ISSN: 1979-6013
JURNAL PENELITIAN SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN (Forestry Socio and Economic Research Journal) Vol. 11 No. 1 Maret Tahun 2014
TERAKREDITASI No. 493/AU1/P2MI-LIPI/08/2012
Forestry Socio and Economic Research Journal Volume 11 Nomor 1, Maret Tahun 2014
KEMENTERIAN KEHUTANAN Ministry of Forestry BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Forestry Research and Development Agency PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN Centre for Climate Change and Policy Research and Development BOGOR INDONESIA
JURNAL SOSEK
Vol. 11
No. 1
Hal 1 - 90
Bogor Maret, 2014
ISSN 1979-6013
JURNAL PENELITIAN
ISSN: 1979-6013
SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN Forestry Socio and Economic Research Journal
Volume 11 Nomor 1, Maret Tahun 2014 Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan telah terakreditasi berdasarkan Keputusan Kepala LIPI No. 742/E/2012. Jurnal ini memuat Karya Tulis Ilmiah dari hasil-hasil penelitian di bidang Sosial dan Ekonomi Kehutanan serta LINGKUNGAN dan terbit secara berkala empat kali dalam setahun (Maret, Juni, September, Desember). Forestry Social and Economic Journal is an accredited journal, based on the decree of Director of Indonesian Science Institute (LIPI) No. 742/E/2012. This Journal Publishes result research in Forest Socio-Economics and ENVIRONMENT and released four times annually (March, June, September, December). Penanggung Jawab (Editor in Chief) : Dewan Redaksi (Editorial Board) Ketua (Chairman) Anggota (Members)
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan : Dr. Hariyatno Dwiprabowo, M.Sc (Ekonomi Kehutanan) : 1. Dr. Ir. Satria Astana, M.Sc (Ekonomi Kehutanan) 2. Ir. Subarudi, M.Wood.Sc (Sosiologi Kehutanan) 3. Dra. Setiasih Irawanti, M.Si (Ekonomi Kehutanan) 4. Prof. Irsal Las (Agroklimatologi dan Lingkungan) 5. Dr. Ir. Didik Suhardjito, M.S (Sosiologi, Kehutanan & Kehutanan Masyarakat) 6. Dr. Herman Hidayat (Studi dan Kemasyarakatan) 7. Dr. Erwidodo, MS (Ekonomi Pertanian) 8. Drs. Edi Basuno, M.Phill, P.Hd (Sosial Ekonomi Pertanian)
Sekretariat Redaksi (Editorial Secretariat) Ketua (Chairman) : Ir. Achmad Pribadi, M.Sc Anggota (Members)
: 1. 2. 3. 4.
Drs. Jonny Holbert Panjaitan, M.Sc Bayu Subekti, SIP, M.Hum Gentini Ika Lestari, S.Sos, M.Si Ratna Widyaningsih, S.Kom
Mitra Bestari (Peer Reviewers)
: 1. 2. 3. 4.
Prof. Dr. Dudung Darusman (IPB) Prof. Dr. Djaban Tinambunan, MS Prof.MustofaAgungSardjono(Univ.Mulawarman) Dr. A. Ngaloken Gintings, MS
Diterbitkan oleh (Published by) : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan (Centre For Climate Change And Policy Research And Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (Forestry Research and Development Agency) Alamat (Address) : Jalan Gunung batu No. 5, PO. BOX 272 Bogor 16610, Indonesia Telepon (Phone) : 62-0251-8633944 Fax (Fax) : 62-251-8634924 Email :
[email protected]
ISSN: 1979-6013
TERAKREDITASI No. 493/AU2/P2M-LIPI/08/2012
Forestry Socio and Economic Research Journal Volume 11 Nomor 1, Maret Tahun 2014
KEMENTERIAN KEHUTANAN Ministry of Forestry BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Forestry Research and Development Agency PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN Centre for Climate Change and Policy Research and Development BOGOR INDONESIA
JURNAL SOSEK
Vol. 11
No. 1
Hal 1 - 90
Bogor Maret, 2014
ISSN 1979-6013
Ucapan Terima Kasih Dewan Redaksi Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada mitra bestari (peer reviewers) yang telah menelaah naskah yang dimuat pada edisi Vol. 11 No. 1 Maret tahun 2014 : 1. Prof. Dr. Djaban Tinambunan, MS 2. Dr. A. Ngaloken Gintings, MS
ISSN: 1979-6013
TERAKREDITASI No. 493/AU2/P2M-LIPI/08/2012
Forestry Socio and Economic Research Journal Volume 11 Nomor 1, Maret Tahun 2014 DAFTAR ISI PENGUATAN AGROFORESTRI DALAM UPAYA MITIGASI PERUBAHAN IKLIM: KASUS KABUPATEN BENGKULU TENGAH PROVINSI BENGKULU (Strengthening Agroforestry System as an Efforts of Climate Change Mitigation: Case of Central Bengkulu Regency, Bengkulu Province) Sri Lestari & Bambang Tejo Premono .........................................................................................
1 - 12
POTENSI CADANGAN KARBON TEGAKAN HUTAN SUB MONTANA DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (Carbon Stock Potency of Sub Montane Forest Stand in Mount Halimun Salak National Park) Virni Budi Arifanti, I Wayan Susi Dharmawan & Donny Wicaksono .....................................
13 - 31
IDENTIFIKASI SEKTOR EKONOMI UNGGULAN DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR KABUPATEN DI SUB DAS BENGAWAN SOLO HULU (Identification of the Leading Economic Sectors and Income Disparity among Regencies in Upper Bengawan Solo Sub Watershed) S. Andy Cahyono & Wahyu Wisnu Wijaya ..................................................................................
32 - 43
DISFUNGSI INSTITUSI KONSERVASI DAN DAMPAKNYA PADA KEGAGALAN ADOPSI TEKNOLOGI KONSERVASI TANAH DAN AIR, STUDI KASUS DI KABUPATEN WONOGIRI DAN TEMANGGUNG, JAWA TENGAH) (Dysfunction of Conservation Institutions and its Impacts on the Failures of Soil and Water Conservation Technologies Adoption, Case Study at Wonogiri and Temanggung Regencies, Central Java Province) Nana Haryanti ..............................................................................................................................
44 - 58
KARAKTERISTIK MASYARAKAT SUB DAS PENGKOL DALAM KAITANNYA DENGAN PENGELOLAAN DAS (Studi Kasus di Sub DAS Pengkol, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah) (Characteristics of Society Pengkol Sub-Watershed in Relation with Watershed Management (Case study in Pengkol Sub-Watershed, Wonogiri Regency, Central Java)) Nur Ainun Jariyah ..........................................................................................................................
59 - 69
ANALISIS TINGKAT KAPASITAS DAN STRATEGI COPING MASYARAKAT LOKAL DALAM MENGHADAPI BENCANA LONGSOR- STUDI KASUS DI TAWANGMANGU, KARANGANYAR, JAWA TENGAH (Analysis of Coping Strategies and The Level of Local Community's Capacity Towards Landslide- A Case Study in Tawangmangu, Karanganyar, Central Java) Heru Setiawan ................................................................................................................................
70 - 81
PREFERENSI MASYARAKAT TERHADAP MAKANAN BERBAHAN BAKU SAGU (Metroxylon sagu Rottb) SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER KARBOHIDRAT DI KABUPATEN LUWU DAN LUWU UTARA SULAWESI SELATAN (Community Preferences Towards Sago-Based Food (Metoxylon sagu Rottb) as an Alternative of Carbohydrate Sources in Luwu and North Luwu Regencies South Sulawesi Province) Nur Hayati, Rini Purwanti & Abd. Kadir W ...............................................................................
82 - 90
JURNAL PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KEHUTANAN ISSN: 1979 - 6013
Terbit : Maret 2014
Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa ijin dan biaya. UDC (OSDCF) 630*111.83 Sri Lestari dan Bambang Tejo Premono Penguatan Agroforestri dalam Upaya Mitigasi Perubahan Iklim: Kasus Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu
persamaan alometrik yang dikembangkan oleh Chave et al. (2005) untuk digunakan dalam mengestimasi potensi biomassa tegakan hutan di TNGHS. Kata kunci: REDD+, biomasa, stok karbon, hutan alam
Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No.1, hal. 1 - 12 Sistem pengelolaan tanaman di lahan milik dengan pola agroforestri di Provinsi Bengkulu secara tidak langsung merupakan suatu bentuk partisipasi masyarakat untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Agroforestri dapat dijadikan sebagai salah satu program dalam Rencana Aksi Daerah (RAD) dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Metode survey dan wawancara dengan masyarakat digunakan untuk mengetahui tujuan utama masyarakat dalam mengembangkan agroforestri di lahan miliknya serta mengetahui sikap dan pengetahuan masyarakat terhadap peran agroforestri dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat di Kabupaten Bengkulu Tengah mengembangkan pola agroforestri dengan dua atau lebih jenis tanaman karena pola ini lebih menguntungkan dari sisi pemenuhan kebutuhan hidup jangka pendek dan jangka panjang. Dari sisi ekonomi, masyarakat mengembangkan tanaman kayu dengan tujuan utama sebagai tabungan masa depan. Sementara itu dari sisi lingkungan, agroforestri memiliki peran penting dalam melindungi flora fauna, menjaga lingkungan, serta mengurangi pemanasan global. Akan tetapi masih banyak juga di antara anggota masyarakat yang belum menyadari akan hal ini, sehingga diperlukan introduksi teknologi dan sosialisasi tentang isu lingkungan kepada masyarakat untuk mempertahankan minat masyarakat dalam mengembangkan agroforestri di Bengkulu Tengah. Kata kunci: agroforestri, partisipasi masyarakat, mitigasi perubahan iklim UDC (OSDCF) 630*161.32 Virni Budi Arifanti, I Wayan Susi Dharmawan & Donny Wicaksono Potensi Cadangan Karbon Tegakan Hutan Sub Montana di Taman Nasional Gunung Halimun Salak Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No.1, hal. 13 - 31 SUntuk mendukung implementasi REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Degradation+) sebagai upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia diperlukan berbagai baseline data stok karbon untuk hutan alam. Menurut IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) Guidelines 2006, perhitungan stok karbon harus terukur, terbuka, terlaporkan dapat diverifikasi, dan konsisten. Dalam skala sub nasional Pulau Jawa khususnya ekosistem hutan alam seringkali luput dari perhatian para penggiat REDD+ sehingga data dan informasi mengenai cadangan karbon ekosistem hutan alam di Pulau Jawa masih sangat terbatas. Penelitian dilakukan di hutan alam sub montana di kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dengan tujuan untuk mengetahui cadangan karbon pada 5 pool karbon di TN Gunung Halimun Salak. Duapuluh tujuh petak ukur dibuat dengan ukuran 20x20 meter. Pengukuran sumber karbon hutan dilakukan untuk biomassa di atas tanah, biomassa di bawah tanah yang meliputi perakaran tanaman, tumbuhan bawah dan nekromas pada hutan primer dengan kerapatan tajuk tinggi dan rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa TNGHS memiliki potensi simpanan karbon yang cukup besar yaitu: di atas permukaan tanah sebesar 139,326 tonC/ha, di bawah permukaan tanah (perakaran tanaman) sebesar 39,011 tonC/ha, tumbuhan bawah sebesar 1,971 tonC/ha dan nekromas sebesar 5,77 tonC/ha. Biomassa dan cadangan karbon tegakan rata-rata di hutan primer di TNGHS secara berturut-turut adalah sebesar 364,503 ton/ha dan 185,177 tonC/ha. Studi ini merekomendasikan
UDC (OSDCF) 630*901 S. Andy Cahyono & Wahyu Wisnu Wijaya Identifikasi Sektor Ekonomi Unggulan dan Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten di Sub DAS Bengawan Solo Hulu Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No.1, hal. 32 - 43 Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mengidentifikasi sektor ekonomi unggulan dan (2) menganalisis ketimpangan pendapatan antar kabupaten di Sub DAS Bengawan Solo Hulu. Penelitian dilakukan di 5 kabupaten: Wonogiri, Boyolali, Klaten, Sragen, dan Karanganyar. Analisis data menggunakan tipologi Klassen untuk mengetahui pola dan struktur ekonomi, Location Quotient (LQ) untuk mengidentifikasi sektor unggulan, Indeks Williamson untuk mengetahui disparitas ekonomi, dan kontribusi sektoral untuk mengetahui peran sektoral. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor unggulan berbeda tiap kabupaten, yaitu Wonogiri (pengangkutan dan komunikasi), Karanganyar (industri pengolahan), Boyolali (keuangan, real estat, dan jasa perusahaan), Sragen (pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan), dan Klaten (konstruksi). Sektor ekonomi unggulan di setiap kabupaten bervariasi tergantung ketersediaan sumberdaya dan keunggulan komparatif. Berdasarkan pola dan struktur ekonominya, Kabupaten Karanganyar termasuk daerah maju dan berkembang pesat tetapi Wonogiri termasuk daerah terbelakang. Hasil penelitian juga menunjukkan disparitas pendapatan antar daerah di masingmasing kabupaten terkategori rendah (0,25) dan cenderung meningkat. Kebijakan pembangunan ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi tinggi dan disparitas rendah dapat dilakukan dengan pengembangan sektor unggulan secara inklusif dan memperhatikan transformasi ekonomi yang terjadi di tiap kabupaten. Kata kunci: Subdas Bengawan Solo Hulu, kabupaten, sektor unggulan, ketimpangan pendapatan UDC (OSDCF) 630*116 Nana Haryanti Disfungsi Institusi Konservasi dan Dampaknya pada Kegagalan Adopsi Teknologi Konservasi Tanah dan Air, Studi Kasus di Kabupaten Wonogiri dan Temanggung, Jawa Tengah Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No.1, hal. 44 - 58 Adopsi teknologi konservasi tanah dan air, seperti sistem agroforestri dan penerasan lahan, sejauh ini masih rendah. Salah satu yang diduga kuat menjadi faktor penyebabnya adalah masih lemahnya atau bahkan tidak tersedianya institusi (lembaga) yang mampu mendorong masyarakat, khususnya petani, agar menerapkan teknologi konservasi tanah dan air. Makalah ini ditujukan untuk mengeksplorasi, menganalisis dan menjelaskan peran institusi konservasi dalam proses difusi teknologi konservasi tanah dan air. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data yang digunakan dalam analisis diperoleh melalui wawancara mendalam dan diskusi kelompok terhadap kelompok petani dan sejumlah pihak yang terkait dengan konservasi tanah dan air. Lokasi penelitian adalah kabupaten Wonogiri dan Temanggung, dan dua kelompok tani hutan dipilih sebagai kelompok informan pada penelitian ini. Institusi dalam penelitian ini adalah institusi yang merujuk pada kerangka yang
dikembangkan Department of Foreign and Internatioanl Development (DFID) berupa lembaga formal konservasi meliputi kelompok tani hutan, lembaga pemerintah yaitu dinas kehutanan dan penyuluh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiadaan institusi konservasi menghambat petani melakukan adopsi teknologi konservasi. Disfungsi intitusi juga mengakibatkan tidak berjalannya proses belajar sosial sehingga melemahkan kesadaran masyarakat dan hilangnya norma-norma konservasi. Sebagai implikasi dari temuan tersebut, maka kebijakan pemerintah yang terkait dengan konservasi tanah dan rehabilitasi lahan perlu dirancang sedemikian rupa sehingga berpihak kepada pelaku konservasi dan mengandung insentif dan disinsentif bagi kegiatankegiatan konservasi. Kata kunci: Teknologi, adopsi, konservasi, institusi UDC (OSDCF) 630*116 Nur Ainun Jariyah Karakteristik Masyarakat Sub DAS Pengkol dalam Kaitannya dengan Pengelolaan DAS Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No.1, hal. 59 - 69 Sub DAS Pengkol merupakan bagian dari DAS Keduang, yang merupakan salah satu sub DAS penyumbang erosi dan sedimentasi di Waduk Gadjah Mungkur. Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang ada di daerah hulu, maka kajian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik sosial budaya masyarakat hulu dalam kaitannya dengan pengelolaan DAS. Penelitian ini dilakukan di wilayah Sub DAS Pengkol di Kabupaten Wonogiri, diwakili oleh wilayah hulu, tengah dan hilir. Data yang diambil meliputi data primer dan data sekunder dengan parameter identitas responden, kepadatan penduduk, budaya, ketergantungan lahan dan kelembagaan. Pengambilan data menggunakan teknik wawancara dengan panduan kuesioner dan wawancara mendalam kepada tokoh kunci. Pemilihan responden dilakukan secara acak proporsional sesuai tujuan penelitian, dan analisis data menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Karakteristik masyarakat hulu pada umumnya adalah petani dengan umur masih produktif. Petani sudah paham akan manfaat dan dampak konservasi tanah apabila tidak dilakukan, (2) Pada umumnya petani mempunyai lahan lebih dari satu bidang dan ditanami tanaman tumpangsari, empon-empon dan tanaman berkayu, (3) Pendapatan keluarga ketiga desa lebih besar dari Kebutuhan Hidup Layak, (4) Perlu adanya pembinaan yang lebih baik dan terstruktur untuk membangun daerah hulu bersama masyarakat, (5) Perlu adanya reward untuk masyarakat hulu yang telah melakukan kegiatan konservasi tanah. Kata kunci: Karakter petani, managemen DAS, Sub DAS Pengkol, konservasi UDC (OSDCF) 630*116.27 Heru Setiawan Analisis Tingkat Kapasitas dan Strategi Coping Masyarakat Lokal dalam Menghadapi Bencana Longsor- Studi Kasus di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No.1, hal. 70 - 81 Longsor di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar pada tahun 2007 mengakibatkan puluhan rumah rusak dan puluhan nyawa melayang.
Analisis tingkat kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana longsor merupakan elemen penting untuk mengetahui tingkat kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana longsor yang akan terjadi di masa mendatang dan untuk meminimalkan dampak negatif yang timbul akibat bencana longsor. Penelitian ini dilakukan di Desa Tengklik dan Desa Tawangmangu Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi strategi coping yang dilakukan masyarakat lokal dan menilai tingkat kapasitas masyarakat lokal dalam menghadapi bencana longsor. Metode survei dengan pemilihan responden yang dilakukan secara acak, diaplikasikan untuk mengetahui jenis-jenis staregi coping dan tingkat kapasitas masyarakat terhadap bencana longsor. Jumlah respondensebanyak 93 orang ditentukan secara proporsional dan tersebar di lima dusun, yaitu Dusun Plalar, Guyon, Sodong dan Salere di Desa Tengklik dan Dusun Ngledoksari di Desa Tawangmangu. Wawancara terhadap responden dilakukan dengan menggunakan kuesioner dengan tipe pertanyaan terbuka dan tertutup. Masyarakat lokal menerapkan empat tipe strategi coping, yaitu ekonomi, struktural, sosial dan kultural. Terdapat 51,6% responden mempunyai tingkat kapasitas yang tinggi, 33,3% berada pada tingkat sedang dan hanya 15,1% yang berada pada tingkat rendah. Faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kapasitas masyarakat adalah tingkat pendidikan, penghasilan dan tipe rumah. Kata kunci: Bencana longsor, strategi coping , tingkat kapasitas, Tawangmangu UDC (OSDCF) 630*892.6 Nur Hayati, Rini Purwanti dan Abd. Kadir W Preferensi Masyarakat terhadap Makanan Berbahan Baku Sagu (Metroxylon sagu Rottb) sebagai Alternatif Sumber Karbohidrat di Kabupaten Luwu dan Luwu Utara Sulawesi Selatan Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No.1, hal. 82 - 90 Sagu merupakan salah satu sumber karbohidrat dan bahan dasar dalam pembuatan makanan tradisional di Sulawesi Selatan misalnya kapurung, dange, bagea, sinole, cendol dan lain-lain. Apabila sagu dikembangkan akan menjadi salah satu sumber pangan alternatif yang dapat meringankan masalah ketahanan pangan nasional. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan masyarakat untuk meng-gunakan sagu sebagai alternatif sumber karbohidrat. Pengambilan sampel menggunakan metode purposif secara random sampling terhadap konsumen sagu yang ditemui pada saat penelitian. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan masyarakat dalam menggunakan sagu sebagai alternatif sumber karbohidrat di Sulawesi Selatan digunakan Analisis Regresi Logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Luwu dan Luwu Utara terdapat beberapa alasan masyarakat menyukai sagu, yaitu rasanya yang enak, bahannya mudah didapat, faktor kebiasaan, sebagai pengganti beras, dan harganya yang lebih murah jika dibanding dengan beras. Lebih jauh, hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa keputusan konsumen dalam mengkonsumsi makanan berbahan baku sagu dipengaruhi oleh suku, pendidikan, jenis makanan olahan, dan harga beras. Kata kunci: Preferensi masyarakat, sagu, alternatif karbohidrat, sumber pangan
FORESTRY SOCIO AND ECONOMIC RESEARCH JOURNAL ISSN: 1979 - 6013
Date of issue : March 2014
The discriptors given are keywords. The abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC (OSDCF) 630*111.83 Sri Lestari & Bambang Tejo Premono
UDC (OSDCF) 630*901 S. Andy Cahyono & Wahyu Wisnu Wijaya
Strengthening Agroforestry System as an Efforts of Climate Change Mitigation: Case of Central Bengkulu Regency, Bengkulu Province
Identification of the Leading Economic Sectors and Income Disparity among Regencies in Upper Bengawan Solo Sub Watershed
Forestry Socio Economic Journal Vol. 11 No. 1, p. 1 - 12
Forestry Socio Economic Journal Vol. 11 No. 1, p. 32 - 43
The crop management systems on land owned with agroforestry system in Bengkulu Province indirectly constitutes as a form of community participation to reduce greenhouse gasses emissions. Agroforestry can be used as one of the programs in the Regional Action Plan (RAD) in an effort to mitigate and adapt to climate change. Survey methods and interviews with the community who applied agroforestry system were used to know the main purpose of the community in developing agroforestry on their land and also to determine the attitude and knowledge of the community about the role of agroforestry in mitigation and adaptation to climate change. The results showed that most of people in Central Bengkulu Regency developed agroforestry system with two or more types of plants because this pattern is more favorable in terms of subsistence, both short and long term. From the economic side, the community developed a timber plant with the main purpose as future savings. Meanwhile, in terms of the environment, agroforestry has an important role in protecting the flora and fauna, protecting the environment, and reduce global warming. However, still many of the members of the community who have not been aware of this. Therefore, the introduction of technology and dissemination of environmental issues to the public are needed to maintain public interest in the development of agroforestry in Central Bengkulu.
The purposes of this study are: (1) to identify leading economic sectors and (2) to analyse income disparity among regencies in Upper Bengawan Solo sub watershed. The study covers 5 regencies: Wonogiri, Boyolali, Klaten, Sragen and Karanganyar. Data were analyzed using a Klassen typology to determine pattern and economy structure, Location Quotient (LQ) to identify leading economic sectors, Williamson Index to determine economic disparity and sectoral contribution to determine role of sector. The results show that leading economic sectors were different for each regency, i.e. Wonogiri (transport and communications), Karanganyar (processing industry), Boyolali (finance, real estate, and business services), Sragen (agriculture, livestock, forestry, and fisheries), and Klaten (construction). The leading sectors identified in each regency varied depending on the endowment of resources and comparative advantage. Based on their pattern and economy structure, Karanganyar can be categorized as advanced and fast growing region but Wonogiri as disadvantaged regions. The results also show that the income disparity among regencies was low (0.25) and tended to increase. The development policy of high economic growth with low disparity can be inclusively done by developing the leading sectors and paying attention to the economic transformation that occurred in each regency.
Keywords:
agroforestry system, community participation, climate change mitigation
Keywords: Upper Bengawan Solo sub watershed, regency, key economic sector, income disparity
UDC (OSDCF) 630*161.32 Virni Budi Arifanti, I Wayan Susi Dharmawan & Donny Wicaksono
UDC (OSDCF) 630*116 Nana Haryanti
Carbon Stock Potency of Sub Montane Forest Stand in Mount Halimun Salak National Park
Dysfunction of Conservation Institutions and its Impacts on the Failures of Soil and Water Conservation Technologies Adoption, Case Study at Wonogiri and Temanggung Regencies, Central Java Province
Forestry Socio Economic Journal Vol. 11 No. 1, p. 1 - 12
Forestry Socio Economic Journal Vol. 11 No. 1, p. 44 - 58 Several baseline data of natural forest carbon stock is needed to support REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Degradation+) implementation as a mitigation effort for climate change issue in Indonesia. According to IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) Guidelines 2006, carbon stock calculation should be measurable, transparent, verifiable and consistent through time. At sub-national level, Java Island especially natural forest ecosystem is often overlooked by REDD+ scientists implying that the data and information on carbon stock of natural forest ecosystem in Java Island is still limited. The research has been conducted in sub montane primary forest in conservation area of Mount Halimun Salak National Park (TNGHS) with the objective to estimate the 5 carbon pools at TNGHS. Twenty seven-plots of 20x20 meters were built in the field. Measurement of forest carbon pools was done for aboveground, belowground (root), understorey and necromass at primary forest with high and low canopy density. The research showed that TNGHS has a quite high carbon stock potency as followings: aboveground 139.326 tonC/ha, belowground (root) 39.011 tonC/ha, understorey 1,971 tonC/ha and necromass 5.77 tonC/ha. Average of biomass and stand carbon stock in primary forest of TNGHS were 364.503 ton/ha dan 185.177 tonC/ha, respectively. This study recommends to use allometric equation developed by Chave et al. (2005) to estimate forest stand biomass potency at TNGHS.
Low rate adoption of soil and water conservation technologies, such as agroforestry systems and terrace farming, is still prevalent in a number of areas proned to water erosion. One of prominence alleged factors is conservation institution, which is mostly weak in inducing community, especially farmers or landholders, to apply soil and water conservation technologies to their own farmland. By using two case studies of soil and water conservation projects in Wonogiri and Temanggung regencies, this paper is aimed to explore and analyze the role of conservation institutions in the diffusion process of soil and water conservation technologies among farmers or landholders. Data were collected using in-depth interviews and focus group discussions. Institution in this research referred to institutional framework developed by Department of Foreign and International Development (DFID). They included formal conservation institutions, namely forest farmer groups, government institution, and extension agents. Results showed that the absence of conservation institutions discouraged farmers' motivation to adopt conservation technologies. Institutional dysfunction resulted in breaking of social learning processes thus decreasing community awareness and decompressing conservation norms. As an implication of this study, government policies on soil conservation and land rehabilitation should be adjusted to be more farmers or landholders oriented and should include incentives and disincentives for soil conservation and land rehabilitation activities.
Keywords:
Keywords: Technology, adoption, conservation, institution
REDD+, biomass, carbon stock, primary forest
UDC (OSDCF) 630*116 Nur Ainun Jariyah
UDC (OSDCF) 630*116.27 Heru Setiawan
Characteristics of Society Pengkol Sub-Watershed in Relation with Watershed Management (Case study in Pengkol Sub-Watershed, Wonogiri Regency, Central Java)
Analysis of Coping Strategies and The Level of Local Community's Capacity Towards Landslide- A Case Study in Tawangmangu, Karanganyar, Central Java
Forestry Socio Economic Journal Vol. 11 No. 1, p. 59 - 69
Forestry Socio Economic Journal Vol. 11 No. 1, p. 70 - 81
Pengkol Sub-watershed is part of the Keduang watershed, where is one of the subwatersheds that contribute to erosion and sedimentation in the Gadjah Mungkur reservoir. Base on the problems that exist in the upstream, the aims of study to investigate the characteristics of upstream social culture of the community in relation to watershed management. The research was conducted in the Pengkol sub-watershed in Wonogiri district, represented by the area upstream, midstream and downstream. This activity is a qualitative research. Data taken include primary data and secondary data. The parameters are taken the identity of respondents, population density, culture, land and institutional dependency. Data is collected by conducting interviews with questionnaire and indepth interviews with key person. Random selection of respondents drawn proportionately adjusted for the purpose of research. Data analysis was done by descriptive qualitative. The conclusion of this study were (1) Characteristics of upstream communities are generally farmers with age is still productive. Farmers are aware of the benefits and impacts of not implement soil conservation, (2) In general, farmers have more than one of field land and planted crops intercropping, medicinal spices and woody plants, (3) family income the three villages is above in Living Needs, (4) Need for better coaching and structured to build communities upstream with community, (5) It needs a reward for people who have practiced soil conservation activities in upstream.
Landslide was occurred in 2007 at Tawangmangu resulting collapse of dozens houses and killing of dozens people. Analysis of community'scapacity to landslides is essential elements to determine the level of community's preparedness to landslides occurring in the future. Analysis influencing factors of community's capacity should be known to develop appropriate policies and mitigation action for dealing with landslide. This research was conducted at Tengklik Village and Tawangmangu Village, Tawangmangu Sub-district, Karanganyar Regency. This research was aimed to identify various coping strategy that be done by local community and to assess the level of community's coping capacity related to landslide. Survey method with random sampling technique was applied to assess the level of community's capacity related to landslide. The number of respondents is 93 spread proportionally across five sub-villages; Plalar, Guyon, Sodong and Salere in Tengklik and Ngledoksari in Tawangamngu Village. The respondents were interviewed using questionnaires with open and closed questions. Statistical analysis was applied to identify the influencing factors of community's capacity related to landside. Local people applied three type coping strategy, which are: economic, structural, social and cultural coping strategy. Totally, 52% respondents have high level capacity, 33% have moderate level and only 15% respondents that have low level of capacity. The factors that influence the level of capacity are education, income and building type.
Keywords:
Keywords: Landslide, coping strategy, level of capacity, Tawangmangu
Characters of farmers, watershed management, Pengkol Subwatershed, conservation
UDC (OSDCF) 630*892.6 Nur Hayati, Rini Purwanti & Abd. Kadir W CCommunity Preferences Towards Sago-Based Food (Metoxylon sagu Rottb) as an Alternative of Carbohydrate Sources in Luwu and North Luwu Regencies South Sulawesi Province Forestry Socio Economic Journal Vol. 11 No. 1, p. 82 - 90 Sago is one of carbohydrate sources and raw material of traditional foods in South Sulawesi Province, such as kapurung, dange, bagea, sinole and cendol. Sago should be promoted as one of alternative food sources, as it will reduce national food security problems. The purpose of this study is to determine factors affecting community decision to use sago as an alternative of carbohydrate sources. Method used for this study was survey in which purposive random sampling was carried out and sago consumers were the study target. Logistic regression analysis was used to analyze the data. The results showed that in Luwu and North Luwu Regencies, there were several reasons why community used sago as an alternative of carbohydrate source, i.e.: good taste, raw material was easy to obtain, community often ate sago instead rice for their staple foods, and the price was less expensive compared to rice. Futher more, the analyses results found that consumers' decision to consume sago was influenced by ethnicity,education, type of processed food and rice price. Keywords: Community preferences, sago, carbohydrate alternative, foodsources
PENGUATAN AGROFORESTRI DALAM UPAYA MITIGASI PERUBAHAN IKLIM: KASUS KABUPATEN BENGKULU TENGAH PROVINSI BENGKULU (Strengthening Agroforestry System as an Efforts of Climate Change Mitigation: Case of Central Bengkulu Regency, Bengkulu Province) Sri Lestari1 & Bambang Tejo Premono2 1,2 Balai Penelitian Kehutanan Palembang Jl. Kol. H. Burlian Km 6.5 Puntikayu Palembang Telp/Fax: 0711-414864, e-mail:
[email protected] Diterima 19 November 2013, direvisi 23 Januari 2014, disetujui 24 Februari 2014 ABSTRACT
The crop management systems on land owned with agroforestry system in Bengkulu Province indirectly constitutes as a form of community participation to reduce greenhouse gasses emissions. Agroforestry can be used as one of the programs in the Regional Action Plan (RAD) in an effort to mitigate and adapt to climate change. Survey methods and interviews with the community who applied agroforestry system were used to know the main purpose of the community in developing agroforestry on their land and also to determine the attitude and knowledge of the community about the role of agroforestry in mitigation and adaptation to climate change. The results showed that most of people in Central Bengkulu Regency developed agroforestry system with two or more types of plants because this pattern is more favorable in terms of subsistence, both short and long term. From the economic side, the community developed a timber plant with the main purpose as future savings. Meanwhile, in terms of the environment, agroforestry has an important role in protecting the flora and fauna, protecting the environment, and reduce global warming. However, still many of the members of the community who have not been aware of this. Therefore, the introduction of technology and dissemination of environmental issues to the public are needed to maintain public interest in the development of agroforestry in Central Bengkulu. Keywords: Agroforestry system, community participation, climate change mitigation ABSTRAK
Sistem pengelolaan tanaman di lahan milik dengan pola agroforestri di Provinsi Bengkulu secara tidak langsung merupakan suatu bentuk partisipasi masyarakat untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Agroforestri dapat dijadikan sebagai salah satu program dalam Rencana Aksi Daerah (RAD) dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Metode survey dan wawancara dengan masyarakat digunakan untuk mengetahui tujuan utama masyarakat dalam mengembangkan agroforestri di lahan miliknya serta mengetahui sikap dan pengetahuan masyarakat terhadap peran agroforestri dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat di Kabupaten Bengkulu Tengah mengembangkan pola agroforestri dengan dua atau lebih jenis tanaman karena pola ini lebih menguntungkan dari sisi pemenuhan kebutuhan hidup jangka pendek dan jangka panjang. Dari sisi ekonomi, masyarakat mengembangkan tanaman kayu dengan tujuan utama sebagai tabungan masa depan. Sementara itu dari sisi lingkungan, agroforestri memiliki peran penting dalam melindungi flora fauna, menjaga lingkungan, serta mengurangi pemanasan global. Akan tetapi masih banyak juga di antara anggota masyarakat yang belum menyadari akan hal ini, sehingga diperlukan introduksi teknologi dan sosialisasi tentang isu lingkungan kepada masyarakat untuk mempertahankan minat masyarakat dalam mengembangkan agroforestri di Bengkulu Tengah. Kata kunci: Agroforestri, partisipasi masyarakat, mitigasi perubahan iklim
I. PENDAHULUAN Pengembangan tanaman kehutanan dengan pola agroforestri telah lama dipraktekkan oleh masyarakat di Provinsi Bengkulu, dimana sebagian
besar dari mereka mencampur jenis tanaman perkebunan berupa kopi dengan tanaman kehutanan jenis kayu bawang ( Disoxylum molliscimum). Dasar pertimbangan masyarakat dalam mencampur beberapa jenis tanaman dalam
Penguatan Agroforestri dalam Upaya Mitigasi Perubahan Iklim: Kasus Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu (Sri Lestari et. al.)
1
satu bidang lahan adalah diversifikasi hasil panen, baik dari segi jenis maupun waktu panen. Hal ini memperlihatkan bahwa motif ekonomi masih mendominasi minat mayarakat dalam mengusahakan tanaman pertanian dan kehutanan di lahan miliknya. Beberapa penelitian juga mengungkapkan bahwa pengembangan agroforestri oleh masyarakat memiliki beberapa manfaat yang lain. Jose (2009) menjelaskan bahwa agroforestri memiliki empat manfaat utama bagi ekosistem dan lingkungan, yaitu penyerapan karbon, menjaga dan meningkatkan kesuburan tanah, konservasi keanekaragaman hayati, serta menjaga dan meningkatkan kualitas udara dan air. Smith et al. (2008) dan Dresner et al. (2008) jug a mengungkapkan bahwa lahan dengan tanaman berkayu memiliki peran penting dalam menjaga sumberdaya alam karena mampu mencegah atau mengurangi bahaya banjir, serta mengontrol erosi tanah. Peran-peran tersebut selama ini kurang disadari oleh masyarakat, terutama di daerah-daerah dimana akses informasi dan transportasi masih cukup rendah. Akan tetapi dengan semakin gencarnya issue pemanasan global dan perubahan iklim yang banyak ditayangkan dan dimuat di berbagai media massa seperti televisi dan surat kabar, membuat masyarakat sedikit demi sedikit mulai mengerti bahwa dampak negatif dari pemanasan global ini telah mereka rasakan. Mereka mulai sadar akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dengan cara menanam pohon. Dalam penelitiannya, Oke dan Olatiilu (2011) membandingkan jumlah serapan karbon yang dapat disimpan oleh beberapa tipe tutupan lahan dalam pola agroforestri, dan hasilnya mengungkapkan bahwa lahan dengan pola agroforestri coklat yang rapat mampu menyerap karbon lebih tinggi dibandingkan dengan pola agroforestri coklat yang kurang rapat. Hal ini menunjukkan bahwa adanya tanaman kehutanan yang dicampur dengan tanaman perkebunan seperti coklat atau kopi akan meningkatkan kapasitas serapan karbon dari atmosfer. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Budiadi dan Ishii (2010) yang menjelaskan bahwa pola agroforestri yang intensif dengan beberapa jenis tanaman pertanian mampu menyerap karbon lebih banyak dibandingkan dengan pola agroforestri hanya dengan satu jenis tanaman pertanian. Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa pola agroforestri dapat menyerap karbon 2
lebih ting gi dibandingkan dengan pola m o n o k u l t u r. S i s t e m a g r o f o r e s t r i y a n g dikembangkan di wilayah Bukidnon, Philippines, mampu menyimpan karbon sebanyak 92 MgC per ha sampai dengan 174 MgC per ha (Labata et al. 2012). Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian tentang pengembangan agroforestri dan aksi mitigasi perubahan iklim di Kabupaten Bengkulu Tengah, Provinsi Bengkulu, dikaitkan dengan program pemerintah untuk menurunkan tingkat emisi karbon. Dengan mengetahui tujuan utama masyarakat dalam mengembangkan agroforestri di lahan miliknya serta sikap dan pengetahuan masyarakat terhadap peran agroforestri dalam upaya mitigasi perubahan iklim, diharapkan pengembangan agroforestri di tingkat masyarakat dapat dijadikan salah satu program dalam rencana aksi daerah dalam rangka mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Bengkulu Tengah, Provinsi Bengkulu pada bulan April - Juni 2012. Kabupaten Bengkulu Tengah di pilih secara sengaja (purposive sampling) karena masyarakatnya sebagian besar mengembangkan tanaman kayu di lahan milik mereka. Tiga desa yang menjadi fokus dalam kegiatan ini adalah Desa Lubuk Sini, Desa Karang Empat, dan Desa Batu Raja. B. Data dan Metode Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pimer dan data sekunder yang berhubungan dengan fokus penelitian. Data primer berupa karakteristik sosial ekonomi masyarakat, motivasi dalam pengembangan agroforestri dan pengetahuan serta pemahaman masyarakat tentang isu lingkungan dan mitigasi perubahan iklim. Data karakteristik sosial ekonomi meliputi tingkat pendidikan, pekerjaan, umur, pendapatan, luas kepemilikan lahan dan jumlah pohon kayu bawang yang ditanam masyarakat. Data primer diperoleh melalui metode observasi dan wawancara dengan pemilik dan pengembang agroforestri dengan tanaman kayu jenis kayu bawang. Sedangkan data
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 1 - 12
sekunder berupa gambaran umum lokasi penelitian, data statistik Kabupaten dan Provinsi Bengkulu, serta dokumen program pemerintah berkaitan dengan aksi nasional dalam mitigasi perubahan iklim, diperoleh melalui penelusuran data di instansi-instansi terkait, yaitu Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu, Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu, Dinas Kehutanan Kabupaten Bengkulu Tengah, serta BPDAS Provinsi Bengkulu. Wawancara juga dilakukan terhadap beberapa stakeholder yang terkait dengan kegiatan pengembangan kayu kehutanan di wilayah Bengkulu Tengah dengan pola agroforestri. Pemilihan responden di tiga desa lokasi penelitian dilakukan dengan metode purposive sampling (pemilihan dengan sengaja), yaitu dipilih penduduk yang memiliki tanaman kayu bawang lebih dari 10 batang. Dari masing-masing desa dipilih 32 responden sehingga jumlah total responden adalah 96 orang. Akan tetapi dari keseluruhan responden tersebut terdapat 1 kuisioner yang kurang lengkap, sehingga hanya 95 kuesioner yang dapat dianalisis dalam kegiatan penelitian ini. Data yang diperoleh dari lapangan kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif untuk mengetahui tujuan utama masyarakat dalam pengelolaan agroforestri dan sejauh mana sikap masyarakat terhadap mitigasi perubahan iklim. Dari hasil analisis ini, serta didukung oleh informasi dari data sekunder dan wawancara dengan stakeholder terkait, akan diperoleh hasil yang lebih komprehensif mengenai peran agroforestri di Bengkulu Tengah untuk mendukung program pemerintah dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. III. GAMBARAN UMUM LOKASI A. Biofisik Secara administrasi Kabupaten Bengkulu Tengah termasuk dalam wilayah Provinsi Bengkulu yang terletak antara 101032' - 10208' serta 205' - 40, dengan ibukota berada di Karang Tinggi. Kondisi geografis Kabupaten Bengkulu Tengah ini sebagian besar merupakan dataran dengan ketinggian di bawah 150 m dpl, sedangkan di bagian timur topografinya berbukit-bukit dengan ketinggian 541 m dpl. Persebaran ketinggian bersifat sporadis
sehingga topografi wilayah ini bergelombang dan berbukit dengan derajat kelerengan antara 5 - 35%. Sebelah utara wilayah ini berbatasan dengan Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Rejang Lebong, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kepahiyang, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Seluma dan Kota Bengkulu, serta sebelah barat berbatasan dengan Samudra Indonesia (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkulu Tengah, 2012). Wilayah Bengkulu Tengah didominasi oleh areal pertanian seperti sawah, lahan kering, dan perkebunan sehingga hasil produksi tanaman perkebunan di wilayah ini cukup tinggi, seperti karet, kopi, kakao, sawit, kelapa, dan cengkeh. Demikian juga dengan tanaman buah-buahan seperti mangga, rambutan, duku, jeruk, durian, sawo, dan lain-lainnya. Untuk areal kehutanan terbagi menjadi tiga fungsi, yaitu fungsi konservasi, fungsi produksi, dan fungsi lindung. Berdasarkan klasifikasi iklim, kabupaten ini tergolong tipe iklim A (tropis basah) dengan kelembaban 70-87%. Jumlah bulan basah dimulai dari bulan Oktober dan berakhir pada bulan Juli, dengan temperatur rata-rata tahunan 250 C sampai dengan 270 C serta curah hutan bulanan 230 - 620 mm. Terdapat empat jenis tanah di Kabupaten Bengkulu Tengah, yaitu Aluvial, Podsolik Merah Kuning, Latosol, dan Andosol (Bappeda Kabupaten Bengkulu Tengah, 2011b). B. Sosial Ekonomi dan Budaya Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkulu Tengah tahun 2012, penduduk di Kabupaten ini berjumlah 101.030 jiwa yang terdiri dari 51.850 laki-laki dan 49.180 perempuan. Penduduk kebanyakan berdomisili di Kecamatan Pondok Kelapa, yaitu sebesar 17,15%. Hal ini disebabkan letak kecamatan ini berada di pinggir jalan provinsi dan menjadi pusat kegiatan ekonomi rakyat. Jumlah penduduk miskin Kabupaten Bengkulu Tengah adalah 6,52% atau 6.700 jiwa, jumlah ini adalah yang terendah di Provinsi Bengkulu. Lapangan pekerjaan utama penduduk didominasi oleh bidang pertanian (58,83%) dan jasa (11,61%) sehingga 35,29% PDRB di kabupaten ini disumbang oleh sektor pertanian. Sektor pertanian meliputi pertanian tanaman pangan, tanaman perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan. Pertumbuhan ekonomi
Penguatan Agroforestri dalam Upaya Mitigasi Perubahan Iklim: Kasus Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu (Sri Lestari et. al.)
