ISSN 0216-0897
JURNAL
ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN Vol. 4 No.1, Maret 2007
Departemen Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Jakarta, Indonesia
J.Analisis. Keb.Hut
Vol.4
No.1
Hlm. 1 - 63
Jakarta Maret 2007
ISSN 0216-0897
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007
ISSN 0216-0897
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan adalah media resmi publikasi ilmiah yang diterbitkan oleh Badan Litbang Kehutanan secara periodik empat bulanan yang mencakup berbagai tulisan hasil penelitian ataupun telaahan mengenai kebijakan kehutanan atau bahan masukan bagi kebijakan kehutanan. Penanggung jawab (Editorial in chief) : Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Dewan Redaksi (Editoral Board) Ketua (Chairman), merangkap anggota Anggota (Members)
Sekretariat Redaksi (Editorial Secretariat) Ketua (Chairman)
Anggota (Members)
: : Dr. Ir. A. Ngaloken Gintings, MS : 1. Prof. Dr. Ir. Djaban Tinambunan, MS 2. Dr. Ir. Haryatno Dwiprabowo, M.Sc 3. Dr. Syaiful Anwar 4. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS 5. Dr. Ir. Tonny R. Suhartono, M.Sc : : Kepala Bidang Pelayanan dan Evaluasi Penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan : 1. Ir. Isnaeni 2. Ir. Eded Suryadi, MM 3. Surati, S.Hut 4. Mahfudz, SE 5. Agoes Soekardi
Diterbitkan oleh (Published by) : Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Alamat : Sub Bagian Data dan Informasi Sekretariat Badan Litbang Kehutanan Jl. Gunung Batu No. 5, Ciomas Bogor. Telepon : (0251) 7522638 Website : http://www.forda.dephut.go.id E-Mail :
[email protected] [email protected]
ISSN 0216-0897
JURNAL
ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN Vol. 4 No. 1, Maret 2007
Departemen Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Jakarta, Indonesia
J. Analisis Keb. Hut.
Vol. 4
No. 1
Hlm. 1 - 63
Jakarta Maret 2007
ISSN 0216-0897
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN VOL. 4 NO. 1, Maret 2007
ISSN 0216-0897
DAFTAR ISI (CONTENTS) KAJIAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DALAM PENGELOLAAN BEBERAPA HUTAN LINDUNG DI KALIMANTAN TIMUR (Study on Implementation of the Policies in the Management of Some Protection Forests in East Kalimantan) Faiqotul Falah..........................................................................................................
1 - 19
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP ALIH FUNGSI HUTAN LINDUNG BUKIT SOEHARTO MENJADI PERTAMBANGAN BATU BARA (The Perception possible conversion of the Bukit Soeharto from protection forest into coal mining area) Nilam Sari & R. Mulyana Omon ...........................................................................
21 - 29
KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN STRATEGI REHABILITASI HUTAN RAWA GAMBUT TERDEGRADASI (Policies and Management Strategies for Rehabilitation of Degraded Peat Swamp Forest) Agustinus P. Tampubolon .....................................................................................
31 - 38
ANALISIS KEBIJAKAN SISTEM INSENTIF BAGI USAHA KEHUTANAN (Policy Analysis of Incentive System for Forestry Business) Satria Astana, M. Zahrul Muttaqin, Nunung Parlinah & Indartik .....................
39 - 63
KAJIAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DALAM PENGELOLAAN BEBERAPA HUTAN LINDUNG DI KALIMANTAN TIMUR (Study on Implementation of the Policies in the Management of Some Protection Forests in East Kalimantan) Oleh/by: Faiqotul Falah1) ABSTRACT This paper studied the compatibility between the policies at national and regional levels with management activities in some protected forests in East Kalimantan, namely Sungai Wain Protection Forest (HLSW), Wehea Forest (HW), Gunung Lumut Protection Forest (HLGL), and Gunung Beratus Protection Forest (HLGB). According to PP No 62/1998, the government at regency and city levels hold the protection forests management authority, with the consequence that they also hold the authority of management institution establishment. Colaborative management boards had been established in HLSW and HW. In HLGL, the role of management institution is operated by a Management Working Group. While in HLGB, a Working Group working on the preparation of Management Institution had been founded. In HLSW, HW, HLGL, and HLGB, the main issue that motivated the founding of management institution was the conservation of endangered fauna and their habitats. The incompatibility between the policies at the national and regency levels occured in HW. Although HW still holds a function as a production forest, by designation, the local government has formed a Wehea Protection Forest Management Board. In forest areas which already had Management Board, forest protection is implemented more efectively by the establishment of a safeguard team that involved local people. And so the forest use activities have been more controllable by the issuance of government and custom regulations regarding forest uses and the permit procedures. But there is still no regulation that obliges water consumer to pay fee for the incentive of protection forest management. Keywords : policy, protection forest management, management institution
ABSTRAK Tulisan ini bertujuan mengkaji kesesuaian antara kebijakan di tingkat pusat dan di daerah dengan kegiatan pengelolaan beberapa hutan lindung di Kalimantan Timur, yaitu Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW), Hutan Wehea (HW), Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL), dan Hutan Lindung Gunung Beratus (HLGB). Berdasarkan PP No 62/1998, kewenangan pengelolaan hutan lindung berada pada pemerintah kabupaten/kota sehingga pembentukan lembaga pengelola hutan lindung juga merupakan wewenang mereka. Lembaga pengelola kolaboratif telah dibentuk di HLSW dan HW. Di HLGL peran lembaga pengelola dijalankan oleh Kelompok Kerja Pengelola, sedang di HLGB 1
Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Pembenihan Samboja, Kalimantan Timur.
1
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 1 - 19
baru sampai pada tahap pembentukan Kelompok Kerja Penyiapan Lembaga Pengelola. Di HLSW, HW, dan HLGB, isu utama yang mendorong proses pembentukan lembaga pengelola adalah pelestarian fauna langka dan habitatnya. Ketidaksesuaian antara kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah terjadi di HW yang meskipun berstatus hutan produksi, namun pemerintah kabupaten setempat telah membentuk Badan Pengelola Hutan Lindung Wehea. Pada kawasan hutan yang telah mempunyai Badan Pengelola, pelaksanaan kegiatan perlindungan hutan lebih efektif dengan dibentuknya tim pengamanan yang melibatkan masyarakat. Demikian juga kegiatan pemanfaatan hutan lebih terarah dengan diterbitkannya kebijakan pemerintah daerah dan lembaga adat mengenai pemanfaatan kawasan hutan dan perizinannya. Namun belum ada Peraturan Perundang-undangan yang mencantumkan kewajiban konsumen membayar insentif pemakaian air untuk kepentingan pengelolaan hutan lindung. Kata kunci : Kebijakan, pengelolaan hutan lindung, lembaga pengelola
I. PENDAHULUAN Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan memelihara kesuburan tanah ( UU No 41 Tahun 1999). Luas keseluruhan hutan lindung di Indonesia sampai dengan tahun 2002 adalah seluas 20.772.591ha atau sekitar 22,15 % dari keseluruhan luas hutan di Indonesia. Pada tahun 2004 luas hutan lindung di propinsi Kalimantan Timur adalah seluas 2.751.702 ha, atau 13,5 % dari keseluruhan luas kawasan hutan lindung di seluruh Indonesia, atau sekitar 19,5 % dari luas seluruh kawasan hutan daratan dan perairan di Kalimantan Timur (sumber : www.dephut.go.id, 2005). Kebijakan pengelolaan hutan lindung juga melibatkan pemerintah pusat dan daerah. Luasan dan tata batas areal hutan lindung ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui SK Menteri sedang penataan dan pemanfaatannya berpedoman pada Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Sejak pemberlakuan otonomi daerah, sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan diserahkan pada daerah, termasuk wewenang pengelolaan hutan lindung yang diserahkan pada Pemerintah Daerah Tingkat II. Sedangkan pengelolaan hutan lindung yang berada dalam kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) diserahkan pada Pemerintah Daerah Tingkat I (PP No 62 Tahun 1998). Tulisan ini bertujuan mengkaji kesesuaian antara kebijakan yang berlaku di tingkat pusat dan daerah tingkat II pada kegiatan pengelolaan di beberapa hutan lindung di propinsi Kalimantan Timur, yaitu Hutan Lindung Sungai Wain, Hutan Lindung Gunung Lumut, Hutan Lindung Gunung Beratus, dan Hutan Wehea. II. PENGUMPULAN DAN ANALISA DATA Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan beberapa pihak yang terlibat dalam pengelolaan masing-masing hutan lindung, sementara data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen terkait, meliputi peraturan perundang-undangan di tingkat pusat maupun daerah, serta laporan hasil beberapa penelitian di masing-masing hutan lindung. 2
Kajian Implementasi Kebijakan Dalam Pengelolaan . . . Faiqotul Falah
Analisa data dilakukan terhadap hasil rekapitulasi data primer dan data sekunder. Analisa isi (content analysis) dilakukan pada Peraturan Perundangan terkait. Kegiatan pengelolaan hutan lindung dianalisa secara deskriptif kualitatif. Sedangkan analisa kesesuaian implementasi dilakukan untuk mengkaji kesesuaian antara Peraturan Perundangan dengan kegiatan pengelolaan hutan lindung. Identifikasi Peraturan Perudangan yang berkaitan dengan Hutan Lindung
Analisa Isi
Identifikasi Kegiatan Pengelolaan Hutan Lindung
Analisa Deskriptif Kualitatif
Analisa kesesuaian antara Peraturan Perundangan dengan kegiatan pengelolaan hutan lindung
Gambar 1. Alur Penelitian Figure 1. Research framework III. KEBIJAKAN PEMERINTAH PUSAT MENGENAI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG Kebijakan adalah cara dan tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah pembangunan atau mencapai tujuan pembangunan tertentu dengan mengeluarkan keputusan, strategi, perencanaan, maupun implementasinya di lapangan dengan menggunakan instrumen-instrumen tertentu. (Djogo, Sunaryo, Suharjito dan Sirait, 2003) Kebijakan meliputi berbagai peraturan yang berlaku baik di tingkat pusat maupun daerah. Peraturan Daerah harus mengacu kepada Peraturan Perundangan yang lebih tinggi. Adanya pandangan bahwa Peraturan Daerah (Perda) memiliki kedudukan hukum yang lebih tinggi daripada Peraturan Menteri tidak dapat diterima sepanjang mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Darusman & Nurrochmat, 2005). Kebijakan yang dilaksanakan oleh pengelola hutan lindung seyogyanya mengacu pada kebijakan di tingkat pusat maupun daerah. Beberapa peraturan perundangan pusat yang berkaitan langsung dengan pengelolaan hutan lindung dapat dilihat dalam lampiran ( tabel 4 ).
3
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 1 - 19
A. Kewenangan Pengelolaan Hutan Lindung PP 34 Tahun 2002 pasal 3 menyebutkan bahwa kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan menjadi kewenangan Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Sebelumnya dalam PP 62 Tahun 1998 pasal 5 disebutkan bahwa kepada Daerah Tingkat II diserahkan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan, antara lain meliputi pengelolaan hutan lindung. Dalam PP No 25 Tahun 2000 disebutkan bahwa kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota. Bila kawasan hutan lindung terletak pada lebih dari satu wilayah kabupaten/kota, maka kewenangan berada pada Pemerintah Propinsi. Kewenangan pemerintah propinsi juga meliputi pedoman penyelenggaraan penunjukan dan pengamanan batas hutan produksi dan hutan lindung, serta Pedoman penyelenggaraan tata batas hutan, rekonstruksi dan penataan batas kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Karena kewenangan pengelola hutan lindung berada di tangan pemerintah kabupaten/kota, maka pembentukan lembaga pengelola hutan lindung juga merupakan wewenang pemerintah kabupaten/kota, dan seyogyanya didasari oleh SK dari pemerintah daerah sebagai payung hukumnya. Dalam PP No 62/1998 pasal 6 (5) disebutkan bahwa urusan pengelolaan hutan lindung tersebut mencakup kegiatan pemancangan batas, pemeliharaan batas, mempertahankan luas dan fungsi hutan lindung, pengendalian kebakaran, reboisasi dalam rangka rehabilitasi lahan kritis pada kawasan hutan lindung, dan pemanfaatan jasa lingkungan. B. Fungsi dan Status Hutan Lindung PP 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan pasal 24 ayat 3 (b) mencantumkan enam kriteria hutan lindung yaitu kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 persen atau lebih, mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2000 meter atau lebih, kawasan dengan faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan, setelah masingmasing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai skor 175 atau lebih, kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan lereng lapangan lebih dari 15 persen, kawasan yang merupakan daerah resapan air, dan kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai. Di satu sisi hutan lindung memiliki fungsi ekologis seperti fungsi hidrologi, konservasi tanah, kestabilan iklim, serta konservasi plasma nutfah. Di sisi lain, pada era otonomi daerah ini hutan lindung masih diharapkan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi daerah tingkat II, serta sumber pendapatan bagi masyarakat sekitarnya, sesuai dengan peraturan pemanfaatan hutan lindung yang tercantum dalam UU no 41 Tahun 1999 yang diatur lebih lanjut dalam PP 34 Tahun 2002.
4
Kajian Implementasi Kebijakan Dalam Pengelolaan . . . Faiqotul Falah
1. Kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tata batas hutan lindung PP No 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan pasal 1 menyebutkan bahwa penunjukan dan penetapan kawasan Hutan merupakan wewenang pemerintah pusat. Dalam PP No 25/2000 pasal 3 kewenangan pemerintah propinsi meliputi pedoman penyelenggaraan tata batas hutan, rekonstruksi dan penataan batas kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Sedang pada operasionalnya, Pemerintah Daerah Tingkat II mempunyai wewenang dalam penyelenggaraan tata batas hutan, rekonstruksi dan penataan batas kawasan hutan produksi dan hutan lindung sesuai Rencana Tata Ruang Kabupaten (RTRK). Dalam PP No 34 Tahun 2002 pasal 12 (2) juga disebutkan bahwa tata hutan pada hutan lindung antara lain meliputi pembagian kawasan hutan lindung dalam tiga blok, yaitu blok perlindungan, blok pemanfaatan, dan blok lainnya. 2. Kegiatan dalam rangka perlindungan hutan Dalam UU 41/1999 pasal 46 dan 47, penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari. Dalam pasal 48 disebutkan bahwa Pemerintah mengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Perlindungan hutan pada hutan negara dilaksanakan oleh pemerintah. Sedangkan pemegang izin pemanfaatan hutan berkewajiban melindungi hutan dalam areal kerjanya. UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air pasal 21 menyatakan bahwa perlindungan dan pelestarian sumber air beserta lingkungan keberadaannya terhadap kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh daya alam dan oleh tindakan manusia dilakukan melalui pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air, rehabilitasi hutan dan lahan atau pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Pasal 94 menyebutkan tentang ketentuan pidana bagi setiap orang yang sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya sumber air. Karena itu Undang-undang ini juga mendukung upaya pelestarian hutan lindung. 3. Reboisasi dalam rangka rehabilitasi lahan kritis di kawasan hutan lindung Dalam UU 41/1999 Pasal 40 dan 41 disebutkan bahwa rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman, atau penerapan teknis konservasi tanah secara vegetatitf dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif. Dalam PP 62 Tahun 1998, kegiatan reboisasi dalam rangka rehabilitasi lahan kritis di kawasan hutan lindung ini merupakan salah satu wewenang pemerintah daerah tingkat II. 4. Pemanfaatan Hutan Lindung UU No. 41/1999 pasal 26 yang diatur lebih lanjut dalam PP No. 34/2002 menyebutkan bahwa bentuk pemanfaatan hutan lindung terbatas pada pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu 5
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 1 - 19
(HHBK). Bentuk-bentuk pemanfaatan ini ditujukan untuk meningkatkan pendapatan daerah, peningkatan kesejahteraan dan kesadaran masyarakat sekitar hutan akan fungsi dan kelestarian hutan lindung. Dalam Tabel 1 dirangkum jenis izin dan bentuk usaha yang boleh dilakukan pada kawasan hutan lindung sebagaimana tercantum dalam UU No 41 Tahun 1999 pasal 26 dan PP No 34 Tahun 2002 pasal 18 s.d pasal 23, sebagai berikut : Tabel 1 Jenis pemanfaatan dan bentuk usaha yang boleh dilakukan pada kawasan hutan lindung Table 1. Allowable uses and bussines generatef in protection forests area No Jenis Bentuk usaha Luas Jangka Pembatasan pemanfaatan (Bussiness maksimal waktu (Restriction ) (The kind of generated ) (max.size) maksimal uses ) (max.time period 1 2 3 4 5 6 1 Pemanfaatan Usaha budidaya 50 hektar 1 tahun Tidak boleh kawasan tanaman obat, menggunakan tanaman hias, alat berat, perlebahan, membangun jamur, sarana prasarana penangkaran permanen, satwa liar, dan dan/atau sarang burung mengganggu walet. fungsi kawasan.
6
2
Pemanfaatan jasa lingkungan
Usaha wisata alam, olahraga tantangan, pemanfaatan air, perdagangan karbon, dan penyelamatan hutan dan lingkungan.
