Booklet KONFERENSI NASIONAL REFORMA AGRARIA (KNRA) 2009
Panitia Bersama KNRA 2009 ABM, AMAN, API, Bina Desa, HuMA, IHCS, JATAM, JKPP, KARSA, KIARA, KPA, KPM FEMA IPB, KpSHK, PERGERAKAN, Petani Mandiri, PKA IPB, RACA, SAINS, Sawit Watch, SHI, SPI, Solidaritas Perempuan, WALHI, YBBI
1
Konferensi Nasional Reforma Agraria 2009 Pengantar
Konferensi
Nasional
Reforma
Agraria
atau
KNRA
yang
akan
dilaksanakan tanggal 20-23 Juni 2009 di Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Bogor-Jawa Barat adalah forum yang dinisiasi dari kalangan organisasi rakyat, NGO dan akademisi untuk mendesakkan kembali agenda reforma agraria menjadi landasan pembangunan nasional dan solusi mengatasi sejumlah krisis yang sedang terjadi saat ini.
Reforma Agraria adalah agenda bangsa yang selama ini diabaikan
oleh pemerintah yang berkuasa, sehingga mengakibatkan lahirnya sejumlah persoalan struktural seperti: kemiskinan dan pengangguran, kerusakan lingkungan, konflik agraria, krisis pangan, krisis energi dan laju urbanisasi yang terus meningkat.
Berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan dalam konferensi nasional
reforma agraria ini antara lain ; dialog agraria yang melibatkan kalangan pemerintahan, pimpinan organisasi rakyat serta akademisi, konferensi sektor dan rapat akbar. Buklet ini menjadi media informasi mengenai penyelenggaraan kegiatan Konferensi Nasional Reforma Agraria. Semoga informasi ini bermanfaat. Terima kasih. Hormat kami, @Panber KNRA 2009
Daftar Isi : Pengantar Selayang Pandang KNRA Tujuan Panitia Bersama Info Kegiatan
2 3 6 6 8 2
Selayang Pandang Konferensi Nasional Reforma Agraria (KNRA)
Konferensi Nasional Reforma Agraria atau KNRA adalah wadah
konsolidasi ide, gerakan dan organisasi masyarakat sipil Indonesia yang berasal dari organisasi tani, nelayan, masyarakat adat, buruh, gerakan lingkungan, perempuan dan NGO serta akademisi mengenai reforma agraria sebagai mandat konstitusi yang diabaikan oleh pemerintah selama ini.
Reforma Agraria (agrarian reform) adalah suatu penataan
ulang atau re-strukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber
agraria,
untuk
kepentingan
petani,
nelayan,
masyarakat adat, buruh dan rakyat kecil pada umumnya yang sekaligus menjadi landasan menuju proses industrialisasi nasional.
Reforma Agraria juga bermakna sebagai strategi politik
pembangunan ekonomi melalui penataan kembali struktur agraria yang sebelumnya timpang menjadi lebih berkeadilan. Tujuan makro reforma agraria adalah proses transformasi sosial ekonomi politik dan budaya masyarakat pedesaan sebagai dasar untuk membangun masyarakat baru.
Rentetan kiris yang kita hadapi saat ini, mulai dari krisis energi,
krisis pangan, krisis ekologi dan krisis ekonomi global berakibat buruk bagi kehidupan kaum tani, nelayan, masyarakat adat, buruh dan kelompok perempuan serta masyarakat marginal lainnya.
Sebagai ilustrasi bahwa krisis ekonomi yang berlangsung
saat ini, sehingga harga komoditi pertanian rakyat anjlok hingga level terendah telah membuat jutaan petani di Indonesia terancam kehilangan sumber pendapatan ekonomi. Krisis ekonomi ini juga memicu harga kebutuhan bahan pangan rakyat semakin naik dan tak terkontrol, karena selain ongkos produksi pertanian seperti pupuk, bibit, saprodi yang harganya semakin tinggi, juga karena sebagian besar kebutuhan pangan rakyat diimpor dari luar. 3
Demikian pula, gelombang PHK bagi buruh-buruh industri
manufaktur, tekstil, perkebunan besar, pertambangan, industri pulp dan kertas, serta menurunnya daya beli masyarakat akan semakin memperparah perekenomian nasional. Ancaman kelaparan di sektor pedesaan dan perkotaan akibat runtuhnya produktivitas rakyat, rusaknya fungsi layanan alam dan tiadanya akses kepemilikan terhadap sumber-sumber agraria akan menjadi momok. Sektor industri maupun sektor pertanian kedua-duanya mengalami kemandegan disaat krisis ekonomi global sedang berlangsung. Sektor pertanian bukan lagi topangan kuat bagi kelesuhan sektor industri seperti yang terjadi pada krisis ekonomi 1998, dan begitupun sebaliknya sektor industri tidak bisa lagi menampung tenaga kerja dari pedesaan.
