
27,608,789 24,343,004
Hutan Lindung
4,431,817
1,985,133
17,557,836
3,055,662
32,599,806
89,310,938
69,860,607
178,663,103
24,433,604
303,009,909
242,211,386
129,598,922
96,430,927
39,808,637
201,747,995
Total
21,719
461,653
7,423,212
310,963
12,728,039
8,189,898
3,737,177
19,036
1,230,227
80,403,454
Hutan Konservasi
35,235,774
57,990,943
1,865,349
22,644,752
Hutan Produksi
13,286,671
28,673
43,594,586
21,491,968
16,098,784
181,021
85,903,082
57,834,568
19,941,618
17,472,497
65,516,682
Di Luar Kawasan
216,728
129,337
4,863,254
2,460,061
12,191,454
96,202,163
484,784
4,215,089
1,963,414
4,031,534
2,435,999
27,649,350
31,946,285
35,611,872
76,439,814
23,948,823
41,919,788 246,121,722
2,450,248 128,109,128
31,417,315
16,523,455
18,770,100
22,321,148
Hutan Lindung
Stok Akhir
4,431,817
1,985,133
17,318,205
3,055,662
32,512,604
85,424,144
69,295,294
189,051,724
24,433,607
300,950,570
224,652,356
128,224,834
94,475,052
39,338,173
190,886,036
Total
118,422,448 198,070,695 428,994,313 689,218,826 1,434,706,282 114,525,378 186,163,969 404,313,515 701,032,349 1,406,035,211
-
21,719
-
461,653
-
7,528,012
-
310,963
-
13,484,321
9,438,013
3,737,177
19,036
1,291,500
82,130,054
Hutan Konservasi
Stok Awal
Total Stok Karbon (ton CO2) Tahun: 2006-2010
Tabel 8. Hasil Perhitungan Stok Karbon Awal Tahun 2006 dan Stok Karbon Akhir Tahun 2010 per Fungsi Kawasan Hutan per
Pendekatan pengelolaan penutupan vegetasi hutan dalam perencanaan pembangunan daerah diantaranya:
1. Masuk dalam kerangka perencanaan makro pembangunan Provinsi Sumatera Selatan. 2. Masuk dalam tahapan proses perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan. 3. Muncul langsung dalam rencana kerja dan rencana kinerja SKPD. 4. Dipantau secara kontinyu dalam sistem pemantauan dan pelaporan kemajuan pembangunan oleh SKPD. 5. Dilakukan pengukuran secara berkala 5 tahunan efektivitas penurunan emisi GRK (ton/co2/ha/tahun) melalui inventarisasi hutan tingkat wilayah (provinsi dan kabupaten/kota). Kebijakan Pengelolaan Penutupan Vegetasi Hutan, diantaranya: 1. Mempertahankan tutupan vegetasi hutan alam pada kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. 2. Moratorium pemberian izin baru pada areal berpenutupan vegetasi hutan alam primer. 3. Mempertahankan kawasan hutan produksi konversi yang masih berpenutupan vegetasi hutan yang produktif. 4. Mempertahankan areal berpenutupan vegetasi hutan alam yang berada diluar kawasan hutan sebagai kawasan lindung. 5. Meningkatkan upaya perlindungan penutupan vegetasi hutan dari penebangan ilegal, perambahan, dan kebakaran hutan, dan lahan. 6. Meningkatkan upaya restorasi penutupan vegetasi pada ekosistem hutan alam. 7. Meningkatkan tutupan vegetasi hutan melalui: rehabilitasi hutan dan pembangunan investasi hutan tanaman oleh perusahaan dan masyarakat. Penetapan Rencana Kinerja 1. Indikator Kinerja Utama (IKU) dan Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) Aksi Mitigasi Penurunan Emisi CO2-eq untuk memastikan bahwa arah tujuan dari program/kegiatan sudah benar, tahapan langkah mencapai tujuan dan perencanaan program/kegiatan tahunan. 2. Komitmen dalam implementasi RAD GRK/SRAP REDD+ diukur dari capaian rencana kinerja bulanan/triwulan/semesteran/tahunan. 3. Format laporan bulanan (form B1).
30
Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi
4. Pelaporan pencapai kinerja pelaksanaan kegiatan penurunan emisi CO2-eq dari kegiatan langsung dan kegiatan tidak langsung/pendukung dalam laporan akuntabilitas kinerja instansi kinerja pemerintah (LAKIP) SKPD masing-masing. 5. Capaian kerja fisik dapat diperhitungkan sebagai estimasi selisih penurunan emisi CO2-eq setiap akhir tahun (ton/ha/tahun). IKU dan IKK Program Mitigasi Perubahan Iklim dan Penurunan Emisi CO2 adalah: 1. Meningkatkan penyelesaian tata batas kawasan hutan (km/tahun). 2. Meningkatkan pembangunan kesatuan pengelolaan hutan (unit/tahun). 3. Meningkatkan penyelesaian inventasisasi sumber daya hutan (ISDH) tingkat provinsi (ha/tahun). 4. Menurunkan laju deforestasi (ha/tahun). 5. Menurunkan laju degradasi hutan (ha/tahun). 6. Menurunkan jumlah titik hotspot dan luas kebakaran (titik/tahun dan ha/tahun). 7. Meningkatkan target merestorasi ekosistem hutan produksi alam (ha/tahun). 8. Meningkatkan target membangun tanaman kehidupan (ha/tahun). 9. Meningkatkan target menananm hutan tanaman industri (ha/tahun). 10. Meningkatkan target rehabilitasi lahan kritis dalam kawasan hutan konservasi (ha/tahun). 11. Meningkatkan target rehabilitasi lahan kritis dalam kawasan hutan lindung (dak) (ha/tahun). 12. Meningkatkan target rehabilitasi lahan kritis dalam kawasan hutan lindung (APBD) (ha/tahun). 13. Meningkatkan target penanaman semak belukar jadi perkebunan (emisi vegetasi). 14. Meningkatkan target penanaman semak belukar jadi perkebunan (emisi gambut). pemantauan evaluasi dan pelaporan aksi rencana daerah penurunan emisi GRK dibidang kehutanan dan lahan gambut di Provinsi Sumatera Selatan, diantaranya: 2.1.3.1 Pengukuran Capain Rencana Kinerja (PCRK) 1. Dari Indikator Kinerja Utama,Indikator Kinerja Keluaran dan Indikator Kinerja Sasaran maka dapat di pastikan bahwa “Kebijakan, program dan kegiatan yang ditetapkan telah pada arah yang benar.” 2. Menunjukkan rencana pelaksanaan program dan kegiatan dalam “pentahapan tahun anggaran untuk menuju pencapaian target penurunan emisi GRK” yang telah ditetapkan.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
31
3. “Kinerja Kegiatan dan Indikator Kinerja Sasaran sudah dirancang untuk dapat dilakukan estimasi pencapaian target kinerja fisiknya dan dapat dikonversikan dalam teknik etimasi pencapaian rencana kinerja dalam penurunan emisi gas rumah kaca (RAD-GRK) dengan satuan penurunan emisi CO2 (ton CO2eq)”. 4. Proses pelaporan pencapaian kemajuan pekerjaan/ pencapaian rencana kinerja ini dilakukan SKPD secara rutin bulanan dan triwulan. Dalam prosedur pelaporan kemajuan pencapaian rencana kinerja SKPD, maka pelaporan ini disajikan dalam table from B1. 5. Keseluruhan proses pelaporan pencapaian kemajuan pekerjaan / pencapaian kinerja ini akan dilaporan pada awal tahun berikutnya dalam dokumen “Laporan Akuntabilitas kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP)” oleh masing-masing SKPD.
2.1.4 Pengukuran Penurunan Emisi Karbon (PPEK) 1. Ini merupakan proses penting dalam pengukuran pencapaian target penurunan emisi co2 dari hasil aksi mitigasi di bidang kehutanan dan lahan gambut dalam dokumen RAD-GRK dan proses MRV untuk REDD+. 2. Monitoring terhadap pencapaian target penurunan emisi co2 dibidang kehutanan dan lahan gambut serta implementasi REDD+ juga diukur dari seberapa besar aksi-aksi mitigasi yang telah dilakukan berhasil menurunkan emisi dalam satuan ton CO2-eq. 3. Monnitoring secara berkala setiap 5 tahun-an terhadap perubahan penutupan vegetasi dan penggunaan lahan telah menjadi program / kegiatan prioritas dalam rencana kerja SKPD dinas Kehutanan provinsi Sumatra selatan pada tahun 2013 hingga tahun 2015, dengan detail data dan informasi dengan tingkat akurasi peta penutupan vegetasidan penggunaan lahan skala 1:100.000 dan pada lokasi tertentu hingga peta penutupan vegetasi dan penggunaan lahan skala 1:50.000. 4. Dasar dinas kehutanan untuk melaksanakan inventarisasi sumber daya hutan tingkat wilayah provinsi Sumatra selatan: a. UU No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan. b. PP No.36 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan kehutanan. c. PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah. d. PP No.6 Tahun 2007 tentang tata hutan dan penyususnan rencana pengelolaan hutan. e. Perda No.8 Tahun 2008 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja dinas Provinsi Sumatra Selatan. f. Pergub No.64 Tahun 2008 tentang uraian tugas dan fungsi dinas kehutanana Provinsi Sumatra Selatan.
32
Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi
g. Tugas kedepan adalah bagaimana kapasitas kerja yang ada ini untuk di setting guna untuk menjalankan tugas “Pemantauan Evaluasi dan Pemantauan” (PEP) Tahunan dan “penghitungan priode lima tahunan untuk penurunan emisi CO2 dibidang kehutanan dan lahan gambut”, serta “Monitoring, Reporting and Verification” (MRV) untuk REDD+.
2.2 Overview dan Lessons Learned dari Pembangunan PSP Untuk Monitoring Karbon Hutan Pada Kegiatan FCPF Tahun 2012 oleh: Ir. Achmad Pribadi, M.Sc (PUSPIJAK) Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) adalah program yang didanai 18 lembaga donor dan dikoordinasikan oleh World Bank. Di Indonesia FCPF bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan dan sebagai wakil masyarakat sipil bekerjasama dengan Dewan Kehutanan Nasional. Dari Kementerian Kehutanan ada Puspijak dan Pustanling. Inisiatif REDD ini sudah banyak, yang dikerjakan FCPF adalah mengisi gap kegiatan yang memfasilitasi yg kebanyakan dibiayai oleh donor untuk kesiapan REDD Indonesia.
Untuk implementasi REDD+, perhitungan cadangan karbon harus berdasarkan tingkat kerincian yang tinggi untuk meningkatkan akurasi perhitungan. Untuk mencapai itu dengan cara membuat PSP untuk mengetahui tingkat pertumbuhan pohon. Terdapat pertanyaan apa perbedaan antara PSP Puspijak dan Dirjen Planologi, prinsip PSP yang dibuat oleh Dirjen Planologi adalah plot dibiarkan saja tanpa ada pengamanan untuk melihat dinamika perubahan tutupan lahan yang terjadi, sedangkan untuk PSP yang dibangun oleh Puspijak bertujuan untuk memperoleh database stok karbon dan perubahannya sehingga perlu dijaga. kalau mau rusak, rusak saja untuk melihat dinamika, PSP Puspijak untuk mengukur emisi sehingga harus dijaga. Yang menjadi pekerjaan rumah ke depan adalah bagaimana mengintegrasikan PSP yang telah dibuat ini dengan PSP yang dibuat Dirjen Planologi sehingga bisa menjadi tambahan informasi. Pembangunan Petak Ukur Permanen/Permanent Sample Plot (PSP) bertujuan untuk mengembangkan data cadangan karbon lokal sehingga dapat meningkatkan kualitas data regional dan nasional untuk mendukung sistem MRV dalam perhitungan karbon dan emisi. Output yang diharapkan dari Pembangunan PSP ini yaitu:
1. Terbangunnya PSP untuk monitoring cadangan karbon di tingkat provinsi.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
33
2. Tersedianya database cadangan biomasa dan karbon di 5 carbon pools (AGB, BGB, serasah, nekromas, tanah) di tingkat (provinsi). 3. Selain untuk REDD+ secara scientific, PSP ini juga akan berkontribusi untuk Rencana Aksi Daerah (RAD) karena PSP menjadi validasi data untuk keakuratan data. Terdapat 5 kriteria dalam pemilihan lokasi PSP, yaitu: aman, aksesibilitas, keterwakilan, keberlanjutan dan status kawasan. Pada tahun 2012, FCPF-Puspijak telah melaksanakan pembangunan PSP di lima provinsi dengan berbagai tipe hutan. Kelima provinsi tersebut diantaranya sebagai berikut:
1. Provinsi Sumatera Barat telah membuat 15 PSP yang mewakili tipe hutan sekunder, agroforestry dan semak belukar. 2. Provinsi Sumatera Selatan telah membuat 12 PSP yang mewakili hutan alam primer, sekunder, hutan rakyat dan hutan gambut sekunder. 3. Provinsi Sulawesi Utara telah membuat 22 PSP yang mewakili hutan pantai, hutan dataran tinggi, hutan dataran rendah dan hutan lumut. 4. Provinsi Nusa Tenggara Barat telah membuat 22 PSP yang mewakili hutan pantai, hutan dataran tinggi, hutan dataran rendah dan hutan lumut. 5. Provinsi Maluku telah membuat 12 PSP yang mewakili hutan alam primer dan sekunder. Metode pelaksanaan pembangunan PSP yaitu: 1) Stratifikasi lapangan, 2) Pembangunan PSP, 3) Pengukuran biomasa pada 5 karbon pool (permukaan atas tanah, permukaan bawah tanah, serasah dan tumbuhan bawah, tanah, dan kayu mati/ nekromas). Monitoring PSP akan dilaksanakan dari DIPA Puspijak 2013, tahun berikutnya dapat dilaksanakan oleh daerah. Pasca 2014 siapa yang mendanani dan siapa yang mengelola PSP?.
2.2.1 Cadangan karbon di Sumatera Selatan Hasil perhitungan yang dilaporkan belum selesai dan masih merupakan hasil dalam bentuk berat basah biomasa. Masih perlu menyelesaikan perhitungan biomasa kering dan cadangan karbon dari kelima pool karbon.
2.2.2 Monitoring PSP 1. Untuk kelanjutan dari pembangunan akan dilakukan Monitoring PSP tahun 2013: sumber dana DIPA dengan bantuan dana dari FCPF.
34
Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi
2. Monitoring dan pelaporan PSP: 3 tahun sekali. 3. Monitoring PSP selanjutnya setelah program FCPF berakhir diharapkan dapat dilaksanakan oleh pihak terkait (Dinas Kehutanan, Balai Penelitian Kehutanan, Perguruan Tinggi, BPKH, dll.). 4. Laporan hasil monitoring PSP diserahkan kepada para pihak terkait dan Puspijak. Saat ini kita sedang menyewa konsultan untuk membangun Sistem Monitoring PSP pada seluruh PSP yang sudah dibangun.
2.2.3 Saran 1. Perlu adanya pelatihan tentang pengukuran biomasa hutan di tingkat masyarakat. pengetahuan di level kabupaten belum banyak perlu pelatihan/capacity building terkait REDD kalau d provinsi sudah cukup advance pengetahuannya 2. Perlu dilakukan monitoring cadangan karbon hutan secara periodik. 3. Perlu melibatkan pengelola kawasan dan masyarakat sekitarnya. 4. Perlu membangun PSP di kawasan yang belum terwakili ekosistemnya.
2.2.4 Tantangan: Strategi pengelolaan PSP setelah berakhirnya FCPF pasca 2014 1. Pembiayaan kegiatan monitoring PSP FCPF pasca 2014 perlu komitmen pihak terkait untuk mengalokasikan anggaran. 2. Rancangan sistem pemantauan karbon hutan FCPF. 3. Harmonisasi sistem pemantauan karbon hutan FCPF dengan tools-tools lain terkait dengan carbon accounting dan bagaimana integrasinya dengan plot yang telah dibuat Planologi.
2.3 Pengalaman Pembangunan PSP dan Rencana Pengelolaannya Pasca 2014 di Provinsi Sumatera Selatan oleh: Ir. R. Dody Prakosa, M.Sc (Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang Isu perubahan iklim global yang mengakibatkan suhu bumi yang semakin meningkat menjadi isu hangat yang semakin sering dibahas. Deforestasi dan degradasi hutan, erat kaitannya dengan isu perubahan iklim. Alih fungsi hutan (LULUCF) berpengaruh pada bertambahnya emisi GRK di atmosfer (74% di tingkat nasional, 18% di tingkat dunia). Negara maju sebagai penghasil emisi, akan menurunkan emisinya di negara-negara berkembang (perdagangan karbon). Salah satu persyaratannya:
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
35
penghitungan potensi karbon harus: Measureable, Reportable dan Verifiable (MRV). Dalam rangka MRV, perlu mengetahui potensi karbon pd berbagai jenis hutan di Sumatera Selatan melalui pembangunan Permanent Sampling Plot (PSP). Tujuan dari pembangunan PSP adalah untuk database cadangan karbon serta untuk mengetahui perubahan stock karbon untuk setiap tipe hutan di Sumatera Selatan.
Sasaran dari kegiatan pembangunan PSP adalah tersedianya database cadangan karbon dan perubahannya pada hutan alam primer dataran tinggi, hutan alam sekunder dataran rendah, hutan alam gambut sekunder, dan hutan rakyat jenis bambang lanang. Output dari kegiatan dan pembangunan PSP ini diantaranya:
1. Terbangunnya PSP untuk monitoring cadangan dan emisi karbon. 2. Tersedianya database pertumbuhan pohon pada berbagai tipe hutan. 3. Tersedianya database cadangan karbon di 5 carbon pools (AGB (di atas permukaan tanah), BGB (di bawah permukaan tanah), serasah, nekromassa dan tanah).
2.3.1 Metodologi 2.3.1.1 Lokasi No. Kode Plot 1 PUP I 01 2 PUP I 02 3 PUP I 03 4 PUP II 01 5 PUP II 02 6 PUP II 03 7 PUP III 01 8 PUP III 02 9 PUP III 03 10 PUP IV 01 11 PUP IV 02 12 PUP IV 03
36
Tipe Hutan Hutan Alam Primer Dataran Tinggi Hutan Alam Primer Dataran Tinggi Hutan Alam Primer Dataran Tinggi Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah Hutan Rakyat Bambang Lanang Hutan Rakyat Bambang Lanang Hutan Rakyat Bambang Lanang Hutan Alam Gambut Sekunder Hutan Alam Gambut Sekunder Hutan Alam Gambut Sekunder
Lokasi Hutan Lindung Gunung Dempo, Kota Pagar Alam Hutan Lindung Gunung Dempo, Kota Pagar Alam Hutan Lindung Gunung Dempo, Kota Pagar Alam KHDTK Kemampo, Kab. Banyuasin. PT. REKI (Restorasi Ekosistem dan Konservasi Indonesia), MUBA PT. REKI (Restorasi Ekosistem dan Konservasi Indonesia), MUBA Desa Pajar Bakti, Kec. Tebing Tinggi, Kab. Empat Lawang. Desa Pajar Bakti, Kec. Tebing Tinggi, Kab. Empat Lawang. Desa Pajar Bakti, Kec. Tebing Tinggi, Kab. Empat Lawang. Desa Kedaton, Kec. Kayu Agung, Kab. Ogan Komering Ilir Desa Kedaton, Kec. Kayu Agung, Kab. Ogan Komering Ilir Desa Kedaton, Kec. Kayu Agung, Kab. Ogan Komering Ilir
Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi
Koordinat UTM 48M Elevasi X Y m dpl 295265 9555309 1813 295550
9555531
1750
294803
9554948
1955
436453
9673123
24
314894
9760756
88
316067
9762087
90
291729
9607442
120
289891
9605879
125
290891
9607886
116
486407
9621265
21
486469
9621288
16
486341
9621294
19
2.3.1.2 Bahan dan Alat 1. Kantong plastik besar dan kecil (3 kg), serta label sampel, tali plastik, pal batas dan pusat plot, cat kayu, dll. 2. Alat yang digunakan: a. GPS (Geographic Position System) b. Phi band dan Jangka Sorong. c. Meteran 50 m dan 5 m d. Abney Level atau Range Spinder e. Bor gambut dan Tongkat pengukur kedalaman air tanah f. Timbangan digital g. Ring sampler, kompas, gergaji besi, gergaji tangan, gunting stek, gun tacker, oven. h. Tally sheet, alat tulis, papan nama, dll. 2.3.1.3 Metode 1. Metode yang digunakan sesuai dengan SNI 7724:2011 yaitu pengukuran lapangan (field measurement) dan penghitungan cadangan karbon hutan dari lima carbon pool pada tingkat kerincian/tier 3 (ground base forest carbon accounting). 2. Kegiatan yang dilakukan meliputi observasi, inventarisasi lapangan, analisis laboratorium dan uji statistika. 3. Penentuan lokasi ini berdasarkan kriteria: keamanan, aksesibilitas, keterwakilan, keberlanjutan dan status kawasan.
2.3.2 Pembuatan PSP 1. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah pengambilan sampel berlapis (stratified sampling). 2. Bentuk dan ukuran plot: Ukuran plot untuk tiap tingkatan pertumbuhan vegetasi berbeda-beda seperti skema berikut.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
37
D
C B A 2m 5m 10 m
20 m
Keterangan: A : sub plot untuk semai, serasah, tumbuhan bawah (2x2 m) B : sub plot untuk pancang (5x5 m) C : sub plot untuk tiang (10x10 m) D : sub plot untuk pohon, nekromasa (pohon mati dan kayu mati ), tanah, dan akar (20x20m); Lokasi pengambilan sampel tanah, setiap kedalaman (0-5 cm; 6-10 cm; 11-20 cm dan 21-30 cm) dg ring sampler dan k. plastik.
Gambar 11. Skema plot pengukuran biomassa karbon di lapangan
Gambar 12. Penghitungan cadangan karbon di 5 carbon pool 38
Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi
3. Penghitungan karbon dari biomassa di atas permukaan tanah Cbap = Bo x % C organik
4. Penghitungan karbon dari biomassa serasah Cserasah = Bo x % C organik
5. Penghitungan karbon dari biomassa pohon mati dan kayu mati C pohon mati+kayu mati = Bo x % C organik
6. Penghitungan karbon dari biomassa bawah permukaan tanah Cbbp = Bo x % C organik
7. Penghitungan karbon tanah
C tanah = V x ρ x % C organik
Penghitungan cadangan karbon total pada plot, stratum hutan dan suatu areal
�
Penghitungan karbon total seluruh plot (5 carbon pool)
Cplot = Cbap + Cserasah + Cpohon mati+kayu mati + Cbbp + Ctanah �
Penghitungan cadangan karbon dalam suatu stratum hutan
∑ Cplot (ton) Cstratum (ton/ha) = __________ x luasstratum (ha) nplot
�
Penghitungan cadangan karbon total dalam suatu areal
Ctotal area = ∑ Cstratum 2.3.3 Hasil Pengukuran PSP Volume biomassa (m3/plot) No.
Kode Plot/
Berat Basah biomassa (gr/plot)
Pohon
Tiang
Pancang
(20x20m)
(10x10m)
(5x5m)
(2x2m)
(2x2m)
(5x5m)
Semai
Tumb. Bawah
Tan. Kopi
1
PUP I 01
13,6804
0,1751
0,0331
-
19.650,00
-
2
PUP I 02
22,2189
0,3071
0,0127
-
7.360,00
-
3
PUP I 03
7,1212
0,3546
0,0333
-
12.720,00
-
14,3401
0,2790
0,0264
-
13.243,33
-
Rata-rata 4
PUP II 01
2,2700
0,4681
0,1206
400,0
610,00
-
5
PUP II 02
16,3642
0,3660
0,0555
550,0
4.020,00
-
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
39
Volume biomassa (m3/plot) No.
6
Kode Plot/ PUP II 03
Rata-rata
Pohon
Tiang
Pancang
(20x20m)
(10x10m)
(5x5m)
Berat Basah biomassa (gr/plot) Semai
Tumb. Bawah
(2x2m)
Tan. Kopi
(2x2m)
(5x5m)
16,8729
0,4850
0,0933
33,0
455,00
-
11,8357
0,4397
0,0898
327,7
1.695,00
-
7
PUP III 01
6,6449
-
-
-
3.930,00
14.547,19
8
PUP III 02
6,7516
-
0,0058
-
3.790,00
14.606,25
9
PUP III 03
0,0532
-
0,0010
-
2.930,00
33.825,00
4,4832
-
0,0034
-
3.550,00
20.992,8125
Rata-rata 10
PUP IV 01
-
0,0385
-
3.940,00
-
11
PUP IV 02
-
-
0,0144
1255
5.015,00
-
12
PUP IV 03
-
-
0,0975
125
6.540,00
-
0,0501
690,0000
5.165,00
-
Rata-rata
-
0,0491
0,0491
Keterangan: PUP I : Hutan Alam Primer Dataran Tinggi PUP III : Hutan Rakyat Bambang Lanang
PUP II : Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah PUP IV : Hutan Alam Gambut Sekunder
Tabel 9. Hasil Berat Basah Biomassa Atas Permukaan per Plot No.
Kode Plot
1 PUP I 01 2 PUP I 02 3 PUP I 03 Rata-rata 4 PUP II 01 5 PUP II 02 6 PUP II 03 Rata-rata 7 PUP III 01 8 PUP III 02 9 PUP III 03 Rata-rata 10 PUP IV 01 11 PUP IV 02 12 PUP IV 03 Rata-rata
Volume Biomassa (m3/ha) Berat Basah Biomassa (ton/ha) Jumlah Pohon Tiang Pancang Semai Tumb. Bawah Tan. Kopi Vol (m3/ha) Berat (ton/ha) 342,01 17,51 13,25 49,13 372,77 49,13 555,47 30,71 5,09 18,40 591,27 18,40 178,03 35,46 13,32 31,80 226,81 31,80 358,50 27,90 10,55 33,11 396,95 33,11 56,75 46,81 48,23 1,00 1,53 151,79 2,53 409,11 36,60 22,19 1,38 10,05 467,89 11,43 421,82 48,50 37,33 0,08 1,14 507,65 1,22 295,89 43,97 35,92 0,82 4,24 375,78 5,06 166,12 9,83 5,82 166,12 15,64 168,79 2,34 9,48 5,84 171,13 15,32 1,33 0,41 7,33 13,53 1,74 20,86 112,08 1,37 8,88 8,40 113,45 17,27 4,91 15,38 9,85 20,29 9,85 5,75 3,14 12,54 5,75 15,68 39,01 0,31 16,35 39,01 16,66 4,91 20,04 1,73 12,91 24,95 14,64
Keterangan: PUP I = Hutan Alam Primer Dataran Tinggi Keterangan: PUP II = Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah
PUP I : Hutan Alam Primer Dataran Tinggi PUP III : Hutan Rakyat Bambang Lanang
40
PUP III = PUP IV =
Hutan Rakyat Bambang Lanang Hutan Alam Gambut Sekunder
PUP II : Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah PUP IV : Hutan Alam Gambut Sekunder
Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi
512 PUP I
256
PUP II
PUP III
PUP IV
128 64 32 16 8 4 2 1
pohon (m3/ha)
tiang (m3/ha)
pancang (m3/ha)
semai (m3/ha)
berat TB (ton/ha) TB = Tumbuhan Bawah
Keterangan: PUP I : Hutan Alam Primer Dataran Tinggi PUP III : Hutan Rakyat Bambang Lanang
PUP II : Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah PUP IV : Hutan Alam Gambut Sekunder
Gambar 13. Hasil Biomassa di Atas Permukaan Pembuatan batas-batas PSP dan pemasangan pal/patok batas pada sudut-sudut plot dan titik tengahnya. Pengukuran diameter dan tinggi tanaman tingkat semai, pancang, tiang dan pohon serta pemberian nomor.
Tabel 10. Hasil Penghitungan Biomassa serasah No.
Kode Plot
1
Berat Basah Biomassa Serasah gr/plot (2x2 m)
kg/ha
ton/ha
PUP I 01
4.710,00
11.775,00
11,78
2
PUP I 02
9.180,00
22.950,00
22,95
3
PUP I 03
10.250,00
25.625,00
25,63
8.046,67
20.116,67
20,12
Rata-rata 4
PUP II 01
8.695,00
21.737,50
21,74
5
PUP II 02
5.090,00
12.725,00
12,73
6
PUP II 03
6.745,00
16.862,50
16,86
6.843,33
17.108,33
17,11
Rata-rata
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
41
No.
Kode Plot
7
PUP III 01
Berat Basah Biomassa Serasah gr/plot (2x2 m)
kg/ha
ton/ha
2.820,00
7.050,00
7,05
8
PUP III 02
3.260,00
8.150,00
8,15
9
PUP III 03
3.580,00
8.950,00
8,95
3.220,00
8.050,00
8,05
Rata-rata 10
PUP IV 01
4.095,00
10.237,50
10,24
11
PUP IV 02
2.500,00
6.250,00
6,25
12
PUP IV 03
4.980,00
12.450,00
12,45
3.858,33
9.645,83
9,65
Rata-rata
Keterangan: PUP I : Hutan Alam Primer Dataran Tinggi PUP III : Hutan Rakyat Bambang Lanang
PUP II : Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah PUP IV : Hutan Alam Gambut Sekunder
Berat basah serasah (ton/ha) 25 20 15 10 5 0
PUP I
PUP II
PUP III
Gambar 14. Hasil Penghitungan Serasah
42
Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi
PUP IV
Tabel 11. Hasil penghitungan volume dan berat basah nekromassa Total Nekromass Volume pohon mati Berat Basah dan Volume biomassa kayu mati No. Kode Plot plot 20x20m luasan 1 ha Luasan plot 400 m2 (20x20m) Luasan 1 ha Berat Basah Volume m3/plot m3/ha gr/plot m3/plot ton/ha m3/ha (ton/ha) (m3/ha) 3,9260 14,5 5,8721 1 PUP I 01 98,15 0,0004 146,80 0,0004 244,95 2 PUP I 02 0 6,0397 150,99 150,99 1.693,0 3 PUP I 03 0 1,5772 0,0423 39,43 0,0423 39,43 Rata-rata 3,9260 32,72 853,8 4,4963 0,0213 112,41 0,0213 145,12 706.955,0 4 PUP II 01 17,6739 17,6739 0,0434 1,4159 5 PUP II 02 1,09 35,40 36,48 2,6943 1.765,0 6 PUP II 03 67,36 2,0149 0,0441 50,37 0,0441 117,73 Rata-rata 1,3688 34,22 354.360,0 1,7154 8,8590 42,89 8,8590 77,11 186.460,0 7 PUP III 01 4,6615 4,6615 8 PUP III 02 269.320,0 6,7330 6,7330 251.000,0 9 PUP III 03 0 1,2706 6,2750 31,76 6,2750 31,76 Rata-rata 0 235.593,3 1,2706 5,8898 31,76 5,8898 31,76 410.500,0 10,2625 10,2625 10 PUP IV 01 285.000,0 0,0073 11 PUP IV 02 0 7,1250 0,18 7,1250 0,18 642.500,0 12 PUP IV 03 0 0,0097 16,0625 0,24 16,0625 0,24 Rata-rata 0 446.000,0 0,0085 11,1500 0,21 11,1500 0,21
Keterangan: Keterangan: PUP I = Hutan Alam Primer Dataran Tinggi
Alam Dataran Rendah PUP III =: Hutan Hutan AlamSekunder Primer Dataran Tinggi PUP III : Hutan Rakyat Bambang Lanang
PUP III = Hutan Rakyat Bambang Lanang PUPPUP IV =IIHutan Alam Alam Gambut Sekunder : Hutan Sekunder Dataran Rendah
PUP IV : Hutan Alam Gambut Sekunder
Tabel 12. Cadangan C per Siklus Tanan Berbagai Sistem Penggunaan Lahan Umur Max (tahun)
Jumlah C Tersimpan per Siklus Tanam (ton/ha)
Hutan Alam (multikultur)
120
254
Hutan Sekunder (multikultur)
60
176
Sistem Penggunaan Lahan
Agroforestry Karet (multikultur)
40
116
Perkebunan Karet (monokultur)
25
97
Perkebunan Kelapa Sawit (monokultur)
20
91
Rotasi Padi-Bero Rerumputan
7
74
Rotasi Ubi Kayu - Alang-alang
3
36
Sumber: Tomich et al., 1998
Tahapan kegiatan pembangunan PSP di Provinsi Sumatera Selatan adalah:
1. Diskusi penentuan lokasi PSP di hutan alam sekunder dataran rendah di PT. REKI (Harapan Rain Forest) 2. Pekerjaan persiapan dan pengangkutan pal batas ke lokasi PSP 3. Penentuan lokasi PSP
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
43
4. Pembuatan batas-batas PSP dan pemasangan pal/patok batas pada sudut-sudut plot dan titik tengahnya dg bantuan GPS 5. Pengumpulan, pengukuran dan penimbangan biomassa tumbuhan bawah dan serasah serta pengambilan sampelnya 6. Pengukuran diameter dan tinggi tanaman, tingkat pancang, tiang dan pohon serta penomoran pohon 7. Pengukuran dan penimbangan nekromassa (pohon mati dan kayu mati) 8. Pengambilan sampel tanah pada 4 kedalaman tanah dan pengambilan sampel dengan ring soil sampler 9. Penimbangan berat biomassa tumbuhan bawah 10. Pengukuran dan penimbangan berat biomassa kayu mati (nekromassa) 11. Pengumpulan dan pengambilan serasah 12. Pengukuran kedalaman tanah gambut dengan bor gambut di hutan gambut sekunder Kesimpulan: 1. Volume pohon, berat tumbuhan bawah, berat serasah, dan volume nekromas (pohon mati dan kayu mati) per hektar terbesar terdapat pada hutan alam primer dataran tinggi. 2. Volume tingkat tiang dan pancang per hektar paling besar terdapat pada hutan alam sekunder dataran rendah. 3. Kandungan biomassa masing-masing jenis hutan dari tertinggi sampai terendah yaitu hutan alam primer dataran tinggi, hutan alam primer dataran rendah, hutan rakyat bambang lanang dan hutan alam gambut sekunder (bekas terbakar). Usulan Rencana Pengelolaan PSP Pasca 2014: 1. Monitoring, pengambilan dan pengolahan data a. Monitoring dilakukan oleh peneliti dari Litbang Puspijak Bogor, Dinas Kehutanan Provinsi dan Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota. b. Pengambilan data dilakukan 1-2 kali setahun oleh peneliti BPK Palembang dibantu Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota dan Instansi terkait (seperti PT. REKI). 2. Biaya yang dibutuhkan dan sumber dananya a. Biaya yang dibutuhkan terdiri dari pengamanan PSP, pemeliharaan (pal/ patok, papan nama, tanda batas, dll), pengukuran (inventarisasi), analisis sampel, pengolahan data, penulisan laporan dan monitoring.
44
Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi
b. Sumber dana berasal dari beberapa instansi: Puspijak, BPK Palembang, Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Instansi terkait seperti PT. REKI. c. Dituangkan dalam Surat Perjanjian Kerjasama. 3. Sharing data dan Penanggung-jawab a. Sharing data dilayani oleh Litbang Puspijak Bogor. b. Penanggung jawab pengumpulan dan pengolahan data adalah BPK Palembang, dengan arahan dari Litbang Puspijak Bogor.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
45
BAB 3
Pengembangan Sistem Monitoring PSP yang Terintegrasi dan Partisipatif di Provinsi
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
47
3.1 Integrasi TSP/PSP dan Plot Contoh Lainnya oleh: Dr. Ernawati (Dirjen Planologi) PSP dan TSP bukan sesuatu yang baru di Kementerian Kehutanan karena sudah dibangun sejak tahun 1985. Pada saat itu PSP/TSP digunakan untuk menentukan Jatah Produksi Tebangan (JPT). Pada tahun 2005 JPT diganti menjadi Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala di bawah Direktorat Jenderal Bina Usaha Hutan Alam (BUHA)/ Bina Usaha Kehutanan (BUK). Saat ini PSP/TSP sudah tidak lagi digunakan sebagai penentu JPT karena sudah tidak ada inventarisasi yang intensif. National Forest Inventory (NFI) menggunakan PSP dengan ukuran 20x20. Sejak Climate Change mulai diperbincangkan, timbul kesadaran untuk memberikan dukungan dalam bentuk pembangunan PSP yang baik. Dari data yang ada, tidak semua data TSP/PSP lapangan dilaporkan ke Pusat, sehingga jika terdapat permintaan secara detail maka data tersebut harus dikombinasi atau diregresikan terlebih dahulu.
Inisiasi-inisiasi pengintegrasian data akan memperkaya database yang dimiliki Direktorat Inventarisasi Pemantauan Sumber Daya Hutan. Provinsi Sumatera Selatan sudah mengalokasikan dana untuk anggaran inventarisasi hutan. Sumberdaya manusia di Provinsi Sumatera Selatan sudah diberikan pelatihan pengembangan kapasitas sehingga diharapkan dimasa yang akan datang integrasi datanya akan menjadi lebih baik. Hal ini akan mendorong Provinsi Sumatera Selatan menjadi provinsi percontohan untuk inventarisasi hutan, Climate Change sampai kepada Suistainable Forest Management. Integrasi TSP/PSP planologi dengan plot contoh lainnya merupakan prioritas kebijakan Kementerian Kehutanan. Tercantum dalam integrasi RENJA antara beberapa eselon I
Kedepan, sebagai prioritas kebijakan kementerian kehutanan
INTEGRASI PELAKSANAAN DI LAPANGAN Menyamakan methodologi pengukuran di lapangan Kerjasama pelaksanaan di lapangan (sharing data/ peneliti/tenaga kerja Menyamakan frekuensi dan lokasi pengukuran Budget sharing
INTEGRASI HASIL DATA LAPANGAN INTEGRASI HASIL AKHIR
Menyamakan variable yang diukur di lapangan Memiliki tujuan (output) yang Integrasi hasil analisa per sama walaupun methodologi kelompok pengukuran (didasarkan pada waktu atau berbeda tempat/lokasi) Integrasi hasil analisa per methodologi Integrasi persamaan alometrik (biomassa, potensi, karbon) per kelompok pengukuran
Terdapat payung hukum
Output
(potensi volume, biomassa karbon)
Gambar 15. Integrasi TSP PSP dengan Plot Contoh Lainnya
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
49
Banyak sekali hasil penelitian lapangan terkait potensi baik volume ataupun biomasa, hal ini diharapkan terintergarasi dalam Rencana Kerja (Renja) di bawah payung hukum. Peta lokasi dan peta penutupan lahan
Pengukuran kayu dengan diameter 50 up
Pencatatan informasi lainnya (tanah, iklim, topografi dll)
Peta kerja (termasuk mencapai lokasi)
Pengukuran kayu di bawah diameter 20 cm di TSP dan PSP (dract 5)
?
Cek lokasi klaster di atas peta
Pencatatan jenis dan diameter kayu yang diukur
?
