Konfigurasi Politik Hukum Pertanahan Nasional Menuju Reforma Agraria (TIm Redaksi)
_ _ _ _ _ _ _ _.ARTIKEL UTAMA
11
KONFIGURASI POLITIK HUKUM PERTANAHAN NASIONAL MENUJU REFORMA AGRARIA
Pendahuluan Tanah memiliki makna yang multi dimensional. Kenapa demikian? Pertama, dari sisi ekonomi, tanah mernpakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan. Kedua, secara politis, tanah dapat menentukan posisi seseorang di dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat (kekuasaan). Ketiga, secara budaya, tanah dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial dalam masyarakat. Keempat, tanah bermakna sakral karena bernrnsan dengan waris dan masalah-masalah trandesental. I Sejak lama, Indonesia telah memiliki konsep dasar pengembangan Kebijakan
I Li~at Heru Nugroho, 2005, Reformasi Politik Agraria, Makalah Seminar dl BO~, dan Iihat juga Supriyanto, Implementasi Kebijakan Pertanahan NaslOnal, dalam Juma! Dinamika Hukuffi vol. 8, No, 3 Seplember2008.
Pertanahan Nasional sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945. Ini artinya semua jenis pengelolaan sumberdaya alam termasuk tanah dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ini menjadi landasan untuk semua kebijakan yang terkait dengan F""",,"~j.tim""" pengelolaan sumberdaya alam termasuk di bidang pertanahan. Dengan demikian sudah meJ1iadi suatu kepastian bahwa apa pun kebijakan pertanahan yang akan dikembangkan harns memberi kontribusi nyata terhadap sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Berbicara mengenai kebijakan pertanahan nasional khususnya Pemerintah SBY saat ini maka kita tidak bisa terlepas berbicara mengenai kebijakan pertanahan di Indonesia sejak zaman kolonial. Kebijakan pertanahan sebagai salah satu kebijakan publik dalam bentuk peraturan perundang-undangan sudah berlaku selama 50tahun lebih. Dalam kurun waktu terseliut telah mengalami tiga era kekuasaan yaitu kekuasaan orde lama, kekuasaan orde barn dan kekuasaan orde reformasi. Sekalipun berganti era, dasar politik pertanahan nasional tidak bergeser dari konstitusi Pasal 33 UUD 1945
f
j
Jumal Keadilan Vol. 6, No.1, Tahun 2012
sebagaimana dituangkan dalam UU No.5 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA).' UUPA mengandung nilai-nilai kerakyatan dan amanat untuk menyelenggarakan hidup dan kehidupan yang berperikemanusiaan dan berkeadilan sosial. Perwujudan dari nilainilai tersebut dapat dilihat dari prinsipprinsip dalam UUPA yakni prinsip penguasan tanah dipergunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat, prinsip penghormatan terhadap hak-hak atas tanah masyarakat, penghormatan terhadap hukum adat, prinsip [andrefrom, dan prinsip perencanaan di dalam penggunaan tanah dan pelestariannya; serta yang terakhir prinsip nasionalitas. J UUPA yang "Agung" tetap tidak berubah sekalipun terjadi perubahan atau pergantian kekuasaan. Dalam masa orde lama, UUPA dijadikan dasar bagi pembaharuan hukum tanah melalui penciptaan unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dengan melakukan pendaftaran tanah demi terciptanya kepastian hukum. Di dalam masa ini, dibentuklah berbagai aturan pelaksanaan UUPA untuk mencapai prinsip-prinsip UUPA. Namun sayang sekali, kebijakan dan program pertanahan saat itu terhenti akibat gejolak kekuasaan yang mengakibatkan tumbangnya kekuasan orde lama dan dimulailah era orde baru. Dalam Masa Orde baru, prinsip-prinsip UUPA telah disimpangi dengan dalih kepentingan pertumbuhan dan pembangunan. Pada masa ini, politik pertanahan nasional diperuntukkan untuk pembangunan dan kepentingan pemodal sehingga kepentingan rakyat terabaikan.
'Lufti Ibrahim Nasution, Evaluasi Pelaksanaan UUPA, Program Masa Kinidanmandatang, Makalah Seminar Nasional, BPN, 2005. , Lihat Maria SW Sumardjono, Reorientasi Kebijakan Pertanahan, Jakarta: penerbil Kompas, 2006.
