p-ISSN 1979-6013 e-ISSN 2502-4221 TERAKREDITASI No. 687/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
JURNAL PENELITIAN SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN
Forestry Socio and Economic Research Journal Volume 14 Nomor 1, April Tahun 2017
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN Ministry of Environment and Forestry BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI Forestry Research, Development and Inovation Agency PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change
JURNAL PENELITIAN
p-ISSN 1979-6013 e-ISSN 2502-4221 No. 687/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN Forestry Socio and Economic Research Journal
Volume 14 Nomor 1, April Tahun 2017
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan telah terakreditasi berdasarkan Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) No. 818/E/2015 Jurnal Penelitian Sosial . dan Ekonomi Kehutanan memuat karya tulis ilmiah dari hasil-hasil penelitian bidang sosial, ekonomi dan lingkungan kehutanan yang meliputi aspek: sosial ekonomi kemasyarakatan, sosiologi kehutanan, politik dan ekonomi kehutanan, studi kemasyarakatan, kebijakan lingkungan, ekonomi kehutanan/sumber daya hutan, ekonomi sumber daya alam, ekonomi pertanian, ekonomi ekoturisme, furniture value chain, kehutanan masyarakat, kebijakan kehutanan, kebijakan publik, perubahan iklim, ekologi dan manajemen lanskap, konservasi sumber daya alam, kebakaran hutan dan lahan, global climate change, konservasi tanah dan air, agroklimatologi dan lingkungan, mitigasi REDD+, adaptasi perubahan iklim. Terbit pertama kali tahun 2001, terakreditasi tahun 2006 dengan nomor 60/Akred-LIPI/P2MBI/12/2006. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan terbit dengan frekuensi tiga kali setahun (April, Agustus, Desember). Forestry Journal Socio and Economic Research is an accredited journal, based on the decree of Director of Indonesian Science Institute (LIPI) No. 818/E/2015. This journal publishes result research in forest socio-economics and environment which cover: socio economics on community, sociology forestry, political dan economic on forestry, social studies, environmental policy, forest resource economics, natural reources economics, agricultural economy, ecotourism ekonomy, furniture value chain, community forestry, forestry policy, public policy, climate change, ecology and landscpae management, conservation of natural resources, land and forest fire, global climate change, soil and water conservation, agroclimatology and environment, mitigation REDD+, adaptation to climate change. First published in 2001, accredited by LIPI in 2006 with number 60/Akred-LIPI/P2MBI/12/2006. The Journal published three times annually (April, August, and December).
PENANGGUNG JAWAB/ PELINDUNG
:
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim
DEWAN REDAKSI (EDITORIAL BOARD) : Ketua (Editor in Chief)
:
Dr. Ir. Hariyatno Dwiprabowo, M.Sc. (Ekonomi Kehutanan, Kelompok Kerja Kebijakan, Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi)
Editor Bagian (Section Editor)
:
1. 2.
M. Zahrul Muttaqin,S.Hut,M.For.Sc. (Ekonomi Kehutanan, P3SEKPI) R. Deden Djaenudin,S.Si,M.Si. (Ekonomi Kehutanan, P3SEKPI)
Mitra Bestari (Peer Reviewers)
:
1.
Prof. Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp. (Kebijakan Kehutanan, Mitigasi, REDD+, Adaptasi Perubahan Iklim dan Furniture Value Chain, CIFOR) Prof. Dr. Dudung Darusman, M.Sc. (Kebijakan Kehutanan, IPB) Dr. Ir. Boen M. Purnama (Ekonomi dan Sumberdaya Hutan, IPDN) Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.Sc. (Ekonomi dan Manajemen Lanskap, IPB) Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr. (Kebakaran Hutan dan Lahan, Perusakan Lingkungan Hidup dan Global Climate Change, IPB) Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc. (Sosial Ekonomi Kemasyarakatan, Kebijakan Publik, Perubahan Iklim dan Konservasi Sumber Daya Alam, P3SEKPI) Dr. Ir. Dodik R. Nurrochmat, M.Sc. (Politik dan Ekonomi Kehutanan, IPB) Dr. Ir. A. Ngaloken Gintings, MS. (Konservasi Tanah dan Air, MKTI) Dr. I Wayan Susi Dharmawan, S.Hut., M.Si. (Hidrologi dan Kesuburan Tanah, Pusat Litbang Hutan)
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Anggota (Reviewer)
:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Dr. Fitri Nurfatriani, S.Hut, M.Si. (Ekonomi Kehutanan, P3SEKPI) Dr. Ir. Retno Maryani, M.Sc. (Ekonomi Kehutanan, P3SEKPI) Dr. Mety Ekayani, S.Hut., M.Sc. (Resources Economics, Ecotourism Economics, Environmental Policy, IPB) Prof. Dr. Ir. Irsal. Las, MS. (Agroklimatologi dan Lingkungan, Balai Besar Litbang Sumber Daya Pertanian) Drs. Lukas R. Wibowo, M.Sc., Ph.D. (Sosiologi Kehutanan, P3SEKPI) Prof. Dr. Ir. Didik Suharjito, MS. (Sosiologi Kehutanan dan Kehutanan Masyarakat, IPB) Dr. Ir. Satria Astana, M.Sc. (Ekonomi Kehutanan, P3SEKPI) Prof. Herman Hidayat (Studi dan Kemasyarakatan, LIPI) Dr. Ir. Erwidodo, MS. (Ekonomi Pertanian, Puslitsosek Pertanian) Dr. Edi Basuno (Ekonomi Pertanian, CIVAS) Dr. Ir. Triyono Puspitojati, M.Sc. (Ekonomi Kehutanan, P3SEKPI) Dra. Setiasih Irawanti, M.Si. (Ekonomi Kehutanan, P3SEKPI) Ir. Subarudi, M. Wood.Sc. (Sosiologi Kehutanan, P3SEKPI)
REDAKSI PELAKSANA (EDITORIAL TEAM) : Penyunying Bahasa (Copy Editor)
:
1. 2. 3.
Dra. Wahyuning Hanurawati Mohamad Iqbal, S.Hut., M.Si. Drh. Faustina Ida Harjanti, M.Sc.
Penyunting Format (Layout Editor)
:
Suhardi Mardiansyah
Proof Reader
:
Gatot Ristanto, S.H., MM.
Sekretariat (Secretariat)
:
1. 2. 3.
Ratna Widyaningsih, S.Kom. Fulki Hendrawan, S.Hut. Drs. Parulian Pangaribuan
Diterbitkan oleh (Published by): Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim (Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change) Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi (Forestry Research, Development and Innovation Agency) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ministry of Environment and Forestry) Alamat (Address) : Jl. Gunung Batu No. 5 Po Box 272 Bogor 16118, Indonesia Telepon (Phone) : 62-251-8633944 Fax. (Fax.) : 62-251-8634924 E-mail :
[email protected];
[email protected] Laman (Web) : www.puspijak.org
JURNAL PENELITIAN
p-ISSN 1979-6013 e-ISSN 2502-4221 No. 687/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN Forestry Socio and Economic Research Journal
Volume 14 Nomor 1, April Tahun 2017
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN Ministry of Environment and Forestry BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI Forestry Research, Development and Inovation Agency PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change
Ucapan Terima Kasih Dewan Redaksi Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada mitra bestari (peer reviewers) yang telah menelaah naskah yang dimuat pada edisi Vol. 14 No. 1, April Tahun 2017 : 1. 2. 3. 4.
Dr. Ir. Dudung Darusman, M.Sc Dr. Ir. Dodik R. Nurrochmat,M.Sc Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc Dr. Ir. A. Ngaloken Gintings, MS
JURNAL PENELITIAN
p-ISSN 1979-6013 e-ISSN 2502-4221 No. 687/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN Forestry Socio and Economic Research Journal
Volume 14 Nomor 1, April Tahun 2017
DAFTAR ISI PENINGKATAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI DALAM PENGEMBANGAN USAHATANI AGROFORESTRY: STUDI KASUS DI DESA CUKANGKAWUNG, KECAMATAN SODONGHILIR, KABUPATEN TASIKMALAYA, PROVINSI JAWA BARAT
(Institutional Capacity Building of Farmer Groups in Agroforestry Farming: Case Study in Cukangkawung Village, Sodonghilir Subditsrict, Tasikmalaya District, West Java Province)
Idin Saepudin Ruhimat ......................................................................................... 1-17
DAMPAK IMPLEMENTASI SERTIFIKASI VERIFIKASI LEGALITAS KAYU TERHADAP KEBERLANJUTAN INDUSTRI KAYU DAN HUTAN RAKYAT
(Impacts of Timber Legality Verification System Implementation on the Sustainability of Timber Industry and Private Forest)
Elvida Yosefi Suryandari, Deden Djaenudin, Satria Astana dan Iis Alviya .............
19-37
POTENSI DAYA TARIK EKOWISATA SUAKA MARGASATWA BUKIT BATU KABUPATEN BENGKALIS PROVINSI RIAU (Potential Attractions of Ecotourism in Bukit Batu Reserve Game Bengkalis Regency Riau Province)
Muaz Haris, Rinekso Soekmadi, dan Hadi Susilo Arifin ....................................... 39-56 PERSEPSI DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP KONSERVASI EKOSISTEM MANGROVE DI PULAU TANAKEKE SULAWESI SELATAN
(Perception and Attitude of Community Towards Mangrove Ecosystem Conservation at Tanakeke Island - South Sulawesi)
Heru Setiawan, Rini Purwanti, R. Garsetiasih ...................................................... 57-70
ANALISIS PERSEPSI DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN KAWASAN KPHP MODEL POIGAR
(Perception and Behavior Analysis of Community to the Existence of Poigar PFMU Model) Arif Irawan, Iwanuddin, Jafred E. Halawane dan Sulistya Ekawati .......................... 71-82
JURNAL PENELITIAN SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN p-ISSN: 1979-6013 e-ISSN: 2502-4221
Terbit : April 2017
Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa ijin dan biaya UDC(OSDCF) 630*26 Idin Saepudin Ruhimat
UDC(OSDCF) 630*907.11 Muaz Haris, Rinekso Soekmadi, dan Hadi Susilo Arifini
Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Tani dalam Potensi Daya Tarik Ekowisata Suaka Margasatwa Bukit Batu Pengembangan Usahatani Agroforestry: Studi Kasus di Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau Desa Cukangkawung, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No. Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat 1, hal. 39-56. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No. 1, hal. 1-17. Suaka Margasatwa Bukit Batu (SMBB) merupakan zona inti dari Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu. SMBB Penelitian bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor adalah salah satu obyek wisata di Provinsi Riau yang memiliki yang berpengaruh terhadap kapasitas kelembagaan serta potensi untuk dikembangkan. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan usaha peningkatan kapasitas kelembagaan menganalisis potensi daya tarik ekowisata untuk pengembangan kelompok tani dalam pengembangan agroforestry. Penelitian ekowisata di SMBB dengan menggunakan metode observasi di laksanakan di Desa Cukangkawung, Provinsi Jawa Barat dan wawancara dengan stakeholder. Analisis potensi daya selama, dari bulan Agustus 2015 sampai dengan Pebruari tarik menggunkan metode Analisis Daerah Operasi Objek 2016. Data dianalisis dengan Structural Equation Modellling Daya Tarik Wisata Alam (ADO-ODTWA) dari Direktorat menggunakan program SmartPls. Hasil penelitian menunjukkan Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (2003). (1) kapasitas kelembagaan dipengaruhi secara langsung oleh Hasil penelitian menunjukkan bahwa SMBB layak untuk tingkat kedinamisan dan partisipasi anggota serta secara tidak dikembangkan sebagai kawasan ekowisata dengan indeks langsung oleh peran pemimpin, kapasitas anggota, peran kelayakan 86,2%. penyuluh, dukungan pihak luar, dan karakteristik petani, dan (2) usaha peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok Kata kunci: ADO-ODTWA; ekowisata; wisata; Suaka tani dapat dilakukan melalui peningkatan kedinamisan dan Margasatwa Bukit Batu. partisipasi anggota dalam kegiatan kelompok tani. Kata kunci: Agroforestry; kelompok tani; analisis struktural; Jawa Barat, Indonesia UDC(OSDCF) 630*83:922.2 Elvida Yosefi Suryandari, Deden Djaenudin, Satria Astana dan Iis Alviya
UDC(OSDCF) 630*907.3 Heru Setiawan, Rini Purwanti, R. Garsetiasih
Persepsi dan Sikap Masyarakat terhadap Konservasi Ekosistem Dampak Implementasi Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu Mangrove di Pulau Tanakeke Sulawesi Selatan terhadap Keberlanjutan Industri Kayu dan Hutan Rakyat Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No. 1, hal. 57-70. 1, hal. 19-37. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat persepsi dan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) disiapkan pemerintah sikap masyarakat terhadap konservasi ekosistem mangrove secara mengikat di industri kayu. Studi ini bertujuan untuk di Pulau Tanakeke, Provinsi Sulawesi Selatan. Pengumpulan mengetahui gap implementasi kebijakan SVLK dan dampaknya data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, terhadap keberlanjutan usaha industri kayu, dengan analisis kuesioner dan studi pustaka. Data dianalisis menggunakan deskriptif dan struktur biaya. Hasil penelitian menunjukkan teknik skoring dan regresi linear berganda. Hasil penelitian bahwa tingkat implementasi SVLK dipandang rendah karena menunjukkan, masyarakat memiliki persepsi bahwa hutan perubahan kebijakan SVLK yang relatif cepat. Bagi dunia mangrove memberikan berbagai manfaat bagi kehidupannya. usaha kondisi ini merupakan disinsetif bagi iklim investasi. Tingkat persepsi masyarakat termasuk dalam kategori sedang, Implementasi kebijakan SVLK dinilai tidak efektif terutama sedangkan tingkat sikap masyarakat didominasi tingkat bagi industri kayu mikro dan hutan rakyat. Diperlukan tinggi. Variabel yang berpengaruh terhadap tingkat persepsi penguatan kelembagaan untuk meningkatkan kualitas sumber adalah tempat tinggal, tingkat pendidikan dan keikutsertaan daya manusia dan daya saing produk. masyarakat pada kegiatan rehabilitasi mangrove. Faktor yang berpengaruh terhadap tingkat sikap masyarakat adalah Kata kunci: Dampak kebijakan SVLK; struktur biaya; keikutsertaan pada kegiatan rehabilitasi mangrove. industri mikro; hutan rakyat. Kata kunci: Konservasi mangrove; persepsi masyarakat; sikap masyarakat; Pulau Tanakeke, Sulawesi Selatan.
DC(OSDCF) 630*61 Arif Irawan, Iwanuddin, Jafred E. Halawane and Sulistya Ekawati Analisis Persepsi dan Perilaku Masyarakat terhadap Keberadaan Kawasan KPHP Model Poigar Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No. 1, hal. 71-82. Penerapan skema pemberdayaan dalam kawasan KPHP Model Poigar perlu memerhatikan persepsi dan perilaku masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat persepsi dan perilaku masyarakat serta merekomendasikan skema pemberdayaan masyarakat yang sesuai. Metode yang digunakan adalah Skala Likert dan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat persepsi masyarakat adalah pada kategori baik, sedangkan perilaku masyarakat berada pada kategori rendah. Rekomendasi skema pemberdayaan masyarakat yang dapat dilakukan di kawasan KPHP Model Poigar saat ini adalah melalui skema Kemitraan Kehutanan. Kata kunci: KPHP Model Poigar; persepsi; perilaku; pemberdayaan.
FORESTRY SOCIO AND ECONOMIC RESEARCH JOURNAL p-ISSN: 1979-6013 e-ISSN: 2502-4221
Date of issue: April 2017
The discriptors given are keywords. The abstract sheet may be reproduced without permission or charge UDC(OSDCF) 630*26 Idin Saepudin Ruhimat
UDC(OSDCF) 630*907.11 Muaz Haris, Rinekso Soekmadi, dan Hadi Susilo Arifini
Institutional Capacity Building of Farmer Groups in Potential Attractions of Ecotourism in Bukit Batu Reserve Agroforestry Farming: Case Study in Cukangkawung Village, Game Bengkalis Regency Riau Province Sodonghilir Subditsrict, Tasikmalaya District, West Java Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 14 No. 1, Province p. 39-56. Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 14 No. 1, p. 1-17. Bukit Batu Reserve Game (SMBB) is a core zone of the Biosphere Reserve of Giam Siak Kecil-Bukit Batu district. This study aims to determine the factors that influence the SMBB is one of the tourism destinations in Riau that has institutional capacity and to formulate increasing institutional potential to be developed. This study aimed to analyze the capacity of farmer groups in the agroforestry farming potential attractions of tourism object of SMBB as a developed development. Research was conducted in Cukangkawung ecotourism by using observational methods and interviews Village, West Java Province from August 2015 to February with stakeholders. The analysis was performed based on the 2016. Data was analyzed by using Structural Equation criteria in Rating Analysis Object operation (ADO-ODTWA) Modelling with SmartPls program. The results showed that (1) published by the Directorate General of Forest Protection and the institutional capacity was directly influenced by dynamism Nature Conservation (2003). The results showed that SMBB level and members’ participation and indirectly influenced by has decent potential to be developed with the potential index role of the leader, capacity of members, extension role, external of 86,2%. support, and characteristics of farmers, and (2) efforts to increase institutional capacity can be done through increasing Keywords: ADO-ODTWA; ecotourism; tourism; Bukit Batu dynamism and members participation in farmer groups Reserve Game. activities. Keywords: Agroforestry; farmer group; structural analysis; West Java, Indonesia UDC(OSDCF) 630*83:922.2 Elvida Yosefi Suryandari, Deden Djaenudin, Satria Astana and Iis Alviya
UDC(OSDCF) 630*907.3 Heru Setiawan, Rini Purwanti, R. Garsetiasih
Persepsi Dan Sikap Masyarakat Terhadap Konservasi Impacts of Timber Legality Verification System Implementation Ekosistem Mangrove di Pulau Tanakeke Sulawesi Selatan on the Sustainability of Timber Industry and Private Forest Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 14 No. 1, Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 14 No. 1, p. 57-70. p. 19-37. This study examines level of people’s perception and attitude Timber Legality Verification System (TVLS) has been prepared towards mangrove conservation at Tanakeke Island. Data was by the Government and obligatory for timber industry. This collected by field observations, interviews, questionnaires and paper aims to evaluate gaps on the implementation of TLVS study literature. Data was analyzed by using scoring techniques policy and its impact on the sustainability of timber industry, and multiple linear regression. The results showed that, using descriptive and costs-structure analysis. Research found mangrove forests provide variety benefits for supporting their that the effectiveness of the TLVS implementation was low life. Level of people’s perception was categorized in medium, due to relatively rapid policy changes. This situation became while people’s attitude was dominated by high category. a disincentive for investments in timber business. TLVS policy Variables that influence level of public perception comprise of implementation was considered ineffective by micro scale residence location (villages), education level and participation timber industry as well as private forest farmers. Institutions in mangrove rehabilitation. Factors that influence the level of should be strengthened to improve the quality of human people's attitudes was participation in mangrove rehabilitation. resources and product competitiveness. Keywords: Mangrove conservation; people perception; people Keywords: Policy impact of TLVS; costs-structure; micro attitude; Tanakeke Island, South Sulawesi. scale industry; private forest.
DC(OSDCF) 630*61 Arif Irawan, Iwanuddin, Jafred E. Halawane and Sulistya Ekawati Perception and Behavior Analysis of Community to the Existence of Poigar PFMU Model Forestry Socio and Economic Research JournalVol. 14 No. 1, hal. 71-82. Implementation of empowerment scheme in the Poigar PFMU Model area needs to take into account on community perception and behavior. This study aimed to determine the level of public perception and behavior and recommend the appropriate community empowerment scheme. The method was using Likert Scale and Spearman Rank correlation tests. The results showed that the level of public perception was in good category, whereas people behavior was in the poor category. Community empowerment strategy that is most likely to do in Poigar PFMU Model is through the Forestry Partnership Scheme. Keywords: PFMU Model Poigar; perception; behavior; empowerment.
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 1-17 p-ISSN 1979-6013 e-ISSN 2502-4221 Terakreditasi No. 687/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
PENINGKATAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI DALAM PENGEMBANGAN USAHATANI AGROFORESTRY: Studi Kasus di Desa Cukangkawung, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat (Institutional Capacity Building of Farmer Groups in Agroforestry Farming: Case Study in Cukangkawung Village, Sodonghilir Subditsrict, Tasikmalaya District, West Java Province) Idin Saepudin Ruhimat Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry, Jalan Ciamis Banjar KM 4 Ciamis, Jawa Barat Indonesia Email:
[email protected]
Diterima 21 Desember 2016, direvisi 27 Maret 2017, disetujui 29 Maret 2017
ABSTRACT This study aims to determine the factors that influence the institutional capacity of farmer groups, and to formulate increasing institutional capacity of farmer groups in the agroforestry farming development. Research was conducted in the Cukangkawung Village, Sodonghilir Subdistrict, Tasikmalaya District, West Java Province, from August 2015 to February 2016. Data was analyzed by using Structural Equation Modelling approach (SEM) of SmartPls program. The results showed that (1) the institutional capacity of farmer group was directly influenced by dynamism level and members’ participation and indirectly influenced by role of the leader, capacity of members, extension role, external support, and characteristics of farmers, and (2) efforts to increase institutional capacity of farmer group can be done through increasing dynamism and participation of members in the activities of farmer groups. Keywords: Agroforestry; farmer group; structural analysis; West Java, Indonesia.
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kapasitas kelembagaan kelompok tani, dan merumuskan usaha peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry. Penelitian di laksanakan di Desa Cukangkawung, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat selama enam bulan, dari bulan Agustus 2015 sampai dengan Pebruari 2016. Data dianalisis dengan Structural Equation Modellling (SEM) menggunakan program SmartPls. Hasil penelitian menunjukkan (1) kapasitas kelembagaan kelompok tani dipengaruhi secara langsung oleh tingkat kedinamisan dan partisipasi anggota serta secara tidak langsung oleh peran pemimpin, kapasitas anggota, peran penyuluh, dukungan pihak luar, dan karakteristik petani, dan (2) usaha peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok tani dapat dilakukan melalui peningkatan kedinamisan dan partisipasi anggota dalam kegiatan kelompok tani. Kata kunci: Agroforestry; kelompok tani; analisis struktural; Jawa Barat, Indonesia.
©2017 JPSE All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jpse.2017.14.1.1-17
1
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 1-17
I. PENDAHULUAN Agroforestry merupakan salah satu bentuk pemanfaatan lahan secara berkelanjutan yang mengombinasikan tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian dan atau ternak pada suatu areal yang sama dengan tujuan untuk meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan ekologi usahatani (Butarbutar, 2012; Harun, 2011; Hiola, 2011; Mayrowani & Ashari, 2011; Sumiati, 2011). Besarnya manfaat yang diperoleh dari usahatani agroforestry telah mendorong para pihak untuk menjadikan sistem agroforestry sebagai salah satu program pengembangan usahatani secara berkelanjutan (Rambey, 2011; Umiyati, 2015). Program pengembangan usahatani berkelanjutan dengan sistem agroforestry telah dilakukan pada lahan milik masyarakat di Kabupaten Tasikmalaya, salah satunya di Desa Cukangkawung, melalui beberapa kegiatan seperti pembuatan hutan rakyat pola agroforestry, dan pengayaan tanaman perkebunan (BP3K, 2015). Akan tetapi, pengembangan usahatani agroforestry di beberapa daerah masih belum terlaksana secara optimal. Rendahnya peran kelompok tani merupakan salah satu penyebab ketidakoptimalan pengembangan usahatani agroforestry sebagaimana dikemukakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Puspitodjati et al. (2013) di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimuntur dan Kuswantoro et al. (2014) di wilayah DAS Cikawung. Rendahnya peran kelompok tani dalam berbagai program pengembangan usahatani yang dilakukan pemerintah di Indonesia disebabkan masih rendahnya tingkat kapasitas kelembagaan kelompok tani (Syahyuti, 2011). Oleh karena itu, peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok tani diharapkan menjadi salah satu solusi dalam mengoptimalkan peran kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry. Hasil penelitian dan pendapat yang telah dikemukakan di atas, hanya mengemukakan tentang kapasitas kelembagaan kelompok tani
2
dan pengaruhnya terhadap peran kelompok tani dalam pengembangan usahatani, tetapi tidak menjelaskan secara terukur faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kapasitas kelembagaan kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry. Padahal, pengetahuan tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kapasitas kelembagaan kelompok tani dapat digunakan untuk merumuskan usaha peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok tani dalam rangka meningkatkan peran kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktorfaktor yang berpengaruh terhadap kapasitas kelembagaan kelompok tani, dan merumuskan usaha peningkatan kapasitas kelembagan kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan untuk para pengambil kebijakan, yaitu Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan pemerintah pusat, dalam pengembangan usahatani agroforestry di Desa Cukangkawung. II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2015 sampai dengan Pebruari 2016 di Desa Cukangkawung, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1. Pemilihan Desa Cukangkawung sebagai lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan pertimbangan Desa Cukangkawung merupakan salah satu wilayah pengembangan usahatani agroforestry di Kabupaten Tasikmalaya. B. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani yang menjadi anggota kelompok tani di wilayah administrasi Desa Cukangkawung yang berjumlah 507 orang. Mereka tergabung
Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Tani Dalam Pengembangan Usahatani Agroforestry...........(Idin Saepudin Ruhimat)
Sumber (Source) : Badan Pusat Statistik, 2014. Gambar 1. Peta lokasi penelitian Figure 1. Research site map
dalam 11 kelompok tani. Penentuan jumlah anggota kelompok tani yang dijadikan sebagai sampel dalam penelitian dihitung dengan menggunakan rumus Slovin (Mun'im, 2012; Wiyono, 2011), yaitu n = ukuran sampel
n=
N 1+ Ne 2
N= populasi e = margin of error (pada penelitian ini ditetapkan 0,05) Berdasarkan perhitungan dengan rumus Slovin, 224 orang dijadikan sebagai sampel penelitian. Penarikan sampel dalam populasi dilakukan dengan menggunakan teknik penarikan sampel bertahap (multistage sampling) dengan tahapan sebagai berikut: (1) memilih seluruh kelompok tani yang terdapat di Desa Cukangkawung sebagai sampel penelitian dengan menggunakan metode sensus, (2) menentukan jumlah sampel penelitian pada masing-masing kelompok tani
dengan menggunakan metode proposionate random sampling yaitu memilih sampel penelitian secara acak dan proporsional sesuai dengan jumlah anggota pada setiap kelompok tani. Alokasi proporsional jumlah sampel pada masing-masing kelompok tani ditentukan dengan menggunakan rumus (Mun'im, 2012; Ruhimat, 2015):
ni =
Ni n N
dimana: ni = jumlah sampel dalam stratum i, n = jumlah sampel seluruhnya, Ni = jumlah populasi dalam stratum i, N = jumlah populasi seluruhnya Berdasarkan perhitungan tersebut maka diperoleh jumlah sampel untuk setiap kelompok tani seperti ditunjukkan pada pada Tabel 1, dan (3) memilih nama anggota kelompok tani yang dijadikan sampel penelitian. Pemilihan dilakukan secara acak (random) melalui sistem pengundian dengan tujuan untuk memberikan kesempatan yang sama kepada semua anggota kelompok.
3
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 1-17
Tabel 1. Sebaran jumlah responden pada setiap kelompok tani Table 1. The number of respondents distribution in each farmers group
No (No.)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Nama Kelompok Tani (Name of Farmers Group)
Jumlah Anggota (Number of Member)
Jumlah Sampel (Number of Sample)
Tani Jaya
40
18
Kawunghegar
31
14
Sari Tani
29
13
Sinar Mukti
35
15
Sabanda
32
14
Mekarwangi 1
30
13
Mekarwangi 2
31
14
Sahate 1
36
16
Sahate 2
43
19
Sahate 3
56
25
Sukaati
43
19
Sabilul Hidayah
28
12
Mutiara tani
43
19
Candra Jaya
30
13
Jumlah
507
224
Sumber (Source) : Data primer (Primary data), 2016
C. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder dikumpulkan melalui studi literatur dan studi dokumentasi dari berbagai data yang diterbitkan oleh instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Tasikmalaya, Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Tasikmalaya, Pemerintahan Desa Cukangkawung, Pemerintahan Kecamatan Sodonghilir, dan sebagainya. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam (in-depth interview), pengamatan langsung di lokasi penelitian (observation), diskusi kelompok terarah/focus group discussion (FGD), dan survei menggunakan kuisioner. Kuisioner penelitian bersifat tertutup yang disusun menggunakan skala likert (Likert Summated Rating). Data dianalisis dengan Structural Equation
4
Modellling (SEM) menggunakan program SmartPLs. Analisis SEM merupakan analisis struktural yang menggabungkan analisis faktor dan analisis regresi dengan tujuan untuk menganalisis model hubungan, baik antar indikator dalam variabel maupun antar variabel penelitian (Ruhimat, 2015; Santoso, 2012; Wiyono, 2011). Analisis SEM dengan SmartPls menghasilkan beberapa luaran diantaranya variabel laten (endogen dan eksogen), indikator, nilai koefisien jalur (path coefficient), nilai koefisien determinasi (determinastic coefficient), nilai koefisien korelasi (correlation coefficient) dan sifat pengaruh antar variabel (pengaruh langsung atau dirrect effect, dan pengaruh tidak langsung atau indirrect effect). Model luaran (output) hasil analisis SEM dengan SmartPls dapat dilihat pada Gambar 2. Variabel laten merupakan variabel
Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Tani Dalam Pengembangan Usahatani Agroforestry...........(Idin Saepudin Ruhimat)
Sumber (Source) : Dachlan, 2016 Gambar 2. Model luaran program SmartPls Figure 2. Output of SmartPls program
penelitian yang tidak dapat diukur secara langsung (undimensional). Pengukuran variabel penelitian dilakukan melalui indikator-indikator yang menyusun variabel tersebut. Variabel penelitian terdiri dari variabel laten eksogen dan endogen. Variabel laten eksogen merupakan variabel bebas (independent) yang memengaruhi variabel terikat (dependen), sedangkan variabel laten endogen merupakan variabel terikat yang dipengaruhi oleh satu atau lebih variabel bebas. Pada luaran analisis SmartPls (Gambar 2.) variabel laten digambarkan oleh lingkaran berwarna biru yang terdiri dari X1, X2, X3, X4, dan Y. Nilai koefisien jalur (Ɣ) merupakan nilai koefisien regresi terstandar yang menunjukkan besaran pengaruh suatu variabel endogen (variabel bebas) terhadap variabel
eksogen (variabel terikat). Nilai koefisien jalur digambarkan dalam bentuk garis yang menghubungkan dua variabel (Ɣ13, Ɣ24, Ɣ3Y, dan Ɣ4Y). Variabel eksogen yang memiliki nilai koefisien jalur lebih besar akan memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap variabel endogen dibandingkan variabel eksogen lainnya. Nilai koefisien determinasi (R2) yaitu koefisien yang menjelaskan proporsi dari variabel endogen yang dapat dijelaskan oleh variabel-variabel eksogen yang memengaruhinya (Dachlan, 2014). Nilai koefisien determinasi dalam SmartPls digambarkan oleh angka yang terdapat pada lingkaran berwarna biru (R2X3, R2X4, R2Y). Nilai koefisien korelasi (λ) dalam SmartPls menunjukkan besaran nilai hubungan antara variabel laten dengan indikator-indikator
5
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 1-17
penyusunnya yang digambarkan dalam bentuk garis yang menghubungkan variabel laten dan indikatornya. Pengaruh langsung diartikan sebagai pengaruh dari suatu variabel terhadap variabel lain tanpa harus melalui variabel antara, sedangkan pengaruh tidak langsung mengandung pengertian suatu variabel akan berpengaruh terhadap variabel lain dengan cara memengaruhi variabel antara terlebih dahulu. Pada Gambar 2 pengaruh langsung ditunjukkan oleh pengaruh variabel X1 terhadap X3, X3 terhadap Y, X2 terhadap X4, dan X4 terhadap Y, sedangkan pengaruh tidak langsung ditunjukan oleh pengaruh variabel X1 terhadap Y melalui X3, dan X2 terhadap Y melalui X4. D. Variabel Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksplanasi (explanatory research) yang menjelaskan model hubungan kausalitas antar beberapa variabel yang telah ditetapkan dalam penelitian. Variabel-variabel tersebut terdiri dari kapasitas kelembagaan kelompok tani (Y), kedinamisan kelompok tani (X7), partisipasi anggota kelompok tani (X6), peran kelompok tani (X5), kapasitas anggota (X4), karakteristik anggota (X3), peran pihak luar (X2), dan peran penyuluh (X1). Adapun definisi, parameter dan kategori pengukuran masing-masing variabel penelitian beserta indikator penyusunnya adalah sebagai berikut (Tabel 2 sampai dengan Tabel 9). 1. Kapasitas kelembagaan kelompok tani (Y) merupakan kemampuan kelompok tani dalam melaksanakan fungsi dan peran yang dimilikinya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh seluruh anggota kelompok tani (Anantanyu, 2009) 2. Peran penyuluh (X1) didefinisikan segala kegiatan yang dilakukan oleh penyuluh dalam mendidik, membimbing, memfasilitasi dan mendampingi petani dalam pengelolaan usaha tani (Yunita, 2011). 3. Peran pihak luar (X2) merupakan segala
6
4.
5.
6.
7.
8.
bentuk bantuan, baik materiil maupun non materiil, yang berasal dari luar petani yang memberikan manfaat atau keuntungan bagi petani dalam berusaha tani (Suprayitno, 2011). Karakteristik anggota (X3) adalah ciriciri atau sifat-sifat khusus individu yang melekat pada diri seorang petani yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan (Suprayitno, 2011). Kapasitas anggota (X4) merupakan daya yang melekat pada pribadi seorang petani sebagai pelaku utama pengelola sumber daya alam untuk menetapkan tujuan usaha tani dan cara mencapai tujuan pengelolaan hutan rakyat secara tepat (Subagio, 2008). Peran ketua kelompok tani (X5) adalah semua bentuk kegiatan ketua kelompok tani sebagai koordinator, inspirator, dan motivator untuk semua anggota kelompok tani yang dipimpinnya (Hermanto & Swastika, 2011). Partisipasi anggota (X6) didefinisikan sebagai keikutsertaan anggota dalam berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh kelompok tani mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan hasil, pemanfaatan, sampai dengan proses monitoring evaluasi kegiatan (Anantanyu, 2009) Kedinamisan kelompok tani (X7) merupakan kekuatan yang terdapat di dalam atau di lingkungan kelompok tani yang menentukan perilaku anggota dan kelompok yang bersangkutan untuk bertindak dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama (Lestari, 2012)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Kapasitas Kelembagaan Kelompok Tani Hasil analisis SEM dengan menggunakan program SmartPls disajikan dalam bentuk model struktural faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kapasitas
Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Tani Dalam Pengembangan Usahatani Agroforestry...........(Idin Saepudin Ruhimat)
Tabel 2. Indikator, definisi, parameter dan kategori pengukuran kapasitas kelembagaan kelompok tani Table 2. Indicators, definition, parameters and measurement category of institutional capacity of farmer groups Indikator (Indicator)
Definisi (Definition)
Parameter pengukuran (Measurement parameter)
Kategori pengukuran (Measurement category)
Y 1. Keinovatifan (Innovation)
Tingkat kemampuan kelompok tani dalam membangun dan mengembangkan nilai-nilai seperti kerja sama, pembagian peran, pola kewenangan, komitmen anggota, kualitas sumber daya anggota, dan teknologi dalam pemecahan masalah yang dihadapi kelompok tani (Anantanyu, 2009)
Diukur berdasarkan skor responden terhadap tingkat keinovatifan kelembagaan kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry
1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat tinggi
Y 2. Keberlanjutan (Sustainability)
Tingkat kemampuan kelompok tani dalam mengembangkan kelompok tani, membangun komitmen anggota, dan menjalin interaksi sosial dengan pihak di luar kelompok tani (Anantanyu, 2009)
Diukur berdasarkan skor responden terhadap tingkat keberlanjutan berbagai kegiatan dalam kelompok tani dalam dalam pengembangan usahatani agroforestry
1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat tinggi
Y 3. Efektivitas fungsi dan peran (Effectiveness of function and role)
Tingkat kemampuan kelompok tani dalam mengelola informasi, modal, dan material yang menyangkut dengan fungsi perolehan, pengaturan, pemeliharaan, pengerahan dan pengelolaan konflik (Anantanyu, 2009)
Diukur berdasarkan skor responden terhadap tingkat efektivitas fungsi dan peran yang dimiliki kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry
1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat tinggi
Y 4. Pencapaian tujuan (Achievement of objectives)
Tingkat pencapaian kelompok tani terhadap tujuan yang telah ditetapkan bersama (Anantanyu, 2009)
Diukur berdasarkan skor responden terhadap tingkat pencapaian tujuan yang telah ditetapkan kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry
1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat tinggi
Sumber (Source) : Hasil pengolahan data sekunder (Result of secondary data processing), 2016 Tabel 3. Indikator, definisi, parameter dan kategori pengukuran peran penyuluh Table 3. Indicators, definition, parameters and measurement category of extension roles Indikator (Indicator)
Definisi (Definition)
X 1.1 Peran pendidik (Educators role)
Kegiatan yang dilakukan oleh penyuluh dalam membangun kesadaran, memberikan informasi, mengajar/melatih petani terkait dengan pengelolaan usahatani (Suprayitno, 2011) Kegiatan yang dilakukan penyuluh dalam rangka mendorong dan membantu petani dalam memperlancar proses pengelolaan usahatani (Suprayitno, 2011) Kegiatan yang dilakukan oleh penyuluh dalam memberikan nasehat, pertimbangan, masukan kepada petani dan pihak lain yang berhubungan dengan pengelolaan usahatani (Suprayitno, 2011)
X 1.2 Peran fasilitator (Facilitator role)
X 1.3 Peran pendamping (Companion role)
Parameter pengukuran (Measurement parameter)
Kategori pengukuran (Measurement category)
Diukur berdasarkan tingkat intensitas kegiatan penyuluh dalam mendidik/melatih petani terkait pengelolaan usahatani
1. Sangat kecil 2. Kecil 3. Sedang 4. Besar 5. Sangat besar
Diukur berdasarkan tingkat intensitas kegiatan penyuluh dalam memfasilitasi pengelolaan usahatani
1. Sangat kecil 2. Kecil 3. Sedang 4. Besar 5. Sangat besar 1. Sangat kecil 2. Kecil 3. Sedang 4. Besar 5. Sangat besar
Diukur berdasarkan tingkat intensitas kegiatan penyuluh dalam melakukan pendampingan kepada petani dalam pengelolaan usahatani
Sumber (Source) : Hasil pengolahan data sekunder (Result of secondary data processing), 2016.
