ISSN: 1979-6013
JURNAL PENELITIAN SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN (Forestry Socio and Economic Research Journal) Vol. 12 No. 1 Maret Tahun 2015
TERAKREDITASI No. 493/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
Forestry Socio and Economic Research Journal Volume 12 Nomor 1, Maret Tahun 2015
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN Ministry of Environment and Forestry BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Forestry Research and Development Agency PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN Centre for Climate Change and Policy Research and Development BOGOR - INDONESIA
JURNAL SOSEK
Vol. 12
No. 1
Hal 1 - 76
Bogor Maret, 2015
ISSN 1979-6013
JURNAL PENELITIAN
ISSN: 1979-6013
SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN Forestry Socio and Economic Research Journal
Volume 12 Nomor 1, Maret Tahun 2015 Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan telah terakreditasi berdasarkan Keputusan Kepala LIPI No. 742/E/2012. Jurnal ini memuat karya tulis ilmiah dari hasil-hasil penelitian di bidang Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Kehutanan. Terbit pertama kali tahun 2001, terakreditasi tahun 2006 dengan nomor 60/Akred-LIPI/P2MBI/12/2006 dan terbit secara berkala empat kali dalam setahun (Maret, Juni, September, Desember). Forestry Socio and Economic Research Journal is an accredited journal, based on the decree of Director of Indonesian Science Institute (LIPI) No. 742/E/2012. This journal publishes result research in Forest Socio-Economics and Environment. First published in 2001, accredited by LIPI in 2006 with number 60/Akred-LIPI/P2MBI/12/2006 and published four times annually (March, June, September, December). Penanggung Jawab (Editor in Chief) Dewan Redaksi (Editorial Board) Ketua (Chairman) Anggota (Members)
Mitra Bestari (Peer Reviewers)
Redaksi Pelaksana (Managing Editor) Ketua (Chairman) Anggota (Members)
Sekretariat (secretariat)
: Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan : Dr. Ir. Hariyatno Dwiprabowo, M.Sc. (Ekonomi Kehutanan, Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan-Kemenhut) : 1. Dr. Ir. Satria Astana, M.Sc. (Ekonomi Kehutanan, Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan-Kemenhut) 2. Prof. Dr.Ir. Irsal Las, M.S. (Agroklimatologi dan Lingkungan, Kementan) 3. Prof.Dr.Ir. Didik Suhardjito, M.S. (Sosiologi Kehutanan & Kehutanan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor) 4. Dr. Herman Hidayat (Studi dan Kemasyarakatan, LIPI) 5. Dr. Ir. Erwidodo, M.S. (Ekonomi Pertanian, Kementan) 6. Drs. Edi Basuno, M.Phil., Ph.D. (Sosial Ekonomi Pertanian, Kementan) 7. Dr.Ir. Triyono Puspitojati, M.Sc. (Ekonomi Kehutanan, Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan-Kemenhut) 8. Dra. Setiasih Irawanti, M.Si. (Ekonomi Kehutanan, Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan-Kemenhut) 9. Ir. Subarudi, M.Wood Sc. (Sosiologi Kehutanan, Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan-Kemenhut) : 1. 2. 3. 4.
Prof. Dr. Dudung Darusman (Kebijakan Kehutanan, Institut Pertanian Bogor) Prof. Dr. Ir. Djaban Tinambunan, M.S. (Keteknikan Kehutanan ) Prof. Mustofa Agung Sardjono (Perhutanan Sosial, Universitas Mulawarman) Dr. Ir. A. Ngaloken Gintings, M.S. (Konservasi Tanah dan Air, Kelompok Kerja Kebijakan Badan Litbang Kehutanan ) 5. Dr. Ir. Boen M. Purnama (Ekonomi dan Sumberdaya Hutan, IPDN) 6. Prof. Dr. Ir. Kurniatun Hairiah (Perhitungan Emisi Karbon dan Upaya Pengendalian Perubahan Iklim, Universitas Brawijaya)
: Ir. Achmad Pribadi, M.Sc. : 1. Ir. Tigor Butarbutar, M.Sc. 2. Drs. Haryono 3. Dewi Ratna Kurnia Sari, S.Hut., M.Si. 4. Agus Purwanto, A.Md. : 1. Ratna Widyaningsih, S.Kom. 2. Gentini Ika Lestari, S.Sos., M.Si.
Diterbitkan oleh (Published by): Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan (Centre For Climate Change and Policy Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan (Forestry Research and Development Agency, Ministry of Forestry) Alamat (Address) : Jl. Gunung Batu No. 5 Po Box 272 Bogor 16610, Indonesia Telepon (Phone) : 62-251-8633944 Fax (Fax) : 62-251-8634924 Email :
[email protected] Laman (Web) : www.puspijak.org
ISSN: 1979-6013
TERAKREDITASI No. 493/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
Forestry Socio and Economic Research Journal Volume 12 Nomor 1, Maret Tahun 2015
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN Ministry of Environment and Forestry BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Forestry Research and Development Agency PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN
Centre for Climate Change and Policy Research and Development BOGOR - INDONESIA
JURNAL SOSEK
Vol. 12
No. 1
Hal 1 - 76
Bogor Maret, 2015
ISSN 1979-6013
Ucapan Terima Kasih Dewan Redaksi Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada mitra bestari (peer reviewers) yang telah menelaah naskah yang dimuat pada edisi Vol. 12 No. 1 Maret tahun 2015 : 1. Prof. Dr. Dudung Darusman 2. Dr. I Wayan Susi Dharmawan
ISSN: 1979-6013
TERAKREDITASI No. 493/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
Forestry Socio and Economic Research Journal Volume 12 Nomor 1, Maret Tahun 2015 DAFTAR ISI ANALISIS KESENJANGAN DAN PERBANDINGAN KAYU PAPI (Exocarpus Latifolia R.Br) DENGAN CENDANA (Santalum Album Linn.) DI NUSA TENGGARA TIMUR, INDONESIA (Gap Analyses and Comparison of Exocarpus latifolia R.Br With Santalum album Linn. in East Nusa Tenggara, Indonesia) Aziz Umroni, Heny Rianawati, & Siswadi ...................................................................................
1 - 12
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA: STUDI KASUS KOTA MEDAN, DELI SERDANG DAN PALANGKA RAYA (Factors Influence Urban Forest Development: Case Study in Medan, Deli Serdang and Palangka Raya) Elvida Yosefi Suryandari & Iis Alviya ..........................................................................................
13 - 30
KAJIAN FINANSIAL PENGEMBANGAN BIODIESEL KEMIRI SUNAN (Reutealis trisperma (Blanco) Airy Shaw) PADA LAHAN TERSEDIA DI JAWA BARAT (The Financial Analysis of Biodiesel Kemiri Sunan (Reutealis trisperma (Blanco) Airy Shaw) at the Available Lands on West Java) Wening Sri Wulandari, Dudung Darusman, Cecep Kusmana, & Widiatmaka .......................
31 - 42
GETAH JELUTUNG SEBAGAI HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNGGULAN DI LAHAN GAMBUT (Jelutung's Latex as a Leading Non Timber Forest Product on Peatland) Marinus Kristiadi Harun ...............................................................................................................
43 - 57
ANALISIS KEBUTUHAN LUASAN AREA HIJAU BERDASARKAN DAYA SERAP CO2 DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR (Analysis of Green Land Area Requirement Based on CO2 Absorption in Malang City, East Java) R. Mohamad Mulyadin & R. Esa Pangersa Gusti .......................................................................
59 - 66
POTENSI SERAPAN KARBONDIOKSIDA BEBERAPA JENIS DAUN TANAMAN DI JALUR HIJAU JALAN RAYA PAJAJARAN, BOGOR (Potential Carbondioxide Sequestration of Several Plant Leaves in Green Belt of Pajajaran Street, Bogor) Mohamad Iqbal, Rachmad Hermawan, & Endes N. Dahlan ...................................................
67 - 76
JURNAL PENELITIAN SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN ISSN: 1979 - 6013
Terbit : Maret 2015
Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa ijin dan biaya. UDC (OSDCF) 630*791 Aziz Umroni, Heny Rianawati, & Siswadi Analisis Kesenjangan dan Perbandingan Kayu Papi (Exocarpus Latifolia R.Br) dengan Cendana (Santalum album Linn.) di Nusa Tenggara Timur, Indonesia
UDC (OSDCF) 630*791:89 Wening Sri Wulandari, Dudung Darusman, Cecep Kusmana, & Widiatmaka Kajian Finansial Pengembangan Biodiesel Kemiri Sunan (Reutealis trisperma (Blanco) Airy Shaw) pada Lahan Tersedia di Jawa Barat
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1, hal. 1-12
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1, hal. 31-42
Kayu papi (Exocarpus latifolia R.Br) merupakan substitusi cendana (Santalum album Linn.). Peningkatan permintaan dan regulasi yang longgar mengancam kelestariannya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesenjangan dan membandingkan kedua spesies ini dalam aspek: informasi, konservasi, regulasi, produksi, harga dan kelimpahan. Terjadi kesenjangan yang nyata antara keduanya dalam hal: informasi, konservasi dan kelimpahannya. Metode yang digunakan antara lain: studi perbandingan, studi literatur dan analisis vegetasi. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam membedakan keduanya menurut ciri morfologis, anatomis dan harganya. Kesenjangan informasi dan konservasi antara kedua spesies ini menggambarkan kerentanan kayu Papi terhadap permintaan pasar dan perhatian pihak terkait.
Pembangunan tanaman kemiri sunan layak diusahakan pada luas 60 ha, umur usaha 50 tahun. Nilai kelayakan dengan dana sendiri: NPV Rp 1.101.007.645, IRR 13,52%, BCR 1,36, PBP 14,68 tahun; dengan dana pinjaman: NPV Rp 160.351.357; IRR 13,52%; BCR 1,08; PBP 22,55 tahun. Pengolahan biodiesel layak diusahakan selama 15 tahun, kapasitas 202,75 Kl/tahun. Nilai kelayakan dengan dana sendiri: NPV Rp 512.549.740, IRR 27,27%, BCR 1,04, PBP 4,32 tahun; dengan dana pinjaman: NPV Rp 303.310.940; IRR 27,27%; BCR 1,03; PBP 4,94 tahun. Pembangunan tanaman pada lahan tersedia berpeluang menghasilkan 2.365 unit usaha dan biodiesel yang memenuhi 16,68% kebutuhan solar Jawa Barat.
Kata kunci: Analisis kesenjangan, cendana, kayu papi, studi literatur.
Kata kunci: Kelayakan, biodiesel, kemiri sunan (Reutealis trisperma (Blanco) Airy Shaw), lahan tersedia.
UDC (OSDCF) 630* 182 Elvida Yosefi Suryandari & Iis Alviya
UDC (OSDCF) 630*88 Marinus Kristiadi Harun
Faktor-faktor yang Memengaruhi Penyelenggaraan Hutan Kota: Studi Kasus Kota Medan, Deli Serdang dan Palangka Raya
Getah Jelutung sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan di Lahan Gambut
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1, hal. 13-30
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1, hal. 43-57
Peningkatan pembangunan di perkotaan belum diikuti pembangunan hutan kota yang memadai karena banyak kendala. Tujuan tulisan ini untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi penyelenggaraan hutan kota. Faktor yang memengaruhi penyelenggaraan hutan meliputi aspek biofisik, sosial-ekonomi, organisasi dan kebijakan. Faktor yang paling berpengaruh dari aspek-aspek tersebut: keterbatasan dan sengketa lahan, peningkatan penduduk, pendanaan serta peraturan terkait. Upaya mengatasi keterbatasan lahan dilakukan dengan optimalisasi hutan kota melalui kegiatan pengayaan jenis dan penanaman pada lahan terlantar. Para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan hutan kota perlu koordinasi dalam perencanaan wilayah, pendanaan dan penetapan Perda hutan kota untuk mengurangi risiko perubahan dan konflik peruntukan lahan.
Getah jelutung dianalisis menggunakan kriteria P.21/MenhutII/2009 yang meliputi aspek ekonomi, biofisik lingkungan, kelembagaan, sosial dan teknologi. Pengumpulan data dilakukan melalui FGD dan wawancara. Hasil analisis menunjukkan getah jelutung termasuk suatu HHBK unggulan provinsi dengan total nilai unggulan 72,62. Margin pemasaran getah jelutung belum efisien, nilainya >50%. Hutan tanaman jelutung layak dikembangkan dengan pola agroforestry dengan nilai NPV sebesar Rp 69.799.338, BCR sebesar 8,68 dan IRR sebesar 29% serta pola monokultur dengan nilai NPV sebesar Rp 29.933.289,52, BCR sebesar 7,88 dan IRR sebesar 20%. Sistem kelembagaan yang diusulkan untuk mengatasi kendala pengembangan getah jelutung adalah Sistem Kebersaman Ekonomi (SKE).
Kata kunci: Hutan kota, keterbatasan lahan, penduduk, anggaran dan koordinasi para pihak.
Kata kunci: Getah jelutung, HHBK ung gulan, sistem kebersamaan ekonomi.
UDC (OSDCF) 630*182 R. Mohamad Mulyadin & R. Esa Pangersa Gusti
UDC (OSDCF) 630*791 Mohamad Iqbal, Rachmad Hermawan, & Endes N. Dahlan
Analisis Kebutuhan Luasan Area Hijau berdasarkan Daya Serap CO2 di Kota Malang, Jawa Timur
Potensi Serapan Karbondioksida Beberapa Jenis Daun Tanaman di Jalur Hijau Jalan Raya Pajajaran, Bogor
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1, hal. 59-66
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1, hal. 67-76
Penurunan kualitas lingkungan sebagian besar diakibatkan oleh polusi gas karbondioksida (CO2). Upaya untuk menekan konsentrasi CO2 di udara perkotaan dapat dilakukan dengan menerapkan konsep area hijau atau yang lebih dikenal dengan ruang terbuka hijau (RTH). Penelitian ini bertujuan mengetahui kesesuaian luasan area hijau dengan total emisi yang dihasilkan di Kota Malang. Total emisi wilayah dilihat dari empat aspek yaitu emisi dari bahan bakar, penduduk, peternakan dan persawahan. Hasil penelitian menunjukkan luasan area hijau saat ini belum mampu menyerap total emisi. Penambahan area hijau seluas 3.373,022 ha merupakan luasan yang sesuai untuk mampu menyerap total emisi di wilayah tersebut.
Peningkatan konsentrasi CO2 secara efektif dapat dikendalikan dengan pembangunan hutan kota melalui pemilihan jenis tanaman yang memiliki potensi serapan CO2 tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan potensi serapan CO2 sembilan jenis tanaman di Jalan Pajajaran, Bogor. Data primer dikumpulkan melalui survei lapangan dan pengujian sampel daun menggunakan metode karbohidrat. Studi kasus dan literatur untuk memperoleh data sekunder dari instansi atau literatur terkait, khususnya hasil studi dengan kasus serupa. Hasil analisis menunjukkan C. manghas memiliki potensi serapan CO2 per daun tanaman paling tinggi yaitu sebesar 11,86 ton/daun/tahun. Selain itu, F. elastica dan S. macrophylla juga memiliki nilai serapan CO2 yang relatif baik dibandingkan jenis tanaman lain yaitu masing-masing sebesar 3,83 ton/daun/tahun dan 2,51 ton/daun/tahun.
Kata kunci: Area hijau, emisi CO2, daya serap CO2, luasan ideal.
Kata kunci: Serapan CO2, metode karbohidrat, hutan kota.
FORESTRY SOCIO AND ECONOMIC RESEARCH JOURNAL ISSN: 1979 - 6013
Date of issue : March 2015
The discriptors given are keywords. The abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC (OSDCF) 630* 791 Aziz Umroni, Heny Rianawati, & Siswadi Gap Analyses and Comparison of Exocarpus latifolia R.Br With Santalum album Linn. in East Nusa Tenggara, Indonesia
Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 12 No. 1, p. 1-12
UDC (OSDCF) 630* 89 Wening Sri Wulandari, Dudung Darusman, Cecep Kusmana, & Widiatmaka The Financial Analysis of Biodiesel Kemiri Sunan (Reutealis trisperma (Blanco) Airy Shaw) at the Available Lands on West Java
Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 12 No. 1, p. 31-42 Shrub sandalwood (Exocarpus latifolia R.Br) is potential for the substitution of sandalwood (Santalum album Linn.). The rising demand and ineffective regulations increase threats toward its sustainability. This reseach aimed at analysing gap and comparing both species in the aspects of: information, conservation, regulation, production, price and abundance. There is a significant disparity in term of their information, conservation and abundance. Comparison study, literature review and vegetation analysis were conducted. The result can be used for distinguishing both species according to morphological, anatomical and price. Gap of information and conservation of these species reflect the fragile condition of shrub sandalwood toward market demand and stakeholders attention.
Keywords: Gap analyses, literature review, sandalwood, shrub sandalwood.
The development of kemiri sunan plantation as a source of biodiesel is feasible on the area of 60 ha, a business period of 50 years. Feasibility values without loan are: NPV IDR 1,101,007,645; IRR 13.52%; BCR 1.36; PBP 14.68 years. Feasibility values with loan are: NPV IDR 160,351,357; IRR 13.52%; BCR 1.08; PBP 22.55 years. The biodiesel processing business is feasible at the business period of 15 years, the production capacity of 202.75 Kl/year. Feasibility values without loan are: NPV IDR 512,549,740; IRR 27.27%; BCR 1.04; PBP 4.32 years. Feasibility values with loan are: NPV IDR 303,310,940; IRR 27.27%; BCR 1.03; PBP 4.94 years. If all available lands be cultivated, it will generate 2,365 business units and produce biodiesel that meets 16.68% of the needs of West Java diesel oil.
Keywords: Feasibility, biodiesel, kemiri sunan (Reutealis trisperma (Blanco) Airy Shaw), available land.
UDC (OSDCF) 630* 182 Elvida Yosefi Suryandari & Iis Alviya
UDC (OSDCF) 630* 88 Marinus Kristiadi Harun
Factors Influence Urban Forest Development: Case Study in Medan, Deli Serdang and Palangka Raya
Jelutung's Latex as a Leading Non Timber Forest Product on Peatland
Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 12 No. 1, p. 43-57
Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 12 No. 1, p. 13-30 Increasing urban development has not been followed by adequate development of urban forest because of many obstacles. This paper describes the factors that affect urban forest development. There are four aspects, i.e. biophysical, socio-economic, organizational and policy. The most influential factors are: scarcity of land and land disputes, population growth, budgeting and regulatory issues. Effort to overcome the scarcity of land is by optimazing urban forests through species enrichment and plantings on idle land. Coordination among stakeholders is required in regional planning, budgeting and stipulation of district regulation to reduce the risk of land use conversion.
Keywords: Urban forest, land constrain, population, budget and stakeholders coordination.
Latex of jelutung was analyzed using the criteria and indicators stated in Forestry Minister Decree No. P.21/Menhut-II/2009. The results showed that jelutung's latex is categorized as a provincial superior NTFP with superior total value (STV) of 72.62. The marketing margin of jelutung latex is still inefficient as its value is >50%. The jelutung forest is feasible to be developed both in the monocultural and agroforestry patterns. NPV, BCR and IRR of jelutung with agroforestry pattern are IDR 69,799,338, 8.68 and 29% respectively. Institutional system proposed to overcome the ixisting obstacles is colaborative economics system.
Keywords: Jelutung's latex, leading NTFP, colaborative economic system.
UDC (OSDCF) 630* 182 R. Mohamad Mulyadin & R. Esa Pangersa Gusti
UDC (OSDCF) 630* 182 Mohamad Iqbal, Rachmad Hermawan, & Endes N. Dahlan
Analysis of Green Land Area Requirement Based on CO2 Absorption in Malang City, East Java
Potential Carbondioxide Sequestration of Several Plant Leaves in Green Belt of Pajajaran Street, Bogor
Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 12 No. 1, p. 59-66
Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 12 No. 1, p. 57-76
One of causes of the environmental quality degradation is carbondioxide (CO2) gas pollution. An effort to reduce concentration of CO2 in the urban air is by developing green area or better known as green open space (RTH). This study aims to determine suitability of green area with total emission generated in Malang city. The total emission seen from four sources, such as emission from fuel, residents, livestocks and rice field. The results showed that the extent of green areas have not been able to absorb the total emissions. The addition of 3,373.022 ha green area is required to absorb the total emission in this city.
The increment of CO2 concentration can effectively be controlled by the development of the urban forest through selection of plants that have high potential CO2 sequestration. This research aims to obtain data on the potential CO2 sequestration by leaves of nine species of plants in Pajajaran Street, Bogor. Primary data was collected through field survey and testing of leaf samples using the method of carbohydrates. Case and literature studies were conducted to obtain secondary data from the agency or the relevant literature, especially the results of studies with similar cases. Results showed C. manghas has the potential CO2 sequestration per leaf highest of 11,86 tonnes/leaf/year. Additionally, F. elastica and S. macrophylla also has CO2 sequestration rate are relatively well compared to other plant respectively of 3,83 tonnes/leaf/year and 2,51 tonnes/leaf/year.
Keywords: Green area, CO2 emission, CO2 absorption, ideal green area..
Keywords: Carbondioxide sequestration, carbohydrate method, urban forest..
ANALISIS KESENJANGAN DAN PERBANDINGAN KAYU PAPI (Exocarpus latifolia R.Br) DENGAN CENDANA (Santalum album Linn.) DI NUSA TENGGARA TIMUR, INDONESIA (Gap Analyses and Comparison of Exocarpus latifolia R.Br with Santalum album Linn. in East Nusa Tenggara, Indonesia) Aziz Umroni, Heny Rianawati, & Siswadi Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Jl. Alfons Nisnoni (Untung Surapati) No. 7B, Kel. Airnona Kupang, Indonesia; e-mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected] Diterima 8 Oktober 2014, direvisi 30 Desember 2014, disetujui 29 Januari 2015 ABSTRACT
Shrub sandalwood (Exocarpus latifolia R.Br) is potential for the substitution of sandalwood (Santalum album Linn.) The rising demand and ineffective regulations increase threats toward its sustainability. This research aimed at: 1) conducting gap analyses of information and conservation between sandalwood and shrub sandalwood and 2) comparing production, price and abundance of both species. Analysis 1 used literature review and comparison study while analysis 2 used Importance Value (IV) and comparison. The results showed that: Firstly, there is a significant disparity of information and conservation between both species, i.e there are 319 scientific publications related to sandalwood and four conservation plots have been built, meanwhile only 10 scientific publications about shrub sandalwood and only one conservation plot has been settled; Secondly, the price of shrub sandalwood (IDR 3.15 million/m3) is lower than 3 sandalwood (IDR 225 million/m ) and the average production (2009-2012) of shrub sandalwood (700 m3 annually) is higher than 3 sandalwood (166 m annually); Thirdly, the abundance of shrub sandalwood in several forests in Timor is lower than sandalwood, i.e IV at poles and trees of shrub sandalwood are 31-58 and 9-32 respectively, while for sandalwood are 194-234 and 60-209 respectively. The less stands in their habitats and relatively higher wood production indicated that shrub sandalwood is more endangered than sandalwood. Keywords: Gap analyses, literature review, sandalwood, shrub sandalwood. ABSTRAK
Kayu papi (Exocarpus latifolia R.Br) merupakan substitusi cendana (Santalum album Linn.). Peningkatan permintaan dan regulasi yang longgar mengancam kelestariannya. Tujuan penelitian ini adalah: 1) menganalisis kesenjangan informasi dan konservasi kayu papi dan cendana dan 2) membandingkan produksi, harga serta kelimpahan keduanya. Analisis 1 menggunakan metode analisis literatur dan studi perbandingan, sedangkan analisis 2 menggunakan indeks nilai penting (INP) dan metode perbandingan. Hasil penelitian menunjukkan: pertama, kesenjangan informasi dan konservasi kayu papi dan cendana adalah nyata. Terdapat 319 publikasi ilmiah yang memuat informasi tentang cendana dan ada empat plot konservasi cendana. Sementara itu, hanya terdapat 10 publikasi ilmiah tentang kayu papi dan sebuah plot konservasi; kedua, harga kayu papi (Rp 3,1 juta/m3) lebih rendah dibanding cendana (Rp 225 juta/m3) dan rataan produksi kayu papi dalam empat tahun terakhir (700 m3/tahun) lebih tinggi dibanding rataan produksi cendana (166 m3/tahun); ketiga, kelimpahan kayu papi di beberapa daerah di Timor lebih rendah dibanding cendana. INP kayu papi pada tingkat tiang dan pohon di beberapa kawasan hutan secara berturut-turut adalah 31-57 dan 9-32, sedangkan INP cendana di lahan milik pada tingkat tiang dan pohon adalah 194-234 dan 60-209. Dengan kelimpahan tanaman lebih rendah dan produksi kayu lebih tinggi, kelestarian kayu papi lebih terancam dibanding cendana. Kata kunci: Analisis kesenjangan, cendana, kayu papi, studi literatur.
I. PENDAHULUAN Kayu papi adalah nama lokal untuk Exocarpus latifolia R.Br yang merupakan suku Santalaceae. Suku Santalaceae pada umumnya menghasilkan wangi yang berasal dari kayunya. Beberapa jenis dari suku
Santalaceae yang terkenal adalah Santalum album Linn. atau east indian sandalwood di Indonesia dan India (Backer, 1965; Chowdury, 1933 dalam Mandang, 1988), Santalum spicatum R.Br. di Australia bagian barat (Talbot, 1983 dalam Mandang, 1988), Santalum freicinetianum Gaud. di
1 Analisis Kesenjangan dan Perbandingan Kayu Papi ...(Aziz Umroni, Heny Rianawati & Siswadi)
Hawai (Rock, 1916 dalam Mandang, 1988), Exocarpus latifolia R.Br atau shrub sandalwood di Philiphina, Indonesia, New Guena dan Australia (Oyen & Huan Dun, 1999) dan Ocyris lanceolata atau african sandalwood di Tanzania (Bhat et al., 2006). Namun dari sekian banyak marga Santalacea, S. album yang tumbuh di Nusa Tenggara Timur (NTT) mempunyai keunggulan komparatif dalam kadar minyak dan produksi kayu teras dibandingkan jenis dari suku Santalaceae lainnya (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Timor Tengah Selatan, 2010). Besarnya permintaan cendana tidak diimbangi dengan regenerasinya sehingga saat ini langka dan mahal. Sejak tahun 1990-an kayu papi sering digunakan untuk mencampur cendana. Pasca kelangkaan dan menurunnya produksi kayu teras cendana, permintaan kayu gubal cendana dan kayu papi meningkat tajam dan menjadikan kayu papi sebagai komoditas yang sangat potensial (Sumanto et al., 2011). Peluang inilah yang dimanfaatkan oleh pelaku pasar untuk substitusi cendana dengan kayu papi. Eksploitasi kayu papi yang kurang terkendali saat ini terjadi karena: 1) banyaknya kemiripan sifat antara kayu papi dengan cendana dari wangi dan penampakan fisiknya, sehingga keduanya substitutif; 2) kelimpahannya di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang relatif belum tereksplorasi dan 3) harga perolehan yang jauh lebih murah dari cendana di pemilik langsung. Komparasi dalam suku Santalaceae pernah dilakukan oleh Mandang (1988) yang melakukan komparasi antara S. album dan E. latifolia mengenai aspek anatomi kayu, Bhat et al. (2006) yang mengomparasikan S. album dan O. lanceleolata dalam aspek kandungan minyak dan kode genetik atau DNA dan Haffner (1993) yang membandingkan kualitas dan kuantitas kayu teras dari dua spesies dari marga Santalum yakni S. album dan S. spicatum yang berasal dari Indonesia dan Australia. Permasalahan pengelolaan kayu papi lainnya adalah budidayanya memerlukan upaya ekstra karena termasuk jenis semiparasit (hemyparasite) yang memerlukan tanaman inang untuk menopang kehidupannya (Oyen & Huan Dun, 1999). Sementara itu, kegiatan eksploitasi kayu papi terus berlangsung dengan regulasi yang mengatur peredaran dan konservasinya relatif lebih longgar dibandingkan cendana. Dengan nilai komersial yang jauh lebih rendah tetapi memiliki manfaat yang hampir sama dengan cendana menyebabkan ancaman terhadap kelestarian kayu papi di habitat 2
alaminya meningkat. Tulisan ini bertujuan untuk melakukan studi komparasi antara cendana dan kayu papi dalam aspek produksi, kelimpahan, nilai ekonomi, regulasi, budidaya serta kesenjangan penelitian (research gap) yang bermanfaat untuk menentukan prioritas yang perlu dilakukan. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai sebaran dan kelimpahan kayu papi dilaksanakan di Pulau Timor, meliputi: Kabupaten Belu, Timor Tengah Utara (TTU), Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kabupaten Kupang. Kegiatan ini dilaksanakan pada tahun 2012. Pengumpulan data sekunder tentang produksi dan studi pustaka (literature review) dilaksanakan pada tahun 2013 sampai dengan 2014. B. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan adalah data kelimpahan (sebaran dan dominansi) kayu papi di NTT. Data primer dikumpulkan melalui survei lapangan. Data sekunder yang dikumpulkan antara lain: a) aspek anatomi dan morfologi kayu papi dan kayu cendana, b) informasi tentang jumlah publikasi ilmiah, upaya konservasi dan silvikultur kayu papi dan cendana, c) produksi kayu dan peredaran kayu papi dan cendana di NTT. Data sekunder diperoleh dengan studi pustaka publikasi online dari Google Schoolar dan EBSCO Host (Cires et al., 2013), IUCN Red List dan Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten di NTT. C. Analisis Data 1. Analisis kesenjangan
Analisis kesenjangan informasi, konservasi dan regulasi antara kayu papi dan cendana dilakukan dengan membandingkan jumlah publikasi ilmiah, kelengkapan informasi silvikultur, jumlah plot/kebun konservasi dan ketersediaan regulasi kayu papi dan cendana. Kesenjangan informasi dinilai nyata jika jumlah publikasi ilmiah jauh berbeda, kelengkapan informasi silvikultur tidak sama dan jumlah plot/kebun konservasi berbeda nyata.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 1-12
2. Analisis perbandingan
Analisis perbandingan produksi dan harga antara kayu papi dan cendana dilakukan dalam rangka mengetahui perbedaannya, dengan membandingkan tingkat produksi dan harga keduanya. 3. Analisis kelimpahan tanaman
Analisis kelimpahan kayu papi dilaksanakan dengan cara menghitung Indeks Nilai Penting (INP), sampling diambil dengan metode transek dengan petak ukur persegi. Nilai INP diukur dengan rumus berikut (Dumbois et al., 1974; Kurniawan et al., 2013): INP = KR+FR+DR Di mana: KR adalah kerapatan relatif, FR adalah frekuensi relatif dan DR adalah dominasi relatif. Sementara itu, kelimpahan cendana diperoleh dari publikasi ilmiah. Kelimpahan kayu papi dan cendana selanjutnya dibandingkan untuk mengetahui perbedaannya. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Kayu Papi dan Cendana 1. Aspek anatomi dan morfologi
Kayu papi mempunyai banyak kemiripan dengan cendana, bahkan secara mikroskopik
keduanya mempunyai banyak sekali persamaan anatomis. Secara fisiologis keduanya dapat dibedakan dari: 1) morfologi daun dan buah dan 2) bentuk batang, seperti terlihat pada Tabel 1. Cendana dan kayu papi sangat sulit dibedakan dalam bentuk sortimen atau kayu olahannya karena kayu mengeluarkan senyawa aromatik. Keduanya hanya bisa dibedakan secara anatomis, yaitu pada diameter dan frekuensi pori-pori. Diameter pori cendana lebih kecil daripada kayu papi, besarnya berturut-turut adalah 52 dan 68 mikron. Frekuensi pori cendana lebih banyak dari kayu papi, besarnya berturut-turut adalah 64 dan 29 pori/mm2. Ilustrasi penanda anatominya adalah kayu papi mempunyai pori yang lebih lebar dengan frekuensi yang lebih sedikit dari cendana, sedangkan pori keduanya sama-sama berbentuk oval, soliter dan tidak ada endapan di dalamnya (Mandang, 1988). Ciri anatomi lainnya (parenkim, jari-jari sel dan serat) relatif identik. Menurut Bhat et al. (2006) kayu dalam satu suku secara umum mempunyai karakteristik fisik dan anatomis yang relatif sama dan hanya dapat ditemukan sedikit perbedaannya. Secara makroskopis keduanya dapat dibedakan dari warna kayu, wangi dan kenampakan kayunya. Kayu papi berwarna lebih gelap, nampak berminyak (mengilap), relatif kurang harum dan ada kesan bau asam semut sehingga seringkali kayu papi disebut juga dengan “cendana semut”.
Tabel 1. Perbandingan morfologi kayu papi dengan cendana Table 1. Morphological comparison between shrub sandalwood and sandalwood Aspek (Aspects)
Cendana (Sandalwood)
Papi (Shrub sandalwood)
Bentuk daun (Leaf shape)
Daun tunggal, berhadapan, agak bersilangan, tidak berstipula, berbentuk elips (oblong) 3,5-5,25 x 2-3 cm, panjang tangkai 0,75-1 cm, tepi daun sedikit bergelombang*
Daun tunggal, panjang tangkai 2-14 mm, berbentuk elips atau bulat telur terbalik ukuran sampai 14 cm x 8,5 cm dengan tulang daun melengkung ujung dan pangkal daun runcing
Batang (Stem)
Batang berbentuk bulat, dapat mencapai diameter 40 cm, agak berlekuk, tanpa akar banir, perakaran tunggang, dengan akar mampu menjadi akar trubusan, beralur dangkal dengan kulit batang relatif tipis
Batang berbentuk bulat, berwarna coklat gelap kehitaman dengan alur relatif lebih dalam dari cendana, kulit terkelupas, dapat mencapai 40 cm, dengan kulit batang yang agak tebal dan apabila dilukai kulit batangnya bertekstur
Buah (Fruit)
Buah batu (drupe) berbentuk bola, berukuran kecil 1 x 0,75 cm diameternya, biji coklat muda kekuningan, terdapat satu biji, biasanya dengan sisa stilus yang pendek*
Buah batu (drupe) agak lebih besar dari cendana (di Timor) dan tangkai buah berkembang seperti daging buah (fleshy) berwarna merah kehitaman (edible)
*
Sumber (Source): Adriyanti (1989).
3 Analisis Kesenjangan dan Perbandingan Kayu Papi ...(Aziz Umroni, Heny Rianawati & Siswadi)
2. Aspek regulasi
Kayu papi mempunyai potensi secara ekonomi namun kurang didukung regulasi yang memadai. Hal ini berpotensi mengancam kelestarian di habitat alaminya. Beberapa pemerintah daerah telah melakukan formalisasi aturan berkaitan dengan tata niaga kayu, antara lain: 1) Pemda Belu dengan penerbitan SK Bupati tentang retribusi khusus; 2) Pemda Sumba Barat dengan penerbitan peraturan mengenai jangka waktu penerbitan surat ijin pengiriman kayu dan 3) Pemerintah Kabupaten Sikka sejak tahun 2012 telah melakukan moratorium ijin pengiriman kayu papi. Secara rinci tata kelola cendana dan kayu papi dapat dilihat pada Tabel 2. Formalisasi kebijakan ini bukan tanpa kendala, penerapan SK Bupati Belu mengenai penerapan retribusi pengangkutan kayu papi, hal ini juga dimaksudkan untuk melakukan moratorium penebangan. Namun karena menimbulkan informasi yang tidak sinkron mengenai besaran tarif sehingga meresahkan masyarakat, akhirnya peraturan tersebut dicabut atas masukan beberapa pihak. Langkah yang ditempuh oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Sumba Barat lebih moderat namun efektif untuk menahan laju eksploitasi dalam beberapa sisi. Pemda melalui Dinas Kehutanan hanya menerbitkan surat ijin pengiriman kayu pada bulan-bulan di musim kemarau, dengan kuota tertentu dan dalam jangka waktu dua minggu sehingga tidak ada pengiriman kayu yang sifatnya rutin. Hal ini seperti soft
moratorium penebangan sekaligus menerapkan asas jangka benah dan jatah tebangan. Apabila peraturan ditegakkan dengan konsisten maka dengan sendirinya laju degradasinya akan tertangani. Asumsi ini didasarkan atas: 1) sebaran alami kayu papi mayoritas ada di dalam kawasan hutan (Umroni et al., 2012) yang secara normatif ada aturan yang melekat tentang larangan izin penebangan dan 2) kayu papi merupakan komoditas perdagangan antar pulau yang memerlukan dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) di mana prosedurnya ditata secara hierarki dan membutuhkan verifikasi lapangan. B. Kesenjangan Kayu Papi dan Cendana 1. Publikasi ilmiah
Hasil penelusuran pustaka riset tentang cendana dan kayu papi diperoleh pustaka sebanyak 273 studi tentang cendana dan sembilan pustaka tentang kayu papi dari Google Scholar dan sebanyak 46 publikasi tentang cendana serta satu publikasi tentang kayu papi dari EBSCO Host seperti pada Tabel 3. Dari Tabel 3 diketahui bahwa terjadi kesenjangan penelitian yang signifikan antara cendana dan kayu papi. Hal ini dapat terjadi karena cendana lebih populer dan merupakan material parfum yang paling awal digunakan (Bhat et al., 2006) serta telah diperdagangkan dari kepulauan Sunda Kecil (Timor, Sumba) sejak abad ke-3 Masehi (Oyen & Huan Dun, 1999). Publikasi kayu
Tabel 2. Komparasi kayu papi dengan cendana dalam aspek tata kelola Table 2. Comparison between shrub sandalwood and sandalwood in regulation aspect Aspek (Aspects) Peraturan (Regulation)
Cendana (Sandalwood) - Perda Timor No. 4 Tahun 1953, Perda No. 11/PD/1966, Perda No. 8 Tahun 1968, Perda No. 7 Tahun 1974, Perda No. 17 Tahun 1974, Perda No. 7 Tahun 1980, Perda No. 16 Tahun 1986, Kep utusan Gubernur No. 2 Tahun 1996 , substansinya tentang penguasaan pemerintah atas cendana* - Instruksi Gubernur No. 7 Tahun 1997 tentang moratorium penebangan selama lima tahun - Perda No. 2 Tahun 1999 yang membatalkan Perda No. 16 Tahun 1986, sekaligus pengembalian hak cendana kepada masyarakat - Perda di tingkat kabupaten (Sumba Barat, Sumba Timur, TTS, TTU, Belu)
Papi (Shrub sandalwood) - Kabupaten Belu yang membuat regulasi khusus tentang kayu papi, substansinya tentang besaran tarif retribusi, namun SK Bupati ini telah dicabut. - Kabupaten Sikka sejak 2012 melakukan moratorium ijin penebangan kayu Papi
Sumber (Sources): *Raharjo (2013).
