JURNAL ILMIAH
LEX PUBLICA ASOSIASI PIMPINAN PENDIDIKAN TINGGI HUKUM INDONESIA
DAFTAR ISI
Vol. III. No. 1, Nopember 2016 PENGANTAR REDAKSI PROBLEMA KEBIJAKAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH YANG BERIMPLIKASI TERHADAP PIDANA ADMINISTRASI YANG BERDAMPAK PADA UU NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh : Dr Sugianto, SH, MH ............ hal. 405 - 416 ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN MODAL VENTURA Oleh : Rudyanti Dorotea Tobing ............ hal. 417 - 432 PERAN DAN FUNGSI MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Oleh: Agus Rasyid C.W. ............ hal. 433 - 438 MEMBANGUN HAKIM BERKARAKTER MELALUI PENDEKATAN SPIRITUAL PLURALISTIK PROGRESIF Oleh: Dr. Sukresno, SH, M.Hum ............ hal. 439 - 446 MODEL PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DI LUAR PENGADILAN MELALUI ARBITRASE KETENAGAKERJAAN Oleh : Ujang Charda S. ............ hal. 447 - 464 NEGARA DAN KONSTITUSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM KETATANEGARAAN DAN POSISI ILMU HUKUM TATA NEGARA Oleh: Otong Rosadi ............ hal. 465 - 474 SISTEM PENGAWASAN DAN PENEGAKAN KODE ETIK HAKIM DI TURKI Oleh: Hermansyah ............ hal. 475 - 482 REKONSTRUKSI PERAN ORMAS DALAM MENCIPTAKAN KEAMANAN UNTUK MEWUJUDKAN TUJUAN PEMBANGUNAN DI PROVINSI DKI JAKARTA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN 2013 TENTANG ORMAS Oleh : Megawati Barthos ............ hal. 483 - 498 MEWUJUDKAN PERADILAN UMUM YANG AGUNG MELALUI AKREDITASI PENJAMINAN MUTU oleh: Herri Swantoro ............ 499 - 501 PETUNJUK PENULISAN ............ hal. 502 - 505
403i
Lex Publica
Pengantar Redaksi...... Sebagai suatu pengantar, redaksi kali ini ingin mengantarkan sekapur sirih dalam memaknai Equality Before The Law. Prinsip Equality Before The Law, sesungguhnya merupakan salah satu tema hukum yang tidak terpisahkan dari konsepsi negara demokrasi. Keterkaitan hukum lainnya dalam konsepsi demokrasi adalah hak-hak individu, pengawasan rakyat atas pemerintahan, dan rule of law. Konsep tersebut merupakan salah satu unsur dari negara hukum (Rule of Law) yang demokratis yaitu supremacy of law, equality before the law dan due process of law. Rule of Law dengan unsur tersebut membentuk prinsip fundamental konstitusi, dan supremasi hukum merupakan prinsip bahwa hukum negara berada diatas kekuasaan dan prerogatif penguasa yang sewenang-wenang, dan prinsip kesetaraan didepan hukum yang diartikan sebagai ketundukan secara setara semua kelompok masyarakat kepada hukum negara yang dijalankan secara umum, dengan meniadakan pengecualian dan kekebalan pejabat pemerintahan dan penguasa atau orang-orang lain tertentu dari kewajiban untuk patuh kepada hukum yang berlaku. Prinsip ini menekankan adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan yang diakui secara normatif dan dilakukan secara empirik, dan kemudian menjadi norma konstitusi dalam UUD 1945, yang didalamnya menjelaskan sebagai larangan atas sikap dan tindakan yang diskriminatif dalam segala bentuknya. Aspek equality before the law, dapat dipahami juga dalam kerangka due process of law, sebagai prinsip yang mensyaratkan, bahwa semua tindakan negara dilakukan melalui proses yang tertib dan teratur. Due process of law, meliputi procedural due process, yang menekankan pada metode atau prosedur pelaksanaan kebijakan pemerintahan, yang harus menjamin kejujuran (fairness). Dapat dicontohkan, bahwa dalam satu perkara yang sedang diperiksa pengadilan, para pihak harus sama-sama diberitahu dengan sepatutnya, dan memberi kesempatan yang sama pada para pihak untuk didengar dalam persidangan yang tidak berpihak. Sementara itu, bagian dari konsep equality before the law, ialah yang disebut egalite des arms (equality of arms), yang merupakan persamaan para pihak dalam proses peradilan, yaitu, suatu litigasi harus menjamin bahwa tidak satu pihakpun yang menikmati keuntungan yang tidak sewajarnya dalam proses yang akan berlangsung(neither party enjoys an improper advantage). Dengan konsep tersebut maka konsep persamaan didepan hukum secara umum yakni merupakan perlakuan, penerapan atau pemberlakuan aturan hukum yang sama bagi setiap orang yang sama, secara adil dan jujur, tanpa memberi keuntungan yang tidak seharusnya bagi satu pihak dan menyebabkan kerugian secara tidak adil bagi pihak lain, berdasarkan aturan yang rasional dan objektif. Artinya, bahwa jika dalam keadaan dan kedudukan yang sama dalam suatu sengketa peristiwa hukum, maka perlakuan yang diberikan pada satu pihak tidak boleh terjadi diskriminasi. Aturan standard yang sama, dalam keadaan dan kedudukan yang sama harus diperlakukan secara sama, dan tidak diperkenankan untuk melakukan pembedaan yang menyebabkan timbulnya ketidak adilan. Jikalau hak tertentu ditentukan dalam aturan hukum sebagai sesuatu yang dimiliki satu pihak, maka jikalau keadaan dan kedudukan yang sama dimiliki orang lain, maka hak yang sama, harus juga diberikan padanya secara adil. Dalam runtun pikiran redaksi, bahwa konsep equality before the law berintikan rumusan “hak untuk memperoleh perlakuan yang sama dalam keadaan dan kedudukan yang sama didepan hukum”. Selamat Membaca dan Salam Redaksi.
