26
PELAKSANAAN REFORMA AGRARIA DI KECAMATAN JASINGA Riwayat Status Tanah di Jasinga Program reforma agraria yang dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini yang berwenang adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN), dinamakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Program ini mencakup redistribusi lahan dan pemberian sertifikat gratis kepada warga di sepuluh desa di Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sepuluh desa tersebut di antaranya Desa Koleang, Curug, Tegalwangi, Jugalaya, Setu, Sipak, Pangradin, Jasinga, Pamagersari, dan Kalongsawah. Desa-desa tersebut merupakan lokasi bekas Hak Guna Usaha (HGU) PT. PP. Jasinga seluas 2 426.9297 ha. Luas semula perkebunan PT. PP. Jasinga adalah 3 326.9299 ha. Perkebunan ini baru diberikan HGU oleh pemerintah pada tahun 1978. Oleh karena sebelum tahun 1978 sudah banyak garapan milik rakyat di tanah tersebut, pemerintah hanya memberikan hak seluas 2 426 ha kepada PT. PP. Jasinga, sedangkan sekitar 900 ha dikeluarkan untuk rakyat. Hal ini sesuai dengan SK Mendagri Nomor SK.57/HGU/DA/78 tanggal 3 Agustus 1978 (BPN-Kab.Bogor 2007). Informasi mengenai status tanah di Jasinga sebagai berikut (BPN-Kab. Bogor 2007). 1. Hak Erfpacht, Verponding Nomor 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 118, s.d. 127, seluas 3 306.0066 ha dan Hak Eigendom Verp. Nomor 3092 s.d. 3097 dan 3214 seluas 20,9213 ha. 2. Berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1964 perkebunan tersebut berada dalam penguasaan dan pengawasan pemerintah. 3. SK Mendagri Nomor 57/HGU/DA/1978 tanggal 3 Agustus 1978 diputuskan: a. Status Hak Erpacht/HGU dan Hak Eigendom/HGB atas tanah NV. Cultur Maatchapij Djasinga telah menjadi tanah yang dikuasai oleh negara. b. Diberikan HGU kepada PT. PP. Djasinga seluas 2 426.9279 ha. c. HGU yang diberikan PT. PP. Djasinga berlaku sejak 13 Mei 1978 dan berakhir tanggal 31 Desember 1998. d. Sesanya seluas ± 900 ha dikecualikan dari pemberian HGU karena sudah digarap oleh rakyat. Lebih lengkap mengenai riwayat status tanah dapat dilihat pada skema berikut (BPN-Kab. Bogor 2007).
27
Perkebunan Jasinga (3 326.9299 ha)
Masyarakat (± 189 ha)
Masyarakat (± 900.00 ha)
PT. Haza Sarmil (± 771 ha)
PT. Indocement (± 711.27 ha)
PT. Indocement (189.00 ha)
PT. Telkom (0.14 ha)
PT. PP. Jasinga (sisa) (2 426.9299 ha)
Hasil ukur oleh Kanwil (1 880.09 ha)
Masyarakat (419 ha)
Masyarakat (617 ha)
Pemda (100 ha)
Perpanjangan (1 163 ha)
Gambar 4 Skema status tanah di Jasinga Riwayat status tanah perkebunan di Jasinga sebenarnya sudah sangat jelas seperti yang telah disebutkan pada Gambar 4, tetapi masyarakat yang telah lama menggarap tanah tersebut dari jauh sebelum tanah tersebut diberikan HGU-nya, merasa diperlakukan tidak adil karena bagian mereka menjadi berkurang, akibatnya mereka menganggap ada ketimpangan dalam hal penguasaan dan penggarapan lahan tersebut.
Pelaksanaan Reforma Agraria di Jasinga 1. Latar Belakang Tanah telah menjadi salah satu sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Oleh sebab itu, berbicara tentang tanah pasti berbicara tentang hubungan teknis dan hubungan sosial agraris juga. Masalah mengenai ketimpangan struktur penguasaan tanah bukan merupakan hal yang baru di Indonesia. Jika dilihat secara makro, ketimpangan tersebut terdapat di tiga sektor, yakni kehutanan, perkebunan, dan pertanian pangan (Wiradi 2009). Ketimpangan struktur penguasaan tanah terjadi ketika tanah dijadikan sebagai komoditas. Proses perencanaan kota, pengembangan wilayah perumahan, kawasan industri, dan lain-lain pasti membutuhkan tanah untuk pelaksanaannya, ketika itulah tanah menjadi komoditas. Padahal, wakil presiden Bung Hatta pernah berpesan dalam pidatonya di Yogyakarta pada tahun 1946, mengenai masalah pertanahan. Isi pesan beliau salah satunya adalah sebagai berikut (Wiradi 2009). “… Seharusnya tidak terjadi pertentangan antara masyarakat dengan negara karena negara itu alat masyarakat untuk menyempurnakan keselamatan umum ...”
