REFORMA AGRARIA BIDANG KEHUTANAN: SEBUAH TINJAUAN POLITIK SIMBOLIK* Ferdinal Asmin1) 1
Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), email:
[email protected]
Abstrak Reforma agraria bidang kehutanan merupakan salah satu langkah penting dalam menyelesaikan konflik-konflik kehutanan. Akan tetapi, kebijakan kehutanan nasional dan daerah belum mampu memberikan dukungan yang efektif bagi keberhasilan reforma agraria. Tulisan ini menjelaskan fakta-fakta reforma agraria bidang kehutanan dan memberikan rekomendasi kebijakan untuk menyukseskannya. Metode yang digunakan adalah studi kasus dengan mengelaborasi konsep politik simbolik melalui kajian peraturan dan dokumen-dokumen terkait. Pembahasan dilakukan pada tingkat makro (nasional) dan tingkat mikro (daerah) dengan mengambil contoh implementasi skemaskema pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) di Sumatera Barat. Hasil kajian memperlihatkan bahwa kemajuan reforma agraria bidang kehutanan melalui program dan kegiatan perhutanan sosial (social forestry) secara nasional masih belum maksimal, meskipun pada tingkat daerah, gencarnya gerakan PHBM di Sumatera Barat dapat menjadi salah satu preseden baik bagi keberhasilan reforma agraria bidang kehutanan di daerah. Namun secara keseluruhan, perhutanan sosial masih dianggap sebagai simbol klaim keberpihakan pada masyarakat lokal dan/atau masyarakat hukum adat. Rekomendasi dari tulisan ini adalah mendorong perubahan konsep perhutanan sosial menjadi prioritas utama kebijakan kehutanan dan mendorong rimbawan birokrat menjadi wirausahawan sosial. Kata kunci: kehutanan sosial, reforma agraria, wirausahawan sosial
Abstract Land reform of forestry sector is one of the important ways to resolve the forestry conflicts. However, the national and local forestry policies have not been able to support effectively and successfully land reform. This article explained the facts of the land reform in forestry sector and provided recommendations to make a successfully land reform. The method is case study by elaborating a concept of symbolic politics through regulations and related documents review. The discussion was focused on national and local level by taking case about the implementation of community based forest management (CBFM) in West Sumatra. The result revealed that the progress of land reform through social forestry program at national level was not satisfied, even though at local level, the increasing of CBFM movement in West Sumatra can be one of good precedents for successfully land reform of forestry sector. But overall, social forestry may be still considered as a symbol of alignments to local and indigenous communities. The recommendations from this article are encouraging the change of social forestry concept into the main priority of forestry policies and encouraging a forester into a social entrepreneur. Keywords: land reform, social entrepreneur, social forestry
Biografi Singkat: Penulis adalah mahasiswa S-3 Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB dan penerima beasiswa LPDP, serta bekerja sebagai Staf Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat. Pendidikan S-1 diselesaikan di Fakultas Pertanian Unand dan S-2 di Fakultas Kehutanan UGM. Fokus kajiannya adalah pengetahuan lokal, modal sosial, pengembangan masyarakat, dan pengelolaan hutan lestari. Disa paika pada Ko fere si Nasio al “osiologi V de ga te a Geraka “osial da Keba gkita Ba gsa pada tanggal 18-19 Mei 2016 di Hotel Bumi Minang, Padang, Sumatera Barat *
1
1. PENDAHULUAN Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) merekam 1,772 kasus konflik agraria sejak tahun 2004 sampai 2015 yang mencakup luasan sekitar 7 juta ha (KPA 2016). Konflik agraria yang terjadi menyangkut banyak sektor pembangunan, termasuk kehutanan. Konflik sumber daya hutan antara pemerintah dan masyarakat lokal (terutama petani) sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda di Indonesia. Sebagaimana diuraikan oleh Simon (2006), konflik berawal dari eksploitasi kayu jati oleh Pemerintah Hindia Belanda dan pengembangan perkebunan (cultuurstelsel) secara besar-besaran sehingga ekosistem hutan jati di Pulau Jawa mengalami kerusakan. Pada tahun 1849, Pemerintah Hindia Belanda mulai membangun hutan tanaman jati. Untuk mendukung pembangunan hutan tanaman jati tersebut, Pemerintah Hindia Belanda membuat undang-undang tentang agraria pada tahun 1870 dan undang-undang tentang kehutanan tahun 1927 (Bos-ordonantie) yang mengikis hak ulayat masyarakat Jawa pada saat itu. Kepentingan masyarakat diakomodir dengan mengembangkan sistem taungya dan/atau tumpangsari dalam pembangunan hutan tanaman jati. Sementara itu, di luar Pulau Jawa, Pemerintah Hindia Belanda mampu membuat kesepakatan dengan tokoh masyarakat adat untuk menentukan batas-batas hutan yang seringkali disebut dengan hutan register. Konflik berlanjut pada era orde lama, era orde baru, dan era reformasi sebagaimana dijelaskan oleh Barber (1998) dan Simon (2006). Akses masyarakat lokal terhadap sumber daya hutan semakin banyak kendala sebagaimana yang terjadi di Pulau Jawa (Maryudi dan Krott 2012). Sedangkan di luar Pulau Jawa, konflik sumber daya hutan disebabkan oleh klaim ulayat terhadap kawasan hutan negara dan ketidakadilan pemerintah dalam pemberian hak kelola sumber daya hutan yang lebih mengutamakan kepentingan pihak korporasi seperti yang diuraikan oleh Suharjito (2013). Isu degradasi hutan dan deforestasi juga mendorong kompleksitas konflik kehutanan di Indonesia. Hutan primer semakin berkurang dari sekitar 162 juta ha pada tahun 1950 (FWI 2011) menjadi sekitar 46 juta hektar pada tahun 2014 (KemenLHK 2015). Pembahasan konflik kehutanan kemudian dikaitkan dengan problematika