ii 404
Laksanto Utomo
PROBLEMA KEBIJAKAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH YANG BERIMPLIKASI TERHADAP PIDANA ADMINISTRASI YANG BERDAMPAK PADA UU NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh : Dr Sugianto, SH, MH Abstrak Permasalahan kebijaksanaan otonomi daerah memberikan otonomi yang sangat luas kepada Pemerintah daerah kabupaten/kota, namun dalam realitanya belum bisa diwujudkan sesuai aturan Undang-undang. Tujuan di Gulirkannya Otonomi Daerah dalam rangka mengembalikan harkat dan martabat masyarakat di daerah dengan memberikan peluang pendidikan politik dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi di daerah, peningkatan efisiensi pelayanan publik di daerah, dan penciptaan berpemerintahan yang baik (good governance). Sampai sejauh mana Pemerintah Pusat dalam membangun sinergitas dan Harmonisasi dengan Pemerintahan Daerah Kewrahab/kota di Indonesia “hanya masih sebatas menjadikan Kepala Daerah dalam hal ini Bupati/Walikota” sebagai Raja raja kecil yang berkuasa di daerah. Tentunya dengan hal tersebut Muncul permasalahan krusial di daerah terhadap Tindak Pidana Korupsi. Kata Kunci : Pengembalian eksistensi Otonomi daerah dan Pentingnya Pemahaman Pidana Korupsi. Abstract Problems discretion of regional autonomy provides a very broad autonomy to the government district/city, but in reality can not be realized by the rules of the Act. The objective of the Autonomous Region in order to restore the dignity of the people in the area by providing political education opportunities in order to improve the quality of democracy in the region, improving the efficiency of local public services, and the creation of the government to be a good (good governance). To what extent the central government in building synergy and harmonization with the Regional Government Kewrahab/cities in Indonesia "is still limited to just make the Regional Head in this case regent/mayor" as little kings who ruled in the area. Of course, with this comes the crucial issues in the region against Corruption. Keywords: Returns the existence of regional autonomy and the Importance of Understanding Corruption. A. Pendahuluan Krisis ekonomi dan kepercayaan yang melanda Indonesia memberikan dampak positif dan dampak negatip bagi upaya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Disatu sisi krisis tersebut telah membawa dampak yang luar biasa pada tingkat kemiskinan, namun disisi lain krisis tersebut dapat juga memberi “berkah tersembunyi “(blessing in disguised) bagi upaya peningkatan taraf hidup seluruh rakyat Indone-
sia dimasa yang akan datang, mengapa? karena krisis ekonomi dan kepercayaan yng dialami telah membuka jalan bagi munculnya reformasi total diseluruh aspek kehidupan bangsa.salah satu unsur reformasi total itu adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota.1 1
Mardiasmo,MBA.Ak. ",Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah," Andi Yogyakata, hlm.3
405
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 405 - 416
Dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang telah dirubah menjadi UU no 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan pemberian otonomi daerah kepada daerah didasarkan atas azas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab.2 Berbicara otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari isu kapasitas keuangan dari tiaptiap daerah. Bahkan pada tahun sebelumnya otonomi senantiasa dikaitkan dengan automoney, artinya kemandirian daerah dalam menyelenggarakan kewenangannya diukur dari kemampuannya menggali sumber-sumber pendapatan sendiri. Implikasi dari penerrapan prinsip automoney inilah yang kemudian mendorong daerah-daerah untuk giat meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah).3 Sejalan dengan otonomi pengelolaan keuangan tersebut pemerintah telah mengeluarkan kebijakan berupa regulasi dibidang keuangan yaitu dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keungan Negara, dan untuk daerah telah pula ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah serta Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai petunjuk pelaksanaannya dan sejak diberlakukannya peraturan tersebut telah membawa perubahan yang fundamental dalam hubungan tata pemerintahan sekaligus membawa perubahan penting dalam pengelo-
laan keuangan daerah.4 Dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 (yang telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004) tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah secara khusus telah menetapkan landasan yang sangat jelas dalam penataan, pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan daerah antara lain memberikan penilaian dalam menetapkan produk penguatan sebagai berikut;5 a. Ketentuan tentang produk-produk pengelolaan keuangan daerah diatur dengan peraturan Daerah (Perda); b. Sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah diatur dengan surat keputusan Kepala Daerah sesuai dengan peraturan daerah tersebut; c. Kepala Daerah menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada DPR mengenai keuangan daerah dari segi efisien dan efektivitas keuangan; d. Laporan pertanggungjawaban keuangan daerah tersebut merupakan dokumen daerah, sehingga dapat diketahui oleh masyarakat. Pengertian yang dimaksud dalam point pokok (d) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tersebut sangat jelas kaitannya dengan apa yang dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara Pasal 19; “Laporan hasil pemeriksaan yang telah disampaikan kepada lembaga perwakilan, di nyatakan terbuka untuk umum.”6 Dalam membedah masalah penelitian seiring dengan beberapa pengertian tentang pengelolaan keuangan daerah diatas, ada beberapa pengertian teori sebagai sudut pandang agar lebih jelas, antara lain; (1) Teori Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan; (2) Teori Residu; (3) Teori Syari‟at Islam. 4
2
Nurlan Darise, “Pengelolaan Keuangan Daerah”. Indeks. Jakarta.hlm.1 3 Adrian Sutedi, Implikasi Hukum atas Sumber Pembiayaan Daerah dalam Kerangka Otonomi Daerah”. Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 70
406
Trilaksono Nugroho, ”Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Penyusunan APBD di Era Otonomi, Bayumedia, Malang, 2007, hlm. 14 5 Rahardjo Adisasmita,”Pembiayaan Pembangunan Daerah”, Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm. 30 6 Lihat Pasal 19 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara”.
Problematika Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah ...
