PERKEMBANGAN ILMU HUKUM: DARI POSITIVISTIK MENUJU HOLISTIK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HUKUM AGRARIA NASIONAL
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Oleh: Prof.Dr.Sudjito, S.H., M.Si.
PERKEMBANGAN ILMU HUKUM: DARI POSITIVISTIK MENUJU HOLISTIK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HUKUM AGRARIA NASIONAL
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada Pada tanggal 28 Maret 2007 Di Yogyakarta
Oleh: Prof.Dr.Sudjito, S.H., M.Si.
Bismillaahirrohmaanirrohim Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Yang terhormat Ketua, Sekretaris dan para Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Gadjah Mada, Yang terhormat Ketua, Sekretaris dan para Anggota Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Yang terhormat Ketua, Sekretaris dan para Anggota Senat Akademik Universitas Gadjah Mada, Yang terhormat Rektor, para Wakil Rektor Senior dan para Wakil Rektor Universitas Gadjah Mada, Yang terhormat Dekan dan para Wakil Dekan di lingkungan Universitas Gadjah Mada, Yang terhormat rekan-rekan dosen, mahasiswa, alumni dan segenap sivitas akademika Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yang terhormat para Tamu Undangan, Teman sejawat, Sanak Saudara dan Hadirin sekalian. Alhamdulillahirobil’alamin. Segala puji dan rasa syukur, saya panjatkan kehadirat Allah swt., atas ridha dan perkenan-Nya, sehingga hari ini akan menjadi salah satu hari bersejarah dan penuh makna dalam kehidupan saya, yaitu suatu kesempatan untuk menyampaikan pidato ilmiah dalam rangka pengukuhan sebagai Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Sebagai manifestasi dari rasa syukur dan bentuk tanggung jawab ilmiah atas jabatan ini, perkenankan saya menyampaikan Pidato Pengukuhan Guru Besar, dengan JuduL: PERKEMBANGAN ILMU HUKUM: DARI POSITIVISTIK MENUJU HOLISTIK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HUKUM AGRARIA NASIONAL Hadirin yang saya hormati, Perkembangan Ilmu Hukum. Ilmu hukum sesungguhnya merupakan ilmu untuk manusia dan kemanusiaan. Ia merupakan institusi pencarian kebenaran dan keadilan. Kita meyakini bahwa kebenaran dan keadilan merupakan kebutuhan spiritual setiap manusia. Kita pun yakin bahwa kebenaran dan keadilan absolut hanya
2 ada pada Allah swt. Manusia, dengan berbekal ilmu hukum terus berburu kebenaran dan keadilan absolut. Kegelisahan dan kekecewaan muncul ketika yang diperoleh hanya kebenaran dan keadilan relatif. Memang, kebenaran dan keadilan absolut tidak mudah diperoleh, kecuali dengan ilmu hukum yang benar. Manusia tidak boleh menyerah dan pasrah dengan kebenaran dan keadilan relatif. Perburuan harus terus dilakukan. Kualitas ilmu hukum pun perlu terus diperbaharui. Maka menjadi keniscayaan bahwa ilmu hukum terus berubah, bergeser dan berkembang. Jadilah ilmu hukum bersifat dinamis, bukan statis. Perubahan, pergeseran dan perkembangan ilmu hukum dapat digolongkan sebagai kemajuan (progresivitas) apabila arah dan kualitas perubahannya mampu mendekatkan manusia kepada kebenaran dan keadilan absolut. Sebaliknya, apabila perubahan itu semakin menjauhkan dari kebenaran dan keadilan absolut, dapatlah disebut sebagai kesesatan, kemunduran bahkan kegagalan. Arah dan kualitas perubahan ilmu hukum dapat dilihat pada tataran perubahannya, apakah pada paradigma, substansi ataukah sekedar metodologi. Penetrasi kejiwaan manusia terhadap realitas - yaitu segala kondisi, situasi atau objek-objek yang dianggap benar-benar ada di dalam dunia kehidupan (Piliang, 2004) - akan mempengaruhi arah, kualitas maupun tataran perubahan ilmu hukum. Bertolak dari pengertian ilmu hukum di atas, lebih lanjut perlu dipahami bahwa ilmu hukum memerlukan paradigma (Kuhn, 1963). Paradigma merupakan sumber, fondasi, asal dan awal dari keberadaan dan perkembangan ilmu hukum. Paradigma merupakan nilai-nilai dasar yang telah diyakini kebenarannya oleh komunitas ilmuwan (ahli hukum), dan untuk selanjutnya dijadikan pedoman dalam berolah ilmu maupun mengamalkan ilmu hukum ketika berhadapan dengan realitas. Sebagai unit konsensus yang paling luas dan mendalam mengenai nilai-nilai dasar, paradigma dapat digunakan untuk membedakan suatu jenis ilmu hukum dengan ilmu hukum yang lain, sekalian penganutpenganutnya (Ritzer, 1996). Paradigma lahir dari pandangan manusia terhadap Tuhan, manusia dan alam, serta hubungan di antara ketiganya. Nilai-nilai yang melekat pada entitas-entitas itu dapat diyakini kebenarannya atas dasar keyakinan yang diperoleh melalui kontemplasi maupun
3 merupakan hasil pertimbangan akal terhadap realitas empiris. Suatu paradigma selalu mengandung asumsi-asumsi metafisis, ontologis, dan epistemologis yang umumnya diterima begitu saja (taken for granted) oleh komunitas sejauh paradigma itu dianggap dapat menjelaskan suatu kerangka teori yang menjelaskan fenomena eksperimental. Dengan demikian, paradigma mengandung dua komponen utama, yaitu prinsip-prinsip dasar dan kesadaran intersubyektif. Prinsip-prinsip dasar adalah asumsi-asumsi teoretis yang mengacu kepada sistem metafisis, ontologis, dan epistemologis tertentu; sedang kesadaran intersubyektif adalah kesadaran kolektif terhadap prinsi-prinsip dasar itu yang dianut secara bersama-sama sedemikian sehingga dapat dilangsungkan komunikasi yang memiliki frame of reference yang sama (Heriyanto, 2003). Paradigma tidak mesti dan tidak harus rasional, akan tetapi dapat irasional. Kalaupun manusia berusaha merasionalkan paradigma akan tetapi gagal, bukan berarti sebuah paradigma salah. Keterbatasan akal, tidak boleh mengatasi paradigma. Kebenaran yang diperoleh dengan perantaraan wahyu misalnya, menjadi “terberi” bagi seorang Nabi dan pengikut-pengikutnya. Paradigma dapat menjangkau nilainilai religius, dan dengan begitu ilmu hukum menjadi bersifat sakral (Golshani, 2003). Namun tak tertutup kemungkinan bahwa paradigma lahir dari nilai filosofis sekuler sebagaimana umumnya dianut ilmu hukum Barat, sehingga ilmu hukum bersifat profan (Minhaji, 2004). Mengikuti alur pikir Kuhn dan para pengikutnya, ilmu hukum dapat dikatakan normal apabila paradigma telah diterima secara utuh dan menyeluruh oleh komunitas ilmuwan (ahli hukum) serta secara konsisten dijadikan acuan berolah ilmu maupun mengamalkan ilmu hukum ketika menghadapi realitas. Dalam kalimat singkat ilmu hukum dikatakan normal apabila “paradigms in operation”. Dengan begitu, ilmu hukum menjadi mapan, stabil dan mencapai kedewasaan (mature). Apabila kenormalan ilmu hukum itu dapat dipertahankan dalam jangka waktu lama, maka selama itu pula pemahaman dan pengamalan ilmu hukum berlangsung lancar. Artinya, segala permasalahan dapat dijelaskan, diantisipasi dan dicarikan solusi dengan ilmu hukum tersebut, tanpa ada bagian dari realitas yang perlu dibuang. Namun, sunatullah menunjukkan bahwa tidak ada ilmu hukum
4 yang normal dan berjaya sepanjang jaman. Ketika ilmu hukum normal gagal menghadapi realitas, sehingga dalam hidup dan kehidupan ditemukan keganjilan-keganjilan (anomalies), maka mulailah orang menaruh keraguan dan mempertanyakan kenormalan ilmu hukum tersebut. Misalnya, ketika ilmu hukum selalu mengajarkan tentang kepastian, ketertiban, keteraturan, sementara itu realitas yang terbentang justru menunjukkan adanya pemahaman dan pengamalan ilmu hukum yang simpang-siur, acak, majemuk, sehingga tidak pasti, tidak tertib dan tidak teratur. Realitas demikian itu tidak sejalan, menyimpang bahkan bertentangan dengan asas dan doktrin ilmu hukum normal yang selalu mengajarkan kepastian, ketertiban dan keteraturan. Apabila paradigma ilmu hukum normal tidak mampu lagi mengakomodasi keganjilan-keganjilan itu dengan baik, maka sejak saat itu kenormalan ilmu hukum goyah sehingga menjadi ilmu hukum abnormal. Dalam terminologi Kuhnian, momentum perubahan ilmu hukum dari normal menjadi abnormal itu disebut revolusi keilmuan (scientific revolution). Kecepatan dan durasi proses revolusi keilmuan itu tergantung dari cepat atau lambatnya kehadiran paradigma baru yang lebih benar. Suatu perubahan pada tingkat substansi atau metodologi saja belum dapat dikatakan sebagai perkembangan ilmu hukum, kecuali sekedar dinamika internal dalam ilmu hukum itu sendiri. Ilmu hukum benar-benar dapat dikatakan telah berubah atau berkembang ketika paradigma baru telah hadir menggantikan paradigma lama. Hadirin yang saya hormati, Ilmu hukum modern. Marilah kita coba cermati, bagaimana perkembangan ilmu hukum itu pada tataran historis-empiris. Ilmu hukum bukan merupakan perkecualian, melainkan tunduk dan mewarisi deskripsi tentang ilmu pada umumnya. Pada uraian-uraian berikut akan ditunjukkan bahwa ilmu hukum berada dan berkembang serta saling berbagi dengan ilmu-ilmu lain. Dalam kesempatan terbatas ini, perkenankan saya memfokuskan perhatian pada perkembangan ilmu hukum sekitar tiga abad terakhir, sebagaimana dikenal dengan era modern. Ilmu hukum modern muncul pada abad pencerahan
5 (enlightement) di daratan Eropa. Perjalanan sosial-politik-kultural Eropa pada waktu itu didominasi oleh paham liberal-individualisme. Paham ini merasuk dan mewarnai perkembangan ilmu hukum modern. Jadilah ilmu hukum modern bersifat Eropa-sentris dan berkarakter liberal-individualisme. Kemunculan ilmu hukum modern dipicu oleh kegelisahan manusia dalam menghadapi alam. Manusia ingin benar-benar mengetahui mengenai hukum-hukum yang bekerja dalam alam. Segala usaha tersebut dilakukan dengan menggunakan akal-pikiran atau rasio. Oleh sebab itu kelahiran ilmu hukum modern erat kaitannya dengan penggunaan rasio secara aktif dan rasionalisme. Hal-hal yang bersifat takhayul, tidak masuk akal, ditinggalkan, seperti meninggalkan abad kegelapan (dark ages) dan abad pertengahan (middle ages). Sejak masuk pada abad pencerahan (enlightement) dan menyusul abad-abad berikutnya, manusia pelan-pelan mampu “mengungkap” rahasia dan hukum alam, kemudian bergerak semakin agresif. Ia tidak hanya ingin mengetahui, melainkan mengendalikan dan memanipulasi alam. Sejak saat itu ilmu hukum modern menunjukkan ciri-ciri agresivitasnya (Rahardjo, 2006). Ilmu hukum modern dibangun dengan paradigma Cartesian. Adalah Rene Descartes (1596-1650), seorang ilmuwan yang menjadi pioneer kemunculan ilmu hukum modern. Berkat pandangannya yang monumental “Cogito ergo sum” (aku berpikir dan karena itu aku ada), maka seluruh bangunan ilmu hukum disusun berdasarkan pandangan tersebut. Rasionalitas menjadi andalan ilmu hukum modern dalam mengungkap, menjelaskan dan menguasai alam. Fokus perhatian Cartesian memang benar-benar pada hubungan antara rasio manusia dengan alam. Keberadaan Tuhan, tidak sekali-kali menyelinap dalam upaya mengungkap rahasia alam. Alam benar-benar dianggap benda mati, tanpa jiwa dan tanpa nyawa. Posisi manusia pun dipandang terpisah dari alam, bahkan ditempatkan dalam posisi berhadaphadapan. Manusia berwenang untuk meneliti alam secara laboratoris. Alam boleh dipecah-pecah, dipilah-pilah, digolong-golongkan sampai pada bagian-bagian terkecil, yang disebut atom. Atas dasar Cogito ergo sum, dan penggarapan alam yang atomistis, maka diyakini bahwa rahasia alam akan dapat diungkap manusia dengan rasionya. Paradigma Cartesian semakin kokoh menjadi sumber dan
6 landasan ilmu hukum modern ketika didukung oleh kehadiran Francis Bacon (1561-1626) dengan metode empirik, induktif, eksperimental. Dengan perpaduan antara Cartesian dan Baconian, maka upaya pengungkapan rahasia dan hukum alam berlangsung secara agresif, yaitu dengan cara memilah, memilih, mereduksi, dan merasionalkan semua fenomena alam yang menjadi objek-garapan ilmu hukum modern. Dengan menggunakan analisis rasional dan metode empirik, induktif, eksperimental, dianggap semua rahasia dan hukum alam telah dapat dijelaskan, sehingga alam dapat dikuasai. Jejak-langkah dan agresivitas ilmu hukum modern berlangsung ditengah-tengah dominasi kejayaan teori besar Issac Newton (16421727) dan positivisme yang dipelopori August Comte (1798-1857). Teori Newton melihat alam dan proses-proses di dalamnya ibarat bekerjanya sebuah mesin jam raksasa, di mana bagian-bagiannya berkaitan satu sama lain, dan bekerja secara linier, mekanik dan pasti. Alam ditafsirkan bergerak secara “spiritless clockwise universe” (Brion, 1995 dalam Rahardjo, 2006). Lahirlah metode Newton yang linier, matematis dan deterministik. Metode demikian itu “menjalin hubungan erat” dengan analytical-positivism atau rechtdogmatiek, yang ingin melihat hukum sebagai suatu sistem yang tersusun logis, teratur tanpa cacat logika (Rahardjo, 2000). Dalam pada itu, pandangan masinal atau “clockwise” memiliki padanan pada konsep keteraturan dan kepastian dalam ilmu hukum modern. Di sini hukum dilihat sebagai institusi sosial yang penuh dengan kepastian dan keteraturan (Rahardjo, 2006). Positivisme merupakan anak kandung paradigma CartesianNewtonian. Positivisme adalah suatu pandangan dunia yang menempatkan metode ilmiah eksperimental sebagai satu-satunya metode dan bahasa keilmuan yang universal sehingga segala pengetahuan yang tidak dapat diverifikasi oleh metode itu dianggap tidak bermakna apa-apa. Positivisme menolak segala modus berpikir dan “mengetahui” yang nonlinier materalistik, nonmekanistik seraya menganggapnya sebagai ilusi-ilusi dan mitos-mitos yang tak bermakna (Heriyanto, 2003). Tak pelak, paham positivisme pun mendominasi ilmu hukum modern. The state of the art ilmu hukum modern adalah positivistik. Jadilah ilmu hukum modern semakin mereduksi objek-garapannya,
7 selain harus rasional, juga harus dapat diamati secara fisik, diukur dan ditimbang. Objek-garapan ilmu hukum modern adalah perundangundangan atau lazim disebut hukum positif. Hukum positif menafikan (menolak) semua hal-hal yang masih serba teologis dan metafisis. Sikap demikian itu, terkait dengan ajaran positivisme bahwa hukum itu berkembang melalui tiga tahap (law of three stages), yaitu tahap teologis (fiktif), tahap metafisik (abstrak), dan tahap positif (ilmiah atau riel). Setiap norma hukum harus dirumuskan jelas-jelas dan tegas-tegas (eksplisit), agar terhindar dari definisi maupun penafsiran beragam. Norma-norma hukum yang materinya belum dipositifkan dalam perundang-undangan, harus ditolak agar terhindar dari perdebatan antara hukum positif yang berlaku (ius constitutum) dan hukum yang seharusnya berlaku (ius constituendum). Ciri sistematis hukum itu merupakan hal yang sentral bagi positivisme. Berkaitan dengan ciri hukum yang demikian itu, Roberto M.Unger berpendapat bahwa sistem hukum yang sebenarnya (the legal system, the legal order) baru muncul dengan munculnya hukum positif (yang disebutnya sebagai hukum modern). Sistem sebelumnya belum layak disebut sistem hukum (Unger, 1976). Mazhab Wina (Viena School), merupakan salah satu mazhab ilmu hukum modern yang sangat mengagungkan paradigma Cartesian-Newtonian dan positivisme Comte. Hans Kelsen, pemimpin mazhab Wina, dalam Teori Hukum Murni (Pure Theory of Law, Reine Rechtslehre) mengemukakan bahwa hukum adalah susunan logis dari peraturan-peraturan yang berlaku pada satu tempat tertentu dan ilmu hukum adalah ilmu tentang peraturan-peraturan itu. Fokus perhatian hukum semata-mata pada bentuk, bukan pada isi, sehingga hukum tetaplah sah walaupun tidak adil dan tidak mengandung nilai-nilai moralitas. Pokok-pokok pikiran Kelsen tentang ilmu hukum modern dapat disimak dari pernyataannya sebagai berikut (Friedman, 1953; Rahardjo, 2006): 1. Tujuan dari teori hukum sebagaimana ilmu lainnya adalah untuk mengurangi chaos and multiplicity to unity; 2. Teori Hukum (legal theory) merupakan science bukan volition. Ia merupakan ilmu tentang apa itu hukum (what of the law is) bukan tentang bagaimana seharusnya hukum itu (what the law ought to
8 be); 3. Hukum itu bersifat normatif, bukan merupakan a natural science. 4. Legal theory sebagai teori tentang norma tidak pernah peduli terhadap effectiveness of legal norms; 5. Teori hukum bersifat formal, yaitu suatu teori tentang cara mengatur dan mengubah isi hukum dengan cara-cara yang spesifik; 6. Hubungan antara legal theory dengan a particular system of positive law memungkinkan adanya actual law. Pokok-pokok pikiran Kelsen di atas secara implisit menyiratkan adanya pernyataan bahwa ilmu hukum modern berdiri sejajar dengan ilmu-ilmu lain, ia menggarap objek yang rasional yaitu peraturanperaturan, dan ia pun bekerja secara linier, mekanistik dan deterministik, sehingga objektif. Kata-kata bahwa teori hukum bersifat formal, mengandung maksud dan keinginan untuk membuktikan objektivitas ilmu hukum modern, yang terbebas dari muatan nilai tertentu maupun kepentingan subjektif pihak-pihak tertentu. Dengan menggunakan teori hukum formal, dimungkinkan adanya hukum positif yang berlaku universal bagi semua bangsa di muka bumi ini. Sejak adanya dominasi positivisme terhadap ilmu hukum modern, dan seiring dengan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat pada era modern yang ditata dengan hukum positif, maka kehidupan dengan segala aspeknya dipaksa harus rasional. Sejak saat itu, ilmu hukum menjadi ilmu yang distinct dan esoterik, baik dalam substansi, metodologi maupun administrasi (Parker, 1973; Rahardjo, 2000). Dalam hal substansi, ilmu hukum cenderung membatasi diri pada peraturan yang diproduksi negara (legislated rules). Kecenderungan ini mendorong inflasi peraturan-peraturan, yang katakanlah rasional namun teramat sering terdapat inkonsistensi baik vertikal maupun horizontal. Selanjutnya dalam hal metodologi, ilmu hukum modern senantiasa mengacu pada scientific method, bahkan tidak jarang menyebutnya sebagai satu-satunya metodologi yang benar (Guba, 1990). Mengikuti jejak-jejak Comte, studi ilmu hukum modern dilakukan dengan cara-cara empirik dan kuantitatif. Peningkatan menjadi studi yang bersifat kualitatif baru dilakukan pada tahap-tahap lebih lanjut melalui teoresasi terhadap bahan hukum yang
9 terkumpul. Keseluruhan peraturan berusaha dikumpulkan, kemudian dipilah-pilah, digolong-golongkan ke dalam privat-publik, perdatapidana, perorangan-kebendaan, dan seterusnya, untuk selanjutnya dianalisis secara rasional. Jadilah kesimpulan-kesimpulan yang rasional, parsial dan reduksionistis. Sudah tentu, kesimpulan demikian ada benarnya (untuk sebagian saja), akan tetapi ketika kesimpulan itu dikembalikan ke dalam keutuhan realitas yang terkait dengan persoalan yang dibahas, nyatalah kesimpulan itu tidak memadahi untuk penjelasan dan penyelesaiannya. Dengan mengandalkan scientific method saja, ilmu hukum menjadi ilmu yang kering, kaku, dan tidak mampu menjelaskan realitas yang utuh. Ilmu hukum rasional yang menafikan muatan nilai, khususnya nilai moralitas, menjadi ilmu hukum yang asosial dan amoral. Ia tak ubahnya “mayat hidup” atau “zoombi” (Rahardjo, 2003). Demikianlah, gambaran singkat perkembangan ilmu hukum pada tiga abad terakhir kehidupan ini. Hadirin yang saya hormati, Dari Positivistik Menuju Holistik. Ilmu hukum modern telah berkembang pesat di negara-negara Eropa kontinental dan negaranegara bekas jajahannya, termasuk Indonesia. Ilmu hukum yang berkembang di Indonesia saat ini, cenderung menjadi ilmu praktis (practical science). Ia bekerja dengan menggarap teks-teks normatif yang disebut hukum positif. Ia tidak menggarap hukum dari realitas yang utuh, melainkan sebatas realitas yang logis-rasional saja. Identik dengan pemikiran Newtonian yang melihat alam sebagai suatu bangunan yang sistematis, mekanistis, linier dan deterministik, maka pemahaman dan pengamalan ilmu hukum di Indonesia pun cenderung positivistik. Hukum dikonsepkan sebagai karya manusia yang disengaja (purposeful), dan tidak boleh dibiarkan tampil dan berkembang secara alami seperti hukum alam. Dalam kesengajaan ini hukum dibangun dan diharuskan dapat menjadi institusi yang sistematis, sehingga sistem hukum tersusun secara logis-rasional (Rahardjo, 2000). Memasuki zaman millenium ketiga, tepatnya pasca reformasi, pemahaman dan pengamalan ilmu hukum mengalami krisis begitu
10 kompleks dan multidimensional. Sedemikian banyak realitas hukum dan penyelesaian perkara-perkara hukum yang dipandang masih amat kurang memuaskan khalayak ramai. Dengan logika terbatas dan sederhana, mereka yang awam ilmu hukum, mudah dan cepat berprasangka akan adanya sesuatu yang koruptif sepanjang proses, tak lain ialah sebagai akibat ulah laku para polisi, jaksa, pengacara, hakim, yang menyalahi hukum yang berlaku; sementara itu para aktivis lebih berani menuduh bahwa segala ketidakadilan itu bersumber dari tiadanya lagi kemampuan hukum formal yang dibangun berdasarkan falsafah dan teori-teori positivisme, untuk memfasilitasi dan memenuhi fungsinya sebagai sarana kontrol dalam kehidupan bermasyarakat yang telah kian tumbuh dan berkembang ke bentuk struktural organisatorisnya yang kian kompleks, majemuk dan heterogen (Wignjosoebroto, 2004). Secara singkat dapat dikatakan bahwa realitas hukum di Indonesia pasca reformasi telah menjelma menjadi “penyakit-penyakit peradaban” (Capra, 1997), dan mengarah kepada high consequence risk (Giddens, 1984). Berhadapan dengan realitas hukum demikian, ternyata ilmu hukum modern gagal memberikan solusinya, sehingga wajar kalau kepercayaan masyarakat terhadap ilmu hukum modern menjadi menurun. Mengapa gagal? Kesalahan utama terletak pada pereduksian objek-garapan ilmu hukum modern yang membatasi diri pada hukum positif. Padahal hukum dalam keutuhannnya merupakan sebuah tatanan (order), yang mencakup tatanan transendental (transcendental order), tatanan sosial (social order) dan tatanan politik (political order). Di dalam keseluruhan dan keutuhan tatanan (order) itu, apa yang disebut hukum positif hanya menempati sudut kecil dari political order (Rahardjo, 2000). Ilmu hukum modern secara ekstrem telah memihak pada political order, yang ditandai dengan pereduksian keutuhan realitas hukum secara luar biasa dan hanya menyisakan bagian teramat kecil yaitu hukum positif. Sikap demikian itu, identik dengan penegakan pilar regulatif-rasional, akan tetapi mengesampingkan pilar emansipatif-moral (Santos,1995). Memang, berdasarkan pengalaman dan pengamatan the Critical Legal Studies (CLS), hukum senantiasa sarat dengan persoalan politik, ekonomi dan sosial. Proses hukum itu bekerja tidak seperti
11 dikonstruksikan dalam doktrin hukum liberal sebagai netral dan objektif, tetapi bekerja dalam realitas yang tidak netral dan nilai yang ada di belakangnya (Unger, 1986). Realitas hukum yang kompleks, variatif, dan kadang-kadang asimetris, diabaikan (direduksi) oleh ilmu hukum modern. Realitas hukum yang direduksi itu kemudian hanya menyisakan kerangka saja, tanpa daging, tanpa ruh, sehingga kehilangan maknanya, yaitu keadilan. Ilmu hukum modern telah menjadi ilmu tentang skema atau “skeleton” hukum (Rahardjo, 2000). Pereduksian realitas hukum pada gilirannya memunculkan persoalan kritis, baik dalam tataran pemahaman maupun pengamalan ilmu hukum modern. Contoh, doktrin rule of law. Doktrin ini merupakan “the emergence of the legal order”, yaitu suatu order yang muncul di Eropa Barat sebagai kelanjutan dari keberantakan susunan masyarakatnya. Komposisi masyarakat yang terdiri dari kaum raja dan ningrat runtuh dengan munculnya kekuatan baru dari golongan borjuis. Untuk menciptakan suatu susunan masyarakat baru, yang bisa diterima semua golongan, maka muncullah legal order tersebut (Unger, 1976). Dalam konteks Indonesia, doktrin ini dianggap sebagai mitos belaka, karena tidak mungkin dapat diterapkan dalam realitas. Rasio manusia dapat memahami bahwa hukum secara formal sudah sah, karena telah dibentuk oleh institusi yang berwenang, melalui prosedur baku yang ditentukan dan dipublikasikan, namun secara sosiologis ia belum memiliki kekuatan berlaku. Ketaatan masyarakat terhadap hukum hanyalah sekedar ketaatan yang bersifat complience (taat hanya karena takut sanksi), dan bukan ketaatan yang bersifat internalization (taat karena benar-benar menganggap aturan hukum itu cocok dengan nilai intrinsik yang dianutnya). Deskripsi di atas melukiskan betapa paradigma positivisme telah gagal memahami realitas hukum secara utuh. Krisis paradigma positivisme itu telah mengguncang keyakinan manusia pada abad ini terhadap keberadaan ilmu hukum modern. Krisis paradigma itu bahkan telah memunculkan kegelisahan-kegelisahan baru terhadap apa hakikat alam dan kehidupan, bagaimana hubungan manusia dengan alam, serta bagaimana pula hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Berawal dari kegelisahan-kegelisahan seperti itu pula pada gilirannya muncul kesadaran untuk meninggalkan cara pandang reduksionistik dan atomistik - yang sering diidentikan sebagai metode
12 ilmiah (scientific method) - dan seiring dengan itu perlu dihadirkan paradigma baru. Menarik untuk direnungkan pernyataan Fritjof Capra bahwa dalam menghadapi krisis paradigma positivisme:“. . . kita memerlukan sebuah paradigma baru, visi baru tentang realitas, perubahan yang mendasar pada pemikiran, persepsi, dan nilai yang kita anut selama ini . . .” (Capra, 1982). Paradigma baru yang ditawarkan itu tidak lain adalah paradigma holistik (holistic paradigm). Tawaran paradigma baru dari Capra itu telah mendapatkan respon sangat positif dari berbagai komunitas ilmiah. Paradigma holistik telah menjadi arus besar yang tengah melanda dunia keilmuan saat ini. Agar ilmu hukum bisa tampil sebagai genuine science (Rahardjo, 2000), maka tidak ada sikap yang lebih arif, kecuali harus dibangun dengan tertib berpikir berdasar paradigma holistik. Paradigma holistik, merupakan paradigma yang memandang keutuhan lebih esensial daripada jumlah bagian-bagiannya. Berparadigma holistik, artinya menggunakan seperangkat asumsiasumsi teoretis umum dan hukum-hukum serta teknik-teknik aplikasi ilmiah, yang lebih memandang aspek keutuhan lebih utama daripada bagian-bagian, bercorak sistemik, terintegrasi, kompleks, dinamis, nonmekanistik, dan nonlinier. Segala sesuatu di alam raya dipandang mempunyai nilai-nilai intrinsik. Alam (kosmos) dipandang sebagai jaringan yang saling berhubungan, dan merupakan sistem kehidupan yang berkemampuan melakukan self organization. Satu fenomena dengan fenomena lain ada saling keterhubungan dan kesadaran ikut berpartisipasi (participating consciousness) dalam kesatuan kosmos (Berman, 1984). Karakter yang menyertai paradigma holistik adalah sebagai berikut: 1. Mendekonstruksi ontologi tentang realitas, dari realitas statis (sebagaimana dikonsepkan positivisme), menjadi realitas yang dinamis, cair, berubah, bergerak, dan berproses dalam suatu sistem jaringan yang menghubungkan bagian-bagiannya satu sama lain berdasarkan pola-pola dalam keutuhan. 2. Mendekonstruksi pandangan terhadap alam raya bukan sebagai objek atau benda mati, melainkan sebagai sistem hidup yang
13 memiliki sistem pengendalian dan pengaturan diri. 3. Mendekonstruksi pandangan tentang subjek, dari “self” positivisme yang cenderung antroposentris-egoistik menjadi “self” yang bersifat kosmis, religius, ekosentris dan imanen dalam sistem yang lebih besar (dunia-akhirat). 4. Mendekonstruksi pola pikir positivisme yang cenderung dikotomis, hitam-putih, salah-benar (binary-logic) yang memaksa harus memilih salah satu dan membuang lainnya, ke dalam pola pikir yang mau mengapresiasi, mengakui, menerima dan menghargai pluralitas sebagai kekayaan realitas itu sendiri, sehingga ada wilayah “abu-abu”. Hadirin yang saya hormati, Paradigma Holistik Ilmu Hukum. Perkenan saya untuk mengemukakan kembali pandangan saya tentang paradigma holistik ilmu hukum sebagaimana pernah saya sampaikan pada orasi ilmiah dalam rangka Lustrum ke XII Fakultas Hukum UGM tahun 2006 yang lalu. Bagi orang-orang yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah swt., tentu tidak akan pernah ada keraguan barang sedikitpun bahwa ilmu hukum itu berasal dan berawal dari Tuhan Yang Maha Tahu (Al Ilm). Dialah Yang Maha Benar (Al-Haq) dan daripada-Nya asal-usul kebenaran absolut. Dia pula Yang Maha Adil (Al-Adl) dan daripada-Nya keadilan absolut berasal. Berasal dan berawal dari-Nya dan akan terpulang kepada-Nya, segala amal manusia baik yang tergolong taat pada hukum maupun melawan hukum. Ajaran demikian itu telah sampai pada semua manusia melalui agama yang diwahyukan kepada para Rasul dan selanjutnya oleh para Rasul diajarkan, dijelaskan bahkan dicontohkan dalam segala aspek kehidupan. Pada hemat saya, moralitas religius seperti di atas harus menjadi moralitas ilmu hukum dan moralitas kehidupan. Apabila kita sepakat bahwa seluruh aspek kehidupan tidak ada yang bebas, lepas dan netral dari nilai-nilai kebenaran dan keadilan, maka sebenarnya apa yang disebut moralitas religius menjadi identik dengan moralitas ilmu hukum. Jangkauan dan cakupan moral ilmu hukum menjadi sangat
14 luas, menyeluruh dan menyentuh semua sendi-sendi kehidupan bagi siapapun, di manapun dan kapanpun. Dengan kata lain, moralitas ilmu hukum bersifat universal, dan dalam keuniversalannya mengandung karakteristik sebagai berikut (Sudjito, 2006): 1. Berkarakter teistik. Tuhan itu Esa, dan dengan keesaan-Nya telah meliputi segalanya, sehingga tidak tersisa barang sedikitpun untuk men-Tuhan-kan yang selain Allah swt. Nilai-nilai moral absolut, baik yang berupa kebenaran maupun keadilan, hanya ada pada Dia, dan oleh sebab itu segala bentuk aktivitas manusia, termasuk dalam berolah ilmu hukum harus berporos, berproses, dan bermuara kepada-Nya. Dengan kata lain, ilmu hukum yang bermoral adalah ilmu hukum yang dibingkai oleh pandangan dunia yang teistik. Sebaliknya, terhadap ilmu hukum yang menempatkan selain Allah swt sebagai ukuran kebenaran dan keadilan, pantas dipertanyakan komitmen moralnya. Dalam konteks ini semestinya kita ingat akan sentilan Allah swt dalam firman-Nya yang berbunyi: ”Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS: Al-Maidah: 50). 2. Berkarakter manusiawi. Moralitas ilmu hukum menjamin terwujudnya kehidupan manusia agar tegak dan konsisten, tidak mudah tergoyahkan oleh berbagai perubahan dan hasutan yang membawa kepada kerusakan. Berolah ilmu hukum atas dasar moralitas, pada dasarnya beraktivitas dalam pemenuhan tuntutan fitrah manusia. Ilmu hukum yang bermoral adalah ilmu hukum yang mampu menjadi pemandu dan obat kerinduan manusia pada kebenaran dan keadilan absolut. Oleh sebab itu, ilmu hukum dituntut bersifat fasilitatif terhadap kebutuhan-kebutuhan manusia baik lahir maupun batin. Ilmu hukum harus mampu memanusiakan manusia seutuhnya, dan mampu mencegah, membetengi, dan melindungi dari setiap upaya yang melanggar hak asasi manusia. 3. Berkarakter realistik. Moralitas ilmu hukum menaruh perhatian terhadap kebebasan, kelebihan maupun kelemahan yang melekat pada diri setiap manusia. Realitas seperti itu benar-benar diperhatikan, sehingga walaupun semua manusia telah dititahkan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibanding makhluk-
15 makhluk lain, akan tetapi realitas yang terjadi dapat sebaliknya yakni manusia berada jauh di bawah martabat seekor binatang. Dalam kondisi seburuk apapun, moralitas ilmu hukum mampu memberikan jalan keluar terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi manusia karena keterbatasannya itu. Terbuka ampunan terhadap orang-orang yang terlanjur menganiaya diri sendiri, tetapi kemudian sadar akan kesalahannya dan segera mohon ampun serta segera kembali ke jalan yang benar. Terhadap orang-orang melanggar hukum Tuhan karena terpaksa (bukan karena sengaja), tidaklah diketegorikan dia berdosa. Moralitas ilmu hukum, dengan demikian sangat peduli terhadap realitas plural, asimetris dan chaos yang dihadapi setiap manusia, termasuk pluralitas hukum, asalkan kemajemukan itu masih dalam bingkai hukum Tuhan. 4. Berkarakter holistik. Sebagaimana kita sadari bahwa ilmu hukum akan selalu eksis bersamaan dengan eksistensi manusia. Manusia dalam eksistensinya, tidaklah berdiri sendiri dan terpisah dari entitas lain, baik alam maupun Sang Pencipta. Dalam proses kehidupan akan selalu ada komunikasi dan interaksi dengan entitas lain, baik vertikal terhadap Tuhan maupun horizontal terhadap alam dan makhluk-makhluk lain. Moralitas ilmu hukum menyediakan ruang-gerak untuk berlangsungnya keseluruhan komunikasi dan interaksi tersebut. Derajat, kualitas dan moralitas ilmu hukum akan terlihat dari seberapa besar ruang-gerak yang diberikan oleh ilmu hukum dalam memfasilitasi proses komunikasi dan interaksi keseluruhan entitas, sehingga menjadi jelas bahwa tidak ada entitas manapun yang terabaikan. Moralitas ilmu hukum senantiasa mendorong kesatuan yang mendasari tatanan penciptaan maupun tujuan penciptaan semua makhluk, dalam dimensi waktu lampau, kini maupun yang akan datang, baik kehidupan di dunia maupun di akhirat. Dengan begitu, ketika ada perbedaan persepsi, pandangan, konsep, teori dan apapun mengenai ilmu hukum di antara entitas yang eksis dalam kehidupan ini, maka yang terjadi adalah saling menyapa, saling memberi, saling berbagi dan bukan saling membenci, mencaci, ataupun mereduksi. Moralitas ilmu hukum senantiasa menempatkan dan menghormati setiap entitas dalam kedudukannya sebagai subjek atas dasar prinsip
16 pansubjektivitas (Whitehead, 1978), dan tidak sekali-kali mengobjekan pihak lain. Ilmu hukum yang bermoral senantiasa merengkuh pandangan holistik dalam menggarap objeknya, dan tidak sekali-kali membuang ataupun menafikan eksistensi sebuah entitas. Kembali perlu kita sadari bahwa arus besar yang kini sedang melanda dunia ilmu hukum menjelang peralihan abad ke-21, adalah gerakan menuju ke arah terbentuknya paradigma keilmuan yang lebih manusiawi, dengan nama paradigma holistik. Kesadaran akan pentingnya keutuhan itu berkesesuaian dengan pernyataan Edward O.Wilson bahwa ilmu (science) merupakan satu kesatuan (unity), di mulai dari sel (biologi) dan berakhir pada ilmu-ilmu sosial (Wilson, 1998). Ilmu hukum modern yang membatasi objek-garapannya hanya pada realitas fisis-rasional berupa perundang-undangan, tanpa mau melihat asal-usul maupun muaranya, disadari atau tidak telah menghilangkan karakter unity tersebut, sehingga keadaannya menjadi banal (kasar, rusak). Munculnya paradigma holistik menandai kecenderungan baru dalam pemahaman ilmu hukum, yang pada intinya bermuara pada upaya untuk merumuskan ilmu hukum sebagai satu kesatuan (unity science); dan dengan rumusan demikian maka sejumlah kekurangan mendasar yang ditemukan dalam format ilmu hukum positivistik dapat disempurnakan. Konsep unity science merupakan konsep ilmu hukum yang sarat nilai. Kerja ilmu hukum mutakhir, semestinya sarat dengan praduga-praduga filosofis dan keagamaan. Metafisika dan teologika memainkan peran penting pada segenap tahap aktivitas keilmuan, baik pada tahap pemahaman maupun pengamalan ilmu hukum. Arti penting dan peran metafisika dan teologika itu antara lain: untuk mencari penyatuan daya-daya fundamental alam dan kehidupan manusia dengan Tuhan Sang Pencipta. Hal demikian penting, untuk penegasan bahwa pemahaman dan pengamalan ilmu hukum mutakhir hendaknya senantiasa mencari kesatuan yang mendasari tatanan penciptaan. Artinya, ilmu hukum mutakhir semestinya merengkuh pandangan holistik. Dengan pandangan holistik maka dimungkinkan untuk mengamati hukum secara lebih utuh dan mendalam, dalam arti mengungkap kebenaran dan keadilan hukum sampai pada konteks
17 makna, sehingga semakin dekat dengan kebenaran dan keadilan absolut, bukan sekedar kebenaran dan keadilan perundang-undangan. Ingin ditegaskan pula di sini bahwa dalam pandangan holistik, tujuan ilmu hukum adalah berupa pengungkapan kesatuan yang mendasari alam ciptaan. Di sinilah perlunya beragam disiplin ilmu dipahami, digarap dan diselenggarakan secara holistik, untuk memberikan gambaran alam dan kehidupan yang utuh. Ilmu hukum dapat dikategorikan sebagai genuine science, apabila segenap aktivitas keilmuannya dapat mendekatkan orientasi manusia kepada Tuhan, berporos pada Tuhan dan dimaksudkan untuk menuju kepada keridhaan Tuhan, baik secara teoretis maupun praktis. Tidaklah berlebihan, kalau rumusan-rumusan paradigma holistik tersebut dipandang sebagai escape into total order. Paradigma holistik merupakan dasar untuk memahami manusia, alam dan Sang Pencipta dengan ilmu hukum sakral. Paradigma holistik merupakan dasar bagi ilmu hukum yang mampu memberikan pencerahan rohani, berpegang pada pandangan kesatuan manusia-alam-Tuhan, mengakui struktur hierarkis realitas, dan perhatiannya luas pada perikemanusiaan. Jenis ilmu hukum demikian, diharapkan mampu menjelaskan, mengantisipasi dan memberi solusi segala permasalahan hukum di muka bumi ini, sehingga manusia dapat hidup serasi dengan dirinya, dengan alam dan dengan Allah swt. Hadirin yang saya hormati, Karakter holistik UUPA. Marilah kita lihat bagaimana implikasi dari perkembangan ilmu hukum di atas terhadap hukum agraria nasional. Dimaksud dengan hukum agraria nasional di sini adalah keseluruhan peraturan baik tertulis maupun tak tertulis yang mengatur agraria. Pokok-pokok pengaturannya terdapat di dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria (UUPA). UUPA ini telah diperlengkapi dengan sejumlah peraturan pelaksanaan, walaupun sebagian daripadanya hingga kini belum terwujud. Satu hal yang kita prihatin adalah masih adanya inskonsistensi di antara sejumlah peraturan-peraturan pelaksanaan tersebut. Tidak dapat disangkal, bahwa UUPA merupakan produk
18 perundang-undangan yang mampu bertahan cukup lama, ditengahtengah pergolakan dan perubahan sosial, politik dan rezim kekuasaan di negeri ini. Betapapun ada sekian banyak desakan untuk merubah bahkan mengganti UUPA dengan dalih reformasi agraria, kenyataan UUPA sampai dengan hari ini masih tegar, utuh dan sah berlaku. Hal demikian rasanya tidak mungkin terjadi, kecuali UUPA mempunyai akar yang kuat dan mendalam pada kehidupan bangsa Indonesia. Akar yang kuat dan mendalam tersebut berupa paradigma keilmuan yang daripadanya dibangun ilmu hukum yang objek-garapannya meliputi bumi, air, ruang-angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagaimana lazim disebut agraria (bumi Indonesia). Saya cermati, karakter holistik UUPA memang sangat kuat. Kandungan nilai pada keseluruhan pasal-pasal di dalamnya mencerminkan adanya hubungan tidak terpisahkan antara Tuhanmanusia-agraria (bumi Indonesia). Pada Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa: ”Seluruh bumi, air dan ruang-angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruangangkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Di dalam kata-kata “karunia Tuhan Yang Maha Esa” terdapat kandungan nilai religius yang begitu sakral dan sekaligus mencerminkan karakter teistik, yaitu: 1. Pengakuan adanya kekuasaan di luar diri manusia yang menganugerahkan rahmat-Nya kepada bangsa Indonesia, suatu nikmat yang luar-biasa besarnya. Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa; 2. Pengakuan bahwa ada hubungan dan kesatuan antara bumi Indonesia dengan Tuhan Yang Maha Esa; 3. Pengakuan bahwa ada hubungan dan kesatuan antara bumi Indonesia dengan bangsa Indonesia; 4. Adanya hubungan antara Tuhan-manusia-bumi Indonesia itu membawa konsekuensi pada pertanggungjawaban dalam pengaturan maupun pengelolaannya, tidak saja secara horizontal kepada bangsa dan Negara Indonesia, melainkan termasuk juga pertanggungjawaban vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
19 Di dalam UUPA dikenal dan diakui keberadaan hak bangsa, hak ulayat, hak perorangan, hak badan hukum, namun dalam keseluruhannya dibingkai oleh ketentuan Pasal 6 yang berbunyi “Semua hak atas tanah mempunyai funksi sosial”. Penempatan bangsa Indonesia sebagai penerima karunia Tuhan Yang Maha Esa atas bumi Indonesia mengandung makna bahwa bumi Indonesia merupakan kepunyaan bersama seluruh komponen bangsa, sehingga setiap warga negara dihargai sebagai subjek yang mempunyai hak dan tanggungjawab sama dalam pemeliharaan, penggunaan atau peruntukkan bumi Indonesia itu. Secara jelas di dalam Pasal 9 ayat (2) dinyatakan bahwa: “ Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”. Ketentuan ini jelas sangat berpadanan dengan karakter manusiawi dan prinsip pansubjektivitas di dalam paradigma holistik. Lebih lanjut pada Pasal 11 ayat (2) diatur bahwa: “Perbedaaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat di mana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah”. Pasal ini mengandung muatan moral yang begitu tinggi, yaitu kepeduliannya terhadap realitas plural dalam kehidupan manusia. Kita menyadari, betapapun hak dan kesempatan sama telah diberikan UUPA terhadap setiap warga negara dalam hubungannya dengan bumi Indonesia, namun hasilnya belum tentu sama. Munculnya golongan ekonomis kuat dan golongan ekonomis lemah, merupakan keniscayaan. Kata-kata: “. . . menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah.”, merupakan norma hukum yang sarat dengan nilai kemanusiaan. Kayamiskin, kuat-lemah adalah realitas kehidupan yang tidak perlu dipahami secara terkotak-kotak dan berhadap-hadapan, melainkan sebagai realitas utuh yang saling memberi dan melengkapi. Martabat manusia tidak diukur dengan status sosial yang ditandai oleh besarnya penguasaan atas bagian dari bumi Indonesia, melainkan dari kepedulian terhadap golongan rakyat yang miskin dan lemah. Sikap demikian merupakan pengejawantahan dari karakter manusiawi dan teistik paradigma holistik, sekaligus bukti pengamalan ilmu hukum
20 sebagai institusi untuk manusia dan kemanusiaan. Tanpa harus mengurai pasal demi pasal, kiranya telah diperoleh gambaran bahwa karakter holistik UUPA memang sangat kuat, dan dengan demikian potensial untuk dijadikan sebagai sarana untuk menjelaskan, mengantisipasi dan memberi solusi segala permasalahan hukum agraria di Indonesia. Ini bukan berarti UUPA telah sempurna dan anti perubahan. Tidak demikian. Seiring dengan perkembangan ilmu hukum mutakhir, maka ke depan yang diperlukan adalah pemantapan karakter holistik itu. Caranya dengan merubah pola pikir, wawasan dan sikap positivistik menjadi holistik. Sekedar contoh konkrit dapat diberikan, yaitu hubungan antara hukum adat dan hukum nasional. UUPA secara normatif sangat menghargai keberadan hukum adat. Pasal 5 menyebutkan: ”Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, . . .” Dengan pola pikir holistik, ketentuan dalam Pasal tersebut harus dimaknai bahwa hukum adat merupakan bagian tak terpisahkan dari hukum nasional. Dalam keutuhannya, hukum nasional menjadi rusak ketika hukum adat sebagai bagian tak terpisahkan dari hukum nasional lemah. Oleh karena itu, kewajiban bagi segenap komponen bangsa untuk mempertahankan bahkan memperkuat keberadaan hukum adat. Sungguh sangat berseberangan dengan moralitas ilmu hukum holistik, setiap tindakan untuk mengeluarkan posisi dan keberadaan hukum adat dari hukum nasional, misal dengan menyatakan “sudah lemah, bertentangan dengan kepentingan nasional, bertentangan dengan perundang-undangan”, dan sebagainya. Kata-kata seperti itu tidak boleh muncul, baik dalam bentuk teks perundang-undangan maupun pemaknaan. Dengan demikian, perubahan pola pikir, wawasan dan sikap positivistik menjadi holistik hendaknya dilakukan secara progresif . Konsep Hukum Progresif. Saya merasa perlu untuk menekankan pentingnya sikap progresif dalam “membaca dan menerjemahkan” hukum agraria nasional, terutama terkait dengan asumsi-asumsi dasar konsep hukum progresif (Rahardjo, 2005), yang pada hemat saya sangat relevan dengan ilmu hukum holistik. 1. Hukum agraria nasional bukanlah institusi yang absolut, otonom
21 dan final, melainkan merupakan realitas hukum dinamis yang terus bergerak, berubah, membangun diri, seiring dengan perubahan kehidupan manusia. Apabila kita menginginkan agar permasalahan-permasalahan agraria di negeri ini dapat diselesaikan sesuai dengan perkembangan jamannya, maka pembenahan terhadap hukum agraria nasional harus terus disesuaikan dengan perkembangan tersebut. Dengan demikian, kualitas komponen hukum agraria nasional dapat diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran dalam konteks keutuhan jalinan Tuhan-manusia-agraria (bumi Indonesia). Jadi, hukum agraria nasional harus “dibaca dan diterjemahkan” sesuai dengan kebutuhan manusia Indonesia secara utuh. 2. Faktor manusia dan kemanusiaan harus lebih menjadi fokus perhatian daripada hukum agraria nasional itu sendiri. Mengutamakan faktor manusia dan kemanusiaan di atas hukum agraria nasional, berarti melakukan pergeseran pola pikir, sikap dan perilaku dari aras legalistik-positivistik ke aras kemanusiaan secara utuh (holistik), yaitu manusia sebagai pribadi (individu), makhluk sosial dan kalifatullah. Dalam konteks demikian maka setiap manusia mempunyai tanggung jawab individu, tanggung jawab sosial dan tanggung jawab religius kepada Allh swt dalam hubungannya dengan bumi Indonesia. 3. Hukum agraria nasional harus pro-keadilan, pro-rakyat, sekaligus anti diskriminasi, dan anti anarkhi. 4. Agar hukum agraria nasional mampu menjadi sarana untuk membawakan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia, maka perlu dilakukan langkah-langkah kreatif, inovatif, progresif, dan bila perlu dengan cara “mobilisasi hukum” maupun “rule breaking”. Hukum adat dan kearifan lokal dapat dimenangkan terhadap hukum nasional. Peraturan pelaksanaan UUPA yang nyata-nyata bertentangan dengan falsafah Pancasila, harus ditinggalkan. Hal ini bukan berarti menjurus ke anarkhi, sebab apapun yang dilakukan dengan progresivitas itu tetap berada pada koridor moralitas, didasarkan pada “logika kepatutan sosial” dan “logika keadilan” dan tidak semata-mata berdasarkan pada “logika peraturan”. Hati nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong
22 sekaligus pengendali dalam “membaca dan menterjemahkan” hukum agraria nasional, melalui pola pikir asosiatif-spiritual. Dalam konteks keseluruhan uraian di atas, ada baiknya untuk kita renungkan firman Allah swt., sebagai berikut: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka” (Q.S.Ali Imran: 190-191). Demikianlah, semoga dengan kesediaan kita untuk hijrah bersama perkembangan ilmu hukum dari positivistik menuju holistik, kehidupan ini akan lebih mudah, lebih terarah dan lebih indah. Hadirin yang saya hormati, Ungkapan rasa syukur dan terima kasih. Sebagai bagian dari rasa syukur saya kepada Allah swt yang telah menganugerahkan jabatan Guru Besar dan memberi kesempatan untuk mengucapkan pidato ilmiah pada hari ini, perkenankan saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada “tangan-tangan Allah” yang telah membantu baik langsung maupun tidak langsung sehingga saya mampu mencapai karier Guru Besar ini. Terima kasih saya sampaikan kepada Rektor UGM Prof.Dr.Sofian Effendi, MPIA dan Ketua Majelis Guru Besar UGM Prof.Dr.Ir Boma Wikan Tyoso, MSc., yang telah memberi dukungan dan kemudahan sehingga tercapainya jabatan Guru Besar ini. Terima kasih kepada Dekan Fakultas Hukum UGM, Dr.Marsudi Triatmodjo, SH, LLM., para Wakil Dekan, para mantan Dekan, para Guru Besar, Bapak/Ibu dosen, Bapak/Ibu karyawan, Bapak/Ibu Pengelola Magister Kenotariatan, para Alumni dan segenap sivitas akademika Fakultas Hukum UGM.
23 Secara khusus, ucapan terima kasih saya haturkan kepada Prof.Dr.Satjipto Rahardjo, SH dan Prof.Dr.Yusriyadi, SH MH. Keduanya adalah mantan Promotor dan Co-promotor saya. Curahan ilmu dan keteladanan sebagai seorang ilmuwan sangat membekas dihati saya, dan menjadi sumber motivasi serta inspirasi untuk mengembangkan ilmu-ilmu yang telah saya peroleh dari beliau berdua. “Ya, Allah limpahkanlah kepada beliau berdua umur panjang, kesehatan dan kesempatan untuk menambah amal ibadahnya, dan menjadikan ilmunya sebagai ilmu yang bermanfaat”. Terima kasih yang tulus, untuk seluruh Dosen, Guru dan temanteman saya di Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) UNDIP Semarang, Program Studi Administrasi Negara FISIPOL-UGM, SMA Negeri I (Teladan) Yogyakarta, SMPN Imogiri, SDN Pundung Imogiri. Jasa-jasa beliau-beliau akan tetap saya kenang dan menjadi sumber inspirasi tersendiri. Dengan hati yang tulus, sembah sungkem dan bhakti saya untuk kedua orang tua: Bapak Atmoredjo (Almarhum) dan Ibu, kedua mertua: Bapak S.Purwadi (Almarhum) dan Ibu. Saya menyadari betapa besar limpahan kasih sayang dan keteladanan dalam mendidik anak-anaknya. “Ya Allah, sayangilah mereka sebagaimana mereka mengasihiku sewaktu aku masih kecil”. Kepada Saudara-saudaraku, Mas Setyosucipto beserta keluarga, Mas Sofyan beserta keluarga, adik-adikku: Dik Warni beserta keluarga, Dik Yanti beserta keluarga, Betok beserta keluarga, terima kasih atas segala perhatian dan bantuan yang tak ternilai. Semoga kalian mampu membina rumahtangga yang sejahtera dan bahagia. Secara khusus, jabatan Guru Besar ini saya persembahkan untuk istri: Dra.Hj.Tatit Hariyanti, M.Hum., dan anak tersayang: H.Rahman Hakim Satria. Kalian adalah bagian hidup saya. Pengorbananmu lahirbatin sungguh luar biasa. “Ya Allah, jadikan mereka sebagai pandangan yang menyejukkan hati, dan mampu menjadi pemimpin bagi orang-orang bertaqwa”. Kepada seluruh hadirin, sanak-famili, sejawat dan teman-teman yang belum disebut, terima kasih atas segala perhatian dan kesabarannya. Mohon maaf, keinginan untuk menyebut satu persatu seluruh hadirin, sanak-famili, sejawat dan teman-teman, saya urungkan lantaran keterbatasan halaman naskah ini, dan sekaligus
24 menghindari risiko karena terlewatkan. Sekali lagi mohon maaf dan terima kasih. Wabillahi taufiq wal hidayah Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
25 DAFTAR PUSTAKA
Berman, M. 1984.The Reenchantment of the World. Bantam Books. New York. Brion, D.J. 1995. “The Chaotic Indeterminacy of Tort Law: Between Formalism and Nihilism”. dalam David S.C. and Steven J.G. (ed). Radical Philosophy of Law, Comtemporary Challenges to Mainstream Legal Theory and Practice. Humanities Press. New Jersey. Capra, F. 1997. The Turning Point: Science, Society and The Rising Culture (Titik Balik Peradaban: Sains Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan - terjemahan). Bentang Budaya. Yogyakarta. ____ 1996. The Web of Life. Harper Collins. London. Comte, A. 1974. The Philosophy. judul asli : Cours de Philosophie Positive (1855). diterjemahkan oleh Harriet Martineau. dengan kata pengantar oleh Abraham S.B. AMS Press. Inc. New York. ____ 1979. Het Positive Denken. judul asli: Discours sur l’esprit positif (1844). diterjemahkan oleh Henriet Plantega, dengan pengantar dan catatan dari J.M.M.deValk. Boom Meppel. Amsterdam. Descartes, R. 1960. Discourse on Method (translated by John Vitch). J.M.Dent & Sons Ltd. London. Giddens, A. 1984. Beyond Left and Right. Polity Press. Cambridge. Golshani, M. 2003. Sains Dan Yang Sakral: Sains Sakral vs Sains Sekular (terjemahan Mulyadhi K.). International Conference on Religion and Science in the Post-colonial World. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 2-5 Januari 2003. Guba, E.G. 1990. The Paradigm Dialog (edited by Egon G.Guba). Sage Publications. California. Heriyanto, H. 2003. Paradigma Holistik. Teraju. Jakarta. Kuhn, T. 1962. The Structure of Scientific Revolution. Chicago: University of Chicago Press. Minhaji, A. 2004. Hukum Islam: antara Sakralitas dan Profanitas (Perspektif Sejarah Sosial). Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta.
26 Piliang, Y.A. 2004. Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Jalasutra. Yogyakarta. Prigogine, I. dan Stengers. I. Order Out of Chaos. Flamingo. London. 1984. Rahardjo, S. 2000. Mengajarkan Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan (Teaching Order Finding Disorder) Tigapuluh Tahun Perjalanan Intelektual Dari Bojong ke Pleburan. Pidato Mengakhiri masa jabatan sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Semarang. 15 Desember 2000. ____ 2003. Ilmu Hukum : Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan (Catatan-catatan Kuliah Ilmu Hukum dan Teori Hukum). Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro. Semarang. ____ 2004. Hukum Progresif (Penjelasan Suatu Gagasan). Makalah disampaikan pada acara Jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum. UNDIP. Semarang. 04 September 2004. ____ 2006. Hukum dalam Jagat Ketertiban. UKI Press. Jakarta. Ritzer, G. 1985. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Penyadur: Alimandan. Rajawali. Jakarta. Santos, B.S. 1995. Toward a New Common Sense (Law Science and Politics in The Paradigmatic Transition). Routledge. New York. Sudjito. 2006. Reintegrasi Moral Ke Dalam Ilmu Hukum, Suatu Langkah Menuju Paradigma Holistik Pendidikan Hukum di Indonesia. Orasi Ilmiah pada Lustrum ke XII Fakultas Hukum UGM. Yogyakarta. Unger, R.M. 1976. Law in Modern Society Toward a Critism of Social Theory. Collier Macmillan Publisher. London. ____ 1986. The Critical Legal Studies Movement. Free Press. New York. Whitehead, A.N. 1982. The Concept of Nature. Cambridge University Press. Cambridge. Wignjosoebroto, S. 2002. HUKUM: Paradigma Metode dan Dinamika Masalahnya. Elsam-Huma. Jakarta. Wilson, E.O. 1998. Concilience: The Unity of Knowledge. Alfred A.Knopf. New York. USA.
27 BIODATA
Identitas 1. Nama 2. 3. 4. 5. 6. 7. Tilpon Rumah : 8. Tilpon HP : 9. Alamat Kantor : 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Tilpon Kantor Faximile E-mail Agama Isteri Anak
: : : : : :
: Prof. Dr. Sudjito, S.H., M.Si. NIP : 131283318 Jabatan/dmp : Lektor Kepala/Hukum Agraria Unit Kerja : Fakultas Hukum UGM Tempat/Tgl. Lahir : Bantul, 06 - 02 - 1954. Alamat Rumah : Pilahan KG I No.709, Kotagede, Yogyakarta. (0274) 379684 08122775306 Fakultas Hukum UGM, Bulaksumur, Yogyakarta. (0274) 512781 (0274) 512781
[email protected] Islam Dra.Hj. Tatit Hariyanti, M.Hum H.Rahman Hakim Satria
Pendidikan 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Lulus SD di Yogyakarta, tahun 1966. Lulus SMP di Yogyakarta, tahun 1969. Lulus SMA di Yogyakarta, tahun 1972. Lulus S1 Fakultas Hukum UGM, Jurusan Hukum Agraria, tahun 1979. Lulus S2 Program Pasca Sarjana UGM, Program Studi Administrasi Negara, tahun 1995. Lulus Program Doktor Ilmu Hukum (S3), tahun 2005.
28 Pengajaran 1. 2. 3. 4. 5.
Mengajar di Fakultas Hukum UGM dari tahun 1983 s/d sekarang. Mengajar di Program Pasca Sarjana UGM tahun1998 s/d sekarang. Mengajar pada beberapa Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta. Anggota Komisi Pertimbangan Penelitian UGM, mulai tahun 1999 s/d sekarang. Pengelola Magister Kenotariatan UGM.
Karya Publikasi / Penelitian (terseleksi) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
PRONA, Pensertifikatan Tanah Secara Massal dan Penyelesaian Sengketa Tanah Strategis, Penerbit Liberty, 1986. Aspek Yuridis Pelaksanaan Redistribusi Tanah Absentee di Purworejo, (publikasi di Majalah Mimbar Hukum tahun 1996). Aspirasi Petani Terhadap Keberadaan P3A (publikasi di Majalah Mimbar Hukum tahun 1996). Aspek Yuridis Riwayat dan Pola Penguasaan Tanah di Tamansari (publikasi di Majalah Mimbar Hukum tahun 1997). Aspek Yuridis Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan (publikasi di Majalah Mimbar Hukum, tahun 1997). Perlindungan Hukum Hak Asasi Manusia Dalam Perwakafan Tanah Milik (publikasi di Majalah Mimbar Hukum , tahun 1998). Implementasi Konsolidasi Tanah di Ungaran Jawa Tengah (publikasi di Majalah Mimbar Hukum, tahun 1998). Biaya Pensertifikatan Tanah di Kabupaten Bantul, tahun 2000. Kajian Pembiayaan Irigasi di Jawa Timur, Kerjasama Puspic UGM dengan PU.Propinsi Jawa Timur, tahun 2000. Konsep Batas Wilayah Laut di Jawa Tengah, Kerjasama PUSPIC UGM dengan Bappeda Prop.Jawa Tengah, tahun 2001. Aspek Yuridis dan Teknis Penetapan batas Wilayah Laut Dalam Rangka Otonomi Daerah, tahun 2001. Biaya Tak Resmi Dalam Jual-beli Tanah (Studi Kasus di Kab.Bantul), MIMBAR HUKUM N0.41/VI2002. Aspek Yuridis Penetapan Batas Wilayah Laut Dalam Rangka Otonomi Daerah, MIMBAR HUKUM, No.42/x/2002.
29 14. Penegakan Hukum: Akar Permasalahan dan Alternatif Solusinya, MIMBAR HUKUM, No.43/II/2002. 15. Studi Hukum Kritis Terhadap Privatisasi Air dalam Kerangka Hak Asasi Manusia, MIMBAR HUKUM, No.44/VI/2003. 16. Legal Semiotic dan Pemaknaan Hukum Yang Berbasis Moral, MIMBAR HUKUM, No.45/2003. 17. Kajian Konstruktivisme Terhadap Krisis Social Capital dan Legal Gap Hukum Irigasi, MIMBAR HUKUM, No.46/II/2004. 18. Dimensi Moral Dalam Sosiologi Hukum Indonesia, MIMBAR HUKUM, No.48/X/2004. 19. Sejumlah karya ilmiah lain, sudah dan belum dipublikasikan, tetapi tak terdokumentasi. 20. Sejumlah artikel di berbagai Harian (Media Cetak). Pengabdian pada Masyarakat 1. 2.
Melaksanakan penyuluhan hukum di desa-desa Prop.Jawa Tengah dan DIY, tahun 1983 sampai sekarang. Melaksanakan tugas umum pemerintah dan pembangunan, sebagai tim pelaksana pengembangan IPTEK UGM 1998/1999.
Penunjang Tri Dharma Perguruan Tinggi 1. Sebagai Panitia dan pengawas Ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri Rayon B PUML 45, tahun 1983 sampai sekarang. 2. Berperan serta aktif dalam berbagai seminar dan diskusi, lokakarya, baik regional maupun nasional. 3. Mengikuti Kursus AMDAL Tipe A dan Tipe B, PPLH UGM, tahun 2000. 4. Wakil Ketua Devisi Litigasi PKBH Fak.Hukum UGM, tahun 1999. 5. Aktif Dalam Pelatihan ADR oleh Fak.Hukum UGM, ICEL dan Asia Foundation, 1999. Pembimbingan Mahasiswa 1.
Pembimbing dan Penguji Skripsi
30 2. 3.
Pembimbing dan Penguji Tesis Pembimbing dan Penguji Disertasi
Penghargaan 1. 2.
Dosen Teladan Fakultas Hukum UGM 1996 dan 2007. Satyalencana Karya Satya 20 tahun dari Presiden Republik Indonesia, tahun 2003.