Jejak Vol 8 (2) (2015): 108-126. DOI: http://dx.doi.org/10.15294/jejak.v8i2.6164
JEJAK Journal of Economics and Policy http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jejak
ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI PERAJIN RAMBUT DI DESA KARANGBANJAR KECAMATAN BOJONGSARI, PURBALINGGA Agus Arifin1 , Suprapto2 1
Universitas Jenderal Soedirman, Indonesia
Permalink/DOI: http://dx.doi.org/10.15294/jejak.v8i2.6164 Received: Juli 2015; Accepted: Agustus 2015; Published: September 2015
Abstract Hair craft product is selected as a specialized one in Karangbanjar village, Purbalingga Regency. This product has comparative advantage among other regions such as in Demak, Sragen, Karanganyar, and Brebes. It is also the second best product in the world after Guangzhou, China. This hair craft creative industry can employ many workers and generate income for the artisans in fulfilling their basic needs. The purpose of this study is to identify internal and external factors and analyze production activity and consumption behaviour of entrepreneurs of hair creative industry in Karangbanjar, Purbalingga. This study used primary and secondary data. The primary one was collected from respondents—68 entrepreneurs of hair production industry, and the secondary one was from relevant government institutions. Some measurements were applied in this study. Internal and External factors were identified by using SWOT analysis, while production activity was measured by profit analysis and economic efficiency analysis, and the consumption was measured by average propensity to consume (APC) analysis. The result shows that: 1) Hair creative industry has strenghts over weaknesses and opportunities over threats; (2) Hair creative industry offers high profit; 2) The entrepreneur profit coming from this industry can fulfill most of the consumption.
Keywords: internal factor, external factor, production, consumption, hair creative industry, APC.
Abstrak Kerajinan rambut merupakan produk unggulan di Desa Karangbanjar khususnya dan Kabupaten Purbalingga umumnya. Produk ini memiliki keunggulan komparatif, lebih unggul daripada Kabupaten Demak, Sragen, Karanganyar, dan Brebes. Produk ini juga merupakan unggulan kedua di dunia setelah Guangzhou China. Industri kreatif kerajinan rambut di Desa Karangbanjar ini juga ternyata mampu menyerap banyak tenaga kerja dan memenuhi kebutuhan hidup layak sebagian besar perajin rambut.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor internal dan eksternal serta menganalisis aktivitas produksi dan perilaku konsumsi pengusaha rambut industri kreatif di Karangbanjar, Purbalingga. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan dari responden—pengusaha industri produksi rambut—sejumlah 68 sampel, dan data sekunder diperoleh dari instansi pemerintah yang terkait. Beberapa pengukuran diaplikasikan dalam penelitian ini. Faktor internal dan eksternal diidentifikasi dengan analisis SWOT, aktivitas produksi diukur dengan analisis keuntungan dan analisis efisiensi ekonomi, sementara perilaku konsumsi diukur dengan analisis APC (Average Propensity to Consume). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) industri kreatif kerajinan rambut mempunyai kekuatan lebih banyak daripada kelemahannya dan peluang lebih besar daripada ancamannya; (2) industri kreatif rambut menawarkan keuntungan yang tinggi; 3) laba pengusaha dari industri ini dapat memenuhi sebagian besar konsumsi.
Kata Kunci: faktor internal, faktor eksternal, produksi, konsumsi, industri kreatif kerajinan rambut, APC. How to Cite: Arifin, A., & Suprapto, S. (2016). ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI PERAJIN RAMBUT DI DESA KARANGBANJAR KECAMATAN BOJONGSARI, PURBALINGGA. JEJAK: Jurnal Ekonomi Dan Kebijakan, 8(2), 108-126. doi:http://dx.doi.org/10.15294/jejak.v8i2.6164
© 2015 Semarang State University. All rights reserved
Corresponding author : Address: Jl. Prof. Dr. HR. Boenyamin No. 107, Purwokerto 53122 E-mail:
[email protected]
ISSN 1979-715X
109
Agus Arifin dan Suprapto, Analisis Produksi dan Konsumsi Perajin Rambut Di Desa Karangbanjar Kecamatan Bojongsari, Purbalingga
PENDAHULUAN Kinerja perekonomian suatu negara yang baik dan kuat harus ditopang oleh eksistensi sektor riil yang kuat pula. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu pilar utama dalam pengembangan sektor riil. Beberapa penelitian (Hill, 2001; Kyaw, 2008; dan Agyapong, 2010) mejelaskan bahwa pengembangan UMKM telah menjadi fokus pembangunan di negara-negara berkembang. Dukungan pemerintah terhadap pengembangan UMKM juga dilakukan di negara-negara maju (Musnidar dan Tambunan, 2007; Aranoff et al., 2010; dan Okun et al., 2010). Berdasarkan bukti empiris tersebut dan juga beberapa penelitian lainnya (Kyaw, 2008; Radam, 2008; Sari, 2008; Bowen et al., 2009; dan Ardic et al., 2011) dapat ditegaskan bahwa UMKM berperan penting dalam memajukan perekonomian suatu negara. Salah satu sektor UMKM yang menjadi unggulan/andalan di daerah adalah industri kreatif. Di Kabupaten Purbalingga terdapat industri kreatif yang merupakan unggulan utama daerah yaitu kerajinan rambut. Industri kreatif kerajinan rambut yang terdapat di Desa Karangbanjar Kabupaten Purbalingga ini ternyata mampu mengurangi angka pengangguran (30,47 persen)dan dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) masyarakat perajin rambut (82,5 persen telah hidup layak) (Arifin, 2011). Meskipun secara ekonomi industri kreatif ini cukup menjanjikan, namun masih ditemukan berbagai kelemahan, seperti ketersediaan bahan baku, permodalan, dan pemasaran (Arifin, 2008; Ihua, 2009; dan Bowen at al., 2009). Di samping itu, ditemukan pula permasalahan pemasaran dikarenakan jaringan usaha (networking) yang terbatas dan strategi pemasaran yang masih konvensional, belum memanfaatkan Information Technology (IT)
secara baik, rendahnya manajemen, dan kualitas sumber daya manusia (Sari, 2008; Bowen et al., 2009; Kushwaha, 2011, Popescu, 2011; Arifin dan Rakhmat, 2013). Beberapa kelebihan/kekuatan dan kekurangan/kelemahan tersebut akan terdeteksi pada perilaku para pekerja rambut, baik dilihat sebagai produsen maupun sebagai konsumen. Dari sisi produsen misalnya, para pekerja yang mau dan mampu memperbaiki teknik produksi dan pemasarannya, maka mereka akan dapat menghasilkan produksi yang lebih banyak dengan kualitas yang bagus dan dapat memperoleh keuntungan yang lebih banyak pula. Contoh lain, pengusaha rambut yang senantiasa belajar dan aktif mengikuti seminar atau pelatihan tentang manajemen usaha, maka dia akan mampu mengelola usahanya dengan efisien, yaitu mengurangi biaya-biaya yang tidak perlu dan mampu meningkatkan nilai tambah produksinya. Sementara itu, dari sisi konsumen, pekerja dan pengusaha rambut yang dapat menerapkan skala prioritas pada sejumlah kebutuhan hidup sehari-hari, akan mampu mengoptimalkan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhankebutuhan yang primer dan penting terlebih dahulu sehingga pola hidupnya teratur secara ekonomi. Contoh lain lagi, pekerja dan pengusaha yang disiplin dalam menggunakan pendapatannya dan menghindari pemborosan, akan mampu menyisihkan sebagian pendapatannya untuk ditabung. Hal menarik dan menjadi permasalahan pada penelitian ini adalah bahwa pada penelitian Arifin (2011) 82,5 persen para perajin rambut telah hidup layak, namun masih dijumpai beberapa perajin rambut yang rumahnya belum layak (lantai tanah, atap seng, dinding rumah bambu/papan). Di samping itu, dijumpai pula beberapa anakanak mereka yang bersekolah hanya sampai lulus SMP bahkan ada yang lulus SD saja.
