ISBN 978-602-71618-0-1
PROSIDING SEMINAR SEHARI HASIL PENELITIAN BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI HASIL HUTAN BUKAN KAYU Tema : “Peningkatan Kapasitas Tenaga Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Pada Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Sumbawa” Sumbawa, 27 November 2013
KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI HASIL HUTAN BUKAN KAYU
Prosiding Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu ISBN
978-602-71618-0-1 PENYUNTING Dr. Sitti Latifah, S.Hut, M.Sc.F Dr. Husni Idris, S.P, M.Sc Budhy Setiawan, S.Hut, M.Si DIPUBLIKASIKAN Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Jl. Dharma Bhakti no. 7 Langko-Lingsar, Lombok Barat – NTB Telp. (0370) 6573874, Fax. (0370) 6573841 Email :
[email protected] Website : bpthhbk.litbang.dephut.go.id
ii
KATA PENGANTAR Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu (BPTHHBK), Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan telah menyelenggarakan Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu pada tanggal 27 November 2013 di Sumbawa dengan tema “Peningkatan Kapasitas Tenaga Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kehutanan pada Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kabupaten Sumbawa”. Seminar ini dimaksudkan untuk menyampaikan informasi hasilhasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu sampai tahun 2013. Disamping itu seminar ini diharapkan pula untuk memperoleh masukan baik dari para pengambil kebijakan maupun para pengguna di lapangan. Sedangkan tujuannya adalah mendapatkan informasi mengenai isu dan fakta-fakta baru di bidang kehutanan yang merupakan hasil-hasil penelitian dari BPTHHBK dan agar para penyuluh sebagai peserta seminar mendapatkan solusi dari masalahmasalah yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha berkaitan dengan hasil hutan bukan kayu. Prosiding ini berisi rumusan masalah, laporan panitia, makalah, hasil diskusi dan lain-lain yang erat kaitannya dengan penyelenggaraan seminar. Keberhasilan penyelenggaraan seminar hingga selesainya prosiding ini tidak terlepas dari bantuan dan kerjasama semua pihak terkait. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya disertai harapan semoga prosiding ini dapat bermanfaat.
Mataram, Oktober 2014 Kepala BPTHHBK Ttd Ir. Harry Budi Santoso, M.P NIP. 19590927 198903 1 002
iii
iv
DAFTAR ISI
Halaman Kata Pengantar ....................................................................................... iii Daftar Isi ................................................................................................
v
Daftar Lampiran ..................................................................................... vii Rumusan Hasil Seminar ........................................................................ ix Laporan Panitia Penyelenggara ............................................................. xiii Sambutan Kepala Badan Pelaksana Penyuluh Pertanian, Perikanan xv dan Kehutanan Kabupaten Sumbawa .................................................... MAKALAH DAN DISKUSI ............................................................... I. Peran BPTHHBK dalam Peningkatan Kualitas Madu Alam di 3 Batu Dulang, Sumbawa .......................................................................... II. Mengenal Lebah Madu Trigona sp dan Usaha 16 Pembudidayaannya ................................................................................ III. Peningkatan Pengusahaan Madu di Klaster Madu Sumbawa ................ 25 IV. Budidaya Tanaman Penghasil Gaharu ................................................... 36 V. Teknik Produksi Gaharu Budidaya di Nusa Tenggara Barat ................. 49 VI. Potensi dan Manfaat Nyamplung sebagai Bahan Baku Energi 56 di Sumbawa ............................................................................................ VII. Pemanfaatan Mimba dalam Rehabilitasi Lahan Kritis di 69 Daerah Kering ....................................................................................... VIII. Diskusi ................................................................................................... 83 Lampiran .............................................................................................. 87
v
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 : Daftar Hadir Peserta ......................................................... 89
vii
viii
RUMUSAN SEMINAR SEHARI HASIL-HASIL KAJIAN BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI HASIL HUTAN BUKAN KAYU DI KABUPATEN SUMBAWA TANGGAL 27 NOPEMBER 2013
Berdasarkan makalah yang dipaparkan oleh narasumber serta diskusi yang berkembang, seminar sehari hasil-hasil kajian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu di Sumbawa, yang dilaksanakan di Sumbawa Besar tanggal 27 Nopember 2013, menghasilkan rumusan sebagai berikut : 1.
Seminar sehari ini merupakan sarana untuk mengkomunikasikan hasilhasil penelitian yang telah dilakukan BPT HHBK kepada para penyuluh pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan di Kabupaten Sumbawa, sehingga dapat diimplementasikan di tingkat lapangan. Hal ini juga merupakan kontribusi BPT HHBK beserta seluruh peserta seminar untuk mendukung pengembangan HHBK dalam rangka pembangunan kehutanan khususnya di Kabupaten Sumbawa.
2.
HHBK potensial yang dapat dikembangkan di Kabupaten Sumbawa diantaranya adalah madu hutan termasuk madu yang dihasilkan oleh jenis Trigona sp, Gaharu (Gerinops verstegii), mimba (Azadirachta indica) dan jenis sumber Bahan Bakar Nabati (BBN) yaitu Nyamplung (Callophylum inophyllum).
3.
Sumbawa sebagai kluster pengembangan madu hutan di Indonesia, memerlukan dukungan baik teknis maupun kelembagaan pengusahaan madu hutan sehingga dapat meningkatkan nilai tambah bagi
ix
masyarakat pengumpul madu. Beberapa hasil penelitian yang dapat mendukung upaya pemantapan kluster madu di Sumbawa adalah : -
Peningkatan kualitas madu hutan melalui penurunan kadar air madu yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) kualitas madu.
Penurunan kadar air tersebut dapat dilakukan
dengan menggunakan bangunan penurun kadar air madu. Bangunan penurun kadar air madu yang ada di Sumbawa merukan kerjasama antara BPT HHBK dengan petani pengumpul madu hutan di Sumbawa. -
Potensi usaha perlebahan lainnya yang potensial adalah produk perlebahan yang berasal dari lebah Trigona sp. Lebah ini lebih banyak memproduksi propolis dari pada madu. Upaya budidaya lebah ini telah banyak dilakukan di pulau Lombok, namun demikian pulau Sumbawa juga mempunyai potensi untuk mengembangkan lebah ini.
-
Kajian kelembagaan pengusahaan madu di Sumbawa menunjukkan bahwa Sumbawa mempunyai kelembagaan yang lebih baik dari tempat lainnya di Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun demikian masih perlu dilakukan peningkatan kapasitas kelembagan yang ada, peningkatan nilai tambah produk madu dan ekspansi pasar.
4.
Gaharu merupakan salah satu HHBK unggulan di NTB, dan di Sumbawa sendiri sudah banyak pembudidaya gaharu yang memerlukan dukungan teknologi budidaya gaharu. BPT HHBK telah melakukan penelitian berkaitan dengan gaharu, diantaranya adalah :
x
-
Teknik budidaya gaharu dari mulai pembibitan sampai dengan penanaman termasuk didalamnya pengendalian hama dan penyakit dengan menggunakan biopestisida.
Adapun biopestisida yang
digunakan berasal dari tanaman mimba. -
Salah satu upaya untuk menghasilkan produk gaharu adalah melalui injeksi jamur pembentuk gaharu. Teknik bioinduksi merupakan
teknik
yang
dipercaya
paling
efektif
dalam
pembentukan gaharu hingga saat ini. Fusarium spp merupakan fungi yang ditemukan berasosiasi pada pembentukan gaharu pada jenis Gyrinops spp dan berfungsi sebagai agen biologi pada teknik bioinduksi. 5.
Sumbawa juga berpotensi menjadi lokasi pengembangan HHBK sumber BBN yaitu nyamplung yang banyak ditemukan di daerah dataran rendah pesisir pantai.
Seluruh bagian tanaman nyamplung
berdayaguna dan menghasilkan bermacam produk bernilai ekonomi terutama buah/biji dan kayunya. Penelitian yang telah dilakukan juga telah mencapai tahap pengolahan biji nyamplung menjadi biokerosin melalui
proses
pengukusan,
pengeringan
biji,
penggilingan,
pengempaan, penyaringan, degumming, netralisasi, pencucian, dan pengeringan. 6.
Upaya pengembangan HHBK juga dapat dilakukan dalam kerangka rehabilitasi lahan.
Jenis potensial yang dapat digunakan dalam
rehabilitasi lahan kritis di daerah kering seperti Sumbawa adalah mimba.
Untuk mengatasi keterbatasan lahan kritis berupa air dan
unsure hara, telah dilakukan penelitian pemanfaatan hidrogel dan pupuk organik sebagai bahan pembenah tanah sehingga mampu
xi
mendukung pertumbuhan mimba. Namun demikian pemanfaatan kedua bahan ini diprioritaskan pada bahan-bahan yang murah dan banyak tersedia secara lokal.
Sumbawa Besar, 27 Nopember 2013. Tim Perumus : 1.
Ogi Setiawan,S.Hut, M.Sc
2.
Ir. I Wayan Wdhana Susila, M.P
3.
Nugraha Firdaus, S.Hut, M.Env
xii
LAPORAN PANITIA PENYELENGGARA KEGIATAN SEMINAR SEHARI HASIL-HASIL KAJIAN BPTHHBK (BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI HASIL HUTAN BUKAN KAYU) PROPINSI NTB KEGIATAN PENINGKATAN KAPASITAS TENAGA PENYULUH PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN KABUPATEN SUMBAWA TAHUN ANGGARAN 2013 TANGGAL 27 NOPEMBER 2013 Yang terhormat, Bapak Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP4K) Kab. Sumbawa. Yang terhormat, Bapak Kepala BPTHHBK Prop. NTB beserta rombongan. Yang terhormat, Kepala Dinas Kehutanan Kab. Sumbawa. Yang terhormat, Bapak dan Ibu Kabid daan Kasubid Lingkup BP4K Kab. Sumbawa. Yang terhormat, koordinator BP3K beserta Penyuluh Kehutanan se-Kab. Sumbawa. Singkatnya, Bapak-bapak dan Ibu-ibu tamu undangan dan peserta seminar yang sama-sama kami hormati. Bismillahirrahmannirrahim Assalamualaikum Wr.Wb. Pertama-tama marilah kita memanjatkan puja dan puji syukur kita kehadirat Allah SWT karena sampai saat ini Alhamdulillah kita masih dikaruniai kesehatan dan kesempatan sehingga kita bisa menyelesaikan salah satu hajat mulia kita yaitu melaksanakan kegiatan Seminar Sehari Hasil-hasil Kajian BPTHHBK PROPINSI NTB Kegiatan Peningkatan Kapasitas Tenaga Penyuluh Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan pada Badan Pelaksana Penyuluh Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kabupaten Sumbawa Tahhun Anggaran 2013. Selanjutnya ijinkanlah saya, sebagai penyelenggara kegiatan melaporkan beberapa hal berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan ini….
xiii
A.
B.
C.
D.
E.
Dasar Pelaksanaan Dokumen Pelaksanaan Anggaran BP4K Kabupaten Sumbawa Tahun 2013. Program Pemberdayaan Penyuluh Pertanian/Perkebunan Lapangan Kegiatan Peningkatan Kapasitas Tenaga Penyuluh Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Tujuan Pelaksanaan 1. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai isu dan fakta-fakta baru dibidang kehutanan yang merupakan hasilhasil kajian dari BPTHHBK Prop. NTB. 2. Penyuluh sebagai peserta seminar mendapatkan solusi dari masalah-masalah yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha berkaitan dengan hasil hutan bukan kayu sehingga nantinya diperoleh pemahaman tentang strategi yang menguntungkan hingga memperoleh keberhasilan. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 27 Nopember 2013 bertempat di Aula Hotel Dewi Sumbawa Besar. Peserta berjumlah 150 orang terdiri dari : Koordinator BP3K, Penyuluh Kehutanan Pegawai Negeri Sipil Se-Kabupaten Sumbawa, PKSM (Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat) Kabid dan Kasubid Lingkup BP4K Kab. Sumbawa Sumber Dana Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD BP4K Kabupaten Sumbawa Tahun Anggaran 2013 Demikian hal-hal yang dapat kami laporkan, selanjutnya pada saatnya nanti kami mohon kepada bapak Kepala BP4K Kab. Sumbawa untuk memberikan sambutan dan pengarahan sekaligus membuka secara resmi Kegiatan ini. Semoga apa yang kita lakukan saat ini akan membawa berkah dan rahmat bagi kita semua….. Amin…Amin… Ya Rabbal Alamin Billahi taufik wal hidayah Wassalamualaikum Wr. Wb. Terimakasih.
xiv
SAMBUTAN KEPALA BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN KABUPATEN SUMBAWA PADA “SEMINAR SEHARI HASIL-HASIL KAJIAN BPTHHBK PROPINSI NTB KEGIATAN PENINGKATAN KAPASITAS TENAGA PENYULUH PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN” Sumbawa, 27 Nopember 2013 Yang saya hormati, Bapak Kepala BPTHHBK Propinsi NYB beserta Rombongan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Sumbawa Bapak dan Ibu Kabid dan Kasubid Lingkup BP4K Kabupaten Sumbawa Koordinator BP3K beserta penyuluh Kehutanan se-Kabupaten Sumbawa Serta seluruh tamu undangan dan peserta seminar Assalamualaikum Wr. Wb. Salam sejahtera untuk kita semua Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena ridho dan hidayahNya kita dapat bertemu dalam rangka “SEMINAR SEHARI HASIL-HASIL KAJIAN BPTHHBK PROPINSI NTB KEGIATAN PENINGKATAN KAPASITAS TENAGA PENYULUH PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN PADA BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN KABUPATEN SUMBAWA” Seminar ini merupakan salah satu bentuk pemberdayaan penyuluh pertanian/perkebunan Lapangan untuk meningkatkan kapsitas tenaga penyuluh peertanian, perikanan, dan kehutanan. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai isu dan fakta-fakta baru dibidang kehutanan yang merupakan hasil-hasil kajian dari BPTHHBK Propinsi NTB Melalui Seminar SEhari ini diharapkan para penyuluh yang hadir dalam
xv
acara ini mendapatkan solusi dari masalah-masalah yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha berkaitan dengan hasil hutan bukan kayu sehingga nantinya diperoleh pemahaman tentang strategi yang menguntungkan hingga memperoleh keberhasilan. Saudara-saudara yang saya hormati, demikianlah beberapa hal yang dapat saya sampaikan, semoga semua peserta dapat memperoleh pengetahuan baru untuk menunjang tugas masing-masing. Sebagai penutup, saya mengucapkan terima kasuh kepada semua pihak yang membantu dalam pelaksanaan seminar sehari ini. Wabillahitaufiq wal hidayah, Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Sumbawa, 27 Nopember 2013 Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kabupaten Sumbawa
xvi
MAKALAH DAN DISKUSI
2 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
PERAN BPTHHBK DALAM PENINGKATAN KUALITAS MADU ALAM DI BATUDULANG, SUMBAWA Oleh : YMM Anita Nugraheni, Saptadi Darmawan, Nurul Wahyuni, Retno Agustarini Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Jl. Dharma Bhakti No.7 Ds. Langko, Kec. Lingsar, Kab. Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat I.
PENDAHULUAN Madu telah banyak dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu produk hasil hutan bukan kayu yang memiliki berbagai macam manfaat. Madu pada umumnya terbuat dari nektar yakni cairan manis yang terdapat di dalam mahkota bunga yang dihisap oleh lebah kemudian dikumpulkan dan disimpan didalam sarangnya untuk diolah menjadi madu (Purbaya, 2002). Menurut Aliyasa (2009), manfaat madu antara lain : mudah dicerna, karena molekul gula pada madu dapat berubah menjadi gula lain (misalnya fruktosa menjadi glukosa), madu mudah dicerna oleh perut yang paling sensitif sekalipun, walau memiliki kandungan asam yang tinggi. Madu dapat dibagi menurut asal nektar, maupun menurut bentuk madu yang umum terdapat dalam istilah pemasaran. Berbagai jenis madu dapat dihasilkan dari berbagai sumber nektar yang dikenal dengan nama sebagai berikut: a. Madu flora, madu yang dihasilkan dari nektar bunga. Bila nektar tersebut berasal dari beraneka ragam bunga, maka madu yang dihasilkan disebut madu poliflora dan bila dari satu jenis tanaman disebut madu monoflora. b. Madu ekstra flora, madu yang dihasilkan dari nektar yang terdapat diluar bunga yaitu dari bagian tanaman lain, seperti daun, cabang atau ranting. c. Madu embun, madu yang dihasilkan dari cairan hasil sekresi serangga Family Lachanidae, Psyllidae atau Lechnidae yang diletakkan eksudatnya pada bagian-bagian tanaman. Cairan ini Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 3
kemudian dihisap dan dikumpulkan oleh lebah madu dibagian tertentu yang disebut sarang madu (Winarno, 2001). Sumbawa merupakan salah satu daerah penghasil madu yang cukup potensial di Indonesia. Madu yang dihasilkan dari Sumbawa didominasi oleh madu alam, yang dipanen langsung dari hutan alam Sumbawa. Kualitas madu yang berasal dari Dompu, Sumbawa dan Lombok Timur kandungan airnya masih belum memenuhi SNI, yaitu masih di atas 22% (Handoko, 2006). Waktu panen juga berpengaruh pada tingginya kadar air madu, apabila panen dilakukan pada musim penghujan, maka kadar air madu yang diperoleh akan semakin tinggi. Kadar air madu perlu diturunkan karena semakin rendah kadar air, kontaminasi semakin rendah, tingkat keawetan madu lebih terjaga. Penurunan kadar air madu dapat dilakukan dengan metode pemanasan dan penguapan. Penurunan kadar air madu dengan metode pemanasan langsung dapat menurunkan kadar air dan membunuh mikroba (khamir) penyebab fermentasi. Pemanasan harus dilakukan secara terkontrol, karena apabila tidak justru akan menurunkan kualitas madu. Pemanasan pada suhu di atas 40ºC menyebabkan aktivitas enzim diastase menurun bahkan pada suhu tinggi menyebabkan enzim tersebut mati. Pemanasan juga menyebabkan kerusakan pada madu yang dicirikan dengan meningkatnya indikator HMF (Hidroxy Methyl Furfural) yang terjadi akibat terdegradasinya gula madu. Penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti BPTHHBK merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas madu alam Sumbawa dengan menurunkan kadar air madu khususnya di lokasi penelitian di Batudulang Sumbawa, yaitu dengan metode penguapan, dengan membuat bangunan kedap udara yang dilengkapi dengan dehumidifier dan AC. II.
METODOLOGI PENELITIAN 1. Lokasi Penelitian Kegiatan perekayasaan bangunan penurun kadar air madu hutan alam dilakukan di Sumbawa NTB. Lokasi pembangunan di Sumbawa dilaksanakan di desa Batudulang. 2. Bahan dan Alat
4 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
3.
4.
III.
Bahan untuk pembuatan bangunan penurun kadar air madu : semen, pasir, batu, besi, atap, alumunium, porselen untuk lantai dan tembok dalam, triplek dan bahan bangunan lainnya. Alat-alat yang beroperasi di dalam bangunan : AC, dehumidifier, rak simpan madu, exhouse fan, higrometer, bak simpan madu dan timbangan, refraktometer kadar air dan refraktometer kadar gula madu. Kondisi Ruangan Bangunan Pada penelitian ini dirancang suatu bangunan dengan dua ruangan (Gambar 1). Ruangan pertama atau utama diupayakan kedap udara yang berfungsi sebagai ruangan penurun kadar air madu. Di dalam ruangan tersebut diletakkan alat dehumidifier, pendingin ruangan, alat penyaring madu, pengukur suhu udara, pengukur kelembaban udara, rak dan wadah penyimpan madu serta madu yang diturunkan kandungan airnya. Ruangan kedua (ruang penyangga) dimaksudkan agar saat pintu ruangan utama dibuka, tidak terlalu banyak dipengaruhi oleh kondisi atmosfir diluar yang memiliki kelembaban tinggi. Ruangan penyangga ini juga berfungsi sebagai tempat menyimpan peralatan atau kelengkapan lainnya, untuk mengurangi kelembaban udara di ruangan penyangga ini maka dipasang exhouse fan. Uji Coba Penurunan Kadar Air Madu Proses pengurangan kadar air madu dilakukan untuk mendapatkan kondisi yang optimum. Ujicoba alat pada kondisi suhu AC 25ºC dengan kelembaban dehumidifier 40% sebanyak 3 ulangan dan 1 kontrol.
HASIL DAN PEMBAHASAN Bangunan Penurun Kadar Air Madu Pada penelitian ini telah dilakukan perekayasaan bangunan penurun kadar air madu dengan bangunan seperti disajikan pada Gambar 1 dan 2. a.
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 5
3m 2,5
0,5
1,5
m
m
m
0,6
4
mm 2
1b
m
2
0,8
m
m
0,6
3
4
1a
5
m
Keterangan : 1. Rak penyimpan madu 2. Meja Penyaringan madu 3. AC dan Dehumidifier 4. Pembotolan madu 5. Exhouse Fan 6. Ruang Penyangga
-
6
Catatan: Permukaan dinding bagian dalam keseluruhannya dilapisi keramik Pada bagian atas langit-langit dilapisi busa Langit-langit dari bahan kayu lapis yang bermelamin Didalam ruangan dipasang alat pengukur kelembaban dan suhu ruangan Rak penyimpanan madu sebaiknya dari bahan tidak berkarat
Gambar 1. Bentuk bangunan penurun kadar air madu di Sumbawa.