Kemandegan ekonomi di pedesaan dan sektor pertanian
adalah gejala umum yang menandai terjadinya de-agrarianisasi, yang dicirikan melalui; semakin menyempitnya lahan rumah tangga pertanian seiring dengan meluasnya penguasaan tanah untuk usaha perkebunan, kehutanan dan pertambangan. Hasil pertanian menjadi unsur tambahan dari keseluruhan kehidupan rumah tangga petani, melemahnya identitas politik petani berhadapan dengan kekuatan dan pengaruh ekonomi neo-liberal, serta semakin membesarnya laju arus urbanisasi.
Sedang kemandegan sektor industri adalah gejala terjadinya
proses
de-Industrialisasi,
yang
ditandai
dengan
melambatnya
pertumbuhan sektor industri yang kemudian diikuti dengan rendahnya penyerapan tenaga kerja di sektor industri. Lebih jauh de-industrialisasi ini dapat dikenali dengan semakin menurunnya permintaan investasi sektor industri dan tidak berpola, menurunnya nilai tambah sektor manufaktur, serta rendahnya keterkaitan antar sektor industri hulu dan hilir.
Di tengah penderitaan kaum tani, nelayan, masyarakat adat,
dan kaum buruh Indonesia, bencana demi bencana silih berganti terjadi, mulai dari tsunami, kelaparan, banjir, tanah longsor, gempa 4
bumi, lumpur panas, flu burung, malnutrizi, demam berdarah, kecelakaan udara-laut-darat dan sebagainya, semakin menambah beban penderitaan rakyat yang memang sudah dimiskinkan secara sosial, ekonomi dan politik. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini, peristiwa-peristiwa bencana di berbagai daerah yang membawa korban jiwa dan materil mengalami peningkatan 3 kali lipat dari masa-masa sebelumnya.
Momentum Pemilu 2009 yang akan melahirkan pemerintahan
baru, baik eksekutifnya maupun legislatifnya merupakan kesempatan yang sangat baik bagi kalangan gerakan masyarakat sipil untuk mendesakkan agenda reforma agraria ke dalam agenda strategis pemerintahan baru itu. Dengan demikian, reforma agraria diharapkan akan menjadi dasar bagi kebijakan kongkrit negara dalam rangka menjawab berbagai krisis yang bersumber pada permasalahan agraria nasional.
Menghadapi situasi seperti itu, ada dua hal yang sifatnya
strategis yaitu: pertama, penguatan konsolidasi di kalangan gerakan organisasi masyarakat
sipil untuk memperkuat peranannya dalam
mengontrol kebijakan dan mengaksentuasi kepentingan rakyat. Kedua, memperdalam, mengembangkan, mengkampanyekan pada publik lebih luas dan mendesakkan agenda-agenda sebagai solusi mengatasi berbagai persoalan tersebut. Dalam konteks inilah, Konferensi Nasional Reforma Agraria merupakan agenda mendesak untuk dilaksanakan guna menjawab dua hal strategis tersebut.
5
Tujuan KNRA
Tujuan KNRA adalah : 1) Untuk merumuskan kerangka aksi dan
implementasi reforma agraria sebagai strategi perjuangan politik dan ekonomi bersama, 2) Untuk menggali praktik-praktik implementasi reforma agraria sebagai alternative pembangunan ekonomi yang berazaskan pada keadilan dan kesejahteraan sosial, dan 3) Sebagai ruang konsolidasi iden dan organisasi bagi pelaku gerakan reforma agraria di Indonesia, yang dirumuskan dalam bentuk persatuan gerakan sosial secara nasional yang kongkrit. Panitia Bersama
Penyelelenggaraan KNRA ini oleh panitia bersama yang terdiri
dari organisasi rakyat, NGO dan akademisi yang peduli terhadap persoalan agraria di Indonesia. Adapun nama-nama organisasi tersebut adalah: 1. ABM (Aliansi Buruh Menggugat) 2. AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) 3. API (Aliansi Petani Indonesia) 4. Bina Desa 5. Perkumpulan HuMA 6. IHCS 7. JATAM (Jaringan Tambang) 8. JKPP (Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif) 9. Perkumpulan KARSA 10. KIARA 11. KPA (Konsorisum Pembaruan Agraria) 12. KPM-FEMA IPB 13. KPsHK (Kelompok Pendukung Sistem Hukum Kemasyarakatan) 6
14. PERGERAKAN 15. Petani Mandiri 16. PKA-IPB (Pusat Kajian Agraria-Institut Pertanian Bogor) 17. Raca Institute 18. SAINS (SAyogyo Institute) 19. Sawit Watch 20. SHI (Serikat Hijau Indonesia) 21. SPI (Serikat Petani Indonesia) 22. Solidaritas Perempuan 23. WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) 24. YBBI (Yayasan Bina Bangsa Indonesia)
Jadwal Kegiatan
WAKTU
ACARA
TEMPAT
Hari Pertama : Pleno Pertama Sabtu, 20 Juni 2009 07.00 – 08.00 Wib
Registrasi Peserta
GWW-IPB
08.00 – 12.00 Wib
Pembukaan KNRA 2009 : • Lagu Indonesia Raya • Opening Ceremonial : Agria Swara dan Teater Tukang
GWW-IPB
09.00 – 09.15 Wib
•
Laporan panitia pelaksana
09.20 – 09.35 Wib
•
Sambutan SC KNRA
09.40 – 09.55 Wib
•
Sambutan Rektor IPB Bogor
10.00 – 11.30 Wib
•
Orasi Reforma Agraria dari Dr. (HC) Gunawan Wiradi
11.30 – 12.00 Wib
•
Pentas Musik IPJ (Ikatan Penyanyi Jalanan, Bogor )
12.00 – 13.00 Wib
Istirahat
7
GWW-IPB
13.00 – 15.30 Wib
Dialog Agraria (Sesi Pertama) Tema I : Urgensi dan Relevansi Pelaksanaan Reforma Agraria Sebagai Landasan Pembangunan Nasional Pembicara : Departemen Kehutanan RI, Departemen Pertanian RI, Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Departemen ESDM RI, Badan Pertanahan Nasional RI.