Pada masa itu, rakyat banyak yang menderita sekalipun secara fisik, kita dapat melihat begitu banyak gedung pencakar langit dan begitu banyak lapangan golf yang dibangun. Kemudian pada masa reformasi, prinsip-prinsip UUPA dihidupkan kembali, tujuan untuk pertumbuhan tetap dilakukan namun dengan perubahan pada kepentingan yang dibela tidak lagi kepentingan pemodal melainkan kepentingan rakyat. 4 Di berbagai era, masalah tanah dan politik pertanahan nasional pada pokoknya berkutat pada dua masalah pokok yaitu pertama, masalah formulasi rumusan dan penetapan kebijakan pertanahan nasional, dan kedua masalah implementasi kebijakan tersebut. Dengan demikian keberhasilan sebuah rezim berkuasa di dalam masalah pertanahan, dapat dilihat dan diukur dari kedua hal tersebut. Oleh karena itu, ketika publik melakukan kritisi terhadap sebuah kebijakan publik, maka sepantasnya hal itu dilakukan secara komprehensif dan cerdas sehingga memberikan informasi yang adil dan obyektif. Politik Hukum Pertanahan: Era Rezim OrdeLama Sebagaimana halnya peraturan perundang-undangan yang lain, UUPA pun sebagai produk hukum penguasa, berisikan dan merupakan cermin kebijakan penguasa pada waktu dibuatnya yaitu pada awal era rezim Orde Lama. Pada waktu itu sebagai orde yang bertujuan mengadakan perombakan pada kebijakan penguasa selama masa kolonial, berkeietapan akan dengan sungguh-sungguh melaksanakan pembangunan berdasarkan Pancasila dan
, Lihat Lufti Ibrahim Nasution, 2005, Evaluasi Pelaksanaan UUPA, Program Masa Kini dan Mendatang, Makalah Seminar Nasional, BPN. Lihatjuga Supriyanlo, Ibid.
2
Konfigurasi PoIttik Hukum Pertanahan Nasional Menuju Reforma Agraria (Tim Redaksi)
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai kepribadian bangsa. Seperti diketahui DUD 1945 baru dinyatakan berlaku kernbali sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Prinsipnya segala sesuatu akan didasarkan pada kepribadian nasional. Oleh karen a itu dalarn rangka rnewujudkan, rnerurnuskan, rnernberikan landasan hukurn dan pelaksanaan kebijakan pernbangunan yang barn di bidang pertanahan, Pernerintah bertekad untuk rnelaksanakan UUPA selarna DUPA rnurni dan konsekwen sebagai perwujudan Sila-sila Pancasila dan penjabaran Kebijakan Pokok Pertanahan Nasional sebagai yang dirumuskan dalam Pasal33 ayat (3) DUD 1945. Untuk melaksanakan kebijakan baru rezirn Orde Lama tersebut, dalam DUPA ditetapkan garis-garis besar reformasi di bidang pertanahan yang dirangkurn dalam Panca Program Agraria Reform Indonesia, yang meliputi: a) Pembaharuan Hukum Tanah, melalui penciptaaan unifikasi hukum yang berkonsepsi nasion aI, dengan menyediakan hak-hak atas tanah untuk berbagai keperluan pemerintah, perseorangan serta badan-badan usaha, sosial dan keagamaan disertai pemberian jaminan kepastian hukum
dengan penyelenggaraan pendaftaran tanah; b) Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah yang dialihkan kepada penguasapenguasa nasional; c) Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur; d) Perombakan pernilikan dan penguasaan tanah serta hubunganhubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah, dalam mewujudkan pernerataan kemakmuran dan keadilan yang kemudian dikenal sebagai program landreJarm; e) Perencanaan, persediaan dan peruntukan .tanah serta penggunaannya secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya yang kemudian dikenal sebagai kegiatan penatagunaan tanah. Ketentuan-ketentuan DUPA tersebut terlihat jelas kebijakan pertanahan berpihak kepada rakyat banyak terutama golongan ekonomi lemah. Upaya pembangunan Nasional dimulai dengan mengutamakan pembangunan di bidang pertanian dengan usaha memberdayakan rakyat petani. Pernbangunan pertanian dimulai dengan memberikan tanah garapan yang luasnya memadai kepada para petani rnelalui pelaksanaan landreJarm dan penyelenggaraan transmigrasi, disertai pemberian. hak atas tanah yang tertulis peraturannya dan teIjamin penguasaannya melalui pendaftaran atas tanah. Petani Indonesia yang pada kenyataannya rnerupakan golongan rakyat
Foto: pedufiJullum.bIogspot.com
3
Jumal Keadilan Vol. 6, No.1, Tahun 2012
yang besar dan lemah perlu diberdayakan karena pembangunan di bidang-bidang lain hanya akan berhasil, bilamana dapat ditopang oleh bidang pertanian yang kokoh, dengan rakyat petani yang kuat kedudukan ekonomi dan sosialnya. Dalam pelaksanaan [andrefarm yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960, diperhatikan benar Sila kedua Pancasila yaitu Sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab dan asas-asas negara hukum. Untuk itu tanahtanah pertanian yang penguasaannya melampaui batas yang ditetapkan akan diambil dan kemudian akan didistribusikan kepada petani yang memerlukan. Pengambilan tanah-tanah pertanian yang melampaui batas inipun disertai dengan ganti kerugian. Bidang perkebunan, industri, pariwisata, perdagangan, jasa dan lainlainnya tidak diabaikan, dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan mengenai penyediaan tanah dan penatagunaan tanah serta disediakannya hak-hak atas tanah khusus untuk keperluan-keperluan yang bersangkutan. Bahkan bagi badanbadan hukum yang untuk sebagian atau sel uruhnya bermodal asingpun tetap dibuka kemungkinan menguasai dan menggunakan tanah untuk keperluan usahanya. Oleh karena itu, sungguhpun yang diutamakan usaha memberdayakan rakyat tani tetapi kebijakan pembangunan pada waktu itu bukanlah anti modal besar 5 baik nasional maupun asing. Pemerintah juga mengantisipasi kemungkinan kesulitan dalam memperoleh tanah yang sudah dihaki oleh rakyat untuk usahausaha non pertanian tersebut yaitu dengan cara pencabutan hak menurut UndangUndangNo. 20 Tahun 1961.
