Jejak Vol 8 (2) (2015): 208-223. DOI: http://dx.doi.org/10.15294/jejak.v8i2.6171
JEJAK Journal of Economics and Policy http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jejak
DETERMINAN PERTUMBUHAN SEKTOR INDUSTRI UNGGULAN DI PROVINSI JAWA TIMUR Mohtar Rasyid1 1
Universitas Trunojoyo, Indonesia
Permalink/DOI: http://dx.doi.org/10.15294/jejak.v8i2.6171 Received: Juli 2015; Accepted: Agustus 2015; Published: September 2015
Abstract This article aims toanalyzethe main determining factorof growthof industrialsector, especiallythe small scale industriesin East Javaover the past decade. Using theofthe Cobb-Douglas production functionapproach, this research assessedinputfactorconsisting oflabor, capitalandrawmaterials.This study used apooling regression modelto estimate the coefficient of production function fromfourgroups ofselected industries namely:the food industry, textile industry, wood industryandpaperindustry. The results showedthat the sourceof growthfor the industryisstilldominatedbythe physicalgrowth ofinputandnot byproductivity growth. As a result, in the long rungrowth ofthe industry is difficulttobesustainable and relativelyvulnerable toeconomic shocks. Based onthese findingssuggested thatpolicy makersfocus more onefforts toimprove the quality ofinputs, in particularinputqualityhuman resourcesor labor.
Keywords: small scale industries, input driven, productivity driven, sustainable growth
Abstrak Artikel ini bertujuan untuk menganalisis faktor penentu utama pertumbuhan sektor industri, khususnya industri kecil di Jawa Timur selama satu dekade terakhir. Dengan pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas ditelaah faktor input yang terdiri atas tenaga kerja, kapital dan bahan mentah (raw material). Dalam penelitian ini digunakan model regresi dengan data poling dari empat kelompok jenis industri terpilih yaitu industri makanan, industri tekstil, industri kayu dan industri kertas.Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber pertumbuhan untuk industri dimaksud masih didominasi oleh pertumbuhan fisik input dan bukan oleh pertumbuhan produktivitas. Akibatnya, dalam jangka panjang pertumbuhan industri sulit untuk bersifat sustainable (berkelanjutan) dan relatif rentan terhadap gejolak ekonomi. Berdasarkan hasil temuan tersebut disarankan agar pengambil kebijakan lebih fokus pada upaya untuk meningkatkan kualitas input, khususnya kualitas input sumber daya manusia atau tenaga kerja.
Kata Kunci: industri kecil, kontribusi input, kontribusi produktivitas, pertumbuhan berkesinambungan How to Cite: Rasyid, M. (2016). DETERMINAN PERTUMBUHAN SEKTOR INDUSTRI UNGGULAN DI PROVINSI JAWA TIMUR. JEJAK: Jurnal Ekonomi Dan Kebijakan, 8(2), 208-223. doi:http://dx.doi.org/10.15294/jejak.v8i2.6171
© 2015 Semarang State University. All rights reserved
Corresponding author : Address: Jl. Raya Telang, Bangkalan, Madura, Jawa Timur E-mail:
[email protected]
ISSN 1979-715X
209
Mohtar Rasyid, Determinan Pertumbuhan Sektor Industri Unggulan di Provinsi Jawa Timur
PENDAHULUAN Sejak krisis ekonomi 1998, perekonomian nasional cukup dikejutkan dengan fenomena yang disebut sebagai deindustrialisasi. Salah satu indikasinya adalah adanya penurunan utilitas industri dari waktu ke waktu (Margono & C, 2004). Apabila tahun 1996 utilitas industri masih mencapai 82 persen akan tetapi pada tahun 2002 menurun menjadi sekitar 63 persen. Berdasarkan jumlah industri yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) secara nasional pada tahun 1996 jumlah industri mencapai 22.997 industri namun pada tahun 2002 tinggal 21.146 industri. Hal ini berimbas kepada penurunan produksi yaitu pada tahun 1996 prosentase indeks produksi adalah sebesar 120,04 sedangkan pada tahun 2002 prosentase indeks produksi menjadi sekitar 100,29(BPS Jawa Timur, 2012). Potret suram perkembangan sektor industri ini pada awalnya memang dipicu oleh krisis ekonomi 1998. Namun demikian krisis ekonomi yang berlangsung hampir satu dekade yang lalu tersebut tentunya tidak bisa dianggap sebagai ”kambing hitam” dari segala macam akar permasalahan ekonomi. Penelaahan lebih dalam untuk mengetahui struktur ekonomi secara inheren masih perlu dibuktikan secara lebih mendalam (Henstridge, Sourovi, & Jakobsen, 2013). Hal ini bertujuan tidak lain agar solusi atas permasalahan diperoleh secara memuaskan dan tidak hanya mengandalkan pada asumsi yang kurang mendasar(Puspita, 2015). Atas dasar itulah maka dalam tulisan ini akan dikaji mengenai sumber pertumbuhan (source of growth) sektor industri dengan mengambil sampel industri kecil di Jawa Timur selama beberapa periode terakhir. Melalui penelitian ini daharapkan dapat diketahui kondisi sektor industri secara komprehensif. Jawa Timur dipilih sebagai sampel dengan alasan bahwa propinsi ini
merupakan salah satu propinsi penyumbang terbesar bagi PDB secara nasional. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa share PDRB Jawa Timur dalam produksi nasional (non-migas) pada tahun 2012 mencapai 16 persen (Badan Pusat Statistik, 2012). Angka share ini terpaut kurang lebih satu persen dari DKI Jakarta sebagai pusat ekonomi nasional. Posisi geografis Jawa Timur yang sangat strategis menempatkan daerah ini sebagai salah satu kutub pertumbuhan ekonomi penting di Indonesia, khususnya untuk wilayah Indonesia bagian timur. Beberapa industri strategis terletak di kawasan ini seperti galangan pembuatan kapal (PT. PAL Surabaya), industri ketera api (PT. INKA Madiun), pabrik rokok (Kediri, Kudus dan Malang), pabrik kertas (Mojokerto) dan pabrik semen (Gresik). Sejumlah industri kecil seperti industri kulit untuk tas dan kerajinan yang tersebar di Sidoarjo bahkan telah dikenal luas dalam pasar internasional (Kementrian Keuangan RI, 2012). Untuk data pertumbuhan Jawa Timur selama periode 2000 – 2013 dapat diperrhatikan dalam Gambar 1. Di samping itu berdasarkan data diketahui bahwa perkembangan sektor industri di provinsi ini relatif stabil selama dalam periode penelitian sehingga memperbesar kontrol terhadap variabel penelitian yang tidak teridentifikasi dan sulit dikuantifir. Menurut Jehle dan Reny (2001)fungsi produksi mempunyai keterkaitan kuantitatif antara output dan input. Secara sederhana diasumsikan bahwa input kapital dan tenaga kerja adalah input yang paling penting dalam proses produksi. Fungsi produksi menunjukkan bahwa output tergantung dari penggunaan input dan tingkat teknologi. Oleh karena itu, pertumbuan ekonomi suatu negara atau wilayah sangat tergantung pada
210
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 208-223
pertumbuhan input maupun pertumbuhan teknologi(Ismail, Sulaiman, & Jajri, 2014). Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi suatu
negara atau wilayah dapat diestimasi melalui penggunaan fungsi produksi.