1000 hektar
10 tahun
Tidak boleh menggunakan sarana dan prasarana yang dapat mengubah bentang alam
3
Pemungutan hasil hutan non kayu
Mengambil rotan, madu, buah dan aneka hasil perburuan satwa liar yang tidak dilindungi
Sesuai dengan izin
1 tahun
Tidak boleh merusak fungsi utama kawasan dan melakukan pemungutan hasil di luar undang-undang
Kajian Implementasi Kebijakan Dalam Pengelolaan . . . Faiqotul Falah
IV. KASUS PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DI KALIMANTAN TIMUR Kelembagaan merupakan suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat yang saling mengikat yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor pembatas berupa norma, kode etik, aturan operasional maupun aturan kolektif untuk bekerja sama dan mencapai tujuan bersama (Djogo, Sunaryo, Suharjito dan Sirait, 2003). Aturan dalam lembaga berfungsi untuk mengarahkan operasional lembaga, mengendalikan perilaku sosial maupun mengatur insentif dalam lembaga. Kebijakan dan kelembagaan (institusi) sulit dipisahkan. Kebijakan yang baik namun tidak diimplementasikan dalam kelembagaan yang bagus membuat tujuan pembangunan sulit tercapai, demikian pula kelembagaan yang bagus tetapi tidak didukung oleh kebijakan yang berlaku tidak akan mencapai hasil maksimal (Djogo, Sunaryo, Suharjito dan Sirait, 2003). Salah satu permasalahan dalam pengelolaan hutan lindung adalah perbedaan persepsi antar pemangku kepentingan (stakeholder) mengenai luasan, tata batas, hak pengelolaan, serta pemanfaatan hutan lindung (Ginoga, 2003). Salah satu jalan untuk menyatukan perbedaan persepsi tersebut adalah dengan menerapkan kemitraan (collaborative management) antara pemerintah, masyarakat, dan pemegang peran lain yang terkait. Berbicara mengenai hutan lindung, Kota Balikpapan dengan Hutan Lindung Sungai Wainnya diakui sebagai pelopor pembentukan lembaga pengelola hutan lindung kolaboratif di Indonesia. Model manajemen kolaboratif dalam pengelolaan hutan lindung telah diterapkan di Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) sejak tahun 2001. Proses pengelolaan hutan lindung dengan sistem manajemen kolaboratif juga telah dimulai di beberapa hutan lindung lainnya di wilayah Kalimantan Timur, antara lain di Hutan Wehea (Kabupaten Kutai Timur), Hutan Lindung Gunung Lumut (Kabupaten Pasir), dan Hutan Lindung Gunung Beratus (Kabupaten Kutai Barat). Dalam tabel 2 disampaikan beberapa informasi mengenai kelembagaan pengelolaan hutan lindung di Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW), Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL), Hutan Lindung Gunung Beratus (HLGB), dan Hutan Wehea (HW) sebagai berikut :
7
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 1 - 19
Tabel 2 Beberapa data yang berkaitan dengan kelembagaan pengelolaan di HLSW HLGL, HW, dan HLGB Table 2. Some information related to instutional management of HLSW, HLGL, HW, and HLGB No 1 1 2 3
4
Aspek (Aspects ) 2 Luasan Status hutan Dasar hukum terakhir mengenai status sebagai hutan lindung Nama DAS yang dilindungi
5
Lembaga Pengelola
6
Dasar hukum lembaga pengelola
7
Inisiator proses pembentukan lembaga pengelola
8
Pihak -pihak yang terlibat dalam Badan Pengel ola
9
Sumber dana pengelolaan
Hutan Lindung (Protection Forests) HLSW HLGL HW LGBH 3 4 5 6 9.782,80 ha 35.350 ha 38.000 ha 28.261 ha Hutan Hutan Hutan Hutan Lindung Lindung Produksi Lindung SK Menteri SK Menteri Belum ada SK Menteri Kehutanan Kehutanan (telah Kehutanan No No. 416/Kpts - No.24/Kpts/ diusulkan 321/Kpts11/1995. Um/1983 menjadi Hutan II/1992 Lindung) DAS Wain, DAS DAS Wahau DAS DAS Bugis Kandilo, Mahakam DAS Telake Badan Pokja Badan Pokja Pengelola Pengelolaan Pengelola HL Penyiapan HLSW HLGL Wehea Lembaga (kolaboratif) (kolaboratif) Pengelola SK Walikota SK Bupati SK Bupati Belum Balikpapan Pasir No 340 Kutai Timur terbentuk No 6 /2001 Tahun 2005 No lembaga dan No 14 44/02.188.45/ pengelola Tahun 2004 HK/II/2005 Peneliti, LSM LSM LSM LSM nasional lokal (YBML internasional internasional (Yayasan & Lories) dan (Tropenbos (The Nature Borneo LSM International Conservancy), Orangutan internasional - Indonesia), perguruan Survival), (Natural Pemerintah tinggi (Univ. Pemkab Kutai Resource Kabupaten Mulawarman), Barat Management ) (Pemkab) Pemkab Kutai Pasir Timur Pemerintah LSM, BKSDA, Belum Kota (Pemkot) Perguruan Pemkab Kutai terbentuk Balikpapan , Tinggi, Timur, LSM, Pemkab Perguruan Perguruan Pasir , tinggi, LSM, Tinggi, Swasta, masyarakat , masyarakat masyarakat swasta adat APBD, Pemkab APBD Pemkab Kutai donatur tak Pasir (selama kabupaten dan Barat (selama mengikat belum ada subsidi APBD belum ada lembaga propinsi lembaga pengelola) pengelola)
Keterangan : Diolah dari berbagai sumber
8
Kajian Implementasi Kebijakan Dalam Pengelolaan . . . Faiqotul Falah
A. Fungsi dan Status Beberapa Kawasan Hutan Lindung di Kalimantan Timur Bila dicermati kriteria hutan lindung dalam PP 44/2004 pasal 24 ayat 3 (b) masih bersifat umum, sehingga sebagian besar kawasan hutan apapun fungsinya akan dapat memenuhi salah satu kriteria tersebut. Konsekuensi dari luasnya kriteria penetapan hutan lindung tersebut antara lain adalah luasnya kemungkinan perubahan tataguna hutan yang semula merupakan hutan produksi yang kewenangan pengelolaannya di tangan pemerintah pusat (pada hutan produksi pemerintah pusat berhak menetapkan kepada siapa hak konsesi diserahkan) menjadi hutan lindung agar pengelolaannya dapat diserahkan pada daerah tingkat II. Hal ini terjadi di Hutan Wehea, Kabupaten Kutai Timur. Statusnya semula adalah hutan produksi yang hak konsesinya dipegang PT Gruti III. Kegiatan perusahaan tersebut sudah dihentikan sejak tahun 1993. Tahun 2000 nama PT Gruti III diganti menjadi PT Dwiloka Hutani Raya (PT LDR), perusahaan patungan antara PT Gruti III dan PT Inhutani II. Tanggal 15 Desember 2000 Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan mengeluarkan surat kepada Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi No 240/RHS/VII-INV/2000 mengenai peta areal kerja a.n. PT LDR seluas 38.00 ha, dengan fungsi hutan sebagai hutan produksi terbatas. Namun hingga tahun 2006 Departemen Kehutanan belum mengeluarkan SK pengelolaan dan RKPH untuk PT LDR di kawasan eks PT Gruti III. Hasil survei potensi keanekaragaman hayati yang dilakukan The Nature Conservancy serta tim kolaboratif yang dibentuk Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur menyatakan bahwa kondisi hutan masih bagus dan layak sebagai habitatorangutan. Tahun 2005 Pemerintah Kabupaten Kutai Timur dengan persetujuan Gubernur Propinsi Kalimantan Timur mengajukan usulan perubahan fungsi kawasan tersebut dari hutan produksi menjadi kawasan hutan lindung (Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, 2005). Namun hingga bulan Maret 2006 pemerintah pusat (dalam hal ini Menteri Kehutanan) belum menetapkan perubahan status kawasan tersebut. Perubahan fungsi kawasan dari kawasan hutan produksi menjadi kawasan lindung didukung oleh Lembaga Adat setempat dengan SK Ketua Lembaga Edat Besar Dayak Kutai Timur No 095/LAB-D/KT-SK/XI/2004 yang menetapkan kawasan tersebut sebagai Kawasan Hutan Lindung Adat dengan nama “Letaah Laas Wehea Long Skung Meguen”. Bila ditinjau dari UU No 41/99, fungsi utama hutan lindung adalah fungsi hidrologis sebagai penyangga tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan memelihara kesuburan tanah. Namun bila dilihat dari beberapa contoh inisiasi proses pembentukan lembaga pengelola hutan lindung di Kalimantan Timur, isu utama yang mendorong inisiator adalah kepentingan pelestarian keanekaragaman hayati terutama fauna langka dan habitatnya, misal orangutan di HLGB dan HW, dan beruang madu di HLSW. Meski demikian motivasi pengelolaan hutan lindung untuk pelestarian habitat satwa tersebut berarti juga melestarikan fungsi utama hutan lindung sebagai penyangga tata air, juga masih terliput dalam lingkup fungsi yang disebutkan dalam PP 34/2002. Namun untuk kepentingan strategi pengelolaan hutan lindung selanjutnya, fungsi hidrologi hutan lindung harus diutamakan dengan tidak melupakan fungsi konservasinya. 9
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 1 - 19
B. Lembaga Pengelola Hutan Lindung Dari keempat hutan yang menjadi contoh kasus tersebut, lembaga pengelola hutan lindung baru terbentuk di HLSW dan HW. Berdasar PP No 62 Tahun 1998, kewenangan pengelolaan hutan lindung berada pada pemerintah daerah tingkat II. Menurut PP No 34 Tahun 2002, hak pemanfaatan hutan lindung dapat diberikan kepada pihak lain dengan luasan dan jangka waktu yang terbatas. Oleh karena itu agar pengelolaan hutan lindung dapat melingkupi satu kawasan secara utuh dan berkelanjutan, lembaga pengelola hutan lindung dibentuk berdasar SK Kepala Daerah tingkat II. Contohnya Badan Pengelola HLSW (BPHLSW) yang dibentuk berdasar SK Walikota Balikpapan No 6 Tahun 2001 dan diatur lebih lanjut dengan SK Walikota Balikpapan No 14 Tahun 2004 yang menyatakan fungsi BPHLSW adalah untuk menetapkan kebijakan internal dan teknik operasional pengelolaan HLSW, sebagai wadah koordinasi dan konsultasi kebijakan antar instansi terkait, dan penggalangan dana dalam rangka pengelolaan HLSW. Di Hutan Wehea, meski secara hukum belum berstatus hutan lindung, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur telah membentuk lembaga pengelola yang disebut Badan Pengelola Hutan Lindung Wehea (BPHLW) berdasar SK Bupati Kutai Timur No 44/02.188.45/HK/II/2005. Dalam SK tersebut disebutkan bahwa fungsi lembaga pengelola adalah sebagai perencana, pengelola, pusat informasi dan program, serta pusat penggalangan dana bagi kawasan Hutan Lindung Wehea. Di satu sisi pembentukan BPHLW ini menunjukkan adanya penyimpangan dalam hierarki peraturan perundangan. Kewenangan pengelolaan masih berada pada pemerintah pusat, fungsi hutan masih sebagai hutan produksi namun pemerintah daerah telah menerbitkan peraturan pengelolaan kawasan hutan Wahea. Di sisi lain berdasar hasil wawancara dengan salah satu insiator pembentukan BPHLW, lembaga tersebut dibentuk karena melihat urgensinya bagi pelestarian kawasan tersebut, terutama untuk mengamankan kawasan dari ancaman penebangan liar dan konversi hutan menjadi perkebunan. Proses alih fungsi kawasan tersebut hingga dilegalkan sebagai kawasan lindung atau kawasan konservasi dengan SK Menteri Kehutanan akan memakan waktu karena prosedur penetapan peraturan yang cukup panjang. Dikhawatirkan kawasan tersebut akan rusak apabila tidak segera dikelola dengan terarah oleh suatu lembaga kolaboratif. Dukungan Bupati Kutai Timur terhadap perubahan fungsi hutan lindung yang ditunjukkan dengan munculnya SK pembentukan Badan Pengelola tersebut kemudian diikuti oleh instansi-instansi pemerintah kabupaten seperti Dinas Kehutanan dan Dinas Perkebunan, yang pada akhirnya menggagalkan beberapa pengajuan Ijin Usaha Pemanfaatan Kayu dan pengajuan hak konversi kawasan Hutan Wehea menjadi perkebunan. Di HLGL belum ada lembaga pengelola seperti di HLSW dan HW, namun Bupati Pasir telah membentuk Kelompok Kerja Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut (Pokja HLGL) dengan tugas mengkoordinasikan kegiatan pemeliharaan, pelestarian fungsi HLGL sebagai kawasan penyangga bagi kawasan di sekitarnya (SK Bupati Pasir No 340 Tahun 2005). Sedang di HLGB, hingga bulan Agustus 2006 proses pembentukan lembaga pengelola kolaboratif multipihak baru sampai pada tahap 10
Kajian Implementasi Kebijakan Dalam Pengelolaan . . . Faiqotul Falah
pembentukan Kelompok Kerja Penyiapan Badan Pengelola Hutan Lindung Gunung Beratus (Pokja HLGB). Karena ditetapkan dengan keputusan Kepala Daerah tingkat II, BPHLSW, BPHLW, dan Pokja Pengelolaan HLGL menjadi lembaga pemerintah non struktural. Jadi meskipun beranggotakan berbagai pihak (multistakeholder), BPHLSW dan BPHLW bertanggung jawab kepada Pemerintah Daerah masing-masing, serta mendapatkan dana pengelolaan dari APBD melalui instansi pemerintah daerah tingkat II, yaitu Bapedalda di Balikpapan dan Dinas Lingkungan Hidup di Kutai Timur. Selain itu masing-masing lembaga pengelola juga berhak mendapat bantuan dana pengelolaan yang tidak mengikat. C. Kegiatan yang dilakukan Lembaga Pengelola dalam Pengelolaan Hutan Lindung Berdasarkan PP 62/1998 pasal 6 ayat 5, wewenang Daerah Tingkat II dalam pengelolaan hutan lindung meliputi kegiatan pemancangan batas, pemeliharaan batas, mempertahankan luas dan fungsi hutan lindung, pengendalian kebakaran, reboisasi dalam rangka rehabilitasi lahan kritis pada kawasan hutan lindung, dan pemanfaatan jasa lingkungan. 1. Kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tata batas hutan lindung Di HLSW yang kelembagaan pengelolanya telah berjalan sejak tahun 2001, penataan batas telah diselenggarakan secara de jure maupun de facto di lapangan. Pemerintah Kota Balikpapan bahkan telah mengeluarkan SK Walikota No 13 Tahun 2004 tentang Penataan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan Lindung Sungai Wain, yang membagi kawasan HLSW menjadi blok perlindungan, blok pemanfaatan, dan blok kegiatan terbatas. Selain pembagian blok diatas, disekitar kawasan HLSW juga ditetapkan zona penyangga atau yang disebut juga dengan buffer zone. Pembagian kawasan dalam blok ini masih memerlukan proses sosialiasi kepada masyarakat baik mengenai batas-batas bloknya maupun pengaturan kegiatan yang boleh dan tak boleh dilakukan pada masing-masing blok. Di HLGL, penataan batas yang dilakukan baru sampai pada tahap dikeluarkan SK penunjukan sebagai hutan lindung (SK Menteri Kehutanan No.24/kpts/Um/1983), namun hingga bulan Februari 2006 belum ada kegiatan penataan batas dan pengukuhan kawasan. Sedangkan di HLGB meskipun sudah dilakukan penunjukan dan penataan batas, tata batas hutan lindung belum disosialisasikan kepada masyarakat (Hasil Semiloka HLGB, 2005). Di HW karena status belum jelas, belum dilakukan penataan batas. Kawasan yang diusulkan sebagai hutan lindung adalah seluruh kawasan eks HPH PT Gruti III seluas 38.000 hektar. 2. Kegiatan dalam rangka perlindungan hutan Beberapa gangguan bagi kelestarian hutan lindung adalah adanya kegiatan penebangan liar, perburuan satwa liar, serta kebakaran hutan. Kegiatan perlindungan hutan menjadi salah satu tanggung jawab lembaga pengelola hutan lindung yang mendapat mandat pengelolaan dari Pemerintah Daerah Tingkat II. 11
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 1 - 19
Sejak terbentuknya BPHLSW pada tahun 2001, Unit Pelaksana BPHLSW telah berhasil menekan laju penebangan liar dan perburuan satwa yang dilindungi hingga menjadi 0% pada tahun 2005. Kegiatan perlindungan dilakukan oleh Tim Pengamanan gabungan dari unsur TNI, Polri, dan masyarakat. Unsur masyarakat makin besar perannya sejak tahun 2005 dengan pembentukan Tim Pengamanan (PAM) Swakarsa yang beranggotakan warga masyarakat. Tugas Tim Pengaman ini termasuk melakukan kegiatan pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan. Di HW yang merupakan hutan adat, BPHLW membentuk Tim Pengamanan yang diberi nama lokal ”Petkuq Mehuey Keldung Laas Wehea” yang berarti penjaga hutan lindung Wehea. Tim Pengamanan ini beranggotakan masyarakat adat, dan bertugas menjaga dan mengamankan kawasan hutan dari segala bentuk kegiatan yang dapat menyebabkan kerusakan hutan, termasuk penebangan liar, perburuan, dan patroli kebakaran. Di HLGL dan HLGB yang belum ada badan pengelolanya, kegiatan pengamanan masih dilakukan oleh pemerintah kabupaten. Hingga Februari 2006, kegiatan penebangan dan perburuan liar masih mengancam kelestarian kedua kawasan hutan lindung tersebut. 3. Reboisasi dalam rangka rehabilitasi lahan kritis di kawasan hutan lindung Di HLSW, HW, HLGL, dan HLGB, kegiatan reboisasi dalam rangka rehabilitasi lahan kritis dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II melalui Dinas Kehutanan atau Bapedalda setempat dalam bentuk proyek dari sumber dana DAK-DR yang kemudian digantikan oleh sumber dana Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Dalam kegiatan ini Pemerintah Daerah umumnya menyediakan bibit, pupuk, dan dana penanaman sampai pemeliharaan, dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai pelaksana teknis di lapangan. 4. Pemanfaatan Hutan Lindung Dalam SK Walikota Balikpapan No 13 Tahun 2004 mengenai kebijakan pemanfaatan kawasan di HLSW terdapat beberapa tambahan tentang jenis usaha dan pemanfaatan yang boleh dilakukan pada kawasan hutan hutan lindung, yaitu : a. Bentuk usaha pemanfaatan kawasan di HLSW mendapat tambahan yaitu kegiatan agroforestry atau wanatani yang dilakukan dengan pertimbangan luasnya kawasan yang telah dirambah dan dijadikan kebun oleh masyarakat. Kawasan yang telah dirambah tersebut kemudian dijadikan blok pemanfaatan, dimana setiap kepala keluarga berhak mendapat izin pemanfaatan lahan maksimal 2 (dua) hektar dalam jangka waktu maksimal 5 (lima) tahun. Izin usaha ini diberikan oleh Ketua Bapedalda dengan rekomendasi dari BPHLSW, dan tidak dapat dipindahtangankan. Ketentuan tentang perizinan pemanfaatan kawasan diatur dalam SK Walikota Balikpapan No 15 Tahun 2004. Sedang kegiatan pemanfaatan kawasan selain agroforestry belum dilakukan oleh masyarakat di kawasan tersebut. b. Bentuk kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan yang boleh dilakukan di HLSW adalah kegiatan penelitian, kunjungan formal, kunjungan pendidikan dan pelatihan, olah raga tantangan, dan kunjungan ekowisata. Kegiatan tersebut dapat dilakukan di blok perlindungan, blok kegiatan terbatas, maupun di blok pemanfaatan dengan syarat harus disesuaikan dengan daya dukung lingkungan/blok dan tidak mengubah bentang 12
Kajian Implementasi Kebijakan Dalam Pengelolaan . . . Faiqotul Falah
alam. Izin pemanfaatan jasa lingkungan diberikan oleh Walikota dengan rekomendasi dari instansi teknis terkait dan BP HLSW. c. Bentuk kegiatan pemungutan hasil hutan non kayu yang diperbolehkan adalah pemungutan rotan, buah, madu, tanaman obat, dan hasil hutan non kayu lainnya yang tidak mengganggu fungsi lingkungan yang semuanya dapat dilakukan di blok pemanfaatan. Di blok kegiatan terbatas hanya diperbolehkan pengambilan rotan untuk keperluan perajin atap daun nipah dengan jangka pemberian izin maksimal 1 tahun dan dapat diperpanjang. Izin diberikan oleh BP HLSW melalui Unit Pelaksana BPHLSW. Di HLGL pemerintah daerah belum membuat kebijakan pemanfaatan khusus untuk kawasan hutan lindung, jadi masih mengacu pada tabel 2 di atas. Demikian juga di HLGB. HLGB menjadi tempat pelepasliaran orangutan dari Wanariset Samboja dengan izin dari Dirjen PHKA. Di HW, lembaga adat membuat Keputusan Edat Desa Nehas Liah Bing Nomor 01 Tahun 2005 tentang Perlindungan dan Pemanfaatan Terbatas ”Keldung Laas Wehea Long Skung Metgueen”. Dalam tabel 4 disebutkan kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan di kawasan Keldung Laas Wehea Long Skung Metgueen menurut Hukum Edat Wehea sebagai berikut : Tabel 3 Kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan di Keldung Laas Wehea Table 3. Permitted and forbidden activities in Keldung Laas Wehea No Kegiatan yang boleh dilakukan di Kegiatan yang tidak boleh Keldung Laas Wehea ( Permitted dilakukan di Keldung Laas Activities in Keldung Laas Wehea ) Wehea ( Forbidden activities in Keldung Laas Wehea) 1
2
3
1
Memaanfaatkan hasil hutan bukan kayu seperti rotan, damar, buah buahan dan gaharu setelah mendapat ijin tertulis dari BPHLW, Ketua Lembaga Edat, Pemerintahan Desa dan Petkuq Mehuey.
Membuka lahan untuk kegiatan ladang, kebun dan atau peruntukan lainnya di dalam kawasan Keldung Laas Wehea.
2.
Hasil hutan kayu dapat dimanfaatkan hanya untuk keperluan pembangunan fasilitas umum (eweang/balai adat dan serapoh/balai desa) dengan jumlah terbatas setelah mendapat persetujuan dalam bentuk ijin tertulis dari BPHLW, Ketua Lembaga Edat, Pemerintahan Desa dan Petkuq Mehuey.
Membuat api di dalam atau di luar kawasan kecuali untuk memasak dan harus dipastikan sudah padam sebelum meninggalkan tempat bermalam.
13
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 1 - 19
3.
Berburu binatang babi (Jiem) setelah mendapat ijin tertulis dari BPHLW, Ketua Lembaga Edat, Pemerintahan desa dan Petkuq Mehuey.
Melakukan kegiatan penebangan pohon untuk kepentingan pribadi atau diperjualbelikan.
Ijin berburu diberikan dalam jumlah terbatas dan waktu-waktu tertentu untuk memberi kesempatan berkembang biak. 4.
Berburu satwa dan mengambil pohon/tumbuhan yang dilindungi undang-undang dan atau edat.
Apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan yang tercantum dalam tabel 3 di atas, maka akan dikenakan Sanksi Edat Wehea berupa penyitaan hasil-hasil yang diambil dari dalam kawasan dan dikenakan denda edat berupa babi dan menanggung seluruh biaya upacara adat untuk pemulihan atas kesalahan tersebut. Salah satu bentuk pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung yang sangat potensial adalah pemanfaatan air. Keempat hutan lindung dalam penelitian ini memiliki fungsi hidrologis sebagai pelindung daerah tangkapan air (catchment area). Insentif pemanfaatan air dapat menjadi sumber dana pengelolaan yang potensial, namun dari keempat hutan lindung tersebut hanya HLSW yang mendapat insentif air permukaan dari Pertamina UP V yang dibayarkan kepada Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur. Belum ada insentif pemakaian air dari Pertamina sebagai konsumen utama air dari Waduk Wain yang diberikan kepada Pemerintah Kota Balikpapan. Baik UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air maupun UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan juga tidak menyebutkan ketentuan mengenai insentif pemakaian air kepada pengelola hutan lindung ataupun pembagian pendapatan dana insentif air antara pemerintah propinsi dan pemerintah daerah tingkat II. Dalam PP 34/2002 Pasal 38 ayat 4 disebutkan pada kawasan hutan dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Namun dalam UU No 19 tahun 2004 dinyatakan bahwa secara hukum perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan sebelum berlakunya UU No. 41/1999 dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian tersebut. Sehingga ijin pertambangan terbuka di hutan lindung yang dikeluarkan setelah berlakunya UU 41/1999 harus dinyatakan batal demi hukum ( Darusman & Nurrochmat, 2005). Ada 13 perusahaan yang masih diizinkan melakukan penambangan di hutan lindung berdasarkan Perpu No 1 Tahun 2004. Namun tidak satupun yang berada di HLSW, HW, HLGL, maupun HLGB. Namun demikian bukan berarti keempat hutan lindung tersebut bebas dari ancaman pembukaan tambang, sebab beberapa perusahaan tambang batubara telah beroperasi di kawasan sekitar hutan-hutan lindung tersebut sehingga tetap diperlukan pengawasan agar perusahaan tambang batubara tersebut tidak melakukan kegiatannya di daerah batas hutan lindung. 14
Kajian Implementasi Kebijakan Dalam Pengelolaan . . . Faiqotul Falah
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Salah satu jalan menyatukan perbedaan persepsi mengenai pengelolaan hutan lindung adalah dengan menerapkan manajemen kemitraan multipihak. Badan pengelola hutan lindung multipihak telah dibentuk di Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) Balikpapan dan Hutan Wehea (HW) Kabupaten Kutai Timur. Di Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) peran lembaga pengelola yang multipihak masih dijalankan oleh Kelompok Kerja Pengelolaan HLGL. Sedang di Hutan Lindung Gunung Beratus, hingga bulan Agustus 2006, proses pembentukan lembaga pengelola kolaboratif multipihak baru sampai pada tahap pembentukan Kelompok Kerja Penyiapan Badan Pengelola HLGB. 2. Bila ditinjau dari UU No 41/1999, fungsi utama hutan lindung adalah fungsi hidrologis sebagai penyangga tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan memelihara kesuburan tanah. Namun fungsi konservasi juga menjadi strategi efektif pada beberapa contoh kasus inisiasi proses pembentukan lembaga pengelola hutan lindung di Kalimantan Timur, dimana isu utama yang mendorong inisiator adalah kepentingan pelestarian keanekaragaman hayati terutama fauna langka dan habitatnya, yaitu orangutan di HLGB dan HW, serta beruang madu di HLSW. Inisiasi pembentukan lembaga pengelola hutan lindung ini sejalan dengan kebutuhan dan didukung oleh pemerintah daerah tingkat II setempat. 3. Ketidaksesuaian antara kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah terjadi di Hutan Wehea. Meski status fungsi kawasan tersebut adalah hutan produksi, pemerintah Kabupaten Kutai Timur telah membentuk lembaga pengelola dengan nama Badan Pengelola Hutan Lindung Wehea dengan alasan kekhawatiran akan terjadi kerusakan hutan dan ekosistem di dalamnya bila tidak segera dikelola oleh suatu lembaga pengelola kolaboratif. 4. Pada kawasan hutan yang telah mempunyai Badan Pengelola seperti HLSW dan HW, pelaksanaan kegiatan perlindungan hutan berjalan lebih efektif dengan dibentuknya tim pengamanan yang melibatkan masyarakat. Demikian juga kegiatan pemanfaatan hutan lebih terarah dengan diterbitkannya kebijakan pemerintah dan lembaga adat mengenai pemanfaatan kawasan hutan dan perizinannya. 5. Di HLSW, HW, HLGL, dan HLGB potensi pemanfaatan jasa lingkungan berupa air belum dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan dana pengelolaan hutan lindung, misalnya dengan memungut insentif pemakaian air dari konsumen. Peraturan Perundangan yang berlaku juga belum mencantumkan kewajiban konsumen membayar insentif pemakaian air bagi kepentingan pengelolaan hutan lindung. B. Saran 1. Peningkatan peran Pemerintah Daerah Tingkat II sebagai pemegang kewenangan pengelolaan hutan lindung sangat diperlukan dalam kelanjutan proses pembentukan lembaga pengelola di HLGL dan HLGB, juga dalam mendorong perubahan fungsi Hutan Wehea menjadi hutan lindung. 15
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 1 - 19
2. Untuk mengoptimalkan fungsi hutan-hutan lindung tersebut, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai nilai ekologi dan ekonomi pemanfaatan jasa lingkungan air. Selain sebagai dasar perencanaan pengelolaan dan berpotensi pula sebagai sumber dana pengelolaan hutan lindung. 3. Perlu ditetapkan kebijakan dalam peraturan perundangan pusat maupun daerah mengenai kewajiban konsumen membayar insentif pemakaian air bagi kepentingan pengelolaan hutan lindung. DAFTAR PUSTAKA Badan Planologi, Departemen Kehutanan. 2002. Statistik Kehutanan Indonesia. http://www.dephut.go.id. Darusman dan Nurrochmat. 2005. Kebijakan dan Kerangka Hukum Kehutanan Menuju Tata Kelola Hutan yang Baik di Kabupaten Pasir, Malinau, dan Kapuas Hulu. Makalah dalam Workshop ”Knowledge and Sustainable Forest Management”, Expose of TBI Indonesia-MTKP's Programme. Djogo, T., Sunaryo, Suhardjito, D. Dan Sirait, M. 2003. Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestri, Bahan Ajaran Agroforestri no 8. ICRAF, Bogor. Ginoga, K. 2003. Usulan Kegiatan Penelitian Kajian Pengelolaan Hutan Lindung. Badan Litbang Kehutanan. Tidak dipublikasikan. Ginoga, K., Djainuddin, D., & Lugina, M. 2004. Laporan Hasil Penelitian Kajian Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung. Pusat Penelitian dan Pertimbangan Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor. Tidak dipublikasikan. Keputusan Badan Pengelola Hutan Lindung Wehea Kabupaten Kutai Timur tentang Pembentukan Team Pengamanan Hutan Lindung Wehea. Keputusan Bupati Kutai Timur No 44/02.188.45/HK/II/2005 tentang Pembentukan Badan Pengelola Hutan Lindung Wehea “Long Skung Metgueen.” Keputusan Bupati Pasir No 340 Tahun 2005 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut. Keputusan Edat Desa Nehes Liah Bing Kecamatan Muara Wahau Kabupaten Kutai Timur No 01 Tahun 2005 tentang Perlindungan dan Pemanfaatan Terbatas ”Keldung Laas Wehea Long Skung Metgueen”. Keputusan Presiden No 32 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. 16
Kajian Implementasi Kebijakan Dalam Pengelolaan . . . Faiqotul Falah
Keputusan Walikota Balikpapan No 6 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Pengelola Hutan Lindung Sungai Wain. Keputusan Walikota Balikpapan No 13 Tahun 2004 tentang Penataan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan Lindung Sungai Wain. Keputusan Walikota Balikpapan No 14 Tahun 2004 tentang Pembentukan Badan Pengelola Hutan Lindung Sungai Wain. Keputusan Walikota Balikpapan No 15 Tahun 2004 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemberian Izin Kegiatan Pemanfaatan Kawasan Hutan Lindung Sungai Wain. Khakim, A. 2005. Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia dalam Era Otonomi Daerah. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. Pemerintah Kabupaten Kutai Barat, Ditjen PHKA, dan Yayasan BOS. 2005. Laporan Semiloka Hutan Lindung Gunung Beratus di Kabupaten Kutai Barat. Dari Agenda ke Aksi Bersama Pengelolaan. Tidak dipublikasikan. Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. 2005. Usulan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Eks HPH Gruti III sebagai Kawasan Hutan Lindung Wehea”Long Skung Metgueen” di Kabupaten Kutai Timur. Tidak dipublikasikan. Peraturan Pemerintah No 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan kepada Daerah. Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Propinsi dalam Otonomi Daerah. Peraturan Pemerintah No 34 Tahun 2002 tentang Tata Guna dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan. Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Sarjono, M.A., Soedirman,S., Kuncoro,I., Rujehan, dan Kamaruddin. 2005. Parapihak Kehutanan di Kalimantan. Ringkasan Eksekutif disampaikan dalam Workshop Pengetahuan dan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan, Ekspose TBI Indonesia/Program MTKP. Tropenbos International Indonesia bekerjasama dengan Kelompok Kajian Pembangunan Kehutanan. Balikpapan. Undang-undang Republik Indonesia No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
17
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 1 - 19
Undang-undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
18
Kajian Implementasi Kebijakan Dalam Pengelolaan . . . Faiqotul Falah
Lampiran Tabel 4 Beberapa peraturan perundangan yang berkaitan langsung dengan pengelolaan hutan lindung Table 4. Some regulations directly related to management of protection forest No Peraturan Perundangan ( Regulation ) 1. UUD 1945 pasal 33 ayat 3 2. UU No. 41/1999 3. UU No.7/2004 4. UU No 19/2004
5. 6.
UU No. 32/2004 UU No. 33/2004
7.
PP No. 62/1998
8.
PP. No. 68/1998
9. 10.
PP No. 25/2000 PP No. 34/2002
11. 12. 13. 14. 15.
PP No 63/2002 PP No. 44/2004 PP No. 45/2004 Keppres No 32/1990 Keppres No 41/2004
16.
Kepmenhut No. 20/2001
17.
Kepmenhut No. 70/2001
18
Kepmenhutbun No. 146/Kpts-II/1999 Kepmenhut No. 81/Menhut-VII/2004
19.
20.
Peraturan Menteri No. P.12/2004
Perihal ( Substance ) Penguasaan dan pemanfaatan Sumberdaya Alam Kehutanan Sumber Daya Air Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang Pemerintahan Daerah Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah Kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam Kewenangan Propinsi dalam Otonomi Daerah Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Hutan Kota Perencanaan Kehutanan Perlindungan Hutan Pengelolaan kawasan lindung Perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan Pola umum dan standar serta kriteria rehabilitasi hutan dan lahan Penetapan kawasan hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan Pedoman Reklamasi Bekas Tambang dalam Kawasan Hutan Pembentukan Tim Terpadu dalam Rangka Penyelesaian Izin Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Kegiatan Pertambangan Jaminan Reklamasi di Hutan Lindung
19
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP ALIH FUNGSI HUTAN LINDUNG BUKIT SOEHARTO MENJADI PERTAMBANGAN BATU BARA (The Perception possible conversion of the Bukit Soeharto from protection forest into coal mining area) Oleh/By : Nilam Sari & R. Mulyana Omon Loka Litbang Satwa Primata Samboja, Kalimantan Timur
ABSTRACT Study on the perception on possible conversion of Bukit Soeharto from protection forest into mining area was conducted in two villages surrounding the forest, namely from Sei Merdeka and Margomulyo, Samboja, East Kalimantan. The objective of the study, is to assess the community perception on the fuction and existence of Bukit Soeharto protection forest, and to discover their respons to possibly of conversion of see the protection forest. Information was obtained throught purposive sampling method with the intensity of 5% from the total number of families in the two villages. The results indicate that the community aware on the existence of Bukit Soeharto protection forest, but none of them in both villages know about the boundar of the Bukit Soeharto protection forest. Most information on the protection forest was received from their parents as many as 57% in Sei Merdeka and 60% in Margomulyo, respectively. Other information was also received from goverment offices as many as 33% in Sei Merdeka and 40% in Margomulyo, respectively, and the remaining 10% of information was obtained from television, information board and forestry officers. The study suggests that communities in two villages knew the existence and function of protection forest and they did not agree with the plan of conversion. Keywords : Bukit Soeharto protection forest, local community, coal mining ABSTRAK Penelitian tentang persepsi masyarakat terhadap alih fungsi hutan lindung menjadi pertambangan batubara telah dilaksanakan di dua kelurahan, yaitu Sei Merdeka dan Margomulyo, Samboja, Kaltim. Tujuan dari penelitian ini pertama untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang keberadaan dan manfaat hutan lindung Bukit Soeharto, kedua untuk mengetahui respon masyarakat tentang kemungkinan adanya alih fungsi hutan lindung Bukit Soeharto menjadi kawasan pertambangan. Untuk mendapatkan informasi ini telah dilakukan berdasarkan metoda purposif sampling dengan intesitas sampling 5% dari jumlah kepala keluarga di masing-masing kelurahan. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa masyarakat dikedua kelurahan, yaitu Sei Merdeka dan Margomulyo mengetahui tentang keberadaan dan manfaat hutan lindung Bukit Soeharto, tetapi sebesar 100% masyarakat di kedua kelurahan tidak mengetahui batas areal kawasan tersebut. Sedangkan pengetahuan tentang hutan lindung Bukit Soeharto untuk orang dewasa
1
Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Pembenihan Samboja, Kalimantan Timur
21
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 21 - 29
diketahui dari orang tua mereka masing-masing sebesar 57% di kelurahan Sei Merdeka dan 60% di Margomulyo. Informasi tentang hutan lindung Bukit Soeharto diperoleh dari institusi pemerintah masing-masing sebanyak 33% di Sei Merdeka dan 40% di Margomulyo dan sisanya 10% di Kelurahan Sei Merdeka diperoleh informasi dari televisi, papan nama kawasan dan petugas kehutanan. Kesimpulannya masyarakat di dua kelurahan pada prinsipnya tahu tentang manfaat dan keberadaan hutan lindung dan mereka tidak setuju dengan alih fungsi hutan lindung menjadi pertambangan batu bara Kata kunci : Hutan lindung Bukit Soeharto, masyarakat lokal, tambang batu bara
I. PENDAHULUAN Hutan lindung Bukit Soeharto merupakan salah satu dari beberapa kawasan hutan lindung yang ada di Kalimantan Timur yang luasnya ± 61.850 Ha dan kondisinya saat ini sedang mengalami kerusakan sangat berat yang diakibatkan oleh perambahan, perladangan, kebakaran dan pemukiman. Kebakaran besar di hutan lindung ini telah terjadi dua kali, yaitu pada tahun 1982/1983 dan tahun 1997/1998 (Manurung 2003). Kebakaran pada tahun 1982/1983 diakibat oleh kemarau kepanjang (fenomena El-nino) dan diperkirakan lebih kurang seluas 3,8 juta ha hutan terbakar di Kalimantan Timur, kecuali bagian utara propinsi ini. Pada saat ini muncul inisiatif untuk membuka pertambangan batu bara yang ada di dalam kawasan lindung tersebut, Upaya ini menimbulkan aksi protes dari masyarakat yang berada di dalam kawasan maupun sekitarnya. Selain masyarakat juga aksi protes dari mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang lingkungan. Disisi lain fakta dilapangan memberi dugaan (indikasi) bahwa pengelolaan hutan lindung ini tidak dilakukan secara benar, hal ini ditunjukan dengan tidak tersedianya pos-pos pengawasan reguler serta kelengkapan pengawasan lainnya. Akibatnya Pemerintah Daerah Propinsi atau Kabupaten mengusulkan alih fungsi kawasan hutan lindung menjadi kawasan budidaya non kehutanan seluas ± 30.000 Ha. (Bupati Kutai, 2002). Akan tetapi permohonan tersebut telah ditolak oleh Menteri Kehutanan ( Menhut, 2002). Pengalihan fungsi kawasan hutan lindung Bukit Soeharto menjadi kawasan pertambangan batu bara, akan memberikan dampak terhadap aspek ekologi, fungsi hidrologis dan konservasi keanekaragaman hayati serta sosial-ekonomi masyarakat atau pemukiman yang berada didalam atau disekitar kawasan hutan (Bioma, 2004a). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara langsung persepsi masyarakat yang ada di dalam dan sekitar kawasan tentang manfaat dan keberadaan hutan lindung Bukit Soeharto dan untuk mengetahui respon masyarakat terhadap upaya alih fungsi kawasan hutan lindung Bukit Soeharto menjadi kawasan pertambangan batu bara. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan sumbangan pemikiran bagi pengelolaan hutan lindung Bukit Soeharto dimasa mendatang.
22
Persepsi Masyarakat Terhadap Alih Fungsi Hutan . . . Nilam Sari, R. Mulyana Omon
II. BAHAN DAN METODA A. Lokasi dan Waktu Lokasi penelitian dilakukan di dua kelurahan yang berada didalam kawasan hutan lindung Bukit Soeharto, yaitu Kelurahan Sei Merdeka dan Margomulyo, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Propinsi Kalimantan Timur. Penelitian ini dilakukan selama empat bulan, yaitu dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2004. B. Bahan dan Alat (1). (2). (3). (4). (5).
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Masyarakat kelurahan Sei Merdeka dan Margomulyo Peta lokasi Bukit Soeharto Blanko quisioner Kamera digital dan Alat tulis menulis, kalkulator dan komputer untuk pengolahan data
C. Metoda Pengambilan sample penduduk (responden) dilakukan dengan metode purposif sampling dengan intensitas sebanyak 5% dari jumlah Kepala Keluarga (KK). Untuk kelurahan Sei Merdeka sebanyak 30 KK dari 600 KK dan sebanyak 15 KK dari 290 KK di Kelurahan Margomulyo. Sebanyak 5% dari masing-masing kelurahan tersebut diwawancarai dengan menggunakan quisioner. Data yang yang dikumpulkan terdiri data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapat melalui wawancara. Data sekunder diambil dari (monografi) kelurahan Sei Merdeka dan Margomulyo tahun 2003. D. Analisis Data Pengolahan Data dilakukan dalam bentuk tabulasi, kemudian dianalisis secara deskriptif.