15.30 – 16.00 Wib
Pemutaran Film Dokumenter
GWW-IPB
16.00 – 17.30 Wib
Tema II : Pelaksanaan Reforma Agraria Sebagai Upaya Penyelesaian Konflik Agraria dan Penegakan serta Pemenuhan Hak Konstitusi Warga Negara. Pembicara : POLRI dan KOMNAS HAM.
GWW-IPB
17.30 – 19.30 Wib
Istirahat
GWW-IPB
19.30 – 22.00 Wib
Dialog Agraria (Sesi Kedua) Tema III : Arah, tujuan, program, model, pembiayaan dan kelembagaan reforma agraria menurut Pandangan Organiasi Rakyat Pembicara : Serikat Petani Indonesia, Aliansi Petani Indonesia, Petani Mandiri, Aliansi Gerakan Reforma Agraria, Serikat Petani Pasundan, Serikat Nelayan Indonesia, KNTI, Solidaritas Perempuan dan AMAN.
GWW IPB
8
Minggu, 21 Juni 2009 08.00 – 10.00 Wib
Dialog Agraria (sesi ketiga) Tema IV: Kecenderungan Global Kebijakan Agraria; Peluang dan Tantangan Pembicara : Noer Fauzi, Dianto Bachriadi, Henri Saragih dan Bonnie S.
GWW IPB
10.00 – 17.00 Wib (Paralel)
Konferensi Sektor, yang terdiri dari : • Gerakan Tani • Gerakan Masyarakat Adat • Gerakan Nelayan • Gerakan Buruh dan Miskin Kota • Gerakan Lingkungan • Gerakan Perempuan
Auditorium Gedung ? Gedung ? Gedung? Gedung? Gedung? Gedung?
12.00 – 13.00 Wib (Pararel)
Istirahat Siang Istirahat Siang Pemutaran Film Dokumenter
Auditorium masing-masing
17.30 – 19.30 Wib
Isitrahat Sore
19.30 – 21.30 Wib
Malam kesenian : • Perempuan • Musik oleh Mukti-Mukti • Tarian Tradisional • Sekolah Petani Pasundan
GWW-IPB
Senin, 22 Juni 2009 09.00 – 15.00 Wib
Pembahasan Resolusi dan GWW-IPB Maklumat KNRA 2009: • Pembacaan hasil-hasil konferensi sektor • Pembahasan draft Resolusi dan Maklumat KNRA 2009 • Perumusan Maklumat Rakyat Indonesia untuk menyatakan persatuan tekad dan gerakan • Perumusan Resolusi Gerakan Reforma Agraria 2009 sebagai tuntutan pada pemerintahan RI
9
(Pararel)
Diskusi Panel Akademisi
Ruang ?
12.00 – 13.00 Wib
Istirahat
GWW-IPB
15.00 – 16.00 Wib
Penutupan KNRA 2009 : • Sambutan Ketua SC KNRA • Sambutan Rektor IPB Bogor
GWW-IPB
16.00 – 17.00 Wib
Pers Conferences
GWW-IPB
17.30 – 19.30 Wib
Istirahat
GWW-IPB
19.30 – 21.30 Wib
Malam Penutupan : • Pemutaran Film “The Garden” • Apresiasi Peserta • Musik oleh Mukti-Mukti • Musik oleh IPJ Bogor • Disertai oleh Pesta Rakyat (menikmati makanan dan jajanan rakyat)
GWW-IPB
Rapat Akbar Gerakan Sosial Indonesia
Jakarta
Selasa,23 Juni 2009 09.00 – 17.00 Wib
Penjelasan : Dialog Agraria
Dialog
agraria
adalah
kegiatan
yang
bertujuan
untuk
mendapatkan masukan dari berbagai kalangan mengenai kerangka operasional reforma agraria yang akan menjadi masukan untuk konferensi sektor. Di sesi pertama, kerangka kebijakan agraria akan digali dari berbagai departemen terkait dengan pengelolaan tanah dan sumber-sumber agraria. Selain itu, juga akan dibahas soal konflik agraria yang kerap melibatkan polisi dan disertai pelanggaran hak asasi manusia. Persoalan ini akan dimintakan pandangan dari Polri dan Komnas HAM.