1. Teori Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan Teori ini pada mulanya lahir akibat dari kekuasaan raja yang absolut di Eropa Barat. Di satu aspek hal itu betujun mencegah tumbuhnya kekuasaan ditangan satu orang, sedangkan di aspek lain agar ada jaminan terhadap hak-hak asasi manusia. Ajaran ini oleh Immanuel Kant disebut sebagai doktrin “Trias Politika” Montsquieu. Dasar pemikiran doktrin Trias Politika sebelumnya pernah ditulis oleh Aristoteles dan kemudian dikembangkan oleh John Locke. John Lock dalam bukunya Two Treatises on Civil Goverment yang terbit tahun 1690, membagi kekuasaan negara itu atas tiga cabang kekuasaan, pertama kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif) kedua kekuasaan melaksanakan undang-undang (eksekutif) ketiga kekuasaan federatif. Kekuasaan eksekutif menurut John Lock meliputi kekuasaan meleksanakan atau mempertahankan undang-undang termasuk mengadili. Kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang meiputi sema kekuasaan yang tidak termasuk dalam kekuasaan eksekutif, dan legislatif, yang meliputi hubungan luar negeri. Hal itu dipertegas oleh pula oleh C.F. Strong (Monterquieu pertama kali mengemukakan dalam bukunya “Esprit des lois”, dia berkesimpulan bahwa apabila kekuasaan legislatif dan eksekutif disatukan pada orang atau lembaga yang sama, tidak akan ada kemerdekaan dan berbahaya karena sama halnya dengan monarki atau tirani. Tentang masalah yang sama, M. Oosterhagen menjelaskan “In this respect, the founding fathers resorted to such writers as Lock and Montesquieu,who both had stated that separation of power would provide a safeguard against abuse of power”. (dalam hal ini, para pendiri negara berusaha untuk mengutip pendapat penulis-penulis seperti Lock dan Monesquieu yang meyatakan, bahwa pemisahan kekuasaan dapat memberikan perlindungan terhadap penyalahgunaan kekuasaan). Lebih lanjut M. Oosterhagen menyatakan “tujuan dari pemisahan kekuasaan yang diperkenalan oleh Lock adalah sebagai pengawasan dan pembatasan kekuasaan”. Menurut Bagir Manan, teori pemisahan kekuasaan ini dalam perkembangannya ternyata
Sugianto
beberapa negara modern jarang menerapkannya secara murni (materiel) karena selain tidak praktis juga meniadakan sistem pengawasan atau keseimbangan antara cabang kekuasaan yang satu dan yang lain juga dapat menimbulkan kesewenang-wenangan menurut atau didalam lingkungan masing-masing cabang kekuasaan tersebut. Pandangan serupapun dianut oleh Hans Kelsen, “tidak mungkin untuk menetapkan batas-batas yang memisahkan fungsi-fungsi tersebut satu sama lainnya, sejak adanya perbedaan antara pembentuan dan penerapan hukum yang didasarkan pada dualisme kekusaan legislatif dan eksekutif (dalam arti luas) dan itu sifatnya relatif”. Di Indonesia UUD 1945 menganut dan mempraktekan teori pemisahan kekuasaan secara formil. Hal ini terbukti adanya keterkaitan antara semua lembaga negara tinggi dan saling bekerja sama dalam bidang tertentu, seperti halnya hubungan antara DPR dengan Presiden Keduanya memiliki kekuasaan membentuk undang-undang, menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara dan bidang lainnya. Keterkaitan dan kerja sama antara kedua lembaga negara tersebut tentu dalam hubungan kesetaraan dan kemitraan. Kesetaraan dan kemitraan sebenarnya sebenarnya telah mendapat landasan yang kuat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat, terutama melalui prinsip yang terkandung dalam sila-sila pancasil, yaitu keseimbangan, keserasian dan keselarasan. Konsep atau prinsip tersebut dipopulerkan hubungan“ equilibrium“ oleh Sri Sumantri. Hubungan yang demikian disebut hubungan seimbang, selaras dan serasi, sehingga tidak terjadi saling dominasi yang sering terjadi dalam sistem presidentil ataupun sisten parlementer. Sistem presidenil identik dengan betapa kuatnya presiden sehingga tidak dapat dijatuhkan sebelum masa jabatan berahir. Sementara sistem parlementer perdana menteri dapat dipecat dari jabatannya melalui dua cara, Pertama melalui mosi tidak percaya yang biasanya diajukan oleh oposisi atau koalisi oposisi. Kedua, Perdana Menteri dapat dipecat oleh partai politiknya di luar setting badan legslatif. Artinya dalam sistem parlementer legislatif sangat kuat karena 407
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 405 - 416
dapat menjatuhkan eksekutif kapan saja dengan alasan dan prosedur tertentu. Bentuk pembagian kekuasaan sebagaimana diuraikan diatas identik dengan istilah pemencaran kekuasaan secara horizontal dalam pada itu pemencaran kekuasaan secara vertikal adalah melahirkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah otonom yang memikul hak desentralisasi. Pengelolaan merupakan istilah yang dipakai dalam ilmu manajemen secara etimologi pengelolaan berasala dari kata “kelola” (to manage) dan biasanya merujuk pada proses mengurus atau menangani sesuatu untuk mencapai tujuan. 2. Teori Residu (Penyerahan Sisa atau Kewenangan) Pembagian urusan pemerintahan yang diamanatkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mencerminkan kesamaan dengan sistem penyerahan sisa kewenangan atau kekuasaan (reserve of power) di negara federal.7 Dengan dianutnya sistem penyerahan kewenangan sisa (reserve of power) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (2), Pasal 9 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa daerah cenderung menafsirkannya secara baku dan menganggap bahwa semua kewenangan diluar kewenangan pusat adalah menjadi kewenangan daerah. 3. Teori Syari’at Islam. Al-Quran dan Sunnah adalah merupakan dua dari empat sumber Syariat dimana alquran merupakan sumber pertama dan utama dalam Islam diturunkan secara bertahap dalam bahasa arab, ia mengandung wahyu-wahyu yang Allah beritahukan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW. Rosul-Nya yang terakhir, sedangkan sunnah merupakan seluruh perbuatan dan ucapan Nabi Muhamad. Sebagaimana hal itu dikisahkan oleh para sahabatnya. Berkaitan dengan bagaimana hubungan antara rakyat dengan pemerintah,al-Qur‟an telah menetapkan suatu prinsip yang dapat dinamakan sebagai prinsip ketaatan rakyat.prinsip itu dite7
Strong. C.F,1952, Modern Political konstitions: An Introduction to The Comparat'tv-Study of Their History and Excisting form, Sidgwick & Jackson Limited, London, hlm 100.
408
gaskan didalam surah an-Nisa / 4;59 yang bunyinya. “Hai orang-orang yang beriman,taatilah Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta orang-orang yang berwenang diantara kamu. Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu hal,maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan RasulNya (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih akibatnya“. Hazairin menafsirkan “menaati Allah ialah tunduk kepada ketapan-ketetapan Allah“, “menaati rasul“ yaitu tunduk kepada ketetapanketetapan rasul yaitu Nabi Muhammad SAW dan menaati “ulil amri“ ialah tunduk kepada ketetapan-ketetapan petugas-petugas kekuasaan masing-masing dalam lingkungan tugas kekuasaannya. Adapun ketetapan-ketetapan ulil amri dalam arti sebagai petugas-petugas kekuasaan ada dua macam yaitu: a. Ketetapan yang merupakan pemilihan atau penunjukan garis huku yang setepat-tepatnya ntuk dipakaikan kepada suatu perkara atau kasus yang dihadapi baik yang bersuber dari al Qur‟an maupun dari Sunnah Rasul. b. Ketetapan yang merupakan pembentukan garis hukum yang baru,bagi keadaan baru menurut menurut tempat dan waktu dengan berpedoman pada al-Quran dan Sunnah. Prinsip ketaatan mengandung makna bahwa seluruh rakyat tanpa kecuali berkewajiban menaati pemerintah,para sarjana hukum Islam sependapat bahwa kewajiban rakyat untuk menaati penguasa atau perintah itu menerapkan prinsip-prinsip nomokrasi Islam, dengan perkataan lain, selama penguasa atau pemerintah tidak bersikap zalim (otoliter, diktator) selama itu pula rakyat wajib taat dan tunduk kepada penguasa. Dengan demikian prinsip ketaatan rakyat mengikat rakyat secara alternatif dan melalui prinsip ini pula rakyat berhak untuk mengoreksi setiap kekeliruan yang dilakukan oleh penguasa. Inti dari koreksi rakyat terhadap penyimpangan yang dilakukan penguasa adalah berupa teguran
Problematika Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah ...