7
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 1-17
Tabel 4. Indikator, definisi, parameter dan kategori pengukuran dukungan pihak luar Table 4. Indicators, definition, parameters and measurement category of external supporting Indikator (Indicator)
Definisi (Definition)
Kategori pengukuran (Measurement category)
Parameter pengukuran (Measurement parameter)
X 2.1 Dukungan swasta (Private supporting)
Tingkat intensitas keterlibatan pihak swasta membantu kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry
Diukur berdasarkan skor responden terhadap tingkat intensitas keterlibatan pihak swasta dalam pengembangan usahatani agroforestry
1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat tinggi
X 2.2 Dukungan pemerintah daerah (Regional government supporting)
Tingkat intensitas keterlibatan pemerintah daerah membantu kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry
Diukur berdasarkan skor responden terhadap tingkat intensitas keterlibatan pemerintah daerah dalam pengembangan usahatani agroforestry
1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat tinggi
X 2.3 Dukungan pemerintah pusat ( National government supporting)
Tingkat intensitas keterlibatan pemerintah pusat membantu kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry
Diukur berdasarkan skor responden terhadap tingkat intensitas keterlibatan pemerintah dalam pengembangan usahatani agroforestry
1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat tinggi
Sumber (Source) : Hasil pengolahan data sekunder (Result of secondary data processing), 2016.
Tabel 5. Indikator, definisi, parameter dan kategori pengukuran karakteristik anggota Table 5. Indicators, definition, parameters and measurement category of members characteristic Indikator (Indicator)
Definisi (Definition)
Parameter pengukuran (Measurement parameter)
Kategori pengukuran (Measurement category)
X 3.1 Pendidikan informal (Informal education)
Pelatihan yang diperoleh anggota kelompok tani (di luar pendidikan formal) yang pernah dan sedang diikuti oleh anggota (Ruhimat, 2015)
Diukur berdasarkan jumlah pelatihan yang diikuti anggota dalam pengelolaan usahatani agroforestry
1. Sangat rendah (<1 kali) 2. Rendah (2-3 kali) 3. Sedang (4-5 kali) 4. Tinggi (6-7 kali) 5. Sangat tinggi (>8 kali)
X 3.2 Pengalaman usaha tani (Farmers experiances)
Lamanya waktu yang telah/sedang dipergunakan oleh anggota dalam melakukan kegiatan usahatani (Ruhimat, 2015)
Diukur berdasarkan lamanya waktu (tahun) yang telah/ sedang dipergunakan oleh anggota dalam melakukan kegiatan usaha tani
1. Sangat rendah (<5 tahun) 2. Rendah (5-10 tahun) 3. Sedang (11-15 tahun) 4. Tinggi (16-20 tahun) 5. Sangat tinggi (>20 tahun)
X 3.3 Tingkat kosmopolitan (Cosmopolitan level)
Tingkat intensitas anggota (petani) dalam melakukan hubungan atau kontak dengan berbagai sumber informasi, baik yang berada di dalam maupun di luar petani (Suprayitno, 2011)
Diukur berdasarkan skor responden terhadap tingkat intensitas hubungan antara anggota dengan berbagai sumber informasi tentang usahatani agroforestry
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
Sumber (Source) : Hasil pengolahan data sekunder (Result of secondary data processing), 2016.
8
Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Tani Dalam Pengembangan Usahatani Agroforestry...........(Idin Saepudin Ruhimat)
Tabel 6 Indikator, definisi, parameter dan kategori pengukuran kapasitas anggota Table 6. Indicators, definition, parameters and measurement category of members’ capacity Indikator (Indicator)
Parameter pengukuran (Measurement parameter)
Definisi (Definition)
Kategori pengukuran (Measurement category)
X 4.1 Kapasitas teknis (Technical capacity)
Seperangkat kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan, keterampilan tentang sistem usaha tani, mulai dari pembibitan, pengolahan lahan, pemeliharaan tanaman, pemanenan dan pemasaran hasil (Suprayitno, 2011
Diukur berdasarkan skor responden terhadap kemampuan anggota (petani) yang berhubungan dengan unsur-unsur teknis dalam pengembangan usahatani agroforestry
1.Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat tinggi
X 4.2 Kapasitas manajerial (Managerial capacity)
Seperangkat kemampuan yang dimiliki anggota (petani) berupa pengetahuan, keterampilan dan sikap yang berhubungan dengan unsur-unsur manajerial seperti merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, mengawasi dan mengevaluasi kegiatan usaha tani yang dilakukannya secara baik dan benar (Suprayitno, 2011)
Diukur berdasarkan skor responden terhadap kemampuan anggota (petani) yang berhubungan dengan unsur-unsur manajerial dalam pengembangan usahatani agroforestry
1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat tinggi
X 4.3 Kapasitas sosial (Social capacity)
Kemampuan petani untuk membangun hubungan interpersonal dalam kelompok, kemampuan bernegosiasi dan mengembangkan jejaring atau kemitraan dengan pihak lain, yang pada prinsipnya didasarkan pada kemampuan komunikasi anggota (petani) (Suprayitno, 2011).
Diukur berdasarkan skor responden terhadap kemampuan anggota (petani) yang berhubungan dengan membangun hubungan interpersonal dalam kelompok, kemampuan bernegosiasi dan mengembangkan jejaring atau kemitraan dengan pihak lain
1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat tinggi
Sumber (Source) : Hasil pengolahan data sekunder (Result of secondary data processing), 2016. Tabel 7. Indikator, definisi, parameter dan kategori pengukuran peran ketua kelompok tani Table 7. Indicators, definition, parameters and measurement category of the role of farmer groups leader Indikator (Indicator)
Definisi (Definition)
Parameter pengukuran (Measurement parameter)
Kategori pengukuran (Measurement category)
X 5.1 Koordinator (Coordinator)
Peran ketua kelompok tani dalam menjelaskan dan mengoordinir anggota kelompok tani dalam pengembangan usahatani (Hermanto & Swastika, 2011)
Diukur berdasarkan skor responden tentang seberapa besar peran ketua kelompok tani dalam mengkoordinir anggota dalam kegiatan pengembangan usahatani agroforestry
1. Sangat kecil 2. Kecil 3. Sedang 4. Besar 5. Sangat besar
X 5.2 Inspirator (Inspirator)
Segala kegiatan yang dilakukan ketua kelompok tani yang dapat menginspirasi anggota dalam pengembangan usahatani agroforestry
Diukur berdasarkan skor responden tentang seberapa besar peran ketua kelompok tani dalam menginspirasi anggota untuk mengembangkan usahatani agroforestry
1. Sangat kecil 2. Kecil 3. Sedang 4. Besar 5. Sangat besar
X 5.3 Motivator (Motivator)
Peran ketua kelompok tani untuk memberikan dan membangkitkan motivasi anggota kelompok untuk turut serta dalam pengembangan usahatani agroforestry
Diukur berdasarkan skor responden tentang seberapa besar peran ketua kelompok tani dalam memotivasi anggota untuk mengembangan usahatani agroforestry
1. Sangat kecil 2. Kecil 3. Sedang 4. Besar 5. Sangat besar
Sumber (Source) : Hasil pengolahan data sekunder (Result of secondary data processing), 2016.
9
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 1-17
Tabel 8. Indikator, definisi, parameter dan kategori pengukuran kedinamisan kelompok tani Table 8. Indicators, definition, parameters and measurement category of farmer groups dinamysm Indikator (Indicator)
Definisi (Definition)
Parameter pengukuran (Measurement parameter)
Kategori pengukuran (Measurement category)
X 6.1 Tingkat kekompakan (Cohesion level)
Tingkat keterikatan antara anggota dengan kelompok tani (Lestari, 2012)
Diukur berdasarkan skor yang diberikan responden terhadap tingkat keterikatan responden terhadap kelompok tani
1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat tinggi
X 6.2 Kejelasan fungsi dan peran (Clarity of function and role)
Tingkat kejelasan kegiatankegiatan yang harus dilakukan kelompok dalam mencapai tujuan kelompok (Lestari, 2012)
Diukur berdasarkan skor yang diberikan responden terhadap kejelasan fungsi dan peran kelompok tani dalam mencapai tujuan kelompok
1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat tinggi
X 6.3 Kejelasan struktur (Clarity of structure)
Tingkat kejelasan hubungan antara individu-individu di dalam kelompok yang disesuaikan dengan fungsi dan peran masingmasing individu (Lestari, 2012)
Diukur berdasarkan skor yang diberikan responden terhadap tingkat kejelasan hubungan antar individu dalam kelompok
1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat tinggi
X 6.4 Kejelasan tujuan (Clarity of purpose)
Tingkat kejelasan hasil yang diharapkan untuk dicapai oleh kelompok tani (Lestari, 2012)
Diukur berdasarkan skor yang diberikan responden terhadap tingkat kejelasan hasil yang ingin dicapai oleh kelompok tani
1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat tinggi
X 6.5 Suasana kelompok (Group atmosphere)
Suasana yang menentukan reaksi anggota terhadap anggota lain atau kelompoknya seperti rasa hangat, setia kawan, rasa takut dan saling mencurigai, sikap saling menerima dan sebagainya (Lestari, 2012)
Diukur berdasarkan skor yang diberikan responden terhadap suasana kelompok tani dalam mencapai tujuan kelompok tani
1. Sangat tidak kondusif 2. Tidak kondusif 3. Biasa 4. Kondusif 5. Sangat kondusif
Sumber (Source) : Hasil pengolahan data sekunder (Result of secondary data processing), 2016.
Tabel 9. Indikator, definisi, parameter dan kategori pengukuran partisipasi anggota Table 9. Indicators, definition, parameters and measurement category of members’ participation Indikator (Indicator)
Definisi (Definition)
Parameter pengukuran (Measurement parameter)
Kategori pengukuran (Measurement category)
X.7.1 Partisipasi dalam perencanaan (Participation in plannning)
Tingkat keikutsertaan anggota dalam proses perencanaan kegiatan-kegiatan kelompok tani yang berhubungan dengan pengembangan usahatani agroforestry
Diukur berdasarkan skor yang diberikan responden terhadap tingkat keikutsertaan anggota dalam proses perencanaan kegiatan kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry
1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat tinggi
X 7.2 Partisipasi dalam pelaksanaan (Participation in implementation)
Tingkat keikutsertaan anggota dalam pelaksanaan kegiatankegiatan kelompok tani yang berhubungan dengan pengembangan usahatani agroforestry
Diukur berdasarkan skor yang diberikan responden terhadap tingkat keikutsertaan anggota dalam pelaksanaan kegiatan kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry
1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat tinggi
10
Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Tani Dalam Pengembangan Usahatani Agroforestry...........(Idin Saepudin Ruhimat)
Indikator (Indicator)
Parameter pengukuran (Measurement parameter)
Definisi (Definition)
Kategori pengukuran (Measurement category)
X 7.3 Partisipasi dalam pemeliharaan hasil (Participation in the mantenence of the result)
Tingkat keikutsertaan anggota dalam pemeliharaan hasil kegiatan-kegiatan kelompok tani yang berhubungan dengan pengembangan usahatani agroforestry
Diukur berdasarkan skor yang diberikan responden terhadap tingkat keikutsertaan anggota dalam pemeliharaan hasil kegiatan kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry
1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat tinggi
X 7.4 Partisipasi dalam pemanfaatan hasil (Participation in the utilization of result)
Tingkat keikutsertaan anggota dalam pemanfaatan hasil dari kegiatan-kegiatan kelompok tani yang berhubungan dengan pengembangan usahatani agroforestry
Diukur berdasarkan skor yang diberikan responden terhadap tingkat keikutsertaan anggota dalam pemanfaatan hasil dari kegiatan kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry
1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat tinggi
X 7.5 Partisipasi dalam monitoring evaluasi (Participation in monitoring and evaluation)
Tingkat keikutsertaan anggota dalam monitoring evaluas pada kegiatan-kegiatan kelompok tani yang berhubungan dengan pengembangan usahatani agroforestry
Diukur berdasarkan skor yang diberikan responden terhadap tingkat keikutsertaan anggota dalam monitoring evaluasi dalam kegiatan kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry
1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat tinggi
Sumber (Source) : Hasil pengolahan data sekunder (Result of secondary data processing), 2016.
kelembagaan kelompok tani seperti pada Gambar 3. Gambar 3 memperlihatkan faktorfaktor yang berpengaruh terhadap kapasitas kelembagaan kelompok tani terdiri dari faktor yang berpengaruh langsung dan tidak langsung. Faktor yang berpengaruh langsung terhadap kapasitas kelembagaan kelompok tani Hasil analisis SEM seperti disajikan dalam Gambar 3 memperlihatkan bahwa tingkat kedinamisan kelompok tani dan partisipasi anggota pada setiap kegiatan kelompok tani memiliki pengaruh langsung terhadap tingkat kapasitas kelembagaan kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry. Adapun persamaan struktural pengaruh kedua faktor terhadap kapasitas kelembagaan kelompok tani adalah sebagai berikut: Y = 0,568X6+0,400X7+ζ R2 = 0,9340 atau 93,40%
Keterangan (Remarks): Y = kapasitas kelembagaan kelompok tani; X6 = tingkat kedinamisan kelompok tani; X7 = partisipasi anggota; ζ = faktor yang berpengaruh terhadap kapasitas kelembagaan kelompok tani selain tingkat kedinamisan dan partisipasi anggota kelompok tani; R2 = besaran pengaruh tingkat kedinamisan dan partisipasi anggota kelompok tani secara bersama-sama terhadap kapasitas kelembagaan kelompok tani
Berdasarkan persamaan struktural yang dihasilkan maka besaran total pengaruh kedinamisan dan partisipasi anggota kelompok tani terhadap kapasitas kelembagaan kelompok tani adalah sebesar 0,9340 atau 93,40%. Angka sebesar 93,40%. menunjukkan bahwa kedua faktor tersebut berpengaruh sangat kuat terhadap tingkat kapasitas kelembagaan kelompok tani sedangkan pengaruh di luar kedua faktor hanya sebesar 6,6%. Kedinamisan kelompok tani merupakan faktor yang memiliki pengaruh paling besar terhadap kapasitas kelembagaan kelompok tani sehingga rendahnya kedinamisan kelompok tani akan menyebabkan rendahnya kapasitas kelembagaan kelompok tani. Wawancara
11
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 1-17
Sumber (Source) : Hasil analisis data primer (Result of primary data analysis), 2016 Gambar 3. Model struktural faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kapasitas kelembagaan kelompok tani Figure 3. Structural model of the factors that influence the institutional capacity of farmer groups
secara mendalam dengan pengurus kelompok tani dan penyuluh menunjukkan bahwa kelompok tani di Desa Cukangkawung telah memiliki tujuan dan struktur organisasi, tetapi masih belum sesuai dengan harapan. Kelompok tani belum dapat berperan sebagai wahana belajar, kerja sama, dan unit produksi bersama untuk para anggota. Struktur kelompok tani hanya menjadi prasyarat administrasi sebuah organisasi, sehingga berdampak pada rendahnya peran dan fungsi pengurus kelompok tani. Rendahnya efektivitas peran, fungsi, dan struktur kelompok tani menyebabkan rendahnya tingkat kedinamisan. Penyuluh yang bertugas di Desa Cukangkawung mengemukakan rendahnya kedinamisan kelompok tani disebabkan kekompakan yang belum terbentuk. Lestari (2012) menyebutkan rendahnya tingkat kekompakan dan belum terbentuknya suasana yang dinamis disebabkan oleh belum terjalinnya kerja sama dan komunikasi antara pengurus dengan anggota atau di antara anggota.
12
Partisipasi seluruh anggota kelompok tani merupakan faktor kedua yang memiliki pengaruh langsung terhadap kapasitas kelembagaan kelompok tani. Secara umum, partisipasi anggota dalam setiap kegiatan kelompok tani masih rendah, terutama partisipasi dalam perencanaan, pengawasan, dan pemeliharaan hasil kegiatan kelompok tani. Berdasarkan hasil diskusi dengan pengurus kelompok tani dan penyuluh diperoleh informasi bahwa tingkat partisipasi anggota kelompok tani masih rendah. Namun demikian, partisipasi dalam pemanfaatan hasil kegiatan, mengalami peningkatan ketika ada program bantuan pemerintah dalam bentuk sarana dan prasarana usahatani. Faktor yang berpengaruh tidak langsung terhadap kapasitas kelembagaan kelompok tani Hasil analisis SEM seperti Gambar 3 menggambarkan bahwa faktor yang berpengaruh tidak langsung terhadap kapasitas kelembagaan kelompok tani terdiri dari (i) peran ketua, (ii) kapasitas anggota, (iii) peran penyuluh, (iv) dukungan pihak luar,
Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Tani Dalam Pengembangan Usahatani Agroforestry...........(Idin Saepudin Ruhimat)
dan (v) karakteristik anggota. Berdasarkan hasil analisis SEM tingkat efektivitas peran ketua kelompok tani (koordinator, motivator, dan inspirator) merupakan faktor pertama yang berpengaruh tidak langsung terhadap kapasitas kelembagaan kelompok tani. Efektivitas peran ketua kelompok akan berpengaruh terhadap tingkat kapasitas anggota kelompok tani, tingkat kedinamisan kelompok tani, dan tingkat partisipasi anggota kelompok tani sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kapasitas kelembagaan kelompok tani. FGD dengan stakeholder terkait menyimpulkan peran ketua kelompok tani memiliki peranan penting dalam mengkoordinasi, memotivasi dan menginspirasi anggota kelompok tani untuk berpartisipasi secara aktif dalam setiap kegiatan kegiatan kelompok tani. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Saptorini (2013) di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah; Mutmainah and Sumardjo (2014) di Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor serta Hermanto dan Swastika (2011) di Provinsi Bangka Belitung dan Sumatera Selatan. Kapasitas anggota merupakan faktor kedua yang berpengaruh tidak langsung terhadap kapasitas kelembagaan kelompok tani. Hal ini mengandung pengertian bahwa peningkatan kapasitas anggota (manajerial, teknis, dan sosial) akan berpengaruh terhadap kapasitas kelembagaan kelompok tani melalui peningkatan partisipasi anggota kelompok tani. Anantanyu (2009) mengemukakan kapasitas petani merupakan salah satu faktor yang menggerakan petani untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan pertanian seperti kelompok tani. Peran penyuluh menjadi faktor ketiga yang berpengaruh tidak langsung terhadap kapasitas kelembagaan kelompok tani. Hasil analisis SEM seperti pada Gambar 3 menggambarkan penyuluh memiliki peran penting dalam meningkatkan efektivitas peran pemimpin dan kapasitas anggota kelompok tani. Stakeholder dalam pengembangan usahatani agroforestry
(pemerintah, swasta, dan petani) berpendapat optimalisasi peran penyuluh (pendidik, pendamping, dan fasilitator) sangat diperlukan untuk keberhasilan pengembangan usahatani agroforestry di Desa Cukangkawung. Anantanyu (2009) mengemukakan peran penyuluh sangat diperlukan untuk meningkatkan kepercayaan, motivasi, dan kapasitas pengurus serta anggota kelompok tani dalam berbagai kegiatan pertanian. Dukungan pihak luar yang terdiri dari dukungan pihak swasta, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah merupakan faktor keempat yang berpengaruh tidak langsung terhadap kapasitas kelembagaan kelompok tani. Penyuluh mengemukakan dukungan pihak luar terhadap peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok tani sangat diperlukan dalam proses peningkatkan kapasitas pengurus dan anggota kelompok tani. Sumiati (2011) dan Anantanyu (2009) mengemukakan dukungan berbagai pihak sangat diperlukan dalam proses penguatan kapasitas kelembagaan kelompok tani seperti dukungan kebijakan, kemitraan, biaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan tenaga pendamping. Karakteristik anggota kelompok tani merupakan faktor kelima yang berpengaruh tidak langsung terhadap kapasitas kelembagaan kelompok tani. Karakteristik anggota dalam penelitian ini terdiri dari tingkat kosmopolitan anggota, pendidikan informal, dan pengalaman usahatani. Berdasarkan hasil analisis SEM tingkat kosmopolitan petani merupakan aspek dalam faktor karakteristik petani yang memiliki pengaruh paling besar terhadap proses peningkatan kapasitas anggota (kapasitas sosial, manajerial, dan teknis). Tingkat kosmopolitan petani masih rendah, hal ini dapat dilihat dari rendahnya kemampuan petani untuk berusaha mengakses informasi pertanian agroforestry dari berbagai sumber informasi sehingga mengakibatkan masih rendahnya kapasitas petani. Suprayitno, Sumardjo, Gani, dan Sugihen (2012) menyebutkan tingkat kosmopolitan petani
13
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 1-17
Dukungan Pihak Luar
Kemitraan
Peran Penyuluh
Pemerintah
Swasta Daerah
Pusat
Kebijakan
Paket Teknologi
• Pendidik • Pendamping • Fasilitator
Agroforestry
Pendidikan, Pelatihan, Pendampingan, dan Penyuluhan
Peran Pemimpin Kelompok Tani
Kapasitas Anggota • Manajerial • Teknis • Sosial
• Koordinator • Motivator • Inspirator
Partisipasi Anggota Kelompok Tani • • • • •
Perencanaan Pelaksanaan Monitoring Evaluasi Pemeliharaan Pemanfaatan
Kedinamisan Kelompok Tani • Kejelasan Tujuan • Efektivitas Peran dan Fungsi Kelompok • Kejelasan Struktur • Kekompakan • Suasana Kelompok Kelompok
Kapasitas Kelompok Tani • • • •
Pencapaian Tujuan Fungsi dan Peran Keinovatifan Keberlanjutan
Fungsi Agroforestry Optimal Optimalisasi Peran Kelompok Tani dalam Pengembangan
Agroforestry
• Sosial • Ekonomi • Ekologi
Sumber (Source) : Hasil analisis data primer (Result of primary data analysis), 2016 Gambar 4. Usaha peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok tani di Desa Cukangkawung Figure 4. Efforts to institutional capacity building of farmer groups in Cukangkawung Village
14
Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Tani Dalam Pengembangan Usahatani Agroforestry...........(Idin Saepudin Ruhimat)
direfleksikan oleh aksesibilitas petani terhadap sumber informasi, semakin luas akses petani terhadap sumber informasi maka semakin luas wawasan dan pengetahun petani. Luasnya wawasan dan pengetahuan petani akan berpengaruh positif terhadap peningkatan kapasitas petani dalam pengelolaan usahatani. B. Usaha peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok tani Hasil analisis SEM seperti pada Gambar 3 menunjukkan peningkatan kapasitas kelembagaan dapat dilakukan dengan meningkatkan kedinamisan kelompok tani dan partisipasi seluruh anggota. Usaha ini dapat dilakukan dengan menganalisis faktorfaktor yang berpengaruh terhadap kedua faktor tersebut seperti disajikan pada Gambar 4. Peningkatan kedinamisan kelompok tani dapat dilakukan dengan cara meningkatkan partisipasi anggota kelompok tani dalam setiap tahapan kegiatan seperti perencanaan, pelaksanaan, pengawasan evaluasi, pemeliharaan dan pemanfaatan hasil. Selain itu, peningkatan kedinamisan kelompok tani dapat dilakukan dengan mengoptimalkan peran ketua kelompok dalam mengkoordinir, memotivasi, dan menginspirasi anggota kelompok tani. Peningkatan partisipasi anggota kelompok tani dapat dilakukan dengan cara mengoptimalkan peran ketua kelompok tani dan meningkatkan kapasitas (kapasitas manajerial, teknis, dan sosial) yang dimiliki oleh anggota. Gambar 4 menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan pembinaan (diklatluhbin) terhadap seluruh anggota dan ketua kelompok tani merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kapasitas anggota dan peran ketua kelompok tani. Peningkatan peran dan kapasitas petani (ketua dan anggota kelompok tani) memerlukan dukungan yang kuat dari berbagai pihak (Sumarlan, Sumardjo, Prabowo, & Darwis, 2012). Pengembangan usahatani agroforestry
yang didukung oleh peran optimal dari masingmasing stakeholder akan berpengaruh positif terhadap efektivitas pelaksanaan pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan pembinaan kelompok tani. Hal tersebut akan berdampak kepada peningkatan kapasitas anggota dan peran ketua kelompok tani. Tingginya kapasitas anggota dan peran ketua kelompok tani akan memotivasi seluruh anggota untuk berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan kelompok, sehingga akan terwujud kelompok tani yang aktif dan dinamis. Tingginya tingkat partisipasi anggota dan kedinamisan kelompok tani akan mampu meningkatkan kapasitas kelembagaan kelompok tani dalam mengoptimalkan peran kelompok sebagai wahana belajar, kerja sama, dan unit produksi bersama untuk seluruh anggota. Anantanyu (2009) menyebutkan kapasitas kelembagaan kelompok tani yang optimal ditandai dengan tingginya tingkat pencapaian tujuan, efektivitas fungsi dan peran struktur, inovatif, dan keberlanjutan kelompok tani. Peran kelompok tani yang berjalan optimal diharapkan dapat mendukung keberhasilan pengembangan usahatani agroforestry di Desa Cukangkawung, sehingga fungsi agroforestry dalam meningkatkan nilai tambah ekonomi, sosial, dan lingkungan dapat terwujud. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kapasitas kelembagaan kelompok tani merupakan salah satu faktor penting dalam program pengembangan usahatani agroforestry di Desa Cukangkawung. Tingkat kapasitas kelembagaan kelompok tani dipengaruhi secara langsung oleh tingkat kedinamisan kelompok tani dan tingkat partisipasi anggota dalam kegiatan kelompok tani, serta secara tidak langsung dipengaruhi oleh kapasitas anggota, peran ketua, peran penyuluh, dukungan pihak luar, dan karakteristik individu anggota. Usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
15
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 1-17
kapasitas kelembagaan kelompok tani adalah dengan meningkatkan kedinamisan kelompok tani dan partisipasi anggota dalam setiap kegiatan kelompok tani.. B. Saran Pemerintah daerah melalui institusi penyuluhan disarankan untuk mengoptimalkan pelaksanaan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan pembinaan kelompok tani dalam kegiatan pengembangan usahatani agroforestry. Pemerintah pusat melalui institusi penelitian dan pengembangan (Litbang) disarankan untuk menyediakan paket teknologi agroforestry yang bersifat komprehensif (teknis, sosial, dan ekonomi), dapat diaplikasikan, dan mampu menjawab permasalahan stakeholder di daerah. Pemerintah daerah (Kabupaten Tasikmalaya dan Provinsi Jawa Barat di sarankan untuk membuat kebijakan pengembangan agroforestry yang dapat mengakomodir hasil penelitian yang dilakukan oleh institusi litbang dan menjamin pelaksanaan program pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan pembinaan kelompok tani secara sistematis, terarah, terjadwal, dan berkelanjutan. UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLWDGEMENT) Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu kelancaran penelitian ini, khususnya kepada para anggota kelompok tani yang terlibat dalam studi ini, Kepala Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Kepala Desa Cukangkawung, Balai Penyuluhan Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kecamatan Sodonghilir, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tasikmalaya, Dede Rohman, Kurnia, dan Darsono Priono yang telah memberikan fasilitas, dukungan, perhatian, dan bantuan dalam proses pengumpulan data selama penelitian.
16
DAFTAR PUSTAKA Anantanyu. (2009). Partisipasi petani dalam meningkatkan kapasitas kelembagaan kelompok petani. (Disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. BP3K. (2015). Rencana kerja penyuluhan pertanian tahun 2015. Tasikmalaya: Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kecamatan Sodonghilir BPS. (2014). Kecamatan Sodonghilir dalam angka. Tasikmalaya: Badan Pusat Statistik. Butarbutar, T. (2012). Agroforestri untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 9(1), 1-10. Dachlan, U. (2014). Panduan lengkap structural equation modellling. Semarang: Lentera Ilmu. Hani, A., Suhaendah, E., Winara, A., Achmad, B., Ruhimat, I. S., Augusta, L., . . . Kuswandi, N. (2015). Penerapan model agroforestry kayu pertukangan jenis sengon dan manglid. Ciamis: Balai Penelitian Teknologi Agroforestry. Harun, M. K. (2011). Analisis pengembangan jelutung dengan sistem agroforestry untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi di Provinsi Kalimantan Tengah. (Tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Hermanto, & Swastika, D. K. S. (2011). Penguatan kelompok tani: langkah awal peningkatan kesejahteraan petani. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, 9 (4), 371-390. Hiola, A. S. (2011). Agroforestry Lengi: suatu kajian pelestarian dan pemanfaatan jenis pohon. (Disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Kuswantoro, D. P., Junaidi, E., Handayani, W., Ruhimat, I. S., Utomo, B., Kuswandi, N., . . . Filianty, D. (2014). Kajian lanskap agroforestry pada DAS prioritas (DAS Cikawung). Ciamis: Balai Penelitian Teknologi Agroforestri. Lestari, G. I. (2012). Dinamika kelompok tani hutan rakyat di Desa Lemahduhur. (Tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Mayrowani, H., & Ashari. (2011). Pengembangan agroforestry untuk mendukung ketahanan pangan dan pemberdayaan petani sekitar hutan. Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi, 29 (2), 83-98. Mun'im, A. (2012). Analisis faktor ketersediaan, akses dan penyerapan pangan di kabupaten surplus pangan: pendekatan Partial Least Square
Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Tani Dalam Pengembangan Usahatani Agroforestry...........(Idin Saepudin Ruhimat)
Path Modelling. Jurnal Agroekonomi, 30 (1), 41-56. Mutmainah, R., & Sumardjo. (2014). Peranan kepemimpinan kelompok tani dan efektivitas pemberdayaan petani. Jurnal Sodality: Sosiologi Pedesaan, 2 (3), 182-199. Puspitodjati, T., Junaidi, E., Ruhimat, I. S., Kuswantoro, D. P., Handayani, W., & Indrajaya, Y. (2013). Kajian lanskap agroforestry pada DAS prioritas (DAS Cimuntur). Ciamis: Balai Penelitian Teknologi Agroforestry.. Rambey, R. (2011). Pengetahuan lokal sistem agroforestry mindi. (Tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ruhimat, I. S. (2015). Tingkat motivasi petani dalam penerapan sistem agroforestry. Jurnal Sosial Ekonomi Kehutanan, 12 (2), 131-147. Santoso,S. (2012). Analisis SEM menggunakan AMOS. Jakarta: Elexmedia Komputindo. Saptorini. (2013). Persepsi anggota kelompok tani terhadap kepemimpinan ketua kelompok tani di Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. (Tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Subagio, H. (2008). Peran kapasitas petani dalam mewujudkan keberhasilan usaha tani: kasus petani sayuran dan padi di Kabupaten Malang dan Pasuruan Jawa Timur. (Disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,. Sumarlan, Sumardjo, Prabowo, & Darwis. (2012). Peningkatan Kinerja Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestry di Pegunungan Kendeng Pati. Jurnal Agroekonomi, 30 (1), 25 - 29.
Sumiati. (2011). Analisis kelayakan finansial dan faktor-faktor yang memotivasi petani dalam kegiatan agroforestry: kasus pada proyek pengembangan hutan kemasyarakatan SFDFPPHK di Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. (Tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suprayitno, A. (2011). Model peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat: Kasus pengelolaan hutan kemiri kawasan pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. (Disertasi). Bogor: Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Suprayitno, A. R., Sumardjo, Gani, D. S., & Sugihen, B. G. (2012). Motivasi dan partisipasi petani dalam pengelolaan hutan kemiri di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Penyuluhan, 8 (2), 188-199. Syahyuti. (2011). Gampang-gampang susah mengorganisasikan petani. Bogor: IPB Press. Umiyati, R. (2015). Diversifikasi hasil kegiatan agroforestry bagi ketahanan pangan di Kecamatan Sigaluh Kabupaten Banjarnegara. Jurnal Ilmiah Teknosains, I (1), 52-56. Wiyono, G. (2011). Merancang penelitian bisnis dengan SPSS dan SmartPLS 2.0. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan STIM YKPN. Yunita. (2011). Strategi peningkatan kapasitas petani padi sawah lebak menuju ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Ogan Ilir dan Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan. (Disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
17
18
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 19-37 p-ISSN 1979-6013 e-ISSN 2502-4221 Terakreditasi No. 687/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
DAMPAK IMPLEMENTASI SERTIFIKASI VERIFIKASI LEGALITAS KAYU TERHADAP KEBERLANJUTAN INDUSTRI KAYU DAN HUTAN RAKYAT (Impacts of Timber Legality Verification System Implementation on the Sustainability of Timber Industry and Private Forest) Elvida Yosefi Suryandari, Deden Djaenudin, Satria Astana dan Iis Alviya Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Eknomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim Jalan Gunung Batu No.5, Bogor 16118, Indonesia Email:
[email protected];
[email protected];
[email protected];
[email protected]
Diterima 30 Mei 2016, direvisi 22 Maret 2017, disetujui 5 April 2017
ABSTRACT International market requires producers to proof the legality of their wood products to address the issues of illegal logging and illegal trade. Timber Legality Verification System (TLVS) has been prepared by the Government of Indonesia that covering the upstream and downstream wood industries. This paper aims to evaluate gaps in the implementation of TLVS policy and its impact on the sustainability of timber industry. This study was using gap, descriptive and costs-structure analyzes. The study was conducted in three provinces, namely: DKI Jakarta, West Java and D.I. Yogyakarta. Research found that the effectiveness of the TLVS implementation was low due to relatively rapid policy changes. This situation became disincetive for investments in timber business. Private sector perceived that TLVS policy should be applied in the upstream of timber business. Hence, the industry and market in the downstream have not been fully support to this system. Furthermore, TLVS policy implementation was considered ineffective by timber industry as well as private forest managers, especially by micro industry and smallholder private forests. This situation threatened the sustainability of timber industry and private forests. Therefore, Institutions should be strengthened in order to improve the quality of human resources and the competitiveness of products. Keywords: Policy impact of TLVS; costs-structure; micro scale industry; private forest.
ABSTRAK Isu illegal logging dan illegal trading di perdagangan kayu mengakibatkan pasar internasional menuntut bukti legalitas kayu dari produsen. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) disiapkan pemerintah secara mengikat di industri kayu mulai dari hulu sampai hilir. Studi ini bertujuan untuk mengetahui gap implementasi kebijakan SVLK dan dampaknya terhadap keberlanjutan usaha industri kayu. Metode yang digunakan yaitu analisis gap, deskriptif dan struktur biaya. Penelitian dilakukan di tiga provisi: DKI Jakarta, Jawa Barat dan DI Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat implementasi SVLK dipandang rendah karena perubahan kebijakan SVLK yang relatif cepat. Bagi dunia usaha kondisi ini merupakan disinsetif bagi iklim investasi. Persepsi pelaku usaha bahwa kebijakan SVLK lebih ditujukan untuk produk dan kegiatan di hulu sehingga kebijakan terkait hilir (industri dan pasar) belum sepenuhnya mendukung. Implementasi kebijakan SVLK dinilai tidak efektif oleh industri kayu dan hutan rakyat. Pihak yang paling besar merasakan dampak negatif SVLK adalah industri mikro dan petani hutan rakyat. Kondisi ini mengancam keberlanjutan industri kayu dan hutan rakyat. Perlu penguatan kelembagaan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan daya saing produk. Kata kunci: Dampak kebijakan SVLK; struktur biaya; industri mikro; hutan rakyat.
©2017 JPSE All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jpse.2017.14.1.19-37
19
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 19-37
I. PENDAHULUAN Kesadaran masyarakat dunia atas kelestarian dan asal usul kayu telah menjadi tolok ukur penting dalam perdagangan kayu dunia. Isu illegal logging dan illegal trading telah mendorong permintaan kayu di pasar internasional menuntut legalitas kayu dari negara-negara produsen, termasuk Indonesia. Bahkan sejumlah negara konsumen telah memberlakukan regulasi untuk mencegah masuknya kayu illegal, seperti Uni Eropa dengan EU Timber Regulation, Amerika Serikat dengan Lacey Act, dan Australia dengan Australian Prohibition Act. Sebagai salah satu upaya untuk merespon isu tuntutan legalitas kayu di pasar internasional tersebut maka pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) Nomor P.95/Menhut-II/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.43/Menhut-II/2014 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak, dijelaskan bahwa Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) adalah suatu sistem yang menjamin kelestarian pengelolaan hutan dan/atau legalitas kayu serta ketelusuran kayu melalui sertifikasi penilaian Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), sertifikasi Legalitas Kayu (S-LK), dan Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP). Sistem Verifikasi Legalitas Kayu diterapkan di Indonesia untuk memastikan agar semua produk kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia memiliki status legalitas yang meyakinkan, terutama bagi konsumen di luar negeri, sehingga unit manajemen hutan tidak khawatir hasil kayunya diragukan keabsahannya. Demikian pula dengan industri pengolahan kayu, mereka juga lebih yakin terhadap legalitas sumber bahan baku kayunya sehingga lebih mudah meyakinkan para pembelinya di luar negeri.