Di sesi kedua, dijaring pandangan dari berbagai pimpinan
organisasi rakyat
mengenai kerangka operasional pelaksanaan
reforma agraria. Kerangka operasional ini mencakup soal arah, tujuan, program, model, pembiayaan dan kelembagaan reforma 10
agraria. Sedangkan sesi ketiga secara khusus akan memotret dampak kebijakan agraria global terhadap gerakan reforma agraria di Indonesia. Konferensi Sektor
Konferensi sektor ini dimaksudkan untuk membahas secara
mendalam terkait dengan pandangan dan usulan semua palaku (sektor) gerakan reforma agraria mengenai penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber-sumber agraria. Pandangan dan usulan dari pelaku (sektor) gerakan reforma agraria ini diarahkan untuk melahirkan kerangka operasional dan kerangka aksi bersama untuk mewujudkan reforma agraria sejati, dengan mengacu pada empat pertanyaan mendasar, yakni: 1) Bagaimana bentuk penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber-sumber agraria dalam kerangka pemenuhan keselamatan dan kesejahteraan warga negara?; 2) Bagaimana pengaturan dan pengelolaan kegiatan produksi dan konsumsi dalam kerangka menguatkan produktivitas rakyat?; 3) Prasyarat-prasayarat apa yang harus dipenuhi suatu pengurusan mengenai penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber-sumber agraria untuk menjaga keberlangsungan layanan alam?; 4) Bagaimana strategi dan konsolidasi gerakan dalam tata perubahan struktur agraria karena pengaruh globalisasi dan neoliberalisme. Tema-Tema Konferensi Sektor • Gerakan Tani Dalam Mewujudkan Reforma Agraria Sejati (Pengelola : SPI, API, Petani Mandiri, Raca Instiute, SAINS, IHCS dan Bina Desa) Gerakan tani dewasa ini dihadapkan dengan berbagai realitas persoalan agraria sebagai konsekuensi dari kegagalan proses pembangunan nasional karena tidak menempatkan reforma agraria sebagai basis dan alas dasarnya. Hilangnya agenda reforma agraria dalam proses pembangunan 11
nasional telah mengakibatkan ketimpangan (incompabilities, yang menurut Wiradi;2000 terdiri tiga hal; ketimpangan stuktur pemilikan dan penguasaan tanah; ketimpangan peruntukan tanah dan ketimpangan dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria) semakin mencolok. Lahan sawah untuk pertanian yang menjadi tumpuan 70 %
penduduk pedesaan Indonesia semakin menyempit
(berkurang 808.756 ha dalam 6 tahun terakhir sejak 1998-2004, dan musnahnya 75% lebih varietas padi lokal dari sebelumnya yang
berjumlah
12.000an)
akibat
proses
industrialisasi,
pembangunanisasi dan modernisasi. Dalam 10 tahun terakhir (1993-2003) petani gurem terus meningkat dari 10, 8 juta menjadi 13, 7 juta orang, seiring dengan meningkatnya angka kemiskinan. Data BPS 2007 menunjukkan jumlah kaum miskin mencapai 37,17 juta jiwa atau 16,58 persen dari total populasi Indonesia. Sebanyak 13,36 persen di perkotaan dan di kawasan pedesaan mencapai 21,90 persen. Semantara untuk angka pengangguran terbuka menurut data Pebruari 2007 mencapai 10,55 juta jiwa (9,75 persen dari total angkatan kerja). Tak kalah mengkhawatirkan adalah semakin tingginya ancaman krisis pangan (akibat kebijakan impor beras, monopoli bibit, monopoli teknologi pertanian dan ketergantungan atas pupuk kimia). Dalam aras global, cengkeraman dan gurita neo-liberalisme semakin mempuruk situasi agraria dengan membawah konsekuensi pada perubahan struktur penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah dan kekayaan alam lainnya yang semakin memarginalkan kaum tani Indonesia. Dalam konteks problem dan tantangan global-nasional semacam itu, gerakan tani sebagai salah satu pilar atau ‘soko guru’ penegakkan dan pelaksanaan Reforma Agraria, seyogyanya merefleksikan diri. Melihat sketsa problem yang telah dijelaskan 12
di muka, maka tanpa alas Reforma Agraria, nasib kaum tani tentu akan berulang menjadi golongan korban pembangunan dan kemajuan sebagaimana terlampir dalam tapak sejarah dinamika politik-sosial-ekonomi Republik Indonesia. Sayang, justru pada titik inilah (ragam pemaknaan nasib kaum tani dan jalan Reforma Agraria) persoalan gerakan tani tampak belum tertuntaskan. Melalui
KNRA
inilah
diharapkan
gerakan
tani
dapat
mereflesikan perjuangan dan pementaan kritis gerakan tani dalam meuwjudkan reforma agraria sejati, menyusun kerangka operasional pelaksanaan reforma agraria, serta kerangka aksi bersama gerakan tani. • Sistem Agraria Adat Menuju Indonesia Yang Mandiri dan Bermartabat (Pengelola : AMAN, Sawit Watch, JKPP, HuMA dan Karsa) Negara selalu melakukan pemaksaan model penguasaan, pemanfaatan dan peruntukan atas kekayaan agraria khususnya yang berada di wilayah-wialyah masyarakat adat. Sumber daya Agraria (tanah, hutan, tambang dan instrumen
