KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
REFORMA
AGRARIA
untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik Jakarta, April 2014
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
PROSIDING SEMINAR HASIL PENELITIAN
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik Jakarta, 7 April 2014
Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan 2014
PROSIDING SEMINAR HASIL PENELITIAN
PUSAT LITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN
Tema : Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
Editor: Ir. Ismatul Hakim, M.Sc. Drs. Lukas R. Wibowo, M.Sc.Ph.D. Dewi Ratna Kurnia Sari, S.Hut., M.Si. Ir. Achmad Pribadi, M.Sc. Drs. Haryono ISBN: 978-602-7672-53-6 Sumber dana: DIPA Puspijak Tahun 2014
Diterbitkan oleh: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan – Kementerian Kehutanan Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16118, Indonesia Telp/Fax: +62-251 8633944/+62-251 8634924 Email:
[email protected] website: http://puspijak.litbang.dephut.go.id atau http://www.puspijak.org
Kata Pengantar Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas tersusunnya Prosiding Seminar Hasil Penelitian “Reforma Agraria Kehutanan untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik”. Prosiding ini merupakan hasil seminar yang dilaksanakan di Ruang Rimbawan 2, Gedung Manggala Wanabakti Jakarta pada tanggal 7 April 2014. Tujuan dilaksanakannya seminar ini adalah: 1) Mendiseminasikan aplikasi alat ukur kinerja tata kelola kehutanan yang baik di daerah, 2) Memberikan masukan kepada pemerintah baru tentang formulasi kebijakan dalam rangka reformasi agraria kehutanan, dan 3) Memberikan masukan kebijakan dalam pengelolaan hutan. Makalah yang dipresentasikan difokuskan pada kajian tentang konflik lahan serta kriteria dan indikator tata kelola kehutanan. Kepada semua pihak yang telah berperan dan berkontribusi dalam penyusunan prosiding ini, diucapkan terimakasih dan penghargaan tak terhingga. Semoga prosiding ini memberikan manfaat.
Bogor,
Oktober 2014
Kepala Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan, Kepala,
Dr. Ir. Kirsfianti L. Ginoga, M.Sc NIP. 19640118 199003 2 001
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
iii
Daftar Isi
Kata Pengantar..................................................................................iii Daftar Isi.............................................................................................v Laporan............................................................................................. vii Sambutan ..........................................................................................ix Rumusan.......................................................................................... xiii 1.
2.
3.
4. 5.
6. 7.
8.
Sekelumit Permasalahan Mendasar dalam Reforma Agraria dan Tata Kelola Hutan di Indonesia Hadi Daryanto............................................................................................ 1 Penataan Kembali Reformasi Agraria Kehutanan di Indonesia Pasca Desentralisasi
Lilis Mulyani............................................................................................... 5 Memperkuat Partisipasi Warga dalam Kebijakan Reforma Agraria untuk Transformasi Kelola Hutan
Arie Sujito................................................................................................. 11 Reforma Agraria: Isu yang Tak Berujung
Lukas R. Wibowo..................................................................................... 17 Pengukuran Good Forest Governance Indonesia
Sulistya Ekawati, Haryatno Dwiprabowo, Fentie Y. Salaka & Sylviani....................................................................................................... 21 Tata Kelola Kawasan untuk Mendukung KPH
Dodik Ridho Nurochmat......................................................................... 71 Membumikan Reforma Agraria di Sektor Kehutanan: Menuju Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
Ismatul Hakim, Lukas Rumboko Wibowo & Dewi Ratna Kurnia Sari............................................................................ 77 Reforma Agraria Sektor Kehutanan Melalui Pengembangan Konsep Desa Hutan
Ismatul Hakim & Sylviani........................................................................ 91 Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
v
9.
Isu Tenurial Pada Unit Manajemen Hutan: Studi Kasus di KPH Wae Sapalewa Niken Sakuntaladewi.............................................................................. 111
10. Mengkritisi Konsep Land Swap: Pembelajaran dari Kebijakan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan
Sulistya Ekawati, Lukas Rumboko Wibowo, Kushartati Budiningsih & Fentie Sallaka.............................................. 121
11. Tata Kelola Ijin Pinjam-Pakai Kawasan Hutan
Subarudi................................................................................................... 135 Notulensi dan Diskusi.................................................................... 151 Agenda Acara................................................................................. 162 Daftar Hadir .................................................................................. 163
vi
Daftar Isi
Laporan KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN Seminar Hasil Penelitian “Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik” Manggala Wanabakti, 7 April 2014 Yang saya hormati Bapak Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan; Yang saya hormati wakil dari CIFOR, ICRAF, lembaga internasional, lembaga nasional, LSM dan organisasi lainnya; Yang saya hormati para Pejabat Eselon II, III dan IV lingkup Kementerian Kehutanan dan lembaga pemerintah lainnya; Yang saya hormati para Prof. Riset dan Peneliti, serta hadirin sekalian. Assalamu’alaikum Wr. Wb, Salam sejahtera bagi kita sekalian, Marilah kita panjatkan puji syukur kita ke hadirat Tuhan yang Maha Esa karena berkat kesehatan, ijin dan karunia-Nya kita dapat berkumpul bersama di tempat ini untuk mengikuti seminar hasil penelitian “Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik”. Bapak/Ibu hadirin yang berbahagia, Seminar hasil penelitian pada hari ini bertema “Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik” bertujuan untuk: 1. Mendiseminasikan aplikasi alat ukur kinerja tata kelola kehutanan yang baik di daerah; 2. Memberi masukan bagi formulasi kebijakan dalam rangka reformasi agrarian kehutanan, kepada pemerintah baru; 3. Memberikan masukan kebijaan dalam pengelolaan hutan. Narasumber untuk kegiatan seminar ini terdiri dari peneliti Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan, perguruan tinggi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Peserta seminar berasal dari international agencies, non-government organization, perguruan tinggi dan instansi pemerintah. Jumlah peserta seminar yang hadir sampai dengan saat ini berjumlah lebih kurang 100 orang.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
vii
Hadirin yang saya hormati,
Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan luas dan jumlah biodiversitas hutan tropis terbesar di dunia. Selain itu tekanan kepentingan ekonomi, investasi dan bisnis yang tinggi terhadap lahan, telah banyak meninggalkan fungsi sosial dan lingkungan masyarakat lokal, yang pada akhirnya telah menimbulkan konflik dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya lahan hutan di Indonesia.
Oleh karena itu Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan telah banyak melakukan kajian terkait dengan reforma agraria. Kegiatan tersebut di antaranya melalui penelitian dan juga kajian isu aktual. Diharakan melalui penelitian dan kajian tersebut akan mampu memberikan rekomendasi yang baik dan berlatar belakang ilmu pengetahuan kepada pemerintah. Hadiri yang saya muliakan,
Puspijak pada tahun 2012 telah mengadakan diskusi tentang land green grabbing dan tahun 2013 telah melaksanakan diskusi awal tentang Reformasi Agraria serta menerbitkan satu buku berjudul “Jalan Terjal Reforma Agraria di Sektor Kehutanan” edisi pertama. Setelah penyampaian Keynote Speech oleh Bapak Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan akan dilaksanakan launching buku yang akan kami berikan secara simbolis kepada praktisi kehutanan. Setelah acara seminar buku tersebut dibagikan kepada semua peserta. Hadiri yang saya hormati,
Selanjutnya kepada Bapak Sekretaris Jenderal kami mohon untuk menyampaikan keynote speech dan sekaligus membuka acara seminar ini.
Demikian yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan seminar hasil penelitian pada hari ini dapat memberikan manfaat untuk mendukung reforma agraria di sektor kehutanan di Indonesia. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Jakarta, 7 April 2014
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, IB Putera Prathama
viii
Laporan
Sambutan SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KEHTUANAN Seminar Hasil Penelitian “Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik” Manggala Wanabakti, 7 April 2014 Yang saya hormati wakil dari CIFOR, ICRAF, lembaga internasional, lembaga nasional, LSM dan organisasi lainnya. Yang saya hormati para pejabat Eselon II, III dan IV lingkup Kementerian Kehutanan dan lembaga pemerintah lainnya, Yang saya hormati Prof. Riset dan Peneliti, serta hadirin sekalian. Assalamu’alaikum Wr. Wb.,
Salam sejahtera bagi kita sekalian
Saya mengajak para hadirin sekalian untuk memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Penyayang, karena berkat kesehatan, ijin dan karunia-Nya kita dapat berkumpul bersama di tempat ini untuk mengikuti seminar hasil penelitian bertema “Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik”.
Pagi ini saya mendapat dua tugas dari penitia: pertama, untuk membuka kegiatan ini secara resmi dan kedua, menyampaikan arahan seminar. Untuk itu ijinkanlah saya terlebih dahulu membuka acara ini. Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, saya nyatakan seminar hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan dengan tema “Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik” secara resmi dibuka. Semoga melalui seminar ini akan lahir pemikiran-pemikiran kontekstual dan opsi-opsi kebijakan yang bisa membantu untuk mengurai dan memecahkan berbagai permasalahan tenurial dan tata kelola kehutanan yang tidak saja terus dihadapi oleh Kementerian Kehutanan tetapi juga yang sedang dihadapi oleh kementerian lain dan bangsa ini secara keseluruhan.
Kalau kita baca dan telaah dari berbagai literatur dan belajar dari dinamika praksis, tantangan kehutanan saat ini tidaklah sederhana tetapi semakin kompleks serta bersifat multi dimensi. Di masa mendatang tantangan tersebut tidak semakin mudah untuk diantisipasi dan diselesaikan karena terkait dengan perubahan yang cepat dan sulit diprediksi, dari dinamika ekonomi-politik dan sosial di tingkat lokal, regional maupun geo ekonomi-politik internasional. Tiga persoalan mendasar yang sampai saat ini belum terpecahkan, yaitu: pertama terkait dengan distribusi lahan dan sumber daya hutan yang timpang; kedua, konflik
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
ix
berbasis lahan yang semakin massif di berbagai tipe fungsi hutan; ketiga, tata kelola kehutanan dan manajemen hutan di tingkat tapak.
Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengungkapkan bahwa gini rasio untuk distribusi lahan di Indonesia saat ini sebesar 0,562. Ini berarti ketimpangan distribusi lahan telah krusial. Data lain dari BPN juga mengungkapkan bahwa 56% aset yang ada di Indonesia berupa properti, tanah dan perkebunan (HGU) dikuasi oleh hanya 0,2% penduduk Indonesia.
United Nations Development Programme (UNDP) meluncurkan indeks tata kelola hutan, lahan dan Reducing Emissions from Deforestration and Forest Degradation (REDD+) pada tahun 2012 di mana Indonesia secara nasional memperoleh skor 2,3 poin dari skala 5. Ada beberapa indikator yang menyebabkan indeks tata kelola hutan masih rendah, di antaranya adalah masalah keterbukaan akses, kepastian tenurial dan konflik kehutanan serta kelembagaan tata kelola yang belum terbangun seperti yang diharapkan.
Menanggapi indeks tersebut, Bapak Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menegaskan bahwa terwujudnya pengelolaan hutan yang baik bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat tetapi seluruh pemangku kepentingan. Terwujudnya tata kelola hutan yang baik juga membutuhkan partisipasi aktif dan masukan dari pemangku kepentingan. Hadirin yang berbahagia,
Pada kesempatan ini, kami sangat berbahagia dapat menghadirkan para penyaji yang kompeten. Yang pertama, kami ucapkan selamat datang kepada yang terhormat Lilis Mulyani, S.H.LLM, peneliti senior LIPI, Prof. Dr. Ir. Endriatmo Soetarto, MS, Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB, Myrna A. Safitri Direktur Epistema Institute. Pada hari ini beberapa pakar yang kompeten dan mumpuni dalam bidang ini juga dihadirkan, seperti Dr. Ir. Dodik R. Nurrochmat, M.Sc, Dosen senior dari Fakultas Kehutanan IPB serta Arie Sudjito, S.Sos, M.Si, peneliti IRE dan Pengamat Politik dari UGM, serta Dr. Ir. Sulistya Ekawati, M.Sc. dan Drs. Lukas R. Wibowo, M.Sc.Ph.D. dari Puspijak.
Kita semua tahu bahwa konflik pengelolaan sumber daya alam di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal, antara lain lahirnya Undang-Undang sektoral, lemahnya koordinasi dan sinergitas pengelolaan sumber daya alam dan semangat kedaerahan dalam kerangka otonomi daerah telah semakin memperumit masalah yang ada, serta dorongan ingin menguasai ekonomi dan politik untuk penguasaan lahan semakin kuat. Kementerian Kehutanan tentunya tidak menutup mata bahwa konflik sumber daya alam dan reforma agraria merupakan tantangan krusial dan sensitif yang berdimensi luas, tidak saja berkaitan dengan aspek ekonomi dan sosial tetapi juga politik. Perkembangan penting terkait Reforma Agraria yaitu Nota Kesepakatan Bersama 12 Kementerian/Lembaga Negara, yang salah satu agendanya adalah percepatan pengukuhan kawasan hutan yang dilandasi kerjasama dan koordinasi. x
Sambutan
Beberapa poin utama yang menjadi tujuan reforma agrarian antara lain: a) untuk memastikan tidak adanya konsentrasi yang berarti dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah beserta kekayaan alam yang menjadi hajat orang banyak (green grabbing); b) terjaminnya kepastian hak penguasaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam; c) terjaminnya keberlangsungan dan kemajuan sistem produksi rakyat setempat; d) terwujudnya tata kelola kehutanan yang baik. Dengan digelarnya seminar tentang Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik, membuktikan bahwa Kementerian Kehutanan, dalam hal ini Puspijak, sangat responsif dan terbuka terhadap wacana persoalan-persoalan bangsa yang terus berkembang.
Sebelumnya perlu hadirin ketahui bahwa dibandingkan dengan era sebelum reformasi, Kementerian Kehutanan telah melakukan berbagai perbaikan-perbaikan dengan mengeluarkan berbagai kebijakan solutif terkait dengan pembukaan dan perluasan akses kepada masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam pengelolaan hutan. Beberapa kebijakan tersebut antara lain Hutan Tanaman Rakyat, HKm dan Hutan Desa.
Tidak dapat dipungkiri bila berbagai kebijakan pro-poor yang sekaligus progrowth tersebut, masih belum dapat menjawab tantangan dan harapan publik yang semakin tinggi. Namun demikian, Kementerian Kehutanan tetap memiliki komitmen politik dan konsisten untuk terus melakukan perubahan dan perbaikan-perbaikan yang menyeluruh, tidak terbatas pada isu-isu yang akan kita diskusikan terkait dengan tenurial, tata kelola kehutanan dan pelembagaan KPH di tingkat tapak. Itulah beberapa upaya yang sedang dan terus kami upayakan dalam mewujudkan tata kelola kehutanan yang baik (good governance). Kami sadar masih banyak hal yang perlu dipikirkan bersama sehingga partisipasi para pihak menjadi sangat mendesak, esensial dan diperlukan agar upaya penyelesaian terkait masalah tenurial dan tata kelola kehutanan bisa optimal. Demikian yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan berguna bagi upaya kita bersama dalam menata kembali hutan dan lahan kita agar berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat bagi upaya untuk menyejahterakan masyarakat. Wassalamualaikum Wr. Wb. Jakarta, 7 April 2014 Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Dr. Ing. Ir. Hadi Daryanto, DEA
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
xi
Rumusan Seminar Hasil Penelitian “Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik” Manggala Wanabakti, 7 April 2014 Seminar hasil penelitian Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan dengan tema “Reforma Agraria Kehutanan untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik” dilaksanakan pada tanggal 7 April 2014 di Ruang Rimbawan 2, Gedung Manggala Wanabakti Jakarta. Seminar diikuti oleh 120 peserta yang berasal dari berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta, akademisi dan LSM. Memperhatikan sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan, keynote speech Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan, makalah yang dipresentasikan serta diskusi yang berkembang pada saat seminar, maka dirumuskan beberapa hal sebagai berikut: 1. Reforma Agraria adalah suatu penataan kembali atau penataan ulang susunan pemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria (terutama tanah) untuk kepentingan rakyat kecil (petani, buruh tani, tunakisma dan lainnya) secara menyeluruh dan komprehensif.
2. Pengertian penataan ulang yang menyeluruh dan komprehensif ini memberikan arahan agar sasaran Reforma Agraria bukan hanya tanah pertanian, tetapi juga tanah-tanah kehutanan, perkebunan, pertambangan, pengairan, kelautan dan lainnya. Dengan demikian, subyek yang menjadi sasaran reforma agraria dalam kaitan dengan sektor kehutanan adalah masyarakat (miskin) yang tinggal di sekitar kawasan hutan atau mereka yang menjadikan kawasan sebagai tempat mencari nafkah utama, bahkan tanpa sumber-sumber agraria yang ada di kawasan hutan tersebut, kehidupan masyarakat miskin itu tidak dapat berjalan sama sekali. Hal ini, terutama sangat dirasakan oleh komunitas masyarakat adat yang selama ini hubungannya dengan hutan bersifat tidak dapat dipisahkan antara kebutuhan ekonomi, sosial dan spiritual. 3. Reforma Agraria adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah negara demokratis yang ingin mengangkat rakyatnya dari kemiskinan, melalui berbagai kebijakan seperti land reform, distribusi tanah dan upaya-upaya lain untuk melakukan pemerataan dalam penguasaan atas sumber-sumber agraria, termasuk tanah pertanian, kawasan hutan dan wilayah kelola adat. Bagaimana Reforma Agraria di sektor kehutanan yang menjamin kesejahteraan masyarakat akan terlihat pada kondisi lokal dari setiap kawasan.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
xiii
4. Reforma Agraria bukan hanya membicarakan tentang pembagian tanah semata, melainkan suatu cara membangun ideologi yang jelas yaitu soal kesejahteraan rakyat melalui pemberian aset dan akses, serta dengan bangunan tata kelola yang baik. 5. Pemerintah Indonesia sebenarnya telah melakukan upaya-upaya yang terkait dengan pemerataan penguasaan tanah yang bersifat sektoral, seperti program transmigrasi, Perkebunan Inti Rakyat (PIR), konsolidasi tanah hingga upaya yang bersifat multi sektoral melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang digagas oleh Presiden SBY dalam dua masa jabatan kekuasaannya (2004-2014). 6. Dokumen BPN menyebutkan bahwa Presiden Republik Indonesia melalui PP akan menetapkan pelepasan kawasan hutan HPK seluas 8,15 juta hektar di 17 provinsi. Hal ini memberikan indikasi bahwa sektor kehutanan memegang peranan penting dari suskses atau tidaknya PPAN secara keseluruhan, mengingat tanah yang akan didistribusikan kepada rakyat sebagian besar ada di bawah yuridiksi kehutanan. 7. PPAN mengalami berbagai kendala, di antaranya adalah a) Resistensi sektoral, b) Belum ada payung hukum yang memadai, c) Tidak adanya koordinasi dan d) Inovasi lokal ada tetapi sangat terbatas. Oleh sebab itu rekomendasi yang diberikan terkait PPAN yang melibatkan sektor kehutanan adalah: a) Menjamin kepastian akses rakyat atas tanah, b) Mencairkan sektoralisme kelembagaan, c) Kepastian akses harus diawali dan diikuti oleh koordinasi antar instansi dan d) Menyempurnakan rancangan PP Reforma Agraria. Pada intinya Reforma Agraria di sektor kehutanan menjadi bagian dari reformasi agraria nasional, tidak dapat terlepas dan tidak boleh diklaim sebagai milik satu sektor. Reforma agraria harus menjadi agenda bangsa. 8. Peluang dalam reforma agraria melalui UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa yang dianggap memberikan harapan dari pengaturan desa yang bersifat rekognisi, subsidiaritas, keberagaman kebersamaan, kegotong-royongan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan dan keberlanjutan. 9. UU Desa ini lebih bersifat pluralitas terutama pengakuan terhadap desa adat. Dalam kaitannya dengan Reforma Agraria di sektor kehutanan maka harus didudukkan dalam kerangka adanya UU Desa yang telah menempatkan desa sebagai sebuah entitas tersendiri yang berdaya, tidak hanya menjadi bagian dari struktur pemerintahan di kabupaten dan kecamatan. UU Desa memberikan jaminan terhadap aset desa berupa tanah kas desa, tanah ulayat, hutan milik desa, mata air dan sebagainya yang dapat dijadikan modal bagi sebuah desa untuk xiv
Rumusan
menjalankan pembangunan di tingkat desa. Selama ini asset-aset desa seringkali menjadi bagian dari penguasaan unit-unit supra desa. 10. Masalah tenurial bukan hanya penguasaan atas SDA saja, tetapi lebih pada soal akses. Ketika membicarakan akses maka terdapat kompleksitas yang bersifat vertikal dan horizontal, termasuk soal kebijakan maupun relasi antar masyarakat. Selain itu, masalah tenurial bersifat dinamis sehingga dalam proses penyelesaiannya harus selalu melihat konteks ruang, waktu dan pelaku yang terlibat di dalamnya. Dalam hal pelepasan kawasan untuk APL, dikhawatirkan pelepasan itu bukan untuk kepentingan rakyat miskin, tetapi untuk kepentingan yang bersifat korporasi. 11. Bayangan tentang luasan hutan di Indonesia yang dianggap luas, padahal ketika membicarakan antara rasio antara jumlah penduduk dengan luas lahan hutan yang tersisa, maka jumlahnya tidak sebesar yang diduga selama ini. 12. Berkaitan dengan kerangka kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), prinsip yang terpenting adalah tidak ada sebuah kerangka kelembagaan yang tunggal, perlu dilihat dalam konteks yang bersifat lokal, termasuk pelibatan masyarakat dalam kegiatannya. 13. Penguasan harus ditafsirkan secara kreatif dan berdasarkan fungsinya. Apakah persoalannya adalah memperluas atau mempersempit atau justru membuat tafsir baru tentang kawasan hutan. 14. Berkaitan dengan tata kelola kehutanan hingga kini belum ada suatu tools yang aplikatif sehingga diperlukan suatu tools yang teruji dan sesuai dengan prinsipprinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas, kordinasi, profesionalisme dan kompetensi. Prinsip-prinsip tersebut kemudian dilihat dalam konteks arena yang terlibat, yaitu arena political office (yaitu pihak yang membuat kebijakan), pelaksana kebijakan (SKPD), kelompok penekan (masyarakat sipil) serta masyarakat bisnis sebagai pihak yang terlibat dalam pengambilan keuntungan suatu pengelolaan. Hal ini menjadi penting untuk mengetahui derajat tata kelola yang ada. Jakarta, 7 April 2014 Tim perumus: Ir. Ismatul Hakim, M.Sc. Drs. Lukas R Wibowo, M.Sc.Ph.D. Dr. M. Zahrul Muttaqin, S.Hut, M.For.Sc. Drs. Jonny H. Panjaitan, M.Sc
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
xv
1 Sekelumit Permasalahan Mendasar
dalam Reforma Agraria dan Tata Kelola Hutan di Indonesia1 Oleh: Hadi Daryanto Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan
Reforma agraria sudah menjadi ketetapan MPR sejak awal reformasi. Sudah panjang jalannya, sudah saatnya kita melihat apakah sudah bisa menyelesaikan persoalan ketimpangan tenurial dan perbaikan tata kelola hutan yang lebih baik. Untuk menjawab pertanyaan tadi, bisa kita lihat dari data yang diumumkan BPS pada awal 2014, ternyata rasio gini, dari 0,32 pada 2004 menjadi 0,41 pada 2013. Jadi tampak bahwa ada ketimpangan kepemilikan sumberdaya lahan yang mengkhawatirkan. Ketimpangan itu membuat kesenjangan kaya-miskin kian lebar. Tanpa menyentuh masalah struktural ini, akan sulit untuk melepaskan warga dari jerat kemiskinan dan pengangguran, termasuk bias berdaulat di bidang pangan.
Dengan demikian, soal reformasi agraria yang telah menjadi ketapan MPR belum menjawab soal ketimpangan pemilikan lahan atau dalam konteks kehutanan bisa diartikan tidak ada akses bagi penduduk setempat dalam pengelolaan/ pemamfaatan kawasan hutan. Ketimpangan pembangunan tetap terjadi, walaupun rerata pertumbuhan ekonomi dari 2004-2013 di antara kisaran 5-6%. Bagaimana ketimpangan ini terjadi, bisa dilihat pendapat Thomas Piketty dalam buku Capital in the 21st Century. Ketimpangan terjadi karena penguasaan modal hanya pada sekelompok orang akibat dari globalisasi dan pasar bebas yang mana arus modal yg masuk ke emerging countries hanya dapat diakses sekelompok orang. Di Indonesia sekitar 20% saja penduduk yang punya akses ke bank, sedangkan mayoritas tidak mendapat penghasilan dari bunga. Globalisasi dan liberalisasi telah membawa arus modal yang deras ke Asia dan berakumulasi pada sekelompok orang. Ternyata selain 1]
Disampaikan pada Seminar Nasional Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Hutan yang Baik. Jakarta, 7 April 2014
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
1
di Indonesia, ketimpangan juga terjadi di China dan India, seperti terjadi di AS dan Australia.
Selain apa yang disampaikan oleh Thomas Pikety, kita juga bisa belajar apa yang disampaikan oleh Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam bukunya Why Nations Fail, The Origin of Power, Prosperity and Poverty tahun 2012 ternyata kemiskinan bukan karena kedaan alam dan budaya suatu bangsa, tetapi karena pemimpinnya gagal membuat kebijakan yang tepat. Diingatkan bahwa sangat penting bagi suatu negara agar institusi politik dan institusi ekonomi inklusif berjalan bersamaan untuk mencapai masyarakat yang makmur. Kegagalan terjadi karena institusi ekonominya bersifat ekstraktif yg hanya diperoleh sekelompok orang yang punya akses legal, keuangan dan pasar yang berkaitan dengan kekuasaan. Kelembagaan yang ada di negara berkembang yang meliputi peraturan dan kebijakan, tidak memberikan insentif bagi masyarakatnya untuk berinvestasi dan berinovasi. Selain pemikiran di atas, pada masa Kabinet Indonesia Bersatu jilid I periode 2004-2009, ada Presidential Course yang disampaikan oleh Hernando de Soto terkait bukunya “The Mystery of Capital”. Ternyata kemiskinan terjadi karena penduduk miskin tidak mempunyai akses legal dalam kegiatan ekonomi formal. Selain akses legal, penduduk miskin juga tidak punya akses ke sumber pembiyaan sebagaimana disampaikan oleh Muhamad Yunus dalam Presidential Course berikutnya setelah Hernando de Soto mengenai sukses Grameen Bank di Bangladesh. Selain itu kita juga belajar keberhasilan soft reform di China, di mana tanah-tanah negara disewakan kepada penduduk untuk membangun hutan tanaman dengan jenis cepat tumbuh yang diperlukan oleh industri kayu di China. Hasilnya program pengentasan kemiskinan di China telah mendapat pengakuan di PBB tahun 2012 yang lalu. Di India, sejak 1950-an, beberapa negara bagian juga melakukan reformasi lunak (soft soft reform), di mana pemanfaatan lahan dilakukan dengan kebijakan memperkuat posisi penyewa serta menghapus institusi makelar tanah. Reformasi ini pun mampu menurunkan tingkat kemiskinan secara signifikan di India.
Beradasarkan hal di atas, Kemenhut melakukan soft agrarian reform, bagaimana masyarakat setempat diberi akses legal, pembiyaan dan pasar melalui menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2007. Untuk pertama kalinya sejak sistem konsensi (akses legal) diberikan kepada pelaku usaha swasta dan BUMN melalui PP 21 Tahun 1970, masyarakat dalam/di sekitar hutan (masyarakat setempat) diberi akses legal dalam pemanfaatan hutan (konsensi) sebagai pemegang izin HTR, HKm, dan izin pengelolaan Hutan Desa. Demikian juga untuk pertama kali diberikan akses ke pembiyaan melaui pinjaman dana bergulir dengan bunga lunak setara Suku Bunga Bank Indonesia melalui Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pembiyaan Pembangunan Hutan (P3H). 2
Sekelumit Permasalahan Mendasar dalam Reforma Agraria dan Tata Kelola Hutan di Indonesia
Dengan soft reformasi agraria tersebut, dan dengan membangun kelemagaan yang inklusif, kebijakan memberikan hak kewarganegaraan (citizenship) pada masyarakat setempat yang selama ini terpinggirkan secara struktural akibat kebijakan yang kurang tepat dan benar serta terpinggirkan karena faktor geografis (terpencil dalam kawasan hutan) kita berharap dapat menyelesaikan masalah tenurial kehutanan secara bertahap dan terencana. Kita yakin bila masalah tenurial kehutanan dapat diselesaikan maka untuk mewujudkan kepastian hukum untuk memperoleh pengelolan hutan lestari dan pengentaskan kemiskinan dapat tercapai. Oleh karena itu, saya minta Litbang Kehutanan harus bisa mengkritisi soft reformasi agraria yang sudah dimulai di Kehutanan. Perbaikan peraturan perundangan, kebijakan yang mendorong inklusifitas dan nyata berpihak pada yang lemah dan terpinggirkan, akan menyukseskan reformasi agraria. Kita berupaya agar paradigma yang umumya ada di pembuat kebijakan, baik di pemerintahan, para politisi/elit lokal dan para ekonom yang melihat hutan sebagai source of land dan direct revenue from timber sales untuk pembangunan bangsa secara perlahan tidak terjadi lagi. Sepanjang elit lokal dan nasional hanya melihat hutan dua hal itu saja, maka keberadaan hutan akan habis dan menyisakan bencana ekologis dan konflik tenurial yang makin meruncing dan sulit diatasi.
Selanjutnya, menyangkut buku Jalan Terjal Reforma Agraria di Sektor Kehutanan yang diterbitkan pada hari ini, saya menyambut dengan baik, anggap saja seperti ‘rapot merah’ bidang kehutanan atas pola pemilikan atau pengusahaan/ pemanfaatan kawasan hutan yang perlu dikritisi untuk mendapat perbaikan agar amanat UUD 1945 dapat diwujudkan. Dengan editornya Sdr. Ismatul Hakim dan Lukas R Wibowo saya kira ini bagus dan positif untuk masyarakat, bagus untuk para pembuat kebijakan di pemerintahan dan di DPR/DPD/DPRD. Kita berharap banyak untuk perubahan yang berkelanjutan, membangun manusia dan masyarakat Indonesia, memperkecil ketimpangan yang ditunjukkan dengan ratio gini yang terus melebar, antar sektor, antar wilayah dan sosial.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
3
2
Penataan Kembali Reformasi Agraria Kehutanan di Indonesia Pasca Desentralisasi1 Oleh: Lilis Mulyani Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Wacana tentang reforma agraria di kehutanan sudah lama mengemuka. Meskipun kita masih bertanya-tanya sejauh mana komitmen sektor kehutanan dalam mendukung reformasi agrarian, khususnya bila dikaitkan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan.
Di kalangan peneliti dan penggiat agraria, sektor kehutanan senantiasa menjadi wilayah yang agak sulit “dijamah”. Teman-teman yang berkecimpung di wilayah agraria sudah sering mencoba meminta sektor kehutanan khususnya untuk juga mendukung pelaksanaan reforma agraria. Tapi memang konteks dan cara pikir preventif seolah sektor kehutanan merupakan “dunia” yang benar-benar berbeda dengan “dunia” agraria karena mempunyai seperangkat aturan dan seperangkat hak-hak yang ditawarkan untuk memanfaatkan hutan. Materi presentasi ini berdasarkan kajian kami di LIPI tentang “Reforma Agraria” selama tiga tahun. Kami mencoba mengevaluasi program reforma agraria yang dijalankan oleh pemerintahan SBY.
Ada hal menarik, ketika SBY meluncurkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN), kemudian nama berubah-ubah dan pada akhirnya disebut dengan program Reforma Agraria, meskipun secara riil program ini masih pada tahapan pilot project. Kami pada tahun pertama di 2011 pernah membahas secara intensif. Secara ideal konsep reforma agraria yang diajukan oleh pemerintah SBY tahun 2007 adalah sangat ideal dilandaskan pada penataan aset dan akses. Penataan aset diilhami oleh 1]
Disampaikan pada Seminar Nasional Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Hutan yang Baik. Jakarta, 7 April 2014
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
5
konsep Hernando de Soto, sedangkan penataan akses diilhami oleh Amartya Sen. Ini juga sudah dibukukan meskipun tidak di-publish, jadi hanya di dalam intern DPR oleh Pak Joyo Winoto dan jajarannya. Mengapa reformasi agraria penting? Kita melihat reforma agraria ini, tujuan utamanya adalah menghilangkan atau mengurangi ketidakadilan, melalui: 1. Distribusi atau redistribusi tanah secara lebih merata.
2. Menyediakan sumber penghidupan berupa lahan untuk pekerjaan, yang tentunya akan menghasilkan penghasilan. Di perkotaan, konsepnya berbeda, karena lahan perkotaan terbatas maka tanahpun tidak bisa terlalu luas untuk dijadikan sumber penghidupan. Hal ini menarik karena bisa diterapkan konsep Hernando de Soto, menjadikan tanah sebagai kapital untuk direpresentasikan secara legal di dalam dunia ekonomi melalui tegakan. Reforma agraria juga memberikan kepastian legal formal terhadap tanah/lahan/ property lainnya sebagai hak tertinggi dalam hukum kita. Atau memang ada alternatifalternatif terbaik lain seperti yang dikatakan Pak Hadi tentang Soft Agrarian Reform di beberapa Negara. Hasil evaluasi kita melihat bahwa sebelum melaksanakan reforma agraria ini ternyata ada prakondisi yang harus dipenuhi. Kita punya masalah yang sangat kronis, sistemik dan sangat dalam tentang pengelolaan sumber daya agraria di Indonesia. Sejak tahun 1960-an hingga kini masih banyak konflik, mungkin di antara kementerian sendiri tidak ada konsinyasi, masyarakat banyak yang mengklaim lahan, konflik terjadi di mana-mana. Belum lagi, hal ini ditambah persoalan desentralisasi yang menambah rumit persoalan. Ada hal-hal yang harus dipenuhi, misalnya hukum, kebijakan dan kelembagaan dan pemahaman riil tentang kebutuhan dan dinamika di dalam masyarakat. Bentuk akses atas tanah secara hukum ada beberapa, yaitu hak akses, hak pemanfaatan dan hak milik. Hak milik menguasai/memiliki sebagai bentuk hak tertinggi. Di dalamnya sering disebut sebagai bundle of rights, termasuk ada hak akses, hak untuk mengalihkan, hak untuk memanfaatkan dan lain-lain. Bentuk hak untuk rakyat yaitu: 1. Hak akses tanpa kepemilikan 2. Hak kepemilikan
Kelemahan bentuk hak untuk rakyat: 1. Hak akses tanpa kepemilikan: a. Bukan hak yang penuh
6
Penataan Kembali Reformasi Agraria Kehutanan di Indonesia Pasca Desentralisasi
b. Tidak menjawab persoalan ketimpangan c. Potensi konflik masih akan ada d. Peningkatan daya atau posisi sosial di lingkungan tempat tinggal masyarakat tidak ada. Terkadang tanah bagi masyarakat kita merupakan status sosial. 2. Hak kepemilikan:
Kelemahan tidak ada karena ada risiko akumulasi tanah oleh orang per orang, investor dan spekulan tanah. Ketika jaminan sosial bagi masyarakat tidak kuat, jika ada risiko sakit, risiko biaya pendidikan tinggi, maka satu-satunya jalan adalah menjual tanah-tanah yang mereka miliki. Kelebihan bentuk hak untuk rakyat:
3. Hak akses tanpa kepemilikan:
Jika kepemilikan tetap pada Negara, ini mengurangi risiko akulumasi tanah orang per orang atau perusahaan besar.
4. Hak kepemilikan:
Sementara jika hak kepemilikan diberikan pada orang per orang, maka ini merupakan hak asasi (human rights), ada di dalam konstitusi kita. Itu bisa juga dimanfaatkan, dimiliki dan dikelola maupun diwariskan. Bagi orang miskin juga bisa dijadikan sebagai tambahan modal. Ini akan menambah digniti atau posisi sosial di lingkungan tempat tinggal mereka.
Amanat UUD 1945, ada akses langsung dan akses tidak langsung. Akses langsung dijelaskan dalam UUPA melalui program land reform atau reforma agraria. Mengenai reforma agraria dan tata kelola kehutanan, situasi saat ini memang akses atas tanah dan sumber daya agraria (meskipun sudah ada) jumlahnya masih sangat terbatas. Misalnya di wilayah hutan ada skema hutan kemasyarakatan, hutan desa, dan lain-lain. Di wilayah kebun ada skema PIR, inti plasma, koperasi. Di tanah pertanian ada program reforma agraria (PPAN).
Dari sekitar 190 juta ha hutan di daratan di Indonesia, 2/3 adalah tanah dalam kawasan hutan. Mayoritas sudah dibebani hak, ada hak pakai, HPH, HTI. Sisa daratan lain (1/3-nya) adalah tanah milik maupun tanah pertanian yang juga sudah sangat terbatas. Jadi peluang untuk distribusi dan redistribusi tanah sangat kecil kepada masyarakat miskin.
Situasi lain juga diperlihatkan, misalnya di level Negara ada persoalan sektoralisme kelembagaan pengelolaan tanah dan sumber daya agraria yang masih kuat dipertahankan. Sektor-sektor kehutanan, pertanahan, pertambangan, rezim tata ruang saling berkompetisi satu sama lain dan terfragmentasi (masing-masing
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
7
terpisah-pisah), tidak ada koordinasi. Ini juga diperparah dengan desentralisasi, jika di tingkat horizontal level pusat ada masalah ternyata di “bawahnya” secara vertikal ada masalah juga dengan Pemerintah Daerah yang mempunyai kewenangan sendiri untuk memberikan hak pemanfaatan tanah yang ada di daerahnya. Sementara itu rakyat menjadi tidak memiliki akses yang memadai pada tanahnya. Reforma agraria kehutanan terus terang sangat menarik, karena dalam dokumen BPN tentang reforma agrarian tahun 2006, disebutkan bahwa dalam rangka melaksanakan reforma agraria Presiden RI melalui peraturan pemerintah akan mengeluarkan aturan yang menetapkan, menyatakan melepaskan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 8,15 juta ha di 17 provinsi di Indonesia. Kemudian menyatakan status tanah tersebut menjadi tanah Negara (di bawah kekuasaan langsung Negara) dan mengalokasikannya sebagai obyek reforma agrarian, sekaligus memberikan kewenangan khusus kepada kepala BPN untuk mengelola areal tersebut. Reforma agraria yang diajukan tahun 2006/2007 itu mengasumsikan ada sekitar 11 juta ha lahan yang bisa diredistribusikan dan 8,15 juta ha ada di kehutanan. Hal ini saya “ambil” dari dokumen BPN yang tidak di-publish, tetapi kita bisa cari di BPN mengenai pelaksanaan reforma agraria. Dokumen ini merupakan dokumen yang disusun sebagai pelaksanaan program reforma agraria. Sayangnya kita tidak bisa menelusuri beberapa data termasuk data penentuan 11 juta ha dan 8,15 juta ha ini dari mana. Pada akhirnya, ini tidak mendapat respon yang memadai dari kehutanan sendiri. Apakah kehutanan bisa melepaskan kawasan seluas itu untuk diredistribusi? Hal ini masih menjadi pertanyaan dalam pelaksanaan reforma agraria hingga kini. Pada akhirnya BPN hanya bisa melakukan apa yang berada di bawah kewenangannya, yaitu menetapkan sekitar 3 juta ha tanah terlantar yang bisa diredistribusi. Jadi sudah tidak lagi mengutak-atik yang 8,15 juta ha, melainkan beralih pada 3 juta ha tanah terlantar. Akhirnya dikeluarkan PP No. 11 tahun 2010. Ada beberapa hal, misalnya: kenapa program reforma agraria dicanangkan oleh Pak SBY, kemudian terhambat. Sebetulnya ini klise, ada resisten di sektoral, belum adanya hukum yang memadai, tidak adanya koordinasi. Meskipun ada rotasi lokal, tetapi sifatnya sangat temporer tergantung pimpinan daerah. Ada aspek politis, aspek struktural, program-program, solusi-solusi yang diberikan misalnya hak atas hutan kemasyarakatan. Bentuk reforma agraria sendiri sebetulnya tidak menyelesaikan masalah-masalah konflik agraria. Jadi ia hanya menegakkan symptom (gejala) konflik, ketika ada konflik diberikan akses tetapi sebetulnya permasalahannya belum terselesaikan. Karena “akarnya” justru berada pada pengakuan akan hak masyarakat. Beberapa masukan yang kami buat berdasarkan evaluasi ini adalah: 8
Penataan Kembali Reformasi Agraria Kehutanan di Indonesia Pasca Desentralisasi
1. Menjamin kepastian akses rakyat atas tanahà ini menjadi penting namun meskipun aksesnya sudah ada tetapi seringkali tidak mencukupi, misalnya luasan tanah tidak mencukupi. Bisa kita lihat pada praktek pelaksanaan PPAN di beberapa daerah misalnya di Cilacap, pada akhirnya lahan yang diredistribusi hanya sekitar 200 m2/kepala keluarga. Hal itu jelas sangat tidak mencukupi untuk pemenuhan kehidupan mereka. Ini yang terjadi di pedesaan, apalagi di perkotaan. 2. Mencairkan sektoralisme. 3. Memastikan bahwa akses harus diawali dan diikuti dengan koordinasi antar instansi, tidak hanya instansi pelaksananya saja. Kami dengan teman-teman juga mencoba mendorong penyempurnaan rencana PP Reforma Agraria, sayangnya hingga kini tidak jelas nasibnya dan bahkan dimasukkan di dalam RUU Pertanahan. Proses evaluasi, mengapa reforma agraria sulit dilaksanakan? Di level Negara masih banyak permasalahan, seperti ideologi, landasan hukum, kelembagaan. Di tingkat implementasi di masyarakat juga banyak permasalahan seperti sosialisasi, adaptasi, resistensi untuk mencapai ideal yang diinginkan oleh program reforma agraria yaitu keadilan, kesejahteraan, keberlanjutan dan harmoni. Dari hasil kajian selama tiga tahun, kami mencoba memberikan rekomendasi. Sebetulnya ada yang “missed” dalam perencanaan pengelolaan kebijakan agraria kita, yaitu kita tidak punya desain besar tentang perencanaan pengelolaan sumber daya agraria nasional. Ini perlu dilakukan tidak hanya dari sisi ideologi, hukum dan kelembagaan, tapi kita memerlukan knowledge management yang baik. Kita perlu satu data, satu peta dan rencana yang terintegrasi, satu tujuan. Jika sudah demikian adanya (knowledge management yang baik; persepsi tidak jauh berbeda; tujuan sama) itu tentu akan lebih mudah merencanakan pengelolaan sumber daya agraria termasuk melakukan reforma agraria di bidang kehutanan. Rekomendasi umum: 1. Penataan kembali batas-batas kawasan di daratan Indonesia sangat penting untuk segera dilakukan. One map policy sebenarnya oleh Badan Informasi Geospasial sudah dilakukan dalam skala 1:50.000 tapi itu juga masih ada perbedaan, misalnya BPN menggunakan skala 1:5.000, jadi masih belum sinkron, berarti masih ada masalah juga. Tapi setidaknya 1:50.000 adalah satu langkah awal yang baik untuk membuat satu peta dasar yang terintegrasi sebagai panduan bagi pemetaan nasional. Kemudian setelah membuat satu data, data mengenai perencanaan pengelolaan agraria harus ada di peta. Setelah peta ada, kemudian sinkronisasi batas-batas kawasan dan tata gunanya, baik itu hutan, tanah, tambang, perkebunan, itu di-overlay kemudian kita lihat di mana ada potensi konfliknya.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
9
Setelah melakukan overlay dan sinkronisasi bisa menyelesaikan konflik tata batas, karena batas-batas yang overlapping akan kelihatan kalau petanya sama. Kalau petanya beda, yang overlapping tidak akan bisa terlihat. 2. Dari pemetaan dan sinkronisasi, tumpang-tindih terjadi tidak hanya di sektorsektor agraria yang ada, seperti kehutanan, tanah, tambang, tapi juga ada desadesa definitif yang ada di sekitar hutan atau di dalam hutan. Hal ini akan terus menimbulkan konflik kalau tidak diselesaikan. 3. Membuka kemungkinan pemanfaatan tanah di dalam kawasan kehutanan bagi pelaksanaan reforma agraria. Menambah peluang bentuk-bentuk akses, seperti social forestry, meskipun masih terlalu sedikit jumlahnya. Memberikan peluang untuk meredistribusi tanah-tanah di dalam kawasan hutan. Jika tidak dapat diredistribusi, saya rasa ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan, misalnya tanah-tanah yang diberikan areal penggunaan lain atau tanah-tanah hutan yang tidak dapat berproduksi bisa dibagikan ke masyarakat sekitar. 4. Siknronisasi peraturan perundang-undangan yang ada. Seperti UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU otonomi dan peraturan-peraturan lain yang sudah ada atau yang sedang dibahas. Misalnya proses RUU Pertanahan di DPR, seringkali “missed” dengan peraturan-peraturan yang sudah ada. Seharusnya proses-proses pembahasan di DPR maupun UU yang sudah disahkan berkorelasi satu dengan yang lain. Rekomendasi besar dari kami adalah desain perencanaan kebijakan agraria nasional: 1. Harus ada knowledge management yang baikà kita buat standar data, satu peta, satu tujuan. Konsep-konsep mengenai hak atas tanah. Kita lihat, memang ada dua sistem yang berbeda. Jadi sistem UUPA dan sistem di kehutanan yang berbeda. Walaupun agak susah, harus dimulai dari sekarang. Knowledge management ini konsepnya disamakan dahulu mengenai hak atas tanah; hak pemanfaatan; hak akses. Pengetahuan ini kemudian diimplementasikan menjadi kebijakan. 2. Melakukan revisi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan di tingkat lokal dan nasional dengan melakukan dialog-dialog, baik dialog agraria maupun dialog kehutanan. Melakukan teknik “engagement” akan isu agraria dan reforma agraria. Mendorong teknisi dan mendorong pembuatan beberapa buku. Kemudian di tingkat meso kita melakukan pendataan atas tanah-tanah terlantar, baik di kawasan hutan maupun kawasan non-hutan. Di tingkat mikro kajian kami melihat pendataan mengenai calon penerima manfaat. Ini adalah skema pembenahan kebijakan nasional. Mengenai reforma agraria, ada pemetaan, koordinasi, konsep hak atas tanah dan sistem kadastral nasional. Saya setuju, bukan reforma agraria yang mendukung tata kelola tetapi justru reforma agraria kehutanan merupakan bagian dari reforma agraria nasional.