4
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 1-12
Tabel 3. Klasifikasi perbandingan jumlah penelitian kayu papi dan cendana Table 3. Classification of research number between shrub sandalwood and sandalwood Cendana (Sandalwood) Aspek (Aspect)
Kategori (Category)
Silvikultur (Silviculture)
SB
Sosial ekonomi (Social economic) Ekologi konservasi (Ecology conservation) Kandungan (Content)
S
SB
Pemuliaan (Tree improvement)
B
Fisiology (Physiology)
C
Hama penyakit (Pest and disease)
SB
Total (Summary)
S
Keterangan (Remark) GS: 83 publikasi EH: 14 publikasi GS: 5 publikasi EH: 1 publikasi GS: 6 publikasi EH: 6 publikasi GS: 74 publikasi EH: 9 publikasi GS: 35 publikasi EH: 5 publikasi GS: 23 publikasi EH: 6 publikasi GS: 47 publikasi EH: 5 publikasi GS: 273 publikasi EH: 46 publikasi
Kayu papi (Shrub sandalwood) Kategori (Category)
Keterangan (Remark)
SS
EH: 1 publikasi
SS
EH, GS: 0 publikasi
SS
EH, GS: 0 publikasi
S SS
EH: 0 publikasi GS: 7 publikasi EH, GS: 0 publikasi
SS
GS: 2 publikasi
SS
EH, GS: 0 publikasi
GS: 9 publikasi EH: 1 publikasi
Keterangan (Remarks): SB, sangat banyak > 50 publikasi; B, banyak 30-50 publikasi; C, cukup 15-29 publikasi; S, sedikit 5-14 publikasi; SS, sangat sedikit < 5 publikasi; GS, Google schoolar; EH, EBSCO host (SB, very plenty>50 publications; B, plenty 30-50 publications; C, modest 15-29 publications; S, scarce 5-14 publications; SS, very scarce < 5 publcations; GS, Google schoolar; EH, EBSCO host).
papi paling banyak tentang kandungan dan efektivitasnya sebagai obat tuberculosis (Koch, 2009). Studi ini relatif masih baru dan belum ada yang melakukan studi tentang kandungan serta minyak yang dihasilkan. Publikasi tentang cendana didominasi studi tentang aspek silvikultur dengan jumlah publikasi yang ditemukan dari Google Scholar dan EBSCO Host berturut-turut sebesar 83 dan 14 publikasi. Kemudian lebih dari 70 publikasi mempelajari kandungan bahan ekstraktif dan manfaat yang terkandung dari cendana. Secara komparasi lebih dari 300 publikasi ilmiah mempelajari tentang cendana dari beragam aspek sedangkan publikasi mengenai kayu papi hanya ditemukan sebanyak 10 publikasi. Hal ini sangat kontras sehingga diperlukan upaya ekstra untuk mengejar kesenjangan ini dalam rangka meningkatkan nilai tambah (value added) kayu papi. 2. Upaya konservasi Belajar dari pengalaman cendana di mana rekaman genetik cendana yang lebih lengkap dan representatif ada di luar NTT, maka diperlukan langkah antisipasi untuk menjaga keragaman
genetik kayu papi. Upaya konservasi keduanya secara ex-situ (preventif) dan regulasi (preemptive) secara rinci disajikan pada Tabel 4. Plot konservasi cendana di Oelbubuk mempunyai koleksi lebih dari 380 tanaman induk, sudah berproduksi namun tanpa rekam genetik yang jelas. Plot konservasi di Watusipat Gunung Kidul terdiri atas 13 provenan dari NTT dan satu provenan dari Gunung Kidul, tahun tanam 2002 (Fiani et al., 2012). Belajar dari pengalaman cendana di mana terdapat kelemahan dalam hal perekaman genetik (di Oelbubuk) dan tahun awal pengoleksian materi genetik (Watusipat) seharusnya saat ini dimulai upaya konservasi genetik kayu papi di NTT. Mengingat laju eksploitasi yang terus berlangsung berpotensi menimbulkan degradasi keragaman genetik di habitat alaminya, Balai Penelitian Kehutanan Kupang ber usaha mengoleksi 52 famili kayu papi dari Pulau Timor dan 10 famili dari Pulau Sumba, yang saat ini dalam tahap pembangunan. Menurut Namof et al. (2010) untuk melaksanakan konservasi jenis (ex-situ) 5
Analisis Kesenjangan dan Perbandingan Kayu Papi ...(Aziz Umroni, Heny Rianawati & Siswadi)
Tabel 4. Perbandingan status dan upaya konservasi antara kayu papi dan cendana Table 4. Comparison status and consevation attempts between sandalwood and shrub sandalwood Aspek (Aspects)
Cendana (Sandalwood)
Papi (Shrub sandalwood)
Plot konservasi (Conservation plot)
- Plot konservasi Balai Penelitian Kehutanan Kupang di Desa Oelbubuk di TTS - Plot konservasi Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta di Watusipat Gunung Kidul - Plot konservasi Balai Penelitian Kehutanan Kupang di S tasiun Banamlaat Kefamenanu TTU - Kebun benih Kian Rai Ikun (KB-KRI) yang dikelola oleh LIPI di Kabupaten Belu1
Plot konservasi ex-situ Balai Penelitian Kehutanan Kupang di Soe (dalam tahap pembangunan)
Sumber Benih (Seed sources)2
- Lew Oeleng, Kabupaten Lembata, luas 2,5 ha (TBT) - Meredadana di Kabupaten Sumba Barat Daya, luas 2,03 ha (TBT) - Kampung Wotok, Kabupaten Manggarai, luas 0,75 ha (TBT) - Adang Kokar, Kabupaten Alor, luas 5,55 ha (TBT) - Pagomogo, Kabupaten Nagekeo, luas 4,09 ha (TBT) - Noinbila, Kabupaten TTS, luas 1,6 ha (TBT) - HTI Polen, Kabupaten TTS, luas 0,1 ha (TBT) - Pusu, Kabupaten TTS, luas 1,17 ha (TBT) - Netpala-Oelbubuk, Kabupaten TTS, luas 4,09 ha (APB) - Oebatu, Kabupaten Rote Ndao, luas 5,34 ha (TBT)
Belum tersedia
Status (Status)
- Vurnerable versi IUCN, sejak tahun 1998 3 - Boleh diperdagangkan pasca moratorium tebangan tahun 20022007 oleh Pemerintah Provinsi NTT. 1
2
Tidak tersedia
3
Sumber (Sources): Wawo (2008), BPTH Bali-Nusra dalam Sumardi et al. (2014), IUCN (2013). Keterangan (Remarks): TBT, Tegakan Benih Tersertifikasi; APB, Area Produksi Benih (IS, Identified Stand; SPA, Seed Production Area).
diperlukan sekurangnya 15 individu yang berasal dari tiga populasi untuk mempertahankan keragaman genetiknya. Dengan demikian hasil eksplorasi materi genetik yang dilaksanakan sudah representatif untuk kegiatan konservasi ex-situ. Status kayu papi dan cendana menurut IUCN berbeda, cendana termasuk daftar redlist spesies dengan status rentan (vulnerable) sedangkan kayu papi data tidak tersedia. Konsekuensinya adalah, cendana dibatasi perdagangannya namun kayu papi yang mempunyai kerentanan hampir sama, dapat diperdagangkan secara bebas. 3. Informasi silvikultur Beberapa suku Santalaceae dikenal sebagai spesies semiparasit ( hemyparasitic ) yang melakukan
6
simbiosis secara parasit dengan membentuk haustoria dengan akar tanaman lain, sehingga dalam usaha budidaya kedua spesies ini diperlukan adanya penambahan tanaman yang berfungsi sebagai inang. Komparasi keduanya dalam aspek budidaya dan proses fisiologisnya disajikan pada Tabel 5. Dari Tabel 5 terlihat adanya gap atau rentang yang lebar antara penelitian kayu papi dengan penelitian cendana. Penelitian cendana lebih unggul (advance) dalam berbagai studi karena keunggulan komparatifnya dan lebih populer dalam perdagangan. Potensi pengembangan kayu papi terutama diperlukan untuk menjawab persoalan budidaya, kandungan essential oil-nya dan uji fitokimianya untuk menguji kandungan unsur yang bermanfaat secara medis.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 1-12
Tabel 5. Komparasi kayu papi dengan cendana dalam aspek budidaya Table 5. Silviculture comparison of shrub sandalwood and sandalwood) Perbandingan (Comparison) Pembungaan (Flowering) Polinator (Polinator) Jumlah biji/kilogram (Amount of seed/kg) Skarifikasi (Pre treatment) Inang (Host plant)
Sebaran (Distribution)
Cendana (Sandalwood) Juni-Oktober1 Lebah madu (Apis mellifera sp.) dan semut1 5.000-8.0002
Tidak tersedia Tidak tersedia Tidak tersedia
Mekanis atau direndam dalam larutan giberelic acid3 Primer: Acacia spp., Alternathera spp., Amaranthus spp., Breynia cerrua, Cajanus cajan, Capsicum spp. Sekunder: Pterocarpus, Acacia, Cassia, Paraserianthes, Casuarina, Sesbania 4
Mekanis (memecah lapisan biji) dan direndam air dingin5 Primer: Althenantera sp., Cajanus cajan, Sesbania grandiflora, Sauropus6 Sekunder: Pethalostigma spp., Chantium spp., Terminalia spp., Callistis sp2
Indonesia: Timor, Flores, Alor, Sumba , India
Jawa: Puger, Besuki, Bondowoso, Baluran, Sumenep, Kangean; Bali; Sumbawa: Flores, Mangaarai, Manggarai Barat, Pulau Rinca, Sumba; Timor; Sulawesi: Pangkadjene, Selayar; Maluku: Pulau Obi, Pulau Aru, Kei, Ternate, Halmahera; Papua; PNG; Filipina 7 0-600 mdpl7 dan 0-1.200 mdpl5 Tidak tersedia
1,4
0-1.500 mdpl namun optimal 600-900 mdpl2
Kandungan minyak (Essensial oil) Kegunaan (Utility)
Santalol: (Z)-α-santalol (45-47%), (Z)-βsantalol (20-30%)2 Parfum, kosmetik dan obat-obatan
Etnobotani (Ethnobotany)
Gagang keris dan obat tradisional (sakit perut, gonorrhoea)2
Sumber (Sources):
1
Papi (Shrub sandalwood)
2
Bahan kerajinan dan obat TBC dari hasil derivasinya dalam bentuk Exocarpic acid8 Kulit batangnya untuk menginang, kayunya: tiang utama rumah, penambat ternak, gangsing (mainan) dan penumbuk padi
3
Baskorowati (2011), Oyen, (1999), Nagaveni & Srimathi 1980, 1981, 1985b; Mahdi, 1986; Nagaveni et al., 1989 dalam Neil (1990), 4Applegate at al.(1990), 5Umroni et al. (2012), 6Umroni et al. (2013), 7Susiarti (2005), 8 Koch (2009).
C. Perbandingan Kayu Papi dan Cendana 1. Produksi dan harga kayu Eksploitasi kayu papi di NTT terus mengalami kenaikan. Daftar Gabungan Laporan Produksi Hasil Hutan Olahan Bukan Kayu (DGLPHHOBK) dari tahun 2009 sampai dengan 2012 (Dinas Kehutanan Provinsi NTT, 2012) menunjukkan pengiriman kayu papi dari NTT mengalami peningkatan sedangkan pengiriman hasil olahan cendana mengalami penurunan, seperti nampak pada Tabel 6. Kayu papi dan cendana merupakan komoditas yang dapat saling menyubstitusi karena
keduanya dieksploitasi untuk tujuan mendapatkan kayu harumnya. Dari Tabel 6 diketahui bahwa kecenderungan kayu papi digunakan sebagai pengganti cendana semakin meningkat dilihat dari volume pengiriman kayu papi keluar dari NTT. Meskipun ada kecenderungan peningkatan produksi cendana namun secara komparatif produksi kayu harum dari NTT dalam empat tahun terakhir masih didominasi oleh kayu papi dengan persentase sebesar 71,5% sementara sisanya 28,5% berasal dari cendana.
7 Analisis Kesenjangan dan Perbandingan Kayu Papi ...(Aziz Umroni, Heny Rianawati & Siswadi)
Tabel 6. Perbandingan produksi cendana dan kayu papi di NTT Table 6. Production comparison between sandalwood and shrub sandalwood in NTT Tahun (Year)
Produksi kayu cendana (Sandalwood production) (Ton)
Produksi gubal cendana (Sandalwood/sapwood production) (Ton)
2009 2010 2011 2012
19,53 20,52 416,42 210,12
266,3 191,1
Jumlah (Summary)
666,59 (16,9%)
457,4 (11,6%)
Produksi kayu papi (Shrub sandalwood production) (Ton) 48,60 3,30 2.217,12 536,53 2.805, 55 (71,39%)
Sumber (Source): Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur (2012).
Tabel 7. Perbandingan nilai ekonomi kayu papi dengan cendana di tingkat lokal (Timor) Table 7. Economic value comparison between shrub sandalwood and sandalwood in Timor Perbandingan (Comparison) Berat jenis (Specific gravity) Berat per m3 (Weight per m3) Harga lokal, teras (Local price, heartwood)a Gubal (Sapwood)c Nilai ekonomi, teras (Economic value,heartwood) Gubal (Sapwood) Riap (Increament)
Cendana (Sandalwood) 0,9-1,14d dan 0,77-0,94f 900-1.140 kg/m3 Rp 250.000-500.000/kgb Rp 2.000-3.000/kg Rp 225-285 juta/kubikg Rp 1,8-2,7 juta/kubik 0,5-1 cm/tahund
Papi (Shrub sandalwood) 1,05-1,20e,c dan 0,99-1,14f,c 1.050-1.200 kg/m3 Rp 3.000/kg Tidak tersedia Rp 3,15-3,6 juta/kubik Tidak tersedia Tidak tersedia
Keterangan (Remarks): a Data tahun 2013 di Pulau Timor di tingkat petani secara rata-rata. b Harga cendana dengan kualitas teras prima, nilainya bervariasi dan cenderung seperti barang mewah sehingga harganya bisa menyesuaikan dengan minat kolektor. c Kayu papi menjadi preferensi masyarakat untuk pilar utama rumah adat (lopo) karena kekuatannya, sebagai ilustrasi kayu besi atau ulin (Eusideroxylon zwagery) mempunyai berat jenis rata rata 1,05 sehingga kayu papi relatif sama kuat dengan kayu ulin. d Oyen & Huan Dun (1999). e Heyne (1987). f Seng (1990). g Sumanto et al. (2011).
Menurut Heyne (1987) kayu papi termasuk dalam kayu kelas kuat I dan kelas awet II dengan berat jenis antara 1,05-1,20 sedangkan Seng (1990) mengategorikannya dalam kelas kuat I dan kelas awet II namun dengan berat jenis antara 0,99-1,14. Sementara itu, Seng (1990) menyebutkan cendana mempunyai kelas kuat I-II dan kelas awet II dengan berat jenis antara 0,77-0,94. Oyen & Huan Dun (1999) menyebutkan berat jenis cendana berkisar antara 0,9-1,14. Berdasarkan ilustrasi dari berat jenis keduanya dapat diketahui nilai ekonomi per kubiknya sebagaimana disajikan pada Tabel 7. Rentang harga jual yang sangat jauh antara kayu papi (Rp 3,15 juta/m3) dengan kayu cendana (Rp
8
3
225 juta/m ) mendorong eksploitasi yang besar. Hal ini diperkuat dengan kemiripan keduanya dalam aroma, tekstur dan secara mikroskopis hampir tidak bisa dibedakan. Terlebih lagi efektivitas sortimen kayu papi yang dapat diperjualbelikan (merchantable) sangat bervariasi ukurannya. Bagian akar yang mempunyai kandungan kayu teras yag lebih tinggi (Bhat et al., 2006) serta sortimen terkecil yang dapat dijual sampai pada ukuran balok 2 cm x 2 cm x 12 cm dan stik pensil sepanjang 5 cm. Hal ini menjadikan kayu papi tidak menghasilkan residu dalam prosesnya, bahkan serpihannya dapat dijual. Pemanfaatan kayu papi yang nyaris tanpa mening galkan sisa, meningkatkan risiko
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 1-12
kepunahan karena potensi permudaan alaminya (trubusan) sangat minim. Ukuran sortimen yang relatif kecil dan mudah dikemas memudahkan dalam pengangkutan yang pada akhirnya menyulitkan pengawasan terhadap peredarannya. 2. Kelimpahan tanaman
Peningkatan produksi kayu papi berbanding lurus dengan tingkat eksploitasi kayu papi, baik di lahan milik maupun di kawasan hutan. Survei yang dilakukan tahun 2012 di beberapa kawasan hutan di Pulau Timor menunjukkan bahwa telah terjadi over eksploitasi kayu papi. Hal ini terlihat dari hasil analisis vegetasi di mana kelimpahan kayu papi untuk kelas diameter pohon sudah sangat berkurang di lokasi penelitian (Tabel 8). Data tersebut sinkron dengan data distribusi sebaran kabupaten penghasil kayu papi seperti pada Tabel 9, di mana kabupaten dengan persentase produksi kayu papi yang tinggi, pada saat yang sama tingkat kelimpahan di habitat alaminya mengalami penurunan. Sebagai contoh di Kabupaten Belu,
tingkat kelimpahan alami kayu papi paling rendah dibanding kabupaten lainnya, sementara itu tingkat produksinya mengalami kenaikan pada tahun 2011 dan 2012. Sedangkan di Kabupaten TTS, kontinuitas pengiriman kayu papi yang relatif terjaga karena tingkat kelimpahannya paling tinggi secara komparatif. Tabel 9 menunjukkan adanya indikasi kegiatan eksploitasi kayu papi bergeser dari Pulau Timor ke luar Pulau Timor. Pada tahun 2009-2010, keseluruhan pengiriman (100%) kayu papi berasal dari Pulau Timor, namun mulai tahun 2011 bergeser ke Flores dengan komposisi Kabupaten Sikka, Manggarai Barat dan Manggarai Timur dengan persentase berturut-turut adalah 0,8%, 1,3% dan 2,9%. Pada tahun 2012, eksploitasi kayu papi dari Pulau Timor hanya sebesar 68%, sisanya 32% dipenuhi dari Kabupaten Sikka di Flores. Pergeseran ini mengindikasikan adanya penurunan kelimpahan alami kayu papi dan eksploitasi yang terus berpindah ke kabupaten lain yang masih relatif melimpah dan longgar regulasinya.
Tabel 8. Tabel analisis vegetasi kayu papi untuk tingkatan pohon dan tiang di Pulau Timor Table 8. Vegetation analyses of shrub sandalwood at trees and poles classification No. 1 2 3 4 5 6 7
Lokasi (Location) Kobalima, Belu Niba-Niba, TTU Lapeom, TTU Oelusun, TTU TTS (Bikekneno, Biloto dan Bijeli) Mutis, TTS Camplong Kabupaten Kupang
INP Tingkatan pohon (IV of trees) 9,52 32,82 -
INP Tingkatan tiang (IV of poles) 31,69 58,77 50,63 -
Tabel 9. Distribusi produksi kayu papi di NTT berdasarkan kabupaten Table 9. The distribution of shrub sandalwood production in NTT based on regency No.
Lokasi (Location)
1 Kabupaten Belu 2 Kabupaten TTU 3 Kabupaten TTS 4 Kota Kupang 5 Kabupaten Kupang 6 Kabupaten Manggarai Timur 7 Kabupaten Manggarai Barat 8 Kabupaten Sikka Total produksi NTT (Amount of NTTproduction) Total produksi Pulau Timor (Amount of Timorproduction)* Persentase dari Pulau Timor terhadap produksi NTT (Proportion of Timor toward NTT production) (%) Sumber (Source): Dinas Kehutanan Provinsi NTT, 2012 (Data diolah).
2009 (Ton) 0 0 0 0 48,60 0 0 0 48,60 48,60 100
2010 (Ton) 0 0 3,3 0 0 0 0 0 3,3 3,3 100
2011 (Ton)
2012 (Ton)
463 30 281,8 275,1 1.056 63,2 30 17,5 2.217,12 2.105,9 95
145,1 90,5 36,1 91,2 0 0 0 173,5 536,53 362,9 68
9 Analisis Kesenjangan dan Perbandingan Kayu Papi ...(Aziz Umroni, Heny Rianawati & Siswadi)
Tabel 10. Indeks nilai penting cendana di tiga kabupaten di Pulau Timor Table 10. Importance value at three regencies in Timor island Kabupaten (Regencies) Belu TTS TTU
Pohon (Trees) 209,31 202 60
INP Cendana (Importance value of Sandalwood) Tiang (Poles) Sapihan (Saplings) 194,85 208,43 223,85 178,53 234 233,41
Sumber (Source): Kurniawan et al. (2013).
Data tersebut menjelaskan ter jadinya peningkatan eksploitasi kayu papi di dalam kawasan hutan, mengingat kayu papi belum banyak dibudidayakan oleh masyarakat. Diperkirakan eksploitasi kayu papi akan meningkat dan bergeser ke pulau lain di NTT, mengingat kesenjangan harga antara cendana dan kayu papi sangat tinggi dan keduanya dapat saling menggantikan. Kelimpahan cendana di Pulau Timor yang ada saat ini mayoritas berada di lahan milik. Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan et al. (2013) menunjukkan bahwa kelimpahan cendana pada tingkatan pohon, tiang dan sapihan relatif seimbang, kecuali di Kabupaten TTU, secara detail dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 menunjukkan bahwa cendana masih dipertahankan oleh masyarakat di lahan mereka. Secara umum kelimpahan di tingkat sapihan mengindikasikan adanya kesadaran masyarakat untuk menanam kembali cendana setelah pernah diting galkan karena efek kebijakan yang menjadikan cendana di lahan milik sebagiannya sebagai milik pemerintah. Namun kelimpahan cendana di hutan hampir hilang dan berganti dengan cendana di lahan milik yang lebih mudah dijaga dan dipelihara. Menurut Dinas Kehutanan Kabupaten TTS, sebagai daerah terbesar penghasil cendana, pada tahun 2010, disebutkan bahwa pasca moratorium penebangan cendana tahun 2007 diperlukan setidaknya 10 tahun untuk mendapatkan cendana yang siap panen. Kelangkaan cendana ini ikut berkontribusi terhadap berkurangnya kayu papi di habitat alaminya.
kayu papi berbeda nyata: Pertama, kesenjangan informasi dan konservasi kayu papi dan cendana adalah nyata. Terdapat 319 publikasi ilmiah yang memuat informasi tentang cendana dan ada empat plot/kebun konservasi yang dibangun dalam rangka konservasi cendana. Sementara itu, hanya ada 10 publikasi ilmiah yang memuat informasi tentang kayu papi dan hanya ada satu plot konservasi kayu papi. Kedua, harga kayu papi (Rp 3,1 juta/m3) lebih rendah dibanding harga kayu cendana (Rp 225 juta/m3) dan rataan produksi kayu papi dalam empat tahun terakhir (700 m3/tahun) lebih tinggi dibanding rataan produksi kayu cendana (166 m3/tahun). Ketiga, kelimpahan kayu papi di beberapa daerah di Timor lebih rendah di-banding cendana. INP kayu papi pada tingkat tiang dan pohon di beberapa kawasan hutan secara berturut-turut adalah 31-57 dan 9-32, sedangkan INP cendana di lahan milik pada tingkat tiang dan pohon adalah 194-234 dan 60-209. Dengan kelimpahan tanaman lebih rendah dan produksi kayu lebih tinggi, kelestarian kayu papi lebih terancam dibanding cendana. B. Saran Konservasi kayu papi mendesak dilakukan. Hal ini dapat diupayakan dengan membangun plot konservasi ex-situ yang mengumpulkan keragaman genetik kayu papi dari beberapa populasi kayu papi di NTT secara lebih representatif, melaksanakan penelitian untuk menyusun paket teknologi budidaya dan meluncurkan kebijakan yang mengatur produksi dan peredaran kayu papi.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
UCAPAN TERIMA KASIH
Kayu papi dan cendana adalah dua jenis kayu harum yang saling menyubstitusi. Kelestarian keduanya di habitat alaminya terancam karena eksploitasi yang berlebihan. Kondisi cendana dan
Penulis mengucapakan terima kasih kepada Balai Penelitian Kehutanan Kupang yang mendanai kegiatan penelitian ini, Bapak Hery Kurniawan, S. Hut., M.Sc. yang membantu analisis
10
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 1-12
dalam metode penelitian, seluruh teknisi Balai Penelitian Kehutanan yang telah membantu kegiatan ini serta dewan redaksi dan editor yang telah membantu menyempurnakan naskah ini. DAFTAR PUSTAKA Adriyanti, D. T. (1989). Studi dendrologis cendana di Pulau Timor Nusa Tenggara Timur. (Skripsi). Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Applegate, G.B., Chamberlain, J., Daruhi, G., Feigelson, J.L., Hamilton, L., McKinnell, F. H., …, & Stemmerman, L. (1990). Sandalwood in the Pacific: A state-ofknowledge synthesis and summary from the April 1990 Symposium. Proceeding of the symposium on sandalwood in the pacific, Hawaii, April 9-11, 1990. Berkeley: Pacific Southwest Research Station USDA Forest Service. IUCN. (2013). IUCN Red List of Threatened Species. (Version 2013.2). Prosiding Asian Regional Workshop (Conservation & Sustainable Management of Trees, Viet Nam, August 1996. Diunduh dari www.iucnredlist.org. (8 Mei 2014). Baskorowati, L. (2011). Flowering intensity and flowers visitors of Santalum album L. at ex-situ conservation plot, Watusipat, Gunung Kidul, Yo g y a k a r t a . J o u r n a l o f Fo r e s t r y Research,8(2),130-143. Bhat, K.V., Balasundaran, M., & Balagopalan, M. (2006). Identification of Santalum album and Osyris lanceolata through morphological and biochemical characteris-tics and molecular markers to check adulteration (Research report No. 307). Kerala: Forest Research Institute. Cires, E., Yannick, D.S., Paul, G., Sazanne, S., Douglas, G., Sara, O., …, & Mariestephanie, S. (2013). Gap analyses to support ex-situ conservation of genetic diversity in Magnolia sp., a flagship group. Biodivers Conserv., 22(3), 567-590. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Timor Tengah Selatan. (2010). Inventarisasi
tegakan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Soe: Proyek International Tropical Timber Organization (ITTO) PD 459/07 Rev.1 (F). Dinas Kehutanan Provinsi NTT. (2012). Daftar gabungan laporan produksi hasil hutan olahan bukan kayu (GLPHHO-BK) Provinsi NTT periode 2009-2012 . Kupang: Dinas Kehutanan Provinsi NTT. Dumbois-Mueller, D. & Ellenberg, H. (1974). Aims and methods of vegetation ecology. NY: John Willey and Son. Fiani, A., Windyarini, E., & Yuliah. (2012). Evaluasi kesehatan cendana (Santalum album Lin.) di kebun konservasi ex-situ Watu Sipat Gunung Kidul (Laporan Hasil Penelitian). Yogyakarta: Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Haffner, D. H. (1993). The quantity and quality of heartwood in two species of sandalwood. (Thesis). University of Melbourne. Heyne, K. (1987). Tumbuhan berguna Indonesia (Jilid IV). Edisi Terjemahan. Jakarta: Yayasan Sarana Wanajaya. Koch, M. (2009). Mode action of exocarpic acid against mycobacterium tuberculosis. (Dissertation). University of Utah. Kurniawan, H., Soenarno, & Prasetyo, N. A. (2013). Kajian beberapa aspek ekologi cendana pada lahan masyarakat di Pulau Timor. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 10(1), 33-49. Mandang, Y.I. (1988). Anatomi per-bandingan kayu cendana (Santalum album L.) dan exocarpus (Exocarpus latifolia R.Br.). Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 5(6), 365-368. Namof, S., Husby, C., Nolick, L., Franciseortega, J., Lewis, C.E., & Grifith, M.P. (2010). How well does a botanical garden collection of a rare palm capture genetic variation in a wild population. Biological Conservation, 14(5), 1110-1117.
11 Analisis Kesenjangan dan Perbandingan Kayu Papi ...(Aziz Umroni, Heny Rianawati & Siswadi)
Neil, P.E. (1990). Growing sandalwood in Nepal potential silvicultural methods and research priorities. Proceeding of the symposium on sandalwood in the pacific. Hawaii, April, 9-11, 1990. Berkeley: USDA Forest Service. Raharjo, S.A.S. (2013). Studi komparasi peraturan daerah cendana di Provinsi NTT. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea, 2(1), 65-78. Seng, O.D. (1990). Berat jenis dari jenis-jenis kayu indonesia dan pengertian beratnya kayu untuk keperluan praktek. (Soewarsono, P.H., Trans.). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Sumanto, S.E., Sutrisno, E., & Kurniawan, H. (2011). Analisis kebijakan dan strategi pengembangan kehutanan dalam pengemangan cendana di Nusa Tenggara Timur. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 8(3), 189-209. Sumardi, Kurniawan, H., & Misto. (2014). Upaya konservasi dan pelestarian cendana: sebuah kajian. Proseding Seminar Hasil Litbang Peran IPTEK Hasil Hutan Bukan Kayu untuk Kesejahteraan Masyarakat Nusa Tenggara Timur. Kupang, 16 Oktober 2012. Bogor: Pusat
12
Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Susiarti, S. (2005). Jenis-jenis pengganti tanaman pinang dan gambir dalam budaya menginang masyarakat di kawasan Taman Nasional Wasur Merauke Papua. Jurnal Biodiversitas, 6(3), 217-219. Umroni, A., Siswadi, & Rianawati, H. (2012). Teknik konservasi domestikasi jenis kayu papi (Exocarpus latifolia R.Br) di Pulau Timor. (Laporan Hasil Penelitian). Kupang: Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Umroni, A., Siswadi, & Rianawati, H. (2013). Teknik konservasi domestikasi jenis kayu papi (Exocarpus latifolia, R.Br) di Pulau Sumba. (Laporan Hasil Penelitian). Kupang: Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Oyen, L.P.A. & Huan Dun, Nguyen (eds.). (1999). Essential-oil plants. In Plant resource of South East Asia No. 19. Leiden: Backhuys Publiser. Wawo, A.H. (2008). Studi perkecambahan biji dan pola pertumbuhan semai cendana (Santalum album L.) dari beberapa pohon induk di Kabupaten Belu, NTT. Biodiversitas, 9(2), 177-122.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 1-12
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA: STUDI KASUS KOTA MEDAN, DELI SERDANG DAN PALANGKA RAYA (Factors Influence Urban Forest Development: Case Study in Medan, Deli Serdang and Palangka Raya) Elvida Yosefi Suryandari & Iis Alviya Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Indonesia; e-mail:
[email protected];
[email protected] Diterima 3 Juni 2014 direvisi 30 Oktober 2014 disetujui 2 Januari 2015 ABSTRACT
Most of urban infrastructure development have been increasing while the existing urban forest is inadequate for fulfilling the needs of urban communities. The purpose of this study is to determine the factors affecting the implementation of urban forest in the cities of Medan, Deli Serdang and Palangka Raya. The study used weighing and stakeholder analysis. Weighing is done through ranking of the factors that affect urban forest such as aspects of biophysical, socio-economic, organizational and policy, all based on the perception of the respondents. The results showed that the most influencing factors are scarcity of urban forest land and land disputes. Increasing urban population causes the increasing demand for residential and its supporting facilities, which in turn will reduce urban forest area. On the other hand, forestry policy failed to foster implementation of urban forest because this concept has not been understood by local government as the executor. Another obstacle is the lack of budget and its continuity. Efforts to overcome the scarcity of urban forest land is by optimazing urban forest management through species enrichment and plantings on idle land. Coordination and collaboration among stakeholders are needed in regional planning, budgeting and stipulation of district regulation to reduce the risk of land use conversion. Keywords: Urban forest, land constrain, population, budget and stakeholders coordination. ABSTRAK
Sebagian besar pembangunan infrastruktur perkotaan meningkat, sementara itu hutan kota yang ada belum mencukupi kebutuhan masyarakat perkotaan. Tujuan kajian ini untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penyelenggaraan hutan kota. Kajian ini menggunakan pembobotan dan analisis stakeholder. Pembobotan dilakukan dengan cara me-ranking faktor-faktor yang memengaruhi hutan kota antara lain aspek biofisik, sosek, organisasi dan kebijakan berdasarkan persepsi responden. Hasil kajian menunjukkan faktor yang paling berpengaruh yaitu keterbatasan lahan hutan kota dan sengketa lahan. Peningkatan jumlah penduduk berimplikasi terhadap peningkatan jumlah pemukiman dan sarana pendukungnya, yang berdampak mengurangi luas hutan kota. Di lain pihak, kebijakan sektoral kehutanan belum dapat mendorong penyelenggaraan hutan kota, karena konsep hutan kota belum dapat dipahami oleh pemerintah daerah sebagai pelaksana. Faktor lain yang menjadi penghambat adalah sumber dan kontinuitas pendanaan. Upaya mengatasi keterbatasan lahan dilakukan dengan optimalisasi hutan kota melalui kegiatan pengayaan jenis dan penanaman pada lahan terlantar. Para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan hutan kota perlu koordinasi dalam perencanaan wilayah, pendanaan dan penetapan Perda hutan kota untuk mengurangi risiko perubahan dan konflik peruntukan lahan. Kata kunci: Hutan kota, keterbatasan lahan, penduduk, anggaran dan koordinasi para pihak.
I. PENDAHULUAN Kawasan perkotaan adalah suatu wilayah yang akan terus tumbuh seiring dengan waktu yang merupakan suatu bentuk lanskap buatan manusia yang terbentuk akibat aktivitas manusia dalam mengelola kepentingan hidupnya (Simonds, 1983). Pertumbuhan penduduk yang pesat turut
mendorong pertumbuhan ekonomi perkotaan yang ditandai dengan adanya infrastruktur jalan, pusat pemukiman, sarana pelayanan hingga kawasan industri. Aktivitas pembangunan suatu kota dapat menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah terpenuhinya kebutuhan penduduk dengan penyediaan sarana dan prasarana yang lengkap, sedangkan dampak
13 Faktor-faktor yang Memengaruhi Penyelenggaraan Hutan ...(Elvida Yosefi Suryandari & Iis Alviya)
negatifnya adalah hilangnya sejumlah ruang terbuka hijau (RTH), termasuk hutan kota yang dapat berpengaruh terhadap penurunan kualitas lingkungan seperti polusi udara, tanah dan air. Hutan kota menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota adalah hamparan lahan yang bertumbuhan pohon yang kompak dan rapat dalam wilayah perkotaan, baik pada tanah negara maupun tanah hak yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat berwenang. Luas minimal hutan kota menurut peraturan tersebut 0,25 ha dan 10% dari luas perkotaan. Alokasi hutan kota setiap daerah berbeda tergantung prioritas pembangunan dan pola peng gunaan lahannya. Perencanaan penggunaan lahan RTH untuk hutan kota dapat berubah dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pertumbuhan jumlah penduduk, aksesibilitas terhadap sumberdaya, kondisi fisik lahan, ekonomi dan kebijakan daerah yang memberikan dampak terhadap jumlah, bentuk, luasan dan penyebaran RTH yang ada di wilayah kota (Faikoh, 2008). Penyeleng g araan hutan kota meliputi penunjukan, pembangunan, penetapan dan pengelolaan. Pengelolaan hutan kota meliputi kegiatan penyusunan rencana pengelolaan, pemeliharaan, perlindungan dan pengamanan, pemanfaatan dan pemantauan serta evaluasi. Terlaksananya penyelanggaraan hutan kota terkait dengan peran dan partisipasi para pihak yang terlibat dalam hutan kota. Perencanaan pembangunan infrastruktur perkotaan masih belum memperhatikan aspek tata r uang kota yang baik. Kebutuhan akan pembangunan infrastruktur dan terbatasnya ketersediaan lahan menjadi salah satu faktor terjadinya disintegrasi dalam pembangunan di perkotaan. Konsekuensi logis atas keadaan tersebut semakin terbatasnya lahan yang tersisa untuk kawasan hijau (Samsoedin & Subiandono, 2006). Saat ini keberadaan sebagian besar hutan kota belum dapat memenuhi 10% dari wilayah perkotaan (PP No. 63 tahun 2002) dengan alasan keterbatasan lahan. Faktor lahan diduga menjadi penghambat pembangunan hutan kota, dan apakah faktorfaktor lain juga masih menjadi penghambat? Kajian ini ditulis untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penyelenggaraan hutan kota, sehingga dapat mendorong pembangunan hutan kota.
