ISSN 0216-0897 TERAKREDITASI : B No. 365/AU1/P2MBI/07/2011
JURNAL
ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN Journal of Forestry Policy Analysis Vol. 10 No. 1, April 2013
KEMENTERIAN KEHUTANAN Ministry of Forestry BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Forestry Research and Development Agency PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN Centre for Climate Change and Policy Research and Development BOGOR INDONESIA
J.Analisis. Keb.Hut
Vol.10
No.1
Hlm. 1 - 87
Bogor April 2013
ISSN 0216-0897
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013
ISSN 0216-0897
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan memuat karya tulis ilmiah dari hasil penelitian, pemikiran/tinjauan ilmiah mengenai kebijakan kehutanan atau bahan masukan bagi kebijakan kehutanan; terbit secara serial tiap empat bulan; dan telah diakreditasi oleh LIPI No. 629/D/ 2011) dengan predikat B. Journal of Forestry Policy Analysis is a scientific publication reporting research findings and forestry policy reviews or forestry policy recommendation; published serially every 4 months; and has been accredited by LIPI No. 629/D/2011) as Good Category (B-grade). Penanggung jawab (Editorial in chief) : Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Dewan Redaksi (Editoral Board) : Ketua (Chairman), merangkap anggota : Prof. Dr. Ir. Djaban Tinambunan, MS (Keteknikan Hutan) Anggota (Members) : 1. Dr. Ir. A. Ngaloken Gintings, MS (Konservasi Tanah dan Air) 2. Dr. Ir. Hariyatno Dwiprabowo, M.Sc (Ekonomi Kehutanan) 3. Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS (Kebijakan Kehutanan) 4. Ir. Ari Wibowo, M.Sc (Perlindungan Hutan) 5. Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc (Politik Ekonomi Kehutanan) 6. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS (Ekonomi Kelembagaan Kehutanan) 7. Dr. Ir. Dede Rohadi, M.Sc (Analis Kebijakan Kehutanan) 8. Dr. Ir. Sulistya Ekawati, M.Si (Sosiologi) Sekretariat Redaksi (Editorial Secretariat) Ketua (Chairman)
: : Kepala Bidang Pengembangan Data dan Tindak Lanjut Penelitian
Anggota (Members)
: 1. 2. 3. 4.
Kepala Sub Bidang Data, Informasi dan Diseminasi Bayu Subekti, SIP, M.Hum Leni Wulandari, S.Hut Ratna Widyaningsih, S.Kom
Mitra Bestari (Peer reviewers)
: 1. Prof. Dr. Dudung Darusman (Kebijakan Kehutanan) 2. Prof. Dr. Mustofa Agung Sardjono (Perhutanan Sosial)
Diterbitkan oleh (Published by) : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan (Centre for Climate Change and Policy Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (Forestry Research and Development Agency) Alamat (Address) : Jalan Gunung Batu No. 5, PO. BOX 272 Bogor 16610, Indonesia Telepon (Phone) : 62-0251-8633944 Fax (Fax) : 62-0251-8634924 Email :
[email protected]
ISSN 0216-0897 TERAKREDITASI : B No. 365/AU1/P2MBI/07/2011
JURNAL
ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN Journal of Forestry Policy Analysis Vol. 10 No. 1, April 2013
KEMENTERIAN KEHUTANAN Ministry of Forestry BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Forestry Research and Development Agency PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN Centre for Climate Change and Policy Research and Development BOGOR INDONESIA J. Analisis Keb. Hut.
Vol. 10
No. 1
Hlm. 1 - 87
Bogor April 2013
ISSN 0216-0897
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN Vol. 10 No. 1, April 2013
ISSN 0216-0897 TERAKREDITASI : B No. 365/AU1/P2MBI/07/2011
DAFTAR ISI (CONTENTS) PERSEPSI DAN SIKAP PARA PIHAK TERHADAP LANSKAP BERHUTAN DI KOTA PAGARALAM, DAS MUSI HULU SUMATERA SELATAN (Stakeholder's Perception and Attitude Toward Forested Landscape at Kota Pagaralam, The Upper Musi Watershed, South Sumatra) Edwin Martin, Bambang Tejo Premono & Ari Nurlia ..........................................
1 - 14
DAMPAK KEBIJAKAN PROVISI SUMBERDAYA HUTAN DAN DANA REBOISASI TERHADAP KESEJAHTERAAN (Impact of Forest Royalties and Reforestation Fund to the Welfare) Erwinsyah, Harianto, Bonar M. Sinaga & Bintang C.H. Simangunsong ...............
15 - 36
KAJIAN EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KUTAI (Study on the Effectiveness of Collaborative Management of Kutai National Park) Faiqotul Falah .......................................................................................................
37 - 57
KAJIAN JENIS POHON POTENSIAL UNTUK HUTAN KOTA DI BANDUNG, JAWA BARAT (Study of Tree Species Potential for Urban Forest in Bandung City, West Java) Soleh Mulyana ......................................................................................................
58 - 71
KONDISI TATA KELOLA HUTAN UNTUK IMPLEMENTASI PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN (REDD+) DI INDONESIA (Governance Strengthening for Reduce Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus ( REDD+) Implementation in Indonesia) Sulistya Ekawati, Kirsfianti L Ginoga & Mega Lugina ..........................................
72 - 87
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN ISSN: 0216 - 0897
Terbit : April 2013
Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa ijin dan biaya. UDC (OSDCF) 630*116 Edwin Martin, Bambang Tejo Premono & Ari Nurlia Persepsi dan Sikap para Pihak terhadap Lanskap Berhutan di Kota Pagaralam, DAS Musi Hulu Sumatera Selatan Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, hal. 1 - 14 Masalah deforestasi di DAS bagian hulu tidak dapat dihentikan atau diperlambat oleh kebijakan dan program yang berlaku saat ini, sehingga masih diperlukan pendekatan lain yang sesuai dengan dinamika sosial-ekonomi kondisi masyarakat lokal. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana memulai manajemen lanskap hutan di daerah dataran tinggi, melalui studi kasus di Pagaralam, Sumatera Selatan. Penelitian dilakukan melalui survei terhadap para pihak yang memiliki kepentingan dan kewenangan pada lanskap hutan di Pagaralam. Data hasil survei dianalisis dengan statistik non parametrik, kemudian dibahas dengan para pihak melalui FGD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para aktor pemerintah dan pengguna lahan memiliki persepsi dan sikap yang berbeda dalam menilai lanskap berhutan. Selain pentingnya peningkatan kesadaran bagi pengguna lahan melalui media yang mengangkat isu-isu lingkungan, prioritas program untuk memulai pengelolaan lanskap hutan adalah penanaman kembali dan melindungi daerah sekitar mata air dan kanan kiri sisi sungai. Kata kunci: Lanskap berhutan, dataran tinggi, DAS hulu, persepsi
UDC (OSDCF) 630*61 Erwinsyah, Harianto, Bonar M. Sinaga & Bintang C.H. Simangunsong Dampak Kebijakan Provisi Sumberdaya Hutan dan Dana Reboisasi terhadap Kesejahteraan Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, hal. 15 - 36 Dalam tiga dasawarsa terakhir sektor kehutanan memberikan penerimaan negara, antara lain dari Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Untuk mengetahui dampak penerapan kebijakan PSDH dan DR terhadap kesejahteraan maka digunakan pendugaan elastisitas penawaran dan permintaan pasar kayu bulat dan pasar kayu olahan, yang digunakan atas dasar penelitian yang dilakukan sebelumnya. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dari tahun 1995 sampai dengan 2009. Hasil penelitian menunjukan bahwa kenaikan PSDH dan DR secara terpisah akan meningkatkan harga kayu bulat, kecuali harga kayu bulat HTI pulp, dan meningkatkan harga produk kayu olahan. Kenaikan PSDH dan DR secara bersamaan akan meningkatkan harga kayu bulat dan kayu olahan. Kenaikan PSDH akan
meningkatkan produksi kayu bulat dan kayu olahan, kecuali kayu lapis yang tidak didukung oleh kenaikan harga pasar. Kenaikan DR akan meningkatkan produksi kayu bulat, kecuali dari HTI pulp yang hampir tidak terpengaruh. Kenaikan DR akan meningkatkan produksi kayu gergajian, sedangkan kenaikan PSDH dan DR bersamaan akan meningkatkan produksi kayu bulat hutan alam, HTI perkakas dan HTI pulp, serta kayu gergajian dan pulp. Kenaikan PSDH dan DR akan meningkatkan kesejahteraan produsen serta menurunkan kesejahteraan konsumen kayu bulat. Kata kunci: Kayu bulat, produk kayu, penawaran, permintaan, elastisitas, kesejahteraan UDC (OSDCF) 630*907 Faiqotul Falah Kajian Efektivitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional Kutai Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, hal. 37 - 57 Kawasan Taman Nasional Kutai (TNK) mengalami defragmentasi dan degradasi habitat akibat perambahan, penebangan liar, serta kebakaran hutan. Kemitraan pengelolaan TNK terbentuk sejak 1994 dengan adanya Mitra Kutai. Namun berbagai permasalahan yang muncul mengindikasikan bahwa pengelolaan kawasan TNK belum efektif. Penelitian ini bertujuan memperoleh informasi mengenai efektivitas kelembagaan pengelolaan kolaboratif di TNK. Penelitian dilakukan dengan cara : 1) identifikasi kebijakankesepakatan yang berlaku, 2) analisis isi kebijakan, 3) identifikasi persepsi dan peran pemangku kepentingan; 4) analisis kualitatif terhadap persepsi dan peran pemangku kepentingan 5) analisis SWOT, dilanjutkan 6) rekomendasi penyempurnaan kelembagaan kolaborasi Mitra Kutai. Disimpulkan bahwa pengelolaan kolaborasi di TNK ternyata belum efektif, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah berikut : 1) Penelitian potensi dan kondisi terkini TNK; 2) publikasi hasil penelitian serta mengangkat isu permasalahan dan nilai penting TNK melalui media; 3)Penguatan jejaring kerja dengan lembaga donor internasional; 4) Penetapan/zonasi kawasan; 5) Rekonfigurasi lembaga kolaborasi pengelolaan TNK serta penyusunan program dan skema pendanaan yang disepakati semua pihak; 6) Kolaborasi dalam Pembangunan model Desa Konservasi; dan 7) Kolaborasi dalam program pemanfaatan ekonomi kawasan, seperti pembangunan kawasan agrowisata, pusat pendidikan lingkungan, taman safari dan kawasan ekowisata serta areal riset/penelitian. Kata kunci : Kolaborasi, kelembagaan, pengelolaan kawasan berbasis ekosistem, peran pemangku kepentingan
UDC (OSDCF) 630*182 Soleh Mulyana Kajian Jenis Pohon Potensial untuk Hutan Kota di Bandung, Jawa Barat Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, hal. 58 - 71 Pembangunan dan perkembangan ekonomi di suatu perkotaan cenderung dapat meminimalkan ruang terbuka hijau (RTH) yang berdampak terganggunya keseimbangan ekosistem seperti: perubahan suhu, polusi udara, pencemaran air, permukaan tanah menurun dan bahaya banjir. Upaya dalam mengurangi dampak negatif tersebut dapat dilakukan dengan cara pembangunan atau pengembangan hutan kota dengan memilih jenis pohon potensial yang sesuai dengan tipe kawasan dan peruntukannya. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji sejauhmana PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Lokasi penelitian kajian jenis pohon Potensial untuk Pengembangan Hutan Kota ditetapkan adalah kota Bandung yang telah memiliki Perda No. 25 tahun 2009 tentang hutan kota. Berdasarkan Perda tersebut Kota Bandung telah menetapkan 9 lokasi kawasan hutan kota, yaitu Taman Tegalega, Taman Pramuka, Taman Lantas, Taman Cilaki, Taman Maluku, Eks-TPA Cicabe, Eks-TPA Pasir Impun, Kebun Binatang Tamansari dan kawasan hutan PT Pindad. Metode yang digunakan adalah sensus melalui pengukuran luas kawasan, pengamatan struktur, pencacahan populasi, pengukuran dimensi pohon (diameter, tinggi total, tinggi bebas cabang, lebar dan tinggi tajuk) dan mengidentifikasi ( jenis, genera dan suku setiap pohon). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan kota terdiri dari 8 lokasi hutan kota digunakan sebagai sarana olah raga dan rekreasi/wisata untuk umum dan 1 lokasi merupakan tempat industri persenjataan sehingga tertutup bagi umum. Keanekaragaman jenis tertinggi terdapat di Kebun Binatang Tamansari dan terendah di kawasan Eks-TPA Pasir Impun, sedangkan untuk populasi terbanyak terdapat di PT Pindad, dan yang paling sedikit di kawasan Eks-TPA Pasir Impun. Jenis pohon yang ada sebagai vegetasi hutan kota umumnya merupakan jenis eksotik, dari hasil kegiatan penelitian ini disusun suatu matriks kesesuaian jenis pohon berdasarkan deskripsi (karakteristik dan fungsi) dari setiap jenis pohon yang sesuai dengan peruntukannya untuk setiap tipe kawasan hutan kota. Matriks kesesuaian jenis pohon potensial ini dapat digunakan sebagai acuan para pihak pengguna (Dinas instansi terkait dan swasta) dalam memilih suatu jenis pohon sebagai vegetasi hutan kota sesuai tipe kawasan dan peruntukannya. Meskipun demikian pemilihan jenis pohon sebaiknya mempertimbangkan kearifan lokal dengan memperhatikan jenis lokal (endemic) yang langka atau hampir punah untuk dipertahankan. Kata kunci : Hutan kota, tipe kawasan, struktur vegetasi, dan jenis pohon potensial.
UDC (OSDCF) 630*914 ) Sulistya Ekawati , Kirsfianti L Ginoga dan Mega Lugina Kondisi Tata Kelola Hutan untuk Implementasi Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) di Indonesia Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, hal. 72 - 87 Salah satu elemen kritis untuk mendukung keberhaslan REDD+ adalah melalui upaya meningkatkan tata kelola kepemerintahan yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis upaya kondisi tatakelola lembaga REDD+ sudah ada. Penelitian dilakukan pada tahun 2011 di Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Berau. Pemilihan kedua lokasi ini didasarkan pada keberadaan kegiatan percontohan (Demonstration Activities) di lokasi tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga REDD+ yang ada belum sepenuhnya mencerminkan tiga pilar dalam good governance, keterwakilan unsur masyarakat masih kurang. Indikator profesionalisme menduduki nilai tertinggi, sedangkan indikator partisipasi menduduki nilai terendah. Lembaga yang dapat berpotensi untuk menjadi lembaga REDD+ tersebut juga belum sepenuhnya menerapkan prinsip-prinsip good governance, hal ini karena baru dalam tahap awal operasional. Lembaga REDD+ yang ada semuanya merupakan lembaga ad hoc sehingga bersifat sementara, ada kecenderungan tidak adanya learning organization dan mengarah ke overlapping fungsi. Penelitian menyarankan beberapa hal: (i) penguatan tata kelola hutan pada lembaga REDD+ yang sudah ada bisa dilakukan melalui penguatan pilar masyarakat dan penguatan prinsip partisipasi, (ii) masyarakat atau pihak yang mewakili masyarakat perlu dilibatkan dalam struktur kelembagaan REDD+, (iii) Penilaian prinsip-prinsip good governance dalam institusi REDD+ akan lebih komprehensif jika dilakukan pada kondisi implementasi, dimana mekanisme distribusi pembayaran dari kegiatan penurunan emisi sudah berjalan, (iv) Fungsi fasilitas perlu terus diperkuat sebagai penggerak mekanisme REDD+ agar dapat terimplementasikan dan (iv) Struktur organisasi yang terbaik mengikuti strategi REDD+ yang ditetapkan. Kata kunci: tata kelola, hutan, pilar, prinsip dan indikator, REDD+
JOURNAL OF FORESTRY POLICY ANALYSIS ISSN: 0216 - 0897
Date of issue : April 2013
The discriptors given are keywords. The abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC (OSDCF) 630*116 Edwin Martin, Bambang Tejo Premono & Ari Nurlia Stakeholder’s Perception and Attitude Toward Forested Landscape at Kota Pagaralam, The Upper Musi Watershed, South Sumatera Journal of Forestry Policy Analysis Vol. 10 No. 1, p. 1 - 14
Problems of deforestation in the upstream watershed site can not be stopped or slowed down by current policies and programs, therefore other approaches are still required in accordance with the dynamics of socio-economics condition of local communities. This study was intended to answer questions about how to start a forest landscape management in upland areas, through case study in the Pagaralam, South Sumatra. Research is done by a survey of stakeholders who have interests and power on the forested landscape in Pagaralam. Data were analyzed with nonparametric statistics, and then discussed with the parties through FGD. The results showed that the actors in the goverment and land users have different perceptions and attitudes in assesing forested landscape. In addition to the importance of awareness-raising for land users through the media that raise enviromental issues, program priorities to initiate the management of forest landscapes in the upper basin include replanting and protecting springs and along side of the river. Keyword: Forested landscape, upland, upper watershed, perception
UDC (OSDCF) 630*61 Erwinsyah, Harianto, Bonar M. Sinaga & Bintang C.H. Simangunsong Impact of Forest Royalties and Reforestation Fund to the Welfare Journal of Forestry Policy Analysis Vol. 10 No. 1, p. 15 - 36 In the last three decades the forestry sector has given important contribution to the government revenues, among others are recieved from forest royalty (PSDH) and reforestation fund (DR). To determine the impact of implementation of PSDH and DR policy on welfare then elasticity of supply and demand of roundwood market and wood products market were determined, and use from previous study. Data used in this study was time series from year 1995 to year 2009. This study was concluded that increasing PSDH and DR separately will increase the price of roundwood, except the price of pulp wood of HTI, and will increase the price of wood products. An increased DR and PSDH at the sametime will increase the price of roundwood and wood products. Increased PSDH will encourage higher production of roundwood and wood products, except of plywood which was not much influenced by increased market prices. Increased DR will increase roundwood production, except the pulp wood of HTI. Increased DR will increase production of sawn timber. While increased DR and PSDH will simultaneously increase the
production of roundwood from natural forest, construction wood and pulp wood from HTI as well as sawntimber and pulp product. Increased PSDH and DR will increase producer welfare and reduce consumer welfare of roundwood. Keywords: Roundwood, wood products, supply, demand, elasticity, welfare
UDC (OSDCF) 630*907 Faiqotul Falah Study on the Effectiveness of Collaborative Management of Kutai National Park Journal of Forestry Policy Analysis Vol. 10 No. 1, p. 37 - 57 Kutai National Park (TNK) area has been defragmented and degraded due to illegal logging, forest fire, and land occupation. Collaborative management of TNK has been exists with the establishment of Mitra Kutai However various problems occur in TNK as indication that the collaborative management has not yet effective. This paper aims to describe information regarding the institutional effectiveness of collaborative management in TNK. This research was conducted by : 1) identification of related policies; 2) policy content analysis; 3) identification of stakeholders' perception and roles, 4) qualitative analysis on stakeholders' perception and roles, 5) SWOT analysis, and 6) formulation of recommendation on improvement steps of collaborative management of TNK. It was concluded that collaborative management of TNK was ineffective in solving various problems occurred, and therefore it is necessary to make improvement by the following steps : 1) Study the potential and current conditions of TNK; 2) Publish research results and raise issues on the problems and important values of TNK; 3) Strengthen networking with funding organizations; 4) Establish zonation area; 5) Reconfigure collaboration management organization and arrange programmes and scheme on budget agreed by all stakeholders; 6) Make collaboration on the development of model of conservation village; and 7) Collaboration in the economic utilization programmes in TNK, such as development of agro-tourism area, the environmental education center, safari-park and eco-tourism areas and research area Keywords : Collaboration, institution, ecosystem based forest management, stakeholders' roles
UDC (OSDCF) 630*182 Soleh Mulyana
UDC (OSDCF) 630*914 ) Sulistya Ekawati , Kirsfianti L Ginoga dan Mega Lugina
Study of Tree Species Potential for Urban Forest in Bandung City, West Java
Governance Strengthening for Reduce Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus ( REDD+) Implementation in Indonesia
Journal of Forestry Policy Analysis Vol. 10 No. 1, p. 58 - 71
Journal of Forestry Policy Analysis Vol. 10 No. 1, p. 72 - 87 Economic growth and development in urban area tend to reduce green open space that has impact on the disruption of ecosystem balance, such as temperature increase, air and water pollution, soil surface decrease and flood risk. Efforts to eliminate those negative impact can be conducted by the development of urban forest by using potential tree species. This study was aimed to investigate, how far the PP No. 63 / 2002 on urban forest has been accommodated by local gaverment. Location for this study was the City of Bandung, that has issued local regulation (Perda) No. 25 / 2009 on urban forest that identifies nine urban forests in Bandung namely. Taman Tegalega, Taman Pramuka, Taman Lantas, Taman Cilaki, Taman Maluku, TPA Pasir Impun, Kebun Binatang Tamansari, and PT Pindad urban Forest. Census method was applied in this study in order to identify urban forest coverage, tree structure, tree population, tree dimension (diameter, total height, branch-free height, canopy height and width) and tree identification (genus, species, and family) This study indicated that all urban forests, except PT Pindad urban Forest, were utilized as sport and recreation facilites. PT Pindad urban forest was restricted as it is located inside the army industry. The highest tree diversity was at the Kebun Binatang Tamansari while the lowest was at TPA Pasir Impun. Largest tree population was found at PT Pindad forest, while the lowest one was found at TPA Pasir Impun. Almost all of tree population composing urban forests in Bandung wereexotic species. Results of this study were used to program tree species suitability matrix based on tree description (characteristics and functions) of all suitable tree species for urban forest. This potential tree matrix is, therefore recommended be used by stakeholders as a reference to d e t e r m i n e p a r t i c u l a r tr e e s p e c i e s f o r u r b a n f o r e s t development.However,, selection of tree species should consider the balance with endemic, rare and endanger species. Keywords: Urban forest, area type, vegetation structure, and potential tree species
In order to support development and management efforts of urban forest, a measure of legal control is necessary. Government has supported the efforts by enacting Government Regulation No.63/2002 regarding urban forest and technical policy from Ministry of Forestry Regulation No.P.71/2009 regarding the implementation of urban forest. Based on a research conducted in four cities (Samarinda, Balikpapan, Bontang and Tarakan) of East Kalimantan province, the legal basis (comprehensiveness and enforcement of laws) are more about spatial planning as a strategic issue. As derivation of national regulation, local regulations are expected to support in development and management efforts of regional level of urban forests. Local governments can enact local regulations for technical guidelines in short term strategy. Until 2011, only Tarakan municipality has enacted local regulation of urban forest, however all the cities have established urban forest in the city areas although still below the target of 10%. Moreover, most local regulations from these four cities have relatively paid little attention particularly to private property policy. Some of the major players may be involved in urban forest in developing towns. In this review, urban forest local regulations that exist in East Kalimantan are discussed, including legal issues, key players and their roles in urban forests management. Keywords: Urban forest, policy, East Kalimantan
PERSEPSI DAN SIKAP PARA PIHAK TERHADAP LANSKAP BERHUTAN DI KOTA PAGARALAM, DAS MUSI HULU SUMATERA SELATAN (Stakeholder's Perception and Attitude Toward Forested Landscape at Kota Pagaralam, The Upper Musi Watershed, South Sumatera) 1
2
Edwin Martin , Bambang Tejo Premono & Ari Nurlia
3
1,2,3
Balai Penelitian Kehutanan Palembang, Jl. Kol. H. Burlian Punti Kayu Km 6,5. Telp/Fax 414864 Palembang, E-mail :
[email protected] Diterima 18 Juli 2012, disetujui 1 Agustus 2012
ABSTRACT Problems of deforestation in the upstream watershed site can not be stopped or slowed down by current policies and programs, therefore other approaches are still required in accordance with the dynamics of socioeconomics condition of local communities. This study was intended to answer questions about how to start a forest landscape management in upland areas, through case study in the Pagaralam, South Sumatra. Research is done by a survey of stakeholders who have interests and power on the forested landscape in Pagaralam. Data were analyzed with nonparametric statistics, and then discussed with the parties through FGD. The results showed that the actors in the goverment and land users have different perceptions and attitudes in assesing forested landscape. In addition to the importance of awareness-raising for land users through the media that raise enviromental issues, program priorities to initiate the management of forest landscapes in the upper basin include replanting and protecting springs and along side of the river. Keyword : Forested landscape, upland, upper watershed, perception.
ABSTRAK Masalah deforestasi di DAS bagian hulu tidak dapat dihentikan atau diperlambat oleh kebijakan dan program yang berlaku saat ini, sehingga masih diperlukan pendekatan lain yang sesuai dengan dinamika sosial-ekonomi kondisi masyarakat lokal. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana memulai manajemen lanskap hutan di daerah dataran tinggi, melalui studi kasus di Pagaralam, Sumatera Selatan. Penelitian dilakukan melalui survei terhadap para pihak yang memiliki kepentingan dan kewenangan pada lanskap hutan di Pagaralam. Data hasil survei dianalisis dengan statistik non parametrik, kemudian dibahas dengan para pihak melalui FGD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para aktor pemerintah dan pengguna lahan memiliki persepsi dan sikap yang berbeda dalam menilai lanskap berhutan. Selain pentingnya peningkatan kesadaran bagi pengguna lahan melalui media yang mengangkat isu-isu lingkungan, prioritas program untuk memulai pengelolaan lanskap hutan adalah penanaman kembali dan melindungi daerah sekitar mata air dan kanan kiri sisi sungai. Kata kunci : Lanskap berhutan, dataran tinggi, DAS hulu, persepsi
1
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 1 - 14
I. PENDAHULUAN Saat ini, agen utama penyebab deforestasi tidak lagi hanya oleh peladang berpindah dan petani skala kecil saja, namun oleh usaha-usaha berbasis kapital (Boucher, 2010; Rudel et al., 2009). Karenanya, konsentrasi penanganan masalah-masalah deforestasi dalam kerangka perubahan iklim lebih banyak diarahkan di daerah dataran rendah seperti lahan gambut, yang berpotensi besar sebagai wilayah pertumbuhan ekonomi, sementara di wilayah dataran tinggi dan pegunungan sebagai hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) sedikit terabaikan. Padahal, di Pulau Sumatera, tutupan hutan yang tersisa lebih terkonsentrasi di area sepanjang Bukit Barisan, sebagai bagian hulu DAS-DAS di Sumatera. Salah satu contoh DAS bagian hulu yang kini masih berkutat pada persoalan deforestasi adalah Sub DAS Lematang yang terletak di Kota Pagaralam, Sumatera Selatan. Meskipun sejak tahun 2003 Pemerintah Kota Pagaralam telah menggalakkan program penanaman pohon yang bersifat wajib bagi Pegawai Negeri Sipil, namun, sampai sekarang dampak lingkungan kerusakan hutan masih tetap dikeluhkan para pihak. Pada musim kemarau sawah dan air terjun sebagai objek wisata seringkali mengalami kekeringan, sementara banjir bandang selalu menghantui pada saat datangnya hujan (Sumeks, 13 September 2011, 31 Oktober 2011, 17 November 2011). Seluas 7.950 ha dari 8.740 ha jumlah total hutan lindung telah mengalami kerusakan dan beralih fungsi menjadi lahan pertanian atau lahan kritis (Sindo, 10 Februari 2011). Situasi ini makin diperparah oleh meluasnya alih guna lahan hutan di daerah perbukitan dan sekitar Gunung Dempo menjadi kebun-kebun sayur (Sumeks, 27 Agustus 2011; Republika, 21 November 2011). Keadaan ini menunjukkan
2
bahwa masalah deforestasi pada taraf tapak atau mikro DAS hulu belum dapat dihentikan atau diperlambat melalui pendekatan struktural kebijakan dan program yang berlaku sekarang, sehingga masih diperlukan pendekatan lain yang sesuai dengan dinamika kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal. Teori transisi hutan menyebutkan bahwa deforestasi di suatu wilayah akan terus terjadi sebagai akibat urbanisasi dan industrialisasi, kemudian suatu waktu akan mengalami pemulihan lagi atau reforestasi (Rudel et al., 2005; Mather, 2007). Menurut Angelsen (1999) deforestasi untuk membuka lahan pertanian seringkali menjadi satusatunya pilihan yang tersedia bagi kehidupan petani yang hidup di sekitar hutan. Jika demikian, maka deforestasi yang masih terjadi sebagaimana kasus di Pagaralam adalah sesuatu yang tak terelakkan. Pada situasi ini, tugas pemerintah adalah mempertahankan tutupan hutan yang tersisa dan mendorong reforestasi pada bentang lahan (lanskap) yang memiliki nilai konservasi tinggi. Bagaimana, dimana dan bersama siapa kebijakan konservasi dan penanaman kembali lanskap hutan tersebut akan dilakukan bergantung kepada status perilaku para pihak yang berinteraksi dengan lanskap. Persepsi dan sikap para pihak menggambarkan perilaku yang telah, sedang dan akan mereka lakukan. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana memulai pengelolaan lanskap hutan di daerah dataran tinggi yang masih mengalami deforestasi, melalui contoh kasus di Kota Pagaralam. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui persepsi dan sikap para pihak terhadap nilai penting hutan dalam skala lanskap sub DAS Lematang Kota Pagaralam, Sumatera Selatan.
Persepsi dan Sikap para Pihak terhadap Lanskap Berhutan di . . . Edwin Martin, Bambang Tejo Premono & Ari Nurlia
II. METODE PENELITIAN A. Konteks dan Penentuan Para Pihak Kota Pagaralam mulai berdiri sendiri sebagai daerah otonom dan terpisah dari Kabupaten Lahat sejak tahun 2001. Sebagai salah satu kota di Provinsi Sumatera Selatan, Pagaralam terletak sekitar 298 km dari Palembang (Ibukota Provinsi) serta berjarak 60 km di sebelah barat daya Lahat (Ibukota Kabupaten Lahat). Kota Pagaralam memiliki luas wilayah ± 63.366 ha, yang terbagi menjadi lima kecamatan yaitu Dempo Selatan, Dempo
Tengah, Dempo Utara, Pagaralam Selatan dan Pagaralam Utara. Kota ini memiliki tingkat 2 kepadatan penduduk 195 jiwa/km . Sebagian besar keadaan tanah di Pagaralam berasal dari jenis latosol dan andosol dengan bentuk permukaan bergelombang sampai berbukit (Gambar 1). Tipologi tanah di Pagaralam tergolong subur. Sebagian besar areal yang berada tidak jauh dari pemukiman dijadikan lahan usahatani, seperti sayur mayur, kopi, coklat dan buah-buahan, terutama di areal yang bergelombang dan berbukit. Desadesa tertentu di sisi utara merupakan areal penghasil beras dengan persawahan yang luas.
Gambar 1. Citra lanskap Kota Pagaralam sebagai lokasi penelitian Figure 1. Image of Pagaralam landscape as case study site 3
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 1 - 14
Kota Pagaralam temasuk ke dalam hulu Sub DAS Lematang, DAS Musi. Sebagai hulu DAS, wilayah Kota Pagaralam dipenuhi oleh sungai-sungai kecil dan ratusan mata air, serta didominasi lahan dengan kemiringan lebih dari 40%. Selain Sungai Lematang yang berada di sisi tengah wilayahnya, terdapat sungai-sungai lain seperti Selangis Besar, Selangis Kecil, Air Kundur, Air Perikan, Endikat dan puluhan sungai-sungai lainnya yang berperan sebagai penyokong kehidupan masyarakat di Pagaralam dan sekitarnya. Deskripsi Kota Pagaralam ini berimplikasi pada kebutuhan untuk mengelola lanskapnya sebagai areal yang selayaknya didominasi oleh vegetasi hutan. Meskipun secara lanskap wilayah Pagaralam idealnya didominasi oleh vegetasi hutan, namun pada kenyataannya areal yang masih berhutan kian hari makin menyempit. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Pagaralam melaporkan telah terjadi deforestasi seluas 7.950 ha dari 28.740 ha keseluruhan areal kawasan hutan lindung (Sindo, 10 Februari 2011). Deforestasi ini dilakukan oleh petani untuk membuka kebun kopi atau sayur. Selain hutan yang terletak di areal kawasan hutan lindung, deforestasi juga terjadi pada hutanhutan di perbukitan, sepanjang aliran sungai dan mata air yang berada di luar kawasan hutan. Hal ini terindikasi dari luasnya lahan kritis dan sangat kritis yang dilaporkan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan (2009) untuk areal di luar kawasan hutan di Kota Pagaralam, yaitu 13.070,36 ha, sementara di dalam kawasan hutan mencapai 11.554,60 ha. Secara total, lahan yang tergolong kritis dan sangat kritis mencapai 24.625,16 ha atau hampir 40% dari total keseluruhan wilayah Kota Pagaralam. Dalam konteks kesatuan wilayah DAS, area administrasi Kota Pagaralam meliputi lanskap hulu yang berbukit sampai bergunung dan hilir yang relatif datar sampai
4
bergelombang. Wilayah hulu adalah hutan lindung Bukit Jambul sebagai daerah sumber mata air dan ratusan anak sungai. Tutupan lahan di wilayah hulu kini adalah hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, kebun ladang masyarakat dan beberapa kantong pemukiman masyarakat. Tata guna lahan usahatani di wilayah hulu didominasi oleh kebun kopi dan sayur. Wilayah hilir pada umumnya merupakan pusat pemukiman penduduk/perkampungan, sawah, tegalan dan kebun masyarakat. Masyarakat di hilir mengandalkan sawah sebagai sumber nafkah keluarga, namun biasanya tetap mengusahakan kebun kopi. Para pihak (stakeholders) didefinisikan oleh Freeman (1984 dalam Ramirez 1999) sebagai setiap kelompok atau individu yang dapat memengaruhi atau dipengaruhi pencapaian tujuan bersama. Namun, menurut Ramirez (1999), dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, definisi Rolling dan Wagemakers (1998) lebih mengena, yakni kelompok atau individu yang menggunakan dan mengelola sumberdaya alam. Oleh karena itu, selain pemerintah kota sebagai pihak yang berpengaruh, para pihak dalam penelitian ini adalah mereka yang menggunakan lahan di wilayah hulu (petani kopi dan sayur) dan hilir (petani sawah). B. Pengumpulan Data Pengumpulan data persepsi para pihak terhadap nilai penting lanskap berhutan di Kota Pagaralam dilakukan dengan cara survei yang dilengkapi dengan Focus Group Discussion (FGD). Unit analisis dalam penelitian ini adalah lanskap di sekitar Sungai Lematang yang termasuk dalam wilayah administrasi Kota Pagaralam, sehingga pewakil para pihak ditentukan secara sengaja berdasarkan posisi sentral suatu komunitas sebagai pengguna lahan. Petani kopi diwakili oleh masyarakat Dusun Tebat Benawa dan Tanjung Taring
Persepsi dan Sikap para Pihak terhadap Lanskap Berhutan di . . . Edwin Martin, Bambang Tejo Premono & Ari Nurlia
yang berada di sisi selatan lanskap Pagaralam dan berbatasan langsung dengan kawasan berhutan ( forest frontier ). Petani padi direpresentasi oleh masyarakat Dusun Jangga dan Bandar, tempat yang dikenal sebagai penghasil beras. Petani sayur diwakili masyarakat Dusun Kerinjing, sebagai sentra perkebunan sayur. Ketiga pihak ini disebut sebagai kelompok masyarakat. Pihak pemerintah kota diwakili oleh aktor-aktor yang berasal dari dinas instansi yang terkait langsung dengan lanskap, yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH), Dinas Pertanian dan Hortikultura (Distan), Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP) dan camat. Pihak lain yang memiliki kepentingan dan pengaruh baik terhadap lanskap maupun para pihak adalah para ketua RW. Mereka adalah warga dusun yang dipilih oleh masyarakat
sebagai pemimpin dusun, menggantikan peran kepala desa pada era sebelum Pagaralam memisahkan diri dari Kabupaten Lahat. Survei dilakukan terhadap petani dan aktor pada setiap kelompok pihak dengan cara wawancara. Partisipan kelompok petani dipilih secara insidentil pada setiap dusun terpilih. Partisipan adalah kepala keluarga petani yang pada saat penelitian berlangsung sedang berada di rumah dan bersedia untuk melakukan wawancara. Karena keterbatasan sumberdaya (waktu dan dana), jumlah partisipan di setiap dusun dibatasi sebanyak 30 kepala keluarga. Wawancara dibantu oleh enumerator lokal yang mentranslasi bahasa di kuesioner ke dalam bahasa yang mudah dipahami partisipan. Wawancara terhadap kelompok pemerintah kota, termasuk dengan ketua RW, dilakukan sendiri oleh tim peneliti. Wawancara terhadap para pihak ini menggunakan satu dokumen kuesioner. Jumlah dan asal partisipan penelitian disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah dan asal partisipan penelitian Table 1. The amount and origin of research participants No.