28
Wiradi (2009) mengungkapkan di satu sisi rakyat menganggap tanah adalah tumpuan kehidupannya, sementara di sisi lain negara membutuhkan pengorbanan rakyat untuk menyerahkan tanahnya demi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Berkaitan dengan tanah perkebunan di Jasinga, ternyata pesan tersebut tidak sejalan dengan kenyataan yang terjadi. Kenyataannya justru terjadi konflik mengenai penguasaan dan penggarapan tanah perkebunan. Rakyat sangat membutuhkan tanah untuk menyambung hidupnya, sedangkan luas garapan yang diberikan pemerintah dirasa kurang dan jumlah penggarap terus bertambah. Telah disebutkan sebelumnya bahwa luas areal perkebunan PT. PP. Jasinga awalnya adalah adalah 3 326.9299 ha, kemudian setelah diberikan HGU oleh pemerintah menjadi 2 426 ha karena sekitar 900 ha telah diberikan oleh rakyat yang telah menggarap lahan tersebut selama bertahun-tahun. HGU yang diberikan pada tanggal 3 Agustus 1978 itu berakhir 20 tahun kemudian, tepatnya tanggal 4 Agustus 1998. Sejak berakhirnya masa HGU perkebunan itu, tuntutan rakyat untuk memiliki tanah tersebut semakin memuncak. Rakyat benar-benar haus tanah pada saat itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, apalagi pada era tersebut Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi. Tuntutan rakyat yang semakin menggebu tidak membuat pemerintah Jasinga tinggal diam. Akhirnya dibentuklah Paguyuban 10 Kepala Desa untuk mengusahakan agar rakyat mendapatkan hak atas tanah tersebut atas nama sendiri. Melalui proses yang cukup panjang dan dengan usaha serta kerja keras rakyat dan Paguyuban 10 Kepala Desa tersebut, tuntutan mereka akhirnya mendapat jawaban pihak perkebunan. PT. PP. Jasinga bersedia melepaskan tanah untuk para penggarap di 10 desa dalam 3 tahapan: (1) tahun 1998 seluas 419 ha, (2) tahun 2000 seluas 86 ha, dan (3) tahun 2003 seluas 537 ha. Total tanah yang dilepaskan oleh PT. PP. Jasinga adalah seluas 1 043 ha dengan perkiraan semula jumlah penggarap sebanyak 4 581 orang. Sesudah tuntutan dipenuhi oleh pihak perkebunan, nampaknya rakyat belum juga merasa puas. Mereka ingin mendapatkan kepastian hukum atas tanah mereka. Hal ini karena mereka takut jika sewaktu-waktu tanahnya akan diambil kembali oleh pihak perkebunan. Akhirnya mereka membuat tuntutan baru, yakni mengenai kejelasan status atas tanah mereka dengan sertifikasi. Paguyuban 10 Kepala Desa juga membantu menyuarakan tuntutan ini ke pemerintah. Harapan rakyat akhirnya mendapat perhatian dari pemerintah Kabupaten Bogor dengan mengadakan program reforma agraria yang dinamakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di Kecamatan Jasinga. Program ini merupakan yang pertama di Kabupaten Bogor dan menjadi percontohan. 2. Riwayat Penyelesaian Tanah Proses untuk mendapatkan hak atas tanah bekas perkebunan PT. PP. Jasinga tidaklah mudah, butuh waktu yang cukup panjang hingga akhirnya dibuat kesepakatan antara Paguyuban 10 Kepala Desa dengan PT. PP. Jasinga. Kesepakatan tersebut terdiri dari tiga tahap, yaitu (BPN-Kab. Bogor 2007): 1. Kesepakatan Awal a. Kesepakatan 1 Mei 1998 untuk mengelola sebagian lahan perkebunan untuk menanam secara tumpangsari seluas ± 419 ha.