hukum
oleh
pemerintah
laut) dikelola melalui yang
berkuasa
dalam
berbagai bentuk pengelolaan seperti HGU, HTI, HPH, KP ternyata bersyarat pada konflik yang terus berkepanjangan. Negara tidak lagi dipandang sebagai pelindung bagi segenap masyarakat adat melainkan lawan kepentingan. Hal ini sangat jelas dan terus hidup dalam setiap pertemuan-pertemuan masyarakat adat yang mengungkapkan “Jika Negara tidak mengakui masyarakat adat maka masyarakat adat juga tidak mengakui adanya Negara”. Amandemen Kedua UUD 1945. Pasal 18 B ayat (2) amandemen kedua UUD 1945 pada bab VI yang mengatur tentang pemerintahan daerah menyebutkan bahwa: “Negara mengakui dan
menghormati
kesatuan-kesatuan
masyarakat
hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya …….”. Posisi masyarakat adat ini semakin dipertegas lagi pada Pasal 28-I pada bab X A 13
yang menyatakan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati sebagai hak azasi manusia. Juga dengan dikeluarkannya TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam yang meletakkan prinsip pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Adat dalam arah dan kebijakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Di sisi lain menguatnya berbagai dukungan internasional yang ditunjukkan melalui lahirnya beberapa instrument internasional, seperti
konvensi Internasional ECOSOB dan SIPOL , Deklarasi
PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, dan hasil ratifikasi DUHAM terkait dengan hak ECOSOB, maka upaya untuk terus menerus memanfaatkan ruang internasional ke nasional menjadi persoalan penting untuk dicarikan kerangka gerakan bersamanya, menata sumber agraria kedepan. Pengelolaan sumber agraria yang adil untuk kesejahteraan masyarakat adat harus diimplementasikan sebagai satu konsep pondasi dasar dalam pembangunan Indonesia. Selama ini ketimpangan terhadap pengelolaan sumber-sumber agraria terjadi akibat dari diabaikankannya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat. Disisi lain konsep yang digunakan lebih dimanfaatkan dan dikondisikan untuk kepentingan sekelompok saja seperti para tuan tanah (kesultanan/kerajaan), pengusaha HTI, HGU, HPA, KP, Taman Nasional dan pola transmigrasi. Pengelolaan agrarian saatnya berarah pada pengelolaan sistem agraria adat. Sistem agraria adat diyakini mampu menjamin keberlanjutan agraria yang tidak menjadikannya sebagai komoditi untuk kebutuhan pasar. • Gerakan Nelayan dan Keadilan Atas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Pengelola : KIARA, KNTI, SNI dan SNT) Deklarasi Djoeanda yang diprakarsai pada tanggal 13 14
Desember 1957 menandai masa emas pergerakan nelayan Indonesia. Lewat deklarasi inilah, konsepsi bangsa Indonesia sebagai negeri kepulauan tergapai. Ironisnya, 50 tahun berselang, prakarsa ini tak lagi dijadikan sebagai acuan pembangunan. Alih-alih mempraktekkan prakarsa Djoeanda, pemerintah justru memperhadapkan nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan birokrasi yang koruptif dan pemodal besar (korporasi multinasional). Alhasil, dari masa ke masa, nelayan dihadapkan pada penghilangan, penyingkiran, dan penghancuran atas hak-hak konstitusinya. Tak sebatas identitas, wilayah, tradisi, dan hukum lokal, martabat kemanusiaannya pun ditelantarkan. Model kebijakan sentralistik dalam pelbagai aspek kehidupan nelayan disinyalir menjadi faktor penyebab utama keterpinggiran nelayan dari sumber-sumber penghidupannya. Semasa rezim Orde Baru berkuasa (1966-1998), misalnya, agenda reforma agraria ditafsirkan sebatas menjadikan tanah dan sumberdaya alam lainnya sebagai komoditas dan obyek eksploitasi semata. Dalam pada itu, partisipasi rakyat dipinggirkan. Dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP-PPK) dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 5 Tahun 2008 tentang pelegalan kembali trawl di perairan Kalimantan Timur Bagian Utara, misalnya, jelas terbaca bahwa sumber daya alam yang terkandung dalam 5,8 juta km2 luas lautan Indonesia hanya dikeruk untuk memperkaya segelintir elite politik dan pemodal besar. Tak ada akses bagi rakyat untuk sekadar memperpanjang nafas. Lebih buruk lagi, ketika perairan pesisir dan laut dianggap tidak memiliki relasi sosio-ekologis terhadap keseharian warga yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya pesisir dan laut. Padahal, selama ribuan tahun nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menghidupi kearifan lokal dalam mengelola sumber daya laut dan perikanan 15
