KEBIJAKAN AGRARIA PADA SEKTOR KEHUTANAN Oleh: Moh. Shohibuddin dan Endriatmo Soetarto
A. Mengapa Kebijakan Agraria? Sistem ekonomi dan politik yang diterapkan selama rezim Orde Baru secara mendasar telah menyebabkan berlangsungnya proses konsentrasi penguasaan lahan dan sumber-sumber agraria lain pada segelintir elit desa dan kota, khususnya para pemilik modal besar. Pada saat yang sama, proses konsentrasi penguasaan itu di sisi lain telah berdampak pada terjadinya proses pemiskinan agraria pada masyarakat pedesaan; yakni, makin terbatasnya akses mayoritas warganegara Indonesia ini terhadap sumber-sumber agraria yang merupakan sumber penghidupan dan kesejahteraan mereka yang paling pokok. Sebagai gambaran kasar, berdasarkan Sensus Pertanian tahun 1993, dari keseluruhan jumlah rumahtangga pertanian (20,7 juta rumahtangga), sebanyak 10,8% di antaranya adalah rumahtangga petani yang tidak menguasai tanah (tuna kisma) atau menguasai tanah dalam jumlah yang sangat kecil, yakni kurang dari 0,5 hektar (petani gurem). Pada tahun 2003 keadaan ini tidak bertambah baik di mana dari rumahtangga pertanian yang berjumlah 25,4 juta rumahtangga, sejumlah 13,6% di antaranya termasuk dalam kategori petani gurem (BPS 2004). Kondisi ini diperparah oleh inkonsistensi kebijakan tata ruang yang sangat bias sektoral dan memarjinalkan sektor pertanian yang berakibat pada terjadinya perubahan fungsi lahan secara cepat dan tak terkontrol, dalam hal ini konversi lahan-lahan pertanian ke non-pertanian. Selain makin berkurangnya luas penguasaan lahan dan kawasan pertanian, proses pemiskinan agraria itu juga terjadi melalui proses penyisihan dan bahkan penghancuran berbagai sistem penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam yang terdapat pada komunitas-komunitas lokal. Kebijakan nasional dalam pengelolaan SDA yang sentralistis serta penerapan prinsip hak menguasai negara (HMN) secara ketat dan sepihak tanpa mengindahkan hak-hak masyarakat lokal telah menyebabkan berbagai sistem penguasaan bersama (communal property right) atas sumber-sumber agraria dan kekayaan alam yang ada di dalamnya hanya diakui secara terbatas dan dengan persyaratan ketat, sehingga dalam kenyataannya sistem-sistem ini selalu dipinggirkan dengan alasan kepentingan nasional. Di luar Jawa khususnya, paling tidak ada dua bentuk penguasaan sumbersumber agraria oleh masyarakat lokal yang penting. Pertama, penguasaan sumber-
1
sumber agraria oleh kelompok (common property) di bawah marga seperti halnya di banyak daerah di Sumatra. Kedua, penguasaan sumber-sumber agraria oleh kelompok tribal, seperti halnya di beberapa daerah di Kalimantan. Sejak tahun 1970-an, sistem penguasaan sumber-sumber agraria oleh kelompok marga telah mengalami erosi kelembagaan dan penyusutan kawasan akibat tekanan ekonomi pasar serta klaim oleh negara. Suatu proses yang dampak negatifnya paling dirasakan oleh golongan miskin. Sementara di Kalimantan, sejak tahun 70-an juga banyak mengalami penyusutan sumber-sumber agrarianya karena klaim negara atas kawasan yang sejak lama dikelola oleh masyarakat lokal ini. Suatu kondisi yang di satu pihak telah melestarikan kemiskinan, dan di lain pihak turut menyumbang kerusakan alam. Proses pemiskinan agraria yang bersifat struktural di atas bukan saja telah menyebabkan terjadinya kemiskinan yang berkelanjutan dan kerusakan lingkungan. Lebih dari itu, problem itu juga berkulminasi menjadi konflik agraria yang terbuka dan berkepanjangan; suatu konflik yang tidak saja bermatra ekonomis namun juga sosial dan politis. Data yang berhasil dikumpulkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) berikut ini memberikan ilustrasi mengenai skala keluasan dan kedalaman konflik agraria yang terjadi di Indonesia selama periode tiga dasawarsa. Tabel 1.1. Karakteristik Konflik Agraria di Indonesia (1970-2001)
Provinsi
Angka Kasus
Luas Tanah Sengketa (Hektar)
Angka Korban (KK) 237.482 117.194 187.428 71.830 89.548 72.494 51.955 120.840 16.994 61.059 2.955 14.056 22.684 29.134 35.943 57.885
Pihak-pihak yang Bersengketa dengan Pengguna Tanah Pemerintah
Jawa Barat DKI Jakarta Jawa Timur Sumatra Selatan Sumatra Utara Jawa Tengah Sulawesi Tengah Lampung Sulawesi Selatan NAD NTT Riau Kalimantan Timur Sumatra Barat Papua Provinsi Lain
484 175 169 157 121 99 58 54 48 47 44 33 33 32 28 171
184.484 60.615 390.296 305.323 509.100 32.417 1.036.589 320.716 54.555 362.027 472.571 134.170 1.676.614 266.597 4.012.224 1.073.904
Total
1.753
10.892.202 1.189.481 719
Sumber: Konsorsium Pembaruan Agraria (2002)
2
197 96 77 27 39 57 21 23 25 11 28 8 13 14 15 68
Militer 12 5 9 1 8 1
Perusahaan Perusahaan Negara Swasta
1 3 3 1 2 0 1 1 2 9
60 9 31 18 26 23 4 4 4 9 4 2 5 4 0 16
225 66 59 116 57 25 34 25 17 26 22 23 16 15 12 95
59
219
833