degradasi hutan dan deforestasi. Penanganan konflik kehutanan dilakukan dengan mengembangkan berbagai program yang meningkatkan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan. Perum Perhutani yang menguasai kawasan hutan negara di Pulau Jawa melaksanakan program Prosperity Approach pada tahun 1974, Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) pada tahun 1982, Perhutanan Sosial (PS) pada tahun 1985, dan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) pada tahun 2001 (Simon 2006). Di luar Pulau Jawa, program-program sosial kehutanan baru muncul pada awal tahun 1990-an dengan program Bina Desa Hutan atau Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) pada tahun 1991-2003, Hutan Kemasyarakatan (HKm) sejak tahun 1995, Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Konservasi sejak tahun 2004, Hutan Tanaman Rakyat (HTR) sejak tahun 2007, dan Hutan Desa (HD) sejak tahun 2008 (Sardjono 2013). HKm, HTR, dan HD merupakan program-program soft agrarian reform yang sedang berjalan saat ini (Daryanto 2014) dan kemudian dikenal sebagai perhutanan sosial atau juga selalu diidentikkan dengan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM). Selain dari itu, pemerintah juga mengakomodir implementasi hutan adat sebagai respon terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2012. Realisasi perizinan HKm, HTR, dan HD ternyata masih sangat rendah dibandingkan dengan perizinan terhadap korporasi dalam bentuk pemanfaatan hutan alam (IUPHHK-HA) dan hutan tanaman (IUPHHK-HTI). Meskipun hampir 2 juta ha kawasan hutan telah ditetapkan sebagai areal kerja HTR, HKm, dan HD, perizinan yang didapatkan masyarakat lokal baru mencapai sekitar 374,000 ha (KemenLHK 2015). Jumlah luasan izin tersebut masih sangat jauh berbeda dengan jumlah luasan izin bagi korporasi yang mencapai sekitar 31 juta hektar. Fenomena ini menarik untuk dikaji dengan pertanyaan kenapa realisasi program perhutanan sosial tersebut berjalan sangat lambat. Hambatan birokrasi pemerintah pusat dan daerah sering diklaim sebagai kendala utama. Akan tetapi, agresivitas Pemerintah Provinsi Sumatera Barat memberikan pembelajaran penting karena capaian target perhutanan sosial sekitar 11% dari 374.000 ha izin yang sudah dikeluarkan di seluruh Indonesia. Sumatera Barat kemudian dikenal sebagai provinsi percontohan perhutanan sosial di Indonesia. Pertanyaannya selanjutnya adalah politik apa yang telah dan sedang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan bagaimana sebenarnya politik agraria bidang kehutanan pada tingkat nasional berkaitan dengan program perhutanan sosial tersebut. 2
Penelitian ini bertujuan mengkaji kebijakan reforma agraria bidang kehutanan di Indonesia secara umum dan di Sumatera Barat secara khusus dengan menggunakan pendekatan politik simbolik. Perhutanan sosial sebagai salah satu kebijakan reforma agraria bidang kehutanan telah menjadi simbol politik agraria yang dijalankan birokrasi kehutanan mulai dari tingkat nasional sampai daerah. Faktafakta tentang perhutanan sosial dapat memberikan gambaran keberhasilan reforma agraria bidang kehutanan. Oleh karena itu, konsep politik simbolik yang digunakan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai aksi-aksi simbolik perhutanan sosial yang dijalankan birokrat menurut kepentingannya dan yang merepresentasikan manipulasi keberpihakan untuk tujuan tertentu. 2. TINJAUAN PUSTAKA Persoalan-persoalan lahan atau tanah untuk pertanian seringkali menjadi fokus utama reforma agraria di Indonesia, walaupun sebenarnya reforma agraria dimaksudkan untuk hal yang lebih luas dari hal tersebut. Reforma agraria seharusnya lebih dilihat sebagai upaya perubahan atau perombakan sosial yang dibangkitkan dari kesadaran penuh untuk mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan berkeadilan bagi kesejahteraan masyarakat (Soetarto dan Hermansah 2007). Dalam konteks pembangunan kehutanan, reforma agraria diharapkan menjamin tata kelola kehutanan yang lebih baik dan adil dengan penataan distribusi penguasaan lahan hutan negara kepada masyarakat lokal (Suharjito 2013). Penguasaan atas lahan tidak hanya berkaitan dengan hak kepemilikan semata, namun juga harus mencakup kepastian hak-hak yang ada di dalam penguasaannya (land tenure security) dalam jangka panjang. Berdasarkan definisi tersebut, program HTR, HKm dan HD sebenarnya merupakan bagian dari kebijakan reforma agraria bidang kehutanan yang memperluas akses sumber daya hutan bagi masyarakat sekitar hutan. Akan tetapi bagi rimbawan birokrat, program HTR, HKm, dan HD lebih dikenal sebagai bagian dari program perhutanan sosial, termasuk hutan adat yang kemudian dikategorikan sebagai hutan hak. Istilah perhutanan sosial sering digunakan sebagai terjemahan dari social forestry. Pada banyak literatur di Indonesia, istilah ini juga ditulis dengan kehutanan sosial seperti yang digunakan Simon (2006). Kehutanan sosial merupakan suatu strategi perencanaan dan implementasi yang mendorong pelibatan masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan untuk memperbaiki kondisi sumbersumber mata pencaharian masyarakat (Wiersum 2004). Beberapa literatur juga mengidentikkannya dengan hutan masyarakat (community forest). Dalam perspektif yang lebih luas, istilah perhutanan sosial, kehutanan sosial, dan hutan masyarakat sering diklasifikasikan sebagai bentuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat (community based forest management). Molnar et al. (2011) menyebutkan bahwa pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) adalah pengelolaan hutan dan kebun wanatani oleh masyarakat atau pemilik lahan skala kecil, termasuk juga pengelolaan hutan negara yang sebagian besar diklaim sebagai hak dan milik