1. 2. 3. 4.
Unsur pihak (Group of party ) Petani kopi (kebun campuran) Petani padi sawah Petani sayur Ketua RW (mantan kepala desa)
5.
Camat
6.
SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah)
Asal pihak (Origin) Dusun Tebat Benawa, Dusun Tanjung Taring Dusun Jangga, Dusun Bandar Dusun Kerinjing Dusun Tebat Benawa, Dusun Tanjung Taring, Dusun Jangga, Dusun Bandar, Dusun Kerinjing, Dusun Benua Keling, dan Dusun Semidang Alas Pagaralam Selatan, Dempo Tengah, Dempo Utara Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Bappeda, Dinas Pertanian dan Hortikultura, Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan.
Jumlah partisipan (Amount of participant) 60 orang 60 orang 30 0rang 7 orang
3 orang 5 orang
5
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 1 - 14
Kuesioner yang dipakai dalam penelitian ini berisi daftar pernyataan tentang nilai penting keberadaan hutan dan sikap para pihak terhadap lanskap berhutan. Daftar pernyataan nilai penting keberadaan hutan disusun berdasarkan manfaat ekonomis, ekologis dan sosial hutan yang disebut dalam penelitian Dolisca et al. (2007). Partisipan mengungkapkan keyakinan terhadap pernyataan nilai penting hutan dengan memilih enam pilihan tanggapan, yaitu tidak tahu, sangat salah, salah, ragu-ragu, benar dan sangat benar. Daftar pernyataan tentang idealisme konservasi hutan pada lanskap tertentu disusun secara normatif dengan mengacu kepada Keputusan Presiden RI No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Partisipan menunjukkan sikapnya terhadap pernyataan normatif nilai penting hutan pada lanskap tertentu dengan memilih salah satu dari enam jawaban, yaitu tidak mengerti, sangat tidak setuju, setuju, ragu-ragu, setuju dan sangat setuju. Persepsi dan sikap masyarakat terhadap nilai penting hutan pada lanskap tertentu didiskusikan secara formal dalam forum FGD, guna melengkapi data dan informasi yang diperoleh dari wawancara. FGD dilakukan bersama masyarakat Dusun Semidang Alas, di mana sebagian warganya merupakan petani kopi dan sebagian lain adalah petani sayur, sehingga dapat dianggap mewakili dua kelompok dominan pengguna lanskap. Dusun ini merupakan salah satu pintu masuk ke arah kawasan hutan lindung Bukit Jambul. C. Analisis Data Tanggapan partisipan penelitian terhadap pernyataan yang diajukan dalam wawancara dikuantifikasi melalui skala Likert, dimulai dari angka 1 untuk tidak tahu/mengerti, 2 untuk sangat salah/sangat tidak setuju, 3 untuk jawaban salah/tidak setuju, 4 untuk respon ragu-ragu, 5 untuk benar/setuju dan 6 untuk 6
respon sangat benar/setuju. Hasil kuantifikasi dianalisis secara deskriptif untuk memperoleh pemusatan jawaban (rerata) setiap pernyataan yang diajukan dan setiap kelompok pihak. Perbedaan nilai persepsi antarpihak terhadap nilai penting hutan dianalisis melalui uji beda Mann-Whitney. Perbedaan sikap antarpihak terhadap konservasi hutan pada lanskap tertentu dianalisis melalui uji beda KruskalWallis (Santoso, 2001). Hubungan antara atribut partisipan penelitian dari kelompok masyarakat dengan sikapnya terhadap hutan pada lanskap tertentu dianalisis menggunakan korelasi Spearman dan Cramer. Penjelasan mengenai alasanalasan dibalik persepsi para pihak dianalisis secara deskriptif kualitatif sebagai hasil dari FGD.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Persepsi terhadap nilai penting hutan Manusia menilai apakah suatu hutan penting atau tidak bagi diri dan lingkungannya berdasarkan informasi, pengalaman dan kepentingan masing-masing yang tidak selalu sama. Nilai penting hutan selalu dilihat dari 3 (tiga) fungsi, yaitu ekologi, ekonomi dan sosial. Penelitian ini mendefinisikan hutan sebagai areal yang didominasi vegetasi berkayu atau pepohonan. Tabel 2 menampilkan nilai persepsi setiap kelompok kepentingan terhadap nilai penting eksistensi hutan di wilayah administrasi Kota Pagaralam. Nilai penting hutan dari sisi ekologi direpresentasikan oleh peran ekosistem hutan, konservasi tanah dan air, suplai air dan udara bersih. Peran ekosistem hutan sebagai habitat flora fauna dibenarkan para pihak (nilai rerata lebih dari 5), meskipun kelompok petani sayur tidak terlalu meyakininya. Seluruh kelompok kepentingan meyakini peran hutan dalam
Persepsi dan Sikap para Pihak terhadap Lanskap Berhutan di . . . Edwin Martin, Bambang Tejo Premono & Ari Nurlia
mencegah terjadinya banjir, namun peran mengurangi bahaya erosi tidak terlalu diyakini oleh kelompok petani kopi. Petani sayur dan kopi juga tidak terlalu yakin jika hutan memiliki peran dalam penyuplai air bersih, air bagi persawahan serta udara bersih. Keraguan
terhadap peran-peran ekologis hutan ini disampaikan paling sering oleh kelompok petani sayur. Kelompok pemerintah sangat meyakini semua atribut peran ekologis hutan. Nilai persepsi kelompok pemerintah tersebut berbeda nyata dengan nilai persepsi kelompok kepentingan lainnya.
Tabel 2. Nilai persepsi para pihak terhadap nilai penting hutan Table 2. Score of stakeholders perception toward forests roles No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19 20.
Pernyataan (Statements) Hutan menyediakan tempat bagi banyak tumbuhan dan hewan Hutan adalah tempat yang baik bagi anda untuk mengamati alam Hutan meningkatkan kualitas tanah Hutan mencegah banjir Hutan mengurangi erosi tanah Hutan meningkatkan ketersediaan air minum Hutan menjaga ketersediaan air sawah Hutan meningkatkan kualitas udara Menanam pohon menambah nilai kekayaan anda Hutan menarik kedatangan wisatawan Hutan meningkatkan hasil usaha pertanian Hasil hutan bukan kayu menambah penghasilan Hasil hutan kayu menambah penghasilan Hutan menyediakan sumber mata pencarian Menanam pohon meningkatkan peluang pendidikan anak-anak Menanam pohon berarti menyediakan kayu bangunan Menanam pohon berarti memperkuat masyarakat perdesaan Menanam pohon mendukung tanggung jawab lingkungan Pohon-pohon menciptakan damai bagi kehidupan Pejabat dan tokoh masyarakat menjadi contoh dalam menjaga dan membangun hutan. Rataan per kelompok kepentingan
Rataan nilai persepsi kelompok kepentingan (Mean score of stakeholders perception ) Kopi Padi Sayur RW PEMDA (K) (P) (S) (R) (M)
Signifikansi perbedaan (Significance of difference)
5,02
5,16
4,83
5,25
5,88
M > R, P, K, S
4,62
4,95
4,07
5,00
5,25
M, R, P, K > S
4,60 5,05 4,84
4,90 5,21 5,19
4,43 5,07 5,03
5,00 5,25 5,25
5,50 5,75 5,88
M > K, S M > P, S, K M > R, P, S, K
4,75
5,14
4,63
5,00
5,75
M > P, R, K, S
4,90
5,04
4,77
4,75
5,63
M > P, K, S, R
4,75
5,04
4,47
5,00
5,75
M > P, R, K, S
4,60
4,80
4,4
4,25
5,50
M > P, K, S, R
3,70
4,14
4,3
4,75
5,25
M > S, P, K
4,39
4,85
4,4
4,50
5,25
M > R, S, K
4,73
4,92
4,17
5,00
5,38
M>K>S
4,19
4,06
4,23
4,50
4,88
M > S, K, P
4,54
4,47
4,23
4,00
5,13
M > K, P, S, R
4,70
4,98
4,3
4,75
5,50
M > P, R, K, S
5,00
5,02
4,93
5,00
5,25
M > P, K, R, S
4,14
4,66
3,77
4,75
5,25
M > P, K, S
4,70
5,16
4,17
5,00
5,50
M > K, S
4,28
4,86
4,2
4,75
5,38
M > P, R, K, S
4,87
4,69
5,03
5,00
5,63
M > S, R, K, P
4,62
4,86
4,47
4,84
5,46
7
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 1 - 14
Peran ekonomi lanskap berhutan secara umum dipandang dari nilai ekonomi kayu, hasil hutan bukan kayu dan jasa-jasa lingkungan. Para pihak meragukan hasil kayu dari hutan dapat menambah penghasilan masyarakat (Rerata nilai persepsi mendekati 4). Semua kelompok kepentingan kecuali pemerintah daerah juga meragukan usaha tanaman dan ekowisata hutan sebagai kegiatan ekonomi yang menguntungkan di Pagaralam. Bagi kelompok petani sayur, hasil hutan bukan kayu tidak bisa menjadi sumber penghasilan tambahan. Hutan menurut semua kelompok kepentingan selain pemerintah daerah tidak dapat menjadi sumber mata pencaharian masyarakat. Namun demikian, semua kelompok kepentingan memiliki persepsi yang sama bahwa menanam pohon dapat menyediakan kayu bangunan. Petani sayur merupakan kelompok kepentingan yang paling meragukan nilai penting peran sosial eksistensi hutan di Kota
Pagaralam. Peran sosial hutan, seperti terciptanya kedamaian relasional, peningkatan status sosial desa hutan, kebanggaan terhadap citra penyelamat lingkungan diragukan oleh kelompok-kelompok pengguna lahan namun dibenarkan oleh kelompok pemerintah (Pemda dan ketua RW). Kelompok pemerintah daerah secara umum memiliki persepsi positif terhadap nilai penting fungsi hutan. Persepsi pemerintah daerah ini berbeda secara nyata dengan para pihak lainnya. Gambar 2 menunjukkan sebaran nilai persepsi para pihak di Kota Pagaralam terhadap nilai penting hutan. Secara umum terlihat bahwa para pihak paling mengapresiasi fungsi ekologi dari eksistensi hutan. Ini berarti, pendekatan nilai-nilai ekologi hutan lebih tepat untuk menjadi pintu masuk pengelolaan hutan di Kota Pagaralam. Gambar ini juga memperlihatkan terjadinya kesenjangan persepsi yang luar biasa antara kelompok pemerintah daerah dengan kelompok petani sayur dan kopi.
Sangat penting
Penting
Ragu-ragu Ekologi
Ekonomi
Sosial
Gambar 2. Posisi nilai persepsi para pihak terhadap nilai penting hutan Figure 2. Mapping of stakeholders perception scores toward forests roles 8
Persepsi dan Sikap para Pihak terhadap Lanskap Berhutan di . . . Edwin Martin, Bambang Tejo Premono & Ari Nurlia
2. Sikap terhadap lanskap berhutan Lanskap atau bentang lahan merupakan konfigurasi khusus dari topografi, penutupan vegetasi, tata guna lahan dan pola pemukiman yang membatasi beberapa ide aktivitasaktivitas dan proses-proses alam dan budaya (Green et al., 1996 dalam Arifin et al., 2009). Lanskap berhutan mengacu kepada penampakan di atas permukaan bumi yang didominasi vegetasi pohon atau tanaman berkayu lainnya. Undang-Undang No. 41 tahun 1999 dan Keputusan Presiden RI Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung telah mengatur hubungan antara masyarakat dengan lanskap tertentu yang berhutan. Tabel 3 menyajikan sikap kelompok pengguna lahan di Pagaralam terhadap lanskap tertentu yang berdasarkan peraturan perundangan merupakan kawasan dilindungi.
Penelitian ini menunjukkan bahwa tiga kelompok dominan pengguna lahan di Pagaralam memiliki kesamaan sikap terhadap hutan yang berada di kawasan hutan lindung, namun berbeda sikap terhadap lanskap dilindungi lainnya yang berada di kawasan budidaya. Kelompok petani sayur cenderung bersikap tidak setuju jika hutan yang berada di atas lahan-lahan miring tidak boleh ditebangi. Sikap tersebut juga diikuti oleh petani kopi meskipun menunjukkan gejala keragu-raguan. Sikap ragu-ragu ditunjukkan pula oleh petani sayur tentang pentingnya mempertahankan hutan yang berada di kanan kiri sungai dan sekitar mata air. Perbedaan sikap yang mencolok umumnya terjadi antara petani sayur dan petani padi. Petani padi, meskipun tidak mutlak, cenderung setuju dengan perlindungan hutan pada lanskap tertentu. Secara umum, lanskap berhutan kurang disukai oleh kelompok petani sayur.
Tabel 3. Rataan nilai sikap kelompok pengguna lahan terhadap lanskap berhutan Table 3. Mean score of land users attitude toward forested landscape No. 1. 2.
3.
4. 5.
6.
7.
Pernyataan sikap (Statements of attitude ) Hutan yang berada di kawasan hutan lindung tidak boleh ditebang. Hutan yang berada di atas lahan yang kemiringannya lebih dari 45 derajat tidak boleh ditebangi, meskipun pada lahan milik. Lahan yang berada 50 meter dari kanan kiri sungai tidak boleh menjadi kebun dan tetap dibiarkan menjadi hutan. Lahan yang berada 200 meter di sekitar mata air tidak boleh diganggu dan dibiarkan sebagai hutan. Orang yang berkebun di sekitar aliran sungai (50 meter) dan sumber mata air (200 meter) adalah penjahat lingkungan. Untuk memenuhi kebutuhan kayu bangunan yang makin mahal dan sulit diperoleh, masyarakat harus menanam sendiri pohon-pohon di kebun. Setiap jiwa yang tinggal di wilayah Pagaralam wajib untuk menanam pohon penghijauan.
Rataan nilai sikap kelompok kepentingan (Mean score of land users attitude ) Kopi Padi Sayur
Probabilitas (Probability )
5,17
5,285
5,07
0,97ns
4,345
4,71
3,73
0,000
4,52
4,915
4
0,000
4,91
4,905
4,13
0,000
4,38
4,615
3,83
0,001
5
5,105
5
0,102ns
4,74
4,985
5
0,002
Keterangan: ns = non-significant berarti sikap para pihak tidak berbeda secara nyata; angka probabilitas kurang dari 0,05 berarti ada perbedaan sikap antarpihak. Remark: ns = non-significant means attitude among stakeholders is not different significantly; Probability value less than 0,05 meant attitude among stakeholders is different significantly
9
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 1 - 14
Para pihak pengguna lahan di Pagaralam memiliki sikap yang sama terhadap tindakan penanaman pohon-pohon penghasil kayu bangunan di kebun. Menurut mereka, penanaman pohon dalam jumlah terbatas yang tidak mengganggu tanaman pokok adalah tindakan yang dapat diterima. Hasil penelitian yang menarik adalah bahwa ternyata petani sayur setuju dengan kewajiban penanaman pohon untuk penghijauan, sementara petani kopi sedikit meragukannya. Pohon penghijauan dirasakan perlu keberadaannya oleh petani sayur karena lingkungan sekitar mereka yang kini terbuka dan terasa panas pada siang hari. Petani kopi adalah pengguna lahan utama dalam lanskap Kota Pagaralam. Tabel 4
menampilkan perbedaan nilai sikap antara kelompok petani kopi dengan kelompok pemerintah. Lanskap tertentu sangat disetujui oleh kelompok pemerintah daerah untuk dipertahankan sebagai hutan, namun kelompok petani kopi dan ketua RW menunjukkan sikap yang cenderung ragu-ragu. Perbedaan sikap tersebut sangat mencolok terutama untuk perlindungan hutan di lanskap berbukit dan kanan kiri sungai. Bagi petani kopi, perbukitan dan kanan-kiri sungai adalah tempat favorit untuk berkebun kopi. Namun demikian, petani kopi setuju dengan tindakan penanaman pohon-pohon penghasil kayu bangunan pada lanskap-lanskap yang mereka usahakan sebagai kebun kopi.
Tabel 4. Rataan nilai sikap kelompok petani kopi dan pemerintah terhadap lanskap berhutan Table 4. Mean score of attitude of coffee growers and government officials toward forested landscape
No.
1. 2.
3.
4. 5.
6.
7.
Pernyataan sikap (Statements of attitude ) Hutan yang berada di kawasan hutan lindung tidak boleh ditebang. Hutan yang berada di atas lahan yang kemiringannya lebih dari 45 derajat tidak boleh ditebangi, meskipun pada lahan milik. Lahan yang berada 50 meter dari kanan kiri sungai tidak boleh menjadi kebun dan tetap dibiarkan menjadi hutan. Lahan yang berada 200 meter di sekitar mata air tidak boleh diganggu dan dibiarkan sebagai hutan. Orang yang berkebun di sekitar aliran sungai (50 meter) dan sumber mata air (200 meter) adalah penjahat lingkungan. Untuk memenuhi kebutuhan kayu bangunan yang makin mahal dan sulit diperoleh, masyarakat harus menanam sendiri pohon-pohon di kebun. Setiap jiwa yang tinggal di wilayah Pagaralam wajib untuk menanam pohon penghijauan.
Rataan nilai sikap kelompok kepentingan (Mean score of major stakeholder attitude) Kopi RW Pemda 5,17
5,25
5,88
0,005
4,345
4,75
5,63
0,000
4,52
4,25
5,50
0,001
4,91
4,00
5,63
0,000
4,38
4,25
5,50
0,002
5
4,00
3,25
0,003
4.74
4,75
5,38
0,000
Keterangan: angka probabilitas kurang dari 0,05 berarti ada perbedaan sikap antarpihak. Remark : Probability value less than 0,05 meant attitude among stakeholders is different significantly
10
Probabilitas (Probality )
Persepsi dan Sikap para Pihak terhadap Lanskap Berhutan di . . . Edwin Martin, Bambang Tejo Premono & Ari Nurlia
Tabel 5 memperlihatkan korelasi antara sikap kelompok pengguna lahan, yakni petani kopi, padi dan sayur terhadap lanskap berhutan dengan atribut pribadi mereka. Perbedaan sikap terhadap semua pernyataan tentang lanskap berhutan antar partisipan penelitian dari kelompok pengguna lahan ini secara umum hanya berkorelasi dengan atribut
pilihan usahatani, tidak dipengaruhi oleh perbedaan tingkat pendidikan, pendapatan dan luas lahan usahatani. Atribut luas lahan usahatani hanya berkorelasi secara negatif dengan sikap terhadap kewajiban menanam pohon penghijauan, di mana pemilik lahan sempit cenderung tidak setuju dengan kewajiban tersebut.
Tabel 5. Hubungan antara atribut partisipan penelitian dari kelompok pengguna lahan dengan sikap terhadap lanskap berhutan Table 5. Correlation between attitude toward forested landscape and land users personal attributes Atribut partisipan kelompok pengguna lahan (Land users personal attributes ) No.
1. 2.
3.
4.
5.
6.
7.
Sikap terhadap pernyataan... (Attitude toward statements... )
Hutan yang berada di kawasan hutan lindung tidak boleh ditebang. Hutan yang berada di atas lahan yang kemiringannya lebih dari 45 derajat tidak boleh ditebangi, meskipun pada lahan milik. Lahan yang berada 50 meter dari kanan kiri sungai tidak boleh menjadi kebun dan tetap dibiarkan menjadi hutan. Lahan yang berada 200 meter di sekitar mata air tidak boleh diganggu dan dibiarkan sebagai hutan. Orang yang berkebun di sekitar aliran sungai (50 meter) dan sumber mata air (200 meter) adalah penjahat lingkungan. Untuk memenuhi kebutuhan kayu bangunan yang makin mahal dan sulit diperoleh, masyarakat harus menanam sendiri pohon-pohon di kebun. Setiap jiwa yang tinggal di wilayah Pagaralam wajib untuk menanam pohon penghijauan.
Usahatani (Farming)
Pendidikan (Education )
Pendapatan (Income )
Luas lahan usahatani (Wide of farming land)
0,218*
0,133
- 0,136
- 0,123
0,288**
0,086
- 0,078
0,04
0,322**
0,069-
- 0,104
- 0,029
0,305**
- 0,036
0,087
- 0,076
0,27**
0,07
- 0,087
- 0,01
0,209*
0,112
- 0,013
- 0,128
0,309**
0,027
0,014
- 0,167*
Keterangan: 1. Kecuali usahatani, korelasi antara karakteristik responden dan sikapnya dianalisis menggunakan Metode Spearman. Usahatani merupakan kategorisasi (nominal) sehingga menggunakan analisis korelasi Cramer. 2. ** dan * berarti secara berturut-turut korelasi signifikan untuk tingkat kepercayaan 99% dan 95% Remarks: 1. Except for farming, the correlation between respondent characteristics and his/her attitudes were analyzed using the Spearman method. Farming score is categorization, so that analyzed by Cramer correlation. 2. ** and * meant significant correlation in 99% and 95% level of confidence respectively
11
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 1 - 14
B. Pembahasan Temuan pertama penelitian ini adalah terjadi kesenjangan persepsi yang lebar antara pemerintah dengan masyarakat lokal pengguna lahan, terutama kelompok petani sayur, dalam menilai penting atau tidaknya lanskap berhutan. Ini mengindikasikan bahwa gerakan pencegahan deforestasi dan penghijauan kembali yang didengung-dengungkan pemerintah belum membumi dan cenderung tertuju untuk masyarakat kota/hilir saja. Ketidakefektifan implementasi kebijakan pemerintah ini menyebabkan deforestasi di daerah-daerah yang jauh dari kota masih tetap berlangsung dan upaya penanaman kembali (rehabilitasi) kurang mendapat dukungan, sebagaimana juga terjadi pada kasus deforestasi di dataran tinggi Filipina (Jensen, 2003). Kebijakan hanya menyentuh aspek teknis kewajiban larangan menebangi hutan pada lanskap tertentu dan penanaman saja, tidak memperhatikan aspek institusi yang mencakup pengetahuan dan norma-norma yang diyakini masyarakat. Meskipun hasil penelitian Verbist et al. (2005) dalam kasus sistem agroforestri kopi di Lampung menyebutkan bahwa deforestasi hanya merupakan fase awal perubahan tata guna lahan di hulu DAS dan setelah itu akan terjadi “penanaman pohon kembali”, tetapi lanskap yang mulai berhutan dalam kasus di Kota Pagaralam tidak terjamin untuk makin berhutan atau bertahan lama. Masyarakat lokal menilai peran ekonomi hutan hanya dari penyediaan kayu bangunan untuk keperluan rumah tangga saja. Nilai ekonomi lahan akan didapatkan apabila lanskapnya berubah menjadi pertanian. Perbedaan persepsi yang lebar antara pemerintah dan pengguna lahan ini akan memunculkan ketidakpastian keadaan lanskap, sehingga keberlanjutan nilai penting hutan tidak dapat dipertahankan. Dibandingkan nilai ekonomi, nilai ekologi hutan lebih dihargai masyarakat. Karenanya, 12
pintu masuk untuk memulai pengelolaan lanskap hutan di daerah hulu DAS seperti Pagaralam adalah lebih tepat melalui isu-isu lingkungan. Menurut Frost et al. (2006), tindakan pertama yang penting dalam program penghutanan kembali lanskap tertentu yang seharusnya berhutan adalah mengelola interseksi kepentingan dan memberdayakan masyarakat lokal untuk terlibat secara aktif. Keterlibatan masyarakat dapat terjadi apabila kepentingan perlindungan lingkungan yang mereka butuhkan, seperti banjir dan kekeringan, dihubungkan dengan nilai penting lanskap berhutan. Masyarakat lokal pengguna lahan ternyata memiliki sikap yang berbeda untuk hutan pada lanskap tertentu. Sikap paling positif mereka tujukan bagi hutan di sekitar mata air, diikuti hutan di kanan kiri sungai. Sementara itu, mereka menunjukkan ketidaksetujuan dan keraguan terhadap larangan merusak hutan di perbukitan yang memiliki kemiringan curam. Sikap pada penelitian ini menunjukkan nilainilai yang dipegang oleh para pihak. Menurut Hermans dan Thissen (2008), nilai-nilai menyediakan arah kemana aktor-aktor akan melangkah. Nilai-nilai berhubungan dengan apa yang dianggap baik atau lebih disukai untuk dilakukan oleh aktor. Ini berhubungan dengan tujuan dan sasaran dari tindakan aktor, dalam hal ini pemenuhan nafkah keluarga. Ini berarti, kebijakan pengurangan deforestasi dan penanaman kembali di daerah hulu sungai lebih sesuai untuk diprioritaskan bagi lanskap sekitar mata air dan kanan kiri sungai, di mana resistensi masyarakat paling minim. Temuan akhir yang penting dalam penelitian ini adalah bahwa sikap pengguna lahan terhadap lanskap berhutan dipengaruhi oleh faktor pilihan usahatani. Petani sayur secara umum memiliki sikap negatif terhadap lanskap berhutan. Sistem pertanian sayur diyakini membutuhkan sinar matahari secara langsung, sehingga keberadaan pohon tidak diperlukan. Pertanian sayur yang diusahakan
Persepsi dan Sikap para Pihak terhadap Lanskap Berhutan di . . . Edwin Martin, Bambang Tejo Premono & Ari Nurlia
sepanjang tahun memerlukan pemeliharaan intensif yang membutuhkan penyiraman. Petani sayur meyakini bahwa posisi lahan yang terbaik adalah makin dekat ke arah puncak gunung, karena kebutuhan air dapat dipenuhi dari kabut yang menyelimuti punggung gunung. Keyakinan ini berasosiasi positif dengan deforestasi hutan gunung. Apabila makin banyak petani kopi beralih profesi menjadi petani sayur dan jumlah petani sayur makin dominan, maka lanskap berhutan di wilayah pegunungan akan makin terancam. Temuan-temuan yang menyingkap persepsi para pihak dalam penelitian ini sebaiknya menjadi peringatan dan penunjuk arah pengelolaan hutan di daerah hulu DAS yang berbasis lanskap. Menurut Pacheco et al. (2011), program REDD+ sebaiknya sejalan dengan arah perubahan lanskap dan aktoraktor yang relevan, agar dapat secara efektif memitigasi perubahan iklim dalam lanskap hutan. Karenanya, selain kegiatan penyadaran nilai penting hutan bagi masyarakat pengguna lahan melalui media-media yang mengangkat isu-isu lingkungan, program-program penanaman kembali harus lebih ditujukan pada lanskap-lanskap tertentu yang bernilai konservasi tinggi, seperti sekitar mata air dan kanan-kiri sungai. Penanganan masalah deforestasi dan penanaman kembali tidak menjadi domain sektor kehutanan saja, tetapi lebih membutuhkan aksi sektor lain. Dalam kasus makin meluasnya perkebunan sayur, maka peran perencanaan tata ruang dan sektor pertanian haruslah sejalan dengan konsep pembangunan ekonomi berwawasan lingkungan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN Aktor-aktor pemerintah dan kelompok pengguna lahan menunjukkan persepsi dan sikap yang berbeda dalam menilai penting
tidaknya lanskap berhutan di DAS Musi bagian hulu, Kota Pagaralam. Pemerintah meyakini semua peran eksistensi lanskap berhutan, namun kelompok pengguna lahan beranggapan bahwa hanya fungsi-fungsi ekologi yang dapat dihasilkan oleh lanskap berhutan. Kelompok pengguna lahan lebih menyetujui lanskap sekitar mata air dan kanan kiri sungai untuk dipertahankan sebagai hutan atau dihutankan kembali. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui lebih dalam tentang alasan-alasan dibalik munculnya persepsi dan sikap masyarakat ini, baik dari aspek pengetahuan maupun institusi lokal. Pengelolaan lanskap hutan di daerah dataran tinggi, seperti dalam kasus Kota Pagaralam, sebaiknya diawali dengan program peningkatan kesadaran masyarakat pengguna lahan tentang nilai penting hutan dengan menggunakan media-media yang mengangkat isu-isu lingkungan, seperti ancaman banjir dan kekeringan.
DAFTAR PUSTAKA Angelsen, A. 1999 Agricultural expansion and deforestation: modelling the impact of population, market forces and property rights. Journal of Development Economics 58: 185-218. Arifin, H.S., C. Wulandari, Q. Pramukanto, R.L. Kaswanto, 2009. Analisis Lanskap Agroforestri. IPB Press, Bogor. Boucher, D., 2010. Deforestation today: It's Just Business. Tropical Forest and Climate. Union of Concerned Scientists, Briefing 7. Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, 2009. Statistik Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. Dolisca, F., J.M. McDaniel, L.D. Teeter, 2007. Farmers' perception towards forests: A
13
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 1 - 14
case study from Haiti. Forest Policy and Economics, 9 : 704 712.
Keputusan Presiden RI Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
Frost, P., B. Campbell, G. Medina, L. Usongo, 2006. Landscape-scale approaches for integrated natural resource management in tropical forest landscape. Ecology and Society 11 (2):30.
Mather, A. S. 2007 Recent Asian forest transitions in relation to forest transition theory. International Forestry Review 9(1): 491-502.
Harian Republika [Republika], 21 November 2011. Alih fungsi lahan picu kerusakan hutan jati di Hutan Lindung Gunung Dempo. Harian Seputar Indonesia [Sindo], 10 Februari 2011. DPRD minta pengawasan hutan diperketat. Harian Sumatera Ekspres [Sumeks], 13 September 2011. Air terjun menghilang. Harian Sumatera Ekspres [Sumeks], 17 November 2011. Berpotensi banjir bandang. Harian Sumatera Ekspres [Sumeks], 27 Agustus 2011. Perbukitan terancam longsor. Harian Sumatera Ekspres [Sumeks], 31 Oktober 2011. 30 hektare sawah kekeringan. Hermans, L.M., W.A.H. Thissen, 2008. Actor analysis methods and their use for public policy analysts. European Journal of Operational Research. doi: 10.1016/ j.ejor.2008.03.040. Jensen, C., 2003. Development assistance to upland communities in the Philippines. World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor.
14
Pacheco, P., M. Aguilar-Stoen, J. Borner, A. Etter, L. Putzel, M.C.V. Diaz, 2011. Landscape transformation in Tropical Latin America: Assesing Trends and Policy Implications for REDD+. Forests, 2 : 1 29. Rámirez, R. 1999. Stakeholder analysis and conflict management. Di dalam Buckles D, editor. Cultivating Peace : Conflict and Collaboration in Natural Resource Management. New York: IDRC/World Bank.
Rudel, T.K., O.T. Coomes, E. Moran, F. Achard, A. Angelsen, J. Xu, E. Lambin, 2005. Forest transitions: towards global understanding of landuse change. Global Environmental Change 15: 23-31. Rudel, T.K., R. Defries, G.P. Asner, W.F. Laurance, 2009. Changing drivers of deforestation and new opportunities for conservation. Conservation Biology, Volume 23 No.6: 1306 1405. Santoso, S., 2001. Buku Latihan SPSS Statistik Non Parametrik. PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Verbist, B., A.E.D. Putra, S. Budidarsono, 2005. Factors driving land use change: Effects on watershed functions in a coffee agroforestry system in Lampung, Sumatra. Agricuktural Systems, 85: 254-270.
DAMPAK KEBIJAKAN PROVISI SUMBERDAYA HUTAN DAN DANA REBOISASI TERHADAP KESEJAHTERAAN (Impact of Forest Royalties and Reforestation Fund to the Welfare) 1
2
3
4
Erwinsyah , Harianto , Bonar M. Sinaga & Bintang C.H. Simangunsong 1 Short term Consultant untuk Bank Dunia, email:
[email protected] 2,3 Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Dramaga-Bogor 4 Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Dramaga-Bogor
Diterima 13 Februari 2012, disetujui 7 Juni 2012 ABSTRACT In the last three decades the forestry sector has given important contribution to the government revenues, among others are recieved from forest royalty (PSDH) and reforestation fund (DR). To determine the impact of implementation of PSDH and DR policy on welfare then elasticity of supply and demand of roundwood market and wood products market were determined, and use from previous study. Data used in this study was time series from year 1995 to year 2009. This study was concluded that increasing PSDH and DR separately will increase the price of roundwood, except the price of pulp wood of HTI, and will increase the price of wood products. An increased DR and PSDH at the sametime will increase the price of roundwood and wood products. Increased PSDH will encourage higher production of roundwood and wood products, except of plywood which was not much influenced by increased market prices. Increased DR will increase roundwood production, except the pulp wood of HTI. Increased DR will increase production of sawn timber. While increased DR and PSDH will simultaneously increase the production of roundwood from natural forest, construction wood and pulp wood from HTI as well as sawntimber and pulp product. Increased PSDH and DR will increase producer welfare and reduce consumer welfare of roundwood. Keywords: Roundwood, wood products, supply, demand, elasticity, welfare.
ABSTRAK Dalam tiga dasawarsa terakhir sektor kehutanan memberikan penerimaan negara, antara lain dari Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Untuk mengetahui dampak penerapan kebijakan PSDH dan DR terhadap kesejahteraan maka digunakan pendugaan elastisitas penawaran dan permintaan pasar kayu bulat dan pasar kayu olahan, yang digunakan atas dasar penelitian yang dilakukan sebelumnya. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dari tahun 1995 sampai dengan 2009. Hasil penelitian menunjukan bahwa kenaikan PSDH dan DR secara terpisah akan meningkatkan harga kayu bulat, kecuali harga kayu bulat HTI pulp, dan meningkatkan harga produk kayu olahan. Kenaikan PSDH dan DR secara bersamaan akan meningkatkan harga kayu bulat dan kayu olahan. Kenaikan PSDH akan meningkatkan produksi kayu bulat dan kayu olahan, kecuali kayu lapis yang tidak didukung oleh kenaikan harga pasar. Kenaikan DR akan meningkatkan produksi kayu bulat, kecuali dari HTI pulp yang hampir tidak terpengaruh. Kenaikan DR akan meningkatkan produksi kayu gergajian, sedangkan kenaikan PSDH dan DR bersamaan akan meningkatkan produksi kayu bulat hutan alam, HTI perkakas dan HTI pulp, serta kayu gergajian dan pulp. Kenaikan PSDH dan DR akan meningkatkan kesejahteraan produsen serta menurunkan kesejahteraan konsumen kayu bulat. Kata kunci: Kayu bulat, produk kayu, penawaran, permintaan, elastisitas, kesejahteraan.