23
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 21 - 29
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keberadaan Kawasan Hutan Lindung Bukit Soeharto Tabel 1. Pengetahuan masyarakat tentang kawasan hutan lindung Bukit Soeharto Table 1. Community knowledge about Bukit Soeharto protection forest areas No 1
2
3
Uraian (De scription) Pengetahuan tentang kawasan yang d ilindungi (Knowledge of protection areas) Jumlah (total) Pengetahuan tentang batas-batas di areal hutan lindung Bukit Soeharto (Knowledge about boundary of Bukit Soeharto protection forest areas ) Jumlah (total) Sumber tentang penetapan Bukit Soeharto sebagai hutan lindung (Sources of designation of Bukit Soeharto as Protection forest) Jumlah (total)
Respon (Responses) Tahu (aware ) Tidak Tahu (not aware ) Tahu (aware ) Tidak Tahu (not aware )
Dewasa (Adult) Pemerintah (Governme nt) Lain -lain (other)
Frekuensi (Frequency) Sei. Margo Merdeka mulyo
Persentase (Percentage) Sei. Margo Merdeka mulyo
30
15
100
100
-
-
-
-
30
15
100
100
-
-
-
-
30
15
100
100
30
15
100
100
17
9
57
60
10
6
33
3
-
10
30
15
100
40
100
Hasil wawancara memperlihatkan tingginya persepsi masyarakat di kedua kelurahan tentang manfaat dan keberadaan Bukit Soeharto sebagai hutan lindung dimana sebesar 100% responden mengetahui akan keberadaannya dan bahkan mereka menyatakan ikut menjaga kawasan tersebut agar tetap lestari. Akan tetapi mereka tidak mengetahui secara pasti kapan waktu penetapan Bukit Soeharto sebagai hutan lindung. Tetapi mereka hanya mengetahui bahwa hutan lindung Bukit Soeharto dikelola oleh beberapa insitusi, seperti oleh PUSREHUT (Pusat Rehabiltasi Hutan Tropika) UNMUL, Wanariset Samboja (sejak bulan Juli 2002 menjadi Loka Litbang Satwa Primata), Balai Latihan Kehutanan dan Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur. Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai batas areal kawasan hutan lindung Bukit Soeharto di kedua kelurahan, dapat dilihat pada Tabel 1 dimana sebesar 100% masyarakat di kedua kelurahan menyatakan tidak mengetahui dengan pasti mengenai batas kawasan hutan lindung Bukit Soeharto. Bahkan batas antara kelurahan dengan kawasan tersebut tidak jelas, hal ini dikarenakan papan nama atau plang batas yang dulu ada sudah rusak akibat terjadinya kebakaran hutan. Sedangkan pengetahuan masyarakat yang dewasa di kedua kelurahan menyatakan masing-masing sebesar 57% di kelurahan Sei Merdeka dan sebesar 60% di kelurahan Margomulyo mengetahui manfaat dan 24
Persepsi Masyarakat Terhadap Alih Fungsi Hutan . . . Nilam Sari, R. Mulyana Omon
keberadaan hutan lindung Bukit Soeharto dari orang tua atau sesepuh mereka. Sebesar 33% di kelurahan Sei Merdeka dan 40% di Kelurahan Margomulyo memperoleh informasi tersebut dari institusi pemerintah (Dinas Kehutanan, Kecamatan/Kelurahan dan Universitas Mulawarman dan Wanariset Samboja) serta sisanya sebesar 10% di kelurahan Sei Merdeka mengetahui melalui televisi, papan plang nama kawasan dan penyuluh. Jika dilihat dari sumber informasi lain untuk kelurahan Margomulyo sebesar 0%. Hal ini menunjukkan bahwa di kelurahan tersebut penyuluh kehutanan cukup efektif untuk memberikan informasi tersebut ditambah dengan pendidikan mereka yang cukup baik. (Tabel 1). B. Kemungkinan Alih Fungsi Kawasan Lindung Menjadi Kawasan Pertambangan. Tanpa dilakukan rekayasa ternyata presentase pendapat masyarakat tentang Perubahan fungsi, dan baik terhadp perubahan fungsi kawasan Hutan Lindug menjadi pertambangan antara kedua kelurahan sama yaitu 100% (Sei Merdeka) dan 86,67 % (Margomulyo) (Tabel2). Tabel 2. Persepsi masyarakat tentang kemungkinan alih fungsi kawasan hutan lindung Bukit Soeharto menjadi kawasan pertambangan Table 2. Perception of community about possibile conversion Bukit Soeharto protection forest into mining area No 1
2
Uraian (description) Pengetahuan masyarakat tentang kemungkinan alih fungsi h utan lindung menjadi k awasan pertambangan (Community knowledge about change possibility of protection forest become mining) Jumlah (total) Pendapat masyarakat tentang persetujuan kemungkinan perubahan fungsi hutan lindung menjadi kawasan pertambangan (Community opinion about agree possibility change of protection forest function become mining areas). Jumlah (total)
Respon (Response ) Tahu (aware )
Tidak Tahu (not aware)
Setuju (Agree)
Tidak Setuju (Not Agree)
Frekuensi (Frequency) Sei Margo Merdeka Mulyo
Persentasi (Percentage) Sei Margo Merdeka Mulyo
26
10
86,67
66,67
4
5
13,33
33,33
30
15
100
100
-
2
-
13,33
30
13
100
86,67
30
15
100
100
25
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 21 - 29
3
Persepsi masyarakat Baik (Good) tentang baik dan tidaknya hutan lindung dijadikan kawasan p ertambangan Tidak Baik (Community perception (Not good) about good and no good protection forest become mining area) Jumlah (total)
-
2
-
13,33
30
13
100
86,67
30
15
100
100
C. Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Bukit Soeharto Pada umumnya masyarakat sekitar hutan memahami dan mengerti tentang manfaat dan fungsi hutan untuk kepentingan dan kelangsungan hidup mereka sendiri. Dalam upaya pengelolaan kawasan hutan lindung Bukit Soeharto perlu adanya upaya yang khusus dari pihak pemerintah, untuk mengikut sertakan peran masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan lindung dalam mengelola hutan lindung Bukit Soeharto, sehingga terjalin hubungan yang kuat antara diri mereka dengan kawasan hutan lindung serta pemerintah sebagai penanggung jawab. Keberadaan hutan lindung Bukit Soeharto pada saat ini seperti terabaikan, sehingga pengelolaannya tidak dilakukan secara serius, hal tersebut terjadi mungkin karena hutan lindung Bukit Soeharto tidak secara nyata dapat memberikan kontribusi ekonomi kepada pemerintah setempat. Akan tetapi masyarakat di kedua kelurahan ternyata masih menginginkan keberadaan hutan lindung Bukit Soeharto, yaitu masing-masing sebesar 100% di kelurahan Sei Merdeka sebesar 87% dan di kelurahan Margomulyo (Tabel 2). Sebesar 86.67% masyarakat di Sei Merdeka dan 86,67% di Margomulyo menyatakan bahwa di hutan lindung Bukit Soeharto dapat ditata kembali dengan kegiatan reboisasi (Tabel 3). Masyarakat di kedua kelurahan menginginkan penanaman dengan jenis pohon-pohon hutan, yaitu masing-masing sebesar 87% di kelurahan Sei merdeka dan 67% di kelurahan Margomulyo. Mereka beranggapan pohon hutan merupakan pohon yang sangat cocok untuk ditanam di dalam hutan lindung Bukit Soeharto karena mampu menampung air hujan cukup banyak. Menurut Arief (2001), pohon hutan mampu menyimpan dan menyerap air hujan yang cukup banyak. Sedangkan yang memilih pohon buah-buahan masing-masing hanya 33,33%, dengan alasan pohon buah-buahan bisa dimanfaatkan hasilnya oleh masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar kawasan hutan. (Tabel 3) D. Akibat yang mungkin terjadi apabila kawasan Hutan Lindung Bukit Soeharto dikonversi menjadi kawasan pertambangan Konversi hutan lindung Bukit Soeharto menjadi kawasan pertambangan terutama pertambangan terbuka, dapat menimbulkan terjadinya erosi, tanah longsor, kerusakan ekosistem sebagai akibat dari perubahan bentang alam.
26
Persepsi Masyarakat Terhadap Alih Fungsi Hutan . . . Nilam Sari, R. Mulyana Omon
Penelitian ini memperlihatkan pendapat masyarakat dikedua kelurahan bahwa alih fungsi hutan lindung Bukit Soeharto tidak sejalan dengan aspirasi masyrakat setempat. Sebesar 100 % responden masyarakat dikedua kelurahan menyatakan alih fungsi ini akan berakibat fatal bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya (Tabel 4) Tabel 3. Persepsi masyarakat tentang penataan kembali hutan lindung Bukit Soeharto Table 3. Community perception about rearrangement of Bukit Soeharto protection forest No 1
2
3
Uraian (Description)
Parameter (Response)
Persepsi Ya (yes) masyarakat tentang kemungkinan dipertahankannya sebagai hutan lindung Tidak (No) (Community perception about possibly definite as Protection forest) Jumlah (total) Perseps i Mungkin masyarakat tentang (Possible) kemungkinan hutan lindung ditata kembali Tidak (Community Mungkin perception about (Not possibly protection possible) forest rearrangement) Jumlah (total) Jenis -Jenis Pohon Pohon Hutan Yang Dapat Di (Forest tree Usulkan Untuk species) Ditanam (tree Pohon Buah species can (Fruit trees) suggestion to Lain -lain planted ) (other) Jumlah (total)
Frekuensi (Frequency) Sei Merdeka 30
Margo Mulyo 13
Persentase (Percentage) Sei Margo Merdeka Mulyo 100 86,67
-
2
-
13,33
30
15
100
100
30
13
100
86,67
-
2
-
13,33
30
15
100
100
26
10
86,67
66,67
4
5
13,33
33,33
-
-
-
-
30
15
100
100
Pemerintah seyogyanya berhati-hati dalam menentukan keputusan yang berkaitan dengan konversi lahan, terutama apabila diperuntukan untuk kegiatan pertambangan terbuka. Perhatian khusus harus diterapkan apabila pertambangan terbuka akan 27
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 21 - 29
dilakukan di daerah tangkapan air, hal ini diperlukan untuk menghindari kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan pertambangan. Perubahan bentang alam dari ekosistem hutan menjadi areal pertambangan dapat merubah iklim setempat. Temperatur diwilayah hutan lindung Bukit Soeharto kemungkinan akan meningkat seiring dengan bertambah luasnya areal hutan lindung yang terbuka (Bioma, 2004). Tabel 4. Persepsi Masyarakat tentang kemungkinan akibat perubahan fungsi kawasan hutan lindung. Table 4. Community perception about the impact of change of function from protection forest No
1
Uraian (description)
Pengaruh perubahan fungsi terhadap masyarakat da n lingkungan (Effect of change function to community and environmental)
Respon (respon) Ya berdampak buruk (bad impact) Tidak berdampak buruk (not impact)
Jumlah (total)
Jumlah(total)
Persentase (percentage) Sei Margo Merdeka mulyo
Sei Merdeka
Margo Mulyo
30
15
100
100
-
-
-
-
30
15
100
100
VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Masyarakat di kedua kelurahan yang bermukim dalam kawasan hutan lindung Bukit Soeharto secara keseluruhan (100%) mengetahui tentang manfaat dan keberadaan Bukit Soeharto sebagai hutan lindung, tetapi tidak mengetahui kapan waktu penetapan Bukit Soeharto sebagai Hutan Lindung dan mereka juga tidak mengetahui tentang batas-batas areal hutan lindung Bukit Soeharto secara pasti. 2. Masyarakat di kedua Kelurahan Sei Merdeka dan Margomulyo sangat tidak setuju dengan kemungkinan akan dilakukannya peralihan fungsi lindung menjadi kawasan pertambangan, yaitu masing-masing sebesar 100% di kelurahan Sei Merdeka dan sebesar 86,67% di kelurahan Margomulyo. Hanya masing-masing 13% yang setuju di kedua kelurahan tersebut, karena mereka menganggap hutan lindung keadaannya sudah sangat rusak. 28
Persepsi Masyarakat Terhadap Alih Fungsi Hutan . . . Nilam Sari, R. Mulyana Omon
3. Perubahan status dari fungsi lindung menjadi kawasan pertambangan akan sangat merugikan bagi masyarakat dan lingkungannya. Secara keseluruhan masyarakat menyatakan apabila terjadi perubahan fungsi akan berdampak pada mata pencaharian mereka dan menyebabkan mereka harus pindah tempat dan terjadinya bencana erosi, banjir, tanah longsor dan bencana alam lainnya B. Saran Pemerintah pusat dan daerah agar lebih berhati-hati didalam menentukan kebijakan perubahan fungsi hutan lindung menjadi areal pertambangan terutama pertambangan terbuka dan seyogyanya mendengar pendapat stakeholder setempat. DAFTAR PUSTAKA Arief A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius, Yogyakarta. Bioma 2004a. Aliansi Untuk Penolakan Alih Fungsi Kawasan Lindung Menjadi Kawasan Pertambangan. Kerjasama WWf Indonesia; Wahana Lingkungan Hidup (WALHI); Jaringan Advokasi Tambang (JATAM); Yayasan Pelangi; Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI); Kelompok Kerja Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan SDA (Pokja PA-PSDA); Forest Watc Indonesia (FWI); Indonesian Center For Environmental Law (ICEL); Jaringan Pesisir dan Laut (jaringan Peta); Mineral Policy Institute. Jakarta. Bioma. 2004b. Penyusunan Design Engineering Hutan Lindung Bukit Soeharto. Kerjasama Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara; Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor; Lembaga Swadaya Masyarakat Komunitas Ilalang. Samarinda. Manurung, A. 2003. Pengendalian Kebakaran Hutan. Universitas Mulawarman. Samarinda. (Tidak Dipublikasikan). Ulin. 2004. Hutan Lindung Versus Tambang. Samarinda.
29
KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN STRATEGI REHABILITASI HUTAN RAWA GAMBUT TERDEGRADASI (Policies and Management Strategies for Rehabilitation of Degraded Peat Swamp Forest) Oleh/By: Agustinus P. Tampubolon 1)
ABSTRACT Rehabilitation of degraded peat swamp forest, especially the failed Mega Rice Project (MRP) in Central Kalimantan, is urgently needed in order to restore its economic and ecological functions. Several policies and management strategies of the rehabilitation have to be decided with considering political, ecosystem, socioeconomic, cultural and institutional aspects which are in line with Minister of Forestry Decree No.20/Kpts-II/2001 and Forest Rehabilitation's ITTO Guidelines. Several policies are addressed covering long run forestry investment, community-based and adaptive forest management approach, alleviation of the poor, forest rehabilitation based on watershed management and forestry decentralization. Three principal management strategies, namely forest restoration of degraded primary forest, management of secondary forest and rehabilitation of degraded forest land and several management strategies of peat swamp forest rehabilitation within the failed MRP are described. Keywords: Peat swamp forest, forest degradation, forest rehabilitation policy, management strategy.
ABSTRAK Rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi, khususnya ex-Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah sangat dibutuhkan untuk memperbaiki fungsi ekonomi dan ekologi hutan yang rusak. Beberapa kebijakan dan manajemen strategi rehabilitasi harus diputuskan dengan memperhatikan aspek politik, ekosistem, sosil ekonomi, budaya dan kelembagaan yang sejalan dengan Keputusan Menhut No. 20/Kpts-II/2001 dan Pedoman ITTO tentang Rehabilitasi Hutan. Beberapa kebijakan dikemukakan meliputi investasi kehutanan jangka panjang, pendekatan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan adaptif, pengentasan penduduk miskin, rehabilitasi hutan berbasis pengelolaan DAS dan desentralisasi kehutanan. Tiga manajemen strategi utama, yakni restorasi hutan primer terdegradasi, pengelolaan hutan sekunder dan rehabilitasi lahan hutan yang terdegradasi beberapa manajemen strategi rehabilitasi hutan rawa gambut ex-PLG diuraikan dalam tulisan ini. Kata kunci:Hutan rawa gambut, degradasi hutan, kebijakan rehabilitasi hutan, manajemen strategi.
1
Staf Pusat Litbang Hasil Hutan.
31
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 31 - 38
I. INTRODUCTION Indonesian forest has been exploited intensively within the last three decades in order to provide wood for forest industries and domestic consumption. Both production forests and conservation forests have been so severely damaged due to excessive forest harvesting and illegal logging followed by uncontrolled forest conversion, forest land encroachment, shifting cultivation and forest fires. The rate of the forest degradation increased sharply from 1995 up to now due to large forest conversion and reformation euphoria. The rate of forest degradation between 1998 - 2003 in Indonesia has been so alarming, which reached about 2.83 million hectares per year. Up to 2002, some 59.7 million hectares of Indonesian forest had been degraded, while further 42.1 million hectares of land are in the states of critical condition. In this regard, lack of control and weak law enforcement contributed to forest degradation (Departemen Kehutanan, 2005). Indonesian peat swamp forest was also subject to forest degradation. The fact is that deforestation has also been occurring more and more on the fragile peat swamp forest ecosystem (Daryono, 2000; Sjarkowi, 2001). It was mainly caused by excessive logging, as happened in dryland forest, to fulfill expansive forest industry and forest conversion to agricultural use. One of the most degraded peat swamp forest located in Central Kalimantan. The forest ecosystem was extremely destroyed through Mega Rice Project that consisted of 1 million hectares of peatland reclamation. As peat swamp forest can serve many functions for people prosperity and high quality environment, the Government of Indonesia pays attention to rehabilitate the degraded peat swamp forest. Apart from the rehabilitation activities, the sustainable peat swamp forest is very important to address so that the continual flow of forest products and forest services can be achieved. The objective of the paper is to provide several policies and management strategies in rehabilitating degraded peat swamp forest especially former Mega Rice Project area in Central Kalimantan. II. PROBLEMS ON INDONESIAN PEAT SWAMP FOREST The peat swamp forest that occurs in lowland and humid areas has many economic and ecological functions. It can provide several commercial timber species (e.g. ramin, Gonystylus bancanus) and non-timber products, such as damar (from Agathis sp.) and latex (from Dyera lowii), The ecological function of this forest can serve as carbon storage, water retention, water supply, climate stabilization, maintenance biodiversity and flooding control (Rieley, 2001). International concern is now focused upon the Indonesian peat swamp forest as a major store of carbon which can partly reduce greenhouse gas effect and climate change. Central Kalimantan peat swamp forest, for example, may contain 2,500 tons C/ha, compared with 1,200 tons C/ha in average for peatland globally (Jaya, 2001). The amount of carbon stored in this ecosystem is approximately one third of the total 32
Kebijakan dan Manajemen Strategi Rehabilitasi . . . Agustinus P. Tampubolon
carbon stored in global peatland. The accumulation rates of soil organic carbon in Indonesian peat swamp forest varied from 59 to 145 gC/m2/yr compared with 8 to 100 g C/m2/yr in temperate and boreal areas (Jaya, 2001). There are over 38 million hectares of tropical peatland globally, of which some 20 million hectares (52%) occur in Indonesia (Radjagukguk, 2001). Most of the peatland in Indonesia is situated at low altitude in the coastal and subcoastal lowlands of Papua, Kalimantan and Sumatera, and small amount is located in Java, Halmahera and Sulawesi (Sumawinata, 2000). Tropical lowland peat soil is a marginal land. The soil is characterized by a very low pH (3-4), low chemical fertility, very low bulk density, a high porosity, a very high water holding capacity, and tendency to subside upon drainage and cultivation (Radjagukguk, 2001). After drainage and land clearing, a rapid subsidence of the peat layers occurs. In the early stage of reclamation, subsidence may occur at the rate 50-60 cm per year, subsequently slowing down to 2-5 cm per year. If the soil is drained and cultivated intensively, the oxidation will occur and some toxic elements will be exposed to the soil surface and therefore harmful to the plants. In the dry season, the soil is then susceptible to the fire. Fire will destroy the soil and burn out its vegetation. The soil shrinks and never revert to the initial condition (irreversible) (Radjagukguk, 2001). The degradation of peat swamp forest in Indonesia took place since the 1970s as a result of uncontrolled and illegal logging, forest conversion for agricultural land and crop estates, transmigration settlements and wildfires (Daryono, 2000). For example, the execution of Mega Rice Project (MRP) in Central Kalimantan and forest conversion into agricultural land associated with transmigration settlement in Riau and Jambi caused detrimental effect on peat swamp forest ecosystem. Regarding wildfires, the El Nino phenomenon in 1997 has burnt out 1.45 million hectares of the forest (Page et al. 2000 in Muhammad and Rieley, 2001). It can be said that the worst peat swamp forest degradation in Indonesia occurred when the MRP was executed for rice's self- sufficiency reason (Mulyanto, 2000). The MRP was initiated in 1995 by the Presidential Decree No.82 with aim of converting one million hectares of the forest into rice fields (Tim Ad Hoc Penanganan Eks Proyek PLG, 2005). The project is located in 3 Districts, namely Barito Selatan, Kuala Kapuas and Palangkaraya. Approximately, 4,000 km of drainage and irrigation channels were developed in the respective area into 2 years and then hundreds of transmigrants were sent to the area. Unfortunately, the project was failed and ceased in 1999 as a result of technical failure, lack of understanding of appropriate land use and socio-economic and cultural aspects of both local people and settlers and peak economic crisis (Mulyanto, 2000). III.