Acuan teknik inventarisasi hutan yang telah ditetapkan
Pelaksanaan pembagian petak (sesuai dengan IHN)
Cek jumlah klaster/plot yang diukur bandingkan dengan luasan
Gambar 16. Metode Inventarisasi Hutan Nasional
Gambar 17. Salah Satu Metode Verifikasi Hasil Pengukuran Lapangan Inventarisasi Hutan Nasional (TSP dan PSP)
50
Pengembangan Sistem Monitoring PSP yang Terintegrasi dan Partisipatif di Provinsi
Gambar 18. Historical Data of NFI Indonesia Inventarisasi Hutan Dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada pasal 13 mengenai Inventarisasi Hutan disebutkan bahwa:
1. Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap. 2. Inventarisasi hutan dilakukan dengan survei mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. 3. Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari: a. inventarisasi hutan tingkat nasional, b. inventarisasi hutan tingkat wilayah, c. inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai, dan d. inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
51
4. Hasil inventarisasi hutan antara lain dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumber daya hutan, penyusunan rencana kehutanan, dan sistem informasi kehutanan. Berdasarkan pada UU No.41 Tahun 1999 tersebut, maka baik pada tingkat provinsi dan kabupaten harus melaksanakan inventarisasi sesuai amanat UU sehingga mereka betul-betul tahu kondisi hutannya. Berbagai sumber data yang sedang digunakan dalam Pemantauan Hutan Nasional (NFM), yang paling penting adalah contoh berdasarkan pengukuran dilapangan, penginderaan jauh, model alometrik dan tersedia informasi sebelumnya dari studi-studi pemantauan pendahuluan. Dalam pertemuan Forest Resources Assesment (FRA) di Kyoto, beberapa catatan penting untuk National Forest Monitoring (FRA 2015) diantaranya:
1. Pemantauan hutan nasional memperhitungkan tidak hanya dimensi biofisik, tetapi juga dimensi ekonomi dan masyarakat. 2. Pemantauan hutan nasional tidak harus fokus secara eksklusif pada lahan yang didefinisikan sebagai hutan, tetapi mencakup semua lahan lain yang memiliki pohon-pohon; sumber daya yang biasanya disebut sebagai “pohon-pohon di luar kawasan hutan”. 3. Seharusnya tidak hanya melihat stok biofisik, tetapi juga pada penggunaan hutan dan pohon-pohon. 4. Ini berarti bahwa tidak hanya pengukuran variabel biofisik yang dilakukan tetapi juga wawancara dengan pemilik hutan dan orang-orang yang menggunakan hutan atau yang mendapatkan manfaat dari hutan. Monitoring hutan nasional dipandang sebagai suatu proses komprehensif yang meliputi pengumpulan, analisis dan penyebaran data yang berkaitan dengan hutan dan derivasi informasi dan pengetahuan secara berkala untuk memungkinkan pemantauan perubahan dari waktu ke waktu. Terdapat 7 elemen tematik Pengelolaan Hutan Lestari yang diakui oleh United Nations Forum on Forests (UNFF), yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
52
Luas area sumber daya hutan; Keanekaragaman hayati; Kesehatan hutan dan vitalitas; fungsi produktif sumber daya hutan; fungsi pelindung dari sumber daya hutan; Fungsi sosio-ekonomi; Hukum, kebijakan dan kerangka kelembagaan.
Pengembangan Sistem Monitoring PSP yang Terintegrasi dan Partisipatif di Provinsi
3.2 Enumerasi Permanent Sample Plot/ PSP dan Temporary Sample Plot/ TSP Di Provinsi Sumatera Selatan oleh: Ir. Kholid (BPKH Wilayah II Palembang)
3.2.1 Sejarah NFI 1. Tahun 1990 sampai dengan tahun 1994, BPKH wilayah II melaksanakan pembuatan klaster TSP/PSP di 3 Provinsi Sumatera Selatan, Lampung, dan Bengkulu sebanyak 257 Klaster. 2. Dari hasil pembuatan di lapanagan, diketahui bahwa dari 257 klaster ternyata hanya 82 Klaster yang berhutan. 3. Mulai tahun 1995 sampai dengan tahun 2004 dilakukan Pengukuran Ulang untuk memonitor PSP sebanyak 82 klaster. Hasilnya s/d tahun 2004 hanya tinggal 13 Klaster yang masih berhutan (klaster yang berada di Hutan Dataran Kering dan Hutan Rawa). Klaster yang berada di Hutan Mangrove dan Hutan Tanaman tidak dibuat PSP jadi tidak ada monitoring PSP pada hutan tersebut. 4. Tahun 2005 semenjak data TSP/PSP mulai terintegerasi dengan data penginderaan jauh Citra Landsat, pada rancangan sampling klaster dilakukan redesain TSP/PSP dengan perapatan grid 10 km dan grid 5 km dengan tetap mempertahankan grid 20 km yang masih berhutan. Tiap strata penutupan lahan hutan minimal terwakili 9 plot klaster. 5. Hasil redesain TSP/PSP adalah klaster lama grid 20 km sebanyak 13 klaster dan klaster hasil perapatan sebanyak 62 klaster sehingga total 75 klaster sampai tahun 2012. 6. Tahun 2005 sampai dengan tahun 2013 BPKH wilayah II melaksanakan pembuatan klaster TSP/PSP hasil redesain sebanyak 75 klaster dan re-enumerasi PSP sebanyak 15 klaster.
3.2.2 Enumerasi TSP/PSP 1. Kegiatan enumerasi TSP/PSP: kegiatan pengumpulan data lapangan mengenai tegakan dan parameter lainnya yang dibutuhkan untuk informasi potensi dan perubahan tegakan hutan. 2. Plot TSP/PSP: a. Terletak di seluruh kawasan hutan (HP, HPT, KSPA, TN, HL) dengan prioritas pada ketinggian dibawah 1000 m dpl pada hutan dataran rendah, rawa, dan mangrove.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
53
b. Tersebar secara sistematik dalam kisi 20 km x 20 km, dapat dirapatkan 10 km x 10 km atau 5 km x 5 km, JAP 2,5x2,5 juga di pakai untuk KPH model untuk mengukur potensi KPH. c. Plot TSP/PSP mempertimbangkan kondisi plot dan keterwakilan strata terhadap seluruh areal hutan.
3.2.3 Tujuan TSP/PSP 1. TSP
Pendugaan volume, kondisi tegakan, penyebaran spesies, dan biodiversity (satu kali pengukuran) padahal jika kita lihat dari tally sheet-nya bisa diketahui juga serasah hutan.
2. PSP a. Growth & Yield (pertumbuhan tegakan & perubahan hutan) b. Pendugaan volume & sebaran jenis (pengukuran riap 4 – 5 th-an)
Gambar 19. Desain TSP/PSP
54
Pengembangan Sistem Monitoring PSP yang Terintegrasi dan Partisipatif di Provinsi
Gambar 20. Temporary Sample Plots
Gambar 21. Sub Plot/ Point Sampling BAF4
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
55
100 m
100m PSP 100x100m
Gambar 22. Permanent Sample Plot 3.2.4 Pengukuran Pada TSP 3.2.4.1 Permudaan
No
Katagori
Kriteria
1
Semai/Seedling
Mulai Kecambah s/d Tinggi < 1,5 M
2
Pancang/ Sapling
Mulai Tinggi 1,5 M s/d dbh < 5 Cm
3
Tiang /Pole
dbh dari 5-19,9 cm
56
Methode • • • • • • • • •
Diamati semua jenis s/d Radius 1 meter dari Pusat Sub Plot Dihitung jumlah perjenis Diamati semua jenis s/d Radius 2 meter dari Pusat Sub Plot Dihitung jumlah perjenis Diamati semua jenis s/d Radius 5 meter dari Pusat Sub Plot Diukur diameter dan diberi nomor mulai dari Utara
Pengembangan Sistem Monitoring PSP yang Terintegrasi dan Partisipatif di Provinsi
3.2.4.2 Pohon diameter 20 cm-up No
Katagori
Kriteria
Methode
1
Tegakan Diameter ≥ 20 Cm
Semua jenis pohon sehat yang masuk dalam BAF4
Point Sampling dengan alat ukur Spiagle Relascope Pohon yang masuk pada BAF 4 (2 Bars) Parameter, Diameter, Tinggi Batang dan Kualitas
3.2.4.3 Hasil Hutan Non Kayu
No
Katagori
Kriteria
1
Rotan Anakan
Semua jenis
2
Rotan Dewasa
Semua jenis
Methode • • • • • • • •
Mulai dari Kecambah s/d panjang ≤ 2,9 m s/d Radius 5 m dari Pusat Sub Plot Dihitung jumlahnya Mulai dari panjang ≤ 3,0 m - Up s/d Radius 10 m dari Pusat Sub Plot Dihitung jumlah tiap rumpun, Diukur diameter terbesar, terkecil, dan rata-rata Diukur panjang rata-rata pewakil
3.2.4.4 Hasil Hutan Non Kayu Lainnya, Nipah dan Sagu menggunakan Metode tersendiri Hal-hal yang perlu dicatat diantaranya: 1. Radius 1 meter untuk data semai dicatat jenis dan jumlahnya. 2. Radius 2 meter untuk data pancang, dicatat jenis dan jumlahnya. 3. Radius 5 meter untuk data tiang dicatat jenis, diameter dan diberi nomor urut mulai dari utara. Data rotan kecil dicatat jenis dan jumlahnya. 4. Radius 10 meter untuk data rotan dicatat jenis, ukuran diameter dan panjangnya dan bambu dicatat jenis dan jumlahnya. 5. Pohon dicatat jenis, diameter, tinggi dan kualitasnya pada seluruh record unit pada PSP dan seluruh pohon yang masuk pada BAF4 untuk TSP.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
57
3.2.5 Pengukuran Pada PSP 3.2.5.1 Permudaan No
Katagori
Kriteria
1
Semai/Seedling Mulai Kecambah s/d Tinggi < 1,5 M
2
Pancang/ Sapling
Mulai Tinggi 1,5 M s/d dbh < 5 Cm
3
Tiang /Pole
dbh dari 5-19,9 cm
Methode
• • • • • • • • • •
Diamati semua jenis s/d Radius 1 meter dari Pusat Record Unit Dihitung jumlah perjenis Diamati semua jenis s/d Radius 2 meter dari Pusat Record Unit Dihitung jumlah perjenis Diamati semua jenis s/d Radius 5 meter dari Pusat Record Unit Diukur diameter, diberi nomor mulai dari Utara Diukur Azimuth dan Jarak dari Pusat Record Unit
3.2.5.2 Pohon diameter 20 cm-up No 1
Katagori
Kriteria
Tegakan Diam- Semua jenis pohon sehat eter ≥ 20 Cm yang ada dalam Record Unit
Methode
• Dicacah secara sensus, • Diukur jarak dan azimuth dari Pusat Record Unit, • Diukur diameter, tinggi batang, tinggi pohon, • Dicatat tingkat kerusakan /demage, kualitas/
grade, ketergangguan/investation, kelas pohon/ tree class, kelas tajuk/crown class, dan posisi tajuk/crown position pohon.
3.2.5.3 Hasil Hutan Non Kayu No 1
Katagori Rotan Anakan
Kriteria Semua jenis
2
Rotan Dewasa
Semua jenis
58
Methode
• • • • • • •
Mulai dari Kecambah s/d panjang ≤ 2,9 m S/d Radius 5 m dari Pusat Sub Plot Mulai dari panjang ≤ 3,0 m - Up s/d Radius 10 m dari Pusat Pusat Record Unit, Dihitung jumlah tiap rumpun, Diukur diameter terbesar, terkecil, dan rata-rata Diukur panjang rata-rata pewakil.
Pengembangan Sistem Monitoring PSP yang Terintegrasi dan Partisipatif di Provinsi
Hal-hal yang perlu dicatat dalam pengukuran hasil hutan non-kayu pada PSP adalah: 1. Radius 1 meter untuk data semai dicatat jenis dan jumlahnya. 2. Radius 2 meter untuk data pancang, dicatat jenis dan jumlahnya. 3. Radius 5 meter untuk data tiang dicatat jenis, diameter dan diberi nomor urut mulai dari utara. Data rotan kecil dicatat jenis dan jumlahnya. 4. Radius 10 meter untuk data rotan dicatat jenis, ukuran diameter dan panjangnya dan bambu dicatat jenis dan jumlahnya. 5. Pohon dicatat jenis, diameter, tingkat kerusakan, tinggi bebas cabang, tinggi puncak tajuk, kualitas, tingkat gangguan, kelas pohon, kelas tajuk, posisi tajuk, secara sensus, azimuth dan jarak pohon dari pusat record unit. 3.2.5.4 Variabel yang dikumpulkan di lapangan saat pengukuran TSP/PSP Risalah kondisi site dari plot contoh sebagai berikut: 1. Provinsi (Province) 2. Lokasi Gegrafis (Koordinat GPS) 3. Sistem Lahan (Land System) 4. Ketinggian Tempat (Altitude) 5. Kelas Penggunaan Lahan (Landuse Class) 6. Tipe Hutan (Forest Type) 7. Kondisi Tegakan (Stand Condition) 8. Tahun Penebangan/Penanaman (Year of harvesting/replanting) 9. Bentang Alam (Landscape) 10. Kelerangan (Slope) 11. Aspek Kelerengan (Aspect)
Tabel 13. Jumlah Pembuatan Plot TSP/PSP Berdasarkan Penutupan Lahan Dan Fungsi Kawasan Hutan Di Provinsi Sumatera Selatan
Fungsi Kawasan Hutan No.
Penutupan Lahan
HL
HP
HPT
KSPA
Tahura
TN
TWA
Jumlah
1
Hutan Lahan Kering Primer
1
-
3
3
-
9
-
16
2
Hutan Lahan Kering Skunder
7
5
3
-
-
-
-
15
3
Hutan Mangrove Primer
-
-
-
-
-
9
-
9
4
Hutan Mangrove Sekunder
4
2
-
-
-
11
-
17
5
Hutan Rawa Primer
-
4
-
-
-
2
-
6
6
Hutan Rawa Sekunder
3
9
-
-
-
-
-
12
Total
15
20
6
3
0
31
0
75
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
59
3.2.5.5 Kendala Re-Enumerasi PSP 1. Petak PSP lama Grid 20 Km yang dibuat sebelum menggunakan peralatan GPS/ manual (mengunakan kompas dan meteran) sehingga letaknya dilapangan masih kurang tepat pada koordinat Grid yang direncanakan. Hal ini mengakibatkan sulit untuk menemukan kembali petak PSP tsb. 2. Petak PSP yang letaknya relatif dekat dengan pemukiman terutama lokasi yang disekitarnya banyak terdapat kegiatan illegal loging dan okupasi masyarakat untuk perladangan atau kebun, banyak yang tidak dapat Re-enumerasi. 3. Label pohon hilang, konsisten nama lokal, menyulitkan dalam rekonstruksi PSP dan tegakan. 4. Aksesibilitas, lokasi petak PSP Eks HPH yang jauh, sulit untuk menemukannya kembali karena aksesnya tertutup. 5. Adanya alih fungsi kawasan menjadi perkebunan, data terputus.
Tabel 14. Jumlah Re Enumerasi Plot PSP Berdasarkan Tahun Pelaksanaan Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2013 Di Provinsi Sumatera Selatan
No.
Fungsi Kawasan Hutan
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
1
HL
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0
2
HP
-
-
-
2
1
-
-
-
-
3
3
HPT
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0
4
KSPA
-
-
-
-
-
-
-
1
-
1
5
TN
-
1
-
-
-
-
-
1
9
11
0
1
0
2
1
0
1
2
9
15
Total
60
Jumlah Klaster berdasarkan Tahun Pelaksanaan
Pengembangan Sistem Monitoring PSP yang Terintegrasi dan Partisipatif di Provinsi
Jumlah
BAB 4
Hutan dan Karbon
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
61
4.1 Kandungan Biomasa di Atas Permukaan Tanah pada Beberapa Tipe Hutan di Sumatera Selatan Oleh: Hengki Siahaan, Dody Prakosa, Agus Sumadi, Adi Kunarso dan Tubagus Angga Anugrah Syabana Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Abstrak Indonesia melalui Kementerian Kehutanan telah bergabung dan bekerjasama dengan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) yaitu sebuah kemitraan global berfokuskan pada pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. The Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) adalah program yang didanai oleh 18 lembaga donor dan dikoordinasikan oleh World Bank. Kerjasama berlangsung dari tahun 2011 hingga tahun 2014 bertujuan untuk turut serta berkontribusi pada penguatan kapasitas Indonesia dalam merancang sebuah strategi nasional yang menyeluruh untuk REDD+; menyusun skenario referensi nasional dan sub-nasional; dan membangun suatu sistim pengukuran, pelaporan, dan verifikasi, yang konsisten dengan situasi dan kondisi nasional dan wilayah/setempat. Dalam rangka mendukung pelaksanaan REDD+, perhitungan cadangan biomasa karbon harus berdasarkan tingkat kerincian yang tinggi untuk meningkatkan akurasi perhitungan. Tujuan dari kegiatan ini adalah mengetahui cadangan biomassa pada berbagai tipe ekosistem hutan dengan pembuatan Permanent Sampling Plot (PSP). Metodologi yang digunakan meliputi pengumpulan data primer melalui pembuatan plot sampel, pengumpulan data sekunder, pengamatan dan pengukuran di lapangan, analisis data dan kesimpulan. Pembangunan PSP dilakukan untuk meningkatkan kualitas data nasional dan regional dalam rangka mendukung sistem MRV dalam perhitungan karbon dan emisi. Hasil yang diperoleh dari pengukuran PSP pada beberapa tipe hutan yaitu:Volume pohon, berat tumbuhan bawah, berat serasah, dan volume nekromas (pohon mati dan kayu mati). Cadangan biomassa per hektar terbesar terdapat pada hutan alam primer dataran tinggi, tetapi volume tingkat tiang dan pancang per hektar paling besar terdapat pada hutan alam sekunder dataran rendah. Kandungan biomassa masing2 jenis hutan dari tertinggi sampai terendah yaitu hutan alam primer dataran tinggi, hutan alam primer dataran rendah, hutan rakyat bambang lanang dan hutan alam gambut sekunder (bekas terbakar). Kata kunci: Biomasa, tingkat kerincian, biomassa, tipe hutan, PSP.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
63
4.1.1 Pendahuluan Dewasa ini isu perubahan iklim global menjadi isu hangat yang semakin sering dibahas, khususnya mengenai pemanasan global (global warming). Perubahan iklim pasti akan terjadi mengingat bahwa iklim dapat berubah mengikuti perubahan siklus alaminya, namun belakangan ini perubahan iklim cenderung bersifat konstan dikarenakan semakin meningkatnya suhu bumi secara menyeluruh.
Deforestasi dan degradasi hutan belakangan ini sangat erat dikaitkan dengan isu lingkungan, khususnya isu perubahan iklim yang mengakibatkan pemanasan global. Perubahan iklim terjadi dengan proses yang panjang akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) terutama karbon dioksida (CO2) di atmosfer. Sekitar 20 persen dari seluruh emisi GRK merupakan gas CO2 hasil dari deforestasi dan degradasi hutan.
Pembukaan atau alih fungsi hutan untuk pengembangan dan pembukaan areal pertanian atau perkebunan banyak terjadi di negara-negara berkembang untuk mendukung sektor perekonomian. Disadari atau tidak, pembukaan atau alih fungsi hutan yang termasuk dalam kategori LULUCF (land use, land use change and forestry) di sektor kehutanan berpengaruh pada bertambahnya emisi GRK di atmosfer. Stern (2007) mengemukakan bahwa kontribusi sektor LULUCF ditingkat global sebesar 18% sedangkan di tingkat nasional mencapai 74%, sehingga sektor LULUCF sangat penting dimasukan kedalam inventarisasi GRK.
Negara-negara maju sebagai penghasil emisi akan mengurangi emisinya dengan memberi kompensasi kepada negara-negara berkembang untuk usaha menyerap (sink) karbon, sehingga terjadilah perdagangan karbon. Salah satu persyaratan dalam perdagangan karbon adalah dengan menghitung potensi karbon secara measureable, reportable dan verifiable (MRV) yang comparable, koheren lengkap dan akurat. Agar mendapatkan hasil perhitungan karbon yang akurat diperlukan 2 komponen data utama yaitu Activity data dan Emission factor dengan tingkat kerincian (Tier) yang tinggi (Tier 3) dengan melakukan pengukuran langsung dilapangan. Indonesia melalui Kementerian Kehutanan telah bergabung dan bekerjasama dengan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) yaitu sebuah kemitraan global berfokuskan pada pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. The Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) adalah program yang didanai oleh 18 lembaga donor dan dikoordinasikan oleh World Bank. Kerjasama berlangsung dari tahun 2011 hingga tahun 2014 bertujuan untuk turut serta berkontribusi pada penguatan kapasitas Indonesia dalam merancang sebuah strategi nasional yang menyeluruh untuk REDD+; menyusun skenario referensi nasional dan sub-nasional; dan membangun suatu sistim pengukuran, pelaporan, dan verifikasi, yang konsisten dengan situasi dan kondisi nasional dan wilayah/setempat. Dalam rangka mendukung pelaksanaan
64
Hutan dan Karbon
REDD+, perhitungan cadangan karbon harus berdasarkan tingkat kerincian yang tinggi untuk meningkatkan akurasi perhitungan
Tujuan dari kegiatan ini adalah membentuk sistem akutansi (pengukuran, pelaporan dan verifikasi) karbon yang konsisten dari berbagai jenis hutan di Sumatera Selatan melalui pembangunan plot sampling permanent (PSP). Metodologi yang digunakan meliputi pengumpulan data primer dan sekunder, pengamatan di lapangan, analisis laboratorium dan uji statistik. Pembangunan PSP dilakukan untuk meningkatkan kualitas data nasional dan regional dalam rangka mendukung sistem MRV dalam perhitungan karbon dan emisi. Sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan ini adalah tersedianya database cadangan karbon dan perubahannya pada hutan alam primer dataran tinggi, hutan alam sekunder dataran rendah, hutan alam gambut sekunder dan hutan rakyat jenis bambang lanang.
4.1.2 Metode Penelitian 4.1.2.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terletak di Provinsi Sumatera Selatan, yaitu di Kabupaten/ Kota Pagar Alam, Empat Lawang, Banyuasin dan Musi Banyuasin. Posisi koordinat lokasi PSP disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Sebaran lokasi PSP di Sumatera Selatan No. Kode Plot 1 PUP I 01 2 PUP I 02 3 PUP I 03 4 PUP II 01 5 PUP II 02 6 PUP II 03 7 PUP III 01 8 PUP III 02 9 PUP III 03 10 PUP IV 01 11 PUP IV 02 12 PUP IV 03
Tipe Hutan
Lokasi
Hutan Alam Primer Dataran Tinggi Hutan Alam Primer Dataran Tinggi Hutan Alam Primer Dataran Tinggi Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah Hutan Rakyat Bambang Lanang Hutan Rakyat Bambang Lanang Hutan Rakyat Bambang Lanang Hutan Alam Gambut Sekunder Hutan Alam Gambut Sekunder Hutan Alam Gambut Sekunder
Hutan Lindung Gunung Dempo, Kota Pagar Alam Hutan Lindung Gunung Dempo, Kota Pagar Alam Hutan Lindung Gunung Dempo, Kota Pagar Alam KHDTK Kemampo, Kab. Banyuasin. PT. REKI (Restorasi Ekosistem dan Konservasi Indonesia), MUBA PT. REKI (Restorasi Ekosistem dan Konservasi Indonesia), MUBA Desa Pajar Bakti, Kec. Tebing Tinggi, Kab. Empat Lawang. Desa Pajar Bakti, Kec. Tebing Tinggi, Kab. Empat Lawang. Desa Pajar Bakti, Kec. Tebing Tinggi, Kab. Empat Lawang. Desa Kedaton, Kec. Kayu Agung, Kab. Ogan Komering Ilir Desa Kedaton, Kec. Kayu Agung, Kab. Ogan Komering Ilir Desa Kedaton, Kec. Kayu Agung, Kab. Ogan Komering Ilir
Koordinat UTM 48M Elevasi X Y m dpl 295265 9555309 1813 295550
9555531
1750
294803
9554948
1955
436453
9673123
24
314894
9760756
88
316067
9762087
90
291729
9607442
120
289891
9605879
125
290891
9607886
116
486407
9621265
21
486469
9621288
16
486341
9621294
19
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
65
4.1.2.2 Bahan dan Alat Bahan yang dipakai antara lain: kantong plastik besar (“kresek besar”) dan kantong plastik kecil (3 kg), serta kantong plastik besar dengan panjang 1 meter, label sampel, Alat yang digunakan adalah alat penentu posisi koordinat (GPS), dengan tingkat kesalahan jarak horizontal maksimal 4 m, alat pengukur diameter pohon (phi band), alat pengukur panjang, alat pengukur tinggi pohon (Abney Level atau Range Spinder), alat pengukur kedalaman gambut, alat pengukur berat (timbangan) dengan ketelitian 0,5%, kompas, gergaji besi, gergaji tangan, gunting stek, gun tacker, oven, tally sheet, alat tulis dan lain-lain. 4.1.2.3 Metode Metode yang digunakan sesuai dengan SNI 7724:2011 yaitu pengukuran lapangan (field measurement) dan penghitungan cadangan karbon hutan dari lima carbon pool pada tingkat kerincian/TIER 3 (ground base forest carbon accounting). Kegiatan yang dilakukan meliputi observasi, inventarisasi lapangan, analisis laboratorium dan uji statistika. Observasi meliputi kegiatan pengumpulan data primer dan sekunder dari citra satelit dengan resolusi sedang atau 20 m, guna menstratifikasi atau mengelompokkan tapak berdasarkan tutupan lahan (land cover). Setelah diperoleh peta tutupan lahan, kemudian dipilih tipe hutan dengan tutupan lahan yang dominan di daerah yang bersangkutan. Setelah tipe-tipe hutan telah ditentukan, tahap berikutnya adalah penentuan lokasi PSP. Penentuan lokasi ini berdasarkan kriteria: keamanan, aksesibilitas, keterwakilan, keberlanjutan dan status kawasan. 1. Penentuan Lokasi PSP PSP dibuat untuk mewakili tipe hutan tertentu da sebagai referensi adalah hasil klasifikasi penutupan lahan dari Direktorat Jenderal Planologi. Dalam menentukan lokasi yang terpenting adalah aman dari gangguan manusia dan kebakaran. Setiap tipe hutan yang dipilih harus dibuat papan nama ukuran 80x60 cm dan dibagi menjadi dua bagian, yaitu sebelah kiri berisi informasi denah lokasi PSP dan sebelah kanan berupa informasi tentang PSP seperti: ekosistem, tutupan lahan, tahun mulai diamati dan nama institusi/logo Kemenhut dan Pemda setempat.
Warna dasar papan nama adalah putih dengan tulisan berwarna hitam. Kerangka terbuat dari kayu yang awet atau besi dan tempat tulisan terbuat dari plat besi/ seng. PSP dengan ukuran 20x20 m dibuat mengarah ke utara-selatan. Setiap sudut dan di pusat PSP di pasang patok/pal setinggi 150 cm terbuat dari pralon yang dicor dengan semen dan diberi besi di dalamnya dan diberi kode A, B, C, D dan E. Patok dicat kuning dan diberi kode misal: PUP I 01 A, dimana I = tipe
66
Hutan dan Karbon
hutan; 01 = PSP ulangan ke-1; A= kode/nama patok. Pemasangan patok/pal dilakukan dengan menanamnya ke dalam tanah sedalam 50 cm, sehingga yang tersisa di atas tanah setinggi 100 cm. 2. Pembuatan dan Pengukuran PSP Inventarisasi lapangan dilakukan dengan pembuatan PSP berbentuk bujursangkar ukuran 20m x 20m dengan teknik pengambilan contoh berlapis (stratified sampling) dengan toleransi kesalahan (sampling error) maksimal 20 %. Ukuran tiap plot untuk tiap tingkatan pertumbuhan vegetasi 4 m2 untuk tingkat semai, semak dan serasah, 25 m2 untuk tingkat pancang, 100 m2 untuk tingkat tiang dan 400 m2 untuk tingkat pohon pada berbagai jenis hutan, kemudian dilakukan pengukuran biomassa di lima carbon pool (biomassa/karbon di atas permukaan tanah (pohon, tumbuhan bawah, serasah), biomassa/ karbon di bawah permukaan tanah, biomassa/karbon pada pohon mati dan kayu mati (nekromasa), serta karbon organik tanah) sesuai dengan IPCC Guide Line 2006. 3. Pengambilan Sampel a. Rancangan pengambilan sampel Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah pengambilan sampel berlapis (stratified sampling), dengan toleransi kesalahan (sampling error) maksimal 20 %. Sampel yang diambil berdasarkan kerapatan tegakan yaitu rapat, sedang dan jarang. Selanjutnya masing-masing tipe hutan diambil sebanyak 3 plot sesuai dengan tiga kerapatan yang sudah ditentukan. b. Bentuk dan Ukuran Plot Dibuat plot sebanyak empat plot bujur sangkar pada satu bentang lapangan yang akan dilakukan pengukuran pada tempat yang berbeda-beda. Ukuran plot untuk tiap tingkatan pertumbuhan vegetasi adalah 20x20 m, 10x10 m, 5x5 m dan 2x2 m. Skema plot sampel disajikan pada Gambar 23.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
67
D
C
B A 2 m 5 m
10 m
20 m
Keterangan:
A: sub plot untuk semai, serasah, tumbuhan bawah (2x2 m) Gambar 1. Skema plot pengukuran biomassa karbon di lapangan. B: sub plot untuk pancang (5x5 m) C: sub plot untuk tiang (10x10 m) D: sub plot untuk pohon, nekromassa (pohon mati dan kayu mati), tanah, dan akar (20x20 m) Keterangan:
A : sub plot untuk semai, serasah, tumbuhan bawah (2x2 m)
Gambar 23. Skema plot pengukuran biomassa karbon di lapangan B : sub plot untuk pancang (5x5 m)
c. CPengukuran Biomassa di Atas Permukaan Tanah (BAP) : sub plot untuk tiang (10x10 m) 1) Pengukuran biomassa pohon, Tiang, Pancang dan Semai D : •sub plot untukjenis pohon, nekromassadiameter (pohon mati dan kayu mati), • Identifikasi dan pengukuran
tanah, dan akar (20x20biomassa m) Tahapan pengukuran pohon diawali dengan identifikasi nama
c. 1) •
jenis pohon, lalu diukur diameter setinggi dada (dbh) dengan pita diameter atau jangka sorong. Selanjutnya dicatat data dbh dan nama Pengukuran Biomassa di Atas Permukaan Tanah jenis (pohon, tiang, pancang dan semai)(BAP) ke dalam tally sheet. Pengukuran tinggiTiang, total Pancang dan Semai Pengukuran••biomassa pohon,
tinggi total dilakukan pada pohon/tiang/pancang/semai Identifikasi jenisPengukuran dan pengukuran diameter
yang masih berdiri dengan alat Abney Level atau Range Spinder dan diukur
Tahapan pengukuran biomassa denganLuas identifikasi dari pangkal sampaipohon pucuk diawali daun tertinggi. plot untuknama pohon,jenis tiangpohon, lalu
dan dada pancang dilakukan pada Gambar 1. diukur diameter setinggi (dbh) denganseperti pita diameter atau jangka sorong. Selanjutnya dicatat •• Penghitungan biomassa pohon/tiang/pancang
data dbh dan nama jenis (pohon, tiang, pancang dan semai) ke dalam tally sheet. •
Penghitungan biomassa pohon dilakukan pada seluruh plot yaitu
Pengukuran tinggi totalmenggunakan persamaan allometrik untuk masing-masing dengan
jenis.total Khusus untuk semai berat basahnya dan dianalisis di Pengukuran tinggi dilakukan padaditimbang pohon/tiang/pancang/semai yang masih berdiri laboratorium untuk dihitung berat keringnya.
dengan alat Abney Level atau Range Spinder dan diukur dari pangkal sampai pucuk daun tertinggi. Luas plot untuk pohon, tiang dan pancang dilakukan seperti pada Gambar 1. 68
Hutan dan Karbon
2) Pengukuran biomassa tumbuhan bawah Pengukuran dilakukan dengan memotong semua bagian tumbuhan bawah yang masih hidup di atas permukaan tanah dengan gunting stek. Lalu ditimbang berat basah total tumbuhan bawah dalam areal plot pengukuran. Diambil dan ditimbang berat basah sampel sebanyak ±300 gram. Selanjutnya dilakukan pengeringan dengan menggunakan oven di laboratorium dengan kisaran suhu 70 oC sampai dengan 85 oC hingga mencapai berat konstan selama 2 x 24 jam. Lalu ditimbang berat kering (biomassa) tumbuhan bawah menggunakan timbangan analitik. Selanjutnya dihitung berat kandungan karbonnya atau dihitung dengan mengalikan 0,47. 3) Pengukuran Biomassa di Bawah Permukaan Tanah (BBP) Penghitungan biomassa di bawah permukaan tanah adalah mengukur biomassa dari akar itu sendiri. Rumus yang digunakan adalah perkalian antara Nisbah Akar Pucuk dengan nilai biomassa atas permukaan tanah (above ground biomass). 4) Pengukuran Biomassa Serasah Dikumpulkan serasah dalam plot pengukuran, ditimbang berat total serasah dalam plot dalam Laboratorium dengan menggunakan oven terhadap serasah pada kisaran suhu 70 °C sampai dengan 85 oC hingga mencapai berat konstan selama 2 x 24 jam. Ditimbang berat kering (biomassa) serasah mengunakan timbangan analitik. Selanjutnya dihitung berat kandungan karbonnya atau dengan mengalikan 0,47. 5) Pengukuran Biomassa Pohon mati dan Kayu Mati (nekromassa) Pengukuran biomassa pohon mati dilakukan dengan metode geometrik, yaitu dengan mengukur diameter setinggi dada, tinggi total. Selanjutnya dilakukan penghitungan volume pohon mati, berat jenis (berat kering/ volume) dan kandungan bahan organiknya (volume x berat jenis). Dalam penghitungan volume pohon dapat digunakan angka bentuk yang bervariasi, apabila tidak tersedia maka digunakan faktor bentuk 0,6.
Pengukuran biomassa kayu mati dapat dilakukan berdasarkan volume maupun berdasarkan penimbangan langsung (berat). Pengukuran berdasarkan volume, harus mengukur diameter kayu mati tersebut di pangkal dan di ujung, kemudian dirata-rata. Dalam penghitungan ini tidak dikalikan dengan angka bentuk lagi. Selanjutnya dilakukan penghitungan berat jenis dan biomassa kayu mati {Bkm (kg)=Vkm (m3) x BJkm (kg/ m3)}. Pengukuran biomassa berdasarkan penimbangan langsung dilakukan dengan cara mengumpulkan semua kayu mati pada plot 20x20 m dan
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
69
timbang berat totalnya. Selanjutnya ambil sampel 300 gr untuk dihitung berat keringnya, sehingga dapat ditentukan berat kering total kayu mati. Hal ini dilakukan untuk kayu mati yang diameternya dibawah 10 cm atau 20 cm, untuk diameter di atas 20 cm sebaiknya berdasarkan volume.
4.1.3 Hasil dan Pembahasan 4.1.3.1 Perhitungan Biomassa Atas Permukaan Biomassa di atas permukaan tanah (BAP) terdiri atas biomassa pohon, tiang, pancang, semai dan tumbuhan bawah. Perhitungan ini akan disajikan pada setiap jenis tipe hutan atau ekosistem. Empat tipe hutan yang telah dilakukan pengukuran yaitu: Hutan alam primer dataran tinggi, Hutan alam sekunder dataran rendah, Hutan rakyat Bambang lanang dan Hutan alam gambut sekunder. Hasil Pengukuran lapangan pada 12 PSP masih berupa berat basah hasil penimbangan dan pengukuran di lapangan. Hasil biomassa atau cadangan karbon di tiap-tiap PSP atau tipe hutan dapat diketahui setelah analisis sampel biomassa, bahan organik dan tanah selesai. Namun demikian, sambil menunggu hasil analisis sampel dari laboratorium tanah, maka berikut ini (Tabel 16) disajikan hasil pengukuran berat basah biomassa di atas permukaan tanah per plot pada 12 PSP yang telah dibuat dan diukur di lapangan.
Tabel 16 menunjukkan bahwa untuk biomassa pohon, tiang dan pancang, pengukuran dilakukan dengan mengukur diameter dan tinggi, sedangkan untuk biomassa semai, tumbuhan bawah dan tanaman kopi diukur berat basahnya, dan kemudian masing-masing diambil sampelnya untuk dianalisis di laboratorium. Hasil pada Tabel 16 di atas masih dalam luasan plot dan belum dalam luasan hektar seperti pada umumnya. Dari hasil di atas selanjutnya diolah lagi untuk menghasilkan berat basah biomassa per hektar. Dengan ulangan hanya 3 kali maka tingkat kesalahan yang muncul dari interpolasi ini dapat dikurangi dengan menambahkan ulangan yang ada. Namun demikian hasil ini sudah dapat menggambarkan kondisi dari masing-masing PSP dan tipe hutan. Hasil berat basah biomassa di atas permukaan tanah per hektar dapat dilihat pada Tabel 17.
70
Hutan dan Karbon
Tabel 16. Hasil Pengukuran Berat Basah Biomassa Atas Permukaan Tanah Per Plot No.
Kode Plot/
Volume biomassa (m3/plot) Pohon
Tiang
Pancang
(20x20 m) (10x10 m) (5x5 m)
Berat Basah biomassa (gr/plot) Semai
Tumb. Bawah
Tan. Kopi
(2x2 m)
(2x2 m)
(5x5 m)
1 PUP I 01
13,6804
0,1751
0,0331
-
19.650,00
-
2 PUP I 02
22,2189
0,3071
0,0127
-
7.360,00
-
3 PUP I 03
7,1212
0,3546
0,0333
-
12.720,00
-
Rata-rata
14,3401
0,2790
0,0264
-
13.243,33
-
4 PUP II 01
2,2700
0,4681
0,1206
400,0
610,00
-
5 PUP II 02
16,3642
0,3660
0,0555
550,0
4.020,00
-
6 PUP II 03
16,8729
0,4850
0,0933
33,0
455,00
-
Rata-rata
11,8357
0,4397
0,0898
327,7
1.695,00
-
7 PUP III 01
6,6449
-
-
-
3.930,00
14.547,19
8 PUP III 02
6,7516
-
0,0058
-
3.790,00
14.606,25
9 PUP III 03
0,0532
-
0,0010
-
2.930,00
33.825,00
4,4832
-
0,0034
-
3.550,00
20.992,8125
Rata-rata 10 PUP IV 01
-
0,0491
0,0385
-
3.940,00
-
11 PUP IV 02
-
-
0,0144
1255
5.015,00
-
12 PUP IV 03
-
-
0,0975
125
6.540,00
-
Rata-rata
-
0,0501
690,0000
5.165,00
-
0,0491
Keterangan: PUP I = Hutan Alam Primer Dataran Tinggi PUP III = Hutan Rakyat Bambang Lanang PUP II = Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah PUP IV = Hutan Alam Gambut Sekunder
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
71
Tabel 17. Penghitungan Berat Basah Biomassa Atas Permukaan Tanah per Hektar No.