20
Sistem SVLK tidak hanya dikenakan pada industri tetapi juga pada hutan rakyat sebagai penghasil kayu rakyat. Implementasi SVLK telah dicanangkan secara mandatori yang berlaku bagi semua skala usaha industri. Namun demikian banyak kendala yang ditemui di lapangan paska kebijakan ini ditetapkan terutama untuk industri skala kecil (Gultom et al., 2014) dan petani hutan rakyat (Susilowati, 2014). Pemerintah telah berupaya untuk menghadapi kendala tersebut dengan kebijakan yang relevan. Namun hingga saat ini masih terdapat gap dalam pelaksanaan kebijakan SVLK antara rencana pelaksanaan dan realitas lapangan. Tulisan ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui gap antara kebijakan dan implementasi SVLK pada industri kayu dan hutan rakyat; dan (2) Mengetahui dampak implementasi kebijakan SVLK terhadap pelaku usaha dan pengelola hutan rakyat. II. METODE PENELITIAN Implementasi kebijakan SVLK telah ditetapkan secara mandatory yang berlaku mulai pengelolaan hutan hingga perusahaan pengolahan kayu pada tahun 2013. Perusahaan besar secara umum memiliki kapasitas yang memadai untuk melakukan SVLK baik dari kapasitas sumber dayanya maupun biayanya, berbeda dengan Industri Kecil dan Menengah (IKM). Ketika pasokan kayu bulat yang berasal dari hutan alam mengalami penurunan sementara pasokan kayu dari Hutan Tanaman Industri (HTI) belum dapat diandalkan, maka hutan rakyat diharapkan dapat berperan penting sebagai pemasok kayu baik untuk kebutuhan industri dalam negeri maupun ekspor (Effendi, 2011). Bagaimana dampak SVLK terhadap industri besar, sedang, dan kecil yang memanfaatkan kayu dari hutan rakyat menjadi poin yang penting. Klasifikasi industri dibagi dalam empat golongan yaitu: 1. Industri Besar (banyaknya tenaga kerja 100 orang atau lebih) 2. Industri Sedang (banyaknya tenaga kerja
Dampak Implementasi Sertifikasi Verifikasi ...................(Elvida Yosefi Suryandari, Deden Djaenudin, Satria Astana dan Iis Alviya)
20-99 orang) 3. Industri Kecil (banyaknya tenaga kerja 5-19 orang) 4. Industri Rumah Tangga/mikro (banyaknya tenaga kerja 1-4 orang) (BPS, 2015b). Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), rata-rata investasi industri pengolahan pada tahun 2009, 2010 dan 2011 adalah Rp469 juta, Rp493 juta dan Rp421 juta; sedangkan investasi industri mikro jauh di bawah angka tersebut. Sehingga kategori IKM pada Kementerian Perdagangan dapat diasumsikan sama dengan industri mikro dan kecil (berdasarkan tenaga kerja dibawah 20 orang). Pada kenyataannya suatu kebijakan publik mengadung resiko untuk mengalami kegagalan. Ada tiga faktor yang dapat menyebabkan kegagalan kebijakan, yaitu: (1) Materi atau substansi kebijakan yang buruk (bad policy), (2)Implementasi kebijakan buruk (bad execution) dan (3) Kebijakan bernasib buruk (bad luck) ((Nurrochmat et al., 2016).. Tolok ukur substansi kebijakan yang buruk antara lain: (1) disharmoni kebijakan, (2) inkonsistensi kebijakan, dan ambivalensi kebijakan. Hutan harus dapat menempatkan diri sebagai penyangga
kehidupan sekaligus pendorong sektor lainnya. Solusi permasalahan kehutanan tidak hanya dari aspek silvikultur tetapi juga sosiokultural bahkan aspek politik dan ekonomi. Kegagalan atau keberhasilan suatu kebijakan yang mengatur pengelolaan sumber daya alam banyak dipangaruhi oleh aspek ekonomi politik kehutanan (Nurrochmat et al., 2012). Dampak kebijakan adalah keseluruhan efek yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan dalam kondisi kehidupan nyata (Dye, 2008). Menurut Anderson (2003), dampak kebijakan semua bentuk manfaat positif dan biaya, baik yang langsung maupun yang akan datang, secara material (dapat dihitung/ tangible) atau simbolik (intangible). Menurut Dye (2008) dan Anderson (2003) terdapat sejumlah dampak kebijakan yang perlu diperhatikan yakni: (1) dampak kebijakan terhadap kelompok target; (2) dampak kebijakan terhadap situasi atau kelompok lain selain situasi atau kelompok target (efek eksternalitas atau spillover); (3) dampak kebijakan terhadap kondisi sekarang dan kondisi masa yang akan datang; dan (4) biaya tidak langsung kebijakan, yang mencakup kehilangan peluang dari kegiatankegiatan lainnya. Tulisan ini membatasi
IMPLEMENTASI SVLK Pemerintah Target Kebijakan
Industri
Dampak
Petani hutan rakyat
Positif
Negatif
Analisis gap, deskriptif kualitatif Analisis Struktur biaya
Analisis
REKOMENDASI IMPLEMENTASI SVLK
Sumber (Source) : Data primer (Primary data) Gambar 1. Kerangka pikir penelitian Figure 1. Logical framework of research
21
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 19-37
Tabel 1. Peraturan tentang SVLK Table 1. Regulations on TVLS
No
Peraturan
(Regulations)
Perihal (In terms)
Diskripsi (Description)
1
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan
• Pasal 125 ayat (3) bahwa keberhasilan pengelolaan hutan lestari dicerminkan dari kinerja pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan (IUPHH) • Pasal 100 pemanfaatan hutan rakyat bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal dengan tidak mengurangi fungsinya; • Pasal 119 setiap pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil hutan yang berasal dari Hutan Negara, wajib dilengkapi bersama-sama dengan dokumen yang merupakan sahnya hasil hutan
2
Permenhut Nomor P.38/ MenhutII/2009
Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Rakyat
• Dalam rangka menuju Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), serta penerapan tata kelola kehutanan, pemberantasan penebangan liar dan perdagangannya, perlu ditetapkan Standard Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin Atau pada Hutan rakyat, dengan Peraturan Menteri Kehutanan
3
Permenhut Nomor P.68/ Menhut-II/2011
Perubahan Atas Permenhut Nomor P.38/MenhutII/2009 Tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin Atau Pada Hutan Rakyat
• Untuk lebih menjamin kepastian hukum dan usaha • Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan KayuHutan Tanaman Rakyat ( IUPHHK-HTR), Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Kemasyarakatan (IUPHHK-HKm), Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Desa (IUPHHK-HD), Ijin Usaha Industri Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) dengan kapasitas sampai dengan 2.000 m3 per tahun, Tanda Daftar Industri (TDI), termasuk industri rumah tangga/ pengrajin dan pedagang ekspor, atau pemilik hutan rakyat, dapat mengajukan verifikasi legalitas kayu (LK) secara kolektif
4
Permendag Nomor 64 /M-DAG/ PER/10/2012
Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan
• Untuk mendukung hilirisasi industri kehutanan perlu sumber bahan baku legal dan dikelola secara lestari • Ekspor dapat dilaksanakan oleh industri yang terdaftar dalam Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK) • Dokumen V-Legal wajib untuk panel, woodworking, bangunan prefabs, sebagian pulp dan kertas
5
Permenhut Nomor P.45/ MenhutII/2012
Perubahan Kedua atas Permenhut Nomor P.38/ Menhut-II/2009 Tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Rakyat
• Pemegang IUIPHHK yang mempunyai keterkaitan bahan baku hutan rakyat, wajib memfasilitasi pemilik hutan rakyat untuk memperoleh Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK). S-LK tersebut berlaku selama 10 tahun dan dilakukan penilikan 24 bulan sekali. • Pemegang IUPHHK-HTR, IUPHHK-HKm, IUPHHKHD, IUIPHHK hingga 2.000 m3/thn, TDI, Ijin Usaha Industri (IUI) dengan investasi sampai Rp500.000.000 di luar tanah dan bangunan, termasuk industri rumah tangga/pengrajin dan pedagang ekspor, pengajukan verifikasi LK secara kelompok. • Pelaksanaannya pembiayaan pendampingan dan verifikasi legalitas kayu periode ke-1 (anggaran KLHK) dilakukan secara berkelompok
22
Dampak Implementasi Sertifikasi Verifikasi ...................(Elvida Yosefi Suryandari, Deden Djaenudin, Satria Astana dan Iis Alviya)
No
Peraturan
(Regulations)
Perihal (In terms)
Diskripsi (Description)
• Sertifikat PHPL bagi pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu- Hutan Alam/Hutan Tanaman/ Restorasi Ekosistem (IUPHHK-HA/HT/RE/) pemegang hak pengelolaan berlaku selama 5 tahun sejak diterbitkan dan dilakukan penilikan sekurang-kurangnya 1 tahun sekali. • Sertifikat LK bagi pemegang IUPHHK-HA/HT/RE/ hak pengelolaan, IUPHHK-HTR/HKM/HD/HTHR/ IPK, IUIPHHK, IUI dengan modal investasi lebih dari Rp500.000.000 di luar tanah dan bangunan, pedagang ekspor, hutan rakyat dan Tempat Penampungan Terdaftar (TPT) berlaku selama 3 tahun sejak diterbitkan dan dilakukan penilikan sekurang-kurangnya 1 tahun sekali. • Sertifikat LK bagi IUI dengan investasi sampai dengan Rp500.000.000 di luar tanah dan bangunan, TDI dan industri rumah tangga/pengrajin berlaku 6 tahun dan dilakukan penilikan sekurang-kurangnya 24 bulan sekali.
6
Permenhut Nomor P.42/ MenhutII/2013
Perubahan Ketiga Atas Permenhut Nomor P.38/ Menhut-II/2009 Tentang Standar Dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau Pada Hutan Rakyat
• Berdasarkan hasil evaluasi dan untuk lebih menjamin kepastian hukum maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/MenhutII/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan rakyat
7
Permendag Nomor 81/M-DAG/ PER/122013
Perubahan tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan
8
Permenhut Nomor P.43/ Menhut-II/ 2014
Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pemilikHutan Rakyat
• Penyesuaian terhadap kesiapan pelaksanaan SVLK • Kewajiban kelompok industri A melengkapi dokumen V legal 1 Januari 2013 • Kewajiban kelompok industri B melengkapi dokumen V legal 1 Januari 2015 • Perkembangan kinerja pengelolaan hutan produksi hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu, maka perlu dilakukan pengaturan kembali penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu pada pemegang izin atau pada hutan rakyat
9
PermenLHK Nomor P.95/ MenhutII/2014
Perubahan atas Permenhut Nomor P.43/Menhut-II/2014 Tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pemilik hutan rakyat
• Terdapat hambatan bagi industri kecil dan menengah • Pemilik hutan rakyat, IUIPHHK kapasitas sampai 6.000 m3/tahun, Industri Kecil Menengah ( IKM), TPT, Industri Rumah Tangga/Pengrajin diberikan kesempatan untuk memperoleh pembinaan dan fasilitasi pemerintah (ketrampilan teknis, pembinaan, sertifikasi berkelompok, pembiayaan sertifikasi dan penilikan pertama) • Pemegang ETPIK IKM Mebel yang belum atau sudah memiliki S-LK yang bahan baku produk olahannya belum memiliki S-LK atau Deklarasi Kesesuaian Pemasok ( DKP), untuk ekspor menggunakan Deklarasi Ekspor sampai dengan 31 Desember 2015. • Deklarasi Ekspor adalah pernyataan dari IKM pemilik ETPIK bahwa barang yang diekspor menggunakan sumber bahan baku yang telah memenuhi persyaratan legalitas
23
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 19-37
No
Peraturan
(Regulations)
Perihal (In terms)
Diskripsi (Description)
10
Permendag Nomor 97/M-DAG/ PER/12/2014
Perubahan tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan
• Definisi IKM pemilik ETPIK adalah industri pemilik Tanda Daftar Industri (TDI) dan Izin Usaha Industri (IUI) yang telah mendapat pengakuan sebagai ETPIK tetapi belum memiliki Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) dengan batasan nilai investasi sampai dengan Rp 10 miliar • Dokumen V-Legal wajib untuk panel, woodworking, bangunan prefabs, sebagian pulp dan kertas serta furniture dan kerajinan untuk pelaku usaha besar. Untuk IKM furniture menggunakan Deklarasi Ekspor.
11
PermenLHK Nomor P.96/ Menhut-II/2014
Perubahan Permenhut Nomor P.13/Menhut-II/2013 tentang Standar Biaya Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu
• Penetapan ulang standar Biaya Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu : industri rumah tangga/pengrajin, TDI/IUI <500 juta, IUPHHK<2.000m3,IUPHHK 2.000-6.000 m3, IUI dan IUPHHK >6.000 m3, dan TPT
12
PermendagNomor 66/M-DAG/PER/8/ 2015
Perubahan beberapa ketentuan Permendag RI No. 97/M-DAG/ PER/12/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan
• Permendag ini memungkinkan pengekspor cukup hanya memiliki Deklarasi Ekspor (DE) untuk melakukan ekspor tanpa batas waktu
13
Permendag Nomor 89/M-DAG/ PER/10/ 2015
Perubahan beberapa ketentuan Permendag RI No. 97/M-DAG/ PER/12/2014 jo Permendag Nomor 66/M-DAG/PER/8/ 2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan ;
• Dokumen V-Legal wajib untuk panel, woodworking, bangunan prefabs, sebagian pulp dan kertas serta tidak untuk furniture dan kerajinan
14
PermenLHK Nomor P30/ Menlhk/Setjen/ PHPL.3/3/2016
Penilaian Kinerja Pengelolaan hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada pemegang Izin, Hak Pengelolaan atau Hutan Hak
• Mengurangi hambatan pelaku usaha seperti jangka waktu sertifikasi, pemenuhan kewajiban bahan baku sertifikasi dan peningkatan penerimaan pasar
15
Permendag Nomor 25/M-DAG/PER/4/ 2016
Perubahan atas Permendag Nomor 89/M-DAG/ PER/10/ 2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan
• Furniture dan kerajinan wajib dokumen V legal
Sumber (Source): Data sekunder diolah (Secondary data processed)
24
Dampak Implementasi Sertifikasi Verifikasi ...................(Elvida Yosefi Suryandari, Deden Djaenudin, Satria Astana dan Iis Alviya)
dampak terhadap kelompok target/non target maupun dampak kebijakan saat ini secara langsung dan yang dapat dihitung terhadap keberlanjutan industri dan pengelolaan hutan rakyat. Analisis yang digunakan adalah analisis gap, analisis deskriptif kualitatif dan analisis struktur biaya. Suatu keadaan dimana dalam suatu proses kebijakan selalu terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan pembuat kebijakan dengan apa yang kenyataannya dicapai (sebagai hasil impelementasi kebijakan) (Wahab dalam LAN, 2008). Analisis gap untuk melihat kesenjangan antara aturan yang telah ditetapkan dan implementasinya di daerah. Lebih lanjut menurut Nurrochmat et al. (2016) kesesuaian suatu kebijakan tidak hanya dilihat dari materi muatan dan hirarki, tetapi menyangkut suatu implementasi kebijakan yang dikaji secara bersama-sama. Analisis deskriptif kualitatif untuk melihat dampak pelaksanaan SVLK secara menyeluruh baik sisi positif (menguntungkan) dan negatif (merugikan). Sementara analisis struktur biaya dilakukan untuk mengetahui biaya yang diperlukan oleh industri dan hutan rakyat. Lebih lanjut untuk mengetahui keberlanjutan produksi industri dan hutan rakyat ke depan pasca pemberlakukan SVLK. Lokasi penelitian di DKI Jakarta, Jawa Barat dan DI Yogyakarta, pengambilan data dilakukan mulai 19 April 2016 sampai dengan 23 September 2016. DKI Jakarta untuk mendapatkan data sekunder terkait peraturan perundangan dan wawancara dengan stakeholder terkait. Jawa Barat dan DI Yogyakarta merupakan sentra produksi kayu rakyat sekaligus industri pengolahan kayu. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gap Kebijakan dan Implementasi SVLK Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) adalah forest certification dan sistem penjaminan legalitas kayu Indonesia
yang dibangun dan dikembangkan oleh multistakeholder sejak tahun 2003. Tujuan SVLK untuk memberantas illegal logging yang terjadi di Indonesia, mempromosikan kayu legal yang berasal dari sumber yang lestari, perbaikan tata kelola kehutanan dan meningkatkan martabat bangsa dan kesejahteraan rakyat. Melalui pembahasan yang panjang, SVLK ditetapkan sebagai sebuah kebijakan sejak tahun 2009 melalui Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.38/Menhut-II/2009 jo Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) Nomor P.95/Menhut-II/2014 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. Berdasarkan pada kesepakatan multistakeholder, SVLK bersifat wajib (mandatory) dan telah diimplementasikan secara penuh sejak 1 Januari 2013. Setiap pelaksanaan ekspor produk industri kehutanan untuk Harmonized System (HS) Code yang ditetapkan berdasarkan peraturan menteri perdagangan, wajib menggunakan Dokumen V-Legal. Berikut diuraikan peraturan terkait dan mengatur mengenai SVLK seperti Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa terdapat perbedaan standar biaya pada kedua kebijakan tersebut. Kementerian LHK berusaha untuk melakukan perbaikan kebijakan terkait standar biaya. PermenLHK Nomor P.96/Menhut-II/2014 merupakan merupakan koreksi atas standar biaya pada peraturan sebelumnya (Permenhut Nomor P.13/Menhut-II/2013), sehingga diharapkan dapat membantu meringankan industri kecil dan menengah dalam proses mendapatkan SVLK. Kebijakan SVLK baik yang dikeluarkan oleh Kementerian LHK maupun Kementerian Perdagangan menunjukkan perubahan yang dinamis (cepat), sementara pengguna kebijakan (industri dan hutan rakyat) cenderung lambat dan masih dalam tahap awal
25
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 19-37
Tabel 2. Perbedaan antara Permenhut Nomor P.13/Menhut-II/2013 dan PermenLHK Nomor P.96/Menhut-II/2014 Table 2. Difference between Permenhut Nomor P.13/Menhut-II/2013 dan PermenLHK Nomor P.96/Menhut-II/2014
No 1
Biaya (Cost) VLK atas IRT/ Pengrajin
Permenhut Nomor P.13/MenhutII/2013
PermenLHK Nomor P.96/MenhutII/2014
Berkelompok Rp12.666.000 sd Rp26.394.000
Per industri Rp6.663.800
Upah auditor, dibedakan atas jumlah sampel dan hari yang digunakan (harga per satuan = Rp590.000): Biaya akomodasi pemeriksa lapangan (harga per satuan = Rp500.000) Biaya makan pemeriksa lapang (harga per satuan = Rp54.000) Terdapat 1 paket biaya transport lokal senilai Rp1.000.000 Biaya pelaporan dan pembuatan sertifikat = Rp1.500.000
Untuk per industri, upah auditor, akomodasi dan biaya makan hanya dibatasi 1 orang untuk 2 hari (tidak lagi berdasarkan jumlah sampel) dengan harga persatuan sama dengan Permenhut Nomor P.13/MenhutII/2013
3
26
- 45,37
Tidak ada biaya transport lokal namun ada biaya sewa kendaraan degan nilai Rp650.000/hari Biaya pelaporan dan sertifikat = Rp750.000
2
Perubahan biaya (Cost changes)(%)
pembuatan
VLK atas TDI, Pemegang IUI dengan modal investasi sd Rp500.000.000 & IUIPHHK (kapasitas produksi sd 2.000 m3/th)
Secara kelompok Rp15.220.000 sd Rp28.948.000
Per industri Rp10.060.600
Upah auditor dibedakan berdasarkan jumlah sampel - Untuk jumlah sampel > 10 unit, 20 hari Biaya akomodasi 1 orang: Biaya makan pemeriksa di lapangan untuk 1 orang: Biaya transport lokal Rp1.500.000 Biaya pelaporan dan pembuatan sertifikat = Rp1.500.000
Untuk per industri, upah auditor, akomodasi dan biaya makan hanya dibatasi 1 orang untuk 4 hari Biaya pelaporan dan pembuatan sertifikat = Rp1.000.000 Tidak ada biaya transport lokal tapi ada biaya sewa kendaraan untuk 2 hari dengan biaya perhari Rp650.000 Biaya rapat pembahasan, pengambilan keputusan, opening dan closing meeting diubah yang sebelumnya Orang Kerja (OK) menjadi paket
VLK atas Pemegang IUIPHHK (kapasitas produksi diatas 2.000 sd 6.000 m3/th)
Rp39.414.000
Rp19.448.000
Upah lead auditor 12 hari Biaya pelaporan dan pembuatan sertifikat = Rp2.500.000 Pengumpulan data & informasi = Rp1.000.000 Terdapat biaya ATK Rp2.000.000/ paket Biaya rapat pembahasan, opening dan closing meeting, pengambilan keputusan dalam satuan OK @ Rp53.000
Upah lead auditor dibatasi hanya 5 hari dengan harga satuan yang sama Rp660.000 Biaya pelaporan dan pembuatan sertfikat = Rp1.000.000 Pengumpulan data & informasi= Rp750.000 Tidak ada biaya Alat Tulis Kantor (ATK) Biaya rapat pembahasan, opening dan closing meeting, dalam satuan paket @Rp500.000
- 33,9
- 50,66
Dampak Implementasi Sertifikasi Verifikasi ...................(Elvida Yosefi Suryandari, Deden Djaenudin, Satria Astana dan Iis Alviya)
No
Biaya (Cost)
Permenhut Nomor P.13/MenhutII/2013
PermenLHK Nomor P.96/MenhutII/2014
Perubahan biaya (Cost changes)(%)
4
VLK atas Pemegang IUIPHHK (kapasitas produksi diatas 6.000 m3/th)
Rp49.354.000 Upah lead auditor 14 hari Biaya pelaporan dan pembuatan sertifikat = Rp3.000.000 Pengumpulan data & informasi = Rp1.500.000 Terdapat biaya ATK Rp2.500.00 Biaya transport lokal untuk 14 hari @ Rp600.000 Biaya rapat pembahasan, dalam satuan OK @Rp53.000
Rp28.879.400 Upah lead auditor 8 hari Biaya pelaporan dan pembuatan sertifikat = Rp1.500.000 Pengumpulan data = Rp1.000.000 Tidak ada biaya ATK Biaya sewa kendaraan untuk 3 hari @ Rp650.000 Biaya rapat pembahasan, dalam satuan paket @Rp500.000
- 41,49
5
VLK atas TPT
Rp 13.663.000 Ada upah administrator dan operator 1 orang 7 hari Pengumpulan data & informasi = Rp1.000.000 Biaya pelaporan dan pembuatan sertifikat = Rp2.500.000 Biaya ATK Rp2.000.000/paket Transport lokal 2 hari @Rp600.000 Biaya rapat pembahasan, opening dan closing meeting, satuan OK @ Rp53.000
Rp 9.389.600 Tidak ada upah administrator dan operator Pengumpulan data = Rp500.000 Biaya pelaporan /pembuatan sertifikat = Rp1.000.000 Tidak ada biaya ATK Biaya rapat pembahasan, opening dan closing meeting, pengambilan keputusan diubah dalam satuan paket @Rp500.000
- 31,28
Sumber (Source) : Data sekunder diolah (Secondary data processed)
untuk mengadopsi kebijakan SVLK, bahkan ada yang belum paham tentang kebijakan tersebut. Kebijakan yang terlalu cepat berubah, pada akhirnya, membingungkan pengguna atau bahkan memicu untuk tidak mengadopsi kebijakan tersebut. Dalam Permenhut Nomor P.45/MenhutII/2012 ada kerancuan antara pasal 4 ayat 4b dengan pasal pasal 10 ayat (4) tentang masa berlaku sertifikat dan penilikan. Pada pasal 4 ayat 4b dinyatakan bahwa S-LK pada hutan rakyat berlaku selama 10 tahun dan dilakukan penilikan sekurang-kurangnya 24 bulan sekali. Sementara pada pasal 10 ayat (4) dinyatakan bahwa masa berlaku SLK pada hutan rakyat adalah selama 3 tahun dan dilakukan penilikan sekurang-kurangnya setiap 12 bulan. Ketidakkonsistenan peraturan tersebut tersebut diperbaiki pada peraturan Permenhut Nomor P.42/Menhut-II/2013 yang merupakan perubahan terhadap Permenhut Nomor P.45/ Menhut-II/2012 dimana pada pasal pasal
10 ayat (4) redaksional ‘hutan rakyat’nya dihapus menjadi:“Sertifikat LK bagi pemegang IUPHHK-HA/HT/RE/pemegang hak pengelolaan, IUPHHK-HTR/HKM/HD/ HTHR/IPK, IUIPHHK, IUI dengan modal investasi lebih dari Rp500.000.000 di luar tanah dan bangunan, dan TPT berlaku selama tiga tahun sejak diterbitkan dan dilakukan penilikan (surveillance) sekurang-kurangnya 12 bulan sekali.” (kalimat: pedagang ekspor, pemilik hutan rakyat dihapus). Kemudian pada ayat (6) menjadi: “Sertifikat LK bagi IUI dengan investasi sampai dengan Rp500.000.000 di luar tanah dan bangunan, TDI dan industri rumah tangga/pengrajin dan pedagang ekspor berlaku selama 6 tahun sejak diterbitkan dan dilakukan penilikan (surveillance) sekurangkurangnya 24 bulan sekali.” (ada penambahan kata pedagang ekspor). Dengan demikian masa berlaku SLK dan penilikannya pada hutan rakyat tetap
27
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 19-37
mengacu Permenhut Nomor P.45/MenhutII/2012Pasal 4 Ayat (4b) yaitu 10 tahun dengan masa penilikan setiap 24 bulan sekali. Kementerian LHK lebih menitikberatkan pada bagian hulu (sumber bahan baku kayu) yang memiliki kewenangan pada pengelolaan hutan dan telah berusaha untuk mengurangi hambatan untuk industri kecil baik segi biaya maupun teknis. Kementerian LHK menerbitkan P.95/Menhut-II/2014 untuk mengurangi hambatan pada industri kecil dan menengah dan memberikan kesempatan untuk memperoleh pembinaan dan fasilitasi pemerintah (ketrampilan teknis, pembinaan, sertifikasi berkelompok, pembiayaan sertifikasi dan penilikan pertama). Sertifikat secara kelompok bagi IKM dengan masa berlaku sertifikat dari 3 tahun menjadi 6 tahun dan surveillance dari setahun menjadi 2 tahun. Pembiayaan sertifikasi dan pendampingan untuk IKM telah disediakan oleh Kementerian LHK bersama Multistakeholder Forestry Programme (MFP) sebanyak 33,4 Miliar tahun 2015. Kementerian Perindustrian mengalokasikan anggaran untuk IKM sebesar Rp5 miliar (Kementerian Perindustrian, 2015). Memberikan keringanan dokumen keterangan legalitas bahan baku melalui penggunaan Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP ) dimana dokumen ini diterbitkan sendiri oleh pelaku usaha sesuai dengan sumber bahan bakunya. Sementara kebijakan di bidang hilir yang merupakan ranah Kementerian Perdagangan cenderung melemahkan kebijakan SVLK itu sendiri. Hal tersebut dapat dilihat pada Permendag Nomor 97/M-DAG/PER/12/2014 yang mengamanatkan dokumen V-Legal wajib untuk panel, woodworking, bangunan prefabs, sebagian pulp dan kertas serta furniture dan kerajinan untuk pelaku usaha besar, dan Deklarasi Ekspor untuk IKM furniture. Pada tahun 2015 diterbitkan Permendag Nomor 89/M-DAG/PER/10/2015 yang menyatakan bahwa Dokumen V-Legal hanya diberlakukan untuk panel, woodworking, bangunan prefabs, sebagian pulp dan kertas,
28
namun tidak untuk furniture dan kerajinan. Kemudian peraturan tersebut direvisi dalam Permendag Nomor 25/M-DAG/PER/4/ 2016, bahwa furniture dan kerajinan wajib V legal. Peraturan perdagangan dari segi materi terkesan tidak konsisten dalam upaya mendukung SVLK pada industri hilir. Hal tersebut menunjukkan lemahnya koordinasi antar Kementerian dalam mendukung suatu kebijakan terkait bahan baku yang diambil dari hutan dan perdagangannya. Hal lain yang penting adalah penguatan implementasi EU Timber Regulation di seluruh negara EU untuk mendukung pelaksanaan SVLK di sisi pasarnya. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa jumlah industri kayu sedang dan besar di Indonesia meliputi industri penggergajian kayu, pengawetan kayu, kayu lapis, kayu lapis laminasi, panel kayu, veneer, barang bangunan kayu, kerajinan dan ukiran serta furniture berbasis kayu sejumlah 1.704 unit (BPS, 2015a). Sedangkan jumlah industri yang telah mendapatkan sertifikat VLK hingga Oktober 2015 baik industri sedang dan besar berjumlah 1.380 unit (SILK, 2015). Hingga tahun 2015, IKM yang telah memiliki SLK total 374 unit. Sebanyak 294 difasilitasi oleh Kementerian LHK, sedang 80 unit difasilitasi Kementerian Perindustrian. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DI Yogyakarta) berdasarkan data Kementerian Perindustrian Jakarta, pada tahun 2014 jumlah industri yang telah menerima SLK berjumlah 17 unit yang tersebar di Sleman, Bantul, Umbulharjo, Gunung Kidul dan Yogyakarta. Sementara pada tahun 2015 menurut Dinas Perindustrian dan Peradagangan DI Yogyakarta, jumlah industri IKM yang sudah memiliki SLK berjumlah 20, dan 2 lainnya sedang dalam proses verifikasi. Sedangkan IUPHHK DI Yogyakarta yang memilki sertifikasi hanya 7 unit (Dinas Kehutanan DI Yogyakarta, 2015) Industri yang telah memiliki SLK di Jawa Barat berjumlah 81 unit. Dari jumlah tersebut 34 diantaranya terdapat di Kabupaten Cirebon sedangkan sisanya tersebar antara lain di
Dampak Implementasi Sertifikasi Verifikasi ...................(Elvida Yosefi Suryandari, Deden Djaenudin, Satria Astana dan Iis Alviya)
Bogor, Bekasi, Purwakarta, Padalarang, Tasikmalaya, Ciamis, Majalengka, Karawang dan Bandung. Di Kabupaten Ciamis, terdapat 98 IKM berbasis kayu yang terdiri atas 6 industri veneer, 18 industri barang bangunan kayu, dan 74 industri furniture (Dinas Koperindag Ciamis, 2015). Namun dari jumlah tersebut, hingga saat ini baru 1 industri yaitu PD. Terus Jaya yang telah memiliki sertifikat VLK yang merupakan indusri hulu (barang bangunan dari kayu), sementara indusri hilirnya belum ada yang memiliki VLK . Di sisi lain, implementasi SVLK pada hutan rakyat juga belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Luas hutan rakyat Indonesia pada tahun 2014 tercatat seluas 34,8 juta ha. Apabila luasan tersebut dibandingkan dengan luas hutan rakyat yang telah disertifikasi pada tahun 2014 yaitu 429.672 ha, maka hutan rakyat yang telah disertifikasi baru mencapai 1,23%. Di DI Yogyakarta, terdapat 7 (tujuh ) kelompok hutan rakyat yang telah memilik SVLK, antara lain yaitu Koperasi Wana Tunggal (594,15 ha), Serikat Petani Pembaharu Semoyo (251,38 ha),Unit Manajemen Hutan Rakyat (UMHR) Wono Lestari (1.022 ha), Areal Pengelolaan Hutan Rakyat (APHR) Tunas Mekar, Kelompok Tani Hutan (KTH) Jasema, APHR Paguyuban Mitra Wana Binangun dan Koperasi Wana Lestari Menoreh (820 ha). Selain kelompok tersebut, masih terdapat sembilan kelompok
hutan rakyat yang dalam taraf pendampingan audit SLK (Dinas Kehutanan DI Yogyakarta, 2015). Di Kabupaten Ciamis, pada tahun 2011 terdapat satu kelompok tani yang telah memiliki sertifikat VLK yaitu Kelompok Tani Sejahtera yang berada di Desa dan Kecamatan Cisaga. Kelompok Tani ini berdiri pada tanggal 15 September 2006 yang beranggotakan sebanyak 54 orang. Dari 60 ha luas hutan rakyat, seluas 15,79 ha telah tersertifikasi. Namun pada tahun 2015 saat kajian ini dilakukan, Kelompok Tani Sejahtera ini tidak lagi mematuhi ketentuan untuk tidak menebang pohon selama masa sertifikasi. Ketua kelompok tidak mampu lagi untuk memberi penjelasan dan melarang anggotanya untuk tidak menebang pohon. Kecenderungan masyarakat anggota kelompok untuk menebang pohon disebabkan antara lain: karena kebutuhan, karena para tengkulak dan pabrik-pabrik disekitarnya tidak menuntut kayu bersertifikat sebagai bahan baku industrinya, dan karena tidak ada jaminan bahwa kayu yang telah memiliki sertifikat VLK akan dibeli dengan harga yang lebih tinggi. B. Dampak implementasi SVLK terhadap industri dan pengelola hutan rakyat Kebijakan SVLK dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi industri maupun pengelola hutan rakyat, seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Dampak positif dan negatif pelaksanaan SVLK pada industri dan hutan rakyat Table 3. Positive and negative effects of TVLS implementation on the industry and private fores Industri/petani (Industry/farmer) Industri sedang dan besar (Medium & big scale indusytry)
Dampak Positif (Positive impact) • Mendorong pelaku usaha untuk tertib izin usaha dan penatausahaan hasil hutan • Mendorong untuk tertib manajemen, sehingga dapat evaluasi kinerja industri • Syarat supaya tetap bisa ekspor
Dampak Negatif (Negative impact) • • • •
Belum memberikan nilai tambah yang signifikan Tambahan biaya (sertifikasi) terhadap biaya produksi Belum ada peningkatan akses pasar Kebijakan SVLK yang dinamis, membuat iklim usaha semakin tidak pasti
29
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 19-37
Industri/petani (Industry/farmer) Industri kecil &mikro (small & micro scale industry)
Petani hutan rakyat (Private forest farmers)
Dampak Positif (Positive impact)
Dampak Negatif (Negative impact)
• Mendorong pelaku usaha untuk tertib izin usaha dan penatausahaan hasil hutan • Mendorong untuk tertib manajemen, sehingga dapat evaluasi kinerja industri • Syarat supaya tetap bisa ekspor
Legalisasi hutan rakyat
• Belum memberikan harga output yang tinggi • Biaya sertifikasi besar, mensyaratkan berkelompok memberi dampak tanggung renteng padahal tiap industri memiliki tujuan sendiri • Administrasi memberatkan apalagi SVLK tidak berdampak terhadap eksistensi industri khususnya pasar lokal • Biaya penilikan masih memberatkan apalagi apalagi Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LP & VI) mayoritas berada di Jakarta/ibukota propinsi. Jumlah LP & VI terdekat masih kurang utamanya pada daerah penghasil kayu rakyat dan industri • Syarat administrasi yang rumit memicu adanya celah tambahan biaya transaksi • Adanya celah negosiasi auditor dan industri akan membuat kualitas sertifikasi kurang baik • Penambahan biaya untuk manajemen / tenaga industri pengurusan syarat SVLK • • • •
Petani merasa belum memerlukan SVLK, yang terpenting adalah bagaimana memenuhi kebutuhan sehari-hari Petani masih menganut sistem tebang butuh untuk mencukupi perekonomian Biaya sertifikasi besar, mensyaratkan petani berkelompok memberi dampak tanggung renteng yang menyulitkan Belum meningkatkan partisipasi dalam pelestarian hutan
Sumber (source): Data primer diolah (Primary data processed)
Persepsi dampak ditanyakan kepada sejumlah pengusaha kecil maupun besar dan kelompok petani yang ada di Jakarta, Ciamis/Tasik dan DI Yogyakarta. Dampak positif yang dirasakan oleh pihak pengusaha industri kecil, sedang, maupun besar adalah memiliki assessment untuk syarat ekspor dan manajemen usaha lebih tertib, sehingga dapat mengevaluasi kinerja industri demi eksistensi industri itu sendiri. Sedangkan dampak yang kurang menguntungkan pengusaha sedang dan besar adalah belum ada penambahan akses pasar dan peningkatan harga output karena menggunakan kayu bersertifikasi.
30
Selain itu kebijakan yang mudah berubah, dalam waktu yang singkat membuat iklim usaha semakin tidak pasti. Bagi pengusaha kecil dan mikro, pengurangan biaya assessment untuk SVLK berdasarkan PermenLHK Nomor P.96/Menhut-II/2014 perlu disertai dengan persyaratan kelompok yang berdampak secara tanggung renteng bagi semua anggota kelompok masih menjadi kendala. Melihat pengalaman dari negara lain, persepsi beberapa pelaku usaha di Amerika bahwa pertimbangan kompleksitas dan biaya sertifikasi menjadi poin penting untuk tetap mempertahankan keuntungan. Mereka lebih
Dampak Implementasi Sertifikasi Verifikasi ...................(Elvida Yosefi Suryandari, Deden Djaenudin, Satria Astana dan Iis Alviya)
peduli bagaimana memperoleh keuntungan kompetitif dan memperluas akses pasar daripada sertifikasi (Montague, 2011) Persyaratan administrasi yang dibuat pemerintah seyogyanya untuk mengurangi kebocoran produk kayu ilegal. Rumitnya administrasi bagi industri kecil menimbulkan peluang celah untuk penambahan biaya bagi pengurusan SVLK mengekspor produk kayunya, karena tidak diimbangi dengan kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Apalagi sebagian besar pengusaha kecil ini banyak yang belum memiliki izin usaha sebagai salah satu persyaratan SVLK. Di sisi lain Pratiwi et al. (2015 ) menyatakan bahwa SVLK memiliki persyaratan administrasi yang lebih sederhana dan murah dibanding Forest Stewardship Council (FSC). Melalui skema FSC mendapatkan jaminan harga produk yang lebih tinggi dari konsumen. Upaya untuk meraih keberhasilan program SVLK diperlukan dukungan Pemda khususnya untuk melakukan sosialisasi tentang masalah perizinan bagi syarat SVLK dan melakukan pendampingan di tingkat petani. Kebijakan SVLK berlaku baik untuk peredaran barang kayu dalam negeri maupun ke luar negeri. Namun, sejauh ini SVLK tidak berdampak kepada barang kayu untuk permintaan lokal karena konsumen tidak mensyaratkan sertifikasi. Selama ini petani merasa belum memerlukan SVLK, yang terpenting adalah bagaimana memenuhi kebutuhan sehari-hari bagi keluarganya. Penambahan biaya sertifikasi dan rumitnya administrasi menjadi beban yang tidak ringan, sementara tidak ada peningkatan harga kayu rakyat (Nurrochmat et al., 2016). Pemerintah perlu memberikan sosialisasi lebih intensif dan pendampingan agar petani dan usaha kecil dapat mengadopsi kebijakan dengan lebih baik. Koordinasi pusat ke daerah selayaknya ditingkatkan, mengingat implementasi kebijakan SVLK tidak hanya berdampak terhadap target yaitu industri dan hutan rakyat,
tetapi juga memberikan pengaruh kepada pemerintah daerah, yaitu : • Kebijakan pusat yang mudah berubah berdampak terhadap kurang adanya kepastian dalam pelaksanaan SVLK • Pemerintah daerah (Pemda) kabupaten/ kota kurang terlibat terkait kewenangan terhadap daerah (UU Nomor 23 tahun 2014), sementara di lain pihak sosialisasi masih terbatas dilakukan. • Monitoring industri yang telah sertifikasi SVLK belum terealisasi karena Lembaga Penilai dan Verifikasi Indenpen (LP & VI ) tidak berkoordinasi dengan Pemda (keperluan data base), apakah suatu industri lulus verifikasi atau tidak. Sehingga Pemda belum dapat memantau kegitan SLK di lapangan. Koordinasi antara lembaga verifikasi dan Pemda perlu dilakukan untuk memantau peredaran kayu. • Tumpang tindih kebijakan pemeriksaan peredaran kayu Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) dan SVLK Secara khusus kajian ini juga melihat bagaimana dampak penambahan biaya sertifikasi pada industri mikro, kecil, sedang dan besar yang didasarkan klasifikasi industri atas jumlah tenaga kerja (berdasarkan klasifikasi Badan Pusat Statistik/BPS) terhadap biaya input industri. Pelaksanaan SVLK memberi dampak baik kepada industri sedang besar, kecil dan mikro. Industri sedang dan besar kayu yang menjadi sample meliputi: industri pengergajian kayu, industri pengawetan kayu, industri kayu lapis, industri kayu lapis laminasi, industri veneer, industri barang bangunan kayu, industri kerajinan dan ukiran kayu serta industri mebel kayu di Indonesia. Penambahan biaya sertifikasi pada industri sedang besar (sesuai PermenLHK Nomor P.96/Menhut-II/2014) memberikan dampak penambahan biaya kurang lebih 3% dari keseluruhan biaya input (lihat Gambar 2). Biaya input adalah adalah biaya produksi di luar biaya tenaga kerja antara lain bahan
31
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 19-37
Sumber (Source): BPS, 2015a Gambar 2. Komposisi biaya input industri sedang dan besar Figure 2. Composition of input cost medium and large industrial
baku dan penolong, bahan bakar, sewa gedung, jasa pihak lain, biaya representatif dan lain-lain (BPS, 2015b). Adanya biaya sertifikasi akan menambah komponen dalam biaya input. Biaya yang paling besar adalah biaya bahan baku dan penolong yaitu 84%. Bahan penolong merupakan bahan yang diperlukan dalam proses produksi (jumlah relatif sedikit), namun bukan merupakan bagian dari bahan baku utama untuk produk yang dihasilkan. Adanya penambahan biaya sertifikasi pada biaya input industri sedang dan besar hanya 3%. Dari segi ekonomi biaya sertifikasi ini tidak memberatkan industri sedang besar (Astana et al., 2014), adanya SVLK memudahkan untuk menjaring buyer dan mengikuti pameran di luar negeri yang pada akhirnya akan meningkatkan permintaan (Salam et al., 2015) Dampak implementasi kebijakan SVLK juga dirasakan oleh industri kecil dan mikro (lihat Tabel 4). Untuk industri mikro dan kecil furniture penambahan biaya sertifikasi relatif kurang berpengaruh, karena biaya sertifikasi hingga 5,6%. Penambahan biaya sertifikasi pada industri mikro/rumah tangga Rp6.663.800 akan menambah biaya sebesar 25,3% pada industri kayu.