Problem struktural di atas terjadi karena sistem ekonomi dan politik selama rezim Orde Baru hanya menekankan pada aspek peningkatan produksi tanpa terlebih dahulu menata struktur agraria dari yang timpang menjadi lebih adil. Secara khusus, kebijakan agraria yang ditempuh lebih ditujukan untuk mendukung akselerasi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dengan asumsi bahwa proses pertumbuhan itu akan menghasilkan mekanisme trickle down effect yang manfaatnya akan dirasakan masyarakat luas. Akibatnya, berbagai perangkat hukum dan finansialnya pun cenderung tidak memiliki keberpihakan dan sensitifitas yang nyata kepada kepentingan golongan miskin (baca: anti poor), termasuk dalam hal jaminan akses golongan ini terhadap sumber-sumber agraria. Secara ringkas, politik agraria untuk mendukung kebijakan pertumbuhan ekonomi tersebut diwujudkan dalam bentuk kebijakan penguasaan tanah dan pengelolaan kekayaan alam skala besar dalam rangka proyek-proyek eksploitasi sumberdaya alam yang dijalankan baik oleh instansi dan perusahaan milik negara maupun swasta. Untuk mendukung ini, dilakukan sektoralisme kebijakan agraria melalui berbagai peraturan perundangan, seperti Undang-undang Pokok Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967 dan Undang-undang Pokok Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967. Undang-undang sektoral ini telah memandulkan kedudukan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 sebagai perundangan payung. Dengan demikian, perangkat hukum UUPA yang secara tegas menyatakan komitmen negara sebagai pembela kepentingan dan kedaulatan rakyat ini praktis telah dipeti-eskan selama masa Orde Baru, meski secara formal tidak pernah dinyatakan dicabut. Melalui berbagai produk perundangan sektoral ini rezim Orde Baru dapat dengan leluasa melakukan pengadaan tanah dalam skala besar untuk kepentingan modal. Mekanisme pengadaan tanah melalui intervensi negara ini dijalankan melalui penetapan berbagai jenis hak tertentu atas sebidah tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Berbagai jenis hak yang diperkenalkan antara lain adalah Hak Guna Usaha, Hak Pengusahaan Hutan, Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri, Kuasa Pertambangan, Kontrak Karya Pertambangan, dan lainlain. Sementara itu, kebijakan ekonomi politik dalam sektor pertanian pangan lebih ditekankan pada orientasi pemenuhan kebutuhan pangan nasional ketimbang peningkatan kesejahteraan petani dan jaminan sosial-ekonominya secara nyata. Hal ini diwujudkan dalam bentuk kebijakan padat modal Revolusi Hijau yang terdiri atas paket adopsi teknologi modern (“panca usaha tani”), penyediaan kredit, subsidi sarana produksi, dan juga mobilisasi petani melalui program “bimas”. Kesemuanya ini ditujukan untuk mencapai swasembada beras dengan harga yang tetap rendah. Pada kenyataannya, politik pangan ini sangat bias terhadap kepentingan kota/industri dan lebih mengandung muatan politis karena ditujukan untuk menjamin kecukupan pangan nasional yang sangat menentukan stabilitas politik, terutama di perkotaan. Pada saat yang sama juga digulirkan program agroindustri melalui pemberian kemudahan kepada para pemilik modal untuk mengusahakan komoditas
3
perkebunan yang laku di pasar internasional. Kemudahan dimaksud adalah pemberian HGU atas Tanah Negara kepada perusahaan-perusahaan BUMN maupun swasta, baik melalui pola perkebunan besar ataupun PIR-BUN. Kebijakan pemberian HGU atas Tanah Negara yang kebanyakan dikuasai oleh masyarakat lokal ini memicu berulangnya pola konflik agraria era kolonial (Lucas ....), yaitu konflik strukturalvertikal antara pemerintah dan pemilik modal sebagai penguasa sumberdaya agraria berhadapan dengan rakyat yang berusaha mempertahankan haknya. Berbagai kebijakan agraria yang bercorak pro-growth dan anti-poor di atas telah menjadikan gejala ketimpangan agraria sebagai problem yang inhern dalam struktur sosial masyarakat Indonesia, baik ketimpangan itu dalam hal penguasaan, peruntukan maupun konsepsi legal atas sumber-sumber agraria (Wiradi 2000). Problem struktural ini telah menyebabkan bertahannya kondisi kemiskinan pada sebagian besar rakyat Indonesia. Sebagian besar wilayah pertanian merupakan daerah kantong kemiskinan, yang hanya melahirkan generasi buruh migran ke sektor informal di perkotaan, atau kalau tidak hanya menjadi buruh-buruh pertanian yang sangat minim jaminan sosial ekonomi tenaga kerjanya. Tambahan lagi, dalam konteks modernisasi bangsa, hal itu juga telah menyebabkan gagalnya bangsa ini melakukan proses transformasi agraria secara mendasar. Suatu proses yang dicirikan oleh perubahan keseluruhan sistem hubungan sosial ekonomi pertanian secara nasional dari yang bercorak feodalistik dan eksklusif (terpisah dari industri) menjadi sistem yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan dan kemandirian rakyat, makin produktif, dan terintegrasi dengan pilar-pilar ekonomi nasional lainnya (Wiradi 2000). Seiring kegagalan ini maka yang berlangsung adalah proses sebaliknya, yaitu lahir dan bercokolnya kapitalisme agraria yang feodalistik yang ditandai oleh empat hal sebagai berikut (Suhendar dan Winarni 1998): (1) beralihnya penguasaan aset produksi dari para petani penggarapnya, (2) munculnya monopoli di sektor agraria, (3) hilangnya hak-hak tradisional dalam penguasaan dan pengelolaan sumbersumber agraria, dan (4) terjadinya konsentrasi penguasaan aset produksi di tangan segelintir elit. Berbagai upaya perbaikan yang telah dicoba pemerintah selama ini untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kemandegan produktivitas pertanian telah gagal dan hanya membuat masalahnya menjadi kian runyam. Pada umumnya upaya-upaya itu mengedepankan pendekatan teknologi tanpa menyentuh masalah esensialnya, yaitu ketidakadilan agraria. Dengan demikian, langkah-langkah itu hanya bersifat tambal sulam karena tidak pernah dimulai dari aspek strukturalnya ini. Di sinilah kebijakan pembaruan agraria menjadi penting sebagai jalur utama transformasi agraria kita menuju proses industrialisasi pertanian dan pedesaan. Pengalaman selama rezim Orde Baru telah menunjukkan bahwa tanpa melakukan perubahan struktural ini, yang terjadi hanyalah pengulangan model perkebunan kolonial yang menghadirkan industri perkebunan di desa secara fisik, namun justru memapankan struktur sosial feodal dan menjadikan para petani sebagai kuli-kuli di