, Budi Harsono, 2005, Reformasi Hukum Tunali Yang Berpihak Kepada raJ..}'at, Makalah Seminar Nasional, BPN
Undang-undang ini disusun dengan pertimbangan, bahwa untuk keperluan apapun dan diperlukan oleh siapapun, tanah yang bersangkutan harus diusahakan untuk diperoleh melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan. Kesepakatan hams dicapai baik mengenai penyerahan tanahnya oleh pemilik tanah kepada pihak yang memerlukan maupun mengenai imbalannya. Dalam rangka melindungi hak pemilik tanah, yang dijamin oleh hukum suatu negara hukum, dalam musyawarah itu tidak dibenarkan adanya paksaan atau tekanan oleh pihak manapun juga. Bilamana tidak diperoleh kesepakatan, maka haruslah dicari tanah yang lain. Tetapi dalam hal tanah yang bersangkutan diperlukan untuk proyek yang tergolong untuk kepentingan umum dan tidak dapat diperoleh tanah yang lain maka kepentingan umumlah yang hams didahulukan daripada kepentingan pribadi. Untuk keperluan ini memang sudah disediakan dasar hukurnnya dalam pasal 18 UUPA yang memungkinkan pengambilan tanah tersebut secara paksa, tetapi dengan tata cara yang diatur dalam undang-undang (Undang-Undang No. 20 Tahun 1961) dan harus disertai dengan ganti kerugian yang layak. Satu-satunya pejabat yang berwenang mengadakan pencabutan hak adalah Presiden Republik Indonesia yang sekaligus wajib menetapkan hak pemilik tanah yang bersangkutan. Biarpun Presiden yang menetapkan bentuk dan jumlah ganti kerugian itu, namun demikian masih dibuka kemungkinan bagi bekas pemilik untuk menolaknya dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Pengadilan inilah yang diharapkan akan menetapkan secara bijak dan layak bentuk dan jumlah imbalan yang tentunya mengikat semua pihak. Mengenai bentuk dan jumlah imbalan itu ada suatu asas umum yang bersifat 4
Konfigurasi Politik Hukum Pertanahan Nasional Menuju Reforma Agrana (TIm Redaksi)
universal. Bentuk dan jumlah imbalan yang ditetapkan harus sedemikian rupa, hingga penyerahan tanah yang bersangkutan, untuk kepentingan umum sekalipun tidak akan menyebabkan keadaan ekonomi dan sosial bekas pemiliknya menjadi mundur. Asas umum ini disebut dalam Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1973, yang mengatur tala cara banding pada Pengadilan Tinggi yang dimaksudkan. Dalam hal ini, imbalan yang menjadi hak pemilik tanah tidak hanya terbatas pada pemberian ganti kerugian mengenai tanah, bangunan dan tumbuh-turnbuhan yang ada di alas tanah yang dilepaskan, melainkan meliputijuga kerugian-kerugian yang lain. Politik Hukum Pertanahan: Era Rezim OrdeBaru Sebelum sampai terlaksana sepenuhnya program dalam reformasi agraria seperti tersebut di atas teIjadilah tragedi nasional dalam tahun 1965, maka kemudian lahirlah era Orde Baru. Rezim Orde Bam mewarisi situasi nasional dalam keadaan ekonomi negara yang menyedihkan dan konstelasi politik yang saat itu dinilai sebagai penyimpangan besar dari Pancasila dan DUD 1945. Langkah pertama rezim Orde Baru dalam usaha untuk menyelamatkan bangsa dan negara dalam bidang ekonomi adalah mengubah kebijakan pembangunan nasional dan dalam bidang politik mengadakan koreksi total pada kebijakan rezim Orde Lama dan kembali pada pelaksanaan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekuen. Seperti kemudian teIjadi di era Orde Lama, rezim Orde Barupun' dalam perkembangan kebijakan politik dan ekonominya dinilai menyimpang dari Pancasila dan DUD 1945. Jika rezim Orde Lama mengutamakan pembangunan bidang 5