10
Penataan Kembali Reformasi Agraria Kehutanan di Indonesia Pasca Desentralisasi
3 Memperkuat Partisipasi Warga dalam
Kebijakan Reforma Agraria untuk Transformasi Kelola Hutan1 Oleh: Arie Sujito Fisipol Universitas Gajah Mada Yogyakarta
Saya akan menyampaikan suatu point kunci mengawali presentasi saya bahwa problem reforma agraria itu sebenarnya berada pada soal kepemimpinan politik. Hari ini saya membaca Harian Kompas bahwa reforma agraria akan diprioritaskan. Dalam berita tersebut disebutkan bahwa problem soal distribusi, keadilan dan kemakmuran yang Pak Sekjen sampaikan memang sampai sekarang menjadi problem serius. Ketika terjadi desentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah, orientasi kebijakan di dalam pengelolaan sumber daya alam belum berubah. Jadi sebenarnya antara skema tata kelola yang didesentralisasi pusat ke daerah tetapi mindset di dalam meletakkan kebijakan pembangunan itu belum di-install (belum berubah). Itu yang membuat saya yakin bahwa problem reforma agraria bukan sekedar soal teknokratis, soal ketiadaan data atau soal ketiadaan tanah yang bisa dipakai atau ketiadaan aturan. Tetapi soal konsistensi bagaimana pemerintah, DPR dan berbagai pihak yang mempunyai kepentingan membaca masalah itu secara komplit.
Persoalan konflik struktural yang terjadi di berbagai tempat, baik kasus Mesuji, kasus Bima, sengketa lahan di Kalimantan, Sulawesi, Papua, NTB dan seterusnya. Saya kira ada problem, daerah sendiri “kedodoran” untuk menjawab desentralisasi ke arah yang lebih tepat. Pak Sekjen tadi mengatakan bahwa orientasi yang terjadi saat ini adalah liberalisasi, kebijakan yang tidak kompatibel dengan visi untuk menghargai lokalitasnya. Saya ingin mengajak dan menyampaikan frame reforma agraria dalam konteks kehadiran UU Desa. Tanggal 18 Desember tahun 2013 lalu, DPR bersama pemerintah mengesahkan UU Desa. Saya waktu itu menjadi fraksi “balkon” di atas, karena saya tiga tahun mengawal UU ini.
1]
Disampaikan pada Seminar Nasional Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Hutan yang Baik. Jakarta, 7 April 2014
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
11
Perdebatannya hari ini menjelang pemilu adalah seolah-olah soal “bagi-bagi duit” Rp 1,2 miliar. Substansi mengenai UU Desa bukan hanya soal itu. Hari ini ada klaim dari salah satu partai bahwa akan mendapat Rp 1 miliar. Siapapun presidennya nanti APBN akan mengalokasikan dana untuk desa Rp 800 juta-1,2 miliar, itu berdasarkan porsi. Mengapa ini terjadi? Kita tidak sekedar pada soal itu tetapi apa hubungannya dengan reforma agraria. Pertama, dalam UU Desa, posisi desa itu sekarang diakui sebagai entitas yang bukan sub kabupaten/kota, tetapi bagian dari NKRI. Itu yang disebut azas rekognisi. Karena pengakuan itu berdasarkan pasal 18b ayat (2), maka desa atau entitas masyarakat punya hak untuk menerima sumber daya itu. Debat seperti ini sebetulnya sangat filosofis soal kebijakan, tapi lagi-lagi orang tidak memahami, tapi hanya sekedar “apa bisa desa mengelola resources seperti itu?” Selalu begitu. Saya agak jengkel karena di Indonesia, semua argumen soal peraturan berhenti dan terdistorsi hanya soal implementasi, padahal sesunguhnya di balik itu punya makna yang cukup besar. Kedua, sekarang desa itu ditempatkan sebagai subyek dalam pengambilan keputusan strategis di tingkatnya. Kritik Pak Sekjen mengatakan bahwa “otonomi daerah tidak mampu menciptakan kemakmuran”, iya karena dibajak oleh elit-elit lokal. Bupati sebagain besar di Indonesia (tidak semua), kelakuannya mengeksploitasi sumber daya alam dan dia memfasilitasi praktik eksploitasi tanpa mengubah paradigma. Dengan demikian terjadi elite capture, dan pembajakan demokrasi lokal itu yang membuat tidak ada hubungan desentralisasi dengan pemerataan. Jika isu tanah akan dipahami sebagai bagian dari komitmen politik, itu “nggak nyampe”. Apalagi beberapa daerah yang masih kuat entisitas, isu tanah tadi melekat di dalam entisitas itu. Ketiga, sekarang ini karena desa diakui, kita tahu problem reforma agraria ini kaitannya dengan orang-orang desa. Sebesar 75% orang tinggal di desa, saya pernah tanya dengan orang BPN “berapa tanah yang terekam di BPN?”, “sekitar 30%”. Maka saya yakin, kehutanan ini bukan sekali ini bicara soal reforma agraria, “cuma selalu mentok”. UU desa ini akan berbenturan dengan sektor lain, seperti migas dan kehutanan. Kalau misalnya Kementerian Kehutanan punya komitmen soal ini, maka memang harus “nyambung” dengan UU lain.
Catatan yang ketiga, saya melihat bahwa konsep distribusi resources yang selama ini ada terutama menyangkut kelola sumber daya alam, problemnya terletak karena desa tidak punya kewenangan. Berdasarkan UU no. 6 tahun 2014 ini, desa sekarang punya kewenangan. Kewenangan bukan hanya soal rekognisi tetapi kedudukan dan posisi desa menjadi sub kabupaten, maka dia menjadi entitas sebagai subyek dalam NKRI. Kalau tadi bu Lilis katakan “seluruh perencanaan desa dari bawah”, itu kita 12
Memperkuat Partisipasi Warga dalam Kebijakan Reforma Agraria untuk Transformasi Kelola Hutan
punya Musrenbang, siapa yang tidak tahu Musrenbang itu teorinya demokratis pendekatannya partisipatif, politis dan teknokrasi? Tapi dari studi kami di berbagai tempat, ketiganya itu disconnect. Keinginan DPRD pasti berbeda dengan Dinas, keinginan Dinas berbeda dengan usulan rakyat termasuk menjadi prioritas. Soal hutan rakyat, soal aset dan sebagainya, tidak pernah masuk dalam Musrembang, karena itu “dunia” yang lain dan bahkan ‘abu-abu’. Itu adalah diskoneksi yang pertama. Diskoneksi yang kedua, itu pembangunan di daerah, mengapa tidak ada hubungannya dengan kesejahteraan? Karena memang antar sektor nggak nyambung, antara pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan seterunya punya indikator-indikator yang berbeda. Memecahkan problem kemiskinan juga tidak sama. Yang ketiga, antara perencanaan dan penganggaran itu tidak sama. Usulannya: a) Nanti penganggaran bias; b) Maka pendekatan ini, menurut saya dari studi kami mengatakan seluruh argumen teknokrasi dalam perencanaan partisipatif di daerah untuk menjawab problem-problem rakyat, soal sumber daya alam itu tidak menjawab masalah-masalah. Oleh karena itu saya hanya ingin menyambungkan saja komitmen Kementerian Kehutanan untuk menata ulang tentang reforma agraria. Bagaimana dikerangkakan, didialogkan dengan UU Desa sekarang dan mendudukkan desa itu sebagai subyek pembangunan.
Maaf saja saya kira kalau presiden itu punya komitmen yang besar kepada rakyat, harusnya reforma agraria menjadi prioritas. Ini sengketa lahan di mana-mana, pidatonya pasti stabilitas politik, disintegrasi. Bagaimana mungkin tidak ada ancaman disintegrasi? Resources tidak merata. Saya sebagai seorang sosiolog mengatakan diskrusus kita tentang policy nasional itu tidak merepresentasi kelompok-kelompok marginal. Akibatnya apa? Moralitas kelompok pinggiran, ya kenekatan itu karena nggak ada yang bisa dipertahankan. Kalau kita melakukan tindakan anarki soal klaim sumber daya alam, itu bukan berarti mereka tidak bermoral dalam pengertian hitamputih. Lebih baik dia berani mati daripada hidup di dalam proses marginalisasi. Saya tiga bulan yang lalu, waktu menyusun UU Desa ini ke Sumatera Utara dialog dengan warga di daerah Deli Serdang. Para petani yang selama ini bentrok soal pengelolaan lahan sawit, itu problemnya sebetulnya adalah pengakuan mereka yang memanfaatkan resources tidak ada. Dan ketika mereka sudah lama memanfaatkan itu, tiba-tiba pengusahanya memerintahkan mereka untuk pergi dengan cara-cara kekerasan dan ketika digugat dan diproses secara hukum, seolah-olah hak untuk mengelola sumber daya alam masih dimiliki oleh pengusaha, padahal sudah habis, jadi rakyat tidakpunya informasi soal seperti itu, taunya mereka harus mengalah. Menurut saya, kadang-kadang Negara itu tidak adil dalam menjawab konflik itu. Kehadiran Negara harus ditandai oleh komitmen mereka untuk menjamin resources itu betul-betul sah. Dari cara pandang ini saya punya harapan agar UU Desa yang ditandai dengan rekognisi kemudian subsidiaritas, itu akan bisa membantu mereka
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
13
untuk menemukan kembali aset-aset mereka yang hilang. Dalam UU ini ada pasalpasal yang khusus. Saya mengawal dengan Pansus luar biasa dan meyakinkan DPRD dan DPR waktu itu, aset desa itu banyak yang hilang. Hilangnya itu tidak jelas, tibatiba ini tanahnya desa tiba-tiba “dicaplok” kabupaten padahal sudah punya mereka, dan konflik di berbagai tempat klaim-kalim lahan itu. Pertanyaannya adalah, apa yang bisa dijawab seperti ini? Apakah konflik terus dan mendapat perlawanan terus dari rakyat? Kalau misalnya para pengusaha itu membayar preman, atau Negara membayar aparat untuk menghancurkan mereka, pasti publik tidak akan sulit menilai di mana Negara ini memposisikan diri.
UU Desa ini menempatkan agar aset-aset desa yang selama ini hilang, dikembalikan. Dalam waktu dua tahun desa harus bersama kabupaten dan BPN mengidentifikasi aset-aset desa yang selama ini dimiliki tetapi tidak dipakai lagi oleh kabupaten. Aset yang dikuasai oleh kabupaten atau pemerintah pusat yang masih digunakan untuk fasilitas umum tidak boleh diambil oleh desa, tapi yang tidak berfungsi, kabupaten dan pemerintah mengembalikan kepada desa. Tanah seperti miliknya bengkok (di desa), dulu jaman orde baru memang diminta oleh kabupaten. Kalau sekarang dipakai untuk puskesmas tidak apa-apa karena masih untuk fasilitas umum, tetapi misalnya untuk kantor partai atau yang sudah tidak berfungsi untuk dijadikan kantor koperasi. Yang tidak berfungsi wajib hukumnya dikembalikan kepada desa.
Sebetulnya kalau UU Desa itu konsisten dibaca secara utuh untuk mengembalikan soal kedaulatan dan hak-hak masyarakat desa yang selama ini dihilangkan terutama menyangkut sumber daya alam, ini adalah bagian dari upaya untuk reforma agrarian, sekalipun UU ini belum detail. Nanti kita bisa lihat misalnya Kementerian Kehutanan bisa mengidentifikasi peralihan hak tanah yang selama ini ada, karena memang sebagian besar tidak teridentifikasi dengan baik. Saya dapat data dari LBH, banyak rakyat sekarang ditangkapi gara-gara sekedar mengambil kayu kecil. Sekarang ini “keraskeras” menjelang pemilu di beberapa tempat. Kenapa seperti ini terus-menerus? Kalau terus-menerus seperti itu maka tidak ada lagi sebetulnya rekognisi soal social capital yang mereka harus hargai. Saya membayangkan percuma pemimpin-pemimpin kita itu punya pidato tentang integrasi nasional kalau pengurusan redistribusi ini selalu melindungi pengusaha yang jahat dan tidak melindungi rakyat yang memang secara obyektif mereka butuh perlindungan.
Maka saya membayangkan kalau memang reforma agraria itu dilakukan, Negara harus sensitif pada korban. Korban itu siapa? Kelompok-kelompok marginal. Di mana itu? Di kelompok-kelompok yang selama ini tidak pernah diberi pengakuan. UU Desa bisa menjadi salah satu faktor yang membantu memudahkan agenda reformasi, tapi juga harus ada prioritas-prioritas. Di luar soal ada data atau tidak, pemimpin politik menjadi kunci. Karena itu saya kira kalau reforma agraria ini bisa 14
Memperkuat Partisipasi Warga dalam Kebijakan Reforma Agraria untuk Transformasi Kelola Hutan
segera “dipecahkan”, membuat road map yang cukup jelas maka itu bisa memaksa kabupaten/kota untuk membuat terobosan-terobosan baru. Saya lihat bupati-bupati banyak sekali yang royal, mereka mengeluarkan duit begitu banyak, jual tanah/asetnya kepada penggusaha untuk kepentingan Pilkada. Menurut saya ini tidak fair. Pada akhirnya banyak sekali eksploitasi sumber daya alam dan mineral oleh kelompokkelompok bahkan perkebunan, dengan keuntungan tidak akan kembali kepada masyarakat tetapi justru hanya menguntungkan sekelompok elit. Maka pertanyaan besar yang dapat kita tarik secara makro, kalau rakyat selama ini begitu loyal ikut pemilu, merekalah yang mensubsidi demokrasi, tanpa rakyat petani tidak mungkin demokrasi itu “hidup”. Coba dicek, angka golput sebagian adalah orang-orang kota. Tetapi seberapa besar sebetulnya subsidi Negara pada mereka yang loyal pada demokrasi?
Tantangan kita sekarang adalah, bagaimana menata ulang dengan road map. Datanya berapa? Yang miskin dan tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara, tanah yang dikuasai oleh pengusaha. Kuncinya menurut saya adalah pemimpin poltik. Tanpa komitmen politik, data “sehebat” apapun percuma, karena faktanya debat di Indonesia itu hanya debat teknokratik. Soal demokrasi juga begitu. Orang bicara terus tentang DPT, untuk apa juga selama lima tahun tidak dibenahi? Tiap lima tahun juga diulang kesalahan-kesalahan yang sama. Besok, lima tahun lagi jangan sampai mengulang debat reforma agraria gara-gara tidak ada data. Itu omong kosong. Menurut saya ini penting untuk kita karena kalau sekali ada komitmen politik dan itu diikuti, saya rasa seorang presiden bisa memerintahkan bupati-bupatinya. Dengan kewenangan otonomi kabupaten, tapi secara relatif dia punya hak punya otoritas untuk melakukan percepatan reforma agraria ini. Saya yakin reforma agraria ini bisa dilakukan dengan baik sebagai prioritas salah satu agenda reformasi. Kita tidak akan risau dan galau soal disintegrasi nasional. Tetapi sebaliknya selama reforma agraria ini terus “menggantung”, ketegangan antara kelompok-kelompok pengusaha, kemudian masyarakat dan Negara “dibiarkan” maka premanisme selalu muncul. Pertanyaan yang penting: apakah rakyat bisa mendapatkan akses berdemokrasi atau tidak?
Semoga ini sebagai sebuah pengantar saja. Harapan saya kita akan mendapatkan pemimpin anggota legislatif yang baik. Masih ada orang baik di departemen, termasuk calon presiden. Siapapun yang menjadi pemimpin reforma agraria, kita harus bisa mendorong sebagai cara yang efektif untuk memecahkan problem struktural.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
15
4
Reforma Agraria: Isu yang Tak Berujung1 Oleh: Lukas R. Wibowo Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan
Pada hari ini saya akan bicara mengenai topik dengan judul Reforma Agraria: Isu yang tak berujung. Mengapa tidak berujung? Dalam bayangan saya isu ini bisa diketahui ujungnya kalau kita mau. Tapi persoalannya adalah bahwa saat ini reforma agraria masih menjadi isu. Seiring dengan sekumpulan isu-isu yang lain seperti isu sosial, isu krisis pangan dan isu ekologi.
Sebenarnya secara sederhana, reforma agraria didefinisikan sebagai penataan terhadap struktur penguasaan maupun kepemilikan lahan, terutama bagi masyarakat yang tidak mempunyai lahan. Kalau kita amati, banyak negara-negara yang secara konsisten melakukan itu. Namun kita tetap menempatkan reforma agraria sebagai isu di level terendah. Pada saat ini ada kecenderungan bahwa terjadi proses yang namanya delandreformisasi dan guremisasi petani dan pertanian. Ini adalah gambaran mengenai posisi reforma agraria dalam konteks konfigurasi wacana pembangunan nasional, di mana reforma agraria ini masih belum masuk isu konflik. Yang masuk dalam isu konflik adalah isu korupsi, konflik politik dan macam-macam. Juga belum masuk kedalam agregat, ini menjadi problem tersendiri.
Ini semua terkait juga dengan peningkatan pembangunan yang kita lakukan, yang menempatkan paradigma pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebagai paradigma. Konsekuensi dari model peningkatan pembangunan ini kalau menurut “hukum keterbatasan”, jika penduduk naik, maka carrying capacity (daya dukung lingkungan) akan turun. Dampak selanjutnya adalah produksi sumber daya alam juga akan menurun. Akhirnya akan terjadi gap antara kebutuhan akan SDA dengan carrying capacity. 1]
Disampaikan pada Seminar Nasional Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Hutan yang Baik. Jakarta, 7 April 2014
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
17
Kemudian yang terjadi adalah masalah lingkungan akan muncul, termasuk konflik yang dihubungkan antara kelangkaan SDA, termasuk ketimpangan penguasaan sumber daya alam dan juga ada penindasan SDA sebagai pelengkap dan SDA sebagai sumber sosial. Kita lihat lokasi-lokasi masyarakat adat. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya ada persoalan penindasan tadi. Ini adalah gambaran tentang konflik agraria yang terjadi, di mana sejak tahun 2004 hingga tahun 2013 telah terjadi banyak kasus. Ada sekitar 900 lebih kasus konflik dan obyek yang disengketakan pun cukup luas, lebih dari 3 juta hektar.
Ini menggambarkan tentang relasi antara pertumbuhan ekonomi (yang tadi Pak Sekjen membahas secara detail) dengan ketimpangan sosial. Data ini menunjukkan bahwa tesis tentang pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tidak selalu diikuti dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi pula. Kalau kita lihat dari tingginya rasio sejak jaman Orde Baru hanya sekitar 0,32. Tapi pasca Orde Baru justru meningkat, secara ekonomi pertumbuhan semakin meningkat. Kalau sekarang ini orang banyak yang mengatakan “enak jaman ku tho”, itu sebetulnya menunjukkan frustasi dari masyarakat terhadap kondisi ekonomi dan politik. Mereka menginginkan/mengharapkan/ membayangkan ada romantisme baru seperti yang dulu terjadi pada jaman Orde Baru. Fakta lain menunjukkan bahwa penduduk miskin secara nasional ada sekitar 28 juta (menurut ukuran BPS), tapi menurut World Bank jauh lebih besar, sekitar 5/6 kali lipat. Dari jumlah ini ada sekitar 17 juta penduduk miskin pedesaan; 90% dari penduduk miskin itu tidak menganggur, mereka mengaku kerja keras tapi masalahnya mereka tetap miskin. Ini yang menjadi problem. Ada problem keterbatasan akses masyarakat terhadap sumber daya alam, terutama tanah.
Ini adalah skema umum penguasaan dan pemilikan tanah, di mana Badan privat dan pemerintah masih menguasai. Keterbatasan akses terhadap SDA, sebenarnya secara tidak langsung memicu adanya perambahan pada kawasan hutan. Ada dampak psikologis. Yang pertama, secara sporadis masyarakat masuk ke dalam hutan, kemudian merambah meski skalanya kecil. Yang kedua, secara terorganisir dalam bentuk kelompok-kelompok masuk ke hutan. Yang mengorganisir bukan hanya cukong tapi juga oknum pejabat. Banyak sekali yang ‘bermain’ di situ. Kemudian yang ketiga, masyarakat secara voluntary/sukarela mengorganisasikan diri membentuk kelompok untuk masuk dalam hutan. Ini biasanya dilakukan oleh transmigran. Mereka punya keterbatasan dalam hal kapital maupun tenaga kerja. Kemudian yang terakhir, melalui transaksi jual-beli. Mereka membeli dari orang-orang lokal melalui koneksi, kemudian mereka masuk (‘di bawah tangan’). Proses selanjutnya, masyarakat ini kemudian melegalitaskan wilayah mereka melalui jalur-jalur formal, termasuk pengadilan untuk dijadikan desa definitif. 18
Reforma Agraria: Isu yang Tak Berujung
Poin yang ingin saya katakan di sini adalah bahwa perambahan itu bukanlah permasalahan ekonomi semata tetapi ini karena perebutan atas kontrol administratif dan politik, yang melibatkan bukan hanya warga tapi juga antar institusi lembaga daerah dan pusat. Ini adalah peta perambahan, di mana masyarakat merambah sampai ke kawasan konservasi. Dan ini adalah dampaknya, kerugiannya sungguh fantastis. Total kerugian sejak diberlakukan otonomi daerah lebih dari Rp 200 triliun. kebijakan ini sudah dijalankan oleh Kementerian Kehutanan, di mana ada reforma agraria, ada akses reform dan aset reform. Akses reform ini skemanya adalah HKm, hutan desa dan HTR. Targetnya adalah masyarakat desa hutan yang terkait dengan land distribution. Sebenarnya masih dipertanyakan juga apakah mungkin ini by design atau mungkin karena tekanan-tekanan yang ada? Pelepasan kawasan hutan merupakan instrumen-instrumen yang sebenarnya masuk dalam skema land distribution. Targetnya adalah perusahaan perkebunan dan masyarakat desa hutan, termasuk perambah. Problemnya adalah, kebanyakan dari obyek yang ‘dilepas’ selama ini dikuasai oleh para pemodal. Ini menjadi problem dan ini terkait dengan kebijakan daerah juga. Pertanyaannya kemudian adalah: efektifkah kebijakan selama ini? Saya pikir belum efektif karena indikatornya adalah konflik lahan di mana-mana. Kemudian masyarakat desa hutan yang masuk kategori miskin masih cukup banyak. Ini data tahun 2006 sebenarnya. Tahun 2004 lalu mungkin lebih banyak dari 10 juta. Pengelolaan hutan jauh dari keadilan masyarakat. Ini yang terkait dengan kondisi akses dalam konflik pengelolaan hutan di mana para pemodal besar masih menguasai. Coba kita lihat dari porsinya. Kalau HKM, CBFM masih sekitar 2%, sementara kalau pengusaha menguasai lebih banyak. Terkait dengan asset reform, kita belum punya peta kelompok prioritas penerima manfaat. Kita hanya sekedar ‘melepas’ dan selanjutnya urusannya Dinas atau Pemda. Kita tidak bisa masuk dalam wilayah itu, padahal secara moral, seharusnya kita bisa masuk ke situ. Seperti yang telah didiskusikan oleh Pak Sekjen tentang teori Hernando de Soto (Bukunya adalah Mistery of Capital) bahwa de Soto mendiskusikan tentang gap kapital, kapital yang ‘mati’, lahan-lahan yang tidak ada sertifikasinya. Ia mengusulkan tesisnya adalah bahwa lahan itu akan tidur, jadi aset produktif kalau diformulasikan dalam bentuk title. Itu yang diteorikan oleh de Soto. Namun Sugema menolaknya, itu perlu pendekatan ekonomi yang komprehensif, tidak hanya sekedar sertifikasi. Perlu volumizing, perlu mempertimbangkan skala ekonomi dan scope-nya dan juga. Bagi saya itu juga belum lengkap karena harus ada mekanisme kelembagaan pasar. Juga harus ada dukungan dari pemerintah, termasuk empower. Organisasiorganisasi petani harus diberdayakan sehingga punya kekuatan dan jaringan.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
19
Pertanyaan besar kemudian adalah, perlukah kita mempertahankan kawasan hutan seluas lebih dari 136 juta hektar atau mungkin menguranginya? Sebenarnya Kemenhut juga responsif, sekarang ada peraturan baru tentang pembatasan ijin usaha pemanfaatan hutan (P 8 tahun 2014), maksimum satu perusahaan/holding hanya 50.000 ha luasannya. Ini adalah langkah-langkah strategis yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan. Persoalannya nanti di tingkat implementasi, bagaimana kita bisa mengawasi, supaya masayarakat bisa benar-benar mengontrol agar berjalan dengan baik. Terkait dengan kelembagaan KPH di tingkat tapak, cukup ‘cut’ hanya untuk meningkatkan efektivitas atau efisiensi pengelolaan hutan, atau justru untuk meningkatkan kontrol Negara atas hutan? Atau mungkin KPH justru bisa menjadi bagian penting dalam proses transformasi agraria. Ini yang menjadi tanda tanya besar bagi kita. Kalau bagi saya, KPH harusnya bisa menjadi bagian dari proses.
Terkait dengan pelepasan kawasan, dalam pelepasan kawasan sesuai dengan Pasal 19 UU 41, ada Timdu. Timdu mempunyai kewenangan scientific untuk menentukan lahan itu bisa dilepas atau tidak. Kalau menurut saya secara moral Timdu harus ditingkatkan kapasitasnya. Tidak hanya sekedar melepaskan bahwa ini layak atau tidak secara scientific, tapi juga harus bisa menentukan siapa yang harusnya menerima. Harus ada perubahan, tidak hanya sekedar itu. Ini merupakan tanggung jawab moral yang besar. Kalau hanya sekedar layak atau tidak, kemudian yang terjadi adalah kawasan akhirnya ‘jatuh’ pada pengusaha-pengusaha besar, ada konsentrasi penguasaan kawasan yang terjadi. Perlukah kita membentuk semacam Badan untuk mengatasi sektoralisme? Kalau di REDD sudah ada Badan tersendiri, tetapi kalau di reforma agraria belum ada. Ini masalah krusial yang bisa saja harus ada Badan yang mampu melampaui kewenangan sektor, yang bisa mengorganisasikan, mensinergikan menjadi tatanan kita.
Demokratic Land Governance harus dipromosikan di agenda nasional karena sangat penting untuk di-introduced. Secara konseptual, transformasi struktural tenurial yang dekat dengan itu tergantung pada: ada-tidak perubahan mendasar terkait dengan ideologi, pendekatannya termasuk assessment. Hal ini sangat tergantung pada sejauh mana antara state power, masyarakat sipil dan masyarakat politik. Ketiga hal tersebut yang akan menentukan, bias-tidak ditransformasikan menjadi kondisi yang lebih baik.
20
Reforma Agraria: Isu yang Tak Berujung
5
Pengukuran Good Forest Governance Indonesia1 Oleh: Sulistya Ekawati, Haryatno Dwiprabowo, Fentie Y. Salaka, & Sylviani Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan
5.1 Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai hutan tropis terbesar di dunia. Luas hutan Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah hutan tropis Brazil dan Zaire, yaitu 109,96 juta hektar. Keberadaan hutan di Indonesia tersebut memberikan manfaat ekonomi (kontribusi pada pendapatan negara, kesejahteraan masyarakat, penyerapan tenaga kerja), sosial (knowledge wisdom, kepercayaan, adat) dan manfaat ekologi (penyerap karbon, pengendali banjir, kesuburan tanah, keindahan alam). Manfaat hutan yang besar tersebut tidak hanya berskala lokal, regional dan nasional saja, tetapi jangkauannya sudah global. Tidak mengherankan bila ada tuntutan untuk menjaga kelestarian hutan tropis di Indonesia semakin menguat. Hal itulah yang mendorong Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26% dengan biaya sendiri dan 41% dengan dukungan pembiayaan dari luar negeri.
Hutan harus dikelola agar lestari. Dari sisi teknis sudah banyak dikembangkan teknik silvikultur, mulai dari perbenihan sampai pemanenan, bahkan pengolahannya. Kelestarian hutan ternyata tidak bisa didekati dari aspek teknis semata, sampai akhirnya muncul kesadaran bahwa Sustainable Forest Management (SFM) sangat tergantung pada kondisi pemungkin yaitu kebijakan, hukum dan institusi, yang semuanya itu tercakup dalam tata kepemerintahan atau tata kelola hutan yang baik (good forest governance). Forest governance didefinisikan sebagai proses, mekanisme dan tata cara yang melibatkan nilai, power, kewenangan, hak dan kewajiban dalam pengelolaan sumber
1]
Disampaikan pada Seminar Nasional Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Hutan yang Baik. Jakarta, 7 April 2014
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
21
daya hutan melalui interaksi pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, baik informal maupun formal, dalam skala lokal, nasional maupun global agar hutan lestari dan masyarakat sejahtera. Tata kelola hutan yang baik sangat tergantung pada konteks. Meskipun unsur-unsur penting tata-kelola bersifat umum, tapi pada dasarnya tata kelola juga spesifik, tergantung karakteristik sumber daya hutan dan masyarakatnya (Mayers et al., 2005).
Sampai saat ini belum ada model aplikatif good forestry governance di Indonesia yang seara resmi dijadikan acuan oleh pemerintah (Kementerian Kehutanan) untuk mengukur kinerja pengelolaan hutan, padahal banyak pihak sudah menginisiasi untuk menyusun metode yang terkait dengan governance pengelolaan hutan. Beberapa metode yang ada adalah: 1) FAO (2011), 2) World Bank (2009), 3) WRI (2009), 4) Meyer et al. (2005), 5) LSM Kemitraan (2011) dan 6) UNDP, kerjasama dengan Kementerian Kehutanan, UKP4, Bappenas yang disponsori oleh UNREDD Global Programme (2012).
Beberapa tools yang ada belum secara komprehensif mengukur mengelolaan hutan secara menyeluruh, mulai dari tata hutan, penyusunan rencana pengelolaan hutan, rehabilitasi/reklamasi hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, perlindungan hutan serta konservasi alam. Selain itu, indikator yang sudah ada lebih menitikberatkan pada tujuan pengukuran untuk mendapatkan angka atau indek atau pengkelasan warna untuk menunjukkan kinerja suatu institusi. Saran atau tindak lanjut untuk perbaikan tata kelola belum banyak mendapat perhatian, sehingga tidak jelas rekomendasi yang dihasilkan untuk perbaikan tata kelola ke depan. Untuk mengisi kekosongan tersebut, metode yang menggambarkan kriteria dan indikator kemajuan forest governance ini disusun.
Tools ini dibangun lebih sederhana dan implementatif sehingga bisa dipakai oleh semua pihak, khususnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengukur kemajuan tata kelola hutan yang ada di wilayahnya. Selama ini pemerintah pusat belum menyiapkan instrumen untuk mengukur kinerja pengelolaan hutan di daerah, padahal sebagian besar pengelolaan hutan (hutan lindung dan hutan produksi) diserahkan kewenangannya kepada pemerintah kabupaten (KPH).
5.2 Tujuan Tujuan dari penyusunan tools ini adalah:
1. Untuk mengukur kinerja tata kelola hutan di level Pemerintah Kabupaten dan KPH. 2. Untuk memonitor dan mengevaluasi tata kelola hutan di Indonesia. 3. Memberikan saran perbaikan tata kelola kehutanan di Indonesia. 22
Pengukuran Good Forest Governance Indonesia
5.3 Pengguna (User) Pengguna (user) dari tools ini adalah: Kementerian Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi/Kabupaten dan KPH.
5.4 Kerangka Kerja Tools ini disusun dengan menggunakan kerangka kerja yang terdiri dari dua komponen dan lima isu. Kerangka kerja/framework diartikan sebagai kerangka konseptual yang mencakup komponen, isu dan prinsip yang mendefinisikan tata kelola kehutanan yang baik. Komponen adalah dasar/elemen dalam tata kelola atau faktor penting yang mempengaruhi tata kelola kehutanan. Dalam kerangka kerja ini, tata kelola hutan dilihat dari dua sisi yaitu: 1) kebijakan/program dan 2) implementasinya. Kebijakan di sini mengacu pada pendapat Wilson (2006), yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai tindakan-tindakan, tujuan-tujuan, dan pernyataan-pernyataan pemerintah mengenai masalah-masalah tertentu, langkah-langkah yang telah/sedang diambil dan penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh pemerintah mengenai apa yang telah terjadi. Bentuk kongkrit dari kebijakan tertuang dalam program. Kerangka kerja yang disusun ingin melihat gap antara kebijakan/program dan implementasinya, apakah kebijakannya sudah bagus tetapi implementasinya yang buruk atau sebaliknya atau keduanya yang buruk. Pemisahan dua komponen tersebut akan memudahkan untuk merumuskan perbaikan tata kelola kehutanan ke depan. Pemilihan isu dirumuskan berdasarkan permasalahan yang saat ini dihadapi kehutanan. Permasalahan tersebut dikelompokkan dengan merujuk pada aspek pengelolaan hutan, karena tujuan tools ini adalah untuk mengukur indeks penerapan good forest governance di daerah. Isu yang dinilai adalah: 1. Pemantapan kawasan hutan, terdiri dari 3 bagian yaitu: tata batas kawasan hutan, pembangunan KPH dan tenurial.
2. Rehabilitasi dan reklamasi hutan, terdiri dari 3 bagian yaitu: rehabilitasi/reklamasi di hutan produksi, rehabilitasi/reklamasi di hutan lindung dan rehabilitasi/ reklamasi di hutan konservasi. 3. Perlindungan hutan, terdiri dari 3 bagian yaitu: penanganan illegal logging, pengendalian perambahan dan pencegahan kebakaran hutan.
4. Pemanfaatan hutan, terdiri dari 4 bagian yaitu: pemanfaatan kawasan hutan (HTR/HKm/hutan desa), pemanfaatan kayu, pemanfaatan HHBK dan pemanfaatan jasa lingkungan.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
23
5. Konservasi keanekaragaman hayati, terdiri dari 2 bagian yaitu: konservasi flora dan konservasi fauna. Prinsip merupakan ukuran untuk mencapai kondisi minimal agar tata kelola kehutanan berjalan baik. Dari berbagai review literatur dikenal banyak sekali prinsip tata kelola hutan yang baik. Prinsip yang melandasi tata pemerintahan yang baik sangat bervariasi antar institusi dan pakar yang ada, namun ada sejumlah prinsip yang dianggap sebagai prinsip-prinsip utama yang melandasi good governance, yaitu: 1) akuntabilitas, 2) transparansi, dan 3) partisipasi masyarakat. Prinsip-prinsip yang ada tersebut kemudian diaplikasikan di sektor kehutanan, dipilih enam prinsip yang relevan untuk sektor kehutanan.
5.4.1 Transparansi Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau keterbukaan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan dan pelaksanaannya. Prinsip ini memiliki dua aspek, yaitu: 1) komunikasi publik oleh pemerintah, dan 2) hak masyarakat terhadap akses informasi. Perlu diingat bahwa keterbukaan membawa konsekuensi adanya kontrol yang berlebihan dari masyarakat dan bahkan oleh media massa. Karena itu, kewajiban akan keterbukaan harus diimbangi dengan nilai pembatasan, yang mencakup kriteria yang jelas dari para aparat publik tentang jenis informasi apa saja yang mereka berikan dan pada siapa informasi tersebut diberikan.
5.4.2 Partisipasi Partisipasi adalah prinsip bahwa setiap orang memiliki hak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan penyelenggaraan kegiatan. Pelibatan berbagai pihak dalam proses pembuatan kebijakan akan membantu pemerintah melihat suatu permasalahan secara lebih komprehensif, mengintegrasikan harapan publik dan mengantisipasi terjadinya konflik sosial yang mungkin timbul. Juga penting untuk dicatat bahwa partisipasi masyarakat tidak menjamin bahwa sumber daya alam akan dikelola pada cara yang lebih berkelanjutan. Arah pengelolaan sumber daya alam akan sangat dipengaruhi oleh kepentingan mayoritas atau kepentingan yang dominan. Akan sangat berbahaya jika kepentingan mayoritas tersebut berlawanan dengan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Popular participation harus dihindari, sebaliknya objective oriented participation lebih direkomendasikan, dengan mendefinisikan tujuan dengan benar berdasarkan kebutuhan publik, bukan keinginan publik (Cooke & Khotari, 2004; Boer & Nurrochmat, 2012). 24
Pengukuran Good Forest Governance Indonesia
5.4.3 Akuntabilitas Akuntabilitas publik adalah prinsip yang menjamin bahwa setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka oleh pelaku kepada pihak-pihak yang terkena dampak penerapan kebijakan.
5.4.4 Koordinasi Koordinasi adalah prinsip yang mengedepankan proses pengintegrasian tujuantujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (bagian/departemen atau tingkat pemerintahan atau sektor) untuk mencapai tujuan bersama.
5.4.5 Profesionalisme dan Kompetensi Profesionalisme dan kompetensi adalah kemampuan dan kualifikasi seseorang/ lembaga yang menyangkut kepandaian, keterampilan, kemahiran dan pengalaman untuk menjalankan perkerjaan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Kerangka kerja pengukuran good forest governance yang disusun dapat dilihat pada Gambar 1.
Selanjutnya masing-masing prinsip dan isu tersebut dijabarkan menjadi kriteria. Kriteria adalah standar untuk menilai/mengetahui apakah kemajuan yang dicapai memenuhi prinsip. Indikator merupakan sesuatu yang lebih khusus untuk menilai kriteria. Indikator dapat menggambarkan dan/atau mengukur sub komponen pemerintahan pada saat tertentu serta dapat memantau perubahan sub komponen dari waktu ke waktu, apakah perubahan tersebut posistif atau negatif. Indikator bisa berupa atribut kuantitatif, kualitatif atau deskriptif. Untuk menilai indikator disusunlah verifier, yang merupakan data atau informasi yang diperlukan untuk menilai indikator.
5.5 Pengumpulan Data 5.5.1 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah:
1. Pengumpulan data sekunder yang terkait dengan isu-isu kehutanan yang akan diukur. 2. Wawancara dengan stakeholders (Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan Provinsi), dunia usaha (HPH/HTI) dan LSM untuk mengukur kemajuan GFG. Wawancara diarahkan untuk mengisi kuesioner yang telah disediakan (Lampiran 1). 3. Focus group discussion dengan stakeholders (Kementerian Kehutanan, dunia usaha (pemegang ijin HPH/HTI), LSM) untuk verifikasi dan konfirmasi hasil penilaian indikator good forest governance (GFG).
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
25
Komponen Isu Pemantapan kawasan hutan - Tata batas kawasan hutan - Pembangunan KPH - Tenurial Rehabilitasi dan reklamasi hutan - Rehabilitasi/reklamasi di hutan produksi - Rehabilitasi/reklamasi di hutan lindung - Rehabilitasi/reklamasi di hutan konservasi Perlindungan hutan - Penanganan illegal logging - Pengendalian perambahan - Pencegahan kebakaran hutan Pemanfaatan hutan - Pemanfaatan kawasan hutan - Pemanfaatan kayu - Pemanfaatan HHBK - Pemanfaatan jasa lingkungan Konservasi keanekaragaman hayati - Konservasi satwa - Konservasi fauna
Kebijakan/ program Indikator
Implementasi Indikator
Indikator
Indikator PRINSIP Transparansi Partisipasi Indikator Indikator Akuntabilitas Koordinasi Profesionalisme dan Kompetensi Indikator Indikator
Indikator
Indikator
Gambar 1. Kerangka kerja pengukuran good forest governance Indonesia Kuesioner berupa blanko isian yang berisi pertanyaan, jawabannya berupa skor/ angka(scoring). Skoring dipilih untuk menilai persepsi responden yang terkait dengan pengelolaan hutan berdasarkan: a) dokumen kebijakan/program dan b) implementasi kebijakan tersebut di lapangan. Responden diminta untuk menilai dengan cara memilih kategori yang ada. Kategori tersebut menggambarkan skor, yang dimulai dari skor paling rendah dengan nilai 1 (sangat tidak baik) sampai skor paling tinggi dengan nilai 7 (baik sekali). Pemilihan skor dilakukan dengan memperhatikan kriteria, indikator dan verifier yang ada, sehingga responden tidak terjebak dalam subyektivitas dalam memberikan penilaian. Kategori penilaian dan skor dapat dilihat pada Tabel 1. Selain data kuantitatif berupa skoring, untuk verifikasi data juga sangat disarankan penggalian informasi kualitatif berupa informasi/data untuk menggali informasi yang lebih mendalam kepada responden. Contoh kuesioner berisi pertanyaan yang sifatnya kualitatif bisa dilihat pada Lampiran 2. Kuesioner kualitatif ini sangat terbuka untuk 26
Pengukuran Good Forest Governance Indonesia
dikembangkan sendiri oleh enumerator. Data kualitatif yang terkumpul akan sangat membantu untuk memverifikasi data kuantitatif (skoring) yang diperoleh.
Tabel 1. Kategori dan skor yang
5.5.2 E. Analisis Data Data yang terkumpul dibuat matrik, seperti terlihat pada Lampiran 3. Data yang terkumpul dibuat indeks untuk menggambarkan kemajuan good forest governance. Indeks good forest governance dibagi menjadi tiga kelas, yaitu baik, sedang dan buruk, dengan perincian sebagai berikut:
1. Baik = 4,80-7,00 2. Sedang = 2,40-4,79 3. Buruk = 0,00-2,39
digunakan
Kategori Sangat tidak baik Tidak baik Kurang baik Cukup Baik Sangat baik Baik sekali
Skor 1 2 3 4 5 6 7
Daftar Pustaka Cooke, B. & Kothari, U. (2004). The case for participation as tyrany. In Cooke, B. and Kothari, U. (eds), Participation: the new tyranny? London, UK: Zed Books Ltd.
FAO. (2011). Framework for assessing and monitoring forest governance. Diunduh dari http://www.fao.org/docrep/014/i2227e/i2227e00.pdf. [26 Januari 2012].
Kemitraan. (2011). Partnership Governance Index: an overview. Diunduh dari www. partnership.go.id Meyer et al. (2005). The pyramid. A dianostic and planning tools for forest governance. World Bank dan WWF. Situmorang, A.W., Nababan, A., Kartodihardjo, H., Khatarina, J., Santosa, M.A., Safitri, M., Suprihanto, …, & Sunaryo. 2012. Indeks tata kelola hutan, lahan dan REDD+ di Indonesia. UNDP dan UNREDD Programm.
Wilson, R. (2006). Policy Analysis as Policy Advice. In Michael Moran, Martin Rein, dan Robert (eds), The Oxford Handbook of Public Policy. New York: Oxford University Press. World Bank. (2009). Roots for good forest outcome: An analytical framework for governance reform. WRI. (2009). The governance of forest toolkit (Version 1): A draft framework of indicators for assessing governance of forest initiative. The Governance of Forest Initiative.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
27
Lampiran 1. Tools untuk mengukur good forest governance di Indonesia A. Isu Pemantapan Kawasan Hutan Prinsip: Transparansi Prinsip Transparansi
Kriteria
Indikator
Verifier
Keterbukaan infor•• Penyediaan informasi masi pada masyarayang jelas tentang kat umum dan kejelaprosedur, tanggung san (clarity) tentang jawab dan biaya kegiatan peraturan/undang•• Kemudahan akses undang/keputusan informasi program/ pemerintah/program kegiatan kegiatan •• Tersedia suatu mekanisme pengaduan jika ada peraturan yang dilanggar •• Meningkatkan arus informasi melalui kerjasama dengan media massa dan lembaga non pemerintah •• Ada institusi yang bertugas untuk menyebarluaskan informasi
•• Ada tahapan sosialisasi/konsultasi publik dalam penyusunan program/ pelaksanaan kegiatan •• Informasi program/kegiatan tersedia di papan pengumuman •• Informasi program/kegiatan dimuat di website •• Tersedianya penanganan pengaduan: kotak pos, kontak pengaduan •• Ada bagian/instusi yang berperan menyebarluaskan informasi : humas, Pusat Informasi dan Penyuluhan dan sebagainya •• Ada kerjasama dengan media massa atau lembaga non pemerintah untuk menyebarluaskan informasi •• Ada kriteria yang jelas untuk pembatasan informasi ke publik
•• Ada kriteria yang jelas tentang informasi yang tidak dapat diakses oleh publik Persepsi responden SKOR
1
2
A. PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN A.1. Transparansi dalam bidang tata batas kawasan hutan •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan A.2. Transparansi dalam pembangunan KPH
28
Pengukuran Good Forest Governance Indonesia
3
4
5
6
7
SKOR
1
2
3
4
5
6
7
•• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan A.3. Transparansi dalam tenurial (kejelasan penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan
Prinsip: Partisipasi Prinsip Partisipasi
Kriteria
Indikator
Verifier
Pelibatan masyarakat dalam kegiatan, mulai dari proses pembuatan kebijakan, implementasi, pemanfaatan dan monev
Dokumen peraturan memberi ruang masyarakat diberdayakan, diberikan kesempatan dan diikutsertakan untuk berperan dalam proses-proses kegiatan mulai dari tahap perencanaan pelaksanaan dan pengawasan atau pemanfaatan
•• Tersedi mekanisme untuk mengakomodasi kepentingan yang beragam •• Tersedia forum konsultasi/temu publik •• Keterlibatan masyarakatan dalam tahapan kegiatan •• Ada keterwakilan dari masingmasing stakeholder. •• Pengambilan keputusan didasarkan pada konsensus bersama.