4
tanahnya sendiri. Atau, seperti pengalaman Revolusi Hijau, hanya akan menciptakan proses guremisasi petani di pedesaan dan pada saat yang sama proses proletarisasi perkotaan akibat arus urbanisasi warga desa tak bertanah yang mengadu nasib ke kota. B. Pendekatan Kebijakan Pentingnya penataan struktural melalui kebijakan pembaruan agraria menjadi sangat relevan dalam konteks pemenuhan hak-hak dasar rakyat yang merupakan strategi dasar pembangunan nasional dari pemerintahan baru hasil pemilu 2004 ini. Strategi ini menekankan bahwa hak-hak dasar rakyat dalam bentuk bebas dari kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, kebodohan, ketidakadilan, penindasan, rasa takut, dan kebebasan mengemukakan pikiran dan pendapat harus memperoleh prioritas untuk diwujudkan. Hal ini karena pondasi kebangsaan Indonesia yang kokoh terletak pada warganegaranya yang telah terpenuhi kebutuhan dasar bagi kehidupan yang manusiawi dan bermartabat. Sejalan dengan strategi dasar tersebut maka politik agraria nasional juga harus diorientasikan pada kebijakan pengelolaan sumber-sumber agraria yang berbasis pada hak (right-based policy orientation). Kebijakan semacam ini, dalam konteks problem ketimpangan agraria seperti yang dikemukakan di atas, tidak bisa lain kecuali melalui penataan akses yang lebih fair atas sumber-sumber agraria dan manfaatnya dalam sebuah kerangka besar kebijakan reforma agraria. Kebijakan reforma agraria pada dasarnya adalah agenda pembaruan yang merujuk pada penataan struktur agraria yang belum mencerminkan nilai-nilai keadilan dan efisiensi. Pada pokoknya, perubahan struktural ini merupakan agenda pembaruan atas hubungan-hubungan intra dan inter subyek-subyek agraria (yaitu masyarakat, pemerintah, perusahaan) dalam kaitan akses (penguasaan dan pemanfaatan) terhadap obyek-obyek agraria (tanah, perairan, udara dan segala kandungan alamnya). Dengan demikian, pengertian reforma agraria memiliki cakupan yang lebih luas dan tidak terbatas pada aspek land reform atau distribusi lahan semata. Selain menyangkut penataan penguasaan lahan, perubahan struktural ini juga menjangkau penataan hubungan-hubungan produksi (penyakapan, kelembagaan) dan juga pelayanan pendukung pertanian secara umum, seperti infrastruktur pertanian, kredit, pendidikan, dan kebijakan. Kebijakan pembangunan pemerintah baru dituntut untuk melibatkan secara komprehensif penanganan persoalan agraria yang lebih luas daripada sekedar terjebak pada kebijakan peruntukan lahan yang bersifat teknis-sektoral. Kebijakan agraria tersebut secara mendasar mesti diarahkan oleh prinsip aksesibilitas masyarakat atas sumber-sumber agraria dalam kerangka demokratisasi penguasaan sumber-sumber kehidupan rakyat yang lebih adil dan merata. Dalam semangat ini maka perbaikan akses atas sumber-sumber agraria melalui berbagai kebijakan penataan penguasaan lahan dan penataan hubungan
5
produksi serta benefit sharing yang lebih adil haruslah menjadi pilar utama bagi strategi pemenuhan hak dasar rakyat dalam pembangunan nasional. Upaya pemerintah untuk, misalnya, melakukan revitalisasi pertanian dan aktivitas ekonomi pedesaan serta revitalisasi sektor kelautan dan aktivitas ekonomi pesisir (baca: transformasi agraria) tidak pernah bisa terwujud tanpa didahului oleh penataan akses atas sumber-sumber agraria di bidang pertanian dan kelautan itu sendiri berikut manfaatnya (baca: reforma agraria). C. Masalah Agraria Pada Sektor Kehutanan Secara mendasar, kebijakan agraria pada sektor kehutanan selama masa Orde Baru berorientasi pada pendekatan eksploitatif, yakni menganggap sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi secara besar-besaran. Kebijakan ini bertumpu pada penguasaan hutan dan pengelolaan sumberdaya hutan melalui proyek-proyek raksasa yang dijalankan baik oleh perusahaan milik pemerintah sendiri maupun milik swasta. Dalam rangka ini dikeluarkanlah UU No. 5 Tahun 1967 yang mengatur soal eksploitasi hutan, dan UU No. 1 Tahun 1967 dan No. 8 Tahun 1968 yang mengatur tentang penanaman modal dalam negeri dan asing. UU No. 5 tentang Pokok-pokok Kehutanan secara nyata merupakan bukti dukungan legal bagi kebijakan eksploitasi terhadap sektor kehutanan ini. Dalam UU ini peran pemerintah sangat dominan dalam mendefinisikan suatu wilayah sebagai hutan dan kebijakan pengelolaannya, tanpa mengindahkan hak-hak masyarakat lokal yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Sedangkan kedua undang-undang berikutnya memberikan berbagai fasilitas eksploitasi hutan kepada penanam modal, baik asing maupun dalam negeri. Berdasarkan undang-undang di atas dan aturan pelaksanaannya maka dijaminlah pelaksanaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) yang berupa kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan. Jaminan itu termasuk menghadapi kemungkinan tuntutan dari komunitas lokal yang tinggal di kawasan hutan yang dikonsesikan. Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1967 menyatakan: “pelaksanaan hak-hak masyarakat, hukum adat dan anggota-anggotanya serta hak perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan, baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dimaksud dalam undang-undang ini.” Selanjutnya, penjelasan Pasal 17 ini menyebutkan: “Karena itu tidak dibenarkan, andaikata hak ulayat suatu masyarakat hukum adat setempat digunakan untuk menghalang-halangi pelaksanaan rencana umum pemerintah, misalnya: menolak dibukanya hutan secara besar-besaran untuk proyek-proyek besar, kepentingan transmigrasi, dan lain sebagainya.” Dengan jaminan ini maka jumlah perusahaan pemegang HPH meningkat pesat. Pada tahun 1978 terdapat 382 pemegang ijin HPH dengan luas lahan yang dikelola 35,87 juta ha. Pada tahun 1990 jumlah ini meningkat menjadi 578
6
pemegang ijin HPH yang mengeksploitasi sekitar 59,9 juta ha. Data terakhir pada Januari 2003 menunjukkan penurunan menjadi 279 pemegang ijin HPH dengan luas areal 28,08 juta ha. Menyusul kecaman atas praktik pengelolaan HPH, pemerintah pada tahun 1990 mengeluarkan program HTI, yaitu hutan tanaman yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas produksi dengan menerapkan silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. Kelemahan program ini, yang memberikan insentif yang luar biasa untuk memenuhi skala ekonomis wilayah HTI, telah mendorong pengusaha HPH mempercepat penggundulan kawasan HPH-nya, berusaha mengubah statusnya menjadi HTI, memenuhi kewajiban minimum dan sekaligus mencairkan dana gratis yang ditawarkan pemerintah. Pada Mei 1991, yakni hanya dalam setahun sejak dicanangkan program HTI, sudah 353 perusahaan HPH yang dipastikan disetujui usulan perolehan HPHTI. Akibatnya, hutan alam Indonesia mengalami degradasi besar-besaran dan segera menemui masa kehancurannya. Tabel 2.1. Kawasan Hutan dan Deforestasi, 1985-1997 (Perkiraan GFW)
Dikutip dari FWI/GFW, 2001
Kehancuran hutan sebagaimana ditampilkan oleh tabel di atas hanyalah separoh harga dari kebijakan eksploitatif dalam pengelolaan hutan sepanjang rezim Orde Baru. Harga lain yang tak kurang mahal adalah tersingkirnya akses ribuan komunitas lokal terhadap sumberdaya hutan setempat dan akibat-akibat sosial, ekonomi dan politik yang menyertainya. Menurut Fauzi (1999), ada empat isu konflik yang menyertai kebijakan eksplotasi hutan ini: (1) resistensi petani untuk keluar dari tanah yang selama ini dikuasainya secara tradisional, (2) kehancuran
7
sumberdaya subsistensi komunitas lokal, (3) problem penyediaan sumber ekonomi dan pemukiman alternatif yang memadai bagi komunitas lokal yang terpinggirkan oleh kegiatan eksploitasi hutan, dan (4) kemunduran kualitas ekologis baik di tingkat global maupun terutama di tingkat lokal. Dengan demikian, tepatlah penilaian yang dikemukakan FWI/GWF (2001) bahwa “‘keajaiban ekonomi’ Indonesia pada tahun 1980-an dan 1990-an ternyata sebagian terjadi dengan menghancurkan lingkungan dan pelanggaran hak dan tradisi mayarakat lokal.” Selama rezim Orde Baru, konflik agraria akibat eksploitasi hutan ini dapat diredam melalui tekanan dari pihak-pihak yang lebih kuat terhadap pihak-pihak yang lemah. Konflik di sektor kehutanan juga sering tidak diketahui umum atau tidak muncul ke permukaan (laten) karena terjadi di tempat yang terpencil. Setelah jatuhnya rezim Orde Baru dan berlakunya desentralisasi, konflik yang sebelumnya laten mulai bermunculan ke permukaan dan memicu berbagai konflik baru. Hal ini terutama disebabkan “eforia reformasi” yang membuka kesempatan untuk menyalurkan kehendak dan aspirasi masyarakat yang selama ini, sengaja atau tidak, ditutupi oleh rezim Orde Baru. Eforia ini juga mendorong pihak yang lemah dan selalu dipinggirkan di masa lalu berani menuntut hak-hak mereka yang selama ini diserobot dan dilecehkan oleh pihak yang lebih kuat. Ditambah dengan krisis ekonomi sejak pertengahan tahun 1997, kondisi ini menyebabkan masyarakat semakin terdorong untuk melakukan penjarahan dan atau perambahan hutan yang selama ini manfaatnya tidak pernah mereka rasakan. Pada tingkat nasional, frekuensi konflik dalam sektor kehutanan ini mencapai puncaknya pada tahun 2000, yang juga merupakan puncak masa transisi antara masa Orde Baru dan masa Reformasi. Pada periode ini tercatat 153 kasus atau 43% dari total konflik yang tercatat oleh pemberitaan media massa antara kurun waktu 1997 - 2003. Demikian pula yang terjadi pada tingkat propinsi, peristiwa konflik paling banyak dilaporkan berlangsung pada tahun 2000 (sebesar 21%) dan pada tahun 2002 (sebesar 25%) dari seluruh peristiwa konflik yang tercatat selama periode enam tahun tersebut. Di luar kasus yang sempat dilaporkan ini, tentu saja masih ada ratusan kasus lain konflik kehutanan di tanah air yang tidak mencuat dalam pemberitaan media massa.