adat menurut hukum dan praktek lokal. PHBM merupakan sebuah paradigma kuat yang berkembang dari kegagalan tata kelola hutan negara untuk menjamin kelestarian sumber daya hutan dan distribusi akses dan manfaat secara merata (Guiang et al. 2001). Molnar et al. (2011) kemudian menyebut ada hubungan langsung antara reforma tenurial dan perkembangan PHBM. Pendapat tersebut sebelumnya juga telah ditegaskan oleh Bernstein et al. (2010) bahwa reforma tenurial dan pelibatan masyarakat dalam tata kelola dan pengelolaan hutan dimaksudkan untuk meningkatkan akses rumah tangga petani dan kelompok masyarakat terhadap sumber daya hutan. Berdasarkan hal tersebut, istilah perhutanan sosial yang dalam 10 tahun terakhir gencar diperkenalkan oleh pemerintah dapat dinilai sebagai respon terhadap desakan reforma agraria bidang kehutanan. Realisasi kebijakan reforma agraria bidang kehutanan selalu dipertanyakan karena tidak ada kebijakan yang konkrit. Dalam situasi demikian, pemerintah (dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) ternyata mampu mengelola situasi untuk meyakinkan publik bahwa perubahan sedang dilakukan. Peluncuran skema HTR, HKm, dan HD memberikan kesan bahwa perubahan telah dan akan dilakukan. Skema ini kemudian menjadi simbol bagi harapan perubahan yang diinginkan publik. Simbol dapat berupa istilah-istilah atau isyarat-isyarat yang membangkitkan keyakinan dan potensi sebuah situasi (Edelman 1971; Edelman 2001). Sebagai bagian dari proses politik, penggunaan simbol adalah sesuatu hal yang mungkin terlihat berhasil, namun kebijakan yang dibuat selanjutnya juga dapat menjadi kurang mendukung (Edelman 1977). Gugatan hukum Aliansi 3
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terhadap definisi hutan adat dapat juga disebabkan oleh ketidakjelasan implementasi HTR, HKm, dan HD yang secara simbolik dinilai berbeda dengan hutan adat. Setiap kebijakan yang dilahirkan pada umumnya memiliki simbol (Newig 2007) dan kegagalan proses deliberasi dapat menyebabkan penggunaan simbol menjadi semakin nyata (Niemeyer 2004). Kajian politik simbolik berguna untuk mendorong perbaikan proses-proses deliberasi agar reforma agraria bidang kehutanan dapat mencapai keberhasilan. Kajian ini bukan hanya dipakai untuk mengkritisi sebuah retorika kebijakan, tetapi seharusnya digunakan untuk menjelaskan kesenjangan antara kodifikasi dan implementasi (Matten 2003). Akan tetapi, politik simbolik cenderung dimaknai sebagai sebuah kritik terhadap kebijakan yang kurang memadai dan ditujukan untuk menyalahkan pengambil kebijakan (Blühdorn 2007). Dalam kajian ilmu lingkungan, politik simbolik merupakan aksi-aksi yang menggantikan opsi-opsi terbaik dan deliberasi strategi melalui fragmentasi kepentingan masyarakat, kesan-kesan sistem politik, menghindari konsekuensi yang tidak mengenakkan, dan mementingkan elit (Blühdorn 2007). Oleh karena itu, terkait dengan reforma agraria bidang kehutanan, kajian politik simbolik didefinisikan sebagai aksi-aksi simbolik perhutanan sosial yang dijalankan birokrat menurut kepentingannya dan yang merepresentasikan manipulasi keberpihakan untuk tujuan tertentu.
3. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Metode ini melibatkan pengumpulan data dan informasi secara sistematis terhadap suatu kasus yang memungkinkan peneliti memahami secara efektif bagaimana sesuatu terjadi (Berg 2001). Kasus dalam hal ini adalah hal-hal yang terikat pada sistem, waktu, tempat, atau ruang serta satu atau lebih program, kejadian, individu, atau aktivitas yang akan dipelajari (Suharjito 2014). Dalam penelitian ini, fokus kasus yang dipelajari adalah terkait dengan program-program perhutanan sosial skala nasional dan daerah yang diklaim sebagai salah satu bentuk kebijakan reforma agraria bidang kehutanan. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan kajian dokumen. Observasi dilakukan pada berbagai kesempatan pertemuan dan diskusi publik terkait dengan perhutanan sosial di Sumatera Barat, sedangkan kajian dokumen dilakukan terhadap berbagai dokumen yang berkaitan dengan perhutanan sosial, seperti publikasi ilmiah, dokumen laporan pemerintah, dan peraturan-peraturan terkait. Analisis data menggunakan analisis isi (content analysis) yang merupakan salah satu alat penelitian kualitatif yang biasa digunakan untuk menentukan keberadaan dan makna dari konsep, istilah, dan kata-kata (Stan 2010). 4. TEMUAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Klaim Perhutanan Sosial sebagai Simbol Keberpihakan Kongres Kehutanan Dunia di Jakarta pada tahun 1978 yang bertema Forest for People menjadi momen penting meluasnya pendekatan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) di berbagai negara, terutama di negara-negara berkembang. PHBM berawal dari fokus untuk menangani permasalahan degradasi hutan dan deforestasi (Poffenberger 2006; Sam 2011; Teitelbaum 2014), yang selanjutnya PHBM juga menjadi bentuk perluasan akses masyarakat terhadap hutan dalam menangani isu-isu pembangunan (Charnley dan Poe 2007). Konsep-konsep PHBM berkembang pada tahun 1970-an sampai tahun 1990-an dengan berbagai istilah seperti kehutanan masyarakat (community forestry), pengelolaan hutan bersama (joint forest management) dan kehutanan sosial (social forestry). Berbagai kajian tentang PHBM dilakukan oleh banyak ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu yang memperkuat PHBM sebagai tata kelola hutan berkelanjutan. Wiersum (2004) menilai, pada awal abad ke-21, PHBM telah mencapai tingkat yang signifikan dan diterima sebagai strategi pengelolaan hutan yang berasal dari negara-negara tropis, dan kemudian PHBM juga berkembang di negara-negara yang lebih maju secara ekonomi seperti Eropa, Amerika Utara, dan Australia.