Persepsi responden SKOR
1
2
3
4
5
6
7
A. PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN A.1. Partisipasi dalam tata batas kawasan hutan •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan A.2. Partisipasi dalam pembangunan KPH
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
29
SKOR
1
2
3
4
5
6
7
•• Berdasarkan dokumen kebiajakn/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan A.3. Partisipasi dalam tenurial (kejelasan penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan
Prinsip: Akuntabilitas Prinsip Akuntabilitas
Kriteria
Indikator
Pertang•• Adanya output dan gungjawaban outcome yang terukur pelaku kepada •• Adanya kesesuaian antara publik (pihakpelaksanaan dengan pihak yang program yang disusun terkena dam• • Adanya sangsi yang pak penerapan ditetapkan atas peraturan/ kesalahan/kelalaian program/kegdalam penyelenggaraan iatan. kegiatan •• Kelengkapan informasi yang berhubungan dengan cara-cara mencapai sasaran suatu program •• Penetapan kriteria untuk mengukur performansi aparat Persepsi responden
A.
PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN
A.1. Akuntabilitas dalam tata batas kawasan hutan •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada
30
Pengukuran Good Forest Governance Indonesia
Verifier •• Adanya standard operating prosedur (SOP) penyelenggaraan kegiatan •• Ada mekanisme pertanggungjawaban •• Laporan tahunan
•• Pemantauan kinerja penyelenggaraan kegiatan •• Ada mekanisme reward and punishment •• Tersedia produk-produk kebijakan daerah (proses pembuatan keputusan): pola dasar, renstra, perda
SKOR
1
2
3
4
5
6
7
•• Berdasarkan implementasi di lapangan A.2. Akuntabilitas dalam pembangunan KPH •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan A.3.Akuntabilitas dalam tenurial (kejelasan penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan
Prinsip: Koordinasi Prinsip
Kriteria
Indikator
Verifier
Koordinasi
Proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemendepartemen atau tingkat pemerintahan) untuk mencapai tujuan bersama
•• Adanya kebijakan yang berorientasi pada pengintegrasian antar departemen/daerah/ stakeholder yang terlibat dalam kegiatan
•• Ada forum koordinasi dan berjalan
•• Ada tujuan bersama yang ingin dicapai
•• Ada tujuan bersama yang jelas
Persepsi responden SKOR A.
1
2
3
4
5
6
7
PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN
A.1. Koordinasi dalam tata batas kawasan hutan •• Berdasarkan dokumen kebijakan/ peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
31
SKOR
1
2
3
4
5
6
7
A.2. Koordinasi dalam pembangunan KPH •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan A.3.Koordinasi dalam tenurial (kejelasan penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan
Prinsip : Profesionalisme dan Kompetensi Prinsip
Kriteria
Profesionalisme dan Kompetensi
Indikator
Verifier
Kemampuan dan •• Semua organ organisasi kualifikasi sesmempunyai kompetensi eorang/lembaga sesuai dengan tanggung yang menyangkut jawabnya dan memahami kepandaian, ketperannya. rampilan, kemahiran •• Pengurus dalam dan pengalaman organisasi tersebut untuk menjalankan mempunyai kualifikasi di perkerjaan sesuai bidangnya (dilihat dari dengan tugas dan latar belakang pendidikan tanggung jawabnya. dan pengalaman).
•• Standar kompetensi dalam kegiatan •• Pemahaman tugas dan tanggungjawab
•• Kursus/pengembangan pegawai
•• Latar belakang pendidikan •• Pengalaman
•• Ada sistem pengembangan SDM (kursus, studi banding, sekolah). Persepsi responden SKOR A.
A.1. Profesionalisme dan kompetensi dalam bidang tata batas kawasan hutan •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada
32
1
PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN
Pengukuran Good Forest Governance Indonesia
2
3
4
5
6
7
SKOR
1
2
3
4
5
6
7
•• Berdasarkan implementasi di lapangan A.2. Profesionalisme dan kompetensi dalam pembangunan KPH •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan A.3.Profesionalisme dan kompetensi dalam tenurial (kejelasan penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan
B. Isu Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan Prinsip: Transparansi Prinsip Transparansi
Kriteria
Indikator
Keterbukaan •• Penyediaan informasi yangjelas tentang prosedur informasi pada prosedur, tanggung jawab masyarakat umum dan biaya kegiatan dan kejelasan (clarity) tentang •• Kemudahan akses peraturan/ informasi program/ kegiatan undang-undang / keputusan pemer- •• Tersedia suatu mekanismepengaduan intah/program jika ada peraturan yang kegiatan dilanggar •• Meningkatkan arus informasi melalui kerjasama dengan media massa dan lembaga non pemerintahan •• Ada institusi yang bertugas untuk menyebar luaskan informasi •• Ada kriteria yang jelas informasi yang tidak dapat diakses oleh publik
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Verifier •• Ada tahapan sosialisasi/konsultasi publik dalam penyusunan program/ pelaksanaan kegiatan •• Informasi program/kegiatan tersedia di papan pengumuman •• Informasi program/kegiatan dimuat di website •• Tersedianya penanganan pengaduan : kotak pos, kontak pengaduan •• Ada bagian/instusi yang berperan menyebarluaskan informasi : humas, Pusat Informasi dan Penyuluhan dan sebagainya •• Ada kerjasama dengan media masa atau lembaga non pemerintah untuk menyebarluaskan informasi •• Ada kriteria yang jelas untuk pembatasan informasi ke publik
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
33
Persepsi responden SKOR B.
1
2
3
4
5
6
7
REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN
B.1.Transparansi dalam rehabilitasi/reklamasi di hutan produksi •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan B.2. Transparansi dalam rehabilitasi/reklamasi di hutan lindung •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan B.3. Transparansi dalam rehabilitasi/reklamasi di hutan konservasi •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan
Prinsip: Partisipasi Prinsip Partisipasi
Kriteria
Indikator
Verifier
Pelibatan masyarakat dalam kegiatan mulai dari proses pembuatan kebijakan, implementasi, pemanfaatan dan monev
Dokumen peraturan memberi ruang masyarakat diberdayakan, diberikan kesempatan dan diikutsertakan untuk berperan dalam proses-proses kegiatan mulai dari tahap perencanaan pelaksanaan dan pengawasan atau pemanfaatan
•• Tersedi mekanisme untuk mengakomodasi kepentingan yang beragam •• Tersedia forum konsultasi/temu publik •• Keterlibatan masyarakatan dalam tahapan kegiatan •• Ada keterwakilan dari masingmasing stakeholder. •• Pengambilan keputusan didasarkan pada konsesus bersama.
34
Pengukuran Good Forest Governance Indonesia
Persepsi responden SKOR A.
1
2
3
4
5
6
7
REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN
B.1.Partisipasi dalam rehabilitasi/reklamasi di hutan produksi •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan B.2. Partisipasi dalam rehabilitasi/reklamasi di hutan lindung •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan B.3. Partisipasi dalam rehabilitasi/reklamasi di hutan konservasi •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan
Prinsip: Akuntabilitas Prinsip Akuntabilitas
Kriteria
Indikator
Pertanggung•• Adanya output dan outcome yang terukur jawaban pelaku kepada publik •• Adanya kesesuaian antara (pihak-pihak yang pelaksanaan dengan terkena dampak program yang disusun penerapan peraturan/ program/ •• Adanya sangsi yang ditetapkan atas kegiatan. kesalahan/kelalaian dalam penyelenggaraan kegiatan •• Kelengkapan informasi yang berhubungan dengan cara-cara mencapai sasaran suatu program •• Penetapan kriteria untuk mengukur performansi aparat
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Verifier •• Adanya standard operating prosedur (SOP) penyelenggaraan kegiatan •• Ada mekanisme pertanggungjawaban •• Laporan tahunan
•• Pemantauan kinerja penyelenggaraan kegiatan •• Ada mekanisme reward and punishment •• Tersedia produk-produk kebijakan daerah (proses pembuatan keputusan) :pola dasar, renstra, perda ••
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
35
Persepsi responden SKOR B.
1
2
3
4
5
6
7
REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN
B.1.Akuntabilitas dalam rehabilitasi/reklamasi di hutan lindung •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan B.2. Akuntabilitas dalam rehabilitasi/reklamasi di hutan produksi •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan B.3. Akuntabilitas dalam rehabilitasi/reklamasi di hutan konservasi •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan
Prinsip : Koordinasi Prinsip
Kriteria
Indikator
Verifier
Koordinasi Proses pengintegra- •• Adanya kebijakan yang •• Ada forum koordinasi dan berjalan sian tujuan-tujuan berorientasi pada •• Ada tujuan bersama yang ingin dan kegiatan-kegiatan pengintegrasian antar dicapai pada satuandepartemen/daerah/ satuan yang terpisah stakeholder yang terlibat (departemen-dedalam kegiatan partemen atau tingkat •• Ada tujuan bersama yang pemerintahan) untuk jelas mencapai tujuan bersama Persepsi responden SKOR B.
1
2
3
REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN
B.1.Koordinasi dalam rehabilitasi/reklamasi di hutan produksi •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada
36
Pengukuran Good Forest Governance Indonesia
4
5
6
7
SKOR
1
2
3
4
5
6
7
•• Berdasarkan implementasi di lapangan B.2. Koordinasi dalam rehabilitasi/reklamasi di hutan lindung •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan B.3. Koordinasi dalam rehabilitasi/reklamasi di hutan konservasi •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan
Prinsip : Profesionalisme dan Kompetensi Prinsip
Kriteria
Indikator
Verifier
Profesionalisme Kemampuan •• Semua organ organisasi dan Kompedan kualifimempunyai kompetensi tensi kasi seseorang sesuai dengan tanggung /lembaga yang jawabnya dan memahami menyangkut perannya. kepandaian, •• Pengurus dalam ketrampilan, organisasi tersebut kemahiran dan mempunyai kualifikasi di pengalaman unbidangnya (dilihat dari tuk menjalankan latar belakang pendidikan perkerjaan dan pengalaman). sesuai dengan tugas dan tang- •• Ada sistem pengembangan SDM gung jawabnya. (kursus, studi banding, sekolah).
•• Standar kompetensi dalam kegiatan
•• Pemahaman tugas dan tanggungjawab
•• Kursus/pengembangan pegawai
•• Latar belakang pendidikan
•• Pengalaman
Persepsi responden SKOR B.
1
2
3
4
5
6
7
REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN
B.1.Profesionalisme dan kompetensi dalam rehabilitasi/reklamasi di hutan produksi •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
37
SKOR
1
2
3
4
5
6
7
•• Berdasarkan implementasi di lapangan B.2. Profesionalisme dan kompetensi dalam rehabilitasi/reklamasi di hutan lindung •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan B.3. Profesionalisme dan kompetensi dalam rehabilitasi/reklamasi di hutan konservasi •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan
C. Isu Perlindungan Hutan Prinsip: Transparansi Prinsip Transparansi
Kriteria
Indikator
Keterbukaan infor•• Penyediaan informasi yang jelas tentang prosedur masi pada masyarakat prosedur, tanggung jawab umum dan kejelasan dan biaya kegiatan (clarity) tentang peraturan/ •• Kemudahan akses informasi program/ undang-undang / kegiatan keputusan pemerintah/program kegiatan •• Tersedia suatu mekanismepengaduan jika ada peraturan yang dilanggar •• Meningkatkan arus informasi melalui kerjasama dengan media massa dan lembaga non pemerintahan
Verifier •• Ada tahapan sosialisasi/konsultasi publik dalam penyusunan program/ pelaksanaan kegiatan •• Informasi program/kegiatan tersedia di papan pengumuman •• Informasi program/kegiatan dimuat di website •• Tersedianya penanganan pengaduan : kotak pos, kontak pengaduan •• Ada bagian/instusi yang berperan menyebarluaskan informasi : humas, Pusat Informasi dan Penyuluhan dan sebagainya
•• Ada kerjasama dengan media masa atau lembaga non pemerintah untuk •• Ada institusi yang bertugas menyebarluaskan informasi untuk menyebar luaskan •• Ada kriteria yang jelas untuk informasi pembatasan informasi ke publik •• Ada kriteria yang jelas informasi yang tidak dapat diakses oleh publik
38
Pengukuran Good Forest Governance Indonesia
Persepsi responden SKOR A.
1
2
3
4
5
6
7
PERLINDUNGAN HUTAN
C.1. Transparansi dalam penanganan illegal logging •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan C.2. Transparansi dalam penanganan perambahan •• Berdasarkan dokumen kebijakanperaturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan C.3. Transparansi dlm penanganan kebakaran hutan •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan
Prinsip: Partisipasi Prinsip
Kriteria
Indikator
Verifier
Partisipasi
Pelibatan masyarakat dalam kegiatan mulai dari proses pembuatan kebijakan, implementasi, pemanfaatan dan monev
Dokumen peraturan memberi ruang masyarakat diberdayakan, diberikan kesempatan dan diikutsertakan untuk berperan dalam proses-proses kegiatan mulai dari tahap perencanaan pelaksanaan dan pengawasan atau pemanfaatan
•• Tersedi mekanisme untuk mengakomodasi kepentingan yang beragam •• Tersedia forum konsultasi/temu publik •• Keterlibatan masyarakatan dalam tahapan kegiatan •• Ada keterwakilan dari masingmasing stakeholder. •• Pengambilan keputusan didasarkan pada konsesus bersama.
Persepsi responden SKOR B.
1
2
3
4
5
6
7
PERLINDUNGAN HUTAN
C.1. Partisipasi dalam penanganan illegal logging
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
39
SKOR
1
2
3
4
5
6
7
•• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan C.2. Partisipasi dalam penanganan perambahan •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan C.3. Partisipasisi dalam penanganan kebakaran hutan •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan
Prinsip: Akuntabilitas Prinsip Akuntabilitas
Kriteria
Indikator
Pertanggungjawaban •• Adanya output dan pelaku kepada publik outcome yang terukur (pihak-pihak yang ter•• Adanya kesesuaian kena dampak penerapan antara pelaksanaan peraturan/ program/ dengan program yang kegiatan. disusun •• Adanya sangsi yang ditetapkan atas kesalahan/kelalaian dalam penyelenggaraan kegiatan •• Kelengkapan informasi yang berhubungan dengan cara-cara mencapai sasaran suatu program •• Penetapan kriteria untuk mengukur performansi aparat Persepsi responden
40
Pengukuran Good Forest Governance Indonesia
Verifier •• Adanya standard operating prosedur (SOP) penyelengga-raan kegiatan •• Ada mekanisme pertanggungjawaban •• Laporan tahunan
•• Pemantauan kinerja penyelenggaraan kegiatan •• Ada mekanisme reward and punishment •• Tersedia produk-produk kebijakan daerah (proses pembuatan keputusan): pola dasar, renstra, perda
SCORE C.
1
2
3
4
5
6
7
PERLINDUNGAN HUTAN
C.1. Akuntabilitas dalam penanganan illegal logging •• Berdasarkan dokumen kebijakan/ peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan C.2. Akuntabilitas dalam penanganan perambahan •• Berdasarkan dokumen kebijakan/ peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan C.3. Akuntabilitas dlm penanganan kebakaran hutan •• Berdasarkan dokumen kebijakan/ peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan
Prinsip: Koordinasi Prinsip Koordinasi
Kriteria
Indikator
Verifier
Proses pengintegra- •• Adanya kebijakan yang •• Ada forum koordinasi dan berjalan sian tujuan-tujuan berorientasi pada •• Ada tujuan bersama yang ingin dan kegiatan-kepengintegrasian antar dicapai giatan pada satuandepartemen/daerah/ satuan yang terpisah stakeholder yang terlibat (departemendalam kegiatan departemen atau •• Ada tujuan bersama yang tingkat pemerintahjelas an) untuk mencapai tujuan bersama Persepsi responden SKOR
C.
1
2
3
4
5
6
7
PERLINDUNGAN HUTAN
C.1. Koordinasi dalam penanganan illegal logging •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan C.2. Koordinasi dalam penanganan perambahan
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
41
SKOR •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada
1
2
3
4
5
6
7
•• Berdasarkan implementasi di lapangan C.3. Koordinasi dalam penanganan kebakaran hutan •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan
Prinsip : Profesionalisme dan Kompetensi Prinsip
Kriteria
Profesionalisme dan Kompetensi
Kemampuan dan kualifikasi seseorang /lembaga yang menyangkut kepandaian, keterampilan, kemahiran dan pengalaman untuk menjalankan perkerjaan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.
Indikator
Verifier
•• Semua organ organisasi •• Standar kompetensi dalam kegiatan mempunyai kompetensi •• Pemahaman tugas dan sesuai dengan tanggung tanggungjawab jawabnya dan memahami • • Kursus/pengembangan pegawai perannya. •• Latar belakang pendidikan •• Pengurus dalam •• Pengalaman organisasi tersebut mempunyai kualifikasi di bidangnya (dilihat dari latar belakang pendidikan dan pengalaman).
•• Ada sistem pengembangan SDM (kursus, studi banding, sekolah). Persepsi responden SKOR C.
1
2
3
4
PERLINDUNGAN HUTAN
C.1. Profesionalisme dan kompetensi dalam penanganan illegal logging •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan C.2. Profesionalisme dan kompetensi dalam penanganan perambahan
42
Pengukuran Good Forest Governance Indonesia
5
6
7
SKOR •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada
1
2
3
4
5
6
7
•• Berdasarkan implementasi di lapangan C.3. Profesionalisme dan kompetensi dalam penanganan kebakaran hutan •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan
D. Isu Konservasi Kehati Prinsip: Transparansi Prinsip
Kriteria
Indikator
Transparansi Keterbukaan informasi pada masyarakat umum dan kejelasan (clarity) tentang peraturan/ undang-undang / keputusan pemerintah/program kegiatan
•• Penyediaan informasi yang jelas tentang prosedur prosedur, tanggung jawab dan biaya kegiatan •• Kemudahan akses informasi program/ kegiatan •• Tersedia suatu mekanismepengaduan jika ada peraturan yang dilanggar •• Meningkatkan arus informasi melalui kerjasama dengan media massa dan lembaga non pemerintahan
Verifier •• Ada tahapan sosialisasi/konsultasi publik dalam penyusunan program/pelaksanaan kegiatan •• Informasi program/kegiatan tersedia di papan pengumuman •• Informasi program/kegiatan dimuat di website •• Tersedianya penanganan pengaduan : kotak pos, kontak pengaduan •• Ada bagian/instusi yang berperan menyebarluaskan informasi : humas, Pusat Informasi dan Penyuluhan dan sebagainya •• Ada kerjasama dengan media masa atau lembaga non pemerintah untuk menyebarluaskan informasi
•• Ada institusi yang bertugas untuk menyebar •• Ada kriteria yang jelas untuk pembatasan informasi ke publik luaskan informasi •• Ada kriteria yang jelas informasi yang tidak dapat diakses oleh publik
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
43
Persepsi responden SKOR B.
1
2
3
4
5
6
7
KONSERVASI KEHATI
D.1. Transparansi dalam konservasi flora •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan D.2. Transparansi dalam konservasi fauna •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan
Prinsip : Partisipasi Prinsip Partisipasi
Kriteria
Indikator
Verifier
Pelibatan masyarakat dalam kegiatan mulai dari proses pembuatan kebijakan, implementasi, pemanfaatan dan monev
Dokumen peraturan memberi ruang masyarakat diberdayakan, diberikan kesempatan dan diikutsertakan untuk berperan dalam proses-proses kegiatan mulai dari tahap perencanaan pelaksanaan dan pengawasan atau pemanfaatan
•• Tersedi mekanisme untuk mengakomodasi kepentingan yang beragam •• Tersedia forum konsultasi/temu publik •• Keterlibatan masyarakatan dalam tahapan kegiatan •• Ada keterwakilan dari masingmasing stakeholder. •• Pengambilan keputusan didasarkan pada konsesus bersama.
Persepsi responden SKOR C.
KONSERVASI KEHATI
D.1. Partisipasi dalam konservasi flora •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan D.2. Partisipasi dalam konservasi fauna
44
Pengukuran Good Forest Governance Indonesia
1
2
3
4
5
6
7
SKOR •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada
1
2
3
4
5
6
7
•• Berdasarkan implementasi di lapangan
Prinsip : Akuntabilitas Prinsip Akuntabilitas
Kriteria
Indikator
Pertanggungjawaban pelaku kepada publik (pihak-pihak yang terkena dampak penerapan peraturan/ program/kegiatan.
Verifier
•• Adanya output dan outcome yang terukur •• Adanya kesesuaian antara pelaksanaan dengan program yang disusun •• Adanya sangsi yang ditetapkan atas kesalahan/ kelalaian dalam penyelenggaraan kegiatan
•• Adanya standard operating prosedur (SOP) penyelenggaraan kegiatan •• Ada mekanisme pertanggungjawaban •• Laporan tahunan
•• Pemantauan kinerja penyelenggaraan kegiatan
•• Ada mekanisme reward and •• Kelengkapan informasi punishment yang berhubungan dengan • • Tersedia produk-produk kebijakan cara-cara mencapai sasaran daerah (proses pembuatan suatu program keputusan) :pola dasar, renstra, •• Penetapan kriteria untuk perda mengukur performansi aparat Persepsi responden SKOR D.
1
2
3
4
5
6
7
KONSERVASI KEHATI
D.1. Akuntabilitas dalam konservasi flora •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan D.2. Akuntabilitas dalam konservasi fauna •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
45
Prinsip : Koordinasi Prinsip
Kriteria
Koordinasi
Indikator
Verifier
Proses •• Adanya kebijakan yang pengintegrasian berorientasi pada tujuan-tujuan pengintegrasian antar dan kegiatandepartemen/daerah/ kegiatan pada stakeholder yang terlibat satuan-satuan dalam kegiatan yang terpisah •• Ada tujuan bersama yang (departemenjelas departemen atau tingkat pemerintahan) untuk mencapai tujuan bersama
•• Ada forum koordinasi dan berjalan
•• Ada tujuan bersama yang ingin dicapai
Persepsi responden SCORE D.
1
KONSERVASI KEHATI
D.1. Koordinasi dalam konservasi flora •• Berdasarkan dokumenkebijakan/ peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan D.2. Koordinasi dalam konservasi fauna •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/ program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan
46
Pengukuran Good Forest Governance Indonesia
2
3
4
5
6
7
Prinsip: Profesionalisme dan Kompetensi Prinsip Profesionalisme dan Kompetensi
Kriteria
Indikator
Verifier
Kemampuan dan •• Semua organ organisasi kualifikasi sesmempunyai kompetensi eorang /lembaga sesuai dengan tanggung yang menyangkut jawabnya dan memahami kepandaian, perannya. ketrampilan, •• Pengurus dalam organisasi kemahiran dan tersebut mempunyai pengalaman kualifikasi di bidangnya untuk menjalankan (dilihat dari latar perkerjaan sesuai belakang pendidikan dan dengan tugas pengalaman). dan tanggung •• Ada sistem pengembangan jawabnya. SDM (kursus, studi banding, sekolah).
•• Standar kompetensi dalam kegiatan
•• Pemahaman tugas dan tanggungjawab •• Kursus/pengembangan pegawai
•• Latar belakang pendidikan
•• Pengalaman
Persepsi responden SKOR D.
1
2
3
4
5
6
7
KONSERVASI KEHATI
D.1. Profesionalisme dan kompetensi dalam konservasi flora •• Berdasarkan dokumen kebiijakan/peraturan/ program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan D.2. Profesionalisme dan kompetensi dalam konservasi fauna •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/ program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
47
E. Isu Pemanfaatan Hutan Prinsip: Transparansi Prinsip Transparansi
Kriteria
Indikator
Verifier
Keterbukaan infor•• Penyediaan informasi masi pada masyarakat yang jelas tentang umum dan kejelasan prosedur prosedur, (clarity) tentang pertanggung jawab dan aturan/ biaya kegiatan undang-undang / keputusan pemerintah/program kegiatan
•• Kemudahan akses informasi program/ kegiatan
•• Ada tahapan sosialisasi/konsultasi publik dalam penyusunan program/ pelaksanaan kegiatan •• Informasi program/kegiatan tersedia di papan pengumuman •• Informasi program/kegiatan dimuat di website
•• Tersedia suatu mekanismepengaduan jika ada peraturan yang dilanggar •• Meningkatkan arus informasi melalui kerjasama dengan media massa dan lembaga non pemerintahan
•• Tersedianya penanganan pengaduan : kotak pos, kontak pengaduan •• Ada bagian/instusi yang berperan menyebarluaskan informasi : humas, Pusat Informasi dan Penyuluhan dan sebagainya •• Ada kerjasama dengan media masa atau lembaga non pemerintah untuk menyebarluaskan informasi
•• Ada institusi yang bertugas untuk menyebar •• Ada kriteria yang jelas untuk pembatasan informasi ke publik luaskan informasi •• Ada kriteria yang jelas informasi yang tidak dapat diakses oleh publik Persepsi responden SKOR E.
1
2
3
4
5
PEMANFAATAN HUTAN
E.1. Transparansi dalam pemanfaatan kawasan hutan (HKm, HTR, Hutan Desa) •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan E.2. Transparansi dalam pemanfaatan kayu •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada
48
Pengukuran Good Forest Governance Indonesia
6
7
SKOR •• Berdasarkan implementasi di lapangan
1
2
3
4
5
6
7
E.3. Transparansi dalam pemanfaatan HHBK •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan E.4. Transparansi dalam pemanfaatan jasa lingkungan •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan
Prinsip: Partisipasi Prinsip
Kriteria
Partisipasi Pelibatan masyarakat dalam kegiatan mulai dari proses pembuatan kebijakan, implementasi, pemanfaatan dan monev
Indikator
Verifier
Dokumen peraturan memberi ruang masyarakat diberdayakan, diberikan kesempatan dan diikutsertakan untuk berperan dalam proses-proses kegiatan mulai dari tahap perencanaan pelaksanaan dan pengawasan atau pemanfaatan
•• Tersedi mekanisme untuk mengakomodasi kepentingan yang beragam •• Tersedia forum konsultasi/temu publik •• Keterlibatan masyarakatan dalam tahapan kegiatan •• Ada keterwakilan dari masingmasing stakeholder. •• Pengambilan keputusan didasarkan pada konsesus bersama.
Persepsi responden SKOR D.
1
2
3
4
5
6
7
PEMANFAATAN HUTAN
E.1. Partisipasi dalam pemanfaatan kawasan hutan (HKm,HTR,Hutan Desa) •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan E.2. Partisipasi dalam pemanfaatan kayu
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
49
SKOR •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada
1
2
3
4
5
6
7
•• Berdasarkan implementasi di lapangan E.3. Partisipasi dalam pemanfaatan HHBK •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan E.4. Partisipasi dalam pemanfaatan jasa lingkungan •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan
Prinsip: Akuntabilitas Prinsip Akuntabilitas
Kriteria
Indikator
Pertanggungjawaban •• Adanya output dan pelaku kepada publik outcome yang terukur (pihak-pihak yang ter•• Adanya kesesuaian antara kena dampak penerapan pelaksanaan dengan peraturan/ program/ program yang disusun kegiatan. •• Adanya sangsi yang ditetapkan atas kesalahan/kelalaian dalam penyelenggaraan kegiatan •• Kelengkapan informasi yang berhubungan dengan cara-cara mencapai sasaran suatu program •• Penetapan kriteria untuk mengukur performansi aparat
50
Pengukuran Good Forest Governance Indonesia
Verifier •• Adanya standard operating prosedur (SOP) penyelengga-raan kegiatan •• Ada mekanisme pertanggungjawaban •• Laporan tahunan
•• Pemantauan kinerja penyelenggaraan kegiatan •• Ada mekanisme reward and punishment •• Tersedia produk-produk kebijakan daerah (proses pembuatan keputusan) : pola dasar, renstra,perda
Persepsi responden SKOR E.
1
2
3
4
5
6
7
PEMANFAATAN HUTAN
E.1. Akuntabilitas dalam pemanfaatan kawasan hutan (HKm,HTR,Hutan Desa) •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan E.2. Akuntabilitas dalam pemanfaatan kayu •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan E.3. Akuntabilitas dalam pemanfaatan HHBK •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan E.4. Akuntabilitas dalam pemanfaatan jasa lingkungan •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan
Prinsip : Koordinasi Prinsip Koordinasi
Kriteria
Indikator
Verifier
Proses pengintegra- •• Adanya kebijakan yang sian tujuan-tujuan berorientasi pada dan kegiatanpengintegrasian antar kegiatan pada departemen/daerah/ satuan-satuan yang stakeholder yang terlibat terpisah (departedalam kegiatan men-departemen •• Ada tujuan bersama yang atau tingkat pemerjelas intahan) untuk mencapai tujuan bersama
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
•• Ada forum koordinasi dan berjalan
•• Ada tujuan bersama yang ingin dicapai
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
51
Persepsi responden SKOR E.
1
2
3
4
5
PEMANFAATAN HUTAN
E.1. Koordinasi dalam pemanfaatan kawasan hutan (HKm, HTR, Hutan Desa) •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/ program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan E.2. Koordinasi dalam pemanfaatan kayu •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/ program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan E.3. Koordinasi dalam pemanfaatan HHBK •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/ program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan E.4. Koordinasi dalam pemanfaatan jasa lingkungan •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/ program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan
52
Pengukuran Good Forest Governance Indonesia
6
7
Prinsip: Profesionalisme dan Kompetensi Prinsip Profesionalisme dan Kompetensi
Kriteria
Indikator
Verifier
Kemampuan dan •• Semua organ organisasi kualifikasi seseorang mempunyai kompetensi sesuai /lembaga yang medengan tanggung jawabnya nyangkut kepandaian, dan memahami perannya. ketrampilan, kemahiran •• Pengurus dalam organisasi dan pengalaman untuk tersebut mempunyai menjalankan perkerjaan kualifikasi di bidangnya sesuai dengan tugas dan (dilihat dari latar belakang tanggung jawabnya. pendidikan dan pengalaman).
•• Standar kompetensi dalam kegiatan •• Pemahaman tugas dan tanggungjawab
•• Kursus/pengembangan pegawai •• Latar belakang pendidikan •• Pengalaman
•• Ada sistem pengembangan SDM (kursus, studi banding, sekolah). Persepsi responden SKOR E.
1
2
3
4
5
6
7
PEMANFAATAN HUTAN
E.1. Profesionalisme dan kompetensi dalam pemanfaatan kawasan hutan (HKm, HTR, Hutan Desa) •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan E.2. Profesionalisme dan kompetensi dalam pemanfaatan kayu •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan E.3. Profesionalisme dan kompetensi dalam pemanfaatan HHBK •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan E.4. Profesionalisme dan kompetensi dalam pemanfaatan jasa lingkungan •• Berdasarkan dokumen kebijakan/peraturan/program yang ada •• Berdasarkan implementasi di lapangan
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
53
Lampiran 2. Kuesioner penerapan prinsip good forest governance dalam pengelolaan hutan (deskriptif kualitatif) Nama Responden : Jabatan : Institusi : PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN Tata Batas Kawasan Hutan Bagaimana tata batas hutan di wilayah saudara ? Apakah sudah selesai ditata batas? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Apakah tata batas hutan dapat diterima semua pihak ? Apakah ada konflik ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Apakah ada tumpang tindih batas kawasan hutan ? Dengan sektor/pihak mana tumpang tindih terjadi ? Apa penyebabnya ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Apakah ada program untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan tata batas hutan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Apakah ada kegiatan sosialisasi tata batas hutan ? Bagaimana kegiatan tersebut dilakukan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. 54
Pengukuran Good Forest Governance Indonesia
Bagaimana koordinasi dalam kegiatan tata batas hutan di institusi Saudara ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana kompetensi pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan tata batas hutan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Tenurial Bagaimana kejelasan tenurial (sistem penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya) hutan di wilayah Saudara ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Apakah ada keterbukaan informasi penyelesaian masalah tenurial di wilayah Saudara ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Apakah ada upaya melibatkan pihak-pihak yang terkait dalam pemecahkan permasalahan tenurial di wilayah Saudara ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Apakah ada koordinasi dalam upaya pemecahan permasalahan tenurial di wilayah Saudara ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana kompetensi pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian masalah tenurial? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. .............................................................................................................................................
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
55
KPH Bagaimana progres KPH di tempat Saudara ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Permasalahan apa yang dihadapi dalam pembangunan KPH di tempat Saudara ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Apakah ada program untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan KPH ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Apakah ada kegiatan sosialisasi pembangunan KPH ? Bagaimana kegiatan tersebut dilakukan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana koordinasi dalam pembangunan KPH dilakukan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana kompetensi pihak-pihak yang terlibat dalam pembangunan KPH ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN/LAHAN Bagaimana prosentase tumbuh kegiatan rehabilitasi/reklamasi di hutan produksi ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. 56
Pengukuran Good Forest Governance Indonesia
Bagaimana prosentase tumbuh kegiatan rehabilitasi/reklamasi di hutan lindung ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana prosentase tumbuh kegiatan rehabilitasi/reklamasi di hutan konservasi ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Apakah ada keterbukaan informasi kegiatan rehabilitasi/reklamasi ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana keterlibatan masyarakat dalam kegiatan rehabiltasi/reklamasi hutan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana koordinasi dalam kegiatan rehabilitasi/reklamasi hutan dilakukan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana kapabilitas dan kompetensi SDM yang menangani kegiatan rehabilitasi/ reklamasi hutan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. PERLINDUNGAN HUTAN Penanganan illegal logging Bagaimana trend kejadian illegal logging di daerah Saudara, makin naik atau cenderung turun ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. .............................................................................................................................................
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
57
Apakah ada keterbukaan informasi kegiatan penanganan illegal logging ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana keterlibatan masyarakat dalam kegiatan penanganan illegal logging ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana koordinasi dalam kegiatan penanganan illegal logging dilakukan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana kapabilitas dan kompetensi SDM yang menangani illegal logging ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Pengendalian perambahan Bagaimana trend perambahan hutan di daerah Saudara, makin naik atau cenderung turun ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Apakah ada keterbukaan informasi kegiatan pengendalian perambahan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pengendalian perambahan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. 58
Pengukuran Good Forest Governance Indonesia
Bagaimana koordinasi dalam kegiatan pengendalian perambahan dilakukan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana kapabilitas dan kompetensi SDM dalam kegiatan pengendalian perambahan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Pencegahan kebakaran hutan Bagaimana trend kejadian kebakaran hutan di daerah Saudara, makin naik atau cenderung turun ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Apakah ada keterbukaan informasi kegiatan pencegahan kebakaran hutan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pencegahan kebakaran hutan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana koordinasi dalam kegiatan pencegahan kebakaran hutan dilakukan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana kapabilitas dan kompetensi SDM dalam kegiatan pencegahan kebakaran hutan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. .............................................................................................................................................
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
59
KONSERVASI KENAKERAGAMAN HAYATI apa yang dilakukan istitusi saudara untuk konservasi kehati ? bagiaman trend satwa/ flora yang dikonservasi, apakah ada kecenderungan naik populasinya ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Apakah ada keterbukaan informasi kegiatan konservasi flora/fauna ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana keterlibatan masyarakat dalam kegiatan konservasi flora/fauna ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana koordinasi dalam kegiatan konservasi flora/fauna ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana kapabilitas dan kompetensi SDM yang terlibat dalam kegiatan konservasi flora/fauna ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. PEMANFAATAN HUTAN Ijin Pemanfaatan Kawasan Program apa yang dilakukan di institusi Saudara untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan melalui ijin pemanfaatan kawasan (seperti ijin HKm, Hutan Desa, HTR, PHBM, LMDH dsb) di tempat Saudara ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. 60
Pengukuran Good Forest Governance Indonesia
Apakah ada keterbukaan informasi kegiatan pemanfaatan kawasan hutan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pemanfaatan kawasan hutan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana koordinasi dalam kegiatan pemanfaatan kawasan hutan dilakukan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana kapabilitas dan kompetensi pemanfaatan kawasan hutan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana koordinasi dalam kegiatan ijin pemanfaatan kawasan hutan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Pemanfaatan Kayu Bagaimana trend produksi kayu di tempat Saudara, makin naik atau cenderung turu ? Kayu apa yang paling dominan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Apakah ada keterbukaan informasi kegiatan pemanfaatan kayu ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. .............................................................................................................................................
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
61
Bagaimana keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pemanfaatan kayu ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana koordinasi dalam kegiatan pemanfaatan kayu dilakukan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana kapabilitas dan kompetensi pemanfaatan kayu ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Pemanfaatan HHBK Bagaimana trend produksi HHBK di tempat Saudara, makin naik atau cenderung turun ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana upaya untuk meningkatkan HHBK ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Apakah ada keterbukaan informasi dalam kegiatan pemanfaatan HHBK ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pemanfaatan HHBK ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. 62
Pengukuran Good Forest Governance Indonesia
Bagaimana koordinasi dalam kegiatan pemanfaatan HHBK dilakukan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana kapabilitas dan kompetensi pemanfaatan HHBK? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Pemanfaatan Jasa Lingkungan Bagaimana pemanfaatan jasa lingkungan di daerah Saudara ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana upaya untuk meningkatkan jasa lingkungan di institusi saudara ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Apakah ada keterbukaan informasi kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana koordinasi dalam kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan dilakukan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. Bagaimana kapabilitas dan kompetensi pemanfaatan jasa lingkungan ? ............................................................................................................................................. ............................................................................................................................................. .............................................................................................................................................
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
63
Lampiran 3. Matrik untuk mengukur good forest governance Skor No
Isu/sub komponen
A.
Pemantapan kawasan hutan 1. Tata batas
Prinsip
Transparansi Partisipasi Akuntabilitas Koordinasi Profesionalisme dan Kompetensi
2. Tenurial
Transparansi Partisipasi Akuntabilitas Koordinasi Profesionalisme dan Kompetensi
3. Pemba-ngunan KPH
Transparansi Partisipasi Akuntabilitas Koordinasi Profesionalisme dan Kompetensi
B.
Rehabilitasi dan Reklamasi hutan 1. Rehabilita-si/ rekla-masi di hutan produksi
Transparansi
Partisipasi Akuntabilitas Koordinasi Profesionalisme dan Kompetensi
64
Pengukuran Good Forest Governance Indonesia
Kebijakan/ Aturan/ ImplemenProgram/ tasi Lembaga
Gap
Saran kebijakan
Skor No
Isu/sub komponen
2. Rehabilitasi/ reklamasi di hutan lindung
Prinsip
Kebijakan/ Aturan/ ImplemenProgram/ tasi Lembaga
Gap
Saran kebijakan
Transparansi
Partisipasi Akuntabilitas Koordinasi Profesionalisme dan Kompetensi 3. Rehabilitasi/ reklamasi di hutan konservasi
Transparansi
Partisipasi Akuntabilitas Koordinasi Profesionalisme dan Kompetensi C.
Perlindungan hutan 1. Penanganan illegal logging
Transparansi Partisipasi Akuntabilitas Koordinasi Profesionalisme dan Kompetensi
2. Pengendalian perambahan
Transparansi Partisipasi Akuntabilitas Koordinasi Profesionalisme dan Kompetensi
3. Pencegahan kebakaran hutan
Transparansi
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
65
Skor No
Isu/sub komponen
Prinsip
Partisipasi Akuntabilitas Koordinasi Profesionalisme dan kompetensi D.
Konservasi kehati 1. Konservasi kehati flora
Transparansi Partisipasi Akuntabilitas Koordinasi Profesionalisme dan kompetensi
2. Konservasi kehati fauna
Transparansi Partisipasi Akuntabilitas Koordinasi Profesionalisme dan kompetensi
D.
Pemanfaatan Hutan 1. Pemanfaatan kawasan hutan
Transparansi Partisipasi Akuntabilitas Koordinasi Profesionalisme dan Kompetensi
2. Pemanfaatan kayu
Transparansi Partisipasi
66
Pengukuran Good Forest Governance Indonesia
Kebijakan/ Aturan/ ImplemenProgram/ tasi Lembaga
Gap
Saran kebijakan
Skor No
Isu/sub komponen
Prinsip
Kebijakan/ Aturan/ ImplemenProgram/ tasi Lembaga
Gap
Saran kebijakan
Akuntabilitas Koordinasi Profesionalisme dan Kompetensi 3. Pemanfaatan HHBK
Transparansi Partisipasi Akuntabilitas Koordinasi Profesionalisme dan Kompetensi
4. Pemanfaatan jasa lingkungan
Transparansi Partisipasi Akuntabilitas Koordinasi Profesionalisme dan Kompetensi
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
67
Lampiran 4. Matrik kriteria dan indikator kinerja good forestry governance No 1.
2.
Isu Pemantapan kawasan hutan
Rehabilitasi dan reklamasi hutan
Sub komponen Tata batas
68
Perlindungan hutan
Tata batas hutan diakui semua pihak
Indikator •• Menurunnya konflik tata batas kawasan hutan •• Tidak adanya tumpang tindih kawasan hutan
Tenurial
Kejelasan sistem penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan
•• Diakui dan terjaminnya hakhak masyarakat dalam sistem penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan
KPH
Terbentuk dan beroperasinya KPH
•• Ada lembaga dan beroperasinya pengelola hutan di tingkat tapak
Rehabilitasi dan reklamasi di hutan produksi
Prosentase hidup tanaman rehabilitasi/reklamasi
•• Bertambahan tutupan hutan di kawasan hutan produksi
Rehabilitasi dan reklamasi di hutan lindung
3.
Kriteria
•• Berkurangnya lahan kritis di hutan produksi Prosentase hidup tanaman rehabilitasi/reklamasi
•• Kesehatan DAS terjamin
•• Bertambahan tutupan hutan di hutan lindung •• Berkurangnya lahan kritis di hutan lindung •• Kesehatan DAS terjamin
•• Bertambahan tutupan hutan di hutan konservasi
Rehabilitasi dan reklamasi di hutan konservasi
Prosentase hidup tanaman rehabilitasi/reklamasi
Penanganan illegal logging
Tertangkap dan tertanganinya illegal logging
Penanganan perambahan
Terinventarisasi dan tertanganinya perambahan hutan
•• Menurunnya angka perambahan kawasan
Penanganan kebakaran hutan
Teridentifikasi, pencegahan dan penanganan kebakaran hutan
•• Menurunnya kejadian kebakaran hutan
Pengukuran Good Forest Governance Indonesia
•• Berkurangnya lahan kritis di hutan konservasi •• Kesehatan DAS terjamin
•• Menurunnya kejadian illegal logging
No
Isu
4.
Konservasi kehati
5.
Pemanfaatan hutan
Sub komponen
Kriteria
Indikator
Konservasi flora
Terjaga dan terpeliharanya beberapa flora langka yang dilindungi
•• Meningkatnya dan tertanganinya pengawetan, penangkaran, pemanfaatan dan peredaran tumbuhan liar dilindungi
Konservasi fauna
Terjaga dan terpeliharanya beberapa fauna langka yang dilindungi
•• Meningkatnya dan tertanganinya pengawetan, penangkaran, pemanfaatan dan peredaran satwa liar dilindungi
Pemanfaatan kawasan (HKM, HTR, HD)
Dikelolanya kawasan hutan secara optimal oleh masyarakat
•• Peningkatan kesejahteraan masyarakat hutan
Pemanfaatan kayu
Terpenuhinya produksi kayu secara lestari
•• Peningkatan produksi kayu
Pemanfaatan HHBK
Terkelolanya dan termanfaatkannya HHBK secara lestari
•• Peningkatan HHBK
Pemanfaatan jasling
Terkelolanya dan termanfaatkannya jaslingsecara lestari
•• Termanfaatkan dan diapresiasinya jasa lingkungan
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
69
6 Tata Kelola Kawasan untuk Mendukung KPH1 Oleh: Dodik Ridho Nurochmat Pusat kajian Strategis dan Politik Pertanian, Institut Pertanian Bogor Jika kita review sama-sama, ada perbedaan pengertian yang sangat mendasar tentang penguasaan hutan, pengurusan hutan, pengelolaan hutan dan pemanfaatan hutan. Konstitusi kita mengamanatkan penguasaan hutan dan sumber daya alam yang lain itu dikuasai oleh Negara. Tetapi kemudian dalam pengertian UU 41 tahun 1999 penguasaan hutan itu direduksi menjadi pengurusan hutan sebagaimana yang kita bangun sekarang. Cakupan penguasaan hutan bukan termasuk sumber daya alam yang dikuasai oleh Negara digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Tadi dalam diskusi di awal agak rancu juga sebenarnya. Rakyat itu agak berbeda dengan masyarakat. Saya kira sosiolog lebih paham itu. Kalau orang Papua itu lebih wise: kalau desa adat itu punya rakyat; desa dinas punya masyarakat; gereja punya jemaat.
Kalau kita bicara demokrasi dan sebagainya ada konteks equality. Kemudian di dalam penguasaan hutan, sumber daya hutan dan sumber daya alam yang ada di dalamnya dikuasai Negara dalam konteks untuk kemakmuran rakyat. Ada konteks equality di situ.