15
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 15 - 36
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam tiga dasawarsa terakhir sektor kehutanan memberikan kontribusi penting bagi perekonomian Indonesia. Selama periode tahun 1980-2005, penerimaan dari sektor ini mencapai puncaknya pada tahun 1997, sebesar US$ 6,24 milyar. Kontribusi sektor kehutanan terhadap GDP periode tahun 1993-2005 berkisar antara 1,7 persen sampai 3,1 persen. Penerimaan dari sektor kehutanan berasal dari Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH), Dana Reboisasi (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Realisasi penerimaan PNBP dari PSDH dan DR hingga semester I tahun 2009 mencapai Rp 1,1 triliun atau 40 persen dari target tahun yang sama (Bisnis Indonesia, 2009). Penerimaan negara bukan pajak dari sektor kehutanan pada tahun 2010 mencapai Rp 3,1 triliun, dimana dari sektor PSDH dan DR memberikan kontribusi sebesar Rp 2,5 triliun. (Kementerian Kehutanan, 2011). Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) adalah pungutan (royalty) yang dikenakan kepada pemegang izin perusahaan sebagai pengganti nilai instrinsik hasil hutan yang dipungut dari hutan negara. Kayu bulat yang dikenakan PSDH mencakup kayu bulat yang berasal dari hutan alam dan dari hutan tanaman. Dana Reboisasi dipungut dari kegiatan eksploitasi hutan, yang digunakan untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya, dikenakan kepada pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam, hasil penebangan (land clearing) areal hutan alam, hutan tanaman yang dibiayai negara, dari hasil sitaan, dari penjualan tegakan dan dari hutan desa. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 1999, besarnya 3 DR antara US$ 13-16 per m untuk kelompok 3 meranti dan US$ 10,5-13 per m untuk kelompok rimba campuran, tergantung wilayah perusahaan beroperasi. 16
USAID dan Bank Dunia mencatat masih intensifnya produksi kayu bulat untuk bahan baku kayu lapis, kayu gergajian dan pulp. Menurut Simangunsong et al. (2007) beberapa kebijakan pemerintah telah menyebabkan industri perkayuan tumbuh cepat dan mengalami perubahan struktur selama periode tahun 1980-2005 dan terjadi defisit bahan baku industri kayu gergajian dan kayu lapis sejak tahun 1997, sementara disisi lain kapasitas terpasang industri pulp terus meningkat. Produksi kayu lapis tahun 2009 sebesar 3 juta 3 m dan produksi kayu gergajian tahun yang 3 sama mencapai 0,7 juta m (Kementerian Kehutanan, 2010). Produksi kayu bulat yang berasal dari hutan alam pada tahun 2009 kurang dari 5 juta 3 m per tahun, dan dari hutan tanaman 3 berjumlah 22 juta m pada tahun 2008 serta 18 3 juta m pada tahun 2009 (Kementerian Kehutanan, 2010), dibandingkan produksi kayu bulat dari hutan alam periode tahun 19973 2000, lebih dari 10 juta m per tahun, dan produksi kayu bulat dari Hutan Tanaman 3 Industri (HTI) 600 000 m pada tahun 1997 dan 3 11 juta m pada tahun 2006. B. Permasalahan Penelitian Sinaga (1989) menyebutkan intervensi kebijakan larangan ekspor kayu bulat periode tahun 1975-1982 telah berdampak kepada terjadinya penurunan produksi kayu bulat dan penurunan harga kayu bulat domestik. Rusli (1999) menyebutkan adanya keterkaitan penerapan kebijakan yang memihak lingkungan di Indonesia dengan pasar kayu lapis, dimana kebijakan ini akan mempengaruhi pengurangan produksi kayu bulat dan mempengaruhi produksi kayu lapis. Di Barat Laut Pacific Amerika Serikat, peraturan konservasi berdampak kepada penurunan produksi kayu (Wear dan Park, 1994). Karena kualitas hutan menurun, maka ketersediaan sumber bahan baku kayu bulat juga menurun,
Dampak Kebijakan Provisi Sumberdaya Hutan dan . . . Erwinsyah, Harianto, Bonar M. Sinaga & Bintang C.H. Simangunsong
dan akan berdampak kepada penurunan penerimaan pemerintah dari PSDH dan DR. Instrumen pajak akan mempengaruhi perubahan kemiringan (slope) garis anggaran (budget line) dengan merubah harga yang diterima oleh konsumen (Varian, 1987). Dampak penerapan instrumen pajak per unit dapat dilihat melalui perbedaan pajak yang dibayar konsumen dan produsen (Nicholson, 2000). Kehilangan penerimaan produsen dan konsumen akibat kebijakan pajak akan menjadi penerimaan pemerintah. PSDH adalah pungutan pengganti nilai intrinsik atas hasil yang dipungut dari hutan negara. Evaluasi dampak kebijakan PSDH dan DR terhadap kesejahteraan dapat dilakukan dengan analisis kesejahteraan. Nicholson (2000) menyebutkan bahwa kesejahteraan akan maksimum pada keseimbangan pasar kompetisi (competitive market equilibrium ). Just et al . (1982) menyebutkan bahwa surplus konsumen sering digunakan untuk mengukur kesejahteraan konsumen dan surplus produsen umum digunakan untuk mengukur kesejahteraan produser. Permasalahannya adalah bagaimana ketersediaan kayu bulat dapat mendukung keberlangsungan industri pengolahan kayu primer? Dan bagaimana implikasi penerapan kebijakan PSDH dan DR terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen? C. Tujuan dan Ruang Lingkup Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis model permintaan dan penawaran kayu bulat sebagai bahan baku industri pengolahan kayu lapis, kayu gergajian dan pulp serta menganalisis dampak kebijakan PSDH dan DR terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen. Ruang lingkup penelitian dibatasi pada kajian bahan baku kayu bulat dari hutan alam dan hutan tanaman.
D. Kerangka Teori
Kurva penawaran adalah hubungan antara jumlah barang yang produsen bersedia menjualnya dengan harga tertentu. Kurva permintaan adalah hubungan antara jumlah barang yang konsumen bersedia membeli dengan harga tertentu (Pindyck and Rubenfeld, 2005). Menurut McGuyan and Moyer (1986) faktor yang mempengaruhi permintaan yaitu ketahanan penggunaan barang, derived demand, sebagai bahan baku produk lain dan nilai tukar. Harga produk yang memiliki barang substitusi akan lebih elastis. Produk tahan lama (durable) bersifat elastis, dan yang memiliki porsi terbesar anggaran (budget) akan lebih elastis. Dari sisi permintaan, Sinaga (1989) menyebutkan bahwa permintaan kayu bulat dalam negeri tergatung harga yang berlaku di pasaran dan harga yang berlaku untuk barang substitusinya. Nicholson (2000) menyebutkan bahwa pajak per unit merupakan harga yang dibebankan kepada konsumen dan yang diterima produsen. Kehilangan yang mestinya diterima konsumen akan menjadi penerimaan pemerintah. Besarnya PSDH adalah 10 persen dari harga patokan (APHI, 2005), dikelompokkan dalam penerimaan negara bukan pajak. Ginoga et al. (2001) menyebutkan bahwa potensi penerimaan DR dan PSDH bisa lebih besar dari perkiraan Kementerian Kehutanan. Simangunsong (2001) menyebutkan model keseimbangan parsial perdagangan internasional kayu tropis dapat digunakan untuk mempelajari pengaruh liberalisasi perdagangan seperti penghilangan tarif produksi, konsumsi, ekspor, harga dan kesejahteraan. Conrad et al. (2005) melakukan penelitian yang intensif dan memberikan dampak yang berbeda di Indonesia, dibanding Brazil atau Malaysia, dan
17
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 15 - 36
disarankan tidak memberlakukan model kebijakan pajak seragam untuk semua negara atau semua jenis hutan. Penelitian ini menunjukan berbagai skenario yang bisa dilakukan untuk melihat dampaknya terhadap penerapan yang terkait dengan industri kayu bulat dan pengolahannya dengan memberikan kemungkinan hasil yang berbeda. Pindyck and Rubinfeld (2005) menyebutkan bahwa surplus konsumen adalah keuntungan total atau nilai yang diterima konsumen atas biaya yang digunakan untuk membeli barang. Surplus produsen adalah keuntungan total atau penerimaan yang diterima produsen atas biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi barang.
II. METODE PENELITIAN
A. Kerangka Pemikiran Hutan alam dan Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah penyedia utama bahan baku industri pengolahan kayu primer, yaitu industri kayu lapis, kayu gergajian dan pulp. Produksi kayu bulat yang berasal dari hutan alam dikelola melalui HPH dengan sistem tebang pilih (selective cutting) dan hutan tanaman melalui HTI dengan sistem tebang habis. Jumlah produksi yang berasal dari hutan tanaman akan tergantung kepada luas areal penebangan. Secara teoritis jumlah penawaran kayu bulat akan bergantung kepada produksi kayu bulat di dalam negeri, impor kayu bulat dan dikurangi ekspor kayu bulat, sedangkan produksi kayu bulat akan ditentukan oleh harga kayu bulat, dimana apabila harga kayu bulat tinggi, maka produksi kayu bulat akan meningkat. Estimasi elastisitas penawaran dan permintaan pada pasar kayu bulat dan kayu olahan, yaitu kayu lapis, kayu gergajian dan pulp pada makalah ini diperoleh dari hasil penelitian terdahulu. Prosedur simulasi 18
perhitungan kesejahteraan menggunakan model parsial equilibrium, nonlinear program optimalization menggunakan program SOLVER yang disediakan Microsoft EXCEL. Kajian penerapan skenario kebijakan PSDH dan DR pada penelitian ini dilakukan melalui simulasi penerapan 9 (sembilan) skenario kebijakan, dengan kombinasi skenario, yaitu (1) menghapus PSDH dan penerapan DR aktual, (2) penerapan PSDH aktual dan menghapus DR, (3) menghapus PSDH dan DR, (4) penerapan PSDH 20 persen dan DR aktual, (5) penerapan PSDH aktual dan DR 20 persen, (6) penerapan PSDH 20 persen dan DR 20 persen, (7) penerapan PSDH 25 persen dam DR altual, (8) penerapan PSDH aktual dan DR 25 persen, (9) penerapan PSDH 25 persen dan DR 25 persen. Untuk melihat bagaimana pengaruh simulasi, maka hasilnya dibandingkan dengan dampak penerpan kebijakan PSDH dan DR pada saat ini, sedangkan pengaruh kebijakan PSDH dan DR terhadap kesejahteraan dihitung berdasarkan turunan rumus Marshalian (Simangunsong, 2001), yaitu : DPS = [1/(1+s)] [P1S1-P0S0] ……............…… (25) dimana: DPS = Perubahan surplus produsen s = Elastisitas penawaran terhadap harga P0 = Harga awal P1 = Harga baru (setelah penerapan kebijakan) S0 = Kuantitas penawaran awal S1 = Kuantitas penawaran baru (setelah penerapan kebijakan) DCS = [1/(1+d)] [P1D1-P0D0] …..….........… (26) dimana: DCS = Perubahan surplus konsumen. d = elastisitas permintaan terhadap harga P0 = Harga awal P1 = Harga baru (setelah penerapan kebijakan)
Dampak Kebijakan Provisi Sumberdaya Hutan dan . . . Erwinsyah, Harianto, Bonar M. Sinaga & Bintang C.H. Simangunsong
D0 = Kuantitas permintaan awal D1 = Kuantitas permintaan baru (setelah penerapan kebijakan)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Estimimasi Pasar Kayu Bulat dan Produk Kayu Primer
B. Sumber dan Jenis Data
Hasil estimasi elastisitas penawaran dan permintaan kayu bulat dan produk kayu primer (kayu lapis, kayu gergajian dan pulp) diambil dari hasil penelitian penulis sebelumnya, sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Nilai estimasi elastisitas ini nantinya akan digunakan untuk penelitian ini.
Data utama penelitian adalah data sekunder time series tahun 1995 sampai tahun 2009, berasal dari statistik Kehutanan Indonesia, Badan Pusat Statistik dan laporan Food Association Organization (FAO), serta referesensi lain. Tabel 1. Nilai estimasi elastisitas Table 1. Estimated elasticity value Persamaan
PT1 0,04 -0,11*
Pt2
PT3 I1 I2 4,13*
S KBHA (QT1) D KBHA (QD1) 1,02 S KBHTI PKK (QT2) -0,11* D KBHTI PKK (QT2) 0,70 S KBHTI PULP (QT3) -0,06 D KBHTI PULP (QT3) S Kayu Lapis (QKL) -0,002 D Kayu Lapis (Q1) S Kayu Gergaji (QKG) -0,18 D Kayu Gergaji (Q2) S PULP (QP) -0,41 D PULP (Q3)
I3
Variabel PQ1 PQ2 PQ3 PL
PE QKL QKG QP GDP 1,02* 1,95 2,31 4,13* 2,96 2,69 0,61* 3,06 4,13* 1,17 1,28** -0,06 -0,17 0,23 -0,18 0,05 -0,19 -0,11 1,01 -0,08 0,49 -2,46 -1,19* -0,29 2,82
Sumber (Source): Erwinsyah (2012)
B. Dampak Kebijakan PSDH dan DR terhadap Produksi dan Harga Penerapan kebijakan PSDH dan DR akan mempengaruhi tingkat produksi dan harga. Produksi rata-rata kayu bulat dihasilkan dari hutan alam, HTI perkakas dan HTI pulp dan produksi kayu lapis, kayu gergajian dan pulp dihasilkan oleh industri primer kayu. Pengaruh penerapan skenario kebijakan PSDH dan DR terhadap produksi kayu bulat dan kayu olahan dapat dilihat pada Tabel 2. Adapun pengaruh penerapan skenario
kebijakan PSDH dan DR terhadap harga kayu bulat dan kayu olahan dapat dilihat pada Tabel 3. Skenario kebijakan 1 akan menurunkan produksi kayu bulat dari hutan alam, kayu dari bulat HTI perkakas dan kayu bulat dari HTI pulp , berturut-turut menjadi sebesar 3 3 3 27.917.068 m , 5.004.536 m dan 3.121.423 m dengan tingkat harga berturut turut sebesar 3 3 Rp 2.165.728 per m , Rp 319.289 per m dan 3 Rp 542.130 per m . Produksi kayu gergajian dan pulp juga mengalami penurunan, 19
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 15 - 36
sementara kayu lapis relatif stabil. Adapun harga kayu lapis, kayu gergajian dan pulp akibat kebijakan ini juga mengalami penurunan. Skenario kebijakan 2 akan menurunkan produksi kayu bulat yang berasal dari hutan alam, kayu bulat HTI perkakas dan kayu bulat HTI pulp. Tingkat harga untuk skenario 2 lebih tinggi dibadingkan skenario 1, namun lebih rendah dibandingkan harga keseimbangan akibat penerapan PSDH dan DR yang berlaku pada saat ini, kecuali untuk kayu bulat pulp memiliki tingkat harga yang relatif sama dengan harga saat ini. Adapun produksi kayu gergajian dan pulp pada skenario 2 lebih besar dibandingkan dengan produksi pada skenario 1, kecuali produksi kayu lapis relatif sama dengan skenario 1. Tingkat harga produk kayu lapis akibat penerapan kebijakan skenario 2 sedikit lebih besar dibandingkan skenario 1, dan sedikit lebih kecil dibandingkan harga yang berlaku di lapangan saat ini, kecuali harga pulp yang relatif sama. Skenario kebijakan 3 menyebabkan produksi dan harga kayu bulat hutan alam, kayu bulat HTI perkakas dan kayu bulat HTI pulp relatif lebih kecil dibandingkan skenario 2 dan penerapan PSDH dan DR saat ini. Produksi kayu lapis akibat skenario kebijakan 3 relatif sama dengan skenario sebelumnya.
20
Penerapan skenario 6 menghasilkan produksi kayu gergajian lebih tinggi dibandingkan skenario-skenario sebelumnya, namun produksi kayu lapis relatif sama. Produksi pulp meningkat dengan skenario 4 atau 6 akibat penerapan kebijakan PSDH masing-masing sebesar 20 persen. Penerapan kebijakan DR tidak mempengaruhi bahan baku industri pulp, karena kebijakan DR tidak diterapkan untuk HTI pulp. Harga kayu lapis, kayu gergajian dan pulp akan meningkat pada skenario 6 dibandingkan skenario-skenario sebelumnya. Harga kayu bulat hutan alam dan kayu bulat HTI perkakas lebih besar dibandingkan harga pada skenario-skenario sebelumnya, kecuali harga kayu bulat HTI pulp relatif sama pada skenario kebijakan 4 dan 6. Skenario kebijakan 7 menghasilkan produksi kayu gergajian lebih kecil dibanding skenario 6, tetapi lebih besar dibandingkan skenario sebelumnya, sedangkan produksi kayu lapis relatif sama dibandingkan skenarioskenario sebelumnya. Produksi pulp akan meningkat dengan penerapan skenario kebijakan 7 dan 9. Produksi kayu bulat hutan alam dan HTI akan meningkat akibat penerapan skenario 6 dan 9. Harga kayu lapis, kayu gergajian, pulp, kayu bulat hutan alam dan HTI perkakas akan meningkat akibat skenario kebijakan 9, kecuali harga kayu bulat HTI pulp.
Penerapan PSDH dan DR Aktual 1.PSDH=0, DR=Aktual 2.PSDH=Aktual, DR= 0 3. PSDH= 0, DR= 0 4. PSDH=20%, DR=Aktual 5. PSDH=Aktual, DR=20% 6. PSDH=20%, DR=20% 7. PSDH=25%, DR=Aktual 8. PSDH=Aktual, DR=25% 9. PSDH=25%, DR=25%
Skenario (Scenario)
Kayu bulat HTI perkakas (m3) 5.005.272 5.004.536 5.004.832 5.004.119 5.006.044 5.006.340 5.007.148 5.006.435 5.006.730 5.007.929
Kayu bulat hutan alam (m3) 27.919.687 27.917.068 27.917.390 27.914.866 27.923.065 27.923.304 27.926.804 27.924.610 27.924.818 27.929.752
3.121.423 3.122.552 3.121.423 3.123.717 3.122.552 3.123.718 3.124.309 3.122.552 3.124.310 6.386.601 6.386.601 6.386.601 6.386.599 6.386.599 6.386.598 6.386.599 6.386.599 6.386.597
Produksi(Production) Kayu bulat Kayu lapis HTI pulp (m3) (m3) 3.122.552 6.386.600
Tabel 2. Dampak kebijakan PSDH dan DR terhadap produksi kayu bulat dan kayu olahan Table 2. Impact of PSDH and DR policy on round wood and wood processing production
5.803.021 5.803.151 5.802.341 5.804.919 5.805.042 5.806.129 5.805.412 5.805.524 5.807.097
Kayu gergajian (m3) 5.803.867
4.160.121 4.161.533 4.160.121 4.163.058 4.161.533 4.163.059 4.163.816 4.161.533 4.163.818
4.161.533
Pulp (ton)
Dampak Kebijakan Provisi Sumberdaya Hutan dan . . . Erwinsyah, Harianto, Bonar M. Sinaga & Bintang C.H. Simangunsong
21
22
Penerapan PSDH dan DR Aktual 1.PSDH=0, DR=Aktual 2.PSDH=Aktual, DR= 0 3. PSDH= 0, DR= 0 4. PSDH=20%, DR=Aktual 5. PSDH=Aktual, DR=20% 6. PSDH=20%, DR=20% 7. PSDH=25%, DR=Aktual 8. PSDH=Aktual, DR=25% 9. PSDH=25%, DR=25%
Skenario (Scenario)
Kayu bulat HTI perkakas (Rp/m3) 319.331 319.289 319.305 319.265 319.375 319.391 319.437 319.398 319.413 319.482
Kayu bulat hutan alam (Rp/m3) 2.176.899 2.165.728 2.170.518 2.159.710 2.188.644 2.193.455 2.205.969 2.194.617 2.199.465 2.217.889
542.130 542.531 542.130 542.945 542.531 542.945 543.155 542.531 543.155
4.381.388 4.381.400 4.381.373 4.381.443 4.381.454 4.381.483 4.381.457 4.381.465 4.381.511
Harga (Price) Kayu bulat Kayu lapis HTI pulp (Rp/m3) (Rp/m3) 4.381.415 542.531
Tabel 3. Dampak kebijakan PSDH dan DR terhadap harga kayu bulat dan kayu olahan Table 3. Impact of PSDH and DR policy on round wood and wood processing price
2.619.754 2.632.507 2.598.245 2.696.870 2.711.675 2.756.556 2.718.182 2.733.213 2.803.513
Kayu gergajian (Rp/m3) 2.656.319
4.013.637 4.017.525 4.013.638 4.021.557 4.017.525 4.021.561 4.023.604 4.017.525 4.023.610
4.017.525
Pulp (Rp/ton)
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 15 - 36
Dampak Kebijakan Provisi Sumberdaya Hutan dan . . . Erwinsyah, Harianto, Bonar M. Sinaga & Bintang C.H. Simangunsong
A. Dampak Kebijakan PSDH dan DR terhadap Perubahan Harga Penerapan skenario kebijakan PSDH dan DR akan berdampak kepada perubahan harga keseimbangan baru pada pasar input, kayu bulat hutan alam, HTI perkakas dan HTI pulp, sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Penerapan skenario kebijakan 1, 2 atau 3 akan mengakibatkan terjadinya penurunan harga keseimbangan baru dibandingkan penerapan kebijakan PSDH dan DR saat ini. Penerapan skenario kebijakan akan menurunkan harga antara -0,01 persen sampai -0,47 persen. Penurunan harga tertinggi antara skenario 1 sampai 3 adalah karena penerapan skenario 3.
Dengan turunnya harga kayu bulat karena skenario kebijakan 1, 2 atau 3, maka perusahaan HPH dan HTI akan mengurangi jumlah produksinya. Penurunan harga kayu bulat apabila tidak diiringi oleh persediaan kayu bulat maka bisa menimbulkan kesenjangan penawaran dan permintaan industri perkayuan, sehingga industri pengolahan kayu akan mengalami persoalan defisit bahan baku bagi industri perkayuan. Pengaruh penerapan kebijakan PSDH dan DR pada kayu bulat, sebagai bahan baku industri kayu lapis, kayu gergajian dan pulp, pada pasar output disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Dampak skenario kebijakan PSDH dan DR terhadap perubahan harga di pasar input dan pasar output Table 4. Impact of PSDH and DR policy scenario on price changes at the input and output market Perubahan harga (Price changes) Skenario (Scenario)
Hutan alam
HTI perkakas
HTI pulp
Kayu lapis
Kayu gergajian
Pulp
1.PSDH=0, DR=Aktual
-0,27
-0,01
-0,05
0,00
-1,31
-0,10
2.PSDH=Aktual, DR= 0
-0,21
-0,01
0,00
0,00
-1,00
0,00
3. PSDH= 0, DR= 0
-0,47
-0,02
-0,05
0,00
-2,22
-0,10
4. PSDH=20%, DR=Aktual
0,32
0,01
0,05
0,00
1,61
0,11
5. PSDH=Aktual, DR=20%
0,39
0,01
0,00
0,00
1,97
0,00
6. PSDH=20%, DR=20%
0,73
0,03
0,05
0,00
3,77
0,11
7. PSDH=25%, DR=Aktual
0,48
0,02
0,08
0,00
2,42
0,16
8. PSDH=Aktual, DR=25%
0,54
0,02
0,00
0,00
2,78
0,00
9. PSDH=25%, DR=25%
1,03
0,04
0,08
0,00
5,46
0,16
23
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 15 - 36
Penerapan skenario 4, 5 atau 6 akibat kebijakan PSDH dan DR yang dikenakan pada kayu bulat dari hutan alam, HTI perkakas dan HTI pulp akan menyebabkan terjadi kenaikan harga. Skenario kebijakan 6 memberikan dampak perubahan harga sebesar 0,73 persen, yang tidak terpengaruh banyak adalah perubahan harga kayu bulat berasal dari HTI pulp akibat skenario 5. Penerapan PSDH dan DR sebagaimana skenario 7, 8, atau 9, akan menyebabkan kenaikan harga tertinggi akibat skenario 9, sebesar 1,03 persen, terjadi pada kayu bulat yang berasal dari hutan alam. Perubahan harga lainnya relatif sangat kecil, dibawah 0,05 persen. Perubahan harga juga sangat kecil pada kayu bulat yang berasal dari HTI pulp akibat skenario 8. Perubahan harga pada kayu bulat yang berasal dari hutan alam cukup tinggi dibandingkan perubahan harga kayu bulat dari HTI perkakas dan HTI pulp. Pada penerapan skenario kebijakan 1, 2 atau 3, pengaruhnya terhadap perubahan harga produk kayu lapis sangat kecil sekali. Penurunan harga keseimbangan tertinggi pada produk kayu olahan akibat penerapan skenario 1, 2 atau 3, terjadi pada harga kayu gergajian, berturut-turut -1,31 persen, -1 persen dan -2,22 persen. Perubahan harga akibat skenario kebijakan 1, 2 atau 3 ini sangat kecil untuk produk pulp, berturut-turut -0,10 persen, 0,00 persen dan -0,10 persen. Penerapan skenario 4, 5 atau 6, pengaruhnya terhadap perubahan harga produk kayu lapis adalah kecil sekali. Tetapi produk kayu gergajian mengalami kenaikan harga, berturut-turut sebesar 1,61 persen, 1,97 persen dan 3,77 persen. Perubahan harga pulp akibat penerapan skenario kebijakan 4 dan 6, masing-masing 0,11 persen. Skenario kebijakan 5 memberikan dampak sangat kecil sekali terhadap perubahan harga pulp. Perubahan harga pada pasar output, akibat penerapan skenario 7, 8 atau 9 kecil sekali
24
dampaknya terhadap perubahan harga produk kayu lapis. Pada produk kayu gergajian, terjadi perubahan harga yang lebih besar, lebih dari 5 persen akibat penerapan skenario kebijakan 9. A. Dampak PSDH dan DR terhadap
Perubahan Kesejahteraan di Pasar Input dan Pasar Output 1. Pasar input
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa penerapan skenario 1, 2 atau 3 pada kayu bulat yang berasal dari hutan alam akan menghilangkan biaya PSDH pada skenario 1, menghilangkan biaya DR pada skenario 2 dan menghilangkan biaya PSDH dan DR pada skenario 3, sehingga akan menurunkan tingkat harga. Tambahan kesejahteraan bagi konsumen terbesar diperoleh dengan penerapan skenario 3, yaitu penghapusan kewajiban pembayaran PSDH dan DR. Dengan penghapusan kewajiban pembayaran PSDH dan DR maka harga kayu bulat tidak lagi dibebani biaya tambahan PSDH dan DR sehingga harga kayu bulat yang dijual kepada konsumen bisa lebih rendah dan mengurangi biaya tambahan bagi industri primer kayu, baik industri kayu lapis maupun kayu gergajian. Sekiranya kebijakan skenario 3 ini diterapkan, maka konsumen mendapatkan 12 tambahan surplus sebesar Rp 4,9x10 . Sebaliknya, penerapan skenario kebijakan 3 ini akan menurunkan kesejahteraan produsen 12 sebesar Rp -5,06x10 . Walaupun dengan penerapan kebijakan ini kesejahteraan konsumen meningkat, tetapi kesejahteraan total justru mengalami penurunan sebesar 11 Rp -1x10 . a. Surplus produsen dan konsumen kayu bulat hutan alam Penerapan PSDH dan DR pada kayu bulat yang berasal dari hutan alam dengan skenario 4 yaitu penerapan kebijakan PSDH 20 persen
Dampak Kebijakan Provisi Sumberdaya Hutan dan . . . Erwinsyah, Harianto, Bonar M. Sinaga & Bintang C.H. Simangunsong
dan penerapan kebijakan DR aktual sebagaimana berlaku, serta skenario 5 yaitu penerapan kebijakan PSDH aktual sebagaimana berlaku dan penerapan kebijakan DR sebesar 20 persen, atau skenario 6 yaitu penerapan kebijakan PSDH dan DR masing-masing sebesar 20 persen, maka masing-masing skenario 4, 5 atau 6 akan meningkatkan harga baru sehingga produsen akan meningkatkan produksi kayu bulat. Dampak dari penerapan kebijakan ini, maka akan memberikan tambahan kesejahteraan total, terbesar akibat 11 penerapan skenario 6, sebesar Rp 2,1x10 Penerapan skenario kebijakan 4, 5 atau 6 akan meningkatkan kesejahteraan produsen, 12 masing-masing sebesar Rp 3,4x10 , Rp 12 12 4,7x10 , atau Rp 8,4x10 . Namun penerapan skenario 4, 5 atau 6 akan menurunkan kesejahteraan konsumen, masing-masing 12 12 12 sebesar Rp -3x10 , Rp -4x10 dan Rp -8x10 , karena beban PSDH dan DR dibebankan ke harga kayu bulat. Penurunan terbesar kesejahteraan konsumen yaitu karena penerapan skenario 6. Penerapan skenario 4, 5 atau 6 akan memberikan tambahan kesejahteraan total. Penerapan kebijakan PSDH dan DR terhadap kayu bulat yang berasal dari hutan alam dengan skenario 7, yaitu penerapan kebijakan PSDH 25 persen dan penerapan kebijakan DR aktual sebagaimana berlaku, serta skenario 8 yaitu penerapan kebijakan PSDH aktual sebagaimana berlaku dan penerapan kebijakan DR sebesar 25 persen, atau skenario 9, yaitu penerapan kebijakan PSDH sebesar 25 persen dan penerapan kebijakan DR sebesar 25 persen, masingmasing akan berdampak kepada peningkatan harga bahan baku kayu bulat. Peningkatan harga kayu bulat akan memberikan tambahan kesejahteraan total. Dan kesejahteraan total terbesar yaitu karena penerapan kebijakan 11 skenario 9, sebesar Rp 3x10 . Penerapan skenario 7 atau 8 kesejahteran total juga
bertambah, hanya nilainya lebih kecil. Penerapan skenario 7, 8 atau 9 akan meningkatkan kesejahteraan produsen 12 berturut-turut menjadi sebesar Rp 5,1x10 , Rp 12 12 6,5x10 , atau Rp 11,6x10 . Namun penerapan skenario kebijakan ini akan menurunkan kesejahteraan konsumen, berturut-turut untuk skenario 7, 8 atau 9, sebesar Rp 12 12 12 4,98x10 , Rp -6,3x10 dan Rp -11,3x10 , dan penurunan terbesar yaitu dengan penerapan skenario 9. Penerapan skenario kebijakan 7, 8 dan 9 akan membebani konsumen lebih besar akibat beban PSDH dan DR yang dikenakan kepada harga bahan baku kayu bulat, sehingga harga kayu bulat menjadi lebih tinggi. b. Surplus produsen dan konsumen kayu bulat HTI perkakas Apabila skenario 1, 2 atau 3 diterapkan, maka harga kayu bulat akan turun sehingga akan menurunkan kesejahteran produsen dan meningkatkan kesejahteraan konsumen kayu bulat HTI perkakas. Tambahan kesejahteraan konsumen terbesar yaitu dengan penerapan skenario 3, yaitu apabila kewajiban PSDH dan DR dihapuskan. Dengan penghapusan kewajiban pembayaran PSDH dan DR maka harga kayu bulat dari HTI perkakas tidak dibebani oleh biaya tambahan pembayaran PSDH sehingga bisa lebih murah dan menguntungkan bagi industri kayu lapis dan kayu gergajian yang menggunakan kayu bulat dari HTI perkakas. Sekiranya skenario 3 ini diterapkan, maka konsumen akan menerima 9 tambahan surplus sebesar Rp 8,9x10 . Penerapan skenario 3 akan menurunkan 9 kesejahteraan produsen sebesar Rp-8x10 . Walaupun kesejahteraan konsumen mengalami peningkatan, tetapi kesejahteraan total 6 akan turun, sebesar Rp -2x10 . Apabila skenario 4, 5 atau 6 diterapkan pada pasar kayu bulat yang berasal dari HTI perkakas, maka akan terjadi peningkatan harga 25
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 15 - 36
kayu bulat HTI perkakas sehingga akan meningkatkan kesejahteraan produsen. Tambahan kesejahteraan terbesar produsen yaitu dengan penerapan skenario 6, yaitu penerapan PSDH dan DR masing-masing sebesar 20 persen. Dengan penerapan skenario 4, 5 atau 6, yaitu penerapan PSDH sebesar 20 persen, dan penerapan DR sebesar nilai aktual atau 20 persen, maka tambahan biaya akan dibebankan kepada kayu bulat yang berasal dari HTI perkakas yang akan dijual kepada konsumen. Sekiranya skenario kebijakan 6 ini diterapkan, maka akan terjadi kenaikan tingkat harga kayu bulat sehingga produsen akan menerima tambahan surplus sebesar Rp 10 1,496x10 . Sebaliknya akibat kenaikan tingkat harga, maka skenario kebijakan 6 ini akan menurunkan kesejahteraan konsumen sebesar 10 Rp 1,495x10 . Dengan penerapan skenario 4, 5 atau 6, maka akan memberikan tambahan kesejahteraan produsen. Namun penerapan skenario kebijakan 4, 5 atau 6 hanya memberikan tambahan kesejahteraan total kecil sekali, masing-masing hanya sebesar Rp 1 juta, Rp 2 juta dan Rp 7 juta saja. Apabila skenario 7, 8 atau 9 diterapkan pada kayu bulat dari HTI perkakas, maka akan terjadi peningkatan harga jual kayu bulat, sehingga produsen akan meningkatkan produksinya dan kesejahteraan produsen. Tambahan kesejahteraan produsen kayu bulat HTI perkakas akan lebih besar dibandingkan kesejahteraan produsen akibat penerapan skenario kebijakan 4, 5 atau 6. Selanjutnya tambahan kesejahteraan produsen terbesar yaitu pada skenario 9, penerapan PSDH pada HTI perkakas sebesar 25 persen. Dengan penerapan PSDH ini, harga akan dibebankan
26
kepada kayu bulat HTI perkakas. Dengan penerapan skenario kebijakan 9, produsen akan menerima tambahan surplus Rp 10 2,142x10 , dan menurunkan kesejahteraan konsumen Rp-2,141x1010. Dengan penerapan skenario 7, 8 atau 9, kesejahteraan total akan meningkat sebesar Rp 2 juta, Rp 4 juta atau Rp 13 juta saja. c. Surplus produsen dan konsumen kayu bulat HTI pulp Penerapan skenario 1, 2 atau 3 pada kayu bulat dari HTI pulp akan menyebabkan penurunan tingkat harga sehingga produsen akan mengurangi produksinya.Tambahan surplus hanya diterima oleh konsumen dengan penerapan skenario kebijakan 2, sebesar Rp 12 3,4x10 . Penerapan skenario 2 akan menurunkan kesejahteraan produsen sebesar 12 Rp -3,5x10 . Penerapan skenario 1, 2 atau 3 akan memberikan dampak penurunan kesejahteraan total berturut-turut, masing10 10 masing sebesar Rp -5,5x10 , Rp -4,3x10 atau 10 Rp -5,4x10 . Apabila skenario 4, 5 atau 6 diterapkan pada kayu bulat berasal dari HTI pulp, maka tambahan surplus terjadi akibat penerapan skenario kebijakan 4 atau 6, masing-masing penerapan kebijakan PSDH pada kayu bulat HTI pulp sebesar 20 persen. Penerapan skenario kebijakan 4 atau 6 menghasilkan peningkatan kesejahteraan relatif sama untuk 10 produsen dan konsumen, sebesar Rp 2,8x10 dengan peningkatan kesejahteraan total yang 10 relatif sama, sebesar Rp 5,6x10 . Perubahahan kesejahteran di pasar input dapat dilihat pada Tabel 5.