3
Kabupaten Bengkulu Tengah pada tahun 2011 adalah 6,74%, dimana pertumbuhan tertinggi ada pada sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Penduduk di Kabupaten Bengkulu Tengah memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang beragam. Penduduk asli Kabupaten ini adalah Suku Rejang dan Suku Lembak, namun terdapat pula suku yang datang dari luar Kabupaten, seperti suku Jawa, Sunda, Batak, dan lain-lain. Tiga suku besar yang ada di Kabupaten Bengkulu Tengah adalah Suku Rejang, Suku Lembak, dan Suku Jawa. Komunikasi antar suku dalam pergaulan sehari-hari umumnya menggunakan bahasa Melayu Bengkulu dan Bahasa Indonesia. Sedangkan untuk berkomunikasi sesama suku, mereka menggunakan bahasa daerah masing-masing suku (Bappeda Kabupaten Bengkulu Tengah, 2011a). IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Agroforestri di Kabupaten Bengkulu Tengah dan Aksi Mitigasi Perubahan Iklim di Daerah Kabupaten Bengkulu Tengah dengan luas wilayah kurang lebih 1.223,94 km2 dan luas kawasan hutan 26.336,4 ha dan areal kawasan penggunaan lain (APL) atau budidaya milik masyarakat yang sebagian besar juga ditanami dengan tanaman kayu, berperan terhadap aspek konservasi sumberdaya dan lingkungan serta berkontribusi dalam aspek sosial ekonomi masyarakat. Salah satu program strategis pemerintah dalam aspek konservasi sumberdaya dan lingkungan adalah mitigasi perubahan iklim dengan menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca (GRK). Targ et pemerintah Indonesia adalah menurunkan emisi GRK sebesar 26% atau 0,767 Gton CO2e (dengan usaha sendiri) dan 41% atau 1.244 Gton CO2e (dengan dukungan internasional) di tahun 2020 (Bappenas, 2011). Aksi mitigasi dalam pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, industri, serta pengelolaan limbah, merupakan lima bidang prioritas yang diusulkan oleh rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca (RAN-GRK). Untuk mencapai penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26%
4
tersebut, tujuh bidang utama telah ditetapkan dalam aksi mitigasi nasional, yaitu (1) pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan, (2) pengurangan tingkat deforestasi dan degradasi lahan, (3) pengembangan penyerapan karbon, (4) mempromosikan penghematan energi, (5) pengembangan sumber energi alternatif dan terbarukan, (6) pengurangan limbah padat dan cair, dan (7) pengalihan ke moda transportasi yang rendah emisi. Berdasarkan tujuh bidang utama ini, pengembangan agroforestri dengan mencampur tanaman kehutanan dan tanaman pertanian atau perkebunan dapat dimasukkan dalam bidang yang kedua dan ketiga, yaitu pengurangan tingkat degradasi lahan serta pengembangan penyerapan karbon. Hal ini dikarenakan kemampuan agroforestri dalam mencegah laju degradasi lahan serta adanya kemampuan tumbuhan yang ditanam di dalamnya untuk menyerap karbon. Apabila seluruh masyarakat yang memiliki lahan menanam tanaman kehutanan dan perkebunan secara bersamaan di lahan miliknya, maka iklim mikro yang kondusif bagi kehidupan manusia di sekitarnya dapat diciptakan. Ditinjau dari aspek sosial ekonomi, sistem agroforestri dapat memberikan keuntungan berupa peningkatan pendapatan serta penyediaan lapangan kerja. Sedangkan dari aspek lingkungan, agroforestri dapat memberikan keuntungan dalam memelihara kualitas serta kuantitas air dan udara bersih, menjaga keanekaragaman hayati dan meningkatkan penyerapan karbon dari atmosfer. Penelitian Santoso (2003) di Taman nasional Meru Betiri Jember mengungkapkan bahwa demplot agroforestri dengan jenis tanaman kedawung, trembesi, pakem dan kemiri memiliki potensi mitigasi sebesar 268 ton C/ha. Selain itu, demplot ini juga menghasilkan Net Present Value sebesar 2.458 US$/ha. Potensi mitigasi ini akan meningkat menjadi 311 ton C/ha dengan adanya penambahan tanaman buah seperti mangga, durian dan rambutan sehingga NPV yang dihasilkan juga meningkat. Menurut Widianto et al. (2003) sistem agroforestri lebih menguntungkan dibandingkan sistem pertanian dengan tanaman semusim karena jika dilihat dari cadangan karbon yang dapat disimpan, pepohonan memiliki biomasa tinggi dan masukan seresah yang dapat terjadi secara terus menerus.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 1 - 12
Gambar 1. Agroforestri tanaman kayu bawang dengan kakao Figure 1. Agroforestry kayu bawang with cocoa
Gambar 2. Agroforestri tanaman kayu bawang dengan sawit Figure 2. Agroforestry kayu bawang with palm oil
Tabel 1. Program Kebun Bibit Rakyat (KBR) di Kabupaten Bengkulu Tengah Table 1. Program of Kebun Bibit Rakyat in Central Bengkulu Regency Kecamatan (Sub district)
Desa (Village)
Nama Kelompok Tani (farmer groups)
Jenis Bibit (Seeds species)
Jumlah (Batang) (Number of poles)
Pagar Jati
Arga Indah I, Karang Are, Rena Kandis
Sidomulyo, Coa Sako sako, Harapan Maju
karet, mahoni, kayu Afrika, kayu bawang
145,000
Merigi Kelindang
Kelindang, Padang Kedeper, Ulak Lebar, Penembang, Talang Ambung
Tani Karya, Padang Jaya, Harapan Maju, Tanah Leluhur, Harapan Baru
karet, kayu Afrika, sengon laut, meranti, bambang lanang, gaharu
250,000
Merigi Sakti
Lubuk Puar, Susup, Bajak III, Pagar Agung
Puar Makmur, Suka Maju, Tunas Muda, Cenderawasi
karet, kayu Afrika, pala, bambang lanang, kayu bawang
200,000
Bang Haji
Sekayun Mudik, Talang Donok
Jalan Bersama, Donok Mandiri
karet, mahoni, bambang lanang, kayu bawang
100,000
Karang Tinggi
Kancing, Karang Nanding
Harapan Makmur, Sepakat
karet, sengon laut, mahoni, kayu Afrika, bambang lanang
100,000
Pematang Tiga
Air Kotok,Pematang Tiga
Harapan Mandiri, Harapan Makmur
karet, mahoni, bambang lanang
100,000
Taba Penanjung
Penum, Tanjung Ranum
Sabar Menanti, Tunas Harapan
karet, kayu Afrika
100,000
JUMLAH TOTAL
995,000
Penguatan Agroforestri dalam Upaya Mitigasi Perubahan Iklim: Kasus Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu (Sri Lestari et. al.)
5
Potensi agroforestri di Kabupaten Bengkulu Tengah cukup tinggi. Hal ini diindikasikan oleh peran Kabupaten Bengkulu Tengah sebagai pemasok utama kayu ke Kota Bengkulu. Kayu-kayu yang dihasilkan merupakan kayu tanaman rakyat yang berada di luar kawasan lindung. Tanaman kayu ini banyak dikembangkan oleh masyarakat dengan pola agroforestri, yaitu dicampur dengan berbagai jenis tanaman perkebunan seperti karet, sawit, kopi, dan lainnya. Jenis yang banyak ditanam oleh masyarakat antara lain kayu bawang, sengon, kayu Afrika, kayu gadis, merambung, jengkol dan durian. Masyarakat menanam jenis kayu-kayu ini dengan berbagai pola, seperti menanam tanaman kayu di antara tanaman perkebunan (sawit, karet, kakao, dll), dan menanam tanaman kayu sebagai tanaman batas di pinggir-pinggir lahan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2. Upaya untuk mitigasi perubahan iklim juga dilakukan oleh pemerintah daerah setempat dengan melaksanakan program Kebun Bibit Rakyat (KBR) yang merupakan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang salah satu tujuannya adalah untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan sebaliknya meningkatkan sekuestrasi karbon atau penyimpanan karbon dalam berbagai organ tanaman, terutama dalam bentuk kayu. Jumlah KBR yang dilaksanakan pada tahun 2011 berjumlah 20 kelompok dengan jumlah tanaman 995.000 bibit. Adapun rincian lokasi, jenis, dan jumlah bibit yang ditanam dalam program KBR di Kabupaten Bengkulu Tengah dapat dilihat pada Tabel 1.
B. A n a l i s i s D e s k r i p t i f Masyarakat
Karakteristik
Masyarakat di Kabupaten Bengkulu Tengah yang menjadi responden dalam kegiatan penelitian ini sebagian besar adalah petani yang menanami lahannya dengan tanaman perkebunan berupa kopi, sawit dan karet yang dicampur dengan tanaman kehutanan berupa kayu bawang, duren dan lain-lainnya. Dari Gambar 3 dapat diketahui bahwa 89% dari responden adalah petani, 1% dari mereka adalah pedagang, 2 % merupakan pegawai negeri sipil, dan 2% dari responden adalah pekerja swasta, sedangkan sisanya sebanyak 6% merupakan orang-orang yang bekerja di luar keempat kategori pekerjaan tersebut. Sebagian besar responden adalah petani, yaitu petani kebun yang terbiasa mengelola lahan dengan menanam tanaman perkebunan dicampur dengan tanaman kayu. Namun sistem pertanian yang dipraktekan merupakan sistem pertanian tradisional yang sederhana dan belum banyak tersentuh oleh teknologi sehingga produktivitas lahannya belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari belum adanya penerapan sistem silvikultur intensif oleh masyarakat. Di beberapa lokasi masyarakat masih belum melakukan pengaturan jarak tanam, penggunaan bibit unggul, serta pemberantasan hama dan penyakit. Jarak tanam yang sangat rapat dan tidak menanam bibit unggul pada tanaman kayu menyebabkan lambatnya pertumbuhan dan kecilnya dimeter kayu. Untuk itu diperlukan introduksi teknologi untuk meningkatkan
Gambar 3. Karakteristik responden berdasarkan jenis pekerjaan Figure 3. Characteristics of respondents based on the type of job
Sumber (Source) : Data Primer, 2012 (Primary Data, 2012)
6
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 1 - 12
produktivitas lahan milik masyarakat tersebut. Sukirno (2007) juga menegaskan hal serupa bahwa diperlukan adanya kemajuan teknologi untuk dapat mempertinggi produktivitas kegiatankegiatan ekonomi di masyarakat. Hal ini tentu saja termasuk kegiatan ekonomi di bidang pertanian yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Bengkulu Tengah. Sebenarnya, letak kebun yang relatif dekat dengan tempat tinggal masyarakat,
berkisar 2-3 km, memiliki dampak positif bagi pengelolaan lahan karena mereka dapat melakukan lebih intensif terutama dalam hal pengawasan dan pemeliharaan. Ruf (2005) menyatakan bahwa letak kebun yang dekat dengan rumah petani dapat menghemat waktu pulang pergi untuk bekerja, sehingga mereka akan lebih sering pergi ke kebun dan mengelola lahannya dengan lebih intensif.
Tabel 2. Karakteristik responden berdasarkan umur, pendapatan, luas kepemilikan lahan, dan jumlah pohon kayu bawang yang ditanam Table 2. Characteristics of respondents based on their age, income, land owned and the quantity of kayu bawang that were planted
Variabel (Variable) Umur (Age) (tahun) (Year) Pendapatan (Income) (Rp/minggu) (Rp/Week) Luas lahan (Land area) (Ha) (Ha) Jumlah pohon (Trees quantity) (batang) (Poles)
Min (Min) 32 150.000 1 15
Rata-rata (Mean) 50 680.000 3 52
Max (Max) 70 3.000.000 15 300
Sumber (Source) : Data Primer, 2012 (Primary Data, 2012)
Tabel 2 menjelaskan bahwa umur responden antara 32 sampai 70 tahun atau rata-rata 50 tahun. Pendapatan mingguan rata-rata adalah Rp 680.000 atau sekitar Rp 2.720.000 per bulan. Angka ini sebenarnya cukup besar untuk masyarakat di daerah pedesaan, akan tetapi karena biaya hidup masyarakat juga cukup tinggi (untuk wilayah Bengkulu), dan sumber pendapatan masyarakat satu-satunya adalah dari lahan, maka ketergantungan terhadap lahan sangat tinggi terutama untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Akibatnya, banyak di antara anggota masyarakat hanya mampu memenuhi kebutuhan pokok saja. Tidak adanya sumber pendapatan lain selain hasil lahan milik sehingga masyarakat berusaha meng optimalkan pemanfaatan lahannya. Agroforestri merupakan salah satu cara paling tepat untuk tujuan tersebut, sehingga masyarakat bisa memperoleh uang tunai dari tanaman perkebunan (tanaman tahunan) seperti kopi, karet, kakao dan sawit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka juga masih mendapat hasil dari tanaman buah seperti durian dan kelapa, serta hasil pemanenan tanaman kayu bawang yang ditanam di sela-sela tanaman pokok atau di pinggir lahan. Tanaman kayu ini lebih bersifat sebagai tabungan bagi petani, sehingga dapat ditebang apabila ada kebutuhan mendadak seperti biaya rumah sakit,
biaya sekolah, biaya untuk mencari kerja, biaya resepsi pernikahan, dan ada kebutuhan kayu untuk rumah tangga sendiri. Jika dilihat dari luas kepemilikan lahan, responden memiliki luasan lahan antara 1 (satu) sampai dengan 15 (lima belas) hektar. Pada umumnya petani yang memiliki lahan luas akan memiliki jumlah tanaman kayu bawang lebih banyak. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa jumlah kayu bawang berkisar antara 15 sampai dengan 300 batang, dengan rata-rata 52 batang per responden. Kepemilikan lahan yang lebih luas dengan tanaman kayu bawang lebih banyak merupakan budaya masyarakat, bahkan ada yang menanamnya dengan pola monokultur karena kebutuhan sehari-harinya dapat diperoleh dari lahan lain atau dari pendapatan di luar usaha tani. Berdasarkan Gambar 4 dapat diketahui bahwa mayoritas atau 70% responden memiliki pendidikan Sekolah Dasar, SMA sebanyak 15%, SMP 13%, sarjana 1% dan tidak sekolah sebanyak 1%. Tingkat pendidikan responden mempengaruhi tingkat pengetahuan dalam mengelola lahan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa masyarakat masih mengelola lahannya dengan sistem pertanian tradisional dan belum mengenal teknologi budidaya seperti misalnya sistem silvikultur intensif, hal ini juga dipengaruhi oleh
Penguatan Agroforestri dalam Upaya Mitigasi Perubahan Iklim: Kasus Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu (Sri Lestari et. al.)
7
tingkat pendidikan mereka yang tergolong rendah. Usman dan Abdi (2010) mengungkapkan bahwa pengetahuan usaha tani berperan penting dalam
upaya meningkatkan produktivitas lahan, karena penggunaan teknologi pada usaha tani akan berpengaruh terhadap pendapatan petani.
Gambar 4. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan Figure 4.Characteristics of respondents based on education level
Sumber (Source) : Data Primer, 2012 (Primary Data, 2012)
C. Pengetahuan Masyarakat Lokal tentang Mitigasi Perubahan Iklim Di sektor kehutanan, tiga aktivitas dalam upaya mitigasi perubahan iklim menurut kategori IPCC LULUCF adalah: (1) aforestasi, yaitu mengkonversi lahan yang sudah lama tidak berhutan menjadi lahan hutan, (2) reforestasi, yaitu mengubah lahan yang saat ini sudah tidak berhutan menjadi lahan hutan, dan (3) mencegah deforestasi, yaitu mencegah konversi dari lahan hutan menjadi lahan tidak berhutan (Locatelly, et al., 2011). Upaya yang ketiga inilah yang harus dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah di daerah-daerah yang pada saat ini memiliki lahan berhutan, agar jangan sampai melakukan konversi lahannya menjadi lahan nonhutan, misalnya menjadi perkebunan kelapa sawit murni. Di beberapa Kabupaten di wilayah Sumatera, seperti Sumatera Selatan dan Bengkulu, konversi lahan oleh masyarakat dari pola agroforestri menjadi tanaman perkebunan sawit murni menjadi ancaman yang serius. Makin lama masyarakat dihadapkan dengan kebutuhan akan yang tinggi, sedangkan menurut cash income pemahaman beberapa anggota masyarakat, mengganti tanaman agroforestri dengan tanaman kelapa sawit akan lebih menjanjikan bagi masa depan mereka. 8
Apabila tersosialisasikan dengan baik, sebenarnya peran agroforestri sangatlah penting, baik bagi masyarakat pengembang maupun bagi lingkungan sekitarnya. Oyebade et al. (2010) mengungkapkan bahwa agroforestri memberikan produktivitas lahan yang lebih tinggi, keuntungan ekonomi yang lebih banyak, serta manfaat sosial yang lebih besar dan berkelanjutan. Manfaat sosial ini diantaranya adalah adanya interaksi ekologis dan ekonomis dalam sistem agroforestri yang sangat signifikan bagi pengelolaan lingkungan karena mampu membantu memecahkan masalah degradasi lingkungan dan masalah-masalah yang berkaitan dengan perubahan iklim. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat, terutama di daerahdaerah pedesaan. Table 3 menunjukkan pengetahuan masyarakat lokal di Kabupaten Bengkulu Tengah mengenai tujuan pengembangan agroforestri di lahan miliknya, beberapa diantaranya adalah hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu lingkungan. Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa 56% dari responden menyatakan sangat setuju bahwa agroforestri di lahan milik adalah tabungan masa depan, selanjutnya 37% dari responden menjawab setuju. Dari hal ini dapat dilihat bahwa hampir seluruh responden memberikan respon yang positif bahwa agroforestri adalah tabungan
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 1 - 12
masa depan. Manfaat ini sudah banyak dirasakan oleh generasi sebelumnya, seperti untuk kepentingan naik haji dengan mengandalkan hasil penjualan dari kayu bawang. Hasil ini sejalan dengan penelitian Martin dan Galle (2009) di
Bengkulu Utara, yang menyatakan bahwa masyarakat membudidayakan kayu bawang di lahan milik terutama atas alasan ekonomi dan keyakinan bahwa membudidayakan kayu bawang cukup menguntungkan.
Tabel 3. Pengetahuan masyarakat lokal tentang tujuan pengembangan agroforestri Table 3. Local community knowledge related to the objective of the development of agroforestry Variabel (Variables) Tabungan masa depan Harga kayu semakin mahal Masa panen lama Melindungi flora fauna Menjaga lingkungan Mencegah pemanasan global
Sangat Setuju (%)
Setuju (%)
Ragu-ragu (%)
Tidak Setuju (%)
Sangat Tidak Setuju (%)
56 33 17 8 8 12
37 56 29 50 58 55
6 5 27 6 1 6
1 5 27 36 32 27
0 0 0 1 0 0
Sumber (Source) : Data Primer, 2012 (Primary Data, 2012)
Selain untuk tabungan masa depan, harga kayu yang semakin mahal juga direspon positif oleh responden, dimana 33% sangat setuju dan 56% menyatakan setuju dimana harga kayu yang semakin mahal menjadi pendorong bagi masyarakat untuk terus menanam kayu bawang di lahan milik. Oleh karena itu agar kebutuhan pokok dapat terpenuhi, masyarakat menerapkan pola agroforestri. Kayu bawang dipilih oleh masyarakat di Bengkulu Tengah karena tanaman ini merupakan tanaman asli atau tanaman lokal yang sudah dikenal baik oleh masyarakat, serta dapat tumbuh subur di wilayah ini. Kayu Bawang memiliki daur menengah, yaitu dapat dipanen pada umur 15- 20 tahun sehingga sebagian masyarakat berpendapat bahwa masa panen tanaman kayu bawang cukup lama. Dari hasil wawancara dengan responden, 29% mengatakan setuju bahwa kayu bawang masa panennya cukup lama, akan tetapi 27% dari mereka menyatakan ragu-ragu, dan 27% lagi menyatakan tidak setuju. Artinya ada sebagian masyarakat yang berpendapat bahwa untuk memanen kayu bawang tidak memerlukan waktu yang lama karena selama menunggu panen kayu, masyarakat dapat melakukan aktivitas pertanian yang lain, yaitu mengelola tanaman perkebunan yang ditanam bersama-sama dengan kayu bawang tersebut. Untuk mengetahui tujuan masyarakat dalam pengembangan agroforestri yang berkaitan dengan isu lingkungan, tiga hal yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah pengetahuan masyarakat
tentang upaya melindungi flora fauna, menjaga lingkungan (mencegah banjir, mencegah longsor, melindungi air tanah, serta menjaga udara segar), serta mengurangi pemanasan global (mitigasi perubahan iklim). Dari ketiga hal ini dapat diketahui bahwa 50% dari responden setuju bahwa agroforestri yang dikembangkan dapat melindungi flora dan fauna yang hidup di dalamnya, namun 36% dari responden tidak setuju akan hal ini karena mereka tidak mengerti. Responden tidak menyadari bahwa dengan adanya tanaman kayu bawang di lahan milik akan menarik beberapa jenis burung untuk tinggal, begitu juga lebah madu, kupu-kupu dan bebarapa jenis hewan lain, dan sebenarnya keberadaan kayu bawang di lahan milik membentuk ekosistem yang sesuai bagi beberapa jenis burung dan hewan lainnya. Hal ini didukung oleh pernyataan Tisdell dan Elgar (2007) yang mengungkapkan bahwa keberadaan pepohonan memiliki peran penting bagi kelangsungan hidup beberapa jenis satwa yang hidup liar di alam. Isu lingkungan selanjutnya adalah menjaga lingkungan, menurut pengakuan 58% responden bahwa agroforestri yang mereka kembangkan telah berperan serta dalam menghijaukan lingkungan, mencegah banjir, mencegah longsor, melindungi air tanah, serta menjaga udara yang segar di sekitarnya. Namun 32% di antara mereka tidak setuju akan hal ini, sebab menurut mereka tanpa agroforestri pun lingkungan mereka memang sudah cukup asri dan hijau, serta tidak pernah ada
Penguatan Agroforestri dalam Upaya Mitigasi Perubahan Iklim: Kasus Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu (Sri Lestari et. al.)
9
banjir dan tanah longsor. Kecenderungan tidak setuju dikarenakan lingkungan tempat tinggal mereka masih berupa lingkungan pedesaan yang tidak padat penduduk sehingga masih menyisakan banyak ruang bagi tumbuhnya tanaman dan pepohonan, baik yang sengaja ditanam atau yang tumbuh liar. Disamping itu wilayah di sekitarnya juga tidak rawan terhadap banjir dan longsor, serta ketersediaan air tanah masih cukup melimpah. Oleh karena itu masyarakat kurang menyadari akan arti penting pengembangan kayu bawang dalam menghijaukan lingkungan, mencegah banjir/ longsor, menjaga air tanah dan menciptakan udara bersih untuk masyarakat sekitarnya. Untuk isu lingkungan yang berkaitan dengan “mitigasi perubahan iklim”, belum cukup dikenal di kalangan masyarakat di Bengkulu Tengah, oleh karena itu digunakan istilah lain yang lebih mudah untuk dipahami, yaitu “mengurangi pemanasan global” atau “mengurangi pemanasan bumi”. Sebanyak 55% dari responden menyatakan setuju bahwa penanaman kayu bawang di lahan milik mampu mengurangi pemanasan global. Karena dengan banyaknya kayu bawang maka lingkungan menjadi lebih sejuk dan air tanah tetap terjamin kelestariannya walaupun ada musim kemarau yang panjang. Namun demikian, 27% dari responden tidak setuju bahwa tanaman kayu bawang mampu berperan dalam upaya mitigasi perubahan iklim ini. Mereka justru meyakini bahwa udara menjadi panas karena adanya musim kemarau, akan tetapi pada saat musim penghujan, udara akan kembali normal dan sejuk. Dampak negatif dari perubahan iklim sebenarnya sudah cukup terasa di wilayah Bengkulu Tengah. Hal ini ditegaskan pula oleh pihak Dinas Kehutanan setempat dan juga pemilik kebun benih kayu bawang. Mereka mengungkapkan bahwa perubahan iklim telah menyebabkan ketidakjelasan pergantian musim, yaitu antara musim penghujan dan musim kemarau yang berdampak pada tanaman kayu bawang. Perubahan iklim telah berpengaruh terhadap perubahan musim berbuah dan juga kuantitas panen buah kayu bawang. World Bank (2010) mengungkapkan bahwa pada sebagian besar negara-negara berkembang, perubahan iklim dapat menyebabkan dampak yang buruk terhadap dunia pertanian karena akan mengurangi produksi pertanian. Hal tersebut juga terindikasi pada kayu bawang dimana pada tahun-tahun sebelumnya selalu berbuah pada bulan Agustus-November, 10
akan tetapi sejak adanya gejala perubahan iklim pada bulan tersebut tanaman belum berbuah. Bahkan terjadi juga di mana pada tahun tertentu kayu bawang tidak berbuah sama sekali. Perubahan musim berbuah dan kuantitas panen buah kayu bawang berpengaruh kepada strategi budidaya kayu bawang. K arena kesulitan untuk mendapatkan buah telah mempengaruhi proses pembibitan kayu bawang, sehingga saat ini mulai dicari alternatif lain dalam budidaya kayu bawang, yaitu melalui pembiakan vegetatif berupa stek. Masa berbuah yang tidak menentu juga mempengaruhi beberapa kebijakan pemerintah setempat dalam bidang kehutanan. Misalnya saja untuk program pengadaan bibit melalui Program KBR, hanya sedikit yang mengusulkan jenis kayu bawang, sebab masyarakat khawatir tidak mampu memenuhi target berkaitan dengan buah kayu bawang yang semakin langka. V. KESIMPULAN DAN SARAN Agroforestri yang telah lama dikembangkan oleh sebagian besar petani di Kabupaten Bengkulu Tengah potensial untuk mendukung aksi nasional mitigasi perubahan iklim karena kemampuannya dalam menyerap karbon, serta menciptakan iklim mikro yang lebih kondusif bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Tingginya motivasi masyarakat untuk mengembangkan agroforestri merupakan salah satu insentif bagi keberlangsungan agroforestri di wilayah Bengkulu Tengah. Motivasi tersebut terutama didukung oleh adanya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap potensi kayu bawang sebagai tabungan masa depan dan harga kayu yang semakin tinggi. Belum seluruh anggota masyarakat sadar dan memahami peran penting dari agroforestri dalam menanggulangi isu lingkungan dan perubahan iklim, terutama dalam melindungi satwa, menjaga lingkungan, serta mengurangi pemanasan global. Untuk mendukung kelestarian agroforestri di Kabupaten Bengkulu Tengah perlu introduksi teknologi budidaya sehingga produktivitas lahan dan tanaman agroforestri petani lebih meningkat, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Selain itu, penyuluhan mengenai “perubahan iklim” serta dampaknya terhadap kehidupan masyarakat sangat diperlukan agar masyarakat lebih menyadari akan manfaat
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 1 - 12
agroforestri yang mereka kembangkan. Diharapkan masyarakat tidak mengkonversi tanaman agroforestri di lahan milik mereka dengan tanaman monokultur pertanian, kecuali tanaman perkebunan buah-buahan yang memiliki penyerapan dan sekuestrasi karbon tidak jauh berbeda dari tanaman hutan. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statitik Kabupaten Bengkulu Tengah. (2012). Statistik daerah Kabupaten Bengkulu Tengah 2012. Bengkulu Tengah: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkulu Tengah. Bappeda Kabupaten Bengkulu Tengah. (2011a). Budaya. http://www.bengkulutengahkab. go.id/index.php/budaya. Diakses tanggal 6 November 2012. Bappeda Kabupaten Bengkulu Tengah. (2011b). Wilayah. http://www.bengkulutengahkab. go.id/index.php/wilayah. Diakses tanggal 6 November 2012. Bappenas. (2011). Pedoman pelaksanaan rencana aksi penurunan emisi gas rumah kaca. Unpublished. Budiadi & Ishii, H.T. (2010). Comparison of carbon sequestration between multiple-crop, single-crop and monoculture agroforestry systems of Melaleuca in Java, Indonesia. Journal of Tropical Forest Science, 22(4), 378-388. Dresner, S., Ekins, P., McGeevor, K. & Tomei, J. (2008). Forest and climate change: Global understandings and possible responses. In Smith, P.H.F, Broadmeadow, M.S.J & Lynch, J.M (Ed), Forestry and climate change (pp. 7-14). UK: Forest Research. Martin, E. & Galle, F.B. (2009). Motivasi dan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga penanam pohon penghasil kayu pertukangan: Kasus tradisi menanam kayu bawang (Disoxylum molliscimum BL.) oleh masyarakat Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 6, 117-134. Labata, M.M., Aranico, E.C., Tabaranza, A.C.E., Patricio, J.H.P. & Amparado, R.F. Jr. (2012). Carbon stock assessment of three selected
agroforestr y systems in Bukindon, Philippines. International Journal of the Bioflux Society, 4 (1), 5-11. Locatelli, B., Evans, V., Wardell, A., Andrade, A. & Vignola, R. (2011). Forest and climate change in Latin America: Linking adaptation and mitigation. Forests, 431-450. Oke, D. & Olatiilu, A. (2011). Carbon storage in agroecosystems: A case study of the cocoa based agroforestry in Ogbese Forest Reserve, Ekiti State, Nigeria. Journal of Environmental Protection, 2, 1069-1075. Oyebade, B.A., Aiyeloja, A.A. & Ekeke, B.A. (2010). Sustainable agroforestry potentials and climate change mitigation. Advances in Environmental Biology, 4(1), 58-63. Jose, S. (2009). Agroforestry for ecosystem services and environmental benefits: an overview. Agroforestry Systems, 76, 1-10. Ruf, F., & Yoddang. (2005). Kopi dan sistem-sistem agroforestry. In Ruf, F. & Lancon, F., Dari sistem tebas dan bakar ke peremajaan kembali: Revolusi hijau di dataran tinggi Indonesia (Yoddang, Trans.) (pp. 107-118). Jakarta: Salemba Empat. (Original work published 2004). Santoso, E.H. (2003). Analisis potensi agroforestri untuk peningkatan rosot karbon (studi kasus di Taman Nasional Meru Betiri, Jember, Jawa Timur) . Skripsi pada Program Studi Agrometeorologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Smith, P.H.F., Broadmeadow, M.S.J. & Lynch, J.M. (2008). Forest and climate change: The knowledge-base for action. In Smith, P.H.F, Broadmeadow, M.S.J & Lynch, J.M (Ed), Forestry and climate change (pp. 38-48). UK: Forest Research. Sukirno, S. (2007). Ekonomi pembangunan: Proses, masalah, dan dasar kebijakan (2rd ed.). Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Tisdell, C.A. & Elgar, E. (2007). Economics of environmental conservation (2rd ed.). UK: Edward Elgar Publishing Limited.
Penguatan Agroforestri dalam Upaya Mitigasi Perubahan Iklim: Kasus Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu (Sri Lestari et. al.)
11
Usman, R. dan Abdi. (2010). Agroforestri: Solusi sosial dan ekonomi pengelolaan sumber daya hutan. Bandung: Alfabeta. Widianto, Hairiah, K., Suharjito, D. & Sardjono, M.A. (2003). Fungsi dan peran agroforestri.
12
Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF). World Bank. (2010). Development and climate change. Washington DC: The International Bank for Reconstruction and Development.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 1 - 12
POTENSI CADANGAN KARBON TEGAKAN HUTAN SUB MONTANA DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (Carbon Stock Potency of Sub Montane Forest Stand in Mount Halimun Salak National Park) 1
2
3
Virni Budi Arifanti , I Wayan Susi Dharmawan & Donny Wicaksono 1,3 Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No.5 Bogor, Telp: (0251) 8633944, Fax: (0251) 8634924 E-mail:
[email protected] Diterima 17 juni 2013, direvisi 10 Februari 2014, disetujui 24 Februari 2014 ABSTRACT
Several baseline data of natural forest carbon stock is needed to support REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Degradation+) implementation as a mitigation effort for climate change issue in Indonesia. According to IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) Guidelines 2006, carbon stock calculation should be measurable, transparent, verifiable and consistent through time. At sub-national level, Java Island especially natural forest ecosystem is often overlooked by REDD+ scientists implying that the data and information on carbon stock of natural forest ecosystem in Java Island is still limited. The research has been conducted in sub montane primary forest in conservation area of Mount Halimun Salak National Park (TNGHS) with the objective to estimate the 5 carbon pools at TNGHS. Twenty seven-plots of 20x20 meters were built in the field. Measurement of forest carbon pools was done for aboveground, belowground (root), understorey and necromass at primary forest with high and low canopy density. The research showed that TNGHS has a quite high carbon stock potency as followings: aboveground 139.326 tonC/ha, belowground (root) 39.011 tonC/ha, understorey 1,971 tonC/ha and necromass 5.77 tonC/ha. Average of biomass and stand carbon stock in primary forest of TNGHS were 364.503 ton/ha dan 185.177 tonC/ha, respectively. This study recommends to use allometric equation developed by Chave et al. (2005) to estimate forest stand biomass potency at TNGHS Keywords: REDD+, biomass, carbon stock, primary forest ABSTRAK
Untuk mendukung implementasi REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Degradation+) sebagai upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia diperlukan berbagai baseline data stok karbon untuk hutan alam. Menurut IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) Guidelines 2006, perhitungan stok karbon harus terukur, terbuka, terlaporkan, dapat diverifikasi, dan konsisten. Dalam skala sub nasional, Pulau Jawa khususnya ekosistem hutan alam, seringkali luput dari perhatian para penggiat REDD+ sehingga data dan informasi mengenai cadangan karbon ekosistem hutan alam di Pulau Jawa masih sangat terbatas. Penelitian ini dilakukan di hutan alam sub montana di kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dengan tujuan untuk mengetahui cadangan karbon pada 5 pool karbon di TN Gunung Halimun Salak. Dua puluh tujuh petak ukur dibuat dengan ukuran 20x20 meter. Pengukuran sumber karbon hutan dilakukan untuk biomassa di atas tanah, biomassa di bawah tanah yang meliputi perakaran tanaman, tumbuhan bawah dan nekromas pada hutan primer dengan kerapatan tajuk tinggi dan rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa TNGHS memiliki potensi simpanan karbon yang cukup besar yaitu: di atas permukaan tanah sebesar 139,326 tonC/ha, di bawah permukaan tanah (perakaran tanaman) sebesar 39,011 tonC/ha, tumbuhan bawah sebesar 1,971 tonC/ha dan nekromas sebesar 5,77 tonC/ha. Biomassa dan cadangan karbon tegakan rata-rata di hutan primer di TNGHS secara berturut-turut adalah sebesar 364,503 ton/ha dan 185,177 tonC/ha. Studi ini merekomendasikan persamaan alometrik yang dikembangkan oleh Chave et al. (2005) untuk digunakan dalam mengestimasi potensi biomassa tegakan hutan di TNGHS. Kata kunci: REDD+, biomasa, stok karbon, hutan alam
Potensi Cadangan Karbon Tegakan Hutan Sub Montana di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Virni Budi Arifanti et. al.)
13
I. PENDAHULUAN Indonesia memiliki sumberdaya hutan seluas 134 juta ha yang terdiri dari berbagai jenis hutan dimana hutan alam merupakan jenis hutan yang masih dominan. Tingkat kehilangan penutupan hutan akibat penebangan di wilayah hutan tropis mengakibatkan emisi gas rumah kaca sebesar 10-20% secara global (Santili et. al., 2005). Peranan hutan alam bagi kelestarian lingkungan dan kelangsungan hidup manusia sangatlah vital. Kerusakan hutan terutama di kawasan hutan konservasi semakin parah setelah era reformasi akibat penebangan secara liar pada sebagian kawasan hutan konservasi seperti yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Taman Nasional Meru Betiri di Pulau Jawa. Kajian dan penelitian hutan alam dalam kaitannya dengan aspek konservasi dan ekologi telah banyak dilakukan namun masih sedikit yang mengkaji tentang manfaat hutan alam dalam penyerapan karbon. Seperti kita ketahui, kemampuan hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon tidak sama baik di hutan alam, hutan tanaman, hutan payau, hutan rawa maupun di hutan rakyat dan tergantung pada jenis pohon, tipe tanah dan topografi. Saat ini sumber data yang komprehensif tentang cadangan karbon di berbagai tipe ekosistem hutan dan penggunaan lahan lain masih terbatas sedangkan informasi mengenai potensi karbon pada hutan alam sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan REDD+ dan mendukung kegiatan penurunan emisi GRK dengan target sebesar 26% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan dana internasional pada tahun 2020. Untuk mendukung implementasi REDD+ sebagai upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia diperlukan kegiatan inventarisasi GRK melalui identifikasi cadangan karbon dengan metode yang diakui oleh komunitas internasional. Metode perhitungan emisi yang saat ini sudah terakreditasi dan diakui secara internasional adalah metode yang dikembangkan oleh IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) sejak tahun 2006 dalam bentuk IPCC Good Practice Guidance 2000 dan IPCC Guidelines 2006. Metode ini terdiri dari beberapa tahapan dan data tertentu yang diperlukan untuk pengukuran, pemantauan, dan pelaporan perubahan emisi (monitoring, reporting and verification/MRV). Data cadangan karbon memperhitungkan 5 sumber
14
karbon (carbon pools) sebagai berikut: 1). Biomas di atas tanah (aboveground biomass), 2). Biomas di bawah tanah (belowground biomass), 3). Pohon mati (dead wood), 4). Seresah (litter) dan 5). Tanah (Soil). Perhitungan mengenai cadangan karbon di berbagai tipe hutan dan ekosistem di Indonesia telah banyak dilakukan (Dharmawan dan Siregar, 2009; Noor'an, 2007; Samsoedin et. al., 2009; Dharmawan et. al., 2010; Agus, 2007). Informasi mengenai cadangan karbon untuk hutan alam di Pulau Jawa khususnya di Jawa Barat masih sangat terbatas. Beberapa penelitian yang telah dilakukan di Jawa Barat diantaranya dilakukan oleh Dharmawan (2010) terhadap hutan alam primer dan sekunder di Gunung Gede Pangrango dengan rata-rata cadangan karbon atas permukaan sekitar 103,16 tonC/ha dan 113,2 tonC/ha. Secara umum hutan lahan kering primer mampu menyimpan karbon dalam jumlah lebih besar dibandingkan dengan hutan lahan kering sekunder karena sebagian tegakan telah terganggu bahkan hilang. Kebakaran, ekstraksi kayu, pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam dan kejadian atau aktivitas lainnya di kawasan hutan menyebabkan berkurangnya potensi biomassa yang berimplikasi langsung terhadap kemampuannya menyimpan karbon. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan taman nasional terluas di Pulau Jawa yang kaya keanekaragaman hayati. Pemilihan taman nasional ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/KptsII/1992 tanggal 28 Februari 1992 yang menetapkan sebagai Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) dengan luas 40.000 ha. TNGH resmi ditetapkan sebagai salah satu unit pelaksana teknis di Kementerian Kehutanan pada tanggal 23 Maret 1997. Dengan meningkatnya kerusakan sumber daya alam hutan dan adanya desakan para pihak yang peduli konservasi alam, melalui SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 dengan luas total 113.357 ha (Menteri Kehutanan RI, 2003), maka kawasan TNGH ditambah dengan kawasan hutan Gunung Salak, Gunung Endut dan sekitarnya yang sebelumnya merupakan hutan produksi terbatas dan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani diubah menjadi kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 13 - 31
Sampai saat ini belum banyak dilakukan penelitian mengenai potensi cadangan karbon di TNGHS. Beberapa studi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konser vasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan tahun 2007 memperkirakan TNGHS dengan luasan 113.357 ha diperkirakan memiliki potensi cadangan karbon sebesar 1,7 triliun ton (http://dishut.jabarprov.go.id). Mansur et. al., (2011) memperkirakan biomasa tegakan diatas permukaan tanah sebesar 152,3 tonC/ha. Penelitian ini hanya menghitung biomasa tegakan tanpa memasukkan 4 pool karbon lainnya. Beberapa penelitian lainnya ada yang sudah mengkaji cadangan karbon di areal penyangga dan juga areal perkebunan teh. Perkebunan teh dengan umur 5 sampai 20 tahun memiliki kisaran simpanan karbon sebesar 5,1 tonC/ha hingga 20,7 tonC/ha (Haryadi, 2005). Dalam rangka mengkaji potensi cadangan karbon yang dimiliki oleh TNGHS yang merupakan taman nasional terluas di Pulau Jawa saat ini, maka penelitian ini bertujuan untuk: a). mengkaji persamaan allometrik yang tepat digunakan pada TN Gunung Halimun Salak dan b). mengetahui cadangan karbon tegakan (biomassa di atas permukaan, biomassa di bawah permukaan/perakaran tanaman, tumbuhan bawah dan nekromas) di TN Gunung Halimun Salak. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada hutan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Jawa Barat, yang mewakili tipe hutan pegunungan dataran tinggi dengan ketinggian berkisar antara 500-2.211 mdpl. Berdasarkan sejarah geologi kawasan TNGHS merupakan bagian dari sabuk gunung berapi yang memanjang dari Pegunungan Bukit Barisan Selatan Sumatera ke Gunung Honje di TN Ujung Kulon dan seterusnya ke Gunung Halimun-Salak. Gunung Salak sampai saat ini masih berstatus gunung berapi strato type A dan terakhir meletus pada tahun 1938. Gunung Salak memiliki kawah yang masih aktif dan dikenal dengan nama Kawah Ratu. Lokasi penelitian ini dipilih mewakili tipe ekosistem yang khas di Jawa Barat dan selama ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai perhitungan stok
karbon pada 5 pool karbon secara terestris di TNGHS (Sumber: wawancara dengan staf TNGHS). Berdasarkan sampling keterwakilan wilayah TNGHS dan aksesibilitas lapangan, penelitian dilakukan di 3 lokasi yaitu Resort Cikaniki, Resort Kawah Ratu dan Resort Gunung Bedil Cibedug. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2012. B. Metode Pengumpulan Data Kegiatan penelitian dilaksanakan melalui beberapa tahapan dengan mengacu pada SNI 7724:2011 tentang Pengukuran dan Penghitungan Cadangan Karbon. Pengambilan data dilakukan dengan pengukuran contoh di lapangan, analisis data lapangan dan analisis laboratorium. 1. Penentuan lokasi pengambilan contoh Lokasi pengambilan contoh telah ditentukan berdasarkan informasi awal tipe hutan/vegetasi di lokasi penelitian. Teknik pengambilan contoh yang digunakan adalah pengambilan contoh didasarkan kebutuhan penelitian (purposive sampling) dengan toleransi kesalahan (sampling error) maksimal 20 % dengan tingkat kepercayaan 95%. Kesalahan sampling atau sampling error = (Total standard error rataan standard error) x 100% (Chave et. al.., 2005). Petak-petak contoh ditempatkan pada lokasi tipe hutan yang dominan, mewakili kondisi di kawasan tersebut dan dapat dijangkau. 2. Stratifikasi Stratifikasi bertujuan mengelompokkan tapak berdasarkan peta tutupan lahan (land cover) yang diperoleh dari interpretasi citra satelit Landsat dengan resolusi 30 m. Pada penelitian ini stratifikasi dilakukan dengan mengkelaskan hutan primer berdasarkan kerapatan vegetasinya, yaitu (1) hutan primer dengan tutupan vegetasi tinggi dan (2) hutan primer dengan tutupan vegetasi rendah. Plot contoh pada setiap kelas kerapatan diulang sebanyak tiga kali ulangan. Pengukuran biomassa dilakukan pada 27 plot yang tersebar di sekitar Stasiun Penelitian Cikaniki, Resort Kawah Ratu, Resort Gunung Bedil dan Cibedug (Gambar 1). 3. Pembuatan Plot Pengukuran Pada kegiatan ini dibuat plot pengukuran untuk pendugaan biomassa pada tipe hutan alam di kawasan konservasi yang mengacu pada metoda SNI 7724:2011. Pembuatan plot ditentukan berdasarkan sebaran kerapatan tegakan.
Potensi Cadangan Karbon Tegakan Hutan Sub Montana di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Virni Budi Arifanti et. al.)
15
Perhitungan stok karbon dilakukan dengan menggunakan metoda plot bertingkat (Gambar 2). Plot bertingkat didesain untuk mengakomodasi pengukuran masing-masing tipe kandungan
karbon, karena stok karbon pada satu ekosistem hutan terdiri dari stok karbon above ground, (pohon, understorey, dan serasah) dan below ground (akar dan materi organik tanah).