pertanian dengan berusaha memberdayakan rakyat petani, maka rezim Orde Baru mengutamakan pertumbuhan melalui pembangunan industri pengolahan bahan-bahan baku yang berasa! dari impor. Pertumbuhan melalui pembangunan industri itu memerlukan jumlah modal yang besar yang hanya dipunyai golongan ekonomi kuat dan asing. Baik dalam Tap-Tap MPR Orde Baru maupun dari kebijakan penguasa selalu dinyatakan bahwa modal asing merupakan pelengkap, namun kemudian ternyata justru modal asing itulah yang dominan, baik dalam bentuk investasi langsung maupun sebagai pinjaman untuk membiayai proyekproyek pembangunan pemerintah dan swasta. Dengan alasan yang sangat pragmatis yaitu untuk menerapkan dan mencapai pertumbuhan ekonomi, pada awal kekuasaannya, penguasa Orde Baru mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mencakup lingkup agraria, yang antara lain: Undang-Undang Penanaman Modal Asing Tahun 1967 dan Undang-Undang Penanaman Dalam Negeri Tahun 1967. Meski seakan-akan kelahiran kedua undang-undang yang berkaitan dengan penanaman modal ini tidak berkaitan langsung, perlu dicatat bahwa orientasi penguasaan dan eksploitasi kekayaan alam Indonesia pada saat itu diperuntukkan bagi modal-modal tersebut. Undang-Undang No. II Tahun 1967 ten tang Ketentuan Pokok Pertambangan, Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan yang diperbaharui .dengan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, Undang-Undang No. 7 Tahun 1970 ten tang Penghapusan Pengadilan. Landreform serta Undang Undang No.8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Minyak Dan Gas Bumi Negara yang kesemuanya
Jumal Keadilan Vol. 6, No.1, Tahun 2012 bukan saja tidak mengacu bahkan bertentangan dengan UUPA yang mengakibatkan tumpang tindihnya peraturan tentang agraria. Dengan demikian, apa yang dialami dari dulu hingga sekarang adalah terancamnya kehidupan petani, menurunnya produktivitas petani, meluasnya jumlah orang miskin.· Dalam praktek pelaksanaan UUPA selama masa Orde Barn telah dijumpai kelemahan-kelemahan dan mungkin penyimpangan yang tidak sesuai dengan cita-cita luhur UUPA untuk mewujudkan demokrasi ekonomi .seperti yang diamanatkan pasal33 ayat (3) utJD 1945. Lebih spesifik dalam kaitan dengan pelaksanaan Hukum Tanah Nasional masa Orde Baru, Budi Harsono, mengakui ada kelemahan-kelemahan. Menurnt Budi Harsono, karena adanya kelemahan dalam kelengkapan isi dan rnmusan sebagai peraturannya, Hukum Tanah Nasional selama masa Orde Barn, yang menyelenggarakan pembangunan berdasarkan kebijakan yang mengutamakan pertumbuhan, dalam pelaksanaannya memungkinkan penafsiran yang menyimpang dari semangat dan tujuan diadakannya peraturan yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu, pelaksanaan Hukum Tanah Nasional selama masa Orde Barn seringkali dirasakan sebagai tidak adanya perlindungan, bahkan menimbulkan rasa tidak adanya kepastian hukum, tidak adil bagi rakyat yang tanahnya diperlukan untuk kegiatan pembangunan. Padahal Hukum Tanah Nasional jelas memuat rnmusan asas dan ketentuan-ketentuan hukum yang memberikan perlindungan bagi siapapun yang mengu-
, Achmad Ya'kub, Agenda Neo Liberal Masuk Melalui KebiJakan Agraria Di 1I1donesia,JumalAnalisSosial, Vol. 9 No, I,ApriI2005
asai tanah secara sab terhadap gangguan dari pihak penguasa sekalipun, bilamana gangguan itu tidak ada dasar hukumnya. 7 Ketentuan-ketentuan landre/arm biarpun secara formal tidak dicabut, namun selama Orde Barn tidak tampak dilaksanakan, dengan segala akibatnya dalam penguasaan tanah-tanah pertanian baik yang mengenai batas luas maupun lokasinya. Biarpun kebijakan pembangunan dan pelaksanaannya berbeda dengan semangat yang melandasi UUPA, tetapi undang-undang tersebut dan peraturan pelaksanaannya selama Orde Barn masih dapat memberikan dukungan legal yang diperlukan tanpa mengalami pernbahan formal substansinya. g Politik Hukum Pertanahan: Era Rezim Orde Reformasi Orde Reformasi tampak membawa perombakan yang mendasar dalam kebijakan pembangunan nasional di bidang ekonomi sebagai yang ditetapkan dalam Tap MPR No. XVIIMPRJl998 tentang politik ekonomi dalam rangka demokrasi ekonomi. Tap MPR ini mernpakan titik tolak tonggak barn demokrasi ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa saat itu sudah terdapat kebijakan barn yang artinya kita tidak akan kembali kepada kebijakan pembangunan ekonomi Orde Barn yang lalu, yang hanya berorientasi pada 9 pertumbuhan ekonomi. Tap MPR NO XVIIMPRJI998 antara lain merumuskan bahwa Kebijakan ekonomi barn mencakup kebijakan, strategi, dan pelaksanaan pembangunan yang mengutamakan kepentingan rakyat .