32
Asumsi yang digunakan untuk menghitung biaya sertifikasi merujuk ketentuan PermenLHK Nomor P.96/Menhut-II/2014. Adanya penambahan biaya sertifikasi pada biaya input industri sedang dan besar diperkirakan hanya 3%. Dari segi ekonomi tentang biaya sertifikasi ini tidak memberatkan industri sedang dan besar. Eksistensi industri sedang dan besar tidak terpengaruh oleh penambahan biaya sertifikasi. Untuk industri mikro furniture penambahan biaya sertifikasi relatif kurang berpengaruh, karena besaran biaya sertifikasi bisa mencapai 5,6%. Penambahan biaya sertifikasi pada industri mikro/rumah tangga akan menambah biaya sebesar 25,3% pada industri kayu dan industri hasil hutan lainnya. Dampak biaya sertifikasi paling berpengaruh pada industri mikro kayu dalam hal ini industri penggergajian, bahan bangunan dan kerajinan. Sementara itu kalau melihat pengalaman sertifikasi kayu di Korea, kurang lebih (77,2%) menyatakan kesediaan mereka untuk membeli kayu bersertifikat produk. Mayoritas responden bersedia membayar produk kayu bersertifikat yaitu kurang dari 5% (premium price)(Cha & Chun, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa konsumen tidak
Dampak Implementasi Sertifikasi Verifikasi ...................(Elvida Yosefi Suryandari, Deden Djaenudin, Satria Astana dan Iis Alviya)
Tabel 4. Persentase biaya sertifikasi terhadap biaya input industri mikro dan kecil. Table 4. Percentage of certification to input cost on micro and small industry
Jumlah industri (unit) Nilai input (Rpx1.000.000) Biaya input per-unit industri (Rp) Biaya sertifikasi (Rp) Persentase biaya sertifikasi (%)
Industri kayu (wood industry) Mikro (micro) Kecil (small) 784.753 20.723
Furniture (Furniture) Mikro (micro) Kecil (small) 122.182 19.475
15.473.068
7.784.568
13.855.047
14.741.387
19.717.118 6.663.800
375.648.699 10.060.600
113.396.793 6.663.800
756.938.998 10.060.600
25,3
2,6
5,6
1,3
Sumber (Source): Data sekunder diolah dari BPS, 2015 (Secondary data processed from BPS, 2015)
akan membeli lebih mahal 5% dari kayu non sertifikat. Sehingga apabila penambahan biaya input lebih dari 5% pada produk bersertifikat SVLK yang akan berimbas terhadap harga output, tentu konsumen tetap lebih memilih kayu yang tidak bersertifikat. Sebagian besar usaha IKM di Indonesia pada tahun 2015 mengaku mengalami kesulitan dalam menjalankan usahanya yaitu 73,96%. Kesulitan utama yang dirasakan oleh usaha kecil adalah kesulitan modal usaha 38,84%, kesulitan pemasaran hasil usaha 25,00%, dan kesulitan bahan baku 22,29% (BPS, 2015). Harapan IKM ke depan dengan adanya SVLK akan membuka pintu pasar yang baru. Kesulitan utama industri furniture kayu adalah keterbatasan bahan baku kayu khususnya kayu jati untuk mebel (Nasikh, 2009). Kendala utama IKM belum sepenuhnya terselesaikan, apalagi jika ditambah dengan persyaratan SLK, sehingga bantuan fasilitasi stakeholder sangat dibutuhkan. Kesulitan pemasaran karena kualitas produk dan kegiatan promosi relatif rendah sehingga sulit untuk bersaing di pasar internasional. Masalah lain adalah kurangnya informasi mengenai peraturan dan peluang untuk masuk ke pasar internasional. Hal ini diduga karena permasalahan sumber daya manusia (SDM). Sehingga pendampingan perlu dilakukan hingga industri tersebut mandiri dalam bentuk asosiasi industri maupun koperasi
hutan rakyat. Seperti APIKRI yaitu Asosiasi Industri Kayu, Kerajinan dan Meubel di DI Yogyakarta yang dapat membantu kesulitan pengusaha/pengrajin baik dari sisi ekonomi sekaligus kelembagaannya. Dampak SVLK terhadap hutan rakyat juga dapat dilihat dari komponen biaya sertifikasi dan penilikan terhadap total biaya pembuatan hutan rakyat. Tabel 5 menunjukkan biaya input hutan rakyat berdasarkan Keputusan Kepala Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan Nomor SK.16/P2H-1/20l2 tentang Biaya per Pohon untuk Pembiayaan dan Pinjaman Pembuatan/Pengayaan dan Pemeliharaan Hutan Rakyat dan hasil wawancara dengan Kelompok Tani Sejahtera di Ciamis dengan asumsinya dalam 1 ha terdapat 500 pohon sengon rakyat. Kelompok Tani Sejahtera, Desa Cisaga Kabupaten Ciamis memiliki luas 15,79 ha dengan jumlah anggota 54 orang, sehingga rata-rata kepemilikan lahan petani 0,3 ha. Kelompok tani ini awalnya adalah cikal bakal Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang digulirkan oleh Perum Perhutani Ciamis tahun 2004. Selanjutnya kelompok tani ini difasilitasi oleh The International Tropical Timber Organization (ITTO) dan Dinas Kehutanan Kabupaten Ciamis. Kelompok tani ini telah dibina kegiatan pembibitan, pembuatan bokashi, pendataan potensi lahan dan persemaian. Tanaman utama adalah
33
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 19-37
Tabel 5 Biaya sertifikasi dan biaya input pembuatan hutan rakyat Table 5. The certification costs and input costs to build private foresty
Biaya hutan rakyat1 daur (6 tahun) (private forest cost (6 year))
SK.16/P2H-1/20l2 (Financing regulation of plantation)/Rp
Biaya input hutan rakyat/ha(1 daur 6 tahun) Biaya input kelompok tani sejahtera Biaya sertifikasi sampel < 25 orang Biaya penilikan Total sertifikasi dan penilikan Biaya sertifikasi+penilikan /biaya input (%)
21.450.000 338.674.050 15.984.000 36.774.000 52.758.000 15,58
Kelompok petani (Group of farmers) “Tani Sejahtera”/Rp 23.250.000 367.094.250 15.984.000 36.774.000 52.758.000 14,37
Sumber (source): Data primer diolah (Primary data processed)
sengon selebihnya adalah sedikit jati, mahoni dan tanaman buah-buahan. Apabila biaya sertifikasi Rp15.984.000/kelompok, maka untuk setiap kelompok tani tersebut terkena biaya tambahan rata-rata 15% dengan asumsi terdapat biaya penilikan setiap 2 tahun. Biaya ini termasuk relatif rendah karena ditanggung secara bersama-sama oleh kelompok. Namun bagi petani penambahan biaya berapun nilainya apabila tidak meningkatkan harga output dianggap tidak menarik. Karena selama ini sumber penghasilan masyarakat tergantung pada hutan rakyat. Keberadaan SVLK belum memberikan dampak berupa harga output yang lebih tinggi dan belum berpengaruh terhadap kelestarian hutan rakyat. Pemasalahan hutan rakyat masih mendasar menganut sistem tebang butuh untuk menyokong kehidupan seharihari. Hal yang senada juga ditemukan pada kelompok tani hutan rakyat di Jawa Tengah bahwa dengan masyarakat merasa tidak diuntungkan dengan adanya SVLK (Erbaugh et al., 2016). Keberadaan SVLK juga tidak dapat menjawab kebutuhan mereka. Secara ekonomi, sertifikasi SVLK untuk hutan rakyat adalah logika yang aneh dan bisa mengurangi luasan hutan rakyat di pedesaan (Nurrochmat et al., 2014) Petani di Jawa Barat dan DI Yogyakarta memiliki kesamaan yaitu memiliki pemahaman yang terbatas tentang SVLK apalagi rata-rata
34
adalah petani berpendidikan rendah yang tidak memungkinkan untuk membuat peta lokasi tanaman hutan rakyat dan memenuhi syarat SVLK, sehingga pendampingan adalah syarat mutlak yang diperlukan oleh petani. Selain itu, petani tidak akan berubah pendiriannya atau pemahamannya jika tidak mendapatkan insentif yang nyata dirasakan. Sosok dan komitmen ketua kelompok memengaruhi anggotanya sehingga pada umumnya akan lebih efektif apabila ketua kelompok tani adalah pengurus desa atau pemuka agama yang disegani. Di sisi lain bagi industri kecil dan mikro, adanya beban biaya sertifikasi SVLK tanpa memperoleh premium price (dari konsumen) berpotensi membuat industri tutup dan menjadi konsekuensi negatif lebih lanjut bagi petani. Tidak hanya di Indonesia, bahkan di Rusia pun, sertifikasi hutan belum memberikan manfaat yang positif bagi masyarakat dan industri kecil dan menengah. Sertifikasi telah mengakibatkan perusahan kecil dan menengah tutup dan masyarakat lokal kehilangan akses untuk kayu gergajian serta harga kayu bakar menjadi meningkat (Tysiachniouk & McDermott, 2015). Sebelumnya Lesniewska & McDermott (2014) menyatakan bahwa penerapan kebijakan yang sama antara industri berskala ekspor dengan industri kecil, justru akan membatasi partisipasi masyarakat sipil dan menciptakan hambatan pasar (barrier)
Dampak Implementasi Sertifikasi Verifikasi ...................(Elvida Yosefi Suryandari, Deden Djaenudin, Satria Astana dan Iis Alviya)
yang tidak proporsional bagi produsen lokal yang berskala kecil. Tujuan pemerintah Indonesia untuk membangun suatu alat verifikasi legalitas yang kredibel dan efisien sebagai salah satu upaya mengatasi persoalan pembalakan liar dan peningkatan daya saing produk kehutanan merupakan awal yang baik. Upaya untuk mencapai tujuan tersebut akan tercapai apabila sertifikasi diberlakukan secara adil berdasarkan skala usaha industri dan pangsa pasarnya. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Terdapat disharmoni antara kebijakan yang dikeluarkan Kementerian LHK dan Kementerian Perdagangan, hal ini diduga merupakan penyebab hambatan dalam implementasi SVLK. Kebijakan SVLK, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah (Kementerian LHK maupun Kementerian Perdagangan) menunjukkan perubahan yang cepat, sementara pengguna kebijakan (industri dan hutan rakyat) tidak dapat mengikuti secara cepat perubahan tersebut dalam penerapan SVLK di lapangan. Perubahan kebijakan yang cepat menunjukkan adanya permasalahan sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan yaitu saat proses formulasi kebijakan maupun tahap adaptasi kebijakan yang disertai dengan pendampingan. Regulasi terkait SVLK umumnya masih parsial dan tidak terintegrasi, dimana regulasi yang dikeluarkan oleh Kementerian LHK lebih difokuskan pada pengelolaan hutan dan berusaha mengurangi hambatan untuk industri kecil baik segi biaya maupun teknis. Sementara kebijakan di hilir yang merupakan ranah Kementerian Perdagangan cenderung melemahkan kebijakan SVLK. Walaupun pada akhirnya direspon dengan kebijakan yang mendukung SVLK termasuk bagi industri mebel. Pelaku usaha memerlukan government consistency dalam penentuan kebijakan yang ditetapkan dalam menjamin
kepastian usahanya. Kebijakan untuk mendukung implementasi SVLK telah banyak digulirkan akan tetapi jumlah industri dan hutan rakyat yang bersertifikat SVLK masih relatif sedikit. Belum banyak dampak positif yang dirasakan oleh industri maupun petani hutan rakyat setelah pelaksanaan SVLK. Pemberlakuan SVLK membuka akses ekspor dan mendorong pelaku usaha untuk tertib usaha, tetapi SVLK belum mampu menjadi insentif pasar bagi pemilik SVLK tersebut. SVLK belum mampu memberikan peningkatan harga output (premium price). Bagi industri kecil/mikro (syarat kelompok dan dampak tanggung renteng masih memberatkan), SVLK belum memberikan akses pasar yang baru, administrasi memberatkan, apalagi kepemilikan sertifikat SVLK juga tidak berdampak terhadap eksistensi industri khususnya pasar lokal, inefisiensi biaya penilikan karena Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LPVI) mayoritas berada di Jakarta/ibukota provinsi, dan syarat administrasi yang rumit. Petani merasa belum memerlukan SVLK, yang terpenting adalah bagaimana memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena biaya sertifikasi yang cukup besar bagi petani, maka petani disyaratkan untuk berkelompok dalam mengajukan sertifikasi yang memiliki dampak tanggung renteng bagi anggota kelompok taninya. Secara umum SVLK juga belum dapat meningkatkan partisipasi dalam pelestarian hutan. Berdasarkan fakta pada tingkat kelompok tani, kebijakan SVLK pada hutan rakyat dan perdagangan kayu di tingkat lokal belum efektif. Penambahan biaya sertifikasi terhadap biaya input tidak memberatkan bagi industri sedang, besar, dan kecil, tetapi memberikan dampak yang memberatkan bagi industri mikro. Biaya lain yang lebih memberatkan adalah biaya untuk memenuhi persyaratan SVLK yaitu segala macam perizinan industri. Kesulitan utama IKM belum sepenuhnya terselesaikan dari segi modal
35
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 19-37
usaha, pemasaran, dan kesulitan bahan baku, sehingga implementasi SVLK di tingkat yang paling rendah masih menemui hambatan. Pembentukan asosiasi atau koperasi untuk industri kecil dipandang sebagai salah satu solusi yang baik dari sisi ekonomi maupun kelembagaan. B. Saran Peningkatan koordinasi antara Kementerian LHK dan Kementerian Perdagangan diperlukan bagi implementasi yang lebih baik. Selain itu perlunya dukungan Kementerian Koperasi dan UKM melalui fasilitasi untuk peningkatan kapasitas/pendampingan di lapangan terhadap kelembagaan Koperasi Unit Desa (KUD) yang berkualitas sebagai lembaga Sertifikasi Kelompok Hutan Rakyat, IKM, industri mikro/rumah tangga. Dukungan tersebut juga diperlukan dari pemerintah daerah dalam bentuk fasilitasi dalam hal perizinan sebagai syarat SVLK. Untuk efisiensi SVLK, diperlukan Lembaga Verifikasi dan Legalitas Kayu (LVLK) pada daerah sentra industri dan daerah penghasil bahan baku kayu rakyat (hutan rakyat). UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGMENT) Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Dinas Kehutanan DI Yogyakarta, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Ciamis, kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi DI Yogyakarta, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Ciamis serta Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim yang telah membantu dalam kegiatan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Anderson, J. E. (2003). (2003). Public policy making : An introduction. Boston: Houghton Mifflin Company. Astana, S., Obidzinski, K., Riva, W.F., Hardiyanto, G.,
36
Komarudin, H., & Sukanda. (2014). Implikasi biaya dan manfaat pelaksanaan SVLK terhadap sektor perkayuan skala kecil. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 11(3), 175–198. BPS. (2015). Profil industri mikro dan kecil. Jakarta: Badan Pusat Statistik. BPS. (2015a). Jumlah industri dan biaya input industri sedang dan besar. Jakarta: Badan Pusat Statistik BPS. (2015b). Konsep perusahaan industri pengolahan. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Cha, J., & Chun, J., YeoChang, Y. (2009). Consumer willingness to pay price premium for certified wood products in South Korea, Jour. Korean For. Soc. 98(2), 203–211. Dinas Kehutanan DI Yogyakarta. (2015). Monev implementasi SVLK di DI Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Kehutanan DI Yogyakarta.. Dinas Koperindag Ciamis. (2015). Profil industri kayu di Kabupaten Ciamis. Ciamis: Dinas Koperindag Ciamis. Dye, T. R. (2008). Understanding public policy (12th ed.). United States: Prentice Hall. Effendi, R. (2011). The study of marketing channel of the community timber. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 8(4), 251–258. Gultom, M., Astana, S., Effendy, R., & Kurniawan, A. S. (2014). Sistem verifikasi legalitas kayu dan perbandingannya dengan sertifikasi sukarela pada level industri. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 11(3), 261–275. Kementerian Perindustrian. (2015). Hambatan sertifikasi SVLK bagi IKM. Jakarta: Kementerian Perindustrian. LAN. (2008). Analisis kebijakan publik. Jakarta: LAN. Lesniewska, F., & McDermott, C. L. (2014). FLEGT VPAs: Laying a pathway to sustainability via legality lessons from Ghana and Indonesia. Forest Policy and Economics, 48(1), 16–23. https://doi.org/10.1016/j.forpol.2014.01.005 Montague, I. B. (2011). Understanding chain-ofcustody certification in the Appalachian Hardwood Region : Primary manufacturers’ practices and perceptions.. Proceedings of the 17th Central Hardwood Forest Conference. Lexington, KY April 5-7, 2010. Newton Square: USDA Forest Service. Nasikh. (2009). Model optimalisasi faktor produksi usaha industri kecil mebel kayu jati di Pasuruan Jawa Timur. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, 11, pp.85-93.
Dampak Implementasi Sertifikasi Verifikasi ...................(Elvida Yosefi Suryandari, Deden Djaenudin, Satria Astana dan Iis Alviya)
Nurrochmat, D. R., Darusman, D., & Ekayani, M. (2016). Kebijakan pembangunan kehutanan dan lingkungan : Teori dan implementasi (Cetakan I). Bogor: Penerbit IPB Press. Nurrochmat, D. R., Dharmawan, A. H., Obidzinski, K., Dermawan, A., & Erbaugh, J. T. (2014). Contesting national and international forest regimes: Case of timber legality certification for community forests in Central Java, Indonesia. Forest Policy and Economics. https://doi.org/10.1016/j.forpol.2014.09.008 Nurrochmat, D.R., Hasan, M.F., Suharjito, D., Hadianto, A., Ekayani, M., Sudarmalik, … Ryandi, E. (2012). Ekonomi politik kehutanan: Mengurai mitos dan fakta pengelolaan hutan . (Nurrochmat, D.R. & Hasan, M. Eds.).. Jakarta: INDEF Pratiwi, S., Wibowo, A., & Giessen, L. (2015). Thirdparty certification of forest management in Indonesia: Analysing stakeholders’ recognition and preferences. Jurnal
Manajemen Hutan Tropika (Journal of Tropical Forest Management), 21(2), 65–75. https://doi.org/10.7226/jtfm.21.2.65 Salam, A.S., Purwanto, & Suherman. (2014). Penerapan V-legal pada industri furnitur kayu di Jepara sebagai upaya meningkatkan nilai jual produk. Jurnal Ilmu Lingkungan, 12(1), 32–41. SILK. (2015). Data industri SLK. (Laporan). Jakarta: SILK. Susilowati, D. (2014). Evaluasi sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) dan praktek lokal di hutan rakyat. (Materi Pelatihan Pusdiklat Kehutanan). Bogor: Pusdiklat Kehutanan. Tysiachniouk, M., & McDermott, C. L. (2015). Certification with Russian characteristics: Implications for social and environmental equity. Forest Policy and Economics, 62, 43–53. https://doi.org/10.1016/j. forpol.2015.07.002
37
38
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 39-56 p-ISSN 1979-6013 e-ISSN 2502-4221 Terakreditasi No. 687/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
POTENSI DAYA TARIK EKOWISATA SUAKA MARGASATWA BUKIT BATU KABUPATEN BENGKALIS PROVINSI RIAU
(Potential Attractions of Ecotourism in Bukit Batu Reserve Game Bengkalis Regency Riau Province) Muaz Haris1, Rinekso Soekmadi2, dan Hadi Susilo Arifin3 1 Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Jl Pajajaran Kampus IPB Baranangsiang, Bogor, Indonesia. E-mail:
[email protected] 2 Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Jalan Lingkar Akademik, Kampus IPB Dramaga. Institut Pertanian Bogor, 16680, Indonesia E-mail:
[email protected] 3 Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Jl. Meranti, Kampus IPB Dramaga, Institut Pertanian Bogor, 16680, Indonesia E-mail:
[email protected]
Diterima 28 November 2016, direvisi 7 Maret 2017, disetujui 5 April 2017
ABSTRACT Bukit Batu Reserve Game (SMBB) is a core zone of The Biosphere Reserve of Giam Siak Kecil-Bukit Batu district that has potential to be developed as an ecotourism site. This study aimed to analyze the potential attractions of tourism object of SMBB by using observational methods and interviews. The analysis was performed based on the criteria in Rating Analsis Object operation (ADO-ODTWA), published by the Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation (2003). The results showed that SMBB has decent potential to be developed with potential index of 86,2%. Potential of SMBB are as follows: rivers and lakes, flora and fauna, peatland, cottage and community’s plantation, Ekominawisata Research Station and Canopy tower, a Japanese research cottage, and village tour. Keywords: ADO-ODTWA; ecotourism; tourism; Bukit Batu Reserve Game.
ABSTRAK Suaka Margasatwa Bukit Batu (SMBB) merupakan zona inti Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai tempat ekowisata. Penelitian ini bertujuan menganalisis potensi daya tarik ekowisata dengan menggunakan metode observasi dan wawancara. Analisis potensi daya tarik menggunkan metode Analisis Daerah Operasi Objek Daya Tarik Wisata Alam (ADO-ODTWA) dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa SMBB layak untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata dengan indeks kelayakan 86,2%. Potensi tersebut adalah sungai dan tasik, flora dan fauna, kawasan gambut; pondok dan perkebunan masyaraka, Stasiun Riset Ekominawisata dan canopy tower, pondok penelitian jepang, dan wisata jelajah desa. Kata kunci: ADO-ODTWA; ekowisata; wisata; Suaka Margasatwa Bukit Batu.
©2017 JPSE All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jpse.2017.14.1.39-56
39
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 39-56
I. PENDAHULUAN Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu (CB GSK-BB) terletak di dua wilayah pemerintahan yaitu Kebupaten Bengkalis dan Kabupaten Siak Provinsi Riau. Kawasan ini ditetapkan sebagai Cagar Biosfer dalam Sidang 21st Session of the International Coordinating Council of the Man and Biosphere, adalah salah satu nominasi dari 22 lokasi yang diusulkan oleh 17 negara (Gesima, Firdaus, & Edorita, 2015) Ekosistem hutan rawa gambut di kawasan CB GSK-BB telah mengalami gangguan. Saat ini masyarakat yang berada di dalam kawasan tersebut memanfaatkan tanggultanggul sungai untuk ditanami padi untuk sekedar bertahan hidup. Deretan hutan belukar sekunder di beberapa tempat telah dialihfungsikan menjadi kebun Karet. Mereka dipaksa oleh kondisi dimana semakin sulitnya untuk bertahan hidup di tengah semakin terbatasnya alternatif mata pencahariannya (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2014). Kondisi CB GSK-BB sangat memprihatinkan, karena sebagian besar kondisi hutan dan lingkungan telah berubah terutama di Blok Suaka Margasatwa Bukit Batu (SMBB). Sungai dengan air hitam yang keruh, dan perubahan tutupan hutan menjadi kebun-kebun karet masyarakat, terutama di sepanjang tanggul-tanggul sungai. Kondisi demikian akan dapat mengancam keberadaan SMBB dengan keunikan ekosistem dan fungsi-fungsi lingkungannya pada masa datang. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha-usaha yang sistematis dalam rangka penyelamatan ekosistem hutan gambut tropis di Blok SMBB (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2014). Upaya perlindungan yang dapat menguntungkan kedua belah pihak, yaitu SMBB tetap lestari dan masyarakat sekitar juga mendapat keuntungan ekonomi tanpa merusak kawasan tersebut. Selain manfaat ekonomi, pengembangan wisata juga dapat meningkatkan kesadaran
40
dan peran serta masyarakat dalam kegiatan konservasi, khususnya apabila kegiatan wisata alam telah memberikan manfaat ekonomi yang besar bagi mereka. Apabila kondisi ini dapat tercapai, maka pembayaran jasa lingkungan wisata alam, seperti di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), dapat bermanfaat sebagai solusi trade-off antara kepentingan ekologi dan ekonomi (Ekayani et al., 2014). Merujuk pada definisi ekowisata yang dirumuskan pada Rencana Strategi Pengembangan Ekowisata Nasional yang menyatakan bahwa ekowisata adalah suatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata berbasis pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan serta berintikan partisipasi aktif masyarakat dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran, berdampak negatif terhadap lingkungan, memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan daerah dan diberlakukan pada kawasan lindung, kawasan terbuka, kawasan binaan serta kawasan budaya (Sekartjakrarini, 2004). Selain itu, dengan disahkannya UndangUndang (UU) Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), yang merupakan hasil pemekaran dari Provinsi Induk Riau, maka Riau mengalami penurunan dalam hal kunjungan wisatawan khususnya wisatawan mancanegara yang selama ini menjadi andalan pemasukan pendapatan asli daerah. Penyebabnya adalah konsentrasi daerah wisata yang lebih terpusat di Pulau Batam dan sekitarnya yang memang secara geografis sangat strategis. Sehingga Riau harus menata kembali bidang pariwisata agar dapat menjadi salah satu sektor yang menyumbangkan pendapatan asli daerah. Tentunya hal ini juga harus didukung dengan potensi yang ada yang mendukung suatu industri pariwisata di Riau. Letak yang strategis tetap menjadi salah satu potensi terbesar Riau. Vibriyanto et al., (2015) menyatakan kehadiran wisatawan dapat meningkatkan
Potensi Daya Tarik Ekowisata Suaka Margasatwa Bukit Batu..............(Muaz Haris1, Rinekso Soekmadi2, dan Hadi Susilo Arifin)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan menjaga kawasan alam untuk keberlangsungan wisata alam. Tanpa keindahan dan konservasi lingkungan tidak akan ada aktivitas wisata, dan itu berarti tidak ada manfaat ekonomi bagi masyarakat. Berdasarkan keadaan tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan melihat potensi obyek dan daya tarik ekowisata yang ada di SMBB II. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di SMBB Kecamatan Bukit Batu Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2016 sampai bulan April 2016. Alat yang digunakan yaitu alat tulis, kamera, Global Positioning System (GPS) dan tally sheet. Bahan yang diperlukan yaitu kuesioner, panduan wawancara dan peta kawasan SMBB. Pengumpulan data daya tarik menggunakan kuesioner panduan Analisis Daerah Operasi Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ADOODTWA) yang telah dimodifikasi dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA, 2003). Responden terdiri dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi Riau, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bengkalis, dan masyarakat mitra polisi hutan. Responden dipilih dengan metode purposive sampling. Pengumpulan data untuk potensi obyek dan daya tarik wisata alam dilakukan dengan pengamatan lapang. Pengamatan lapang ini dimaksudkan sebagai verifikasi potensi obyek dan daya tarik wisata serta sarana prasarana wisata dari hasil studi pustaka dan informasi dari petugas serta masyarakat sekitar SMBB dengan keadaan/kondisi yang ada di lapangan. Aspek-aspek yang diamati yaitu; 1. Kondisi biologi; unsur yang diamati adalah jenis flora dan fauna yang dijumpai di sekitar obyek wisata. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode jelajah (Cruise Method) (Rugayah & Pratiwi, 2004). Untuk pengamatan satwa dilakukan
pada pagi dan sore. Flora dan fauna yang ditemui selama waktu pengamatan di sepanjang jalur jelajah kemudian dicatat di tally sheet. 2. Daya tarik; unsur yang diamati meliputi keunikan, kepekaan, variasi kegiatan, sumber daya alam yang menonjol, kebersihan lokasi, keamanan, kenyamanan. 3. Aksesibilitas; unsur yang diamati yaitu kondisi dan jarak jalan darat, tipe jalan. 4. Akomodasi; dilakukan dengan melihat dan mencari informasi mengenai penginapan dalam radius 15 km dari obyek. 5. Sarana-prasarana penunjang meliputi kantor pos, jaringan telepon, Puskesmas, jaringan listrik, jaringan air minum, rumah makan, pusat perbelanjaan/pasar, bank, toko souvenir/cinderamata. 6. Ketersediaan air bersih; unsur yang diamati meliputi volume, jarak sumber air terhadap lokasi obyek, dapat tidaknya/ kemudahan air dialirkan ke obyek, kelayakan dikonsumsi dan kontinuitas. Daya tarik merupakan modal utama yang memungkinkan datangnya pengunjung untuk itu bobot kriteria daya tarik diberi angka tertinggi yaitu 6. Penilaian aksesibilitas diberi bobot 5 karena aksesibilitas merupakan faktor yang sangat penting dalam mendukung potensi pasar. Kondisi lingkungan sosial ekonomi dinilai dalam radius 5 (lima) km dari batas intensive use atau jarak terdekat dengan obyek. Kriteria penilaian kondisi lingkungan sosial ekonomi diberi bobot 5 karena kriteria ini juga sangat penting dalam mendukung potensi pasar. Penilaian kriteria akomodasi diberi bobot 3. Penilaian kriteria sarana-prasarana penunjang diberi bobot 3 karena sifatnya sebagai penunjang.Air bersih merupakan faktor yang harus tersedia dalam pengembangan suatu obyek baik untuk pengelolaan maupun pelayanan. Bobot yang diberikan untuk kriteria ketersediaan air bersih adalah 6. Hasil penilaian seluruh kriteria obyek dan daya tarik wisata alam tersebut digunakan untuk
41
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 39-56
melihat dan menentukan obyek prioritas yang akan dibuat alternatif perencanaannya. Data mengenai potensi ODTWA diolah dengan menggunakan Pedoman Analisis Daerah Operasi Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ADO-ODTWA) (Ditjen PHKA, 2003) yang telah dimodifikasi sesuai dengan nilai/ skor yang telah ditentukan untuk masingmasing kriteria. Jumlah nilai untuk satu kriteria penilaian ODTWA dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut: S= N x B Keterangan: S = skor/nilai suatu kriteria N = jumlah nilai unsur-unsur pada kriteria B = bobot nilai Hasil penilaian terhadap unsur dan sub unsur tiap-tiap kriteria ODTWA di kawasan SMBB kemudian diklasifikasikan tingkat kelayakannya untuk pengembangan potensi ODTWA. Pengklasifikasian tingkat kelayakan potensi ODTWA di kawasan SMBB menggunakan perhitungan sebagai berikut: Banyaknya klasifikasi ada 3, yaitu:
Interval =
Nilai Maksimal - Nilai Minimal Banyaknya Klasifikasi
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi Hasil pengolahan data mengenai obyek dan daya tarik wisata alam tersebut kemudian diuraikan secara deskriptif. Hasil penilaian seluruh kriteria obyek dan daya tarik wisata alam tersebut digunakan untuk melihat dan menentukan obyek prioritas yang dibuat alternatif perencanaannya. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Potensi Obyek Daya Tarik Wisata Alam Hasil pengamatan yang dilakukan di kawasan SMBB diperoleh beberapa atraksiatraksi yang berpotensi untuk dikembangkan. Potensi tersebut berasal dari dalam kawasan SMBB dan desa yang berbatasan langsung dengan kawasan (lihat Tabel 1). Tabel 1 menunjukkan bahwa daya tarik wisata alam di SMBB memiliki nilai daya tarik yang tinggi yaitu sebesar 1.170. Nilai tersebut menggambarkan bahwa kawasan SMBB sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata. Atraksi-atraksi yang berpotensi sebagai daya tarik wisata tersebut yaitu;
Tabel 1. Penilaian kriteria daya tarik SMBB Table 1 . Asessement of criteria in SMBB’s attractions
No. (No.)
Unsur/Sub Unsur (Element/Sub Element)
Nilai (Score)
1. Keunikan sumber daya alam 2. Kepekaan sumber daya alam 3. Variasi kegiatan wisata 4. Jenis sumber daya alam yang menonjol 5. Kebersihan Lokasi 6. Keamanan 7. Kenyamanan Jumlah (nilai x bobot (6))
20 30 25 30 30 30 30 195 x 6 = 1.170
Keterangan: 450-720 = Rendah; 721-990 = Sedang; 991-1260 = Tinggi Sumber (Source): Data primer (Primary data)
42
Potensi Daya Tarik Ekowisata Suaka Margasatwa Bukit Batu..............(Muaz Haris1, Rinekso Soekmadi2, dan Hadi Susilo Arifin)
1. Sungai dan Tasik Sungai di kawasan ini berair hitam khas kawasan rawa gambut. Pada keadaan yang tenang, air sungai akan memantulkan pepohonan yang tumbuh di pinggiran sungai seperti cermin yang sangat besar. Selain sungai, SMBB juga memiliki tasik-tasik (danau kecil) yang indah. Tasik yang terdapat di kawasan SMBB adalah Tasik Kemenyan, Tasik Nyiur, Tasik Terentang, dan Tasik Sembilan. 2. Flora dan Fauna Hasil pengamatan langsung serta wawancara dengan pengelola kawasan dan masyarakat, di kawasan SMBB dapat ditemukan beberapa spesies flora dan fauna.
Jenis flora yang dapat ditemukan di SMBB dapat dilihat pada Tabel 2. Jenis tumbuhan rasau (Pandanus helicopus) dan bakung (Crinum asiaticum) dapat ditemui di sepanjang sungai. Rasau merupakan sejenis tumbuhan pandan yang memiliki duri di setiap organ tumbuhannya seperti batang, daun, dan buah. Rasau dan Bakung tumbuh subur sehingga menutupi sungai. Banyaknya tumbuhan rasau dan bakung yang tumbuh, membuat akses menuju kawasan sangat sulit. Wisatawan yang masuk ke kawasan hendaknya menggunakan kacamata dan baju berlengan panjang, agar tidak tergores oleh duri tumbuhan rasau. Selain flora kawasan SMBB juga
Tabel 2. Flora dan Faunayang ditemukan selama penelitian Table 2.Flora and Fauna which is found during research No. (No.) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Flora/Flora Nama Latin (Scientific Name) Shorea spp. Palaquium sp. Gonystylus bancanus Tetramerista glabra Camnosperma coriaceum Dyera lowii Shorea uliginosa Anisoptera costata Palaquium walsurifolium Schima wallichii Litsea amora Callophyllum grandiflorum Baccaurea griffithi Cinnamomum sp. Shorea farviflora Macaranga pruirosa Kokoona sp. Parashorea aptera Shorea leprosula Shorea conica Cratoxylum formosum Tristaniopsis sp. Polyalthia hypoleuca Vatica stapfiana Dillenia sp. Crytostachys lakka Ficus racemosa
Nama Lokal (Local Name) Meranti Balam Ramin Punak Terentang Jelutung Meranti bakau Mersawa Balam suntai Samak Medang Bintangur Bengkurung Medang kepinding Meranti bungo Mahang Perupuk Meranti batu Meranti pirang Meranti kunyit Geronggang Pelawan Tepis Resak Kelat Pinang Merah Kayu ara
Fauna/Fauna Nama Latin Nama Lokal (Scientific Name) (Local Name) Hypolimnas bolina Graphium dason Ariadne ariadne Moduza procris Neurothemis terminate Orthetrum pruinosum Orthetrum Sabina Brachytemis contaminata Crocothemis servilia Neurothemis ramburii Varanus salvator Trachypithecus cristatus Macaca nemestrina Macaca fascicularis Calloscrius notatus Eurystomus orientalis Acridotheres javanicus Pycnotous aurigaster Geopelia sp. Rhyticeros corrugatus Aethopyga siparaja Pericrocotus igneus Aegithina viridissima Aeghithina tiphia
Kupu-Kupu Kupu-Kupu Kupu-Kupu Kupu-Kupu Capung Capung Capung Capung Capung Capung Biawak Lutung Beruk Monyet/Kera Tupai Raja udang Jalak Merebah Balam Enggang Cecap dedi Cecap Kedidi Kedidi
43
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 39-56
No. (No.) 28 29 30 31
Flora/Flora Nama Latin (Scientific Name) Alstonia scholaris Euodia lunu-ankenda Pandanus helicopus Crinum asiaticum
Nama Lokal (Local Name)
Fauna/Fauna Nama Latin Nama Lokal (Scientific Name) (Local Name)
Pulai Tenggek burung Rasau Bakung
Sumber (Source): Data primer (Primary data)
merupakan habitat berbagai jenis fauna seperti serangga, burung, reptil, dan primata. Berbagai jenis kupu-kupu dan capung akan menemani perjalanan wisatawan, kupukupu dan capung yang beraneka warna akan berterbangan di sepanjang sungai ( lihat Tabel 2). Jenis kupu-kupu Graphium dason dapat ditemukan berkelompok di pinggir sungai, mereka memakan bangkai makhluk hidup lainnya yang terdapat di pinggir sungai. Burung enggang (Rhyticeros corrugatus) merupakan ikon ataupun primadona kawasan SMBB (Gambar 1). Ukuran tubuhnya yang besar dengan paruh berwarna putih saat masih muda dan oranye jika sudah dewasa ditambah suaranya yang sangat khas dan unik, membuat burung ini kerap menjadi sasaran perburuan. Burung enggang termasuk hewan yang dilindungi berdasarkan Peraturan
Perlindungan Binatang Liar Nomor 226 tahun 1931, UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang dipertegas dengan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No. 301/ Kpts-II/1991 tentang Inventarisasi Satwa yang dilindungi UU dan SK Menteri Kehutanan Nomor 882/Kpts-II/1992 tentang Penetapan Tambahan Beberapa Jenis Satwa yang dilindungi UU. Selain itu burung enggang termasuk dalam Appendix II Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). 3. Kawasan Gambut Suaka Margasatwa Bukit Batu ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa didasarkan atas pertimbangan bahwa kawasan ini merupakan kawasan yang memiliki karakteristik yang khas, yaitu tipe hutan hujan dataran rendah
Sumber (Source) : Dokumentasi pribadi (Private documentation) Gambar 1. Burung Enggang (Rhyticeros corrugates) ikon kawasan SMBB Figure 1. Hornbill (Rhyticeros corrugates) is icon of SMBB
44
Potensi Daya Tarik Ekowisata Suaka Margasatwa Bukit Batu..............(Muaz Haris1, Rinekso Soekmadi2, dan Hadi Susilo Arifin)
dan rawa gambut dengan keanekaragaman hayati tinggi yang menjadi habitat berbagai jenis satwa langka dan terancam punah disamping juga sebagai penyangga sistem kehidupan disekitarnya. Saat memasuki kawasan gambut, wisatawan hendaknya berhati-hati karena lahan yang tidak padat. Bagian timur dari SMBB mempunyai bentuk klasik, yaitu kubah (dome) yang lebih dangkal pada bagian pinggirnya. Bentuk kubah ini sangat berarti untuk tandon air (aquifer) terutama di musim kemarau karena kemampuan gambut menyerap air tergantung pada ketebalan, kualitas dan densitasnya (Pramana, 2012). Sehingga ekowisata cocok diterapkan di kawasan ini, sebagaimana ekowisata sebagai alat konservasi untuk lahan basah di Florida menemukan bahwa kegiatan ekowisata mampu memengaruhi pelaku ekowisata untuk bertanggung jawab terhadap lingkungan (Lin, 2012). 4. Pondok dan Perkebunan Masyarakat Sebelum memasuki kawasan SMBB, wisatawan bisa melihat perkebunan sawit dan karet milik masyarakat yang berada di area transisi dan area penyangga kawasan. Keunikan perkebunan milik masyarakat ini adalah adanya bedeng/pondok yang sengaja dibangun sebagai tempat istirahat. Pondok yang dibangun di pinggiran sungai memberikan nuansa tersendiri dalam perjalanan menuju kawasan SMBB. Keberadaan perkebunan masyarakat di zona penyangga dan zona transisi menentukan keberlangsungan kawasan SMBB. Menurut Awang (2006) fungsi penyangga haruslah dapat menjadi sebuah kawasan yang juga mampu meningkatkan perekonomian masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga ancaman kawasan dari gerakan perlawanan masyarakat sebagai akibat dari kesenjangan sosial. 5. Stasiun Riset Ekominawisata Badan Penelitian dan Pengembangan (Balibang) Kabupaten Bengkalis dan Canopy Tower Stasiun Riset Ekominawisata Badan
Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kabupaten Bengkalis terdapat di Sungai Temuyut. Stasiun riset ini sengaja dibangun oleh Balitbang Kabupaten Bengkalis sebagai tempat pengamatan satwa dan tempat menginap bagi para peneliti yang ingin meneliti di kawasan SMBB. Stasiun riset ini dibangun dengan sangat baik berupa rumah yang berdindingkan papan. Di sekeliling rumah dipasang pagar kawat untuk mencegah gangguan dari satwa liar. Di dalam rumah ini, para peneliti bisa menginap dengan aman. Selain rumah, Balitbang Kabupaten Bengkalis juga membangun sebuah canopy tower atau yang dikenal oleh masyarakat sebagai rumah tarzan. Canopy tower dibangun di sebuah pohon kempas yang besar dan tinggi. Canopy tower ini terdiri dari tujuh lantai, di lantai yang paling atas, kita bisa melihat hamparan hutan hijau dan mengamati berbagai jenis burung aneka warna yang hilir mudik hinggap di pohon dekat canopy tower. Selain burung, kita juga bisa melihat kawanan tupai dalam jarak yang sangat dekat. 6. Pondok Penelitian Jepang Pondok penelitian Jepang merupakan sebuah pondok yang sengaja dibangun sebagai tempat menginap bagi peneliti Jepang. Sekarang, pondok ini menjadi tempat pemberhentian bagi wisatawan bahkan bisa menjadi tempat menginap bagi wisatawan yang ingin menginap di kawasan SMBB. Pondok ini dibangun di tepian sungai sundak. Pondok sengaja dibangun cukup tinggi dari tanah untuk keselamatan dari gangguan satwa liar. Saat ini keadaan pondok ini tidak terawat, kayu yang dijadikan sebagai penopang pondok sudah mulai lapuk dimakan rayap. Keberadaan pondok ini sangat penting bagi pengunjung yang ingin beristirahat dan melihat satwa, untuk itu perlu adanya pemugaran terhadap pondok ini. 7. Wisata Jelajah Desa Desa Temiang terletak di Kecamatan Bukit Batu Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Luas Desa Temiang adalah 542,55 ha.