Gambar 1. Lokasi plot penelitian di Taman Nasional Gunung Halimun Salak Figure 1. Research plots at Gunung Halimun Salak National Park
50 m
Gambar 2. Bentuk plot pengambilan contoh Figure 2. Sampling plot lay out Patok bantu plot Sub plot ukuran 1 X 1 meter untuk mengukur tumbuhan bawah Sub plot ukuran 2 X 2 meter untuk mengukur semai (vegetasi berkayu berdiameter < 2,5 cm dengan tinggi ≤ 1,5 m) Sub plot ukuran 5 X 5 meter untuk pancang (vegetasi berkayu berdiameter 2,5 cm sampai dengan < 10 cm) Sub plot ukuran 10 m X 10 m untuk mengukur tiang (pohon Ø 10 sampai dengan < 20 cm) Plot ukuran 20 m X 20 m untuk mengukur pohon Ø ≥ 20 cm
16
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 13 - 31
4. Pengukuran Biomassa Hutan Pengukuran Biomassa Tegakan (Semai, Pancang, Tiang dan Pohon) Pengukuran pohon dilakukan pada plot 20 m x 20 m dengan mengukur tinggi dan DBH (diameter at breast height) pohon untuk DBH > 20 cm. Pengukuran tiang dengan DBH 2,5 - 20 cm dilakukan pada sub plot 10 m x 10 m. Pengukuran pancang dilakukan pada sub plot 5 m x 5 m dan pengukuran semai dilakukan pada sub plot 2 m x 2 m. Pengukuran Biomassa Tumbuhan Bawah (Understory) Pengukuran tumbuhan bawah dilakukan pada sub sub plot 1 m x 1 m. Pengambilan contoh biomassa tumbuhan bawah dilakukan dengan metode 'destructive' (merusak bagian tanaman) dan menimbangnya secara langsung di lapangan. Contoh tumbuhan bawah dari lapangan kemudian di keringkan dengan oven pada suhu 850C selama 2 x 24 jam. Tumbuhan bawah yang diambil sebagai contoh adalah semua tumbuhan hidup berupa tanaman tidak berkayu baik yang merambat maupun tidak merambat (herba dan rerumputan). Pengukuran Biomassa Pohon Mati/ Nekromas Pengukuran biomassa pohon mati dilakukan dengan mengukur diameter setinggi dada dan tinggi total pohon mati. C. Analisis Data 1. Pendugaan Biomassa di Atas Permukaan Tanah Pendugaan biomassa di lokasi penelitian di TN Gunung Halimun Salak didasarkan pada hubungan antara diameter setinggi dada, tinggi pohon dan berat jenis kayu. Persamaan alometrik biomassa di atas permukaan tanah yang digunakan adalah Siregar dan Dharmawan (2009) untuk hutan pegunungan tanah mineral; Chave et. al. (2009) untuk hutan tipe lembab; dan Ketterings et. al. (2001) untuk hutan sekunder campuran. Sebagai kontrol, persamaan geometrik digunakan untuk menduga biomassa di atas permukaan tanah. Persamaan alometrik yang dikembangkan oleh Siregar dan Dharmawan (2009), Chave et. al. (2005), Ketterings (2001) dan geometrik adalah sebagai berikut: a) Pendugaan biomassa di atas permukaan tanah untuk hutan lahan kering berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Siregar dan Dharmawan (2009) dengan rumus : 2,2234
Y = 0,1728 x DBH ....................................(1) dimana : 2 R = 97,7 Y = biomassa total (kg) DBH = diameter setinggi dada (cm) b) Pendugaan biomassa dengan persamaan Chave et. al. (2005) untuk hutan tipe lembab (moist forest) dengan rumus : Y = 0,0509 x ρ x DBH2 x T ...............................(2) dimana: Y = biomassa total (kg) DBH = diameter setinggi dada (m) = berat jenis kayu (gr/cm3) ρ T = tinggi pohon (m) c) Pendugaan biomassa dengan persamaan Ketterings et. al. (2001) Y = 0.11 ρ DBH2.62.............................................(3) dimana: Y = biomassa total (kg) ρ = berat jenis kayu (kg/m3 atau gr/cm3) DBH = diameter setinggi dada (cm) d) Pendugaan biomassa dengan persamaan geometrik Y = ¼ ∏ (DBH/100)2 x t x f x BJ.....................(4) dimana: Y = biomassa total (kg); DBH = diameter setinggi dada pohon pada ketinggian 1,3 meter (cm); t = tinggi total pohon (m); f = faktor angka bentuk (0,7) BJ = berat jenis kayu (kg/m3) 2. Perhitungan Biomassa di Bawah Permukaan Tanah (Perakaran Tanaman) Pengukuran biomassa karbon di bawah permukaan tanah dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: Bbp = NAP x Bap..............................................(5) Keterangan: Bbp adalah biomassa di bawah permukaan tanah (kg); NAP adalah nilai nisbah akar pucuk; Bap adalah nilai biomassa di atas permukaan (above ground biomass) (kg)
Potensi Cadangan Karbon Tegakan Hutan Sub Montana di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Virni Budi Arifanti et. al.)
17
3. Perhitungan Biomassa Pohon Mati (Nekromas) Pengukuran biomassa pohon mati dilakukan dengan mengukur diameter setinggi dada dan tinggi total pohon mati. Biomassa pohon mati dihitung dengan persamaan: 2
Y = ¼ ∏ (DBH/100) x t x f x BJ......................(6) dimana: Y = biomassa total (kg); DBH = diameter setinggi dada pohon mati pada ketinggian 1,3 meter (cm); t = tinggi total pohon mati (m); f = faktor angka bentuk (0,7) 3 BJ = berat jenis kayu pohon mati (kg/m ) 4. Perhitungan Cadangan Karbon di Atas Permukaan Tanah, di Bawah Permukaan Tanah dan Pohon Mati (Nekromas) Perhitungan cadangan karbon dari biomassa menggunakan rumus sebagai berikut: Cb = B x % C organik.........................................(7) Keterangan: Cb : kandungan karbon dari biomassa, dinyatakan dalam kilogram (kg); B : total biomassa, dinyatakan dalam (kg); %C organik : nilai persentase kandungan karbon, sebesar 0,47 atau menggunakan nilai persen karbon yang diperoleh dari hasil pengukuran di laboratorium 5. Perhitungan Cadangan Karbon per Hektar Perhitungan cadangan karbon per hektar dapat menggunakan persamaan sebagai berikut: Cn = Cx x 10000 ............................................(8) 1000 l plot Keterangan: Cn : kandungan karbon per hektar pada masing-masing carbon pool pada tiap plot (tonC/ha) Cx : kandungan karbon pada masing-masing carbon pool pada tiap plot, (kg) 2 lplot : luas plot pada masing-masing pool (m ) 6. Perhitungan Cadangan Karbon Total Dalam Plot Perhitungan cadangan karbon total dalam plot menggunakan persamaan sebagai berikut: Cplot = (Cbap + Cbdp + Ctb + Cpm) .............(9) Keterangan:
18
Cplot : total kandungan karbon pada plot (tonC/ha); Cbap : total kandungan karbon biomassa di atas permukaan per hektar pada plot (tonC/ha); Cbdp : total kandungan karbon biomassa di bawah permukaan per hektar pada plot (tonC/ha); Ctb : total kandungan karbon biomassa tumbuhan bawah per hektar pada plot (tonC/ha); Cpm : total kandungan karbon pohon mati per hektar pada plot (tonC/ha);. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Komposisi Floristik di hutan Sub-Montana Hutan sub-montana dideskripsikan sebagai hutan yang berada di ketinggian sekitar 1000-1500 mdpl (Van Steenis, 1972). Hutan ini memiliki ratarata tinggi pohon sekitar 20-30 m, memiliki jenis species tanaman yang lebih beragam dibandingkan dengan hutan montana, dan mengandung species yang berasal dari hutan dataran rendah (Letouzey 1985; Thomas dan Achoundong, 1991 dalam Doumenge, 1995). Pada ketinggian 1000-1500 mdpl dapat dijumpai jenis-jenis Acer laurinum, ganitri (Elaeocarpus ganitrus), Eurya acuminatissima, Antidesma bunius, Ficus sp., kayu putih (Cinnamomum sp), kileho (Saurauia pendula) dan kimerak (Weinmannia blumei). Penelitian di lapangan mencatat sebanyak 593 tanaman dengan komposisi pohon sebanyak 235 buah dengan diameter 16,5 - 88 cm, tiang sebanyak 66 buah dengan diameter 10-19,5 cm, pancang sebanyak 183 buah dengan diameter 2,5 - 9,5 cm dan semai sebanyak 46 buah dengan diameter < 2,5 cm dengan tinggi ≤ 1,5 m; dan tumbuhan bawah sebanyak 60 buah. Analisis komposisi floristik di lokasi plot penelitian TNGHS menunjukkan kisaran diameter vegetasi antara 0,15 - 88 cm. Jenis tanaman dan jumlah pohon terbanyak ditemukan pada plot hutan primer dengan kerapatan tinggi di Resort Gunung Bedil yaitu sebanyak 36 jenis tanaman dan 35 pohon per plot. Jenis tanaman yang umum ditemukan adalah puspa (Schima walichii), rasamala (Altingia excelsa), damar (Agathis damara), pasang (Quercus sundaica), pasang batarua (Quercus lineata), ki
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 13 - 31
hujan (Engelhardia spicata), dan saninten (Castanopsis argentea). Komposisi floristik dan jumlah vegetasi di
lokasi penelitian ditampilkan pada Tabel 1 sebagai berikut.
Tabel 1. Komposisi floristik pada plot penelitian di TNGHS Table 1. Floristic composition at research plots at TNGHS Plot Sampling Plot
Lokasi Location
Jumlah Jenis Number of spp/plot
Jumlah Pohon Number of trees/plot
DBH (cm)
Jenis Dominan Dominant spp.
Hutan Primer Rapat
Cikaniki
23
30
16,5 – 84
Altingia excelsa (rasamala), Schima walichii (puspa), Prunus arborea (kawoyang)
Hutan Primer Jarang
Cikaniki
28
23
0,7 - 65,1
Prunus arborea (kawoyang), Claoxylon longifolium (ki talingkup), Blumeodendron elateriospermum (pokray)
Hutan Primer Rapat
Kawah Ratu
21
33
0,7 -88,0
Schima walichii (puspa), Altingia excelsa (rasamala), Engelhardia spicata (ki hujan), Acronychia laurifolia (jejerukan)
Hutan Primer Jarang
Kawah Ratu
28
30
1,1 - 68,0
Gordonia excelsa (mumuncangan), Engelhardia spicata (ki hujan), Urophyllum arboreum (ki cengkeh)
Hutan Primer Rapat
Gunung Bedil
36
35
0,2 - 35,0
Quercus sundaica (pasang), Schima walichii (puspa), Altingia excels (rasamala)
Hutan Primer Jarang
Gunung Bedil
36
20
2,5 - 35,0
Quercus sundaica(pasang), Schima walichii(puspa), Altingia excelsa (rasamala)
Hutan Tanaman Rasamala
Gunung Bedil
25
36
0,63 - 35,0
Altingia excelsa (rasamala)
Hutan Tanaman Damar
Gunung Bedil
16
28
0,15 - 35,0
Agathis damara (damar), Altingia excelsa (rasamala)
Potensi Cadangan Karbon Tegakan Hutan Sub Montana di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Virni Budi Arifanti et. al.)
19
karbon atas permukaan di plot penelitian (Tabel 2) menunjukan bahwa hutan primer dengan kerapatan vegetasi tinggi (kerapatan tutupan tajuk 75% - 97%) memiliki biomassa dan cadangan karbon atas permukaan lebih tinggi dibandingkan dengan hutan primer dengan kerapatan vegetasi jarang (kerapatan tutupan tajuk 48% - 85%). Perhitung an biomassa per mukaan atas berdasarkan persamaan alometrik yang dikembangkan oleh Siregar et. al., Chave et. al. dan Ketterings et. al. menunjukkan bahwa rata-rata biomassa permukaan atas di plot penelitian TNGHS berdasarkan ketiga persamaan alometrik diatas adalah 131,268 ton/ha; 277,453 ton/ha dan 204,126 ton/ha dengan cadangan karbon permukaan atas sebesar 56,623 tonC/ha; 139,326 tonC/ha dan 87,91 tonC/ha. Pada penelitian ini dihasilkan nilai fraksi karbon rata-rata sebesar 0,45 untuk jenis tanaman berkayu di TNGHS. Sebagai pembanding, maka biomassa permukaan atas dihitung pula dengan metode geometrik dengan menggunakan faktor angka bentuk sebesar 0,7. Metode pendugaan biomasa secara geometrik dilakukan dengan menghitung volume kayu dengan rumus silinder kemudian dikalikan dengan nilai faktor bentuk dan berat jenis kayu (SNI 7724, 2011). Dari hasil perhitungan dengan metode geometrik diperoleh nilai biomassa dan cadangan karbon permukaan atas sebesar 395,512 ton/ha dan 178,964 ton C/ha. Perhitungan biomassa atas permukaan tanah (Above Ground Biomass/AGB) berdasarkan berbagai persamaan alometrik ditampilkan pada Tabel 2 sebagai berikut:
Sebaran kelas diameter batang pohon terbanyak ditemukan pada kisaran diameter 20-29 cm yang didominasi oleh jenis rasamala (Altingia excelsa) dan damar (Agathis damara). Jenis pohon dengan kelas diameter yang berkisar antara 30-39 cm didominasi oleh rasamala (Altingia excelsa) dan pasang (Quercus sundaica) dan kelas diameter 40-80 cm didominasi oleh puspa (Schima walichii). TNGHS yang sebagian besar memiliki ketinggian antara 1000-1400 mdpl dapat dikategorikan sebagai hutan sub montane yang memiliki keanekaragaman hayati yang lebih tinggi dibandingkan tanaman di tipe hutan montane. Hutan montana dengan ketinggian lebih dari 1500 mdpl diketahui memiliki rata-rata tinggi pohon yang lebih rendah, ukuran daun yang lebih kecil serta banyak ditemukan epifit dan lumut (Doumenge, 1995). Zona montana (keting gian >1500 mdpl) didominasi oleh jenis jamuju ( Dacrycar pus imbricartus), kibima (Podocarpus blumei) dan kiputri (Podocarpus neriifolius) (Van Steenis, 1972). Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) yang menyatakan bahwa TNGHS didominasi oleh tanaman dari jenis rasamala, puspa dan oaks (Lithocarpus spp.). Di zona sub montane ditemukan lebih sedikit tumbuhan bawah namun telah ditemukan sekitar 75 jenis tanaman anggrek (Yayasan Ekowisata Halimun, 2001). B. Biomassa dan Cadangan Karbon TNGHS 1. Biomassa dan Cadangan Karbon Atas Permukaan Tanah Hasil perhitungan biomassa dan cadangan
Tabel 2. Biomassa dan Cadangan Karbon Atas Permukaan berdasarkan tipe kerapatan tajuk di TNGHS Table 2. Aboveground biomass and carbon stock based on forest canopy density in TNGHS Tipe hutan Forest type
Biomassa Atas Permukaan (ton/ha) Aboveground biomass (tonnes/ha) Ketterings et. al.
Geometrik
Siregar et. al.
385,933
288,595
541,540
77,832
81,019
169,033
119,657
249,484
131,268
277,483
204,126
395,512
Siregar et. al.
Chave et. al.
Hutan Primer Kerapatan Tinggi
181,517
Hutan Primer Kerapatan Rendah Rata-rata
20
Cadangan Karbon Atas Permukaan (tonC/ha) Aboveground C stock (tonC/ha) Chave et. al.
Ketterings et. al.
Geometrik
185,813
123,339
248,057
35,414
92,839
52,480
109,871
56,623
139,326
87,910
178,964
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 13 - 31
Dari ketiga persamaan alometrik tersebut diketahui bahwa persamaan alometrik Chave et. al. memberikan nilai biomassa permukaan atas terbesar, diikuti oleh persamaan Ketterings et. al. dan Siregar et. al. Mansur et. al. (2011) mendapatkan biomassa pohon permukaan atas di TNGHS sebesar 304,5 ton/ha dengan kandungan karbon 152,3 ton/ha. Nilai tersebut mendekati biomassa dan cadangan karbon pada penelitian ini yang dihitung dengan persamaan alometrik yang dikembangkan oleh Chave et. al. (2005). Selain itu, persamaan alometrik yang dikembangkan oleh Chave et. al. (2005) adalah yang paling mendekati biomassa hasil perhitungan dengan metode geometrik. Chave et. al. (2005) mengembangkan persamaan alometrik berdasarkan prediktor terpenting dalam pendugaan biomassa tegakan, yaitu diameter dan berat jenis kayu. Persamaan tersebut telah diuji coba pada berbagai tipe hutan, yaitu hutan sekunder, hutan tanah kering, lembab dan basah, hutan pegunungan, hutan dataran rendah serta hutan mangrove. Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka persamaan alometrik yang dikembangkan oleh Chave et. al. (2005) merupakan persamaan terbaik saat ini yang dapat digunakan untuk menduga biomassa permukaan atas di hutan primer di TNGHS. Persamaan Ketterings dan Chave memberikan hasil yang berbeda karena karakteristik tegakan dan ekosistem yang melahirkan kedua persamaan allometrik tersebut berbeda. Ketterings melakukan penelitiannya pada areal hutan sekunder di Jambi, Sumatera, sementara Chave melakukan penelitiannya dengan sebaran hutan primer dan hutan sekunder di 27 negara tropis. Kisaran diameter dalam kedua persamaan tersebut juga berbeda, dimana Ketterings menggunakan kisaran diameter < 50 cm sedangkan Chave mengembangkan model berdasarkan 2410 pohon dengan kisaran diameter 5-156 cm, sehingga persamaan Chave et. al. (2005) bersifat lebih robust dibandingkan Ketterings et. al. (2001) untuk diterapkan di TNGHS. Penelitian lain pada kawasan konservasi taman nasional di Jawa Barat menyebutkan bahwa potensi biomassa, kandungan karbon dan kandungan setara CO2 di Taman Nasional Gede Pangrango berturut-turut sebesar 551,12 ton/ha; 275,56 ton/ ha dan 1.010,38 ton/ha (Siregar, 2007). Jenis-jenis Castanopsis argentea dan Altingia excelsa menyimpan karbon tertinggi masing-masing sebesar 70,39 ton/
ha dan 54,67 ton/ha. Sementara itu, peningkatan simpanan karbon di Taman Nasional Gede Pangrango melalui kegiatan rehabilitasi, tumbuhan bawah, hutan tanaman Agathis umur 40 tahun, hutan campuran Agathis umur 40 tahun dan tanaman lainnya, hutan campuran Agathis umur 17 tahun dan tanaman lainnya serta hutan alam masing-masing sebesar 1,87 tonC/ha; 17,31 tonC/ha; 445,02 tonC/ha; 407,62 tonC/ha; 137.32 tonC/ha dan 370,81 tonC/ha (Dharmawan, 2010). Di Provinsi Jawa Timur, khususnya Taman Nasional Meru Betiri memiliki data yang cukup lengkap terkait monitoring perubahan tutupan lahan, simpanan karbon dan emisinya. Taman Nasional Meru Betiri memiliki 5 zonasi yaitu Zona Hutan Inti, Zona Hutan Rimba, Zona Pemanfaatan, Zona Pemanfaatan Khusus dan Zona Rehabilitasi yang masing-masing memiliki potensi simpanan karbon sebesar 133,69 tonC/ha; 145,98 tonC/ha; 118,34 tonC/ha; 98,8 tonC/ha dan 28,7 tonC/ha. Pendekatan penggunaan persamaan allometrik di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Meru Betiri berbeda. Estimasi perhitungan biomassa di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango menggunakan persamaan allometrik Brown (1997) dengan klasifikasi iklim lembab, sementara Taman Nasional Meru Betiri meng-gunakan persamaan allometrik Chave et. al. (2005) dengan klasifikasi iklim basah. Perhitungan potensi cadangan karbon di Taman Nasional Meru Betiri dilakukan dengan metode yang sama dengan penelitian ini, yaitu dengan menggunakan model Chave et. al. (2005). Tingkat serapan CO2 di Taman Nasional Meru Betiri adalah sebesar 211.715,56 tonCO2eq/tahun (tahun 1997) dan 242.460,05 tonCO2eq/tahun (tahun 2010) dengan serapan CO2 rata-rata tahunan dari tahun 1997-2010 adalah sebesar 226.158,75 tonCO2eq/tahun (Dharmawan et. al., 2011). Potensi simpanan karbon di Taman Nasional Meru Betiri tergolong tinggi. Hal ini didasarkan pada simpanan karbon di hutan tropis Asia bervariasi antara 40-250 tonC/ha untuk vegetasi dan 50-120 tonC/ha untuk tanah (JICA, 2002). 2. Biomassa dan Cadangan Karbon Bawah Permukaan Tanah (Perakaran Tanaman) Biomassa bawah permukaan (akar) dihitung dengan menggunakan Nisbah Akar Pucuk (Root Shoot Ratio) sebesar 0,28 untuk tipe hutan
Potensi Cadangan Karbon Tegakan Hutan Sub Montana di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Virni Budi Arifanti et. al.)
21
pegunungan tropis (berdasarkan IPCC Guidelines 2006). Dari hasil perhitungan biomassa atas
permukaan (Tabel 2) maka diperoleh biomassa bawah permukaan sebagai berikut (Tabel 3).
Tabel 3. Biomassa dan Cadangan Karbon Bawah Permukaan berdasarkan tipe kerapatan tajuk di TNGHS Table 3. Belowground biomass and C stock based on forest density in TNGHS
Tipe hutan Forest type
Biomassa Bawah Permukaan (ton/ha) Belowground biomass (tonnes/ha)
Siregar et. al..
Chave et. al..
Cadangan Karbon Bawah Permukaan (tonC/ha) Belowground C stock (tonC/ha)
Ketterings Siregar Geometrik et. al.. et. al..
Chave et. al..
Ketterings Geometrik et. al..
Hutan Primer Kerapatan Tinggi
50,825 108,061
80,807
151,631
21,793
52,028
34,535
69,456
Hutan Primer Kerapatan Rendah
22,685
47,329
33,504
69,856
9,916
25,995
14,694
30,764
Rata-rata
36,755
77,695
57,155
110,743
15,854
39,011
24,615
50,110
Biomassa bawah permukaan (akar) dihitung dengan menggunakan Nisbah Akar Pucuk (Root Shoot Ratio) sebesar 0,28 untuk tipe hutan pegunungan tropis (IPCC Guidelines 2006). Tabel 3 menunjukkan bahwa biomassa dan cadangan karbon bawah permukaan (belowground biomass) di hutan primer dengan kerapatan tajuk yang tinggi adalah lebih tinggi dibandingkan dengan yang didapatkan di hutan primer dengan kerapatan tajuk rendah. Persamaan alometrik yang dikembangkan oleh Chave et. al. memberikan nilai biomassa dan cadangan karbon bawah permukaan sebesar 77,695 ton/ha dan 39,022 ton C/ha dimana nilai tersebut adalah yang paling mendekati hasil perhitungan dengan metode geometrik. 3. Biomassa dan Cadangan Karbon Pohon Mati (Nekromas) Hutan tropis dicirikan dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dengan dinamika tumbuhan yang kompleks sehingga menghasilkan keragaman tegakan dan struktur hutan. Tumbuhan yang mati dan terdekomposisi merupakan komponen penting dalam siklus karbon ekosistem hutan dan berhubungan erat dengan struktur hutan (Denslow, 1987; Harmon and Franklin, 1989 dalam Palace et. al. 2008). 22
Biomassa dan cadangan karbon pada pohon mati (nekromas) dengan diameter > 5 cm dihitung pada plot dengan ukuran 10 m x 20 m. Nekromas dengan diameter > 5 cm tidak ditemukan pada plot penelitian di hutan rasamala dan damar. Biomassa dan cadangan karbon pada pohon mati dengan diameter > 5 cm ditampilkan pada Tabel 4. Rata-rata biomassa dan cadangan karbon pohon mati di hutan primer dengan kerapatan tajuk yang tinggi (7,98 tonC/ha) adalah lebih tinggi dibandingkan dengan biomassa dan cadangan karbon di hutan primer dengan kerapatan tajuk yang rendah (1,758 tonC/ha) (Table 4). Hasil yang ditemukan pada plot penelitian di TNGHS pada kerapatan tajuk yang tinggi (7,98 tonC/ha) hampir mendekati produksi nekromas di Amazon sebesar 6,7 tonC/ha/thn serta nekromas dengan diameter > 10 cm menghasilkan cadangan karbon sebesar 4.7 tonC/ha/thn (Palace, 2008). Perbedaan hasil yang cukup tinggi antara nekromas dengan DBH > 5 cm di kerapatan tajuk tinggi lebih disebabkan oleh variasi gangguan alami yang terjadi di areal hutan. Variasi tersebut bisa disebabkan oleh pohon tumbang akibat umur yang sudah tua dan lapuk, atau akibat adanya angin kencang sehingga pohon menjadi roboh.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 13 - 31
Tabel 4. Biomassa dan cadangan karbon pada pohon mati dengan diameter > 5 cm di TNGHS Table 4. Biomass and C stock of necromass in TNGHS with dbh > 5 cm in TNGHS
Plot Plot
Lokasi Location
Kerapatan tajuk Canopy density
Biomassa (ton/ha) Biomass (tonnes/ha)
Cadangan Karbon (tonC/ha) C stock (tonC/ha)
P.I.1
Cikaniki
Tinggi
0,058
1,386
P.I.2
Cikaniki
Tinggi
63,343
29,850
P.I.3
Cikaniki
Tinggi
0,003
0,294
P.III.1
Kawah Ratu
Tinggi
1,513
0,740
P.III.2
Kawah Ratu
Tinggi
3,408
1,748
P.III.3
Kawah Ratu
Tinggi
1,552
0,717
P.I.1
Gunung Bedil
Tinggi
3,427
1,193
P.I.2
Gunung Bedil
Tinggi
11,043
5,309
P.1.4
Gunung Bedil
Tinggi
24,199
11,410
P.I.5
Gunung Bedil
Tinggi
57,592
27,155
P.II.1
Cikaniki
Rendah
1,552
0,730
P.II.2
Cikaniki
Rendah
17,791
8,027
P.II.3
Cikaniki
Rendah
1,011
0,464
P.IV.1
Kawah Ratu
Rendah
0,035
0,016
P.IV.2
Kawah Ratu
Rendah
0,050
0,024
P.IV.3
Kawah Ratu
Rendah
0,164
0,041
P.I.6
Gunung Bedil
Rendah
6,372
3,005
Rata-rata Cadangan Karbon Nekromas (tonC/ha) Average necromass C stock (tonC/ha)
7,980
Fenomena tersebut ditemukan juga pada tingkat kerapatan rendah. Bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa variasi data yang ada bukan disebabkan oleh klasifikasi kerapatan tegakan tetapi lebih disebabkan oleh variasi gangguan alami yang terjadi. Tabel 5 menunjukkan hasil pengukuran nekromas dengan diameter < 5 cm dilakukan pada plot 2 x 2 meter dengan menghasilkan cadangan karbon nekromas sebesar 0.486 tonC/ha pada hutan dengan kerapatan tinggi dan 1.318 tonC/ha
1,758
pada hutan dengan kerapatan rendah. Penelitian di Amazon menghasilkan cadangan karbon untuk nekromas dengan kelas < 2 cm berkisar antara 0.81.2 tonC/ha/thn (Palace, 2008). Palace (2008) juga menyatakan bahwa seiring dengan meningkatnya biomassa (pada hutan dengan kerapatan tinggi), maka proporsi nekromasa akan menurun. Biomassa pohon terbesar dapat ditemukan pada hutan yang tidak terganggu untuk jangka waktu yang panjang dan menghasilkan nekromasa yang rendah.
Potensi Cadangan Karbon Tegakan Hutan Sub Montana di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Virni Budi Arifanti et. al.)
23
Tabel 5. Biomassa dan cadangan karbon nekromas dengan diameter < 5 cm di TNGHS Table 5. Biomass and C stock of necromass with dbh < 5 cm in TNGHS
Lokasi Location
Kerapatan tajuk Canopy density
Sumber Karbon Carbon poo
Biomassa (ton/ha) Biomass (tonnes/ha)
Cikaniki Cikaniki Cikaniki Kawah Ratu Kawah Ratu Kawah Ratu Gn. Bedil Gn. Bedil Gn. Bedil Rasamala Rasamala Rasamala Damar Damar Damar
Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
Nekromas Nekromas Nekromas Nekromas Nekromas Nekromas Nekromas Nekromas Nekromas Nekromas Nekromas Nekromas Nekromas Nekromas Nekromas
1,55 0,34 0,51 0 0,84 0 0,49 1,2 3,05 1,18 0,21 0,17 1,64 0,66 2,76
Cikaniki Cikaniki Cikaniki Kawah Ratu Kawah Ratu Kawah Ratu Gn. Bedil Gn. Bedil Gn. Bedil Semak Semak Semak
Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
Nekromas Nekromas Nekromas Nekromas Nekromas Nekromas Nekromas Nekromas Nekromas Nekromas Nekromas Nekromas
0,79 2,974 0,37 0 4,081 3,332 0,85 1,13 2,22 7,44 1,55 6,85
Cadangan karbon/plot (tonC/ha) Average C stock/plot (tonC/ha)
Cadangan karbon rata-rata (tonC/ha) Average C stock (tonC/ha)
0,973
0,775 0,17 0,225 0 0,42 0 0,25 0,6 1,53 0,59 0,11 0,09 0,82 0,33 1,38
0,486
2,632
0,395 1,487 0,185 0 2,041 1,666 0,43 0,57 1,11 3,72 0,78 3,43
1,318
1,803
RATA-RATA
4. B i o m a s s a d a n C a d a n g a n K a r b o n Tumbuhan Bawah Tabel 6 menunjukkan bahwa biomassa dan cadangan karbon rata-rata tumbuhan bawah di hutan primer dengan kerapatan tajuk yang rendah adalah sebesar 5,702 ton/ha dan 2,852 tonC/ha. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan biomassa dan cadangan karbon rata-rata tumbuhan bawah di hutan primer dengan kerapatan tajuk yang 24
Biomassa rata-rata (ton/ha) Average biomass (tonnes/ha)
0,902
tinggi (2,177 ton/ha) dan 1,090 tonC/ha. Fenomena ini dapat dijelaskan karena hutan dengan kerapatan tajuk yang rendah dapat meneruskan cahaya matahari lebih banyak ke lantai hutan sehingga memungkinkan tumbuhan bawah untuk tumbuh lebih subur dibandingkan dengan hutan dengan kerapatan tajuk yang rapat. Hasil penelitian di Taman Nasional Gede Pangrango khususnya di wilayah Resort Nagrak, Sukabumi memiliki potensi
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 13 - 31
biomassa dan simpanan karbon tumbuhan bawah (khususnya alang-alang) masing-masing sebesar
4,06 ton/ha dan 2,03 tonC/ha atau setara dengan 7,44 CO2e ton/ha (Dharmawan, 2010).
Tabel 6. Biomassa dan cadangan karbon tumbuhan bawah di TNGHS Table 6. Biomass and C stock of understorey in TNGHS
Kerapatan tajuk Canopy density
Sumber karbon Carbon pool
Biomassa (ton/ha) Biomass (tonnes/ha)
Cikaniki
Tinggi
Tumbuhan Bawah
1,992
Cikaniki
Tinggi
Tumbuhan Bawah
1,672
Cikaniki
Tinggi
Tumbuhan Bawah
0,915
Kawah Ratu
Tinggi
Tumbuhan Bawah
1,277
Kawah Ratu
Tinggi
Tumbuhan Bawah
1,56
Kawah Ratu
Tinggi
Tumbuhan Bawah
3,52 1,39
Lokasi Location
Biomassa rata-rata (ton/ha) Average biomass (tonnes/ha)
Gn. Bedil
Tinggi
Gn. Bedil
Tinggi
Tumbuhan Bawah
1,92
Gn. Bedil
Tinggi
Tumbuhan Bawah
3,72
Rasamala
Tinggi
Tumbuhan Bawah
2,24
Rasamala
Tinggi
Tumbuhan Bawah
1,19
Rasamala
Tinggi
Tumbuhan Bawah
1,85
Damar
Tinggi
Tumbuhan Bawah
0,38
Damar
Tinggi
Tumbuhan Bawah
8,16
Damar
Tinggi
Tumbuhan Bawah
0,87
Cadangan karbon ratarata (tonC/ha) Average C stock (tonC/ha)
0,996 0,836 0,458 0,639 0,78
2,177
Tumbuhan Bawah
Cadangan karbon/plot (tonC/ha) Average C stock/plot (tonC/ha)
1,76
1,090
0,7 0,96 1,86 1,12 0,6 0,93 0,19 4,08 0,44
Potensi Cadangan Karbon Tegakan Hutan Sub Montana di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Virni Budi Arifanti et. al.)
25
Tabel 6. Lanjutan Table 6. Continued
Kerapatan tajuk Canopy density
Sumber karbon Carbon pool
Biomassa (ton/ha) Biomass (tonnes/ha)
Cikaniki
Rendah
Tumbuhan Bawah
3,248
Cikaniki
Rendah
Tumbuhan Bawah
2,432
Cikaniki
Rendah
Tumbuhan Bawah
5,684
Kawah Ratu
Rendah
Tumbuhan Bawah
6,708
Kawah Ratu
Rendah
Tumbuhan Bawah
6,192
Kawah Ratu
Rendah
Tumbuhan Bawah
3,648
Gn. Bedil
Rendah
Tumbuhan Bawah
2,99
Gn. Bedil
Rendah
Tumbuhan Bawah
17,62
Gn. Bedil
Rendah
Tumbuhan Bawah
2,8
Lokasi Location
5. Cadangan Karbon Total Dalam Plot Perhitungan cadangan karbon tegakan total dalam plot pengukuran dilakukan dengan menghitung seluruh cadangan karbon dari biomassa di atas permukaan tanah, biomassa di bawah permukaan tanah, tumbuhan bawah dan nekromas (Tabel 7). Hasil perhitungan cadangan karbon total dalam plot penelitian TNGHS (Tabel 7) menunjukkan bahwa biomassa dan cadangan karbon tegakan pada hutan primer dengan kerapatan tajuk yang tinggi cenderung lebih tinggi apabila dibandingkan dengan biomassa dan cadangan karbon pada hutan primer dengan kerapatan tajuk yang rendah. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) sebagai salah satu kawasan hutan alam yang masih utuh memiliki potensi yang sangat besar sebagai
Cadangan karbon/plot (tonC/ha) Average C stock/plot (tonC/ha)
Cadangan karbon ratarata (tonC/ha) Average C stock (tonC/ha)
1,624 1,216 2,842 3,354 5,702
3,096
2,852
1,824 1,5 8,81 1,4 3,940
RATA-RATA
26
Biomassa rata-rata (ton/ha) Average biomass (tonnes/ha)
1,971
penyerap karbon dan telah dibuktikan dari hasil penelitian ini dengan memiliki potensi simpanan karbon tegakan di atas permukaan sebesar 139,326 tonC/ha, di bawah permukaan sebesar 39,011 tonC/ha, tumbuhan bawah sebesar 1,971 tonC/ha dan nekromas sebesar 5,77 tonC/ha. Secara keseluruhan, biomassa dan cadangan karbon tegakan rata-rata di hutan primer di TNGHS secara berturut turut adalah sebesar 364,503 ton/ha dan 185,177 tonC/ha. Berdasarkan analisis cadangan karbon tegakan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak menunjukkan bahwa persentase terhadap total cadangan karbon tegakan dari yang terbesar sampai yang terkecil berturut-turut adalah biomassa di atas permukaan tanah (75,2%), biomassa di bawah permukaan (21,1%), nekromas
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 13 - 31
Tabel 7. Cadangan karbon total dalam plot penelitian TNGHS Table 7. Total C stock of all carbon pools in TNGHS
Tipe hutan Forest type
Hutan Primer Kerapatan Tinggi
Hutan Primer Kerapatan Rendah
Rata-rata
Pool Karbon Carbon Pool
Biomassa (ton/ha) Biomass (tonnes/ha)
Persentase terhadap total Cadangan Karbon cadangan (tonC/ha) karbon (%) C stock (tonC/ha) Percentage to total C stock (%)
Biomassa Atas Permukaan Biomassa Bawah Permukaan Tumbuhan Bawah Nekromas (dbh< 5 cm) Nekromas (dbh > 5 cm)
385,933 108,061 2,177 0,973 16,614
185,813 52,028 1,090 0,486 7,980
TOTAL
512,785
246,911
Biomassa Atas Permukaan Biomassa Bawah Permukaan Tumbuhan Bawah Nekromas (dbh< 5 cm) Nekromas (dbh > 5 cm)
169,033 47,329 5,702 2,632 3,854
92,839 25,995 2,852 1,318 1,758
TOTAL
228,550
124,762
Biomassa Atas Permukaan Biomassa Bawah Permukaan Tumbuhan Bawah Nekromas (dbh< 5 cm) Nekromas (dbh > 5 cm)
277,483 77,695 3,940 1,803 3,582
139,326 39,011 1,971 0,902 4,869
TOTAL
364,503
185,177
dengan DBH > 5 cm (2,6%), tumbuhan bawah (1,1%) dan nekromas dengan DBH < 5 cm (0,5%). Hal ini hampir sama dengan persentase cadangan karbon tegakan pada lokasi hutan di daerah tanah mineral sebagaimana yang dilaporkan oleh IPCC (2006) yang menyebutkan bahwa biomassa di atas permukaan tanah menempati porsi 70%, biomassa di bawah permukaan tanah menempati porsi 20%, tumbuhan bawah menempati porsi 2% dan nekromas menempati porsi 5%. Hasil analisis GIS (Geographic Information System) dari tutupan hutan di kawasan TNGHS menunjukkan luas hutan total di kawasan TNGHS sebesar 69.394,976 ha. Berdasarkan hasil analisis GIS, maka potensi cadangan karbon tegakan (biomassa di atas permukaan, biomassa di bawah permukaan, tumbuhan bawah dan nekromas) untuk
75,3 21,1 0,4 0,2 3,2
74,4 20,8 2,3 1,1 1,4
75,2 21,1 1,1 0,5 2,6
seluruh luasan hutan di kawasan TNGHS diestimasi sebesar 12.891.504,69 tonC atau 12,89 juta ton C. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) Kementerian Kehutanan tahun 2007 memperkirakan potensi cadangan karbon TNGHS sebesar 1,7 triliun ton untuk areal seluas 113.357 ha, dimana data tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang kami peroleh. Beberapa hal yang dapat menjadi dasar perbedaan tersebut adalah sebagai berikut: (1) Luas areal yang digunakan oleh Ditjen PHKA berbeda dengan yang digunakan dalam penelitian ini. Ditjen PHKA diduga menggunakan seluruh areal TNGHS (113.357 ha) dalam perhitungan karbonnya dimana didalamnya terdapat banyak tutupan lahan
Potensi Cadangan Karbon Tegakan Hutan Sub Montana di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Virni Budi Arifanti et. al.)
27
selain hutan primer, yaitu hutan sekunder dan perkebunan. Namun apabila data tersebut dihitung dengan menggunakan data tutupan lahan Ditjen Planologi tahun 2011, maka diperoleh luas hutan sekunder seluas 48.508,217 ha dan perkebunan seluas 2.295,311 ha. Berdasarkan kedua data tersebut maka cadangan karbon untuk hutan sekunder dan perkebunan adalah sebesar 9.407.645 ton C/ha. Apabila cadangan karbon hutan sekunder dan perkebunan digabungkan dengan cadangan karbon di hutan primer sebesar 12,89 juta ton C/ha (berdasarkan hasil penelitian ini), maka total cadangan karbon (di atas permukaan tanah, bawah permukaan tanah, tumbuhan bawah dan nekromas) di TNGHS diperkirakan sebesar 22.297.645 tonC/ha. Dalam hal ini maka terdapat kecenderungan overestimasi data yang diperoleh dari Ditjen PHKA. (2) Perbedaan metode yang digunakan dalam penentuan potensi karbon di TNGHS dapat menentukan perbedaan hasil yang diperoleh. Penentuan potensi karbon melalui metode penginderaan jauh (citra satelit) akan berbeda dengan metode perhitungan secara terestris yang mana dilakukan dalam penelitian ini. Dengan memperhatikan perbedaan kedua hasil tersebut dapat dikatakan bahwa hasil penelitian ini dapat mengkoreksi nilai potensi cadangan karbon di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Apabila dibandingkan dengan taman nasional lainnya seperti TN Gunung Gede Pangrango dan TN Meru Betiri dengan tipe hutan yang hampir sama dengan TNGHS, maka dapat diketahui bahwa TNGHS memiliki cadangan karbon hutan primer yang paling tinggi (185,177 tonC/ha) dibandingkan dengan TN Gunung Gede Pangrango (103,16 ton C/ha-113,2 ton C/ha) dan TN Meru Betiri (135,02166,63 ton C/ha). Hal ini membuktikan bahwa kawasan TNGHS memiliki potensi karbon yang sangat besar sehingga kelestarian kawasan ini perlu dijaga dan diperhatikan. C. Strategi Pengelolaan Cadangan Karbon di TNGHS Perhitungan cadangan karbon di TNGHS pada tahun 2012 menunjukkan angka yang cukup tinggi yaitu sebesar 12,89 juta ton C. Strategi yang perlu dilakukan untuk menjamin pengelolaan cadangan karbon berkelanjutan di TNGHS adalah: 28
1. Adanya kepastian kawasan melalui kegiatan tata batas yang dialokasikan untuk monitoring cadangan karbon (keseluruhan areal TNGHS atau sebagian areal kawasan yang dijadikan lokasi proyek monitoring cadangan karbon). 2. Perlu adanya kerjasama dari berbagai instansi seperti Pemerintah Daerah, Kepolisian, universitas, LSM dan warga setempat untuk mencegah terjadinya perambahan hutan yang lebih luas terlebih dengan maraknya penambangan emas ilegal di dalam wilayah TNGHS. 3. Perlu adanya insentif dari Pemerintah dan organisasi lainnya terkait pelibatan masyarakat dalam berbagai kegiatan TNGHS (monitoring cadangan karbon dan konservasi hutan) serta pemberdayaan masyarakat di sekitar TNGHS. Hal ini perlu dilakukan untuk menciptakan sumber pendapatan alternatif bagi masyarakat setempat sehingga ketergantungan akan penambangan emas ilegal dalam kawasan hutan dapat dicegah. 4. Perlu dilakukan peningkatan cadangan karbon melalui kegiatan rehabilitasi kawasan konservasi terutama di areal bekas penambangan ilegal yang ditemukan di dalam areal kawasan TNGHS 5. Perlu segera dikeluarkan regulasi dan peraturan/perundangan-undangan yang tegas mengenai status kawasan hutan serta RTRWP yang memperhatikan konservasi TNGHS. Melalui Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan KSA dan KPA, serta dengan ditetapkannya TNGHS sebagai Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati, maka Pemerintah berharap penetapan ini dapat mendorong penyelesaian permasalahan degradasi, pemukiman liar dan perambahan yang cukup luas di TNGHS (Sambutan Menteri Kehutanan di Pongkor, 23 April 2013). 6. Dalam rangka mengkonservasi cadangan karbon yang sangat besar di Taman Nasional Gunung Halimun Salak diperlukan upaya Pengelola TNGHS untuk menjadikan TNGHS sebagai lokasi Demonstration Activities REDD+. Hal ini merujuk pada Peraturan Menteri Kehutanan No. P 7/ 2012 tentang Tata Cara Permohonan dan Penilaian Registrasi serta Penyelenggaraan Demonstration Activities REDD+ di Hutan Konservasi.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 13 - 31
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Persamaan alometrik yang dikembangkan oleh Chave et. al. (2005) adalah yang paling mendekati biomassa di lapangan sehingga dapat digunakan untuk menduga biomassa atas permukaan di hutan primer di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Persamaan Chave dibangun berdasarkan diameter tanaman yang berkisar antara 5 cm-138 cm dari beberapa negara tropis termasuk Indonesia sehingga persamaan ini sangat baik untuk digunakan di TNGHS. 2. Hutan primer dengan kerapatan tajuk tinggi memiliki biomassa dan cadangan karbon tegakan total yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan primer dengan kerapatan tajuk rendah. 3. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) sebagai salah satu kawasan hutan alam yang masih utuh memiliki potensi yang sangat besar sebagai penyerap karbon dan telah dibuktikan dari hasil penelitian ini dengan memiliki potensi simpanan karbon tegakan di atas permukaan sebesar 139,326 tonC/ha, di bawah permukaan sebesar 39,011 tonC/ha, tumbuhan bawah sebesar 1,971 tonC/ha dan nekromas sebesar 5,77 tonC/ha. 4. Biomassa dan cadangan karbon tegakan ratarata di hutan primer di TNGHS secara berturutturut adalah sebesar 364,503 ton/ha dan 185,177 tonC/ha. 5. Strategi pengelolaan cadangan karbon perlu memperhatikan berbagai faktor sebagai berikut: (1) penetapan zonasi pengelolaan kawasan TNGHS, (2) adanya kerjasama dengan berbagai sektor untuk mencegah terjadinya perambahan hutan, (3) adanya insentif dari Pemerintah dan instansi terkait untuk pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, (4) dilakukannya restorasi dan rehabilitasi kawasan terdegradasi dalam TNGHS dan (5) diterbitkannya regulasi (law enforcement) yang menjamin kepastian kawasan TNGHS. B. Saran Saran-saran yang dapat disampaikan sebagai tindak lanjut hasil penelitian adalah sebagai berikut:
1. Untuk meningkatkan keakurasian pendugaan potensi biomassa dan cadangan karbon di seluruh kawasan TNGHS perlu dilakukan stratifikasi lapangan yang lebih detil dan melakukan sampling untuk seluruh tipe tutupan lahan yang ada di TNGHS dan perlu dibangun persamaan alometrik biomassa yang khusus untuk TNGHS dengan metode non-destruktif. 2. Perlu dibangun petak ukur permanen dan database untuk pengukuran karbon di TNGHS agar monitoring potensi karbon dapat dilakukan secara periodik. 3. Perlu dirumuskan model kelembagaan yang bertanggungjawab untuk melaksanakan kegiatan Monitoring, Reporting and Verification (MRV) di tingkat tapak Taman Nasional Gunung Halimun Salak agar cadangan karbon yang ada bisa termonitor dengan baik secara berkala. Ucapan terima kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang telah memberikan izin atas terlaksananya penelitian, kepada Ir. Ari Wibowo, M.Sc. selaku ketua RPI Pengembangan Emisi GRK Kehutanan, serta kepada para teknisi yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini di lapangan. DAFTAR PUSTAKA Brown, S. (1997). Estimating biomass and biomass change of tropical forest. A Primer. USA : FAO. Chave, J, Andalo, E.C, Brown, E.S, Cairns, M.A, Chambers, J.Q, Eamus, E.D, Folster, E.H, Fromard, E.F, Higuchi, N, Kira, E.T, Lescure, E.J.P, Nelson, E.B.P, Ogawa, H, Puig, E.H, Riera, E.B, Yamakura, E.T. (2005). Tree allometry and improved estimation of carbon stocks and balance in tropical forests. Oecologia 145 (1) : 87-99. doi 10.1007/s00442-005-0100-x. Dharmawan, I. W. S. (2010). Estimation of aboveground biomass carbon stock in project plot of Conservation International-Daikin at Nagrak Resort, Gede Pangrango National Park. Jakarta, Indonesia: Conservation International and Daikin.
Potensi Cadangan Karbon Tegakan Hutan Sub Montana di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Virni Budi Arifanti et. al.)