Kota Batu
6.67
Kota Surabaya
6.47
Kota Madiun
5.97
Kota Mojokerto
6.19
LogPDRB
Kota Pasuruan
5.49
Kota Probolinggo
5.67
Kota Malang
5.70
Kota Blitar
Growth
6.15
Kota Kediri
4.11 0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2000 – 2013 Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur 2000 – 2013 Fungsi produksi adalah pendekatan terbaik yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa pertumbuhan ekonomi berbeda antar negara atau wilayah. Menurut Barro dan Martin (2004) adanya perbedaan yang sangat kecil saja pada tingkat pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan perbedaan yang cukup besar pada standar hidup. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pada umumnya pertumbuhan ekonomi wilayah urban relatif lebih cepat dibandingkan dengan wilayah bukan urban(Yuliani, 2015). Perekonomian kota tidak dapat tumbuh kecuali industri-industri di kota menggunakan lebih banyak input dan mengadopsi teknologi lebih baik. Tetapi pendekatan ini tidak dapat menjelaskan terjadinya pertumbuhan kota. Berdasarkan teori produksi, output suatu sektor industri akan dipengaruhi oleh input
yang digunakan dalam proses produksi. Input yang digunakan dalam proses produksi tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu input faktor produksi, kapital dan tenaga kerja sedangkan input yang lain adalah teknologi, teknik produksi yang efisien yang dapat dilihat melalui tingkat produktivitas. Semakin banyak input faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi maka output sektor industri tersebut juga akan semakin banyak. Atau output sektor industri akan dapat bertambah banyak dengan input faktor produksi yang tetap tetapi dengan penggunaan input yang lebih produktif bisa dilakukan dengan adanya manajemen produksi yang lebih baik atau adanya teknik produksi yang lebih efisien. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kenaikan output sektor industri bisa disebabkan oleh penggunaan
211
Mohtar Rasyid, Determinan Pertumbuhan Sektor Industri Unggulan di Provinsi Jawa Timur
input yang lebih banyak (input driven) atau dengan adanya peningkatan produktivitas (Sari, 2004). Untuk mengukur kontribusi masingmasing input terhadap output, maka dapat digunakan model standar Cobb-Douglas sebagai berikut: ln𝑄𝑖𝑡 = 𝛼 + 𝜑1 ln𝑇𝐾𝑖𝑡 + 𝜑2 ln𝐾𝑖𝑡 (1) Dalam hal ini 𝑄 adalah nilai tambah sektoral, 𝑇𝐾 adalah jumlah tenaga kerja yang digunakan dan 𝐾 adalah kapital yang diproksi dari pembelian barang/mesin oleh masingmasing industri. Langkah selanjutnya adalah menghitung rata-rata kontribusi input dengan pendekatan kalkulasi sebagai berikut: 𝑞̇ ⁄𝑞 = 𝜑1 𝑡𝑘̇⁄𝑡𝑘 + 𝜑2 𝑘̇⁄𝑘 + 𝑇𝐹𝑃 (2) Formula diatas menyatakan bahwa pertumbuhan output pada dasarnya disumbang oleh masing-masing pertumbuhan fisik input dikalikan dengan masing-masing share yang dimiliki (𝜑1 atau𝜑2 ). Apabila dalam perhitungan tersebut ditemukan kelebihan, maka nilai lebih tersebut disumbang oleh produktivitas input atau lebih dikenal dengan Total Factor Productivity (TFP). Menurut Modjo(2006), TFP adalah indikator yang sangat penting untuk mengukur perubahan produktivitas. Indikator ini dapat menentukan apakah strategi pembangunan sektor industri yang diimplementasikan dapat memperbaiki produktivitas atau tidak. Jika strategi pembangunan sektor industri dapat meningkatkan produktivitas maka pertumbuhan output sektor indsutri akan merupakan pertumbuhan output yang berkelanjutan sehingga dapat
mempertahankan pertumbuhan output dari situasi ekonomi yang buruk. Dengan demikian pertumbuhan outputnya menjadi pertumbuhan yang berkelanjutan (sustainable growth). Begitu juga Van der Eng (2006)mengatakan bahwa kenaikan output sektor industri yang tinggi dapat disebabkan oleh dua keadaan yaitu penggunaan input (tenaga kerja, kapital, bahan baku dan bahan bakar) yang lebih banyak; atau juga bisa dengan penggunaan input yang tetap tetapi lebih produktif/efisien. Penggunaan input yang lebih produktif bisa dilakukan dengan adanya manajemen produksi yang lebih baik atau adanya teknik produksi yang lebih efisien. Dengan kata lain, sumber pertumbuhan output bisa didorong oleh penggunaan input yang lebih banyak (input driven) atau dengan adanya peningkatan produktivitas (productivity driven). Sumber pertumbuhan output yang didorong oleh pertumbuhan produktivitas mengindikasikan bahwa strategi pembangunan sektor industri yang diimplementasikan sangat baik. Untuk menelusuri jalur pertumbuhan sektoral, evaluasi sektoral juga dapat dilakukan dengan menggunakan analisis efisiensi. Secara umum, konsep efisiensi secara umum dapat dibagi menjadi tiga konsep. Pertama, efisiensi teknis atau technical efficiency. Technical Efficiency pada dasarnya merefleksikan kemampuan sektor tertentu untuk mencapai level output yang optimal dengan menggunakan tingkat input tertentu. Efisiensi ini mengukur proses produksi dalam menghasilkan sejumlah output tertentu dengan menggunakan input seminimal mungkin. Dengan kata lain, suatu proses produksi dikatakan efisien secara teknis apabila input dari suatu barang tidak dapat lagi ditingkatkan tanpa mengurangi input dari barang lain.