4
Meskipun demikian, kepedulian Pemerintah Indonesia terhadap PHBM memang tidak tergambarkan secara jelas dalam peraturan kehutanan yang berlaku pada era orde baru (UU Nomor 5 Tahun 1967) dan era reformasi (UU Nomor 41 Tahun 1999 dan PP Nomor 6 Tahun 1967). Tabel 1 menyajikan jumlah istilah yang terkait dengan PHBM pada ketiga peraturan tersebut. Istilah-istilah pengelolaan hutan yang terkait dengan masyarakat masih didominasi oleh istilah masyarakat dan rakyat yang berdiri sendiri-sendiri. Pertimbangan masyarakat dan rakyat dalam peraturan tersebut juga lebih ditekankan sebagai objek dari kebijakan pembangunan kehutanan. Tabel 1. Kandungan istilah-istilah terkait dengan pengelolaan hutan dan masyarakat Istilah Hutan PHBM Perhutanan Sosial/Kehutanan Sosial Hutan Desa (HD) Hutan Kemasyarakatan (HKm) Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Hutan Adat Hutan Rakyat (HR) Pemberdayaan Masyarakat Rakyat
Jumlahnya dalam UU Nomor 5 Tahun 1967 334 Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 1 Tidak Ada 18 23
Jumlahnya dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 782 Tidak Ada Tidak Ada 1 2 Tidak Ada 11 1 6 129 25
Jumlahnya dalam PP Nomor 6 Tahun 2007 1,196 Tidak Ada Tidak Ada 35 37 38 4 2 19 101 4
Tabel di atas juga memperlihatkan adanya ketimpangan pengaturan terkait skema HTR, HKm, dan HD dengan hutan adat sebagaimana terlihat pada PP Nomor 6 Tahun 2007. Hal ini bisa menjadi salah satu faktor pendorong gugatan hukum (judicial review) AMAN kepada pemerintah terkait dengan komitmen mendukung hutan adat karena simbol yang dibangkitkan dari peraturan tersebut mengisyaratkan sebuah ketidakkonsistenan pemerintah. Akan tetapi sebenarnya, kebijakan dan strategi pengelolaan hutan nasional juga patut dipertanyakan karena peraturan-peraturan tersebut belum menggambarkan posisi yang jelas terhadap keberpihakan kepada masyarakat. Istilah PHBM dan perhutanan sosial/kehutanan sosial ternyata tidak dikenal dalam peraturan tersebut, tetapi dalam struktur organisasi Kementerian Kehutanan sejak 2006 sampai saat ini dipergunakan istilah perhutanan sosial. Penelitian ini menelusuri jejak istilah perhutanan sosial melalui dokumen Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal yang membidangi perhutanan sosial untuk periode 2010-2014 dan 20152019 sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Masing-masing renstra tidak mendefinisikan istilah perhutanan sosial secara tegas, bahkan fokus program dan kegiatan perhutanan sosial tidak secara langsung dikaitkan sebagai bagian dari kebijakan reforma agraria bidang kehutanan. Masalah-masalah agraria lebih dimaknai sebagai masalah tenurial sebagaimana diperkuat dalam Renstra Ditjen PSKL 2015-2019. Renstra ternyata tidak memberikan gambaran yang jelas tentang pemahaman rimbawan birokrat terhadap perhutanan sosial, kecuali sebatas program dan kegiatan dalam skema HTR, HKm, HD, Kemitraan, Hutan Rakyat, dan Hutan Adat. Tabel 2. Fokus perhutanan sosial dalam rencana strategis
Pengertian definitif perhutanan sosial
Renstra Ditjen RLPS 2010-2014 Tidak ada
Renstra Ditjen PSKL 2015-2019 Tidak ada
Hubungan dengan Reforma Agraria
Tidak ada
Lingkup program dan kegiatan
HKm, HD, dan Hutan Rakyat Kemitraan
Berkaitan dengan masalah tenurial HTR, HKm, HD, Kemitraan, Hutan Rakyat, dan hutan adat
Fokus
5
Istilah perhutanan sosial menjadi sesuatu yang masih banyak tanda tanya karena ketidakjelasan definisi dan latar belakang penggunaan istilah tersebut dalam struktur organisasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini. Bahkan dalam Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010-2025, istilah ini juga tidak ditemukan. Satu-satunya penjelasan tentang perhutanan sosial termuat dalam bagian latar belakang renstra Ditjen PSKL 2015-2019 sebagai berikut: “Perhutanan sosial diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 pasal 3 huruf d bahwa dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi se(r)ta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal. Demikian pula dalam penjelasan pasal 23 diamanatkan bahwa hutan sebagai sumberdaya nasional harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat sehingga tidak boleh terpusat pada seseorang, kelompok atau golongan tertentu. Oleh karena itu, pemanfaatan hutan harus didistribusikan secara berkeadilan melalui kegiatan peran serta masyarakat, sehingga masyarakat semakin berdaya dan berkembang potensinya” Penjelasan di atas mengklaim dasar perhutanan sosial sebagai representasi dari amanat UU Nomor 41 Tahun 1999 untuk pemberdayaan masyarakat dengan fokus pada keadilan distribusi manfaat. Dalam konteks tersebut, perhutanan sosial sepertinya ditempatkan sebagaimana definisi reforma agraria yang dirumuskan oleh Soetarto dan Hermansah (2007) dan Suharjito (2013). Klaim HTR, HKm, dan HD sebagai kebijakan reforma agraria bidang kehutanan juga terlihat pada pokok-pokok bahasan Seminar Hasil Penelitian yang bertema “Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik” pada tanggal 7 April 2014 yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Perubahan Iklim (Puspijak) Kementerian Kehutanan. Perhutanan sosial telah menjadi simbol yang mengesankan adanya upaya reforma agraria bidang kehutanan yang dilakukan oleh pemerintah. Simbol perhutanan sosial mampu membentuk persepsi publik bahwa pemerintah juga memperhatikan keinginan publik untuk menciptakan keadilan manfaat sumber daya hutan. Akan tetapi, akibat ketidakjelasan definisi dan kerangka konseptual perhutanan sosial, kebijakan pemerintah cenderung mendegradasi kekuatan simbol tersebut hanyalah sebagai program dan kegiatan, yang terikat pada skema-skema yang ditetapkan pemerintah. Merujuk pada definisi Wiersum (2004), perhutanan sosial seharusnya merupakan paradigma pembangunan kehutanan secara menyeluruh yang dijalankan oleh rimbawan dan organisasi lainnya untuk menstimulasi pelibatan masyarakat lokal secara aktif dalam skala kecil dengan beragam aktifitas pengelolaan hutan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Perhutanan sosial juga seharusnya dipandang sebagai strategi kunci dalam membangun tata kelola kehutanan yang lebih baik dan berlaku pada seluruh struktur organisasi kementerian yang berkaitan dengan pembangunan hutan dan kehutanan. Reforma agraria bidang kehutanan juga seharusnya dijalankan dengan pendekatan perhutanan sosial. Dalam kerangka strategi perhutanan sosial tersebut, ada 5 tahapan yang harus dikerjakan (Simon 2006), yaitu (1) memahami karakter wilayah baik secara sosial budaya, ekonomi dan ekologis, (2) mengidentifikasi subsistem yang mempengaruhi sistem pembangunan wilayah, (3) melakukan kajian means and values, (4) menentukan tujuan pengelolaan, dan (5) menetapkan regime pengelolaan yang akan dilakukan. Oleh karena itu, perhutanan sosial harus menjadi pelopor bagi penataan ruang wilayah dan lokal secara berkeadilan (Asmin 2016) yang juga menjadi fokus reforma agraria bidang kehutanan. 