di sekitar wilayah tinggalnya. Di pelbagai daerah, masyarakat adat teguh menghidupi kearifan lokal, seperti ponggawa laut, bapongka, sasi, dan sebagainya. Itulah fakta teraktual kehidupan nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. • Gerakan
Buruh,
Reforma
Agraria
Dan
Industrialisasi
Nasional (Pengelola : ABM, IHCS) Kaum buruh Indonesia merupakan sektor yang memiliki kompleksitas persoalan yang tinggi. Lemahnya perlindungan hukum, tidak berpihaknya kebijakan Negara, rendahnya upah dan tingkat kelayakan hidup, ancaman kriminalisasi dan mudahnya posisi kaum buruh untuk selalu dikorbankan dalam setiap krisis adalah gambaran singkat mengenai kompleksitas yang dihadapi. Kompleksitas persoalan buruh hari ini sebenarnya cermin dari diabaikannya persoalan agraria masa lalu. Gejala urbanisasi yang terus meninggi tiap tahun karena ekonomi pedesaan tidak memberi surplus. Jika kita membandingkan antara ketiga sektor yakni industri, jasa, dan pertanian, sektor yang terakhir menunjukkan kurva yang semakin menurun. Tapi untuk sektor industri dan jasa semakin menunjukkan peningkatan dalam hal kapasitas utilitas produksinya. Artinya tenaga produktif dari kedua sektor tersebut belum dieksplorasi secara maksimal. Sementara sektor pertanian semakin tergusur oleh gencarnya ekspansi kedua sektor tesebut, satu hal yang ditunjukkan oleh makin berkurangnya kapasitas produksi karena semakin berkurangnya lahan pertanian dan terjadinya transformasi tenaga kerja secara besar-besaran dari petani menuju buruh/buruh tani. Karenanya,
penting
mengaitkan
ketenagakerjaan
dengan
kewajiban
reformasi
kebijakan
pemerintah
untuk
menjalankan reforma agraria. Urgensinya tidak hanya untuk 16
menahan laju urbanisasi, menciptakan lapangan pekerjaan di desa, tetapi tujuan-tujuan ekonomis dari pelaksanaan reforma agraria akan mendukung pembangunan industri nasional yang kokoh. Tujuan ekonomis dari pelaksanaan reforma agraria yang menguatkan basis industri nasional antara lain didapatkan melalui pembangunan pertanian yang efesien dan responsif terhadap sektor industri, misalnya kebutuhan tenaga kerja, bahan pokok, bahan baku industri, modal dan mata uang asing. Momentum krisis ekonomi global yang terjadi sejak akhir tahun 2008 memberikan kesempatan yang luas bagi kaum buruh dan tani Indonesia untuk melakukan perubahan radikal atas tatanan ekonomi-politik yang selama ini merugikan bagi kaum buruh dan tani Indonesia. Perubahan wajah ekonomi-politik global akan berdampak pada Indonesia dan selanjutnya akan memberikan peluang perubahan yang signifikan bagi kaum buruh dan tani. Karenanya, melalui KNRA ini diharapkan menjawab soalsoal berikut : 1) Bagaimana strategi pembangunan korelasi perjuangan antara gerakan buruh dengan gerakan reforma agraria yang meliputi identifikasi masalah, metode perjuangan dan pembangunan alat perjuangan bersama, 2) Bagaimana strategi dan taktik gerakan buruh dan gerakan reforma agraria dalam menghadapi krisis yang didasarkan pada kecenderungan dikorbankannya kaum buruh dan tani dalam skema penyelamatan krisis yang digulirkan pemerintah, dan 3) Rumusan mengenai industrialisasi nasional dan tahap-tahapan perjuangannya yang dapat diusung bersama. • Gerakan Perempuan Dan Akses Terhadap Sumber-Sumber Agraria (Pengelola : Solidaritas Perempuan dan Bina Desa) Sampai saat ini kasus-kasus dari konflik agraria masih terus
17
berlangsung, yang memakan banyak korban tidak hanya laki-laki tetapi perempuan dan anak-anak juga menjadi korban. Negara yang seharusnya berperan melindungi rakyat, justru menjadi pihak yang melegitimasi perampasan terhadap lahan-lahan rakyat. Dalam memperjuangkan haknya perempuan seringkali tidak dilibatkan dalam konsultasi dan penyelesaian masalah sehingga kepentingan dan aspirasi perempuan tidak terakomodir, dikarenakan perempuan masih dianggap masyarakat kelas dua. Dalam praktek-praktek penyerobotan lahan milik rakyat, petani perempuan menempati posisi yang paling dipinggirkan. Padahal secara historis, peran perempuan dalam dunia pertanian sangatlah besar. Justru dengan campur tangan rezim orde baru, sektor perkebunan telah meminggirkan kehidupan perempuan dari pertanian. Perempuan tidak mempunyai akses dan kontrol terhadap tanahnya, kepemilikan tanah diutamakan kepada lakilaki dan perempuan hanya menjadi pengelola tanahnya dan tidak jarang perempuan hanya sebagai buruh dengan upah yang sangat kecil. Padahal selain
sebagai istri dan ibu, perempuan
juga sebagai perawat keluarganya.