Kode Plot
1 PUP I 01 2 PUP I 02 3 PUP I 03 Rata-rata 4 PUP II 01 5 PUP II 02 6 PUP II 03 Rata-rata 7 PUP III 01 8 PUP III 02 9 PUP III 03 Rata-rata 10 PUP IV 01 11 PUP IV 02 12 PUP IV 03 Rata-rata
Volume Biomassa (m3/ha) Berat Basah Biomassa (ton/ha) Jumlah Pohon Tiang Pancang Semai Tumb. Bawah Tan. Kopi Vol (m3/ha) Berat (ton/ha) 342,01 17,51 13,25 49,13 372,77 49,13 555,47 30,71 5,09 18,40 591,27 18,40 178,03 35,46 13,32 31,80 226,81 31,80 358,50 27,90 10,55 33,11 396,95 33,11 56,75 46,81 48,23 1,00 1,53 151,79 2,53 409,11 36,60 22,19 1,38 10,05 467,89 11,43 421,82 48,50 37,33 0,08 1,14 507,65 1,22 295,89 43,97 35,92 0,82 4,24 375,78 5,06 166,12 9,83 5,82 166,12 15,64 168,79 2,34 9,48 5,84 171,13 15,32 1,33 0,41 7,33 13,53 1,74 20,86 112,08 1,37 8,88 8,40 113,45 17,27 4,91 15,38 9,85 20,29 9,85 5,75 3,14 12,54 5,75 15,68 39,01 0,31 16,35 39,01 16,66 4,91 20,04 1,73 12,91 24,95 14,64
Keterangan: PUP I = Hutan Alam Primer Dataran Tinggi PUP III = Hutan Rakyat Bambang Lanang PUP II = Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah PUP IV = Hutan Alam Gambut Sekunder
Hasil pengukuran PSP pada Tabel 17 menunjukkan bahwa pada tipe hutan gambut sekunder tidak terdapat vegetasi tingkat pohon. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan tegakan yang baru berumur 10 tahun setelah tidak terbakar lagi. Sudah sangat sulit untuk mencari hutan gambut sekunder yang pohonnya masih besarbesar. Sebagian besar lahan gambut sudah berubah peruntukannya menjadi kebun sawit. Hampir semua hutan alam gambut sekunder sudah pernah terbakar dan pada lokasi PSP yang dibuat sudah sekitar 10 tahun tidak terbakar. Lokasi tersebut adalah dikelola oleh pemerintah daerah setempat (Kabupaten OKI). Meskipun tidak terdapat vegetasi tingkat pohon, tetapi ada satu plot yang sudah mulai mempunyai vegetasi tingkat tiang, dan apabila tidak terbakar, maka hutan ini akan terus tumbuh dan mempunyai vegetasi tingkat tiang dan bahkan tingkat pohon. Pada tipe hutan yang diukur, ternyata potensi hutannya dari yang terbesar adalah hutan alam primer dataran tinggi, hutan alam sekunder dataran rendah dan hutan rakyat. Pada tingkat tiang dan pancang, potensi terbesar terdapat pada hutan alam sekunder dataran rendah. Potensi tingkat semai terbesar terdapat pada hutan alam
72
Hutan dan Karbon
gambut sekunder, karena persentase ruang terbuka lebih besar dibanding tipe hutan yang lain. Tumbuhan bawah terbanyak terdapat pada hutan alam primer dataran tinggi, karena di lokasi tersebut banyak terdapat liana yang merambat sampai tinggi dan ini masuk pada kategori tumbuhan bawah. Setelah itu baru pada hutan alam gambut sekunder karena tempatnya masih agak terbuka, sehingga tunbuhan bawah terlihat dominan dan sangat rapat.
Secara keseluruhan berat basah dan volume biomassa di atas permukaan tanah terbesar adalah pada tipe hutan alam primer dataran tinggi, kemudian diikuti hutan alam sekunder dataran rendah, hutan rakyat Bambang lanang dan terakhir hutan alam gambut sekunder. Namun demikian berat basah tumbuhan bawah dan semai terbesar kedua terdapat pada tipe hutan rakyat rakyat Bambang lanang, bahkan akan menjadi lebih besar lagi apabila tanaman karet dimasukkan. Hasil pengukuran berat basah biomassa ini ternyata dapat untuk menilai sampai seberapa jauh tingkat pertumbuhan vegetasi di atas permukaan tanah pada berbagai tipe hutan yang ada di Sumatera Selatan. Informasi ini akan lebih lengkap apabila hasil analisis sampel tanaman dan tanah telah selesai, sehingga dapat diketahui cadangan karbon pada tiap-tiap tipe hutan. Namun demikian diduga tidak akan jauh berbeda dengan informasi dari berat basah biomassanya. 4.1.3.2 Perhitungan Serasah Menurut SNI 7724:2011, perhitungan serasah didasarkan rumus berat kering biomassa bahan organik yaitu perhitungan karbon dari bahan organik mati seperti: serasah, nekromassa. Namun demikian pada tulisan ini belum bisa disajikan karena hasil analisis sampel di laboratorium masih belum selesai, sehingga yang bisa disajikan adalah berat basah dari bahan organik mati. Penghitungan berat basah bahan organik mati yang berupa serasah disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Hasil penghitungan berat basah serasah Berat Basah Biomassa Serasah No.
Kode Plot
gr/plot (2x2 m)
kg/ha
ton/ha
1
PUP I 01
4.710,00
11.775,00
11,78
2
PUP I 02
9.180,00
22.950,00
22,95
3
PUP I 03
10.250,00
25.625,00
25,63
8.046,67
20.116,67
20,12
8.695,00
21.737,50
21,74
Rata-rata 4
PUP II 01
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
73
Berat Basah Biomassa Serasah No.
Kode Plot
gr/plot (2x2 m)
kg/ha
ton/ha
5
PUP II 02
5.090,00
12.725,00
12,73
6
PUP II 03
6.745,00
16.862,50
16,86
6.843,33
17.108,33
17,11
Rata-rata 7
PUP III 01
2.820,00
7.050,00
7,05
8
PUP III 02
3.260,00
8.150,00
8,15
9
PUP III 03
3.580,00
8.950,00
8,95
3.220,00
8.050,00
8,05
Rata-rata 10
PUP IV 01
4.095,00
10.237,50
10,24
11
PUP IV 02
2.500,00
6.250,00
6,25
12
PUP IV 03
4.980,00
12.450,00
12,45
3.858,33
9.645,83
9,65
Rata-rata
Keterangan: PUP I = Hutan Alam Primer Dataran Tinggi; PUP III = Hutan Rakyat Bambang Lanang PUP II = Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah; PUP IV = Hutan Alam Gambut Sekunder
Meskipun demikian informasi mengenai berat basah bahan organik mati (serasah) ini sudah bisa menggambarkan seberapa besar cadangan kandungan biomassa karbon yang terkandung pada serasah. Tabel 18 menunjukkan bahwa berat basah serasah pada masing-masing tipe hutan berbeda-beda, mulai dari yang terbesar berturut-turut yaitu: hutan alam primer dataran tinggi sebesar 20,12 ton/ha, hutan alam sekunder dataran rendah 17,11 ton/ha, hutan alam gambut sekunder 9,65 ton/ ha dan terkecil adalah hutan rakyat Bambang lanang sebesar 8,05 ton/ha. Hasil perhitungan serasah ini menunjukkan laju peluruhan daun dari vegetasi di atas permukaan tanah. Makin besar laju peluruhannya, maka makin banyak pula serasah yang terakumulasi di bawahnya, sehingga makin besar pula cadangan biomassa karbon yang tersimpan di lantai hutan. Sebagai contohnya pada Tabel 18 di atas, laju peluruhan daun pada tipe hutan alam primer dataran tinggi lebih tingi dibandingkan tipe hutan yang lain. Hal ini berarti jumlah vegetasi di atas permukaan tanah juga lebih besar. Hasil pengukuran ini selain dapat untuk mengetahui jumlah cadangan biomassa karbon, juga dapat untuk mengetahui pertumbuhan dan kerapatan vegetasinya. Pada hutan rakyat Bambang lanang simpanan serasahnya paling sedikit karena vegetasi yang ada hanya terdiri dari beberapa jenis dan masih lebih rendah dibandingkan pada tipe hutan alam gambut sekunder yang mempunyai 6 jenis pohon dominan yaitu: sepungol, gelam, beriang, samak, gerunggang dan prepat. Jenis-jenis 74
Hutan dan Karbon
inilah yang akan tumbuh dan mengisi vegetasi tingkat semai, pancang, tiang dan pohon pada hutan alam gambut sekunder. Dari keenam jenis tersebut yang paling dominan adalah jenis beriang. Hal ini diketahui saat dilakukan pengukuran vegetasi tingkat pancang dan semai.
Pada hutan alam sekunder dataran rendah, jumlah simpanan serasahnya hampir mendekati hutan alam primer dataran tinggi yaitu 17,11 ton/ha, sedangkan pada hutan alam primer lahan kering nilainya 20,12 ton/ha. Hal ini disebabkan kondisi hutan alam sekunder dataran rendah hampir mendekati hutan alam primer dataran tinggi. Apabila hutan ini terus dijaga, maka lama kelamaan simpanan serasahnya juga terus meningkat. Pada hutan rakyat Bambang lanang simpanan serasahnya terendah dibandingkan dengan tipe hutan yang lain. Diduga hal ini disebabkan oleh terbatasnya jumlah jenis yang ada. Jenis-jenis yang ada pada tipe hutan rakyat Bambang lanang ini yaitu: Bambang lanang (Michelia champaka), kopi, karet, dan dadap. Dengan terbatasnya jumlah jenis tanaman yang ada, maka laju peluruhan daun akan lebih rendah dibandingkan tipe hutan yang jumlah jenisnya lebih banyak. 4.1.3.3 Perhitungan Nekromasa Nekromasa adalah bahan organik mati yang terdiri atas pohon mati dan kayu mati. Formula untuk nekromassa sama dengan formula untuk menghitung serasah. Namun demikian hasil pengukuran dilapangan terdapat dua satuan pengukuran yaitu dalam bentuk volume (m3) dan dalam bentuk berat basah (kg atau ton). Hal ini disebabkan oleh besar dan berat dari nekromassa yang bersangkutan. Pada nekromassa yang berupa pohon mati, tentu saja diukur hanya volumenya saja, karena tidak mungkin ditimbang berat basahnya. Sedangkan untuk kayu mati yang berdiameter kecil ( < 20 cm ) dapat diukur berat basahnya dengan ditimbang. Dengan demikian satuan pengukuran nekromassa terdiri dari 2 satuan yaitu m3/ha dan ton/ha.
Meskipun terdapat 2 satuan yang berbeda, tetapi masing-masing diambil sampelnya untuk mengetahui berat jenis kayu (BJ) dan berat kering sampel. Apabila kedua sampel ini selesai dianalisis di laboratorium, maka keduanya akan mempunyai satuan yang sama, yaitu satuan berat kering biomassa (ton/ha). Setelah satuannya sama, maka cadangan karbon yang tersimpan pada nekromassa dapat diketahui secara keseluruhan, baik dalam satu plot maupun dalam satu tipe hutan (stratum). Hasil penghitungan tersebut disajikan pada Tabel 19.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
75
Tabel 19. Hasil Penghitungan Volume dan Berat Basah Nekromassa pada Setiap Plot PSP
Total Nekromass Volume pohon mati Berat Basah dan Volume biomassa kayu mati No. Kode Plot plot 20x20m luasan 1 ha Luasan plot 400 m2 (20x20m) Luasan 1 ha Berat Basah Volume m3/plot m3/ha gr/plot m3/plot ton/ha m3/ha (ton/ha) (m3/ha) 3,9260 14,5 5,8721 1 PUP I 01 98,15 0,0004 146,80 0,0004 244,95 2 PUP I 02 0 6,0397 150,99 150,99 1.693,0 3 PUP I 03 0 1,5772 0,0423 39,43 0,0423 39,43 Rata-rata 3,9260 32,72 853,8 4,4963 0,0213 112,41 0,0213 145,12 706.955,0 4 PUP II 01 17,6739 17,6739 0,0434 1,4159 5 PUP II 02 1,09 35,40 36,48 2,6943 1.765,0 6 PUP II 03 67,36 2,0149 0,0441 50,37 0,0441 117,73 Rata-rata 1,3688 34,22 354.360,0 1,7154 8,8590 42,89 8,8590 77,11 186.460,0 7 PUP III 01 4,6615 4,6615 8 PUP III 02 269.320,0 6,7330 6,7330 251.000,0 9 PUP III 03 0 1,2706 6,2750 31,76 6,2750 31,76 Rata-rata 0 235.593,3 1,2706 5,8898 31,76 5,8898 31,76 410.500,0 10 PUP IV 01 10,2625 10,2625 285.000,0 0,0073 11 PUP IV 02 0 7,1250 0,18 7,1250 0,18 642.500,0 12 PUP IV 03 0 0,0097 16,0625 0,24 16,0625 0,24 Rata-rata 0 446.000,0 0,0085 11,1500 0,21 11,1500 0,21
Keterangan: PUP I = Hutan Alam Primer Dataran Tinggi; PUP III = Hutan Rakyat Bambang Lanang PUP II = Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah; PUP IV = Hutan Alam Gambut Sekunder
Hasil penghitungan volume dan berat basah nekromassa pada setiap plot PSP pada Tabel 19 menunjukkan bahwa, berat basah nekromassa terbesar terdapat pada tipe hutan alam gambut sekunder (11,15 ton/ha), sedangkan volume pohon mati dan kayu mati terdapat pada tipe hutan alam primer dataran tinggi (145,2 m3/ha). Kayu mati pada hutan alam primer dataran tinggi sedikit karena kayu mati di tempat tersebut berdiameter besar-besar, sehingga tidak mungkin ditimbang. Lain halnya pada hutan alam gambut sekunder, banyak sekali terdapat ranting-ranting atau cabang yang terdapat pada lantai hutan, tetapi kayu mati yang berdiameter diatas 10 cm sangat jarang. Dengan demikian volume kayu pada hutan alam gambut sekunder paling kecil/terendah (0,21 m3/ha) dibandingkan tipe hutan yang lain. Hasil perhitungan biomassa dan karbonnya akan diperoleh setelah selesai analisis sampelnya, baik analisis untuk menentukan BJ sampel kayu, maupun analisis untuk menentukan berat kering sampel bahan organik mati.
4.1.4 Kesimpulan 1. Volume pohon, berat tumbuhan bawah, berat serasah, dan volume nekromassa (pohon mati dan kayu mati) per hektar terbesar terdapat pada hutan alam primer dataran tinggi.
76
Hutan dan Karbon
2. Volume tingkat tiang dan pancang per hektar paling besar terdapat pada hutan alam sekunder dataran rendah. 3. Kandungan biomassa masing-masing jenis hutan dari tertinggi sampai terendah yaitu hutan alam primer dataran tinggi, hutan alam primer dataran rendah, hutan rakyat bambang lanang dan hutan alam gambut sekunder (bekas terbakar).
Daftar Pustaka Badan Standardisasi Indonesia. 2011. SNI 7724:2011. Pengukuran dan penghitungan cadangan karbon – Pengukuran lapangan untuk penaksiran cadangan karbon hutan (ground based forest carbon accounting). Badan Standardisasi Indonesia. 2011. SNI 7725:2011. Penyusunan persamaan alometrik untuk penaksiran cadangan karbon hutan berdasar pengukuran lapangan (ground based forest carbon accounting).
http://www.redd-indonesia.org/peta/relatedpage/hasilmerubetiri.html diunduh tanggal 3 Juni 2012.
Kementerian Kehutanan. 2012. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.20/Menhut-II/2012 tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan.
Manuri,S.,et al., 2011. Pengukuran dan Perhitungan Cadangan Karbon Hutan. Merang REDD Pilot Project – German International Coorperation. Palembang.
Masripatin, N.,et al. 2010. Pedoman Pengukuran Karbon untuk Mendukung Penerapan REDD+ di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Badan penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Bogor.
4.2 Hutan Kota dan Ruang Terbuka Hijau Sebagai Penyerap Karbon di Perkotaan (Studi pada 9 lokasi hutan kota dan ruang terbuka hijau di Sumatera Selatan)
Oleh: Agus Kurniawan1, Etik Erna Wati Hadi2 dan Eni Rulianti3,1,2 Peneliti
Balai Penelitian Kehutanan Palembang 3Pengendali Ekosistem Hutan, Balai Pengelolaan DAS Musi Palembang; 1email: age_kurniawan@ yahoo.com
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
77
Ringkasan Dampak dari kemajuan peradaban masyarakat, selain meningkatkan taraf ekonomi juga berdampak negative yaitu umumnya terjadi penurunan kualitas lingkungan (udara, air, kesuburan dan lain-lain). Hutan kota menjadi sangat penting keberadaannya sebagai penyeimbang input negative perkembangan perkotaan. Hutan kota dapat berfungsi sebagai penyedia udara yang bersih, air bersih, tempat rekreasi, perlindungan dari sinar ultra violet, penyerap carbon, habitat flora fauna dan penurun suhu udara. Laju peningkatan emisi karbon di wilayah perkotaan makin menguatkan pentingnya keberadaan hutan dan ruang terbuka hijau di tengah perkotaan. Karbon di udara akan menjadi pencemar dan membahayakan kesehatan, sebaliknya karbon dalam tubuh tumbuhan dalam bentuk karbohidrat dan senyawa turunannya akan menjadi sumber energy yang sangat bermanfaat. Pengamatan hutan kota dilakukan pada 9 lokasi hutan kota dan ruang terbuka hijau (RTH) di wilayah Sumatera Selatan. Hasil pengamatan diketahui bahwa dari 9 lokasi pengamatan dijumpai 81 jenis pohon. Untuk meningkatkan kapasitas penyerapan karbon perlu dilakukan pemeliharaan dan pengayakan jenis (enrichment planting) terutama jenis yang memilki kemampuan penyerap karbon yang tinggi. pemeliharaan diantaranya dengan melakukan eradikasi dan pengendalian hama dan penyakit serta pengayaan jenis pohon yang tepat. Kata kunci: hutan kota, karbon, ruang terbuka hijau, Sumatera Selatan
4.2.1 Pendahuluan Secara geografis, Provinsi Sumatera Selatan terletak antara 1 derajat - 4 derajat Lintang Selatan dan antara 102 derajat dan 106 derajat Bujur Timur dengan luas daerah seluruhnya 8.702.741 hektar. Sumatera Selatan memiliki Bukit Barisan yang membelah Sumatera Selatan dalam daerah perbukitan dan daerah lembah. Daerah perbukitan memiliki ketinggian 900 sampai dengan 1.200 meter di atas permukaan laut. Luas Kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan sesuai SK Menhut No.76/ Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Sumatera Barat adalah seluas 4.416.837 Ha, sedangkan luas daratan kawasan hutannya mencapai 4.399.837 ha (Kementrian Kehutanan. 2011).
Ruang terbuka hijau dalam UU. No. 26 tahun 2007 diartikan sebagai area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Sedangkan hutan kota dalam PP RI No.63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota diartikan sebagai suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota
78
Hutan dan Karbon
oleh pejabat yang berwenang (Badan Pemeriksa Keuangan Pusat, 2002). Tujuan pembangunan hutan kota adalah untuk: memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika; meresapkan air; menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota; dan mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia. Hutan kota juga dapat dimanfaatkan untuk: pariwisata alam perkotaan; tempat rekreasi dan atau olah raga; penelitian dan pengembangan; pendidikan; pelestarian plasma nuftah; dan budi daya dan konservasi tanaman hutan kota. Selain itu hutan kota dapat dijadikan sebagai tempat koleksi keanekaragaman hayati yang tersebar di seluruh wilayah tanah air kita. Selain itu, kawasan hutan kota dapat dipandang sebagai areal pelestarian di luar kawasan konservasi, karena pada areal ini dapat dilestarikan flora dan fauna secara exsitu.
Seiring dengan kemajuan peradaban masyarakat, umumnya ditandai dengan meningkatnya aktifitas masyarakat dan penerapan hasil teknologi di wilayah pedesaan maupun perkotaan. Dampak dari hal tersebut selain meningkatkan taraf ekonomi juga berdampak negative yaitu umumnya terjadi penurunan kualitas lingkungan (udara, air, kesuburan dan lain-lain). Hutan kota menjadi sangat penting keberadaannya sebagai penyeimbang input negative perkembangan perkotaan. Hutan kota dapat berfungsi sebagai penyedia udara yang bersih, air bersih, tempat rekreasi, perlindungan dari sinar ultra violet, sumber carbon, habitat flora fauna dan penurun suhu udara. Fungsi hutan ini perlu dijaga, dipertahankan dan dilestarikan.
4.2.2 Pemilihan Jenis Tanaman untuk Hutan Kota Hutan kota sangat potensial untuk dijadikan cadangan karbon yang selama ini telah menjadi penyebab polusi kota. Karbon di udara akan menjadi pencemar dan membahayakan kesehatan. Sebaliknya karbon dalam tubuh tumbuhan dalam bentuk karbohidrat dan senyawa turunannya akan menjadi sumber energy yang sangat bermanfaat. Gas karbondioksida di udara jika diubah menjadi karbohidrat berarti mengubah bahan berbahaya menjadi bahan yang bermanfaat. Untuk itu, keberadaan pepohonan akan memberikan manfaat yang sangat besar (Wijaya, 2011). Menurut Setiawan (2007) dalam Masripatin, et. al (2010), hutan kota di wilayah Bandar Lampung yang terdiri dari 34 jenis tanaman memiliki potensi cadangan karbon 840,62 ton C/ha. Kota sebagai pusat pemukiman dan berbagai aktifitas manusia memerlukan penyeimbang dari sisi ekologis maupun estetika. Tidak semua jenis tanaman dapat dikembangkan di hutan kota maupun RTH. Hal itu dikarenakan interaksi tanaman yang berada di hutan kota maupun RTH dengan manusia sangat tinggi.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
79
Damar (Agathis alba), mahoni (Swietenia macrophylla), jamuju (Podocarpus imbricatus) dan pala (Mirystica fragrans), asam landi (Pithecelobiumdulce), johar (Cassia siamea), mempunyai kemampuan yang cukup tinggi dalam menurunkan kandungan timbal dari udara (Krishnayya dan Bedi, 1986; Dahlan,1989; Fakuara, Dahlan, Husin, Ekarelawan, Danur, Pringgodigdo dan Sigit, 1990. Selain itu menurut Gratimah (2009) tanaman jenis Antidesma bunius (nama local: Buni, Wuni) memiliki kemampuan menyerap karbon sebesar 31,31 ton per tahun (Tabel 20). Selain kemampuan menyerap karbon, pohon juga dapat meredam suara dengan cara mengabsorpsi gelombang suara oleh daun, cabang dan ranting. Kemampuan pohon ini akan berguna dalam mengurangi kebisingan di perkotaan. Menurut Grey dan Deneke (1978), dedaunan tanaman dapat menyerap kebisingan sampai 95%. Menurut Suhartati (2006), pemilihan jenis pohon untuk pengembangan hutan kota mempunyai beberapa dasar pertimbangan, diantaranya perakaran dalam umumnya hasil pembiakan berasal dari biji, pertumbuhan cepat dan tahan terhadap pemangkasan, tahan terhadap kekurangan air, selalu hijau dan berbunga, mampu tumbuh pada berbagai kondisi tanah, tajuk melebar, tidak mudah menggugurkan daun. Kriteria yang lain yang tidak kalah penting adalah tanaman tahan serangan hama/penyakit, perakaran yang kuat sehingga tidak mudah roboh dan tidak tergolong tanaman beracun.
Pemilihan jenis tanaman yang dapat dikembangkan sebagai tanaman hutan kota/RTH harus didasrkan pada potensi serapan karbon dan persyaratan teknis yang tersebut di atas. Beberapa jenis tanaman yang memenuhi persyaratan sebagai tanaman untuk hutan kota yang cukup baik adalah wuni (Antidesma bunius), trembesi (Samanea saman), saga (Adenantera pavoniana), sirsak (Annoa muricata), aksia auri (Acacia auriculiformis), sirsak (Annona muricata), sawo kecik (Manilkara kauki) dan tanjung (Mimusops elengi). Pertimbangan jenis tanaman ini adalah tanaman memiliki tajuk yang ringan, selalu hijau, tahan terhadap pemangkasan, perakaran kuat dan tidak beracun.
Tabel 20. Jenis Tanaman dan Daya Serapnya Terhadap Karbondioksida No
Nama Lokal
Nama Latin
Daya serap karbon CO2 (kg/pohon/th)
1
Wuni/Buni
Antidesma bunius
31.310,00
2
Trembesi
Samanea saman
28.448,39
3
Cassia
Cassia sp
4
Kenanga
Canangium odoratum
756,59
5
Pingku
Dysoxylum excelsum
720,49
6
Beringin
Ficus benyamina
535,90
80
Hutan dan Karbon
5.295,47
No
Nama Lokal
Nama Latin
Daya serap karbon CO2 (kg/pohon/th)
7
Krey paying
Fellicium decipiens
404,83
8
Matoa
Pornetia pinnata
329,76
9
Mahoni
Swietenia mahagoni
295,73
10
Saga
Adenanthera pavoniana
221,18
11
Bungkur
Lagerstroerma speciosa
160,14
12
Jati
Tectona grandis
135,27
13
Nangka
Arthrocarpus heterophyllus
126,51
14
Johar
Cassia grandis
116,25
15
Sirsak
Annona muricata
75,29
16
Puspa
Schima walicii
63,31
17
Aksia auri
Acacia auriculiformis
48,68
18
Flamboyant
Delonix regia
42,20
19
Sawo kecik
Manilkara kauki
36,19
20
Tanjung
Mimusops elengi
34,29
21
Bunga merak
Caesalpinia pulcherrima
30,95
22
Sempur
Dilena retusa
24,24
23
Khaya
Khaya anthotheca
21,90
24
Merbau pantai
Intsia bijuga
19,25
25
Aksia mangium
Acacia mangium
15,19
26
Angsana
Pterocarpus indicus
11,12
27
Asam kranji
Pithecelobium dulce
8,48
28
Saputangan
Maniltoa grandiflora
8,26
29
Dadap merah
Erythrina cristagalli
4,55
30
Rambutan
Nephelium lappaceum
2,19
31
Asam jawa
Tamarindus indica
1,49
32
Kempas
Coompasia exelsa
0,20
Sumber: Gratimah (2009); Dahlan (2008)
4.2.3 Potensi Kerusakan pada Hutan Kota Mengingat pentingnya peran dan fungsi hutan kota, maka keberadaanya perlu dipertahankan dan diupayakan dapat menjalankan peran dan fungsi secara optimal. Pohon penyusun hutan kota dapat menjalankan peran dan fungsinya apabila dalam keadaan sehat. Penurunan kesehatan tanaman ditandai oleh adanya kerusakan pada bagian-bagian tanaman. Tanaman kehutanan mempunyai daur yang relatif panjang,
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
81
sehingga lingkungan biotik (organisme hidup) dan abiotik (lingkungan fisik) di sekitarnya sangat berpengaruh terhadap kesehatan tanaman. Kerusakan fisiologi pohon terutama disebabkan oleh pathogen seperti virus, bakteri atau jamur dan lainlain. Penyebab kerusakan hutan dapat dikelompokkan sebagai berikut: 4.2.3.1 Faktor lingkungan abiotik Faktor lingkungan abiotik yang dapat menyebabkan kerusakan tanaman antara lain: suhu yang ekstrim (rendah maupun tinggi), kekahatan maupun kelebihan unsur hara, angin dan lain-lain. 4.2.3.2 Penyakit Berdasarkan penyebabnya dapat dibagi dua, yaitu penyakit biotik dan abiotik. Menurut Sumardi dan Widyastuti (2004) serangan penyakit dapat mengganggu fungsi fisiologi diantaranya proses: (1) pembentukan cadangan bahan dalam bentuk biji, akar dan tunas (2) pertumbuhan juvenil pada semai maupun pertumbuhan tunas (3) perpanjangan akar (4) tranportasi air (5) fotosistesis (6) translokasi fotosintat dan (7) integritas struktural. Penyakit dapat disebakan oleh jamur, bakteri, mikoplasma, virus, tumbuhan parasit, nematoda dan lain-lain. 4.2.3.3 Serangga hama Serangga menyebabkan berbagai macam kerusakan pada tanaman, terutama sebagai akibat aktivitas makan. Serangga menyebabkan kerusakan tanaman akibat dari interaksi serangga dengan mikroorganisme sehingga menimbulkan penyakit dan serangga mempunyai racun/toksin yang diinjeksikan ke tanaman sehingga tanaman mengalami ketidakseimbangan fisiologi. 4.2.3.4 Kebakaran Kebakaran hutan dapat menimbulkan kerusakan langsung dalam waktu singkat. Pengaruh api terhadap hutan ditentukan oleh frekuensi, intensitas dan tipe kebakaran. Menurut Sumardi dan Widyastuti (2004), kebakaran hutan pada dasarnya merupakan penyalaan bahan organik kering yang ada di dalam hutan. Tipe kebakaran dan kerusakan yang terjadi sangat tergantung dari jumlah, kondisi dan penyebaran bahan bakar, kondisi cuaca, topografi dan lain-lain. 4.2.3.5 Penggembalaan Kerusakan tanaman oleh penggembalaan pada umumnya terjadi pada areal yang berdekatan langsung dengan pemukiman masyarakat. Kerusakan tersebut diantaranya
82
Hutan dan Karbon
adalah mati/rusaknya tanaman muda di lapangan, luka terbuka, batang bengkok yang ditimbulkan oleh tandukan ternak dan lain-lain. 4.2.3.6 Kerusakan antropogenik Kerusakan antropogenik adalah kerusakan tanaman yang disebabkan oleh aktifitas manusia. Kerusakan yang disebabkan oleh manusia misalnya luka terbuka, patah batang dan lain-lain.
Beberapa kerusakan penting yang dapat menurunkan manfaat dan fungsi tanaman dan dapat menyebabkan kematian tanaman hutan kota adalah sebagai berikut: 1) luka terbuka (open wound), 2) kanker batang (stem cancers), 3) bercak daun (leaf spot), 4) defoliasi (gugur daun), 5) mati pucuk (dieback), 6) klorosis, 7) sapu setan (witches broom), 8) busuk hati (heart rot), 9) busuk jaringan (tissue decay), dan 10) busuk akar (root rot).
4.2.4 Hutan Kota dan Ruang Terbuka Hijau di Sumatera Selatan 4.2.4.1 Taman Wisata Alam (TWA) Punti Kayu Taman wisata alam Puntikayu berada di Kota Palembang. Tak jauh dari pusat kota Palembang, sekitar 6 kilometer terdapat Taman Hutan Wisata Punti Kayu. Dengan lahan seluas 50 Ha, taman wisata alam ini menjadi sarana wisata alam satu – satunya di kota Palembang yang telah menjadi hutan lindung sejak tahun 1938. Berdasarkan kesepakatan antara pemerintah propinsi Sumatera Selatan dengan Depatemen Kehutanan di tahun 1986 menjadi hutan wisata dan 10 Ha dari luas keseluruhan dimanfaatkan sebagai sarana bagi rekreasi. kawasan ini dikukuhkan sebagai hutan kota yang tertuang dalam Perda Kota Palembang No. 6 Tahun 2007. Kawasan ini dibagi menjadi dua zona, yaitu zona perlindungan dan pemanfaatan. Zona perlindungan maupun zona pemanfaatan. Hasil inventarisasi, terdapat 34 jenis tumbuhan didominasi oleh pinus (Pinus merkusii). Jenis-jenis tanaman yang dijumpai di TWA Puntikayu diantaranya adalah akasia (Acacia mangium), asam jawa (Tamarindus indicus), beringin (Ficus benjamina), jarak (Jatropha curcas), jengkol (Pithecollobium lobatum), laban (Vitex pubesscens), mahoni (Swietenia mahagoni), rambutan (Nephelium sp), salam (Eugenia polyantha), seru (Schima walicii) dan lain-lain. 4.2.4.2 Hutan Kota Sungai Aur Hutan kota Sungai Aur terletak di Kota Muara Enim, Sumatera Selatan. Hutan kota ini memiliki luas 1.5 Ha yang terbagi menjadi 2 zona pemanfaatan. Hutan kota ini sedang dikembangkan menjadi taman kota. Pepohonan ditanam secara teratur dengan jarak tanam 3 x 4 m, terdapat 20 jenis tanaman diantaranya aksia Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
83
(Acacia mangium), angsana (Pterocarpus indicus), bambu (Bamboo sp), durian (Durio zebethinus), flamboyan (Dalbergia latifolia), sungkai (Pteronema canesscen), tanjung (Mimosops elengi) dan lain-lain. Hutan kota ini didominasi oleh jenis ketapang (Terminalia catappa) dan mahoni (Swietenia mahagoni).
Melihat pemanfaatannya, hutan kota ini terbagi dua bagian, yaitu areal yang dimanfaatkan untuk taman kota dan areal perlindungan. Areal taman kota dibangun pondok-pondok dan jogging track sebagai sarana rekreasi, akan tetapi karena pemeliharaan yang belum baik menyebabkan hutan kota ini belum banyak dikunjungi oleh masyarakat.
4.2.5 Hutan Kota Regional Lokasi hutan kota Regional terletak di samping areal perkantoran pemerintah daerah Muara Enim, tepatnya berada di belakang rumah dinas Bupati Muara Enim. Sebelum dikukuhkan sebagai hutan kota, areal ini disiapkan untuk perluasan terminal, akan tetapi dalam perjalannya lokasi ini dimanfaatkan sebagai hutan kota oleh Pemerintah Daerah Muara Enim. Hutan kota Regional memiliki luas 1,5 Ha dan ditumbuhi oleh 29 jenis tumbuhan, diantaranya akasia (Acacia auriculiformis), bambu (Bamboo sp), saga (Adenanthera microsperma), mahoni (Swietenia mahagoni) dan lain-lain.
4.2.6 Hutan Kota Kelurahan Jua-Jua Hutan kota ini berada di tengah kota Kabupaten Ogan Komering Ilir, tepatnya di Kelurahan Jua-Jua. Hutan kota ini berada di lahan masyarakat yang merupakan tanah warisan dari seorang Wedana. Hutan kota ini dikukuhkan dalam Perda Kabupaten OKI Nomor 420/KEP/D.KEHUT/2006, dalam perjalanannya terjadi perselisihan antara Pemda dengan pemilik lahan sehingga hutan kota ini saat ini statusnya masih dipertanyakan. Kondisi fisik hutan kota ini secara umum sangat baik, hutan kota ini ditumbuhi 20 jenis tanaman diantaranya tanaman akasia (Acacia mangium), jambu (Caryophyllus malaccensis), jengkol (Archidendron pouciflorum), Mahoni (Swietenia mahagoni), nagka (Artocarpus heterophyllus) dan pohon tembesu (Fragraea fragrans) yang diperkirkan telah berumur ratusan tahun.
4.2.7 Hutan Kota/Taman Wisata Bukit Siguntang Taman wisata ini terletak di Kota Palembang dengan luas ± 6 Ha. Tanan wiasata Bukit Siguntang terletak di kelurahan Bukit Besar, Palembang. Lokasi ini merupakan lokasi makam raja kerajaan Sriwijaya dan terdapat pula situs Kedukan Bukit. Di tempat ini terdapat beberapa makam antara lain: Raja Si Gentar Alam, Putri, Kembang
84
Hutan dan Karbon
Dadar, Putri Rambut Selako, Panglima Bagus Kuning, Panglima Bagus Karang, Panglima Tuan Junjungan, Pangeran Raja Batu Api dan Panglima Jago Lawang. Di lokasi ini dijumpai 21 jenis tanaman, diantaranya angsana (Pterocarpus indicus), dadap merah (Erythrina cristagalli), beringin (Ficus benjamina), jarak (Jatropha acerifolia), johar (Cassia siamean), mahoni (Swietenia mahagoni) dan tanjung (Mimosops elengi).
4.2.8 Hutan Kota Sultan Badaruddin II Hutan kota ini terletak di tanah milik TNI AU, Lapangan Udara Sultan Badaruddin II Palembang. Hutan ini merupakan hasil kerja sama antara Lanud Badaruddin II dan UPT Kehutanan di Sumatera Selatan. Di lokasi ini terdapat 12 jenis tanaman yang didominasi oleh jenis Acacia mangium. Jenis tanaman lain yang dijumpai diantaranya angsana (Pterocarpus indicus), kelapa (Cocos nucifera), mahoni (Swietenia mahagoni),.
4.2.9 Hutan Kota Bumi Perkemahan Gandus Perda Kota Palembang No. 6 Tahun 2007 tentang hutan kota menyebutkan lokasi ini sebagai hutan kota. Melihat kondisi di lapangan, lokasi ini masih sedikit sekali ditumbuhi oleh pepohonan. Lokasi ini lebih didominasi oleh ilalang dan tumbuhan bawah, tanaman yang dijumpai sangat sedikit (Bamboo sp. dan Acacia auriculiformis).
4.2.10 Hutan Kota Di Kedaton Lokasi hutan kota ini berada di Kelurahan Kedaton, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Dalam perencanaan hutan kota ini memilki luas 5 ha. Jenis tanaman yang dijumpai adalah tembesu (Fragraea fragrans), mahoni (Swietenia mahagoni), Acacia sp. Hutan kota ini masih dalam pengembangan, tanaman masih kecil-kecil dan belum menciptakan kompleksitas sebagai hutan kota. Diperlukan waktu untuk menjadikan lokasi ini sebagai hutan kota, dilkoasi ini perlu diperkaya dengan jenis-jenis tanaman kehutanan dan pemeliharaan yang lebih intensif.
4.2.11 RTH SMA 1 Muara Enim Ruang terbuka hijau di SMA 1 Muara Enim terdapat tanaman Tembesu (Fragraea fragrans). Melihat morfologi pohon, dan diameter pohon yang mencapai lebih dari 85 cm diperkirakan telah berumur ratusan tahun. Pengelolaan RTH ini sangat baik sehingga tercipta lingkungan yang bersih dan sejuk.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
85
Penutup Pembangunan hutan kota di Sumatera Selatan terutama bertujuan untuk menciptakan keseimbangan dan keindahan lingkungan kota serta penghijauan. Kota merupakan pusat aktifitas manusia. Kegiatan bisnis, transportasi, pendidikan dan pemukiman umumnya terkonsentrasi di perkotaan. Secara umum pembangunan hutan kota bertujuan untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya. Mengingat pentingnya peran dan fungsi hutan kota, maka keberadaanya perlu dipertahankan dan diupayakan dapat menjalankan peran dan fungsi secara optimal. Potensi jenis tanaman yang ada pada hutan kota dan RTH di Sumatera Selatan perlu ditingkatkan dengan usaha pengayaan jenis, terutama jenis-jenis yang memilki persyaratan yang baik sebagai tanaman hutan kota.
Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Balai Penelitian Kehutanan Palembang yang telah memfasilitasi kegiatan penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik dalam perijinan maupun pengumpulan data di lapangan.
Daftar Pustaka Badan Pemeriksa Keuangan Pusat.2002. PP RI No.63 Thn 2002 Tentang Hutan Kota. akses pada 10 Oktober 2013 pada www.bpkp.go.id/uu/filedownload/ 4/63/1104.bpkp Dahlan, E.N. 1989. Studi Kemampuan Tanaman dalam Menjerap dan Menyerap Timbal Emisi dari Kendaraan Bermotor. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. 102 p. Dahlan, E.N. 2008. Daya Serap Karbondioksida Pada Berbagai Jenis Pohon, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Fakuara, Y., E.N. Dahlan, Y.A. Husin, Ekarelawan, I.A.S. Danur, H. Pringgodigdo dan Sigit. 1982. Studi Toleransi Tanaman terhadap Pencemar Udara dan Kemampuannya dalam Menyerap Timbal dari Kendaraan Bermotor. Makalah Seminar Hasil Penelitian di Universitas Trisakti 30 Nopember 1990, Jakarta. 52 p.