Gambar 2. Bangunan di Sumbawa
6 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
Prosedur Penurunan Kadar Air Madu 1. Pengkondisian ruangan Ruangan penurun kadar air madu yang telah dibangun dikondisikan terlebih dahulu untuk mengurangi kelembaban yang bersumber dari dinding-dinding dan langit-langit ruangan yang baru dibangun serta menguragi polusi atau bau akibat penggunaan cat pada beberapa bahan bangunan yang digunakan. Pengkondisian tersebut dilakukan dengan memberikan ventilasi atau pergerakan udara keluar ruangan sebesar mungkin, caranya dengan membuka pintu bagian dalam dan luar hingga kelembaban dan bau dalam ruangan berkurang. Selanjutnya pintu bagian dalam tetap dibuka dan pintu bagian luar ditutup diikuti dengan menghidupkan exhouse fan. 2. Penurunan kadar air madu Sebelum dimasukkan pada rak di dalam bangunan penurun kadar air madu, madu yang telah dikumpulkan disaring terlebih dahulu untuk memisahkan kotoran-kotoran yang tersimpan pada madu dengan menggunakan saringan bertahap. Selanjutnya madu diletakkan pada wadah-wadah yang memiliki permukaan lebar untuk memudahkan proses dehumidifikasi (Gambar 3). Prinsip kerja penurunan kadar air madu yang dilakukan adalah dengan penguapan menggunakan alat dehumidifier dan AC. Dehumidifier mampu mengubah molekul udara yang lembab menjadi tetesan air menggunakan koil pendingin dan kipas kecil. Hal ini terjadi akibat tekanan udara yang tinggi karena menurunnya suhu udara. Kegunaan AC salah satunya adalah untuk menurunkan suhu udara di dalam ruang bangunan penurun kadar air madu. Dengan proses dehumidifikasi, kandungan air di udara akan berubah menjadi tetesan air yang masuk ke dalam wadah penampung.
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 7
Gambar 3. Proses penurunan kadar air madu di dalam ruangan Pada penelitian yang dilakukan, pada perlakuan suhu 25oC, kadar air awal madu rata-rata mencapai 26,46%. Kadar air yang sesuai dengan standar SNI 01-3545 2004 yaitu maksimal 22% dapat dicapai setelah dilakukan proses penurunan kadar air madu selama 8 hari. Pada hari ke 8 kadar air madu yang diperoleh rata-rata sebesar 19,88% dengan laju penurunan sebesar 24,89%, atau dengan kata lain rata-rata kadar air turun 0,82% per harinya. Berdasarkan hasil tersebut, diketahui bahwa bahwa secara keseluruhan perlakuan penurunan kadar air pada perlakuan suhu 25 oC telah memenuhi standar SNI.
Kadar Air (%)
30
26,45
26,53
26,41
25 20,02
19,86
19,75
20 15 10
6,78
6,55
6,43
5 0 2
3
4
Ketebalan Madu (cm) Hari 0
Hari 8
Pengurangan
Gambar 4. Kadar air pada beberapa ketebalan madu suhu di 25°C
8 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
Keberadaan bangunan penurun kadar air madu Sumbawa ini dirasakan cukup memberikan dampak positif bagi koperasi madu yang ada di Desa Batudulang, Kabupaten Sumbawa. Penurunan kadar air yang berarti meningkatkan kualitas madu mampu meningkatkan keuntungan nilai jual madu. Keuntungan bersih penjualan madu pada awalnya sebesar Rp. 6.350 per botol dan setelah diturunkan kadar airnya keuntungan bersih meningkat menjadi Rp. 9.550 per botol sehingga terjadi peningkatan nilai tambah sebesar Rp. 3.200 per botol atau sekitar 50,39%. Meskipun dengan diturunkannya kadar air madu, berat madu secara keseluruhan juga akan turun, akan tetapi keawetan madu yang dihasilkan akan semakin meningkat, yang tentunya berdampak pada meningkatnya kualitas madu. Tabel 2. Rekapitulasi Hasil pengujian madu berdasarkan SNI Parameter Satuan SNI Aktifitas enzim diastase DN min. 3 HMF mg/kg maks. 50 Air % maks. 22 Abu % maks. 0,5 Gula Pereduksi % min. 65 Sukrosa % maks. 5 Keasaman ml N NaOH 1N/kg maks. 50 Padatan yg tak larut air % maks. 0,5 Cemaran Logam: - Timbal (Pb) mg/kg maks. 1 - Tembaga (Cu) mg/kg maks. 5 - Arsen (As) mg/kg maks 0,5 Cemaran Mikroba: - Angka lempeng total 30°C 72 jam koloni/gram < 5 x 10³ - Coliform APM/gram <3 - Kapang koloni/gram < 1 x 10¹ - Khamir koloni/gram < 1 x 10¹
2 0 0 20,8 0,1 73,1 4,7 48,3 0,05
Suhu 25ºC 3 4 0 1,65 0 0 20 21,4 0,1 0,27 75 71,2 6,9 2,4 49,8 55,7 0,05 0,08
Kontrol 5,49 0 22,8 0,77 71,7 0 32,4 0,14
<0,048 0,39 <0,003
<0,048 0,28 < 0,003
<0,048 0,54 <0,003
<0,048 0,45 <0,003
-
25 <3 <10 <10
<10 <3 <10 <10
1,4 x 104 <3 <10 <10
Berdasarkan penelitian berkelanjutan yang telah dilakukan oleh BPTHHBK, diperoleh SOP untuk proses penurunan kadar air madu, sebagai berikut :
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 9
1.
2.
PROSEDUR PENURUNAN KADAR AIR MADU Personel 1.1. Umum : 1.1.1. Petugas yang akan melakukan penurunan kadar air madu harus mempunyai pengetahuan mengenai sifat-sifat madu. 1.1.2. Melakukan tahapan prosedur penurunan kadar air madu sesuai dengan pedoman. 1.2. Pakaian : 1.2.1. Pakaian yang dikenakan petugas harus bersih dan bebas bau karena dikhawatirkan akan mempengaruhi kualitas madu yang diproses 1.2.2. Jika memungkinkan menggunakan pakaian khusus laboratorium (jas lab). 1.2.3. Sarung tangan karet sekali pakai bagi petugas untuk meminimalisir kontak langsung dengan madu. Perlengkapan penurunan kadar air 2.1. Jenis perlengkapan di ruangan penyangga 2.1.1. Exhaust fan kipas yang berfungsi sebagai penyedot udara, sehingga terjadi sirkulasi udara yang baik dalam ruangan 2.1.2. Saringan nylon untuk menyaring madu dari kotoran paska pemanenan 2.1.3. Botol yang akan digunakan sebagai pengemas madu 2.1.4. Gelas ukur berbahan dasar gelas pyrex, tahan panas, sebagai alat untuk mengukur volume madu 2.1.5. Kain pembersih untuk membersihkan peralatan terutama bak simpan madu 2.2. Jenis perlengkapan di ruangan penurun kadar air 2.2.1. Air Conditoner (AC) berfungsi untuk mengkondisikan suhu ruangan penurun kadar air 2.2.2. Dehumidifier merupakan alat yang berfungsi menurunkan kelembaban udara dengan menggunakan listrik untuk mengkondensasi air dari udara. Cara kerja dehumidifier ini adalah dengan merubah molekul udara yang lembab menjadi tetesan air menggunakan koil pendingin dan kipas kecil. Ini terjadi akibat tekanan udara yang tinggi karena
10 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
3.
menurunnya suhu udara. Kandungan air di udara mengental dan menjadi tetesan air yang jatuh di satu wadah yang disebut collecting bucket atau wadah penampung (Merk itech). 2.2.3. Bak simpan untuk menyimpan madu saat proses penurunan kadar air 2.2.4. Rak simpan berfungsi untuk meletakkan bak simpan sat proses penurunan 2.2.5. Kain pembersih untuk membersihkan peralatan terutama bak simpan madu. Prosedur penurunan kadar air 3.1. Informasi umum Madu bersifat higroskopis artinya mampu menyerap air dan bau dari lingkungan dengan mudah. Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dalam proses penurunan kadar air tersebut, terutama pada kegiatan pengkondisian ruangan dan persiapan alat. Diupayakan kegiatan tersebut dalam kondisi steril dan higienis agar madu yang disimpan dapat memenuhi standar sesuai SNI. 3.2. Pengkondisian ruangan 3.2.1. Ruangan dibersihkan dari kotoran dengan disapu dan di pel. Rak penyimpan juga dibersihkan agar tidak ada kotoran yang jatuh saat proses penurunan. 3.2.2. Pintu bagian dalam menuju ruangan penurun dan pintu keluar dari ruangan penyangga dibuka sampai bau berkurang/hilang 3.2.3. Pintu bagian dalam menuju ruangan penurun tetap terbuka 3.2.4. Hidupkan Exhaust fan ke arah luar 3.2.5. Tutup pintu bagian luar, biarkan berlangsung sampai bau berkurang atau hilang. 3.3. Persiapan 3.3.1. Bersihkan dan keringkan bak simpan madu 3.3.2. Madu disaring terlebih dahulu menggunakan saringan nylon secara berulang-ulang sehingga tidak ada kotoran sisa pemanenan 3.3.3. Timbang berat madu sebelum dikurangi kadar airnya
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 11
3.3.4.
Masukan madu ke dalam bak simpan plastik dengan ketebalan 4 cm 3.3.5. Susun bak simpan pada rak simpan 3.3.6. Tentukan kadar air menggunakan refraktometer kadar air 3.3.7. Tempatkan alat pengukur suhu dan kelembaban di ruangan utama pada tempat yang mudah dilihat/dibaca dari kaca pintu bagian dalam. 3.4. Prosedur Penurunan kadar air 3.4.1. Hari ke -0 1. Catat meteran listrik 2. Hidupkan AC pada suhu 25OC dan aktifkan ion plasma clusternya 3. Hidupkan dehumidifier pada kelembaban 40 persen (wadah penampung air harus dalam keadaan kosong) : baca dan pahami cara penggunaan dehumidifier 4. Catat waktu, suhu dan kelembaban (ditetapkan sebagai hari ke 0) 5. Tutup pintu di ruangan utama 6. Proses penurunan kadar air madu berjalan 7. Catat kelembaban, suhu, keadaan diluar ruangan (hujan, berawan, cerah) dan amati air yang tertampung pada wadah dehumidifier setiap hari pada: a. Pagi hari jam 07.00 b. Malam hari jam 19.00 8. Jika wadah air pada dehumidifier telah mencapai 3/4 dari volume, air dibuang (perhatikan cara mengeluarkan dan memasukan wadah air dehumidifier): 9. Masukkan kembali wadah penampung air dalam dehumidifier 10. Hidupkan dehumidifier 11. Tutup pintu bagian dalam 12. Catat jam, suhu, dan kelembaban 13. Tutup pintu luar 14. Pengamatan selanjutnya dilakukan pada hari ke – 5 3.4.2. Hari ke -5
12 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
1.
Pengamatan kadar air dilakukan pada jam yang sama pada saat proses penurunan kadar air madu dimulai di hari ke-0 2. Hidupkan kipas kearah luar selama 30 menit dan tutup pintu luar 3. Setelah 30 menit, catat jam, suhu, dan kelembaban 4. Masuk ke dalam ruangan utama dan tutup pintu dalam, a. Lakukan pengamatan kadar air (Jika kadar air telah mencapai sekitar 19%) maka proses dihentikan tetapi jika belum maka proses pengurangan kadar air dilanjutkan hingga 2 hari kedepan. b. Catat waktu, suhu dan kelembaban di ruangan utama setelah pengamatan selesai c. Ukur dan buang air dalam wadah dehumidifier, kondisikan dehumidifier hingga siap pakai (perhatikan cara mengeluarkan dan memasukan wadah air dehumidifier). d. Jalankan dehumidifier 5. Tutup pintu di ruangan utama 6. Catat waktu, suhu, dan kelembaban 7. Catat meteran listrik 8. Dihitung sebagai hari ke 5 9. Ulangi prosedur 3.4.1 langkah 6–13 10. Apabila Pengamatan selanjutnya dilakukan pada hari ke 7 3.4.3. Hari ke -7 1. Ulangi/lihat prosedur 3.4.2 langkah 1 – 7 2. Jika kadar air madu telah mencapai sekitar 19% maka proses dihentikan, tetapi apabila belum maka proses dilanjutkan 3. Jika kadar air madu yang diinginkan telah tercapai, proses penurunan kadar air madu selesai 4. Masukan madu dalam botol atau jerigen didalam ruangan utama dalam kondisi AC dan dehumidifier berjalan 3.4.4. Proses penurunan kadar air selesai 1. Matikan dehumidifier Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 13
2. 3. 4.
Matikan AC Bersihkan ruangan Bersihkan wadah madu
IV. KESIMPULAN 1. Bangunan penurun kadar air madu dapat dioperasikan dengan cukup baik, sehingga diharapkan petani madu Sumbawa khususnya di Batudulang dapat terbantu dalam mengurangi kadar air madu hasil panen mereka. 2. Pengaturan suhu AC sebesar 25oC dan alat dehumidifier (kelembaban) 40% mampu menurunkan kadar air madu sebesar 0,82% per hari. Hasil penurunan tersebut didukung dengan hasil pengujian sampel madu di laboratorium yang telah menunjukkan penurunan kadar air sesuai standar SNI (< 22%).
DAFTAR PUSTAKA Aliyasa. 2009. Keajaiban madu royal. http://blog.unila.ac.id/ aliyasa/2009/10/15/keajaiban-madu-royal-jelly/. Diakses tanggal 3 Januari 2011. Darmawan S, Nurul Wahyuni, YMM. Anita Nugraheni, 2010. Perekayasaan Bangunan Penurun Kadar Air Madu Hutan Alam Sumbawa Laporan Penelitian . BPTHHBK. NTB Darmawan S, Nurul Wahyuni, Retno Agustarini, 2011. Teknik Penurun Kadar Air Madu Hutan Alam Di Sumbawa dan Dompu. Laporan Penelitian . BPTHHBK. NTB Handoko C. 2006. Teknologi peningkatan kualitas madu di NTB. Laporan Penelitian (Publikasi Terbatas). Balai Penelitan dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Kupang. Purbaya JR. 2002. Mengenal & Memanfaatkan Khasiat Madu Alami. Bandung: Pionir Jaya.
14 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
Standar Nasional Indonesia. 2004. SNI 01-3545-2004 : Madu. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Winarno FG. 1982. Madu: Teknologi Khasiat dan Analisa. Jakarta. Ghalia Indonesia.
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 15
MENGENAL LEBAH MADU TRIGONA sp DAN USAHA PEMBUDIDAYAANNYA Oleh : Septiantina Dyah Riendriasari Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Jl. Dharma Bhakti No.7 Ds. Langko, Kec. Lingsar, Kab. Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat
I.
PENDAHULUAN Lebah madu diketahui mempunyai banyak kegunaan bagi kehidupan manusia. Fungsi lebah madu itu antara lain sebagai penghasil madu yang mempunyai beragam manfaat bagi kesehatan tubuh ( Murtidjo, 1991). Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, semakin banyak pertanyaan yang muncul dan membuat manusia menjadi penasaran dan melakukan beragam penelitian ilmiah untuk mengetahui segala sesuatu tentang lebah madu dan produknya. Lebah madu dapat dibedakan menjadi 2 yaitu lebah madu bersengat dan tidak bersengat (stingless bee). Salah satu jenis lebah mau tak bersengat adalah Trigona sp. Trigona sp selain menghasilkan madu, dapat menghasilkan propolis dan bee polen. Hal ini sesuai dengan pernyataan Murtidjo, 1991 produk lebah madu meliputi madu, propolis, royal jelly dan bee polen. Trigona sp menghasilkan madu dengan mengkonsumsi nektar dari bunga, dan memproduksi propolis dari mengkonsumsi getah serta memproduksi bee polen dari serbuk sari bunga (Riendriasari et al, 2013). Pakan yang dikonsumsi trigona juga merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam usaha pembudidayaannya, karena dari pakan dapat menentukan kualitas produk perlebahan yang dihasilkan (Bankova et al, 2000). Faktor lain yang menentukan keberhasilan pembudidayaan lebah madu trigona adalah proses pemeliharaannya. Pemeliharaan lebah madu trigona tidak sulit, kandang lebah (stup) diletakkan di tempat yang teduh dan tidak terkena sinar matahari langsung serta dibersihkan dari predator seperti sarang semut, sarang laba-laba dan
16 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
cicak. Tidak perlu pemberian pakan secara berkala karena pakan trigona banyak tersedia di alam ( Trubus, 2010) II. METODOLOGI PENELITIAN a. Lokasi Penelitian Lokasi pengambilan data dilakukan di desa Lendang Nangka, Kecamatan Masbagik, Kab. Lombok Timur; Desa Karang Bayan, Kecamatan Lingsar, Kab. Lombok Barat; Desa Sigar Penjalin, Kecamatan Tanjung, dan Desa Genggelang, Kecamatan Gangga, Kab. Lombok Utara. b. Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah alat tulis, kamera, botol spesimen, pinset. Bahan yang digunakan adalah alkohol 70% dan spesimen Trigona sp. c. Metode Metode pengambilan datanya adalah dengan metode observasi langsung dan dianalisis dengan analisis deskriptif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Lebah madu di dunia dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu lebah madu bersengat dan tidak mempunyai sengat (stingless bee). Trigona sp merupakan salah satu genus lebah madu yang tidak bersengat. Berdasarkan hasil penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu (BPTHHBK) tahun 2012, di pulau Lombok teridentifikasi 2 jenis trigona yaitu Trigona clypearis dan Trigona sapiens. Kedua jenis trigona mempunyai ukuran yang sangat kecil, panjang tubuhnya antara 3 mm sampai dengan 4,5 mm saja. Karena ukuran tubuh yang sangat kecil, trigona hanya dapat diidentifikasi jenisnya dengan menggunakan mikroskop. T. clypearis ditemukan di Desa Lendang Nangka (Kab.Lombok Timur), T. sapiens ditemukan Desa Genggelang dan Desa Sigar Penjalin (Kab. Lombok Utara) dan di Desa Karang Bayan (Kab. Lombok Barat) ditemukan kedua jenis tersebut (Trigona clypearis dan Trigona sapiens). Pada tahun 2012 dan 2013, penelitian tentang trigona masih dilakukan di Pulau Lombok, karena belum ada Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 17
informasi pembudidayaan trigona di Pulau Sumbawa. Dari ke 4 lokasi diatas, mempunyai karakteristik habitat yang berbeda. Desa Lendang Nangka berada di wilayah dengan topografi dataran tinggi, Desa Genggelang mempunyai karakteristik dataran yang cukup tinggi, Desa Sigar Penjalin terletak di dataran rendah (pantai) dan Desa Karang Bayan merupakan wilayah pemukiman dan kebun masyarakat dengan didominasi tanaman buah. Dari perbedaan habitat yang tergambar diatas, maka dapat dijelaskan bahwa trigona dapat hidup dan beradaptasi di wilayah dengan karakteristik apapun. Dari habitat dataran rendah (pantai) sampai dengan dataran tinggi (pegunungan), trigona dapat bertahan hidup dan berkembang biak. Lebah trigona yang diteliti merupakan trigona hasil budidaya oleh masyarakat. Masyarakat di Pulau Lombok telah menyadari nilai ekonomi yang dapat dihasilkan dari budidaya trigona ini. Nilai ekonomi yang dimaksud adalah produk perlebahan yang dihasilkan oleh trigona, antara lain madu, propolis, bee polen dan royal jelly. Ketika membicarakan produk perlebahan yaitu madu, yang terlintas adalah madu yang rasanya manis dan dihasilkan oleh lebah madu yang berukuran besar dan menyengat. Lebah penghasil madu tersebut adalah Apis sp. Apis sp dapat teridentifikasi dengan jenis Apis cerana, Apis mellifera dan Apis dorsata. Namun lain halnya dengan Trigona sp, madu yang dihasilkan oleh trigona mempunyai keunikan yaitu rasanya yang asam dan tingkat keasamannya tergantung dari nektar yang dikonsumsi pada saat mereka menghinggapi bunga tertentu. Dari sisi produksi madu, Apis sp menghasilkan lebih banyak madu bila dibandingkan trigona. Dari 1 stup madu trigona dapat dihasilkan 2001000 ml madu/panen tiap 3 bulan (komunikasi pribadi, 2013).