4.2. Pembelajaran Perhutanan Sosial dari Sumatera Barat Pemerintah Provinsi Sumatera Barat melalui Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat (Dishut Sumbar) memperlihatkan fenomena yang menarik dibahas terkait dengan perhutanan sosial. Sebenarnya, isu-isu keadilan manfaat sumber daya hutan juga dihadapi oleh rimbawan birokrat di Sumatera Barat sejak lama. Akan tetapi, isu degradasi hutan dan deforestasi lebih mengemuka dalam prioritas kebijakan kehutanan di Sumatera Barat. Kita mengenal kegiatan penghijauan dan reboisasi pinus sejak pertengahan tahun 1970-an, meskipun hasil dari kegiatan tersebut juga memunculkan masalah agraria pada awal tahun 2000-an. Penghijauan dan reboisasi oleh pemerintah kemudian dinilai oleh publik sebagai simbol penguasaan lahan oleh pemerintah. Pada awal tahun 2000-an
6
tersebut, pemerintah juga sudah merintis pengembangan hutan kemasyarakatan (HKm) sebagai pilot proyek dengan menanam meranti pada beberapa lokasi. Kementerian Kehutanan selanjutnya membuat aturan-aturan baru terkait penetapan areal kerja HTR, HKm dan HD sejak tahun 2006 dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.23/Menhut-II/2007 tentang HTR, P.37/Menhut-II/2007 tentang HKm, dan P.49/Menhut-II/2008 tentang HD. Skema HTR merupakan skema pertama yang direspon oleh Dishut Sumbar sejak tahun 2007 dengan mendorong penetapan areal kerja HTR pada beberapa lokasi di Kabupaten Sijunjung dan Kabupaten Pesisir Selatan. Skema HKm dan HD kemudian juga direspon sejak tahun 2010. Proses penetapan areal kerja dan perizinan juga membutuhkan waktu yang lama akibat birokrasi perizinan dari pusat yang cukup rumit. Menurut data tahun 2013, Dishut Sumbar telah mendorong pengusulan penetapan areal kerja HKm dan HD seluas 47,312 ha, namun realisasinya hanya 1,738 ha yang mendapatkan izin Menteri Kehutanan. Kerumitan birokrasi dalam perizinan HTR, HKm, dan HD ternyata tidak menyurutkan semangat Dishut Sumbar untuk mendorongnya. Dishut Sumbar membuat inovasi dengan membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Perhutanan Sosial pada tahun 2012 yang beranggotakan unsur dari pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Keberadaan Pokja tersebut dimaksudkan untuk mengkoordinasikan langkah-langkah mendorong perluasan skema-skema perhutanan sosial di Sumatera Barat. Dalam rencana kerjanya, Pokja mentargetkan areal hutan lindung dan hutan produksi di Sumatera Barat seluas 500,000 ha diarahkan untuk skema-skema perhutanan sosial seperti disajikan Tabel 3. Target tersebut ternyata menyumbangkan 20% dari target nasional saat itu. Tabel 3. Target luasan skema perhutanan sosial di Sumatera Barat No.
Kabupaten/Kota
1. 2.
Kabupaten Kepulauan Mentawai Kabupaten Pesisir Selatan
3.
Kabupaten Solok
4.
Kabupaten Sijunjung
5.
Kabupaten Tanah Datar
6.
Kabupaten Padang Pariaman
7.
Kabupaten Agam
8.
Kabupaten Lima Puluh Kota
9.
Kabupaten Pasaman
10.
Kabupaten Solok Selatan
11. 12.
Kabupaten Dharmasraya Kabupaten Pasaman Barat
13.
Kota Padang
14.
Kota Sawahlunto JUMLAH
Areal Potensial (Ha)
Indikatif Lokasi (Kecamatan)
20.000 Kecamatan Siberut Selatan 37.500 Kecamatan Lunang Silaut, Linggo Sari Baganti, Ranah Pesisir, Lengayang, Koto XI Tarusan 60.000 Kecamatan Pantai Cermin, Lembah Gumanti, Hiliran Gumanti, Payung Sekaki, Tigo Lurah, Lembang Jaya, Gunung Talang, IX Koto Sungai Lasi, Bukit Sundi, X Koto Di Atas, dan X Koto Singkarak 50.000 Kecamatan Kamang Baru, Tanjung Gadang, Sijunjung, IV Nagari, Koto VII, dan Sumpur Kudus 20.000 Kecamatan Batipuh, Batipuh Selatan, Tanjung Emas, Lintau Buo, Sungayang, Padang Ganting, dan Salimpaung 10.000 Kecamatan Lubuk Alung, VII Koto Sungai Sariak, dan V Koto Kampung Dalam 25.000 Kecamatan Lubuk Basung, Tilatang Kamang, Palembayan dan Palupuh 70.000 Kecamatan Payakumbuh, Akabiluru, Harau, Suliki, Kapur IX, dan Pangkalan Koto Baru 71.000 Kecamatan Bonjol, Lubuk Sikaping, Duo Koto, Panti, Rao, Mapat Tunggul 50.000 Kecamatan Sungai Pagu, Pauh Duo, Sangir, Sangir Jujuhan, dan Sangir Batanghari 25.000 Kecamatan Koto Baru dan Sitiung 46.500 Kecamatan Sungai Beremas, Ranah Batahan, Lembah Melintang, Pasaman, Kinali dan Talamau 5.000 Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Lubuk Kilangan, Pauh dan Koto Tangah 10.000 Kecamatan Lembah Segar, Barangin, dan Talawi 500.000
Sumber: Dishut Sumbar (2012) 7
Perhutanan sosial juga menjadi basis bagi implementasi REDD+ (reducing emission from forest degradation and deforestation) di Sumatera Barat (Hermansah et al. 2013). Dishut Sumbar mampu mempengaruhi Satuan Tugas REDD+ Nasional yang diketuai oleh Kuntoro Mangkusubroto untuk mempertimbangkan Sumatera Barat sebagai provinsi percontohan implementasi REDD+ di Indonesia, padahal Sumatera Barat tidak termasuk dalam kategori provinsi dengan laju degradasi hutan dan deforestasi yang tinggi. Situasi ini kemudian membuat Sumatera Barat semakin “seksi” bagi LSMLSM yang sedang mendorong reforma agraria seperti KKI Warsi, Qbar, Kemitraan, dan UNDP. Peran LSM dalam memperkuat posisi Dishut Sumbar untuk mendorong perhutanan sosial juga sangat penting, seperti yang dilakukan dalam mengembangkan kelembagaan hutan nagari di Jorong Simancuang Kabupaten Solok Selatan (Asmin 2015). Langkah Dishut Sumbar memang mampu mengkoordinasikan semua potensi untuk memperluas skema-skema perhutanan sosial. Akan tetapi, kerangka