212
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 208-223
Kedua, efisiensi alokatif atau allocative efficiency. Efisiensi alokatif merefleksikan kemampuan perusahaan dalam mengoptimalkan penggunaan inputnya dengan struktur harga dan teknologinya. Terminologi Efisiensi Pareto sering disamakan dengan efisiensi alokatif untuk menghormati ekonom Italia Vilfredo Pareto yang mengembangkan konsep efficiency inexchange. Efisiensi Pareto mengatakan bahwa input produksi digunakan secara efisien apabila input tersebut tidak mungkin lagi digunakan untuk meningkatkan suatu usaha tanpa menyebabkan setidaktidaknya keadaan suatu usaha yang lain menjadi lebih buruk. Dengan kata lain, apabila input dialokasikan untuk memproduksi output yang tidak dapat digunakan atau tidak diinginkan konsumen, hal ini berarti input tersebut tidak digunakan secara efisien. Konsep efisiensi ketiga adalah economic efficiency yang merupakan kombinasi antara efisiensi teknis dengan efisiensi alokatif. Efisiensi ekonomis secara implisit merupakan konsep least cost production. Untuk tingkat output tertentu, suatu perusahaan produksinya dikatakan efisien secara ekonomi jika perusahaan tersebut menggunakan biaya dimana biaya per unit dari output adalah yang paling minimal. Dengan kata lain, untuk tingkat output tertentu, suatu proses produksi dikatakan efisien secara ekonomi jika tidak ada proses lainnya yang dapat digunakan untuk memproduksi tingkat output tersebut pada biaya per unit yang paling kecil
gabungan data time seriesdengan cross section. Periode data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari 2003 sampai 2013, sedangkan jenis industri yang dipilih adalah industri manufakturing menengah dan besar yang diklasifikasikan menjadi sembilan katagori. Variabel yang digunakan dalam model penelitian adalah variabel output, variabel tenaga kerja, variabel kapital dan variabel bahan baku. Variabel output adalah variabel tergantung yang merupakan output sektor industri manufakturing di Jawa Timur dengan satuan milyar Rupiah. Variabel input merupakan variabel tergantung yang digunakan sebagai input oleh sektor industri, di mana variabel input meliputi tenaga kerja dengan satuan orang, kapital dengan satuan milyar Rupiah, bahan baku dengan satuan milyar Rupiah dan bahan bakar dengan satuan milyar Rupiah. Selanjutnya, ada tiga kemungkinan metodeatauteknik analisis yang dapat digunakan untuk mengestimasi koefisien model penelitian dengan data panel. Menurut Wooldridge (2009)metode yang pertama adalah metode ordinary least square (OLS) sedangkan metode ke dua dan ketiga adalah fixed effect atau random effect, di mana dua metode terakhir disebut juga dengan metode generalized least square (GLS). Secara umum model produksi (1) dapat diekspresikan sebagai berikut:
METODE PENELITIAN
Di mana error term dalam persamaan (3) terdiri dari dua komponen. Komponen yang pertama adalah individual specific component (= i), yang tidak berubah sepanjang waktu. Sedangkan komponen yang ke dua adalah remainder component (= it), yang diasumsikan tidak berkorelasi sepanjang waktu.
Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik Indonesia dan instansi lainnya yang terkait dengan penelitian ini. Disamping itu, jenis data yang digunakan adalah data panel yaitu
′ 𝑦𝑖𝑡 = 𝜇 + 𝑥𝑖𝑡 𝛼 + 𝜃𝑖 + 𝜀𝑖𝑡
(3)
213
Mohtar Rasyid, Determinan Pertumbuhan Sektor Industri Unggulan di Provinsi Jawa Timur
Penggunaan metode OLS akan menjadi tidak bias dan konsisten apabila error terms (idanit) adalah mutually independent dan independent dengan xjs (untuk semua j dan s). Tidak ada autocorrelation dalam Struktur error components(idan it) akan ditunjukkan dengan 2 = 0. Apabila tidak ada autocorrelation dalam struktur error components maka penggunaan metode OLS untuk mengestimasi koefisien dalam model produksi (2) menjadi dibenarkan. Tetapi apabila error terms berkorelasi sepanjang waktu 2 0, maka penggunaan metode OLS tidak dibenarkan. Apabila metode OLS tidak dibenarkan untuk diimplementasikan dalam mengestimasi model produksi (1) maka alternatif berikutnya adalah menggunakan metode GLS. Dengan mengamati persamaan (3), maka dapat menentukan apakah model produksi (1) dalam penelitian ini diestimasi dengan metode OLS atau GLS. Jika 2 sama dengan nol (2 = 0) maka akan sama dengan satu ( = 1). Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada autocorrelation. Dengan demikian, metode OLS dapat diimplementasikan untuk mengestimasi model produksi (2) dalam penelitian ini. Tetapi apabila tidak sama dengan satu ( 1) maka metode GLS yang seharusnya diimplementasikan dalam mengestimasi model produksi (1).