29
Dharmawan, I. W. S., V. B. Arifanti, A. Wibowo and N. D. Atmojo. (2011). Analysis of land use, land cover change and the association carbon stock change to establish project baseline. Bogor, Indonesia : Center for Climate Change and Policy Research and Development. Hairiah, K dan Rahayu. S. (2007). Petunjuk praktis pengukuran karbon tersimpan di berbagai macam penggunaan lahan. Bogor, Indonesia: ICRAF Southeast Asia. Haryadi. (2005). Kajian potensi cadangan karbon pada pertanaman teh (Camelia sinensis L.) dan berbagai penggunaan lahan di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Disertasi Tidak Diterbitkan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. IPCC Guidelines for National IPCC. (2006). Greenhouse Gas Inventories. Prepared by the National Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston H.S., Buendia L., Miwa K., Ngara T. and Tanabe K. (eds) IGES. Japan: IGES. Japan International Cooperation Agency. (2002). Demonstration study on carbon fixing forest management project. Progress report of the project 2001-2002. Indonesia : JICA Ketterings, Q. M., R. Coe, M. van Noordwijk, Y. Ambagau dan C. Palm. (2001). Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equations for predicting above-ground tree biomass in mixed secondary forests. Forest Ecology and Management 146 (1-3) : 199-209. Diakses dari http://www/icraf.org/sea/ Publications/files/journal/JA0146-04.pdf. Letouzey, R. (1985). Notice de la cartephytogéographique du Cameroun au 1:500000 (198.5). M-SM: Région afro-montagnarde et étage submontagnard. Toulouse, France: Institut de la carte internationale de la végétation. MacDicken, K.G. (1997). A Guide to Monitoring Carbon Storage in Forestry and Agroforestry Projects. Washington DC, USA: Winrock International Institute for Agricultural Development. Mansur, M., N. Hidayati dan T. Juhaeti. (2011). Struktur dan komposisi vegetasi pohon serta 30
estimasi biomassa, kandungan karbon dan laju fotosintesis di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Jurnal Teknologi Lingkungan 12(2): 161-169. Marina, I. dan A.H. Dharmawan. (2011). Analisis konflik sumberdaya hutan di kawasan konservasi. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia 5(1): 90-96. Kementerian Kehutanan RI. (2003). Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175 Tahun 2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Halimun dan Salak sebagai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Jakarta, Indonesia : Kementerian Kehutanan RI. Morikawa, Y. (2002). Biomass Measurement in Planted Forest In and Around Benakat, Fiscal Report of Assessment on The Potentiality of Reforestation and Afforestation Activities in Mitigating the Climate Change 2001 (pp. 58-63. Tokyo, Japan: JIFRO. Nelson, B.W., R. Mesquita, J.L.G. Periera, S.G.A. De Souza, G.T. Batista and L.B. Couto. (1999). Allometric Regressions for Improved Estimate Central Amazon. Forest Ecology and Management 117, 149-167. Palace, M., M. Keller, H. Silva. (2008). Necromass production: studies in undisturbed and log ged Amazon Forests. Ecological Applications 18, 873-884. Menteri Kehutanan. Sambutan Meteri Kehutanan pada Acara finalisasi dan realisasi masterplan pusat konservasi keanekaragaman hayati (PPKH). Pongkor, 23 April 2013. Diakses dari http://ppid. dephut.go.id/pidato_ kemenhut/browse/25. Santili, M., P. Moutinho, S. Schwartzman, D. Nepstad, L. Curran and C. Nobre. (2005). Tropical deforestation and the Kyoto Protocol. Climatic Change 71, 267-276. doi: 10.1007/s10584-005-8074-6. Siregar, C. A. (2007). Potensi serapan karbon di Taman Nasional Gede Pangrango, Cibodas, Jawa Barat. Info Hutan 4 (3) : 233-244. Siregar, C. A. dan I. W. S. Dharmawan. (2009). Sintesa hasil-hasil penelitian jasa hutan sebagai penyerap karbon. Bogor, Indonesia :
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 13 - 31
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. SNI 7724. (2011). Pengukuran dan penghitungan cadangan karbon: Pengukuran lapangan untuk penaksiran cadangan karbon hutan (ground based forest carbon accounting). Jakarta, Indonesia: BSN.
Van Steenis, C.G.G.J. 1972. The mountain flora of Java. Leiden, the Netherlands: Brill Publisher. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. (n.d.). http://dishut.jabarprov.go. id/?mod= detilBerita&idMenuKiri=334& idBerita=142.
Potensi Cadangan Karbon Tegakan Hutan Sub Montana di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Virni Budi Arifanti et. al.)
31
IDENTIFIKASI SEKTOR EKONOMI UNGGULAN DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR KABUPATEN DI SUB DAS BENGAWAN SOLO HULU (Identification of the Leading Economic Sectors and Income Disparity among Regencies in Upper Bengawan Solo Sub Watershed) S. Andy Cahyono1 & Wahyu Wisnu Wijaya2 1,2 Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. Jend A. Yani-Pabelan, Kartasura. PO BOX 295 Surakarta 57102 Telp/Fax: (0271) 716709; 716959 e-mail:
[email protected] Diterima 8 Juli 2013, direvisi 11 Februari 2014, disetujui 21 Februari 2014 ABSTRACT
The purposes of this study are: (1) to identify leading economic sectors and (2) to analyse income disparity among regencies in Upper Bengawan Solo sub watershed. The study covers 5 regencies: Wonogiri, Boyolali, Klaten, Sragen and Karanganyar. Data were analyzed using a Klassen typology to determine pattern and economy structure, Location Quotient (LQ) to identify leading economic sectors, Williamson Index to determine economic disparity and sectoral contribution to determine role of sector. The results show that leading economic sectors were different for each regency, i.e. Wonogiri (transport and communications), Karanganyar (processing industry), Boyolali (finance, real estate, and business services), Sragen (agriculture, livestock, forestry, and fisheries), and Klaten (construction). The leading sectors identified in each regency varied depending on the endowment of resources and comparative advantage. Based on their pattern and economy structure, Karanganyar can be categorized as advanced and fast growing region but Wonogiri as disadvantaged regions. The results also show that the income disparity among regencies was low (0.25) and tended to increase. The development policy of high economic growth with low disparity can be inclusively done by developing the leading sectors and paying attention to the economic transformation that occurred in each regency. Keywords: Upper Bengawan Solo sub watershed, regency, key economic sector, income disparity ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mengidentifikasi sektor ekonomi unggulan dan (2) menganalisis ketimpangan pendapatan antar kabupaten di Sub DAS Bengawan Solo Hulu. Penelitian dilakukan di 5 kabupaten: Wonogiri, Boyolali, Klaten, Sragen, dan Karanganyar. Analisis data menggunakan tipologi Klassen untuk mengetahui pola dan struktur ekonomi, Location Quotient (LQ) untuk mengidentifikasi sektor unggulan, Indeks Williamson untuk mengetahui disparitas ekonomi, dan kontribusi sektoral untuk mengetahui peran sektoral. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor unggulan berbeda tiap kabupaten, yaitu Wonogiri (pengangkutan dan komunikasi), Karanganyar (industri pengolahan), Boyolali (keuangan, real estat, dan jasa perusahaan), Sragen (pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan), dan Klaten (konstruksi). Sektor ekonomi unggulan di setiap kabupaten bervariasi tergantung ketersediaan sumberdaya dan keunggulan komparatif. Berdasarkan pola dan struktur ekonominya, Kabupaten Karanganyar termasuk daerah maju dan berkembang pesat tetapi Wonogiri termasuk daerah terbelakang. Hasil penelitian juga menunjukkan disparitas pendapatan antar daerah di masingmasing kabupaten terkategori rendah (0,25) dan cenderung meningkat. Kebijakan pembangunan ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi tinggi dan disparitas rendah dapat dilakukan dengan pengembangan sektor unggulan secara inklusif dan memperhatikan transformasi ekonomi yang terjadi di tiap kabupaten. Kata kunci: Subdas Bengawan Solo Hulu, kabupaten, sektor unggulan, ketimpangan pendapatan
I. PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya dan membentuk 32
suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam daerah tersebut (Arsyad, 1999). Indikator keberhasilan
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 32 - 43
pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, pemerataan keadilan, dan keberlanjutan (Rustiadi et al., 2011; Isnowati, 2012; Jonaidi, 2012; Van de Werfhorst dan Salverda, 2012; Adisasmita, 2013; Ernita et al., 2013). Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu perubahan tingkat ekonomi yang berlangsung dari tahun ke tahun (Sukirno, 1994). Ketimpangan antar daerah merupakan salah satu permasalahan dalam pembangunan daerah (Wilonoyudho, 2009; Sufirmansyah, 2012), termasuk dalam suatu daerah aliran sungai (DAS). DAS bagian hulu umumnya menghadapi kerusakan lingkungan yang semakin parah sehingga menurunkan produktivitas lahan, meningkatkan erosi dan sedimentasi serta kemiskinan. Ini mengakibatkan tingkat kemajuan ekonomi yang berbeda antar daerah di DAS bagian hulu (Syam, 2003). Konsekuensinya, ketimpangan ekonomi antar daerah dalam suatu DAS hulu tidak terelakan. Faktanya, terdapat semacam trade off antara pertumbuhan dan ketimpangan ekonomi (Kuncoro, 2004; Shin, 2012). Myrdal (1957) dalam Hidayati (2008) menunjukkan bahwa perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah yang berlebihan dapat menyebabkan pengaruh yang merugikan terhadap perkembangan daerah secara keseluruhan. Suatu daerah akan mengalami percepatan pertumbuhan apabila memiliki sektor ekonomi yang mampu mengakselerasi pembangunan dan sektor-sektor yang lain (Rustiadi et al., 2011). Untuk itu penentuan sektor ekonomi unggulan dalam pembangunan daerah adalah penting dilakukan sebagai upaya pengalokasian sumberdaya yang tersedia dengan tepat. Pertumbuhan sektor ekonomi unggulan di suatu daerah diyakini oleh Restiatun (2009) akan mendorong pertumbuhan dan perkembangan sektor-sektor ekonomi lain daerah setempat dan perekonomian daerah sekitar. Dalam hal ini daerah pengembangan sektor ekonomi unggulan akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan sumberdaya daerah sekitar dan bagi daerah pengembangan sektor ekonomi unggulan sendiri akan meningkatkan ekspor produk dan jasa yang dihasilkan. Namun demikian, perkembangan suatu daerah yang cepat akan menimbulkan kesenjangan pendapatan antar daerah bila tidak secara tepat diantisipasi. Sub DAS Bengawan Solo Hulu merupakan salah satu bagian dari DAS terbesar di Pulau Jawa, yaitu
DAS Bengawan Solo (BBWS Bengawan Solo, 2012). Permasalahan yang terdapat di Sub DAS Bengawan Solo Hulu adalah kompleks dan membutuhkan pengelolaan yang tepat dalam hal pola, struktur, dan kesenjangan ekonomi antar daerah dalam sub DAS. Dalam tulisan ini disajikan (1) hasil identifikasi sektor-sektor ekonomi unggulan di 5 kabupaten/kota dalam wilayah Sub DAS Bengawan Solo Hulu, yaitu: Wonogiri, Boyolali, Klaten, Sragen, dan Karanganyar, dan (2) hasil analisis ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota dalam wilayah Sub DAS yang bersangkutan. Penelitian ini diharapkan dapat memacu pertumbuhan sektor ekonomi unggulan dan mengurangi ketimpangan pendapatan antar kabupaten dalam DAS. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di 5 kabupaten dalam wilayah Sub DAS Bengawan Solo Hulu, yang berada pada 7o14'12,8” -8o6'48,6” LS dan 110o26'39,5” - 111o27'20,2” BT. Kelima kabupaten yang dikaji dan luasnya, yaitu: Wonogiri (1386,51 km2), Karanganyar (783,53 km2), Boyolali (583,52 km2), Sragen (860,70 km2), dan Klaten (661,75 km2). Total luas kelima kabupaten tersebut adalah sekitar 70,42 % dari luas DAS Bengawan Solo Hulu seluas ± 6.072 km2 (Nippon Koei, 2001; Wikipedia, 2014). Luas DAS Bengawan Solo Hulu tersebut sekitar 38,08% dari luas DAS Bengawan Solo (PPE Jawa, 2014). Penggunaan lahan DAS Bengawan Solo Hulu sebagian besar terdiri dari: sawah (32,95%), pertanian lahan kering campur semak (28,16%), pemukiman (15,03%), pertanian lahan kering (10,44%), dan hutan tanaman (10,04%) (Nippon Koei, 2001). B. Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan meliputi: Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) harga konstan dan berlaku, jumlah penduduk, laju pertumbuhan PDRB, dan data pendukung lain periode 20002011 dari kelima kabupaten dalam Sub DAS Bengawan Solo Hulu. Data dikumpulkan dari publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) dan instansi lain yang relevan.
Identifikasi Sektor Ekonomi Unggulan dan Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten ..... (S. Andy Cahyono et. al.)
33
C. Analisis Data Berdasarkan data yang terkumpul, perekonomian di lima kabupaten dalam Sub DAS Bengawan Solo Hulu dianalisis dari sisi: (1) pertumbuhan dari tahun ke tahun (year on year), (2) pola dan struktur pertumbuhan, (3) disparitas pendapatan antar kabupaten, (4) sektor-sektor ekonomi unggulan, dan (5) kontribusi sektoral. Masing-masing analisisnya dijelaskan sebagai berikut: 1. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari perkembangan nilai Produk Domestik Regional Bruto dari tahun ke tahun baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan (Arsyad, 1997). PDRB atas dasar harga berlaku digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dan membandingkan antar waktu. Penelitian ini menggunakan PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000, dirumuskan: ....................................(1) di mana: r = pertumbuhan ekonomi; PDRBt = PDRB tahun ke t; dan PDRBt-1 = PDRB tahun ke t-1.
2. Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Untuk mengetahui pola dan struktur pertumbuhan ekonomi suatu kabupaten di Sub DAS Bengawan Solo Hulu digunakan Tipologi Klassen. Tipologi Klassen dapat digunakan dengan dua pendekatan, yaitu sektoral (Wardana, 2007; Chaniago, 2009) dan daerah (Sutarno dan Kuncoro, 2003; Caska dan Riadi, 2008; Hidayati, 2008; Arifin, 2009; Pujiati, 2009). Tipologi Klassen dalam penelitian ini meng gunakan pendekatan daerah untuk menentukan pola dan struktur pertumbuhan e ko n o m i y a n g d a p a t m e m e t a k a n a t a u menggolongkan kemajuan daerah berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Pertumbuhan ekonomi pada sumbu vertikal dan pendapatan per kapita pada sumbu horizontal. Berdasarkan hal tersebut, maka daerah diklasifikasikan menjadi (1) daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income), (2) daerah maju tapi tertekan (high income but low growth), (3) daerah yang berkembang cepat (high growth but low income) dan (4) daerah tertinggal (low growth and low income) (Rustiadi et al, 2011). Dalam bentuk matriks, analisis tipologi Klassen kabupaten dalam Sub DAS Bengawan Solo Hulu digambarkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Matrik klasifikasi kabupaten dalam Sub DAS Bengawan Solo Hulu berdasarkan Tipologi Klassen Tabel 1. Matrix of regency classification in the Upper Bengawan Solo sub watershed based on Klassen Typology Laju pertumbuhan (Growth rate) (R) Ri > R Ri < R
PDRB per kapita (GRDP per capita) (Y) Yi > Y Daerah maju dan cepat tumbuh (Advanced and fast growing regions) Daerah maju tapi tertekan (Developed regions but depressed)
Yi < Y Daerah berkembang cepat (Rapidly growing regions) Daerah tertinggal (Disadvantaged regions)
Keterangan (Remark): Ri = laju pertumbuhan PDRB kabupaten/kota (GRDP growth rate of regency/city); R = laju pertumbuhan PDRB DAS (GRDP growth rate of watershed); Yi = PDRB per kapita kabupaten/kota (GRDP per capita of regency/city); Y = PDRB per kapita di DAS (GRDP per capita of watershed).
3. Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Disparitas pendapatan antar kabupaten dalam Sub DAS Bengawan Solo Hulu diukur dengan menggunakan Indeks Williamson. Indeks Williamson adalah suatu indeks yang didasarkan pada ukuran penyimpangan pendapatan per kapita penduduk tiap wilayah dan pendapatan per kapita
34
nasional (Sjafrizal, 2012). Rustiadi et al., (2011) menyatakan bahwa indeks Williamson merupakan salah satu indeks yang paling sering dipergunakan untuk melihat disparitas antar wilayah. Indeks Williamson dirumuskan (Tambunan, 2003; Khairullah dan Cahyadin, 2006; Emilia dan Imelia, 2006; Rachman, 2010) sebagai berikut:
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 32 - 43
...........................................(2) di mana: Iw = Indeks Williamson; Yi = PDRB per kapita kabupaten/kota ke i; = rerata PDRB per kapita kabupaten/kota di DAS; fi = jumlah penduduk kabupaten/kota ke i; N = jumlah penduduk kabupaten/kota di DAS. Indeks kesenjangan Williamson akan menghasilkan indeks antara 0 sampai dengan 1. Nilai indeks yang mendekati 1 menunjukkan kondisi ketidakmerataan yang nyata, sedangkan nilai indeks yang mendekati nol menunjukkan kondisi yang relatif merata. Semakin besar nilai indeks yang dihasilkan, maka semakin besar tingkat disparitas pendapatan antar kabupaten dalam suatu DAS. Kriteria yang dipergunakan untuk menentukan taraf ketimpangan berdasarkan kriteria Oshima yang diacu oleh Puspandika (2007) dan Putra (2011), yaitu: Iw < 0,35 : Ketimpangan taraf rendah 0,35 < Iw < 0,50 : Ketimpangan taraf menengah Iw > 0,50 : Ketimpangan taraf tinggi
Perkembangan ketimpangan ekonomi antar kabupaten dapat diamati dari grafik perkembangan tahunan indeks Wiliamson yang diperoleh. 4. Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Sektor-sektor ekonomi unggulan diidentifikasi menggunakan analisis Location Quotient (LQ). Location Quotient merupakan suatu metode analisis yang umum digunakan sebagai penentu analisis ekonomi basis. Rustiadi et al., (2011) menyatakan bahwa LQ dapat mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan sektor basis dan bukan sektor basis yang merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Dalam penelitian ini, LQ dipakai untuk menentukan sektor unggulan dengan pendekatan nilai tambah (PDRB) kabupaten dalam DAS dan PDRB dalam suatu DAS, dirumuskan sebagai berikut: ............................................................(3) di mana: pi = nilai PDRB sektor i di kabupaten j; pt = total PDRB di kabupaten j; Pi = nilai PDRB sektor i pada tingkat DAS; Pt = total PDRB pada tingkat DAS.
Nilai LQ diinterpretasikan dengan menggunakan kriteria (Muljaningsih, 2008; Titisari, 2009; Ronhood, 1988 dalam Sari 2010; Jamaliah dan Kurniawan, 2010) sebagai berikut : Jika nilai LQ > 1 menunjukkan sektor bersangkutan merupakan sektor basis yang menjadi kekuatan kabupaten untuk mengekspor produknya keluar kabupaten, relatif terkonsentrasi di kabupaten yang bersangkutan dibandingkan pada tingkat DAS, dan memiliki keunggulan komparatif. Jika nilai LQ = 1 menunjukkan kecenderungan sektor bersangkutan bersifat tertutup karena tidak melakukan transaksi ke dan dari luar kabupaten. Namun kondisi ini sulit ditemukan dalam perekonomian kabupaten atau berarti konsentrasi sektor bersangkutan sama dengan rata-rata di tingkat nasional. Hal ini berarti pula bahwa sektor bersangkutan tidak memiliki keung gulan komparatif, produksi sektor yang dihasilkan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri dalam kabupaten bersangkutan. Jika nilai LQ < 1 menunjukkan sektor bersangkutan menjadi pengimpor atau pangsa sektor bersangkutan lebih kecil dibandingkan dengan pangsa sektor bersangkutan di tingkat DAS. Ini menunjukkan bahwa sektor bersangkutan merupakan sektor non basis, artinya produksi sektor bersangkutan di suatu kabupaten tidak memiliki keunggulan komparatif, produksi sektor bersangkutan di kabupaten tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan harus mendapat pasokan dari luar kabupaten. Untuk menentukan sektor unggulan di suatu kabupaten, maka nilai LQ dari suatu sektor yang bersangkutan harus lebih besar dari 1. Nilai LQ yang semakin lebih tinggi dari 1 menunjukkan adanya keunggulan komparatif yang semakin tinggi. 5. Kontribusi sektoral Kontribusi sektoral menunjukkan peran atau sumbangan suatu sektor tertentu terhadap perkembangan ekonomi kabupaten yang merupakan perbandingan antara sumbangan ekonomi sektoral terhadap besarnya PDRB suatu kabupaten yang dinyatakan dalam persentase. Semakin besar nilai persentase suatu sektor terhadap PDRB menunjukkan semakin besarnya peran sektor bersangkutan dalam suatu perekonomian.
Identifikasi Sektor Ekonomi Unggulan dan Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten ..... (S. Andy Cahyono et. al.)
35
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Ekonomi Penduduk Kabupaten dalam Sub DAS Bengawan Solo Hulu Sub DAS Bengawan Solo Hulu merupakan salah satu bagian dari DAS Bengawan Solo. Sebagian besar wilayahnya berada di Provinsi Jawa Tengah. Ekonomi dan penduduk Sub DAS Bengawan Solo Hulu disajikan pada Tabel 2, sedangkan pertumbuhan dan PDRB per kapita disajikan pada Tabel 3. Dari Tabel 2 diketahui bahwa sekitar 70% PDRB Sub DAS Bengawan Solo Hulu berasal dari 3 kabupaten yaitu Karanganyar (25,50%), Klaten (24,41%), dan Boyolali (20,90%), sedangkan dari Tabel 3 diketahui pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi di Karanganyar (5,47%). Dari Tabel 3 juga diketahui bahwa 44% penduduk tinggal di Kabupaten Klaten (24,08%) dan Wonogiri
(20,81%). Pada periode 2000-2011,pendapatan per kapita penduduk Karanganyar, Boyolali, dan Klaten lebih tinggi dibanding penduduk lain di Sub DAS Bengawan Solo Hulu. Pada Tabel 3 terlihat terdapat peningkatan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Wonogiri (3,21% periode 2000-2005 menjadi 4,37% periode 2006-2011), Boyolali (4,25% periode 2000-2005 menjadi 4,39% periode 2006-2011), dan Sragen (4,02% periode 2000-2005 menjadi 5,87% periode 2006-2011). Perlu ditambahkan bahwa pada periode 2000-2005 Kabupaten Klaten tergolong sebagai kabupaten dengan pertumbuhan ekonomi (4,54%) dan pendapatan per kapita (Rp3,31 juta) di atas rerata Sub DAS (rerata pertumbuhan ekonomi Sub DAS: 4,31%, sedangkan pendapatan per kapita: Rp3,24 juta), namun pada periode 2006-2011 menjadi daerah terbelakang dengan pertumbuhan ekonomi (2,90%) dan pendapatan per kapita (Rp4,09 juta) di bawah rerata Sub DAS (rerata pertumbuhan
Tabel 2. Ekonomi dan penduduk lima kabupaten di Sub DAS Bengawan Solo Hulu, rerata 2000 - 2011 Table 2. Economic and population conditions of five regencies in Upper Bengawan Solo sub watershed, on average of 2000 2011 Kabupaten (Regency) Wonogiri Karanganyar Boyolali Sragen Klaten Jumlah DAS Solo Hulu
PDRB konstan (Constant GRDP) Rp (miliar/billion)
Porsi (Share) (%)
2535,50 4362,18 3575,99 2460,37 4175,75
14,82 25,50 20,90 14,38 24,41
Penduduk (Population) Porsi Jumlah (Total) (jiwa/person) (Share) (%) 976415 20,81 803217 17,12 925461 19,72 857706 18,28 1130114 24,08
17109,78
100,00
4692913
100,00
Keterangan (Remark): PDRB dihitung berdasarkan harga konstan dengan tahun dasar 2000 (GRDPcalculated based on constant prices with base year 2000).
Tabel 3. Pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita lima kabupaten di Sub DAS Bengawan Solo Hulu, rerata 2000 - 2011 Table 3. Economic growth and GRDP per capita of five regencies in Upper Bengawan Solo sub watershed, on average of 2000 - 2011 Kabupaten (Regency) Wonogiri Karanganyar Boyolali Sragen Klaten DAS Solo Hulu
36
Pertumbuhan ekonomi (%) PDRB per kapita (juta Rp) (Economic growth in %) (GDP per capita in million Rp) 2000-2005 2006-2011 2000-2011 2000-2005 2006-2011 2000-2011 3,21 4,37 3,84 2,32 3,04 2,73 5,52 5,43 5,47 4,70 6,26 5,60 4,25 4,39 4,33 3,44 4,32 3,95 4,02 5,87 5,03 2,44 3,30 2,93 4,54 2,90 3,65 3,31 4,09 3,77 4,31 4,59 4,46 3,24 4,20 3,79
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 32 - 43
ekonomi Sub DAS: 4,59%, sedangkan pendapatan per kapita: Rp 4,20 juta). Sedangkan Kabupaten Sragen yang tertinggal pada periode 2000-2005 menjadi daerah maju tapi kemudian tertekan pada periode 2006-2011 dengan pertumbuhan ekonomi di atas rerata meskipun pendapatannya masih di bawah rerata Sub DAS. Perubahan ini menunjukkan dinamisnya perkembangan ekonomi di dalam Sub DAS. B. Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Pola dan struktur pertumbuhan ekonomi daerah kabupaten di Sub DAS Bengawan Solo Hulu dianalisis menggunakan tipologi Klassen yang mendasarkan pada dua indikator, yaitu: pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita. Hasil analisis berdasarkan tipologi Klassen menunjukkan bahwa daerah kabupaten/kota di Sub DAS Bengawan Solo Hulu dapat dikelompokkan menjadi 4 tipe (Gambar 1). Tipologi 1 merupakan daerah cepat maju dan cepat tumbuh yaitu daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita di atas rerata. Tipologi 2 merupakan daerah maju tetapi tertekan yaitu daerah yang memiliki pendapatan lebih tinggi tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah dari rerata. Tipologi 3 merupakan daerah berkembang cepat yaitu daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi tingkat pendapatan per kapita lebih rendah dari
rerata. Tipologi 4 merupakan daerah tertinggal yang memiliki pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita lebih rendah dari rerata. Dari Gambar 1 diketahui bahwa daerah kabupaten/kota di Sub DAS Bengawan Solo Hulu yang termasuk daerah maju dan berkembang pesat adalah Karanganyar. Kemajuan dan perkembangan daerah ini ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih besar dibanding rerata daerah lain yang berada di Sub DAS Bengawan Solo Hulu. Sedangkan Sragen termasuk kategori daerah berkembang pesat dengan pertumbuhan di atas rerata pertumbuhan ekonomi Sub DAS Bengawan Solo Hulu, meskipun pendapatan perkapitanya lebih rendah dari rerata pendapatan perkapita Sub DAS Bengawan Solo Hulu. Kabupaten Sragen mempunyai potensi besar untuk berkembang tetapi belum dikelola dengan baik sehingga meskipun perkembangan ekonominya cepat tetapi pendapatan perkapita masih lebih rendah dibanding rerata pendapatan per kapita daerah lain. Daerah Boyolali termasuk daerah maju tapi tertekan perkembangan ekonominya karena terhambatnya kegiatan utama kabupaten ini dalam perekonomian daerah. Kabupaten Wonogiri yang merupakan daerah paling hulu di Sub DAS Bengawan Solo Hulu merupakan daerah yang tertinggal dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapitanya.
Gambar 1. Pola dan struktur pertumbuhan ekonomi Sub DAS Bengawan Solo Hulu, 2000-2011 Figure 1. Structure and pattern of economic growth in Upper Bengawan Solo sub watershed, 2000-2011
Identifikasi Sektor Ekonomi Unggulan dan Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten ..... (S. Andy Cahyono et. al.)
37
C. Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten Disparitas pendapatan antar kabupaten dianalisis menggunakan indeks Williamson. Hasil analisis perkembangan disparitas pendapatan antar kabupaten di Sub DAS Bengawan Solo Hulu berdasarkan indeks Williamson disajikan pada Gambar 2. Dari Gambar 2 diketahui bahwa rerata disparitas pendapatan antar kabupaten di Sub DAS Bengawan Solo Hulu periode 2000-2011 adalah 0,25 (ketimpangan taraf rendah) dengan kecenderungan yang meningkat. Hal ini dikarenakan sebagian besar kabupaten di Bengawan Solo Hulu ekonominya masih berbasis agraris (primer) dan baru mulai mentransformasi ekonominya ke sektor industri (sekunder). Hasil penelitian ini berbeda dengan beberapa hasil penelitian di Provinsi Jawa Tengah yang menunjukkan nilai ketimpangan tinggi (Sudarmono, 2006: 0,68 dalam periode 1983-1993, Suhartono, 2011): 0,97 dalam periode tahun 20022006, Damarjati, 2010: 0,6626 dalam periode 20032007) meskipun selaras dengan hasil penelitian Isnowati (2007), yang menyimpulkan bahwa ketimpangan di Jawa Tengah cenderung semakin besar. Perbedaan hasil penelitian yang diperoleh
dapat dipahami karena perbedaan jumlah kabupaten yang dianalisis, perbedaan tahun, dan cakupan wilayah. Koefisien ketimpangan yang tinggi di Jawa Tengah disebabkan oleh pola pembangunan ekonomi yang lebih berorientasi sektoral, di mana sektor industri dan pengolahan, listrik, gas dan air bersih, bangunan dan konstruksi, perdagangan, komunikasi dan angkutan, keuangan serta jasa-jasa diutamakan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sektor-sektor ekonomi tersebut biasanya dikembangkan pada lokasi tertentu yang menguntungkan dan sesuai bagi pengembangan suatu sektor tertentu. Lokasi yang dipilih pada umumnya di daerah yang telah mempunyai berbagai prasarana dan fasilitas penunjang untuk pengembangan sektor-sektor tertentu. Temuan Pambudi dan Miyasto (2013) menunjukkan bahwa investasi dan tenaga kerja menentukan pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah. Daerah yang ekonominya secara historis telah berkembang menjadi semakin berkembang, sementara daerah yang ekonominya belum berkembang sulit mengejar perkembangan ekonomi daerah yang telah berkembang.
Gambar 2. Perkembangan disparitas pendapatan antar kabupaten di Sub DAS Bengawan Solo Hulu berdasarkan indeks Williamson, 2000-2011 Figure 2. Development of inter-regency income disparity in upper Bengawan Solo sub watershed based on Williamson index, 2000-2011 38
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 32 - 43
D. Identifikasi dan Kontribusi Sektor Ekonomi Unggulan Untuk mempercepat pembangunan ekonomi diperlukan fokus pengembangan sektor ekonomi yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menarik pertumbuhan sektor-sektor ekonomi lain (Adisasmita, 2013). Sektor terpilih harus memiliki pertumbuhan yang positif, yang ditunjukkan oleh nilai LQ lebih besar dari satu, sedangkan sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan negatif, ditunjukkan oleh nilai LQ lebih kecil dari satu. Hasil perhitungan LQ tiap kabupaten di Sub DAS Bengawan Solo Hulu disajikan pada Tabel 4. Pada Tabel 4 diketahui bahwa sektor jasa dapat dikembangkan di 4 kabupaten yakni Wonogiri, Boyolali, Sragen, dan Klaten, sedangkan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan di tiga kabupaten yakni Wonogiri, Boyolali, dan Sragen. Sektor listrik gas dan air bersih dapat dikembangkan di tig a kabupaten yakni Karanganyar, Boyolali, dan Sragen, sedangkan sektor keuangan, real estate dan jasa perusahaan di tiga kabupaten yakni Wonogiri, Boyolali, dan Sragen. Sektor pertambangan dan penggalian dapat dikembangkan di dua kabupaten yakni
Boyolali dan Klaten, sedangkan sektor konstruksi dapat dikembangnkan di dua kabupaten yakni Sragen dan Klaten. Sektor perdagangan, hotel dan restoran dapat dikembangkan di dua kabupaten yakni Boyolali dan Klaten, sedangkan sektor industri pengolahan hanya di Karanganyar, sektor pengangkutan dan komunikasi hanya di Wonogiri. Hasil penelitian Wicaksono (2010) menjelaskan bahwa sektor industri pengolahan dan sektor pertanian termasuk sektor yang berpotensi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Kajian Soleh (2012) juga menunjukkan bahwa Jawa Tengah adalah unggul dalam industri manufaktur atau pengolahan terutama industri minyak dan lemak, sektor industri kayu dan bahan bangunan dari kayu, dan sektor listrik dan gas. Namun di Sub DAS Bengawan Solo Hulu hanya terdapat satu daerah yang potensial untuk pengembangan industri pengolahan yaitu Kabupaten Karanganyar, sedangkan untuk pengembangan pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan di tiga kabupaten, yaitu: Wonogiri, Boyolali, dan Sragen. Ini menunjukkan bahwa sektor agraris masih dominan pada perekonomian di Sub DAS Bengawan Solo Hulu.
Tabel 4. Sektor-sektor ekonomi unggulan kabupaten di Sub DAS Bengawan Solo Hulu berdasarkan Location Quotient Table 4. Leading sectors of regencies in upper Bengawan Solo sub watershed based on Location Quotient No
Sektor (Sector)
Wonogiri
Karanganyar
Boyolali
Sragen
Klaten
1
Pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan (Agriculture, livestock, forestry, fisheries) Pertambangan dan penggalian (Mining and quarrying) Industri pengolahan(Processing industry) Listrik, Gas dan air bersih (Electricity, gas, and water supply) Konstruksi (Construction) Perdagangan, hotel dan restoran (Trade, hotels, and restaurants) Pengangkutan dan komunikasi (Transportation and communication) Keuangan, real estat dan jasa perusahaan (Finance, real estate and business services) Jasa-jasa (Services)
1,72
0,70
1,12
1,14
0,69
0,92
0,88
1,12
0,32
1,51
0,18
2,01
0,64
0,87
0,78
0,54
1,26
1,25
1,13
0,70
0,99 0,68
0,54 0,53
0,66 1,28
1,01 0,97
1,80 1,49
2,40
0,72
0,72
0,87
0,77
1,07
0,52
1,60
1,01
0,96
1,09
0,72
1,00
1,05
1,23
2 3 4 5 6 7 8 9
Identifikasi Sektor Ekonomi Unggulan dan Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten ..... (S. Andy Cahyono et. al.)
39
Dari Tabel 4 juga diketahui bahwa Kabupaten Wonogiri memiliki 4 sektor unggulan namun yang paling potensial dapat dikembangkan adalah sektor pengangkutan dan komunikasi (LQ=2,4). Hal ini didukung deng an banyaknya pengusaha transportasi di Wonogiri, terutama transportasi hasil pertanian dan angkutan penumpang antar kota (bus). Kabupaten Karanganyar dapat mengembangkan sektor industri pengolahan (2,01) dan sektor listrik, gas dan air bersih (1,26). Sektor industri pengolahan/manufaktur di kabupaten ini adalah potensial untuk dikembangkan dan infrastr uktur yang tersedia mendukung dibandingkan dengan kabupaten lain. Boyolali memiliki 6 sektor unggulan namun yang paling potensial dapat dikembangkan adalah sektor keuangan, real estate dan jasa perusahaan (1,60). Kabupaten Sragen memiliki 5 sektor unggulan namun yang paling potensial dikembangkan adalah sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan (1,14). Kabupaten Klaten memiliki 4 sektor unggulan namun yang paling potensial dikembangkan adalah sektor konstruksi (1,80). Sektor unggulan setiap kabupaten bervariasi baik jumlah maupun jenisnya tergantung pada sumberdaya dan keunggulan komparatif sektor di
tiap daerah. Ketersediaan sumberdaya (alam, manusia, modal, dan lainnya), infrastruktur, kebijakan pendukung dan lainnya akan mempengaruhi perkembangan sektor unggulan tersebut. Sektor-sektor unggulan pada umumnya memberikan kontribusi yang relatif signifikan terhadap perkembangan ekonomi daerah (PDRB). Semakin besar kontribusinya terhadap PDRB menunjukkan peran dan strategis sektor tersebut dalam pembangunan daerah. Kontribusi sektoral terhadap PDRB setiap kabupaten di Sub DAS Solo hulu disajikan pada Tabel 5. Dari Tabel 5 diketahui bahwa sektor pengangkutan dan komunikasi mendominasi P D R B Wo n o g i r i ( 3 5 , 2 1 % ) , s e d a n g k a n perekonomian K abupaten K arang anyar didominasi oleh sektor industri pengolahan (52,76%). Sumbangan sektor ekonomi terbesar dalam PDRB Kabupaten Boyolali berasal dari sektor keuangan, real estate dan jasa perusahaan (32,96%). Perekonomian Kabupaten Sragen cukup berimbang antar sektor dengan sumbangan terbesar dari sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan (16,89%). Pembangunan ekonomi di Klaten didukung oleh sektor konstruksi yang menyumbang PDRB sebesar 42%.
Tabel 5. Rerata kontribusi sektoral terhadap PDRB kabupaten di Sub DAS Bengawan Solo Hulu (dalam %) Table 5. Average sectoral contribution to GRDP of regencies in upper Bengawan Solo sub watershed regency (in%) No
Sektor (sector)
Wonogiri
Karanganyar
Boyolali
Sragen
Klaten
1
Pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan (Agriculture, livestock, forestry, fisheries) Pertambangan dan penggalian (Mining and quarrying) Industri pengolahan (Processing industry) Listrik, Gas dan air bersih (Electricity, gas, and water supply) Konstruksi (Construction) Perdagangan, hotel dan restoran (Trade, hotels, and restaurants) Pengangkutan dan komunikasi (Transportation and communication) Keuangan, real estate dan jasa perusahaan (Finance, real estate and business services) Jasa-jasa (Services)
25,18
18,53
23,17
16,89
16,22
13,55
23,07
23,07
4,76
35,55
2,70
52,76
13,17
12,87
18,50
7,99
33,11
25,73
16,66
16,51
14,56 10,03
14,19 13,95
13,67 26,53
14,98 14,37
42,60 35,12
35,21
18,93
14,95
12,79
18,12
15,68
13,72
32,96
14,95
22,68
15,98
18,89
20,74
15,47
28,93
DAS (Watershed)
14,67
26,29
20,66
14,78
23,61
2 3 4 5 6 7 8 9
40
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 32 - 43
Besarnya sumbangan sektoral menunjukkan peran strategis suatu sektor dalam suatu perekonomian. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Berdasarkan tipologi Klassen, pola dan struktur pertumbuhan ekonomi kabupaten di sub DAS Bengawan Solo Hulu bervariasi. Hasil kajian menunjukkan Kabupaten Karanganyar merupakan daerah yang perekonomiannya maju dan berkembang pesat, sedangkan Kabupaten Wonogiri tergolong daerah yang perekonomiannya tertinggal. 2. Perkembangan ekonomi kabupaten di Sub DAS Bengawan Solo Hulu dapat dipacu dengan pengembangan sektor unggulan. Sektor unggulan setiap kabupaten berbeda tergantung kondisi sumberdaya dan keunggulan komparatif yang dimiliki. 3. Sektor ekonomi unggulan Wonogiri adalah sektor pengangkutan dan komunikasi, sedangkan sektor unggulan Karanganyar adalah sektor industri pengolahan. Sektor ekonomi unggulan Boyolali adalah sektor keuangan, real estat dan jasa perusahaan, sedangkan Sragen adalah pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan dan Kabupaten Klaten adalah sektor konstruksi. 4. Disparitas pendapatan antar kabupaten di Sub DAS Bengawan Solo Hulu relatif rendah (rataan Indeks Williamson periode 2000-2011 sebesar 0,25) namun cenderung meningkat. Rendahnya disparitas ini diduga karena struktur ekonomi kabupaten di Sub DAS Bengawan Solo Hulu memiliki kesamaan yakni lebih didominasi oleh sektor-sektor ekonomi yang berbasis agraris. B. Saran Pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan dengan pengembangan sektor unggulan tiap kabupaten yaitu Wonogiri (pengangkutan dan komunikasi), Karanganyar (industri pengolahan), Boyolali (keuangan, real estat, dan jasa perusahaan), Sragen (pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan) dan Klaten (konstruksi). Disparitas ekonomi antar daerah yang rendah dengan kecenderungan
meningkat karena sebagian besar daerah di Sub DA S B e n g awa n S o l o H u l u m a s i h menggantungkan sumber pendapatannya dari sektor yang berbasis agraris (sektor primer) dan baru mulai mengalami transformasi ekonomi ke sektor industri peng-olahan (sektor sekunder). Transformasi ekonomi dari sektor primer (agraris) ke sekunder (industri) harus dicermati agar tidak menimbulkan ke-timpangan pendapatan antar daerah. Untuk itu pe-ngembangan sektor unggulan perlu dilakukan secara inklusif, yaitu menyebar luas, merata, melibatkan dan dirasakan seluruh elemen masyarakat sehingga mengurangi disparitas ekonomi. DAFTAR PUSTAKA Adisasmita, R. (2013). Teori-teori pembangunan ekonomi: Pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan wilayah. Yogyakarta: Graha Ilmu. Arifin, Z. (2009). Kesenjangan dan konvergensi ekonomi antar kabupaten pada empat koridor di Propinsi Jawa Timur. Humanity, 6, 154-164. Arsyad, L. (1997). Ekonomi pembangunan . Yogyakarta: Bagian penerbitan STIE YKPN. Arsyad, L. (1999). Pengantar perencanaan dan pembangunan ekonomi daerah. BPFE UGM. Yogyakarta. Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo [BBWS Bengawan Solo]. (2012). Profil pengelolaan sumberdaya air wilayah sungai Bengawan Solo. Surakarta: Direktorat Jenderal Sumberdaya Air. Kementerian Pekerjaan Umum. Caska & Riadi, R.M. (2008). Pertumbuhan dan ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah di Provinsi Riau. Jurnal Industri dan Perkotaan, 12, 1629-1642. Chaniago, J. (2009). Mengenal Tipologi Klassen. http://junaidichaniago.blogspot.com/2009 /05/mengenal-tipologi-klassen-seri 1.html. diakses: 5 Oktober 2013. Damarjati, A.G. (2010). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan pendapatan di Propinsi Jawa Tengah. Skripsi tidak
Identifikasi Sektor Ekonomi Unggulan dan Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten ..... (S. Andy Cahyono et. al.)
41
dipublikasikan. Semarang: Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Emilia & Imelia. (2006). Modul ekonomi regional. (Modul). Jambi: Fakultas Ekonomi Universitas Jambi. Ernita, D., Amar, A., & Syofyan, E. (2013). Analisis pertumbuhan ekonomi, investasi, dan konsumsi di Indonesia. Jurnal Kajian Ekonomi, 1, 176-193. Khairullah & Cahyadin, M. (2006). Evaluasi pemekaran wilayah di Indonesia: studi kasus Kabupaten Lahat. Jur nal Ekonomi Pembangunan, 11, 261-277. Hidayati, R.A. (2008). Analisis ketimpangan ekonomi antar kecamatan di Kabupaten Gresik. Jurnal Logos, 6, 83-97. Isnowati, S. (2007). Pengujian hipotesis Kuznets di wilayah pembangunan I Jawa Tengah. Jurnal Bisnis dan Ekonomi, 14, 1-14. Isnowati, S. (2012). Penerapan model Kweka dan Morissey dalam menerangkan pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah. Jurnal Bisnis dan Ekonomi, 19, 25-36. Jamaliah & Kurniawan, A. (2010). Analisis struktur ekonomi serta basis ekonomi di Propinsi Kalimantan Barat. Jurnal Ekonomi, Bisnis dan Kewirausahaan, 1, 67-81. Jonaidi, A. (2012). Analisis pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Indonesia. Jurnal Kajian Ekonomi, 1, 140-164. Kuncoro, M. (2004). Otonomi dan pembangunan daerah: Reformasi, perencanaan, strategi dan peluang. Jakarta: Erlangga. Muljaningsih, S. (2008). Keberadaan pasar memberikan multiplier efect terhadap pengembangan ekonomi wilayah: studi kasus di lingkup wilayah Pasar Gempol Kab. Pasuruan Prop. Jawa Timur. Jurnal Agribisnis Kerakyatan, 1, 16-47. Nippon Koei. (2001). Laporan Comprehensive Development and Management Plan (CDMP) study for Bengawan Solo River basin. (Laporan). Jakarta: Nippon Koei. Pambudi, E.W., & Miyasto. (2013). Analisis pertumbuhan ekonomi dan faktor-faktor 42
yang mempengaruhi kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah. Diponegoro Journal of Economics, 2, 1-13. PPE Jawa. (2014). DAS Bengawan Solo. Kementerian Lingkungan Hidup. http://ppejawa.com/ ekoregion/das-bengawan-solo/. Diakses: 25 Februari 2014. Pujiati, A. (2009). Analisis kawasan andalan di Jawa Tengah. Aset, 11, 117-128. Puspandika, B.A. (2007). Analisis ketimpangan pembangunan di era otonomi daerah: Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Skripsi tidak dipublikasikan. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Putra, L.D. (2011). Analisis pengaruh ketimpangan distribusi pendapatan terhadap jumlah penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah periode 2000-2007. Skripsi tidak dipublikasikan. Semarang: Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Rachman, M.R. (2010). Analisis investasi terhadap tingkat kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Gresik, Sidoarjo dan Pasuruan. Skripsi tidak dipublikasikan. Jawa Timur: Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional Veteran. Restiatun. (2009). Identifikasi sektor unggulan dan ketimpangan antar kabupaten/kota di Propinsi daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan, 10, 77-98. Rustiadi, E., Saefulhakim., & Panuju, D.R. (2011). Perencanaan dan Pengembangan Wilayah . Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Sari, R.M. (2010). Analisis komoditas unggulan pertanian di Pulau Buru, Provinsi Maluku. Jurnal Agroforestry, 5, 228-236. Shin, I. (2012). Income inequality and economic growth. Economic Modelling, 29, 2049-2057. Sjafrizal. (2012). Ekonomi wilayah dan perkotaan. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Soleh, A. (2012). Kontribusi dan daya saing ekspor sektor unggulan dalam perekonomian Jawa Tengah. Skripsi tidak dipublikasikan . Semarang: Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 32 - 43
Sudarmono, M. (2006). Analisis transformasi struktural pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan antar daerah di wilayah pembangunan I Jateng. Tesis tidak dipublikasikan. Semarang: Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Sufirmansyah. (2012). Dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimpangan antar daerah, dan kemiskinan. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 3, 136-148. Suhartono. (2011). Struktur ekonomi, kesempatan kerja dan ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Organisasi dan Manajemen, 7, 86-101. Sukirno, S. (1994). Pengantar makroekonomi. (Edisi kedua). Jakarta: PT. Grafindo. Sutarno & Kuncoro, M. (2003). Pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan antar kecamatan di Kabupaten Banyumas, 1993-2000. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 8, 97-110. Syam, A. (2003). Sistem pengelolaan lahan kering di daerah aliran sungai bagian hulu. Jurnal Litbang Pertanian, 22, 162-171.