Bagaimana pengurusan hutan dan kepemilikan hutan? Status hutan Negara yang tidak dibebani hak itu diurus oleh Negara, jadi pengurusan hutan. Kalau bicara UU 41 dibandingkan dengan UU 5 tahun 1967, hutan semakin sedikit karena ada terminologi pengurusan hutan, ‘hutan makin kurus’. Tetapi tidak otomatis hutan Negara itu adalah aset atau kekayaan Negara. Ini yang berbahaya, tahun lalu kalau tidak salah Kementerian Kehutanan ditanya/ditantang: apakah hutan menjadi aset Negara atau tidak? Kalau aset Negara, Bapak punya satu printer rusak saja itu harus ada pemusnahan aset dan itu harus menggunakan azas-azas pengelolaan kekayaan Negara. Ini rumit sekali. Diberikan HKm, itu hutan Negara-HKm, maka ia harus masuk PNBP. Itu yang terjadi.
Disampaikan pada Seminar Nasional Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Hutan yang Baik. Jakarta, 7 April 2014
1]
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
71
Di Negara kita ‘biasa’ sesuatu yang sudah berjalan baik tapi dianggap takut menyalahi aturan, maka lebih baik berjalan tidak baik tapi sesuai dengan aturan. Banyak sekali seperti itu.
Hutan hak itu memiliki alas hak dan hutan adat sesuai dengan uji materi MK itu dipisahkan dari hutan Negara. Sebetulnya UU kehutanan ini kita sudah prediksi sejak lama. Sejak tahun 2006 saya ikut mengawal rancangan revisi UU yang kita sadari itu sudah sangat compang-camping. Tetapi karena usulan berasal dari DPD, hasilnya seperti kita ketahui bersama, Alhamdulillah tiga kali uji materi dan tiga kali kalah. Ini yang terjadi, dan ini merupakan konsekuensi, baik legitimasi maupun legalitas yang sangat signifikan dan harus kita perhatikan.
Jadi masalah tenurial tidak hanya terkait dengan masalah penguasaan lahan dan sumber daya alam, tetapi juga meliputi permasalahan akses pengelolaan sumber daya alam. Masalah tenurial akan terus ada sepanjang hidup dan kehidupan manusia selama dia masih tergantung pada lahan. Sebetulnya yang bisa kita ikhtiarkan itu bukan menyelesaikan masalah tenurial tetapi mengatasi masalah tenurial. Kalau pegadaian mempunyai semboyan ”Mengatasi Masalah Tanpa Masalah”. Selama kita masih memerlukan ruang hidup, tadi Dr. Lukas menyebut dalam bukunya: lebenstraum (bahasa Jerman: ruang hidup), sehingga dicapai keselarasan. Masalah tenurial tidak statis, dia dinamis. Jadi pasti akan selalu ada, tidak bisa diselesaikan tapi kita bisa mengatasi masalah. Tentu saja masalah ini harus semakin sedikit. Jadi masalah dinamika tenurial pasti akan tergantung pada konteks ruang dan waktu. Ini yang harus kita garis bawahi.
Ada persoalan yang sangat mendasar, kawasan hutan banyak diidentikkan dengan hutan Negara, padahal tidak ada sama sekali. Baca UU manapun tidak ada, termasuk dalam UU Kehutanan. Kawasan hutan itu adalah hutan tetap, kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan tetap (bukan menteri tetapi pemerintahà baca Pasal 1 UU Kehutanan). Kalau tata ruang menetapkan itu sebagai kawasan hutan, maka dia menjadi kawasan hutan. Kalau hutan Negara mungkin Menteri yang membidangi masalah kehutanan. Hutan tetap bisa berupa hutan Negara, hutan hak maupun hutan adat. Kegalauan kita terhadap putusan MK 35 bahwa hutan adat terlepas dari hutan Negara kemudian khawatir disewakan kepada tambang dan sebagainya, sebetulnya tidak beralasan ketika basis berpikir kita adalah fungsi, bukan status. Karena perubahan status tidak otomatis mengubah fungsi.
Fungsi hutan melekat pada hutan Negara, hutan hak dan hutan adat. Sama dengan sawah. Yang tidak boleh adalah merubah fungsi, memperjualbelikan lahan hak (misalnya sawahà hak milik). Misalnya saya boleh memperjualbelikan sawah pada Bu Mira tetapi tidak otomatis ketika berpindah hak, kemudian Bu Mira berhak 72
Tata Kelola Kawasan untuk Mendukung KPH
menjual pada developer untuk membangun perumahan. Itu yang harus kita tegakkan. Jadi perubahan status tidak otomastis diikuti perubahan fungsi, oleh karena itu kita harus dorong pengakuan terhadap hak-hak masyarakat, baik masyarakat adat maupun masyarakat yang lain, baik akses maupun kepemilikan. Terhadap hutan maupun lahan yang lain. Pada saat yang bersamaan, kewajiban dan tanggung jawab juga harus ditegakkan. Kalau ada masyarakat hukum adat sudah diberikan hak, kemudian di situ tidak hanya di hutan produksi, tetapi ada di hutan lindung dan bahkan kawasan konservasi. Kawasan konservasi memang ada yang bersentuhan dengan masyarakat hukum adat seperti di Halimun-Salak, Bukit Tigapuluh, Bukit Duabelas dan sebagainya. Ketika dia sebagian besar kawasan konservasi, selama dia tidak berubah fungsinya, tidak boleh. Dia boleh memanfaatkan itu sepanjang itu sesuai dengan fungsi konservasi. Bagaimana teknisnya? Itu bisa dibicarakan lebih lanjut. Tetapi prinsipnya seperti itu, tidak boleh mengkonversi menjadi tambang dan sebagainya. Kalau melakukan pelanggaran, siapapun di Republik ini (perusahaan, masyarakat perorangan, masyarakat adat) harus berada pada hukum yang sama. Dicabut haknya misalnya, kalau dia oknum mungkin bisa dimulai dari tingkat administratif. Kalau ada unsur pidana, pidanakan, siapapun dia. Maka hukum akan tegak, tetapi sebelum tegak itu dibenahkan dulu. Jangan menegakkan hukum yang salah. Karena kegagalan kebijakan itu bisa disebabkan tiga sebab: kebijakan yang salah; implementasi yang salah; nasib kebijakan itu yang salah. Jangan sampai kalau kita di lapangan selalu mengatakan: kalau kebijakannya itu pasti baik, implementasinya yang salah. Siapa bilang? Yang celaka kalau menegakkan/ menjalankan dengan sebaik-baiknya kebijakan yang salah. Kebijakan kita perbaiki dulu, kita hargai hak-hak masyarakat dan tegakkan aturan. Jangan tegakkan aturan dulu, lalu benar atau salah urusan belakangan. Kebenaran itu adalah produk kekuasaan, beda dengan kebaikan. Kawasan hutan di luar tiga fungsi tadi disebut Areal Penggunaan Lain (APL). Kita orang kehutanan kalau komunikasi dengan pihak lain seringkali kurang nyaman karena terminologi APL; KBNK (Kawasan Budidaya Non Kehutanan). Mindset selalu status, padahal tata ruang itu mindset-nya harus fungsi.
Oleh karena itu setelah ada uji materi MK, status hutan ada hutan Negara, hutan hak dan hutan adat. Kawasan hutan Negara adalah suatu kebetulan dan menjadi mitos. Sebetulnya tidak memiliki landasan hukum sama sekali. Fungsi hutan tidak melekat pada kawasan hutan sebagai hutan Negara tetapi kawasan hutan sebagai hutan tetap. Saya mendapat laporan dari kawan-kawan Baplan untuk Jawa Tengah, itu hutan hak sudah dimasukkan sebagai kawasan hutan dengan Perda. Itu bagus, tetapi harus ada ‘kemasan’ yang harus dilihat. Mana yang jadi kawasan hutan. Sama dengan pertanian, kawasan budidaya pertanian itu tidak harus dimiliki dan diurus oleh Kementerian Pertanian. Memang ada dualisme administratur pertanahan. Kalau saya mengusulkan kementerian sektoral itu mengurus sektoral, Menteri Kehutanan bukan Menteri
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
73
Kawasan Hutan, Menteri Pertanian bukan Mneteri Budidaya Pertanian/Kawasan Pertanian. Sedangkan pengurusan lahan di seluruh penjuru dunia memang harus ada otoritas tunggal penguasaan, sehingga tidak menjadi NKRI (Negara Kehutanan Republik Indonesia) lagi. Terkadang kita harus introspeksi juga. Bagaimana kawasan hutan dalam perspektif rencana tata ruang? Status kawasan hutan dalam tata ruang sebetulnya sama dengan kawasan budidaya pertanian, kawasan pemukiman, kawasan perindustrian. Semestinya kita menempatkan rencana tata ruang wilayah sebagai konsep tunggal dalam penataan ruang. Masalahnya sampai saat ini ada dua administrator, ada Kementerian Kehutanan dan ada DPR. Ini yang secara teknis menyulitkan.
Secara teknis, pelepasan status ini berbahaya. Secara filosofis memang baik, tetapi secara teknis pelepasan status kawasan ini cukup berbahaya. Di dalam rencana kehutanan tingkat nasional RKTN 2011 disebutkan ada 17,9 juta hektar yang siap dilepas untuk APL. Saya tidak setuju kalau kemudian ada tambahan pelepasan lagi. Bukan masalah pelepasannya, tetapi kalau terjadi pelepasan hutan siapa yang mendapatkan? Pernahkan masyarakat kecil mendapatkan akses terhadap pelepasan kawasan? Tidak pernah. Setidaknya saya belum pernah dengar. Pasti yang mendapatkan akses pelepasan kawasan hutan adalah korporasi. Oleh karena itu dengan sangat menyesal saya harus sampaikan bahwa sisanya itu tetap dalam kawasan hutan tetapi harus ada akses pemanfaatan yang seluas-luasnya. Dalam bentuk apa? Dalam bentuk ijin usaha pemanfaatan hutan (mahzab dalam UU Kehutanan). Harus ada kebesaran jiwa bagi kita semua bahwa pemanfaatan hutan itu bukan berarti semua hasil hutan bukan kayu hanya gondorukem/terpentin. Tadi Pak Sekjen sudah menyampaikan bahwa di China bisa seperti itu. Jangan takut untuk mengatakan “kopi hutan, teh hutan, cokelat hutan, dan sebagainya” sepanjang itu tidak menyalahi fungsi keruangan. Ada perubahan cara berpikir yang sangat berbeda dalam memandang perambahan. Tadi disebutkan (mohon maaf) Mas Lukas, saya kurang sepakat kalau hanya menghitung kerugian akibat perambahan. Sebetulnya kita punya banyak sekali keuntungan akibat perambahan. Seminggu yang lalu saya ada rapat tentang revisi peraturan, Salah satu direktur dalam kehutanan yang sangat open mind mengatakan “coba hitung kopi yang dihasilkan dari hutan lindung di Lampung, berapa kira-kira?” ternyata ketika kita hitung secara kasar nilainya per tahun Rp 1,8 triliun, yang di Lampung saja tanpa campur tangan pemerintah sama sekali. Apalagi kalau di China yang jalan di hutan dibuat pakai semen, itu berapa? Kalau di China jelas masuknya. Kalau kita nggak jelas masuknya, PDB kehutanan bukan, PDB pertanian bukan. Kalau di China justru difasilitasi, dibikinkan pabrik pengolahan kopi, teh. Kemudian mengundang kita, bule-bule simposium menunjukkan inilah forestry. Walaupun seperti perambahan, tetapi tidak ada yang berani membantah karena China punya standing position. Itu mempunyai premium price tanpa pakai sertifikasi. Karena apa? 74
Tata Kelola Kawasan untuk Mendukung KPH
Namanya menjadi green tea, green coffee, ini bukan dari kebun lho, ini kopi hutan, ini teh hutan. Itulah saya pikir-pikir kenapa kita disuruh belajar sampai negeri China.
Saya kira yang paling penting adalah mempertahankan fungsi kawasan hutan. Kenapa? Karena kita tidak pernah galau. Kementerian Kehutanan dengan data resmi (bisa dicek, mungkin berubah sedikit), kawasan hutan yang tidak berhutan itu 43 juta hektar. Tapi kita tenang saja, selama statusnya masih kawasan hutan, masih nggak masalah. Walaupun kenyataannya di lapangan menjadi lapangan sepakbola, menjadi desa. Saya rasa ini kegalauan yang nyata. Fungsinya harus kita kembalikan, status bisa siapa saja. Bisa hutan adat, bisa perorangan, sepanjang fungsinya tetap, tidak masalah. Bahkan hutan lindung di Himalaya (saya pernah ke sana) ada seperti ‘Bapak Asuh’. di Gunung Walat (tempat penelitian IPB) ada pendopo village, ada tempat foto yang ada semacam ‘Hutan Asuh’. Tapi ke depan tren-nya banyak perusahaan, perorangan yang punya hutan untuk kebanggaan/pride untuk outbond, sepanjang ia tidak menyalahi fungsi, mengapa tidak? Daripada di klaim sebagai hutan Negara tapi kenyataannya compang-camping. Ini yang menjadi masalah.
Tadi kita bicara masalah kemiskinan dan segala macam. Memang masalahnya sulit. Tidak bisa kita selesaikan dalam bincang-bincang ini. IAAC saja mungkin tidak bisa, apalagi di sini. Kita ini hidup dalam mitos. Memang kita ‘luas’ tetapi unfortunately lebenstraum tadi tidak dimaknai sebagai lahan. Tenure itu lahan, belum bisa kita hidup di laut. Masalahnya Indonesia itu sebagian besar laut. Bukan tidak bermanfaat tapi dalam konteks keruangan, kita hanya 192 juta hektar. Sementara jumlah penduduk Indonesia saat ini sebanyak 244 juta, mungkin sekarang sudah 247 juta. Kalau misalnya kita bagi seluruh ruangan di Indonesia ke dalam jumlah kepala, maka tidak sampai satu hektar, hanya 0,8 hektar. Kalau kita bicara lebih spesifik ke pertanian, sekitar 0,3 hektar. Lebih sempit lagi ke tanaman pangan, hanya 400 m2. Kalau kita lihat di luar negeri, 40 hektar/kepala keluarga itu dibilang petani miskin. Jangan dipersulit petani kita. Sudah lahannya sempit, nggak ada subsidi, disaingi oleh produk impor, akses sulit. Ini yang menurut saya harus kita pikirkan dengan dewasa.
Konsep KPH yang ideal itu tidak seragam. Tidak ada seragamisasi. Termasuk desa dan sebagainya. Ada beberapa hal yang saya sempat tulis sebelum UU Desa, judulnya Voting Desentralisasi Pemerintahan Desa. Di lapangan kita katakan pemberian kewenangan terhadap desa itu tidak selalu disikapi dengan gembira. Di Sumbar ada inisiatif mendelegasikan/mendesentralisasikan sekitar 120 kewenangan oleh kabupaten ke desa. Tapi ternyata desanya nggak sanggup. Masalahnya di dalam sistem perundang-undangan kita ada sistem devolusi kewenangan, tapi tidak ada sistem untuk mengembalikan kewenangan. Wali Nagarinya tanya “Pak ini kalau kami tidak sanggup bagaimana caranya mengembalikan kewenangan?” Barangkali saya perlu dicerahkan juga. Kita juga keliru dengan memberikan kewenangan pada entitas yang memang tidak memiliki kapasitas untuk itu.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
75
Ada hutan Negara dan ada non-hutan Negara. Ini kan kawasan hutan sebetulnya. Bagaimana tugas KPH dalam proses revisi PP 44 tentang perencanaan kehutanan? Fungsinya sesuai dengan Kemendagri 61, isinya hanya koordinasi, integrasi dan sinkronisasi. Ketika kawasan hutan berada di dalam hutan milik dan hutan adat, tetap ada, sama seperti sawah, tidak bisa lepas tangan siapapun pemiliknya. Supaya efektif lihat yang bawah itu, jadi rasionalitasnya harus ada peraturannya dan pelaksanaannya. Saya ingin coba kita kritisi KPH itu seolah-olah solusi masalah dari segala masalah di kehutanan. Apakah kemudian KPH itu bisa menyelesaikan masalah? Secara filosofis, KPH itu membagi habis semua kawasan hutan dalam wilayah-wilayah pengelolaan yang accessible untuk pengawasan dan sebagainya. Tetapi kalau kita lihat jumlah KPH yang dicanangkan kehutanan (coba tolong dikoreksi) kalau tidak salah 600 KPH. Kalau wilayah hutan ini kita bagi ke dalam 600 KPH, saya hitung luasannya sekitar 216.000 hektar. Kemudian apakah setelah organisasi, peraturan dan pelaksanaannya mampu membawa secara efektif? Kalau di kebun itu mudah hitungannya, satu kepala itu 5 hektar. Saya tidak tahu kalau di kehutanan, mungkin bisa 10 hektar atau lebih (bisa ditanya ke Perum Perhutani). Coba kita bagi, kalau 215.000 dibagi 10 itu sekitar 21.000. Untuk KPH perlu karyawan sekitar 21.000. Okelah setengahnya saja 11.000, mungkin nggak satu KPH mengangkat 11.000 karyawan supaya betul-betul hutan itu dikelola dengan baik, bukan hanya pengelolaan di atas kertas. Kesimpulan:
4. Sistem tenurial kehutanan berbasis status kawasan “Hutan Negara” saat ini memiliki legitimasi yang semakin lemah dan sandaran legalitas yang rapuh. 5. Rekonstruksi sistem tenurial kehutanan yang mengedepankan fungsi hutan adalah keniscayaan untuk menjamin kelestarian hutan.
76
Tata Kelola Kawasan untuk Mendukung KPH
7 Membumikan Reforma Agraria di
Sektor Kehutanan: Menuju Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat1 (Grounding of Agrarian Reform in the Forestry Sector: Towards CommunityBased Forest Management) Oleh: Ismatul Hakim, Lukas Rumboko Wibowo & Dewi Ratna Kurnia Sari Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan
e-mail:
[email protected];
[email protected];
[email protected]
Abstract Agrarian reform since the early times of development demands of agrarian justice, justice for communities in accessing natural resources including land and forest. There are community rights to forests and land to be distributed to the local people. Therefore, the State has a role to organize agrarian justice, not to make forest and land were damaged and the people are poor and let them left aside, while favoring entrepreneurs. Countries need to boost the rights and obligation of communities to natural resources and forest land by forming a government regulation governing the rights of communities to forest management (forest tenure), and of course the obligations also in building community-based forest management (CBFM). Keywords: Agrarian reforms, forest tenure, agrarian justice, CBFM.
Disampaikan pada Seminar Nasional Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Hutan yang Baik. Jakarta, 7 April 2014
1]
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
77
Abstrak Reforma agraria sejak awal menuntut adanya keadilan agraria, keadilan untuk masyarakat dalam mengakses sumber daya alam termasuk hutan dan lahan. Ada hakhak masyarakat terhadap hutan dan lahan yang harus didistribusikan manfaatnya kepada masyarakat. Oleh karena itu Negara punya peran untuk menata keadilan agraria, jangan sampai hutan dan lahan mengalami kerusakan dan rakyatnya miskin dan di-anak tirikan, sementara pengusaha di-anak emaskan. Negara perlu mendongkrak hak-hak masyarakat terhadap sumber daya alam (SDA) hutan dan lahan dengan membentuk Peraturan Pemerintah yang mengatur hak-hak kelola masyarakat terhadap hutan (forest tenure), tentu dengan kewajiban-kewajibannya pula dalam membangun pengelolaan hutan berbasis masyarakat (CBFM = community based forest management). Kata kunci: Reforma agraria, forest tenurial, SDA, CBFM.
7.1 Pendahuluan Sejak dibuatnya Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967, nafas dan semangat pengelolaan hutan hingga saat ini hanya semata untuk tujuan ekonomi. Lahirnya UU tersebut kurang lebih berbarengan dengan lahirnya UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), yang keduanya kemudian direvisi pada tahun 1970. Melalui ketiga UU tersebut maka hutan alam di luar Jawa dibagi-bagi seperti ‘kue’ kepada para pengusaha swasta asing dan dalam negeri untuk diambil hasil hutannya berupa kayu. Lahirnya kesepakatan bersama antara beberapa Menteri termasuk Menteri Kehutanan menyangkut konsep Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang didasarkan pada PP No. 33 Tahun 1970 dan Peraturan Menteri Pertanian tahun 1980 dan 1981 bahkan semakin memperkuat pelaksanaaan ketiga Undang-Undang tersebut, bahkan hutan boleh berubah fungsi untuk keperluan pembangun di sektor lain yang memerlukan. Bahkan arah dari kebijakan alih fungsi, tukar-menukar kawasan hutan dan pelepasan lainnya sudah tidak terkontrol. Hal ini terlihat dari banyaknya kasus akhir-akhir ini tentang alih fungsi hutan, seperti kasus Hambalang yang melibatkan Menpora Andi Malarangeng, kasus Jonggol yang melibatkan Bupati Bogor Rahmat Yasin, kasus perluasan Tata Ruang di Propinsi Riau yang melibatkan Gubernur Riau Anas Ma’mun. Munculnya kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa kepedulian selama ini untuk proses tukar-menukar dan alih fungsi kawasan hutan hanya bisa kalau yang memohonnya adalah pengusaha, yang ternyata penuh dengan praktik gratifikasi. Dengan munculnya kasus-kasus tersebut maka sudah menjadi preseden bahwa semua program dan kebijakan alih fungsi ataupun alih status 78
Membumikan Reforma Agraria di Sektor Kehutanan: Menuju Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
kawasan hutan bercirikan gratifikasi, sehingga akan menjadi sasaran empuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tidak ada prinsip dasar policy yang meperhitungkan aspek kelestarian ekologis/ lingkungan dan sosial budaya masyarakat lokal. Bahkan hak-hak masyarakat lokal terkait dengan kearifan lokal dan kelestarian hutan ikut tergerus oleh kerakusan ekonomi yang bercorak kapitalistis dan materialistis. Konsensus Forest for People yang dicapai dalam Kongres Kehutanan Sedunia tahun 1978 di Jakarta ataupun Konsep Sustainable Forest Management (SFM) hanya merupakan slogan dan kebijakan pinggiran dalam konteks politik pengelolalan hutan di tanah air. Negara telah gagal mengurus dan mengelola hutan sehingga terjadi degradasi hutan dan deforestasi atau kerusakan hutan alam di mana-mana. Hilangnya sumber-sumber mata air di wilayah hulu (hutan) saat ini dirasakan oleh masyarakat khususnya yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Setelah hutan rusak di mana-mana, maka yang akan kita hadapi di masa depan adalah krisis air karena hutan sebagai pengatur tata air (fungsi hidro-orologis) semakin terancam, jika saat ini dan ke depan kita tidak cepat dan tidak serius mengelola hutan dan kawasan hutan dengan baik. Ke depan aspek tenurial (hak kelola masyarakat) hutan dan kawasan hutan menjadi sangat penting, untuk mendorong keberhasilan kita dalam mengelola hutan. Sistem pengelolaan hutan yang diharapkan ke depan adalah berbasis masyarakat, tidak lagi semata-mata berbasis ekonomi dan pengusaha sebagai pelaku utamanya. Kecenderungan lambannya capaian dalam pemberian ijin pengelolaan hutan oleh masyarakat seperti program Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan Desa yang hanya mencapai 2% menunjukkan ketidak-konsistenan kita dalam menerapkan konsep Forest for People. Untuk itu upaya peningkatan kesadaran para pihak terutama para pelaksana (eksekutif) di birokrasi khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan birokrasi Pemerintahan di daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) menjadi faktor yang sangat penting. Membangun hutan berbasis masyarakat tidak akan berjalan dengan baik tanpa kejelasan tenurial bagi masyarakat, pemberian ijin pengelolaan dan pengusahaan hutan dalam jumlah luas yang tidak transparan akan semakin mengancam keamanan dan perlindungan hutan dan kawasan hutan. Artinya, meskipun ijin-ijin terhadap pengelolaan hutan (IUPHHK dan IUPHKHTI) sudah saatnya memberikan perhatian kepada bagian atau hak kelola masyarakat lokal.
7.2 Konsep Dasar Forest Tenurial Land tenure adalah seperangkat property rights yang berhubungan dengan lahan dan kelembagaan yang menegakkan hak-hak tersebut. Bentuk dari land tenure merujuk pada aturan, norma yang berhubungan dengan sejumlah entitas seperti individu, sebuah lembaga publik, sebuah perusahaan swasta, sekelompok individu yang
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
79
bertindak secara kolektif, pengaturan secara komunal atau sekolompok komunitas adat (Robinson et al., 2011).
Secara politis, land tenure merupakan sebuah isu yang sensitif dalam proses perubahan, khususnya dalam transisi ekonomi dan sosial. Misalnya, dari rejim sosialis menuju ekonomi pasar, dari apartheid menuju sistem demokratis, dari perang sipil menuju perdamaian (Korf, 2002). Land tenure adalah “the living issue’’ yang tidak lekang oleh perubahan zaman dan bahkan akan semakin kontekstual dan menemukan posisinya dalam diskursus pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan pasca kolonial dan di era globalisasi. Robinson et al. (2011) menyatakan walau ada banyak faktor yang mempengaruhi secara signifikan pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan seperti pertumbuhan penduduk dan urbanisasi, dan faktor-faktor ekonomi, struktur perekonomian, keterkaitan dengan ekonomi internasional dan ideologi politik dari sebuah negara, namun penguasaan lahan adalah faktor lain yang mempengaruhi keberlanjutan dari pemanfaatan sumber daya yang merupakan cross cutting issues dari dimensi ekonomi dan sosial. Tidak bisa dipungkiri, bagi Silpakar (2008), land tenure adalah bagian dari struktur sosial, politik dan ekonomi yang penting. Di sisi lain, dalam perdebatan intelektual, sebagian besar literatur tentang land tenure berasal dari dua disiplin ilmu utama. Land tenure seringkali dianalisa dari perspektif ekonomi politik pembangunan dari sebuah negara yang baru merdeka atau dari titik pandang antropologi dan sosial, sementara pembahasan land tenure dan pemanfaatan sumber daya yang bekelanjutan dari spektrum konservasi, literaturnya sangat terbatas (Robinson et al., 2011). Pemahaman awal tentang konsep land tenure adalah langsung pada pengertian tentang sebuah sistem dari beragam hak yang mengatur kepemilikan atau penggunaan dan pemanfaatan lahan (Robinson et al., 2011). Land tenure adalah sebuah turunan dari konsep penguasaan sumber daya alam yang esensinya merujuk pada suatu kondisi dengan mana sumber daya hutan dikuasai dan dimanfaatkan (Shivje et al., 1998). Tenure adalah sebuah konsep yang seringkali diasosiasikan di Amerika Latin sebagai memegang hak (title) atas lahan dan sumber daya alam. Esensinya adalah merujuk pada siapa yang memiliki hak pada apa (Vargas, 1998). Konsep dari penguasaan (tenurial) adalah konstruksi sosial yang mendefinisikan hubungan antara individu dan berbagai kelompok individu melalui beragam kewajiban dan hak, yang mana definisinya berkaitan dengan kontrol dan penggunaan lahan. Tenurial biasanya juga dipahami sebagai bundle of rights atau hak-hak tertentu untuk melakukan hal-hal tertentu dengan lahan atau property (Vargas, 1998; Bruce, 1993). Pada praktiknya, land tenure seringkali digunakan secara bergantian dengan property rights, padahal secara esensial ada perbedaan. Property rights merujuk pada 80
Membumikan Reforma Agraria di Sektor Kehutanan: Menuju Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
seperangkat hak yang mengarahkan pemanfaatan, pengelolaan dan pengalihan atau transfer asset sementara land tenure adalah seperangkat kelembagaan dan kebijakan yang menentukan secara lokal bagaimana lahan dan sumber dayanya dapat diakses, siapa yang memegang hak dan menggunakan ataupun memanfaatkan sumberdaya tersebut, untuk berapa lama dan di bawah kondisi seperti apa (Bruce et al., 2010 dalam Robinson et al., 2011). Kalau berbicara secara lebih umum, land tenure meliputi dua aspek yakni sebagai dokumen legal yang berasal dari pengaturan atau legislasi pusat dan secara informal berasal dari hak-hak kepemilikan atau penguasaan yang dibangun secara oral dan konsensus masyarakat (Robinson et al., 2011).
Relasi penguasaan lahan cukup bagus terdefinisikan dan dapat ditegakkan dalam pengadilan hukum formal atau melalui struktur masyarakat adat dalam sebuah komunitas. Namun, ada kemungkinan juga bahwa land tenure kurang terdefinisikan secara baik sehingga memungkinkan terbuka untuk diekploitasi (Silpakar, 2008). Oleh sebab itu, penguasaan lahan didefinisikan dalam dua aspek yakni penguasaan dan kepemilikan yang meliputi relasi hukum antara manusia dengan tanah. Penguasaan dapat dilakukan oleh berbagai pihak, baik oleh seseorang secara individual, pemerintah maupun badan-badan swasta. Aspek penguasaan tersebut mengatur bentuk-bentuk hak. Dengan demikian, terutaman di Indonesia, penguasaan atas tanah mencakup tiga hak, yaitu hak ulayat, hak perseorangan dan badan hukum. Hak ulayat dipegang oleh masyarakat adat yang memiliki pola kepemilikan komunal (Nasir, 2012). Food Agricultural Organisation (2002) meringkas dan mendefinisikan pengertian land tenure sebagai sebuah jaringan kepentingan yang saling bersinggungan yang terdiri dari: 1. Kepentingan yang mendominasi atau menggantikan: ketika kekuasaan kedaulatan, misalnya sebuah bangsa atau komunitas masyarakat memiliki kekuasaan untuk mengalokasikan lahan melalui perampasan. 2. Overlaping kepentingan: ketika beberapa pihak diberikan hak yang berbeda pada sebidang lahan yang sama. 3. Kepentingan yang saling melengkapi: ketika beragam pihak sharing kepentingan yang sama dalam sebidang lahan yang sama (misalnya, hak yang sama pada padang penggembalaan). 4. Kompetisi kepentingan: ketika para pihak yang berbeda saling berkompetisi demi kepentingan pada sebidang lahan yang sama; ketika dua pihak saling mengklaim untuk secara ekslusif menggunakan sebidang lahan pertanian.
7.3 Berbagai Tipologi Tenurial Dalam Kawasan Hutan Tenurial di dalam kawasan hutan sangat erat kaitannya dengan keberadaan masyarakat dalam bentuk komunitas kampung atas desa di dalam dan di sekitar
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
81
kawasan hutan. Berdasarkan sejarah penguasaan tanahnya, kita dapat membuat empat tipologi desa/kampung hutan itu. Pertama, desa/kampung yang telah ada di dalam kawasan hutan sebelum penunjukan kawasan. Desa/kampung ini terbentuk karena kebijakan pemerintah kolonial/nasional atau secara tradisional; kedua, desa/kampung yang ada setelah penunjukan/penetapan kawasan hutan; ketiga, desa/kampung yang ada sebelum perubahan fungsi kawasan/perluasan penunjukan kawasan; keempat, desa/kampung yang ada setelah perubahan fungsi kawasan/perluasan kawasan hutan (Safitri, 2013). Perencanaan dalam pengelolaan kawasan hutan berbasis tenurial lebih menekankan pada pendekatan bottom-up. Semakin dekat otoritas penguasaan lahan/ kawasan hutan dengan lapangan (site) akan semakin cepat, mudah, akurat, tepat dan terarah pada sasarannya, sehingga untuk setiap kawasan ada pengelola atau penanggung jawab lapangan agar kawasan/lahan hutan tidak terlantar dan terurus dengan baik. Otoritas penguasaan dan wewenang tanggung jawab pengelolaan kawasan hutan harus berada di tingkat kabupaten/kota/propinsi, tergantung pada satuan lanskap hutan sebagai satuan region ekosistem hutan. Sementara itu, berdasarkan lokasi dan aksesnya terhadap kawasan hutan, tipologi berikut menyederhanakan kategorisasi desa/kampung: pertama, desa/kampung yang seluruh wilayah pemukiman dan wilayah kelola ada di dalam kawasan hutan/areal izin kehutanan; kedua, desa/kampung yang sebagian wilayah pemukiman dan seluruh wilayah kelola ada di dalam kawasan hutan/areal izin; ketiga, desa/kampung yang seluruh wilayah pemukiman ada di tepi/sekitar kawasan hutan, tetapi seluruh wilayah kelola ada di dalam kawasan hutan/areal izin. Menurut Safitri (2013), komunitas yang ada di desa/kampung hutan itu terbagi dalam dua tipologi. Pertama adalah kelompok yang diistilahkan sebagai ‘komunitas di lingkungan hutan’ (forest communities), kedua adalah pemukim atau pengguna hutan (forest dwellers atau forest users). Forest communities merupakan kelompok orang yang hidup di dalam atau sekitar hutan serta memanfaatkan dan menggantungkan dirinya pada hutan dalam waktu yang lama, lintas generasi, dan mempunyai kesadaran yang dibangun bersama (shared-collective awareness) sebagai kelompok yang berbeda dengan kelompok lain. Apa yang disebut sebagai forest communities itu dapat, namun tidak selalu adalah masyarakat hukum adat. Komunitas lain yang telah ada di dalam lingkungan hutan dan menunjukkan kemampuannya membangun komunitas sosial dapat masuk ke dalam kategori ini. Sementara itu pemukim atau pengguna hutan (forest dwellers/users) adalah mereka yang secara individual berada di dalam dan sekitar hutan dan memanfaatkan hutan pada periode tertentu yang biasanya lebih singkat, tanpa membangun norma bersama dan kesadaran bersama sebagai satu kelompok masyarakat. Motivasi utama biasanya adalah kepentingan ekonomi (Safitri, 2010). 82
Membumikan Reforma Agraria di Sektor Kehutanan: Menuju Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
Dari cara-cara klaim mereka terhadap kawasan hutan, kita dapat menemukan enam tipologi masyarakat:
1. Masyarakat dengan klaim teritorial dan sumber daya berbasis kesejarahan dan identitas kebudayaan. 2. Masyarakat dengan klaim teritorial dan sumber daya berbasis penguasaan fisik. 3. Masyarakat dengan klaim teritorial dan sumber daya berbasis perizinan pemerintah. 4. Masyarakat dengan klaim teritorial dan sumber daya berbasis kebijakan migrasi pemerintah kolonial dan nasional. 5. Masyarakat dengan klaim sumber daya berbasis kemitraan dengan perusahaan. 6. Masyarakat dengan klaim teritorial dan sumber daya berbasis perlindungan politik dari elit-elit lokal. Perbedaan klaim menjadi sumber konflik di antara kelompok sosial, perbedaan klaim antar satu atau beberapa kelompok sosial dengan pengelola dan pengguna hutan lainnya (instansi pemerintah dan perusahan) juga menjadi sumber konflik. Konflik juga muncul antar level pemerintahan dan antar perusahaan pemegang izin. Apapun tipologi desa/kampung dan komunitasnya itu, data dan fakta di atas menunjukkan bahwa kawasan hutan bukan wilayah hampa sosial. Karena itu menjadikan kelompok masyarakat ini sebagai aktor utama pengelolaan hutan adalah keniscayaan. Kementerian Kehutanan telah memberikan sejumlah opsi bagi pengelolaan hutan oleh masyarakat. Dilihat dari berbagai opsi yang disediakan pemerintah, kita patut mengakui adanya perkembangan (Safitri, 2013). Kini, masyarakat desa/ kampung hutan dapat mengakses kawasan hutan dan mempunyai hak atas sumber daya di atasnya melalui sejumlah pilihan: Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat, PHBM, kemitraan bersama pemegang izin dan kolaborasi dengan pengelola kawasan konservasi. Meskipun demikian, capaian program pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang ada sekarang masih jauh dari harapan. Rendahnya capaian ini terjadi karena berbagai faktor: 1. Proses perizinan yang rumit ditambah dengan kurang memadainya informasi yang diperoleh masyarakat untuk mendapatkan izin. 2. Pendampingan kepada masyarakat belum merata. 3. Pemerintah daerah enggan mencadangkan kawasan hutan untuk perizinan pengelolaan hutan oleh masyarakat, sebaliknya ada kecenderungan untuk mengajukan pelepasan kawasan hutan demi memfasilitasi perizinan perkebunan dan pertambangan. 4. Lokasi yang dicadangkan untuk masyarakat masih berkonflik dengan pengguna hutan lainnya.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
83
5. Keengganan masyarakat untuk mengajukan izin atau terlibat dalam kegiatan PHBM karena tidak memperoleh akses yang mudah terhadap kayu, bahkan kayu yang mereka tanam sendiri. Dalam hal PHBM yang diselenggarakan Perum Perhutani, masyarakat enggan terlibat karena menganggap skema bagi hasil yang tidak adil. 6. Penolakan sebagian besar masyarakat hukum adat terhadap skema-skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat karena seluruh skema yang ada menempatkan hak-hak masyarakat ke dalam penguasaan negara atas kawasan hutan (hutan negara).
Untuk itu kita harus dapat mengantisipasi keenam permasalahan tersebut di atas. Tanpa upaya menyeluruh dalam menerapkan konsep tenurial kawasan hutan dan hak kelola masyarakat terhadap hutan/kawasan hutan belum menjadi bagian penting dalam tahapan perencanaan dan pengelolaan hutan/kawasan hutan maka konflik terhadap kawasan hutan akan terus bermunculan. Masyarakat harus menjadi subjek, bukan lagi obyek (pelengkap penderita) dalam pengelolaan dan pemafaatan hutan dan kawasan hutan, baik berupa hasil hutan kayu dan non-kayunya. Pengelolaan hutan di masa mendatang yang lebih memfokuskan pendekatan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) untuk kawasan Hutan Konservasi (KPHK), kawasan Hutan Lindung (KPHL) dan Hutan Produksi (KPHK) akan berhasil dengan baik jika masalah tenurial kawasan hutan (forest tenure) atau hak kelola masyarakat terhadap hutan/kawasan hutan dirancang dari awal dan wewenang serta tanggung jawab pengelolaan hutan didesentralisasikan kepada Pemerintah Daerah (Kabupaten atau Propinsi). Wewenang dan tanggung jawab penguasaan hutan yang memusat (sentralisasi) akan menghambat dan mengurangi tingkat inovasi dan kreativitas manajerial dan pengambilan keputusan di lapangan dalam pengelolaan KPH. Pengelolaan KPH harus bersifat local specific, baik dari sisi sumber daya alamnya dan sumber daya manusianya (masyarakat lokal) serta kelembagaannya.
7.4 Tahapan Pengelolaan Hutan Berbasis Tenurial Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam proses perencanaan terkait dengan aspek tenurial. Secara teknikal, perencanaan hutan berbasis tenurial yang kuat dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Identifikasi lokasi yang direncanaakan dan kenali secara lebih dekat apakah lokasi yang direncanaakan tidak bersinggungungan dengan atau overlapping dengan pihak lain. 2. Identifikasi desa-desa yang berdekatan atau yang berada dalam areal yang direncanakan, bila ada. 84
Membumikan Reforma Agraria di Sektor Kehutanan: Menuju Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
3. Petakan tipologi desa berikut kondisi sosial ekonomi dan politik lokal berikut aktor dan kepentingannya. 4. Identifikasi luas, sistem, struktur penguasaan lahan masyarakat, kemudian lacak sejarah penguasaan dan status lahan serta aktor-aktor dan jaringan yang menguasai lahan tersebut. 5. Kelompokkan lahan berdasarkan status dan sejarah penguasaannya. Tanah yang dikuasai oleh masyarakat lebih dari 20 tahun, kurang dari 20 tahun, tanah dengan status tradisional hanya dengan bukti-bukti alam (tradisi), yang berstatus Surat Keterangan Tanah dan Surat Keterangan Tanah Adat serta sertifikat. 6. Lakukankan dialog dengan desa yang melibatkan seluruh warga, termasuk kaum perempuan. 7. Dalam proses dialog, gunakan berbagai media atau forum sebagai arena untuk menyerap aspirasi kepentingan warga, misalnya arisan, PKK, karang taruna, kelompok tani dan lain-lain. 8. Tawarkan skema-skema seperti hutan adat, hutan tanaman rakyat, hutan desa, HKm berdasarkan karakteristik status dan pengusaan hutan yang ada. Bila tidak ada skema yang pas maka perlu inovasi atau membangun skema baru yang dapat diterima oleh kedua belah pihak dengan lebih mengedepankan kepentingan masyarakat. 9. Petakan lahan-lahan masyarakat secara partisipatif untuk memperjelas tenurial yang bermanfaat bagi perencanaan, bila lahan tersebut belum dipetakan.
Hutan
Hutan 1
2
Hutan Hutan Desa adat Desa perambah
3
4
Gambar 1. Tipologi kondisi penguasaan lahan hutan Negara Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
85
Gambar 1 mengilustrasikan secara umum ada empat problem yang melekat dalam sistem penguasaan lahan Negara. Tipe pertama adalah lahan hutan Negara yang clear di mana batas antara desa dan kawasan hutan jelas dan tidak terjadi overlapping lahan. Kedua adalah sebagian lahan hutan Negara yang tumpang-tindih dengan lahan masyarakat desa. Ketiga adalah lahan hutan Negara yang dirambah oleh perambah yang mana sebagian telah menjadi bagian dari desa tertentu atau bahkan telah menjadi desa definitif. Keempat mengilustrasikan desa adat yang berada di tengah kawasan hutan. Melihat fenomena tersebut maka proses perencanaan hutanpun memerlukan pendekatan yang berbeda.
7.5 Implementasi Kebijakan Forest Tenurial Dalam Konteks Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat Selama belum ada perubahan dalam kultur dan struktur di birokrasi Pemerintahan, dalam hal ini Kementerian Kehutanan, di mana orientasi hutan untuk tujuan ekonomi dan berbasis pengusaha, maka perubahan paradigm pengelolaan hutan tidak akan pernah terjadi. Satu-satunya jalan untuk melakukan perubahan paradigm adalah dengan mengubah orientasi yang tadinya hanya untuk ekonomi dan pengusaha, maenjadi keberpihakan kepada aspek kelestarian ekologis/lingkungan dan sosial budaya. Memberikan kesempatan hak kelola kepada masyarakat lokal sudah mengandung unsur keberpihakan kepada lingkungan karena terdapat kearifan lokal masyarakat terhadap hutan, dan hal ini adalah sesuatu yang pasti. Cara hidup masyarakat dengan karakter kesederhanaan, kerja keras, gotong royong merupakan modal sosial yang harus dibangun dan dilembagakan oleh Negara (Pemerintah) karena pembangunan kehutanan pada dasarnya adalah untuk kesejahteraan rakyat.
Atas dasar pemikiran ini, sudah merupakan konsekuensi logis dari penggabungan Kementerian Kehutanan di bawah payung Lingkungan Hidup disebabkan karena: 1) yang menonjol selama ini adalah kerusakan dan kebakaran hutan serta pembalakan liar, yang perlu mendapatkan perhatian dari Negara; 2) kecenderungan semakin menguatnya resentralisasi dalam pengelolalan hutan juga membuat semakin kuatnya birokrasi di sektor kehutanan yang selalu menunggu kebijakan Pusat; 3) rendahnya tanggung jawab Pemerintah Daerah terhadap wewenang dalam mengurus peran dan fungsi hutan, yang bersifat menunggu dari Pusat; 4) makin menguatnya ego-sektoral kementerian dan ego pusat-daerah dalam praktek penyelenggaraan Negara, sehingga tidak ada sinergitas antara otoritas kehutanan, lingkungan hidup dan masyarakat. Satu-satunya jalan yang dapat menjamin keberhasilan dalam pengelolaan hutan adalah dengan mendorong pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan dimulai dengan proses perencanaan hutan berbasis tenurial. Dalam proses perencanaan hutan, tenurial merupakan aspek yang krusial. Tanpa mempertimbangkan aspek kejelasan tenurial maka pelaksanaan kegiatan sulit berjalan 86
Membumikan Reforma Agraria di Sektor Kehutanan: Menuju Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
seperti yang diharapkan. Munculnya konflik tenurial di hampir semua hamparan lahan/kawasan hutan Negara disebabkan karena perencanaan pengelolaan kawasan hutan sejak awal tidak memperhatikan potensi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan, bahkan masyarakat setempat dianggap beban masalah. Ada jaminan hak kelola masyarakat terhadap hutan/kawasan hutan sebagaimana dalam UU Kehutanan 41/1999 di mana pemanfaatan kawasan hutan dapat diberikan kepada perseorangan (pasal 26, pasal 27, pasal 28 dan pasal 29), hanya saja peruntukan bagi hak masyarakat lokal belum pernah ditindaklanjuti secara khusus oleh Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut). Letupan-letupan konflik dipastikan akan mudah terjadi, bahkan bisa meluas menjadi konflik sosial yang lebih besar dan menjadi arena berbagai kepentingan politik yang mendistorsi esensi awal dari konflik itu sendiri. Proses deskalasi dan terminasi konflik menjadi sulit ditemukan solusinya. Fondasi dasar dalam perencanaan hutan berbasis tenurial yang clear dan clean hanya terwujud manakala perencanaan tersebut berbasis paradigma baru yang dikenal sebagai evidence-based planning, bukan hanya pada legal-based planning. Dalam arti ortodoksi model perencanaan yang hanya mengandalkan kewenangan yurisdiksional absolut dan dukungan data yang tidak akurat harus mulai ditinggalkan. Walaupun dalam perencanaan tersebut telah didukung oleh teknologi yang sahih, misalnya teknologi pemetaan terbaru, namun itu belum cukup. Perencanaan berbasis tenurial yang kuat harus dibaca dalam perspektif sebagai ruang negosiasi dengan berbagai kelompok kepentingan terlebih bila existing condition atau kondisi faktual di lapangan banyak tumpang-tindih yang melibatkan berbagai aktor atau kelompok kepentingan. Filosofi dasar perencanaan hutan harus dimaknai sebagai bagian dari solusi konflik, bukan menjadi pemicu atau sumber konflik.