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 108-126
Dengan kondisi tersebut, pertanyaan penting yang diajukan adalah apakah pendapatan mereka dari kerajinan rambut sudah mampu mencukupi kebutuhan dasar mereka seharihari, seperti sandang, pangan, papan,termasuk pendidikan dasar dan kesehatan standar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor internal dan faktor eksternal, menganalisis aktivitas produksi dan perilaku konsumsi pengusaha rambut industri kreatif di Karangbanjar, Purbalingga. Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan analisis produksi dan konsumsi dan mendukung tujuan penelitian ini dijelaskan sebagai berikut . Fening et al. (2008) meneliti hubungan antara penerapan manajemen kualitas (quality management practices) dan kinerja (performance) SMEs di Ghana. Berdasarkan berbagai literatur bahwa paper ini mengadopsi dari seperangkat variabel dari quality management practices meliputi kepemimpinan, rencana strategis, SDM, kefokusan pada pelanggan, informasi dan analisis data, manajemen proses, serta kualitas dan operasional. Ada 7 hipotesis yang dipostulatkan dalam meneliti hubungan dari variabel-variabel tersebut dengan 5 indikator kinerja SME, yaitu profitability, customer satisfaction, sales growth, employee morale, dan market share. Survey dilakukan melalui 80 pertanyaan terhadap sampel sejumlah 200 usaha kecil yang mempekerjakan kurang dari 50 pekerja pada seluruh sektor di Ghana. Kuesioner menggunakan 5 poin dalam skala Likert untuk menilai quality management practice yang dapat mempengaruhi kinerja. Analisis statistik menggunakan SPSS untuk menghitung statistik deskriptif, analisis reliabilitas, serta korelasi dan regresi. Temuan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara variabel-variabel quality
110
management(quality management variables) dan kinerja usaha (firm performance). Paper ini juga menjelaskan penguatan argumen bahwa quality management practices dapat meningkatkan kinerja organisasi pada bisnis usaha skala besar maupun kecil. Demikian juga penelitian Jajri dan Ismail (2009) tentang pentingnya peran industri kecil dan menengah (SMIs) dalam pembangunan ekonomi di Malaysia. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis rendahnya produktivitas tenaga kerja di industri kecil dan menengah di Malaysia yang kemudian menurunkan kontribusi SMIs terhadap output riil. Data yang digunakan adalah data survei 1985-2005 Departemen Statistik Malaysia. Analisis ini dilakukan dengan dua tahap, yaitu mengukur kemajuan teknis menggunakan data suplier kerangka analisis yang dikembangkan oleh Coelli (1985) (Data Envelopment Analysis), dan menguji pengaruh teknis kemajuan terhadap produktivitas tenaga kerja dengan menggunakan regresi. Hasilnya bahwa SMIs lambat mengadopsi teknologi. SMIs membayar upah lebih rendah dari perusahaan besar sehingga perusahaan-perusahaan kecil mendapat antrian terakhir dalam memperoleh tenaga kerja terampil. Hasil regresi menunjukkan bahwa pekerja produksi langsung memiliki pengaruh negatif terhadap produktivitas. SMIs perlu memiliki tenaga kerja yang lebih berpendidikan dan memberikan pelatihan terstruktur formal untuk pekerja. Ini merupakan langkah penting untuk bergerak ke tingkat efisiensi yang lebih besar. Efisien perusahaan juga dapat tercapai jika adanya akses yang lebih baik untuk teknologi baru melalui perjanjian lisensi, joint venture dengan mitra asing, dan kontak ekspor dengan pembeli asing dan pemasok.
111
Agus Arifin dan Suprapto, Analisis Produksi dan Konsumsi Perajin Rambut Di Desa Karangbanjar Kecamatan Bojongsari, Purbalingga
Berkaitan dengan pembiayaan kepada UKM, Kyaw (2008) meneliti UKM di Myanmar di mana dari sekian banyak permasalahan yang dihadapi UKM, masalah pembiayaan menjadi salah satunya yang krusial. UKM merupakan bagian terbesar dalam perekonomian Myanmar, baik dalam hal jumlah, kontribusi terhadap kesempatan kerja, maupun output dan investasi. Pertumbuhan ekonomi Myanmar sangat tergantung pada pengembangan UKM di sektor swasta. Peran UKM telah menjadi lebih penting dalam memperkuat keunggulan kompetitif nasional dan integrasi ekonomi yang cepat ke kawasan ASEAN. Rekomendasi kebijakan yang ditawarkan adalah kebijakan harus berfokus pada UKM dan sektor swasta sebagai strategi pembangunan yang layak untuk industrialisasi dan pembangunan ekonomi. Langkah riilnya adalah kebijakan untuk menstabilkan fundamental ekonomi makro, meningkatkan prasarana pinjaman dari pemerintah, dan meningkatkan permintaan dan penawaran dari sisi kondisi perspektif pembiayaan UKM. Semua itu bertujuan untuk memberikan pembiayaan yang lebih mudah diakses bagi seluruh UKM di Myanmar. Sementara itu, berkaitan dengan kesejahteraan dan konsumsi, Meyer dan Sullivan (2010) meneliti tentang bagaimana mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat miskin dengan menggunakan proksi pendapatan dan konsumsi. Pada metode analisis, terdapat lima strategi empiris untuk menguji kualitas data pendapatan dan konsumsi, yaitu membandingkan laporan antara pendapatan dan konsumsi, menyelidiki bukti lain ketepatan laporan pendapatan atau konsumsi yang rendah, membandingkan seberapa baik keakuratan data dalam sebuah standar sehingga perbandingan jumlah kelompok pendapatan dan konsumsi dapat
tercapai terutama untuk keluarga yang sumber dayanya masih rendah, meneliti perbandingan laporan survei rumah tangga penerimaan transfer ke data terkecil dalam administratif pada bukti transfer, dan mengevaluasi langkah-langkah pendapatan dan konsumsi dengan membandingkannya melalui ukuran lain kesejahteraan. Hasil peneltian ini adalah ditemukannya bukti substansial bahwa konsumsi memiliki proksi lebih baik daripada pendapatan untuk mengukur kesejahteraan bagi mereka yang memiliki sumber daya sedikit. Hasil penelitian ini mendukung untuk menggunakan konsumsi sebagai bahan mengevaluasi efektivitas program transfer dan kecenderungan umum dalam kemiskinan. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di sentra kerajinan rambut Desa Karangbanjar Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari para perajin rambut melalui kuesioner dan wawancara terkait dengan aktivitas produksi dan perilaku konsumsi mereka. Sementara itu, data sekunder bersumber dari dinas dan instansi terkait. Data sekunder yang diperlukan meliputi identitas usaha, nilai produksi, jumlah tenaga kerja, upah, modal, aset, biaya produksi, profit, pemasaran, dll. Berkaitan dengan kebutuhan pengambilan data primer, maka penelitian ini menggunakan teknik sampling sehingga memerlukan data populasi. Menurut data industri kerajinan rambut yang diperoleh dari Kantor Balai Desa Karangbanjar, pada tahun 2014 populasi pada sentra industri kreatif kerajinan rambut di Desa Karangbanjar adalah sebanyak 204 unit usaha. Berdasarkan survey pendahuluan diamati bahwa unit-unit usaha di
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 108-126
sentra industri kreatif ini memiliki kemiripan karakteristik usaha (homogen) sehingga sampel pada penelitian ini diambil secara acak menggunakan teknik pengambilan sampel yaitu simple random sampling. Metode simple random sampling yaitu suatu metode pemilihan ukuran sampel dimana anggota populasi mempunyai peluang yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel. Metode untuk menentukan sampel digunakan rumus sebagai berikut (Iqbal, 2002):
𝑛=
𝑁 1 + 𝑁𝑒 2