8
Gambar 2.1. Frekuensi Konflik Periode 1997-2003 (Sumber: Wulan dkk, 2004)
Penelitian yang dilakukan lembaga riset internasional CIFOR menemukan bahwa sebaran konflik yang tercatat selama periode enam tahun tersebut paling banyak terdapat di kawasan HTI (39%), menyusul kemudian di kawasan konservasi (34%), dan di kawasan HPH (27%). Sedangkan berdasarkan propinsi, sebaran konflik terbanyak terjadi di Kalimantan Timur (109 kasus), disusul oleh Jawa Tengah (47 kasus) dan Sumatra Utara (36 kasus), sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 2.2. Frekuensi Sebaran Konflik Berdasarkan Propinsi, 1997-2003
Sumber: Wulan dkk, 2004
9
D. Kerangka Kebijakan Agraria Pada Sektor Kehutanan Berbagai kenyataan di atas memperlihatkan bahwa kebijakan negara melalui UU No. 5 Tahun 1967 memang lebih menekankan pada orientasi perolehan devisa melalui sektor kehutanan, sembari di pihak lain mengabaikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat lokal dan kelestarian lingkungan. Kebijakan semacam ini mencerminkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap kepentingan masyarakat dan konservasi lingkungan yang berakibat pada munculnya ketidakadilan dan degradasi lingkungan. Salah satu hal pokok yang harus ditempuh untuk mengoreksi kesalahan di atas adalah memberikan akses yang lebih besar kepada masyarakat lokal terhadap sumberdaya hutan yang ada di daerah bersangkutan. Pada saat yang sama, jasa lingkungan yang dapat diberikan oleh fungsi kawasan hutan sejauh mungkin dapat dipulihkankan dan ditingkatkan. Dengan memperhatikan kedua hal ini (keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis), maka kerangka kebijakan agraria pada sektor kehutanan akan ditekankan pada tiga komponen pokok sebagai berikut. 1. Penataan penguasaan dan/atau akses manfaat atas kawasan hutan dan/atau hasil hutan. 2. Penataan pola-pola hubungan produksi yang memberi peluang terjadinya sharing benefit antara perusahaan kehutanan dan masyarakat lokal. 3. Penguatan basis-basis institusional masyarakat lokal yang terkait dengan sistem pengelolaan sumberdaya alam setempat, termasuk yang didasarkan pada hakhak tradisional (adat). Perumusan kebijakan pada ketiga aras ini harus dilakukan dalam beberapa skenario, tergantung pada status kawasan hutan yang menjadi sasaran kebijakan. Ini berarti kebijakan tersebut sekurangnya harus dibedakan menurut dua skema, yaitu: (1) apabila kawasan hutan itu merupakan hutan negara yang di bawah pengelolaan Departemen Kehutanan langsung, dan (2) apabila kawasan hutan itu termasuk dalam hak konsesi, baik yang dikelola oleh BUMN (termasuk Perhutani), swasta, maupun patungan keduanya. Dua bagan berikut menyajikan kerangka kebijakan agraria pada sektor kehutanan dengan memperhitungkan dua kategori kawasan hutan ini.
10
Hutan Terdegradasi dan/atau yang Ada Konflik Agraria
Menjadi Obyek Sengketa Agraria (Terdapat Klaim Lahan dari Masyarakat Lokal)
Devolusi Pengelolaan Hutan (Status Hutan Dipertahankan) Sistem Hutan Kemasyarakatan
Tidak Menjadi Sumber Ketergantungan Hidup Masyarakat Lokal (Di Luar Akses Masyarakat)
Konversi (Pelepasan Status Hutan)
Rehabilitasi (Status Hutan Dipertahankan)
Perkebunan Rakyat yang Menjamin Fungsi Ekologi Kawasan (Mis. Agroforestri)
Reboisasi
Pemerataan Manfaat thd Masyrkt Lokal (Infrastruktur, Pela-yanan publik, dsb)
Konversi (Pelepasan Status Hutan)
Lahan Transmigrasi
Areal Perkebunan Rakyat yang Menjamin Fungsi Ekologi Kawasan (Mis. Agroforestri)
Menjadi Sumber Ketergantungan Hidup Masyarakat Lokal/Terdapat Hak-hak Tradisional Masyarakat Lokal
Jaminan Akses atas Sumberdaya Hutan Setempat (Status Hutan Dipertahankan)
Co-management untuk Rehabilitasi, Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Hutan
Konversi (Pelepasan Status Hutan)
Sistem Pemanfaatan Tradisional
Areal Perkebunan Rakyat yang Menjamin Fungsi Ekologi
Pemukiman dan Lahan Pertanian Warga Transmigran
Catatan: 1. Penentuan apakah status hutan dipertahankan atau dilepaskan dilakukan dengan memperhatikan fungsi ekologis dari kawasan hutan yang bersangkutan, sementara di sisi lain fungsi sosialnya tetap dapat dipenuhi.