𝜓=[
𝜎𝑠2
𝜎𝑠2 +𝑇𝜎𝜃2
]
(4)
Jika metode GLS dipilih untuk mengestimasi model produksi (1) maka akan ada dua alternatif metode yang bisa digunakan yaitu fixed effectsestimator atau random effectsestimator. Jika nilai lebih dari nol dan kurang dari satu (0 1), maka random effects estimator dibenarkan dalam mengestimasi model produksi (1).Tetapi jika
sama dengan nol, ( =0), maka sebaiknya menggunakan fixed effects estimator dalam mengestimasi model produksi. Apabila model GLS dipilih untuk mengestimasi model produksi (3) maka perlu menentukan apakah ada korelasi antara individual effects(i) dan explanatory variables(xit). Jika ada korelasi antara individual effects(i) dan explanatory variables(xit) maka menggunakan random effects estimator akan mengakibatkan pengestimasian yang tidak konsisten. Meskipun demikian, apabila ada korelasi antara individual effects(i) dan explanatory variables(xit) maka dapat diatasi dengan menggunakan model fixed effects estimator. Model fixed effects ini dapat menghilangkan pengaruh individual effects (i) dalam model produksi (3). Untuk itu ada dua macam pengujian yang dapat digunakan untuk menentukan apakah model produksi (3) dalam penelitian ini akan diestimasi dengan metode OLS ataukah GLS yang meliputi fixed effects atukah random effects. Pengujian pertama adalah dengan menggunakan Breusch-Pagan test (BP test), test ini digunakan untuk mengkonfirmasikan apakah model produksi (3) diestimasi dengan menggunakan metode OLS atau GLS. Hipotesis nol dari pada BP test adalah 2 = 0, yang berarti tidak ada autocorrelation,sedangkan hipotesis 2 alternatifnya adalah 0, yang berarti ada autocorrelation. Apabila hipotesis nol diterima maka untuk mengestimasi model produksi (3) menggunakan metode OLS, tetapi jika hipotesis nol ditolak maka model produksi (3) diestimasi dengan metode GLS. Jika metode GLS terpilih untuk mengestimasi model produksi (3) maka langkah selajutnya adalah melakukan Hausman test. Test ini digunakan untuk menentukan apakah model produksi (3) menggunakan fixed effects atukah random effects. Hipotesis nol dari Hausman
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 208-223
test adalah tidak ada korelasi diantara individual effects(i) dan explanatory variables(xit) dalam model produksi (3). Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti antara individual effects(i) dan explanatory variables(xit). Dengan demikian menggunakan random effects akan konsisten dan efisien. Sedangkan hipotesis alternatif dari Hausman test adalah individual effects (i) dan explanatory variables(xit) saling berkorelasi. Untuk itu ada berbedaan yang signifikan antara individual effects(i) dan explanatory variables(xit). Dengan demikian menggunakan fixed effects estimator akan konsisten. Oleh karena itu, secara umum, dapat dikatakan apabila tidak dapat menolak hipotesis nol maka akan digunakan metode random effect sebaliknya jika menolak hipotesis nol maka akan digunakan metode fixed effects. Untuk mengukur efisiensi teknis, dalam penelitian ini akan digunakan pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA). Ada dua model yang sering digunakan dalam DEA, yaitu model Charnes, Chooper dan Roodes (CCR) yang dikembangkan pada tahun 1978 dan model Banker, Charnes, dan Chooper (BCC) yang diperkenalkan pada tahun 1984.Model CCR merupakan model yang paling sering digunakan dalam model DEA. Berikut akan diurai kedua model tersebut: 1.Constant Return to Scale (CRS) Model ini dikembangkan oleh Charnes, Cooper dan Rhodes (Model CCR) pada tahun 1978. Model DEA dengan ancangan CRS mengasumsikan bahwa proses produksi mengikuti CRS, yang artinya setiap peningkatan input secara proporsional dengan persentase tertentu akan meningkatkan output dengan persentase yang sama. Asumsi ini hanya berlaku jika setiap unit bisnis yang diobservasi telah berproduksi pada kapasitas maksimalnya (optimum scale). Efisiensi
214
dengan asumsi CRS ini menghasilkan efisiensi overall technical Untuk mendapatkan skor efisiensi bagi perusahaan i(θ), yang memiliki satu input x dan satu output y, diperoleh dengan memecahkan sistem persamaan linier sebagai berikut: Min θ,λ θ, Subject to -yi + Yλ ≥ 0, θxi - Xλ ≥ 0, λ≥0 Keterangan: Y = y1 + y2 + ……. + yn X = x1 + x2 + ……. + xn n = jumlah unit bisnis yang diobservasi x1 = input x untuk unit bisnis 1 y1 = output y untuk unit bisnis 1 λ = vector dari konstan 2. Variable Return to Scale (VRS) Model kedua ini dikembangkan oleh Banker, Charnes, dan Cooper (Model BCC) pada tahun 1984 dan merupakan model pengembangan dari model sebelumnya yaitu CCR. Dalam kondisi nyata, seringkali persaingan dan kendala-kendala keuangan dapat menyebabkan suatu unit bisnis tidak beroperasi pada skala optimalnya. Padahal asumsi CRS berlaku jika unit bisnis yang diobservasi beroperasi pada skala optimal. Dengan tujuan inilah Banker, Charnes dan Cooper (1984) memperkenalkan model DEA VRS. Efisiensi Teknis (TE) yang dihitung dengan model VRS ini disebut sebagai Efisiensi Teknis Murni (Pure Technical Efficiency), yang selanjutnya disebut efisiensi teknis. Dengan melakukan estimasi frontier menggunakan model CRS dan VRS, maka dapat dilakukan dekomposisi Efisiensi Teknis Keseluruhan (Overall Technicall Efficiency) menjadi Efisiensi Teknis Murni (Pure Technical Efficiency dan Efisiensi Skala (Scale Efficiency). Maka
215
Mohtar Rasyid, Determinan Pertumbuhan Sektor Industri Unggulan di Provinsi Jawa Timur
perhitungan secara matematisnya adalah sebagai berikut: OTE = PTE x SE Model DEA yang berdasarkan input dengan asumsi VRS dapatditunjukkan dengan linear programming problem sebagai berikut: minθ,λ θ, subject to -yi + Yλ ≥ 0, θxi - Xλ ≥ 0, N1’λ = 1, λ ≥ 0, Keterangan: Y = y1 + y2 + ……. + yn X = x1 + x2 + ……. + xn n = jumlah unit bisnis yang diobservasi x1 = input x untuk unit bisnis 1 y1 = output y untuk unit bisnis 1 Dalam hal iniN1’λ = 1 adalah convexity constraint, N1 adalah vektor N x 1 dan θ adalah besaran skalar (1 ≥ θ ≤ ∞). Untuk sejumlah N DMU, dengan input sebesarA dan output sebesar B pada masing-masing DMU, yi adalah vektor output B xN dan xi adalah vektor input A x N. Y dan X terdiri dari data untuk seluruh DMU.Jika linear programming problem tanpa convexity constraint (N1’λ = 1), maka menjadi model DEA yang berdasarkan input dengan asumsi CRS. Pada penelitian ini menggunakan data panel yang memungkinkan untuk menghitung perubahan produktivitas serta menguraikan ke dalam bentuk perubahan teknologi dan perubahan efisiensi teknis.Metode DEA yang digunakan adalah indeks malmquist orientasi input dan asumsi VRS.Nilai lebih besar dari satu menunjukkan bahwa ada pertumbuhan Total Factor Productivity (TFP) yang positif dari periode t ke periode t+1. Indeks ini merupakan rata-rata geometris dari dua output-basedMalmquist TFP indices. Indeks yang satu menggunakan teknologi pada periode t dan yang lainnya menggunakan
teknologi pada periode t+1. Nilai indeks malmquist yang kurang dari satu, maka nilai tersebut mengindikasikan bahwa UKE mengalami penurunan dalam total produktivitas. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan teknik analisis yang dijelaskan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode fixed effect lebih tepat jika dibandingkan dengan metode random effect. Selengkapnya hasil perhitungan dapat digambarkan melalui printout Eviews pada tabel 1. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa sekitar 97,19% variasi dari variabel bebas (log output) bisa dijelaskan oleh variasi variabel terikat. Seluruh koefisien regresi yang terkait dengan variabel penjelas utama yaitu tenaga kerja (log Labor), kapital (log Kapital) dan bahan baku (log Raw) seluruhnya signifikan dalam level signifikansi konvensional (1% dan 5%) dengan tanda yang sesuai dengan harapan teoritis. Penjumlahan dari ketiga koefisien regresi utama dimaksud adalah mencapai sekitar 1,69 yang menunjukkan bahwa industri kecil di Jawa Timur selama satu dekade terakhir bekerja dalam kondisi increasingreturntoscale. Secara parsial dapat dijelaskan bahwa dengan mengasumsikan variabel lain konstan, peningkatan jumlah tenaga kerja sebesar 1% rata-rata akan meningkatkan output sebesar 0,764%. Peningkatan jumlah kapital sebesar 1%, dengan asumsi variabel lain konstans, akan mengakibatkan peningkatan output sebesar 0,097%. Selanjutnya dengan asumsi yang sama, yaitu semua variabel lain dianggap konstan, peningkatan kuantitas bahan baku sebesar 1% maka secara rata-rata akan meningkatkan output sektor industri sebesar kurang lebih 0,83%.
