ISSN: 1979-6013
JURNAL PENELITIAN SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN (Forestry Socio and Economic Research Journal) Vol. 10 No. 1 Maret Tahun 2013
TERAKREDITASI No. 493/AU1/P2MI-LIPI/08/2012
Forestry Socio and Economic Research Journal Volume 10 Nomor 1, Maret Tahun 2013
KEMENTERIAN KEHUTANAN Ministry of Forestry BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Forestry Research and Development Agency PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN Centre for Climate Change and Policy Research and Development BOGOR INDONESIA
JURNAL SOSEK
Vol. 10
No. 1
Hal 1 - 73
Bogor 2013
ISSN 1979-6013
JURNAL PENELITIAN
ISSN: 1979-6013
SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN Forestry Socio and Economic Research Journal
Volume 10 Nomor 1, Maret Tahun 2013 Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan telah terakreditasi berdasarkan Keputusan Kepala LIPI No. 742/E/2012 dengan kategori B. Memuat Karya Tulis Ilmiah dari hasil-hasil penelitian di bidang Sosial dan Ekonomi Kehutanan serta lingkungan dan terbit secara berkala empat kali dalam setahun. Forestry Social and Economic Journal is an accredited journal. Based on the decree of Director of Indonesian Science Institute (LIPI) No. 742/E/2012. This Journal Publishes result of research in Socioeconomic Forestry and released four times annually. Penanggung Jawab (Editor in Chief) : Dewan Redaksi (Editorial Board) Ketua (Chairman) Anggota (Members)
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan : Dr. Hariyatno Dwiprabowo, M.Sc (Ekonomi Kehutanan) : 1. Dr. Ir. Satria Astana, M.Sc (Ekonomi Kehutanan) 2. Ir. Subarudi, M.Wood.Sc (Sosiologi Kehutanan) 3. Ir. Setiasih Irawanti, M.Sc (Ekonomi Kehutanan) 4. Prof. Irsal Las (Agroklimatologi dan Lingkungan) 5. Dr. Ir. Didik Suhardjito, M.S (Sosiologi, Kehutanan & Kehutanan Masyarakat) 6. Dr. Herman Hidayat (Studi dan Kemasyarakatan) 7. Dr. Ir. Handewi P. Salim (Sosial Ekonomi Pertanian) 8. Drs. Edi Basuno, M.Phill, P.Hd (Sosial Ekonomi Pertanian)
Sekretariat Redaksi (Editorial Secretariat) Ketua (Chairman) : Kabid Pengembangan Data dan Tindak Lanjut Penelitian Anggota (Members)
: 1. 2. 3. 4.
Kasub Bid Data, Informasi dan Diseminasi Bayu Subekti, SIP, M.Hum Leni Wulandari, S.Hut Ratna Widyaningsih, S.Kom
Mitra Bestari (Peer Reviewers)
: 1. 2. 3. 4.
Prof. Dr. Dudung Darusman (IPB) Prof. Dr. Djaban Tinambunan, MS Prof.MustofaAgungSardjono(Univ.Mulawarman) Dr. A. Ngaloken Gintings, MS
Diterbitkan oleh (Published by) : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan (Centre For Climate Change And Policy Research And Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (Forestry Research and Development Agency) Alamat (Address) : Jalan Gunung batu No. 5, PO. BOX 272 Bogor 16610, Indonesia Telepon (Phone) : 62-0251-8633944 Fax (Fax) : 62-251-8634924 Email :
[email protected]
PETUNJUK PENULISAN NASKAH “JURNAL PENELITIAN SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN” 1. Judul, harus jelas dan menggambarkan isi tulisan, ringkas tidak lebih dari 2 baris, ditulis dengan Times New Roman font 14 dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. 2. Naskah yang dikirim terdiri dari 15-30 halaman, 2 spasi, ukuran kertas A4 dan font ukuran huruf 12. 3. Nama penulis ditulis di bawah judul dan dicantumkan tanpa gelar, dicantumkan pula alamat instansi, No. Telp/faks serta alamat e-mail penulis (jika ada). 4. Abstract/abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan Indoneisa, tidak lebih dari 200 kata, berisi intisari permasalahan secara menyeluruh, bersifat informatif mengenai hasil yang dicapai, diketik dengan font 10, spasi satu. 5. Key words/Kata kunci ditulis di bawah abstrak dan tidak lebih dari lima entri. 6. Tubuh naskah, diatur dalam Bab dan Sub bab secara konsisten sesuai dengan kebutuhan. Semua nomor ditulis rata dibatas kiri tulisan, seperti: I, II, III, dst. untuk Bab A, B, C, dst. untuk Sub Bab 1, 2, 3, dst. untuk Sub subbab a, b, c, dst. untuk Sub sub subbab 7. Sistematik Penulisan adalah sebagai berikut: Judul : Bahasa Indonesia dan Inggris Abstract : Bahasa Inggris Abstrak : Bahasa Indonesia I. Pendahuluan II. Bahan dan Metode III. Hasil dan Pembahasan IV. Kesimpulan dan Saran Daftar Pustaka 8. Tabel, gambar, grafik dan sejenisnya diberi nomor, judul dan keterangan dalam bahasa Indonesia dan Inggris. 9. Daftar Pustaka merupakan referensi yang dirujuk dalam naskah dan disajikan secara alphabetik nama belakang penulis pertama. Pustaka yang dirujuk diusahakan terbitan paling lama sepuluh tahun terakhir. Pustaka dapat berasal antara lain dari buku, jurnal, prosiding dan internet, dengan contoh cara penulisan sebagai berikut: - Gidden, A. (1979). Central problems in social theory. Macmillan. London. - Doornbos, M. and L. Gertsch. (1994). Sustainability, technology and corporate interest: resources strategies in India's modern diary sector. development Studies 30(3):916-50 - Purnomo. (2004). Potensi dan peluang usaha perlebahan di propinsi Riau. Prosiding ekspose hasilhasil Litbang Hasil Hutan, tanggal 14 Desember 2004 di Bogor. Hlm. 133-141 Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor. - Agarwal, A. and S. Narain. (2002). Community and water management : the key to environment regeneration and proverty allevation. diakses 14 Januari 2002 dari Website: http:// www.undp.org/seed/pei/publication/ water.pdf. diakses 14 Januari 2002
ISSN: 1979-6013
TERAKREDITASI No. 493/AU2/P2M-LIPI/08/2012
Forestry Socio and Economic Research Journal Volume 10 Nomor 1, Maret Tahun 2013
KEMENTERIAN KEHUTANAN Ministry of Forestry BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Forestry Research and Development Agency PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN Centre for Climate Change and Policy Research and Development BOGOR INDONESIA
JURNAL SOSEK
Vol. 10
No. 1
Hal 1 - 73
Bogor 2013
ISSN 1979-6013
Ucapan Terima Kasih Dewan Redaksi Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada mitra bestari (peer reviewers) yang telah menelaah naskah yang dimuat pada edisi Vol. 10 No. 1 Maret tahun 2013 : 1. Prof. Dr. Dudung Darusman (IPB) 2. Prof. Dr. Djaban Tinambunan, MS 3. Dr. A. Ngaloken Gingting, MS
ISSN: 1979-6013
TERAKREDITASI No. 493/AU2/P2M-LIPI/08/2012
Forestry Socio and Economic Research Journal Volume 10 Nomor 1, Maret Tahun 2013 DAFTAR ISI ANALISIS CADANGAN KARBON POHON PADA LANSKAP HUTAN KOTA DI DKI JAKARTA (Tree Carbon Stock Analysis of Urban Forest Landscape in DKI Jakarta) Sofyan Hadi Lubis, Hadi Susilo Arifin, Ismayadi Samsoedin ......................................
1 - 20
ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL PENGUSAHAAN MINYAK KAYU PUTIH TRADISIONAL DI TAMAN NASIONAL WASUR, PAPUA (Financial Feasability Analysis of Traditional Cajuput Oil Refinery in Wasur National Park, Papua) Yonky Indrajaya, Aji Winara, M. Siarudin, Edy Junaidi, dan Ary Widiyanto ..............
21 - 32
STRATEGI PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR (Development Strategy Of Forest Plantation In East Kalimantan Province) Epi Syahadat ......................................................................................................................
33 - 47
ANALISIS BIAYA PENGGUNAAN BERBAGAI ENERGI BIOMASSA UNTUK IKM (Studi Kasus di Kabupaten Wonosobo) (Cost Comparation Analysis of Wood Waste Fuels for SMI (Case Study in Wonosobo District)) Sylviani, Hariyatno Dwiprabowo & Elvida Yosefi Suryandari ...................................
48 - 60
PERSEPSI DAN TINGKAT KETERGANTUNGAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA ALAM TAMAN NASIONAL AKETAJAWE LOLOBATA DI PROVINSI MALUKU UTARA (Communities Perception and Reliances on Natural Resources of Aketajawe Lolobata National Park in North Maluku Province) Lis Nurrani, Supratman Tabba ........................................................................................
61 - 73
JURNAL PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KEHUTANAN ISSN: 1979 - 6013
Terbit : Maret 2013
Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa ijin dan biaya. UDC (OSDCF) 630*161.32 Sofyan Hadi Lubis, Hadi Susilo Arifin, Ismayadi Samsoedin Analisis Cadangan Karbon Pohon Pada Lanskap Hutan Kota di DKI Jakarta Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No.1, hal. 1 - 20 Meningkatnya persoalan lingkungan, seperti polusi udara dan peningkatan suhu di DKI Jakarta menyebabkan keberadan hutan kota sangat penting. Pohon memiliki peran penting karena berfungsi sebagai penyimpan karbon dan penyerap karbon paling efesien di perkotaan. Hutan kota di DKI Jakarta memiliki persoalan dalam pengembangannya, selain aspek teknis juga dipengaruhi oleh aspek kebijakan hutan kota. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian ini dengan tujuan: (1) menganalisis cadangan karbon, nilai serapan CO2, dan jenis pohon hutan kota yang memiliki cadangan karbon potensial, dan (2) menganalisis faktor kebijakan yang perlu mendukung pengembangan hutan kota. Penelitian dilakukan di DKI Jakarta dengan fokus pada tiga hutan kota, yaitu hutan kota Universitas Indonesia, Srengseng dan PT JIEP. Analisis cadangan karbon dilakukan melalui pendekatan allometrik dan analisis faktor kebijakan hutan kota dengan pendekatan Analitical Hierarchy Process (AHP). Jumlah cadangan karbon pohon terbesar terdapat pada hutan UI yaitu 178,82 ton/ha, Srengseng 24,04 ton/ha dan PT JIEP 23,64 ton/ha. Nilai serapan CO2 terbesar dihasilkan dari hutan kota UI yaitu 634,40 ton/ha, Srengseng 88,15 ton/ha dan PT JIEP 86,76 ton/ha. Sumbangan cadangan karbon pohon terbesar dihasilkan dari pohon famili Fabaceae, antara lain yaitu Acacia crassicaarpa A. Cun Ex Benth, Acacia mangium Willd, Paraserianthes falcataria L, Leucaena leucocephala L, Bauhinia purpurea L, Delonix regia Boj. Ex Hook, Pterocarpus indicus Willd, Everythrina cristagalli L dan Abrus precarorius L. Prioritas kebijakan yang mendukung pengembangan hutan kota pada level faktor adalah peningkatan kualitas hutan kota, level aktor adalah pemerintah dan level alternatif adalah evaluasi peraturan dan perluasan hutan kota. Kata kunci: AHP, allometrik, jenis pohon, serapan Co2 UDC (OSDCF) 630*907.11 Yonky Indrajaya, Aji Winara, M. Siarudin, Edy Junaidi, dan Ary Widiyanto Analisis Kelayakan Finansial Pengusahaan Minyak Kayu Putih Tradisional di Taman Nasional Wasur, Papua Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No.1, hal. 21 - 32 Dalam tulisan ini disajikan hasil analisis aspek finansial pengolahan minyak kayu putih (MKP) secara tradisional di Taman Nasional (TN) Wasur, Papua. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dengan penyuling MKP. Penilaian terhadap kelayakan finansial usaha MKP menggunakan ukuran yaitu: NPV, IRR, BCR, dan sensitivitas. Analisis dilakukan dalam kurun waktu
10 tahun dengan suku bunga 10%, dilakukan pada 2 (dua) kasus: pengusahaan oleh penduduk asli dan pengusahaan oleh pendatang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pengolahan oleh penduduk asli nilai NPV adalah Rp 258.686.275 dan BCR: 1,72. Sedangkan nilai NPV dan BCR pada pengolahan MKP oleh pendatang berturut-turut adalah Rp. 56.947.848 dan 1,1. Hal ini menunjukkan bahwa pengolahan minyak kayu putih secara tradisional pada kedua sistem pengolahan layak secara finansial. Kata kunci: Analisis finansial, minyak kayu putih, TN Wasur
UDC (OSDCF) 630*624 Epi Syahadat Strategi Pembangunan Hutan Tanaman di Provinsi Kalimantan Timur Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No.1, hal. 33 - 47 Kebutuhan kayu untuk bahan baku industri di Indonesia tercatat 50-60 juta m³ per tahun, di mana sekitar 30 juta m³ adalah untuk keperluan industri pulp dan kertas. Sebagian besar kebutuhan kayu bulat tersebut masih di pasok dari hutan alam. Sedangkan kemampuan hutan produksi alam dalam penyediaan kayu bulat sudah semakin terbatas. Untuk mendukung penyediaan bahan baku, Kementerian Kehutanan akan mempercepat program pembangunan hutan tanaman industri (HTI). Rencana pemenuhan bahan baku industri kayu sampai dengan tahun 2011 sebesar 53,92 m³, baru terealisasi sebesar 25,86 m³ atau 48,3 % (Data Release Dirjen BUK, 2011). Potensi tersebut terus dikembangkan, mengingat pada tahun 2009 semua industri pulp dan kertas harus sudah menggunakan kayu dari hasil hutan tanaman. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui strategi para pihak dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu bulat khususnya di Provinsi Kalimantan Timur menggunakan pendekatan SWOT. Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa pembangunan hutan tanaman di Provinsi Kalimantan Timur berada pada kuadran pertama diagram SWOT dan alternatif strategi yang digunakan adalah SO (strength and opportunities) dengan pertimbangan bahwa sumberdaya hutan tanaman mempunyai potensi yang cukup besar untuk dipasarkan, akan tetapi belum termanfaatkan secara optimal. Kata kunci: hutan tanaman, strategi pembangunan, kebutuhan bahan baku kayu
UDC (OSDCF) 630*331.1 Sylviani, Hariyatno Dwiprabowo & Elvida Yosefi Suryandari
UDC (OSDCF) 630*907.11 Lis Nurrani, Supratman Tabba
Analisis Biaya Penggunaan Berbagai Energi Biomassa untuk IKM (Studi Kasus di Kabupaten Wonosobo)
Persepsi dan Tingkat Ketergantungan Masyarakat Terhadap Sumberdaya Alam Taman Nasional Aketajawe Lolobata di Provinsi Maluku Utara
Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No.1, hal. 48 - 60 Kelangkaan sumber energi yang tidak terbarukan mendorong industri menggunakan bahan bakar terbarukan. Salah satu sumber energi terbarukan adalah limbah kayu dari industri penggergajian seperti serbuk gergajian dan pelet kayu. Penelitian dilakukan di Kabupaten Wonosobo pada beberapa Industri Kecil Menengah (IKM) makanan dan minuman (mamin). Uji coba menggunakan pelet kayu dilakukan di Kabupaten Cianjur pada industri tahu dan tempe. Metode penelitian dilakukan dengan menggunakan analisis biaya untuk mengetahui perbandingan biaya penggunaan berbagai jenis bahan bakar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya bahan bakar menggunakan pelet kayu menunjukkan nilai yang terkecil (2,3%) dari biaya produksi dibandingkan dengan menggunakan bahan bakar lainnya, sedangkan biaya produksi tempe menggunakan pelet kayu menunjukkan nilai yang tinggi 5,5%. Pelet kayu merupakan bahan bakar yang memiliki kelebihan antara lain : hemat dalam penyimpanan, waktu memasak yang relatif singkat, dan rendah tingkat abu dan emisi. Kabupaten Wonosobo mempunyai potensi yang tinggi untuk pengembangan bahan bakar pelet kayu, karena memiliki hutan negara dan hutan rakyat yang cukup luas. Pelet kayu merupakan bahan bakar yang cukup efisien untuk dikembangkan penggunaannya dalam industri. Namun demikian, perlu kerjasama dan koordinasi para pihak untuk mengembangkan pelet kayu agar dapat dimanfaatkan secara luas. Kata kunci: energi terbarukan, pelet kayu, dan koordinasi para pihak
Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No.1, hal. 61 - 73 Penelitian ini merupakan kajian persepsi dan ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya alam di sekitar kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata khususnya blok Aketajawe. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 dan Juni tahun 2011 di tiga desa yang bersentuhan langsung dengan kawasan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya alam di dalam dan sekitar kawasan taman nasional dan pengar uhnya terhadap keberlangsungan hidup masyarakat. Metode pemilihan responden dilakukan secara purposive dan analisis data menggunakan statistik deskriptif, dengan intensitas sampling 10%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Masyarakat Kobe Kulo memiliki persepsi tidak baik hingga sedang, sedangkan persepsi masyarakat Tayawi adalah sedang, dan persepsi masyarakat Binagara adalah sedang hingga baik. Ketergantungan masyarakat terhadap kayu dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan kegunaannya yaitu sebagai bahan bangunan, perkakas rumah tangga, dan bahan bakar. Hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan adalah rotan, pandan, woka, sagu, pala, sayuran, buah-buahan, dan tumbuhan obat tradisional, serta satwa liar yang dikonsumsi masyarakat adalah rusa, babi hutan, telur burung gosong dan angsa hutan. Sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa hutan merupakan tempat memenuhi kebutuhan hidup, namun pengetahuan tentang keberadaan taman nasional masih minim. Kata kunci: Ketergantungan, Persepsi, Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Maluku Utara
FORESTRY SOCIO AND ECONOMIC RESEARCH JOURNAL ISSN: 1979 - 6013
Date of issue : March 2013
The discriptors given are keywords. The abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC (OSDCF) 630*161.32 Sofyan Hadi Lubis, Hadi Susilo Arifin, Ismayadi Samsoedin Tree Carbon Stock Analysis of Urban Forest Landscape in DKI Jakarta
showed that on local dwellers case, the NPV is IDR 258,686,275 and BCR 1.72. Whereas, in the migrant case the value of NPV and IRR are IDR 56,947,848 and 1.10 respectively. It is shown that both traditional cajuput oil refinery systems are financially feasible.
Forestry Socio Economic Journal Vol. 10 No. 1, p. 1 - 20 Keywords: Financial analysis, cajuput oil, TN Wasur In order to reduce environmental degradation, such as air pollution and increasing of air temperature in DKI Jakarta, the presence of urban forest is very crucial. Tree has an important role because it has function as carbon storage and most efficient carbon sinks in urban areas. Urban forest in DKI Jakarta has problems in its development, namely technical aspects and the goverment policy. The objectives of research are (1) to analyze tree carbon stock, CO2 sequestration and tree species that have potential of carbon, and (2) to analyze policies that support the development of urban forest. The study was conducted in DKI Jakarta, focusing on three urban forests, i.e. Universitas Indonesia (Jakarta Selatan), Srengseng (Jakarta Barat), and PT JIEP (Jakarta Timur). Carbon stock analysis was calculated by using allometric equation and urban policy analysis was executed by Analytical Hierarchy Process (AHP) approach. The largest tree carbon stocks were found in UI urban forest was 178.82 to/ha, Srengseng was 24.04 ton/ha, and PT JIEP was 23.64 ton/ha. The largest CO2 uptake generated from UI urban forest was 634.40 ton/ha, Srengseng was 88.15 ton/ha, and PT JIEP was 86.76 ton/ha. Fabacea trees i.e. Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth, Acacia mangium Willd, Paraserianthes falcataria L, Leucaena leucocephala L, Bauhinia purpurea L, Delonix regia Boj. Ex Hook, Pterocarpus indicus Willd, Erythrina crista-galli L and Abrus precarorius L have biggest contribution for tree carbon stocks in study sites. Policy priorities that supporting the development of urban forest in level factor are increasing of urban forests quality, level actor are government, and at the level of alternative are rules evaluation and urban forest expantion. Keywords: AHP, allometric, CO2 uptake, tree species
UDC (OSDCF) 630*907.11 Sonky Indrajaya, Aji Winara, M. Siarudin, Edy Junaidi, dan Ary Widiyanto Financial Feasability Analysis of Traditional Cajuput Oil Refinery in Wasur National Park, Papua Forestry Socio Economic Journal Vol. 10 No. 1, p. 21 - 32 This paper contains the results of financial analysis of traditional cajuput oil refinery in Wasur National Park (TN Wasur), Papua. The method used in this research is in-depth interview to cajuput oil refiner. The assessment on financial feasibility includes: Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Benefit Cost Ratio (BCR) and sensitivity. The analysis is conducted in 10 years period with the interest rate of 10%. The analysis are conducted on two different cases: the local dwellers and migrants. The results
UDC (OSDCF) 630*624 Epi Syahadat Development Strategy Of Forest Plantation in East Kalimantan Province Forestry Socio Economic Journal Vol. 10 No. 1, p. 33 - 47 Consumption for raw material of wood industry in Indonesia is around 50-60 million m³ per year, which is 30 million m³ for pulp and paper industry. Most of them is still supplied from natural forest. On the other hand the capacity of wood production from natural forest are limited. To solve this problem Ministry of Forestry will accelerate development of plantation forest. The plan to fulfilling the raw materials timber industry up to 2011 is 53.92 m³, but in reality only 25.86 m³ or 48.3%, and it's expandable considering the target of 2009 that all pulp and paper industry have to use wood raw material from plantation forest. The purpose of this article is to acknowledge the stakeholder some strategy to fullfil a log material needs especially in East Kalimantan Province using SWOT analysis. SWOT analysis indicated that plantation forest development strategy in East Kalimantan Province in the first quadrant and the alternative strategy are SO (strength and opportunities), it is considering that plantation forest resources has a potential market, but it is not optimally exploited yet by the stakeholder of HTI. Keywords: Plantation forest, development strategy, wood raw material needs
UDC (OSDCF) 630*331.1 Sylviani, Hariyatno Dwiprabowo & Elvida Yosefi Suryandari
UDC (OSDCF) 630*907.11 Lis Nurrani, Supratman Tabba
Cost Comparation Analysis of Wood Waste Fuels for SMI (Case Study in Wonosobo District)
Communities Perception and Reliances on Natural Resources of Aketajawe Lolobata National Park in North Maluku Province
Forestry Socio Economic Journal Vol. 10 No. 1, p. 48 - 60
Forestry Socio Economic Journal Vol. 10 No. 1, p. 61 - 73
Scarcity of non renewable energy sources drives the industry to use renewable fuels. One of renewable energy sources is waste product from the wood processing industry such as sawdust and wood pellets. The study was conducted in District of Wonosobo on some Small and Medium Scale Industry (SMI) of food and beverage. Tests of wood pellets are conducted at tofu and tempe industries in Cianjur District. The research method used was a cost analysis to compare the costs of different types of fuels. The results showed that the fuel cost using wood pellets was the smallest (2.3%) of the cost of production compared to using other fuels, while tempe production cost using wood pellets showed values 5.5%. Using wood pellets fuel have advantages such as: saving in storage, cooking time is relatively short, and low ash and emissions. Wonosobo District has high potential for the development of wood pellet, because it has state forests and forest communities are quite extensive. Wood pellets is efficient enough for use in processing industrial. However, it needs the cooperation and coordination of the stakeholders to develop the wood pellets that can be used widely.
This research is an exploration of people's perception and reliance on natural resources of Aketajawe Lolobata National Parks especially Aketajawe block. Data retrieval was conducted in October 2010 and June 2011 in three surounding villages. The objective of this research were to know the dependence of community on the forest resource of the national park and the survival of the community. A method of purposive selection of respondents was carried out and data analysis using descriptive statistics with an intensity of 10% sampling. The results showed that the community of Kobe Kulo's perception was not good currently while Tayawi community's was medium and Binagara community's was good. Community dependence on timber were identified into three kind of uses namely building materials, household utensils and fuel. While non-timber forest products were rattan, pandan leaves, woka leaves, sagoo, nutmeg, vegetables, fruits and traditional medicines. Bush meat were deer, wild boar, gosong birds eggs and forests goose. Most of the community considered the forest as a source of life necessities, but knowledge of the existence of national parks is still minimal.
Keywords: renewable energy, wood pellets, and the coordination of the stakeholders
Keywords: renewable energy, wood pellets, and the coordination of the stakeholders
ANALISIS CADANGAN KARBON POHON PADA LANSKAP HUTAN KOTA DI DKI JAKARTA (Tree Carbon Stock Analysis of Urban Forest Landscape in DKI Jakarta) 1
2
3
Sofyan Hadi Lubis , Hadi Susilo Arifin , Ismayadi Samsoedin Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Pascasarjana IPB email:
[email protected] 2 Divisi Manajemen Lanskap, Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian IPB 3 Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan, Jl.Gunung Batu 5, PO Box 272 Bogor 16610 1
Diterima 18 Oktober 2012, disetujui 20 Februari 2013 ABSTRACT
In order to reduce environmental degradation, such as air pollution and increasing of air temperature in DKI Jakarta, the presence of urban forest is very crucial. Tree has an important role because it has function as carbon storage and most efficient carbon sinks in urban areas. Urban forest in DKI Jakarta has problems in its development, namely technical aspects and the goverment policy. The objectives of research are (1) to analyze tree carbon stock, CO2 sequestration and tree species that have potential of carbon, and (2) to analyze policies that support the development of urban forest. The study was conducted in DKI Jakarta, focusing on three urban forests, i.e. Universitas Indonesia (Jakarta Selatan), Srengseng (Jakarta Barat), and PT JIEP (Jakarta Timur). Carbon stock analysis was calculated by using allometric equation and urban policy analysis was executed by Analytical Hierarchy Process (AHP) approach. The largest tree carbon stocks were found in UI urban forest was 178.82 ton/ha, Srengseng was 24.04 ton/ha, and PT JIEP was 23.64 ton/ha. The largest CO2 uptake generated from UI urban forest was 634.40 ton/ha, Srengseng was 88.15 ton/ha, and PT JIEP was 86.76 ton/ha. Fabacea trees i.e. Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth, Acacia mangium Willd, Paraserianthes falcataria L, Leucaena leucocephala L, Bauhinia purpurea L, Delonix regia Boj. Ex Hook, Pterocarpus indicus Willd, Erythrina crista-galli L and Abrus precarorius L have biggest contribution for tree carbon stocks in study sites. Policy priorities that supporting the development of urban forest in level factor are increasing of urban forests quality, level actor are government, and at the level of alternative are rules evaluation and urban forest expantion. Keywords: AHP, allometric, CO2 uptake, tree species ABSTRAK
Meningkatnya persoalan lingkungan, seperti polusi udara dan peningkatan suhu di DKI Jakarta menyebabkan keberadaan hutan kota sangat penting. Pohon memiliki peran penting karena berfungsi sebagai penyimpan karbon dan penyerap karbon paling efesien di perkotaan. Hutan kota di DKI Jakarta memiliki persoalan dalam pengembangannya, selain aspek teknis juga dipengaruhi oleh aspek kebijakan hutan kota. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian ini dengan tujuan: (1) menganalisis cadangan karbon, nilai serapan CO2, dan jenis pohon hutan kota yang memiliki cadangan karbon potensial, dan (2) menganalisis faktor kebijakan yang perlu mendukung pengembangan hutan kota. Penelitian dilakukan di DKI Jakarta dengan fokus pada tiga hutan kota, yaitu hutan kota Universitas Indonesia, Srengseng dan PT JIEP. Analisis cadangan karbon dilakukan melalui pendekatan allometrik dan analisis faktor kebijakan hutan kota dengan pendekatan Analitical Hierarchy Process (AHP). Jumlah cadangan karbon pohon terbesar terdapat pada hutan UI yaitu 178,82 ton/ha, Srengseng 24,04 ton/ha dan PT JIEP 23,64 ton/ha. Nilai serapan CO2 terbesar dihasilkan dari hutan kota UI yaitu 634,40 ton/ha, Srengseng 88,15 ton/ha dan PT JIEP 86,76 ton/ha. Sumbangan cadangan karbon pohon terbesar dihasilkan dari pohon famili Fabaceae, antara lain yaitu Acacia crassicaarpa A. Cun Ex Benth, Acacia mangium Willd, Paraserianthes falcataria L, Leucaena leucocephala L, Bauhinia purpurea L, Delonix regia Boj. Ex Hook, Pterocarpus indicus Willd, Everythrina crista-galli L dan Abrus precarorius L. Prioritas kebijakan yang mendukung pengembangan hutan kota pada level faktor adalah peningkatan kualitas hutan kota, level aktor adalah pemerintah dan level alternatif adalah evaluasi peraturan dan perluasan hutan kota. Kata kunci: AHP, allometrik, jenis pohon, serapan CO2
Analisis Cadangan Karbon Pohon pada Lanskap Hutan Kota di DKI Jakarta (Sofyan Hadi Lubis, Hadi Susilo Arifin, Ismayadi Samsoedin)
1
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu persoalan lingkungan di wilayah DKI Jakarta terkait dengan peningkatan suhu udara merupakan fakta yang sedang terjadi. Tahun 1970-an rata-rata suhu udara DKI Jakarta tercatat berkisar antara 260C - 280C dan meningkat menjadi 29,120C - 31,260C di tahun 2007 (Samsoedin dan Waryono 2010). Persoalan tersebut diperburuk oleh meningkatnya populasi manusia akibat proses urbanisasi atau kotanisasi dan industrialisasi yang menyebabkan peningkatan polusi udara dan menurunnya daya dukung lingkungan (Arifin and Nakagoshi, 2010). Tahun 2002 - 2007 polusi udara CO2 di DKI Jakarta meningkat dari 187,4 mg/m2 menjadi 300,0 mg/m2 (Samsoedin dan Waryono, 2010). Salah satu upaya untuk meredam persoalan lingkungan tersebut adalah keberadaan dan pengembangan hutan kota. Pelestarian dan pengembangan hutan kota merupakan salah satu upaya strategis dalam mengurangi pencemaran lingkungan kota, karena pohon secara alami dapat menyerap gas CO2 yang disimpan dalam bentuk senyawa karbon dan dikeluarkan dalam bentuk oksigen, sekaligus menyerap panas (heat) sehingga menurunkan suhu udara sekitar. Selain itu, hutan kota juga berfungsi sebagai wahana konservasi flora dan fauna. Pengembangan hutan kota menjadi isu penting seiring dikeluarkannya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yaitu pasal 29 ayat 2 dijelaskan bahwa proporsi hutan kota minimal 10 % dari wilayah perkotaan (PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota). Namun demikian, terdapat berbagai persoalan dalam pengembangan hutan kota DKI Jakarta, antara lain yaitu: (1) aspek teknis, seperti konsep dasar pemilihan jenis pohon hutan kota yang sesuai dengan peruntukannya, (2) aspek kebijakan pengembangan hutan kota, seperti dukungan peraturan, peningkatan kuantitas dan kualitas hutan kota, evaluasi serta monitoring hutan kota, dan (3) masih terbatasnya informasi mengenai cadangan karbon pada lanskap hutan kota. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian ini sebagai salah satu upaya untuk mencari solusi kebijakan pengembangan hutan kota.
2
Sesuai dengan rumusan persoalan tersebut, fokus pertanyaan dalam penelitian ini yaitu: (1) berapakah jumlah cadangan karbon, nilai serapan CO2 dan jenis pohon hutan kota yang memiliki cadangan karbon potensial, dan (2) kebijakan apakah yang mendukung pengembangan hutan kota. B. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang muncul di DKI Jakarta, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan yaitu: (1) menganalisis cadangan karbon, nilai serapan CO2 dan jenis pohon hutan kota yang memiliki cadangan karbon potensial, dan (2) menganalisis faktor kebijakan yang mendukung pengembangan hutan kota. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di DKI Jakarta (Gambar 1). Hutan kota yang diamati terdiri dari tiga hutan kota yang telah diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta kota, yaitu: hutan kota Universitas Indonesia (UI) yang berada di wilayah administarasi Jakarta Selatan dengan luas 52,40 ha, hutan kota Srengseng yang berada di wilayah administrasi Jakarta Barat dengan luas 15,00 ha dan hutan kota PT JIEP yang berada di wilayah administrasi Jakarta Timur dengan luas 8,90 ha. Penelitian dilakukan selama enam bulan, yaitu Februari 2012 - Agustus 2012. B. Pengumpulan Data Pengumpulan data untuk penelitian dilakukan dengan metode survey. Data diperoleh dari pengukuran secara langsung di lapangan, wawancara dengan stakeholder hutan kota yaitu Dinas Pertanian dan Kelautan Bidang Kehutanan Provinsi DKI Jakarta; Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Kementrian Kehutanan Bogor; Balai Penelitian Benih Kehutanan Bogor, Kebun Raya Bogor, pihak pengelola hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP. Data juga diperoleh dari instansi atau lembaga yang terkait dengan penelitian.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 1 - 20
Sumber (source): Samsoedin dan Waryono, 2010
Gambar 1. Peta lokasi hutan kota DKI Jakarta (a), hutan kota PT JIEP (b), hutan kota Srengseng (c) dan hutan kota UI (d) Figure 1. Map urban forest in DKI Jakarta (a), PT JIEP urban forest (b), Srengseng urban forest (c) dan UI urban forest (d)
C. Penentuan Sampling, Bentuk dan Jumlah Plot Penentuan sampling plot menggunakan metode purposive sampling yang terlebih dahulu dilakukan pengamatan lapang (ground cheek) untuk melihat dan memastikan kesesuaian penempatan plot (Gambar
2). Intensitas sampling yang digunakan yaitu 1 % dan bentuk plot yang digunakan adalah bujur sangkar (Gambar 3). Bentuk plot bujur sangkar merupakan bentuk plot yang relatif sering digunakan dalam analisis vegetasi hutan di Indonesia. Jumlah plot yang dipergunakan yaitu 43 plot dengan ukuran 20 m x 20 m (SNI 2011).