14
II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian meliputi Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang (Provinsi Sumatera Utara) dan Kota Palangka Raya (Provinsi Kalimantan Tengah). Penyelenggaraan hutan kota, baik di Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang dan Kota Palangka Raya memiliki karakteristik yang berbeda akan tetapi pembangunan hutan kotanya masih belum optimal. Hutan kota di Palangka Raya memiliki ekosistem dan jenis pohon yang asli setempat, sedangkan Deli Serdang dan Medan didominasi pohon mahoni (sengaja ditanam). Hutan kota di Medan telah terakomodasi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan sebagian telah ditetapkan sebagai hutan kota, tetapi di lapangan banyak mengalami kendala. Kabupaten Deli Serdang telah mengembangkan hutan kota di sekeliling perkantoran dan fasilitas umum. Kota Palangka Raya memiliki hutan kota rawa gambut yang unik yaitu Hutan Kota Himba Kahui. B. Alur Pikir Penelitian Fakuara (1987) menyatakan bahwa strategi yang harus dilakukan dalam penyelenggaraan hutan kota meliputi beberapa aspek, yaitu: 1. Peraturan perundangan, baik peraturan pusat maupun daerah. 2. Pembentukan organisasi yang menangani hutan kota, meliputi perencanaan dan pengendalian di bawah koordinasi Bappeda Kota/Kabupaten serta pelaksana di bawah tanggung jawab Walikota/Bupati dengan tim pembina di bawah koordinasi Bappeda Provinsi. 3. Perumusan sistem pendanaan dengan sumber yang jelas, baik dari masyarakat serta anggaran Pemerintah Pusat dan Daerah. 4. Peningkatan partisipasi masyarakat melalui program penyuluhan terpadu meliputi: memasukkan masalah lingkungan termasuk lingkungan perkotaan dan hutan kota ke dalam bagian kurikulum pendidikan, membuat leaflet dan poster tentang pentingnya hutan kota. 5. Penelitian meliputi: pemilihan jenis dan pengadaan bibit untuk masing-masing bentuk dan tipe hutan kota, teknik pembuatan dan pemeliharaan tanaman serta sistem manajemen hutan kota.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 13-30
Strategi penyelenggaraan hutan kota yang disebutkan oleh Fakura (1987) tersebut memiliki pemikiran yang sejalan dengan PP No. 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota, mulai dari penunjukan, perencanaan, pembangunan dan pengelolaannya. Berdasarkan penjelasan tersebut maka untuk melihat faktor yang memengaruhi penyelenggaraan hutan kota meliputi aspek sosial ekonomi, biofisik, organisasi dan kebijakan yang dijelaskan dalam Gambar 1. Berdasarkan Fakuara (1987) dan studi awal diketahui bahwa faktor yang memengaruhi pelaksanan hutan kota antara lain kebijakan dan penerapannya, keterbatasan lahan, masalah teknis, pembiayaan dan perbedaan persepsi atau pemahaman hutan kota (Subarudi et al., 2010). Dengan pendekatan PP No. 63 tahun 2002, aspek yang memengaruhi dalam hutan kota dipilah berdasarkan aspek biofisik, sosial ekonomi, organisasi dan kebijakan beserta kriteria yang digunakan untuk melihat penyelenggaraan hutan kota. Dari kriteria tersebut akan memberikan rekomendasi untuk perbaikan penyelenggaraan hutan kota yang akan datang.
C. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa data primer, meliputi: 1) luas dan lokasi serta kondisi hutan kota; 2) persepsi stakeholder terhadap pembangunan hutan kota; 3) kondisi biofisik dan 4) sistem pengelolaan hutan kota dan permasalahannya. Data dikumpul-kan melalui kunjungan langsung ke lokasi hutan kota, pengisian kuesioner, diskusi dan wawancara mendalam dengan stakeholder terkait. Jenis data sekunder yang dikumpulkan meliputi kondisi sosial ekonomi, biofisik, kelembagaan (aturan main/peraturan perundangan dan pembiayaan) serta rencana umum pembangunan hutan kota (rencana alokasi lahan untuk hutan kota, anggaran biaya, rencana penetapan lokasi dan pembangunan hutan kota). D. Analisis Data Untuk mengetahui faktor yang memengaruhi penyelenggaraan hutan kota dilakukan pembobotan berdasarkan kuesioner. Faktor-faktor dalam setiap aspek dinilai oleh responden di mana nilai 1: tidak berpengaruh, nilai 2: sedikit berpengaruh, nilai 3: netral, nilai 4: berpengaruh, nilai 5: sangat
15 Faktor-faktor yang Memengaruhi Penyelenggaraan Hutan ...(Elvida Yosefi Suryandari & Iis Alviya)
penelitian sehingga memudahkan pemahaman dan interpretasi data (Wahyuni & Samsoedin, 2012).
berpengaruh. Responden dipilih berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya tentang pelaksanaan hutan kota di daerah (purposive sampling) di mana jumlah responden terpilih adalah 20 orang dari ketiga lokasi penelitian. Berdasarkan wawancara responden, semua aspek sama pentingnya dalam penyelenggaraan hutan kota sehingga memiliki nilai 1 untuk setiap aspek. Faktor-faktor dalam aspek merupakan pendekatan hutan kota PP No. 63 tahun 2002 dan hasil wawancara. 1. Aspek 1: kajian difokuskan pada peraturan perundangan yang ditetapkan oleh lembaga pemerintah pusat dan melihat keterkaitannya dengan Perda. 2. Aspek 2: organisasi; analisis stakeholder untuk mengetahui organisasi yang mendukung dan terlibat dalam pengelolaan hutan kota, termasuk tupoksi dan sumber pendanaan. 3. Aspek 3: sosial-ekonomi; pendekatan sosialekonomi dapat dilihat dari perkembangan jumlah penduduk dan banyaknya industri di lingkungan perkotaan, dikaitkan dengan luas alokasi RTH atau hutan kota di daerah. 4. Aspek 4: biofisik; dapat dilihat dari pola penggunaan lahan di perkotaan, luas wilayah perkotaan dibandingkan dengan alokasi hutan kota yang direncanakan atau sudah dilaksanakan. Contoh pengisian bobot biofisik dapat dilihat pada Tabel 1, cara yang sama dilakukan untuk aspek yang lain. Aspek pendukung seperti sosial-ekonomi dan biofisik dianalisis dengan analisis kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dengan menguraikan data dalam bentuk angka dan tabulasi. Analisis kualitatif artinya adalah menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpangtindih dan efektif sesuai topik
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perkembangan Hutan Kota di Lokasi Penelitian Gambaran perkembangan hutan kota di ketiga lokasi penelitian, yaitu Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang dan Kota Palangka Raya dibahas dalam uraian berikut: 1. Hutan kota di kota Medan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) hutan kota Medan merupakan penyangga lingkungan kota yang berfungsi untuk memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika, meresapkan air, menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota serta mendukung pelestarian dan perlindungan keanekaragaman hayati Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik Kota Medan (2012) jenis pohon yang dominan ditanam di hutan kota Medan adalah mahoni (Swietenia macrophylla) dan angsana (Pterocarpus indicus). Luas wilayah Kota Medan 26.510 ha dan kebutuhan luas RTH sesuai UU No. 26 tahun 2007 adalah 30% dari 26.510 ha (sekitar 7.953 ha), terdiri dari 5.302 ha RTH publik dan 2.651 ha privat. Penunjukan RTH hutan kota Medan telah diakomodir dalam RTRW Kota Medan 2010-2030 seperti pada Tabel 2 dan Gambar 1. Sampai saat ini belum ada penunjukan hutan kota yang ditetapkan dalam bentuk Peraturan Daerah. Hambatan dalam membangun hutan kota di Medan antara lain: keterbatasan lahan, sengketa lahan, kontinuitas untuk mempertahankan kelestarian hutan kota tidak terjaga (karena masya-
Tabel 1. Contoh pengisian bobot pada aspek biofisik Table 1. Examples of filling weights on biophysical aspects Aspek biofisik (Biophysical aspects)
R1
R2
Rn
Total (Sum total)
Bobot (Weights)
Luas hutan kota minimal 0,25 ha (Minimum urban forest 0,25 ha)
∑ K1
∑ K1/∑ Ktotal
RTRWK (Spatial planning of urban) Alokasi hutan kota (Urban forest allocation)
∑ K2 ∑ K3
∑ K2/∑ Ktotal ∑ K3/∑ Ktotal
Jumlah (Total)
∑K
1
Keterangan (Remarks): R = respoden (respondents); K = kriteria (criteria).
16
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 13-30
Tabel 2. Kawasan RTH hutan kota Medan Table 2.Green open space area of urban forest in Medan city No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Lokasi (Location)
Kecamatan (Sub district)
Taman Beringin Bumi perkemahan pramuka Cadika Hutan kota CBD Polonia Kebun binatang Kanal sungai Deli zona A dan D Hutan kota Hutan kota Kelurahan Baru Ladang Bambu
Medan Baru Medan Johor Medan Polonia Medan Tuntungan Medan Johor Medan Labuhan Medan Tuntungan
Jumlah (Total)
Luas (Area) (ha) ± 1,2
± 25 ± 40 ± 30 ±2 ± 1,5 ± 8,7 ±108,4
Sumber (Source): Peraturan Daerah Kota Medan No. 11 tahun 2013.
Gambar 2. Hutan kota Beringin di kota Medan. Figure 2. Beringin urban forest in Medan city. rakat belum paham dan diikutsertakan dalam pembangunan hutan kota), kurangnya koordinasi antar stakeholder, desain hutan kota belum ada, termasuk jenis tanaman yang sesuai, gap antara kebijakan RTRWK dan implementasi hutan kota. 2. Hutan kota di Deli Serdang Salah satu program kegiatan terkait dengan pengelolaan keanekaragaman hayati yang terdapat di Kabupeten Deli Serdang adalah Menuju Indonesia Hijau (MIH) yang di dalamnya memasukkan Kebijakan Tutupan Vegetasi. Dalam kebijakan ini diatur mengenai pengelolaan keanekaragaman hayati yang salah satunya adalah dengan Kebijakan Pembangunan Hutan Kota dan Taman Kota di Kota Lubuk Pakam sebagai bagian dari Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dengan tata ruang wilayah Kabupaten Deli Serdang. Pembangunan hutan kota seluas 21,293 ha bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat, indah, bersih dan nyaman. Pembangunan hutan kota di Deli Serdang memperoleh penghargaan Eno Gold Award dan Sertificate Green City dari Finlandia atas keberhasilan Kabupaten Deli Serdang melakukan penghijauan dan pelestarian hutan kota. Tampilan salah satu hutan kota di Kabupaten Deli Serdang sebagaimana Gambar 3. Permasalahan hutan kota di Deli Serdang adalah: a. Perkembangan luas pemukiman dalam kurun waktu 10 tahun terakhir meningkat rata-rata 465 ha per tahun harus dikompensasi dengan pengurangan luas lahan lainnya seperti lahan pertanian lahan kering, lahan kehutanan hingga lahan untuk RTH perkotaan.
17 Faktor-faktor yang Memengaruhi Penyelenggaraan Hutan ...(Elvida Yosefi Suryandari & Iis Alviya)
b. Tingginya kebutuhan lahan pemukiman/ perkotaan akan mengakibatkan harga tanah meningkat sehingga sulit untuk mewujudkan hutan kota. 3. Hutan kota Himba Kahui di kota Palangka Raya Pembangunan hutan kota di Palangka Raya yang lebih dikenal dengan Kawasan Hutan Kota Himba Kahui, memiliki luas 1650 ha. Penyiapan dan pelaksanaan pembangunan hutan kota Himba Kahui didasarkan pada penunjukan kawasan sesuai Keputusan Walikota Palangka Raya No. 89 tahun 2010 tanggal 17 April 2010. Lokasi hutan kota ini masuk DAS Kahayan dan sub DAS RunganManuhing yang secara administrasi terletak pada wilayah Kelurahan Petuk Katimpun, Kelurahan Bukit Tunggal dan Kelurahan Palangka yang masuk Kecamatan Jekan Raya serta Kelurahan Tumbang Rungan Kecamatan Pahandut. Kawasan hutan Himba Kahui memiliki karakteristik hutan rawa gambut yang masih alami.
Struktur vegetasi antara lain jelutung rawa (Dyera sp.), pulai (Alstonia scholaris), punak (Tetramerista glabra), ramin (Gonystylus bancanus), meranti (Shorea spp.), pasir-pasir (Urandra secundiflora), pisangpisang (Mezzetia sp.), nyatoh (Palaqium cochleri), jambu-jambu (Eugenia sp.), bintangur (Calophyllum kunstleri), terentang (Camnosperma auriculatum), jenis rotan dan kantong semar. Potensi satwa antara lain burung enggang, tupai dan 48 jenis ikan (Dinas Kehutanan Palangka Raya, 2013). Salah satu hutan kota di Palangka Raya sebagaimana Gambar 4. Hutan kota ini memiliki karakteristik yang khas yaitu hutan gambut. Pemimpin daerah dan Kepala Dinas Kehutanan berkomitmen mendorong pembangunan hutan kota di kota Palangka Raya. Masalahnya keberadaan hutan kota di kota Palangka Raya yang memiliki luas 267.851 ha masih kurang (kurang dari 1%) sehingga perlu penambahan lokasi untuk hutan kota. Adanya pergantian pemimpin daerah turut memengaruhi pembangunan hutan kota yang sempat terhambat.
Gambar 3. Hutan kota di Kabupaten Deli Serdang. Figure 3. Urban forest in Deli Serdang.
Gambar 4. Hutan kota di Palangka Raya. Figure 4. Urban forest in Palangka Raya.
18
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 13-30
B. Faktor yang Memengaruhi Hutan Kota Faktor-faktor yang memengaruhi penyelenggaraan hutan kota ditinjau dengan pembobotan kriteria dalam aspek. Bobot kriteria dalam aspek biofisik dan sosial ekonomi dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6. Pada aspek biofisik (Gambar 5), kriteria yang berpengaruh adalah faktor alokasi lahan hutan kota (0,173). Di aspek ini kriteria penting lainnya adalah implementasi penggunaan lahan sesuai RTRWK (0,171). Pendapat sama diuraikan oleh Dwihatmojo (2010) bahwa permasalahan utama semakin berkurangnya RTH karena keterbatasan lahan dan ketidakkonsistenan menerapkan tata ruang yaitu beralih fungsinya RTH untuk peruntukan ruang yang lain. Berdasarkan pendapat responden yang ahli di bidang ini, kriteria yang berpengaruh adalah jumlah penduduk (0,276) di mana pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat yang disertai dengan kebutuhan akan oksigen maupun manfaat lain seperti rekreasi. Selanjutnya diperlukan peran masyarakat (0,265) dalam mengelola hutan,
terutama di lahan milik. Pertambahan penduduk kota meningkat, baik pertumbuhan alami (natural growth) maupun urbanisasi (urbanisation) yang disertai peningkatan tuntutan kehidupan masyarakat terhadap fasilitas penunjang. Konsekuensinya berujung pada keruangan yaitu meningkatnya tuntutan akan ruang (space) untuk mengakomodasi sarana dan prasarana yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut (Yunus, 2006). Kajian yang dilakukan Arif et al. (2014) di daerah lain bahwa dalam rangka pengembangan hutan kota dengan keterbatasan lahan memerlukan kerjasama antar pemerintah daerah dengan pihak swasta dan masyarakat. Hal ini mengingat bahwa tidak semua lahan yang tersedia dimiliki oleh pemerintah tetapi juga dimiliki oleh swasta dan masyarakat. Oleh sebab itu peran masyarakat sangat diperlukan dalam pembangunan hutan kota, baik masyarakat pengusaha maupun masyarakat umum. Selanjutnya untuk kriteria aspek organisasi dan aspek kebijakan dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8.
Gambar 5. Kriteria aspek biofisik. Figure 5. Criteria of biophysical aspect.
Gambar 6. Kriteria aspek sosial-ekonomi. Figure 6. Criteria of socio-economic aspect
Gambar 7. Kriteria aspek organisasi. Figure 7. Criteria of organization aspect
Gambar 8. Kriteria aspek kebijakan. Figure 8. Criteria of policy aspect.
19 Faktor-faktor yang Memengaruhi Penyelenggaraan Hutan ...(Elvida Yosefi Suryandari & Iis Alviya)
Kriteria yang memengaruhi organisasi adalah permasalahan pendanaan (0,231), selanjutnya adalah diperlukan koordinasi antar stakeholder, baik dari sisi program maupun pembiayaan dalam mengelola hutan kota (0,212). Uthama (2013) menjelaskan bahwa tindakan terkait faktor pengelolaan sangat diperlukan terutama sinkronisasi kinerja pemerintah dan partisipasi swasta dan masyarakat dalam pembangunan RTH. Untuk kasus di Tabanan di mana pemerintah pusat, daerah dan swasta turut membantu pembangunan RTH membuktikan bahwa masalah pendanaan dapat diselesaikan dengan kerjasama. Menurut responden, dalam aspek kebijakan kriteria yang paling memengaruhi adalah peraturan pusat yang menjadi payung bagi pengelolaan hutan kota di daerah (0,293). Kebijakan dan peraturan pemerintah berpengaruh untuk menjamin keberadaan dan pengelolaan hutan kota sebagai salah satu fungsi penting di wilayah perkotaan. Perundang-undangan yang sudah ada masih belum mampu mendukung peran masyarakat dalam pengelolaan hutan kota di wilayah perkotaan (Anastasia et al., 2013). 1. Biofisik hutan kota Kondisi biofisik dilihat dari kondisi fisik dan alokasi lahan yang disediakan oleh Pemda setempat. Aspek biofisik hutan kota di lokasi penelitian
dijelaskan pada Tabel 3. Hutan kota Medan telah diakomodir dalam RTRWK sebagai dasar hukum untuk perencanaan hutan kota, sedangkan lokasi lain masih dalam proses pembahasan RTRWK. Hutan kota yang belum diakomidir dalam RTRWK memiliki peluang lebih besar untuk berubah fungsi lahannya karena belum ada dalam perencanaan wilayah kota. Alokasi hutan kota dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa di semua kabupaten maupun kota, luas hutan kota masih jauh di bawah 10% sesuai ketentuan PP No. 63 tahun 2002. Alokasi hutan kota kurang dari 10% belum dapat memenuhi amanat PP tersebut walaupun secara keseluruhan 30% minimum luasan RTH telah tercapai. Ketentuan untuk mencari lahan minimal 0,25 ha dan kompak menyulitkan pe-merintah daerah untuk mewujudkan hutan kota yang ideal. Selain itu pembangunan hutan kota dianggap kurang prioritas selain sebagai prasyarat untuk memperoleh adipura bagi suatu kota. Hutan kota adalah pengelolaan pohon-pohon untuk memberikan kontribusi terhadap fisiologis, sosiologis dan kesejahteraan ekonomi masyarakat perkotaan. Hutan kota berhubungan dengan hutan, kelompok pohon dan setiap pohon di mana penduduk perkotaan tinggal yang mencakup
Tabel 3. Jenis pohon hutan kota di lokasi penelitian Table 3. Tree species of urban forest in research location No.
Kota/kabupaten (City/district)
1. Kota Medan 2. Kabupaten Deli Serdang 3. Kota Palangka Raya Sumber (Source): Data sekunder, diolah.
Jenis pohon (Tree species)
RTRW (Spatial arrangement plan)
Mahoni, angsana Mahoni Jenis rawa gambut
Sudah Dalam proses pembahasan Dalam proses pembahasan
Tabel 4. Alokasi hutan kota dibanding jumlah penduduk dan luas wilayah kota Table 4. Urban forest allocation compared to population number and city area No.
1. 2. 3.
Kota/kabupaten (City/district) Kota Medan Kab. Deli Serdang Kota Palangka Raya
Luas wilayah (Area) (ha)
Penduduk (Population) (2011) 2.117.224 1.807.173 224.663
26.510 249.772 267.851
Luas hutan kota (Urban forest area) (ha)
Persentase hutan kota (Percentage of urban forest) (%)
108,4 21,293 1.650
0,41 0,009 0,62
Luas minimal hutan kota 10% (Minimum area of urban forest 10%) (ha) 2.651 24.977,2 26.785,1
Sumber (Source): Badan Pusat Statistik Kota Medan, Deli Serdang dan Kota Palangkaraya, 2012.
20
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 13-30
berbagai macam habitat (jalan, taman, sudut terlantar/lahan yang belum dimanfaatkan dan lainlain) (Grey & Deneke, 1986). Terkait hal tersebut pembangunan hutan kota tidak terbatas pada “definisi hutan” yang minimum 0,25 ha sekaligus kompak, tetapi didekati sebagai kumpulan pohon termasuk jenisnya terkait habitatnya di wilayah perkotaan. Alternatif yang mungkin dilakukan apabila kesulitan mencari lahan yang kompak untuk pembangunan hutan kota adalah dengan pemilihan jenis sesuai kebutuhan perkotaan untuk menghasilkan oksigen, sumber air dan lainnya. Samsoedin & Waryono (2010) menyatakan bahwa pemilihan jenis pohon dapat disesuaikan dengan tipe hutan kotanya, seperti hutan kota pemukiman, hutan kota konservasi, hutan kota kawasan industri, hutan kota wisata dan hutan kota penyang ga jalur pengamanan. 2. Sosial-ekonomi Kota adalah suatu wilayah yang akan terus tumbuh seiring dengan waktu, baik pembangunan fisik maupun non fisik. Menurut Branch (1995) dalam Wahyuni (2006), perkotaan diartikan sebagai area terbangun dengan struktur dan jalan-jalan, sebagai suatu permukiman yang terpusat pada suatu a r e a d e n g a n ke p a d a t a n t e r t e n t u y a n g membutuhkan sarana dan pelayanan pendukung yang lebih lengkap dibandingkan dengan daerah pedesaan. Peningkatan jumlah penduduk di wilayah perkotaan juga mendorong adanya permintaan akan pemukiman, prasarana umum hingga kawasan industri. Terdapat dua kawasan industri di kota Medan yaitu Kawasan Industri Medan (KIM) 1 dan KIM 2 yang berlokasi dekat pelabuhan Belawan. Saat ini terdapat 86 perusahaan swasta nasional yang menempati lokasi tersebut berdampingan dengan 17 perusahaan asing. Kota Medan juga telah menyediakan Kawasan Industri Baru (KIB), yang terletak di Kecamatan Medan Labuhan dengan lahan yang disediakan 650 ha dan masih bisa dikembangkan menjadi 1.000 ha (Pemda Kota Medan, 2012). Pada proses selanjutnya KIB ini akan dikembangkan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus dengan total luas wilayah perencanaan ber-ada di atas lahan seluas ± 2.000 ha dan telah ditetapkan melalui SK Walikota Medan No. 640/623.K/2008 tanggal 22 Juli 2008. Dalam RTRW Kota Medan, pembangunan
kawasan industri disertai dengan pembangunan di zona RTH, di dalamnya termasuk taman, lapangan olah raga, hutan kota, TPU dan wisata, namun alokasi RTH hutan kota belum memadai. Peningkatan penyediaan lahan pengembangan RTH yang berwawasan lingkungan sebagai ruang publik tempat interaksi sosial dan keseimbangan lingkungan sangat diperlukan. Demikian pula di kota Palangka Raya, jumlah industri memiliki kecenderungan meningkat dari tahun 2002-2011. Gambar 9 mendeskripsikan jumlah industri, baik industri kehutanan, aneka industri maupun industri logam dan kimia serta prediksi jumlah penduduk hing ga tahun 2020, sedangkan prediksi peningkatan jumlah penduduk kota Medan dan Deli Serdang hingga tahun 2020 disajikan pada Gambar 10. Perkembangan luas pemukiman di Kabupaten Deli Serdang dalam kurun waktu 10 tahun terakhir meningkat rata-rata 465 ha per tahun. Penambahan luas pemukiman ini harus dikompensasi dengan pengurangan luas lahan lainnya seperti lahan pertanian, lahan kering seperti tegalan, kebun campuran dan sawah. Akibat kondisi ini maka beban daerah perkotaan akan makin berat (Bappeda Deli Serdang, 2013). Oleh karena itu pemerintah daerah memberikan usulan persyaratan RTH yang harus dipenuhi untuk setiap IMB bangunan atau kawasan industri. 3. Organisasi dan pendanaan Untuk aspek ini digunakan pendekatan dengan melihat peran stakeholder yang ada di daerah dalam penyelenggaraan hutan kota sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) instansi. Selain peran stakeholder berdasarkan PP, dilihat juga peran setiap stakeholder berdasarkan implementasi hutan kota di daerah. Peran stakeholder berdasarkan tupoksi instansi dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6. Tabel 5 dan Tabel 6 menjelaskan tentang peran stakeholder dalam pengelolaan hutan kota. Berdasarkan hasil wawancara secara mendalam telah diketahui peran setiap stakeholder, yang berpengaruh/ berkepentingan (+), netral (0) dan yang tidak berpengaruh/berkepentingan (-). Sebagaimana Tabel 5 bahwa Bappeda, Dinas Kehutanan dan Dinas Pertamanan berpengaruh dan memiliki kepentingan yang cukup tinggi untuk pelaksanaan hutan kota. Bappeda sebagai perencana anggaran yang didistribusikan ke Dinas Kehutanan dan Pertamanan untuk penyelengga21
Faktor-faktor yang Memengaruhi Penyelenggaraan Hutan ...(Elvida Yosefi Suryandari & Iis Alviya)
Industri, unit (Industry, unit)
Tahun ( Year)
Sumber (Source): Badan Pusat Statistik Kota Palangka Raya (2012).
Gambar 9. Jumlah industri dan prediksi penduduk di Palangka Raya. Figure 9. Number of industry and population number prediction in Palangka Raya. raan hutan kota. BPDAS memiliki kepentingan untuk memelihara lingkungan di luar kawasan dalam lingkup DAS (+), tetapi sedikit berpengaruh karena kewenangan pengelolaan ada di bawah pemerintah daerah (0). Stakeholder yang terkait dalam pembangunan hutan kota Medan antara lain Dinas Pertamanan, BLH, Bappeda Kota Medan, BPDAS, Dinas Kehutanan dan pihak swasta. Peran Bappeda selain membuat desain hutan kota, juga sebagai fungsi koordinasi yaitu koordinasi tentang pembangunan hutan kota dengan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara terkait hutan kota Candika Pramuka. Bank BNI bersedia memberikan Corporate Social Responsibility (CSR) sebesar Rp 3,5 miliar untuk pembangunan hutan kota Candika Pramuka tetapi pelaksanaannya tertunda karena alasan status 22
kawasan yang masih sengketa (terdapat klaim lahan oleh masyarakat). Permasalahan lainnya terdapat perbedaan kepentingan antara Dinas Pertamanan dan Dinas Pertanian dan Kelautan. Luas RTH Kota Medan sudah sesuai dengan UU No. 26 tahun 2007 yaitu seluas 30,05% dari luas wilayah kota Medan, tetapi luasan minimal hutan kota belum terpenuhi. Dinas Pertamanan berfungsi melakukan pemeliharaan hutan kota yang telah memiliki SK penetapan seperti Taman Beringin dan kebun binatang. Fungsi dari BLH adalah memberikan usulan terkait pembangunan taman kota dan hutan kota mengingat syarat adipura. Peran BLH adalah sebagai fungsi koordinasi, monitoring dan memberi masukan, sedangkan implementasi dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) teknis yaitu Dinas Pertamanan. Di kota
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 13-30
Sumber (Source): Badan Pusat Statistik Kota Medan (2012); Badan Pusat Statistik Kabupaten Deli Serdang (2012).
Gambar 10. Prediksi jumlah penduduk kota Medan dan Deli Serdang. Figure 10. Population number prediction in Medan city and Deli Serdang. Palangka Raya yang berperan aktif dalam penyelenggaraan hutan kota adalah Dinas Kehutanan Kota dan Bappeda dalam mendorong perencanaannya. Menurut Mayers (2005), pemetaan stakeholder dapat dikelompokkan menurut pengaruh dan tingkat kepentingan dalam pembangunan hutan kota; nantinya akan dikelompokkan ke dalam stakeholder primer dan sekunder (Gambar 11). Gambar ini didapatkan dari cluster analysis stakeholder (Tabel 3 dan Tabel 4 berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh serta wawancara dengan responden). Gambar 11 menjelaskan yang dikategorikan stakeholder primer adalah stakeholder yang mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi seperti Walikota/Bupati, Bappeda Kota/K
abupaten, Dinas Kehutanan Kota/Kabupaten dan Dinas Pertamanan Kota/Kabupaten. Stakeholder sekunder adalah tiga kotak di luar stakeholder primer. Keberhasilan pembangunan hutan kota terletak pada siapa yang menjadi leader dan pembagian peran serta koordinasi setiap stakeholder sesuai fungsinya. Sumber-sumber pendanaan dapat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maupun bantuan swasta. Alokasi pendanaan hutan kota yang berasal dari APBN diberikan melalui UPT Kementerian Kehutanan yaitu BPDAS. Sumber pendanaan bagi pengelolaan hutan kota di tiga lokasi penelitian sebagaimana Tabel 7. 23
Faktor-faktor yang Memengaruhi Penyelenggaraan Hutan ...(Elvida Yosefi Suryandari & Iis Alviya)
Tabel 5. Peran stakeholder dalam pengelolaan hutan kota di Medan dan Deli Serdang Table 5. Stakeholder's role within urban forest management in Medan and Deli Serdang Stakeholder (Stakeholders) Bappeda Kota/ Kab. (District planning agency) BPDAS (Watershed management agency) Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi (Forestry and plantation agency in provincial) Dinas Kehutanan Kabupaten (Forestry agency in district) Badan Lingkungan Hidup (Enviromental agency) Swasta (Private) Dinas Pertamanan (Lanscaping services)
Koordinasi perencanaan anggaran dan tata ruang
+
Tingkat pengaruh stakeholder terhadap kegiatan hutan kota (The influence of urban forest stakeholder) +
Rehabilitasi hutan dan lahan lingkup DAS
+
0
Rehabilitasi hutan dan perhutanan sosial
+
0
Rehabilitasi hutan dan perhutanan sosial
+
+
Penataan, pemulihan dan pengendalian
+
0
CSR/lembaga pembiayaan Pertamanan/Pemakaman
+ +
0 +
Terkait program hutan kota (Related with urban forest programme)
Tingkat kepentingan stakeholder terhadap kegiatan hutan kota (The importance of urban forest stakeholder)
Keterangan (Remarks): +, berpengaruh positif (positif impact); 0, netral (neutral); -, tidak berpengaruh (negatif impact).
Tabel 6. Peran stakeholder dalam pengelolaan hutan kota Palangka Raya Table 6. Stakeholder's role within urban forest management in Palangka Raya Stakeholder (Stakeholders)
Bappeda Kota/Kab. (District planning agency) BPDAS (Watershed management agency) Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi (Forestry and plantation agency in provincial) Dinas Kehutanan dan Perke-bunan Kota/Kab. (Forestry and plantation agency in district) Badan Lingkungan Hidup (Enviromental agency) Universitas (University)
Tingkat kepentingan stakeholder terhadap kegiatan hutan kota (The importance of urban forest stakeholder)
Tingkat pengaruh stakeholder terhadap kegiatan hutan kota (The influence of urban forest stakeholder)
Perencanaan tata ruang kota
+
+
Rehabilitasi hutan dan lahan Rehabilitasi hutan dan perhutanan sosial
+ -
0 +
Rehabilitasi hutan dan perhutanan sosial
+
+
Pengelolaan lingkungan hidup
-
-
Penyiapan design site plan hutan kota CSR/lembaga pembiayaan
-
+
Terkait program hutan kota (Related with urban forest programme)
Swasta/lembaga keuangan + (Private/financial institutions) Dinas Tata Kota, Bangunan, Tata ruang dan pengembangan + Pertamanan (Urban planning, building kawasan strategis and lanscaping agency) Keterangan (Remarks): +, berpengaruh positif (positif impact); 0, netral (neutral); -, tidak berpengaruh (negatif impact).
24
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 13-30
A1
B
A B1
Kepentingan tinggi (High importance )
B7
C2
C1
Kepentingan rendah (Low importance)
B2 B4
B3
B5
B6
Pengaruh rendah (Low influence )
Pengaruh tinggi (High influence )
Gambar 11. Pemetaan stakeholder terkait penyelenggaraan hutan kota. Figure 11. Stakeholders mapping in urban forest implementation. Keterangan (Remarks): A: Pemerintah Pusat (Menteri Kehutanan) A1: BPDAS (UPT Pusat) B: Pemerintah Daerah (Walikota/Bupati) B1: Dinas Kehutanan Kota/Kabupaten B2: Dinas Pertamanan/Dinas Tata Kota, Bangunan dan Pertamanan Kota/Kabupaten B3: Badan Lingkungan Hidup Daerah B4: Bappeda Kota/Kabupaten B5: Dinas Kehutanan Provinsi B6: Dinas Cipta Karya dan Pertambangan B7: Dinas Pertanian dan Kelautan C: Di luar pemerintah pusat dan daerah C1: Swasta C2: Universitas.
Tabel 7. Sumber pendanaan penyelenggaraan hutan kota Table 7. Budget source of urban forest implementation Kota/Kabupaten (City/district) Deli Serdang Palangka Raya
Medan
Sumber (Source) APBD Kab. BPDAS APBD Kota APBD Kota Swasta APBD Kota CSR BNI
Alokasi pendanaan (Budget) Rp 8,8 miliar/tahun Bantuan bibit Rp 1 miliar Target pemeliharaan 29,1 ha/tahun (2009-2013) Bantuan bibit dan sarpras 20-30miliar/tahun Dalam perencanaan (Rp 3,5 miliar)
Keterangan (Remarks) Rata-rata tahun 2011-2013 Dinas Kehutanan (2012) Dinas Tata Kota
Dinas Pertamanan, BLHD Dinas Pertanian dan Kelautan Terkendala sengketa lahan (Cadik a Pramuka)
Sumber (Source): Dinas Kehutanan Deli Serdang (Deli Serdang Forestry Agency) (2013); Dinas Tata Kota Palangkaraya (Palangkaraya Lanskaping services) (Palangkaraya (2013); Dinas Tata Kota, Bangunan, Pertamanan Medan (Urban planning, building and lanscaping agency) (2013).
25 Faktor-faktor yang Memengaruhi Penyelenggaraan Hutan ...(Elvida Yosefi Suryandari & Iis Alviya)
Tabel 8. Alokasi dana APBD terkait Ruang Terbuka Hijau Deli Serdang Table 8. Allocation of APBD funding related with green open space Alokasi dana (Budget) (Rp) Program (Programme) 2011
2012
2013
Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan pada Dinas Kehutanan (Forest and land rehabilitation program at forestry agency)
1.447.112.000
2.428.427.000
2.780.348.300
Program Perencanaan Tata Ruang pada Bappeda (Spatial planning program at Bappeda)
5.565.405.825
5.755.145.500
5.942.720.000
Program Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau pada Dinas Cipta Karya dan Pertambangan (Program of green space management at Dinas Cipta Karya dan Pertambangan)
-
-
2.578.320.000
Sumber (Source): Badan Lingkungan Hidup Daerah Deli Serdang (2013).