86
Hutan dan Karbon
Gratimah, G.2009. Analisis Kebutuhan Hutan Kota Sebagai Penyerap Gas CO2 Antropogenik Di Pusat Kota Medan, 2009. Akses 9 Oktober 2013 pada http:// repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/5818/1/09E01974.pdf Grey, G.W. dan F.I. Deneke. 1978. Urban Forestry. John Wiley and Sons.
Kementrian Kehutanan. 2011. Profil Kehutanan: Provinsi Sumatera Selatan. Akses pada 10 Oktober 2013 pada http://www.dephut.go.id/uploads/ files/5bd3dae ffd407ed9e49af999c4e57ca9.pdf
Krishnayya, N.S.R. dan Bedi. 1986. An Effect of Automobile Lead Pollution on Cassia tora and C. occidentalis. J. Environment. Pollut. (Series A). Vol. 40:221. Masripatin, N., Kirsfianti G., Gustan P., Wayan S.D., Chairil A.S., Ari W., Dyah P., Arief S.U., Niken S., Mega L., Indartik, Wening W., Saptadi D., Ika H., N.M. Heriyanto, H. Haris S., Ratih D., Dian A, Haruni K., Retno M., Dana A. dan Bayu S. 2010. Cadangan Karbon pada berbagai Tipe Hutandan Jenis Tanamandi Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Bogor
Suhartati, 2006. Pembangunan Hutan Kota Menuju Lingkungan Bersih. Info Hutan Tanaman Vol. 1. No.2, Oktober 2006 Sumardi dan S.M. Widyastuti. 2004. Dasar-dasar Perlindungan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Wijaya, G.H. 2011. Hutan Kota Sebagai Cadangan Karbon Perkotaan. Akses pada 9 Oktober 2013 di http://gaganwijaya.blogspot.com.
4.3 Kajian Nilai Ekonomi Kandungan Karbon di KPHP Lalan Mangsang Mendis Provinsi Sumatera Selatan (Study of Economic Value of Carbon Storage of Lalan Mangsang Mendis Production Forest Management Unit, South Sumatera Province) Oleh: Nur Arifatul Ulya Balai Penelitian Kehutanan Palembang; e mail:
[email protected]
Abstrak Hutan rawa gambut menyimpan cadangan karbon baik di tanah maupun di atas tanah. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Lalan Mangsang Mendis merupakan KPHP yang sebagian besar wilayahnya merupakan hutan rawa gambut.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
87
Hutan rawa gambut ini berada di kubah gambut terbesar di Sumatera Selatan, yaitu Kubah Gambut Merang (KGM). Sehingga diperkirakan KPHP Lalan Mangsang Mendis merupakan KPHP dengan potensi cadangan karbon besar dan nilai ekonomi yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk menaksir nilai ekonomi cadangan karbon di KPHP Lalan Mangsang Mendis. Taksiran nilai ekonomi cadangan karbon tersebut diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengelolaan kawasan hutan secara berkelanjutan. Nilai ekonomi karbon HRGMK ditaksir dengan menggunakan harga bayangan. Harga karbon yang digunakan untuk menaksir nilai ekonomi karbon diperoleh dengan metode benefit transfer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai total karbon HRGMK adalah Rp. 18.169.603.572.000,00. Nilai tersebut sebagian besar berasal dari cadangan karbon di bawah tanah. Kata kunci: gambut, hutan, karbon, nilai ekonomi, rawa
Abstract Peat swamp forests store aboveground and belowground carbon. Lalan Mangsang Mendis Production Forest Management Unit (PFMU) is a PFMU which the large part of its area is peat swamp forest. The peat swamp forest is located in Merang Peat Dome (MPD), the largest peat domed in South Sumatra. Thus Lalan Mangsang Mendis PFMUis a PFMU with large carbon storage and high economic value. This study aimed to determine the economic value of carbon storage in the Lalan Mangsang Mendis PFMU. The results are expected to be a reference for sustainable forest management. The economic value of carbon Lalan Mangsang Mandis PFMU assessed using shadow procing method. The carbon price used to assess the economic value of carbon derived by benefit transfer method. The results showed that the total carbon value of HRGMK is Rp. 18.169.603.572.000,00. This value is largely derived from belowground carbon. Keywords: peat, forest, carbon, economic value, swamp
4.3.1 Pendahuluan Lahan gambut merupakan ekosistem lahan basah yang terbentuk karena adanya akumulasi bahan organik di lantai hutan yang berasal dari reruntuhan
88
Hutan dan Karbon
vegetasi di atasnya dalam kurun waktu lama. Akumulasi ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik di lantai hutan yang basah atau tergenang. Seperti gambut tropis lainnya, gambut di Indonesia dibentuk oleh akumulasi residu vegetasi tropis yang kaya akan kandungan lignin dan nitrogen. Proses dekomposisi yang lambat menyebabkan pada ekosistem rawa gambut masih dapat dijumpai batang, cabang dan akar besar (Murdiyarso et al., 2004). Residu vegetasi tropis dalam kondisi tertimbun di lahan hutan yang basah merupakan cadangan karbon terestrial. Seperti halnya hutan rawa gambut, lahan gambut tropika merupakan cadangan karbon terestrial yang penting untuk diperhitungkan. WI-IP (2003) dalam Wahyunto et al., (2005) mengasumsikan jika kedalaman ratarata gambut di seluruh Indonesia adalah 5 meter, bobot isi 114 kg per m 3 dan luasnya 16 juta ha, maka cadangan karbonnya adalah 16 Giga Ton. Luas sumber daya gambut di Indonesia menurut Pusat Penelitian Tanah (1981) dalam Wahyunto et al. (2005) adalah 27,06 juta hektar. Provinsi Sumatera Selatan merupakan provinsi dengan kawasan gambut terluas ke-dua di Pulau Sumatera setelah Provinsi Riau (Wahyunto et al., 2005). Lahan gambut di Provinsi Sumatera Selatan tersebar di sepanjang pantai timur Sumatera Selatan. Kubah gambut terbesar di pantai timur Sumatera Selatan adalah Kubah Gambut Merang (KGM) (Ballhorn, Mott and Siegert, 2007). Hasil survey menunjukkan bahwa di KGM banyak ditemukan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter (WI-IP, 2004). Di KGM terdapat Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang yang merupakan hutan rawa gambut alami yang masih tersisa di pantai timur Provinsi Sumatera Selatan (IFCA, 2007; Suratijaya, 2008 dalam Putro (2008). Secara administrasi kehutanan, kawasan hutan yang berada di KGM termasuk dalam kawasan Hutan Produksi (HP) Lalan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK Menhut No. 789/Menhut-II/2009 tanggal 7 Desember 2009 tentang penetapan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Lalan Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan, kawasan HP Lalan merupakan bagian dari wilayah Kesatuan Hutan Produksi (KPHP) Lalan Mangsang Mendis. Sebagai KPHP yang sebagian besar wilayahnya merupakan hutan rawa gambut, pengelolaan hutan harus dilakukan dengan dasar acuan yang komprehensif. Karena meskipun dalam kondisi alami hutan rawa gambut merupakan cadangan karbon terestrial yang penting, tetapi dalam kondisi
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
89
terganggu, maka hutan rawa gambut akan menjadi sumber emisi karbon dalam jumlah besar baik yang berasal dari vegetasi di atas tanah maupun di tanah yang berupa lahan gambut. Salah satu pertimbangan yang dapat dijadikan acuan dalam penyusunan rencana pengelolaan kawasan hutan adalah nilai ekonomi berbagai manfaat yang dihasilkan oleh sumberdaya hutan. Tulisan ini bertujuan untuk menaksir nilai ekonomi potensi karbon di KPHP Lalan Mangsang Mendis. Nilai ekonomi potensi karbon di KPHP Lalan Mangsang Mendis diharapkan dapat dijadikan acuan dalam penyusunan rencana pengelolaan kawasan hutan sehingga dihasilkan rencana pengelolaan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. 4.3.2 Metodologi 4.3.2.1 Lokasi Penelitian Kajian ini berlokasidi KPHP Lalan Mangsang Mendis, yang secara Admnistrasi, KPHP Lalan Mangsang Mendis termasuk dalam wilayah Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. KPHP Lalan Mangsang Mendis (LMM) terdiri dari 2 (dua) kelompok hutan yaitu Hutan Produksi (HP) Lalan dan Hutan Produksi Mangsang Mendis. Letak HP Lalan secara geografis berada pada 01°42’ - 02°25’ LS dan 103°40’ - 104°28’ BT, sedangkan HP Mangsang Mendis berada pada 02°09’ 02°25’ LS 103°51’ - 104°20’ BT. Luas KPHP Model Lalan adalah 265.953 hektar (Surat Keputusan Meneri Kehutanan Nomor SK. 76/MENHUT-II/2010 tentang Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Provinsi Sumatera Selatan). 4.3.2.2 Pengumpulan data Data penelitian diperoleh dari instansi pemerintah terkait, kegiatan-kegiatan yang berlokasi di HRGMK dan studi pustaka. Data tutupan lahan KPHP Lalan Mangsang Mendis mengacu pada Dinas kehutanan Kabupaten Musi Banyuasin (2013). Data kandungan karbon untuk masing-masing tutupan lahan mengacu pada Ballhorn, U. C. Mott and F. Siegert (2007); Moder, F. F. Siegert and P. Schlessinger (2008). Data kedalaman gambut dan kandungan karbon dari KGM mengacu pada Ballhorn, U. C. Mott and F. Siegert (2007); Moder, F. F. Siegert and P. Schlessinger (2008). Data tersebut merupakan hasil pengukuran langsung di lapangan, sehingga
90
Hutan dan Karbon
memikili keakuratan tinggi dan termasuk dalam Tier 3 (IPCC, 2006; Solichin, 2010)1. 4.3.2.3 Analisis Data Cadangan karbon hutan rawa gambut ditaksir nilai ekonominya dengan menggunakan metode harga bayangan (shadow pricing). Harga karbon yang digunakan diperoleh dengan benefit transfer (Pirard, 2005). Harga karbon yang digunakan sebagai acuan adalah harga perdagangan karbon di Ulu Masen. Alasan dipilihnya harga karbon Ulu Masen sebagai acuan dalam benefit transfer adalah kesamaan lokasi, yaitu di Indonesia.
4.3.3 Hasil dan Pembahasan Kandungan karbon hutan rawa gambut tidak hanya terdapat pada vegetasi di atas tanah (aboveground biomass) melainkan juga pada tempat tumbuhnya (belowground biomass), karena tanah gambut juga merupakan bahan organik yang mengandung karbon. Kandungan karbon di atas tanah ditaksir berdasarkan jenis tutupan lahan di KPHP Lalan Mangsang Mendis. Kandungan karbon di bawah tanah ditaksir menggunakan kandungan karbon KGM. Tutupan lahan di wilayah KPHP Lalan Mangsang Mendis sebagian besar berupa belukar dan padang rumput (35%). Luas tutupan lahan berhutan hanya 68. 780 hektar (26%). Perincian tutupan lahan dan kandungan karbon di atas tanah di KPHP Lalan Mangsang Mendis disajikan pada Tabel 21. Hasil penaksiran menunjukkan bahwa kandungan karbon di atas tanah untuk wilayah KPHP Lalan Mangsang Mendis adalah 24.991.382 ton CO2 atau 93,969 ton CO2 per hektar.
Tabel 21. Karakteristik Penutupan Lahan dan Kandungan Karbon di KPHP Lalan Mangsang Mendis
No
1]
Karakteristik Penutupan Lahan
1
Belukar rawa
2
Hutan lahan kering sekunder/bekas tebangan
3
Hutan mangrove primer
Luas (ha)
Kandungan Karbon (ton CO2/ha)
Kandungan karbon (ton CO2)
76.193
30
2.285.790
2.366
264
624.624
54
281
15.174
4
Hutan mangrove skunder
1.025
140
143.500
5
Hutan rawa primer
5.035
281
1.414.835
Menurut IPCC (2006), Tier adalah tingkat kerincian faktor emisi perubahan cadangan karbon. Tier 1 tidak memerlukan pengukuran di lapangan. Tier 2 menggunakan data-data yang diperoleh dari penelitian di tingkat nasional, sedangkan Tier 3, yaitu pengukuran langsung di lokasi proyek.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
91
No
Karakteristik Penutupan Lahan
6
Hutan rawa sekunder
7
Luas (ha)
Kandungan Karbon (ton CO2/ha)
Kandungan karbon (ton CO2)
57.052
234
13.350.168
Hutan tanaman
3.248
104
337.792
8
Lahan terbuka
6.827
30
204.810
9
Pemukiman/lahan terbangun
10
Perkebunan
458
0
0
17.213
109
1.876.217
11
Pertambangan
290
0
0
12
Pertanian lahan kering
19.957
56
1.117.592
13
Pertanian lahan kering campur semak/kebun campur
52.823
56
2.958.088
14
Rawa
667
30
20.010
15
Savana/padang rumput
10.963
44
482.372
16
Semak belukar
5.347
30
160.410
17
Transmigrasi
77
0
0
18
Tubuh air
6.357
0
0
Jumlah
265.953
24.991.382
Sumber: Ballhorn, U. C. Mott and F. Siegert (2007); Moder, F. F. Siegert and P. Schlessinger (2008); Dinas kehutanan Kabupaten Musi Banyuasin (2013)
Adapun kandungan karbon di bawah tanah di KPHP Lalan Mangsang Mendis didekati dengan kandungan karbon KGM. KGM seluas 138.200 hektar memiliki kedalaman gambut rata-rata 1,26 meter, bahkan di beberapa tempat dijumpai gambut dengan kedalaman gambut sampai 4 meter bahkan 5,5 meter (Ballhorn, Mott dan Siegert, 2007). Penaksiran kandungan karbon dari KGM dilakukan oleh Ballhorn, U. C. Mott and F. Siegert (2007) dengan menggunakan three-dimensional bed rock model yang digabungkan dengan hasil pengeboran gambut di 80 titik. Dengan mengacu pada Ballhorn, U. C. Mott and F. Siegert (2007) maka hasil kandungan karbon di lahan gambutdi KPHP Lalan Mangsang Mendis disajikan pada Tabel 22.
Tabel 22. Kandungan Karbon di Bawah Tanah di KPHP Lalan Mangsang Mendis Kedalaman ratarata (m) 1,260
Volume (m3 x 108) 17,900
Sumber: Ballhorn, U. C. Mott and F. Siegert (2007)
92
Hutan dan Karbon
Kandungan C (Giga Ton) 0,102
Kandungan CO2 (Giga Ton) 0,370
Kandungan karbon di atas tanah dan di bawah tanah selanjutnya digunakan untuk menaksir kandungan karbon di KPHP Lalan Mangsang Mendis (Tabel 23).
Tabel 23. Kandungan Karbon KPHP Lalan Mangsang Mendis Uraian Above ground biomass Below ground biomass Jumlah
Kandungan Karbon (ton CO2) 24.991.382,000 370.000.000,000 394.991.382,000
Kandungan karbon (ton CO2/ha) 93,969 2.677,279 2.771,248
Tabel 23 menunjukkan bahwa sebagian besar kandungan karbon di KPHP Lalan Mangsang Mendis berupa kandungan karbon di bawah tanah (below ground biomass) yang tidak lain adalah Kubah Gambut Merang. Data kandungan karbon (Tabel 23) selanjutnya digunakan untuk menaksir nilai ekonomi kandungan karbon di KPHP Lalan Mangsang Mendis.
Untuk menaksir nilai ekonomi karbon, harga karbon yang digunakan sebagai acuan adalah harga perdagangan karbon di Ulu Masen. Adapun harga karbon Ulu Masen adalah US$ 4 per ton emisi CO2 yang dapat dicegah (Putro, 2008; Forest for People Programme, 2011). Asumsi nilai tukar satu US$ adalah Rp. 11.500,00. Taksiran nilai ekonomi karbon di KPHP Lalan Mangsang Mendis disajikan pada Tabel 24.
Tabel 24. Nilai Ekonomi Karbon KPHP Lalan Mangsang Mendis Uraian Above ground biomass Belowground biomass Jumlah
Nilai Ekonomi Karbon per hektar (Rp/ha) 4.322.581,70 123.154.834,00 127.477.415,70
Total Nilai Ekonomi Karbon (Rp) 1.149.603.572.000,00 17.020.000.000.000,00 18.169.603.572.000,00
Total kandungan karbon kawasan KPHP Lalan Mangsang Mendis adalah 394.991.382,000 ton CO2e atau 22.771,248 CO2e per hektar. Dengan mengacu pada harga karbon Ulu Masen, maka nilai total karbon KPHP Lalan Mangsang Mendis adalah Rp. 18.169.603.572.000,00 atau Rp. 127.477.415,70 per hektar. Nilai ekonomi karbon HRGMK lebih besar apabila dibandingkan dengan nilai karbon Taman Nasional Gunung Halimun (Widada, 2004). Kemungkinan hal ini terjadi karena nilai karbon Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) hanya
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
93
berasal dari aboveground biomass karena TNGH berada di tanah mineral, sedangkan KPHP Lalan Mangsang Mendis sebagian luasannya (138.200 hektar atau 52%) berupa tanah gambut.
Hasil pekansiran nilai ekonomi kandungan karbon KPHP Lalan Mangsang Mendis terutama yang berada di KGM menunjukkan bahwa kandungan karbon KGM sangat besar. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa dalam kondisi alami KPHP Lalan Mangsang Mendis dalam kondisinya mampu memberikan manfaat yang berupa jasa lingkungan sebagai penyimpan cadangan karbon yang dapat dinilai secara moneter.
Agar nilai ekonomi kandungan karbon dan manfaat yang diberikan oleh HP. Lalan dan HP. Mangsang Mendis bisa dirasakan oleh masyarakat luas, maka diperlukan pengelolaan yang tepat dengan pertimbangan yang komprehensif. Pengelolaan yang tidak tepat dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan pada kubah gambut yang antara lain menyebabkan emisi gas rumah kaca ke atmosfer dan terganggunya kemampuan kubah gambut dalam melaksanakan fungsinya sebagai pengatur tata air dalam sistem Daerah Aliran Sungai (DAS).
Kesimpulan Hasil penaksiran nilai ekonomi kandungan karbon KPHP Lalan Mangsang Mendis menunjukkan bahwa kawasan ini mempunyai nilai ekonomi kandungan karbon yang tinggi. Nilai tersebut besar berasal dari kandungan karbon di bawah tanah yang tidak lain adalah Kubah Gambut Merang. Dengan demikian pengelolaan KPHP Lalan Mangsang Mendis harus didasarkan pada semua manfaat yang dapat diberikan oleh hutan, bukan hanya manfaat yang berupa komoditas saja. Nilai ekonomi dapat digunakan sebagai acuan perumusan kebijakan pengelolaan hutan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
Daftar Pustaka Ballhorn, U. C. Mott and F. Siegert. 2007. Peat Dome Mapping and Analysis. Draft Report. South Sumatera Forest Fire Management Project. Palembang.
Dinas Kehutanan kabupaten Musi Banyuasin. 2013. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Unit III Lalan Mangsang Mendis Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Sekayu. Forest for People Programme. 2011. ACEH: The Ulu Masen REDD+ Pilot Project. Rights, forest and climate briefing series-October 2011. UK.
94
Hutan dan Karbon
IPCC. 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, Prepared by the National Greenhouse Gas Inventories Programme. Eggleston H.S., Buendia L., Miwa K., Ngara T. and Tanabe K. (eds). Published: IGES, Japan
Moder, F. F. Siegert and P. Schlessinger. 2008. Carbon Stock Estimation in Peat Swamp Forest Area of Merang-Kepayang. Draft Report. South Sumatera Forest Fire Management project. Palembang
Murdiyarso, D., U. Rosalina., K. Hairiah., L. Muslihat., I.N.N. Suryadiputra., A. Jaya. 2004. Petunjuk Lapangan Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forest and Peatlands in Indonesia. Wetlands InternationalIndonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Pirard, R. 2005. Pulpwood Plantations as Carbon Sinks in Indonesia: Methodological Challenge and Impact on Livelihoods. In Murdiyarso, D. and Herawati, H. (Eds.). Carbon Forestry: Who Will Be Benefit? Proceeding of Workshop on carbon Sequestrations and Sustainable Livelihoods. Center for International Forestry Research. Bogor.
Putro, H. R. 2008. Peluang Perdagangan Karbon di Kawasan Gambut Merang Sumatera Selatan. Laporan Akhir. South Sumatera Forest Fire Management Project. Palembang. Solichin. 2010. Pengukuran Emisi Karbon di Kawasan Hutan Rawa Gambut Merang. Merang REDD Pilot Project. Palembang.
Wahyunto, S. Ritung, Suparto dan H. Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan 2004. Wetland Internasional – IP. Bogor. Widada. 2004. Nilai Manfaat Ekonomi dan Pemanfaatan Taman Nasional Gunung Halimun bagi Masyarakat. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. WI-IP (Wetlands International-Indonesia Programme). 2004. Laporan Survei Kawasan Hutan Rawa gambut Merang Kepahiyang, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. WI-IP. Bogor.
4.4 Pola Kemitraan dalam Restorasi dan Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Terdegradasi untuk Penurunan Emisi dan Peningkatan Serapan Karbon di Sumatera Selatan Oleh: Bastoni Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
95
Abstrak Kerusakan (degradasi) hutan rawa gambut merupakan dampak dari aktivitas dan peran banyak pihak (multi stakeholder). Oleh karena itu upaya restorasi dan rehabilitasinya juga harus melibatkan seluruh pihak yang memiliki tanggung jawab terhadap kelestarian hutan dan lahan gambut. Pemerintah daerah, pengelola HTI, pengelola perkebunan dan kelompok masyarakat merupakan pihak yang terkait langsung dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan lahan gambut. Melalui Proyek ITTO RED-SPD 009/09 Rev. 2(F) tahun 2010 – 2013 telah dibangun dan dijalin pola kemitraan diantara para pihak tersebut di Sumatera Selatan. Kegiatan ini selain bertujuan untuk memulihkan kondisi hutan dan lahan beserta ekosistemnya juga diharapkan dapat menurunkan emisi gas rumah kaca dan meningkatkan serapan karbon pada lahan gambut terdegradasi. Proyek berhasil membangun demonstrasi plot restorasi dan rehabilitasi hutan dan lahan gambut seluas 70 hektar pada beragam tipologi dan penggunaan lahan. Pembelajaran berharga yang diperoleh dari proyek ini adalah bahwa dengan pola kemitraan upaya restorasi dan rehabilitasi dapat dilakukan lebih cepat dan lebih berhasil karena adanya sinergitas diantara para pihak. Peran lembaga penelitian (BPK Palembang) dalam transfer IPTEK dan asistensi teknis restorasi dan rehabilitasi hutan dan lahan gambut juga cukup signifikan. Kata kunci: hutan rawa gambut, restorasi, rehabilitasi, pola kemitraan
4.4.1 Pendahuluan Kerusakan hutan rawa gambut disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu penebangan (eksploitasi) hutan, konversi lahan dan kebakaran hutan dan lahan (Silvius, et al., 1987; Van Eijk dan Leenman, 2004; Hooijer et al., 2006; Jaenicke, et al., 2010; Miettinen dan Liew, 2010). Aktivitas tersebut dilakukan oleh banyak pihak yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan lahan gambut. Penebangan hutan dilakukan oleh perusahaan pemegang konsesi HPH dan kelompok masyarakat. Konversi lahan dilakukan oleh perusahaan pemegang konsesi HTI, konsesi perkebunan dan kelompok masyarakat. Kebakaran hutan dan lahan dipicu oleh aktivitas penebangan hutan, konversi lahan dan aktivitas ekstraktif masyarakat dalam hutan seperti berladang (sonor) dan mencari ikan.
Banyaknya pihak yang berkontribusi dalam kerusakan hutan dan lahan gambut telah menyadarkan pentingnya membangun kemitraan untuk restorasi dan rehabilitasi hutan dan lahan yang terdegradasi. Badan Penelitian dan Pengambangan Kehutanan bekerjasama dengan International Tropical Timber Organization (ITTO) telah menginisiasi upaya tersebut melalui Proyek ITTO RED-SPD 009/09 Rev. 2(F): “Promoting the Partnership Efforts to Reduce Emission from Deforestation and Forest
96
Hutan dan Karbon
Degradation of Tropical Peatland in South Sumatra through the Enhancement of Conservation dan Restoration Activities”. Pelaksanaan proyek ini dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang bermitra dengan pihak yang terkait dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut di Sumatera Selatan.
Pola kemitraan yang dibangun dalam restorasi dan rehabilitasi hutan dan lahan gambut dilakukan melalui rangkaian kegiatan meliputi: (1) pengumpulan dan perbanyakan bibit jenis-jenis pohon lokal yang digunakan untuk kegiatan restorasi dan rehabilitasi, (2) pembangunan demonstrasi plot restorasi dan rehabilitasi lapangan pada areal terpilih di Sumatera Selatan. Untuk implementasi kegiatan tersebut telah dijalin kerjasama dengan empat mitra terpilih, yaitu: (1) Dinas Kehutanan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), (2) Kelompok Tani Kedaton Kabupaten OKI, (3) Perusahaan HTI PT. Bumi Mekar Hijau di Kabupaten OKI, (4) Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Andira Agro di Kabupaten Banyuasin.
4.4.2 Mekanisme Kemitraan dalam Restorasi dan Rehabilitasi Sebaran mitra kerjasama pembangunan Demonstrasi Plot Restorasi dan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Gambut di Sumatera Selatan disajikan pada Gambar 24. 4.4.2.1 Dinas Kehutanan Kabupaten OKI Dinas Kehutanan Kabupaten OKI dipilih sebagai mitra kerjasama karena sebaran hutan dan lahan rawa gambut terluas di Sumatera Selatan (0,77 juta ha atau 54%) terdapat di wilayah ini (Wahyunto et al., 2005). Kondisi umum kawasan hutan rawa gambut di Kabupaten OKI adalah areal hutan bekas tebangan dan bekas kebakaran berulang yang diikuti oleh konversi hutan produksi tetap untuk hutan tanaman industri, konversi hutan produksi konversi untuk perkebunan kelapa sawit dan pemanfaatan areal penggunaan lain oleh masyarakat.
Kerjasama kemitraan antara Dinas Kehutanan Kabupaten OKI dan Balai Penelitian Kehutanan Palembang yang difasilitasi oleh Proyek ITTO bertujuan untuk membangun demonstrasi plot restorasi dan rehabilitasi hutan rawa gambut bekas kebakaran seluas 10 hektar. Tipologi areal adalah lahan gambut sangat dalam (lebih dari 5 meter) yang didominasi oleh vegetasi pakis-pakisan dan pohon pionir dari jenis beriang (Ploiarum alternifolium) dan gelam (Melaleuca leucadendron) hasil suksesi setelah kebakaran tahun 2006.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
97
Industrial Timber Plantation Company (25 ha) Palm Oil Company (20 ha)
OKI District Forest Service (10 ha) Community Group of Kedaton (15 ha)
Gambar 24. Sebaran mitra kerjasama dan luas areal restorasi dan rehabilitasi hutan dan lahan rawa gambut di Sumatera Selatan
Dalam skema kerjasama diatur peran dan tanggung jawab Dinas Kehutanan Kabupaten OKI adalah menyediakan lahan dan legalitasnya untuk areal demplot seluas 10 hektar, menyediakan fasilitas kerja dan tenaga counterpart yang diperlukan, mengamankan areal demplot dari kebakaran, upaya konversi dan pemeliharaan selama dan sesudah masa proyek. Sedangkan peran dan tanggung jawab BPK Palembang adalah melakukan transfer IPTEK restorasi dan rehabilitasi, memberikan asistensi teknis selama dan sesudah masa proyek, menyediakan bibit pohon lokal, pupuk dan upah tenaga kerja yang bersumber dari dana Proyek ITTO. 4.4.2.2 Kelompok Tani Kedaton Kelompok Tani Kedaton adalah kelompok masyarakat lokal berjumlah 20 kepala keluarga. Mereka memiliki areal pemanfaatan lahan gambut seluas 50 hektar (2,5 hektar/KK) untuk kebun kelapa sawit yang diperoleh dari Proyek Penyiapan Lahan Tanpa Pembakaran kerjasama Kementerian Lingkungan Hidup, TNI Angkatan Darat dan Pemerintah Kabupaten OKI pada tahun 2007.
98
Hutan dan Karbon
Kerjasama kemitraan antara Kelompok Tani Kedaton dan Balai Penelitian Kehutanan Palembang yang difasilitasi oleh Proyek ITTO bertujuan untuk membangun demonstrasi plot restorasi dan rehabilitasi lahan gambut pola campuran kelapa sawit dan jelutung seluas 15 hektar. Pola ini diterapkan untuk menginisiasi penerapan pola agrofrestry tanaman perkebunan dan kehutanan pada lahan gambut. Manfaat yang diharapkan adalah diperolehnya sumber pendapatan masyarakat dari tanaman perkebunan dan hasil hutan bukan kayu (getah jelutung).
Dalam skema kerjasama diatur peran dan tanggung jawab Kelompok Tani Kedaton adalah menyediakan lahan untuk areal demplot seluas 15 hektar, mengamankan areal demplot dari kebakaran dan pemeliharaan selama dan sesudah masa proyek. Sedangkan peran dan tanggung jawab BPK Palembang adalah melakukan transfer IPTEK restorasi dan rehabilitasi, memberikan asistensi teknis selama dan sesudah masa proyek, menyediakan bibit pohon lokal, pupuk dan upah tenaga kerja yang bersumber dari dana Proyek ITTO. 4.4.2.3 Perusahaan HTI PT. Bumi Mekar Hijau Menurut ketentuan pengaturan tata ruang, areal Hutan Tanaman Industri (HTI) dibagi menjadi 70% areal tanaman pokok, 10% areal tanaman unggulan, 10% areal konservasi, 5% areal tanaman kehidupan dan 5% untuk infrastruktur HTI (Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/1995). PT. Bumi Mekar Hijau adalah salah-satu pemegang konsesi HTI yang terdapat di wilayah Kabupaten OKI dengan tipologi lahan rawa gambut. Luas total areal 250.000 hektar, didalamnya terdapat sekitar 25.000 hektar yang dialokasikan untuk areal tanaman unggulan. Kerjasama kemitraan antara PT. Bumi Mekar Hijau dan Balai Penelitian Kehutanan Palembang yang difasilitasi oleh Proyek ITTO bertujuan untuk membangun demonstrasi plot restorasi dan rehabilitasi lahan gambut pada areal tanaman unggulan seluas 25 hektar. Pola ini diterapkan untuk menginisiasi program pengembangan tanaman unggulan di areal HTI. Manfaat yang diharapkan adalah diperolehnya areal tanaman unggulan sebagai penghasil kayu pertukangan. Dalam skema kerjasama diatur peran dan tanggung jawab PT. Bumi Mekar Hijau adalah menyediakan lahan untuk areal demplot seluas 25 hektar, menyediakan tenaga kerja dan upahnya untuk penyiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan, mengamankan areal demplot dari kebakaran dan konversi serta pemeliharaan selama dan sesudah masa proyek. Sedangkan peran dan tanggung jawab BPK Palembang adalah melakukan transfer IPTEK restorasi dan rehabilitasi, memberikan asistensi teknis selama dan sesudah masa proyek, menyediakan bibit pohon lokal yang bersumber dari dana Proyek ITTO.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
99
4.4.2.4 Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Andira Agro PT. Andira Agro adalah perusahaan pemegang ijin usaha perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di wilayah Sungai Kumbang – Padang, Kabupaten Banyuasin. Luas areal inti sekitar 7.000 hektar ditambah dengan areal plasma di sekelilingnya. Salah satu kewajiban perusahaan perkebunan kelapa sawit adalah mengelola area bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value/HCV) yaitu nilai-nilai yang terkandung di dalam sebuah kawasan baik itu lingkungan maupun sosial, seperti habitat satwa liar, daerah perlindungan resapan air atau situs arkeologi (kebudayaan) dimana nilai-nilai tersebut diperhitungkan sebagai nilai yang sangat signifikan atau sangat penting secara lokal, regional atau global (Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia, 2008).
Kerjasama kemitraan antara PT. Andira Agro dan Balai Penelitian Kehutanan Palembang yang difasilitasi oleh Proyek ITTO bertujuan untuk membangun demonstrasi plot restorasi dan rehabilitasi lahan rawa gambut pada areal bernilai konservasi tinggi (HCV) seluas 20 hektar. Pola ini diterapkan untuk menginisiasi program restorasi dan rehabilitasi areal HCV hutan sempadan sungai (riparian forest) yang terdegradasi akibat penebangan dan perladangan masyarakat setempat. Manfaat yang diharapkan adalah pulih dan terpeliharanya ekosistem hutan sempadan sungai melalui penanaman pengkayaan dengan jenis-jenis pohon lokal unggulan. Dalam skema kerjasama diatur peran dan tanggung jawab PT. Andira Agro adalah menyediakan lahan untuk areal demplot seluas 20 hektar, menyediakan tenaga kerja dan upahnya untuk penyiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan, mengamankan areal demplot dari kebakaran dan konversi serta pemeliharaan selama dan sesudah masa proyek. Sedangkan peran dan tanggung jawab BPK Palembang adalah melakukan transfer IPTEK restorasi dan rehabilitasi, memberikan asistensi teknis selama dan sesudah masa proyek, menyediakan bibit pohon lokal yang bersumber dari dana Proyek ITTO.
4.4.3 Pembibitan Jenis-Jenis Pohon Lokal (Indigeneous Species) Untuk mendukung kegiatan restorasi dan rehabilitasi hutan dan lahan gambut terdegradasi di lapangan, selama satu tahun telah dikumpulkan dan diperbanyak bibit jenis-jenis pohon lokal terpilih, seperti disajikan pada Tabel 25 dan Gambar 25. Pemilihan jenis didasarkan pada kesesuaian dan kemampuan jenis tersebut beradaptasi dengan kondisi lahan rawa gambut yang terdegradasi pada setiap lokasi mitra kerjasama.
100
Hutan dan Karbon
Tabel 25. Jenis dan jumlah bibit pohon lokal (indigeneous species) untuk kegiatan
restorasi dan rehabilitasi hutan dan lahan rawa gambut di Sumatera Selatan
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Jenis dan asal materi bibit Jelutung (Dyera lowii) dari daerah Kumpeh Ilir – Jambi Meranti (Shorea belangeran) dari daerah Belitung Gelam (Melaleuca leucadendron) dari daerah Gasing Banyuasin Punak (Tetramerista glabra) dari daerah Muara Merang Muba Gemor (Alseodhapne sp.) dari daerah Muara Merang – Muba Jumlah
Jumlah (batang) 8.000 8.000 10.000 8.000 8.000 42.000
Gambar 25. Jenis dan jumlah bibit pohon lokal (indigeneous species) untuk kegiatan
restorasi dan rehabilitasi hutan dan lahan rawa gambut di Sumatera Selatan
Jelutung (D. lowii) dipilih karena jenis ini dapat hidup dan beradaptasi pada areal hutan dan lahan gambut bekas kebakaran. Jelutung juga menghasilkan getah (hasil hutan bukan kayu) yang menjadi komoditas ekspor untuk sumber pendapatan
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
101
masyarakat. Meranti (S. belangeran) dipilih karena memiliki kemampuan hidup dan beraadaptasi dengan baik pada lahan rawa gambut terdegradasi. S. belangeran menghasilkan kayu berkualitas baik. Punak (T. glabra) dipilih karena merupakan jenis pohon lokal unggulan penghasil kayu pertukangan dengan kualitas baik (Martawijaya et al., 2005). Gemor (Alseodaphne sp.)pada dipilih karena leucadendron) adalah jenis pionir yang mampu hidup lahan rawa menghasilkan gambut yang bahan bioinsektisida dari kulit kayunya. Gelam (M. leucadendron) adalah jenis pionir terdegradasi berat, menghasilkan kayu berkualitas untuk beragam penggunaan. yang mampu hidup pada lahan rawa gambut yang terdegradasi berat, menghasilkan kayu berkualitas untuk beragam penggunaan. PEMBANGUNAN DEMONSTRASI PLOT RESTORASI DAN REHABILITASI
restorasiPlot danRestorasi rehabilitasidan pola kemitraan dimulai pada bulan 4.4.4 Pembangunan Pembangunandemplot Demonstrasi Rehabilitasi Desember 2011, penanaman dilakukan pada bulan Februari 2012. Saat ini tanaman
Pembangunan demplot restorasi dan rehabilitasi pola kemitraan dimulai pada rehabilitasi telah berumur 27 bulan. Peta lokasi areal dan kondisi hutan/lahan bulan Desember 2011, penanaman dilakukan padademplot bulan Februari 2012. Saat ini tanaman rehabilitasi telah berumur 27 bulan. sebelum penanaman disajikan pada Gambar 3, 4 danPeta 5. lokasi areal demplot dan kondisi hutan/lahan sebelum penanaman disajikan pada Gambar 25, 26 dan 27.
Gambar 3. Peta lokasi demplot restorasi dan rehabilitasi hutan dan lahan rawa gambut Gambar 26. Peta lokasi demplot restorasi dan rehabilitasi hutan dan lahan rawa gambut pola kemitraan kerjasama dengan Dinas Kehutanan Kabupaten OKI (kiri) dan
pola kemitraan kerjasama dengan Dinas Kehutanan Kabupaten OKI (kiri) kerjasama dengan Kelompok Tani Kedaton (kanan) dan kerjasama dengan Kelompok Tani Kedaton (kanan)
Jenis tanaman rehabilitasi yang digunakan pada areal demplot kerjasama dengan
Jenis tanaman rehabilitasi yang digunakan pada areal demplot kerjasama Dinas Kehutanan Kabupaten OKI adalah jelutung (D. lowii), meranti (S. belangeran), punak dengan Dinas Kehutanan Kabupaten OKI adalah jelutung (D. lowii), meranti (S. (T. glabra), gemor (Alseodaphne sp.) dan gelam (M. leucadendron). Sedangkan jenis
tanaman rehabilitasi pada demplot kerjasama dengan Kelompok Tani Kedaton adalah jelutung (D. lowii) menggunakan pola tanam campuran dengan kelapa sawit dan merupakan Hutan dan Karbon
102
pola agroforestry pertama pada kebun kelapa sawit di Kabupaten OKI.
belangeran), punak (T. glabra), gemor (Alseodaphne sp.) dan gelam (M. leucadendron). Sedangkan jenis tanaman rehabilitasi pada demplot kerjasama dengan Kelompok Tani Kedaton adalah jelutung (D. lowii) menggunakan pola tanam campuran dengan kelapa sawit dan merupakan pola agroforestry pertama pada kebun kelapa sawit di Kabupaten OKI.
Gambar 4. 27. Peta demplot restorasi restorasidan danrehabilitasi rehabilitasihutan hutandan dan lahan rawa gambut Gambar Petalokasi lokasi demplot lahan rawa gambut pola kemitraan kerjasama dengan PT. Andira Agro di Kabupaten Banyuasin pola kemitraan kerjasama dengan PT. Andira Agro di Kabupaten Banyuasin
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
103
Gambar 28. Peta lokasi demplot restorasi dan rehabilitasi hutan dan lahan rawa gambut pola kemitraan kerjasama dengan PT. Bumi Mekar Hijau di Kabupaten OKI
Jenis tanaman rehabilitasi yang digunakan pada areal demplot kerjasama dengan PT. Andira Agro adalah jelutung (D. lowii), meranti (S. belangeran), punak (T. glabra), dan gelam (M. leucadendron). Sedangkan jenis tanaman rehabilitasi pada demplot kerjasama dengan PT. Bumi Mekar Hijau adalah jelutung (D. lowii), meranti (S. belangeran), punak (T. glabra), gemor (Alseodaphne sp.) dan gelam (M. leucadendron). Kondisi dan penampilan tanaman rehabilitasi umur 4 dan 12 bulan setelah tanam pada demplot di keempat mitra kerja disajikan pada Gambar 29.