POLICIES OF THE REHABILITATION
In order to formulate policies on rehabilitation of degraded peat swamp forest, we should consider policy priorities of Ministry of Forestry. In other words, the 33
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 31 - 38
rehabilitation policies should be in line with the forestry policy priorities. Minister of Forestry has already declared Decree No.SK.456/Menhut-VII/2004 concerning five policy priorities of forestry sector, as follows: 1. Elimination illegal logging in state forest and illegal trading; 2. Revitalization of forestry sector, especially forest industry; 3. Rehabilitation and conservation of forest resources; 4. Empowerment of community economy who live in the forest and around the forest; 5. Promoting sustainable forest management through the establishment of Forest Management Unit. The five policy priorities are aimed to achieve good forestry governance and social forestry with considering the actual condition of forest resources and the application of sustainable development principles. In this regard, rehabilitation and conservation have important role in order to achieve forest perpetuity and people prosperity. Even though these activities are costly, the successful rehabilitation schemes will improve the human's life and environment quality. Before conducting the activities, policy formulation should be properly conducted and forest degradation should be clearly defined (ITTO, 2002). Degraded peat swamp forest was less accommodated in forest policy in the past compared to the dryland forest. There was a lack of policies regulating and encouraging its rehabilitation and management. Obviously, there has been more evident indicating that the peat swamp forest ecosystem provides a lot of intangible and tangible benefits. The lack of a policy focusing on the forest is caused by several factors, namely lack of information on the extent and values of the forest resources, inadequate knowledge on ecology, silviculture and rehabilitation technology, low political priority and constraint of financial resources. These factors can be said as constraints to conduct rehabilitation activities. Due to huge peat swamp forest degradation caused by failed Mega Rice Project in Central Kalimantan, wildfire and unsuccessful forest conversion for transmigration settlements in Riau and Jambi, Ministry of Forestry has considered the importance of rehabilitating the degraded peat swamp forest. Budgets were allocated to the districts that have degraded forest area in the scheme of National Movement on Forest and Land Rehabilitation. Besides the budget, Ministry of Forestry also facilitated the rehabilitation activities through provision of regulations. One of the regulations is Minister of Forestry Decree No. 20/Kpts-II/2001 concerning General Pattern, Standard and Criteria of Forest and Land Rehabilitation (Departemen Kehutanan, 2000). This decree considered political, ecosystem, social, cultural and institutional aspects. The implementation of the rehabilitation, in this context, should follow precondition phase and action phase. The forest and land rehabilitation system consists of object, technology and institution components that were arranged in matrix of criteria and indicators. In that matrix, three components are set up in management functions (planning, organizing, implementing and controlling) and elements of the components (planning unit, tenure, function (for forest area); human resources, organization, authority, work relationship (for institution); and technology, public role and incentive/disincentive. 34
Kebijakan dan Manajemen Strategi Rehabilitasi . . . Agustinus P. Tampubolon
In order to rehabilitate degraded peat swamp forest, several policies can be addressed, as follows: 1. rehabilitation is valued as a long time forestry investment that can guarantee continual flow of forest goods and services; 2. rehabilitation is conducted through community-based forest management and adaptive management approach that can attain commitment, community involvement and participation; 3. rehabilitation should make valuable contributions to rural livelihoods, particularly those of the poor; 4. policy intervention on forest rehabilitation is needed to some extent in order to increase the attractiveness of the rehabilitation and profitability of forest rehabilitation; 5. rehabilitation should be conducted in watershed management unit basis; 6. rehabilitation should be in line with forest decentralization with applying effective forest governance (ITTO, 2002). IV. MANAGEMENT STRATEGIES OF THE REHABILITATION Management strategies in forest rehabilitation aim to enhance the functionality of degraded forest. They should be based on a sound analysis of the general social, economic, institutional and ecological context. The rehabilitation is conducted on landscape scale based on specific local conditions. In general terms, management strategies for degraded forest aim to regain ecosystem integrity and to enhance human well-being. Based on the level of forest degradation, there are three principal management strategies, namely forest restoration; management of secondary forests; and rehabilitation of degraded forest land (ITTO, 2002). The three management strategies should be implemented in Indonesia with considering the magnitude of forest degradation, socioeconomic and institutional aspects. Forest restoration is the principal management strategy applied to degraded primary forest. Secondary forests are managed for multiple purpose, such as producing timber, firewood, non timber forest products and water. Options may include management for wood and non-wood forest products and the provision of environmental services. The rehabilitation of degraded forest land is required at sites where mismanagement has led to total replacement of forest. In formulating the management strategies of rehabilitation of degraded peat swamp forest, we should consider several socio-cultural aspects, as follows, existing land use system; value system of local people and migrants; community organization; cost/benefits sharing; right to use and to process; empowerment of local people institution; the status of traditional knowledge; social equity and gender awareness (ITTO, 2002). Economic and institutional aspects have very strong influence on deciding the management strategies of degraded peat swamp forest. It consists of the causes of forest degradation; local and national interests; incentive systems; existing organization; monitoring process; and production/marketing of timber and non timber products. 35
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 31 - 38
The ecological aspects should be considered in formulating management strategies. They consist of landscape approach; site-specific condition; productive and protective functions; water, soil and climate factors; biodiversity; status of traditional/appropriate technology; and resource optimization. The following we propose some management strategies for rehabilitation of peat swamp forest areas within the MRP in Central Kalimantan: 1. Management objectives of forest restoration, secondary forest management and rehabilitation of degraded peat swamp forest should be clearly decided. In this context, the objectives can be conservation, timber production, multiple forest use or site improvement. 2. Degraded primary peat swamp forest can be managed for wood production or multiple-use whereas secondary peat swamp forest can be managed as part of an agroforestry system or as a high-forest production system; 3. Degraded peat swamp forest land can be managed with introducing lightly managed plantings in order to catalyze natural forest succession or planting trees under agroforestry; 4. Clear forest and land resource use rights must be provided to the local people as far as those rights can support sustainable forest management and rehabilitation activities; 5. Local communities and stakeholders are asked to participate and share the responsibility for decision-making in planning and implementing restoration, management and rehabilitation strategies; 6. The local people are allowed to capture the benefits from rehabilitation activities; 7. Market and non-market costs and benefits are needed to be shared by all stakeholders; 8. Indigenous knowledge should be used in the rehabilitation activities; 9. The management of degraded and secondary forests should be based on sound ecological and silvicultural knowledge; 10. Soil characteristics are needed to be maintained and improved to guarantee efficient stand restoration and rehabilitation; 11. Economic and financial viability is essential for the restoration, rehabilitation and management of degraded forest; 12. Applied research is essential to guide adaptive management and silviculture techniques. Besides the above recommendations, we should adopt Sjarkowi's (2001) suggestions in avoiding social entropy (negative social changes) in forest rehabilitation process and facilitating adequate instruments, such as SDP (Spatial Development Plan), RDP (Regional Development Plan), CDP (Community Development Plan), IDP (Institutional Development Plan) and BDP (Business Development Plan) for the implementation of rehabilitation activities.
36
Kebijakan dan Manajemen Strategi Rehabilitasi . . . Agustinus P. Tampubolon
V. CONCLUSIONS AND RECOMMENDATIONS A. Conclusions 1. The formulation of policies in rehabilitating degraded peat swamp forest, especially the failed Mega Rice Project in Central Kalimantan, can be done with exploring substances of Minister of Forestry Decree No.20/Kpts-II/2001 concerning General Pattern, Standard and Criteria of Forest and Land Rehabilitation and Forest Rehabilitation's ITTO Guidelines. 2. The policies cover: (i). forest rehabilitation is valued as a long time forestry investment; (ii). forest rehabilitation adopts community-based forest management and adaptive management approach; (iii). forest rehabilitation has benefits for rural livelihoods; (iv). government intervention is needed to increase the attractiveness and profitability of forest rehabilitation; (v). forest rehabilitation is based on watershed management; (vi). forest rehabilitation fits with forest decentralization. 3. Based on the level of forest degradation, there are three principal management strategies, namely forest restoration of degraded primary forest, management of secondary forest and rehabilitation of degraded forest land. 4. Twelve management strategies of peat swamp forest rehabilitation are needed covering clear management objectives, recommended silviculture techniques based on sound ecological knowledge and applied research outputs, promoting indigenous knowledge, local people participation and rights, capturing benefits for local people and creating economic and financial viability of the rehabilitation. B. Recommendations 1. Dominant government role in rehabilitating failed Mega Rice Project in Central Kalimantan through National Movement on Forest and Land Rehabilitation scheme should be transformed into local people initiatives with improving capacity building and adaptive management system. 2. Government should provide adequate incentives and technical assistance to the local people so that rehabilitation activities become attractive and profitable.
REFERENCES Daryono, H. 2000. Kondisi Hutan Setelah Penebangan dan Pemilihan Jenis Pohon yang Sesuai untuk Rehabilitasi dan Pengembangan Hutan Tanaman di Lahan Rawa Gambut. dalam Daryono, H. et al.(eds.). Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan Rawa Gambut. Bogor. p.2143. Departemen Kehutanan. 2000. Pola Umum dan Standar Serta Kriteria Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Jakarta.
37
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 31 - 38
Departemen Kehutanan. 2005. Rencana Strategis Kementerian Negara/ Lembaga Departemen Kehutanan Tahun 2005- 2009. Jakarta. ITTO. 2002. ITTO Guidelines for the Restoration, Management and Rehabilitation of Degraded and Secondary Tropical Forests. ITTO Policy Development Series. No.13. Yokohama. Japan. Jaya, A. 2001. Carbon Storage in Tropical Peatlands. Tropical Peatlands. 1(1): 1115. Muhammad, N.Z., and J. Rieley. 2001. Management of Tropical Peatlands: Mega Reclamation Project in Central Kalimantan. Tropical Peatlands. 1(1): 30-32. Mulyanto, B. 2000. Pendekatan dan Strategi Pemanfaatan Hutan Rawa Gambut Eks PLG Sejuta Hektar. dalam Daryono, H. et al.(eds.). Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan Rawa Gambut. Bogor. p.18. Radjagukguk, B. 2001. Sustainable Agriculture on Tropical Peatlands. Tropical Peatlands. 1(1): 24 - 26. Rieley, J. 2001. Overview of Tropical Peatlands: Location, Extent, Importance and Impact. Tropical Peatlands. 1(1): 17. Sjarkowi, F. 2001. Socio-entropy System Approach ('Sesa') Towards Sustainable Management of Peatland Forest Ecosystem in Central Kalimantan. Tropical Peatlands. 1(1): 48-63. Sumawinata, B. 2000. Pemikiran Ulang Prinsip Penataan Daerah Konservasi Hutan Rawa Gambut. dalam Daryono, H. et al.(eds.). Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan Rawa Gambut. Bogor. p.15-20. Tim Ad Hoc Penanganan Eks Proyek PLG. 2005. Perencanaan Pengembangan dan Pengelolaan Kawasan Eks Proyek PLG. Jakarta.
38
ANALISIS KEBIJAKAN SISTEM INSENTIF BAGI USAHA KEHUTANAN Policy Analysis of Incentive System for Forestry Business Oleh/By: Satria Astana, M. Zahrul Muttaqin, Nunung Parlinah & Indartik
ABSTRACT By the year of 1990s forest products had a highest share in non oil exports but presently they decrease to third rank after electronics and textiles. The development of concessionaires performance tends to decrease but forest degradation remains increasing, while the development of industrial timber estate and social forestry was slow. Multiplier effect of forestry sector is high and the decrease in its performance has negative effect on national economy. Therefore, an effective policy should be taken to overcome such problem in this case an incentive system policy is one that can be adopted. Through this policy the economic actors and communities involved in forestry business are encouraged to realize sustainable forest management. The indicators of this expected situation are the realization of efficiency, competitiveness and green market of forest products. Technically the effectiveness of the policy depends greatly on the type, form and magnitude of the incentives delivered. Politically the effectiveness of the policy depends heavily on the capacity, capability and accountability of the institutions involved. The success of policy implementation should be based on the result of monitoring and evaluation in which its accuracy depends on the precision of measures of the impact developed and used. Keywords: Forestry business, forest degradation, policy, incentive system, sustainable forest management.
ABSTRAK Menjelang tahun 1990-an, ekspor hasil hutan menduduki peringkat satu ekspor non-migas namun sekarang menurun menduduki peringkat ketiga setelah elektronika dan tekstil. Perkembangan kinerja HPH cenderung menurun namun degradasi sumberdaya hutan tetap meningkat, sementara kinerja HTI dan HKm tergolong lamban. Kenyataan menunjukkan dampak pengganda (multiplier effect) sektor kehutanan tergolong tinggi dan penurunan kinerjanya berdampak negatif terhadap perekonomian nasional. Karenanya suatu kebijakan yang efektif perlu diambil untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini kebijakan sistem insentif merupakan salah satu kebijakan yang dapat diadopsi. Melalui kebijakan sistem insentif, pelaku ekonomi dan masyarakat yang terlibat dalam usaha (bisnis) kehutanan diharapkan lebih bergairah untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Indikator dari situasi yang diharapkan ini akan ditunjukkan oleh terwujudnya efisiensi dan daya saing serta green market hasil hutan. Secara teknis, efektivitas kebijakan sistem insentif bergantung pada ketepatan jenis, bentuk, dan besaran insentif yang diberikan. Secara politis, efektifitas kebijakan sistem insentif bergantung pada kapasitas, kapabilitas dan akuntabilitas instansi yang terlibat. Keberhasilan pelaksanaan
1
Peneliti pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan
39
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 39 - 63
kebijakan harus didasarkan pada hasil MONEV, yang keakuratannya bergantung pada ketepatan ukuran-ukuran dampak yang dikembangkan dan digunakan. Kata kunci: Usaha kehutanan, degradasi hutan, kebijakan, sistem insentif, pengelolaan hutan lestari,
I.
PENDAHULUAN
Luas kawasan hutan dan perairan (belum termasuk Sumatra Utara, Riau dan Kalimantan Tengah) adalah 109.961.713,28 ha. Dari luas tersebut, luas kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam adalah 21% (23.214.626,57 ha), yang terdiri atas: (a) luas perairan sebesar 5.068.208,65 ha (22%), dan (b) luas daratan sebesar 18.146.417,92 ha (78%). Sedangkan luas hutan lindung adalah 27% (29.037.397,02 ha) dan hutan produksi terbatas adalah 15% (16.215.977,26 ha). Luas hutan produksi (tetap) adalah 25% (27.823.177,43 ha) dan hutan produksi yang dapat dikonversi adalah 12% (13.670.535,00 ha) (Badan Planologi Kehutanan, 2002). Sumberdaya hutan ini harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menjelang tahun 1990-an ekspor hasil hutan menempati peringkat satu setelah minyak dan gas bumi (MIGAS) dan sekarang menurun menduduki peringkat ketiga setelah elektronika dan tekstil, yang diperkirakan akan terus menurun. Perkembangan kinerja Hak Pengusahaan Hutan (HPH) cenderung menurun dan kinerja hutan tanaman industri (HTI) serta Hutan Kemasyarakatan (HKm) tergolong lamban. Sementara degradasi sumberdaya hutan tetap meningkat meskipun kinerja ekspor hasil hutan menurun. Kenyataan menunjukkan dampak pengganda (multiplier effect) sektor kehutanan tergolong tinggi oleh karena itu penurunan kinerjanya dapat berdampak negatif terhadap perekonomian nasional. Karenanya suatu kebijakan yang tepat perlu diambil untuk mengatasi permasalahan tersebut. Kebijakan sistem insentif merupakan salah satu kebijakan yang perlu diadopsi. Secara umum kajian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan sistem insentif bagi usaha kehutanan. Secara khusus kajian ini bertujuan untuk menganalisis kinerja pemanfaatan sumberdaya hutan termasuk di dalamnya degradasi dan dampak yang ditimbulkan serta faktor-faktor yang menyebabkan, dan pentingnya kebijakan sistem insentif dalam mewujudkan pengelolaan sumberdaya hutan secara lestari. Setelah Bab I: pendahuluan, diuraikan Bab II: kinerja pemanfaatan sumberdaya hutan, kemudian disusul oleh Bab III: degradasi sumberdaya hutan dan dampak sosial ekonomi serta lingkungan yang ditimbulkan. Setelah Bab III disajikan Bab IV: penyebab dasar kerusakan hutan. Bab V menganalisis kebijakan sistem insentif dan konsep jika kebijakan sistem insentif diadopsi. Tulisan ini ditutup oleh Bab VI: kesimpulan
40
Analisis Kebijakan Sistem Insentif . . . Satria A., M. Z. Muttaqin, Nunung P. & Indartik
II. KINERJA PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN A. Kinerja HPH dan HTI serta Hkm Kinerja pemanfaatan sumberdaya hutan dapat dilihat dari perkembangan HPH dan HTI serta HKm. Pada tahun 1991, perusahaan HPH di Indonesia yang beroperasi berjumlah 567 unit, yang mengelola areal seluas 60,48 juta ha. Tetapi pada tahun 2001, jumlahnya menurun tinggal 351 unit, yang mengelola areal seluas 36,42 juta ha. Pada tahun yang sama (2001), HKm yang telah berjalan (dengan Anggaran DR dan OECF) meliputi areal seluas 35.427 ha (Baplan, 2002). Dengan demikian, jika luas kawasan hutan produksi tetap dan terbatas adalah 57,71 juta ha, maka pada tahun 2001 dapat diketahui kawasan hutan produksi yang tidak dibebani hak (hutan produksi open access) seluas 16,215 juta hal atau 28,10 % dari total luas kawasan hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas (57,71 juta ha). Hasil evaluasi Ditjen Bina Produksi Kehutanan (BPK) (2001) terhadap seluruh HPH yang masih beroperasi, diketahui dari 351 unit HPH yang beroperasi, terdapat 62 unit (18%) yang melakukan pelanggaran. Hasil evaluasi Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) (2002) menunjukkan dari 30 unit HPH yang mengikuti training of trainer untuk pelaksanaan kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari ITTO, terdapat 4 unit HPH (13 %) bernilai sangat baik, 8 unit HPH (26%) berada pada selang nilai baik, 15 unit HPH (50 %) berada pada selang nilai cukup dan 3 unit HPH (11%) berada pada selang nilai jelek. Pada tahun 2001, dari seluruh areal hutan produksi (36,42 juta ha), 61% (22,3 juta ha) dikelola oleh HPH (swasta murni) dan 12% (4,4 juta ha) dikelola oleh PT Inhutani (BUMN murni). Sisanya, 23% (8,4 juta ha) dikelola dalam bentuk penyertaan saham dan 4% (1,4 juta ha) dalam bentuk patungan. Perusahaan HTI yang aktif beroperasi sampai dengan tahun 2001 berjumlah 105 unit, yang mengelola areal seluas 5,04 juta ha (Baplan, 2002). Hasil evaluasi Ditjen BPK (2002) sampai dengan Mei 2002, seluruh HTI Patungan luasnya adalah 3.335.342 ha namun realisasi tanaman hanya 1.200.198 ha (36%). Jumlah total penyertaan modal pemerintah untuk membangun HTI sebesar Rp 922,1 milyar, sementara utang dana reboisasi dengan bunga 0% sebesar Rp 1,1 triliun dan utang dengan bunga komersial sebesar Rp 320,2 miliar. B. Kinerja Ekspor Hasil Hutan Pada tahun 2001 nilai ekspor hasil hutan termasuk kayu olahan, kayu bulat dan hasil hutan bukan kayu mencapai US$ 4,445 miliar (Baplan, 2002; Depperindag, 2003). Dari nilai tersebut kontribusi kayu olahan sebesar 98,2%, kayu bulat 1,5% dan hasil hutan bukan kayu 0,2%. Pada tahun yang sama (2001) total nilai ekspor nonmigas sebesar US$ 43,685 milyar (Depperindag, 2003). Kontribusi ekspor hasil hutan terhadap nilai ekspor non-migas mencapai 10,2 % atau menempati urutan ketiga setelah 1
Ini diperoleh dari luas hutan produksi (57,71 juta ha) dikurangi luas HPH aktif (36,42 juta ha) dikurangi luas HTI definitif (5,04 juta ha) dikurangi Was HKm (35.427 ha).