Khusus sumber dana APBD di Kabupaten Deli Serdang tahun 2011-2013 mengalami sedikit peningkatan. Tabel 8 menunjukkan alokasi pendanaan terkait perencanaan tata ruang dan hutan kota di Kabupaten Deli Serdang yang disalurkan melalui Dinas Kehutanan, Dinas di bawah PU dan Bappeda. Sumber pendanaan hutan kota Medan berasal dari APBD yang diberikan melalui Dinas Pertamanan dan Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD). Sumber pendanaan lain adalah dari CSR BNI yang masih dalam proses kesepakatan karena terdapat sengketa lahan khususnya di hutan kota Cadika Pramuka. Dalam hutan kota tersebut terdapat banyak pihak termasuk adanya sengketa lahan milik masyarakat yang belum mendapatkan solusi yang tepat. Pendanaan hutan kota melalui APBD Deli Serdang mulai tahun 2010 diberikan melalui Dinas Kehutanan, Bappeda dan Dinas PU di mana tren alokasi dana antara tahun 2011-2013 meningkat. Bantuan pembiayaan oleh Ke menterian Kehutanan diberikan melalui BPDAS setempat. Sementara itu hutan kota di Palangka Raya didanai dari APBD Kota dan swasta. BPDAS juga membantu pembangunan hutan kota di kabupaten lain di Kalimantan Tengah yaitu Sukamara (Rp 862.430.000/tiga tahun) dan Kotim (Rp 418.700.000/tiga tahun), di mana biaya ini pada tahun pertama untuk perencanaan, tahun ke-2 untuk penanaman dan tahun ke-3 untuk pemeliharaan) (BPDAS Kahayan, 2012). Pendanaan pembangunan hutan kota dari Pemerintah Pusat berasal dari BPDAS dengan jumlah sesuai dengan satuan biaya Kementerian
26
Kehutanan. Pendanaan APBN melalui BPDAS rata-rata adalah biaya rancangan Rp 135 juta/ ha dan pembuatan/pemeliharaan sebesar Rp 5 juta/ha. Target pembangunan hutan kota oleh BPDAS hingga tahun 2014 adalah 1.000 ha/tahun yang tersebar di 26 kota di Indonesia, dengan jenis tanaman tanjung, mahoni, trembesi dan kenari. Pendanaan yang berasal dari APBD merupakan kewajiban daerah sesuai kewenangan dan kebijakan daerah. Secara umum alokasi pembiayaan untuk RTH dan hutan kota khususnya telah direncanakan oleh Kementerian Kehutanan dan APBD kabupaten/kota, bahkan pihak swasta yang ingin berpartisipasi, meskipun kadangkala masih terkendala oleh masalah sengketa lahan dan koordinasi antar stakeholder dalam penyelenggaraannya. 4. Kebijakan Berdasarkan hasil pembobotan bahwa kebijakan Pusat paling besar pengaruhnya karena sebagai payung legal untuk penyelenggaraan hutan kota. Kenyataannya kebijakan sektoral kehutanan tentang hutan kota yang dituangkan dalam PP No. 63 tahun 2002 dan turunannya Peraturan Menteri Kehutanan No. 71 tahun 2009 belum dapat mendorong penyelenggaraan hutan kota. Hutan kota tidak sepenuhnya dapat dibangun karena PP No. 63 tahun 2002 penekanannya lebih kepada Program Pembangunan Indonesia Hijau (KLH), Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) dan Adipura. Salah satu faktor penyebabnya adalah konsep hutan kota yang kurang jelas (strata tanaman/pohon), di mana batasan minimal luasan hutan kota dan keharusan
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 13-30
Tabel 9. Peraturan Pemerintah Daerah terkait hutan kota Table 9. Rule's of district government related to urban forest Kota Medan (Medan city)
Kabupaten Deli Serdang (District of Deli Serdang)
Kota Palangka Raya (Palangka Raya city)
- Perda No. 13 tahun 2011 tentang RTRW Kota Medan 2011-2031 - Peraturan Walikota Medan No. 10 tahun 2009 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah - Penetapan Hutan Kota Beringin seluas 1,2 ha oleh Pemda Kota Medan
- Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Penunjukan kawasan tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten hutan kota sesuai Deli Serdang tahun 2007-2027 Keputusan Walikota - Keputusan Bupati Deli Serdang No. 187 tahun 2010 Palangka Raya No. 89 tentang Penunjukan Hutan Kota dan Taman Kota Lubuk tahun 2010 Pakam, Deli Serdang - Keputusan Bupati Deli Serdang tentang Pembentukan Posko Penyediaan dan Penyaluran B ibit Tanaman Penanaman Satu Miliar Pohon tahun 2011 di Kabupaten Deli Serdang - Keputusan Bupati Deli Serdang tentang Pembentukan Kelompok Kerja Penanaman Satu Miliar Pohon tahun 2011 di Kabupaten Deli Serdang - Keputusan Bupati Deli Serdang tentang Pembentukan Tim Terpadu Program Menuju Indonesia Hijau (MIH) Kabupaten Deli Serdang tahun 2012 - Keputusan Bupati Deli Serdang No. 187 tahun 2010 tentang Penunjukan Lokasi Hutan Kota dan Taman Kota Lubuk Pakam Kabupaten Deli serdang Sumber (Source): Dinas Kehutanan Deli Serdang (2013); Dinas Kehutanan Kota Medan (2013); Dinas Kehutanan Kota Palangka Raya (2013).
kompak dianggap menyulitkan dalam implemetasi. Kemampuan setiap daerah untuk menyelenggarakan hutan kota juga berbeda-beda. Subarudi dan Samsoedin (2012) menyebutkan bahwa setiap daerah kabupaten/kota menggunakan dasar peraturan yang berbeda-beda disesuaikan dengan “pengetahuan” masing-masing daerah dan kemampuan mengingat keterkaitan antara pembangunan dan pengembangan hutan kota dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan daerah yang turut mendukung penyelenggaraan hutan kota juga tergantung pada komitmen dan prioritas kepentingan daerah dalam membangun wilayahnya. Sebagai contoh Peraturan Walikota Medan No. 10 tahun 2009 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah, di mana salah satu isinya adalah pengenaan tarif retribusi tertentu apabila menebang tanaman milik daerah (pasal 19). Hal ini menunjukkan komitmen kuat dari Pemda Kota Medan dalam menjaga RTH, termasuk hutan kota yang ada di wilayahnya. Untuk menjamin keberadaan dan penyediaan hutan kota maka perlu penetapan hutan kota melalui Perda dan peraturan lain yang mendukung kelestariannya. Berikut adalah sejumlah peraturan yang dikeluarkan oleh Pemda kota Medan, Deli
Serdang dan kota Palangka Raya terkait hutan kota (Tabel 9). C. Upaya Penyelenggaraan Hutan Kota Berdasarkan uraian di atas, maka upaya penyelenggaraan hutan kota harus memperhatikan halhal di bawah ini: 1. Keterbatasan alokasi lahan tidak terbatas pada persyaratan luas dan kekompakan lahan, tetapi sebagai kumpulan pohon dan habitatnya di wilayah perkotaan. Alternatif yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keterbatasan lahan adalah mengoptimalkan hutan kota yang ada (misal pengayaan jenis pohon) dan pengembangan hutan kota pada lahan-lahan terlantar. 2. Alokasi lahan untuk hutan kota perlu diakomodir dalam perencanaan wilayah perkotaan dengan mempertimbangkan aspek keseimbangan antara pembangunan fisik dan aspek lingkungan yang sehat dan ditetapkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). 3. Peningkatan partisipasi masyarakat, baik swasta maupun masyarakat umum dalam pembangunan hutan kota. Peran pemerintah diperlukan berupa kebijakan, seperti dalam memberikan
27 Faktor-faktor yang Memengaruhi Penyelenggaraan Hutan ...(Elvida Yosefi Suryandari & Iis Alviya)
4.
5. 6. 7.
izin mendirikan bangunan (IMB) untuk menekan pertumbuhan kawasan terbangun dengan syarat terpenuhinya kebutuhan RTH. Masyarakat umum diikutsertakan dalam pembangunan hutan kota privat dengan sosialisasi dan pemberian insentif bagi yang berpartisipasi dalam hutan kota. Peningkatan koordinasi dalam pengelolaan hutan kota antar pihak, baik dalam segi pengelolaan maupun pendanaan. Keberhasilan pembangunan hutan kota terletak pada siapa yang menjadi leader (mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi dalam kasus penelitian ini adalah Walikota/ Bupati, Bappeda Kota/Kabupaten, Dinas Kehutanan Kota/Kabupaten, Dinas Pertamanan Kota/Kabupaten) dan pembagian peran serta koordinasi setiap stakeholder sesuai fungsinya. Kontinuitas pendanaan dalam pengelolaan hutan kota. Perlunya komitmen pemimpin daerah yang peduli terhadap pembangunan hijau seperti hutan kota. Peraturan seperti PP No. 63 tahun 2002 dan P 71 tahun 2009 sebagai turunannya sangat penting sebagai payung hukum bagi implementasi hutan kota di daerah. Ketentuan persyaratan luas dan kekompakan lahan dalam PP tersebut perlu ditinjau kembali.
0,25 ha dan kompak menyulitkan pemerintah daerah untuk mewujudkan hutan kota yang ideal. Faktor yang berpengaruh dalam aspek sosialekonomi adalah peningkatan jumlah penduduk di perkotaan. Hal ini berimplikasi pada peningkatan pembangunan permukiman dan fasilitas pendukung lainnya yang harus dikompensasi dengan pengurangan peruntukan lahan lainnya. Akibat kondisi ini maka beban daerah perkotaan akan makin berat karena tidak diimbangi dengan hutan kota yang memadai. Faktor pendanaan paling berpengaruh dalam aspek organisasi terkait alokasi anggaran yang ada, baik di pusat maupun daerah seperti Bappeda, Dinas Kehutanan, Dinas Pertamanan sebagai stakeholder yang memiliki pengar uh dan kepentingan yang tinggi dalam pembangunan hutan kota. Bantuan pendanaan dari pihak swasta dalam bentuk CSR turut mendukung pembangunan hutan kota meskipun kadangkala masih terkendala oleh masalah sengketa lahan dan koordinasi antar stakeholder dalam penyelenggaraannya. Dari aspek kebijakan, faktor peraturan pemerintah (PP) sangat berpengaruh terhadap penyelenggaraan hutan kota karena akan menjadi payung hukum bagi implementasi hutan kota di daerah. B. Saran
IV.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Hutan kota tidak semata-mata merupakan isu lingkungan yang menarik, tetapi telah menjadi kebutuhan bagi masyarakat di perkotaan. Banyak faktor yang memeng ar uhi keberhasilan pembangunan hutan kota ditinjau dari aspek biofisik, sosial ekonomi, organisasi dan kebijakan. Faktor yang berpengaruh dalam aspek biofisik adalah alokasi hutan kota yang saat ini semakin terbatas. Hal ini terkait dengan perubahan penutupan lahan RTH hutan kota menjadi penggunaan lain yang lebih prioritas bagi daerah. Alokasi hutan kota pada ketiga lokasi penelitian kurang dari 10% sehingga belum dapat memenuhi amanat PP No. 63 tahun 2002 walaupun secara keseluruhan 30% minimum luasan RTH telah tercapai. Ketentuan untuk mencari lahan minimal 28
Upaya penyelenggaraan hutan kota dengan cara mengembangkan hutan kota yang ada dengan jenis pohon yang dibutuhkan kota (seperti menyerap polutan) atau pengayaan jenis dan menambah alokasi hutan kota pada lahan-lahan yang terlantar/kosong. Upaya untuk menyelenggarakan hutan kota antara lain adanya optimalisasi penggunaan lahan hutan kota, komitmen pemimpin daerah, koordinasi kegiatan antar stakeholder yang terintegrasi, kontinuitas pendanaan, peningkatan partisipasi masyarakat luas, perencanaan hutan kota diakomodir dalam RTRWK dan mendorong penetapan hutan kota melalui Perda. DAFTAR PUSTAKA Anastasia, Yoza, D., & Arlita, T. (2013). Identifikasi peran masyarakat dalam implementasi kebijakan pembangunan hutan kota Pekanbaru Provinsi
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 13-30
Riau. Pekanbaru: Fakultas Pertanian, Universitas Riau. Arif, N.N., Eriawan, T., & Haryani. (2014). Konsep penyediaan ruang terbuka hijau kota Bukittinggi dengan keterbatasan lahan pengembangan. Padang: Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Bung Hatta. Badan Lingkungan Hidup Daerah Deli Serdang. (2013). Profil pengelolaan tutupan vegetasi Kabupaten Deli Serdang tahun 2013. Program menuju Indonesia hijau (2013). Lubuk Pakam: BLHD Deli Serdang. Badan Pusat Statistik Kabupaten Deli Serdang. (2012). Deli Serdang dalam angka. Lubuk Pakam: Badan Pusat Statistik Kabupaten Deli Serdang. Badan Pusat Statistik Kota Medan. (2012). Medan dalam angka. Medan: Badan Pusat Statistik Kota Medan. Badan Pusat Statistik Kota Palangka Raya. (2012). Palangka Raya dalam angka. Palangka Raya: Badan Pusat Statistik Kota Palangka Raya. Bappeda Deli Serdang. (2013). RPJPD Kabupaten Deli Serdang 2013. Lubuk Pakam: Bappeda Deli Serdang. BPDAS Kahayan. (2012). Perencanaan pembangunan hutan kota di DAS Kahayan. Palangka Raya: BPDAS Kahayan. Dinas Kehutanan Deli Serdang. (2012). Program menuju Indonesia hijau. Kerjasama Dinas Kehutanan Deli Serdang dengan Badan Lingkungan Hidup Daerah Deli Serdang. Lubuk Pakam: Dinas Kehutanan Deli Serdang. Dinas Kehutanan Deli Serdang. (2013). Statistik kehutanan Deli Serdang. Lubuk Pakam: Dinas Kehutanan Deli Serdang. Dinas Kehutanan Kota Medan. (2013). Statistik kehutanan Medan. Medan: Dinas Kehutanan Kota Medan. Dinas Kehutanan Palangka Raya. (2013). Hutan kota Himba Kahui Palangka Raya. Palangka Raya: Dinas Kehutanan Palangka Raya.
Dinas Tata Kota, Bangunan, Pertamanan Medan. (2013). Perencanaan ruang terbuka hijau kota Medan. Medan: Dinas Tata Kota, Bangunan, Pertamanan Medan. Dwihatmojo, R. (2010). Ruang terbuka hijau yang semakin ter ping girkan . Diunduh dari http://www .bakosurtanal.go.id/assets/ download/artikel/BIGRuangTerbukaHijau yangSemakinTerpinggirkan.pdf. (22 Januari 2014). Faikoh. (2008). Deteksi perubahan ruang terbuka hijau di kota industri Cilegon. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fakuara, Y. (1987). Konsepsi pengembangan hutan kota. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Grey & Deneke. (1986). Urban forestry (2nd ed.). New York: John Wiley and Sons. Mayers, J. (2005). Stakeholder power analysis. Diunduh dari www.policy-powertools.org. (21 Nopember 2013). Pemda Kota Medan. (2012). LAKIP Kota Medan 2012. Medan: Pemda Kota Medan. Peraturan Daerah No. 11 tahun 2013 tentang RTRW Kota Medan 2011-2031. Peraturan Walikota Medan No. 10 tahun 2009 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah. Samsoedin, I. & Waryono, T. (2010). Hutan kota dan keanekaragaman jenis pohon di Jabodetabek. Jakarta: Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI). Samsoedin, I. & Subarudi. (2010). Kajian Kebijakan Pengelolaan dan Pengembangan Hutan Kota di Provinsi DKI Jakarta, Kota Bekasi, Kota Tanggerang dan Kota Depok. (Laporan Hasil Penelitian). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Samsoedin, I. & Subiandono, E. (2006). Pembangunan dan pengelolaan hutan kota. Makalah Ekspose Hasil-hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan, 20 September 2006. Padang.
29 Faktor-faktor yang Memengaruhi Penyelenggaraan Hutan ...(Elvida Yosefi Suryandari & Iis Alviya)
Simonds, O. J. (1983). Landscape architecture. New York: McGraw-Hill Pub. Co. Subarudi & Samsoedin, I. (2012). Kajian kebijakan hutan kota: studi kasus di Provinsi DKI Jakarta. Jurnal Analisis Kebijakan, 9(2), 144153. Uthama, I.B.P.A (2013). Upaya peningkatan pemanfaatan taman kota di Tabanan. Denpasar: Universitas Udayana. Diunduh dari http://www.pps.unud.ac.id/thesis/detail783-upaya-peningkatan-pemanfaatantaman-kota-di-kota-tabanan.html. (17 September 2014).
30
Wahyuni, E. (2006). Analisis keterkaitan permasalahan tata ruang dengan kinerja perkembangan wilayah (studi kasus kota Bandar Lampung). (Tesis). Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wahyuni, T. & Samsoedin, I. (2012). Kajian aplikasi hutan kota di Kalimantan Timur. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 9(3), 219235. Yunus, H.S. (2006). Megapolitan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 13-30
KAJIAN FINANSIAL PENGEMBANGAN BIODIESEL KEMIRI SUNAN (Reutealis trisperma (Blanco) Airy Shaw) PADA LAHAN TERSEDIA DI JAWA BARAT (The Financial Analysis of Biodiesel Kemiri Sunan (Reutealis trisperma (Blanco) Airy Shaw) at the Available Lands on West Java) 1
2
2
3
Wening Sri Wulandari , Dudung Darusman , Cecep Kusmana , Widiatmaka 1 Program Doktor, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Baranangsiang, Bogor, Indonesia; e-mail:
[email protected] 2 Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor, Indonesia; e-mail:
[email protected],
[email protected]. 3 Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor, Indonesia; e-mail:
[email protected] Diterima 10 Desember 2014 direvisi 22 Januari 2015 disetujui 12 Februari 2015 ABSTRACT
One of potential vegetable materials in Indonesia as a source of biodiesel is kemiri sunan (Reutealis trisperma (Blanco) Airy Shaw). This study aims to analyze: financial feasibility of plantation; financial feasibility of biodiesel processing, and the development of business unit. The research results show that kemiri sunan plantation is feasible on the area of 60 ha, a business period of 50 years. Feasibility values without loan are: NPV IDR 1,101,007,645; IRR 13.52%; BCR 1.36; PBP 14.68 years, feasibility values with loan are: NPV IDR 160,351,357; IRR 13.52%; BCR 1.08; PBP 22.55 years, sensitive to the decrease of selling price of dry seeds and productivity of the trees. The biodiesel processing business is feasible at the business period of 15 years, the production capacity of 202.75 Kl/year. Feasibility values without loan are: NPV IDR 512,549,740; IRR 27.27%; BCR 1.04; PBP 4.32 years, feasibility values with loan are: NPV IDR 303,310,940; IRR 27.27%; BCR 1.03; PBP 4.94 years, sensitive to the rising costs of materials and a decrease in the selling price. If all available lands were cultivated, it will generate 2,365 business units and to produce biodiesel that meets 16.68% of the needs of West Java diesel oil. Keywords: Feasibility, biodiesel, kemiri sunan (Reutealis trisperma (Blanco) Airy Shaw), available land. ABSTRAK
Salah satu bahan nabati potensial di Indonesia sebagai sumber biodiesel adalah kemiri sunan (Reutealis trisperma (Blanco) Airy Shaw). Penelitian bertujuan mengkaji: 1) kelayakan finansial penanaman kemiri sunan; 2) kelayakan finansial pengolahan biodiesel kemiri sunan; 3) pengembangan unit usaha pada lahan tersedia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penanaman kemiri sunan layak diusahakan pada luas 60 ha, umur usaha 50 tahun. Nilai kelayakan dengan dana sendiri: NPV Rp 1.101.007.645; IRR 13,52%; BCR 1,36; PBP 14,68 tahun. Nilai kelayakan dengan dana pinjaman : NPV Rp 160.351.357; IRR 13,52%; BCR 1,08; PBP 22,55 tahun. Pembangunan tanaman kemiri sunan sensitif terhadap penurunan harga jual biji kering dan penurunan produktivitas tanaman ≥ 28%. Pengolahan biodiesel layak diusahakan pada umur usaha 15 tahun, kapasitas produksi 202,75 Kl/tahun. Nilai kelayakan dengan dana sendiri : NPV Rp 512.549.740; IRR 27,27%; BCR 1,04; PBP 4,32 tahun. Nilai kelayakan dengan dana pinjaman: NPV Rp 303.310.940; IRR 27,27%; BCR 1,03; PBP 4,94 tahun. Pengolahan biodiesel kemiri sunan sensitif terhadap kenaikan biaya bahan dan tenaga kerja penurunan harga biodiesel mencapai ≥6%. Jika seluruh lahan tersedia ditanami akan berpeluang menghasilkan 2.365 unit usaha dan biodiesel yang memenuhi 16,68% kebutuhan solar Jawa Barat. Kata kunci: Kelayakan, biodiesel, kemiri sunan (Reutealis trisperma (Blanco) Airy Shaw), lahan tersedia.
I. PENDAHULUAN Seiring dengan meningkatnya kepedulian manusia terhadap kelestarian lingkungan dan
perubahan iklim, upaya penggunaan bahan ramah lingkungan semakin meningkat. Begitu pula di bidang energi mulai dikembangkan energi terbarukan yang ramah lingkungan, di antaranya 31
Kajian Finansial Pengembangan Biodiesel Kemiri Sunan ...(Wening Sri Wulandari et al.)
biodiesel yang bersumber dari bahan nabati. Menurut Diaz et al. (2012) biodiesel adalah rantai panjang alkil ester yang dapat menjadi sumber energi alternatif penting, karena merupakan biofuel yang terbarukan, biodegradable serta tidak beracun. Hal tersebut sejalan dengan Faria et al. (2013) bahwa biodiesel disarankan untuk bahan bakar alternatif fosil yang terbarukan karena dapat mengurangi toksisitas dan emisi gas buang. Domac et al. (2005) menyatakan bahwa untuk keamanan energi dan manfaat lingkungan di negara berkembang, perlu didorong pengembangan bioenergi dan teknologi energi terbarukan lainnya. Industri biodiesel di Indonesia belum berkembang dengan baik meskipun Indonesia memiliki potensi sumber bioenergi yang melimpah. Salah satu bahan nabati penghasil biodiesel yang prospektif di Indonesia adalah kemiri sunan (Reutealis trisperma (Blanco) Airy Shaw). Biodiesel dari kemiri sunan memi-liki keunggulan dari sumber nabati lainnya, yaitu: a) memiliki kandungan minyak de-ngan rendemen kurang lebih 50% (Vossen & Umali, 2002); b) biodiesel yang dihasilkan cukup tinggi, dengan rendemen dari minyak kasar sebesar 8892%; c) tidak bersaing dengan pangan karena minyak kemiri sunan mengandung asam αeleostearat 50% (Vossen & Umali, 2002); d) dapat mencegah erosi dan kerusakan tanah; e) memiliki umur produksi yang panjang dan f) dapat menjerap karbon dengan baik. Menurut Herman & Pranowo (2011), biomassa tajuk kemiri sunan adalah 1,5-2,5 ton per pohon, setara dengan stok karbon yang terakumulasi dalam biomassa 0,5-1,0 ton per pohon. Keunggulan tersebut menjadi salah satu faktor kunci dalam upaya pengembangan biodiesel kemiri sunan selain krieria finansial. Pengembangan biodiesel perlu memperhatikan dua faktor yaitu: 1) ketersediaan dan kesinambungan bahan baku dan 2) ketersediaan teknologi pengolahan biodiesel. Ketersediaan dan kesinambungan bahan baku sangat penting untuk menjamin kelangsungan produksi. Hal ini harus didukung penanaman kemiri sunan dengan luasan yang dapat mencukupi kebutuhan bahan baku untuk pengolahan biodiesel. Penentuan lahan untuk penanaman kemiri sunan harus memperhatikan kesesuaian lahan agar dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik. Hardjowigeno & Widiatmaka (2007) mendefinisikan kesesuaian lahan yaitu kecocokan lahan untuk tipe penggunaan tertentu, baik jenis tanaman maupun tingkat 32
pengelolaannya. Lebih lanjut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) menyatakan bahwa informasi kesesuaian lahan dan potensi merupakan hal yang perlu diketahui sebelum merencanakan tataguna lahan. Supriadi et al. (2009) menyampaikan tanaman kemiri sunan tumbuh dan berproduksi dengan baik di Kabupaten Majalengka, Sumedang dan Garut, Jawa Barat. Kementerian Pertanian telah melepas varietas unggul kemiri sunan 1 dan kemiri sunan 2 sebagaimana Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 4000/Kpts/SR.120/9/ 2011. Varietas unggul kemiri sunan 2 direkomendasikan untuk dikembangkan se-bagai tanaman penghasil biodiesel karena memiliki kandungan minyak yang lebih banyak yaitu 47,2156,00%. Teknologi budidaya kemiri sunan, mulai dari persemaian dan pembenihan sampai dengan pemeliharaan sudah dikuasai sebagaimana disampaikan oleh Herman et al. (2013). Teknologi pengolahan biodiesel kemiri sunan telah tersedia dan menghasilkan kualitas biodiesel yang memenuhi standar. Aunillah dan Pranowo (2012) menyatakan bahwa pembuatan biodiesel kemiri sunan dengan transesterifikasi dua tahap dapat menghasilkan kualitas biodiesel yang memenuhi se-mua kriteria SNI 1782:2012 (17 parameter), kecuali residu karbon belum memenuhi kriteria, namun dapat diatasi dengan proses pencucian yang lebih bersih. Jika dukungan teknologi tersedia, untuk pengembangan biodiesel lebih lanjut diperlukan dukungan kepastian usaha sebagai bahan pertimbangan bagi para pelaku usaha dalam melakukan perencanaan investasi. Salah satu metode untuk memprediksi kepastian usaha adalah dengan informasi kelayakan finansial. Khotimah et al. (2002) menyatakan bahwa aspek finansial merupakan salah satu unsur kritis dalam formulasi proyek, sebagai informasi mengenai kemampuan proyek untuk berkembang dan mandiri secara finansial. Kelayakan finansial dinilai berdasarkan: 1) Net Pre-sent Value (NPV); 2) Interest Rate of Return (IRR); 3) Net Benefit Cost Ratio (Net BCR) dan 4) Pay Back Period (PBP). Yang et al. (2012) menggunakan kriteria NPV, IRR dan PBP untuk menganalisis kelayakan ekonomi proyek energi terbarukan di China dengan beberapa skenario. Menurut Brent (2006), manfaat saat ini akan lebih dipilih karena manfaat di masa depan tidak ada kepastian untuk dapat menikmatinya. Untuk mendukung pengembangan biodiesel kemiri sunan diperlukan
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 31-42
kajian finansial yang komprehensif hulu-hilir, yaitu kajian finansial penanaman kemiri sunan untuk penyiapan bahan baku dan kajian finansial pengolahan biodiesel kemiri sunan. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan: 1) mengkaji kelayakan finansial penanaman kemiri sunan di Jawa Barat; 2) mengkaji kelayakan finansial pengolahan biodiesel kemiri sunan Jawa Barat dan 3) mengkaji pengembangan unit usaha berdasarkan lahan tersedia untuk penanaman kemiri sunan di Jawa Barat.
II. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Bogor, Sukabumi dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan daerah studi didasarkan pada keberadaan pakar dan ketersediaan berbagai informasi terkait pengembangan biodiesel kemiri sunan. Penelitian dilaksanakan selama enam bulan (April - September 2014).
Tabel 1. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian Table 1. The types and sources of data used in the study Data (Data) 1. Penanaman kemiri sunan (Planting of kemiri sunan) - Kebutuhan tenaga kerja dan bahan pembuatan tanaman (Needs of labour and material of planting) - Pemeliharaan tanaman (Plant maintenance) - Produksi biji kering kemiri sunan (Production of dry seedskemiri sunan ) 2. Pengolahan biodiesel kemiri sunan (Biodiesel processing of kemiri sunan) - Peralatan dan pemeliharaan (Equipment and maintenance) - Kebutuhan listrik dan bahan pengolahan biodiesel (Needs of electricity and biodiesel processing materials) 3. Harga (Price) - Biodiesel, distribusi (Biodiesel, distribution)
Jenis data (Data type)
Sumber Data (Data source)
Sekunder
Dishutbun Majalengka
Sekunder
Herman, et al. (2013)
Primer
(Herman, M., 24 Juni 2014, komunikasi pribadi)
Primer
(Pranowo, D., 5 April 2014, komunikasi pribadi)
Sekunder
Listyati (2009)
Sekunder
- Listrik (Electricity)
Sekunder
-
Sekunder Primer Sekunder Primer
Keputusan Menteri ESDM No. 2185 K/12/MEM/ 2014 Keputusan Menteri ESDM No 2187 K/12/MEM/ 2014 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 09 tahun 2014 tentang Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan oleh PT PLN (Persero) PDAM Toko sarana pertanian dan bahan kimia, Bogor Balittri (Pranowo, D., 5 April 2014, komunikasi pribadi)
Sekunder
Kementerian Keuangan; Pustekolah
Sekunder
Wulandari et al. (2014)
Sekunder
Wulandari et al. (2014)
Sekunder
Dinas ESDM Jawa Barat
Air (Water) Bahan kimia (Chemicals) Bungkil (Oilcake) Gliserol kotor (Glycerol which has not been purified) - Upah (Cost of labour) 4. Kesesuaian lahan (Land suitability) - Luas lahan tersedia (Area of available lands) - Peta lahan tersedia (Map of available lands) - Volume distribusi solar Jawa Barat 2012 (Volume of diesel fuel distribution in West Jawa 2012)
33 Kajian Finansial Pengembangan Biodiesel Kemiri Sunan ...(Wening Sri Wulandari et al.)
B. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan untuk analisis adalah data primer dan data sekunder. Jenis dan sumber data sebagaimana Tabel 1. C. Asumsi
D. Tahapan Analisis
Asumsi yang digunakan dalam analisis finansial adalah sebagai berikut: 1. Asumsi yang digunakan dalam analisis pembangunan tanaman kemiri sunan: a. Harga yang digunakan adalah harga tahun 2014. b. Luas lahan adalah 60 ha sesuai dengan kebutuhan biji untuk pengolahan biodiesel. c. Kemiri sunan ditanam di lahan sendiri atau lahan pemerintah. d. Masa analisis adalah 50 tahun. e. Jumlah pohon per ha sebanyak 156 pohon. f. Kemiri sunan mulai berproduksi pada umur 4 tahun sebanyak 12,5 kg biji kering per pohon, umur lima tahun 25 kg biji kering per pohon, umur enam tahun 50 kg biji kering per pohon, umur tujuh tahun 75 kg biji kering per pohon. Mulai umur delapan tahun dan seterusnya, produksi biji kering per pohon adalah 100 kg. g. Harga biji kering kemiri sunan Rp 750/kg, tetap selama masa analisis. h. Semua pohon berproduksi. 2. Asumsi yang digunakan dalam analisis pengolahan biodiesel: a. Harga yang digunakan adalah harga tahun 2014. b. Kapasitas alat sekali proses adalah 400 liter minyak kasar kemiri sunan (MKKS). c. Satu hari dilakukan dua kali proses. d. Hari efektif adalah 24 hari per bulan dan 12 bulan per tahun. e. Jumlah biji kering kemiri sunan yang digunakan untuk satu kali proses adalah 1.600 kg dengan harga Rp 775/kg. f. Masa analisis adalah 15 tahun sesuai masa pakai alat. g. Rendemen biji kering menjadi kernel 50%, rendemen kernel menjadi MKKS 50% dan rendemen MKKS menjadi biodiesel 88%. h. Banyaknya bungkil adalah 50% dari kernel dan gliserol sebanyak 12% dari MKKS. i. Bahan baku dan bahan penunjang tersedia sesuai kebutuhan. 34
j. Alat beroperasi dengan lancar. k. Harga biodiesel dan bahan tetap selama masa analisis. Harga jual biodiesel sesuai harga jual yang ditetapkan pemerintah setelah dikurangi biaya distribusi yaitu Rp 8.480,37/ liter.
1. Mengidentifikasi kegiatan. Identifikasi dilakukan pada kegiatan pembuatan tanaman kemiri sunan dan pengolahan biodiesel untuk mengetahui komponen biaya yang harus dikeluarkan. 2. Mengidentifikasi biaya satuan kegiatan dan harga produk. Biaya satuan kegiatan digunakan sebagai dasar perhitungan biaya yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kegiatan, sedangkan harga produk yang dihasilkan digunakan untuk menghitung pendapatan. 3. Menghitung biaya dan pendapatan. Biaya dan pendapatan dihitung dengan mengacu pada asumsi yang digunakan dalam analisis. 4. Melakukan analisis finansial. Analisis finansial dilakukan berdasarkan (Sanusi, 2000): a. Net Present Value (NPV) NPV = Present value dari Benefit – Present value dari Cost b. Interest Rate of Return (IRR) IRR
i
NPV
'
'
NPV' NPV' '
(i' ' i' )
i' = discount rate pada NPV' i” = discount rate pada NPV” i” > i’ c. Net Benefit Cost Ratio (BCR)
N etBCR
=
S Present value net benefit S Present value net cost
=
Net B Net C
d. Pay Back Period (PBP) 5. Melakukan analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui penyesuaian yang dapat dilakukan jika terjadi perubahan harga bahan dan harga jual produk. 6. Menghitung jumlah unit usaha, jumlah biodiesel dan persen kontribusi biodiesel terhadap kebutuhan solar: a. Jumlah unit usaha
Jumlah
= luas lahan tersedia (ha) luas unit usaha (ha)
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 31-42
b. Produksi biodiesel per ha jumlah biji kering per ha x
Produksi =
c. Produksi biodiesel pada lahan tersedia Produksi biodiesel produksi biodiesel per ha pada lahan = x luas lahan tersedia (l) d. Kontribusi biodiesel terhadap kebutuh-an solar Jawa Barat produksi biodiesel pada Kontribusi (%)
=
kebutuhan solar Jawa
x100
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. K elayakan Finansial Pembangunan Tanaman Kemiri Sunan Luas unit usaha penanaman kemiri sunan adalah 60 ha. Untuk menjamin kepastian ketersediaan bahan baku untuk industri pengolah biodieselnya, luas unit usaha ditetapkan dalam skala teknis, disesuaikan dengan kapasitas mesin pengolah biodiesel. Kapasitas mesin pengolah biodiesel adalah 400 liter MKKS sekali proses. Dalam sehari dilaksanakan dua kali proses yang berarti membutuhkan 800 liter MKKS, yang diperoleh dari 3.200 kg biji kering. Dengan perhitungan satu bulan 24 hari efektif maka dalam satu tahun dibutuhkan 921.600 kg biji kering. Jumlah pohon kemiri sunan per ha adalah 156 pohon dengan rata-rata produksi pohon kemiri sunan adalah 100 kg biji kering/ pohon. Dengan demikian, kebutuhan biji kering dapat dipenuhi dengan penanaman kemiri sunan seluas 60 ha. Pembangunan tanaman kemiri sunan terdiri dari kegiatan pembuatan tanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Biaya penanaman mencakup biaya bibit, ajir bambu, pupuk, pestisida, biaya tenaga kerja untuk pembersihan lahan, penyiapan lubang tanam, penanaman dan pengajiran. Biaya pemeliharaan mencakup biaya pembelian pupuk, pestisida dan biaya tenaga kerja. Herman et al . (2013) membedakan pemeliharaan tanaman kemiri sunan menjadi
pemeliharaan tanaman belum menghasilkan (TBM) dan pemeliharaan tanaman menghasilkan (TM). Komponen yang membedakan besarnya biaya pemeliharaan adalah jumlah pupuk dan jenis pembasmi OPT yang digunakan. Pranowo (2009) memberikan acuan takaran pupuk per pohon pada berbagai tingkatan umur tanaman kemiri sunan. Biaya pemeliharaan tanaman dikeluarkan pada tahun pertama. Biaya pada tahun ke-2 sampai dengan tahun ke-4 adalah biaya pemeliharaan TBM yaitu pada saat tanaman berumur tiga tahun. Kemiri sunan mulai menghasilkan biji pada tanaman berumur empat tahun, di mana memerlukan intensitas pemeliharaan dan biaya yang lebih besar dibandingkan pemeliharaan pada tanaman tahun sebelumnya. Biaya pemanenan dikeluarkan mulai tahun ke-4 yang meliputi biaya panen dan biaya jemur. Buah yang dipanen adalah buah yang telah matang secara fisiologi yang biasanya akan jatuh secara alami. Oleh karena itu, pemanenan kemiri sunan tidak menggunakan alat khusus ataupun tenaga kerja yang banyak karena pemanenan dilakukan dengan memungut buah yang telah jatuh dan selanjutnya dikeringkan sampai kadar air tertentu. Herman et al. (2013) menyebutkan bahwa kemiri sunan dikeringkan sampai kadar air <10%. Biaya panen dan jemur dinyatakan dalam satuan per kilogram, sehingga besarnya biaya jemur mengikuti jumlah biji kering yang dipanen. Hasil identifikasi kegiatan dan biaya satuan untuk penanaman kemiri sunan per ha secara lengkap diuraikan pada Tabel 2. Pendapatan dari pembangunan tanaman kemiri sunan adalah bersumber dari penjualan biji kering kemiri sunan. Besarnya pendapatan bervariasi, tergantung dari jumlah produksi biji kemiri sunan. Kemiri sunan mulai berbuah pada umur empat tahun dengan produksi awal berkisar 12,5 kg biji kering/pohon. Produksi semakin bertambah sampai dengan umur delapan tahun dan seterusnya rata-rata sebanyak 100 kg biji kering/pohon. Dengan harga jual biji kering kemiri sunan Rp 750/kg, maka pendapatan penjualan biji kering yang diperoleh mulai tahun ke-5, 6, 7, 8 dan 9 berturut-turut adalah Rp 87.750.000, Rp 175.500.000, Rp 351.000.000, Rp 526.500.000, Rp 702.000.000. Pendapatan tahun ke-10 dan seterusnya sama dengan tahun ke-9 karena jumlah biji kering kemiri sunan yang dihasilkan sama.
35 Kajian Finansial Pengembangan Biodiesel Kemiri Sunan ...(Wening Sri Wulandari et al.)
Tabel 2. Komponen biaya pembangunan tanaman kemiri sunan Table 2. The cost components of kemiri sunan plantation development Jenis biaya (Cost type)
Biaya satuan (Unit cost) (Rp)
Satuan (unit)
Biaya pembuatan tanaman (Cost of planting) Biaya pemeliharaan TBM umur 1 dan 2 tahun (Cost of immature plant maintenance at age 1 and 2 years) Biaya pemeliharaan TBM umur 3 tahun (Cost of immature plant maintenance at age 3 years) Biaya pemeliharaan TM umur 4 tahun (Cost of productive plant maintenance at age 4 years) Biaya pemeliharaan TM umur 5 tahun (Cost of productive plant maintenance at age 4 years) Biaya pemeliharaan TM umur 6-50 tahun (Cost of productive plantmaintenance at age 6-50 years) Biaya panen dan jemur (Cost of harvesting and drying)
ha ha
7.643.330 2.597.220
ha
2.227.680
ha
2.227.680
ha
2.315.040
ha
2.489.760
kg
110
Sumber (Source): Sumber data, Tabel 1.