dan nasehat agar penguasa menyadari kekeliruannya dan kembali kepada ketetapan-ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Apabila penguasa yang keliru itu telah menyadari kekeliruannya, maka rakyat boleh menaatinya untuk selanjutnya, sebaliknya apabila penguasa yang keliru itu tidak mau menyadari kekeliruannya maka rakyat tidak wajib menaatinya lagi dan penguasa seperti itu harus segera mengundurkan diri atau dihentikan dari jabatannya. Dari segi prinsip ketaatan dapat pula diartikan bahwa penguasa, kecuali memiliki hak ketaatan rakyat terhadapnya, ia atau mereka berkewajiban pula kepentingan-kepentingan rakyat banyak, penguasa dalam menjalankan kekuasaannya tidak boleh mengabaikan kepentingankepentingan umum. Dalam nomokrasi Islam, penguasa wajib mendahulukan kepentingan rakyat ketimbang kepentingan pribadi. Dengan demikian ketaatan rakyat terhadap penguasa mengandung suatu azas timbal balik, dari suatu segi rakyat wajib taat dan tunduk kepada penguasa, tetapi dari segi lain penguasa wajib memperhatikan kemaslahatan umum dan melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi Islam. Menurut Ryass Rasyid (2001;211) berpendapat bahwa kebijaksanaan otonomi daerah memberikan otonomi yang sangat luas kepada Pemerintah daerah kabupaten/kota, hal ini ditempuh dalam rangka mengembalikan harkat dan martabat masyarakat di daerah dengan memberikan peluang pendidikan politik dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi di daerah, peningkatan efisiensi pelayanan publik di daerah, dan penciptaan berpemerintahan yang baik (good governance). Otonomi daerah yang diamanatkan dalam UUD 1945 dan korelasianya dengan UndangUdang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa penyelenggaraan otonomi daerah berorientasi pada kesejahraan rakyat, hal ini dapat dipadukan dengan konsep syariat Islam sebagai perangkat tatanan nilai dalam meningkatkan kualitas keumatan suatu masyarakat dalam semua aspek kehidupan. Syariat Islam diasosiasikan secara normatif mengandung pesan-pesan norma untuk segala aspek kehidupan yang dapat menjadi rujukan atau pedoman dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah itu sendiri baik dalam aspek ekonomi, sosial, maupun supremasi hukum.
Sugianto
Hal ini merupakan sebuah peluang dan sekaligus tantangan bagi penerapan syariat Islam dalam pelaksanaan otonomi daerah. B. Pembahasan Desentralisasi yang mengubah sistem pengelolaan keuangan daerah telah menyajikan fakta-fakta permasalahan sistemik dan struktural, yang sebenarnya tidak cukup diselesaikan dengan sekadar melekatkan pendekatan instrumental atau neo-institutionalisme. Melainkan harus pula diperiksa paradigma hukum dan prinsip-prinsip keuangan daerahnya. Bagaimana paradigma hukum dan prinsip-prinsipnya terjadi dalam konteks kebijakan keuangan daerah di Indonesia, mengapa hal tersebut tidaklah cukup berhasil membongkar akar struktural masalah? Dengan analisis atas teks-teks hukum, akan ditinjau motif-motif dan benturan paradigma politik ekonomi dalam proses-proses kebijakan di daerah, utamanya good financial governance, apakah sesuai dengan paradigma penyejahteraan rakyat dalam konteks ketatanegaraan dan hak asasi manusia.8 Menurut Baldereton (dalam Westra, 1983: 14) mengemukakan bahwa istilah pengelolaan sama dengan manajemen yaitu menggerakan, mengorganisasikan, dan mengarahkan usaha manusia untuk memanfaatkan secara efektif material dan fasilitas untuk mencapai suatu tujuan.9 1. Tujuan dari pada Pengelolaan Keuangan Daerah Tuntutan terhadap pengelolaan keuangan rakyat (publik money) secara baik merupakan isu utama yang harus dilakukan pemerintah daerah dalam mewujudkan tujuan pemerintahan yang bersih (clean goverment), dimana pengelolaan keuangan daerah yang baik adalah kemampuan mengontrol kebijakan keuangan daerah secara ekonomis, efisien, transparan dan akuntabel.10 Sejalan dengan perkembangan kebutuhan pengelolaan keuangan Negara, dirasakan pula 8
R.Herlambang Perdana Wiratraman (2006) “Kekuasaan Tafsir dan Tafsir Kekuasaan Dalam Hukum”, FORUM Keadilan Nomor 50, 16 April 2006. 9 Rahardjo Adisasmita,……. Ibid, hlm.21 10 M. Suparmoko,”Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek”BPFE-Yogyakarta, 2004, hlm. 308
409
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 405 - 416
semakin pentingnya fungsi perbendaharaan dalam rangka pengelolaan sumber daya keuangan pemerintahan yang terbatas secara efisien.11 Dasar aturan yang dijadikan regulasi daripada pengelolaan keuangan daerah, telah dijelaskan dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah RI Nomor 58 Tahun 2005;12 “Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.” Berdasarkan uraian pasal tersebut diatas bahwa adanya keterkaitan yang erat dari keuangan daerah dengan aturan adminitrasi negara, maka secara logis pula keuangan daerah akan mengenal asas-asas hukum berikut; 1. Asas Legalitas; bahwa setiap perbuatan administrasi dalam pengelolaan keuangan daerah harus berdasarkan aturan hukum; 2. Asas tidak boleh menyalahgunakan kekuasaan; bahwa setiap pejabat pengelola keuangan daerah tidak dibenarkan menggunakan kekuasaannya diluar kepentingan pemerintah; 3. Asas tidak boleh mengambil atau menyerobot wewenang; bahwa pengelola keuangan daerah tidak dibenarkan mengambil atau menjalankan wewenang selain wewenang yang dimilikinya; 4. Asas kesamaan Hak bagi setiap penduduk negara (asas non diskriminatif); pejabat pengelola keuangan daerah harus bertindak sama kepada pihak yang dilayaninya; 5. Asas upaya paksa; asas upaya paksa atau mempunyai sanksi dalam rangka memberikan sarana penaatan kepada hukum keuangan daerah;13 11
Atep Adya Barata & Bambang T, “Perbendaharaan dan Pemeriksaan Keuangan Negara/Daerah,”PT.EMK-Gramedia, Jakarta, 2005, hlm.9 12 Lihat Peraturan Pemerintah RI Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah beserta penjelasannya, 2006, hlm.15 13 Muhamad Djumhana,”Pengantar Hukum Keuangan Daerah dan Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bi-
410
Adapun pengelolaan keuangan daerah yang menjadi pokok dan diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 58 Tahun 2005 Pasal 3 tersebut sebagai berikut;14 a. Asas umum pengelolaan keuangan daerah; b. Pejabat-pejabat yang mengelola keuangan daerah; c. Penyusunan RKPD, KUA, PPAS, dan RKA-SKPD; d. Penyusunan dan penetapan APBD; e. Pelaksanaan dan perubahan APBD; f. Penataa usahaan keaungan daerah; g. Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD; h. Pengendalian defisit dan penggunaan surflus APBD; i. Pengelolaan kas umum daerah; j. Pengelolaan piutang daerah; k. Pengelolaan investasi daerah; l. Pengelolaan barang milik daerah; m. Pengelolaan dana cadangan; n. Pengelolaan utang daerah; o. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan daerah; p. Penyelesaian kerugian daerah; q. Pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum Daerah; r. Peraturan pengelolaan keuangan daerah; Dalam pengelolaan keuangan daerah telah diatur pula dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 sebagai pengganti Kepmen Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pengelolaan anggaran (budget) adalah suatu daftar yang terperinci tentang penerimaan dan pengeluaran Negara/daerah yang diharapkan dalam jangka waktu tertentu. Adapun tujuan daripada pengelolaan anggaran itu sendiri yaitu meliputi;15 dang Keuangan Daerah”, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm.24 14 Lihat Peraturan Pemerintah RI Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah beserta penjelasannya, 2006, hlm. 15
Problematika Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah ...