Plot sampling
Jalan
Gambar 2. Metode penyebaran plot dengan purposive sampling Figure 2. Deployment method with purposive sampling plot
Analisis Cadangan Karbon Pohon pada Lanskap Hutan Kota di DKI Jakarta (Sofyan Hadi Lubis, Hadi Susilo Arifin, Ismayadi Samsoedin)
3
20 m x 20 m 10 m x 10 m 5mx 5 m 2 mx2m
Gambar 3. Bentuk plot Figure 3. Plot sampling
Y = a. DBH b
D. Analisis Data 1. Analisis potensi biomassa Penentuan biomassa pohon hutan kota dilakukan dengan metode sampling tanpa pemanenan (non-destruktive sampling), yaitu menggunakan persamaan allometrik berdasarkan spesies tanaman (Kusmana et al. 1992). Persamaan allometrik merupakan suatu fungsi atau persamaan matematika, yang menunjukkan hubungan antara bagian tertentu dari mahluk hidup dengan bagian lain atau fungsi tertentu dari makhluk hidup tersebut. Persamaan ini digunakan untuk menduga parameter tertentu dengan meng gunakan parameter lainnya yang lebih mudah diukur yaitu diameter dan tinggi (Hairiah et al. 2011). Persamaan allometrik memiliki kelebihan yaitu tidak melakukan penebangan atau perusakan terhadap pohon, lebih efesien terhadap waktu dan biaya. Metode ini juga sesuai dengan pasal 26 ayat 2 PP No. 63 Tahun 2003 tentang larangan melakukan perusakan terhadap pohon hutan kota. Jika persamaan allometrik berdasarkan spesies tidak tersedia, maka digunakan persamaan (Chave et al. 2005). Persamaan allometrik tersebut dipilih karena merupakan hasil pengembangan dari persamaan allometrik sebelumnya dan menyerupai curah hujan lokasi penelitian. Curah hujan merupakan salah satu komponen penting dalam pendugaan biomassa, karena berkaitan dengan komposisi bahan organik. Meningkatnya curah hujan akan menyebabkan proses dekomposisi berlangsung cepat. Formulasi umum yang digunakan dalam pendugaan biomassa adalah sebagai berikut:
4
Keterangan: Y : Above ground biomass (kg) DBH : Diameter Breast High (1,3 meter) a : Koefisien Konversi b : Koefisien allometrik. 2. Analisis cadangan karbon Analisis cadangan karbon pohon hutan kota menggunakan pendekatan kandungan biomassa yang dikembangkan oleh IPCC (2006). Formulasi umum yang digunakan adalah: C = 0.5 x W Keterangan: C : Cadangan Karbon (tC) W : Biomassa (kg) 0.5 : Koefisien kadar karbon pada tumbuhan 3. Analisis serapan CO2 Analisis serapan C O 2 dihitung dengan menggunakan data carbon stock dengan formulasi yang digunakan adalah sebagai berikut: EC = 3.67 x ΔCLC-D Keterangan: EC : Serapan CO2 (tCO2) 3.6 : Ratio atomic carbon dioxide terhadap carbon: 44/12 (tCO2 e/ton C) ΔCLC-D : Carbon stock 4. Analisis kebijakan pengembangan hutan kota Analisis kebijakan pengembangan hutan kota menggunakan metode AHP dengan bantuan kuisioner dan Software Expert Choise 11. Tujuannya
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 1 - 20
Tabel 2.1. Persamaan allometrik Table 2.1. Allometric equation Jenis pohon/Tree species
Persamaan allometrik/Allometic equation D2.39
Jati Mahoni Sengon Akasia Karet Puspa Pohon lain * Pohon lain ** Pohon lain ***
Y = 0.153 Y = 0.048 D2,68 Y = 0.027 D2.23 Y = 0.0000478 D2.76 Y = 419-16.9D + 0.322 D2 Y = 0.0000932.51 Y = 0.112 (π D2H) 0.92 Y = 0.051 x π D2H Y = 0.0776 x (π D2H) 0.94
Sumber/Source Hairiah et al., (2011) Hairiah et al., (2011) Hairiah et al., (2011) Hairiah et al., (2011) Hairiah et al., (2011) Krisnawati et al., (2012) Chave at al., (2005) Chave at al., (2005) Chave at al., (2005)
Keterangan: Y = Biomassa pohon (kg per pohon) D = DBH (cm) H = Tinggi pohon (m) π = BJ kayu (g per cm3) * Persamaan allometrik dengan curah hujan < 1.500 mm (kering) ** Persamaan allometrik dengan curah hujan 1.500 - 4.000 mm (lembab) *** Persamaan allometrik dengan curah hujan > 4.000 mm (basah)
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN HUTAN KOTA YANG MENDUKUNG POTENSI CADANGAN KARBON
Dukungan Peraturan (0.35)
Peningkatan Kualitas Hutan Kota (0.49)
Pemerintah (0.61)
Evaluasi Peraturan (0.25)
Perluasan Hutan Kota
Evaluasi dan Kontrol (0.16)
Swasta (0.16)
Masyarakat (0.23)
Pemilihan Jenis Pohon
Dukungan Dana (0.13)
Sasaran
Sanksi (0.04)
Faktor
Aktor
Insentif (0.19)
Sosialisasi (0.11)
Alternatif
Gambar 4.Skema hirarki kebijakan pengembangan hutan kota Figure 4.Hierarchy policy schema for urban forest development
Analisis Cadangan Karbon Pohon pada Lanskap Hutan Kota di DKI Jakarta (Sofyan Hadi Lubis, Hadi Susilo Arifin, Ismayadi Samsoedin)
5
adalah menentukan prioritas kebijakan yang mendukung pengembangan hutan kota. Landasan utama pengisian kuisioner adalah struktur hirarki dengan komponen yang telah disusun berdasarkan pendapat ahli atau pakar hutan kota (Gambar 4). 5. Bahan dan alat penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah peta dasar hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP yang berfungsi untuk mengetahui sebaran plot sesuai dengan strata tegakan. Alat yang digunakan adalah phi band untuk mengukur diameter pohon, meteran panjang untuk mengukur plot sampling, klinometer untuk mengukuran tinggi pohon, GPS (Global Positioning System) untuk menentukan posisi koordinat dan menyesuaikan ketepatan lokasi pengambilan sampel pohon sesuai dengan lokasi plot yang telah ditetapkan sebelumnya, tali rapia untuk membatasi plot, patok untuk penanda plot, kamera untuk mengambil gambar-gambar yang terkait dengan penelitian, tally sheet untuk mencatat dan mengklasifikasi data yang telah diamati dan Software Expert Choise 11.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Situasional Provinsi DKI Jakarta selain memiliki penduduk yang padat, juga memiliki persoalan lingkungan seperti peningkatan polusi dan suhu udara, sampah serta banjir. Maka dari itu, pemerintah sebagai aktor utama harus memiliki strategi atau apaya dalam mengatasi pencemaran lingkungan tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah yaitu melalui pengembangan hutan kota. Dinas Kelautan dan Pertanian, 2011 menyebutkan bahwa tahun 1991 - 2011 Pemerintah DKI Jakarta telah memiliki 14 hutan kota seluas 149,18 ha yang telah dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta. Hutan kota tersebut tersebar di lima wilayah administrasi yaitu: Jakarta Selatan seluas 57,04 ha, Jakarta Barat seluas 15,00 ha, Jakarta Pusat seluas 5,68 ha, Jakarta Utara seluas 12,28 ha, dan Jakarta Timur seluas 59,18 ha (Tabel 2).
Tabel 2. Hutan kota yang telah dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta Table 2. Legalization urban forest by DKI Jakarta Governor No
Hutan Kota/Urban forest
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Universitas Indonesia Blok P LPA Srengseng Kemayoran Masjid Istiqlal Waduk Sunter Utara Tepian Banjir Kanal Barat Berikat Nusantara Marunda PT. JIEP Pulo Gadung Bumi Perkemahan Cibubur Situ Rawa Dongkal Komplek Kopassus Cijantung Mabes TNI Cilangkap Komplek Lanud Halim Perdana Kusuma
Luas/Large (ha) 52,40 1,64 15,00 4,60 1,08 8,20 2,49 1,59 8,90 27,.32 4,00 1,75 14,43 3,50
SK Gubernur/ Government Decrees No. 3487/2004 No. 869/2004 No. 202/1996 No. 339/2002 No. 182/2005 No. 317/1999 No. 197/2005 No. 196/2005 No. 870/2004 No. 872/2004 No. 207/2005 No. 868/2004 No. 871/2004 No. 338/2002
Wilayah/Area Jakarta Selatan Jakarta Selatan Jakarta Barat Jakarta Pusat Jakarta Pusat Jakarta Utara Jakarta Utara Jakarta Utara Jakarta Timur Jakarta Timur Jakarta Timur Jakarta Timur Jakarta Timur Jakarta Timur
Sumber (source): Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, 2011
6
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 1 - 20
Hutan kota di wilayah Jakarta Selatan terdiri dari hutan kota UI dan Blok P yang berfungsi sebagai kawasan hijau penyangga lingkungan perkantoran dan keanekaragaman hayati. Wilayah Jakarta Pusat memiliki 2 (dua) hutan kota yaitu hutan kota Kemayoran dan Masjid Istiqlal. Hutan kota Kemayoran berfungsi sebagai kawasan hijau penyangga perkotaan dan satwa liar perkotaan sedangkan hutan kota Masjid Istiqlal berfungsi sebagai kawasan hijau penyangga bangunan sarana ibadah dan pengendali lingkungan fisik kritis kota. Wilayah Jakarta Utara memiliki 3 (tiga) hutan kota, diantaranya hutan kota Waduk Sunter Utara, Banjir Kanal Barat dan Berikat Nusantara Marunda. Hutan kota Waduk Sunter Utara berfungsi sebagai wahana penyangga perairan, sedangkan hutan kota Banjir Kanal Barat dan Berikat Nusantara Marunda berfungsi sebagai kawasan penyangga lingkungan industri. Hutan kota wilayah Jakarta Timur merupakan hutan kota yang paling banyak mendapatkan SK Gubernur DKI Jakarta. Wilayah ini memiliki 6 (enam) hutan kota yang terdiri dari hutan kota PT JIEP, Bumi Perkemahan Cibubur, Situ Rawa Dongkal, Komplek Kopassus Cijantung, Mabes TNI Cilangkap, dan Komplek Halud Perdana Kusuma. Hutan kota di wilayah ini secara umum memiliki fungsi sebagai kawasan konservasi keanekaragaman hayati, kawasan penyangga perairan dan sanetuari kehidupan liar dan penyangga lingkungan kedirgantaraan serta koleksi plasma nuftah. Jika dilihat dari penyebaran 14 hutan kota yang telah dikukuhkan di DKI Jakarta, memperlihatkan bahwa proporsi hutan kota di DKI Jakarta masih rendah. Disisi lain hal, masih terdapat beberapa hutan kota yang ditemukan pada tanah hak. Hal ini salah satunya disebabkan keterbatasan aset Pemda DKI Jakarta dalam hal penguasaan atas tanah. Mahalnya harga tanah membuat Pemda sangat kesulitan untuk melakukan pengembangan hutan kota. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, terlihat bahwa pemeliharaan hutan kota pada tanah hak masih kurang optimal. Padahal jika mengacu pada pasal 19 PP No. 63 Tahun 2002, semestinya pemerintah dapat melakukan optimalisasi pengelolaan yang konsisten pada hutan kota. Optimalisasi dapat dilakukan dengan penyulaman pohon hutan kota, diversifikasi jenis pohon dan perbaikan kualitas tapak. Pemerintah juga dapat
melakukan perlindungan hutan kota, seperti perlindungan dari perusakan, kebakaran, hama dan penyakit. Optimalisasi pegembangan hutan kota pada tanah hak juga dapat dilakukan dengan pemberian insentif kepada pihak pemilik hak (swasta) berupa penghargaan, kemudahan sarana dan prasarana dan diskon pembayaran Pajak Bumi Bangunan (PBB). Pemberian insentif ini bertujuan untuk memberikan semangat kepada pihak pemilik hak agar lebih optimal dan konsisten dalam menjaga hutan kota di areal mereka. Pada pihak lain, melalui pemberian insentif ini maka akan semakin mempermudah Pemda DKI Jakarta dalam melakukan percepatan perluasan hutan kota seperti yang diamanahkan oleh peraturan perundangan. Hutan kota yang menjadi fokus penelitian antara lain yaitu: hutan kota Universitas Indonesia (UI), Srengseng dan PT JIEP. Hutan kota UI memiliki luas sebesar 55,40 ha yang berfungsi sebagai kawasan resapan air, koleksi pelestarian plasma nutfah, penelitian dan rekreasi. Berdasarkan letak geografisnya hutan kota UI terletak pada 06020'45” LS dan 106049'15” BT yang berada di Jakarta Selatan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Provinsi DKI Jakarta dan selebihnya yaitu 34,6 ha masuk pada wilayah Depok, Provinsi Jawa Barat. Konfigurasi fisik kawasan hutan kota UI merupakan hamparan landai dengan kisaran kemiringan lereng 3 - 8 % (76,40 ha) dan bergelombang ringan dengan kisaran lereng 8 - 25 % (13,60 ha), dengan ketinggian tempat 39 - 74 m dpl. Jenis tanah kawasan ini adalah latosol merah dengan tekstur halus, peka terhadap erosi dan memiliki kedalaman efektif 90 - 100 cm. Suhu ratarata harian hutan kota UI sebesar 27 0 C, kelembaban udara rata-rata tahunan 85 %, curah hujan rata-rata 2.478 mm/tahun dan jumlah hari hujan rata-rata tahunan 75 - 155 hari. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, secara umum kondisi hutan kota UI tergolong baik. Hutan kota UI memiliki pepohonan yang kompak dan rapat, memiliki jenis pohon yang beragam serta memiliki diameter batang yang cukup besar. Pada areal hutan kota UI juga terdapat danau yang berfungsi sebagai muara aliran air serta objek rekreasi bagi mahasiswa dan masyarakat (Gambar 5).
Analisis Cadangan Karbon Pohon pada Lanskap Hutan Kota di DKI Jakarta (Sofyan Hadi Lubis, Hadi Susilo Arifin, Ismayadi Samsoedin)
7
(a)
(c)
(b)
(d)
Sumber (source): Dokumentasi Lubis (Lubis Documentation), 2012
Gambar 5. Kondisi areal hutan kota UI: pohon yang kompak dan rapat (a), spesies pohon beranekaragam (b), diameter batang yang cukup besar (c) dan danau sebagai objek rekreasi (d) Figure 5. Condition areal of UI urban forest: massive tree (a), diverse tree (b), big tree diameter (c) and lake for recreation (d) Hutan kota Srengseng memiliki luas 15,00 ha, dengan fungsi sebagai kawasan resapan air, pelestarian plasma nutfah dan wisata. Hutan kota ini terletak pada 06012'32” LS dan 106045'50” BT yang berada di wilayah perkotaan Jakarta Barat, Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kemangan, DKI Jakarta. Konfigurasi fisik kawasan ini merupakan hamparan datar dengan kisaran kemiringan lereng 0 - 3 % (7,40 ha) dan landai 8 - 25 % (2,10 ha) pada ketinggian 27 - 34 m dpl. Jenis tanah kawasan merupakan bagian dari formasi alluvial, dengan sebagian besar berupa liat dan debu, kedalaman efektif 90-100 cm dan bertekstur halus. Suhu ratarata harian hutan kota ini yaitu 26,6oC, kelembaban udara rata-rata tahunan 78 - 80 %, curah hujan ratarata 1.865,5 mm/tahun dan jumlah hari hujan ratarata tahunan yaitu 142 hari (BMG Bogor, 2010). Secara umum kondisi hutan kota Srengseng tergolong cukup baik. Hutan kota Srengseng memiliki pohon yang kompak, rapat dan jenis spesies pohon yang cukup beragam. Pada areal hutan kota Srengseng terdapat danau indah, taman bermain, sarana olahraga dan lain-lain. Dilain sisi, juga masih ditemukan sampah domestik pada areal hutan kota Srengseng (Gambar 6). 8
Hutan Kota PT JIEP memiliki luas 8,90 ha, dengan fungsi sebagai kawasan hijau penyangga lingkungan industri. Hutan kota ini terletak pada 0 0 06 12'24” LS dan 106 54'55” BT yang berada di wilayah kota Jakarta Timur, Kelurahan Rawa Terate, Kecamatan Cakung, Provinsi DKI Jakarta. Hutan Kota PT JIEP sebelah barat berbatasan dengan Jalan Rawa Sumur Barat dan kawasan industri, sebelah timur dengan Jalan Pulo Buatan dan kawasan industri, sebelah utara dengan Jalan Pulo Gadung dan kawasan industri dan sebelah selatan dengan Jalan Pulo Agung. Konfigurasi fisik pada kawasan ini merupakan hamparan dataran rendah dengan kisaran kemiringan lereng 0 - 8 persen hingga tapak yang telah direkayasa (galian atau timbunan), dengan memiliki ketinggian tempat 7,4 m dpl. Kawasan hutan kota PT JIEP merupakan bagian dari formasi alluvial yang tersusun atas kerikil, pasir dan lempung yang berwarna kelabu. Tanah sebagian besar terbentuk dari bahan Pedosolik dan tanah Glei yang bersifat gembur, tidak begitu teguh, peka terhadap pengikisan, dan miskin unsur hara. Suhu rata-rata harian kawasan hutan kota PT JIEP yaitu 28,0oC dengan kelembaban udara rata-rata tahunan
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 1 - 20
(a)
(c)
(b)
(d)
Sumber (source): Dokumentasi Lubis (Lubis Documentation), 2012
Gambar 6. Kondisi areal hutan kota Srengseng: pohon yang kompak dan rapat (a), danau sebagai objek rekreasi (b), taman bermain (c) dan sampah domestik (d) Figure 6. Condition areal of Srengseng urban forest: massive tree (a), lake for recreation (b), park area (c) and domestic waste (d)
(a)
(b)
(c)
(d)
Sumber (source): Dokumentasi Lubis (Lubis Documentation), 2012
Gambar 7. Kondisi areal hutan kota PT JIEP: pertumbuhan pohon yang kurang baik (a), kegiatan pertanian sayur (a), penggalian lubang untuk pasokan air pertanian (c) dan sampah domestik (d) Figure 7. Condition areal of Srengseng urban forest: poorly tree growing (a), vegetable farming activity (b), hole digging for farm water supply (c) domestic waste (d)
Analisis Cadangan Karbon Pohon pada Lanskap Hutan Kota di DKI Jakarta (Sofyan Hadi Lubis, Hadi Susilo Arifin, Ismayadi Samsoedin)
9
yaitu 77,5 %. Curah hujan rata-rata yaitu 210,5 mm per tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata tahunan yaitu 157 hari. Secara umum kondisi hutan kota PT JIEP kurang baik. Pertumbuhan pohon kurang kompak dan memiliki jenis spesies pohon kurang beragam. Pada areal hutan kota terdapat pertanian sayur, penggalian lubang dan ditemukan sampah domestik (Gambar 7). B. Analisis Cadangan Karbon Pohon Hutan Kota Berdasarkan analisis cadangan karbon pohon pada tiga lanskap hutan kota DKI Jakarta (hutan
kota UI, Srengseng dan PT JIEP), maka diperoleh total cadangan karbon pohon sebesar 220,52 ton/ha. Jumlah cadangan karbon pohon terbesar terdapat pada hutan kota UI yaitu 172,86 ton/ha dengan perolehan biomassa sebesar 345,72 ton/ha, kemudian disusul oleh hutan kota Srengseng yaitu 24,04 ton/ha dengan biomassa sebesar 48,04 ton/ha, dan hutan kota PT JIEP yaitu 23,64 ton/ha dengan biomassa sebesar 47,29 ton/ha. Nilai cadangan karbon pohon ini menunjukkan bahwa lanskap hutan kota selain memiliki fungsi sebagai konservasi keanekaragaman hayati, hidrologi dan estetika juga memiliki andil dan fungsi sebagai penyimpan karbon (Gambar 8).
Gambar 8. Potensi cadangan karbon pohon hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP Figure 8. Carbon stock potency in urban forest of UI, Srengseng and PT JIEP Jika dilihat pada Gambar 8, pada hutan kota UI terdapat jumlah cadangan karbon yang tinggi yaitu 172,86 ton/ha. Nilai cadangan karbon pohon sebesar ini sudah dapat dikategorikan sebagai hutan alam tropis, yang memiliki cadangan karbon berkisar antara 161 - 300 ton/ha (Murdiyarso et al. 1994). Berdasarkan analisis cadangan karbon pohon pada tiga lanskap hutan kota di DKI Jakarta maka diperoleh rata - rata cadangan karbon pohon sebesar 73,51 ton/ha. Namun jika dikonversi ke luas lahan hutan kota seluas 149,18 ha (14 hutan kota yang telah dikukuhkan), maka akan menghasilkan cadangan karbon pohon yang lebih besar yaitu 10.892,52 ton. Nilai cadangan karbon semakin meningkat ketika target 10 % perluasan hutan kota yang diamanatkan dalam PP No. 63 Tahun 2002 dapat dilaksanakan oleh pemerintah 10
daerah. Hal ini sesuai dengan rumus umum yang digunakan CITY green, dengan kapasitas cadangan karbon pohon berbanding lurus dengan persentase peningkatan luas lahan. Dwivedi (2009) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa setiap km2 hutan kota akan menghasilkan cadangan karbon 1.254.4 ton. Cadangan karbon pohon pada tiga lokasi hutan kota mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan diameter batang. Peningkatan cadangan karbon hutan kota UI pada kelas diameter 10 - 19,0 cm sebesar 2,0 ton/ha, 19,0 29,9 cm sebesar 5,2 ton/ha, 30 - 39,9 cm sebesar 8,4 ton/ha dan ≥ 40 cm sebesar 167,3 ton/ha. Hutan kota Srengseng pada kelas diameter 10 - 19,0 cm sebesar 5,34 ton/ha, 19,0 - 29,9 cm sebesar 8,60 ton/ha, tapi pada kelas diameter 30 - 39,9 cm
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 1 - 20
mengalami penurunan sebesar 3,68 ton/ha dan naik kembali pada kelas diameter ≥ 40 cm sebesar 6,40 ton/ha. Hutan kota PT JIEP pada kelas diameter 10 - 19,0 cm sebesar 5,70 ton/ha, 19,0 - 29,9 cm sebesar 6,20 ton/ha, tapi pada kelas diameter 30 39,9 cm mengalami penurunan sebesar 4,33 ton/ha dan naik kembali pada kelas diameter ≥ 40 cm sebesar 7,57 ton/ha (Gambar 9). Cadangan karbon pohon mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan diameter batang. Hal ini sesuai dengan Kusmana et al. (1992) yang mengatakan bahwa salah satu faktor penting yang menentukan besarnya suatu cadangan karbon pohon adalah diameter batang pohon. Rayahu et al. (2007) juga menjelaskan bahwa cadangan karbon pada komunitas hutan salah satunya dipengaruhi oleh diameter batang. Namun demikian, jika dilihat berdasarkan kelas diameter pada hutan kota Srengseng dan PT JIEP terdapat perbedaan, yaitu terjadi penurunan cadangan karbon pohon pada kelas diameter 30 - 39,9 cm. Penurunan cadangan karbon pohon dikarenakan sedikitnya jumlah pohon atau kerapatan yang ditemukan pada kelas diameter batang tersebut. Hal ini sesuai dengan Rahayu et al. (2007) yang mengatakan bahwa selain diameter batang, kerapatan pohon juga mempengaruhi peningkatan cadangan karbon melalui peningkatan biomassa. Proporsi cadangan karbon terbesar pada hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP dihasilkan dari pohon famili Fabaceae, antara lain yaitu: Acacia
crassicarpa A. Cunn. Ex Benth, Acacia mangium Willd, Paraserianthes falcataria L, Leucaena leucocephala L, Bauhinia purpurea L, Delonix regia Boj. Ex Hook, Pterocarpus indicus Willd, Erythrina crista-galli L, dan Abrus precatorius L. Jenis pohon ini memiliki pertumbuhan diameter yang cukup cepat sehingga menyebabkan jumlah cadangan karbon tinggi. Familli fabaceae juga merupakan jenis yang memiliki toleransi yang luas terhadap suhu, kelembaban, dan keadaan tanah serta kompetisi unsur hara sehingga sangat mempengaruhi atau memungkinkan terjadi perkembangan pohon yang baik serta memiliki diameter batang yang cukup besar (Nova et al. 2011). Sumbangan cadangan karbon pohon pada ketiga hutan kota juga terdapat pada famili Lamiaceae, Meliaceae, Lythraceae, Clusiaceae, Annonaceae, Sterculiaceae, Malvaceae, Moraceae, Euphorbiaceae, Theaceae, Bombacaceae, Apocynaceae, Sapindaceae, Dipterocarpace , Muntingiaceae, Euphorbiaceae, Sapotaceae, Combretaceae, Colophyllaceae, Gnetaceae dan Burseraceae (Gambar 10 dan Lampiran 1). Biomassa memiliki kaitan dengan cadangan karbon, yaitu dengan mengukur jumlah cadangan karbon pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang dapat diserap oleh pohon. Berdasarkan analisis yang dilakukan, maka diperoleh nilai serapan CO2 terbesar dihasilkan dari hutan kota UI yaitu 634,40 ton/ha, kemudian diikuti oleh hutan kota Srengseng sebesar 88,15
Gambar 9. Potensi cadangan karbon pohon hutan kota UI, hutan kota Srengseng dan hutan kota PT JIEP berdasarkan kelas diameter Figure 9. Carbon stock potency in urban forest of UI, Srengseng urban forest, and PT JIEP urban forest based on diemeter class.
Analisis Cadangan Karbon Pohon pada Lanskap Hutan Kota di DKI Jakarta (Sofyan Hadi Lubis, Hadi Susilo Arifin, Ismayadi Samsoedin)
11
(a)
(b)
(c)
Gambar 10. Proporsi cadangan karbon pohon berdasarkan famili pada hutan kota UI (a), hutan kota Srengseng (b) dan hutan kota PT JIEP (c) Figure 10. Tree carbon stock proportion based on family in urban forest of UI (a) Srengseng (b) and PT JIEP (c) ton/ha dan PT JIEP sebesar 86,76 ton/ha. Informasi ini menggambarkan bahwa hutan kota, selain berfungsi sebagai kawasan konservasi keanekaragaman hayati, ternyata juga memiliki andil dan berfungsi dalam mengurangi keberadan gas CO2 perkotaan (Gambar 11). Pohon hutan kota berperan penting tidak hanya sebagai penyimpan karbon, tetapi secara alami juga berfungsi sebagai penyerap karbon CO2 yang paling efesien. Jumlah emisi CO2 yang semakin meningkat di DKI Jakarta saat sekarang ini harus diimbangi dengan jumlah penyerapannya sehingga dapat mengurangi efek rumah kaca atau 12
pemanasan. Jenis pohon yang baik sebagai penyerap CO2 yang ditemukan pada hutan kota, antara lain yaitu Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth, Acacia mangium Willd, Paraserianthes falcataria L, Leucaena leucocephala L, Bauhinia purpurea L, Delonix regia Boj. Ex Hook, Pterocarpus indicus Willd, Erythrina crista-galli L, dan Abrus precatorius L, Swietenia macrophylla King, Gmelina arborea Roxb, Pithecellobium dulce Roxb, Mimusops elengi L, Schima wallichii Dc. Korth, Lagerstroemia speciosa Auct dan Artocarpus heterophyllus L serta Pometia pinnata J.R. & J.G. Forster.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 1 - 20
Gambar 11. Nilai serapan CO2 pohon hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP Figure 11. CO2 uptake by tree urban forest of UI, Srengseng and PT JIEP C. Analisis Kebijakan Pengembangan Hutan Kota Berdasarkan hasil AHP maka diperoleh nilai skala bobot atas level faktor, aktor dan alternatif dalam rangka peng ambilan keputusan pengembangan hutan kota. Nilai bobot tertinggi untuk elemen faktor terdapat pada peningkatan kualitas hutan kota sebesar 0,49, kemudian di ikuti dengan dukungan peraturan sebesar 0,35 dan evaluasi dan kontrol hutan kota sebesar 0,16.
Selanjutnya untuk elemen aktor terdapat pada pemerintah sebesar 0,61, kemudian di ikuti dengan masyarakat sebesar 0,23 dan swasta sebesar 0,16. Kemudian untuk elemen alternatif, nilai bobot tertinggi terdapat pada evaluasi peraturan sebesar 0,25, kemudian di ikuti dengan perluasan hutan kota sebesar 0,20, insentif bagi masyarakat/ swasta sebesar 0,19, dukungan dana sebesar 0,13, sosialisasi sebesar 0,11, pemilihan jenis pohon sebesar 0,10 dan sanksi sebesar 0,04 (Gambar 12 - 14).
Gambar 12. Hasil pembobotan faktor Figure 12. Factor ranking result
Gambar 13. Hasil pembobotan aktor Figure 13. Actor ranking result
Analisis Cadangan Karbon Pohon pada Lanskap Hutan Kota di DKI Jakarta (Sofyan Hadi Lubis, Hadi Susilo Arifin, Ismayadi Samsoedin)
13
Gambar 14. Hasil pembobotan alternatif Figure 14. Alternatif ranking result 1. Analisis faktor pada hirarki pengambilan keputusan Berdasarkan analisis AHP terhadap kebijakan pengembangan hutan kota DKI Jakarta, maka diperoleh hasil pembobotan pada masing-masing level hirarki. Pada level faktor ditemukan bobot tertinggi adalah peningkatan kualitas hutan kota sebesar 0,49 (Gambar 12). Keputusan ini menjadi prioritas karena belum optimalnya kualitas dan kesesuaian hutan kota dengan kebijakan yang telah ada. Hal ini dapat dilihat dari kurang optimalnya pengelolaan hutan kota, seperti program-program pengelolaan, dukungan dana dan kelembagaan; pemeliharaan hutan kota seperti optimalisasi fungsi hutan kota, pemilihan jenis dan kualitas tempat tumbuh; perlindungan dan pengamanan hutan kota seperti perusakan, membuang sampah, kebakaran dan hama penyakit; serta minimnya pemanfaatan hutan kota ke arah pengembangan ekonomi seperti pariwisata dan rekreasi. Terkait dengan pemeliharaan hutan kota, berdasarkan pengamatan lapang masih ditemukan masyarakat yang membuang sampah domestik ke areal hutan kota, seperti pada hutan kota Srengseng dan PT JIEP. Selain itu, ditemukan juga perusakan pada beberapa pohon hutan kota. Jika mengacu pada PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota, pada pasal 26 ayat 4 sudah jelas tertuang larangan membuang benda-benda yang dapat mengakibatkan kerusakan hutan kota dan larangan merambah, menebang dan memotong hutan kota. Pasal ini kemudian dipertegas dengan pasal 37 tentang sanksi terhadap perusakan hutan kota. Namun demikian, peraturan ini tidak optimal dilaksanakan oleh masyarakat dan adanya ketidaktegasan dari aparat terkait. Selain faktor kurangnya pedulian masyarakat terhadap hutan kota, juga disebabkan kurangnya sosialisasi 14
pemerintah terhadap fungsi dan manfaat hutan kota bagi masyarakat. Belum adanya Peraturan Daerah tentang hutan kota juga merupakan salah satu kendala dalam optimalisasi peningkatan kualitas hutan kota di DKI Jakarta. Hal ini menyebabkan kepincangan dalam PP No. 63 Tahun 2002 terutama dalam aspek teknis pengelolaan hutan kota di lapangan, karena banyak aturan-aturan yang disebutkan pada PP No. 63 Tahun 2002 lebih lanjut diatur pada Perda. 2. Analisis aktor pada hirarki pengambilan keputusan Nilai bobot tertinggi untuk elemen aktor adalah pemerintah sebesar 0,6 (Gambar 13). Keputusan ini menjadi prioritas karena pemerintah dianggap sebagai pihak yang paling berperan dalam pengembangan hutan kota DKI Jakarta. Hal ini sesuai dengan pasal 10 ayat 3 pada PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota, bahwa untuk DKI Jakarta, pembangunan hutan kota dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewenangan semestinya dapat melaksanakan pengembangan hutan kota baik melalui optimalisasi kebijakan peraturan, peningkatan kuantitas dan kualitas, maupun evaluasi dan monitoring kebijakan hutan kota. Kewenangan pemerintah sebenarnya semakin kuat karena pada dasarnya rencana pengembangan hutan kota telah tertuang dalam pasal 12 ayat 2 PP. No 63 Tahun 2002 tentang hutan kota, yang menyebutkan bahwa pembangunan hutan kota merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta. Pemerintah DKI Jakarta sebenarnya telah mencadangkan 13,94 persen wilayahnya untuk dijadikan kawasan RTH sebagaimana tercantum
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 1 - 20
dalam RTRW DKI Jakarta 2000 - 2010, namun pada tahun 2003 luas RTH DKI Jakarta ternyata menjadi 9,12 persen dan semakin berkurang menjadi 6,2 persen pada tahun 2007 (Daroyni 2010). Dalam hal optimalisasi peraturan, pemerintah DKI Jakarta semestinya membuat Perda tentang hutan kota dalam upaya peningkatan kuantitas dan kualitas serta evaluasi dan monitoring hutan kota. Jika memungkinkan, perlu juga dilakukan evaluasi PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota. Perda hutan kota ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman atau arahan, seperti pengelolaan, aspek legal, kerjasama, insenstif, pemilihan jenis dan sanksi. 3. Analisis alternatif pada hirarki pengambilan keputusan Berdasarkan analisis AHP dengan menggunakan bantuan Softwere Expert Choice 11, maka diperoleh alternatif pengembangan hutan dengan bobot tertinggi yaitu evaluasi peraturan sebesar 0,25 (Gambar 14). Keputusan ini menjadi prioritas untuk dilakukan karena terdapat beberapa bagian pada peraturan perundangan (PP No. 63 Tahun 2002) yang masih kurang sesuai dengan konsep hutan kota dan pemahaman stakeholder, sedangkan untuk melakukan pengembangan hutan kota sangat dibutuhkan aturan main yang tepat dan sesuai dengan kondisi lingkungan DKI Jakarta. Beberapa bagian dalam PP No. 63 Tahun 2002 yang kurang sesuai dengan pemahaman stakeholder seperti pada pasal 1 tentang definisi hutan kota, pasal 3 tentang fungsi hutan kota, pasal 8 tentang persentase luas minimum hutan kota. Hutan kota menurut PP No. 63 Tahun 2002 adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Stakeholder hutan kota memahami definisi ini terlalu kaku jika dilihat dari kondisi perkotaan saat ini, khususnya DKI Jakarta. Ketetapan seperti ini dikhawatirkn melemahkan semangat pengembangan hutan kota itu sendiri, karena konsekuensinya tanpa pohon yang kompak dan rapat serta penetapan dari pejabat yang berwenang maka lahan yang berpepohonan belum dapat dikategorikan sebagai hutan kota, walaupun secara fisik sudah memenuhi kriteria hutan kota (Subarudi et al. 2010).