216
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 208-223
Tabel 1. Estimasi Model Fungsi Produksi Cobb-Douglas Variable
Coefficient Std. Error
t-Statistic
Prob.
LOG(LABOR?) LOG(KAPITAL?) LOG(RAW?) Fixed Effects 31--C 32--C 33--C 34--C
0.764835 0.097722 0.834478
6.309964 3.463117 12.74149
0.0000 0.0014 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Log likelihood Durbin-Watson stat
0.971923 0.967370 0.201192 11.93239 1.607882
0.121211 0.028218 0.065493
-6.725270 -6.399949 -6.019189 -5.528658 Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid F-statistic Prob(F-statistic)
22.71281 1.113791 1.497701 213.4680 0.000000
Sumber: Data diolah Tahap selanjutnya setelah menghitung koefisien regresi untuk masing-masing input factor yang diuji adalah menghitung produktivitas tiap input produksi. Analisis berikut merangkum pertumbuhan output
selama periode penelitian (2003-2013), pertumbuhan jumlah tenaga kerja, pertumbuhan modal serta bahan baku selama periode yang sama.
Tabel 2. Pertumbuhan Output, Input dan Produktivitas ISIC
Growth Output
Growth Labor
Growth Capital
Growth Raw
Productivity
31 32
0.208159 0.793453
0.0197129 0.1763591
3.9137781 10.6670401
0.202046 0.202604
-0.35798 -0.55290
33 34
0.187792 0.334611
-0.0479145 0.0412821
0.8897521 0.4955848
0.178015 0.337059
-0.01106 -0.02666
0.047360
3.991539
0.229931
-0.237152
Average 0.381004 Sumber: Data diolah
Beberapa hal yang bisa diinterpretasikan berdasarkan Tabel 2 diatas adalah bahwa pada dasarnya pertumbuhan output sektor industri kecil di Jawa Timur selama periode penelitian pada dasarnya adalah secara rata-rata relatif tinggi yaitu mencapai sekitar 30%. Pertumbuhan terbesar dialami oleh sub sector industri tekstil (ISIC 32).
Akan tetapi sebagaimana juga dapat diperhatikan dalam table diatas adalah bahwa meskipun tumbuh relatif baik akan tetapi daya serap tenaga kerja masih cukup rendah. Secara rata-rata daya serap tenaga kerja adalah sebesar rata-rata 4% dengan penyerapan terendah adalah dalam sub sektor industri kayu (ISIC 33). Daya serap tenaga kerja untuk
217
Mohtar Rasyid, Determinan Pertumbuhan Sektor Industri Unggulan di Provinsi Jawa Timur
sektor dimaksud justru mengalami kemunduran (-4,7%). Selanjutnya pertumbuhan penggunakan modal yang relatif tinggi dimiliki oleh industri textile. Selanjutnya industri makanan (kode ISIC 31) juga mengalami peningkatan yang relatif tinggi dalam penggunaan capital. Perkembangan penggunaan kapital terendah selama periode penelitian adalah pada sub sektor industri kertas (ISIC 34). Jika dibandingkan dengan ketiga faktor input lainnya, penggunaan input berupa bahan baku mengalami perkembangan yang hamper sama untuk keempat sub sektor yang diteliti. Secara rata-rata perkembangan penggunaan bahan baku mencapai hampir 23% per tahun dengan rincian sub sektor industri makanan dan tekstil tumbuh sebesar 20% pertahun; sub sektor industri kayu sebesar 17% dan sub sektor industri kertas mencapai rata-rata 33% per tahun. Diantara beberapa fakta yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa produktivitas input untuk masing-masing sub sektor yang dikaji adalah memiliki koefisien negatif. Hasil ini dapat diinterpretasikan bahwa sumber pertumbuhan sektor industri kecil di Jawa Timur selama ini masih bersifat input driven dibandingkan dengan productivity driven. Sebagaimana disinggung sebelumnya, pertumbuhan yang berbasis input driven dalam banyak hal relatif tidak stabil dan belum menjamin tercapainya pertumbuhan yang berkelanjutan (sustainable growth). Fakta lain yang juga tidak bisa dilupakan bahwa sumber pertumbuhan dimaksud lebih banyak tergantung pada kapital dan bahan baku dan
bukan pada pasokan tenaga kerja. Kenyataan inilah yang mungkin dapat menjelaskan mengapa industri nasional sangat sensitif terhadap perubahan kurs mengingat prosentase impor untuk barang modal maupun bahan baku selama ini masihcukup dominan. Ironisnya, setiap terjadi gejolak (shock) dalam sektor industri, lebih sering diikuti dengan peristiwa PHK besar-besaran. Dengan produktivitas tenaga kerja yang relatif rendah, maka kemungkinan “pemulangan” tenaga kerja acap kali dianggap sebagai satu-satunya penyelesaian logis dari krisis. Untuk menguji ketahanan model (robustness check), maka model analisis regresi utama akan dievaluasi dengan model alternatif, yakni model pooling dan model random effect. Sebagai langkah awal, estimasi model dilakukan dengan menggunakan pendekatan pooling. Hasil estimasi selengkapnya dapat diperhatikan dalam tabel 3. Tabel 3 dibawah ini menunjukkan hasil estimasi dengan menggunakan pendekatan pooled least square. Meskipun hasil perhitungan menunjukkan bahwa koefisien regresi yang dihitung memiliki arah dan signifikansi yang sama, akan tetapi memiliki besaran (magnitute) yang berbeda dengan hasil dalam Tabel 1. Karena hasil estimasikoefisien regresi nantinya sangat sensitif dalam perhitungan produktivitas, maka uji lebih lanjut masih perlu dilakukan. Test awal adalah mengevaluasi superioritas pendekatan pooling dengan pendekatan fixed effect. Untuk itu perlu dilakukan uji redundant effect. Uji ini pada dasarnya diperlukan untuk menguji keabsahan penggunaan dummy cross section (dalam hal ini sub-sektor) dalam model.