di mana n adalah jumlah sampel, Nadalah jumlah populasi, dan e adalah persentase kesalahan pengambilan sampel yang dapat ditoleransi, 1% - 10%.Dari rumus diatas maka jumlah sampel pada penelitian ini adalah:
n
N 204 67,105 2 2 1 Ne 1 2040,1
Jumlah sampel yang diambil dari populasi yang ada sebanyak 68 responden. Penelitian ini berfokus pada analisis produksi dan konsumsi perajin rambut di Desa Karangbanjar, Purbalingga. Untuk itu, teknik analisis data yang digunakan dapat dijelaskan mengikuti tahapan-tahapan. Pertama, Analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi dan menganalisis kondisi internal dan eksternal kerajinan rambut adalah analisis SWOT. Analisis SWOT adalah suatu framework untuk menganalisis kondisi saat ini yang telah dan sedang terjadi dan kondisi potensial di masa yang akan datang untuk melakukan perubahan suatu perusahaan atau organisasi. Analisis ini sebenarnya merupakan suatu metode untuk menganalisis situasi
112
(situation analysis) yang dapat memengaruhi eksistensi suatu perusahaan atau organisasi (Rangkuti, 2000). Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Permadi (2015) bahwa analisis SWOT digunakan untuk meneliti profil dan strategi pengembangan industri kecil carica di Kabupaten Wonosobo, maka penelitian ini juga menggunakan analisis tersebut untuk meganalisis kondisi internal dan eksternal industri kreatif kerajinan rambut di Desa Karangbanjar Kabupaten Purbalingga. Komponen SWOT yang dianalisis meliputi faktor internal (internal factors) yang meliputi strenghts (S)/kekuatan dan weaknesses (W)/kelemahan, serta faktor eksternal (external factors) yang meliputi opportunities (O)/peluang dan threats (T)/ancaman. Penjelasan tentang faktor internal dan eksternal tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Pendalaman kajian pada tiap-tiap komponen dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. Pada Tabel 2 dijelaskan tentang kalimat kunci yang berkaitan dengan faktor internal. Sementara itu, pada Tabel 3 dijelaskan tentang fokus pertanyaan dan kalimat kunci yang berkaitan dengan faktor eksternal. Pada Tabel 2 dijelaskan secara rinci beberapa kalimat-kalimat kunci yang dapat dibangun untuk menggali komponen kekuatan antara lain ketersediaan personal/sumberdaya manusia yang berkualitas dan fasilitas yang memadai, motivasi kerja yang tinggi, pekerjaan yang terselesaikan secara rapi, ketersediaan dana yang cukup, dll. Dari kalimat-kalimat kunci ini dapat dikembangkan beberapa fokus pertanyaan yang berkaitan dengan komponen kekuatan (strengths) meliputi keunggulan atau kebaikan yang dimiliki oleh unit usaha, langkah yang telah dilakukan secara kompetif, dan kemampuan sumber daya (endowments) yang dimiliki.
113
Agus Arifin dan Suprapto, Analisis Produksi dan Konsumsi Perajin Rambut Di Desa Karangbanjar Kecamatan Bojongsari, Purbalingga
Tabel 1. Faktor Internal dan Eksternal dalam SWOT Analysis Komponen SWOT
Definisi
Kekuatan (Strengths)
Seluruh aset unit usaha/organisasi yang akan membantu dalam memanfaatkan peluang (opportunities) dan dalam menghadapi ancaman (threats) (faktor internal)
Kelemahan (Weaknesses)
Seluruh kekurangan yang dimiliki unit usaha/organisasi dalam memanfaatkan peluang (opportunities) untuk memenuhi kebutuhan (faktor internal)
Peluang (Opportunities)
Kondisi/kecenderungan eksternal unit usaha/organisasi yang memberikan peluang (opportunities) untuk meningkatkan kinerja dan kompetisi (faktor eksternal) Kondisi/kecenderungan eksternal unit usaha/organisasi yang memberikan pengaruh negatif terhadap kinerja dan kompetisi (faktor eksternal)
Ancaman(Threats)
Sumber: Freddy Rangkuti, 2000 Tabel 2. Faktor Internal SWOT Analysis Komponen
Kalimat Kunci
Kekuatan (Strengths)
Ketersediaan personal terampil, dan kompak
yang
terlatih,
Ketersediaan fasilitas yang memadai Motivasi personal yang tinggi Tugas/pekerjaan yang rapi/baik Ketersediaan dana yang cukup, dll. Kelemahan (Weaknesses)
Komunikasi internal terbangun secara baik
yang
tidak
Kepemimpinan yang lemah Motivasi kerja yang rendah Tugas/pekerjaan yang tidak terselesaikan dengan rapi/baik Personal yang tidak/kurang terampil Sifat saling percaya yang rendah
Sumber: Freddy Rangkuti, 2000
114
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 108-126
Sementara itu, kalimat-kalimat kunci yang dapat dibangun untuk menggali komponen kelemahan antara lain komunikasi internal yang tidak terbangun secara baik, kepemimpinan yang lemah, motivasi kerja yang rendah, tugas/pekerjaan yang tidak terselesaikan dengan rapi/baik, personal yang tidak/kurang terampil, dan sifat saling percaya
yang rendah. Dari kalimat-kalimat kunci tersebut dapat dikembangkan beberapa fokus pertanyaan pada komponen kelemahan (weaknesses)meliputi kejelekan/keburukan yang dimiliki unit usaha, elemen yang perlu dikuatkan, dan kemungkinan kelemahan sistem manajerial dan operasional unit usaha.
Tabel 3. Faktor Eksternal SWOT Analysis Komponen
Kalimat Kunci
Peluang (Opportuni ties)
Kebijakan kelembagaan (pemerintah/asosiasi/ paguyuban) yang dapat meningkatkan peran dan kinerja unit usaha/organisasi secara lebih luas Kecenderungan/ketertarikan minat masyarakat untuk lebih berpartisipasi/mendukung/ bergabung Kesadaran akan kebutuhan aktualisasi diri tiap-tiap unit usaha/organisasi Situasi lingkungan mendukung usaha/organisasi
Ancaman(T hreats)
sekitar yang pengembangan
Perkembangan usaha /organisasi lain yang sejenis
kompetitor
Kebijakan kelembagaan (pemerintah/asosiasi/ paguyuban) yang membatasi gerak dan pengembangan usaha/organisasi Situasi lingkungan sekitar (pihak luar) yang menghambat pengembangan usaha/organisasi Menurunnya simpati masyarakat terhadap usaha/organisasi Sumber: Freddy Rangkuti, 2000
115
Agus Arifin dan Suprapto, Analisis Produksi dan Konsumsi Perajin Rambut Di Desa Karangbanjar Kecamatan Bojongsari, Purbalingga
Pada Tabel 3tersebut dijelaskan kalimatkalimat kunci yang dapat dibangun berkaitan dengan komponen peluang (opportunities)antara lain kebijakan kelembagaan (pemerintah/ asosiasi/ paguyuban) yang dapat meningkatkan peran dan kinerja usaha secara lebih luas, kecenderungan/ketertarikan minat masyarakat untuk lebih berpartisipasi/mendukung, kesadaran akan kebutuhan aktualisasi diri tiap-tiap unit usaha agar semakin diakui eksistensi usahanya, dan situasi lingkungan sekitar yang mendukung pengembangan usaha. Dari kalimat-kalimat kunci ini dapat dikembangkan beberapa fokus pertanyaan, seperti kemungkinan perubahan yang terjadi di luar yang dapat memberikan pengaruh positif bagi pengembangan unit usaha. Sementara itu, kalimat-kalimat kunci yang dapat dibangun pada komponen ancaman(threats) antara lain perkembangan usaha kompetitor/organisasi lain yang sejenis, kebijakan kelembagaan(pemerintah/asosiasi/ paguyuban) yang membatasi gerak dan pengembangan usaha/organisasi, situasi lingkungan sekitar (pihak luar) yang menghambat pengembangan usaha/organisasi, dan menurunnya simpati masyarakat terhadap usaha/organisasi.Beberapa fokus pertanyaan yang dapat dikembangkan meliputi upaya yang telah dilakukan oleh kompetitor usaha yang tidak bisa dilakukan dalam unit usaha sendiri dan kemungkinan perubahan di luar yang dapat memberikan pengaruh negatif. Pada penelitian ini, aktivitas produksi akan dianalisis menggunakan dua teknik pengukuran, yaitu (1) menentukanbesarnya biaya (cost), pendapatan (revenue), dan laba (profit), serta (2) mengukur tingkat efisiensi ekonomi. Kedua teknik ini akan saling melengkapi dalam analisisnya.