Tambunan, T.T.H. (2003). Perekonomian Indonesia: Beberapa masalah penting. Jakarta: Ghalia Indonesia. Titisari, K.H. (2009). Identifikasi potensi ekonomi daerah Boyolali, Karanganyar, dan Sragen. Jejak, 2, 167-182. Van de Werfhorst, H.G., & Salverda, W. (2012). Consequences of economic inequality: introduction to a special issue. Research in Social Stratification and Mobility, 30, 377-387. Wardana, I.M. (2007). Analisis strategi pembangunan Provinsi Bali menuju balance growth. Buletin Studi Ekonomi, 12, 148-160. Wicaksono, C.P. (2010). Analisis disparitas pendapatan antar kabupaten/kota dan pertumbuhan ekonomi di Propinsi Jawa Tengah tahun 2003-2007. Skripsi tidak dipublikasikan . Semarang: Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Wikipedia. (2014). Bengawan Solo. http://id. wikipedia.org/wiki/Beng awan_Solo. diakses: 25 Februari 2014. Wilonoyudho, S. (2009). Kesenjangan dalam pembangunan kewilayahan. Forum Geografi, 23, 167-180.
Identifikasi Sektor Ekonomi Unggulan dan Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten ..... (S. Andy Cahyono et. al.)
43
DISFUNGSI INSTITUSI KONSERVASI DAN DAMPAKNYA PADA KEGAGALAN ADOPSI TEKNOLOGI KONSERVASI TANAH DAN AIR, STUDI KASUS DI KABUPATEN WONOGIRI DAN TEMANGGUNG, JAWA TENGAH (Dysfunction of Conservation Institutions and its Impacts on the Failures of Soil and Water Conservation Technologies Adoption, Case Study at Wonogiri and Temanggung Regencies, Central Java Province) 1
Nana Haryanti Balai Penelitian Kehutanan Solo. Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959 E-mail : nana_haryanti @yahoo.com
1
Diterima 13 Agustus 2013, direvisi 25 November 2013, disetujui 10 Desember 2013 ABSTRACT
Low rate adoption of soil and water conservation technologies, such as agroforestry systems and terrace farming, is still prevalent in a number of areas proned to water erosion. One of prominence alleged factors is conservation institution, which is mostly weak in inducing community, especially farmers or landholders, to apply soil and water conservation technologies to their own farmland. By using two case studies of soil and water conservation projects in Wonogiri and Temanggung regencies, this paper is aimed to explore and analyze the role of conservation institutions in the diffusion process of soil and water conservation technologies among farmers or landholders. Data were collected using in-depth interviews and focus group discussions. Institution in this research referred to institutional framework developed by Department of Foreign and International Development (DFID). They included formal conservation institutions, namely forest farmer groups, government institution, and extension agents. Results showed that the absence of conservation institutions discouraged farmers' motivation to adopt conservation technologies. Institutional dysfunction resulted in breaking of social learning processes thus decreasing community awareness and decompressing conservation norms. As an implication of this study, government policies on soil conservation and land rehabilitation should be adjusted to be more farmers or landholders oriented and should include incentives and disincentives for soil conservation and land rehabilitation activities. Keywords: Technology, adoption, conservation, institution ABSTRAK
Adopsi teknologi konservasi tanah dan air, seperti sistem agroforestri dan penerasan lahan, sejauh ini masih rendah. Salah satu yang diduga kuat menjadi faktor penyebabnya adalah masih lemahnya atau bahkan tidak tersedianya institusi (lembaga) yang mampu mendorong masyarakat, khususnya petani, agar menerapkan teknologi konservasi tanah dan air. Makalah ini ditujukan untuk mengeksplorasi, menganalisis dan menjelaskan peran institusi konservasi dalam proses difusi teknologi konservasi tanah dan air. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data yang digunakan dalam analisis diperoleh melalui wawancara mendalam dan diskusi kelompok terhadap kelompok petani dan sejumlah pihak yang terkait dengan konservasi tanah dan air. Lokasi penelitian adalah kabupaten Wonogiri dan Temanggung, dan dua kelompok tani hutan dipilih sebagai kelompok informan pada penelitian ini. Institusi dalam penelitian ini adalah institusi yang merujuk pada kerangka yang dikembangkan Department of Foreign and Internatioanl Development (DFID) berupa lembaga formal konservasi meliputi kelompok tani hutan, lembaga pemerintah yaitu dinas kehutanan dan penyuluh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiadaan institusi konservasi menghambat petani melakukan adopsi teknologi konservasi. Disfungsi intitusi juga mengakibatkan tidak berjalannya proses belajar sosial sehingga melemahkan kesadaran masyarakat dan hilangnya norma-norma konservasi. Sebagai implikasi dari temuan tersebut, maka kebijakan pemerintah yang terkait dengan konservasi tanah dan rehabilitasi lahan perlu dirancang sedemikian rupa sehingga berpihak kepada pelaku konservasi dan mengandung insentif dan disinsentif bagi kegiatan-kegiatan konservasi. Kata kunci: Teknologi, adopsi, konservasi, institusi
44
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 44 - 58
I. PENDAHULUAN Degradasi lahan sebagai akibat dari masih rendahnya adopsi teknologi konservasi tanah dan air merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang sampai saat ini masih memerlukan penyelesaian, terutama dalam upaya pelestarian daerah aliran sungai (DAS). Teknologi konservasi air dan tanah sebagai salah satu cara yang digunakan untuk melestarikan kesuburan produktivitas lahan sebenarnya telah banyak diketahui oleh petani. Namun demikian, upaya mempromosikan teknologi konservasi agar diadopsi secara luas oleh masyarakat petani masih belum memberikan hasil yang memuaskan. Rendahnya keberhasilan upaya perluasan praktik konservasi pada masyarakat petani menurut Shiferaw et al. (2009), Agrawal dan Perrin (2008) salah satunya disebabkan oleh lemahnya lembaga (institusi) sosial yang terkait dengan pelestarian sumberdaya alam. Shifferaw et al. (2009) menjelaskan bahwa institusi mampu mengkondisikan petani untuk melakukan inovasi, adopsi dan adaptasi teknologi konservasi air dan tanah yang dipilihnya. Oleh karena itu, Bromley (2008) berpendapat bahwa pada masyarakat petani yang tidak memiliki institusi yang baik, hampir dapat dipastikan investasi di bidang konservasi cenderung sangat rendah atau bahkan tidak dilakukan. Kesadaran terhadap pentingnya peran institusi dalam menunjang keberhasilan program-program konservasi tanah dan air sudah lama tumbuh pada masyarakat konservasi di Indonesia. Meskipun demikian, pembinaan intensif yang dilakukan pada institusi konservasi baik di tingkat petani, seperti kelompok tani hutan, desa maupun pemerintah daerah, masih jarang dilakukan karena berbagai alasan seperti tidak tersedianya anggaran, tenaga ahli dan sebagainya. Akibatnya, lembaga-lembaga tersebut belum mampu berperan menjadi agent of change, terutama untuk mengubah perilaku petani agar menerapkan teknik konservasi yang baik pada lahan garapannya. Pendekatan lama, yakni top-down interventions, yang semula digunakan sebagai metode alih teknologi konservasi memang telah banyak ditinggalkan, tetapi masyarakat konservasi di Indonesia sejauh ini belum beranjak dari pendekatan populist atau farmer-first approach. Pendekatan tersebut menekankan bottom-up participatory interventions, tetapi hanya memfokuskan
pada kegiatan individu petani. Pendekatan populist belum mempertimbangkan aspek yang lebih luas, seperti adanya fakta yang menunjukkan bahwa keputusan petani untuk mengadopsi teknik konservasi sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, kelembagaan dan kebijakan atau politik (Robbins & Williams, 2005). Oleh karena itu, perhatian terhadap peningkatan kapasitas lembaga atau institusi konservasi yang dipandang mampu mendorong terjadinya percepatan adopsi teknik konservasi seperti kelompok tani hutan, penyuluh, dan dinas terkait, pada suatu kelompok masyarakat pengguna lahan, khususnya petani, sangatlah perlu dilakukan sebagaimana dikembangkan melalui p e n d e k a t a n n e o - l i b e r a l . Pe n d e k a t a n i n i menganjurkan perlunya memberikan perhatian pada kendala-kendala yang muncul berkaitan dengan kelembagaan baik itu organisasinya maupun aturan yang ada agar konservasi secara ekonomi menguntungkan dan menjadi atraktif bagi petani. Institusi dipercaya mampu membangkitkan tindakan bersama (collective action) untuk mendorong investasi bersama agar masalah sumberdaya alam bisa terselesaikan dengan lebih mudah (Shiferaw et al., 2009). Mekanisme pengembangan dan penyebaran informasi mengenai alternatif teknologi yang disarankan sangat penting dalam proses adopsi teknologi konservasi. Pada proses ini, institusi memainkan peranan penting pada semua tingkatan (Lee, 2005). Pada tingkatan rumah tangga, keputusan untuk mengadopsi suatu teknologi seringkali dipengaruhi oleh kelompok (tetangga). Petani mengembangkan jaringan sosialnya untuk mencari informasi sebelum melakukan uji coba suatu teknologi baru. Disinilah kelompok tani hutan seringkali berperan memberikan arahan kepada petani untuk mengadopsi atau tidak mengadopsi teknologi yang disarankan. Oleh karena itu, persepsi kelompok tani hutan terhadap suatu teknologi konservasi memiliki peran sentral. Ketika kelompok tani hutan memiliki persepsi positif terhadap suatu teknologi konservasi, maka hampir dapat dipastikan persepsi tersebut berpengaruh positif pada proses pengambilan keputusan petani dalam mengadopsi atau tidak mengadopsi suatu teknologi konservasi. Pada tingkat pengambil kebijakan, cara melakukan promosi program-program konservasi yang dirancang oleh para pengambil kebijakan serta karakteristik dari penyuluh seringkali sangat
Disfungsi Institusi Konservasi dan Dampaknya pada Kegagalan Adopsi Teknologi KonservasiTanah dan Air, ..... (Nana Haryanti)
45
menentukan diadopsi atau tidak diadopsinya suatu teknologi konservasi oleh petani (Pannell et al., 2006). Namun demikian, pada kelompok masyarakat yang memiliki disfungsi institusi, proses adopsi cenderung berjalan lambat. Menurut Cramb (2004), hal tersebut terjadi karena masyarakat tersebut tidak dapat memanfaatkan modal sosial (social capital) yang dimilikinya. Modal sosial memungkinkan suatu kelompok masyarakat secara kolektif bekerja bersama-sama, terutama dalam menghadapi kemungkinan munculnya resiko akibat penerapan teknologi yang disarankan. Tanpa institusi yang effisien, petani harus menanggung sendiri setiap biaya transaksi yang timbul sebagai akibat dari kegiatan pengelolaan lahannya. Untuk itu, Nuryanti dan Swastika (2011) menyarankan perlunya suatu kajian mengenai peran kelompok tani dalam percepatan penerapan teknologi konservasi. Doss (2006) juga menyatakan isu tersebut masih belum terjawab, terutama pada pertanyaan tentang “sejauh mana peran institusi dan kebijakan dalam memengaruhi adopsi teknologi konservasi?”. Makalah ini bertujuan menjelaskan konsekuensi yang muncul ketika suatu teknologi atau inovasi konservasi tanah dan air diberikan kepada suatu kelompok tani yang pasif organisasinya dan tidak berjalan, serta dengan kegiatan penguatan kelompok yang minim dari peneliti. Analisis yang dilakukan juga mencakup peran lembaga seperti dinas terkait atau pengambil kebijakan dan penyuluh pada keberhasilan difusi teknologi konservasi tanah dan air. II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada kelompok tani hutan Dadi Rejo, Desa Pulutan Wetan, Kecamatan Wuryantoro, Kabupaten Wonogiri dan kelompok tani hutan Wonosari I, Desa Wonosari, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung. Pada lokasi tersebut telah dilakukan kegiatan penelitian secara partisipasi (participatory research) berupa pembuatan bangunan konservasi tanah dan air, yaitu penerasan lahan (terasering) dan penanaman tanaman kayu dan buahbuahan dengan sistem agroforestri pada lahan petani.
46
Penelitian konservasi tanah dan air secara partisipasi di desa Pulutan dilakukan pada tahun 2010-2011, sedangkan penelitian di desa Wonosari dilakukan sejak tahun 2009-sekarang. Kegiatan penelitian tersebut dimaksudkan agar petani peserta plot demonstrasi (demplot) dan petani di sekitarnya mengadopsi teknologi konservasi tanah dan air yang dikembangkan secara partisipasi selama penelitian dilakukan, sedangkan penelitian mengenai institusi yang menunjang makalah ini dilakukan pada pada tahun 2011 untuk desa Pulutan Wetan dan 2010-2012 untuk desa Wonosari. B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berupa kuesioner semi terbuka dan panduan diskusi. Kuesioner berisi pertanyaanpertanyaan yang diajukan kepada responden pada proses wawancara. Panduan diskusi berisi topik-topik yang akan dibahas dalam diskusi kelompok. Alat perekam, catatan lapangan dan kamera disiapkan agar kegiatan wawancara berjalan dengan lancar. Kegiatan diskusi kelompok dilengkapi dengan peralatan papan tulis, spidol, kertas plano, kertas metaplan, laptop untuk presentasi, proyektor, alat perekam dan kamera. C. Metode Penelitian Kualitatif Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pertimbangan bahwa metode tersebut mampu menjelaskan dengan lebih baik mengenai isu-isu penting berkaitan dengan institusi (kelembagaan) konservasi. Penelitian kualitatif memiliki fleksibilitas tinggi sehingga peneliti bisa mengembangkan pertanyaan lebih luas dan bisa menggali informasi mendalam yang sering kali tidak secara jelas muncul dalam proses wawancara maupun diskusi kelompok. Hal ini karena topik mengenai kelembagaan sangat dinamis, seringkali melibatkan proses politik yang tidak mudah dijelaskan oleh responden. Studi kasus dilakukan pada dua kelompok tani hutan, untuk mendapatkan gambaran fenomena yang mungkin bisa digeneralisasi dari keduanya. Institusi yang dimaksud dalam makalah ini merujuk kepada kerangka (framework) institusi yang
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 44 - 58
dikembangkan oleh The Department for International Development (DFID) (Matsaert, 2002). Institusi adalah organisasi dan/atau seperangkat aturan, kebijakan, atau perundangan yang mengatur perilaku sosial. Institusi menurut konsep DFID bekerja pada semua tingkatan mulai dari rumah tangga sampai internasional dan pada semua bidang baik privat maupun publik (Matsaert, 2002). Definisi operasional institusi untuk penelitian ini adalah organisasi formal yaitu kelompok tani hutan, penyuluh dan lembaga negara seperti dinas yang terkait dengan kegiatan konservasi. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan focus group discussion (FGD). Wawancara mendalam dilakukan kepada anggota kelompok tani hutan, staf dinas kehutanan, penyuluh dan tokoh masyarakat setempat. Jumlah responden adalah 18 orang anggota kelompok tani hutan Dadi Rejo peserta demplot penelitian, 5 orang anggota kelompok tani hutan Dadi Rejo bukan peserta demplot penelitian, 3 orang anggota kelompok tani hutan Wonosari I peserta plot penelitian, 23 orang anggota kelompok tani hutan Wonosari I bukan peserta plot penelitian, 2 orang penyuluh dan 1 staf dinas kehutanan. Sebagai alat triangulasi data dilakukan FGD untuk mendapatkan pemahaman yang lebih luas mengenai topik yang diteliti, meningkatkan validitas hasil penelitian dan menghindari munculnya data yang tidak relevan yang bisa mengakibatkan bias pada penelitian. Analisa data dilakukan deng an cara menempatkan data yang diperoleh sesuai kategori yang telah dibuat sebelumnya. Kemudian dilihat pola dan hubungan data dalam kategori yang sama. Pada tahapan ini persamaan dan perbedaan pandangan responden terhadap suatu fenomena dikelompokkan kemudian diambil suatu kesimpulan. Langkah selanjutnya adalah mencari pola dan hubungan data antara kategori yang satu dengan yang lain untuk mendapatkan suatu gambaran mengenai kategori yang penting atau dominan dan kurang penting. Langkah terakhir adalah interpretasi data. Interpretasi data dilakukan dengan cara mencari makna dan signifikansi dari data yang terkumpul untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Dinamika Pada Penelitian untuk Pengembangan Konservasi Tanah dan Air Penentuan lokasi kegiatan penelitian untuk pengembangan konservasi tanah dan air secara partisipasi (participatory research) yang dilakukan di Wonogiri dan Temanggung dengan membuat bangunan teras dan tanaman agroforestri dilakukan terutama pada pertimbangan fisik lahan dengan lereng miring yang terjal. Kegiatan pertanian yang dilakukan pada lahan dengan lereng miring yang terjal berpotensi menyebabkan terjadinya erosi. Oleh sebab itu dilakukan kegiatan pencegahan dengan cara membuat teras dan menanam tanaman kayu dan buah pada batas-batas lahan. Kegiatan penelitian konservasi tanah dan air tersebut dilakukan dengan metode partisipasi, yaitu dengan meminta petani untuk terlibat secara suka rela pada kegiatan penelitian. Beberapa petani dengan lahan ideal untuk kegiatan penelitian, yaitu yang berlokasi pada lereng terjal dan dilakukan pertanian intensif pada lahan tersebut diminta untuk membantu kegiatan penelitian, dan digunakan lahan garapannya sebagai demplot uji coba. Pada proses sosialisasi, dijelaskan bahwa selama penelitian berlangsung petani masih memiliki keleluasaan untuk menanam tanaman pertanian seperti yang biasa mereka lakukan. Namun demikian, beberapa catatan yang menjadi kelemahan dari kegiatan penelitian untuk pengembangan konservasi tanah dan air, dan kemudian ikut berkontribusi pada rendahnya adopsi teknik konservasi air dan tanah yang diperkenalkan adalah: 1. Pemilihan kelompok tani berdasar lokasi demplot Pemilihan lokasi yang ideal untuk mendukung kegiatan penelitian konservasi tanah dan air, berdampak pada pemilihan kelompok tani hutan. Anggota peserta demplot penelitian konservasi tanah dan air harus dipilih menjadi kelompok binaan dengan maksud agar hasil penelitian dapat diadopsi petani demplot penelitian serta anggota kelompok yang lain. Metode ini tidak memungkinkan peneliti untuk memilih kelompok tani yang sudah maju organisasinya dan harus bekerja dengan kelompok yang ada, meskipun kelompok tani tersebut tidak berjalan.
Disfungsi Institusi Konservasi dan Dampaknya pada Kegagalan Adopsi Teknologi KonservasiTanah dan Air, ..... (Nana Haryanti)
47
2. Kegiatan penguatan kelompok tidak dilakukan secara intensif Kegiatan penyuluhan dilakukan oleh peneliti, untuk memberikan pemahaman kepada petani yang lahannya dimanfaatkan sebagai demplot uji coba maupun kepada anggota kelompok tani hutan yang lain. Penyuluhan berisi manfaat teras dan tanaman agroforestri. Pada kesempatan tertentu penyuluh diundang untuk turut melakukan penyuluhan yang mendukung kegiatan penelitian. Namun penguatan kelompok hingga menjadi kelompok tani yang maju, terutama maju dalam perilaku bertani yang ramah lingkungan membutuhkan waktu yang lama, bahkan bisa memakan waktu tahunan, sedangkan penelitian konservasi tanah dan air ini dibatasi waktu, sehingga pembuatan demplot penelitian segera dilakukan menyusul pendampingan kelompok. Hal ini maksudkan agar penelitian segera mendapatkan manfaat secara fisik berupa data penurunan erosi maupun sosial berupa tanggapan petani atas demplot penelitian. Namun, pada kelompok yang masih pasif seperti kelompok tani hutan Dadi Rejo dan Wonosari I kegiatan penguatan kelompok dan menjadikannya organisasi yang maju dalam pengetahuan maupun perilaku bertani yang sesuai kaidah konservasi tanah dan air mutlak diperlukan, tetapi tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Ketika kelompok tani tersebut belum benar-benar menjadi organisasi yang maju, maka pengenalan teknologi konservasi air dan tanah kemudian menghadapi berbagai kendala. 3. Proses sosialisasi searah Sebagai upaya menyukseskan kegiatan penelitian, peneliti selalu mengomunikasikan kepada petani peserta demplot penelitian mengenai langkah yang akan ditempuh peneliti dan perlakuan yang akan diterapkan pada lahan garapan mereka. Pada proses sosialisasi ini, komunikasi hanya berjalan searah saja dari peneliti kepada petani. Pengamatan lapangan memperlihat bahwa para petani terlihat enggan mengemukakan pendapat, atau menyanggah penjelasan yang diberikan peneliti terutama mengenai pentingnya tanaman agroforestri untuk mencegah erosi. Fenomena ini sangat mencolok terlihat pada kelompok tani hutan Dadi Rejo. Pada kelompok Wonosari I, juga 48
hanya beberapa petani saja terlihat lebih berani mengemukakan pendapat. Proses seperti ini menyebabkan diskusi untuk saling memberi masukan baik dari peneliti kepada petani maupun sebaliknya dari petani kepada peneliti menjadi tidak berjalan dengan baik. 4. Pemilihan orang kunci (key person) yang tidak dilakukan secara cermat Keterbatasan waktu dan pengetahuan mengenai kondisi masyarakat setempat menyebabkan peneliti sering kali kurang tepat memilih orang kunci. Akibatnya orang kunci yang dipilih belum mampu menjadi agen yang bisa memotivasi anggota kelompok yang lain untuk berubah. Orang kunci tersebut juga belum mampu menyampaikan pesan dan pengetahuan pada anggota kelompok yang lain. Dengan demikian diskusi oleh petani terutama mengenai pengembangan kegiatan konservasi tanah dan air tidak berlangsung. 5. Metode pendekatan personal yang minim dilakukan Menghadapi berbagai kendala yang muncul dalam proses penelitian, peneliti berusaha mengatasi dengan melakukan pendekatan pribadi. Pendekatan pribadi terutama dilakukan kepada petani yang melakukan berbagai penolakan terhadap perlakuan peneliti pada demplot penelitian. Namun kurang intensifnya pendekatan pribadi yang dilakukan mengakibatkan berbagai kendala seperti penolakan petani, tidak selalu bisa diselesaikan. B. Institusi di Tingkat Petani Salah satu contoh institusi di tingkat petani adalah kelompok tani hutan. Kelompok tani hutan adalah kumpulan petani yang secara formal terikat karena memiliki kepentingan yang sama. Kelompok tani mulai dibentuk pada 1979 ketika program Intensifikasi Khusus (Insus) diluncurkan (Nuryanti & Swastika, 2011). Terbentuknya kelompok tani hutan pada umumnya dilatarbelakangi oleh pelaksanaan suatu proyek oleh pemerintah, meskipun secara alami petani akan selalu berusaha membentuk suatu kelompok sosial untuk mendiskusikan cara mereka melakukan pengelolaan lahan dan menjalankan usaha pertanian-kehutanannya. Melalui kelompok sosial tersebut sering kali teknologi dan inovasi pertanian dipelajari dan ditularkan kepada petani
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 44 - 58
anggota sebagai suatu bentuk penyuluhan informal (McKell & Peiretti, 2004). Di sinilah difusi inovasi berlangsung, yaitu suatu proses mengomunikasikan inovasi menggunakan saluran tertentu yang dilakukan dari waktu ke waktu kepada anggota suatu sistem sosial (Rogers, 2003). Pengamatan terhadap kelompok tani hutan Dadi Rejo dan Wonosari I, memperlihatkan fenomena dimana difusi inovasi teknologi konservasi tanah dan air yang diperkenalkan para peneliti tidak bisa berjalan. Salah satu yang diduga kuat menjadi penyebabnya adalah belum berperannya kelompok tani hutan sebagai katalisator. Proses difusi suatu inovasi membutuhkan suatu sarana atau merujuk pada Roger (2003) membutuhkan saluran agar inovasi tersebut bisa disebarluaskan, kemudian didiskusikan keunggulan dan kelemahannya sebelum diterapkan, dan selanjutnya diambil suatu keputusan mengadopsi atau tidak mengadopsi. Sarana yang dibutuhkan untuk proses difusi inovasi sampai dengan adopsi yang paling tepat bagi masyarakat petani adalah kelompok tani hutan. Kelompok tani hutan Dadi Rejo dan Wonosari I belum berfungsi dengan baik, maka proses adopsi teknologi konservasi tanah dan air yang diperkenalkan peneliti, belum terjadi seperti yang diharapkan. Petani masih menolak membangun teras dan beberapa tanaman kayu dan buah yang ditanam di demplot penelitian sengaja dirusak. Petani dari kelompok tani hutan Dadi Rejo yang lahannya digunakan sebagai dempot penelitian selalu menanyakan kapan kegiatan penelitian berakhir, karena mereka menginginkan tanaman agroforestri yang ditanam peneliti segera dicabut. Beberapa hal yang menjadi penyebab tidak berfungsinya kelompok tani Dadi Rejo dan Wonosari I adalah: 1. Minimnya pendampingan kelompok oleh tim peneliti mengakibatkan kedua kelompok tani hutan tidak mampu meningkatkan kinerja organisasi kelompok tani. Kelompok tani hutan pada akhirnya belum bisa menjadi agen perubah perilaku untuk mendukung pola pengelolaan lahan pertanian yang ramah lingkungan. 2. Selama ini anggota kelompok tani tidak secara aktif memanfaatkan organisasi sebagai sarana sosial untuk saling berkomunikasi, tidak ada pertemuan kelompok dan kegiatan. Hanya merupakan nama yang dibuat pada masa program penghijauan dan Insus diluncurkan.
Pada kondisi ini pertemuan kelompok yang selalu dilakukan peneliti, belum mampu menjadi contoh dan menghidupkan kembali organisasi yang sudah ada. Disfungsi institusi kelompok tani Dadi Rejo dan Wonosari I pada akhirnya mengakibatkan kelompok tidak mampu memberikan fasilitas bagi berjalannya (1) diseminasi atau komunikasi, (2) pembelajaran sosial (social learning), (3) tindakan bersama (collective action) , (4) adaptasi, (5) pemanfaatan modal sosial (social capital) secara efisien (untuk mengurangi biaya transaksi), yang merupakan prasyarat bagi terjadinya proses adopsi konsevasi tanah dan air (Doss, 2006; Cramb,2004). 1. Diseminasi atau Komunikasi Pada saat ini kelompok tani hutan dipercaya sebagai sarana yang paling efektif yang bisa digunakan sebagai sarana penyebaran teknologi konser vasi agar memberikan dampak signifikan. Kelompok dipandang sebagai motor bagi kegiatan penyuluhan berbasis masyarakat (Franzel et al., 2001). Penyuluhan adalah sarana untuk menyampaikan berbagai informasi yang relevan dengan kegiatan pertanian/kehutanan, seperti teknologi pengendalian erosi tanah dan air. Diseminasi atau komunikasi inovasi pengendalian erosi dengan teras dan agroforestri di antara petani peserta dan petani di sekitar demplot penelitian tidak berlangsung. Proses diseminasi di antara anggota tidak dapat berjalan karena selama ini petani belum pernah mengelola kelompok tani hutan sebagai organisasi untuk mengembangkan pengetahuan di bidang pertanian dan kehutanan. Kelompok tani hutan belum dimanfaatkan sebagai sumber informasi dan alat untuk mempromosikan kegiatan, pengetahuan mengenai teknik dan usaha pertanian dan kehutanan, informasi pasar komoditas pertanian dan kehutanan dan sebagainya. Sebagai akibatnya, sebagian besar petani belum bisa merasakan manfaat menjadi anggota kelompok tani hutan. Anjuran peneliti untuk menghidupkan dan memanfaatkan kelompok tani hutan sebagai wahana untuk saling bertemu dan berdiskusi masalah pertanian dan kehutanan belum mampu menggerakkan partisipasi anggota. Teknologi konservasi akan berdampak positif jika disebarkan secara horizontal di antara
Disfungsi Institusi Konservasi dan Dampaknya pada Kegagalan Adopsi Teknologi KonservasiTanah dan Air, ..... (Nana Haryanti)
49
petani sendiri. Farmer-led extension atau penyuluhan dari dan untuk petani, adalah suatu paradigma baru yang mulai dikembangkan sebagai respon atas kegagalan metode penyuluhan tradisional yang dikembangkan yaitu dari pakar teknologi kepada petani (Akinnagbe & Ajayi, 2010; Swanson, 2008). Namun demikian, ketidaksiapan institusi kelompok tani hutan Dadi Rejo dan Wonosari I kemudian menjadi penghambat bagi berjalannya proses diseminasi teknologi konservasi secara luas kepada petani. Metode penyuluhan tradisional sendiri juga gagal diterapkan pada kedua kelompok tani hutan tersebut. Hal ini terbukti dari terjadinya penolakan beberapa anggota petani peserta demplot penelitian untuk terus terlibat pada kegiatan penelitian. Agrawal dan Gibson (1999) dalam makalahnya mengingatkan bahwa konservasi memang lebih sulit diintroduksi kepada suatu masyarakat jika dilakukan oleh orang di luar komunitas. Pada kasus ini peneliti masih dianggap sebagai masyarakat luar sehingga masih sulit untuk mendorong petani mengikuti saran peneliti. Kendala dalam proses diseminasi horizontal pada kelompok tani hutan Dadi Rejo dan Wonosari I dipengaruhi oleh faktor berikut ini: (a) Kelompok belum memiliki agen pelopor yang bisa menjadi motivator bagi petani lain untuk meniru, dan memberikan arahan serta penjelasan manakala petani menghadapi kebimbangan atas putusan untuk mengadopsi teknik konservasi atau tidak. Orang kunci yang dipilih peneliti belum mampu menjadi agen perubahan, karena membentuk seseorang menjadi agen perubah juga membutuhkan ketrampilan khusus dan tidak mudah. (b)Kelompok belum memiliki kegiatan rutin berkaitan dengan pertanian dan kehutanan sehingga diskusi mengenai hal tersebut sangat jarang dilakukan. Rendahnya intensitas diskusi dan komunikasi diantara anggota kelompok tani hutan Dadi Rejo dan Wonosari I salah satu penyebabnya adalah penyebaran lokasi lahan pertanian anggota kelompok (spatial dispersion), sehingga permasalahan usaha tani, apalagi masalah konservasi sangat jarang menjadi perhatian bersama. (c) Spatial dispersion lahan pertanian juga mengakibatkan permasalahan pada setiap lahan berbeda-beda berkaitan dengan perbedaan 50
topografi lahannya. Sebagian petani memiliki lahan pada lokasi dengan kelerengan curam, sementara yang lainnya pada lokasi-lokasi agak datar atau bahkan datar. Karena erosi hanya terjadi pada lahan dengan kelerengan curam, maka tidak semua anggota kelompok tani hutan tertarik untuk berdiskusi dan mencoba memecahkan permasalahan tersebut. Padahal jika tidak dikelola dengan baik, kegiatan pertanian pada lahan miring dapat berdampak negatif seperti longsor. Longsor sangat merugikan petani yang bercocok tanam pada lokasi dibawahnya. Oleh sebab itu kegiatan pertanian pada lahan miring dengan kelerengan curam, jika tidak dilakukan secara hati-hati dapat merugikan siapa saja baik petani yang bertani pada lahan miring sendiri maupun petani dibawahnya yang berlahan datar. (d)Erosi bukanlah isu penting bagi petani. Menurut mereka erosi tanah tidak secara langsung memengaruhi produksi. Hal yang berbeda ketika petani dihadapkan pada permasalahan serangan hama dan penyakit tanaman atau organisme pengganggu tanaman (OPT). Bagi mereka, serangan OPT jauh lebih serius dan tampak nyata dibandingkan erosi tanah. Temuan serupa juga diperoleh pada sejumlah penelitian adopsi teknologi konservasi tanah dan air di sejumlah tempat di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya (Shiferaw et al., 2009). Oleh karena itu, hampir semua petani di lokasi penelitian tidak merasa perlu menempatkan erosi tanah sebagai prioritas utama permasalahan pertanian yang harus didiskusikan. Petani peserta demplot penelitian bahkan langsung memberikan respon negatif manakala tanaman agroforestri, khususnya tanaman kayu, ditanam pada lahan garapannya, karena merasa khawatir akan m e n g g a n g g u p r o d u k t iv i t a s t a n a m a n pertaniannya, khususnya tanaman pangan semusim. Salah satu pertimbangan utama petani adalah resiko kerugian usahataninya karena menanam tanaman kayu yang umumnya baru dapat dipanen ketika berumur di atas 5 tahun. Pada tahapan tersebut, kelompok tani hutan tidak berperan dalam memberikan arahan dan p e r ti m b a n g a n m e n g e n a i keu n t u n g a n agroforestri pada pelestarian sumberdaya lahan. Kondisi ini terjadi karena peneliti belum bisa mengembangkan kelompok tani hutan Dadi
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 44 - 58
Rejo dan Wonosari I menjadi kelompok yang mampu menganalisis masalah (think tank) dan memberikan pemahaman pada petani anggota. 2. Pembelajaran Sosial (Social Learning) Pembelajaran sosial merupakan suatu proses penting dalam upaya pengelolaan sumber daya alam. Pada proses pembelajaran sosial, pengetahuan dan informasi diproduksi dan direproduksi untuk mendapatkan pemahaman bersama mengenai suatu masalah, kemudian pertimbangan-pertimbangan dilakukan sebelum akhirnya sampai pada suatu keputusan untuk melakukan perubahan perilaku (Muro & Jeffery, 2008; Rist et al., 2006). Agar pembelajaran sosial dapat terjadi, perlu adanya suatu institusi yang menjadi payung dan bisa memberikan fasilitas bagi berlangsungnya pembelajaran sosial yaitu kelompok tani hutan. Hal ini karena proses pembelajaran sosial membutuhkan komunikasi dan interaksi sejumlah aktor agar bisa menghasilkan suatu outcome seperti regenerasi ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan yang dibutuhkan petani (Muro & Jeffery, 2008). Interaksi di antara petani bahkan dengan penyuluh dan peneliti akan lebih efektif jika dilakukan melalui kelompok tani, karena diskusi akan berjalan lebih dinamis dan lebih berdampak luas. Pada proses pembelajaran ini kelompok dapat berperan dengan cara memberikan fasilitas berlangsungnya pencarian bersama teknik-teknik pengelolaan sumberdaya alam agar lebih lestari. Kelompok tani hutan Dadi Rejo dan Wonosari I belum dikelola sebagai suatu organisasi yang bisa mengatur suatu kegiatan pembelajaran bagi anggotanya, maka akibatnya pembelajaran sosial tidak berlangsung. Salah satu dampaknya adalah pengetahuan dan informasi penting berkaitan dengan kegiatan pertanian, kehutanan dan konservasi tidak dimiliki anggota. Upaya untuk meningkatkan kemampuan petani melakukan investigasi dan menganalisis permasalahan alam sebagai akibat pengelolaan sumber daya, kemudian belajar dan berinovasi untuk meningkatkan kualitas praktek pengelolaan lahan sesuai kaidah konservasi yang baik tidak berjalan. Pembelajaran sosial pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan petani dalam menganalisis cara mereka dalam melakukan pengelolaan lahan dan melakukan sistem
produksi usaha tani dan kehutanan. Kegagalan Kelompok Dadi Rejo dan Wonosari I memberikan fasilitas bagi berjalannya pembelajaran sosial juga mengakibatkan anggota kelompok termasuk para petani peserta demplot penelitian tidak dapat mengidentifikasi terjadinya erosi yang merupakan suatu masalah yang dapat mengakibatkan penurunan produktivitas lahan. Ketidakpahaman terhadap permasalahan erosi, mengakibatkan petani merasa enggan untuk belajar melakukan percobaan konservasi seperti yang disarankan para peneliti yang terlibat pada kegiatan penelitian konservasi tanah dan air. Banyak petani anggota kelompok juga tidak serta merta bersedia mengadopsi teknologi konservasi tanah dan air yang dianjurkan karena dampaknya pada produktivitas lahan tidak langsung dapat dirasakan oleh petani. Kelompok tani hutan pada dasarnya merupakan syarat bagi berlangsungnya pembelajaran sosial. Kelompok tani yang lemah akan menghambat keinginan petani untuk berupaya mendapatkan pemahaman mengenai suatu fenomena seperti erosi dan pentingnya melakukan konservasi. Rendahnya pemahaman petani akan mencegah petani untuk melakukan adopsi teknik konservasi tanah dan air. 3. Tindakan bersama (Collective action) Kegiatan konservasi dapat berjalan efektif ketika tindakan bersama tumbuh dalam kehidupan masyarakat petani. Tindakan bersama berjalan ketika petani melakukan upaya bersama dalam suatu kelompok berdasarkan kepada kepentingan dan harapan bersama yang muncul. Tindakan bersama diperlukan agar petani mampu membangun aturan dalam pengelolaan sumber daya alam, mengkoordinasikan kegiatan, memonitor ketaatan atau kepatuhan pada aturan yang berlaku dan menjalankan sanksi bagi pelang garnya, serta memobilisasi atau mengerahkan sumber daya, tenaga maupun dana (Knox & Meinzen-Dick, 1999). Knox dan Meinzen-Dick (1999) lebih lanjut menjelaskan bahwa group (kelompok tani hutan) seharusnya bisa mendorong terjadinya tindakan bersama untuk memengaruhi pilihanpilihan petani pada teknologi yang lebih efisien dan bisa digunakan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Bagi kelompok-kelompok tani
Disfungsi Institusi Konservasi dan Dampaknya pada Kegagalan Adopsi Teknologi KonservasiTanah dan Air, ..... (Nana Haryanti)
51
hutan marginal, tindakan bersama bisa dimanfaatkan untuk mendorong adopsi inovasi suatu teknologi dan mengembangkannya serta memodifikasi sesuai dengan kepentingan dan kemampuan kelompok dalam menerapkan teknologi tersebut. Tindakan bersama hanya mungkin terjadi jika didukung oleh organisasi yang matang. Tidak adanya organisasi atau institusi yang menghimpun terjadinya tindakan bersama akan menghambat keberhasilan upaya mendorong proses adopsi koservasi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kegagalan upaya melakukan difusi inovasi konservasi pada kelompok tani hutan Dadi Rejo dan Wonosasri I, juga disebabkan karena institusi kelompok tani hutan belum mampu mendorong berlangsungnya gerakan konservasi pada anggota kelompok. Kegagalan kelompok tani hutan tersebut salah satu penyebabnya adalah minimnya penguatan dan pendampingan dari peneliti. Tidak adanya tindakan bersama untuk konservasi mengakibatkan komitmen anggota menjadi sangat rendah. Anggota kelompok tani hutan Dadi Rejo dan Wonosari I tidak bersedia dengan suka rela meniru teknologi konservasi dengan teras bangku yang miring ke dalam dan menanam pohon pada lahan garapannya. Alasan utama penolakan adalah mahalnya biaya pembuatan dan pemeliharaan teras bangku yang miring ke dalam, meskipun peneliti telah mengajukan alternatif agar pembuatan teras dilakukan secara bertahap atau yang biasa disebut 'teras kredit' agar lebih murah. Kurangnya pemahaman juga mengakibatkan petani cenderung menganggap penerasan lahan akan mengurangi luas bidang olah, sedangkan tanaman buah maupun kayu pada sistem agroforestri menyebabkan penurunan produksi, karena akar tanaman serta daun yang menaungi akan mengganggu pertumbuhan tanaman pokok. Dengan tidak adanya tindakan bersama, aturan atau kaidah dan norma (rules dan norms) konservasi tidak dapat dipaksakan untuk tumbuh dalam kehidupan masyarakat petani. Tidak adanya aturan atau kaidah menyebabkan tidak adanya sanksi bagi yang tidak bersedia menerapkan konservasi. Longgarnya situasi ini menyebabkan disinsentif bagi pengembangan
52
kegiatan konservasi di kedua kelompok tani hutan yang menjadi subyek penelitian. 4. Adaptasi Sangat disadari bahwa penerapan konservasi akan merubah banyak hal, khususnya pada pola kehidupan petani, seperti cara bercocok tanam, biaya (input) yang harus dikeluarkan, dan yang paling penting adalah produksi (output) dari usaha tani dan kehutanan tersebut. Perubahan biaya dan produksi usaha tani tentu saja sangat memengaruhi kehidupan rumah tangga petani, karena konservasi tanah dan air kemungkinan akan berdampak pada penurunan produksi terutama pada tahun-tahun awal. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya adaptasi pada situasi tersebut. Keberhasilan proses adaptasi menurut Agrawal dan Perrin (2008) sangat tergantung pada perencanaan kelembagaan. Agrawal dan Perrin (2008) menekankan bahwa adaptasi tidak akan berjalan pada masyarakat yang tidak memiliki institusi yang bisa mengorganisir anggotanya untuk menyiapkan strategi menghadapi resiko yang mungkin muncul. Pada proses adaptasi institusi diperlukan untuk serangkaian hal, seperti mengorganisir bantuan atau insentif untuk meringankan beban petani. Institusi juga diharapkan keberadaannya untuk bisa memobilisasi aset-aset yang dimiliki anggota untuk mengurangi penderitaan akibat resiko dari teknik konservasi yang diterapkan, terutama bagi petani miskin. Institusi dipercaya mampu menjembatani proses mediasi antara petani dan peneliti atau penyuluh sehingga teknologi konservasi tanah dan air yang harus diterapkan dapat dimodifikasi sesuai kemampuan petani. Jika kelompok tani hutan Dadi Rejo dan Wonosari I dapat mengkoordinasikan anggota untuk menyiapkan strategi mengurangi resiko akibat penerapan teknologi konservasi, maka anggota tidak perlu merasa khawatir bahwa konservasi akan mengguncang stabilitas ekonomi rumah tangga. Namun demikian, karena kelompok tani hutan tersebut belum mampu menghimpun anggota untuk bekerja dan bersama-sama menanggung biaya (cost and risk sharing) yang dikeluarkan untuk membangun bangunan konservasi serta menanggung kerugian akibat penerapan teknologi konservasi
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 44 - 58
tanah dan air, maka petani merasa berat menanggung beban kerugian sendiri. Oleh karena itu, sangat bisa dimengerti bahwa absensi kelompok tani hutan berakibat pada penolakan petani untuk menerapkan konservasi, dengan pertimbangan bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk beradaptasi pada situasi sulit yang kemungkinan muncul akibat penerapan teknologi konservasi tanah dan air tersebut. 5. Pemanfaatan modal sosial (social capital) secara efisien Telah banyak penelitian menyatakan bahwa tingkat adopsi teknologi konservasi tanah dan air akan meningkat saat suatu bentuk yang tepat dari modal sosial seperti kerjasama, kohesi sosial, dan jejaring kerja dikembangkan (Cramb, 2004). Modal sosial didefinisikan sebagai suatu bentuk organisasi sosial yang memfasilitasi berlangsungnya kerjasama dan koordinasi untuk keuntungan anggota dan masyarakat secara keseluruhan (Putnam, 1995). Ketika konservasi tanah dan air diharapkan diterapkan pada lahan suatu kelompok masyarakat, maka diperlukan suatu bentuk koordinasi untuk mengembangkan dan memanfaatkan modal sosial yang dimiliki petani anggota. Hal ini penting agar gerakan ini sukses diterapkan karena konservasi tanah dan air bagi petani hanya bersifat sukarela. Namun, ketika kelompok tani hutan belum mampu mengembangkan modal sosial, seperti kerjasama dan kohesi sosial di antara petani, maka setiap anggota harus menghadapi kesulitannya sendiri tanpa bantuan kelompoknya. Kondisi ini berakibat pada penolakan untuk menerapkan teknologi konservasi tanah dan air. Kerjasama dapat dimanfaatkan untuk mengurangi biaya yang muncul dalam penerapan teknologi konservasi tanah dan air tersebut seperti pembuatan teras yang dilakukan dengan gotong royong secara bergantian pada lahan anggota kelompok. Kuatnya ikatan sosial pada masyarakat desa juga dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah yang dihadapi bersama. Ikatan yang kuat juga penting untuk mengembangkan nilai dan norma konservasi tanah dan air bersama, serta menjaga agar setiap anggota taat atau patuh terhadap komitmen yang dibuat untuk bersamasama menerapkan teknologi konservasi tanah dan air.