Tabel 3. Nilai kelayakan pembangunan tanaman kemiri sunan Table 3. The feasibility of kemiri sunan plantation development Nilai (Value) Kriteria kelayakan (Criteria of feasibility) NPV (Rp) IRR (%) BCR PBP (tahun) (year)
Tingkat diskon (Discount rate) 7,5% 1.101.007.645 13,52 1,36 14,68
Analisis finansial dilakukan pada dua nilai discount rate yaitu 7,5% sesuai standar Bank Indonesia untuk analisis menggunakan dana sendiri dan 12% untuk analisis menggunakan dana pinjaman bank. Berdasarkan hasil analisis finansial terhadap pembangunan tanaman kemiri sunan seluas 60 ha dengan umur analisis selama 50 tahun diperoleh nilai NPV, IRR, BCR dan PBP seperti ditunjukkan Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, nilai NPV menunjukkan nilai positif yang berarti pembangunan tanaman kemiri sunan layak untuk dilaksanakan. Yang et al. (2012) menyatakan bahwa NPV adalah nilai saat ini dari arus kas masa mendatang. Dalam analisis ini, nilai NPV yang akan diterima adalah Rp 1.101.007.645 jika menggunakan dana sendiri. Analisis juga dilakukan menggunakan sumber modal usaha berasal dari pinjaman, dengan pertimbangan bahwa petani atau pelaku usaha pada umumnya tidak memiliki modal usaha dan memerlukan bahan atau peralatan yang tidak bisa diusahakan dengan sumberdayanya 36
Tingkat diskon (Discount rate) 12% 160.351.357 13,52 1,08 22,55
sendiri. NPV yang akan diterima adalah Rp 160.351.357. Besarnya pinjaman ditentukan sesuai dengan biaya yang dibutuhkan untuk operasional usaha dan pembayaran bunga selama net benefit masih negatif yaitu sebesar Rp 1.449.048.088. Sesuai dengan program subsidi bunga yang dikembangkan pemerintah untuk pengembangan energi nabati, petani mendapatkan grace period untuk hanya membayarkan bunga selama belum ada pendapatan. Dalam analsis ini, grace period selama enam tahun dengan bunga 7%. Petani dapat memperoleh pendapatan antara dengan menanam tanaman bawah karena kemiri sunan ditanam dengan jarak tanam yang lebar yaitu 8 m x 8 m sehingga memiliki ruang bawah yang cukup luas. Sebelum tajuk menutup, ruang ini dapat dimanfaatkan untuk menanam tanaman musiman atau tanaman berdaur pendek. Untuk jaminan kepastian usaha selanjutnya perlu dilakukan analisis sensitivitas agar dapat diketahui kelayakan usaha jika terjadi perubahan
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 31-42
terhadap biaya dari komponen kegiatan. Pada analisis sensitivitas, dilakukan simulasi terhadap penurunan harga biji kering dan penurunan produktivitas tanaman. Jika melihat kecenderungan kebutuhan solar yang semakin meningkat dan kelebihan kemiri sunan sebagai sumber biodiesel, kecil kemungkinan terjadi penurunan harga kemiri sunan. Namun demikian, produksi pada masa panen yang bersamaan perlu diantisipasi karena berpotensi menjadi salah satu penyebab penurunan harga biji kering kemiri sunan. Selain itu penurunan kualitas biji kering yang disebabkan ketidaktepatan penanganan bisa menyebabkan penurunan harga. Penurunan produktivitas dapat terjadi jika pohon kemiri sunan mendapat serangan hama atau penyakit yang dapat menyebabkan gagal berbuah. Herman et al. (2013) menyebutkan bahwa tungau, moluska dan hama penggerek batang merupakan hama yang menyerang tanaman kemiri sunan. Biji atau buah kemiri sunan biasanya diserang oleh larva Docus sp. dan kumbang penggerek buah. Selain hama, terdapat pula penyakit yang menyerang kemiri sunan yang disebabkan adanya jamur akar putih dan jamur akar coklat, hawar daun cendawan, penyakit antraknosa dan penyakit gugur buah muda. Perubahan harga biji kering dan penurunan produktivitas memberikan pengaruh yang sama. Jika harga biji kering dan produktivitas tanaman turun sampai dengan 28% atau lebih maka menjadi tidak layak karena nilai NPV negatif sebesar Rp (14.468.609). Jika penurunan harga dan produktivitas di bawah 28% maka pembangunan tanaman kemiri sunan masih layak, dengan nilai NPV positif sebesar Rp 25.369.829. Faktor harga maupun produksi biji kering memiliki peranan penting dalam kelayakan pembangunan tanaman kemiri sunan karena biji kering merupakan sumber tunggal pendapatan. Upaya mempertahankan kualitas biji dapat dilakukan melalui pemeliharaan tanaman secara
intensif sesuai ketentuan budidaya tanaman agar dapat mengurangi potensi serangan hama dan penyakit serta penanganan biji pasca panen dengan baik. B. Kelayakan Finansial Pengolahan Biodiesel Kemiri Sunan Dalam pengolahan biodiesel kemiri sunan diperlukan biaya untuk pengadaan alat, biaya pemeliharaan dan biaya operasional. Alat pengolahan kemiri sunan terdiri dari reaktor, pengupas, pengepres dan penyaring. Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri) telah mengembangkan alat dan reaktor biodiesel. Pranowo et al. (2013) menyebutkan bahwa reaktor biodiesel yang dikembangkan merupakan reaktor multifungsi yang memiliki beberapa kelebihan yaitu kondensor ganda, dapat dilakukan pengaturan kecepatan pengadukan, suhu maksimal proses mencapai 120oC, le-bih sedikit menggunakan katalis, empat sampai enam jam sekali proses, dapat mengolah minyak dari semua jenis minyak nabati dengan berbagai tingkatan asam lemak bebas dan menghasilkan rendemen 87-92%. Pemeliharaan peralatan dilakukan untuk penggantian spare part dan pembelian pelumas. Biaya operasional mencakup komponen: 1) biaya listrik untuk proses pengupasan biji, pengepresan biji, transesterifikasi tahap 1-2, pencucian tahap 1-3, pengeringan dan recovery methanol; 2) biaya bahan yang mencakup biji kering kemiri sunan, methanol, KOH dan air bersih serta 3) biaya upah operator. Kebutuhan listrik dan beberapa bahan untuk proses biodiesel menggunakan dasar hasil penelitian Listyati (2009) yang disesuaikan dengan kapasitas produksi sesuai unit penelitian. Hasil identifikasi biaya pengolahan biodiesel kemiri sunan selama satu tahun ditunjukkan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Biaya pengolahan biodiesel kemiri sunan Table 4. The cost of biodiesel kemiri sunan processing Jenis biaya (Cost type) Mesin biodiesel kapasitas 400 liter minyak kasar kemiri sunan ( Machine of biodiesel processing with capacity 400 l) Pemeliharaan (sparepart dan pelumas) (Maintenance) Listrik (Electricity) Bahan (Materials) Tenaga kerja (Labour)
Satuan (Unit) set tahun tahun tahun tahun
Biaya (Cost) (Rp) 374.000.000 1.800.000 105.261.470 1.224.737.280 86.400.000
37 Kajian Finansial Pengembangan Biodiesel Kemiri Sunan ...(Wening Sri Wulandari et al.)
Investasi pembelian alat dilakukan satu kali pada tahun pertama, sedangkan biaya pengolahan biodiesel per tahun relatif tetap. Pengolahan biodiesel kemiri sunan menghasilkan produk utama berupa biodiesel. Harga biodiesel mengacu Kementerian ESDM tahun 2014 dikurangi dengan biaya distribusi. Untuk menghasilkan satu liter biodiesel kemiri sunan diperlukan 4,55 kg biji kering kemiri sunan. Dengan harga biji kering kemiri sunan Rp 775/kg maka biaya bahan baku per liter biodiesel adalah Rp 3.526,25. Proses produksi biodiesel menghasilkan produk samping berupa gliserol (Hazegawa et al., 2014). Gliserol yang dihasilkan dari pengolahan biodiesel kemiri sunan adalah sebesar 12% dari MKKS (Wahyudi et al., 2009). Heryana et al. (2009) menyatakan bahwa limbah pengepresan minyak kemiri sunan menghasilkan bungkil berupa padatan atau ampas berwarna kuning, tawar dan tidak berbau. Bungkil kemiri sunan merupakan bahan dasar untuk pembuatan pupuk organik. Bungkil yang dihasilkan dari proses pengolahan biodiesel adalah sebesar 50% dari biji yang diolah. Methanol yang dipergunakan dalam proses pengolahan biodiesel masih tersisa pada akhir proses, sebesar kurang lebih 60% yang bisa di-recovery dan dipisahkan serta dapat digunakan kembali dalam proses pengolahan biodiesel. Pendapatan pengolahan biodiesel kemiri sunan selama satu tahun sesuai dengan asumsi yang dipergunakan ditunjukkan pada Tabel 5.
Pendapatan pada Tabel 5 tersebut selanjutnya dipotong pajak sesuai dengan ketentuan UndangUndang No. 17 tahun 2000. Berdasarkan komponen biaya dan pendapatan, dilakukan analisis kelayakan pengolahan biodiesel kemiri sunan mengikuti asumsi yang ditetapkan. Seperti halnya analisis kelayakan pembangunan tanaman, analisis kelayakan pengolahan biodiesel kemiri sunan digunakan 2 nilai discount rate 7,5% dan 12%. Nilai kelayakan investasi pengolahan biodiesel kemiri sunan ditunjukkan pada Tabel 6. Berdasarkan nilai kelayakan pada Tabel 6 maka pengolahan biodiesel kemiri sunan layak untuk diusahakan. Untuk usaha dengan pinjaman bank maka besarnya pinjaman adalah Rp 374.000.000 yang dipinjam pada tahun ke-0, untuk tahap persiapan berupa pembelian alat. Pada usaha pengolahan biodiesel, pelaku usaha sudah memperoleh pendapatan mulai tahun ke-1. Untuk mengantisipasi ketidakpastian atau kekurangtepatan dalam proyeksi, maka dilakukan analisis sensitivitas terhadap penurunan harga biodiesel dan kenaikan biaya bahan. Komponen terbesar yang secara rutin dikeluarkan dalam pengolahan biodiesel adalah pembelian bahan dan tenaga kerja. Bahan berupa biji kemiri sunan dan bahan pembantu berupa katalis memiliki kemungkinan mengalami kenaikan harga sesuai fluktuasi harga pasar. Begitu pula dengan biaya tenaga kerja, memiliki kecenderungan penyesuaian mengikuti perkembangan
Tabel 5. Pendapatan pengolahan biodiesel kemiri sunan per tahun Table 5. The income from kemiri sunan biodiesel processing for each year Jenis pendapatan (Income type)
Satuan (Unit)
Biodiesel (Biodiesel) Bungkil (Oilcake) Gliserol kotor (Glycerol which has not been purified)
Harga (Price) (Rp)
liter kg liter
8.480 370 3.700
Pendapatan per tahun (Income/year) (Rp) 1.719.411.980 85.939.200 102.297.600
Tabel 6. Nilai kelayakan pengolahan biodiesel kemiri sunan Table 6. The feasibility of biodiesel processing from kemiri sunan Nilai (Value) Kriteria kelayakan (Criteria of feasibility) NPV (Rp) IRR (%) BCR PBP (tahun) (year)
38
Tingkat diskon (Discount rate) 7,5% 512.549.740 27,27 1,04 4,32
Tingkat diskon (Discount rate) 12% 303.310.940 27,27 1,03 4,94
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 31-42
standar upah regional. Harga biodiesel dihitung dengan Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Nabati (HIP BBN) berdasarkan Mean of Platts Singapore (MOPS). Tahun 2014 melalui Keputusan Menteri ESDM No. 2185 tahun 2014, harga biodiesel adalah sebesar USD 776,1 per Kl. Namun demikian, karena dasar perhitungannya berlandaskan harga publikasi MOPS biosolar, masih terdapat potensi penurunan maupun kenaikan karena harga publikasi MOPS sangat fluktuatif yang dipengaruhi perkembangan harga bahan baku tanaman untuk biosolar, misalnya kedelai, kelapa sawit ataupun tanaman lain. Hasil analisis sensitivitas atas perubahan tersebut menunjukkan bahwa kenaikan biaya bahan menyebabkan pengolahan biodiesel kemiri sunan tidak layak jika kenaikan biaya bahan mencapai 6% atau lebih, dengan NPV negatif sebesar Rp (90.849.480). Penur unan harga biodiesel menyebabkan pengolahan biodiesel kemiri sunan tidak layak jika penurunan harga mencapai 6% atau lebih dengan NPV negatif sebesar Rp (80.429.910). Penurunan biaya bahan dan penurunan harga biodiesel sebesar 5%, pengolahan biodiesel masih layak untuk diusahakan.
C. Kajian Pengembangan Unit Usaha Berdasarkan Lahan Tersedia untuk Penanaman Kemiri Sunan di Jawa Barat Wulandari et al. (2014) melakukan analisis lahan tersedia di Jawa Barat dengan mengintegrasikan kesesuaian lahan dengan penggunaan lahan dan pola ruang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lahan tersedia untuk penanaman kemiri sunan di Jawa Barat seluas 141.955, 56 ha terdiri dari lahan tersedia 1 (19.582,74 ha), lahan tersedia 2 (103.974,62 ha) dan lahan tersedia 3 (18.398,20 ha). Lahan tersedia 1 adalah lahan yang sangat sesuai untuk penanaman kemiri sunan, lahan tersedia 2 adalah lahan yang cukup sesuai, dan lahan tersedia 3 adalah lahan yang sesuai marginal. Luas lahan tersedia tersebar pada 17 kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Lahan tersedia berupa kebun campuran, semak belukar, tanah terbuka dan tegalan yang berada pada areal pemanfaatan hutan, areal rawan bencana dan pedesaan. Peta lahan tersedia untuk penanaman kemiri sunan di Jawa Barat ditunjukkan pada Gambar 1. Jumlah unit usaha, jumlah biodiesel dan kontribusi biodiesel terhadap kebutuhan solar Jawa Barat dihitung dengan asumsi produktivitas pohon
Sumber (Source): Wulandari et al. (2014).
Gambar 1. Peta lahan tersedia kemiri sunan di Jawa Barat. Figure 1. Kemiri sunan land availability map in West Java. 39 Kajian Finansial Pengembangan Biodiesel Kemiri Sunan ...(Wening Sri Wulandari et al.)
Tabel 7. Produksi biji kering dan biodiesel kemiri sunan dari lahan tersedia di Jawa Barat Table 7. Production of dry seeds and biodiesel kemiri sunan from available lands in West Java
Kategori lahan tersedia (Category of available land)
Lahan tersedia 1 Lahan tersedia 2 Lahan tersedia 3 Total
Produksi biji kering kemiri sunan (Production of dry seeds kemiri sunan) (kg)
Produksi biodiesel (Production of biodiesel) (Kl)
Kontribusi biodiesel terhadap kebutuhan solar Jawa Barat* (Biodiesel contribution to the needs of West Java diesel oil) (%)
Luas lahan tersedia (Area of available land) (ha)
Jumlah unit penanaman/ pengolahan (Amount of plantation units/ processing)
19.582,74
326
90
14.040
3,089
60.487,17
2,90
103.974,62
1732
70
10.920
2,402
249.788,63
11,96
18.398,20
307
50
9.360
2,059
37.885,57
1,81
141.955, 56
2365
348.161,37
16,68
per pohon (for each plant)
per ha (for each ha)
per ha (for each ha)
total (total)
Sumber (Source): Dinas ESDM Jawa Barat (2014). Keterangan (Remark): * Kebutuhan solar didekati dengan volume distribusi solar Jawa Barat 2012 sebesar 2.087.702,24 kilo liter (kl).
kemiri sunan berbeda-beda sesuai dengan kategori lahan tersedia. Produktivitas pohon kemiri sunan pada kategori lahan tersedia 1, lahan tersedia 2 dan lahan tersedia 3 diasumsikan berturut-turut adalah 90%, 70%, 50% terhadap rata-rata produksi stabil kemiri sunan yaitu 100 kg per pohon per tahun. Hasil perhitungan secara lengkap ditunjukkan pada Tabel 7. Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui unit usaha penanaman maupun pengolahan biodiesel yang dapat dikembangkan masing-masing adalah sebesar 2.365 unit. Pengembangan untit usaha ini disarankan untuk dikembangkan secara berpasangan agar terdapat kepastian pemasok bahan baku dan industri pengolahnya. Pengembangan unit usaha pada semua lahan tersedia berpotensi menghasilkan biodiesel sebesar 348.161,37 Kl atau berperan sebesar 16,68% dalam pemenuhan kebutuhan solar Jawa Barat. Pendekatan unit usaha skala kecil sesuai dengan luasan unit analisis yaitu 60 ha dan kapasitas produksi 202,75 Kl biodiesel per tahun merupakan strategi untuk memberikan kemudahan dan kesempatan usaha yang lebih merata bagi masyarakat. Abdulraheem et al. (2012) menyatakan bahwa usaha kecil di seluruh dunia merupakan dasar pembangunan ekonomi.
40
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Pembangunan tanaman kemiri sunan layak diusahakan dengan luasan 60 ha, umur usaha 50 tahun, dengan dana sendiri maupun dana pinjaman. Nilai kelayakan dengan dana sendiri adalah: 1) NPV Rp 1.101.007.645; 2) IRR 13,52%; 3) BCR 1,36 dan 4) PBP 14,68 tahun. Nilai kelayakan dengan dana pinjaman adalah: 1) NPV Rp 160.351.357; 2) IRR 13,52%; 3) BCR 1,08 dan 4) PBP 22,55 tahun. Pembangunan tanaman kemiri sunan sensitif terhadap penurunan harga jual biji kering kemiri sunan dan penurunan produktivitas tanaman se-besar 28% atau lebih. Perubahan pada kisaran persentase tersebut menyebabkan pembangunan tanaman kemiri sunan tidak layak untuk diusahakan. Pengolahan biodiesel kemiri sunan layak diusahakan dengan umur usaha 15 tahun, kapasitas produksi 202,75 Kl per tahun, dengan dana sendiri maupun pinjaman. Nilai kelayakan dengan dana sendiri adalah: 1) NPV Rp 512.549.740; 2) IRR 27,27%; 3) BCR 1,04 dan 4) PBP 4,32 tahun. Nilai kelayakan dengan dana pinjaman adalah: 1) NPV Rp 303.310.940; 2) IRR 27,27%; 3) BCR 1,03 dan
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 31-42
4) PBP 4,94 tahun. Pengolahan biodiesel kemiri sunan sensitif terhadap kenaikan biaya bahan dan penurunan harga biodiesel mencapai 6% atau lebih. Perubahan pada kisaran persentase tersebut menyebabkan pengolahan biodiesel kemiri sunan tidak layak untuk diusahakan. Pengembangan unit usaha pada semua lahan tersedia berpotensi menghasilkan biodiesel yang dapat memenuhi 16,68% kebutuhan solar Jawa Barat. Unit usaha penanaman kemiri sunan maupun pengolahan biodiesel yang dapat dikembangkan masing-masing adalah sebesar 2.365 unit. B. Saran
of glycerides, free and total glycerol in biodiesel ethyl esters from castor oil using gas chromatography. Fuel, 94, 178-183. Domac, J., Richards, K., & Risovic, S. (2005). Socio-economic drivers in implementing bioenergy project. Bio-mass and Bioenergy, 28, 97-106. Faria, R.P.V., Pereira, C.S.M., Silva, V.M.T.M., Loureiro, J.M., & Rodrigues, A.E. (2013). Glycerol valorisation as biofuels: selection of a suitable solvent for an innovative process for the synthesis of GEA. Chemical Engineering Journal, 233, 159-167.
Biodiesel kemiri sunan disarankan dikembangkan di Provinsi Jawa Barat dengan memanfaatkan lahan tersedia secara optimal melalui pelibatan masyarakat dan pelaku usaha serta advis teknis dari akademisi/lembaga litbang. Pemerintah diharapkan dapat berkomitmen untuk memberikan dukungan kelembagaan, insentif dan sarana pendukung. Upaya perbaikan lahan tersedia 2 dan 3 perlu dilakukan agar dapat meningkatkan kelas kesesuaian lahan sehingga dapat meningkatkan peran biodiesel kemiri sunan sebagai bahan bakar alternatif dan mendapatkan manfaat untuk peningkatan kualitas lingkungan.
Hardjowigeno, S. & Widiatmaka. (2007). Evaluasi kesesuaian lahan & perencanaan tata guna lahan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
DAFTAR PUSTAKA
Herman, M., Syakir, M., Pranowo, D., Saefudin, & Sumanto. (2013). Kemiri sunan (Reutealis trisperma (Blanco) Airy Shaw) tanaman penghasil minyak nabati dan konservasi lahan. Jakarta (ID): IAARD Pr.
Aunillah, A. & D. Pranowo. (2012). Karakteristik biodiesel kemiri sunan (Reutealis trisperma (Blanco) Airy Shaw) menggunakan proses transes-terifikasi dua tahap. Buletin Riset Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri, 3(3), 193-200. Abdulraheem, A., Yahaya, K.A., Muhtar, O.F.E., & Abogun, S. (2012). Accounting principles of small enterprises in Ilorin Metropolis of Kwara State Nigeria. Research Journal of Finance and Accounting, 3(2),70-77. Brent, R.J. (2006). Applied benefits-cost analysis (2nd Ed.). USA: Edward Elgar Publishing Inc. Diaz, A.N., Cerqueira, M.B.R., Moura, R.R., Kurz, M.H.S., Clementin, R.M., D'Oca, M.G.M., & Primel, E.G. (2012). Optimization of a method for the simultaneous determination
Hasegawa, T., Nomura, N., Moriya, T., Nishikawa, H., Yamaguchi, S., & Kishida, H. (2014). Synthesis of racemic lactide using glycerol by-product from biodiesel fuel production process as feedstock. Energy Procedia, 56, 195-200. Herman, M., & Pranowo, D. (2011). Kemiri minyak sebagai tanaman konservasi dan sumber energi terbarukan. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri.
Heryana, N., Usman, & Rusli. (2009). Proses pembuatan pupuk organik dari bungkil. In Daras, U., Syafaruddin, Ajijah, N., Ferry, Y., Indriati, G., Hasibuan, A.M., …, & Rivai, A.M. (Eds.), Kemiri sunan penghasil biodiesel solusi masalah energi masa depan. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri. Khotimah, K., Susanto, S.A., Maleha, & Hani, E.S. (2002). Evaluasi proyek dan perencanaan usaha. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia-UMM Press. Listyati, D. (2009). Biaya produksi pembuatan biodiesel. In Daras, U., Syafaruddin, Ajijah, N., Ferry, Y., Indriati, G., Hasibuan, A.M., 41
Kajian Finansial Pengembangan Biodiesel Kemiri Sunan ...(Wening Sri Wulandari et al.)
…, & Rivai, A.M. (Eds.), Kemiri sunan penghasil biodiesel - solusi masalah energi masa depan. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri. Pranowo, D. (2009). Teknologi pembenihan. In Daras, U., Syafaruddin, Ajijah, N., Ferry, Y., Indriati, G., Hasibuan, A.M., …, & Rivai, A.M. (Eds.), Kemiri sunan penghasil biodiesel solusi masalah energi masa depan. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri. Pranowo, D., Syakir, M., Prastowo, B., Herman, M., Aunillah, A., & Sumanto. (2013). Pembuatan biodiesel dari kemiri sunan (Reutealis trisperma (Blanco) Airy Shaw) dan pemanfaatan hasil samping. Jakarta (ID): IAARD Pr. Sanusi, B. (2000). Pengantar evaluasi proyek. Jakarta (ID): Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Supriadi, H., Sasmita, K.D., & Usman. (2009). Tinjauan agroklimat wilayah pengembangan di Jawa Barat. In Daras, U., Syafaruddin, Ajijah, N., Ferry, Y., Indriati, G., Hasibuan, A.M.,..., & Rivai, A.M. (Eds.), Kemiri sunan
42
penghasil biodiesel - solusi masalah energi masa depan. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri. Vossen, H.A.M. & Umali, B.E. (2002). Plant resources of South-East Asia (14). Bogor (ID): Prosea Foundation. Wahyudi, A., Ferry, Y., Herman, M., Pranowo, D., & Ardana, K. (2009). Proyeksi produksi biodiesel. In Daras, U., Syafaruddin, Ajijah, N., Ferry, Y., Indriati, G., Hasibuan, A.M., …, & Rivai, A.M. (Eds.), Kemiri sunan penghasil biodiesel solusi masalah energi masa depan. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri. Wulandari, W.S., Darusman, D., Kusmana, C., & Widiatmaka. (2014). Land suitability analysis of biodiesel crop kemiri sunan (Reutealis trisperma (Blanco) Airy Shaw) in the Province of West Java, Indonesia. Journal of Environment and Earth Science, 4(21), 27-37. Yang, J., Chen, W., Chen, B., & Jia, Y. (2012). Economic feasibiility analysis of a renewable energy project in the rural China. Procedia Environmental Sciences, 13, 2280-2283.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 31-42
GETAH JELUTUNG SEBAGAI HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNGGULAN DI LAHAN GAMBUT (Jelutung's Latex as a Leading Non Timber Forest Product on Peatland) Marinus Kristiadi Harun Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, Jl. Ahmad Yani Km. 28,7 Landasan Ulin Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Indonesia; e-mail:
[email protected] Diterima 10 Desember 2014 direvisi 22 Januari 2015 disetujui 12 Februari 2015 ABSTRACT
Public preference for the jelutung as a species for forest and land rehabilitation is currently increasing. The aim of this research is to identify and analyze jelutung's latex as a leading non timber forest products (NTFP). Jelutung's latex as a leading NTFP be analyzed using the criteria and indicators stated in Forestry Minister Decree No. P.21/Menhut-II/2009, that includes economic aspect, biophysical and environmental, institutional, social and technological aspects. In the economic aspect, the parameters under study include marketing margins of jelutung's latex and financial analysis of developed jelutung's latex with agroforestry systems. This study was conduct by focus group discussion (FGD) and interview method. The analysis results on the social aspect show that jelutung's latex is categorized as a provincial superior NTFP with superior total value (STV) of 72.62. The economic aspect shows that the marketing margin of jelutung latex is still inefficient as its value is >50%. The financial analysis results show that jelutung forest is feasible to be developed both in the monocultural and agroforestry patterns. NPV, BCR and IRR of jelutung with agroforestry pattern are IDR 69,799,338, 8.68 and 29% respectively. Institutional system proposed to overcome the existing obstacles is colaborative economics system (CES). Keywords: Jelutung's latex, leading NTFP, colaborative economic system. ABSTRAK
Preferensi masyarakat terhadap jenis jelutung rawa sebagai tanaman rehabilitasi hutan dan lahan saat ini mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh keunggulan yang dimilikinya, yakni memenuhi kriteria jenis yang sesuai untuk dikembangkan di lahan gambut yang mencakup aspek teknis, sosial, ekonomi dan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis getah jelutung sebagai suatu Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) unggulan. Getah jelutung sebagai HHBK unggulan dianalisis menggunakan kriteria Peraturan Menteri Kehutanan No. P.21/Menhut-II/2009, meliputi aspek ekonomi, biofisik dan lingkungan, kelembagaan, sosial dan teknologi. Metode pengumpulan data dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara dengan informan kunci. Hasil analisis menunjukkan getah jelutung termasuk suatu HHBK unggulan provinsi dengan total nilai unggulan sebesar 72,62. Margin pemasaran getah jelutung belum efisien, diketahui dari nilainya >50%. Hutan tanaman jelutung layak dikembangkan dengan pola agroforestry dengan nilai NPV sebesar Rp 69.799.338, BCR sebesar 8,68 dan IRR sebesar 29% serta pola monokultur dengan nilai NPV sebesar Rp 29.933.289,52, BCR sebesar 7,88 dan IRR sebesar 20%. Sistem kelembagaan yang diusulkan untuk mengatasi kendala pengembangan getah jelutung adalah Sistem Kebersaman Ekonomi (SKE). Kata kunci: Getah jelutung, HHBK unggulan, sistem kebersamaan ekonomi..
I. PENDAHULUAN Lahan gambut seluas 3.472.000 ha di Provinsi Kalimantan Tengah dikhawatirkan tidak mampu lagi memerankan fungsi ekologisnya secara optimal, karena upaya yang mengarah kepada perubahan ekosistemnya masih tetap berlangsung. Hal ini ditandai oleh semakin bertambahnya luasan lahan
gambut terdegradasi yang telah mencapai lebih dari 35% (Limin, 2004). Salah satu faktor yang menyebabkan terdegradasinya lahan gambut adalah bencana kebakaran yang selalu terjadi saat musim kemarau panjang. Kondisi terdegradasi tersebut perlu segera dipulihkan dengan kegiatan penanaman (rehabilitasi dan penghijauan). Salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan
43 Getah Jelutung sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan di Lahan… (Marinus Kristiadi Harun)
upaya tersebut adalah pemilihan jenis yang tepat dari aspek teknis, sosial, ekonomi dan ekologi. Salah satu jenis yang memenuhi kriteria tersebut adalah jelutung rawa (Dyera polyphylla Miq. Steenis atau sinonim dengan Dyera lowii Hook F). Jelutung rawa mempunyai daya adaptasi yang baik dan teruji pada lahan gambut, pertumbuhannya relatif cepat dan dapat dibudidayakan dengan manipulasi lahan yang minimal, serta mempunyai hasil ganda (getah dan kayu) (Bastoni & Lukman, 2004). Aspek silvikultur jelutung rawa, mulai teknik perbanyakan (generatif dan vegetatif), teknik persemaian, teknik penanaman sampai teknik pemeliharaan telah diketahui (Daryono, 2000). Berdasarkan keterangan tersebut, rehabilitasi lahan gambut menggunakan jenis jelutung akan lebih berhasil. Oleh karena itu penelitian tentang jelutung sangat diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis getah jelutung sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) unggulan di lahan gambut berdasarkan kriteria dan indikator Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.21/Menhut-II/2009.
II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan JanuariFebruari 2011 di kota Palangka Raya dan kota Sampit, Provinsi Kalimantan Tengah. B. Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah focus group discussion (FGD) dan wawancara dengan informan kunci. Peserta FGD adalah para pihak terkait dari unsur-unsur pemerintahan, akademisi, praktisi, LSM setempat dan petani. Jumlah peserta 30 orang dengan pertimbangan ukuran kelompok tersebut cukup ideal dan efektif untuk menggali informasi dan wahana saling tukar pengalaman. Jenis data dan informasi yang dikumpulkan didasarkan pada kriteria HHBK unggulan menurut Permenhut No. P.21/MenhutII/2009. Kriteria tingkat keunggulan mencakup kriteria ekonomi, biofisik dan lingkungan, kelembagaan, sosial dan teknologi. Kelima kriteria tersebut seperti uraian pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria dan indikator HHBK unggulan Table 1. Criteria and indicator of leading NTFP No. I
Kriteria (Criteria) Ekonomi (Economy) Bobot (Percentage) 35%
Indikator (Indicator) 1. Nilai perdagangan ekspor 2. Nilai perdagangan lokal
a. b. c. a. b. c.
3. Lingkup pemasaran
4. Potensi pasar internasional 5. Mata rantai pemasaran
a. b. c. a. b. c. a.
b. c. 6. Cakupan pengusahaan
44
a. b. c.
Standar (Standard) Tinggi (nilai ekspor per tahun ≥ USD 1 juta) Sedang (nilai ekspor per tahun USD 500 ribu s/d 1 juta) Rendah (nilai ekspor per tahun < USD 500 ribu) Tinggi (nilai perdagangan per tahun > Rp 1 miliar) Sedang (nilai perdagangan per tahun Rp 500.000.000 s/d Rp 1.000.000.000) Rendah (nilai perdagangan per tahun < Rp 500.000.000) Internasional, nasional dan lokal Internasional dan nasional, internasional dan lokal atau nasional dan lokal Lokal Tinggi (diminta oleh > 3 negara) Sedang (diminta oleh 1-3 negara) Rendah (tidak diminta negara lain) Tinggi (melibatkan masyarakat pengumpul, pengusaha UMKM, pengusaha besar/ industri dan unsur pemerintah) Sedang (melibatkan masyarakat pengumpul, pengusaha UMKM dan pemerintah) Sederhana (melibatkan masyarakat pengumpul dan UMKM) Meliputi industri hulu, tengah (setengah jadi) dan hilir. Meliputi industri hulu dan tengah Hanya meliputi industri hulu
Nilai (Score) 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3
2 1 3 2 1
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 43-57
Tabel 1. Lanjutan Table 1. Continued No.
Kriteria (Criteria)
Indikator (Indicator) 7. Investasi usaha
a.
b.
II
Biofisik dan lingkungan (Biophysic and environment) Bobot (Percentage) 15%
1. Potensi tanaman
c. a. b. c.
2. Penyebaran
a. b. c.
3. Status konservasi 4. Budidaya
5. Aksesibilitas ke sumber HHBK
a. b. c. a. b. c. a.
b. c.
III
Kelembagaan (Institution) Bobot (Percentage) 20%
1. Jumlah kelompok usaha produsen/ koperasi
a.
2. Asosiasi kelompok usaha
a.
3. Aturan tentang komoditi bersangkutan
4. Peran institusi
5. Standar komoditi bersangkutan
b. c.
b. c. a. b. c. a. b. c. a. b. c.
Standar (Standard) Banyak (>5 badan usaha sudah berinvestasi dalam pengusahaan komoditas bersangkutan, atau sudah ada pengusaha besar) Sedikit (<5 badan usaha yang sudah berinvestasi dan belum ada pengusaha besar) Tidak ada (belum ada badan usaha yang berinvesta si) Tinggi (persentase jumlah pohon/rumpun per hektar >60% dari kondisi normal) Sedang (persentase jumlah pohon/rumpun per hektar 40-60% dari kondisi normal) Rendah (persentase jumlah pohon/rumpun per hektar <40% dari kondisi normal) Merata (terdapat di >2/3 wilayah bersangkutan) Cukup merata (terdapat di 1/3-2/3 wilayah bersangkutan) Kurang merata (tedapat di <1/3 wilayah bersangkutan) Tidak terdaftar di CITES Appendix Terdaftar di CITES Appendix II Terdaftar di CITES Appendix I Produksi HHBK >70% hasil budidaya Produksi HHBK 40-70% hasil budidaya Produksi HHBK <40% hasil budidaya Mudah dijangkau moda transportasi darat dan atau air sepanjang tahun Dapat dijangkau moda transportasi darat dan atau air tidak sepanjang tahun Sulit dijangkau moda transportasi darat dan atau air sepanjang tahun Banyak (terdapat >5 kelompok usaha produsen/koperasi komoditi bersangkutan) Sedikit (terdapat 1-5 kelompok usaha produsen/koperasi komoditi bersangkutan) Tidak ada (belum ada kelompok usaha produsen/koperasi komoditi bersangkutan) Tinggi (terdapat asosiasi, koperasi, kelompok tani dan swasta) Sedang (terdapat koperasi dan kelompok tani) Rendah (hanya terdapat kelompok tani) Terdapat aturan berupa Peraturan Menteri atau lebih tinggi Terdapat aturan dari pejabat setingkat Eselon I, Gubernur atau Bupati Belum ada aturan tentang komoditi bersangkutan Tinggi (ada dukungan dari berbagai institusi seperti Pemda, UPT dan LSM) Sedang (dukungan hanya dari salah satu institusi) Rendah (tidak ada dukungan dari institusi) Sudah diatur dengan SNI atau standar nasional/internasional lainnya Baru berupa pedoman Belum ada standar baku
Nilai (Score) 3
2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3
2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1
45 Getah Jelutung sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan di Lahan… (Marinus Kristiadi Harun)
Tabel 1. Lanjutan Table 1. Continued No.