Gb 1. Madu trigona yang sudah dipisahkan dari penutup madu
18 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
Selain madu, trigona dapat menghasilkan propolis. Propolis atau lem lebah merupakan suatu zat yang dihasilkan oleh lebah madu, dikumpulkan oleh lebah dari pucuk daun-daun yang muda untuk kemudian dicampur dengan air liurnya, digunakan untuk menambal dan mensterilkan sarang. Propolis bersifat antibakteri yang membunuh semua kuman yang masuk ke sarang lebah. Propolis yang dihasilkan oleh lebah madu dilaporkan berfungsi sebagai antibakteri, virus, jamur, maupun protozoa. Propolis juga memacu system imun dan memperbaiki kerusakan jaringan pada berbagai organ (Ghisaberti, 1979 dalam Wijayanti et al, 2003). Jadi fungsi propolis tak kalah penting jika dibandingkan dengan madu bagi kesehatan manusia. Pada umumnya, propolis mentah mempunyai bentuk dan warna yang berbeda-beda. Ada yang lembek, remah dan kering, warnanya pun ada yang kuning kehitaman, coklat kehitaman, coklat tua. Photo by : Septiantina DR
Gb 2. Propolis dengan warna coklat kehitaman Photo Photo by by : Septiantina : DR Septiantina DR
Gb 4. Propolis dengan warna hitam
Photo by : Septiantina DR
Gb 3. Propolis dengan warna Kuning kehitaman Photo by : Septiantina DR
Gb 5. Propolis dengan warna coklat tua
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 19
Selain madu dan propolis, trigona menghasilkan bee polen. Bee polen adalah kumpulan serbuk sari yang diambil oleh lebah yang diletakkan pada tempat khusus dan merupakan makanan pokok bagi koloni lebah tersebut (Travaga, 2012). Letak bee polen biasanya berdampingan dengan letak madu di dalam sarang. Rasa bee polen sangat asam karena merupakan kumpulan serbuk sari dari bunga.
Gb 6. Beepolen yang letaknya menyatu dengan madu Produk perlebahan selanjutnya yang dapat dihasilkan oleh trigona adalah royal jelly. Royal jelly adalah cairan yang berbetuk jelly/ kental dan berwarna putih yang dimanfaatkan sebagai bahan makanan khusus ratu lebah sepanjang hidupnya. (Travaga, 2012). Royal jelly masih sulit ditemukan di sarang trigona, biasanya karena letaknya yang berada di dalam kumpulan madu. Dari keempat produk yang dihasilkan oleh trigona, beberapa diantara sudah dapat dihitung nilai ekonominya. Di Pulau Lombok, budidaya Trigona sp saat ini masih memanfaatkan madunya saja. Untuk propolis, bee polen dan royal jelly belum dimanfaatkan secara optimal. Hal itu dikarenakan karena belum ada jaringan pemasaran untuk propolis, bee polen maupun royal jelly trigona. Beberapa daftar harga produk perlebahan trigona yang disajikan dalam tabel berikut :
20 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
Tabel 1. Daftar Harga Madu, Propolis dan Bee polen di berbagai daerah Nama Asal Hasil Budidaya Trigona Peternak Madu Propolis Bee Polen Mentah Sukandar Luwu Utara 60.000/liter 60.000/kg 60.000/kg Hariyono Malang 70.000/liter Ajid Pandeglang 170.000/liter Amiq Wir Sengkukun 100.000/botol Haji Hakim Sira Lauk 100.000/botol Suhaedi Lendang 150.000/botol Nangka Suadi Karang 150.000/botol Bayan Edi Rembiga 150.000/botol Kurniawan Triko Slamet Gunung Sari 100.000/botol Dari data diatas, hasil budidaya trigona terbukti dapat menghasilkan nilai ekonomi. Budidaya trigona tak lepas dari kondisi koloni trigona secara alami di alam. Di alam, trigona dapat ditemukan di kayu-kayu lapuk, bambu, celah batu, kotak trafo dan tiang penyangga rumah.
Gb 7. Trigona di celah batu
Gb 8. Trigona di kotak trafo
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 21
Pembudidayaan lebah madu trigona cukup mudah, beberapa proses yang dilakukan untuk membudidayakan sampai dengan proses menjadi propolis mentah cair adalah (Riendriasari,2013) : a. Proses Pengambilan Koloni Di Alam Berdasarkan keterangan narasumber, trigona biasanya ditemukan di pohon lapuk, bambu, bebatuan, bahkan di rumah penduduk. Tim BPTHHBK menemukan trigona bersarang di pohon kelapa, celah bebatuan, dan kotak listrik. Setelah ditemukan koloni, maka lokasi tempat koloni itu bersarang akan diambil untuk kemudian di pindahkan ke dalam stup (kotak). Pemindahan koloni juga ada waktunya, lebih baik memindahkan koloni pada malam hari, ketika semua koloni sudah kembali ke dalam sarangnya. Pemindahan koloni menggunakan cara tradisional yaitu dengan dipisah menggunakan pisau kikis dan secara perlahan memindahkan telur ke stup yang baru. Telur yang dipindahkan diyakini ada ratu lebah, sehingga lebah yang lain secara otomatis akan mengikuti berpindah ke tempat yang baru. b. Pemindahan Koloni di Stup Setelah koloni dipindahkan ke stup yang baru, diamkan stup selama kurang lebih 5 bulan agar koloni kembali sehat dan dapat membentuk pertahanan dirinya. Khusus untuk trigona, tahap awal yang dilakukan setelah berada di tempat yang baru adalah membentuk propolis. Karena trigona tak bersengat maka akan menggunakan propolis sebagai senjata dan pertahanan dirinya. Propolis akan selalu dibentuk sampai sarang dianggap aman dan tertutup semua, sehingga predator tidak dapat masuk ke dalam sarang. Setelah propolis sudah dirasa cukup, kemudian trigona akan terkonsentrasi untuk memproduksi madu. c. Pemanenan Propolis akan terbentuk kembali minimal 5 bulan (BPTHHBK, 2012), semakin lama didiamkan maka semakin banyak propolis yang dihasilkan. Pemanenan pada lebah trigona dapat dilakukan untuk pemanenan madu dan pemanenan propolisnya. Pemanenan madu dilakukan dengan cara diambil dengan sendok kemudian diletakkan ditempat tertutup, kemudian
22 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
diperas sehingga madu yang diharapkan keluar. Selanjutnya sebelum dikemas di dalam botol, madu yang didapatkan disaring kembali agar terpisah dengan kotoran-kotoran hasil pemanenan. Untuk pemanenan propolis, dilakukan dengan menggunakan pisau kikis. Setiap bagian sarang yang terdapat propolis maka akan dikikis dan diambil untuk kemudian diproses kembali. d. Proses Ekstraksi Propolis Dalam memproduksi propolis, dibutuhkan teknik tertentu dalam proses produksinya. Krell (1996) telah menerangkan beberapa metode ekstraksi propolis yang telah banyak dilakukan, metode tersebut menggunakan air (Aquoeus Extracted Propolis) dan menggunakan alkohol (Ethanol Extracted Propolis). BPTHHBK pada penelitian di tahun 2012 mengekstraksi propolis dengan cara direndam dengan menggunakan air selama 7 dan 14 hari. Setelah dilakukan perendaman, hasil perendaman dibekukan di dalam freezer, dan dihancurkan. Setelah hancur, hasil perendaman tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring dan didapatkan propolis mentah dalam bentuk cair. Propolis mentah cair kemudian dianalisis di Balitro untuk mendapatkan kandungan flavonoidnya. Flavonoid adalah senyawa fenol yang berfungsi untuk melancarkan aliran darah, antibiotik, dan untuk pengobatan berbagai jenis penyakit.
IV. KESIMPULAN Hasil penelitian menemukan 2 jenis trigona di Pulau Lombok, yaitu Trigona sapiens dan Trigona clypearis. Kedua jenis trigona ini bisa menghasilkan produk perlebahan berupa madu, propolis, bee polen dan royal jelly. Di Pulau Lombok baru sebatas memproduksi madu, propolis, bee polen dan royal jelly belum dipasarkan. Untuk menghasilkan produk perlebahan dan menghasilkan nilai ekonomi, maka diperlukan usaha budidaya trigona secara optimal. Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 23
DAFTAR PUSTAKA Bankova, V.S., Solange, L. D. C., Maria, C. M. 2000. Propolis: Recent Advances In Chemistry And Plant Origin. Jurnal Apidologie. 31: 3–15 Komunikasi Pribadi. 2013. Wawancara dengan peternak Trigona di Desa Karang Bayan Krell, R. 1996. Value-Added Products from Beekeeping. FAO Agricultural Services Bulletin No. 124. Roma: FAO Murtidjo, B. A. 1991. Memelihara Lebah Madu. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Riendriasari, S.D. 2013. Budidaya Lebah Madu Trigona sp Mudah Dan Murah. Makalah Seminar Alih Teknologi “Budidaya Lebah Madu Trigona”. Balai Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu. Mataram Riendriasari, S.D., Krisnawati, Edi, K. 2013. Teknik Produksi Propolis Lebah Madu Trigona sp di NTB. Laporan Hasil Penelitian. Balai Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu. Mataram. Tidak dipublikasikan Travaga. 2012. Diakses dari http://mlmpropolis.com pada tanggal 23 Nopember 2013 Trubus EXO. 2010. Propolis Dari Lebah Tanpa Sengat. Trubus Swadaya. Jakarta Wahyuni, N., Septiantina, D.R., Edi, K. 2012. Teknik Produksi Propolis Lebah Madu Trigona spp di NTB. Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu. Laporan Hasil Penelitian. Mataram Wijayanti, M. A., Elsa Herdiana M., dan Sugeng Yuwono M. 2003. Efek Bee Propolis terhadap infeksi Plasmodium berghei pada Mencit Swiss. Berkala Ilmu Kedokteran, 35(2): 81-89.
24 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
PENINGKATAN PENGUSAHAAN MADU DI KLASTER MADU SUMBAWA Oleh : Yumantoko Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Jl. Dharma Bhakti No.7 Ds. Langko, Kec. Lingsar, Kab. Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat
I.
PENDAHULUAN Madu merupakan salah satu jenis HHBK unggulan NTB. Kriteria yang digunakan untuk menilai menjadi HHBK unggulan yaitu dari aspek ekonomi, biofisik dan lingkungan, kelembagaan, sosial, dan teknologi. Madu dicari karena mampu memberikan penghasilan tambahan yang berarti untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di masyarakatsendiri, madu miliki nilai ekonomi, sosial, dan budaya. Dari sisi ekonomi madu memberikan penghasilan yang berarti bagi petani, dan pedagang-pedangan madu. Dari sisi sosial madu banyak memberikan pekerjaan bagi masyarakat sekitar hutan. Sedangkan dari sisi budaya karena masyarakat mengkonsumsi madu untuk tujuan kesehatan yang sudah diturunkan dari pengetahuan nenek moyang. Madu alam banyak terdapat di hutan-hutan di Pulau Sumbawa. Pohon yang digunakan oleh lebah untuk bersarang yaitu pohon boan. Madu banyak diusahakan oleh masyarakat disekitar hutan. Masyarakat memiliki kemampuan berburu madu yang diwariskan secara turuntemurun dari nenek moyang mereka. Untuk saat ini, masyarakat menganggap mencari madu adalah pekerjaan sambilan sehingga banyak dari mereka yang tidak menjaga kualitas pengusahaan yang dilakukan. Petani lebih terfokus pada bidang pertanian, perkebunan, dan peternakan(Yumantoko,2014). Penetapan Sumbawa sebagai klaster madu nasional oleh Kementerian Kehutananikut mengangkat nilai madu Sumbawa di level nasional. Masyarakat perlu mendapat dukungan dari banyak pihak, agar
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 25
hasil yang didapatkan setelah penetapan klaster menjadi lebih optimal.Penetapan klaster perlu didukung dengan kebijakan lain yang mampu meningkatkan kemampuan kelembagaan lokal untuk berkembang. Pengembangan pengusahaan madu perlu memperhatikan pembangunan kelembagaan. Selama ini pemerintah lebih banyak mementingkan pembangunan ekonomi yang bisa dilihat dari jumlah infrastruktur yang terus bertambah. Akan tetapi untuk pembangunan kelembagaan minim. Pembangunan ekonomi akanlebih berhasil jika kelembagaan berjalan dengan baik. Dalam pembangunan, kelembagaan memainkan peran penting sebagai bagian yang dapat menjaga pembangunan itu sendiri. Kelembagaan dalam pengusahaan madu di Sumbawa memiliki keragaman yang berbeda-beda. Walaupun telah ditetapkan sebagai klaster nasional, namun disejumlah daerah di Sumbawa yang menjadi sentral penghasil madu seperti di Lantung, Klungkung, Moyo Hilir dan lainnya kondisinya belum maksimal. Di Lantung misalnya, kelompok tani belum terbentuk, sehingga, koordinasi yang dilakukan oleh instansi terkait pembinaan dalam pengusahaan madu mengalami kendala. Masalah lain misalnya terkait daya tahan organisasi yang sudah terbentuk hanya dapat bertahan dalam waktu singkat, misalnya di Klungkung. Meskipun sudah berdiri koperasi madu, namun kegiatan operasionalnya berjalan singkat. Hal ini disebabkan oleh permasalahan internal dimana dalam pembentukan koperasi lebih pada kegiatan keproyekan semata yang berasal dari inisiatif pihak luar desa. Sementara itu anggota kurang mengetahui tanggung jawab, hak dan kewajiban di dalam organisasi(Yumantoko, 2013). Membangun kelembagaan di tingkat petani membutuhkan kesabaran, konsisten serta niat baik dari semua pihak yang terlibat agar hasil yang dicapai lebih komprehensif. Sebagian pakar kelembagaan memberi garis besar pada kodeetik, aturan main, atau organisasi denganstruktur, fungsi dan manajemennya. Para pakar kelembagaan saat inimemadukan organisasi dan aturan main. Logika analisis institusi bisa dipakai
26 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
untukmenjelaskan kegagalan pemerintah dan negara atau kegagalan pasar ataukegagalan berbagai model pembangunan(Djogo, 2003). Unsur kelembagaan meliputi insentif, organisasi, hak milik, pasar, kontrak, kode etik, aturan, peraturan, dan penegakan hukum, institusi.Pengembangan kelembagaan dapat terjamin, jika 1) ada insentifbagi orang atau organisasi yang melaksanakannya; 2) sasaran pengembangan:siapakah yang diuntungkan; 3) ada keseimbangan kepemilikan dan aksesterhadap informasi; 4) kepemilikan dan akses atas sumber daya terjamin; 5) adausaha pengendalian atas tingkah laku opportunistik, 6) ada aturan yangditegakkan dan ditaati(Djogo, 2003).
II.
PENGEMBANGAN EKONOMI RAKYAT Banyaknya pihak yang terlibat dalam pengusahaan madu di Sumbawa mulai dari petani sampai pedagang baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten menjadikan pengusahaan madu merupakan kegiatan yang menguntungkan bagi rakyat. Sumbawa kaya akan potensi madu yang perlu dijaga agar masyarakat sekitar hutan dapat terus mendapatkan manfaat ekonomi yang besar dari pengusahaan madu. Sebagian besar usaha yang dilakukan masih skala ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat menurut Krisnamurthi (Amanah, 2002) adalah kegiatan ekonomi rakyat banyak dan pengertian dariekonomi rakyat (banyak) adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh orangbanyak dengan skala kecil-kecil, bukan seorang pengusaha besar atau perusahaan besar tetapi lebih pada usaha yang dilakukan rakyat kebanyakan. Usaha yang dilakukan dalam pengusahaan madu di Sumbawa mulai dari memanen, mengolah, hingga memasarkan masih dalam sebatas kemampuan alami yang dimiliki secara turun temurun. Menurut Ismawan (Amanah,2009)ekonomi rakyat memiliki karakteristik informalitas, mobilitas, beberapa pekerjaan dilakukan oleh satu keluarga, kemandirian, dan hubungan dengan sektor formal. Dalam kaitannya dengan pengusahaan madu dapat dilihat sebagai berikut : 1. Informalitas. Usaha ekonomi yang dijalankan masyarakat berdiri sendiri tanpa ada campur tangan instansi pemerintah. Kegiatan
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 27
2.
3.
4.
5.
yang dijalankan semata dilakukan untuk menambah penghasilan keluarga. Mobilitas, karakteristik seperti ini lumrah terjadi ketika usaha yang dijalankan tidak menguntungkan maka seorang pengusaha akan beralih ke bidang yang lain. Misalnya karena keterbatasan modal, seorang pengusaha tidak mampu untuk membeli madu dari petani dan bisa jadi saat itu petani mengganti dengan usaha yang lain. Beberapa pekerjaan dilakukan oleh satu keluarga, keluarga memberi peran penting dalam kehidupan sosial, budaya dan ekonomi dalam masyarakat perdesaan. Karakteristik keluarga di perdesaan yaitu gotong royong untuk mengerjakan pekerjaan bersama. Begitu pula ketika menjalankan pengusahaan madu, usaha banyak dilakukan oleh anggota keluarga. Kemandirian, usaha yang dijalankan adalah kemauan dari pelaku itu sendiri. Usaha yang dijalankan minim bantuan dari pihak luar. Bantuan dari luar sedikit karena tidak menguntungkan secara perhitungan ekonomi.Usaha yang dilakuakan masyarakat berdiri sendiri tanpa ada campur tangan instansi terkait. Hubungan dengan sektor formal. Hubungan dengan sektor informal memberi kemungkinan-kemungkinan terjadinya keuntungan pada pelakuk sector ekonomi rakyat. Misalnya, pasar terbesar petani madu adalah karyawan yang bekerja di sektor pemerintah maupun swasta.
III. LINI DALAM PENGELOLAAN KLASTER MADU Kelembagaan dalam kaitannya dengan pengembangan madu, identik dengan melihat bagaimana pemerintah mengatur tataorganisasi di kementerian yang mandatnya berkaitan dengan komponenpenyusun pengusahaan madu dalam hal ini yaitu Kementerian Kehutanan. Tetapi tidak menutup kemungkinan keterlibatan pihak lain untuk menangani madu. Menurut permenhut No 19 Tahun 2009 Tentang Grand Strategi Pengembangan HHBK, Kementerian Kehutanan berusaha untuk mengembangkan kelembagaan pengusahaan madu mulai dari tingkat atas sampai tingkat bawah di masyarakat. Tabel 1. Hubungan antara lini dalam Pengembangan HHBK
28 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
Tabel 1: Lini Pengembangan HHBK NO
LINI
INSTITUSI
1
Litbang
Badan litbang Universitas R&D dlm negeri R&D luar negeri
2
Fasilitasi
Dephut Dep. Terkait (Dep. Perindustrian, Dep. Perdagangan
3
Produksi Bahan Baku
Pelaku usaha (BUMN, BUMS), koperasi Kelompok tani
KEGIATAN OPERASIONAL 1Kajian prosesing Kajian budidaya Kajian sosek Kajian nilai tambah Kajian kriteria dan standar
KELUARAN (OUTPUT) Paket-paket teknologi produksi Paket teknologi budidaya Paket-paket konsep pemberdayaan masyarakat Kriteria dan standar pengembangan HHBK
Penguatan kelembagaan Pemberian insentif berupa pilot proyek, kemudahan pendanaan, dll Pemberdayaan masyarakat Penyiapan regulasi yg kondusif
Kebijakan pemanfaatan lahan Kebijakan pemberian insentif (HTR, Bank, dll) Kebijakan kepastian pasar para pihak terkait Asosiasi pelaku usaha dan kelembagaan kelompok tani pengembangan HHBK Bertambah masyarakat pengembang HHBK
Budidaya Terapan teknologi seperti stek, kultur jaringan, dll
HHBK sebagai bahan baku industri HHBK sebagai bahan pangan, serat, obat (konsumsi langsung)
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 29
4
Industri 1. Pelaku usaha (BUMN, BUMS), koperasi 2. Kelompok tani
5
Pemasar an
Dephut Dep. Perindustrian, Dep. Perdagangan
Proses untuk peningkatan nilai tambah Ketersediaan bahan baku sesuai kapasitas industri Desain produksi sesuai pasar Penyebarluasan informasi Promosi Melakukan analisis pasar
1.Produksi olahan untuk: a. Pasar dalam negeri b. Pasar luar negeri
Munculnya unit-unit usaha Pemahaman oleh masyarakat Permintaan HHBK
Sumber : Permenhut No 19 Tahun 2009 Secara formal kebijakan klaster lebah madu pada tahun 2009. Namun secara kelembagaan pengusahaan madu di Sumbawa sebenarnya sudah eksis. Kelembagaan yang berjalan di Sumbawa, terlepas dari adanya kebijakan klaster madu tersebut antara lain ditunjukkan dengan telah berjalannya tata niaga madu baik pada level lokal Sumbawa maupun NTB, bahkan sampai pada tingkat nasional. Permintaan produk madu sumbawa dari luar pulau, terutama dari Jawa sangatlah besar. Data tahun 2009 menurut Dinas Kehutanan NTB menunjukkan produksi madu dari pulau Sumbawa mencapai 94.966 botol atau setara dengan 56.979 liter madu (Hasan, 2011). Besarnya potensi madu mendorong terwujudnya rantai tata niaga madu yang melibatkan banyak pihak. Sesuai dengan Permenhut No. 19 Tahun 2009 pengembangan madu sumbawa dilaksanakan dengan model klaster. Salah satu yang penting dalam upaya pelaksanaan kebijakan klaster adalah terkait aspek kelembagaan. Elemen untuk mengetahui kelembagaan dalam pengusahaan madu antara lain: (1) pihak yang terlibat dalam pengusahaan, (2) unit pengelolaan yang berjalan, (3) pola kemitraan yang berjalan, (4) dan insentif yang dikembangkan.