45
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 39-56
Batas Desa Temiang adalah: sebelah utara berbatasan dengan Desa Api-api, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sukajadi, Sebelah timur berbatasan dengan Parit I Apiapi dan sebelah Barat Berbatasan dengan kawasan SMBB (Desa Temiang, 2015). Karena berbatasan dengan kawasan SMBB dan sebagai pintu gerbang untuk masuk ke kawasan, sehingga desa ini menjadi kawasan pengembangan obyek wisata SMBB. Chusmeru & Noegroho (2010) menyatakan kegiatan wisata yang bisa dilakukan di desa yaitu wisatawan tinggal dekat dengan suasana tradisional, belajar tentang kehidupan pedesaan dan lingkungan setempat. Beberapa kegiatan yang bisa dijadikan atraksi wisata di Desa Temiang adalah: 1) Pembibitan Meranti Bakau Meranti Bakau (Shorea uliginposa) adalah jenis tanaman yang mampu menghasilkan bioetanol yang tinggi (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2014). Berdasarkan penemuan tersebut mejadikan jenis ini sangat berpotensi untuk dikembangkan, akan tetapi jenis ini termasuk kayu yang dilindungi (IUCN, 2010) sehingga diperlukan usaha pembibitan dalam jumlah yang besar. Wisatawan dapat melihat proses pembibitan tanaman ini di Desa Temiang. 2) Kebun Karet dan Kebun Sawit Masyarakat Desa Temiang rata-rata bekerja sebagai petani karet. Luas Kebun karet menduduki urutan ke 2 dari luas komoditas perkebunan. Luas kebun yang paling besar
adalah perkebunan sawit. Kebun sawit yang ada di Desa Temiang memiliki luas 138,1 ha, sementara itu karet memiliki luas yang tidak begitu jauh dari luas kebun sawit yaitu 135,5 ha (Desa Temiang, 2015). 3. Pembuatan Sampan dan Pompong Masyarakat biasanya menggunakan sampan dan pompong sebagai alat tranportasinya. Beberapa masyarakat bisa membuat sendiri sampan dan pompongnya. Pompong adalah jenis kapal kayu yang berukuran tidak terlalu besar dan dilengkapi dengan mesin sebagai alat bantu untuk bergerak sedangkan sampan ukuruannya lebih kecil dan biasanya menggunakan dayung untuk bergerak. Proses pembuatan sampan biasanya bisa diselesaikan dalam waktu satu bulan, sedangkan untuk pompong tergantung ukurannya, kalau besar bisa diselesaikan dalam waktu 3-4 bulan. 4) Memancing Istilah memancing dalam masyarakat Temiang dikenal dengan Istilah “mengael”. Kebanyakan yang suka memancing adalah kaum perempuan sementara laki-laki biasanya lebih suka meletakkan bubu/lukah di beberapa titik yang diperkirakan sarang ikan. Dari hasil wawancara dengan masyarakat, ikan yang sering dipancing adalah selais (Kryptopterus macrocephalus), toman (Channa sp.), pantau (Rasbora argirotaenia), dan pimping (Parachela oxygastroides). Dari hasil wawancara dengan beberapa masyarakat yang sering memancing, ikan toman merupakan ikan yang menjadi incaran dalam memancing.
Tabel 3. Penilaian kriteria aksesibilitas obyek wisata di SMBB Table 3. Assessment of criteria SMBB’s accessibility No. (No.) 1. 2. 3.
Unsur/Sub Unsur (Element/Sub Element) Kondisi dan jarak jalan darat Tipe Jalan Waktu tempuh dari Ibukota Provinsi Jumlah (nilai x bobot (5))
Nilai (Score) 40 20 20 80 x 5 = 400
Keterangan: 150 - 333,33 = Rendah; 333,34 - 516,66 = Sedang; 516,67 – 700 = Tinggi Sumber (Source): Data primer (Primary data)
46
Potensi Daya Tarik Ekowisata Suaka Margasatwa Bukit Batu..............(Muaz Haris1, Rinekso Soekmadi2, dan Hadi Susilo Arifin)
Tabel 4. Penilaian kondisi lingkungan sosial ekonomi di SMBB Table 4.Assessment of social and economy condition in SMBB
No. (No.) 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Unsur/Sub Unsur (Element/Sub Element) Tata ruang wilayah obyek Status Lahan Mata pencaharian penduduk Pendidikan Sumber daya alam Tanggapan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata
Jumlah (nilai x bobot (5))
Nilai (Score) 30 30 20 30 20 30 160 x 5 = 800
Keterangan: 350- 533,33 = Rendah; 533,34 - 716,66 = Sedang; 716,67 – 900 = Tinggi Sumber (Source): Data primer (Primary data)
Selain ukurannya yang cukup besar sensasi tarikan ikannya juga cukup kuat. B. Aksesibilitas Penilaian terhadap aksesibilitas tergolong sedang (lihat Tabel 3). Penilaian komponen aksesibilitas meliputi beberapa unsur yaitu kondisi dan jarak jalan darat, tipe jalan dan waktu tempuh dari ibukota provinsi. Kondisi jalan menuju Desa Temiang sangat baik berupa jalan aspal sedangkan dari Desa Temiang ke kawasan SMBB melewati jalur sungai yang cukup sulit. Sungai yang tertutupi oleh rasau, bakung, dan pohon tumbang membuat speedboat sulit untuk lewat. Akses yang sulit menuju kawasan bukanlah sesuatu yang menyebabkan akses ke kawasan menjadi sulit, hal yang terpenting dalam ekowisata adalah wisatawan yang datang dengan minat khusus yang tidak membutuhkan fasilitas yang lengkap akan tetapi kejelasan jalan menuju obyek wisata. Tipe jalan berupa jalan aspal dengan lebar hampir 3 meter. Desa Temiang merupakan gerbang atau jalur utama untuk masuk ke kawasan SMBB. Dari Temiang, wisatawan bisa menyewa speedboat milik masyarakat sebagai tranportasi utama untuk masuk ke kawasan. Tarif sewa speedboat dengan operatornya dihitung per hari Rp600.000. Jalur sungai yang dilewati sangat sulit, karena banyak di
tumbuhi rasau dan bakung, bahkan ada pohon tumbang yang melintang sungai. Karena konsep wisata yang akan dikembangkan adalah ekowisata, akses yang sulit ini tidak menjadi hambatan justru menjadi salah satu atraksi wisata yang menarik dan menantang adrenalin. Menurut Ernawati (2010), aksesibilitas yang baik akan membuat suatu lokasi wisata mudah untuk dikunjungi dengan berbagai jenis alat tranportasi. C. Kondisi Lingkungan Sosial Ekonomi Kondisi lingkungan sosial ekonomi tergolong tinggi dengan skor 800 (lihat Tabel 4). Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bengkalis Nomor 19 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bengkalis bahwa kawasan SMBB merupakan kawasan lindung, karena kawasan ini merupakan kawasan yang mampu mengendalikan hidrologi wilayah dan berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir. Melalui kuesioner dan wawancara terhadap masyarakat Desa Temiang yang tinggal berbatasan langsung dengan kawasan SMBB, diketahui bahwa 94% masyarakat mendukung pengembangan kawasan SMBB menjadi kawasan ekowisata (lihat Gambar 2), mengingat sumber daya alam yang terdapat di kawasan SMBB sangat potensial sekali untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata.
47
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 39-56
Sumber (Source) : Data primer (Primary data) Gambar 2. Presentase masyarakat yang ingin mendukung pengembangan ekowisata di SMBB Figure 2. The percentage of people who want to support the development of ecotourism in SMBB
Masyarakat beraharap dengan adanya kegiatan ekowisata dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan kehadiran wisatawan di Desa Temiang. Hasil penelitian di negara-negara berkembang yang dilakukan oleh Agrawal & Redford (2006) menunjukkan bawa secara empiris ekowisata berperan dalam empat indikator konservasi yaitu pembiayaan konservasi, pendidikan konservasi, etika konservasi, dan konservasi sumber daya alam. Adapun dalam hal isu kemiskinan, ekowisata memberikan kontribusi pada peningkatan level pendapatan masyarakat lokal, peningkatan jumlah masyarakat yang bekerja, perbaikan infrastruktur, dan partisipasi lokal. Menurut Ekayani et al. (2014) wisata alam memberikan kontribusi penting bagi konservasi dan pemenuhan ekonomi masyarakat berupa penyerapan tenaga kerja. Masyarakat turut menjaga kelestarian kawasan konservasi yang diperlukan untuk kelangsungan wisata alam, artinya adalah kelangsungan pendapatan masyarakat itu sendiri. D. Pengelolaan dan Pelayanan Pengelolaan obyek dan pelayanan wisatawan merupakan hal yang perlu terus ditingkatkan, karena berpengaruh langsung
48
dengan kepuasan wisatawan dan pelestarian obyek itu sendiri. Kondisi pengelolaan kawasan dan pelayanan berdasarkan unsur dan sub unsur yang dinilai yaitu pengelolaan, kemampuan berbahasa dan pelayanan wisatawan dapat dilihat pada Tabel 5. Jumlah petugas yang berada di kawasan SMBB saat ini berjumlah 13 orang. Mereka merupakan tenaga honorer yang direkrut oleh Kepala Seksi Wilayah II Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi Riau dari masyarakat setempat. Mereka sebenarnya bertugas sebagai pengawas untuk menjaga kawasan SMBB dari perambahan liar, namun jika ada wisatawan yang ingin melakukan penelitian mereka siap untuk menjadi pemandu ke dalam kawasan. Masuk ke kawasan SMBB wisatawan harus mengurus surat izin masuk kawasan konservasi (Simaksi) yang saat ini bisa dibuat di BBKSDA Provinsi Riau. Kemampuan berbahasa petugas cukup rendah dengan nilai 15. Bahasa yang dikuasai adalah bahasa daerah setempat yaitu bahasa melayu dan Bahasa Indonesia. Hal ini akan berpengaruh kepada pelayanan terhadap wisatawan yang berasal dari mancanegara, tentu menuntut kemampuan dalam berbahasa Inggris. Pelayanan petugas dan masyarakat terhadap
Potensi Daya Tarik Ekowisata Suaka Margasatwa Bukit Batu..............(Muaz Haris1, Rinekso Soekmadi2, dan Hadi Susilo Arifin)
Tabel 5. Penilaian Pengelolaan dan Pelayanan di SMBB Table 5. Assessment of management and services in SMBB
No. (No.) 1. 2. 3.
Unsur/Sub Unsur (Element/Sub Element)
Nilai (Score) 25 15 30 70 x 4 = 280
Pengelolaan Kemampuan berbahasa Pelayanan wisatawan Jumlah (nilai x bobot (4))
Keterangan: 80 - 173,33 = Rendah; 173,34 - 266,66 = Sedang; 266,67 – 360 = Tinggi Sumber (Source): Data primer (Primary data)
wisatawan maupun orang baru dinilai baik dengan nilai paling tinggi yaitu 30 dilihat dari segi keramahan (hospitality), kesiapan, dan kesanggupan mengarahkan wisatawan. Jika SMBB dijadikan kawasan ekowisata diperlukan peningkatan kapasitas petugas lapangan yang bersentuhan langsung dengan pelayanan wisatawan dengan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan pelayanan. Thomas (2013) dalam penelitiannya tentang pengembangan ekowisata di Ghana, partisipasi masyarakat dalam ekowisata terhambat oleh kurangnya dukungan pemerintah, kurangnya dana, dan kurangnya pengetahuan di bidang ekowisata. E. Akomodasi Akomodasi merupakan salah satu kriteria yang diperlukan dalam kegiatan wisata, khususnya wisatawan dari wilayah yang jauh. Hasil penilaian terhadap akomodasi dalam radius 15 km dari obyek menunjukkan nilai 105 dengan kategori sedang (Tabel 6). Jumlah
penginapan atau home stay di Desa Temiang yang disediakan oleh masyarakat hanya 7-10 rumah. Menurut Chusmeru & Noegroho (2010) tempat tinggal masyarakat setempat dijadikan home stay dengan konsep berbaur dengan masyarakat supaya wisatawan bisa langsng mempelajari kehidupan masyarakat desa ketika menginap di sana. Selama menginap wisatawan dapat makan bersama dengan masyarakat dengan menu masakan khas desa tersebut. Meskipun ekowisata tidak menuntut akomodasi yang nyaman, akan tetapi tetap harus diperhatikan. Jumlah home stay harus sesuai dengan kapastias wisatawan yang berkunjung, home stay juga harus bersih. Jika home stay memliki kualitas yang buruk akan membuat wisatawan menjadi tidak nyaman dan akan mengurangi jumlah kunjungan ke kawasan tersebut, sehingga terjadi penurunan jumlah wisatawan (Ahmad, 2014).
Tabel 6. Penilaian akomodasi di SMBB Table 6. Assessment of accommodations in SMBB
No. (No.) 1. 2.
Unsur/Sub Unsur (Element/Sub Element) Jumlah penginapan Jumlah kamar Jumlah (nilai x bobot (3))
Nilai (Score) 25 10 35 x 3 = 105
Keterangan: 60 – 100 = Rendah; 101 – 140 = Sedang; 141-180 = Tinggi Sumber (Source): Data primer (Primary data)
49
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 39-56
Tabel 7. Penilaian sarana dan prasarana penunjang di SMBB Table 7. Assessment of facilities and infrastructure in SMBB No. (No.) 1.
2.
Unsur/Sub Unsur (Element/Sub Element)
Nilai (Score)
Prasarana:
50
Sudah Tersedia
Belum Tersedia
• Jaringan telepon • Puskesmas • Jaringan listrik • Jaringan air minum Sarana:
• Kantor pos
Sudah Ada
Belum Ada
• Rumah makan • Pusat perbelanjaan/pasar
• Bank • Toko souvenir • Angkutan umum
30
Jumlah (nilai x bobot (3))
80 x 3 = 240
Keterangan: 60 – 140 = Rendah: 141 – 220 = Sedang: 221 – 300 = Tinggi Sumber (Source): Data primer (Primary data)
F. Sarana dan Prasarana Penunjang Penilaian terhadap sarana dan prasarana penunjang kegiatan ekowisata di SMBB tergolong tinggi dengan skor 240 (Tabel 7). Prasarana memiliki nilai yang tinggi yaitu 40 dibuktikan dengan sudah tersedianya jaringan telepon, Puskesmas/Poskesdes, jaringan listrik, dan jaringan air minum. Tersedianya prasarana tersebut tentu saja membantu wisatawan dalam berkomunikasi, mendapat perawatan jika tiba-tiba sakit, dan mudah mendapatkan air bersih untuk minum. Desa Temiang belum memiliki kantor pos. Sarana penunjang kegiatan ekowisata memiliki nilai 30, hal ini disebabkan beberapa sarana penunjang belum ada dalam radius 10 km dari obyek wisata seperti bank, toko cinderamata, dan angkutan umum. Bank dan toko cinderamata dapat ditemukan di Sungai Pakning yang berjarak 25 km dari obyek wisata. Bank yang bisa ditemukan di Sungai Pakning yaitu Bank BRI, Bank Mandiri, dan Bank Riau Kepri. Selain bank dan toko cinderamata, angkutan umum untuk menuju kawasan juga belum tersedia. Sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan wisata merupakan fasilitas yang
50
membuat kegiatan berwisata berjalan sesuai dengan harapan, namun bagi wisatawan yang mempunyai minat khusus terhadap alam tentu saja sarana dan prasana ini tidak menjadi masalah. Menurut Sekartjakrarini (2009), bagi para eco-tourist dalam mencari pengalaman berwisata yang sejati, keterbatasan sarana dan prasarana pelayanan umumnya tidak terlalu dipersoalkan. Kecenderungan ini membuka peluang bagi daerah yang saat ini masih terisolasi untuk mengembangan pariwisata di wilayahnya. Putra, Anggoro, & Kismartini (2015) menyatakan pembangunan sarana dan prasarana di kawasan ekowisata hendaknya berkualitas dan tidak merusak lingkungan. Lebih lanjut Siswanto & Moeljadi (2015) menyatakan sarana dan prasaran yang baik akan meningkatkan kunjungan wisatawan. G. Ketersediaan Air Bersih Ketersediaan air merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan bagi masyarakat lokal dan tentu saja bagi wisatawan. Penilaian ketersediaan air bersih diperoleh dari hasil wawancara dengan Kepala Desa Temiang dan masyarakat dengan panduan ODTWA dari Ditjen PHKA (2003) (lihat Tabel 8).
Potensi Daya Tarik Ekowisata Suaka Margasatwa Bukit Batu..............(Muaz Haris1, Rinekso Soekmadi2, dan Hadi Susilo Arifin)
Tabel 8. Penilaian ketersedian air bersih di SMBB Table 8. Assessment of availability of clean water in SMBB No. (No.) 1. 2. 3. 4. 5.
Unsur/Sub Unsur (Element/Sub Element)
Nilai (Score)
Volume Jarak sumber air terhadap lokasi Dapat tidaknya/kemudahan air dialirkan ke obyek Kelayakan dikonsumsi Kontinuitas
25 30 25 25 30
Jumlah (nilai x bobot (6))
135 x 6 = 810
Keterangan: 390 – 560 = Rendah; 561 – 730 = Sedang; 731 – 900 = Tinggi Sumber (Source): Data primer (Primary data)
Tabel 8 menunjukkan bahwa ketersediaan air bersih tegolong tinggi dengan skor 810. Kawasan SMBB dialiri oleh sungai yang bermuara ke laut. Masyarakat yang rumahnya berbatasan langsung dengan sungai biasanya menggunakan langsung air sungai untuk mandi, cuci, dan kakus (MCK) sedangkan untuk masyarkat yang jauh dari sungai menggunakan sumur dan sumur bor. Sementara itu air yang digunakan untuk minum mengandalkan air hujan yang ditampung menggunakan drum dan tanki. Selain itu, tempat pengisian ulang air bersih dengan galon yang bisa langsung dikonsumsi. Terdapat tiga tempat pengambilan air bersih yang berasal dari tanki di Desa Temiang. Tersedianya air bersih untuk MCK yang berasal dari sumur dan sumur bor masyarakat bisa dimanfaatkan juga oleh wisatawan, sedangkan untuk air minum dapat diperoleh di depot pengisian air galon yang tersebar di lima tempat di Desa Temiang. Cole (2012) menyatakan bahwa air bersih adalah faktor yang penting dalam pengembangan pariwisata, wisatawan akan menggunakan air bersih tersebut untuk minum dan mandi. H. Hubungan dengan Obyek Wisata Sekitar Kabupaten Bengkalis memiliki beberapa tempat menarik untuk berwisata, selain itu Kabupaten Bengkalis juga memiliki kawasan konservasi yang dikenal dengan Cagar
Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu yang memiliki dua Suaka Maragsatwa. Tentu saja kawasan-kawasan ini sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata di Kabupaten Bengkalis. Selain kawasan SMBB juga terdapat tempat wisata yang berbeda dalam radius 50 km terdapat sejumlah obyek wisata diantaranya berupa obyek wisata bahari, wisata alam dan obyek wisata sejarah. Obyek wisata bahari terdiri dari dua lokasi yaitu Pantai Sepahat dan Pantai Tenggayun, wisata alam satu lokasi yaitu SM Giam Siak Kecil, sedangkan untuk obyek wisata sejarah adalah Situs Datuk Laksmana Raja di Laut. I. Keamanan Hasil penilaian terhadap keamanan di kawasan SMBB meliputi keamanan pengunjung, kebakaran berdasarkan penyebabnya, dan perambahan dalam penggunaan lahan. Hasil pengamatan tentang penilaian keamanan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 menggambarkan bahwa kemanan di kawasan SMBB tergolong sedang dengan nilai 350. Kawasan SMBB memang tidak ada ditemukan gangguang keamanan dan ketertiban masyarakat, dan juga bebas dari kepercayaan yang mengganggu. Namun kawasan SMBB merupakan habitat berbagai jenis satwa, termasuk satwa yang berbahaya seperti harimau sumatera, ular, buaya dan beruang madu. Untuk itu, jika masuk ke
51
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 39-56
Tabel 9. Penilaian kemanan di Kawasan SMBB. Table 9. Assessment of security in SMBB No. (No.) 1. 2. 3.
Unsur/Sub Unsur (Element/Sub Element)
Nilai (Score)
Keamanan Pengunjung Kebakaran Perambahan
25 20 25
Jumlah (nilai x bobot (5))
70 x 5 = 350
Keterangan: 225 – 300 = Rendah; 301 – 375 = Sedang 376 – 450 = Tinggi Sumber (Source): Data primer (Primary data)
kawasan SMBB harus berhati-hati dan harus didampingi oleh pengelola. Kawasan SMBB yang berbatasan langsung dengan Hutan Tanam Industri (HTI) dan perkebunan milik masyarakat setempat membuat kawasan ini rawan untuk terjadinya kebakaran hutan terutama pada saat musim kemarau panjang. Menurut Kurnianto (2008) pengembangan ekowisata dalam perspektif alternative tourism pada kawasan hutan pada tahap awal seolah-olah mengurangi kendali pemerintah terhadap kawasan hutan. Namun partisipasi masyarakat yang sangat besar, justru mengurangi beban pemerintah dalam pembinaan dan pelestarian lingkungan.
Berdasarkan Riyanto (2014) kemanan yang terjamin akan memberikan nilai positif kepada wisatawan. J. Rekapitulasi Penilaian ODTWA Hasil klasifikasi penilaian potensi ODTWA kawasan SMBB merupakan indeks dari hasil penilaian tiap-tiap kriteria (lihat Tabel 10). Berdasarkan hasil penilaian kriteria diketahui bahwa kawasan SMBB memiliki jumlah klasifikasi yang tinggi dengan nilai 4.255 dan indeks kelayakan 82,6%, mengindikasikan bahwa kawasan ini memiliki potensi dan layak untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata. Menurut Karsudi,
Tabel 10. Rekapitulasi Penilaian Kriteria Potensi ODTWA di Kawasan SMBB Table 10. Recapitulation of Potential criteria ODTWA in SMBB No. (No.)
Kriteria (Criteria)
Nilai Maksimal (Max. Value)
Nilai Potensi (Potential Value)
Indeks Potensi (%) (Potential Index (%))
Klasifikasi ODTWA (Classifications)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Daya tarik obyek wisata Aksesibilitas Kondisi lingkungan sosial ekonomi Penilaian pengelolaan dan pelayanan Akomodasi Sarana-prasarana penunjang Ketersediaan air bersih Hubungan dengan obyek wisata sekitar Keamanan
1.260 700 900 360 180 300 900 100 450
1.170 400 800 280 105 240 810 100 350
92,9 57,1 88,9 77,8 58,3 80 90 100 77,8
Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Sedang
Jumlah
5.150
4.255
82,6
Tinggi
Keterangan: 1.765 – 293,32 = Rendah; 293,33 - 4.021,64 = Sedang; 4.021,65 – 5.150 = Tinggi Sumber (Source): Data primer (Primary data)
52
Potensi Daya Tarik Ekowisata Suaka Margasatwa Bukit Batu..............(Muaz Haris1, Rinekso Soekmadi2, dan Hadi Susilo Arifin)
Soekmadi, & Kartodihardjo (2010) suatu kawasan dikatakan layak dikembangkan sebagai kawasan ekowisata apabila indeks kelayakan di atas 66,6%. Dari beberapa kriteria penilaian, hampir semuanya memiliki nilai yang tinggi hanya aksesibilitas, akomodasi dan keamanan saja yang bernilai sedang. Untuk memaksimalkan pengembangan kawasan SMBB menjadi kawasan ekowisata maka aksesibilitas, akomodasi, dan keamanan lebih ditingkatkan pengelolaannya. Ekowisata pada dasarnya tidak terlalu memperhatikan akses yang sulit maupun akomodasi yang terbatas, karena kawasan yang dijadikan lokasi berekowisata merupakan kawasan konservasi yang dijaga kondisi alamiahnya. Kondisi hutan yang masih asli tentu saja menuntut akses, akomodasi, dan keamanan yang kurang baik, sehingga wisatawan yang ingin berkunjung tentu saja dengan minat khusus yang sudah siap dengan akses yang sulit untuk mencapai obyek wisata tersebut. Sekartjakrarini (2009) menyatakan bagi para eco-tourist dalam mencari pengalaman berwisata yang sejati, keterbatasan sarana dan prasarana pelayanan umumnya tidak terlalu dipersoalkan. Kecenderungan ini membuka peluang bagi daerah yang saat ini masih terisolasi untuk mengembangan pariwisata di wilayahnya. Keberhasilan pengusahaan ODTWA sangat ditentukan oleh beberapa faktor yang saling memengaruhi. Secara garis besar, faktor-faktor yang memengaruhi tersebut adalah sumber daya alam atau lingkungan, sumber daya manusia dan sumber daya buatan (fisik dan budaya) sebagai elemen dasar produk wisata. Ketiga faktor ini mesti menjadi perhatian utama dari segenap pihak untuk mencapai keberhasilan yang diharapkan dalam suatu pengembangan ekowisata (Purwanto, 2014). Vegetasi yang terdapat di kawasan SMBB juga menjadi daya tarik wisata. berbagai jenis flora dan fauna endemik yang ada di dalamnya menjadikan kawasan SMBB sebagai kawasan yang unik. Keadaan asli dari SMBB dengan
penyusun ekosistemnya menjadikan kawasan ini memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatwan. Seperti hasil penelitian Muttaqin, Purwanto, & Rufiqo (2011) terhadap potensi Cagar Alam Pulau Sempu Kabupaten Malang Jawa Timur untuk dikembangkan sebagai ekowisata ditemukan potensi daya tarik dari keragaman fauna yang lebih dari 31 jenis dari berbagai ekosistem yang ada. Selain faunanya, lanskap Cagar Alam Pulau Sempu merupakan perpaduan berbagai komponen fisik ekosistem dengan vegetasi sekitar menciptakan panorama yang sangat indah sebagai bagian dan objek daya tarik wisata. Penelitian Flamin & Asnaryati (2013) tentang potensi pengembangan ekowisata di Taman Hutan Rakyat Nipa-nipa Kota Kendari, ditemukan potensi ekowisata yaitu berbagai jenis flora dan fauna dan panorama alamnya, sehingga dapat menjadi daya tarik dalam pengembangan ekowisata. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan SMBB memiliki potensi ekowisata yang layak untuk dikembangkan dengan indeks kelayakan 82,6%. Potensi ekowisata yang ditawarkan oleh kawasan SMBB adalah berupa sungai dan tasik, flora dan fauna, kawasan gambut; pondok dan perkebunan masyaraka, Stasiun Riset Ekominawisata Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kabupaten Bengkalis dan canopy tower, pondok penelitian jepang, dan wisata jelajah desa. Aksesibilitas, akomodasi, dan keamanan merupakan kriteria yang memiliki nilai sedang. Untuk memaksimalkan pengembangan ekowisata di SMBB, ketiga kriteria tersebut menjadi prioritas. B. Saran Saran dari penelitian ini adalah, pengelola hendaknya mengembangkan kawasan SMBB menjadi kawasan ekowisata sesuai ODTWA yang ada. Peran serta pemerintah dan pihak terkait sangat diperlukan untuk
53
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 39-56
mengembangkan dan sebagai fasilitator baik pendanaan pengelolaan kawasan maupun dalam meningkatkan keterampilan masyarakat yang berada di sekitar kawasan. UCAPAN TERIMAKASIH (ACKNOWLWDGEMENT) Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada BBKSDA Provinsi Riau, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bengkalis, Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Bengkalis, Bapak Mistarudin, dan Bapak Mislani Kepala Desa Temiang, yang telah membantu penulis dalam pengumpulan data-data di kawasan SMBB. DAFTAR PUSTAKA Agrawal, A., & Redford, K. (2006). Poverty, development, and biodiversity conservation: Shooting in the dark? Wildlife Conservation Society Working Paper, (26), 1–50. Ahmad, A. (2014). Ecotourism in Brunei Darussalam : A qualitative evaluation of its sustainability. Journal of Human and Environment, 1(2), 56–71. Awang, A. (2006). Sosiologi pengetahuan deforestasi. konstruksi sosial dan perlawanan. Yogyakarta: Debut Press. Chusmeru, & Noegroho, A. (2010). Potensi ketenger sebagai desa wisata di Kecamatan Batu Raden, Kabupaten Banyumas. Jurnal Analisis Pariwisata, 10(1), 16–23. Cole, S. (2012). A political ecology of water equity and tourism. A case study from Bali. Annals of Tourism Research, 39(2), 1221–1241. https:// doi.org/10.1016/j.annals.2012.01.003 Desa Temiang. (2015). Daftar isian potensi desa dan kelurahan, Desa Temiang Kecamatan Bukit Batu Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau, Temiang. Temiang: Desa Temiang.. [Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. (2003). Pedoman analisis daerah operasi obyek dan daya tarik wisata alam. Bogor: Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan. Ekayani, M., Yasmin, R., Sinaga, F., & Maaruf, L.O.M. (2014). Wisata alam Taman Nasional Gunung Halimun Salak: Solusi kepentingan ekologi dan ekonomi. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 19(1), 29–37. Ernawati, N. (2010). Tingkat kesiapan Desa Tihingan-Klungkung, Bali sebagai tempat wisata berbasis masyarakat. Jurnal
54
Analisis Pariwisata, 53(9), 1–8. https://doi. org/10.1017/CBO9781107415324.004 Flamin, A., & Asnaryati. (2013). Potensi ekowisata dan strategi pengembangan TAHURA NipaNipa, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallace, 2(2), 154–168. Gesima, I., Firdaus, & Edorita, W. (2015). Pertanggungjawaban pemerintah terhadap Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu berdasarkan hukum lingkungan internasional. JOM Fakultas Hukum, 2(1), 1–15. [IUCN] International Union for Conservation of Nature. (2010). The IUCN red list of threatened species. Cambridge: IUCN Karsudi, Soekmadi, R., & Kartodihardjo, H. (2010). Strategi pengembangan ekowisata di Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 15(3), 148–154. Kurnianto, I. (2008). Pengembangan ekowisata (ecotourism) di kawasan Waduk Cacaban Kabupaten Tegal. Semarang: Universitas Diponegoro. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (2014). Laporan akhir kumulatif kegiatan kompetitif LIPI tahun anggaran 2014: Pemberdayaan masyarakat Desa Temiang di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu Menuju Konsep Biovillage LIPI. Cibinong: LIPI. Lin, L.-P. (2012). Could Ecotourism be an effective tool for wetland conservation in Florida? In S. Weber (Ed.). Proceedings of the 2011 George Wright Society Conference on Parks, Protected Areas, and Cultural Sites (p.185).. Michigan: The George Wright Society. Retrieved from www.georgewright.org/ gws2011_proceedings.pdf Muttaqin, T., Purwanto, R. H., & Rufiqo, S. N. (2011). Kajian potensi dan strategi pengembangan ekowisata di Cagar Alam Pulau Sempu Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur. Jurnal GAMMA, 6, 152–161. Pramana, Y. (2012). Bentuk dan tingkat partisipasi stakeholders dalam pengelolaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (CBGSKBB), Provinsi Riau. (Skripsi).Bogor: Institut Pertanian Bogor.. Purwanto, S. (2014). Kajian potensi dan daya dukung Taman Wisata Alam Bukit Kelam untuk strategi pengembangan ekowisata. (Tesis). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Putra, A., Anggoro, S., & Kismartini. (2015). Strategi pengembangan ekowisata melalui kajian ekosistem mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Journal of Fisheries Science and Technology, 10(2), 91–97. Rugayah, W., & Pratiwi. (2004). Pedoman pengumpulan data keanekaragaman flora. Cibinong: Pusat Penelitian Biologi LIPI. Sekartjakrarini, S. (2004). Ekowisata; Konsep pengembangan dan penyelenggaraan
Potensi Daya Tarik Ekowisata Suaka Margasatwa Bukit Batu..............(Muaz Haris1, Rinekso Soekmadi2, dan Hadi Susilo Arifin)
pariwisata ramah lingkungan. Dalam Seri Ekowisata. Jakarta: IdeA. Sekartjakrarini, S. (2009). Kriteria dan indikator ekowisata Indonesia. Bogor: IdeA. Siswanto, A., & Moeljadi. (2015). Eco-tourism development strategy Baluran National Park in the Regency of Situbondo, East Java, Indonesia. Journal of Evaluation and Research in Education, 4(4), 185–195.
Thomas, Y. (2013). Ecotourism development in Ghana: A case of selected communities in the Brong-Ahafo Region. J. Hosp. Manage. Tourism,4(3), 69–79. https://doi.org/10.5897/ JHMT2013.0091 Vibriyanto, N., Ismail, A., & Ekayani, M. (2015). Manfaat ekonomi dan daya dukung kawasan Pantai Lombang Kabupaten Sumenep Provinsi Jawa Timur. Jurnal Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan, 2(2), 152–159..
55
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 39-56
Lampiran Daya Tarik Ekowisata di SMBB.
Sungai dengan air hitam
Kawasan gambut dengan tasik-tasik
Pondok masyarakat
Canopy Tower
Stasiun Ekominawisata Balitbang Bengkalis
Pondok Penelitian Jepang
Vegetasi Hutan
Menjelajahi sungai
Sumber (Source): Dokumentasi pribadi
56
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 57-70 p-ISSN 1979-6013 e-ISSN 2502-4221 Terakreditasi No. 687/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
PERSEPSI DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP KONSERVASI EKOSISTEM MANGROVE DI PULAU TANAKEKE SULAWESI SELATAN (Perception and Attitude of Community Towards Mangrove Ecosystem Conservation at Tanakeke Island - South Sulawesi)
Heru Setiawan1, Rini Purwanti1, R. Garsetiasih2 1 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar, Jalan Perintis Kemerdekaan Km 16,5 Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia E-mail:
[email protected];
[email protected] 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor, Jawa Barat, Indonesia E-mail:
[email protected]
Diterima 31 Januari 2017, direvisi 27 Maret 2017, disetujui 29 Maret 2017
ABSTRACT People’s perception and attitude towards mangrove conservation determine the success of mangrove rehabilitation. This study examines the level of people’s perception and attitude toward mangrove conservation at Tanakeke Island. Data collection was conducted by field observation, interview, questionnaire and study literature. The overall number of respondents was 124 people spread proportionally according to the number of family in each village. The level of perception and attitude were obtained by using scoring techniques and factors that influence the level of perception and attitude, then were analyzed by using multiple linear regression. The results showed that based on the community perception, mangrove forests can provide variety of benefit to support their life, both ecology and economically. Level of people’s perception was included in the medium category with 41.1% respondents, 40.3% at lower category and higher category with 18.5% . Levels of public attitudes were dominated at low level by 65.3% respondents, medium category with 25.8% and high category with 8.9%. There were three independent variables that significantly influence the level of public perception on mangrove conservation, namely residence location (villages), education level and participation in mangrove rehabilitation. Independent factor that significantly influence the level of people's attitudes, namely participation in mangrove rehabilitation. Keywords: Mangrove conservation; people perception; people attitude; Tanakeke Island, South Sulawesi.
ABSTRAK Persepsi dan sikap masyarakat terhadap konservasi mangrove sangat menentukan keberhasilan kegiatan rehabilitasi mangrove. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat persepsi dan sikap masyarakat terhadap konservasi ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi lapangan, wawancara, kuesioner dan studi pustaka. Jumlah responden secara keseluruhan adalah 124 orang yang tersebar secara proporsional sesuai dengan jumlah keluarga pada masing-masing desa. Tingkat persepsi dan sikap diperoleh dengan menggunakan teknik skoring dan faktor-faktor yang mempengarui tingkat persepsi dan sikap dianalisis dengan menggunakan analisis statistik regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan masyarakat Pulau Tanakeke memiliki persepsi bahwa hutan mangrove dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupannya, baik secara ekologi maupun ekonomi. Secara umum tingkat persepsi masyarakat Pulau Tanakeke terhadap konservasi mangrove termasuk dalam kategori sedang yaitu 41,1%, kategori rendah 40,3% dan kategori tinggi 18,5%. Tingkat sikap masyarakat didominasi tingkat rendah dengan 65,3%, tingkat sedang 25,8% dan tingkat tinggi 8,9%. Terdapat tiga variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat persepsi masyarakat terhadap konservasi mangrove, yaitu tempat tinggal responden, tingkat pendidikan dan keikutsertaan responden dalam kegiatan rehabilitasi mangrove. Terdapat satu faktor independen yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat sikap masyarakat, yaitu keikutsertaan pada kegiatan rehabilitasi mangrove. Kata kunci: Konservasi mangrove; persepsi masyarakat; sikap masyarakat; Pulau Tanakeke, Sulawesi Selatan.