11
2. Untuk opsi kebijakan konversi kawasan hutan mekanisme pelaksanaannya bisa diawali dengan skema “pinjam pakai untuk penggunaan lain” dalam jangka waktu tertentu sampai nantinya dikonversi secara permanen apabila memenuhi standar kinerja yang ditentukan selama jangka waktu tersebut. Gambar 2.2. Kerangka Kebijakan Agraria Pada Kawasan Hutan yang Dikelola Departemen Kehutanan
Lahan Hutan yang Termasuk Dalam Hak Konsesi (Baik Dikelola BUMN Maupun Swasta)
Beroperasi Aktif
Terdapat Konflik Agraria dengan Masyarakat Lokal Mekanisme Sharing Benefit dan Conflict Resolution
Ditelantarkan/Tidak Diusahakan/Disalahgunakan
Tidak Konflik
Ada
Peningkatan Kinerja dan Corporate Social Responsibility
Kondisi Tidak Kritis
Terdapat Konflik Agraria dg Masya-rakat Lokal (#)
Lahan
Tdk Ada Konflik & Tdk Mjd Sumber Ketergantungan Hidup Masyarakat Lokal (##)
Hak Konsesi yang Habis Masa Berlakunya
Kondisi Lahan Kritis
Terdapat Konflik Agraria dengan Masyarakat Lokal Lihat (#)
12
Terdapat Konflik Agraria dengan Masyarakat Lokal Lihat (#)
Tidak Terdapat Konflik dan Tidak Menjadi Sumber Ketergantungan Hidup Masyarakat Lokal (###)
Tidak Ada Konflik & Tdk Mjd Sumber Ketergantungan Hidup Masyarakat Lokal Lahan Tidak Kritis Lihat (##)
Lahan Kritis Lihat (###)
Pencabutan Hak Konsesi dan Konversi (Pelepasan Status Hutan)
Perkebunan Rakyat yang Menjamin Fungsi Ekologi Kawasan (Misal, Agroforestri)
Pencabutan Hak Konsesi & Devolusi Pengelolaan Hutan (Status Hutan Dipertahankan)
Sistem Hutan Kemasyarakatan
Dipertahankan Sebagai Cadangan Hutan Tetap (Status Hutan Dipertahankan)
Pengalihan Hak Konsesi Pada Badan Usaha Lain Sebagai Konsesi HTI (Status Hutan Dipertahankan)
Jaminan Akses atas Sumberdaya Hutan Setempat
Pencabutan Hak Konsesi & Kewajiban Rehabilitasi (Status Hutan Dipertahankan)
Pencabutan Hak Konsesi & Konversi (Pelepasan Status Hutan)
Perkebunan Rakyat yang Menjamin Fungsi Ekologi Kawasan (Misal, Agroforestri)
Gambar 2.3. Kerangka Kebijakan Agraria Pada Kawasan Hutan yang Termasuk dalam Hak Konsesi
13
E. Potensi Lahan dan Skenario Kebijakan Dengan memperhitungkan dua kategori kawasan yang dikemukakan di atas dan tiga elemen pokok kebijakannya, maka dapat diidentifikasi beberapa potensi yang dapat menjadi objek dari kebijakan agraria dalam sektor kehutanan ini. Ada tiga kategori potensi lahan yang dapat menjadi sasaran kebijakan agraria di sektor kehutanan: 1. Lahan kritis, yaitu kawasan hutan yang sudah terdegradasi sehingga kehilangan atau kurang dapat memenuhi fungsinya sebagai ekosistem hutan. 2. Lahan yang menjadi obyek sengketa, yaitu kawasan hutan yang menjadi sumber ketergantungan hidup masyarakat lokal atau yang terdapat hak-hak tradisional atasnya namun yang tidak bisa diakses oleh masyarakat tersebut. 3. Lahan-lahan konsesi, yaitu kawasan hutan yang termasuk dalam hak konsesi pengusahaan hutan, baik yang masih beroperasi, yang sudah tidak produktif, disalahgunakan, atau yang sudah habis masa konsesinya. 1) Lahan Kritis dan Skenario Kebijakannya Potensi lahan kritis yang ada saat ini sangatlah besar (lihat data luas lahan kritis dan rehabilitasinya pada lampiran). Sebagian besar dari lahan kritis ini menuntut upaya rehabilitasi untuk mengembalikan fungsinya sebagai ekosistem hutan. Namun kenyataannya, kapasitas pemerintah untuk melakukan rehabilitasi ini sangatlah terbatas. Di sisi lain, laju kerusakan hutan baik karena kebakaran hutan, pembukaan lahan, maupun pembalakan liar (illegal logging) terus meningkat. Hingga sejauh ini laju kerusakan itu melampaui batas kapasitas pemerintah baik untuk mengendalikannya maupun terlebih lagi merehabilitasikannya. Dua tabel di bawah memberikan ilustrasi mengenai sebaran kawasan hutan yang terdegradasi menurut fungsi hutan dan menurut propinsi. Tabel 2.3. Kebakaran Hutan Menurut Fungsi Hutan, 1999-2003 Luas (Ha) No.