Dampak lain yang sangat
terasa saat ini adalah semakin meningkatnya perempuanperempuan yang bekerja ke luar negeri dan meningkat setiap tahunnya sekitar 1 juta orang yang dikirim bekerja ke luar negeri, diakibatkan perempuan tidak lagi memiliki akses terhadap tanah sebagai sumber penghidupan di desa. Menyikapi situasi tersebut, maka KNRA ini menjadi wadah konsolidasi gerakan perempuan sebagai jalan menuju terwujudnya pembaruan Agraria yang berkeadilan bagi perempuan dan rakyat pada umumnya. • Merebut Kembali Hak Kelola Rakyat Atas Sumber-sumber Kehidupan yang Berkeadilan (Pengelola : WALHI, JATAM, KpSHK, SHI) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya 18
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, begitu bunyi pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Celakanya, di lapang kemakmuran yang dijanjikan tak terwujud. Sebaliknya pemiskinan, konflik agraria dan perusakan sumber daya alam terjadi di mana-mana. Ketidakharmonisan peraturan perundangan adalah salah satu penyebabnya. Sejumlah kebijakan yang lahir masa reformasi ternyata tak banyak berbeda isinya, makin menjauhkan rakyat dari keselamatannya. Khusus Indonesia, kerusakan lingkungan terjadi pada sebaran yang merata dari ujung barat hingga ujung timur, dari puncak gunung hingga dasar lautan, tidak luput dari kegiatan yang menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Demikian halnya, kondisi lingkungan secara global, yang saat ini berada pada titik sangat memprihatinkan. Diantaranya ditunjukkan oleh: Pertama,
Rapuhnya
kedaulatan
energi
Indonesia.
Ini
ditandai penguasaan 89% blok migas kita dikuasai modal asing, sisanya dikuasai borjuasi nasional yang mengabdi pada modal. Hal yang sama terjadi pada pengerukan batubara dan gas. Krisis gas yang terjadi berkali-kali merupakan bukti, gas kita terlalu banyak memasok kebutuhan negara lain. Demikian pula batubara, yang lebih
70%
produksi batubara kita diekspoer per tahun terus
diekspor. Kedua, Dominasi asing di sektor Pertambangan. Ada enam perusahaan transnasional di sektor pertambangan, masingmasing Rio Tinto, Broken Hill Property Company Ltd, Newmont Mining Coorporation, Newcreast Mining Ltd, Inco Ltd (sekarang Vale Inco), dan Freeport Mc Moran Copper & Gold menguasai deposit mineral terbesar dan industri pertambangan emas, perak, tembaga, nikel, dan batubara. Ketiga, Dalam tiga tahun terakhir, deforestasi seluas 2,7 juta hektar masih terus terjadi. Sampai 2006, lebih 11,23 juta hektar hutan tdilepaskan untuk Hutan Tanaman Industri. Hanya 20 persen diantaranya telah ditanami. Dan dari 20,29 juta hektar 19
ijin perkebunan besar kelapa sawit, hanya 6,7 juta hektar yang ditanami, sisanya ditinggalkan setelah diambil kayunya. Sementara 11,4 juta hektar hutan lindung Indonesia bakal rusak kebijakan pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan tambang dan perkebunan monokultur skala besar. Operasi illegal logging pada 7 tahun terakhir hanya mampu menyentuh rata-rata 8,7 persen dari total
tebangan illegal, yang mencapai rata-rata 24 juta
meter kubik pertahun. Sementara, program Gerhan - Dephut dengan dana Rp 18 triliun rupiah dengan target 3 juta hektar, hanya mampu mengurus 243.516 hektar, tingkat keberhasilan tumbuh 0-60%. Padahal, nilai yang hilang akibat penghancuran hutan sekitar Rp 27 triliun setiap tahun, belum termasuk dampak ekologi dan sosio-kultur yang diterima komunitas lokal. Keempat, Nelayan miskin di kawasan perairan dan laut Indonesia, hingga saat ini begitu banyaknya perijinan yang diberikan kepada jenis alat tangkap yang merusak untuk mengeksploitasi habis sumberdaya perikanan, dimana kondisi ini diikuti dengan semakin melimpahnya limbah di kawasan pesisir dan laut Indonesia, yang menyebabkan nelayan, yang telah harus bertarung dengan tingginya harga BBM dan ongkos melaut, harus berupaya keras agar tetap mampu bertahan hidup. Kelima, Rapuhnya kedaulatan Pangan. Saat ini, ada 75% dari 12 ribu varietas padi lokal musnah, memaksa petani bergantung pupuk dan pestisida kimia dari perusahaan-perusahaan lintas negara (Transnational Coporations/TNC’s. Kondisi lahan dan produksi petani, tidak mendapat pembenahan yang berarti. Keenam,
Menguatnya
pendekatan
kekerasan,dan
kriminalisasi oleh negara dalam pengelolaan sumberdaya alam. WALHI mencatat hingga 2007 terdapat 317 kasus sengketa agraria dan sumberdaya alam yang melibatkan rakyat, berhadap-hadapan dengan kekuatan aparatur negara dan modal. Keseluruhan kasus tersebut, rata-rata mengandung unsur kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). 20
Ketujuh, Terjerat dan bergantung skema utang luar negeri. Merujuk laporan Koalisi Anti Utang, hingga Januari 2008, untuk outstanding Surat Utang Luar Negeri (SUN) saja sudah hampir menyentuh angka Rp 900 triliun. Sementara, beban utang luar negeri yang pada triwulan kedua tahun 2007, sedikitnya sudah tercatat US$ 79 Milyar (sekitar 70 triliun rupiah). Hingga akhir Juli 2008, total utang negara sudah mencapai sebesar Rp 1.462 triliun. Jumlah itu hamper mencapai angka 2 kali lipat APBN 2007. Hampir separuh utang luar negeri, atau sebesar 32,7 miliar dollar AS, berupa utang bilateral. Dari angka tersebut, 40 persen utang dari Jepang. Secara nominal, utang kita terus meningkat dalam delapan tahun terakhir, yaitu sebesar Rp 298 triliun. Sedangkan penambahan utang semasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tercatat r Rp 194 triliun.