1. Kesejahteraan masyarakat; dengan pengelolaan anggaran yang baik maka akan mendorong kearah perbaikan ekonomi, distribusi pendapatan yang tepat sasaran sehingga akan menciptakan kondisi ekonomi yang stabil dan mengarah kepada pencapaian kesejateraan masyarakat; 2. Membuka kesempatan kerja; anggaran dikelola dengan baik dan alokasi anggaran yang tepat terhadap objek-objek vital akan menarik tenaga kerja, membuka kesempatan kerja karena adanya lapangan kerja sehingga ada distribusi anggaran; 3. Mengurangi pengangguran; efektivitas dan Efisiensi anggaran dan perubahan alokasi anggaran kepada optimalisasi angkatan kerja dengan berbagai bentuk perluasan lahan pekerjaan yang baru. 4. Pelayanan Masyarakat; indikator keberhasilan sebuah pemerintahan adalah bagaimana masyarakat merasa terlayani dengan baik dengan memperoleh tingkat kepuasan yang optimal. Menurut Abdul Halim (2002:236) anggaran dapat digunakan atau berfungsi sebagai berikut; a. Pedoman; dengan fungsi ini berarti unitunit dalam organisasi melaksanakan kegiatan berpedoman pada anggaran sehingga dapat dihindari pemborosan atau penyalahgunaan keuangan organisasi; b. Alat Koordinasi; untuk mencapai tujuan organisasi yang efektif dan efisien diperlukan pembagian tugas, wewenang dan tanggungjawab yang jelas antara pelbagai unit; c. Alat Kontrol; anggaran yang telah dilaksanakan untuk periode tertentu perlu dievaluasi, baik secara parsial maupun komprehensif untuk mengukur kinerja organisasi;16 Secara hukum, pengelolaan keuangan daerah yang dimaksudkan dalam rangka perwujudan kewajiban pemerintah daerah harus dilakukan dengan sejumlah prinsip, yakni: efisien, 15 16
Rahardjo Adisasmita,……Ibid, hlm. 35 Suhadak,…… Ibid, hlm. 52
Sugianto
efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut dan taat terhadap peraturan perundang-undangan (vide: Pasal 23 ayat 2 UU Nomor 32 Tahun 2004). Prinsip-prinsip yang demikian dipengaruhi oleh diskursus (teks hukum) asas-asas penyelenggaraan pemerintahan, yang meliputi: kepastian hukum, tertib penyelenggara negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektifitas (vide: Pasal 20 ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2004). Korupsi menurut Henry Campbell Black dalam Black‟s Law Dictionary adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.17 Dalam pengertian lain, korupsi dapat diartikan sebagai “perilaku tidak mematuhi prinsip”, dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau pejabat publik. Dan keputusan dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga, korupsi akan timbul, termasuk juga konflik kepentingan dan nepotisme.18 Terlepas dari berbagai ragam pengertian korupsi diatas, secara yuridis, pengertian korupsi, baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan, di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang sebelumya, yaitu Undangundang Nomor 3 Tahun 1971. Berbagai kalangan menganggap korupsi sepertinya sudah merasuk di seluruh lini kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara, termasuk juga pemerintahan di daerah. Menurut Patrick Glynn, Stephen J. Korbin dan Moises Naim yang menyebabkan meningkatnya aktivitas korupsi, baik yang sesungguhnya maupun yang dirasakan ada di beberapa negara, karena 17
Black, Henry Campbell, Black‟s Law Dictionary, Edisi VI, West Publishing , St. Paul Minesota, 1990 18 Vito Tanzi, Corruption, Governmental Activities, and Markets, IMF Working Paper, Agustus 1994.
411
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 405 - 416
terjadinya perubahan politik yang sistematik, sehingga memperlemah atau menghancurkan tidak saja lembaga sosial dan politik, tetapi juga hukum.19 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 ada mengatur jenis tindak pidana korupsi yaitu : Pasal 2 ayat (1) . Pasal 3, Pasal 5, UU Nomor 31 tahun 1999 eks Pasal 209 KUHP, Pasal 6 UU Nomor 31 tahun 1999 eks pasal 210 KUHP, Pasal 7 UU Nomor 31 tahun 1999 eks pasal 387 KUHP dan pasal 388 KUHP, Pasal 8 UU Nomor 31 tahun 1999 eks pasal 415 KUHP, Pasal 9 UU Nomor 31 tahun 1999 eks pasal 416 KUHP, Pasal 10 UU Nomor 31 tahun 1999 eks pasal 417 KUHP, Pasal 11 UU Nomor 31 tahun 1999 eks pasal 418 KUHP, Pasal 12 UU Nomor 31 tahun 1999 eks pasal 419, 420, 423, 425, 435 KUHP, Pasal 13 UU Nomor 31 tahun 1999, Pasal 14 UU Nomor 31 tahun 1999, dan Pasal 15 UU Nomor 31 tahun 1999. Dari hal tersebut jelas kelihatan bahwa penerapan Pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 mudah membuktikan namun mengandung multitafsir, akan tetapi Pasal yang lainnya sangat susah membuktikan tetapi tidak multitafsir. Unsur “melawan hukum” (vide Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) dan unsur “menyalahgunakan wewenang kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” (vide Pasal 3 vide Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) seringkali terjadi kekeliruan pemahaman antara kedua unsur tersebut. Pengertian “sifat melawan hukum formil” sering dirancukan dengan pengertian “menyalahgunakan wewenang” padahal itu jelas berbeda, sebab sifat melawan hukum formil bisa dilakukan oleh setiap orang sedangkan menyalahgunakan wewenang hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kewenangan dan kapasitas tertentu yang ditetapkan secara tertulis oleh suatu peraturan formil (tertulis). Hal tersebut perlu difahami secara benar karena akan berkaitan dengan masalah pengumpulan alat bukti dan pembuktiannya di depan persidangan.