'Budi Harsono, 2005, Menujll Penyempurnaan Hukum Tanah Naslonal, Jakarta: Universitas Trisakti. • Budi Harsono, 2007, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA,/si Dan Pelaksanaannya, lambatan Jakarta • Arie S HUlagalung, 2005, Kansistensi Dan Kare/as; Antara UUD /945 Dan UUPA 1960JurnalAnalis Sosial, Vol 9 No I Apri/1005
6·
Konfigurasi Polilik Hukum Pertanahan Nasional Menuju Refonma Agraria (TIm Redaksi)
banyak sebagai wujud keberpihakan pada kelompok usaha kecil, menengah, dan koperasi, serta berfungsi sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional tanpa mengabaikan peranan perusahaanperusahaan besar. Pengelolaan dan pemanfaatan tanah serta sumber daya alam lainnya dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk pemusatan pengusahaan dan kepemilikan dalam rangka pengembangan kemampuan ekonomi usaha kecil, menengah dan koperasi serta masyarakat luas. Tanah sebagai basis pertanian diutamakan penggunaannya bagi pertumbuhan pertanian rakyat. Tap MPR tersebut ditetapkan atas dasar pertimbangan bahwa pelaksanaan demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 UUD 1945 belum terwujud. Sejalan dengan perkembangan kebutuhan dan tantangan pembangunan nasional, diperlukan keberpihakan politik ekonomi yang lebih memberikan kesempatan dukungan dan pengembangan ekonomi rakyat, yang mencakup koperasi, usaha kecil dan menengah sebagai pilar utama pembangunan nasional tanpa mengabaikan peranan usaha besar dan Badan Usaha Milik Negara. Usaha besar dan Badan Usaha Milik Negara mempunyai hak untuk berusaha dan mengelola sumber daya alam, dengan cara yang sehat dan bermitra dengan pengusaha kecil, menengah dan koperasi. Pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam lainnya, harus dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk penguasaan dan kepemilikan d~lam rangka pengembangan kemampuan ekonomi usaha kecil, menengah dan koperasi serta masyarakat luas. Kemudian dengan terbilnya Tap MPR No. IX/MPRl2001 disusul dengan diterbitkannya Keppres No. 34 Tahun 7
2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan maka semakin jelas arah kebijakan pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Pemerintah disini menegaskan tidak akan memarginalkan UUPA akan tetapi akan melakukan penyempumaan. Untuk itu Badan Pertanahan Nasional ditugaskan untuk melakukan langkah-langkah percepatan, antara lain mengajukan rancangan Undang-Undang tentang Hak atas Tanah; dan menyusun peraturan perundang-undangan lainnya di bidang pertanahan. Demikianlah garis kebijakan pembangunan Orde Reformasi yang berbeda benar dengan kebijakan rezim Orde Bam, tetapi sejalan dengan semangat yang terkandung dalam UUPA. Kebijakan Orde Reformasi lebih memihak pada rakyat banyak, khususnya usaha kecil, menengah dan koperasi. Dalam rangka mewujudkan tujuan kebijakannya maka lelah dikeluarkan Keppres No. 34 Tahun 2003 yang telah menugaskan kepada Badan Pertanahan Nasional untuk membuat rancangan penyempumaan UUPA, undang-undang len tang hak milik dan peraturan perundang-undangan lainnya. Politik Hukum Pertanahan Pemerintah SBY Politik hukum era Pemerintah SBY adalah telap pada garis program era reformasi. Pemerintah SBY juga menyadari bahwa masalah pertanahan yang dari hari ke hari semakin mencuat dalam kehidupan masyarakat perlu segera diatasi. Diidentifikasi beberapa kondisi dalam masyarakat yang menggambarkan masalah utama bidang pertanahan dewasa ini, diantaranya: semakin maraknya konflik dan sengketa tanah; semakin terkonsentrasinya pemilikan dan penguasaan lanah pada sekelompok kecil
Jumal Keadilan Vol. 6, No.1, Tahun 2012