©2017 JPSE All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jpse.2017.14.1.57-70
57
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 57-70
I. PENDAHULUAN Mangrove adalah berbagai jenis vegetasi dari tingkat sedang hingga tinggi dan semaksemak yang tumbuh di sepanjang daerah pasang surut atau daerah muara sungai di daerah tropis dan sub-tropis antara garis lintang 30°N dan 30°S (Giri et al., 2011). Ekosistem mangrove merupakan salah satu tipe ekosistem yang banyak dimanfaatkan masyarakat pesisir dalam menunjang kehidupannya, baik secara langsung (tangible) maupun tidak langsung (intangible). Hutan mangrove telah terbukti dapat memberikan berbagai manfaat ekonomi dan cadangan makanan bagi masyarakat lokal (Uddin et al., 2013). Nilai ekonomi yang diberikan mangrove di Brazil mencapai US$12,500 /ha/th yang didapatkan dari pemanfaatan ekowisata dan perikanan (Souza and Augusto, 2011). Nilai ekonomi total dari manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat keberadaan dan manfaat pilihan kawasan mangrove di Desa Tawiri, Kota Ambon sebesar Rp7.165.012/ ha/tahun (Soukotta, 2013) dan di Desa Passo, Kota Ambon sebesar Rp6.665.220/ha/tahun (Talakua, 2013). Fungsi hutan mangrove di wilayah pesisir bukan hanya penting sebagai pelindung fisik, tetapi juga sebagai bagian terintegrasi dari eksositem wilayah pesisir lainnya, seperti ekosistem terumbu karang dan ekosistem padang lamun (Pontoh, 2011). Keberadaan hutan mangrove dapat memberikan berbagai manfaat, di antaranya ialah sebagai stabilitator kondisi pantai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, sebagai sumber keanekaragaman biota akuatik dan nonakuatik, sebagai sumber bahan yang dapat dikonsumsi masyarakat dan lain sebagainya (Yuliasamaya et al., 2014). Bagi masyarakat pesisir, ekosistem mangrove berperan penting dalam menopang kehidupan mereka, baik dari aspek ekonomi maupun ekologi. Pada aspek ekonomi, mangrove digunakan untuk arang, kayu bakar, alat tangkap ikan tradisional (paropo), dan tempat penangkapan
58
berbagai jenis ikan, udang dan kepiting, sedangkan dari segi ekologis, ekosistem mangrove berfungsi sebagai penghasil bahan pelapukan (decomposer) yang merupakan sumber makanan penting untuk invertebrata kecil pemakan bahan pelapukan (detritus). Selanjutnya, mangrove juga berperan sebagai makanan bagi hewan yang lebih besar. Ekosistem mangrove juga merupakan daerah asuhan (nursery ground) bagi ikan dan kerang-kerangan (Hussain and Badola, 2010). Hutan mangrove tersebar hampir di seluruh wilayah pesisir di Indonesia, mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi sampai ke Papua. Luasnya sangat bervariasi bergantung pada kondisi fisik, komposisi substrat, kondisi hidrologi, dan iklim yang terdapat di pulau-pulau tersebut. Luas hutan mangrove di Indonesia adalah yang terluas di dunia yang mencapai 3.112.989 ha, atau 22,6% dari total luasan mangrove di seluruh dunia (Giri et al., 2011). Provinsi Sulawesi Selatan dengan panjang garis pantai mencapai 1.937 km dan jumlah pulau 299 buah, merupakan habitat yang potensial bagi tumbuh dan berkembangnya ekosistem mangrove. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2014, luas mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 28.954,3 ha. Dari luasan tersebut hanya 5.238 ha (18%) yang masih dalam kategori baik, sedangkan sisanya dalam kondisi rusak dan sangat rusak. Salah satu ekosistem mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan berada di Pulau Tanakeke, Kabupaten Takalar yang merupakan kawasan mangrove terluas di provinsi tersebut dengan luas mencapai 951,11 ha (Akbar, 2014). Kondisi ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke telah mengalami degradasi yang cukup tinggi. Pada tahun 1970-an luas mangrove di Pulau Tanakeke mencapai 2.500 ha, kemudian pada periode 1990-an turun menjadi 1.300 ha, dan pada saat ini hanya 950 ha. Degradasi hutan mangrove ini tidak hanya terjadi di Pulau Tanakeke, dalam
Persepsi dan Sikap Masyarakat Terhadap Konservasi Ekosistem Mangrove..............(Heru Setiawan, Rini Purwanti dan R. Garsetiasih)
kurun waktu 40 tahun terakhir, tutupan lahan mangrove di seluruh dunia berkurang lebih dari setengahnya (Beys-da-Silva et al., 2014). Laju deforestasi yang terjadi pada hutan mangrove empat kali lebih besar daripada laju deforestasi pada hutan hujan tropis terrestrial (Blanco et al., 2012). Penyusutan luas hutan mangrove yang sangat cepat ini disebabkan meningkatnya populasi penduduk di wilayah pesisir, perubahan iklim, alih fungsi lahan untuk kegiatan pembangunan wilayah pantai, serta kegiatan pertanian dan perikanan (Ushakiranmai and Rajasekhar, 2015). Eksploitasi mangrove untuk kayu bakar dan arang juga menjadi salah satu penyebab terjadinya degradasi mangrove. Pengambilan kayu bakar sebanyak 1,079 m3 di Kabupaten Cilacap menyebabkan penyusutan luas hutan mangrove sekitar 26,551 m2 dan pengambilan kayu bakar sebanyak 0,782 m3 menyebabkan penyusutan luas mangrove sekitar 19,250 m2 (Tumisem dan Suwarno, 2008). Berbagai upaya konservasi ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke terus dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga nonpemerintah. Beberapa diantaranya adalah dengan membentuk kelompok peduli mangrove, melakukan kegiatan rehabilitasi kawasan tambak yang telah rusak dan menginisiasi terbentuknya peraturan desa tentang perlindungan mangrove. Namun seringkali upaya konservasi tersebut mengalami kendala karena ketidaksamaan persepsi dan sikap masyarakat terhadap upaya konservasi mangrove tersebut. Untuk mencegah terjadinya kegagalan yang sama, maka persepsi masyarakat terhadap konservasi ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke menjadi suatu hal yang perlu diketahui, sebab persepsi merupakan suatu dasar dari pembentukan sikap atau perilaku. Persepsi secara umum sering diartikan sebagai cara pandang masyarakat atau seseorang terhadap suatu obyek, baik itu obyek fisik maupun sosial. Menurut Pahlevi (2007), persepsi adalah suatu proses untuk membuat penilaian (judgment) atau membangun kesan
(impression) mengenai berbagai macam hal yang terdapat di dalam lapangan penginderaan seseorang. Sikap adalah kesiapan, kesediaan untuk bereaksi terhadap suatu objek, jadi masih berupa kecenderungan dalam bertindak demi seseorang (Rahayu, 2010). Sikap sangat menentukan perilaku dan tanggapan seseorang terhadap masalah kemasyarakatan serta masalah lingkungan. Persepsi dan sikap masyarakat Pulau Tanakeke terhadap ekosistem mangrove akan memengaruhi dukungannya terhadap keberhasilan upaya konservasi mangrove. Persepsi dan sikap masyarakat sangat terkait dengan berhasil dan tidaknya, atau positif negatifnya perilaku masyarakat dalam mendukung upaya pelestarian ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke. Sumber daya di alam tidak dapat dilestarikan dan dikelola dengan baik tanpa terlebih dahulu mengetahui persepsi dan sikap masyarakat terhadap lingkungan (Lee and Zhang, 2008). Dengan mengetahui persepsi dan sikap masyarakat terhadap sumber daya alam maka akan lebih mudah untuk merancang strategi konservasi dan manajemen yang efektif untuk menjaga agar sumber daya alam tetap lestari dan dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat setempat (Dolisca et al., 2007). Jika seluruh sikap dan perilaku yang dilakukan masyarakat adalah negatif, maka dukungan terhadap upaya konservasi mangrove akan rendah. Persepsi yang positif dari masyarakat merupakan faktor penting yang menentukan kelestarian ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke. Oleh karena itu penilaian terhadap persepsi dan sikap sangat penting dilakukan untuk menunjang keberhasilan kegiatan konservasi mangrove di Pulau Tanakeke. II. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Kegiatan penelitian ini dilakukan pada Bulan Juli sampai dengan November 2015 di Pulau Tanakeke, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi
59
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 57-70
Selatan. Pulau ini terletak di sisi barat daya daratan Provinsi Sulawesi Selatan dan berhadapan langsung dengan perairan Selat Makassar. Secara geografis, pulau ini terletak pada 119°14’22”–119°20’29” BT dan 5°26’43”– 5°32’34” LS. Secara administratif, Pulau Tanakeke terdiri dari lima desa, yaitu Desa Maccini Baji, Desa Balandatu, Desa Tompotana, Desa Rewatayya dan Desa Mattiro Baji. B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan sebagai obyek kajian adalah masyarakat pesisir yang tinggal dan menetap di Pulau Tanakeke. Bahan pendukung penelitian diantaranya adalah peta tematik Pulau Tanakeke dan data sekunder yang terdiri atas data monografi desa dan data statistik terkait lokasi penelitian yang diperoleh dari beberapa instansi di Kabupaten Takalar. Alat yang digunakan antara lain daftar panduan pertanyaan, kuesioner, alat perekam, alat tulis, kompas dan kamera. Alat yang digunakan dalam proses pengolahan data adalah seperangkat komputer dengan perangkat lunak Microsoft Office 2007 (Word, Excel) and SPSS 19 untuk analisis statistik. C. Metode Pengambilan Data Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu salah satu pendekatan penelitian yang lebih mengutamakan kajian empiris untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menampilkan data dalam bentuk numerik. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan teknik simple random sampling,
dengan unit analisis yang digunakan adalah rumah tangga. Kepala rumah tangga dipilih sebagai responden yang mewakili rumah tangga di lima desa yang berada di Pulau Tanakeke. Jumlah keluarga di lokasi penelitian adalah adalah 1.558 keluarga. Penentuan jumlah responden dilakukan berdasarkan formula (Sugiyono, 2009). Keterangan:
λ2 = Standar Error=1 P = Q = Nilai Probability=0,5 N = Populasi d = Standar Deviasi = 0.05 S = Jumlah sampel Berdasarkan formula tersebut, dengan jumlah kepala keluarga 1.558, maka jumlah responden minimal yang harus diambil adalah 124 responden. Jumlah responden terdistribusi secara proporsional pada tiap desa sesuai dengan jumlah keluarga di masing-masing desa. Proporsi jumlah responden pada masingmasing desa dapat dilihat pada Tabel 1. Jumlah responden di Desa Mattiro Baji adalah yang terkecil diantara desa yang lainnya karena hanya terdapat satu dusun yang letaknya berada di Pulau Tanakeke, sedangkan dusun yang lain berada di luar Pulau Tanakeke. Pengambilan data primer dilakukan dengan menggunakan wawancara dan kuesioner. Wawancara juga dilakukan dengan responden kunci, yaitu tokoh
Tabel 1. Jumlah responden pada masing-masing desa Table 1. The number of respondent at each village
1.
Maccini Baji
Jumlah Keluarga (Number of family) 298
2. 3. 4. 5.
Balandatu Tompotana Rewatayya Mattiro Baji
500 318 402 40
No.
Desa (Village)
Sumber (Source): Data primer (Primary data). 2015
60
Jumlah Responden (Number of respondent) 24 40 25 32 3
Persepsi dan Sikap Masyarakat Terhadap Konservasi Ekosistem Mangrove..............(Heru Setiawan, Rini Purwanti dan R. Garsetiasih)
masyarakat yang mempunyai pengetahuan seputar topik penelitian yang terdiri atas kepala desa, tokoh masyarakat dan tetua adat. Kuesioner terdiri dari pertanyaan terbuka dan tertutup. Pertanyaan terbuka digunakan untuk menggali informasi dari responden berkaitan persepsi masyarakat terhadap mangrove, sedangkan pertanyaan tertutup digunakan untuk mengukur tingkat persepsi dan sikap masyarakat terhadap konservasi ekosistem mangrove. Dalam pertanyaan tertutup terdapat lima pilihan jawaban, yaitu sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Jawaban pada pertanyaan tertutup dianalisis dengan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan Skala Likert (Mamuko et al., 2016). Tingkat persepsi seseorang atau sekelompok orang dapat berbeda-beda. Menurut Mamiri (2008), tingkat persepsi masyarakat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah nilainilai dalam diri yang dipadukan dengan halhal yang ditangkap panca indera dari proses melihat, meraba, mencium, mendengar dan merasakan. Faktor tersebut kemudian dikombinasikan dengan faktor eksternal yaitu keadaan lingkungan fisik dan sosial yang kemudian menjadi respon dalam bentuk tindakan. Pada penelitian ini, faktor intenal yang diasumsikan berpengaruh terhadap tingkat persepsi dan sikap adalah tempat tinggal, umur, gender, lama tinggal, daerah asal, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan. Faktor eksternal yang diasumsikan berpengaruh terhadap tingkat persepsi dan sikap adalah keikutsertaan responden pada kegiatan penyuluhan dan kegiatan rehabilitasi. D. Analisis Data Data hasil kuesioner selanjutnya ditabulasikan dengan menggunakan Microsoft Excel. Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif dan analisis statistik regresi linear berganda. Analisis data secara deskriptif
digunakan untuk menggambarkan kondisi daerah penelitian dan menjabarkan data hasil wawancara. Analisis statistik digunakan untuk menilai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat persepsi dan sikap. Untuk memudahkan proses analisis statistik, sebelum proses pengolahan data terlebih dahulu dilakukan skoring pada jawaban responden dan karakteristik responden sesuai dengan hasil kuesioner. Analisis data dilakukan dengan menggunakan Software SPSS 19. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Biofisik dan Karakteristik Responden Posisi Pulau Tanakeke berada di ujung barat daya dari daratan Pulau Sulawesi. Jarak terdekat dengan daratan di Kabupaten Takalar sekitar 3,5 km. Pulau Tanakeke mempunyai luas 43,12 km2, berdasarkan UndangUndang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil, pulau dengan luasan kurang dari atau sama dengan 2.000 km2 dikategorikan sebagai pulau kecil, sedangkan berdasarkan Falkland et al. (1991), Pulau Tanakeke termasuk dalam kategori “sangat kecil” karena mempunyai ukuran tidak lebih dari 100 km2 atau lebarnya tidak lebih besar dari 3 km. Pulau Tanakeke berbatasan dengan perairan laut, sebelah utara berbatasan dengan Selat Makassar, sebelah timur berbatasan dengan Selat Tanakeke dan Desa Takalar, sebelah selatan dan sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar. Secara geomorfologi, Pulau Tanakeke terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan karena adanya gerakan ke atas (uplift) dan gerakan ke bawah (subsidence) dari dasar laut karena proses geologi. Pada saat dasar laut berada dekat permukaan, terumbu karang mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang di dasar laut yang naik. Setelah berada di permukaan air laut, terumbu karang akan mati dan menyisakan terumbu berbentuk pulau karang timbul. Proses ini berlangsung secara terus
61
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 57-70
menerus hingga membentuk daratan pulau karang. Berdasarkan pengamatan di lapangan, kondisi topografi pulau ini merupakan dataran rendah dengan topografi datar dengan tingkat kelerengan 0-8%. Pulau ini memiliki bentuk luar yang berlekuk-lekuk (menyerupai bentuk jari manusia), membentuk laguna dan teluk. Kondisi ini membuat hempasan angin dapat tertahan dan pesisir pantainya kaya akan endapan lumpur yang merupakan habitat yang sesuai untuk tumbuh dan berkembangnya mangrove. Secara umum, masyarakat yang bermukim di Pulau Tanakeke adalah masyarakat asli yang yang berasal dari Suku Makassar. Mereka pada umumnya berasal dari penduduk daratan Pulau Sulawesi yang memutuskan untuk menetap secara permanen di Pulau Tanakeke. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat, nenek moyang masyarakat Pulau Tanakeke adalah orangorang buangan pemerintah kolonial Belanda yang tidak mampu membayar pajak. Kondisi perekonomian penduduk di Pulau Tanakeke secara umum masih dibawah garis kemiskinan. Seperti pada umumnya masyarakat nelayan, masyarakat menggantungkan hidupnya pada kegiatan sektor perikanan, budidaya rumput laut dan usaha-usaha lain yang dapat menopang kehidupannya. Dari jumlah responden sebanyak 124 orang, 90% laki-laki dan 10% perempuan. Secara umum, hampir semua responden (98%) merupakan masyarakat asli yang mendiami Pulau Tanakeke, sedangkan sisanya adalah masyarakat pendatang. Umur responden dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu kurang dari 35 tahun 23,39%, antara 35 sampai 55 tahun 62,10% dan lebih dari 55 tahun 14,52%. Berdasarkan penghasilan per bulan, 19% responden berpenghasilan kurang dari Rp750.000/bulan, 38% berpenghasilan antara Rp750.000-Rp1.500.000/bulan dan 43% mempunyai pengahasilan diatas Rp1.500.000/ bulan. Mayoritas mata pencaharian responden adalah nelayan, baik nelayan tambak maupun nelayan tangkap. Sedangkan mata pencaharian
62
sampingannya adalah petani rumput laut dan pembuat arang. Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan formal terakhir yang telah ditempuh responden sampai penelitian ini dilakukan. Berdasarkan tingkat pendidikannya, 75,81% responden hanya sampai Sekolah Dasar (SD) atau dibawah sekolah dasar, sebesar 24,19% responden menempuh pendidikan formal tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA)/ sederajat. Rendahnya tingkat pendidikan responden disebabkan pada waktu itu sekolah dasar hanya terdapat di Desa Maccini Baji, sementara akses antar desa hanya dapat dilakukan dengan perahu. Kondisi ekonomi yang lemah juga menyebabkan anak-anak usia sekolah harus membantu orang tuanya bekerja. Berdasarkan jumlah anggota keluarga, sebagian besar keluarga terdiri dari 5 sampai 7 orang (41,13%), kurang dari 5 orang sebesar 29,84% dan 29,03% responden memiliki jumlah keluarga lebih dari 7 orang. B. Persepsi Masyarakat Penilaian persepsi masyarakat terhadap pengelolaan kawasan mangrove juga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat (Nanlohy et al., 2014). Persepsi responden terhadap istilah hutan mangrove menyatakan bahwa 78,23% responden menyatakan sudah pernah mendengar istilah hutan mangrove dan sisanya belum pernah mendengar istilah hutan mangrove. Istilah hutan mangrove sebagian besar diketahui masyarakat dari instansi pemerintah dan organisasi nonpemerintah yang pernah mengadakan kegiatan penyuluhan atau rehabilitasi kawasan pesisir di Pulau Tanakeke. Masyarakat yang tidak mengetahui istilah hutan mangrove menyebut mangrove sebagai “bangko”. Sebanyak 50% responden menyatakan bahwa habitat atau tempat tumbuh hutan mangrove berada di sepanjang pantai, 22,58% responden menyatakan di sepanjang pantai dan tambak, 10,48% responden menyatakan di tepi sungai,
Persepsi dan Sikap Masyarakat Terhadap Konservasi Ekosistem Mangrove..............(Heru Setiawan, Rini Purwanti dan R. Garsetiasih)
4,03% responden menyatakan di sekitar tambak, dan 12,90% responden menyatakan bahwa semua tempat tersebut adalah habitat hutan mangrove. Persepsi responden mengenai kondisi hutan mangrove di Pulau Tanakeke, 52,42% responden menyatakan bahwa kondisi hutan mangrove saat ini sudah mulai berkurang akibat adanya penebangan untuk pembuatan arang dan ajir rumput laut, sebanyak 28,23% responden menyatakan hutan mangrove saat ini sudah rusak dan hanya 19,35% responden yang menyatakan kondisi hutan mangrove saat ini masih sangat bagus. Kondisi ini terutama tejadi di desa-desa yang telah dilakukan kegiatan rehabilitasi, sehingga kondisi hutan mangrove saat ini sudah lebih baik bila dibanding beberapa tahun sebelum penghijauan dilakukan, yaitu sebelum tahun 2010. Persepsi masyarakat mengenai fungsi ekologi mangrove, sebanyak 94,35% responden menyatakan mereka setuju bahwa hutan mangrove merupakan tempat berkembangnya ikan, udang dan biota laut lainnya, dan 5,65% responden menyatakan tidak setuju. Persepsi responden terhadap manfaat yang dirasakan dengan keberadaan hutan mangrove adalah sebagai sumber mata pencaharian (0,81%), sumber kayu bakar, arang dan ajir rumput laut (14,52%), penahan ombak, angin dan abrasi (9,68%), sebagai sumber mata pencaharian dan penahan ombak (2,42%), sebagai penahan ombak dan sumber kayu ajir rumput laut (21,77%), dan sebanyak 50,81% responden menyatakan bahwa mereka merasakan semua manfaat tersebut. Selain memiliki fungsi ekologi, hutan mangrove juga memiliki fungsi sosialekonomi yang bermanfaat dalam menopang kehidupan ekonomi masyarakat. Fungsi sosialekonomi mangrove dapat diperoleh secara optimal dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Persepsi responden mengenai fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove perlu diukur sebagai salah satu cara untuk mengetahui kontribusi sosial-ekonomi mangrove bagi kehidupan masyarakat. Hasil
wawancara menyatakan bahwa nilai ekonomi hutan mangrove yang saat ini banyak dirasakan oleh responden adalah adanya alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak, dan pembuatan arang dari kayu mangrove. Persepsi responden digunakan untuk mengetahui bagaimana pendapat mereka dengan adanya dua fenomena tersebut di sekitar lingkungan mereka. Sebanyak 94,35% responden menyatakan setuju dan 5,65% responden tidak setuju dengan adanya alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak. Bagi yang setuju, mereka menyatakan bahwa dengan adanya alih fungsi lahan tersebut membuat pendapatan mereka menjadi lebih meningkat karena hasil yang diperoleh dari tambak lebih banyak daripada jika hutan mangrove tersebut tidak diolah. Responden yang tidak setuju menyatakan bahwa adanya alih fungsi lahan tersebut dapat menyebabkan kerusakan lingkungan karena dapat menyebabkan abrasi dan tidak ada lagi penahan ombak dan angin karena banyaknya tanaman mangrove yang ditebang. Demikian halnya dengan penebangan hutan mangrove untuk dijadikan bahan baku arang, sebanyak 81,45% responden tidak setuju, 16,94% menyatakan setuju dan 1,61% raguragu. Bagi responden yang berpendapat tidak setuju, mereka menyatakan bahwa dengan adanya pembuatan arang, hutan mangrove akan ditebang habis yang menyebabkan sebagian area menjadi gundul sehingga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan jika tidak segera ditanami ulang. Bagi yang menyatakan setuju, hal tersebut karena hutan mangrove memberikan pendapatan bagi mereka karena arang menjadi sumber mata pencaharian mereka. Tentang persepsi responden mengenai pengelolaan hutan mangrove di Pulau Tanakeke, sebagian besar responden (94,35%) menganggap hutan mangrove dimiliki oleh pribadi, sehingga pengelolaanya diserahkan sepenuhnya pada pemilik hutan mangrove tersebut. Sebanyak 4,84% responden menyatakan bahwa hutan mangrove dimiliki
63
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 57-70
oleh pemerintah dan 0,81% masih ragu-ragu tentang siapa pemilik hutan mangrove itu sebenarnya. Hutan mangrove bagi sebagian besar masyarakat Pulau Tanakeke dianggap seperti lahan kebun bagi masyarakat di daratan dan menjadi aset keluarga yang dapat diwariskan secara turun-temurun. Kepemilikan hutan mangrove sebagian besar berasal dari warisan orang tua dan sebagian yang lain dari pembelian. Kegiatan pengelolaan hutan mangrove selama ini menurut responden lebih banyak dikelola oleh masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari persepsi sebagian besar masyarakat yang menganggap hutan mangrove dimiliki secara pribadi oleh masyarakat, sehingga pengelolaan hutan mangrove lebih banyak dilakukan oleh pemilik masing-masing. C. Tingkat Persepsi Berdasarkan hasil pengolahan data kuesioner, diketahui bahwa 18,5% responden mempunyai tingkat persepsi rendah, 41,14% responden mempunyai tingkat persepsi sedang dan 40,3% responden mempunyai tingkat persepsi tinggi. Dengan demikian, dominasi tingkat persepsi masyarakat sebagian besar berada pada tingkat sedang dan tinggi. Menurut Ngakan et al. (2006), persepsi dalam kategori sedang adalah apabila masyarakat telah menyadari dirinya bergantung hidup dari sumber daya hayati hutan tetapi tidak memahami kalau sumber daya tersebut perlu dikelola secara lestari agar manfaatnya bisa diperoleh secara berkelanjutan. Persepsi
tinggi, apabila masyarakat memahami dengan baik bahwa dirinya bergantung hidup dari sumber daya hayati hutan dan menginginkan agar sumber daya tersebut dikelola secara lestari; Analisis regresi linear berganda digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah lokasi tempat tinggal, tingkat pendidikan, kegiatan penyuluhan dan kegiatan rehabilitasi, sedangkan variabel dependen adalah tingkat persepsi masyarakat terhadap mangrove. Hasil analisis regresi linear berganda didapatka tiga buah tabel yang terdiri atas, tabel analisis korelasi ganda, tabel hasil uji F (Anova) dan tabel uji T. Analisis korelasi ganda ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua atau lebih variabel independen terhadap variabel dependen secara serentak. Koefisien ini menunjukkan seberapa besar hubungan yang terjadi antara variabel independen secara serentak terhadap variabel dependen. Hasil analisis korelasi ganda dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 diketahui bahwa nilai R adalah 0,730 atau >0,5 yang menunjukkan hubungan antara tempat tinggal, umur, gender (jenis kelamin), lama tinggal, daerah asal, pendidikan, jumlah keluarga, pekerjaan, tingkat pendapatan, kegiatan penyuluhan, kegiatan rehabilitasi terhadap tingkat persepsi secara serentak termasuk dalam kategori kuat (R >0,5). Hasil uji koefisien regresi tingkat persepsi disajikan pada Tabel 3.
Tabel 2. Hasil analisis korelasi ganda tingkat persepsi menggunakan analisis regresi linear berganda Table 2. The result of multiple correlation analysis of perception levels using multiple linear regression analysis Model Summaryb Adjusted R Model R R Square Std. Error of the Estimate Square 1 0,730a 0,533 0,487 0,52930 a. Predictors: (Constant), Keg_Rehabilitasi, Tempat_tinggal, Pekerjaan, Gender, Umur, Pendapatan, Asal, Jumlah_Keluarga, Lama_Tinggal, Pendidikan, Keg_Penyuluhan b. Dependent Variable: Persepsi Sumber (Source): Analisis data primer (Primary data analysis)
64
Persepsi dan Sikap Masyarakat Terhadap Konservasi Ekosistem Mangrove..............(Heru Setiawan, Rini Purwanti dan R. Garsetiasih)
Tabel 3. Hasil uji anova tingkat persepsi menggunakan analisis regresi linear berganda Table 3. The result of anova test of people perception levels using multiple linear regression analysis ANOVAa Model Sum of Squares df Mean Square 1 Regression 35,743 11 3,249 31,378 112 0,280 Residual Total 67,121 123 a. Dependent Variable: Persepsi
F 11,598
Sig. 0,000b
b. Predictors: (Constant), Keg_Rehabilitasi, Tempat_tinggal, Pekerjaan, Gender, Umur, Pendapatan, Asal, Jumlah_Keluarga, Lama_Tinggal, Pendidikan, Keg_Penyuluhan Sumber (Source): Analisis data primer (Primary data analysis)
Berdasarkan Tabel 3 diperoleh nilai F hitung sebesar 11,598. Nilai F tabel dapat diperoleh dengan menggunakan tabel F dengan derajat bebas (df) Residual yaitu 112 dengan taraf siginifikan 0,05 (tingkat keyakinan 95%), sehingga diperoleh nilai F tabel sebesar 1,875. Karena F hitung (11,598) > F tabel (1,875) artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara tempat tinggal, umur, gender, lama tinggal, daerah asal, pendidikan, jumlah keluarga, pekerjaan, tingkat pendapatan, kegiatan penyuluhan, kegiatan rehabilitasi secara bersama-sama terhadap tingkat persepsi. Hal ini juga berarti model regresi yang dihasilkan dapat digunakan untuk memprediksi variabel dependen. Hasil uji koefisien regresi secara parsial (uji t)
tingkat persepsi disajikan pada Tabel 4. Nilai t tabel dapat diperoleh dengan menggunakan tabel t dengan derajat bebas 112 dan taraf signifikansi 0,05 (α 5%) adalah 1,981. Berdasarkan data t hitung yang terdapat pada Tabel 4 diperoleh hasil analisis, terdapat tiga variabel bebas yang mempunyai nilai t hitung lebih besar dari pada t tabel, atau nilai signifikansi (p value) dibawah 0,05 yaitu variabel tempat tinggal responden, tingkat pendidikan dan keikutsertaan responden dalam kegiatan rehabilitasi mangrove. Ketiga variabel tersebut yang secara parsial berpengaruh signifikan terhadap tingkat persepsi masyarakat. Hasil ini dikuatkan oleh penelitian Diarto et al. (2012) yang menyatakan, tingkat pendidikan dapat
Tabel 4. Hasil uji t tingkat persepsi menggunakan analisis regresi linear berganda Table 4. The result of t-test of people perception levels using multiple linear regression analysis Model
Coefficientsa Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients B Std. Error Beta 0,467 0,711
1 (Constant) Tempat tinggal 0,181 Umur 0,051 Gender -0,356 Lama_Tinggal -0,051 Asal 0,336 Pendidikan 0,489 Jumlah_Keluarga -0,071 Pekerjaan 0,084 Pendapatan -0,094 Keg_Penyuluhan 0,113 Keg_Rehabilitasi 0,347 a. Dependent Variable: Persepsi
0,046 0,092 0,184 0,094 0,345 0,144 0,070 0,265 0,072 0,090 0,083
0,280 0,042 -0,148 -0,044 0,070 0,285 -0,077 0,022 -0,096 0,122 0,392
t
Sig.
0,657
0,513
3,912 0,000* 0,553 0,581 -1,938 0,055 -0,547 0,586 0,976 0,331 3,405 0,001* -1,009 0,315 0,317 0,752 -1,307 0,194 1,251 0,213 4,170 0,000*
Sumber (Source): Analisis data primer (Primary data analysis)
65
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 57-70
memengaruhi bentuk persepsi masyarakat. Hasil penelitian Jumnongsong et al. (2015) menunjukkan bahwa persepsi masyarakat nelayan terhadap mangrove dipengaruhi oleh faktor tempat tinggal dan keikutsertaan pada kegiatan penyuluhan yang terkait mangrove. Hasil yang agak berbeda dikemukakan oleh Paletto et al. (2013) yang menyatakan bahwa persepsi masyarakat terhadap pengelolaan hutan dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin (gender) dan tempat tinggal.
benda dan mengandung penilaian setuju tidak setuju atau suka - tidak suka (Sarwono, 2002). Berdasarkan hasil analisis data, diketahui bahwa 8,9% responden mempunyai tingkat sikap rendah, 25,8% responden mempunyai tingkat sikap sedang dan 65,3% responden mempunyai tingkat sikap tinggi. Dengan tingkat sikap yang didominasi pada tingkat tinggi, maka dapat dikatakan bahwa secara umum masyarakat telah memiliki sikap yang mendukung upaya konservasi mangrove di Pulau Tanakeke. Hasil analisis korelasi ganda dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil analisis korelasi ganda tingkat sikap menggunakan analisis regresi linear berganda Table 5. The result of multiple correlation analysis of attitude levels using multiple linear regression analysiss Model Summaryb Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate a 1 0,535 0,286 0,216 0,57827 a. Predictors: (Constant), Keg_Rehabilitasi, Tempat_tinggal, Pekerjaan, Gender, Umur, Pendapatan, Asal, Jumlah_Keluarga, Lama_Tinggal, Pendidikan, Keg_Penyuluhan b. Dependent Variable: Sikap Sumber (Source): Analisis data primer (Primary data analysis)
D. Sikap Masyarakat Menurut Wawan dan Dewi (2010), sikap adalah merupakan predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tertentu, sikap lebih pada suatu proses kesadaran yang sifatnya individual. Sikap juga diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk secara konsisten memberikan tanggapan menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap suatu objek, kecenderungan ini merupakan hasil belajar, bukan pembawaan atau keturunan. Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Dalam bersikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu, sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci dan tidak menyukai objek tertentu. Ciri khas dari sikap adalah mempunyai objek tertentu seperti orang, perilaku, konsep, situasi, dan
66
Dari Tabel 5. diketahui bahwa nilai R adalah 0,535 yang menunjukkan hubungan antara tempat tinggal, umur, gender (jenis kelamin), lama tinggal, daerah asal, pendidikan, jumlah keluarga, pekerjaan, tingkat pendapatan, kegiatan penyuluhan, kegiatan rehabilitasi terhadap tingkat sikap secara bersama-sama termasuk dalam kategori kuat (R > 0,5). Hasil uji koefisien regresi tingkat sikap disajikan Tabel 6. Berdasarkan tabel anova atau F test, diperoleh nilai F hitung sebesar 4,087. Nilai F tabel dapat diperoleh dengan menggunakan tabel F dengan derajat bebas (df) Residual (sisa) yaitu 112 sebagai df penyebut dan df Regression (perlakuan) yaitu 11 sebagai df pembilang dengan taraf siginifikan 0,05 (tingkat keyakinan 95%), sehingga diperoleh nilai F tabel sebesar 1,875. Karena F hitung (4,087) > F tabel (1,875) artinya kesebelas variabel independen secara simultan dan
Persepsi dan Sikap Masyarakat Terhadap Konservasi Ekosistem Mangrove..............(Heru Setiawan, Rini Purwanti dan R. Garsetiasih)
Tabel 6. Hasil uji anova tingkat sikap menggunakan analisis regresi linear berganda Table 6. The Result of anova test of people attitude levels using multiple linear regression analysis ANOVAa Model Sum of Squares df Mean Square 1 Regression 15,032 11 1,367 37,452 112 0,334 Residual Total 52,484 123 a. Dependent Variable: Sikap
F 4,087
Sig. 0,000b
b. Predictors: (Constant), Keg_Rehabilitasi, Desa, Pekerjaan, Gender, Umur, Pendapatan, Asal, Jumlah_Keluarga, Lama_Tinggal, Pendidikan, Keg_Penyuluhan Sumber (Source): Analisis data primer (Primary data analysis)
bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap tingkat sikap masyarakat terhadap konservasi ekosistem mangrove. Uji koefisien regresi secara parsial (Uji t) digunakan untuk mengetahui apakah dalam model regresi variabel independen secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Hasil uji koefisien regresi secara parsial (uji t) tingkat sikap disajikan pada Tabel 7. Nilai t tabel dapat diperoleh dengan menggunakan tabel t dengan derajat bebas 112 dan taraf signifikansi 0,05 (α 5%) adalah 1,981. Berdasarkan data t hitung yang terdapat pada Tabel 3 diperoleh hasil analisis,
terdapat satu variabel bebas yang mempunyai nilai t hitung lebih besar dari pada t tabel, atau nilai signifikansi (p value) dibawah 0,05 yaitu variabel keikutsertaan responden dalam kegiatan rehabilitasi mangrove. Hanya terdapat satu variabel eksternal yang secara parsial berpengaruh signifikan terhadap tingkat persepsi masyarakat yaitu variabel keikutsertaan responden dalam kegiatan rehabilitasi mangrove. Berdasarkan data pada Tabel 7 diketahui bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap tingkat sikap. Hal ini senada dengan penelitian Saputro (2013), yang menyatakan bahwa jenis kelamin tidak memengaruhi sikap masyarakat terhadap
Tabel 7. Hasil uji t tingkat sikap menggunakan analisis regresi linear berganda Table 7. The result of t-test of people attitude levels using multiple linear regression analysis Model
1 (Constant)
Desa Umur Gender Lama_Tinggal Asal Pendidikan Jumlah_Keluarga Pekerjaan Pendapatan Keg_Penyuluhan Keg_Rehabilitasi
a. Dependent Variable: Sikap
Coefficientsa
Unstandardized Standardized Coefficients t Sig. Coefficients B Std. Error Beta 0,489 0,776 0,629 0,530 0,075 0,051 0,132 1,487 0,140 -0,054 0,101 -0,050 -0,533 0,595 -0,275 0,201 -0,130 -1,374 0,172 0,114 0,103 0,111 1,112 0,269 0,567 0,377 0,134 1,507 0,135 0,123 0,157 0,081 0,783 0,435 0,120 0,076 0,148 1,575 0,118 0,185 0,289 0,056 0,640 0,524 0,128 0,079 0,149 1,634 0,105 -0,127 0,098 -0,156 -1,291 0,199 0,290 0,091 0,372 3,196 0,002*
Sumber (Source): Analisis data primer (Primary data analysis)
67
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 57-70
pengelolaan hutan kota Srengseng di Jakarta Barat. Hasil penelitian Hakim (2014), menyatakan bahwa faktor umur, jumlah anggota keluarga, pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin dan keikutsertaan pada kegiatan penyuluhan tidak memengaruhi sikap masyarakat terhadap pengelolaan hutan mangrove di Kelurahan Wonorejo, Kota Surabaya. Sementara itu hasil penelitian Ruchi et al. (2012) menyatakan bahwa faktor demografi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat berpengaruh terhadap sikap masyakat dalam konservasi mangrove. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan mempunyai peranan yang sangat penting baik dari segi fisik, ekologi maupun ekonomi. Ketergantungan masyarakat terhadap ekosistem mangrove sangat tinggi, utamanya dalam menopang kehidupan ekonominya. Tingginya ketergantungan tersebut menyebabkan tingkat eksploitasi mangrove semakin tinggi, akibatnya laju degradasi mangrove di kawasan ini semakin meningkat. Kondisi ini jika dibiarkan secara terusmenerus akan berakibat semakin menurunnya kehidupan ekonomi masyarakat. Berbagai upaya konservasi mangrove telah dilakukan di kawasan ini, tetapi hasilnya kurang begitu optimal. Penilaian persepsi dan sikap masyarakat terhadap ekosistem mangrove akan memengaruhi dukungannya terhadap keberhasilan upaya konservasi mangrove di Pulau Tanakeke. Persepsi dan sikap masyarakat ini dapat diketahui dengan melihat bagaimana masyarakat memperlakukan hutan mangrove agar lestari dan bermanfaat secara berkelanjutan. Persepsi masyarakat yang tinggi ditandai dengan pemahaman yang baik bahwa kehidupannya sangat bergantung dari sumber daya hayati ekosistem mangrove dan menginginkan agar sumber daya tersebut dikelola secara lestari, sedangkan
68
sikap yang tinggi berarti masyarakat sangat mendukung kegiatan konservasi ekosistem mangrove. Tingkat persepsi masyarakat sangat dipengaruhi oleh faktor tempat tinggal, pendidikan dan keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi mangrove, sedangkan tingkat sikap masyarakat sangat dipengaruhi oleh keikutsertaannya dalam kegiatan rehabilitasi mangrove. B. Saran Upaya konservasi ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke yang dilakukan, baik oleh pemerintah maupun organisasi nonpemerintah, seringkali hasilnya tidak optimal. Salah satu penyebabnya adalah adanya persepsi yang berkembang di sebagian besar masyarakat yang menganggap bahwa kawasan mangrove di Pulau Tanaekek dimiliki oleh pribadi, dan dianggap sebagai aset kekayaan yang bernilai ekonomi tinggi. Tingginya nilai mangrove tersebut dikarenakan besarnya permintaan kayu mangrove dari industri arang. Untuk meningkatkan keberhasilan upaya konservai tersebut, pemerintah maupun organisasi non-pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan penyuluhan secara intensif terkait kepemilikan mangrove tersebut. UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih disampaikan kepada Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar yang telah memberikan dukungan dana sehingga kegiatan penelitian ini dapat terwujud. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada masyarakat Pulau Tanakeke, tokoh masyarakat dan pihak-pihak yang telah membantu selama kami melaksanakan kegiatan di Pulau Tanakeke. Tidak lupa kami sampaikan ucapan terimakasih kepada Sdr. Arman Hermawan yang telah membantu dalam kegiatan pengambilan data di lapangan.