30 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
Stakeholder yang berperan dalam pengembangan pengusahaan madu di Sumbawa sesuai dengan bidang tugasnya antara lain: (1) lini fasilitasi/regulasi adalah Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Diskoperindag; (2) lini litbang adalah BPT HHBK dan lembaga litbang lain; (3) lini produksi: koperasi, pengusaha lokal dan kelompok tani; (4) lini industri: koperasi, pengusaha lokal; (5) lini pemasaran: JMHS, pengusaha lokal dan koperasi; (6) lini pengembangan SDM: JMHS, koperasi, kelompok tani; (7) lini inkubasi bisnis: JMHS, Diskoperindag. Jika merujuk pada Permenhut No. 19 Tahun 2009, unit pengelolaan dapat berbentuk unit bentangan lahan, unit satuan berbentuk desa, dan unit satuan berbentuk kelompok. Pada unit yang berbentuk desa madu diusahakan oleh petani yang mencari madu dari hutan di daerah Sumbawa. Hal ini karena sifat kelompok sangat beragam dan jangkauan geografisnya juga cukup variatif. Ada unit kelompok yang hanya ada pada cakupan wilayah sangat kecil, yakni beberapa individu pada satu desa, ada juga kelompok yang memiliki jangkauan lintas desa. Pada kasus di Kabupaten Sumbawa unit kelompok yang berjalan terdapat beberapa bentuk. Di Desa Klungkung misalnya unit pengelolaan yang ada terdiri dari dua bentuk yakni kelompok tani dan koperasi. Kelompok tani merupakan paguyuban dimana petani dari Desa Klungkung mendapat pelatihan dan pembinaan dari instansi terkait. Kelompok tani memiliki ikatan informal dimana mereka tidak begitu terikat dengan aturan. Modal dalam membentuk kelompok yaitu kepercayaan diantara petani untuk saling bantudengan lain. Sedangkan koperasi berperan untuk membeli madu dari anggota dengan harga yang telah disepakati bersama. Di Klungkung terdapat satu buah koperasi yang bergerak di bidang pengusahaan madu. Akan tetapi kondisinya tidak seperti yang diharapkan, yakni kesulitan modal untuk membeli madu dari petani. Selain itu, koordinasi diantara angora tidak berjalan baik yang ditandai dengan usaha yang dijalankan anggota terkesan berjalan sendiri-sendiri. Koperasi idealnya membina dan mampu Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 31
memengaruhi anggota untuk meningkatkan kualitas pengusahaan sesuai dengan standar yang disepakati bersama. Pola kemitraan yang ada memiliki beberapa bentuk. Pola kemitraan dalam bentuk pemberian bantuan modal usaha misalnya dilakukan oleh PLN di Semongkat Desa Klungkung. Bantuan modal usaha diwujudkan dalam dua bentuk. Pertama, pemberian bantuan alat pemanenan dan produksi madu. Kedua, bantuan modal dalam bentuk dana pinjaman. Hasil kemitraan dengan PLN telah berhasil meningkatkan volume pembelian madu dari petani. Ketua komunitas pemburu madu di Semongkat menyatakan bahwa dari hasil bantuan modal PLN dapat meningkatkanvolume pembelian madu dari petani sampai dengan 23 ton (tahun 2009), dan 18 ton (tahun 2010). Penurunan volume itu sendiri disebabkan oleh menurunnya hasil panen karena musim yang tidak menentu pada tahun 2010 yang lalu (Hasan, 2012). Insentif yang dikembangkan dalam rangka pengembangan usaha madu cukup beragam. Misalnya saja dalam bentuk pemberian pelatihan teknis pemanenan madu yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi. Disamping itu juga diberikan bantuan peralatan baik dalam bentuk peralatan pemanenan madu maupun produksi dan pengemasan madu. Pengembangan usaha yang dilakukan masyarakat perlu mendapat dukungan dari semua pihak agar menghasilkan pengusahaan madu yang berkualitas. Pengembangan yang dilakukan dapat melihat Gambar 1. Usaha yang perlu mendapat penekanan yaitu pengaturan ekonomi rumah tangga (ERP), menabung bersama, modal bersama, dan pengembangan usaha produktif. Skema tersebut lebih mirip dengan pola koperasi yang selama ini dilakukan. Anggota koperasi terdiri dari petani madu yang berada di wilayah setempat yang secara bersama-sama membentuk modal bersama guna dilakukan pengembangan usaha misalnya simpan pinjam untuk modal pergi mencari madu atau modal untuk memberli peralatan berburu. Tidak menutup kemungkinan, petani menggunakan fasilitas pinjaman untuk kegiatan yang mendesak seperti pendidikan maupun kesehatan. Kelompok dituntut untuk memiliki usaha dibidang
32 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
perlebahan seperti pembelian maupun pemasaran madu dan bahkan mengembangkan nilai tambah dari produk selain madu seperti polen, lilin, dan propolis.
Sumber : Gugus Tugas II Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dalam Amanah (2009) Gambar 1. Skema Daur Hidup Pengembangan Usaha Produktif dalam Kelembagaan Kelompok Orang Miskin IV. KESIMPULAN Di NTB, Kabupaten Sumbawa salah satu daerah yang memiliki kelembagaan yang baik jika dibandingkan dengan Kabupaten Bima dan Dompu. Walaupun demikian, pengusahaan madu di Sumbawa masih perlu untuk dilakukan perbaikan yaitu : 1. Menjaga keberlanjutanprogram perlebahan.Selama ini, program dalam perlebahan berjalan sesaat karena biasanya hanya bersifat proyek tahun anggaran tertentu. Setelah kegiatan dilaksanakan tidak ditindaklanjuti dalam bentuk follow up dan pendampingan. Maka perlu kegiatan yang berkelanjutan agar pembangunan dapat tuntas tidak setengah-setengah. 2. Pemberian sarana produksi yang dibutuhkan oleh petani. Petani masih terkendala dengan terbatasnya sarana produksi. Dengan
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 33
memberikan bantuan sarana produksi akan meringankan petani untuk berburu mencari madu di hutan. 3. Ketersediaan bahan baku agar sesuai dengan permintaan maka perlu dilakukan pengamanan terhadap habitat lebah agar lebah betah dan tetap untuk berproduksi. Misalnya perlu dilakukan penanaman pohon yang nectar bunganya menjadi sumber pakan lebah. 4. Peningkatan nilai tambah di tingkat pentanidengan menggarap produk selain madu.Selama ini produk unggulan petani dari perlebahan lebih mengutamakan produksi madu. Sementara itu lilin, polen, dan royal jelly belum diusahakan untuk tambahan penghasilan. 5. Peningkatan kapasitas lembaga/organisasi masyarakat. Kapasitas lembaga /organisasi masyarakat dalam mengelola pengusahaan madu dari sisi teknik budidaya, pengolahan, modal, dan pemasaran masih perlu untuk ditingkatkan. Lembaga tingkat petani di desa-desa masih tergantung dengan bantuan dari para pihak agar usaha yang dijalankan tetap berjalan misalnya pembinaan teknis, modal, dan sarana-prasarana. 6. Terbatasnya anggaran pembinaan. Hal ini memengaruhi pada jumlah petani yang menjadi sasaran dalam pemberdayaan terbatas, dan mengakibatkan kesenjangan antara daerah yang sudah sering mendapat pembinaan dengan daerah yang belum sama sekali dilakukan pembinaan. 7. Pengembangan pasar nasional bahkan ekspor. Hal ini membutuhkan dukungan dari banyak pihak karena produk yang dipasarkan harus memiliki kualitas yang baik. DAFTAR PUSTAKA Amanah N.P..2009. Pemberdayaan Ekonomi Kelompok Usaha Rumah Tangga Berbasis Modal Sosial. Diakses tanggal 6 Maret 2014. Diambil dari :http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/12314 Djogo T, Sunaryo, Suharjito D, dan Sirait M.2003. Kelembagaan danKebijakan dalam
34 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
PengembanganAgroforestri. ICRAF ; Bogor. Hasan R.A., Yumantoko.2012.Kajian Kelembagaan Pengusahaan Madu Sumbawa. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Peraturan Menteri Kehutanan No 19 Tahun 2009 Tentang Grand Strategi Pengembangan HHBK. Yumantoko.2014.Laporan Hasil Penelitian Kajian Kelembagaan Pemasaran Madu di Indonesia. BPTHHBK. Tidak dipublikasikan
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 35
BUDIDAYA TANAMAN PENGHASIL GAHARU oleh Ali Setyayudi Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Jl. Dharma Bhakti No.7 Ds. Langko, Kec. Lingsar, Kab. Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat E-mail:
[email protected]
I.
PENDAHULUAN Gaharu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang sangat potensial. Menurut Siran (2011) gaharu mempunyai manfaat untuk acara ritual keagamaan, pengharum tubuh dan ruangan, bahan kosmetik dan obat-obatan sederhana serta telah dikembangkan sebagai bahan untuk parfum, aroma terapi, sabun, body lotion, bahan obat-obatan anti asmatik, anti mikrobia, dan stimulan kerja syaraf dan pencernaan. Perdagangan gaharu di indonesia sebagian besar masih berasal dari gaharu yang ada di tegakan alam. Dikarenakan kekurang tahuan tentang proses pembentukan gaharu sehingga banyak para pencari gaharu yang memanen dengan menebang pohon tanpa tahu apakah terdapat gaharu atau tidak dalam pohon tersebut. Hal ini menjadikan pohon penghasil gaharu di alam semakin langka (Siran, 2011). Akibat kelangkaan pohon penghasil gaharu di alam menjadikan status pohon penghasil gaharu masuk dalam daftar Appendix II CITES (Santoso dkk., 2007). Sehingga efek yang ditimbulkan adalah dalam perdagangan resmi, gaharu harus dihasilkan dari pohon hasil budidaya, bukan dari alam (Subiakto dkk, 2011). Menurut SNI 7631:2011 gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, serta memiliki kandungan kadar resin wangi yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati sebagai akibat dari suatu proses infeksi yang terjadi baik secara alami atau buatan pada pohon tersebut, yang pada umumnya terjadi pada pohon Aquilaria sp.
36 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
Menurut Sidiyasa (1986), Suhartono dan Newton (2000), Zich dan Camton (2001) dalam surata (2006) telah diketahui ada 17 jenis tanaman family Thymeleaceae, Leguminosae, dan Eurphobiaceae yang berpotensi menghasilkan gaharu. Secara ekologis sebaran tanaman penghasil gaharu berada pada ketinggian 0 – 2400 m.dpl, pada daerah beriklim panas dengan suhu antara 28º – 34oC, berkelembaban sekitar 80 % dan bercurah hujan antara 1000 – 2000 mm/th. tanaman penghasil gaharu juga mampu tumbuh pada lahan dengan variasi kondisi struktur dan tekstur tanah beragam, baik pada lahan subur hingga marginal. Tanaman ini juga dapat dijumpai pada ekosistem hutan rawa, gambut, hutan dataran rendah atau hutan pegunungan, ataupun pada lahan berpasir berbatu yang ekstrim (Sumarna, 2012). Melihat kondisi yang ada di sumbawa dan dibandingkan dengan data sebaran tanaman penghasil gaharu tersebut maka wilayah sumbawa masih masuk dalam jangkauan sebaran alami tanaman penghasil gaharu. Secara umum kondisi wilayah sumbawa masuk dalam iklim tipe D dan E, suhu berkisar antara maksimum 35,5oC dan minimum 20,4oC sedangkan kelembaban antara 66-88%. Permukaan tanah cenderung berbukit-bukit dengan ketinggian antara 0-1.730 mdpl, Curah hujan tahunan rerata 1.238 mm per tahun (Anonim, 2010). II. TEKNIK BUDIDAYA 1. Pemilihan benih Proses budidaya tanaman harus dimulai dari pemilihan benih yang baik dan unggul. Benih unggul dapat diperoleh dari pohon induk yang telah melalui proses pemuliaan dan terbukti menghasilkan tanaman yang unggul. Sumarna (2012) memberikan beberapa pendekatan kriteria pohon induk yang dapat menghasilkan benih yang unggul yaitu : 1. Pohon sehat, berbatang lurus, tinggi bebas cabang minimal 4 m, berdiameter >10 cm dan memiliki tajuk dengan percabangan banyak membentuk seperti payung terbuka. 2. Berbuah maksimal 2 kali per tahun dan atau terjadi fase panen raya buah interval 4 tahun. Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 37
3.
Potensi buah dan atau benih teruji kualitas dan kuantitas dengan pertumbuhan benih di atas 80%. 4. Potensi permudaan alam yang tumbuh di bawah tegakan pohon induk memiliki rata-rata jumlah anakan tingkat semai (seedling) minimal 500 pohon, sapihan (wiedling) 200 pohon dan tingkat pohon sekitar 20 batang per meter persegi. 5. Mudah dijangkau serta aman dari gangguan. 6. Pohon memiliki sifat dan karakter genetik rentan terhadap penyakit pembentuk gaharu. 2. Teknik Perbanyakan Teknik perbanyakan tanaman pengahasil gaharu dapat dilakukan baik secara generatif maupun vegetatif. Secara generatif dapat melalui pemanfaatan biji maupun anakan alam dibawah pohon induk. Sedangkan secara vegetatif dapat dilakukan dengan teknik stek pucuk, cangkok ataupun teknik kultur jaringan. 2.1. Secara Generatif 2.1.1. Pemanfaatan biji sebagai bahan tanaman Buah Gyrinops dapat diperoleh dari mengumpulkan buah yang jatuh ataupun memanen buah yang telah masak dipohon. Buah yang masak biasanya ditandai dengan kulitnya yang berwarna hijau kekuningan dan dalam satu buah gyrinops biasanya akan dihasilkan 3-4 biji (Surata, 2006). Karakteristik biji tanaman penghasil gaharu biasanya bersifat rekalsitran (Hou, 1960 dalam Subiakto dkk, 2011), sehingga harus segera disemaikan. Menurut Subiakto dkk (2011) persen kecambah terbaik biji tanaman penghasil gaharu adalah pada biji yang langsung disemaikan tanpa disimpan. Namun dalam ujicoba penyimpanan biji selama 2 bulan masih mampu menghasilkan persen kecambah sebesar 48%. 2.1.1.1. Perkecambahan Biji yang telah didapat dari pohon induk langsung dilakukan proses penaburan pada bedeng atau bak tabur untuk proses perkecambahan. Media yang digunakan cukup beragam, menurut Sumarna (2012) dapat digunakan campuran tanah dengan kompos organik (1 : 2) dan pasir sebagai penutup setelah biji ditabur.
38 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
Sedangkan menurut Subiakto dkk (2011) media tabur dapat digunakan arang sekam atau pasir zeolit. Kegiatan pemeliharaan yang perlu dilakukan pada saat proses perkecambahan adalah penyiraman dengan intensitas 1 kali sehari. Untuk membantu menjaga kelembaban media, media tabur dapat ditutup dengan plastik dan ketika biji mulai berkecambah plastik harus dibuka (Sumarna, 2012). Biji mulai berkecambah biasanya pada minggu kedua (Subiakto dkk, 2011) dan ketika sudah muncul 3-4 helai daun, semai siap untuk disapih pada media sapih.( Sumarna, 2012). 2.1.1.2. Penyapihan Pada saat semai siap untuk disapih maka perlu disiapkan media sapih yang tepat. Media sapih dapat digunakan campuran tanah dan kompos (4:1) dengan wadah polybag ukuran 15 x 20 cm (Surata, 2006). Semai yang ada dalam bak tabur dicabut dengan hati-hati dan langsung ditempatkan pada polybag. Kegiatan penyapihan dan pemeliharaan semai sampai siap tanam harus dilakukan dalam rumah kaca ataupun diluar, namun bedeng sapih harus dibawah naungan paranet atau rumbia dengan intensitas cahaya matahari <60% (Sumarna, 2012). Kegiatan pemeliharaan semai yang dapat dilakukan adalah penyiraman secara rutin 1-2 kali sehari, pembersihan rumput ataupun tanaman lain yang mungkin tumbuh dalam polybag, dan perlindungan terhadap hama penyakit yang mungkin menyerang. Intensitas penyiraman harus memperhatikan juga kondisi cuaca yang ada, ketika pada musim-musim hujan intensitas penyiraman dapat diperkecil. Hal ini untuk menjaga kelembaban pada media, karena kelembaban yang cukup tinggi dapat juga mengundang datangnya serangan jamur. Sampai saat ini hama yang sering menyerang tanaman penghasil gaharu adalah ulat daun Herotia vitessoides. Maka dari itu perlu dilakukan pengontrolan secara rutin. Ketika muncul tanda-tanda adanya serangan hama ulat ataupun penyakit harus dilakukan pencegahan penularan, misalnya dengan membuang bagian tanaman terserang ataupun memisahkan semai yang terserang. Semai siap tanam dilapangan atau bibit biasanya berumur >6 bulan di persemaian (Surata, 2006).
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 39
2.1.2. Pemanfaatan permudaan alam Pembuatan bibit dengan memanfaatkan permudaan alam adalah dengan mengambil semai-semai yang telah tumbuh dibawah pohon induk (anakan). Beberapa tahapan yang disarankan sumarna (2012) dalam penggunaan anakan alam sebagai bibit adalah Mempersiapkan media sapih berupa campuran tanah dengan kompos (2 : 1) dan ditempatkan pada rumah kaca, atau sungkup plastik yang dilengkapi oleh paranet dengan cahaya masuk sekitar 60 %. Dipilih anakan yang berukuran tinggi 10 – 20 cm, dan diusahakan tetap dalam kondisi segar hingga di lokasi pesemaian. Anakan ditanam kedalam polybag, dan diberikan perlakuan hormon perangsang perakaran. Dilakukan penyiraman minimal 1 kali per hari dan dipelihara hingga menghasilkan tunas baru serta telah berakar cukup kuat atau 3 – 5 bulan. 2.2. Secara vegetatif Teknik perbanyakan vegetatif cukup banyak jenisnya dan dapat diaplikasikan untuk perbanyakan tanaman penghasil gaharu. Beberapa diantaranya adalah dengan stek pucuk, cangkok, ataupun kultur jaringan. Langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam perbanyakan tanaman dengan stek pucuk (Sumarna, 2012) adalah Disipakan media tanam campuran tanah + kompos (1 :2) atau menggunakan cocopeat dansekam padi steril (1:1) (Subiakto dkk, 2011) dan ditempatkan pada rumah kaca (green house) atau dalam bedeng sapih dibawah sungkup plastik serta dilengkapi peneduh dari paranet dimana intensitas cahaya masuk 50 – 60 %. -
Dipilih pucuk yang sehat, segar, dan memiliki 3 – 5 daun serta dipotong dengan posisi miring.
-
Hasil potongan stek dicelup ke dalam hormon penumbuh akar (rotton-F)
40 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
-
Stek ditanam ke dalam media dan dipelihara dengan penyiraman 1 kali per hari atau 2 hari sekali, disesuaikan dengan kondisi kelembaban media.
-
Stek pucuk siap tanam atau siap menjadi bibit biasanya memerlukan waktu hingga ± 8 bulan.
Teknik perbanyakan tanaman menggunakan stek pucuk pada tanaman penghasil gaharu seperti Gyrinops verstegii sebenarnya bagai orang awan masih cukup sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan memerlukan beberapa keahlian terutama mengatur suhu dan kelembaban selama proses pengakaran bahan stek agar diperoleh hasil yang optimal. 3. Penanaman di lapangan Bibit tanaman Gyrinops yang siap ditanam dapat dipilih bibitbibit yang memiliki penampilan yang cukup baik, segar, dan ukuran tinggi diatas >25 cm. Sebelum bibit diangkut ke lapangan perlu dilakukan pengurangan intensitas penyiraman, hal ini berguna sebagai proses penyesuaian diri tanaman terhadap kondisi di lapangan. Selain itu proses penyesuaian diri dapat juga dilakukan dengan membiarkan bibit dilapangan selama 1-2 minggu sebelum dilakukan penanaman. Proses pengangkutan bibit dari persemaian ke lapangan selama masih mampu harus dilakukan dengan polybanya langsung. Namun apabila tidak dimungkinkan pengangkutan dengan polybagnya, diperlukan treatment khusus guna menjaga kelembaban akar bibit tetap terjaga selama perjalanan. Ketika bibit telah sampai di lokasi tujuan agar perlu dilakukan usaha pemeliharaan terlebih dahulu untuk mengembalikan kesegaran bibit. Teknik penanaman bibit tanaman Gyrinops dilapangan tidak terlalu berbeda dengan tanaman lainnya. Lubang tanam yang digunakan dapat berukuran 30 x 30 x 30 cm (Surata, 2006) dengan dilakukan penambahan pupuk organik kedalam lubang tanam sebanyak 3-4 kg per lubang (Sumarna, 2012). Bibit ditanam pada lubang tanam dengan posisi tegak lurus dan dipendam dengan membentuk gundukan yang dapat berfungsi untuk mencegah terjadinya genangan air. Polybag wadah media harus disobek dan tidak ikut ditanam. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan membersihakan gulma yang mungkin Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 41
mengganggu dan melakukan pendangiran sekitar piringan tanaman. Pemeliharaan dapat dilakukan secara intensif per tiga atau enam bulan tergantung kondisi dilapangan. Selain itu perlu juga dilakukan pengontrolan terhadap hama penyakit yang mungkin menyerang. Kontrol dilakukan terhadap gejala serangan yang mungkin ada dan bila ditemukan segera dilakukan usaha pencegahan penularan misalnya dengan memusnahkan bagian tanaman yang terserang. Penanaman tanaman yang baik adalah penananaman dengan menyesuaikan kondisi alamiah tanaman tersebut di habitat aslinya. Secara alamiah tanaman pengahasil gaharu memiliki salah satu sifat khusus yaitu pada fase tertentu tanaman ini tidak tahan terhadap kondisi cahaya matahari langsung atau semitoleran. Penelitian Sujatmoko (2011) menunjukkan tanaman gyrinops pada habitat alaminya memiliki kisaran intensitas cahaya sebesar 5,34-29,92% untuk semai, sedangkan pancang berkisar antara 10,04-43,25% dan tiang berkisar antara 33,53-46,32%. Hal ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam penanaman tanaman penghasil gaharu khususnya jenis gyrinops yaitu diperlukan perlakuan penaungan selama penanaman dilapangan hingga pada tingkatan pancang. Berdasarkan karakteristik tanaman Gyrinops tersebut maka ada beberapa teknik yang dapat diterapkan dalam penanaman dilapangan. 1.