Terkait aspek legal (status hukum), masih banyak areal atau lahan yang sudah dibebaskan untuk hutan kota di DKI Jakarta oleh pelaksana hutan kota (Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta), namun belum mendapatkan status hukum atau pengukuhan melalui SK Gubernur, padahal jika mengacu pada pasal 5 ayat 3 PP No. 63 Tahun 2002 menyebutkan bahwa untuk DKI Jakarta, penunjukkan lokasi dan luasan hutan kota dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta. Evaluasi peraturan juga meliputi pengupayaan lahirnya Perda tentang hutan kota, karena banyak aturan-aturan yang disebutkan pada PP No. 63 Tahun 2002 diatur lebih lanjut pada Perda. Selain itu, diperlukan panduan teknis pembangunan hutan kota yang dapat dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan hutan kota khususnya DKI Jakarta dan menjadi cer minan terhadap pengembangan hutan kota di wilayah lainnya. Selain evaluasi peraturan, alternatif kebijakan yang juga memiliki bobot tinggi adalah perluasan hutan kota yaitu sebesar 0,20 (Gambar 14). Keputusan ini menjadi prioritas karena belum optimalnya penyediaan hutan kota di DKI Jakarta, yaitu masih banyak wilayah yang belum mencapai target pengembangan hutan kota, padahal pasal 8 ayat 3 pada PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota disebutkan bahwa persentase luas hutan kota paling sedikit 10 persen dari luas wilayah perkotaan. Proporsi hutan kota DKI Jakarta masih di ratio 2,2 persen. Jika mengacu pada pasal 8 PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota, maka dengan luas wilayah DKI Jakarta 661,52 km2, jumlah penduduk yang padat, dan tingkat pencemaran yang tinggi maka seharusnya pencapaian target hutan kota sudah mesti dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara dengan stakeholder hutan kota, hal ini disebabkan keterbatasan aset Pemda DKI Jakarta dalam hal penguasaan atas tanah akibat mahalnya harga tanah untuk pembangunan dan atau pengembangan hutan kota (Subarudi et al. 2010). IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Jumlah cadangan karbon pohon terbesar terdapat pada hutan kota UI yaitu 178,82 ton/ha, Srengseng sebesar 24,04 ton/ha dan PT JIEP sebesar 23,64 ton/ha.
Analisis Cadangan Karbon Pohon pada Lanskap Hutan Kota di DKI Jakarta (Sofyan Hadi Lubis, Hadi Susilo Arifin, Ismayadi Samsoedin)
15
2. Nilai serapan CO2 terbesar dihasilkan dari hutan kota UI yaitu 634,40 ton/ha, Srengseng sebesar 88,15 ton/ha dan PT JIEP sebesar 86,76 ton/ha. 3. Sumbangan cadangan karbon pohon terbesar pada ketiga hutan kota dihasilkan dari pohon famili Fabaceae, antara lain yaitu: Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth, Acacia mangium Willd, Paraserianthes falcataria L, Leucaena leucocephala L, Bauhinia purpurea L, Delonix regia Boj. Ex Hook, Pterocarpus indicus Willd, Erythrina crista-galli L, dan Abrus precatorius L. 4. Prioritas kebijakan yang mendukung pengembangan hutan kota pada level faktor yaitu peningkatan kualitas hutan kota, level aktor yaitu pemerintah dan level alternatif yaitu evaluasi peraturan dan perluasan hutan kota. B. Saran 1. Berdasarkan hasil cadangan karbon pohon yang terdapat pada famili Fabaceae, maka untuk mendapatkan cadangan karbon dan nilai serapan CO2 potensial pada hutan kota, sebaiknya mengunakan jenis pohon, antara lain yaitu: Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth, Acacia mangium Willd, Paraserianthes falcataria L, Leucaena leucocephala L, Bauhinia purpurea L, Delonix regia Boj. Ex Hook, Pterocarpus indicus Willd, Erythrina crista-galli L, dan Abrus precatorius L 2. Selain evaluasi peraturan, pemerintah DKI Jakarta juga perlu melakukan perluasan hutan kota, pemberian insentif bagi masyarakat dan swasta, melakukan sosialiasi dan menerapkan sanksi dalam upaya pengembangan hutan kota. V. DAFTAR PUSTAKA
Arifin, HS. and N. Nakagosaki. 2011. Landscape Ecologi and Urban Biodiversity in Tropical Indonesia Cities. Landscape Ecol Eng. 7:3343. Springer. New York. Chave J, C. Andalo, S. Brown, MA. Cairns, JQ Chambers, D. Eamus, H. Folster, F. Fromard, N. Higuchi, T. Kira, JP. Lescure, and T. Yamakura. 2005. Tree Allometry and Improved Estimation of Carbon Stock and Balance in Tropical Forests. Oecologia. 145:87-99. Hairiah K, SM. Sitompul, MV. Noordwijk, and C. Palm. 2011. Methods for Sampling Carbon 16
Stocks Above and Below Ground. ICRAF. Bogor. DIPCC. 2006. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories: References Manual. Paris. Krisnawati H, WC. Adinugroho, dan R. Imanuddin. 2012. Model-Model Allometrik untuk Pendugaan Biomassa Pohon pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan di I n d o n e s i a . B a d a n Pe n e l i t i a n d a n Pengembangan Kehutanan. Bogor. Kusmana C, S. Sabiham, K. Abe, and H. Watanabe. 1992. An Estimation of Above Ground Biomass of A Mangrove Forest in East Sumatera. Indonesia. Tropics. 4:143-257. Murdiyarso M, K. Hairiah, and MV. Noordwijk. 1994. Modelling and Measuring Soil Organic Matter Dinamics and Greenhouses Emission After Forest Conversion. Report of Workshop Training Course. Bogor. Indonesia. Nova JS, A. Widyastuti, dan E. Yani. 2011. Keanekaragaman Jenis Pohon Pelindung dan Estimasi Penyimpanan Karbon Kota Purwokerto. Jakarta. Hal 176-222. Rahayu SB, B. Lusiana, and MV. Noordwijk. 2007. Pendugaan Cadangan Karbon di Atas Permukaan Tanah pada Berbagai Sistem Penggunaan Lahan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. ICRAF. Bogor. Samsoedin I. dan T. Waryono. 2010. Hutan Kota dan Keanekaragaman Jenis Pohon di Jabotabek. Yayasan Kehati Indonesia. Jakarta. Standar Nasional Indonesia (SNI), 2011. Pengukuran dan Perhitungan Cadangan Karbon. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Subarudi, I. Somsoedin, dan T. Waryono. 2010. Kebijakan Pembangunan RTH dan Hutan Kota di Wilayah Jabodetabek: Sebuah Upaya Pencegahan Tenggelamnya Kota Jakarta. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Penelitian Sosial ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Tanggal 30 September 2010. Pusat Penelitian, Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Kementrian Kehutanan. Bogor.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 1 - 20
Lampiran 1 (Appendix 1): Tabel 1. Cadangan karbon pada jenis pohon hutan kota UI Table 1. Carbon stock of tree species in UI urban forest Stok karbon/ C-stock (ton/ha)
1
Nama lokal/ Local name Bungur
Jenis pohon/Tree species Nama latin/ Latin name Lagerstroemia speciosa Auct
Lythraceae
2,27
2
Matoa
Pometia pinnata J.R. & J.G. Forster
Sapindaceae
0,01
3
Dungun
Heritiera littoralis Korth
Sterculiaceae
0,45
4
Jati putih
Gmelina arborea Roxb.
Lamiaceae
16,03
5
Dadab
Erythrina crista-galli L.
Fabaceae
0,01
6
Puspa
Schima wallichii (Dc.) Korth
Theaceae
0,10
7
Pacira
Pachira aquatica Aubl.
Malvaceae
0,29
8
Akasia daun kecil
Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth.
Fabaceae
1,68
9
Akasia daun besar
Acacia mangium Willd.
Fabaceae
112,15
10
Meranti
Shorea selanica Blume
Dipterocarpaceae
0,03
11
Nyamplung
Calophyllum Inaphyllum L.
Calophyllaceae
2,06
12
Nangka
Artocarpus heterophyllus Lamk.
Moraceae
0,24
13
Ketapang
Terminalia catappa L.
Combretaceae
0,01
14
Kapuk
Ceiba pentandra L
Bombacaceae
0,10
15
Jamuju
Dacrycarpus imbricatus
Podocarpaceae
0,04
16
Bintaro
Cerbera manghas L
Apocynaceae
0,10
17
Sengon
Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen
Fabaceae
18
Karet
Hevea brasiliensis Muell.
Euphorbiaceae
19
Patai cina
Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit
Fabaceae
18,61
20
Mahoni daun kecil
Swietenia mahagoni (L.) Jacq.
Meliaceae
0,41
21
Kupu-kupu
Bauhinia purpurea L.
Fabaceae
2,04
22
Kruwing
Dipterocarpus acutangulus
Dipterocarpacae
0,05
No
Famili/ Family
Jumlah
Analisis Cadangan Karbon Pohon pada Lanskap Hutan Kota di DKI Jakarta (Sofyan Hadi Lubis, Hadi Susilo Arifin, Ismayadi Samsoedin)
14,72 0,47
171,86
17
Tabel 2. Cadangan karbon pada jenis pohon hutan kota Srengseng Table 2. Carbon stock of tree species in Srengseng urban forest No
1
Nama lokal/ Local name Kirai payung
Stok karbon/ C-stock (ton/ha)
Jenis pohon/Tree species Nama latin/ Latin name Filicium decipiens (Wt. & Arn.) Thw.
Sapindaceae
0,08
Famili/ Family
2
Matoa
Pometia pinnata J.R. & J.G. Forster
Sapindaceae
0,10
3
Kersen
Muntingia calabura L.
Muntingiaceae
0,65
4
Jati Putih
Gmelina arborea Roxb.
Lamiaceae
4,98
5
Bintaro
Cerbera manghas L
Apocynaceae
0,33
6
Ketapang
Terminalia catappa L.
Combretaceae
0,14
8
Kemiri
Aleurites moluccana (L.) Willd.
Euphorbiaceae
0,29
9
Mahoni daun besar
Swietenia macrophylla King.
Meliaceae
2,78
10
Saga
Abrus precatorius L.
Fabaceae
0,11
11
Asam Kandis
Pithecellobium dulce (Roxb.) Benth.
Clusiaceae
2,37
12
Patai Cina
Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit
Fabaceae
1,30
13
Mahoni daun kecil
Swietenia mahagoni (L.) Jacq.
Meliaceae
2,46
14
Sawo duren
Manilkara kauki (Linn.) Dubard
Sapotaceae
0,15
15
Dadap
Erythrina crista-galli L.
Fabaceae
0,27
16
Sengon
Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen
Fabaceae
1,35
17
Akasia daun besar
Acacia mangium Willd.
Fabaceae
2,22
18
Flamboyan
Delonix regia (Boj. Ex Hook.) Raf.
Fabaceae
3,36
Jumlah
18
24,02
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 1 - 20
Tabel 3. Cadangan karbon pada jenis pohon hutan kota PT JIEP Table 3. Carbon stock of tree species in PT JIEP urban forest No
1
Nama lokal/ Local name Tanjung
Jenis pohon/Tree species Nama latin/ Latin name Mimusops elengi L.
Famili/ Family
Stok karbon/ C-stock (ton/ha)
Sapotaceae
0,99
2
Bungur
Lagerstroemia speciosa Auct
Lythraceae
3,02
3
Dadab
Erythrina crista-galli L.
Fabaceae
0,42
4
Mahoni daun kecil
Swietenia mahagoni (L.) Jacq.
Meliaceae
5,47
5
Glodongan tiang
Polyalthia longifolia Sonn.
Annonaceae
1,94
6
Saga
Abrus precatorius L.
Fabaceae
0,08
7
Melinjo
Gnetum gnemon L.
Gnetaceae
0,88
8
Angsana
Pterocarpus indicus Willd.
Fabaceae
5,13
9
Kenari
Canarium decumanum Gaerth.
Burseracea
0,50
10
Mahoni daun besar
Swietenia macrophylla King.
Meliaceae
0,85
11
Petai cina
Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit
Fabaceae
1,50
12
Akasia daun kecil
Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth.
Fabaceae
2,85
Jumlah
23,64
Tabel 4. Cadangan karbon pada jenis pohon hutan kota Srengseng Table 4. Carbon stock of tree species in Srengseng urban forest
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Nama lokal/ Local name Kirai payung Matoa Kersen Jati Putih Bintaro Ketapang Kapuk Kemiri Mahoni daun besar Saga Asam Kandis Patai Cina Mahoni daun kecil Sawo duren Dadap Sengon Akasia daun besar Flamboyan
Jenis pohon/Tree species Nama latin/ Latin name Filicium decipiens (Wt. & Arn.) Thw. Pometia pinnata J.R. & J.G. Forster Muntingia calabura L. Gmelina arborea Roxb. Cerbera manghas L Terminalia catappa L. Ceiba pentandra L Aleurites moluccana (L.) Willd. Swietenia macrophylla King. Abrus precatorius L. Pithecellobium dulce (Roxb.) Benth. Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit Swietenia mahagoni (L.) Jacq. Manilkara kauki (Linn.) Dubard Erythrina crista-galli L. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen Acacia mangium Willd. Delonix regia (Boj. Ex Hook.) Raf. Jumlah
Famili/ Family
Stok karbon/ C-stock (ton/ha)
Sapindaceae Sapindaceae Muntingiaceae Lamiaceae Apocynaceae Combretaceae Bombacaceae Euphorbiaceae Meliaceae Fabaceae Clusiaceae Fabaceae Meliaceae Sapotaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae
Analisis Cadangan Karbon Pohon pada Lanskap Hutan Kota di DKI Jakarta (Sofyan Hadi Lubis, Hadi Susilo Arifin, Ismayadi Samsoedin)
0,08 0,10 0,65 4,98 0,33 0,14 1,09 0,29 2,78 0,11 2,37 1,30 2,46 0,15 0,27 1,35 2,22 3,36 24,02
19
Tabel 5. Cadangan karbon pada jenis pohon hutan kota PT JIEP Table 5. Carbon stock of tree species in PT JIEP urban forest No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
20
Nama lokal/ Local name Tanjung Bungur Dadab Mahoni daun kecil Glodongan tiang Saga Melinjo Angsana Kenari Mahoni daun besar Petai cina Akasia daun kecil
Jenis pohon/Tree species Nama latin/ Latin name Mimusops elengi L. Lagerstroemia speciosa Auct Erythrina crista-galli L. Swietenia mahagoni (L.) Jacq. Polyalthia longifolia Sonn. Abrus precatorius L. Gnetum gnemon L. Pterocarpus indicus Willd. Canarium decumanum Gaerth. Swietenia macrophylla King. Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth. Jumlah
Famili/ Family
Sapotaceae Lythraceae Fabaceae Meliaceae Annonaceae Fabaceae Gnetaceae Fabaceae Burseracea Meliaceae Fabaceae Fabaceae
Stok karbon/ C-stock (ton/ha)
0,99 3,02 0,42 5,47 1,94 0,08 0,88 5,13 0,50 0,85 1,50 2,85 23,64
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 1 - 20
ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL PENGUSAHAAN MINYAK KAYU PUTIH TRADISIONAL DI TAMAN NASIONAL WASUR, PAPUA (Financial Feasability Analysis of Traditional Cajuput Oil Refinery in Wasur National Park, Papua) 1
2
3
4
5
Yonky Indrajaya , Aji Winara , M. Siarudin , Edy Junaidi , dan Ary Widiyanto Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis 46201 Email:
[email protected]
1,2,3,4,5
Diterima 18 Oktober 2012, disetujui 20 Februari 2013 ABSTRACT
This paper contains the results of financial analysis of traditional cajuput oil refinery in Wasur National Park (TN Wasur), Papua. The method used in this research is in-depth interview to cajuput oil refiner. The assessment on financial feasibility includes: Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Benefit Cost Ratio (BCR) and sensitivity. The analysis is conducted in 10 years period with the interest rate of 10%. The analysis are conducted on two different cases: the local dwellers and migrants. The results showed that on local dwellers case, the NPV is IDR 258,686,275 and BCR 1.72. Whereas, in the migrant case the value of NPV and IRR are IDR 56,947,848 and 1.10 respectively. It is shown that both traditional cajuput oil refinery systems are financially feasible. Keywords: Financial analysis, cajuput oil, TN Wasur ABSTRAK
Dalam tulisan ini disajikan hasil analisis aspek finansial pengolahan minyak kayu putih (MKP) secara tradisional di Taman Nasional (TN) Wasur, Papua. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dengan penyuling MKP. Penilaian terhadap kelayakan finansial usaha MKP menggunakan ukuran yaitu: NPV, IRR, BCR, dan sensitivitas. Analisis dilakukan dalam kurun waktu 10 tahun dengan suku bunga 10%, dilakukan pada 2 (dua) kasus: pengusahaan oleh penduduk asli dan pengusahaan oleh pendatang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pengolahan oleh penduduk asli nilai NPV adalah Rp 258.686.275 dan BCR: 1,72. Sedangkan nilai NPV dan BCR pada pengolahan MKP oleh pendatang berturut-turut adalah Rp. 56.947.848 dan 1,1. Hal ini menunjukkan bahwa pengolahan minyak kayu putih secara tradisional pada kedua sistem pengolahan layak secara finansial. Kata kunci: Analisis finansial, minyak kayu putih, TN Wasur
I. PENDAHULUAN Kawasan Taman Nasional (TN) Wasur merupakan salah satu taman nasional model yang terletak di Kabupaten Merauke, Papua. Vegetasi yang mendominasi di TN Wasur berasal dari famili Mystaceae. Terdapat 4 (empat) formasi vegetasi di kawasan TN Wasur yang menyimpan potensi minyak kayu putih, yaitu: (1) vegetasi hutan dominan Melaleuca seluas 33.535 ha, (2) vegetasi hutan codominan Melaleuca-Eucalyptus seluas 33.874 ha, (3) hutan jarang seluas 34.539 ha, dan (4) hutan savana campuran seluas 169.809 ha. Sebaran vegetasi berada pada ketinggian yang relatif hampir sama hingga 22 m dpl dengan kondisi topografi lahan termasuk datar (Purba, 1999). Terdapat 5 (lima) jenis tanah utama yang ter-
dapat pada TN Wasur, yaitu: glaisol, kambisol, podsolik, aluvial dan regosol. Jenis tanah kambisol (42,98%) merupakan jenis tanah dominan, kemudian diikuti jenis tanah glaisol (33,97%), jenis tanah aluvial (16,31%), jenis tanah regosol (6,31 %) dan tanah podsolik (0,44%). Jenis tanah pada habitat hutan dominan kayu putih adalah jenis tanah inseptisol dengan kedalaman lapisan organik mencapai lebih dari 90 cm. Tingkat keasaman tanah termasuk agak basa dengan pH tanah 6,7 - 7. Infiltrasi tanah tergolong rendah sehingga membentuk genangan (Purba, 1999). Famili Myrtaceae yang mengandung minyak atsiri seperti Melaleuca spp dan Asteromurtus spp berpotensi dapat memberikan penghasilan tambahan bagi masyarakat adat baik yang berada di dalam kawasan TN maupun di luar kawasan TN,
Analisis Kelayakan Finansial Pengusahaan Minyak Kayu Putih Tradisional di Taman Nasional Wasur, Papua (Yonky Indrajaya et al.)
21
khususnya Kabupaten Merauke. Kegiatan pemanfaatan daun kayu putih telah dilakukan cukup lama di TN Wasur dengan melibatkan organisasi nirlaba dan PEMDA setempat, meskipun produksinya masih relatif kecil. Sebagai ilustrasi, Provinsi Papua secara keseluruhan dilaporkan telah memproduksi minyak kayu putih sekitar 20 ton per tahun, namun masih lebih kecil dibandingkan dengan produksi minyak kayu putih di Jawa yang dikelola oleh Perum Perhutani atau Pemerintah Daerah (PEMDA) yang mencapai hingga 300 ton per tahun (Subarudi et al., 2005). Kegiatan penyulingan MKP tradisional di kawasan TN Wasur berpotensi dapat meningkatkan kapasitas ekonomi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan. Kegiatan ini tidak mengganggu habitat alami satwa di TN Wasur. Namun kegiatannya sampai saat ini masih perlu
ditingkatkan. Untuk meningkatkan kegiatan pemanfaatannya, diperlukan informasi kelayakan usahanya, untuk itulah penelitian ini dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan usaha penyulingan MKP secara tradisional di TN Wasur oleh penduduk asli dan pendatang. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah TN Wasur pada wilayah administrasi Desa Rawa Biru, Yanggandur, dan Sota (Gambar 1). Ketiga desa ini masuk ke dalam wilayah Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Penelitian di desa Sota dilakukan pada bulan April-Mei dan Desa Yanggandur dan Rawa Biru pada bulan Juli tahun 2012.
Lokasi penelitian
Gambar 1. Lokasi penelitian Figure 1. Research location B. Pengumpulan Data Pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam. Wawancara dilakukan dengan penyuling yang tinggal di Desa Yanggandur, Rawa Biru, dan Sota. Ketiganya berada di dalam kawasan TN Wasur. Pengusahaan MKP dibagi menjadi 2 (dua) kelompok yaitu penduduk asli dan pendatang karena adanya perbedaan dalam pengusahaannya. Jenis data yang dikumpulkan meliputi seluruh masukan produksi dan harga, 22
termasuk kebutuhan dan harga bahan bakar, bahan baku, tenaga kerja dan transportasi serta volume produksi dan harga MKP. C. Pengolahan dan Analisis Data Data yang terkumpul diolah untuk memperoleh informasi pengeluaran (C) dan penerimaan (B) pengolahan MKP sebagai dasar penilaian kelayakan finansial usahanya. Penilaian terhadap kelayakan finansial usaha penyulingan MKP
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 21 - 32
dilakukan menggunakan kriteria investasi Thompson dan George (2009), yaitu: NPV, BCR, IRR, dan sensitivitas. NPV merupakan selisih antara total penerimaan dikurangi dengan total pengeluaran yang didiskonto menggunakan faktor diskonto dalam kurun waktu tertentu (t), pada tingkat suku bunga i,dituliskan: BCR merupakan perbandingan dari total penerimaan terdiskon selama kurun waktu proyek dibagi dengan total pengeluaran terdiskon selama kurun waktu proyek Nilai BCR akan memberikan gambaran estimasi pengembalian dalam rupiah dari investasi yang ditanamkan, dituliskan:
Analisis finansial dilakukan terhadap pengusahaan MKP oleh penduduk asli yang tinggal di dalam kawasan TN dan pendatang di luar kawasan TN untuk mengetahui seberapa besar perbedaan kelayakan usaha dari keduanya. Perbedaan input produksi seperti pengadaan bahan baku dan bahan bakar diduga akan memberikan tingkat keuntungan yang berbeda pula. Analisis sensitivitas dilakukan untuk menguji pengaruh dari kemungkinan terjadinya perubahan terhadap arus pengeluran maupun penerimaan apabila produksi MKP turun 15% dan 30% dari kondisi normal. Ketidakpastian yang mungkin terjadi pada pengusahaan minyak kayu putih adalah apabila rendemen dari minyak kayu putih turun karena sulitnya memperoleh umur daun yang optimal akibat dari tidak adanya kegiatan pemeliharaan tegakan kayu putih di TN Wasur. III. GAMBARAN UMUM TN WASUR
IRR merupakan tingkat bunga diskonto dimana nilai NPV sama dengan nol. Hal ini berarti nilai IRR menunjukkan nilai aktual pengembalian dari suatu proyek, dituliskan:
Taman Nasional Wasur merupakan salah satu taman nasional di Pulau Papua yang terletak di Kabupaten Merauke. Kondisi masyarakat Merauke adalah heterogen, dimana masyarakat pendatang umumnya mendominasi daerah perkotaan, sedangkan masyarakat asli Papua umumnya bertempat tinggal di pinggiran kota dan
Tabel 1. Jumlah penduduk asli Papua dan pendatang pada beberapa kampung yang terdapat di dalam kawasan TN Wasur tahun 2010 Table 1. Population of local dwellers and migrants in some villages in Wasur National Park in 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Desa /Village Wasur Rawa Biru Yanggandur Kuller Onggaya Tomer Tomerau Kondo Sota*
Jumlah penduduk/Population Asli Pendatang /Local dwellers /Migrants 258 146 219 6 338 19 260 243 190 111 207 253 280 22 256 8 585 675 2.593 1.483(63.62%)
Jumlah /Total 404 225 357 503 301 460 302 264 1260 4.076(36,38 %)
Keterangan (remark) : * enclave dari kawasan TN Wasur Sumber (source) : BPS Kabupaten Merauke (2010)
Analisis Kelayakan Finansial Pengusahaan Minyak Kayu Putih Tradisional di Taman Nasional Wasur, Papua (Yonky Indrajaya et al.)
23
perkampungan dalam kawasan TN Wasur. Nilai strategis TN Wasur adalah sebagai representasi ekosistem savana campuran di Indonesia yang secara musiman menjadi kawasan lahan basah dan menjadi kawasan pengatur hidrologi bagi Kota Merauke. Selain itu, TN Wasur juga menjadi salah satu taman nasional model di Indonesia. Kawasan TN Wasur dihuni oleh tiga suku besar Malind Anim Merauke, yaitu: Kanum, Marind dan Marori Men-gey. Namun secara wilayah adat atau hak ulayat, kawasan TN Wasur dimiliki oleh empat suku, yaitu: Kanum, Marind, Marori Men-gey dan Yeinan. Disamping dihuni oleh masyarakat adat tersebut, kawasan TN Wasur juga dihuni oleh masyarakat pendatang dari luar Papua.
Dari total penduduk sebanyak 4.076 jiwa, jumlah penduduk asli adalah sebanyak 2.593 jiwa (63,62%) dan pendatang sebanyak 1.483 jiwa (36,38%) (Tabel 1). Dari jumlah penduduk yang ada di dalam kawasan TN Wasur, hanya beberapa penduduk saja (penduduk asli: 1-2 orang; pendatang 1-3 orang) yang telah mengusahakan MKP (Tabel 2). Waktu tempuh yang diperlukan untuk mencapai hutan kayu putih berkisar antara 1-3 jam (Tabel 2). Kegiatan penyulingan dilaksanakan dalam kawasan TN Wasur karena kemudahan dalam memperoleh bahan baku. Hasil penyulingan dibeli oleh organisasi nirlaba WWF dengan harga Rp. 70.000 per liter.
Tabel 2. Jumlah pemilik alat suling dan waktu tempuh ke lokasi hutan kayu putih Table 2. Number of oil refinery tools and distance to cajuput forest No 1 2 3 4
Desa /Village Rawa Biru Yanggandur Sota Tomerau
Jumlah penduduk/Population Asli/ Pendatang/ Local dwellers Migrants 1 2 3 1 1 -
Waktu tempuh perjalanan/Time needed towards cajuput forest (jam/hours) 1-2 2-3 2 2
Sumber (Source): data primer(Primary data)
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Jenis dan Harga serta Volume Penggunaan Masukan Pengusahaan MKP di TN Wasur Papua telah dilakukan cukup lama mengingat potensi pohon kayu putih yang melimpah di tempat tersebut. Introduksi teknologi alat penyulingan sederhana oleh WWF dan PEMDA dan adanya pasar MKP telah memberikan insentif bagi masyarakat untuk mengusahakan MKP. Jenis dan harga masukan yang digunakan untuk perhitungan biaya pengolahan MKP disajikan dalam Tabel 3. Tidak ada perbedaan harga jual MKP, harga pengadaan alat penyulingan, harga pemeliharaan alat suling, harga upah tenaga, dan harga pemasaran baik yang diusahakan oleh penduduk asli maupun pendatang. Perbedaan dari kedua pengusahaan MKP oleh penduduk asli dan pendatang adalah pada jenis masukan produksinya seperti dijelaskan dalam Tabel 4. 1. Pengusahaan oleh penduduk asli Penduduk asli mengusahakan MKP dengan cara memanen secara langsung daun kayu putih di TN 24
Wasur dan menyulingnya secara sederhana. Alat suling merupakan bantuan dari WWF dan PEMDA Kabupaten Merauke. Masa pakai alat suling ini adalah 10 tahun dengan biaya pemeliharaan Rp 500.000 per tahun. Bahan baku daun kayu putih yang digunakan dalam proses produksi adalah 160 kg daun untuk sekali masak yang berasal dari jenis Asteromyrtus sp. Dalam satu hari dilakukan dua kali proses penyulingan, sehingga kebutuhan daun dalam sehari adalah 320 kg. Apabila pemasakan dilakukan setiap hari kecuali hari minggu selama 12 bulan, maka total kebutuhan daun kayu putih adalah sebanyak 92.160 kg. Dalam pemanenan daun, setiap harinya dilakukan oleh dua orang tenaga kerja, sedangkan proses penyulingan dilakukan oleh satu orang tenaga kerja. Kayu bakar diperoleh dengan mencarinya di TN yang dipenuhi oleh satu orang tenga kerja per hari. Pemasakan dilakukan setiap hari sebanyak dua kali, kecuali hari minggu,sehingga dalam satu bulan proses pemasakan dilakukan sebanyak rata-rata 48 kali. Hasil MKP dijual ke pasar dengan harga jual Rp 70.000/liter. Hasil MKP diangkut ke pasar
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 21 - 32
dengan biaya angkut sebesar Rp 50.000/bulan. Produksi rata-rata proses penyulingan adalah sebanyak 4 (empat) liter/hari pada musim penghujan dan 6 (enam) liter/hari pada musim kemarau. Apabila jumlah bulan musim penghujan dan musim kemarau adalah sama-sama 6 (enam) bulan, maka total produksi MKP dalam satu tahun adalah 1.440 liter. Asumsi yang digunakan dalam perhitungan ini adalah tingkat suku bunga sebesar 10% dan upah tenaga kerja/hari sebesar Rp 50.000. Proyeksi penjualan, biaya produksi, dan laba pengolahan minyak kayu putih secara tradisional oleh penduduk asli di TN Wasur per tahun disajikan dalam Tabel 4. 2. Pengusahaan oleh pendatang Untuk pendatang, pengadaan bahan baku daun kayu putih dilakukan dengan pembelian kepada masyarakat di sekitar TN pada harga beli Rp 700/kg. Selain itu, pengadaan bahan bakar juga dilakukan dengan membelinya dari masyarakat yaitu Rp 10.000/gerobak. Kebutuhan kayu untuk
sekali masak adalah 2 (dua) gerobak, sehingga kebutuhan per hari adalah 4 (empat) gerobak. Seperti halnya penduduk asli, proses penyulingan dilakukan oleh satu orang tenaga kerja. Frekuensi pemasakan dan hasil penyulingan serta biaya perawatan dan biaya angkut sama dengan penduduk asli. Proyeksi penjualan, biaya produksi, dan laba pengolahan minyak kayu putih secara tradisional oleh pendatang di TN Wasur per tahun disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan kebutuhan akan biaya bahan baku, bahan bakar, peralatan, tenaga kerja dan nilai pengeluaran yang dihasilkan dalam pengolahan MKP oleh penduduk asli dan pendatang. Pada pengolahan MKP oleh penduduk asli, karena bahan bakar dan bahan baku diperoleh secara cuma-cuma dari kawasan TN Wasur, maka pada pemasukan bahan bakar dan bahan baku dianggap tidak ada, tetapi pada pemasukan tenaga kerja terdapat komponen biaya pemanenan dan bahan bakar.
Tabel 3. Jenis dan harga masukan dan keluaran Table 3. Types and prices of inputs and output
MASUKAN (INPUTS) Bahan bakar / Fuel Kayu / fire wood Bahan bakudaun kayu putih / raw material of cajuput leaves Peralatan / Equipment Alat penyulingan /oil refinery equipment Pemeliharaan alat / equipment maintenance Tenaga Kerja / Labour Pemanenan daun kayu putih / cajuput leaves harvesting Penyulingan /oil refinery Ambil kayu bakar /collecting fire wood Transport KELUARAN (OUTPUT) Minyak kayu putih /cajuput oil
Satuan/Unit
Harga/ Price (Rupiah)
Gerobak
10.000
Rp/kg
700
Jumlah per tahun/ Total per year Penduduk Pendatang/ asli/Local Migrants dwellers
-
1.152 92.160
1
1
20.000.000 Rp/unit Rp/tahun
500.000
Rp/HOK
50.000
576
-
Rp/HOK
50.000
288 288
288 -
Rp/HOK Rp/PP
50.000 50.000
12
12
Rp/liter
70.000
1.440
1.440
Sumber(Source): data primer (Primary data)
Analisis Kelayakan Finansial Pengusahaan Minyak Kayu Putih Tradisional di Taman Nasional Wasur, Papua (Yonky Indrajaya et al.)
25
Tabel 4. Proyeksi penjualan, biaya produksi, dan laba pengolahan minyak kayu putih per tahun oleh penduduk asli dan pendatang di TN Wasur Papua Table 4. Projection of sales, production costs, and profit of cajuput oil refinery by local dwellers and migrants per year in Wasur National Park Penduduk asli /Local dwellers Jumlah per tahun Satuan /Unit /Total per year (Rupiah)
Uraian /Description
A
B 1
2 3 4 5
Penerimaan /Benefit 1 Volume produksi /production volume (liter/litres) 2 Harga /Price (Rp/liter) Biaya produksi dan pemasaran / Production and marketing costs Biaya tenaga kerja/ Labor costs (Rp HOK-1 /IDR working days-1) Pemanenan daun /Harvesting leaves a (HOK/working days) Penyulingan minyak /Oil refinery (HOK/working b days) Pengumpulan kayu bakar /Fuel wood collection c (HOK/working days) Biaya pembelian bahan baku /Raw material provisioning Biaya pembelian bahan bakar /Fuel provisioning Biaya pemeliharaan alat /Maintenance cost Biaya pemasaran /Marketing cost Laba /Profit
1.440 70.000
Pendatang /Migrants Jumlah per tahun Satuan /Total per year /Unit (Rupiah)
100.800.000 70.000
1.440 70.000
58.700.000
100.800.000 70,000 91.532.000
50.000
57.600.000
50.000
14.400.000
576
28.800.000
-
-
288
14.400.000
288
4,400,000
288
14.400.000
-
-
500.000 600.000
700 500.000
92.160 10.000 1.152 500.000
11.520.000 500.000
600.000
600.000
600.000
42.100.000
64.512.000
9.268.000
Sumber(source): data primer (primary data)
Sementara itu, tidak seperti yang dilakukan oleh penduduk asli, pendatang mengadakan bahan bakar dan bahan baku dengan melakukan pembelian kepada penduduk yang tinggal di dalam kawasan TN, sehingga terdapat komponen biaya pembelian bahan bakar dan bahan baku. Namun, komponen biaya tenaga kerja pemanenan dan kayu bakar tidak ada. Dari Tabel 4 terlihat jelas bahwa pengolahan MKP oleh penduduk asli akan memberikan laba tahunan yang lebih besar yaitu Rp 42.100.000 dibandingkan laba tahunan yang diperoleh oleh pendatang yaitu Rp. 9.268.000. Komponen biaya pembelian bahan baku daun kayu putih dan kayu bakar menjadi faktor penentu dalam perbedaan ini. Proyeksi penjualan, biaya produksi, dan laba pengolahan MKP secara tradisional oleh penduduk asli dan pendatang di TN Wasur selama 10 tahun disajikan dalam Lampiran 1 dan 2.