218
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 208-223
Tabel 3. Estimasi Model Pooled Least Square Variable
Coefficient Std. Error
t-Statistic
Prob.
LOG(LABOR?) LOG(KAPITAL?) LOG(RAW?)
0.223314 0.092262 0.843927
3.844180 2.952424 24.48624
0.0004 0.0052 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.946941 0.944352 0.262741 2.830338 -2.069837 1.966132
0.058092 0.031250 0.034465
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter.
22.71281 1.113791 0.230447 0.352096 0.275561
Sumber: Data diolah Hasil uji redundant dimaksud secara ringkas dapat diperhatikan dalam rangkungan Tabel 4 sebagai berikut: Tabel 4. Uji Redundant Fixed Effect Redundant Fixed Effects Tests Pool: Untitled Test cross-section fixed effects Effects Test
Statistic
d.f.
Prob.
Cross-section F Cross-section Chi-square
9.366905 24.860774
(3,37) 3
0.0001 0.0000
Sumber: Data diolah Tabel 4 diatas menampilkan hasil olah data redundant fixed effect. Pengujian dilakukan dengan mengevaluasi signifikansi unit cross section dalam data. Apabila karakteristik dalam masing-masing sub-sektor industri memiliki perbedaan satu sama lain, maka koefisien cross-section akan signifikan. Sebaliknya, jika unit sub-sektor industri yang dianalisis relatif homogen, maka unit crosssection yang diuji seharusnya tidak signifikan. Dalam kasus ini maka seharusnya analisis
dilakukan menggunakan pendekatan Ordinary Least Square (OLS). Effect dari unit cross-section ini diasumsikan tetap antar waktu. Dengan kata lain, faktor lain diluar model yang invariant antar waktu diwakili oleh efek ini. Dalam tabel diatas, uji signifikansi unit cross-secion ini dilakukan dengan dua pendekatan, yakni menggunakan uji F dan uji Chi-Square. Secara umum, kedua uji ini memberikan basis guna menentukan apakah perbedaan karakterisik
219
Mohtar Rasyid, Determinan Pertumbuhan Sektor Industri Unggulan di Provinsi Jawa Timur
sub-sektor secara statistik signifikan atau tidak dalam level signifikansi konvensional. Statistik F menghasilkan nilai F hitung sebesar 9,36. Dengan derajat kebebasan masing-masing sebesar 3 dan 37 maka probabilitas statistik F tercatat sebesar 0,0001. Nilai ini tentunya sangat jauh dari nilai cut off konvensional sebesar 0,05. Dengan kata lain kehadiran dummy cross-section dalam model adalah sangat signifikan. Simpulan serupa juga dapat dilihat menurut statistik Chi-square. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa statistik
Chi-square sebesar 24,86 ternyata juga sangat signifikan. Hasil ini menegaskan kembali bahwa ternyata unit cross-section adalah sangat signifikan. Dengan demikian maka perbedaan antar unit sub-sektor dalam kasus ini adalah sangat signifikan. Berdasarkan hasil diskusi ini maka jelas dapat disimpulkan bahwa antara pendekatan Pooled Least Square versus Fixed Effect lebih superior pedekatan yang terakhir (Fixed Effect). Pengabaian terhadap adanya perbedaan unsur cross-section ini akan berpotensi menghasilkan estimator yang bias.
Tabel 5. Estimasi Model Random Effect Variable
Coefficient Std. Error
C -1.605092 LOG(LABOR?) 0.234032 LOG(KAPITAL?) 0.079725 LOG(RAW?) 0.920460 Random Effects (Cross) 31--C -2.69E-12 32--C -5.03E-12 33--C -6.32E-12 34--C 1.40E-11
0.730989 0.044750 0.024601 0.043719
t-Statistic
Prob.
-2.195781 5.229724 3.240708 21.05396
0.0340 0.0000 0.0024 0.0000
S.D.
Rho
6.17E-07 0.201192
0.0000 1.0000
Effects Specification
Cross-section random Idiosyncratic random Sumber: Data diolah Hasil pembahasan sebelumnya secara jelas menegaskan bahwa estimasi Model Fixed Effect lebih superior dibandingkan dengan Model Pooled Least Square. Langkah selanjutnya untuk menentukan model terbaik adalah membandingkan performa Model Fixed
Effect dengan alternatif model lain, yakni Model Random Effect. Ide dasar dari model random ini adalah unsur spesifik dari masing-masing sub-sektor dapat dimasukkan sebagai unsur dalam disturbance atau error term.