konseptual perhutanan sosial masih mengikuti kerangka konseptual nasional yang masih kurang jelas dan hanya dipahami sebatas program dan kegiatan semata. Jika kita melihat struktur organisasi Dishut Sumbar saat ini, perhutanan sosial dikelola oleh pejabat setingkat eselon IV (Kepala Seksi). Perhutanan sosial sebenarnya juga kurang tersirat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sumatera Barat periode 2010-2015 atau Rencana Strategis Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat periode 2010-2015. Alokasi sumber daya manusia (SDM) kehutanan juga menurun dari tahun ke tahun karena keterbatasan rekruitmen, sementara SDM yang tersedia untuk mendorong perluasan perhutanan sosial juga masih sedikit. Dishut Sumbar melihat potensi SDM yang dimiliki oleh LSM sangat besar untuk membantu program dan kegiatannya, termasuk dalam alokasi anggaran. Simbol perhutanan sosial dinilai efektif untuk mendorong semua pihak membantu program dan kegiatan Dishut Sumbar. Meskipun demikian, Dishut Sumbar perlu juga mempertimbangkan secara baik kebutuhan SDM di lingkungannya sendiri karena hanya sedikit rimbawan birokrat di Dishut Sumbar yang memahami perhutanan sosial. Kegagalan kebijakan pengembangan SDM kehutanan dapat menyebabkan program dan kegiatan yang dirintis menjadi kurang berarti, bahkan dinilai gagal. Upaya yang perlu didorong adalah menetapkan perhutanan sosial sebagai pendekatan utama pembangunan hutan dan kehutanan di Sumatera Barat. Setiap struktur dalam organisasi Dishut Sumbar didorong untuk menggunakan pendekatan ini dalam implementasi program dan kegiatannya. Hal ini tentunya diharapkan akan mendorong setiap individu rimbawan birokrat yang ada di Dishut Sumbar untuk mengimplementasikan perhutanan sosial dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian program dan kegiatan. Jadi, perhutanan sosial bukan semata dinilai sebagai program dan kegiatan sehingga harus ada struktur organisasi yang mengelolanya, tetapi perhutanan sosial harus menjadi cara berpikir seluruh rimbawan birokrat di Sumatera Barat. Dengan demikian, proses-proses deliberasi dalam pembangunan hutan dan kehutanan berjalan dalam kerangka perhutanan sosial dan memperkuat kebijakan reforma agraria bidang kehutanan itu sendiri di Sumatera Barat. 4.3. Peran Rimbawan Birokrat sebagai Wirausahawan Sosial Keberadaan hutan negara dapat menyebabkan kemiskinan bagi masyarakat yang bergantung pada hutan, terutama bagi masyarakat terpencil sebagaimana diungkapkan oleh Tacconi dan Kurniawan (2006). Kompleksitas masalah kehutanan juga semakin besar ketika permasalahanpermasalahan hak ulayat menjadi persoalan struktural dalam reforma agraria di Indonesia. Di Sumatera Barat, Rajagukguk (2007) menyatakan bahwa penduduk setempat mengeluh terhadap kebijakan Pemerintah yang menafsirkan penguasaan atas tanah ulayat berarti penguasaan atas ”tanah negara”. Persoalan tanah ulayat ini juga menjadi salah satu dasar judicial review dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terhadap pengertian hutan adat pada pasal 1 angka 6 UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam amar putusannya nomor 35/PUU-X/2012 tanggal 26 Maret 2013, Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus kata “negara” dalam pengertian hutan adat sehingga hutan adat bukan lagi termasuk kategori hutan negara. Persoalan konsepsi agraria yang dijalankan pemerintah juga masih dipersepsikan lebih menggunakan pendekatan kepentingan usaha dan investasi karena pemerintah cenderung membuka kesempatan kepada penanam modal perusahaan swasta dalam dan luar negeri (Rajagukguk 2007).
8
Pada sisi yang lain, implementasi program dan kegiatan perhutanan sosial juga tidak semakin mudah. Hal ini terjadi karena pemerintah cenderung memaksakan skema tanpa memperhatikan dukungan kelembagaan masyarakat di tingkat lokal. Pola perencanaan dan kelembagaan juga lebih cenderung bersifat top down, sehingga dikhawatirkan tidak sesuai dengan kebutuhan lokal. Sangat memungkinkan dengan cara-cara seperti itu menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dan berpotensi mengkerdilkan semangat reforma agraria dalam konteks penyelesaian masalah tenurial dan konflik sosial. Ketika strategi perhutanan sosial menjadi prioritas dalam pengelolaan hutan nasional dan daerah, maka kelembagaan lokal yang seharusnya dibangun adalah kelembagaan partisipatif (participatory institutions), bukan kelembagaan publik (public institutions) dan privat (private institutions). Ciri kelembagaan partisipatif adalah membantu anggota masyarakat dengan kekuatan yang dimilikinya (self-help) dan dapat melayani kepentingan-kepentingan publik dan privat (Uphoff 1986). Akan tetapi, melihat ciri kelembagaan dalam HKm, HD, HTR, dan HR sebagai bagian dari program perhutanan sosial, pemerintah cenderung memilih kelembagaan publik atau privat dengan bergaya birokratis, politis, dan orientasi keuntungan finansial (Asmin et al. 2016). Berdasarkan hal tersebut di atas, kapasitas rimbawan birokrat dalam penyelenggaraan urusan kehutanan dan reforma agraria bidang kehutanan perlu diperkuat. Cara berpikir dan bertindak seorang rimbawan birokrat bukan lagi menyelesaikan masalah tenurial dengan berbagai inisiasi program dan kegiatan, tetapi seharusnya bagaimana membangkitkan dan mensinkronkan semangat reforma agraria di pemerintahan dan masyarakat. Dengan kondisi sosial politik seperti saat ini, maka seorang rimbawan harusnya menjadi seorang wirausahawan sosial (social entrepreneurs) untuk mampu menginternalisasikan semangat reforma agraria di tubuh birokrasi. Bornstein dalam Rogers et al. (2008) menjelaskan bahwa ada 6 kualitas untuk menjadi social entrepreneurs yang berhasil adalah: (1) keinginan untuk koreksi diri, (2) keinginan untuk berbagi peran, (3) keinginan untuk memecahkan struktur terbangun, (4) keinginan untuk mempelajari multi disiplin ilmu, (5) keinginan untuk bekerja baik, dan (6) memiliki etika yang kuat. Ide rimbawan birokrat sebagai wirausahawan sosial berangkat dari pentingnya ilmu-ilmu sosial dalam pengembangan ilmu pengetahuan kehutanan. Salah satu kegagalan ilmu pengetahuan kehutanan selama