26
B. Hasil Analisis Kelayakan Finansial Pengusahaan Minyak Kayu Putih 1. Pengusahaan oleh penduduk asli Hasil dari perhitungan cash flow pengusahaan MKP oleh penduduk asli di TN Wasur disajikan dalam Lampiran 3. Dari Lampiran 3, dapat diperoleh nilai NPV sebesar Rp 258.686.275 dengan nilai BCR sebesar 1,72. Nilai IRR sangat besar karena tidak ada satupun nilai NPV selama tahun perhitungan yang negatif. Tidak seperti proyek kehutanan lain yang membutuhkan investasi pada awal usahanya seperti hutan tanaman (Ginoga et al., 2005; Kusumedi and Jariyah, 2010; Yuniati, 2011), karena pada pengusahaan MKP tradisional di TN Wasur ini tidak ada biaya investasi pembelian alat oleh penduduk, dan adanya kepastian pasar MKP, maka nilai NPV selalu positif mulai dari awal kegiatan usaha. Dari indikator-indikator tersebut dapat
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 21 - 32
disimpulkan bahwa pengusahaan MKP oleh penduduk asli layak secara finansial. 2. Pengusahaan oleh pendatang Hasil dari perhitungan cash flow pengusahaan MKP oleh pendatang di TN Wasur disajikan dalam Lampiran 4. Dari Lampiran 4 tersebut, dapat diperoleh nilai NPV sebesar Rp 56.947.848 dan nilai BCR sebesar 1,10. Nilai IRR juga sangat besar karena tidak ada satupun dari nilai NPV selama tahun perhitungan yang negatif. Dari indikatorindikator tersebut dapat disimpulkan bahwa pengusahaan MKP oleh pendatang juga layak secara finansial. Perbandingan hasil analisis finansial pengusahaan MKP oleh penduduk asli dan pendatang di TN Wasur disajikan dalam Tabel 5.
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa pengusahaan MKP di TN Wasur baik oleh penduduk asli maupun pendatang layak secara finansial. Namun demikian, penduduk asli dapat memperoleh pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan pendatang. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan bahan baku daun dan kayu bakar yang diperoleh secara cuma-cuma dari TN, sedangkan para pendatang memperoleh bahan baku daun dan kayu bakar dengan cara membeli dari masyarakat di dalam kawasan TN. Nilai NPV dari pengusahaan MKP oleh penduduk asli adalah sebesar Rp 258.686.275 dan BCR sebesar 1,72, sedangkan nilai NPV dari pengusahaan MKP oleh pendatang adalah sebesar Rp 56.947.848 dan BCR sebesar 1,10.
Tabel 5. Perbandingan hasil analisis finansial pengusahaan MKP oleh penduduk asli dan pendatang di TN Wasur Papua (Rp) Table 5. Comparison of financial analysis results cajuput oil refinery process by local dwellers and migrants in Wasur National Park (Rp) Pengelola /Organizer
Total biaya /Total costs
Penduduk asli 587.000.000 /Local dwellers Pendatang 915.320.000 /Migrants
Nilai nominal /Nominal value Total pendapatan /Total revenues
Nilai terdiskon /Discounted value Total biaya Total pendapatan /Total costs /Total revenues
Laba /Profit
NPV
BCR
1.008.000.000
42.000.000 360.686.089
619.372.364
258.686.275
1,72
1.008.000.000
92.680.000 562.424.516
92.680.000
56.947.848
1,10
Sumber(Source): data primer (primary data)
C. Hasil Analisis Sensitivitas Dalam analisis sensitivitas ini, akan diujicobakan apabila produksi minyak kayu putih turun 15% dan 30% dari kondisi normal. Hasil analisis sensitivitas disajikan dalam Tabel 6 dan 7. Tabel 6 dan Tabel 7 menunjukkan bahwa penurunan produksi MKP dari penyulingan
menyebabkan penurunan nilai NPV dari pengusahaan oleh penduduk asli maupun pendatang. Penurunan produksi MKP sebesar 15% telah menyebabkan kegiatan penyulingan oleh pendatang tidak layak secara finansial. Namun demikian, pengusahaan oleh penduduk asli tetap layak untuk diusahakan bahkan pada penurunan
Tabel 6. Analisis sensitivitas apabila produksi MKP turun 15% (Rp) Table 6. Sensitivity analysis if production of cajuput oil decreases 15% (Rp) Pengelola /Organizer
Total biaya /Total Costs
Nilai nominal /Nominal value Total pendapatan /Total Revenues
Penduduk asli / Local dwellers 587.000.000 856.800.000 Pendatang /Migrants 915.320.000 856.800.000 Sumber(source): data primer (primary data)
Laba /Profit
Nilai terdiskon /Discounted value Total Total biaya pendapatan /Total Costs /Total Revenues
NPV
BCR
269.800.000
360.686.089
526.466.510
165.780.421
1,.46
(58.520.000)
562.424.516
526.466.510
(35.958.007)
0,94
Analisis Kelayakan Finansial Pengusahaan Minyak Kayu Putih Tradisional di Taman Nasional Wasur, Papua (Yonky Indrajaya et al.)
27
Tabel 7. Analisis sensitivitas apabila produksi MKP turun 30% (Rp) Table 7. Sensitivity analysis if production of cajuput oil decreases 30% (Rp) Pengelola /Organizer Penduduk asli /Local dwellers Pendatang /Migrants
Total biaya /Total Costs 587.000.000
Nilai nominal /Nominal value Total pendapatan /Total Revenues 705.600.000
Laba /Profit 118.600.000
915.320.000
705.600.000
(209.720.000)
Nilai terdiskon /Discounted value Total biaya Total pendapatan /Total Costs /Total Revenues 360.686.089 433.560.655 562.424.516
433.560.655
NPV
BCR
72.874.566
1,20
(128.863.861)
0,77
Sumber(source): data primer (primary data)
produksi hingga 30%. Hal ini menarik mengingat masukan produksi dari penduduk asli hanya berupa tenaga kerja, sedangkan masukan produksi dari pendatang termasuk bahan baku daun dan kayu bakar. III. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan: 1. Pengolahan minyak kayu putih yang dilakukan oleh penduduk asli yang tinggal di kawasan TN Wasur secara finansial layak diusahakan dengan nilai NPVsebesar Rp 258.686.275 dan BCR sebesar 1,72. 2. Pengolahan minyak kayu putih yang dilakukan oleh pendatang yang tinggal di luar kawasan TN Wasur secara finansial juga layak diusahakan dengan nilai NPV sebesar Rp 56.947.848 dan BCR sebesar 1,10. 3. Penurunan produksi MKP sebesar 15% akan menyebabkan kegiatan penyulingan oleh pendatang menjadi tidak layak secara finansial. 4. Penurunan produksi MKP hingga 30% tetap layak diusahakan secara finansial oleh penduduk asli. B. Saran Pengelolaan minyak kayu putih dengan dukungan teknologi yang semakin baik (misalnya ketel masak yang terbuat dari stainless steel) akan meningkatkan rendemen minyak kayu putih, sehingga keuntungan penyuling akan meningkat. Selain itu, perlu dukungan teknologi pengolahan yang lebih baik dengan belajar dari industri skala besar (seperti Perum Perhutani di Jawa) agar memperoleh rendemen yang lebih tinggi.
28
DAFTAR PUSTAKA BPS. 2010. Pendataan Penduduk asli Papua kabupaten Merauke Tahun 2010. In. BAPPEDA Kab. Merauke - BPS kabupaten merauke, Merauke. Ginoga, K.L., Wulan, Y., Djaenudin, D. 2005. Karbon dan peranannya dalam kelayakan usaha hutan tanaman jati (Tectona Grandis) di KPH Saradan, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi 2, 183-202. Kusumedi, P., Jariyah, N.A. 2010. Analisis finansial pengelolaan agroforestry dengan pola sengon kapulaga di Desa Tirip, Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 7: 93-100. Purba, M. 1999. Prospek dan Kontribusi TN Wasur terhadap Pembangunan Daerah. In, Pertemuan regional pengelolaan taman nasional kawasan timur Indonesia, Menado. Subarudi, Djogo, T., Suwardi, E., Setiyono, H. 2005. Social and economic aspects of cajuput oil industry in Indonesia: A rapid assessment in Java and NTT. In. Puslitbang Sosial dan Ekonomi Kehutanan, Departemen Kehutanan RI kerjasama dengan ACIAR. Thompson, D., George, B. 2009. Financial and economic evaluation of agroforestry. In: Nuberg, I., George, B., Reid, R. (Eds.), Ag roforestr y for natural resource m a n a g e m e n t . C S I RO P u b l i s h i n g , Collingwood Australia.Yuniati, D., 2011. Analisis finansial dan ekonomi pembangunan hutan tanaman Dipterokarpa dengan teknik SILIN (Studi kasus PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Barat). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 8: 239-249.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 21 - 32
Analisis Kelayakan Finansial Pengusahaan Minyak Kayu Putih Tradisional di Taman Nasional Wasur, Papua (Yonky Indrajaya et al.)
29
Volume produksi /production volume (liter/litres) Harga /price (Rp/liter)
Laba /Profit
Biaya pemeliharaan alat /maintenance cost Biaya pemasaran /marketing cost
Biaya produksi dan pemasaran /Production and marketing costs Biaya tenaga kerja / Labor costs (RpHOK-1 /IDR working days-1) a Pemanenan daun /harvesting leaves (HOK/working days) b Penyulingan minyak /oil refinery(HOK/working days) c Pengumpulan kayu bakar /fuel wood collection (HOK/working days)
2
1
Penerimaan/Benefit
Sumber(Source): data primer (primary data)
3
2
1
B
A
Uraian /Description
14.400.000 14.400.000
288 288
600.000 42.100.000
600.000
500.000
28.800.000
576
500.000
57.600.000
58.700.000
70.000
1.440
100.800.000
1
50.000
70.000
1.440
Satuan /Unit
42.100.000
600.000
500.000
14.400.000
14.400.000
28.800.000
57.600.000
58.700.000
70.000
1.440
100.800.000
2 3 4
14.400.000 14.400.000
14.400.000 14.400.000
600.000 42.100.000
600.000 42.100.000
500.000
28.800.000
28.800.000
500.000
57.600.000
58.700.000
70.000
1.440
100.800.000
57.600.000
58.700.000
70.000
1.440
100.800.000
.000
42.100.000
600.000
500.000
14.400.000
14.400.000
28.
57.600.000 800
58.700.000
70.000
1.440
100.800.000
5 6
42.100.000
600.000
500.000
14.400.000
14.400.000
28.800.000
57.600.000
58.700.000
70.000
1.440
100.800.000
Tahun /Year
42.100.000
600.000
500.000
14.400.000
14.400.000
28.800.000
57.600.000
58.700.000
70.000
1.440
100.800.000
7
42.100.000
600.000
500.000
14.400.000
14.400.000
28.800.000
57.600.000
58.700.000
70.000
1.440
100.800.000
8
42.100.000
600.000
500.000
14.400.000
14.400.000
28.800.000
57.600.000
58.700.000
70.000
1.440
100.800.000
9
42.100.000
600.000
500.000
14.400.000
14.400.000
28.800.000
57.600.000
58.700.000
70.000
1,440
100.800.000
10
Lampiran 1.Proyeksi penjualan, biaya produksi, dan laba pengolahan minyak kayu putih oleh penduduk asli di TN Wasur selama 10 tahun (Rp) Appendix 1. Projection of sales, production cost, and profit of cajuput oil refinery by local dwellers in Wasur National Park in 10 years (Rp)
30
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 21 - 32
70.000
70.000
600.000
500.000
1.152
10.000
92.160
600.000 9.268.000
9.268.000
9.268.000
9.268.000
500.000
11.520.000
64.512.000
14.400.000
14.400.000
91.532.000
70.000
1.440
100.800.000
4
600.000
500.000
11.520.000
64.512.000
14.400.000
14.400.000
91.532.000
70.000
1.440
100.800.000
3
600.000
500.000
11.520.000
64.512.000
14.400.000
14.400.000
91.532.000
70.000
1.440
100.800.000
2
600.000
500.000
11.520.000
64.512.000
14.400.000
288
700
14.400.000
50.000
91.532.000
1.440
100.800.000
1
1.440
Satuan /unit
Sumber(Source): data primer (primary data)
Laba /Profit
Biaya pemeliharaan alat /maintenance cost Biaya pemasaran /marketing cost
4
5
Biaya pembelian bahan bakar /fuel provisioning
Volume produksi /production volume 1 (liter/litres) Harga /price (Rpliter2 1/IDR litre-1) Biaya produksi dan pemasaran /Production costs and marketing Biaya tenaga kerja / labor costs (RpHOK-1 /IDR working days-1) Penyulingan minyak /oil refinery (HOK/working days) a Biaya pembelian bahan baku / raw materials provisioning
Penerimaan/Benefit
3
2
1
B
A
Uraian /Description
9.268.000
600.000
500.000
11.520.000
64.512.000
14.400.000
14.400.000
91.532.000
70.000
1.440
100.800.000
5
Tahun /Year
9.268.000
600.000
500.000
11.520.000
64.512.000
14.400.000
14.400.000
91.532.000
70.000
1.440
100.800.000
6
9.268.000
600.000
500.000
11.520.000
64.512.000
14.400.000
14.400.000
91.532.000
70.000
1.440
100.800.000
7
9.268.000
600.000
500.000
11.520.000
64.512.000
14.400.000
14.400.000
91.532.000
70.000
1.440
100.800.000
8
9.268.000
600.000
500.000
11.520.000
64.512.000
14.400.000
14.400.000
91.532.000
70.000
1.440
100.800.000
9
9.268.000
600.000
500.000
11.520.000
64.512.000
14.400.000
14.400.000
91.532.000
70.000
1.440
100.800.000
10
Lampiran 2. Proyeksi penjualan, biaya produksi, dan laba pengolahan minyak kayu putih oleh pendatang di TN Wasur Papua selama 10 tahun (Rp) Appendix 2. Projection of sales, production costs, and profit of cajuput oil refinery by migrants in Wasur National Park in 10 years (Rp)
Analisis Kelayakan Finansial Pengusahaan Minyak Kayu Putih Tradisional di Taman Nasional Wasur, Papua (Yonky Indrajaya et al.)
31
1 2 3
58.700.000 44.102.179 31.630.353
48.512.397 34.793.388
53.363.636 38.272.727
Present value cost
Net present value
75.732.532
100.800.000
0.751315
58.700.000
83.305.785
100.800.000
0.826446
58.700.000
91.636.364
100.800.000
0.909091
Biaya Produksi dan Pemasaran/Production costs and marketing
Present value benefit
Penerimaan/Benefit
0.10
Sumber(Source): data primer (primary data)
B
A
Bunga diskonto/discount factor
Satuan /Unit 4
28.754.866
40.092.890
58.700.000
68.847.756
100.800.000
0.683013
5
26.140.788
36.448.082
58.700.000
62.588.869
100.800.000
0.620921
6 0.564474
23.764.352
33.134.620
58.700.000
56.898.972
100.800.000
Tahun /Year 7 0.513158
21.603.957
30.122.382
58.700.000
51.726.338
100.800.000
Lampiran 3.Cash flow pengusahaan minyak kayu putih oleh penduduk asli di TN Wasur Papua (Rp) Appendix 3. Cash flow of cajuput oil refinery process by local dwellers in Wasur National Park (Rp) 8
19.639.961
27.383.983
58.700.000
47.023.944
100.800.000
0.466507
9
17.854.510
24.894.530
58.700.000
42.749.040
100.800.000
0.424098
10
16.231.372
22.631.391
58.700.000
38.862.764
100.800.000
0.385543
258.686.275
360.686.089
619.372.364
Jumlah /Total
32
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 21 - 32
91.532.000 68.769.346 6.963.186
75.646.281 7.659.504
83.210.909 8.425.455
Present value cost
Net present value
75.732.532
100.800.000
0.751315
3
91.532.000
83.305.785
100.800.000
0.826446
2
91.532.000
91.636.364
100.800.000
0.909091
1
Biaya Produksi dan Pemasaran/Production costs and marketing
Present value benefit
Penerimaan/Benefit
0.10
Sumber(Source): data primer (primary data)
B
A
Bunga diskonto/discount factor
Satuan /Unit
6.330.169
62.517.588
91.532.000
68.847.756
100.800.000
0.683013
4
5.754.699
56.834.171
91.532.000
62.588.869
100.800.000
0.564474
6
5.231.544
51.667.428
91.532.000
56.898.972
100.800.000
Tahun /Year 0.620921
5
Lampiran 4. Cash flow pengusahaan MKP oleh pendatang di TN Wasur Papua (Rp) Appendix 4. Cash flow of cajuput oil refinery process by migrants in Wasur National Park (Rp)
4.755.949
46.970.389
91.532.000
51.726.338
100.800.000
0.513158
7
4.323.590
42.700.354
91.532.000
47.023.944
100.800.000
0.466507
8
3.930.537
38.818.503
91.532.000
42.749.040
100.800.000
0.424098
9
3.573.215
35.289.548
91.532.000
38.862.764
100.800.000
0.385543
10
56.947.848
562.424.516
619.372.364
Jumlah /Total
STRATEGI PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR (Development Strategy Of Forest Plantation In East Kalimantan Province) 1
Epi Syahadat Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan,Jl. Gunungbatu 5, PO Box 272, Bogor 16610 Telp (0251)8633944, Fax (0251)8634924, e-mail :
[email protected]
1
Diterima 19 Oktober 2012, disetujui 2 Februari 2013 ABSTRACT
Consumption for raw material of wood industry in Indonesia is around 50-60 million m³ per year, which is 30 million m³ for pulp and paper industry. Most of them is still supplied from natural forest. On the other hand the capacity of wood production from natural forest are limited. To solve this problem Ministry of Forestry will accelerate development of plantation forest. The plan to fulfilling the raw materials timber industry up to 2011 is 53.92 m³, but in reality only 25.86 m³ or 48.3%, and it's expandable considering the target of 2009 that all pulp and paper industry have to use wood raw material from plantation forest. The purpose of this article is to acknowledge the stakeholder some strategy to fullfil a log material needs especially in East Kalimantan Province using SWOT analysis. SWOT analysis indicated that plantation forest development strategy in East Kalimantan Province in the first quadrant and the alternative strategy are SO (strength and opportunities), it is considering that plantation forest resources has a potential market, but it is not optimally exploited yet by the stakeholder of HTI. Keywords: Plantation forest, development strategy, wood raw material needs ABSTRAK
Kebutuhan kayu untuk bahan baku industri di Indonesia tercatat 50-60 juta m³ per tahun, di mana sekitar 30 juta m³ adalah untuk keperluan industri pulp dan kertas. Sebagian besar kebutuhan kayu bulat tersebut masih di pasok dari hutan alam. Sedangkan kemampuan hutan produksi alam dalam penyediaan kayu bulat sudah semakin terbatas. Untuk mendukung penyediaan bahan baku, Kementerian Kehutanan akan mempercepat program pembangunan hutan tanaman industri (HTI). Rencana pemenuhan bahan baku industri kayu sampai dengan tahun 2011 sebesar 53,92 m³, baru terealisasi sebesar 25,86 m³ atau 48,3 % (Data Release Dirjen BUK, 2011). Potensi tersebut terus dikembangkan, mengingat pada tahun 2009 semua industri pulp dan kertas harus sudah menggunakan kayu dari hasil hutan tanaman. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui strategi para pihak dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu bulat khususnya di Provinsi Kalimantan Timur menggunakan pendekatan SWOT. Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa pembangunan hutan tanaman di Provinsi Kalimantan Timur berada pada kuadran pertama diagram SWOT dan alternatif strategi yang digunakan adalah SO (strength and opportunities) dengan pertimbangan bahwa sumberdaya hutan tanaman mempunyai potensi yang cukup besar untuk dipasarkan, akan tetapi belum termanfaatkan secara optimal. Kata kunci: hutan tanaman, strategi pembangunan, kebutuhan bahan baku kayu
I. PENDAHULUAN Kebutuhan kayu untuk bahan baku industri di Indonesia tercatat sebesar 50-60 juta m³ per tahun, sekitar 30 juta m³ adalah untuk keperluan industri pulp dan kertas (IWGFF, 2010). Selama lima tahun terakhir sumbangan bahan baku dari hutan alam kepada industri pulp rata-rata pertahunnya sebesar 54 % dan sisanya dipasok dari hutan tanaman (IWGFF, 2010). Kemampuan hutan produksi alam
dalam penyediaan kayu bulat sudah semakin terbatas. Rencana pemenuhan bahan baku IPHHK sampai dengan tahun 2011 sebesar 52,92 juta m³ baru terealisasi sebesar 25,86 juta m³ (48,3 %). Pemenuhan bahan baku industri dari IUPHHK hutan alam rencana sebesar 5,33 juta m³ baru terealisasi sebesar 2,21 juta m³ atau 41,5 % dan dari IUPHHK hutan tanaman rencana sebesar 23,54 juta m³ baru terealisasi sebesar 9,81 juta m³ atau 41,7%. (Data Release Dirjen BUK, 2011).
Strategi Pembangunan Hutan Tanaman di Provinsi Kalimantan Timur (Epi Syahadat)
33
Untuk mendukung penyediaan bahan baku, Kementerian Kehutanan akan mempercepat program pembangunan HTI. Rencana pemenuhan kayu bulat dari hutan tanaman (HT) sampai dengan tahun 2011 sebesar 23,54 juta ha baru terealisasi sebesar 9,81 juta ha atau 41,7% (Data Release Dirjen BUK, 2011). Sampai dengan triwulan ke II tahun 2011 IUPHHK-HT berjumlah 245 unit (9,92 juta ha), SK IUPHHK-HT definitif 51 unit (2,06 juta ha), dan IUPHHK-HT dengan Status pencadangan SP1 sebanyak 22 unit (0,58 juta ha) dan SP 2 sebanyak 22 unit (1,15 juta ha) (Data Release Dirjen BUK, 2011). Untuk terus mendorong pengembangan HTI, diperlukan landasan hukum yang jelas mengenai kepastian dan keamanan lahan. Kepastian hukum dalam kepemilikan lahan diharapkan dapat memberikan semangat baru dalam membangun hutan tanaman. Diantara permasalahan dalam pembangunan hutan tanaman adalah kekurangan permodalan. Adanya kepastian kepemilikan lahan dapat menjadi jaminan untuk memperoleh kredit dari Bank dengan bunga rendah (Anonim, 2009). Berdasarkan data dan informasi dari Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur, sampai dengan tahun 2011, jumlah pemanfaatan kawasan hutan produksi dalam bentuk IUPHHK-HT yang telah mempunyai Ijin Definitif sebanyak 39 unit dan luas areal 1,71 juta ha, sedangkan untuk IUPHHK-HT dengan Ijin Sementara sebanyak 3 unit dan luas areal 18,9 ribu ha, serta IUPHHK Pencadangan sebanyak 1 unit seluas 2.090 ha. Pembangunan hutan tanaman sebagai bagian integral dari pembangunan kehutanan secara nasional, sangat penting dan strategis untuk mendukung kelangsungan dan keberhasilan pembangunan secara nasional. Keberhasilan pembangunan hutan tanaman dapat dicapai jika terdapat sinergitas antara kekuatan masyarakat, pemerintah, dan industri perkayuan. Demikian pula keberhasilan pengelolaan hutan tanaman sangat bergantung kepada ketiga unsur tersebut (Anonim, 2006). Pembangunan hutan tanaman sangat diperlukan dalam pemenuhan bahan baku kayu bulat. Tulisan ini menyajikan hasil penelitian tentang strategi para pihak dalam pembangunan hutan tanaman untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu bulat khususnya di Provinsi Kalimantan Timur. Sasaran dari penelitian ini adalah menawarkan alternatif solusi dalam pengelolaan
34
hutan tanaman yang lestari di Provinsi Kalimantan Timur agar sesuai harapan. II. METODE PENELITIAN A. Kerangka Pemikiran Pemikiran dasar dalam pembangunan HTI adalah upaya menyelenggarakan rehabilitasi kawasan hutan yang tidak/kurang produktif atau terdegradasi agar mampu menghasilkan produk kayu untuk pemenuhan bahan baku kayu industri kehutanan yang mendorong pada pemanfaatan ekonomi. Fenomena kelangkaan kayu dan perubahan struktur ketersediaan kayu telah dirasakan sebelum dekade 1990. Pada awal tahun 1990-an pembangunan hutan tanaman tidak hanya sekedar untuk merehabilitasi hutan yang tidak/ kurang produktif, namun secara simultan mempunyai manfaat ekonomi dan lingkungan, artinya perolehan manfaat ekonomi dari areal yang direhabilitasi akan memberi daya dukung ekologi dan lingkungan yang lebih baik pada daur yang ditetapkan, dan dapat dipanen untuk dipergunakan sebagai pasokan bahan baku industri. Struktur komponen industri yang ada bergeser sesuai dengan fenomena yang terjadi. Lebih dari sekedar memberi peluang investasi skala besar, tetapi ada kemauan politis pihak pemerintah untuk menumbuhkan kesejahteraan masyarakat secara bertahap dengan membangun hutan tanaman. Salah satu kegiatan pokok yang mendukung kebijakan prioritas dan dinilai sangat strategis dalam pembangunan sektor kehutanan periode lima tahun ke depan adalah upaya mempercepat pembangunan HTI. Pertanyaannya adalah: Bagaimana pelaksanaan percepatan pembangunan HTI dapat diwujudkan dengan segala kompleksitas permasalahan?. Disamping itu, telah diwacanakan dan merupakan ketetapan pemerintah bahwa dari sisi perwujudan pembangunan yang beorientasi pada keramahan lingkungan, maka pada tahun 2009 pasokan bahan baku industri pulp dan kertas diarahkan untuk tidak lagi bertumpu pada hutan alam, yang saat ini dan ke depan harus dikelola secara lebih konservatif (Anonim, 2009). Sejak lahirnya PP No.7 tahun 1990 tentang HTI telah banyak peraturan yang dibuat untuk mendukung program pembangunan HTI. Banyak aturan-aturan yang memposisikan HTI pada entity
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 33 - 47
business yang harus dibatasi, padahal seharusnya dalam kedudukan sebaliknya. Pada saat itu implementasi pembangunan HTI merupakan upaya yang sangat diatur oleh pemerintah, karena ada keterlibatan dana pemerintah. Sebagai gambaran tentang ketatnya peraturan (prudent practice) dalam pembangunan HTI (baik yang dimuat dalam PP No.7 tahun 1990 dan PP No. 34 tahun 2002) adalah, adanya 14 kewajiban yang harus dipatuhi oleh pemegang ijin HTI untuk dilaksanakan dimana 5 (lima) kewajiban diantaranya bila tidak dilaksanakan maka dikenakan sanksi pencabutan ijin HTI. Disamping itu terdapat beberapa keluhan yang disampaikan oleh para Permasalahan Industri Perkayuan: o Illegal Logging
praktisi HTI, seperti tidak adanya kepastian usaha, kesulitan pemasaran, harga logs yang tidak kompetitif, investasi besar dengan waktu panen yang lama dengan resiko kegagalan yang tinggi, pro kontra terhadap jenis tanaman monokultur dengan kekhawatiran rentannya resistensi tanaman monokultur terhadap hama dan penyakit, keengganan perbankan untuk mengucurkan kredit, adanya praktek illegal logging yang menyebabkan rendahnya harga kayu HTI, bahkan biaya produksi jauh lebih tinggi dibandingkan hasil penjualan (Anonim, 2009). Secara skematis kerangka pemikiran tersebut, terlihat seperti pada Gambar 1.
Pengelolaan Hutan
Rehabilitasi Hutan Tidak Produktif
IUPHHK HA
IUPHHK HT Kebutuhan Kayu Hambatan : o Faktor Ekonomi
Sistem Pengelolaan Hutan Alam Lestari
Gambar 1. Kerangka pemikiran Figure 1. Analitical Framework B. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dengan cara menyiapkan kuisioner dan data sekunder. Data primer didapatkan dari hasil wawancara dengan berbagai pihak seperti pemilik Perusahaan HTI, Pejabat Dinas Kehutanan yang
mengurusi kegitan HTI, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan instansi terkait. Data sekunder, seperti : kondisi umum Provinsi Kalimantan Timur, luas kawasan hutan berdasarkan peta penunjukan kawasan dari Kementerian Kehutanan, jumlah perusahaan IUPHHK-HT, data infor masi mengenai
Strategi Pembangunan Hutan Tanaman di Provinsi Kalimantan Timur (Epi Syahadat)
35
pemanfaatan kawasan hutan, dan lain sebagainya. Pemilihan perusahaan HTI dilakukan berdasarkan status perijinan (SK definitif, SK Sementara, dan Pencadangan), untuk mendapatkan berbagai pendapat dan kondisi yang beragam mengenai pembangunan hutan tanaman di Provinsi Kalimantan Timur. Dari masing-masing instansi/ unit kerja di atas yang dijadikan sampel penelitian minimal 2 (dua) responden. Penentuan sampel dilakukan secara Purposive Sampling, yaitu penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2004), yaitu tidak semua orang/pihak mengetahui, memahami, terlibat dan terkena dampak dalam pelaksanaan IUPHHK hutan tanaman. C. Analisis Data Dalam merumuskan strategi pembangunan hutan tanaman di Kalimantan Timur digunakan analisis SWOT. Analisis SWOT dibatasi pada kajian sektoral dimana kehutanan dan industri kehutanan ditetapkan sebagai lingkungan internal, sedangkan lingkungan eksternal mencakup keseluruhan lingkungan di luar sektor kehutanan dan industri kehutanan. Faktor internal yang menjadi kekuatan dan kelemahan serta faktor eksternal yang menjadi peluang dan ancaman dilakukan identifikasi dan evaluasi. Faktor internal yang diindentikasi dan di evaluasi meliputi empat aspek, yaitu : (a) sumberdaya bahan baku, (b) industri perkayuan, (c) kelembagaan, serta (d) pasar dan perdagangan produk perkayuan; sedangkan faktor eksternal meliputi bidang (a) sosial dan budaya, (b) ekonomi politik, (c) lingkungan global dan (d) teknologi. Faktor-faktor internal dan eksternal yang telah diidentifikasi, kemudian diberikan bobot (weighting) dan peringkat (rating) untuk menentukan lima faktor yang paling dominan dalam masing-masing kolom kekuatan
( strengths ), kelemahan ( weaknesses ), peluang (opportunities), dan ancaman (threats). Faktorfaktor yang paling dominan kemudian dimasukan dalam Matriks SWOT. Menurut Rangkuti (2006), hasil analisa SWOT tersebut dapat menghasilkan 4 (empat) kemungkinan strategi alternatif, yaitu : Strategi Strength-Opportunities (SO). Strategi ini dibuat berdasarkan jalan pikiran perusahaan, yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. Strategi Weaknesses-Opportunities (WO), strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. Strategi Strength-Threats (ST), ini adalah strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki perusahaan untuk mengatasi ancaman. Strategi Weaknesses-Threats (WT), strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman. Sebagai contoh, sub strategi S-O dirumuskan dengan melihat lima faktor kekuatan (strengths) serta mempertimbangkan lima faktor peluang (opportunities). Dengan perkataan lain, sub strategi tersebut dirumuskan dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang yang ada. III. GAMBARAN UMUM KEHUTANAN KALIMANTAN TIMUR A. Luas Kawasan Hutan dan Pemanfaatannya Provinsi Kalimantan Timur, secara geografis terletak antara 113º44' Bujur Timur dan 119º00'
Tabel 1. Luas Kawasan Hutan Berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 79/2001 di Provinsi Kalimantan Timur. Table 1. The Forest Area Based on Forest Ministry Decree Numbre 79/2001 in East Kalimantan Province. No 1 2 3 4 5
Kawasan Hutan /Forest Area Hutan Suaka Alam/ Margasatwa/Konservasi Hutan Lindung (HL) Hutan Produksi Tetap (HP) Hutan Produksi Terbatas (HPT) Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi Jumlah
Luas/Area (Ha) 2.165.198 2.751.702 5.121.688 4.612.965 14.651.553
Sumber (Source): Direktorat Jenderal Planologi, 2011. (Directorate General of Forestry Planning, 2011).