FUNGSI HUTAN
1999
2000
2001
2002
2003
1
Hutan Lindung
24.380,00
117,65
4,25
160,50
0,50
2
Hutan Produksi
12.599,04
1.682,00
12.397,80
15.396,77
3.277,00
3
Hutan Suaka Alam
870,31
260,00
261,50
3.664,02
58,75
4
Taman Wisata Alam
1,50
3,00
435,00
472,41
28,50
5
Taman Nasional
6.229,15
897,85
1.082,45
15.752,36
169,70
6
Taman Hutan Raya
10,00
56,00
146,00
23,00
11,00
7
Taman Buru
-
-
2,50
27,17
-
8
Hutan Masyarakat
-
-
-
0,50
-
14
JUMLAH
44.090,00
3.016,50
14.329,50
35.496,73
3.545,45
Sumber : Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Tabel 2.4. Hutan Alam, Hutan yang Sudah Terdegradasi, dan Kawasan yang Hutannya Sudah Gundul, Pertengahan 1990-an
Sumber: Forest Watch Indonesia, berdasarkan data dari Inventarisasi Hutan Nasional, 1996
Kenyataan semacam ini mendorong untuk menjadikan lahan kritis ini sebagai sasaran objek kebijakan agraria pada sektor kehutanan. Ada dua opsi yang dapat dipakai dalam pengalokasian lahan kritis ini untuk memperbesar akses masyarakat terhadapnya. Pertama adalah tetap mempertahankan status hutan, namun disertai dengan jaminan akses atas sumberdaya hutan dimaksud oleh masyarakat. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai model social forestry atau comanagement, baik dalam rehabilitasi, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan.
15
Atau opsi kedua, kawasan hutan yang termasuk lahan kritis itu dilepaskan statusnya sebagai kawasan hutan dan dikonversi menjadi fungsi budidaya pertanian. Skema ini dapat dipilih apabila kawasan hutan ini secara faktual menjadi objek sengketa agraria, menjadi sumber ketergantungan hidup atau terdapat hakhak tradisional masyarakat lokal, ataupun nyata-nyata secara de facto telah beralih fungsi menjadi lahan pertanian rakyat. (Lihat bagan kerangka kebijakan agraria di atas.) 2) Lahan yang Menjadi Objek Sengketa Agraria dan Skenario Kebijakannya Kawasan hutan yang disengketakan harus dijadikan sasaran pelaksanaan kebijakan agraria karena konflik adalah cermin adanya ketidakadilan kebijakan di masa lampau atau adanya ketimpangan kepentingan antar subjek agraria. Secara kategoris, kawasan hutan yang menjadi objek sengketa agraria bisa berupa hutan produksi yang masih di bawah pengelolaan langsung Dephut, hutan konservasi (hutan suaka maupun hutan lindung), maupun hutan yang termasuk dalam hak konsesi. (Untuk hutan yang termasuk dalam hak konsesi akan diulas di bawah.) Kawasan hutan yang menjadi objek sengketa agraria ini cukup banyak frekuensi kejadiannya (lihat Tabel 2.2). Namun, data mengenai luas kawasan yang disengketakan tidak bisa ditentukan secara pasti, sebagian karena banyak dan sporadisnya kasus konflik kehutanan itu sendiri. Data yang disajikan oleh KPA di bawah ini haruslah dilihat sebagai rekaman kejadian menonjol yang sempat mencuat dan terpublikasikan. Tabel 2.5. Konflik Agraria di Sektor Kehutanan, 1970-2001 Luas (Hektar) No
Propinsi Hutan Produksi
Hutan Wisata
Suaka
Hutan Lindung
1
Jawa Barat
386.000
260.000
322.000
2
Jawa Timur
872.000
158.000
334.000
3
Sumatra Selatan
3.569.000
672.000
775.000
4
Sumatra Utara
2.136.000
254.000
1.391.000
5
Jawa Tengah
597.000
2.000
75.000
6
Sulawesi Tengah
2.808.000
605.000
1.765.000
7
Lampung
478.000
423.000
336.000
8
Sulawesi Selatan
1.417.000
194.000
2.004.000
9
NAD
2.412.000
667.000
1.051.000
10
NTT
858.000
132.000
668.000
11
Riau
8.608.000
451.000
397.000
16
12
Kalimantan Timur
15.531.000
1.986.000
3.626.000
13
Sumatra Barat
1.574.000
600.000
1.207.000
14
Papua
23.630.000
8.312.000
8.649.000
15
Propinsi Lain
34.449.000
4.316.000
6.726.000
Total
99.325.000
18.772.000
29.004.000
Sumber: Konsorsium Pembaruan Agraria (2002)
Sejalan dengan kategori di atas, maka opsi-opsi yang dapat diambil untuk memperbesar akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan dapat dibedakan menjadi dua skema sebagai berikut. Pertama adalah melalui skema pelepasan kawasan hutan. Skema ini dapat diambil untuk hutan produksi di bawah pengelolaan Dephut, khususnya untuk kawasan hutan yang termasuk lahan kritis dan sudah kehilangan fungsinya sebagai ekosistem hutan. (Lihat penjelasan pada bagian lahan kritis di atas.) Skema kedua adalah mempertahankan status kawasan hutan disertai dengan pelembagaan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan dan pemanfaatan hasil hutan. Skema ini dipilih untuk kawasan hutan konservasi atau hutan produksi yang ekosistemnya masih baik. Bentuk-bentuk pelembagaan partisipasi dimaksud bisa berwujud co-management untuk konservasi dan pemanfaatan hasil hutan secara lestari (dalam kasus hutan konservasi), ataupun dalam bentuk sistem hutan kemasyarakatan (social forestry) untuk kasus hutan produksi. 