104
Hutan dan Karbon
Jelutung (Dyera lowii)
Meranti (Shorea belangeran)
Punak (Tetramerista glabra)
Gemor (Alseodaphne sp. )
Gambar 29. Kondisi dan penampilan pertumbuhan tanaman rehabilitasi umur 4 bulan (atas) dan umur 12 bulan (bawah) pada areal demplot restorasi dan rehabilitasi hutan dan lahan gambut di Sumatera Selatan
4.4.5 Pembelajaran dari Pola Kemitraan Restorasi dan Rehabilitasi Kegiatan yang diinisiasi oleh Proyek ITTO direspon sangat baik oleh mitra kerja karena kegiatan tersebut sangat sesuai dengan kebutuhan. Dinas Kehutanan membutuhkan contoh demplot dan transfer IPTEK restorasi dan rehabilitasi hutan gambut. Percontohan ini penting karena sebagian besar kondisi hutan rawa gambut di Sumatera Selatan dalam kondisi terdegradasi. Masyarakat sekitar yang hidupnya tergantung dari lahan gambut juga membutuhkan contoh budidaya pola campuran yang mengenalkan budidaya jenis pohon lokal (jelutung) untuk sumber pendapatan mereka. Perusahaan HTI dan perkebunan yang dituntut untuk melaksanakan kewajiban pengelolaan areal tanaman unggulan, areal konservasi dan areal HCV juga memperoleh manfaat karena ada transfer IPTEK dan contoh demplot yang dapat digunakan untuk memperluas (scale up) kegiatan ini pada tingkat operasional perusahaan.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
105
Proyek juga telah memfasilitasi penyebarluasan paket IPTEK restorasi dan rehabilitasi hutan dan lahan gambut yang disintesis oleh lembaga penelitian (BPK Palembang). Paket IPTEK tersebut diperoleh dari hasil penelitian dan pengembangan yang cukup panjang. Tantangan ke depan adalah perlunya komitmen yang kuat dari seluruh mitra kerja untuk konsisten melaksanakan kewajiban pengelolaan hutan dan lahan gambut sesuai aturan yang berlaku. Konsistensi lembaga riset untuk terus menggali IPTEK restorasi dan rehabilitasi terkini dan asistensi teknis yang berkelanjutan juga sangat diperlukan.
Penutup Pola kemitraan dalam restorasi dan rehabilitasi hutan dan lahan rawa gambut terdegradasi dapat diterapkan untuk mempercepat pemulihan kondisi hutan beserta ekosistemnya. Upaya tersebut secara bertahap akan dapat menurunkan emisi gas rumah kaca dan peningkatan serapan karbon dari hutan dan lahan gambut. Pola kemitraan juga memacu sinergitas dari seluruh pihak yang terkait dengan pengelolaan hutan dan lahan gambut sehingga upaya restorasi dan rehabilitasinya dapat lebih berhasil. Penggunaan jenis-jenis pohon lokal rawa gambut untuk restorasi dan rehabilitasi selain merupakan upaya penyelamatan jenis juga akan mengenalkan pola budidaya yang lebih ramah lingkungan karena jenis-jenis pohon tersebut mampu hidup dan beradaptasi pada lahan gambut yang lembab dan basah dimana dekomposisi gambut yang terjadi dan emisi gas rumah kaca yang dilepas sangat rendah.
Ucapan Terimakasih Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada ITTO melalui ITTO Project RED-SPD 009/09 Rev.2(F) dan mitra kerjasama dari Dinas Kehutanan Kabupaten OKI, Kelompok Tani Kedaton, PT. Bumi Mekar Hijau dan PT. Andira Agro yang telah membantu terwujudnya pembangunan Demplot Restorasi dan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Gambut di wilayah Sumatera Selatan.
Daftar Pustaka Giesen W. 2004. Causes of Peat Swamp Forest Degradation in Berbak National Park, Indonesia, and Recommendations for Restoration. Wetlands InternationalIndonesia programme, 2004 Hooijer, A., Silvius, M., Wosten, H. and Page, S. 2006. PEAT-CO2, Assesment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943 (2006) 106
Hutan dan Karbon
Jaenicke, J., H. Wosten and Arif Budiman. 2010. Planning Hydrological Restoration of Peatlands in Indonesia to Mitigate Carbon Dioxide Emissions. www. springerlink.com
Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira dan K. Kadir. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid I dan II. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor. Miettinen, J., S. C. Liew. 2010. Status of Peatland Degradation and Development in Sumatra and Kalimantan. Royal Swedish Academy of Sciences. www. springerlink.com
Silvius, M.J., APJM Steeman, E.T. Berczy, E. Djuharsa, and A.W. Taufik, 1987. The Indonesian Wetland Inventory; a Preliminary Compilation of Information on Wetlands of Indonesia. PHPA-AWB, Bogor, Indonesia.
Van Eijk, P. and P.H. Leenman. 2004. Regeneration of fire degraded peatswamp forest in Berbak National Park and implementation in replanting programmes. Water for Food & Ecosystems Programme project on: “Promoting the river basin and ecosystem approach for sustainable management of SE Asian lowland peatswamp forest”Case study Air Hitam Laut river basin, Jambi Province, Indonesia. Alterra Green World Research, Wageningen, the Netherlands.
Wahyunto, S. Ritung, Suparto dan H. Subagjo. 2005. Sebaran Lahan Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan 2004. Wetlands International – Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada (WHC)
4.5 Evaluasi Kesehatan Hutan Kota Sebagai Penyerap Karbon Studi kasus evaluasi kesehatanan hutan kota jenis sawo kecik (Manilkara kauki) di sekitar Gedung Pusat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Oleh: Agus Kurniawan Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang, email:
[email protected]
Ringkasan Kendaraan bermotor merupakan sumber utama timbal yang mencemari udara di wilayah perkotaan. Hutan kota yang terdiri dari pohon-pohon mempunyai kemampuan menurunkan kandungan timbal di udara. Penelitian ini bertujuan Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
107
untuk mengevaluasi kesehatan tanaman sawo kecik (Manilkara kauki) yang berada di sekitar Gedung pusat Universitas Gadjah Mada (UGM). Metode penelitian menggunakan forest health monitoring (FHM) yang dikembangkan oleh United States Department of Agriculture (USDA). Dari pengamatan diketahui bahwa dominasi jenis kerusakan tanaman sawo kecik (Manilkara kauki) di sekitar Gedung pusat UGM adalah luka terbuka (03) dan patah cabang (22) dengan tingkat keparahan yang bervariasi antar 30% - 40%. Secara umum, luas kerusakan untuk semua jenis kerusakan yang dicatat pada kedua plot sangat tinggi (84,6% dan 89,7%). Plot tanaman yang berada dekat dengan akses jalan lalu lintas kendaraan bermotor memiliki resiko kerusakan luka terbuka yang lebih tinggi (64,1%) dibandingkan dengan tanaman yang ditanam relative lebih jauh dari akses jalan raya (38,4%). Kerusakan didominasi oleh kerusakan antropogenik berupa pemotongan cabang dan luka terbuka terbentur badan kendaraan. Kata kunci: hutan kota, Manilkara kauki, forest health monitoring,
4.5.1 Pendahuluan Penanaman pohon di kanan kiri jalan bertujuan sebagai perindang, penyerap gas CO2 dan fungsi estetika. Pepohonan sebagai komponen ekosistem yang bersifat hidup (biotic) tidak lepas dari berbagai macam ancaman atau gangguan kesehatan. Kerusakan tanaman dapat disebabkan oleh factor biotik (hama, penyakit, manusia) maupun abiotik (cekaman air, suhu udara, polusi)
Kendaraan bermotor merupakan sumber utama timbal yang mencemari udara di daerah perkotaan (Goldmisth dan Hexter, 1967 dalam Dephut, 2008). Diperkirakan sekitar 60-70% dari partikel timbal di udara perkotaan berasal dari kendaraan bermotor. Hutan kota yang terdiri dari pohon-pohon mempunyai kemampuan menurunkan kandungan timbal di udara. Menurut Krishnayya dan Bedi, (1986); Dahlan (1989); Fakuara et. al., (1990) dalam Dephut (2008), menyatakan damar (Agathis alba), mahoni (Swietenia macrophylla), jamuju (Podocarpus imbricatus) dan pala (Mirystica fragrans), asam landi (Pithecelobiumdulce), johar (Cassia siamea), mempunyai kemampuan yang sedang tinggi dalam menurunkan kandungan timbal dari udara. Selain itu pohon juga dapat meredam suara dengan cara menyerap gelombang suara oleh daun, cabang dan ranting. Kemampuan pohon ini akan berguna dalam mengurangi kebisingan di perkotaan. Menurut Grey dan Deneke (1978) dalam Dephut (2008), dedaunan tanaman dapat menyerap kebisingan sampai 95%. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kesehatan tanaman sawo kecik (Manilkara kauki) yang berada di sekitar Gedung pusat UGM. Pengambilan sampel dilakukan secara purpose sampling yaitu satu plot tanaman yang berada pada akses
108
Hutan dan Karbon
jalan lalu lintas kendaraan bermotor dan satu plot tanaman yang tidak dijadikan akses lalu lintas kendaraan.
4.5.2 Metode Pengamatan 4.5.2.1 Alat dan Bahan 1. 2. 3. 4.
Alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah: Phiband (pita ukur diameter), satuan cm Galah ukur tinggi atau Shunto Kamera Tallysheet Forest Health Monitoring
Bahan penelitian mengambil populasi tanaman sawo kecik (Manilkara kauki) yang berada di sekitar jalan menuju gedung pusat dan Grha sabha Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 4.5.2.2 Pelaksanaan Penelitian 1. Sampel plot pengamatan Pengambilan sampel dilakukan secara purpose sampling yaitu satu plot tanaman yang berada pada akses jalan lalu lintas kendaraan bermotor dan satu plot tanaman yang relative jauh dari lalu lintas kendaraan. Plot pengamatan dilakukan di: 1. plot tanaman di sebelah timur Gedung pusat UGM sampai dengan Fakultas Sastra UGM mewakili plot tanaman yang jauh dari akses jalan sehingga diasumsikan mendapatkan polusi udara yang relative kecil dan 2. Plot tanaman sebelah Timur Grha Sabha Pramana sampai dengan jalan tengah kampus mewakili plot tanaman yang dekat akses jalan dengan asumsi tanaman mendapatkan tekanan lingkungan berupa polusi udara dan potensi kerusakan lain. Jumlah pengamatan masingmasing plot adalah 39 tanaman. 2. Metode penilaian kerusakan Metode penilaian kerusakan menggunakan metode FHM (Mangold, 1997), kerusakan dicatat jika kerusakan dapat mematikan pohon atau mempengaruhi daya hidup pohon dalam jangka panjang. Tatacara pengamatan yaitu dengan mengamati satu per satu pohon dalam plot pengamatan dari segala arah mulai dari akar sampai dengan daun. Tanda dan gejala kerusakan diberi prioritas dan dicatat berdasarkan lokasi menurut urutan: akar, akar dan batang bagian bawah, batang bagian bawah, batang bagian bawah dan batang bagian atas, batang bagian atas, batang tajuk, cabang, kuncup dan tunas dan daun dengan kode
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
109
0 - 9 di dalam lokasi tertentu. Kerusakan dicatat menurut urutan skala prioritas mengikuti urutan urutan nomor tipe kerusakan yang mungkin untuk lokasi tersebut. Makin tinggi nomor urut tipe kerusakan, makin rendah prioritasnya. Bila terdapat kerusakan lebih dari satu di lokasi yang sama, maka kerusakan yang mempunyai skala prioritas yang tertinggi (paling merusak) yang dicatat. Kode lokasi indikator kerusakan dapat dilihat pada Gambar 30.
Gambar 30. Kode lokasi indikator kerusakan pada tanaman hutan a. Lokasi Lokasi adalah tempat pada pohon dimana kerusakan dijumpai. Jika dalam satu lokasi tetrdapat lebih dari satu kerusakan maka yang dicatat adalah kerusakan dengan prioritas tertinggi. Jenis kerusakan yang sama yang dijumpai lebih dari satu lokasi maka dicatat menurut kode berikut:
110
Hutan dan Karbon
Tabel 26. Kode Lokasi Indikator Kerusakan Kode
Uraian
0
Tidak ada kerusakan
1
Akar (terbuka dan tunggak
2
Akar dan batang bagian bawah
3
Batang bagian bawah
4
Batang bagian bawah dan atas
5
Batang bagian atas
6
Batang tajuk (batang utama di dalam daerah tajuk hidup)
7
Cabang
8
Kuncup dan tunas
9
Daun
b. Kerusakan Kerusakan adalah kerusakan tanaman yang merupakan akibat penyakit (biotik maupun abiotik) yang memenuhi ambang batas di atas 20%. Kategori kerusakan dicatat berdasarkan urutan nomor yang menunjukkan tingkat prioritas yang semakin menurun dari kode kerusakan 01 – 31.
Tabel 27. Kode Skala Prioritas Kerusakan Kode
Uraian
01
Kanker matinya kulit dan kambium yang kemudian diikuti oleh matinya kayu di bawah kulit. Tubuh buah serta indikator lapuk lanjut. Tubuh buah pada batang utama, batang tajuk dan pada titik percabangan. Luka terbuka, kulit mengelupas tetapi tidak ditemukan lapuk lanjut Resinosis atau gumosis, kerusakan yang mengeluarkan resin/gum (cairan) eksudasi pada batang atau cabang Batang atau akar patah (0,91 m dari batang) Brum pada akar atau batang, yaitu gerombolan daun di tempat yang sama pada batang atau akar. Akar terluka atau mati Mati ujung (die back) kematian dari ujung tajuk/batang oleh penyakit, serangga atau kondisi cuaca ekstrim dan penyebab lain Patah, cabang atau batang patah
02 03 04 11 12 13 21 22
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
111
Kode
Uraian
23
Percabangan berlebihan/branchis, yaitu gerombolan ranting yang padat, tumbuh di suatu tempat yang sama, terjadi di dalam tajuk hidup. Kerusakan kuncup daun atau tunas Perubahan warna daun Lain, jika ditemukan kerusakan spesifik yang tidak termasuk dalam kode
24 25 31
c. Tingkat keparahan Tabel 28. Kode Tingkat Keparahan Keparahan adalah persentase jumlah (luas) daerah yang Kelas (%) Kode terserang/rusak di atas nilai 20 – 29 2 ambang batas dibandingkan 30 – 39 3 dengan luas keseluruhan dalam 40 – 49 4 satu lokasi. Kerusakan dicatat apabila nilai keparahan sekurang50 – 59 5 kurangnya 20%. Kelas nilai 60 – 69 6 keparahan adalah sebagaimana 70 – 79 7 tabel 28. 80 – 89 8 d. Penyebab kematian 90 – 99 9 Penyebab kematian adalah penyebab kematian/kondisi tanaman/pohon ketika diamati. Kode penyebab kematian adalah sebagai berikut:
Tabel 29. Kode Penyebab Kematian Kode
Uraian
001
Pohon telah mati saat ditemukan pertama kali
100
Serangga
200
Penyakit
210
Cacar karat
300
Kebakaran
400
Satwa liar atau penggembalaan
500
Cuaca
600
Tertekan karena kompetisi
700
Penebangan atau kerusakan yang berhubungan dengan aktivitas manusia
800
Tidak diketahui
999
Lain dari yang disebut di atas
112
Hutan dan Karbon
Selanjutnya dari hasil pengamatan digunakan untuk menghitung, Luas serangan, Luas serangan dihitung dengan formula: Jumlah tanaman yang mengalami kerusakan Jumlah total tanaman yang diamati
100%
4.5.3 Hasil dan Pembahasan 4.5.3.1 HASIL PENGAMATAN Dari pengamatan yang dilakukan pada plot tanaman sawo kecik (Manilkara kauki) yang terdapat di sekitar Gedung Pusat UGM dapat disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 30. Luas Kerusakan Tanaman Sawo kecik di Sekitar Gedung Pusat UGM No
Jumlah tanaman
Lokasi
Total
Sehat
Rusak
Mati
Luas kerusakan
1
Plot 1
39
6
33
0
84,6%
2
Plot 2
39
4
35
2
89,7%
Tabel 31. Variasi Lokasi Kerusakan Tanaman Sawo kecik di Sekitar Gedung Pusat UGM, (Plot 1)
Kerusakan
Lokasi
Jumlah Pohon
Tipe
Tk. keparahan
Kisaran keparahan
0 1 2 3 4 5
6 3 2 7 12 6
13 3 2 2 3 31 2 3 31 2
2 3 2 2 3 3 2 3 6 2
2-3 2-3 2-5 2-7
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
113
Kerusakan
Lokasi
Jumlah Pohon
Tipe
Tk. keparahan
Kisaran keparahan
6 7 8 9
9 15 0 0
3 23 3 21 22 3 4 21 22 24
3 2 3 4 3 2 2 2 2 2
2-3 2-3 2-5 2-4 2-3
Tabel 32. Variasi Lokasi Kerusakan Tanaman Sawo kecik di Sekitar Gedung Pusat UGM, (Plot 2)
Kerusakan
Lokasi
Jumlah Pohon
Tipe
Keparahan
Kisaran keparahan
0
4
1
1
2
0
3
3
2
2
3
3
31
4
4
11
1
9
2
3
3
3
2-5
31
5
9
2
3
3
3
2-4
6
1
3
5
7
13
3
3
2-4
114
Hutan dan Karbon
Kerusakan
Lokasi
Jumlah Pohon
Tipe
Keparahan
Kisaran keparahan
22
3
2-4
8
1
21
3
9
2
24
5
25
9
700
1
900
1
Tabel 33. Variasi Jenis Kerusakan Tanaman Sawo kecik di Sekitar Gedung Pusat UGM, (Plot 1).
Jenis Kerusakan
Jumlah Pohon
0 2 3 4 13 21 22 23 24 31
6 6 15 1 2 3 9 1 1 5
Kerusakan Kisaran keparahan 2-3 2-5 2-5 2-4 2-7
Keparahan 2 3 2 2 3 3 2 2 5
Tabel 34. Variasi Jenis Kerusakan Tanaman Sawo kecik di Sekitar Gedung Pusat UGM, (Plot 2)
Kerusakan
Jenis Kerusakan
Jumlah Pohon
0
4
1
3
7
2-9
2
3
3
2-3
3
25
4
2-9
Keparahan
Kisaran keparahan
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
115
Kerusakan
Jenis Kerusakan
Jumlah Pohon
21
1
3
22
12
3
2-4
24
2
7
5-9
31
3
5
4-8
Keparahan
Kisaran keparahan
4.5.4 Pembahasan 4.5.4.1 Lokasi kerusakan Dari data di atas dapat diketahui bahwa luas serangan pada kedua plot sangat tinggi (di atas 80%). Meskipun demikian terlihat bahwa plot 1 memilki luas serangan lebih rendah. Plot 1, didominasi kerusakan yang berlokasi di cabang dan batang bagian bawah sampai dengan atas. Di lokasi ini banyak dijumpai tubuh buah jamur Ganoderma spp (02), kerusakan luka terbuka (03), mati ujung/dieback (21), patah (22) dan banyak dijumpai benalu/ficus (5 tanaman). Khusus untuk serangan benalu dan juga ficus ini apabila tidak segera diambil tindakan pemeliharaan dikhawatirkan akan mengganggu kesehatan tanaman (Gambar 31). Diketahui ficus apabila hidup menempel pada tanaman lain akan berpotensi menjadi tanaman pencekik.
116
Hutan dan Karbon
Gambar 31. Benalu yang tumbuh pada cabang tanaman Luas kerusakan pada Plot 2 terlihat lebih besar. Hal ini diduga karena lalu lintas jalan pada plot 2 menyebabkan kerusakan antropogenik berupa luka terbuka oleh penebasan, gesekan dengan kendaraan (bak truk yang menyangkut/melukai kulit batang) lebih banyak terjadi. Hal ini dapat dilihat pada table 3, bahwa dominasi kerusakan terjadi pada lokasi cabang dengan jenis kerusakan luka terbuka (03)dan patah cabang (22) detail kerusakan dapat dilihat pada Gambar 32.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
117
Gambar 32. Kerusakan luka terbuka pada pangkal batang tanaman 4.5.4.2 Jenis kerusakan Kedua plot pengamatan memperlihatkan dominasi jenis kerusakan yang sama, yaitu kerusakan luka terbuka (03). Dari Tabel 30, pada tanaman plot 1 diketahui bahwa dominasi jenis kerusakan luka terbuka (03) dengan luas kerusakan mencapai 38,4%, tingkat keparahan bervariasi antara 20% – 50%. Sedangkan luas kerusakan pada plot 2 (Tabel 32) mencapai 64,1%, tingkat keparahan bervariasi antara 20% 90%.
Selain kerusakan luka terbuka, nampak juga jenis kerusakan patah cabang (22). Pada plot 1, kerusakan patah cabang sebesar 23,1% sedangkan pada plot 2 mencapai 30,8% dengan tingkat keparahan bervariasi antara 20% - 40%. Selain kerusakan luka terbuka dan patah, di kedua plot dijumpai kerusakan oleh serangan rayap kayu (31) dengan tingkat keparahan tinggi yaitu bervariasi antara 20% - 80%. Di plot 1 tingkat keparahan bervariasi antara 20% - 70%, sedangkan di plot 2 mencapai 40% - 80%. Hal ini menegaskan bahwa tanaman yang berada dekat dengan akses jalan
118
Hutan dan Karbon
lalu lintas kendaraan bermotor (plot 2) memiliki resiko kerusakan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang ditanam lebih jauh dari akses jalan raya.
Jenis kerusakan yang dijumpai dan memiliki resiko tinggi menyebabkan gangguan terhadap tanaman adalah kerusakan pada akar dan batang bawah (02). Di plot 1 dijumpai luas kerusakan sebesar 15,4% dengan tingkat keparahan 20% - 30%, sedangkan di plot 2 dijumpai luas kerusakan sebesar 7,7% dengan tingkat keparahan antara 2% - 30%.
Dikedua plot hanya dijumpai pohon yang sehat/tanpa kerusakan antara 10% – 15,4%. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tanaman sawo kecik yang ditanam di wilayah yang berdekatan dengan jalan raya memiliki resiko kerusakan yang tinggi. Akan tetapi berhubung jenis kerusakan didominasi oleh luka terbuka dan patah cabang yang lebih disebabkan oleh kerusakan antropogenik, maka solusi ke depan adalah merubah pola pemeliharaan tanpa harus mengganti jenis ini.
Sawo kecik memiliki beberapa kelebihan sebagai tanaman perindang jalan, diantaranya merupakan jenis yang tidak menggugurkan daun, daun memiliki lapisan lilin yang mampu hidup dalam lingkungan berpolusi serta memiliki tipe tajuk yang baik sebagai peneduh. Menurut Suhartati (2006), pemilihan jenis pohon untuk pengembangan hutan kota mempunyai beberapa dasar pertimbangan, diantaranya perakaran dalam umumnya hasil pembiakan berasal dari biji, pertumbuhan cepat dan tahan terhadap pemangkasan, tahan terhadap kekurangan air, selalu hijau dan berbunga, mampu tumbuh pada berbagai kondisi tanah, tajuk melebar, tidak mudah menggugurkan daun (Suhartati, 2006). Kriteria yang lain yang tidak kalah penting adalah tahan serangan hama/penyakit dan tidak tergolong tanaman beracun. Sebagai saran, pemeliharaan tanaman harus diarahkan untuk meminimalisasi terjadinya luka terbuka oleh pemotongan cabang besar yang beresiko menjadi jalan masuk pathogen. Selain itu pemotongan cabang yang ditumbuhi oleh benalu juga perlu segera dilakukan untuk menghindari gangguan kesehatan tanaman.
4.5.5 Kesimpulan dan Saran 4.5.5.1 Kesimpulan 1. Dominasi jenis kerusakan tanaman sawo kecik (Manilkara kauki) di sekitar Gedung pusat UGM adalah luka terbuka (03) dan patah cabang (22) dengan tingkat keparahan yang bervariasi antar 30% - 40%. 2. Secara umum, luas kerusakan untuk semua jenis kerusakan yang dicatat pada kedua plot sangat tinggi (84,6% dan 89,7%).
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
119
3. Plot tanaman yang berada dekat dengan akses jalan lalu lintas kendaraan bermotor memiliki resiko kerusakan luka terbuka yang lebih tinggi (64,1%) dibandingkan dengan tanaman yang ditanam relative lebih jauh dari akses jalan raya (38,4%). 4. Kerusakan didominasi oleh kerusakan antropogenik berupa pemotongan cabang dan luka terbuka.
Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada tim praktikum perlindungan hutan, mahasiswa pascasarjana Universitas Gadjah Mada tahun 2011.
Daftar Pustaka Dephut, 2008. Hutan Kotan untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup. Accessed 14 of July 2008 at http://www.dephut.go.id/ INFORMASI/HUTKOT/Dafisi.htm Edmonds. Robert L, James K. Agee dan Robert L. Gara. 2000. Forets Health and Protection. McGraw-Hill Companies. United States
Mangold, R. 1997. Forest Health Monitoring: Field Methods Guide. USDA Forest. Old, K. M., See L.S., Sharma J.K., & Yuan, Z.Q. 2000. A Manual of Diseases of Tropical Acacias in Australia, South East Asia and India. Centre Tainter, F.H. dan F.A. Baker. 1996. Priciples of forest pathology. John Wiley and Sons, Inc. Canada. 805p.
Suhartati, 2006. Pembangunan Hutan Kota Menuju Lingkungan Bersih. Info Hutan Tanaman Vol. 1. No.2, Oktober 2006 Sumardi dan S.M. Widyastuti. 2004. Dasar-dasar Perlindungan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Widyastuti S.M., 2006a. Potensi Antagonistik Fungi Trichoderma sebagai Agen Pengendali Hayati terhadap Fungi Patogen Tular Tanah. Lokakarya Busuk hati dan Busuk akar pada Hutan Tanaman Akasia. Yogyakarta 7 – 9 Februari 2005 pp. 71-82. Widyastuti, S.M, 2006b. Forest Health Monitoring di Hutan Tanaman, Pengendalian hama dan penyakit pada hutan tanaman. Diskusi sehari jaringan kerja litbang hutan tanaman 23 Nop 2006, Jakarta.
120
Hutan dan Karbon
4.6 Cadangan dan Serapan Karbon pada Hutan Rakyat Bambang Lanang (Michelia champaca L.) Oleh: Agus Sumadi, Hengki Siahaan, Fatahul Azwar Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Abstrak Tipe hutan di Sumatera Selatan yang banyak berkembang saat ini salah satunya berupa hutan rakyat. Hutan rakyat yang banyak dikembangkan oleh masyarakat dengan pola agroforestry antara jenis bambang lanang dengan kopi. Pengembangan hutan rakyat dapat menjadi potensi penyerap karbon. Penelitian ini bertujuan memberikan informasi cadangan dan serapan karbon pada hutan tanaman rakyat. Kegiatan dilakukan dengan pembuatan PSP pada hutan rakyat Bambang di Kabupaten Empat Lawang. Hasil penelitian menunjukkan serapan karbon pada berbagai umur tegakan bambang terbesar terdapat pada pool di atas permukaan tanah. Tegakan bambang umur 13 tahun mempunyai cadangan karbon mencapai 65.35 ton/ha. Perkembangan hutan rakyat di Sumatera Selatan mampu menyerap karbon di udara dalam jumlah banyak, sehingga program hutan rakyat perlu terus dikembangkan.
4.6.1 Pendahuluan Salah satu tipe hutan yang banyak berkembang di wilayah Sumatera Selatan berupa hutan rakyat. Tipe hutan ini banyak dikembangkan oleh masyarakat khususnya jenis bambang. Perkembangan hutan rakyat bambang banyak terdapat di Kabupaten Empat Lawang, Kabupaten Lahat, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, dan Kota Pagar Alam. Jenis bambang banyak dibudidayakan oleh masyakat dalam bentuk agroforestry dengan kopi dan ada sebagian monokultur. Pembangunan hutan rakyat memiliki manfaat langsung bagi masyarakat berupa kayu yang dapat dipanen setelah memiliki ukuran tertentu selain itu hutan juga memiliki manfaat tidak langsung sebagai jasa lingkungan, baik sebagai pengatur tata air, fungsi estetika, penyedia oksigen dan penyerap karbon ( Masripatin et al., 2010). Hutan rakyat saat ini merupakan tipe hutan yang terus berkembang secara kontinyu di lahan milik masyarakat. Dengan adanya kesadaran dari masyarakat untuk membudidayakan pohon di lahan milik terutama jenis bambang dapat menjadi salah satu solusi penyerap karbon di udara. Dalam tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai cadangan karbon pada hutan rakyat khususnya jenis bambang yang dipolakan secara agroforestry.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
121
4.6.2 Lokasi dan Kondisi Hutan Rakyat Bambang Pembuatan dan pengukuran PSP dilakukan di Desa Pajar Bakti, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Empat Lawang. Secara geografis Kecamatan Tebing Tinggi, di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Musi Rawas, di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Talang Padang, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Lahat dan di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Bengkulu. Ketinggian tempat di Kecamatan Tebing Tinggi berkisar antara 94-130 m dpl. Luas wilayah kecamatan adalah 590,57 km2. Kegiatan pembuatan dan pengukuran PSP pada tipe hutan rakyat ini di lakukan pada hutan rakyat dengan jenis tegakan Bambang lanang, yang dikembangkan oleh masyarakat dalam bentuk hutan rakyat pola agroforestry dengan kopi. Masyarakat di Kabupaten Empat Lawang sudah sejak lama mengembangkan jenis Bambang lanang baik dengan pola agroforestry maupun pola monokultur. Masyarakat lebih menyukai pola agroforestry karena memiliki hasil ganda. Model agroforestry/pola campuran banyak menjadi pilihan prioritas dalam sistem pertanaman karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan sistem monokultur, kelebihan ini diantarannya adalah produk ganda yang dihasilkan sepanjang pengelolaan (baik kayu maupun non kayu termasuk didalamnya jasa lingkungan (Suryanto et al., 2006).
PSP hutan rakyat jenis Bambang lanang dibuat sebanyak 3 plot yang dapat mewakili umur tegakan bambang yang ada, yaitu tegakan umur 2 tahun, 7 tahun dan 12 tahun. Kegiatan pembuatan plot ukur bertujuan untuk melihat cadangan karbon mengalami pengurangan (emisi) atau penambahan (penyerapan karbon). Cara tersebut sesuai dengan pendapat Wibowo (2012) salah satu cara dalam perhitungan emisi adalah dengan menghitung perbedaan cadangan karbon (carbon stock) pada waktu tertentu.
4.6.3 Cadangan karbon Hutan Rakyat Bambang Lanang Pengukuran cadangan karbon hutan rakyat bambang dilakukan pada pola agroforestry antara bambang dan kopi yang banyak dikembangkan oleh masyarakat di Kabupaten Empat Lawang. Objek penelitian dilakukan pada tegakan bambang yang memiliki umur 2 tahun, 7 tahun dan 12 tahun pada saat pembuatan plot 2012. Pengukuran cadangan karbon dilakukan terhadap 4 pool karbon yang meliputi karbon di atas permukaan tanah, karbon di bawah permukaan tanah, karbon pada nekromas dan karbon pada serasah. Kegiatan pembuatan plot awal dilakukan pada tahun 2012 dan dilakukan pengukuran ulang cadangan karbon pada tahun 2013. Tegakan bambang pada umur 2 tahun dengan kerapatan 200 pohon/ha memiliki rata-rata diameter sebesar 4.03 cm dan tinggi 3.8 m, sedangkan pada umur 3 tahun tegakan bambang tersebut memiliki rata-rata diameter sebesar 9.8 cm dan tinggi 7.1
122
Hutan dan Karbon
m. Tegakan bambang pada umur tersebut memiliki CAI diameter sebesar 5.8 cm dan CAI tinggi sebesar 3.3 m. Pertumbuhan tegakan bambang yang cepat pada usia muda akan memiliki pengaruh besar terhadap penyerapan karbon atau peningkatan cadangan karbon. Kondisi cadangan karbon pada tegakan umur 2 dan 3 tahun seperti pada Gambar 33 berikut ini. 2 tahun
3 tahun
Cadangan karbon (ton/ha)
14.00
12.66
12.00
10.26
10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00
4.45 2.36
2.99 1.65 0.87
2.99
C-‐ di atas C-‐di bawah C-‐nekromas permukaan permukaan
4.04 3.57
C-‐seresah
Total
Pool Karbon
Gambar 1. Cadangan karbonpada padahutan hutanrakyat rakyatbambang bambang lanang umur 2 tahun Gambar 33. Cadangan karbon lanang umur 2 tahun dan 3dan 3 tahun tahun Cadangan karbon hutan rakyat tegakan bambang pola agroforestry antara Cadangan karbon hutan rakyat tegakan bambang pola agroforestry antara bambang dan ton/ha pada umur 3 tahun bambang dan kopi kopipada padaumur umur22tahun tahunsebesar sebesar10.26 10.26 ton/hadan dan pada umur 3 tahun mengalami peningkatan sebesar 2.4 ton/ha. Dari ke empat pool karbon yang dilakukan mengalami peningkatan sebesar 2.4 ton/ha. Dari ke empat pool karbon yang pengukuran pertama tahun 2012 terbesar terdapat pada pool karbon serasah diikuti dilakukan pengukuran tahun 2012 terdapat karbon karbon nekromas, karbonpertama diatas permukaan dan terbesar terakhir pada pool pada karbonpool di bawah permukaan, sedangkan pada pengukuran ke dua tahun 2013 pool di atas permukaan serasah diikuti karbon nekromas, karbon diatas permukaan dan terakhir pada pool tanah memiliki cadangan karbon terbesar dibandingkan dengan pool lainnya. Pada karbon di bawah plot permukaan, pada 2pengukuran ke dua tahun 2013 pool awal pembuatan tegakan sedangkan bambang umur tahun kondisi lahan yang masih banyak serasah dan tanah nekromes hasil cadangan pembukaan lahan terbesar sehinggadibandingkan menyebabkandengan dua di atas permukaan memiliki karbon pool ini menyumbangkan cadangan karbon terbesar. pool lainnya. Pada awal pembuatan plot tegakan bambang umur 2 tahun kondisi Penyerapan karbon terbesar pada tegakan bambang antara umur 2 tahun sampai lahan masih banyak serasah dan nekromes hasilmeliputi pembukaan lahan sehingga 3 tahunyang terdapat pada pool di atas permukaan tanah yang tegakan bambang, tanaman kopi dan bawah/rumput. Penyerapan karbonterbesar. terbesar terdapat menyebabkan dua tumbuhan pool ini menyumbangkan cadangan karbon
Penyerapan karbon terbesar pada tegakan bambang antara umur 2 tahun sampai 3 tahun terdapat pada diMonitoring atas permukaan tanah yang meliputi tegakan Prosidingpool Workshop Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan 123 bambang, tanaman kopi dan tumbuhan bawah/rumput. Penyerapan karbon
setelah penyerapan karbon diatas permukaan tanah karena penyerapan karbon pada pool ini memiliki korelasi yang besar dengan perkembangan tegakan pada tegakan bambang yang disebabkan oleh riap tegakan bambang yang cepat bambang yang Untuk pool nekromas tidakdan mengalami jumlah dimana riap CAIcepat. diameter mencapai 5.8 cm/tahun riap CAI perubahan tinggi sebear 3.3 m/tahun. pool sedangkan di atas permukaan mampu menyerap karbon cadanganPada karbon pada tanah pool selama karbon1 tahun serasah cenderung mengalami sebesar 2.09 ton/ha jauh lebih besar dari tiga pool lainnya. Penyerapan karbon pada penurunan yang disebabkan oleh adanya pelapukan serasah menjadi bahan pool di bawah permukaan tanah terbesar kedua setelah penyerapan karbon diatas organik. tanah karena penyerapan karbon pada pool ini memiliki korelasi yang permukaan besar dengan perkembangan tegakan bambang yang bambang cepat. Untuk nekromas Cadangan karbon pada hutan rakyat jenis jugapool dilakukan pada tidak mengalami perubahan jumlah cadangan karbon sedangkan pada pool karbon tegakancenderung bambang mengalami yang telah penurunan berumur 7 yang tahun. Tegakan oleh ini memiliki kerapatan serasah disebabkan adanya pelapukan serasah menjadipada bahanumur organik. 500 pohon/ha 7 tahun memiliki diameter rata-rata sebesar 21.48 cm Cadangan karbon pada m, hutan rakyat jenis bambang dilakukan pada tegakan dan tinggi rata-rata 21.32 sedangkan pada umur juga 8 tahun memiliki diameter bambang yang telah berumur 7 tahun. Tegakan ini memiliki kerapatan 500 pohon/ rata-rata sebesar 21.84 cm dan tinggi rata-rata 22.97 m. Tegakan pada rataumur ha pada umur 7 tahun memiliki diameter sebesar 21.48bambang cm dan tinggi rata 21.32memiliki m, sedangkan pada umur 8 tahun diameter rata-rata tersebut CAI diameter sebesar 0.36memiliki cm/tahun dan CAI tinggisebesar sebesar 21.84 cm dan tinggi 22.97 m. Tegakan bambang pada umur tersebut memiliki CAI 1.65 m/tahun. Tegakan bambang dengan kerapatan 500 pohon/ha pada umur 7 diameter sebesar 0.36 cm/tahun dan CAI tinggi sebesar 1.65 m/tahun. Tegakan sampai 8 dengan tahun mengalami pertumbuhan yang umur lambat baik dari diameter maupun bambang kerapatan 500 pohon/ha pada 7 sampai 8 tahun mengalami pertumbuhan yang lambat baik dari diameter maupun tinggi tanaman tersebut. tinggi tanaman tersebut. Kondisi tersebut akan mempengaruhi cadangan karbon Kondisi tersebut akan mempengaruhi cadangan karbon pada tegakan tersebut. pada tegakan tersebut. karbon tegakan umur 7 Perkembangan cadanganPerkembangan karbon tegakancadangan bambang umur 7 tahun danbambang 8 tahun seperti pada 34 berikut tahunGambar dan 8 tahun sepertiini. pada Gambar 2 berikut ini.