Padahal, unsur melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 bukan hanya sifat melawan hukum dalam arti pidana, namun juga mencakup melawan hukum administrasi. Dengan demikian, kesalahan atau pelanggaran terhadap hukum administrasi dapat diadopsi ke dalam sifat melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apabila dari kesalahan administrasi tersebut telah menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 diatur mengenai pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah daerah, yang dalam prakteknya dilakukan oleh aparat pengawas internal yang terwadahi dalam Badan Pengawas Daerah (BAWASDA) baik di pemerintahan Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Hasil pembinaan dan pengawasan dapat digunakan sebagai bahan pemeriksaan oleh badan Pemeriksa Keuangan (BPK (Pasal 221 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Dengan demikian dalam penegakkan hukum di daerah khususnya dalam upaya pemerintah melakukan pemberantasan korupsi, selayaknya BAWASDA dilibatkan dalam upaya pemberantasan korupsi dalam perspektif preventif dan administratif. Serta sebagai upaya untuk meningkatkan pengawasan dan pemeriksaan dalam rangka pemberantas praktik KKN, pemerintah bersama DPR kemudian mengesahkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme. UU Nomor 28 Tahun 1999 tersebut kemudian menjadi landasan hukum dibentuknya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Dengan demikian untuk mengawasi roda pemerintahan, saat ini terdapat lembaga-lembaga pengawas dan pemeriksa yang sifatnya independent dan memiliki tugas yang berbeda-beda, diantaranya OMBUDSMAN, KPKPN, dan BPK.20 2. Penekanan Sanksi Pidana pada Hukum Administrasi Menurut Sjachran Basah, pada hakekatnya hukum administrasi negara adalah pertama me-
19
Lihat Kimberly Ann Elliot, Corruption and The Global Economy, terjemahan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Edisi Pertama, 1999, hlm. 11.
412
20
Suhadak & Trilaksono N,…. Ibid, hlm. 72
Problematika Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah ...
mungkinkan administrasi negara untuk menjalankan fungsinya dan yang kedua melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara dan juga melindungi administrasi negara itu sendiri.21 Sedangkan administrasi Negara mempunyai 2 (dua) arti, pertama dalam arti luas yaitu aktivitas-aktivitas badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif, dan kedua dalam arti sempit yaitu aktivitas badan eksekutif dalam melaksanakan pemerintahan.22 Prajudi Atmosudirdjo memberikan batasan hukum administrasi negara sebagai hukum yang bersifat operasional, artinya hukum yang membuat dan dipergunakan oleh para pejabat dan instansi negara dalam melakukan tugas, kewajiban, dan fungsi masing-masing, baik secara individual maupun instansional. Terlepas dari pengertian diatas, bidang hukum Administrasi mencakup ruang lingkup yang sangat luas, tidak hanya pada bidang hukum pajak atau perbankan saja akan tetapi semua bidang kehidupan termasuk bidang ekonomi dan pendidikan serta sebagainya. Hukum Administrasi dikatakan sangat luas karena hukum administrasi merupakan: “Seperangkat hukum yang diciptakan oleh lembaga administrasi dalam bentuk undang-undang, peraturan-peraturan, perintah dan keputusan-keputusan untuk melaksanakan kekuasaan dan tugas-tugas pengaturan/mengatur dari lembaga yang bersangkutan”.23 Keberadaan sanksi hukum diperlukan karena dengan ancaman hukuman diharapkan dapat dicapai paksaan rohani dan pengaruh mendidik terhadap yang berkepentingan. Salah satu ancaman hukuman tersebut adalah sanksi pidana. Penegakan Hukum Administrasi Negara oleh hukum pidana adalah mengenai sanksinya. Pentingnya sanksi pidana di dalam penegakan Hukum Administrasi Negara oleh Hukum Pidana dapat dilihat dari pendapat Logeman yang di21
Antje M. Ma‟moen, Kedudukan, Tugas dan Wewenang Badan Pertanahan Nasional Ditinjau dari Hukum Administrasi Negara, hlm.281 22 Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 5 23 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2003), hlm.13
Sugianto
kutip Soehardjo Sastrosoehardjo bahwa Hukum Administrasi Negara itu memberikan kaidahkaidah yang membimbing turut serta pemerintah dalam pergaulan sosial ekonomi yaitu kaidahkaidah yang oleh pemerintah sendiri diberi sanksi dalam hal pelanggaran24 Sekarang ini berbagai peraturan perundang-undangan mencantumkan sanksi pidana di dalam “bab ketentuan pidana”. Dengan adanya sanksi pidana didalam “bab ketentuan pidana” maka penegakan hukumnya dilakukan oleh Negara/Pemerintah yang dalam hal ini dilaksanakan pihak kepolisian dan kejaksaan. Dengan demikian dapat disimpulkan pemerintah ikut campur dalam kehidupan masyarakat dengan berbagai alat yang ada padanya. Salah satu alat tersebut adalah hukum pidana. Hukum pidana menduduki peranan yang penting sebagai salah satu sarana kebijakan pemerintah. Hal ini karena hukum pidana mempunyai kedudukan yang istimewa, dalam arti hukum pidana tidak hanya terdapat dalam undang-undang hukum pidana saja namun juga terdapat di dalam berbagai peraturan perundang-undangan lain di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) seperti UU Narkotika, UU Psikotropika, UU Kesehatan, UU Pendidikan dan sebagainya. Perkembangan hukum pidana tidak hanya sekedar di dalam perundang-undangan pidana itu sendiri tetapi telah berkembang dan memasuki bidang hukum lainnya termasuk di dalam tata pemerintahan. Dalam hal ini hukum pidana digunakan untuk menegakkan norma-norma di bidang hukum lain atau dengan kata lain memfungsionalisasikan hukum pidana dalam bidang hukum yang lain. Dalam hal ini Muladi menyatakan bahwa keterlibatan hukum pidana dalam berbagai peraturan perundang-undangan dapat bersifat otonom, dalam arti bersifat murni dalam perundang-undangan hukum pidana sendiri baik dalam merumuskan perbuatan yang dianggap bersifat melawan hukum, dalam menentukan pertanggungjawaban pidananya maupun dalam penggunaan sanksi pidana dan tindakan yang diperlukan; dan bersifat komplementer, dalam arti 24
T.H. Ranidajita, Eksistensi Sanksi Pidana Dalam Hukum Administrasi Negara Khususnya Hukum Pajak di Indonesia, Dalam : Masalah-Masalah Hukum, FH-UNDIP No. 4 Tahun 1994, hlm. 21.