IV
Kriteria (Criteria)
Sosial (Social) Bobot (Percentage) 15%
Indikator (Indicator) 6. Sarana/ fasilitas pengembangan komoditi bersangkutan 1. Pelibatan masyarakat
2. Kepemilikan usaha V
Teknologi (Technology) Bobot (Percentage) 15 %
1. Teknologi budidaya 2. Teknologi pengolahan hasil
Standar (Standard) a. Sarana pengembangan bertaraf internasional b. Sarana pengembangan bertaraf nasional c. Sarana pengembangan bertaraf lokal
a. Melibatkan sebagian besar masyarakat lokal (masyarakat yang terlibat >20%) b. Melibatkan sebagian masyarakat lokal (masyarakat lokal yang terlibat lebih dari 5% tetapi kurang dari 20% dari populasi) c. Melibatkan sedikit masyarakat lokal (masyarakat yang terlibat <5%) a. Masyarakat lokal bermitra dengan pengusaha b. Hanya dimiliki masyarakat lokal c. Hanya dimiliki pengusaha a. Teknologi telah sepenuhnya dikuasai b. Sebagian teknologi budidaya telah dikuasai c. Teknologi budidaya belum dikuasai a. Teknologi pengolahan hasil untuk meningkatkan nilai tambah sudah dikuasai b. Sebagian teknologi pengolahan hasil sudah dikuasai c. Teknologi pengolahan hasil belum dikuasai
C. Analisis Data Data dan informasi terkait dengan kelima kriteria dan indikator yang dikumpulkan dari lapangan diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode statistik non parametrik (description scoring). Data disusun dalam tabulasi dari tiap daerah penghasil getah jelutung. Selanjutnya pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagaimana diatur dalam Permenhut No. P.21/ Menhut-II/2009 sebagai berikut: 1. Kuantifikasi data pengukuran tiap indikator untuk tiap kriteria dalam data kategorik dan dinyatakan dalam tiga selang nilai. Nilai tiga mencerminkan nilai kategori tinggi, dua menunjukkan nilai kategori sedang dan nilai satu menunjukkan kategori rendah dalam menentukan tingkat keunggulan. 2. Scoring yakni pemberian nilai tiap indikator dengan nilai 3, 2 dan 1 sesuai dengan ukuran standar yang ditetapkan. 3. Penghitungan Nilai Indikator Tertimbang (NIT). NIT suatu kriteria (NITk) adalah hasil bagi antara bobot suatu kriteria (Bk) dengan jumlah indikator pada kriteria tersebut (JIk) dikali dengan jumlah hasil pembagian antara 46
Nilai (Score) 32 2 1
3 2
1 3 2 1 3 2 1 3 2 1
nilai indikator dengan nilai indikator maksimal (dalam hal ini 3) yang ada dalam kriteria bersangkutan. 4. Perhitungan Total Nilai Unggulan (TNU) suatu jenis HHBK dilakukan dengan menjumlahkan semua nilai indikator tertimbang dari semua kriteria. TNU = NIT ekonomi + NIT biofisik + NIT kelembagaan + NIT sosial + NIT teknologi. 5. Penetapan Nilai Unggulan (NU). Berdasarkan TNU jenis HHBK dikelompokkan ke dalam tiga kelas NU sebagai berikut: a) nilai unggulan 1, yakni jenis komoditas HHBK yang memiliki nilai TNU antara 78-100; b) nilai unggulan 2, yakni jenis komoditas HHBK yang memiliki nilai TNU antara 54-77; c) nilai unggulan 3, yakni jenis komoditas HHBK yang memiliki nilai TNU antara 30-53. 6. Penetapan jenis HHBK unggulan dilakukan berdasarkan besarnya skor NU dan mempertimbangkan frekuensi penyebaran jenis komoditas tersebut di wilayah Indonesia. Selanjutnya jenis HHBK unggulan dikelompokkan dalam empat kelas: HHBK Unggulan Nasional, HHBK Unggulan Provinsi, HHBK Unggulan
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 43-57
Kabupaten dan HHBK Bukan Unggulan. Penentuannya sebagai berikut: a) unggulan nasional, yakni jenis HHBK yang termasuk NU1 dan tersebar minimal di lima provinsi; b) unggulan provinsi, yakni jenis HHBK yang termasuk NU1 yang tersebar kurang dari lima provinsi dan atau NU2 yang tersebar minimal di dua kabupaten; c) unggulan kabupaten, yakni jenis komoditas HHBK yang termasuk minimal dalam NU2 dan d) tidak unggul, yakni jenis komoditas HHBK yang termasuk dalam NU3. Pada aspek ekonomi, analisis margin pemasaran getah jelutung dan analisis kelayakan finansial budidaya jelutung sistem agroforestry ditambahkan. Kelayakan finansial meliputi struktur penerimaan, biaya dan pendapatan. Ukuran-ukuran yang digunakan untuk menentukan kelayakan finansial dijelaskan sebagai berikut (Suharjito et al., 2003): a. Net Present Value (NPV) Sistem agroforestry berbasis jelutung yang dikembangkan dikatakan menguntungkan jika nilai NPV-nya adalah positif dan sebaliknya, dirumuskan: di mana: n Bt Ct NPV t t 1 (1 1) Bt = benefit (keuntungan) Ct = cost (biaya, termasuk investasi) t = tahun dari proyek i = discount rate b. Benefit Cost Ratio (BCR)
Kriteria ini membandingkan antara pendapatan dan pengeluaran selama jangka waktu pengusahaan, dengan memperhitungkan nilai waktu dari uang, dirumuskan:
Bt i) t t 1 (1 n Ct i) t t 0 (1 n
BCR
di mana: Bt = benefit (keuntungan) Ct = cost (biaya, termasuk investasi) t = tahun dari proyek i = discount rate n = jangka waktu kegiatan atau proyek
c. Internal Rate of Return (IRR)
IRR adalah tingkat suku bunga apabila BCR yang terdiskonto sama dengan nol. Usaha agroforestry jelutung dikatakan layak apabila nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku di pasar. Nilai IRR dirumuskan: n t 1
Bt Ct (1 i )t
0
di mana: Bt = benefit (keuntungan) Ct = cost (biaya, termasuk investasi) t = tahun dari proyek i = discount rate n = jangka waktu kegiatan atau proyek Beberapa asumsi yang digunakan dalam analisis kelayakan finansial usaha budidaya jelutung rawa adalah: 1) Lahan yang diperuntukkan bagi usaha budidaya jelutung rawa pada penelitian ini adalah lahan gambut terlantar milik petani sendiri sehingga di dalam analisis tidak memperhitungkan sewa lahan. Biaya lahan yang diperhitungkan hanya nilai pajak (PBB) yang harus dikeluarkan setiap tahunnya oleh pemilik. 2) Waktu sadap jelutung rawa menggunakan interval waktu tujuh hari sehingga setiap pohon disadap sebanyak empat kali dalam sebulan atau 48 kali dalam satu tahun. 3) Masa perhitungan analisis merupakan masa produksi (daur) tanaman jelutung selama 30 tahun. 4) Satu HOK adalah satu hari orang kerja dengan upah Rp 60.000 per hari. 5) Suku bunga yang digunakan 12%. 6) Potensi getah jelutung dalam satu tahun memiliki pola sebagai berikut: saat musim berbunga selama tiga bulan, produksi getah per pohon jelutung pada umur 10 tahun mencapai 75 gram per pohon. Pada sembilan bulan di luar musim bunga produksi getah per pohon jelutung pada umur 10 tahun mencapai 150 gram/pohon. Produksi getah ini setiap dua tahun mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya sebesar 80%. 7) Potensi getah karet dapat dipanen saat berumur tujuh tahun. 8) Potensi kayu jelutung di akhir daur diperkirakan diameternya mencapai 40 cm dengan tinggi bebas cabang 12 m dengan volume kayu sebesar 0,84 m3. 47
Getah Jelutung sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan di Lahan… (Marinus Kristiadi Harun)
9) Harga getah jelutung Rp 6.000 per kg dan harga
getah karet Rp 10.000 per kg. 10) Harga kayu pohon jelutung berdiri sebesar Rp 3
450.000 per m . d. Margin pemasaran
Harga yang digunakan untuk menghitung margin pemasaran adalah harga di tingkat peramu getah jelutung dan harga di tingkat lembaga pemasaran. Pada margin pemasaran terdapat dua komponen, yaitu komponen biaya dan komponen keuntungan lembaga pemasaran. Kedua hal tersebut dirumuskan sebagai berikut (Triyono, 2000; Basri, 2001): Mji = Psi-Pbi, atau Mji = bti+Kji, atau Kji = Mji-bti Keterangan: Mji = margin lembaga pemasaran tingkat ke-i Psi = harga penjualan lembaga pemasaran tingkat ke-i Pbi = harga pembelian lembaga pemasaran tingkat ke-i bti = biaya pemasaran lembaga pemasaran tingkat ke-i Kji = keuntungan lembaga pemasaran tingkat ke-i. Bagian harga yang diterima peramu getah jelutung (farmer's share) merupakan perbandingan harga yang diterima oleh peramu dengan harga di tingkat lembaga pemasaran yang dinyatakan dalam persentase, dirumuskan: Pf Pr di mana: Fs = farmer's share Pf = harga di tingkat peramu Pr = harga di tingkat lembaga pemasaran Fs =
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Nilai Unggulan Getah Jelutung Perdagangan ekspor getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah hanya dilakukan oleh dua perusahaan, yakni PT. Sumber Alam Sejahtera (PT. SAS) dan PT. Sampit dengan nilai perdagangan mencapai lebih dari USD 1 juta per tahun. Nilai ekspor getah jelutung oleh PT. SAS mencapai USD 48
700.000 per tahun dan oleh PT. Sampit mencapai USD 648.000 per tahun (kurs USD 1 = Rp 10.000). Nilai tersebut termasuk kategori tinggi (nilai 3) sebab dengan nilai ekspor yang mencapai Rp 10 miliar per tahun diang gap sudah dapat menggerakkan perekonomian masyarakat dan kabupaten/kota pengekspor getah jelutung (Permenhut No. P.21/Menhut-II/ 2009). Lingkup pemasaran getah jelutung mencakup pasar internasional, nasional dan lokal. Pasar internasional dengan negara tujuan ekspor adalah Singapura, Jepang dan Prancis. Potensi pasar internasional getah jelutung tergolong tinggi, yakni lebih dari tiga negara. Mata rantai pemasarannya menunjukkan tingkat kompleksitas. Pada lingkup pemasaran getah jelutung termasuk dalam kategori sedang (nilai 2) karena pemasarannya sudah melibatkan masyarakat pengumpul, pengusaha UMKM dan pemerintah, namun belum melibatkan pengusa-ha besar (industri). C a k u p a n p e n g u s a h a a n m e nu n j u k k a n perkembangan industri dalam upaya meningkatkan nilai tambah (value added). Cakupan pengusahaan getah jelutung mempunyai nilai 2 karena hanya meliputi industri hulu dan antara (barang setengah jadi). Investasi usaha menunjukkan bahwa melalui investasi, komoditas getah jelutung mampu memberikan kontribusi yang nyata bagi pertumbuhan ekonomi. Pada indikator investasi usaha pengusahaan getah jelutung termasuk kategori sedikit (nilai 2) karena terdapat kurang dari lima unit usaha yang berinvestasi (PT. SAS dan PT. Sampit). Potensi jelutung diukur dalam persentase antara jumlah pohon per hektar terhadap kondisi tegakan normal. Dalam hal ini untuk pohon pada hutan alam, tegakan normal diasumsikan 100 pohon per ha. Jelutung memiliki potensi tinggi (nilai 3) jika populasinya berjumlah >60% dari populasi normal, potensi sedang (nilai 2) jika populasi komoditas tersebut berjumlah 40-60% dari populasi normal dan rendah (nilai 1) jika populasinya <40% dari populasi normal. Dalam penelitian ini populasi pohon jelutung di alam didekati dari jumlah pohon jelutung yang disadap oleh para regu kerja. Berdasarkan hasil wawancara dengan regu kerja penyadap getah jelutung diketahui bahwa dalam setiap jalur sadap (panjang 1-2 km) terdapat pohon jelutung sebanyak 70-100 batang. Rata-rata setiap regu kerja mempunyai 10 jalur sadap sehingga setiap regu kerja menyadap 1.000 batang pohon jelutung. Berdasarkan jumlah tersebut maka
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 43-57
potensi jenis jelutung termasuk dalam kategori rendah (nilai 1) karena populasinya <40% dari populasi normal atau kurang dari 40 pohon per ha. Penyebaran tumbuhan alam jelutung hanya tersisa di kawasan-kawasan lindung seperti di kawasan Taman Nasional Sebangau (Kabupaten Pulang Pisau, Kota Palangka Raya dan Kabupaten Katingan) dan kawasan Suaka Margasatwa Lamandau (Kabupaten Kotawaringin Barat). Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa jumlah pedagang pengumpul getah jelutung adalah 11 orang dengan jumlah regu kerja sebanyak 300 regu yang tersebar di lima lokasi (Sukamara, Pangkalan Bun, Seruyan, Samuda dan Sebangau). Tiap regu kerja beranggotakan 1-3 orang (rata-rata dua orang). Berdasarkan informasi tersebut maka pengusahaan getah jelutung dapat dikategorikan ke dalam kategori nilai 3 karena jumlahnya >5 kelompok usaha produsen. Keberadaan asosiasi kelompok usaha dan kelompok peramu (forum komunikasi) getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah belum ada. Kelembagaan yang terbentuk sebatas regu kerja penyadap, pedagang pengumpul dan perusahaan penampung getah jelutung. Oleh karena itu, keberadaan asosiasi kelompok usaha dalam pengusahaan getah jelutung termasuk ke dalam kategori rendah (nilai 1). Terdapat aturan dari pejabat Bupati/Walikota berkaitan dengan komoditas getah jelutung (nilai 2). Aturan yang secara tidak langsung mengatur tentang komoditas getah jelutung terkait dengan retribusi pengumpulan HHBK seperti Peraturan Daerah Kota Palangkaraya No. 07 tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Palangkaraya No. 04 tahun 2000 tentang Retribusi izin Pengumpulan Hasil Hutan Bukan Kayu dan Hasil Perkebunan. Pada Perda tersebut ditentukan bahwa retribusi untuk getah jelutung sebesar 3% per ton. Pada tahun 2000 Bupati Kapuas mengeluarkan Surat Keputusan Bupati yang menetapkan tentang areal konservasi jelutung rawa di Desa Bajuh. Proses penyadapan dan pengumpulan getah jelutung telah difasilitasi oleh Pemerintah Kota Palangkaraya berupa penerbitan ijin pemungutan hasil hutan bukan kayu oleh Walikota yang diberikan kepada kelompok masyarakat. Perijinan serupa di Kabupaten Kotawaringin Barat hanya diberikan kepada perusahaan pengumpul. Bagi masyarakat yang mengumpulkan getah jelutung di
dalam kawasan lindung seperti Suaka Margasatwa Sungai Lamandau, ijin diberikan oleh pengelola kawasan dalam hal ini adalah BKSDA Pangkalan Bun. Kabupaten lain yang memiliki potensi jelutung belum ada fasilitasi berupa perijinan. Retribusi pemanfaatannya ditetapkan dengan Surat Keputusan Kepala Daerah, baik Bupati ataupun Walikota. Besarnya retribusi PSDH untuk Provinsi Kalimantan Tengah adalah Rp 56.100/ton. Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan di Kalimantan seperti BPDAS Kahayan, Taman Nasional Sebangau dan Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru telah menaruh perhatian terhadap pengembangan jenis jelutung rawa di Provinsi Kalimantan Tengah. Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Kahayan telah menanam jelutung rawa di Area Model Budidaya Jelutung pada lahan seluas 10 hektar di Km 55 Jalan Palangka Raya-Sampit (ditanam tahun 2001) dan di Habaring Hurung Kota Palangka Raya serta di Kecamatan Pilang, Kabupaten Pulang Pisau. Pada program Gerhan tahun anggaran 2004 BPDAS Kahayan telah menanam sebanyak 736.250 batang jelutung rawa dan jumlahnya meningkat pada tahun berikutnya yakni mencapai 877.160 pohon untuk 11 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah. Selama pelaksanaan Gerhan 2005, BPDAS Kahayan telah menanami lahan kritis seluas 40.900 ha yang terdapat di dalam dan di luar kawasan hutan. Dari jumlah luasan tersebut 2030% kawasan ditanami dengan jenis jelutung rawa. Selain melakukan penanaman, BPDAS Kahayan juga melakukan pelatihan budidaya jelutung untuk petani, penyuluh dan petugas lapangan. Pada tahun 2007, BPDAS Kahayan telah membangun enam unit areal model tanaman silvikultur intensif di luar kawasan hutan dengan total luas 350 hektar. Salah satu unit areal model tersebut adalah yang terletak di Desa Lunuk Ramba seluas ± 50 hektar. Areal Model Tanaman Silvikultur Intensif di Desa Lunuk Ramba ditanami dengan jenis tanaman pokok berupa jelutung (kayu-kayuan), karet dan durian (jenis MPTS), dengan komposisi jenis yaitu 60% jelutung, 30% karet dan 10% durian (BPDAS Kahayan, 2009). Taman Nasional Sebangau dalam kegiatan merehabilitasi lahan kritis seluas 60.000 ha telah melakukan penanaman seluas 2.850 ha dengan tanaman jelutung, pulai dan belangeran. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru telah menjadikan jelutung sebagai salah satu jenis yang
49 Getah Jelutung sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan di Lahan… (Marinus Kristiadi Harun)
termasuk dalam Penelitian Integratif Unggulan (PIU). Pada tanggal 25 Oktober 2009, LSM World Education Pangkalan Bun telah melakukan workshop tentang tanaman jelutung dan ekosistemnya. Workshop tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingya ekosistem gambut dan mengajak masyarakat untuk mengenal lebih dekat jenis tanaman jelutung sebagai jenis tanaman asli lahan gambut dari aspek budidaya dan nilai ekonominya. Berdasarkan uraian tersebut maka pengembangan jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah dari indikator peran institusi termasuk ke dalam kategori tinggi (nilai 3). Standar baku yang mengatur tentang komoditas getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah belum ada (nilai 1). Standar mutu getah jelutung terkait dengan kandungan air ditentukan oleh perusahaan. Semakin banyak kandungan air dalam ge-tah maka harganya akan semakin murah. Getah siap ekspor oleh PT. SAS mempunyai kandungan air sebesar 14%. Sarana pengembangan komoditas getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah masih bertaraf lokal (nilai 1). Namun pengusahaan getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah telah melibatkan kemitraan antara pengusaha dengan pengumpul dan petani penyadap. Kemitraan yang dilakukan berupa pinjaman modal dari pengusaha (PT. SAS) kepada pengumpul yang selanjutnya akan diberikan kepada para penyadap sebagai modal awal untuk menyadap pohon jelutung di hutan. Modal yang diberikan kepada satu pengumpul mencapai Rp 50 juta. Berdasarkan hal ini maka untuk indikator kepemilikan usaha dapat dimasukkan ke dalam kategori masyarakat lokal yang bermitra dengan pengusaha (nilai 3). Berkaitan dengan teknologi budidaya jelutung mulai dari perbenihan, persemaian dan penanaman di lapangan telah dikuasai (nilai 3). Hal ini ditunjukkan oleh hasil-hasil penelitian silvikultur jelutung yang telah banyak dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Sebaliknya teknologi pengolahan hasil yang
menunjukkan tingkat penguasaan teknologi pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah saat ini belum banyak dikuasai (nilai 1). B. Kelayakan Finansial Usaha Getah Jelutung Tanaman jelutung yang dianalisis kelayakan finansialnya difokuskan pada tegakan monokultur jelutung dan agroforestry pola mixed cropping dengan komponen tanaman jelutung rawa, karet dan padi (ditanam pada tahun pertama sampai ketiga). Pola ini banyak dikembangkan oleh petani. Analisis finansial dilakukan dengan melakukan analisis terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh dari usaha budidaya tanaman jelutung rawa selama masa produksi. Dari Tabel 2 diketahui bahwa usaha budidaya jelutung rawa layak untuk dikembangkan, baik secara monokultur maupun mixed cropping. Pola mixed cropping jelutungkaret lebih banyak memberikan keuntungan dibandingkan pola monokultur jelutung. Tanaman jelutung pola monokultur memberikan keuntungan per ha sebesar Rp 29.933.289,52 (Tabel 2). Nilai ini berbeda dengan hasil penelitian sejenis oleh Karyono (2008) yang memperoleh nilai pendapatan usaha jelutung mencapai Rp 134.481.000 per ha. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan asumsi yang digunakan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Karyono (2008) digunakan asumsi volume kayu per ha mencapai 588 m3 dan asumsi getah jelutung umur 8-12 tahun mencapai 3 kg/bulan/pohon, umur 13-30 tahun mencapai 5 kg/bulan/pohon. Analisis finansial oleh Budiningsih dan Ardhana (2011) menghasilkan nilai pendapatan usaha budidaya jelutung rawa pola monokultur sebesar Rp 21.055.063 per ha dan pola mixed cropping jelutung rawa-karet sebesar Rp 59.693.845 per ha. Analisis sensitivitas dilakukan terhadap kenaikan suku bunga menjadi 20% dari 12%, harga getah karet dan harga kayu masingmasing turun 50%, disajikan pada Tabel 3.
Tabel 2. Analisis finansial usaha budidaya jelutung rawa seluas 1 ha dengan nilai NPV, BCR dan IRR pada suku bunga 12% Table 2. Financial analysis of jelutung cultivation of 1 ha with NPV, BCR and IRR at 12% interest rate Pola tanam (Patern planting) Monokultur (monoculture) (jelutung) Tanaman campur (mixed cropping) (jelutung, karet)
50
NPV (Rp) 29.933.289,52 69.799.338,00
BCR 7,88 8,68
IRR (%) 20 29
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 43-57
Tabel 3. Analisis sensitivitas kelayakan usaha budidaya jelutung rawa Table 3. Sensitivity analysis on feasibility jelutung cultivation Pola tanam (Patern planting)
Harga getah karet turun 50% (Rubber latex’s price down into 50%)
Tanaman campur (Mixed cropping) jelutung rawa-karet NPV IRR BCR Monokultur (monoculture) jelutung rawa NPV IRR BCR
Regu kerja peramu (penyadap)
Harga kayu turun 50% (Price of jelutung wood down into 50%)
Suku bunga (Interest rate) 20%
Rp 35.965.115,00 23% 6,04
Rp 68.717.893 29% 8,28
Rp 18.041.160 29% 8,68
Rp 29.433.289,52 20% 7,88
Rp 27.747.869,96 20% 6,97
Rp 664.828,11 20% 7,88
PT. Sampit
Jepang
PT. SAS
Singapura
Pengepul tingkat desa
Gambar 1. Jalur distribusi getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah. Figure 1. Jelutung sap distribution channels in Central Kalimantan Province. Dari Tabel 3 diketahui bahwa usaha budidaya tanaman jelutung rawa pola cam-puran dengan karet maupun monokultur cukup peka terhadap perubahan harga, baik getah karet (turun 50%) maupun har-ga kayu jelutung rawa (turun 50%). Pada kenaikan suku bunga menjadi 20% usaha budidaya tanaman jelutung rawa pola campuran dengan karet maupun monokultur masih layak untuk diusahakan. C. Tataniaga Getah Jelutung Sebagai sebuah komoditi perdagangan, getah jelutung dipasarkan melalui saluran pemasaran. Berdasarkan temuan di lapangan diketahui bahwa lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran getah jelutung di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah terdiri atas petani penyadap getah jelutung dari pohon-pohon di hutan (peramu getah jelutung), pengepul tingkat desa dan perusahaan (PT. SAS dan PT. Sampit) (Gambar 1). D. Margin Pemasaran Getah Jelutung
kator efisiensi pemasaran getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah (Triyono, 2000; Basri, 2001). Margin pemasaran merupakan perbedaan harga di tingkat perusahaan pengumpul (dalam hal ini PT. SAS dan PT. Sampit) dengan harga di tingkat penyadap (peramu). Nilai margin pemasaran untuk setiap pelaku pasar disajikan pada Tabel 4. Dari Tabel 4 diketahui bahwa margin pemasaran yang terbentuk, baik antara tingkat pengusaha dan tingkat penyadap maupun antara tingkat pengusaha dan pengumpul adalah tinggi. Perbedaan harga antara tingkat penyadap dan pengusaha pada tingkat harga terendah adalah 76,67% dan pada tingkat harga tertinggi adalah 82%. Perbedaaan harga antara tingkat pengumpul dan pengusaha pada tingkat harga terendah adalah 70% dan pada tingkat harga tertinggi adalah 76%. Basri (2001) menyatakan bahwa pemasaran dikatakan efisien jika margin pemasaran <50%. Sependapat dengan Basri (2001) maka margin pemasaran getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah dapat disimpulkan belum efisien.
Margin pemasaran dapat dijadikan sebagai indi51 Getah Jelutung sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan di Lahan… (Marinus Kristiadi Harun)
Tabel 4. Margin pada tingkat harga terendah dan tertinggi pemasaran dan keuntungan getah jelutung per kg untuk setiap pelaku pasar Table 4. Marketing margins at lowest price and highest price and profits of jelutung's latex per kg for each market player Harga Biaya produksi (Price) (Cost production) (Rp/kg) (Rp/kg) Untuk tingkat harga terendah (At lowest price) Penyadap 3.500 1.500 (Farmer) Pengumpul 5.000 750 (Middle man) Pengusaha 15.000 1.000 (Entrepreneur) Untuk tingkat harga tertinggi (At highest price) Penyadap 4.000 1.500 (Farmer) Pengumpul 6.000 750 (Middle man) Pengusaha 25.000 1.000 (Entrepreneur) Pelaku usaha (Stakeholders)
Pendapatan (Income) (Rp/kg)
Tabel 4 juga menunjukkan keuntungan bersih usaha getah di tingkat pengusaha, penyadap dan pengumpul. Terlihat perbedaan keuntungan bersih antara pengusaha dan penyadap, dan antara pengusaha dan pengumpul adalah tinggi berturutturut Rp 2.500/kg, Rp 1.250/kg dan Rp 18.000/ kg, sedangkan antara penyadap dan pengumpul adalah rendah (Rp 1.000/kg). E. Posisi Getah Jelutung pada Permenhut No. P.21/Menhut-II/2009 dan Strategi Pengembangannya ke Depan Hasil analisis terhadap getah jelutung sebagai HHBK unggulan berdasarkan Permenhut No. P.21/Menhut-II/2009 di Provinsi Kalimantan Tengah disajikan dalam bentuk matrik kriteria dan indikator penilaian pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 (terutama untuk indikator bernilai 1) dan hasil FGD dapat disusun identifikasi permasalahan pengembangan getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah dan solusinya (Tabel 6). Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 4, Tabel 5 dan Tabel 6 diketahui bahwa pengembangan komoditas getah jelutung ke depan memerlukan partisipasi petani dan kelembagaan yang efektif dan efisien. Kelembagaan yang dibangun harus mampu mengatasi permasalahan pengembangan komoditas getah jelutung di lapangan. Strategi yang ditawarkan secara sederhana disajikan pada Gambar 2. 52
Margin pemasaran (Marketing margins) (Rp, %)
Keuntungan bersih (Netto profit) (Rp/kg)
3.500
11.500 (76,67%)
2.000
1.500
10.500 (70%)
750
10.000
9.000
4.000
20.500 (82%)
2.500
2.000
19.000 (76%)
1.250
19.000
18.000
Strategi tersebut dapat diaplikasikan jika kondisi berikut dapat terpenuhi (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2003): a) adanya kelompok tani pengembang komoditas getah jelutung yang partisipatif dan b) membangun kelembagaan pengembangan komoditas getah jelutung dengan Sistem Kebersamaan Ekonomi (SKE), yakni suatu sistem yang mengembangkan pola usaha yang bertujuan memperoleh laba (profit oriented) dengan menggunakan pendekatan kebersamaan. Pendekatan kebersamaan diperlukan untuk memperkuat rasa kebersamaan masing-masing pihak karena kebersamaan yang paling kuat apabila kebersamaan yang terbentuk dapat mengakomodir kepentingan ekonomi masing-masing pihak. Tanpa ada keuntungan ekonomis yang dirasakan oleh masing-masing pihak, maka kebersamaan yang terbangun bukan merupakan kebersamaan yang produktif dan tidak bertahan lama (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2003). Faktor lain yang juga penting dalam mendukung suksesnya pengembangan komoditas getah jelutung adalah adanya kemitraan. Kemitraan yang kuat akan membangun kebersamaan yang kuat pula. Kemitraan yang dilakukan mencakup aspek SDM, kelembagaan, budidaya dan keuangan berdasarkan akumulasi aset, modal, keterampilan, gagasan, kebutuhan dan komitmen petani. Kemitraan dilakukan dengan strategi kapasitas individu
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 43-57
petani yang dikembangkan dalam kesatuan ekonomi (kelompok produktif), kelompok produktif yang menciptakan wadah kebersamaan ekonomi, misalnya Forum Koordinasi Manajemen Kebun (FKMK), dan seluruh kelompok produktif bekerjasama dalam suatu wadah koperasi primer (Direk-
torat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2003). Hasil akhir yang diharapkan akan terwujud adalah petani yang profesional, kelembagaan petani yang kuat dan berfungsi, produktivitas kebun tinggi, sistem keuangan kelompok transparan dan hubungan kerjasama yang harmonis.
Tabel 5. Kriteria dan indikator penilaian getah jelutung sebagai komoditas HHBK unggulan menurut Permenhut No. P.21/Menhut-II/2009 Table 5. Criteria and indicators for assessing jelutung's latex as leading NTFP according to Permenhut P.21/MenhutII/2009 Kriteria (Criteria) Ekonomi (Economy) Bobot (Percentage) 35%
Indikator (Indicator) 1. Nilai perdagangan ekspor 2. Nilai perdagangan lokal 3. Lingkup pemasaran 4. Potensi pasar internasional 5. Mata rantai pemasaran 6. Cakupan pengusahaan 7. Investasi usaha
Biofisik dan lingkungan (Biophysic and environment) Bobot (Percentage) 15%
Kelembagaan (Institution) Bobot (Percentage) 20%
1. Potensi tanaman 2. Penyebaran 3. Status konservasi 4. Budidaya 5. Aksesibilitas ke sumber HHBK 1. Jumlah kelompok usaha produsen/ koperasi 2. Asosiasi kelompok usaha 3. Aturan tentang komoditi bersangkutan 4. Peran institusi 5. Standar komoditi bersangkutan 6. Sarana/ fasilitas pengembangan komoditi bersangkutan
Sosial (Social) Bobot (Percentage) 15%
1. Pelibatan masyarakat
Teknologi (Technology) Bobot (Percentage) 15%
1. Teknologi budidaya 2. Teknologi pengolahan hasil
2. Kepemilikan usaha
Standar (Standard) Tinggi (nilai ekspor per tahun ≥ USD 1 juta) Tinggi (nilai perdagangan per tahun > Rp 1 miliar) Internasional, nasional dan lokal Tinggi (diminta oleh >3 negara) Sedang (melibatkan masyarakat pengumpul, pengusaha UMKM dan pemerintah) Meliputi industri hulu dan tengah Sedikit (<5 badan usaha yang sudah berinvestasi dan belum ada pengusaha besar) Sub total Rendah (persentase jumlah pohon per hektar <40% dari kondisi normal) Kurang merata (terdapat di <1/3 wilayah bersangkutan) Tidak terdaftar di CITES Appendix Produksi HHBK <40% hasil budidaya Dapat dijangkau moda transportasi darat dan atau air tidak sepanjang tahun Sub total Banyak (terdapat >5 kelompok usaha produsen/koperasi komoditi bersangkutan) Rendah (hanya terdapat kelompok tani) Terdapat aturan dari pejabat setingkat Eselon I, Gubernur atau Bupati Tinggi (ada dukungan dari berbagai institusi seperti Pemda, UPT dan LSM) Belum ada standar baku
Nilai (Score) 3 3 3 3 2 2 2 18 1 1 3 1 2 8 3 1 2 3 1
Sarana pengembangan bertaraf lokal
1
Sub total Melibatkan sebagian masyarakat lokal (masyarakat lokal yang terlibat lebih dari 5% tetapi kurang dari 20% dari populasi) Masyarakat lokal bermitra dengan pengusaha Sub total Teknologi telah sepenuhnya dikuasai Teknologi pengolahan hasil belum dikuasai
11 2
Sub total Total nilai (Total score)
3 5 3 1
4 46
53 Getah Jelutung sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan di Lahan… (Marinus Kristiadi Harun)
Tabel 6. Identifikasi masalah pengembangan getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah dan solusinya Table 6. Problem identification of jelutung's latex development in Central Kalimantan Province and its solution Masalah (Problems) Aspek kawasan (Teritory) Alih fungsi kawasan menjadi peruntukan lain (Forests change into other uses)
Kebijakan pemanfaatan di kawasan lindung (Utilization policy in protected areas)
Perambahan, kebakaran hutan dan tebangan liar (Encroachment, forest fires and illegal logging)
Kondisi terkini (Existing condition) Kabupaten Kotawaringin Barat sebagai penghasil terbesar getah jelutung dihadapkan pada konversi lahan menjadi perkebunan sawit. Proyek pembukaan lahan gambut sejuta hektar di Kabupaten Katingan, Pulang Pisau dan kota Palangka Raya menyebabkan kerusakan pada habitat jelutung alam Sampai dengan tahun 2009 pemanfaatan getah jelutung dalam kawasan Suaka Margasatwa Sungai Lamandau masih diberikan ijin, tetapi mulai tahun 2010 akan terus dikurangi sehingga perlu dicarikan alternatif bagi masyarakat peramu getah jelutung di wilayah tersebut Faktor yang terus mengancam keberadaan hutan rawa gambut yang menjadi habitat tumbuhan jelutung
Prioritas solusi (Priority)
Penanggung jawab (Authority)
Penunjukan kawasan konservasi jelutung
Dinas Kehutanan, Bappeda, BPN
Colaborative management
Dinas Kehutanan, BKSDA
Pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut; penegakan hukum
Dinas Kehutanan, Manggala Agni, Masyarakat peduli Api.
Perijinan pemanfaatan getah jelutung (License for the use of jelutung’s latex)
Belum semua daerah penghasil getah jelutung mengatur hal ini karena hasil getah yang masih dianggap kecil/ sedikit
Perlu Perda yang secara khusus mengatur perijinan pemanfaat getah jelutung
Dinas Kehutanan
Aspek pemasaran (Marketing) Margin pemasaran yang belum efisien (Marketing margins is not efficient)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa margin pemasaran getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah belum efisien
Program kemitraan yang melibatkan petani, pengusaha dan pemerintah Alternatif pasar selain Jepang: pasar dalam negeri, pasar Eropa, Amerika Serikat dan Cina Meningkatkan kualitas dan kuantitas serta kontinuitas pasokan bahan baku Penelitian alternatif pemanfaatan getah jelutung selain sebagai bahan baku permen karet Pusat informasi pengembangan komoditas getah jelutung
Dinas Kehutanan, Dinas Perdagangan dan Industri
Perluasan tujuan ekspor (Expansion of export destinations)
Tujuan ekspor masih terbatas ke Jepang. Perluasan manfaat getah dan jaminan kelestarian diharapkan dapat memperluas pemasaran
Adanya bahan alternatif (Availability of alternative materials)
Minyak jagung dapat sebagai substitusi getah jelutung dengan produk berupa bubble gum
Pemanfaatan yang masih terbatas (Utilization is still limited)
Pemanfaatan getah jelutung saat ini dominan hanya sebagai bahan baku permen karet
Arus informasi budidaya dan pemasaran (Cultivation and marketing information flow)
Perlu fasilitasi penyediaan dan penyaluran informasi mengenai budidaya dan pengolahan getah jelutung
54
Kementerian Kehutanan, Kementerian Perdagangan dan Industri Dinas Kehutanan, Dinas Perindustrian
Badan Litbang Kehutanan, Dinas Perindustrian, Dinas Kehutanan Dinas Kehutanan, Dinas Perindustrian
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 43-57
Tabel 6. Lanjutan Table 6. Continued Masalah (Problems)
Kondisi terkini (Existing condition)
Prioritas solusi (Priority)
Bantuan permodalan yang ada baru pada level pengumpul yang diberikan oleh Bank Rakyat Indonesia di kota Palangka Raya
Lembaga keuangan mikro
Dinas Koperasi, PNPM mandiri, perbankan
Minat petani untuk membudidayakan jelutung masih rendah
- Sosialisasi prospek budidaya jelutung rawa - Membentuk program kemitraan - RHL berbasis jenis asli gambut (termasuk jelutung)
Penyuluh Kehutanan, Dinas Kehutanan, perbankan
Diperlukan pemuliaan jenis yang dapat menghasilkan tanaman berkualitas, yaitu menghasilkan getah yang banyak dengan umur sadap yang relatif lebih cepat
Penelitian pemuliaan jenis jelutung
Badan Litbang Kehutanan, Universitas Palangka Raya, Dinas Kehutanan
Belum ada wadah organisasi yang menaungi para petani dan kelompok usaha jelutung rawa
Membentuk Forum Komunikasi Petani dan Pengusaha getah jelutung rawa
Dinas Kehutanan provinsi dan kabupaten/kota
Standar komoditi bersangkutan (Standard quality of jelutung’s latex)
Belum ada standar mutu getah jelutung
Perlu SNI mutu getah jelutung
Kementerian Kehutanan (Badan Standardisasi), BPK Banjarbaru
Sarana/fasilitas pengembangan komoditi bersangkutan (Facilities of commodity development)
Belum ada sarana/fasilitas pengembangan getah jelutung yang memadai
Membangun pusat pengembangan getah jelutung rawa
Dinas Kehutanan, BPDAS, BPK Banjarbaru, Dinas Perindustrian
Aspek pengolahan dan kualitas (Processing and quality) Selang penyadapan 7-15 hari (tapping interval 7-15 days).
Salah satu karakteristik jenis jelutung dalam menghasilkan getah
Penelitian teknik penyadapan getah jelutung
Badan Litbang Kehutanan, Universitas Palangka Raya, Dinas Kehutanan
Pembinaan dan penetapan kualitas ((Development and determination
Belum tersosialisasikan dengan baik mengenai penanganan pasca panen dan kualitas getah yang baik
Standar mutu getah jelutung
Badan Litbang Kehutanan, Universitas
Bantuan permodalan dalam penyadapan (Capital assistance in tapping) Aspek budidaya (Cultivation) Potensi dan sebaran tanaman jelutung rawa masih rendah (Potency and distribution of jelutung rawa are still low) Hutan tanaman jelutung rawa masih rendah (Jelutung’s plantation is still low)
Umur sadap yang panjang (Long term period of tapping)
Aspek kelembagaan (Institutional aspect) Asosiasi kelompok usaha (Association of jelutung farmer)
Hutan tanaman yang ada lebih karena program RHL dari pemerintah. Hutan tanaman swadaya belum berkembang.
of quality)
Penanggung jawab (Authority)
Palangka Raya, Dinas Kehutanan
55 Getah Jelutung sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan di Lahan… (Marinus Kristiadi Harun)
Tabel 6. Lanjutan Table 6. Continued Masalah (Problems)
Teknologi pengolahan hasil (Technology after harvesting)
Kondisi terkini (Existing condition)
Prioritas solusi (Priority)
Teknologi pengolahan hasil belum banyak berkembang, saat ini masih terbatas pada bentuk getah jelutung berupa pallet yang telah beraroma/berasa untuk bahan baku permen karet
Penelitian getah jelutung untuk bahan baku selain permen karet (wadah tahan panas, bahan kabel listrik, dan lainlain)
Penanggung jawab (Authority)
Badan Litbang Kehutanan, Universitas Palangka Raya, Dinas Kehutanan, Litbang Perindustrian
Kebijakan
Teknologi
Pengembangan komoditas getah jelutung
Faktor eksternal
Partisipasi petani
Gambar 2. Faktor-faktor yang diperlukan untuk mengembangkan getah jelutung sebagai suatu HHBK unggulan. Figure 2. Factors required to develop jelutung's latex as a leading NTFP.
IV.
KESIMPULAN DAN SARAN
meningkatkan partisipasi petani, menetapkan kebijakan yang mendukung, mendorong permintaan pasar dan menyediakan teknologi.