Teknik pertama dijelaskan sebagai berikut. Biaya (cost) dalam pengertian ekonomi adalah semua beban yang harus ditanggung oleh produsen untuk menyediakan barang agar siap untuk dikonsumsi oleh konsumen (Sudarsono, 1986). Produk adalah hasil dari kombinasi penggunaan berbagai faktor produksi. Penggunaan faktor produksi banyak mempengaruhi pendapatan produsen (perajin rambut) yang erat kaitannya dengan besarnya biaya yang dikeluarkan. Biaya produksi dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu biaya tetap (fixed cost), biaya variabel (variable cost), dan biaya total (total cost). Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tidak tergantung pada besar kecilnya kuantitas produksi. Bahkan bila kegiatan produksi untuk sementara dihentikan, maka fixed cost tetap harus dikeluarkan dalam jumlah yang sama. Misalnya penyusutan alat-alat produksi, bunga pinjaman, dan sewa tempat produksi. Biaya variable adalah biaya yang jumlahnya berubah-ubah sesuai dengan perubahan kuantitas produk yang dihasilkan. Semakin besar kuantitas hasil produksi, maka semakin besar pula biaya variabel yang harus dikeluarkan. Biaya yang termasuk biaya variabel dalam kerajinan rambut adalah pembelian bahan baku, biaya tenaga kerja, dan biaya perawatan lain. Sementara itu, biaya total adalah penjumlahan dari biaya tetap dan biaya variabel dalam proses produksi.Biaya total dapat dirumuskan sebagai berikut (Boediono, 1992): TC = FC + VC di mana: TC = Total Cost FC = Fixed Cost VC=Variable Cost
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 108-126
Pendapatan atau penerimaan (revenue) adalah pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan produksi setiap tahun (Makeham, 1991). Pendapatan dapat dirumuskan sebagai berikut : TR = P .Q di mana: TR =Total Revenue P =Price (Harga tiap unit) Q =Quantity (Banyaknya produk yang dijual) Pengertian laba secara umum adalah selisih dari pendapatan di atas biaya-biayanya dalam jangka waktu (periode) tertentu. Di dalam teori ekonomi, laba adalah suatu kenaikan dalam kekayaan perusahaan sedangkan dalam akuntansi, laba adalah perbedaan pendapatan yang direalisasikan dari transaksi yang terjadi pada waktu dibandingkan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan pada periode tertentu. Unsurunsur yang menjadi bagian pembentuk laba adalah pendapatan dan biaya. Dengan mengelompokkan unsur-unsur pendapatan dan biaya, akan dapat diperoleh hasil pengukuran laba yang berbeda antara lain laba kotor, laba operasional, laba sebelum pajak, dan laba bersih. Pengukuran laba penting untuk menentukan kinerja atau prestasi suatu usaha dan untuk menentukan kebijakan investasi(http://kelompoklaba.wordpress.com/ 2008/08/27/laba, diunggah 27 Agustus 2008). Pada penelitian ini, laba yang dimaksud aalah selisih antara pendapatan total (TR) dan biaya total (TC). Secara matematis, dapat dituliskan sebagai berikut: π = TR - TC di mana: π= Laba/keuntungan TR = Total Revenue TC = Total Cost
116
Teknik kedua adalah mengukur tingkat efisiensi ekonomi. Efisiensi ekonomi adalah perbandingan antara pemasukan dengan pengeluaran. Dalam perusahaan usaha untuk meningkatkan efisiensi biasanya dihubungkan dengan biaya yang lebih kecil untuk memperoleh suatu hasil tertentu, atau dengan biaya tertentu dapat diperoleh hasil yang lebih banyak. Ini berarti pemborosan sangat ditekan seminimal mungkin, dan sesuatu yang memungkinkan untuk mengurangi biaya ini dilakukan demi efisiensi (Rahardja, 2010). Menurut Soekartawi (1987), efisiensi adalah suatu upaya penggunaan input yang sekecilkecilnya untuk mendapatkan produksi yang sebesar-besarnya. Dalam kaitannya dengan konsep efisiensi ini, dikenal dengan adanya konsep efisiensi teknis (technical efficiency), efisiensi harga (price efficiency atau allocative efficiency), dan efisiensi ekonomi (economic efficiency). Efisiensi teknis akan tercapai jika petani mampu mengalokasikan faktor produksi sedemikian rupa sehingga produksi yang tinggi dapat tercapai. Bila petani mendapatkan keuntungan yang besar dari usahataninya, misalnya karena pengaruh harga, maka petani tersebut dapat dikatakan mengalokasikan faktor produksinya secara efisiensi harga (price efficiency). Untuk dapat menghitung efisiensi ekonomi kita dapat menggunakan rumus (Soekartawi, 2002): a = R/C R= Pʸ .Y C= FC + VC a = {( Pʸ. Y)/ (FC + VC)} di mana: R = Penerimaan C = Biaya Py = Harga Output Y = Output FC = Biaya Tetap (Fixed Cost)
117
Agus Arifin dan Suprapto, Analisis Produksi dan Konsumsi Perajin Rambut Di Desa Karangbanjar Kecamatan Bojongsari, Purbalingga
VC
=
Biaya Fariabel (Variable
Cost) Kriteria pengujiannya dibagi tiga. Pertama, R/C Rasio >1, maka usahatani secara ekonomis menguntungkan. Kedua, R/C Rasio =1, maka penerimaan hanya cukup untuk menutupi biaya produksi. Ketiga, R/C Rasio <1, maka tingkat usahatani secara ekonomi tidak menguntungkan. Konsumsi rumah tangga dapat diartikan sebagai pengeluaran rumah tangga untuk pembelian barang-barang dan jasa akhir guna mendapatkan kepuasan ataupun untuk memenuhi kebutuhannya. Fungsi konsumsi sendiri dinyatakan sebagai fungsi yang menggambarkan hubungan antara tingkat konsumsi rumah tangga dengan pendapatan dalam suatu perekonomian (Sukirno, 2002:38). Pokok persoalan yang dihadapi ekonomi rumah tangga adalah apakah penghasilan yang masuk itu cukup untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga atau belum. Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi dalam mengatur ekonomi rumah tangga adalah bagaimana mengatur keuangan keluarga sehingga semua kebutuhan hidup keluarga dapat terjamin dengan penghasilan yang tersedia, dengan kata lain bagaimana menjaga keseimbangan antara penghasilan dan pengeluaran. Untuk mengetahui bagaimana pola konsumsi dan apakah pendapatan yang diterima oleh perajin cukup untuk memenuhi pengeluarannya digunakan analisis tabulasi. Alat ukur yang digunakan adalah APC (Average Propensity to Consume) yaitu seberapa persen dari pendapatan yang dibelanjakan untuk dikonsumsi (C sebagai persentase dari Y) dengan cara membandingkan besar pengeluaran konsumsi dan pendapatan (Gilarso, 1991:178). Ada tiga kemungkinan nilai APC. Pertama,jika APC > 100%, makakonsumsi (C) > pendapatan (Y). Kedua, jika APC=100%, maka
konsumsi(C)=pendapatan (Y). Ketiga, jika APC < 100%, makakonsumsi (C)
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 108-126
Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga sangat memperhatikan desa wisata dan desa kerajinan rambut ini. Pemerintah menetapkannya sebagai desa wisata, di mana di dalamnya dikemas suatu paket yang menawarkan tempat-tempat yang dapat dikunjungi oleh para pengunjung dalam rangkaian perjalanan di Desa Karangbanjar ini, yaitu Objek Wisata Air Bojongsari (Owabong), Taman Reptile dan Taman Buah, Bumi Perkemahan, Sentra Usaha Kecil Kerajinan Rambut, Tempat Pemancingan, dan Homestay, serta beberapa tempat yang direncanakan akan segera dibangun sebagai tempat rekreasi. Desa Karangbanjar ditetapkan sebagai desa wisata sejak tanggal 29 Januari 1992 berdasarkan Surat Keputusan Bupati Purbalingga. Karangbanjar merupakan salah satu desa dari 14 desa di Kecamatan Bojongsari, Kabupaten Purbalingga, Propinsi Jawa Tengah. Luas Desa Karangbanjar kurang lebih 148,351 Ha, dengan batas-batas wilayah administratif sebagai berikut.Sebelahutaranya berbatasan dengan Desa Beji dan Desa Sumingkir sementara sebelah selatannya berbatasan dengan Desa Munjul. Sebelah timurnya berbatasan dengan Desa Bojongsari sedangkan sebelah baratnya berbatasandengan Desa Kutasari. Desa Karangbanjar terletak 5 km barat laut Kota Purbalingga dan dihubungkan dengan jalan aspal yang dapat dilewati oleh hampir semua jenis kendaraan roda dua dan empat. Waktu tempuh ke pusat Kota Purbalingga sekitar 15–20 menit. Sarana transportasi yang menghubungkan desa ini ke desa-desa lain maupun ke pusat Kota Purbalingga cukup tersedia dan memadai. Wilayah Kecamatan Bojongsari secara keseluruhan mempunyai jenis tanah yang dikelompokkan dalam asosiasi latosal coklat dan regasol yang tersusun dari bahan induktif
118
vulkan-intermedier. Kondisi tanah aluvial seluas 137,829 Ha merupakan tanah dengan tingkat kesuburan tinggi dan seluas 10,532 Ha merupakan tanah dengan tingkat kesuburan sedang. Struktur tanah menggumpal dengan permeabilitas sedang dengan tekstur berlempung. Kadar keasamaan tanah yaitu PH antara 6 – 6,5 dengan kandungan bahan organik sedang. Masyarakat Desa Karangbanjar sebagian bekerja di bidang pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Jenis tanaman pangan yang ditanam berupa padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah, kedelai, sayuran dan buah-buahan yang merupakan tanaman semusim. Adapun jenis tanaman perkebunan meliputi rambutan, mangga, cengkeh, duku, dan kelapa. Peternakan umumnya berupa ternak sapi, kerbau, kuda, kambing, domba, ayam kampung, dan itik. Pengembangan perikanan cukup potensial karena didukung dengan aliran air sungai yang baik dan tekstur tanah yang mendukung. Di sisi lain, sebagian masyarakat juga mengembangkan usaha kecil, baik industri rumah tangga maupun industri kecil. Usaha kecil ini antara lain kerajinan sapu, kerajinan rambut, pembuatan makanan tradisional (kripik pisang, buntil, ampyang, kue satu, koyah, dan rengginang), pembuatan cat tembok, kerajinan bubut kayu, kerajinan rotan, serta pembuatan batu bata. Di antara berbagai usaha kecil tersebut, kerajinan rambut merupakan usaha yang paling lama dan turun-temurun. Namun demikian, hingga sekarang usaha ini tetap menjanjikan dan semakin berkembang meskipun semakin banyak persaingan di era modern ini. Kerajinan rambut merupakan produk industri yang unik dan jarang dijumpai di daerah lain. Kabupaten Purbalingga adalah
119
Agus Arifin dan Suprapto, Analisis Produksi dan Konsumsi Perajin Rambut Di Desa Karangbanjar Kecamatan Bojongsari, Purbalingga
salah satu dari sedikit daerah di Indonesia yang tetap eksis di produk kerajinan rambut ini. Di Purbalingga kerajinan rambut merupakan produk unggulan daerah. Oleh karena itu, produk unggulan Purbalingga ini telah terkenal baik di dalam negeri maupun manca negara. Produk unggulan ini diproduksi oleh industri besar dan industri kecil/industri rumah tangga. Industri rambut skala besar lebih fokus pada produksi kerajinan rambut palsu (sintetis) yang berorientasi pasar manca negara (ekspor) sedangkan industri kecil/industri rumah tangga lebih fokus pada produksi kerajinan rambut asli yang berorientasi pasar domestik (dalam negeri). Industri rambut skala besar merupakan industri dengan investor asing (PMA) dari Korea. Saat ini tercatat ada 16 unit perusahaan rambut PMA (Disperindagkop Kabupaten Purbalingga, 2011). Industri rambut skala besar ini telah mampu menyerap banyak tenaga kerja, terutama tenaga kerja wanita. Dari data yang ada, industri rambut mampu menyerap 17.650 orang. (http://suaraperwirapurbalingga.wordpress.co m). Sementara itu, industri rambut skala kecil diproduksi oleh sentra industri kreatif kerajinan rambut di Desa Karangbanjar Kecamatan Bojongsari. Desa Karangbanjar merupakan satusatunya sentra industri kreatif kerajinan rambut yang ada di Kabupaten Purbalingga dan sudah berdiri lebih dari 40 tahun yang lalu. Sentra industri kreatif ini merupakan pemusatan industri rambut yang terjadi secara alamiah. Bagi masyarakat Desa Karangbanjar, sentra industri kreatif ini merupakan salah satu sumber penghasilan utamakarena keterbatasan jenjang pendidikan menjadikan masyarakat di Desa Karangbanjar banyak yang lebih memanfaatkan ketrampilannya mengolah rambut untuk mendapat penghasilan. Oleh karena itu, sebagian besar
kehidupan ekonomi masyarakat desa ini sangat tergantung pada kelangsungan usaha kerajinan rambut di mana sekitar 80% penduduknya adalah pengerajin rambut. Produk kerajinan rambut meliputi berbagai jenis sanggul/konde dengan berbagai variasi dan modifikasi, seperti sanggul jawa, sanggul tekuk, sanggul mody, sanggul modern, cepol, lungsen, kepang, hair piece, cemara, kordion, ekor kuda, sonya, dan juga berbagai jenis wig. Bahan baku yang diperlukan meliputi dua jenis, yaitu rambut asli manusia dan rambut sintetis. Jenis bahan baku inilah yang menjadi ciri khas atau keunikan sehingga usaha ini mempunyai bentuk dan daya tarik khas. Dengan itu pula, usaha ini mempunyai pasar tersendiri dan relatif jarang ditemukan di daerah lain. Produk kerajinan rambut yang terbuat dari rambut asli harganya lebih mahal daripada bahan sintetis karena rambut asli sudah semakin susah dicari. Harga rambut asli berkisar Rp600.000,00-Rp1.000.000,00 per kilonya sedangkan rambut sintetis rata-rata seharga Rp.50.000,00-Rp70.000,00 per kilonya. Padahal kebutuhan bahan baku ini ada yang mencapai 10 kg dalam sebulan.Kualitas rambut, terutama rambut asli, turut mempengaruhi tinggi rendahnya harga bahan baku ini. Misalnya, rambut yang terurai panjang harganya lebih mahal daripada rambut yang pendek (misalnya, bahan baku hair extentionyang berukuran panjang 50 cm atau lebih).Hal ini dikarenakan rambut yang pendek-pendek relatif lebih susah dalam perawatan dasarnya sebelum diproses lebih lanjut. Dengan demikian, usaha kerajinan ini memang memerlukan modal yang tidak sedikit. Kelangkaan dan mahalnya bahan baku menjadi masalah utama sebagian besar unit usaha, meskipun ada beberapa unit usaha dominan menyatakan hal sebaliknya. Sumber
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 108-126