29
b.Kesepakatan 17 Mei 2000, antara PT. PP. Jasinga dengan kepala Desa Koleang, dilepaskan seluas ± 86 ha. c. Pernyataannya 28 Januari 2002, 29 Januari 2003, dan 4 Januari 2003, seluas ± 537 ha untuk masyarakat penggarap di 10 desa dan seluas 1.50 ha untuk pasar Desa Setu. 2. Kesepakatan Selanjutnya Hasil rapat tanggal 13 Oktober 2006 disepakati pembagian areal seluas 2426.9279 ha dengan rincian sebagai berikut: a. Seluas ± 1 043 ha untuk dibagikan kepada masyarakat penggarap. b. Seluas ± 1 283 ha yang direncanakan dalam rangka perpanjangan HGU oleh PT. PP. Jasinga. c. Seluas ± 100 ha untuk kepentingan pemerintah Kabupaten Bogor. 3. Kesepakatan Akhir a. Surat pernyataan penyerahan PT. PP. Jasinga tanggal 15 Januari 2007 yang menyatakan menyerahkan sebagian bekas HGU seluas 1 138.2734 ha kepada negara yang selanjutnya untuk diberikan kepada masyarakat penggarap seluas 1 038.2734 ha dan seluas 100 ha untuk pemda. b. Surat pernyataan dari PT. PP. Jasinga tanggal 15 Januari 2007 yang menyatakan menyerahkan sebagian bekas HGU seluas 30.1565 ha kepada negara yang selanjutnya untuk demplot. 3. Program Pembaruan Agraria Nasional Kegembiraan para penggarap mendapatkan lahan bekas HGU perkebunan Jasinga ternyata belum cukup membuat mereka merasa aman. Ada kekuatiran akan diambil kembali tanah tersebut oleh pihak perkebunan atau pemerintah karena tidak adanya kepastian hukum mengenai hak atas tanah tersebut. Karena itu, mereka membuat tuntutan baru, yaitu meminta agar mereka mendapat perlindungan secara hukum atas status tanah mereka, yakni dengan cara memberikan sertifikat atas tanah mereka. Harapan para penggarap akhirnya dikabulkan oleh pemerintah dengan mengadakan PPAN pada tahun 2007. Sasaran yang ingin dicapai dengan adanya program ini antara lain: (1) adanya jaminan kepastian hak bagi masyarakat yang asalnya penggarap menjadi pemilik, (2) adanya motivasi bagi petani/penggarap dalam mengolah tanah sehingga kesejahteraannya meningkat karena bagi petani tanah meruakan sumber kehidupan dan mata pencaharian pokok, (3) terciptanya Catur Tertib Pertanian (BPN-Kab. Bogor 2007). Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bogor merumuskan tujuh buah tujuan yang ingin dicapai dari PPAN. Ketujuh tujuan tersebut di antaranya: 1. Mengurangi ketimpangan pemilikan tanah 2. Mengurangi pengangguran 3. Mengatasi berbagai sengketa, konflik, dan perkara 4. Membuka akses ekonomi 5. Menjamin kepastian hukum dan penguatan hak-hak rakyat 6. Meningkatkan kesejahteraan 7. Meningkatkan kualitas lingkungan hidup
30
Program reforma agraria atau PPAN di Kecamatan Jasinga ini melalui berbagai tahapan. Tahap yang pertama yaitu rapat koordinasi antara pihak pemerintah Kabupaten Bogor, pemerintah Kecamatan Jasinga, pihak perkebunan, dan perwakilan dari penggarap. Selanjutnya tahap sosialisasi, identifikasi subjek calon penerima lahan, identifikasi bidang tanah yang akan dibagi-bagikan, pendataan dan pengumpulan data yuridis, desain penataan infrastruktur jalan, desain penataan bentuk dan luasan kavling, penataan sarana dan prasarana, serta pendaftaran pensertifikatan. Sembilan tahapan kegiatan PPAN yang telah disebutkan di atas menetapkan bahwa telah diterbitkan sertifikat untuk sejumlah 7 000 bidang tanah dengan perincian sebagai berikut. 1. Sebanyak 6 907 bidang tanah untuk 5 900 orang dengan luas 1 030 ha. 2. Sebanyak 30 bidang untuk pemerintah Kabupaten Bogor dan 40 bidang untuk pemerintah desa dengan luas 100 ha. 3. Sebanyak 21 bidang untuk wakaf dengan luas 0.732 ha. 4. Sebanyak 2 bidang untuk demplot BPN dengan luas 30.7 ha. Tabel 4 Uraian hasil kegiatan PPAN di Kecamatan Jasinga Uraian Bidang Orang Luas (ha) Masyarakat penggarap tidak mampu a. Pertanian 5 141 4 083 933.3036 b. Non pertanian 1 766 1 739 96.7628 Sub jumlah 6 907 5 822 1 030.664 Masyarakat mampu (PNBP) Pemdes/Pemkab Pemerintah Kabupaten Bogor PT. PP. Jasinga Demplot Ahli waris/karyawan PT. PP. Jasinga Pemerintah provinsi (setu/danau) Perencanaan penataan jalan Jumlah
61 30 15 2 -
-
6.9384 18.754 70.9238 938.4942 30.7364 104.3907
7 015
5 822
9.6029 28.0211 2 237.9279
Sumber: BPN Kabupaten Bogor (2007)
Sembilan tahapan yang dilalui hingga akhirnya menghasilkan uraian seperti dalam Tabel 4 dilaksanakan secara musyawarah mufakat yang difasilitasi oleh tim teknis tingkat desa dan kecamatan. Perolehan masyarakat dari hasil kegiatan ini adalah surat pernyataan garapan dari masyarakat yang diketahui oleh kepala desa, surat keterangan penggarapan masyarakat dari desa yang diketahui oleh camat, dan surat permohonan pensertifikatan tanah dari kepala desa yang diketahui camat terhadap nama-nama penggarap. Tanggapan masyarakat, khususnya para penggarap, terhadap program reforma agraria ini sangat baik. Masyarakat merasa senang karena harapannya
31
untuk mendapatkan kepastian hukum atas tanah mereka dikabulkan oleh pemerintah Kabupaten Bogor dengan jalan diadakannya program reforma agraria ini.