-3.263.556
-1.877.695
-5.060.068
3.397.034
4.726.464
8.363.957
5.106.348
6.451.146
11.568.833
2. PSDH=Aktual, DR= 0
3. PSDH= 0, DR= 0
4. PSDH=20%, DR=Aktual
5. PSDH=Aktual, DR=20%
6. PSDH=20%, DR=20%
7. PSDH=25%, DR=Aktual
8. PSDH=Aktual, DR=25%
9. PSDH=25%, DR=25%
Surplus produsen
1. PSDH=0, DR=Aktual
(Scenario)
Skenario Surplus total
-11.261.227
-6.288.680
-4.981.091
-8.149.036
-4.609.926
-3.315.652
4.934.404
1.833.246
3.184.234
307.607
162.465
125.257
214.921
116.538
81.382
-125.664
-44.449
-79.322
21.423
11.657
9.228
14.960
8.539
6.104
-8.975
-3.412
-5.784
Surplus produsen
-21.410
-11.652
-9.225
-14.953
-8.536
-6.103
8.972
3.411
5.783
Surplus konsumen
13
4
2
7
2
1
-2
0
-1
Surplus total
(Plantation forest for construction wood)
(Natural forest) Surplus konsumen
HTI perkakas
Hutan alam
Tabel 5. Perubahan kesejahteraan di pasar input Table 5. Welfare changes at input market
42.651
0
42.599
28.256
0
28.230
-27.424
-3.537.024
-27.439
Surplus produsen
42.685
0
42.632
28.271
0
28.244
-27.438
3.493.690
-27.452
Surplus konsumen
85.336
0
85.231
56.527
0
56.474
-54.863
-43.334
-54.891
Surplus total
(Plantation forest for pulp)
HTI pulp
Dampak Kebijakan Provisi Sumberdaya Hutan dan . . . Erwinsyah, Harianto, Bonar M. Sinaga & Bintang C.H. Simangunsong
27
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 15 - 36
Apabila skenario 7, 8 atau 9 diterapkan kayu bulat dari HTI pulp, maka tambahan surplus akan terjadi dengan penerapan skenario 7 dan 9, yaitu penerapan kebijakan PSDH sebesar 25 persen. Penerapan skenario 7 dan 9 memberikan peningkatan kesejahteraan hampir sama bagi produsen dan konsumen, 10 yaitu sebesar Rp 4,2x10 , dengan peningkatan 10 kesejahteraan total, sebesar Rp 8,5x10 . 2. Pasar output
Penerapan PSDH dan DR akan mengakibatkan tingkat harga kayu bulat meningkat sehingga produsen akan meningkatkan produksinya. Dampak penerapan skenario kebijakan PSDH dan DR pada pasar output, yaitu kayu lapis, kayu gergajian dan pulp dapat dilihat pada Tabel 6. a. Surplus produsen dan konsumen kayu
lapis Dampak penerapan skenario kebijakan 1, 2 atau 3 terhadap kayu bulat dari hutan alam dan HTI perkakas akan meningkatkan harga kayu bulat sehingga meningkatkan produksi kayu bulat oleh produsen. Peningkatan produksi kayu bulat akan menurunkan kesejahteraan total pasar output kayu lapis, berturut-turut 9 8 sebesar Rp -1,2x10 , Rp -7,8x10 dan Rp 9 1,9x10 . Kesejahteraan total mengalami penurunan terbesar akibat skenario 3 yaitu menghapus PSDH dan DR, dan penurunan terkecil pada skenario 2 yaitu penerapan PSDH aktual dan penghapusan DR. Pada pasar output, industri kayu lapis akan bertindak sebagai produsen. Pembeli atau pengguna produk kayu lapis akan bertindak sebagai konsumen. Penerapan skenario ini akan menambah kesejahteraan produsen, yaitu industri kayu lapis dan menurunkan kesejahteraan konsumen kayu lapis. Penerapan skenario kebijakan 4, 5 atau 6 pada kayu bulat dari hutan alam dan HTI perkakas akan meningkatkan harga kayu bulat 28
sehingga produsen kayu bulat akan meningkatkan pasokan untuk bahan baku industri pengolahan kayu. Kondisi ini akan menambah kesejahteraan total yaitu Rp 9 9 9 1,3x10 , Rp 1,7x10 dan Rp 3,1x10 . Penerapan skenario kebijakan 4, 5 atau 6 menambah kesejahteraan industri kayu lapis dan menurunkan kesejahteraan konsumen kayu lapis. Penerapan skenario kebijakan 7, 8 atau 9 pada kayu bulat dari hutan alam dan HTI perkakas akan menaikan harga kayu bulat sehingga produsen meningkatkan produksinya. Penerapan skenario ini menambah 9 9 kesejahteraan total Rp 1,9x10 , Rp 2,3x10 dan 9 Rp 4,3x10 . Skenario kebijakan 7, 8 atau 9 akan menambah kesejahteraan industri kayu lapis. B. Surplus produsen dan konsumen kayu
gergajian Penerapan skenario kebijakan 1, 2 atau 3 atas kayu bulat hutan alam dan HTI perkakas akan menurunkan harga kayu bulat. Penerapan skenario kebijakan akan mening9 katkan kesejahteraan total Rp 6,0x10 , Rp 9 9 1,9x10 dan Rp 13,8x10 . Kesejahteraan total terbesar yaitu pada penerapan skenario kebijakan 3, dan terkecil pada penerapan skenario kebijakan 2. Pada pasar output, industri kayu gergajian bertindak sebagai produsen dan pembeli kayu gergajian bertindak sebagai konsumen. Penerapan skenario kebjakan 1, 2 atau 3 akan menambah kesejahteraan konsumen kayu 12 gergajian, berturut-turut Rp 2,424x10 , Rp 12 12 1,656x10 dan Rp 3,927x10 dan menurunkan kesejahteraan industri kayu gergajian, Rp 12 12 2,417x10 , Rp -1,654x10 dan sebesar Rp 9 3,913x10 . Penerapan skenario kebijakan 4, 5 atau 6 pada kayu bulat yang berasal dari hutan alam dan HTI perkakas akan menaikkan harga kayu bulat, serta meningkatkan kesejahteraan total, 9 9 berturut-turut sebesar Rp 3,04x10 , Rp 6,3x10
Dampak Kebijakan Provisi Sumberdaya Hutan dan . . . Erwinsyah, Harianto, Bonar M. Sinaga & Bintang C.H. Simangunsong
10
dan Rp 2,0x10 . Penerapan skenario kebijakan 4, 5 atau 6 akan menambah kesejahteraan industri kayu gergajian, berturut-turut 12 12 menjadi sebesar Rp 2,693x10 , Rp 3,596x10 dan Rp 6,556x1012, dan menurunkan kesejahteraan pembeli kayu gergajian, berturut-turut sebesar Rp -2,690x1012, dan sebesar Rp 3,590x1012, serta Rp 6,556x1012. Penerapan skenario 7, 8 dan 9 pada kayu bulat yang berasal dari hutan alam dan hutan tanaman akan meningkatkan harga kayu bulat sebagai bahan baku kayu gergajian. Peningkatan kesejahteraan total kayu gergajian ber9 10 turut-turut sebesar Rp 7,05x10 , Rp 1,19x10 10 dan Rp 4,05x10 . Kesejahteraan total terbesar yaitu pada penerapan skenario 9 yaitu kebijakan penerapan PSDH dan DR masingmasing 25 persen. Penerapan skenario kebijakan 7, 8 atau 9 ini akan menambah kesejahteraan produsen yaitu industri kayu 12 gergajian, berturut-turut Rp 4,1x10 , Rp 12 12 5,01x10 dan Rp 9,64x10 dan menurunkan kesejahteraan konsumen yaitu pembeli atau
pengguna kayu gergajian, berturut-turut masing-masing sebesar Rp -4,0x1012, serta Rp 5,0x1012 dan Rp -9,60x1012. c.
Surplus produsen dan konsumen pulp
Penerapan skenario 1 atau 3 pada kayu bulat yang berasal dari Hutan Tanaman Industri (HTI) pulp akan menurunkan harga kayu bulat. Penerapan skenario ini akan menurunkan kesejahteraan total, masing11 masing Rp -1,0x10 . Penerapan skenario kebijakan 2 relatif tidak memberikan perubahan terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen. Pada pasar output, industri pulp akan bertindak sebagai produsen dan pembeli produk pulp akan bertindak sebagai konsumen. Penerapan kebijakan skenario 1 atau 3 akan meningkatkan kesejahteraan kon11 sumen, berturut-turut yaitu Rp 1,9018x10 11 dan Rp1,9013x10 , dan menurunkan kesejahteraan produsen yaitu industri pulp, berturut11 11 turut sebesar Rp -2,919x10 dan Rp -2,918x10 .
29
30
-1.636
-1.025
-2.612
1.717
2.315
4.103
2.579
3.171
5.776
2. PSDH=Aktual, DR= 0
3. PSDH= 0, DR= 0
4. PSDH=20%, DR=Aktual
5. PSDH=Aktual, DR=20%
6. PSDH=20%, DR=20%
7. PSDH=25%, DR=Aktual
8. PSDH=Aktual, DR=25%
9. PSDH=25%, DR=25% -1.401
-775
-621
-999
-569
-413
626
239
398
Surplus konsumen
Kayu Lapis (Plywood)
Surplus produsen
1. PSDH=0, DR=Aktual
(Scenario)
Skenario
Tabel 6. Perubahan kesejahteraan di pasar output Table 6. Welfare changes at output market
4.375
2.396
1.958
3.104
1.746
1.303
-1.986
-786
-1.238
Surplus total
9.647.128
5.014.627
4.105.406
6.556.064
3.596.595
2.693.635
-3.913.743
-1.654.892
-2.417.759
Surplus produsen
-9.606.555
-5.002.671
-4.098.355
-6.535.675
-3.590.247
-2.690.599
3.927.546
1.656.794
2.423.824
Surplus konsumen
40.573
11.955
7.051
20.389
6.347
3.036
13.803
1.902
6.065
Surplus total
Kayu Gergajian (Sawn timber)
455.992
0
455.539
302.211
0
301.981
-291.849
0
-291.942
Surplus produsen
-296.807
0
-296.527
-196.795
0
-196.652
190.131
0
190.182
Surplus konsumen
Pulp
159.185
0
159.012
105.416
0
105.329
-101.718
0
-101.760
Surplus total
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 15 - 36
Dampak Kebijakan Provisi Sumberdaya Hutan dan . . . Erwinsyah, Harianto, Bonar M. Sinaga & Bintang C.H. Simangunsong
Penerapan skenario 4 atau 6 pada kayu bulat yang berasal dari HTI pulp akan meningkatkan kesejahteraan total pada industri pulp berturut-turut sebesar Rp 11 11 1,053x10 atau Rp 1,054x10 . Kesejahteraan total terbesar yaitu pada penerapan skenario 6, yaitu kebijakan penerapan PSDH dan DR masing-masing 20 persen. Skenario kebijakan 5 tidak memberikan perubahan kesejahteraan berarti kepada konsumen maupun produsen. Penerapan skenario kebijakan 4, atau 6 pada kayu bulat yang berasal dari HTI pulp akan meningkatkan kesejahteraan perusahaan HTI 11 pulp, berturut-turut sebesar Rp 3,01x10 dan 12 Rp 3,02x10 dan menurunkan kesejahteraan konsumen, yaitu pembeli atau pengguna kayu gergajian, berturut-turut sebesar Rp 11 11 1,967x10 dan Rp -1,968x10 . Penerapan skenario kebijakan 7 atau 9 pada kayu bulat yang berasal dari HTI pulp akan meningkatkan harga kayu bulat. Peningkatan harga ini akan mendorong peningkatan produksi kayu bulat. Perubahan kesejahteraan total berturut-turut masing-masing Rp 11 11 1,590x10 dan Rp 1,5x10 . Penerapan skenario kebijakan 8 tidak memberikan dampak berarti terhadap perubahan kesejahteraan konsumen maupun produsen. Penerapan skenario kebijakan 7 atau 9 akan memberikan dampak terhadap penurunan kesejahteraan konsumen yaitu pembeli atau pengguna kayu gergajian, berturut-turut masing-masing sebesar Rp 11 11 2,965x10 , dan Rp -2,968x10 . A. Dampak Kebijakan PSDH dan DR
terhadap Perubahan Kesejahteraan Penelitian penerapan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) didasarkan data time series tahun 1995 sampai tahun 2009. Nilai PSDH rentang waktu tersebut adalah sebesar 6 persen dan 10 persen dari harga kayu bulat. Penerapan Dana Reboisasi (DR) dilakukan pada rentang waktu yang sama, bervariasi setiap tahunnya, 3 dihitung dalam mata uang US$ per m , dengan
nilai rata-rata sebesar 15 persen dari harga kayu bulat. Dampak simulasi penerapan kebijakan PSDH dan DR meliputi 9 kemungkinan skenario, dan hasilnya simulasi ini kemudian dibandingkan dengan penerapan PSDH dan DR yang berlaku saat ini sebagai pembanding (baseline). Penerapan skenario kebijakan PSDH diterapkan atas kayu bulat dari hutan alam serta kayu bulat dari HTI pulp dan HTI perkakas. Hasil simulasi berbagai skenario kebijakan dan dampaknya terhadap perubahan kesejahteraan produsen, konsumen dan kesejahteraan total dapat dilihat pada Tabel 7. Penerapan skenario PSDH dan DR dikenakan kayu bulat dari hutan alam, yang hasilnya akan berdampak kepada persamaan penawaran dan permintaan kayu bulat dari hutan alam. Pengenaan PSDH akan menggerakan persamaan penawaran dan permintaan kayu bulat HTI perkakas dan HTI pulp. Skenario 1: Menghapus PSDH dan penerapan DR aktual Sekiranya pemerintah memberlakukan penerapan kebijakan Dana Reboisasi tehadap produk kayu bulat yang berasal dari hutan alam seperti saat ini, tetapi saat yang sama pemerintah menghapus PSDH terhadap produk kayu bulat yang diproduksi dari hutan alam dan produk kayu bulat yang dihasilkan dari HTI perkakas dan HTI pulp, maka kebijakan ini akan meningkatkan harga kayu bulat yang berasal dari hutan alam. Dengan peningkatan harga kayu bulat yang berasal dari hutan alam, maka perusahaan pengelola kayu bulat dari hutan alam (HPH) akan berusaha meningkatkan penawaran kayu bulat. Dengan elastisitas harga penawaran kayu bulat hutan alam sebesar 0,04, dan elastisitas harga permintaan kayu bulat hutan alam sebesar -0,11, maka kebijakan ini akan mengurangi kesejahteraan total yang mestinya 31
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 15 - 36
Tabel 7. Dampak skenario kebijakan PSDH dan DR terhadap perubahan kesejahteraan Table 7. Impact of PSDH and DR policy scenario on welfare changes Skenario (Scenario)
Perubahan k esejahteraan (Rp juta) (Welfare changes in million rupiah ) Produsen
Konsumen
Total
1. PSDH=0, DR=Aktual
-6.008.115
5.776.968
-231.147
2. PSDH=Aktual, DR= 0
-3.537.024
3.493.690
-43.334
3. PSDH= 0, DR= 0
-9.304.672
9.034.241
-270.431
4. PSDH=20%, DR=Aktual
6.428.701
-6.181.175
247.526
5. PSDH=Aktual, DR=20%
8.333.913
-8.209.279
124.634
6. PSDH=20%, DR=20%
15.269.550
-14.869.187
400.363
7. PSDH=25%, DR=Aktual
9.721.698
-9.343.187
378.511
8. PSDH=Aktual, DR=25%
11.480.600
-11.303.779
176.821
9. PSDH=25%, DR=25%
21.741.805
-21.144.716
597.089
diterima oleh produsen dan konsumen sebesar Rp -2,3x10 11 , mengurangi surplus yang mestinya diterima produsen sebesar Rp 12 6,0x10 . Kebijakan ini akan memberi tambahan surplus kepada konsumen sebesar 12 Rp 5,7x10 . Pada penerapan skenario 1, menghapus Provisi Sumberdaya Hutan dan menerapkan kewajiban pembayaran Dana Reboisasi seperti saat ini akan berdampak kepada penambahan kesejahteraan konsumen, dan mengurangi kesejahteraan produsen. Skenario 2: Penerapan PSDH aktual dan menghapus DR Apabila pungutan DR terhadap kayu bulat dari hutan alam dihilangkan, tetapi tetap menerapkan kebijakan PSDH aktual sebagaimana berlaku saat ini, maka kebijakan ini akan menurunkan tingkat harga kayu bulat yang berasal dari hutan alam, karena hilangnya beban kewajiban pembayaran DR. PSDH masih berlaku dan tidak mengalami perubahan. Dengan penurunan harga kayu bulat yang berasal dari hutan alam, maka konsumen akan mendapatkan keuntungan karena harga kayu 32
yang dijual di pasaran akan menjadi lebih murah. Dengan harga kayu bulat hutan alam yang lebih murah maka konsumen bisa membeli dengan jumlah yang lebih besar. Sebaliknya, dengan penurunan harga kayu bulat yang berasal dari hutan alam, maka produsen akan mengurangi kuantitas penawaran kayu bulat di pasaran sehingga kesejahteraan produsen menjadi berkurang. Kesejahteraan total yang diterima bersamasama oleh produsen dan konsumen akan turun 10 sebesar Rp -4,3x10 , dimana dari jumlah ini produsen mengalami penurunan surplus 12 sebesar Rp -3,5x10 , dan sebaliknya konsumen akan mendapatkan tambahan kesejahteraan, 12 sebesar Rp 3,5x10 . Penerapan skenario 2, berdampak pada terjadinya penurunan kesejahteraan total. Skenario 3: Menghapus PSDH dan DR Penerapan skenario kebijakan 3, menghapus PSDH dan DR akan berdampak kepada penurunan harga kayu bulat dari hutan alam, HTI perkakas maupun HTI pulp. Dengan penurunan harga tersebut maka industri kayu lapis, kayu gergajian dan pulp
Dampak Kebijakan Provisi Sumberdaya Hutan dan . . . Erwinsyah, Harianto, Bonar M. Sinaga & Bintang C.H. Simangunsong
akan membeli bahan baku kayu bulat dengan jumlah yang lebih besar, sehingga kesejahteraan konsumen akan bertambah. Sebaliknya dengan penurunan harga kayu bulat tersebut produsen kayu bulat, yaitu perusahaan HPH dan HTI akan mengurangi penawaran bahan baku akibat turunnya harga, sehingga kesejahteraan produsen berkurang. Penerapan skenario kebijakan ini akan memberikan tambahan kesejahteraan 12 konsumen sebesar Rp 9,3x10 , tetapi akan mengurangi kesejahteraan produsen sebesar 12 Rp -9,0x10 , dan akan mengakibatkan 11 kesejahteraan total turun sebesar Rp -2,7x10 . Skenario 4: Penerapan PSDH 20 persen dan DR aktual Skenario penerapan PSDH 20 persen dan penerapan DR sebesar nilai aktual akan meningkatkan harga kayu bulat. Kenaikan harga kayu bulat akan mendorong produsen kayu bulat meningkatkan produksi kayu bulat, sehingga kesejahteraan produsen meningkat. Sebaliknya peningkatan harga mendorong industri kayu lapis, kayu gergajian dan pulp mengurangi konsumsi kayu bulat sehingga kesejahteraan konsumen berkurang. Penerapan skenario ini akan meningkatkan 11 kesejahteraan total sebesar Rp 2,4x10 , meningkatkan surplus produsen sebesar Rp 12 6,4x10 , menurunkan kesejahteraan konsu12 men sebesar Rp -6,2x10 . Skenario 5: Penerapan PSDH aktual dan DR 20 persen Penerapan DR sebesar 20 persen dan PSDH dengan nilai aktual akan meningkatkan harga kayu bulat hutan alam, kayu bulat yang berasal dari HTI perkakas dan HTI pulp. Dengan kenaikan harga kayu bulat maka produsen kayu bulat akan meningkatkan produksinya sehingga akan meningkatkan kesejahteraan produsen. Sebaliknya, kenaikan
harga akan menyebabkan industri kayu lapis, kayu gergajian dan pulp akan mengurangi tingkat konsumsi bahan baku sehingga mengurangi kesejahteraan konsumen. Penerapan skenario kebijakan ini akan meyebabkan peningkatan surplus produsen 12 sebesar Rp 8,3x10 . Sebaliknya penerapan skenario kebijakan ini akan menurunkan penerimaan surplus konsumen sebesar Rp 12 8,2x10 . Adapun kesejahteraan total akan meningkat sebesar Rp 1,2x1011. Skenario 6: Penerapan PSDH 20 persen dan DR 20 persen Dampak penerapan skenario kebijakan PSDH sebesar 20 persen dan DR sebesar 20 persen akan menyebabkan harga kayu bulat meningkat. Dengan kenaikan harga kayu bulat maka produsen akan meningkatkan produksi kayu lapis, kayu gergajian dan pulp, sehingga kesejahteraan produsen akan meningkat. Sebaliknya, penerapan skenario kebijakan ini akan membuat perusahaan kayu lapis, kayu gergajian dan pulp akan mengurangi konsumsi bahan baku kayu bulat. Kesejahteraan total yang akan diterima produsen dan konsumen meningkat sebesar 11 Rp 4,0x10 , dan meningkatkan surplus 12 produsen sebesar Rp 15,3x10 , serta surplus 12 konsumen akan turun sebesar Rp -14,8x10 . Skenario 7: Penerapan PSDH 25 persen dan DR aktual Skenario kebijakan penerapan PSDH sebesar 25 persen serta penerapan DR dengan nilai aktual akan meningkatkan harga kayu bulat. Dengan kenaikan harga kayu bulat di pasar maka akan mendorong produsen kayu bulat meningkatkan produksi kayu bulat sehingga kesejahteraan produsen akan meningkat. Sebaliknya peningkatan harga akan membuat konsumen kayu bulat, yaitu idustri kayu lapis, industri kayu gergajian dan
33
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 15 - 36
pulp mengurangi konsumsi bahan baku kayu bulat, sehingga kesejahteraan konsumen akan berkurang. Skenario kebijakan ini akan menyebabkan kesejahteraan total menikngkat 11 Rp 3,7x10 , meningkatkan surplus produsen 12 Rp 9,7x10 , dan menurunkan surplus konsumen Rp -9,3x1012. Skenario 8: Penerapan PSDH aktual dan DR 25 persen Skenario penerapan PSDH sebagaimana berlaku saat ini, serta penerapan DR sebesar 25 persen akan menyebabkan terjadinya kenaikan tingkat harga kayu bulat. Kenaikan harga akan mendorong produsen kayu bulat meningkatkan produksi kayu bulat sehingga akan meningkatkan tambahan kesejahteraan. Sebaliknya kenaikan harga kayu bulat akan mendorong industri kayu lapis, kayu gergajian dan pulp mengurangi konsumsi bahan baku sehingga kesejahteraan konsumen akan berkurang. Dengan penerapan skenario ini, maka kesejahteraan total akan bertambah sebesar Rp 11 1,7x10 . Pada kondisi yang sama surplus produsen juga akan bertambah sebesar Rp 12. 11,4x10 , namun sebaliknya akan menurun12 kan surplus konsumen sebesar Rp -11,3x10 . Skenario 9: Penerapan PSDH 25 persen dan DR 25 persen Penerapan PSDH sebesar 25 persen, serta penerapan kebijakan DR sebesar 25 persen akan menaikkan tingkat harga kayu bulat akibat beban pembayaran PSDH dan DR dibebankan atas harga kayu bulat tersebut, sehingga harga kayu bulat di pasar akan meningkat. Kenaikan harga kayu bulat akan mendorong produsen penghasil kayu bulat meningkatkan produksinya sehingga kesejahteraan produsen akan meningkat. Sebaliknya kenaikan harga kayu bulat sebagai bahan baku industri pengolahan kayu lapis, kayu gergajian
34
dan pulp akan mengurangi konsumsi bahan bakunya sehingga menurunkan produksi kayu olahan yang berdampak kepada penurunan tingkat kesejahteraan pada konsumen kayu bulat. Penerapan kebijakan PSDH dan DR masing-masing sebesar 25 persen akan meningkatkan kesejahteraan total lebih besar dibandingkan skenario-skenario sebelumnya, dimana kesejahteraan total akan meningkat 11 sebesar Rp 5,9 x10 . Penerapan ini akan meningkatkan surplus produsen sebesar Rp 2,1 13 x 10 , dan menurunkan surplus konsumen 13 sebesar Rp -2,1x10 .
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Kenaikan PSDH dan DR secara terpisah akan meningkatkan harga kayu bulat, kecuali harga kayu bulat HTI pulp dan meningkatkan harga produk kayu olahan. Kenaikan PSDH dan DR secara bersamasama akan meningkatkan harga kayu bulat dan kayu olahan. 2. Kenaikan PSDH akan meningkatkan produksi kayu bulat dan kayu olahan, kecuali produk kayu lapis karena tidak terjadi peningkatan harga kayu lapis. Kenaikan DR akan meningkatkan produksi kayu bulat, kecuali kayu bulat dari HTI pulp yang hampir tidak terpengaruh. Kenaikan DR hanya akan meningkatkan produksi kayu gergajian. Sedangkan kenaikan PSDH dan DR secara bersama-sama akan meningkatkan produksi kayu bulat hutan alam, HTI perkakas dan HTI pulp, serta kayu gergajian dan pulp. 3. K e n a i k a n P S D H d a n D R a k a n meningkatkan kesejahteraan produsen kayu bulat hutan alam, HTI perkakas, HTI pulp, produsen kayu lapis, kayu gergajian
Dampak Kebijakan Provisi Sumberdaya Hutan dan . . . Erwinsyah, Harianto, Bonar M. Sinaga & Bintang C.H. Simangunsong
serta pulp, dan menurunkan kesejahteraan konsumen kayu bulat dan konsumen kayu olahan. B. Saran 1. Saran kebijakan a. Untuk menambah pasokan input bahan
baku, perlu melakukan diversifikasi jenis bahan baku dari hutan alam, meningkatkan produktivitas hutan alam dan meningkatkan kinerja hutan tanaman serta memberikan kemudahan impor bahan baku. b. Melakukan restrukturisasi industri kehutanan berbasis competitiveness, dimana perusahaan yang memiliki kinerja baik diberikan reward yang memacu prestasi, sedangkan yang tidak baik diberikan pinalty yang membuat efek jera. c. Perlu melakukan evaluasi menyeluruh dan tindakan cepat dan sistematis mengenai peluang ekonomi kayu untuk memenuhi harapan penerimaan lebih besar dari sektor kehutanan, khususnya menghadapi situasi ekonomi dan politik berbeda dibandingkan zaman keemasan kayu tahun 1980/ 90an, termasuk merumuskan nilai PSDH dan DR yang bisa memotivasi perusahaan bisa melakukan kegiatan bisnis yang sehat, serta pemerintah mendapat jaminan penerimaan jangka panjang, 2. Saran Penelitian
a. Perlu meneliti pengaruh kuota produksi kayu bulat terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen akibat penerapan PSDH dan DR. b. Perlu meneliti pengaruh tarif dan non tarif yang dikenakan kepada pasar output industri perkayuan terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen. c. Perlu meneliti pengaruh moratorium pemberian izin baru pengusahaan kayu
bulat terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen
DAFTAR PUSTAKA APHI. 2005. Analisis Peraturan Perundangan Tentang Pungutan Pengusahaan Hutan. www.aphi-net.com -- © 2003 2005. Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Indonesia 2004. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bisnis Indonesia. 2009. Penerimaan DR & PSDH baru 40%. Selasa 8 September 2009. (Http://www.pajakonline.com/engine/a rtikel/art.php?artid=6403). Conrad, R.F., M. Gillis, and D.E. Mercer. 2005. Tropical forest harvesting and taxation: A dynamic model of harvesting behavior under selective extraction systems. Environment and Development Economics 10: 689709. Cambridge University Press, Cambridge. Departemen Kehutanan, 2007. Eksekutif Data Strategis Kehutanan 2007. Departemen Kehutanan, Jakarta. Erwinsyah. 2012. Dampak kebijakan provisi sumberdaya hutan dan dana reboisasi terhadap kesejahteraan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Food Agriculture Organization. 2006. FAOISTAT Database home page (http://www.fao.org/) FAO, Rome. Ginoga, K. L., M. Lugina dan Erwidodo. 2001. Analisis instrumen kebijakan DR dan PSDH dan peluang penyempurnaannya. Jurnal Sosial Ekonomi, 2 (2) : 151 171, Bogor. Just, R.E., D. L. Hueth., and A. Schmitz. 1982. Applied Welfare Economics and Public Policy. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. 35
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 15 - 36
McGuyan, J.R., and M.R. Charles. 1986. Managerial Economics. Fourth Edition. West Publising Co, Saint Paul, Minnesota, USA. Nicholson, W. 2000. Intermediate Microeconomics and Its Application. Eight Edition. CBS College Publishing, New York. Pindyck, R.S., and D.L. Rubinfeld. 2005. Microeconomics. Sixth Edition. Person Education, Inc., New Jersey. Rusli, Y. 1999. The Indonesian plywood industry, environmental conservation policy, and the long-run market adjustment. Ph.D. Dissertation. University of Washington. Simangunsong, B.C.H. 2001. International demand and supply for forest products, with applications to the tropical timber products trade. Ph.D. Dissertation. University of Wisconsin, Madison. Simangunsong, B.C.H., E.G.T. Manurung, dan D.S. Sukadri. 2007. Road map revitalisasi industri kehutanan Indonesia. In-house Experts Working Group Revitalisasi Industri Kehutanan. Departemen Kehutanan, Jakarta.
36
Sinaga, B.M. 1989. Econometric model of the Indonesian hardwood products industry: A policy simulation analysis. Ph.D. Dissertation. University of The Philippines, Los Banos. Timotius. 2000. Analisis ekonometrika perkembangan industri kayu lapis Indonesia 1975-2010: Suatu simulasi kebijakan. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Turner, J,A., J. Buongiorno, and S. Zhu. 2006. An economic model of international wood supply, forest stock and forest area change. Scandinavian Journal Of Forest Research, 2 (1) : 73 - 86. Varian, H.R. 1987. Intermediate Microeconomics. A Modern Approach. First Edition. W.W. Norton & Company, Inc., New York. Wear, D.N., and P.J. Parks. 1994. The economics of timber supply: An analytical synthesis of modeling approaches. Natural Resource Modeling, Volume 8, Number 5: 199 -223.
KAJIAN EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KUTAI (Study on the Effectiveness of Collaborative Management of Kutai National Park) 1
Faiqotul Falah 1
Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumberdaya Alam, Jl.Sukarno-Hatta Km 38, Samboja, PO Box 578 Balikpapan 76112, telp/fax (0542) 7217663/7217665, Email :
[email protected]
Diterima 13 Februari 2012, disetujui 2 Agustus 2012
ABSTRACT Kutai National Park (TNK) area has been defragmented and degraded due to illegal logging, forest fire, and land occupation. Collaborative management of TNK has been exists with the establishment of Mitra Kutai However various problems occur in TNK as indication that the collaborative management has not yet effective. This paper aims to describe information regarding the institutional effectiveness of collaborative management in TNK. This research was conducted by : 1) identification of related policies; 2) policy content analysis; 3) identification of stakeholders' perception and roles, 4) qualitative analysis on stakeholders' perception and roles, 5) SWOT analysis, and 6) formulation of recommendation on improvement steps of collaborative management of TNK. It was concluded that collaborative management of TNK was ineffective in solving various problems occurred, and therefore it is necessary to make improvement by the following steps : 1) Study the potential and current conditions of TNK; 2) Publish research results and raise issues on the problems and important values of TNK; 3) Strengthen networking with funding organizations; 4) Establish zonation area; 5) Reconfigure collaboration management organization and arrange programmes and scheme on budget agreed by all stakeholders; 6) Make collaboration on the development of model of conservation village; and 7) Collaboration in the economic utilization programmes in TNK, such as development of agro-tourism area, the environmental education center, safari-park and eco-tourism areas and research area Keywords : Collaboration, institution, ecosystem based forest management, stakeholders' roles
ABSTRAK Kawasan Taman Nasional Kutai (TNK) mengalami defragmentasi dan degradasi habitat akibat perambahan, penebangan liar, serta kebakaran hutan. Kemitraan pengelolaan TNK terbentuk sejak 1994 dengan adanya Mitra Kutai. Namun berbagai permasalahan yang muncul mengindikasikan bahwa pengelolaan kawasan TNK belum efektif. Penelitian ini bertujuan memperoleh informasi mengenai efektivitas kelembagaan pengelolaan kolaboratif di TNK. Penelitian dilakukan dengan cara : 1) identifikasi kebijakankesepakatan yang berlaku, 2) analisis isi kebijakan, 3) identifikasi persepsi dan peran pemangku kepentingan; 4) analisis kualitatif terhadap persepsi dan peran pemangku kepentingan 5) analisis SWOT, dilanjutkan 6) rekomendasi penyempurnaan kelembagaan kolaborasi Mitra Kutai. Disimpulkan bahwa pengelolaan kolaborasi di TNK ternyata belum efektif, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah berikut : 1) Penelitian potensi dan kondisi terkini TNK; 2) publikasi hasil penelitian serta
37
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 37 - 57
mengangkat isu permasalahan dan nilai penting TNK melalui media; 3)Penguatan jejaring kerja dengan lembaga donor internasional; 4) Penetapan/zonasi kawasan; 5) Rekonfigurasi lembaga kolaborasi pengelolaan TNK serta penyusunan program dan skema pendanaan yang disepakati semua pihak; 6) Kolaborasi dalam Pembangunan model Desa Konservasi; dan 7) Kolaborasi dalam program pemanfaatan ekonomi kawasan, seperti pembangunan kawasan agrowisata, pusat pendidikan lingkungan, taman safari dan kawasan ekowisata serta areal riset/penelitian. Kata kunci : Kolaborasi, kelembagaan, pengelolaan kawasan berbasis ekosistem, peran pemangku kepentingan
I. PENDAHULUAN Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam baik daratan maupun perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi (UU No 41/1999). Konsep yang diterapkan dalam pengelolaan taman nasional adalah pengelolaan kawasan berbasis ekosistem. Pelaksanaan prinsipprinsip pengelolaan berbasis ekosistem memerlukan adanya kerjasama atau kolaborasi seluruh pemangku kepentingan, sehingga memungkinkan tercapainya kepuasan pihakpihak yang berkepentingan dalam merumuskan keseimbangan fungsi-fungsi ekologis, ekonomis dan sosial dari suatu ekosistem hutan (von Gadow et al., 2000 dalam Suhendang, 2004). Menurut Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No 19 tahun 2004, pengelolaan kolaboratif didefinisikan sebagai pelaksanaan suatu kegiatan atau penanganan suatu masalah dalam rangka membantu meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan secara bersama dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama. Sebagian besar kawasan konservasi di Indonesia berada dalam tekanan karena adanya tiga ancaman utama yaitu: klaim dan okupasi oleh masyarakat lokal, perambahan oleh industri, dan konflik antara pemerintah pusat 38
dan daerah atas kewenangan sumber daya alam (Moeliono dan Purwanto, 2008). Kawasan Taman Nasional Kutai (TNK) tak luput dari ketiga ancaman tersebut. Perubahan tata guna lahan di sekitar TNK yang meningkatkan akses dan tekanan pihak luar terhadap kawasan, euforia otonomi daerah yang membuat pemerintah daerah dan masyarakat merasa memiliki hak penuh untuk mengeksploitasi sumber daya alam, kandungan minyak bumi dan batu bara di TNK yang menjadi sumber konflik antara sektor kehutanan dan pertambangan, serta lemahnya penegakan hukum, merupakan permasalahan kompleks yang menyebabkan kawasan TNK mengalami degradasi kuantitas dan kualitas keanekaragaman hayati (Wiratno et al., 2001; Balai TN Kutai, 2010). Munculnya permasalahan kompleks dan berlarut-larut yang melibatkan banyak pemangku kepentingan ini mengindikasikan pentingnya tercapai kesepahaman dan kesepakatan bersama, serta implementasi pengelolaan kolaboratif yang efektif di TNK. Beberapa syarat agar pengelolaan berbasis ekosistem secara kolaboratif dapat efektif untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat kawasan konservasi, antara lain : 1. Prinsip holistik, yaitu pengelolaan kawasan harus memperhatikan seluruh fungsi ekologis, ekonomis, dan sosial dalam ekosistem; 2. Prinsip integratif, yaitu : a). pengelolaan berdasar kerjasama antar seluruh pihak
Kajian Efektivitas Pengelolaan Kolaboratif . . . Faiqotul Falah
(Suhendang, 2004); b).ditampungnya berbagai aspirasi para pemangku kepentingan (Awang, 2006); c). berdasar kesepahaman dan kesepakatan bersama (IUCN, 1996; Permenhut No 19 Tahun 2004); d). ada pembagian kewenangan dan tanggung jawab dalam pengelolaan (Awang, 2006); e). partisipasi yang tinggi dari pemangku kepentingan, termasuk masyarakat lokal (Awang, 2006); dan f). ada fasilitator dan dewan penasehat yang berfungsi dengan baik dalam kelembagaan kolaborasi (Anshari, 2006; Erdman et al., 2004, Moeliono dan Purwanto, 2008). Tulisan ini bertujuan memaparkan informasi mengenai efektivitas kelembagaan
KAWASAN TNK
kolaboratif pengelolaan TNK, berdasar beberapa kata kunci yaitu realisasi fungsi kawasan, ada tidaknya kesepahaman dan kesepakatan bersama, aturan main yang berlaku , struktur kolaborasi, realisasi peran, partisipasi, relasi antar pemangku kepentingan, serta persepsi dan aspirasi para pemangku kepentingan.