413
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 405 - 416
terhadap bidang hukum lain misalnya hukum administrasi. Dalam hal semacam ini kedudukan hukum pidana bersifat menunjang penegakkan norma yang berada dibidang hukum lain, misalnya pengaturan masalah perpajakan, hak cipta, paten dan sebagainya. Bahkan dalam hal-hal tertentu peranannya diharapkan lebih fungsional daripada sekedar bersifat subsidiair mengingat situasi perekonomian yang kurang menguntungkan.25 Dalam perkembangannya terjadi perubahan terhadap fungsi hukum pidana mengingat adanya pembangunan disegala bidang kehidupan dalam rangka mensejahterakan masyarakat, hukum pidana digunakan sebagai sarana oleh pemerintah untuk meningkatkan rasa tanggungjawab negara/pemerintah dalam rangka mengelola kehidupan masyarakat modern yang semakin kompleks. Sanksi pidana antara lain digunakan secara maksimal untuk mendukung norma hukum administrasi dalam pelbagai hal. Inilah yang dinamakan administrative penal law (verwaltungs strafrecht) yang termasuk dalam kerangka public welfare offenses (ordnungswidrigkeiten).26 Barda Nawawi Arief menamakan hukum pidana administrasi yaitu hukum pidana dibidang pelanggaran-pelanggaran hukum administrasi.27 Sanksi pidana tersebut didayagunakan apabila sanksi administratif sudah tidak mempan khususnya berkaitan dengan pelaku tindak pidana yang sudah keterlaluan dan menimbulkan kerugian besar misalnya dalam bidang perpajakan, lingkungan hidup, hak cipta dan lainlain.28 Keterkaitan hukum administrasi dengan hukum pidana dapat dipahami karena keduanya merupakan hukum publik dan dalam proses penegakan hukum, sanksi pidana (hukum pidana)
25
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang, Naskah Pidato Pengukuhan, Diucapkan pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1990, halaman 148. 26 Muladi, Proyeksi ..., Op.Cit., hlm. 149. 27 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2003), hlm 14 28 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cetakan II, (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002), hlm. 42
414
dipergunakan untuk memperkuat sanksi dalam hukum administrasi negara. Sanksi Hukum Administrasi, menurut J. B.J.M. Berge, ”sanksi merupakan inti dari penegakan hukum administrasi. Sanksi diperlukan untuk menjamin penegakan hukum administrasi”. Menurut P de Haan dkk, ”dalam HAN, penggunaan sanksi administrasi merupakan penerapan kewenangan pemerintahan, dimana kewenangan ini berasal dari aturan hukum administrasi tertulis dan tidak tertulis”. JJ. Oosternbrink berpendapat ”sanksi administratif adalah sanksi yang muncul dari hubungan antara pemerintah–warga negara dan yang dilaksanakan tanpa perantara pihak ketiga (kekuasaan peradilan), tetapi dapat secara langsung dilaksanakan oleh administrasi sendiri”. C. Penutup Kesimpulan 1. Pengelolaan keuangan daerah yang dimaksudkan dalam rangka perwujudan kewajiban pemerintah daerah dasar aturan yang dijadikan regulasi daripada pengelolaan keuangan daerah, telah dijelaskan dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah RI Nomor 58 Tahun 2005. Prinsip-prinsip yang demikian dipengaruhi oleh diskursus (teks hukum) asasasas penyelenggaraan pemerintahan, yang meliputi: kepastian hukum, tertib penyelenggara negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektifitas (vide: Pasal 20 ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2004). 2. Sanksi Pidana administrasi terhadap pelaku atau seseorang yang melakukan tindak pidana dalam Pemerintahan adalah solusi yang tepat.
Problematika Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah ...
Sugianto
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman (ed.), Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah. Jakarta: Media Sarana Press. 1987. Abu Daud Busroh, ”Ilmu Negara”, Jakarta: Bumi Aksara, 2001. Adnan Buyung Nasution, (et.Al.). Federalisme untuk Indonesia, Jakarta: kompas, 1999. Adrian Sutedi, “Implikasi Hukum Atas Sumber Pembiayaan Daerah dalam Kerangka Otonomi Daerah”, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Agus Salim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik Dan Hukum. Bogor : Ghalia Indonesia, 2007. Agustino, Leo, Politik dan Otonomi Daerah, Untirta Press, Serang-Banten, 2005, Ahmad Yani, “Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah”, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Alien,H. JB, Enhancing Decentralisation for Developemnt, The Hague: IULA, 1985. Amrah Muslimin, “Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah”, Bandung: Alumni, 1986. Amrah Muslimin, Pemerintahan Daerah Menurut Perundang-undangan yang Terakhir,” Jakarta: Budhi Dharma, 1957. Andrian Sutedi, ”Implikai Hukum atau Sumber Pembiayaan Daerah dalam Kerangka Otonomi Daerah”, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. APAKSI, “Himpunan Peraturan Pelaksanaan Undang-undang No.22 Tahun 1999 dan Undangundang No.25 Tahun 1999, Jakarta: APKSI, 2001. Astawa, Gede Pantja, ”Politik Hukum Pemerintahan di Daerah berdasarkan Pasal 18 UUD 1945”, dalam B. Arief Sidharta dkk. (eds.), Butir-butir Gagasan tentang Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintahan yang Layak (Sebuah Tanda Mata bagi 70 Tahun Prof. Dr. Ateng Syafrudin, S.H.), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999.