Alternatif terbaik penanaman adalah dengan menggunakan sistem campuran dengan tanaman lainnya yang dapat berfungsi sebagai tanaman penaung. Penanaman dapat dilakukan pada lahan-lahan yang sebelumnya sudah ada tanaman seperti durian, rambutan, kelapa, sengon,dll. Tanaman gyrinops ditanam sebagai tanaman sela atau pengisi.
2.
Apabila ditanam pada lahan yang kosong maka diperlukan penanaman tanaman penaung terlebih dahulu. Strategi yang dapat ditempuh adalah dengan pengaturan waktu penanaman antara tanaman Gyrninops dengan tanaman penaungnya. Misalnya pada musim hujan awal tahun bulan januari-maret dilakukan penanaman tanaman penaung dan di musim hujan akhir tahun bulan nopember-desember dilakukan penanamna tanaman gyrinops.
42 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
Dalam model penanaman ini pemilihan jenis tanaman penaung cukup penting yaitu perlu dipilih jenis tanaman yang mempunyai kemampuan cepat tumbuh. Beberapa contoh yang mungkin dapat digunakan misalnya tanaman dadap, turi, jabon, dll. 3. Hama dan penyakit Beberapa penelitian telah menemukan adanya serangan hama dan penyakit pada tanaman penghasil gaharu. Serangan yang ditemukan terjadi pada fase semai ataupun fase penanaman dilapangan. 1.
Penyakit rebah Penyakit rebah biasanya menyerang tanaman pada fase semai saat masih dipersemaian. Penyebab penyakit ini diduga disebabkan oleh serangan jamur (Tarigan, 2004). Serangan biasanya dimulai pada bagian akar semai gaharu sehingga menjadi busuk dan semai akan mengalami rebah. Usaha pencegahan dapat dilakukan dengan mensterilisasi media yang digunakan dipersemaian misalnya dengan melakukan fumigasi yaitu penyemprotan fungisida pada media tanam guna mencegah tumbuhnya jamur. Cara sederhana sterilisasi media dapat juga dilakukan dengan menggoreng media pasir atau menjemurnya di bawah sinar matahari.
2.
Penyakit embun jelaga Penyakit ini ditandai dengan adanya lapisan hitam yang menempel pada permukaan daun. Bila kita sentuh lapisan hitam ini seperti serbuk hitam yang menempel pada daun. Penyakit ini banyak terjadi pada tanaman gaharu dilapangan. Jamur capnodium diduga menjadi penyebab munculnya penyakit ini. Penyakit ini biasanya terjadi pada tanaman gaharu pada lokasi dengan kelembaban yang cukup tinggi, sehingga usaha pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pengaturan kelembaban dilapangan. Misalnya ketika kelembaban cukup tinggi dapat dilakukan pengurangan naungan sehingga suhu dipermukaan naik dan mengurangi kelmbaban yang ada.
3.
Penyakit busuk hati (heart rot) Menurut Sitepu dkk, (2011) penyakit busuk hati yang ditemukan masih mempunyai intensitas serangannya yang rendah. Gejala serangan yang muncul ditandai dengan meranggasnya daun, dan
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 43
ditemukan adanya kemunculan tubuh buah jamur yang menempel pada batang tanaman. Penyakit busuk hati ini biasanya terjadi pada tanaman yang ada dilapangan. Usaha pencegahan dapat dilakukan dengan pengaturan kelembaban tanah misalnya dilakukan pendangiran dan pembersihan gulma atau semak yang ada disekitar pangkal batang tanamanan secara rutin.
Gambar 1. Gejala serangan penyakit busuk hati pohon gaharu di Desa Lembah Sari, Kab. Lobar. (Dokumentasi Rahayu, 2010)
4.
Hama kutu putih Hama kutu putih ditemukan pada semai gaharu di persemaian dan tanaman gaharu di lapangan. Hama ini ukurannya kecil dan berwarna putih, biasanya ditemukan pada pucuk tanaman atau berada di bawah daun gaharu. Kutu putih ini biasanya menghisap cairan pohon (Turjaman dkk, 2009). Intensitas serangan kutu putih masih tergolong rendah. Usaha pengendalian dapat dilakukan dengan membuang bagian tanaman yang diserang oleh kutu putih. Hal ini untuk mencegah agar tidak terjadi penularan. Apabila serangan terdeteksi pada tingkat berat maka pengaplikasian insektisida dapat dilakukan.
44 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
Gambar 2. Hama kutu putih pada tanaman gaharu ( Dokumentasi Santoso dkk, 2011 ) 5.
Hama belalang kayu Belalang kayu ditemukan menyerang tanaman gaharu di KHDTK Rarung dan arboritum Balai penelitian teknologi HHBK mataram. Belalang kayu menyerang bagian daun dengan memakan helaianhelaian daunnya. Belalang kayu mempunyai sifat polifagus atau inang lebih dari satu sehingga diduga belalang ini merupakan belalang yang juga menyerang tanaman lain yang ada disekitar. Serangan yang ditemukan pada tanaman penghasil gaharu masih cukup ringan dan sifatnya tidak masif. 6. Hama ulat daun Heortia vitessoides Hama ulat daun heortia vitesooides sampai saat ini masih dianggap sebagai hama utama pada tanaman penghasil gaharu. Serangan yang dilakukan dapat mencapai tingkat defoliator yaitu daun habis terserang hingga ke bagian tulang daunnya. Pengamatan yang dilakukan pada tegakan gaharu di lombok ditemukan hampir sepanjang tahun. Serangan meningkat seiring dengan datangnya musim kemarau dan kemudian menurun kembali menjelang musim penghujan. Usaha pencegahan dapat dlakukan dengan mengontrol secara rutin tandatanda munculnya serangan. Ketika ditemukan adanya serangan ulat ini maka perlu segera dimusnahkan guna mencegah serangan yang lebih berat. Teknik sederhana pencegahan dapat juga dengan memanfaatkan musuh alami ulat Heortia yaitu burung pemakan ulat ataupun dengan semut rang-rang (Irianto dkk, 2010). Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 45
Gambar 3. Ulat Heortia vitessoides yang menyerang tanaman Gyrinops verstegii di Lombok
III.
KESIMPULAN Budidaya tanaman penghasil gaharu perlu segera dikembangkan dan menjadi penting karena sebagai upaya menjaga kelestarian gaharu di alam. Teknik budidaya tanaman yang baik tentunya perlu memperhatikan karakteristik tanaman dihabitat alamiahnya. Beberapa sifat tanaman penghasil gaharu seperti jenis Gyrinops verstegii atau Aquilaria spp. yang sangat penting dalam kegiatan budidaya adalah sifat biji yang rekalsitran dan sifat semitoleran terhadap cahaya matahari hingga fase tiang. Hama utama tanaman penghasil gaharu adalah hama ulat daun Heortia vitessoides
DAFTAR PUSTAKA Anonim,
2010. Letak Geografi Kabupaten Sumbawa. http://www.sumbawakab.go.id/. diakses tanggal 24 Nopember 2013
Irianto, R.S.B., E. Santoso, M. Turjaman, dan I. R. Sitepu. 2010. Hama pada pohon penghasil gaharu dan Teknik pengendaliannya. Info Hutan VII (2) : 225-228
46 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
Santoso, E., A. W. Gunawan, dan M. Turjaman. 2007. Kolonisasi Cendawan Mikoriza Arbuskula pada Bibit Tanaman Penghasil Gaharu Aquilaria microcarpa. J. Pen. Htn & KA. IV-5 : 499-509 Santoso, E., R.S.B. Irianto, I. R. Sitepu, M. Turjaman. 2011. Penanggulangan Hama Dan Penyakit Tanaman Penghasil Gaharu. Workshop Peluang Investasi Dan Network Pemasaran “Berlian Hijau” Tanaman Penghasil Gaharu. Universitas Islam Negeri Syarifhidayatullah. Jakarta. http://gaharublog.wordpress.com/. Diakses tanggal 23 Juni 2011 Siran, A.S. 2011. Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis Pemberdayaan Masyarakat : Perkembangan Pemanfaatan Gaharu. Ed; Sulistyo A. Siran dan Maman Turjaman. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Konservasi Dan Rehabilitasi. Bogor Sitepu, I.R., E. Santoso, S.A. Siran dan M. Turjaman. 2011. Fragant Wood Gaharu : When The Wild Can No Longer Provide. Technical Report ITTO PD425/06 Rev. 1 (I) : Production and Utilization Technology for Sustainable Development of Gaharu (Gaharu) in Indonesia. Pusat Penelitian Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembahan Kehutanan, Bogor: Kementerian Kehutanan Subiakto, A., E. Santoso., dan M. Turjaman. 2011. Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis Pemberdayaan Masyarakat : Uji Produksi Bibit Tanaman Gaharu Secara Generatif Dan Vegetatif. Ed; Sulistyo A. Siran dan Maman Turjaman. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Konservasi Dan Rehabilitasi. Bogor Sujatmoko, S. 2011. Adaptasi Permudaan Pohon Gyrinops Versteegii (Gilg.) Domke (Akusuk) Sebagai Penghasil Gaharu, Terhadap Lingkungan Cahaya Di Tegakan Alam Gunung Timau, Nusa Tenggara Timur. Thesis Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 47
Sumarna, Y. 2012. Budidaya Jenis Pohon Penghasil Gaharu. http://fordamof.org/files/Budidaya_gaharu.pdf. diakses 18 Oktober 2013. Surata, I. K. 2006. Teknik Budidaya Dan Produksi Gaharu. Prosiding Ekspose/Diskusi Hasil-Hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan Bali-Nusa Tenggara. Kupang Tarigan, Kelin. 2004. Profil Pengusaha (Budidaya) Gaharu. Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta
48 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
TEKNIK PRODUKSI GAHARU BUDIDAYA DI NUSA TENGGARA BARAT Oleh : Lutfi Anggadhania Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Jl. Dharma Bhakti No.7 Ds. Langko, Kec. Lingsar, Kab. Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat
I.
PENDAHULUAN Gaharu merupakan produk hasil hutan bukan kayu yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Nilai ekonomis gaharu yang tinggi memicu peningkatan perdagangan dan perburuan gaharu alam. Overeksploitasi gaharu alam tersebut bertujuan untuk memenuhi suplai gaharu di pasar, sehingga menyebabkan pohon penghasil gaharu berkurang populasinya. Akibatnya semua jenis pohon penghasil gaharu dimasukan ke dalam appendix II CITES sebagai spesies yang terancam punah (CITES, 2004). Salah satu solusi tindakan pelestarian populasi pohon penghasil gaharu seperti Aquilaria dan Gyrinops yang mulai terancam punah adalah dengan budidaya gaharu (Mucharromah, 2011). Budidaya gaharu ini menurut Lata (2007) berpotensi dalam a) meningkatkan suplay gaharu di pasar, b) menyediakan sumber pendapatan yang berkelanjutan bagi produsen lokal, dan c) mengurangi eksploitasi gaharu alam. Keberhasilan pelestarian pohon penghasil gaharu ini juga didukung dengan adanya berbagai penelitian mengenai teknik-teknik induksi gaharu, sehingga gaharu tidak hanya diperoleh dari gaharu alam tetapi juga dari gaharu yang diproduksi dengan meniru alam.
II. TEKNIK INDUKSI GAHARU Dalam usaha mewujudkan budidaya gaharu ini berkembanglah teknik-teknik induksi gaharu yang bertujuan untuk mempercepat proses terbentuknya gaharu. Terdapat tiga teknik yang telah Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 49
berkembang hingga saat ini, yaitu teknik induksi mekanik, induksi kimia dan bioinduksi. Ketiga metode tersebut dipercaya dapat menstimulasi terbentuknya aroma wangi pada pohon penghasil gaharu. Hasil penelitian Pojanagaroon dan Kaewrak (2005) menunjukkan bahwa metode perlukaan secara mekanik mampu menstimulasi pembentukan gaharu. Teknik mekanik yang digunakan adalah dengan melubangi kayu pohon penghasil gaharu dengan paku atau sekrup. Kelemahan metode ini adalah pembentukan gaharu yang terjadi memerlukan waktu yang lama. Teknik induksi kimia yaitu dengan memberikan senyawa kimia tertentu untuk memicu terbentuknya gaharu. Penelitian Rosita (2008) menunjukkan bahwa pemberian Metil Jasmonat (MeJA) mampu meningkatkan deposit senyawa terpenoid yaitu sesquiterpen yang diyakini sebagai senyawa aromatic pada gaharu. Kelemahan perlakuan kimia ini adalah perlakuan pemberian MeJA harus dilakukan secara berulang dan aroma wangi hanya bertahan sampai hari ke-25 setelah aplikasi terakhir. Menurut penelitian Chen et al. (2011) pada perlakuan stimulasi secara kimia minyak yang dihasilkan tidak menghasilkan senyawa Aromadendrene. Senyawa tersebut diyakini oleh Gunawan et al. (2013) sebagai senyawa kimia yang berperan sebagai penanda kualitas gaharu. Penelitian Putri (2011) mengenai interaksi fungi dan pohon penghasil gaharu menunjukkan bahwa fungi (Fusarium spp.) mampu menginduksi pembentukan gaharu pada Aquilaria sp. Teknik bioinduksi ini sampai saat ini diyakini sebagai teknik produksi gaharu budidaya yang terbaik. Teknik bioinduksi ini dilakukan dengan memasukkan fungi pada pohon penghasil gaharu untuk memicu terbentuknya gaharu. Teknik bioinduksi merupakan teknik induksi yang telah dikembangkan di 25 kabupaten (Siran, 2011).
50 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
III. JENIS-JENIS FUNGI PEMBENTUK GAHARU Gaharu adalah resin yang terbentuk akibat masuknya fungi ke dalam batang dan akar pohon penghasil gaharu (Aqualaria dan Gyrinops) sehingga memicu terbentuknya senyawa aromatik (Lata, 2007; Tamuli et al. 2008; Mohamed et al. 2010). Fungi dianggap sebagai agen utama dalam pembentukan gaharu. Oleh karenanya, sebagian besar penelitian lebih menekankan pada isolasi fungi yang berasosiasi dengan gaharu pada beberapa jenis pohon penghasil gaharu. Propinsi Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu propinsi yang berpotensi sebagai penghasil gaharu. Pohon penghasil gaharu yang banyak terdapat di propinsi ini terutama jenis Gyrinops spp. Jenis-jenis fungi pembentuk gaharu yang berasosiasi dengan Gyrinops ssp. di NTB didominasi dengan fungi genus Fusarium. Seperti ditunjukkan oleh gambar 1.
a
c
b
d
e
Gambar 1. Kenampakan morfologi sel mikrokonidia dan makrokonidia fungi filamen pada Gyrinops spp. dengan perbesaran 400x. (a) Lombok Utara, (b) Lombok Barat, (c) Lombok Tengah, (d) Alas (Sumbawa), (e) Bima Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 51
Makrokonidia dari masing-masing fungi pada Gambar 1 berbentuk seperti bulan sabit yang menurut kriteria bentuk Booth tahun 1971 terdapatnya makrokonidia berbentuk fusoid dengan sel kaki berbentuk seperti tumit diterima sebagai karater pasti dari Fusarium. Berdasarkan pada hal tersebut maka kelima fungi yang diisolasi pada batang pohon Gyrinops spp yang terinfeksi di NTB adalah Fusarium spp. IV.
PRODUKSI GAHARU BUDIDAYA Produksi gaharu dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah pohon gaharu yang berkualitas baik, teknik inokulasi yang tepat dan isolat pembentuk gaharu yang sesuai. Menurut Santoso and Turjaman, (2011) tahap awal inokulasi dilakukan pengeboran pada permukaan batang dengan mata bor yang berdiameter 10-15 mm, sedangkan arah lubang dengan kemiringan 45°. Isolat cair dinokulasikan ke dalam batang pohon penghasil gaharu dengan pipet dan lubang induksi yang kemudian ditutup dengan parafin supaya air hujan tidak masuk ke dalam lubang bekas bor tersebut. Air hujan yang masuk dapat memicu terjadinya pembusukan dan gagalnya pembentukan gaharu. Dengan cara inokulasi ini tingkat keberhasilnya mencapai 40-60%. Untuk pohon gaharu yang akan diinokulasi sebaiknya memiliki karakter dengan diameter kurang lebih 12 cm, batang lurus dan tidak ada perlukaan, usia kurang lebih 7 tahun (Santoso and Turjaman, 2011). Ujicoba produksi gaharu dengan menggunakan isolat fungi pembentuk gaharu asal NTB ditunjukkan oleh Gambar 2.
A
52 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
B
C
D
Gambar 2. Pembentukan luas area pada isolat asal Alas (A), isolat asal Lombok Tengah (B), isolat campuran (C) dan Kontrol (D) (1, 3, dan 6 bulan)
Hasil menunjukkan bahwa dengan perlakuan pemberian isolat fungi mampu meningkatkan luas area pembentukan gaharu setelah 6 bulan inokulasi hingga 16 kali pada isolat asal Lombok Tengah dari pada kontrol yang hanya diinduksi dengan medium pertumbuhan fungi. Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 53
V.
KESIMPULAN Teknik bioinduksi merupakan teknik yang dipercaya paling efektif dalam pembentukan gaharu hingga saat ini. Fusarium spp merupakan fungi yang ditemukan berasosiasi pada pembentukan gaharu pada jenis Gyrinops spp dan berfungsi sebagai agen biologi pada teknik bioinduksi. Budidaya pohon gaharu unggul, teknik induksi yang efektif dan agen biologi yang tepat merupakan tiga faktor yang perlu dipenuhi dalam produksi gaharu berkualitas tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Booth, C. 1971. The genus Fusarium. Commonwealth Mycological Institute. London. CITES. 2004. Amandments to Appendices I and II of CITES. Thirteenth Meeting of Conference of Parties. Bangkok. Thailand. Chen, H., et al. 2011. Comparison of Compositions and Antimicrobial Activities of Essential Oils from Chemically Stimulated Agarwood, Wild Agarwood and Healthy Aquilaria sinesis (Lour.) Gilg Trees. Molecules, 16, 4884-4896. Lata, A. 2007. Investigation of Seed Longevity and Viability and Cutting Propagation for Aquilaria Crassna. Literature review. Postgraduate Diploma of Research Methode School of Marine and Tropical Biology. James Cook University. Mohamed, R., P.L. Jong dan M.S. Zali. 2010. Fungal Diversity in Wouded Stems of Aquilaria malaccensis. Fungal Diversity 43: 67-74. Mucharromah. 2011. Development of Eaglewood (Gaharu) in Bengkulu, Sumatera. Proceeding of Gaharu Workshop “Development of Gaharu Production Technology a Forest Community Based Empowerment”. FORDA. Indonesia.
54 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
Pojanagaroon, S. and C. Kaewrak. 2005. Mechanical Methods to Stimulate Aloes Wood Formation in Aquilaria crassna Pierre ex H. Lec. (Kritsana) Tree. Proc. WOCMAP III, Vol 2 ; Conservation and Suistainable Use of MAPs. Putri, A.L., 2011. Studi Interaksi Fusarium sp. dengan Pohon Gaharu (Aquilaria sp.) Menggunakan Pendekatan Sitologi. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rosita, S. 2008. Efektivitas Pemberian Metil Jasmonat secara Berulang dalam Meningkatkan Deposit Senyawa Terpenoid pada Pohon Gaharu (Aquilaria crassna). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Santoso, E and Turjaman, M. 2011. Standardization and Effectiveness of Bioinduction on Gaharu Development and Its Qualities. Proceeding of Gaharu Workshop “Bioinduction Technology for Sustainable Development and Conservation of Gaharu”. FORDA. Indonesia. Siran, S.A. 2011. The Developing of Database Regarding the Potency of Gaharu Yielding Trees in Indonesia. Proceeding of Gaharu Workshop “Bioinduction Technology for Sustainable Development and Conservation of Gaharu”. FORDA. Indonesia. Tamuli, P., P. Baruah dan R. Samanta. 2008. Enzyme Activities of Agarwood (Aquilaria malaccensis Lamrk.) Stem Under Pathogenesis. Journal of Spesies and Aromatic crops 17 (3): 240243.