220
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 208-223
Untuk itu maka perlu dilakukan penyesuaian estimasi sedemikian rupa sehingga estimator yang diperoleh nantinya akan efisien. Hasil estimasi random effect dapat diperhatikan dalam Tabel 5. Secara signifikansi, estimator yang diperoleh semuanya signifikan dalam level konvensional (5%). Namun demikian, magnitute dari koefisien regresi yang diperoleh relatif berbeda dengan hasil estimasi sebelumnya. Unsur spesifik dari tiap cross-section secara teori dapat dimasukkan ke dalam dua unsur yang berbeda: unsur intersept atau unsur disturbance. Jika masuk dalam unsur intersept, maka unsur ini secara eksplisit mewakili semua variabel diluar model yang mempengaruhi variabel dependen. Apabila unsur di luar model memiliki korelasi dengan variabel yang masuk dalam model, maka estimasi koefisien regresi variabel dalam model akan terkoreksi. Sungguhpun demikian, koreksi koefisien ini tetap akan menghasilkan estimator yang tidak bias. Sebaliknya jika unsur spesifik dari crosssection masuk sebagai unsur random, maka
potensi bias karena efek unsur diluar model tidak dapat diisolasi. Artinya, jika unsur diluar model memiliki efek korelasi yang kuat dengan variabel dalam model, maka memasukkan unsur spesifik cross-section ke dalam unsur random tidak akan menyelesaikan masalah bias. Secara teoritis, model fixed effect relatif lebih konsisten karena bisa mengatasi masalah bias. Model random effect justru lebih banyak berhubungan dengan efisiensi estimator. Jika kedua pendekatan tersebut memberikan estimator yang kurang lebih sama, maka pendekatan random effect tentu lebih disarankan. Sebaliknya, jika estimator fixed effect dan random effect sangat berbeda maka estimator fixed effect akan memberikan hasil yang lebih konsisten. Untuk menentukan metode estimasi yang sesuai, dapat dilakukan pengujian Hausman test. Secara metodologi, uji ini digunakan untuk mengevaluasi perbedaan besaran koefisien regresi yang dihasilkan oleh Model Fixed Effect versus Model Random Effect. Hasil perhitungannnya, dapat diperhatikan dalam tabel berikut:
Tabel 6. Uji Hausman: Fixed versus Random
Test Summary
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random
28.100714
3
0.0000
Cross-section random effects test comparisons: Variable
Fixed
Random
Var(Diff.)
Prob.
LOG(LABOR?) LOG(KAPITAL?) LOG(RAW?)
0.764835 0.097722 0.834478
0.234032 0.079725 0.920460
0.012689 0.000191 0.002378
0.0000 0.1929 0.0779
Sumber: Data diolah
221
Mohtar Rasyid, Determinan Pertumbuhan Sektor Industri Unggulan di Provinsi Jawa Timur
Tabel 6 diatas menunjukkan hasil uji Hausman untuk membandingkan hasil estimasi Fixed Effect dengan hasil estimasi Random Effect. Secara umum hasil menunjukkan bahwa perbedaan antara kedua estimator tersebut berbeda secara signifikan. Nilai Chi-square dari test ini adalah sebesar 28,1 dan sangat signifikan dalam pengujian level 1% sekalipun. Untuk melihat besarnya perbedaan antara kedua koefisien tersebut diatas, dapat diperhatikan dalam panel bawah Tabel 6. Secara jelas dapat dilihat bahwa koefisien tenaga kerja (Labor) hasil estimasi fixed effect adalah sebesar 0,764 dan estimasi random effect sebesar 0,234. Dengan demikian terjadi perbedaan koefisien sebesar 0,012689. Secara statistik perbedaan tersebut adalah sangat signifikan. Selanjutnya, koefisien kapital untuk fixed effect adalah sebesar 0,097 dan random effect sebesar 0,079. Terdapat perbedaan besaran (magnitude) meskipun secara statistik perbedaan tersebut tidak terlalu signifikan. Selanjutnya, koefisien regresi untuk variabel bahan mentah (raw) yang dihasilkan oleh estimator fixed effect adalah sebesar 0,834 dan oleh random effect sebesar 0,920. Perbedaan koefisien tersebut signifikan dalam level signifikansi 5% satu ujung. Berdasarkan diskusi mengenai estimator yang konsisten, dapat dihasilkan beberapa hasil penting. Pertama, terdapat bukti bahwa variasi antar unit cross section dalam penelitian ini berbeda secara signifikan. Dengan demikian, maka penggunaan model homogen antar unit subsektor menjadi kurang sahih. Dalam hal ini model regresi pooling relatif inferior dibandingkan dengan estimator lainnya. Kedua, perbedaan spesifik antar unit sub-sektor yang dianalisis dalam uji lanjutan ternyata lebih sesuai diasumsikan sebagai bagian intersep dibandingkan dengan unsur
random. Berdasarkan temuan ini maka dapat dipastikan bahwa model fixed effect lebih superior dibandingkan dengan estimasi model lainnya. Dengan demikian maka estimator fixed effect sebagaimana disajikan dalam Tabel 1 relatif lebih sesuai dibandingkan alternatif estimasi model lainnya. Sesuai dengan pembahasan analisis model regresi tersebut maka estimasi sumber pertumbuhan sektor industri unggulan sebagaimana disajikan dalam Tabel 2 mendapat dukungan metodologi yang kuat. Dengan demikian, kesimpulan mengenai fenomena input driven dalam kasus sektor industri unggulan di Jawa Timur sesuai dengan temuan riset ini. Selanjutnya, berdasarkan informasi mengenai determinan pertumbuhan sektor industri unggulan, pertanyaan penelitian yang juga akan dijawab adalah berkaitan dengan jalur pertumbuhan yang dapat dilakukan oleh masing-masing sektor agar pertumbuhannya lebih optimal. Untuk itu maka perlu dilakukan perhitungan efisiensi teknis pada seluruh sub sektor untuk menentukan sektor yang memiliki kinerja paling efisien. Perhitungan efisiensi teknis dengan menggunakan pendekatan DEA sebagaimana disinggung dalam bagian sebelumnya memiliki beberapa keunggulan. Pertama, efisiensi dapat dihitung menggunakan beberapa indikator sekaligus sehingga hasil temuan lebih representatif. Kedua, perhitungan efisiensi dengan DEA secara teknis relatif mudah untuk dikerjakan dan diinterpretasikan. Meski demikian, perhitungan efisiensi teknis dengan pendekatan ini juga memiliki kelemahan. Kelemahan utama dalam pendekatan ini adalah hasil perhitungan hanya bisa diinterpretasikan dalam lingkup unit analisis yang disertakan dalam kajian. Jika dilakukan
222
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 208-223
penambahan unit analisis maka hasil perhitungan dan kesimpulan yang diperoleh juga akan berbeda. Untuk menghitung efisiensi teknis sub sektor industri unggulan di Jawa Timur, penelitian ini akan menghitung efisiensi