36
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 33 - 47
Bujur Barat, serta 4º24' Lintang Utara dan 2º25' Lintang Selatan dengan wilayah seluas 208.657,74 km atau seluas satu setengah kali Pulau Jawa dan Madura (Dirjen Planologi, 2011). Pada Tabel 1 dapat di lihat luas wilayah kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Timur berdasarkan peta penunjukan kawasan hutan dan perairan sebagaimana ditetapkan SK Menteri Kehutanan No. 79/ Menhut-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 seluas 14.651.553 ha. Pembangunan hutan tanaman dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi (HP) maupun kawasan hutan produksi terbatas (HPT). Apabila melihat luasan kawasan hutan tersebut, peluang pertumbuhan pembangunan hutan tanaman di Provinsi Kalimantan Timur sangat besar. Luas kawasan seluruh hutan produksi adalah 9,73 juta ha dan dimanfaatkan untuk IUPHHKHA, IUPHHK-HT, IUPHHK-RE, Pencadangan areal HTR dan Penetapan areal HKM seluas 7,39
juta ha (telah terbit SK nya). Pembangunan IUPHHK hutan tanaman sendiri seluas 1,73 juta ha, terdiri atas 42 unit ijin (IUPHHK-HT yang sudah memiliki ijin definitif maupun ijin sementara) dan 1 (satu) lokasi untuk pencadangan areal HTR seluas 2.090 ha (Dirjen Planologi, 2011). B. Perkembangan Hutan Tanaman Industri (HTI). Pada Tabel 2 dapat dilihat secara rinci, perkembangan hutan tanaman di Provinsi Kalimantan Timur, yang terbagi pada : 1) Yang telah memiliki SK Definitif seluas 1.711.868 ha atau sebesar 98,79 % dari luas lahan kawasan hutan produksi yang dimanfaatkan oleh 39 unit hutan tanaman; 2) SK Sementara seluas 18.900 ha atau 1,09 % dimanfaatkan oleh 3 (tiga) unit hutan tanaman; dan 3) SK Pencadangan seluas 2.090 ha atau 0,12 % dimanfaatkan oleh 1 (satu) unit hutan tanaman. Secara rinci, adalah sebagai berikut :
Tabel 2. IUPHHK-HTI di Provinsi Kalimantan Timur s/d Tahun 2010. Table 2. The Area Of Plantation Forest in East Kalimantan Province Up To 2010) No 1 2 3
Jenis Surat Keputusan (SK)/Kind of Decree SK Definitif SK Sementara SK Pencadangan Jumlah
Unit/Unit 39 3 1 43
Luas/Area (Ha) 1.711.868 18.900 2.090 1.732.758
Sumber (Source): Direktorat Jenderal Planologi, 2011. (diolah dari data Ditjen BUK dan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur) (Directorate General of Forestry Planning, 2011.(processed data from the Directorate General of BUK and East Kalimantan Province Forest Service)).
Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur, IUPHHK-HT pertukangan terdaftar dan aktif sampai dengan tahun 2011 sebanyak 12 unit dengan luas 393.586 ha, IUPHHK-Pulp terdaftar dan aktif sebanyak 9 (sembilan) unit dengan luas 862.565 ha, dan IUPHHK Transmigrasi yang masih aktif sebanyak 11 unit dengan luas areal 212.768 ha, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3. C. Target dan Realisasi Pembangunan Hutan Tanaman di Provinsi Kalimantan Timur Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa target pembangunan HTI pulp lebih besar dibandingkan dengan pembangunan HTI jenis lainnya. HTI pulp merupakan bagian dari grup perusahaan, dan tidak menghadapi kendala memadai seperti permodalan, pemasaran, sumberdaya manusia dan kebutuhan
bahan baku kayunya cukup besar, sedangkan HTI pertukangan dan HTI transmigrasi menghadapi kendala permodalan dan pemasaran kayu, terlebih setelah dicabutnya pinjaman permodalan dari Dana Reboisasi (DR). Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa realisasi penanaman kayu pada HTI pulp lebih luas dibandingkan dengan HTI pertukangan maupun HTI transmigrasi. Hal tersebut antara lain karena pemasaran hasil kayu pulp sudah pasti untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pulp bagi grup perusahaannya. Pada Tabel 6 berikut dapat dilihat Realisasi RKT IUPHHK hutan tanaman di Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2007. Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa realisasi penanaman kayu untuk hutan tanaman adalah sebesar 44,41 % dari target penanaman pada tahun
Strategi Pembangunan Hutan Tanaman di Provinsi Kalimantan Timur (Epi Syahadat)
37
Tabel 3. Daftar IUPHHK-HT Provinsi Kalimantan Timur sampai dengan 2011 Table 3. List of Plantations Forest in East Kalimantan up to 2011 No 1 I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 II 1 2 3 4 5 6 7 8 III 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 43
Nama perusahaan/Company name 2 IUPHHK Pertukangan PT Inhutani I Batu Ampar PT Sumalindo HJ II S Mao PT Inhutani I Long Nah PT Oceanic Timber Product PT Sumalindo HJ S Pesab PT Barito Pacific PT Sangkulirang PT Wana Kalti Lestari PT Inhutani II Tanah Grogot PT Riau Timas PT Sendawar Adhi Karya PT Intraca Hutani Lestari PT Tirta Mahakam Resources PT Mahakam Persada Sakti PT Sylvaduta Corporation PT Buana Inti Energi Jumlah I IUPHHK Pulp PT ITCI Hutani Manunggal PT Surya Hutani Jaya PT Fajar Surya Sedaya PT Tanjung Redeb Hutani PT Adindo Hutani Lestari PT Inhutani I Sesayap PT Aacia Andalan Utama PT Kelawit Wana Lestari Jumlah II IUPHHK Transmigrasi PT Bhineka Wana PT Hutan Kesuma PT Kiani Hutan Lestari PT Malapi Timber PT Sumalindo SJ Ma Karangan PT Belantara Persada PT Belantara Subur PT Taman Daulat Wananusa PT Hutan Trans Kencana PT Anangga Pudinusa PT Hutan Mahligai PT Kelawit Hutan Lestari PT Inhutani I Melak PT Dirga Rimba PT Rimba Raya Lestari PT Sumalindo Alam Lestari Unit 1 PT Belantara Pusaka PT Tuffindo Wana Lestari PT Estetika Rimba Jumlah III Total
No SK IUPHHK/No of IUPHHK Decree 3
Luas/Area (ha) 4
239/Kpts-II/1998, 27 Februari 1998 675/Kpts-II/1997, 10 Oktober 1997 611/Kpts-II/1997, 19 September 1997 IPP.480 /Kpts-II/1989, 3 Juli 1989 407/Kpts-II/1996, 5 Agustus 1996 IPP.1019/Menhut -VI/1991, 20 Juli 1991 983/V/HTI-3-1991, 26 Juni 1991 6/Kpts-II/1998, 5 Januari 1998 109/Kpts-II/1991, 21 Februari 1991 155/DJRRL/V/1989, 23 Februari 1989 2/Menhut-II/2008, 3 Januari 2008 838/Kpts-II/1999, 5 Oktober 1999 328/Menhut-II/2010, 25 Mei 2010 619/Menhut-II/2010, 4 November 2010 415/Menhut-II/2009, 9 Juli 2009 631/Menhut-II/2010, 11 November 2010
16.521,00 70.300,00 50.295,00 15.700,00 10.000,00 21.305,00 30.000,00 16.280,00 17.200,00 35.000,00 25.400,00 42.050,00 41.735,00 25.410,00 47.025,00 26.345,00 490.566,00
Aktif Aktif Aktif Tidak Aktif Aktif Aktif Tidak Aktif Tidak Aktif Aktif Tidak Aktif Aktif Aktif Aktif Aktif Aktif Aktif
184/Kpts-II/ 1996, 23 April 1996 156/ Kpts-II/1996, 22 Juli 1996 383/Kpts-II/1997, 22 Julu 1997 641/Kpts-II/1996, 8 Oktober 1996 88/Kpts-II/1996, 12 Maret 1996 142/Kpts-II/1984 87/Menhut-II/2007, 22 Maret 2007 169/Menhut-II/2005, 16 Juni 2005
161.127,00 183.300,00 66.659,00 180.330,00 201.821,00 7.643,00 39.620,00 22.065,00 862.565,00
Aktif Aktif Aktif Aktif Aktif Aktif Aktif Aktif
9.945,00 14.253,00 53.083,00 13.650,00 24.500,00 17.150,00 16.475,00 13.400,00 9.300,00 31.100,00 11.275,00 9.180,00 66.800,00 5.000,00 17.330,00 32.550,00 15.610,00 22.400,00 5.000,00 388.001,00 1.741.132,00
Aktif Aktif Tidak Aktif Tidak Aktif Aktif Aktif Aktif Aktif Tidak Aktif Aktif Aktif Aktif Tidak Aktif Tidak Aktif Tidak Aktif Aktif Aktif Tidak Aktif Tidak Aktif
61/Kpts-II/ 1997, 28 Januari 1997 339/Kpts-II/1998, 27 Juli 1998 838/Kpts-II/1992, 25 Agustus 1992 252/Kpts-II/1992, 21 Februari 1992 722/Kpts-II/1996, 11 November 1996 779/Kpts-II/1997, 27 Desember 1997 784/Kpts-II/1996, 19 September 1996 362/Kpts-II/1997, 14 Juli 1997 247/Kpts-II/1992, 21 Februari 1997 331/Kpts_II/1998, 27 Februari 1998 244/Kpts-II/1992, 22 Februari 1992 160/Kpts-II/1997, 21 Februari 1997 15/Kpts-II/1998, 25 Maret 1998 253/Kpts-II/1992, 21 Februari 1992 300Menhut-II/2007, 3 September 2007 267/Menhut-II/2009, 11 Mei 2009 20/Kpts-II/1998, 7 Januari 1998 593.45/265/DKB-I, 25 Februari 2002 240/Kpts-II/1992, 21 Februari 1992
Keterangan/Remarks 5
Sumber (Source) : Statistik Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur, 2011. (East Kalimantan Province Forestry Statistcs, 2011).
2007, di mana 41,55 % atau 93,55 % dari realisasi hutan tanaman merupakan penanaman kayu dari IUPHHK HTI pulp. Dari tabel tersebut terlihat bahwa realisasi volume produksi kayu mencapai 23,05 % di mana 12,97 % merupakan kayu dari IUPHHK HTI pulp. 38
Dari data tersebut bahwa IUPHHK HT di Provinsi Kalimantan Timur sudah berjalan, walaupun belum mencapai seperti apa yang diharapkan. Investasi untuk pembangunan hutan tanaman pun sudah cukup besar yang apabila dikalikan dengan Standar Biaya Pembangunan HTI
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 33 - 47
Tabel 4. Target Pembangunan Hutan Tanaman di Provinsi Kalimantan Timur s/d tahun 2007. Table 4. Developement Target of Forest Plantation in East Kalimantan Province up to 2007 No 1 2 3
Jenis HTI/Kind of Forest plantation HTI Pertukangan HTI PULP HTI Transmigrasi Jumlah
Tanam/Planting (Ha) 19.403,00 82.626,58 10.580,04 112.609,62
Panen/Harvest (Ha) 10.436,67 36.388,44 3.741,43 50.566,54
Volume/Volume (m³) 515.212,80 2.029.913,79 382.541,15 2.927.667,74
Sumber (Source): Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur, 2008. (East Kalimantan Province Forest Service, 2008)
Tabel 5. Realisasi Pembangunan Hutan Tanaman di Provinsi Kalimantan Timur s/d tahun 2007 Table 5. Forest Plantation Developement Realization In East Kalimantan Province up to 2007 No 1 2 3
Jenis HTI/Kind of Forest plantation HTI Pertukangan HTI PULP HTI Transmigrasi Jumlah
Tanam/Planting (Ha) 1.828,62 46.785,00 1.392,22 50.005,84
Panen/Harvest (Ha) 1.173,00 2.141,79 2.092,29 5.407,08
Volume/Volume (m³) 103.517,17 380.196,00 191.156,15 674.869,32
Sumber (source): Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur, 2008. (East Kalimantan Province Forest Service, 2008)
Tabel. 6 Realisasi RKT IUPHHK Hutan Tanaman Tahun 2007 di Provinsi Kalimantan Timur. Table 6. Forest Plantation Anual Working Planning Realization in Year of 2007 in East Kalimantan Province. No I 1 2 3 4 5 6
7 8
II 1 2 3 4 5
III 1 2 3 4 5
Nama Perusahaan/ Company name (Luas/Area Ha) IUPHHK Pertukangan PT. Inhutani I Long Nah (50.295) PT. Inhutani I Batu Ampar (16.521) PT. Oceanias Timber Product (15.000) PT. Inhuta ni II Tanah Grogot (17.200) PT. Sumalindo Hutani Jaya II Sei Mao (70.300) PT. Sumalindo Hutani Jaya II Sei Pesab (10.000) PT. Taman Daulat Wananusa (13.400) PT. Intraca Hutani Lestari (46.500) Jumlah I IUPHHK PULP PT. Tanjung Redeb Hutani (180.330) PT. Inhutani I Sesayap (Tarakan) (7.643,49) PT. ITCI Hutani Manunggal (161.127) PT. Adindo Hutani Lestari (201.821) PT. Surya Hutani Jaya (183.300) Jumlah II IUPHHK Transmigrasi PT. Sumalindo Lestari Jaya I Batu Putih (12.076) PT. Sumalindo Lestari J aya II Ma. Karangan (24.500) PT. Hutan Mahligai (11.275) PT. Belantara Subur (16.475) PT. Kelawit Wana Lestari (22.065) Jumlah III Jumlah I + II + III
NO SK & Tanggal HPHTI Decree no & date 611/Kpts-II/1997 Tanggal 19-9-1997 239/Kpts-II/1998 Tanggal 27-2-1998 480/DJRRL/V/1989 Tanggal 3-7-1989 109/Kpts-II/1991 Tanggal 21-2-1991 675/Kpts-II/1997 Tanggal 10-10-1997 407/Kpts-II/1996 Tanggal 5-8-1996 362/Kpts-II/1997 Tanggal 14-7-1997 13/Kpts-II/1997 Tanggal 6-1-1997
641/Kpts-II/1996 Tanggal 8-10-1996 142/Kpts-II/1984 Tanggal 17-7-1984 184/Kpts-II/1996 Tanggal 23-4-1996 88/Kpts-II/1996 Tanggal 12-3-1996 156/Kpts-II/1996 Tanggal 8-1996
80/Kpts-II/1997 Tanggal 6-2-1997 722/Kpts-II/1996 Tanggal 11-11-1996 47/Menhut-II/2006 Tanggal 6-3-2006 80/Kpts-II/1997 Tanggal 6-2-1997 169/Menhut-II/2005 Tanggal 16-62005
Target/Target Tanam/Planting Panen/Harvest
Realisasi/Realization
Volume/Volume Tanam/Planting Panen/Harvest Volume/Volume
Jenis Tanaman/ Type of Plants
1.455,00
1.142,00
85.098,00
400,00
996,00
76.781,00
1.000,00
-
220,00
50,00
-
-
-
-
-
-
505,00
750,67
90.894,00
223,62
175,00
24.674,17
5.125,00
700,00
70.000,00
1.155,00
-
-
Akasia M, P Falkataria
1.000,00
4500,00
230.000,00
-
2,00
2.062,00
Akasia M, P Falkataria, G arborea, eucalyptus
-
-
-
-
-
-
10.318,00
3.344,00
39.000,00
-
-
-
19.402,42
10.436,67
515.212,80
1.828,62
1.173,00
103.517,17
19.986,01
18.631,32
738.567,93
-
-
-
Akasia M, G arborea
-
2.074,00
55.250,00
-
-
-
12.000,00
6.976,00
532.462,00
12.000,00
652,79
64.762,00
Akasia M, P Falkataria, eucalyptus Akasia M, G arborea
17.758,57
-
-
10.189,00
-
-
32.882,00
8.707,12
703.633,86
24.596,00
1.489,00
315.434,00
82.626,58
36.388,44
2.029.913,79
46.785,00
2.141,79
380.196,00
3.500,00
1.000,00
150.000,00
716,00
409,00
75.564,00
2.000,00
1.000,00
100.000,00
227,00
326,00
26.794,00
580,04
656,17
51.243,00
-
272,03
7.500,00
-
1.000,00
1.085,26
81.298,15
449,22
1.085,26
81.298,15
3.500,00
-
-
-
-
-
10.580,04 112.609,62
3.741,43 50.566,54
382.541,15 2.927.667,74
1.392,22 50.005,84
2.092,29 5.407,08
191.156,15 674.869,32
Sengon, Akasia M, Falcataria Akasia Mangium
Akasia M, G arborea
Sengon, Jabon, G Arborea
Akasia M, P Falkataria Akasia M, G arborea, E deglupta
G arborea, tektona grandis, P Falkataria P Falkataria, G arborea Sengon, G arborea Akasia M, P Falkataria, G arborea, Akasia Mangium
Sumber (Source): Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur, 2008. (East Kalimantan Province Forest Service, 2008)
Strategi Pembangunan Hutan Tanaman di Provinsi Kalimantan Timur (Epi Syahadat)
39
berdasarkan Permenhut Nomor P.48/MenhutII/2008 sebesar Rp 9.578.350 per ha, berarti investasi pembangunan hutan tanaman tersebut sudah mencapai ± Rp 478 Milyar. Dari data tersebut tampak keseriusan pemerintah dan stakeholder (pemegang IUPHHK) dalam membangun hutan tanaman di Provinsi Kaliamantan Timur sangat tinggi. Artinya terlihat ada keinginan dari semua pihak untuk membangun lahan yang sudah tidak produktif untuk memenuhi target pembangunan hutan tanaman secara nasional, walaupun dalam pelaksanaannya belum maksimal. Indikator belum maksimalnya dalam pembangunan hutan tanaman diantaranya adalah masih ada konflik sosial antara pemegang IUPHHK hutan tanaman dengan masyarakat setempat berkaitan dengan lahan atau areal yang dijadikan pembangunan hutan tanaman. D. Permasalahan dalam Pembangunan Hutan Tanaman di Provinsi Kalimantan Timur 1) Ketidak jelasan dan ketidak tegasan pemerintah sebagai regulator dalam kaitannya dengan hakhak adat atas lahan masyarakat maupun hukum adat, berdampak pada timbulnya konflik sosial yang berkepanjangan. Penanggulangan konflik sosial selama ini dilakukan hanya berdasarkan kepada kesepakatan antara pihak yang berselisih. 2) Kelembagaan atau organisasi sosial masyarakat setempat masih belum berjalan secara optimal. Dilain pihak para pejabat di daerah juga umumnya belum bisa berperan secara memadai, dalam upaya mencari solusi terhadap permasalahan - permasalahan yang muncul di masyarakat di wilayah kewenangannya. Diharapkan agar adanya tokoh adat, tokoh agama maupun pejabat daerah yang dapat m e n g ko n s o l i d a s i k a n ke a d a a n d i m a n a kepentingan pemerintah, masyarakat dan perusahaan dapat berjalan beriringan saling menghormati dan menghargai peran masingmasing, sehingga investasi yang ada dapat terjaga, lapangan kerja bisa tumbuh secara proporsional, dan pembangunan di daerah berjalan baik. 3) Birokrasi yang berbelit dalam pemberian ijin IUPHHK-HTI. Adanya niat pemerintah untuk memberikan kemudahan, penyederhanaan, memperpendek dan mempercepat prosedur perolehan ijin IUPHHK-HTI harus terus diupayakan. 40
4) Provokasi, tuntutan, gugatan/klaim masyarakat setempat terhadap tata batas lahan adat atau hutan adat (land tenure). Umumnya konflik sosial akan lebih berkembang dan sulit diatasi apabila ada pengaruh dari luar dan atau pihak-pihak yang mempunyai kepentingan lainnya. 5) Komunikasi yang lemah antar Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota), antar pemerintah dengan masyarakat, antara pemerintah dengan perusahaan pemegang IUPHHK-HTI dan perusahaan pemegang IUPHHK-HTI dengan masyarakat yang mempunyai hubungan yang kurang baik dan tidak berkembang dengan sehat, sering menjadi penyebab terjadinya konflik dan solusinya tidak pernah ditemukenali. Dari kelima permasalahan tersebut permasalahan yang paling dominan adalah ketidak jelasan dan ketidak tegasan pemerintah sebagai regulator dalam kaitannya dengan hak-hak adat atas lahan masyarakat maupun hukum adat, berdampak pada timbulnya konflik sosial yang berkepanjangan. IV. HASIL PEMBAHASAN A. Analisis SWOT Analisis SWOT dilakukan pada faktor lingkungan internal dan faktor lingkungan ekster nal, yang secara langsung dapat mempengaruhi usaha pembangunan hutan tanaman di Provinsi Kalimantan Timur. Faktorfaktor tersebut adalah sebagai berikut : 1. Faktor Internal a. Kekuatan (Strengths), yaitu faktor-faktor yang mempunyai kekuatan dalam pembangunan hutan tanaman di Provinsi Kalimantan Timur, seperti : Sumber Daya Hutan (SDH) meliputi luas, jenis pohon, potensi riap tinggi. Komitmen pemerintah yang tinggi untuk melestarikan hutan, memajukan industri dan menggalakan ekspor. Daya saing produk industri primer tinggi, net ekspor masih berlangsung. Komitmen semua pihak terhadap desentralisasi tinggi.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 33 - 47
Nilai aset (kapasitas) besar, orientasi ekspor, penguasaan teknologi cukup memadai. b. Kelemahan (Weaknesses), yaitu faktor-faktor yang diang g ap sebag ai kelemahan dalam pembangunan hutan tanaman di Provinsi Kalimantan Timur, seperti : Pendapatan dari HTI bersifat jangka panjang. Harga kayu hasil dari HTI lebih rendah (<) dari harga kayu hutan alam. Sulit memperoleh areal HTI yang solid dan bebas konflik (clean and clear). Usaha HTI harus berinvestasi terlebih dahulu. Ke l e m b a g a a n H T I l e m a h ( s i s t e m perundang-undangan belum terintegrasi). 2. Faktor Eksternal. a. Peluang (Opportunities), yaitu faktor-faktor yang dianggap menjadi peluang dalam pembangunan hutan tanaman di Provinsi Kalimantan Timur, seperti : Nilai produk kayu hutan tanaman tinggi. Tersedianya teknologi maju. Kepedulian masyarakat internasional terhadap hutan Indonesia. Pangsa pasar terbuka luas. Supply tenaga kerja cukup. b. Ancaman (Threats), yaitu faktor-faktor yang dianggap sebagai ancaman dalam pembangunan hutan tanaman di Provinsi Kalimantan Timur, seperti : Kesenjangan pendapatan dan ketidakadilan sosial, ekonomi dan lain sebagainya. Kemiskinan masyarakat disekitar hutan dan kesulitan dalam mengendalikan konflik sosial. Produktivitas tenaga kerja rendah. Illegal logging masih belum dapat diatasi. Penegakan hukum lemah. Dari faktor-faktor lingkungan (lingkungan internal dan lingkungan eksternal) yang berpengaruh dalam pembangunan hutan tanaman di Provinsi Kalimantan Timur, kemudian disusun faktor mana yang menjadi prioritas dalam penanganannya atau faktor yang lebih diutamakan untuk diselesaikan. Pada Tabel 7 dapat dilihat rekapitulasi hasil jawaban responden terhadap faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh dalam pembangunan hutan tanaman, hasil rekapitulasi tersebut diperoleh atas dasar jawaban responden terhadap kuisioner yang diberikan.
B. Strategi Pengembangan HTI dengan Pendekatan SWOT Untuk merumuskan strategi pembangunan hutan tanaman di Provinsi Kalimantan Timur digunakan analisis SWOT. Analisis SWOT dibatasi pada kajian sektoral dimana sektor kehutanan dan industri kehutanan ditetapkan sebagai lingkungan internal, sedangkan lingkungan eksternal mencakup keseluruhan lingkungan di luar sektor kehutanan dan industri kehutanan. Pada umumnya lingkungan internal dapat dikendalikan oleh institusi kehutanan yang terkait, baik institusi pemerintah maupun swasta, sedangkan lingkungan eksternal sulit untuk dikendalikan. Langkah awal dalam perumusan strategi pembangunan hutan tanaman di Provinsi Kalimantan Timur adalah melakukan identifikasi dan evaluasi terhadap faktor internal yang menjadi kekuatan dan kelemahan serta faktor eksternal yang menjadi peluang dan ancaman. Faktor internal meliputi empat aspek yaitu sumberdaya hutan tanaman, kelembagaan, industri perkayuan serta pasar, sedangkan faktor eksternal meliputi bidang sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan global. Faktor internal dan eksternal diindentifikasi, serta diberikan bobot (weightening) dan peringkat (rating) untuk menentukan 5 (lima) faktor yang paling dominan dalam masing-masing kolom kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities) dan ancaman (threats). Selanjutnya faktor-faktor yang paling dominan tersebut dimasukkan dalam matriks SWOT untuk menentukan sub strategi S-O (kekuatan-peluang), sub strategi S-T (kekuatan-ancaman), sub strategi W-O (kelemahan-peluang), dan sub strategi W-T (kelemahan-ancaman). Hasil analisa SWOT menghasilkan empat kemungkinan strategi alternatif, yaitu : 1. Strategi SO (Strength and Opportunities), yaitu strategi yang mengoptimalkan kekuatan ( strength ) untuk memanfaatkan peluang (opportunities), yaitu : a. Pengelolaan Sumber Daya Hutan (SDH) hutan tanaman secara intensif dan kompetitif b. Pengembangan industri perkayuan berorientasi ekspor. c. Pengembangan ekspor produk kayu hutan tanaman yang mempunyai nilai tambah tinggi
Strategi Pembangunan Hutan Tanaman di Provinsi Kalimantan Timur (Epi Syahadat)
41
Tabel 7. Rekapitulasi Faktor-faktor Lingkungan Yang Menjadi Perioritas Utama. Table 7. Recapitulation Environment Factors as a First Priority No 1
2
Uraian/Description Faktor Lingkungan Internal a. Kekuatan : Sumber Daya Hutan (SDH) luas, jenis beragam, potensi riap tinggi belum termanfaatkan. Komitmen semua pihak terhadap desentralisasi tinggi. Komitmen pemerintah untuk melestarikan hutan, memajukan industri dan menggalakan ekspor tinggi. Daya saing produk industri primer tinggi, net ekspor masih berlangsung. Nilai aset (kapasitas) besar, orientasi ekspor, penguasaan teknologi cukup memadai. b. Kelemahan : Pendapatan dari HTI bersifat jangka panjang. Usaha hutan alam lebih menarik dibandingkan dengan usaha HTI. Kelembagaan HTI lemah (sistem perundang-undangan belum terintegrasi). Sulitnya memperoleh areal HTI yang solid dan bebas konflik (clean and clear). Harga kayu hasil dari HTI lebih kecil (<) dari harga kayu hutan alam. Faktor Lingkungan Eksternal a. Peluang : Kepedulian masyarakat internasional terhadap hutan Indonesia. Tersedianya teknologi maju. Pangsa pasar terbuka luas. Supply tenaga kerja cukup Nilai produk kayu hutan tanaman tinggi. b. Ancaman : Penegakan hukum lemah. Kesenjanmgan dan ketidak adilan faktor sosial, ekonomi dan lain sebagainya. Illegal logging masih belum dapat diatasi. Kemiskinan masyarakat disekitar hutan dan kesulitan dalam mengendalikan konflik sosial. Produktivitas tenaga kerja rendah.
Sumber (Source) : Data diolah (Calculated data)
2. Strategi WO (Weaknesses and Opportunities), yaitu strategi yang meminimalkan kelemahan (weaknesses) untuk memanfaatkan peluang (opportunities), yaitu : a. Pengelolaan hutan tanaman yang ada secara ekstensif dan pemanfaatan sumber bahan baku alternatif b. Pengembangan industri perkayuan sekunder yang berorientasi pasar domestik tanpa mengabaikan produk kayu primer untuk di ekspor c. Pengembangan pasar domestik produk kayu dari hutan tanaman. 3. Strategi ST (Strength and Threats), yaitu strategi yang menggunakan kekuatan (strength) untuk mengatasi ancaman (threats), yaitu : 42
a. Pengelolaan hutan tanaman intensif dan kolaboratif. b. Pengembangan industri perkayuan sekunder berskala kecil dan menengah yang mampu menyesuaikan dengan perubahan pasar dan teknologi. c. Diversifikasi produk dan pengalihan pasar. 4. Strategi WT (Weaknesses and Threats), yaitu strategi yang meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan menghindari ancaman (threats), yaitu : a. Pembangunan hutan tanaman pada lahan non produktif secara kolaboratif. b. Pemanfaatan sumber bahan baku alternatif dan peningkatan efisiensi pengolahan c. Mempertahankan pasar yang ada atau mengalihkan pasar.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 33 - 47
Berdasarkan hasil analisis SWOT, pembangunan hutan tanaman di Provinsi Kalimantan Timur masuk dalam Kuadran Pertama pada diagram SWOT (lihat Gambar 2). Alternatif strategi yang digunakan adalah SO (Strength and Opportunities), dengan pertimbangan bahwa hutan tanaman mempunyai potensi yang cukup besar untuk dipasarkan, akan tetapi belum termanfaatkan secara optimal. Untuk itu dalam mengembangkan pembangunan hutan tanaman di Provinsi Kalimantan Timur harus menciptakan strategi dengan menggunakan kekuatan (strength) untuk memanfaatkan peluang (opportunities). Atas dasar hasil analisis lingkungan internal dan lingkungan eksternal (SWOT) tersebut, maka kebijakan pembangunan hutan tanaman di Provinsi Kalimantan Timur diarahkan untuk : 1. Memberi kesempatan kepada semua pihak (stakeholders) dalam membangun hutan tanaman, mengikutsertakan stakeholder tersebut dengan harapan dapat mendukung peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan masyarakat serta mendorong kelestarian sumber daya alam. 2. Meningkatkan keterpaduan perencanaan pengembangan wilayah yang mampu menjadi penggerak perekonomian lokal dan nasional secara berkesinambungan. 3. Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya konservasi sumber daya alam. C. Aspek dalam Pembangunan Hutan Tanaman Dalam pembangunan hutan tanaman, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan, yaitu : 1. Arah pembangunan nasional Arah pembangunan nasional ditujukan untuk menumbuhkan perekonomian nasional maupun daerah, meningkatkan devisa, mendorong pembangunan daerah, memperluas dan memberikan kesempatan kerja dan usaha yang dapat meningkatkan PAD maupun kesejahteraan masyarakat luas, memperkaya dan memantapkan budaya bangsa. Pembangunan hutan tanaman harus tetap mengacu pada kebijakan pembangunan kehutanan nasional. 2. Perencanaan kawasan Dalam pembangunan hutan tanaman tidak terlepas dari rencana pengelolaan kawasan. Oleh
karenanya pembangunan hutan tanamn harus direncanakan secara matang agar tidak menimbulkan kerusakan kawasan. Hutan tanaman hanya dikembangkan pada areal kosong dan hutan alam yang rusak berat (tidak memungkinkan untuk terjadinya suksesi secara alami) dengan fungsi kawasan hutan produksi. 3. Pengelolaan lingkungan Aspek lingkungan sangat penting untuk diperhatikan agar dalam pengembangannya tidak menimbulkan kerusakan potensi sumber daya alam. K aidah-kaidah konser vasi har us diperhatikan untuk menjaga keutuhan sumber daya alam yang merupakan modal utama dalam pembangunan hutan tanaman. 4. Sosial, ekonomi dan budaya Disamping memberikan manfaat langsung dengan menciptakan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha kepada masyarakat setempat, pembangunan hutan tanaman harus peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya, kearifan tradisional dan struktur masyarakat agar tidak menimbulkan konflik dalam pelaksanaannya. 5. Penataan ruang Dalam mendukung pembangunan hutan tanaman, kebijakan penataan ruang dilakukan dengan pendekatan secara terpadu dan terkoordinasi, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Peningkatan keterkaitan fungsi pembangunan hutan tanaman dengan sektor lain dan pemanfaatan rencana pengembangan wilayah secara nasional yang dalam hal ini harus terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), RTRK, RTRWP serta aturan-aturan dan kesepakatan di daerah. 6. Peraturan perundangan Pembangunan hutan tanaman dilakukan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan konvensi internasional dalam pengelolaan sumber daya alam dan ekosistemnya. 7. Target Fisik (jangka panjang) Terbentuknya hutan tanaman pada areal kosong dalam unit-unit usaha yang ekonomis, mandiri dan lestari dengan luas setara luas lahan kosong. Tidak terdapat areal kosong, padang alangalang dan semak belukar di dalam kawasan hutan produksi.
Strategi Pembangunan Hutan Tanaman di Provinsi Kalimantan Timur (Epi Syahadat)
43
Berkembangnya kelembagaan ekonomi masyarakat lokal yang mantap dan mandiri dengan tingkat kesejahteraan di atas rata-rata nasional. 8 Langkah masa transisi (jangka pendek) Mendorong peningkatan peran dana swasta dalam perusahaan HTI Patungan melalui proses restrukturisasi pendanaan. Mengadakan evaluasi kinerja perusahaan HTI, serta membatalkan ijin bagi pelaksana yang tidak serius. Menyelesaikan kasus per kasus konflik lahan HTI dengan masyarakat lokal dengan prinsip tidak melepaskan kawasan hutan melalui
pengembangan kemitraan dan budidaya tanaman non hutan yang cepat menghasilkan. Mengupayakan iklim kondusif dalam investasi HTI melalui deregulasi dan debirokratisasi dalam pelayanan, antara lain menyederhanakan prosedur perijinan, persyaratan permohonan, mengembangkan self approval (RKT dan FS tidak perlu disahkan oleh pemerintah), membantu kepastian pasar. Menyusun perangkat peraturan perundangundangan, sekaligus mencabut yang sudah tidak relevan.
Tabel 8. Lingkungan Internal Table 8. Internal Environment No A
Faktor/Factors Kekuatan Sumber Daya Hutan (SDH) luas, jenis beragam, potensi riap tinggi belum termanfaatkan. Komitmen semua pihak terhadap desentralisasi tinggi. Komitmen pemeri ntah untuk melestarikan hutan, memajukan industri dan menggalakan ekspor tinggi. Daya saing produk industri primer tinggi, net ekspor masih berlangsung. Nilai aset (kapasitas) besar, orientasi ekspor, penguasaan teknologi cukup memadai.
Bobot/weight
Peringkat/Rating
0,107
3
0,321
0,101
4
0,404
0,099
3
0,297
0,101
2
0,202
0,095
3
0,285 1,509
B
Kelemahan Pendapatan HTI jangka panjang. Usaha hutan alam lebih menarik dibandingkan dengan usaha HTI. Kelembagaan HTI lemah (sistem perundangundangan belum ter-integrasi) Sulitnya memperoleh areal HTI yang solid dan bebas konflik. Harga kayu hasil dari HTI lebih kecil (<) dari harga kayu hutan alam. Jumlah
44
(0,107) (0,095)
3 2
(0,321) (0,190)
(0,101)
2
(0,202)
(0,097)
3
(0,291)
(0,097)
2
(0,194)
1
(1,198) 0,311
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 33 - 47
Tabel 9 Lingkungan Eksternal Table 9 External Environment No A
B
Faktor/Factors Peluang Kepedulian masyarakat internasional terhadap hutan Indonesia. Tersedianya teknologi maju. Pangsa pasar terbuka luas. Supply tenaga kerja cukup. Nilai produk kayu hutan tanaman tinggi.