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 55
POTENSI DAN MANFAAT NYAMPLUNG SEBAGAI BAHAN BAKU ENERGI DI SUMBAWA
Oleh I Wayan Widhana Susila Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Jl. Dharma Bhakti No. 7-Po Box 1054, Ds. Langko, Kec. Lingsar Lombok Barat – NTB 83371, Telp. (0370) 6573874, Fax. (0370) 6573841, e-mail :
[email protected]
I.
PENDAHULUAN Krisis energi dunia memberikan dampak signifikan meningkatnya harga bahan bakar minyak, sehingga telah mendorong pengembangan energi alternatif dengan pemanfaatan sumber energi terbarukan (renewable energy). Salah satu bentuk energi yang mulai dikembangkan saat ini adalah biofuel. Kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementrian Kehutanan diharapkan berperan penyediaan bahan baku biofuel termasuk pemberian ijin pemanfaatan lahan hutan. Salah satu tanaman sebagai bahan baku biofuel adalah jenis nyamplung (Calophyllum inophyllum L.). Nyamplung pada tiga tahun terakhir ini mulai menjadi perhatian para praktisi kehutanan. Hal ini dikarenakan sejak terjadinya krisis energi pada tahun 2008, jenis tersebut berpotensi menjadi salah satu bahan baku alternatif energi (Bustomi, et. al., 2008). Jenis tersebut dapat digunakan sebagai bahan substitusi minyak tanah (biokerosene) dan substitusi minyak solar (biodiesel) dengan memanfaatkan bijinya (Sopamena, 2007). Pemanfaatan biji nyamplung sebagai bahan baku biofuel lebih ramah lingkungan, dapat diperbaharui dan dalam pemanfaatannya tidak berkompetisi dengan kepentingan pangan. Kelebihan biji nyamplung dibandingkan dengan jenis bahan baku biofuel lainnya seperti jenis jarak, dan kelapa sawit adalah kandungan kadar oktannya relatif cukup tinggi, yaitu biji nyamplung mempunyai rendemen minyak 40 – 73%,
56 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
sedangkan jarak pagar 40 – 60% dan kelapa sawit 46 – 54 % (Wirawan, 2007). Manfaat lain tanaman nyamplung adalah kayunya termasuk kayu komersial yang dapat digunakan untuk bahan pembuatan perahu, balok, tiang, papan lantai dan papan pada bangunan perumahan dan bahan konstruksi ringan (Set DPRD Mojokerto, 2008). Populasi sebaran alami nyamplung diyakini tersebar cukup luas di Pulau Sumbawa yang tumbuh pada lahan-lahan kering maupun kritis terutama pada daerah-daerah dekat pantai. Namun, informasi mengenai potensi, sebaran produksi buah tanaman nyamplung belum terdata di Dinas Kehutanan Provinsi NTB dan instansi terkait lainnya. Hanya delapan komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) saja yang tercatat volume produksinya selama 6 tahun terakhir (2000-2005) yaitu madu, gaharu, kemiri, bambu, aren, arang, asam, dan rotan (Bappenas, 2006). Oleh karena itu, tujuan penyajian makalah ini adalah memberikan informasi mengenai potensi dan sebaran nyamplung di Sumbawa NTB dan uji coba pengolahan biji nyamplung menghasilkan biokerosin. II. POTENSI DAN SEBARAN NYAMPLUNG Berdasarkan informasi dan hasil survey lapangan, nyamplung banyak ditemukan di Pulau Sumbawa, yaitu di 1) Kecamatan Kilo Kabupaten Dompu, 2) Kecamatan Kempo Kab Dompu; (3) Kecamatan Sekongkang, Kab Sumbawa Barat. Sedangkan potensi nyamplung pada daerah-daerah (lokasi) lain di Pulau Sumbawa, belum diperoleh informasi karena keterbatasan pengetahuan masyarakat mengenai jenis nyamplung pada waktu kegiatan sedang berjalan. Namun, belakangan diperoleh informasi dari instansi terkait dan masyarakat setempat, sebaran nyamplung banyak juga terdapat di Daerah Lunyuk Kab Sumbawa. Jumlah pohon dan dimensi parameter yang teridentifikasi pada setiap lokasi (desa) disajikan pada Tabel 1. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa di Pulau Sumbawa sebaran nyamplung banyak ditemukan di daerah dataran rendah di pinggir dan dekat pantai, dengan ketinggian maksimum ± 50 m di atas permukaan laut. Sedangkan di Pulau Lombok, sebarannya lebih beragam, yaitu dari ketinggian 10 m – 262 m di atas permukaan laut. Namun, secara kualitas populasi Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 57
tanaman nyamplung di Sumbawa relatif lebih besar dari pada tanaman nyamplung yang di Lombok. Jumlah tanaman nyamplung ditemukan di Kabupaten Dompu adalah 151 pohon dengan dengan rerata diameter 38,0 cm. Di Kabupaten Sumbawa Barat ditemukan 194 pohon dengan rerata diameter 34,2 cm. Pohon nyamplung berdiamter batang sampai 1 m, banyak ditemukan di Pantai Selaya Dusun Melaju Desa Kilo Kecamatan Kilo dan Pantai (Desa) Hodo Kecamatan Kempo. Namun, selama pengamatan pada tahun 2012 beberapa pohon telah ditebang oleh masyarakat (illegal logging) (Gambar 1). Pada Tabel 1 juga dapat dilihat bahwa regenerasi alami nyamplung begitu kuat, rerata setiap induk pohon dijumpai lebih dari 100 anakan dalam tingkatan seedling – sapling (pancang) di Kabupaten Dompu (Gambar 1). Di Sekongkang permuadaan alamnya relatif sedikit karena kondisi tegakan nyamplung dan jenis lain relatif rapat dengan serasah yang sangat tebal. Disamping itu, beberapa induk pohon nyamplung kondisinya tidak sehat karena intrusi air laut, yang ditunjukkan oleh merangasnya (daun berguguran) tajuk pohon. Kebanyakan tanaman nyamplung yang di Dompu tumbuh soliter (menyendiri) sehingga lebih optimal dalam beregenerasi alami, sedangkan yang di Sekongkang Sumbawa Barat kebanyakan tumbuhnya bergerombol dengan tajuk yang tumpang tindih. Tabel 1. Populasi dan diameter pohon rata-rata pada setiap lokasi sebaran pohon nyamplung Rerata Rerata Elevasi Kecamatan/ diame Populasi anakan No. Lokasi (m) Kabupaten ter (pohon) per (cm) pohon 1 42,1 81 1–6 Kilo, Dompu - Melaju 154 35,0 16 8 - Lassi 2
Kempo, Dompu
- Tolokalo
25,6
7
28
- Hodo
49,3
47
2 – 22
125
58 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
3
4
Sekongkang, Sumbawa Barat Pulau Lombok
- Tatar
37,1
94
17 – 40
- Brunut
31,3
100
10 – 50
- Korleko
19,6
299
10 – 262
17
23
Gambar 1. Bekas tebangan pohon nyamplung dan anakan alami nyamplung Potensi nyamplung yang ditemukan pada Tabel 1 berada di luar kawasan hutan pada lahan-lahan milik dan pinggiran pantai. Beberapa tanaman nyamplung rusak karena akibat abrasi laut. Sampai saat ini, belum pernah dijumpai tegakan nyamplung di Sumbawa di dalam kawasan hutan. Pada hal sesuai pernyataan Bustomi dan Lisnawati (2009), potensi tegakan nyamplung di Indonesia 60 % berada di dalam kawasan Hutan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa di wilayah Bali dan Nusa Tenggara luas areal bertegakan nyamplung di dalam kawasan adalah 15.700 ha dan di luar kawasan hutan 13.500 ha. Oleh karena itu, patut diduga bahwa informasi potensi dan sebaran nyamplung di Sumbawa kurang lengkap atau terjadi penebangan tanaman nyamplung sebelumnya, dan atau memang sebaran nyamplung di dalam kawasan hutan tidak ada. Masyarakat setempat sudah mengetahui kegunaan pohon nyamplung, yaitu sebagai bahan untuk pembuatan perahu, sehingga beberapa pohon besar di pinggir pantai ditebang. Kejadian ini sebagian besar dijumpai di Kecamatan kempo Kab Dompu. Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 59
III. PENGAMATAN PRODUKSI BUAH NYAMPLUNG Pengamatan produksi buah nyamplung di Sumbawa dilakukan pada Bulan Mei sampai Nopember 2012. Selama enam bulan (satu periode pembuahan) dilakukan pengamatan setiap bulan sebanyak 6 kali pada pohon sampel. Syarat menjadi pohon sampel adalah sehat, tanda-tanda berbuah, lokasi tidak berhimpit, lokasi tidak di lahan miring untuk meminimalisir buah jatuh dan hilang, dan tidak diganggu oleh masyarakat sekitarnya. Sebelum pengamatan produksi buah pada masing-masing pohon dilakukan persiapan dengan cara membersihkan areal di bawah pohon sampel. Ini ditujukan untuk memudahkan perhitungan produksi buah dari pohon model serta untuk memastikan bahwa buah yang jatuh merupakan buah yang diproduksi pada tahun pengamatan (2012) ini (Gambar 2). Pembersihan dilakukan di bawah tegakan pohon sampel berbentuk lingkaran seluas diameter tajuk pohon. Untuk pengamatan selanjutnya dilakukan pengecekan terhadap jumlah buah pada masing-masing pohon model dan pengitungan buah yang jatuh di bawah tegakan pohon. Kondisi dimensi pohon sebagai sampel pengamatan produksi buah disajikan pada Tabel 2.
Gambar 2. Kondisi bawah pohon nyamplung sebelum dan setelah dibersihkan
60 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
Tabel 2. Ukuran dimensi pohon sampel dan jumlah buah nyamplung Data hasil eksplorasi
Dimensi pohon sampel
No
Kecamata/ Kabupaten
1.
Sekongkang, Sumbawa Barat
194
10,8 86,2
24 35
34
581
2,14
2.
KempoKilo, Dompu
151
10,5 222,3
23 51
31
1.08 7
6,24
65
834
4,19
Jumlah/rerata
Jum lah pohon
345
kisar kisaran an Ø Ø (cm) (cm)
Jumlah Jumlah Berat pohon buah/ buah/ pohon phn(kg)
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa sesuai persyaratan penentuan pohon sampel di lapangan diperoleh 65 pohon dengan kisaran diameter batang (dbh) 23 – 51 cm. Sedangkan variasi kisaran diameter hasil eksplorasi yang ditemukan di Pulau Sumbawa adalah dari diameter 10,5 – 222,3 cm. Pohon-pohon model yang terpilih tersebut, sebelumnya dianalisis menurut sebaran normal dari populasi diameternya. Jumlah buah rata-rata per pohon adalah 834 buah dengan berat 4,19 kg. Perbedaaan penampilan hasil buah yang relatif jauh antara lokasi Sumbawa Barat dan Dompu, kemungkinan disebabkan perbedaan kondisi tegakan tersebut. Di Dompu, disamping karena ukuran dimensi pohonnya lebih besar, juga sebagian besar pohonpohon yang dijumpai tumbuh soliter (menyendiri). Relatif sangat dominan, jika tumbuhnya mengelompok dengan jenis-jenis lain. Sedangkan di Sumbawa Barat, tumbuh mengelompok dengan jenis Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 61
yang sama dan jenis lain dengan pertajukan yang relatif rapat, tidak dominan (banyak yang tertekan), banyak pohon yang tidak sehat (gugur daun dan merangas) karena intrusi air laut. Jika dibandingkan dengan produksi buah pada daerah-daerah lain di Jawa, produksi buah nyamplung dari Sumbawa relatif sangat rendah. Menurut Leksono, et. al (2009) dalam Bustomi dan Lisnawati (2009), produksi buah dari provenan Banyuwangi, Gunung Kidul, Purworejo, Cilacap, Ciamis dan Pandeglang adalah 46,24 – 50,00 kg/pohon/tahun. Sedangkan hasilhasil penelitian instansi lain, produksi buahnya jauh lebih besar, yaitu lokasi Batukaras Ciamis 60 – 110 kg/pophon/tahun, TN Alas Purwo Banyuwangi 220 kg/pohon/tahun, Pantai Ketawang, KPH Purworejo 70 – 150 kg/pohon/tahun, dan Yapen Papua 130 kg/pohon/tahun (Bustomi dan Lisnawati, 2009). Namun perlu diketahui bahwa produksi buah yang dihasilkan di Sumbawa hanya terbatas pada pohon-pohon yang berdiameter (dbh) 23 – 51 cm selama enam bulan. IV. MANFAAT TANAMAN NYAMPLUNG Manfaat tanaman nyamplung, terutama bijinya dapat digunakan sebagai bahan baku biofuel (salah satu energi terbarukan), yaitu biokerosene sebagai bahan substitusi minyak tanah dan biodiesel sebagai substitusi minyak solar (Sopamena, 2007). Semakin meningkatnya harga BBM karena ketergantungan persediaan bahan bakar fosil semakin menipis, maka pemanfaatan biofuel dari bahan baku biji nyamplung semakin mendapatkan peluang. Biji nyamplung sebagai salah satu bahan baku biofuel mempunyai keunggulan terhadap bahan baku jenis lain seperti jarak pagar dan sawit, yaitu rendemen nyamplung 40 – 73 %, jarak pagar 40 – 60 % dan sawit 46 – 54 % (Bustomi dan Lisnawati, 2009). Lebih lanjut dinyatakan, minyak biji nyamplung memiliki daya bakar dua kali lebih lama dibandingkan minyak tanah. “Dalam uji coba mendidihkan air dibutuhkan 0,9 ml minyak tanah, sedangkan minyak nyamplung hanya 0,4 ml. Selain untuk sebagai bahan baku biofuel, manfaat lain dari tanaman nyamplung adalah sebagai berikut :
62 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
a. Kayu, untuk bahan pembuatan perahu, balok, tiang, papan lantai dan papan pada bangunan perumahan dan bahan konstruksi ringan b. Getah, bahan aktif dari getah ini berkhasiat untuk menekan pertumbuhan virus HIV. c. Daun, mengandung senyawa costatolide-A, saponin dan acidhidrocyanic yang berkhasiat sebagai obat oles untuk sakit encok, bahan kosmetik untuk perawatan kulit, menyembuhkan luka bakar dan luka potong d. Bunga, digunakan sebagai campuran untuk mengharumkan minyak rambut e. Biji, setelah diolah menjadi minyak dapat digunakan sebagai pelitur, minyak rambut dan minyak urut, berkhasiat juga untuk obat uru-urus dan rematik. Oleh karena itu, keunggulan nyamplung sebagai sumberdaya terbarukan adalah : Dapat ditanam secara monokultur atau campuran dengan tanaman pertanian (tumpang sari), permudaan alami banyak dan berbuah sepanjang tahun Produktivitas biji lebih tinggi dari pada jenis lain seperti jarak pagar dan sawit Pemanfaatan nyamplung sebagai biofuel tidak berkompetisi dengan kebutuhan pangan Hampir seluruh bagian tanaman nyamplung berdayaguna dan menghasilkan bermacam produk bernilai ekonomi terutama buah dan kayunya Dapat ditanam sebagai tanaman wind breaker dan konservasi sempadan pantai Biodisel yang dihasilkan mempunyai keunggulan kompetitif di masa depan, dan kualitas emisi biodisel yang dihasilkan lebih baik dari pada solar.
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 63
V.
PENGOLAHAN BIJI NYAMPLUNG UNTUK BIOKEROSIN
1.
Pelakuan dan Penyimpanan Biji Biokerosin dari biji nyamplung merupakan salah satu bahan baku untuk substitusi minyak tanah. Buah nyamplung yang sudah dipanen, dikeringkan terlebih dahulu di bawah sinar matahari. Apabila sinar matahari cukup terik, pengeringan memerlukan waktu 2 – 3 hari untuk mencapai kondisi kering udara (kadar air 8 – 12 %) (Sudrajat dan Hendra, 2009). Kemudian biji dikuliti yaitu daging biji dipisahkan dari cangkangnya. Biji dimasukkan ke dalam karung goni yang ditutup rapat dan disimpan di dalam gudang. Usahakan lantai gudang di alasi papan yang tidak begitu rapat agar ada udara yang mengalir (tidak lembab dan terlalu dingin) untuk menghindari serangan jamur atau hama. Apabila beberapa sampel terserang jamur, sebaiknya biji dicuci dan dikeringkan kembali.
2.
Pengupasan, Pengukusan dan Pengeringan Biji Proses pengupasan sampai pengeringan biji nyamplung mengikuti prosedur dan petunjuk oleh Sudrajat dan Hendra (2009). Biji nyamplung dikupas tempurungnya kemudian dikukus dengan air panas selama dua jam untuk menghilangkan getahnya. Setelah itu dijemur di bawah sinar matahari atau pengeringan bisa juga dilakukan dengan cara digoreng tanpa minyak (sangray). Pengeringan dilakukan sampai biji nyamplung berwarna coklat kemerahan. Tahapan pengeringan ini sangat penting, karena menentukan besarnya rendemen minyak yang dihasilkan.
3.
Bahan Baku untuk Biokerosin Uji coba pengolahan biji nyamplung untuk menghasilkan biokerosin pernah dilakukan oleh Wahyuni dan Darmawan (2013) pada Laboratorium Balai Penelitian Teknologi HHBK di Mataram. Berdasarkan sebaran potensi nyamplung di NTB, sampel-sampel buah untuk bahan baku biokerosin dikumpulkan dari berbagai lokasi, yaitu 1) Desa dan Kecamatan Batulayar, Lombok Barat, 2) Desa Ai kangkung Sekongkang, Sumbawa barat, 3) Desa Melaju Kilo, Dompu. Proses produksi biokerosin diawali dengan pengupasan kulit dan
64 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
cangkang buah. Daging biji (kernel) yang telah diperoleh dikukus selama 1 jam, kemudian dijemur hingga kering. Alur kegiatan persiapan produksi biokerosin disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Alur proses persiapan bahan baku nyamplung untuk biokerosin (Wahyuni dan Darmawan, 2013) Proses selanjutnya adalah proses pengepresan yang dilakukan dengan menggunakan kempa hidrolik bertekanan maksimal 32 ton dengan kapasitas ± 2,5 kg sampel per proses. Kempa ini dikombinasikan dengan panas. Tahap-tahap pengepresan biji adalah sebagai berikut (Gambar 4) (Wahyuni dan Darmawan, 2013) : a. Timbang 2,5 kg sampel lalu letakkan pada mal kempa yang telah dilapisi oleh kain b. Panaskan alat hingga mencapai suhu 60oC c. Masukkan mal berisi sampel d. Lakukan pengepresan secara bertahap e. Minyak yang keluar dikumpulkan pada wadah yang bersih.
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 65
Crude oil (CO) atau minyak mentah yang dihasilkan dari nyamplung berwarna hijau kehitaman. Rendemen rata-rata CO nyamplung yang tertinggi dihasilkan oleh sampel yang berasal dari Sumbawa (Sekongkang) yaitu 47,05%, sedangkan rendemen rata-rata CO yang terendah dihasilkan oleh sampel yang berasal dari Lombok yaitu 44%. Perbedaan kandungan minyak tersebut dapat dipengaruhi oleh lingkungan tempat tumbuhnya.
Gambar 4. Proses pengepresan biji untuk menghasilkan crude oil (Wahyuni dan Darmawan, 2013)
1. 2. 3.
Tahapan selajutnya untuk menghasilkan biokerosin adalah : Degumming (pemanasan sampai sushu 80oC sambil terus diaduk) yang menghasilkan warna minyak menjadi cerah dan jernih Netralisasi, memisahkan asam lemak bebas dari minyak dengan mereaksikan FFA dengan alkali. Pencucian dan pengeringan, untuk menghasilkan minyak yang bersih. Proses pengeringan untuk mengeluarkan sisa-sisa air yang ada pada minyak. Proses pencucian dilakukan dengan menambahkan air hangat dengan suhu 40-50oC pada minyak sebanyak 30%. Proses pengeringan
66 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
dilakukan dengan memanaskan minyak pada suhu 110-120oC agar semua air dalam minyak dapat diuapkan. Proses ini dilakukan selama 1-2 jam. Bila minyak yang dipanaskan tersebut telah bening berarti sebagian besar air telah menguap. Minyak yang telah dikeringkan selanjutnya disimpan dalam kondisi tertutup untuk menghindari terjadinya oksidasi oleh udara bebas. VI. KESIMPULAN 1. Di Pulau Sumbawa tanaman nyamplung banyak ditemukan di daerah dataran rendah pesisir pantai, yaitu Kabupaten Dompu tersebar di Desa Melaju dan Lassi Kecamatan Kilo dan Desa Tolokalo dan Hodo Kecamatan Kempo sebanyak 151 pohon dengan rerata diameter 38,0 cm. Di Sumbawa barat, nyamplung ditemukan di Desa Tatar Kecamatan Sekongkang 194 pohon dengan rerata diameter 34,2 cm. 2. Selama 6 bulan pengamatan, rerata produksi buah nyamplung per pohon di Sumbawa adalah 834 buah dan berat rata-rata ± 4,19 kg. Kabupaten Dompu menghasilkan 1.087 buah/pohon dengan berat 6,24 kg/pohon, dan Kabupaten Sumbawa Barat 581 buah/pohon dengan berat 2,14 kg/pohon. 3. Seluruh bagian tanaman nyamplung berdayaguna dan menghasilkan bermacam produk bernilai ekonomi terutama buah/biji dan kayunya. Biji nyamplung dapat digunakan sebagai bahan baku biofuel, dan kayunya untuk bahan pembuatan perahu dan kotruksi bangunan 4. Tahapan proses produksi biokerosin setelah biji nyamplung siap adalah pengukusan, pengeringan biji, penggilingan, pengempaan, penyaringan, degumming, netralisasi, pencucian, dan pengeringan.