Persepsi dan Sikap Masyarakat Terhadap Konservasi Ekosistem Mangrove..............(Heru Setiawan, Rini Purwanti dan R. Garsetiasih)
DAFTAR PUSTAKA Akbar, M. (2014). Geospatial modeling of vegetation cover changes on a small island (Case study: Tanakeke Island, Takalar District, South Sulawesi). (Tesis). Bogor: Bogor Agricultural University. Beys-da-Silva, W. O., Santi, L. and Guimarães, J. A. (2014). Mangroves: A Threatened ecosystem under-utilized as a resource for scientific research. Journal of Sustainable Development, 7(5), 40–51. http://doi.org/10.5539/jsd. v7n5p40 Blanco, J. F., Estrada, E. a., Ortiz, L. F. and Urrego, L. E. (2012). Ecosystem-wide impacts of deforestation in mangroves: The Urabá Gulf (Colombian Caribbean) case study. ISRN Ecology, 2012, 1–14. http://doi. org/10.5402/2012/958709 Diarto, Hendrarto, B. dan Suryoko, S. (2012). Partisipasi mayarakat dalam pengelolaan lingkungan kawasan hutan mangrove Tugurejo di Kota Semarang. Jurnal Ilmu Lingkungan, 10(1), 1–7. Dolisca, F., McDaniel, J. M. and Teeter, L. D. (2007). Farmers’ perceptions towards forests: A case study from Haiti. Forest Policy & Economics, 9(6), 704–712. Falkland, A. C., Custodio, E., Diaz Arenas, A. and Simler, L. (1991). Hydrology and water resources of small islands : a practical guide. Studies and reports in hydrology (Vol. 49). Giri, C., Ochieng, E., Tieszen, L. L., Zhu, Z., Singh, A., Loveland, T., Masek, J. and Duke, N. (2011). Status and distribution of mangrove forests of the world using earth. Global Ecology and Biogeography, 20, 154–159. http://doi. org/10.1111/j.1466-8238.2010.00584.x Hakim, A. M. (2014). Persepsi, sikap dan partisipasi masyarakat sekitar dalam pengelolaan hutan mangrove di Wonorejo, Surabaya. (Skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hussain, S. A. and Badola, R. (2010). Valuing mangrove benefits: Contribution of mangrove forests to local livelihoods in Bhitarkanika Conservation Area, East Coast of India. Wetlands Ecology and Management, 18(3), 321–331. http://doi.org/10.1007/s11273-0099173-3 Jumnongsong, S., Gallardo, W. G., Ikejima, K.. and Cochard, R. (2015). Factors affecting fishers’ perceptions of benefits, threats, and state, and participation in mangrove management in Pak Phanang Bay, Thailand. Journal of Coastal Research, 31(1), 95–106. http://doi. org/10.2112/JCOASTRES-D-12-00257.1 Lee, H. F. and Zhang, D. D. (2008). Perceiving the environment from the lay perspective in desertified areas, northern China. Environmental Management, 41(2), 168–182. http://doi.org/10.1007/s00267-007-9052-8 Mamiri, S. A. (2008). Persepsi dan preferensi pengunjung terhadap fungsi dan lokasi obyek-obyek rekreasi di Kebun Raya Bogor.
(Skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Mamuko, F., Walangitan, H. dan Tilaar, W. (2016). Persepsi dan partisipasi masyarakat dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur. Eugenia, 22(2), 80–92. Nanlohy, H., Bambang, A. N., Ambaryanto. dan Hutabarat, S. (2014). Analisis persepsi masyarakat terhadap pengelolaan kawasan mangrove Teluk Kotania. Jurnal Wilayah dan Lingkungan, 2(1), 89–98. Ngakan, P. O., Komarudin, H., Achmad, A., Wahyudi. dan Tako, A. (2006). Ketergantungan, persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap sumber daya hayati hutan (Studi Kasus di Dusun Pampli Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan). Bogor: Center for International Forestry Research. Pahlevi, T. (2007). Persepsi masyarakat terhadap Taman Wisata Alam Sicikeh-Cikeh (Studi Kasus di Dusun Pancur Nauli, Desa Lae Hole II, Kec. Parbuluan, Kab. Dairi, Sumatera Utara). (Skripsi). Universitas Sumatera Utara. Paletto, A., De Meo, I., Cantiani, M. G.. and Maino, F. (2013). Social perceptions and forest management strategies in An Italian Alpine community. Mountain Research and Development, 33(2), 152–160. http://doi. org/10.1659/MRD-JOURNAL-D-12-00115.1 Pontoh, O. (2011). Peranan nelayan terhadap rehabilitasi ekosistem hutan bakau (mangrove). Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis, VII(2), 73– 79. Rahayu, W. M. (2010). Persepsi, sikap dan perilaku masyarakat terhadap kelestarian hutan (Studi kasus di Desa Cinagara dan Desa Pasir Buncir Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). (Skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Ruchi, B., Shivani, B. and Ainul, H. S. (2012). Attitudes of local communities towards conservation of mangrove forests: A case study from the east coast of India. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 96, 188–196. http://doi. org/10.1016/j.ecss.2011.11.016 Saputro, T. S. (2013). Persepsi, sikap, dan partisipasi masyarakat sekitar terhadap pengelolaan hutan kota Srengseng, Jakarta Barat menurut perspektif gender. (Skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sarwono, S. W. (2002). Psikologi sosial: Individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta: Balai Pustaka. Soukotta, L. M. (2013). Valuasi ekonomi ekosistem hutan mangrove di Negeri Tawiri Kota Ambon. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 25(1), 1–7. Souza, F. E. S. and Augusto, C. (2011). Ecological and economic valuation of the potengi estuary mangrove wetlands (NE, Brazil) using ancillary spatial data. Journal of Coastal Conservation, 15, 195–206. http://doi. org/10.1007/s11852-010-0133-0
69
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 57-70
Sugiyono. (2009). Metode penelitian kuantitatifkualitatif dan research development. Bandung: Alfabeta. Talakua, W. (2013). Valuasi Ekonomi ekosistem hutan mangrove di Negeri Passo Kota Ambon. Jurnal Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi, 25(1), 8–14. Tumisem, dan Suwarno. (2008). Degradasi hutan bakau akibat pengambilan kayu bakar oleh indutri kecil gula kelapa di Cilacap. Jurnal Forum Geograf, 22(2), 159–168. Uddin, M. S., de Ruyter van Steveninck, E., Stuip, M. and Shah, M. A. R. (2013). Economic valuation of provisioning and cultural services of a protected mangrove ecosystem: A case study on Sundarbans Reserve Forest, Bangladesh. Ecosystem Services, 5(October
70
2014), 88–93. http://doi.org/10.1016/j. ecoser.2013.07.002 Ushakiranmai, G., and Rajasekhar, P. S. (2015). A study on habitat loss of mangrove swamps / salt marshes over a period in Visakhapatnam Urban Environment, Andhra Pradesh, India. Universal Journal of Environmetal Research and Technology, 5(4), 173–178. Wawan, dan Dewi. (2010). Teori dan pengukuran pengetahuan, sikap dan perilaku manusia. Yogyakarta: Nuha Medika. Yuliasamaya, Darmawan, A. dan Hilmanto, R. (2014). Perubahan tutupan hutan mangrove di pesisir Kabupaten Lampung Timur. Jurnal Sylva Lestari, 2(3), 111–124.
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 71-82 p-ISSN 1979-6013 e-ISSN 2502-4221 Terakreditasi No. 687/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
ANALISIS PERSEPSI DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN KAWASAN KPHP MODEL POIGAR
(Perception and Behavior Analysis of Community to the Existence of Poigar PFMU Model) Arif Irawan1, Iwanuddin1, Jafred E. Halawane1 dan Sulistya Ekawati2 1 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado Jl. Tugu Adipura Raya Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado, Indonesia. Email:
[email protected];
[email protected];
[email protected] 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim Jl. Gunung Batu No.5, Bogor 16118, Indonesia Email:
[email protected]
Diterima 20 Februari 2017, direvisi 20 April 2017, disetujui 21 April 2017
ABSTRACT Implementation of community empowerment scheme in the Poigar Production Forest Management Unit (PFMU) Model area needs to take into account on community perception and behavior. This study aimed to determine the level of perception and behavior of the community towards the existence Poigar PFMU Model and to recommend the appropriate community empowerment scheme. To find out the perceptios and behavior of the Lolan Village community towards Poigar PFMU Model was by using Likert Scale. Furthermore, to determine the factors that influence people's behavior, then Spearman rank (Rs) correlation test was used. The results showed that the level of perception of Lolan village communities to the existence of the Poigar PFMU Model was in good category, while the society behavior was in the less category. A good public perception of the Poigar PFMU Model area, did not have significant influence on its behavior. Community social characteristics that correlate with the behavior of the community were among others: education, level of income sourced from outside the area and level of interaction with the forest. Based on this, community empowerment strategy that is most likely to do in Poigar PFMU Model is through the Forestry Partnership Scheme. Keywords: PFMU Model Poigar; perception; behavior; empowerment.
ABSTRAK Penerapan skema pemberdayaan di kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Poigar perlu memerhatikan persepsi dan perilaku masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat persepsi dan perilaku masyarakat terhadap keberadaan kawasan KPHP Model Poigar serta merekomendasikan skema pemberdayaan masyarakat yang sesuai. Untuk dapat mengetahui persepsi dan perilaku masyarakat Desa Lolan terhadap kawasan KPHP Model Poigar digunakan Skala Likert. Selanjutnya untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi perilaku masyarakat digunakan uji korelasi Rank Spearman (Rs). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat persepsi masyarakat Desa Lolan terhadap keberadaan kawasan KPHP Model Poigar adalah pada kategori baik, sedangkan perilaku masyarakat berada pada kategori rendah. Persepsi masyarakat yang baik terhadap kawasan KPHP Model Poigar tidak memberikan pengaruh secara signifikan terhadap perilakunya. Karakteristik sosial masyarakat yang berpengaruh terhadap perilaku masyarakat adalah pendidikan, tingkat pendapatan yang bersumber dari luar kawasan dan tingkat interaksi dengan hutan. Berdasarkan hal tersebut, rekomendasi skema pemberdayaan masyarakat yang dapat dilakukan di kawasan KPHP Model Poigar saat ini adalah melalui skema Kemitraan Kehutanan. Kata kunci: KPHP Model Poigar; persepsi; perilaku; pemberdayaan
©2017 JPSE All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jpse.2017.14.1.71-82
71
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 71-82
I. PENDAHULUAN Konflik penguasaan lahan merupakan masalah nyata dalam pengelolaan kawasan hutan di Indonesia. Kartodihardjo, Nugroho, & Putro (2011) menyatakan bahwa konflik berupa tumpang tindih klaim hutan negara dan klaim masyarakat adat/lokal, pengembangan desa/kampung, serta adanya izin sektor lain yang dalam praktiknya terletak dalam kawasan hutan diperkirakan seluas 17,6 juta sampai dengan 24,4 juta ha. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan satu diantara upaya dari pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut. KPH merupakan sistem pengelolaan hutan yang dapat menjamin terwujudnya kelestarian fungsi dan manfaat hutan dari aspek ekonomi, ekologi, dan sosial. Dalam hubungannya antara hutan dengan masyarakat, isu akses masyarakat menjadi satu aspek yang penting dan perlu perhatian besar. Ruhimat (2010) menyatakan bahwa optimasi pemanfaatan dan pengelolaan hutan bagi kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan dengan memegang prinsip bahwa setiap kawasan hutan harus dikelola dengan tetap memerhatikan sifat, karakteristik dan fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi. Alviya, Salminah, Arifanti, Maryani, & Syahadat (2012) menyatakan bahwa tantangan utama dalam upaya penyelesaian konflik pengelolaan hutan adalah menyelaraskan antara kebutuhan berbagai kalangan khususnya masyarakat lokal dengan kepentingan kelestarian hutan. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Poigar merupakan KPH di Sulawesi Utara yang terletak pada lintas 2 (dua) Kabupaten yaitu Kabupaten Bolaang Mongondow dan Kabupaten Minahasa Selatan. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 788/MenhutII/2009 tanggal 7 Desember 2009 dinyatakan bahwa luas keseluruhan kawasan KPHP Model Poigar adalah ±41.598 ha yang terbagi menjadi Hutan Produksi (HP)/Hutan Produksi
72
Terbatas (HPT) seluas 36.332 ha (87,34 %), kawasan Hutan Lindung (HL) termasuk hutan bakau di sebagian pesisir pantai seluas 5.265 ha (12,66 %). Intensitas penguasaan lahan oleh masyarakat dalam kawasan KPHP Model Poigar diketahui sangatlah tinggi. Sebagian besar kawasan KPHP Model Poigar telah diklaim dan diolah masyarakat menjadi kebun kelapa, cengkeh, jagung dan jenis tanaman perkebunan lainnya. Tujuan dari pembentukan KPHP Model Poigar salah satunya adalah dapat menjadi solusi dari konflik tenurial yang terjadi di kawasan ini. Pemberdayaan masyarakat merupakan konsep yang banyak digunakan dalam upaya menyelesaikan konflik penguasaan lahan. Mulyadi (2013) menyatakan bahwa pendekatan pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan menempatkan masyarakat dalam posisi pelaku sekaligus sebagai penerima manfaat dari proses mencari solusi. Penerapan suatu skema pemberdayaan masyarakat dalam sebuah wilayah perlu memerhatikan karakter masyarakat yang terdapat pada daerah tersebut. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah terkait persepsi dan perilaku masyarakat terhadap keberadaan hutan yang ada di sekitarnya. Wulandari (2010) menyatakan bahwa persepsi merupakan suatu proses yang memberikan kesadaran kepada individu tentang suatu obyek atau peristiwa di luar dirinya melalui panca indra. Sedangkan menurut Surati (2014) perilaku merupakan perbuatan dan perkataan seseorang yang sifatnya dapat diamati, digambarkan dan dicatat oleh orang lain ataupun orang yang melakukannya. Variabel persepsi dan perilaku masyarakat perlu diketahui sebagai pedoman dalam menerapkan konsep pemberdayaan masyarakat yang efektif serta diharapkan mampu menjadi alat pengurai konflik yang terjadi di kawasan KPHP Model Poigar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat persepsi dan perilaku masyarakat terhadap keberadaan kawasan KPHP Model Poigar serta merekomendasikan skema pemberdayaan masyarakat yang sesuai.
Analisis Persepsi dan Perilaku Masyarakat Terhadap Keberadaan..............(Arif Irawan, Iwanuddin, Jafred E. Halawane dan Sulistya Ekawati)
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah rekomendasi model pemberdayaan masyarakat yang sesuai dalam mengurai konflik tenurial yang terjadi di kawasan KPHP Model Poigar. II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan November tahun 2016 pada salah satu desa yang berbatasan lansung dengan kawasan KPHP Model Poigar, yaitu Desa Lolan.
alat-alat analisis kuantitatif yang berupa analisis statistika (deskriptif, parametrik, dan non parametrik) maupun dengan menggunakan perhitungan matematika (Mardikanto, 2006). Untuk dapat mengetahui persepsi dan perilaku masyarakat Desa Lolan terhadap kawasan KPHP Model Poigar digunakan skala Likert. Kriteria yang digunakan untuk menentukan kategori persepsi dan perilaku masyarakat ditampilkan pada Tabel 1. Selanjutnya untuk mengetahui faktorfaktor yang memengaruhi perilaku masyarakat digunakan uji korelasi Rank Spearman (Rs).
Tabel 1. Kriteria yang digunakan untuk mengetahui kategori persepsi dan perilaku masyarakat Table 1. The criteria used to determine the categories of perception and behavior No
Variabel (Variable)
Kategori (Category)
1.
Persepsi terhadap kawasan KPHP Model Poigar (Perception toward Poigar PFMU Model)
Rendah (Low) (<2) Sedang (Medium) (3-4) Tinggi (Height) (>5)
2.
Perilaku terhadap kawasan KPHP Model Poigar (Behavior toward Poigar PFMU Model)
Rendah (Low) (<2) Sedang (Medium) (3-4) Tinggi (Height) (>5)
Sumber (Source): Surati (2015) dimodifikasi
B. Pengumpulan Data Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Lolan yang memiliki aktivitas dalam kawasan KPHP Model Poigar. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive dengan memilih 30 responden. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Dalam pengumpulan data digunakan teknik observasi, wawancara dengan alat bantu kuesioner, studi pustaka dan dokumentasi. C. Analisis Data Metode dasar penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Metode kuantitatif adalah metode yang memusatkan pada pengumpulan data kuantitatif yang berupa angka-angka untuk kemudian dianalisis dengan menggunakan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian KPHP Model Poigar merupakan sebuah organisasi pengelola hutan pada tingkat tapak setingkat Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) di bawah Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara. Sebagian besar wilayah kelola KPHP Model Poigar adalah kawasan hutan bekas perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT Tembaru Budi Pratama. Perusahaan ini pernah beroperasi di wilayah Sulawesi Utara pada tahun 80-an hingga awal tahun 2000. Dalam kurun waktu tersebut permasalahan okupasi masyarakat terhadap wilayah konsesi perusahaan berulangkali terjadi, namun intensitasnya tergolong masih rendah. Peningkatan intensitas pembukaan lahan oleh masyarakat semakin tinggi saat
73
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 71-82
izin pengelolaan kawasan hutan yang dimiliki PT Tembaru Budi Pratama dicabut oleh pemerintah. Pengawasan yang rendah serta penegakan hukum yang tidak terlaksana secara maksimal mengakibatkan tingkat okupasi lahan semakin tidak terkendali. Irawan, Mairi, & Ekawati (2016) menyatakan bahwa jumlah luasan penguasaan lahan oleh masyarakat pada wilayah KPHP Model Poigar sangat tinggi dimana dari total keseluruhan wilayah KPHP Model Poigar, hanya terdapat sekitar 30% yang masih steril, sedangkan 70% sisanya telah diklaim oleh masyarakat. Tingginya tingkat penguasaan lahan oleh masyarakat sebanding dengan luas lahan yang terdeforestrasi di kawasan KPHP Model Poigar. Ahmad, Saleh, & Rusilono (2016) menyatakan bahwa tekanan areal hutan di KPHP Model Poigar sangat besar, hal ini ditandai dengan angka deforestasi yang terjadi pada periode 2000 sampai 2013 adalah cukup besar yaitu sekitar 12.668,2 ha atau 30,45 % dari total luas kawasan hutan KPHP Model Poigar yang menyebar pada seluruh kawasan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa penyebab deforestasi yang terjadi di KPHP Poigar meliputi lima faktor, yakni: jarak areal hutan dengan jaringan jalan dan sungai, pengaruh kemiringan lereng, ketinggian tempat dan terakhir adalah faktor tekanan penduduk yang bermukim di sekitar kawasan KPHP Model Poigar. Desa Lolan merupakan salah satu desa yang memiliki jarak terdekat serta akses termudah terhadap kawasan KPHP Model Poigar. Akses jalan telah dibangun untuk kebun masyarakat yang berada pada kawasan Area Penggunaan Lain (APL). Bentuk tutupan lahan pada kawasan KPHP Model Poigar yang berbatasan dengan Desa Lolan didominasi oleh perkebunan dan semak belukar. Pernyataan ini diperkuat oleh Ahmad et al. (2016) yang menyatakan bahwa bentuk tutupan lahan pada kawasan KPHP Model Poigar adalah areal perkebunan, semak dan tanah terbuka dengan perkebunan monokultur merupakan tipe perkebunan yang paling
74
mendominasi. Lahan semak belukar biasanya terbentuk dari hasil pengolahan lahan yang telah dilakukan oleh masyarakat Desa Lolan dan telah ditinggalkan dalam jangka waktu yang cukup lama. Semak belukar juga merupakan penanda yang digunakan masyarakat dari bentuk penguasaan lahan yang telah dilakukan. B. Persepsi & Perilaku Masyarakat Terhadap Kawasan KPHP Model Poigar Karakteristik sosial masyarakat merupakan faktor kunci dalam pelaksanaan program pengelolaan hutan. Penyebab kegagalan program pemberdayaan masyarakat terkait pengelolaan hutan diantaranya adalah karena kurangnya perhatian terhadap faktor tersebut. Strategi pemberdayaan masyarakat yang selama ini lebih banyak bersifat top down perlu menjadi pelajaran berharga untuk tidak terulang kembali. Golar (2014) menyatakan bahwa strategi bottom up yang mengakomodir peran serta masyarakat perlu diaplikasikan dalam konteks pengelolaan hutan lestari. Persepsi dan perilaku seseorang adalah bentuk karakteristik sosial yang banyak dipertimbangkan untuk mengelola kawasan hutan berbasis masyarakat. Mamuko, Walangitan, & Tilaar (2016) meyatakan bahwa keberhasilan program rehabilitasi hutan dan lahan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor teknis, kelembagaan maupun faktor sosial ekonomi masyarakat. Dari aspek teknis, kendala yang dihadapi diantaranya adalah kondisi iklim, tanah dan aspek ekologis lainnya, sedangkan dari aspek kelembagaan sering diperhadapkan pada hambatan pelaksanaan kegiatan karena mengikuti prosedur keproyekan. Dari aspek sosial ekonomi keberhasilan program dipengaruhi oleh persepsi dan perilaku sebagai faktor yang mendorong tingkat partisipasi masyarakat. Beberapa indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat persepsi dan perilaku masyarakat Desa Lolan dalam penelitian ini ditampilkan pada Tabel 2.
Analisis Persepsi dan Perilaku Masyarakat Terhadap Keberadaan..............(Arif Irawan, Iwanuddin, Jafred E. Halawane dan Sulistya Ekawati)
Tabel 2. Indikator-indikator yang digunakan untuk mengetahui persepsi dan perilaku masyarakat terhadap kawasan KPHP Model Poigar Table 2. The indicators used to determine the perception and behavior of society towards the Poigar PFMU Modelr No
Variabel (Variable)
Indikator (Indicator)
1.
Persepsi masyarakat (Communities’ perception)
1. Pengetahuan tentang kawasan KPHP Model Poigar 2. Pengetahuan tentang kegiatan pengelolaan lahan/berkebun dalam kawasan 3. Pengetahuan tentang kegiatan illegal logging dalam kawasan 4. Pengetahuan tentang kegiatan pertambangan dalam kawasan 5. Pengetahuan tentang pengaruh kawasan hutan terhadap keberadaan sumber air 6. Pengetahuan tentang pengaruh kawasan hutan terhadap bencana alam
2.
Perilaku masyarakat (Communities’ behavior)
1. Kegiatan pengolahan lahan dalam kawasan hutan berkaitan dengan sumber air 2. Kegiatan pengolahan lahan dalam kawasan hutan berkaitan topografi/ kelerengan 3. Kegiatan penanaman pohon yang pernah dilakukan 4. Kegiatan jual beli lahan dalam kawasan 5. Kegiatan membakar untuk kepentingan membuka lahan 6. Kegiatan mengambil kayu dalam kawasan hutan
Sumber (Source): Surati (2015) & Umar (2009) dimodifikasi
Persepsi masyarakat Desa Lolan terhadap kawasan KPHP Model Poigar dapat diketahui dari sejauh mana tingkat pengetahuan tentang hutan dan fungsi hutan tersebut bagi kehidupan mereka. Berdasarkan hasil rekapitulasi data dapat diketahui bahwa secara umum tingkat persepsi masyarakat Desa Lolan terhadap keberadaan kawasan KPHP Model Poigar adalah pada katergori baik. Jika dirinci lebih lanjut dari seluruh responden diketahui bahwa 70% responden berada pada tingkat persepsi baik, sedangkan 30% berada pada tingkat persepsi sedang. Sebagian besar responden menyatakan bahwa hutan mampu berpengaruh terhadap kondisi lingkungan serta mampu mencegah terjadinya bencana alam. Masyarakat Desa Lolan beranggapan bahwa rusaknya hutan akan berakibat terhadap ketidakseimbangan kondisi alam yang selanjutnya akan berpengaruh pada kebutuhan masyarakat secara langsung, misalnya dalam hal ketersediaan sumber air. Kegiatan-kegiatan seperti pembukaan lahan
dalam kawasan hutan, penebangan kayu secara illegal, dan kegiatan pertambangan juga merupakan kegiatan yang tidak dibenarkan oleh pandangan masyarakat. Damanik, Affandi, & Asmono (2014) menyatakan bahwa persepsi masyarakat akan baik apabila masyarakat memahami dengan baik bahwa dirinya bergantung hidup dari sumber daya hayati hutan dan menginginkan agar sumber daya tersebut dikelola secara lestari. Beberapa penelitian juga menyatakan bahwa persepsi yang baik dimiliki oleh masyarakat terhadap keberadaan hutan yang terdapat di sekitarnya. Beberapa penelitian tersebut antara lain Mamuko et al. (2016) menyampaikan bahwa persepsi responden terhadap hutan dan fungsinya berada pada persepsi tinggi (48%), sedang (45,1%) dan persepsi rendah (6,9%). Damanik et al. (2014) juga menyatakan bahwa persepsi masyarakat terhadap Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan, Kawasan Hutan Sibayak II, Kabupaten Karo tergolong pada persepsi
75
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 71-82
baik. Selanjutnya Narsuka, Sujali, & Setiawan (2009) juga menyatakan bahwa tingkat persepsi masyarakat mengenai pengelolaan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), yang dirinci dalam tiga isu utama: mengenai status dan manfaat, kondisi TNGM dan pengelolaan TNGM diketahui berada dalam kategori sedang atau cukup positif (74,2%). Selain itu Bisjoe dan Muin (2015) juga menyatakan bahwa masyarakat di Hutan Desa Kabupaten Bantaeng memiliki persepsi yang positif terhadap manfaat hutan, dan Yuzen, Siregar, & Saam (2014) yang menyatakan bahwa persepsi masyarakat terhadap hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) 87,5% adalah cukup baik, baik dan sangat baik, sedangkan yang memiliki persepsi tidak baik dan kurang baik hanya 12,5%. Selanjutnya parameter yang digunakan untuk mengukur perilaku masyarakat dititikberatkan pada aktivitas yang biasanya masyarakat lakukan terhadap kawasan hutan. Suryaningsih, Purnaweni, & Izzati (2012) menyatakan bahwa perilaku masyarakat berkaitan dengan aspek ekologi diantaranya menanam dan memelihara pohon, memanen hasil hutan, serta tidak melakukan kegiatan yang merusak hutan seperti mengambil satwa, menebang pohon sembarangan dan membakar di kawasan hutan. Berdasarkan hasil rekapitulasi data dapat diketahui bahwa perilaku masyarakat Desa Lolan terbagi menjadi 2 (dua) kategori, yaitu kategori sedang (6,7%) dan kategori rendah (93,3%). Sebagian besar masyarakat telah membuka lahan dalam kasawan KPHP Model Poigar untuk kepentingan perkebunan sejak lama dengan sistem tebas bakar. Walaupun responden pada prinsipnya mengetahui manfaat dan fungsi hutan namun kegiatan pemulihan kembali terhadap hutan yang telah dibuka/diolah melalui kegiatan penanaman jenis tanaman kayu masih sangat minim dilakukan oleh masyarakat. Lokasi pembukaan lahan juga tidak mempertimbangkan kondisi topografi maupun jarak dengan sungai ataupun sumber air. Kegiatan illegal logging
76
oleh masyarakat masih sering terjadi namun dengan intensitas yang semakin kecil mengingat lokasi pengambilan kayu sudah semakin jauh dari perkampungan. Safitri (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa perilaku masyarakat tentang kelestarian hutan di Kenagarian Harau Kecamatan Harau Kabupaten Lima Puluh Kota berada pada kriteria kurang baik dalam menjaga kelestarian. Umar (2009) juga menyampaikan bahwa masyarakat cenderung mempunyai perilaku akan melakukan tindakan yang bisa mengganggu kelestarian hutan bilamana hutan tidak memberi manfaat bagi kehidupan mereka dan salah satunya adalah perilaku untuk membakar hutan. C. Hubungan Tingkat Persepsi terhadap Perilaku Masyarakat Persepsi dan perilaku merupakan dua variabel yang pada dasarnya memiliki hubungan yang kuat. Masria, Golar, & Ihsan, (2015) menyatakan bahwa persepsi yang benar terhadap suatu objek diperlukan, sebab persepsi merupakan dasar pembentukan sikap dan perilaku. Persepsi masyarakat tentang hutan yang beragam, akan mewarnai sikap masyarakat yang beragam pula terhadap keberadaan hutan, dan akan membentuk perilaku masyarakat dalam memandang keberadaan hutan. Masyarakat yang menyatakan bahwa hutan berfungsi sebagai sumber kehidupan manusia, biasanya cenderung berperilaku eksploitatif terhadap hutan. Seperti yang diungkapkan Irnawati, (2015) bahwa masyarakat yang memiliki persepsi hutan dapat dimanfaatkan sebagai sumber mata pencaharian memiliki perilaku cenderung melakukan aktivitas berladang, berburu dan meramu di kawasan Taman Wisata Alam Bariat. Berdasarkan hasil perhitungan hubungan variabel persepsi dan perilaku dapat diketahui bahwa nilai koefisien korelasi adalah sebesar -0,019 dengan nilai signifikansi adalah 0,919. Hasil analisis tersebut menggambarkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara
Analisis Persepsi dan Perilaku Masyarakat Terhadap Keberadaan..............(Arif Irawan, Iwanuddin, Jafred E. Halawane dan Sulistya Ekawati)
persepsi yang dimiliki masyarakat dengan perilakunya terhadap keberadaan kawasan KPHP Model Poigar. Persepsi yang baik terhadap keberadaan hutan tidak menjamin terjadinya perilaku yang positif. Masria et al. (2015) juga menyatakan bahwa persepsi masyarakat Desa Labuan Toposo Kecamatan Labuan Kabupaten Donggala terhadap hutan di sekitar wilayah Desa Labuan Toposo tergolong baik, namun sekalipun persepsi masyarakat baik terhadap hutan tidak menjamin terjadinya sikap yang positif, malah sebaliknya negatif. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa terdapat beberapa faktor yang memengaruhi hasil tersebut, salah satunya adalah terkait pemahaman terhadap batas hutan yang dimiliki masyarakat. Menurut sebagian masyarakat Desa Lolan pengertian hutan adalah kawasan yang masih memiliki tutupan vegetasi rapat yang saat ini lokasinya sudah berada jauh dari perkampungan, sehingga berdasarkan pemahaman tersebut secara sepihak masyarakat beranggapan bahwa perilaku yang mereka lakukan merupakan hal yang wajar dan dibenarkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa melanggar aturan dan mengganggu kondisi lingkungan. Dampak lain dari pemahaman tersebut secara de facto kawasan hutan yang ditetapkan pemerintah sejak lama, saat ini telah menjadi kawasan yang diklaim dan diolah masyarakat. Permasalahan batas kawasan hutan merupakan permasalahan klasik dalam pengelolaan hutan khususnya yang berada di luar pulau Jawa. Batas yang belum jelas sejak dahulu telah menimbulkan konflik tenurial yang berkepanjangan. Hal ini berbeda dengan permasalahan yang terjadi di Jawa, batas kawasan lebih jelas terutama pada kawasan-kawasan yang dikelola oleh Perhutani. Seperti yang diungkapkan Ngabiyanto (2004) bahwa lahan hutan pasca penjarahan yang telah berubah menjadi lahan kosong yang ditumbuhi semak belukar tetap dipandang masyarakat milik Perhutani. Tidak terdapat persepsi masyarakat yang
menganggap bahwa lahan hutan tersebut menjadi milik masyarakat desa sekitar hutan. Selain hal tersebut, sebagian masyarakat yang telah memahami batas kawasan juga berdalih terdesak oleh kebutuhan ekonomi, sehingga meskipun persepsi yang dimiliki baik namun perilakunya bersifat sebaliknya. Masria et al. (2015) menyatakan bahwa persepsi masyarakat terhadap hutan yang tergolong baik tidak menjamin terjadinya sikap yang positif, malah sebaliknya dapat bersifat negatif. Banyak faktor yang memengaruhi terutama kepentingan untuk memperoleh keuntungan pribadi secara sesaat. D. Hubungan Aspek Karakteristik Responden dengan Persepsi dan Perilaku Terbentuknya persepsi dan perilaku seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Kondisi sosial ekonomi setiap individu memiliki arah hubungan yang linier terhadap persepsi dan perilaku seseorang. Mamuko et al. (2016) menyatakan bahwa faktor pendidikan yang merupakan salah satu faktor sosial ekonomi memengaruhi persepsi terhadap hutan dan fungsinya, persepsi terhadap program rehabilitasi hutan dan lahan, serta tingkat partisipasi. Selanjutnya Masria et al. (2015) menyatakan bahwa beberapa faktor yang memengaruhi tingkat persepsi yaitu tingkat pendidikan, mata pencaharian dan tingkat pendapatan. Garnadi (2004) juga menyatakan bahwa faktor-faktor yang diduga memengaruhi perilaku masyarakat yang terwujud dalam sikap dan tindakan masyarakat sekitar hutan terdiri atas faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi umur, tingkat pendapatan, lama tinggal, tingkat interaksi, tingkat pendidikan, tingkat penguasaan lahan pertanian dan tingkat interaksi dengan hutan. Faktor eksternal meliputi tingkat interaksi dengan petugas dan keanggotaan dalam kelompok tani. Wulandari (2010) juga menyatakan bahwa faktor pendidikan dan jumlah pelatihan serta luas lahan merupakan faktor-faktor yang
77
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 71-82
berpengaruh sangat nyata terhadap persepsi masyarakat. Data hasil analisis untuk mengetahui beberapa karakteristik masyarakat yang memberikan pengaruh terhadap tingkat persepsi dan perilaku masyarakat terhadap kawasan KPHP Model Poigar ditampilkan pada Tabel 3.
pendidikan formal berhubungan dengan pembentukan pola pikir untuk menerima hal-hal logis dari lingkungan sekitarnya. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap masyarakat Desa Lolan dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan berimplikasi nyata terhadap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Selanjutnya Narsuka et al. (2009)
Tabel 3. Hubungan karakteristik sosial ekonomi dengan persepsi dan perilaku masyarakat Table 3. Socio economic characteristics relationship with perception and behavior society
Karakteristik responden (Characteristics of respondents)
Koef. korelasi (Coef. correlation) Persepsi (Perception)
Perilaku (Behavior)
Umur (Age)
0,272
-0,040
Pendidikan (Level of education)
0,139
0,415*
Tingkat pendapatan bersumber dari dalam kawasan (The level of income derived from the forest area)
0,117
0,112
Tingkat pendapatan bersumber dari luar kawasan (The level of income sourced from outside the forest area)
0,151
0,447*
Luas lahan yang dimiliki di dalam kawasan (Land held in state forests)
-0,104
0,166
Luas lahan yang dimiliki di luar kawasan (Land held outside the forest area)
0,018
0,319
Tingkat interaksi dengan hutan (Level of interaction with forest)
0,224
-0,384*
Tingkat interaksi dengan petugas (Level of interaction with Officers)
-0,085
0,012
Keterangan (Remarks): *korelasi signifikan pada α = 0,01; **korelasi signifikan pada α = 0,05 Sumber (Source): Data primer (Primary data)
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa tingkat persepsi masyarakat tidak dipengaruhi oleh karakteristik responden yang diamati. Sedangkan untuk perilaku masyarakat, karakteristik yang memberikan pengaruh nyata antara lain; faktor pendidikan, tingkat pendapatan yang bersumber dari luar kawasan dan tingkat interaksi dengan hutan. Tingkat pendidikan seseorang memiliki korelasi positif terhadap perilakunya terhadap hutan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin baik perilakunya, Shrestha & Alavalapati (2006) menyatakan bahwa tingkat pendidikan memiliki korelasi positif dengan perilaku konservasi masyarakat. Akudugu, Guo, & Dadzie, (2012) juga menyatakan bahwa pengaruh positif lamanya
78
menyatakan bahwa tingkat pengetahuan memiliki korelasi positif dengan tingkat peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan. Kegiatan sosialisasi mengenai kawasan KPHP Model Poigar oleh pihak pengelola perlu terus ditingkatkan kepada masyarakat. Selain itu, pendekatan kepada masyarakat sekitar kawasan juga perlu terus dilakukan untuk memberikan pengaruh positif terhadap perilaku masyarakat. Tingkat interaksi masyarakat dengan hutan juga merupakan faktor karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang memberikan pengaruh secara nyata. Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa semakin tinggi interaksi masyarakat terhadap hutan maka semakin buruk perilakunya. Interaksi masyarakat
Analisis Persepsi dan Perilaku Masyarakat Terhadap Keberadaan..............(Arif Irawan, Iwanuddin, Jafred E. Halawane dan Sulistya Ekawati)
yang tinggi terhadap hutan mengindikasikan bahwa masyarakat masih memiliki tingkat ketergantungan yang cukup tinggi terhadap keberadaan hutan. Umar (2009) menyatakan bahwa frekuensi interaksi masyarakat dalam beraktivitas terkait dengan hutan merupakan aspek penting di dalam pengelolaan hutan. Tingkat interaksi masyarakat yang tinggi terhadap kawasan hutan dapat menjadi modal dasar dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat. Faktor ekonomi berupa tingkat pendapatan masyarakat yang bersumber dari luar kawasan juga memberikan pengaruh terhadap perilaku masyarakat. Semakin tinggi pendapatan masyarakat yang diperoleh dari luar kawasan hutan diketahui akan berimplikasi terhadap perilaku yang semakin baik. Surati (2014) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang, perilakunya terhadap hutan akan semakin bertambah/positif karena dengan pendapatan yang lebih tinggi maka seseorang akan lebih mempunyai kesempatan untuk mendapatkan informasi termasuk informasi tentang hutan dan pengelolaannya. Adanya pendapatan masyarakat yang bersumber dari luar kawasan hutan secara tidak langsung akan mengurangi tingkat ketergantungan terhadap pengelolaan lahan dalam kawasan hutan serta akan memberikan pengaruh terhadap kurangnya intensitas interaksi masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan yang dapat berpotensi pada kerusakan dan deforestasi. E. Bentuk Pemberdayaan yang Sesuai Bagi Masyarakat Tingkat persepsi dan perilaku masyarakat terhadap keberadaan hutan merupakan informasi penting yang dapat dijadikan dasar bahan pertimbangan dalam pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Surati (2014) menyatakan bahwa sikap dan perilaku masyarakat terhadap pengelolaan Hutan Penelitian Parung Panjang adalah bersifat positif, sehingga berimplikasi terhadap strategi pengelolaan hutan. Sistem pengelolaan
partisipatif dengan melibatkan masyarakat sekitar sebagai petani penggarap melalui program tumpangsari merupakan rekomendasi skema pemberdayaan masyarakat yang tepat. Pengetahuan tentang persepsi dan perilaku masyarakat serta latar belakang mengenai tingkat pendidikan, pendapatan yang diperoleh masyarakat, dan tingkat interaksi dengan kawasan hutan merupakan hal sangat penting dalam rangka merumuskan sistem dan kebijakan pengelolaan lanskap hutan yang mengakomodir kebutuhan para pihak, sehingga terwujud pengelolaan hutan yang lestari. Tingkat persepsi yang baik terhadap hutan oleh masyarakat desa sekitar kawasan KPHP Model Poigar merupakan poin berharga. Narsuka et al. (2009) menyatakan bahwa persepsi masyarakat yang positif terhadap pengeloaan hutan merupakan faktor penting dalam pengelolaan kemitraan atau kolaboratif. Irawan et al. (2016) menyatakan bahwa masyarakat sekitar kawasan KPHP Model Poigar pada umumnya berprofesi sebagai petani dengan tingkat pendidikan yang rendah dan jumlah tanggungan keluarga yang cukup besar. Lebih lanjut disampaikan juga bahwa kisaran pendapatan masyarakat desa sekitar KPHP Model Poigar adalah Rp300.000-Rp3.000.000, dengan rata-rata hasil pendapatan masyarakat adalah sebesar Rp1.235.000/bulan. Masyarakat desa sekitar kawasan KPHP Model Poigar juga diketahui memiliki tingkat ketergantungan yang cukup tinggi terhadap kawasan KPHP Model Poigar. Masyarakat Desa Lolan diketahui paling sedikit 2 (dua) kali dalam seminggu melakukan interkasi dengan kawasan hutan. Beberapa program pemberdayaan masyarakat terkait dengan pengelolaan hutan telah diupayakan oleh pemerintah. Salah satu kebijakan terbaru Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam skema pemberdayaan masyarakat adalah melalui skema Kemitraan Kehutanan. Bentuk kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.39/ Menhut-II/2013 yang menyatakan bahwa
79
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 71-82
Kemitraan Kehutanan adalah kerja sama antara masyarakat setempat dengan Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan atau Pengelola Hutan, Pemegang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan, dan/atau Kesatuan Pengelolaan Hutan dalam pengembangan kapasitas dan pemberian akses, dengan prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan. Secara lebih luas pola kemitraan juga dapat diartikan sebagai sebuah skema untuk mencapai hasil yang lebih baik dengan saling memberikan manfaat antar pihak yang bermitra dan meningkatkan efektivitas kerja (Zain, Soeaidy, & Mindarti, 2011). Berdasarkan latar belakang tingkat persepsi, tingkat pendapatan serta tingkat interaksi masyarakat terhadap kawasan hutan, maka skema ini adalah skema yang paling tepat dilakukan oleh pengelola KPHP Model Poigar saat ini. Walaupun skema ini sebenarnya bukanlah merupakan skema pemberdayaan masyarakat yang ideal, namun skema Kemitraan Kehutanan merupakan skema yang paling memungkinkan dapat dilaksanakan oleh KPHP Model Poigar. Kemitraan Kehutanan merupakan skema pemberdayaan masyarakat dimana KPH memiliki kewenangan penuh untuk memutuskan pelaksanaannya pada bagian hutan yang sudah ditetapkan sebagai wilayah tertentu dalam Rencana Pengelolaan KPH (Permenhut Nomor P.39/Menhut-II/2013). Bakhtiar, Sanyoto, Berliani, Suwito, & Hardiyanto (2015) menyatakan bahwa meskipun dapat memberikan kepastian atas perolehan manfaat dari pengelolaan hutan, skema Kemitraan Kehutanan bukan merupakan bentuk penguasaan lahan, seperti yang dituntut oleh beberapa kalangan masyarakat, lebih lanjut dinyatakan bahwa untuk menyelesaikan berbagai konflik tenurial, lebih baik jika dikembangkan skemaskema seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang digunakan sebagai alternatif dan selanjutnya untuk dikembangkan sebagai jalan tengah sengketa penguasaan lahan.