Petani kecil seperti anggota kelompok tani hutan Dadi Rejo dan Wonosari I menyatakan mengalami kesulitan menghadapi kendala yang muncul saat penerapan teknologi konservasi tanah dan air, dan mengharapkan mendapatkan bantuan untuk meringankan beban ekonomi. Jika kelompok tani hutan Dadi Rejo dan Wonosari I memiliki jejaring kerja yang luas, maka mereka bisa mencari dukungan dari berbagai lembaga untuk meringankan beban petani. Kelompok tani hutan Dadi Rejo dan Wonosari I belum mampu mengembangkan jejaring kerja sehingga mengakibatkan kemungkinan membangun kemitraan dengan lembaga-lembaga lain baik itu pemerintah maupun pengusaha untuk meringankan beban petani masih sulit dilakukan. C. Peran Pemerintah Daerah Konservasi tanah dan air merupakan suatu sistem pengetahuan yang sangat kompleks untuk dipelajari dan diterapkan terutama bagi petani kecil. Oleh karena itu, agar penerapannya bisa berdampak luas membutuhkan dukungan kebijakan pemerintah (Friedrich et al., 2009). Pemerintah daerah dalam hal ini dinas kehutanan baik di kabupaten Wonogiri maupun kabupaten Temanggung telah membuat berbagai macam kegiatan dan proyek konservasi tanah dan air, namun sejauh ini hasilnya belum memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Tingginya tingkat kegagalan proyek-proyek konservasi tanah dan air, salah satunya disebabkan masa proyek yang pendek dan pada umumnya hanya dirancang selama satu tahun. Pendeknya waktu pelaksanaan proyek ini membawa konsekuensi bahwa setiap proyek yang dirancang pemerintah daerah tidak terpelihara secara lestari, karena akan segera diabaikan oleh petani manakala proyek berhenti. Kelompok tani hutan Dadi Rejo dan Wonosari I merupakan contoh kelompok tani hutan yang belum dapat dilepas untuk mengembangkan aktivitasnya secara mandiri, dan masih banyak kelompok tani hutan lain yang serupa. Sulitnya perluasan adopsi teknologi konservasi tanah dan air juga disebabkan karena konservasi hanya bersifat sukarela (voluntary) pada kedua lokasi penelitian. Kesulitan menjadikan konservasi tanah dan air sebagai suatu peraturan yang mengikat
Disfungsi Institusi Konservasi dan Dampaknya pada Kegagalan Adopsi Teknologi KonservasiTanah dan Air, ..... (Nana Haryanti)
53
(mandatory) adalah karena pemerintah (daerah) tidak dapat memberikan penjelasan terukur tentang manfaat yang bisa diperoleh petani dengan menerapkan teknologi konservasi tanah dan air tersebut, serta kapan manfaat ini bisa dirasakan petani. Studi yang dilakukan Bank Dunia menekankan pentingnya menyampaikan manfaat ekonomi konservasi tanah dan air agar petani bersedia melakukan adopsi (Bergsma, 2000). Oleh karena itu Bergsma (2000) menyarankan penting bagi pemerintah untuk memberikan informasi mengenai analisis ekonomi yang lebih luas, karena petani masih harus menghadapi berbagai kendala lain seperti ketidakpastian pasar. Tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk menerapkan teknologi konservasi tanah dan air serta rendahnya keuntungan ekonomi yang ditawarkan, menjadi alasan bagi sebagian besar petani, termasuk petani subyek penelitian, untuk menolak mengadopsi teknologi konservasi tanah dan air, kecuali ada insentif yang diberikan (Vanclay, 1994). Namun demikian, keterbatasan kemampuan keuangan daerah mengakibatkan insentif tidak selalu bisa diberikan kepada petani. Hal ini juga terkait dengan rendahnya kinerja dan kreativitas pemerintah (daerah) dalam merancang program dan kegiatan yang bisa mendorong perluasan adopsi teknologi konservasi tanah dan air. Petani pada umumnya mengharapkan subsidi diberikan dalam bentuk uang. Tidak demikian halnya dengan yang terjadi di kelompok tani hutan Dadi Rejo dan Wonosari I. Anggota kelompok tani hutan Dadi Rajo dan Wonosari I memberikan beberapa alternatif bantuan yang diinginkan antara lain dapat berupa, (1) informasi pasar. Banyak petani menghadapi kendala pemasaran produknya, terutama ketika petani dianjurkan untuk mengubah komoditas tanaman yang diusahakannya dengan tanaman yang memiliki fungsi konservasi. Jika pemerintah dapat menjamin pemasaran produksi usaha tani hutan yang baru, petani responden menyatakan bersedia mengganti dengan tanaman baru tersebut; (2) kemudahan mendapatkan pupuk bersubsidi. Pupuk terutama bagi anggota kelompok tani hutan Dadi Rejo merupakan masalah yang sulit diatasi. Tidak hanya karena harganya yang mahal namun juga karena seringkali sulit mendapatkannya dipasaran. Kemudahan akses terhadap pupuk bersubsidi menjadi insentif tersendiri bagi petani. Dengan demikian, mereka bisa mengalokasikan aset yang dimiliki untuk kegiatan-kegiatan 54
konservasi lahan; (3) salah satu yang menjadi kendala pemasaran hasil pertanian atau kehutanan adalah tidak tersedianya infrastruktur yang baik seperti jalan dan sarana transportasi. Akibatnya harga jual produk pertanian atau kehutanan di tingkat petani pada lokasi penelitian terutama di desa Pulutan Wetan menjadi rendah. Tidak adanya transportasi desa menyebabkan penjual sulit menjual secara langsung namun harus menunggu pembeli datang. Kondisi ini mengakibatkan petani tidak memiliki posisi tawar yang baik, dan hanya mendapatkan keuntungan yang sedikit. Rendahnya keuntungan akan berdampak pada rendahnya perhatian terhadap kegiatan konservasi lahan. Oleh karena itu sangat penting diutamakan agar pemerintah memberikan perhatian pada perbaikan infrastruktur desa; (4) akses terhadap air. Air mer upakan masalah yang menghambat ekstensifikasi dan diversifikasi dalam pengelolaan lahan dikedua lokasi penelitian. Akibatnya petani tidak memiliki banyak alternatif pilihan tanaman yang ditanamnya. Kondisi ini juga mencegah mereka menanam tanaman konservasi yang disarankan seperti tanaman buah dan tanaman kayu, karena ingin mengoptimalkan lahan untuk pertanian saat musim hujan. Tanaman buah dan kayu hanya akan mengurangi luas bidang olah dan menyebabkan penurunan produksi. Demikian juga dengan teras yang dipandang akan mengurangi luas bidang olah. Namun banyak petani responden berpendapat jika akses terhadap air terutama saat musim kemarau tersedia, petani bersedia menanam tanaman konservasi karena musim kemarau mereka tetap bisa mengusahakan lahannya untuk pertanian sehingga stabilitas ekonomi terjaga. Insentif dari pemerintah bagi petani yang bersedia menerapkan konservasi sangat penting. Menurut Vanclay (1994), hal ini karena beban yang harus disandang akibat penerapan konservasi diletakkan pada petani secara individual. Sedangkan manfaat dari konservasi bersifat sosial, karena dapat dirasakan bahkan oleh masyarakat yang tinggal jauh di hilir suatu daerah aliran sungai. Selain berbagai program insentif, pemerintah daerah juga harus memikirkan disinsentif yang akan diberikan kepada pengelola lahan yang tidak bersedia menerapkan konservasi. Responden mengemukakan disinsentif yang mungkin bisa mendorong petani melakukan konservasi tanah dan air, antara lain adalah; (1) tidak mendapatkan akses terhadap kredit. Pemerintah daerah sering
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 44 - 58
kali merancang berbagai program kredit bagi masyarakat tani hutan. Jika program ini hanya diberikan kepada mereka yang mengkonservasi lahannya, baik dengan teras maupun tanaman kayu, maka petani lain dipastikan akan meniru melakukan konservasi yang sama mekipun dengan motivasi untuk mendapatkan kredit; (2) tidak menjadi prioritas untuk mendapatkan berbagai subsidi. Pemerintah daerah juga perlu memperhatikan memberi prioritas dan kemudahan berbagai subsidi kepada mereka yang secara sadar menerapkan praktek konservasi tanah dan air. Responden menyatakan saat disinsentif seperti tidak mendapatkan subsidi beras untuk masyarakat miskin, pupuk, bibit dan sebagainya diberikan kepada mereka, sementara pelaku konservasi mendapat berbagai kemudahan maka responden menyatakan bersedia menerapkan konservasi. Oleh karena itu perlu diterapkan secara bijaksana insentif dan disinsentif yang harus diberikan oleh pemerintah agar praktek konservasi tanah dan air benar-benar diterapkan masyarakat. Program insentif dan disinsentif tersebut akan bermakna dan berdampak jika dituangkan dalam kebijakan pemerintah. D. Peran Penyuluh Semakin kompleknya permasalahan yang dihadapi masyarakat tani hutan membuat kehadiran penyuluh menjadi sangat diperlukan. Tujuan utama dibentuknya penyuluh sangat berkaitan dengan kegiatan transfer teknologi, pengetahuan dan kemampuan di bidang pengelolaan lahan (Swanson, 2008). Namun dari berbagai penghargaan yang diberikan kepada penyuluh karena keberhasilan mereka mendukung revolusi hijau, keprihatinan muncul karena pengelolaan lahan terutama untuk kegiatan pertanian tidak lagi mengindahkan kaidah konservasi. Tantangan program-program penyuluhan menjadi semakin besar, terutama ketika penyuluh harus menyadari peran dan fungsinya yang berbeda ketika melakukan penyuluhan (polivalen). Oleh karena itu penyuluh perlu diberi keterampilan yang luas, karena melakukan penyuluhan yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian sangat berbeda dengan penyuluhan yang bertujuan untuk mendorong masyarakat melakukan konservasi (Vanclay, 1994). Begitu pentingnya peran penyuluh, beberapa study (Kalineza et al, 1999; Vanclay, 1994)
menyimpulkan bahwa kehadiran penyuluh mampu memengaruhi terjadinya adopsi teknologi kenservasi. Sayangnya pada kedua lokasi penelitian, penyuluh jarang berkunjung pada kelompok tani hutan. Hal ini disebabkan karena luasnya daerah binaan penyuluh sedangkan kedua lokasi penelitian sangat jauh dari pusat pemerintahan. Rendahnya anggaran penyuluhan juga menjadi faktor penghambat tidak semua lokasi binaan penyuluh dapat terjangkau. Responden penelitian menyatakan sangat mengharapkan kehadiran penyuluh, karena penyuluh sangat diharapkan peranannya dalam beberapa hal berikut. (1) Mengajar dan memotivasi petani. Responden menyatakan seringkali bereksperimen dengan beberapa tanaman baru terutama tanaman kehutanan dan tanaman buah. Diakui bahwa ketidakhadiran penyuluh sebagai pendamping sering menjadi penghambat karena banyak pertanyaan dan kekhawatiran muncul yang tidak bisa dijawab terutama mengenai manfaat tanaman tersebut secara ekonomi. Pada kondisi ini diharapkan penyuluh mampu berperan mendorong petani melakukan percobaan pada skala kecil. Dengan demikian bisa mengurangi resiko kegagalan serta memberi kesempatan kepada petani untuk mengembangkannya dan menyesuaikan dengan kemampuan masingmasing. (2) Memberi arahan teknologi yang paling tepat diterapkan. Penyuluh diharapkan memahami komunitas masyarakat yang dibinanya berikut keadaan lingkungan yang ada. Dengan demikian diharapkan bisa membantu memberi informasi yang akurat mengenai pilihan teknologi konservasi yang paling tepat diterapkan pada wilayah binaannya. (3) Mendorong para pemimpin desa untuk mulai secara mandiri mencari dan mengembangkan pengetahuan mengenai kegiatan pengelolaan lahan yang sesuai kaidah konservasi serta melakukan transfer teknologi kepada masyarakatnya. Jika penyuluh mampu melakukan hal ini, maka pendekatan baru pada bidang penyuluhan pedesaan yang dianggap efektif mendukung prog ram-prog ram pemerintah terutama konservasi yaitu farmer-led extension akan cepat terlaksana. Dorongan penyuluh kepada para pemimpin desa sangat penting pada kedua lokasi penelitian, karena masyarakat disini masih sangat patuh kepada
Disfungsi Institusi Konservasi dan Dampaknya pada Kegagalan Adopsi Teknologi KonservasiTanah dan Air, ..... (Nana Haryanti)
55
pemimpinnya. Kondisi seperti ini akan memberikan keuntungan bagi keberhasilan kegiatan konservasi. Demikian pentingnya peran penyuluh, maka ketidakhadirannya akan mengurangi kemampuan masyarakat baik secara individual maupun berkelompok untuk menghadapi tekanan atau stres, kesulitan, serta pada akhirnya tidak mampu beradaptasi dengan perubahan (Hunt, 2011). Penyuluh merupakan garda terdepan dari upaya transfer teknologi konservasi, penyuluh diharapkan memiliki kemampuan keorganisasian, pemahaman kondisi geografi setempat, pengetahuan mengenai bisnis sehari-hari dari masyarakat desa, serta selalu siap jika ada program pembangunan yang harus dilaksanakan dengan segera. Dengan demikian pada kelompok masyarakat yang didampingi penyuluh, aliran informasi akan berjalan efektif dan program-program pembangunan termasuk konservasi akan berjalan dengan lebih baik. IV. KESIMPULAN DAN SARAN
mendapat dukungan penuh dari masyarakat desa. 2. Pemerintah juga perlu membuat kebijakan mengenai insentif yang akan diberikan kepada petani yang dengan sadar menerapkan konservasi pada lahannya. Hal ini ditujukan untuk memberikan kompensasi atas beban hidup dan biaya yang dikeluarkan akibat penerapan teknologi konservasi tanah dan air tersebut. Kebijakan disinsentif juga sebaiknya diberikan kepada mereka yang tidak menerapkan konservasi, untuk memberikan motivasi kepada petani agar meniru pelaku konservasi. 3. Penyuluhan kehutanan harus terus digiatkan, karena ketidakhadiran penyuluh mengakibatkan penurunan norma dan nilai konservasi di masyarakat desa. Penyuluh sebagai garda terdepan dalam perluasan konservasi harus diberi keterampilan yang luas mengenai berbagai hal misalnya informasi pasar m e n g e n a i t a n a m a n ko n s e r va s i y a n g dikenalkannya.
A. Kesimpulan Institusi memegang peranan penting dalam proses perluasan adopsi teknik konservasi, sehingga keberadaan institusi menentukan diadopsinya suatu teknologi. Institusi terbukti sangat produktif untuk digunakan sebagai sarana diseminasi teknologi. Pada masyarakat yang memiliki disfungsi institusi proses adopsi teknik konservasi tanah dan air menjadi terkendala. Hal ini karena institusi yang ada tidak bisa menjadi sumber informasi mengenai pentingnya melakukan konservasi tanah dan air pada lahan pertaniannya, serta tidak mampu memberikan perlindungan kepada petani pada saat petani mengalami kesulitan akibat penerapan teknik konservasi tersebut. Disfungsi institusi juga mengakibatkan petani tidak bisa memanfaatkan secara efisien sumber daya yang dimilikinya baik secara individu maupun berkelompok seperti pengetahuan, ketrampilan, jejaring kerja, infrastruktur, sifat kegotongroyongan masyarakat, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
B. Saran
Bromley, D. 2008. Resource Degradation in the African commons: accounting for institutional decay. Environment and Development Economics,13, 539-563.
1. Perlu dipikirkan berbagai upaya untuk meningkatkan kemampuan lembaga-lembaga masyarakat yang ada agar kegiatan konservasi 56
Agrawal, A & Gibson, C.C. (1999). Enchantment and disenchantment : the role of community in natural resource conservation. World Development, 27(4), 629-649. Agrawal, A. & Perrin, N. (2008). Climate adaptation, local Institutions, and rural livelihoods. IFRI Working Paper # W08I-6. International Forestry Resources and Institutions Program. http://www.umich.edu/~ifri/. Diakses: 25/03/2013. Akinnagbe, O.M. & Ajayi, A.R. (2010). Challenges of farmer-led extension approaches in Nigeria. World Journal of Agricultural Sciences, 6(4), 353-359. Bergsma, E. (2000). Incentives of land users in projects of soil and water conservation, the weight of intangibles. Geo Journal, 50, 47-54.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 44 - 58
Cramb, R.A. (2004). Social capital and soil conservation: evidence from the Philippine. Contributed Paper 48th Annual Conference Australian Agricultural & Resource Economics Society. Melbourne, 10-13 February 2004. Doss, C.R. (2006). Analyzing technology adoption using micro studies: limitation, challenges, and opportunities for improvement. Agricultural Economics, 34, 207-219. Franzel, S., Cooper, P. & Denning, G. L. (2001). Scaling up the benefits of agroforestry research: Lessons learned and research challenges. Development in Practice, 11(4), 524534. Friedrich, T., Kassam, A. & Taher, F. (2009). Adoption of conservation agriculture and the role of policy and institutional support. Invited paper for the International Consultation on “No-Till with Soil Cover and Crop Rotation: A Basis for Policy Support to Conservation Agriculture for Sustainable Production Intensification”. Astana & Shortandy, Kazakhstan. 8-10 July 2009. Kalineza, H.M.M., Mdoe, N.S.Y. & Mlozi, M.R.S. (1999). Factors influencing adoption of soil conservation technologies in Tanzania: a case study in Gairo. Preceedings of FoA, 4, 76-83 Hunt, W., Vanclay, F., Birch, C., Coutts, J., Flittner, N. & Williams, B. (2011). Agricultural extension: building capacity and resilience in rural industries and communities. Rural Society, 20(2), 112-127. Knox, A & Meinzen- Dick, R. (1999). Property rights, collective action, and technologies for natural resource management. CGiAR Systemwide Program on Collective Action and Property Rights. Policy Brief, Number 1 ~ October 1999. Lee, D.R. (2005). Agricultural sustainability and technology adoption: issues and policies for developing countries. American Journal of Agricultural Economic, 87(5),1325-1334. Matsaert, H. (2002). Institutional analysis in natural resources research. Socio-economic Methodologies for Natural Resources Research. Best Practice Guidelines.
Chatham, UK: Natural Resources Institute. ISBN 0 85954 496-6. McKell, D. & Peiretti, R.A. (2004). Promoting soil conservation and conservation agriculture through farmer associations. Paper presented at the ISCO 2004 - 13th International Soil Conservation Organisation Conference. Brisbane, July 2004. Conserving Soil and Water for Society: Sharing Solutions. Muro, M & Jeffery, P. (2008). A critical review of the theory and application of social learning in participatory natural resource manag ement processes. Jour nal of Environmental Planning and Management, 51(3), 325-344. Nuryanti, S & Swastika, D.K.S. (2011). Peran kelompok tani dalam penerapan teknologi pertanian. Forum Penelitian Agro Economi, 29(2), 115-128. Pannell, D.J., Marshall, G.R., Barr, N., Curtis, A., Vanclay, F. & Wilkinson, R. (2006). Understanding and promoting adoption of conservation practices by rural landholders. Australian Journal of Experimental Agriculture, 46(11), 1407-1424. Putnam, R. (1995). Bowling alone: Americas declining social capital. Journal of Democracy, 6(1), 65-78. Rist, S., Chidambaranathan, M., Escobar, C. & Wiesmann, U. (2006). 'It was hard to come to mutual understanding...' the multidimensionality of social learning processes concerned with sustainable natural resources use in India, Africa and Latin America. Systemic Practice and Action Research, 19(3), 219-237. Robbins, M., & Williams, T. O. (2005). Land management and its benefits: The challenge, and the rationale, for sustainable management of drylands. A paper presented at a STAP Workshop on Sustainable Land Management. Washington DC. Rogers, E. (2003). Diffusion of innovations (5th ed.). New York : The Free Press. Shiferaw, B.A., Okello, J. & Reddy, R.V. (2009). Adoption and adaptation of natural
Disfungsi Institusi Konservasi dan Dampaknya pada Kegagalan Adopsi Teknologi KonservasiTanah dan Air, ..... (Nana Haryanti)
57
resource management innovations in smallholder agriculture: reflections on key lessons and best practices. Environ Dev Sustain, 11, 601-619. Swanson, B.E. (2008). Global Review of Good Agricultural Extension and Advisory Service Practices. Research and Extension Division Natural Resources Management and Environment Departmentand Policy
58
Assistance and Resources Mobilization D i v i s i o n Te c h n i c a l C o o p e r a t i o n Department. Rome : FAO. Vanclay, F. & Lawrence, G. (1994). Farmer rationality and the adoptionof environmentally sound practices; A critique of the assumptions of traditional agricultural extension. European Journal of Agricultural Education and Extension, 1(1), 59-90.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 44 - 58
KARAKTERISTIK MASYARAKAT SUB DAS PENGKOL DALAM KAITANNYA DENGAN PENGELOLAAN DAS (Studi Kasus di Sub DAS Pengkol, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah) (Characteristics of Society Pengkol Sub-Watershed in Relation with Watershed Management (Case study in Pengkol Sub-Watershed, Wonogiri Regency, Central Java)) 1
Nur Ainun Jariyah 1 Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959 E-mail:
[email protected] Diterima 8 Juli 2013, direvisi 3 Februari 2014, disetujui 21 Februari 2014 ABSTRACT
Pengkol Sub-watershed is part of the Keduang watershed, where is one of the sub-watersheds that contribute to erosion and sedimentation in the Gadjah Mungkur reservoir. Base on the problems that exist in the upstream, the aims of study to investigate the characteristics of upstream social culture of the community in relation to watershed management. The research was conducted in the Pengkol sub-watershed in Wonogiri district, represented by the area upstream, midstream and downstream. This activity is a qualitative research. Data taken include primary data and secondary data. The parameters are taken the identity of respondents, population density, culture, land and institutional dependency. Data is collected by conducting interviews with questionnaire and indepth interviews with key person. Random selection of respondents drawn proportionately adjusted for the purpose of research. Data analysis was done by descriptive qualitative. The conclusion of this study were (1) Characteristics of upstream communities are generally farmers with age is still productive. Farmers are aware of the benefits and impacts of not implement soil conservation, (2) In general, farmers have more than one of field land and planted crops intercropping, medicinal spices and woody plants, (3) family income the three villages is above in Living Needs, (4) Need for better coaching and structured to build communities upstream with community, (5) It needs a reward for people who have practiced soil conservation activities in upstream. Keywords: Characters of farmers, watershed management, Pengkol Sub-watershed, conservation ABSTRAK
Sub DAS Pengkol merupakan bagian dari DAS Keduang, yang merupakan salah satu sub DAS penyumbang erosi dan sedimentasi di Waduk Gadjah Mungkur. Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang ada di daerah hulu, maka kajian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik sosial budaya masyarakat hulu dalam kaitannya dengan pengelolaan DAS. Penelitian ini dilakukan di wilayah Sub DAS Pengkol di Kabupaten Wonogiri, diwakili oleh wilayah hulu, tengah dan hilir. Data yang diambil meliputi data primer dan data sekunder dengan parameter identitas responden, kepadatan penduduk, budaya, ketergantungan lahan dan kelembagaan. Pengambilan data menggunakan teknik wawancara dengan panduan kuesioner dan wawancara mendalam kepada tokoh kunci. Pemilihan responden dilakukan secara acak proporsional sesuai tujuan penelitian, dan analisis data menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Karakteristik masyarakat hulu pada umumnya adalah petani dengan umur masih produktif. Petani sudah paham akan manfaat dan dampak konservasi tanah apabila tidak dilakukan, (2) Pada umumnya petani mempunyai lahan lebih dari satu bidang dan ditanami tanaman tumpangsari, empon-empon dan tanaman berkayu, (3) Pendapatan keluarga ketiga desa lebih besar dari Kebutuhan Hidup Layak, (4) Perlu adanya pembinaan yang lebih baik dan terstruktur untuk membangun daerah hulu bersama masyarakat, (5) Perlu adanya reward untuk masyarakat hulu yang telah melakukan kegiatan konservasi tanah. Kata kunci: Karakter petani, managemen DAS, Sub DAS Pengkol, konservasi
Karakteristik Masyarakat Sub DAS Pengkol dalam Kaitannya dengan Pengelolaan DAS ..... (Nur Ainun Jariyah)
59
I. PENDAHULUAN Sub DAS Pengkol merupakan bagian dari DAS Keduang, yang merupakan salah satu sub DAS penyumbang terbesar erosi dan sedimentasi di Waduk Gadjah Mungkur. Sedimentasi menyebabkan pendangkalan di Waduk Gadjah Mungkur, dimana waduk tersebut berfungsi sebagai penampung air dari hulu, dan pengendali banjir Sungai Bengawan Solo. Perkembangan terakhir diperkirakan umur pakai Waduk Gadjah Mungkur tinggal 10-15 tahun lagi, menurut perencanaan umur pakainya adalah 100 tahun (http://epriant. blogspot.com). Pendangkalan tersebut dikhawatirkan tidak akan mampu menampung air di Sungai Bengawan Solo. Erosi dan sedimentasi tersebut dimungkinkan karena adanya perubahan fungsi lahan sehingga dapat mengganggu kehidupan masyarakat. Ada tiga hal utama yang dapat menyebabkan Daerah Aliran Sungai di Indonesia terdegradasi. Penyebab utama adalah akibat aktifitas manusia yang meliputi penebangan hutan yang dilakukan secara illegal, kebakaran hutan, perambahan hutan, eksploitasi hutan dan lahan yang berlebihan dan pemanfaatan lahan yang tidak menerapkan konservasi tanah dan air (http://www.scbfwm.org). Sheng (1986) dalam Paimin dkk (2006) menyatakan bahwa permasalahan DAS tumbuh seiring dengan pertambahan penduduk dan waktu. DAS sangat dipengaruhi oleh bagian hulu, kondisi biofisik daerah tangkapan dan daerah resapan air. Pada umumnya kondisi di daerah hulu rawan terhadap gangguan manusia (www.bappenas.go.id). Menurut Atmojo (2009) pengelolaan DAS bagian hulu sering menjadi fokus perhatian, mengingat kawasan DAS bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi, sehingga kesalahan penggunaan lahan daerah hulu akan berdampak pada masyarakat di daerah hilir. Pola usaha tani hulu DAS sebagian besar dilakukan oleh petani lahan kering yang tidak terlepas dari keterbatasan kondisi sosial ekonomi, sumber daya, dan kemampuan/keterampilan, sehingga tidak mampu melakukan pengolahan lahan sesuai daya dukung lahan, serta tidak menerapkan teknik konservasi tanah dan air dengan baik ( http://www.scbfwm.org ). Melihat hal tersebut jelas bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat khususnya daerah hulu sangat berpengaruh terhadap kondisi DAS. Semakin 60
intensif pengelolaan lahan daerah hulu akan mempengaruhi kondisi daerah hilir. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik sosial budaya masyarakat hulu dalam kaitannya dengan pengelolaan DAS. Diharapkan dari kajian ini dapat memberikan bahan masukan pemegang kebijakan untuk mengatur daerah hulu. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah Sub DAS Pengkol di Kabupaten Wonogiri. Untuk memperoleh gambaran yang jelas dalam menjawab tujuan, setiap lokasi penelitian dibedakan menjadi hulu, tengah dan hilir. Lokasi penelitian tersebut dilakukan di Desa Setren, Kecamatan Slogohimo mewakili hulu, wilayah tengah diwakili oleh Desa Karang, Kecamatan Slogohimo dan wilayah hilir diwakili oleh Desa Sugihan, Kecamatan Jatiroto. Sub DAS Pengkol mempunyai luas 3.057,59 ha, dan merupakan bagian dari Sub DAS Keduang. Lokasi penelitian sub DAS Pengkol dapat dilihat pada Gambar 1. B. Pengumpulan Data Data penelitian meliputi data primer dan data sekunder. Sebagai parameter penelitian adalah identitas responden, kepadatan penduduk, budaya, ketergantungan terhadap lahan dan kelembagaan. Pengambilan data dilakukan menggunakan metode wawancara dengan panduan kuesioner dan wawancara mendalam kepada tokoh kunci. Responden penelitian adalah petani pemilik lahan tegal, dipilih secara acak proporsional sesuai tujuan penelitian, yaitu sebanyak 30 orang di masing-masing wilayah hulu, tengah dan hilir, sehingga jumlah responden adalah 90 orang. Pengumpulan data sekunder dilakukan di instansi terkait seperti Balai Sungai, Kementrian Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan, Kesbanglinmas, dan BPS. C. Analisis Data Analisis data dilakukan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Deskriptif kualitatif adalah mengolah dan menganalisis data-data yang terkumpul menjadi data yang sistematik, teratur, terstruktur dan mempunyai makna (Sarwono, 2006).
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 59 - 69
Gambar 1. Lokasi Penelitian di Sub Das Pengkol Figure 1. Research Sites in Sub-Watershed Pengkol
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Sub DAS Pengkol terletak pada garis lintang 7 32'-8015' LS dan garis bujur 110041'-111018' BT dengan luas 3.057,59 Ha. Sub DAS Pengkol secara administratif masuk di Kabupaten Wonogiri. Kabupaten Wonogiri terbagi menjadi 25 kecamatan dengan luas wilayah 182.236,0236 Ha. Keadaan alamnya sebagian besar terdiri dari pegunungan yang berbatu gamping, terutama di bagian selatan, termasuk jajaran Pegunungan Seribu yang merupakan sumber mata air bagi Sungai Bengawan Solo. Berdasarkan data tahun 2006-2010 jumlah penduduk Kabupaten Wonogiri rata-rata berjumlah 1.200.500 jiwa terdiri laki-laki 602.314 jiwa dan perempuan 598.186 jiwa dengan kepadatan penduduk adalah 659,76 jiwa/km2, pertumbuhan penduduk sebesar 2,67%. PDRB tahun 2001-2010 berdasarkan harga berlaku adalah Rp 3.490.426,14 juta didominasi oleh sektor pertanian 51%, jasa 13%, perdagangan, hotel dan resto 12%. PDRB berdasarkan harga konstan adalah Rp. 1.901.402 juta. 0
Berdasarkan data tahun 2008 rata-rata produksi sawah mengalami kenaikan dari 53,90 kw/ha menjadi 56,09 kw/ha dan padi gogo dari 31,20 kw/ha menjadi 32,89 kw/ha. Untuk palawija rata-rata produksi masing-masing komoditi mengalami penurunan. Ketersediaan pangan untuk padi dan jagung surplus masing-masing sebesar 58.484 ton padi dan 232.985 ton jagung. Kondisi penutupan lahan sub DAS Pengkol didominasi oleh sawah 29,30%, tegal 27,80% dan pemukiman 25,86%. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 1. Contoh kasus di Desa Kembang, Kecamatan Jatipurno, menurut petani pada saat musim hujan, tanah selalu mengalami erosi yang tinggi, sehingga banyak sedimen yang terlarut dalam sungai dan bermuara di Sub DAS Keduang. Desa Kembang merupakan salah satu penyumbang sedimen terbesar di Sub DAS Keduang. Oleh karena itu, desa tersebut dijadikan proyek penghijauan oleh PT Bakti Usaha Menanam Nusantara Hijau Lestari II (PT BUMN HL II). PT BUMN HL II tersebut merupakan anak perusahaan BUMN di bidang agroindustri yang dimodali secara konsorsium oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX, PTPN X,
Karakteristik Masyarakat Sub DAS Pengkol dalam Kaitannya dengan Pengelolaan DAS ..... (Nur Ainun Jariyah)
61
PTPN XI, PTPN XII, Perum Perhutani, PT Petrokimia Gresik, PT Rajawali Indonesia, dan Perum Jasa Tirta I. Perusahaan patungan tersebut bergerak dalam agrobisnis dan agroindustri berbasis pelestarian lingkungan. Kondisi lahan dengan kelerengan yang curam menyebabkan tanah mudah tererosi, sehingga proyek penghijauan ini diharapkan dapat menanggulangi erosi yang tinggi di Desa Kembang. Jenis tanaman penghijauan ini adalah tanaman
karet, sengon salomon dan jabon. Sementara itu tanaman dibawah tegakannya adalah kunyit, serai wangi dan tanaman palawija. Petani diberi kebebasan memilih jenis tanaman keras maupun tanaman di bawah tegakan yang akan ditanam. Pupuk, HOK dan bibit berasal dari PT BUMN HL II, dengan sharing 60% untuk petani dan 40 % untuk PT BUMN HL II. Selain Desa Kembang, desa lain yang menjadi sasaran adalah Desa Girimulyo dan Desa Balepanjang, Kecamatan Jatipurno.
Tabel 1. Penutupan Lahan di Sub DAS Pengkol Table 1. Land Cover in Pengkol Sub-Watershed Penutupan lahan (land cover)
Luas (broad) Ha
Hutan (forest) Kebun (garden) Semak (shrubbery) Lapangan (field) Sawah (rice field) Air tawar (freshwater) Tegal (dry fields) Pemukiman (settlement) Jumlah (amount)
%
1441,954 270,066 108,589 0,171 895,815 0,353 850,044 790,634 3057,586
4,64 8,83 3,55 0,01 29,30 0,01 27,80 25,86 100,00
Sumber (Source): Analisis data primer 2010 (Primary analysis 2010)
B. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya
1. Karakteristik Responden Responden di Sub DAS Pengkol di ketiga desa rata-rata dalam usia produktif yaitu 44 tahun sampai dengan 52 tahun; dengan pekerjaan tetap didominasi pertanian dan pekerjaan sampingan adalah pertanian, perdagangan dan pertukangan;
pendidikan rata-rata SD dan SMP, dengan tanggungan keluarga rata-rata empat orang. Responden yang diwawancarai adalah dari masyarakat biasa, pamong desa dan ketua kelompok tani. Setiap responden minimal mempunyai lahan milik tegal. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2. Karakteristik Responden di Sub DAS Pengkol (Umur, Pekerjaan Tetap dan Pekerjaan Sampingan) Table 2. Characteristics of Respondents in Pengkol Sub-Watershed (Age, Permanent Jobs and Secondary Job) No Desa (village) (No) Kecamatan (sub district)
DAS Keduang (watershed keduang)
1 Setren, Slogohimo Hulu
Pekerjaan Sampingan (secondary job) Pekerjaan Tetap (permanent job) Umur Rerata (Th) Tani Buruh PNS Dagang Tukang Lainnya Tani Buruh Dagang Swsta Tukang Lainnya (mean age) (farmer) (labor) (civil (trade) (handyman)) (0ther) (farmer) (labor) (trade) (private (handyman)) (0ther) (year) servant) sector) 44 89% 0% 6% 6% 0% 0% 22% 0% 0% 0% 17% 0%
2 Karang, Slogohimo Tengah
50
75%
6%
6%
6%
6%
0%
31%
0%
25%
0%
6%
38%
3 Sugihan, Jatiroto
52
67%
0%
6%
11%
0%
6%
11%
11%
11%
6%
0%
22%
Hilir
Sumber (Source): Analisis Data Primer 2010 (Primary data analysis 2010)
62
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 59 - 69
Tabel 3. Karakteristik Responden (Pendidikan, Tanggungan Keluarga, Status dalam Masyarakat) Table 3. Respondent characteristics (Education, Family Dependents, Status in Society) DAS Pendidikan (education) Keduang TS SD TT SD SMP (watershed (no (primary (not complete (junior high keduang) school) school) primary school) school) 1 Setren, Slogohimo Hulu 0% 50% 11% 22%
Tanggungan Status dalam masyarakat (status in society) SMA D3/PT Keluarga Biasa Pamong RT/RW/Kadus Ketua Klpk Tani Lainnya (Chairman of (others) (high (college) (org/KK) (ordinary) (pamong) (RT/RW/ ( family dependent ) Kadus) Farmers Group) school) 11%
6%
4,3%
22%
11%
50%
11%
11%
2 Karang, Slogohimo Tengah
13%
19%
13%
31%
19%
6%
4,5%
56%
6%
19%
13%
6%
3 Sugihan, Jatiroto
0%
61%
6%
22%
0%
6%
4,3%
33%
6%
17%
22%
17%
No Desa (village) (No) Kecamatan (sub district)
Hilir
Sumber (Source): Analisis Data Primer 2010 (Primary data analysis 2010)
Berdasarkan Tabel 2 terlihat pekerjaan tetap dan pekerjaan sampingan masyarakat baik di daerah hulu sampai hilir adalah petani. Pada Tabel 1, dijelaskan pula bahwa penutupan lahan di DAS Pengkol didominasi sawah dan tegal. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi eksploitasi lahan, baik di daerah hulu maupun daerah hilir dari Sub DAS Keduang. Eksploitasi lahan yang berlebihan inilah yang dapat menimbulkan erosi dan sedimentasi di Waduk Gadjah Mungkur, sehingga diperlukan pengalihan pekerjaan diluar lahan pertanian. Berdasarkan Tabel 3, terlihat pendidikan ratarata dari responden adalah berpendidikan SD sampai SMP, meskipun ada beberapa yang berpendidikan SMA dan perguruan tinggi. Pendidikan responden rata-rata rendah, yang tentu saja ini akan sangat mempengaruhi dalam berpikir, begitu juga dalam menerima hal-hal baru (Tribun News, 2011). Pendidikan yang rendah ini bisa disebabkan karena tingkat kesadaran masyarakat untuk bersekolah masih rendah atau kurangnya biaya untuk bersekolah.
1. Kepemilikan Lahan Petani di Sub DAS Pengkol rata-rata memiliki lahan lebih dari satu bidang lahan. Minimal petani memiliki lahan tegal dan pekarangan. Rata-rata petani secara keseluruhan baik itu lahan tegal, sawah, pekarangan, dan lahan hutan mempunyai luas 0,33 Ha. Kepemilikan lahan mereka rata-rata sempit, apalagi rata-rata petani mempunyai tanggungan keluarga 4 orang. Tanaman yang dibudidayakan adalah tanaman yang nilai ekonominya masih rendah, seperti jagung, ketela pohon, empon-empon dan lain sebagainya. Hasil panen hanya untuk memenuhi kebutuhan primer rumah tangga seperti makan, dan hanya sedikit panen yang dapat dijual. Secara lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 4. 2. Sosial, Budaya, Nilai Tradisional dan Kelembagaan Kondisi sosial budaya, nilai tradisional dan kelembagaan di Sub DAS Pengkol secara jelas dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 4. Rata-rata Kepemilikan Lahan setiap Kepala Keluarga petani di Sub DAS Pengkol Table 4. Land Tenure Average of each head of family farmer in Pengkol Sub-Watershed No (No) 1 2 3
Desa (village), Kecamatan (sub district) Desa Setren, Kec Slogohimo Desa Karang, Kec Slogohimo Desa Sugihan, Kec Jatiroto Rata-rata (average)
Tegal (dry land)
0,42
Jenis Lahan (types of land) (Ha) Hutan Sawah Pekarangan (paddy field) (forest) (grounds) 0,30 0,36 0,40
Rata-rata (average) 0,35
0,37
-
0,23
0,46
0,37
0,40
-
0,26
0,18
0,28
0,39
0,10
0,28
0,35
0,33
Sumber (Source): Analisis data primer 2010 (Primary data analysis 2010)
Karakteristik Masyarakat Sub DAS Pengkol dalam Kaitannya dengan Pengelolaan DAS ..... (Nur Ainun Jariyah)
63
Tabel 5. Kondisi Sosial Budaya, Nilai Tradisional dan Kelembagaan di Sub DAS Pengkol Table 5. Socio-Cultural, Traditional Values and Institutions in Pengkol Sub-Watershed
64
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 59 - 69
Tabel 5. Lamjutan Table 5. Continued
Sumber (Source): Analisis Data Primer 2010 (Primary data analysis 2010)
Berdasarkan Tabel 5, pemahaman petani akan konservasi tanah dan air pada umumnya sudah baik. Menurut petani, manfaat konservasi tanah dan air adalah sebagai berikut : (1) dapat mengurangi erosi dan sedimentasi, (2) menjaga kelestarian alam, (3) dapat memelihara tanah, (4) menjaga kesuburan dan keawetan tanah, (5) mencegah sedimentasi yang berlebihan dari waduk Gajah Mungkur, (6) dapat menyimpan air, (7) meningkatkan hasil produksi pertanian. Sementara itu ada juga petani yang tidak tahu manfaat konservasi tanah dan air. Dilihat dari prosentase yang paham dan yang tidak paham akan masalah konservasi tanah dan air, kurang lebih 83%-88% petani paham dan hanya sebagian kecil saja yang tidak paham. Hal ini dikarenakan petani tersebut tidak aktif mengikuti pertemuan rutin di desanya atau petani tersebut tidak pernah memperbarui informasi tentang pertanian. Di ketiga
desa tersebut sudah dilakukan kegiatan pertemuan setiap bulan untuk memberi penyuluhan oleh penyuluh dan ketua kelompok tani. Materi penyuluhan yang disampaikan meliputi: (1) cara mengolah dan memelihara lahan agar tanah tidak banyak terbawa air (erosi), (2) cara membuat teras, (3) cara mengelola dan memanfaatkan lahan secara baik, (4) cara mengendalikan erosi dan sedimentasi dengan sipil teknis dan vegetative, membuat saluran air dan sengkedan, (5) penanaman tanaman keras, (6) pembuatan SPA, tampingan teras ditanami rumput, (7) pentingnya pupuk organik, (8) mengoptimalkan lahan dengan ditanami tanaman keras dan buah-buahan, (9) macammacam teknik konservasi, (10) penanggulangan hama dan penyakit, (11) pembuatan teras dan biopori untuk menahan laju erosi dan penyelamatan air, (12) penanaman rumput gajah, (13) cara membuat pupuk.
Karakteristik Masyarakat Sub DAS Pengkol dalam Kaitannya dengan Pengelolaan DAS ..... (Nur Ainun Jariyah)
65
Kondisi air minum di ketiga desa tersebut dalam keadaan baik, ini dilihat dari kelestarian pasokan air sepanjang tahun dan kondisi air yang jernih, sehingga kebutuhan air bersih di DAS Pengkol masih terpenuhi. Pada umumnya sumber air minum tersebut berasal dari sumur dan mata air. Di Desa Setren (hulu) dan Desa Karang (tengah) sumber air minum berasal dari sumber mata air sedangkan Desa Sugihan (hilir) berasal dari sumur.
diperoleh dari usaha tani dan luar usaha tani. Pendapatan dari usaha tani paling tinggi adalah Desa Sugihan, sedangkan pendapatan secara keseluruhan (mempertimbangkan pendapatan dari luar usaha tani) adalah Desa Karang. Pendapatan ini sudah dapat untuk memenuhi kebutuhan hidup layak petani, dimana Kebutuhan Hidup Layak Kabupaten Wonogiri adalah Rp. 772.931,00/ bulan/KK (BPS,2010). Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, petani rata-rata mempunyai pekerjaan sampingan seperti buruh, tukang, pedagang dan lain-lain. Secara lebih jelas dapat di lihat pada Tabel 6.
3. Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga di ketiga desa di Sub DAS Pengkol pada umumnya hampir sama yaitu
Tabel 6. Rata-rata Pendapatan Keluarga di Sub DAS Pengkol Table 6. Average Family Income in Sub-Watershed Pengkol No
Desa (village), Kecamatan (sub district), Kabupaten (regency)
Rata-rata Pendapatan (average income) Luar Usaha tani Usaha Tani Total (farming) (non (amount) farming)
1
Setren, Slogohimo, Wonogiri
30.886.401
8.935.067
2
Karang, Slogohimo, Wonogiri
27.211.308
3
Sugihan, Jatiroto, Wonogiri
39.820.810
Rata-rata Pengeluaran (average expenditure)
Pendapatan Dari UT (farm income)
Pendapatan bersih/ tahun (net income/year)
Pendapatan bersih/bulan (net income/ month)
Usaha tani (farming)
Rumah tangga (household)
Total (amount)
39.821.467
9.031.191
10.448.563
19.479.754
21.855.210
20.341.714
1.695.143
13.666.667
40.877.239
10.373.167
10.373.167
18.765.405
18.819.069
22.112.569
1.842.714
8.981.667
48.802.477
16.482.877
11.200.075
27.682.952
23.337.933
21.119.525
1.759.960
Sumber (Source): Analisis Data Primer 2010 (Primary data analysis 2010)
Pendapatan dari usaha tani diperoleh dari lahan tegal, sawah, hutan dan pekarangan. Pada lahan tegal didominasi tanaman padi, jagung dan ketela pohon. Padi dan jagung ditanam dua kali musim tanam, setelah itu lahan diberokan. Ketela pohon di Sub DAS Pengkol baru bisa dipanen setelah berumur dua tahun. Pada umumnya ketela pohon sudah dapat dipanen pada saat tanaman sudah berumur 9 (sembilan) bulan. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi tanah sudah menur un kesuburannya. Sawah tadah hujan ditanam dua kali musim tanam dan sawah irigasi ditanam tiga kali musim tanam. Di lahan pekarangan biasanya ditanami tanaman kayu-kayuan seperti jati, mahoni, bambu dan tanaman buah seperti mangga, pisang, mlinjo dan lainnya. Petani juga sudah memanfaatkan
66
galengan dengan ditanami tanaman kacang panjang. Hasil panen dari lahan mereka lebih banyak dikonsumsi sendiri terutama padi. Untuk jagung dan ketela pohon biasanya sebagian dijual dan sebagian lagi dimakan sendiri sebagai campuran beras. Jagung dibuat nasi jagung, sedangkan untuk ketela pohon dibuat gaplek. Tanaman kayu-kayuan seperti jati dan bambu, biasanya ditebang untuk memenuhi kebutuhan sendiri seperti untuk membangun rumah, sementara itu bambu biasanya untuk membuat kandang ternak. Mereka jarang menjual kayu dan bambu karena mereka menanam hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Secara lebih jelas pola tanam dari setiap musim tanam pada setiap lahan dapat dilihat pada Tabel 7.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 59 - 69
Tabel 7. Jenis Tanaman yang di Tanam di Lahan Milik Petani di Sub DAS Pengkol Table 7. Crops Planted in the Owned Land Farmers in Pengkol Sub-Watershed No (No) 1
2
Desa(village) Kecamatan (sub district) Setren, Slogohimo
Karang, Slogohimo
Jenis Lahan (types of land) Tegal
Musim Tanam 2 (cropping season 2)
Musim Tanam 3 (cropping season 3)
Hutan Sawah
Padi, jagung
Pekarangan
Jagung, buncis, kacang tanah, tembakau
Tegal
Jagung, padi, ketela pohon,
Pekarangan
Sugihan, Jatiroto
Musim Tanam 1 (cropping season 1)
Ketela pohon, Ketela pohon tembakau, wortel, buncis, kacang panjang, padi, , bawang merah Cengkeh, alpukat, nangka, petai, durian, puspa, sengon, mahoni, jati, rambutan, durian Buncis, kentang Tembakau wortel, jagung
Hutan Sawah
3
Jenis Tanaman (types of crops)
Tegal
Sawah Pekarangan
Jagung, buncis, ketela pohon, bawang merah, bawang putih
Padi
padi
Ketela pohon, kunyit buncis, kacang panjang Mahoni, jati, sengon, petai, cengkeh, durian, nangka, mlinjo, kelapa Ketela pohon, kacang panjang, kunyit
Sengon, jati, mahoni, cengkeh, jambu mete, kelapa, petai, kakao Menyadap pinus Padi, jagung, ketela Padi padi pohon Jagung, ketela pohon, Ketela pohon Ketela pohon kacang panjang, jahe, kunyit, kedelai Kelapa, sengon, jati, mahoni, cengkeh, durian, petai, kakao, mlinjo, alpukat, kopi, rambutan Jagung, ketela pohon, Padi, kacang panjang, padi, kacang panjang kedelai, jagung Jambu mete, bambu, jati, mahoni Padi, jagung, kacang Padi, kacang panjang, Padi, kedelai, kacang panjang, terong, bayam jagung panjang, cabe Jagung, kunyit, ketela Kacang panjang pohon, kacang panjang Jambu mete, pisang, jati, mahoni, rambutan, sengon, bambu, sonokeling, johar, trembesi, mangga
Sumber (Source): Analisis Data Primer 2010 (Primary data analysis 2010)
Karakteristik Masyarakat Sub DAS Pengkol dalam Kaitannya dengan Pengelolaan DAS ..... (Nur Ainun Jariyah)
67
C. Karakteristik Responden dalam Hubungan-
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
nya dengan Pengelolaan DAS Karakteristik responden di daerah Sub DAS Pengkol pada umumnya adalah petani dengan usia produktif, mereka dapat diberdayakan untuk ikut serta dalam memperbaiki lingkungan. Secara umum mereka sudah memahami pentingnya konservasi, dan dampak yang diterima apabila tidak melakukan konservasi. Menurut Suwarsono (2012) masyarakat merupakan pelaku sekaligus pengambil manfaat maupun dampak dalam pengelolaan sumberdaya alam di dalam suatu DAS. Sebagai pelaku yang aktif masyarakat mempunyai perilaku yang dapat mendukung upaya-upaya pengelolaan DAS, sebagai penikmat atau pengambil manfaat DAS yaitu pemanfaatan air permukaan dari sungai maupun sumur dibawah permukaan dan kesuburan tanah. Di lain pihak jika masyarakat memperburuk kondisi DAS, maka masyarakat akan menerima dampaknya. Hal utama yang perlu dilakukan adalah menggerakkan petani dalam kegiatan-kegiatan terkait konservasi tanah. Masyarakat sebagai pemilik lahan berperan dalam mengelola lahan miliknya maupun sebagai pemegang keputusan mengubah fungsi lahannya (Suwarno, 2012). Dengan demikian masyarakat dapat mengolah tanah tanpa merusak lingkungan, mengkonservasi tanah secara baik sehingga dapat mengurangi erosi dan sedimentasi, serta menanam tanaman bernilai ekonomi tinggi. Selain itu perlu adanya kerjasama dengan pemuka masyarakat, instansi terkait, LSM dan yang berkepentingan dengan lingkungan dalam membangun daerah hulu. Hal ini karena pengelolaan daerah hulu (DAS hulu) tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri. Partisipasi aktif masyarakat tidak akan muncul tanpa disertai adanya pemberdayaan masyarakat berupa penciptaan kondisi yang memungkinkan masyarakat mampu membangun diri dan lingkungan secara mandiri. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah perlu adanya penghargaan (reward) bagi masyarakat yang telah melakukan konservasi sesuai dengan kaedah konservasi sehingga masyarakat semakin terpacu untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengurangi erosi dan sedimentasi di daerah hulu.
68
1. Karakteristik masyarakat hulu pada umumnya
2.
3. 4.
5.
adalah petani dengan umur produktif serta sudah paham akan manfaat dan dampak konservasi tanah. Pada umumnya petani mempunyai lahan lebih dari satu bidang lahan yang luasnya sempit dan ditanami tanaman tumpangsari, empon-empon dan tanaman berkayu. Pendapatan keluarga ketiga desa sudah berada diatas Kebutuhan Hidup Layak. Perlu adanya pembinaan yang lebih baik dan terstruktur untuk membangun daerah hulu bersama masyarakat sehingga perlunya adanya kerjasama multipihak dari pemerintah, LSM, civitas akedemika dan instansi terkait lainnya untuk melakukan pemberdayaan masyarakat agar masyarakat lebih mandiri dan tidak tergantung hanya dari sektor pertanian saja. Perlu adanya penghargaan (reward) untuk masyarakat hulu yang telah melakukan kegiatan konservasi tanah.
DAFTAR PUSTAKA Atmojo, S.W. (2008). Peran agroforestry dalam menanggulangi banjir dan longsor DAS . Disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Agroforestry Sebagai Strategi Menghadapi Pemanasan Global di Fakultas Pertanian, UNS. Solo, 4 Maret 2008. Www. Suntoro.staff . uns.ac.id /files/.../ 3agroforestri-banjir-dan-longsor-das. Asdak, C. (2002). Hidrologi dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. BPS. (2009). Kabupaten Wonogiri dalam angka. Wonogiri : BPS Kabupaten Wonogiri. Departemen Kehutanan. (2009). Lampiran peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai No: P.04/V-SET/2009 Tanggal : 05 Maret 2009 . Jakarta : Departemen Kehutanan.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 59 - 69
Departemen Kehutanan. (2009). Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia. Nomor SK.328/Menhut-II/2009. Tentang penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam rangka Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2010-2014. Jakarta : Departemen Kehutanan Eka, K. I., & S. Kukuh. (2008). Sedimentasi waduk dan kinerja Pemda. Wawasan, 6 Februari 2008. Kartodihardjo, H., K. Murtilaksono, & Untung, S. (2004). Institusi pengelolaan Daerah Aliran Sungai: konsep dan pengantar analisis kebijakan. Bogor : Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Paimin, Sukresno, & Purwanto. (2006). Sidik cepat degradasi. Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS). Pusat Penelitan dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor : Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Paimin, Sukresno, Tyas, M. B., & Purwanto. (2002). Monitoring dan evaluasi Daerah Aliran Sung ai dalam perspektif diagnosa kesehatannya. Prosiding Seminar Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS. Surakarta, 23 Desember 2002. Jakarta : Departemen Kehutanan. Paimin. (2009). Laporan akhir hasil penelitian tahun 2003-2009. Usulan Kegiatan Hasil Penelitian (UKP). Sistem karakterisasi Daerah Aliran Sungai. Solo : Balai Penelitian Kehutanan Solo, Departemen Kehutanan.
Sarwono, & Jonathan. (2006). Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Yogyakarta : Graha Ilmu. SCBFWM. (2013). Pengelolaan DAS berbasis Http://www.scbfwm. masyarakat . org/2013/02/13/pengelolaan-dasberbasis-masyarakat.html. SCBFWM. (2010). Mengenal Daerah Aliran Sungai dan permasalahannya. proyek penguatan pengelolaan hutan dan DAS berbasis masyarakat. Buletin DAS nomor 1 September 2010. Http://www.Scbfwm.org. Sejarah Waduk Gadjah Mungkur . (2012). Http://epriant.com /2012/01/ sejarahwaduk-gajah-mungkur.html. Suwarno, J. (2012). Peran serta masyarakat dalam pengelolaan DAS. Buletin Bina DAS . September 2012. Http://www.scbfwm.org. Tim Peneliti BP2TPDAS-IBB. (2004). Pedoman Monitoring Dan Evaluasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (edisi revisi 2004). Surakarta : BP2TPDAS- IBB Surakarta. Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air. (2003). Pedoman teknis pengelolaan Daerah Aliran Sungai terpadu. Draft Final Sekretariat TKPSDA 2003. Www.Bappenas.go.id. Tribun News. (2011). Tingkat pendidikan bisa mengendalikan penduduk . Jumat, 30 Desember 2011. http://m.tribunnews. com/2011/12/30/tingkat- pendidikanbisa-mengendalikan-penduduk.
Karakteristik Masyarakat Sub DAS Pengkol dalam Kaitannya dengan Pengelolaan DAS ..... (Nur Ainun Jariyah)
69
ANALISIS TINGKAT KAPASITAS DAN STRATEGI COPING MASYARAKAT LOKAL DALAM MENGHADAPI BENCANA LONGSORSTUDI KASUS DI TAWANGMANGU, KARANGANYAR, JAWA TENGAH (Analysis of Coping Strategies and The Level of Local Community's Capacity Towards Landslide- A Case Study in Tawangmangu, Karanganyar, Central Java) 1
Heru Setiawan Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. P. Kemerdekaan Km 16,5 Makassar, Telp./Fax. (0411) 554049/554051, E-mail:
[email protected] 1
Diterima 4 November 2013, direvisi 6 Februari 2014, disetujui 28 Februari 2014 ABSTRACT
Landslide was occurred in 2007 at Tawangmangu resulting collapse of dozens houses and killing of dozens people. Analysis of community's capacity to landslides is essential elements to determine the level of community's preparedness to landslides occurring in the future. Analysis influencing factors of community's capacity should be known to develop appropriate policies and mitigation action for dealing with landslide. This research was conducted at Tengklik Village and Tawangmangu Village, Tawangmangu Sub-district, Karanganyar Regency. This research was aimed to identify various coping strategy that be done by local community and to assess the level of community's coping capacity related to landslide. Survey method with random sampling technique was applied to assess the level of community's capacity related to landslide. The number of respondents is 93 spread proportionally across five sub-villages; Plalar, Guyon, Sodong and Salere in Tengklik and Ngledoksari in Tawangamngu Village. The respondents were interviewed using questionnaires with open and closed questions. Statistical analysis was applied to identify the influencing factors of community's capacity related to landside. Local people applied three type coping strategy, which are: economic, structural, social and cultural coping strategy. Totally, 52% respondents have high level capacity, 33% have moderate level and only 15% respondents that have low level of capacity. The factors that influence the level of capacity are education, income and building type. Keywords: Landslide, coping strategy, level of capacity, Tawangmangu ABSTRAK
Longsor di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar pada tahun 2007 mengakibatkan puluhan rumah rusak dan puluhan nyawa melayang. Analisis tingkat kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana longsor merupakan elemen penting untuk mengetahui tingkat kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana longsor yang akan terjadi di masa mendatang dan untuk meminimalkan dampak negatif yang timbul akibat bencana longsor. Penelitian ini dilakukan di Desa Tengklik dan Desa Tawangmangu Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi strategi coping yang dilakukan masyarakat lokal dan menilai tingkat kapasitas masyarakat lokal dalam menghadapi bencana longsor. Metode survei dengan pemilihan responden yang dilakukan secara acak, diaplikasikan untuk mengetahui jenis-jenis staregi coping dan tingkat kapasitas masyarakat terhadap bencana longsor. Jumlah responden sebanyak 93 orang ditentukan secara proporsional dan tersebar di lima dusun, yaitu Dusun Plalar, Guyon, Sodong dan Salere di Desa Tengklik dan Dusun Ngledoksari di Desa Tawangmangu. Wawancara terhadap responden dilakukan dengan menggunakan kuesioner dengan tipe pertanyaan terbuka dan tertutup. Masyarakat lokal menerapkan empat tipe strategi coping, yaitu ekonomi, struktural, sosial dan kultural. Terdapat 51,6% responden mempunyai tingkat kapasitas yang tinggi, 33,3% berada pada tingkat sedang dan hanya 15,1% yang berada pada tingkat rendah. Faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kapasitas masyarakat adalah tingkat pendidikan, penghasilan dan tipe rumah. Kata kunci: Bencana longsor, strategi coping, tingkat kapasitas, Tawangmangu
70
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 70 - 81
I. PENDAHULUAN Bencana tanah longsor merupakan jenis bencana geologi yang sering terjadi di Indonesia. Menurut Sutikno (1994) tanah longsor atau sering disebut dengan gerakan massa tanah adalah proses perpindahan atau pergerakan massa tanah dengan arah miring atau vertikal dari kedudukan semula sebagai akibat gaya berat. Longsor dapat terjadi jika intensitas curah hujan tinggi, kondisi lereng yang miring hingga terjal, pelapukan tebal, batuan dan struktur geologi bervariasi dan penggunaan lahan yang kurang sesuai dengan karakteristik lahannya. Bencana longsor menempati peringkat ke-lima dari keseluruhan jumlah kejadian bencana yang sering terjadi di Indonesia dengan rata-rata jumlah kejadian 92 kali per tahun (Karnawati et al., 2012). Selama kurun waktu 15 tahun, yaitu dari tahun 1990 sampai dengan 2005, jumlah kejadian longsor di Pulau Jawa sebanyak 1.500 kali (Hadmoko et al., 2010). Bencana tanah longsor tidak hanya mengakibatkan kerugian dari segi sosial dan ekonomi, tetapi juga kematian. Data yang diterbitkan oleh BNPB (2013), menyatakan bahwa jumlah korban jiwa akibat bencana longsor dari tahun 2000 sampai 2012 mencapai 204 jiwa, korban luka-luka mencapai 196 jiwa, korban hilang mencapai 74 jiwa dan korban yang mengungsi mencapai 2.780 jiwa. Karanganyar adalah salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang sering mengalami bencana longsor. Data yang diterbitkan oleh BPBD Karanganyar (2012) menyatakan bahwa, selama tahun 2011 tercatat kejadian bencana longsor 34 kejadian, angin puting beliung 15 kejadian, banjir 3 kejadian dan kebakaran 29 kali. Data tersebut menunjukkan bahwa bencana utama yang paling sering terjadi di Kabupaten Karanganyar adalah tanah longsor. Salah satu kecamatan di Karanganyar yang rawan terhadap bencana longsor adalah Kecamatan Tawangmangu. Kecamatan Tawangmangu terletak di lereng Gunung Lawu yang mempunyai puncak ketinggian 3.265 m diatas permukaan laut (dpl). Kondisi ini membuat sebagian besar wilayah Tawangmangu (65%) mempunyai tingkat kelerengan lebih dari 35% dan hal inilah yang membuat 85,1% wilayah Kecamatan Tawangmangu termasuk dalam
kategori kerawanan longsor tingkat sedang hingga tinggi (Wati et al., 2010). Kejadian longsor terbesar di Kecamatan Tawangmangu terjadi pada tahun 2007 di Desa Tengklik dan Desa Tawangmangu. Longsor yang terjadi di Desa Tengklik mengakibatkan 33 rumah roboh dan longsor di Desa Tawangmangu mengakibatkan 34 orang meninggal dunia (Prawiradisastra, 2008). Untuk mengurangi kerugian yang timbul akibat bencana longsor, pemerintah dengan stakeholder yang lain melaksanakan program mitigasi bencana longsor. Masyarakat Tawangmangu yang tinggal pada daerah rawan longsor mempunyai strategi dalam menghadapi bencana longsor. Pengetahuan penduduk lokal tentang mitigasi bencana tanah longsor terbentuk dari pola pikir penduduk yang tinggal di daerah dengan kondisi lingkungan yang rawan terhadap longsor. Kondisi tersebut menyebabkan penduduk memiliki kemampuan untuk menghadapi bencana tanah longsor berdasarkan pengalaman menghadapi bencana longsor di waktu lampau (Sare, 2009). Identifikasi terhadap strategi coping masyarakat menghadapi longsor penting dilakukan agar program mitigasi bencana longsor yang dilakukan pemerintah tidak tumpang tindih dan dapat sejalan dengan keinginan masyarakat setempat. Strategi coping didefinisikan sebagai usaha dan perilaku masyarakat, baik terlihat atau tersembunyi yang dilakukan dengan maksud mengurangi ketegangan psikologi akibat sesuatu hal, dalam hal ini karena adanya ancaman bahaya bencana tanah longsor (Yani, 1997). Kapasitas didefinisikan sebagai suatu kombinasi dari semua kekuatan yang ada pada suatu kelompok masyarakat, sosial atau organisasi yang dapat mengurangi dampak dari suatu resiko atau dampak dari suatu bencana (UN-ISDR, 2004). Penelitian mengenai tingkat kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana sangat penting dilakukan, sebagai upaya pencegahan terhadap timbulnya kerugian material maupun korban jiwa akibat bencana. Penelitian ini bertujuan untuk (i) mengidentifikasi strategi coping yang dilakukan masyarakat lokal dalam menghadapi bencana longsor, (ii) mengetahui tingkat kapasitas masyarakat lokal dalam menghadapi bencana longsor dan (iii) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kapasitas masyarakat lokal terhadap bencana longsor.
Analisis Tingkat Kapasitas dan Strategi Coping Masyarakat Lokal dalam Menghadapi Bencana Longsor- Studi Kasus di ..... (Heru Setiawan)
71
II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengumpulan data primer pada penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2012, sedangkan pengolahan dan analisis data dilaksanakan pada bulan November 2012. Lokasi penelitian terletak di Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Secara administratif, Kecamatan Tawangmangu dibatasi oleh Kecamatan Ngargoyoso di sebelah utara, Kecamatan Jatiyoso di sebelah selatan, sebelah barat di batasi oleh Kecamatan Karangpandan dan Matesih dan sebelah timur berbatasan langsung dengan Kabupaten Magetan, Propinsi Jawa Timur. Berdasarkan data BPS (2012), Tawangmangu terbagi menjadi 10 desa/kelurahan, 41 dusun, 86 dukuh, 99 RW dan 345 RT. Berdasarkan peta tingkat kerawanan longsor (Wati et al., 2010), sebagian besar daerah Kecamatan Tawangmangu termasuk dalam kategori kerawanan tingkat sedang dengan luas area 2.674,888 ha (42,7%), kelas kerawanan tingkat tinggi dengan luas area 2.332,051 ha (37,3%), kelas kerawanan tingkat rendah dengan luasan 909,222 ha (14,5%), tingkat kerawanan sangat tinggi seluas 321,839 ha (5.1%) dan tingkat kerawanan sangat rendah seluas 21,02 ha (0.3%). B. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam pengambilan data primer di lapangan meliputi Global Positioning System (GPS), alat perekam, kamera digital, lembar kuesioner, panduan wawancara, alat tulis dan buku catatan. Alat yang digunakan dalam proses pengolahan data adalah seperangkat komputer dengan perangkat lunak Microsoft Office 2007 (Word, Excel) dan SPSS 19 untuk analisis statistik. Bahan pendukung penelitian diantaranya adalah peta tematik Kecamatan Tawangmangu, citra satelit resolusi tinggi dan data-data sekunder yang diperoleh dari beberapa instansi di Kabupaten Karanganyar. C. Metode Pengambilan Data Pemilihan contoh penelitian dilakukan menggunakan teknik simple random sampling, dengan unit analisis rumah tangga dankepala rumah tangga 72
dipilih sebagai responden. Contoh penelitian dipilih di empat dusun di Desa Tengklik, yaitu Plalar, Guyon, Sodong dan Salere dan satu dusun di Desa Tawangmangu, yaitu Dusun Ngledoksari dengan pertimbangan kejadian bencana longsor terbesar pada tahun 2007 terjadi di dua desa tersebut, sehingga responden diharapkan memberikan gambaran hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian. Jumlah keluarga di lokasi penelitian adalah 1.411 keluarga. Penentuan jumlah responden dilakukan berdasarkan formula Sugiyono (2007).
Berdasarkan formula Sugiyono (2007), jumlah responden minimal yang harus diambil adalah 93 responden. Responden terdistribusi secara proporsional pada tiap dusun sesuai dengan jumlah keluarga di masing-masing dusun. Berdasarkan perhitungan menggunakan formula tersebut, jumlah responden di masing-masing dusun adalah Dusun Plalar 14 responden, Dusun Guyon 16 responden, Dusun Sodong 25 responden, Dusun Salere 22 responden, dan Dusun Ngledoksari 16 responden. Pengambilan data primer dilakukan dengan menggunakan alat bantu kuesioner dan in-depth interview dengan responden kunci. Kuesioner terdiri dari 11 pertanyaan tertutup dan terbuka serta 11 pertanyaan tentang karakteristik responden. Pertanyaan terbuka digunakan untuk menggali informasi dari responden berkaitan dengan upaya strategi coping yang dilakukan masyarakat dalam menghadapi longsor, sedangkan pertanyaan tertutup digunakan untuk mengukur tingkat kapasitas responden dalam menghadapi bencana longsor. Dalam pertanyaan tertutup terdapat lima pilihan jawaban, yaitu sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Jawaban pada pertanyaan tertutup dianalisis menggunakan skala Linkert dengan memberikan skor 5 (lima) jika jawaban pertanyaannya “sangat setuju” sampai dengan 1 (satu) jika jawaban
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 70 - 81
pertanyaannya “sangat tidak setuju” (Albaum, 1997). D. Analisis Data Data primer dari lapangan ditabulasikan dengan m e n g g u n a k a n M i c r o s o f t E xc e l . U n t u k memudahkan proses analisis statistik, sebelum dilakukan proses pengolahan data, terlebih dahulu dilakukan pemberian skor pada parameter karakteristik responden yang meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, mata pencaharian, jumlah penghasilan, jumlah anggota keluarga, tipe bangunan rumah dan pengalaman terhadap longsor. Pemberian skor ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam pengolahan data statistik. Skor ini kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan skor gabungan. Selanjutnya skor gabungan dibagi menjadi tiga kelas untuk mendapatkan tingkat kapasitas masyarakat yaitu : rendah, sedang dan ting gi. Analisis data dilakukan deng an menggunakan Software SPSS 19. Metode analisis yang digunakan adalah analisis statistik diskriptif, analisi korelasi, analisis chi-square dan regresi linear berganda. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Jumlah responden secara keseluruhan adalah 93 orang yang terdiri atas 69% laki-laki dan 31% perempuan. Umur responden berkisar antara 23 tahun sampai dengan 82 tahun. Distribusi
responden berdasarkan kelas umurnya tercantum pada Tabel 1. Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 1 dapat dlihat bahwa sebagian besar responden (91,4%) termasuk dalam kelompok umur produktif, sedangkan sisanya (8,6%) termasuk dalam kelas umur non-produktif tua. Berdasarkan penghasilan per bulan, 48% responden berpenghasilan kurang dari Rp 846.000,-/bulan, sedangkan 52% berpenghasilan lebih dari Rp 846.000,-/bulan. Besaran penghasilan tersebut didasarkan pada upah minimum regional untuk Kabupaten Karanganyar Tahun 2012 sebesar Rp 846.000,/bulan. Berdasarkan tingkat pendidikannya, 55% responden hanya berpendidikan sampai sekolah dasar atau dibawah sekolah dasar, 23% responden lulus sekolah menengah pertama, 17% responden lulus sekolah menengah atas, dan 5% responden adalah lulusan perguruan tinggi. Terkait dengan jenis mata pencaharian, distribusi responden berdasarkan jenis pekerjaannya dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan hasil tabulasi pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa 46% responden bermatapencaharian sebagai petani, 11% responden pedagang, 4% responden pegawai negeri sipil, 20% pegawai perusahaan/swasta dan 18% responden tidak mempunyai pekerjaan tetap. Responden yang tidak mempunyai pekerjaan tetap biasanya bekerja secara musiman, jika musim menggarap kebun tiba mereka berprofesi sebagai petani, dan jika tidak sedang menggarap kebun mereka berprofesi sebagai tukang batu atau pedagang bunga.
Tabel 1. Distribusi umur responden berdasarkan kelas umur angkatan kerja Table 1. Distribution of respondents based on working age class
No.
1 2 3 4 5
Dusun (Sub-Village) Guyon Plalar Salere Sodong Ngledoksari Jumlah
Kelas umur angkatan kerja (Working age class) Non produktif muda Non produktif tua Produktif /productive /Young non productive /Old non productive (15-64 th) (<15 th) (>64 th) ∑ % ∑ % ∑ % 0 0 15 93.8 1.0 6.3 0 0 14 100.0 0.0 0.0 0 0 19 86.4 3.0 13.6 0 0 23 92.0 2.0 8.0 0 0 14 87.5 2.0 12.5 0 0 85 91.4 8.0 8.6
Jumlah (Total) ∑ 16.0 14.0 22.0 25.0 16.0 93.0
Analisis Tingkat Kapasitas dan Strategi Coping Masyarakat Lokal dalam Menghadapi Bencana Longsor- Studi Kasus di ..... (Heru Setiawan)
% 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
73
Tabel 2. Distribusi umur responden berdasarkan jenis pekerjaan Table 2. Distribution of respondents based on occupation type
Jenis mata pencaharian (Occupation type) No.
1 2 3 4 5
Dusun (Sub-Village)
Guyon Plalar Salere Sodong Ngledoksari Jumlah
Petani (Farmer) ∑ 13.0 5.0 9.0 7.0 9.0 43.0
% 81.3 35.7 40.9 28.0 56.3 46.2
Pedagang (Trader) ∑ 1.0 1.0 2.0 1.0 5.0 10.0
% 6.3 6.3 12.5 6.3 31.3 10.8
Pegawai negeri (Civil servant) ∑
%
∑
%
0 0 2 2 0 4.0
0 0 12.5 12.5 0 4.3
0 1 6 10 2 19.0
0 6.25 37.5 62.5 12.5 20.4
Berdasarkan jumlah anggota keluarga, sebagian besar keluarga responden terdiri dari 3 sampai 4 orang (58%), diikuti oleh jumlah anggota keluarga 5 sampai 6 orang (24%), 14% keluarga terdiri dari 1 sampai 2 orang, dan sisanya (4%) terdiri lebih dari 6 orang. Sebagian besar responden (70%) mempunyai rumah tipe permanen, 17% mempunyai rumah semi permanen dan 13% responden mempunyai rumah non-permanen. Hasil tabulasi berkaitan dengan pengalaman responden dalam menghadapi longsor, sebanyak 50% responden pernah mengalami bencana longsor lebih dari dua kali, 24% responden pernah mengalami bencana longsor sebanyak dua kali dan 26% responden berpengalaman menghadapi bencana longsor sebanyak satu kali. Banyaknya responden yang pernah mengalami kejadian longsor sebanyak lebih dua kali menunjukkan bahwa masyarakat telah terbiasa menghadapi bencana longsor dan kesadaran terhadap program mitigasi bencana sangat tinggi. B. Strategi Coping Masyarakat Masyarakat Tawangmangu memiliki pengetahuan lokal yang diwariskan secara turun-temurun dalam mengantisipasi kejadian bencana longsor dengan berbagai strategi coping, baik yang bersifat struktural (fisik) maupun yang bersifat nonstruktural (non-fisik). Menurut Twigg (2004), strategi coping didefinisikan sebagai implementasi atau penerapan pengetahuan lokal masyarakat yang didapatkan secara turun temurun dalam menghadapi bencana alam dan bencana lainnya. Menurut 74
Pekerja swasta (Private employees)
Pekerjaan lain (Others) ∑ % 2 12.5 7 43.75 3 18.75 5 31.25 0 0 17 18.3
Jumlah (Total) ∑ 16.0 14.0 22.0 25.0 16.0 93.0
% 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
Heryanti (2012), strategi coping didefinisikan sebagai kebiasaan atau perilaku masyarakat dalam upaya mengurangi resiko terjadinya bencana dan mengurangi dampak yang timbul akibat bencana. Strategi coping masyarakat lokal dalam menghadapi bencana dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu strategi coping ekonomi, struktural, sosial dan kultural (Twigg, 2004). Berdasarkan tata waktu pelaksanaannya, strategi coping dapat dilakukan sebelum terjadinya bencana, selama terjadi bencana dan sesudah bencana. Berikut ini adalah berbagai strategi coping yang dilakukan masyarakat Kecamatan Tawangmangu dalam menghadapi longsor : 1. Strategi coping ekonomi : Strategi coping ekonomi masyarakat adalah pengerahan sumber daya ekonomi yang dimiliki masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, yang lebih difokuskan dalam mendapatkan sumber penghasilan lain diluar pekerjaan utamanya untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Benson dan Clay (2004) menyatakan bahwa, kunci keberhasilan untuk meminimalisasi dampak bencana adalah kecepatan dalam merespon dampak bencana yang sangat tergantung pada kondisi ketahanan ekonomi masyarakat di wilayah yang terkena bencana. Tujuan utama strategi coping ekonomi adalah untuk meningkatkan ketahanan ekonomi agar ketika terjadi bencana masyarakat masih dapat mencukupi kebutuhannya. Beberapa strategi coping ekonomi yang dilakukan masyarakat di lokasi penelitian adalah :
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 70 - 81
a. Membentuk kelompok Arisan pada setiap RT (Rukun Tetangga). Forum ini juga digunakan sebagai ajang silaturahim dan merencanakan kegiatan gotong-royong terutama dalam menghadapi bencana longsor. Selain itu, forum ini juga sering digunakan sebagai media sosialisasi dari pihak pemerintah lokal (desa) berkaitan dengan program yang akan dilaksanakan dalam menghadapi longsor. b. Mendirikan koperasi sebagai wadah bagi masyarakat untuk menabung dan meminjam uang jika kebutuhan mendesak. Dalam keadaan bencana, peranan koperasi sangat besar dalam memberikan bantuan pinjaman modal. Sebagai contoh, ketika bencana longsor menimpa tanah pertanian maka dengan bantuan koperasi masyarakat dapat kembali menanam. Mayoritas masyarakat Tawangmangu bekerja sebagai petani dengan hasil pertanian utama adalah sayur-sayuran misalnya kentang, wortel, dan kol. c. Melakukan kerja sampingan diluar pekerjaan utama sebagai petani, misalnya pedagang bunga atau mendirikan toko sederhana yang menjual kebutuhan rumah tangga. Hal tersebut dilakukan untuk menambah penghasilan dan tabungan keluarga. Jika sewaktu-waktu terjadi bencana longsor yang menimpa lahan pertanian, dengan tabungan yang dimiliki, masyarakat dapat segera melakukan usaha-usaha perbaikan dan pemulihan. 2. Strategi coping struktural Strategi coping struktural difokuskan dalam pembangunan yang bersifat fisik dan aplikasi teknologi yang bertujuan untuk mengurangi kerugian akibat longsor dan meminimalisasi resiko terjadinya bencana longsor. Beberapa strategi coping struktural yang dilakukan masyarakat diantaranya adalah : a. Memasang bronjong kawat dan dinding penguat dari batu pada tebing sungai atau di tepi kiri dan kanan jalan yang berlereng curam. b. Memperkuat konstruksi jalan dengan bahan beton, membangun saluran air dengan menggunakan material beton, dan memperkuat bangunan rumah dengan konstruksi beton. c. Bergotong-royong untuk menutup retakanretakan pada tanah, terutama menjelang musim penghujan. d. Membangun dan menyiapkan tempat evakuasi bagi korban bencana, seperti masjid, balai desa, dan sekolah.
e. Membangun dan memperbaiki fasilitas publik yang rusak karena longsor, misalnya pos ronda, saluran air, pos kesehatan, dan jalan f. Membangun terasering pada lahan pertanian dengan kelerengan tinggi, dan menerapkan sistem pertanian tumpang sari tanaman sengon dan tanaman sayur. g. Menyokong rumah dengan menggunakan bambu atau kayu agar tidak roboh. Strategi ini digunakan oleh sebagian masyarakat Dusun Guyon yang rumahnya miring karena adanya gerakan tanah. 3. Strategi coping sosial Strategi coping sosial difokuskan pada kegiatan sosial, misalnya gotong-royong dan kegiatan lain yang bersifat berkelompok, seperti mengadakan pertemuan warga untuk membahas kegiatan yang akan dilakukan dalam mengantisipasi bencana longsor. Kegiatan ronda malam pada musim hujan merupakan salah satu strategi coping sosial yang dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya longsor. Berikut ini adalah beberapa contoh strategi coping sosial yang dilakukan masyarakat di lokasi penelitian. a. Melakukan penanaman pohon di sepanjang tepi sungai dan pada areal yang rawan terhadap longsor. b. Melaksanakan pertemuan sebelum datangnya musim hujan untuk merencanakan kegiatan dalam rangka mengantisipasi longsor. c. Mengadakan pengajian rutin tiap malam Jum'at untuk menjaga kondisi psikologis warga. d. Pada musim hujan dilaksanakan ronda malam, terutama di daerah dengan tingkat kerawanan longsor tinggi. e. Bergotong royong saling membantu masyarakat yang terkena musibah longsor, dengan mempersiapkan tempat evakuasi sementara, meminta bantuan pada pihak terkait, dan menyebarkan informasi kepada warga lain. f. Bersama-sama membersihkan material longsor dan memperbaiki rumah dan bangunan yang rusak akibat longsor. 4. Strategi coping kultural: Strategi coping kultural merupakan penerapan kearifan lokal masyarakat yang telah diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi, yang merupakan salah satu cara agar terhindar dari bencana longsor. Salah satu contoh strategi coping kultural yang dilakukan masyarakat Kecamatan Tawangmangu adalah melaksanakan upacara tradisional yang disebut
Analisis Tingkat Kapasitas dan Strategi Coping Masyarakat Lokal dalam Menghadapi Bencana Longsor- Studi Kasus di ..... (Heru Setiawan)
75
dengan “Ruwahan” dan “Suroan”. Upacara Ruwahan biasanya dilaksanakan pada hari Selasa Kliwon Bulan Ruwah sedangkan upacara Suroan dilaksanakan pada malam tanggal satu Bulan Suromenurut penanggalan Jawa. Kedua jenis upacara tradisional tersebut
dilaksanakan dengan maksud agar diberikan hasil panen yang melimpah dan terhindar dari bencana. Beberapa contoh dokumentasi strategi coping yang dilakukan masyarakat Tawangmangu dapat dilihat pada Gambar 1, 2, 3, dan Gambar 4.
Gambar (Figure) 1
Gambar (Figure) 3
Gambar (Figure) 2
Gambar (Figure) 4
Gambar 1. Pembangunan jalan dengan konstruksi beton Figure 1. Roadconstruction using concrete materials Gambar 2. Pembangunan saluran air secara bergotong royong Figure 2. Construction of water channels with mutual help method Gambar 3. Pembangunan tebing beton disisi jalan Figure 3. Construction of retaining wall on steep slope at road side Gambar 4. Menyokong rumah menggunakan bambu agar tidak roboh Figure 4. Supporting the house usingbamboo to avoidcollapse C. Tingkat Kapasitas Masyarakat Kapasitas masyarakat terhadap bencana tanah longsor mer upakan tingkat kemampuan masyarakat, baik secara individu maupun sosial dalam menghadapi bencana tanah longsor, yang sewaktu-waktu dapat mengancam kehidupan. Dalam penelitian ini, tingkat kapasitas masyarakat dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu: rendah, sedang dan tinggi. Indikator yang digunakan untuk menilai tingkat kapasitas masyarakat dalam
76
menghadapi longsor adalah akumulasi dari jawaban kuesioner dan wawancara dengan responden. Hasil penjumlahan skor dari akumulasi jawaban responden dengan menggunakan skala Linkert diperoleh nilai minimal 27, nilai maksimal 55 dan nilai rata-rata 44 poin. Selanjutnya selisih nilai maksimal dan minimaldibagi menjadi 3 kelas berdasarkan nilai interval untukmendapatkan 3 tingkatan kapasitas masyarakat. Berdasarkan hasil perhitungan, kapasitas rendah berada pada interval nilai 27-34,
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 70 - 81
kapasitas sedang dengan nilai 35-45 dan kapasitas tinggi dengan nilai 46-55 poin. Masyarakat dengan tingkat kapasitas ting gi memiliki tingkat kesiapsiagaan yang tinggi jika terjadi bencana,
sehingga dapat meminimalisasi dampak negatif jika terjadi longsor. Gambar 5 menunjukkan grafik tingkat kapasitas masyarakat pada masing-masing dusun.
Gambar 5. Tingkat kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana longsor di masing-masing dusun Figure 5. The capacity level of community on coping strategy related landslide at each sub-villages Tingkat kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana longsor didominasi oleh tingkat tinggi dan sedang. Secara keseluruhan 51,6% responden mempunyai tingkat kapasitas tinggi, 33,3% responden mempunyai tingkat kapasitas sedang, dan 15,1% responden mempunyai tingkat kapasitas rendah. Pada Gambar 5 dapat dilihat tingkat kapasitas responden pada masing-masing dusun. Responden yang berdomisili di Dusun Ngledoksari sebanyak 81,3% mempunyai tingkat kapasitas tinggi, responden di Dusun Guyon sebanyak 56,3% mempunyai tingkat kapasitas sedang, dan responden di Dusun Plalar sebanyak 28,6% mempunyai tingkat kapasitas rendah. Masyarakat di Dusun Ngledoksari mempunyai tingkat kapasitas tinggi, artinya memiliki tingkat kesiapsiagaan yang tinggi dalam menghadapi bencana longsor. Pada tahun 2007 di Dusun Ngledoksari terjadi bencana longsor yang menewaskan 34 orang warga. Berdasarkan pengalaman tersebut, masyarakat berusaha meningkatkan kapasitasnya untuk menghindari dampak negatif yang timbul akibat longsor di masa mendatang. Sedangkan masyarakat di Dusun Plalar memiliki tingkat kesiapsiagaan yang rendah, artinya
perlu dilakukan usaha-usaha untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, struktural dan sosial untuk meminimalisasi kerugian jika terjadi bencana. Untuk mengetahui tingkat signifikansi perbedaan tingkat kapasitas di masing-masing dusun digunakan analisis statistik dengan metode chi-square. Hipotesis awal (H0) yang digunakan adalah tidak ada perbedaan yang nyata antara tingkat kapasitas pada masing-masing dusun. Hasil analisis chi-squar e deng an menggunakan perangkat lunak SPSS 19 disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa nilai Asymp. Sig. (2-sided) adalah 0.024 atau kurang dari 0,05. Hal ini menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan tingkat kapasitas masyarakat di masing-masing dusun. Dengan menggunakan chi-square hitung juga dihasilkan kesimpulan yang sama, yaitu chi-square hitung (17,701) lebih besar dari pada nilai chi-square tabel (15,507) pada taraf kepercayaan () 5% dan derajat bebas (df) 8. Nilai chi-square hitung lebih besar dari pada chi-square tabel, menunjukkan hipotesis awal (H0) ditolak yang berarti terdapat perbedaan yang nyata tingkat kapasitas masyarakat pada masingmasing dusun.
Analisis Tingkat Kapasitas dan Strategi Coping Masyarakat Lokal dalam Menghadapi Bencana Longsor- Studi Kasus di ..... (Heru Setiawan)
77
Tabel 3. Hasil analisis chi-square tingkat kapasitas masyarakat Table 3. Result of Chi-square analysis of community capacity
Chi-square Tests Value df Pearson Chi-Square 8 17.701a Likelihood Ratio 20.112 8 Linear-by-Linear Association 5.914 1 N of Valid Cases 93 a. 6 cells (40.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.11. D. Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kapasitas Masyarakat Beberapa faktor yang diasumsikan berpengaruh terhadap tingkat kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana longsor adalah umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan, jumlah anggota keluarga, tipe rumah, dan pengalaman menghadapi kejadian longsor. Faktor-faktor tersebut merupakan variabel bebas, sedangkan tingkat kapasitas masyarakat merupakan variabel
Asymp. Sig. (2-sided) .024 .010 .015
terikat. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempunyai hubungan dengan tingkat kapasitas masyarakat maka dilakukan analisis korelasi. Analisis korelasi merupakan salah satu teknik analisis dalam statistik yang digunakan untuk mengukur keeratan hubungan antara dua variabel atau lebih. Hipotesis awal (H0) yang digunakan adalah tidak terdapat korelasi antara variabel bebas dan variabel terikat. Hasil analisis korelasi dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Analisis korelasi kapasitas masyarakat terhadap longsor Table 4. Correlation analysis of community capacity related to landslide
Correlations Variabel bebas (Independent variable)
Sig. (1-tailed)
Umur (Age) Jenis kelamin (Gender)
.000 .000
Tingkat pendidikan (Education) Mata pencaharian (Occupation) Tingkat penghasilan (Income) Jumlah anggota keluarga (Household size) Tipe rumah (Building type) Pengalaman menghadapi bencana longsor (Landslide experience)
.000 .389 .000 .063 .000 .027
Pengambilan keputusan didasarkan pada perbandingan antara nilai Sig. (1-tailed) dan nilai probabilitas (0,05). Jika nilai Sig. (1-tailed) lebih kecil dari 0,05 maka hipotesis awal ditolak artinya terdapat hubungan yang erat antara variabel bebas dan variabel terikat. Dari Tabel 4 dapat diketahui bahwa terdapat 6 (enam) variabel yang memiliki nilai Sig. (1-tailed) kurang dari 0,05 yaitu umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah penghasilan, tipe rumah, dan pengalaman menghadapi bencana 78
longsor. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa faktor umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah penghasilan, tipe rumah dan pengalaman menghadapi bencana longsor mempunyai tingkat korelasi yang tinggi dengan tingkat kapasitas masyarakat dalam menghadapi longsor. Analisis regresi linear berganda digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kapasitas masyarakat dalam
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 70 - 81
menghadapi bencana longsor. Hipotesis awal (H0) yang digunakan adalah variabel bebas tidak berpengaruh terhadap variabel terikat. Hasil analisis regresi linear berganda dengan menggunakan perangkat lunak SPSS dapat dilihat pada Tabel 5. Pengambilan keputusan menggunakan T-test dengan nilai probabilitas 0,05 menyatakan bahwa jika nilai signifikansi (Sig.) lebih kecil dari 0,05 maka hipotesis awal (H0) ditolak, artinya terdapat pengaruh yang nyata antara variabel bebas dan variabel terikat. Berdasarkan Table 5, dapat dilihat bahwa terdapat tiga variabel yang mempunyai nilai signifikansi kurang dari 0,05 yaitu tingkat pendidikan, jumlah penghasilan, dan tipe rumah. Jadi dapat disimpulkan bahwa faktor tingkat
pendidikan, jumlah penghasilan, dan tipe rumah berpengaruh nyata terhadap tingkat kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana longsor. Untuk mengetahui respon ketiga variabel tersebut dapat dilihat pada nilai konstanta (Unstandardized Beta Coefficients). Faktor jumlah penghasilan dan tingkat pendidikan mempunyai nilai konstanta positif yang berarti, semakin tinggi tingkat pendidikan dan penghasilan, akan semakin tinggi pula tingkat kapasitasnya. Konstanta pada variabel tipe rumah bernilai negatif yang berarti, penduduk dengan tipe rumah permanen mempunyai tingkat kapasitas lebih tinggi jika dibandingkan dengan penduduk yang mempunyai tipe rumah nonpermanen atau semi permanen.