dengan berbagai program lainnya dalam kerangka revitalisasi pertanian di Indonesia. Banyak pihak meragukan komitmen lO SBY tersebut , namun saat ini kita sudah melihat adanya kemajuan di dalam pe1aksanaan reforma agraria sebagaimana yang dicanangkan semula telah RibuIJfl petani Kab. Mesuji. (FoIo: repub/ika.co.idj Pemerintah membentuk berbagai masyarakat, dan lemahnya jaminan kepastian hukum atas pemilikan, peraturan agaria mengenai hal itu seperti baik mengenai penguasaan atas tanah, penguasaan dan penggunaan tanith. Dalam upaya mengatasi m.asalah administarsi pertanahan, pengadaan tersebut Pemerintah memandang perlu tanah, dan penatagunaan tanah. Kebijakan pemerintah SBY di bidang untuk membangun suatu kerangka pertanahan khususnya berkaitan dengan kebijakan pertanahan nasional untuk dipergunakan sebagai pedoman oleh pengadaan tanah dapat dilihat dengan semua pihak, baik pemerintah, terbitnya Perpres No. 36 tahun 2005 masyarakat maupun sektor swasta, dalam tentang Pengadaan tanah Bagi menangani masalah-masalah pertanahan pelaksanaan Pembangunan U ntuk sesuai dengan bidang tugas dan kepentingan Umum yang telah dirubah kepentingannya masing-masing. Tujuan dengan Perpres No. 65 tahun 2006 tentang Perubahan atas Perpres No. 36 tahun 2005 akhir dari kebijakan pertanahan nasional ten tang Pengadaan tanah Bagi ini adalah terwujudnya kondisi kemakmuran rakyat sebagaimana pelaksanaan Pembangunan Untuk kepentingan Umum. Saat ini sedang diamanatkan oleh Pasal33 ayat (3) UUD digodok UU Pengadaan tanah antara 1945, UUPA dan TAP MPR IX/2001 Pemerintah dengan DPR. Terkait dengan sebagai akibat pengelolaan pertanahan dan sumberdaya alam lainnya secara pentingnya UU Pengadaan tanah untuk Pembangunan, Presiden SBY berkeadilan, transparan, partisipatif dan menegaskan sebagai berikut: akuntabel. "Untuk implemntasi masterplan Presiden SBY dalam rangka pidato percepatan dan perluasan awal tahun 2007 di TVRI tanggal 31 pembangunan ekonomi, ada banyak Januari 2007 menyatakan Pemerintah pembangunan saran infrastruktur berencana untuk melakukan pembaruan yang memerlukan produk hukum agraria (Reforma Agraria) yang pada Undang-Undang Pengadaan Tanah. intinya adalah melakukan redistribusi Karena itu, saya harap penuntasan tanah negara kepada sejumlah petani yang dikategorikan sebagai petani miskin atau termiskin. Politik pertanahan nasional '" Lihat Dianlo Bachriadi, Refonnas Agraria Untuk Indonesia, menurut SBY diletakkan sebangun Pandangan Krilis Tentang Program Pembaruan Agraria Nasioanl (PPAN) atau Redistribusi Tanah Ala Pemerintah SHY, Internet
8
Konfigurasi Politik Hukum Pertanahan Nasional Menuju Reforma Agraria (TIm Redaksi)
RUU Pengadaan Tanah itu bisa berjalan baik. Saya sudah konsultasikan dengan pimpinan DPR, saya harap komitmen hasil konsultasi itu benar-benar dilaksanakan. Saya juga dengar ada yang bieara "tak perlu UU Pertanahan, biar seperti sekarang ini saja. Maka itu artinya loss opportunity bagi rakyat kita. " Dengan melakukan perubahan atas Keppres No. 36 tahun 2005 kepada Keppres No. 65 tahun 2006, kemudian berupaya untuk membentuk UU pengadaan tanah Untuk Pembangunan, maka arah kebijakan SBY adalah membangun Negara ke.sejahteraan artinya membangun berdasarkan produk hukum yangjelas tetapi tujuannya adalah untuk kepentingan masyarakat banyak. Keinginan presiden untuk adanya kepastian hukwn tetapi tetap menjaga dan menghormati hak-hak atas tanah dari masyarakat." Selain itu, arah kebijakan politik hukum pertanahan masa Pemerintahan SBY diarahkan terutama pada pemberdayaan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional dengan jajarannya. Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Dalam melaksanakan tugas Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi merumuskan kebijakan dan implementasi kebijakan termasuk didalamnya dilakukan kegiatan teknis dan operasional seperti koordinasi, penyelenggaraan, administrasi, pengkajian, penelitian, pembinaan dan pengaturan. Dalarn rnelaksanakan tugas sebagairnana dirnaksud, BPN menyelenggarakan 11 agenda kebijakan tI Lihat DR. Bernhard Limbong, 5.505, SH, MH, PCllgadaan Tanah Untuk Pernbangunan, Regulasi, Kompensasi dan penegakan Hukum,CV Rafi Maju Mandiri, 2011.