II. METODE PENELITIAN A. Kerangka Pikir Penelitian
Bagan alir permasalahan penelitian disajikan dalam Gambar 1.
KELEMBAGAAN
Bahan Penilaian efektivitas kelembagaan kolaboratif
Aturan yang berlaku
PARAPIHAK
Persepsi
Kesenjangan antara aturan dan realisasi peran
Partisipasi parapihak
Realisasi peran
Gambar 1. Bagan alir permasalahan penelitian Figure 1. Flowchart of research problem
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
C. Pengambilan dan Analisis Data
Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni sampai dengan November 2010, di kawasan Taman Nasional Kutai yang termasuk dalam wilayah Kota Bontang, Kabupaten Kutai Timur, dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yang menggunakan metode survei, dengan tahapan sebagai berikut : 1. Identifikasi : a. peraturan yang berlaku mengenai pengelolaan kolaboratif serta pemanfaatan sumberdaya hutan yang diizinkan di kawasan taman nasional; b.
39
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 37 - 57
kesepakatan yang berlaku dalam pengelolaan kolaboratif kawasan TNK; c. kondisi fisik, ekologis, sosial budaya dan ekonomi masyarakat sekitar kawasan TNK. Identifikasi dilakukan dengan melakukan telaah data sekunder. 2. Analisis isi kebijakan pengelolaan kolaboratif kawasan TNK. 3. Identifikasi persepsi, partisipasi dan realisasi peran parapihak dalam pengelolaan kolaboratif kawasan TNK. 4. Analisis persepsi, partisipasi dan realisasi peran parapihak dalam pengelolaan kolaboratif kawasan TNK, secara kualitatif.
5. Interpretasi data, analisis SWOT dan
perumusan rekomendasi. Pengumpulan data primer mengenai persepsi dan realisasi peran para pemangku kepentingan dilakukan dengan metode wawancara terstruktur. Data sekunder diperoleh dari website Kementerian Kehutanan, Pusat Informasi Pengelolaan Kolaboratif, laporan kegiatan Balai TNK dan Mitra TNK, arsip Pemerintah Daerah, serta instansi lain yang terkait.
Tabel 1. Distribusi asal dan jumlah responden penelitian Table 1. Distribution of source and amount of respondents
No
40
Asal responden (Sources of respondents)
1
Balai TN Kutai
2
Anggota Mitra Kutai
3 4
Pemerintah Kota Bontang Pemerintah Kab. Kutai Timur
5
Pemerintah Kab. Kutai Kartanegara
6 7
LSM lokal Masyarakat : a. Dalam Kawasan (7 desa) b. Luar kawasan : - Desa Swarga Bara ( Seksi Sangatta) - Desa Menamang Kiri dan Menamang Kanan (Seksi Tenggarong)
Jumlah responden (Amount of respondents) 7 ( Kepala Balai, Seksi Perencanaan, Seksi Sangatta dan Tenggarong, Resort Prevab, Sangkima, dan Menamang) 5 perusahaan (Pertamina, KPC, PAMA, Indominco, Surya Hutani Jaya) 1 (Badan Lingk. Hidup ) 3 (Bappeda, Dinas Kehutanan, Badan Lingkungan Hidup) 2 ( Dinas Kehutanan, Badan Lingk. Hidup) 1 (Yayasan BIKAL) 49 7 14
Kajian Efektivitas Pengelolaan Kolaboratif . . . Faiqotul Falah
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Kawasan TN Kutai TN Kutai memiliki luas 198.604 ha, terbagi dalam tiga wilayah administrasi, yaitu Kota Bontang (0,36% dari luas TNK), Kab. Kutai Kartanegara (12,88%), dan Kab. Kutai Timur (86,75%). Kawasan yang berhutan didominasi oleh tipe ulin (Eusideroxylon zwageri), meranti (Shorea sp.), kapur (Dryobalanops aromatic), dan Dipterocarpaceae campuran. Juga terdapat hutan bakau, hutan pantai, hutan kerangas, dan hutan rawa air tawar. Potensi flora mencapai 958 jenis. Potensi fauna mencakup 11 spesies primata (5 endemik Kalimantan), antara lain orangutan (Pongo pymaeus morio), bekantan (Nasalis larvatus), dan Owa-owa (Hylobates muelleri). Satwa lain adalah banteng (Bos javanicus), rusa sambar (Cervus unicolor),
kijang muntjak (Muntiacus muntjak), kancil ( Tragulus sp), beruang madu ( Helarctos malayanus), macan dahan (Neofalis didardi), buaya muara (Crocodylus prosus), buaya senyulong (Thomistoma schelegeli) dan 330 spesies burung. Kawasan TNK merupakan daerah tangkapan air bagi Sangatta (ibukota Kutai Timur) serta zona aquifer yang menyuplai kebutuhan air bersih Kota Bontang yang berada di kawasan TNK. TNK memiliki tak kurang dari lima Daerah Tujuan Wisata Alam, namun belum semuanya dapat dikembangkan karena besarnya tekanan terhadap kawasan (Balai TN Kutai, 2010). Dalam sejarahnya, kawasan konservasi ini berkali-kali mengalami pelepasan sebagian wilayah untuk berbagai tujuan, seperti terlihat dalam Tabel 2.
Tabel 2. Sejarah kawasan TNK Table 2. History of Kutai National Park area Tahun (Years) 1936 1957 1969 1973 1991
1995 1997
1998
1999 2005 2007
Kegiatan ( Activities ) Disetujui Suaka Margasatwa Kutai seluas 306.000 hektar (Sultan Kutai, SK (ZB) No 80/22-B/1936) Ditetapkan Suaka Margasatwa Kutai ( SK Menteri Pertanian No 110/UN/1957) 100.000 hektar dikeluarkan untuk eksplorasi minyak (Pertamina) dan hak pengusahaan kayu (HPH) 106.000 ha di pesisir timur diberikan ke HPH PT Kayu Mas, PT Badak NGL dan PT Pupuk Kaltim (PKT) - 1,371 hektar dilepaskan untuk perluasan kota Bontang dan ekspansi PT PKT (SK Menhut No 435/Kpts -XX/1991) - Pembangunan J alan Poros Bontang – Sangatta sepanjang 68 km dan membuka lahan TNK seluas + 48 hektar SM Kutai menjadi TN Kutai seluas 198.629 ha (SK Menhut No 325/Kpts -II/1995) Persetujuan prinsip perubahan sebagian kawasan TNK seluas + 25 ha menjadi kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi, yang kemudian dilepaskan untuk perluasan Kota Bontang (Surat Menhut No 997/Menhut -VII/1997) - Mengesahkan empat desa di dalam kawasan TN sebagai desa definitif (Gubernur Kaltim) dalam Kec. Sangatta Selatan - Pembuatan zona pemanfaatan khusus di Sangatta Selatan - Pemekaran Kab. Kutai menjadi Kab. Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat, dan Kota Bontang - Usulan enclave seluas 23.712 ha (Pemerintah Kab. Kutai Timur) Kec. Sangatta Selatan dimekarkan menjadi Kec. Sangatta Selatan dan Teluk Pandan, 4 desa yang ada dimekarkan menjadi tujuh desa Menhut membentuk Tim Terpadu Percepatan Penyelesaian Permasalahan TN Kutai, memberikan tiga opsi, yaitu 1) pelepasan kawasa n, 2) relokasi masyarakat dari dalam kawasan, dan 3) membentuk Zona Khusus di TN Kutai
Sumber : Balai TN Kutai, 2010 Source : Institute of Kutai National Park, 2010
41
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 37 - 57
Sejarah pelepasan kawasan untuk berbagai kepentingan di atas menjadi salah satu alasan bagi masyarakat dan Pemerintah Daerah untuk menuntut enclave. Saat ini pada bagian kawasan TN Kutai yang diusulkan untuk dienclave telah berdiri bangunan pemukiman, sarana prasarana pemerintahan, sarana prasarana umum seperti sekolah (TK sampai dengan SLTA), Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), jalan, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), pasar, stasiun pompa bensin, 13 menara pemancar sinyal seluler, tempat pelelangan ikan dan jaringan listrik. Dijumpai pula tempat penggergajian kayu, hotel-hotel, rumah-rumah makan dan tempat hiburan (karaoke dan panti pijat). Tahun 2009 jumlah penduduk di dalam kawasan TN Kutai tercatat 27.495 jiwa, terdiri dari mayoritas suku Bugis, sisanya Jawa, Dayak, Banjar, dan Kutai. Hasil survei menyatakan bahwa di kawasan TN Kutai dijumpai potensi batubara sebesar 2,1 milyar metrik ton yang menjadi incaran investor untuk dieksploitasi dan juga menjadi alasan bagi para spekulan melakukan jual beli lahan dalam kawasan TN Kutai. Masalah pembebasan lahan dalam kawasan TN Kutai juga menjadi bahan kampanye dalam Pemilihan Kepala Daerah Kab. Kutai Timur tahun 2010 (wawancara dengan masyarakat, 2010).
2. UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehu-
3.
4.
5.
A. Peraturan yang Terkait dengan Penge-
lolaan Kolaboratif TNK Beberapa aturan main yang terkait dengan pengelolaan kolaboratif di TNK dan implikasinya adalah sebagai berikut : 1. Undang- Undang (UU) No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sebagai dasar hukum yang memungkinkan TNK dikelola bersama dan menampung berbagai kepentingan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya dan rekreasi. 42
6.
tanan, yang implikasinya antara lain bahwa untuk menjaga fungsi taman nasional, perlu prasyarat pemantapan kawasan yang belum terpenuhi karena tingginya tekanan dan bahwa kegiatan penambangan minyak dan batubara serta pemukiman masyarakat dalam kawasan TNK adalah melanggar hukum (illegal). UU No 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, yang antara lain menyatakan sub bidang kehutanan merupakan urusan pilihan yang dapat dikelola daerah sehingga Pemerintah Daerah dapat turut serta berkolaborasi dalam pengelolaan TNK. UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang antara lain mencantumkan kewajiban perusahaan menunaikan tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR) sebesar maksimal 2% dari laba perusahaan untuk lingkungan dan maksimal 2% untuk sosial. Ini merupakan dasar hukum bagi perusahaan yang beraktifitas di sekitar TNK untuk ikut menyumbangkan dana dan berkolaborasi dalam pengelolaan TNK. Permenhut No P.19 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, antara lain berisi pedoman persiapan, implementasi, pemantauan dan evaluasi dalam pengelolaan kolaboratif kawasan konservasi, melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Implikasinya perlu dibangun lembaga kolaborasi multipihak pengelolaan TNK dengan aturan main yang jelas mulai dari perencanaan hingga evaluasi. Permenhut No P.56 Tahun 2006 tentang Zonasi Taman Nasional, yang menyatakan Pemanfaatan kawasan TN dapat dilakukan di zona religi, zona budaya, zona penelitian dan zona khusus, sehingga memungkinkan kolaborasi lebih lanjut dengan masyarakat dan berbagai pihak di zona khusus, serta
Kajian Efektivitas Pengelolaan Kolaboratif . . . Faiqotul Falah
dengan lembaga penelitian di zona penelitian. 7. Permenhut No P. 64 Tahun 2006, tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, yang implikasinya adalah keberadaan Pertamina, masyarakat, serta berbagai sarana fisik seperti SPBU di TNK adalah melanggar hukum. C. Aturan Main dalam Kemitraan Pengelolaan TNK serta Implementasinya Salah satu fungsi utama Mitra Kutai adalah penggalangan dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari anggotanya untuk membiayai program-program pengelolaan TNK. Selama 14 tahun (1995-2008) telah tersalurkan dana sebesar Rp. 7,78 milyar dari Mitra Kutai, yang berarti rata-rata penyaluran dana adalah sekitar Rp 500-600 juta per tahun. Prioritas penggunaan dana adalah sebagai berikut : (1) Kampanye pelestarian 20%, (2) Pengembangan ekowisata 4%, (3) Sarana & Prasarana 20%, (4) Pengembangan SDM 3%, (5) Penelitian 2%, (6) Rehabilitasi kawasan 26%, (7) Pengamanan 5%, (8) Community Development 8%, dan (9) Sekretariat 12%. Saat ini muncul kejenuhan pada anggota-anggota Mitra Kutai karena program-program kegiatan yang dilaksanakan selama ini bersifat insidental/tidak berkesinambungan dan tidak diarahkan untuk mengatasi permasalahan mendasar di TNK. Hasil wawancara kepada masyarakat menyatakan bahwa mereka ternyata tidak mengenal apa yang disebut Mitra Kutai, sehingga bisa dikatakan bahwa kepentingan perusahaan untuk mengangkat citranya dalam aktivitas pelestarian lingkungan tidak tercapai. Pembentukan Mitra Kutai mempunyai beberapa tujuan, yaitu : 1) Penyadaran masyarakat; 2) Mendapat dukungan masyarakat luas; 3) Mengurangi tekanan terhadap hutan; 4) Pengelolaan kawasan yang lebih baik; dan 5). Kepastian hukum bagi masyarakat dan kawasan (Pusat Informasi Pengelolaan Kolaboratif, 2006).
Ditinjau dari keberhasilan pencapaian tujuan pembentukan Mitra Kutai, fakta yang ada di lapangan terkait pembukaan lahan yang terus menerus terjadi, masih adanya tindak penebangan liar di kawasan TNK, serta belum adanya kepastian hukum bagi perambah legal di tujuh desa sepanjang Jalan Poros SangattaBontang menunjukkan bahwa kegiatan yang dilaksanakan Mitra Kutai selama ini belum efektif. Dari hasil wawancara terhadap anggota Mitra Kutai, tergali harapan anggota untuk penyempurnaan kelembagaan Mitra Kutai, yaitu sebagai berikut : (1). Penambahan unsur keanggotaan, tidak hanya dari perusahaan, namun juga dari LSM, Pemerintah Daerah, serta wakil masyarakat; (2). Kejelasan aturan main sejak dari tahap perencanaan s.d. evaluasi; (3). Program kegiatan yang lebih terarah, tepat sasaran dan berkesinambungan untuk mengatasi permasalahan di TNK; (4). Sekretariat/badan pelaksana yang independen dan profesional; (5). Adanya pelaporan keuangan secara berkala dan transparan; (6). Audit keuangan yang dilakukan auditor independen; dan (7). Pemilahan secara tegas pengelolaan keuangan Mitra Kutai dengan pengelolaan keuangan Balai TN Kutai yang bersumber dari dana APBN. Muncul wacana untuk merekonfigurasi kelembagaan Mitra Kutai menjadi semacam konsorsium dengan merekrut personil Badan Pengelola/Pelaksana Mitra Kutai yang berasal dari kalangan profesional, memperbesar peran anggota Mitra Kutai, serta melibatkan Pemerintah Daerah, LSM dan wakil-wakil masyarakat dalam keanggotaan Mitra Kutai yang mempunyai hak untuk terlibat langsung dalam perencanaan program Mitra Kutai. Untuk itu diperlukan dasar hukum/nota kesepahaman baru yang mengikat Kementerian Kehutanan serta pihak-pihak lain yang terlibat dalam Mitra Kutai. Rekonfigurasi direncanakan berlangsung bertahap dalam jangka waktu 43
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 37 - 57
lima tahun. Kelembagaan kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi berbasis ekosistem memerlukan adanya pendanaan yang berkelanjutan. Sumber dana pengelolaan dapat diperoleh dari dana CSR perusahaan perusahaan (diusulkan trust fund ), jasa lingkungan, APBD (kerja sama dengan Pemkab) dan dana tak mengikat dari publik. Belum ada tanggapan resmi dari perusahaan anggota Mitra Kutai mengenai rencana dana perwalian tersebut, namun hasil wawancara menyatakan ada kemungkinan perusahaan dapat menerima bentuk trust fund, dengan persyaratan : (1) kinerja lembaga pengelola harus bisa meyakinkan penyandang dana; dan (2) skema pendanaan jelas, sesuai tujuan pembentukan lembaga kolaborasi, serta dapat mengangkat citra perusahaan dalam aktivitas pelestarian lingkungan. D. Realisasi Peran Para Pemangku Kepentingan dalam Pengelolaan TNK Pemangku kepentingan ( stakeholder) dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : (1)
44
pemangku kepentingan utama yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program, atau proyek; (2) pemangku kepentingan pendukung (sekunder), yang tidak memiliki kaitan kepentingan langsung, tetapi memiliki kepedulian sehingga turut bersuara dan berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan pemerintah; dan (3) pemangku kepentingan kunci, yang memiliki kewenangan secara legal dalam hal pengambilan keputusan. Pemangku kepentingan sering diidentifikasi dari segi kekuatan dan kepentingan relatif terhadap isu, atau dari segi pengaruh yang mereka miliki (Ramirez, 1999). Kepentingan (importance) merujuk pada peran dalam pencapaian luaran dan tujuan, serta menjadi fokus pertimbangan terhadap keputusan. Pengaruh (influence) merujuk pada kekuatan yang dimiliki untuk mengontrol proses kebijakan (Kanji et al., 2001; Mardle et al., 2003; Suaedi, 2011). Hasil analisis peran para pemangku kepentingan disajikan dalam Tabel 3.
Kepentingan/ minat (Importance/ interest)
Fungsi pengatur iklim,hidroorologis, kesejahteraan masyarakat, potensi batubara dalam kawasan TNK Pelindung zona aquifer kota Bontang
Pemkab. Kutai Timur
Pemkab Kota Bontang
Potensi minyak dan batubara dalam kawasan TNK
Kementerian Energi, Sumberdaya, dan Mineral (ESDM)
Pemegang kepentingan kunci Kementerian Pelestarian ekosistem Kehutanan dan biodiversitas TNK
Pemangku kepentingan (stakeholder)
Pembangunan daerah Bontang untuk kesejahteraan masyarakat
Pembangunan daerah Kutim untuk kesejahteraan masyarakat
Perencanaan, operasional pengelolaan, pelaporan, monitoring dan evaluasi Pengelolaan Sumberdaya energi untuk sebesar -besar kemakmuran rakyat
Fungsi/ peran (Function/ roles)
Pemekaran kecamatan dan desa, pemberian izin dan dana pembangunan fisik dalam kawasan, bantuan pertanian bagi masyarakat dalam kawasan Partisipasi dalam kampanye pelestarian TNK, rehabilitasi mangrove dalam kawasan TNK
Kegiatan pengelolaan didominasi Balai TNK, kolaborasi pengelolaan TNK masih lemah, bermasalah dalam pengamanan dan penegakan hukum Kuasa eksplorasi minyak dalam kawasan (Pertamina), eksplorasi batubara sekitar kawasan, belum memberi kuasa eksplorasi batubara dalam kawasan
Realisasi fungsi ( Realization of function)
Tabel 3. Hasil analisis peran para pemangku kepentingan Table 3. The result of stakeholders' roles analysis
Dukungan terhadap keutuhan kawasan dan komitmen untuk berkolaborasi dalam pengelolaan TNK akan sangat berpengaruh terhadap kelestarian TNK
Dukungan terhadap keutuhan kawasan dan komitmen kolaborasi sangat berpengaruh pada kelestarian TNK
Kebijakan untuk memberi atau menolak izin/kuasa pertambangan dalam kawasan akan sangat berpengaruh terhadap kelestarian TNK
Kebijakan pengelolaan sangat berpengaruh pada kelest arian TNK
Pengaruh terhadap kelestarian TNK (Influence on the sustainability of TNK )
Positif
Negatif
Negatif
Positif
Kontribusi (positif / negatif) (Contribution (+/-) Penyamaan persepsi, penggalangan kolaborasi, nota kesepahaman, Penetapan zonasi Komitmen tidak memberi kuasa penambangan batubara dalam kawasan, penegakan hukum reklamasi lahan bekas tambang Komitmen menjaga keutuhan kawasan, kolaborasi pengelolaan kawasan yang dihuni masyarakat Komitmen untuk menjaga keutuhan kawasan TNK, kolaborasi dalam pengelolaan kawasan
Optimalisasi peran (Optimalization of roles)
Kajian Efektivitas Pengelolaan Kolaboratif . . . Faiqotul Falah
45
46 Disinyalir membiayai spekulan lahan dalam kawasan TNK Fasilitator/ Mediator, pemberdayaan masyarakat, Sosialisasi/kampanye pelestarian TNK pada masyarakat lokal, riset
Eksploitasi batubara
Pemberdayaan masyarakat, kelestarian kawasan konservasi
Potensi batubara yang sangat besar dalam kawasan TNK
Project site sesuai visi misi lembaga
Investor pertambangan
LSM lokal dan internasional
Penyandang dana Mitra Kutai, kurang terlibat dalam perencanaan, operasional, dan monitoring evaluasi
CSR lingkungan dan pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar TNK
Keamanan berak tivitas di sekitar kawasan TNK, izin eksplorasi kawasan, citra perusahaan
Pemukiman dan pembukaan lahan dalam kawasan TNK, Desa Sangkima Lama menetapkan Perdes perlindungan mangrove
Partisipasi dalam kampanye pelestarian TNK, rehabilitasi lahan dalam kawasan TNK di Menamang
Perusahaan anggota Mitra Kutai
Pembangunan daerah Kukar untuk kesejahteraan masyarakat
Ikut menjaga kelestarian lingkungan dalam kawasan TNK
Fungsi hidroorologis dan pengatur iklim kawasan TNK
Pemangku kepentingan primer Masyarakat Pemanfaatan sumberdaya alam di lokal TNK untuk peningkatan kesejahteraan
Pemkab Kutai Kartanegara
Aktifitasnya berpengaruh terhadap pembukaan lahan dalam kawasan Bisa mempengaruhi aktor-aktor kunci dan masyarakat lokal (sebagai fasilitator dan mediator), namun kurang signifikan
Komitmen dan kontribusi berpengaruh terhadap kelestarian TNK
Aktifitas pemanfaatan lahan dalam kawasan sangat berpengaruh terhadap kelestarian
Riset potensi dan kondisi biodiversitas terkini, fasilitator dengan masyarakat dan media serta funding atau lembaga internasional y ang berpengaruh
Positif
Negatif
Positif
Penyamaan persepsi tentang status kawasan, komitmen untuk tidak memperluas perambahan, komitmen kolaborasi Komitmen kolaborasi multipihak, dalam pendanaan, perencanaan, dan monitoring evaluasi pengelolaan Penghentian upaya pembukaan lahan dalam kawasan
Komitmen untuk menjaga keutuhan kawasan TNK, kolaborasi pengelolaan kawasan
Negatif bagi yang membuka lahan dalam kawasan
Positif
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 37 - 57
Pers / media
Publikasi dan informasi kepada masyarakat
Pemangku kepentingan sekunder Kaltim Green, Pemprop potensi minyak dan Kaltim batubara dalam kawasan TNK sebagai sumber PAD Lembaga Penelitian dan penelitian dan publikasi perguruan tinggi Pembangunan daerah Kaltim untuk kesejahteraan masyarakat Pengembangan ilmu dan teknologi terkait pengelolaan TNK Informasi kepada berbagai pihak mengenai potensi, nilai penting, serta permasalahan TNK Tidak langsung berpengaruh, tetapi hasil penelitian dan publikasinya bisa menjadi dasar pengambilan kebijakan bagi aktor kunci
Penelitian terkait biodiversitas, sosial ekonomi dan kelembagaan
Informasi mengenai potensi dan nilai penting TNK belum sampai ke masyarakat luas (lokal, regional, nasional, dan internasional)
Tidak berpengaruh langsung, tetapi bisa menentukan keutuhan kawasan
Penetapan desa -desa dalam kawasan, pemekaran desa dan kecamatan, usulan APL dalam RTRWP Kaltim
Blow up isu permasalahan TNK, kondisi terkini, potensi dan kepentingannya
Perlu eksplorasi dan publikasi kondisi terkini biodiversitas TNK
Positif
Positif
Komitmen menjaga keutuhan kawasan TNK
Negatif
Kajian Efektivitas Pengelolaan Kolaboratif . . . Faiqotul Falah
47
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 37 - 57
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa kepentingan para aktor dapat dikelompokkan secara umum dalam dua kategori, yaitu kepentingan ekologi dan ekonomi. Kepentingan/minat inilah yang mendasari tipe kontribusinya terhadap kelestarian TNK, apakah positif atau cenderung negatif. Untuk mengoptimalkan peran para aktor tersebut, hal mendasar yang perlu dilakukan adalah menyamakan persepsi mengenai pentingnya pelestarian TNK untuk menumbuhkan komitmen menjaga keutuhan kawasannya. Tinggi
Kelompok A (High interest, low influence) Masyarakat lokal Perusahaan anggota Mitra Kutai LSM lokal dan internasional
Rendah
Kelompok C (Low interest, low influence) Lembaga penelitian Pers/media
Rendah
Penyamaan persepsi ini terutama penting bagi para pemangku kepentingan yang tinggi pengaruhnya dalam pengelolaan TNK, yaitu Kementerian Kehutanan, Pemkab. Kutai Timur, investor tambang, Kementerian ESDM, Pemprop. Kaltim, Pemkab. Kutai Kartanegara, dan Pemkot. Bontang, sebagaimana dapat dilihat pada matriks pemangku kepentingan dalam Gambar 2. Matriks tersebut membagi para pemangku kepentingan dalam empat kelompok berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya. Kelompok B (High interest, high influence) Kementerian Kehutanan Pemkab Kutai Timur Investor tambang Tokoh masyarakat Kelompok D (Low interest, high influence) Kementerian ESDM Pemprop Kaltim Pemkab Kutai Kartanegara Pemkot Bontang Tinggi
Gambar 2. Matrik pengelompokan pemangku kepentingan berdasar minat dan pengaruh Figure 2. Matrix of stakeholders grouping based on the interest and influence Kotak A menunjukkan kelompok pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan yang tinggi terhadap TNK tetapi rendah pengaruhnya terhadap pengambilan kebijakan, mencakup anggota lembaga/ personal yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan tetapi bukan pengambil kebijakan. Kotak B menunjukkan kelompok pemangku kepentingan yang memiliki derajat pengaruh dan kepentingan yang tinggi untuk mensukseskan kegiatan seperti tokoh masyarakat, kepala instansi terkait dan kepala pemerintahan. Kotak C menunjukkan kelompok pemangku kepentingan yang 48
rendah pengaruh dan kepentingannya. Interest mereka diperlukan untuk memastikan : a) interestnya tidak terpengaruh sebaliknya, dan b) kepentingan dan pengaruhnya tidak mengubah keadaan. Kotak D merupakan pemangku kepentingan yang rendah kepentingannya tetapi berpengaruh dalam pencapaian tujuan dan hasil kebijakan. Penyamaan persepsi dan penguatan komitmen para pemangku kepentingan terutama di Kotak B dan D diperlukan untuk mengelola seluruh kawasan TNK. Sampai tahun 2011, zonasi kawasan TNK belum dikukuhkan. Namun Balai TNK telah
Kajian Efektivitas Pengelolaan Kolaboratif . . . Faiqotul Falah
merencanakan lima zonasi untuk mempermudah pengelolaan TNK, yaitu Zona Inti, Zona Rimba, Zona Pemanfaatan, Zona Rehabilitasi, dan Zona Khusus. Bagan alir yang memaparkan kondisi dan pengaruh masingmasing pemangku kepentingan pada setiap zona yang direncanakan disajikan pada Gambar 3. Pada Gambar 3, tampak bahwa pemangku kepentingan yang paling dominan adalah Balai TNK (di semua zona), kemudian investor batubara (semua zona kecuali zona
inti), lembaga penelitian (berkegiatan di semua zona, meskipun pengaruhnya tidak signifikan), Pemerintah Kab. Kutai Timur, anggota Mitra Kutai, dan LSM (zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, dan zona khusus), masyarakat (zona pemanfaatan dan zona khusus), serta Pemkab Kutai Kartanegara dan Pemkot Bontang (zona rehabilitasi dan zona khusus). Strategi tindak lanjut pengelolaan TNK dapat disusun berdasar pemetaan pemangku kepentingan dan zonasinya. TNK
ZONA INTI
ZONA RIMBA
Hutan primer, sekunder, relatif aman, habitat orangutan, banteng, rusa (luas : 33,79%)
Aktor : Balai TNK, lembaga penelitian
ZONA PEMANFAATAN
Hutan sekunder, daerah jelajah satwa (luas : 30,8%)
Aktor : Balai TNK, lembaga penelitian, investor batubara
Hutan sekunder, berpotensi ekowisata (2,6%)
Aktor : Balai TNK, lembaga penelitian, LSM, Mitra TNK, masyarakat , Pemkab Kutim (Dinas Pariwisata) , investor batubara
ZONA REHABILITASI
Degradasi tinggi akibat perambahan (21,3%, diharapkan berkurang), koridor satwa Aktor : Balai TNK, lembaga penelitian, LSM, Mitra TNK, Pemkab Kutim , Kukar, dan Pemkot Bontang, investor batubara
ZONA KHUSUS
Daerah pemukiman (11,6%)
Aktor : Balai TNK, masyarakat, LSM, investor batubara, Mitra TNK
Gambar 3. Kondisi dan pengaruh masing-masing pemangku kepentingan pada setiap zona yang direncanakan di TNK Figure 3. Condition and actor's influences in each planned zonation of TNK 49
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 37 - 57
E. Persepsi Parapihak Hasil pengambilan data dan analisis mengenai persepsi para pemangku kepen-
tingan terkait pengelolaan TNK disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Persepsi para pemangku kepentingan terkait pengelolaan TNK Table 4. Stakeholders' perception about the management of TNK Aspek (Aspects )
Keterangan ( Notes)
Implikasi ( Implication )
1. Fungsi kawasan TNK a. Fungsi pelestarian ekosistem
b. Fungsi pendidikan
c. Fungsi penelitian
d. Jasa lingkungan
e. Pemanfaatan ekonomi jasa lingkungan
2. Masalah dalam pengelolaan TNK 3. Alternatif solusi
50
- 71 orang (78,02%) memberi nilai 2 (kurang) - 20 orang (21,98%) memberi nilai 4 (baik) - Hasil citra landsat TNK tahun 2009 menunjukkan luas lahan berhutan 76,5% dari luas TNK - Hasil penelitian kolaborasi Unmul – OCSP : populasi orangutan diprediksi sekitar 2000 individu, yang berarti kondisi habitat bagus, terutama di zona inti Rata -rata nilai 4 (baik), namun dianggap pendidikan le bih terfokus pada pelajar, kurang menyentuh masyarakat, dan hanya insidentil tidak berkesinambungan Rata -rata nilai 5 (sangat baik), meski belum terlihat kontribusi yang signifikan untuk pengelolaan, karena belum menyentuh permasalahan atau belum dipublikasikan, serta hasil riset masih tercerai berai Rata -rata nilai 4, disadari pentingnya TNK sebagai daerah tangkapan air dan menjaga iklim setempat, terutama karena adanya ancaman kerusaka n lingkungan akibat penambangan Rata-rata nilai 1 (kurang sekali), karena belum ada pemanfaatan ekonomi air dan karbon, ekowisata tidak signifikan karena belum tergarap
Sebagian besar pihak t erkait belum mengetahui informasi mengenai potensi dan kondisi terkini TNK perlu sosialisasi lebih lanjut untuk mendukung kampanye arti penting TNK
Perlu pendidikan lingkungan lebih lanjut untuk masyarakat secara berkelanjutan - Perlu publikasi hasil penelitian TNK kepada media/pers, - Perlu pengumpulan hasil riset, penyusunan status riset dan inventarisasi potensi biofisik terkini - Perlu penelitian, publikasi, dan kampanye mengenai manfaat ekologi, arti penting dan nilai ekonomi jasa lingkungan TNK Perlu penelitian manfaat ekonomi air, karbon, dan ekowisata TNK, dapat dimanfaatkan sebagai sumber dana pengelolaan Tata ruang menjadi prioritas penanganan masalah utama
Tata ruang / zonasi kawasan (84,61%), pengamanan kawasan (9,9%) dan kelembagaan dan koordinasi antar pihak (5,45%) Penyamaan persepsi, penetapan dan pen gukuhan zonasi, pengelolaan kolaboratif
Kajian Efektivitas Pengelolaan Kolaboratif . . . Faiqotul Falah
Hasil citra landsat TNK tahun 2009 menunjukkan bahwa lahan yang tertutup hutan primer seluas 8.860,73 hektar (4,46%), hutan sekunder seluas 137.802,46 ha (69,38%), dan hutan mangrove seluas 5.271,39 ha (2,66%), sehingga lahan yang masih berhutan adalah 76,5% dari total luas TNK. Hasil penelitian Dr. Yaya Rayadin dari Universitas Mulawarman memprediksi bahwa populasi orangutan liar di zona inti TNK sebanyak 1779 individu dan di zona rimba 298 individu (Balai TNK, 2010). Artinya masih ada sekitar 2000 orangutan di kawasan TNK, yang menjadi indikasi bahwa kondisi TNK terutama di zona inti masih sangat bagus dengan kelimpahan pakan orangutan cukup. Wiratno, et al. (2001) menyatakan bahwa kemampuan pengelola taman nasional dalam mengkomunikasikan nilai-nilai tidak langsung juga sangat diperlukan, misalnya kerugian yang timbul jika terjadi penebangan pohon atau pembukaan lahan dalam kawasan, kerugian yang terjadi jika satwa kunci mati, serta kerugian masyarakat apabila terjadi pencemaran air di daerah hulu atau apabila kemampuan penyimpanan air hutan di daerah hulu menurun sehingga debit air menurun drastis. Teknik penilaian ekonomi sumberdaya secara komprehensif akan sangat membantu menjelaskan nilai-nilai tidak langsung yang dimiliki sebuah taman nasional. Oleh karena itu dalam penyampaian informasi nilai-nilai penting, kondisi terkini, serta permasalahan taman nasional akan memerlukan kolaborasi berbagai pemangku kepentingan, antara lain Balai TNK, lembaga penelitian, LSM lokal / nasional sebagai fasilitator, tokoh kunci di masyarakat, serta pers/media cetak dan elektronik untuk penyebaran informasi yang lebih luas dan efektif. Apabila informasi tersebut tersampaikan, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan komitmen berbagai pemangku kepentingan untuk menjaga keutuhan dan kelestarian ekosistem dalam kawasan TNK.
F. Relasi Antar Pemangku Kepentingan Masalah yang dihadapi dalam relasi antar pemangku kepentingan antara lain adalah : (1) belum tercapainya penyamaan persepsi antara Balai TNK, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur dan masyarakat mengenai status kawasan konflik serta kegiatan yang boleh dilakukan di dalamnya; serta (2) kualitas komunikasi dan koordinasi antar semua pemangku kepentingan dalam menyusun dan melaksanakan rencana kegiatan masingmasing di kawasan TNK. Semua responden sepakat bahwa isu pelestarian air menjadi kepentingan bersama bisa ditonjolkan dalam kampanye pelestarian dan proses penyamaan persepsi semua pemangku kepentingan pada tingkat lokal. Sedangkan isu pelestarian keanekaragaman hayati bisa ditonjolkan pada tingkat nasional dan internasional. Kusumanto (2006) dalam menyatakan bahwa dalam proses adaptasi menuju pengelolaan kolaboratif kawasan konservasi, proses komunikasi dan informasi harus menjangkau semua kelompok kepentingan, dan tidak hanya wakil-wakil atau pemimpin kelompok, namun juga semua anggota. Ini berarti bahwa harus dicari media komunikasi yang bisa menjangkau seluruh masyarakat. Beberapa langkah yang disarankan oleh para pemangku kepentingan untuk meningkatkan koordinasi dan komunikasi antara lain sebagai berikut : 1. Pemindahan kantor Balai TNK ke wilayah Kab. Kutai Timur untuk memudahkan koordinasi dengan Pemkab. Kutai Timur dalam pengelolaan zona pemanfaatan dan zona khusus, mengingat 80% kawasan TNK termasuk wilayah administratif Kab. Kutai Timur. 2. Mengaktifkan forum komunikasi elektronik, seperti membangun jaringan surat elektronik antar pemangku kepentingan. 3. Bekerja sama dengan media cetak dan elektronik, terutama surat kabar, televisi, 51
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 37 - 57
dan radio lokal yang menjangkau masyarakat di dalam kawasan, terutama berkaitan dengan kampanye pelestarian TNK dan rencana pengelolaan TNK. 4. Mencari fasilitator baru yang bisa diterima oleh Pemerintah Kab. Kutai Timur, maupun masyarakat dalam kawasan, misalnya pihak Institut Pertanian Sangatta. 5. Perlu diketahui juga insentif dan disinsentif bagi kolaborasi yang bisa didapatkan para pemangku kepentingan.
G. Analisis SWOT dan Usulan LangkahLangkah Penyempurnaan Pengelolaan Kolaboratif TNK Analisis SWOT dilakukan untuk mengetahui potensi dan peluang yang dimiliki oleh Balai TNK dan para mitranya untuk mengatasi hambatan dan ancaman dalam upaya pelestarian TNK. Hasil analisis SWOT disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Analisis SWOT mengenai pengelolaan kolaboratif TNK Table 5. SWOT analysis on collaborative management of TNK Kekuatan (Strength) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Status legal sebagai TN Kutai Eksistensi Kemenhut, Dirjen PHKA, serta BTN Kutai Potensi biodiversitas dan ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah Potensi hidroorologis dan obyek wisata alam Komitmen perusahaan anggota Mitra Kutai Adanya dasar hukum untuk membentuk kolaborasi dalam pengelolaan kawasan TNK Adanya dasar hukum penetapan zonasi pemanfaatan Dukungan dari Karib Kutai Dukungan dari Pemkab Kutai Kartanegara dan Kota Bontang Dukungan dari lembaga penelitian dan perguruan tinggi nasional maupun internasional
Peluang (Opportunity ) 1. Kerja sama riset/inventarisasi kondisi potensi terkini dengan lembaga penelitian nasional/internasional 2. Kerja sama dengan pers/ media untuk mengangkat isu konflik kawasan serta potensi dan nilai penting TNK 3. Rekonfigurasi Mitra Kutai 4. Pengembangan program pendidikan dan kampanye dengan dana dari Mitra Kutai 5. Kolaborasi dengan Pemda setempat dan kepolisian dalam pengamanan dan penegakan hukum 6. Kolaborasi peng embangan ekowisata dalam kawasan, termasuk agrowisata 7. Kolaborasi pembangunan kawasan penelitian dengan lembaga penelitian nasional dan internasional
Kelemahan (Weakness ) 1. 2. 3. 4.
Sejarah pelepasan kawasan Pengukuhan kawasan belum s elesai Belum ditetapkan zonasi kawasan Lemahnya pengamanan kawasan dan penegakan hukum 5. Keterbatasan kuantitas dan kualitas SDM, serta sarana dan prasarana Balai TNK 6. Kelembagaan dan kegiatan Mitra Kutai belum efektif 7. Balai TNK masih dominan dalam pengelolaan kawasan, kurangnya partisipasi Pemerintah Daerah, masyarakat, pers dan lembaga penelitian dalam pengelolaan 8. Koordinasi dan komunikasi antar pihak yang lemah dalam pengelolaan TNK 9. Belum adanya kesepahaman atau penyamaan persepsi mengenai fungsi dan tata r uang TNK 10. Kurangnya informasi mengenai kondisi terkini TNK Ancaman (Threatness) 1. Adanya legalitas desa dan masyarakat dalam kawasan oleh Pemkab Kutim 2. Ketidaksinkronan kebijakan Kementerian Kehutanan dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian ESDM 3. Adanya jalan arteri lintas kabupaten/kota di dalam dan sekitar kawasan 4. Eksploitasi potensi batubara dalam kawasan TNK 5. Diangkatnya isu enclave menjadi ko moditi dalam kampanye pilkada 6. Kebutuhan lahan untuk pemekaran wilayah
Sumber : Kompilasi hasil analisis data primer dan sekunder serta Rencana Strategi Balai TN Kutai (2010) Sources : Compilation of the results of data analysis and the Strategic Planning of Kutai National Park Institute (2010)
52
Kajian Efektivitas Pengelolaan Kolaboratif . . . Faiqotul Falah
Dari hasil analisis SWOT tersebut terlihat bahwa penyamaan persepsi dan sinkronisasi perencanaan antar pemangku kepentingan terkait pengelolaan kawasan TNK merupakan modal dasar bagi kelestarian TNK. Untuk mencapai penyamaan persepsi dan sinkronisasi tersebut diperlukan tahapan panjang sebagai
tindakan persuasif atau kampanye untuk berkolaborasi menyelamatkan TNK. Langkah-langkah yang dapat diambil untuk penyempurnaan kelembagaan kolaboratif di kawasan TNK berdasarkan analisis SWOT tersebut disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Langkah-langkah penyempurnaan kelembagaan kolaboratif pengelolaan TNK Table 6. Improvement steps on collaborative management of TNK Langkah -langkah (Steps) Penelitian inventarisasi potensi dan kondisi terkini TNK Kompilasi dan penyusunan status riset TNK Publikasi hasil riset Kerja sama dengan media/pers nasional dan internasional Penguatan jejaring kerja dan donor nasional dan internasional
Penetapan dan pengukuhan zonasi TNK Rekonfigurasi Mitra Kutai
Program pemanfaatan ekonomi, sosial, dan pendidikan di Desa Konservasi/ Model Desa Zona Khusus (misal : Agrowisata, Taman Safari, Pusat Pendidikan Lingkungan, dan research area)
Prakondisi ( Precondition ) Koordinasi dengan lembaga penelitian nasional/internasional
Kompilasi bahan publikasi/informasi terkini mengenai potensi dan masalah di TNK, serta nilai penting TNK Koordinasi dengan LSM internasional, Unmul, Kemenhut
Pengangkatan isu oleh media/pers Membangun kesepahaman antar pihak, dengan bantuan pers/media Perlu fasilitator baru antara Kemenhut dengan Pemkab Kutim dan masyarakat (misal : perguruan tinggi lokal) Ada perencanaan dan skema pendanaan yang jelas dan legal dari Mitra Kutai/lembaga kolaborasi pengelolaan TNK Komitmen dari parapihak yang terkait, termasuk masyarakat
Pemangku kepentingan terkait ( Related stakeholders ) Balai TNK, LSM (CIFOR, OCSP), Litbang Kemenhut, Unmul, LIPI
Pers/media cetak maupun elektronik
Balai TNK, TNC, OCSP, CIFOR, Unmul, USAID, JICA, dan lembaga donor/riset internasional lainnya Menteri Kehutanan PHKA, Balai TNK, Karib Kutai, Mitra Kutai, Pemda, masyarakat, pers/media
Lembaga Kolaborasi Pengelolaan TNK, masyarakat, lembaga penelitian, perguruan tinggi, Dinas P endidikan,
53
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 37 - 57
Langkah-langkah/tahapan penyempurnaan kelembagaan kolaborasi pengelolaan TNK tersebut seyogyanya dilaksanakan secara
Penelitian Inventarisasi
Publikasi Hasil (Pers/ media)
simultan dan saling terkait, sebagaimana disajikan pada Gambar 4.
Rekonfigurasi Mitra Kutai (Pelibatan multistakeholder dan Komitmen Pendanaan yang lebih besar)
Penguatan Jejaring Kerjasama Dengan Lembaga Funding Internasional
Pengukuhan zonasi Penetapan Model Desa Konservasi/ Zona Khusus Program Pemanfaatan Ekonomi Sosial dan Pendidikan
Gambar 4. Rekomendasi langkah-langkah penyempurnaan kelembagaan kolaborasi pengelolaan TNK Figure 4. Recommendation on improvement steps of collaborative management of TNK Publikasi/ mengangkat isu nilai penting TNK serta program pemanfaatan ekonomi, sosial dan pendidikan di kawasan konflik, selain untuk menguatkan kolaborasi antar pihak, pembangunan sumber dana mandiri, dan pemberdayaan masyarakat, diharapkan dapat mengundang mitra / jejaring kerja internasional yang memiliki kekuatan untuk menghalangi ancaman investor pertambangan batubara dalam kawasan.
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan
Kelembagaan pengelolaan berbasis ekosistem secara kolaboratif di kawasan TNK ternyata belum efektif bila dinilai berdasar prinsip-prinsip berikut :
54
1. Holistik, masih terfokus pada kegiatan
inventarisasi dan pengamanan kawasan yang juga belum efektif, belum dilaksanakan pemanfaatan potensi ekonomi atau penanganan ancaman ekonomi, serta sosial. 2. Integratif, belum efektif karena pengelolaan masih didominasi Balai TNK, belum ada kesamaan persepsi karena informasi/ kampanye pelestarian dan nilai penting TN Kutai belum efektif, aspirasi parapihak belum terakomodir, fasilitator dan dewan penasehat yang tidak berfungsi, Mitra Kutai lebih banyak berfungsi sebagai penyandang dana, serta kurangnya partisipasi pihak lain seperti Pemerintah Daerah, masyarakat, pers dan lembaga penelitian nasional dan internasional. 3. Prinsip keberlanjutan, tidak tercapai karena prinsip holistik dan integratif belum terpenuhi, juga karena adanya
Kajian Efektivitas Pengelolaan Kolaboratif . . . Faiqotul Falah
ancaman dari pihak swasta untuk mengeksplorasi potensi batubara yang besar di TNK. B. Rekomendasi 1. Balai TNK bekerja sama dengan lembaga
penelitian dan lembaga swadaya masyarakat internasional maupun nasional untuk melakukan langkah-langkah berikut: a. Melakukan penelitian/inventarisasi potensi dan kondisi terkini TNK, penilaian manfaat ekonomi serta penyusunan status riset TNK. b. Publikasi hasil penelitian terutama mengenai potensi dan kondisi terkini, serta mengangkat isu permasalahan dan nilai penting TNK melalui media/pers nasional dan internasional. c. Penguatan jejaring kerja dengan lembaga donor internasional. d. Inisiasi dan fasilitasi rekonfigurasi Mitra Kutai/lembaga pengelolaan kolaboratif TNK yang multipihak dengan aturan main yang jelas dan disepakati semua pihak. 2. Kementerian Kehutanan agar segera melakukan penetapan/pengukuhan zonasi kawasan sesuai yang direncana-kan dalam Rencana Pengelolaan Jangka Panjang 20102030 TNK. 3. Balai TNK, Forum Karib Kutai, Mitra Kutai, Pemerintah Kab. Kutai Timur, Kota Bontang, dan Kutai Kartanegara, serta masyarakat (yang tergabung dalam lembaga kolaborasi pengelolaan TNK) agar bekerja sama melakukan langkahlangkah berikut : a. Penyusunan program dan skema pendanaan lembaga kolaborasi yang disepakati semua pihak. b. Kolaborasi pembangunan Model Desa Konservasi/ Model Desa Zona Khusus sebagai model penanganan perambahan dalam kawasan konservasi.
c. Kolaborasi dalam program pemanfaatan ekonomi kawasan, seperti pembangunan kawasan agrowisata, Pusat Pendidikan Lingkungan, Taman Safari, kawasan ekowisata bahari, serta research area. Pembangunan terutama dilaksanakan di kawasan zona khusus dan zona pemanfaatan (untuk menangkal ancaman pembukaan pertambangan batubara dalam zona tersebut).
DAFTAR PUSTAKA Anshari, G.Z. 2006. Dapatkah pengelolaan kolaboratif menyelamatkan taman nasional Danau Sentarum?. Forests and Governance Program No. 7/2006. CIFOR. Bogor. Awang,S; A.Kasim;B.Tular dan Nur Salam. 2005. Menuju Pengelolaan Kolaborasi Taman Nasional : Kasus Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. CARE Internasional Indonesia, Kendari. Balai Taman Nasional Kutai. 2010. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Kutai 2010 2029. Balai TN Kutai. Bontang, Kalimantan Timur. Balai Taman Nasional Kutai. 2010. Orangutan Kutai, beradaptasi dengan krisis. Buletin Pasak Bumi Edisi 03/III/2010. Balai Taman Nasional Kutai. Bontang, Kalimantan Timur. Borrini-Feyerabend, G. 2007. Collaborative management of Protected Areas: Tailoring the Apporach to the Content. Social Policy group IUCN. Website : http://iucn.org/ themes/spg/Files/tailor.html. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2010. Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia. Website: http://www.ditjenphka.go.id. 55
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 37 - 57
Erdman, MV., P..R Merrill, M. Mongdong, I. Arsyad, Z. Harahap, R. Pangalila, R. Elverawati, dan P. Baworo. 2004. Pengembangan sistem pengelolaan bersama yang efektif untuk desentralisasi pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia: Studi kasus taman nasional Bunaken. Kanji, N.and Greenwood L. 2001. Participatory approaches to research and development in IIED : Learning from experience. IIED. London. Website : http://pubs.iied.org/pdfs/9095IIED.pdf. Mahoney, J.T. 2002. The relevance of Chester Barnard's teaching to contemporary management education : communicating the aesthetic of management. International Journal of Organizatioal Theory and Behavior, 5 (1 & 2) 159-172 (2002). Website : http://www.business.illinois.edu. Mardle, S., Bennett, E., & Pascoe, S. (2003). Multiple Criteria Analysis of Stakeholder Opinion: A Fisheries Case Study. Centre for the Economics and Management of Aquatic Resources, University of Portsmouth. UK. Moeliono,M. and Purwanto, E. 2008. A Park in Crisis: Local Governance and National Policy. Paper presented at “Governing shared resources: connecting local th experience to global challenges” 12 Biennial Conference of the International Association for the Study of The Commons, Cheltenham, England, July 1418 2008. Mulyana, A., M. Moeliono, P. Minnigh, Y.Indriatmoko, G.Limberg, N.U. Utomo, R.Iwan, Saparuddin, dan Hamzah. 2010. Kebijakan pengelolaan zona khusus : Dapatkah meretas kebuntuan dalam menata ruang taman nasional di Indonesia? Brief CIFOR No 01, April 2010. Center 56
for International Forestry Research. Bogor. Peraturan Menteri Kehutanan No 19 Tahun 2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Pomeroy, R.S. and Rivera-Guieb, R. 2006. Fishery Co-management: a practical handbook. International Development Research Centre, Ottawa, Canada. Pusat Informasi Pengelolaan Kolaboratif. 2006. Usaha pengembangan Taman Nasional Kutai melalui Pola Kemitraan. Website : http://www.kolaboratif.org. Ramírez, R. (1999) Stakeholder analysis and conflict management. In Conflict and Collaboration in Natural Resource Management, pp. 101-26. Ottawa and Washington: IDRC and the World Bank. Website : http://unpan1.un.org/intradoc/ groups/public/documents/APCITY/UN PAN022242.pdf. Suaedi, 2011. Parcipatory Design of Policies for Sustainable Coastal Zone Development in Subang Regency. Modern Applied Science Vol. 5, No. 6; December 2011. Website : www.ccsenet.org/mas. Suhendang, E. 2004. Kemelut dalam Pengurusan Hutan; Sejarah Panjang Kesenjangan antara Konsepsi Pemikiran dan Kenyataan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Utomo, N.A., G. Limberg, M.Moeliono, Y.Indriatmoko, A.Mulyana, R.Iwan, Saparudin, dan Hamzah. 2010. Peraturan saja tidak cukup : pelajaran dari program tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR) di Taman Nasional Kutai dan
Kajian Efektivitas Pengelolaan Kolaboratif . . . Faiqotul Falah
gagasan perbaikan ke depan. CIFOR Brief No 02, April 2010. Bogor. Wiratno, D. Indriyo, A. Syarifuddin, dan A. Kartikasari. 2001. Berkaca di Cermin
Retak : Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi Pengelolaan Taman Nasional. The Gibbon Foundation Indonesia, PILI-NGO Movement, FORest Press, dan Departemen Kehutanan. Jakarta.
57
KAJIAN JENIS POHON POTENSIAL UNTUK HUTAN KOTA DI BANDUNG, JAWA BARAT (Study of Tree Species Potential for Urban Forest in Bandung City, West Java) Soleh Mulyana
1
1
Balai Penelitian Teknologi Agroforestri Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4 Ciamis 46201 Tlp. (0265)771352 Fax (0265) 775866 e-mail:
[email protected]
Diterima 10 April 2012, disetujui 9 Oktober 2012
ABSTRACT Economic growth and development in urban area tend to reduce green open space that has impact on the disruption of ecosystem balance, such as temperature increase, air and water pollution, soil surface decrease and flood risk. Efforts to eliminate those negative impact can be conducted by the development of urban forest by using potential tree species. This study was aimed to investigate, how far the PP No. 63 / 2002 on urban forest has been accommodated by local gaverment. Location for this study was the City of Bandung, that has issued local regulation (Perda) No. 25 / 2009 on urban forest that identifies nine urban forests in Bandung namely. Taman Tegalega, Taman Pramuka, Taman Lantas, Taman Cilaki, Taman Maluku, TPA Pasir Impun, Kebun Binatang Tamansari, and PT Pindad urban Forest. Census method was applied in this study in order to identify urban forest coverage, tree structure, tree population, tree dimension ( diameter, total height, branch-free height, canopy height and width) and tree identification (genus, species, and family) This study indicated that all urban forests, except PT Pindad urban Forest, were utilized as sport and recreation facilites. PT Pindad urban forest was restricted as it is located inside the army industry. The highest tree diversity was at the Kebun Binatang Tamansari while the lowest was at TPA Pasir Impun. Largest tree population was found at PT Pindad forest, while the lowest one was found at TPA Pasir Impun. Almost all of tree population composing urban forests in Bandung wereexotic species. Results of this study were used to program tree species suitability matrix based on tree description (characteristics and functions) of all suitable tree species for urban forest. This potential tree matrix is, therefore recommended be used by stakeholders as a reference to determine particular tree species for urban forest development.However,, selection of tree species should consider the balance with endemic, rare and endanger species. Keywords :Urban forest, area type, vegetation structure and potential tree species
ABSTRAK Pembangunan dan perkembangan ekonomi di suatu perkotaan cenderung dapat meminimalkan ruang terbuka hijau (RTH) yang berdampak terganggunya keseimbangan ekosistem seperti: perubahan suhu, polusi udara, pencemaran air, permukaan tanah menurun dan bahaya banjir. Upaya dalam mengurangi dampak negatif tersebut dapat dilakukan dengan cara pembangunan atau pengembangan hutan kota dengan memilih jenis pohon potensial yang sesuai dengan tipe kawasan dan peruntukannya. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji sejauhmana PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Lokasi penelitian kajian jenis pohon Potensial untuk
58
Kajian Jenis Pohon Potensial untuk . . . Soleh Mulyana
Pengembangan Hutan Kota ditetapkan adalah kota Bandung yang telah memiliki Perda No. 25 tahun 2009 tentang hutan kota. Berdasarkan Perda tersebut Kota Bandung telah menetapkan 9 lokasi kawasan hutan kota, yaitu Taman Tegalega, Taman Pramuka, Taman Lantas, Taman Cilaki, Taman Maluku, EksTPA Cicabe, Eks-TPA Pasir Impun, Kebun Binatang Tamansari dan kawasan hutan PT Pindad. Metode yang digunakan adalah sensus melalui pengukuran luas kawasan, pengamatan struktur, pencacahan populasi, pengukuran dimensi pohon (diameter, tinggi total, tinggi bebas cabang, lebar dan tinggi tajuk) dan mengidentifikasi ( jenis, genera dan suku setiap pohon). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan kota terdiri dari 8 lokasi hutan kota digunakan sebagai sarana olah raga dan rekreasi/wisata untuk umum dan 1 lokasi merupakan tempat industri persenjataan sehingga tertutup bagi umum. Keanekaragaman jenis tertinggi terdapat di Kebun Binatang Tamansari dan terendah di kawasan Eks-TPA Pasir Impun, sedangkan untuk populasi terbanyak terdapat di PT Pindad, dan yang paling sedikit di kawasan Eks-TPA Pasir Impun. Jenis pohon yang ada sebagai vegetasi hutan kota umumnya merupakan jenis eksotik, dari hasil kegiatan penelitian ini disusun suatu matriks kesesuaian jenis pohon berdasarkan deskripsi (karakteristik dan fungsi) dari setiap jenis pohon yang sesuai dengan peruntukannya untuk setiap tipe kawasan hutan kota. Matriks kesesuaian jenis pohon potensial ini dapat digunakan sebagai acuan para pihak pengguna (Dinas instansi terkait dan swasta) dalam memilih suatu jenis pohon sebagai vegetasi hutan kota sesuai tipe kawasan dan peruntukannya. Meskipun demikian pemilihan jenis pohon sebaiknya mempertimbangkan kearifan lokal dengan memperhatikan jenis lokal (endemic) yang langka atau hampir punah untuk dipertahankan. Kata kunci : Hutan kota, tipe kawasan, struktur vegetasi dan jenis pohon potensial.
I. PENDAHULUAN Hutan adalah suatu ekosistem berupa hamparan, lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang (PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota Pasal 1 ayat 2). Menurut Samsoedin dan Subiandono (2007) Hutan Kota adalah pepohonan yang berdiri sendiri atau berkelompok atau vegetasi berkayu di kawasan perkotaan yang pada dasarnya memberikan dua manfaat pokok bagi masyarakat dan lingkungannya, yaitu manfaat konservasi dan manfaat estetika. Perkembangan perekonomian dan pertumbuhan penduduk yang cenderung akan
meminimalkan ruang terbuka hijau (RTH) yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap keseimbangan ekosistem terutama di perkotaan. Perlu diketahui bahwa keberadaan hutan kota secara makro berfungsi mengurangi dampak dari efek rumah kaca, sedangkan secara mikro adalah untuk mengeliminasi dampak negatif dari pembangunan dan perkembangan perekonomian. Untuk mengatasi hal tersebut keberadaan hutan kota merupakan salah satu solusi yang tepat dalam rangka mengeliminasi perubahan ekosistem. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam PP No. 63 Tahun 2002 Pasal 1 ayat 2 yang menyatakan keberadaan hutan kota ditetapkan oleh pejabat setempat yang berwenang. Secara umum pohon berperan untuk menyerap CO2 dan mengeluarkan O2, namun secara individu bahwa setiap jenis pohon mempunyai karakteristik dan fungsi yang berbeda seperti dalam hal estetika, menjerap polutan, meredam kebisingan, menyerap karbon, menyerap dan menepis bau tidak 59
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 58 - 71
sedap, mengurangi bahaya hujan asam serta mengatasi genangan air. Menurut Tinambunan (2006) bentuk hutan kota secara umum adalah : (a) Jalur Hijau, (b) Taman Kota, (c) Kebun dan Halaman, (d) Kebun Raya, (e) Hutan Raya dan Kebun Binatang dan (f) Hutan lindung. Menurut Yulianto (2009), jenis tanaman dapat menekan pencemaran udara, menyerap dan menjerap debu, mengurangi bau, meredam kebisingan, mengurangi erosi tanah, penahan angin dan hujan melalui: Dedaunan yang berair dapat meredam suara. Cabang dan ranting bergerak dan bergetar dapat menyerap, menyelubungi suara, demikian pula dengan daun tebal menghalangi suara dan daun tipis, dapat mengurangi suara. Trikoma daun dapat menyerap butir-butir debu, melalui gerakan elektrostatik dan elektromagnetik. Pertukaran gas melalui mulut daun. Aroma bunga dan daun mengurangi bau. Percabangan dan ranting beserta daunnya dapat menahan angin dan curah hujan. Penyebaran akar dapat mengikat tanah dari bahaya erosi. Cabang yang melilit dan berduri dapat menghalangi gangguan manusia. Bentuk dan tekstur daun berpengaruh terhadap arus dan arah angin turbulensi lokal. Kekasaran permukaan daun berpotensi untuk pengendapan timbal (Pb) dan seng (Zn). Daun dan ranting berbulu akan mampu lebih banyak menjerap dan mengintersepsi zarah timbal (Pb) dan seng (Zn), dibanding dengan permukaan daun ranting yang licin. Dengan demikian keberadaan suatu jenis tanaman sebagai vegetasi memiliki peranan yang sangat penting pada setiap tipe kawasan hutan kota. Dengan pemilihan suatu jenis yang sesuai dan tepat dengan peruntukan pada tipe 60
kawasan hutan kota, maka keberadaan hutan akan berfungsi secara maksimal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) struktur vegetasi, (2) kesesuian jenis pohon pada kawasan hutan kota yang terdapat di Kota Bandung, dan (3)serta membuat matriks jenis-jenis pohon potensial sebagai pedoman untuk digunakan dalam rangka pembangunan dan pengembangan maupun pengayaan vegetasi pada setiap tipe kawasan hutan kota sesuai dengan peruntukannya. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat yang secara geografis 0 0 terletak pada koordinat 107 BT dan 6 55' LS dengan luas 16.729,65 ha, dan ketinggian ratarata sekitar 791 meter diatas permukaan laut (dpl). Titik tertinggi berada diwilayah sebelah utara dengan ketinggian 1.050 m dpl, sedangkan titik terendah berada diwilayah selatan dengan ketinggian 675 m dpl. Lokasi yang dikaji adalah kawasan hutan kota yang telah ditetapkan dengan Perda No. 25 tahun 2009 tentang hutan kota oleh Pemerintah Kota Bandung. Waktu pelakasanaan kegiatan penelitian mulai bulan April sampai dengan November 2011. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam kajian ini adalah; 1. Buku data (Tally sheet) untuk mencatat data hasil inventarisasi dan pengukuran di lapangan; 2. Dendrometer alat untuk mengukur tinggi total, tinggi bebas cabang, lebar tajuk dan tinggi tajuk pohon; 3. Pita Meter (150 cm dan 20 m ) untuk mengukur lingkaran/keliling batang pohon;
Kajian Jenis Pohon Potensial untuk . . . Soleh Mulyana
4. Meteran 100 m untuk mengukur panjang jalur, lebar jalur; 5. Tali rapia untuk membuat batas plot/ petak; 6. GPS untuk mengetahui titik koordinat suatu lokasi; dan 7. Kamera digital untuk mendokumentasikan momen dari kegiatan. C. Prosedur Penelitian Tahapan kegiatan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Melakukan koordinasi dengan instansi terkait di Kota Bandung dan sekaligus pengumpulan data sekunder yang digunakan sebagai dasar dan pendukung dalam kegiatan penelitian yaitu: data rencana tata ruang wilayah (RTW) kota Bandung, Peraturan Pusat dan Peraturan Daerah tentang hutan kota, serta data monografi kota bandung. 2. Melakukan inventarisasi dan pengukuran dimensi semua jenis pohon yang telah mencapai Ø ≥ 10 cm . 3. Melakukan identifikasi genus, species, family, dan karakteristik dari setiap pohon. 4. Melakukan identifikasi genus, species, family, dan karakteristik dari setiap pohon. D. Analisis Data 1. Analisis deskripsi dengan mencatat dari setiap setiap jenis, diameter, lebar serta tinggi tajuk pohon dan bagian (fenotip) dari pohon (daun, bunga dan buah) kemudian di identifikasi mengacu kepada (Heyne, 1987) dan (Samingan, 1982). 2. Menghitung keanekaragaman jenis pohon (H') menggunakan rumus Shannon Weinner menurut Barbour et al. (1987) dalam Yulianto (2009) yaitu :
H’= –
i i
ni 1n ni N N
Dimana: H' : Indeks keanekaragaman Shannon Weiner; ni : Jumlah populasi suatu jenis; dan N : Jumlah populasi seluruh jenis 3. Mengkaji kriteria kesesuaian suatu jenis pohon setiap tipe kawasan hutan kota mengacu kepada metode analisis rencana penelitian intregatif (Samsoedin, 2009), dengan parameter pohon yang diukur: (a) Diameter dan tinggi pohon (b) Model tajuk, bentuk daun, bentuk cabang dan bentuk batang (c) Kondisi pohon (d) Daya tumbuh di lahan kritis atau lahan terpolusi dan lahan dengan keadaan air tanah tinggi (situ dan bantaran sungai) (e) Fenologi pohon (buah dan bunga) Berdasarkan parameter di atas disusun penilaian “Kesesuaian jenis pohon setiap tipe kawasan hutan kota” dengan formula sebagai berikut : Ks = (Xn+Yn) – YN dimana Ks = Kriteria kesesuaian suatu jenis pohon Xn = Jumlah karakteristik suatu jenis pohon yang tepat untuk setiap tipe kawasan hutan kota Yn = Jumlah karakteristik suatu jenis pohon yang kurang tepat untuk setiap tipe kawasan hutan kota. Parameter kesesuaian jenis pohon untuk setiap tipe kawasan hutan kota yang terdapat di kota Bandung disajikan pada Tabel 1.
61
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 58 - 71
Tabel 1. Parameter kesesuaian jenis pohon sebagai vegetasi hutan kota Table 1. Parameter of tree species suitabilityfor urban forest
No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 X= Y= *
Karakteristik dan bagian dari fenotipe pohon (Characteristics and phenotype of trees )
Pohon cepat pertumbuhannya Diameter dapat mencapai > 10 cm Tinggi pohon dapat mencapai> 5 cm Batang kokoh Perakaran dalam dan kuat Tajuk rapat Tajuk indah Daun mudah terurai Helai daun tebal Helai daun kecil Helai daun berbulu Bunga harum Bunga sumber pakanfauna Buah sumber pakanfauna Jumlah skor
Tipe kawasan hutan kota di Bandung (Type of urban forest area in Bandung ) Taman rekreasi ( Recreation park ) Pendidikan dan Industri olah raga Kebun binatang (Facility for (Industry ) (Zoo area) education and sports) X Y X Y X Y * * * * * * * * * * *
* *
* *
* *
* * * * *
*
* * Xn
Yn
* * * Xn
* *
Yn
Xn
Yn
Kolom untuk menuliskan skor angka 1 apabila karakteristik dari suatu jenis pohon tepat dengan tipe kawasan hutan kota Kolom untuk menuliskan skor angka 1 apabila karakteristik dari suatu jenis pohon tidak tepat dengan tipe kawasan hutan kota. Merupakankarakteristik suatu jenis pohon yang harus dimilik untuk setiap tipe kawasan hutan kota
Sumber (Source): Samsoedin (2009)
Kriteria kesesuaian jenis pohon untuk kawasan hutan kota harus memiliki karakteristik, peran dan fungsi bagian-bagian (fenotipe) pohon yang sesuai tipe kawasan hutan kota dengan peruntukannya menurut (Yulianto 2009), (Abdurrazaq. 2010) dan (Yoga et al. 2011) : Kriteria kesesuaian jenis pohon (Ks) 1)Kriteria jenis pohon sangat sesuai jika jumlah skor (Ks) ≥ 8; 2)Kriteria jenis pohon sesuai jika jumlah skor 5 ≥ (Ks) ≤ 7; dan 3)Kriteria jenis pohon kurang sesuai jika jumlah skor (Ks) ≤ 4.
62
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Umum Kota Bandung memiliki luas wilayah 16.729,65 ha dengan RTH seluas 1.484,24 ha atau sebesar 8,87 %. Berdasarkan Perda No. 25 Tahun 2009 tentang Hutan Kota, telah ditetapkan sembilan kawasan hutan kota yaitu: Taman Tegalega; Taman Pramuka; Taman Lantas; Taman Cilaki; Taman Maluku, EksTPA Cicabe, Eks-PA Pasir Impun, Kebun Binatang Tamansari dan kawasan PT Pindad. Luas kawasan hutan kota yang terdapat di Kota
Kajian Jenis Pohon Potensial untuk . . . Soleh Mulyana
Bandung seluruhnya adalah 79,5 ha atau setara 5,4% dari luas RTH, dan secara umum dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi. Berdasarkan kepemilikannya kawasan hutan kota yang terdapat di Kota Bandung adalah tiga lokasi milik Yayasan dan enam lokasi milik pemerintah kota, sehingga pengelolaan maupun pemeliharaannya merupakan tanggung jawab masing-masing pemiliknya. Salah satu kawasan yang tertutup untuk umum adalah kawasan PT Pindad, karena merupakan kawasan industri persenjataan (alat vital negara). Namun demikian, pengawasan
terhadap semua kawasan hutan kota yang terdapat di Kota Bandung merupakan tugas dan tanggung jawab instansi BPLH, Dinas Pemakaman dan Pertamanan serta Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan yang disebut dengan Trio LH. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lokasi hutan kota yang terdapat di Kota Bandung tersebar serta luasannya masingmasing berbeda. Nama-nama lokasi dan luasan dari masing-masing kawasan hutan kota yang terdapat di Kota Bandung disajikan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Lokasi dan luas hutan kota di Kota Bandung Figure 1. Location and area of urban forest in Kota Bandung Dengan memperhatikan grafik pada Gambar 1 terdapat 2 (dua) warna, hal itu untuk menunjukan perbedaan kepemilikan. Yang berwarna kuning menunjukan milik pemerintah kota Bandung, sedangkan yang berwarna coklat menunjukan milik Yayasan. Berdasarkan luasan setiap kawasan hutan kota yang terdapat di Kota Bandung telah memenuhi kriteria bahkan melebih batasan minimal sebagaimana yang tertuang dalam PP No. 63 tahun 2002 pasal 8 ayat (2), yaitu 0,25 ha, sedangkan jumlah presentase dari
seluruhan kawasan hutan kota pada ayat (3) telah mencapai 5,4% belum mencapai 10% dari luas perkotaan. Sebagai ilustrasi bentuk dari satu kawasan hutan kota tipe rekreasi salahsatunya kawasan Taman Lalu lintas, dan jenis pohon yang telah mencapai dimensi terbesar (Khaya anthoteca) diameter 204 cm, tinggi total 36 m, tinggi bebas cabang 26 m dengan lebar tajuk 14 m terdapat di Kota Bandung. Lokasi kawasan hutan kota dan pohon terbesar yang terdapat di Kota Bandung sebagaimana disajikan pada Gambar 2. 63
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 58 - 71
Taman Lalulintas
Mahoni afrika (Khaya anthoteca) Lokasi Kebun Binatang Tamasari
Foto Soleh M. 2011
Gambar 2. Salah satu hutan kota dan pohon terbesar yang terdapat di Kota Bandung Figure 2. One of Urban forest and the biggest tree in Kota Bandung
B. Keanekaragam Jenis dan Kesesuaian jenis Pohon Hasil kegiatan inventarisasi pada kesembilan lokasi kawasan hutan kota loksi tersebar dengan bentuk vegetasinya bergerombol setiap tipe kawasan dan umumnya merupakan
64
vegetasi yang telah ada tanaman pada masa jaman Pemerintahan Belanda. Berdasarkan hasil analisis data keanekaragaman jenis dan kesesuaian jenis pohon yang dicapai sebagaimana di sajikan pada Tabel 2.
Kajian Jenis Pohon Potensial untuk . . . Soleh Mulyana
Tabel 2. Keanekaragaman jenis dan kesesuaian jenis dari 9 lokasi kawasan hutan kota di Bandung Table 2. Diversity and suitability of species from 9 locations of urban forests in Bandung No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lokasi/luas (Location/area)
Populasi/genus/species/family (Population/genus/species/ family)
PT PINDAD 30 ha Kebun Binatang 14 ha Taman Tegalega 17 ha Taman Pramuka 1,2 ha Taman Lalulitas 3,2 ha Taman Maluku 2,4 Taman Cilaki 3,2 ha Pasir Impun 4,4 ha Cicabe 4,1 ha
2.570 pohon ; (55 genus, 68 species & 32 family 659 pohon; (79 genus, 98 species, 41 family) 961 pohon, (59 genus,49 species, 27 family 108 pohon (20 genus, 22 species,18 family) 198 pohon (25 genus, 28 species , 20 family 158 pohon (28 genus, 30 species ,20 family) 510 pohon (34 genus, 39 species, 30 family) 27pohon (6 genus , 5 species, 5 family) 23 pohon (10 genus , 10 species, 8 family )
Kenekaragaman jenis (Species diversity) H’= 3,45 H’= 3,78 H’= 3,43 H’ = 2,26 H’= 2,65 H’= 3,03 H’ = 2,75 H’,= 1,18 H’= 2,17
Kesesuaian jenis (Species suitability) Sesuai s/d sangat sesuai Sesuai s/d sangat sesuai Sesuai s/d sangat sesuai Sesuai s/d sangat sesuai Kurang Sesuai s/d sangat sesuai Sesuai s/d sangat sesuai Sesuai s/d sangat sesuai Sesuai s/d sangat sesuai Sesuai s/d sangat sesuai
Sumber (Source) : Analisis data (Data analiysis) 2011
Tabel 2 menunjukan bahwa lokasi Pasir Impun dan Cicabe luas areal dengan jumlah populasi vegetasi tidak seimbang karena lokasi tersebut merupakan kawasan Eks-TPA dalam tahap pembangunan sehingga masih berupa lapangan terbuka. Jenis pohon yang telah ada merupakan tanaman pada masa jaman belanda sehingga sangat kurang ditemukan jenis lokal. Berdasarkan keanekaragaman jenis, terdapat lima lokasi H' < 3, dengan demikian perlu dilakukan upaya pengayaan dengan jenis lokal yang sesuai untuk menambah keanekaragaman jenis. Kesesuaian jenis pohon secara keseluruhan berkriteria sesuai sampai dengan sangat sesuai, namun di lokasi Taman Lantas terdapat jenis pohon (Pinus merkusii) berkriteria kurang sesuai. Hal ini disebabkan populasinya terlalu tinggi, sehingga serasah yang jatuh sulit terurai dan menumpuk apabila terinjak membahayakan keselamatan penunjung. Didalam kawasan tersebut terdapat bangunan Taman Kanak-kanak tempat kegiatan pembelajaran,
selain itu tersedia fasilitas miniatur untuk rekreasi transportasi sehingga selalu ramai di kunjungi anak pada hari biasa maupun hari libur. Dampak dari serasah pinus yang susah terurai dan menumpuk tebal dalam keadaan kering, apabila terinjak licin mengakibatkan tergelincir terutama bagi keselamatan anakanak. C. Matriks Kesesuaian Jenis Pohon Berdasarkan hasil penelitian di Kota Bandung dijumpai sejumlah jenis pohon yang berpontensi untuk dikembangkan sebagai vegetasi pada hutan kota. Hasil inventarisasi dan identifikasi jenis pohon pada sembilan kawasan hutan kota yang terdapat di Bandung terdapat 70 jenis pohon yang berpontensi untuk dikembangkan sebagai vegetasi pada kawasan hutan kota. Jenis-jenis pohon yang terdapat didalam matriks berpotensi untuk digunakan atau dikembangkan sebagai vegetasi
65
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 58 - 71
pada hutan kota karena sebagian besar terdiri dari jenis-jenis lokal. Berdasarkan matriks tersebut setiap jenis pohon memiliki karakteristik dan fungsi berbeda seperti; estetika, langka, hampir punah,meredam kebisingan, penyerap polutan, penyerap aroma tidak sedap, filter air limbah, menahan derasnya tiupan angin, menahan derasnya air hujan dan konservasi. Pada matrik kesesuaian jenis pohon yang telah tersedia dapat digunakan pada tipe kawasan hutan kota yang terdiri: 1) taman rekreasi/kebun binatang; 2) industri; 3) pemukiman; 4), pengamanan (jalur hijau); 5) perlindungan (tata air); dan 6) pelestarian/ konservasi (plasma nutfah). Apabila suatu jenis pohon sesuai sebagai vegetasi kawasan hutan kota, maka diberikan tanda silang (x) pada setiap kolom tipe kawasan hutan kota sebagaimana matrik kesesuaian jenis pohon pada lampiran 1.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Bentuk vegetasi dari sembilan lokasi kawasan hutan kota di kota Bandung berkelompok. Delapan lokasi terbuka untuk umum digunakan sebagai tempat rekreasi, wisata dan olah raga, sedangkan satu lokasi merupakan kawasan industri persenjataan sehingga tertutup bagi umum. Berdasarkan keanekaragaman jenis pohon, lima lokasi yaitu: Taman Pramuka, Taman Lantas, Taman Cilaki, Eks-TPA Pasir Impun dan Eks-TPA Cicabe nilai keanekaragaman jenis baru mencapai ( H' ≤ 3) yang seharusnya (H' ≥ 3) dengan demikian perlu dilakukan pengayaan dengan jenis pohon yang lainnya. 2. Kesesuaian jenis pohon sebagai vegetasi hutan kota berdasarkan tipe kawasan peruntukannya delapan lokasi berkriteria sesuai s/d sangat sesuai, namun pada 66
Taman Lantas yaitu jenis pohon (Pinus merkusii) berkriteria kurang sesuai. Hal ini disebabkan populasinya terlalu tinggi, dimana serasah yang jatuh sulit terurai menyebabkan tumpukan yang tebal bila terinjak licin dan membahayakan keselamatan anak-anak. Ketidak sesuaian pohon pinus di Taman Lantas, karena lokasi tersebut merupakan tempat kegiatan pembelajaran Taman Kanak-Kanak, sekaligus tempat rekreasi anak-anak usia dini yang selalu digunakan setiap hari. Selain itu vegetasi yang terdapat di hutan kota Bandung umumnya pohon yang ditanam pada jaman Pemerintahan Belanda tidak sedikit ditemukan beberapa pohon di setiap lokasi telah dimakan usia, faktor alam (petir) dan tangan-tangan manusia tidak bertanggung jawab (vandalisme) sehingga keadaan fisiknya telah membahayakan keselamatan pengunjung maupun fasilitas disekitarnya. Salah satu hasil kajian ini, adalah tersusunnya suatu matriks jenis-jenis pohon potensial yang dapat digunakan sebagai alternatif pilihan vegetasi untuk pembangunan hutan kota. B. Saran 1. Perlu dilakukan pengayaan dengan memperhatikan kearifan lokal dengan menanam jenis pohon yang langka atau hampir punah disemua lokasi hutan kota untuk menaikan nilai keanekaragaman jenis serta menjaga dari kepunahan. Selain itu perlu dilakukan penggantian atau peremajaan terhadap pohon yang keadaan fisiknya telah dianggap membahayakan keselamatan para pengunjung serta fasilitas yang ada disekitarnya. 2. Perlu dilakukan sosialisasi baik secara lisan (penyuluhan) maupun tertulis (plang nama) di setiap lokasi kawasan hutan kota yang menerangkan betapa pentingnya manfaat dan fungsi suatu pohon di
Kajian Jenis Pohon Potensial untuk . . . Soleh Mulyana
perkotaan, serta pengawasan dan penerapan sanksi yang tegas dalam rangka melindungi pohon dari tangan-tangan usil maupun yang tidak bertanggung jawab. Dalam rangka pembangunan, pengayaan maupun pengganti suatu jenis pohon sebagai vegetasi pada setiap tipe kawasan hutan kota para pihak pemerintah (dinas instansi terkait) dan swasta disarankan agar mengacu kepada matriks kesesuaian jenis pohon sebagaimana disajikan pada Lampiran 1.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrazaq. 2010. Daya Serap Pohon Terhadap Karbondioksida. http://ncca19.wordpress.com/2010/02/2 7/data-daya-serap-pohon-terhadapkarbondioksida/ dieunting 08 Agstus 2011. Ashton P.S. 1988. Manual of The NonDipterocarp Trees Of Serawak Volume II.For Forest Departement Sarawak. Dewan Bahasa Dan Pustaka Sarawak Branch. Selangor. Anonim. 2002. Peraturan Pemerintah RI Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota. --------2002. Peraturan Daerah Kota Bandung No. 2 Tahun 2004. Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung. --------2010. Pemilihan Jenis Tanaman Hutan Kota. Diakses Jumat 14 Januari 2011. Buharman, DF. Djam'an dan N. Widyani. 2002. Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia Jilid III. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Publikasi Khusus Vol. 2, No. 8 September 2002.
Buharman, DF. Djam'an dan N. Widyani dan Fatmawati IS. 2002. Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia Jilid IV (Edisi Khusus Benis Tanaman Hutan Rakyat). Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Publikasi Khusus Vol. 2, No. 9 Desember 2002. Cokburn B.A. 1976. Trees Of Sabah Volume I. Sabah Forest Record No. 10 Borneo Literatur Berau For Jabatan Hutan Sabah. Percetakan Kum Sdn.Bhd., Petaling Jaya.Malaysia. Damayanti R. dan Y.I. Mandang. 2007. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu Kurang Dikenal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid I, II, III dan IV. Terjemaahan Badan Litbang Kehutanan Jakarta. Yayasan Sarana Wana Jaya Jakarta. Kebler PJA. dan K. Sadiyasa. 1994. Trees of the Balikpapan-Samarinda Area, East Kalimantan, Indonesia. A Manual to 280 selected species. Tropenbos Seri 7. The Tropenbos Foundation Wegeningen. The Netherland 1994. Martawijaya A., I. Kartasujana, K. Kadir dan SP. Among. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid I Cetakan ke Tiga (edisi revisi). Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor. Departemen Kehutanan. CV. Miranti Bogor. Martawijaya A., I. Kartasujana, YI. Mandang, SP. Among dan K. Kadir. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid II Cetakan ke dua (edisi revisi). Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor. Departemen Kehutanan. CV. Media Aksara Bogor.
67
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 58 - 71
Tinambunan, R.S. 2006 Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Pekanbaru. Pascasarjana. Bogor Institut Pertanian Bogor. Samsoedin, I. dan T. Waryono. 2010. Hutan kota & Keanekaragaman Jenis Pohon di Jabodetabek. Yayasan KEHATI Indonesia Biodiversity Foundation. Jakarta. Samsoedin, I. 2009. Rencana Penelitian Integratif (RPI) Tahun Anggaran 20102014: Pengembangan Hutan Kota/ Lansekap Perkotaan (tidak dipublikasikan). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan KeHutanan, Bogor. Samsoedin, I. dan E. Subiandono. 2007. Pembangunan dan Pengelolaan Hutan Kota. Www.dephut.go.id/files/ Ismayadi.pdf. diakses 7 September 2011. Samingan T. 1982. Dendrologi. Diterbitkan Dengan kerjasama Bagian Ekologi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penerbit PT. Gramedia. ---------. 1974. Catatan Jenis Pohon Penghasil Kayu Export di Indonesia. Proyek
68
Peningkatan/Pengembangan Perguruan Tinggi Institut Pertanian Bogor. Yulianto M. 2009. Analisis Ruang Trbuka Hijau Taman Kota Dalam Hubungannya Dengan Kondisi Kualitas Udara Di Taman Kota. Program Studi Magister Ilmu Lingkungan. Program Pascasarjana. Universitas Pajajaran Bandung. Yoga N. & I. Imaun. 2011. RTH 30% resolusi (Kota) Hijau. PT. Gramedia Pusataka Utama Anggota IKPI Jakarta 2011. Yusuf. Y. 2011. Partisipasi Masyarakakat dalam Pengelolaan Hutan. Makalah dalam Forum Komonikasi Para Pejabat Fungsional Lingkup Kementerian Kehutanan. Gedung Manggala Wanabakti. Jakarta 2011. Wong K.M. dan E. Soepadmo. 1995. Tree Flora of Sabah And Sarawak Volume One. Goverment Of Malaysia. International Tropical Timber Organization. Overseas Development Administration, U.K. Printed in Malaysia by Ampang Prees Sdn. Bhd. Kuala Lumpur.
Burahol Cemara Gunung Cemara Laut Cempaka Dadap Hias Damar Flamboyan Gandaria/Jatake
Ganitri Glodogan Huni / Buni
11 12 13 14 15 16 17 18
19 20 21
2 Alpukat Angsana Asam Jawa Asam Landi Bencoy Beringin Meranti selanica Bintaro Biola Cantik
Bungur
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
1
No.
Nama lokal (Local name)
Nama botani (Botany Name)
species)
Elaeocarpus ganitrus ROXB Polyaltia longifolia Antidesma bunius Spreng
Stelechocarpus burahol Casuarina junghuhniana Miq. Casuaria equisetifolia Linn. Michelia Champaca Linn. Erythrina cristagalli Agathis alba Delonix regia Raff Bouea macrophylla Griff.
Lagerstroemia speciosa Pers
3 Parsea americana Miller Pterocarpus indicus Willd. Tamarindus indicus L Pithecellobium dulces Baccaurea racemosa Muell Ficus sp. Shorea selanica Bl. Cerbera odallan Gaertn. Ficus lyrata
Jenis pohon ( Tree
x x x x x x x x x x
x x x x x x x x x x x
x
x x
x
x x
x
x
x
x x
x x x x x
x
x
x x x x x x
x
x
x
x
x
x
x x
x
x
x
x
Pelestarian plasma nutfah (Biodiversity conservation ) 10
x x x
x
Tipe kawasan hutan kota (Type of urban forest area) Taman rekreasi Pemuki (Recreation park) Industri Jalur hijau Perlindungan Kebun man (Industry ) (Green belt) (Protection) Taman kota Binatang (Residence) (Garden park) (Zoo park ) 4 5 6 7 8 9 x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x
Lampiran 1. Matriks jenis-jenis pohon potensial untuk setiap tipe kawasan hutan kota. Appendix 1. Matrix of tree species potential for each urban forest
Sesuai untuk taman Kebun Binatang : Indah, aroamtis, sumber pakan fauna, rimbun tidak beracun, sebagian langka & hampir punah
Sesuai untuk taman kota : Indah, aroamtis, sumber pakan fauna, buah sebagian dapat dikonsumsi rimbun tidak beracun, sebagian langka & hampir punah
11
Keterangan (Remarks)
Kajian Jenis Pohon Potensial untuk . . . Soleh Mulyana
69
70
1 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
2 Jamlang/Duwet Jamuju Kecrutan Kayu hitam Kayu Manis Kayu Putih Keben Keluwih Kemiri Kenanga Kenari Kepuh Kersen Ketapang Ki Payung Kopo Kosambi Leda /Ampupu Lengkeng Loa Mahoni Afrika Mahoni D. Besar Mahoni D. Kecil Mangga Manggis Manglid Matoa Mimba Mindi
3 Eugenia acuminatissima Kurz Podocarpus imbricata Bl. Spathodea campanulata BEAUV. Dyospihiros selebica Cinnamomum burmanii BL Melaleuca leucadendron Barringtonia asiatica Kurz Artocapus camansi F. Aleurites moluccana Willd. Cananga odorata Hook. Cannarium comune Linn. Sterculia foetida Muntingia calabura L. Terminalia catapa Linn. Fillicium decipiens Thw. Eugenia cymosa Lamk. Scheichera oleosa Merr. Eucalyptus alba Nephelium longana L. Ficus glomerata Roxb. Khaya anthotheca Swietenia macrophyla King Swietwnia mahgoni Jakq. Mangifera indica L. Gutiferaceae Manglieta glauca BL. Pometia pinnata Azadirachta indica Melia azedarach L.
Lampiran 1. Lanjutan Appendix 1. Continued
x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x
4 x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x
5 x
x x x x x
x x x x
6 x x x x x x x X x x x x x x x x x x
x x
x x
x
x
x
x
x x
7 x x
x x
x x
x x x
x x x x x x x x x x x
8 x x x x x x x
x x
x
x x x
x x
x
x x
x
x x
x
x
x
10 x x
x x x x
9 x x x
Sesuai Jalur Hijau : Indah, aroamtis, meredam kebisingan, menjerap debu & polutan, langka atau hampir punah
Sesuai Kawasan Pemukiman : Indah, aroamtis, buah sebagian ekonomis, meredam kebisingan, langka atau hampir punah
11 Sesuai Kawasan Industri : Indah, rindang, meredam kebisingan, aromatis, menjerap debu & polutan, langka atau hampir punah
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 58 - 71
2 Nangka Nyatoh Pala Peundeuy Picung Pukih / Namnam Puspa Putat Randu Saga Samolo Sawo Belanda Sawo Duren Sawo Kecik Simpur/Ki segel Sindur Sono Keling Saman / Kihujan Kemang/Wanyi
3 Arthocarpus integra Merr. Palaquium javense Burck. Myristica fragrans Parkia biglibosa Benth. Pangium edule Cynometra cauliflora Linn. Schima noronhae Reinw Planconia valida BL. Ceiba pentandra Gaertn Adendra pavinina Dyospiros discolor Wild. Achras zopota L. Chrysophullum cainita L. Manilkara kauki Dubard Dillenia excelsa GILG Sindora javanica Dalbergia latifolia Samanea sama Merr. Mangifera caesia Jack.
Sumber (Source) : Data hasil indentifikasi (Data result of identify)
1 51 52 53 54 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70
Lampiran 1. Lanjutan Appendix 1. Continued
x x x x x x x x x x x x x x
x x x x x x x x x x x x
x x x
5 x x x x
4
x x x x x x x x x x x
x
6 x x
x x x x
x
x
7 x
x x x x x x x x x x x
x
x
8
x x x
x
x x x x x
x x x x x
x
10
x x x x
x
x x x x x x x
x
9
Sesuai Pelestarian Plasma Nutfah: Menahan erosi, ), Langka & hampir punah, Endemik (Indonesia)
11 Sesuai Pengamanan : Menahan erosi, menyerap air, , menjerap debu & polutan, langka atau hampir punah
Kajian Jenis Pohon Potensial untuk . . . Soleh Mulyana
71
KONDISI TATA KELOLA HUTAN UNTUK IMPLEMENTASI PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN (REDD+) DI INDONESIA (Governance Strengthening for Reduce Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus ( REDD+) Implementation in Indonesia) 1
2
Sulistya Ekawati , Kirsfianti L Ginoga dan Mega Lugina 1,2,3
3
Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan, Jl. Gunung Batu No 5 Bogor, Telp/Fax (0251) 8633944/8634924, E-mail:
[email protected] Diterima 4 Januari 2013, disetujui 4 Maret 2013
ABSTRACT One critical element for the success of REDD+implementation is its governance. The study aims to identify and analyze the existing REDD+ institutions from good governance point of view. The study are located in Central Lombok and Berau Districts, where REDD+ Demontration Activities already existed. In general, the study used qualitative methods, supported with scoring methode. The results show that REDD+ institutions have not fully reflected the three pillars of good governance, that there are still lack of community representation. Indicator of professionalism is at the highest score, while the indicator of participation is at the lowest score. The institutions also have not applied the principles of good governance yet. All existing REDD+ institutions are still temporary, that didn't represent a learning organization and tends overlapping functions. The research suggests several things: (i) Strengthening forest governance on the existing REDD+ institution carried out through strengthening the pillars of society and strengthening the principles of participation, (ii) Involvement of the communities should be enhanced in the institutional structure of REDD, (iii) Comprehensive assessment of the principles of good governance in the REDD+ institution at implementation stage that include payment distribution mechanism for emission reduction activities already undertaken, (iv) The function of the facilitate needs to be strengthened and (v) The structure institutions follow a REDD + strategies. Keywords: governance, pillars, principles and indicators, REDD+
ABSTRAK Salah satu elemen kritis untuk mendukung keberhaslan REDD+ adalah melalui upaya meningkatkan tata kelola kepemerintahan yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis upaya kondisi tata kelola lembaga REDD+ sudah ada. Penelitian dilakukan pada tahun 2011 di Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Berau. Pemilihan kedua lokasi ini didasarkan pada keberadaan kegiatan percontohan (Demonstration Activities) di lokasi tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga REDD+ yang ada belum sepenuhnya mencerminkan tiga pilar dalam good governance, keterwakilan unsur masyarakat masih kurang. Indikator profesionalisme menduduki nilai tertinggi, sedangkan indikator partisipasi menduduki nilai terendah. Lembaga yang dapat berpotensi untuk menjadi lembaga REDD+ tersebut juga belum sepenuhnya menerapkan prinsip-prinsip good governance, hal ini karena baru dalam tahap awal operasional. Lembaga REDD+ yang ada semuanya
72
Kondisi Tata Kelola Hutan untuk . . . Sulistya Ekawati, Kirsfianti L. Ginoga & Mega Lugina
merupakan lembaga ad hoc sehingga bersifat sementara, ada kecenderungan tidak adanya learning organization dan mengarah ke overlapping fungsi. Penelitian menyarankan beberapa hal: (i) penguatan tata kelola hutan pada lembaga REDD+ yang sudah ada bisa dilakukan melalui penguatan pilar masyarakat dan penguatan prinsip partisipasi, (ii) masyarakat atau pihak yang mewakili masyarakat perlu dilibatkan dalam struktur kelembagaan REDD+, (iii) Penilaian prinsip-prinsip good governance dalam institusi REDD+ akan lebih komprehensif jika dilakukan pada kondisi implementasi, dimana mekanisme distribusi pembayaran dari kegiatan penurunan emisi sudah berjalan, (iv) Fungsi fasilitas perlu terus diperkuat sebagai penggerak mekanisme REDD+ agar dapat terimplementasikan dan (iv) Struktur organisasi yang terbaik mengikuti strategi REDD+ yang ditetapkan. Kata kunci: tata kelola yang baik, hutan, REDD+, pilar, prinsip
I. PENDAHULUAN REDD+ dipandang penting dilakukan karena akan mengakomodir kegiatan kehutanan. REDD+ merupakan mekanisme pengurangan emisi karbon yang akan dilakukan melalui: 1) Kegiatan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD), 2) Kegiatan konservasi hutan, 3) Pengelolaan hutan lestari, dan 4) Peningkatan stok karbon. Tata kelola (governance) diartikan sebagai mekanisme, praktik, dan tata cara pemerintah dan warga dalam mengatur sumberdaya serta memecahkan masalah-masalah publik (Sumarto, 2003). Salah satu tujuan utama dari ditegakkannya prinsip tata kelola yang baik di sektor kehutanan adalah untuk menciptakan sistem yang menjaga keseimbangan dalam pengendalian sehingga mampu mengurangi peluang terjadinya kesalahan mengelola, menciptakan insentif untuk memaksimumkan produktivitas pengelolaan hutan sehingga menciptakan pemanfaatan hutan. Woodhouse (1997) dalam Mayer et al. (2002), mendefinisikan tata kelola dalam pengelolaan lingkungan sebagai struktur dan proses kekuasaan dan kewenangan, kerjasama dan konflik, yang mengatur pengambilan keputusan dan penyelesaian sengketa tentang alokasi dan penggunaan sumber daya melalui interaksi organisasi dan institusi sosial (pemerintah dan non pemerintah).
Di dalam tata kelola terdapat tiga komponen atau pilar yang terlibat: lembaga pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), dunia usaha swasta, dan masyarakat luas dalam posisi seimbang, sinergis dan saling mengawasi atau checks and balances. (Bappenas, 2007). Salah satu elemen kritis untuk mensukseskan REDD+ adalah melalui upaya penguatan tata kelola kehutanan (Muller dan Johnson, 2009). Sekarang ini beberapa kelembagaan yang terkait dengan REDD+ sudah terbentuk, tetapi apakah kelembagaan tersebut sudah mengakomodir tiga pilar good governnace ? Apakah posisi masing-masing pilar tersebut seimbang ? Menurut Forsyth (2009), tata kelola REDD+ memerlukan beberapa level tata kepemerintahan/multilevel governance yang melibatkan beberapa aktor/ multiactor , sehingga dapat diterima semua stakeholder dengan kepentingan yang berbeda. Multilevel dan multiactor governance dapat meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dan mengurangi konflik lembaga yang sering bersaing satu sama lain, sehingga REDD dapat tercapai secara efektif. Multiactor menyiratkan kolaborasi di antara pemangku kepentingan yang berbeda untuk mencapai tujuan kebijakan publik. Multilevel governance adalah implementasi kebijakan publik di berbagai ruang skala dan oleh pelaku yang memiliki pengaruh dan nilainilai berbeda. Kedua hal tersebut dianggap 73
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 72 - 87
lebih inklusif, koheren dan partisipatif daripada pemerintahan yang bernuansa topdown melalui legislasi atau perundang-undang. Sehubungan dengan konsep Forsyth tersebut, bagaimana implementasi penyiapan tata kelola REDD+ di Indonesia ? Apakah institusi yang dibentuk sudah multi level dan multi aktor ? Kelembagaan memerankan peran penting dalam menentukan kesiapan negara untuk menahan guncangan terkait dengan perubahan iklim. Saat ini sebenarnya sudah diinisiasi beberapa bentuk lembaga yang mengarah pada tata kelola REDD+, seperti DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim), Satgas REDD+ dan di beberapa provinsi sudah membentuk Gugus Tugas dan Pokja Perubahan Iklim. Lembaga REDD+ memerlukan penerapan prinsip-prinsip good governance dalam menjalankan visi dan misinya agar implementasi REDD+ dapat berhasil. Walaupun beberapa lembaga REDD+ terbentuk, selama ini belum ada data yang terkait dengan penerapan prinsip-prinsip good governance. Penguatan tata kelola kehutanan menentukan kesuksesan implementasi REDD+. Secara umum kerangka umum sistem kelembagaan REDD+ terdiri dari empat jenjang yaitu : 1) Tata kelola tingkat internasional, 2) Tata kelola tingkat nasional, 3) Tata kelola tingkat sub nasional, dan 4) Tata kelola tingkat tapak 1 atau pelaksana program kegiatan . Karena itu kelembagaan REDD+ perlu dirancang dengan mengutamakan asas-asas : 1) Partisipatif dari para pemangku kepentingan untuk efektivitas pencapaian pengurangan emisi, 2) Efisiensi biaya untuk mencapai tujuan dan akuntabilitas dari seluruh pelaksanaan REDD+, 3) Efektifitas terkait output dari Kegiatan REDD+ dan 4) equitabilitas terkait distribusi pembagian peran, tanggungjawab, hak dan manfaat. Salah satu alasan lain pentingnya tata kelola REDD+ adalah pertanyaan tentang kemampuan untuk mengawasi dan monitoring
74
kegiatan, mengingat sistem monitoring dan hukum yang masih perlu ditingkatkan. Semua pihak perlu menunjukkan tata kelola lingkungan yang baik untuk menjamin investasi REDD yang bertujuan untuk meningkatkan jasa hutan dan memberikan kontribusi bagi pengurangan kemiskinan dan pengelolaan 2 sumberdaya alam yang berkelanjutan . Upaya penurunan emisi dan peningkatan serapan serta karbon stok melalui mekanisme REDD+ dalam pelaksanaannya melibatkan banyak aktor dari tingkat internasional hingga masyarakat lokal dan memerlukan regulasi, aturan, kelembagaan, pendanaan yang tidak sedikit, perangkat pendukung serta teknologi yang memadai. Di tingkat nasional dan lokal banyak instansi terlibat dalam pelaksanaannya demikian pula halnya dengan di tingkat internasional, berbagai lembaga penyandang dana yang memberikan bantuannya dalam fase REDD+ readiness perlu disinergikan. Mensinergikan berbagai aktor dalam pelaksanaan mekanisme REDD+ merupakan tantangan tersendiri di Indonesia. Tata kelola yang baik dengan pelibatkan berbagai aktor tersebut sangat diperlukan agar mekanisme ini dapat berjalan dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk (i) mengidentifikasi dan menganalisis lembaga yang menangani perubahan iklim dan potensinya untuk menjadi lembaga REDD+, baik di level nasional maupun sub nasional apakah multi actor/multi governance dan posisi masing-masing seimbang (posisi check and balance), (ii) mengidentifikasi dan menganalisis apakah lembaga tersebut sudah menjalankan prinsip-prinsip good governance , (iii) memberikan saran untuk penguatan tata kelola REDD+ ke depan. 1
2
Diambil dari Stranas REDD+ yang tersedia on line pada website http://ukp.go.id [19 Oktober 2011]. Diambil dari website http://forestclimatecenter.org [23 Oktober 2011]. Penilaian Tata Kelola Pemerintahan.
Kondisi Tata Kelola Hutan untuk . . . Sulistya Ekawati, Kirsfianti L. Ginoga & Mega Lugina
II. METODE PENELITIAN A. Kerangka Pikir Penelitian Tata kelola dipandu oleh kebijakan, ditegakkan oleh hukum dan dilaksanakan melalui lembaga. Menurut Morlot (2009), kerangka multilevel tata kepemerintahan memberikan titik awal untuk memahami bagaimana pemerintah pusat dan aktor publik dan swasta lainnya merancang dan melaksanakan kebijakan internasional ke dalam aksi di tingkat nasional dan lokal. Multilevel tata kepemerintahan juga menyediakan kerangka kerja konseptual yang fleksibel untuk memahami hubungan antara kota, daerah dan pemerintah nasional dalam menghadapi isu mitigasi dan adaptasi. Berdasarkan definisi di atas kajian ini dibatasi untuk lebih diarahkan menganalisis lembaga yang terkait perubahan iklim yang berpotensi untuk menjadi lembaga REDD+, baik di level nasional (DNPI, Satgas REDD dan Pokja REDD), maupun sub nasional (Pokja Perubahan Iklim/REDD+ tingkat Provinsi dan Kabupaten). Kelembagaan memerankan peran penting dalam menentukan kesiapan negara untuk menangani perubahan iklim. Tata kepemerintahan mencakup bukan hanya kapasitas untuk meningkatkan upaya mitigasi perubahan
Lembaga PI (REDD+) di level nasional
iklim, tetapi juga pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, pengurangan tingkat polusi, kontribusi bersama terhadap perlindungan global, dan kapasitas masyarakat untuk memperbaiki kinerja lingkungan dari waktu ke waktu. Sebagian besar sumber daya adalah sumber milik umum, pemanfaatan berkelanjutan dan perlindungan memerlukan tindakan kolektif. Diperlukan kelembagaan berkualitas tinggi yang mampu mendorong aksi kolektif tersebut (Foa, 2010). Koordinasi antara institusi merupakan upaya lain yang memerlukan komitmen bersama. Kesuksesan mitigasi perubahan iklim melalui skema REDD+ memerlukan tata kepemerintahan yang efektif. Salah satu elemen kritis untuk mensukseskan REDD+ adalah melalui upaya meningkatkan tata kepemerintahan kehutanan (Muller and Johnson, 2009). Lembaga REDD+ dianalisis dari segi keterwakilan berdasarkan tiga pilar good governance dan prinsip-prinsip good governance. Menurut Bappenas (2007), ada tiga pilar dalam tata kepemerintahan yang baik yaitu : pemerintah, dunia usaha/swasta dan masyarakat. Lembaga diamati dinamikanya (frekuensi pertemuan dan kegiatan yang dilakukan), selain itu juga dianalisis interaksi dan koordinasi antar institusi. Kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Analisis tiga
- DNPI
Analisis Koordinasi
Konsultasi
Lembaga PI (REDD+) di level sub nasional (lokasi penelitain)
Kondisi yang ada
Saran Penguatan Tata Kepemeri ntahan REDD +
Dinamika
- Pokja/komda PI
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian Figure 1. Research framework 75
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 72 - 87
B. Lokasi Penelitian Dasar pemilihan lokasi adalah kabupaten yang sudah melaksanakan Demonstration Activities (DA) atau lokasi kegiatan untuk pengujian dan pengembangan metodologis, teknologi serta institusi pengelolaan karbon hutan dalam fase readiness REDD+. Berdasarkan pertimbangan tersebut dipilih Kabupaten Berau dan Kabupaten Lombok Timur karena skala, ruang lingkup, intensitas dan kedalaman kegiatan di kedua lokasi tersebut berbeda. Kabupaten Berau sudah banyak kegiatan peningkatan kapasitas untuk REDD+ melalui Berau Forest Carbon Project dan dan Kabupaten Lombok Timur mewakili kabupaten yang kurang dalam kegiatan peningkatan kapasitas untuk REDD+. C. Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Secara umum penelitian ini dianalisis secara diskriptif kualitatif dan kuantitatif. Menurut Creswell (2003), penelitian kualitatif didefinisikan sebagai sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial, berdasarkan penciptaan gambaran holistik lengkap yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan secara terperinci dan disusun dalam sebuah latar ilmiah. Penelitian kualitatif dilakukan untuk menganalisis dinamika lembaga. Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan in-depth interview dengan metode snow ball sampling. Penelitian kuantitatif dilakukan untuk melihat keterwakilan tiga pilar governance dalam setiap lembaga dan implementasi prinsip-prinsip good governance. Wawancara dilakukan terhadap ketua/pengurus lembaga REDD di tingkat nasional maupun sub nasional. Responden di tingkat nasional adalah: Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Bappenas, ketua/pengurus Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), ketua/pengurus Satgas REDD, ketua/ pengurus kelompok kerja Perubahan Iklim
76
(Pokja PI). Responden di tingkat sub nasional adalah: pejabat Dinas Kehutanan provinsi/ kabupaten, pejabat Dinas Lingkungan Hidup provinsi/kabupaten, pejabat Bappeda provinsi/kabupaten, pejabat UPT Kementerian Kehutanan setempat (BPDAS, BPKH, BP2HP, KSDA), pokja/Komisi Daerah (komda) REDD, pokja/komda PI, LSM (TNC, WWF, Samanta, KOICA), INHUTANI dan Perguruan Tinggi. Selain itu juga dilakukan pengumpulan data sekunder dari beberapa pustaka/laporan dan website terkait. Penelitian kuantitatif dilakukan dengan cara kuantifikasi dan pemberian score pada beberapa indikator pada masing-masing prinsip good governace. Indikator good forest governance yang dipakai dirumuskan dari beberapa pustaka yang relevan (UNDP, 1996; Bank Indonesia, 2007; Bappenas, 2007) yang telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan konteks studi. Indikator forest governance yang diukur adalah : 1) Transparansi, 2) Akuntabilitas, 3) Partisipasi, 4) Efisiensi dan efektivitas, 5) Responsiveness , 6) Profesionalisme dan Kompetensi serta 7) Komitmen pada pengurangan kesenjangan. Secara ringkas pengukuran score masing-masing prinsip good forest gavernance diukur dengan indikator seperti terlihat pada Lampiran 1. Pemberian score dilakukan dengan : Nilai score 5 = apabila memenuhi tiga indikator Nilai score 3 = apabila memenuhi dua indikator Nilai score 1 = a p a b i l a h a n y a s a t u indikator atau tidak ada indikator yang memenuhi Kemudian masing-masing prinsip dijumlah dan dirata-rata untuk diklasifikasikan sebagai berikut : Penerapan good governance buruk : x< 1,875
Kondisi Tata Kelola Hutan untuk . . . Sulistya Ekawati, Kirsfianti L. Ginoga & Mega Lugina
Penerapan good governance sedang : 1,875 ≤ x ≤ 3,125 Penerapan good governance baik : x > 3,125
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Lembaga REDD+ di Level Pemerintah Pusat Di level nasional terdapat berbagai lembaga yang menangani perubahan iklim dan persiapan REDD+. Instansi yang banyak berperan meliputi Satgas REDD+ (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan/UKP4) dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). 1. Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ dibentuk melalui Keppres No 19 Tahun 2010, masa tugasnya berakhir per tanggal 30 Juni 2011, tetapi kemudian Presiden memperpanjang dengan mengeluarkan Keppress No 25 Tahun 2011. Satgas ini merupakan kelembagaan koordinasi yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Tugas Satgas Kelembagaan REDD+ adalah : a) Menyiapkan pembentukan kelembagaan REDD+, b) Mengkoordinir penyusunan strategi nasional REDD+, c) Menyiapkan instrumen dan mekanisme pendanaan REDD+, d) Menyiapkan pembentukan lembaga MRV (measurable, reportable dan verifiable atau terukur, terlaporkan dan terverifikasi) REDD+ yang independen dan terpercaya dan e) Melaksanakan kegiatan REDD+ di provinsi percontohan pertama dan menyusun kriteria pemilihan provinsi percontohan kedua. Selain tugas tersebut, Keppres No 25 Tahun 2011 juga memberikan tugas tambahan untuk: a) Melaksanakan pemantauan pelaksanaan Instruksi Presiden
Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Ijin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan 3 Gambut . Tugas ini merupakan tindaklanjut kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Norwegia yang dituangkan dalam Letter of Intent (LoI) on Cooperation on Reducing Greenhouse Gas Emission from Deforestation and Forest Degradation. Jadi dapat ditarik kesimpulan Satgas Persiapan kelembagaan REDD+ adalah untuk menyiapkan prakondisi dan kebijakan nasional yang terkait dengan REDD+. Kewenangan satgas ini adalah menetapkan strategi, koordinasi dan kerjasama serta mendapatkan informasi dari stakeholder terkait. Walaupun satgas mempunyai tugas sebagai pemantau pelaksanaan Inpres No 10 Tahun 2011, tetapi tidak ada kewenangan yang terkait yang diberikan yang mendukung tugas tersebut. Keanggotaan Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+ merupakan gabungan unsurunsur pemerintah yang terdiri perwakilan dari unit kerja kepresidenan dan perwakilan dari kementerian/lembaga non kementerian. Sebagai ketua adalah Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan dan sekretarisnya adalah staf khusus presiden bidang perubahan iklim, sedangkan anggotanya adalah perwakilan dari Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Sumberdaya Energi dan Mineral, Bappenas, Kementrian Lingkungan Hidup, Badan Pertanahan Nasional, Sekretaris Kabinet dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan. Keanggotaan Satgas REDD+ seluruhnya merupakan perwakilan dari unsur pemerintah.
3
Diambil dari Keppres No 25 Tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+
77
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 72 - 87
2. Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Pada bulan Juli 2008, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keppres No. 46/2008, untuk pendirian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Visi DNPI adalah memperjuangkan agar supaya keputusan-keputusan yang ditetapkan di Bali pada COP-13 diterima secara utuh dan dilaksanakan dalam forum internasional, sedangkan misinya adalah agar semua kementerian/lembaga turut melawan perubahan iklim (climate change), sehingga akan memperkuat posisi Indonesia memperjuangkan perubahan iklim. Mandat dari DNPI adalah menyusun kebijakan dan mengendalikan upaya pengendalian iklim. Tugas DNPI (sesuai dengan SK Presiden no. 4 46/2008) adalah : a) Memformulasikan kebijakan, strategi, program dan aktivitas di tingkat nasional terkait dengan kontrol terhadap perubahan iklim, b) Mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan dalam pelaksanaan kontrol tersebut yang meliputi adaptasi terhadap perubahan iklim, mitigasi, transfer teknologi dan pembiayaan, c) Memformulasikan kebijakan dan prosedur untuk pengaturan perdagangan karbon, d) Melaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan dari kebijakan perubahan iklim, e) Memperkuat posisi Indonesia untuk mendukung negara-negara maju agar lebih bertanggung jawab dalam mengontrol perubahan iklim. Berbeda dengan Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+, keanggotaan DNPI langsung diketuai oleh Presiden, dengan wakil ketua Menko Kesra dan Menko Perekonomian serta beranggotakan beberapa kementerian terkait. Dari dua lembaga yang terkait dengan REDD+ di atas nampak bahwa stakeholder yang sama menduduki keanggotaan kelem4
Diakses dari www.dnpi.go.id [10 Agustus 2011]
78
bagaan REDD+ yang berbeda. DNPI merupakan lembaga perubahan iklim, dimana REDD+ seharusnya merupakan bagian dari upaya mitigasi dari perubahan iklim. Dengan menganut cara berpikir demikian, posisi Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+ seharusnya merupakan bagian dari kelembagaan DNPI. Keanggotaan lembaga REDD+ di level nasional juga didominasi oleh unsur pemerintah. Dominasi pemerintah dapat dipahami karena lembaga REDD+ di tingkat nasional mempunyai tugas untuk menyiapkan kebijakan dan pra kondisi untuk implementasi REDD+, namun demikian setiap draft kebijakan yang dihasilkan sebaiknya bersifat transparan untuk menerima masukan dari pihak-pihak di luar pemerintah (masyarakat dan dunia usaha). B. Lembaga REDD+ di Level Provinsi 1. Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Kaltim DDPI dibentuk untuk mengkoordinasikan pelaksanaan pengendalian perubahan iklim dan untuk memperkuat posisi Provinsi Kalimantan Timur di forum nasional maupun internasional dalam pengendalian perubahan iklim. Dewan Daerah Perubahan Iklim ditetapkan melalui Peraturan Gubernur Kalimantan Timur No 2 tahun 2011 tanggal 12 Januari 2011. Tugas dari DDPI adalah : a) Merumuskan kebijakan daerah, strategi, program dan kegiatan pengendalian perubahan iklim, b) Mengkoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan tugas pengendalian perubahan iklim yang meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi dan pendanaan, c) Merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme dan tata cara perdagangan karbon, d) Melaksanakan pemantauan dan evaluasi implementasi kebijakan tentang pengendalian perubahan iklim, e) Memperkuat posisi Kalimantan Timur untuk mendorong daerahdaerah lain untuk lebih bertanggung jawab
Kondisi Tata Kelola Hutan untuk . . . Sulistya Ekawati, Kirsfianti L. Ginoga & Mega Lugina
dalam pengendalian perubahan iklim. Susunan keanggotaan DDPI terdiri dari unsur
pemerintahan (74%) dan pakar (26%), seperti tampak pada Gambar 2.
26% Pemerintah Pakar 74%
Gambar 2. Susunan keanggotaan DDPI Kaltim Figure 2. The membership composition of DDPI Kaltim Keanggotaan DDPI didominasi oleh unsur pemerintah dan pakar. Beberapa pakar tersebut sebenarnya juga merupakan bagian dari pemerintah, karena statusnya sebagai pegawai negeri sipil. DDPI belum melibatkan unsur dunia usaha dan LSM dan perwakilan dari masyarakat, bahkan dinas teknis pemerintah provinsi yang berkait dengan masyarakatpun belum dilibatkan. Walaupun DDPI mempunyai tugas sebagai pembuat kebijakan, koordinasi dan monitoring dan evaluasi masyarakat dan dunia usaha perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan dan monev. 2. Pokja REDD Kalimantan Timur Pokja REDD Kaltim disahkan melalui SK Gubernur No. 522/K.51/2008 tentang Pembentukan Tim Pengkaji Reducing Emission from Deforestration and Degradation (REDD) dan Mitigasi Perubahan Iklim di Sektor Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur. Tim ini ternyata dalam menjalankan tugasnya menemui beberapa kendala, yaitu belum solidnya team work karena faktor rutinitas/mutasi dari anggota pokja, sehingga diperlukan penyesuaian kembali (pencabutan)
Surat Keputusan Gubernur No.522/K.51/ 2008. SK tersebut diganti dengan Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 522/K.215/2010 tanggal 19 April 2011 tentang pembentukan Kelompok Kerja Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Kalimantan Timur (Pokja REDD Kaltim). Tugas Pokok dan Fungsi Pokja REDD Kaltim adalah: a) Menghimpun dan melakukan analisis terhadap data serta informasi berkaitan dengan program REDD di Kalimantan Timur, b) Melakukan sosialisasi REDD dan koordinasi pengelolaan (perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pemantauan/evaluasi) berbagai program (lokal/ nasional/internasional) REDD di Provinsi Kalimantan Timur, c) Menjadikan POKJA sebagai simpul dalam alur komunikasi vertikal dan horizontal, baik antar sesama Pokja REDD maupun antara Pokja dengan institusi/organisasi terkait lainnya di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota d) Memberikan advokasi, konsultasi, fasilitasi serta intermediasi kepada pemerintah daerah dan/atau para pihak lainnya menyangkut berbagai aspek implementasi program kegiatan
79
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 72 - 87
REDD serta relevansinya dalam merealisasikan pembangunan berwawasan lingkungan di Provinsi Kalimantan Timur, khususnya Kaltim Green dan Kaltim Bangkit 2013.
Keanggotaan Pokja REDD Kaltim merupakan perwakilan dari pemerintah provinsi, pemerintah kabupatan/kota, dunia usaha, perguruan tinggi dan LSM, yang bersifat sukarela (voluntary). Susunan keanggotaan Pokja tampak pada Gambar 3.
14% Pemerintah Dunia Usaha 21%
60%
LSM pakar
5%
Gambar 3. Susunan keanggotaan Pokja REDD Kaltim Figure 3. The membership composition of REDD Kaltim working group
Dari gambar di atas nampak bahwa ada empat unsur yang terlibat dalam keanggotaan Pokja REDD Kaltim yaitu unsur pemerintah, LSM, dunia usaha dan pakar. Dilihat dari sisi tiga pilar good governance, ada satu unsur yang terlupakan yaitu perwakilan dari masyarakat. 3. Gugus Tugas Pengendalian Dampak Perubahan Iklim Provinsi Nusa Tenggara Barat Pada tahun 2010 dibuat draft Keputusan Gubernur tentang Gugus Tugas Pengendalian Dampak Perubahan Iklim di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Gugus tugas ini kedepan dapat berperan sebagaimana DNPI untuk tingkat provinsi. Gugus tugas dibentuk untuk lebih mengoptimalkan kinerja instansi-instansi pemerintah untuk merespon perubahan iklim
80
dan agar tugas-tugas tersebut dapat terlaksana. Gugus tugas ini beranggotakan berbagai perwakilan instansi pemerintah daerah dan perorangan yang ditunjuk oleh Bapedalda. Gugus tugas telah berhasil menyelesaikan pembuatan buku 'Rencana Aksi Mitigasi dan Adaptasi Pemanasan Global dan PI' dari tahun 2010-2015. Buku ini berisi berbagai kegiatan yang diusulkan oleh tiap-tiap sektor untuk periode 2010-2015, leading sector untuk masing-masing kegiatan dan indikator keberhasilannya. Keanggotaan gugus tugas didominasi oleh unsur pemerintah, kemudian diikuti oleh unsur LSM dan Perguruan Tinggi. Dari kedua gugus tugas tersebut menarik untuk dicermati bahwa dinas yang menangani pemberdayaan masyarakat tidak masuk dalam gugus tugas ini.
Kondisi Tata Kelola Hutan untuk . . . Sulistya Ekawati, Kirsfianti L. Ginoga & Mega Lugina
Gambar 4. Susunan keanggotaan gugus tugas pengendalian dampak perubahan iklim di Propinsi NTB Figure 4. Membership composition of task force of controling climate change impacs in NTB Province
C. Lembaga REDD Di Level Kabupaten 1. Pokja REDD Berau Pokja REDD Berau dibentuk atas dasar Surat keputusan Bupati Berau nomor 313 tahun 2008 tertanggal 12 Juni 2008. Tugas dan fungsi dari Pokja REDD Kabupaten Berau sesuai dengan SK Bupati Berau Nomor 716 tahun 2009 meliputi: a) Mengumpulkan data dasar terkait pengelolaan sumber daya alam di Kabupaten Berau, b) Menyusun Action Plan REDD termasuk sosialisasi kepada masyarakat Berau, c) Mengakomodir dan mengkaji input dari para pihak, d) Melakukan analisis dan evaluasi yang komprehensif tentang pelaksanaan REDD termasuk membantu untuk mengevaluasi proposal dan pengambilan keputusan dalam implementasi REDD, e) Membangun dan menyusun skema,
strategi, distribusi, pemasaran dan pendanaan REDD; f) Memberikan saran dan masukan kepada pemerintah untuk penyusunan kebijakan Daerah. Pokja ini berada dibawah koordinasi Asisten Administrasi Pembangunan Sekretaris Daerah Kabupaten Berau yang didalamnya tergabung berbagai instansi/dinas yang berhubungan dengan perencanaan serta pemanfaatan ruang di kabupaten seperti Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Badan Lingkungan Hidup, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Kampung, Dinas Kehutanan, Dinas Perumahan dan Tata Ruang, Dinas Perkebunan, BKSDA serta kalangan swasta dan lembaga non pemerintah. Struktur Pokja REDD meliputi perwakilan dari berbagai institusi yang pemerintah daerah, masyarakat, dunia usaha dan LSM.
81
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 72 - 87
Gambar 5. Susunan keanggotaan Pokja REDD Berau Figure 5. The membership composition of REDD berau working group
Bagan diatas memperlihatkan Pokja REDD Berau didominasi oleh Pemerintah (79,3%). Perwakilan swasta dan LSM masingmasing mempunyai keterwakilan sebesar 6,9%, serta masyarakat dan perguruan tinggi sebesar 3,4%. Masyarakat diwakili oleh Ketua DPRD, sebagai penanggung jawab Pokja REDD. 2. Proyek REDD+ di Lombok Tengah KOICA (Korea International Cooperation Agency) mulai melakukan kegiatan REDD+ di
NTB pada tahun 2010, namun persiapan sudah 5 dimulai sejak tahun 2009 . REDD+ yang akan dijalankan KOICA di NTB meliputi dua kegiatan: AR/CDM dan REDD. D. Penerapan Prinsip-prinsip Good Governance Implementasi prinsip good governance di level nasional oleh DNPI dan Satgas REDD+ adalah sebagai berikut :
5
82
Diambil dari Siaran Pers No: S.544/PIK-1/2010 tentang KOICA menanam pohon dengan masyarakat local untuk mengurangi pemenasan global
Kondisi Tata Kelola Hutan untuk . . . Sulistya Ekawati, Kirsfianti L. Ginoga & Mega Lugina
5
akuntabilitas
4.5
partisipasi
3.5
transparansi
4
efisiensi
Skore
skore
transparansi
5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
akuntabilitas partisipasi
3 2.5
efisiensi
2 1.5
responsiveness
responsiveness
1
prinsip-prinsip good governance
profesionalisme
0.5
profesionalisme
1
0 1
komitmen pada pengurangan kesenjangan
Prinsip-Prinsip Good Governance
komitmen pada pengurangan kesenjangan
Gambar 6. Penerapan Prinsip Good Governance di DNPI Figure 6. Implementation of Good Governance Principles at DNPI
Gambar 7. Penerapan Prinsip Good Governance di Satgas REDD Figure 7. Implementation of Good Governance Principles at REDD Task Force
Dari gambar di atas nampak bahwa indikator profesionalisme menduduki nilai tertinggi di DNPI dan Satgas REDD+. Penerapan indikator partisipasi masih rendah pada kedua lembaga tersebut karena belum semua stakeholder terwakili dalam struktur lembaga yang ada dan pengambilan keputusan belum sepenuhnya didasarkan pada konsensus yang mengakomodir kepentingan yang beragam.
Di tingkat provinsi, penerapan beberapa prinsip good governance belum maksimal. Penerapan prinsip akuntabilitas dan partisipasi juga masih rendah, hal itu tercermin dari belum adanya kesesuaian antara pelaksanaan dan program yang disusun, belum adanya kejelasan pihak yang bertanggungjawab jika target yang ditetapkan tidak tercapai serta belum adanya keterwakilan semua stakeholder.
5 4.5
5
akuntabilitas
4 3.5
4
partisipasi
3
efisiensi
2
responsiveness
1
1
profesionalisme
0.5 0
Skore
transparansi
transparansi akuntabilitas partisipasi
3 2.5
efisiensi
2 1.5
0
1
komitmen pada pengurangan kesenjangan
Gambar 8. Penerapan prinsip-prinsip Good Governance Pokja REDD+ Kalimantan Timur Figure 8. Implementation of Good Governance principles at REDD+ East Kalimantan working group
responsiness profesionalisme
1
Komitmen pada pengurangan kesenjangan
Gambar 9. Penerapan prinsip-prinsip Good Governance di Pokja REDD Berau Figure 9. Implementation of Good Governance principles at REDD Berau working group
83
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 72 - 87
E. Dinamika dan Koordinasi antar Lembaga Dinamika lembaga menggambarkan gejolak perubahan perilaku lembaga yang terjadi karena interaksi antar individu dengan individu, individu dengan kelompok serta antar kelompok (Hutapea dan Toha, 2008). Dinamika lembaga REDD+ yang menonjol adalah kurang aktifnya semua anggota pada setiap kegiatan dan lemahnya koordinasi antar lembaga yang ada. Koordinasi adalah kegiatan mengarahkan, mengintegrasikan dan mengkoordinasikan unsur-unsur manajemen dan pekerjaanpekerjaan para bawahan dalam mencapai tujuan organisasi (Hasibuan, 2006). Koordinasi adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen-departemen atau bidangbidang fungsional) pada suatu organisasi untuk mencapai tujuan secara efisien dan efektif (Handoko 2003). Kelembagaan REDD+ yang ada merupakan lembaga lintas profesi dan disiplin ilmu yang berbentuk ad hoc , sehingga merupakan organisasi sementara yang anggotanya berasal dari gabungan beberapa institusi terkait. Kondisi tersebut menyebabkan kurangnya rasa memiliki lembaga yang ditunjukkan dengan tingkat kehadiran dan frekuensi pertemuan yang rendah dari anggota, terutama untuk lembaga di level provinsi dan kabupaten. Pertemuan dalam lembaga juga belum mempunyai jadwal yang tetap, walaupun beberapa lembaga sudah menetapkan perencanaan kegiatan. Istilah ad hoc pertama kali dipopulerkan pada tahun 1970 oleh Alvin Toffler, dan sejak itu menjadi sering digunakan dalam teori manajemen organisasi (terutama online organisasi), selanjutnya dikembangkan oleh para akademisi seperti Henry Mintzberg. Adhockrasi berasal dari kata Latin ad hoc, yang berarti 'untuk tujuan', dan akhiran birokrasi (Bahasa Yunani kuno: kratein yang berarti 84
'untuk memerintah). Adhockrasi adalah jenis 6 organisasi ad hoc pada birokrasi . Bentuk lembaga ini biasanya dimanfaatkan untuk menangani hal-hal kritis, sasaran yang temporer, permasalahan yang muncul secara tiba-tiba atau belum direncanakan dan sifatnya ad hoc (sementara). Anggota organisasi biasanya berasal dari unit kerja yang berbeda, mempunyai disiplin ilmu dan keahlian yang berbeda, merupakan personil-personil senior dan tidak dibebaskan dari pekerjaan rutinnya. Panitia ad hoc dibentuk untuk memenuhi tugas khusus dan dibubarkan bila tujuan telah tercapai (Mulyadi, 2001; Achmad, 2002). Terdapat tiga kelemahan yang terdapat dalam lembaga ad hoc, yaitu : 1) dibentuk sebagai reaksi terhadap masalah yang timbul, bukan untuk tujuan improvement yang bersifat strategis terhadap sistem, 2) bukan merupakan learning organization karena organisasi berikutnya anggota tim bisa berbeda, sehingga lembaga ini tidak pernah mampu belajar dari pengalaman yang diperoleh dari kerja tim, 3) kurang koordinasi dalam penugasan tim, 4) merupakan pendekatan tambal sulam terhadap sistem sehingga gagal menghasilkan sinergi. (Mulyadi, 2001). DNPI secara umum bertugas untuk koordinasi, formulasi kebijakan, monitoring dan evaluasi serta posisi Indonesia untuk mendukung negara-negara maju agar lebih bertanggung jawab dalam mengontrol perubahan iklim. Jadi cakupan tugas DNPI lebih luas daripada tugas Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+. Tugas Satgas REDD+ secara umum adalah koordinasi dan menyiapkan strategi implementasi Surat Niat dengan Pemerintah Norwegia. Beberapa anggota DNPI menjadi anggota juga di Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+. Secara struktural tidak ada hierarkhi antara lembaga di tingkat pusat dengan lembaga di provinsi 6
Diambil dari www.wikipedia.org diakses tanggal 23 November 2011
Kondisi Tata Kelola Hutan untuk . . . Sulistya Ekawati, Kirsfianti L. Ginoga & Mega Lugina
dan kabupaten. Koordinasi antar lembaga yang ada selama ini bersifat sementara untuk menghadiri seminar atau workshop.
2.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
melalui penguatan pilar masyarakat dan penguatan prinsip partisipasi. Masyarakat atau pihak yang mewakili masyarakat perlu dilibatkan dalam struktur lembaga REDD+ yang ada. Peningkatan kapabilitas masyarakat perlu dilakukan agar tiga pilar dalam good governance seimbang. Lembaga REDD+ yang ada perlu memperbaiki diri agar sesuai dengan prinsip-prinsip good governance. Penilaian prinsip-prinsip good governance dalam lembaga REDD+ akan lebih komprehensif jika dilakukan pada kondisi implementasi, dimana mekanisme pembayaran dari kegiatan penurunan emisi sudah berjalan. Rendahnya koordinasi dibangun dengan meningkatkan fungsi fasilitasi, sebagai penggerak mekanisme REDD+ agar dapat terimplementasikan. Struktur lembaga yang terbaik mengikuti strategi yang ditetapkan (konsep structure follow strategy ). Evaluasi struktur organisasi yang saat ini ada dapat dijadikan dasar untuk merumuskan perbaikan strategi implementasi REDD+ ke depan.
1. Lembaga REDD+ di tingkat pusat didominasi oleh unsur pemerintah, keterwakilan swasta maupun masyarakat masih belum proporsional. Lembaga REDD+ di tingkat provinsi sudah ada perwakilan unsur pemerintah dan unsur swasta, tetapi belum ada keterwakilan unsur masyarakat. Lembaga REDD+ di tingkat kabupaten (seperti Pokja REDD Berau) sudah ada keterwakilan semua pihak (pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam struktur keanggotaannya. 2. Indikator profesionalisme menduduki nilai tertinggi, sedangkan indikator partisipasi menduduki tempat yang terendah. Secara keseluruhan semua lembaga yang ada belum sepenuhnya menerapkan prinsip-prinsip good governance, hal ini karena baru dalam tahap awal operasional. 3. Dinamika lembaga REDD+ yang menonjol adalah kurang aktifnya semua anggota dalam setiap kegiatan dan lemahnya koordinasi antar lembaga yang ada. Kondisi tersebut disebabkan karena lembaga REDD+ yang ada merupakan lembaga lintas profesi dan disiplin ilmu yang berbentuk ad hoc. Bentuk lembaga tersebut ada kecenderungan tidak terjadi pembelajaran organisasi ( learning organization) dan mengarah ke overlapping fungsi.
3.
B. Saran
Foa, R. 2010. Social and Governance Dimensions of Climate Change. Implication for Policy. The World Bank
a. Penguatan tata kelola hutan pada lembaga REDD+ yang sudah ada bisa dilakukan
4.
5.
DAFTAR PUSTAKA Bappenas, 2007. Penerapan Tata Pemerintahan yang Baik. Sekretariat Tim Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan Yang Baik. Jakarta. Creswell, J.W. 2003. Desain Penelitian Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Khabibah N, penerjemah. KIK Press. Jakarta. Terjemahaan dari : Research Design Qualitative & Quantitative Approaches.
85
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 10 No. 1, April 2013 : 72 - 87
Social Development Department & Development Economics World Development Report Team May 2009. Diakses Http://econ. Worldbank.org. tanggal 7 Oktober 2010.
Muller E and Johnson, S.2009. Forest Governance and Climate Change Mitigation. ITTO and FAO. Www.fao.org/ forestry/19488-1-0.pdf . [Diakses 21 Agustus 2010].
Forsyth. 2009. Multilevel, Multiactor Governance in REDD+. Participation, Integration and Coordination. In Angelsen A (editor). Realising REDD+. National Strategy and Policy Option. CIFOR. Bogor.
Mulyadi. 2001. Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen. Sistem pelibatgandaan Kinerja perusahaan. UGM, Salemba Empat. Yogyakarta.
Hasibuan, Malayu, S.P. 2006. Manajemen Dasar, Pengertian, dan Masalah. Edisi Revisi. Bumi Aksara. Jakarta. Handoko, T. Hani. 2003. Manajemen Edisi Kedua. BPFE. Yogyakarta.
Hutapea, P dan Thoha, N. 2007. Teori, Desain, Kasus dan Penerapannya untuk Human Resources dan Organisasi yang Dinamis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Korea-Indonesia Joint Project for Adaptation and Mitigation of Climate Change in Forestry (KIPCCF), 2011. Progress on Land Use/Cover & Socio-Economic Assessment of Batukliang Protection Forest REDD: Regional Economic Development Model and Methodology. Mayer, J., Bass, S., dan Macqueen, D. 2002. The Pyramid. A Diagnostic and Planning Tools for Good Forest Governance. The World Bank and WWF, tersedia online http://www.ibcperu.org/doc/isis/8593.p df (diakses 23 Agustus 2010). Morlot et al. 2009. Cities, Climate Change and Multilevel Governance, OECD Environmental Working Papers No. 14, 2009, OECD publishing, tersedia online www.oecd.org/env/workingpaper (diakses 7 Oktober 2010).
Pemerintah Republik Indonesia, 2010. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2010 tentang Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+. Pemerintah Republik Indonesia, 2008. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/14/ PBI/2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 Tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/12/ DPNP tanggal 30 Mei 2007 perihal Pelaksananan Good Corporate Governance bagi Bank Umum. Peraturan Gubernur Kalimantan Timur No 2 Tahun 2011 tentang Dewan Perubahan Iklim Daerah. SK Gubernur Kalimantan Timur No.522/ K.51/2010 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Kalimantan Timur. Sumarto, H.S.2003. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia.Jakarta. UNDP, 1996. Human Development Report 1996, Oxford University Press, USA.
86
Kondisi Tata Kelola Hutan untuk . . . Sulistya Ekawati, Kirsfianti L. Ginoga & Mega Lugina
Lampiran 1 . Indikator dan score penerapan prinsip-prinsip good governance Appendix 1. Indicator and score implementation of good governance principles No No
Prinsip Principle
1.
Transparansi
2.
Akuntabilitas
3.
Partisipasi
4.
Efisiensi dan Efektivitas
5.
Responsiveness
6
Profesionalisme dan Kompetensi
7.
Komitmen pada Pengurangan Kesenjangan
Indikator Indicator good governance Organisasi tersebut memberikan informasi tentang visi, misi, sasaran usaha, strategi organisasi, kondisi keuangan, susunan pengurus, sistem pengawasan dan pengendalian intern. Organisasi tersebut mengungkapkan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas akurat dan dapat diperbandingkan serta dapat diketahui oleh pihak – pihak yang berkepentingan sesuai dengan kepentingannya Kebijakan institusi harus tertulis dan dikomunikasikan kepada pihak yang berkepentingan yang berhak untuk memperoleh informasi tentang kebijakan yang telah ditetapkan. Adanya kesesuaian antara pelaksanaan dengan program yang disusun Adanya output dan outcome yang terukur Adanya kejelasan pihak yang bertanggungjawab jika target yang ditetapkan tidak tercapai Ada keterwakilan dari masing -masing stakeholder Pengambilan keputusan didasarkan pada konsesus bersama Ada mekanisme untuk mengadomodir kepentingan yang beragam Terlaksananya administrasi penyelengaraan kegiatan yang berkualitas, tepat sasaran dengan menggunakan sumberdaya yang optimal Tidak menimbulkan biaya economi ( high cost economy ) tinggi Program kerja tidak tumpang tindih Tersedianya layanan pengaduan, baik berupa : kotak saran, surat pembaca, crisis center, unit pelayanan masyarakat yang mudah diakses oleh masyarakat Adanya standard dan prosedur dalam menindaklanjuti laporan dan pengaduan Saran dan masukan dijadikan dasar untuk perbaikan program atau kegiatan Semua organ organisasi mempunyai kompetensi sesuai dengan tanggung jawabnya dan memahami perannya Pengurus dalam organisasi tersebut mempunyai kualifikasi di bidangnya (dilihat dari latar belakang pendidikan dan pengalaman) Ada sistem pengembangan SDM (kursus, studi banding, sekolah) Tersedianya layanan/fasilitas khusus bagi masyarakat sekitar hutan Adanya program pemberdayaan (penguatan kapabilitas) masyarakat sekitar hutan Adanya kesetaraan dan keadilan antar stakeholder
SkOr Score (x/? )
Perangkat pendukung indikator Website media cetak dan elektronik
laporan tahunan mekanisme pertanggungjawaban SOP dalam penyelenggaraan urusan Tersedia mekanisme penyalur aspirasi masyarakat Tersedia forum konsultasi publik tersedia standard an indikator untuk menilai kinerja ada mekanisme monev untuk perbaikan indicator : prosedur pelayanan pengaduan, hotline, fasilitas akses informasi yang bebas biaya latar belakang pendidikan pengalaman, sistem pengembangan SDM program pendampingan dalam rangka pemberdayaan masyarakat
87
PETUNJUK PENULISAN NASKAH “JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN” 1. Judul, harus jelas dan menggambarkan isi tulisan, ringkas tidak lebih dari 2 baris, ditulis dengan Times New Roman font 14 dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. 2. Naskah yang dikirim terdiri dari 15-30 halaman, 2 spasi, ukuran kertas A4 dan font ukuran huruf 12. 3. Nama penulis ditulis dibawah judul dan dicantumkan tanpa gelar, dicantumkan pula alamat instansi, No. Telp/faks serta alamat e-mail penulis (jika ada). 4. Abstract/Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan Indonesia, tidak lebih dari 200 kata, berisi intisari permasalahan secara menyeluruh, bersifat informatif mengenai hasil yang dicapai, diketik dengan font 10, spasi satu. 5. Key words/Kata kunci ditulis dibawah abstrak dan tidak lebih dari lima entri. 6. Tubuh naskah, diatur dalam Bab dan Sub bab secara konsisten sesuai dengan kebutuhan. Semua nomor ditulis rata dibatas kiri tulisan, seperti: I, II, III, dst. untuk Bab A, B, C, dst. untuk Sub Bab 1, 2, 3, dst. untuk Sub subbab a, b, c, dst. untuk Sub sub subbab 7. Sistematik penulisan adalah sebagai berikut: Judul : Bahasa Indonesia dan Inggris Abstract: Bahasa Ingris Abstrak : Bahasa Indonesia I. Pendahuluan II. Bab-bab Tubuh Naskah III., dst. Daftar Pustaka Lampiran 8. Tabel, gambar, grafik dan sejenisnya diberi nomor, judul dan keterangan dalam bahasa Indonesia dan Inggris. 9. Daftar Pustaka merupakan referensi yang dirujuk dalam naskah dan disajikan secara alfabetik nama belakang penulis pertama. Pustaka yang dirujuk diusahakan terbitan paling lama sepuluh tahun terakhir. Pustaka dapat berasal antara lain dari buku, jurnal, prosiding dan internet, dengan contoh cara penulisan sebagai berikut: - Gidden, A. 1979. Central Problems in Social Theory. Macmillan. London. - Doornbos, M. and L. Gertsch. 1994. Sustainability, technology and corporate interest: resources strategies in India's modern diary sector. Journal of Development Studies 30(3):916-50. - Purnomo. 2004. Potensi dan peluang usaha perlebahan di Provinsi Riau. Prosiding Ekspose HasilHasil Litbang Hasil Hutan, tanggal 14 Desember 2004 di Bogor. Hlm. 133-141 Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor. - Agarwal, A. and S. Narain. 2000. Community and water management : the key to environment regeneration and proverty allevation. Website: http://www.undp.org/seed/pei/publication/water.pdf.