3) Lahan Konsesi dan Skenario Kebijakannya Kategori potensi lahan ketiga, yaitu hutan konsesi, dapat dibedakan menjadi HPH, HTI/HPHTI, dan Perhutani. Potensi lahan dalam kategori ini sangatlah besar. Lahan tidur yang berasal dari kawasan hutan konsesi HPH yang tidak aktif mencapai 63.013.194 ha, sedangkan konsesi HTI yang tidak aktif mencapai 2.915.336 ha. (Untuk potensi lahan yang dikelola Perhutani belum diperoleh datanya.) Tabel 2.6. Sebaran dan Status HPH Menurut Propinsi (Status Per 2003) HPH Aktif No
Propinsi Jumlah
Luas (Ha) 520.184
1
Aceh
8
2
Bengkulu
0
3 4
Jambi Lampung
8 0
Konsesi
HPH Non Aktif Luas Jumlah (Ha)
Konsesi
Total HPH Luas Jumlah (Ha)
Konsesi
15
2.558.832
23
3.079.016
-
5
260.975
5
260.975
22 3
2.177.925
30 3
2.940.735
-
762.810
17
347.600
347.600
5
Riau
14
849.805
45
13.711.336
59
14.561.141
6
Sumbar
5
420.580
7
651.580
12
1.072.160
7
Sumsel
2
213.000
13
1.767.650
15
1.980.650
8
Sumut
4
196.200
11
1.538.025
15
1.734.225
9
Kalbar
18
1.911.800
35
6.584.277
53
8.496.077
10 11 12
Kalsel Kalteng Kaltim
4 43 57
2.118.780 3.017.950 5.210.503
17 68 48
2.118.780 7.877.283 11.610.345
21 111 105
4.237.560 10.895.233 16.820.848
13
NTB
1
31.550
1
47.495
2
79.045
14 15
Maluku Papua
22 48
1.654.980 8.062.255
19 16
4.898.608 5.532.440
41 64
6.553.588 13.594.695
16
Sulsel
5
287.802
3
285.000
8
572.802
17
Sulteng
10
771.579
8
516.709
18
1.288.288
18
Sultra
2
392.000
2
151.000
4
543.000
19
Sulut Total
7 258
298.600 26.720.378
5 343
377.334 63.013.194
12 601
675.934 89.733.572
Sumber: Forest Watch Indonesia
Tabel 2.7. Sebaran dan Status HTI Menurut Propinsi (Status Per 2003) HTI Aktif No
Propinsi Jumlah
Luas (Ha)
Konsesi 20.500
HTI Non Aktif Luas Jumlah (Ha)
Konsesi
2
460.015
1
Aceh
3
2
Jambi
15
742.980
0
3
Lampung
6
131.467
1
4 5
Riau Sumbar
31 4
800.459
0 0
6
Sumsel
9
481.806
7
Sumut
11
8
Kalbar
20
Total HTI Jumlah
Luas (Ha)
Konsesi
5
480.515
15
742.980
7
208.867
-
31 4
800.459 66.420
0
-
9
481.806
738.331
0
-
11
738.331
1.155.949
1
21
1.164.549
66.420
18
77.400
8.600
9
Kalsel
18
320.775
3
518.585
21
839.360
10
Kalteng
24
587.855
4
14.750
28
602.605
11 12 13 14
Kaltim NTB NTT Maluku
36 1 1 7
1.057.873
43 1 1 7
2.598.859 48.000 6.880 78.306
15 16 17 18
Papua Sulsel Sulteng Sultra
10 5 4 4
1.560.000
10 5 6 4
1.560.000 76.883 364.260 94.945
Total
209
8.038.689
78.306
7 0 0 0
76.883 69.260 94.945
0 0 2 0
48.000 6.880
20
1.540.986 295.000 2.915.336
229
10.954.025
Sumber: Forest Watch Indonesia
Berdasarkan kategori status aktif dan tidak aktif di atas maka opsi kebijakan agraria yang dapat diambil dibedakan menjadi dua skema sebagai berikut. Pertama, untuk hutan konsesi yang aktif jaminan usahanya harus dilindungi demi kepastian hukum dan keamanan investasi. Namun, pada beberapa kawasan hutan konsesi yang terdapat konflik dengan masyarakat lokal, pemerintah harus melakukan mediasi dan fasilitasi bagi pelembagaan mekanisme sharing benefit dan resolusi konflik yang diintegrasikan dalam manajemen bisnis perusahaan. Hal ini bisa dilakukan melalui penataan hubungan produksi yang lebih partisipatif, melalui pemberian kompensasi, atau melalui program-program community development yang benar-benar berdampak pada pemberdayaan masyarakat. Sedangkan untuk hutan konsesi yang tidak terdapat sengketa agraria harus ditekankan agar perusahaan dapat terus meningkatkan kinerjanya dan mengembangkan corporate social responsibility. Kedua, untuk hutan konsesi yang ditelantarkan, tidak diusahakan atau disalahgunakan, diberi batas waktu (misalnya sd. tahun 2007) untuk memberi kesempatan perusahaan pemegang HPH atau HTI/HPHTI memperbaiki kinerjanya. Apabila dalam batas waktu itu tidak ada perbaikan kinerja, maka hak konsesi dicabut dan kawasan hutan dimaksud dapat dialokasikan untuk fungsi lain yang menjamin akses masyarakat lokal dan fungsi ekologis ekosistem hutan. Namun dalam kasus hutan konsesi yang tidak aktif itu menjadi sengketa agraria, maka tanpa menunggu batas tenggang waktu yang ditetapkan pemerintah harus memfasilitasi pemulihan hak masyarakat untuk mengakses hutan dimaksud baik dengan maupun tanpa pencabutan hak konsesi hutan. []
19