Paradigma baru perencanaan hutan berbasis tenurial harus menempatkan manusia dan hutan, terutama masyarakat desa hutan bukan dalam opisisi biner, hitam putih dan dalam relasi asimetris yang cenderung meminggirkan manusia tetapi justru dalam kontek relasi yang terintegratif. Perencanaan harus menempatkan masyarakat sebagai mitra atau salah satu subyek dalam perencanaan tersebut. Dan yang lebih penting perencanaan hutan harus mampu membangun kerangka pengaman atau safeguard bagi masyarakat, bukan sebaliknya.
Berbagai peraturan pemerintah yang diturunkan dari UU No. 41/1999 yang disusun pada awal reformasi di mana semangatnya sangat kuat berpihak kepada masyarakat, ternyata tidak mengubah semangat dan ruh kebijakan birokrasi dalam kultur dan strukturnya yang berpihak kepada lingkungan hidup dan masyarakat karena yang diberikan perhatian utama dalam memberikan ijin-ijin pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan kawasan hutan masih pihak-pihak pengusaha. Adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35 tahun 2012 tentang Hutan Adat
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
87
dan Putusan MK No. 45 tentang Penetapan Kawasan Hutan sudah menunjukkan lemahnya kelembagaan hukum dalam pengelolaan hutan karena semuanya masih berada di pundak Pemerintah Pusat (Kementerian Kehutanan). Guna mendorong keberhasilan dalam pengelolaan hutan secara lestari ke depan adalah dengan memberikan hak kelola hutan dan juga kewajiban-kewajibannya kepada masyarakat agar fungsi hutan sebagai pengatur kehidupan tetap terjaga dan dirasakan oleh masyarakat, baik manfaat langsung maupun tak langsung. Untuk itu diperlukan adanya PP tentang Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat. Dengan cara ini, maka keadilan agraria sebagaimana yang dicita-citakan dalam reforma agraria yang tersirat dalam UUPA tahun 1960 semakin mendekati kenyataan. Jangan-jangan jalan terjal reforma agraria di Indonesia terdapat di sektor kehutanan.
7.6 Kesimpulan dan Saran Reforma agraria di sektor kehutanan pada dasarnya adalah memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat lokal dalam hal tanggung jawah berupa hak dan kewajiban-kewajibannya terhadap hutan. Masyarakat memiliki keraifan lokal dalam mengelola dan melindungi hutan yang bersifat melestarikan fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan mereka. Adanya kabijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) merupakan kesadaran kecil dari Negara atau Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang belum dinyatakan dalam kultur dan struktur birokrasinya, sehingga masih menjadi kebijakan pinggiran.
Salah satu cara untuk menempatkan kepedulian kepada masyarakat di bagian inti kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan disarankan agar membentuk PP tentang hak dan kewajiban kelola masyarakat terhadap hutan dan kawasan hutan (forest tenure reform) sebagai bentuk kepedulian Negara terhadap kelstarian lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian maka ke depan kita harus dapat menerapkan konsep pengelolaan hutan oleh masyarakat, dan tentunya diperlukan kesiapan semua pihak, baik Pemerintah Pusat terutama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan kementerian terkait, Pemerintah Daerah, dunia usaha swasta dan organisasi masyarakat sipil (civil society organization/CSO).
Daftar Pustaka Bruce, J. (1993). Do indigenous tenure systems constrain agricultural development? In T. Bassett & D. Crummey (Eds.) Land in African Agrarian System. Madison: University of Wisconsin Press. FAO. (2002). The state of food insecurity in the World 2002. Diunduh dari http:// www. fao.org/DOCREP/OO5/Y7352E/y7352e05.htm).
88
Membumikan Reforma Agraria di Sektor Kehutanan: Menuju Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
Korf, B. (2002). Ethnicised entitlements in land tenure of protracted conflicts: the case of Sri Lanka. 9th Biennial IASCP Conference “ The Commons in an Age of Globalization’ Victoria Falls, Zimbabwe, 17-21 June 2002.
Nasir, M.M. (2012). Resolusi konflik terhadap sengketa penguasaan lahan dan pengelolaan sumber daya alam. Kertas Kerja EPISTEMA No.03/2012.
Robinson, B.E., Holland, M.B., & Naughton-Treves, L. (2011). “Does secure land tenure save forests? A review of the relationship between land tenure and tropical deforestation.” (CCAFS Working Paper 7). Copenhagen: CGIAR Research Program on Climate Change, Agriculture and Food Security (CCAFS). Safitri, M. A. (2010). Forest tenure in Indonesia: The socio-legal challenges of securing communities’ rights. Leiden: Leiden University.
Safitri, M.A. (2012). Pengelolaan hutan berbasis masyarakat, konflik kehutanan dan keadilan tenurial: peluang dan limitasi. Makalah Semiloka Menuju Kawasan Hutan yang Berkepastian Hukum dan Berkeadilan. Shivje, I.G., Moyo, S., Gunby, D., & Ncube, W. (1998). National land policy framework. Draft discussion paper. Harare: Ministry of Lands and Agriculture. Silpakar, S. (2008). Implications of land tenure on food sufficiency in Dang District. (Thesis). Purbanchal University.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
89
8 Reforma Agraria Sektor Kehutanan
Melalui Pengembangan Konsep Desa Hutan1 (Agrarian Reform in Forestry Sector through Forest Village Concept Development) Oleh: Oleh: Ismatul Hakim & Sylviani Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan e-mail:
[email protected];
[email protected]
Abstract Although the Ministry of Environment and Forestry, de jure control of an area of 124 million hectares of forest areas, but the de facto, many occupied arable land to farm, as residential areas, public infrastructure such as public roads and rural markets, even many village definitive, as it happens in the majority of the area of forest land in Lampung province. The pressure of population growth and economic progress has been noticeable a major factor in maintaining the forests and forest areas. Even the concept of development policies on Forest Management Unit (FMU) established its territory, within it already crowded with people’s lives and villages. One solution to maintain forests and forest areas in the region as such, can be done by specifying it as a Forest Village legally recognized by the relevant ministries such as the Ministry of Environment and Forestry, Ministry of Agrarian and Spatial Planning, the Ministry of Interior and the Ministry of Rural, Remoted Rural Development and Transmigration. Characteristics of Forest Villages include: the area can not be traded, management pattern by applying Agro-forestry patterns with a certain amount of residual trees and villagers directed into the community of forest conservation or forest communities. Forest Village concept is a breakthrough in establishing agrarian justice and social welfare.
1]
Disampaikan pada Seminar Nasional Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Hutan yang Baik. Jakarta, 7 April 2014.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
91
Keywords: Agrarian Reform, KPH, Village Forest, Agroforestry
Abstrak Meskipun Kementerian Kehutanan secara de jure menguasai luasan kawasan hutan 124 juta hektar, akan tetapi secara de facto, sudah banyak diokupasi menjadi lahan garapan usahatani, sebagai daerah permukiman, infrastruktur publik seperti jalan umum dan pasar desa, bahkan sudah banyak menjadi desa definitif, sebagaimana terjadi di sebagain besar wilayah kawasan hutan di Propinsi Lampung. Tekanan pertumbuhan penduduk dan kemajuan ekonomi telah nyata menjadi faktor utama dalam mempertahankan keberadaan hutan dan kawasan hutan. Bahkan kebijakan pengembangan konsep Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) yang telah ditetapkan wilayahnya, di dalamnya sudah ramai dengan kehidupan masyarakat dan desa. Salah satu solusi untuk mempertahankan keberadaan hutan dan kawasan hutan di wilayah seperti ini, dapat dilakukan dengan menetapkannya sebagai Desa Hutan yang diakui legalitasnya secara hukum oleh kementerian terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutananan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Ciri-ciri dari Desa Hutan di antaranya: areal tidak dapat diperjualbelikan, pola pengelolaannya dengan menerapkan pola agroforestry dengan besaran jumlah tegakan pohon tertentu dan masyarakat Desa Hutan diarahkan menjadi masyarakat konservasi atau masyarakat hutan. Konsep Desa Hutan merupakan sebuah terobosan dalam membangun keadilan agraria dan kesejahteraan rakyat. Kata kunci: Reforma agraria, KPH, Desa Hutan, agroforestry
8.1 Pendahuluan Ketidakberesan tenurial di sektor kehutanan (klaim atas hak) merupakan salah satu penyebab utama terjadinya konflik pengelolaan hutan di Indonesia. Konflik tenurial dapat muncul ke permukaan karena tekanan kebutuhan mendesak masyarakat di kawasan hutan, tidak adanya pengelola yang jelas dan ketidakjelasan tata batas kawasan hutan. Hampir pada setiap kasus konflik tenurial tersebut pihak masyarakat berada pada posisi yang lemah. Sebagian besar kasus konflik tenurial di kawasan hutan hingga saat ini belum berhasil diselesaikan dengan baik. Belum ada mekanisme penyelesaian konflik yang dapat menjadi pegangan seluruh pihak untuk menyelesaikan konflik (WG Tenure, 2007). 92
Reforma Agraria Sektor Kehutanan Melalui Pengembangan Konsep Desa Hutan
Di Propinsi Lampung, hampir seluruh kawasan hutannya sudah diokupasi oleh masyarakat dan sudah banyak desa-desa definitif baru di dalam kawasan hutan. Artinya, otoritas Pemerintah Daerah (Pemda), baik Propinsi maupun Kabupaten/ Kota telah memberikan dukungan legalitasnya terhadap pembentukan desa-desa tersebut. Bahkan kawasan hutan yang digarap oleh masyarakat sudah menjadi sumber penghidupan masyarakat dalam usaha taninya seperti tanaman pangan (padi, jagung dan kacang-kacangan), kopi, sawit, karet bahkan ada juga jenis-jenis tanaman hutan. Tampak dalam hal ini, bahwa tidak terdapat kesamaan antara teori dengan realita, atau antara peta kebijakan di Pemerintah Pusat, pemerintah daerah dan di tingkat masyarakat (site). Urusan hutan dan kawasan hutan masih tetap bertumpu kepada Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dapat dikatakan bahwa Pemerintah Daerah tidak memiliki wewenang sama sekali terhadap penguasaan dan pengelolaan hutan dan kawasan hutan. Areal kawasan hutan yang sudah tidak ada lagi pengelolanya (ijin penguasaan dan pengelolaannya sudah habis) dibiarkan terbuka dalam waktu yang cukup lama, sehingga tidak salah jika masyarakat memanfaatkannya untuk kepentingan usaha. Model-model konflik seperti ini yang terjadi di Propinsi Lampung dan hingga saat ini tidak pernah dicarikan jalan pemecahannya. Hal ini menunjukkan bahwa pemegang kebijakan sektor kehutanan, baik di pusat maupun di daerah belum memiliki gelombang dan cara berpikir yang sama dalam mengemban amanah dan tanggung jawab dalam penguasaan dan pengelolaan hutan atau kawasan hutan.
Beberapa kebijakan/Peraturan Kementerian Kehutanan yang diterbitkan untuk menyelesaikan konflik antara lain: SK 254/Menhut-II/2008 tentang pembentukan Tim Mediasi Konflik Kehutanan, dokumen kehutanan (RKTN 2011-2030, Renstra, RKL) tentang penyelesaian konflik dalam program kerja kehutanan yang akan melepas areal 18 juta ha kawasan hutan sebagai salah satu penyelesaian konflik. Akan tetapi dalam implementasinya di lapangan tidak mudah, karena areal yang dicanangkan untuk itu biasanya tidak kondusif dengan kepentingan masyarakat lokal, sebaliknya kondisi yang sudah ramai diisi oleh masyarakat malah justru tidak disentuh oleh kebijakan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan karena pendekatannya bersifat top-down, misalnya: proyeksi areal untuk masyarakat lokal seperti Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa. Semua kebijakan itu lahir dari atas ke bawah, yang mengakibatkan berjalannya lambat dan sulit mencapai sasaran. Berbeda dengan pengalokasian distribusi penguasaan dan pengelolaan yang diberikan kepada swasta atau pemodal, yang biasanya relatif cepat dan mudah dalam implementasinya. Pendekatan seperti di atas yang menyebabkan hutan atau kawasan hutan kita semakin tidak terkontrol dalam pengelolaannya. Kondisi hutan dan kawasan hutan di luar Jawa saat ini sudah berbeda dengan pada saat awal ketika hutan mulai dikelola, di mana tuntutan atas hak-hak masyarakat
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
93
lokal ataupun hak masyarakat adat semakin tinggi. Hal ini terbukti dengan lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/2012 dan No. 45/2011 yang pada intinya menunjukkan hak-hak kelola/kuasa kelola atas hutan/kawasan hutan harus diperhatikan dan dibangun. Dalam konteks tanggung jawab, selain ada hak untuk masyarakat lokal maka ada juga kewajiban-kewajiban masyarakat yang harus dipenuhi. Pemerintah saat ini sudah tidak dapat lagi bersembunyi di balik jargon hutan lindung atau hutan konservasi yang salah kaprah karena sudah banyak areal yang masuk klasifikasi hutan lindung ataupun hutan konservasi akan tetapi di lapangan malah sudah botak. Atas dasar latar belakang pemikiran di atas, maka bagi areal hutan atau kawasan hutan yang sudah digarap oleh masyarakat dan sudah menjadi areal pemukiman, sarana (infrastruktur) jalan dan prasarana pedesaan seperti pasar dan lahan publik, kantor desa dan kantor kecamatan harus dicarikan jalan pemecahannya, di antaranya dijadikan sebagai Desa Hutan. Berbeda dengan Hutan Desa yang muncul dari atas, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Desa Hutan lahir dari bawah ke atas (bottom-up) dari proses dinamika masyarakat yang terjadi di kawasan hutan. Tulisan ini akan memaparkan tentang konsep Desa Hutan dilihat dari aspek legalitas, sosial, ekonomi dan ekologis/lingkungan yang diharapkan dapat menjadi pertimbangan untuk diadopsi sebagai kebijakan reforma agraria di sektor kehutanan yang lebih kondusif dengan permasalahan di lapangan.
Tulisan ini juga dimaksudkan untuk melihat fakta tentang konflik tenurial dalam kawasan hutan, keterlibatan para pihak dalam konflik tenurial di kawasan hutan dan mencoba mengeksplorasi kriteria dan indikator konsep Desa Hutan yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan kebijakan tentang Desa Hutan. Tulisan ini coba memberikan rekomendasi model konsep Desa Hutan sebagai alternatif penyelesaian konflik di kawasan hutan.
8.2 Kerangka Pikir dan Analisis Penyelesaian Konflik Tenurial Munculnya pemikiran tentang konsep Desa Hutan dilatarbelakangi oleh kenyataan (fakta) di lapangan bahwa kawasan hutan telah banyak digarap oleh masyarakat setempat, bahkan sudah tidak lagi terlihat kumpulan pohon atau hutan sebagaimana kita bayangkan tentang hutan. Hal tersebut terjadi karena selama ini faktor penduduk tidak pernah diperhitungkan dalam mengurus dan mengelola hutan dan kawasan hutan. Selain itu, semangat pelaksanaan kebijakan perundangan kehutanan sejak UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 adalah penguasaan, pengurusan dan pengelolaan hutan di Indonesia hanya semata-mata untuk tujuan ekonomi dengan subyek sasarannya pengusaha (pemodal). 94
Reforma Agraria Sektor Kehutanan Melalui Pengembangan Konsep Desa Hutan
Meskipun dalam teorinya semua pejabat kehutanan mengatakan tentang konsep hutan lestari dari sisi ekologis, ekonomi dan sosial budaya, kenyataannya tanggung jawab penguasaan dan pengelolaan hutan lebih banyak diberikan kepada pengusaha untuk mengambil potensi hasil hutan berupa kayu ataupun non-kayu. Membicarakan hutan dan kawasan hutan yang melibatkan peran-serta masyarakat secara total hanya slogan dan tidak menjadi arus pemikiran utama para pemegang kebijakan kehutanan. Di pihak lain, proses otorisasi wewenang dan tanggung jawab pengelolaan hutan atau kawasan hutan masih secara total berada di pundak Kementerian Kehutanan di Jakarta. Gubernur dan Bupati tidak memiliki wewenang soal tanggung jawab terhadap hutan. Asumsi pemikiran ini terbukti dengan lahirnya Putusan MK No. 35 tahun 2012 tentang Hutan Adat dan Putusan MK No. 45 tahun 2010 tentang Kawasan Hutan, yang menunjukkan bahwa memang otoritas tunggal penguasaan hutan berada di pusat. Hal ini disebabkan terutama karena sejak awal penguasaan hutan lebih berkonotasi untuk kepentingan ekonomi, sementara aspek kelestarian ekologis dan sosial budaya hanya sekedar slogan dan kurang serius. Kalaupun ada, hanya dalam wacana, tidak menjadi nafas dan ruh kebijakan di Kementerian Kehutanan. Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan (2013) menjelaskan bahwa penyebarann alokasi penguasaan dan pengusahaan (pengelolaan) hutan dan kawasan hutan adalah: untuk sasaran pengusaha terdiri dari hutan alam dalam bentuk pemegang ijin (IUPHHK atau HPH) seluas 5,314 juta hektar, Hutan Tanaman Industri (ijin HTI) seluas 6,519 juta hektar, restorasi ekosistem untuk rehabilitasi oleh perusahaan penggiat restorasi seluas 2,817 juta hektar. Bentuk Hutan Produksi Konversi (HPK) yang lebih banyak dialokasikan untuk swasta perkebunan, tambang, pemukiman/transmigrasi seluas 13,44 juta hektar (di 23 propinsi) dan areal yang sudah dialokasikan untuk moratorium dalam bentuk hutan primer dan hutan gambut seluas 8,17 juta hektar. Untuk kepentingan subyek dan sasaran penguasaan dan pengelolaan oleh masyarakat dalam bentuk Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan relatif sangat kecil yaitu seluas 0,675 juta hektar. Rincian alokasi penggunaan kawasan hutan di atas dapat dilihat pada Gambar 1. Untuk mendorong strategi penguatan kelembagaan penguasaan dan pengelolaan ke depan, salah satunya adalah melalui terobosan dengan mendukung kelembagaan konsep Hutan Desa. Terobosan ini pada prinsipnya adalah menampung dinamika yang tumbuh di lapangan, kaitannya dengan fakta bahwa sudah merebaknya okupasi kawasan hutan oleh masyarakat setempat sebagai dasar pembuatan kebijakan reforma agraria di sektor kehutahan yang disebut Forest Tenure Reform.
Adanya aturan perundangan dan peraturan-peraturan di bawahnya sebagai kebijakan publik, ternyata dihambat oleh batasan kita tentang publik. Publik selama ini dibatasi hanya untuk pengusaha yang memohon ijin, sedangkan masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan hutan luput dari perhatian pemegang
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
95
kebijakan publik. Kuatnya sinyal birokratisasi di setiap kementerian menyebabkan kecenderungan fanatik sektoralisme bahwa setiap UU menjadi fokus dan kepedulian masing-masing. Istilah koordinasi antar sektor sejak masa reformasi hampir menemui jalan buntu. Untuk itu, koordinasi antar sektor merupakan prioritas kebijakan dan HPK 36% program pemerintahan Jokowi-JK tahun 2014-2019. Koordinansi selama ini dib angun tidak dalam konteks penyelesaian permasalahan dan kondisi dinamik di masyarakat. Banyak kasus konflik tenurial lahan dan kawasan hutan seperti kasus Mesuji, Taman Nasional Tesso Nilo, Hambalang, Jonggol dan lain-lain menunjukkan bahwa kebijakan publik di sektor kehutanan tidak menyentuh hirarki di bawahnya seperti Gambar 1. Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota sampai ke tingkat Desa dan masyarakat.
HA 14% RE 8%
HTI/HTR 18%
MORA-TORIUM 22%
HD/HKm 2%
Distribusi alokasi lahan untuk berbagai subjek dan sasaran dalam pe-nguasaan dan pengelolaan kawasan hutan (Ditjen Bina Usaha Kehutanan, 2013)
Paradigma di atas harus diubah, yang tadinya lebih bersifat top-down, kebijakan yang memusat, kuatnya sektoralisme di masing-masing kementerian, terbatasnya ruang publik bagi masyarakat, menjadi lebih bersifat bottom-up, lebih serius membangun semangat desentralisasi, meningkatnya kerjasama dan koordinansi antar sektor dan masyarakat sebagai penopang tanggung jawab terhadap hutan tempat mereka tinggal dan masyarakat tidak lagi menjadi musuh utama pengelolaan hutan (common enemy). Keseriusan mendobrak kebekuan reformasi birokrasi dan demokratisasi serta keinginan untuk membangun keadilan bagi semua komponen bangsa sudah terlihat pada Kabinet Jokowi-JK dengan digabungnya Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta dibentuknya Kementerian Desa, Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Adanya empat kementerian ini merupakan terobosan untuk mengurai kebekuan reformasi birokrasi dan macetnya desentralisasi. Kementerian-kementerian tersebut, Pemerintah Propinsi
96
Reforma Agraria Sektor Kehutanan Melalui Pengembangan Konsep Desa Hutan
dan Pemerintah Kabupaten/Kota diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan di lapangan dalam kaitannya dengan lahan, kawasan hutan dan kesejahteraan rakyat yang dihambat oleh kepentingan ego-sektoral dan fanatisme pusat-daerah. UndangUndang seperti UU Pokok Agraria 1960, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 18/2014 Perkebunan, UU No 12/1992 tentang Budidaya Tanaman, UU No. 13/2010 tentang Hortikultura, UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian, UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 16/2014 tentang Desa dan terakhir UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah sudah memadai, akan tetapi koordinasi antar sektor di kementerian dan antar pusat-daerah harus dilaksanakan secara serius.
Ini merupakan realisasi gaya kepemimpinan “blusukan” Jokowi yang merupakan nilai tambah. Jargon kerakyatan bukan sekedar wacana karena birokrasi saat ini sudah terbawa arus politis dibandingkan sebagai profesionalis. Tidak ada masalah dengan penggabungan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup karena selama ini pembangunan kehutanan yang dikerjakan oleh Kementerian Kehutanan tidak dibatasi hanya di dalam kawasan hutan, tetapi kawasn non-hutan juga seperti lahan kritis (usahatani) dan areal daerah aliran sungai (DAS). Dengan penggabungan ini, kebekuan birokrasi dan ego-sektoral sudah saatnya diruntuhkan karena sudah pasti banyak pemborosan dan bahkan masih rawannya praktik gratifikasi yang disinyalir dari hasil kajian KPK dalam proses perijinan di sektor kehutanan dan sektor lingkungan hidup. Pendekatan analisis penyelesaian masalah tenurial di dalam kawasan hutan dilakukan dengan sharing pendapat antar para pihak yang terkait dengan konflik tenurial dengan mengisi kuesioner, seperti Dinas Kehutanan Propinsi Lampung, Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Selatan, Dinas Perkebunan Propinsi Lampung, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Kantor KPH terkait, Kepala Desa dan Kecamatan terkait, perwakilan petani (Kelompok Tani Hutan), perwakilan UPT Kementerian Kehutanan (BPDAS, Balai TNBB, BKSDA, BPKH dan BISHH). Materi atau aspek utama yang diukur dalam kajian ini meliputi: aspek ekologi/konservasi (biofisik), aspek kelembagaan, aspek ekonomi dan aspek sosial budaya. Dari masing-masing aspek tersebut diturunkan beberapa kriteria penting berupa pernyataan-pernyataan/pendapat dari responden dalam melaksanakan tugas dan fungsinya pengelolaan hutan atau kawasan hutan. Terhadap aspek dan kriteria tersebut dilakukan pembobotan dengan skala nilai 1, 2, 3, dan 4. Nilai 1 berarti sangat tidak setuju/tidak menndukung, 2 berarti setuju, 3 berarti tidak setuju dan 4 berarti sangat tidak setuju. Dari data yang diperoleh dapat diketahui aspek dan kriteria mana yang memiliki tingkat prioritas tinggi dalam konteks penyelesaian tenurial di dalam kawasan hutan KPH tersebut, juga tentang bentuk Desa Hutan yang dikehendaki dilihat dari sisi bio-fisik, kelembagaan, ekonomi dan sosial budaya.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
97
8.3 Konflik Tenurial Dalam Kawasan Hutan Forest tenure reform berbeda dari reforma agraria. Tidak sekedar mendistribusikan lahan, tetapi utamanya mencakup mengenalkan secara formal tentang hak-hak terhadap hutan dan manfaat bagi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan; hal tersebut didorong karena kebutuhan untuk hak-hak lahan adat dan nenek moyang (Larson & Dahal, 2012). Selain untuk mempertahankan kehidupan, forest tenure reform juga untuk tujuan konservasi hutan, berbeda dengan kebijakan agraria yang seringkali mengusulkan adanya pembersihan hutan di masa lalu (Larson et al., 2008). Reforma bisa berasal dari atas maupun dari bawah, yang muncul dari kekuatan perubahan dari masyarakat seperti masyarakat pedalaman dan gerakan sosial dan dari tekanan donor internasional atau dari Negara (Barry et al., 2010 dalam Larson & Dahal, 2012). Pengelolaan kawasan hutan tidak lepas dari pengaruh budaya, sosial dan ekonomi masyarakat yang berada di desa-desa sekitar kawasan hutan. Tinggi-rendahnya tekanan terhadap kawasan hutan dapat diindikasikan dengan kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat yang berada di desa sekitar hutan tersebut. Kawasan hutan di Provinsi Lampung hampir seluruhnya sudah digarap/diokupasi oleh masyarakat yang menimbulkan berbagai konflik lahan di dalam kawasan hutan. Upaya pembinaan desa-desa sekitar hutan diharapkan mampu menekan perambahan tersebut. Pembangunan sumber daya hutan tidak saja berarti membangun hutan secara fisik, namun juga membangun masyarakat desa hutan (MDH) yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan. MDH meliputi petani hutan yang tergabung dalam kelompok tani hutan (KTH) di tiap petak/anak petak, tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh besar terhadap budaya dan kebijakan di tingkat masyarakat desa. MDH memiliki ketergantungan yang kuat terhadap hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kedekatan geografis masyarakat dengan hutan mendorong mereka berinteraksi dengan hutan, baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini berarti bahwa kualitas hutan tidak hanya ditentukan oleh masalah teknis kehutanan, tetapi juga ditentukan oleh masalah yang terkait dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat desa hutan. Oleh karena itu sudah saatnya masyarakat didudukkan sebagai subyek dan obyek dalam pembangunan hutan. Inisiatif dan prakarsa masyarakat desa dan dinamika kehidupan sosial politik di tingkat desa, seringkali jauh lebih cepat dan tidak terantisipasi oleh Pemerintah Daerah akibat tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi dan tekanan ekonomi untuk memenuhi hajat hidup masyarakat. Kondisi demikian telah mendorong lahirnya desa-desa baru di dalam kawasan dan di sekitar kawasan hutan. Data terbaru dari lapangan menunjukkan bahwa di Kabupaten Lampung Selatan terdapat desa definitif dan berada di dalam kawasan atau sebagain arealnya merupakan kawasan hutan. Sebanyak 56 desa definitif 98
Reforma Agraria Sektor Kehutanan Melalui Pengembangan Konsep Desa Hutan
pada masa pemerintahan Orde Baru (Pergub), sejak reformasi hanya terbentuk satu desa karena sudah ada aturan harus ada rekomendasi Menteri Kehutanan.
Secara yuridis, kepemilikan lahan oleh masyarakat tidak memiliki bukti yang sah seperti akta tanah. Mereka hanya memiliki surat keterangan garap (SKG) yang dikeluarkan oleh Kepala Desa. SKG adalah sistem penguasaan lahan di mana tanah garapan dijual kepada pihak lain dengan harga yang telah disepakati dengan perjanjian antara penggarap lama dan penggarapa baru, dketahui oleh Kepala Desa. Ganti rugi garapan yang berlaku di desa tersebut senilai 30-50 juta rupiah/ha. Alih garap ini pada umumnya dilakukan karena tekanan ekonomi, sehingga terlihat kurangnya perhatian terhadap aspek kelestarian fungsinya sebagai hutan (kawasan hutan).
8.4 Para Pihak Yang Terlibat Dalam Konflik di Kawasan Hutan Melihat kenyataan di atas, dapat kita simpulkan bahwa terdapat dua kepentingan yang saling bertabrakan yaitu dorongan kepentingan membentuk kelembagaan pemerintahan desa dan mempertahankan kawasan hutan karena desa-desa definitif tersebut berada di dalam kawasan hutan. Dinamika masyarakat dalam interaksinya terhadap kawasan hutan sudah tidak lagi sejalan dengan tugas dan fungsi kelestarian dan pertahanan kawasan hutan. Tekanan sosial, ekonomi dan politik terhadap kawasan hutan demikian tinggi antara dua instansi Pemerintah (Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Daerah, Kementerian Dalam Negeri). Kondisi demikian menuntut kedua pihak mencari solusi terhadap permasalahan kelembagaan dan kebijakan pemerintahan di daerah. Tidak adanya koordinansi, integrasi dan sinkronisasi kebijakan dan program pengelolaan kawasan hutan antara Pemerintah Pusat (Kementerian Kehutanan tidak sampai menyentuh ke pengelolalan di tingkat tapak) dengan Pemerintah Daerah (Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten) di Propinsi Lampung. Hal ini juga menunjukkan tidak berhasilnya otonomi atau desentralisasi dalam pengelolaan hutan dari Kementerian Kehutanan kepada Pemerintahan Daerah (Propinsi dan Kabupaten).
Reformasi sektor Kehutanan yang seharusnya menonjolkan konsep pendekatan dan perencanaan dari bawah ke atas atau yang bersifat partisipatif tidak terjadi. Perencanaan penggunaaan dan proses pemberian ijin menjadi tugas dan tanggung jawab Kementerian Kehutanan, adanya Dinas Kehutanan di tingkat propinsi dan kabupaten tidak menjadi bagian dari tugas dan fungsi Kementerian Kehutanan. Salah satu indikator keberhasilan otonomi daerah adalah adanya Perda yang mengatur tentang pengelolaan hutan di daerah, seperti terjadi di sektor lainnya (Tata Ruang oleh Kementerian Pekerjaan Umum). Pengurusan kawasan hutan di bawah Kementerian Kehutanan, sementara di tingkat tapak dan masyarakat, kawasan hutan sudah banyak
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
99
berubah menjadi areal pemukiman, desa, pasar, lahan pertanian, kebun rakyat dan sarana/prasarana desa lainnya yang ditetapkan dengan Perda berdasarkan UndangUndang/Peraturan Kementerian Dalam Negeri.
Oleh sebab itu manajemen kawasan hutan ke depan harus dilakukan secara partisipatif dan terpadu, mulai dari aspek sumber daya manusia (masyarakat), anggaran, sarana/prasarana dan pendekatan/kelembagaan. Lemahnya kooordinasi dan partisipasi serta keterpaduan tersebut yang menyebabkan meningkatnya proses degradasi hutan dan deforestasi di masa lalu. Tren baru tentang program penurunan emisi gas rumah kaca di sektor kehutanan (REDD+) tidak mungkin berhasil jika kebijakan dan kelembagaan pemerintahan di sektor kehutanan tidak terintegrasi dengan baik. Kebijakan di tingkat pusat harus bersifat global, umum dan sederhana dan mampu menampung keragaman potensi dan kondisi di daerah.
Tenurial bukanlah tanggung jawab Kementerian Kehutanan saja karena pemicu konflik tenurial adalah adanya kebijakan dari instansi pemerintah lain misalnya melalui ijin-ijin pertambangan, perkebunan, sertifikat tanah, transmigrasi, kemiliteran dan lain-lain. Lembaga yang mendukung penyelesaian konflik antara lain: 1. Badan Pertanahan Nasional (BPN): Deputi Penyelesaian Sengketa Tanah. 2. Bappenas: program Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan. 3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mengkoordinir pemetaan konflik sumber daya alam menjadi institusi yang penting. 4. Komnas HAM yang memberikan perhatian khusus dalam konflik pertanahan. 5. Mahkamah Agung, lembaga peradilan tertinggi yang legitimate dalam penyelesaian konflik. Perencanaan partisipatif atau perencanaan bersama yang dilakukan oleh semua pihak (stakeholders) terutama Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (propinsi dan kabupaten) diharapkan dapat mewadahi aspirasi semua pihak, sehingga akan menimbulkan konsekuensi untuk berperan aktif dalam pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi dari pengelolaan hutan yang telah dilakukan. Dengan melakukan perencanaan bersama atau “perencanaan partisipatif” maka akan membantu mewujudkan kesetaraan, kerjasama dan tanggung jawab bersama dalam pembangunan sumber daya hutan. Perbedaan perencanaan secara sepihak dengan perencanaan partisipatif disajikan pada Tabel 1.
8.5 Kriteria dan Indikator Konsep Desa Hutan Konsep Desa Hutan merupakan desa yang terbentuk karena tekanan penduduk dan inisiatif Pemda yang didasarkan pada Perda. Hanya saja konsepnya harus
100
Reforma Agraria Sektor Kehutanan Melalui Pengembangan Konsep Desa Hutan
Tabel 1.
Perbedaan perencanaan sepihak dalam pengelolaan hutan di Jawa oleh Perhutani dengan perencanaan partisipatif (Perhutani, 2007).
Komponen
Perencanaan sepihak
Perencanaan partisipatif
Pelaku
Pemegang hak kelola, misalnya Perhutani
Para pihak terlibat, misalnya Perhutani, Masyarakat Desa Hutan, Pemerintah Desa, Dinas/ instansi terkait, koperasi pedagang hasil pertanian dan hasil hutan
Proses
Instruksi (top down)
Partisipatif (semua pihak terkait)
Tujuan pengelolaan
Kelestarian pengusahaan hutan
Kelestarian sumber daya hutan dan kesejahteraan masyarakat
Ruang lingkup
Aspek ekologi dan ekonomi perusahaan
Aspek ekologi, ekonomi, kelembagaan dan sosial masyarakat desa hutan
Sasaran
Sumber daya hutan
Sumber daya alam, masyarakat desa hutan
Tanggung jawab
Perhutani/Pemegang ijin KPH
Semua pihak yang terlibat
Risiko
Perhutani/Pemegang ijin KPH
Semua pihak yang terlibat
dipertegas, di mana pembentukannya harus dalam kerangka kelestarian dan menjaga hutan, dan spesifik masyarakatnyapun harus lebih berorientasi pada budaya hutan (agroforestry). Oleh sebab itu perlu adanya integrasi, koordinasi dan kerjasama antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kehutanan. Konsep Desa Hutan harus dijabarkan dalam bentuk fungsi dan peran hutan dan kawasan hutan dilihat dari aspek ekologis (konservasi dan lindung), fungsi ekonomi (produksi) dan fungsi sosial budaya dalam pelaksanaan program dan kebijakan pembangunan desa. Sementara ini, desa di dalam kawasan tersebut mengelola kawasan tersebut secara serabutan (sporadis) menurut pengetahuan dan kemauan masyarakat mengikuti kondisi budaya, sosial dan ekonomi setempat.
Program pembangunan kehutanan yang dilaksanakan saat ini oleh berbagai instansi dengan kewenangan masing-masing, baik yang bersumber dari pusat maupun dari daerah. Kurangnya koordinasi antar instansi mengakibatkan adanya kegiatan yang tumpang-tindih di lapangan. Dalam kaitan ini, sudah saatnya dilakukan konsolidasi semua program dan kegiatan pembangunan pertanian dan Kementerian Pertanian perlu mengambil inisiatif pelaksanaannya. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dapat mengambil inisiatif dan segera merancang kegiatan.
Semakin derasnya okupasi lahan dan berdirinya desa definitif di dalam kawasan hutan disadari karena adanya ketiadaan pengelola yang bertanggung jawab terhadap keberadaan kawasan hutan. Kenyataan ini harus menyadarkan kepada para pihak bahwa tanggungjawab pengamanan dan penguasaan hutan (land tenure) bukan saja menjadi tanggung jawab Kementerian Kehutanan, tetapi juga kementerian terkait lainnya. Dari
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
101
kasus Propinsi Lampung yang sebagian besar kawasannya sudah diokupasi oleh masyarakat untuk kegiatan usahatani dan banyaknya desa definitif di dalam kawasan hutan, perlu dibuat langkah dan kebijakan strategis untuk membangun konsep Desa Hutan yang tetap lebih mementingkan berjalannya fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan, baik dari segi ekologis, ekonomi maupun sosial budaya masyarakat setempat. Perlu dilakukan inisiasi langkah kebijakan bersama Kementerian Dalam negeri, Kementerian Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional (untuk melakukan check and recheck terhadap keamanan kawasan hutan).
Gambar 2 menunjukkan gejala perpindahan penduduk dari wialah-wilayah yang lebih maju ke wilayah-wilayah kawasan hutan yang didorong oleh tekanan pasar komoditas primer perkebunan (sawit dan karet) dan program transmigrasi dan tekanan penduduk. Arus pergerakan migrasi penduduk tersebut secara nyata telah ikut berkontribusi semakin menyempitnya lebensraum komunitas rimba dan terhadap perubahan sosial masyarakat desa hutan (rimba).
Hasil penelitian Wibowo et al. (2012) menunjukkan bahwa berdasarkan wawancara dengan key informan para kapitalis dengan kapitalnya bisa membuka lahan ilegal seluas 100-200 hektar sementara komunitas lokal dan rimba sampai maksimum 5 hektar. Para kapitalis dengan mudah membeli lahan-lahan para spekulan tanah dari komunitas lokal, termasuk orang rimba, atau kebun yang dikuasai secara ilegal dari pemilik yang terpaksa menjual karena tekanan hidup. Yang sungguh ironis adalah seringkali orang rimba dituding sebagai pencuri Desa transisional village ketika mencari makan di Kawasan hutan Desa/dusun lahan-lahan hutan mereka baru yang diklaim sebagai lahan Komunitas p ara migran maupun orang Pengaruh rimba/adat perusahaan. (pasar, populasi, resettlement programs)
Rahman (2008) mengungkapkan bahwa Transmigrasi arus migrasi dan tekanan Pertambangan Hutan Tanaman Industri/ pasar semakin menajamkan Perkebunan Transmigrasi Hak Pengusahaan Hutan Transmigrasi kesenjangan ekonomi antara para migran, pemodal, Gambar 2. Arus kecenderungan gerakan penduduk dari berbagai perusahaan perkebunan wilayah dan pulau ke wilayah-wilayah hutan dan HTI dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi dan politik terhadap orang-orang rimba. Masyarakat Suku Anak Dalam (baca: orang rimba) memiliki posisi yang lemah, baik secara ekonomi maupun politik. Peta kekuatan antara masyarakat lokal dengan para pengusaha dan pemerintah tentunya saling tarik-menarik kepentingan. Hal ini seringkali membuat
102
Reforma Agraria Sektor Kehutanan Melalui Pengembangan Konsep Desa Hutan
masyarakat lokal mempertahankan resistensinya terhadap berbagai aturan dan kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup serta masyarakat lokal sehingga akan mempengaruhi dinamika lokal. Ada empat langkah yang dilakukan dalam merumuskan kriteria dan indikator:
1. Mengumpulkan bahan tentang sumber daya hutan, SDM, kelembagaan dan sumber daya ekonomi. 2. Membangun prinsip, kreteria dan indikator, mengukur berdasarkan visi dan misi serta berdasarkan aspek pengelolaan hutan. 3. Melakukan pembobotan. 4. Penetapan nilai. Langkah pertama dengan melakukan identifikasi semua data dan informasi berdasarkan pendekatan pengelolaan hutan, baik dari aspek teknis dan ekologi sumberdaya hutan, sosial ekonomi dan penguasaan lahan oleh masyarakat serta kelembagaan yang ada dimasyarakat. Berdasarkan hasil tabulasi pembobotan aspek pada Tabel 2 yang sangat berpengaruh dalam konsep desa hutan adalah aspek ekologi/konservasi. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi kawasan sangat penting bagi masyarakat karena status lahan garapan yang dikelola berada di dalam kawasan hutan yang merupakan bagian dari unit manajemen KPH. Tabel 2.
Hasil tabulasi kriteria yang dibangun berdasarkan masing-masing aspek Aspek
1. Ekologi/ Konservasi
2. Kelembagaan
Ratarata 3,6
2,7
Kriteria Pengelolaan hutan dilakukan oleh multipihak (Kementerian Kehutanan, Dinas Kehutanan Propinsi dan Dinas Kehutanan Kabupaten)
Bobot 3
Perencanaan kawasan berdasarkan fungsi
3,6
Budidaya tanaman campuran jenis tanaman (agroforestry)
3,2
Kerjasama antar lembaga terkait dalam pengembangan desa hutan
3,2
Adanya jaminan status hak garap/kepemilikan lahan
2,5
Aturan legal Pemerintah Daerah (Perda)
2,6
Pendekatan pengelolalan hutan dari atas ke bawah
2,5
Hukum dan peraturan yang menjamin dalam pe-manfaatan hutan dan sistem tata guna hutan lestari
3,5
Terdapat integrasi Pemerintah Pusat-Daerah dalam pengelolaan hutan (kawasan hutan)
3,2
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
103
Aspek
3. Ekonomi
4. Sosial dan budaya
Ratarata
2,4
2,5
Kriteria
Bobot
Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten) mem-punyai hak dan kewajiban terhadap kelestarian hutan
3,3
Pembangunan kehutanan akan berhasil tanpa dukungan pemerintah daerah
1,8
Menjamin akses sumber daya hutan
2,9
Menjamin keberlanjutan ekonomi bagi masyarakat
3,1
Menjamin peluang berusaha dan lapangan pekerjaan
2,9
Terdapat bimbingan dan pendampingan dari instansi terkait (pertanian, perkebunan, peternakan)
3,2
Terdapat kerjasama dengan pihak pengusaha (swasta)
2,5
Pemanfaatan lahan oleh masyarakat secara legal
2,9
Masyarakat punya hak untuk mengelola kawasan hutan
2,6
Hutan harus dikelola dengan sistem kelestarian (agroforestry)
3,4
Banyak kawasan hutan menjadi desa definitif
1,9
Masyarakat paham fungsi kawasan hutan untuk tata air dan kelestarian (kesuburan) tanah
2,5
Lembaga sosial lokal mempunyai kapasitas untuk menegakkan hukum adat dan peraturan lainnya
3,5
Hubungan dengan pihak ketiga, peningkatan ekonomi dan sektor pengetahuan
3,2
Keterangan: 1 = Sangat tidak setuju; 2 = Tidak setuju; 3 = Setuju; 4 = Sangat setuju. Bobot di-ranking dengan mem-berikan nilai 1, 2, 3, 4 aspek yang sangat berpengaruh. Angka 4 menunjukkan bahwa aspek dan kriteria tersebut sebagai sangat berpengaruh
Aspek kelembagaan juga berpengaruh terhadap hak pengelolaan karena kelompok-kelompok tani yang ada dapat terkoordinasi dengan baik antara masyarakat dan pemerintah daerah, hak-hak garapan masyarakat dapat dituangkan dalam suatu aturan yang lebih jelas dan legal. Aspek sosial budaya sangat berpengaruh dalam keberlangsungan lahan garapan masyarakat walaupun desa-desa definitif berada dalam kawasan hutan menurut tata batas dari kehutanan, lembaga sosial yang ada dapat berperan dalam menangani masalah konflik lahan. Sementara itu aspek ekonomi sangat berpengaruh dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, adanya kerjasama dengan pihak ketiga dalam bermitra untuk memasarkan hasil-hasil hutan.
Hasil studi menunjukkan beberapa aspek penting dalam menangani permasalahan tenurial di areal KPH. Untuk aspek ekologi/konservasi dibutuhkan beberapa hal penting seperti: perencanaan kawasan, pengelolaan kawasan dan penentuan jenis tanaman. Untuk aspek kelembagaan diperlukan adanya aturan yang legal dalam pemanfaatan lahan, Pemerintah Daerah menjamin kelestarian kawasan, 104
Reforma Agraria Sektor Kehutanan Melalui Pengembangan Konsep Desa Hutan
integrasi Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pengelolaan, jaminan status hak garap. Aspek sosial dan budaya: lembaga sosial lokal mempunyai kapasitas menegakkan hukum, hutan dikelola secara agroforestry, adanya hubungan dengan pihak ketiga dalam peningkatan ekonomi, pemanfaatan lahan secara legal dan masyarakat mempunyai hak, keberlanjutan ekonomi masyarakat, adanya akses SDH dan peluang berusaha dan lapangan kerja bagi masyarakat, adanya kerjasama dengan pihak swasta.
8.6 Kesimpulan dan Saran 8.6.1 Kesimpulan 1. Pengelolaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Propinsi Lampung pada umumnya akan menghadapi berbagai permasalahan tenurial di kawasan hutan karena masyarakat sudah lama mengelola lahan tersebut secara intensif. Di dalam kawasan KPH tersebut sudah banyak yang berubah fungsinya, misalnya menjadi areal pemukiman penduduk desa, areal garapan usahatani masyarakat, lahan usaha sawit, peternakan (ayam), sarana ekonomi (pasar) dan prasarana umum seperti jalan desa dan pasar serta desa definitif. Usulan konsep tentang Desa Hutan akan membantu manajer KPH dalam mendorong potensi lahan dan sumberdaya manusia di desa untuk meningkatkan produktivitas lahan dan kesejahteraan rakyat setempat. 2. Kebijakan pengembangan Desa Hutan merupakan salah satu terobosan dalam mendukung reforma agraria di sektor kehutanan dan merupakan bentuk dukungan terhadap kebijakan Pemerintah (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dalam mendorong pengembangan Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan Desa (HD) yang jumlahnya masih sangat kecil (2%). Akan tetapi prosesnya harus dirancang dengan baik melalui tahap pembelajaran, sosialisasi dan penguatan kelembagaan yang terencana dan sistematik, jangan ada kesan bahwa lahan menjadi hak milik perorangan dan dapat diperjual-belikan. Konsep Desa Hutan hanya memberikan tanggung jawab (ada hak dan ada kewajiban di dalamnya) kepada masyarakat dan kelembagaan lokal untuk ikut serta mengelola hutan (forest tenure). 3. Salah satu upaya untuk menggerakkan KPH adalah merangkul mereka menjadi potensi SDM untuk pengembangan usaha KPH. Untuk KPH yang di dalamnya sudah menjadi areal desa definitif, perlu dibuat langkah inovatif dengan membentuknya menjadi Desa Hutan. Desa Hutan tersebut dibangun dengan kriteria khusus, misalnya: menerapkaan konsep agroforestry dan mengusahakan lahan usahanya di kawasan hutan dengan persentase tanaman hutan yang diatur, misalnya 30%, 40%, 60%, 75% dan seterusnya, tergantung kesepakatan antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat (kelompok tani hutan); lahan tidak boleh dipindah-tangankan atau diperjual-belikan; disahkan oleh Dinas Kehutanan,
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
105
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang bahwa Desa Hutan tersebut berada di areal kawasan hutan. Dengan demikian kawasan hutan tetap terjaga.
8.6.2 Saran 1. Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang mulai mengadopsi terobosan kebijakan untuk areal kawasan hutan yang sudah diokupasi oleh masyarakat dalam waktu yang lama, dapat mengakomodir proses dinamika masyarakat di areal kawasan hutan, karena masyarakat lokal sebenarnya merupakan sasaran utama atau subyek penting dalam pengelolaan hutan. 2. Untuk memudahkan koordinasi antara kementerian tersebut dapat dilakukan inisiasi dengan membuat Surat Keputusan Empat Menteri (SKEM) tentang Desa Hutan.
Daftar Pustaka Dahal, G.R.A. & Pacheco, P. (2010). Outcomes of of reforms for iveihoods, forest condition and equity (pp 183-209). In Arson, A.M., Barry, D., Dahal, G.R. & Cofer, C.J.P. (eds.), Forest for peope: Community rights and forest tenure reform. London: Earthscan.
Sekretariat Ditjen Bina Usaha Kehutanan. (2013). Pengembangan investasi sektor kehutanan. Jakarta: Ditjen Bina Usaha Kehutanan. Larson, A.M. (2013). Hak tenurial dan akses ke hutan manual pelatihan untuk penelitian. Bogor: CIFOR.
Larson & Dahal. (2012). Forest tenure reform: New resource rights for forest-based communities? Conservation and Society 10(2): 77-99.
Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 268/Kpts/Dir/2007 tentang Pengelolalan Hutan Bersama Masyarakat Plus.
Rahman, A. (2008). Konflik sebagai simbol perlawanan terhadap korporasi dan kebijakan. Makalah workshop ”Ancaman etno-ekologi Orang Rimba dari hegemoni kapitalis dan strategi penyelamatannya”. Jambi, 11-12 Desember 2008. WG Tenure. (2007). Permasalahan tenurial dan reforma agraria di kawasan hutan dalam perspektif masyarakat sipil. Proceeding Rountable Discussion.
Wibowo, L.R., Race, D., & Curtis, A. (2012). Exploring the policy dimensions for Community Based Forest Management in Indonesia. (Thesis). CSU.
106
Reforma Agraria Sektor Kehutanan Melalui Pengembangan Konsep Desa Hutan
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
107
Kelembagaan
Ekologi/ konservasi
1
2
Aspek
No
Pengaturan fungsi-fungsi lembaga
Keberlanjutan fungsi hutan
Prinsip
• Adanya organisasi masyarakat yang kuat • Ada komunikasi dan kerjasama dengan lembaga lain • Ada program kerja dalam lembaga • Adanya batas penguasaan lahan • Adanya kewajiban terhadap penguasaan lahan • Penetapan desa definitif • Penerbitan surat oleh BPN
• Kerjasama antar lembaga terkait pengembangan desa hutan • Adanya jaminan status hak garap/ kepemilikan lahan • Aturan legal Pemda (Perda) • Pendekatan pengelolaan hutan dari atas ke bawah • Hukum dan peraturan yang menjamin dalam pemanfaatan hutan dan sistem tata guna hutan lestari • Terdapat integrasi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan hutan • Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten) mempunyai hak dan kewajiban terhadap kelestarian hutan
Keamanan hutan terjaga Terjalin kerjasama dengan pihak lain Terpeliharanya sumber tata air Terjaganya kesuburan tanah Terpenuhinya tutupan lahan minimal 30% Pola tanam petani hutan teratur (sepanjang tahun)
• • • • • •
Indikator
Komponen • Pengelolaan hutan dilakukan oleh multipihak • Perencanaan kawasan berdasarkan fungsi • Budidaya jenis tanaman campuran (agroforestry)
Kriteria
Lampiran 1. Kreteria dan indikator Desa Hutan
• Adanya LMDH, KTH • Ada kerjasama perbankan • Ada Surat Ket Garap (SKG), GIRIK,dll • Adanya bukti pembayaran pajak • Konsensus terhadap penyelesaian konflik tata guna lahan. • Terdapatnya PERDA (Pergub atau Perbup) di tingkat Propinsi dan Kabupaten tentang Pengelolalan Hutan (kawasan hutan)
Masyarakat mengetahui bagaimana cara mengelola kawasan dan pengamanan
Verifikator
108
Reforma Agraria Sektor Kehutanan Melalui Pengembangan Konsep Desa Hutan
3
No
Ekonomi
Aspek
Kesejahteraan masyarakat terjamin
Prinsip • Adanya koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pengelolaan kawasan • Ada aturan yang menjamin kelestarian pemanfaatan hutan • Masyarakat sekitar hutan menghormati hukum adat dan peraturan yang ada • Adanya pertemuan untuk membahas tata guna lahan dan lingkungan • Tersedianya peta kawasan • Pemerintah Daerah mempunyai tanggung jawab dan wewenang dalam pengelolaan hutan • Perencanaan penggunaan kawasan dan ijin diajukan oleh Pemerintah Daerah • Pengelolaan aspek manajemen (SDM, anggaran, sarana/ prasarana dan model kelembagaan dilakukan bersama-sama • Pemerintah Daerah mempunyai kewajiban untuk mendukung program Pemerintah Pusat • Adanya aturan yang menjamin akses bagi para pihak terhadap hutan • Adanya lahan garapan masyarakat • Pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif • Adanya dukungan penyuluhan dalam bentuk pelatihan dan bantuan dalam pengelolaan lahan
Pembangunan kehutanan akan berhasil tanpa dukungan Pemerintah Daerah
• Menjamin akses sumber daya hutan • Menjamin keberlanjutan ekonomi bagi masyarakat • Menjamin peluang berusaha dan lapangan pekerjaan • Terdapat bimbingan dan pendampingan dari instansi terkait (pertanian, perkebun, peternakan)
Indikator
Kriteria
Komponen
• Proporsionalitas pendapatan masyarakat sekitar hutan • Hasil hutan memberikan sumbangan bagi kesejahteraan masyarakat • Adanya surat keterangan garap yang legal dari instansi kehutanan
Verifikator
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
109
Aspek
Sosial dan budaya
No
4
Kesadaran masyarakat yang tinggi dalam pengelolaan hutan
Prinsip
• Pemanfaatan lahan oleh masyarakat secara legal • Masyarakat punya hak untuk mengelola kawasan hutan • Hutan harus dikelola dengan sistem kelestarian • Banyak kawasan hutan menjadi desa difinitif • Masyarakat memahami fungsi kawasan hutan untuk tata air dan kesuburan tanah • Lembaga sosial lokal mempunyai kapasitas untuk menegakkan hukum adat dan peraturan lainnya Hubungan dengan pihak ketiga dan sektor pengetahuan
Kriteria • Terdapat kerjasama dengan pihak pengusaha (swasta)
• Tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat • Adanya kesetaraan gender
•
•
•
• •
•
•
•
Indikator Verifikator Adanya pasar perdagangan hasil hutan yang dikelola oleh masyarakat Pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif Adanya instrumen formal dan informal • Masyarakat memahami hak pengelolaan hutan oleh anggota masyarakat dan kewajibannya terhadap Adanya kejelasan status kepemilikan lahan kelestarian hutan Ada aturan/ kesepakatan untuk mengatasi • Masyarakat setuju bahwa konflik hukum adat masih tetap Adanya aturan legal tentang pembentukan efektif desa • Memberikan sanksi Pemberian sanksi bagi mereka yang terhadap adanya kasuskasus melakukan pelanggaran pelanggaran Tersedianya mekanisme penyelesaian konflik
Komponen
9 Isu Tenurial Pada Unit Manajemen
Hutan: Studi Kasus di KPH Wae Sapalewa1 Oleh: Niken Sakuntaladewi Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, e-mail:
[email protected]
Abstrak Pengelolaan hutan Indonesia yang ditujukan untuk tetap menjaga kelestariannya dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dalam perkembangannya masih didapat banyak persamalahan. Satu di antaranya adalah hak masyarakat dalam mengelola dan mengambil manfaat dari hutan di sekelilingnya. Pemerintah Indonesia bermaksud mengatasi permasalahan pengelolaan hutan dengan pendekatan ‘Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH)’. Studi kasus dari KPH Wae Sapalewa memberikan informasi tentang sebagian dari keresahan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan dalam wilayah KPH yang berminat untuk menjalankan REDD+. Terdapat lima isu tenurial di KPH Wae Sapalewa yang berpotensi membuahkan konflik, yaitu: 1) kebijakan yang masih lemah di tingkat tapak; 2) potensi konflik pada lahan komunal; 3) terminologi di sektor Kehutanan yang membingungkan masyarakat; 4) kendala menjadikan masyarakat berpartisipasi dalam KPH dan REDD+; 5) implikasi keputusan MK 35 tahun 2013 terkait dengan posisi hutan adat. Kata kunci: Tenure, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), masyarakat hukum adat, REDD+
1]
Disampaikan pada Seminar Nasional Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Hutan yang Baik. Jakarta, 7 April 2014
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
111
9.1 Pendahuluan Hutan merupakan aset yang tak ternilai harganya karena tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi, tetapi juga memberikan penghidupan bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitarnya, antara lain berupa jasa air, obat-obatan, dan sumber pangan. Peran penting hutan makin nyata bagi penghidupan di dunia dengan terjadinya perubahan iklim. Hutan adalah aset besar yang berperan penting dalam perbaikan iklim dunia melalui REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Degradation atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan). Pentingnya peran hutan ini disadari oleh Pemerintah sehingga upaya kelestarian hutan Indonesia terus diupayakan. Salah satu upaya dimaksud adalah pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
KPH merupakan pendekatan baru dalam pengelolaan hutan Indonesia guna memperbaiki atau menyelesaikan persoalan pengelolaan hutan Indonesia di tingkat tapak. Ketidak-jelasan pengelola dan pengelolaan hutan di tingkat tapak menjadikan hutan seperti ‘open access’ sehingga perusakan hutan terus terjadi dan konflik tenurial terus berlanjut. Pembentukan KPH dimaksudkan agar kegiatan pengelolaan hutan dalam kesehariannya di tingkat tapak dapat berjalan lebih baik, sesuai dengan rencana pengelolaan dari berbagai ijin yang ada dengan tetap menjamin kelestariannya, dan memperhatikan kepentingan serta memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitarnya. Tulisan ini akan mengidentifikasi isu tenurial dan isu terkait lainnya di KPH Produksi (KPHP) Model Wae Sapalewa yang berlokasi di Kabupaten Maluku Tengah. Pemerintah Daerah Kabupaten tertarik untuk menjadikan KPHP Wae Sapalewa menjalankan REDD+. Bahasan akan dilihat dari perspektif masyarakat yang tinggal di dalam kawasan KPH.
9.2 Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Peraturan Menteri Kehutanan No. P.6/Menhut-II/2009 memberikan definisi KPH sebagai wilayah pengelolaan hutan yang sesuai dengan fungsi pokok dan peruntukannya, dan dapat dikelola secara efisien dan lestari. KPH dinilai penting perannya dalam menyelamatkan hutan yang tersisa dan memperbaiki hutan yang rusak sehingga selayaknya menjadi prioritas nasional dan masuk dalam Rencana Pengelolaan Jangka Menengah. Pembentukan KPH dimaksudkan untuk mewujudkan wilayah kelola kesatuan pengelolaan hutan yang dapat mendukung terselenggaranya pengelolaan hutan yang efektif dan efisien. Sesuai dengan fungsi hutan, terdapat tiga macam KPH yaitu KPH Produksi, KPH Lindung, dan KPH Konservasi. Pentingnya peran KPH tersebut mendorong Pemerintah Indonesia untuk segera mewujudkannya di tataran praktis. KPH Model dibentuk untuk mempercepat 112
Isu Tenurial Pada Unit Manajemen Hutan: Studi Kasus di KPH Wae Sapalewa
tercapainya tujuan mulia kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah memberi dukungan dalam bentuk penyediaan sarana dan prasarana untuk beroperasionalnya KPH. Rencana pengelolaan hutan dalam KPH dibuat, dan kelembagaannya diupayakan untuk segera dilengkapi sehingga dapat segera beroperasi.
Tujuan mulia pemerintah untuk merealisasikan terbentuknya KPH yang operasional dalam pelaksanaannya tidaklah mudah. Berbagai persoalan ditemui di lapangan terkait dengan kelembagaan KPH yang mengalami kendala dalam mendapatkan SDM yang cukup dan berkualitas, demikian pula halnya dengan kualitas rencana pengelolaan KPH, dan dukungan Pemerintah Daerah. Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan (2013) dalam Ekawati (2013) menyajikan perkembangan KPH hingga 2013. Sebanyak 183 KPHL, 347 KPHP, dan 120 KPH Model telah terbentuk dan ditetapkan wilayahnya. Sebanyak 116 KPH Model (dari 120 KPH Model) telah terbentuk organisasinya di mana 103 KPH Model berbentuk UPTD Unit Pelaksana dengan jumlah total SDM KPH sebanyak 1.658 orang yang terdiri dari 98 Kepala KPH, 69 orang Kepala Tata Usaha, Kepala Seksi 65 orang, dan staf 1.140 orang. Data tersebut menunjukkan masih banyaknya KPH Model yang belum lengkap pengurus lembaganya. Sakuntaladewi dan Rochmayanto (2013) merinci lebih lanjut variasi ketidak-lengkapan lembaga KPH Model tersebut, seperti belum mempunyai Kepala KPH, hanya mempunyai Kepala KPH saja, sudah mempunyai Kepala KPH dan personil Tata Usaha namun belum mempunyai staf. Ketidak-lengkapan tersebut besar kemungkinan dikarenakan tidak cukup tersedia sumber daya manusia, namun bisa juga karena kurang mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah karena mereka belum faham tentang KPK dan manfaatnya. Di beberapa KPH, Kepala KPH dijabat oleh salah seorang staf Dinas Kehutanan Kabupaten. Meski telah mendapat jabatan sebagai Kepala KPH Model, yang bersangkutan masih harus berkantor dan menjalankan kegiatan Dinas Kehutanan karena kurangnya sumber daya manusia di daerah. Ada pula KPH yang sudah sepenuhnya beroperasi, tidak lagi menginduk pada Dinas Kehutanan Kabupaten dan bertanggung jawab langsung kepada Bupati, sebagaimana terjadi di KPH Batulanteh.
9.3 KPHP Wae Sapalewa KPHP Wae Sapalewa terletak di sebelah utara P. Seram. Dari ibukota provinsi, Ambon, dapat dicapai dengan menggunakan kapal cepat sekitar 1,5-2 jam dan dilanjutkan dengan kendaraan roda empat sekitar 5 jam. KPHP Wae Sapalewa ditetapkan dengan SK Menteri Kehutanan nomor SK 336/Menhut-II/2010 tanggal 28 Mei 2010 dengan luasan 67.057 ha. Sekitar
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
113
93% dari wilayah tersebut berupa hutan produksi dan hutan produksi terbatas yang masih baik kondisinya. Secara garis besar pembagian hutan di KPHP Wae Sapalewa meliputi: hutan lindung (4.545 ha); hutan produksi 34,609 ha; dan hutan produksi terbatas 27,903 ha. KPH ini berbatasan dengan Taman Naional Manusela di sebelah selatan dan barat.
KPH Wae Sapalewa telah melakukan tata hutan yang pelaksanaannya dibantu oleh Unpatti pada tahun 2013 dengan melakukan inventarisasi geofisik, sosekbud, dan penataan hutan. Meski rencana pengelolaan hutan belum selesai dibuat, hasil sementara inventarisasi menunjukkan bahwa KPHP Model Wae Sapalewa mempunyai potensi pala dan gaharu yang dapat menjadi sumber penghasilan KPH. Sebelum ditetapkan sebagai kawasan KPH Model, pemerintah telah memberikan ijin pengusahaan hutan HPH Talisan Emas (SK Menhut no. 345/Menhut-II/2008 tanggal 22 September 2008). Terdapat 4 desa di dalam wilayah KPHP Model Wae Sapalewa.
Kelembagaan KPH Wae Sapalewa belum sepenuhnya terbentuk. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Maluku Utara merangkap jabatan sebagai Kepala KPH. Mereka aktif bekerjasama dengan Pemerintah, bahkan beberapa orang staf Dinas Kehutanan telah ditempatkan di kantor KPH untuk melaksanakan rencana kegiatan di KPH. KPHP Model Wae Sapalewa sudah mempunyai bangunan kantor, kendaraan roda empat dan kendaraan roda dua untuk operasional KPH serta alat survei. Namun demikian, organisasi KPHP Model Wae Sapalewa belum terbentuk dan belum ada dalam RPJMD yang sedang berjalan. Pimpinan KPHP masih dirangkap oleh Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Maluku Tengah. Direncanakan ada lima orang lulusan SKMA yang akan ditempatkan menjadi staf KPHP Model Wae Sapalewa. Untuk sementara, di kantor KPHP Model Wae Sapalewa ditempatkan tiga orang staf Dinas Kehutanan Kabupaten Maluku Tengah untuk melakukan beberapa kegiatan di wilayah KPHP tersebut. KPHP Model Wae Sapalewa pada tahun 2013 mendapat dana sekitar Rp 500 juta untuk operasional KPH. Dukungan Bupati terhadap pengangkatan Kepala KPHP Model Wae Sapalewa hingga pertengahan November 2013 belum terlihat. KPHP Model Wae Sapalewa berminat untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan menuju peningkatan stok karbon.
9.4 Permasalahan Tenurial di KPH Wae Sapalewa Sekurangnya terdapat lima isu ternurial dan isu terkait lainnya di KPH Wae Sapalewa. Kelima isu dimaksud adalah:
114
Isu Tenurial Pada Unit Manajemen Hutan: Studi Kasus di KPH Wae Sapalewa
9.4.1 Kebijakan yang Masih Lemah di Tingkat Tapak KPH diharapkan sebagai organisasi teritori di tingkat tapak yang benar-benar menjalankan pengelolaan di wilayahnya sehingga akan dicapai pengelolaan hutan yang lestari. Dalam wilayah KPH Produksi Wae Sapalewa terdapat beberapa ijin resmi dari pemerintah terkait dengan pemanfaatan lahan hutan, yaitu KPH dan HPH. Namun, ada pula pemangku kepentingan lain yang secara turun-temurun merasa mempunyai hak atas lahan hutan yaitu masyarakat setempat.
KPHP Wae Sapalewa yang sudah berjalan sekitar 3,5 tahun sejak diterbitkannya SK dari Kementerian Kehutanan sudah terlihat ada kegiatan di lapangan, antara lain penanaman. Namun kegiatan tersebut belum optimal karena kelembagaan yang ada belum dapat berfungsi sepenuhnya. Operasionalisai kegiatan di lapangan masih dikendalikan oleh Kapala Dinas yang tempatnya berada sekitar 4-5 jam perjalanan menggunakan kendaraan dari lokasi kantor KPH.
Di sisi lain ijin pengusahaan hutan HPH Talisan Emas seluas 56.258 ha tersebut meliputi sekitar 85% dari wilayah KPH. Dengan demikian hampir seluruh wilayah KPHP Wae Sapalewa merupakan wilayah HPH Talisan Emas, termasuk wilayah yang diklaim sebagai wilayah. HPH Talisan Emas yang telah diberi ijin konsesi selama 45 tahun hingga November 2013 (sekitar lima tahun dari selesainya ijin HPH) namun tidak memperlihatkan adanya aktivitas di lapangan. Dinas Kehutanan Kabupaten Maluku Tengah tidak mengetahui penyebabnya dan teguran kepada HPH juga tidak dilayangkan oleh pihak yang berwewenang. Tidak adanya tindakan terhadap HPH tersebut merupakan salah satu manifestasi masih lemahnya kebijakan di tingkat tapak.
9.4.2 Potensi Konflik pada Tanah Komunal Terdapat empat desa adat (Negeri) di dalam kawasan KPHP Wae Sapalewa yaitu Negeri Huaulu, Kanike, Roho, dan Wahai. Secara administratif desa-desa tersebut mempunyai luas desa adat yang berbeda dengan luas wilayah adat yang didasarkan pada klaim adat. Desa-desa tersebut lokasinya cukup jauh di dalam hutan dan harus berjalan kaki sekitar dua hari untuk mencapai pinggir jalan besar. Mereka kesulitan untuk menyekolahkan anak-anak mereka ataupun untuk mendapatkan akses kesehatan. Kondisi memaksa mereka membentuk pemukiman baru di dekat jalan besar dan memindahkan anak-anak dan orang tua (lanjut usia) ke sana agar mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan. Sementara mereka menempati desa baru, kebun-kebun milik masyarakat masih tetap berada di desa lama. Mereka yang bertugas mengurus dan menjaga kebun tetap berada di hutan. Masyarakat merasa bahwa mereka mempunyai hak atas tanah komunal dan hak pengelolaannya, hak atas hasil hutan kayu dan non-kayu. Mereka merasa telah lebih lama berada di lokasi terebut. Kejelasan secara legal atas hak kepemilikan sangat
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
115
mereka dambakan untuk mengantisipasi terjadinya konflik akibat kesalah-fahaman pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan.
9.4.3 Terminologi yang Membingungkan Masyarakat KPH masih merupakan istilah asing bagi masyarakat dan tidak bisa membedakan dengan HPH. Masyarakat khawatir bahwa KPH akan menjalankan kegiatan yang sama dengan HPH yaitu mendatangkan alat-alat berat untuk menebang pohonpohon di sekitarnya.
Bila tidak akan melakukan tindakan penebangan, masyarakat menjadi bingung perbedaannya dengan TN. Manusela yang ada di sekitarnya, di mana akan banyak dibuat larangan bagi masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya hutan sebagaimana yang dikeluarkan oleh pihak TN Manusela. Sebenarnya masyarakat kebingungan dengan berbagai terminologi kehutanan tersebut. Apapun namanya -taman nasional, KPH, HPH- di lapangan wujudnya sama yaitu hutan dengan berbagai larangan di balik nama-nama tersebut. Masyarakat masih belum faham perbedaan HPH dan KPH. Masyarakat menganggap bahwa wilayah KPHP Model Wae Sapalewa seluruhnya merupakan lahan ulayat. Kini istilah baru di sektor Kehutanan, REDD+, muncul lagi dan dikenalkan kepada masyarakat. Di sini masyarakat memahami bahwa lagi-lagi di balik istilah tersebut terdapat seonggok larangan dalam pemanfaatan hutan. Masyarakat menjadi semakin tidak tahu di mana hak mereka, dan hak apa yang diberikan oleh Pemerintah kepada mereka untuk memanfaatkan hutan adat yang sudah mereka punyai sejak jaman nenek moyang. Terkait dengan REDD+ masyarakat merasa sedikit gembira bahwa ada kompensasi uang di dalam REDD+ bila mereka mempertahankan hutan di sekitarnya.
9.4.4 Kendala Menjadikan Masyarakat Berpartisipasi dalam KPH dan REDD+ Agar KPH dapat benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitarnya dan REDD+ benar-benar bisa diselenggarakan sehingga memberikan keuntungan bagi masyarakat, maka pelibatan mereka sangat penting dan harus dilakukan, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan kegiatan. Untuk dapat terlibat dalam program pemerintah tersebut maka mereka harus memahami program yang diusung pemerintah dan manfaat nyata yang akan mereka dapat. Sosialisasi telah dilakukan oleh pihak Pemerintah terkait dengan KPH dan REDD+. Mereka diundang, diberi penjelasan lebih dari satu kali, namun mereka masih tidak faham tentang keduanya.
REDD+ sebagai pendekatan baru dalam mempertahankan keberadaan hutan dan memperbaiki kerusakan hutan, mensyaratkan adanya penghormatan dan manfaat terhadap masyarakat hukum adat. Penerapan FPIC (Free, Prior Informed Consent) atau 116
Isu Tenurial Pada Unit Manajemen Hutan: Studi Kasus di KPH Wae Sapalewa
Padiatapa atau SESA (Strategic Environmental and Social assessment) dalam REDD+ merupakan jaminan perlindungan atau ‘safeguard’ sosial, ekonomi, dan lingkungan harus dijalankan bila ingin mendapatkan keuntungan dari REDD+. Dengan kata lain REDD+ akan menempatkan masyarakat hukum adat pada posisi yang layak dalam menuju pengelolaan hutan lestari, menjamin hak-hak mereka tidak tereduksi dan memberikan keuntungankepada mereka (World Bank, 2014).
KPH Wae Sapalewa yang tertarik untuk menjalankan REDD+ terus melakukan banyak upaya untuk menjadikan REDD+ berjalan dengan baik. Namun terdapat beberapa kendala, antara lain pengurus KPH belum lengkap, pemahaman mereka dan para pemangku kepentingan terkait terhadap REDD+ masih perlu ditingkatkan, dan data base sumber daya hutan dan masyarakat di sekitarnya perlu dilengkapi. Di sisi masyarakat di keempat Negeri, mempertahankan hutan dan mengelola hutan adat sudah mereka lakukan sesuai dengan kebiasaan turun-temurun. Perlindungan terhadap sumber daya hutan sudah mereka jalankan, namun mereka belum melakukan pendataan atau pengarsipan yang diperlukan untuk mengetahui kemampuan mereka dalam mempertahankan hutan atau menurunkan emisi. Pemahaman terhadap berbagai formula hitung-menghitung potensi karbon belum mereka kuasai dengan baik. Agar masyarakat hukum adat bisa mendapatkan manfaat REDD+, selain harus ada kejelasan hukum atas wilayah hutan mereka, juga harus ada peningkatan sumber daya manusia. Kerjasama pemerintah, perguruan tinggi, pihak swasta atau LSM sangat diperlukan untuk menjadikan masyarakat hukum adat bisa mendapatkan hak-hak mereka.
9.4.5 Implikasi Keputusan MK 35 terhadap Hutan Adat Masyarakat Setempat Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dijamin oleh Pemerintah melalui UUD 1945. Implementasi dari jaminan pemerintah tersebut kini dikuatkan olah putusan MK nomor 35 tahun 2013 tentang Hukum Adat yang memisahkan antara hutan adat dari hutan negara. Dengan putusan MK 35 tersebut ternyata tidak serta-merta masyarakat hukum adat langsung mendapatkan haknya terutama kepastian status kawasan hutan adat dan keterlibatan mereka dalam rencana pengelolaan hutan hingga evaluasinya, yang pada akhirnya akan mereduksi konflik. Diperlukan dukungan banyak pihak untuk merealisasikannya seperti kebijakan daerah untuk mengakui dan melindungi masyarakat adat agar putusan MK dapat diimplementasikan. Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah sangat menentukan karena keberadaan dan hak masyarakat hukum adat berkaitan erat dengan status dan fungsi kawasan hutan yang penetapan dan pelaksanaan kebijakannya berada di tangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Kartodihardjo, 20130). Di tingkat tapak, masyarakat Negeri Huaulu, Kanike, Roho, dan Wahai, diberikan sosialisasi tentang KPH yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
117
Mereka juga telah diundang untuk hadir di beberapa pertemuan terkait dengan REDD+. Semua dilakukan dengan tujuan untuk menjadikan mereka mengerti dan memahami kebijakan baru Pemerintah dalam pengelolaan hutan untuk kelestarian dan kesejahteraan masyarakat. Dengan pemahaman tersebut mereka akan mendukung dan berperan aktif dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Terlepas dari proses sosialisasi dan keikut-sertaan masyarakat dalam berbagai seminar, workshop, ataupun pelatihan, ada hal mendasar yang belum terselesaikan dengan baik. Pengakuan yang sah atas keberadaan dan wilayah hukum adat yang mereka kuasai belum sepenuhnya didapat.
Masyarakat hukum adat di areal KPH Wae Sapalewa sebagian telah berpindah dari hutan menuju desa baru agar generasi mudanya mendapat pendidikan yang layak serta mendapat layanan kesehatan. Mereka meninggalkan kebun serta beberapa orang untuk menjaga keamanan kebun mereka. Pendidikan yang didapat generasi muda di kota berpotensi menjadikan mereka meninggalkan desa untuk mendapatkan pekerjaan di kota dan tidak lagi mengurusi ladang. Eksistensi Negeri merekapun terancam hilang kalau mereka tidak lagi mau tinggal di sana dan mempertahankan adat mereka.
9.5 Penutup Terdapat tiga bentuk tenurial di KPHP Sapalewa terkait dengan lahan, yaitu: ijin HPH, ketetapan sebagai KPHP model, dan lahan komunal. KPH Model dan Ijin HPH telah terpetakan dengan baik dan mendapat pengakuan legal. Namun kawasan hutan adat belum sepenuhnya mendapatkan pengakuan dan keberadaannya di masa mendatang belum dapat dijamin karena masyarakat mulai berpindah untuk mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan. Keadilan terhadap para pemangku kepentingan, khususnya masyarakat hukum adat, masih perlu untuk diperjuangkan agar putusan MK-35 tahun 2013 yang dengan tegas telah memberikan kejelasan tentang keberadaann wilayah hukum adat dapat terwujud dan pembangunan berjalan lebih koheren. Pemerintah setempat telah berupaya untuk mengambil langkah penting memperbaiki pendekatan pengelolaan hutan melalui KPH dan melakukan pendekatan kepada masyarakat hukum adat agar mereka berpartisipasi aktif dan bersama melakukan pengelolaan hutan lestari serta mendapatkan manfaat dari REDD+. Upaya ini masih harus dibarengi dengan upaya peningkatan sumber daya manusia setempat dan pembuktian bahwa KPH dan REDD+ memang benar-benar menempatkan masyarakat hukum adat sejajar dalam menuju pengelolaan hutan lestari dan memberikan manfaat kepada mereka.
118
Isu Tenurial Pada Unit Manajemen Hutan: Studi Kasus di KPH Wae Sapalewa
Daftar Pustaka Ekawati, S. (2014). Apakah yang dimaksud dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)? In Hernowo, B. & Ekawati, S. (eds.), Operasionalisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH): Langkah Awal Menuju Kemandirian. PT. Kanisius.
Kartodihardjo, H. (2013). Krisis konflik tenurial PSDA Indonesia: Pembelajaran dari Dewan Kehutanan Nasional (Edisi pertama). Bogor: FORDA Press bekerjasama dengan Puspijak. Kementerian Kehutanan. (2009). Peraturan Menteri Kehutanan No. P.6/MenhutII/2009 tentang Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan.
Sakuntaladewi, N. & Rochmayanto, Y. (2014). Peluang KPH skema REDD+. In Hernowo, B. & Ekawati, S. (eds.), Operasionalisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH): Langkah Awal Menuju Kemandirian. PT. Kanisius.
World Bank. (2014). Environmental and social framework: Setting Standards for Sustainable Development. World Bank.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
119
10 Mengkritisi Konsep Land Swap:
Pembelajaran dari Kebijakan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan1 Oleh: Sulistya Ekawati, Lukas Rumboko Wibowo, Kushartati Budiningsih & Fentie Sallaka Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan e-mail:
[email protected];
[email protected];
[email protected];
[email protected]
Abstrak Data dari Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa sebagian kawasan hutan tidak lagi berhutan dan sebaliknya terdapat lahan Areal Penggunaan Lain (APL) yang masih berhutan. Di APL terdapat hutan primer dan lahan gambut. Kedua lokasi tersebut menjadi prioritas untuk dilakukan tukar-menukar lahan (land swap) karena berpotensi menjadi pengganti peran fungsi hutan dari kawasan hutan yang telah terdegradasi. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan pelepasan kawasan hutan, pinjam-pakai dan tukar-menukar kawasan hutan sebagai pembelajaran dan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan land swap ke depan. Selain itu tulisan ini juga bertujuan untuk mengkritisi wacana kebijakan land swap yang saat ini berkembang. Tulisan disusun dengan melakukan analisis dokumen (peraturan perundang-undangan, laporan, buku dan dokumen lainnya), wawancara dan diskusi kelompok dengan stakeholder terkait. Hasil kajian menunjukkan pembelajaran dari kasus pelepasan kawasan hutan, sejak tahun 1986 hingga 2012 kawasan hutan yang
1]
Disampaikan pada Seminar Nasional Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Hutan yang Baik. Jakarta, 7 April 2014.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
121
telah dilepas menjadi kawasan bukan hutan atau APL seluas 5.775.400 ha. Dari luasan tersebut, sebanyak 99% diperuntukkan bagi perkebunan, tetapi fakta yang ada sebagian besar ijin perkebunan tersebut hanya berorientasi pada Izin Pemanfaatan Kayu saja. Setelah SK pelepasan kawasan hutan diterbitkan, Kementerian Kehutanan tidak lagi mempunyai kewenangan di APL untuk menjaga areal yang mempunyai nilai konservasi tinggi. Pembelajaran kasus tukar-menukar kawasan hutan menunjukkan hanya sedikit pemohon yang memenuhi kewajibannya untuk menyelesaikan ijin pelepasan dan kesulitan menyediakan lahan pengganti. Pada kasus pinjam-pakai, banyak kasus yang tidak mengembalikan kawasan hutan yang dipinjam walaupun masa berlakunya habis. Kasus tukar-menukar kawasan hutan memberi gambaran bagi kebijakan land swap ke depan betapa sulitnya melakukan tukar-menukar kawasan hutan dengan areal lain di luar kawasan hutan. Banyak hambatan, baik sosial, ekonomi dan lingkungan yang menjadi kendala. Sementara kebijakan yang ada kurang serius dalam menjaga areal High Conservation Value Forest (HCVF) di luar kawasan hutan. Konsep land swap yang saat ini berkembang perlu dikritisi agar tidak semata-mata untuk tujuan konservasi cadangan karbon, tetapi memandang hutan secara seimbang antara fungsi ekologi, fungsi produksi (ekonomi) dan fungsi sosial. Konsep land swap seharusnya dipandang sebagai sebuah mekanisme restrukturisasi kawasan hutan agar lebih optimal. Kata kunci: Land swap, kawasan hutan, areal penggunaan lain
10.1 Wacana Land Swap Land swap adalah tukar-menukar lahan. Land swap menjadi populer pada tahun 1988 di Amerika (Bama, 1997). Undang-Undang Federal Land Exchanges Facilitation Act (FLEFA) juga mengakui pentingnya land swap untuk konsolidasi penguasaan tanah-tanah federal dengan tujuan untuk mewujudkan pengelolaan yang lebih baik, melindungi sumber daya alam dan tempat-tempat rekreasi dan mempromosikan prinsip-prinsip multi-guna pemanfaatan dalam rangka pemanfaatan lahan-lahan publik. Tetapi banyak suara secara serempak melawan kemungkinan terjadinya penyalahgunaan instrumen pertukaran lahan (Panagia, 2009). Di Indonesia peraturan perundang-undangan yang ada dimungkinkan untuk melakukan land swap. Tukar-menukar lahan kawasan hutan diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 2010 (direvisi dengan PP No. 60 Tahun 2012) tentang Tata Cara Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan. Namun ketentuan tersebut tidak mengatur tukar-menukar dengan tujuan untuk kepentingan pembangunan hutan, tetapi untuk kepentingan pembangunan non kehutanan (Alexander, 2013).
122
Mengkritisi Konsep Land Swap: Pembelajaran dari Kebijakan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan
Widanarti (2010) menyebutkan bahwa tukar-menukar (ruislag) diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 350/KMK.03/1994 tentang tata cara tukar-menukar barang milik/kekayaan Negara. Pasal 2 peraturan tersebut menyebutkan tukar-menukar barang miliki/kekayaan negara adalah pengalihan pemilikan dan atau penguasaan barang tidak bergerak milik negara kepada pihak lain dengan menerima penggantian utama dalam bentuk barang tidak bergerak dan tidak merugikan negara. Lebih lanjut Keputusan Menteri Keuangan (No. 350/ KMK.03/1994) mengatur tentang tukar-guling barang milik negara
Land swap di sektor kehutanan dilakukan dengan cara menukar kawasan hutan terdegradasi dengan areal di luar kawasan hutan yang berhutan. Kawasan hutan yang sudah gundul ditukar dengan lahan yang berstatus APL yang dinilai masih memiliki tutupan hutan yang bagus dengan cadangan karbon yang tinggi. Wacana land swap muncul dalam dokumen Strategi Nasional REDD+ (2012), disebutkan bahwa pada phase II implementasi REDD+ akan dilakukan identifikasi secara spesifik dan menuntaskan persiapan land swap. Pada phase III (2014 dan seterusnya) direncanakan melaksanakan land swap. Berdasarkan dokumen tersebut, meninjau dan merevisi kerangka hukum bagi penyelesaian atas isu hak-hak atas lahan dan land reclassification/ land swapping merupakan saah satu langkah strategis menuju efektifitas pelaksanaan REDD+.
Wacana yang berkembang saat ini, konsep land swap yang ada bertujuan untuk konservasi, karena lebih dititik beratkan pada perhitungan pengurangan emisi dengan peningkatan cadangan karbon dari lahan yang bertutupan hutan. Menurut Wardoyo (2013), jika 8,6 juta ha APL dikonversi menjadi hutan tanaman industri atau kebun sawit, bakal melepaskan 860 juta ton karbon, dengan asumsi asumsi tiap hektar melepas 100 ton karbon. Hal ini setara 3 gigaton CO2 atau tiga kali lipat penurunan gas rumah kaca dari sektor kehutanan/gambut.
Luas seluruh daratan Indonesia adalah 187,8 juta ha yang terdiri dari kawasan hutan daratan seluas 131,3 juta ha atau 69,9% dan APL seluas 56,6 juta ha atau 30,1% (Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, 2012). Luas penutupan lahan berhutan seluruh daratan Indonesia adalah 98,7 juta ha atau 52,5% dan non hutan seluas 89,2 juta ha atau 47,5% (Tabel 1). Berdasarkan data digital kawasan hutan dan perairan dan hasil penafsiran citra landsat 7 ETM liputan tahun 2011 Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan data digital kawasan hutan dan perairan berdasarkan SK Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan serta TGHK per Desember 2011, total luas kawasan hutan Indonesia adalah 131,3 juta ha dan total luas APL adalah 56,6 juta ha (Tabel 1). Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa dari total luas kawasan hutan Indonesia, 90,1 juta ha atau 68,64% merupakan areal yang masih berhutan dan sekitar 41,16 juta ha atau 31,36%
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
123
merupakan areal tidak berhutan (non hutan). Sementara itu, di APL terdapat areal yang berhutan seluas 8,57 juta ha atau 15,16% dari total APL.
Penutupan lahan berhutan sebesar 8,57 juta ha pada APL terdiri dari 925,7 ribu ha hutan primer; 6,16 juta ha hutan sekunder dan 1,48 juta ha hutan tanaman. Selain itu, terdapat sekitar 666.516 ha areal berhutan APL terletak di lahan gambut (Rahayu, 2013). Keberadaan hutan primer pada APL memerlukan kecermatan dalam pengelolaannya karena merupakan aset yang penting sebagai sistem penyangga kehidupan di tengah maraknya penebangan di dalam kawasan hutan. Areal ini juga dapat dicadangkan sebagai kawasan hutan negara sebagai alternatif pengganti peran fungsi hutan dari kawasan hutan yang telah terdegradasi (Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, 2012). Tabel 1. Penutupan lahan Indonesia tahun 2011 (dalam ribu ha) Kawasan hutan No.
Penutupan lahan KSA-KPA
1 Hutan
HL
HPT
15.987,4 24.762,8
a. Hutan primer 11.063,0 15.305,9 b. Hutan sekunder c. Hutan tanaman 2 Non hutan 3 Tidak ada data Total daratan Indonesia
Total
Hutan tetap
4.771,5 9.140,3 153,0
316,6
5.245,3 7.448,4 -
-
21.232,7 32.211,2
HP
HPK
Jumlah
18.811,9 20.269,2
APL
Jumlah
Jumlah
%
79.831,3 10.279,4
90.110.7
8.575,4
98.686,1
52,5
7.191,4
40.676,9
4.818,8
45.495,7
925,7
46.421,3
24,7
11.301,8 11.192,7
36,406,2
5.355,9
41.762,1
6.164,0
47.926,2
25,5
2.748,1
104,7
2.852,9
1.485,7
4.338,6
2,3
41.165,8 47.989,1
89.154,9
47,5
-
-
22.818,5 34.144,2 110.406,6 20.869,8 131.276,4 56.564,5 187.840,9
100
7.116,6
393,5
1.885,1
4.006,6 13.875,0 -
-
30.575,3 10.590,4 -
-
-
-
Keterangan : Tubuh air (danau, sungai besar, laut (kawasan konservasi perairan) tidak termasuk dalam penghitungan. Sumber : Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (2012); Rahayu (2013).
10.2 Pengelolaan APL oleh Perkebunan Sawit Sejak 1986 hingga 2012 kawasan hutan yang telah dilepas menjadi kawasan bukan hutan atau APL seluas 5.775.400 ha (Tabel 2). Dari luasan tersebut, sebanyak 99% diperuntukkan bagi perkebunan, sedangkan sisanya untuk industri, pertanian pangan, peternakan, pengembangan wilayah, perikanan dan wisata. Pelepasan kawasan hutan untuk pembangunan perkebunan tersebut didominasi untuk usaha pengembangan komoditi sawit.
124
Mengkritisi Konsep Land Swap: Pembelajaran dari Kebijakan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan
Gambar 1. Tutupan lahan di dalam dan didiluar kawasandan hutandi tahun 2011 Gambar 1. Tutupan lahan dalam luar kawasan
hutan
tahun 2011.
Areal Penggunaan Lain (APL) adalah terminologi yang muncul sebagai kompromi politis untuk memberikan akses terhadap program-program pembangunan lain dan dari tekanan-tekanan eksternal seperti dinamika pertumbuhan populasi II. PENGELOLAAN APL OLEH PERKEBUNAN SAWIT penduduk. APL juga dapat dimaknai sebagai katalisator atau katub pengaman terhadap kemungkinan dan kelembagaan penguasaan Sejak 1986 munculnya hingga konflik 2012sosial kawasan hutanakibat yang telah kawasan hutan.
dilepas menjadi kawasan bukan hutan atau APL seluas Namun ketika suatu 2). wilayah sebagai APL, kewenangan 5.775.400 ha (Tabel Dari ditetapkan luasan tersebut, sebanyak 99% pengelolaannya menjadi tidak jelas. Belum ada Undang-Undang yang mengatur diperuntukkan bagi perkebunan, sedangkan sisanya untuk tentang APL. APL merefleksikan masih kentalnya forestry centries, karena istilah industri, pertanian pangan, Kehutanan peternakan, pengembangan itu hanya muncul di kalangan Kementerian saja. Terminologi APL hadir wilayah, perikanan dan wisata. Pelepasan kawasan hutan setelah lahirnya Undang-Undang Kehutanan. Dalam kontek ini ada problem di untuk pembangunan perkebunan tersebut untuk aspek legalitas atau de jure, walau secara de facto secara tersiratdidominasi pemerintah kabupaten memiliki dalam mengeluarkan perijinan berbagai usaha, seperti perkebunan usaha otoritas pengembangan komoditi sawit. di kawasan tersebut. Areal Penggunaan Lain (APL) adalah terminologi yang muncul sebagai kompromi politis untuk memberikan akses Tabel 2. Luas pelepasan kawasan hutan dan peruntukannya periode 1986-2012 (dalam ribuan ha) terhadap program-program pembangunan lain dan dari Luas pelepasan per jenis peruntukan tekanan-tekanan eksternal seperti dinamika pertumbuhan Tahun Total Perkebunan Pertanian Peternakan Pengembangan wilayahdimaknai Perikanan Wisata populasiIndustripenduduk. APL juga dapat sebagai 1986 10,51 katalisator atau10,51katub pengaman terhadap kemungkinan 1987 312,34 312,34 munculnya konflik sosial dan kelembagaan akibat 1988 231,24 0,70 231,95 penguasaan kawasan hutan. 1989 294,88 294,88 Namun ketika suatu wilayah ditetapkan sebagai APL, kewenangan pengelolaannya menjadi tidak jelas. Belum ada Undang-Undang yang mengatur tentang APL. APL Prosiding Seminar Hasil Penelitian Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik 125 merefleksikan masih kentalnya forestry centries, karena
Tahun
Luas pelepasan per jenis peruntukan Industri
Perkebunan
Pertanian Peternakan Pengembangan wilayah
Perikanan
Total
Wisata
1990
290,83
0,40
291,23
1991
223,96
1,00
0,20
225,16
1992
332,86
332,86
1993
398,87
398,87
1994
257,40
17,20
274,60
1995
1,20
269,65
0,05
270,90
1996
1,35
464,81
0,02
466,19
1997
4,26
322,12
0,83
0,03
21,83
349,07
1998
384,02
0,96
384,98
1999
290,03
290,03
2000
128,79
128,79
2001
26,53
26,53
2005
88,95
88,95
2006
116,71
116,71
2007
65,81
7,86
73,67
2008
83,57
83,57
2009
228,61
228,61
2010
8,61
8,61
2011
0,34
365,92
366,26
Jan-Des 12
1,66
518,46
520,12
8,81
5.715,49
1,98
1,23
17,23
8,77
21,88
5.775,40
APL saat ini menjadi kewenangan Bupati. Dalam beberapa kasus terjadi penyalahgunaan wewenang Bupati dalam perijinan HGU kelapa sawit dan pertambangan. Beberapa Bupati memberikan ijin HGU dalam kawasan hutan. Perusahaan tersebut langsung melakukan okupasi kawasan tanpa memiliki ijin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Perusahaan tersebut sudah melakukan aktivitas berdasarkan ijin yang dikeluarkan oleh Bupati. Kasus tumpangtindih perijinan terjadi di berapa kota seperti di Barito Utara, Katingan, dan sebagainya. Perilaku mafia perijinan tersebut mengakibatkan jutaan penduduk harus menanggung kerugian dan menjadi korban bencana ekologis karena rusaknya lingkungan. Selain itu Negara dirugikan triliunan rupiah akibat tidak dibayarnya PSDH/ DR dan potensi tegakan kayu di kawasan hutan yang di tebang untuk tambang dan kebun sawit.
Setelah SK pelepasan kawasan hutan diterbitkan, Kementerian Kehutanan tidak lagi mengurusi APL. Kementerian Kehutanan hanya mempunyai kewenangan untuk
126
Mengkritisi Konsep Land Swap: Pembelajaran dari Kebijakan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan
melakukan evaluasi pemenuhan kewajiban pemegang SP3KH yakni menyelesaikan tata batas dan mengamankan tata batas saja. Fakta di lapangan, tidak ada instansi yang mengevaluasi kawasan hutan yang telah dilepas (APL). Kawasan APL tersebut menjadi kewenangan Bupati selaku kepala daerah yang memiki kekuasaan atas wilayah teritorial yang ada di kabupatennya.
Kewenangan pengurusan terhadap kawasan hutan yang dilepas menjadi penting terkait dengan fakta pada areal perkebunan terdapat areal HCVF yang memiliki nilai penting. Jika Kementerian Kehutanan selama ini juga mengurusi hutan hak, tidak berlebihan jika ke depan Kementerian Kehutanan juga mengurusi HCFV di luar kawasan. Saat ini tidak ada pihak pemerintahan yang secara formal memonitor dan mengelola APL dengan HCV tinggi. Aturan perundang-undangan yang ada perlu di-review ulang agar ada kejelasan pengelola kawasan HCV di APL.
Di sisi lain ada beberapa perkebunan kelapa sawit yang pro lingkungan. Mereka tidak mengelola kawasan HCVF (habitat flora/fauna langka yang dilindungi tertentu, lahan gambut, kanan-kiri sungai) dalam pengelolaan kebun sawitnya. Pada kawasan konservasi tersebut perusahaan perkebunan sawit yang baik tidak melakukan land clearing untuk penanaman sawit. Perusahaan perkebunan harus mengeluarkan biaya untuk menjaga dan mengelola kawasan konservasi tersebut, akhirnya kawasan HCVF dikembalikan kepada Bupati setempat. Oleh Bupati setempat, kawasan HCVF dikeluarkan ijin konsesi baru kepada perusahaan perkebunan lain yang lebih kecil dan tidak pro lingkungan, akibatnya kawasan HCVF tersebut akhirnya dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Kebijakan yang ada selama ini juga tidak mendukung bagi perusahaan kelapa sawit untuk mengkonservasi kawasan HCVF di wilayah konsesinya. Sebagai contoh sebuah perusahaan sawit mendapat ijin seluas 1.000 ha. Ternyata dari 1.000 ha tersebut, 300 ha merupakan kawasan HCVF, sehingga perusahaan tersebut hanya menanami sawit seluas 700 ha. Tetapi yang terjadi perusahaan tersebut tetap dikenai pajak seluas 1.000 ha dan mempunyai kewajiban untuk mengelola kawasan HCFV seluas 300 ha. Pengelolaan kawasan HCFV tersebut menjadi beban perusahaan karena jika tidak dikelola akan dirambah oleh masyarakat sekitarnya. Seharusnya ada insentif dari pemerintah untuk mengelola kawasan HCVF di luar kawasan hutan. Kementerian Pertanian sudah mengeluarkan peraturan No. 19/Permentan/ OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia yang mengatur tentang penanaman pada lahan gambut, pelestarian biodiversity, identifikasi dan perlindungan kawasan HCVF dan mitigasi emisi GRK. Perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam waktu paling lambat tanggal 3 Desember 2014 harus sudah melaksanakan usaha kebun sesuai dengan ketentuan peraturan ini. Namun
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
127
sayang sanksi yang diberlakukan jika ada yang melanggar hanya sebatas penurunan kelas kebun.
Di sisi lain, banyak kawasan hutan yang ditelantarkan oleh pemegang ijin (perusahaan). Contoh kasus di Kalimantan Barat tercatat ada 9-10 perusahaan HTI yang tidak aktif. Kondisi ini sangat disayangkan oleh para pemangku di daerah, karena kawasan hutan yang secara de jure hak pengelolaannya diberikan kepada perusahaan, tetapi secara de facto menjadi open acces sehingga banyak dirambah oleh masyarakat. Dinas Kehutanan di daerah tidak bisa melakukan kegiatan pengelolaan hutan (seperti rehabilitasi, perlindungan hutan, pemanfaatan hutan) di wilayah terebut karena secara de jure kewenangan pengelolaan hutan menjadi kewajiban pemegang ijin (perusahaan). Kementerian Kehutanan tidak memberikan sanksi pencabutan terhadap HTI/HPH yang tidak aktif tersebut.
10.3 Pembelajaran Masa Lalu (Kebijakan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan) Land swap tidak bisa dipisahkan dengan kebijakan perubahan peruntukan kawasan hutan, khususnya kebijakan tukar-menukar kawasan hutan. Tukar-menukar kawasan hutan adalah perubahan kawasan hutan produksi tetap dan/atau hutan produksi terbatas menjadi bukan kawasan hutan yang diimbangi dengan memasukkan lahan pengganti dari bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan. Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, pada prinsipnya kawasan hutan dapat diubah peruntukan atau fungsinya sesuai dengan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat. Untuk menjaga terpenuhinya keseimbangan manfaat lingkungan, manfaat sosial budaya, dan manfaat ekonomi, maka perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan harus berasaskan optimalisasi distribusi fungsi dan manfaat kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan dengan memperhatikan keberadaan kawasan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proposional. Dinamika kebijakan peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan terjadi karena peningkatan kebutuhan hasil hutan dan lahan hutan, pertumbuhan ekonomi bangsa dan desakan pengelolaan hutan lestari. Pengalaman proses Tukar-Menukar Kawasan Hutan (TMKH) di Jawa menunjukkan bahwa penggunaan kawasan hutan, sebagian besar unit penggunaan masih belum menyelesaikan tahap akhir pelepasan kawasan hutan. Deskripsi TMKH di Jawa Timur menunjukkan dari 105 unit TMKH dengan luas kawasan hutan yang dimohon mencapai 4.609,98 ha, hanya 19 unit yang telah menyelesaikan proses permohonan hingga mendapatkan Surat Keputusan Pelepasan Kawasan Hutan (SK PKH). Di Jawa Barat, dari 87 unit dengan luas 38.374,83 ha, 9 unit yang telah 128
Mengkritisi Konsep Land Swap: Pembelajaran dari Kebijakan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan
mendapatkan SK PKH. Sementara itu Jawa Tengah, terdapat 87 unit dengan 9 unit yang telah mendapatkan SK PKH. Di Provinsi Kalimantan Barat hingga saat ini belum terjadi TMKH karena sulitnya mencari lahan pengganti di areal APL untuk dijadikan kawasan hutan. Penggunaan hutan dengan mekanisme TMKH memerlukan dua proses yakni mencari lahan pengganti di APL untuk menjadi kawasan hutan dan melepaskan kawasan hutan yang dimohon. Pelaksanaan dua proses inipun tidak terlepas dari biaya transaksi masing-masing proses. Kesulitan mencari lahan pengganti menuntut adanya perubahan kebijakan TMKH dengan memperbolehkan areal pengganti yang tidak harus berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Pembelajaran dari kasus pinjam-pakai kawasan hutan (PPKH) menunjukkan bahwa kebijakan monitoring penggunaan kawasan hutan oleh kabupaten belum dilaksanakan. Pemerintah kabupaten tidak mau mengalokasikan dana untuk kegiatan monitoring penggunaan kawasan hutan karena dianggap urusan Pemerintah Pusat, Pemerintah Kabupaten tidak memiliki insentif untuk membiayai kegiatan tersebut. Kasus yang ditemukan di Provinsi Kalimantan Barat menunjukkan terjadi tumpangtindih penggunaan area hutan pada berbagai ijin usaha. Ijin usaha pertambangan seringkali berbenturan dengan ijin perkebunan, ijin perikanan atau ijin kehutanan.
Dalam perkembangannya, terjadi kemunduran kebijakan peruntukan kawasan hutan. Beberapa persyaratan diubah untuk meringankan pemohon dalam proses perubahan peruntukan kawasan hutan seperti: 1. Lahan pengganti tukar-menukar kawasan hutan pada PP Nomor 10 Tahun 2010 menegaskan bahwa letaknya berbatasan langsung dengan kawasan hutan, pada PP No. 60 tahun 2012 tidak ada aturan bahwa lahan pengganti harus berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Kebijakan ini bertujuan untuk memudahkan pemohon tukar-menukar untuk mendapatkan lahan pengganti, tetapi jika dilihat dari efisiensi, pengelolaan hutan pada lahan yang terpencar akan menjadi sulit dan tidak efisien. 2. Sebelumnya ada Surat Keputusan Bersama Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian dan Badan Pertanahan Nasional tentang pelepasan kawasan hutan dan pemberian Hak Guna Usaha untuk pengembangan usaha pertanian, bahwa untuk melakukan persiapan usaha pertanian diarahkan pada areal tanah kosong, padang alang-alang, semak belukar atau hutan non produktif yang sesuai untuk usaha pertanian. Aturan yang ada sekarang (pasal 19 ayat 3, PP No. 10 Tahun 2010; pasal 2 Permenhut P.33/Menhut-II/2010) menyebutkan hutan produksi yang dapat dikonversi untuk pelepasan kawasan hutan dalam keadaan berhutan maupun tidak berhutan. 3. Kementerian Kehutanan saat ini sudah tidak mempunyai kewenangan lagi untuk memonitor APL dan kawasan HCVF. Ketika kawasan hutan sudah
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
129
dilepas, Kementerian Kehutanan sudah tidak punya wewenang lagi untuk memonitoring. Hal itu diatur dalam PP 33 Tahun 2010 pasal 15: “terhadap kawasan Hutan Produksi Konversi yang telah dilepas sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat 3, pengurusan selanjutnya menjadi tanggung jawab instansi di bidang pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebelumnya Kementerian Kehutanan masih memiliki wewenang. 4. Permenhut No. P.31-2005 pasal 5 bahwa “Pemegang Keputusan Menteri Kehutanan tentang Pelepasan Kawasan Hutan wajib melaporkan perkembangan pembangunan perkebunan dan proses pengurusan HGU atau hak lainnya setiap 6 bulan kepada Kepala Badan Planologi Kehutanan”. Selain itu dalam pasal 6 bahwa “Kawasan hutan yang sudah dilepaskan dan belum dibebani HGU atau hak lainnya masih menjadi wewenang dan pengawasan Kementerian Kehutanan”. 5. Permenhut No. P.22 Tahun 2009 tentang Perubahan Permenhut No P.31/ Menhut-II/2005 tentang Pelepasan Kawasan Hutan dalam rangka Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan menyebutkan bahwa evaluasi terhadap kawasan yang dilepaskan dilakukan dengan evaluasi administrasi dan atau evaluasi lapangan terhadap proses pengurusan HGU dan adanya aktivitas kegiatan fisik di lapangan (pasal 4). Terkait dengan lepasnya kewenangan Pemerintah Pusat (Kementerian Kehutanan) terhadap kawasan hutan yang menjadi APL, masih terdapat kewajiban pemegang SK pelepasan untuk memetakan area HCVF dalam kawasan hutan yang dilepas tersebut. Kewenangan terhadap kawasan hutan yang telah menjadi APL berada di BPN. Untuk mengatasi kawasan hutan yang sudah dilepas namun tidak dikelola sesuai dengan permohonannya terdahulu, maka ada kebijakan terkait dengan hal ini yakni PP 11 tahun 2010 tentang lahan terlantar di mana BPN sudah dimandatkan untuk mengiventarisir lahan-lahan terlantar. Kasus tukar-menukar kawasan hutan memberi pelajaran betapa sulitnya melakukan tukar-menukar kawasan hutan dengan areal lain di luar kawasan hutan. Banyak hambatan, baik sosial, ekonomi dan lingkungan yang menjadi kendala, sementara kebijakan yang da kurang serius dalam menjaga areal HCVF di luar kawasan hutan.
10.4 Mengkritisi Konsep Land Swap Konsep land swap yang saat ini berkembang perlu dikritisi, bukan semata-mata bertujuan untuk konservasi hutan (meningkatan cadangan karbon hutan), tetapi juga mempertimbangkan fungsi sosial ekonomi dan ekologi hutan. Filofosi land swap bisa mengadopsi tukar-menukar kawasan hutan yang ada saat ini. Filosofi dari
mekanisme tukar-menukar kawasan hutan adalah memperluas kawasan hutan, karena rasio minimal tukar-menukar kawasan hutan dengan lahan pengganti 1:1, bahkan dimungkinkan bisa lebih (tergantung dari hasil penelitian Tim Terpadu atau Tim Tukar-Menukar Kawasan Hutan dengan mempertimbangkan nilai ekonomi, ekologi dan sosial). Filosofi tukar-menukar juga menjamin luas kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional sehingga dapat mempertahankan daya dukung kawasan hutan tetap layak kelola. Tujuan dari tukar-menukar kawasan hutan adalah: mengakomodir pembangunan di luar kehutanan yang bersifat permanen, menghilangkan enclave dalam rangka memudahkan pengelolaan kawasan hutan atau memperbaiki batas kawasan hutan.
Konsep tukar-menukar kawasan hutan dilakukan pada kawasan hutan produksi tetap/hutan produksi terbatas, sedangkan konsep land swap menggelinding ke semua kawasan hutan. Bahkan ada pihak yang mengajukan hutan konservasi yang kaya akan bahan tambang dan panas bumi untuk menjadi prioritas diadakannya tukarmenukar kawasan hutan, dengan alasan kawasan tersebut tetap akan dipinjam-pakai untuk penggunaan kawasan hutan (pertambangan). Wacana tersebut perlu dikritisi mengingat salah satu persyaratan pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan pada Hutan Produksi Konversi. Tinjauan kritis tentang wacana kebijakan land swap perlu mempertimbangkan beberapa hal, di antaranya eksisting kondisi yang ada, dampak sosial politik, ekonomi dan lingkungan diterapkannya land swap. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk melakukan land swap (mengacu pada PP No. 10 Tahun 2010 yang direvisi dengan PP No. 60 Tahun 2012), yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Letak, luas, dan batas lahan APL maupun lahan hutan yang terdegradasi, jelas. Sebaiknya letaknya berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Terletak dalam daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi yang sama. Kawasan hutan yang terdegradasi tersebut dapat dihutankan kembali dengan cara konvensional. Tidak dalam sengketa dan bebas dari segala jenis pembebanan dan hak tanggungan. Ada rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota. Selain kriteria di atas, ada kriteria penting yang harus ditambahkan yaitu: Definisi kawasan hutan yang terdegradasi, jelas. Memasukkan satu kriteria lagi dalam penentuan fungsi kawasan hutan yaitu keanekaragaman jenis untuk memperkuat kriteria yang telah ada (jenis tanah, curah hujan, kelerengan dan ketinggian tempat).
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
131
Jika hutan di kabupaten tersebut kurang dari 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional, tukar-menukar kawasan hutan dengan lahan pengganti yang bukan kawasan hutan dilakukan dengan rasio paling sedikit 1:2 atau dimungkinkan rasio lahan penggantinya lebih besar (tergantung hasil penelitian tim terpadu). Rasio paling sedikit 1:1 diberlakukan jika hutan di kabupaten tersebut di atas 30%. Setelah diterbitkan keputusan penunjukan dan pelepasan kawasan hutan, perlu dimonitor perkembangan APL yang berhutan tersebut untuk memastikan bahwa kawasan tersebut tetap terkelola dengan baik. Kawasan hutan yang terdegradasi yang dilepaskan perlu segera ditata batas agar kawasan hutan di sekitarnya aman. Sebelum diterbitkannya keputusan penetapan lahan pengganti sebagai kawasan hutan dan keputusan pelepasan kawasan hutan, pemohon dilarang melakukan kegiatan dalam kawasan hutan yang dimohon. Sebaiknya jika nanti hutan di APL dijadikan kawasan hutan tentunya tidak menjadi Hutan Produksi Konversi, karena akan dengan mudah dapat di-APL-kan lagi. Penerapan land swap memerlukan tahapan-tahapan kegiatan, baik yang bersifat teknis maupun non teknis. Untuk tahapan non-teknis, sosialisasi yang intensif adalah prasyarat yang harus dilakukan, terutama untuk daerah-daerah yang akan terkena dampak. Pemerintah harus memikirkan dampak yang akan terjadi dan bentuk insentif dan berbagai kemudahan yang akan diberikan untuk masyarakat.
Refungsionalisasi lahan terdegradasi Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3
Pencabutan HTI/HPH tidak aktif Konservasi APL
Non-prioritas
Land swap
Gambar 2. Posisi kebijakan land swap dalam berbagai opsi kebijakan berdasarkan skala prioritas
132
Mengkritisi Konsep Land Swap: Pembelajaran dari Kebijakan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan
Gambar 3. Kesimpulan
dan Saran
1. Pembelajaran dari kasus tukar-menukar kawasan hutan menunjukkan hanya sedikit pemohon yang memenuhi kewajibannya untuk menyelesaikan ijin pelepasan dan penyediakan lahan pengganti. Pada kasus pinjam-pakai, banyak kasus yang tidak mengembalikan kawasan hutan yang dipinjam, walaupun masa berlakunya sudah habis. Di sisi lain, banyak kawasan hutan yang ditelantarkan oleh pemegang ijin. 2. Filosofi land swap bisa mengadopsi tukar-menukar kawasan hutan yang ada saat ini. Filosofi tukar-menukar kawasan hutan adalah memperluas kawasan hutan, karena rasio minimal tukar-menukar kawasan hutan dengan lahan pengganti 1:1, bahkan dimungkinkan bisa lebih (tergantung dari hasil penelitian Tim Terpadu atau Tim Tukar-Menukar Kawasan Hutan dengan mempertimbangkan nilai ekonomi, ekologi dan sosial). Tukar-menukar kawasan hutan juga menjamin luas kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional sehingga dapat mempertahankan daya dukung kawasan hutan tetap layak kelola. 3. Konsep land swap yang saat ini berkembang perlu dikritisi, mengingat permasalahan kawasan hutan bukan semata-mata permasalahan kehutanan (forestry centris). Konsep land swap seharusnya dipandang sebagai sebuah mekanisme restrukturisasi kawasan hutan agar lebih optimal mengingat beberapa provinsi terdapat APL berhutan, sementara kawasan hutan sebagian kondisinya rusak. Kebijakan land swap bukan merupakan kebijakan prioritas. Kebijakan yang lebih diprioritaskan adalah penanganan lahan hutan yang terdegradasi, pencabutan HPH/HTI yang tidak aktif dan konservasi APL.
Daftar Pustaka Alexander, H. (2013). Tinjauan aspek hukum. Land swap (tukar menukar) kawasan hutan dengan APL dalam rangka mempertahankan tutupan hutan dan perlindungan cadangan karbon. Workshop Land Swap. Jakarta: Pusat Standarisasi Lingkungan. Bama, L. (1999). Wheeling and dealing. High Country News, Volume 31, Issue 6, March 29, 1999. Retrieved from www.hcn.org/servlets/hcn.Article? Article id=4889 (May 16, 2009).
Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan. (2012). Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia. Jakarta: Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
133
Panagia, G. (2009). The political history of federal land exchanges. EGJ Issue 28, Spring 2009.
Rahayu, Y. (2013). Potensi land swap. Workshop Land Swap. Jakarta: Pusat Standarisasi Lingkungan. Satgas REDD+. (2012). Strategi nasional REDD+. Jakarta: Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ Indonesia.
Wardoyo, W. (2013). Konsep pemeikiran tentang pembangunan nasional secara terencana. Development by design. Workshop Land Swap. Jakarta: Pusat Standarisasi Lingkungan. Kementerian Kehutanan.
Widanarti, A. (2010). Perolehan tanah titisara untuk penyediaan kavling siap bangun melalui tukar-guling di Desa Jungjang Wetan Kecamatan Arjawinangun Kabupaten Cirebon. (Thesis). Universitas Diponegoro.
134
Mengkritisi Konsep Land Swap: Pembelajaran dari Kebijakan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan
11 Tata Kelola Ijin Pinjam-Pakai Kawasan Hutan1 Oleh: Subarudi Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Indonesia; e-mail:
[email protected]
Abstrak Penggunaan kawasan hutan adalah kegiatan penggunaan atas sebagaian kawasan hutan kepada pihak lain untuk kepentingan pembangunan di luar bidang kehutanan tanpa mengubah status, peruntukan, dan fungsi kawasan hutan tersebut yang dilakukan melalui IPPKH. Persoalan IPPKH masih menjadi kendala dalam pemanfaatan kawasan hutan dengan maraknya usaha tambang ilegal di kawasan hutan sehingga diperlukan reformasi atas proses perijinan tersebut sesuai dengan tuntutan prinsip-prinsip tata kelola kehutanan yang baik. Salah satu reformasi perijianan adalah pembentukan kantor perijinan terpadu (KPT) di Kementerian Kehutanan melalui langkah-langkah: 1) membentuk Tim Penyusun Rencana Penerapan KPT, 2) membentuk Tim Operasional KPT, 3) menentukan ruangan loket KPT, 4) memasang papan pengumunan terkait dengan prosedur, lama, dan biaya untuk setiap perijinan, dan 5) menerapkan sistem pelayanan “online” dalam proses penetapan perijinannya. Langkah-langkah operasional KPT tersebut perlu diikuti dengan batas waktu penerapan yang jelas dan tegas sebagai rasa tanggung jawab dan komitmen bersama untuk memperbaiki mutu pelayanan umum menjadi pelayanan yang prima di semua bidang perijinan sektor kehutanan. Kata Kunci: Ijin pinjam-pakai, kantor pelayanan terpadu, kompensasi lahan.
1]
Disampaikan pada Seminar Nasional Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Hutan yang Baik. Jakarta, 7 April 2014.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
135
11.1 Pendahuluan Pengelolaan dan penanganan sistem perijinan tanpa melihat bidang perijinannya selalu saja menimbulkan persoalan bagi para pemohon perijinan atau investor yang akan menanamkan modalnya pada bidang usaha tertentu. Persoalan perijinan memang tidak terlepas dari sistem birokrasi yang melingkupinya karena perijinan sangat dekat dan menjadi domain para birokrat sebelum usaha tersebut berjalan dalam koridor usaha yang seharusnya. Sebagai contoh 30 proyek infrastruktur senilai Rp 195,94 triliun telah digelontorkan oleh pemerintah melalui Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) dengan wujudnya berupa jalan, bandar udara, pelabuhan, kereta api, listrik, air dan gas. Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, selaku ketua kelompok kerja koridor Sumatera menyatakan persoalan yang muncul adalah adanya tumpang-tindih lahan antar sektor sehingga penyelesaiannya harus dikoordinasikan oleh setiap kelompok kerja setiap koridor (Kompas, 2012). Persoalan utama bagi proyek pembangunan infrastruktur adalah permasalahan izin pinjam-pakai kawasan hutan (IPPKH) dan panjangnya prosedur rekomendasi perijinan di daerah. Proses pengurusan IPPKH masih tergolong lama dan tidak ada ukuran batas waktunya. Hal ini disebabkan IPPKH masih mempunyai banyak dimensi yang menuntut keterlibatan banyak sektor (Wuryanto, 2012). Seperti halnya dalam proyek pembangunan infrastruktur, IPPKH untuk sektor pertambangan masih juga menjadi kendala dengan berbagai prosedur yang berbelitbelit dan kadangkala berbau biaya transaksi yang tinggi untuk setiap ijin usaha pertambangan di kawasan hutan. Majalah Tempo (2011) telah mengungkapkan secara jelas dan transparan terkait praktik-praktik penyimpangan dalam pengurusan IPPKH untuk usaha pertambangan di kawasan hutan termasuk dengan aktor-aktornya.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas maka kajian tata kelola terkait dengan IPPKH untuk usaha pertambangan menjadi penting dan perlu dilaksanakan sebagai bahan masukan untuk reformasi kebijakan IPPKH dan sekaligus menjadi salah satu bagian dari agenda reformasi birokrasi di Kementerian Kehutanan. Maksud dari penulisan paper ini adalah merumuskan kebijakan tata kelola IPPKH dalam usaha pertambangan. Adapun tujuannya adalah untuk: 1) memberikan pengertian dan masalah terkait dengan IPPKH, 2) menjelaskan prosedur dan persyaratan IPPKH, 3) menganalisis penerapan tata kelola kehutanan yang baik dalam pengurusan IPPKH, dan 4) menyusun strategi penyempurnan proses IPPKH untuk usaha pertambangan.
136
Tata Kelola Ijin Pinjam-Pakai Kawasan Hutan
11.2 Pengertian dan Masalah IPPKH 11.2.1 Pengertian IPPKH Ijin atau perijinan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah license. Menurut Fowler & Fowler (1973) license (noun) is permission to do something the doing of which without such permission is prohibited, document conveying it; excessive liberty of action, disregard of law or proprietary, licentioness. Terjemahan bebasnya adalah lisensi atau perijinan merupakan ijin untuk melakukan sesuatu, melakukan sesuatu yang tanpa ijin tersebut adalah dilarang, dokumen menyampaikan hal tersebut; hak dan kekuasaan berlebih untuk melakukan sesuatu aksi, tidak mengabaikan hukum atau ketepatan/kesesuaian/ pelaksanaan yang benar. License (verb) is authorize, grant to or for (person to do something, thing to be done, place for certain uses, book to be published, play (arts) to be performed). Terjemahannya adalah lisensi merupakan kewenangan yang diberikan kepada atau untuk (orang untuk melakukan sesuatu, sesuatu untuk dilakukan, tempat untuk penggunaan tertentu, buku untuk dipublikasikan, dan pertunjukan seni untuk dipertontonkan). Ijin penggunaan kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut, dilakukan melalui ijin pinjam-pakai kawasan hutan (IPPKH) sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1 PP No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.
Pengertian umum yang sering disebutkan sebagai IPPKH adalah kegiatan penggunaan atas sebagian kawasan hutan kepada pihak lain untuk kepentingan pembangunan di luar bidang kehutanan tanpa mengubah status, peruntukan, dan fungsi kawasan hutan tersebut. Kegiatan di luar bidang kehutanan tetapi dilakukan dengan mengubah status, peruntukkan, dan fungsinya dilakukan melalui ijin tukarmenukar dan pelepasan kawasan hutan sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1 PP No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
11.2.2 Masalah Perijinan di Sektor Kehutanan dan IPPKH Persoalan proses perijinan adalah menyangkut persoalan klasik, yaitu lama dan berbelitnya proses perijinan di daerah. Misalnya di Bali, pengusaha harus menyelesaikan 70 jenis perijinan sebelum usahanya beroperasi. Saat ini ada 10 proyek pembangunan infrstruktur senilai Rp 270,95 triliun yang terkendala oleh IPPKH (Wuryanto, 2012).
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
137
Daftar persoalan dan penyimpangan perijinan di sektor kehutanan, baik yang dilakukan Pemerintah Pusat (Kementerian Kehutanan) dan Pemerintah Daerah telah berhasil diinventarisir sebagaimana tercantum dalam Tabel 1. Tabel 1. Daftar persoalan dan penyimpangan perijinan di sektor kehutanan. No.
Jenis perijinan kehutanan
Kasus/lokasi penyimpangan perijinan kehutanan
Provinsi dan tindak lanjut penyimpangan
Sumber infomasi
1.
Perijinan Pelepasan kawasan hutan (IPKH)
Ijin kebun ilegal di Kabupaten Bengkayang (28.000 ha) dan Kabupaten Sanggau (4.000 ha) oleh 9 perusahaan kebun sawit
Kalimantan Barat dan sudah disidik dan akan diproses hukum
Kompas (18/05/2012)
2.
IPPKH
Eksplorasi pertambangan PT Fathi Resource di Kabupaten Sumba Timur merusak kawasan hutan sekitarnya
Nusa Tenggara Timur dan belum ada tindak lanjutnya
Kompas (19/05/2012)
3.
IPPKH
Ijin tambang di Kabupaten Timor Tengah Selatan telah menyempitkan kawasan hutan dan merusak sumber mata air
Nusa Tenggara Timur dan belum ada tindak lanjutnya
Kompas (19/05/2012)
4.
IPKH
Kemenhut telah memberikan IPKH kepada 287 perusahaan perkebunan seluas 4,23 juta ha namun belum digunakan untuk kebun dan hanya diambil kayunya
Seluruh provinsi dan 260 unit yang mengelola area 3,8 juta ha akan dicabut dan dibatalkan ijin prinsipnya
Soepianto (2011)
5.
IPPKH
Ada sekitar 223 dugaan kasus penggunaan hutan tanpa izin untu keperluan pertambangan dan perkebunan seluas 1,09 juta ha. Rencananya akan diambil alih oleh Tim Terpadu Penanganan Perkara Kehutanan karena minimnya kasus kehutanan di Kaltim
Kalimantan Timur dan baru 6 kasus diproses hukum. Satu kasus pertambangan ilegal di THR Bukit Suharto oleh CV Dwi Karya Pratama sudan divonis dengan pidana kurungan dan denda Rp 2 juta.
Sugiharto (2011)
138
Tata Kelola Ijin Pinjam-Pakai Kawasan Hutan
No.
Jenis perijinan kehutanan
Kasus/lokasi penyimpangan perijinan kehutanan
Provinsi dan tindak lanjut penyimpangan
Sumber infomasi
6.
IPKH dan IPPKH
Sebanyak 42 perusahaan perkebunan ilegal dengan luas lahan 335.000 ha dan perusahaan tambang ilegal dengan luas 695.709 ha dengan taksiran kerugian Negara mencapai Rp 21,7 triliun.
Kalimantan Timur dan kasusnya sudah dilaporkan ke Satgas Pemberantasan Mafia Hukum
Darori (2011)
7.
IPKH dan IPPKH
Sebanyak 352 perusahaan perkebunan dengan luas 4,6 juta ha dan hanya 67 perusahaan (800.000 ha) memiliki IPKH. Sebanyak 615 perusahaan tambang dengan luasan 3,7 juta ha dan hanya 9 perusahaan (30.000 ha) memiliki IPPKH. Taksiran kerugian Negara mencapai Rp 158,5 triliun.
Kalimantan Tengah dan kasusnya sudah dilaporkan ke Satgas Pemberantasan Mafia Hukum.
Darori (2011)
8.
IPKH
Sebanyak 23 kasus perkebunan tanpa izin dan 19 kasus dalam pengumpulan bahan dan 4 telah disidik/ proses hukum
Sumatera Utara dan telah dilaporakan kepada Kemenhut
Ditjen PHKA (2011)
9.
IPKH dan IPPKH
Sebanyak 6 kasus perkebunan dan tambang tanpa izin dan sekarang masih dalam proses penyidikan oleh Mabes Polri dan Kemenhut
Sulawesi Tenggara dan telah dilaporakan kepada Kemenhut
Ditjen PHKA (2011)
10.
IPPKH
Sebagaian kawasan hutan telah dirambah oleh 5 perusahaan tambang ilegal
Lampung dan telah dilaporakan kepada Kemenhut
Ditjen PHKA (2011)
11.
IPKH dan IPPKH
Ada sekitar 87 kasus tambang dan kebun tanpa izin di kawasan hutan
Bangka Belitung dan telah dilaporakan kepada Kemenhut
Ditjen PHKA (2011)
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
139
No.
Jenis perijinan kehutanan
Kasus/lokasi penyimpangan perijinan kehutanan
Provinsi dan tindak lanjut penyimpangan
Sumber infomasi
12.
IPPKH
Ada 49 kasus tambang beroperasi tanpa izin di kawasan hutan
Nanggro Aceh Darussalam dan telah dilaporakan kepada Kemenhut
Ditjen PHKA (2011)
13.
IPPKH
Ada sekitar 13 kasus tambang beroperasi tanpa izin
Papua Barat dan telah dilaporakan kepada Kemenhut
Ditjen PHKA (2011)
14.
IPPKH
Ada sekitar 7 kasus tambang berperasi tanpa izin
Papua dan telah dilaporakan kepada Kemenhut
Ditjen PHKA (2011)
15.
IPPKH
Ada sekitar 13 kasus tambang berperasi tanpa izin
Papua Barat dan telah dilaporakan kepada Kemenhut
Ditjen PHKA (2011)
16.
IPKH
Terbitnya 58 sertifikat di kawasan hutan
Bali dan telah dilaporakan kepada Kemenhut
Ditjen PHKA (2011)
Tabel 1 menunjukkan bahwa IPPKH dan ijin tukar-menukar dan pelepasan kawasan hutan masih menjadi kendala terkait dengan prosedur, lwaktu dan biaya pengurusan ijin sehingga banyak pelaku bisnis yang mengambil jalan pintas dengan tanpa mengurus perijinan (ilegal) dengan segala konsekuensi dan risiko yang sudah diperhitungkan.
11.3 Prosedur dan Persyaratan IPPKH untuk Pertambangan 11.3.1 Perkembangan Proses IPPKH Saat ini Kemenhut telah memproyeksikan PNBP penggunaan kawasan hutan selama 2011-2014 sekitar Rp 1 triliun atau sekitar Rp 250 milian/tahun dengan target luasan sekitar 1 juta hektar. Target ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2010 yang mencapai PNBP Rp 200 milyar. PNBP penggunaan kawasan hutan sudah ditetapkan melalui PP No. 2 Tahun 2008 tentang PNBP yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembanguan di luar kegiatan kehutanan (Kemenhut, 2011). Jumlah IPPKH yang dikeluarkan dari tahun 2009-2010 adalah sekitar 123 unit (2009) dan 54 unit (2010), sedangkan jumlah izin ekplorasi mencapai 66 unit (2009) dan 25 unit (2010). Perkembangan IPPKH tahun 2009-2010 disajikan pada Tabel 2.
140
Tata Kelola Ijin Pinjam-Pakai Kawasan Hutan
Tabel 2. Perkembangan IPPKH tahun 2009-2010 No. 1.
Persetujuan izin
2010
Eksploitasi (20052010)
123
54
390
125.225,97
19.180,97
327.316,21
66
25
187
290.123,18
89.163,56
1.214.895,74
189
79
577
415.349,15
108.344,53
1.542.211,90
IPPKH - Unit - Luasan (ha)
2.
2009
Izin eksplorasi - Unit - Luasan (ha) Total - Unit - Luasan (ha)
Sumber: Kemenhut (2011)
Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah IPPKH yang telah dikeluarkan selama kurun waktu 2005-2010 sebanyak 567 unit dengan luasan mencapai 471.723,15 ha dan iizn eksplorasi sebanyak 845 unit dengan areal seluas 1.594.182,40 ha. Ada laju penurunan yang signifikan yaitu sekitar 58% terkait dengan jumlah IPPKH dan izin eksplorasi yang dikeluarkan oleh Kemenhut, dari 189 unit (2009) menjadi 79 unit (2010). Penurunan jumlah IPPKH resmi ini disebabkan karena banyak pengusaha tambang yang melakukan bisnisnya secara ilegal karena dianggap lebih sedikit biaya “backing” kegiatan ilegalnya daripada harus mengurusnya secara resmi.
11.3.2 Prosedur dan persyaratan IPPKH Prosedur dan persyaratan IPPKH telah dijelaskan secara rinci dalam PP No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan yang terkait dengan: 1) jenis kegiatan pembangunan di luar bidang kehutanan yang diperbolehkan untuk IPPKH, 2) jenis dan fungsi kawasan hutan yang dialokasikan untuk IPPKH, 3) persyaratan dalam permohonaan IPPKH, dan 4) proses dan pemohonan IPPKH.
Jenis kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan yang diperbolehkan untuk IPPKH adalah penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. Ada 12 jenis kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan untuk IPPKH, yaitu kegiatan: 1) religi; 2) pertambangan; 3) instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik, serta teknologi energi baru
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
141
dan terbarukan; 4) pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun relay televisi; 5) jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api; 6) sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi; 7) sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air, dan saluran air bersih dan/atau air limbah; 8) fasilitas umum; 9) industri terkait kehutanan; 10) pertahanan dan keamanan; 11) prasarana penunjang keselamatan umum; atau 12) penampungan sementara korban bencana alam.
Jenis dan fungsi kawasan hutan yang dialokasikan untuk IPPKH adalah kawasan hutan produksi dan/atau kawasan hutan lindung. Pengertian hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Definisi hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Persyaratan dalam permohonan IPPKH meliputi persyaratan dasar, utama dan penunjang. Persyaratan dasar seringkali disebut sebagai persyaratan fisik, meliputi: 1) tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan dan 2) mengenai batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan akan diatur dengan peraturan Menteri Kehutanan. Persyaratan utama dalam permohonan IPPKH khusus pertambangan adalah memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) dalam kawasan hutan produksi dapat dilakukan: a) penambangan dengan pola pertambangan terbuka dan b) penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah; 2) dalam kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah dengan ketentuan dilarang mengakibatkan: a) turunnya permukaan tanah; b) berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen; dan c) terjadinya kerusakan akuiver air tanah. Persyaratan penunjang dalam permohonan IPPKH dapat dilakukan dengan 1) kompensasi lahan, 2) pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan 3) tanpa kompensasi lahan dan PNBP. IPPKH diberikan oleh Menteri Kehutanan melalui permohonan. Permohonan IPPKH diajukan oleh: 1) menteri atau pejabat setingkat menteri; 2) gubernur; 3) bupati/walikota; 4) pimpinan badan usaha; atau 5) ketua yayasan. Permohonan yang diajukan harus memenuhi persyaratan: 1) administrasi dan 2) teknis. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administrasi dan teknis akan diatur dengan peraturan Menteri Kehutanan.
142
Tata Kelola Ijin Pinjam-Pakai Kawasan Hutan
11.4 Penerapan Tata Kelola Kehutanan yang Baik dalam Pengurusan IPPKH 11.4.1 Pengertian Tata Kelola Kehutanan yang Baik Rumusan Lokakarya ”Menuju Tata Kelola Hutan yang Baik: Peningkatan Implementasi Pengelolaan Hutan Lestari Melalui Sertifikasi Hutan dan Pembalakan Ramah Lingkungan” di Balikpapan, 21-23 Juni 2006 mendefinisikan tata kelola kehutanan yang baik adalah pola atau mekanisme hubungan kelembagaan dalam rangka pengurusan dan pengelolaan sumber daya hutan yang menjalankan prinsipprinsip supremasi hukum, akuntabilitas, transparansi, demokratisasi, dan partisipasi para pihak kehutanan (forestry stakeholders). Rumusan Seminar “Good Governance sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari” di Solo, 23 November 2007 memberikan batasan tata kelola kehutanan adalah seperangkat kesepakatan-kesepakatan yang mengatur interaksi para pihak dalam mengelola sumber daya hutan dan untuk menentukan kebijakan-kebijakan pengelolaan hutan.
Kedua pengertian tata kelola kehutanan tersebut memiliki kesamaan atas dua hal, yaitu: 1) pola interaksi kelembagaan/para pihak, dan 2) untuk pengurusan dan pengelolaan sumber daya hutan. Batasan yang lebih tepat untuk tata kelola kehutanan adalah yang dirumuskan dalam Lokakarya di Balikpapan karena tercakup di dalamnya prinsip-prinsip pengelolaan yang baik (Subarudi, 2012).
11.4.2 Prinsip-prinsip Tata Kelola Kehutanan yang Baik Sesuai dengan pengertian yang tepat untuk tata kelola kehutanan yang baik, ada lima prinsip penting yang terkandung di dalamnya, yaitu: 1) supremasi hukum, 2) akuntabilitas, 3) transparansi, 4) demokratisasi, dan 5) partisipasi para pihak kehutanan. Kelima prinsip tersebut merupakan bagian dari sembilan prinsip umum tata kelola yang baik (good governance), di antaranya: 1) partisipatif, 2) berorientasi kesepakatan, 3) akuntabel, 4) transparan, 5) cepat tanggap, 6) efektif dan efisien, 7) adil dan inklusif, 8) mengikuti aturan hukum, dan 9) memiliki visi strategis (Muttaqin & Dwiprabowo, 2007). Dengan demikian penyempurnaan proses perijinan di sektor kehutanan juga harus sesuai dan memenuhi minimal lima prinsip dari tata kelola yang baik sehingga proses perijinan tersebut menjadi sederhana, jelas, dan tepat waktu. Menurut Manaf (2006) prosedur perijinan dan peraturan yang jelas dan pasti akan menciptakan iklim usaha yang kondusif. Hal ini juga akan mendorong pengusaha/investor untuk mengikuti aturan hukum yang ada dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
143
Salah satu indikator tata kelola kehutanan yang baik adalah adanya aturan main yang jelas, ringkas dan mudah untuk dilaksanakan. Dalam aturan pelaksanaan prosedur IPPKH ada 11 Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) yang diperlukan agar proses perijinan penggunaan kawasan hutan dapat berjalan sebagaimana yang diinginkan.
Banyaknya aturan main dalam pengurusan IPPKH oleh beberapa pihak seringkali dinilai sebagai upaya meningkatkan ekonomi biaya tinggi dan tidak mendukung pelaksanaan good governance, namun keberadaan peraturan tersebut mampu memberikan kepastian hukum bagi para investor yang akan menanamkan investasinya di sektor kehutanan khususnya usaha tambang di kawasan hutan. Berkaitan dengan keberadaan dan pelaksanaan dari peraturan tersebut yang belum mendukung tata kelola pemerintahan yang baik, maka pihak perumusan dan pengambil kebijakan harus lebih responsif terhadap hasil-hasil studi evaluasi kebijakan yang dilakukan oleh lembaga riset di lingkup eksternal Kementerian Kehutanan.
11.4.3 Content Analysis Peraturan Perijinan di Bidang IPPKH Ada berbagai peraturan perundangan terkait dengan tata kelola kehutanan yang baik dan sistem perijinan sektor kehutanan khususnya IPPKH terdiri dari bentuk Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres), Instruksi Presiden (Inpres), dan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut). Hasil content analysis terhadap berbagai peraturan terhadap prinsipprinsip tata kelola kehutanan di bidang IPPKH yang baik dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil analisa subtansi (content analysis) dari peraturan perundagan terkait IPPKH dengan kriteria tata kelola kehutanan yang baik
No.
Kriteria prinsip tata kelola kehutanan yang baik
UU No. 41 Tahun 1999
PP No. 24 Tahun 2010
Per-menhut No. P. 43 Tahun 2008
Per-menhut No. P. 56 Tahun 2010
1.
Partisipatif: Perumusan prosedur dan persyaratan perijinan dilakukan dengan melibatkan partisipasi aktif pemangku kepentingan
Belum memenuhi
Belum memenuhi
Belum memenuhi
Belum memenuhi
2.
Berorientasi kesepakatan: Prosedur dan persyaratan perijinan merupakan hasil kesepakatan bersama antara pemerintah dan pemohon ijin
Belum memenuhi
Belum memenuhi
Belum memenuhi
Belum memenuhi
Kriteria prinsip tata kelola kehutanan yang baik
UU No. 41 Tahun 1999
PP No. 24 Tahun 2010
Per-menhut No. P. 43 Tahun 2008
Per-menhut No. P. 56 Tahun 2010
3.
Akuntabel: Prosedur perijinan dapat dipertang-gunggugatkan secara administrasi dan teknis
Belum memenuhi
Belum memenuhi
Belum memenuhi
Belum memenuhi
4.
Transparan: Prosedur perijinan mencantum-kan persyaratan yang jelas, waktu dan biaya pengurusan-nya
Belum memenuhi
Belum memenuhi
Belum memenuhi
Belum memenuhi
5.
Cepat tanggap: Keluhan pemohonan atas keterlambatan proses perijinan dapat dilacak dan cepat ditindaklanjuti
Belum memenuhi
Belum memenuhi
Belum memenuhi
Belum memenuhi
6.
Efektif dan efisien: Proses perijinan berjalan cepat, mudah dan murah
Belum memenuhi
Belum memenuhi
Belum memenuhi
Belum memenuhi
7.
Adil dan inklusif: Proses perijinan berdasarkan FIFO (first in first out) dan tidak esklusif
Belum memenuhi
Belum memenuhi
Belum memenuhi
Belum memenuhi
8.
Mengikuti aturan: Aturan perijinan di tingkat bawah tidak bertentangan dengan aturan di tingkat atasnya
Belum memenuhi
Belum memenuhi
Belum memenuhi
Belum memenuhi
9.
Memiliki visi strategis: Prosedur perijinan berorientasi kepada peningkatan jumlah perijinan dan total investasi yang masuk
Belum memenuhi
Belum memenuhi
Belum memenuhi
Belum memenuhi
No.
Hasil content analysis (Tabel 4) menunjukkan bahwa peraturan perundangan terkait dengan IPPKH untuk usaha pertambangan belum memenuhi prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik di bidang pelayanan perijinan. Hal ini menuntut agar Pemerintah Pusat (Kementerian Kehutanan) dan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten) memang dituntut untuk melakukan reformasi kebijakan perijinan terkait dengan IPPKH untuk usaha pertambangan.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
145
Nitibaskara (2011) menyatakan bahwa 13 perusahan tambang yang boleh beroperasi di hutan lindung sesuai UU No. 19/204 masih melanggar prosedur dan telah menganggap bahwa kontrak karya sudah cukup dalam melaksanakan kegiatan walaupun tanpa IPPKH dari Menhut. Umumnya perusahaan tanpa IPPKH tersebut sudah mengurus ijin ke Kementerian Kehutanan, namun prosesnya memerlukan waktu lama karena tata waktu yang tidak jelas, sehingga disarankan bentuk perizinann harus transparan dan “satu atap”, jelas persyaratannya, berapa biayanya dan kapan selesainya.
11.5 Penyusunan Operasional KPT dan Penyempurnaan Proses IPPKH Dalam upaya merubah sistem tata kelola kehutanan yang baik di Kementerian Kehutanan dan Dinas-Dinas Kehutanan di tingkat provinsi dan kabupaten terkait dengan IPPKH, ada beberapa pembelajaran penting yang dapat dipetik dari Kabupaten Sragen, di antaranya: 1) adanya korelasi positif antara penyederhanaan pelayanan terhadap jumlah pelayanan, investasi, dan penyerapan tenaga kerja; 2) langkah-langkah Kabupaten Sragen dalam melaksanakan program penyederhanaan sistem pelayanan; dan 3) hambatan-hambatan yang dihadapi Kabupaten Sragen dan cara mengatasinya dalam melaksanakan program penyederhanaan sistem pelayanan (Sinombor & Taslin, 2006).
11.5.1 Penerapan Operasionalisasi KPT di Sektor Kehutanan Sebenarnya kantor pelayanan terpadu (KPT) yang diterapkan di Kabupaten Sragen dapat diterapkan di sektor kehutanan khususnya dalam pengurusan IPPKH dengan alasan: 1) karakteristik sistem birokrasi sama dan sebangun antara di Kabupaten Sragen dan Dinas-Dinas Kehutanan di provinsi dan kabupaten; 2) secara umum proses dan prosedur perijinan relatif sama untuk semua sektor usaha; 3) peraturan perundangan terkait dengan pelayanan relatif tidak berbeda antara di Kabupaten Sragen dan Dinas-Dinas Kehutanan di provinsi dan kabupaten; dan 4) sistem pelayanan dan perijinan di sektor kehutanan belum secara jelas dan tegas mencantumkan tentang prosedur, lamanya waktu, dan biaya pengurusan perijinan. Sebagai contoh untuk mengurus ijin Rencana Karya Tahunan (RKT) Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) hutan tanaman di Provinsi Riau dikenakan biaya sebesar Rp 600 juta (Kompas, 2008).
Ada lima langkah penting dan strategis yang harus diambil oleh Kementerian Kehutanan dan Dinas-Dinas Kehutanan di tingkat provinsi dan kabupaten dalam rangka menyusun langka-langkah operasional KPT di sektor kehutanan. Langkah-
146
Tata Kelola Ijin Pinjam-Pakai Kawasan Hutan
langkah tersebut dengan cara mengadopsi langkah-langkah yang sudah diambil oleh pemerintah Kabupaten Sragen antara lain: 1) penentuan waktu dan biaya pelayanan; 2) sosialisasi program KPT; 3) perubahan citra pegawai pelayanan; 4) monitoring dan evaluasi pelayanan; dan 5) tindak lanjut hasil monitoring dan evaluasi.
11.5.2 Strategi Penyempurnaan Pengurusan IPPKH Strategi yang perlu diambil oleh Kementerian Kehutanan agar langkahlangkah operasional SPT dalam pengurusan IPPKH dapat diwujudkan meliputi: 1) membentuk Tim Penyusun Rencana Penerapan SPT; 2) membentuk Tim Operasional SPT; 3) menentukan ruangan loket SPT; 4) memasang papan pengumunan terkait dengan prosedur, lama, dan biaya untuk setiap perijianan; dan 5) menerapkan sistem pelayanan “online” dalam proses penetapan perijinannya.
Pembentukan Tim Penyusun Rencana Penerapan SPT ditetapkan oleh Sekjen Kementerian Kehutanan dengan anggota dari unit Eselon I masing-masing dengan tugas menyusun rencana induk pelaksanaan penerapan SPT di sektor kehutanan. Rencana induk tersebut disosialisasikan secara internal dan eksternal lingkup Kementerian Kehutanan. Pembentukan Tim Operasional SPT ditetapkan juga oleh Sekjen Kementerian Kehutanan yang anggotanya dipilih dari orang-orang yang professional dan memiliki kredibilitas dan karakter yang baik di bidangnya terkait dengan sistem perijinan. Hasil kerja dan kinerja Tim Operasional SPT nantinya akan dimonitor dan dievaluasi oleh Tim Penyusunan Rencana Penerapan SPT.
Tim Operasional SPT dapat menentukan lokasi loket pelayanan umum yang biasanya berada di bagian muka (front desk) dari bangunan gedung kantor. Dalam hal ini lokasi loket pelayanan yang tepat adalah di lantai dasar dari Gedung Manggala Wanabakti. Papan pengumuman yang terkait dengan sistem pelayanan, prosedur perijinan, lama perijianan, dan biayanya harus terpampang jelas dan diletakkan pada tempatnya sehingga dapat dibaca dan dipahami oleh para pemohon perijinan di sektor kehutanan. Proses perijinan secara “online” sebenarnya sudah diterapkan dengan baik oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal dan jika hal yang sama juga diterapkan oleh Kementerian Kehutanan dapat merupakan suatu bukti nyata bahwa Kementerian Kehutanan bersungguh-sungguh untuk menerapkan empat dari lima prinsip tata kelola kehutanan yang baik seperti akuntabilitas, transparansi, demokratisasi, dan partisipasi para pihak kehutanan.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
147
11.6 Kesimpulan dan Saran 11.6.1 Kesimpulan Pinjam-pakai kawasan hutan merupakan kegiatan penggunaan atas sebagaian kawasan hutan kepada pihak lain untuk kepentingan pembangunan di luar bidang kehutanan tanpa mengubah status, peruntukan, dan fungsi kawasan hutan tersebut. Persoalan IPPKH masih menjadi kendala dalam pemanfaatan kawasan hutan sehingga diperlukan reformasi atas proses perijinan tersebut sesuai dengan tuntutan prinsipprinsip tata kelola kehutanan yang baik.
Kebijakan reformasi proses perijinan sebagai salah satu program revitalisasi sektor kehutanan masih dilakukan setengah hati dan cenderung hanya menjadi wacana belaka karena Kementerian Kehutanan dan Dinas-Dinas Kehutanan di provinsi dan kabupaten belum melakukan reformasi di bidang pelayan/perijinannya. Langkahlangkah operasional yang harus dilakukan oleh Kementerian Kehutanan dan DinasDinas Kehutanan di tingkat provinsi dan kabupaten dalam rangka penyempurnaan proses perijinan di sektor kehutanan meliputi: 1) penentuan waktu dan biaya pelayanan; 2) sosialisasi program KPT; 3) perubahan citra pegawai pelayanan; 4) monitoring dan evaluasi pelayanan; dan 5) tindak lanjut hasil monitoring dan evaluasi. Strategi yang perlu diambil oleh Kementerian Kehutanan agar langkah-langkah operasional KPT dalam proses perijinan sektor kehutanan tersebut dapat diwujudkan meliputi: 1) membentuk Tim Penyusun Rencana Penerapan KPT; 2) membentuk Tim Operasional KPT; 3) menentukan ruangan loket KPT; 4) memasang papan pengumunan terkait dengan prosedur, lama, dan biaya untuk setiap perijinan; dan 5) menerapkan sistem pelayanan “online” dalam proses penetapan perijinannya. KPT yang diterapkan di Kabupaten Sragen dapat dijadikan contoh perubahan dan penyempurnaan proses perijinan yang ternyata berpengaruh signifikan terhadap peningkatan jumlah pelayanan, peningkatan investasi dan peningkatan penyerapan tenaga kerja.
11.6.2 Saran Revitalisasi sektor kehutanan seharusnya dilakukan tidak hanya untuk memulihkan perekonomian nasional dan meningkatkan pemberdayaan masyarakat yang bergerak di sektor riil bidang kehutanan, tetapi juga untuk mencapai terwujudnya tata kelola kehutanan yang baik khususnya di sektor perijianan kehutanan. Langkah-langkah operasional untuk perbaikan dan penyempurnaan sistem perijinan di sektor kehutanan harus segera diwujudkan oleh semua instansi kehutanan yang terkait, baik di tingkat pusat dan daerah dengan batas waktu penerapannya
148
Tata Kelola Ijin Pinjam-Pakai Kawasan Hutan
yang jelas dan tegas sebagai rasa tanggung jawab dan komitmen bersama untuk memperbaiki mutu pelayanan umum menjadi pelayanan yang prima di semua bidang perijinan sektor kehutanan.
Daftar Pustaka Adam, A.W. (2012). Reformasi: sistem belum diterapkan secara benar. Harian Kompas, 19 Mei 2012, 2. Darori. (2011). Menyisir sawit dan tambang illegal di hutan. Agroindonesia, VI(336), 12.
Ditjen PHKA. (2011). Memberi kepastian hukum bagi investor. Agroindonesia, VI(336), 13. Fowler, F.G., & Fowler, H.W. (1973). The pocket Oxford dictionary of current English. UK: Oxford University Press.
Kemenhut. (2011). PNBP pinjam-pakai kawasan hutan diproyeksi Rp 1 triliun. Agroindonesia, VI(330), 07. Kompas. (2008). Korupsi hutan: uang Rp 600 juta untuk urus RKTdi provinsi. Harian Kompas, 14 Juni 2008.
Kompas. (2008). Tata pemerintahan: reformasi aparatur negara belum berhasil. Harian Kompas, 9 Oktober 2008.
Kompas. (2012). Kehutanan. Menhut: Ada kebun sawit yang serobot hutan. Harian Kompas, 18 Mei 2012, 22. Kompas. (2012). Pertambangan: stop pertambangan di pulau kecil. Harian Kompas, 19 Mei 2012, 22. Kompas. (2012). Proyek Rp 490 triliun: masalah lahan masih menjadi kendala. Harian Kompas, 11 Mei 2012, 19. Kompas. (2012). Reklamasi: Menhut siap promosi tambang pro lingkungan. Harian Kompas, 18 Mei 2012, 19.
Kusumawardani, L. (2006). Sambutan Dirjen BPK Departemen Kehutanan. Prosiding Lokakarya “Menuju Tata Kelola Hutan yang Baik: Peningkatan Implementasi Pengelolaan Hutan Lestari Melalui Sertifikasi Hutan dan Pembalakan Ramah Lingkungan”. Balikpapan, 21-23 Juni 2006. CIFOR.
Manaf, R. (2006). Sambutan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur. Prosiding Lokakarya “Menuju Tata Kelola Hutan yang Baik: Peningkatan Implementasi Pengelolaan Hutan Lestari Melalui Sertifikasi Hutan dan Pembalakan Ramah Lingkungan”. Balikpapan, 21-23 Juni 2006. CIFOR.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
149
Muttaqin, Z.A. (2007). Good governance dalam 5 Kebijakan Prioritas Departemen Kehutanan. Warta Kebijakan 2(1), Juni 2007.
Muttaqin, Z.A. & Dwiprabowo, H. (2007). Agenda riset tata kelola kehutanan dalam konteks desentralisasi. Prosiding Seminar “Good Forest Governance sebagai Syarat Hutan Lestari”. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Bogor. Nitibaskara, T.U. (2011). Pertambangan dan kebun paling banyak melanggar. Agroindonesia, VI(340), 24.
Pemkab. Sragen. (2007). Kantor Pelayanan Terpadu di Kabupaten Sragen. Sragen: Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen. Rustiani, F. (2008). Ekonomi: perijinan usaha dan investasi. Harian Kompas, 16 Mei 2008, 52.
Sinombor, S.H. & Taslim R.S.A. (2006). Revolusi birokrasi Sragen-Parepare. Harian Kompas, 9 Desember 2006, 36. Soepianto, B. (2011). Jaminan untuk pelepasan hutan. Agroindonesia, VI(340), 14.
Wuryanto, E. L. (2012). Pembangunan: proyek infrastuktur terhambat perizinan. Harian Kompas, 12 Mei 2012, 19.
150
Tata Kelola Ijin Pinjam-Pakai Kawasan Hutan
Notulensi dan Diskusi 1.1 Notulensi 1.1.1 Laporan Penyelenggaran (Kepala Badan Litbang Kehutanan) 1. Latar belakang seminar ini adalah keinginan yang besar untuk turut berperan dalam reformasi agraria. 2. Sektor kehutanan bertanggung jawab mengelola 2/3 dari seluruh daratan RI. Badan Litbanghut, khususnya Puspijak dengan domain kebijakan melaksanakan seminar ini yang merupakan lanjutan seminar tahun lalu. 3. Seminar sebelumnya sudah mengidentifikasi penyebab permasalahan dalam reforma agraria, yaitu: a. Adanya UU Sektoral, yang dibarengi tidak adanya koordinasi dan sinergi b. Tingginya semangat kedaerahan akibat desentralisasi c. Maraknya konflik sosial dan lahan d. Terabaikan fungsi sosial dari hutan e. Kebijakan alokasi lahan, terkait perijinan 4. Rekomendasi langkah-langkah yang perlu dilakukan: a. Pembentukan otorita agraria b. Pembuatan peta jalan penyelesaian konflik 5. Topik hari ini terkait dengan penyebab yang telah diidentifikasi. Makalah yang akan dipaparkan hari ini dimaksudkan untuk: a. Mendiseminasikan aplikasi untuk mengukur kinerja dalam tata kelola kehutanan yang baik b. Memberi masukan bagi formulasi kebijakan dalam rangka reformasi agraria kehutanan kepada pemerintah baru c. Memberi masukan kebijakan pengelolaan hutan 6. Narasumber dalam seminar ini terdiri dari peneliti Puspijak, LIPI dan IPB. Peserta sekitar 120 orang mencakup lembaga internasional, perguruan tinggi NGO, lembaga pemerintah, dan lain-lain.
1.1.2 Keynote speech, Pembukaan dan Launching Buku “Jalan Terjal Reforma Agraria di Sektor Kehutanan Edisi I” (Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan) 1. Reformasi agraria sudah menjadi ketetapan MPR 2. Di Kompas minggu lalu, tentang bagaimana pertumbuhan ekonomi 10 tahun terakhir. Rasio melebar sekitar 0,4 terkait kepemilikan lahan 0,7. Rasio yang tinggi bisa menyebabkan konflik seperti di Amerika Latin
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
151
3. Harus ada koreksi dan sebagai peneliti harus di daerah netral dan boleh mengkritisi. Ketika SBY kandidat 1 mendengar kuliah umum dari Fernando de Soto di Peru, ada hal bahwa si miskin tidak punya akses legal untuk mengelola aset, contoh membeli mesin jahit dengan mengurus ijin terlebih dahulu. Dibandingkan Swiss, waktu kerja lebih sedikit tetapi lebih makmur, berbeda dengan di Peru. Bagaimana si miskin memperoleh akses legal untuk berusaha. 4. Soft reform agraria, diperkenalkan di China. Rakyat dapat memanfaatkan lahan Negara untuk usaha. 5. Di Indiaà tanah dikuasai tuan tanah (Lord), Negara mengatur hubungan antara penyewa tanah dengan petani (success story) 6. Untuk pertama kali mereka punya akses legal melalui peraturan no. 6 tahun 2007 7. Tenurial dikenalkan oleh Raffless. Saat itu dia butuh pajak untuk perang, maka seluruh tanah di Jawa diklaim sebagai tanah Negara. Petani memberi upeti. 8. UU no. 5 tahun 1967 tentang agraria 9. Orang tidak cukup diberikan akses legal saja, perekonomian berkembang terus. Tenure harus diutamakan. Tujuan akhir adalah SFM tercapai, masyarakat sejahtera. 10. Dalam UU 41 tahun 1999 ada pengaruh soft reform, yaitu pemanfaatan ruang 11. Hal-hal yang harus dibangun: a. Pembangunan yang inklusif b. Melibatkan civil society (penting dalam demokrasi) c. Human capital 12. Apakah kita akan “growth with equity” atau ”equity with growth”? Hal ini perlu dikritisi. 13. Dari 31 juta, tinggal 26 juta petani. Petani yang tidak punya keahlian terserap ke sektor informal. 14. Mengapa human capital dimasukkan? Jika kita punya manusia terdidik, maka sistem inovasi berkembang. Sistem inovasi kehutanan (HTR, HKm, BLU, dan lain-lain). 15. Dengan sistem inovasi, kelembagaan yang ada akan menghasilkan insentif dengan sendirinya. 16. Sekarang kita mendorong reformasi agraria tidak hanya memberikan tenur dengan peraturan dan membangun secara inklusif dan human capital. Yang ingin kita ciptakan adalah Negara kesejahteraan. 17. Melihat reformasi agraria dengan kekinian. Litbang mengkritisi, letak kelirunya di mana. 18. Kekurangan pangan dan energi, kemudian impor.
152
Notulensi dan Diskusi
19. Reformasi agraria adalah kunci untuk memakmurkan masyarakat dalam rangka hutan lestari. 20. Liberalisasi dan demokratisasià tata kelola 21. Untuk mendapatkan budget diperlukan tiga hal yaitu desentralisasi, capacity building dan good governance. 22. “Tenure first, then sustainable will follow”. 23. Pendapat dosen UI: Apakah governance adalah kepentingan kita? Pisang dari Indonesia apakah bisa bersaing dengan Amerika Latin? 24. Namyang Uninversityà IMF prediksi PDB China akan melebihi Amerika. Ada ketidakrelaan “Barat” jika semua pindah ke Asia. 25. Hutan adalah dua hal: source of land dan direct revenue from timber sale. Bagaimana mengubah pandangan bahwa hutan hanya dilihat dari dua sisi tersebut? 26. Sepanjang masyarakat (petani, elit lokal) hanya melihat hutan sebagai source of land, maka masalah tidak akan bisa diselesaikan.
1.2 Diskusi 1.2.1 Sidang I 1.2.1.1 Pertanyaan A. Subarudi – Puspijak 1. Persoalan BPN mensertifikasi lahan di kawasan hutan. Legitimasi BPN lebih kuat dari Kemenhut, ini adalah masalah. 2. Kita mewujudkan masyarakat adil dan makmur, kita memposisikan di “makmur” bukan “adil”, persoalan kita adalah keadilan, kalau adil pasti makmur. 3. Sektoral, ada RUU sumber daya alam, saya pikir ini menarik untuk dikaji. 4. Desa sebagai unit pengelolaan hutan lestari. Persoalan adalah, di desa jangan seperti desentralisasi di kabupaten. Desentralisasi jangan diubah, yang diubah adalah aktornya. Kehutanan sudah merespon dengan adanya hutan desa. B. Yesua Y Pellokila – Sajogyo Institute 1. Menurut saya, judul seminar terbalik, yang lebih tepat adalah “Tata kelola kehutanan yang baik untuk mendukung reforma agraria”. Konteks saat ini adalah reformasi di bidang kehutanan. 2. Reformasi di bidang kehutanan ada beberapa tahap, yaitu: a. Reformasi politik
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
153
3.
4. 5.
6.
7.
8.
9.
b. Reformasi hukum kehutananà kaitannya dengan putusan MK. c. Reformasi kelembagaan d. Reformasi relasi dan praktik-praktik kehutananà tata kelola Kita harus membedakan antara “land reform” dan “agraria reform”. Ada dua buku yang bisa dijadikan rujukan, yaitu: e. Buku Reformasi Agraria (Gunawan Winardi) f. Buku Land Reform (Nur Fauzi Rahman) Jika merujuk ke TAP MPR No. 9 tahun 2001, reformasi agraria lebih luas daripada redistribusi lahan. Kaitannya dengan UU Desa lebih spesifik pada Bab XIII pasal 96-111 tentang Desa Adat, jadi di dalam UU Desa ada “desa” dan “desa adat”. Bab XIII merupakan perwujudan dari pengakuan Negara terhadap masyarakat hukum adat yang dituangkan dalam pasal 18b ayat (2) UUD 1945 (kaitannya dengan konstitusi). Pasal 18b ayat (2) menyangkut aspek-aspek terkait hukum adat, yaitu: g. Kewarganegaraan h. Subjek hukum i. Kepemilikan wilayah adat UU Desa hanya menjawab dua hal yaitu kewarganegaraan dan subjek hukum. UU desa belum menjawab aspek kepemilikan wilayah adat. Yang diatur dalam pasal 110 UU Desa, peraturan desa kaitannya dengan UU No 11 tahun 2012. Contoh: Jika pengaturan desa terkait dengan sumber daya hutan dalam suatu desa adat, bertentangan dengan UU Kehutanan, maka UU Kehutanan yang akan dipakai, bukan peraturan desa. Hal ini tidak akan menjawab akses masyarakat desa terhadap hutan. Saya setuju dengan Pak Lukas, menurut saya kita harus melakukan perubahan, bukan hanya tentang tata kelola. Kita harus bicara tentang tata ulang penguasaan hak kepemilikan sampai dengan akses khusus untuk sektor kehutanan. Tata ulang mulai dari aspek politik, hukum, kelembagaan dan penataan relasi.
C. Rita Rahmawati – Universitas Djuanda 1. Disertasi saya tentang konflik sumber daya hutan. Salah satu konflik di kehutanan adalah konflik agraria, itulah yang saya temukan di lapangan. Saya membandingkan antara hutan produksi dan hutan lindung, keduanya terdapat konflik agraria. Ketika melihat hutan ternyata ada banyak persoalan kompleks, salah satunya mengenai disharmonisasi peraturan perundang-undangan. 2. Contoh di Kalimantan Barat: di dalam suatu wilayah yang diklaim oleh masyarakat hutan adat sebagai wilayah hutan adat, ternyata di wilayah tersebut 154
Notulensi dan Diskusi
3. 4. 5.
6. 7.
juga diterbitkan IUPHHK oleh pemerintah pusat dan ijin usaha perkebunan oleh pemerintah daerah. Jadi di dalam suatu wilayah dikalim oleh tiga pihak. Berarti, ada pekerjaan rumah yang sangat besar berkenaan dengan penataan peraturan perundang-undangan kita. Yang paling dirugikan adalah masyarakat. Walaupun UU mengatakan tanah/ hutan dikuasai Negara untuk sebesar-besarnya digunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. People first or forest first? Saya pilih people first, karena jika masyarakat sudah sejahtera maka hutan akan lestari. Di dalam hutan bukan hanya ada tata kelola Negara, tetapi juga terdapat masyarakat yang hidup dengan pengelolaan mereka sendiri. Ada UU yang mengatur tentang desa, bagaimana desa mengelola sumberdaya.Tetapi lebih dari itu, terkait dengan bagaimana melihat masyarakat mengelola hutan dan memiliki pengetahuan tentang hutan. Rekomendasi saya adalah menyerahkan hutan pada pengelolaan masyarakat tetapi tidak semata-mata menyerahkan begitu saja. Terkait dengan presentasi Bu Lilis, ketika menyelesaikan aturan tadi tidak harus selalu tanah/hutan menjadi kepemilikan masyarakat. Pada konflikkonflik tertentu memang ada yang menginginkan pengelolaan penuh dengan kepemilikan masyarakat langsung. Tetapi pada konflik lain seperti kasus di Kasepuhan TNGHS, cukup berikan hak akses pada masyarakat untuk bisa menerima manfaat dari hutan.
1.2.1.2 Jawaban A. Drs. Lukas R. Wibowo,M.Sc.Ph.D – Puspijak Sumber konflik bermacam-macam, bukan hanya kepentingan ekonomi tetapi juga karena: 1. Knowledge system yang berbeda, misalnya antara perikanan dan kehutanan di mangrove. 2. Kita belum punya data yang valid tentang lokasi sehingga terjadi tumpang-tindih ijin. 3. Ada permasalahan di keputusan policy maker. Policy maker tidak mengetahui kondisi di lapangan. Hal ini menjadi pembelajaran bagi kita bahwa policy maker juga harus banyak berdialog dengan warga, masyarakat hutan. Hal itu bisa didukung oleh kontribusi peneliti. Kebanyakan policy dibangun di “belakang meja”, bukan berdasarkan data lapangan yang valid.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
155
B. Arie Sujito, S.Sos,M.Si – UGM 1. Saya setuju bahwa keadilan dan kemakmuran merupakan poin kunci. Policy kita selalu mengabdi kepada prosedur. Di berbagai sektor, jika prosedurnya sudah benar maka dianggap sukses. Di Indonesia, baik tentang demokrasi maupun sengketa agraria juga seperti itu.
2. Pemilu damai selalu menjadi cita-cita banyak orang, tetapi yang damai belum tentu berkualitas. Maka sebaiknya Pemilu itu terjadi ketegangan sedikit tetapi harus ada keadilan di situ dan tidak terjebak pada kekerasan. Untuk reformasi agrarian, suka atau tidak, pasti akan terjadi pertarungan. Harus dihadapi agar tidak terkesan tidak terjadi apa-apa tetapi ternyata terjadi penindasan. 3. Pelajaran berharga tentang pemberian kewenangan ke kabupaten menyebabkan kegagalan mengelola sumber daya. Otonomi “berhenti” di “tangan” Bupati. UU no. 12 tahun 1999 kemudian diganti tahun 2004 dan sekarang mau diubah menjadi UU Pilkada, UU Desa. Sekarang ada UU Perimbangan Pusat dan Daerah.
4. Struktur bernegara kita desentralisasi, tetapi resource kita masih sentarlisasi. Reforma agraria harus ada kepeloporan di tingkat nasional. Pendekatan desentralisasi-metrik yang menempatkan resource berdasarkan pertimbangan geografis di Indonesia, maka kabupaten harus ikut. Kita berfikir bahwa kabupaten selalu membincangkan tentang politisasi kebijakan, tetapi tidak bicara bagaimana daerah merespon reforma agraria. Reforma agraria tidak hanya bicara tentang “bagi-bagi tanah” menjelang Pilkada/Pilpres. Yang kita butuhkan adalah frame ideologi bahwa tanah adalah untuk kesejahteraan. Negara harus hadir untuk membuat keseimbangan.
5. Kita keliru tentang perspektif dan paradigm, seolah-olah reforma agraria tidak ada hubungannya dengan peraturan. Kalau rakyat punya akses resource, kemudian didorong untuk mempu memanfaatkan itu dan diproteksi dari sekian banyak kecenderungan intervensi dan eksploitasi, maka mereka akan bisa survive.
6. Saya apresiasi Pak Subarudi, terutama inisiatif Puspijak untuk membuat risetriset tentang ini, didorong Kementerian kehutanan untuk membuat terobosan kunci, sekecil apapun. Di Indonesia kalau tidak ada yang berhasil kecil, maka tidak ditiru.
7. Setuju dengan Pak Joshua, memang ada keterbatasan tentang pengakuan hak adat. Saya mengusulkan SAINS bisa mengawal RPP tentang masyarakat adat. Sekarang sedang disusun RPP tentang pemerintah desa, keuangan desa dan masyarakat adat, RUU tentang perlindungan masyarakat adat. Coba nanti disinergikan. 156
Notulensi dan Diskusi
8. Posisi hukum positif maupun soal kewenangan. Pertarungan antar sektor akan terjadi. Kita bisa bertarung di MK dan bisa diuji. 9. Yang kita butuhkan saat ini bukan hanya memaknai masyarakat tetapi yang kita butuhkan adalah keberpihakan pemerintah dan Negara itu di mana? Saya yakin sekarang ini pertarungan kapitalisme global yang memanfaatkan keroposnya Negara membuat semua hal diproses dikapitalisasi. 10. Salah satu hal yang menurut saya penting yaitu mari kita dorong reformasi agraria diikuti dengan perubahan mindset tentang paradigma. Jangan sampai merusak hutan secara demokratis. Kita harus bela rakyat tetapi juga harus mendidik masyarakat untuk mengelola lingkungan. 11. Buat road map reformasi agrarian, mulai dari yang paling abstrak sampai yang paling konkrit. Komitmen politik kita dorong, kemudian mekanisme tata kelola seperti apa, regulasi yang berbenturan di-review. Kita harus melakukan itu secara komprehensif, tidak hanya Kementerian Kehutanan melakukan sendiri tetapi bisa bermitra dengan pihak lain. Puspijak bisa memelopori hal itu, implementasinya seperti apa. Pendekatan ini akan ada tahapan kemenangan kecil untuk kemenangan besar. C. Lilis Mulyani,S.H.LLM – LIPI 1. Persoalan istilah, land reform dan reforma agraria memang dua hal yang berbeda, tetapi ada penggunaan di mana keduanya saling bersinggungan. Penggunaan istilah bukan tanpa tujuan. Reforma, bukan reformasià ada persoalan ideologi yang harus diperjuangkan. 2. Pemaknaan hutan yang menjadi inti. Memberikan akses saja terhadap lahan/tanah/ hutan bukan jawaban karena seringkali masyarakat adat memiliki keterlibatan yang lebih terhadap tanah/hutan mereka. Hal ini sudah terbukti dengan putusan MK. 3. Perbedaan pemaknaan menjadi masalah. Bukan data tidak ada, data ada banyak tetapi masing-masing punya data yang berbeda dan tidak ada koordinasi. Ketika disinkronisasi tidak “nyambung”. 4. Tumpang-tindih kepemilikan lahan terjadi karena kita punya peta yang berbedabeda. Kementerian Kehutananan memiliki peta 1:250.000 yang digunakan untuk mengatur tata guna hutan. Ketika tata ruang menggunakan peta 1:50.000, lebih spesifik dan lebih jelas. BPN punya peta yang sangat detail 1:5.000, ketika dioverlay dengan peta kehutanan maka terlihat batas-batas yang saling tumpangtindih. Dengan satu standar peta diharapkan bisa mengurangi potensi-potensi konflik. 5. Selama ini Negara lebih banyak memberikan akses yang tidak langsung kepada masyarakat. Misalnya kemakmuran akan dicapai jika pengelolaan sumber daya
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
157
alam diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar. Sampai sekarang justru tidak terbukti. Pemberian kepada perusahaan besar justru menambah kekronisan konflik agraria. Masyarakat semakin tersingkir dan tidak punya akses, mereka semakin miskin.
6. Sudah saatnya kita memikirkan untuk memberikan akses kepada masyarakat. Grand design memang suatu kebutuhan. Kita perlu perencanaan pengelolaan SDA yang tersinergi dan terkoordinasi. Apakah RUU sumber daya agraria akan bisa menjadi jawaban? Bisa ya bisa tidak. Yang diperlukan adalah peta jalan atau grand design, road map mengenai pengelolaannya. Data yang sudah ada disamakan standarnya dan banyak harus disamakan konsep dan knowledge-nya. 7. Reforma agraria tidak boleh menjadi klaim satu institusi saja, misalnya BPN atau kehutanan, tetapi harus menjadi agenda bangsa. Semua institusi yang ada di Negara ini maupun semua penggiat agraria harus bersatu-padu dan mendorong pelaksanaan reforma agraria. Reforma agraria di bidang kehutanan adalah salah satu dari proses dan bagian dari reforma agraria nasional. 1.2.1.3 Lilis Mulyani,S.H.LLM – LIPI 1. Mengenai nota kesepakatan 12 kementerian, kami mengetahui itu. Terkadang kami kurang mensinergikan. Kami ada kerjasama dengan UNDP, ada dua tema besar yaitu: a. Pembentukan karakter bangsa dan b. Penyelesaian konflik 2. Yang harus dioptimalkan adalah fungsi kawasan, bukan status kawasan.
3. “Menguruskan” kawasan hutan atau “menggemukkan”? Kawasan hutan jika bentuknya adalah hutan produksi yang sudah ditinggalkan, jika masyarakat miskin masih banyak, maka kawasan perlu “dikuruskan”. 1.2.1.4 Kesimpulan Moderator A. Prof. Dr. Ir. Endriatmo Soetarto, MA – IPB 1. Asian Open Community, tahun 2015
2. Tanah/pulau-pulau kecil sudah mulai dikuasai pihak asing, contoh di Bali 3. Sektor pangan sudah mulai akan diserahkan kepada korporasi.
4. Reforma agraria harus diposisikan sebagai pondasi yang akan dibangun, bahwa yang berdaulat adalah rakyat.
158
Notulensi dan Diskusi
1.2.2 Sidang II 1.2.2.1 Pertanyaan A. Darwin A. Tjukke – KPH Model Wajo Sulawesi Selatan 1. HKm, HTR, Hutan Desa yang sudah ada. Di luar itulah yang kami kelola sebagai KPH untuk pemanfaatan hutan dan tegakan. Dengan adanya KPH, saya sependapat dengan Pak Dodik bahwa kita harus mempertahankan fungsi kawasan hutan, bukan kawasan hutannya. KPH diberikan kewenangan untuk mempekerjakan masyarakat. Pemanfaatan tegakan dengan ijin memanfaatkan kawasan hutan. Dengan adanya KPH kita akan lebih maju. Beda jika kita hanya memberikan HKm saja. 2. KPH pada akhirnya, masyarakat akan memperoleh manfaat langsung bagi hasil. Karena ini merupakan kawasan hutan maka kita buatkan Perda, 40% untuk masyarakat dan 60% diserahkan ke Negara (kabupaten, provinsi) untuk digunakan mengelola hutan kembali. 3. KPH yang maju, sudah sampai di mana pemanfaatan hutan dan pemanfaatan tegakannya? Kami di Wajo memanfaatkan hutan dengan menanam murbei untuk ulat sutera. 4. Di Wajo, bahan baku benang sutera dibutuhkan 300 ton per tahun. Dengan adanya kewenangan KPH, maka masyarakat bisa kita masukkan ke kawasan hutan untuk mengelola 5000 ha tanaman murbei yang dapat memenuhi kebutuhan industri tenun di Wajo. B. Hasbi Berliani – Kemitraan 1. Definisi kawasan hutan dan hutan Negara merupakan hal penting untuk menjadi perhatian kita. 2. Jika hasil studi LIPI akan dijadikan basis untuk mendorong reforma agraria ke depan, maka dari empat poin rekomendasi Bu Lilis tadi, nomor 1-3 sudah berjalan melalui Nota Kesepakatan Bersama 12 Kementerian yang dikoordinasikan oleh KPK tentang percepatan kawasan hutan. 3. Rekomendasi nomor empat juga sebenarnya sudah ada, tentang sinkronisasi perundang-undangan. Saya kira jika studi LIPI ini akan dijadikan basis reformasi agrarian sektor kehutanan ke depan, maka perlu melingkup beberapa perkembangan terkini dari nota kesepakatan bersama 12 kementerian itu dan juga bahan dari roadmap/peta jalan reformasi tenurial kehutanan yang telah disusun oleh kalangan CSO dan dipublikasikan November 2011. Ada tiga area komponen reformasi kehutanan yang penting untuk dilihat sebagai basis reforma agraria sektor kehutanan ke depan.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
159
1.2.2.2 Jawaban A. Dr. Ir. Dodik R. Nurrochmat, M.Sc. – IPB 1. Saya lebih setuju model KPH sesuai dengan kondisi lokal, tidak menjadi seragam dengan yang lain.
2. Kita perlu meregister siapa yang mejadi perambah, agar menjadi lebih jelas, siapa yang menanam apa. Harus bisa mengakui dengan sistem register dan pembinaan agar sesuai dengan fungsinya. Hasil penelitian ICRAF tidak ada pengaruh siginifikan. Tantangan kehutanan adalah tanaman apa yang bisa bersimbiosis yang kompatibel dengan fungsi lindung dan produksi. 3. HTR, HKm, dan lain-lain, terlalu kecil. Di RKTN, dari total 5,57 juta ha hanya sekitar 1/9. Hanya sekitar 250 ribu orang yang bisa terakomodir.
4. Skema pemanfaatan hutan yang melibatkan masyarakat perlu dibuat lebih luas. Di Wajo PNS hanya 30 orang, maka hal itu tidak mungkin mengelola kawasan yang luas tanpa melibatkan masyarakat. 5. Dengan sistem hukum yang ada saat ini jika ada pelepasan kawasan hutan, maka yang akan mengambil adalah korporasi. B. Dr. Ir. Sulistya Ekawati, M.Sc. – Puspijak 1. Dari KPH contoh yang kami teliti sudah ada sosialisasi, tetapi belum sepenuhnya operasional. Harapannya KPH bisa menjadi resolusi konflik atas perambahan yang terjadi di hutan karena KPH terkait dengan masyarakat hutan, contoh HKM, HTR dan Hutan desa. 2. Di KPH yang kami kunjungi belum berjalan.
3. Isu pemantapan kawasan hutan, adalah “nyambungnya’” dengan tools. 1.2.2.3 Kesimpulan Moderator A. Dr. Myrna A. Safitri – Epistema Institute 1. Reforma agraria di sektor kehutanan adalah kebutuhan 2. Yang terpenting adalah tenure first dan SFM.
3. Esensi terpenting adalah konsep mengenai kawasan hutan itu sendiri. Apakah kita memandang kawasan hutan hanyalah hutan Negara atau melihat UU 41, bahwa selain hutan Negara ada hak masyarakat dan badan hukum.
4. Lihatlah pada situasi lapangan, apakah memungkinkan/mempunyai potensi untuk dijadikan hutan tetap? 160
Notulensi dan Diskusi
5. Ketika mengaitkan dengan UU Desa, ada banyak harapan tetapi tidak sedikit persoalan. Bagaimana UU desa dapat menjawab ketimpangan struktur agraria internal? 6. Reforma agraria akan berjalan dengan baik jika persoalan governance bisa kita ketahui sejauh mana derajatnya.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
161
Agenda Acara Jam
Kegiatan
08.30-09.00
Regristasi
09.00-09.05
Pembukaan/Doa
09.05-09.20
Menyanyikan lagu Indonesia Raya Menyanyikan lagu Mars Rimbawan
09.20-09.30
Laporan Kepala Badan Litbang Kehutanan
09.30-09.50
Keynote Speech Sekretaris Jenderal Kemenhut
09.50-10.00
Launching Buku Jalan Terjal Reforma Agraria di Sektor Kehutanan Edisi I
10.00-10.15
Rehat Kopi
Sesi I
Moderator: Prof. Dr. Ir. Endriatmo Soetarto, MA
10.15-10.30
1. Penataan Kembali Reformasi Agraria Kehutanan di Indonesia Pasca Desentralisasi Lilis Mulyani, S.H.LLM
10.30-10.45
2. Memperkuat Partisipasi Warga dalam Kebijakan Reforma Agraria untuk Transformasi Kelola Hutan Arie Sujito,S.Sos.MSi.
10.45-11.00
3. Reformasi Agraria: Isu yang Tak Berujung Drs. Lukas R. Wibowo,M.Sc.Ph.D.
11.00-11.45
Diskusi
Sesi II
Moderator: Dr. Myrna Safitri
11.45-12.00
4. Tata Kelola Kawasan Untuk Mendukung KPH Dr. Ir. Dodik R. Nurochmat,M.Sc.
12.00-12.15
5. Mengukur Tata Kelola Hutan di Daerah. Sebuah Alat Untuk Menilai Kinerja Pengelolaan Hutan Pemerintah Kabupaten di KPH Dr. Ir. Sulistya Ekawati,M.Sc.
12.15-12.45
Diskusi
12.45-13.00
Pembacaan Rumusan Tim Perumus
13.00-selesai
• Penutupan • ISHOMA
162
Agenda Acara
Daftar Hadir No
Nama
Instansi
1
A. Ristiadi R.
Tropenbos
2
Aal
Universitas Djuanda
3
Abdul Rohim
PHKA
4
Achmad Pribadi
Puspijak
5
Agus Purwanto
Puspijak
6
Agus W.
DJPR
7
Andri Santosa
FKKM
8
Andri Setiadi K.
Puspijak
9
Aneka P.S.
Puspijak
10
Antung Deddy
KLH
11
Ari Wibowo
Puspijak
12
Arie Sujito
UGM
13
Bahdarsyah
Pusdiklat Kehutanan
14
Bambang Sigit
Pusat Penyuluhan
15
Bambang Tri W.
Pusprohut
16
Bedjo Santoso
Kemenhut
17
Budi
Puspijak
18
Budihadi N.
Puskonser
19
Chairil A. Siregar
Puskonser
20
Dana A.
Setbadan Litbang
21
Darwin A. Tjukke
KPH Model Wajo Sulawesi Selatan
22
Deden Djaenudin
Puspijak
23
Dewi Ratna K.S.
Puspijak
24
Dodik R. Nurrochmat
IPB
25
Donny Wicaksono
Puspijak
26
Dwi Aprilia
Setbadan Litbang
27
Edi Purwanto
Tropenbos
28
Elisda Damayanti
Puspijak
29
Ellis R.
Puspijak
30
Elvida Y.S.
Puspijak
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
163
No
Nama
Instansi
31
Endah Nurhidajati
Setbadan Litbang
32
Endang Dwi Hastuti
Pusat Penyuluhan
33
Endriatmo Soetarto
IPB
34
Erna Rosita
Pustanling
35
Fahmi
Huma
36
Fauzi Masud
Puskonser
37
Gamin
IPB
38
Gentini Ika Lestari
Puspijak
39
Hadi Daryanto
Sekjen Kemenhut
40
Handoyo
Puspijak
41
Hari
Puspijak
42
Hasbi Berliani
Kemitraan
43
Hengki Permadi
Setbadan Litbang
44
Herry Y.
LIPI
45
I Wayan S. Dharmawan
Puskonser
46
Ichsan Soelistio
Komisi III DPR RI
47
Iis Alviya
Puspijak
48
Iksan
Setbadan Litbang
49
Indarwati
Puspijak
50
Ismatul Hakim
Puspijak
51
Iswahyudi
Puspijak
52
Jajang Abas
Puspijak
53
Jay N.
Puspijak
54
John H.
Biro Hukum
55
Juhaeni
Setbadan Litbang
56
Julinda Hernawati
Ditjen Perencanaan KH
57
Krisdianto
Pustekolah
58
Kucoro Ariawan
Puspijak
59
Kurniyanti D.
Setbadan Litbang
60
Kushartati B.
Puspijak
61
Lilis Mulyani
PMB LIPI
62
Lukita Awang N.
KKH-PHKA
63
Lyna Mardiana
Ditjen Perencanaan KH
No
Nama
Instansi
64
M. Budi Muliyawan
HARPI
65
M. Zahrul Muttaqin
Puspijak
66
Manganah S.
Burung Indonesia
67
Manifas Zubayr
IPB
68
Marahalim S.
Burung Indonesia
69
Medrilzam
KKSDA – Bappenas
70
Mega Lugina
Puspijak
71
Meggy
Setbadan Litbang
72
Myrna Safitri
Epistema Institute
73
Niken Sakuntaladewi
Puspijak
74
Norlita Oktaviani
Ditjen Pengukuhan
75
Nurhasanah
Setbadan Litbang
76
OK Karyono
Puspijak
77
Pratiwi
Puskonser
78
Putera Parthama
Litbang Kemenhut
79
Rachman Effendi
Puspijak
80
Ratna Widyaningsih
Puspijak
81
Retno S.
WWF
82
Rita Rahmawati
Universitas Djuanda
83
RM. Mulyadin
Puspijak
84
Rufiie
Pustekolah
85
Ryke L. S. Siswari
Pusat Penyuluhan
86
Sisilia
Huma
87
Sri Lestari
Setbadan Litbang
88
Subarudi
Puspijak
89
Sudarmalik
IPB
90
Sugeng
Pusdiklat
91
Suhardi M.
Setbadan Litbang
92
Suhartono
Ditjen Perencanaan
93
Sukijo
PHKA
94
Sulistya Ekawati
Puspijak
95
Suradi
Pusdiklat
96
Suratmi
Setbadan Litbang
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
165
No
Nama
Instansi
97
Susilo Indriati
Setbadan Litbang
98
Syahyuti
PSEKP
99
Sylviani
Puspijak
100
Tessa Toumbouron
The Asia Foundation
101
Tessie KET
PU
102
Thomas N.
Setbadan Litbang
103
Tigor Butar-Butar
Puspijak
104
Trio Santoso
PHKA
105
Triyono Puspitojati
Puspijak
106
Tuti Herawati
Pusprohut
107
Umi Wardani
Setbadan Litbang
108
Uus Danu K.
Setbadan Litbang
109
Waluyo
Biro Keuangan
110
Wawan
Puspijak
111
Widyastuti
Biro Hukum
112
Windi Utari
Setbadan Litbang
113
Wiwiek Eko Safitri
Ditjen Pengukuhan
114
Wiyono
Setbadan Litbang
115
Yadi Mulyadi
Setbadan Litbang
116
Yanto Rochmayanto
Puspijak
117
Yesua Y Pellokila
Sajogyo Institute
118
Yoyok Sigit H.
Puspijak
119
Yuli Rahmawati
Puspijak
120
Zaenal Hayat
Puspijak
166
Daftar Hadir
Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor; Telp.: 0251 8633944; Fax: 0251 8634924; Email:
[email protected]; Website: http://puspijak.litbang.dephut.go.id atau www.puspijak.org
168
Daftar Hadir