Cadangan karbon (ton/ha)
7 tahun
8 tahun 64.29 63.29
70 60 50
42.88 41.6
40 30
15.39 15.87
20 10 0
C-di atas permukaan
C-di bawah permukaan
3.02 3.02
3.28 2.52
C-nekromas
C-seresah
Total
Pool karbon
Gambar34. 2. Cadangan karbon pada padahutan hutanrakyat rakyatbambang bambang lanang umur 7 tahun Gambar Cadangan karbon lanang umur 7 tahun dandan 8 8 tahun tahun
124
Hutan rakyat bambang yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat pada Hutan dan Karbon
umur 7 tahun memiliki cadangan karbon total pada 4 pool sebesar 63.29 ton/ha,
Hutan rakyat bambang yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat pada umur 7 tahun memiliki cadangan karbon total pada 4 pool sebesar 63.29 ton/ha, sedangkan tegakan pada umur 8 tahun cadangan karbon mengalami peningkatan sebesar 1 ton/ha sehingga menjadi 64.29 ton/ha. Pada umur 7 tahun dan 8 tahun cadangan karbon terbesar terdapat pada pool diatas permukaan tanah atau yang terdapat pada tegakan bambang dan tanaman agroforestry kopi maupun tumbuhan bawah yang ada. Cadangan karbon pada tanaman diatas permukaan tanah mencapai 66% sisanya terdapat pada tiga pool karbon lainnya hal ini sesuai dengan pendapat Wibowo et al. (2010) karbon pohon merupakan salah satu sumber karbon yang sangat penting pada ekosistem hutan, karena sebagian besar karbon hutan berasal dari biomassa pohon. Cadangan karbon terendah pada tegakan bambang umur tersebut terdapat pada nekromas dan serasah.
Berdasarkan serapan karbon atau peningkatan jumlah cadangan karbon yang terbesar terdapat pada tanaman yang berada di atas permukaan tanah. Selama satu tahun hutan rakyat bambang umur 7 tahun sampai 8 tahun dapat menyerap karbon sebesar 1.28 ton/ha, sedangkan pada pool karbon dibawah permukaan penyerapan karbon hanya sekitar 0.48 ton/ha. Penambahan cadangan karbon pada ke dua pool tersebut disebabkan oleh karena adanya pertumbuhan tegakan bambang. Cadangan karbon pada nekromas tidak mengalami penambahan sedangkan pada serasah cenderung mengalami penurunan sebesar 0.76 ton/ha. Penurunan cadangan karbon pada serasah disebabkan oleh adanya dekomposisi serasah.
Tegakan bambang pola agroforestry dengan kopi di Kabupaten Empat Lawang ada yang sudah berumur 12 tahun. Kondisi tegakan bambang dengan kerapatan 175 pohon/ha pada umur 12 tahun memiliki rata-rata diameter sebesar 31.8 cm dan ratarata tinggi sebesar 27.8 m, sedangkan tegakan tersebut pada umur 13 tahun memiliki rata-rata diameter sebesar 33.1 dan rata-rata tinggi sebesar 28.6 m. Tegakan bambang dengan kerapatan 175 pohon/ha umur 12 tahun sampai 13 tahun memiliki CAI diameter sebesar 1.3 cm/tahun dan CAI tinggi sebesar 0.8 m. Perkembangan dimensi tegakan bambang tersebut akan memiliki pengaruh terhadap besarnya cadangan karbon tegakan bambang tersebut. Besarnya cadangan karbon pada tiap pool seperti pada Gambar 35 barikut ini. Hutan rakyat bambang pada umur 12 tahun mempunyai cadangan karbon 65.35 ton/ha dan meningkat sebesar 6.07 ton/ha menjadi 65.35 ton/ha pada umur 13 tahun. Tegakan bambang yang dibudidayakan masyarakat memiliki potensi besar dalam menyerap karbon. Hasil pengukuran cadangan karbon terhadap 4 pool karbon pada tegakan bambang umur 12 dan 13 tahun cadangan karbon terbesar terdapat pada pool di atas permukaan tanah diikuti oleh cadangan karbon dibawah permukaan tanah, serasah dan cadangan karbon terendah terdapat pada nekromas.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
125
12 tahun
13 tahun
65.35
Cadangan karbon (ton/ha)
70
59.28
60 50
45.05 40.95
40 30
16.67 15.15
20 10 0
1.02 1.02 C-di atas permukaan
C-di bawah permukaan
C-nekromas
2.16 2.61 C-seresah
Total
Pool karbon
Gambar 35. Cadangan karbon pada hutan rakyat bambang lanang umur 12 tahun dan
Gambar 3. Cadangan 13 tahun karbon pada hutan rakyat bambang lanang umur 12 tahun dan 13 tahun
Tegakan bambang pada umur ini masih memiliki pertumbuhan baik diameter Hutan sehingga rakyat bambang pada cadangan umur 12 tahun cadangan karbon dan tingginya penambahan karbonmempunyai di atas permukaan tanaman terbesar dibandingkan dengan ke tiga6.07 poolton/ha karbonmenjadi lainnya.65.35 Penambahan cadangan 65.35 ton/ha dan meningkat sebesar ton/ha pada umur karbon pada tanaman mencapai 4.1 ton/ha diikuti oleh penambahan cadangan karbon 13 tahun. Tegakan bambang yang dibudidayakan masyarakat memiliki potensi di bawah permukaan tanah sebesar 1.52 ton/ha. Cadangan karbon pada serasah besar dalam menyerap karbon.sebesar Hasil 0.45 pengukuran cadanganpada karbon terhadap sedikit mengalami peningkatan ton/ha sedangkan nekromas tidak 4 mengalami hal inibambang disebabkanumur pada tegakan jatuh kelantai pool karbonperubahan, pada tegakan 12 dantua 13banyak tahundaun cadangan karbon hutan sehingga serasah mengalami peningkatan. terbesar terdapat pada pool di atas permukaan tanah diikuti oleh cadangan karbon dibawah permukaan tanah, serasah dan cadangan karbon terendah terdapat pada 4.6.4 Kesimpulan nekromas. Pengembangan hutan rakyat bambang dapat menjadi salah satu solusi Tegakan bambang pada umur ini penyerapan masih memiliki baik Besarnya CO2 pertumbuhan dapat dilihat dari dalam penyerapan CO2 di udara. perkembangan cadangan karbon pada hutan rakyat tersebut. Hasil di pengukuran pada diameter dan tingginya sehingga penambahan cadangan karbon atas permukaan tegakan bambang penyerapan karbon terbesar pada pool di atas permukaan tanah. tanaman terbesar dibandingkan dengan ke tiga pool karbon lainnya. Penambahan Pada umur 2 tahun sampai 3 tahun kerapatan 200 pohon/ha penyerapan karbon diatas cadangan karbon padaton/ha, tanaman mencapai 4.1 ton/ha diikuti olehkerapatan penambahan permukaan tanah 2.09 umur 7 tahun sampai 8 tahun dengan 500 pohon/hakarbon serapan di karbonnya ton/ha dan padasebesar tegakan1.52 umurton/ha. 12 tahun sampai cadangan bawah 1.28 permukaan tanah Cadangan 13 tahun dengan kerapatan 175 pohon/ha serapan karbonnya 4.1 ton/ha. karbon pada serasah sedikit mengalami peningkatan sebesar 0.45 Hutan ton/ha rakyat bambang pada umur 13 tahun pada 4 pool karbon memiliki cadangan karbon sedangkan pada ton/ha. nekromas tidak mengalami perubahan, hal ini disebabkan pada mencapai 65.35 tegakan tua banyak daun jatuh kelantai hutan sehingga serasah mengalami peningkatan. 126
Hutan dan Karbon
Daftar Pustaka Masripatin, N. et al. 2010. Cadangan Karbon pada Berbagai Tipe Hutan dan Jenis Tanaman di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Bogor.
Suryanto P., W.B. Aryono dan M. S. Sabarnurdin. 2006. Model Bera Dalam Sistem Agroforestri. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XII No. 2: 15-26.
Wibowo, A. 2012. Menghitung Emisi dan Serapan Gas Rumah Kaca dari Sektor Kehutanan. Prosiding Seminar Hasil Litbang Puspijak dalam Mendukung Pembangunan Rendah Karbon. Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan. Bogor.
Wibowo, A. et al. 2010. REDD+& Forest Govermence. Pusat Penelitian dan Kebijakan Kehutanan. Kampus Balitbang Kehutanan. Bogor.
4.7 Evaluasi Emisi Karbon dari Subsidensi Gambut dan Penurunan Muka Air Tanah Pada Lahan Gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan Oleh: Bastoni dan Adi Kunarso (Balai Penelitian Kehutanan Palembang)
Abstrak Konversi lahan gambut yang diikuti oleh pembuatan saluran drainase secara masif untuk areal budidaya (hutan tanaman dan perkebunan) diperkirakan menghasilkan emisi karbon dalam jumlah besar. Evaluasi emisi karbon yang telah terjadi dapat didekati dari penurunan permukaan (subsidensi) gambut dan air tanah pada suatu hamparan lahan. Hasil penelitian yang dilaksanakan pada lahan gambut di jalur Kayuagung – Sepucuk Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan pada tahun 2007 dan 2012 menunjukkan subsidensi gambut rata-rata sebesar 17,06 cm/tahun dan penurunan muka air tanah rata-rata sebesar 6,19 cm/tahun dengan emisi karbon yang telah terjadi diperkirakan rata-rata sebesar 88,58 ton C ha-1 tahun-1 sampai dengan 5 tahun pertama pembukaan lahan. Kata kunci: lahan gambut, air tanah, konversi, subsidensi, emisi karbon
4.7.1 Pendahuluan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) mempunyai kawasan rawa gambut seluas lebih kurang 769.000 ha atau sekitar 54% dari luas total lahan gambut Sumatera
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
127
Selatan (Wahyunto et al, 2005). Kondisi saat ini, sebagain besar kawasan rawa gambut di OKI sudah beralih fungsi menjadi hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan (terutama kelapa sawit). Luas areal konsesi HTI yang diusahakan pada lahan rawa gambut di Kabupaten OKI diperkirakan mencapai sekitar 585.425 ha. Sedangkan luas perkebunan kelapa sawit di Kabupaten OKI mencapai sekitar 138.000 ha (Kementan, 2012), dan sebagian diantaranya diusahakan di kawasan rawa gambut.
Alih fungsi lahan rawa gambut untuk HTI dan perkebunan disertai dengan kegiatan pembuatan saluran untuk mendrainase air yang secara alami menggenangi kawasan rawa gambut sepanjang tahun. Kegiatan tersebut akan mempengaruhi fungsi keseimbangan hidrologis pada kawasan rawa gambut, yang pada proses selanjutnya dapat menyebabkan terjadinya subsidensi gambut dan hilangnya simpanan karbon. Salah satu kawasan rawa gambut yang mengalami perubahan lanskap alami secara cepat di Kabupaten OKI yaitu di kawasan rawa gambut Pedamaran, khususnya di jalur Kayuagung – Sepucuk. Berdasar hasil pengamatan yang dilakukan pada tahun 2007, kawasan ini masih didominasi oleh semak belukar bekas kebakaran dan hutan sekunder dengan permudaan alami yang cukup rapat dengan jenis penyusun vegetasi seperti gelam (Melaleuca leucadendron), perepat (Combretocarpus rotundatus) dan beriang (Poiarum alternifolium) (Kunarso dan Bastoni, 2007). Namun demikian kondisi ini perlahan – lahan mengalami perubahan seiring pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Hingga pada tahun 2012, kawasan rawa yang semula tergenang secara alami sepanjang tahun mulai berubah dengan adanya aktivitas drainase.
Perubahan lanskap alami di kawasan rawa gambut jalur Kayuagung – Sepucuk dalam 5 tahun ini diperkirakan mengakibatkan terjadinya emisi karbon sebagai akibat dari subsidensi dan penurunan muka air tanah karena aktivitas drainase untuk perkebunan kelapa sawit. Untuk itu diperlukan kajian evaluasi dampak pembukaan lahan rawa gambut untuk perkebunan kelapa sawit di jalur Kayuagung – Sepucuk ini. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tingkat subsidensi gambut dan penurunan muka air tanah akibat aktivitas drainase dalam kurun waktu 5 tahun, dan untuk mengevaluasi besarnya emisi karbon yang terjadi.
4.7.2 Metodologi 4.7.2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kawasan lahan rawa gambut jalur Kayuagung – Sepucuk Kabupaten OKI, sepanjang ± 29 km. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juli 2007, untuk merepresentasikan kondisi lanskap alami kawasan ini (Kunarso dan Bastoni, 2005). Pengukuran kedua dilakukan pada bulan Nopember tahun 2012, yaitu setelah aktivitas drainase secara masif yang dimulai pada tahun 2007. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 36. 128
Hutan dan Karbon
4.7.2.2 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: peta kerja, bor tanah, bor gambut, Global Positioning System (GPS), kamera, meteran, dan alat tulis.
Gambar 36. Peta lokasi penelitian pengukuran ketebalan gambut dan kedalaman air
tanah pada lahan gambut di Jalur Kayuagung – Sepucuk, Kabupaten OKI
4.7.2.3 Metode Kegiatan yang dilakukan yaitu pengukuran kedalaman gambut dan muka air tanah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sistem survei sistematis (Abdullah, 1992). Jarak pengamatan dilakukan secara sistematik pada setiap jarak 1 km dimulai dari awal ditemukannya tanah gambut di daerah Kedaton Kecamatan Kayuagung hingga Talang Sepucuk Kecamatan pedamaran Timur Kabupaten OKI. Panjang transek pengukuran adalah ± 29 km.
Pengukuran ketebalan gambut dilakukan dengan menggunakan bor gambut, sampai dijumpai tanah mineral kemudian dicatat kedalamannya. Klasifikasi ketebalan atau kedalaman lapisan gambut, yaitu: dangkal (50 – 100 cm), sedang (101 – 200 cm), dalam (201 – 400 cm) dan sangat dalam (>400 cm). Sedangkan tanah gambut dengan ketebalan <50 cm disebut mineral bergambut (peaty soil) (Wahyunto et. al.,
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
129
2005). Untuk mengetahui kondisi hidrologi kawasan tersebut dilakukan pengukuran terhadap tinggi permukaan air tanah/kedalaman air tanah, dengan cara menggali kemudian mencatat kedalaman air tanahnya.
Data hasil pengukuran ketebalan gambut dan kedalaman air tanah tahun 2007 dibandingkan dengan data tahun 2012 untuk mengetahui tingkat subsidensi gambut dan penurunan muka air tanah selama 5 tahun dan rata-rata tingkat sudsidensi gambut dan penurunan muka air tanah tahunan. Besarnya emisi karbon yang telah terjadi dihitung melalui pendekatan tingkat subsidensi gambut dan penurunan muka air tanah tahunan. Untuk menghitung jumlah emisi karbon yang telah terjadi dapat digunakan asumsi kandungan karbon gambut rata-rata adalah 50 kg C m-3 (Agus, 2013).
4.7.3 Hasil dan Pembahasan 4.7.3.1 Subsidensi Gambut Ketebalan gambut tahun 2007 dan 2012 serta tingkat subsidensinya pada lahan gambut di Jalur Kayuagung – Sepucuk Kabupaten OKI disajikan pada Tabel 35 dan Gambar 37.
Dari Tabel 35 tampak bahwa pada tahun 2007 ketebalan gambut rata-rata 465,07 cm dan pada tahun 2012 menurun menjadi 379,79 cm. Hal ini menunjukkan telah terjadi subsidensi gambut rata-rata 85,30 cm selama 5 tahun atau rata-rata 17,06 cm per tahun. Subsidensi gambut tahunan tersebut tergolong tinggi. Hasil pengukuran subsidensi gambut pada proyek pembukaan gambut satu juta hektar di Kalimantan Tengah pada tahun pertama pembukaan/ drainase lahan rata-rata 70 cm per tahun (Mulyanto, 2000), 75 cm pada tahun pertama di HTI Akasia di Jambi dan Riau dan subsidensi stabil ratarata 5 cm per tahun, sedangkan subsidensi gambut pada perkebunan kelapa sawit ratarata 5,4 cm/tahun setelah 18 tahun didrainase (Hoijer et al., 2011) 10 cm/tahun pada perkebunan sawit di Riau (Sabiham, 2002 dalam Bintang et al., 2005), 6,8 cm/tahun pada perkebunan sawit di Sumatera Utara Bintang et al., (2005). Subsidensi gambut pada setiap titik pengukuran bervariasi dari 10 cm sampai 337 cm selama 5 tahun atau 2 cm sampai 67,4 cm per tahun. Variasi ini disebabkan oleh intensitas pembangunan kanal untuk perkebunan kelapa sawit yang makin masif dan intensif sejak tahun 2007 dan kebakaran lahan gambut berulang yang terjadi pada tahun 2009 dan 2011 pada beberapa titik pengukuran. 4.7.3.2 Penurunan Muka Air Tanah Kedalaman air tanah tahun 2007 dan 2012 serta tingkat penurunan permukaannya pada lahan gambut di Jalur Kayuagung – Sepucuk Kabupaten OKI disajikan pada Tabel 36 dan Gambar 37. 130
Hutan dan Karbon
Tabel 35. Ketebalan dan subsidensi gambut tahun 2007 dan 2012 pada lahan gambut di Jalur Kayuagung – Sepucuk, Kabupaten OKI
Titik Pengukuran (km)
Ketebalan Gambut (cm)
0 0,5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Tahun 2007 0 557 390 540 490 640 680 837 624 704 725 683 611 697 0 281 0 0 450 450 396 300 254 230 300 294 414 320 350 340 0
Tahun 2012 0 424 350 490 460 549 610 500 459 571 663 637 569 618 0 136 0 0 436 410 340 154 155 170 220 180 276 259 288 330 0
Rata-rata
465,07
379,78
Subsidensi Gambut (cm) per 5 tahun
per tahun
133 40 50 30 91 70 337 165 133 62 46 42 79 0 145 14 40 56 146 99 60 80 114 138 61 62 10 -
26,6 8 10 6 18,2 14 67,4 33 26,6 12,4 9,2 8,4 15,8 0 29 2,8 8 11,2 29,2 19,8 12 16 22,8 27,6 12,2 12,4 2 -
85,30
17,06
Keterangan Tanah mineral
Tanah mineral Tanah mineral
Tanah mineral
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
131
900 800 700 600 500 400 300 200
29
28
27
26
25
23
24
22
21
20
19
18
17
16
15
13
14
11
12
9
10
8
7
6
5
3
4
2
1
0
0
0.5
100
Titik Pengukuran (km) Gambut 2007 (cm)
Gambut 2012 (cm)
Gambar 37. Ketebalan gambut tahun 2007 dan 2012 dan tingkat subsidensinya pada lahan
gambut yang telah dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit di di Jalur - Sepucuk Kabupaten OKI
Dari Tabel 36 tampak bahwa pada tahun 2007 kedalaman air tanah rata-rata 31,56 cm dan pada tahun 2012 menurun menjadi 62,52 cm. Hal ini menunjukkan telah terjadi penurunan muka air tanah rata-rata 30,96 cm selama 5 tahun atau ratarata 6,19 cm per tahun. Permukaan air tanah yang turun sampai 2 kali lipat terjadi akibat pembangunan kanal yang sangat masif untuk mendrainase lahan gambut agar sesuai untuk perkebunan kelapa sawit.
Penurunan muka air tanah pada setiap titik pengukuran bervariasi dari 4 cm sampai 105 cm selama 5 tahun atau 0,8 cm sampai 21 cm per tahun. Variasi ini disebabkan oleh intensitas pembangunan kanal untuk perkebunan kelapa sawit yang makin masif dan intensif sejak tahun 2007. Pada tahun 2007 hanya satu perusahaan perkebunan yang beroperasi di Km 15 – 17, sampai tahun 2012 pembangunan kanal untuk mendrainase lahan sudah dilakukan pada seluruh titik pengukuran (Km 0 – 29) yang dilakukan oleh empat perusahaan perkebunan.
Tabel 36. Kedalaman dan penurunan muka air tanah tahun 2007 dan 2012 pada lahan gambut di Jalur Kayuagung – Sepucuk, Kabupaten OKI
132
Hutan dan Karbon
Titik Pengukuran Ketebalan Gambut (cm) Subsidensi Gambut (cm) (km) Tahun 2007 Tahun 2012 per 5 tahun per tahun 0 0 0 0,5 45 150 -105 -21 1 40 60 -20 -4 2 54 75 -21 -4,2 3 50 86 -36 -7,2 4 75 80 -5 -1,0 5 45 93 -48 -9,6 6 20 52 -32 -6,4 7 65 100 -35 -7,0 8 61 83 -22 -4,4 9 48 62 -14 -2,8 10 54 62 -8 -1,6 11 53 58 -5 -1 12 43 47 -4 -0,8 13 14 37 73 -36 -7,2 15 16 17 17 110 -93 -18,6 18 17 120 -103 -20,6 19 12 50 -38 -7,6 20 14 61 -47 -9,4 21 12 30 -18 -3,6 22 9 36 -27 -5,4 23 5 20 -15 -3 24 0 5 -5 -1 25 11 27 -16 -3,2 26 20 42 -22 -4,4 27 30 50 -20 -4 28 15 56 -41 -8,2 29 Rerata 31,56 62,52 -30,96 -6,19
Keterangan Tanah mineral
Tanah mineral Tanah mineral Tanah mineral
Tanah mineral
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
133
29
27
25
23
21
19
17
15
13
11
9
7
5
3
1
0
0 -20 -40 -60 -80 -100 -120 -140 -160
Titik Pengukuran (km) Air Tanah 2007 (cm)
Air Tanah 2012 (cm)
Gambar 38. Permukaan air tanah tahun 2007 dan 2012 dan tingkat penurunannya pada lahan
gambut yang telah dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit di Jalur Kayuagung Sepucuk Kabupaten OKI
4.7.3.3 Evaluasi Emisi Karbon (Perkiraan Emisi Historis) Dengan menggunakan asumsi bahwa kandungan karbon pada lahan gambut ratarata 50 kg C per m3 atau 5 ton C per ha pada setiap 1 cm subsidensi gambut (Agus, 2013) maka perkiraan emisi karbon yang telah terjadi pada lahan gambut Jalur Kayuagung – Sepucuk Kabupaten OKI dapat dihitung. Hasilnya disajikan pada Tabel 37.
Dari Tabel 37 tampak bahwa emisi karbon yang telah terjadi pada tahun 2007 – 2012 rata-rata 442,88 ton C per ha (dengan kisaran 50 – 1.685 ton C per ha) selama 5 tahun atau rata-rata 88,58 ton C per ha per tahun. Hasil penelitian Hooijer, (2011) pada HTI dan perkebunan kelapa sawit di Jambi dan Riau emisi karbon yang terjadi sebesar rata-rata 178 ton CO2 per ha per tahun sampai 5 tahun pertama pembukaan lahan dan menurun menjadi 73 ton CO2 per ha per tahun setelah tahun kelima pembukaan lahan. Hal ini menunjukkan bahwa kehilangan gambut yang terjadi selain disebabkan oleh kebakaran juga terjadi akibat drainase lahan.
Proses emisi karbon disebabkan oleh peningkatan laju dekomposisi gambut setelah didrainase. Tingkat dekomposisi gambut sangat dipengaruhi oleh kedalaman drainase (Hooijer et al., 2006). Pada kedalaman drainase antara 30 – 120 cm, emisi meningkat sebanyak 0,91 ton CO2 per ha per tahun untuk setiap penambahan 1 cm kedalaman drainase (Agus, 2013).
134
Hutan dan Karbon
Tabel 37. Subsidensi gambut dan perkiraan emisi karbon historis tahun 2007 - 2012 pada lahan gambut di Jalur Kayuagung – Sepucuk, Kabupaten OKI
Titik Pengukuran (km)
Subsidensi Gambut (cm)
Emisi Karbon (t C ha-1 tahun-1)
per 5 tahun
per tahun
per 5 tahun
per tahun
0
-
-
-
-
0,5
133
26,6
665
133
1
40
8
200
40
2
50
10
250
50
3
30
6
150
30
4
91
18,2
455
91
5
70
14
350
70
6
337
67,4
1685
337
7
165
33
825
165
8
133
26,6
665
133
Keterangan Tanah mineral
9
62
12,4
310
62
10
46
9,2
230
46
11
42
8,4
210
42
12
79
15,8
395
79
13
-
-
-
-
14
145
29
725
145
15
-
-
-
-
Tanah mineral Tanah mineral
16
-
-
-
-
17
14
2,8
70
14
18
40
8
200
40
19
56
11,2
280
56
20
146
29,2
730
146
21
99
19,8
495
99
22
60
12
300
60
23
80
16
400
80
24
114
22,8
570
114
25
138
27,6
690
138
26
61
12,2
305
61
27
62
12,4
310
62
28
10
2
50
10
29
-
-
-
-
Rerata
88,58
17,72
442,88
88,58
Tanah mineral
Tanah mineral
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
135
4.7.4 Kesimpulan dan Saran Konversi lahan gambut yang diikuti oleh drainase lahan untuk perkebunan kelapa sawit menyebabkan terjadinya subsidensi gambut rata-rata sebesar 17,06 cm/tahun dan penurunan muka air tanah rata-rata sebesar 6,19 cm/tahun dengan emisi karbon yang telah terjadi diperkirakan rata-rata sebesar 88,58 ton C ha-1 tahun-1 sampai dengan 5 tahun pertama pembukaan lahan pada lahan gambut di Jalur Kayuagung – Sepucuk Kabupaten OKI. Tingkat subsidensi gambut, penurunan muka air tanah dan emisi karbon yang terjadi merupakan indikator kerusakan lahan gambut akibat konversi lahan yang berlebihan dan kurang terencana. Dampak ikutan yang saat ini dirasakan adalah banjir yang lebih sering terjadi di musim hujan dan kondisi lahan yang cepat kekeringan di musim kemarau. Gejala alam ini perlu disikapi secara arif oleh para pemangku kepentingan agar jangan sampai menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat serta menimbulkan bencana lingkungan di kemudian hari. Beberapa upaya yang dapat ditempuh adalah meninjau ulang pembukaan lahan gambut sangat dalam untuk areal budidaya, meningkatkan upaya konservasi, restorasi dan rehabilitasi, mencari alternatif pengganti budidaya tanpa mendrainase lahan dengan pemanfaatan jenis-jenis pohon lokal unggulan (indigeneous species).
Daftar Pustaka Abdullah T. S., 1992. Survei Tanah dan Evaluasi Lahan. Penebar Swadaya. Jakarta
Agus, F. 2012. Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Gambut untuk Penurunan Emisi Karbon: Aplikasi untuk Provinsi Sumatera Selatan. Prosiding Workshop Stakeholders Consultation, Awareness Raising, Capacity Building and Resolving Disharmony Across Authorities to Achieve Sound Management of Peat Swamp Forest in South Sumatera. Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor Bintang, B. Rusman, Basyarudin dan E.M. Harahap. 2005. Kajian Subsidensi pada lahan Gambut di Labuhan Batu Sumatera Utara. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Pertanian Agrisol Vol. 4(1), 2005. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Hooijer, A. M. Silvius. H. Wosten and S. Page. 2006. Peat-CO2 Assesment of CO2 Emissions from Drained Peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943. Hooijer, A. S. Page, J. Jauhiainen, W.A. Lee, X.X. Lu, A. Idris and G. Anshari. 2011. Subsidence and Carbon Loss in Drained Tropical Peatlands: Reducing
136
Hutan dan Karbon
Uncertainty and Implications for CO 2 emission Reduction Options. Biogeosciences Discussions.
Kementan, 2012. Statistik Pertanian 2012. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian. Jakarta. http://pusdatin.setjen.pertanian. go.id/files/statistik_ Pertanian_2012.html
Kunarso, A. dan Bastoni, 2007. Karakteristik Lahan Rawa Gambut KutarayaSepucuk, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2007. Puslitbang Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan. Mulyanto, B. 2000. Menata Ulang Proyek Lahan Gambut Satu Juta Hektar di Kalimantan Tengah. Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Hutan Rawa Gambut. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Wahyunto, S. Ritung, Suparto, dan H. Subagjo, 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan 2004. Wetlands InternationalIP. Bogor.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
137
BAB 5
Kesimpulan dan Rekomendasi
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
139
5.1 Kesimpulan Lokakarya ini telah berhasil merumuskan strategi pengelolaan PSP secara berkelanjutan, terciptanya persamaan persepsi tentang peran dan tanggungjawab para pihak di tingkat Provinsi dalam pemantauan karbon hutan dan memberikan masukan untuk pengembangan kebijakan terkait pengelolaan PSP dan pemantauan karbon hutan tingkat Provinsi.
5.2 Rekomendasi 1. Perlu adanya peningkatan sumberdaya manusia yang nantinya ditempatkan sesuai klasifikasi dan diberikan insentif, serta adanya recruitment sesuai kompetensinya. Untuk tenaga analisis data dan biometrika dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi 2. Perlunya sosialisasi kepada jajaran SKPD dan multistakeholder lainnya yang terprogram dalam pengelolaan PSP 3. Komitmen dan dukungan legislatif dari suprastruktur dengan kebijakan 4. Adanya penganggaran dengan mata pasal yang jelas 5. Kemitraan dengan berbagai stakeholder dalam metoda, analisis dan pelaksanaan lapangan 6. Adanya system informasi jaringan data spasial daerah Provinsi Sumatera Selatan 7. Pengukuran karbon mengacu pada SNI 7724 dan 7725 dalam rangka MRV
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
141
Lampiran
Lampiran 1. Agenda Kegiatan AGENDA KEGIATAN LOKAKARYA STRATEGI MONITORING PSP DI TINGKAT PROVINSI HOTEL ASTON PALEMBANG, 8- 9 OKTOBER 2013 Waktu
Agenda
Pembicara
Penanggung jawab
Hari I: 8 Oktober 2013 07.30-08.00 08.00-08.15
Registrasi Tarian Gending Sriwijaya
Panitia
08.15-09.00
Acara Pembukaan: • Doa • Pengantar Penyelenggara • Sambutan dan Pembukaan
09.00-11.00
Sesi 1: Strategi Monitoring PSP untuk mencapai target RAD dan SRAP Provinsi
09.00-10.00
Presentasi:
Panitia Mc:BPK Palembang BPK Palembang Ir. Achmad Pribadi, MSc Ir. Zulfikar, MM
1. Strategi dan Kebijakan Provinsi Sumatera Selatan untuk Mencapai Target Penurunan Emisi: Pengalaman dari Penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD)
Titin Muhalimah Gustina, SP (BAPPEDA Provinsi Sumatera Selatan)
2. Overview dan Lesson Learned Pembangunan PSP FCPF tahun 2012
Ir. Achmad Pribadi, MSc
3. Program dan Kegiatan Daerah untuk Mencapai Target Penurunan Emisi: Pengalaman Pembangunan PSP dan Keberlanjutan Pengelolaannya
Ir.R. Dody Prakosa, Msc
Moderator: Dr. (Cand) Syafrul Yunardy, S.Hut., M.E Notulis: Tubagus Angga, S.P Elisda Damayanti, S.Hut
10.00-11.00
Diskusi
11.00-13.00
Sesi II: Pengembangan Sistem Monitoring PSP yang Terintegrasi dan Partisipatif di Provinsi
11.00-12.00
Presentasi 1. Integrasi National Forest Inventory (NFI) ke dalam Sistem Monitoring Karbon Hutan yang akan dibangun di Daerah
Dr. Ernawati (Ditjen Planologi)
Moderator: M. Farid Notulis: Galih Kartika Sari, S.Hut, MAP Hengki Siahaan, S.Hut, MSi
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
145
Waktu
Agenda
Pembicara
2. Strategi Monitoring PSP dan Peluang Pengintegrasian Kegiatan dengan PSP lain di Provinsi Sumatera Selatan
Ir. Kholid (BPKH Wilayah II Palembang )
3. Peran dan Tanggung Jawab Para Pihak pada Tingkat Provinsi untuk Pelaksanaan Sistem Monitoring Karbon Hutan
Adios Syafri/Masrun Zawawi (Wahana Bumi Hijau)
Penanggung jawab
12.00-13.00
Diskusi
13.00-13.45
ISHOMA
13.45-16.00
FGD Kelompok I: Strategi Pengelolaan PSP di Tingkat Provinsi
Fasilitator Kelompok 1: Nyimas Wardah, MSc (Kemasda) Notulis: Bayu Subekti, SIP, M.Hum
FGD Kelompok 2: Rancangan Sistem Monitoring Karbon Hutan Tingkat Provinsi
Fasilitator Kelompok 1: Dr. Najib Asmani Notulis: Elisda Damayanti, S.Hut Adi Kunarso, S.Hut, MSc
16.00-16.15
Coffee Break
16.15-16.45
Sidang Pleno
Moderator: Ir. Achmad Pribadi, MSc
16.45-17.00
Perumusan Hasil Lokakarya
Tim Perumus: Dr. Sabarudin Fasilitator kelompok I Fasilitator Kelompok II
Hari II: 9 Oktober 2013 07.00-07.30
Berkumpul di depan hotel
Panitia
07.30-09.00
Perjalanan ke Lokasi Penanaman
Panitia
09.00-09.15
Pengantar Penanaman
09.15-11.30
Penanaman Peninjauan Lokasi PSP
11.30-12.30
ISHOMA
12.30-12.45
Penutupan
12.45-13.45
Perjalanan Kembali ke hotel
146
Agenda Kegiatan
Ir. Choirul Akhmad, ME Panitia
Panitia
Lampiran 2. Notulensi Diskusi 1. Hasil diskusi Sesi I 1.1 Pertanyaan 1.1.1 Bastoni (Balai Penelitian Kehutanan Palembang) Menyitir pernyataan Prof. Mahmudin Agus yang menyatakan bahwa Sumsel pada tahun 2020 apabila tidak ada tindakan pengurangan emisi maka Sumsel mengemisi sekitar 30,5 juta ton CO2 dan 80% nya berasal dari lahan gambut. Sehingga kemudian tim merang GRK ada 3 skenario untuk menurunkan emisi. Skenario pertama yaitu mengalihkan investasi luas 2000 ha perkebunan ke lahan kering bukan lahan gambut. Skenario dua yaitu skenario satu ditambah pencegahan konsesi seluruh lahan gambut. Skenario tiga yaitu skenario dua ditambah rehabilitasi sekitar 7500 ha belukar gambut, itupun jika skenario tiga dilakukan secara sempurna hanya menurunkan 18% dari BAU tahun 2020, padahal target Sumsel sampai 26% sehingga terjadi kekurangan 8%. Ini suatu gambaran jika skenario tiga dapat berjalan dengan baik butuh perjuangan yang luar biasa mengingat ekspansi perkebunan sudah merambah lahan gambut. Jadi mohon dari Bappeda apakah target yang 26% itu sudah realistis melihat kondisi-kondisi yang ada? Salah satu kriteria PUP yang harus kita pikirkan adalah keterkaitan atau keterwakilan dan aksesbilitas, untuk dilahan gambut saya melihat bahwa kadang-kadang aksesbilitas mengorbankan keterwakilan sehingga banyak areal hutan gambut sekunder dan hutan gambut primer yang untuk mencapainya sangat susah sehingga kadang-kadang PUP juga dibuat pada areal yang kurang mewakili, sehingga diperlukan upaya yang sangat ekstra untuk PUP ini. Kemudian untuk margrove juga bahwa kelihatannya belum ada PUP untuk mangrove yang bisa mengcover itu, salah satu yang mungkin bisa dilakukan yaitu kolaborasi atau kerjasama dengan stakeholder, seperti di TN Sembilang, dapat diajak kerjasama. Litbang kehutanan di Palembang telah melakukan penelitian jenis-jenis lokal baik dilahan kering maupun dilahan gambut, ini sangat penting jika monitoring mengenai karbon pada jenis-jenis lokal kemudian data-datanya dapat diperoleh, sehingga dapat diperoleh gambaran berapa serapan dari jenis-jenis lokal yang akan sangat berguna bagi penyusunan RAD GRK ini. Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
147
1.1.2 Dedi Setiabudi (Fakultas MIPA Unsri) Pertanyaan hampir sama dengan penanya pertama, yaitu apakah belum ada PUP di mangrove, kemudian pertanyaan yang kedua, apabila seandainya ada mahasiswa atau dosen ingin melakukan pengukuran pada PUP yang telah ada apakah harus ada izin dan kepada siapa? 1.1.3 Irfan Irmanda PUP dibuat untuk mendukung MRV dalam perhitungan karbon dan emisi. Yang dipertanyakan apakah ada acuan lainnya dalam pembuatan PUP atau apakah ada aereal pembanding untuk PUP?
1.2 Jawaban 1.2.1 Titin Muhalimah Gustina Perkebunan dalam GRK termasuk dalam landbase dimana didalamnya termasuk sektor kehutanan dan lahan gambut, perkebunan, pertanian, peternakan dan perikanan. Kita berani mematok 96% berani dipatok karena berdasarkan diskusi, tukar pikiran dan science based dari Pemprov, Redd+, Perguruan Tinggi, dan Expert. Sehingga kita harus optimis dalam mencapai target tersebut. Kebijakan terutama untuk beberapa sektor peningkatan rehabilitasi, operasi pemeliharaan jaringan reklamasi rawa, pengelolaan lahan gambut, pengelolaan pertanian pada lahan gambut terlantar dan terdegradasi, perlindungan hutan dan konservasi hutan, rehabilitasi hutan dan lahan gambut, pengembangan sentra-sentra produksi kehutanan. Untuk target yang 96% merupakan bagian dari keseluruhan target Sumatera Selatan yang mencapai 10,16% . Memang harus diiringi kerja keras dari semua pihak, bukan hanya dari kehutanan tapi dari semua sektor yang termasuk dalam landbase tersebut. Moderator : karena RAD GRK ini sudah di Perda kan, seharusnya sudah bisa di publikasikan juga, mudah-mudahan sudah bisa di upload juga dari internet ataupun bisa langsung ke Bappeda, sehingga bisa memberikan informasi yang lebih banyak. 1.2.2 Achmad Pribadi Mengomentari Pak Bastoni : Untuk permasalahan kekurangan 8% bisa didorong dengan pembangunan yang ramah lingkungan, Pak SBY pernah menyampaikan mantra 267, 26% emisi turun tapi 7% pertumbuhan ekonomi tidak boleh dikorbankan. Contoh salah satu caranya kita memiliki HPH yang produksi kayunya 10.000 kubik 148
Notulensi Diskusi
pertahun, Bussiness As Ussual nya HPH tersebut nebang saja tidak memperhatikan
kontur dan lain-lain, nebang, rusak setelah itu beregenerasi. Kalau diperkenalkan dengan Reduce Impact Logging atau penebangan yang ramah lingkungan, dalam skala
percobaan sudah dilakukan di Brau Kaltim itu bisa mengurangi emisi dengan jumlah volume produksi yang sama besarnya, itulah salah satu konsep yang disebut green economy.
Untuk Pak Dedi Setiabudi : Hutan mangrove untuk di Palembang memang belum ada, tapi mungkin di provinsi lain sudah ada. Mengenai masalah izin, kalau ke
KHDTK bisa langsung ke Kabalai, kalau ditempat lain ke penanggung jawab
yang lain, tapi intinya mungkin tidak ada masalah, mungkin butuh surat izin tapi seharusnya bukan meenjadi suatu masalah yang besar. 1.2.3 R. Dody Prakosa Pak Bastoni : yang pertama tentang rehabilitasi dilahan gambut. Didalam REDD baru insentif untuk menjaga hutan, sebetulnya ada juga dulu CDA tapi mungkin sedang
diusahakan lagi, digodok lagi untuk CDA ini sehingga hal-hal yang berupa tanam menanam itu bisa diajukan untuk dimintakan seperti REDD. Untuk keterwakilan,
kalau sudah dilapangan memang idealnya disana tapi kadang-kadang kita terbentur waktu, biaya dan lainnya. Prioritas pertama adalah keterwakilan kemudian kedua
adalah akses dan aman, kalo tidak dapat di akses dan tidak aman untuk apa, nanti kita buat lalu terbakar nanti harus mulai dari nol lagi. Tapi memang prioritas utama
itu keterwakilan, seperti yang di Gunung Dempo itu bisa dipakai untuk seluruh hutan disitu. Untuk kerjasama untuk penguasa lokasi terimakasih atas sarannya.