Bobot/Weight
Peringkat/Rating
0,097
3
0,291
0,101 0,102 0,099 0,097
3 3 3 3
0,303 0,306 0,297 0,291 1,488
(0,102) (0,095)
2 3
(0,204) (0,285)
(0,089) (0,101)
3 3
(0,267) (0,303)
(0,107)
3
(0,321) (1,380) 0,108
Ancaman Penegakan hukum lemah. Pemerataan dan ke tidak adilan faktor sosial, ekonomi dan lain sebagainya. Illegal logging masih belum dapat diatasi. Kemiskinan masyarakat di sekitar hutan dan kesulitan dalam mengendalikan konflik sosial. Produktivitas tenaga kerja rendah. Jumlah
1
Gambar Diagram Analisa SWOT di Provinsi Kalimantan Timur Lingkungan Eksternal 1
Peluang
0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 -1
-0,9
-0,8 -0,7
-0,6
-0,5
-0,4 -0,3
-0,2
Kekuatan
-0,1
Lingkungan Internal
0,1
Kelemahan
0,2 0,3 0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1
-0,1 -0,2 -0,3 -0,4 -0,5 -0,6 -0,7 -0,8 -0,9 -1
Ancaman
Gambar 2. Diagram Analisa SWOT Figure 2. SWOT Analisys Diagram
Strategi Pembangunan Hutan Tanaman di Provinsi Kalimantan Timur (Epi Syahadat)
45
Tabel 10. Analisis Lingkungan Internal dan Eksternal Strategi Pengembangan Hutan Tanaman di Provinsi Kalimantan Timur Table 10. Internal and External Environment Strategy Forest Plantataion Developement in East Kalimantan Province
Sumber (source): Data diolah (calculated data)
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Jaminan kepastian usaha merupakan hal yang sangat penting dan harus dicarikan solusinya, karena merupakan prasyarat utama sebelum perusahaan menanamkan modalnya. 2. Pembangunan HTI Trans kayu pertukangan masih mempunyai kendala khususnya dalam permodalan, terutama setelah dana pinjaman
46
DR dan PMP di stop sejak tahun 1998. 3. Pembangunan HTI Pulp masih berjalan sesuai rencana, karena kebanyakan merupakan grup dari pabrik kertas, sehingga ada jaminan kepastian pemasaran kayunya. 4. Tanpa adanya law enforcement yang nyata, maka nilai dari hutan alam akan tetap seperti saat ini dan illegal logging akan terus berkembang dan tidak jarang industri memanfaatkan hasil-hasil kayu illegal logging dengan harga yang murah.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 33 - 47
B. Saran 1. Membangun dialog dan komunikasi dengan masyarakat sekitar areal pembangunan hutan tanaman agar terjalin hubungan yang baik antara masyarakat dengan pemegang IUPHHK-HT untuk meminimalkan konflik sosial. 2. Membentuk forum komunikasi, mengembangkan konvensi : mekanisme penyelesaian konflik dan kompensasi yang melibatkan semua pihak (masyarakat, pemerintah, perusahaan, LSM, tokoh adat, tokoh agama dan lain-lain). 3. Diadakan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar areal IUPHHK-HT untuk mencegah terjadinya konflik sosial. 4. Kejelasan serta kepastian hak adat atas lahan dan hukum adat perlu diupayakan untuk dipertegas dan diformalkan oleh pemerintah sehingga efektivitas dalam pengelolaannya bisa lebih optimal. 5. Adanya upaya untuk menarik investor dengan melakukan pengelompokkan kembali areal HTI dan memberikan izin untuk melakukan penanaman jenis tanaman campuran dalam areal tersebut. DAFTAR PUSTAKA Anonim 2006. Workshop Program Jeringan Kerja. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. Anonim, 2009. Direktorat Bina Pengembangan HTI. Mempercepat Pembangunan HTI Menuju Tahun 2009. Seminar Pembangunan HTI dan Pengembangan Industri Pulp di Indonesia. Jakarta.
Dirjen BUK, 2011. Data Release Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan Tahun 2011. Jakarta. Dinas Kehutanan Kalimantan Timur, 2008. Laporan Tahunan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur. Samarinda. Dinas Kehutanan Kalimantan Timur, 2011. Statistik Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2011 . Samarinda. Dirjen Planologi, 2011. Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan. Direktorat Wilayah Peng elolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan. Dirjen Planologi. Jakarta. Hendromono, Arisman. 2001. Prosiding Pembangunan Hutan Tanaman Di I n d o n e s i a . P u s a t Pe n e l i t i a n d a n Pengembangan Tanaman Hasil Hutan. Yogyakarta. IWGFF, 2010. Perkiraan Penggunaan Sumber Bahan Baku Industri Pulp dan Paper. Studi Advokasi PT. RAPP dan PT. IKPP di Povinsi Riau. Jakarta. Rangkuti, F. 2006. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis : Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk menghadapi Abad 21, Cetakan kedua belas, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sugiyono., 2004. Metode Penelitian Bisnis. Cetakan Ketujuh. Alfabeta. Bandung.
Strategi Pembangunan Hutan Tanaman di Provinsi Kalimantan Timur (Epi Syahadat)
47
ANALISIS BIAYA PENGGUNAAN BERBAGAI ENERGI BIOMASSA UNTUK IKM (Studi Kasus di Kabupaten Wonosobo) (Cost Comparation Analysis of Wood Waste Fuels for SMI (Case Study in Wonosobo District)) 1,2,3
Sylviani ¹, Hariyatno Dwiprabowo², Elvida Yosefi Suryandari ³ Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan, Jl. Gunung Batu No 5, Bogor 16118. Telp (0251) 8633944 Fax: (0251) 8634924 Email:
[email protected],
[email protected] Diterima 19 Oktober 2011, disetujui 11 Februari 2013 ABSTRACT
Scarcity of non renewable energy sources drives the industry to use renewable fuels. One of renewable energy sources is waste product from the wood processing industry such as sawdust and wood pellets. The study was conducted in District of Wonosobo on some Small and Medium Scale Industry (SMI) of food and beverage. Tests of wood pellets are conducted at tofu and tempe industries in Cianjur District. The research method used was a cost analysis to compare the costs of different types of fuels. The results showed that the fuel cost using wood pellets was the smallest (2.3%) of the cost of production compared to using other fuels, while tempe production cost using wood pellets showed values 5.5%. Using wood pellets fuel have advantages such as: saving in storage, cooking time is relatively short, and low ash and emissions. Wonosobo District has high potential for the development of wood pellet, because it has state forests and forest communities are quite extensive. Wood pellets is efficient enough for use in processing industrial. However, it needs the cooperation and coordination of the stakeholders to develop the wood pellets that can be used widely. Keywords: renewable energy, wood pellets, and the coordination of the stakeholders ABSTRAK
Kelangkaan sumber energi yang tidak terbarukan mendorong industri menggunakan bahan bakar terbarukan. Salah satu sumber energi terbarukan adalah limbah kayu dari industri penggergajian seperti serbuk gergajian dan pelet kayu. Penelitian dilakukan di Kabupaten Wonosobo pada beberapa Industri Kecil Menengah (IKM) makanan dan minuman (mamin). Uji coba menggunakan pelet kayu dilakukan di Kabupaten Cianjur pada industri tahu dan tempe. Metode penelitian dilakukan dengan menggunakan analisis biaya untuk mengetahui perbandingan biaya penggunaan berbagai jenis bahan bakar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya bahan bakar menggunakan pelet kayu menunjukkan nilai yang terkecil (2,3%) dari biaya produksi dibandingkan dengan menggunakan bahan bakar lainnya, sedangkan biaya produksi tempe menggunakan pelet kayu menunjukkan nilai yang tinggi 5,5%. Pelet kayu merupakan bahan bakar yang memiliki kelebihan antara lain : hemat dalam penyimpanan, waktu memasak yang relatif singkat, dan rendah tingkat abu dan emisi. Kabupaten Wonosobo mempunyai potensi yang tinggi untuk pengembangan bahan bakar pelet kayu karena memiliki hutan negara dan hutan rakyat yang cukup luas. Pelet kayu merupakan bahan bakar yang cukup efisien untuk dikembangkan penggunaannya dalam industri. Namun demikian, perlu kerjasama dan koordinasi para pihak untuk mengembangkan pelet kayu agar dapat dimanfaatkan secara luas. Kata kunci: energi terbarukan, pelet kayu, dan koordinasi para pihak
I. PENDAHULUAN Kebutuhan sumber energi yang tidak terbarukan (konvensional) dalam pembangunan, utamanya di dunia industri mengalami perkembangan yang sangat pesat, seperti minyak bumi, batu bara dan gas, dimana sumber energi tersebut terus mengalami kenaikkan harga. Indonesia mengalami defisit Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam jumlah besar, dimana pada tahun 2004 sudah mencapai 48
17,8 juta kilo liter (kl). Defisit yang sangat besar ini dipenuhi melalui impor BBM yang mengurangi devisa negara dan pinjaman luar negeri untuk menutup subsidi BBM. Sejak tahun 2005 harga BBM termasuk minyak tanah mengalami kenaikan menjadi Rp 2.750/lt; dan pada tahun 2009 melonjak menjadi Rp 8500/lt (BPS Wonosobo, 2010). Dampak kenaikan harga minyak tanah dirasakan berat oleh Industri Kecil Menengah (IKM) yang produktivitasnya relatif rendah.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 48 - 60
Di Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah tercatat ada 4.316 unit IKM makanan dan minuman (Mamin) yang menyerap tenaga kerja hingga 12.118 orang karena merupakan industri padat karya (Dinas Perindustrian 2011). Sebelum tahun 2005 banyak IKM Mamin yang menggunakan minyak tanah, namun dengan kelangkaan dan tingginya harga minyak tanah mendorong IKM untuk menggunakan bahan bakar yang lebih murah seperti gas, kayu bakar hingga serbuk gergajian yang merupakan energi terbarukan. Menurut Sukanto Reksohadiprojo (1994) dalam Hetty Herawati (Sumber Daya Energi, 2012) ,sumber daya energi yang dapat diperbaharui/non konvensional merupakan sumber daya energi yang dapat diperbaharui atau dapat diisi kembali atau tidak terhabiskan (renewable) adalah sumber daya energi yang bisa dihasilkan kembali baik secara alamiah maupun dengan bantuan manusia. Salah satu bentuk energi yang terbarukan dan mulai dikembangkan saat ini adalah pelet kayu. Bahan baku pelet kayu berupa limbah eksploitasi seperti sisa penebangan, cabang dan ranting, limbah industri perkayuan seperti sisa potongan, serbuk gergaji dan kulit kayu hingga limbah pertanian seperti jerami dan sekam (Sanusi, 2010). Pelet kayu memiliki ukuran berdiameter 6-8 mm dan berukuran panjang 10-30 mm, dan dalam kondisi kering. Pelet menghasilkan panas kurang lebih 4,9 kwh/kg karena memiliki kadar air yang rendah (8-10%), kadar abu (0,5-1%) dengan kerapatan 650 kg/m³. Satu kilogram pelet kayu menghasilkan panas setara dengan setengah liter minyak (Leaver, 2008). Sebagai upaya memilih bahan bakar yang efektif dan efisien untuk UKM Mamin, maka penelitian dilakukan di Kabupaten Wonosobo. Tujuan penelitian antara lain : (1) Identifikasi jumlah IKM di Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah, yang menggunakan berbagai energi terbarukan sebagai bahan bakar; (2) Perbandingan biaya penggunaan energi yang tidak terbarukan dan yang terbarukan pada beberapa IKM di Kabupaten Wonosobo (3) Potensi penggunaan sumber energi pelet kayu sebagai bahan bakar alternatif. IKM mamin yang mer upakan sampel yaitu industri yang memproduksi tempe dan tahu sekala rumah tangga yang menggunakan bahan bakar terbarukan dan tidak terbarukan. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada para IKM
terutama Mamin untuk menggunakan bahan bakar yang terbarukan sebagai subsitusi bahan bakar yang tidak terbarukan. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah, dengan pertimbangan bahwa terdapat industri IKM mamin yang menggunakan bahan bakar yang terbarukan berupa serbuk gergajian. Selain itu terdapat juga pabrik yang memproduksi bahan bakar terbarukan berupa pelet kayu skala eksport dengan bahan baku jenis kayu campuran, namun jenis sengon lebih banyak penggunaannya. B. Pengumpulan Data Data dikumpulkan dengan metode wawancara, pencatatan dan pengamatan langsung di lapangan dengan obyek penelitian beberapa para pihak terkait, lebih jelas metode penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. C. Analisis Data Dalam rangka menganalisis penggunaan bahan bakar, harga bahan bakar IKM mamin dilakukan melalui proses tabulasi data dan pembahasan secara diskriftif kuantitatif dan kualitatif sedangkan untuk mengetahui perbandingan biaya menggunakan bahan bakar terbarukan dan bahan bakar yang tidak terbarukan dilakukan melalui proses perhitungan selisih antara nilai jual per satuan produk dengan jumlah biaya produksi yang dikeluarkan. Biaya atau cost adalah pengorbanan yang dilakukan untuk memperoleh suatu barang ataupun jasa yang diukur dengan nilai uang, baik itu pengeluaran berupa uang, melalui tukar menukar ataupun melalui pemberian jasa, sedangkan ongkos atau expense adalah pengeluaran untuk memperoleh pendapatan (Rony, 1990). Biaya produksi dikategorikan menjadi tiga jenis biaya yakni (1) Biaya Bahan Baku Langsung (Direct Material Cost) yaitu apabila bahan tersebut merupakan bagian integral dari proses produksi. (2) Biaya Buruh Langsung (Direct Labor Cost) yaitu biaya yang dikeluarkan untuk pembayaran upah kepada buruh yang langsung terlibat dalam proses produksi. (3) Biaya Pabrik
Analisis Biaya Penggunaan Berbagai Energi Biomassa untuk IKM ..... (Sylviani , Hariyatno Dwiprabowo & Elvida Yosefi Suryandari )
49
Table 1. Metode Pengumpulan Data Table 1. Collecting data method
Lainnya (Factory Overhead Cost) adalah semua biaya pabrik yang bukan biaya bahan baku langsung dan buruh langsung. Hasil pengumpulan data dan informasi tentang nilai dan volume selanjutnya dalam menganalisis nilai pembiayaan, penerimaan, keuntungan pengolahan tahu dan tempe maka diadakan analisis sebagai berikut. Untuk mengetahui besarnya pembiayaan yaitu biaya produksi tahu dan tempe dengan rumus sebagai berikut (Rahmawati, 2009).
TC = FC + VC TC = Biaya Total / Total Cost (Rp) FC = Biaya Tetap / Fixed Cost (Rp) VC = Biaya Variabel / Variable Cost (Rp) Besarnya penerimaan yang diperoleh oleh pengerajin tahu dan tempe dapat dipengaruhi oleh besarnya produksi dan harga jual dari tahu yang dihasilkan Untuk meng etahui besar nya penerimaan, perhitungan dilakukan melalui 50
rumusan sebagai berikut : TR = Y . PY dimana : TR = Penerimaan Total / Total Revenue (Rp) Y = Jumlah produksi tahu dan tempe (kg) Py = Harga rata-rata tahu dan tempe (Rp/kg) Dari hasil perhitungan biaya produksi dan penerimaan, selanjutnya dapat diketahui besarnya keuntungan yang diperoleh. Untuk mengetahui besarnya keuntungan secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut : Π = TR TC dimana : Π = Keuntungan / laba (Rp) TR = Penerimaan Total / Total Revenue (Rp) TC = Biaya Total / Total Cost (Rp) Dengan diketahui besarnya biaya dan keuntungan yang diperoleh selanjutnya dilalukan
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 48 - 60
analisis perbandingan biaya dan keuntungan dari masing-masing produk yang menggunakan bahan bakar yang terbarukan dan tidak terbarukan dalam suatu proses produksi . III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Potensi Industri Makanan dan Minuman (Mamin) di Kabupaten Wonosobo Sebagai salah satu sektor andalan, perkembangan sektor IKM cukup menentukan kondisi per-
ekonomian Kabupaten Wonosobo, demikian pula halnya dengan sub sektor industri sedang, kecil dan rumah tangga yang merupakan bagian tak terpisahkan dari total keseluruhan sektor industri. Industri mamin tahu, tempe dan gula (GTT) di Kabupaten Wonosobo kebanyakan berupa industri rumah tangga. Sebanyak 6.893 unit usaha industri minuman dan makanan berupa industri padat karya yang memproduksi makanan khas tradisional (GTT). IKM merupakan Binaan Industri Agro Dinas Perindustrian Kondisi industri makanan dan minuman GTT di Kabupaten Wonosobo disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Industri Makanan dan Minuman di Kabupaten Wonosobo Table 2. Food and Beverage Industry in Wonosobo District No Produk Unit Tenaga Nilai investasi Kapasitas (Product) usaha Kerja (Invesment produksi (Unit) (Labor) Value) (Production (Rp 000) Capacity) (kg) 1
Gula
2 3
Tempe Tahu Total
% GTT
Nilai Produksi (Production Value) (Rp.000)
5.409 1.417 67
10.329 2.880 242
1.737.152 567.697 747.900
4.741.101 4.557.412 6.044.646
23.133.274 37.372.470 13.600.455
Nilai Bahan Baku/Bahan Penolong ( Raw Material Value (Rp.000) 12.929.083 22.969.356 10.021.387
8.221
16.780
3.901.542
20.210.296
94.836.051
52.819.867
84
80
78
76
78
87
Sumber (source): Dinas Perindustrian Kabupaten Wonosobo (Industry Service of Wonosobo District) 2010
Berdasarkan data tersebut diatas, industri makanan dan minuman di kabupaten Wonosobo yang terbanyak adalah industri gula, tempe dan tahu (84%) dengan nilai produksi 78% dari semua industri mamin. Sementara industri lain dalam jumlah yang relatif kecil antara lain industri opak, rengginang, getuk dan kue kering. Berdasarkan informasi dari Dinas Perindustrian Wonosobo, sebagian besar industri Gula, Tempe dan Tahu (GTT) menggunakan bahan bakar terbarukan ber upa limbah kayu dan sebagian kecil menggunakan bahan bakar tidak terbarukan yaitu berupa minyak tanah. B. Perbandingan Biaya Penggunaan Bahan
Bakar pada Industri Tempe dan Tahu Berdasarkan pemilihan industri mamin jenis rumah tangga, pabrik tahu dan tempe merupakan industri yang banyak menggunakan bahan bakar
yang terbarukan yaitu serbuk gergaji dan kayu bakar /sebetan. Disamping itu juga sebagai bahan perbandingan dipilih beberapa industri tempe dan tahu yang menggunakan bahan bakar yang tidak terbarukan yaitu gas karena bahan bakar minyak tanah pabrik sudah tidak menggunakan lagi. Perhitungan perbandingan biaya pemakaian bahan bakar didasarkan atas struktur komponen biaya yang digunakan dalam proses produksi tahu tempe. Selanjutnya dihitung keuntungan yang diperoleh masing-masing produk dengan menggunakan bahan bakar yang berbeda 1. Biaya proses produksi tahu dan tempe dengan
bahan bakar yang berbeda Pabrik tahu ini adalah industri skala menengah yang menggunakan bahan bakar kayu bakar dan serbuk gergaji. Kayu bakar digunakan untuk mendidihkan air di boiler, kemudian uapnya disalurkan melalui pipa-pipa untuk merebus
Analisis Biaya Penggunaan Berbagai Energi Biomassa untuk IKM ..... (Sylviani , Hariyatno Dwiprabowo & Elvida Yosefi Suryandari )
51
terbarukan yaitu gas, sampel diambil pabrik tahu di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Dimana bahan bakar gas yang digunakan untuk kapasitas yang sama sebanyak 5 (lima) tabung atau senilai Rp 75.000, sementara biaya tenaga kerja sebesar Rp 80.000/3 orang, biaya tenaga kerja tinggi karena merupakan tenaga bulanan. Dalam rangka memperkenalkan bahan bakar yang terbarukan berupa pelet kayu penelitian dilakukan dengan uji coba pada salah satu pabrik tahu di Kabupaten Cianjur dengan menggunakan tungku yang sama. Hasil uji coba menunjukkan bahwa dalam proses perebusan kedelai menggunakan bahan bakar pelet kayu membutuhkan sebanyak 6 (enam) kg atau senilai Rp 12.000. Bahan pembantu yang digunakan hanya garam dan kunyit untuk produk tahu kuning. Biaya ini dimasukkan dalam komponen biaya lain termasuk juga biaya penyusutan dan pemeliharaan. Dengan bahan baku kedelai 50 kg dapat menghasilkan 50 kotak (isi 100 buah tahu) dengan harga per kotak bervariasi. Pengamatan dan uji coba yang dilakukan pada IKM tahu adalah untuk proses perebusan gilingan kedelai sebanyak 50 kg untuk masing-masing jenis bahan bakar dengan harga kedelai rata-rata Rp 7.000/kg. Dari hasil proses perebusan tersebut produk tahu yang dihasilkan sama sebanyak 50 papan atau kotak, namun jumlah satuan dan harga berbeda-beda. Nilai input dan output ini selanjutnya akan digunakan untuk menghitung besarnya biaya proses produksi dan besarnya keuntungan yang diperoleh. Lebih jelas jumlah biaya proses produksi yang digunakan untuk membuat tahu dapat dilihat pada Tabel 4.
gilingan kedelai selama 0,5 jam, sedangkan serbuk gergajian digunakan dengan memasukkan serbuk tersebut kedalam tunggu untuk merebus gilingan kedelai. Tungku serbuk gergajian dirancang sedemikan rupa untuk tempat memasukkan serbuk gergajian, lubang ventilasi dan lubang untuk cerobong asap. Serbuk gergajian yang dijadikan bahan bakar adalah serbuk gergajian yang kering oven. Setelah gilingan kedelai direbus kemudian disaring untuk diambil ampasnya sebagai makanan ternak atau diproses lanjutan untuk dijadikan produk oncom. Sementara itu pati dari rebusan ini diberi cuka sedikit sebagai penetral rasa selanjutnya dicetak dalam cetakan kayu. Di beberapa industri tahu di kabupaten Wonosobo memiliki kapasitas produksi yang bervariasi dari 50 - 200 kg kedelai/hari. Perhitungan biaya didasarkan atas kapasitas produksi 50 kg kedelai/tungku dengan harga kedelai Rp 7.000,-/kg. Proses perebusan gilingan kedelai dengan menggunakan kayu bakar, sebetan/bebetan kayu untuk kapasitas tersebut sebanyak 12 kg dengan harga Rp 1.500/kg. Tenaga kerja yang digunakan mendapat upah harian, untuk proses produksi tahu ini mengeluarkan biaya sebesar Rp 30.000/3 orang. Dengan kapasitas yang sama namun perebusan kedelai menggunakan bahan bakar serbuk gergajian, dibutuhkan sebanyak 4 (empat) karung dengan harga Rp 6.000/karung dengan tenaga kerja harian. Upah tenaga kerja sebesar Rp 58.000/3 orang. Sebagai bahan pembanding untuk pabrik tahu yang menggunakan bahan bakar yang tidak
Tabel 3. Input dan output produk tahu yang dihasilkan dengan empat jenis bahan bakar Table 3. Tofu input output with four kinds of energy Kayu bakar (Fire wood) No
Uraian (Discription)
1
Input Kedelai (kg) Bahan bakar
2
Output
Satuan (Unit)
Gas (Gas)
Pelet kayu (Wood Pellet)
Serbuk gergaji (Sawdust)
Nilai (Value) Rp
Satuan (Unit)
Nilai (Value) Rp
Satuan (Unit)
Nilai (Value) Rp
Satuan (Unit)
Nilai (Value) Rp
50 12 kg
7000 1500
50 5 tabung
7000 15000
50 6 kg
7000 2000
50 4 krng
7000 6000
50
13660
50
16500
50
14000
50
13000
(tahu/kotak)
52
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 48 - 60
Tabel 4. Jumlah biaya membuat tahu dengan beberapa jenis bahan bakar Table 4. Process production cost for tofu with kinds of energy No
Uraian (Discription)
1
Biaya tidak Tetap (Variable Cost) Bahan baku Bahan pembantu Bahan Bakar
2
Biaya Tetap (Fixed Cost) Tenaga Kerja Lainnya
Kayu Bakar (Fire Wood) 368.000 350.000 18.000 38.102 30.000 8.102
Jenis Bahan Bakar (Kinds of Energy) Serbuk Gergaji Gas (Sawdust) (Gas) 425.000 374.000 350.000 350.000 75.000 24.000 74.500 58.000 16.500
Pelet Kayu (Wood pellet) 362.000 350.000 12.000
85.784 80.000 5.784
47.028 35.000 12.028
3
Jumlah Biaya 406.102 448.500 510.784 409.028 (Total Cost) Lama memasak 1 jam 1 jam 1 jam 25 menit ( jerangan/jam) Keterangan (remarks); Proses produksi untuk 50 kg kedelai/tungku (Process production for 50 kg soyabeans/furnace)
Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk membuat tahu dari berbagai jenis bahan bakar. Biaya bahan bakar yang terbesar adalah menggunakan gas menyerap ± 17,6 % dari biaya tidak tetap sedangkan biaya bahan bakar lainnya yaitu kayu bakar, serbuk gergaji dan pelet kayu masing-masing 4,8 %, 6,4 % dan 3,3 %. Sementara itu untuk proses merebus gilingan kedelai menggunakan masing-masing bahan bakar menunjukkan bahwa bahan bakar pelet kayu lebih cepat yaitu hanya 25 menit sedangkan bahan bakar yang lain selama 1 (satu) jam. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan pelet kayu lebih efisien baik dari segi biaya maupun proses perebusan. Industri mamin lain yang dapat memenuhi kebutuhan pangan setiap hari adalah produsen tempe. Sama halnya dengan tahu bahan utama tempe juga adalah kedelai, dimana walaupun harga
terus meningkat namun permintaan cukup tinggi. Di Kabupaten Wonosobo terdapat cukup banyak produsen tempe dimana proses produksi masih tradisional dengan skala menengah dan kecil serta merupakan industri rumah tangga. Industri di bawah binaan industri agro Dinas Perindustrian ini tersebar di beberapa kecamatan dan desa. Desa Bumiroso merupakan sentra pembuatan tempe yang menggunakan bahan bakar kayu bakar /sebetan. Proses pembuatan tempe diawali dengan membersihkan kedelai menggunakan air bersih kemudian direndam di dalam ember/tong selama satu malam supaya kulitnya mudah lepas. Selanjutnya kedelai dikupas kulit arinya dengan cara diinjak-injak di dalam karung goni atau menggunakan mesin pengupas kedelai. Setelah dikupas dan dicuci bersih, kedelai dikukus dalam dandang selama 1 (satu) jam, kemudian angkat dan
Gambar 1. Pembuatan tahu menggunakan serbuk gergaji dan pelet kayu Figure 1. Tofu processing used firewood and wood pellet
Analisis Biaya Penggunaan Berbagai Energi Biomassa untuk IKM ..... (Sylviani , Hariyatno Dwiprabowo & Elvida Yosefi Suryandari )
53
dinginkan dalam tampah besar. Setelah dingin dicampur dengan ragi secukupnya, kemudian masukkan dalam plastik-plastik atau dibungkus daun pisang, dibiarkan selama 2 (dua) hari hingga jamur mulai tumbuh, tempe siap dikonsumsi. Kegiatan pengamatan dan uji coba yang sama dilakukan dalam pembuatan tempe dengan menggunakan bahan bakar terbarukan berupa kayu bakar/sebetan dan pelet kayu pada tungku serba guna yang telah didesain sebelumnya, sedangkan bahan bakar yang tidak terbarukan yaitu gas. Uji coba dilakukan untuk kedelai sebanyak 50 kg dengan harga pada saat itu Rp 8.000/kg. Jumlah produk yang dapat dihasilkan seperti terlihat pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa jumlah output yang dapat dihasilkan industri yang
menggunakan kayu bakar dan pelet kayu besarnya sama yaitu 90 kg tempe atau 180% dari input, sedangkan industri yang menggunakan gas output yang dihasilkan sebanyak 86 kg atau 172% dengan berbagai macam ukuran dan dengan harga yang berbeda. Kayu bakar yang digunakan sebanyak 28 kg seharga Rp 14.000 dan pelet kayu sebanyak 20 kg senilai Rp 26.000, sedangkan jumlah tabung gas hanya membutuhkan satu tabung. Biaya lain yang dapat ditimbulkan untuk memproduksi tempe ini adalah biaya bahan pembantu, tenaga kerja dan lainnya (pemeliharaan, penyusutan dan lainnya). Upah tenaga kerja untuk industri yang menggunakan kayu bakar dan pelet kayu Rp 30.000/orang/hari, jumlah tenaga kerja ada 3 (tiga) orang. Sementara untuk industri yang menggunakan gas upah tenaga kerja Rp 24.000/hari/orang
Tabel 5. Bahan baku dan produk tempe yang dihasilkan dengan tiga jenis bahan bakar Table 5. Input and output of tempe with three fuels Gas (Gas)
Kayu bakar (Fire wood) No 1
Uraian (Discription) Input Kedelai Ragi Plastik Daun Bahan bakar Output
2
Pelet kayu (Wood Pellet)
Satuan (Unit)
Nilai (Value) Rp
Satuan (Unit)
Nilai (Value) Rp
Satuan (Unit)
Nilai (Value) Rp
50 kg 0,5 bngks 28 kg
8000 15000 5000 500
50 kg 0,6 bngks 1 tbng
8000 15000 5000 4500 13125
50 kg 0,5 bngks 13 kg
8000 15000 3000 2000 2000
90
7500
30 24 32
3000 6000 8000
90
7500
Tabel 6. Jumlah biaya membuat tempe dengan beberapa jenis bahan bakar Table 6. Process production cost of tempe with various of fuels No 1
2
3
Uraian(Discription) Biaya tidak Tetap (Variable Cost) Bahan baku Bahan pembantu Bahan Bakar Biaya Tetap (Fixed Cost) Tenaga Kerja Lainnya Jumlah Biaya (Total Cost) Lama memasak (1 jerangan)
Jenis Bahan Bakar (Kinds of Fuels) (Rp) Kayu Bakar (Fire Gas Pelet Kayu Wood) (Gas) (Wood pellet) 426.500 431.625 438.500 400.000 12.500 14.000 33.140 30.000 3.140 459.640
400.000 18.500 13.125 24.875 18.000 6.875 456.500
400.000 12.500 26.000 33.140 30.000 3.140 471.640
1 jam 20 menit
1 jam
25 menit
Keterangan (Remarks): Pembuatan tempe dengan bahan bakar gas adalah hasil pengamatan (Tempe processing with gas is observation)
54
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 48 - 60
dengan jumlah tenaga kerja 3 (tiga) orang. Lebih jelas jumlah biaya memproduksi tempe dengan bahan bakar yang berbeda seperti pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa biaya bahan bakar proses pembuatan tempe dengan menggunakan gas dan kayu bakar hampir sama, sementara menggunakan pelet kayu jauh lebih tinggi. Dari ketiga bahan bakar yang diujicobakan, pelet kayu memasak dengan waktu 25 menit menghasilkan 90 unit tempe; paling cepat dibanding
bahan bakar lainnya. Proses perebusan kedelai jauh lebih cepat menggunakan pelet kayu, hal ini menunjukkan ada nilai positif yaitu penghantar panas lebih tinggi selain itu tidak menimbulkan asap (ramah lingkungan). Dari segi penyimpanan tidak membutuhkan tempat yang luas. Walaupun demikian jenis bahan bakar pelet kayu belum banyak diketahui oleh para pemilik industri rumah tangga, sehingga masih diperlukan sosialisasi dan potensi penyediannya.
Gambar.2. Pembuatan tempe menggunakan kayu bakar, gas dan pelet kayu Figure 2. Tempe processing with fire wood, gas and wood pelet 2. Keuntungan yang diperoleh produsen tahu tempe dengan bahan bakar yang berbeda Penilaian tingkat keberhasilan suatu unit usaha dapat diukur dari besar kecilnya keuntungan yang dapat diperoleh. Sebagai dasar perhitungannya adalah dengan mengetahui besarnya biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh. Berdasarkan hasil perhitungan biaya produksi yang dikeluarkan oleh IKM tahu tempe pada bab sebelumnya, selanjutnya dilakukan perhitungan besarnya keuntungan yang diperoleh untuk masingmasing produk. Lebih rinci besarnya keuntungan yang diperoleh untuk pembuatan tahu dengan menggunakan bahan bakar kayu bakar, gas dan pelet kayu seperti Tabel 7. Dalam proses pembuatan tahu terutama dalam pemotongan tidak ada standarnya akan dijadikan
berapa buah untuk siap dikonsumsi, namun ratarata dijadikan 100 hingga 110 potong /papan atau kotak dengan harga yang berbeda pula. Dari 50 kg kedelai dapat dijadikan tahu sebanyak 50 papan. Untuk industri yang menggunakan kayu bakar nilai jualnya adalah Rp 13.660/papan, industri yang menggunakan serbuk gergaji seharga Rp 13.000/ papan, sementara untuk industri yang menggunakan bahan bakar gas seharga Rp 16.500/papan, karena tahu berwarna kuning ini dilakukan perebusan ulang setelah dipotong-potong, sedangkan yang menggunakan bahan bakar pelet kayu harga jualnya Rp 14.000/papan. Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa besarnya keuntungan yang diperoleh masing-masing industri dengan bahan bakar yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda hal ini disebabkan
Tabel 7. Keuntungan produksi tahu dengan berbagai jenis bahan bakar Table 7. Profit of tofu production with kinds of Fuels
No Uraian (Discription)
Kayu Bakar (Wood energy 683.000
Jenis Bahan Bakar (Kinds of Fuels) Serbuk Gergaji Gas (Sawdust) (Gas) 650.000 825.000
Pelet Kayu (Wood pellet) 700.000
1
Nilai Penjualan (Sales)
2 3
Biaya Produksi (Production Cost)
406.102
448.500
510.784
409.028
Keuntungan (Profit)
276.898
201.500
314.216
290.972
Analisis Biaya Penggunaan Berbagai Energi Biomassa untuk IKM ..... (Sylviani , Hariyatno Dwiprabowo & Elvida Yosefi Suryandari )
55
karena harga jual dan jumlah produk yang dihasilkan berbeda walaupun jumlah bahan baku yang dibuat volumenya sama. Industri yang menggunakan bahan bakar serbuk gergaji menunjukkan nilai keuntungan yang terkecil, hal ini disebabkan karena biaya produksi yang tinggi terutama biaya tenaga kerja dibandingkan dengan industri yang menggunakan bahan bakar lainnya. Sama halnya dengan pembuatan tahu, uji coba pembuatan tempe juga dilakukan di Desa Muka Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Pengamatan dan uji coba dilakukan pada industri rumah tangga dengan menggunakan bahan bakar kayu bakar, gas dan pelet kayu. Dengan volume bahan baku kedelai sebanyak 50 kg uji coba dilakukan pada tiga tempat yang berbeda dengan bahan bakar yang berbeda. Pengamatan untuk bahan bakar kayu dan pelet dilakukan pada hari yang berbeda. Dari hasil pengamatan dan perhitungan biaya, maka dapat diketahui jumlah
produk yang dihasilkan serta harga jual masingmasing industri. seperti terlihat pada Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa nilai jual produk tempe masing-masing industri berbeda, dimana tempe yang menggunakan bahan bakar gas lebih tinggi dibanding yang lainnya. Hal ini disebabkan karena dalam proses perebusan gas dapat menghantarkan panas lebh ting gi dibandingkan dengan yang lain, sehingga kedelai akan mengembang lebih besar dan banyak. Berdasarkan hasil perhitungan komponen biaya proses produksi dan nilai output yang diperoleh masin-masing produk, selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 9 perbandingan keduanya dengan menggunakan bahan bakar yang berbeda. Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa perbedaan nilai jual, biaya produksi dan keuntungan diantar kedua produk tersebut menunjukkan perbedaan ter utama nilai keuntungan yang diperoleh dari nilai jual. Produk
Tabel 8. Keuntungan produksi tempe dengan berbagai jenis bahan bakar Table 8. Profit of tempe production with kinds of fuels Jenis Bahan Bakar (Kinds of Fuels) No
Uraian(Discription)
Kayu Bakar (Wood energy 675.000
Gas (Gas) 860.000
Pelet Kayu (Wood pellet) 675.000
1
Nilai Penjualan (Sales)
2
Biaya Produksi (Production Cost)
459.640
456.500
471.640
3
Keuntungan (Profit)
215.360
403.500
203.360
Tabel 9. Perbandingan biaya dan nilai output untuk tahu dan tempe berdasarkan beberapa jenis penggunaan bahan bakar Table 9. Comparation of cost and output value for tofu and tempe according to kinds of different fuels.