ini adalah ketidakmampuan ilmu pengetahuan kehutanan merekayasa dinamika sosial dalam desain pengelolaan hutan. Rekayasa kehutanan selama ini lebih cenderung berorientasi pada ekologis dan ekonomi. Social engineering belum terelaborasi lebih detail dalam program dan kegiatan sektor kehutanan karena kapasitas sosial rimbawan birokrat masih belum memadai. Yang paling mengkhawatirkan adalah rimbawan birokrat cenderung mengabaikan dinamika sosial dan menganggap permasalahan sosial (seperti masalah tenurial) hanya sebagai bagian dari rekayasa politik segelintir orang yang berkepentingan terhadap hutan dan hasil hutan. Hal ini menyebabkan desain politik kehutanan cenderung berkaitan dengan masalah-masalah penegakan hukum. Politik kehutanan mengarah pada politik feodalisme yang menganggap tanah sebagai aset sumber daya bagi perkembangan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Kesederhanaan berpolitik tersebut membawa rimbawan birokrat sebagai objek politik negara dalam melestarikan kekuasaan. Bagaimana mungkin reforma agraria bidang kehutanan berjalan dengan baik bila rimbawan birokratnya memiliki visi sosial dan politik yang lemah. Dengan mendorong rimbawan birokrat menjadi wirausahawan sosial, kita mengharapkan pembangunan hutan dan kehutanan yang berkeadilan dapat tercapai.
5. KESIMPULAN Perhutanan sosial merupakan simbol reforma agraria bidang kehutanan yang mampu membangun persepsi publik bahwa pemerintah telah dan sedang menjalankan agenda reforma agraria bidang kehutanan. Skema perhutanan sosial yang menjadi bagian dari kebijakan reforma agraria bidang kehutanan adalah HTR, HKm, HD, Kemitraan, dan Hutan Adat. Meskipun ada ketidakjelasan kerangka konseptual perhutanan sosial, baik di pusat dan daerah, perhutanan sosial mendapatkan perhatian yang luas dari berbagai LSM yang selama ini menyuarakan gerakan-gerakan reforma agraria bidang kehutanan, seperti yang terjadi di Sumatera Barat. Dalam konteks politik simbolik, simbol perhutanan sosial memang menjadi alat yang efektif untuk membangun komunikasi baru dalam menjalankan reforma agraria bidang kehutanan. Namun demikian, ketidakjelasan kerangka 9
konseptual perhutanan sosial mendegradasi perhutanan sosial dalam kerangka program dan kegiatan semata sebagaimana yang diyakini oleh rimbawan birokrat pusat dan daerah. Hal inilah yang menyebabkan implementasi skema-skema perhutanan sosial masih sangat rendah. Penelitian ini mendorong perhutanan sosial sebagai kebijakan dan strategi nasional dan daerah yang berlaku dalam setiap program dan kegiatan pembangunan hutan dan kehutanan. Artinya, perhutanan sosial seharusnya ditempatkan sebagai pendekatan yang digunakan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan hutan dan kehutanan untuk menjamin konsistensi kebijakan reforma agraria bidang kehutanan menuju tata kelola kehutanan yang lebih baik. Dengan demikian, proses-proses deliberasi dalam paradigma perhutanan sosial dapat dijalankan oleh seluruh rimbawan birokrat dalam berbagai struktur dan tingkatan organisasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, baik di pusat dan daerah. Di samping itu, kebijakan dan strategi perhutanan sosial sebagai pendekatan pembangunan hutan dan kehutanan juga harus diikuti dengan penguatan kapasitas rimbawan birokrat menuju kualitas wirausahawan sosial yang mampu menginternalisasikan semangat reforma agraria bidang kehutanan pada tingkat masyarakat dan pemerintahan. Dengan demikian, simbol perhutanan sosial dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap jaminan keadilan manfaat sumber daya hutan di Indonesia. Namun demikian, penelitian ini perlu dilengkapi dengan kajian politik simbolik yang dijalankan oleh LSM sebagai penggerak utama semangat reforma agraria bidang kehutanan. LSM dapat dinilai sebagai salah satu rimbawan yang berjuang di luar birokrasi pemerintahan dan strategi LSM juga mengandung simbol-simbol yang mempengaruhi politik agraria bidang kehutanan di Indonesia. Hal ini merupakan tantangan penelitian selanjutnya yang menarik dilakukan.
6. DAFTAR PUSTAKA Asmin, Ferdinal. 2015. Pengelolaan Hutan Nagari di Sumatera Barat: Studi Kasus Areal Kelola Hutan Nagari di Jorong Simancuang Provinsi Sumatera Barat. Disampaikan pada Seminar Nasional FMIPA UT Tahun 2015 pada tanggal 22 Oktober 2015 di Jakarta, Indonesia. Asmin, Ferdinal, Dudung Darusman, Iin Ichwandi, dan Didik Suharjito. 2016. Elaborating the Attributes of Local Ecological Knowledge: A Case Study of Parak and Rimbo Practices in Koto Malintang Village. Disampaikan pada International Conference on Social Sciences and Humanities pada tanggal 19-21 April 2016 di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. Barber, Charles Viktor. 1998. Forest Resource Scarcity and Social Conflict in Indonesia. Environment 40(4):4-9. Berg, Bruce Lawrence. 2001. Qualitative Research Methods for the Social Sciences. New York: A Pearson Education Company. Bernstein, Steven, Benjamin Cashore, Richard Eba’a Atyi, Ahmad Maryudi, dan Kathleen McGinley. 2010. Examination of the Influences of Global Forest Governance Arrangements at the Domestic Level. IUFRO World Series 28:111-135. Blühdorn, Ingolfur. 2007. Sustaining the Unsustainable: Symbolic Politics and the Politics of Simulation. Environmental Politics 16(2):251-275. Charnley, Susan dan Melissa R. Poe. 2007. Community Forestry in Theory and Practice: Where are We Now? Annu. Rev. Anthropol 36:301–336. Daryanto, Hadi. 2014. Sekelumit Permasalahan Mendasar dalam Reforma Agraria dan Tata Kelola Hutan di Indonesia. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan. Jakarta: Kementerian Kehutanan. [Dishut Sumbar] Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat. 2012. Rencana Kerja Pengembangan Perhutanan Sosial di Sumatera Barat Periode 2012-2017. Padang: Dishut Sumbar. Edelman, Murray. 1971. Politics as Symbolic Action: Mass Arousal and Quiescence. New York: Academic Press, Inc. Edelman, Murray. 1977. Political Language: Words that Succeed and Policies that Fail. New York: Academic Press, Inc. Edelman, Murray. 2001. The Politics of Misinformation. Cambridge: Cambridge University Press.