Tabel 5. Analisis regresi linear tingkat kapasitas masyarakat terhadap longsor Table 5. Linear regression analysis of people capacity related to landslide
Model (Constant) Umur (Age) Jenis kelamin (Gender) Tingkat pendidikan (Education) Mata pencaharian (Occupation) Tingkat penghasilan (Income) Jumlah anggota keluarga (Household size) Tipe rumah (Building type) Pengalaman menghadapi bencana longsor (Landslide experience) a. Dependent Variable: Capacity_level
Coefficientsa Unstandardized Coefficients B Std. Error 2.625 .368 .004 .045 -.096 .109 .195 .063 -.032 .030 .366 .106 .047 .060 -.511 .088 -.098 .054
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Masyarakat Kecamatan Tawangmangu yang tinggal di daerah rawan longsor menerapkan empat jenis strategi coping dalam menghadapi bencana longsor, yaitu strategi coping ekonomi, struktural, sosial, dan kultural. Tingkat kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana longsor berbeda-beda. Secara umum, tingkat kapasitas masyarakat Kecamatan Tawangmangu dalam menghadapi
Standardized Coefficients Beta .007 -.061 .248 -.071 .250 .047 -.497 -.113
t 7.140 .100 -.879 3.116 -1.067 3.455 .793 -5.823 -1.829
Sig. .000 .920 .382 .003 .289 .001 .430 .000 .071
longsor berada pada tingkat sedang hingga tinggi. Semakin tinggi tingkat kapasitas maka akan semakin kecil resiko dampak negatif yang ditimbulkan oleh bencana longsor. Tingkat kapasitas masyarakat dalam menghadapi longsor dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, tingkat penghasilan dan tipe rumah. B. Saran Masyarakat Tawangmangu secara turuntemurun menerapkan berbagai strategi coping
Analisis Tingkat Kapasitas dan Strategi Coping Masyarakat Lokal dalam Menghadapi Bencana Longsor- Studi Kasus di ..... (Heru Setiawan)
79
untuk meminimalisasi resiko dan dampak terjadinya longsor. Akan tetapi korban dan kerugian akibat bencana longsor masih sering diderita oleh masyarakat di kawasan ini. Untuk itu diperlukan peran pemerintah dan stakeholder lainnya untuk melengkapi strategi coping yang telah dilakukan masyarakat, terutama strategi coping struktural yang memerlukan biaya besar, contohnya pemasangan bronjong kawat pada tepi sungai dan jalan yang curam, pembangunan penguat tebing dari beton dan pembuatan saluran air permanen. Penguatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi longsor terutama pada masyarakat di Dusun Plalar, dapat dilakukan oleh pemerintah dengan instansi terkait dengan cara melaksanakan serangkaian program kegiatan agar tingkat kapasitasnya semakin meningkat. Dengan tingkat kapasitas yang tinggi, resiko jumlah kerugian akibat bencana longsor dapat diminimalisasi. DAFTAR PUSTAKA Albaum, G. (1997). The likert scale revisited: An alternate version. Journal of the Market Research Society, 39(2), 331-348. Benson, C., & Clay, E.J. (2004). Understanding the economic and financial impact of natural disaster. Washington D.C. : The world bank. BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). (2013). Indonesian disaster data and information. Retrieved from http://www.dibi.bnpb.go.id. BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Kabupaten Karanganyar. (2012). Rekapitulasi Kejadian Bencana di Kabuapten Karanganyar Ta h u n 2 0 1 1 . K a r a n g a n y a r : B P B D Karanganyar. BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Karanganyar. (2012). Tawangmangu dalam angka Tahun 2011. Tawangmangu: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karanganyar. UN-ISDR (United Nation secretariat of the International Strateg y for Disaster Reduction). (2004). Living with risk : A global review of disaster reduction initiatives. Geneva: UN Publications.
80
Hadmoko, D.S., Lavigne, F., Sartohadi, J., Hadi, P., & Winaryo. (2010). Landslide hazard and risk assessment and their application in risk management and landuse planning in eastern flank of Menoreh Mountains, Yogyakarta Province, Indonesia. Natural Hazards Journal, 54(3), 623 642. Heryanti, D.N. (2012). Community based approach to assess flood risk perception and coping mechanism along code river, yogyakarta municipality . Enschede: University of Twente Faculty of Geo-Information and Earth Observation. Karnawati, D., Syamsul, M., Teuku, F., & Wahyu, W. (2012). Development of socio-technical approach for landslide mitigation and risk reduction program in Indonesia. Retrieved from http://www.seed-net.org/download/C11_Paper3.pdf. Prawiradisastra, S. (2008). Analisis morphologi dan geologi bencana tanah longsor di Desa Ledoksari Kabupaten Karanganyar. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, 10(2), 84-89. Sare, M.Y.W. (2009). Tingkat kerentanan dan kapasitas masyarakat lokal terhadap bencana tanah longsor di Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo. Yo g y a k a r t a : S e ko l a h Pa s c a s a r j a n a Universitas Gadjahmada. Sugiyono. (2007). Metode penelitian kuantitatifkualitatif dan research development. Bandung: Alfabeta. Sutikno. (1994). Pendekatan geomorfologi untuk mitigasi bencana alam akibat gerakan massa tanah/batuan. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gadjahmada dan Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana. Twigg, J. (2004). Disaster Risk Reduction: mitigation and preparedness in development and emergency programming: Humanitarian practice network. London: Humanitarian Practice Network, Overseas Development Institute. Wati, S.E., Hastuta, T., Widjojo, S., & Pinem, F. (2010). Landslide susceptibility mapping with heuristic approach in mountainous area; A case study in Tawangmangu Sub
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 70 - 81
District, Central Java, Indonesia. International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Science, 38(8), 248-253 .
Yani, A.S. (1997). Analisis konsep koping: Suatu pengantar. Jurnal Keperawatan Indonesia, I (1), 1-5.
Analisis Tingkat Kapasitas dan Strategi Coping Masyarakat Lokal dalam Menghadapi Bencana Longsor- Studi Kasus di ..... (Heru Setiawan)
81
PREFERENSI MASYARAKAT TERHADAP MAKANAN BERBAHAN BAKU SAGU (Metroxylon sagu Rottb) SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER KARBOHIDRAT DI KABUPATEN LUWU DAN LUWU UTARA SULAWESI SELATAN (Community Preferences Towards Sago-Based Food (Metoxylon sagu Rottb) as an Alternative of Carbohydrate Sources in Luwu and North Luwu Regencies South Sulawesi Province) 1
2
3
Nur Hayati , Rini Purwanti & Abd. Kadir W 1,2,3 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16,5 PO Box 1560 Makassar e-mail:
[email protected] Diterima 18 September 2013, direvisi 6 Februari 2014, disetujui 20 Februari 2014 ABSTRACT
Sago is one of carbohydrate sources and raw material of traditional foods in South Sulawesi Province, such as kapurung, dange, bagea, sinole and cendol. Sago should be promoted as one of alternative food sources, as it will reduce national food security problems. The purpose of this study is to determine factors affecting community decision to use sago as an alternative of carbohydrate sources. Method used for this study was survey in which purposive random sampling was carried out and sago consumers were the study target. Logistic regression analysis was used to analyze the data. The results showed that in Luwu and North Luwu Regencies, there were several reasons why community used sago as an alternative of carbohydrate source, i.e.: good taste, raw material was easy to obtain, community often ate sago instead rice for their staple foods, and the price was less expensive compared to rice. Futher more, the analyses results found that consumers' decision to consume sago was influenced by ethnicity,education, type of processed food and rice price. Keywords: Community preferences, sago, carbohydrate alternative, foodsources ABSTRAK
Sagu merupakan salah satu sumber karbohidrat dan bahan dasar dalam pembuatan makanan tradisional di Sulawesi Selatan misalnya kapurung, dange, bagea, sinole, cendol dan lain-lain. Apabila sagu dikembangkan akan menjadi salah satu sumber pangan alternatif yang dapat meringankan masalah ketahanan pangan nasional. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan masyarakat untuk menggunakan sagu sebagai alternatif sumber karbohidrat. Pengambilan sampel menggunakan metode purposif secara random sampling terhadap konsumen sagu yang ditemui pada saat penelitian. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan masyarakat dalam menggunakan sagu sebagai alternatif sumber karbohidrat di Sulawesi Selatan digunakan Analisis Regresi Logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Luwu dan Luwu Utara terdapat beberapa alasan masyarakat menyukai sagu, yaitu rasanya yang enak, bahannya mudah didapat, faktor kebiasaan, sebagai pengganti beras, dan harganya yang lebih murah jika dibanding dengan beras. Lebih jauh, hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa keputusan konsumen dalam mengkonsumsi makanan berbahan baku sagu dipengaruhi oleh suku, pendidikan, jenis makanan olahan, dan harga beras. Kata kunci: Preferensi masyarakat, sagu, alternatif karbohidrat, sumber pangan
I. PENDAHULUAN Tanaman sagu (Metroxylon sp) merupakan salah satu tanaman penghasil karbohidrat yang penting kedudukannya sebagai bahan makanan sesudah padi, jagung, dan umbi-umbian. Sagu memiliki kandungan karbohidrat (kalori) yang memadai 82
dan memiliki kemampuan substitusi pati sagu dalam industri pangan. Sagu juga sangat berpotensial untuk diolah menjadi bioetanol. Dengan demikian pengelolaan sagu di Indonesia memiliki prospek yang sangat menjanjikan untuk ketahanan pangan dan energi nasional di masa mendatang.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 82 - 90
Potensi luas hutan sagu di Indonesia adalah kurang lebih 1.250.000 ha dan budidaya sagu kurang lebih 148.000 ha. Potensi tesebut sampai saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Sagu dapat tumbuh di daerah rawa atau tanah marginal (terbengkalai) di mana tanaman penghasil karbohidrat lainnya sukar untuk tumbuh dengan wajar (Budiono, 2009). Potensi sagu di Indonesia dari sisi luas areal sangat besar. Sekitar 60% areal sagu dunia berasal dari di Indonesia. Data yang ada menunjukkan bahwa areal sagu Indonesia menurut Prof. Flach mencapai 1,2 juta ha dengan produksi berkisar 8,413,6 juta ton per tahun, dan sekitar 90% berada di Papua. Sagu merupakan salah satu makanan pokok beberapa daerah di Indonesia Bagian Timur, bukan hanya di Provinsi Sulawesi Selatan (daerah Luwu), tapi juga di Papua, Maluku, Sulawesi Utara, dan sejumlah daerah di Nusa Tenggara. Konsumsi sagu sebagai makanan pokok, antara lain dalam bentuk makanan tradisional seperti papeda, kapurung, dange, bagea, sinole, cendol dan sagu bakar (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2013). Produksi sagu di Sulawesi Selatan pada tahun 2010 sebesar 1.065 ton. Total potensi lahan yang dikembangkan untuk sagu di Sulawesi Selatan seluas 4.102 ha, yang berada di Kabupaten Luwu seluas 1.462 ha (35,6%) dan di Luwu Utara seluas 1.590 ha (38,8%), sehingga kedua kabupaten tersebut merupakan daerah penghasil sagu terbesar di Sulawesi Selatan. Namun, saat ini sebagian perkebunan sagu di lokasi penelitian sudah beralih fungsi menjadi persawahan, perkebunan bahkan menjadi areal pembangunan perumahan (Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2010). Tanaman sagu sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pangan alternatif bagi masyarakat Indonesia selain padi. Hal ini dijelaskan oleh Menteri Pertanian Suswono dalam kegiatan lokakarya nasional sagu yang berlangsung tanggal 14 Oktober 2010 di Bogor (Bisnis Indonesia, 2010). Lebih lanjut Suswono menjelaskan bahwa sagu menghasilkan pati kering sebagai bahan pangan sumber karbohidrat. Meskipun memiliki potensi sebagai pangan sumber karbohidrat alternatif non beras, namun hingga tahun 2009 angka konsumsi sagu masyarakat Indonesia masih rendah, yakni 0,41 kg/kapita/ tahun. Pemanfaatan sagu sebagai pangan sumber karbohidrat ternyata secara nasional juga paling rendah dibandingkan komoditas pangan non beras
lainnya seperti singkong, ubi jalar, kentang, dan jagung. Kadar karbohidrat sagu setara dengan karbohidrat yang terdapat pada tepung beras, singkong dan kentang, bahkan kadar karbohidrat tepung sagu relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan tepung jagung dan terigu. Kandungan energi dalam tepung sagu, hampir setara dengan bahan pangan pokok lain berbentuk tepung seperti beras, jagung, singkong, kentang dan terigu. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan gambaran faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan masyarakat untuk menggunakan sagu sebagai alternatif sumber karbohidrat di Sulawesi Selatan. II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Oktober 2009. Lokasi penelitian di Kabupaten Luwu dan Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan. Lokasi penelitian tersebut ditentukan secara sengaja (purposive), yaitu Sulawesi Selatan sebagai salah satu sentra produksi sagu. B. Sumber dan Pengumpulan Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer diperoleh di lapangan dari konsumen sagu melalui wawancara dengan menggunakan kuisioner terstruktur. Pengambilan sampel responden menggunakan metode purposive secara random sampling terhadap konsumen sagu yang ditemui pada saat penelitian. Jumlah responden yang diwawancarai sebanyak 120 orang yang berasal dari Kabupaten Luwu yaitu Desa Suli, Desa Tirowali, Desa Padang Sappa dan Desa Lamasi dan Kabupaten Luwu Utara yaitu Desa Meli, Desa Sassa', Desa Waeulawi dan Desa Pengkajoang. C. Analisis Data Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan masyarakat dalam menggunakan sagu sebagai alternatif sumber karbohidrat di Sulawesi Selatan digunakan Analisis Regresi Logistik. Analisis ini merupakan model regresi untuk menganalisis data dengan variabel
Preferensi Masyarakat Terhadap Makanan Berbahan Baku Sagu (Metroxylon sagu Rottb) Sebagai Alternatif Sumber ..... (Nur Hayati et. al.)
83
dikotomus (bernilai 1 dan 0), Y=1 menyatakan keputusan mengkonsumsi makanan berbahan baku sagu dan Y=0 menyatakan keputusan tidak mengkonsumsi makanan berbahan baku sagu. Regresi logistik memiliki distribusi data yang tidak normal (Kuncoro, 2007). Analisis model regresi logistik pada penelitian ini menggunakan bantuan program SPSS 15 for windows. Analisis ini untuk mengetahui penentu konsumen mengkonsumsi makanan berbahan baku sagu di Kabupaten Luwu dan Kabupaten Luwu Utara berdasarkan variabel-variabel independen yang ditentukan. Bentuk umum model regresi logistik (Gujarati, 2003); ............................(1) Persamaan (1) dapat disederhanakan menjadi
Keterangan: P adalah probabilitas seorang konsumen memilih nilai variabel dependen (1: mengkonsumsi makanan berbahan baku sagu dan 0: tidak mengkonsumsi sagu) SK adalah suku responden (dummy; 0: suku lainnya, 1: Suku Luwu) Pddk adalah tingkat pendidikan responden (dummy; 0: SD atau tidak sekolah, 1: SMP atau tingkat pendidikan lebih tinggi). JO adalah jenis makanan olahan (dummy; 1: kapurung, 0: lainnya) Pdpt adalah pendapatan responden. UM adalah umur responden. HB adalah harga beras. ε adalah error term Berdasarkan model tersebut dapat diketahui bagaimana keputusan seorang konsumen untuk mengkonsumsi makanan berbahan baku sagu. Keputusan tersebut akan terlihat berdasarkan pengaruh variabel-variabel bebas (independent) terhadap variabel tidak bebas (dependent).
................................................................. (2) Keterangan: Zi= β0 +β1xi E adalah euler number (2,718). Pi adalah probabilitas suatu kejadian, (0
III. H A S I L D A N P E M B A H A S A N PENELITIAN A. Kondisi Sosial Ekonomi Responden Untuk mengetahui preferensi masyarakat di Kabupaten Luwu dan Luwu Utara terhadap makanan berbahan sagu, terdapat beberapa karakteristik dari responden yang dicatat, antara lain: umur, pendidikan, suku, jumlah tanggungan keluarga, dan besarnya pendapatan responden. 1. Umur Responden Komposisi umur responden berkisar antara 17 - 73 tahun yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi umur responden Table 1. Age composition of respondents Kelas umur (tahun) Range of age (year)
Luwu 23,3 48,3 28,3 100
15-34 35-54 >54 Jumlah (total)
Prosentase jumlah orang Percentage number of people (%) Luwu Utara 30,0 55,0 15,0 100
Sumber (Source): Data primer, 2009 (Primary data, 2009)
84
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 82 - 90
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa responden di lokasi penelitian kebanyakan berada pada usia produktif. Dengan banyaknya responden yang berada dalam kelompok usia produktif di lokasi penelitian memungkinkan daerah tersebut berkembang. Hal ini disebabkan pada usia produktif biasanya seseorang cepat dalam mengambil keputusan dalam alih teknologi dan diversifikasi sumber pangan. 2. Pendidikan Responden Pendidikan merupakan salah satu indikator untuk keberhasilan penerapan teknologi pemanenan dan pascapanen pada suatu daerah khususnya yang berhubungan dengan kegiatan pengelolaan sagu. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir seseorang terutama dalam menganalisis suatu masalah. Tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Tabel 2.
Dari Tabel 2 diketahui bahwa tingkat pendidikan konsumen di Kabupaten Luwu dan Kabupaten Luwu Utara sebagian besar berpendidikan tinggi (41,7%). Hal ini berarti prosentase jumlah responden yang berpendidikan tinggi lebih besar dibanding prosentase responden yang berpendidikan rendah atau menengah. Kenyataan tersebut menunjukkan kesadaran responden akan pentingnya pendidikan sudah cukup tinggi. 3. Suku Komposisi responden berdasarkan sukunya dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa konsumen sagu umumnya bersuku Luwu. Hal ini menunjukkan bahwa orang Suku Luwu gemar mengkonsumsi sagu sebagai sumber energi karbohidrat selain beras.
Tabel 2. Komposisi tingkat pendidikan responden Table 2. Composition of educationlevel of respondents Prosentase jumlah orang Percentage number of people (%) Luwu Luwu Utara 35,0 23,3 41,7 100
Tingkat pendidikan (Education level)
Rendah (≤SD) Menengah (SMP-SMA) Tinggi (Perguruan Tinggi ) Jumlah(total)
30,0 28,3 41,7 100
Sumber (Source): Data primer, 2009 (Primary data, 2009)
Tabel 3. Komposisi responden berdasarkan suku Table 3. Composition of respondents by etnic group Suku (Etnic group) Luwu Bugis Ambon Jawa Makassar Jumlah (total)
Luwu 78,3 20,0 1,7 100
Prosentase jumlah orang Percentage number of people (%) Luwu Utara 60,0 36,7 0 1,7 1,6 100
Sumber (Source): Data primer, 2009 (Primary data, 2009)
4. Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan keluarga responden di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa konsumen sagu mayoritas mempunyai tanggungan sebanyak 3-5 orang. Jumlah anggota yang banyak seringkali
menimbulkan masalah tersendiri bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari anggota keluarga. Namun, disisi lain dengan mengkonsumsi sagu pengeluaran keluarga untuk memenuhi sumber energi dapat dikurangi.
Preferensi Masyarakat Terhadap Makanan Berbahan Baku Sagu (Metroxylon sagu Rottb) Sebagai Alternatif Sumber ..... (Nur Hayati et. al.)
85
Tabel 4. Jumlah tanggungan keluarga Table 4. Number of family dependants Prosentase jumlah orang Percentage number of people (%) Luwu Luwu Utara 16,6 11,7 51,7 58,3 31,7 30,0 100 100
Jumlah anggota keluarga (orang) Number of family members (person) 0-2 3-5 ≥6 Jumlah (total) Sumber (Source): Data primer, 2009 (Primary data, 2009)
5. Pendapatan Responden Pendapatan yang dimaksud pada tulisan ini adalah seluruh nilai yang diperoleh responden dari hasil usahanya, baik yang berasal dari usaha sagu maupun yang berasal dari usaha yang lainnya, misalnya hasil pertanian, perkebunan, gaji pegawai, dan sebagainya. Pendapatan responden mayoritas
berasal dari hasil pertanian dan perkebunan. Tingkat pendapatan konsumen sagu per bulan dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa rata-rata tingkat pendapatan konsumen cukup bervariasi tergantung dari jenis pekerjaannya.
Tabel 5. Tingkat pendapatan responden per bulan Table 5. Income level of respondents per month Tingkat pendapatan (Rp). (Level of income) Luwu 20,0 36,7 43,3 100
100.000 – 500.0000 600.000 – 1.000.000 >1.000.000 Jumlah (total)
Prosentase jumlah orang (Percentage number of people) (%) Luwu Utara 36,6 31,7 31,7 100
Sumber (Source): Data primer, 2009 (Primary data, 2009) B. Preferensi Konsumen dalam Mengkonsumsi Sagu Preferensi atau selera merupakan sebuah konsep yang digunakan pada ilmu sosial, khususnya ekonomi. Preferensi ini mengasumsikan pilihan realitas atau imajiner antara alternatif-alternatif dan kemungkinan dari pemeringkatan alternatif tersebut, berdasarkan kesenangan, kepuasan, gratifikasi, pemenuhan, kegunaan yang ada. Lebih luas lagi, bisa dilihat sebagai sumber dari motivasi. Dalam ilmu kognitif, preferensi individu memungkinkan pemilihan tujuan (goal). Preferensi didefinisikan sebagai tindakan untuk memilih yang ditentukan oleh banyak faktor. Menurut Abello dan Bernaldez (1986) dalam Permata (2000) faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi masyarakat, antara lain adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat sosial, dan
86
budaya. Preferensi juga ditentukan oleh rasa keterkaitan seseorang terhadap suatu tempat dimana orang tersebut bisa hidup atau tinggal lama di dalamnya. Dengan kata lain, preferensi seseorang juga dipengaruhi oleh rasa familiaritas (Nassar, 1988). Menurut 120 responden yang dilibatkan dalam penelitian, 74,17% responden menyatakan suka makan sagu dengan alasan rasanya khas (32,5%) sedangkan 35,5% tidak suka makan sagu dengan alasan sulit mendapatkan sagu (dari persediaan dan lokasi) (62,5%) dan tidak terbiasa makan sagu (37,5%). Alasan suka, dan tidak suka ini menjadi dasar dalam keputusan mengkonsumsi sagu. Berdasarkan penelitian, 20,83% responden mengkonsumsi sagu hanya karena faktor kebiasaan. Hal ini banyak dijumpai di daerah Luwu Utara yang hampir tiap hari masyarakatnya mengkonsumsi sagu. Kebiasaan makan sagu ini
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 82 - 90
sudah ada sejak dari nenek moyang mereka. Apabila satu hari saja tidak makan sagu, mereka merasa “haus”. Permintaan sagu akan meningkat apabila menjelang bulan Ramadhan, karena mereka menjadikan kapurung sebagai makanan pembuka puasa. Bahkan, setiapkali ada pesta atau upacara adat selalu ada menu makanan berbahan baku sagu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata jenis olahan sagu juga mempengaruhi preferensi konsumsi sagu. Jenis makanan olahan yang digemari di Kabupaten Luwu adalah kapurung (98,33%) sedangkan di Luwu Utara kapurung 54,1% dan dange 45,9%. Di Luwu Utara juga terjadi perbedaan pola konsumsi sagu, misalnya di daerah pesisir lebih menyukai jenis olahan “dange” karena dianggap lebih mengenyangkan dibanding “kapurung”. Masyarakat di Kabupaten Luwu Utara 52,46% responden hampir tiap hari mengkonsumsi sagu, sedangkan di Kabupaten Luwu hanya 21,67%. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin jauh lokasi asal sagu, masyarakatnya cenderung jarang mengkonsumsi sagu, karena bahan baku sagu terbatas dan sulit mendapatkannya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa di Kabupaten Luwu Utara masyarakatnya (85,26%) menjadikan sagu sebagai makanan pokok, tetapi ada kecenderungan angka ini semakin menurun apabila pihak pemerintah tidak menggalakkan program diversifikasi pangan. Hal ini juga terjadi karena semakin menyempitnya areal tanaman sagu. Lahanlahan sagu banyak yang dikonversi menjadi lahan perkebunan, jalan, perumahan dan perkantoran. Apabila dibiarkan terus tanpa adanya usaha rehabilitasi dan pembudidayaan sagu secara intensif
maka pohon-pohon sagu akan semakin sulit dijumpai, sehingga sagu akan menjadi sumber karbohidrat yang mahal dan langka di pasaran. Hal ini tentunya akan semakin menambah ketergantungan masyarakat pada beras, sehingga ketahanan pangan pun terancam. Oleh sebab itu, Pemerintah Kabupaten Luwu Utara telah menggagas penanaman sejuta pohon sagu. Ini dimaksudkan untuk membudidayakan pohon sagu yang mulai berkurang. Pemkab Luwu Utara mendatangkan tenaga ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang ahli dibidang budidaya pohon sagu dan teknologi pengolahan sagu (Palopo Pos, 2011). C. Faktor-Faktor Yang Mempengar uhi Keputusan Masyarakat dalam Menggunakan Sagu Untuk melakukan pengujian terhadap signifikasi model, pada regresi logistik digunakan statistik uji G. Statistik uji G bertujuan untuk menguji kesesuaian model dengan melihat pengaruh semua variabel bebas terhadap variabel tidak bebas di dalam model.Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak tujuh variabel. Berdasarkan hasil pengujian model secara simultan menggunakan statistik uji G, hasil output yang diperoleh nilai statistik uji G sebesar 54,870 dan p-value<α= 0,05. Berdasarkan hasil tersebut Ho ditolak yang berarti pada keputusan konsumen untuk mengkonsumsi makanan berbahan baku sagu di Kabupaten Luwu dan Kabupaten Luwu Utara minimal terdapat satu variabel bebas yang berpengaruh terhadap keputusan mengkonsumsi makanan berbahan baku sagu.
Tabel 6. Hasil analisis regresi logistik Table 6. Resultof logistic regression analysis Variabel B
S.E.
Wald
Df
Sig.
Odds rasio
95.0% C.I.for EXP(B) Lower
Upper
Suku(1)
1.792
.755
5.636
1
.018
6.000
1.367
26.342
Pendidikan(1) J_olahan(1)
1.724
.787
4.800
1
.028
5.609
1.199
26.235
-2.829
.820
11.893
1
.001
.059
.012
.295
.000
.000
.002
1
.965
1.000
1.000
1.000
-.047
.026
3.3981
1
.065
.954
.908
1.003
-.020
.005
19.139
1
.000
.980
.971
.989
Pendapatan Umur H_beras
Sumber (Source): Analisis data primer, 2009 (Primary data analysed, 2009)
Preferensi Masyarakat Terhadap Makanan Berbahan Baku Sagu (Metroxylon sagu Rottb) Sebagai Alternatif Sumber ..... (Nur Hayati et. al.)
87
1. Uji model secara parsial Karena hasil uji simultan menolak hipotesis nol maka kemudian dapat dilakukan pengujian secara parsial menggunakan uji wald. Uji wald dilakukan untuk mengetahui ketepatan dari pengujian model. Berdasarkan hasil uji wald terlihat variabel bebas yang signifikan mempengaruhi keputusan untuk mengkonsumsi makanan berbahan baku sagu adalah variabel suku, pendidikan, jenis makanan olahan, dan harga beras, sedangkan variabel pendapatan dan umur tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Berdasarkan Tabel 6, peluang regresi logistik dengan transformasi logistik adalah: g(x) = 106,95 + 1,79SK + 1,72Pddk - 2,83JO - 0,02HB ........(4)
Selanjutnya dari nilai β masing-masing variabel dalam model regresi logistik dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Suku (SK) berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan konsumen mengkonsumsi makanan berbahan baku sagu. Ini menunjukkan bahwa suku tidak dapat dipisahkan dari mengkonsumsi sagu atau bahan makanan yang terbuat dari sagu. Pada lokasi penelitian, Suku Luwu yang merupakan suku asli di Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu sudah sejak dahulu mengkonsumsi sagu sebagai sumber karbohidrat. Sampai sekarang pun Suku Luwu masih gemar mengkonsumsi sagu, bahkan apabila tidak mengkonsumsi sagu dalam sehari ada sesuatu yang ”kurang”. Di lokasi penelitian terdapat beberapa suku yang menjadi obyek penelitian, antara lain Suku Bugis, Makassar, Ambon, dan Jawa. b. Pendidikan (Pddk) secara signifikan berpengaruh positif terhadap keputusan konsumen mengkonsumsi makanan berbahan baku sagu. Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan maka peluang responden untuk memutuskan mengkonsumsi sagu semakin besar. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka pengetahuan tentang kandungan gizi dan energi serta diversifikasi makanan juga semakin bertambah. Sebagai contoh bahwa kandungan kalori tepung sagu setiap 100 gram sebanyak 353 kalori, ternyata tidak kalah dibandingkan dengan kandungan kalori bahan pangan lainnya seperti jagung 361 kalori, beras giling 360 kalori, ubi kayu 195 kalori, dan ubi jalar 143 kalori (Ebookpangan, 2006). 88
c. Jenis makanan olahan (JO) secara signifikan berpengaruh negatif terhadap keputusan konsumen mengkonsumsi makanan berbahan baku sagu. Ini menunjukkan bahwa jenis makanan olahan dari sagupenting dan menentukan apakah seseorang akan mengkonsumsinya. Kapurung merupakan salah satu jenis makanan olahan yang banyak disukai oleh responden. d. Pendapatan (Pdpt) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan konsumen mengkonsumsi makanan berbahan baku sagu. Ini menunjukkan bahwa harga makanan berbahan baku sagu cukup terjangkau oleh sebagian besar responden. e. Umur (UM) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan konsumen mengkonsumsi makanan berbahan baku sagu. Sagu merupakan makanan yang disukai oleh semua umur dan dapat dikatakan sebagai makanan tradisional. f. Harg a beras (HB) secara signifikan berpengaruh negatif terhadap keputusan konsumen mengkonsumsi makanan berbahan baku sagu. Ini menunjukkan bahwa semakin murah harga beras maka peluang responden untuk mengkonsumsi sagu semakin kecil. Hal ini disebabkan karena sagu sangat mudah didapatkan (banyak tumbuh di lahan-lahan masyarakat), harg anya relatif murah (terjangkau) dan faktor kebiasaan masyarakat untuk mengkonsumsi sagu. 2. Fungsi Peluang dan Odds Rasio Odds rasio merupakan ukuran untuk mengetahui tingkat risiko (kecenderungan), yaitu perbandingan antara peluang dua variabel bebas Xj, antara kejadian-kejadian yang masuk kategori sukses dan yang gagal (Hosmer dan Lemeshow, 1989). Dalam penelitian ini odds rasio digunakan untuk mengetahui kecenderungan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keputusan mengkonsumsi makanan berbahan baku sagu. Model persamaan regresi logistik yang terbentuk adalah: ...................................................................................(5) Menggunakan model peluang pada persamaan (5) dapat dihitung berapa peluang seorang konsumen untuk memutuskan mengkonsumsi
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 82 - 90
makanan berbahan baku sagu. Sedangkan transformasi logit model persamaan di atas adalah sebagai berikut:
semakin murah harga beras maka kecenderungan untuk mengkonsumsi makanan berbahan baku sagu sebesar 0,980 kali bila harga beras mahal.
Nilai odds rasio untuk suku adalah 6,00, yang berarti seseorang yang bersuku Luwu cenderung untuk mengkonsumsi makanan berbahan baku sagu sebesar 6 kali lebih sering dibandingkan suku lain (Bugis, Makassar, Ambon, dan Jawa). Odds rasio untuk pendidikan sebesar 5,609 menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditamatkan seorang konsumen di lokasi penelitian, maka kecenderungan untuk mengkonsumsi makanan berbahan baku sagu sebesar 5 kali lebih sering bila berpendidikan SD atau tidak bersekolah. Nilai odds rasio untuk jenis makanan olahan sebesar 0,059 menunjukkan bahwa semakin gemar seorang konsumen makan jenis olahan ”kapurung”, maka kecenderungan untuk mengkonsumsi kapurung sebesar 0,059 kali bila mengkonsumsi makanan olahan lainnya selain kapurung. Odds rasio untuk harga beras sebesar 0,980 menunjukkan bahwa
3. Ketepatan Prediksi Model Ketepatan model fungsi peluang dapat dilihat berdasarkan klasifikasi objek penelitian. Tabel 7 menunjukkan keputusan untuk mengkonsumsi makanan berbahan baku sagu di Kabupaten Luwu dan Kabupaten Luwu Utara yang dengan tepat diklasifikasikan dan berapa yang salah diklasifikasikan. Dari 120 responden, terdapat 89 orang memutuskan untuk mengkonsumsi makanan berbahan baku sagu dan 31 orang tidak mengkonsumsi. Untuk yang mengkonsumsi ternyata prediksi yang dilakukan model 93,3% tepat dan untuk yang tidak mengkonsumsi 54,8%. Terjadi kesalahan prediksi 23 responden, 6 responden yang seharusnya memutuskan untuk mengkonsumsi sagu, tetapi tidak mengkonsumsi sagu dan 17 responden yang seharusnya tidak mengkonsumsi makanan berbahan baku sagu tetapi diprediksi mengkonsumsi sagu. Secara keseluruhan ketepatan prediksi model sebesar 83,3%.
Tabel 7. Ketepatan prediksi model Table 7. Model prediction accuracy Observasi (Observation)
Keputusan mengkonsumsi (Decision to consume)
Prediksi (Prediction) Keputusan mengkonsumsi (Decision to consume) Tidak mengkonsumsi MengKonsumsi (Not to consume) (To consume)
Tidak mengkonsumsi (Not to consume)
Mengkonsumsi To consume) Persentase secara keseluruhan (Total percentage)
Persentase ketepatan (Accuracy percentage)
17
14
54,8
6
83
93,3
)
83,3
Sumber (Source): Analisis data primer, 2009 (Primary data analysed, 2009)
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Tingkat preferensi masyarakat Kabupaten Luwu dan Kabupaten Luwu Utara dalam mengkonsumsi sagu sangat terkait dengan faktor rasa, ketersediaan
bahan baku, dan kebiasaan (adat istiadat). Sementara ke putusan konsumen dalam mengkonsumsi makanan berbahan baku sagu dipengaruhi oleh faktor suku, pendidikan, jenis makanan olahan, dan harga beras. Dengan demikian, sagu berpotensi sebagai bahan makanan pengganti beras mengingat masyarakat semakin
Preferensi Masyarakat Terhadap Makanan Berbahan Baku Sagu (Metroxylon sagu Rottb) Sebagai Alternatif Sumber ..... (Nur Hayati et. al.)
89
menyadari kandungan karbohidrat yang terdapat dalam sagu. Faktor lainnya adalah adanya berbagai jenis produk olahan sagu yang mampu menggugah selera sehingga produk olahan sagu tidak hanya digemari Suku Luwu tetapi dapat pula digemari oleh suku-suku lainnya yang ada di Sulawesi. B. Saran Untuk lebih memasyarakatkan penggunaan sagu sebagai bahan pagan alternatif pengganti beras maka pihak pemerintah daerah melalui Dinas Perdagangan, Perindustrian, Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Kabupaten Luwu dan Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan di Kabupaten Luwu Utara perlu melakukan upaya diversifikasi produk olahan makanan berbahan baku sagu baik dari segi rasa maupun dari segi tampilan. Dengan upaya diversifikasi tersebut diharapkan produk makanan berbahan baku sagu tidak hanya digemari oleh Suku Luwu tetapi dapat pula digemari oleh suku lainnya di Sulawesi Selatan. Usaha lainnya yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah adalah dengan melakukan sosialisasi atau pemberian pemahaman kepada masyarakat bahwa sagu memiliki kandungan energi yang relatif setara dengan kandungan energi yang terdapat dalam beras yang dibutuhkan oleh tubuh dalam melakukan berbagai aktivitas. Hal ini dilakukan untuk mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat terhadap beras jika sewaktuwaktu terjadi kegagalan panen. Disamping itu perlu adanya koordinasi antar stakeholder yang terkait dengan ketersediaan sumber bahan baku sagu dan industri pengolahan sagu. Pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan selaku intansi yang terkait dengan ketersediaan sumber bahan baku sagu perlu menggalakkan kembali kegiatan penanaman sagu di areal yang tersisa akibat alih fungsi lahan di Kabupaten Luwu dan Kabupaten Luwu Utara. DAFTAR PUSTAKA Badan Koordinasi Penanaman Modal. (2010). Potensi Sagu di Sulawesi Selatan. Diunggah dari http://regionalinvestment.bkpm.go.id/
90
newsipid/id/ commodityarea. php? i=708&ia=73. Bisnis Indonesia. (2010). Produktivitas Tanaman Sagu Dipacu. Diversifikasi Bahan Pangan Non Beras Belum Memuaskan. Bisnis Indonesia. Edisi Jumat 15 Oktober2010. Diunggah dari http://mirror.unpad.ac.id/ koran/bisnis/2010-10-15/bisnis_2010-1015_146.pdf. Budiono, A. (2009). Sagu Sebagai Bahan Bakar Alternatif Penghasil Etanol. Diunggah dari www.RADARMERAUKE.COM. Ebookpangan. (2006). Sagu Sebagai Bahan Pang an. Diung g ah dari h t t p : / / t e k p a n . u n i mu s. a c. i d / w p content/uploads/2013/ 07/SAGUSEBAGAI-BAHAN-PANGAN.pdf. Gujarati, D. N. (2003). Basic Econometrics fourth edition. New York: McGraw Hill. Hosmer, D. W. & Lemeshow, S. (1989). Applied logistic regression. New York: John Wiley & Sons Ltd. Kuncoro, M. (2007). Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi Bagaimana Meneliti dan Menulis Riset. Jakarta: Erlangga. Nassar, J. L. (1988). Environtmental Aesthetics Theory, Research and Application. Cambridge: Cambridge University Press. Palopo Pos. (2011). Gagas Sejuta Pohon Sagu. Diunggah dari http://www.palopopos. co.id. Permata, D. L. J. (2000). Preferensi Masyarakat terhadap Landskap Visual Pemukiman. Skripsi pada Fakultas Pertanian. Bogor: Institute Pertanian Bogor (IPB). Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. (2013). Seminar Triwulan Ke-4: Arti Penting Budidaya dan Pemanfaatan Sagu untuk Ketahanan Pangan dan Energi Nasional. Diunggah dari http://perkebunan. Litbang.deptan.go.id.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 1 Maret 2014, Hal. 82 - 90
PETUNJUK BAGI PENULIS
GUIDE FOR AUTHOR(S)
BAHASA: Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
LANGUAGE: Manuscripts must be written in Indonesia language or English.
FORMAT: Naskah diketik di atas kertas putih A4, Times New Roman, font 12, pada satu permukaan dengan 2 spasi. Pada semua tepi kertas di kosongkan minimal 3,5 cm. Jumlah kata setiap naskah berkisar dari 4000 - 6000 kata.
FORMAT: Manuscripts should be typed with double space, Times New Roman, font 12, on one face of A4, white paper, with all margins at least 3.5 cm. The number of words in each manuscript ranges from 4000 - 6000 words.
JUDUL: Dibuat dalam 2 bahasa, harus mencerminkan isi tulisan, dan ditulis dengan Times New Roman. Bahasa Indonesia dengan font 14, huruf kapital, tegak dan tidak lebih dari 2 baris. Bahasa Inggris dengan font 12, huruf kecil, italik dan diapit tanda kurung.
TITLE: Use 2 languages, should reflect the content of manuscript and written with Times New Roman. Bahasa Indonesia: use font 14, capital letter and not more than 2 lines. English : use font 12, lower case, italic and all put in parenthesis.
IDENTITAS PENULIS : Nama penulis (tanpa gelar dan jabatan) dicantumkan di bawah judul, di bawahnya diikuti nama dan alamat instansi, no. telp/faks serta alamat e-mail penulis.
AUTHOR(S) IDENTITY: The name of author(s) (without degree and position) follow immediately under the title, followed by his/her institution and its address, phone/fax numbers and e-mail address.
ABSTRAK: Dibuat dalam dua bentuk: pertama untuk lembar abstrak, maksimal 100 kata; dan kedua (abstrak) maksimal 200 kata, keduanya berupa intisari dari naskah secara menyeluruh dan informatif. Kedua abstrak tersebut dibuat dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
ABSTRACT: Written in 2 types: type 1 is for abstract sheet, consists of 100 words maximum; and type 2 (abstract) consists of 200 words maximum, both showing the essence of the manuscript as a whole and be informative. Both abstracts are written in English and Indonesia language.
KATA KUNCI: Kata kunci dicantumkan di bawah abstrak masing - masing, maksimal 5 entri, dibuat dalam bahasa yang digunakan dalam Lembar Abstrak dan Abstrak.
KEYWORDS: Written after each abstract, with 5 entries maximum, follow the Abstract Sheet and Abstract languages.
SISTEMATIKA PENULISAN:
SYSTEMATICS OF WRITING:
Hasil penelitian: Judul Identitas Penulis Abstrak & Kata Kunci I. Pendahuluan II. Metode Penelitian III. Hasil dan Pembahasan IV. Kesimpulan dan Saran Daftar Pustaka Lampiran
Research results: Title Author(s) Identity Abstract & Keywords I. Introduction II. Research Methods III. Results and Discussion IV. Conclusions and Recommendations Bibliography Appendix
Tubuh naskah diatur dalam Bab dan Sub bab secara konsisten sesuai dengan kebutuhan. Semua nomor ditulis rata di batas kiri tulisan, seperti: I, II, III, dst. untuk Bab A, B, C, dst. untuk Sub Bab 1, 2, 3, dst. untuk Sub subbab a, b, c, dst. untuk Sub subsubbab
Body text arranged in chapters and sub-chapters in a manner consistent with the requirements. All numbers are written left justified, such as: I, II, III, etc. for Chapter A, B, C, etc. for Sub Chapter 1, 2, 3, etc. for Sub subchapter a, b, c, etc. for Sub subsubchapter
TABEL: Diberi nomor, judul dan keterangan yang diperlukan, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
TABLE: Numbered, titled and provided with all necessary remarks, written both in Indonesia language and English.
GAMBAR: Gambar, grafik dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus berwarna kontras, masing masing harus diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
FIGURE: Figure must be drawn in high contrast, given number, title and clear remarks, all in Indonesia language and English.
FOTO: Harus mempunyai ketajaman yang baik, diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
PHOTO: Must be in good constrast, given number, title and clear remarks, all in Indonesia language and English.
DAFTAR PUSTAKA: merupakan referensi yang dirujuk dalam naskah, diutamakan terbitan paling lama 5 tahun terakhir. Format penulisan Daftar Pustaka mengacu pada American Psychological Association (APA) style, dengan contoh penulisan sebagai berikut :
BIBLIOGRAPHY: References that are cited in the text, recommended those published in the last 5 years. Writing format referring to the American Psychological Association (APA) style, with examples as follow:
Buku teks (textbook): Alexie, S. (1992). The business of fancydancing: Stories and poems. Brooklyn, NY: Hang Loose Press. Jurnal (Journal): Williams, J. H. (2008). Employee engagement: Improving participation in safety. Professional Safety, 53(12), 40-45. Kumpulan tulisan yang diedit/Prosiding (Compilation of edited papers/Proceedings): Booth-LaForce, C., & Kerns, K. A. (2009). Child-parent attachment relationships, peer relationships, and peer-group functioning. In K. H. Rubin, W. M. Bukowski, & B. Laursen (Eds.), Handbook of peerinteractions, relationships, and groups (pp. 490-507). New York, NY: Guilford Press. Laman (Web): Kenney, G. M., Cook, A., & Pelletier, J. (2009). Prospects for reducing uninsured rates among children: How much can premium assistance programs help? Retrieved from Urban Institute website: http://www.urban.org/url.cfm?ID=411823 Surat kabar (Newspaper): Booth,W. (1990, October 29). Monkeying with language: Is chimp using words or merely aping handpers? The Washington Post. p.A3. CATATAN: Penggunaan titik dan koma dalam penulisan angka: Naskah (teks) bahasa Indonesia: titik (.) menunjukkan kelipatan ribuan dan koma (,) menunjukkan pecahan. Naskah (teks) bahasa Inggris: titik (.) menunjukkan pecahan dan koma (,) menunjukkan kelipatan ribuan
NOTES: Uses of point and comma in number writing: Manuscript (text) in Indonesia language: point (.) for thousand multiple and comma (,) for fraction. Manuscript (text) in English: point (.) for fraction and comma (,) for thousand multiple.
KONDISI: Dewan redaksi berhak mengubah naskah tanpa mengurangi isi yang terkandung di dalamnya, dan juga berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan yang disyaratkan. Penulis dari luar instansi Badan Litbang Kehutanan wajib menyertakan curriculum vitae singkat dan alamat yang jelas.
CONDITIONS: Editors have the authorities to revise manuscript(s) without changing the content, and to reject inappropriate manuscript(s). Author(s) from outside the Forest Research and Development Agency must submit his/her C.V. and complete address.
ISSN: 1979-6013
JURNAL PENELITIAN SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN (Forestry Socio and Economic Research Journal) Vol. 11 No. 1 Maret Tahun 2014
TERAKREDITASI No. 493/AU1/P2MI-LIPI/08/2012
Forestry Socio and Economic Research Journal Volume 11 Nomor 1, Maret Tahun 2014
KEMENTERIAN KEHUTANAN Ministry of Forestry BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Forestry Research and Development Agency PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN Centre for Climate Change and Policy Research and Development BOGOR INDONESIA
JURNAL SOSEK
Vol. 11
No. 1
Hal 1 - 90
Bogor Maret, 2014
ISSN 1979-6013