No 1
2
56
Uraian (Discription)
Jenis Bahan Bakar (Kinds of Fuels) (Rp) Kayu Bakar (Wood energy
Serbuk Gergaji (Sawdust)
Gas (Gas)
Pelet Kayu (Wood pellet)
Produk tahu Nilai Penjualan Biaya Produksi Keuntungan (%)
683.000 406.102 276.898 (40,5)
650.000 448.500 201.500 (31,0)
825.000 510.784 314.216 (38,0)
700.000 409.028 290.972 (41,5)
Produk tempe Nilai Penjualan Biaya Produksi Keuntungan
675.000 459.640 215.360 (31,9)
-
860.000 456.500 403.500 (46,9)
675.000 471.640 203.360 (30,1)
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 48 - 60
tahu keuntungan yang terkecil diperoleh dengan menggunakan bahan bakar serbuk gergaji dan yang terbesar menggunakan bahan bakar pelet kayu, sedangkan untuk tempe persentase keuntungan yang terbesar adalah dengan menggunakan bahan bakar gas dan yang terkecil dengan menggunakan bahan bakar pelet. Dapat dikatakan bahwa walaupun bahan bakar yang tidak terbarukan menunjukkan nilai yang tinggi untuk tempe, namun prospek kedepan untuk bahan bakar ini belum dapat dijamin keberlangsungan keberadaannya. Sementara untuk bahan bakar yang terbarukan besarnya potensi ketersediaan bahan baku dapat diatasi dengan ketersediaan lahan untuk penanaman jenis kayu kehutanan. Bahan bakar yang terbarukan berupa pelet kayu perlu diperkenalkan sebagai bahan bakar alternatif dan ketersediaannya dilakukan dengan mendirikan pabrik skala kecil dan menengah terintegrasi dengan industri gergajian atau industri perkayuan lainnya. C. Potensi Penggunaan Pelet Kayu sebagai
Bahan Bakar Alternatif Bahan bakar yang biasa digunakan di industri antara lain solar, batubara dan gas. Kadar kalori bahan bakar batubara berkisar antara 4.500 - 6.000 kcal, sedangkan gas alam 9.350 kcal (UNEP, 2005). Perubahan paradigma untuk menggunakan bahan bakar yang ramah lingkungan menjadi peluang untuk pengembangan energi biomasa seperti pelet
kayu. Peningkatan permintaan untuk pelet di Eropa dan penurunan biaya pengangkutan laut telah menciptakan peluang-peluang baru bagi pengembangan pelet kayu (Poyry, 2010). 1. Bahan bakar pelet kayu Pelet biomassa umumnya merupakan bahan bakar unggul bila dibandingkan untuk bahan baku mentahnya (misalnya serbuk gergajian). Pelet lebih padat dan memiliki energi yang besar, mudah untuk menangani, tidak perlu ruang penyimpanan yang besar, memiliki sifat yang ramah lingkungan, sehingga membuatnya sangat menarik untuk digunakan (Ciolkosz, 2009). Pelet yang berkualitas tinggi adalah : kering, keras, dan tahan lama, dengan jumlah abu yang tersisa setelah pembakaran rendah. Menurut Pelet Fuels Institute, pelet yang "premium" pelet harus memiliki kandungan abu kurang dari 1 %, sedangkan "standar" memiliki sebanyak 2 %. Berdasarkan Table 10 diatas, terlihat bahwa serbuk gergajian merupakan bahan baku yang baik untuk pelet biomasa dengan kadar abu kurang dari 1 %. Pelet kayu adalah salah satu tipe bahan bakar kayu, bahan bakar yang bebas dari unsur karbon, dibuat dari pengepresan serbuk gergaji. Bahan baku pelet kayu terdiri dari bebetan (limbah dari pabrik veneer), sebetan (limbah pabrik gergajian), serbuk gergajian (limbah pabrik gergajian) dan bacore dengan diameter kurang dari 10 cm (limbah veneer). Rendemen pelet dari serbuk gergajian 80%, sedang dari chip atau bebetan dari 1 m3 bahan baku
Tabel 10. Tipe pelet biomasa berdasarkan bahan baku Table 10. Biomassa of pellet type according to raw material Bulk density 3 (kg/m )
Energy content -1 (MJ kg )
Sawdust
606
20.1
0.45
Bark
676
20.1
3.7
Logging leftovers
552
20.8
2.6
Switchgrass
445
19.2
4.5
Wheat straw
475
16
6.7
Barley straw
430
17.6
4.9
Corn stover
550
17.8
3.7
Feedstock
Ash content (%)
Sumber (source): Ciolkosz (2009). Penn State Biomass Energy Center and Department of Agricultural and Biological Engineering. The Pennsylvania State University.
Analisis Biaya Penggunaan Berbagai Energi Biomassa untuk IKM ..... (Sylviani , Hariyatno Dwiprabowo & Elvida Yosefi Suryandari )
57
Gambar 3. Pelet kayu dari jenis Albasia (Sengon) dan Kaliandra Figure 1. Wood pellet of Albasia and Kaliandra 3
bisa menjadi 1,5 m serbuk gergajian dengan kadar air maksimal 10%. Pelet kayu sangat padat dan diproduksi dengan kadar kelembaban rendah (dibawah 10%) yang dapat dibakar dengan efisiensi pembakaran yang tinggi. Bahan baku pelet kayu berasal dari serbuk gergaji kayu, contohnya pelet kayu Albasia falcata (sengon). Dalam 1 kg pelet kayu memiliki kalori sebesar 4.500- 4.800 kcal. Saat ini di kabupaten Wonosobo terdapat pabrik pelet kayu dengan kapasitas 300.000 ton/tahun, dengan tujuan ekspor ke Korea sebagai bahan bakar tungku untuk penghangat ruangan. 2. Proses produksi Industri pelet yang terdapat di Kabupaten Wonosobo adalah industri PMA dibawa kepemilikan Korea yang menggunakan bahan baku serbuk gergajian, sebetan dan bebetan kayu sengon.
Pabrik ini memiliki 3 (tiga) mesin pelet dan 1 (satu) mesin rotary. Bahan baku pelet kayu terdiri dari bebetan (limbah dari pabrik veneer), sebetan (limbah sawmill), serbuk gergajian (limbah sawmill) dan bacore dengan diameter kurang dari 10 cm (limbah veneer). Rendemen pelet dari serbuk gergajian 80%, sedang dari chip atau bebetan dari 1 m3 bahan baku bisa menjadi 1,5 m3 serbuk gergajian dengan kadar air maksimal 10%. Limbah bebetan berasal dari CV Mekar Abadi yang terletak di depan lokasi pabrik pelet Solar Park, sedangkan sebetan dan serbuk gergajian berasal dari pabrik penggergajian dari kecamatan Sukoharjo, Leksono dan daerah lain dengan jarak hingga 30 km dari lokasi pabrik pelet. Bahan baku berupa bacore berasal dari Parakan dan Magelang. Ongkos pengangkutan bahan baku tersebut Rp 200.000/truk dengan
Gambar 4. Proses Produksi pelet kayu (Sumber PT Solar Park) Figure 4. Wood pellet process production 58
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 48 - 60
3
kapasitas 18 m /truk. Produksi perbulan berkisar dari 20 - 30 kontainer @18 ton/kontainer dengan tujuan ekspor Korea. Pelet kayu dijual dengan kemasan 20 kg hingga 900 kg, sedang penggunaan di Korea untuk PLTU dan kerjasama dengan perusahaan Samsung dan LG. 3. Biaya produksi pelet kayu Bahan baku pelet kayu antara lain sebetan, bebetan, serbuk gergajian dan bacore dengan ukuran 10 cm. Harga berbagai bahan baku serta biaya produksi pembuatan pelet kayu disajikan pada
Tabel 11. Berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa biaya produksi yang dihitung merupakan biaya langsung (direct cost) yang terdiri dari bahan baku, biaya tenaga kerja dan biaya angkut. Biaya bahan baku yang digunakan untuk memproduksi pelet kayu dari berbagai jenis sebanyak 142 m3/hari dengan total biaya Rp 3.156.556, sedangkan biaya tenaga kerja sebesar Rp 1.440.000/hari. Produksi yang dapat dihasilkan sebesar 9.000 kg/hari untuk 3 (tiga) buah mesin, harga produk Rp 1.300/kg.
Tabel 11. Harga Bahan Baku dan Pelet Kayu Albasia Table 11. Raw material and Albasian wood pellet price Harga/Price Jumlah/hari No Jenis/Type Rp /m3 Total/day(m3) Bahan baku 22.222 36 1 Sebetan Bebetan 22.222 18 Serbuk gergajian 22.222 70 Bacore (diameter 10 cm) 22.222 18 Biaya angkut 8 Biaya TK Biaya produksi 2 Produksi Rp/kg Kg Produksi pelet 1350 9000 FOB Semarang 167,5
Total/ Total (Rp) 800.000 400.000 1.555.556 400.000 1.577.778 1.440.000 6.173.334 12.150.000
Keterangan/ Information
Gaji / hari
3 mesin/hr : US$/ton
Sumber (source): PT Solar Park Wonosobo (Solar Park Manufacture Wonosobo)
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. IKM di Wonosobo khusus untuk tahu dan
tempe menggunakan bahan bakar yang terbarukan seperti kayu bakar, serbuk gergajian dan diperkenalkan jenis pelet kayu. Sementara hasil pengamatan di Kabupaten Cianjur ada pabrik tahu yang menggunakan bahan bakar tidak terbarukan yaitu gas. 2. Biaya bahan bakar yang dikeluarkan untuk memproduksi tahu menunjukkan nilai yang berbeda, dimana bahan bakar pelet kayu menyerap biaya yang terkecil yaitu 2,3% dari biaya produksi, sedangkan yang lainnya masingmasing untuk kayu bakar, serbuk gergaji dan gas
adalah 4,4 %, 5,3 % dan 14,7 %. Sementara untuk tempe biaya bahan bakar yang terkecil adalah menggunakan bahan bakar gas yaitu 2,9 %, sedangkan yang lain yaitu kayu bakar dan pelet kayu masing-masing 3,0% dan 5,5%. 3. Proses pengolahan baik tempe maupun tahu menggunakan bahan bakar terbarukan berupa pelet kayu membutuhkan waktu yang lebih sedikit yaitu 25 menit dibandingkan dengan menggunakan bahan bakar lainnya yaitu 1 (satu) sampai 1,5 jam. 4. Keuntungan yang didapat untuk memproduksi tahu yang terbesar adalah dengan menggunkan bahan bakar pelet 41,5 % dari nilai jual, sedangkan menggunakan bahan bakar lainnya masing-masing kayu bakar 40,5%, serbuk
Analisis Biaya Penggunaan Berbagai Energi Biomassa untuk IKM ..... (Sylviani , Hariyatno Dwiprabowo & Elvida Yosefi Suryandari )
59
gergaji 31 % dan gas 38 %, sedangkan keuntungan yang terbesar untuk memproduksi tempe adalah menggunakan bahan bakar gas yaitu 46,9 %, kayu bakar 31,9 % dan pelet kayu 30,1 % 5. Pemanfaatan limbah kayu dari industri pengolahan kayu saat ini sebagai bahan baku pelet kayu dikategorikan sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan karena rendah emisi/karbon netral. Penggunaan pelet kayu memiliki resiko yang kecil terhadap ketersediaannya, karena bahan bakunya terdiri dari limbah kayu gergajian maupun limbah veneer kayu.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Tengah. 2011. Industri Besar, Menengah dan Kecil Jateng. Semarang. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Wonosobo. 2010. Industri Besar, Menengah dan Kecil Kab. Wonosobo. Leaver, R. H., 2008. Fuel Pellet Kayu dan Pasar Residential, (12 Desember 2011). PT Solar Park. 2012. Proses Pembuatan Pelet Kayu Sengo. Wonosobo.
B. SARAN
Dari segi harga dan efisiensi penyimpanan, pelet kayu dapat bersaing dengan bahan bakar lain, oleh karena itu penting untuk dikembangkan di IKM mamin . Upaya yang diperlukan adalah kerjasama dan koordinasi antar pihak di daerah untuk mengembangkan pelet kayu. DAFTAR PUSTAKA BPS Wonosobo. 2011. Wonosobo dalam Angka. Kabupaten Wonosobo. Ciolkosz, D. 2009. Manufacturing Fuel Pellets from Biomass, Penn State Biomass Energy Center and Department of Agricultural and
60
Biological Engineering. Penn State Renewable and Alternative Energy Program: energy.extension.psu.edu. The Pennsylvania State University 2009.
Poyri. 2010. Biomass Pellet Trade Asia. Jakarta. www.futureenergyevents.com Rony, H. 1990. Akuntansi Biaya : Pengantar untuk Perencanaan dan Pengendalian Biaya Produksi. Lembaga Penerbit Fakultas UI. Jakarta. Rahmawati, E. 2009. Kajian Nilai Tambah Produk Agribisnis Kedelai Pada Usaha Aneka Tahu Maju Lestari Di Kecamatan Landasan Ulin Kota Banjarbaru. Universitas Lambung Mangkurat Sanusi, 2010. Karakteristik Pelet Kayu Sengon. Universitas Hasanuddin. Makassar.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 48 - 60
PERSEPSI DAN TINGKAT KETERGANTUNGAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA ALAM TAMAN NASIONAL AKETAJAWE LOLOBATA DI PROVINSI MALUKU UTARA (Communities Perception and Reliances on Natural Resources of Aketajawe Lolobata National Park in North Maluku Province) 1
Lis Nurrani , Supratman Tabba
2
1,2
Balai Penelitian Kehutanan Manado, Jl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas Kecamatan Mapanget Kota Manado Telp. (0431) 3666683 email :
[email protected] Diterima 28 November 2012, disetujui 4 Februari 2013 ABSTRACT
This research is an exploration of people's perception and reliance on natural resources of Aketajawe Lolobata National Parks especially Aketajawe block. Data retrieval was conducted in October 2010 and June 2011 in three surounding villages. The objective of this research were to know the dependence of community on the forest resource of the national park and the survival of the community. A method of purposive selection of respondents was carried out and data analysis using descriptive statistics with an intensity of 10% sampling. The results showed that the community of Kobe Kulo's perception was not good currently while Tayawi community's was medium and Binagara community's was good. Community dependence on timber were identified into three kind of uses namely building materials, household utensils and fuel. While non-timber forest products were rattan, pandan leaves, woka leaves, sagoo, nutmeg, vegetables, fruits and traditional medicines. Bush meat were deer, wild boar, gosong birds eggs and forests goose. Most of the community considered the forest as a source of life necessities, but knowledge of the existence of national parks is still minimal. Keywords: Reliances, Perception, National Park Aketajawe Lolobata ABSTRAK
Penelitian ini merupakan kajian persepsi dan ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya alam di sekitar kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata khususnya blok Aketajawe. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 dan Juni tahun 2011 di tiga desa yang bersentuhan langsung dengan kawasan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya alam di dalam dan sekitar kawasan taman nasional dan pengaruhnya terhadap keberlangsungan hidup masyarakat. Metode pemilihan responden dilakukan secara purposif dan analisis data menggunakan statistik deskriptif, dengan intensitas sampling 10%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Masyarakat Kobe Kulo memiliki persepsi tidak baik hingga sedang, sedangkan persepsi masyarakat Tayawi adalah sedang, dan persepsi masyarakat Binagara adalah sedang hingga baik. Ketergantungan masyarakat terhadap kayu dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan kegunaannya yaitu sebagai bahan bangunan, perkakas rumah tangga, dan bahan bakar. Hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan adalah rotan, pandan, woka, sagu, pala, sayuran, buah-buahan, dan tumbuhan obat tradisional, serta satwa liar yang dikonsumsi masyarakat adalah rusa, babi hutan, telur burung gosong dan angsa hutan. Sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa hutan merupakan tempat memenuhi kebutuhan hidup, namun pengetahuan tentang keberadaan taman nasional masih minim. Kata kunci: Ketergantungan, Persepsi, Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Maluku Utara
I. PENDAHULUAN Tingginya kualitas dan kuantitas keanekaragaman hayati yang dimiliki hutan alam Indonesia merupakan sebuah fakta yang tidak terbantahkan. Hal ini terbukti dengan peringkat lima besar dunia
yang disandang oleh Indonesia dalam hal keanekaragaman flora yaitu memiliki lebih dari 38.000 spesies, dimana 55% diantaranya bersifat endemik. Keanekaragaman palem Indonesia menempati urutan pertama, dan lebih dari setengah total keseluruhan spesies atau sekitar 350
Persepsi dan Tingkat Ketergantungan Masyarakat Terhadap Sumberdaya Alam Taman Nasional ..... (Lis Nurrani, Supratman Tabba)
61
jenis pohon penghasil kayu bernilai ekonomi penting, yaitu yang termasuk famili Dipterocarpaceae terdapat di Indonesia (Santosa, 2008). Keberadaan daya dukung hutan terhadap segala aspek kehidupan sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan untuk dimanfaatkan dan dikelola. Hutan menjadi media hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan faktorfaktor alam yang terdiri dari proses ekologi dan merupakan suatu kesatuan siklus yang dapat mendukung kehidupan (Reksohadiprojo, 2000). Masyarakat lokal yang memiliki pendidikan rendah sangat rentan terhadap pengaruh budaya luar yang konsumtif (Ngakan et al, 2006). Keadaan ini menyebabkan masyarakat tidak lagi memanfaatkan sumberdaya hutan secara arif dan bijaksana, namun cenderung melakukan perambahan dan eksploitasi yang tidak terkendali. Kondisi ini terjadi di hampir semua kawasan di Indonesia, khususnya hutan konservasi. Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL) sebagai salah satu kawasan konservasi yang berada di bagian timur Kepulauan Indonesia tidak luput dari kondisi serupa. Kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.397/MenhutII/2004 dengan luas 167.300 ha. Hutan konservasi ini terdiri dari kombinasi dua kawasan inti terpisah sejauh ± 67 km yaitu hutan Aketajawe dengan luas 77.100 ha dan hutan Lolobata dengan luas 90.200 ha. Kawasan Aketajawe secara administratif berada pada wilayah Kota Tidore Kepulauan, Kabupaten Halmahera Tengah dan Kabupaten Halmahera Timur sedangkan Kawasan Lolobata seutuhnya menjadi bagian dari Kabupaten Halmahera Timur. Berdasarkan data Statistik TNAL (2009) bahwa terdapat 58 jenis pohon yang memiliki nilai komersial seperti Damar (Agathis sp), Merbau (Intsia bijuga), Kayu Bugis (Koordersiodendron pinnatum), Bintangur (Callophilum sp) dan Matoa (Pometia pinnata). Kawasan ini juga mendukung kehidupan 104 jenis burung Maluku Utara, dari 213 jenis yang terdapat di Halmahera dimana 4 (empat) jenis merupakan endemik Halmahera. Serta menjadi habitat 12 jenis mamalia, 20 jenis reptilia dan 7 (tujuh) jenis amphibi (Poulsen et al, 1999). Sejarah TNAL yang merupakan kombinasi dari berbagai tipe pengelolaan utamanya hutan
62
produksi, berdampak pada keberadaan kawasan hingga kini. Kerusakan hutan berimplikasi pada hancurnya ekologi dan habitat makhluk hidup didalamnya, serta mengakibatkan kerusakan lingkungan yang cukup parah. Ancaman jangka panjang lainnya berasal dari kegiatan penambangan dan pembukaan jalan yang tidak memperhatikan aspek-aspek lingkungan. Meski memiliki wilayah kerja jelas, namun keberadaan pertambangan nikel dan tambang komersial yang berbatasan dengan kawasan TNAL, berpotensi menjadi ancaman bagi kelestarian taman nasional. Ironisnya, masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya kepada hutan merasa kehilangan aksesnya. Hal ini berdampak pada konflik dan masalah sosial lain dan berujung pada kerusakan hutan yang semakin parah. Kurangnya perhatian pemerintah dimasa lalu menyisakan permasalahan yang hingga kini belum tertangani dengan baik yaitu konflik kepemilikan lahan dimana masyarakat mengklaim batas kawasan sebagai lahan pertanian milik mereka. Karena itu dipandang perlunya penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan yang berada di sekitar kawasan TNAL, serta persepsi terhadap keberadaan taman nasional dan pengaruhnya terhadap keberlangsungan hidup masyarakat. Informasi ini penting untuk diketahui sebag ai dasar peng embang an prog ram pemberdayaan masyarakat berdasarkan potensi dan permasalahan lokal. Diharapkan adanya alternatif solusi bagi stakeholder terkait sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan rencana pengelolaan kawasan taman nasional berbasis konservasi. II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 dan Juni tahun 2011 di tiga desa/dusun yang aktifitas masyarakatnya bersentuhan langsung dengan kawasan TNAL khususnya blok Aketajawe. Tiga contoh desa yang dimaksud yaitu Desa Binagara (lahan pertanian berada dalam kawasan) Kecamatan Wasile Selatan Kabupaten Halmahera Timur, Desa Kobe Kulo (sebagian pemukiman berada dalam kawasan) Kecamatan
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 61 - 73
Weda Tengah Kabupaten Halmahera Tengah dan Dusun Tayawi (pemukiman berada dalam kawasan) Desa Koli Kecamatan Oba Kota Tidore Kepulauan. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tali nilon, tali rafia, meteran 50 m, kertas milimeter, papan board, dan alat tulis menulis. Sebagai obyek penelitian ini adalah masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan Aketajawe dan aktivitasnya. Alat yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari GPS, software GIS, kuesioner, kamera, alat perekam (voice recorderd), dan peta tutupan lahan kawasan Aketajawe skala 1 : 341.000. C. Prosedur Penelitian Pengambilan data dilakukan melalui teknik wawancara dan survei lapangan terhadap responden dan informan. 1. Responden penelitian adalah masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya hutan di kawasan TNAL, penentuan responden menggunakan
metode Purposive Random Sampling. Jumlah responden masing-masing desa ditentukan berdasarkan intensitas sampling 10% dari populasi, metode ini merupakan sampel minimun penelitian yang bersifat deskriptif (Gay dan Diehl, 1992). Karena keterbatasan jumlah kepala keluarga sehingga untuk masyarakat Suku Tayawi dilakukan penambahan sebanyak empat responden sebagai ulangan. 2. Sebagai informan pada penelitian ini adalah tokoh kunci yang terdiri dari : pihak pengelola TNAL, Aparat Desa, Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat, Kepala Suku dan masyarakat umum. D. Analisis Data Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis secara statistik deskriptif, dimana : (1) data atau variabel diklasifikasikan berdasarkan kelompok masing-masing sehingga maknanya mudah untuk diinterpretasikan, (2) hasil analisis kuantitatif disajikan dalam bentuk angka-angka atau tabel, dan (3) hasil analisis dideskripsikan agar dapat memberi gambaran yang teratur, ringkas dan jelas mengenai keadaan atau gejala yang ada.
Gambar 1. Lokasi penelitian Figure 1. Research Sites
Persepsi dan Tingkat Ketergantungan Masyarakat Terhadap Sumberdaya Alam Taman Nasional ..... (Lis Nurrani, Supratman Tabba)
63
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Sosial Masyarakat Sejarah Maluku Utara yang merupakan wilayah kesultanan dengan sistem pemerintahan bersifat monarki berkontribusi besar terhadap pembentukan karakteristik masyarakat di wilayah ini. Perkembangan Islam sejak abad XV turut berperan dalam menciptakan budaya dan kehidupan sosial masyarakat Maluku Utara khususnya di Pulau Halmahera. Maluku Utara juga dikenal dengan istilah Moluku Kie Raha, yang berarti gugusan empat pulau bergunung. Sebutan untuk menggambarkan eksistensi empat kesultanan yang berpusat di empat kaki gunung yang hingga kini masih eksis yaitu Ternate, Tidore, Jailolo di Halmahera Barat, dan Bacan di Halmahera Selatan (Roeroe dan Bakir, 2002). Secara umum masyarakat Halmahera merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari perpaduan beberapa suku asli Maluku Utara. Seiring dengan program transmigrasi pemerintah dan tuntutan hidup, secara perlahan wilayah ini kemudian dihuni oleh masyarakat pendatang. Kondisi sosial masyarakat pada tiga desa/dusun yang berada di sekitar Kawasan Aketajawe disajikan pada Tabel 1.
Pertanian merupakan mata pencaharian utama masyarakat, sebanyak 96,67% masyarakat Binagara dan 76,67% masyarakat Kobe Kulo bekerja sebagai petani dan buruh tani. Berdasarkan gambaran tingkat pendapatan maka kondisi ekonomi masyarakat pada umumnya masuk dalam kategori miskin. Sayogyo (1998), menetapkan batas garis kemiskinan untuk masyarakat pedesaan setara dengan 20 kg beras perkapita perbulan. Secara kuantifikasi dapat diuraikan bahwa sebanyak 57% masyarakat Kobe Kulo, 27% masyarakat Binagara dan 100% masyarakat suku Tayawi dalam kondisi miskin dengan besaran pendapatan ≤ Rp.500.000, sedangkan untuk kondisi masyarakat dalam kategori tidak miskin hanya sebesar 30% masyarakat Binagara dan 20% masyarakat Kobe Kulo dengan pendapatan ≥ Rp.1.000.000. Kondisi inilah yang membuat masyarakat intensif masuk hutan untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Masyarakat Desa Binagara merupakan transmigran dari Pulau Jawa sejak tahun 1980-an, ketika itu TNAL belum ditetapkan, sedangkan masyarakat Desa Kobe Kulo adalah suku asli Pulau Halmahera yang terdiri dari Suku Sawai, Weda dan Tobelo. Sebagian besar dari mereka merupakan pindahan dari Kampung Kulo, yaitu sebuah
Tabel 1. Kondisi sosial masyarakat pada tiga desa/dusun sekitar TNAL Table 1. Social conditions of people in three villages around TNAL Karakteristik (Characteristic) Jumlah KK (population of households) Pekerjaan (job) :
Desa (Villages) Binagara
Kobe Kulo
Tayawi
338
397
12
Petani dan Buruh tani (farmer and labor) (96,67%) Guru (teacher) (3,33%)
Bahan utama perumahan Kayu (wood) (House building materials) Jarak ke hutan terdekat 1,5 km (Distance of village to the forest)) Rata-rata pendapatan (average income) (Rp/Bln/KK)
Petani dan buruh tani (farmer and labor) (76,67%) Operator chain saw (chain saw operators) (10%) Buruh tani (labor) (6,67%) Pengrajin anyaman (webbing craftsmen) (6,67%)
Berkebun dan berburu (hunting and farming) (100%)
Kayu (wood)
Kayu (wood)
0,5 km
Dalam kawasan (in forest)
27
57
100
43
23
-
>Rp. 1000.000,-
30
20
-
Sumber (Source): Analisis data primer (Analysis of primary data) 2011
64
kampung yang berada dalam kawasan taman nasional di Kecamatan Weda. Mencari kehidupan yang lebih baik dan mendapatkan pendidikan optimal bagi anak-anak mereka merupakan alasan masyarakat melakukan migrasi. Masyarakat Dusun Tayawi mer upakan masyarakat asli Tobelo dalam (Suku Togutil) yang direlokasi dari dalam kawasan, dimana sebagian masyarakatnya sudah menetap dan sebagian lainnya masih bersifat nomaden. Masyarakat Suku Togutil bergantung sepenuhnya dari hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, berburu dan berladang berpindah merupakan aktivitas utama mereka. Pekerjaan sampingan Suku Togutil yang sudah menetap adalah menjual batu kali ke desadesa lain, sebab cara ini dinilai lebih cepat memperoleh pendapatan daripada berkebun. B. Ketergantungan Masyarakat terhadap Sumberdaya Hutan 1. Penggunaan kayu
Manusia dan hutan memiliki hubungan yang unik, dimana manusia merupakan bagian dari ekosistem hutan itu sendiri. Hubungan timbal balik antara manusia dan hutan merupakan interaksi yang saling mempengaruhi. Jika hutan rusak maka kehidupan manusia terancam, sebaliknya jika manusia terpenuhi kesejahteraannya maka kelestarian hutan terjaga pula. Kehidupan masyarakat disekitar kawasan TNAL masih dipengaruhi oleh kondisi hutan disekitarnya, baik yang secara langsung dirasakan maupun yang tidak langsung seperti kondisi iklim dan ketersediaan air bersih. Tingginya nilai dan manfaat hutan bagi masyarakat berimplikasi pada ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu dan satwa liar. Pemanfaatan hasil hutan sebagaimana dimaksud dapat dilihat pada Tabel 2, 3, dan 4. Ketergantungan masyarakat terhadap kayu sangat besar bagi pemenuhan kebutuhan hidup. Hal ini dapat dilihat dari bahan utama perumahan yang hampir semuanya menggunakan kayu. Penggunaan kayu dibagi menjadi tiga kategori yaitu sebagai bahan bangunan, bahan pembuatan perkakas rumah tangga dan bahan bakar. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pengambilan kayu untuk kebutuhan pribadi sebesar 1-2 m³, sedangkan jika untuk tujuan komersial sebanyak 4-6 m³ setiap jangka penebangan.
Pengambilan kayu dari dalam hutan saat ini tidak terbatas pada pemenuhan kebutuhan pribadi, namun sudah mengarah untuk tujuan komersial. Beberapa kelompok masyarakat menjadikan penebang kayu (operator chain saw) sebagai mata pencaharian utama maupun sampingan (hanya pada saat ada pesanan kayu saja). Cara hidup tradisional disertai mahalnya bahan bakar minyak (Rp.7.000-Rp.10.000/liter) menyebabkan penggunaan kayu sebagai bahan bakar masih sangat populer dikalangan masyarakat. Selain itu lambatnya pendistribusian bahan bakar minyak khususnya pada wilayah pedesaan menjadi penyebab masyarakat lebih memilih menggunakan kayu bakar. Biasanya dalam tiga hari kayu bakar yang dipakai sebanyak 2-3 ikat/penggal per KK. Kayu bakar belum umum diperjualbelikan, kebutuhannya dipenuhi dari mengambil ranting, cabang dan batang pohon kering dari dalam hutan maupun dari kebun-kebun masyarakat. 2. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
Ketergantungan masyarakat akan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) seperti rotan (Dracontomelon spp.), woka (Livistona rotindufolia), sagu (Metroxylon sagoo), pala (Myristica lepidota) dan lainnya sangat tinggi. Menurut Primack (1993) sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat dapat dikelompokkan menjadi dua kategori antara lain : (a) produktif, yaitu yang diperjualbelikan di pasar, dan (b) konsumtif, yaitu yang dikonsumsi sendiri atau tidak dijual. Tabel 3 menunjukkan HHBK yang dimanfaatkan masyarakat. Sebagian besar HHBK sifatnya konsumtif khususnya pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan alam sebagai obat tradisional. Tali Kuning ( Arcangelsia flava) banyak digunakan untuk pengobatan berbagai jenis penyakit dalam dan meningkatkan stamina tubuh. Tumbuhan sayuran selain dikonsumsi sendiri juga dijual sebagai pendapatan tambahan masyarakat, sedangkan tiga jenis lainnya bersifat produktif. Rotan, daun pandan dan daun woka dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan baku kerajinan. Daun woka banyak digunakan oleh Masyarakat Togutil sebagai bahan baku pembuatan rumah terutama untuk atap dan dinding. Daun Woka juga seringkali digunakan sebagai wadah untuk memasak makanan dan sebagai media untuk membawa hasil buruan.
Persepsi dan Tingkat Ketergantungan Masyarakat Terhadap Sumberdaya Alam Taman Nasional ..... (Lis Nurrani, Supratman Tabba)
65
Tabel 2. Jenis-jenis kayu yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan TNAL Table 2. The types of wood are often used by people around the area TNAL 1
Nama Lokal (lokal name) Hati besi
Intsia palembanica Miq.
Caesalpiniaceae
2
Bintangur
Calophyllum sp.
Clusiaceae
3
Gofasa
Kleinhovia hospita L.
Sterculiaceae
4
Binuang
Tetrameles nudiflora R. Brown.
Datiscaceae
5
Jati putih
Gmelina arborea Roxb
Verbenaceae
6
Kamaiwa
Nauclea sp.
Rubiaceae
7
Kayu bugis
Koordersiodendron pinnatum Merr.
Anacardiaceae
8
Lingua
Pterocarpus indicus Willd
Fabaceae
9
Mologotu
Diospyros sp.
Ebenaceae
10
Nyatoh
Palaquium rostratum Burck.