80
Skenario kemitraan antara KPHP Model Poigar dan masyarakat dilakukan dengan prinsip pengelolaan hutan dilakukan oleh KPHP dan bekerja sama dengan masyarakat sekitar kawasan untuk memanfaatkan dan melindungi sumber daya hutan. KPHP Model Poigar dapat menjalin kerja sama dengan kelompok atau koperasi yang dibentuk oleh masyarakat. Kerja sama ini meliputi kegiatan pemanfaatan potensi sumber daya hutan dalam jangka waktu tertentu. Konsep yang dapat diterapkan antara lain adalah dengan melakukan pembagian hak dan kewajiban oleh masing-masing pihak. Konsep bagi hasil dapat diterapkan pada jenis komoditas kayu maupun non kayu. Hasil dari kegiatan penanaman yang telah dilakukan dapat dipanen oleh masyarakat dengan sistem bagi hasil dengan ketentuan yang telah disepakati bersama. Proporsi bagi hasil pada umumnya lebih besar yang akan diperoleh masyarakat dibandingkan pihak KPHP Model Poigar. Ilham, Purnomo, & Nugroho (2016) menyatakan bahwa proporsi bagi hasil yang diperoleh oleh masyarakat dari pola kemitraan dalam pengelolaan KPHL Solok adalah 75% untuk masyarakat dan 25% untuk pihak KPHL. Selanjutnya Mukarom et al. (2015) juga menyampaikan bahwa sistem bagi hasil yang disepakati dalam kemitraan di KPHL Rinjani Barat tergantung dari jenis yang dihasilkan, untuk jenis hasil hutan kayu (HHK) pembagian hasil yang disepakati adalah 25% untuk KPH (negara) dan 75% koperasi (masyarakat), sedangkan dari hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan tanaman produktif bawah tegakan adalah 10% untuk pihak KPH (negara) dan 90% untuk pihak koperasi (masyarakat). Ilham et al. (2016) menyatakan bahwa skenario Kemitraan Kehutanan dapat meningkatkan jumlah pendapatan masyarakat yang bersumber dari pemanfaatan hasil hutan dan kegiatan masyarakat di dalam kawasan hutan diakui secara legal. Sementara itu, kepastian hukum atas kawasan hutan juga mendapat legitimasi dari masyarakat.
Analisis Persepsi dan Perilaku Masyarakat Terhadap Keberadaan..............(Arif Irawan, Iwanuddin, Jafred E. Halawane dan Sulistya Ekawati)
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Persepsi masyarakat yang baik terhadap kawasan KPHP Model Poigar tidak memberikan pengaruh secara signifikan terhadap perilaku masyarakat. Beberapa karakteristik sosial masyarakat yang memberikan pengaruh terhadap perilaku masyarakat adalah pendidikan, tingkat pendapatan yang bersumber dari luar kawasan dan tingkat interaksi dengan hutan. Salah satu kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dapat dilakukan KPHP Model Poigar saat ini adalah melalui skema Kemitraan Kehutanan. B. Saran Perlu peningkatan pendidikan, peningkatan pendapatan masyarakat dari luar kawasan hutan dan memberikan legalitas agar interaksi masyarakat dengan kawasan KPHP Model dapat lestari. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala KPHP Model Poigar beserta staf, serta kepada Moody C. Karundeng, Rinna Mamonto dan Melkianus S Diwi (Teknisi BP2LHK Manado) yang telah banyak memberikan bantuan selama pelaksanaan kegiatan penelitian ini hingga selesainya penulisan naskah. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, A., Saleh, M. B., & Rusilono, T. (2016). Model spasial deforestasi di KPHP Poigar, Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea, 5(2), 159–169. Akudugu, M. A., Guo, E., & Dadzie, S, K. (2012). Adaption of modern agriculture production technologies by farm households in Ghana. What factors influence their decisions. Journal of Biology, Agriculture and Healthcare, 2(3), 1–13. Alviya, I., Salminah, M., Arifanti, V. B., Maryani, R., & Syahadat, E. (2012). Persepsi para pemangku kepentingan terhadap pengelolaan lanskap hutan di Daerah Aliran Sungai Tulang Bawang. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 9(4), 171–184.
Bakhtiar, I., Sanyoto, R., Berliani, H., Suwito, & Hardiyanto, G. (2015). Upaya KPH mengurai sengketa. Jakarta : Kemitraan Partnership. Bisjoe, A.R., & Muin, N. (2015). Persepsi dan harapan masyarakat terhadap REDD di Hutan Desa Kabupaten Bantaeng Sulawesi Selatan. Info Teknis Eboni, 12(1), 13–21. Damanik, R. N., Affandi, O., & Asmono, L. P. (2014). Persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap sumber daya hutan (Studi kasus Tahura Bukit Barisan, Kawasan Hutan Sibayak II, Kabupaten Karo). Peronema Forestry Science Journal, 3(2), 1–9. Garnadi, D. (2004). Pengetahuan, sikap, dan tindakan masyarakat sekitar hutan terhadap hutan (Kasus di Hutan Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Kadipaten, Kabuaten Majalengka). (Tesis). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Golar. (2014). Resolusi konflik dan pemberdayaan komunitas peladang di TNL. Prosiding Seminar Nasional: Reaktualisasi pengelolaan hutan berbasis ekosistem daerah aliran sungai. Makassar: UNHAS & Komhindo. Ilham, Q. P., Purnomo, H., & Nugroho, T. (2016). Analisis pemangku kepentingan dan jaringan sosial menuju pengelolaan multipihak di Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 21(2), 114–119. Irawan, I., Mairi, K., & Ekawati, S. (2016). Analisis konflik tenurial di Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Poigar. Jurnal Wasian, 3(2), 79–80. Irnawati. (2015). Perilaku masyarakat dalam pelestarian fungsi hutan Taman Wisata Alam Bariat sebagai daerah resapan air. Jurnal Agroforestri, X(3), 181–190. Kartodihardjo, H., Nugroho, B., & Putro, H. R. (2011). Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) konsep, peraturan perundangan dan implementasi. Jakarta: Debut Wahana Sinergi. Mamuko, F., Walangitan, H., & Tilaar, W. (2016). Persepsi dan partisipasi masyarakat dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur. Eugenia, 22(2), 80–91. Mardikanto. (2006). Prosedur penelitian: untuk kegiatan penyuluhan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Surakarta: Prima Theresia Pressindo. Masria, Golar, & Ihsan, M. (2015). Persepsi dan sikap masyarakat lokal terhadap hutan di Desa Labuan Toposo Kecamatan Kabuan Kabupaten Donggala. Warta Rimba, 3(2), 57–64. Mukarom, M., Yuwono, T. G., Sirajuddin, Suryodinoto, … & Yumantoko. (2015). Memberdayakan masyarakat melalui kemitraan kehutanan kompilasi tulisan pengalaman dari KPH Rinjani Barat. Jakarta: Kemitraan Partnership. Mulyadi, M. (2013). Pemberdayaan masyarakat adat dalam pembangunan kehutanan. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan,
81
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 71-82
10(4), 224–234. Narsuka, D. R., Sujali, & Setiawan, B. (2009). Persepsi dan peran serta masyarakat lokal dalam pengelolaan TNGM. Majalah Geografi Indonesia, 23(2), 90–108. Ngabiyanto. (2004). Persepsi dan sikap masyarakat desa hutan terhadap lahan hutan pascapenjarahan di Kabupaten Blora. Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah, 2(2), 153–62. Ruhimat, I. S. (2010). Implementasi kebijakan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Kabupaten Banjar. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 7(3), 169–178. Safitri, D. F. (2014). Perilaku masyarakat tentang eksistensi hutan di Kenagarian Harau Kecamatan Harau Kabupaten Lima Puluh Kota (Skripsi). Padang: STKIP PGRI. Shrestha, R. K., & Alavalapati, J. R. R. (2006). Linking conservation and development: An analysis of local people’s attitude towards Koshi Tappu Wildlife Reserve, Nepal. Environment, Development and Sustainability, 8(1), 69–84. Surati. (2014). Analisis sikap dan perilaku masyarakat terhadap Hutan Penelitian Parung Panjang. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 11(4), 339–347. Suryaningsih, W. H., Purnaweni, H., & Izzati, M. (2012). Persepsi dan perilaku masyarakat dalam upaya pelestarian Hutan Rakyat di Desa
82
Karangrejo Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo. Jurnal Ekosains, IV(3), 27–38. Umar. (2009). Persepsi dan perilaku masyarakat dalam pelestarian fungsi hutan sebagai daerah resapan air (Studi kasus Hutan Penggaron Kabupaten Semarang) (Tesis). Semarang: Universitas Diponegoro,. Wulandari, C. (2010). Studi persepsi masyarakat tentang pengelolaan lanskap agroforestri di sekitar Sub DAS Way Besai, Provinsi Lampung. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 15(3), 137–140. Yuzen, N., Siregar, Y. I., & Saam, Z. (2014). Hubungan antara kondisi sosial ekonomi dengan persepsi, sikap, dan perilaku masyarakat Kabupaten Kerinci pada Hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Jurnal Ilmu Lingkungan, 8(2), 197–213. Zain, M. R. N., Soeaidy, S., & Mindarti, L. (2011). Kemitraan antara KPH Perhutani dan LMDH dalam menjaga kelestarian hutan. Jurnal Administrasi Publik, 2(2), 210–216.
PETUNJUK UNTUK PENULIS (GUIDE FOR AUTHORS) Petunjuk penulisan ini dibuat untuk keseragaman format penulisan dan kemudahan bagi penulis dalam proses penerbitan naskah di Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Penulis dapat menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah dalam bahasa Indonesia harus sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) yang berlaku, dan bila dalam bahasa Inggris sebaiknya memenuhi standar tata bahasa Inggris baku. Naskah ditulis dalam format kertas berukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan margin atas 3 cm, margin bawah 3 cm, margin kiri dan kanan masing–masing 2 cm. Bentuk naskah berupa 2 kolom dengan jarak antar kolom 1 cm. Panjang naskah hendaknya maksimal 12 halaman, termasuk lampiran. Jarak antara paragraf adalah satu spasi tunggal. Naskah merupakan hasil penelitian dalam bidang sosial dan ekonomi kehutanan, serta lingkungan. Naskah harus berisi informasi yang benar, jelas dan memiliki kontribusi substantif terhadap bidang kajian. FORMAT: Naskah diketik di atas kertas putih A4, Times New Roman, font 12, kecuali Abstrak, Kata Kunci dan Daftar Pustaka font 10 SISTEMATIKA PENULISAN Hasil penelitian: JUDUL Identitas Penulis ABSTRAK & Kata Kunci I. PENDAHULUAN II. METODE PENELITIAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. KESIMPULAN DAN SARAN UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT) DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN Tubuh naskah diatur dalam Bab dan Sub bab secara konsisten sesuai dengan kebutuhan. Semua nomor ditulis rata di batas kiri tulisan, seperti: I, II, III, dst. untuk Bab A, B, C, dst. untuk Sub Bab 1, 2, 3, dst. untuk Sub Sub Bab a, b, c, dst. untuk Sub Sub Sub Bab 1), 2), 3), dst. untuk Sub Sub Sub Sub Bab a), b), c), dst. untuk Sub Sub Sub Sub Sub Bab JUDUL: Dibuat dalam 2 bahasa, harus mencerminkan isi tulisan, dan ditulis dengan Times New Roman. Bahasa Indonesia dengan font 14, huruf kapital, tegak dan tidak lebih dari 2 baris atau tidak lebih dari 13 kata. Bahasa Inggris dengan font 12, huruf kecil, italik, dan diapit tanda kurung. Judul naskah harus mencerminkan inti dari isi suatu tulisan. Judul hendaknya akurat, singkat, padat, informatif, mudah diingat dan mudah dipahami. Menggambarkan isi pokok tulisan. Mengandung kata kunci yang menunjukkan isi tulisan. Judul seringkali digunakan dalam sistem pencarian informasi. Hindari pemakaian kata kerja. Hindari pemakaian rumus kimia, rumus matematika, bahasa singkatan dan tidak resmi. IDENTITAS PENULIS: Nama penulis (tanpa gelar dan jabatan) dicantumkan di bawah judul, di bawahnya diikuti nama dan alamat instansi serta alamat e-mail penulis ditulis dengan font lebih kecil dari font teks (font 10). Bila penulis lebih dari satu, penulisan nama berurutan
mulai penulis pertama, penulis kedua, penulis ketiga dan seterusnya sesuai dengan peran dan sumbangan yang diberikan serta tanggungjawab yang dibebankan. ABSTRAK: Dibuat dalam dua bentuk: pertama untuk Lembar Abstrak, maksimal 100 kata, dan kedua (Abstrak) maksimal 200 kata, keduanya berupa intisari dari naskah secara menyeluruh dan informatif. Kedua abstrak tersebut dibuat dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Abstrak merupakan pernyataan singkat, berupa intisari secara menyeluruh mengenai permasalahan, tujuan, metodologi dan hasil yang dicapai. Ditempatkan sebelum pendahuluan; diketik dengan jarak satu spasi. Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, tidak ada gambar, tabel dan pustaka. Tidak mencantumkan istilah yang kurang dimengerti, akronim atau singkatan, nama atau merek dagang atau tanda lain tanpa keterangan. Dapat merangsang pembaca untuk memperoleh informasi lebih lanjut. Naskah dalam bahasa Indonesia: disajikan abstract (bahasa Inggris) yang dicetak miring, disusul abstrak (bahasa Indonesia) yang dicetak tegak. Naskah dalam bahasa Inggris: berlaku sebaliknya. KATA KUNCI: Dicantumkan di bawah abstrak masing-masing, maksimal 5 entri, dibuat dalam bahasa yang digunakan dalam Lembar Abstrak dan Abstrak.
TEMPLATE JURNAL PENELITIAN SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN
JUDUL (Times New Roman, all caps, 14 pt, bold, centered) Title (Times New Roman, 12 pt, italic, bold, centered) (kosong dua spasi tunggal, 12 pt)
}
Penulis Pertama1, Penulis Kedua2 dan Penulis Ketiga3 Nama Jurusan, Nama Fakultas, Nama Universitas, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara; e-mail:
[email protected] 2 Nama Lembaga Penelitian, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara; e-mail:
[email protected] 3 Nama Lembaga Penelitian, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara; e-mail:
[email protected] (kosong dua spasi tunggal, 12 pt) *Apabila semua penulis dalam satu instansi, maka superscript 1,2,dst tidak perlu dicantumkan 1
(Times New Roman, 10 pt, , centered
Diterima ……, direvisi ……, disetujui …… (diisi oleh Sekretariat)
ABSTRACT (12 pt, bold, italic) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt) Abstract should be written in Indonesian and English using Times New Roman font, size 10 pt, italic, single space.. Abstract is not a merger of several paragraphs, but it is a full and complete summary that describe content of the paper It should contain background, objective, methods, results, and conclusion from the research. It should not contain any references nor display mathematical equations. It consists of one paragraph and should be no more than 200 words in bahasa Indonesia and in English (kosong satu spasi tunggal 10 pt). Keywords: 3 - 5 keywords (Times New Roman, 10 pt) (kosong satu spasi tunggal 10 pt)
ABSTRAK (12 pt, bold) (kosong satu spasi 12 pt) Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan jenis huruf Times New Roman, ukuran 10 pt, italic, spasi tunggal. Abstrak bukanlah penggabungan beberapa paragraf, tetapi merupakan ringkasan yang utuh dan lengkap yang menggambarkan isi tulisan. Sebaiknya abstrak mencakup latar belakang, tujuan, metode, hasil, serta kesimpulan dari penelitian. Abstrak tidak berisi acuan atau tidak menampilkan persamaan matematika, dan singkatan yang tidak umum. Abstrak terdiri dari satu paragraf dengan jumlah kata paling banyak 200 kata dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. (kosong satu spasi tunggal 10 pt) Kata kunci: 3 - 5 kata kunci (Times New Roman, 10 pt) (kosong enam spasi tunggal, 10 pt)
I. PENDAHULUAN (12 pt, bold) (kosong satu spasi tunggal, 10 pt)
Pendahuluan mencakup hal–hal berikut ini: Latar belakang, berisi uraian permasalahan dan alasan pentingnya masalah tersebut diteliti. Permasalahan diumuskan secara jelas, penjelasan ditekankan pada rencana pemecahan masalah dan keterkaitannya dengan pencapaian luaran yang telah ditetapkan. Tujuan, berisi pernyataan secara jelas dan singkat tentang hasil yang ingin dicapai dari serangkaian kegiatan penelitian yang akan dilakukan. Sasaran atau luaran menjelaskan secara spesifik yang merupakan hasil antara dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Hasil yang telah dicapai, dijelaskan kaitannya dengan kegiatan yang dilaksanakan (khusus untuk kegiatan penelitian lanjutan). II. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan harus ditulis sesuai dengan cara ilmiah, yaitu rasional, empiris dan sistematis. Mengemukakan semua bahan yang digunakan seperti tumbuhan kayu, bahan kimia, alat dan lokasi penelitian. Tanaman dan binatang ditulis lengkap dengan nama ilmiah. Menggunakan tolok ukur internasional, system matrix dan standar nomenklatur. Metode penelitian dijelaskan sesuai dengan penelitian yang dilaksanakan. Pelaksanaan penelitian disusun berurutan menurut waktu, ukuran dan kepentingan. Jika metode merupakan kutipan harus dicantumkan dalam referensi. Jika dilakukan perubahan terhadap metode kutipan atau standar harus disebutkan perubahannya. Bila diperlukan dapat disajikan dalam tabel. Metode statistik (bila ada) harus disebutkan dengan singkat. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil disajikan dalam bentuk uraian umum. Disusun secara berurutan sesuai dengan tujuan penelitian. Jika tujuan penelitian tidak tercapai perlu dikemukakan alasan dan penyebabnya, agar peneliti lain tidak mengulanginnya. Tabulasi, grafik, analisis statistik dilengkapi dengan tafsiran yang
benar. Judul, keterangan tabel dan gambar dilengkapi dengan terjemahan bahasa Inggris dengan huruf miring; atau sebaliknya. Angka yang tercantum dalam tabel tidak perlu diuraikan lagi, tetapi cukup dikemukakan makna atau tafsiran masalah yang diteliti; dalam bagian ini juga dapat disajikan ilustrasi dalam bentuk grafik bagan, pictogram dan sebagainya. Dapat mengemukakan perbandingan hasil yang berlainan dan beberapa perlakuan. Metode statistik yang digunakan dalam pengolahan data harus dikemukakan, sehingga tingkat kebenaran dapat ditelusuri. Prinsip dasar metode harus diterangkan dengan mengacu pada referensi atau keterangan lain mengenai masalah ini. Penulis mengemukakan pendapatnya secara objektif dengan dilengkapi data kuantitatif. Pembahasan dapat menjawab apa arti hasil yang dicapai dan apa implikasinya. Dapat menafsirkan hasil dan menjabarkannya, sehingga dapat dimengerti pembaca. Mengemukakan hubungan dengan hasil penelitian sebelumnya. Bila berbeda tunjukkan, bahas dan jelaskan penyebab perbedaan tersebut. Hasil penelitian ditafsirkan dan dihubungkan dengan hipotesis dan tujuan penelitian. Mengemukakan fakta yang ditemukan dan alasan mengapa hal tersebut terjadi. Menjelaskan kemajuan penelitian dan kemungkinan pengembangan selanjutnya. Simbol/lambang ditulis dengan jelas dan konsisten. Istilah asing ditulis dengan huruf italic. Singkatan harus dituliskan secara lengkap pada saat disebutkan pertama kali, setelah itu dapat ditulis kata singkatnya. TABEL: Diberi nomor, judul, dan keterangan yang diperlukan, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Tabel ditulis dengan Times New Roman ukuran 10 pt dan berjarak satu spasi di bawah judul tabel. Judul tabel ditulis dengan huruf berukuran 10 pt, rata kiri, dan ditempatkan di atas tabel. Penomoran tabel menggunakan angka Arab (1, 2, …..). Tabel diletakkan segera setelah disebutkan di dalam naskah. Tabel diletakkan pada posisi paling atas atau paling bawah
dari setiap halaman. Apabila tabel memiliki lajur/kolom cukup banyak, dapat digunakan format satu kolom atau satu halaman penuh. Apabila judul pada lajur tabel terlalu panjang, maka lajur diberi nomor dan keterangannya di bawah tabel. Sumber (Source) ditulis di kiri bawah tabel.
masing harus diberi nomor, judul, dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Gambar diletakkan segera setelah disebutkan dalam naskah. Gambar diletakkan pada posisi paling atas atau paling bawah dari setiap halaman. Gambar diletakkan simetris dalam kolom.
(kosong satu spasi tunggal, 10 pt)
Tabel 1. Perkembangan luas hutan rakyat di 10 kabupaten terluas dalam pembangunan hutan rakyat di Jawa Tengah Table 1. Community forests areas development in 10 largest regencies in community forest establishment in Central Java
(kosong satu spasi tunggal, 10 pt) No.
Kabupaten (Regency)
1 Wonogiri 2 Kendal 3 Banjarnegara 4 Purbalingga 5 Purworejo 6 Wonosobo 7 Pati 8 Banyumas 9 Boyolali 10 Sragen Kabupaten lainnya Jumlah (Total)
2005 25.100 12.407 13.154 13.027 20.771 19.824 15.762 13.204 9.392 17.064 15.735 317.440
Tahun (Year) (ha) 2006 25.643 12.724 15.610 14.117 23.186 20.687 16.049 14.963 9.758 17.220 175.866 345.823
2007
36.359 12.737 19.290 14.143 20.567 19.619 16.049 17.090 7.950 18.049 184.776 366.629
Sumber (Source): Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah (2013a). (kosong satu spasi tunggal, 10 pt)
Sumber (Source): Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah (2013a). (kosong satu spasi tunggal, 10 pt) Gambar 1. Persentase luas hutan rakyat di Provinsi Jawa Tengah tahun 2011. Figure 1. Area percentage of community forests in Central Java Province in 2011. (kosong dua spasi tunggal, 10 pt)
GAMBAR: Gambar, grafik, dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus berwarna kontras (hitam putih atau berwarna), masing-
Apabila gambar cukup besar, bisa digunakan format satu kolom. Penomoran gambar menggunakan angka Arab. Penulisan
keterangan gambar menggunakan huruf Times New Roman berukuran 10 pt, center, dan diletakkan di bagian bawah, seperti pada contoh di atas. Sumber (Source) ditulis di kiri .bawah gambar. FOTO: Harus mempunyai ketajaman yang baik, diberi nomor, judul, dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Resolusi gambar disarankan paling sedikit 300 dpi, sehingga gambar tetap terbaca jelas meskipun diperbesar. Apabila terdapat persamaan reaksi atau matematis, diletakkan simetris pada kolom. Nomor persamaan diletakkan di ujung kanan dalam tanda kurung, dan penomoran dilakukan secara berurutan. Apabila terdapat rangkaian persamaan yang lebih dari satu baris, maka penulisan nomor diletakkan pada baris terakhir. Penunjukan persamaan dalam naskah dalam bentuk singkatan, seperti persamaan (1). Penurunan persamaan matematis tidak perlu ditulis semuanya secara detail, hanya dituliskan bagian yang terpenting, metode yang digunakan dan hasil akhirnya. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kesimpulan memuat hasil yang telah dibahas. Hal yang perlu diperhatikan adalah segitiga konsistensi (masalah-tujuankesimpulan harus konsisten). Kesimpulan bukan tulisan ulang pembahasan dan juga bukan ringkasan, melainkan perampatan singkat dalam bentuk kalimat utuh (tidak berupa pointer). Penunjukan persamaan dalam naskah dalam bentuk singkatan, seperti persamaan (1). Penurunan persamaan matematis tidak perlu ditulis semuanya secara detail, hanya dituliskan bagian yang terpenting, metode yang digunakan dan hasil akhirnya. (kosong satu spasi tunggal 11 pt)
æ ¶u ¶v k a = -ç + ç ç ¶y è ¶x
ö ÷ ÷ ÷ ÷ ø
B. Saran Saran berisi rekomendasi akademik atau tindak lanjut nyata atas kesimpulan yang diperoleh, dapat dikemukakan untuk dipertimbangkan pembaca. UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT) Merupakan bagian yang wajib ada dalam sistematika karya tulis ilmiah. Suatu penelitian tidak akan berhasil tanpa melibatkan pihakpihak yang telah membantu, baik berperan secara finansial, teknis, maupun substantif. Ucapan terima kasih merupakan sebuah kewajiban, bukan pilihan (opsional). DAFTAR PUSTAKA (kosong satu spasi tunggal, 10 pt) Daftar pustaka merupakan referensi yang dirujuk dalam naskah, diutamakan terbitan paling lama 5 tahun terakhir. Format penulisan Daftar Pustaka mengacu pada American Psychological Association (APA) style. Referensi terdiri dari acuan primer dan/ atau acuan sekunder. Sumber acuan primer adalah sumber acuan yang langsung merujuk pada bidang ilmiah tertentu, sesuai topik penelitian dan sudah teruji. Sumber acuan primer dapat berupa: tulisan dalam makalah ilmiah dalam jurnal internasional maupun nasional terakreditasi, hasil penelitian di dalam disertasi, tesis, maupun skripsi. Buku (textbook) dan prosiding termasuk dalam sumber acuan sekunder. Semua karya yang dikutip dalam penulisan karya tulis harus dimuat dalam daftar pustaka (dan sebaliknya). Berdasarkan Pedoman Akreditasi Terbitan Berkala Ilmiah (2014), proporsi terbitan 10 tahun terakhir merupakan tolak ukur mutu terbitan berkala ilmiah, dimana sumber acuan primer berbanding sumber lainnya adalah >80%. Pengacuan pada tulisan sendiri (self citation) yang terlalu banyak dapat mengurangi nilai terbitan berkala ilmiah. Daftar pustaka pada halaman terpisah dari uraian penulisan. Ukuran margin seperti pada halaman penulisan. Judul daftar pustaka berada di tengah dan tidak dicetak miring/ tanda kutip. Kapitalkan hanya huruf pertama pada kata pertama dan proper noun pada judul.
Jarak antar karya (pustaka) dua spasi. Inden pada baris kedua dengan jarak ½ inch. Daftar pustaka harus disusun berdasarkan alphabet. Penulisan sitasi dan daftar pustaka diharuskan menggunakan aplikasi referensi seperti Mendeley, Endnote. LAMPIRAN
Contoh Penulisan Daftar Pustaka Berdasarkan APA Style: Paper dalam jurnal Artikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (1 penulis). Williams, J.H. (2008). Employee engagement: Improving participation in safety. Professional Safety, 53(12), 40-45. Artikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (2-6 penulis). Astana, S., Soenarno, & Karyono, O.K. (2014). Implikasi perubahan tarif dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan terhadap laba pemegang konsesi hutan dan penerimaan negara bukan pajak: Studi kasus hutan alam produksi di Kalimantan Timur, Indonesia. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 11(3), 251- 264. Artikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (lebih dari 6 penulis). Reed, M.S., Graves, A., Dandy, N., Posthumus, H., Hubaek, K., Morris, J., … Stringer, L.C. (2009). Who’s in and why? A typology of stakeholder analysis methods for natural resource management. Journal of Environmental Management, 2009(90), 16. Buku Buku (1 penulis). Alexie, S. (1992). The business of fancydancing: Stories and poems. Brooklyn, NY: Hang Loose Press. Buku (2-6 penulis). Saputro, G.B., Hartini, S., Sukardjo, S., Susanto, A., & Poniman, A. (2009). Peta mangroves Indonesia. Jakarta: Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut, Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional. Buku (lebih dari 6 penulis). Atmosoedardjo, H.K., Kartasubrata, J., Kaomini, M., Saleh, W., … & Moerdoko, W. (2000). Sutera Alam Indonesia. Jakarta: Penerbit Yayasan Sarana Wana Jaya. Prosiding Kuntadi, & Adalina, Y. (2010). Potensi Acacia mangium sebagai sumber pakan lebah madu (pp. 915-921). Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIII: Pengembangan ilmu dan teknologi kayu untuk mendukung implementasi program perubahan iklim, Bali 10-11 Nopember 2010. Bogor: Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia. Kumpulan tulisan yang diedit Booth-LaForce, C., & Kerns, K.A. (2009). Child-parent attachment relationships, peer relationships, and peergroup functioning. In K.H. Rubin, W.M. Bukowski, & B. Laursen (Eds.), Handbook of peerinteractions, relationships, and groups (pp. 490-507). New York, NY: Guilford Press. Makalah seminar, lokakarya Ibnu, S. (2011, Maret). Isi dan format jurnal ilmiah. Makalah disajikan dalam Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Penyuntingan Jurnal Ilmiah, Malang: Universitas Negeri Malang. Skripsi, disertasi, tesis Suyana, A. (2003). Dampak penjarangan terhadap struktur dan riap tegakan di hutan produksi alami PT. Inhutani I Berau Kalimantan Timur (Tesis Pascasarjana). Universitas Mulawarman, Samarinda. Laporan Penelitian. Sidiyasa, K., Mukhlisi, & Muslim, T. (2010). Jenis-jenis tumbuhan hutan asli Kalimantan yang berpotensi sebagai sumber pangan dan aspek konservasinya (Laporan Hasil Penelitian). Samboja: Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Samboja (unpublished). Artikel dari internet.: Ahira, A. (2011). Adaptasi morfologi dari paruh burung kolibri. Diunduh 7 Juni 2012 dari http: //www. anneahira.com/paruh-burung-kolibri-h.tm cache.
Kenney, G.M., Cook, A., & Pelletier, J. (2009). Prospects for reducing uninsured rates among children: How much can premium assistance programs help? Retrieved 7 June 2012 from Urban Institute website: http://www. urban.org/url.cfm?ID=411823. Surat kabar. Booth, W. (1990, October 29). Monkeying with language: Is chimp using words or merely aping handpers? The Washington Post. p.A3. Perundang-Undangan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dan sejenisnya. Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 2013 tentang RTRW Kota Medan 2011-2031. Peraturan Walikota Medan Nomor 10 tahun 2009 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah. Pengutipan pustaka di dalam naskah berdasarkan sistem penulisan referensi APA Style, sebagai berikut: • Karya dengan dua pengarang. Research by Wegener and Petty (1994) supports... atau (Wegener & Petty, 1994) • Karya tiga sampai lima pengarang. (Kernis, Cornell, Sun, Berry, & Harlow, 1993) atau Kernis, Cornell, Sun, Berry, & Harlow (1993) explain…. Dalam kutipan berikutnya, (Kernis et al., 1993) atau Kernis et al. (1993) argued…. • Enam pengarang atau lebih. Harris et al. (2001) argued... atau (Harris et al., 2001) • Pengarang tidak diketahui, sitasi sumber pada judul dengan huruf miring. Sitasi sumber pada judul buku atau laporan dengan huruf miring, contoh: …berdasarkan Statistik daerah Kabupaten Pesawaran 2013 ……. Sedangkan pada judul artikel, bab, dan halaman web dalam tanda kutip dan dilengkapi tahun, contoh : A similar study was done of students learning to format research papers ("Using APA," 2001). • Organisasi sebagai pengarang. According to the American Psychological Association (2000),... atau menggunakan singkatan jika telah dikenal dalam tanda bracket pertamakali sumber dikutip dan selanjutnya hanya singkatan yang disitasi. Sitasi pertama: (Mothers Against Drunk Driving [MADD], 2000) Sitasi kedua: (MADD, 2000) • Dua karya atau lebih dalam tanda kurung yang sama (Berndt, 2002; Harlow, 1983) • Pengarang dengan nama akhir sama. Gunakan inisial nama pertama dan nama terakhir, (E. Johnson, 2001; L. Johnson, 1998) • Dua karya atau lebih dengan pengarang sama dalam tahun sama. Research by Berndt (1981a) illustrated that... • Mensitasi/mengutip sumber tidak langsung. Johnson argued that...(as cited in Smith, 2003, p. 102). • Tahun tidak diketahui. Another study of students and research decisions discovered that students succeeded with tutoring ("Tutoring and APA," n.d.).
CATATAN: Penggunaan titik dan koma dalam penulisan angka: Naskah (teks) bahasa Indonesia: titik (.) menunjukkan kelipatan ribuan dan koma (,) menunjukkan pecahan. Naskah (teks) bahasa Inggris: titik (.) menunjukkan pecahan dan koma (,) menunjukkan kelipatan ribuan. KONDISI: Dewan Redaksi berhak mengubah naskah tanpa mengurangi isi yang terkandung di dalamnya, dan juga berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan yang disyaratkan. Penulis dari luar instansi Badan Litbang Kehutanan wajib menyertakan curriculum vitae singkat dan alamat yang jelas. PENGAJUAN NASKAH 1. Redaksi Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan menerima naskah ilmiah berupa hasil penelitian dalam bidang Kebijakan, dan Lingkungan Kehutanan. Naskah harus berisi informasi yang benar, jelas dan memiliki kontribusi substantif terhadap bidang kajian 2. Penulisan harus singkat dan jelas sesuai dengan format penulisan Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Naskah belum pernah dimuat atau tidak sedang dalam proses untuk dimuat di media lain, baik media cetak maupun elektronik. Naskah diharapkan juga mensitasi dari Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan dan/atau Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 3. Naskah ilmiah yang masuk akan diseleksi oleh Dewan Redaksi yang memiliki wewenang penuh untuk mengoreksi, mengembalikan untuk diperbaiki, atau menolak tulisan yang masuk meja redaksi bila dirasa perlu. Penilaian secara substantif akan dilakukan oleh Mitra Bestari/Penyunting Ahli. Penilaian akan dilakukan secara obyektif dan tertulis. 4. Naskah ilmiah yang dimuat dalam Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan tidak berarti mencerminkan pandangan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI). 5. Informasi mengenai penerbitan Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan dapat diakses di website http:// www. puspijak.org dan http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JAKK.