Untuk jenis lokal, kami mengambil Bambang Lanang karena disitu sudah banyak diusahakan, mungkin jika nanti jenis-jenis lokal sudah banyak diusahakan mungkin nanti kami akan buatkan PSP nya.
Untuk Pak Irfan, dari suatu lokasi kami mengambil beberapa sampel untuk mewakili
daerah tersebut, untuk mengambil ditempat lain itu akan lebih baik asal biaya dan SDM nya tersedia, jadi jika masih terbatas seperti ini kita sementara melakukannya
seperti itu, tapi jika sudah ada SDM nya dan biayanya tersedia mungkin kita akan mengambil sampel ditempat lain.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
149
2. Hasil diskusi Sesi II 2.1 Pertanyaan Termin I 2.1.1 Tri Retiyanto (Pokja REDD+ Kab Musi Rawas) 1. Inventarisai merupakan pekerjaan besar, tidak bisa dilakukan sendiri oleh BPKH. Oleh karena itu, kegiatan ini bisa membuka lapangan kerja kepada masyarakat dan pihak swasta untuk terlibat didalamnya. 2. Dalam penggunaan lahan cenderung sektor pertambangan lebih diunggulkan dibandingkan sektor kehutanan, bagaimana solusi untuk prioritasisasi status lahan? 3. Pembuatan dan monitoring PUP perlu melibatkan masyarakat sekitar hutan 4. Bagaimana riil kegiatan di lapangan ? 2.1.2 Hasanuddin (UPTD PKHL) 1. Apa manfaat dari PSP dan TSP yang telah dibuat, untuk masa sekarang dan masa yang akan datang dan kaitannya dengan C accounting
2. Kawasan hutan untuk tambang batubara mempunyai dampak lebih serius karena terjadi degradasi yang terencana sehingga perlu langkah antisipasi kedepan, salah satunya bagaimana pengaturan izin untuk pertambangan batubara pada kawasan hutan produksi? 2.1.3 Iwan Setiawan (APHI Sumatera Selatan) 1. Siapa dan kapan data hasil pengukuran PUP dan TSP bisa diperoleh ?
2. Bagaimana sharing data dilakukan?, karena pihak swasta juga melakukan pengukuran secara berseri oleh grup kerja yang dibentuk oleh perusahaan.
3. Siapa dan kapan mengukur untuk mendapatkan data dengan metode tertentu 2.1.4 Ir. Zulfikar, MM (Dishut Prov Sumatera Selatan) 1. Data IHMB adalah data Nasional dan tidak bisa digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan di daerah Inventarisasi dilakukan pada tingkat nasional sehingga harus ada koreksi intensitas untuk inventarisasi tingkat provinsi
2. SIG (Sistem Informasi Geografis), selama ini belum bisa dilakukan di tingkat provinsi, tetapi belakangan ini sudah mulai diperkenalkan tetapi baru pada Dishut Provinsi, sedangkan di tingkat Kabupaten belum ada. 150
Notulensi Diskusi
3. Pengukuran dan analisis data pada kluster membutuhkan SDM yang mempunyai bidang keahlian biometrika hutan yang saat ini semakin langka. Perlu kerjasama dengan BPK Palembang untuk memperoleh SDM 4. Data kluster dapat digunakan dan dianalisis oleh litbang
5. Integrasi dapat dilakukan pada tingkat Provinsi melalui kerjasama BPK, BPKH, dan Dishut Provinsi bahkan tingkat Kabupaten 6. Bidang keahlian yang dibutuhkan pada kegiatan PSP dan TSP adalah enumerator, database management, dan analisis. 2.1.5 Drs. Agus Sofyan, MSc. Dalam pengelolaan PSP ini perlu dibangun sistem database management dan dilakukan review data dan kluster-kluster yang sudah dibangun, agar data yang diperoleh akurat.
2.2 Jawaban pada termin I 2.2.1 Dr. Ernawati 1. Entry data PUP dan TSP membutuhkan waktu dan SDM yang besar. Data yang masuk masih perlu revisi dan untuk itu perlu investasi waktu dan tenaga yang besar, namun masih terkendala tenaga SDM. 2. Database baru dibangun pada tahun 2011 dan belum lengkap sehingga perlu review data karena masih terdapat kualitas data belum standar. Portal data masih perlu dikaji dengan sangat hati-hati. 3. Peta potensi karbon untuk provinsi Sumatera Selatan baru dibuat tahun 2013
4. Untuk Hutan Tanaman, carbon accounting lebih mudah dilakukan karena data penanaman tersedia, beda dengan hutan alam yang mempunyai berbagai jenis dengan berat jenis yang berbeda dan belum semuanya diketahui. Kemenhut tidak melaksanakan pengukuran PSP pada lokasi HTI karena sudah bisa diprediksi nilainya, sehingga pengukuran PSP dilakukan pada hutan alam yang memiliki keragaman sangat tinggi. Persamaan allometrik yang disusun Badan Litbang Kehutanan (Dr Haruni Krisnawati dkk) tidak bisa mewakili hutan tropis yang ada di Indonesia.
5. Pengumpulan data tetap bisa dilakukan walaupun telah ada izin pertambangan. Inventarisasi pada areal pertambangan dilakukan oleh Dinas Pertambangan 6. Kendala dalam hal kapan dan siapa mengukur masih perlu updating agar bisa disesuaikan dengan kondisi sekarang. Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
151
2.2.2 Ir. Kholid 1. BPKH siap bekerjasama dengan BPK dan Dishut untuk mengatasi kekurangan SDM, terutama dalam bidang biometrika hutan. Perlu pemberdayaan dan updating data yang ada.
2. Terdapat kelemahan dalam pengumpulan data kluster, misalnya Tally sheet tidak terisi secara lengkap.
3. Pengukuran dan analisis data kluster, memang mirip kegiatan Litbang sehingga perlu melibatkan SDM dari Litbang.
2.3 Pertanyaan pada termin II 2.3.1 Zulkifli Idrus (Bappeda Pagar Alam) 1. Forum ini sangat baik, karena melibatkan seluruh stakeholder yang terlibat
terutama pengambil kebijakan di daerah. Di Kabupaten/Kota, SDM bidang Kehutanan sangat kurang, sehingga sektor kehutanan di daerah kurang dapat dikelola dengan baik.
2. Data pada dokumen REDD+ untuk Kota Pagar Alam berupa buku dan peta namun tidak lengkap karena banyak data-data yang tidak tersedia.
3. Apa kompensasi yang diperoleh Kabupaten/Kota yang telah menjaga hutan? Karena wilayah Kota Pagar Alam sebesar 65% merupakan kawasan lindung.
2.4 Jawaban 2.4.1 Dr. Ernawati 1. Sejarah TSP/PSP perlu dikaji agar kita dapat menempatkan diri pada posisi yang tepat
2. Forum ini merupakan forum yang diharapkan menghasilkan pemikiran yang dapat menjadikan hutan kita lebih baik
3. Untuk mendapatkan kompensasi, Kota Pagaralam dapat dimasukkan dalam skema “Environmental Services”
152
Notulensi Diskusi
Lampiran 3. Hasil FGD 1. Kelompok 1 : Strategi Pengelolaan PSP di Tingkat Provinsi 1. Bagaimana persepsi para pihak tentang keberadaan PSP?
a. Belum representative dari segi wilayah dan tipe hutan (hanya membahas gambut sekunder, namun belum menyentuh wilayah gambut primer) b. Harus jelas PSP apa yang akan dibentuk.
c. PSP yang dibuat oleh Dirjen Planologi atau PSP yang dibuat oleh FCPF-Puspijak
d. Apakah PSP yang dibuat ini mengacu pada perhitungan karbon atau PSP yang mengacu kepada kawasan (agar ke depannya diketahui apa yang akan dilaksanakan) e. Di tingkat grassroot, masih belum jelas apa itu PSP, harus banyak dilakukan sosialisasi.
f. Di Bappeda pun masih banyak yang belum tahu apa itu PSP. Posisi strategis dari Pemerintah Kabupaten dalam kaitannya dengan PSP itu apa? Program dan kegiatan apa yang dilakukan Pemerintah Daerah untuk mendukung kegiatan PSP.
g. Ada dua persepsi yang berkembang tentang PSP dari paparan/presentasi tadi pagi. Yang pertama, PSP yang permanen dan datanya jangan sampai hilang. Yang kedua, Dirjen Planologi mengatakan sebaliknya, tidak perlu dijaga dan dibiarkan secara alami. Mana yg harus dipilih? h. Perlu ada sinkronisasi PSP yang dibuat Dirjen Planologi yang sudah dibangun lebih dulu dengan PSP yang dibuat oleh FCPF-Puspijak.
2. Instansi mana saja yang membutuhkan PSP? (Kelembagaan)
a. Kehutanan b. Perkebunan c. Badan Lingkungan Hidup d. Pelaku usaha (Kehutanan, Pertambangan dan Lain-lain) yg masuk wilayah konservasi e. Perguruan Tinggi f. Bappeda g. LSM (NGO) h. Dinas Perhubungan i. Masyarakat Lokal di sekitar hutan j. Lembaga Penelitian termasuk Balitbangda k. POKJA REDD+ Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
153
l. BMKG m. Pertanian n. Perikanan o. Badan Penanggulangan Bencana Nasional/Daerah 3. Siapa yang akan menjadi lead atau bertanggungjawab atas pengelolaan PSP?
a. Kehutanan (karena sudah punya SDM dan Program) b. Badan Lingkungan Hidup c. Bappeda d. Badan Informasi Geospasial (karena pada akhirnya nanti semua data tentang spasial dikeluarkan oleh BIG)
4. Hal apa saja yang dibutuhkan oleh daerah untuk menjamin keberadaan dan pengelolaan PSP? a. Financial /Pendanaan dari semua pihak b. SDM yang Kompeten c. Pedoman Pembuatan PSP yg terstandarisasi (SNI) d. Kelembagaan/Tim teknis (Badan Pengelolaan PSP/Forum) e. Insfrastruktur (software dan hardware)
5. Bagaimana menyelaraskan sistem monitoring dan pelaporan PSP dari BPKH, HPH, FCPF dan non FCPF? a. Perlu adanya pedoman (format dan mekanisme pelaporan) yang disepakati bersama oleh para pihak b. Kolaborasi monitoring para pihak terkait c. Diselaraskan dengan kelembagaan MRV yang sudah ada di daerah
6. Sistem pendanaan PSP di masa yang akan datang?
a. Donor Luar Negeri b. Industri dalam negeri c. Perbaikan Manajemen dengan cara memaksimalkan anggaran FCPF sebelum berakhir tahun 2014 d. Integrasikan PSP FCPF dengan Dirjen Planologi yg pembiayaannya dari APBN e. APBD Propinsi f. Partisipasi Mitra Kehutanan di Lokasi PSP
7. Bagaimana menggalang komitmen antara instansi terkait dan para pihak dalam pengelolaan PSP?
154
Hasil FGD
a. Perjanjian tertulis para pihak (merujuk poin ke-2) b. Rencana aksi bersama (bisa berbentuk roadmap)
2. Kelompok 2: Rancangan Sistem Monitoring Karbon Hutan Tingkat Provinsi 1. Kendala apa saja yang ditemui pada saat penyusunan RAD GRK dan SRAP REDD+? a. Kurangnya tenaga ahli
b. Koordinasi dan komunikasi antar institusi c. Pembiayaan yang tidak transparan d. SKPD yang hadir berubah-ubah
e. Data tidak lengkap dan sulit diperoleh/ input data masih diragukan
f. Kurangnya sosialisasi di daerah terkait RAD GRK dan SRAP GRK g. Kurangnya komitmen dan dukungan politik
2. Data dan informasi apa yang belum tersedia di tingkat Provinsi terkait strategi penurunan emisi GRK?
a. Data faktor emisi belum sesuai kondisi factual dari lapangan hanya mengandalkan data dari pusat (Dirjen Planologi) b. Data stok karbon berdasarkan penutupan lahan
c. Data Karbon dari 5 pool karbon, data trade off, data biogeofisik 3. Penentuan wali data untuk data-data
a. Data biofisik 1) Tutupan lahan: Dirjen Planologi dengan data perubahan penutupan lahan, citra landsat dengan skala 1:100.000, BAPPEDA, BPKH, Badan Litbang Kehutanan 2) Biomasa 5 pool karbon : Perguruan Tinggi 3) Tanah : Perguruan Tinggi, Litbang Pertanian Sumsel, Pusat Data, Badan Lingkungan Hidup (BLH) 4) Gangguan hutan: Kebakaran, hama penyakit, penebangan liar, dll. 5) Data Kebakaran dari data hotspot dengan satelit MODIS UPTD Kebakaran, BPKH 6) Hama & penyakit : Perguruan tinggi dan BPK Palembang 7) Penebangan Liar: Dinas Kehutanan, BPKH, Dirjen Planologi Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
155
8) Pembinaan hutan: penanaman, pemeliharaan, rehabilitasi, dll.: Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Musi, Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) 9) Hidrologi : BPDAS 10) Perencanaan wilayah (RTRW) : BAPPEDA 11) Iklim: Curah hujan, suhu, kelembaban, angin : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Sumsel b. Data sosial ekonomi 1) Demografi (jumlah, pertumbuhan, sebaran, kerapatan penduduk, sex ratio): Badan Pusat Statistik (BPS) 2) Pendapatan penduduk: BPS dan Perguruan Tinggi 3) Angkatan kerja : BPS dan Dinas Tenaga Kerja 4) Pendidikan : BPS dan Dinas Pendidikan 5) Kesehatan : BPS dan Dinas Kesehatan 6) Infrastruktur : Dinas Pekerjaan Umum 4. Output yang diinginkan dari Sistem Monitoring Karbon Hutan (SMKH)
a. Inventarisasi hutan dan cadangan karbon b. Perubahan penutupan lahan dan stok karbon
5. Siapa leading instansi yang akan mengelola SMKH? Dinas Kehutanan (DISHUT) 6. Sistem/mekanisme/protokol pengumpulan dan updating data untuk SMKH: BAPPEDA 7. SDM dan fasilitas yang tersedia: BAPPEDA, DISHUT,BPK PALEMBANG, WALHI
156
Hasil FGD
Lampiran 4. Presentasi A. Strategi Monitoring PSP untuk mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi 1. Strategi dan Kebijakan Provinsi Sumatera Selatan untuk Mencapai Target Penurunan Emisi: Pengalaman dari Penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD)
PETA IKLIM & GEOGRAFI SUMATERA SELATAN POSITION •1° - 4 ° SOUTH LATITUDE •102 ° - 106 ° EAST LONGITUDE
TOPOGRAPHY 5 4 3 2 1
N
• 1. MOUNTAIN ZONE • 2. TRANSITION ZONE • 3. MAINLAND ZONE • 4. SWAMP ZONE • 5. SHORELINE SEASON and CLIMATE •SEASON : DRY and RAINY •CLIMATE : TROPICAL and WET
HIDROLOGY • MUSI RIVER • OGAN RIVER • KOMERING RIVER • LEMATANG RIVER • KELINGI RVER • RUPIT RIVER • RAWAS RIVER • MESUJI RIVER • LALAN RIVER • BANYUASIN RIVER
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
157
PENTINGNYA ANTISIPASI PERUBAHAN IKLIM • Trend perubahan temperatur menunjukkan penurunan selama seratus tahun terakhir, tetapi terdapat kenaikan yang cukup konsisten dengan laju rata-rata sebesar 0.25° C selama 25 tahun terakhir • Ancaman bahaya (hazard) iklim , berpotensi menyebabkan kekeringan dan ketidakpastian musim. Selain itu, variabiltas interdekade (antar-dasawarsa) berpengaruh cukup besar terhadap iklim di Sumsel, meskipun diperkirakan tidak akan menyebabkan perubahan yang cukup drastis dalam dua puluh tahun ke depan • Berdasarkan data observasi dan model, kenaikan tinggi muka laut pada tahun 2030 berkisar antara 12cm~20cm dan berdasar IPCC 4th Assessment Report Meningginya sea level th 1990-2010 dari 0,09 – 0,88 m, Global warming meningkat 3oC – 8oC dalam jangka 50 tahun
PENTINGNYA ANTISIPASI PERUBAHAN IKLIM • Berdasarkan model IPCC-AR4, curah hujan sampai dengan tahun 2030-an diproyeksikan tidak banyak berubah dari kondisi ratarata 30 tahun terakhir, sedangkan perubahan temperatur diproyeksikan mengikuti trend perubahan temperatur global yakni sekitar 1° C • Tinggi muka laut berpotensi naik > 1 m pada tahun 2100. • Kenaikan suhu permukaan laut ±0.2°C/dekade • Tinggi permukaan laut, masing-masing mempunyai korelasi rendah sampai sedang dan rendah dengan ENSO dan IOD • Tinggi gelombang ekstrim disebabkan penguatan kecepatan angin pada skala lokal • Provinsi Sumatera Selatan adalah salah satu daerah yang pasti terkena pengaruh dampak perubahan iklim tersebut Studi KRAPI 2012
158
Presentasi
Peta Risiko Akibat Kenaikan Muka Air Laut
Studi KRAPI 2012
Peta Risiko Penurunan Produksi Padi Risk of Wetland Paddy on 2030
Risk of Dryland Paddy on 2030
Studi KRAPI 2012
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
159
LATAR BELAKANG PELAKSANAAN RAD-GRK 2009 KOMITMEN PRESIDEN MENURUNKAN EMISI GRK 26% - 41% TAHUN 2020
KOMITMEN UNTUK HIDUP LEBIH RENDAH EMISI TANPA MENGURANGI PERTUMBUHAN
2010-2011 PENYUSUNAN RAN-GRK PERPRES NO. 61/2011 RAN-GRK
PENJABARAN KOMITMEN NASIONAL
2012 PEDOMAN PENYUSUNAN RAD-GRK PERGUB 34/2012 RAD-GRK SUMSEL
PENJABARAN KOMITMEN DAERAH UNTUK MENDUKUNG TARGET PENURUNAN EMISI NASIONAL Melalui 6 Sektor Utama
Langkah Antisipasi Perubahan Iklim • Provinsi Sumatera Selatan telah memiliki Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim (KRAPI) yang memetakan dampak perubahan iklim dan upaya adaptasinya di sektor pertanian, pesisir, sumber daya air, dan kesehatan. • Provinsi Sumatera Selatan juga telah memiliki Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) yang mengidentifikasi emisi GRK saat ini, aksi penurunan emisi, dan target penurunan emisi GRK di tahun 2020 pada sektor pertanian; kehutanan & lahan gambut; energi; transportasi; industri; & pengelolaan limbah. • Untuk memastikan bahwa upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim akan sinkron dengan pembangunan daerah Sumatera Selatan, maka upaya-upaya tersebut perlu diarusutamakan ke dalam RPJMD Provinsi Sumatera Selatan 2013-2018
160
Presentasi
Pokja Mitigasi Leading : Bappeda Prov. SS
Pokja Adaptasi Leading : Badan Lingkungan Hidup Prov. SS
Pokja REDD + Leading : Dinas Kehutanan Prov. SS
KEGIATAN INTI Kegiatan yang berdampak langsung pada penurunan emisi GRK dan penyerapan GRK : 1. Pertanian 2. Kehutanan dan Lahan Gambut 3. Energi 4. Transportasi 5. Industri 6. Pengelolaan limbah;
KEGIATAN PENDUKUNG Kegiatan yang tidak berdampak langsung pada penurunan emisi GRK tapi mendukung pelaksanaan kegiatan inti.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
161
Sumber Sumatera Selatan OUTPUT INPUT Emisi GRK Provinsi PROSES Kebijakan -
Usulan Aksi Mitigasi Penurunan Emisi GRK
Perhitungan Emisi BaU
RPJPD Prov. Sumsel RTRW Prov. Sumsel RPJMD Prov. Sumsel RAN-GRK. Renc. Sektor. Lainnya.
- Emisi GRK (CO2, N2O, CH4, dsb.) - Menggunakan IPCC Software
Strategi Implementasi & Indikasi Program Perumusan Draft Peraturan Gubernur
Analisis :
Data Potensi Sumber Emisi GRK
-
- Sektor Pertanian - Sektor Hutan & Lahan Gambut - Sektor Transportasi - Sektor Energi - Sektor Industri - Sektor Limbah
-
Pertumbuhan Penduduk Pertumbuhan Ekonomi Aktivitas Pertanian Aktivitas Kehutanan & Lahan Gambut Aktivitas Transportasi Aktivitas Energi Aktivitas Industri Aktivitas Limbah
Penetapan Pergub Penurunan Emisi GRK Sosialisasi Peraturan Gubernur
Emisi BAU-Baseline Provinsi Sumatera Selatan Tahun
Kehutanan dan Lahan Gambut
Pertanian
Energi
Transportasi
Sampah/ Limbah
Industri
Total
------------------------------------------------------------ ton CO2 eq / tahun --------------------------------------------------------2010
-
-
2,136,618,492.94
-
-
2011
974,980.54
63,832,547.89
2,232,766,325.12
-
-
2012
1,069,250.78
78,814,596.44
2,333,240,809.75
2,036,551.78
2,434,686.09
2013
1,139,476.17
93,796,644.99
2,438,236,646.19
2,342,034.55
2,556,420.39
2014
1,245,053.33
108,778,693.54
2,547,957,295.27
2,693,339.73
2,684,241.41
2015
1,347,720.88
123,760,742.09
2,662,615,373.56
3,097,340.69
2,818,453.48
2016
1,456,741.55
134,995,793.53
2,782,433,065.37
3,561,941.80
2,959,376.16
2017
1,575,666.98
146,230,844.97
2,907,642,553.31
4,096,233.07
3,107,344.97
2018
1,705,436.62
157,465,896.40
3,038,486,468.21
4,710,668.03
3,262,712.22
2019
1,847,079.48
168,700,947.84
3,175,218,359.28
5,417,268.23
3,425,847.83
2020
2,001,726.32
179,935,999.28
3,318,103,185.44
6,229,858.47
3,597,140.22
162
Presentasi
734,948 869,604 973,349 1,056,370 1,124,324 1,182,424 1,233,801 1,280,583 1,324,223 1,365,720 1,405,766
2,137,353,440.94 2,298,443,457.55 2,418,569,243.84 2,539,127,592.29 2,664,482,947.28 2,794,822,054.70 2,926,640,719.41 3,063,933,226.30 3,206,955,404.48 3,355,975,222.66 3,511,273,675.73
1. Subsektor Budidaya Padi Perbaikan dan optimalisasi sistem irigasi, Implementasi budidaya padi berbasis System Rice Intensification (SRI) Organik, Penanaman padi varietas rendah emisi, Pengembangan padi organik, Pengembangan pemupukan spesifik lokasi, Penyuluhan dan edukasi. 2. Subsektor Peternakan Penggunaan dan pengembangan pakan ternak rendah emisi, Pemanfaatan kotoran ternak sebagai sumber biogas, Seleksi genetik sapi yang mempunyai produktivitas tinggi, Penyuluhan dan edukasi.
Perkiraan Penurunan Emisi GRK Sektor Pertanian Sumsel 2011-2020 2.500.000,00 2.000.000,00
2.001.726,32
1.500.000,00 Target Penurunan
1.000.000,00
BAU Baseline 580.260,92
500.000,00 0,00
a. Kebijakan yang dilaksanakan untuk menunjang RAD-GRK Penyuluhan hemat energy (100 peserta), Pembinaan dan Pengawasan Pengusahaan Ketenagalistrikan Lintas Kabupaten/Kota, Audit Energi pada gedung pemerintah (2 instansi), Pengembangan Potensi dan Kecukupan Bahan bakar (15 kab/kota), Sosialisasi Pemanfaatan konversi energy gas dan LPG 3 kg, Inventarisasi dan evaluasi perkembanga kondisi PLTS dan PLTMH terpasang (5 kab/kota) b. Pengelolaan Lahan Gambut untuk pertanian berkelanjutan Pengadaan dan Pemasangan PLTS, Pembangunan dan operasi PLTP Lumut Balai Muara Enim, Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro, Implementasi hemat energi
Perkiraan Penurunan Emisi GRK Sektor Energi Sumsel 2010-2020 3.318.103.185,44
3.500.000.000,00 3.000.000.000,00
3.140.269.956,20
2.500.000.000,00 2.000.000.000,00 1.500.000.000,00 1.000.000.000,00 500.000.000,00 0,00
201 0
201 1
201 2
201 3
201 4
201 5
201 6
201 7
201 8
201 9
202 0
Target Penurunan 2.136 2.232 2.227 2.330 2.437 2.550 2.613 2.736 2.865 2.999 3.140 BAU Baseline 2.136 2.232 2.333 2.438 2.547 2.662 2.782 2.907 3.038 3.175 3.318
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
163
a. b. c. d. e.
Program Peningkatan kapasitas IPTEK dalam system produksi Program pengembangan IKM Implementasi Teknis Penurunan Emisi GRK Program Peningkatan Kemampuan Teknologi Industri Program Monitoring dan Evaluasi RAD-GRK
a. Park and Ride, 4 lokasi b. Membangun Infrastruktur untuk pejalan kaki
dan Pesepeda
c. Kebijakan untuk MultimodaTransport:
d. Mengembangkan Jaringan BRT e. ITS f. Promosi/ Campaign for Clean Air Transport g. Provide Converter Kit for Gasoline h. Mendorong Modal shift ke Angkutan Umum
dengan cara
i. Peningkatan Transportasi Multimoda
j. Pencatatan rutin Emisi di Sumatera Selatan k. Capacity Building l. Centre of Excellence for Multimodal Transport m. Membangun Multimodal Organization n. Membangun CO2 Emission data base
164
Presentasi
a. Program Penyusunan Perencanaan Pengelolaan Persampahan Penyusunan Master Plan Persampahan 15 kota/kab., Penyusunan Studi Kelayakan dan DED TPA 15 kota/kab, Penyusunan AMDAL TPA 10 kota/kab, Perencanaan Teknik TPST 3R b. Program Minimasi Sampah dengan prinsip 3R Pembangunan TPS Terpadu (TPST), Sosialisasi 3 R dan Pemilahan Sampah , Pendirian Bank Sampah , Bantuan Sarana dan Bimtek Komposting Sampah Domestik untuk Reklamasi Tambang (pola Kemitraan), Komposting sampah organik pedesaan dengan sistem gali-timbun (kearifan lokal sumsel), Program Kampung Iklim (15 K/K) dan Menuju Indonesia Hijau (5 K/K) c. Program Peningkatan Sarana-Prasarana Persampahan Rehabilitasi/Pembangunan TPA Un-managed Deep menjadi Semi-aerobic Landfill di 15 kota/kab., Operasional TPA semiaerobic; pengadaan tanah timbun, Penambahan sarana - prasarana persampahan d. Program Peningkatan Pengelolaan Gas Sampah Recovery gas metan di TPA I Sukawinatan (CDM-Project) e. Penyusunan Perencanaan Pengelolaan Air Limbah Penyusunan Master Plan Air Limbah 15 kota/kabupaten, Studi Kelayakan dan DED Septik Tank Komunal , Studi Kelayakan & DED MCK Sanimas, Sosialisasi Rencana Pembangunan Septik Tank Komunal , Penyusunan SOP Pengelolaan Septik Tank Komunal f. Pembangunan prasarana Waste Water Treatment Pemukiman Pembangunan MCK Plus, Pembangunan MCK Sanimas, Pembangunan Septik Tank Komunal g. Program Pengelolaan Badan Air Sosialisasi prokasih/superkasih, Pemantauan kualitas air permukaan di sungai, rawa dan kolam retensi. h. Program Pemberdayaan Kesehatan Lingkungan dan Masyarakat Sosialisasi, Penyuluhan dan Pengkajian Kebijakan Lingkungan Sehat, Pembentukan lembaga Sadar Sanitasi di setiap kelurahan, PHAST Pasar, Sekolah, STBM, CLTS, PHBS, Sosialisasi kebersihan dan kesehatan kota (+ sosialisasi pelarangan open burning), Pembinaan Sekolah Peduli dan Berbudaya Lingkungan (Adiwiyata) i. Program Inventori dan Pengelolaan Limbah Industri Pemantauan dan inventori limbah cair (inlet) dan padat per sektor industri, Sosialisasi Clean Development Mechanism, Standarisasi pemanfaatan limbah Pabrik Kelapa Sawit (PKS), Sosialisasi pemanfaatan limbah PKS, Standarisasi bangunan dan perawatan IPAL industri Crum Rubber
Perkiraan Penurunan Emisi GRK Sektor Sampah/Limbah Sumsel 2010-2020 1.600.000 1.400.000
1.405.766
1.200.000
1.166.718
1.000.000 800.000 600.000
BAU Baseline Target Penurunan
400.000 200.000 0
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
165
a. Peningkatan, Rehabilitasi, Operasi, dan Pemeliharaan Jaringan Reklamasi Rawa b. Pengelolaan Lahan Gambut untuk pertanian berkelanjutan c. Pengembangan Pengelolaan lahan pertanian di lahan gambut terlantar dan terdegradasi untuk mendukung sub sektor perkebunan, peternakan dan hortikultura d. Program Perlindungan Hutan dan Konservasi SDH e. Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Gambut f. Program Peningkatan Ketahanan Pangan Melalui Pembangunan Desa Mandiri Pangan dan Pembangunan Lumbung Desa g. Program Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Hutan h. Program Pengembangan Sentra-sentra Produksi Perkebunan
Target Penurunan Emisi GRK Provinsi Sumatera Selatan 4.000.000.000 3.511.273.675,73
10,16 %
ton CO2 eq / tahun
3.000.000.000 3.154.681.743,69
2.000.000.000
1.000.000.000
(Total Emission Reduction)
0 2010
2011
2012
2013
2014
2015
Emissions after Mitigation Actions
166
Presentasi
2016
2017
2018
2019
2020
BAU Baseline Emissions
Kerangka Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim dalam Pembangunan Daerah Sumatera Selatan
UU 25/2004
UU 26/2007
RPJPN
RTRWN
Nasional
RPJMN
RPJP Provinsi Sumatera Selatan
RTRWP
RPJM
RPJP
UU 32/2009
KLHS wajib dilaksanakan dalam penyusunan RTRW, RPJP, RPJM, Kebijakan/ Rencana/ Program Pemerintah
Upaya Menghadapi Perubahan Iklim Adaptasi
Mitigasi
RAN-API
PerPres 61/2011 RANGRK
KRAPI
PerGub 34/2012 RADGRK
RTRWK
Kab/Kota
RPJM
MEKANISME KOORDINASI RAD-GRK PROV. SUMATERA SELATAN
Perencanaan
Pemantauan Evaluasi & Pelaporan
Penganggaran
Pelaksanaan
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
167
Contoh Koordinasi Pelaksanaan RAD-GRK Pada Tahap Perencanaan Mainstreamingkan RAD-GRK ke dalam RPJMD Provinsi Sumsel dalam 5 tahun ke depan periode tahun 2013-2018 Mainstreamingkan RAD-GRK ke dalam RPJMD Kab/kota (terutama bagi kabupaten/kota yang baru merevisi RPJMD kabupaten/kota -nya) Mainstreaming isu RAD-GRK Sumatera Selatan ke dalam RPJMD dan Renstra Kota Pagar Alam (Pilot Site, proses sedang berjalan)
Contoh Koordinasi Pelaksanaan RAD-GRK Pada Tahap Penganggaran
Melalui mekanisme Musrenbang daerah sampai Musrenbangnas terutama dalam upaya penganggaran, agar dimungkinkan adanya koordinasi cost sharing
Cost Sharing baik dari dan antar Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota
168
Presentasi
Contoh Koordinasi Pelaksanaan RAD-GRK Pada Tahap Pelaksanaan
Sektor kehutanan yang melakukan penghijauan di lahan kritis terutama pada kawasan hulu DAS Sungai Musi Sektor Persampahan (dengan leading sektor dari BLH) telah melakukan capacity building sampai ke tingkat kabupaten/kota Tersusunnya panduan inventaris GRK di sektor Persampahan dan inventarisasi serta estimasi pengolahan limba domestik Peningkatan kapasitas dan kemampuan para pengumpul data di tingkat Kabupaten/Kota dalam melakukan survey dan inventarisasi limbah padat Road show guna mengidentifikasi kegiatan RAD-GRK yang telah dilaksanakan oleh Kab/kota
Contoh Koordinasi Pelaksanaan RAD-GRK Pada Tahap Pemantauan Evaluasi dan Pelaporan Masing-masing sektor melakukan penyampaian laporan pelaksanaan kegiatan periode tri wulanan dari Kabupaten/Kota ke Bappeda Kabupaten/kota
Selanjutnya masing-masing sektor melakukan penyampaian laporan pelaksanaan kegiatan per-tri wulanan pada level Provinsi ke Bappeda Provinsi Sumatera Selatan
Dilanjutkan dengan penyampaian laporan ke Sekretariat RAN-GRK sebagai aksi mitigasi yang diupayakan oleh Provinsi Sumatera Selatan guna mendukung upaya level Nasional
Provinsi Sumatera Selatan merupakan provinsi percontohan dalam kegiatan inventarisasi Gas Rumah Kaca kerjasama KLH, BLH dan JICA untuk Sektor Limbah
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
169
SEKTOR KEHUTANAN DAN LAHAN GAMBUT
Pengertian Deforestasi dan Degradasi Hutan
170
Presentasi
Laju Deforestasi Hutan di Tk. Kab/Kota se Sumsel
Laju Degradasi Hutan per Fungsi Kawasan Hutan perKab/Kota se Sumsel
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
171
Distribusi Luas Kekritisan DAS Musi
Sumber : BPDAS Musi 2012
172
Presentasi
Dari grafik terlihat bahwa kebanyakan titik api ditemukan di lahan gambut di Kabupaten OKI, Muba dan Banyuasin
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
173
174
Presentasi
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
175
176
Presentasi
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
177
2. Overview dan Lesson Learned Pembangunan PSP FCPF tahun 2012
OVERVIEW DAN LESSONS LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN 2012
Disampaikan pada Lokakarya Strategi Monitoring PSP di Tingkat Provinsi Palembang, 8-9 Oktober 2013
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN
178
Presentasi
LATAR BELAKANG • Indonesia : luas hutan tropis ketiga di dunia • Total emisi Indonesia (2006) : 1,79 Gt CO2e • Lebih dari 60% emisi di Indonesia berasal dari perubahan dan kebakaran lahan. • Komitmen Indonesia : emisi turun 26%; atau 41% (bantuan int’l) . • Perpres RAN GRK (No. 61/2011) : PemProv. menyusun RAD GRK. • Perlu ada informasi cadangan karbon lokal dalam penyusunan RAD GRK.
FCPF ? Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) : Program didanai 18 lembaga donor dan dikoordinasikan oleh World Bank untuk menyusun suatu kerangka dan proses persiapan REDD+ Untuk implementasi REDD+, perhitungan cadangan karbon harus berdasarkan tingkat kerincian yang tinggi untuk meningkatkan akurasi perhitungan. Pembangunan Petak Ukur Permanen/Permanent Sampling Plots (PSPs) -- > mengembangkan data cadangan karbon lokal -- > meningkatkan kualitas data regional dan nasional untuk mendukung sistem MRV dalam perhitungan karbon dan emisi.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
179
TUJUAN • Membangun PSP di berbagai tipe hutan di tingkat provinsi. • Membangun database cadangan karbon untuk setiap tipe hutan di tingkat provinsi. • Melakukan monitoring cadangan karbon hutan di tingkat provinsi.
OUTPUT • Terbangunnya PSP untuk monitoring cadangan karbon di tingkat provinsi. • Tersedianya database cadangan biomasa dan karbon di 5 carbon pools (AGB, BGB, serasah, nekromas, tanah) di tingkat (provinsi).
180
Presentasi
KRITERIA PEMILIHAN LOKASI PSP (1) keamanan (2) aksesibilitas (3) keterwakilan (4) keberlanjutan (5) status kawasan
LOKASI PEMBANGUNAN PSP FCPF 1. SUMATERA BARAT
3. SULAWESI UTARA
5. MALUKU
2. SUMATERA SELATAN
4. NTB
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
181
JUMLAH DAN TIPE LOKASI PSP (2012) SUMATERA BARAT
• 15 PSP • Ht. sekunder, agroforestry, semak belukar.
SUMATERA SELATAN
• 12 PSP • Hutan alam primer, sekunder, hutan rakyat, hutan gambut sekunder .
SULAWESI UTARA
• 22 PSP • Hutan pantai, ht. dat. tinggi, ht. dat. rendah, ht. lumut.
NTB
• 33 PSP • HKm, KHDTK dan hutan mangrove.
MALUKU
• 12 PSP •Hutan alam primer dan sekunder.
METODE • Stratifikasi Lapangan • Pembangunan Permanent Sampling Plot (PSP) • Pengukuran biomasa 5 pool karbon : 1. Permukaan atas tanah 2. Permukaan bawah tanah 3. Serasah dan Tumbuhan bawah 4. Tanah 5. Kayu mati (nekromas)
182
Presentasi
20 m
Pembangunan Plot Ukur untuk Inventarisasi Pohon dan Destructive Sampling untuk Beberapa Pohon Terpilih 1 m x 1 m = serasah, tumbuhan bawah 2 m x 2 m = semai (DBH < 2,5 cm) 5 m x 5 m = pancang (DBH 2,5 – 9,9 cm) 10 m x 10 m = tiang (DBH 10,0 – 19,9 cm) 20 m x 20 m = pohon (DBH ≥ 20,0 cm) = tutupan tajuk yang diukur = garis transek untuk pengukuran kayu mati
10 m
20 m
5m
1m
2m 1 m 2 m5 m
10 m
50 m
20 m
10 m
1m
5m 2m 1 m 2 m5 m
20 m 10 m
50 m
20 m
10 m
1m
5m 2m 1 m 2 m5 m
20 m 10 m
HASIL PEMBANGUNAN PSP SUMATERA BARAT Hutan Nagari Simancuang, Kab. Solok Selatan
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
183
SUMATERA BARAT
C stock (tC/ha) 21,26 85,69
Hutan Sekunder muda
198,08
95,59
Hutan Sekunder 1200 mdpl Hutan Sekunder 800 mdpl
139,34
Agroforestri kayu manis Semak belukar/kebun tradisional
HASIL PEMBANGUNAN PSP SULAWESI UTARA CA Tangkoko-Dua Saudara, KPHP Poigar dan HL Gunung Tumpa
184
Presentasi
SULAWESI UTARA C stock (tC/ha) 120,83
142,72
Hutan pantai Hutan Dataran Rendah
153,38
135,94
Hutan Pegunungan Hutan Lumut
HASIL PEMBANGUNAN PSP NUSA TENGGARA BARAT HKm Santong, Kab. Lombok Utara; KHDTK Rarung, Kab. Lombok Tengah; dan hutan mangrove di Jerowaru, Kab. Lombok Timur
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
185
NUSA TENGGARA BARAT
Cadangan Karbon di HKm Santong
Cadangan Karbon di hutan mangrove Jerowaru
HASIL PEMBANGUNAN PSP MALUKU KPHP Unit IV Kab. Seram Bagian Barat dan KPHL Unit XIV Kota Ambon
186
Presentasi
MALUKU C stock (tC/ha) 224,941
251,806
Hutan Primer P. Seram 185,013
455,573
Hutan Sekunder P. Seram Hutan Primer Ambon Hutan Sekunder Ambon
HASIL PEMBANGUNAN PSP SUMATERA SELATAN Kota Pagar Alam, Kab. Empat Lawang, Kab. Banyuasin, Kab. Musi Banyuasin dan PT REKI
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
187
SUMATERA SELATAN Hasil perhitungan masih merupakan hasil dalam bentuk berat basah biomassa. Masih perlu menyelesaikan perhitungan biomassa kering dan cadangan karbon dari kelima pool karbon
MONITORING PSP • Monitoring PSP tahun 2013 : sumber dana DIPA. • Monitoring dan pelaporan PSP : 3 tahun sekali. • Monitoring PSP selanjutnya diharapkan dapat dilaksanakan oleh pihak terkait (Dinas Kehutanan, Balai Penelitian Kehutanan, Perguruan Tinggi, BPKH, dll.). • Laporan hasil monitoring PSP diserahkan kepada para pihak terkait dan Puspijak.