41
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 39 - 63
elektronika sebesar 14,8% dan tekstil sebesar 17,5%. Menurut Nota Keuangan RAPBN 2003, sumbangan pendapatan negara sektor kehutanan adalah 2,4% atau hanya 5% dari total nilai ekonomi hutan (total economic value). Dengan demikian peranan ekonomi hutan sebesar 95% belum diperhitungkan (Foretika, 2003). Meskipun demikian dampak pengganda sektor kehutanan (yang hanya 5% dari total economic value hutan) terhadap perekonomian tergolong tinggi. C. Dampak Pengganda Sektor Kehutanan Hasil penelitian (Astana dkk, 2003) menunjukkan bahwa dampak pengganda output Sektor Industri Kayu Bambu dan Rotan (IKBR) Tipe I/II berkisar antara 1,616/1,926 - 1,981/2,664, Sektor Kayu (Kehutanan dan Perburuan) Tipe I/II antara 1,158/1,401 - 1,369/1,841 dan Sektor Hasil Hutan Lain (HHL) Tipe I/II antara 1,137/1,387 - 1,324/1,907. Dampak pengganda output misalnya Sektor IKBR sebesar 1,981 memiliki arti bahwa bila output sektor IKBR di suatu daerah meningkat sebesar satu juta rupiah akibat kenaikan permintaan akhir maka dapat diharapkan akan menyebabkan output perekonomian daerah yang bersangkutan meningkat sebesar Rp 1,981 juta. Dampak pengganda pendapatan Sektor IKBR Tipe I/II berkisar antara 1,472/1,946 - 2,722/4,020, Sektor Kayu Tipe I/II antara 1,150/1,406 - 1,477/2,053 dan Sektor HHL Tipe I/II antara 1,188/1,453 - 1,265/1,680. Dampak pengganda pendapatan misalnya Sektor IKBR sebesar 2,722 memiliki arti bahwa bila pendapatan rumah tangga yang bekerja di sektor IKBR di suatu daerah meningkat sebesar seribu rupiah akibat kenaikan permintaan akhir maka dapat diharapkan akan menyebabkan pendapatan rumah tangga yang bekerja di sektor-sektor perekonomian daerah yang bersangkutan meningkat sebesar 2,722 ribu rupiah. Dampak pengganda tenaga kerja Sektor IKBR I/II berkisar antara 3,320/4,961 - 5,604/8,035, Sektor Kayu I/II antara 1,045/1,140 - 1,093/1,496 dan Sektor HHL I/II antara 1,079/1,178 - 1,030/1,186. Dampak pengganda tenaga kerja misalnya Sektor IKBR sebesar 5,604 memiliki arti bahwa bila penyerapan tenaga kerja di sektor IKBR di suatu daerah meningkat sebanyak satu orang akibat kenaikan permintaan akhir maka dapat diharapkan akan menyebabkan penyerapan tenaga kerja dalam perekonomian daerah bersangkutan meningkat sebesar 5,604 orang. III. DEGRADASI SUMBERDAYA HUTAN DAN DAMPAK SOSIAL EKONOMI SERTA LINGKUNGAN A. Degradasi Sumberdaya Hutan Baplan (2002) telah melakukan rekalkulasi kawasan hutan produksi menurut kategori hutan primer, hutan bekas tebangan (sedang-baik) dan hutan rusak/tanah kosong serta dipisahkan berdasarkan areal HPH dan areal eks HPH. Areal eks HPH adalah areal HPH yang telah berakhir masa konsesinya. Kondisi kerusakan hutan pada 42
Analisis Kebijakan Sistem Insentif . . . Satria A., M. Z. Muttaqin, Nunung P. & Indartik
areal eks HPH (yang pengelolaannya diserahkan kepada PT. Inhutani I - V), luas hutan primer yang tersisa hanya 11% (0,6 juta ha) dari luas areal seluruh eks HPH. Sedangkan pada areal HPH yang masih aktif luas hutan primer yang tersisa masih seluas 18,3 juta ha (45%). Kondisi areal HPH clan eks HPH tersebut memberikan gambaran kehilangan hutan primer dan peningkatan luas hutan yang rusak apabila areal HPH tidak dikelola dengan baik. Pada tahun 2001 luas kerusakan hutan dan nilai kerugian akibat kebakaran hutan adalah 14.329,50 ha dengan nilai kerugian sebesar Rp 1.819.905.190,00. Rincian luas hutan yang terbakar sebagai berikut: (1) hutan lindung seluas 4,25 ha, (2) hutan produksi seluas 12.397,80 ha, (3) hutan suaka alam seluas 261,50 ha, (4) hutan wisata seluas 435,00 ha, (5) taman nasional seluas 1.082,45 ha, (6) taman hutan raya seluas 146,00 ha dan (7) taman buru seluas 2,5 ha (Baplan, 2002). Pada tahun yang sama luas kerusakan hutan akibat pemukiman liar adalah 155.126,37 ha dan akibat perladangan liar adalah 2.590.459,25 ha. Kerusakan hutan akibat gangguan tanah hutan berupa penambangan emas adalah 2.093 ha. Selain beberapa gangguan hutan tersebut, kerusakan hutan juga disebabkan oleh penebangan liar. Pada tahun 2001, nilai kerugian akibat penebangan liar adalah Rp 11.045.156.000 (Baplan, 2002). B. Dampak terhadap Perekonomian Kerusakan hutan akan membawa dampak negatif terhadap perekonomian baik daerah maupun nasional. Dampak negatifnya bukan hanya terhadap kinerja ekonomi sektor kehutanan sendiri tetapi juga terhadap kinerja ekonomi sektor-sektor lain. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa selain memiliki keterkaitan langsung dan tidak langsung baik ke depan maupun ke belakang yang kuat, sektor kehutanan juga memiliki dampak pengganda output dan pendapatan serta tenaga kerja yang relatif tinggi. Diperparah oleh perkembangan HTI dan HKm yang lamban, hal tersebut secara keseluruhan dapat menyebabkan pemulihan perekonomian dihadapkan pada permasalahan jangka panjang karena pemulihan kerusakan sumberdaya hutan membutuhkan bentang waktu yang panjang. Upaya mempertahankan peranan sektor kehutanan dalam perekonomian daerah dan nasional pada tingkat sekarang dapat mendorong lebih jauh tingkat kerusakan sumberdaya hutan bila tidak dibarengi oleh upaya-upaya yang lebih rasional. C. Dampak terhadap Sistem Penyangga Kehidupan Sumberdaya hutan di samping berperan sebagai sumberdaya ekonomi juga berperan sebagai penyangga sistem kehidupan antara lain: (1) mengatur tata air dan mencegah banjir; (2) mengendalikan erosi; (3) mencegah intrusi air laut, (4) memelihara kesuburan tanah,(5) pencipta kondisi udara bersih, dan (6) menjaga siklus makanan. Antara lain keenam fungsi tersebut merupakan fungsi kehidupan yang sangat vital untuk menyangga kehidupan. Karenanya eksistensi sumberdaya hutan menjadi sangat penting terutama untuk menjaga keseimbangan lingkungan dan menghindari bencana banjir bandang dan tanah longsor serta meningkatkan produktivitas lahan.
43
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 39 - 63
Kerusakan sumberdaya hutan menurunkan kualitas hidup masyarakat luas terutama yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Kenyataan menunjukkan kerusakan sumberdaya hutan tidak mungkin dipulihkan sesuai kondisi keseimbangan awal. Absennya kondisi keseimbangan awal menyebabkan banjir bandang dan tanah longsor. Namun economic loss yang timbul bukan hanya akibat banjir bandang dan tanah longsor sendiri melainkan juga akibat dampak alokasi sumberdaya untuk perbaikan infrastruktur perekonomian yang rusak (jaringan listrik, jalan, irigasi pertanian) dan hilangnya peningkatan kesempatan berusaha yang lebih besar. Karenanya dampak kerusakan sumberdaya hutan akan mengurangi kesempatan dan kemampuan untuk meningkatkan kualitas hidup yang lebih tinggi. Dengan kata lain, dampak kerusakan sumberdaya hutan menciptakan kualitas hidup yang semakin jauh dari tingkat yang diharapkan. D. Dampak terhadap Sistem Penopang Kehidupan Lokal Selain berperan sebagai sumberdaya ekonomi dan penyangga sistem kehidupan, sumberdaya hutan juga berperan sebagai penopang sistem kehidupan sosial ekonomi dan budaya lokal. Komunitas masyarakat lokal yang hidup di sekitar hutan memandang hutan sebagai sumber mata pencaharian maupun hutan sebagai sarana peribadatan (Colfer, et al, 2001). Sebagai ilustrasi di Suaka Margasatwa Danau Sentarum masyarakat lokal yaitu komunitas Dayak Iban memandang hutan sebagai tempat untuk mencari nafkah dengan memanfaatkan hasil hutan berupa kayu, rotan, madu dan ikan. Tingkat ketergantungan mereka terhadap hutan cukup tinggi. Selain sebagai sumber mata pencaharian, hutan juga dipandang sebagai sarana peribadatan karena sebagian dari mereka memeluk kepercayaan animisme. Kerusakan sumber daya hutan membawa perubahan pada kehidupan sosial ekonomi dan budaya lokal. Pertama, kerusakan sumberdaya hutan akan berdampak negatif terhadap kehidupan beragama masyarakat lokal terutama disebabkan oleh hilangnya beberapa tempat dan jenis hasil hutan yang diperlukan untuk ritual keagamaan. Kedua, kerusakan sumberdaya hutan akan berdampak negatif terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat lokal terutama disebabkan oleh hilangnya beberapa tempat dan jenis hasil hutan yang diperlukan baik untuk kesehatan maupun kebutuhan pangan dan papan. Terganggunya kehidupan keagamaan dan ketersediaan jenis hasil hutan untuk kesehatan serta pangan dan papan akan menyebabkan kesejahteraannya menurun yang pada gilirannya akan mendorong proses kemiskinan. Situasi yang demikian lebih jauh akan mendorong proses perlawanan budaya sebagai strategi bertahan hidup. Strategi bertahan hidup dapat dilakukan dengan berbagai ragam cara namun yang mengkhawatirkan adalah strategi bertahan hidup yang mengakibatkan tercabutnya akar budaya lokal. Hal ini dapat menyebabkan masyarakat lokal kehilangan jati diri sehingga sangat mudah terpengaruh oleh budaya luar khususnya yang cenderung destruktif terhadap sumberdaya hutan.
44
Analisis Kebijakan Sistem Insentif . . . Satria A., M. Z. Muttaqin, Nunung P. & Indartik
IV. FAKTOR PENYEBAB DASAR KERUSAKAN HUTAN A. Ekonomi Biaya Tinggi Terdapat 6 jenis pungutan yang terkait dengan pengusahaan hutan berdasarkan UU No. 41 tahun 1999, yang merupakan kewenangan Departemen Kehutanan, yaitu: (1) Iuran Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH), (2) Dana Reboisasi (DR), (3) Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), (4) Dana Jaminan Kinerja (DJK), (5) Dana Investasi Pelestarian Hutan (DIPH), dan (6) Dana Investasi untuk Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Latihan, serta Penyuluhan Kehutanan. Selain itu, pungutan juga dikenakan oleh beberapa Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) (Suparna, 2002). Sebagai ilustrasi di Kalimantan Timur pungutan yang dikenakan oleh Pemprov terdiri atas: (1) Dana Kompensasi kepada Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan (DKKMH), (2) Dana Pembinaan Sumber Daya Manusia dan Pengembangan IPTEK (DSDM-IPTEK), dan (3) Dana Investasi Pelestarian Hutan (DIPH). Pungutan DKKMH adalah suatu iuran yang dikeluarkan oleh perusahaan pengusahaan hutan untuk masyarakat yang ada di dalam dan sekitar hutan atas kayu yang diproduksi oleh perusahaan di Kalimantan Timur (SK Gubernur Kaltim No. 20 Tahun 2000). Besarnya Dana Kompensasi kepada Masyarakat ditetapkan sebesar Rp 3.000 per m3. Sedangkan DSDM-IPTEK dan DIPH atau digabungkan menjadi DSDM IPTEK-IPH adalah dana yang disediakan oleh pemegang ijin pemanfaatan hutan baik oleh pemegang HPH atau pemegang IPK maupun pemegang ijin sah lainnya (ISL) dari hasil produksi kayu bulat. Dana tersebut diarahkan untuk membiayai segala jenis kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka menjamin kelestarian hutan antara lain: (1) pembinaan SDM, (2) pengembangan IPTEK, (3) biaya konservasi, (4) biaya perlindungan, (5) biaya penanganan kebakaran hutan dan (6) promosi serta lainnya. Pengelolaan DSDM-IPTEK-IPH dilakukan bersama oleh badan pengelola dan dewan pakar yang dibentuk oleh Gubernur (SK Gubernur Kaltim No. 27 Tahun 2000). Besarnya DSDM-IPTEK-IPH ditetapkan sebesar Rp 15.000 per m3 kayu bulat diameter 30 cm ke atas. Selain oleh Pemprov pungutan juga dilakukan oleh beberapa Pemkab. Sebagai contoh Pemkab Kotawaringin Timur mengenakan pungutan terhadap kayu bulat berdasarkan Perda No. 16 tahun 2001 sebagai pengganti Perda No. 14 tahun 2000. Pungutan dikenakan bagi setiap pemegang izin berupa Dana Kontribusi Pembangunan Daerah sebesar Rp 25.000 per m3 kayu bulat dan Rp 50.000 per m3 kayu olahan hasil lelang (pasal 85 ayat 5). Kemudian ditetapkan bahwa DR dan PSDH untuk alokasi kabupaten diwajibkan untuk disetor langsung ke Kas Daerah (pasal 85 ayat 2). Selain pungutan-pungutan tersebut terdapat juga sumbangan kepada pihak ketiga terhadap kayu resmi dan kayu tanpa ijin. Besarnya sumbangan kepada pihak ketiga untuk kayu bulat resmi adalah Rp 15.000 per m3, sedangkan untuk kayu bulat tanpa ijin dibedakan yaitu: untuk ramin/kayu indah sebesar Rp 150.000 per m3 dan untuk meranti/rimba campuran sebesar Rp 75.000 per m3. 45
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 39 - 63
Dalam rangka meningkatkan efisiensi ekspor-impor, Depperindag dan Sucofindo (2001) melakukan kajian terhadap prosedur perijinan dalam pengusahaan hutan. Bidang pengusahaan hutan dipandang masih belum efisien karena paling tidak terdapat 88 urusan yang harus dilakukan pengusaha baik dalam melakukan ijin usaha maupun menjalankannya. Di samping itu dalam pelaksanaan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian (Binwasdal) pihak pengusaha (swasta) juga terkena beban biaya atas kegiatan tersebut. Dari hasil survei di lima propinsi menunjukkan bahwa beban biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha (swasta) berkisar antara Rp 215 juta - Rp 440 juta per HPH per tahun. Hasil studi Depperindag dan Sucofindo juga melaporkan bahwa terdapat 50 hingga 52 peraturan baru yang berkaitan dengan bidang pengusahaan hutan di daerah. Jumlah peraturan mengenai pemungutan retribusi sebanyak 26 hingga 28 peraturan, bidang teknis kehutanan sebanyak 15 peraturan, bidang konservasi lahan dan sumberdaya alam sebanyak 5 peraturan serta bidang perijinan sebanyak 4 peraturan. Dalam kaitan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 22/1999 clan PP No. 25/1999 banyaknya peraturan yang mengatur masalah retribusi menunjukkan bahwa beban sumberdaya hutan untuk menunjang pendapatan asli daerah (PAD) sangat tinggi. Hal ini diduga lebih disebabkan oleh format pembagian pendapatan antara pusat dan daerah sebagaimana tertuang dalam PP No. 25/1999 yang masih belum terdapat kejelasan sehingga implementasinya mengakibatkan tumpang tindih dalam pemungutan. Struktur biaya dan pungutan disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 terlihat bahwa sebelum pungutan dikenakan, biaya pengelolaan hutan pada hutan rawa (Rp 267.665 per m3) lebih rendah dibanding pada hutan dataran kering. Biaya pengelolaan hutan pada dataran kering Indonesia Bagian Timur (Rp 307.777 per m3) lebih rendah dibanding pada hutan dataran kering Indonesia Bagian Tengah (Rp 476.072 per m3). Pungutan kehutanan yang dikenakan pada pemegang HPH pada hutan rawa (Rp 166.789 per m3) lebih tinggi dibanding pada hutan dataran kering Indonesia Bagian Timur (Rp 84.848 per m3) tetapi lebih rendah dibanding pada hutan dataran kering Indonesia Bagian Tengah (Rp 200.079 per m3). Dengan demikian setelah memasukkan pungutan kehutanan, biaya pengelolaan hutan tertinggi terdapat pada hutan dataran kering Indonesia Bagian Tengah (Rp 676.151 per m3), kemudian disusul pada hutan rawa (Rp 434.454 per m3), dan terendah pada hutan dataran kering Indonesia Bagian Timur (Rp 392.625 per m3). Namun demikian persentase pungutan kehutanan (yang resmi) terhadap biaya pengelolaan hutan rataan pada ketiga tipe hutan tersebut tergolong masih relatif wajar yaitu hanya sebesar 27,74%. Hal ini berarti keluhan atas pungutan lebih disebabkan oleh pungutan tidak resmi akibat banyaknya peraturan perundangan yang tidak merangsang terwujudnya efisiensi ekonomi. Tingginya pungutan tidak resmi mendorong pelaku ekonomi cenderung tidak menerapkan Sustainable Forest Management (SFM) karena pengeluaran untuk SFM digunakan untuk membayar pungutan tidak resmi.
46
Analisis Kebijakan Sistem Insentif . . . Satria A., M. Z. Muttaqin, Nunung P. & Indartik
Tabel 1. Komponen biaya pengelolaan hutan dan pungutan kehutanan Table 1. Cost component offorest management and forestry royalty Hutan dataran kering (Dry land forest), %
Sumber (Source): Fahutan IPB (2004)
47
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 39 - 63
B. Inefisiensi Pemanfaatan Hutan dan Pengolahan Hasil Hutan 1.
Inefisiensi teknis pemanfaatan hutan
Dari hasil beberapa penelitian diketahui bahwa pemanfaatan hutan belum efisien. Limbah kayu yang tertinggal di hutan masih tinggi. Hasil penelitian Thaib (1985) menunjukkan bahwa kegiatan eksploitasi mengakibatkan penurunan jumlah pohon berdiameter 20 cm ke atas (Tabel 2). Hasil penelitian Suhartana (1994) menunjukkan bahwa rataan produksi kayu aktual sebesar 65,7 m3 per ha (64%), besarnya limbah dari pohon yang ditebang rataan 37 m3 per ha (36%) dan faktor eksploitasi 0,82. Dari potensi limbah yang ditinggalkan, 17 m3 per ha merupakan limbah dengan keadaan rusak dan 20 m3 per ha (54,1 %) dengan keadaan baik di mana 6,43 m3 per ha berasal dari batang bebas cabang yang masih dapat digunakan. Tabel 2. Jumlah pohon ditebang dan kerusakan tegakan tinggal Table 2. Number of trees felling and forest stand damage left Jumlah pohon ditebang (Number of trees felling)
Kerusakan tegakan (Forest stand damage), %
Sumber (Source): Thaib (1985)
Hasil penelitian Idris dan Suhartana (1996) menunjukkan bahwa tingkat efisiensi pemanfaatan kayu per pohon di tempat penebangan kayu baru mencapai sekitar 80%. Hal ini berarti jumlah bagian pohon yang belum (tidak) dimanfaatkan sebesar 20% yang terdiri dari limbah tunggak 3% dan limbah batang 17%. Limbah sebesar 20% tersebut belum termasuk limbah dari batang di atas bebas cabang dan cabang sampai diameter 10 cm yang diperkirakan mencapai di atas 15%, juga belum termasuk limbah di tempat pengumpulan kayu sementara (TPn) dan tempat penimbunan kayu akhir (TPK) serta limbah akibat pembuatan jalan hutan dan tebang bayang. Secara keseluruhan jumlah limbah menjadi cukup besar sehingga jumlah kayu yang dimanfaatkan menjadi lebih sedikit dari potensi harapan. Upaya menurunkan limbah penebangan telah dicoba melalui teknik pembalakan berwawasan lingkungan (reduced impact logging, RIL). Hasil penelitian Suhartana (2002) menunjukkan bahwa teknik pembalakan konvensional mengakibatkan rataan kerusakan tegakan tinggal tingkat pohon sebesar 17,9%, tingkat tiang 18,3 % dan keterbukaan lahan 21,06% (Tabel 3). Sedangkan teknik pembalakan berwawasan lingkungan mengakibatkan rataan kerusakan tegakan tinggal tingkat pohon sebesar 12,5 %, tegakan tinggal tingkat tiang 9,2% dan keterbukaan lahan 15,06% (Tabel 4). 48
Analisis Kebijakan Sistem Insentif . . . Satria A., M. Z. Muttaqin, Nunung P. & Indartik
Tabel 3. Kerusakan hutan akibat kegiatan pembalakan konvensional Table 3. Forest damage due to conventional logging activity
No
Kerusakan hutan (Forest damage)
Pohon ditebang (Tree felling)
Pohon/tiang sebelum ditebang (Tree/pole before felling)
Pohon rusak (Tree damage)
Kemiringan (Slope), %
Keterbukaan lahan (Open land)
Sumber (Source): Suhartana (2002)
Tabel 4. Kerusakan hutan akibat kegiatan pembalakan berwawasan lingkungan Table 4. Forest damage due to reduced impact logging activity No
Kerusakan hutan (Forest damage)
Pohon ditebang (Trees felling)
Sumber (Source): Suhartana (2002)
2.
Inefisiensi pengolahan hasil hutan
Sebagaimana pemanfaatan hutan, pengolahan hasil hutan juga belum mampu menerapkan konsep zero waste. Hasil penelitian Rohadi dan Ginoga (1994) menunjukkan bahwa rendemen kayu gergajian dari kayu HTI berkisar antara 45% hingga 73% (Tabel 5). Kemudian hasil observasi Silviani (1993) di 5 pabrik kayu lapis di Kalimantan Timur pada 49
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 39 - 63
tahun 1993 menunjukkan bahwa limbah kayu di industri juga tinggi berkisar antara 72.606 m3 sampai 120. 000 m3 per tahun (Tabel 6). Hasil proyeksi Silitonga (1990) menunjukkan pada tahun 1993/1994 volume limbah kayu sudah mencapai 25,95 juta m3, jauh lebih tinggi dari target softlanding atau jatah tebangan produksi kayu bulat tahun 2006 sebesar 8,1 juta m3. Tabel 5. Rendemen penggergajian kayu hutan tanaman industri Table 5. Recovery of sawmill from timber of plantation forest No.
Jenis kayu (Species)
Input, m3
Output, m3
Rendemen (Recovery), %
1
Sumber (Source): Rohadi dan Ginoga (1994)
Tabel 6. Limbah kayu di lima industri kayu lapis di Kalimantan Timur, 1990/1991 Table 6. Wood waste in five plywood mills in East Kalimantan, 1990/1991 No
Pabrik (Mill)
1
A
Sumber (Source): Silviani (1993)
50
Kapasitas (Capacity), m3
Bahan baku (Raw material), m3
Produksi (Production), m3
Limbah (Wood waste), m3
Analisis Kebijakan Sistem Insentif . . . Satria A., M. Z. Muttaqin, Nunung P. & Indartik
Tabel 7. Proyeksi volume limbah industri penggolahan kayu di Indonesia Table 7. Projection of wood waste volume of wood processing industry in Indonesia Volume Limbah (Wood waste volume), juta (million) m
3
Sumber (Source): Silitonga (1990)
Secara keseluruhan teknik pemanfaatan hutan dan pengolahan hasil hutan boros bahan baku. Diperberat oleh penebangan yang tidak lestari menyebabkan kerusakan sumberdaya hutan yang lebih parah. Oleh sebab itu perlu dipikirkan sistem insentif yang tepat untuk mendorong ke arah terwujudnya teknik pemanfaatan hutan dan pengolahan hasil hutan yang efisien. Di samping itu, perlu dikaji peraturan-perundangan yang terkait guna mengetahui yang menghambat dan merangsang terwujudnya efisiensi. C. Nilai Ekonomi Hasil Hutan Rendah Nilai ekonomi hutan dan hasil hutan berbeda satu sama lain. Nilai ekonomi hutan adalah nilai ekonomi sumberdaya hutan yang dapat dihitung berdasarkan nilai tangible dan intangible, sementara nilai ekonomi hasil hutan adalah nilai atau harga hasil hutan yang terbentuk di pasar. Di sini dijelaskan nilai ekonomi hasil hutan. Nilai ekonomi berbeda dengan nilai akunting atau nilai finansial. Nilai ekonomi hasil hutan lazim diartikan sebagai nilai atau harga hasil hutan yang terbentuk oleh kekuatan supply dan demand dalam struktur pasar yang bersaing sempurna. Nilai atau harga yang terbentuk di pasar internasional umumnya dijadikan sebagai acuan karena dianggap sebagai harga yang terbentuk oleh struktur pasar yang bersaing. Nilai atau harga hasil hutan selama ini tergolong rendah. Harga kayu bulat meranti di pasar dalam negeri pada awal Juni 2003 hanya berkisar antara US$ 60 - US$ 80 per m3. Sedangkan di Peninsula Malaysia, harga kayu bulat meranti dalam negeri mencapai sebesar US$ 180 - US$ 185 per m3. Harga ekspor meranti di Sarawak mencapai sebesar US$ 155 165 per m3 (ITTO, 2003). Rendahnya harga kayu bulat di Indonesia dibanding di Malaysia mengindikasikan fungsi pasar di Malaysia lebih baik dalam artian mampu sebagai mekanisme yang efisien untuk mengalokasikan pemanfaatan sumberdaya hutan. 51
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 39 - 63
Ketidakmampuan fungsi pasar sebagai mekanisme yang efisien untuk mengalokasikan sumberdaya disebut kegagalan pasar (market failure). Kegagalan pasar ditunjukkan oleh tidak berfungsinya pasar, terdistorsinya pasar atau ketiadaan pasar sama sekali (Panayotou, 1993). Ketiganya dapat menyebabkan mismanagement atau inefisiensi pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan. Harga yang terbentuk tidak merefleksikan biaya sosial dan manfaat penggunaan sumberdaya yang sebenarnya. Harga yang terbentuk menyampaikan informasi yang salah tentang kelangkaan sumberdaya dan memberikan insentif yang kurang memadai terhadap pengelolaan, penggunaan yang efisien dan konservasi sumberdaya alam. Terdapat 9 faktor penyebab kegagalan pasar yang berpengaruh terhadap pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya (Panayotou, 1993). Tiga faktor yang pertama: (1) ketidakjelasan atau tiadanya hak kepemilikan (property rights), (2) tiadanya harga dan tiadanya atau tipisnya pasar, dan (3) meluasnya pengaruh atau keterkaitan antar sektor yang berada di luar domain pasar. Tiga faktor yang kedua: (4) tingginya biaya transaksi, (5) barang publik yang tidak atau sebaiknya tidak disediakan oleh sektor swasta melalui meknisme pasar, dan (6) ketidaksempurnaan pasar terutama lemahnya persaingan dalam bentuk monopoli lokal, oligopoli dan pasar yang tersegmen. Tiga faktor yang terakhir: (7) ketidakmampuan melihat jangka panjang dalam pengertian bentang perencanaan yang terlalu pendek atau tingkat diskonto yang terlalu tinggi, (8) ketidakpastian dan penghindaran risiko, dan (9) irreversibility. Kesembilan faktor ini nampaknya berlaku juga bagi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia. Kegagalan pasar membuka peluang untuk melakukan intervensi. Namun kegagalan pasar hanya sebagai necessary dan bukan sufficient condition untuk melakukan intervensi (Panayotou, 1993). Untuk melakukan intervensi terdapat dua kondisi lain yang diperlukan. Pertama, intervensi harus mampu memperbaiki kinerja pasar atau memperbaiki fungsinya. Kedua, manfaat dari intervensi harus melebihi biaya perencanaan, implementasi dan pengawasan serta biaya tidak langsung dan tidak terduga dari distorsi akibat intervensi terhadap sektor-sektor perekonomian lain. Bila kedua kondisi tersebut tidak terpenuhi, bahayanya kemudian adalah intervensi kebijakan pemerintah mengalami kegagalan (policy failures). Kegagalan kebijakan dapat digolongkan ke dalam 4 tipe dasar (Panayotou, 1993): (1) kegagalan yang melibatkan distorsi pasar melalui pajak, subsidi, kuota, regulasi, perusahaan negara yang tidak efisien, dan proyek-proyek publik dengan economic return rendah dan dampak lingkungan tinggi (bila tidak gagal pasar berfungsi dengan baik), (2) kegagalan untuk memperhitungkan dan menginternalkan dampak negatif lingkungan yang signifikan (bila tidak gagal intervensi kebijakan terjamin), (3) kegagalan intervensi pemerintah yang bertujuan untuk mengoreksi atau mengurangi kegagalan pasar tapi berakhir dengan menghasilkan outcome yang lebih buruk dibanding pasar bebas, dan pasar yang gagal yang dihasilkan, dan (4) kegagalan karena kurangnya intervensi atas pasar yang gagal ketika intervensi memang diperlukan untuk memperbaiki berfungsinya pasar dan dapat dilakukan atas biaya yang sepenuhnya didasarkan atas manfaat yang diharapkan. 52
Analisis Kebijakan Sistem Insentif . . . Satria A., M. Z. Muttaqin, Nunung P. & Indartik
D. Distribusi Manfaat Sumberdaya Hutan Timpang 1.
Intensitas manfaat hutan
Selama ini manfaat sumberdaya hutan lebih banyak diperoleh dari kayu dengan pijakan "timber-based management". Intensitas pemanfaatan hutan yang lebih condong untuk menghasilkan kayu cenderung menyebabkan timpangnya distribusi manfaat hutan. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa pemanfaatan hutan untuk kayu cenderung menggunakan kapital intensif (meskipun dapat menggunakan padat tenaga kerja) sehingga kerusakan lingkungan cenderung tinggi. Dalam pemanfaatan hutan alam, kepentingan menginternalkan biaya lingkungan cenderung konflik dengan kepentingan mengembalikan investasi. Dalam pemanfaatan hutan tanaman, konflik kepentingan yang demikian dapat dihindarkan namun konflik yang terjadi adalah antara kepentingan pengembalian investasi dan peningkatan upah tenaga kerja. Umumnya pemanfaatan hutan untuk produksi kayu cenderung menyebabkan terciptanya distribusi manfaat yang timpang. Sebaliknya pemanfaatan hutan untuk menghasilkan hasil hutan bukan kayu yang tangible maupun intangible cenderung menggunakan kapital padat karya (meskipun dapat menggunakan kapital intensif) sehingga kerusakan lingkungan cenderung rendah. Kepentingan lingkungan cenderung tidak konflik dengan kepentingan pengembalian investasi. Pengembalian investasi juga cenderung tidak konflik dengan upah tenaga kerja karena masing-masing pihak cenderung saling membutuhkan atau saling memiliki ketergantungan yang tinggi. Umumnya pemanfaatan hutan untuk produksi hasil hutan bukan kayu yang tangible maupun intangible cenderung mendorong distribusi manfaat hutan yang lebih merata. Eksistensi hasil hutan bukan kayu baik yang bersifat tangible maupun intangible kurang dipikirkan. Foretika (2003) menyebutkan bahwa sumbangan pendapatan negara dari kehutanan sebesar 2,4% dan nilai ini hanya merupakan 5% dari total manfaat hutan. Dengan demikian, dari hutan masih terdapat peranan ekonomi (total economic value) sebesar 95% lagi yang belum diperhitungkan. Hasil beberapa penelitian mengenai potensi ekonomi produk jasa hutan disajikan pada Tabel 8 (Ginoga, 2003). Pada Tabel 8 terlihat bahwa nilai ekonomi dari fiksasi karbon dapat mencapai sebesar US$ 38 miliar per tahun, sementara jasa pariwisata sebesar Rp 1,8 miliar per tahun dan jasa air sebesar Rp 280 juta per ha per tahun.
53
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 39 - 63
Tabel 8. Potensi nilai jasa hutan Table 8. Potency of forest service value Bentuk(Form)
Nilai/tahun (Value/year)
Areal (Area)
Sumber(Source)
Sumber (Source): Ginoga (2003)
2.
Pembagian manfaat hutan
Berdasarkan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Pasal 6 ayat (5) disebutkan bahwa "Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk daerah". Dalam hal ini telah terdapat political will pemerintah untuk meningkatkan distribusi manfaat sumberdaya hutan bagi kesejahteraan masyarakat. Namun masalah yang masih perlu dicermati adalah apakah nilai penerimaan negara dari sektor kehutanan khususnya kayu yang termaktub dalam UU No. 5 Tahun 1999 telah mencerminkan nilai tegakan yang sebenarnya. 3.
Perolehan nilai tegakan
Rendahnya nilai tegakan yang diperoleh pemerintah tentunya akan menyulitkan upaya pemerintah untuk meningkatkan kinerja SFM. Hasil beberapa penelitian tentang nilai tegakan disajikan pada Tabel 9 (Subarudi dan Astana, 2002). Dari Tabel 9 dapat disimpulkan bahwa nilai tegakan yang selama ini diambil oleh pemerintah tergolong rendah terlebih dari nilai tegakan ini didistribusikan untuk peningkatan kinerja SFM dan kesejahteraan masyarakat. Ketimpangan distribusi manfaat antara yang diterima oleh pemerintah dan pengusaha hutan perlu menjadi perhatian. Melalui mekanisme yang mendasarkan pada rasional behavior pengusaha dan prinisp kelestarian pengelolaan hutan, pungutan kehutanan semestinya dapat dijadikan sebagai instrumen kebijakan untuk mengendalikan produksi sehingga kinerja SFM dapat diwujudkan.
54
Analisis Kebijakan Sistem Insentif . . . Satria A., M. Z. Muttaqin, Nunung P. & Indartik
Tabel 9. Nilai tegakan beberapa studi Table 9. Stumpage value of several studies No.
Judul studi (Study title)
Pelaksana/Tahun
Hasil Studi
Rekomendasi
(Researher/Year)
(Study result)
(Recommendation)
1
3
Sumber (Source): Subarudi dan Astana (2002) 4.
Masyarakat sekitar hutan
Hasil penelitian (Astana dkk, 2002) menunjukkan bahwa meskipun pendapatan penduduk per kapita di desa sekitar HPH relatif tinggi (Rp 2,491 juta), distribusi pendapatannya tidak merata (indeks Gini Ratio = 0,635) dan persentase penduduk di bawah garis kemiskinan juga relatif tinggi (setara 180 kg beras sebesar 29,09%; setara 240 kg beras sebesar 7,27%; dan setara 360 kg beras sebesar 10,91%). Demikian halnya di desa sekitar HTI. Meskipun pendapatan penduduk per kapita per tahun relatif tinggi (Rp 2,112 juta), distribusi pendapatannya tidak merata (indeks Gini Ratio = 0,543) dan persentase penduduk di bawah garis kemiskinan juga relatif tinggi (setara 180 kg beras sebesar 17,78%; setara 240 kg beras sebesar 5,56%; dan setara 360 kg beras sebesar 10,00%). Pemanfaatan hutan yang tidak benar telah menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas hutan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa akibat eksploitasi hutan alam yang berlebihan, pendapatan masyarakat Dayak, misalnya, menurun sebesar Rp 36.875 atau 33% per bulan pada tahun 1988 dibanding pendapatan sebelum adanya eksploitasi hutan (Alqadrie, 1990). 55
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 39 - 63
V.
ANALISIS KEBIJAKAN SISTEM INSENTIF
A. Justifikasi Kebijakan Sistem Insentif Keberadaan sumberdaya hutan mempengaruhi kelestarian mutu dan tatanan lingkungan serta pengembangan ekonomi dan pendapatan negara. Dengan demikian sistem pengelolaan sumberdaya hutan harus mampu menjaga serta meningkatkan fungsi dan peranannya bagi kepentingan generasi masa kini maupun masa datang. Karenanya sistem pengelolaan sumberdaya hutan perlu digerakkan oleh institusi pengelola yang profesional. Pengelolaan hutan yang baik adalah pengelolaan hutan yang didasarkan pada asas kelestarian atau sering disebut dengan istilah Sustainable Forest Managament (SFM). Namun kenyataan menunjukkan sebaliknya pengelolaan sumberdaya hutan hingga kini belum terwujud sebagaimana yang diharapkan. Degradasi sumberdaya hutan masih terus terjadi. Upaya untuk memperbaiki sumberdaya hutan yang terdegradasi dan mempertahankan bagian yang masih baik kondisinya diperlukan suatu kebijakan yang tepat. Kebijakan sistem insentif merupakan salah satu kebijakan yang dapat diadopsi. Melalui kebijakan sistem insentif pelaku ekonomi dan masyarakat yang terlibat dalam usaha kehutanan diharapkan dapat lebih didorong untuk mewujudkan SFM. Indikator situasi yang diharapkan ini akan ditunjukkan oleh terwujudnya efisiensi dan daya saing tinggi serta green market hasil hutan dalam upaya menjamin 3 fungsi pokok hutan, yaitu: (1) fungsi ekologi sebagai sistem penyangga kehidupan, (2) fungsi ekonomi sebagai penghasil barang clan jasa dan (3) fungsi sosial sebagai sumber penghidupan. Selama kerusakan sumberdaya hutan disebabkan oleh faktor-faktor mendasar, yang terdiri atas: (1) ekonomi biaya tinggi, (2) inefisiensi teknis pemanfaatan sumberdaya hutan dan pengolahan hasil hutan, (3) nilai ekonomi hasil hutan yang rendah, dan (4) distribusi manfaat sumberdaya hutan yang timpang, maka kebijakan sistem insentif dipandang efektif untuk mengatasi keempat faktor penyebab kerusakan sumberdaya hutan tersebut. Masing-masing faktor penyebab tentu memerlukan jenis, bentuk dan besaran insentif yang berbeda satu sama lain. Sebagai ilustrasi untuk mengatasi ekonomi biaya tinggi boleh jadi tidak diperlukan insentif fiskal, melainkan insentif kelembagaan2, karena ekonomi biaya tinggi lebih disebabkan oleh tidak efektifnya kelembagaan, yang kemudian menyebabkan munculnya biaya-biaya tidak resmi termasuk di dalamnya biaya-biaya yang ditimbulkan oleh ketidakpastian usaha dan hilangnya kesempatan dan waktu. Hasil penelitian Depperindag dan Sucofindo membuktikan kondisi yang demikian. Kemudian hasil penelitian Tim Fahutan IPB juga menunjukkan bahwa persentase pungutan resmi baik pajak maupun bukan pajak masih wajar (kurang 30%). Demikian pula untuk mengatasi masalah nilai ekonomi yang rendah boleh jadi juga tidak diperlukan insentif fiskal untuk mendorong kenaikannya melainkan insentif kelembagaan. Sebaliknya penyelesaian masalah 2
Istilah insentif kelembagaan didasarkan pada fakta adanya paradigma dalam birokrasi pemerintahan yang menganggap unsur-unsur kelembagaan dapat dimoneterkan sehingga sebenarnya identik dengan insentif fiskal (dalam bentuk yang lain). Meskipun tidak semua unsur dalam birokrasi pemerintahan setuju dan menerapkan paradigma ini.
56
Analisis Kebijakan Sistem Insentif . . . Satria A., M. Z. Muttaqin, Nunung P. & Indartik
inefisiensi teknis pemanfaatan hutan dan pengolahan hasil hutan serta distribusi manfaat hutan yang timpang boleh jadi justru memerlukan baik insentif fiskal maupun insentif kelembagaan yang tepat. Secara bertahap teratasinya masalah ekonomi biaya tinggi, inefisiensi pemanfaatan hutan dan pengolahan hasil hutan, nilai ekonomi rendah, dan distribusi manfaat yang timpang akan semakin mendorong terciptanya situasi yang kondusif menuju terwujudnya SFM. Terwujudnya situasi yang kondusif ini ditunjukkan oleh tiga indikator yaitu: (1) tingginya efisiensi pemanfaatan hutan dan pengolahan hasil hutan, (2) tingginya daya saing hasil hutan, dan (3) terwujudnya green market hasil hutan. Namun demikian intervensi yang diberlakukan perlu memperhatikan bukan hanya kegagalan pasar sebagai necessary tetapi juga sufficient condition untuk melakukan intervensi. Dua kondisi lain yang perlu diperhatikan yaitu: (1) intervensi harus mampu memperbaiki kinerja pasar atau memperbaiki fungsinya, dan (2) manfaat dari intervensi harus melebihi biaya yang ditanggung (perencanaan, implementasi, pengawasan, biaya tidak langsung dan tidak terduga akibat distorsi oleh intervensi terhadap sektor-sektor perekonomian lain). Bila kedua kondisi yang demikian tidak terpenuhi maka intervensi kebijakan boleh jadi akan mengalami kegagalan (policy failures). B. Prinsip Dasar Pemberian Insentif Kebijakan pemberian insentif oleh pemerintah mensyaratkan pengelolaan hutan yang transparan dan akuntabel bukan hanya dari aspek teknis pengelolaan, melainkan juga dari aspek finansial. Bila tidak demikian, maka pemberian insentif menjadi tidak bermakna karena hanya akan memberikan peluang munculnya moral hazard. Pemberian insentif fiskal juga bukan ditujukan untuk mengatasi permasalahan yang diakibatkan oleh distorsi pasar hasil hutan. Sebagai ilustrasi bila harga log rendah akibat suatu kebijakan pemerintah (yang menimbulkan distorsi pasar), maka pemberian insentif fiskal untuk menurunkan biaya produksi tentu akan memperparah distorsi pasar yang terjadi. Dalam hal ini kebijakan insentif fiskal hanya akan melanggengkan kebijakan sebelumnya yang keliru. Insentif yang tepat adalah insentif kelembagaan yang bertujuan untuk menurunkan distorsi pasar yang terjadi. Kemudian pemberian insentif fiskal kepada unit usaha ekonomi yang bertindak sebagai penghasil bahan baku perlu dicegah sedemikian rupa sehingga tidak dimanfaatkan untuk menaikkan daya saing bagi unit usaha ekonomi yang bertindak sebagai pengolah bahan baku. Sebagai ilustrasi bila insentif fiskal diberikan kepada perusahaan HPH, maka perusahaan Industri Pengolahan Kayu Hulu (IPKH) yang terintegrasi dengan HPH yang bersangkutan yang akan memanfaatkan. Hal ini disebabkan oleh perusahaan IPKH yang bersangkutan dalam praktek cenderung meminimalkan biaya produksi kayu olahan dengan cara menekan harga kayu bulat, mengingat biaya bahan baku kayu merupakan biaya tertinggi dalam total biaya produksi. Penekanan harga kayu bulat oleh perusahaan IPKH induknya dalam praktek sering menyulitkan perusahaan HPH pemasok untuk mewujudkan praktek SFM. Dengan demikian, insentif fiskal yang diberikan kepada perusahaan HPH menjadi tidak bermakna untuk memperbaiki kinerja SFM. Bila insentif perlu diberikan kepada perusahaan IPKH, maka insentif yang 57
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 39 - 63
diberikan adalah insentif kelembagaan yang didasarkan pada rasional behavior pengusaha yang bersangkutan. Sebagai contoh kemudahan pelayanan yang diperkirakan menyebabkan self-control bagi perusahaan IPKH yang bersangkutan untuk mengefisienkan kinerjanya (sebagai kebutuhan perusahaan). Selanjutnya tanpa mengetahui kinerja suatu unit ekonomi, pemberian insentif menjadi tidak bermakna untuk perbaikan kinerja SFM unit ekonomi yang bersangkutan. Penentuan jenis, bentuk dan besaran insentif perlu didasarkan pada kinerja unit ekonomi yang bersangkutan. Ukuran kinerja unit ekonomi yang dinilai, terutama aspek-aspek atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan upaya mendorong terwujudnya SFM. Cara yang murah, pemerintah dapat memberlakukan kebijakan mandatory bagi unit ekonomi untuk melaporkan kinerja SFM-nya sebagai persyaratan memperoleh insentif. Biaya melakukan sertifikasi hutannya ditanggung oleh unit ekonomi itu sendiri. Sebagai contoh hasil sertifikasi hutan oleh lembaga sertifikasi independen dengan sistem tertentu, telah memberikan tingkat- kelulusan tertentu (misalnya, emas, perak, perunggu, tembaga, seng). Atas dasar hasil kelulusan tersebut, lembaga sertifikasi dalam laporannya biasanya memberikan rekomendasi perbaikan kinerja SFM-nya. Hasil rekomendasi perbaikan kinerja SFM-nya tersebut dapat dijadikan landasan untuk pemberian insentif. Unit ekonomi yang memiliki kinerja baik mendapat insentif; kinerjanya perlu dibuktikan terlebih dahulu melalui audit (MONEV). Akhirnya, pemberian insentif perlu dibarengi dengan kontrol yang baik. Tanpa kontrol yang baik, maka insentif yang diberikan tidak akan bermakna untuk perbaikan kinerja SFM unit ekonomi yang bersangkutan. C. Cakupan (Scope) Pemberian Insentif Ruang lingkup insentif didasarkan pada paradigma ecosystem-based management. Artinya, pemanfaatan sumberdaya hutan wajib mempertimbangkan ekosistem hutan. Atas dasar paradigma ecosystem-based forest management, cakupan kegiatan yang memperoleh insentif dapat meliputi seluruh kegiatan strategis yang berkontribusi signifikan terhadap terwujudnya SFM. Kegiatan strategis yang dimaksudkan merupakan kegiatan pelaku ekonomi dan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya hutan dan mengolah hasil hutan. Secara ringkas, terdapat tiga klasifikasi unit usaha pemanfaatan sumberdaya hutan dan pengolahan hasil hutan. Pertama adalah pemanfaatan sumberdaya hutan yang meliputi: (1) Unit Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (UUP-HHK), (2) Unit Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (UUP-HHBK) dan (c) Unit Usaha Pemanfaatan Jasa Hutan (UUPJH). Kedua adalah pengolahan hasil hutan yang meliputi: (1) Unit Usaha Industri Pengolahan Kayu Hulu (UUI-P-KH) dan (2) Unit Usaha Industri Pengolahan Hasil Hutan Bukan Kayu (UUI-P-HHBK). D. Landasan Pemberian Insentif Menuju Kaedah Sustainable Forest Management 1.
Landasan pemberian insentif
Untuk memberikan insentif perlu terdapat landasan sebagai alasan diperlukannya insentif untuk mendorong terwujudnya SFM (Sustainable Forest Management). Landasan 58
Analisis Kebijakan Sistem Insentif . . . Satria A., M. Z. Muttaqin, Nunung P. & Indartik
memberikan insentif perlu didasarkan atas kinerja SFM unit usaha pemanfaatan hutan yang bersangkutan. Secara ringkas konsepnya memiliki tiga unsur yang saling berkaitan. Pertama adalah landasan pemberian insentif yakni komitmen yang kuat terhadap SFM. Kedua adalah alat pungukur SFM yakni capaian kinerja SFM (dengan standar). Ketiga adalah alat ukur capaian kinerja SFM yakni kriteria dan indikator SFM. Ukuran kinerjanya dinilai berdasarkan ukuran sistem penilaian yang disusun kemudian, hasil penelitian, atau sistem sertifikasi yang telah dikembangkan, misalnya, menggunakan sistem sertifikasi hutan yang telah dikembangkan oleh FSC (Forest Stewardship Council) atau LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia). Hasil sertifikasi hutan sistem LEI atau FSC kemudian dirumuskan kembali dengan melihat aspek-aspek dasar terwujudnya pengelolaan hutan lestari. Sebagai ilustrasi dalam kasus hutan produksi perusahaan HPH (HTI) misalnya terdapat 7 indikator. Tiga indikator yang pertama terdiri atas: (1) kepastian lahan hutan, (2) kondisi tegakan hutan dan (3) sarana dan prasarana serta peralatan HPH (HTI). Empat indikator yang terakhir terdiri atas: (4) struktur organisasi dan tenaga kerja HPH (HTI), (5) instrumen pengelolaan hutan lestari (KPHP, RIL, TUK, PMDH), (6) kesehatan finansial (likuiditas, solvabilitas, rentabilitas) dan (7) price trend. Penilaian dilakukan atas ketujuh indikator tersebut. Hasil penilaian atas masing-masing indikator dijadikan landasan pemberian insentif. Hasil penilaian tiap indikator dan tiap perusahaan HPH (HTI) tentu berbeda satu sama lain. Dengan demikian insentif yang diberikan juga berbeda satu sama lain. Namun melalui mekanisme insentif yang tepat pengelolaan hutan secara keseluruhan didorong menuju terwujudnya SFM. 2.
Unit usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
Unit usaha pemanfaatan hasil hutan kayu terdapat di kawasan hutan produksi, yang terdiri atas: (1) kawasan hutan produksi negara, dan (2) kawasan luar kawasan hutan produksi negara. Unit usaha pemanfaatan hutan yang berada di kawasan hutan produksi negara, terdiri atas: (a) hutan alam, (b) hutan tanaman, dan (c) hutan berbasis masyarakat. Sedangkan unit usaha pemanfaatan hutan yang berada di kawasan luar hutan produksi negara, terdiri atas: (a) hutan rakyat, dan (b) hutan berbasis masyarakat. Sejauh ini sistem sertifikasi hutannya telah tersedia. Sebagai contoh, sistem sertifikasi Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL)-LEI dapat digunakan untuk perusahaan HPH dan sistem sertifikasi Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari (PHTL)-LEI untuk perusahaan HTI. Hutan rakyat dan hutan bersasis masyarakat dapat digunakan sistem sertifikasi PHBML (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari). 3.
Unit usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
Unit usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu terdiri atas: (a) rotan, (b) damar, (c) gaharu, (d) gondorukem, dan lain-lain. Sejauh ini sistem sertifikasinya belum tersedia. Namun demikian, karena unit usaha ini dilakukan di hutan produksi, hutan lindung dan kawasan penyangga hutan konservasi, sistem penilaian kinerja SFM-nya dapat dilakukan bersamaan dengan penilaian kinerja unit usaha pemanfaatan hutannya bila unit usahanya
59
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 39 - 63
berada di kawasan hutan negara, atau perlu dikembangkan sistem penilaian tersendiri bila berada di luar kawasan hutan negara. 4.
Unit usaha pemanfaatan jasa hutan
Unit usaha pemanfaatan jasa hutan terdiri atas: (a) jasa air, (b) jasa rekreasi, dan (c) jasa penyerapan karbon. Unit usaha ini dilakukan di hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi. Sistem sertifikasi hutan penghasil jasa air, jasa rekreasi dan jasa penyerapan karbon belum tersedia. 5.
Unit usaha industri pengolahan hasil hutan hulu
Unit usaha industri pengolahan hasil hutan hulu terdiri atas: (a) Industri Pengolahan Kayu Hulu (IPKH) dan (b) Industri Pengolahan Hasil Hutan Bukan Kayu (IP-HHBK). Sistem sertifikasi untuk IPKH telah tersedia, misalnya, Sistem Lacak Balak, sedangkan sistem sertifikasi IP-HHBK belum tersedia. E. Sistem Pemberian Insentif 1.
Jenis dan bentuk serta besaran insentif
Penentuan jenis dan bentuk serta besaran insentif diselaraskan dengan hasil penilaian kinerja SFM unit usaha yang bersangkutan, atau hasil penelitian. Kegiatankegiatan yang mana dalam pemanfaatan hutan dan pengolahan hasil hutan yang masih perlu dibantu dengan pemberian insentif fiskal atau kelembagaan. Pemberian insentif bertujuan untuk mendorong unit usaha pemanfaatan hutan dan pengolahan hasil hutan semakin bergairah memperbaiki kinerja SFM, dan bukan sebaliknya. Hasil penelitian Dwiprabowo (2003), misalnya, menyimpulkan bahwa untuk dapat menerapkan RIL (Reduced Impact Logging), unit usaha ekonomi akan menghadapi tambahan biaya pembangunan jalan dan pelatihan tenaga kerja. Insentif, tentunya, dapat diberikan untuk mengatasi persoalan tersebut. Insentif yang diberikan, misalnya, insentif fiskal, berupa penyediaan pelatihan RIL oleh pemerintah, atau insentif kelembagaan, misalnya, berupa penyederhanaan pengurusan perijinan pengadaan peralatan untuk pembangunan sarana jalan. Penentuan jenis, bentuk dan besaran insentif untuk masingmasing unit usaha pemanfaatan hutan dan pengolahan hasil hutan perlu dilakukan oleh suatu tim yang terpercaya integritasnya. 2.
Monitoring dan evaluasi dampak insentif
Memonitor dan mengevaluasi dampak insentif terhadap efisiensi dan daya saing serta green market hasil hutan. Ukuran-ukuran (measures) dampak efisiensi, daya saing dan green market perlu dikembangkan. Bila hasil MONEV menunjukkan kinerja SFM yang terus membaik, maka pemberian insentif tergolong efektif, dan sebaliknya, bila terus 60
Analisis Kebijakan Sistem Insentif . . . Satria A., M. Z. Muttaqin, Nunung P. & Indartik
menurun, maka pemberian insentif tidak efektif. Oleh sebab itu ukuran-ukuran dampak pemberian insentif menjadi penting untuk menjadi perhatian. Dalam kasus hasil MONEV menyimpulkan kinerja SFM suatu unit usaha ekonomi tertentu terus membaik atau setelah membaik kemudian menurun hingga masih dalam batas atau berada di bawah batas toleransi, perlu dipikirkan insentif di luar sistem yang dikembangkan. Dalam kasus-kasus demikian, perlu mengkaji faktor-faktor penyebabnya secara mendalam. 3.
Institutional arrangement
Perlu mempertimbangkan keterkaitan antar institusi dalam dan luar lingkup Dephut serta pusat dan daerah. Institutional arrangement yang dijalankan perlu menghindari terjadinya pengaturan yang kontradiktif dengan upaya pemberian insentif itu sendiri. Jenis, bentuk dan besaran insentif perlu dibedakan antar jenis usaha, namun pengaturannya dapat sama untuk tiap jenis usaha. Dalam pelaksanaan MONEV dapat saja memiliki sistem yang sama, yang terdiri dari mekanisme dan prosedur, misalnya, instansi mana, melaksanakan apa dan kapan serta bagaimana melaksanakannya. Namun untuk memperoleh kesepakatan bersama, pola institutional arrangement masih perlu didiskusikan sehingga diperoleh pengaturan yang sesuai dengan aturan main yang diharapkan. VI. KESIMPULAN Kebijakan sistem insentif hanya merupakan salah satu kebijakan untuk mengembalikan kondisi sumberdaya hutan yang rusak menuju ke arah terwujudnya Sustainable Forest Management. Melalui kebijakan sistem insentif yang tepat, pelaku ekonomi dan masyarakat yang terlibat dalam bisnis kehutanan diharapkan lebih bergairah untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Indikator kondisi yang bergairah dalam pengelolaan hutan lestari ditunjukkan oleh terwujudnya efisiensi dan daya saing tinggi serta terbangunnya green market hasil hutan. Secara teknis efektivitas kebijakan sistem insentif bergantung pada ketepatan jenis, bentuk, dan besaran insentif yang diberikan. Secara politis efektivitasnya bergantung pada kapasitas, kapabilitas, dan akuntabilitas instansi yang terlibat. Keberhasilan pelaksanaan kebijakannya harus didasarkan pada hasil MONEV, yang keakuratannya bergantung pada ketepatan ukuran-ukuran dampak yang dikembangkan dan digunakan.
61
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 4 No. 1, Maret 2007 : 39 - 63
DAFTAR PUSTAKA Alqadrie, S.I. 1990. Ethnicity and Social Change in Dayaknese Society of West Kalimantan, Indonesia. PhD Dissertation. Univ. of Kentucky. Lexington. APHI. 2002. Evaluasi Kinerja 30 HPH Berdasarkan Kriteria ITTO. APHI. Jakarta. Astana S., D. Djaenudin dan M. Z. Muttaqin. 2003. Kajian Peranan Sektor Kehutanan dalam Perekonomian Daerah. Laporan Penelitian Tahun 2002. Puslitbang Sosek Kehutanan. Bogor. Astana S., M. Z. Muttaqin dan D. Djaenudin. 2002. Analisis Dampak Kebijakan Konversi Lahan Hutan. Laporan Penelitian Tahun 2002. Puslitbang Sosek Kehutanan. Bogor. Baplan. 2002: Statistik Kehutanan Indonesia 2001. Baplan. Jakarta. Coelfer, C. J. P., R. L. Wadley, E. Harwell, and R. Prabhu. 2001. Assessing Intergenerational Access to Resources: Using Criteria and Indicators in West Kalimantan, Indonesia in People Managing Forests: The Links between Human Well-Being and Sustainability, ed. by Coelfer and Byron. Resources for The Future and CIFOR. Washington. Dwiprabowo, H., S. Grulois, P. Sist, and K. Kartawinata. 2002. Cost-benefit Analysis of Reduced-Impact Logging in a Lowland Dipterocarp Forest of Malinau, East Kalimantan, in Technical Report Phase 11997 - 2001, ITTO Project PD 12/97 REV. 1(F) Forest, Science and Sustainability: The Bulungan Model Forest. ITTO and CIFOR. Depperindag dan Sucofindo. 2001. Peningkatan Efisiensi Expor-Impor untuk Meningkatkan Ekonomi Nasional. Kerjasama antara Depperindag dan Sucofindo. Jakarta. Depperindag. 2003. Ekspor Non Migas Utama Menurut Sektor. http://www.dprin.go.id. Ditjen BPK. 2002. Data Evaluasi Kinerja HTI. Jakarta _________. 2001. Data Evaluasi Kinerja HPH. Jakarta Fahutan IPB. 2003. Peninjauan Menyeluruh Terhadap Pungutan Sektor Usaha Kehutanan. Makalah Utama Workshop Nasional Rasionalisasi Sistem Pungutan pada Pengusahaan Hutan Alam di Indonesia. Diselenggarakan oleh Fahutan IPB, 26 Juni 2003. Bogor. Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi Kehutanan Indonesia. 2003. Pernyataan Sikap Lima Pimpinan Pendidikan Kehutanan terhadap Penambangan Hutan Lindung. Siaran Pers.
62
Analisis Kebijakan Sistem Insentif . . . Satria A., M. Z. Muttaqin, Nunung P. & Indartik
Ginoga, K. L. 2003. Kontroversi Tangible dan Intangible Hutan. Info Sosek. Siap Terbit. Idris, M. M. dan Sona Suhartana. 1996. Limbah Kayu Akibat Pembuatan Jalan Hutan dan Tebang Bayang pada Enam Hak Pengusahaan Hutan di Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hasil Hutan 14 (1): 7 - 15. Puslitbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. ITTO. 2003. Market Information: Tropical Timber Market Report, 16 - 30th June 2003. http://www.itto.or.jp/market/recent/mns061603.html#1. Panayotou, T. 1993. Green Markets: The Economics of Sustainable Development. ICS Press. California. Rohadi, D.dan Bakir Ginoga. 1994. Sifat Penggergajian dan Pengerjaan Beberapa Jenis Kayu HTI. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 12 (1): 5 - 8. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor. Subarudi dan S. Astana. 2002. Analisis Nilai Tegakan Hutan Alam dalam Revaluasi Nilai Kayu. Puslitbang Sosek Kehutanan. Bogor. Suhartana, S. 1994. Penetapan Besarnya Limbah Penebangan serta Upaya Penekanannya. Jurnal Penelitian clan Pengembangan Kehutanan 9 (3): 25 - 31. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Suhartana, S. 2002. Dampak Pembalakan Berwawasan Lingkungan Terhadap Kerusakan Tegakan dan Biaya Penyaradan di Hutan Produksi Alam. Buletin Penelitian Hasil Hutan 20 (4) 285- 301. Puslitbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Silitonga, T. 1990. Masalah Bahan Baku dan Teknik Pengolahan dalam Industri Sekunder Perkayuan. Prosiding Diskusi Industri Perkayuan. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Silviani. 1993. Analisis Biaya Energi Pada Beberapa industri Kayu Lapis di Kalimantan Timur.1993. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 11: (2) 80 - 85. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor. Suparna, N. 2002. Rasionalisasi Pungutan di Sektor Kehutanan Mendesak Dilakukan. Makalah Raker APHI. Denpasar. Thaib, J. 1985. Pengaruh Penggunaan Traktor Terhadap Tegakan Tinggal Pada Beberapa Pengusahaan Hutan Di Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 2 (3): 10 - 14. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor
63
Petunjuk Bagi Penulis Bahasa : Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris dengan ringkasan dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia. Format : Naskah diketik dalam MS Word diatas kertas A4 dengan 2 spasi. Pada semua tepi kertas disisakan ruang kosong miimal 3,5 cm. Naskah dikirim via e-mail atau hard copy bersama disketnya kepada Dewan Redaksi dengan alamat seperti tersebut diatas. Paling lambat dua bulan setelah naskah diterima, keputusan naskah diterima/ditolak sudah disampaikan kepada Penulis. Judul : Judul dibuat tidak lebih dari dua baris dan harus mencerminkan isi tulisan. Nama penulis dicantumkan dibawah judul. Ringkasan : Ringkasan dibuat tidak lebih dari 200 kata berupa intisari permasalahan dan hasil secara menyeluruh dan bersifat informatif mengenai hasil yang dicapai. Kata Kunci : Kata kunci dicantumkan di bawah ringkasan. Tabel : Judul tabel dan keterangan ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan jelas dan singkat. Foto : Foto harus mempunyai ketajaman yang baik diberi judul dan keterangan. Daftar Pustaka : Daftar pustaka yang dirujuk harus tersusun menurut abjad nama pengarang dengan mencantumkan tahun penerbitan, judul tulisan dan penerbit serta kota diterbitkan. Dewan Redaksi dapat merubah redaksi tulisan sepanjang arti/isinya tidak mengalami perubahan. Naskah yang diterima untuk diterbitkan akan dikirim kembali kepada penulisnya jika melampirkan perangko pengembalian. Penulis : Peminat atau Ahli Kehutanan yang berasal dari Lembaga Penelitian, Perguruan Tinggi, Organisasi Profesi maupun perorangan yang mempunyai pandangan tentang kebijakan kehutanan.