Kedelapan, Privatisasi dan swastanisasi aset-aset strategis
publik, seperti BUMN, industri migas, perusahaan listrik negara, perbankan nasional dan lain sebagainya. Sedikitnya 34 BUMN strategis hendak dijual kepada pihak swasta melalui Komite Privatisasi Perusahaan Perseroan dengan Keppres 18 tahun 2006. Berpijak dari fakta-fakta diatas, sudah seharusnya gerakan lingkungan saat ini tidak hanya berkutat pada tataran wacana, tapi juga mampu memberi pandangan alternatif kepada para pengambil kebijakan. Gerakan lingkungan sudah harus lebih maju memberikan solusi berdasar praktek lapang yang nyata dan jelas berkontribusi terhadap kesejahteraan rakyat. Persoalan lingkungan hari ini, harusnya menjadi milik petani, masyarakat adat, nelayan dan perempuan akan tetapi sudah juga menjadi milik buruh, miskin kota dan masyarakat kelas menengah. Sudah saatnya bertranformasi dari gerakan aksi sporadis, parsial dan sektoral menjadi gerakan sosial berdampak politis dan yang diperhitungkan. Kekosongan ruang politik alternatif saat ini harusnya diisi gerakan yang mempunyai ideologi dan platform 21
yang jelas keberpihakannya terhadap rakyat. • Pengembangan Kurikulum dan Metode Pengajaran Mata Kuliah Keagrariaan di Berbagai Perguruan Tinggi (Pengelola Panel: Departemen KPM FEMA, Institut Pertanian Bogor) Menurut Mc Auslan (dikutip dalam Wiradi 2006), salah satu penyebab “kegagalan” dari pelaksanaan reforma agraria di tanah air pada dekade 1960an adalah hambatan ilmiah. Mengapa hambatan ilmiah, karena jumlah ilmuwan agraria di Indonesia pada saat itu masih amat sedikit, berbeda dari negara Dunia Ketiga yang lain. Akibatnya, pembahasan mengenai masalah agraria kerapkali terjebak pada “hukum agraria” dan segi teknis semata. Padahal persoalan agraria juga mencakup aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, lingkungan, dan bahkan juga pertahanan dan keamanan. Panel ini ditujukan untuk menjadi : Pertama, Forum berbagi pengalaman dan praktik dalam pengajaran mata kuliah agraria dari berbagai disiplin ilmu sosial (seperti hukum, sosiologi, politik, sejarah, pertanian, manajemen dll), baik menyangkut aspek kurikulum maupun aspek metode pengajarannya. Melalui kegiatan ini diharapkan adanya sharing pengetahuan dan tukar menukar pengalaman di antara para staf pengajar, di samping juga diperolehnya pengetahuan mengenai state of the art kajian agraria di Indonesia sebagaimana tercermin pada pengajaran mata kuliah agraria di berbagai perguruan tinggi di tanah air. Pada gilirannya, hasil panel ini diharapkan dapat berguna untuk pengembangan kurikulum dan peningkatan kualitas pendidikan mata kuliah agraria di perguruan tinggi masing-masing. Kedua, Pengembangan kurikulum mata kuliah agraria di perguruan tinggi dapat merangkum dan mengangkat dinamika yang berlangsung dalam gerakan sosial di pedesaan dalam perjuangan atas tanah dan sumber-sumber agraria lain. Dengan 22
demikian, maka sinergi antara ranah gerakan dengan ranah akademis dapat bergema dalam materi-materi perkuliahan di perguruan tinggi.
Rapat Akbar
Rapat akbar ini akan dihadiri oleh 5.000 orang perwakilan dari organisasi tani, nelayan, masyarakat adat, buruh, perempuan dan lingkungan, serta NGO. Pada rapat akbar ini, perwakilan dari masingmasing organisasi akan menyampaikan kesaksian dan pandangan mereka sebagai sikap politik gerakan sosial mengenai agenda reforma agraria sebagai jalan penegakan konstitusi, membangun kemandirian bangsa serta kesejahteraan rakyat.
23
24