10
[FWI] Forest Watch Indonesia. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000-2009. Jakarta: FWI. Guiang, Ernesto S., Salve B. Borlagdan, dan Juan M. Pulhin. 2001. Community-Based Forest Management in the Philippines: A Preliminary Assessment. Manila: Institute of Philippine Culture, Ateneo De Manila University. Hermansah, Gemala Ranti, Siti Aisyah, Jusmalinda, Ferdinal Asmin, Vonny Indah Mutiara, Rainal Daus, dan Agus W. Boyce. 2013. Strategi dan Rencana Aksi Provinsi untuk Implementasi REDD+. Padang: Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat dan Satuan Tugas REDD+ Indonesia. [KemenLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2014. Jakarta: KemenLHK. [KPA] Konsorsium Pembaharuan Agraria. 2016. Catatan Akhir Tahun 2015: Reforma Agraria dan Penyelesaian Konflik Agraria Disandera Birokrasi. Jakarta: KPA. Maryudi, Ahmad dan Max Krott. 2012. Local Struggle for Accessing State Forest Property in a Montane Forest Village in Java, Indonesia. Journal of Sustainable Development 5(7):6268. Matten, Dirk. 2003. Symbolic Politics in Environmental Regulation: Corporate Strategic Responses. Business Strategy and the Environment 12:215–226. Molnar, Augusta, Marina France, Lopaka Purdy, dan Jonathan Karver. 2011. Community-Based Forest Management: The Extent and Potential Scope of Community and Smallholder Forest Management and Enterprises. Washington: The Rights and Resources Initiative (RRI). Newig, Jens. 2007. Symbolic Environmental Legislation and Societal Self-Deception. Environmental Politics 16(2):276–296. Niemeyer, Simon. 2004. Deliberation in the Wilderness: Displacing Symbolic Politics. Environmental Politics 13(2):347 – 372. Poffenberger, Mark. 2006. People in the Forest: Community Forestry Experiences from Southeast Asia. Int. J. Environment and Sustainable Development 5(1):57–69. Rajagukguk, Erman. 2007. Indonesia Setelah Merdeka: Menyusun Hukum Tanah untuk Rakyat. Makalah Seminar Antarbangsa, “Tanah Keterhakisan Sosial dan Ekologi : Pengalaman Malaysia dan Indonesia”, Dewan Bahasa dan Pustaka Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia. Kuala Lumpur, 4-5 Desember 2007. Rogers, Peter P., Kazi F. Jalal, dan John A. Boyd. 2008. An Introduction to Sustainable Development. London: Glen Educational Foundation, Inc. Sam, Thida. 2011. Community Forest Management. United Nations Forum on Forests, UNFF9: “Forests for People, Livelihoods and Poverty Eradication” di New York City pada tanggal 24 Januari sampai 4 Februari 2011. Sardjono, Mustofa Agung. 2013. Membawa Perhutanan Sosial Indonesia ke Upaya yang Lebih Menjanjikan. Di dalam: Kartodihardjo, Hariadi (editor). Kembali ke Jalan Lurus: Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia. Yogyakarta: Nailil Printika. pp. 397422. Simon, Hasanu. 2006. Hutan Jati dan Kemakmuran: Problematika dan Strategi Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Soetarto, Endriatmo dan Tantan Hermansah. 2007. Ekonomi Pedesaan, Dinamika Sumber Daya Alam dalam Pandangan Reforma Agraria di Indonesia. Makalah pada Konpernas PERHEPI. Tanggal 3-5 Agustus 2007, di Hotel Sahid Raya, Solo. Stan, Lavinia. 2010. Content Analysis. Di dalam: Mills, Albert J., Gabrielle Durepos, dan Elden Wiebe (editor). Encyclopedia of Case Study Research. California: SAGE Publications, Inc. pp. 225-229. Suharjito, Didik. 2013. Reforma Agraria di Sektor Kehutanan: Mewujudkan Pengelolaan Hutan Lestari, Keadilan Sosial, dan Kemakmuran Bangsa. Di dalam: Kartodihardjo, Hariadi (editor). Kembali ke Jalan Lurus: Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia. Yogyakarta: Nailil Printika. pp. 423-450. Suharjito, Didik. 2014. Pengantar Metodologi Penelitian. Bogor: PT Penerbit IPB Press. Tacconi, Luca dan Iwan Kurniawan. 2006. Forests, Agriculture, Poverty and Land Reform: The Case of the Indonesian Outer Islands. Canberra: Australian National University. 11
Teitelbaum, Sara. 2014. Criteria and Indicators for the Assessment of Community Forestry Outcomes: A Comparative Analysis from Canada. Journal of Environmental Management 132:257-267. Uphoff, Norman. 1986. Local Institutions and Participation for Sustainable Development. Gatekeeper Series SA31 31:1-14.
Wiersum, K. Freerk. 2004. Social and Community Forestry. Di dalam: Burley, Jeffery, Julian Evans, dan John A. Youngquist (editor). Encyclopedia of Forest Sciences. Oxford: Elsevier Ltd. pp. 1136-1143. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ini disampaikan kepada Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan yang telah memberikan kesempatan studi S-3 bagi penulis dan mendukung penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat, KKI Warsi, dan UNDP yang telah memberikan kesempatan mengikuti berbagai pertemuan dan rapat yang berkaitan dengan isu-isu perhutanan sosial di Sumatera Barat.
12