A. Kesimpulan Berdasarkan ketentuan jenis HHBK unggulan menurut Permenhut No. P.21/ Menhut-II/2009, getah jelutung di Provinsi Kalimatan Tengah dapat dikategorikan se-bagai HHBK Unggulan Provinsi. Secara finansial budidaya jelutung rawa layak untuk diusahakan, namun kondisi pengelolaan getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah belum dilaksanakan secara optimal. Hal ini diindikasikan dengan margin pemasaran yang belum efisien dan keuntungan di tingkat petani yang masih rendah. B. Saran Pengembangan getah jelutung ke depan perlu mempertimbangan kedua aspek tersebut di atas. Selain itu strategi pengembangannya juga membutuhkan pembangunan kelembagaan yang efektif dan efisien. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
56
DAFTAR PUSTAKA Basri, H.M. (2001). Analisis margin pemasaran industri gula aren produksi pengrajin gula aren di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan. Jurnal Kalimantan Scientiae, 58, 55-71. Bastoni & Lukman, A.H. (2004). Prospek pengembangan hutan tanaman jelutung pada lahan rawa Sumatera (pp. 85-97). Prosiding Ekspose Ter padu Hasil-Hasil Penelitian: Menuju Pembangunan Hutan Tanaman Produktivitas Tinggi dan Ramah Lingkungan, Yogyakarta 11-12 Oktober 2004. Yogyakarta: Pusat Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 43-57
[BPDAS] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kahayan. (2009). Pembangunan area model silvikultur intensif (SILIN). (Laporan Kegiatan). Palangka Raya: Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kahayan. Budiningsih, K. & Ardhana, A. (2011). Analisis ekonomi dan kelayakan finansial pembangunan hutan tanaman penghasil kayu pertukangan. (Laporan Hasil Penelitian RPI Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan). Banjarbaru: Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Daryono, H. (2000). Teknik membangun hutan tanaman industri jenis jelutung (Dyera spp.). Informasi Teknis Galam, 3/98. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. (2003). Pemberdayaan petani melalui sistem kebersamaan ekonomi berdasarkan manajemen kemitraan. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Karyono, O.K. (2008). Peluang usaha budidaya jelutung (Dyera costulata) pada lahan gambut di Kalimantan Tengah. Majalah Kehutanan Indonesia (MKI), II/2008.
Limin, S.H. (2004). Kondisi hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah dan strategi pemulihannya. In Tampubolon, A.P., Hadi, T.S., Wardani, W., & Norliani (Eds.), Prosiding Seminar Ilmiah: Kesiapan Teknologi untuk Mendukung Rehabilitasi Hutan dan Lahan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah, Palangkaraya, 12 Mei 2004. Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.21/ MenhutII/2009 tahun 2009 tentang Kriteria dan Indikator Penetapan Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan. Suharjito, D., Sundawati, L., Suyanto, & Utami, S.R. (2003). Aspek sosial ekonomi dan budaya agroforestri. (Bahan Ajar Agroforestri 5). Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF). Triyono, P. (2000). Perkembangan posisi tawar petani dalam pemasaran damar mata kucing di Lampung. Jurnal Sosial Ekonomi, 1(1), 4961.
57 Getah Jelutung sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan di Lahan… (Marinus Kristiadi Harun)
ANALISIS KEBUTUHAN LUASAN AREA HIJAU BERDASARKAN DAYA SERAP CO2 DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR (Analysis of Green Land Area Requirement Based on CO2 Absorption in Malang City, East Java) 1
1
2
R. Mohamad Mulyadin & R. Esa Pangersa Gusti Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Indonesia; e-mail :
[email protected] 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu No.5, Bogor, Indonesia; e-mail :
[email protected] Diterima 3 April 2014 direvisi 7 November 2014 disetujui 5 Februari 2015 ABSTRACT
High urban activities have an impact on the environmental quality degradation due to the increase of carbondioxide (CO2) gas pollution. An efforts to reduce concentration of CO2 in the urban air is by developing green area or better known as green open space (RTH). One of RTH which appropriate with urban area is urban forest. This study aims to determine suitability of green area with total emission generated in Malang city. Eleven-point of urban forest has been analyzed. Total emission measures from four sources, such as emission from fuel, residents, livestocks and rice field. The results showed that the existing green areas have not been able to absorb the total emissions. The addition of 3,373.022 ha green area is required to absorb total emission in the city. Keywords: Green area, CO2 emission, CO2 absorption, ideal green area. ABSTRAK
Pembangunan fisik perkotaan dihadapkan pada permasalahan baru yaitu turunnya kualitas lingkungan hidup. Penurunan kualitas lingkungan sebagian besar diakibatkan oleh polusi gas karbondioksida (CO2). Upaya untuk menekan konsentrasi CO2 di udara perkotaan dapat dilakukan dengan menerapkan konsep area hijau atau yang lebih dikenal dengan ruang terbuka hijau (RTH) yang sesuai dengan perkotaan yaitu hutan kota. Kota Malang merupakan peraih adipura tahun 2014 atas pencapaiannya menjaga dan mengelola lingkungan perkotaan. Penelitian ini bertujuan mengetahui kesesuaian luasan area hijau dengan total emisi yang dihasilkan di Kota Malang. Luasan area hijau yang dianalisis yaitu 11 titik hutan kota. Total emisi wilayah dilihat dari empat aspek yaitu emisi dari bahan bakar, penduduk, peternakan dan persawahan. Hasil penelitian menunjukkan luasan area hijau saat ini belum mampu menyerap total emisi. Penambahan area hijau seluas 3.373,022 ha merupakan luasan yang sesuai untuk mampu menyerap total emisi di wilayah tersebut. Kata kunci: Area hijau, emisi CO2, daya serap CO2, luasan ideal.
I. PENDAHULUAN Kota merupakan tempat atau pusat aktivitas manusia. Pembangunan fisik di perkotaan yang diharapkan mampu menyejahterakan masyarakat dihadapkan pada berbagai masalah baru, yaitu penurunan kualitas lingkungan. Salah satu kegiatan pembangunan yang memengaruhi kualitas lingkungan adalah alihguna lahan. Faktor lainnya adalah peningkatan arus transportasi di kota tersebut. Penurunan kualitas lingkungan yang disebabkan arus transportasi yang paling mudah dirasakan yaitu dalam bentuk polusi gas karbondioksida (Co2) yang sebagian besar dihasilkan oleh kendaraan bermotor
(Irwan, 2005). Salah satu upaya untuk meningkatkan kembali kualitas lingkungan di perkotaan yaitu dengan menerapkan penambahan area hijau atau yang dikenal dengan konsep ruang terbuka hijau (RTH). Hutan kota merupakan bagian RTH yang sesuai untuk daerah perkotaan memiliki fungsi sebagai penyerap CO2 yang sangat penting. Penyerapan CO2 oleh hutan kota dengan jumlah 10.000 pohon berumur 16-20 tahun mampu mengurangi CO2 sebanyak 800 ton per tahun (Simpson & McPherson, 1999). Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 1 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan menetapkan 59
Analisis Kebutuhan Luasan Area Hijau … (R. Mohamad Mulyadin & R. Esa Pangersa Gusti)
luas ideal untuk RTH kawasan perkotaaan adalah sebesar 20% dari lahan publik dan 10% dari lahan privat, sedangkan berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Sebesar 30% dari Luas Wilayah Kota. Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan potensi penyerapan CO2 sebagai bentuk pengelolaan lingkungan di 11 titik hutan kota di Kota Malang, Jawa Timur dan membandingkannya dengan jumlah emisi CO2 yang dikeluarkan, baik oleh kendaraan bermotor, penduduk, peternakan dan areal persawahan serta menganalisis kebutuhan luas areal hijau berdasarkan emisi di kota tersebut. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan dengan mengambil 11 titik hutan kota di Kota Malang, Provinsi Jawa Timur, yaitu di Hutan Kota Malabar, Kediri, Vellodrome , Jakarta, Pandan Wangi, Bumi Perkemahan (Buper) Hamid Rusli, Indragiri, Eks Pasar Madyopuro, Sultan Agung, Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Sulfat dan Lembaga Pendidikan Cabang (Lemdikcab) Pramuka. Proses pengumpulan data dilakukan pada bulan September 2011. B. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer me-liputi inventarisasi hutan kota, diperoleh dengan cara melakukan pengukuran di lapangan menggunakan metode sensus dengan mengukur luasan hutan kota Malang dan vegetasi di dalamnya. Alat bantu yang digunakan dalam pengumpulan data di lapangan adalah Global Positioning System (GPS), kamera
digital, tally sheet, tali, pita meter, dendrometer dan alat tulis. Data se-kunder meliputi informasi yanng diperoleh dari referensi yang berkaitan dengan kegiatan penelitian, baik studi literatur maupun data dari instansi atau lembaga terkait. Jenis data dan sumber data tersaji pada Tabel 1. C. Analisis Data Analisis data meliputi: 1) analisis emisi CO2 yang berasal dari konsumsi bahan bakar, peternakan, pernapasan manusia dan persawahan; 2) analisis daya serap karbon dilakukan terhadap vegetasi yang ada di lapangan dan 3) analisis kebutuhan luas la-han hutan kota yang sesuai berdasarkan total emisi yang dihasilkan. Perhitungan analisis tersebut adalah sebagai berikut: 1. Analisis emisi Co2 Emisi yang diukur berasal dari empat aspek yaitu emisi dari bahan bakar, pen-duduk, peternakan dan areal persawahan. Analisis emisi selengkapnya adalah sebagai berikut: a. Analisis emisi CO2 dari bahan bakar Analisis dilakukan berdasarkan kuota bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 2012 untuk Kota Malang, yaitu premium sebanyak 153.681.000 liter/tahun dan solar 44.534.000 liter/tahun (Tempo, 2012). Emisi Co2 dan gas uap lainnya yang dihasilkan bensin sebesar 2,31 g/liter dan solar 2,63 g/liter (DEFRA dalam Dahlan, 2007). Perhitungannya adalah sebagai berikut: B = (b x jb) + (s +js) Keterangan: B = Total emisi CO2 dari bahan bakar (ton/tahun) b = Nilai emisi bensin (g/liter) jb = Jumlah konsumsi bensin (liter/tahun) s = Nilai emisi solar (g/liter) js = Jumlah konsumsi solar (liter/tahun).
Tabel 1. Jenis dan sumber data Table 1. Type and source of data Jenis data (Type of data) Keadaan geografis (Geographical condition) Jumlah konsumsi bahan bakar minyak (Fuel consumption) Jumlah penduduk (Population) Jumlah hewan ternak (Number of livestock) Luas persawahan (Rice field area) Inventarisasi hutan kota (Urban forest inventory)
60
Bentuk data (Form of data)
Sumber data (Source)
Deskripsi Deskripsi Deskripsi Deskripsi Deskripsi Deskripsi
Badan Pusat Statistik Literatur Badan Pusat Statistik Badan Pusat Statistik Badan Pusat Statistik Pengamatan
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 59-66
b. Analisis emisi CO2 dari peternakan Analisis emisi CO2 dari hewan ternak meliputi sapi potong, kerbau, kuda, kambing dan domba. Metana merupakan salah satu produk yang dihasilkan oleh hewan ternak pada saat proses fermentasi di dalam tubuh serta pada saat pengelolaan pupuk. Perhitungan emisi metana dari fermentasi dan pengelolaan pupuk ternak diperoleh dengan mengalikan jumlah hewan dengan faktor emisi metana (CH 4 ). Faktor emisi berdasarkan proses fermentasi dapat dilihat pada Tabel 2. Perhitungan emisinya adalah sebagai berikut: Mf = e x f Keterangan: Mf = Emisi CH4 dari proses fermentasi(kg/tahun) e = Jumlah hewan ternak (ekor) f = Faktor emisi CH4 berdasarkan hewan ternak (kg/ekor/tahun). CH4 yang dihasilkan dari kegiatan pe-ngelolaan pupuk terjadi akibat dekomposisi pada kondisi anaerobik. Faktor emisi dari pengelolaan pupuk ditentukan berdasarkan temperatur daerahnya, untuk Indonesia ter-masuk daerah dengan temperatur hangat. Faktor ini dapat dilihat pada Tabel 3.
Perhitungan emisinya adalah sebagai berikut: Mp = e x f Keterangan: Mp = Emisi CH 4 dari pengelolaan pupuk (kg/tahun) e = Jumlah hewan ternak (ekor) f = Faktor emisi CH4 berdasarkan hewanternak (kg/ekor/tahun). Total emisi CH4 yang dihasilkan ternakyaitu: M = Mf + Mp. CH4 yang dihasilkan teroksidasi menjadi CO2 dengan reaksi kimia CH4 + 2 O2 CO2 + 2 H2O. Massa emisi CH4 dikonversi menjadi massa emisi CO2 dengan persamaan berikut: T = (M/Mr CH4) x Mr Co2 Keterangan: T = Emisi CO2 dari ternak (kg/tahun) M = Massa CH4 (kg/tahun) Mr = CH4 sebesar 16; CO2 sebesar 44 c. Analisis emisi CO 2 dari pernapasan manusia Karbondioksida yang dihasilkan dari aktivitas manusia adalah sama yaitu 0,3456 ton CO2/jiwa/ tahun (Grey & Deneke, 1978). Perhitungan gas
Tabel 2. Faktor emisi CH4 dari proses fermentasi berdasarkan jenis ternak Table 2. CH4 emission factor from fermentation process based on type of livestock Jenis ternak (Type of livestock)
Faktor emisi CH 4, kg/ekor/tahun (CH4 emission factor, kg/head/year)
Sapi potong (Beef cattle) Kerbau (Buffalo) Kuda (Horse) Kambing (Goat) Domba (Sheep)
44 55 18 5 8
Sumber (Source): IPCC (1996).
Tabel 3. Faktor emisi dari pengelolaan pupuk berdasarkan temperatur Table 3. Emission factor from manure management based on temperature Jenis ternak (Type of livestock)
Faktor emisi CH 4, kg/ekor/tahun (CH4 emission factor, kg/head/year)
Sapi potong (Beef cattle) Kerbau (Buffalo) Kuda (Horse) Kambing (Goat) Domba (Sheep)
2 3 2,27 0,23 0,37
Sumber (Source): IPCC (1996).
61 Analisis Kebutuhan Luasan Area Hijau … (R. Mohamad Mulyadin & R. Esa Pangersa Gusti)
CO2 yang dihasilkan oleh penduduk adalah sebagai berikut: P = Jp x Cmanusia Keterangan: P = Total emisi CO2 dari penduduk(ton/tahun) Jp = Jumlah penduduk (jiwa) Cmanusia = Jumlah CO2 yang dihasilkan manusia yaitu 0,3456 (ton/jiwa/tahun). d. Analisis emisi CO2 dari persawahan Dekomposisi anaerobik dari bahan organik di areal persawahan menghasilkanCh4 yang melimpah. CH4 yang dihasilkan dari persawahan tersebut dapat diketahui dari luas areal yang dijadikan persawahan dan jumlah musim panen. Perhitungannya adalah sebagai berikut: Ms = Ls x N x f x masa panen Keterangan: Ms = Total emisi CH4 dari persawahan (ton/tahun) Ls = Luas areal persawahan (m2) N = Nilai ukur faktor emisi Ch4 f = Faktor emisi (18 g/ m2) Masa panen = 2 kali/tahun. Massa emisi CH4 dikonversi menjadi massa emisi CO2 dengan persamaan berikut: S = (Ms/Mr CH4) x Mr Co2 Keterangan: S = Total emisi CO2 dari persawahan(ton/tahun) Ms = Massa CH4 dari persawahan (ton/tahun) Mr = CH4 sebesar 16; CO2 sebesar 44. 2.
Analisis daya serap CO2 vegetasi Analisis daya serap CO2 pada vegetasi yang ada di hutan kota Malang dilakukan dengan cara mengalikan jumlah pohon dengan kemampuan pohon tersebut dalam menyerap gas CO2. Kemampuan pohon dalam menyerap gas CO2 diperoleh dari literatur. 3.
Analisis kebutuhan luas lahan hutan kota Kebutuhan akan luasan optimum hutan kota berdasarkan daya serap CO2 dapat diperoleh dari kemampuan hutan kota (vegetasi) dalam menyerap CO2. Pendekatan yang digunakan untuk menentukan luasan tersebut adalah dengan menghitung kebutuhan hutan kota berdasarkan daya serap CO2 serta membandingkannya dengan luasan hutan kota sekarang. 62
Kebutuhan hutan kota diperoleh dari jumlah emisi CO2 yang terdapat di Kota Malang dibagi dengan kemampuan hutan kota dalam menyerap Co2.
L
1
=
B + T + P +S K
Keterangan: L1 = Kebutuhan luasan area hijau (ha) B = Total emisi CO2 dari bahan bakar (ton/ tahun) T = Total emisi CO2 dari hewan ternak (ton/ tahun) P = Total emisi CO2 dari penduduk (ton/ tahun) S = Total emisi CO2 dari persawahan (ton/ tahun) K = Kemampuan/nilai serapan CO2 oleh hutan (pohon) sebesar 58,2576 (ton CO2/tahun/ ha) (Inverson, 1993 dalam Tinambunan, 2006). Setelah mendapatkan nilai kebutuhan luasan area hijau, maka dapat diketahui se-berapa luas area hijau yang harus disedia-kan oleh Kota Malang. Penambahan luasan area hijau yang harus disediakan diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut: L = L1 – L0 Keterangan: L = Penambahan luasan area hijau (ha) L1 = Kebutuhan luasan area hijau (ha) L0 = Luas area hijau (hutan) sekarang (ha). III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Kota Malang Kota Malang merupakan salah satu kota tujuan wisata di Jawa Timur karena potensi alam dan iklim yang dimiliki. Letaknya yang berada di tengahtengah wilayah Kabupaten Malang secara astronomis terletak pada posisi 112,060-112,070 Bujur Timur dan 7,060-8,020 Lintang Selatan. Batas wilayah sebelah utara: Kecamatan Singosari dan Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang, sebelah timur: Kecamatan Pakis dan Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang, sebelah selatan: Kecamatan Tajinan dan Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang dan sebelah barat: Kecamatan Wagir dan Kecamatan Dau Kabupaten Malang
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 59-66
(Gambar 1). Dari beberapa kecamatan tersebut ada 11 titik hutan kota di Kota Malang yaitu Hutan Kota Malabar, Kediri, Vellodrome, Jakarta, Pandan Wa-ngi, Bumi Perkemahan Hamid Rusli, Indragiri, Eks Pasar Madyopuro, Sultan Agung, Tempat Pembuangan Sampah Sulfat dan Lembaga Pendidikan Cabang Pramuka. Luas wilayah Kota Malang sebesar 110,06 km2 yang terbagi dalam lima kecamatan yaitu Kecamatan Kedungkandang, Sukun, Klojen, Blimbing dan Lowokwaru. Jumlah penduduk Kota Malang sebanyak 820.243 jiwa yang terdiri dari lakilaki sebanyak 404.553 jiwa dan perempuan sebanyak 415.690 jiwa. Sebagian besar penduduk mempunyai mata pencaharian di bidang perdagangan, rumah makan dan hotel 36%, jasa keuangan 28%, industri pengolahan 28% dan lain sebagainya (Badan Pusat Statistik Kota Malang, 2013a).
B. Emisi CO2 di Kota Malang 1. Emisi CO2 dari bahan bakar Sebagian besar gas CO2 dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar. Dengan jatah konsumsi premium dan solar untuk Kota Malang masingmasing sebesar 153.681.000 liter/tahun dan 44.534.000 liter/tahun serta nilai emisi bensin 2,31 g/liter dan solar 2,63 g/liter, maka polusi udara berupa gas CO2 yang dihasilkan dari bahan bakar mencapai 472,127 ton/tahun (asumsi 1 tahun = 365 hari). 2. Emisi CO2 dari peternakan Hewan ternak di Kota Malang didominasi oleh lima jenis yaitu sapi potong, kerbau, kuda, kambing dan domba. Dari kelima jenis ternak tersebut, sapi potong merupakan yang paling banyak dipelihara oleh masyarakat yaitu sebanyak 4.433 ekor dan yang paling sedikit dipelihara yaitu kuda dengan 58
Sumber (Source): Badan Pusat Statistik Kota Malang (2013b).
Gambar 1. Peta wilayah Kota Malang. Figure 1. Regional map of Malang city.
63 Analisis Kebutuhan Luasan Area Hijau … (R. Mohamad Mulyadin & R. Esa Pangersa Gusti)
Tabel 4. Total emisi CO2 yang berasal dari hewan ternak Table 4. Total CO2 emission from livestock Jenis ternak (Type of livestock)
Jumlah ternak (Number of livestock) (ekor)
Emisi CH4 dari fermentasi (CH4 emission from fermentation) (kg CH4/tahun)
Emisi CH4 dari pengelolaan pupuk (CH4 emission from manure mangement) (kg CH4/tahun)
Sapi potong (Beef 4.433 195,05 8,87 cattle) Kerbau (Buffalo) 153 8,42 0,46 Kuda 58 1,05 0,13 (Horse) Kambing (Goat) 1012 5,06 0,23 Domba (Sheep) 333 2,66 0,12 Total kandungan emisi CO 2 dari ternak (Total CO 2 emission from livestock)
Total emisi CH4 dari ternak (Total of CH4 emission from livestock) (kg CH4/tahun)
Kandungan emisi CO2 (CO2 emission) (kg/tahun)
203,92
560,77
8,87
24,40
1,18
3,23
5,29 2,79
14,56 7,66 610,63 (0,61 ton/tahun)
ekor (Badan Pusat Statistik Kota Malang, 2013a). Total emisi yang dihasilkan oleh hewan ternak tersaji pada Tabel 4. Metana yang dihasilkan dari hewan ternak bila teroksidasi dapat menghasilkan gas CO2. Tabel 4 menunjukkan kandungan emisi CO2 yang dihasilkan dari hewan ternak di Kota Malang adalah sebesar 610,631 kg CO2/tahun atau 0,61 ton Co2/tahun. Jumlah emisi yang dihasilkan ber-banding lurus dengan jumlah ternak. Semakin banyak jumlah ternak, semakin besar emisi yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat pada emisi CO2 terbesar yang dihasilkan dari hewan ternak berasal dari sapi potong sebesar 560,77 kg CO2/tahun dan terendah adalah kuda dengan 3,23 kg CO2/tahun. Hal berbeda terjadi pada penelitian Mulyadin dan Gusti (2013) yang menunjukkan bahwa meskipun jumlah ternak terbanyak yang dipelihara di Kabupaten Karanganyar adalah domba, namun kandungan emisi CO2 terbesar yang dihasilkan dari hewan ternak berasal dari sapi potong. Hal ini dapat terjadi karena terdapat perbedaan nilai faktor emisi pada tiap jenis ternak.
(Badan Pusat Statistik Kota Malang, 2013a). Dengan asumsi gas CO2 yang dihasilkan dari aktivitas manusia adalah sama yaitu 0,3456 ton CO2/jiwa/tahun (Grey & Deneke, 1978) maka total emisi gas CO2 yang dihasilkan oleh penduduk Kota Malang adalah sebesar 283.475,98 ton CO2/tahun.
3. Emisi CO2 dari aktivitas manusia Manusia sebagai makhluk hidup akan mengalami respirasi selama masa hidupnya. Respirasi adalah proses menghirup oksigen (O2) dan mengeluarkan gas CO2. Oksigen digunakan dalam proses pembakaran makanan dalam tubuh untuk menghasilkan energi, CO2 dan uap air. Jumlah penduduk Kota Malang saat ini adalah 820.243 jiwa
C. Analisis Daya Serap CO2 pada Vegetasi Hutan Kota
64
4. Emisi CO2 dari persawahan Pengolahan lahan sawah berkontribusi pada peningkatan emisi gas rumah kaca. Penanaman padi dalam kondisi genangan air yang terlalu lama dan tinggi akan menghasilkan kondisi anaerob kuat sehingga menjadi sumber gas CH4. Luas persawahan di Kota Malang sebesar 1.282 ha (Badan Pusat Statistik Kota Malang, 2013a). Dengan asumsi nilai ukur faktor emisi CH4 (N) bernilai satu, maka luas persawahan tersebut menghasilkan gas CH4 sebanyak 0,046152 ton Ch4/ tahun. Gas Ch4 yang teroksidasi akan menghasilkan gas CO2 sehingga kandungan yang terdapat pada areal persawahan di Kota Malang adalah sebesar 0,13 ton CO2/tahun.
Suatu vegetasi hutan kota mampu menyerap emisi CO2 sebesar 58,2576 ton/ tahun/ha (Tinambunan, 2006). Dengan asumsi tersebut maka daya serap CO2 pada 11 titik hutan kota sebagaimana disajikan pada Tabel 5.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 59-66
Tabel 5. Analisis daya serap CO2 oleh hutan kota Malang Table 5. CO2 absorption analysis in Malang urban forest Hutan kota (Urban forest)
Penyerapan CO 2 (CO2 absorption) ton CO2/tahun
Luas (Area), ha
Malabar Jakarta Kediri Vellodrome Pandanwangi Buper Hamid Rusdi Indragiri Eks Pasar Madyopuro Sulfat Agung TPS Sulfat Lemdikcab Pramuka Jumlah (Total)
1,6812 1,1896 0,5479 1,25 0,14 1,8 0,25 0,12 0,03 0,07 0,1
97,94268 69,30324 31,91934 72,822 8,156064 104,8637 14,5644 6,990912 1,747728 4,078032 5,82576
7,1787
418,2138
Tabel 6. Kebutuhan luas lahan Table 6. Land area requirement Total emisi CO 2 (Total of CO2 emission) (ton/tahun) 283.948,85
Kemampuan vegetasi dalam menyerap CO 2 (Ability of vegetation to absorp CO2) (ton/tahun/ha)
Kebutuhan luasan lahan berdasarkan emisi CO2 (Land area requirement based on CO2 emission) (ha)
58,2576 *
4.874,02
Luasan hutan saat ini (Current forest area) (ha)* 1.501
Selisih (Different) (ha) 3.373,02
Standar luas RTH (Green open space)** 3.733
**
Sumber (Source): Husada et al. (2013) ; UU No. 26 tahun 2007: RTH pada wilayah kota minimal 30% dari luas wilayah kota.
Luas hutan kota di Kota Malang mencapai 7,1787 ha. Hutan kota Buper Hamid Rusdi merupakan hutan kota terbesar dengan luas 1,8 ha, sedangkan hutan kota Sultan Agung adalah yang terkecil (0,03 ha). Dengan total luasan tersebut, hutan kota ini mampu menyerap CO2 sebesar 418,2138 ton CO2/tahun (Tabel 5). D. Kebutuhan Luas Optimum Hutan Kota Jumlah penduduk suatu kota memiliki pengaruh terhadap emisi CO2 di wilayah tersebut. Aktivitas masyarakat yang ting gi berdampak pada meningkatnya konsumsi bahan bakar dan berkurangnya lahan hijau menjadi pemukiman. Proses pembakaran menghasilkan gas Co2 dan berkurangnya lahan hijau berdampak pada penurunan kualitas lingkungan kota akibat tidak mampu menampung banyaknya polusi yang dihasilkan. Kandungan emisi CO2 yang terdapat di Kota Malang dilihat dari empat aspek, yaitu emisi dari ba-
han bakar, peternakan, penduduk dan areal persawahan. Dari semua aspek diperoleh nilai total emisi CO2 sebesar 283.948,022 ton/tahun (Tabel 6). Bila kemampuan daya serap CO2 sebuah vegetasi bernilai 58,2576 ton/tahun/ha (Tinambunan, 2006) maka lahan hijau yang dibutuhkan untuk menyerap emisi tersebut yaitu seluas 4.874,022 ha. Luasan hijau yang ada saat ini adalah 1.501 ha, sehingga Kota Malang membutuhkan penambahan area hijau seluas 3.373,02 ha untuk mampu menye-rap emisi CO2 di wilayahnya. Langkah yang dapat ditempuh yaitu dengan menanam pohon di area pekarangan/ bangunan seluas 7.058,84 ha dengan pendekatan hutan masyarakat serta sistem agroforestry pada tegalan/kebun seluas 1.601,98 ha (Badan Pusat Statistik Kota Malang, 2011). Upaya lain yaitu mengambil alih kepemilikan sebagian lahan kering yang mencapai 8.988,25 ha (Badan Pusat Statistik Kota Malang, 2013a) oleh Pemerintah Kota untuk kemudian dialihfungsikan menjadi hutan kota. 65
Analisis Kebutuhan Luasan Area Hijau … (R. Mohamad Mulyadin & R. Esa Pangersa Gusti)
Bila mengacu pada UU No. 26 tahun 2007, idealnya Kota Malang memiliki areal hijau minimal seluas 3.733 ha. Penambahan areal hijau seluas 3.373,02 ha selain akan menjadikan Kota Malang sebagai daerah yang memenuhi kriteria sesuai dengan undang-undang penataan ruang, juga mampu menyerap emisi CO2 sehingga berdampak pada peningkatan kualitas lingkungan yang baik.
Dahlan, E.N. (2007). Analisis kebutuhan hutan kota sebagai sink gas CO2 antropogenik dari BBM dan gas di kota Bogor dengan pendekatan sistem dinamik. (Disertasi). Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Husada, A., Arrahmah, M. Q., Asbiannur, & Rizali, F. (2013). Di mana saja RTH kita. Diunduh dari http: //ruangterbukahijaukotamalang.weebly.com/dimana-saja-rth-kita.html (13 Mei 2014).
A. Kesimpulan Kota Malang memiliki total emisi sebesar 283.948,845 ton CO2. Total emisi tersebut dilihat dari empat aspek yaitu emisi dari bahan bakar, penduduk, peternakan dan areal persawahan. Emisi dari pernapasan manusia menjadi penyumbang emisi terbesar. Total area hijau di Kota Malang yang ada saat ini belum mampu menyerap total emisi yang dihasilkan. Diperlukan penambahan area hijau seluas 3.373,022 ha untuk mampu menyerap total emisi di wilayah tersebut sebagai bentuk upaya peningkatan kualitas lingkungan. B. Saran Pemerintah Kota Malang membutuhkan penambahan area RTH seluas 3.373,022 ha untuk dapat menyerap total emisi yang ada. Salah satu langkah yang dapat ditempuh yaitu dengan mengalokasikan dana untuk mengambil alih kepemilikan sebagian lahan kering yang mencapai 8.988,25 ha untuk dijadikan hutan kota. Pohon beringin dan trembesi merupakan jenis tegakan yang direkomendasikan untuk ditanam pada RTH baru maupun di hutan kota. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Kota Malang. (2011). Malang dalam angka 2011. Malang: Badan Pusat Statistik Kota Malang. Badan Pusat Statistik Kota Malang. (2013a). Malang dalam angka 2013. Malang: Badan Pusat Statistik Kota Malang. Badan Pusat Statistik Kota Malang. (2013b). Peta Wilayah Kota Malang. 2013. Malang: Badan Pusat Statistik Kota Malang. 66
Grey, G.W. & Denake F.J. (1978). Urban forestry. New York: John Wiley and Sons.
Irwan, Z.D. (2005). Tantangan lingkungan dan lanskap hutan kota. Jakarta: Bumi Aksara. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. (1996). IPCC Guidelines for national greenhouse gas inventories workbook (Volume 2). D i u n d u h d a r i h t t p : / / w w w. i p c c nTonip.iges.or.jp/public/gl/invs5.html. (15 April 2011). Mulyadin, R.M. & Gusti, R.E.P. (2013). Analisis kebutuhan luasan area hijau berdasarkan daya serap Co2 di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 10(4), 264-273. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan. Simpson, J.R. & McPherson, E.G. (1999). Carbondioxide reduction through urban forestryguidelines for professional an volunteer tree planters. (Ge. Tech. Rep. PSW-GTR-171). Albany, CA: Pacific Southwest Research Station, Forest Service, U.S. Department of Agriculture. Tempo. (2012). Jatah subsidi Malang tinggal 15 persen. Diunduh dari http: //www.tempo.co/ infosehat/info/read/2012/11/12/058441 292/Jatah-Subdisi-BBM-di-Malang-Tersisa15-Persen.(13 Mei 2014). Tinambunan, R.S. (2006). Analisis kebutuhan ruang terbuka hijau di kota Pekanbaru. (Tesis). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Undang-Undang No. 26 tahun 2007 ten-tang Penataan Ruang.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 59-66
POTENSI SERAPAN KARBONDIOKSIDA BEBERAPA JENIS DAUN TANAMAN DI JALUR HIJAU JALAN RAYA PAJAJARAN, BOGOR (Potential Carbondioxide Sequestration of Several Plant Leaves in Green Belt of Pajajaran Street, Bogor) 1
2
2
Mohamad Iqbal , Rachmad Hermawan , & Endes N. Dahlan 1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Indonesia; e-mail:
[email protected] 2 Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB Jl. Lingkar Akademik Kampus IPB Dramaga, Bogor, Indonesia; e-mail:
[email protected];
[email protected] Diterima 10 Juli 2014 direvisi 22 November 2014 disetujui 23 Februari 2015 ABSTRACT
The increment of CO2 concentration can effectively be controlled by the development of urban forest through selection of plants that have high potential CO2 sequestration. This research aims to obtain data on the potential CO2 sequestration by leaves of nine species of plants in green belt of Pajajaran Street, Bogor. Primary data was collected through field survey and laboratory analysis of leaf samples using the method of carbohydrates. Case and literature studies were conducted to obtain secondary data from the agency or the relevant literature, especially the results of studies with similar cases. Other data that were collected consisted of total leaves and leaf area. Results showed C. manghas has the potential CO2 sequestration per leaf highest of 11.86 tonnes/leaf/year. Additionally, F. elastica and S. macrophylla also has CO2 sequestration rate are relatively well compared to other plant respectively of 3.83 tonnes/leaf/year and 2.51 tonnes/leaf/year. The inherent factors that determine the potential CO2 sequestration is leaf width, leaf thickness, greeness of leaves, number of leaves and water content. While external factor among other places plant life, the availability of water and mineral nutrients, as well as the infuence of light and temperature. Keywords: Carbondioxidesequestration, carbohydrate method, urban forest, number of leaves, leaf area. ABSTRAK
Peningkatan konsentrasi CO2 secara efektif dapat dikendalikan dengan pembangunan hutan kota melalui pemilihan jenis tanaman perkotaan yang memiliki potensi serapan CO2 tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data potensi serapan CO2 oleh daun pada sembilan jenis tanaman di jalur hijau Jalan Pajajaran, Bogor. Data primer dikumpulkan melalui survei lapangan dan analisis laboratorium sampel daun menggunakan metode karbohidrat. Studi kasus dan literatur untuk memperoleh data sekunder dari instansi atau literatur terkait, khususnya hasil studi dengan kasus serupa. Data lain yang dikumpulkan terdiri atas jumlah dan luas daun. Hasil analisis menunjukkan C. manghas memiliki potensi serapan CO2 per daun tanaman paling tinggi yaitu sebesar 11,86 ton/daun/tahun. Selain itu, F. elastica dan S. macrophylla juga memiliki nilai serapan CO2 yang relatif baik dibandingkan jenis tanaman lain yaitu masing-masing sebesar 3,83 ton/daun/tahun dan 2,51 ton/daun/tahun. Adapun faktor inheren tanaman yang menentukan besarnya potensi serapan CO2 adalah luas daun, ketebalan daun, kehijauan daun, jumlah daun dan kadar air. Sedangkan faktor luar (eksternal) antara lain tempat hidup tanaman, ketersediaan air dan hara mineral, serta pengaruh cahaya dan suhu. Kata kunci: Serapan CO2, metode karbohidrat, hutan kota, jumlah daun, luas daun.
I. PENDAHULUAN Global warming atau pemanasan global telah menjadi isu hangat sejak beberapa tahun terakhir. Isu ini muncul karena dampak yang ditimbulkannya sangat besar seperti perubahan iklim yang menyebabkan antara lain kenaikan permukaan air laut,
punahnya flora dan fauna tertentu dan sebagainya. Pemanasan global terjadi karena kadar Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer semakin meningkat. Menurut Kiran dan Kinnary (2011), karbondioksida (CO2) merupakan kontributor paling signifikan terhadap emisi GRK karena secara langsung berkaitan dengan kegiatan ekonomi manusia. 67
Potensi Serapan Karbondioksida Beberapa Jenis Daun Tanaman di Jalur Hijau… (Mohamad Iqbal et al.)