dalam beberapa periode waktu. Hal ini dimaksudkan untuk menguji konsistensi hasil perhitungan antar waktu. Hasil perhitungan efisiensi teknis dapat diperhatikan sebagai berikut:
Tabel 7. Perhitungan Efisiensi Teknis 2003, 2008 dan 2013 ISIC
Sub-Sektor Industri
31
2003
2008
2013
Industri Makanan
1,000
0,960
0,993
32
Industri Tekstil
0,902
0,736
0,684
33
Industri Kayu
0,736
0,947
0,865
34
Industri Kertas
1,000
1,000
1,000
Sumber: Data diolah Hasil perhitungan efisiensi teknis sub sektor Industri di Jawa Timur dapat diperhatikan dalam Tabel 7 diatas. Berdasarkan temuan diatas dapat dilihat bahwa selama periode penelitian, industri kertas (Kode ISIC 34) konsisten memiliki tingkat efisiensi yang paling tinggi dibandingkan dengan tiga kelompok industri lainnya. Beberapa industri memiliki tingkat efisiensi yang berubah-ubah. Industri makanan memiliki tingkat efisiensi yang relatif konsisten meskipun dalam beberapa periode mengalami sedikit perubahan. Industri tekstil justru memiliki tingkat efisiensi yang relatif menurun dari tahun ke tahun dibandingkan dengan industri lainnya. Pada tahun 2003, efisiensi industri ini hampir mencapai 100% (tepatnya 90,2%). Seiring berjalannya waktu, industri tekstil mengalami penurunan dalam hal efisiensi. Tahun 2008 tingkat efisiensi yang dicapai adalah sebesar 73,6% dan menurun menjadi 68,4% pada tahun 2013. Selanjutnya, industri kayu tercatat sebagai industri dengan tingkat
efisiensi yang tidak stabil. Pada tahun 2003 tingkat efisiensi teknis yang dicapai pada oleh industri ini adalah sebesar 73,6%. Efisiensi industri kayu pada tahun 2008 meningkat menjadi 94,7%. Akan tetapi pada tahun 2013 efisiensi yang dicapai oleh industri ini adalah sebesar 86,5%. Berdasarkan hasil ini maka sudah jelas maka industri unggulan yang memiliki efisiensi paling tinggi di Jawa Timur adalah industri kertas. Untuk itu, untuk meningkatkan performa industri secara keseluruhan, perkembangan industri unggulan dapat mengikuti jalur pertumbuhan industri kertas. Salah satu industri unggulan dengan tingkat efisiensi yang relatif tinggi adalah industri makanan. SIMPULAN Hasil perhitungan menunjukkan bahwa sumber pertumbuhan sektor industri di Jawa Timur selama periode penelitian adalah lebih banyak disumbambang dari unsur pertambahan input (input driven). Struktur pertumbuhan sektoral yang seperti itu
223
Mohtar Rasyid, Determinan Pertumbuhan Sektor Industri Unggulan di Provinsi Jawa Timur
diyakini tidak dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Struktur pertumbuhan ekonomi yang stabil seharusnya lebih banyak didominasi oleh pertumbuhan yang berasal dari perkembangan produktivitas. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa diantara empat kelompok industri unggulan di Jawa Timur, industri kertas merupakan industri yang memiliki tingkat efisiensi relatif tinggi dan paling stabil. Beberapa industri lainnya justru memiliki tingkat efisiensi yang tidak stabil. Atas dasar itulah maka kebijakan untuk dapat memperbesar kualitan input produksi sangat mendesak untuk segera dilakukan. Peningkatan kualitas input yang paling mendesak untuk dilakukan adalah yang berasal dari peningkatan kualitas sumber daya manusia. Hal ini mengingat bahwa peningkatan kualitas manusia atau lebih khususnya kualitas tenaga kerja, disamping akan memperbaiki kesejahteraan bagi tenaga kerja itu sendiri, namun juga diyakini akan menjamin tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan relatif kuat dalam merespon gejolak ekonomi baik yang berasal dari dalam maupun dari luar. Beberapa industri dapat dijadikan sebagai raw model pengembangan industri unggulan di Jawa Timur. Salah satu subsektor dimaksud adalah industri kertas. Sebagai salah satu sentra industri kertas di Indonesia, Jawa Timur dapat dijadikan model perkembangan industri kertas di tanah air. Sebaliknya industi tekstil, yang memiliki tingkat efisiensi yang relatif menurun dari tahun ke tahun merupakan industri yang seharusnya mendapat perhatian khusus dari pengambil kebijakan. Mengingat potensi industri tekstil dengan potensi pasar domestik dan ekspor yang masih sangat luas, sangat disayangkan jika industri tekstil memiliki kinerja (efisiensi) yang terus
menurun. Selaras dengan temuan dalam penelitian ini, peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dikombinasikan dengan efisiensi penggunaan sumber daya lainnya akan menghasilkan tingkat pertumbuhan yang stabil dan berkesinambungan. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. (2012). Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia 2012. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Barro, R. J., & Sala-i-Martin, X. (2004). Economic Growth: Second Edition. London: MIT Press. BPS Jawa Timur. (2012). Jawa Timur Dalam Angka. Surabaya: Badan Pusat Statistik. Henstridge, M., Sourovi, & Jakobsen, M. (2013). Growth in Indonesia: Is it Sustainable? Drivers of Economic Growth. Oxford Policy Management. Ismail, R., Sulaiman, N., & Jajri, I. (2014). Total Factor Productivity and Its Contributions to Malayasia's Economy Growth. Research Journal of Applied Sciences, Engineering and Technology , 4999-5005. Jehle, G. A., & Reny, P. J. (2001). Advanced Microeconomic Theory: Second Edition. New York: Addison Wesley. Kementrian Keuangan RI. (2012). Tinjauan Ekonomi dan Keuangan Daerah. Jakarta: Kementrian Kuangan RI. Margono, H., & C, S. S. (2004). Efficiency and Productivity Analyses of Indonesian Manufacturing Industries. Southern Illinois University Carbondale. Modjo, M. I. (2006). Total Factor Productivity in Indonesian Manufacturing: A Stochastic Frontier Approach. Monash University. Puspita, D. W. (2015). Analisis Determinan Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah. JEJAK Journal of Economics and Policy, 8 (1). Sari, D. W. (2004). The Source of Growth of Indonesia's Manufacturing Industry. The 29th FAEA Annual Conference (pp. 1-19). Kuala Lumpur: Institute Integrity of Malaysia. Van der Eng, P. (2006). Accounting for Indonesia's Economic Growth: Recent Past and Near Future. Brisbane: University of Queensland. Wooldridge, J. M. (2009). Introductory Econometrics, A Modern Approch . Cengage Learning. Yuliani, T. (2015). Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten di Kalimanatan Timur. JEJAK Journal of Economics and Policy, 8 (1).