DAFTAR PUSTAKA Bappenas. 2006. Ringkasan: Kajian Strategi Pengembangan Potensi Hasil Hutan Non Kayu dan Jasa Lingkungan. Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air, Bappenas. Tidak dipublikasikan.
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 67
Bustomi, S., Rostiwati, T., Sudrajat, R., Leksono, B., Kosasih, S., Anggraini, I., Syamsuwida, D., Lisnawati, Y., Mile, Y., Djaenudin D, Mahfudz, Rachman E. 2008. Nyamplung (Calophyllum inophyllum L) Sumber Energi Biofuel yang Potensial. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. Bustomi, S. dan Lisnawati, Y. 2009. Deskripsi Umum Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Sumber Energi Biofuel yang Potensial. Departemen kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Jakarta Sekretariat DPRD Kota Mojokerto. 2008. Mengenal Tanaman Nyamplung. Sekretariat DPRD Kota Mojokerto. Diakses 12 Januari 2010. Sopamena CHA. 2007. Hitaullo (CalopHyllum inopHyllum L.) : Sumber Energi Bahan Bakar Nabati (BBN) dan Tanaman Konservasi. BAPINDO. Bandung. Wahyuni, N. Dan Darmawan, S. 2013. Teknik Pengolahan dan Uji Kualitas Biokerosin Berbahan Baku Nyamplung dan Kepuh. Makalah disampaikan pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi HHBK, Tanggal 19 Nopember 2013 di Mataram. Wirawan, S.S. 2007. Future Biodiesel Research in Indonesia. Institute of Engineering and Technology System Design, BPPT. Jakarta.
68 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
PEMANFAATAN MIMBA DALAM REHABILITASI LAHAN KRITIS DI DAERAH KERING Oleh Ogi Setiawan Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Jl. Dharma Bhakti No.7 Ds. Langko, Kec. Lingsar, Kab. Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat Email :
[email protected]
I.
PENDAHULUAN Lahan kritis merupakan lahan yang keadaan fisiknya sedemikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan peruntukannya sebagai media produksi maupun sebagai media tata air. Hal ini dijelaskan pada SK Menteri Kehutanan No. 52/Kpts-II/2001 tentang pedoman penyelenggaraan Pengelolaan DAS dan Peraturan Menteri Kehutanan No. P 26/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai terpadu. Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa lahan kritis adalah lahan yang tidak mampu lagi berperan sebagai unsur produksi pertanian, baik sebagai media pengatur tata air maupun sebagai pelindungan alam lingkungan. Berdasarkan beberapa definisi tersebut pada dasarnya lahan kritis merupakan lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan atau diharapkan. Sampai dengan tahun 2007, luas lahan kritis di Indonesia baik di dalam kawasan hutan maupun luar kawasan hutan mencapai 77.806.880 ha. Pada tahun 2011 luas lahan kritis dengan kategori agak kritis, kritis dan sangat kritis mencapai mencapai 81.664.294,90 ha. Di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), luas lahan kritis di luar maupun di dalam kawasan hutan telah mencapai 529.972 ha atau 26,9% dari luas daratan NTB (Bappeda NTB, 2009). Peningkatan jumlah lahan
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 69
kritis antara lain disebabkan oleh semakin maraknya konversi lahan untuk berbagai keperluan. Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya juga merupakan salah datu faktor meningkatnya luas lahan kritis. Kerusakan hutan berpengaruh terhadap banyak hal antara lain kekhawatiran akan bertambah parahnya bencana alam kekeringan dan tanah longsor. Oleh sebab itu agar tidak menimbulkan permasalahan lainnya maka lahan-lahan kritis tersebut perlu direhabilitasi. Upaya rehabilitasi pada dasarnya adalah mengembalikan lahan-lahan tersebut agar dapat menjalankan fungsinya baik sebagai fungsi produksi atau ekologi dan lingkungan. Untuk mendukung upaya rehabilitasi lahan kritis, maka diperlukan beberapa strategi diantaranya pengetahuan karakteristik lahan kritis dan pemilihan jenis yang tepat. Pengetahuan karakteristik lahan kritis berguna dasar pemilihan jenis yang akan dikembangakan serta untuk menentukan faktor pembatas upaya rehabilitasi atau terhadap jenis tertentu. Selain didasarkan pada kesesuian lahan, pemilihan jenis juga dapat didasarkan pada aspirasi masyarakat, ketersediaan pasar, dan potensi pengembangan di masa yang akan datang. Pada daerah yang beriklim kering seperti di Sumbawa, pada umumnya faktor pembatas yang ada adalah ketersedian sumberdaya air yang terbatas serta kandungan unsur hara tanah yang retatif rendah. Salah satu jenis yang dapat dikembangkan adalah Mimba (Azadirachta indica JUSS), karena sesuai untuk daerah kering serta memiliki berbagai manfaat dan potensi pasar yang baik. II.
MIMBA Mimba (Azadirachta indica JUSS) termasuk famili meliaceae dengan nama daerah intaran dan mimba. Mimba dikenal sebagai tanaman daerah kering dan sedikit lembab di Asia dan Afrika serta akhir-akhir ini ditemukan juga di Australia, Amerika Latin dan Amerika Selatan (Heyne, 1987). Mimba mempunyai berbagai manfaat diantaranya : a) biji memiliki kandungan bahan aktif yang berfungsi sebagai pestisida, insektisida dan fungisida
70 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
b) bungkil mimba (ampas pengepresan) juga ditemukan sangat baik sebagai bahan pembuatan pupuk dan untuk pemulsaan c) getah yang terdapat dalam lapisan kayu mimba bisa digunakan untuk lem d) daun mimba yang dicampur dengan makanan terbukti baik untuk memperbaiki kondisi pencernaan serta sebagai bahan dasar produk lainnya. Mimba mampu tumbuh pada rentang suhu dan curah hujan yang cukup lebar. Tanaman ini tahan hidup pada daerah dengan curah hujan 450 – 2250 mm. Tanaman ini dijumpai pada daerah dengan ketinggian 0 – 700 m dpl, namun dapat juga hidup pada ketinggian 1500 m dpl (dengan suhu yang tidak terlalu tinggi). Dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah, tetapi tidak pada tanah bergaram, tergenang atau tanah liat. Buah berbentuk elips, berdaging tebal dengan panjang 1,2 – 2 cm. Pada saat masak buah berwarna hijau/kuning dengan lapisan kutikula yang keras dan daging buahnya berair. Pohon yang berukuran sedang (kira-kira berumur 10 – 12 tahun) menghasilkan benih 37 – 55 kg buah segar per tahun atau sekitar 25 kg benih. Buah berisi 1 – 2 butir biji. Jumlah benih per kg 1700 butir, namun di India dalam 1 kg jumlah benih dapat mencapai 3500 – 9000 butir (Rostiwati, 2009). Pada tahun 2010, BPT HHBK telah melaksanakan kajian kondisi tempat tumbuh jenis mimba di wilayah Bali dan NTB. Hasil analisis disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik tempat tumbuh ketiga jenis tanaman PARAMETER Altitude (m dpl) Kemiringan Lereng (%) CH (mm/tahun) Suhu Udara Rata-rata (oC)
NILAI 0 – 1500 5 - 40 400 – 2500 0 – 50
Bulan kering
8
Batuan Permukaan (%)
30
Batuan Singkapan (%)
40
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 71
Kedalaman Efektif (cm)
30
Permeabilitas (cm/jam)
3.9 - 84.9
Drainase tanah
Sedang - sangat cepat
Tingkat bahaya erosi
Sangat rendah - berat
Bahaya banjir
F0 – F2
pH H2O
5.32 - 9.8
C organik (%)
0.58 - 2.49
N total (%)
0.03 - 0.24
P tersedia (ppm)
4.49 - 47.81
K tersedia (ppm)
188 - 530
KTK (cmol/kg)
5 - 37.6
Pasir (%)
55 - 74
Debu (%)
24 - 42
Liat (%)
2 - 14
Tekstur Sumber : BPT HHBK 2011
Sedang - kasar
Gambar 1. Tegakan alami jenis Mimba di Bali
72 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
III. KARAKTERISTIK LAHAN KRITIS Pada tahun 2010, telah dilakukan analisis karakteristik lahan kritis di NTB termasuk di Pulau Sumbawa. Lahan kritis yang diamati adalah lahan kritis yang termasuk kategori agak kritis, kritis dan sangat kritis. Pada Gamabr 2, disajikan penyebaran lahan kritis di NTB berdasarkan kategori agak kritis, kritis dan sangat kritis. 0 0 0 0 5 7
PETA PENYEBARAN LAHAN KRITIS DI PROVINSI NTB
0 0 0 0 5 1 9
0 0 0 0 0 7
0 0 0 0 5 6
0 0 0 0 0 6
0 0 0 0 5 5
0 0 0 0 0 5
0 0 0 0 5 4
0 0 0 0 0 4
0 0 0 0 5 1 9
U
Skala 1 : 1.500.000
0 0 0 0 0 1 9
0 0 0 0 0 1 9
#
Labuhbili #
Oi Sengari
#
Gondang Tanjung
Jonggat
Teluk Waru
#
# #
#
#
Batucangku # # Labuhan Lombok Swela # # Pringgabaya Aikmel Mamben
#
#
# Y #
Batubulan# #
Baturotok
Tepa Taliwang
Lape Litohlaweran
#
SUMBAWA
#
Teluksantong #
Ai Mual
#
Bangkulua
#
Ampang
#
Plampang
#
Doromata
Y
# Sila Daru #
Teke
# #
Sape Bajo
Ranggo
Adu
BIMA #
#
Tongga
##
Karumbu Rupe
Parado
#
Hua
#
Roppang
SUMBAWA BARAT #
Dorokempo
#
Punik
# Y
0 0 0 0 0 0 9
# # #
Ganti
#
Alas
#
#
LOMBOK TENGAH
KOTAY#BIMA #
DOMPU
# Y
# Masbagik
#Pancor Y # Sakra Labuhan Haji
Kopang
#
Kilo Doropi # Kambu
Utan
LOMBOK TIMUR #
# Y #
# #
Sambelia Labuhan Pandan
Bayan
Pemenang
LOMBOK BARAT 0 0 # 0 # # 0 5 KOTA MATARAM Ampenan Narmada Cakranegara 0 # # 9 Kediri
#
#
#
Lunyuk Besar
Sejorong
KETERANGAN : #
Y #
Kota kecamatan Kota kabupaten Jalan Batas Kabupaten/Kota
Sumber : 1. Peta RBI Skala 1:25.000 2. Peta Lahan Kritis NTB Skala 1:250.000 Proyeksi : UTM Zona 50S, Datum WGS84
Kategori Lahan Kritis : Agak Kritis Kritis Sangat Kritis
0 0 0 0 5 9 8
KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN LITBANG KEHUTANAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MATARAM 2010 0 0 0 0 5 7
0 0 0 0 0 7
0 0 0 0 5 6
0 0 0 0 0 6
0 0 0 0 5 5
0 0 0 0 0 5
0 0 0 0 5 4
0 0 0 0 0 4
Gambar 2. Penyebaran lahan kritis di Propinsi Nusa Tenggara Barat Hasil analisis menunjukkan bahwa lahan kritis di Pulau Lombok pada umumnya mempunyai topografi dataran hingga perbukitan dengan kemiringan lereng datar sampai dengan curam. Berdasarkan kategori Balai Penelitian Tanah (2005), hasil analisis tanah menunjukkan secara umum lahan-lahan kritis di Pulau Lombok memiliki kelas tekstur lempung berpasir dengan pH netral, kandungan bahan organiknya rendah hingga sedang, unsur makro relatif rendah terutama pada N totalnya, P tersedia berkisar rendah hingga tinggi, dan unsur K yang rendah hingga sangat rendah. Lahan kritis di Pulau Sumbawa pada umumnya menempati daerah perbukitan dengan Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 73
0 0 0 0 5 9 8
#
#
Pekat
0 0 0 0 0 0 9
#
Nangamiro #
Sukudana Anyar Tampes # # # Bayan Medas Kayangan Obel Obel
#
Kawindo
#
Sebaru
0 0 0 0 5 0 9
# # #
#
kemiringan lereng hingga 45%. Kondisi permukaan tanah didominasi batuan permukaan hingga 20% dan batuan singkapan hingga 60%, dengan tingkat drainase sedang hingga sangat cepat. Hasil analisis sampel tanah menunjukkan bahwa pH tanah berkisar netral hingga alkalis, hanya sampel dari Lambu dan Sape yang menunjukkan kondisi agak masam. Kandungan bahan organik secara umum berkisar dari rendah hingga sedang, namun sampel di Labuhan Badas yang menunjukkan tingginya bahan organik. Untuk unsur nitrogen (N) dan phosfat (P), umummya berkisar rendah hingga sangat rendah, unsur kalium (K) cukup beragam dari sangat rendah hingga sangat tinggi, sedangkan KTK berada kisaran sedang hingga rendah. Tekstur tanah didominasi pasir dengan kelas tekstur pasir hingga lempung berpasir. IV. PEMANFAATAN MIMBA UNTUK REHABILITASI LAHAN KRITIS Informasi kesesuaian lahan antara jenis mimba dengan lahan kritis merupakan informasi yang penting. BPT HHBK telah melakukan analisis kesesuaian lahan jenis mimba untuk rehabilitasi lahan kritis di NTB pada tahun 2010. Analisis kesesuaian lahan dilakukan dengan metode species matching dengan bantuan program GIS. Hasil pembandingan kondisi lahan kritis dan persyaratan tempat tumbuh ketiga jenis tanaman dibagi menjadi 3 kategori utama yaitu sesuai, sesuai marjinal, dan tidak sesuai. Untuk kategori sesuai marjinal, dapat dipisahkan menurut faktor pembatasnya yaitu topografi, tanah, ikim, atau kombinasi diantara ketiga jenis pembatas ini. Adapun peta kesesuaian jenis mimba untuk NTB disajikan pada Gambar 3.
74 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
0 0 0 0 5 7
PETA KESESUAIAN MIMBA PADA LAHAN KRITIS DI PROVINSI NTB
0 0 0 0 5 1 9
0 0 0 0 0 7
0 0 0 0 5 6
0 0 0 0 0 6
0 0 0 0 5 5
0 0 0 0 0 5
0 0 0 0 5 4
0 0 0 0 0 4
0 0 0 0 5 1 9
U
Skala 1 : 1.500.000
0 0 0 0 0 1 9
0 0 0 0
# #
#
Labuhbili
Pekat
#
Oi Sengari
#
Gondang Tanjung
Jonggat
# Y #
Teluk Waru
# #
Sambelia Labuhan Pandan
Bayan
Pemenang
LOMBOK BARAT 0 0 # 0 # # 0 KOTA MATARAM Ampenan 5 Narmada Cakranegara 0 # # 9 Kediri
#
#
#
LOMBOK TIMUR #
Batucangku # # Labuhan Lombok Swela # Pringgabaya Aikmel Mamben
#
# Kopang Masbagik #Pancor Y # # Sakra Labuhan Haji
Ganti
#
#
Batubulan# #
Baturotok
Tepa Taliwang
Lape Litohlaweran
#
SUMBAWA
# #
Teluksantong Ai Mual
#
Bangkulua #
#
Ampang
#
Doromata
Plampang
Y
# Sila Daru#
Teke
# #
Sape Bajo
Ranggo
Adu
#
Tongga
BIMA
##
#
Karumbu Rupe
Parado
#
Hua
#
Roppang
SUMBAWA BARAT
0 0 0 0 0 0 9
Dorokempo
#
Punik
# Y
# Y
# #
#
#
LOMBOK TENGAH
#
Alas
# #
KOTAY#BIMA #
DOMPU
# Y
#
# # #
#
Kilo Doropi # Kambu
Utan
#
Lunyuk Besar
Sejorong
KETERANGAN : #
Y #
Kota kecamatan Kota kabupaten Jalan Batas Kabupaten/Kota
Sumber : 1. Peta RBI Skala 1:25.000 2. Peta Lahan Kritis NTB Skala 1:250.000
0 0 0 0 5 9 8
Proyeksi : UTM Zona 50S, Datum WGS84
Kelas Kesesuaian : Kelas Sesuai Sesuai Marjinal Sesuai marjinal Sesuai marjinal Sesuai marjinal Sesuai marjinl
Pembatas iklim tanah tanah dan iklim topografi dan tanah topografi. iklim dan tanah
Tidak sesuai KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN LITBANG KEHUTANAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MATARAM 2010
0 0 0 0 5 7
0 0 0 0 0 7
0 0 0 0 5 6
0 0 0 0 0 6
0 0 0 0 5 5
0 0 0 0 0 5
0 0 0 0 5 4
0 0 0 0 0 4
0 0 0 0 5 9 8
#
Nangamiro #
0 0 0 0 0 0 9
#
Kawindo
#
Sebaru # #
# Sukudana Anyar Tampes # # # Bayan Medas Kayangan Obel Obel
#
0 0 0 0 5 0 9
0 1 9
Gambar 3. Peta kesesuian jenis mimba pada lahan kritis di NTB Hasil analisis kesesuaian lahan, sebagian besar lahan kritis di NTB termasuk sesuai marjinal untuk jenis mimba dengan beberapa faktor pembatas. Adapun faktor-faktor pembatas tersebut adalah iklim (c), tanah (s) dan topografi (t). a. Iklim. Faktor pembatas iklim di lahan kritis berhubungan erat dengan ketersediaan air yang relatif kecil. Hal ini tentunya akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman karena air merupakan komponen utama dalam proses fotosintesis. Dengan peranan tersebut di atas, jumlah pemakaian air oleh tanaman akan berkorelasi positif dengan produksi biomassa tanaman dan pertumbuhan, hanya sebagian kecil dari air yang diserap akan menguap melalui stomata atau melalui proses transpirasi (Dwidjoseputro, 1984). Adapun fungsi air lainnya bagi tanaman adalah sebagai penyusun tubuh tanaman (70%-90%), pelarut dan medium reaksi biokimia, memberikan turgor bagi sel serta menjaga suhu tanaman agar tetap konstan. Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 75
b. Tanah Beberapa faktor pembatas yang berhubungan dengan sifat tanah pada lahan kritis di NTB adalah dangkalnya kedalaman efektif tanah, tekstur tanah yang didominasi pasir dan kandungan unsur hara yang relatif rendah. Kedalaman tanah efektif akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman, drainase dan ciri fisik tanah lainnya. (Hardjowigwno dan Widiatmaka, 2007; Arsyad, 2000). Tanah yang dominan pasir menyebabkan daya ikat tanah terhadap air serta bahan organik lainnya kecil. Tanah dengan tekstur dominan pasir ini cenderung mudah melepas unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Keadaan tanah seperti ini juga memberikan manfaat diantaranya pertumbuhan akar tanaman akan berkembang dengan baik. (Soepardi ,1983). c. Topografi Kemiringan lereng yang curam merupakan faktor pembatas lainnya. Dalam hubungannya dengan pertumbuhan tanaman, kemiringan lereng yang curam mempunyai pengaruh yang tidak langsung. Kemiringan lereng yang curam akan memperbesar aliran permukaan dan memberikan peluang terjadinya erosi yang lebih besar (Arsyad, 2000). Kondisi ini mengakibatkan kesempatan air untuk meresap ke dalam tanah sebagai sumber air tanaman akan semakin berkurang serta terjadinya pengurangan unsur hara sebagai akibat terjadinya erosi. Faktor-faktor pembatas tersebut pada dasarnya dapat ditanggulangi, namun dengan tingkat penggunaan sumberdaya dan teknologi yang berbeda. Secara umum untuk mengatasi faktor pembatas ketersediaan sumber air, tanah dan topografi, penerapan teknik Konservasi Tanah dan Air (KTA) yang tepat merupakan solusi terbaik. Strategi KTA harus diarahkan untuk mengupayakan peningkatan cadangan air pada zone perakaran tanaman melalui pengendalian aliran permukaan, peningkatan infiltrasi, dan pengurangan evaporasi (Agus et.al, 2002). Subagyono (2007) mengemukakan beberapa teknik KTA yang sesuai untuk wilayah
76 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
dengan keterbatasan sumberdaya air diantaranya saluran peresapan, rorak, mulsa vertikal, embung, gulud pemanenan air, serta dam parit. Alternatif lainnya yang dapat diterapkan untuk mengatasi faktor pembatas khususnya unsur hara dan air dalam rangka rehabilitasi lahan kritis berbasis mimba di daerah kering adalah dengan memanfaatkan pembenah tanah (soil conditioner). Pada dasarnya pembenah tanah merupakan bahan-bahan sintetis atau alami/bahan organik atau mineral berbentuk padat atau cair yang dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. BPT HHBK Mataram dimulai pada tahun 2010 sampai tahun 2013, melakukan penelitian pemanfaatan hidrogel dan pupuk organik untuk mendukung keberhasilan penanaman mimba dalam rangka rehabilitasi lahan kritis yang berlokasi di Kecamatan Alas Barat, Kabupaten Sumbawa. Sampai dengan umur 2 tahun, perlakuan kombinasi antara hidrogel dan pupuk organik mempunyai pertumbuhan tinggi dan diameter ratarata 156,4 cm dan 18,8 mm. Untuk perlakuan pupuk organik saja pertumbuhan tinggi rata-rata adalah 112 cm dan diameter 11,3 mm. Perlakuan kombinasi hidrogel dan pupuk atau pupuk saja mempunyai kandungan unsur hara (N, P, K), C-organik, KTK, kerapatan bakteri, dan kadar air tanah yang lebih besar dari perlakuan lainnya (BPT HHBK, 2013). Penggunaan hidrogel memberikan beberapa manfaat antara lain adalah memastikan ketersediaan air sepanjang tahun, mengurangi hilangnya air dan nutrient karena leaching dan evaporasi, memperbaiki physical properties dari compact soil dengan membentuk aerasi udara yang baik, meningkatkan pertumbuhan tanaman karena air dan nutrient selalu tersedia dengan baik sehingga mengoptimalkan penyerapan oleh akar (Basri, 2010). Begitu pula dengan pupuk organik sebagai sumber bahan organik, mampu meningkatkan daya simpan lengas karena bahan organik mempunyai kapasitas menyimpan lengas yang tinggi (Stevenson, 1982 dalam Jamilah, 2003). Penambahan pupuk organik ini sangat penting karena dari berbagai hasil penelitian terbukti pupuk organik dapat memperbaiki struktur tanah, menentukan tingkat perkembangan struktur tanah, meningkatkan kandungan unsur hara tanah dan berperan pada pembentukan agregat tanah (Stevenson, Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 77
1982 dalam Jamilah, 2003). Berikut beberapa kondisi tanaman mimba di Sumbawa.