Dalam beberapa tahun terakhir peningkatan gas CO2 di kota tidak hanya disebabkan karena peningkatan populasi tetapi juga disebabkan oleh lalu lintas kendaraan (Wallace et al., 2009). Saat ini, berbagai pertemuan, baik di tingkat nasional maupun internasional telah dilakukan untuk membahas persoalan pemanasan global. Salah satunya adalah pertemuan antar negara dalam United Nations Framework Conference on Climate Change Con-ference of the Parties (UNFCC COP 19) yang diadakan pada tahun 2013 di Warsawa diakhiri dengan kesepakatan terhadap mekanisme kerugian dan kerusakan yang dirancang untuk membantu negara-negara berkembang dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Berbagai kebijakan telah dilakukan pemerintah Indonesia sebagai salah satu negara berkembang untuk mengurangi pemanasan global yaitu dengan melakukan penanaman 100 juta pohon. Penanaman ini dapat dilakukan di tiap pekarangan rumah milik masyarakat maupun di jalan protokol perkotaan. Jalan protokol yang sering dilalui kendaraan bermotor menjadi wilayah yang sangat rentan terhadap polusi udara di perkotaan. Menurut Martuti (2013), untuk mengurangi semakin tingginya polusi dari kendaraan bermotor, perlu adanya tanaman dengan daun yang berfungsi sebagai penyerap dan penjerap bahan pencemar dan debu di udara yang dihasilkan kendaraan bermotor. Melihat hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui potensi serapan CO2 oleh daun pada jenis tanaman di pinggir jalan sehingga dapat dilakukan penetapan jenis tanaman yang cocok untuk ditanam di areal perkotaan. Pengukuran potensi serapan CO2 oleh daun pada jenis tanaman telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Satu di antaranya penelitian di ruang terbuka hijau (RTH) kota Kupang, menghasilkan simpulan bahwa daun pada jenis tanaman hutan kota mampu menyerap gas CO2 sebesar 1,31 ton/tahun (Rozari & Suwari, 2012). Selain itu, di lokasi yang berbeda terdapat juga penelitian yang dilakukan oleh Kiran dan Kinnary (2011), hasilnya memperlihatkan bahwa potensi serapan CO2 oleh daun pada jenis tanaman perkotaan di pinggir jalan kota Vadodara, India adalah sebesar 73,59 ton/tahun. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data besaran potensi serapan CO2 oleh daun pada sembilan jenis tanaman perkotaan di
68
jalur hijau Jalan Pajajaran, Bogor. Penelitian ini dimaksudkan untuk melengkapi simpulansimpulan yang sudah ada, terutama mengenai mekanisme potensi serapan CO2 dalam kaitannya dengan jenis-jenis tanaman tertentu. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan sampel daun dilakukan di sekitar Warung Jambu, Jalan Pajajaran, Kecamatan Bogor Utara, Kelurahan Bantar Jati, Bogor. Adapun letak masing-masing tanaman sampel berdasarkan koordinat disajikan pada Gambar 1. Untuk pengujian sampel daun dilakukan di laboratorium Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli sampai dengan Agustus 2010. B. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan metode sampling tanpa pemanenan (nondestructive sampling) dilakukan dengan tahapan pengumpulan data primer dan data sekunder yang selanjutnya dilakukan analisis data. Data primer diperoleh dengan menentukan lokasi penelitian, dilanjutkan dengan menentukan jenis dan individu tanaman, menghitung jumlah daun dan luas daun per tanaman serta mengukur diameter dan tinggi tiap jenis tanaman. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka dan pengumpulan data dari instansi terkait. Analisis data dilakukan untuk menghitung kemampuan daun pada tiap jenis tanaman di Jalan Pajajaran Bogor dalam menyerap CO2. C. Pengambilan Sampel Penentuan sampel daun pada sembilan jenis tanaman menggunakan metode proportional allocation (Dahlan, 2007). Adapun kriteria pemilihan jenis didasarkan pada faktor jarak tanam/letak tanaman yang saling berdekatan. Jenis-jenis tanaman tersebut adalah akasia (Acacia mangium), angsana (Pterocarpus indicus), beringin (Ficus benjamina), bunga kupu-kupu (Bauhinia purpurea), kersen (Muntingia calabura), karet kebo (Ficus elastica), mahoni daun besar (Swietenia macrophylla), mahoni daun kecil (Swietenia mahagoni) dan bintaro (Cerbera manghas).
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 67-76
Gambar 1. Peta lokasi tanaman sampel di Jalan Pajajaran, Bogor. Figure 1. Location map of sample plants in green belt of Pajajaran Street, Bogor. Pengambilan sampel daun untuk analisis karbohidrat dilakukan secara random (acak) dengan mempertimbangkan aspek umur daun dan letak/ posisi daun. Aspek umur daun yaitu daun muda, dewasa dan tua, sedangkan aspek letak/posisi daun terdiri dari tajuk bagian atas dan bagian bawah. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan data analisis karbohidrat yang lebih akurat karena daun yang diambil mewakili semua kelas umur dan letak/posisi. Sampel daun yang diambil untuk kemudian diuji sebanyak 30 g. Daun tiap jenis tanaman yang telah terkumpul sebanyak 30 g kemudian diukur luas tiap daunnya dan dijumlahkan hingga mendapatkan luas total keseluruhan per 30 g sampel daun. Pengambilan sampel daun dilakukan pada empat tahapan waktu, yaitu pada pukul 05.00 WIB, 12.00 WIB, 17.00 WIB
dan 20.00 WIB. Pada pukul 05.00 WIB diasumsikan belum terjadi proses fotosintesis, sedangkan pada pukul 12.00 WIB dan 17.00 WIB telah terjadi proses fotosintesis selama sehari dan pada pukul 20.00 diasumsikan tidak terjadi lagi proses fotosintesis. D. Analisis Data
Pengukuran potensi serapan CO2 oleh daun dilakukan dengan metode pengukuran karbohidrat, sedangkan massa CO2 diketahui dari konversi massa karbohidrat hasil fotosintesis (Harjadi, 1979). Massa karbohidrat hasil fotosintesis dianalisis dengan metode Somogyi Nelson. Mengikuti cara Dahlan (2007), analisis data dilakukan menggunakan beberapa persamaan sebagai berikut: 69
Potensi Serapan Karbondioksida Beberapa Jenis Daun Tanaman di Jalur Hijau… (Mohamad Iqbal et al.)
1. Kadar karbohidrat (% KH kering) di-hitung
dengan menggunakan rumus: % KH kering =
0,2
dan
20
A 100 20 x x x 100% S 0,2 1 (1)
10. Potensi serapan CO2 per daun tanaman per jam
(Dn)
1.000.000
Dn = Dt x ∑d x luas rata-rata per lembar daun ................................................(10)
11. Potensi serapan CO2 per daun tanaman per
tahun (Dy) Dy=[{Dnx5,36}+{Dnx(12,07-5,36)x0,46}]x365 (11)
: faktor pengenceran
1
2. KA (kadar air tiap jenis daun dalam %): Bobot basah daun - bobot kering daun …(2) Bobot basah daun
3. Persen KH basah dihitung dengan ru-mus: 100%
KA
100
x % KH kering …(3)
4. Massa karbohidrat daun basah dihitung dengan
rumus: Massa
=
% KH basah
Massa CO2 = Massa C6H12O6 x 1,47 ...............(5)
Rumus tersebut didapat dari persamaan reaksi fotosintesis: C6H 12 O6 + 6O2
Dari persamaan tersebut dapat dilihat 1 mol C6H12O6 setara dengan 6 mol CO2, sehingga perhitungannya adalah: a. Mol C6H12O6 = Massa C6H12O6 : Mr C6H12O6 b. Massa Co2 = 6 x Mol C6H12O6 x Mr CO = Massa C6H12O6 x 1,47 Keterangan (Remark): Mr : Massa molekul relatif Ar : Atom relatif Ar C = 12, Ar H = 1, Ar O = 16
6. Potensi serapan CO2 per luas daun (D)
menggunakan rumus (Sutrian, 1992): D =
Massa CO 2 Luas daun total
…(6)
7. Potensi serapan CO2 per luas daun per jam (Dt) D Dt = Dt ...............................................(7) 8. Potensi serapan CO2 per lembar daun (Di) Di = Dt x luas rata-rata per lembar daun ....(8)
70
Keterangan (Remark): L = luas daun total (30 g bobot basah sampel daun) ∑d = jumlah daun per tanaman Q = jumlah daun per 30 g bobot basah daun Δt = selisih waktu pengambilan sampel yang dimulai pukul 05.00 sampai pukul 17.00 12,07= nilai rata-rata lama penyinaran maksimum per hari (jam/hari) 5,36 = nilai rata-rata penyinaran aktual per hari di Bogor (jam/hari) 0,46 = perbandingan antara rata-rata laju foto-sintesis pada hari mendung dengan hari cerah (Sitompul & Guritno, 1995) 365 = jumlah hari dalam satu tahun
(4)
5. Massa CO2 dihitung dengan rumus (Harjadi, 1979):
6CO2 + 6H 2O
Potensi serapan CO2 per daun tanaman (Dm) Dm = (L x ∑d)/Q ........................................(9)
Keterangan (Remark): A : nilai absorbsi karbohidrat S : rata-rata standar karbohidrat 100
9.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Massa Karbohidrat dan Massa CO2 Penelitian ini mengukur potensi serapan CO2 oleh daun pada sembilan jenis tanaman sampel yang mewakili jumlah dan jenis tanaman yang terdapat di sekitar Warung Jambu, Jalan Pajajaran, Bogor. Penentuan individu tanaman berdasarkan pada tanaman yang jaraknya saling berdekatan, berpenampilan sehat, tidak tertekan, tidak terserang hama penyakit serta memiliki kelas umur yang relatif sama. Hasil inventarisasi di lokasi penelitian menunjukkan jenis tanaman didominasi oleh tanaman akasia dan mahoni daun besar. Adapun lokasi penelitian dibagi menjadi tiga bagian (Gambar 1) yaitu bagian pertama adalah jalur kanan atau pedestrian kanan jalan yang terdiri dari bintaro, karet kebo, kersen dan akasia. Bagian kedua adalah jalur tengah atau median jalan terdiri dari angsana, mahoni daun besar, mahoni daun kecil dan bunga kupu-kupu. Bagian ketiga adalah jalur kiri atau pedestrian kiri jalan yang hanya terdapat tanaman beringin. Pengukuran potensi serapan CO2 oleh daun pada sembilan jenis tanaman dilakukan dengan uji
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 67-76
karbohidrat. Persentase karbohidrat yang dihasilkan selama proses fotosintesis dapat digunakan untuk mengetahui massa CO2 yang diserap oleh suatu jenis tanaman melalui metode analisis karbohidrat dengan menggunakan alat spektrofotometer dengan panjang gelombang 500 μm (HITACHI 150-20 Spectrophotometer 150-2-data processor). Nilai massa karbohidrat yang dihasilkan menunjukkan adanya penyerapan CO2 pada tanaman tersebut. Hasil penghitungan massa karbohidrat dari hasil fotosintesis sembilan jenis tanaman berbeda untuk setiap jenis dan waktu pengambilan daun sampel tersaji pada Tabel 1. Hasil penghitungan massa CO 2 bersih menunjukkan bahwa tanaman bintaro merupakan tanaman yang paling banyak menggunakan CO2 untuk proses fotosintesis selama 12 jam (06.0018.00) yaitu sebesar 10,26 g. Menurut Ferrini et al. (2011), ekstraksi CO2 dari udara memisahkan atom karbon (C) dari atom oksigen (O2), dan oksigen kembali ke udara sehingga tanaman menyimpan sejumlah besar karbon ke dalam struktur mereka. Hal ini menunjukkan bahwa massa CO2 yang didapat memiliki nilai yang berbanding lurus dengan massa karbohidrat karena dalam proses fotosintesis jumlah C dalam CO2 berbanding lurus dengan jumlah C terikat dalam gula selama fotosintesis. Berdasarkan karakteristik morfologinya, tanaman bintaro memiliki daun berwarna hijau tua dengan panjang daun rata-rata 25 cm dan lebar 3-5 cm, warna hijau tua pada daun menunjukkan
bahwa kandungan klorofil yang terdapat dalam kloroplas berjumlah banyak. Menurut Permanasari dan Su-listyaningsih (2013), kandungan hijau daun/klorofil yang lebih besar menunjukkan bahwa tanaman akan melakukan proses fotosintesis dengan lebih efisien sehingga kadar CO2 yang diserap oleh daun semakin tinggi. Tanaman mahoni merupakan tanaman yang tumbuh dengan baik di tempat terbuka dan terkena cahaya matahari secara langsung, baik di dataran ting gi maupun dataran rendah (Soerianegara & Lemmens, 1994). Hal inilah yang menyebabkan tanaman ini banyak ditanam di pinggir jalan dan lingkungan rumah atau halaman perkantoran sebagai tanaman peneduh. Penelitian ini menunjukkan bahwa tanaman mahoni, baik mahoni daun besar maupun mahoni daun kecil mempunyai massa CO 2 paling rendah dibandingkan jenis tanaman yang lain. Hal ini mungkin disebabkan tanaman sampel yang digunakan dalam penelitian ini kurang mendapatkan intensitas cahaya matahari sehingga proses fotosintesis menjadi kurang optimal. Menurut Pertamawati (2010), proses fotosintesis akan optimal apabila tanaman mendapatkan intensitas cahaya matahari lebih tinggi daripada cahaya dengan intensitas lebih rendah. Peningkatan dan penurunan massa karbohidrat tanaman bintaro antara pukul 05.00-20.00 WIB dengan tenggang waktu untuk peningkatan pada pukul 05.00-17.00 WIB dan mulai mengalami penurunan pukul 20.00 WIB. Hal ini karena pada waktu tersebut tidak akan terjadi lagi proses foto-
Tabel 1. Massa karbohidrat tanaman perkotaan Table 1. Carbohydrate mass of urban plant No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Massa karbohidrat (Carbohydrate mass) (g)
Jenis (Species) C. manghas S. macrophylla A. mangium M. calabura B. purpurea P. indicus F. benjamina F. elastica S. mahagoni
05.00
12.00
17.00
20.00
0,50 0,78 0,88 1,24 0,64 1,09 1,05 0,72 0,82
1,39 1,47 1,45 1,52 1,00 1,24 1,28 0,99 0,88
1,41 0,99 1,46 1,02 0,98 1,40 1,19 0,88 0,83
1,29 1,37 1,29 1,03 0,65 1,24 0,70 1,11 0,79
θ (cm)
H (m)
V (m3)
29 28 27 25 25 25 24 23 22
20 20 15 20 20 15 15 20 20
1,320 1,231 0,858 0,981 0,981 0,736 0,678 0,831 0,760
Massa CO2 bersih (Net CO2 mass) (g) 10,26 6,83 6,50 6,17 4,77 2,48 2,22 0,84 0,66
Keterangan (Remarks): 3 θ = diameter tanaman (plant diameter) (cm); H = tinggi tanaman (plant height) (m); V = volume tanaman (plant volume) (m ).
71 Potensi Serapan Karbondioksida Beberapa Jenis Daun Tanaman di Jalur Hijau… (Mohamad Iqbal et al.)
sintesis. Menurut Pertamawati (2010), semakin tinggi intensitas cahaya dan suhu maka fotosintesis semakin meningkat. Hal ini dapat dibuktikan 2 melalui persamaan kuadrat y = -0,009 x + 0,2049 x + 0,3107 (Gambar 2) yang memperlihat kan adanya kurva berbentuk parabola terbalik. B. Potensi Serapan CO2 per Luas Daun 1. Potensi serapan CO2 tanaman merupakan kemampuan tanaman dalam menyerap sejumlah massa CO2 per satuan waktu. Potensi serapan CO2 per luas daun merupakan kemampuan tanaman menyerap sejumlah massa CO2 per luas total daun dari 30 g sampel daun. Luas sampel daun per
tanaman dihitung dengan rumus persamaan 1. Potensi serapan CO2 tanaman per luas daun yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa tanaman bintaro memiliki potensi serapan CO2 per luas daun paling tinggi di antara jenis tanaman lainnya yaitu sebesar -4 2 100,70 x 10 g/cm , sedangkan potensi serapan CO2 per luas daun paling rendah adalah tanaman mahoni daun kecil dengan nilai sebesar 5,99 x 10 4 2 g/cm . Nilai ini lebih rendah dari penelitian Mayalanda (2007) terhadap mahoni daun kecil yang mempunyai nilai potensi serapan CO2 sebesar 0,61 -4 2 x 10 g/ cm , hal ini diduga karena perbedaan lokasi dan tempat tumbuh.
Gambar 2. Kurva persamaan kuadrat bintaro (C. manghas). Figure 2. Curve quadratic equation of C. manghas. Tabel 2. Potensi serapan CO2 per luas daun Table 2. The CO2 sink ability per leaf area No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
72
Jenis (Species) C. manghas A. mangium S. macrophylla B. purpurea M. calabura F. elastica F. benjamina P. indicus S. mahagoni
Massa CO2 bersih (Net CO2 mass) (g)
Luas daun total (Leaf area) (cm2)
Ketebalan relatif daun (Relative thickness) (10-2 g/cm2)
Potensi serapan CO 2/luas daun (The potential sequestration of CO2/leaf area) (10-4 g/cm2 )
10,26 6,50 6,83 4,77 6,17 0,84 2,22 2,48 0,67
1.018,50 1.578,90 2.233,50 1.934,38 2.790,57 478,00 2.355,05 3.276,09 1.113,84
1,89 0,56 0,93 0,31 0,28 2,13 1,72 1,80 0,70
100,70 41,16 30,56 24,67 22,11 17,59 9,44 7,56 5,99
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 67-76
Besarnya potensi serapan CO2 per luas daun tidak hanya dipengaruhi oleh massa CO2 maupun luas total (30 g sampel daun) tetapi juga dipengaruhi oleh jumlah daun yang diperoleh dalam 30 g sampel daun. Tanaman dengan luas helai daun tinggi belum tentu memiliki nilai potensi serapan CO2 per luas daun yang tinggi juga karena luas daun yang dihitung adalah luas daun dalam 30 g sampel daun (persamaan 6). Besarnya potensi serapan CO2 per luas daun pada tanaman bintaro disebabkan massa CO2 yang dihasilkan paling tinggi di antara jenis lain (10,26 g). Selain itu, ketebalan daun juga dapat berpengaruh terhadap besarnya nilai potensi serapan CO2 per luas daun. Tabel 2 menunjukkan bahwa ketebalan relatif daun bintaro tertinggi -2 2 kedua adalah karet kebo yaitu 1,89 x 10 g/cm , sedangkan mahoni daun kecil memiliki ketebalan daun yang relatif kecil dibandingkan jenis tanaman lainnya (0,70 x 10-2 g/ cm2). Menurut Nurnasari dan Djumali (2012), ketebalan daun akan memengaruhi hasil fotosintat tanaman karena berhubungan dengan proses fotosintesis. Laju fotosintesis akan semakin besar seiring dengan semakin tebal ukuran daun sehingga pembentukan fotosintat sebagai hasil dari fotosintesis akan semakin besar. C. Potensi Serapan CO2 per Lembar Daun
adalah beringin, bintaro, angsana, mahoni daun kecil, bunga kupu-kupu, mahoni daun besar, akasia, beringin dan kersen (Tabel 3). Semakin besar ukuran luas daun maka semakin besar pula kapasitas penyerapan CO2-nya. Tabel 3 menunjukkan bahwa bintaro memiliki potensi serapan CO2 per lembar daun per jam -4 paling tinggi yaitu 569,75 x 10 g/lembar/jam, sedangkan tanaman dengan nilai potensi serapan CO2 per lembar daun per jam terendah adalah -4 beringin yaitu sebesar 10,02 x 10 g/helai/jam. Besarnya luas per lembar daun belum tentu memiliki potensi serapan CO2 per lembar daun per jam yang besar juga, seperti pada akasia yang memiliki luas 2 rata-rata daun sebesar 16,62 cm lebih rendah bila di-bandingkan dengan mahoni daun besar (22,33 2 cm ). Karena memiliki potensi serapan CO2 per luas -4 daun per jam lebih tinggi yaitu sebesar 3,43 x 10 2 g/cm /jam maka potensi serapan CO2 per lembar -4 daun mengalami peningkatan sebesar 57,01 x 10 g/lembar/ jam dibandingkan mahoni daun besar -4 (56,87 x 10 g/lembar/jam) dengan potensi serapan CO2 per luas daun per jam sebesar 2,55 x -4 2 10 g/cm /jam. D. Potensi Serapan CO2 per Daun Tanaman
Potensi serapan CO2 per daun tidak selalu berbanding lurus dengan potensi serapan CO2 per luas daun karena yang lebih menentukan adalah luas rata-rata per lembar daun. Ukuran tiap lembar daun berbeda-beda pada masing-masing tanaman. Ukuran luas daun rata-rata dari yang tertinggi
Luas per lembar daun tanaman, jumlah lembar daun per tanaman dan potensi serapan CO2 per luas daun per jam diperlukan untuk mengetahui potensi serapan CO2 per daun tanaman. Data mengenai potensi serapan CO2 per daun tanaman yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 3. Potensi serapan CO2 per lembar daun per jam Table 3. The CO2 Sink ability per leaf area per hour No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis (Species) C. manghas F. elastica A. mangium S. macrophylla B. purpurea P. indicus S. mahagoni M. calabura F. benjamina
Luas rata-rata daun (Average area of leaf ) (cm2)
Potensi serapan CO2/lembar daun/jam (The potential sequestration of CO2/leaf/hour) (10-4 g/helai/jam)
67,90 239,00 16,62 22,33 23,59 36,81 26,52 5,57 12,73
569,75 350,37 57,01 56,87 48,50 23,19 13,23 10,26 10,02
73 Potensi Serapan Karbondioksida Beberapa Jenis Daun Tanaman di Jalur Hijau… (Mohamad Iqbal et al.)
Tabel 4. Potensi serapan CO2 per daun tanaman Table 4. The CO2 sink ability per tree
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis (Species)
C. manghas F. elastica S. macrophylla B. purpurea A. mangium P. indicus S. mahagoni F. benjamina C. manghas
Luas rata-rata per daun (The average area per leaf) (cm2)
Jumlah daun (Number of leaves)
Potensi serapan CO2/daun tanaman/jam (The potential sequestration of CO2 /leaves of plant/hour) (g/daun tanaman/jam)
67,90 239,00 22,33 23,59 16,62 36,81 26,52 12,73 5,57
67.520 35.418 143.091 98.100 51.503 117.315 201.540 121.416 40.240
3.846,94 1.240,95 813,82 475,79 293,60 272,06 266,71 121,64 41,31
Potensi serapan CO2/daun tanaman/ tahun (The potential sequestration of CO2 /leaves of plant/year) (ton/daun tanaman/ tahun) 11,86 3,83 2,51 1,47 0,90 0,84 0,82 0,37 0,13
Tabel 5. Kadar air tiap jenis daun Table 5. The water content of each type of leaf 05.00 12.00 (% KA) (% KA) 1 C. manghas 79,00 71,67 2 S. mahagoni 68,33 62,33 3 B. purpurea 69,00 62,67 4 F. benjamina 67,67 64,33 5 P. indicus 59,33 57,33 6 A. mangium 64,00 50,33 7 M. calabura 56,33 52,67 8 F. benjamina 50,33 46,33 9 S. macrophylla 56,00 47,00 Keterangan (Remark): KA = Kadar air (Water content) (%). No
Jenis (Species)
Menurut Pertamawati (2010), semakin banyak jumlah daun maka proses fotosintesis akan optimal sehingga penyerapan CO2 juga semakin meningkat. Dalam penelitian ini, tanaman yang memiliki jumlah daun per tanaman terbanyak bukan jenis tanaman dengan potensi serapan CO2 paling tinggi, hal ini mungkin disebabkan terdapat faktor lain yang dapat memengaruhi potensi serapan Co2 tiap daun seperti intensitas cahaya, kadar air dan ukuran luas daun. Jumlah daun kesembilan jenis tanaman berbedabeda tingkat pertumbuhannya. Urutan jumlah daun terbanyak dari sembilan jenis tanaman tersebut adalah mahoni daun kecil, mahoni daun besar, beringin, angsana, bunga kupu-kupu, bintaro, akasia, kersen dan beringin. Tabel 4 menunjukkan bahwa bintaro memiliki potensi serapan CO2 paling tinggi yaitu 11,86 ton/daun tanaman/tahun dengan 74
17.00 (% KA) 72,33 67,33 63,33 65,00 58,00 56,67 57,67 49,33 53,67
20.00 (% KA) 73,67 68,00 67,33 64,67 58,33 57,33 58,33 69,67 53,33
Rata-rata (Mean) (% KA) 74,17 66,50 65,58 65,42 58,25 57,08 56,25 53,91 52,50
jumlah daun per tanaman sebanyak 67.520 lembar 2 dan memiliki luas per helai daun sebesar 67,90 cm , sedangkan jenis yang memiliki potensi serapan CO2 per tanaman per tahun paling rendah adalah kersen yaitu sebesar 0,13 ton/daun tanaman/tahun. E. Potensi Serapan CO2 Tanaman Perkotaan Berdasarkan Kadar Air Kadar air merupakan banyaknya air yang terdapat di dalam daun setelah dikering-udarakan. Tujuan pengukuran persen kadar air adalah untuk melihat pengaruh kadar air terhadap potensi serapan CO2. Kadar air dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 2. Nilai kadar air pada sembilan jenis tanaman hutan kota yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 5.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 67-76
Gambar 3. Tegakan dan daun bintaro (C. manghas). Figure 3. Stands and Leaves of C. manghas. Nilai rata-rata kadar air tiap jenis daun menurut waktunya (Tabel 5) terlihat bahwa daun bintaro memiliki kadar air tertinggi yaitu sebesar 74,17%, sedangkan jenis daun yang memiliki nilai rata-rata kadar air terendah yaitu mahoni daun besar sebesar 52,50%. Kadar air berkaitan dengan stomata daun. Menurut Permanasari dan Sulistyaningsih (2013), tanaman yang memiliki kadar air tinggi dapat melebarkan stomata sehingga meningkatkan penyerapan CO2 dan sebaliknya. Pada penelitian ini bintaro memiliki potensi serapan CO2 per luas daun tertinggi yaitu sebesar 100,70 x 10-4 g/cm2. Data ini mendukung pernyataan bahwa kadar air yang tinggi akan menyebabkan stomata terbuka sehingga penyerapan terhadap CO2 meningkat dan sebaliknya. Tanaman bintaro yang diteliti dapat dilihat pada Gambar 3. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Telah berhasil diidentifikasi sembilan jenis tanaman perkotaan yang memiliki potensi serapan CO2 oleh daun (ton/daun tanaman/tahun) adalah sebagai berikut: bintaro 11,86; karet kebo 3,83; mahoni daun besar 2,51; bunga kupu-kupu 1,47; akasia 0,90; angsana 0,84; mahoni daun kecil 0,82; beringin 0,37 dan kersen 0,13. Di antara jenis-jenis yang teriden-tifikasi bintaro memiliki potensi serapan CO2 per daun tanaman paling tinggi. Selain memiliki ke-mampuan menyerap CO2 yang baik,
tanaman bintaro juga tumbuh dan berkembang dengan cepat, baik di pinggir jalan raya maupun di pekarangan rumah warga. Dari segi estetika tanaman, tanaman bintaro memiliki daun yang rimbun sehingga sangat cocok untuk peneduh, bunga yang berwarna putih seperti melati yang apabila berbunga akan didominasi warna putih bersih sehingga cocok dijadikan sebagai penghias taman kota. Manfaat lain dari tanaman ini adalah bijinya mengandung minyak yang cukup tinggi berpotensi dikembangkan sebagai sumber energi alternatif pengganti bahan bakar minyak fosil. Jenis karet kebo dan mahoni daun besar juga memiliki nilai potensi serapan CO2 yang relatif lebih baik dibandingkan dengan jenis-jenis tanaman yang lain, di mana karet kebo dengan tajuknya yang lebar dipandang efektif menjadi pengisi ruang terbuka hijau (RTH) khususnya di kota Bogor. Mahoni daun besar sangat umum dijadikan sebagai tanaman peneduh karena memiliki batang tanaman yang dapat mencapai tinggi 30-40 m dan bercabang banyak sehingga kanopinya berbentuk payung dan sang at rimbun (Moghadamtousi et al., 2013). Adapun faktor inheren tanaman yang menentukan besarnya potensi serapan CO2 adalah luas/ lebar daun, ketebalan daun, warna/kehijauan daun dan jumlah daun. Faktor dari luar (eksternal) antara lain lokasi/tempat hidup tanaman, ketersediaan air, pengaruh cahaya dan suhu serta ketersediaan hara mineral.
75 Potensi Serapan Karbondioksida Beberapa Jenis Daun Tanaman di Jalur Hijau… (Mohamad Iqbal et al.)
B. Saran Berdasarkan penelitian ini, perlu segera dilakukan penelitian yang sama untuk jenis-jenis tanaman lain di berbagai lokasi jalur hijau perkotaan sehingga dapat memberikan alternatif jenis tanaman yang baik untuk ditanam di jalur hijau perkotaan. Selain itu, dapat juga dilakukan penghitungan simpanan biomassa karbon pada bagian tanaman yang lain seperti akar, batang, cabang dan ranting sehingga akan menghasilkan kesimpulan yang lebih komprehensif. Upaya untuk mengatasi peningkatan gas CO2 antropogenik seiring meningkatnya populasi manusia maka sebaiknya memilih jenis tanaman dengan daun yang mempunyai potensi serapan CO2 tinggi seperti bintaro (C. manghas) selain tentu saja tetap menjadikan jenis tanaman lokal atau endemik sebagai prioritas dalam pemilihan jenis tanaman hutan kota. DAFTAR PUSTAKA Dahlan, E.N. (2007). Analisis kebutuhan hutan kota sebagai sink gas CO2 antropogenik dari bahan bakar minyak dan gas di kota Bogor dengan pendekatan sistem dinamik. (Disertasi). Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ferrini, F. & Fini, A. (2011). Sustainable management techniques for trees in the urban areas. Journal of Biodiversity and Ecological Sciences JBES, 1(1), 1-20. Harjadi, M.M.S. (1979). Pengantar agronomi. Jakarta: Gramedia. Kiran, G.S. & Kinnary, S. (2011). Carbon sequestration by urban trees on roadsides of Vadodara city. International Journal of Engineering Science and Technology (IJEST), 3(4), 3066-3070. Martuti, T.K.N. (2013). Peranan tanaman terhadap pencemaran udara di jalan protokol kota Semarang. Jurnal biosaintifika, 5(1), 36-42.
76
Mayalanda, Y. (2007). Kajian potensi serapan karbondioksida pada beberapa tanaman hutan kota di Hutan Penelitian Dramaga. (Skripsi). Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Moghadamtousi, Z.S., Goh, H.B., Chan K.C., Shabab, T., & Kadir, A.H. (2013). Biological activities and phytochemicals of Swietenia macrophylla King. Molecules, 18, 10465-10483. Soerianegara, I. & Lemmens, R.H.M.J. (Eds.). (1994). Major commercial timbers. (Timber Trees, 5(1). Bogor: Prosea. Nurnasari, E. & Djumali. (2012). Respon tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) terhadap lima dosis zat pengatur tumbuh (ZPT) asam naftalen asetat (NAA). Agrovigor, 5(1), 26-33. Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota. Permanasari, I. & Sulistyaningsih, E. (2013). Kajian fisiologi perbedaan kadar lengas dan konsentrasi gierelin pada kedelai (Glycine max L.). Jurnal Agroteknologi, 4(1), 31-39. Pertamawati. (2010). Pengaruh fotosintesis terhadap pertumbuhan tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) dalam lingkungan fotoautotrof secata in-vitro. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, 12(1), 31-37. Rozari, P.D. & Suwari. (2012). Analisis kebutuhan luasan hutan kota berdasarkan penyerapan CO2 antropogenik di kota Kupang. Jurnal Bumi Lestari, 12(2), 189-200. Sitompul, S.M. & Guritno, B. (1995). Analisis pertumbuhan tanaman. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Sutrian, Y. (1992). Pengantar anatomi tumbuhtumbuhan tentang sel dan jaringan. Jakarta: Rineke Cipta. Wallace, J., Corr, D., De Luca, P., Kanaroglou, P., & Mc Carry, B. (2009). Mobile monitoring of air pollution in cities: the case of Hamilton, Ontario, Canada. Journal of Environmental Monitoring, 11, 998-103.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 1 Maret 2015, Hal. 67-76
PETUNJUK BAGI PENULIS
GUIDE FOR AUTHOR(S)
BAHASA: Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
LANGUAGE: Manuscripts must be written in Indonesia language or English.
FORMAT: Naskah diketik di atas kertas putih A4, Times New Roman, font 12, pada satu permukaan dengan 2 spasi. Pada semua tepi kertas dikosongkan minimal 3,5 cm. Jumlah kata setiap naskah berkisar dari 4.000-6.000 kata.
FORMAT: Manuscripts should be typed with double space, Times New Roman, font 12, on one face of A4, white paper, with all margins at least 3.5 cm. The number of words in each manuscript ranges from 4,000-6,000 words.
JUDUL: Dibuat dalam 2 bahasa, harus mencerminkan isi tulisan, dan ditulis dengan Times New Roman. Bahasa Indonesia dengan font 14, huruf kapital, tegak dan tidak lebih dari 2 baris. Bahasa Inggris dengan font 12, huruf kecil, italik, dan diapit tanda kurung.
TITLE: Use 2 languages, should reflect the content of manuscript and written with Times New Roman. Bahasa Indonesia: use font 14, capital letter and not more than 2 lines. English: use font 12, lower case, italic and all put in parenthesis.
IDENTITAS PENULIS: Nama penulis (tanpa gelar dan jabatan) dicantumkan di bawah judul, di bawahnya diikuti nama dan alamat instansi serta alamat e-mail penulis.
AUTHOR(S) IDENTITY: The name of author(s) (without degree and position) follow immediately under the title, followed by his/her institution and its address, phone/fax numbers and e-mail address.
ABSTRAK: Dibuat dalam dua bentuk: pertama untuk Lembar Abstrak, maksimal 100 kata, dan kedua (Abstrak) maksimal 200 kata, keduanya berupa intisari dari naskah secara menyeluruh dan informatif. Kedua abstrak tersebut dibuat dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
ABSTRACT: Written in 2 types: type 1 is for abstract sheet, consists of 100 words maximum; and type 2 is for abstract consists of 200 words maximum, both showing the essence of the manuscript as a whole and be informative. Both abstracts are written in English and Indonesia language.
KATA KUNCI: Kata kunci dicantumkan di bawah abstrak masing-masing, maksimal 5 entri, dibuat dalam bahasa yang digunakan dalam Lembar Abstrak dan Abstrak. SISTEMATIKA PENULISAN:
KEYWORDS: Written after each abstract, with 5 entries maximum, follow the Abstract Sheet and Abstract languages. SYSTEMATICS OF WRITING:
Hasil penelitian: Judul Identitas Penulis Abstrak & Kata Kunci I. PENDAHULUAN II. METODE PENELITIAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA Lampiran
Research results: Title Author(s) Identity Abstract & Keywords I. INTRODUCTION II. RESEARCH METHODS III. RESULTS AND DISCUSSION IV. CONCLUSIONS AND RECOMMENDATIONS BIBLIOGRAPHY Appendix
Tubuh naskah diatur dalam Bab dan Sub bab secara konsisten sesuai dengan kebutuhan. Semua nomor ditulis rata di batas kiri tulisan, seperti: I, II, III, dst. untuk Bab A, B, C, dst. untuk Sub Bab 1, 2, 3, dst. untuk Sub Sub Bab a, b, c, dst. untuk Sub Sub Sub Bab 1), 2), 3), dst. untuk Sub Sub Sub Sub Bab a), b), c), dst. untuk Sub Sub Sub Sub Sub Bab
Body text arranged in chapters and sub-chapters in a manner consistent with the requirements. All number are written left justified, such as: I, II, III, etc. for Chapter A, B, C, etc. for Sub Chapter 1, 2, 3, etc. for Sub Sub Chapter a, b, c, etc. for Sub Sub Sub Chapter 1), 2), 3), etc. for Sub Sub Sub Sub Chapter a), b), c), etc. for Sub Sub Sub Sub Sub Chapter
TABEL: Diberi nomor, judul, dan keterangan yang diperlukan, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
TABLE: Numbered, titled and provided with all necessary remarks, written both in Indonesia language and English.
GAMBAR: Gambar, grafik, dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus berwarna kontras, masingmasing harus diberi nomor, judul, dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
FIGURE: Figure must be drawn in high contrast, given number, title and clear remarks, all in Indonesia language and English.
FOTO: Harus mempunyai ketajaman yang baik, diberi nomor, judul, dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
PHOTO: Must be in food contrast, given number, title and clear remarks, all in Indonesia language and English.
DAFTAR PUSTAKA: Merupakan referensi yang dirujuk dalam naskah, diutamakan terbitan paling lama 5 tahun terakhir. Format penulisan Daftar Pustaka mengacu pada American Psychological Association (APA) style, dengan contoh penulisan sebagai berikut:
BIBLIOGRAPHY: References that are cited in the text, recommended mainly those published in the last 5 years. Writing format referring to the American Psychological Association (APA) style, with examples as follow:
Buku teks (textbook): Alexie, S. (1992). The business of fancydancing: Stories and poems. Brooklyn, NY: Hang Loose Press. Jurnal (Journal): Williams, J.H. (2008). Employee engagement: Improving participation in safety. Professional Safety, 53(12), 40-45. Kumpulan tulisan yang diedit/Prosiding (Compilation of edited papers/Proceedings): Booth-LaForce, C., & Kerns, K.A. (2009). Child-parent attachment relationships, peer relationships, and peer-group functioning. In K.H. Rubin, W.M. Bukowski, & B. Laursen (Eds.), Handbook of peerinteractions, relationships, and groups (pp. 490-507). New York, NY: Guilford Press. Laman (Web): Kenney, G.M., Cook, A., & Pelletier, J. (2009). Prospects for reducing uninsured rates among children: How much can premium assistance programs help ? Retrieved from Urban Institute website: http://www.urban.org/url.cfm?ID=411823. (tanggal, bulan, tahun diunduh) Surat kabar (Newspaper): Booth, W. (1990, October 29). Monkeying with language: Is chimp using words or merely aping handpers? The Washington Post. p.A3. Perundang-Undangan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dan sejenisnya: Undang-Undang No........ Tahun ...... Tentang ........................................................................................................ CATATAN: Penggunaan titik dan koma dalam penulisan angka: Naskah (teks) bahasa Indonesia: titik (.) menunjukkan kelipatan ribuan dan koma (,) menunjukkan pecahan. Naskah (teks) bahasa Inggris: titik (.) menunjukkan pecahan dan koma (,) menunjukkan kelipatan ribuan.
NOTES: Uses of point and comma in number writing: Manuscripts (text) in Indonesia language: point (.) for thousand multiple and comma (,) for fraction. Manuscripts (text) in English: point (.) for fraction and comma (,) for thousand multiple.
KONDISI: Dewan Redaksi berhak mengubah naskah tanpa mengurangi isi yang terkandung di dalamnya, dan juga berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan yang disyaratkan. Penulis dari luar instansi Badan Litbang Kehutanan wajib menyertakan curriculum vitae singkat dan alamat yang jelas.
CONDITIONS: Editors have the authorities to revise manuscript(s) without changing the content, and to reject inappropriate manuscript(s). Author(s) from outside the Forest Research and Development Agency must submit his/her CV and complete address.