bahan baku ini ada yang berasal dari lokal Kabupaten Purbalingga, tetapi juga ada yang berasal dari luar Kabupaten Purbalingga. Sumber lokal biasanya merupakan bahan sintetis yang berupa bahan limbah rambut dari pabrik/perusahaan rambut yang ada di Purbalingga sedangkan dari luar daerah diperoleh dari berbagai tempat dan biasanya berupa rambut asli dan hanya beberapa yang sintetis, seperti dari Jakarta, Cirebon, Garut, Cilacap, Semarang, Demak, Bandung, Wonosobo, Brebes, Surabaya, dll. Uniknya masing-masing unit usaha cenderung mempunyai kemandirian baik dalam memperolah bahan baku maupun pemasarannya. Mereka lebih senang untuk berusaha secara individual dan bukan secara kolektif. Hasil kerajinan ini biasanya dijual sendiri secara langsung oleh pemilik industri kepada pelanggan yang kebanyakan adalah perias pengantin, toko, dan pekerja hiburan. Para pembeli ini kadang datang langsung ke lokasi untuk memesan model yang dimaksud atau mengambil pesanan. Rata-rata pembuatan komoditas ini adalah dengan menerima pesanan secara khusus sesuai permintaan konsumen. Daerah pemasaran dari kerajinan rambut ini dapat menembus pasar luar negeri seperti Korea, Jepang, Australia, Jerman, Taiwan, Saudi Arabia, Eropa, dan Amerika Serikat. Saat ini tercatat 95 persen hasil produksi rambut palsu mereka diekspor ke mancanegara. Di pasar internasional, kerajinan rambut Purbalingga menempati peringkat kedua setelah Guangzhou China (Disperindagkop Kabupaten Purbalingga, 2013). Akan tetapi, tidak jaranghasil komoditas ini setelah diberi merk di Korea kemudian diimpor dan dijual lagi di Indonesia dengan harga yang lebih mahal. Untuk pasar lokal biasanya bekerjasama dengan pengepul di luar
120
daerah seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Kalimantan, dan Bali. Usaha keras para investor asing pun didukung oleh Pemerintah Daerah dan DEKARNAS (Dewan Kerajinan Nasional) didalam membuat perizinan usaha sehingga dapat mengundang lebih banyak lagi investor datang ke Purbalingga untuk menanamkan modalnya agar kerajinan ini dapat berkembang lebih lanjut lagi. Kerajinan ini telah terbukti mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar, sehingga kedepan usaha kerajinan ini memiliki prospek yang cerah. Desa Karangbanjar sering mendapat kunjungan dari mahasiswa maupun dari kelompok/komunitas yang berasal dari daerah lain seperti Medan, Pontianak, Jakarta, Bali, Bandung bahkan Lombok yang ingin melihat langsung proses pembuatan kerajinan rambutsekaligus berdarmawisata.Karenanya, susah melepaskan kaitan antara kerajinan rambut, pariwisata, Purbalingga, dan Karangbanjar. Kondisi internal dan eksternal usaha adalah meliputi seluruh potensi, kemampuan, kekayaan, karakteristik, serta inovasi dan ide kreatif yang dimiliki oleh unit-unit usaha kerajinan rambut. Analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi kondisi internal dan eksternal usaha ini adalah analisis SWOT. Komponen SWOT yang dianalisis yaitu faktor internal (internal factor) yang meliputi Strengths(S) atau kekuatan, Weaknesses(W) atau kelemahan; serta faktor eksternal (external factor) yang meliputi Opportunities(O) atau peluang danThreats(T) atau ancaman. Analisis SWOT pada industri kreatif kerajinan rambut Desa Karangbanjar dapat disajikan pada penjelasan di bawah ini. Strengths atau kekuatan (faktor internal), adalah seluruh aset unit usaha/organisasi yang akan membantu dalam memanfaatkan peluang
121
Agus Arifin dan Suprapto, Analisis Produksi dan Konsumsi Perajin Rambut Di Desa Karangbanjar Kecamatan Bojongsari, Purbalingga
(opportunities) dan dalam menghadapi ancaman (threats). Berdasarkan analisis tentang faktor kekuatan diperoleh hasil bahwa Industri kreatif kerajinan rambut Desa Karangbanjar ini memang mempunyai kemampuan yang baikdalam menyerap tenaga kerja, baik yang berasal dari lokal maupun dari luar desa. Dari sisi kapasitasnya dalam berproduksi, industri ini terbukti mampu memproduksi dalam kuantitas yang banyak dan kualitas yang sangat baik, yang mengungguli sentra produksi kerajinan rambut di wilayah lain di luar Kabupaten Purbalingga. Sebagaimana hasil dari penelitian terdahulu (Arifin, 2008) yang membuktikan bahwa industri kerajinan rambut di Purbalingga ini memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dibandingkan dengan kabupaten lain yang memproduksi produk sejenis, seperti Karanganyar, Brebes, Demak, dan Sragen. Bahkan, industri kerajinan rambut di Purbalingga ini secara nasional menempati peringkat pertama keunggulan komparatif. Keunggulan tersebut dianalisis dari beberapa aspek, di antaranya adalah kekhasan produk (unique) yang meliputi keaslian, kelangkaan, susah ditiru, dan tenaga kerja khusus. Di samping itu, produk kerajinan rambut secara keseluruhan di Purbalngga juga sudah merambah ke mancanegara, yakni diekspor ke beberapa negara di USA, Australia, Korea, Taiwan, Jepang, dan Jerman. Untuk itulah, secara internasional produk kerajinan rambut Purbalingga ini menempati peringkat ke dua setelah Guangzhou, China (Disperindagkop Kabupaten Purbalingga, 2011). Faktor kekuatan lain dari industri kerajinan rambut Desa Karangbanjar Purbalingga ini adalah memiliki konsentrasi yang rendah dan hambatan masuk yang kecil. Hasil ini berdasarkan penelitian (Arifin dan
Priyono, 2013). Artinya, sesuai dengan pemahaman dalam rumpun ekonomi industri, kondisi tersebut menunjukkan bahwa industri tersebut mendekati karakteristik dari pasar persaingan sempurna (perfect competition). Dalam aliran ekonomi mainstrem (klasik), persaingan sempurna adalah kondisi ideal yang diharapkan di mana pasar dapat bekerja secara optimal atau proses tarik menarik antara permintaan dan penawaran suatu produk terjadi sesuai dengan mekanisme pasar. Kekuatan lain yang dapat digali dari industri kerajinan rambut ini adalah adanya pembagian atau spesialisasi dalam pekerjaan selama proses produksi berlangsung. Ada tahapan-tahapan produksi yang membutuhkan keahlian tertentu/khusus, seperti tahap inti pembuatan sanggul/konde, sehingga semakin ahli para perajin/pekerja rambut, maka hasilnya pun akan semakin efisien karena produktivitasnya tentu lebih tinggi dibandingkan yang belum/tidak ahli. Bagi para perajin/pekerja yang memiliki keahlian khusus tentu memperoleh apresiasi, baik berupa upah/honor yang lebih tinggi maupun bentuk aprediasi yang lain, seperti menjadi leader di antara para pekerja yang lain. Para pekerja pada industri kerajinan rambut di Desa Karangbanjar, Purbalingga, ini juga telah merasakan manfaat secara finansial karena telah terpenuhi kebutuhan hidup layak(KHL) mereka sesuai dengan upah minimum kabupaten (UMK). Selanjutnya, faktor internal yang merupakan lawan dari kekuatan adalah weaknesses atau kelemahan, yaitu seluruh kekurangan yang dimiliki unit usaha/organisasi dalam memanfaatkan peluang (opportunities) untuk memenuhi kebutuhan. Berdasarkan analisis data primer bahwa pada industri kerajinan rambut di Desa Karangbanjar ternyata belum ada kerjasama
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 108-126
yang baik di antara para perajin, baik dalam pengadaan bahan baku maupun pemasaran produk. Beberapa upaya pernah dilakukan oleh pemerintah untuk menjalin kerjasama di antara para perajin, misalnya dengan mendirikan koperasi, namun sejauh penelitian ini dilakukan ternyata belum mampu untuk membangun kebersamaan/kerjasama itu. Sepertinya, budaya kerja yang sudah selama bertahun-tahun mereka terapkan tidak dapat dipaksakan untuk diubah. Mereka cukup nyaman dengan bekerja secara individu dalam memperoleh bahan baku maupun pemasaran. Kondisi ini dapat digambarkan sebagai berikut. Idealnya melalui koperasi bahan baku yang sangat mahal dapat dibeli secara kolektif sehingga harganya bisa menjadi lebih murah dan pembayarannya dapat diangsur, namun hal ini sulit direalisasikan karena mereka merasa lebih nyaman untuk membelinya secara individua kepada pengepul rambut tertentu di daerah tertentu di luar Purbalingga. Contoh lain, masing-masing perajin rambut memiliki tujuan pemasaran produk yang bereda-beda. Idealnya melalui kolektif atau koperasi tujuan pemasaran dapat ditentukan secara bersama-sama dan tentunya biaya pemasaran pun dapat ditekan sedemikian rupa sehingga lebih efisien, namun upaya ini pun tidak membuahkan hasil dikarenakan para perajin lebih menyukai untuk saling bersaing memperoleh konsumen dan tujuan pemasaran yang baru maupun mempertahankan yang lama. Masalah klasik yang juga menjadi faktor kelemahan setiap usaha kecil adalah permodalan. Industri kerajinan rambut di Desa Karangbanjar ini juga menghadapi permasalahan modal. Harga bahan baku rambut asli manusia yang sangat mahal ini yang mennjadi salah satu penyebab para
122
perajin harus menyiapkan modal yang cukup besar. Selama ini, permodalan mereka sebagian berasal dari modal sendiri dan sebagian yang lain dari pinjaman ke lembaga keuangan seperti bank perkreditan rakyat (BPR), Badan Kredit Kecamatan (BKK), dan lainnya. Kelemahan lain yang ditemukan dalam industri kerajinan rambut ini adalah lemahnya jaringan usaha(networking). Para perajin rambut tidak memiliki asosiasi atau koperasi yang dapat menyatukan visi, misi, dan orientasi. Sementara itu, salah faktor eksternal yang dapat menjadi keuntungan bagi industri adalah opportunities atau peluang. Peluang adalah adalah kondisi/kecenderungan eksternal unit usaha/organisasi yang memberikan peluang (opportunities) untuk meningkatkan kinerja dan kompetisi. Pada industri kerajinan rambut di Desa Karangbanjar ini terdapat beberapa peluang yang potensial untuk dimanfaatkan. Pertama, jumlah penduduk usia produktif di Desa Karangbanjar cukup tinggi (67persen). Hal ini tentu dapat meyediakan kebutuhan tenaga kerja, terutama tenaga kerja muda yang mempunyai motivasi tinggi. Kedua, dukungan pemerintah daerah dan masyarakat baik di Desa Karangbanjar maupun di Kabupaten Purbalingga cukup besar bagi perkembangan dan kemajuan industri kerajinan rambut ini. Ketiga, dukungan lembaga keuangan, seperti BPR dan BKK pun cukup besar dalam memberikan layanan kredit kepada para perajin rambut. Satu lagi faktor eksternal yang penting untuk diwaspadai namun juga sekaligus menjadi potensi untuk berkembang adalah threats atau ancaman, yaitu kondisi/ kecenderungan eksternal unit usaha/
121
Agus Arifin dan Suprapto, Analisis Produksi dan Konsumsi Perajin Rambut Di Desa Karangbanjar Kecamatan Bojongsari, Purbalingga
organisasi yang memberikan pengaruh negatif terhadap kinerja dan kompetisi. Beberapa
122
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 108-126
faktor ancaman yang dihadapai industri kerajinan rambut di Desa Karangbanjar ini adalah pengadaan bahan baku yang semakin sulit. Bahan baku rambut asli manusia relatif semakin berkurang. Hal ini lebih disebabkan semakin berkurangnya orang yang menjadi
pengepul yaitu mereka yang dengan telaten mengumpulkan rambut-rambut asli manusia dari salon, tukang cukur, dan masyarakat tertentu yang masih mau mengumpulkan sisasisa potongan rambutnya untuk dijual ke pengepul.
Tabel 4. Rekapitulasi Penerimaan, Biaya, dan Laba Industri Kerajinan Rambut Desa Karangbanjar, Purbalingga (Rp/bulan) Statistik Penerimaan (R) Biaya (C) Laba (Profit) Total 2.229.545.000,00 Rata-Rata 32.787.426,47 Maksimum 180.000.000,00 Minimum 3.000.000,00 Median 15.600.000,00 Sumber: Data primer (Data diolah)
1.665.530.000,00 24.493.088,24 135.000.000,00 2.240.000,00 12.100.000,00
564.015.000,00 8.294.338,24 58.800.000,00 200.000,00 3.180.000,00
Tabel 5. Rekapitulasi Efisiensi Ekonomi Industri Kreatif Kerajinan Rambut Desa Karangbanjar Statistik Penerimaan (R) Biaya (C) Rasio (R/C) Total Rata-Rata Maksimum Minimum Median
2.229.545.000,00 32.787.426,47 180.000.000,00 3.000.000,00 15.600.000,00
1.665.530.000,00 24.493.088,24 135.000.000,00 2.240.000,00 12.100.000,00
1,34 1,33 2,05 1,01 1,27
Sumber: Data Primer (Data diolah) Di samping analisis tersebut, aktivitas produksi juga dianalisis dengan mengukur efisiensi ekonomi. Selanjutnya, efisiensi ekonomi dapat dilihat pada Tabel 5. Pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa seluruh responden memiliki rasio R/C lebih besar daripada 1. Hal ini berarti bahwa seluruh unit usaha/pengusaha kerajinan rambut di sentra ini telah efisien secara ekonomi dalam menjalankan usahanya. Untuk penghitungan total (seluruh responden) diperoleh rasio R/C yaitu 1,34; sementara untuk penghitungan rata-rata setiap unit usaha diperoleh rasio R/C yaitu 1,33. Bahkan, terdapat unit usaha yang mempunyai rasio R/C mencapai 2,05
yang berarti usaha yang ditekuni sudah sangat menguntungkan. Sementara itu, terdapat pula unit usaha yang mempunyai rasio R/C paling kecil yaitu 1,01, namun masih menunjukkan nilai di atas 1 yang berarti menguntungkan secara ekonomis. Analisis tabulasi digunakan untuk mengetahui bagaimana pola konsumsi para perajin apakah pendapatan yang diterima cukup untuk memenuhi pengeluarannya . Alat ukur yang digunakan adalah APC (Average Propensity to Consume) yaitu seberapa persen dari pendapatan yang dibelanjakan untuk dikonsumsi (C sebagai persentase dari Y) dengan cara
125
Agus Arifin dan Suprapto, Analisis Produksi dan Konsumsi Perajin Rambut Di Desa Karangbanjar Kecamatan Bojongsari, Purbalingga
membandingkan besarnya pengeluaran konsumsi dan pendapatan (Gilarso, 1991:178). Pada penelitian ini, pendapatan yang dimaksud adalah penerimaan bersih pengusaha atau yang disebut sebagai laba pengusaha. Sementara konsumsi yang dimaksud adalah konsumsi rumah tangga pengusaha yang merupakan pengeluaran konsumsi untuk kebutuhan harian dan bulanan. Rekapitulasi penghitungan nilai APC dapat dilihat pada Tabel 6. Pada Tabel 6 dapat diketahui bahwa secara umum para pengusaha (unit usaha) bahwa pendapatan mereka dari usaha kerajinan rambut dapat memenuhi
kebutuhan konsumsinya. Hal ini ditandai dengan nilai APC sebesar 0,53 yang berarti 53 persen dari pendapatan mereka digunakan untuk konsumsi. Artinya, masih ada sisa untuk tabungan ataupun motif berjaga-jaga. Jika dilihat nilai APC tiap unit usaha, maka sebanyak 28 unit usaha (41 persen) mempunyai nilai APC tinggi yaitu di atas 1, artinya konsumsi lebih besar daripada pendapatan (C>Y) atau pendapatannya tidak dapat memenuhi konsumsinya. Sementara itu, sebanyak 40 unit usaha (59 persen) nilai APC-nya rendah atau pendapatannyamampu memenuhi konsumsinya.
Tabel 6. Rekapitulasi Penghitungan Average Propensity to Consume (APC) Industri Kreatif Kerajinan Rambut Desa Karangbanjar Penerimaan Bersih Nilai Katogori APC Statistik Konsumsi (Laba Pegusaha) APC Tinggi Rendah Total
564.015.000,00
297,348,000.00
0,53
Rata-Rata
8.294.338,24
4,372,764.71
0,53
28 unit 40 unit usaha usaha (41%) (59%)
Sumber: Data primer (Data diolah) Membandingkan Analisis Produksi dan Analisis Konsumsi Hasil analisis produksi dan analisis konsumsi dapat dipahami bahwa secara umum para perajin/pengusaha kerajinan rambut sudah dapat hidup sesuai yang diharapkan melalui mata pencahariannya yaitu sebagai perajin rambut. Yang menjadi catatan bahwa berdasarkan nilai APC, masih ada 41 persen perajin/pengusaha yang belum seimbang antara pendapatan dan konsumsinya di mana konsumsinya masih terlalu tinggi daripada pendapatannya. Untuk itu, bagi mereka perlu dipertimbangkan lebih cermat lagi kemungkinan masih terlalu boros dalam melakukan konsumsi sehingga perlu mengurangi konsumsi yang tidak terlalu
penting, dan kemungkinan masih perlu lebih efisien lagi dalam berproduksi. SIMPULAN Penelitian ini bertujuan menganalisis produksi dan konsumsi para perajin rambut di Desa Karangbanjar, Kecamatan Bojongsari, Kabupaten Purbalingga. Beberapa simpulan yang menjadi temuan penting dalam penelitian ini adalah bahwa industri kreatif kerajinan rambut mempunyai faktor internal kekuatan yang lebih banyak daripada kelemahannya dan faktor eksternal peluang yang lebih besar daripada ancamannya. Untuk itu, diperlukan kecakapan dan manajemen yang baik dalam mengelola
JEJAK Journal of Economics and Policy Vol 8 (2) (2015): 108-126
faktor-faktor internal dan eksternal tersebut khususnya bagi para perajin rambut. Di samping itu, berdasarkan analisis produksi, terbukti bahwa industri kreatif kerajinan rambut ini mampu memberikan laba yang menjanjikan dan seluruh unit usaha (perajin/pengusaha) sudah efisien secara ekonomi dalam menjalankan usahanya. Selanjutnya, dengan membandingkan analisis produksi dan analisis konsumsi diperoleh hasil bahwa secara umum pendapatan bersih (laba usaha) para perajin rambut sudah dapat memenuhi kebutuhan konsumsi mereka sehari-hari melalui mata pencaharian sebagai perajin rambut. DAFTAR PUSTAKA Agyapong, D. (2010). Micro, Small and Medium Enterprises’ Activities, Income Level and Poverty Reduction in Ghana–A Synthesisof Related Literature. International Journal of Business and Management, 5(12).Department of Management Studies, School of Business, University of Cape Coast, Ghana. Aranoff, S. L., Pearson, D.R., Okun, D.T., Lane, C.R., Williamson, I.A., & Pinkert, D.A. (2010). Small and Medium-Sized Enterprises: Overview of Participation in U.S. Exports.USITC Publication 4125. Investigation No.332-508.United States International Trade Commission. Washington DC. Ardic, O. P., Mylenko, N., & Saltane V. (2011). Small and Medium Enterprises A Cross-Country Analysis with a New Data Set. Policy Research Working Paper 5538. Consultative Group to Assist the Poor, Financial and Private Sector Development of The World Bank. Arifin, A.(2008). Analisis Keunggulan Produk Kerajinan Rambut di Desa Karangbanjar Kecamatan Bojongsari, Purbalingga, 2007 (Pendekatan Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Sustainable Competitive Advantage (SCA)). Jurnal Pembangunan Ekonomi Wilayah, 3(1), 3541. ______.(2011). “Eksistensi Industri Kreatif Kerajinan Rambut dalam Upaya Penyerapan Tenaga Kerja
126
dan Pemenuhan Kebutuhan Hidup Layak di Desa Karangbanjar, Kecamatan Bojongsari, Kabupaten Purbalingga, 2011”. Proceedings. Seminar Nasional Sustainable Competitive Advantage-1 (SCA-1). JurusanManajemen Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman. Arifin, A.&Priyono, R.(2013). Analisis Faktor Kelembagaan Berbasis Keunggulan Kompetitif pada Industri Kreatif Kerajinan Rambut Purbalingga.Jurnal Ekonomi dan Bisnis (JEB),7(3), 173-179. Arikunto, S. (2002). Statistik 1. Jakarta: Bumi Aksara. Arsyad, L. (2004). Ekonomi Pembambungan. Yogyakarta: STIE YKPN. Boediono. (1992). Ekonomi Mikro Seri Sinopsis Pengantar Ekonomi No. 1. Yogyakarta: BPFE. Bowen, M., Morara, M., & Mureithi, S.(2009). Management of Business Challenges among Small and Micro Enterprises in Nairobi-Kenya. KCAJournal of Business Management, 2(1). Centre for Research, Publications and Consultancy of Daystar University, Nairobi, Kenya. Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Purbalingga. (2011). Industri Unggulan Desa Karangbanjar.Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Purbalingga. Gilarso. (1991). Pengantar Ilmu Ekonomi Bagian Makro. Yogyakarta: Kanisius. Husnan, S. & Muhammad, S.(2000). Studi Kelayakan Proyek. Yogyakarta: UPPAMP YKPN. Kelompok Laba.(2008).Laba. Available at: http://kelompoklaba.wordpress.com/2008/08/2 7/laba. Diunduh pada 27 Agustus 2008. Kuncoro, M. (2007). Ekonomika Industri Indonesia, Menuju Negara Industri Baru 2030?. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Kushwaha, G. S. (2011). Competitive Advantage Through Information and Communication Technology (ICT) Enabled Supply Chain Management Practices. International Journal of Enterprise Computing and Business Systems,1(2). Department of Management Studies, Maulana Azad National Institute of Technology, Bhopal, India. Kyaw, A. (2008). Financing Small and Medium Enterprises in Myanmar. Institute of Developing Economies (IDE) Discussion Paper, No. 148. Yangon Institute of Economics, Myanmar.
125
Agus Arifin dan Suprapto, Analisis Produksi dan Konsumsi Perajin Rambut Di Desa Karangbanjar Kecamatan Bojongsari, Purbalingga
Makeham, J.P., Malcolm, R.L. (1991). ManajemenUsaha Tani Daerah Tropis. Terjemahan. Jakarta: LP3ES. Musnidar & Tambunan T. (2007). “Development Strategy and Overview of SMEs” in Entrepreneurship Development for Competitive Small and Medium Enterprises,112-136. Report of the APO Survey on Entrepreneur Development for Competitive SMEs, Asian Productivity Organization, Japan. Okun, D. T., Lane, C.R., Pearson, D.R., Aranoff, S.L., Williamson, I.A., & Pinkert, D.A.(2010). Small and Medium-Sized Enterprises: Characteristics and Performance.USITC Publication 4189.Investigation No. 332-510.United States International Trade Commission. Washington DC. Popescu, D., I, Chitucea, A.C., Curmei, C.V., & Popescu, D.O., (2011). Management Practices from Small and Medium enterprises within the knowledgeBased Economy. International Journal of Education and Information Technologies 5(1). Priyono, R. danArifin, A. (2011). Struktur Industri, Tingkat Produktivitas, dan Efisiensi Ekonomis dalam Pemenuhan Kebutuhan Hidup Layak (Studi Empiris Perajin Tahu Desa Kalisari, Cilongok, Banyumas vs Perajin Tahu Desa Kalikabong, Kalimanah, Purbalingga). Jurnal Pembangunan Ekonomi Wilayah EKOREGIONAL, 6(2).
Radam, A., Abu, M. L., & Abdullah A. M. (2008). Technical Efficiency of Small and Medium Enterprise in Malaysia: A Stochastic Frontier Production Model. International Journal of Economics and Management, 2(2). Rahardja, P.& Manurung, M. (2010). Teori Ekonomi Mikro. Jakarta: FE UI. Rangkuti, F.(2000).Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis : Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sari, D., Alam Q., & Beaumont N. (2008). Internationalisation of Small Medium Sized Enterprises in Indonesia: Entrepreneur Human and Social Capital. Proceedings. 17th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia in Melbourne 1-3 July2008. Soekartawi. (1987). Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Jakarta: Rajawali. _________. (2002). Analisis Usahatani. Jakarta: UI Press. Sukirno, S. (2002). Pengantar Teori Makro Ekonomi.Jakarta: Bina Grafika.