Gambar 3. Kondisi tanaman mimba pada umur 2 tahun V.
PENUTUP Upaya rehabilitasi lahan kritis di NTB pada umumnya, dan Sumbawa khususnya perlu didorong terus untuk dilaksanakan dalam rangka mengembalikan fungsi lahan. Salah satu jenis potensial yang dapat digunakan dalam rehabilitasi lahan kritis di daerah kering adalah mimba. Namun demikian pengembagan mimba di lahan kritis mempunyai beberapa faktor pembatas yaitu keterbatasan sumberdaya air, topografi dan hara tanah. Teknik KTA merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi faktor pembatas tersebut. Selain itu juga dapat dilakukan kegiatan pengelolaan kelengasan tanah dengan aplokasi hydrogel dan atau pupuk organik. Namun demikian pemanfaatan kedua bahan ini diprioritaskan pada bahan-bahan yang murah dan banyak tersedia secara lokal.
78 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
DAFTAR PUSTAKA Agus F. E. Surmaini dan N. Sutrisno. 2002. Teknologi Hemat Air dan irigasi suplemen. Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. menuju pertanian poduktif dan ramah lingkungan. Pusat penelitian dan pengembangan tanah dan agroklimat. Balitbang pertanian. Deptan. Jakarta. Arsyad, S., 2000. Konservasi Tanah dan Air, IPB Press, Bogor. Balai Penelitian Tanah. 2005. Analisis kimia tanah, tanaman, air, dan pupuk. Petunjuk Teknis edisi I. Bogor. BPT HHBK, 2013. Ujicoba penyiapan lahan dalam mendukung keberhasilan penanaman Mimba (Azadirachta indica JUSS) di Sumbawa. Laporan Hasil Penelitian. Tidak dipublikasikan. BPT HHBK. Mataram. Bappeda NTB. 2009. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan melalui tata ruang wilayah NTB. Bahan presentasi Lokakarya. Unpublished. Dephut.
2009. Lahan Kritis per Provinsi tahun 2007. URL http://www.dephut. go.id/ index. php?q=id/ node/ 1227 diakses 1 November 2009
Dwidjoseputro, D. 1984. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Penerbit PT. Gramedia.Jakarta. Pp. 66-106 Hardjowigno, S dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Gadjah mada University Press. Yogyakarta. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta Jamilah. 2003. Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang dan Kelengasan terhadap Perubahan Bahan Organik dan Nitrogen Total Entisol. Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan. Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 79
Rostiwati, T. 2009. Mimba (Azadirachta indica A. Juss.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. url: http://wwwforplan.or.id/ images/File/Apforgen/flyer/mimba.pdf. Diakses tanggal 29 Desember 2009. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Subagyono, K. 2007. Konservasi air untuk adaptasi pertanian terhadap perubahan iklim. Bunga Rampai KTA. Penyunting : Fahmuddin Agus. Naik Sinukaban. A. Ngaloken Gintings. Harry Santoso dan Sutadi. MKTI. Jakarta.
80 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
DISKUSI
SESI I : 1. Pengenalan Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Oleh : Nugraha Firdaus, S.Hut,M.Env 2. Judul Makalah : Mengenal Lebah Madu Trigona Sp Dan Usaha Pembudidayaannya Pemakalah : Septiantina Dyah R, S.Hut (Khairul Ahya, SP., BP3k Kecamatan Plampang) Pertanyaan : 1. Kenapa rasa madu trigona asam? 2. Informasi : Trigona banyak di Sumbawa, namun belum dimanfaatkan dengan baik karena tidak tahu kalo bisa dibudidayakan. Jawaban : 1. Dari segi pakan dan proses metabolism yang terjadi di dalam tubuh trigona itu sendiri yang menyebabkan rasa madu trigona lebih asam dibandingkan madu hutan. (Supardi, BP3K Kecamatan Moyo Utara) Pertanyaan : 1. Meminta bantuan koloni Trigona sp untuk dibawa ke Sumbawa, apakah bisa? 2. Bagaimana cara memanen madu trigona yang baik? Karena banyak madu yang terbuang. Jawaban : 1. Untuk saat ini belum bisa, karena tugas pokok dan fungsi BPTHHBK sebagai lembaga penelitian dan tidak ada dana yang dapat memfasilitasi hal tersebut. 2. Memanen dengan menyisir bagian madu dengan menggunakan pisau, kemudian diambil menggunakan sendok agar madu tidak tumpah kembali ke dalam sarang. Kemudian madu diletakkan di saringan dan ditiriskan sampai kering, kemudian dikemas. Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 81
(Zulmansyah, KPH Batulanteh) Pertanyaan : 1. (Informasi) Di Sumbawa, proses pemanenan madu sudah menggunakan sistem tiris dan tidak menggunakan sistem peras lagi. 2. Petani madu sudah membudidayakan trigona, namun memang baru awal dan belum banyak. Namun dalam prakteknya, trigona yang dibudidayakan banyak kabur. Bagaimana cara mengatasinya? Jawaban : 2. Perlu diperhatikan cara peletakkan stupnya, tidak meletakkan stup yang langsung terkena sinar matahari maupun langsung terkena air hujan, hal tersebut dapat menyebabkan trigona kabur. Yang perlu diperhatikan juga bahwa pengecekan stup minimal 3 bulan, untuk mengetahui kondisi stup. Jika madu yang diproduksi cukup banyak, maka perlu dipanen agar trigona tetap mempunyai ruang gerak dan tempat untuk meletakkan telurnya. 3. Judul Makalah : Peran BPTHHBK Dalam Peningkatan Kualitas Madu Alam Pemakalah : YMM. Anita Nugraheni, S.Hut (Swarsiningsih, SP., BP3K Kecamatan Sumbawa) Pertanyaan : 1. Bagaimana cara mengukur kadar air madu pada waktu panen di lapangan? Jawaban : 1. Cara mengukur kadar air dengan menggunakan alat yang bernama refraktometer. 4.
Judul Makalah : Peningkatan Pengusahaan Madu di Klaster Madu Sumbawa Pemakalah : Yumantoko, S.Sos Tidak ada pertanyaan maupun tanggapan
82 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
SESI II : 1. Judul Makalah Pemakalah
: Teknik Produksi Gaharu Budidaya di NTB : Lutfi Anggadhania, S.Si
(Nasrul, BP3K Kecamatan Unter Iwes) Informasi : 1. Ketika disuntikkan antara isolat Gorontalo dan isolat NTB, ternyata lebih berhasil isolate dari Gorontalo. Tanggapan : 1. Untuk sistem simpori, sudah ada penelitinya. Kami melakukan penyuntikan biasa dan hanya menggunakan isolate dari NTB. 2.
Judul Makalah : Budidaya Tanaman Penghasil Gaharu Pemakalah : Ali Setyayudi, S. Hut
(Sudarmaji, SP., BP3K Kecamatan Plampang) Pertanyaan : 1. Bisa tidak budidaya gaharu di daerah panas? Karena Sumbawa daerahnya panas. 2. Bisa tidak membawa bibit gaharu ke Sumbawa? Jawaban : 1. Bisa. Karena range ketinggian tempat tumbuh gaharu dari 0-2400 mdpl, sedangkan Sumbawa masih memungkinkan dalam range tersebut. 2. Coba untuk membudidayakan sendiri dahulu. (Darmansyah, SP., BP3K Kecamatan Sumbawa) Pertanyaan : 1. Gaharu membutuhkan naungan, sedangkan Sumbawa panas dan kering. Kira-kira bisa tumbuh tidak? Jawaban : 1. Bisa. Dengan dikombinasikan dengan tanaman semusim seperti jagung dan ketela. Naungannya bias menggunakan tanaman tersebut sementara. Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 83
3.
Judul Makalah: Potensi Dan Manfaat Nyamplung Sebagai Bahan Baku Energi Di Sumbawa Pemakalah : Ir. I Wayan Widhana Susila, M.P
(Heny Sasmita, SE, BP4K Kabupaten Sumbawa) Informasi : 1. Sebagai informasi bahwa nyamplung banyak terdapat di Pulau Moyo dan daerah Lunyuk. Tanggapan : 1. Untuk penelitian ini, tidak semua lokasi disurvey, dan untuk saat ini lokasi yang diambil meliputi Dompu dan Kilo. 4.
Judul Makalah : Pemanfaatan Mimba Dalam Rehabilitasi Lahan Kritis Pemakalah : Ogi Setiawan, S.Hut, M. Sc Tidak ada pertanyaan maupun tanggapan
84 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
LAMPIRAN
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 85
86 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
Lampiran 1. Daftar Hadir Peserta
DAFTAR HADIR PESERTA SEMINAR SEHARI KAJIAN HASIL-HASIL PENELITIAN HHBK NO
Nama
ALAMAT
1
Tarunawan, S.Sos, SP.
BP4K Kabupaten Sumbawa
2
Witarsa
Desa Karang Dima Lab. Badas
3
M. Paiman IB
Desa Muer Plampang
4
Khairul Ahya, SP.
BP3k Kecamatan Plampang
5
H. Supriyadi, S.Pt.
BP4K Kabupaten Sumbawa
6
Zainal Abidin, S.ST
BP4K Kabupaten Sumbawa
7
Repi, S, SP.
BP4K Kabupaten Sumbawa
8
Aminah, A.Md
BP4K Kabupaten Sumbawa
9
Satradi, A.Md.
BP3K Kecamatan Alas
10
Rahmiati
BP3K Kecamatan Lape
11
Soeprayitno, SP.
BP4K Kabupaten Sumbawa
12
Sarwanto
BP3K Kecamatan Maronge
13
Supardi
BP3K Kecamatan Moyo Utara
14
Ismadi, S.ST.
BP3K Kecamatan Maronge
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 87
15
A. Yani
Desa Pelat Kec. Unter Iwes
16
Anggut Paulus, SP.
BP3K Kecamatan Unter Iwes
17
Haryono, S.ST
BP4K Kabupaten Sumbawa
18
Dwi Wahyuni A, S.Pt.
BP3K Kecamatan Lape
19
Nasrul
BP3K Kecamatan Unter Iwes
20
I Made Swarya, SP.
BP3K Kecamatan Sumbawa
21
I Wayan Sumawa
BP3K Kecamatan Plampang
22
Asminawati, A.Md.
BP3K Kecamatan Sumbawa
23
Drs. H. Mulya Yasin
Desa Buer Kec. Buer
24
Irwan, SP.
BP3K Kecamatan Buer
25
Burhanuddin
BP3K Kecamatan Lape
26
Sujiman, S.ST
BP3K Kecamatan Utan
27
Saepuddin, SP.
BP3K Kecamatan Utan
28
Henry Sukarno
BP3K Kecamatan Lenanggur
29
Hj. Farida Yanti
BP3K Kecamatan Sumbawa
30
Suharti
BP3K Kecamatan Sumbawa
31
Jawariah, STP.
BP3K Kecamatan Sumbawa
32
Swarsiningsih, SP.
BP3K Kecamatan Sumbawa
33
Mastika, SPt.
BP3K Kecamatan Sumbawa
88 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
34
Tukiran
BP3K Kecamatan Sumbawa
35
Suyatno, SP.
BP3K Kecamatan Moyohulu
36
Arif Musnadi, SP
BP3K Kecamatan Alas Barat
37
Walidi, SP.
BP3K Kecamatan Buer
38
Abdurrahim
Desa Lape Kec. Lape
39
Endah Yuniarti, SP
BP3K Kecamatan Sumbawa
40
Fatimah, SP
BP3K Kecamatan Sumbawa
41
Riri Yuniar Fathony. STP
BP3K Kecamatan Unter Iwes
42
Irfan Marzuki, SP.
BP3K Kecamatan Sumbawa
43
Andi Setiawan, S.Hut
BP3K Kecamatan Moyo Utara
44
Syamsul Hidayat, SP
BP3K Kecamatan Moyohulu
45
Sudarmaji, SP.
BP3K Kecamatan Plampang
46
Suhartono
BP3K Kecamatan Lenanggur
47
Supardi, SP.
BP3K Kecamatan Sumbawa
48
Sukarno, SST.
BP4K Kecamatan Sumbawa
49
Abdullatif Fahraniri
BP4K Kecamatan Sumbawa
50
A. Wahid, SP
BP3K Kecamatan Moyo Utara
51
Ahmad Ulwan, SP.
BP3K Kecamatan Empang
52
Sumanto, SP.
BP3K Kecamatan Sumbawa
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 89
53
Saeful Ishak, S.Hut.
BP3K Kecamatan Empang
54
Supardi
BP3K Kecamatan Empang
55
Darmansyah, SP.
BP3K Kecamatan Sumbawa
56
Nuraidah, S.Pi.
BP3K Kecamatan Sumbawa
57
Muh. Ikhsan, SP.
BP3K Kecamatan Ropang
58
Ida Susanti, SP.
BP3K Kecamatan Unter Iwes
59
Iwan Suprianto, SE.
BP4K Kabupaten Sumbawa
60
Hairul Imam, SE.
BP4K Kabupaten Sumbawa
61
Siti Nur, A.Md.
BP3K Kecamatan Sumbawa
62
Nur Azizah, S.Pt.
BP3K Kecamatan Sumbawa
63
Mujiyo, SP.
BP4K Kabupaten Alas Barat
64
Heny Sasmita, SE.
BP4K Kabupaten Sumbawa
65
Wahyuni
BP4K Kabupaten Sumbawa
66
L. Rinaldi
BP3K Kecamatan Alas Barat
67
Nasir
BP4K Kabupaten Sumbawa
68
Ika Wahyuni, S.Pt.
BP3K Kecamatan Lape
69
Edi Kurniawan, S.Hut.
BPTHHBK Mataram
70
Alpian Adi Herawan
BPTHHBK Mataram
71
Rahmi Musyafir
BP3K Kecamatan Sumbawa
90 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
72
JUmawansyah
BP3K Kecamatan Sumbawa
73
Ir. Khaeruddin.
Dishutbun Kabupaten Sumbawa
74
Hasri, SP.
BP3K Kecamatan Lunyuk
75
Hj. Jamila, SP.
BP4K Kabupaten Sumbawa
76
Bahraeni, SP.
BP4K Kabupaten Sumbawa
77
Citra Anggraini, SP.
BP4K Kabupaten Sumbawa
78
Nurmansyah
BP4K Kabupaten Sumbawa
79
Sutomo, A.Md.
BP3K Kecamatan Alas Barat
80
Henry Leonardo K, A.Md.
BP3K Kecamatan Alas Barat
81
Supratyanto
BP3K Kecamatan Alas Barat
82
Sanapiah
Desa Marente Kec. Alas Barat
83
Bulli Rahman
Desa Marente Kec. Alas Barat
84
Supardin, SP.
BP3K Kecamatan Sumbawa
85
Ilhamudinsyah, S.Pt.
BP3K Kecamatan Empang
86
Dewi Rahayu
BP3K Kecamatan Empang
87
Rosihan Anwar
BP3K Kecamatan Sumbawa
88
Diah Gusnawari, A.Md.
BP3K Kecamatan Sumbawa
89
Mastika, S.Pt
BP3K Kecamatan Ropang
90
Susilawati, S.Pi
BP3K Kecamatan Unter Iwes
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 91
91
Nurhayati
BP3K Kecamatan Unter Iwes
92
Rusdi Darmansyah
Desa Lab. Burung Kec. Buer
93
Nyoman Sulitra
Desa Sabedo Kec. Utan
94
M. Ali Bolang
Desa Tengah Kec Utan
95
Eliyati
BP3K Kecamatan Utan
96
Aedi Karma
BP3K Kecamatan Utan
97
Husain
Desa Luk. Kec Utan
98
Witarsa
Desa Karang Dima Kec. Lab. Badas
99
Wakidi
BP3K Kecamatan Alas
100
Abdullah
BP3K Kecamatan Alas
101
Amiruddin
BP3K Kecamatan Alas
102
Susanti Wijayanti
BP3K Kecamatan Alas
103
Supardin, SP.
BP3K Kecamatan Sumbawa
104
Damhuri
Desa Bangkong kec. Lab. Badas
105
M. Dahlid
BP3K Kecamatan Sumbawa
106
Nur Intan Komalasari, SP.
BP4K Kabupaten Sumbawa
107
Baharudin
Desa Danar Kec. Lab. Badas
108
Budiman, SP.
BP4K Kabupaten Utan
109
Abdurrahman
Desa Danar Kec. Lab. Badas
92 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
110
Yudi Pramudiansyah, S.Hut
BP3K Kecamatan Moyoutara
111
Wahidin
BP3K Kecamatan Alas
112
Muhibah Anadi
BP3K Kecamatan Tarano
113
Mansyur
BP3K Kecamatan Tarano
114
Makmun, SP.
BP3K Kecamatan Tarano
115
Rahman, SP.
BP3K Kecamatan Labangka
116
Sahabuddin, SP.
BP3K Kecamatan Maronge
117
Yudi teguh Kristianto
BP3K Kecamatan Empang
118
M. Nurdin
Desa Pelat Kec. Unter Iwes
119
Hasanuddin
Desa Kerekeh Kec. Unter Iwes
120
Edy sujiwo
BP3K Kecamatan Labangka
121
Hasri, SP.
BP3K Kecamatan Lunyuk
122
H. Syamsuddin
Desa Olat Rawa Kec. Moyohilir
123
Supriyanto Nur, SP.
BP3K Kecamatan Plampang
124
Ibrahim
Desa Poto Kec. Moyohilir
125
Datu Suherman, SP.
BP3K Kecamatan lape
126
Iwan Kurniawan, A.Md.
BP3K Kecamatan Plampang
127
Amrullah
Desa Kukin Kec. Moyo Utara
128
Atim, SST
BP3K Kecamatan Lunyuk
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 93
129
Kamaluddin
Desa Marga Karya Kec. Moyohulu
130
Budi Irawan, A.Md
BP3K Kecamatan Plampang
131
Uwan Rahmana, S.Pt
BP3K Kecamatan Labangka
132
Burhanuddn, SP.
BP3K Kecamatan Empang
133
Rosihan Anwar
BP3K Kecamatan Empang
134
Bambang Irawan
Desa Lape Kec. Lape
135
Abdul Muis, A.Md.
BP3K Kecamatan Tarano
136
Iwan Satriawansyah
BP3K Kecamatan Tarano
137
I Ketut Cepet Dremi, SP.
BP3K Kecamatan Lenanggur
138
Ir. Nurmawan
BP3K Kecamatan Lape
139
Muh. Zulkarnain,SP.
BP3K Kecamatan Lape
140
Ahmad Samidin
Desa Ledang Kec. Lenanggur
141
Bakri Boya
Desa Batu Dulang Kec. Batulateh
142
A. rasidi
Desa Pemasar Kec. Maronge
143
M. Sufri HL
Desa Brang Kolong Kec. Plampang
144
M. Ridwan HS.
Desa Gapit Kec. Empang
145
M. Faesal, SP.
BP3K Kecamatan Lape
146
Joko Susilo, S.Pd, SP.
BP3K Kecamatan Labangka
147
Rusdi
BP3K Kecamatan Moyohulu
94 | Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
148
Busairi, SP.
BP3K Kecamatan Moyohulu
149
Drh. Rudi Wicahyo
BP3K Kecamatan Moyohulu
150
Teguh Dwi Darmawan, S.Pi
BP3K Kecamatan Alas
Seminar Sehari Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu | 95