Sapotaceae
11
Marpala
Neonauclea calycina Merr.
Rubiaceae
12
Gora bagea
Syzygium sp.
Myrtaceae
13
Kenari
Canarium vulgare Leenh.
Burseraceae
14
Matoa
Pometia pinnata Forst. F.
Sapindaceae
15
Mersawa
Syzygium sp.
Myrtaceae
16
Wiru
Streblus elongatus (Miq.) Corner
Moraceae
17
Kayu telur
Alstonia scholaris (L.) R.Br.
Apocynaceae
18
Kolot kambing
Garuga floribunda Decne
Burseraceae
19 20 21 22 23 24 25 26 27
Kayu sirih Kerikis Gusale Laban Badenga Owaha Lolang Kayu suling Gora
Piper sp Zyzyphus angustifolius Miq. Dilenia sp Vitex pubescens Vahl Adina sp Litsea glutinosa C.B. Rob. * Horsfieldia irya Warb. Syzygium sp.
Piperaceae Rhamnaceae Dilleniaceae Verbenaceae Rubiaceae Lauraceae * Myristicaceae Myrtaceae
No
Nama Ilmiah (scientific name)
Famili (family)
Penggunaan (use) Konstruksi Bangunan (housing construction) Konstruksi Bangunan (housing construction) Konstruksi Bangunan (housing construction) Konstruksi Bangunan (housing construction) Konstruksi Bangunan (housing construction) Konstruksi Bangunan (housing construction) Konstruksi Bangunan (housing construction) Konstruksi Bangunan (housing construction) Konstruksi Bangunan (housing construction) Konstruksi Bangunan (housing construction) Konstruksi Bangunan (housing construction) Kusen dan pintu (frame and door) Perkakas rumah tangga (home furnishings) Perkakas rumah tangga (home furnishings) Perkakas rumah tangga (home furnishings) Perkakas rumah tangga (home furnishings) Perkakas rumah tangga (home furnishings) Perkakas rumah tangga (home furnishings) Kayu bakar (firewood) Kayu bakar (firewood) Kayu bakar (firewood) Kayu bakar (firewood) Kayu bakar (firewood) Kayu bakar (firewood) Kayu bakar (firewood) Kayu bakar (firewood) Kayu bakar (firewood)
Keterangan (Remark):*: belum teridentifikasi ( no identification) Sumber (Source): Analisis data primer (analysis of primary data) 2011
Sagu merupakan sumber karbohidrat dan bahan makanan tradisional suku asli Pulau Halmahera. Sagu dan pala merupakan tanaman khas yang berasal dari Maluku dan potensial untuk dikembangkan bukan hanya sebagai komoditi nasional tapi juga internasional. Menurut Rostiwati et al (2008) sebaran terluas hutan alam sagu di Indonesia berada di Provinsi Papua dan Maluku, yang merupakan 66
pusat keragaman tertinggi di dunia. Selain sebagai bahan pangan tradisional, sagu berpotensi sebagai bahan baku energi biomassa. Teknologi pengolahan bioethanol sagu telah banyak dan berhasil dikembangkan oleh berbagai pihak. Pala adalah tumbuhan asli Indonesia yang digemari sebagai rempah-rempah penyedap masakan. Berdasarkan catatan sejarah, salah satu
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 61 - 73
Tabel 3. Hasil hutan bukan kayu yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar TNAL Table 3. Non timber forest products are often used by people around the TNAL No
Nama lokal (local name)
Nama Ilmiah (scientific name)
Penggunaan (use)
Bagian yang digunakan (parts used)
Kategori (category)
1
Rotan
Dracontomelon spp.
Tali, kerajinan anyaman dan alat berburu (rope, webbing mat and tools hunting)
Batang (stem)
Produktif (productive)
2
Pandan
Pandanus sp.
Anyaman tikar (webbing mat)
Daun (leaf)
Produktif (productive)
3
Woka
Livistona rotindufolia (Lmk) Mast.
Atap, pembungkus makanan, alat berburu (roof, food wrapping, tools hunting)
Daun (leaf)
Produktif (productive)
4
Kasbi/sibii
Manihot utilisima Pohl.
Sayuran (vegetables)
Daun (leaf)
5
Kangkung
Ipomoea reptans Poir.
Sayuran (vegetables)
Daun (leaf)
6
Saguer
Arenga pinnata Merr.
Minuman (drinks)
Nira (sap)
7
Sagu
Metroxylon sagoo Rottb.
Minuman (drinks)
Empulur (pith)
8
Tapaya
Carica papaya L
Sayuran (vegetables)
Bunga dan daun (flower and leaf)
Sayuran (vegetables) 9
Paku-pakuan
Pteridophyta sp
Daun (leaf)
10
Pisang
Musa sp
11
Tali Kuning
Arcangelsia flava (Menisp.)
12
Tali Togutil
*
13
Maribangan
*
14
Bangile
*
15
Rambutan
Nephelium lappaceum L.
Buah-buahan (fruits)
16
Langsat
Lansium domesticum Corr.
Buah-buahan (fruits)
17
Pala
Myristica lepidota Blume.
Rempah-rempah (spices)
Buah-buahan dan pembungkus makanan (food wrapping and fruits) Obat tradisional (traditional medicine) Obat tradisional sakit pinggang (lumbago traditional medicine) Obat khusus wanita (Drugs for women) Obat khusus wanita (Drugs for women)
Daun dan buah (fruit and leaf) Batang (stem) Daun dan batang (stem and leaf) Daun (leaf) Daun (leaf) Buah (fruit) Buah (fruit) Buah (fruit)
Produktif dan konsumtif (consumptive and productive) Produktif dan konsumtif (consumptive and productive) Produktif dan konsumtif (consumptive and productive) Produktif dan konsumtif (consumptive and productive) Konsumtif (consumptive) Produktif dan konsumtif (consumptive and productive) Konsumtif (consumptive) Konsumtif (consumptive) Konsumtif (consumptive) Konsumtif (consumptive) Konsumtif (consumptive) Konsumtif (consumptive) Konsumtif (consumptive) Konsumtif (consumptive)
Keterangan (remark) : * : belum teridentifikasi (no identification) Sumber (source) : Analisis data primer (analysis of primary data) 2011
alasan kedatangan bangsa penjajah ke Indonesia adalah karena komoditas pala yang sangat besar. Pusat asal tanaman pala dengan keanekaragaman tertinggi adalah Kepulauan Maluku (Deinum, 1949 ; Hadad et al, 2006). Biji, fuli, dan minyak pala merupakan komoditas ekspor yang digunakan
dalam industri makanan dan minuman, selain itu minyak yang berasal dari biji, fuli dan daun banyak digunakan untuk industri obat-obatan, parfum dan kosmetik. Indonesia mer upakan neg ara pengekspor biji dan fuli pala terbesar yaitu sekitar 60% kebutuhan pala dunia (Nurdjannah, 2007).
Persepsi dan Tingkat Ketergantungan Masyarakat Terhadap Sumberdaya Alam Taman Nasional ..... (Lis Nurrani, Supratman Tabba)
67
3. Perburuan satwa liar dan hasil ikutannya
Hasil survei Burung Indonesia (2011) menunjukkan bahwa setidaknya terdapat 104 jenis (39 suku) burung di dalam kawasan TNAL. Sebanyak 25 jenis burung endemik Maluku Utara berhasil di jumpai dalam kawasan, termasuk empat jenis endemik Pulau Halmahera yaitu Kepudang Sungu Halmahera (Coracina parvula), Cekakak Murung ( Todiramphus fenubris ), Kepudang Halmahera (Oriolus phaeocromus), dan Mandar Gendang (Habroptila wallacii). Berbagai jenis satwa liar khususnya avifauna banyak diburu oleh masyarakat sekitar TNAL. Telur Gosong adalah hasil ikutan avifauna yang banyak digemari oleh masyarakat karena ukuran telurnya yang besar yaitu panjang 10 cm dan diameter 4-5 cm (Arini et al, 2011). Telur gosong biasanya dijual karena harganya yang cukup tinggi, selain itu dikonsumsi sendiri untuk memenuhi kebutuhan protein keluarga. Jenis-jenis satwa liar yang dimanfaatkan berikut pemanfaatannya dapat dilihat pada Tabel 4. Rusa dan Babi Hutan merupakan sumber makanan pokok bagi masyarakat Suku Togutil yang diperoleh dengan cara berburu dan memasang jerat. Jenis mamalia ini juga seringkali diburu oleh masyarakat lokal untuk keperluan konsumsi (protein hewani) dan hewan peliharaan. Daging rusa biasanya dijual dengan harga Rp. 15.000 per lembarnya (rata-rata 1-2 kg), jika masih hidup harga jualnya berkisar antara Rp. 300.000 - 600.000 per ekor, sedangkan Sus Scrofa biasanya dijual dalam kondisi hidup dengan harga berkisar antara Rp. 150.000 - Rp. 300.000. Kasturi Ternate, Kakatua Putih, Nuri Pipi Merah, Nuri Bayan dan Bidadari Halmahera
diperuntukkan sebagai hewan peliharaan yang diperdagangkan hingga ke luar Halmahera. Akibatnya terjadi penurunan populasi terhadap jenis-jenis burung tersebut di alam. Analisis keanekaragaman hayati Burung Indonesia mengemukakan bahwa sekitar 77 jenis burung di Maluku Utara yang habitatnya mengalami penurunan secara signifikan hingga mencapai 10 persen dalam setahun. Berdasarkan data yang dihimpun dari pedagang satwa di Maluku Utara bahwa, perdagangan burung Nuri bisa mencapai 2.688 ekor pertahun. Sementara untuk Kakatua Putih mencapai 112 ekor, dan Burung Bidadari mencapai 166 ekor per tahun (Nurgyanto, 2010). Burung Bidadari merupakan spesies yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang perlindungan satwa dan tumbuhan, sehingga perdagangannya termasuk illegal. C. Persepsi Masyarakat terhadap Kondisi
Hutan Saat ini Hasil wawancara menunjukkan bahwa sekitar 67,78% responden menyatakan bahwa kondisi hutan saat ini masih baik dan semakin baik. Penunjukkan kawasan hutan sebagai taman nasional menjadi salah satu penyebab keadaan tersebut. Masyarakat menyadari bahwa meski dengan adanya taman nasional akses mereka terhadap hutan semakin berkurang, namun memberikan dampak positif yaitu terjaganya kelestarian hutan. Sebanyak 12,22% dari 78 responden menyatakan kondisi hutan sekitar desa semakin buruk karena adanya penebangan liar yang
Tabel 5. Kondisi hutan di sekitar desa menurut masyarakat setempat Table 5. The condition of forests around the village by the local community Distribusi Frekuensi Tiap Lokasi (Frequency distribution each of area) (%) Kondisi Hutan Saat Ini Desa Binagara 34 Desa Kobe Kulo Dusun Tayawi 4 (current forest conditions) responden 40 responden responden (Binagara village 34 (Kobe Kulo village 40 (Tayawi village 4 respondents) respondents) respondents) Baik (good) 43,33 60,00 100,00 Biasa-biasa saja (ordinary) 26,67 30,00 0,00 Buruk (bad) 30,00 6,67 0,00 Tidak tahu (not know) 0,00 3,33 0,00
Jumlah (amount) (%)
67,78 18,89 12,22 1,11
Sumber (source) : Analisis data primer (analysis of primary data) 2011
68
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 61 - 73
dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Ancaman kelestarian juga berasal dari perusahaan tambang yang masuk kedalam wilayah hutan sekitar desa (PT. Weda Bay dan PT. Nikel). Namun disisi lain masyarakat mendapatkan manfaat dari perusahaan tambang tersebut yang memberikan kompensasi berupa bantuan listrik tenaga surya (Solar Sel ) bagi setiap rumah tangga. D. Persepsi Masyarakat terhadap Kelestarian Sumberdaya Hutan Persepsi masyarakat menyangkut pengelolaan kekayaan sumberdaya alam daerah yang berorientasi pada peningkatan sosial ekonomi bertolak belakang dengan misi perlindungan yang diemban kawasan taman nasional (Wiratno et al, 2004). Kondisi tersebut perlu diketahui agar pengelolaan potensi kawasan dapat diarahkan pada sistem kolaborasi yang akan dilaksanakan oleh berbagai pihak yaitu masyarakat, pemerintah daerah dan pihak pengelola kawasan. Secara umum responden mengetahui definisi hutan sebagai tempat perlindungan bagi satwa dan tumbuhan yang berfungsi sebagai penghasil air, udara, mencegah erosi, banjir, dan hasilnya berupa kayu maupun bukan kayu dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat (Tabel 6).
Persepsi kategori pertama, responden memandang hutan secara sederhana tanpa ada niat untuk memanfaatkan maupun mengeksploitasinya. Kategori kedua responden meyakini hutan sebagai penghasil air, udara, mencegah erosi dan banjir. Persepsi ini berimplikasi pada perilaku masyarakat dengan berusaha untuk menjaga hutan agar fungsi-fungsi tersebut tetap terjaga. Sebab jika hutan tidak lagi mampu melaksanakan fungsinya maka akan berakibat terjadinya bencana alam yang berdampak pada masyarakat itu sendiri. Kategori ketiga dan keempat mengemukakan bahwa hutan merupakan tempat bagi masyarakat untuk mengambil hasil hutan dan sebagai lahan usaha tani. Kategori ini bersifat aktif dan agresif dimana hutan merupakan obyek yang dapat dimanfaatkan dan dieksploitasi untuk meningkatkan pendapatan. Masyarakat yang memanfaatkan potensi kawasan secara langsung tanpa memperhatikan kelestarian sumberdaya alam merupakan persepsi kategori negatif (Sawitri dan Subiandono, 2011). Penebangan liar, pengambilan hasil hutan bukan kayu yang tidak mempedulikan azas kelestarian manfaat, berburu dan perambahan hutan merupakan aktivitas yang sering dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat menganggap bahwa hutan adalah tempat mencari nafkah yang diwariskan nenek moyang.
Tabel 6. Persepsi masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya hutan Table 6. Public perception of sustainability of forest resources
Sumber (source) : Analisis data primer (analysis of primary data) 2011
Persepsi dan Tingkat Ketergantungan Masyarakat Terhadap Sumberdaya Alam Taman Nasional ..... (Lis Nurrani, Supratman Tabba)
69
Masyarakat Kobe Kulo memiliki persepsi tidak baik-sedang karena memandang hutan sebagai sumber penghidupan dari sisi ekonomi, sehingga pe m a n fa a ta n n y a se b e s a r- b e s a r n y a d em i peningkatan penghasilan tanpa memikirkan keberlangsungannya. Masyarakat Binagara memiliki persepsi sedang-baik karena menyadari bahwa kehidupan mereka dipengaruhi oleh hutan yang ada disekitarnya, sehingga kelestariannya harus dijaga. Menurut Ngakan et al, (2006) kategori persepsi masyarakat dibagi menjadi tiga yaitu (a) persepsi baik, apabila responden memahami dengan baik bahwa mereka bergantung hidup dari hutan dan menginginkan agar hutan dikelola secara lestari (b) persepsi sedang apabila responden menyadari bahwa mereka bergantung hidup dari sumber daya hutan tetapi tidak memahami kalau hutan perlu dikelola dengan baik agar manfaatnya bisa diperoleh secara berkelanjutan (c) persepsi tidak baik apabila responden tidak menyadari bahwa mereka bergantung hidup dari sumberdaya hutan atau kepentingan lain yang membuat mereka cenderung berasumsi bahwa tidak perlu menjaga kelestarian hutan. Perbedaan persepsi ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain tingkat pendidikan yang rendah, kemiskinan, dan kurangnya sosialisasi pembinaan masyarakat oleh pihak Balai TNAL. Faktanya adalah masyarakat Kobe Kulo belum memahami keberadaan taman nasional baik secara fisik, batasan maupun manfaatnya, sedangkan masyarakat Tayawi memiliki persepsi sedang, ketergantungan hidup mereka yang sangat besar terhadap hutan membuat mereka menjadi bagian dari ekosistem hutan yang tidak terpisahkan. Masyarakat Tayawi merupakan komunitas Suku
Togutil yang telah direlokasi dari hutan belantara, hingga saat ini pemukiman Suku Togutil masih merupakan areal kawasan taman nasional. E. Persepsi Masyarakat terhadap Kawasan Taman Nasional
Persepsi masyarakat terhadap kawasan taman nasional sangatlah penting menyangkut keberhasilan pengelolaan taman nasional. Masyarakat yang memahami adanya taman nasional dan fungsinya akan mempengaruhi partisipasinya terhadap pengelolaan taman nasional. Persepsi masyarakat terhadap taman nasional dikelompokkan menjadi beberapa kategori yang tersaji secara terperinci pada Tabel 7. Tabel 7 menunjukkan bahwa persepsi responden terhadap keberadaan taman nasional terdiri dari dua persepsi pokok. Persepsi pertama yaitu masyarakat meyakini bahwa taman nasional adalah hutan milik negara yang harus dilindungi dan dilestarikan terkait fungsinya sebagai perlindungan sumberdaya alam hayati. Persepsi yang kedua adalah bahwa taman nasional adalah lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk menjaga dan melestarikan hutan. Persepsi responden pada kategori satu dan dua adalah masyarakat yang paham akan keberadaan taman nasional dan fungsinya bagi kelangsungan hidup, sehingga potensi untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan sangatlah besar. Kategori ketiga adalah responden yang pengetahuannya terbatas pada pengertian taman nasional sebagai lembaga yang menjaga dan melestarikan hutan. Kategori ini menganggap bahwa taman nasional adalah subjek (pelaku) bukan objek yang harus dikelola.
Tabel 7. Persepsi masyarakat di tiga desa/dusun sekitar terhadap TNAL Table 7. Public perceptions in three villages around to TNAL
Sumber (source) : Analisis data primer (analysis of primary data) 2011
70
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 61 - 73
Hasil peng amatan di Desa Binag ara menunjukkan bahwa masyarakat telah memahami konsep taman nasional (40-50%), sedangkan masyarakat Kobe Kulo (70-80%) dan Tayawi (50%) tidak tahu mengenai konsep taman nasional. Rendahnya pendidikan menjadi faktor terjadinya kondisi tersebut, dimana hanya 13% dari responden Desa Binagara yang berpendidikan SMA, 10% di Desa Kobe Kulo dan 100% tidak bersekolah pada masyarakat Tayawi (Nurrani et al, 2010). Desa Kobe Kulo merupakan pemukiman hasil relokasi masyarakat Kulo yang berada dalam kawasan, sehingga masyarakatnya menyakini bahwa hutan merupakan warisan para leluhur. Masyarakat sangat selektif terhadap kedatangan aparat yang cenderung mereka anggap sebagai sumber yang akan melakukan pembatasan akses ke hutan, sehingga informasi penyuluhan pada wilayah ini sangat terbatas khususnya mengenai program pengelolaan taman nasional. Masyarakat Tayawi adalah komunitas suku terasing Togutil yang telah bermukim dalam kawasan sejak ratusan tahun lalu. Suku Togutil hidup dengan sepenuhnya bergantung pada hasil buruan, pemanfaatan sagu, dan pertanian sederhana hingga saat ini. Hilangnya sumberdaya hutan berarti rusaknya sebagian dari kehidupan Suku Togutil, sehingga masyarakat merasa memiliki hutan karena merupakan habitat mereka dari sejak dahulu kala. Selain itu bahasa Suku Togutil tidak banyak dimengerti oleh masyarakat umum, sehingga mengakibatkan munculnya sifat antisosial pada suku ini. Meski tingkat pendidikan warga Desa Binagara rendah, namun kultur masyarakatnya yang terbuka dengan informasi edukatif berimplikasi pada tingginya pemahaman mereka mengenai fungsi taman nasional. Fakta inilah yang harus mendapatkan perhatian khusus Balai TNAL agar dapat meminimalisir terjadinya konflik di lapangan. Sebab konsep pelibatan masyarakat dalam pengelolaan taman nasional tidak akan tercapai secara optimal jika masyarakat tidak memahami keberadaan kawasan itu sendiri. Uraian di atas menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat mengenai definisi hutan, khususnya taman nasional mempengaruhi perilaku masyarakat terhadap keberadaan kawasan di sekitarnya (lihat tabel 6 dan 7). Sekitar 76,67% responden Desa Kobe Kulo tidak mengetahui definisi taman nasional dan 83,33% yang memahami bahwa hutan merupakan
lahan untuk usaha tani dan pemanfaatan hasil hutan. Kondisi ini terjadi sebab masyarakat beranggapan hutan merupakan lahan adat warisan leluhur untuk peruntukan budidaya perkebunan, sehingga di wilayah ini masyarakat memiliki lahan usahatani yang sangat luas, rata-rata perkepala keluarga menguasai lebih dari 4 (empat) ha. Semakin banyak anak yang dimiliki oleh setiap kepala keluarga maka semakin luas pula lahan yang akan dibuka untuk dijadikan sebagai warisan keluarga. Sebagai lahan warisan maka periode penggarapannya pun sangat panjang karena telah ada sejak lama dan sifatnya ekstensif. Lahan pertanian masyarakat Tayawi hanya bersifat subsistem untuk memenuhi kebutuhan hidup dan umumnya berada disekitar pemukiman dengan luas tidak lebih dari 0,5 ha. Luas rata-rata lahan yang digarap yaitu 10 m x 10 m, sedangkan bagi masyarakat Togutil yang tipe menetap sementara memiliki lahan kurang dari 1 (satu) ha. Periode pengolahannya pun tidak panjang karena sifat dari suku ini yang nomaden, sedangkan masyarakat Binagara memperoleh jatah lahan seluas 2 (dua) ha dari program transmigrasi dan intensif dikelola dengan perlakuan tertentu. Ilustrasi diatas menunjukkan bahwa semakin baik tingkat pengetahuan masyarakat mengenai hutan dan taman nasional maka akan berpengaruh terhadap luasan serta lamanya periode penggarapan lahan. Berdasarkan fakta tersebut maka sekiranya menjadi acuan dan landasan oleh pihak terkait khususnya pengelola taman nasional untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai fungsi hutan khususnya taman nasional. Permasalahan lain yang terjaring dari hasil wawancara adalah tata batas kawasan, yaitu belum jelasnya tanda/patok yang mudah dikenali masyarakat sebagai identitas taman nasional secara fisik di lapangan. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Sebagian besar masyarakat sekitar TNAL
tergolong dalam masyarakat miskin (>60%), dengan mata pencaharian utama berkebun, berburu dan meramu. 2. Ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu dan satwa
Persepsi dan Tingkat Ketergantungan Masyarakat Terhadap Sumberdaya Alam Taman Nasional ..... (Lis Nurrani, Supratman Tabba)
71
liar di kawasan TN Aketajawe masih sangat tinggi. Faktor utama penyebab kondisi tersebut adalah tradisi dan pola fikir masyarakat yang beranggapan bahwa hutan merupakan warisan nenek moyang, tempat bermukim, dan mencari nafkah. Keadaan sosial dan tekanan ekonomi untuk tujuan pemenuhan kebutuhan hidup dan komersial turut berperan membentuk tingginya ketergantungan masyarakat pada hutan. 3. Secara substansial masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar kawasan tidak mengetahui dan memahami mengenai penetapan dan pengelolaan taman nasional serta peraturan mengenai pemanfaatan hasil hutan kayu, HHBK dan satwa liar sehingga tidak mengetahui apakah aktivitas mereka mematuhi atau melanggar peraturan yang berlaku. 4. Umumnya masyarakat beranggapan bahwa taman nasional merupakan institusi penjaga hutan yang senantiasa membatasi aktivitas masyarakat dengan kawasan. B. Saran
Balai Taman Nasional disarankan untuk melakukan sosialisasi tentang batas kawasan, pengelolaan taman nasional dan peraturan terkait pemanfaatan hasil hutan dan HHBK dikarenakan minimnya pemahaman masyarakat mengenai fungsi taman nasional. Sistem pengawasan dan sinergi dengan berbagai pihak terkait sangat diperlukan untuk menindak praktek perdagangan satwa yang dipraktekkan oleh masyarakat. Pendampingan perlu makin diintensifkan mengingat persepsi masyarakat masih menganggap bahwa hutan hanya sebatas untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap kawasan taman nasional disarankan sebagai pertimbangan untuk penyusunan konsep pengelolaan kolaboratif yang mengakomodasi kebutuhan masyarakat dan mengitroduksi alternatif mata pencaharian yang tidak berbasis kawasan. Mengingat tradisi dan minimnya pemahaman masyarakat mengenai fungsi sesungguhnya dari taman nasional maka penting dilakukan pendekatan secara kultural.
72
DAFTAR PUSTAKA Arini, D.I.D., H. Kama dan S. Tabba. 2011. Sang Inkubator dari Kawasan Timur Indonesia. Majalah Silvika Edisi 66 : Hal (34-38). Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata. 2009. Buku Statistik Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata Tahun 2009. Direktorat Jenderal Perlindung an Hutan dan Konservasi Alam. Kementerian Kehutanan. Ternate. Burung Indonesia. 2011. Taman Nasional Aketajawe Lolobata (Bagian1). http://www.g reen.kompasiana.com. Diakses tanggal 9 Maret 2012. Departemen Kehutanan. 2004. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 397/KptsII/2004 tanggal 18 Oktober 2004. Tentang Penetapan Kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata di Maluku Utara. Jakarta. Gay, L.R. dan P.L. Diehl. 1992. Research Methods for Business and Management. MacMillan Publishing Company. New York. Hadad EA, M., R.C. Firman dan T. Sugandi. 2006. Budidaya Tanaman Pala. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri Parung Kuda. Jakarta Hasan, I. 2008. Analisis Data Penelitian Dengan Statistik. Cetakan Ketiga. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Ngakan, P. Oka, H. Komaruddin, A. Achmad, Wa h y u d i d a n A . Ta k o. 2 0 0 6 . Ketergantungan, Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Sumberdaya Hayati Hutan : Stusi Kasus di Dusun Pampli Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Center For International Forestry Research. Jakarta. Nurgyanto, B. 2010. Dua Spesies Burung Di M a l u k u U t a r a Te r a n c a m P u n a h . http://www.tempo.co.id. Diakses tanggal 12 Maret 2012.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 61 - 73
Nurdjannah, N. 2007. Teknologi Pengolahan Pala. Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. Nurrani, L., Halidah, Saprudin, A. Irawan, S. Tabba, N. Asmadi dan S.N. Patandi. 2010. Pola Pemanfaatan Lahan Di Dalam Kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. L a p o r a n H a s i l Pen e l i t i a n ( t i d a k dipublikasikan). Manado Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999. Te n t a n g Pe r l i n d u n g a n S a t wa D a n Tumbuhan. Jakarta Poulsen, M.K., F.R. Lambert dan Y. Cahyadin. 1999. Evaluasi Terhadap Usulan Taman Nasional Lolobata dan Aketajawe (Dalam Konteks Prioritas Konservasi Keanekaragaman Hayati Di Halmahera). Bird Life Indonesia Program Bersama Departemen Kehutanan. Bogor. Primack, R.B. 1993. Essentials of Conservation Biology. Sinauer Associates Inc. Roeroe, F., M. Bakir. 2002. Maluku Utara Sebuah K e n a n g a n S e j a r a h . h t t p : / / w w w. kompas.com. Diakses tanggal 13 Maret 2012.
Rostiwati, T., Y. Lisnawati, S. Bustomi, B. Leksono, D. Wa hyo n o, S. P r a d j a d i n a t a , R . B o g i d a r m a n t i , D. D j a e n u d i n , E . Sumadiwangsa, dan N. Haska. 2008. Sagu (Metroxylon spp.) Sebagai Sumber Energi Bioetanol Potensial. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Litbang Hutan Tanaman. Bogor. Sajogyo. 1998. Masalah Kemiskinan di Indonesia Antara Teori dan Praktek. Mimbar Sosek Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Santosa, A (Ed). 2008. Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengelolaan dan Kebijakan. Perpustakaan Nasional. Jakarta. Sawitri, R. dan E. Subiandono. 2011. Karakteristik dan Persepsi Masyarakat Daerah Penyangga Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol 8 No. 3. Hal (273-285). Wiratno, D. Indriyo, A. Syarifudin, dan A. Kartikasari. 2004. Berkaca di Cermin Retak, Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional. Departemen Kehutanan, The Gibbon Foundation, Forest Press, dan PILI-NGO Movement.
Persepsi dan Tingkat Ketergantungan Masyarakat Terhadap Sumberdaya Alam Taman Nasional ..... (Lis Nurrani, Supratman Tabba)
73
JURNAL PENELITIAN
ISSN: 1979-6013
SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN Forestry Socio and Economic Research Journal
Volume 10 Nomor 1, Maret Tahun 2013 Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan telah terakreditasi berdasarkan Keputusan Kepala LIPI No. 742/E/2012 dengan kategori B. Memuat Karya Tulis Ilmiah dari hasil-hasil penelitian di bidang Sosial dan Ekonomi Kehutanan serta lingkungan dan terbit secara berkala empat kali dalam setahun. Forestry Social and Economic Journal is an accredited journal. Based on the decree of Director of Indonesian Science Institute (LIPI) No. 742/E/2012. This Journal Publishes result of research in Socioeconomic Forestry and released four times annually. Penanggung Jawab (Editor in Chief) : Dewan Redaksi (Editorial Board) Ketua (Chairman) Anggota (Members)
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan : Dr. Hariyatno Dwiprabowo, M.Sc (Ekonomi Kehutanan) : 1. Dr. Ir. Satria Astana, M.Sc (Ekonomi Kehutanan) 2. Ir. Subarudi, M.Wood.Sc (Sosiologi Kehutanan) 3. Ir. Setiasih Irawanti, M.Sc (Ekonomi Kehutanan) 4. Prof. Irsal Las (Agroklimatologi dan Lingkungan) 5. Dr. Ir. Didik Suhardjito, M.S (Sosiologi, Kehutanan & Kehutanan Masyarakat) 6. Dr. Herman Hidayat (Studi dan Kemasyarakatan) 7. Dr. Ir. Handewi P. Salim (Sosial Ekonomi Pertanian) 8. Drs. Edi Basuno, M.Phill, P.Hd (Sosial Ekonomi Pertanian)
Sekretariat Redaksi (Editorial Secretariat) Ketua (Chairman) : Kabid Pengembangan Data dan Tindak Lanjut Penelitian Anggota (Members)
: 1. 2. 3. 4.
Kasub Bid Data, Informasi dan Diseminasi Bayu Subekti, SIP, M.Hum Leni Wulandari, S.Hut Ratna Widyaningsih, S.Kom
Mitra Bestari (Peer Reviewers)
: 1. 2. 3. 4.
Prof. Dr. Dudung Darusman (IPB) Prof. Dr. Djaban Tinambunan, MS Prof.MustofaAgungSardjono(Univ.Mulawarman) Dr. A. Ngaloken Gintings, MS
Diterbitkan oleh (Published by) : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan (Centre For Climate Change And Policy Research And Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (Forestry Research and Development Agency) Alamat (Address) : Jalan Gunung batu No. 5, PO. BOX 272 Bogor 16610, Indonesia Telepon (Phone) : 62-0251-8633944 Fax (Fax) : 62-251-8634924 Email :
[email protected]
PETUNJUK PENULISAN NASKAH “JURNAL PENELITIAN SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN” 1. Judul, harus jelas dan menggambarkan isi tulisan, ringkas tidak lebih dari 2 baris, ditulis dengan Times New Roman font 14 dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. 2. Naskah yang dikirim terdiri dari 15-30 halaman, 2 spasi, ukuran kertas A4 dan font ukuran huruf 12. 3. Nama penulis ditulis di bawah judul dan dicantumkan tanpa gelar, dicantumkan pula alamat instansi, No. Telp/faks serta alamat e-mail penulis (jika ada). 4. Abstract/abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan Indoneisa, tidak lebih dari 200 kata, berisi intisari permasalahan secara menyeluruh, bersifat informatif mengenai hasil yang dicapai, diketik dengan font 10, spasi satu. 5. Key words/Kata kunci ditulis di bawah abstrak dan tidak lebih dari lima entri. 6. Tubuh naskah, diatur dalam Bab dan Sub bab secara konsisten sesuai dengan kebutuhan. Semua nomor ditulis rata dibatas kiri tulisan, seperti: I, II, III, dst. untuk Bab A, B, C, dst. untuk Sub Bab 1, 2, 3, dst. untuk Sub subbab a, b, c, dst. untuk Sub sub subbab 7. Sistematik Penulisan adalah sebagai berikut: Judul : Bahasa Indonesia dan Inggris Abstract : Bahasa Inggris Abstrak : Bahasa Indonesia I. Pendahuluan II. Bahan dan Metode III. Hasil dan Pembahasan IV. Kesimpulan dan Saran Daftar Pustaka 8. Tabel, gambar, grafik dan sejenisnya diberi nomor, judul dan keterangan dalam bahasa Indonesia dan Inggris. 9. Daftar Pustaka merupakan referensi yang dirujuk dalam naskah dan disajikan secara alphabetik nama belakang penulis pertama. Pustaka yang dirujuk diusahakan terbitan paling lama sepuluh tahun terakhir. Pustaka dapat berasal antara lain dari buku, jurnal, prosiding dan internet, dengan contoh cara penulisan sebagai berikut: - Gidden, A. (1979). Central problems in social theory. Macmillan. London. - Doornbos, M. and L. Gertsch. (1994). Sustainability, technology and corporate interest: resources strategies in India's modern diary sector. development Studies 30(3):916-50 - Purnomo. (2004). Potensi dan peluang usaha perlebahan di propinsi Riau. Prosiding ekspose hasilhasil Litbang Hasil Hutan, tanggal 14 Desember 2004 di Bogor. Hlm. 133-141 Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor. - Agarwal, A. and S. Narain. (2002). Community and water management : the key to environment regeneration and proverty allevation. diakses 14 Januari 2002 dari Website: http:// www.undp.org/seed/pei/publication/ water.pdf. diakses 14 Januari 2002
ISSN: 1979-6013
JURNAL PENELITIAN SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN (Forestry Socio and Economic Research Journal) Vol. 10 No. 1 Maret Tahun 2013
TERAKREDITASI No. 493/AU1/P2MI-LIPI/08/2012
Forestry Socio and Economic Research Journal Volume 10 Nomor 1, Maret Tahun 2013
KEMENTERIAN KEHUTANAN Ministry of Forestry BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Forestry Research and Development Agency PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN Centre for Climate Change and Policy Research and Development BOGOR INDONESIA
JURNAL SOSEK
Vol. 10
No. 1
Hal 1 - 73
Bogor 2013
ISSN 1979-6013