188
Presentasi
SARAN • Perlu adanya pelatihan tentang pengukuran biomasa hutan di tingkat masyarakat. • Perlu dilakukan monitoring cadangan karbon hutan secara periodik. • Perlu melibatkan pengelola kawasan dan masyarakat sekitarnya. • Perlu membangun PSP di kawasan yang belum terwakili ekosistemnya.
TANTANGAN • Strategi pengelolaan PSP FCPF pasca 2014. • Pembiayaan kegiatan monitoring PSP FCPF. pasca 2014 -- > komitmen pihak terkait untuk mengalokasikan anggaran. • Rancangan sistem pemantauan karbon hutan FCPF. • Harmonisasi sistem pemantauan karbon hutan FCPF dengan tools-tools lain terkait dengan carbon accounting.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
189
TERIMAKASIH
3. Program dan Kegiatan Daerah untuk Mencapai Target Penurunan Emisi: Pengalaman Pembangunan PSP dan Keberlanjutan Pengelolaannya
Pengalaman Pembangunan PSP dan Rencana Pengelolaannya Pasca 2014 di Provinsi Sumatera Selatan Oleh: Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Disampaikan pada “LOKAKARYA STRATEGI MONITORING PSP DI TINGKAT PROVINSI” DI HOTEL ASTON PALEMBANG, 8 Oktober 2013
190
Presentasi
OUTLINE I. Pengalaman Pembangunan PSP II. Rencana Pengelolaan PSP Pasca 2014
I. Pengalaman Pembangunan PSP
Latar Belakang Tujuan, Sasaran dan Output Metodologi Hasil Pengukuran PSP Penutup
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
191
II. Rencana Pengelolaan PSP Pasca 2014
Monitoring, pengambilan dan pengolahan data Biaya yang dibutuhkan dan sumber dananya Sharing data dan Penanggung-jawab.
I. Pengalaman Pembangunan PSP Latar Belakang
192
Isu perubahan iklim global menjadi isu hangat yang semakin sering dibahas. (akibat dari suhu bumi yang semakin meningkat). Deforestasi dan degradasi hutan, erat kaitannya dg isu perubahan iklim. Alih fungsi hutan (LULUCF) berpengaruh pada bertambahnya emisi GRK di atmosfer (74% di tingkat nasional, 18% di tingkat dunia)
Presentasi
Latar Belakang ......
Negara
maju sbg penghasil emisi, akan menurunkan emisinya di negara2 berkembang (perdagangan karbon) Salah satu persyaratannya : penghitungan potensi karbon harus: Measureable, Reportable dan Verifiable (MRV). Dalam rangka MRV, perlu mengetahui potensi karbon pd berbagai jenis hutan di Sumatera Selatan melalui pembangunan Plot Sampling Permanent (PSP).
Tujuan, Sasaran
Tujuan : Membangun PSP dan database cadangan karbon dan perubahan stock karbon untuk setiap tipe hutan di Sumatera Selatan. Sasaran : Tersedianya database cadangan karbon dan perubahannya pada hutan alam primer dataran tinggi, hutan alam sekunder dataran rendah, hutan alam gambut sekunder, dan hutan rakyat jenis bambang lanang.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
193
Output :
Terbangunnya PSP untuk monitoring cadangan dan emisi karbon. Tersedianya database pertumbuhan pohon pada berbagai tipe hutan. Tersedianya database cadangan karbon di 5 carbon pools (AGB (di atas permukaan tanah, BGB (di bawah permukaan tanah), serasah, nekromassa dan tanah)
Metodologi 1. Lokasi No. Kode Plot 1 PUP I 01 2 PUP I 02 3 PUP I 03 4 PUP II 01 5 PUP II 02 6 PUP II 03 7 PUP III 01 8 PUP III 02 9 PUP III 03 10 PUP IV 01 11 PUP IV 02 12 PUP IV 03
194
Presentasi
Tipe Hutan Hutan Alam Primer Dataran Tinggi Hutan Alam Primer Dataran Tinggi Hutan Alam Primer Dataran Tinggi Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah Hutan Rakyat Bambang Lanang Hutan Rakyat Bambang Lanang Hutan Rakyat Bambang Lanang Hutan Alam Gambut Sekunder Hutan Alam Gambut Sekunder Hutan Alam Gambut Sekunder
Lokasi Hutan Lindung Gunung Dempo, Kota Pagar Alam Hutan Lindung Gunung Dempo, Kota Pagar Alam Hutan Lindung Gunung Dempo, Kota Pagar Alam KHDTK Kemampo, Kab. Banyuasin. PT. REKI (Restorasi Ekosistem dan Konservasi Indonesia), MUBA PT. REKI (Restorasi Ekosistem dan Konservasi Indonesia), MUBA Desa Pajar Bakti, Kec. Tebing Tinggi, Kab. Empat Lawang. Desa Pajar Bakti, Kec. Tebing Tinggi, Kab. Empat Lawang. Desa Pajar Bakti, Kec. Tebing Tinggi, Kab. Empat Lawang. Desa Kedaton, Kec. Kayu Agung, Kab. Ogan Komering Ilir Desa Kedaton, Kec. Kayu Agung, Kab. Ogan Komering Ilir Desa Kedaton, Kec. Kayu Agung, Kab. Ogan Komering Ilir
Koordinat UTM 48M Elevasi X Y m dpl 295265 9555309 1813 295550
9555531
1750
294803
9554948
1955
436453
9673123
24
314894
9760756
88
316067
9762087
90
291729
9607442
120
289891
9605879
125
290891
9607886
116
486407
9621265
21
486469
9621288
16
486341
9621294
19
Posisi Geografis Lokasi PSP di Provinsi Sumatera Selatan
Kondisi 4 tipe ekosistem hutan yang telah dibuat PSP
PUP I
Tipe hutan alam primer dataran tinggi
PUP III
Tipe hutan rakyat Bambang lanang
PUP II Tipe hutan alam sekunder dataran rendah
PUP IV
Tipe hutan alam Gambut sekunder
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
195
2. Bahan dan Alat
Kantong plastik besar dan kecil (3 kg), serta label sampel, tali plastik, Pal batas dan pusat plot, cat kayu, dll. Alat yang digunakan : • GPS (Geographic Position System) • phi band dan Jangka Sorong. • Meteran 50 m dan 5 m • Abney Level atau Range Spinder • Bor gambut dan Tongkat pengukur kedalaman air tanah • Timbangan digital • Ring sampler, kompas, gergaji besi, gergaji tangan, gunting stek, gun tacker, oven. • tally sheet, alat tulis , papan nama , dll.
3. Metode
196
Metode yang digunakan sesuai dengan SNI 7724:2011 yaitu pengukuran lapangan (field measurement) dan penghitungan cadangan karbon hutan dari lima carbon pool pada tingkat kerincian/TIER 3 (ground base forest carbon accounting). Kegiatan yang dilakukan meliputi observasi, inventarisasi lapangan, analisis laboratorium dan uji statistika. Penentuan lokasi ini berdasarkan kriteria: keamanan, aksesibilitas, keterwakilan, keberlanjutan dan status kawasan
Presentasi
Pembuatan PSP
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah pengambilan sampel berlapis (stratified sampling) Bentuk dan Ukuran Plot : Ukuran plot untuk tiap tingkatan pertumbuhan vegetasi berbeda-beda seperti skema berikut.
Skema plot pengukuran biomassa karbon di lapangan
Keterangan: A : sub plot untuk semai, serasah, tumbuhan bawah (2x2 m) B : sub plot untuk pancang (5x5 m) C : sub plot untuk tiang (10x10 m) D : sub plot untuk pohon, nekromasa (pohon mati dan kayu mati ), tanah, dan akar (20x20 m) : Lokasi pengambilan sampel tanah , setiap kedalaman (0-5 cm; 6-10 cm; 11-20 cm dan 21-30 cm) dg ring sampler dan k. plastik.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
197
Penghitungan cadangan karbon di 5 carbon pool
198
o
Penghitungan karbon dari biomassa di atas permukaan tanah Cbap = Bo x % C organik
o
Penghitungan karbon dari biomassa serasah Cserasah = Bo x % C organik
o
Penghitungan karbon dari biomassa pohon mati dan kayu mati C pohon mati+kayu mati = Bo x % C organik
o
Penghitungan karbon dari biomassa bawah permukaan tanah Cbbp = Bo x % C organik
o
Penghitungan karbon tanah C tanah = V x ρ x % C organik
Presentasi
Penghitungan cadangan karbon total pada plot, stratum hutan dan suatu areal Penghitungan karbon total seluruh plot (5 carbon pool)
Cplot = Cbap + Cserasah + Cpohon mati+kayu mati + Cbbp + Ctanah Penghitungan cadangan karbon dalam suatu stratum hutan
∑ Cplot (ton) Cstratum (ton/ha) = __________ x luasstratum (ha) nplot
Penghitungan cadangan karbon total dalam suatu areal
Ctotal area = ∑ Cstratum
Hasil Pengukuran PSP Hasil berat basah biomassa atas permukaan per plot No.
Kode Plot/
Volume biomassa (m3/plot) Pohon
Tiang
(20x20 m)
(10x10 m)
Berat Basah biomassa (gr/plot)
Pancang (5x5 m)
Semai
Tumb. Bawah
(2x2 m)
(2x2 m)
Tan. Kopi (5x5 m)
1
PUP I 01
13,6804
0,1751
0,0331
-
19.650,00
2
PUP I 02
22,2189
0,3071
0,0127
-
7.360,00
-
3
PUP I 03
7,1212
0,3546
0,0333
-
12.720,00
-
13.243,33
-
Rata-rata
-
14,3401
0,2790
0,0264
-
4
PUP II 01
2,2700
0,4681
0,1206
400,0
610,00
-
5
PUP II 02
16,3642
0,3660
0,0555
550,0
4.020,00
-
16,8729
0,4850
0,0933
33,0
455,00
-
11,8357
0,4397
0,0898
327,7
1.695,00
-
6
PUP II 03 Rata-rata
7
PUP III 01
6,6449
-
-
-
3.930,00
14.547,19
8
PUP III 02
6,7516
-
0,0058
-
3.790,00
14.606,25
0,0532
-
0,0010
4,4832
-
9
PUP III 03 Rata-rata
-
2.930,00
33.825,00
0,0034
-
3.550,00
20.992,8125
-
10
PUP IV 01
-
0,0491
0,0385
11
PUP IV 02
-
-
0,0144
PUP IV 03
-
-
0,0975
125
6.540,00
-
0,0501
690,0000
5.165,00
-
12
Rata-rata
-
0,0491
Keterangan: PUP I = Hutan Alam Primer Dataran Tinggi PUP II = Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah
1255
PUP III = PUP IV =
3.940,00
-
5.015,00
-
Hutan Rakyat Bambang Lanang Hutan Alam Gambut Sekunder
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
199
Hasil Berat Basah Biomassa Atas Permukaan per Hektar No.
Kode Plot
1 PUP I 01 2 PUP I 02 3 PUP I 03 Rata-rata 4 PUP II 01 5 PUP II 02 6 PUP II 03 Rata-rata 7 PUP III 01 8 PUP III 02 9 PUP III 03 Rata-rata 10 PUP IV 01 11 PUP IV 02 12 PUP IV 03 Rata-rata
Volume Biomassa (m3/ha) Berat Basah Biomassa (ton/ha) Jumlah Pohon Tiang Pancang Semai Tumb. Bawah Tan. Kopi Vol (m3/ha) Berat (ton/ha) 342,01 17,51 13,25 49,13 372,77 49,13 555,47 30,71 5,09 18,40 591,27 18,40 178,03 35,46 13,32 31,80 226,81 31,80 358,50 27,90 10,55 33,11 396,95 33,11 56,75 46,81 48,23 1,00 1,53 151,79 2,53 409,11 36,60 22,19 1,38 10,05 467,89 11,43 421,82 48,50 37,33 0,08 1,14 507,65 1,22 295,89 43,97 35,92 0,82 4,24 375,78 5,06 166,12 9,83 5,82 166,12 15,64 168,79 2,34 9,48 5,84 171,13 15,32 1,33 0,41 7,33 13,53 1,74 20,86 112,08 1,37 8,88 8,40 113,45 17,27 4,91 15,38 9,85 20,29 9,85 5,75 3,14 12,54 5,75 15,68 39,01 0,31 16,35 39,01 16,66 4,91 20,04 1,73 12,91 24,95 14,64
Keterangan: PUP I = Hutan Alam Primer Dataran Tinggi PUP II = Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah
PUP III = PUP IV =
Hutan Rakyat Bambang Lanang Hutan Alam Gambut Sekunder
Hasil Biomassa di Atas Permukaan 512
PUP I
256
PUP II
PUP III
PUP IV
128
64
32
16
8
4
2
1 pohon (m3/ha)
200
pancang (m3/ha)
semai (m3/ha)
Keterangan: PUP I = Hutan Alam Primer Dataran Tinggi PUP II = Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah
PUP III = PUP IV =
Presentasi
tiang (m3/ha)
berat TB (ton/ha)
TB=Tumbuhan bawah
Hutan Rakyat Bambang Lanang Hutan Alam Gambut Sekunder
Pembuatan batas-batas PSP dan pemasangan pal/patok batas pada sudut-sudut plot dan titik tengahnya
Pengukuran diameter dan tinggi tanaman tingkat semai, pancang, tiang dan pohon serta pemberian nomor
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
201
Hasil penghitungan biomassa serasah No. 1 2 3
Berat Basah biomassa serasah gr/plot kg/ha ton/ha (2x2 m) 4.710,00 11.775,00 11,78 9.180,00 22.950,00 22,95 10.250,00 25.625,00 25,63 8.046,67 20.116,67 20,12 8.695,00 21.737,50 21,74 5.090,00 12.725,00 12,73 6.745,00 16.862,50 16,86 6.843,33 17.108,33 17,11 2.820,00 7.050,00 7,05 3.260,00 8.150,00 8,15 3.580,00 8.950,00 8,95 3.220,00 8.050,00 8,05 4.095,00 10.237,50 10,24 2.500,00 6.250,00 6,25 4.980,00 12.450,00 12,45 3.858,33 9.645,83 9,65
Kode Plot PUP I 01 PUP I 02 PUP I 03 Rata-rata PUP II 01 PUP II 02 PUP II 03 Rata-rata PUP III 01 PUP III 02 PUP III 03 Rata-rata PUP IV 01 PUP IV 02 PUP IV 03 Rata-rata
4 5 6 7 8 9 10 11 12
Keterangan: PUP I = Hutan Alam Primer Dataran Tinggi PUP II = Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah
PUP III = Hutan Rakyat Bambang Lanang PUP IV = Hutan Alam Gambut Sekunder
Hasil penghitungan serasah Berat basah serasah (ton/ha) 25
20
15
10
5
0 PUP I
PUP II
Keterangan: PUP I = Hutan Alam Primer Dataran Tinggi PUP II = Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah
202
Presentasi
PUP III
PUP III = PUP IV =
PUP IV
Hutan Rakyat Bambang Lanang Hutan Alam Gambut Sekunder
Hasil penghitungan volume dan berat basah nekromass Volume pohon mati Berat Basah dan Volume biomassa kayu mati Total Nekromass No. Kode Plot plot 20x20m luasan 1 ha Luasan plot 400 m2 (20x20m) Luasan 1 ha Berat Basah Volume m3/plot m3/ha gr/plot m3/plot ton/ha m3/ha (ton/ha) (m3/ha) 3,9260 14,5 5,8721 98,15 0,0004 146,80 0,0004 244,95 1 PUP I 01 2 PUP I 02 0 6,0397 150,99 150,99 1.693,0 1,5772 0,0423 39,43 0,0423 39,43 3 PUP I 03 0 Rata-rata 3,9260 32,72 853,8 4,4963 0,0213 112,41 0,0213 145,12 706.955,0 4 PUP II 01 17,6739 17,6739 0,0434 1,4159 1,09 35,40 36,48 5 PUP II 02 2,6943 1.765,0 6 PUP II 03 67,36 2,0149 0,0441 50,37 0,0441 117,73 Rata-rata 1,3688 34,22 354.360,0 1,7154 8,8590 42,89 8,8590 77,11 186.460,0 7 PUP III 01 4,6615 4,6615 8 PUP III 02 269.320,0 6,7330 6,7330 251.000,0 1,2706 6,2750 31,76 6,2750 31,76 9 PUP III 03 0 Rata-rata 0 235.593,3 1,2706 5,8898 31,76 5,8898 31,76 410.500,0 10 PUP IV 01 10,2625 10,2625 285.000,0 0,0073 11 PUP IV 02 0 7,1250 0,18 7,1250 0,18 642.500,0 0,0097 16,0625 0,24 16,0625 0,24 12 PUP IV 03 0 Rata-rata 0 446.000,0 0,0085 11,1500 0,21 11,1500 0,21
Keterangan: PUP I = Hutan Alam Primer Dataran Tinggi PUP II = Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah
PUP III = Hutan Rakyat Bambang Lanang PUP IV = Hutan Alam Gambut Sekunder
Hasil penghitungan volume dan berat basah nekromass 160
140
120
100
Berat basah (ton/ha) 80
Volume (m3/ha)
60
40
20
0 PUP I
PUP II
Keterangan: PUP I = Hutan Alam Primer Dataran Tinggi PUP II = Hutan Alam Sekunder Dataran Rendah
PUP III
PUP III = PUP IV =
PUP IV
Hutan Rakyat Bambang Lanang Hutan Alam Gambut Sekunder
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
203
Diskusi Penentuan Lokasi PSP di hutan Alam Sekunder Dataran Rendah di PT. REKI (Harapan Rain Forest)
204
Presentasi
Pekerjaan persiapan dan pengangkutan pal batas ke lokasi PSP
Penentuan Lokasi PSP
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
205
Pembuatan batas-batas PSP dan pemasangan pal/patok batas pada sudut-sudut plot dan titik tengahnya dg bantuan GPS
Pengumpulan, pengukuran dan penimbangan biomassa tumbuhan bawah dan serasah serta pengambilan sampelnya
206
Presentasi
Pengukuran diameter dan tinggi tanaman, tingkat pancang, tiang dan pohon serta penomoran pohon
Pengukuran dan penimbangan nekromass (pohon mati dan kayu mati)
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
207
Pengambilan sampel tanah pada 4 kedalaman tanah dan pengambilan sampel dengan ring soil sampler
Penimbangan Berat Biomassa Tumbuhan Bawah
208
Presentasi
Pengukuran dan Penimbangan Berat Biomassa Kayu Mati (Nekromas)
Pengumpulan dan Pengambilan Serasah
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
209
Pengukuran Kedalaman Tanah Gambut dengan Bor Gambut di Hutan Gambut Sekunder
Kesimpulan Volume
pohon, berat tumbuhan bawah, berat serasah, dan volume nekromas (pohon mati dan kayu mati) per hektar terbesar terdapat pada hutan alam primer dataran tinggi. Volume tingkat tiang dan pancang per hektar paling besar terdapat pada hutan alam sekunder dataran rendah. biomassa masing2 jenis hutan dari tertinggi sampai terendah yaitu hutan alam primer dataran tinggi, hutan alam primer dataran rendah, hutan rakyat bambang lanang dan hutan alam gambut sekunder (bekas terbakar).
Kandungan
210
Presentasi
II. Usulan Rencana Pengelolaan PSP Pasca 2014 1.
Monitoring, pengambilan dan pengolahan data
1.
Biaya yang dibutuhkan dan sumber dananya
1.
Sharing data dan Penanggung-jawab
1. Monitoring dan pengambilan data
Monitoring dilakukan oleh peneliti dari Litbang Puspijak Bogor, Dinas Kehutanan Provinsi dan Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota. Pengambilan data dilakukan 1-2 kali setahun oleh peneliti BPK Palembang dibantu Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota dan Instansi terkait (seperti PT. REKI)
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
211
2. Biaya yang dibutuhkan dan sumber dananya Biaya
yang dibutuhkan terdiri dari pengamanan PSP, Pemeliharaan (pal/patok, papan nama, tanda batas, dll), pengukuran (inventarisasi), analisis sampel, pengolahan data, penulisan laporan dan monitoring. Sumber dana berasal dari beberapa instansi: Puspijak, BPK Palembang, Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Instansi terkait seperti PT. REKI. Dituangkan dalam Surat Perjanjian Kerjasama
3. Sharing data dan Penanggung-jawab Sharing
data dilayani oleh Litbang Puspijak Bogor.
Penanggung
jawab pengumpulan dan pengolahan data adalah BPK Palembang, dengan arahan dari Litbang Puspijak Bogor
212
Presentasi
B. Pengembangan Sistem Monitoring PSP yang terintegrasi dan partisipatif di Provinsi 1. Enumerasi Permanen Sample Plot/PSP dan Temporary Sample Plot/TSP di Propvinsi Sumatera Selatan ENUMERASI PERMANEN SAMPLE PLOT/PSP DAN TEMPORARY SAMPLE PLOT/TSP DI PROVINSI SUMATERA SELATAN
BPKH WILAYAH II PALEMBANG
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
213
INVENTARISASI HUTAN NASIONAL (NFI) A.
SEJARAH
1.
Tahun 1990 sampai dengan tahun 1994, BPKH WILAYAH II melaksanakan Pembuatan Klaster TSP/PSP di Provinsi Sumatera Selatan, Lampung, dan Bengkulu sebanyak 257 Klaster.
Dari Hasil Pembuatan, diketahui bahwa dari 257 Klaster ternyata hanya 82 Klaster yang berhutan. Mulai tahun 1995 sampai dengan tahun 2004 dilakukan Pengukuran Ulang untuk memonitor PSP sebanyak 82 Klaster. Hasilnya s/d tahun 2004 hanya tinggal 13 Klaster yang masih berhutan (klaster yang berada di Hutan Dataran Kering dan Hutan Rawa). Klaster yang berada di Hutan Mangrove dan Hutan Tanaman tidak dibuat PSP jadi tidak ada monitoring PSP pada Hutan tersebut
2. 3.
Tahun 2005 semenjak data TSP/PSP mulai terintegerasi dengan data penginderaan jauh Citra Landsat, pada Rancangan sampling Klaster dilakukan Redesain TSP/PSP dengan perapatan Grid 10 Km dan Grid 5 Km dengan tetap mempertahankan Grid 20 Km yang masih berhutan. Tiap strata penutupan lahan hutan minimal terwakili 9 Plot Klaster.
4.
214
5.
Hasil Redesain TSP/PSP adalah klaster lama Grid 20 Km sebanyak 13 Klaster dan klaster hasil perapatan sebanyak 62 Klaster sehingga total 75 Klaster
6.
Tahun 2005 sampai dengan tahun 2013 BPKH Wilayah II melaksanakan Pembuatan Klaster TSP/PSP hasil Redesain sebanyak 75 Klaster dan Re-enumerasi PSP sebanyak 15 Klaster.
Presentasi
Sebaran Plot Cluster di Sumatera Selatan: 1990 – 1994 (125 cluster plots Grid 20 Km), 2005-2013 (Redesain 75 cluster plots Terdiri dari 13 cluster Grid 20 Km yg masih berhutan dan 62 cluster Grid perapatan 10 Km dan Grid 5 Km hasil Redesign)
ENUMERASI TSP/PSP Kegiatan enumerasi TSP/PSP : kegiatan pengumpulan
data lapangan mengenai tegakan dan parameter lainnya yg dibutuhkan untuk informasi potensi dan perubahan tegakan hutan.
Plot TSP/PSP : Terletak di seluruh Kawasan Hutan (HP, HPT, KSPA, TN, HL)
dgn prioritas pada ketinggian dibawah 1000 m dpl pada hutan dataran rendah, rawa, dan mangrove
Tersebar secara sistematik dalam kisi 20 km x 20 km, dapat
dirapatkan 10 km x 10 km atau 5 km x 5 km
Plot TSP/PSP mempertimbangkan kondisi plot dan
keterwakilan strata terhadap seluruh areal hutan
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
215
Tujuan TSP/PSP TSP : Pendugaan volume, kondisi tegakan,
penyebaran spesies, dan biodiversity (satu kali pengukuran) PSP : (1) Growth & Yield (pertumbuhan tegakan
& perubahan hutan) (2) Pendugaan volume & sebaran jenis (Pengukuran riap 4 – 5 th-an)
DESAIN TSP/PSP
Satu Klaster terdiri atas 9 Tract
Satu tract Temporary Sample Plot (TSP) terdiri atas 8 Sub Plot. Pengukuran dengan menggunakan point sampling (BAF 4)
Permanent Sample Plot (PSP) Hanya pada tract 5, berbentuk bujur sangkar (100 m x 100 m) dengan 16 RU
216
Presentasi
Temporary Sample Plots
1 Track = 8 Sub Plot
Pohon 4 Pohon 1
Semai Tinggi < 1,5 m radius 1 m
Pancang Tinggi ≥ 1,5 m diameter < 5 cm radius 2 m
Pohon 3
Tiang diameter 5 – 19,9 cm radius 5 m
5m
Pohon 2
Sub Plot / Point Sampling BAF 4
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
217
Permanent Sample Plot
100m
100m
PSP 100x100m
25 m
Semai Tinggi < 1,5 m radius 1 m Pancang Tinggi ≥ 1,5 m diameter < 5 cm radius 2 m 25 m
5m
Tiang diameter 5 – 19,9 cm radius 5 m Pohon diameter ≥ 20 cm sensus
Record Unit
218
Presentasi
3(1*8.85$13$'$763 $3HUPXGDDQ No
Katagori
Kriteria
Methode
1
Semai/Seedling
Mulai Kecambah s/d Tinggi < 1,5 M
Diamati semua jenis s/d Radius 1 meter dari Pusat Sub Plot Dihitung jumlah perjenis
2
Pancang/Sapling
Mulai Tinggi 1,5 M s/d dbh < 5 Cm
Diamati semua jenis s/d Radius 2 meter dari Pusat Sub Plot Dihitung jumlah perjenis
3
Tiang /Pole
dbh dari 5-19,9 cm
Diamati semua jenis s/d Radius 5 meter dari Pusat Sub Plot Diukur diameter dan diberi nomor mulai dari Utara
%3RKRQ'LDPHWHU&P» 8S No 1
Katagori Tegakan Diameter ≥ 20 Cm
Kriteria
Methode
Semua jenis pohon sehat yang masuk dalam BAF 4
Point Sampling dengan alat ukur Spiagle Relascope Pohon yang masuk pada BAF 4 (2 Bars) Parameter , Diameter, Tinggi Batang dan Kualitas
&+DVLO+XWDQ1RQ.D\X No
Katagori
Kriteria
Methode
1
Rotan Anakan
Semua jenis
Mulai dari Kecambah s/d panjang ≤ 2,9 m s/d Radius 5 m dari Pusat Sub Plot Dihitung jumlahnya
2
Rotan Dewasa
Semua jenis
Mulai dari panjang ≤ 3,0 m - Up s/d Radius 10 m dari Pusat Sub Plot Dihitung jumlah tiap rumpun, Diukur diameter terbesar, terkecil, dan rata-rata Diukur panjang rata-rata pewakil
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
219
'+DVLO+XWDQ1RQ.D\X/DLQQ\D1LSDKGDQ6DJXPHQJJXQDNDQ 0HWKRGHWHUVHQGLUL Hal-hal yang perlu dicatat: •
Radius 1 meter untuk data semai dicatat jenis dan jumlahnya
•
Radius 2 meter untuk data pancang, dicatat jenis dan jumlahnya
•
Radius 5 meter untuk data tiang dicatat jenis, diameter dan diberi nomor urut mulai dari utara. Data rotan kecil dicatat jenis dan jumlahnya
•
Radius 10 meter untuk data rotan dicatat jenis, ukuran diameter dan panjangnya dan bambu dicatat jenis dan jumlahnya
•
Pohon dicatat jenis, diameter, tinggi dan kualitasnya pada seluruh record unit pada PSP dan seluruh pohon yang masuk pada BAF 4 untuk TSP
Ministry of Forestry
14
3(1*8.85$13$'$363 $3HUPXGDDQ No
220
Katagori
Kriteria
Methode
1
Semai/Seedling
Mulai Kecambah s/d Tinggi < 1,5 M
Diamati semua jenis s/d Radius 1 meter dari Pusat Record Unit Dihitung jumlah perjenis
2
Pancang/Sapling
Mulai Tinggi 1,5 M s/d dbh < 5 Cm
Diamati semua jenis s/d Radius 2 meter dari Pusat Record Unit Dihitung jumlah perjenis
3
Tiang /Pole
dbh dari 5-19,9 cm
Diamati semua jenis s/d Radius 5 meter dari Pusat Record Unit Diukur diameter , diberi nomor mulai dari Utara Diukur Azimuth dan Jarak dari Pusat Record Unit
Presentasi
%3RKRQ No 1
Katagori Tegakan Diameter ≥ 20 Cm
Kriteria
Methode
Semua jenis pohon sehat yang ada dalam Record Unit
Dicacah secara sensus, Diukur jarak dan azimuth dari Pusat Record Unit, Diukur diameter, tinggi batang, tinggi pohon, Dicatat tingkat kerusakan /demage, kualitas/grade, ketergangguan/investation, kelas pohon/tree class, kelas tajuk/crown class, dan posisi tajuk/crown position pohon.
&+DVLO+XWDQ1RQ.D\X No 1
Katagori Rotan Anakan
Kriteria Semua jenis
Methode Mulai dari Kecambah s/d panjang ≤ 2,9 m S/d Radius 5 m dari Pusat Sub Plot
/DQMXWDQ No 2
Katagori Rotan Dewasa
Kriteria Semua jenis
Methode Mulai dari panjang ≤ 3,0 m - Up s/d Radius 10 m dari Pusat Pusat Record Unit, Dihitung jumlah tiap rumpun, Diukur diameter terbesar, terkecil, dan rata-rata Diukur panjang rata-rata pewakil.
Hal-hal yang perlu dicatat: •
Radius 1 meter untuk data semai dicatat jenis dan jumlahnya
•
Radius 2 meter untuk data pancang, dicatat jenis dan jumlahnya
•
Radius 5 meter untuk data tiang dicatat jenis, diameter dan diberi nomor urut mulai dari utara. Data rotan kecil dicatat jenis dan jumlahnya
•
Radius 10 meter untuk data rotan dicatat jenis, ukuran diameter dan panjangnya dan bambu dicatat jenis dan jumlahnya
•
Pohon dicatat jenis, diameter, tingkat kerusakan, tinggi bebas cabang, tinggi puncak tajuk, kualitas, tingkat gangguan, kelas pohon, kelas tajuk, posisi tajuk, secara sensus, azimuth dan jarak pohon dari pusat record unit.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
221
Variabel Lapangan Variabel yang dikumpulkan di lapangan Risalah kondisi site dari plot contoh sebagai berikut: 1.
Provinsi (Province)
2.
Lokasi Gegrafis (Koordinat GPS)
3.
Sistem Lahan (Land System)
4.
Ketinggian Tempat (Altitude)
5.
Kelas Penggunaan Lahan (Landuse Class)
6.
Tipe Hutan (Forest Type)
7.
Kondisi Tegakan (Stand Condition)
8.
Tahun Penebangan/Penanaman (Year of harvesting/replanting)
9.
Bentang Alam (Landscape)
10. Kelerangan (Slope) 11.
222
Aspek Kelerengan (Aspect)
Presentasi
JUMLAH PEMBUATAN PLOT TSP/PSP BERDASARKAN PENUTUPAN LAHAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DI PROVINSI SUMATERA SELATAN
Kendala Re-Enumerasi PSP: 1. Petak PSP lama Grid 20 Km yang dibuat sebelum menggunakan
2.
3. 4. 5.
peralatan GPS / manual (mengunakan kompas dan meteran) sehingga letaknya dilapangan masih kurang tepat pada koordinat Grid yang direncanakan. Hal ini mengakibatkan sulit untuk menemukan kembali petak PSP tsb. Petak PSP yang letaknya relatif dekat dengan pemukiman terutama lokasi yang disekitarnya banyak terdapat kegiatan illegal loging dan okupasi masyarakat untuk perladangan atau kebun, banyak yang tidak dapat Re-enumerasi. Label pohon hilang, konsisten nama lokal, menyulitkan dalam rekonstruksi PSP dan tegakan. Aksesibilitas, lokasi petak PSP Eks HPH yang jauh, sulit untuk menemukannya kembali karena aksesnya tertutup. Adanya alih fungsi kawasan menjadi perkebunan, data terputus.
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
223
JUMLAH RE ENUMERASI PLOT PSP BERDASARKAN TAHUN PELAKSANAAN TAHUN 2005 S/D TAHUN 2013 DI PROVINSI SUMATERA SELATAN
224
Presentasi
Dokumentasi Lapangan
Tanda Pusat Klaster
Tanda Record Unit 1 / RU-1
Pengamatan GPS di Pusat Klaster
Pengukuran Diameter Pohon
Galian Pada Sudut Track 5
Pengukuran Tinggi Pohon
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
225
TERIMAKASIH
BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN WILAYAH II PALEMBANG
2. Integrasi TSP PSP dan Plot Contoh Lainnya
INTEGRASI TSP PSP DAN PLOT CONTOH LAINNYA
DR.Ernawati, M.Sc Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Palembang 8-9 Oktober 2013
226
Presentasi
INTEGRASI TSP PSP DENGAN PLOT CONTOH LAINNYA Kedepan, sebagai prioritas kebijakan kementerian kehutanan
Tercantum dalam integrasi RENJA antara bbrp eselon I
Terdapat payung hukum
Output (potensi volume, biomassa, karbon
INTEGRASI PELAKSANAAN DILAPANGAN 1. Menyamakan methodologi pengukuran di lapangan. 2. Kerjasama pelaksanaan di lapangan (sharing peneliti/tenaga kerja) 3. Menyamakan frekwensi dan lokasi pengukuran 4. Budget sharing
INTEGRASI HASIL DATA LAPANGAN 1. Menyamakan variable yang di ukur di lapangan; 2. Memiliki tujuan (output) yang sama walaupun methodology berbeda
INTEGRASI HASIL AKHIR 1. Integrasi hasil analisa per kelompok pengukuran (didasarkan pada waktu atau tempat/lokasi); 2. Integrasi hasil analisa pe methodology; 3. Integrasi persamaan alometrik (biomassa, potensi, karbon) per kelompok pengukuran
METHODE INVENTARISASI HUTAN NASIONAL Pencatatan informasi lainnya (tanah, iklim, topografi dll)
Peta lokasi dan Peta penutupan lahan
Pengukuran kayu dengan diameter 50 cm up
Peta kerja (termasuk mencapai lokasi)
pengukuran kayu di bawah diameter 20 cm di TSP dan PSP (tract 5)
?
Cek lokasi klaster di atas peta
Pencatatan Jenis dan diameter kayu yang diukur
?
Acuan teknik inventarisasi hutan yang telah ditetapkan
Pelaksanaan pembagian petak (sesuai dengan IHN)
Cek jumlah klaster/plot yang diukur bandingkan dengan luasan*)
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
227
SALAH SATU METHODE VERIFIKASI HASIL PENGUKURAN LAPANGAN INVENTARISASI HUTAN NASIONAL (TSP DAN PSP) 1.
pendugaan N dan Volume per Ha:
Subplot 1
≈ RU 1
Subplot 2
≈ RU 5 dan 9
Subplot 3
≈ RU 13
Subplot 4
≈ RU 14 dan 15
Subplot 5
≈ RU 16
Subplot 6
≈ RU 8 dan 12
Subplot 7
≈ RU 4
Subplot 8
≈ RU 2 dan 3
2. Jika berbeda nyata antara hasil subplot dengan Record Unit, ada indikasi ketidakbenaran dalam pelaksanaan.
Keterangan :
≈ adalah “tidak berbeda nyata”
Juga verifikasi penggunaan citra remote sensing
HISTORICAL DATA OF NFI INDONESIA Strategi monitoring klaster TSP/PSP: 1. Memiliki plot yang tetap koordinat (GPS di foto), peta induk dari pembagian kawasan hutan secara sistematik sampling 20 x 20 km); 2. Pengukuran ulang setiap 4-5 tahun sekali 3. Penggunaan citra satelit 4. Jenis dan jumlah pohon yang ter-record
228
Presentasi
Informasi Kondisi SOSBUD sekitar KPH
Kebutuhan akan data dan informasi tentang kondisi SOSBUD & potensi hutan di lokasi KPH sebagai bahan pengambilan kebijakan dalam tata kelola hutan
Jumlah Desa sekitar KPH TSP/PSP sebanyak XX klaster = X% INVENTARISASI HUTAN & SOSIAL BUDAYA
Informasi potensi hutan
Informasi penutupan lahan
Peralatan & SDM
Field Data System
Geographic Information System
Digital Image Analysis System
UU No 41 Tahun 1999 Pasal 13: Inventarisasi Hutan dilakukan dengan survei mengenai: Status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya hutan lainnya. Kondisi sosial masyarakat di dalam dan sekitar hutan
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
229
Nasional * Wilayah (bisa provinsi atau kabupaten) Daerah Aliran Sungai Unit Pengelolaan*
NATIONAL FOREST MONITORING (FRA 2015) •
National forest monitoring takes into account not only the biophysical dimension but also the dimensions of economy and society.
•
National forest monitoring should not focus exclusively on lands that are defined as forests, but include all other lands that have trees; a resource which is usually referred to as “trees outside forests”.
•
it should not only look at the biophysical stocks, but also at the use of forests and trees.
•
This implies that not only measurements of biophysical variables are done but also interviews with forest owners and those who use the forest or who benefit from forests national forest monitoring is viewed as a comprehensive process that includes the collection, analysis and dissemination of forest-related data and the derivation of information and knowledge at regular intervals to allow the monitoring of changes over time
230
Presentasi
VARIOUS DATA SOURCES ARE BEING EMPLOYED IN NATIONAL FOREST MONITORING, THE MOST IMPORTANT BEING : (1) sample based field observations
(2) remote sensing
National Forest Monitoring (4) available prior information from earlier monitoring studies.
(3) allometric models and
Sustainable forest management has the following seven thematic elements
There is no “one-fitsall” design for national forest monitoring
Extent of forest resources
Forest biological diversity
The design planning is always a demanding optimization process.
Forest healthy and vitality
Productive function of forest resources Protective Function of Forest Socio-economic function of forest Legal, policy and institutional framework
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
231
232
Presentasi
Lampiran 5. Dokumentasi
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
233
234
Dokumentasi
Prosiding Workshop Monitoring Permanent Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan
235
ISBN: 978-602-7672-52-9
Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan
238
Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor; Telp.: 0251 8633944; Fax: 0251 8634924
[email protected]; Website: www.puspijak.org Email: