Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) Carbon Fund Emission Reductions Program Idea Note (ERPIN) Draft #2
Negara: Republik Indonesia Nama Program PE: Pengurangan Emisi Tingkat Provinsi Rencana Submisi: 17 Desember 2015
Pernyataan Bank Dunia tidak menjamin keakuratan data yang tercantum dalam Emission Reductions – program idea Note (ERPIN) yang disampaikan oleh Negara Peserta REDD+ dan tidak bertanggung jawab apapun atas setiap konsekuensi dari penggunaannya. Batasbatas, warna, denominasi, dan informasi lainnya yang ditunjukkan pada peta di ERPIN tidak menyiratkan penilaian apapun tentang status hukum suatu wilayah atau persetujuan atau penerimaan dari batasbatas tersebut oleh Bank Dunia.
Pedoman: 1. FCPF Carbon Fund akan menyetujui Pengurangan Emisi (PE) dari kegiatan yang mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, konservasi hutan, pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dan meningkatkan cadangan karbon hutan di negara berkembang (REDD+) ke Peserta Carbon Fund. 2. Negara Peserta REDD+ yang tertarik untuk mengusulkan Program PE untuk Carbon Fund harus mengacu pada pemilihan kriteria termasuk dalam Carbon Fund Issues Note tersedia di situs FCPF (www.forestcarbonpartnership.org) dan untuk panduan lebih lanjut yang dapat disampaikan oleh Tim Manajemen Fasilitas FCPF (FMT) dari waktu ke waktu. 3. Program PE harus berasal dari Negara REDD+ Peserta FCPF yang telah menandatangani Readiness Preparation Grant Agreement mereka, menggunakan ER Program Idea Note ('ERPIN') Template. 4. Dokumen ERPIN idealnya tidak melebihi 40 halaman (termasuk peta, tabel data, dll). Jika diperlukan informasi tambahan, FCPF FMT akan memintanya. 5. Harap kirimkan dokumen ERPIN ke: (1) Country Director Bank Dunia di negara bersangkutan; dan (2) FCPF FMT (
[email protected]). 6. Sesuai Resolusi CFM/4/2012/1 keputusan Carbon Fund Participants apakah akan menyertakan ERPIN di dalam pipeline atau tidak akan didasarkan pada kriteria sebagai berikut: i.
Kemajuan menuju Kesiapan: Program Pengurangan Emisi (ER Program) harus terletak di Peserta REDD Negara yang telah menandatangani perjanjian hibah Persiapan Kesiapan (atau setara) dengan Mitra Pengiriman bawah Dana Kesiapan, dan yang telah menyiapkan wajar dan kredibel waktu untuk menyerahkan Paket Kesiapan kepada Komite Peserta;
ii. Komitmen politik: The REDD Negara Peserta menunjukkan tingkat tinggi dan komitmen politik lintas sektoral untuk Program ER, dan untuk menerapkan REDD+; iii. Kerangka Metodologis: Program ER harus konsisten dengan metodologi Kerangka muncul, termasuk prinsip PC pada kerangka metodologis; iv. Skala: The ER Program akan dilaksanakan baik di tingkat nasional maupun di skala subnasional yang signifikan, dan menghasilkan volume besar Pengurangan Emisi; v. Kesiapan Teknis: Semua bagian dari template ERPIN yang memadai; vi. Manfaat nonkarbon: Program ER akan menghasilkan manfaat nonkarbon substansial; dan vii. Keanekaragaman dan nilai pembelajaran: Program ER berisi fiturfitur inovatif, sehingga dimasukkan dalam portofolio akan menambah keragaman dan menghasilkan nilai pembelajaran untuk Carbon Fund.
1. LEMBAGA YANG BERTANGGUNG JAWAB ATAS PELAKSANAAN PROGRAM PENGURANGAN EMISI (PE) YANG DIUSULKAN
1.1 Lembaga yang bertanggung jawab atas pengelolaan Program Pengurangan Emisi (PE) yang diusulkan Mohon memasukkan informasi kontak institusi dan personal yang bertanggung jawab dalam mengajukan dan mengkoordinasikan Program PE. Nama Lembaga Pengelola Tipe dan keterangan organisasi
Kontak personel utama Jabatan Alamat Telepon Email Laman
Badan Litbang dan Inovasi (BLI) c.q. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) Badan Litbang dan Inovasi (BLI), KementerianLingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Kehutanan bertanggung jawab untuk melakukan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi lingkungan hidup dan kehutanan serta menyediakan informasi ilmiah dan teknologi untuk mendukung pelaksanaan pengelolaan hutan lestari. Visi BLI adalah menjadi penelitian lingkungan hidup dan kehutanan terkemuka serta menjadi lembaga pengembangan dan inovasi dalam mendukung kemajuan ilmu dan teknologi bagi praktik pengelolaan hutan lestari dan kesejahteraan rakyat. Misinya adalah untuk meningkatkan kualitas dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi lingkungan hidup dan kehutanan dalam proses pengambilan keputusan dan kegiatan pembangunan lingkungan hidup dan sektor kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) adalah salah satu pusat/direktorat di bawah BLI. Tugasnya mencakup penelitian tentang sosial ekonomi, kebijakan dan perubahan iklim yang menyangkut pelaksanaan program REDD+ di Indonesia, termasuk Readiness Program FCPF di Indonesia. Dr. Henri Bastaman Dr. Bambang Tri Hartono Kepala BLI Kepala P3SEKPI Jalan Gunung Batu No. 5, Bogor, Indonesia, 16118 +622518633944
[email protected]
[email protected] http://www.fordamof.org; http://www.puspijak.org
1.2 Daftar mitra dan organisasi yang terlibat dalam Program PE yang diusulkan Silakan menyertakan mitra dan organisasi yang terlibat dalam pengembangan Program PE atau yang memiliki fungsi eksekusi dalam hal pendanaan, pelaksanaan, koordinasi, dan pengendalian kegiatankegiatan yang merupakan bagian dari program PE yang diajukan. Tambahkan baris jika diperlukan. Pemerintah Pusat Nama Mitra
Nama kontak, telepon dan email
Kementerian LHK: Sekretaris Jenderal
Ir. Bambang Hendroyono, MM
Ditjen Pengendalian perubahan Iklim
Dr. Nurmasripatin, Dirjen;
[email protected]
Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan
Prof. San Afri Awang, Dirjen,
[email protected]
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
Basah Hernowo, Direktur Kehutanan dan Sumberdaya Air +62 21 392 6254 ext. 2209.
[email protected]
Kementerian Keuangan: Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko
Ditjen Perimbangan Keuangan Badan Kebijakan Fiskal
Ditjen Bina Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri
Ayu Sukorini, S.E., M.A., Direktur Pinjaman dan Hibah Gedung Frans Seda, Lantai 6 Jl. Wahidin Raya No. 1, JakartaIndonesia 10710 Phone. (6221) 3459616 Direktur Pembiayaan dan Kapasitas Daerah Syurkani Ishak Kasim, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Direktur Fasilitasi Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah
Kapasitas dan peran utama dalam Program PE Melaksanakan submisi secara formal atas nama Pemerintah Indonesia Mengkoordinasikan kegiatan pengendalian perubahan iklim tingkat nasional, termasuk kegiatan REDD+ Mengawal tata hutan, pembangunan KPH, dan penyediaan ruang kelola bagi masyarakat sekitar hutan Koordinasi pembangunan kehutanan, terutama KPH
Memberikan arahan mengenai dana hibah luar negeri yang akan ditransfer ke daerah
Memberikan arahan tentang mekanisme pembiayaan kegiatan Pengurangan Emisi di daerah Memberikan rekomendasi kebijakan fiscal terkait dengan kegiatan mitigasi perubahan iklim termasuk REDD+ Memberikan arahan kepada pemerintah daerah terkait dengan administrasi dan operasionalisasi dana perimbangan di tingkat daerah
Pemerintah Daerah Nama Mitra Badan Perencanan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Kaltim Dinas Kehutanan Provinsi Kaltim
Nama kontak, telepon dan email Dr. Rusmadi
Ir. Chairil Anwar, MP
Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kaltim
Ir. Riza Indra Riadi, MSi
Dinas Pekerjaan Umum
Ir. Muhammad Taufiq Fauzi
Dinas Perkebunan Provinsi Kaltim
Ir. Etnawati Usman, MSi
Kapasitas dan peran utama dalam Program PE Mengkoordinasikan kegiatan pembangunan di provinsi Kaltim, termasuk upaya untuk mengurangi emisi Mengatur pembangunan kehutanan tingkat provinsi, termasuk pembangunan dan pengembangan KPH Melakukan kegiatan pemantauan dan pelaporan upaya pengurangan emisi di provinsi Kaltim Melakukan pembangunan infrastruktur yang ramah lingkungan Mengatur pembangunan dan pengembangan perkebunan, terutama
Nama Mitra
Nama kontak, telepon dan email
Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kaltim BAPPEDA Kabupaten Berau
Ir. Amrullah, MM; Kepala;
BAPPEDA Kabupaten Kutai Barat
Drs. Vincent Alutodan; Kepala;
BAPPEDA Kabupaten Penajam Paser Utara
Ir. Puguh Sumitro; Pelaksana Tugas; 087812195303
BAPPEDA Kabupaten Paser
H. Ambo Lala, SSos, M.Ap; Kepala; 082158003003
BAPPEDA Kabupaten Kutai Timur
Ir. Suprihanto, MSc.; Kepala;
BAPPEDA Kabupaten Kutai Kartanegara
Totok Heru Subroto; Kepala
BAPPEDA Kabupaten Mahakam Hulu
Drs. Stephanus Madang, MSi; Kepala;
BAPPEDA Kota Bontang
Ir. Zulkifli, MS; Kepala;
BAPPEDA Kota Balikpapan
Ir. Nining Surtiningsih; Kepala;
BAPPEDA Kota Samarinda
Dr. Sugeng Chaerudin; Kepala
Drs. Basri Syahrin, MM; Kepala;
Kapasitas dan peran utama dalam Program PE kelapa sawit, dengan meminimumkan emisi di Kaltim Mengatur kegiatan pertambangan yang meninimumkan emisi di Kaltim Mengkoordinasikan kegiatan pembangunan daerah, termasuk upaya untuk mengurangi emisi, tingkat kabupaten/kota Mengkoordinasikan kegiatan pembangunan daerah, termasuk upaya untuk mengurangi emisi, tingkat kabupaten/kota Mengkoordinasikan kegiatan pembangunan daerah, termasuk upaya untuk mengurangi emisi, tingkat kabupaten/kota Mengkoordinasikan kegiatan pembangunan daerah, termasuk upaya untuk mengurangi emisi, tingkat kabupaten/kota Mengkoordinasikan kegiatan pembangunan daerah, termasuk upaya untuk mengurangi emisi, tingkat kabupaten/kota Mengkoordinasikan kegiatan pembangunan daerah, termasuk upaya untuk mengurangi emisi, tingkat kabupaten/kota Mengkoordinasikan kegiatan pembangunan daerah, termasuk upaya untuk mengurangi emisi, tingkat kabupaten/kota Mengkoordinasikan kegiatan pembangunan daerah, termasuk upaya untuk mengurangi emisi, tingkat kabupaten/kota Mengkoordinasikan kegiatan pembangunan daerah, termasuk upaya untuk mengurangi emisi, tingkat kabupaten/kota Mengkoordinasikan kegiatan pembangunan daerah, termasuk upaya untuk mengurangi emisi, tingkat kabupaten/kota
Lembaga Non Pemerintah Nama Mitra Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Dewan Kehutanan Daerah WWF Indonesia
The Nature Conservancy (TNC)
Forests and Climate Change Program (FORCLIME) GIZ Forests and Climate Change Program (FORCLIME) KfW
Nama kontak, telepon dan email Prof. Daddy Ruhiyat, Ketua Harian Prof. Suyitno Sudirman, Ketua Zulfira Warta, REDD+ Project Coordinator, WWF Indonesia,
[email protected], +628121250127 Saipul Rahman, Berau Program Senior Manager, +62 811 1637846,
[email protected] Alfan Subekti,
[email protected], 08125425059 Hari
Kapasitas dan peran utama dalam Program PE Koordinator pelaksanaan program PE di tingkat provinsi Mengkoordinasikan peran parapihak dalam pembangunan kehutanan di Kaltim Mitra implementasi untuk Kabupaten Kutai Barat dan Mahakam Hulu
Mitra implementasi untuk Kabupaten Berau
Mitra implementasi untuk Provinsi Kaltim dan Kabupaten Berau Mitra implementasi untuk Provinsi Kaltim dan Kabupaten Berau
Nama Mitra GIZ GE LAMAI
Nama kontak, telepon dan email Ade Cahyat
INOBU
Guntur Prabowo; Senior Scientist;
GGGI
Anna van Paddenburg; Wisma Bakrie 5th Floor Jalan Rasuna Said, kav B.2 Kuningan Jakarta Selatan; (
[email protected])/ 08111806949 Akhmad Wijaya Asrani Prof. Deddy Hadriyanto
BIOMA KERIMAPURI Centre for Climate Change Studies (C3S) CSF (Centre for Social Forestry)
Dr. Fadjar Pambudhi
Centre for Tropical Ecosystem and Sustainable Development (TESD) UNMUL APHI GAPKI PETKUQ MEHUY
Dr. Harmonis
YAYASAN STABIL PRAKARSA BORNEO Kawal Borneo Community Foundation (KBCF) Yayasan Bumi KpSHK Pokja REDD+ Kabupaten Berau
Jufriansyah Dr. M. Muchdar Mukti Ali Azis
Pokja Tata Kelola Hutan dan Legalitas Kayu (TKHLK) Kabupaten Kutai Kartanegara Pokja REDD+ Kabupaten Paser
Hamly
Pokja Green Economy Kabupaten Kutai Timur
Wahyu Gatut Purboyo
Wayan Sujana Sulasmi Ledjie Taq
Muhammad Fadli Jauhari Drs. Syamsul Abidin
Ii Sumirat
Kapasitas dan peran utama dalam Program PE Mitra implementasi untuk Provinsi Kaltim, Kabupaten Berau, Paser, dan Kutai Timur Sekretariat Nasional GCF yang membantu Kalimantan Timur sebagai salah satu anggota GCF Mitra DDPI dalam mengembangkan rencana pembangunan rendah karbon
Pendampingan masyarakat Pendampingan masyarakat Melakukan kajian untuk arah dan strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Kalimantan Timur Melakukan kajian dan advokasi untuk pengembangan pengelolaan hutan berbasis masyarakat Melakukan kajian kelestarian ekosistem di Kalimantan Timur Mitra swasta untuk pelaksanaan REDD+ Mitra swasta untuk melaksanakan REDD+ Organisasi adat yang aktif dalam pelestarian lingkungan Pendampingan masyarakat Pendampingan masyarakat Pendampingan masyarakat Pendampingan masyarakat Pendampingan masyarakat Perencanaan dan pemantauan pelaksanaan REDD+ di kabupaten Perencanaan dan pemantauan pelaksanaan pengelolaan hutan lestari di kabupaten Perencanaan dan pemantauan pelaksanaan REDD+ di kabupaten Pelaksanaan dan pemantauan pembangunan hijau di kabupaten
2. OTORISASI OLEH FOCAL POINT REDD+ NASIONAL Mohon diisi dengan kontak institusi dan personil yang bertindak selaku focal point REDD+ Nasional dan mendorong Program PE yang diajukan, atau pihak yang diajak untuk mendiskusikan program PE yang diusulkan Nama Lembaga Kontak utama Jabatan Alamat Telepon Email Website
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dr. Siti Nurbaya Bakar Menteri Gedung Manggala Wanabhakti, Blok I, Lt. 4, Jakarta
www.dephut.go.id
2.1 Pengesahan Program PE oleh pemerintah pusat Harap memberikan persetujuan tertulis untuk Program PE yang diusulkan oleh perwakilan resmi REDD+ Negara Peserta (harus dilampirkan ke ER-PIN). Tolong jelaskan jika prosedur nasional untuk dukungan dari Program oleh focal point nasional dan/atau instansi pemerintah terkait lainnya telah selesai atau masih mungkin untuk berubah, dan bagaimana hal ini dapat mempengaruhi status persetujuan tertulis tersebut. Program PE harus berada di lokasi Negara REDD+ yang telah menandatangani perjanjian hibah readiness program (atau setara) dan memiliki organisasi yang melaksanakan program hibah tersebut, dan yang telah menyiapkan waktu yang wajar dan kredibel untuk mengirimkan Readiness Package ke Participants Committee
Selain surat yang diperlukan dari dukungan dari pemerintah nasional, Program PE memiliki dukungan tertulis dari Gubernur Kalimantan Timur sebagaimana terlampir. Indonesia telah menandatangani perjanjian hibah penyiapan REDD+ di bawah FCPF Readiness Fund dan telah mengajukan Laporan Kemajuan diperbarui dengan permintaan untuk dana tambahan di tahun 2015. Indonesia diperkirakan akan menyerahkan Readiness Package ke Participants Committee pada akhir 2016. 2.2 Komitmen Politik Jelaskan komitmen politik untuk Program PE, termasuk dukungan oleh pemerintah dan apakah ada komitmen lintas sektoral untuk Program PE dan REDD+ secara umum.
Dukungan pemerintah untuk REDD+ berasal dari berbagai kalangan, mulai dari Presiden, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Keuangan dan kementerian lainnya. Presiden Indonesia telah membuat pernyataan internasional tingkat tinggi yang menyebutkan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Kebijakan pemerintah telah memperlihatkan bahwa bahwa Indonesia akan akan memainkan peran sentral dalam pelaksanaan REDD+. Sejak COP13 di Bali pada tahun 2007, Indonesia telah berpartisipasi dalam Readiness Fund FCPF, Program UNREDD, Forest Investment Program (FIP), dan pada tahun 2010 menandatangani perjanjian bilateral dengan Pemerintah Norwegia pada "Kerjasama Pengurangan Emisi GRK dari deforestasi dan Degradasi hutan". Pada September 2013, Presiden Yudhoyono menandatangani peraturan presiden No. 62/2013 tentang Pembentukan Badan REDD+, sebagai bagian dari kemitraan dengan Norwegia. Badan REDD+ melapor langsung kepada Presiden dan bertugas membantu Presiden dalam mengkoordinasikan, sinkronisasi, perencanaan, fasilitasi, pengelolaan, pemantauan, pengawasan, dan pengendalian REDD+ di Indonesia. REDD+ Readiness saat ini dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan didukung oleh sejumlah kementerian lainnya. KLHK memimpin Readiness Program FCPF Indonesia serta FIP, dan melaksanakan reformasi tata kelola hutan terkait dengan kesiapan REDD+. Sistem Pemantauan Hutan Nasional KLHK telah diluncurkan pada bulan Oktober 2012 (rincian dapat dilihat
di: http://nfms.dephut.go.id/). Sistem Inventarisasi Nasional juga saat ini tengah dikembangkan oleh KLHK. Bappenas memainkan peran koordinasi dan telah mensponsori pengembangan Rencana Aksi Nasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, dan upaya untuk mengintegrasikan konsepkonsep pembangunan hijau ke dalam perencanaan pembangunan nasional. Selain inisiatif REDD+ formal, Pemerintah Indonesia melaksanakan reformasi untuk mengatasi penyebab utama deforestasi yang merupakan bagian integral dari Program PE yang diusulkan. KLHK sedang dalam proses pelaksanaan reformasi tata kelola hutan yang akan memberikan kerangka kunci untuk implementasi REDD+ secara umum dan untuk Program PE yang diusulkan khusus. Selanjutnya, reformasi terkait dengan hak atas tanah juga diharapkan menjadi pendorong utama upaya mengatasi deforestasi dan akan menjadi penting untuk Program PE yang diusulkan. Reformasi ini berakar pada proses multipihak. Indonesia telah terlibat dengan Carbon Fund sejak dari tahap awal. Perwakilan Indonesia melakukan presentasi di CF2 dan CF7, memperkenalkan konsep pendekatan REDD+ berbasis yurisdiksi, yang merupakan pilar utama dari Program PE yang diusulkan. Setelah menyelesaikan Kerangka Kerja Metodologi CF, Indonesia meminta penilaian kesesuaian CF dengan lanskap REDD+ di Indonesia yang temuannya membantu dalam desain proposal saat ini. Pemilihan Provinsi Kalimantan Timur didasarkan pada komitmen dari pemerintah daerah untuk REDD+ dan untuk berpartisipasi dalam Program CF yang diusulkan. Provinsi Kalimantan Timur telah mengintegrasikan REDD+ ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2014-2018, telah mengalokasikan sebagian dari anggaran lokal (APBD) atau bagian dari anggaran nasional (APBN) untuk kegiatan terkait REDD+, dan telah mengembangkan peraturan daerah dalam mendukung REDD+. Provinsi Kalimantan TImur telah membentuk Kelompok Kerja Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation/REDD+) Provinsi Kalimantan Timur REDD+ Provinsi Kaltim melalui SK Gubernur No. 522/K.215/2010 tanggal 19 April 2010, sebagai penyempurnaan SK Gubernur tahun 2008. Selain itu, juga telah dibentuk Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) melalui SK Gubernur No. 02 Tahun 2011. Pemprov Kaltim juga telah menerbitkan Peraturan Gubernur Kalimantan TImur Nomor 39 tahun 2014 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Kalimantan TImur, yang menggantikan Pergub Kaltim Nomor 54 tahun 2012. Seiring dengan hal tersebut, Gubernur Kaltim juga telah mendeklarasikan Kalimantan Timur Hijau (Kaltim Green) pada Kaltim Summit I tahun 2010, yang telah ditetapkan melalui Peraturan Gubernur Kaltim Nomor 22 tahun 2011. Kaltim Hijau adalah kondisi Kalimantan Timur yang memiliki perangkat kebijakan, tatakelola pemerintahan serta program-program pembangunan yang memberikan perlindungan sosial dan ekologis terhadap masyarakat Kalimantan Timur serta memberikan jaminan jangka panjang terhadap keselamatan dan kesejahteraan masyarakat serta keberlanjutan fungsi lingkungan hidup. Dalam perjalanan pengimplementasian program Kaltim Hijau, dirasakan bahwa mengatasi berbagai permasalahan lingkungan hidup termasuk perubahan iklim bukan satu-satunya kebutuhan Kalimantan Timur. Dalam rangka membangun ekonomi hijau di Kalimantan Timur itu, diperlukan suatu strategi yang digali dari kondisi riil sosial-ekonomi-budaya daerah Kalimantan Timur sendiri. Oleh karena itu, pada bulan Maret 2010, dengan bekerjasama dengan Dewan Nasional Perubahan Iklim, telah disusun Strategi Pertumbuhan Rendah Karbon (Low Carbon Growth Strategy atau LCGS). Strategi ini dilandasi oleh tiga unsur penting, yaitu: (1) menurunkan jejak karbon dari sektor-sektor ekonomi terkait (pertanian, kehutanan, perkebunan, batu bara, minyak & gas); (2) secara bertahap beralih kepada kegiatan-kegiatan ekonomi baru bernilai tambah lebih tinggi dan menghasilkan emisi lebih rendah; dan (3) bekerja untuk membuat ekonomi dan infrastruktur yang memiliki ketahanan terhadap perubahan iklim. Disamping dokumen LCGS dan RAD-GRK, pada bulan Agustus 2012, Kaltim juga telah menyusun dokumen strategis lain terkait penurunan emisi GRK, yaitu Srategi dan Rencana Aksi Provinsi
Implementasi REDD+ (SRAP REDD) Kalimantan Timur. Dokumen SRAP REDD Kalimantan Timur disusun untuk kurun waktu 2012 - 2030 dan memiliki visi: “Tatakelola hutan dan lahan yang mampu menyinambungkan keselarasan fungsi lingkungan dan manfaat ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat. Tujuan jangka pendek (2012 - 2014) yang ingin dicapai lewat SRAPP adalah: perbaikan kondisi tata kelola, kelembagaan, tataruang, serta iklim investasi secara strategis di Provinsi Kaltim dan kabupaten/kota agar dapat mendukung pencapaian komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi. Tujuan jangka menengah-nya (2012 -2020) adalah: terlaksananya tata kelola sumberdaya hutan dan lahan Kaltim sesuai kebijakan dan tatacara yang dibangun, serta pada ruang dan mekanisme keuangan yang telah ditetapkan dan dikembangkan agar dapat memberikan kontribusi yang bena terhadap target-target nasional penurunan emisi 26 - 41 % di tahun 2020. Tujuan jangka panjang (2012-2030) adalah: hutan dan lahan Indonesia, khususnya di Kaltim menjadi net carbon sink pada tahun 2030 sebagai hasil pelaksanaan kebijakan yang benar dan berkeadilan untuk keberlanjutan fungsi dan jasa ekosistem hutan bagi pembangunan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat. Dokumen SRAP-REDD Kaltim saat ini sedang dalam proses revisi. Latar belakang keperluan revisi antara lain: (a) untuk meningkatkan kualitas dan cakupan data dan informasi; (b) adanya dinamika pemekaran wilayah provinsi dan wilayah kabupaten; dan (c) agar dapat lebih diacu dalam proses pembangunan regional dan sektoral. Dalam rangka mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan, memanfaatkan momentum diberlakukannya UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah menyusun Peraturan Gubernur tentang Moratorium Perizinan di Bidang Kehutanan, Pertambangan, dan Perkebunan Kelapa Sawit. Untuk menanamkan kesadaran masyarakat agar berperanserta dalam kegiatan mitigasi perubahan iklim, sejak tahun 2011 Pemerintah Kalimantan Timur melaksanakan Gerakan Satu Orang Menanam Lima Pohon. Sampai akhir 2014 berhasil ditanam sekitar 193 juta bibit pohon, baik di lahan kehutanan maupun non kehutanan termasuk di kawasan Delta Mahakam yang hutan mangrovenya mengalami kerusakan parah. Dalam rangka meningkatkan pengetahuan, memperluas wawasan dan membangun jejaring kerjasama dalam pengendalian perubahan iklim, sejak tahun 2009 Kalimantan Timur telah menjadi anggota aktif Governors’ Climate and Forests (GCF) Taskforce. Kini jumlah anggota GCF telah mencapai 29 provinsi/negara bagian, tersebar di Amerika, Brazil, Peru, Mexico, Spanyol, Afrika, dan Indonesia. Dalam Pertemuan Tahunan GCF Ke 8 yang diselenggarakan pada bulan Agustus 2014 di kota Rio Branco, Acre, Kalimantan Timur telah ikut menandatangani Deklarasi Rio Branco, sebuah dokumen yang menyatakan komitmen sangat tegas untuk mengurangi deforestasi hutan tropis, melindungi sistem iklim global, meningkatkan mata pencaharian pedesaan, dan mengurangi kemiskinan. Dalam pelaksanaan pembangunan green economy, Kaltim selama ini telah mendapatkan dukungan dari berbagai mitra pembangunan baik internasional (TNC, WWF, GIZ, GGGI) maupun nasional dan lokal. Mitra pembangunan ini sangat membantu dalam proses pengambilan keputusan dan dalam pelaksanaan secara teknis, khususnya dalam menerapkan konsep green economy. Kerjasama dengan TNC dimulai sejak tahun 2011 di Kabupaten Berau. Fokusnya adalah mengembangkan program percontohan pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan dan peningkatan stok karbon melalui kegiatan pengelolaan hutan lestari, konservasi hutan, restorasi ekosistem, dan rehabilitasi hutan. Sasaran strategisnya adalah: (a) peningkatan stok karbon sekitar 10 juta ton CO2 pada akhir 2015, setara dengan penambahan sekitar 10% dari stok karbon yang dilakukan dengan cara-cara pengelolaan biasa; (b) peningkatan kesejahteraan sekitar 5.000 masyarakat sekitar dan didalam kawasan hutan; (c) perlindungan ekosistem bernilai tinggi karena melindungi sekitar 400.000 ha DAS Kelay dan S. Segah pada habitat orang utan Kalimantan. Dengan WWF, Kaltim berkolaborasi membangun aksi demonstrasi REDD+ di Kabupaten Malinau dan Kabupaten Kutai Barat, mencakup: (a) pembangunan metodologi untuk penyusunan pangkalan data karbon untuk HOB; (b) menata kerangka institusional termasuk mekanisme insentif; (c) membina
komunitas masyarakat di areal konservasi. Dengan GIZ GELAMAI, Kaltim bekerjasama dalam hal pemanfaatan Palm Oil Mill Effluent (POME) di industri-industri kelapa sawit untuk pembuatan ethanol sebagai bahan baku listrik bagi masyarakat pedesaan sekitar lokasi industri. Dengan GIZ FORCLIME, Kaltim bekerjasama di Kabupaten Berau dan Kabupaten Malinau, dalam: (a) Program Hutan dan Perubahan Iklim (membangun referensi emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi hutan di Kabupaten Malinau dan Berau; (b) Program Reformasi Sektor Kehutanan (pembangunan model KPH); (c) Program perlindungan keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan: melakukan ujicoba struktur manajemen kolaborasi untuk kawasan konservasi; (d) Integrasi konservasi dan pembangunan; (e) Pengembangan SDM untuk mendukung terwujudnya pengelolaan hutan lestari yang mampu memberikan manfaat bagi kesejahteraan serta mendukung upaya pengurangan emisi di sektor kehutanan. Dengan GGGI arah kerjasama kaltim adalah membangun pertumbuhan ekonomi yang memanfaatkan sumberdaya dan energi secara efisien, ramah lingkungan dan berkeadilan. Penerapan prinsip-prinsip ekonomi hijau dengan menggunakan Cost and Benefit Analysis telah diujicoba pada proyek pembangunan Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional (KIPI) Maloy di Kabupaten Kutai Timur.
3. KONTEKS STRATEGIS DAN LATAR BELAKANG PROGRAM PENGURANGAN EMISI 3.1 Ringkasan atas capaian utama dari kegiatan persiapan REDD+ sejauh ini Silakan menuliskan secara ringkas perkembangan persiapan REDD+, menggunakan kategori komponen yang ada di RPP sebagai pedoman. Jika informasi public tersedia, silakan merujuk pada informasi tersebut dan memberikan tautannya.
Indonesia merupakan negara strategis untuk REDD+ dan telah membuat kemajuan yang signifikan terhadap kesiapan REDD+. REDD+ dipandang sebagai stimulus untuk mencapai pengelolaan hutan berkelanjutan dan untuk meningkatkan mata pencaharian masyarakat sekitar hutan. Indonesia juga telah menjadi peserta aktif dalam dialog REDD+ sejak 2007, dan telah berpartisipasi dalam sejumlah program REDD+, termasuk Indonesia Forest Climate Alliance (IFCA), Dana Kesiapan FCPF (FCPF Readiness Fund), program UNREDD, Forest Partnership Norwegia-Indonesia, dan Forest Investment Program, serta berbagai inisiatif bilateral dan sector swasta lainnya. Selama beberapa tahun terakhir, Pemerintah Indonesia telah melakukan program yang signifikan menuju kesiapan REDD+, sebagian dengan maksud untuk berpartisipasi dalam skema REDD+ berdasarkan kinerja seperti yang ditawarkan oleh FCPF Carbon Fund. Kemajuan yang signifikan telah dibuat dalam mengembangkan rencana dan strategi Kesiapan REDD+ serta dalam pengembangan pendekatan REDD+ safeguards, tingkat emisi acuan (Reference Emission Level/REL) dan kerangka Pelaporan Pengukuran dan Verifikasi (MRV). Program Pengurangan Emisi dari FCPF Carbon Fund memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk menindaklanjuti kemajuan yang telah dicapai Indonesia sejauh ini dengan berpartisipasi dalam fase implementasi REDD+ melalui program pembayaran berbasis kinerja, dan untuk uji coba pengaturan REDD+ di tingkat subnasional. Kegiatan ini perlu dirancang melalui berbagai inisiatif yang mendukung reformasi yang sedang berlangsung terkait dengan upaya pemerintah dalam mengatasi penyebab utama deforestasi. Seperti dinyatakan dalam Strategi Nasional REDD+, banyak penyebab utama deforestasi terkait dengan tata kelola hutan yang lemah dan hak atas tanah yang tidak jelas di beberapa daerah, yang juga merupakan halangan untuk keberhasilan pelaksanaan skema REDD+ berbasis kinerja. Reformasi di bidang ini telah menunjukkan adanya kemajuan, dan merupakan tantangan dan peluang untuk pelaksanaan program pengurangan emisi FCPF Carbon Fund.
Sejak pertemuan UNFCCC COP 13 di Bali pada tahun 2007, Indonesia telah memprioritaskan perencanaan dan aksi perubahan iklim. Pada tahun 2009, Presiden mengumumkan komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca nasional paling sedikit 26 persen dari kondisi business as usual (BAU) dengan pendanaan domestic dan 41 persen dengan dukungan pendanaan inernasional pada tahun 2020. Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) menyatakan bahwa kegiatan perubahan penggunaan lahan dan kehutanan merupakan sumber utama emisi Indonesia, terhitung 84 persen dari total emisi Indonesia. RAN GRK adalah rencana payung untuk mengurangi emisi di Indonesia sesuai dengan komitmen 26%/41%, yang dikeluarkan melalui keputusan presiden September 2011 (Perpres No 61/2011). Rencana ini menargetkan enam sektor: pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, industri, pengelolaan limbah, dan kegiatan pendukung lainnya. Rencana ini mengidentifikasi target pengurangan emisi untuk setiap sektor, mengusulkan kegiatan dan tujuan dalam setiap sektor ini, dan mengidentifikasi kementerian yang bertanggung jawab untuk setiap kegiatan. RAN GRK dilaksanakan oleh instansi tingkat Menteri. Pada tingkat subnasional, telah dikembangkan Rencana Aksi Daerah untuk Mengurangi Gas Rumah Kaca (RAD GRK) yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi. Pada tahun yang sama, Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan moratorium melalui Instruksi Presiden No.6/2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, dimana kebijakan ini dapat memberikan kesempatan dan kontribusi signifikan dalam mengatasi isu tata kelola, termasuk perencanaan spasial dan perijinan, sebelum sumber daya hutan primer dan lahan gambut dikonversi menjadi area penggunaan lain (APL). Kebijakan ini kemudian diperpanjang melalui Instruksi Presiden No.6/2013 dilanjutkan dengan perpanjangan ketiga tahun 2015 melalui Instruksi Presiden No.8/2015. Peta moratorium telah dibuat dan dapat diakses oleh public melalui website berikut: http:appgis.dephut.go.id/appgis/petamoratorium.html. Sejak Januari 2015 beberapa kegiatan yang terkait dengan kaji ulang RAN GRK dan penyusunan dokumen Intended Nationally Determined Contribution (INDC) telah dilaksanakan, meliputi rapat koordinasi antar Kementerian/Lembaga, pelatihan metode system dynamics, FGD untuk membangun model dinamik setiap sektor dan model terintegrasi yang melibatkan perwakilan Kementerian/ Lembaga terkait, pertemuan informal sektoral untuk mengembangkan kebijakan yang solid, integrasi kebijakan sektoral ke dalam model yang dikembangkan, serta konsultasi publik yang melibatkan akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat, pemerhati lingkungan dan mitra pembangunan. Selain itu, beberapa wakil pemerintah (Kementerian PPN/Bappenas serta Kementerian/Lembaga terkait) juga terlibat aktif dalam beberapa pertemuan dan seminar internasional mengenai pengembangan INDC yang sedang dilakukan oleh negaranegara yang terhimpun dalam UNFCCC. Berdasarkan beberapa kali pertemuan tersebut dapat dilaporkan bahwa pendekatan yang ditempuh Indonesia dalam menyusun INDC dinilai oleh banyak negara lain sangat baik karena penyusunannya inklusif dengan mengembangkan dan memperkuat basis ilmiah sebagai alat bantu dalam pengambilan kebijakan di bidang perubahan iklim. Berdasarkan hasil kaji ulang, dihasilkan baseline trajectory yang baru dimana proyeksi emisi GRK Indonesia pada kondisi BAU (tanpa melakukan kebijakan dan aksi mitigasi GRK) meningkat dari 1,46 juta ton CO2 pada tahun 2010, berturut-turut menjadi 1,636 juta ton CO2 pada 2015; 1,805 juta ton CO2 pada tahun 2020; 2,248 juta ton CO2 tahun 2025; dan mencapai 2,881 juta ton CO2 pada tahun 2030. Sektor yang berkontribusi pada proyeksi emisi GRK tersebut mencakup energi dan transportasi; proses industri (IPPU1); limbah; pertanian, kehutanan dan alih fungsi lahan (AFOLU2); dekomposisi gambut serta kebakaran lahan gambut. Sejak tahun 2010 sampai tahun 2030 terjadi perubahan kontribusi masing-masing sector pembangunan terhadap emisi GRK setiap tahunnya, di mana kontribusi sektor energi dan transportasi diprediksi akan meningkat terus hingga mencapai 50% pada 2030 dari sebelumnya sebesar 28% pada tahun 2010.
Berdasarkan telaahan yang telah dilakukan terhadap kebijakan mitigasi emisi GRK yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019 serta analisis terhadap opsi-opsi kebijakan penurunan emisi GRK yang mungkin diterapkan sampai dengan tahun 2030, dapat disampaikan opsi skenario penurunan emisi GRK secara nasional pada tahun 2030, yaitu: reduksi emisi sebesar 29% (skenario fair/menggunakan kemampuan sendiri), reduksi emisi sebesar 32% (skenario optimis) dan reduksi emisi minimal sebesar 41% (skenario ambisius). Berdasarkan analisa awal dan perhitungan biaya untuk menurunkan emisi (abatement cost), untuk menurunkan emisi sebesar 26%, Indonesia membutuhkan pendanaan setidaknya sebesar USD 12,98 milyar (abatement cost) di tahun 2030. Sedangkan untuk memenuhi target menurunkan emisi sebesar 41% di tahun 2030, tambahan dana yang diperlukan dari bantuan internasional mencapai minimal USD 5,92 miliar (abatement cost). Meskipun telah dilakukan kaji ulang pengurangan emisi nasional, REDD+ masih merupakan komponen penting dari RAN GRK dan enam strategi yang relevan diidentifikasi sebagai berikut: (i) mengurangi deforestasi dan degradasi hutan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca; (ii) meningkatkan area hutan tanaman untuk meningkatkan penyerapan gas rumah kaca; (iii) meningkatkan perlindungan hutan dari kebakaran dan pembalakan liar, dan meningkatkan Pengelolaan Hutan Lestari; (iv) meningkatkan manajemen air dan DAS dan menstabilkan tingkat air di daerah gambut; (v) mengoptimalkan lahan dan sumber daya air; dan (vi) menerapkan teknologi pengelolaan lahan dan budidaya pertanian dengan emisi rendah dan penyerapan optimal CO2. Strategi Nasional REDD+ bertujuan untuk memastikan bahwa hutan adalah carbon sink bersih pada 2030. Sementara itu Strategi dan Rencana Aksi di Tingkat Provinsi (SRAP) telah dikembangkan di 11 provinsi prioritas termasuk: Kalimantan Timur, Papua Barat, Papua, Jambi, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah dan Aceh. Pengembangan kerangka safeguards untuk REDD+ di Indonesia melalui dua inisiatif utama yang dimulai pada awal tahun 2011 dan berjalan secara parallel, yaitu Prinsip, Kriteria dan Indikator untuk REDD+ di Indonesia (PRISAI) yang mana pengembangannya dinisiasi oleh Badan Pengelola REDD+ (BP REDD+) dan secara bersamaan, Kementerian Kehutanan, dengan dukungan dari FCPF dan GIZ, mengembangkan SIS REDD+, termasuk pengembangan SESA dan ESMF.PRISAI ini didasarkan pada pedoman UNFCCC, dan menerjemahkan pendekatan pengamanan dari Perjanjian Cancun ke dalam konteks Indonesia. . Kedua inisiatif ini melayani tujuan yang berbeda, tetapi memiliki potensi untuk diintegrasikan. SIS REDD+ yang dibangun di atas sistem pengamanan yang ada dan diuji di provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Sebuah sistem informasi berbasis web telah dibangun untuk integrasi SIS. Kemajuan yang signifikan telah dibuat dalam mengembangkan Forest Reference Emission Level (FREL) tingkat nasional yang akan disubmisi dalam forum UNFCCC di COP21 Paris tahun ini. FREL menggunakan data set dokumen tutupan lahan dan penggunaan lahan dari tahun 1990 hingga saat ini, dan dapat digunakan untuk mengukur dinamika tanah di seluruh Indonesia. Sebuah dokumen desain MRV telah disiapkan, dan berada di bawah konsultasi dengan pemangku kepentingan. Sistem ini akan bergantung pada inventarisasi hutan dan penghitungan karbon sistem yang ada. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah melaksanakan serangkaian kegiatan pengembangan kapasitas di MRV di tingkat nasional dan subnasional, selain mengkoordinasikan pembentukan hampir 200 petak ukur permanen di seluruh negeri. Tahap awal dari Sistem Pemantauan Hutan Nasional (NFMS) telah diluncurkan untuk komunikasi lebih lanjut dan umpan balik (http://nfms.dephut.go.id/). Kemajuan dalam peningkatan kapasitas disemua level telah dicapai melalui berbagai kegiatan seminar, training, termasuk berbagai inisitatif pelibatan multi pihak telah memberikan kontribusi significant dalam peningkatan kesadaran, pemahaman dan pengetahuan tentang isu-isu perubahan iklim dan REDD+ di tingkat nasional, sub nasional dan local. Berbagai kegiatan diseminasi, konsultasi
public telah berkontribusi pada pengembangan kebijakan-kebijakan terkait REDD+. Mateteri kegiatan diseminasi dan outreach dapat diakses public melalui laman FCPF program (www.fcpfindonesia.org). Di tingkat subnasional, khususnya di Provinsi Kalimantan Timur, Rancangan awal RPJMD Kaimantan Timur 2013-2018 telah mengakomodasi isu perubahan iklim, dan penurunan emisi telah menjadi salah satu misi pembangunan 5 tahun mendatang (2013-2018) dimana hal ini telah dituangkan dalam visi dan misi pembangunan menuju Kaltim Maju 2018. Berdasarkan komitmen Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih dan permasalahan serta isu strategis Provinsi Kalimantan Timur yang menjadi prioritas untuk ditangani dalam lima tahun ke depan dan selaras dengan sasaran pokok pembangunan jangka panjang dalam RPJPD Kalimantan Timur 2005-2025, ditetapkan visi RPJMD Provinsi Kalimantan Timur untuk periode 2013-2018 adalah “Mewujudkan Kaltim Sejahtera Yang Merata dan Berkeadilan Berbasis Agroindustri dan Energi Ramah Lingkungan”. Dalam rangka implementasi REDD+ di Kaltim, maka telah dan akan dilakukan tinjauan tentang beberapa indikator berkaitan dengan kesiapan daerah, yaitu: (1) Aspek Sumber Daya Alam, khususnya potensi hutan yang memungkinkan dialokasikan bagi upaya mitigasi REDD+ dan juga kegiatan penggunaan lahan yang mampu menekan laju deforestasi dan degradasi lingkungan; (2) Aspek Kelembagaan, antara lain organisasi yang terlibat dan kontribusi masing-masing (baik yang mendukung ataupun yang menerima konsep REDD+); (3) Aspek Sumber Daya Manusia/SDM terdiri dari individu maupun kelompok dan organisasi; (4) Aspek Kebijakan dan Hukum, yaitu komitmen Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota serta Sektorsektor terkait; (5) Aspek Finansial (baik yang berasal dari anggaran pemerintah seperti APBN dan APBD provinsi/ kabupaten/ kota maupun dana pihak ketiga; (6) Aspek Teknis, terutama berkaitan dengan data, informasi dan teknologi yang dikuasai para pihak berkepentingan; serta (7) Aspek modal sosial yang dimiliki ataupun dibangun guna mendukung implementasi REDD+ di Kaltim.
3.2 Status Readiness Package saat ini dan estimasi tanggal submisi ke FCPF Participants Committee (termasuk REL/FRL, Strategi Nasional REDD+, MRV dan ESMF).
Kesiapan Indonesia dalam REDD+ dilihat dari beberapa aspek penting meliputi: (1) kebijakan dan perundang-undangan; (2) FREL; (3) NFMS/MRV; dan (4) SIS-REDD+; dan (5) pendanaan. Proses pengelolaan REDD+ secara nasional telah menunjukkan progress yang signifikan. Dari kebijakan dan peraturan perundang-undangan, Indonesia telah memiliki Strategi Nasional REDD+ yang meliputi Rencana Aksi Nasional untuk Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) 26% hingga 41%. Tahun 2011, Presiden RI juga menerbitkan Inpres No. 10/2011 tentang Penundaan Pemberian Ijin Baru dan Meningkatkan Pengelolaan Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Moratorium konversi hutan yang diperpanjang lagi selama dua tahun melalui Inpres No. 6/2013 telah memberikan kesempatan penting untuk membahas isu isu terkait penyelenggaraan kepemerintahan, antara lain perencanaan spasial dan pemberian ijin sebelum hutan alam dan lahan gambut dikonversi lebih jauh ke penggunaan nonhutan. Gugus tugas tersebut juga menerbitkan peta yang mengidentifikasi kawasan hutan untuk dimasukkan dalam moratorium. Peta tersebut dapat diakses melalui: Dana kesiapan FCPF (FCPF Readiness Fund) telah mampu mendukung penyiapan pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Dengan dukungan tersebut, beberapa kegiatan telah memberikan kontribusi terhadap pengembangan Reference Emission Level, Measurement – Reporting – Verification, dan Safeguards. Empat fokus area dalam program ini telah dicapai. Meskipun aspekaspek teknis pelaksanaan REDD+ di Indonesia telah tersedia, prosesproses politik masih belum selesai. Beberapa isu, sperti system MRV dan mekanisme benefitsharing belum disetujui, namun demikian pilihanpilihan system telah terbangun. Bagaimanapun juga, dukungan FCPF sangat penting dalam fase penyiapan REDD+ dan
dukungan yang terus menerus akan sangat bermanfaat untuk membantu Indonesia dalam implementasi REDD+ termasuk antara lain memfasilitasi REDD+ penyiapan FCPF Carbon Fund. Proses pengelolaan REDD+ secara nasional telah menunjukkan progress yang signifikan. Beberapa inisiatif untuk mempercepat kegiatan REDD+ melalui tahapantahapan program, yang fokusnya pada penguatan straegi nasional, MRVNFMS, REL/RL, SIS dan instrumen pendanaan. Tahap kedua dari tiga tahap implementasi REDD+ di Indonesia adalah periode 2014 - 2016 atau tahap transformasi. Pada tahap ini, Indonesia harus sudah siap memberikan kontribusi terhadap pengurangan emisi yang telah diverifikasi baik secara institusi mapun operasional. Pada tingkat provinsi diharapkan semua provinsi memberikan dukungan untuk meningkatkan pengelolaan hutan dan lahan melalui skema REDD+. Pada tingkat nasional, perlu memperhatikan hasilhasil COP 19 di Warsawa. Salah satu keputusan penting pada pertemuan tersebut adalah mendorong pihak yang berkepentingan untuk memberikan otoritas kepada entitas nasional atau fokal point untuk bertindak sebagai penghubung dengan sekretariat dan badanbadan dibawah Konvensi, terkait dengan koordinasi dukungan dan kemungkinan diusulkan untuk menerima pembayaran bedasarkan hasil. Indonesia telah membentuk institusi baru yaitu Direktorat Jenderal Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dengan demikian, semua institusi yang menangani isu perubahan iklim (Kementarian Kehutanan, BP REDD+, DNPI, KLH) diintegrasikan dalam institusi baru ini. Pengelolaan institusi baru tersebut dapat meningkatkan koordinasi dengan efektif dan efisien, oleh karena itu kegistankegiatan dapat lebih dipertanggungjawabkan dan transparan dalam pelaksanaan REDD+. Namun demikian peran Dirjen PPI pada tingkat regional harus lebih diperkuat. Peningkatan kapasitas regional dalam fase transformasi tersebut dilaksanakan melalui kegiatankegiatan yang mendukung implementasi REDD+. Selain itu Menteri LHK menetapkan Dewan Pengarah Pengendalian perubahan iklim tingkat nasional sebagai badan adhoc. Penetapan dewan pengarah pengendalian perubahan iklim bertujuan untuk mengefektifkan koordinasi hasilhasil dan proses dari berbagai sektor dan para pihak. Arsitektur REDD+ di Indonesia saat ini mengalami perkembangan yang signifikan. Pada skala nasional indonesia telah memiliki FREL, NFMS/MRV, SISREDD+. Selanjutnya yang masih menjadi pekerjaan rumah pada arsitektur REDD+ di Indonesia adalah terkait FREL, MRV dan tindak lanjut pengamanan REDD+ dan SIS yang beroperasi pada tingkat sub nasional. Semua kegiatan REDD+ menghormati kepentingan para stakeholder termasuk beberapa jejaring kerja dan kemitraan yang dibangun para stakeholder, misalnya masyarakat, perusahaan swasta, universitas, lembaga penelitian dan pengembangan dan lembaga pendidikan dan pelatihan. Tahun 2011, Presiden RI telah menerbitkan Inpres No. 10/2011 tenang Penundaan Pemberian Ijin Baru dan Meningkatkan Pengelolaan Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Moratorium konversi hutan yang diperpanjang lagi selama dua tahun melalui Inpres No. 6/2013 telah memberikan kesempatan penting untuk membahas isuisu terkait penyelenggaraan kepemerintahan, antara lain perencanaan spasial dan pemberian ijin sebelum hutan alam dan lahan gambut dikonversi lebih jauh ke penggunaan nonhutan. Gugus tugas tersebut juga menerbitkan peta yang mengidentifikasi kawasan hutan untuk dimasukkan dalam moratorium. Peta tersebut dapat diakses melalui: http://appgis.dephut.go.id/appgis/petamoratorium.html Sejumlah kegiatan REDD+ sedang dilaksanakan pada tingkat subnasional, yang sebagian besar adalah kegiatan skala kecil, hanya pada tingkat keproyekan. Sedangkan kegiatan lainnya dikategorikan skala yang lebih besar yang akan menilai strategistrategi REDD+ pada tingkat provinsi dan kabupaten. Pada saat yang bersamaan, berkaitan dengan upaya untk meningkatkan peran sektor kehutanan dalam program PE, keberadaan dan peran pengelolaan hutan alam (IUPHHK-HA) di Kalimantan Timur juga telah berkembang program-program kemitraan sebagai bagian dari upaya percepatan
pencapaian PHL-SFM. Sebagai contoh, bantuan hibah dana dari The Borneo Initiative (TBI) telah meningkatkan jumlah IUPHHK-HA yang telah memperoleh Sertifikat SFM dengan Standar FSC (dari 2 unit sebelum tahun 2010 menjadi 6 unit pada tahun 2015 dan 7 unit dalam proses). Disamping bantuan hibah dana TBI, peran mitra kerjasama donor Luar Negeri, antara lain: The Nature Conservancy (TNC), bantuannya berupa penguatan kelembagaan dan pengembangan kapasitas SDM perusahaan dan program pendampingan yang lain. Khusus tentang pemabngunan dan pengembangan KPHP/L peran GIZ-Forclime. Kegiatan-kegiatan demonstrasi tersebar di beberapa wilayah di Indonesia yang telah menunjukkan hasil, antara lain (i) pengembangan metodologi deforestasi yang tak terhindarkan dari deforestasi untuk lahan gambut; (ii) pengalaman dengan pendekatan REDD+ pada tingkat kabupaten; dan (iii) masukan dalam pengembangan dan uji coba lapang terhadap sistem penghitungan karbon skala nasional. Selain progres tersebut diatas, sejumlah tantangan masih harus dihadapi, termasuk:
Pengaturan pengelolaan secara nasional perlu diselaraskan dengan lembagalembaga di tingkat subnasional (tingkat provinsi, kabupaten dan keproyekan). Kelompok kerja REDD+ pada tingkat subnasional perlu diperkuat. Lembaga-lembaga di tingkat masyarakat perlu penguatan untuk memfasilitasi kemitraan, KPH perlu dipercepat pembangunan dan pengembangannya di tingkat Kabupaten. Sebab keberadaan dan peran KPHP/L di daerah merupakan “instrumen baru” dalam upaya mewujudkan pencapaian PHL-SFM dan pembangunan berbasis lahan yang lain (perkebunan dan pertambangan) diwilayah kelola. Dengan dapat dicapai atau diwujudkannya pembangunan berbasis lahan berkelanjutan (kehutanan-perkebunan dan pertambangan) di tingkat tapak untuk memperkuat dan mendukung pengelolaan dan implementasi REDD+ pada tingkat tapak.
3.3 Konsistensi dengan Strategi Nasional REDD+ dan kebijakan lain yang relevan Harap memberikan gambaran tentang: a) Bagaimana kegiatan yang saat ini dilaksanakan dan telah direcanakan dalam Program PE terkait dengan beragam intervensi yang diusulkan dalam strategi nasional REDD+ b) Bagaimana program PE yang diusulkan relevan dengan pembangunan dan/atau pelaksanaan strategi nasional REDD+ (termasuk kebijakan, kerangka kerja nasional, dan legislasi). c) Bagaimana kegiatan yang diusulkan dalam Program PE konsisten dengan peraturan perundangundangan nasional dan prioritas pembangunan
Strategi Nasional REDD+ mendukung rencana tingkat provinsi terutama dengan menciptakan prasyarat untuk pelaksanaan yang efektif dari program REDD+. Ini termasuk menangani penyebab utama deforestasi, melaksanakan reformasi tata pemerintahan, dan menciptakan kerangka kelembagaan untuk pelaksanaan REDD+. Program PE akan mendukung pelaksanaan kegiatan ini di tingkat provinsi dengan mengkoordinasikan dana yang ditargetkan, dengan menyediakan kerangka kerja untuk kolaborasi dengan berbagai mitra, dan dengan mencapai pengurangan emisi di masa depan. Program ini diharapkan dapat mendukung investasi yang diperlukan untuk pelaksanaan REDD+. Untuk mencapai hal ini, pengembangan program akan dikoordinasikan dengan mitra potensial dan lembaga donor. Yang penting, kegiatan PE akan sejalan dengan rencana pembangunan tingkat provinsi yang ada. Pendekatan provinsi sejalan perundangundangan yang baru di Indonesia. Indonesia telah membuat kemajuan yang signifikan dalam pengembangan kerangka REDD+ tingkat nasional dan langkah berikutnya yang penting adalah untuk melaksanakan kegiatan di provinsi dan kabupaten. Melalui
proses desentralisasi di Indonesia, provinsi telah menerima otoritas pemerintahan yang signifikan, termasuk kewenangan atas fungsi pengelolaan hutan dan karena itu memainkan peran integral dalam tata kelola hutan dan di REDD+. Peran ini ditekankan melalui pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). KPH lindung dan produksi akan berada di bawah pengelolaan pemerintah provinsi. Dengan berfokus pada satu provinsi, yaitu Kalimantan Timur, program PE akan menghasilkan pelajaran penting bagi daerah kaya hutan lainnya, memfasilitasi adopsi kerangka REDD+ subnasional di seluruh Indonesia. Pelajaran yang diperoleh dari pelaksanaan program ER di tingkat provinsi akan berharga dalam menyelesaikan desain kerangka REDD+ nasional, termasuk sistem nasional MRV, pendekatan safeguards, dan registrasi PE. Program PE akan memanfaatkan dukungan reformasi tata kelola hutan yang merupakan bagian dari Strategi Nasional REDD+. Sistem KPH memiliki potensi untuk secara mendasar meningkatkan pengelolaan hutan, termasuk mengurangi deforestasi dan degradasi dan partisipasi lebih baik untuk masyarakat lokal. Dengan menerapkan program PE, manajemen KPH akan memiliki insentif yang nyata untuk mengatasi masalah tata kelola, termasuk pemetaan, manajemen bisnis, dan pengembangan masyarakat. Program PE juga akan mendukung kepemilikan berkelanjutan dan reformasi perencanaan tata ruang. Salah satu tujuan utama dari program ini adalah untuk mendukung reformasi tenurial yang sedang berlangsung, termasuk pengakuan hakhak adat atas tanah. Ini akan melalui dukungan di tingkat kebijakan di provinsi dan kabupaten, serta melalui dukungan untuk pemetaan, peningkatan kapasitas masyarakat, dan pendaftaran tanah.
4. LOKASI DAN DURASI PROGRAM PE 4.1 Skala dan lokasi Program PE yang diusulkan Mohon menjelaskan gambaran umum dan peta lokasi program PE dan wilayah sekitarnya, dan pentingnya fisiografis lokasi dalam kerangka nasional. Indikasikan lokasi dan batasbatas wilayah Program PE, misalnya, yurisdiksi administrasi.
Indonesia mengusulkan Kalimantan Timur sebagai lokasi untuk Program Pengurangan Emisi FCPF Carbon Fund. Kalimantan Timur (Kaltim) sebagai wilayah administrasi dibentuk berdasarkan UndangUndang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerahdaerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Dalam perkembangan lebih lanjut, sesuai dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara, yang merupakan daerah pemekaran wilayah dari Provinsi Kalimantan Timur dengan lima kabupaten yang berada di wilayah utara Kalimantan Timur. Provinsi Kalimantan Timur mempunyai luas wilayah sekitar 12.726.752 ha yang terdiri dari daratan seluas 12.533.681 ha dan perairan darat seluas 193.071 ha. Selain wilayah darat, Kalimantan Timur juga memiliki pengelolaan laut (04 mil) seluas 25.656 km2. Sebagai provinsi terluas ketiga, Kalimantan Timur memiliki luas wilayah mencapai 6,66 persen dari luas wilayah Indonesia. Dari segi administrasi pemerintahan, Provinsi Kalimantan Timur terbagi menjadi 7 (tujuh) tingkat kabupaten (Berau, Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat, Paser, Penajam Paser Utara, dan Mahakam Ulu) dan 3 (tiga) kota (Balikpapan, Bontang dan Samarinda). Adapun batas wilayah administratif Provinsi Kalimantan Timur adalah: Sebelah Utara: berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Utara Sebelah Barat: berbatasan dengan Negara Bagian Serawak Malaysia, Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Kalimantan Tengah
Sebelah Selatan: berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Selatan Sebelah Timur: berbatasan dengan Selat Makasar dan Laut Sulawesi Secara geografis Kalimantan Timur terletak pada kedudukan 40 24’ Lintang Utara (LU) dan 20 25’ Lintang Selatan (LS), 1130 44’ Bujur Timur (BT) dan 1190 00’ Bujur Timur (BT). Posisi Kalimantan Timur sangat strategis sebagai jalur transportasi laut internasional karena berbatasan dengan wilayah perairan Selat Makassar dan Laut Sulawesi yang merupakan Alur Laut Kepulauan Indonesia II (ALKI II). Oleh karenanya disamping kekayaan sumber daya alam yang sangat besar, posisi ini strategis dan mengundang banyak investor untuk beraktifitas di Kalimantan Timur.
Gambar 1. Peta Administratif Provinsi Kalimantan Timur
Luas hutan Kalimantan Timur tahun 2013 adalah 8.562.287 ha yang meliputi 3 fungsi hutan yaitu: (1) hutan lindung; (2) hutan konservasi; dan (3) hutan produksi. Luas hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap masingmasing 3.249.132 ha dan 3.121.900 ha. Daerah kabupaten/kota yang mempunyai kawasan hutan terluas yaitu Kabupaten Kutai Timur dengan luas areal hutan mencapai 2.198.344 ha. Jumlah konsesi di Kalimantan Timur sebanyak 76 perusahaan dengan luas 4.926.062,80 ha konsesi hutan, sementara Hutan Tanaman Industri (HTI) pada tahun 2013 tercatat 1.665.170 ha dikelola oleh 44 perusahaan perkebunan. Produksi kayu bulat pada tahun fiskal 2013 mencapai 1.178.024,07 m3 dari 87.517,83 ha luas panen. Untuk kayu olahan, kayu lapis adalah produk yang paling besar (347.347,13 m3). Kayu olahan lainnya yang dihasilkan termasuk Kayu Gergajian, Blockboard, dan Veneer. Luas hutan Kalimantan Timur tahun 2013 adalah 8.562.287 ha yang meliputi 3 fungsi hutan yaitu: (1) hutan lindung; (2) hutan konservasi; dan (3) hutan produksi. Luas hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap masingmasing 3.249.132 ha dan 3.121.900 ha. Luas hutan mangrove kurang lebih seluas 375.763 ha. Daerah kabupaten/kota yang mempunyai kawasan hutan terluas yaitu Kabupaten Kutai Timur dengan luas areal hutan mencapai 2.198.344 ha. Jumlah konsesi di Kalimantan Timur sebanyak 76 perusahaan dengan luas 4.926.062,80 ha konsesi hutan, sementara Hutan Tanaman Industri (HTI) pada tahun 2013 tercatat 1.665.170 ha dikelola oleh 44 perusahaan perkebunan. Produksi kayu bulat pada tahun fiskal 2013 mencapai 1.178.024,07 m3 dari 87.517,83 ha luas panen. Untuk kayu olahan, kayu lapis adalah produk yang paling besar (347.347,13 m3). Kayu olahan lainnya yang dihasilkan termasuk Kayu Gergajian, Blockboard, dan Veneer. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.674/Menhut-II/2011 tanggal 1 Desember 2011, di Provinsi Kalimantan Timur telah ditetapkan Wilayah KPH sebanyak 20 unit yang terdiri atas 2 unit KPHL dan 18 unit KPHP. Sampai saat ini KPH yang telah aktif operasional sebanyak 8 unit yaitu: KPHP Berau Barat, KPHP Meratus, KPHP Bongan, KPHP Santan, KPHP Telake, KPHP Kendilo, KPHP Sub DAS Belayan dan KPHP Delta Mahakam. Rincian KPH Kalimantan Timur berdasarkan penetapan Menteri Kehutanan sebagaimana dipaparkan pada Tabel 1. Tabel 1. KPH di Kalimantan Timur No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Unit XXII XXX XII XIV XV XVI XVII XVIII XIX XXIII XXIV XXV XXVI XXVIII XXIX XXXIII XXXIV
Nama KPH HL Sungai Wain Berau Barat Sub DAS Belayan Kebun Raya Samarinda Delta Mahakam Telake Kendilo
Luas 658,321 14,782 786,019 322,953 362,417 193,145 263,350 707,486 963,824 213,244 559,712 451,109 1,033,138 299 112,984 275,832 142,421
Jenis KPH KPHL KPHL KPHP KPHP KPHP KPHP KPHP KPHP KPHP KPHP KPHP KPHP KPHP KPHP KPHP KPHP KPHP
Kabupaten/Kota Kutai Barat Balikpapan Berau Berau Berau Berau Kutai Timur Kutai Timur Kutai Timur Kutai Barat Kutai Barat Kutai Barat Kutai Kartanegara Samarinda Kutai Kartanegara Paser Paser
No 18 19 20
Unit XXVII XXXI XXXII TOTAL
Nama KPH Santan Meratus Bongan
Luas 269,489 387,749 421,743 8,140,017
Jenis KPH KPHP KPHP KPHP
Kabupaten/Kota Kukar, Kutim, Bontang PPU, Kubar, Kukar PPU, Paser, Kubar
Pemilihan Provinsi Kalimantan Timur dilakukan setelah melakukan diskusi intensif dengan Carbon Fund Participants mengenai upaya mengkonsolidasikan lokasi dan mengefektifkan implementasi Program PE dengan tetap mempertahankan wilayah yang sebelumnya diusulkan menjadi lokasi Carbon Fund. Pemilihan Kaltim ini cocok dengan sejumlah kriteria penting, termasuk yang berikut: Sesuai dengan prioritas REDD+ yang lebih luas. CF Program mendukung program REDD+ nasional, dan provinsi yang berpartisipasi akan memainkan peran kunci dalam pendekatan REDD+ subnasional. Sudah ada investasi REDD+ sebelumnya. Kalimantan Timur telah memiliki program REDD+ yang signifikan yang terkait di masa lalu, yang memungkinkan CF untuk membangun momentum yang ada. Keterlibatan masyarakat sipil yang kuat. Ini akan menjadi faktor penting dalam memungkinkan program untuk mengatasi masalah di tingkat masyarakat dan untuk sepenuhnya mengintegrasikan masyarakat lokal dalam desain dan pelaksanaan program. Daftar potensial mitra dipaparkan pada Bagian 1.2. Komitmen dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah akan memainkan peran penting dalam mengkoordinasikan kegiatan di tingkat kabupaten dan komitmen mereka untuk REDD+ dan Program CF penting bagi keberhasilan dan keberlanjutan kegiatan yang diusulkan. Institusi lokal di masingmasing kabupaten telah diidentifikasi sebagai titik fokus untuk pelaksanaan program. Juga, alokasi anggaran daerah yang mendukung kegiatan yang terkait REDD+. Sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan setempat. Ada proses untuk berbagi informasi dan keterlibatan pemangku kepentingan. Ini termasuk mekanisme untuk melibatkan masyarakat lokal, termasuk mekanisme untuk menangani keluhan parapihak. Kemajuan pada pengembangan kerangka REDD+. Ini termasuk kemajuan dalam mengembangkan Tingkat Referensi Emisi, kemajuan dan kapasitas untuk mengembangkan Sistem Pemantauan Hutan, dan keahlian dalam mengukur emisi (termasuk kebocoran dan risiko balik). Kemajuan yang terkait dengan safeguards, termasuk adopsi PRISAI atau SES, sosialisasi REDD+, dan dukungan dari LSM dan akademisi untuk REDD+. Kemajuan dalam perencanaan tata ruang dan pelaksanaan KPH, termasuk pengembangan skema hutan kemasyarakatan. Kemajuan dalam mekanisme pembagian manfaat, termasuk pengalaman dari program pembangunan berbasis masyarakat, dan peraturan lokal untuk mendukung mekanisme pembagian keuntungan.
4.2 Durasi Program PE yang diharapkan Mohon mendeskripsikan berapa bulan/tahun program PE akan: a) dipersiapkan; dan b) dilaksanakan ( termasuk tanggal dimulainya Program PE).
Program PE yang diusulkan terintegrasi ke dalam program REDD+ di Indonesia, yang diharapkan akan aktif selama setidaknya 15 tahun ke depan. Lebih khusus, setelah Program CF berakhir pada tahun 2025, struktur REDD+ yang akan dibangun di Kaltim akan memungkinkan Pemerintah Indonesia
untuk melanjutkan pembelian PE dari Kaltim. Pendanaannya diharapkan muncul dari REDD+ nasional dan melanjutkannya sampai setidaknya 2030. Tahap desain program diharapkan mulai pada bulan Januari 2016 dan berlangsung antara 18 sampai dengan 24 bulan. Ini akan mencakup investasi dalam kesiapan REDD+ seperti finalisasi REL dan sistem MRV, dan desain mekanisme pembagian keuntungan. Hal ini juga akan mencakup inisiasi kegiatan PE, termasuk penyelarasan mitra pelaksana dan sumber pendanaan. Pelaksanaan kegiatan PE diharapkan mulai pada tahun 2017 dan terus setidaknya sampai 2030. Pembayaran MRV berdasarkan kinerja dari PE diharapkan terjadi setiap dua tahun, dimulai pada tahun 2019 sampai 2025, meskipun jadwal yang sesungguhnya akan diputuskan selama desain sistem MRV. Tata waktu yang lebih rinci dipaparkan pada Bagian 7.4.
5. DESKRIPSI KEGIATAN DAN INTERVENSI YANG DIRENCAKANAN DALAM KERANGKA PROGRAM PE YANG DIUSULKAN 5.1 Analisis penyebab deforestasi dan degradasi hutan yang tidak langsung, dan kecenderungan konservasi dan pengkayaan Mohon menyajikan analisis penyebab dan agen deforestasi dan degradasi hutan. Juga gambarkan semua kebijakan dan kecenderungan yang dapat berkontribusi pada upaya konservasi dan peningkatan cadangan karbon. Mohon dibedakan antara penyebab dan kecenderungan dalam lokasi Program PE, dan semua penyebab atau kecenderungan yang terjadi di luar lokasi tetapi mempengaruhi penggunaan lahan, tutupan lahan, dan cadangan karbon di lokasi Program PE. Gunakan analisis yang dihasilkan oleh RPP dan/atau RPackage.
Permasalahan deforestasi dan degradasi hutan di Kaltim utamanya dipicu karena pembangunan daerah Kaltim sejak dekade 70 an berbasis pada 3 (tiga) komoditas utama yakni kayu (kehutanan), kelapa sawit (perkebunan) dan batu bara (pertambangan) yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Penyebab langsung dan tidak langsung deforestasi dan degradasi hutan di Kalimantan Timur adalah:
Pemanfaatan Kayu secara Berlebihan, Pembalakan Liar (Illegal Logging) dan Pemiskinan Keanekaragaman Hayati (Biodiversity) Pemanfaatan kayu untuk menopang ekonomi berlangsung selama dekade terakhir sebenarnya telah menurun sejak tahun 2000an namun masih terjadi dan disambung dengan meluasnya pembalakan liar akibat dari euforia reformasi (1998) dan transisi politik menuju era otonomi 2003. Upaya pemberantasan illegal logging telah cukup memberikan efek jera namun tidak mampu mengimbangi laju pertambahan lahan kritis akibat pemanfaatan kayu dan illegal loging yang berujung pada pemiskinan keanekaragaman hayati.
Konversi Lahan Berhutan ke Perkebunan Sawit Skala Besar Komoditas perkebunan sawit telah menyokong pendapatan daerah, sampai saat ini terdapat 479 perusahaan perkebunan sawit skala besar (2014) di seluruh Kabupaten/Kota di Kaltim dengan luas 1.020.413 ha dan produksi TBS 9.628.072 ton/tahun (2015) dan diperkirakan akan terus meningkat. Ketiadaan batas kawasan hutan yang jelas di lapangan dan kurang tepatnya pemberian perizinan perkebunan, juga mengakibatkan sekitar 200 ribu hektar lahan perkebunan sawit tumpang tindih atau menjarah kawasan hutan. Kegiatan pembukaan lahan (land clearing) terhadap tegakan hutan untuk persiapan kebun sawit menjadi penyebab terjadinya banyak risiko lingkungan, seperti terjadinya aliran permukaan, erosi, sedimentasi yang berakibat pada pendangkalan badan sungai. Meskipun sekarang dalam persiapan lahan tidak diperkenankan melakukan pembakaran (zero burning), tetapi aktivitas pembakaran ini bisa meluas, terutama bila berada di sekitar lahan-lahan bergambut (peat swamp forests).
Pemanfaatan Lahan Berhutan untuk Pertanian Tebas Bakar (Slash and Burn Agriculture), Perambahan Hutan (Forest Encroachments) dan Extensifikasi Kemandirian Pangan (Food Estate) Separuh dari populasi penduduk kaltim tinggal didaerah pedesaan dan dua pertiga dari jumlah tersebut bergantung kehidupannya dari kegiatan pertanian khususnya pertanian lahan kering (ladang) yang dilakukan dalam bentuk pertanian tebas bakar yang merupakan cikal bakal pemenuhan kebutuhan manusia dari hasil budidaya yang didalamnya memuat juga nilai-nilai sosial dan budaya. Selain itu, Kalimantan Timur juga berupaya memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri dengan mencanangkan food estate project yang memicu pembukaan lahan dan berimplikasi pada meningkatnya degradasi dan deforestasi.
Pembukaan Lahan untuk Pertambangan Batubara Kegiatan pertambangan batubara di Kaltim meningkat pesat sejak pertengahan tahun 2000-an, dipacu oleh banyaknya investor yang mengejar keuntungan besar dan cepat. Kebangunan tambang batu bara ini seiring dengan merosotnya industri perkayuan dan bahkan kecepatannya melebihi pembangunan perkebunan sawit sekalipun. Daerah pun antusias mengeluarkan izinizin kuasa pertambangan karena pemasukan yang cukup tinggi.
Kebakaran Hutan dan Lahan Secara umum, fenomena bencana kebakaran hutan dan lahan di wilayah Kalimantan Timur disebabkan oleh 2 (dua) hal yang bertalian, yaitu penyebab pertama para peladang dan masyarakat yang melaksanakan kegiatan pembukaan lahan untuk perladangan/ pertanian dengan cara membakar hutan/lahan yang akan disiapkan untuk areal perladangan/ pertanian, kemudian diperparah lagi oleh penyebab kedua yaitu El-Nino (musim kemarau panjang). Dan, juga diakibatkan oleh permukaan lapisan batu bara yang terbakar dan sifatnya relatif lebih lama, serta menyebar dekat permukaan tanah yang banyak ditemukan di kawasan-kawasan hutan tropis di Kalimantan Timur (Goldammer et al., 1996), sedangkan Boonyanuphap, J., (2001) menyatakan bahwa peningkatan permasalahan kebakaran tersebut juga diakibatkan oleh kegiatan konversi kawasan hutan dalam sekala besar dan kegiatan pembukaan/penyiapan lahan dengan cara membakar untuk areal-areal hutan tanaman industri, perkebunan karet dan kelapa sawit.
Pembukaan dan Pemanfaatan Lahan untuk Berbagai Peruntukan Diidentifikasi diantaranya pembukaan dan pemanfaatan lahan hutan untuk infrastruktur sosial dan ekonomi juga pemukiman. Secara teknis pembukaan kawasan hutan dan lahan berhutan untuk pemukiman yang terencana sebetulnya telah memperhitungkan ruang bagi perkembangan pemukiman dimasa depan seperti pemberian lahan usaha untuk pertanian, lahan untuk perkebunan dan lahan cadangan. Namun demikian seringkali dijumpai terjadinya perambahan dan pendudukan kawan hutan dan lahan berhutan untuk berbagai kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat. Akibatnya tekanan terhadap kawasan hutan dan lahan berhutan yang menuju pada degradasi dan deforestasi kian meningkat. Demikian juga halnya dengan kegiatan pembukaan kawasan hutan dan lahan berhutan yang tidak terencana, dampak perambahan dan pembukaan kawasan hutan dan lahan berhutan lebih tinggi karena sulit terkontrol dan bersifat spontan.
Gambar 2. Ilustrasi Tulang Ikan (Fishbone) Sebab dan Akar Masalah Deforestasi Hutan di Kalimantan Timur Untuk mengatasi penyebab deforestasi dan degradasi hutan, beberapa peraturan pada level Provinsi dihasilkan untuk berkontribusi terhadap upaya konservasi dan peningkatan cadangan karbon, diantaranya:
Peraturan Daerah Kalimantan Timur Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 15 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Kaltim tahun 2000-2025 Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan; Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 8 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Reklamasi Pasca Tambang Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 1 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Peraturan Dearah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 7 tahun 2014 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2013-2018 Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 1 tahun 2015 Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Kalimantan Timur Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 2 Tahun 2011 tentang Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI). Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 22 tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaltim Hijau Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 19 tahun 2012 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi (RKTP) Tahun 2011-2030 Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 39 tahun 2014 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Kalimantan Timur Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 17 tahun 2015 tentang Penataan Pemberian Izin dan Non Perizinan Serta Penyempurnaan Tata Kelola Perizinan di Sektor Pertambangan, Kehutanan dan Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Timur
Dan sejalan dengan hal diatas, Kabupaten/Kota juga menetapkan kebijakan pengurusan kawasan sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 2 berikut. Tabel 2.
Kebijakan dan Strategi Pengurusan Kawasan berdasarkan Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur selama Jangka Waktu 20 tahun (2011 - 2030)
Kabupaten/ Kota 1. KOTA BALIKPAPAN
Kebijakan Umum • • • •
• 2. KABUPATEN BERAU
•
• • •
• • •
3. KOTA BONTANG
• • •
• • 4. KABUPATEN KUTAI BARAT
•
•
•
Menyelesaikan/meminimalisir masalah kawasan Hutan Lindung Manggar dan Hutan Lindung Sungai Wain Peningkatan usaha reboisasi dan ekstensifikasi penghijauan dengan partisipasi aktif masyarakat guna menjamin daya dukung hutan Penyusunan dan implementasi Master Plan Hutan Kota dan pengelolaan Kebun Raya Kota Balikpapan Pengembangan sistem insentif bagi setiap upaya penyelamatan lingkungan perkotaan Balikpapan dan perumusan pembayaran jasa lingkungan Penyelamatan dan perluasan mangrove dan hutan pantai terutama di Teluk Balikpapan berbasis partisipasi masyarakat lokal Melakukan pengawasan intensif terhadap pelaksanaan reklamasi areal eks pertambangan dan penetapan arealareal bernilai konservasi tinggi di unit manajemen kehutanan perkebunan Revitalisasi peran/fungsi kawasan koservasi/lindung dan hutan lindung dan pengembangan sistem pengelolaan kolaboratif Menyelesaikan masalah kawasan hutan, pembangunan kelembagaan pengelolaan hutan (KPH), peningkatan peran konservasi serta efisiensi Revitalisasi kawasan hutan untuk kegiatan pengusahaan hutan skala besar, serta efisiensi dan pengembangan SFM serta SVLK bagi usaha kehutanan khususnya kawasankawasan yang tidak lagi produktif Peningkatan luasan hutan tanaman khususnya pada kawasan hutan nonprodukitf Pengembangan hutan berbasis masyarakat dan identifikasi praktekpraktek lokal/tradisional pengelolaan hutan dan hasil hutan Pengembangan industri kehutanan, baik hasil hutan kayu, bukankayu dan industri berbasis jasa lingkungan/wisata alam serta pemanfaatan kawasan hutan Menyelesaikan/meminimalisir masalah kawasan Hutan Lindung Bontang (termasuk persoalan lahan) Peningkatan usaha reboisasi dan ekstensifikasi penghijauan dengan partisipasi aktif masyarakat guna menjamin daya dukung hutan Pengembangan sistem insentif bagi setiap upaya penyelamatan lingkungan perkotaan Bontang dan perumusan pembayaran jasa lingkungan Pengembangan industri kehutanan khususnya bukan kayu dan industri berbasis jasa lingkungan/wisata alam Penyelamatan dan perluasan mangrove dan hutan pantai berbasis partisipasi masyarakat local Melakukan pengawasan intensif terhadap pelaksanaan reklamasi areal eks pertambangan dan penetapan arealareal bernilai konservasi tinggi di unit manajemen perkebunan Menyelesaikan masalah kawasan hutan, pembangunan kelemba gaan pengelolaan hutan (KPH), peningkatan peran konservasi (terutama di wilayah perbatasan yang masuk dalam Heart of Borneo/HoB) Revitalisasi kawasan hutan untuk kegiatan pengusahaan hutan skala besar, serta efisiensi dan pengembangan SFM serta SVLK bagi usaha kehutanan khususnya kawasankawasan yang tidak lagi produktif
Kabupaten/ Kota
Kebijakan Umum • • •
5. KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA
• •
• •
• • •
• 6. KABUPATEN KUTAI TIMUR
•
•
• •
• • •
• 7. KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA
• • •
Peningkatan luasan hutan tanaman khususnya pada kawasan hutan nonprodukitf Pengembangan hutan berbasis masyarakat dan identifikasi praktekpraktek lokal/tradisional pengelolaan hutan dan hasil hutan Pengembangan industri kehutanan, baik hasil hutan kayu, bukankayu dan industri berbasis jasa lingkungan/wisata alam serta pemanfaatan kawasan hutan Meningkatkan tutupan hutan di dalam maupun di luar kawasan hutan melalui reboisasi dan penghijauan dengan partisipasi aktif masyarakat Revitalisasi peran/fungsi Taman Nasional Kutai, kawasan konservasi/ lindung dan hutan lindung lainnya dan pengembangan sistem pengelolaan kolaboratif Melakukan pengawasan intensif terhadap pelaksanaan reklamasi areal eks pertambangan Menyelesaikan masalah kawasan hutan, pembangunan kelembagaan pengelolaan hutan (KPH), peningkatan peran konservasi serta efisiensi dan pengembangan SFM bagi usaha Revitalisasi kawasan hutan untuk kegiatan pengusahaan hutan skala besar, serta efisiensi dan pengembangan SFM serta SVLK bagi usaha kehutanan khususnya kawasankawasan yang tidak lagi produktif Peningkatan luasan hutan tanaman khususnya pada kawasan hutan nonprodukitf Pengembangan hutan berbasis masyarakat dan identifikasi praktekpraktek lokal/tradisional pengelolaan hutan dan hasil hutan Pengembangan industri kehutanan, baik hasil hutan kayu, bukankayu dan industri berbasis jasa lingkungan/ wisata alam serta pemanfaatan kawasan hutan Penyelamatan dan perluasan mangrove (terutama yang berada di Delta Mahakam) dan hutan pantai berbasis partisipasi masyarakat lokal Melakukan pengawasan intensif terhadap pelaksanaan reklamasi areal eks pertambangan dan penetapan arealareal bernilai konservasi tinggi di unit manajemen kehutanan perkebunan Revitalisasi peran/fungsi Taman Nasional Kutai, kawasan konservasi/lindung dan hutan lindung dan pengembangan sistem pengelolaan kolaboratif Menyelesaikan masalah kawasan hutan, pembangunan kelembagaan pengelolaan hutan (KPH), peningkatan peran konservasi Revitalisasi kawasan hutan untuk kegiatan pengusahaan hutan skala besar, serta efisiensi dan pengembangan SFM serta SVLK bagi usaha kehutanan khususnya kawasankawasan yang tidak lagi produktif Peningkatan luasan hutan tanaman khususnya pada kawasan hutan nonprodukitf Pengembangan hutan berbasis masyarakat dan identifikasi praktekpraktek lokal/tradisional pengelolaan hutan dan hasil hutan Pengembangan industri kehutanan, baik hasil hutan kayu, bukankayu dan industri berbasis jasa lingkungan/wisata alam serta pemanfaatan kawasan hutan Penyelamatan dan perluasan mangrove dan hutan pantai berbasis partisipasi masyarakat local Meningkatkan tutupan hutan di dalam maupun di luar kawasan hutan melalui reboisasi dan penghijauan dengan partisipasi aktif masyarakat Melakukan pengawasan intensif terhadap pelaksanaan reklamasi areal eks pertambangan Revitalisasi kawasan hutan untuk kegiatan pengusahaan hutan skala
Kabupaten/ Kota
Kebijakan Umum
besar, serta efisiensi dan pengembangan SFM serta SVLK bagi usaha kehutanan khususnya kawasankawasan yang tidak lagi produktif • Peningkatan luasan hutan tanaman khususnya pada kawasan hutan nonprodukitf • Pengembangan hutan berbasis masyarakat dan identifikasi praktekpraktek lokal pengelolaan hutan dan hasil hutan • Penyelamatan dan perluasan mangrove dan hutan pantai berbasis partisipasi masyarakat local 8. KABUPATEN PASER • Meningkatkan tutupan hutan di dalam maupun di luar kawasan hutan melalui reboisasi dan penghijauan dengan partisipasi aktif masyarakat • Melakukan pengawasan intensif terhadap pelaksanaan reklamasi areal eks pertambangan dan penetapan arealareal bernilai konservasi tinggi di unit manajemen kehutanan perkebunan • Menyelesaikan masalah kawasan hutan, pembangunan kelembagaan pengelolaan hutan (KPH), peningkatan peran konservasi • Revitalisasi kawasan hutan untuk kegiatan pengusahaan hutan skala besar, serta efisiensi dan pengembangan SFM serta SVLK bagi usaha kehutanan khususnya kawasankawasan yang tidak lagi produktif • Peningkatan luasan hutan tanaman khususnya pada kawasan hutan nonprodukitf • Pengembangan hutan berbasis masyarakat dan identifikasi praktekpraktek lokal/tradisional pengelolaan hutan dan hasil hutan 9. KOTA SAMARINDA • Meningkatkan tutupan hutan di dalam maupun di luar kawasan hutan melalui reboisasi dan penghijauan dengan partisipasi aktif masyarakat • Memperluas ruang terbuka hijau termasuk mendorong penanaman pohonpohonan di perkampungan, halaman perkantoran dan kebun pekarangangan. • Pengembangan sistem insentif bagi setiap upaya penyelamatan lingkungan perkotaan Samarinda dan perumusan pembayaran jasa lingkungan • Melakukan pengawasan intensif terhadap pelaksanaan reklamasi areal eks pertambangan 10. KABUPATEN • Membangun KLHS dan Tata Ruang Kabupaten MAHAKAM HULU • Membangun KPHL Kabupaten Mahakam Ulu • Mengembangkan Master Plan Infrastruktur Hijau • Membangun Perencanaan, kepastian hak atas lahan dan investasi Kampung Hijau • Mengembangkan komoditas kehutanan dan pertanian masyarakat • Mengembangkan HPH berkelanjutan melalui PHPL, SVLK dan FSC • Resotrasi kawasan terdegradasi Sumber: RKTP Kaltim 2012 - 2022; data tambahan
5.2 Penilaian hambatan utama REDD+ Mohon menggambarkan hambatan utama saat ini yang mencegah penanganan penyebab deforestasi dan/atau menghambat program konservasi dan peningkatan cadangan karbon.
Tidak dipungkiri daerah yang kaya sumber daya hutan dan sumber daya alam lainnya seperti Kalimantan Timur, tentulah mengandalkan pada eksploitasi kekayaan tersebut, yang mana risiko emisi juga tidak mungkin terelakkan. Meskipun demikian Kalimantan Timur telah bertekad serta bersungguh-sungguh untuk memberikan kontribusi yang bena dalam rangka pencapaian target dimaksud. Tantangan yang dihadapi guna implementasi Program PE di Kaltim ini, pertama kali adalah memberikan pemahaman kepada setiap pihak bahwa melaksanakan pengurangan emisi (sekaligus
upaya meningkatkan kapasitas penyerapan dan penyimpanan karbon) bukanlah sematamata dikarenakan insentif yang akan diterima dari pihak manapun, tetapi justru pada kepentingan menghindarkan kehancuran lingkungan dan masa depan generasi berikutnya. Program PE justru merupakan momentum yang paling tepat untuk melakukan perbaikan atas kesalahan pengelolaan hutan dan lahan selama ini, dimana dengan mewujudkan strategi dan rencana aksi seoptimal mungkin, secara jelas akan memberikan banyak keuntungan dari tinjauan berbagai perspektif, yaitu: (1) Dari sisi ekologi, implementasi SRAP REDD+ Kaltim jelas akan memperlambat laju deforestasi dan degradasi hutan di daerah ini, atau berarti memberikan garansi yang lebih besar bagi upaya pelestarian potensi, fungsi dan manfaat sumberdaya (integritas ekologi); (2) Dari sisi ekonomi, haruslah dipandang sebagai upaya menghindarkan eksploitasi berlebihan atas sumberdaya alam di daerah ini (efisiensi ekonomi) sehingga memberikan jaminan adanya keseimbangan antara pemanfaatan dan regenerasi sumberdaya alam terbaharui tersebut; (3) Dari sisi sosial, Program PE hanya mungkin dilaksanakan atas partisipasi semua pihak tidak terkecuali masyarakat lokal/adat di daerah ini yang selama ini terpinggirkan oleh investasi besar yang secara umum berorientasi sematamata profit yang tinggi. Partisipasi hanya mungkin diwujudkan jika ada distribusi peran dan keuntungan yang setara atau proporsional (keadilan sosial), baik secara langsung maupun tidak langsung; (4) Dari sisi budaya, pemberian ruang berpartisipasi kepada seluruh pihak/kelompok berkepentingan juga mengakomodasi pendekatan yang sesuai dengan tradisi atau budaya yang ada pada mereka (identitas kultural), karena sangat disadari bahwa efektifitas dan efisiensi SRAP REDD+ justru terletak pada inisiatif setempat atau dalam slogan yang sangat dikenal yaitu `bertindak lokal, berpikir global`. Meskipun demikian dikarenakan apa yang tertera dalam Program PE ini pada dasarnya adalah proses penghilangan sumbatan (debottlenecking) dari program pembangunan yang ada dan kemungkinan besar sulit untuk diserap oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), maka tantangan lainnya bagi implementasi Program PE Kaltim adalah pencarian sumbersumber pendanaan di luar APBN/APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah). Sejauh mana peran swasta dapat didorong atau dukungan dunia internasional baik melalui proyekproyek bantuan luar negeri maupun lewat forum yang diikuti Kaltim semacam GFC (Governors` Forum on Forest and Climate). Cepatnya Peraturan perundang-undangan berubah juga menjadi salah satu penyebab ketidakpastian di tingkat tapak. Keputusan Menteri Kehutanan No. 554/Menhut-II/2013, No. 942/Menhut-II/2013, dan No. 718/Menhut-II/2014, yang mengubah SK No. 79/II/2001, masih tetap menimbulkan multiinterpretasi, dan cepat berubah, sehingga menimbulkan ketidakpastian kawasan. Termasuk ketika ditilik pada penetapan kawasan hutan, berdasarkan data Direktorat Pengukuhan, Penatagunaan, dan Tenurial Kawasan Hutan, sampai dengan November 2013 (Ditjen Planologi Kehutanan, 2013), di Kalimantan Timur (termasuk Kalimantan Utara) telah ditetapkan 53 unit hutan dengan luas 813.312,84 ha, dan tata batas IUPHHK sepanjang 16.071,65 km, serta 7.959,1 ha untuk KHDKT Hutan Penelitian Labanan, Berau (dari 4 KHDTK yang ada). Ketidakpastian kawasan ini juga menyebabkan kerumitan dalam penegakan hukum. Dalam beragam peraturan teknis sendiri, kerap terjadi perubahan dalam waktu singkat, baik pada level Peraturan Menteri Kehutanan maupun Peratudan DIrjen, yang semakin membingungkan pada tingkat tapak. Sentralisasi pengelolaan Kehutanan sejak UU No. 5/1967 hingga UU No. 41/1999 jo UU No. 19/2004, telah memberikan ruang kosong dalam pengelolaan kawasan, sehingga menjadikan sebagian kawasan berhutan menjadi open-access. Jauhnya rentang kendali kewenangan kehutanan, merupakan akar utama dari ketiadaan tanggung gugat pengelolaan kawasan hutan, yang menyebabkan deforestasi terus terjadi. Ditambah dengan masih diperkenankannya usaha-usaha non-kehutanan di dalam kawasan hutan lindung, pinjam pakai kawasan hutan di kawasan hutan
produksi, dan masih terbatasnya ruang bagi masyarakat untuk mengelola kawasan hutan, juga meningkatkan deforestasi. Namun demikian, Pemprov Kaltim selalu berupaya untuk memberikan kepastian terhadap pelaksanaan pengelolaan kawasan hutan dan lahan di Kaltim, termasuk untuk memperkuat monitoring dan evaluasi penggunaan kawasan. Penerbitan Pergub No. 22 tahun 2011 dan Pergub Kaltim No. 17 tahun 2015, merupakan komitmen kuat Pemprov Kaltim dalam upaya perbaikan pengelolaan dan pengawasan perijinan berbasis hutan dan lahan di Kaltim.
5.3 Gambaran dan justifikasi kegiatan yang sedang dan akan dilaksanakan dalam Program PE yang diusulkan Mohon menggambarkan kegiatan dan kebijakan intervensi yang diusulkan dalam Program PE, termasuk yang terkait dengan tata kelola, dan berikan justifikasi bagaimana aktivitas tersebut akan dapat menanggulangi penyebab langsung dan ridak langsung deforestasi dan degradasi hutan dan/atau mendukung kecenderungan peningkatan cadangan karbon, untuk membantu menangani hambatan yang telah diidentifikasi di atas (Bagaimana Program PE berkontribusi pada upaya mengembalikan tingkat kelestarian sumberdaya yang ada saat ini dan/atau pola kebijakan yang cenderung merusak sumberdaya?)
Program pengurangan emisi yang akan difokuskan untuk menangani penyebab utama deforestasi di Kalimantan Timur. Berikut adalah kebijakan dan kegiatan yang akan dilakukan untuk mengurangi emisi di Kalimantan Timur. Tabel 3. Kegiatan Pengurangan Emisi yang direncanakan Lokasi Hutan Lindung
Strategi “Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Kritis di Kawasan Hutan Lindung”
1.
2. 3. 4. 5. 6. 7.
8. 9.
KSA/KPA
“Reboisasi dan 1. Rehabilitasi Lahan Kritis” 2. 3. 4.
5. 6.
Kegiatan Pengamanan dan penegakan hukum serta mempercepat pengukuhan kawasan hutan lindung Identifikasi kawasan hutan terdegradasi Pengetatan perizinan pertambangan Perencanaan, konsistensi RTRW Mempersiapkan kelembagaan pengelolaan tingkat tapak (KPH-Lindung) Mengidentifikasi potensi pemanfaatan dan pemungutan kawasan hutan lindung dalam rangka peningkatan ekonomi masyarakat sekitar hutan lindung Melakukan kajian: ekonomi, sosial dan budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan lindung. Pengembangan kapasitas SDM, kelembagaan dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan Identifikasi kawasan hutan terdegradasi Penyuluhan Pengamanan dan penegakan hukum Pemberdayaan masyarakat dengan pola kolaborasi serta identifikasi potensi pemanfaatan dan pemungutan kawasan hutan konservasi untuk peningkatan ekonomi masyarakat sekitar hutan Melakukan kajian: ekonomi, sosial dan budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan konservasi Pengembangan kapasitas SDM, kelembagaan dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan
Pelaksana Kemenhut, UPT Pusat terkait, Dishut Provinsi dan Kabupaten
Balai TN dan BKSDA
Lokasi
Strategi
Hutan Produksi yang belum dibebani izin Hutan Produksi Terbatas yang belum dibebani izin IUPHHKHA/HTI
“Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Kritis”
1. 2. 3. 4. 5.
Kegiatan Pengetatan perizinan pertambangan Perencanaan, konsistensi RTRW dengan mempercepat pengukuhan kawasan hutan konservasi Mempersiapkan kelembagaan pengelolaan tingkat tapak (KPHK) Pengamanan dan penegakan hukum Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan Pengetatan perizinan pertambangan Perencanaan, konsistensi RTRW Kelembagaan kehutanan (KPH)
“Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Kritis”
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Penyuluhan Pengamanan dan penegakan hukum Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan Pengetatan perizinan pertambangan Perencanaan, konsistensi RTRW Kelembagaan kehutanan (KPH)
“Penerapan Sustainable Forest Management dan High Conservation Value Forest serta Peningkatan Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Kritis”
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Gambut Kawasan Hutan
“Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Kritis”
Jalan
“Penghijauan dan Reboisasi”
7. 8.
9.
Penyuluhan Pengetatan perizinan pertambangan Perencanaan, konsistensi RTRW Kelembagaan kehutanan (KPH) Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan Melakukan rehabilitasi kawasan hutan produksi (seluas: ±25.000 Ha) 7. Melakukan pembinaan dan pengendalian terhadap realisasi penanaman paling rendah 50% dari luas areal tanaman, bagi pemegang IUPHHK pada HTI dalam hutan tanaman berdasarkan daur waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak diberikannya izin 8. Identifikasi kawasan hutan terdegradasi 9. Melakukan pengawasan yang efisien dan efektif terhadap pelaksanaan perizinan di bidang kehutanan 10. Melakukan review atas perizinan skala besar yang tidak aktif 11. Memfasilitasi terbentuk kemitraan antara masyarakat setempat dengan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan 12. Memfasilitasi masyarakat sekitar hutan dalam rangka memanfaatkan ruang tanaman kehidupan yang disediakan oleh pemegang IUPHHK-HT 13. Mendukung percepatan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari 14. Optimalisasi penerapan berbagai teknik silvikultur 15. Penerapan Reduced Impact Logging (RIL) 16. Pembuatan database potensi hasil hutan 1. Penyuluhan 2. Pengamanan dan penegakan hukum 3. Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan 4. Penataan kawasan Perencanaan jaringan jalan yang lebih baik
Pelaksana
Dinas Kehutanan
Dinas Kehutanan
Kemenhut, UPT Pusat Terkait, Dishut Provinsi dan Kabupaten
Dinas Kehutanan
Dinas Kehutanan Dinas PU/
Lokasi
Strategi
Kawasan Industri Kariangau
“Optimalisasi Penghijauan pada Areal Kawasan Industri Kariangau” Perkebunan “Penerapan good agriculture practices dan HCV” serta “Penerapan Metode Pembukaan Lahan Tanpa Bakar”
Pemukiman, “Penghijauan dan Fasos, Reboisasi” Fasum, Lahan Garapan Masyarakat Pertambang “Peningkatan Rasio an Lahan yang Rehabilitasi dan Reklamasi”
Kegiatan Pengawasan kawasan
1.
Mendorong percepatan pembangunan perkebunan yang diprioritaskan di areal-areal rendah karbon (seluas ±700.000 ha) 2. Penyiapan sarana dan prasarana 3. Pemberdayaan masyarakat (CSR) 4. Penyediaan kelembagaan, sarana dan prasarana kebakaran hutan dan lahan 5. Pembentukan kolompok masyarakat sadar api 6. Identifikasi lahan terdegradasi 7. Mendukung pemanfaatan lahan-lahan dengan kandungan karbon rendah untuk kepentingan budidaya pertanian dan perkebunan 8. Moratorium pemberian izin baru di areal Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut 9. Optimalisasi pemanfaatan lahan tidur masyarakat untuk pengembangan pertanian dan perkebunan 10. Pembinaan dan pengendalian atas pelaksanaan perizinan di bidang perkebunan dan pertanian 1. Perencanaan kawasan yang lebih baik Dinas 2. Pengawasan kawasan Kehutanan 3. Penyuluhan peningkatan partisipasi masyarakat Dinas PU/ Kimpraswil
1. 2. 3. 4.
5. 6.
7. 8.
Gambut Non Kawasan Kehutanan Unit Rencana Lainnya Kehutanan
“Penghijauan”
“Penghijauan dan Reboisasi” “Tidak Ada Penerbitan
Pelaksana Kimpraswil Dinas Kehutanan Dinas PU/ Kimpraswil Dinas Perkebunan Provinsi dan Kabupaten, Badan Lingkungan Hidup Provinsi dan Kabupaten DInas Pertanian Provinsi dan Kabupaten.
1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 1.
Pembatasan produksi batubara Pengetatan perizinan baru Pengawasan dan penegakan hukum Pembinaan dan pengendalian terhadap penerapan system pertambangan yang baik dan benar (good mining practise) oleh pemegang perizinan di bidang pertambangan Identifikasi kawasan hutan dan lahan pasca tambang yang siap direhabilitasi Percepatan rehabilitasi dan revegetasi pasca tambang di dalam dan di luar kawasan hutan (seluas: ± 950.000 ha) Mereview perizinan di bidang pertambangan yang telah diberikan. Melakukan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban sesuai kontrak karya pemegang perizinan di bidang pertambangan Penyuluhan Pengamanan dan penegakan hukum Pemberdayaan masyarakat setempat Perencanaan, konsistensi RTRW Perencanaan kawasan yang lebih baik Pengamanan dan penegakan hukum Penyuluhan peningkatan partisipasi masyarakat Pengawasan dan penegakan hukum
Dinas Pertambanga n Provinsi dan Kabupaten, Badan LH Provinsi dan Kabupaten, Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten
Dinas Kehutanan
Lokasi dan Non Kehutanan
Strategi Izin Usaha pada Kawasan Moratorium (Gambut maupun Non Gambut)
Kegiatan 2. Pemberdayaan masyarakat setempat
Pelaksana
6. BERBAGI INFORMASI ANTAR PIHAK, KONSULTASI, DAN PARTISIPASI 6.1 Keterlibatan parapihak saat ini dalam Program PE yang diusulkan Mohon menjelaskan bagaimana pihak-pihak kunci dilibatkan dalam penyusunan Program PE, dan mohon memberikan ringkasan isuisu yang disampaikan oleh parapihak tersebut, dan bagaimana isuisu tersebut akan ditangani dalam Program PE hingga saat ini, dan upaya penanganan di kemudian hari.
Penyusunan Program PE telah dimulai sejak awal 2014 dengan meliba6kan banyak phak. Dalam rangka penyusunan proposal awal Carbon Fund, pada tanggal 17 April 2014, mengambil lokasi di IPB International Convention Centre-Bogor, telah dilaksanakan “Pertemuan Para Pihak Dalam Rangka Penyusunan Proposal FCPF Carbon Fund Emissions Reduction Program Idea Note (ER-PIN)”. Pertemuan ini merupakan pertemuan yang melibatkan para pihak yang merupakan aktor-aktor utama terkait pelaksanaan REDD+ di tingkat nasional dan daerah. Pihak-pihak yang hadir diantaranya dari BP REDD+, World Bank, TNC, FORCLIME-GIZ, CIFOR, ICRAF, Direktur IPSDH Dirjen Planologi, Direktur PJLKKHL Dirjen PHKA, DNPI, Biro Perencanaan, Universitas Mulawarman, Universitas Palangkaraya, Peneliti-peneliti Puspijak, Dirut PT. Rimba Makmur Utama, BAPPENAS, Pokja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan, WWF, IAFCP, Pusat KLN Kementerian Kehutanan dan Perwakilan dari tim INCAS. Pada tanggal 22 April 2014 bertempat di Badan Pengelola REDD+ dilaksanakan diskusi para pihak dalam pemilihan kabupaten-kabupaten yang akan diikutsertakan dalam program FCPF Carbon Fund. Dalam kegiatan pemilihan kabupaten-kabupaten yang akan dijadikan lokasi FCPF Carbon Fund ini dihasilkan 7 (tujuh) kabupaten potensial yaitu Kabupaten: (1) Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah; (2) Toli-toli, Provinsi Sulawesi Tengah; (3) Berau, Provinsi Kalimantan Timur; (4) Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur; (5) Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah; (6) Merangin, Provinsi Jambi; dan (7) Bungo, Provinsi Jambi. Namun demikian masih diperlukan konfirmasi kesediaan dari kabupaten potensial tersebut serta kelengkapan data dan informasi untuk menyusun ER-PIN. Sebagai tindak lanjut dari pertemuan “Pertemuan Para Pihak Dalam Rangka Penyusunan Proposal FCPF Carbon Fund Emissions Reduction Program Idea Note (ER-PIN)” yang dilaksanakan pada 17 April 2014 dan proses pemilihan kabupaten yang dilaksanakan pada tanggal 22 April 2014 , Puspijak kembali melaksanakan pertemuan lanjutan yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan memilih daerah yang akan menjadi lokasi implementasi Carbon Fund di IPB International Convention Centre Bogor, 29-30 April 2014. Pertemuan kali ini difasilitasi kembali oleh Puspijak dan Badan Pengelola REDD+. Di akhir pertemuan terpilih tujuh kabupaten yaitu: Kabupaten Merangin, Kabupaten Bungo, Kabupaten Kapuas, Kabupaten Berau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Toli-toli, dan Kabupaten Donggala. Ketujuh kabupaten tersebut dipilih karena dianggap berkomitmen untuk mengikuti proses yang harus ditempuh dalam penyusunan Emission Reduction-project Idea Note (ER-PIN) termasuk pengumpulan data-data yang dibutuhkan.
Pada tanggal 6 Mei 2014 dilaksanakan pertemuan terbatas di kantor World Bank Jakarta untuk membahas lokakarya penulisan ER-PIN yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 – 10 Mei 2014 dan disepakati bahwa pada lokakarya tersebut ketujuh kabupaten akan difasilitasi untuk melengkapi form ER-PIN yang telah disiapkan. Kegiatan lokakarya akhirnya dilaksanakan pada tanggal yang telah direncanakn bertempat di kantor BP REDD+. Dalam lokakarya tersebut disepakati beberapa hal terkait dengan proses penyusunan Reference Emission Level (REL) dan kelembagaan di daerah dalam pelaksanaan program pengurangan emisi dalam kerangka FCPF Carbon Fund. Hasil lokakarya tersebut menjadi dasar penulisan dokumen ER-PIN. Untuk meningkatkan proses transparansi penyusunan ER-PIN dan agar ER-PIN dapat diketahui dan difahami oleh para pihak yang lebih luas, maka Puspijak melalui Kegiatan FCPF: REDD+ Readiess Preparation dengan dukungan BP REDD+ melakukan komunikasi publik kepada para pihak terkait pada tanggal 19 Mei 2014 di Hotel Grand Sahid Jakarta. Tujuan dari kegiatan ini dimaksudkan untuk memfasilitasi pertemuan para pihak di level nasional untuk mengkomunikasikan, mendiskusikan dan memberikan pemahaman proses penyusunan ER-PIN. Luaran yang diharapkan dari pertemuan tersebut adalah terbangunnya pemahaman dan dukungan para pihak dalam penyampaian ER-PIN kepada World Bank. Sehubungan dengan hasil CF11 di Washington 6 – 8 Oktober 2014 yang merekomendasikan pemilihan lokasi yang lebih kompak agar lebih mudah mengelola dan meningkatkan peluang keberhasilan Program PE, maka telah dilaksanakan dua kali pertemuan untuk membahas ini. Pertemuan pertama dilaksanakan pada Januari 2015 di BP REDD+ dan menghasilkan rekomendasi 3 cluster untuk dipilih salah satu menjadi lokasi Carbon Fund, yaitu Cluster Jambi, Cluster KaltimKalteng, dan Cluster Sulteng. Kegiatan ini diikuti oleh perwakilan Puspijak, BP-REDD+, Bank Dunia, TNC, WWF, Pustanling dan beberapa organisasi lainnya. Untuk menindaklanjuti rekomendasi ini, maka pada tangga 22 September 2015 dilaksanakan sekali lagi pertemuan tim inti penyusunan ERPIN Carbon Fund yang dihadiri oleh perwakilan dari Puslitbang Sosekjakpi (sebelumnya bernama puspijak), perwakilan bank dunia, dan perwakilan WWF untuk membahas opsi lokasi untuk Carbon Fund. Dengan pertimbangan aspek teknis dan politis, dalam kesempatan ini kemudian disepakati bahwa lokasi Carbon Fund adalah Provinsi Kalimantan Timur. Sebagai tindak lanjut pertemuan CF ke 11, dokumen ER-PIN telah diperbaiki kembali sesuai konsep yang telah dipresentasikan, melalui keterlibatan berbagai pihak pada tanggal 27-28 Oktober 2015 di Samarinda, Kalimantan Timur. Proses selanjutnya adalah komunikasi publik dokumen ER-PIN di tingkat Provinsi Kalimantan Timur. Komunikasi publik tingkat provinsi merupakan upaya untuk mengkomunikasikan sekaligus memberikan kesempatan para pihak di Provinsi Kalimantan Timur untuk memberikan masukan bagi dokumen ERPIN. Komunikasi publik dilaksanakan pada tanggal 20 November 2015 di Balikpapan, Kalimantan Timur.
6.2 Rencana diseminasi dan proses konsultasi Mohon dideskripsikan bagaimana kelompok-kelompok parapihak akan berpartisipasi dalam penyusunan dan implementasi program PE dan sejauh mana FPIC kepada masyarakat mendukung program PE termasuk kelembagaan distribusi manfaat. Mohon didesripsikan bagaimana proses ini akan menghormati pengetahuan dan hakhak atas masyarakat adat dan lokal dengan mempertimbangkan amanat internasional yang relevan, kondisi nasional, dan hukum.
Proses penyusunan revisi ER-PIN dimulai dengan audiensi kepada Gubernur Kalimantan Timur pada tanggal 9 Oktober 2015. Pada pertemuan tersebut, Gubernur Kalimantan Timur, Dr. Awang Faroek, mendukung sepenuhnya proses penyusunan program PE dalam kerangkan Carbon Fund di Kalimantan Timur dan menunjuk Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) sebagai pelaksananya. Hasil pertemuan ini kemudian dibawa oleh delegasi Indonesia dalam pertemuan CF ke-13 di Brussels. Dari pertemuan CF13 tersebut, negara-negara peserta CF mengapresiasi langkah-langkah Indonesia dan
mengerti mengapa terjadi keterlambatan proses penyusunan ER-PIN karena proses restrukturisasi kementerian lingkungan hidup dan kehutanan. Untuk menindaklanjuti pertemuan tersebut, dan untuk mempercepat proses penyusunan ER-PIN maka pada tanggal 27 - 28 Oktober 2015 dilaksanakan pertemuan parapihak untuk menyusun dokumen revisi ER-PIN di Samarinda, Kalimantan Timur. Pertemuan dihadiri oleh perwakilan dari Puslitbang Sosekjakpi – Badan Litbang dan Inovasi, DDPI Kaltim, Dinas Kehutanan Provinsi Kaltim, Dinas Perkebunan Provinsi Kaltim, Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kaltim, dan perwakilan mitra DDPI seperti TNC, WWF, GGGI, dan INOBU. Rencana selanjutnya adalah melaksanakan konsultasi public draft revisi ER-PIN di itngkat daerah yang akan dilaksanakan pada tanggal 19 November 2015 di Balikpapan. Kemudian akan dilanjutkan dengan revisi draft berdasarkan masukan dari konsultasi public tersebut untuk disampaikan pada konsultasi publik tingkat nasional yang akan dilaksanakan pada tanggal 1 Desember 2015 di Jakarta.
7. PERENCANAAN OPERASIONAL DAN PENDANAAN 7.1 Kelembagaan Mohon menjelaskan kelembagaan tata kelola yang direncanakan atau sudah ada saat ini untuk mengelola program PE (panitia, satgas), dan kelembagaan parapihak terkait dengan Program PE (yaitu siapa saja yang berpartisipasi dalam program PE, dan bagaimana, termasuk peran LSM dan masyarakat sekitar hutan)
Kelembagaan diusulkan untuk Program PE ini dirancang untuk: (1) memfasilitasi koordinasi antar pemangku kepentingan; (2) memastikan efektivitas dan efisiensi mekanisme pembagian keuntungan; (3) menjamin partisipasi setiap pemangku kepentingan; (4) penyesuaian dengan program REDD+ nasional; dan (5) memfasilitasi koordinasi program di seluruh kabupaten yanga ada di Kaltim. Para pemangku kepentingan utama di tingkat nasional dan peran mereka adalah sebagai berikut: 1. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan menjadi lembaga manajemen utama dari Program PE dan akan mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan di Kaltim. KLHK juga akan memberikan bantuan teknis terbatas untuk mempersiapkan provinsi dalam melaksanakan program PE mereka, sebagian melalui Dana Kesiapan FCPF (FCPF Readiness Fund). 2. Bappenas akan mendukung Program PE dan memasukkan ke dalam program nasional untuk penurunan emisi GRK untuk mendukung pembangunan rendah emisi karbon. Bappenas juga dapat memantau pelaksanaan dukungan untuk pengembangan KPH. 3. Kementerian Keuangan akan membantu merancang kerangka hukum untuk mekanisme pembagian keuntungan. Kementerian Keuangan juga penting untuk pengembangan mekanisme insentif untuk pemerintah provinsi dan kabupaten. 4. Departemen Dalam Negeri dapat memainkan peran penting dalam pembagian manfaat, melalui fasilitasi dana perimbangan dan program PNPM. 5. Nasional Kehutanan Dewan (Dewan Kehutanan Nasional) adalah perwakilan dari organisasi masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah yang bekerja di bidang kehutanan dan akan mendukung pelaksanaan Program PE dengan mempromosikan dimasukkannya masyarakat setempat dan pihak lain yang terkena dampak. Para pemangku kepentingan utama di tingkat provinsi dan kabupaten dan peran mereka adalah sebagai berikut: 1. Dewan Daerah Perubahan Iklim akan menjadi focal point dan koordinator pelaksanaan program PE di Kalimantan Timur.
2.
Bappeda Provinsi Kaltim akan mendukung Program PE dan memasukkan ke dalam program daerah untuk penurunan emisi GRK untuk mendukung pembangunan rendah emisi karbon di Kaltim. 3. Badan Lingkungan Hidup akan mendukung pelaksanaan PE dengan melakukan pemantaun dan pelaporan pengurangan emisi 4. Dinas Kehutanan Provinsi akan memberikan dukungan untuk Program PE dan memasukkan ke dalam rencana pengelolaan hutan lestari di tingkat provinsi, termasuk manajemen KPH. Dalam hal ini KPH akan mengkoordinasikan kegiatan pelaksanaan di tingkat tapak. 5. Bappeda Kabupaten akan bertanggung jawab untuk memastikan program PE dapat diimplementasikan dan dipantau dan akhirnya diintegrasikan ke dalam Program REDD+ provinsi. 6. Dinas Perkebunan Provinsi Kaltim akan mendukung pelaksanaan pengurangan emisi dalam kerangka pembangunan perkebunan, khususnya kelapa sawit 7. Dinas Pertambangan dan Energi akan mendukung pelakansaan program PE di kawasan pertambangan 8. Lembaga desa akan mendukung pelaksanaan program dan partisipasi masyarakat lokal dalam program 9. Masyarakat adat akan berpartisipasi dalam pelaksanaan Program dan akan menjadi penerima utama investasi dan insentif 10. LSM lokal akan mendukung KPH dan pemerintah kabupaten dalam mempersiapkan dan melaksanakan program ER, melalui dukungan teknis dan keuangan 11. Mitra Program, nasional, dan LSM internasional, akan mengelola, dana dan mengkoordinasikan Kegiatan PE di tingkat provinsi/kabupaten/KPH bekerjasama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten.
7.2 Menghubungkan kelembagaan program PE dengan kerangka implementasi REDD+ nasional Mohon menjelaskan bagaimana kelembagaan untuk program PE yang diusulkan sejalan dengan kerangka REDD+ nasional
Kelembagaan yang diusulkan langsung menghubungkan program PE ke KLHK yang memiliki mandat untuk membantu Presiden dalam koordinasi, perencanaan, manajemen, pemantauan, dan pengawasan kegiatan REDD+. KLHK, berdasarkan UU No. 41/1999, memiliki legitimasi dan kapasitas untuk mengelola dan melaksanakan program REDD+. Program ini juga memberikan peran penting kepada pemerintah provinsi dan kabupaten, yang akan memiliki peran penting dalam menerapkan pendekatan Indonesia untuk REDD+, yang didasarkan pada perhitungan nasional dan implementasi sub-nasional. Juga peran KPH dalam program ini, termasuk peran jasa hutan di tingkat provinsi dan kabupaten. 7.3 Kapasitas lembaga dan organisasi yang terlibat dalam pelaksanaan program PE yang diusulkan Mohon menjelaskan bagaimana institusi dan organisasi yang diidenfikasi di bagian 3.1 memiliki kapasitas (baik teknis maupun keuangan) untuk melaksanakan program PE yang diusulkan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan menjadi lembaga pengelola utama dan akan memberikan bimbingan dan pengawasan atas Program PE. KLHK mengelola anggaran yang signifikan dan juga telah menerima hibah dari beberapa donor internasional. Direktur Jenderal Penaggulangan Perubahan Iklim akan menjadi mitra utama Badan Litbang dan Inovasi dalam melaksanakan Program PE dalam kerangka CF ini. Direktorat Pengelolaan Wilayah Dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, yang merupakan bagian dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, bertanggung jawab untuk mendukung pembentukan KPH dan akan menjadi mitra kunci juga dalam Program PE. Pusat LItbang Sosial Ekonomi, Kebijakan, dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) adalah sebuah pusat di Badan LItbang dan Inovasi (BLI). Tugasnya alah melaksanakan
penelitian tentang aspek social ekonomi, kebijakan perubahan iklim dan pelaksanaan program REDD+, termasuk Program Kesiapan FCPF Indonesia. Dewan Daerah Perubahan Iklim Provinsi Kalimantan Timur adalah mitra kunci potensial untuk melaksanakan Program PE. DDPI merupakan lembaga multipihak yang telah melakukan koordinasi perencanaan dan implementasi pembangunan rendah emisi di Provinsi Kalimantan Timur. Memiliki pengalaman yang signifikan (dan infrastruktur operasional) dalam pengelolaan pendanaan donor untuk pembangunan yang dilaksanakan oleh para pihak, terutama yang berbasis masyarakat. Nasional Kehutanan Dewan (DKN) adalah badan perwakilan multi-stakeholder yang dirancang untuk mengatur proses konsultatif dan memberikan saran kebijakan kepada Pemerintah. DKN didirikan pada Kongres Kehutanan Indonesia Keempat pada tahun 2006. DKN adalah organisasi berbasis konstituen dan disusun dalam lima kamar yang dirancang untuk mewakili kelompok stakeholder utama di sektor kehutanan: pemerintah, masyarakat, bisnis, akademisi, dan LSM (termasuk perwakilan 'organisasi adat’). Diakui dan dihormati secara luas, mandat DKN adalah membantu perumusan kebijakan yang efektif melalui peningkatan komunikasi antara pemangku kepentingan, peningkatan kesepakatan tentang masalah-masalah kehutanan yang penting, dan meningkatkan penyebaran informasi tentang kinerja sektor kehutanan. Tahap desain Program PE akan mengidentifikasi mitra yang kuat di tingkat provinsi. Organisasi masyarakat sipil dengan pengalaman dalam bekerja sama dengan masyarakat lokal dan pemerintah daerah dalam penegakan hukum dan tata kelola hutan, reformasi hutan dan penguasaan lahan, dan pengembangan lahan terdegradasi, akan menjadi mitra penting dalam memberikan bantuan teknis dan melaksanakan kegiatan PE. Mitra pelaksana akan dipilih berdasarkan kemampuan mereka untuk bekerja secara sektoral, untuk mendampingi masyarakat, dan untuk melaksanakan kegiatan proyek. 7.4 Langkah selanjutnya untuk menyelesaikan desain pelaksanaan program PE yang diusulkan (REL/FRL, sistem pemantauan Program PE, pendanaan, tatakelola, dll.). Berikan estimasi tatawaktu untuk masingmasing tahapan.
Januari 2016 ke September 2017: Penyusunan Dokumen Program dan Investasi REDD+ 1. Penyampaian FCPF ReadinessPackage pada Komite Peserta FCPF, termasuk REL/FRL, Sistem Pemantauan REDD+ Nasional, dan ESMF 2. Rancangan program harus berdasarkan konsultasi publik 3. Rencana Safeguards 4. Rencana Pembagian Manfaat 5. Penilaian FGRM 6. Penilaian lahan 7. Kesiapan Investasi REDD+ dan persiapan Program PE Oktober 2017: Penyampaian Dokumen Program FCPF CF Januari 2018 sampai tahun 2025: Implementasi Program CF 1. Penandatanganan ERPA 2. Pelaksanaan Program PE 3. Verifikasi Tahunan PE dan pembayaran berbasis kinerja 4. Transisi ke sumber pembayaran PE lainnya 2025 - 2030: pembayaran berdasarkan kinerja dari REDD+ Indonesia dan sumber-sumber potensial lainnya
7.5 Rencana Pendanaan (dalam juta US$) Mohon mendeskripsikan tata kelola keuangan dari program PE yang diusulkan termasuk potensi sumber dana. Tata kelola keuangan ini harus mencakup pendanaan jangka pendek dan panjang. Jika program PE yang diajukan merupakan kegiatan yang sedang berjalan yang didanai oleh donor atau bank pembangunan multilateral, jelaskan secara detil program tersebut, termasuk tata waktu pendanaannya. Gunakan tabel di lampiran untuk menyusun ringkasan rencana keuangan awal.
Pendanaan Program PE dapat dimobiilisasi dari potensi dana yang berasal dari berbagai sumber, potensi pengguna dan penggunaan yang beragam, dan tata kelola yang multi-pihak. Sumber pendanaan dan skema-skema yang dapat dikembangkan untuk pendanaan meliputi: 1. Pemerintah, yang berasal dari anatara lain: a. Penganggaran pelaksanaan SRAP dialokasikan melalui kerangka keuangan negara dalam bentuk APBN, APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota; b. Pendanaan melalui kerjasama antara Pemerintah Asing dengan Pemerintah Indonesia, seperti LoI Indonesia dan Pemerintah Norwegia; GIZ FORCLIME, GIZ SFF, di Provinsi Kaltim; c. Pendanaan melalui Bank Dunia melalui hibah dan hutang berbunga ringan melalui Forest Invesment Program (FIP); d. Pendanaan melalui kerjasama Pemerintah dengan lembaga donor asing, seperti Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF); e. Pendanaan melalui Debt for Nature Swap seperti Tropical Forest Conservation Act (TFCA) di Kabupaten Berau dan Kutai Barat. 2. Swasta, yang berasal dari antara lain: a. Pendanaan dari alokasi dana Corporate social responsible (CSR) dan Community Development (Comdev) yang dikhususkan untuk kegiatan terkait REDD+; b. Pendanaan dari kegiatan-kegiatan restorasi ekosistem yang dikelola pihak swasta; c. Pendanaan dari kegiatan pengembangan Jasa Lingkungan yang dikelola pihak swasta; d. Pendanaan dari konstribusi/partisipasi/hibah pihak swasta dalam bidang lingkungan hidup; e. Pendanaan dari investor yang tertarik untuk mendorong dan/atau mendapatkan manfaat dari program/proyek/kegiatan REDD+ di Kaltim; 3. Lainnya, yang berasal dari antara lain: a. Pendanaan dari lembaga atau donor yang tertarik untuk mendorong dan/atau mendapatkan manfaat dari program/proyek/kegiatan REDD+ di Kaltim; b. Pendanaan dari individu dan kelompok sosial yang secara sukarela tertarik untuk mendorong dan/atau mendapatkan manfaat dari program/proyek/kegiatan REDD+ di kaltim. Untuk menjaga kredibilitas dan akuntabilitas dari mekanisme instrumen Pendanaan Program PE berjalan secara transparan, perlu dilakukan audit yang dilakukan secara berkala oleh lembaga independen yang difasilitasi lembaga pelaksana Program PE (DDPI). Laporan keuangan dari pelaksanaan pendanaan Program PE dan laporan hasil audit disampaikan kepada DDPI diteruskan ke Gubernur dan disebarluaskan kepada publik. Rencana pendanaan Program PE di Kalimantan Timur dipaparkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Rencana Pendanaan Program PE Lokasi
Strategi Pengurangan Emisi
Hutan Lindung
“Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Kritis di Kawasan Hutan Lindung” “Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Kritis”
KSA/KPA
Perkiraan Biaya (Miliar Rupiah) 168
Sumber Dana
Perkiraan Biaya per tCO2e (Rp)
APBN/APBD
20.488
168
APBN/APBD
88.421
Hutan Produksi yang belum dibebani izin Hutan Produksi Terbatas yang belum dibebani izin IUPHHK-HA/HTI
“Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Kritis”
200
APBD/APBN
26.667
“Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Kritis”
150
APBD/APBN
166.667
50
APBN/APBD
29.412
250
“Penghijauan dan Reboisasi” “Optimalisasi Penghijauan pada Areal Kawasan Industri Kariangau” “Penerapan good agriculture practices dan HCV” serta “Penerapan Metode Pembukaan Lahan Tanpa Bakar” “Penghijauan dan Reboisasi”
50 10
APBD/APBN APBD/APBN APBD/APBN/Swasta
250.000
Jalan Kawasan Industri Kariangau
216
APBN/APBD/Swasta
6.225
50
APBD/APBN
40.000
144
APBN/APBD
823.779
48
APBD/APBN
208.696
55 58
APBD/APBN APBD/APBN
125.000 127.632
“Penerapan Sustainable Forest Management dan High Conservation Value Forest serta Peningkatan Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Kritis” Gambut Kawasan Hutan “Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Kritis”
Perkebunan
Pemukiman, Fasos, Fasum, Lahan Garapan Masyarakat Pertambangan Gambut Non Kawasan Kehutanan Unit Rencana Lainnya Kehutanan dan Non Kehutanan
“Peningkatan Rasio Lahan yang Rehabilitasi dan Reklamasi” “Penghijauan” “Penghijauan dan Reboisasi” “Tidak Ada Penerbitan Izin Usaha pada Kawasan Moratorium (Gambut maupun Non Gambut)
Total USD
100.000 41.000
1.617 118 juta
8. TINGKAT ACUAN DAN PENGURANGAN EMISI YANG DIHARAPKAN 8.1 Pendekatan penyusunan Tingkat Emisi Acuan (Reference Emission Level/REL) dan/atau Tingkat Acuan Hutan Mohon secara ringkas mendeskripsikan bagaimana REL/FRL untuk program PE yang diajukan dibangun. Jelaskan bagaimana pendekatan tersebut konsisten denfan panduan UNFCCC yang terbaru dan dengan kerangka metodologi FCPF Carbon Fund, dan dengan REL/FRL nasional (atau dengan pendekatan nasional untuk penyusunan REL/FRL).
FREL tingkat dekomposisi 2012. Data dekomposisi
nasional telah disepakati untuk memasukkan unsur deforestasi, degradasi hutan, dan gambut. Data yang digunakan adalah rata-rata emisi dari tahun 1990 sampai dengan ini kemudian diestimasikan untuk tahun 2013 hingga tahun 2020. Khusu untuk gambut, ada penambahan dari warisan emisi tahun sebelumnya sehingga angka emisi
dari dekomposisi gambut dari tahun ke tahun diperkirakan meningkat. Tabel 5 memaparkan perhitungan FREL nasional. Tabel 5. Tingkat Referensi Emisi Hutan (tCO2e)
8.2 REL/FRL yang diharapkan untuk Program PE Mohon memberikan estimasi REL/FRL untuk wilayah program PE yang diajukan. Bahkan estimate paling awal pun akan sangat membantu.
Untuk Program PE di Kalimantan Timur, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis, sama dengan FREL nasional dan dataset yang digunakan adalah data yang sama dengan yang dipakai dalam penghitungan FREL nasional. Metode yang digunakan adalah sistem ABACUS yang dikebangkan oleh ICRAF. REL untuk program PE di Kalimantan Timur dipaparkan pada Tabel 6. Tabel 6. REL Program PE Kalimantan Timur Year 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
Deforestation 30,301,063 30,043,523 63,769,726 63,526,968 63,260,479 62,969,316 62,653,000 62,311,632 61,945,990 61,557,607 61,148,803 60,722,668 60,282,989
Forest Degradation 306,125 306,125 306,125 306,125 306,125 306,125 306,125 306,125 306,125 306,125 306,125 306,125 306,125
Peat Decomposition 1,130,727 1,130,727 1,130,727 1,130,727 1,130,727 1,130,727 1,130,727 1,130,727 1,130,727 1,130,727 1,130,727 1,130,727 1,130,727
Total Annual Emission 31,737,915 31,480,375 65,206,578 64,963,820 64,697,331 64,406,168 64,089,852 63,748,484 63,382,842 62,994,459 62,585,655 62,159,520 61,719,841
9. SISTEM PEMANTAUAN HUTAN
38
9.1 Deskripsi pendekatan dan kapasitas untuk pengukuran dan pelaporan PE Mohon mendesripsikan usulan pendekatan untuk pemantauan dan pelaporan pengurangan emisi yang terkait dengan Program PE yang diajukan, termasuk kapasitas lembagalembaga pelaksana Program PE yang diajukan untuk melaksanakan pendekatan tersebut.
Pendekatan Program PE untuk pengukuran dan pelaporan akan disesuaikan dengan pendekatan nasional, akan membangun kapasitas dan sistem yang ada untuk pemantauan hutan, dan akan dirancang melalui proses konsultatif dan partisipatif selama Fase Desain Program. Estimasi emisi didasarkan pada Pedoman IPCC (2006) bahwa tutupan lahan dibagi menjadi enam kelas, yaitu lahan hutan (FL), lahan pertanian (CL), padang rumput (GL), lahan basah (WL), pemukiman (S) dan lahan lainnya (OL). KLHK memiliki kemampuan untuk melakukan analisis perubahan lahan untuk menghasilkan Perubahan Matrix Tanah (LCM) per tahun menggunakan 23 kelas tutupan lahan. Untuk mendukung pemantauan program PE, analisis matriks perubahan lahan dua tahunan akan dilakukan untuk Kalimantan Timur. Data aktivitas akan diperoleh dari citra satelit untuk menghasilkan penutupan lahan minimal 2 tahunandengan menggunakan citra resolusi sedang sehingga memungkinkan untuk melakukan pemantauan secara periodic dengan biaya terjangkau. Cek lapangan juga akan dilakukan untuk memastikan akurasi dari penutupan lahan yang dihasilkan dari penafsiran citra satelit. Pengukuran dilapangan dilakukan sebagai bagian dari National Forest Inventory (NFI) yang telah dibangun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sejak tahun 1995. Kementerian LHK membangun plot permanen di seluruh Indonesia kecuali Jawa. NFI sebenarnya awalnya ditujukan untuk mengetahui riap volume pertumbuhan hutan di seluruh Indonesia Namun dalam perkembangannya data ini dapat pula dimanfaatkan untuk kebutuhan penghitungan factor emisi dan factor serapan Indonesia. Data dari NFI ini akan diperkaya dengan data dari sumber lain seperti Plot permanen STREK dan lainnya untuk membangun factor emisi Kaltim. Diharapkan kegiatan MRV akan dilakukan untuk wilayah accounting secara dwi-tahunan, dengan yang pertama MRV pada bulan Desember 2021, dan yang kedua Desember 2023, dan terakhir MRV (untuk tujuan CF) pada bulan Desember 2025. Hal ini akan memungkinkan untuk Pembayaran 3 kali PE terjadi selama rentang waktu Program CF. Sumber daya manusia di Kalimantan Timur memiliki kapasitas untuk melakukan pemantauan dan pelaporan. Namun, pengaturan kelembagaan untuk MRV di tingkat provinsi masih perlu diperkuat sebagaimana telah dijelaskan dalam Bagian 7.1., dan ini akan dilakukan dalam tahap pengembangan program. Sistem informasi akan dibangun untuk memudahkan akses para pengguna atau instansi yang terlibat dalam penghitungan emisi karbon dan pemantauan hutan. Untuk ini diperlukan sebuah protocol untuk mengatur lalu lintas data dan informasi yang diperlukan dalam penghitungan emisi. Sistem informasi ini juga penting sebagai alat untuk memantau jalannya proyek sehingga bila ditemukan permasalahan akan dapat dengan mudah dan cepat dicarikan solusi permasalahannya. Sistem informasi juga dibutuhkan untuk memberikan informasi kepada para pihak lainnya yang terdiri atas instansi pemerintah, perusahaan, dan masyarakat. Hal ini penting untuk memastikan control dari para pihak terkait jalannya proyek ini. Jika ada suatu masalah yang terjadi dilapangan maka akan dapat dengan mudah terdeteksi dan segera dicarikan solusi permasalahnnya. Sistem informasi yang dibangun akan memasukkan informasi spasial yang sangat penting dalam perencanaan dan pemantauan kegiatan. Informasi spasial sangat penting untuk memberitahukan lokasi kegiatan dan lokasi kejadian yang berpengaruh terhadap emisi gas rumah kaca. Sistem informasi yang dibangun juga perlu melakukan update secara regular sehingga dapat dilakuakn earlu respon jika terjadi kejadian yang akan meningkatkan emisi.
39
Dengan pendanaan GCF, pada tahun 2014, Kalimantan Timur bekerjasama dengan Michigan State University, Kementerian LHK, Badan Informasi Geospatial, dan The Nature Conservancy, membangun sistem inventarisasi, pemetaan karbon dan teknik MRV untuk tingkat provinsi. Sistem yang deikembangkan adalah: 1. Pengembangan dari forest carbon inventory Toolbox. Pengembangan on line Toolbox yang mendukung pengumpulan, organisasi dan pemanfaatan data dan informasi untuk pelaporan pengukuran karbon REDD + dan verifikasi. Gambaran umum dari fungsi Toolbox antara lain: a. GCF Forest Carbon Inventory Tool: system inventory karbon hutan yang meliputi seperangkat alat yang dirancang untuk mengatur dan mengelola data yang diperlukan untuk memperkirakan stok karbon hutan. Komponen inti dari sistem ini adalah: i. Project information management toolkit ii. Plot sample design toolkit iii. Geographic data management toolkit iv. Forest carbon measuring toolkit v. Plot inventory manager vi. Allometric equation library vii. Forest carbon (Emission Factor) reporting b. Project Information Management Tool. Toolkit manajemen informasi proyek menetapkan informasi manajemen proyek termasuk peran dan tanggung jawab tim. Hal ini juga mendefinisikan satu set parameter proyek (wilayah, negara, jenis tanah dan zona iklim, serta durasi dalam tahun) yang digunakan dalam Emisi Sistem Activity Data. c. Plot Sample Design Tool. Plot sample design toolkit mendukung kebutuhan proyek untuk nomer plot secara statistic dan lokasi plot dengan dokumentasi pelaporan. d. Geographic Data Management Tool. Toolkit ini mengatur batas proyek, batas stratum (parcel) dan lokasi petak file dalam platform GIS berbasis web yang terintegrasi dengan database relasional. e. Forest Carbon Measuring Tool. Ada tiga modul inti dalam toolkit pengukuran karbon hutan: 1) manajer persediaan plot, persamaan alometrik dan modul pelaporan untuk karbon hutan (Emission Faktor). f. GCF Activity Data Emissions System. Sistem ini digunakan untuk mengembangkan untuk baseline emisi referensi dan pengurangan emisi berdasarkan intervensi proyek. Komponen inti dari sistem ini adalah: i. System defined (Tier 1) or user defined (Tier 2 or Tier 3) land cover emission factors ii. IPCC AFOLU GHG Stock-Change quantification of emissions iii. Reference emissions level calculation and reporting iv. Project emissions/removals level calculation and reporting v. Emissions reductions calculations and reporting 2. Peta Karbon Hutan Kalimantan Timur yang diproduksi oleh KPH, Kabupaten dan Provinsi. Kontribusi kedua proyek ini adalah pengembangan salah satu peta karbon hutan yang detail pertama bagi Kalimantan Timur. Peta ini spasial diselesaikan pada resolusi 30 meter dan cocok untuk cadangan karbon pemetaan dan perubahan stok di semua skala yang relevan dari KPH ke Kabupaten ke Provinsi. Skala yang juga kami gunakan dalam metode kami untuk menentukan stratifikasi dan output, tetapi metode dasar berguna pada semua skala ini. 3. Integrasi dengan One Map. Agar berguna untuk program REDD+, semua data geografis, termasuk pemetaan karbon, perlu diintegrasikan dengan program One Map. Hal ini memerlukan pendekatan teknis yang menempatkan dataset baik dalam simpul One Map Geoportal di KALTIM, atau menyediakan dataset peta melalui publikasi layanan peta yang
40
bisa diakses umum. Proyek ini sukses di lakukan dan memberikan bukti dari konsep tentang bagaimana Provinsi, Kabupaten atau proyek dapat diintegrasikan dalam program One Map.
9.2 Jelaskan bagaimana sistem pemantauan Program PE yang diajukan konsisten dengan (usulan) sistem pemantauan REDD+ nasional.
Perkembangan MRV di tingkat nasional dan sub-nasional telah dimulai. Pendekatan nasional untuk pemantauan hutan dan MRV saat ini sedang dikembangkan oleh KLHK. Sebuah dokumen desain MRV telah disiapkan, dan berada di bawah konsultasi dengan pemangku kepentingan lainnya. Tonggak penting MRV antara lain adalah penerbitan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 15/2013 tentang MRV untuk aksi mitigasi perubahan iklim, dan awal pengembangan tambahan petak ukur permanen didukung oleh system basis data. Sistem Nasional MRV dirancang agar konsisten, transparan, lengkap, akurat, partisipatif dan adaptif. Tujuan dari sistem MRV Nasional adalah untuk mendukung Strategi Nasional REDD+ dan RAN-GRK, sementara sesuai dengan standar UNFCCC (termasuk pada pelaporan co-benfit dan safeguards). Sistem MRV akan mengukur kinerja dari semua kegiatan REDD+, dan mencakup Intended Nationally Determined Contribution (INDC) di sektor Pertanian, Kehutanan dan Penggunaan Tanah (AFOLU). Sistem MRV nasional diharapkan dapat juga memantau emisi dari lahan gambut. Pemantauan deforestasi nasional akan dilakukan dengan frekuensi tinggi (mendekati real-time) data, untuk mengidentifikasi daerah-daerah dengan tingkat deforestasi yang tinggi. Pemantauan dan pelaporan tingkat nasional akan mencakup dinamika deforestasi, degradasi dan emisi. Ini akan didukung oleh data inventarisasi hutan, serta melalui umpan balik publik. Diharapkan bahwa sistem nasional akan sepenuhnya dikembangkan dan operasional pada tahun 2016. Kelembagaan MRV akan disusun berjenjang dari tingkat nasional, provinsi sesuai dengan kewenangannya dan kapasitas masing-masing. Sistem MRV dibangun secara top down dari pusat kemudian tingkat provinsi akan menyesuaikan desain yang telah disusun oleh pusat dengan tetap mempertimbangkan masukan dari provinsi. Kapasitas lembaga MRV pada tingkat provinsi Kaltim akan dikuatkan untuk dapat melakukan system monitoring sendiri yang terintegrasi dengan system moitoring yang berlaku nasional. Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kaltim akan berperan untuk mengumpulkan data aktivitas dan faktor emisi serta melakukan penghitungan emisi. 9.3 Jelaskan bagaimana sistem pemantauan Program PE yang diajukan konsisten dengan pedoman UNFCCC terbaru dan dengan usulan kerangka metodologi FCPF Carbon Fund.
Sistem pemantauan Program PE yang diusulkan akan konsisten dengan panduan UNFCCC yang dan dengan Kerangka Metodologis dari FCPF Carbon Fund: Program PE akan mencakup paling tidak untuk emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Keputusan apakah akan menyertakan emisi dari dekomposisi gambut dan kebakaran akan didasarkan pada diskusi dengan CF FMT. Dasar untuk memperkirakan emisi gas rumah kaca yang terkait dengan hutan oleh sumber dan penyerapan oleh rosot akan sesuai dengan pedoman IPCC. Emisi dari degradasi hutan juga akan dihitung untuk meng-capture tingkat emisi yang cukup signifikan dari degradasi hutan. Praktek RIL (reduced impact logging) yang diterapkan oleh hutan produksi yang dikelola dengan prinsip keberlanjutan dapat mengurangi emisi sampai 20% dibandingkan penebangan hutan yang tidak menerapkan RIL.
41
Data dan metode utama akan cukup rinci untuk memungkinkan rekonstruksi Tingkat Referensi, emisi dan kebocoran. Ini akan didokumentasikan dan tersedia untuk umum secara online. Program PE akan mengidentifikasi dan menilai sumber ketidakpastian dalam penentuan Tingkat Referensi dan Pengukuran, Pemantauan dan Pelaporan (MRV). Program PE, sejauh memungkinkan, akan mengikuti proses mengurangi ketidakpastian data aktivitas dan faktor emisi yang digunakan.
9.4 Jelaskan semua potensi peranan masyarakat adat dan lokal dalam desain implementasi sistem pemantauan Program PE yang diajukan.
Masyarakat adalah stakeholder kunci dalam pegelolaan hutan dan REDD+. Wakil masyarakat akan diundang untuk menjadi bagian dari Komite Pengarah program, dan masyarakat lokal akan terlibat dalam kegiatan PE dan akan mendapatkan manfaat dari Pembayaran PE dan insentif lainnya. Selama Fase Desain Program, Program PE akan mencari peluang untuk partisipasi masyarakat dalam pemantauan dan pelaporan, misalnya, dari Tindakan Program PE, data kegiatan, faktor emisi, safeguards dan Manfaat Non-Karbon, dan akan mendorong partisipasi masyarakat mana yang sesuai dengan kondisi mereka. Proses konsultasi yang merupakan aspek inti dari Tahap Desain Program akan melibatkan masyarakat lokal dan adat di semua aspek desain program. Ini termasuk desain FMS, yang akan berusaha untuk melibatkan masyarakat lokal, misalnya dalam kegiatan monitoring atau verifikasi. Penyadartahuan dan peningkatan kapasitas masyarakat perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat adat dan local untuk terlibat langsung dalam kegiatan pemantauan program PE. Hal ini penting untuk memastikan pemantauan program PE yang dilakukan telah memenuhi standar yang telah ditetapkan sehingga hasil yang diperoleh valid. Pelibatan masyarakat adat dan local juga akan selalu dimonitor dan menyesuaikan dengan tingkat kemampuan masingmasing kelompok masyarakat dalam melaksanakan monitoring dan verifikasi. 9.5 Jelaskan jika dan bagaimana sistem pemantauan Program PE yang diajukan akan mengikutsertakan informasi manfaat ganda seperti konservasi keanekaragaman hayati atau peningkatan mata pencaharian di perdesaan, indikator tatkelola, dsb.
Manfaat non-karbon merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Program PE di Indonesia (lihat Bagian 16). Informasi tentang produksi dan/atau peningkatan prioritas Manfaat Non-Karbon akan dikumpulkan secara berkala, akan disampaikan dalam laporan pemantauan Program dan laporan kemajuan, dan akan dibuat tersedia untuk umum. Upaya peningkatan mata pencaharian diintergrasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kampung sehingga pendanaan yang diperoleh dari Carbon Fund akan langsung dimanfaatkan oleh masyarakat di tingkat desa untuk meningkatkan mata pencaharian. Metode SIGAP REDD+ (Aksi Inspiratif Warga Untuk Perubahan Dalam REDD+) merupakan pendekatan yang disiapkan untuk beberapa desa dalam mengantisipasi program REDD+ dan memanfaatkannya untuk peningkatan mata pencaharian.
10. PENGALIHAN EMISI (KEBOCORAN) 10.1 Penjelasan tentang potensi risiko baik pengalihan emisi (kebocoran) domestik maupun internasional Mohon menjelaskan potensi risiko kebocoran baik domestik maupun internasional dari kegiatan Program PE
42
yang diajukan. Deskripsikan juga bagaimana kegiatankegiatan Program PE akan meminimumkan risiko kebocoran domestik dan internasional (jika memungkinkan), melalui desain Program PE dan pemilihan lokasi Program PE tersebut. Untuk program subnasional, mohon memberikan perhatian pada upaya identifikasi risiko domestik, kegiatan yang akan memitigasi risiko terebut, yang dapat menghambat pengurangan emisi oleh program PE tersebut, dan bagaimana kegiatankegiatan tersebut konsisten dengan desain strategi REDD+ nasional untuk menangani risiko kebocoran.
Potensi risiko yang terkait dengan pengalihan emisi (kebocoran) dari kegiatan Program PE yang diusulkan terkait dengan komitmen dari provinsi maupun negara tetangga. Dalam konteks domestik, Kalimantan Timur bertetangga dengan Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Utara. Secara internasional, Kalimantan Timur bertetangga dengan negara Malaysia, terutama Kabupaten Mahulu. Beberapa potensi risiko kebocoran dan upaya menangani bisa dijelaskan sebagai di bawah ini. Salah satu penyebab utama yang ditangani melalui Program PE adalah ekspansi perkebunan sawit. Program sawit negera tetangga cenderung akan dilaksanakan di Indonesia dikarenakan masih tersedia lahan yang luas. Risiko ini akan dikurangi dengan penguatan RTRWN regional Kalimantan dimana P3E Kalimantan dan Bappeda bisa berperan. Selain itu, perlu dilakukan penyelesaian pengembangan data terpadu dan akurat (One Map) dan penguatan partisipasi Organisasi Masyarakat Sipil. Dengan mengintegrasikan masalah tata ruang, program ini diharapkan dapat mengarah pada membaiknya iklim investasi berbasis lahan di provinsi yang berpartisipasi. Bukan hanya mengurangi perluasan pertanian, meningkatkan tata kelola lahan harus memungkinkan untuk alokasi lahan yang menggabungkan kriteria ekonomi, lingkungan, dan sosial. Diharapkan kejelasan atas hak tanah akan memfasilitasi ekspansi pertanian pada lahan non-hutan yang saat ini tidak tersedia karena konflik. Disamping perbaikan tata kelola ditingkatkan, risiko perpindahan juga akan ditangani oleh sejumlah kegiatan tingkat lapangan. Ini mencakup kemungkinan pertukaran lahan. Sebuah penyangga telah ditetapkan sebesar 40% dari total PE yang diharapkan. Sekitar setengah dari ini adalah untuk menangani pengalihan potensial, sementara sisanya disisihkan untuk pembalikan potensial dan ketidakpastian lainnya. Risiko kedua, perambahan dan pembakaran hutan dan lahan dianggap memiliki potensi cukup besar. Kegiatan ini akan ditangani dengan rancangan program seperti penguatan sistem monev nasional khususnya untuk region Kalimantan, kerjasama transboundary untuk penanganan asap, pengembangan sistem early warning sampai di tingkat lokal dan pengembangan kelembagaan atau satgas tanggap api di tingkat masyarakat. Risiko ketiga, Illegal logging merupakan risiko namun diperkirakan statusnya tidak akan terlalu tinggi (low). Kebijakan nasional terkait penanganan illegal logging masih aktif dan law enforcement masih efektif dalam mengurangi dampak dari ilegal logging. Program mempercepat pengukuhan kawasan hutan dan perhutanan sosial diyakini akan memperlemah ruang gerak illegal logging. Ringkasan tabel risiko dan penanganannya dipaparkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Risiko Kebocoran dan Penangannya KEGIATAN Pertanian/perkebunan
RISIKO DOMESTIK MANCANEGARA SEDANG: Ekspansi bidang ini NOL. Sebab, negara diperkirakan masih berjalan tentangga malah ekspansi meski skalanya tidak ke Indonesia (Kkalimantan
MITIGASI RTRWN, One Map (data terpadu), Monev, optimasi lahan kritis,
43
Kebakaran hutan dan lahan
Perambahan
Illegal logging
sebesar sebelumnya. SEDANG – BESAR: masih akan terjadi terutama di wilayah Kalimantan Tengah yang didominasi oleh lahan gambut.
Timur) KECIL – NOL, kasus kebakaran dan hutan di mancanegara
SEDANG - KECIL: kegiatan ini masih akan ada, namun akan cenderung mengecil kedepan. SEDANG - KECIL: Kegiatan ini masih ada dalam beberapa tahun kedepan namun cenderung berkurang karena law enforcement, program perhutanan sosial semakin gencar, dan perbaikan tata kelola hutan (governance
NOL: hutan sudah tertata baik dan terbagi habis peruntukannya
Pertambangan
Pembangunan rel kereta api
NOL: dikarenakan hutan di negara sudah terbagi habis peruntukannya dan kawasan hutannya pun sudah tinggal sedikit.
Law enforcement, zero peat conversion, transboundary haze coordination (mancanegara), unit siaga api skala nasional hingga lokal. Pengukuhan kawasan, Perhutanan Sosial (5 skema), law enfocement, Pemerintah Indonesia sangat serius dalam menangani kejahatan illegal logging internasional dalam forum negara ASEAN dan terus berkomitmen mengurangi resiko reputasi terkait isu ini. Indonesia tidak memiliki kedaulatan atas negara lain sehingga tidak bisa memaksa negara lain untuk mengatasi displacement di tingkat nasional dalam kerangka UNFCCC. Sehingga menjadi mustahil untuk menghilangkan resiko di negara lain
Terkait erat dengan kegiatan pertambangan, perkebunan dan perambahan diatas.
11. RISIKO BALIK 11.1 Kegiatan untuk menangani risiko balik atas manfaat gas rumah kaca Mohon mendeskripsikan risikorisiko utama terkait risiko balik atas manfaat gas rumah kaca baik yang bersifat antropogenik maupun nonantropogenik (misalnya dari kebakaran, konversi hutan ke pertanian, berubahnya harga komoditas). Jelaskan juga semua kegiatan atau desain Program PE yang mampu meminimumkan dan/atau memitigasi risiko antropogenik dan atau risiko balik, dan bagaimana kegiatankegiatan tersebut konsisten dengan desain strategi REDD+ nasional dalam menangani masalah risiko balik.
Program PE sejalan dengan Strategi REDD+ nasional, yang berusaha untuk mengatasi penyebab utama deforestasi. Dengan mendukung transisi ke tata kelola hutan dan lahan, Program PE ini diharapkan mampu melakukan pengurangan deforestasi dalam jangka panjang dengan sedikit risiko pembalikan. Namun demikian, risiko balik ini perlu diantisipasi dalam program PE. Sebagai contoh, kebakaran hutan dan lahan, ini harus secara eksplisit ditangani melalui kegiatan pencegahan kebakaran, termasuk melalui penyadaran masyarakat akan pentingnya peran hutan, peningkatan kapasitas masyarakat, dan penegakan hukum. Lebih umum, risiko pembalikan manfaat gas rumah kaca akan dikurangi dengan menciptakan rasa memiliki Program PE bagi berbagai pemangku kepentingan. Program ini akan dikembangkan dengan
44
konsultasi dengan semua pemangku kepentingan, termasuk kelompok-kelompok adat dan masyarakat lokal lainnya, yang akan terlibat aktif dalam pelaksanaan program. Sebuah komponen penting dari Kegiatan PE kemungkinan akan melibatkan pembangunan kapasitas dan dukungan untuk mata pencaharian yang berkelanjutan yang akan memberikan insentif kepada masyarakat untuk melestarikan hutan di luar kerangka waktu proyek. Dalam hal ini akan diperhatikan adanya keseimbangan manfaat ekonomi yang berkelanjutan dan tanggung jawab masyarakat dalam menjaga lingkungan. Juga, penting untuk dicatat bahwa Program PE diperkirakan akan terus melampaui jangka waktu CF sebagai pembayaran PE dan akan diambil alih oleh sumber pendanaan lainnya, termasuk dana perwalian.
12. PENGURANGAN EMISI YANG DIHARAPKAN 12.1 Pengurangan Emisi yang diharapkan Mohon menjelaskan estimasi atas dampak yang diharapkan dari Program PE yang diajukan pada REL/FRL (dalam bentuk persentase dari emisi yang akan dikurangi). Berdasarkan persentase tersebut, mohon diestimasi juga volume PE nya, dalam unit ton CO2e, yang akan diperoleh dari Program PE: a) Hingga 31 Desember, 2025 (tanggal penutupan FCPF hingga saat ini) b) Untuk periode 10 tahun; dan c) Hingga akhir durasi PE yang diajukan, jika diusulkan untuk dilanjutkan hingga lebih dari 10 tahun
Potensi pengurangan emisi Kalimantan Timur berdasarkan upaya-upaya yang telah disebutkan pada 5.3 mencapai 17%. Dengan demikian prakiraan pengurangan emisi dari Program PE adalah sebagai berikut: Total Emisi (BAU) 2018 – 2025 (tCO2e) 505.086.821
Potensi Pengurangan
17%
Prakiraan PE 2018 – 2025 (tCO2e)
85.864.760
Prakiraan PE 2018-2028 (tCO2e)
Prakiraan PE 2018-2030 (tCO2e)
115.804.617
135.764.522
12.2 Volume yang diajukan ke FCPF Carbon Fund Mohon menjelaskan porsi dari PE yang diharapkan yang akan ditawarkan ke Carbon Fund, dan jika ada pembeli lain yang telah diidentifikasi saat ini, porsi dari PE yang diharapkan akan ditawarkan ke mereka.
Dengan asumsi bahwa 10% dari pengurangan emisi akan didedikasikan untuk pengurangan emisi domestik. Maka pengurangan emisi untuk dialokasikan pada program Carbon Fund adalah sebesar 7% dari Total Emisi BAU 2018 – 2025 (505,09 juta tCO2e), atau sekitar 35,36 juta tCO2e. Seperti disebutkan di atas, program ini mengusulkan buffer PE dari 40% untuk mengatasi potensi kebocoran, risiko balik, dan ketidakpastian lainnya yang akan diambilkan dari 35,36 juta tCO2e tersebut. Dengan demikian Pengurangan Emisi bersih yang akan tersedia untuk dijual selama periode 2018-2025 adalah 21,21 juta tCO2e.
45
13. PENILAIAN AWAL PROGRAM PE YANG DIAJUKAN DALAM KONTEKS STRATEGIC ENVIRONMENTAL AND SOCIAL ASSESSMENT (SESA) TINGKAT NASIONAL DAN ENVIRONMENTAL AND SOCIAL MANAGEMENT FRAMEWORK (ESMF)1 13.1 Perkembangan SESA/ESMF Mohon mendeskripsikan perkembangan nasional dalam implementasi SESA dan pengembangan ESMF, dan kontribusinya atau hubungannya dengan Program PE yang diusulkan.
Kaltim telah mengembangkan proses multipihak untuk membentuk safeguards yang berlaku di tingkat yurisdiksi sebagaimana dimandatkan oleh STRANAS REDD+. Dalam penyusunan SRAP REDD+, safeguards dikembangkan sebagai bagian dari sistem informasi MRV. Dalam SRAP REDD+ disebutkan bahwa subsistem informasi ini dibutuhkan agar program reduksi emisi dapat berlangsung dan agar tujuan REDD+ tidak merugikan masyarakat yang tinggal di sekitar/kawasan hutan dan tidak merusak lingkungan. Sistem ini akan memberi masukan informasi yang bersifat terkini (realtime) kepada unit pengendali pembangunan untuk dapat dilakukan pendampingan dan konsultasi dengan unit menejemen (penanggung jawab kawasan) terkait terutama untuk memperbaiki pengelolaan kawasan agar program penurunan emisi dapat berhasil. Sistem akan menerapkan Infrastruktur Data Spasial Daerah (IDSD) yang didukung IDSN di tingkat pusat. Dari rencana pengembangan Sistem Informasi Safeguards yang dirumuskan dalam SRAP REDD+ Kaltim, proses selanjutnya adalah pengembangan secara konkrit sistem informasi safeguards. Proses tersebut berlangsung mulai tahun 2012 dan merupakan kerja sama dari REDD+ SES, Lembaga Ekolabel Indonesia, Clinton Climate Initiative dan Sekretariat REDD+ SES. Instrumen REDD+ SES merupakan salah satu safeguards sosial yang banyak dirujuk di tingkat global dan dikembangkan di beberapa negara dengan cara mengimplementasikan beberapa prinsip-prinsip dasar secara internasional dan mengikuti interpretasi lokal berdasarkan kondisi setempat. Inisiatif yang sama dikembangkan di Kalimantan Timur, dan telah diuji untuk menilai sejauh mana interpretasi spesifik provinsi atas safeguards yang akan menjadi rujukan dan dihormati untuk kegiatan REDD+ di Provinsi. SESA merupakan salah satu rujukan utama dalam Pembangunan Safeguard Kaltim, karena SESA merupakan perangkat yang menggunakan sejumlah pendekatan analitis dan partisipatif yang bertujuan untuk mengintegrasikan pertimbangan sosial dan lingkungan ke dalam kebijakan, perencanaan dan program dan mengevaluasi keterhubungannya dengan pertimbangan kelembagaan dan ekonomi. (SESA training, Nairobi 3-5 February 2010).. Di bulan Januari 2015, Kelompok Kerja REDD+ menyelesaikan penilaian pertama kinerja Provinsi khususnya indikator REDD+SES. Pertimbangan sosial dan lingkungan berbasiskan SESA dan SES-Kaltim akan diimplementasikan dalam Program PE, karena ke duanya mempunyai tujuan yang sama yaitu menjaga agar proyek tidak menimbulkan dampak negatif terhadap komunitas dan lingkungan. Kelompok kerja REDD+ juga melakukan proses yang paralel dengan interpretasi REDD+ SES melalui pengembangan lebih lanjut di tingkat tapak safeguards REDD+ nasional yang disebut PRISAI dengan sistem pelaporannya yakni SISREDD+. Proses ini sudah secara signifikan telah mendialogkan PRISAI dan SISREDD+ di tingkat tapak dan peluang untuk menggunakan pengalaman yurisdiksi Kaltim sebagai wilayah untuk menyatukan keduanya.
1
SESA adalah proses penilaian yang akan digunakan oleh negara REDD+ FCPF selama pelaksanaan RPP dan persiapan kesiapan REDD+. ESMF adalah output dari SESA yang menyediakan kerangka kerja untuk memeriksa isuisu dan dampak yang terkait dengan proyek, kegiatan, dan/atau kebijakan/peraturan yang mungkin terjadi di masa depan sehubungan dengan pelaksanaan REDD+ nasional tetapi yang tidak diketahui pada saat ini.
46
13.2 Penggabungan luaran dan/atau dampak SESA pada Program PE yang diusulkan Berdasarkan perkembangan yang dipaparkan pada bagian 7.1, mohon mendeskripsikan bagaimana Program PE yang diusulkan dapat diharapkan untuk menggunakan luaran dan/atau dampak proses SESA. Lakukan analisis tentang bagaimana rencana kegiatan dalam Program PE akan mendasarkan pada langkahlangkah dan prosedur yang termasuk atau akan dimasukkan ke dalam ESMF. Mungkinkan semua kesenjangan atau isu terkait dengan kesesuaian antara kegiatan dalam Program PE dengan standar safeguards, termasuk UNFCCC safeguards?
SRAP Kaltim telah mencantumkan pembentukan kelembagaan penyelesaian konflik di sektor pertanian dan pengelolaan kawasan lindung dan konservasi. Salah satu mekanisme pencegahan konflik yang ditawarkan SRAP adalah free prior informed consent (FPIC). FPIC tidak hanya memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memutuskan jenisjenis kegiatan apa yang mereka anggap tepat untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Namun, FPIC juga memberikan ruang bagi masyarakat adat dan komunitas lokal untuk membangun maupun menentukan skema penyelesaian komplain yang dianggap cocok, termasuk caracara penyelesaian dan pemulihan ke kondisi awal.
13.3 Umpan balik dan mekanisme penanganan keluhan Mohon menjelaskan mekanisme yang telah atau akan dilaksanakan untuk menyelesaikan setiap konflik terkait dengan Program PE yang diusulkan.
Umpan balik dan Mekanisme Penanganan Keluhan (FGRMs) akan menjadi bagian penting dari kerangka perlindungan (safeguards) Program PE dan akan dikembangkan selama Fase Desain Program. FGRMs akan memainkan peran penting dalam mengatasi sengketa terkait REDD+, memastikan distribusi yang efisien dan adil dari manfaat, dan mendorong inklusi sosial. Sebuah sistem FGRM akan menjadi salah satu hasil utama dari Tahap Desain Program dan akan membangun struktur yang ada di tingkat lokal, serta pada sistem pengamanan yang sedang dikembangkan sebagai bagian dari REDD+ nasional. 14. HAK ATAS LAHAN DAN SUMBERDAYA2 14.1 Hak atas wilayah dan tanah, dan manfaat mitigasi Mohon deskribsikan penggunaan lahan dan konteks hak atas lahan dari Program PE yang diajukan, dan jika dan bagaimana ha katas wilayah dan tanah dan manfaat mitigasi dari REDD+ tercermin dalam praktikpraktik tradisional dan tersurat dalam kerangka legal dan/atau formal.
Strategi Nasional REDD+ mencatat bahwa ketidakpastian kepemilikan tanah telah memberikan kontribusi terhadap masalah-masalah perencanaan tata ruang dan penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan dan tidak terkoordinasi. Reformasi kepemilikan lahan dan klarifikasi dapat membantu pengembangan program yang efektif dan berkelanjutan untuk menyediakan alternatif mata pencaharian yang ramah hutan, dan dapat membantu untuk membangun dukungan masyarakat lokal dan adat untuk REDD+. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK 45) Tahun 2011 mengenai definisi Kawasan Hutan memeberikan peluang yang sihnifikan untuk percepatan reformasi penguasaan lahan hutan. Pada Maret 2013, dua belas lembaga termasuk kementerian kunci menandatangani Nota Keputusan Bersama (NKB12) di
2
Sebagian dari bagian ini telah dinyatakan di bagianbagian terdahulu dan diulangi lagi di sini sebagai upaya penekanan.
47
bawah naungan Komisi Anti-Korupsi (KPK) dan UKP4. Tujuannya NKB12 adalah untuk meningkatkan kerja sama dan koordinasi dari berbagai lembaga dalam mempercepat demarkasi kawasan hutan dan dalam mempromosikan percepatan pembangunan nasional dan pencegahan korupsi. NKB12 memiliki tiga agenda utama: 1) harmonisasi kebijakan, hukum dan peraturan; 2) teknis dan keselarasan prosedural; dan 3) resolusi konflik berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia. Perkembangan positif lain adalah apa yang umumnya disebut sebagai "Kebijakan Satu Peta". Upaya ini dilakukan oleh Pemerintah Provinsi untuk mensinergikan peta-peta yang digunakan oleh lembaga yang berbeda, dan peta-peta yang digunakan pada semua tingkat pemerintahan. Langkah ini diharapkan membantu meningkatkan kualitas data dan efisiensi dalam pengumpulan data dan pelaporan serta menjamin keamanan berusaha. Selain itu Pemerintah Indonesia bekerja pada kadaster nasional dan terus melakukan delineasi dan demarkasi lahan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan negara (Kawasan Hutan). Administrasi pertanahan di Indonesia, terutama dalam Kawasan Hutan, menghadapi klaim lahan tanpa status formal dan izin penggunaan lahan yang tumpang tindih. Di tingkat desa, klaim lahan umumnya diajukan berdasarkan hak komunal yang dianut dan diakui oleh masyarakat lokal, tetapi belum diatur dengan jelas secara legal. Beberapa peraturan daerah, terkait dengan upaya mengurangi klaim lahan, telah mencoba untuk mengakomodir hak atas lahan berdasarkan hukum adat yang diakui dan digunakan masyarakat. Strategi penerapan PADIATAPA dalam proses perizinan dan Percepatan Pembuatan RDTRK serta Penguatan dan perlindungan kelembagaan masyarakat dalam Program PE, diharapkan dapat mengurangi klaim lahan dan tumpang tindih perizinan. Banyak upaya dilakukan untuk memperbaiki situasi ini, tetapi ini tidak mungkin dapat terselesaikan dalam jangka pendek yang dapat meningkatkan ketidakpastian selama desain dan pelaksanaan program. Karena sifat dinamis dari masalah ini, akan menjadi penting bahwa program akan mengembangkan analisis kepemilikan sumber daya di tingkat daerah termasuk aturan-aturan lokal dan aturan legal terkait, daripada mengandalkan pada analisis tingkat nasional. Perkembangan Rencana Distribusi Manfaat akan menjadi peluang bagi reformasi yang sedang berlangsung, terutama melalui manfaat non-karbon.
15. PEMBAGIAN MANFAAT 15.1 Deskripsi kelembagaan pembagian manfaat yang akan dibangun pada Program PE yang diusulkan Mohon mendeskripsikan kelembagaan pembagian manfaat yang akan dibangun pada Program PE yang diusulkan.
Pembagian manfaat yang diusulkan dalam program PE harus memperhatikan beberapa aspek penting, antara lain: 1) siapa yang harus menerima manfaat; 2) peraturan perundangan yang ada mengenai penyaluran dana atau keuangan; 3) mempertibangkan untuk menggunakan mekanisme yang ada. Beneficieries atau siapa yang harus menerima manfaat. Untuk menentukan siapa yang harus menerima manfaat tentunya harus mengacu kepada kegiatan yang diusulkan dalam Program PE ini. Secara garis besar dua pertimbangan untuk menentukan siapa yang harus menerima manfaat dapat dilihat berdasarkan: 1) siapa yang akan terkena dampak dari kegiatan yang disebut dalam Bagian 5 dokumen ini, dan
48
2) siapa yang harus membayar atau menanggung biaya terkait dengan kegiatan REDD+ (termasuk biaya implementasi, transaksi dan peluang atau opportunity cost). Berdasarkan kegiatan yang akan diimplementasikan, biaya yang harus ditanggung oleh masing-masing aktor yang terkena dampak dapat diestimasi. Dalam konteks ini, ‘beneficieries’ dapat diklasifikasikan sebagai: 1) masyarakat (masyarakat adat dan masyarakat lokal); 2) Pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten dan desa) 3). Kelompok usaha dan pengembangan. Manfaat dapat dikategorikan menjadi dua yaitu manfaat berdasarkan kinerja output (hasil dari kegiatan) dan manfaat berdasarkan kinerja outcome (pengurangan emisi). Penyaluran manfaat didesain sesuai sumber dan jenis manfaat yang diterima. Benefit yang disediakan oleh pemerintah melalui mekanisme kelembagaan yang ada di pemerintah, sementara benefit yang disediakan oleh entitas lain (bilateral, multilateral, market dan donor LSM) dapat melalui mekanisme lain. Manfaat ini disalusurkan berdasarkan perencanaan program yang sudah ada. Lembaga-lembaga penyelenggara dapat mengakses pendanaan ini sesuai dengan kesesuaian proposal dengan program dan penilaian kemampuan lembaga tersebut dalam menalurkan manfaat tersebut kepada kelompok penerima manfaat. Pemerintah, LSM dan Kontraktor/konsultan adalah sebagai penyelenggara, termasuk jika kelompok masyarakat pada tingkat tertentu sesuai dengan perannya masing-masing bertindak sebagai penyelenggara. Sebagai penyelenggara entitas-entitas ini dapat menerima maanfaat sesuai dengan porsi pekerjaan yang dikerjakannya. Selanjutnya Pemerintah Pusat dan Daerah bersama stakeholders kunci akan mengembangkan desain kelembagaan dan mekanisme terutama yang berhubngan dengan penyaluran pendanaan oleh entitas lain. Peraturan-perudangan yang ada mengenai penyaluran dana dari donor internasional ke beneficiaries. Penyaluran dana dari donor internasional ke masing-masing ‘beneficieries’ tersebut diatur oleh peraturan perundangan yang ada. Sehingga opsi yang dapat digunakan untuk distribusi manfaat harus memperhatikan peraturan-perundangan tersebut. Beberapa peraturan yang ada terkait dengan penyaluran dana dari donor internasional ke beberapa beneficieries adalah sebagai berikut: 1) Penyaluran dana dari donor internasional dapat disalurkan langsung ke APBN untuk mendanai kegiatan di kementrian terkait (baik menggunakan mekanisme on-budget-ontreasury atau on-budget-off-treasury). Peraturan terkait termasuk antara lain: Peraturan Pemerintah no 10 tahun 2011 ttg Pengadaan Pinjaman Luarnegeri dan Penerimaan Hibah. PMK no 191 tahun 2011 tentang mekanisme pengelolaan hibah . Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional /Kepala Bappenas no 4 tahun 2011 tentang Tata cara perencanaan, pengajuan usulan, penilaian ,pemantauan, dan evaluasi kegiatan yang dibiayai dari Pinjaman Luar negeri dan Hibah. 2) Penyaluran dana ke pemerintah daerah harus menggunakan mekanisme transfer, seperti ongranting, yang saat ini merupakan satu-satunya mekanisme yang dapat menyalurkan hibah luar negeri ke APBD. Peraturan perundangan yang terkait termasuk: Peraturan Pemerintah no 2 tahun 2012 tentang Hibah Daerah. PMK 188 tahun 2012 tentang hibah dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. 3) Kelompok masyarakat saat ini dapat menerima dana baik dari Dana Desa dan Dana Bantuan Sosial yang dapat disalurkan oleh pemerintah provinsi/kabupaten. Selain manfaat berupa uang tunai, kelompok masyarakat dapat menerima manfaat dalam bentuk barang dan jasa (in-kind) tidak selalu harus dalam bentuk uang tunai. Bantuan dalam bentuk barang untuk meningkatkan kegiatan mata pencaharian masyarakat, seperti input kegiatan pertanian (bibit, pupuk, dll) harus dipertimbangkan. Untuk bantuan non-tunai, dapat disalurkan dari pemerintah daerah melalui institusi desa maupun kelompok masyarakat lainnya. Peraturan
49
Perundangan yang terkait termasuk: Permendagri no 32 tahun 2011 dan perubahannya Permendagri no 39 tahun 2012 tentang Pedoman pemberian Hibah dan bantuan social yang bersumber dari APBD 4) LSM dan lembaga non-pemerintah lainnya saat ini menerima manfaat langsung dari pihak donor melalui transfer lansung dari lembaga donor. Beberapa lembaga donor mengalokasikan Untuk mengelola dana bagi LSM, mekanisme trust fund atau dana wali amanah dapat dipertimbangkan. Menggunakan mekanisme yang sudah ada. Menggunakan mekanisme yang sudah ada dalam menyalurkan manfaat Program ER akan lebih efisien dibandingkan membangun mekanisme yang baru. Hal ini erat kaitannya dengan menggunakan mekanisme yang sudah diatur oleh peraturan perundangan. Pelajaran dan pengalaman dari implementasi mekanisme-mekanisme yang sudah ada dapat digunakan untuk memperbaiki desain sehingga distribusi dana REDD+ menggunakan mekanismemekanisme tersebut dapat lebih efisien. Pembagian manfaat akan dapat diberikan kepada proponen yang telah melakukan aksi penurunan emisi di tingkat tapak dari pemerintah, masyarakat, pihak swasta maupun kolaborasi dari para pihak yang terlibat langsung dalam kegiatan penurunan emisi. Besarnya manfaat yang diterima berbanding lurus dengan kontribusi yang telah dikeluarkan dan besarnya kesulitan implementasi kegiatan dari masing masing pihak yang terlibat. Pemanfaatan dana dari hasil kompensasi penurunan emisi harus dilakukan sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah pada semua tingkatan dari tingkat nasional sampai tingkat desa. Pada implementasi tingkat desa, semua kegiatan yang dilakukan dalam rangka mitigasi perubahan iklim harus selaras dengan rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes). Untuk itu penyusunan RPJMDes harus dari awal telah memainstream isu perubahan iklim dalam rencana pembangunannya. RPJMDes disusun berdasarkan tata guna lahan yang telah disepakati oleh warga untuk mencapai visi pembangunan desa yang disepakai warga. Ladang bergilir yang dilakukan dengan membuka hutan hanya akan dilakukan sesuai dengan tata guna lahan yang telah diakomodasi dalam RPJMDes. Konsistensi warga masyarakat untuk hanya melakukan pembangunan pada wilayah yang telah disepakati dalam RPJMDes akan menjadi acuan dalam penilain pelaksanaan pembagian benefit berbasis kinerja. Salah satu kerangka distribusi manfaat dari Progra PE di Kaltim disajikan pada Gambar 3.
NASIONAL: Dana Hibah/Perwalian
PROVINSI
Lembaga Wali Amanah Provinsi
SITE/INTERVENTION SKPD Provinsi/kabupaten, Swasta, LSM, Kelompok Masyarakt
•Mengacu kerangka yang sudah ada, mis. FREDDI •Lembaga wali amanah Perpres No 11/2010, etc. •Fund of fund yang berinvestasi pada subsidiary “lembaga multi pihak provinsi” •Mengacu Perpres No 11/2010 dan diperkuat Perda Provinsi •Mendapatkan mandat program dari lembaga multi pihak ‘DDPI” dan program nasional perubahan •Mengkoordinasikan program sejenis di berbagai lembaga •Menyalurkan manfaat sesuai mendat program •Promosi dan mobilisasi sumber dana lain •Mengusulkan, melaksanakan dan melaporkan hasil Kegiatan proyek kepada lembaga multi pihak “DDPI”
Gambar 3. Mekanisme Distribusi Manfaat Program PE di Kaltim
50
15.2 Keterkaitan antara kelembagaan pembagian manfaat yang akan dibangun dengan kegiatan dalam program PE yang diusulkan. Mohon menjelaskan bagaimana kelembagaan pembagian manfaat akan mendukung kegiatan yang diidentifikasi pada bagian 5.3 untuk menangani penyebab deforestasi dan degradasi hutan. Mohon mengidentifikasi, jika memungkinkan, potensi isu atau hambatan yang mungkin muncul dalam pengembangan Program PE yang mungkin memerlukan progres tambahan agar impleemntasi mekanisme pembagian manfaat menjadi efektif.
Pembagian manfaat yang diusulkan dalam proposal ini seharusnya digunakan untuk memberikan insentif bagi berbagai pihak-pihak di Provinsi Kalimantan Timur. Beberapa kebijakan pendanaan yang dapat dilakukan sesuai dengan SRAP Provinsi adalah: Memberikan insentif berdasarkan performa dalam suatu yurisdiksi – mekanisme insentif dapat diberikan kepada pihak-pihak yang berada di dalam suatu yurisdiksi, pada level kabupaten atau level desa, untuk merubah perilaku aktor yang ada di dalam yurisdiksi tersebut. Alokasi dana Carbon Fund dapat berdasarkan kepada performa yang telah ditentukan bagi masing-masing yurisdiksi. Performa tersebut bisa menggunakan indikator outcome (pengurangan deforestasi atau emisi) atau menggunakan indikator output atau proses (manfaat diberikan berdasarkan kepada dilaksanakan suatu kebijakan, kegiatan dan lainnya). Permasalahan utama apabila Carbon Fund menggunakan indikator outcome, sampai saat ini Indonesia belum memiliki sistem monitoring deforestasi atau emisi GHG secara tahunan. Selain itu proses penyelesaiaan Registri Karbon di tingkat nasional juga belum selesai, sehingga tidak bisa mengakui atau meregister kredit karbon dari pengurangan deforestasi di daerah. Melihat beberapa kelemaahan ini, menggunakan indikator output/proses menjadi alternatif utama setidaknya untuk beberapa tahun pertama sampai Sistem Monitoring dan Registri Karbon terbentuk. Apabila menggunakan indikator output/proses, insentif dapat dialokasikan berdasarkan beberapa kegiatan atau kebijakan yang sudah pasti akan berdampak terhadap pengurangan deforestasi. Contoh misalnya, tata kelola lahan yang baik dengan menggunakan sistem perijinan berbasis online dapat meningkat transparansi dan akuntabilitas serta memastikan ijin tidak lagi diberikan di area yang masih berhutan. Investasi untuk merubah perilaku, khususnya bagi masyarakat – saat ini masyarakat dalam melakukan kegiatan mata pencaharian mereka sering kali melakukan praktek-praktek yang tidak berkelanjutan, seperti membuka lahan dengan cara dibakar. Perubahan perilaku masyarakat menjadi lebih berkelanjutan memerlukan investasi yang tidak sedikit. Seringkali masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk merubah perilaku mereka menjadi lebih berkelanjutan. Oleh karenanya dana Carbon Fund harus dialokasikan untuk membantu petani merubah perilaku mereka. Berbagai sumber pendanaan yang ada diharuskan diregistrasi dalam program kelembagaan multi pihak walaupun meknisme penyalurannya disesuaikan dengan jenis pendanaan dan peraturan yang terkait dengan pendanaan tersebut. DDPI dan kelembagaan pendanaan multi pihak di tingkat provinsi akan meregistrasi dan memberikan arahan program dan pemanfaatan dana-dana ini. Jika dirasa diperlukan maka akan dikembangkan pendanaan multi pihak pada tingkat provinsi. 15.3 Progres kelembagaan pembagian manfaat Jelaskan perkembangan/progress sejauh ini dalam diskusi dan persiapan kelembagaan pembagian manfaat, dan siapa saja yang terlibat dalam proses tersebut.
51
Banyak diskusi telah dilaksanakan mengenai pembagian manfaat REDD+ di Indonesia, akan tetapi jumlah masih terdapat banyak kesenjangan dan program ER akan memainkan peranan penting dalam percepatan pembangunan sistem nasional untuk menyediakan kerangka pembagian manfaat untuk implementasi REDD+ di tingkat sub-nasional. Diperlukan kerja lebih keras untuk dapat menetapkan regulasi yang jelas mengenai pembagian manfaat, terutama terkait dengan kompensasi berbasis hak untuk ER. Upaya awal dalam mendefinisikan kerangka pembagian manfaat telah dilaksanakan melalui dikeluarkannya Peraturan Menteri Kehutanan No 36 tahun 2009 (Permenhut 36/2009), yang mengatur perizinan dari proyek REDD+ dalam Kawasan Hutan dan menetapkan proporsi pendapatan dari penjualan Penurunan Emisi Terverifikasi (VER) yang berhak didapatkan oleh komunitas, pemerintah, serta pengembang proyek. Permenhut ini lalu memperinci pembagian pendapatan dari proyek REDD+ yang mengatur penambahan bagian pemerintah (10-50% dari pendapatan) tergantung pada jenis hutan dimana proyek dilaksanakan, Komunitas (20-70%), dan pengembang swasta (20-60%). Disaat regulasi telah diterapkan untuk meningkatkan kepastian dalam bisnis bagi pengembang proyek REDD+, dasar hukum mengenai keputusan menemui tantangan karena diperlukan peraturan perundangan yang lebih tinggi untuk mengatur pembagian manfaat tersebut. Program FCPF di Indonesia telah dilaksanakan beberapa aktifitas-aktifitas dasar terkait mekanisme pembagiaan manfaat nasional. Pekerjaan dalam implementasi kerangka telah berlangsung dan studi telah dipersiapkan mengenai mekanisme pembagian manfaat yang terfokus kepada peranan utama komunitas dalam hubungan dengan hak-hak lahan mereka serta akses terahadap lahan hutan agar mencapai tujuan-tujuan proyek REDD+. Dalam workshop nasional didiskusikan mengenai keberadaan kesenjangan dalam peraturan terkait mengenai pembiayaan dan pembagian manfaat, termasuk didalamnya kerangka-kerangka institusi lokal. Anggaran tambahan untuk Program Kesiapan FCPF akan digunakan sebagian untuk merancang mekanisme pembagian manfaat. Area kunci dalam aktifitas- aktifitas Program Kesiapan FCPF adalah dengan menciptakan kerangka pembagiaan manfaat yang kuat yang dapat digunakan dalam level sub-nasional dan konsisten dengan pendekatan dalam level nasional. Aktifitas tindak-lanjut dengan Kementerian Keuangan yang potensial terjadi akan ditargetkan kepada transfer antar pemerintah.
52
16. MANFAAT NON KARBON 16.1 Manfaat sosial dan lingkungan yang diharapkan Jelaskan manfaat sosial dan lingkungan, selain pengurangan emisi, yang direncanakan dalam Program PE yang diusulkan; dan setiap cara lain yang memberikan jalan bagi Program PE untuk mendukung pembangunan berkelanjutan secara luas.
Kegiatan dan investasi untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia dapat menghasilkan manfaat tambahan penting. Termasuk di dalamnya adalah peningkatan ekonomi lokal, dan pendapatan rumah tangga serta pengentasan kemiskinan di masyarakat yang bergantung pada hutan. Manfaat lainnya adalah meningkatnya pendapatan nasional dari kegiatan kehutanan, promosi kesetaraan gender, penyediaan jasa ekosistem seperti keanekaragaman hayati, peningkatan kualitas air, kesuburan tanah, pengendalian banjir dan erosi, pengurangan kebakaran hutan, dan pemeliharaan habitat satwa dan perikanan. Program PE akan memberikan kontribusi yang signifikan untuk upaya nasional dan global dalam melindungi keanekaragaman hayati. Pemantauan keanekaragaman hayati, serta spesies kunci, di lokasi Program PE akan menjadi komponen penting dari sistem MRV. Selain berkontribusi terhadap perlindungan Keanekaragaman Hayati, Program PE akan memiliki sejumlah manfaat non-karbon penting lainnya terkait, terutama, iklim investasi yang lebih baik untuk investasi berkelanjutan dan peluang peningkatan akses bagi masyarakat lokal untuk mengelola sumber daya lahan. Pengelolaan multi fungsi sumberdaya hutan (produksi, lindung dan konservasi) secara lestari (PHL) memberikan peluang masyarakat lokal untuk akses dan memanfaatkan hasil hutan non kayu (HHNK) (gaharu, rotan, lebah madu). Dengan penerapan pola kemitraan (P. No. 39/2013) dengan pemegang ijin (IUPHHL-HA), pengembangan ekonomi lokal akan lebih dapat ditingkatkan melalui bantuan pengolahan HHNK (home industry). Selanjutnya pembangunan dan pengembangan budidaya HHNK diluar kawasan hutan akan menjamin kelestarian keberadaan dan potensi HHNK dalam kawasan hutan. 16.2 Keberagaman dan nilai pembelajaran Jelaskan hal-hal inovatif dari Proposal Program PE dan pembelajaran apa yang dapat disampaikan kepada FCPF Carbon Fund
Program PE yang diusulkan akan menjadi komponen integral dari salah satu program REDD+ nasional, dan akan memberikan nilai pembelajaran yang signifikan terhadap FCPF Carbon Fund dan inisiatif REDD+ lainnya. Program PE ini akan menguji pendekatan yurisdiksi untuk REDD+ di Indonesia, dan ini akan memberikan pelajaran penting bagi negara-negara lain untuk melaksanakan sistem REDD+ gabungan (nested). Indonesia telah merancang arsitektur REDD+ nasional dan Program CF akan menjadi komponen integral dari ini. Indonesia telah membuat kemajuan signifikan dalam merancang strategi REDD+ nasional dan subnasional dengan tujuan untuk melaksanakan kegiatan PE dan berpartisipasi dalam skema pembayaran PE internasional. Langkah berikutnya akan mencakup finalisasi REL, MRV, mekanisme distribusi manfaat, dan sistem pengamanan (safeguards). CF Program akan menjadi bagian penting dari proses ini dan akan memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia dan negaranegara REDD+ lainnya yang mengembangkan sistem REDD+ di tingkat sub-nasional. Program yang diusulkan ini menguji pendekatan yang komprehensif untuk REDD+ yang mencakup perubahan kebijakan serta kegiatan berbasis lapangan. Program PE akan mendukung perubahan
53
transformatif dalam tata kelola hutan dan rencana tata ruang di salah satu wilayah hutan yang paling luas di dunia. Pada saat yang sama, memberikan insentif langsung kepada pelaku di lapangan, termasuk masyarakat adat. Pembangunan dan pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), baik KPHP dan KPHL merupakan bagian penting dalam upaya akselerasi pelaksanaan PE. Dengan keberadaan KPHP/KPHL di tingkat tapak dengan 5 (lima) TUPOKSINYA akan menjadi fasilitator-mediator dan sekaligus innovator terhadap kegiatan-kegiatan pemanfaatan kawasan hutan di daerah, misalnya mendorong penerapan kaidah-kaidah pengelolaan hutan lestari secara benar dan konsisten oleh para pemegang ijin dan masyarakat (HTR-HKM-HD). Terutama sekali dalam kaitannya dengan pemanfaatan HHNK dan jasa lingkungan hutan yang tersedia dalam kawasan hutan.
17. PERKEMBANGAN SISTEM REGISTRASI 17.1 Sistem Registrasi Nasional Jelaskan secara singkat hubungan antara Program PE yang diusulkan dengan kelembagaan pengelolaan kegiatan REDD+ nasional, dan jika Program PE yang diusulkan akan menjadi bagian dari sistem apapun yang dapat menelusuri REDD+ atau kegiatan pengurangan emisi lainnya (misalnya sebuah REDD+ registry).
Fase Program Desain akan digunakan untuk mengembangkan pendekatan yang mengintegrasikan Program PE ke dalam Registrasi Nasional. Sistem registrasi saat ini sedang dikembangkan oleh Direktorat Inventarisasi dan MRV, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, KLHK. Sistem Registrasi REDD+ Nasional adalah sistem yang dirancang untuk meningkatkan koordinasi kegiatan REDD+. Dalam hal ini, hubungannya dengan Program PE adalah bahwa registrasi akan memberikan data dan informasi tentang kegiatan REDD+. Registrasi sendiri belum menyediakan fasilitas monitoring dan evaluasi canggih meskipun fasilitas tersebut rencananya akan dimasukkan di masa mendatang. Sistem ini akan menyediakan informasi mengenai masing-masing "lokasi" dari proyek tertentu dan dokumen metodologi yang digunakan untuk perhitungan REL. Untuk kasus Kalimantan Timur, dengan UU No.23/2014 akan memberikan peluang Pemprov. untuk memediasi dan memfasilitasi pembangunan dan pengembangan KPHP/KPHL sebanyak 20 unit (yang terealisasi baru 8 unit) di setiap Kabupaten. Dengan terbangunnya KPH-KPH sebagai pengelola kawasan hutan (HP – HL dan pemegang ijin pinjam pakai serta pengelolaan hutan basis masyarakat) akan merupakan “simpul-simpul” REGISTRASI dalam kaitannya dengan program PE melalui CF. Hal ini disebabkan karena KPHP/L mempunyai fungsi BINWASDAL terhadap seluruh kegiatan dalam wilayah kelolanya yang berbasis kahan (land-based development program)
54
18. DAFTAR AKRONIM ATAU SINGKATAN YANG DIGUNAKAN DALAM ERPIN INI Jelaskan semua lembaga atau akronim yang digunakan. Tambahkan baris jika diperlukan. AKRONIM/ SINGKATAN AMAN APHI Bappeda Bappenas BESTARI BFCP BMZ BRWA CBFM CF CIFOR CITES DBH DKN DDPI PE ERPIN ERPD ERPA ESMF FCPF FCPF FMT FFI FGD FGRM FIP FLEG FORCLIME FORDA FORDA FPIC FREDDI FRL FSC GFTN GLAFOLU GPG GHG HCV HCVF HD HKm HOB HPH HTI
ARTI (Indigenous Peoples Alliance of the Archipelago (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Indonesian Forest Concessionaires Association (Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia) Provincial Development Planning Agency (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) National Development Planning Agency (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) Sustainable Natural Healthy Clean Foundation (Bersih Sehat Alam Lestari) The Berau Forest Carbon Program German Federal Ministry for Economic Cooperation and Development Customary Land Registration Agency (Badan Registrasi Wilayah Adat) Community–Based Forest Management Carbon Fund Center for International Forestry Research Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora Diameter at Breast Height National Forestry Council (Dewan Kehutanan Nasional) Regional Council for Climate Change – East Kalimantan (Dewan Daerah Perubahan Iklim – Kalimantan Timur) Pengurangan Emisi Emission Reduction Program Idea Note Emission Reduction Program Document Emission Reductions Payment Agreement Environmental and Social Management Framework Forest Carbon Partnership Facility FCPF Facility Management Team Flora and Fauna International Focus Group Discussion Feedback and Grievance Redress Mechanism Forest Investment Program Forest Law Enforcement and Governance Forests and Climate Change Program Forest Research and Development Agency of the Ministry of Forestry Forestry Research and Development Agency Free and Prior Informed Consent Funds for REDD+ in Indonesia Forest Reference Level Forest Stewardship Council Global Forest Trade Network Guidelines Agriculture, Forestry and Other Land Use Good Practice Guidance Green House Gas (Gas Rumah Kaca) High Conservation Values High Conservation Value Forest Village Forest (Hutan Desa) Community Forest (Hutan Kemasyarakat) Heart of Borneo Logging Concession Industrial Timber Plantation (Hutan Tanaman Industri)
55
AKRONIM/ SINGKATAN HTR ICRAF IPCC IREDD ISPO IUCN IUPHHKHA IUPHHKHT IUPHHKHTR IUPHHKRE JALA KFCP KHDTK KKI KPH KPK LSM LTB MCC MoHA MoU MRV NAMA NFI NFMS NGO NKB 12 NORAD NTFP OPANT PES PNPM PRISAI
ARTI Community Plantation Forest (Hutan Tanaman Rakyat) The International Centre for Research in Agroforestry - World Agroforestry Center Intergovernmental Panel on Climate Change Impact Reducing Emission from Deforestation and Degradation Indonesian Sustainable Palm Oil International Union for Conservation of Nature Business Permit for Timber Forest Product Utilization – Nature Forest (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam) Business Permit On Utilization Of Forest Wood Timber (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman) Utilization License Timber Forest Products Forest Plantation (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat) Product Utilization License Timber Forest Ecosystem Restoration (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem) Network management (Jaringan Pengelolalaan) Kalimantan Forest Carbon Partnership Forest Area with Special Purpose (Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus) The Indonesian Conservation Community (Komunitas Konservasi Indonesia) Forest Management Units (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Anti Corruption Commission (Komisi Pemberantasan Korupsi) Lembaga Swadaya Masyarakat (Non Government Organization) Lembaga Tiga Beradik Millenium Challenge Corporation Ministry of Home Affairs Memorandum of Understanding Measurement Reporting and Verification National Appropriate Mitigation Actions National Forest Inventory System National Forest Monitoring System Non Governmental Organization Memorandum of Mutual Agreement – 12 Ministry (Nota Kesepahaman Bersama (NKB) 12 Kementerian) The Norwegian Agency for Development Cooperation Non Timber Forest Product The Ngata Toro Customary Women’s Organization (Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro) Payments for Environmental Services National Program for Community Empowerment (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Principles, Criteria and Indicators for REDD+ Safeguards in Indonesia (Prinsip, Kriteria, Indikator, Safeguards Indonesia)
PSP
Permanent Sample Plot
Puspijak
Center for Research and Development and Climate Change Policy (Pusat Penelitian Perubahan Iklim dan Kebijakan) Center for Standardization and Environment (Pusat Standardisasi dan Lingkungan) Regional Action Plans to Reduce Green House Gases (Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca) National Action Plan to Reduce Green House Gases Emissions (Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca) Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Reference Emission Level Reduced Impact Logging
Pustanling RAD GRK RAN GRK REDD+ REL RIL
56
AKRONIM/ SINGKATAN RIM RKTN RSPO RTRW SCBFWM SDATTG SESA SIPUHH SIS REDD+ SNV SRAP – REDD SKPD SVLK TBI TFCA II TNC TSP UKP4 UNDP UNEPFI UNFCCC VER WARSI WWF YAKOBI
ARTI Regional Incentive Mechanisms National Forestry Plan (Rencana Kehutanan Tingkat Nasional) Roundtable for Sustainable Palm Oil Regional Spatial Plans (Rencana Tata Ruang Wilayah) Strengthening Community Based Forest and Watershed Management Program The Directorate of Village Natural Resources and Appropriate Technology (Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna Perdesaan) Strategic Environmental and Social Assessment Administration of Forest Information System (Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan) Safeguards Information System for REDD+ The Netherlands Development Organization Strategy and Action Plans at Provincial Level - REDD (Strategi Rencana Aksi Provinsi - REDD) Regional and Local Government Agencies (Satuan Kerja Perangkat Daerah) Timber Legality Verification Standard (Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu) The Borneo Initiative Tropical Forest Conservation Act The Nature Conservancy Temporary Sample Plots Presidential Work Unit for Development Monitoring and Control (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) United Nations Development Program United Nations Environment Programme Finance Initiative United Nations Framework Convention on Climate Change Verified Emissions Reductions The Indonesian Conservation Community (WARSI) World Wildlife Fund Education and Environmental Conservation Foundation (Yayasan Komunitas Belajar Indonesia)
57
Lampiran 1. Surat Dukungan Gubernur Kalimantan Timur atas Program PE dalam Ranka FCPF Carbon Fund
58