9
antara lain: membangun kepercayaan masyarakat pada Badan Pertanahan Nasional; meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran, serta sertifikasi tanah secara rnenyeluruh di seluruh Indonesia; rnernastikan penguatan hakhak rakyat alas tanah (land tenureship); menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban bencana alam dan daerah-daerah; konflik; rnenangani dan rnenyelesaikan perkara, rna salah, sengketa, dan konflik pertanahan di seluruh Indonesia secara sisternatis; rnernbangun Sistern Inforrnasi Pertanahan Nasional (SIMTANAS), dan sistern pengarnanan dokurnen pertanahan di seluruh Indonesia; rnenangani rnasalah KKN serta rneningkatkan partisipasi dan pemberdayaan rnasyarakat; rnernbangun data base pernilikan dan penguasaan tanah skala besar; melaksanakan secara konsisten sernua peraturan perundangundangan Pertanahan yang telah ditetapkan; rnenata kelernbagaan Badan Pertanahan Nasional; dan rnengernbangkan dan rnernperbarui politik, hukurn dan kebijakan Pertanahan. Untuk rnencapai itu sernua, BPN dan jajarannya serta seluruh instansi terkait harus rnelakukan upaya-upaya konkret di dalarn rnelakukan Reformasi Peraturan Perundang-undangan; PeningkatanAkses Masyarakat terhadap Pernilikan dan Penguasaan Tanah Secara Adil; Pengernbangan Kelernbagaan Pertanahan; Peningkatan Pendaftaran Tanah; Pengembangan Penatagunaan Tanah; pengernbangan Sistern Informasi Berbasis Tanah; Penyelesaian Konflik dan Sengketa Tanah; Pengembangan Sistern Perpajakan Tanah; dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Atas Tanah. Belakangan ini Pernerintah rnelalui "LihatLihal DR. Bernhard Limbong, 5.505, SH, MH, Ibid.
Jumal Keadilan Vol. 6, No.1, Tahun 2012
BPN sedang mengupayakan proses revisi terhadap UUPA, BPN telah menyelesaikan konsultasi publik sebanyak tiga kali untuk menjaring masukan dan pandangan dari berbagai kalangan terhadap RUU Amandemen UUPA. Revisi UUPAdimaksudkan selain adanya pernbahan hukum (legal reform) yang disesuaikan dengan kondisi pertanahan kita saat ini, juga dimaksudkan untuk memperkuat visi reformasi agrarian untuk kedaulatan dan keadilan agrarian bagi rakyat Indonesia. Revisi ini tetap harns dikawal oleh pemerintah SBY jangan sampai ada kristalisasi pada pernbahan hukUm (legal reform) semata dengan mengabaikan nilai-nilai agung yang terkandung dalam 12 UUPA sebelumnya.
masyarakat tidak selalu mengindahkan asas-asas dan ketentuan-ketentuan hukum mengenai cara perolehan tanah sebagai yang benar. Di dalam masyarakat hukum adat, terdapat 2 (dua) macam tanah, yaitu tanah ulayat sebagai tanah bersama dan tanahtanah milik para warga masyarakat. Penguasaan tanah yang diperlukan wajib didahului dengan musyawarah dengan para penguasa adat yang bersangkutan untuk mencapai kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya. Demikian juga diperlukan kesepakatan para warga masyarakat hukum ada pemilik tanah yang bersangkutan, jika yang diperlukan juga termasuk tanahtanah milik warga. Untuk itu tidak cukup hanya persetujuan masyarakat adat saja. Juga perlu disetujui bersama apakah penguasaan itu untuk sementara waktu atau untuk selamanya, hingga tanah bekas hak ulayat itu tidak lagi termasuk ulayat masyarakat hukum ad at yang bersangkutan. Barn kemudian diterbitkan surat pemberian haknya oleh Pemerintah. Kasus Mesuji yang terjadi barn-barn ini adalah bagian dari sengketa yang berkepanjangan an tara masyarakat dengan pelaku usaha termasuk akibat pengaturan tumpang tindih atas lahan pengusahaan hutan oleh negara. Masyarakat merasa negara . ' tidak adil menetapkan kawasan hutan atas tanah ulayat dan milik warga namun demikian lahan tersebut diberikan kepada pelaku usaha untuk diolah sehingga menimbulkan ketidakadilan. Kasus-kasus semacam Mesuji kapan saja bisa terjadi apabila keadaan seperti sekarang tems dibiarkan.
Konflik Pertanahan
Sejak Orde Barn sampai saat ini sengketa pertanahan antara masyarakat dengan kehutanan dan antara masyarakat dengan pelaku usaha terns berlangsung. Sejak Orde Bam, banyak tanah masyarakat khususnya tanah ulayat yang diperlukan untuk proyek-proyek pembangunan yang membutuhkan tanah yang luas, seperti perkebunan besar dan pengusahaan hutan. Sayang sekali pengambilalihan tanah ulayat atau
'
Folo: pemuda-muhammadiyah.ocid r----··-
l
---,~-~---'-------"-'--
i I
l:!.;;~'.IIi!l 1_:.'I~j.,"": ...
r.;;Lli; L!;";·:".'.::;:j,:.
,~~_~"~":;'.'_,._;_:.~~~ j __ :~_~~-:_;J r_'~~~:J t:ctJ:ui;::::~~
10
Konfigurasi Polilik Hukum Pertanahan Nasional Menuju Reforma Agraria (Tim Redaksi)
Misalnya, sengkela tanah yang berkepanjangan di Kabupaten Karawang sebagai akibat dari ulah spekulan tanah yang ingin memperoleh tanah masyarakat dengan berbagai cara termasuk menggunakan kuasa pengadilan, kemudian menjualnya kepada pelaku usaha dengan harga tinggi untuk mendapatkan keuntungan ekonomis. Akhirnya pelaku usaha harns berhadaphadapan dengan masyarakat. Sementara Pemerintah Daerah tidak dapat memberikan solusi yang baik terhadap sengketa yang ada bahkan terkadang ikut terlibat di dalarnnya. Sehubungan dengan, banyaknya timbul sengketa mengenai penguasaan bekas tanah ulayat untuk keperluan umum dan swasta, maka perlu ditempuh kebijakan sebagai berikut: (I )Pihak-pihak yang te1ah memperoleh hak atas tanah bekas hak ulayat atau bekas milik para warga masyarakat secara sah menurnt tata cara dan peraturan pernndang-undangan yang berlaku diakui haknya akan dilindungi kelangsungannya; (2)Pemerintah provinsi, Kabupaten/Kota sebagai instansi yang paling mengetahui hal-ihwal sengketa yang terjadi di wilayahnya melakukan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa-sengketa yang timbul di antara masyarakat hukum adat dan warganya dengan pihak luar secara adil dan bijaksana sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan. (3)adanya pengawasan yang ketat terhadap perilaku hakim-hakim pengadilan yang terlibat aktif di dalam mafia tanah dan peradilan, yang selalu memenangkan sengketa tanah di pengadilan untuk keuntungan pelaku usaha yang banyak uangnya. II
(4)Penertiban para spekulan/mafia tanah yang sering membodohi masyarakat adat yang nota bene masih banyak buta hurnf. Penutup Dalam politik pertanahan nasional, sekalipun pergantian rezim kekuasaan, niat dan tujuan Penguasa untuk melakukan ReformaAgraria tetap menjadi tujuan utama. Perbedaannya hanyalah pada implementasinya. Rezim Orde Barn memulai langkah awal di bidang politik pertanahan dengan upaya pembarnan hukum tanah dengan pembangunan di bidang pertanian dengan mengutamakan para petani. Rezim Orde Baru mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan mengutamakan kepentingan pemilik modal, sedangkan Orde Reformasi mengutamakan pertumbuhan dengan mengutamakan kepentingan rakyat. Jadi, politik pertanahan di masa pemerintahan SBY, diletakkan pada Reforma Agraria untuk kepentingan kemakmuran rakyat. Kesimpulan akhir, apapun politik pertanahan yang dilakukan oleh para penguasa, filosofi penggunaan tanah untuk pembangunan harns tetap dijaga untuk kepentingan umum dengan pendekatan kesejahteraan. Pemerintah SBY saat ini menyadari terkait dengan kepentingan masyarakat, konflik pertanahan warisan masa lalu di berbagai daerah masih berlangsung. Konflikkonflik pertanahan tersebut saat ini selalu terjadi an tara masyarakat dengan kepentingan pemodal kuat, dan yang selalu dirngikan adalah masyarakat. Untuk itu, Pemerintah SBY harns lebih fokus pada memperkuat kelembagaan BPN di daerah-daerah agar lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat. 0 Dikumpulkan oleh: Tim Redaksi