415
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 405 - 416
416
ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN MODAL VENTURA Oleh : Rudyanti Dorotea Tobing STIH Tambun Bungai Palangka Raya Email :
[email protected] Abstrak Salah satu asas yang dijunjung tinggi dalam hukum perjanjian adalah asas kebebasan berkontrak. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dari ketentuan Pasal tersebut berarti bahwa perjanjian-perjanjian yang dibuat secara sah diakui mengikat para pihak yang membuatnya sebagai undang-undang. Asas kebebasan berkontrak diakui oleh KUH Perdata, tetapi pada hakikatnya banyak dibatasi oleh KUH Perdata itu sendiri. Asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh beberapa faktor yaitu itikad baik dan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden atau undue influence). Salah satu perwujudan dari asas kebebasan berkontrak adalah munculnya perjanjian modal ventura. Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.010/2012 tentang Perusahaan Modal Ventura menyebutkan bahwa: “Perusahaan Modal Ventura (Venture Capital Company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan/penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan (investee company) untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan dalam bentuk pembelian obligasi konversi, dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha.” Pembentukan Perusahaan Modal Ventura (PMV) di Indonesia adalah untuk melakukan pembiayaan kepada UMKM sebagai Perusahaan Pasangan Usaha (PPU). Fungsi utama PMV adalah penyertaan modal (equity participation) kepada PPU, terutama wirausaha pemula. Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.010/2012 tentang Perusahaan Modal Ventura menyebutkan bahwa: “Perusahaan Modal Ventura (Venture Capital Company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan/penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan (investee company) untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan dalam bentuk pembelian obligasi konversi, dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha.” Pembentukan Perusahaan Modal Ventura (PMV) di Indonesia adalah untuk melakukan pembiayaan kepada UMKM sebagai Perusahaan Pasangan Usaha (PPU). Fungsi utama PMV adalah penyertaan modal (equity participation) kepada PPU, terutama wirausaha pemula. Pemberian kredit dan pinjaman langsung layaknya bank oleh PMV kepada PPU menunjukkan bahwa PMV tidak menerapkan asas itikad baik. PMV melakukan perjanjian ini dengan pelaku usaha karena memahami benar keadaan pelaku usaha yang sangat membutuhkan pinjaman. Padahal sesungguhnya PMV tidak memiliki kewenangan untuk melakukan perjanjian pinjam meminjam layaknya kredit perbankan. Meskipun perjanjian modal ventura didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, akan tetapi karena melanggar prinsip itikad baik, kepatutan dan undang-undang maka perjanjian modal ventura ini tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian. Kata kunci : Asas Kebebasan Berkontrak, Perjanjian Modal Ventura Abstract One of the principles upheld in contract law is the principle of freedom of contract.. Article 1338 paragraph (1) of the KUH Perdata that "All treaties made legally valid as law for those who made it". The provisions of Article means that agreements are made legally binding on the parties 417
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 417 - 432
acknowledged that making a law. The principle of freedom of contract is recognized by the KUH Perdata, but is essentially restrained by the KUH Perdata itself. The principle of freedom of contract is limited by several factors, namely good faith and misbruik van omstandigheden or Undue Influence. One embodiment of the principle of freedom of contract is a venture capital agreement. Article 1 paragraph 2 of Regulation of the Minister of Finance No. 18 / PMK.010 / 2012 on the Venture Capital Company states that: "Venture Capital Company is a business entity that conducts business financing / equity into a company (investee company) for a certain period in the form of shares of stock, participation in the form of the purchase of convertible bonds and / or financing based on the division in the results. " The purpose of the Venture Capital Company in Indonesia is to finance to SMEs as Partnership Company. The main function of is Venture Capital Company is equity (equity participation) to the Partnership Company, especially entrepreneurs beginners. Giving credit and direct loans like banks by Venture Capital Company to the Partnership Company indicates that Venture Capital Company does not apply the principle of good faith. Venture Capital Company into this contract with businesses for understanding the true state of the business operators are in dire need of loans. Venture Capital Company when in fact it does not have the authority to make an agreement like the borrowing bank credit. Although venture capital agreement based on the principle of freedom of contract, but because it violates the principle of good faith, decency and the laws of the venture capital agreement did not qualify the validity of the agreement. Keywords : The Principle of Freedom of Contract , Venture Capital Company A. Pendahuluan Salah satu asas hukum yang dijunjung tinggi dalam hukum perjanjian adalah Asas kebebasan Berkontrak. Asas kebebasan Berkontrak dalam pustaka-pustaka yang berbahasa Inggris dituangkan dengan istilah “Freedom of Contract” atau “Liberty of Contract” atau “Party Autonomy”. Istilah yang pertama lebih umum dipakai daripada yang kedua dan ketiga. Asas Kebebasan Berkontrak adalah refleksi dari perkembangan paham pasar bebas yang dipelopori oleh Adam Smith. Adam Smith dengan teori ekonomi laissez faire menjadi dasar pemikiran Jeremy Bentham yang dikenal dengan utilitarianisme. Utilitarianisme dan teori klasik laissez faire dianggap saling melengkapi dan sama-sama menghidupkan pemikiran liberal individualistis.1 Pada abad sembilan belas, seiring dengan makin berpengaruhnya doktrin pemikian ekonomi laissez faire, asas kebebasan berkontrak menjadi prinsip umum dalam mendukung persaingan bebas. Asas kebebasan berkontrak menja-
di penjelmaan hukum (legal expression) prinsip pasar bebas. Asas kebebasan berkontrak menjadi paradigma baru hukum kontrak yang sangat diagungkan para filsuf, ahli hukum, dan pengadilan. Pengadilan lebih mengedepankan asas kebebasan berkontrak daripada nilai-nilai keadilan dalam putusan-putusannya. Bahkan asas kebebasan berkontrak cenderung berkembang ke arah kebebasan tanpa batas (unrestricted freedom of contract).2 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya ditulis KUHPerdata) dan perundang-undangan lainnya tidak ada ketentuan yang secara tegas menentukan tentang berlakunya asas kebebasan berkontrak bagi perjanjian-perjanjian yang dibuat menurut hukum Indonesia. Namun tidaklah berarti bahwa asas kebebasan berkontrak tidak menguasai hukum perjanjian Indonesia. Berlakunya asas kebebasan berkontrak dalam perjnjian Indonesia, dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH perdata yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi me-
1
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Penerbit Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 17.
418
2
Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Penerbit Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 1
Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian ...
reka yang membuatnya”. Menurut Subekti, cara menyimpulkan kebebasan berkontrak ini adalah dengan jalan menekankan perkataan “semua”, kata yang ada di muka perkataan perjanjian.3 Dalam asas kebebasan berkontrak terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa saja mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian. Salah satu wujud dari asas kebebasan berkontrak di Indonesia adalah bermunculannya berbagai perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang sebelumnya tidak dikenal dalam KUH Perdata. Salah satu perjanjian yang muncul adalah perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh lembaga pembiayaan. Lembaga pembiayaan dikatakan sebagai sumber pembiayaan alternatif karena di luar lembaga pembiayaan masih banyak lembaga keuangan lain yang dapat memberi bantuan dana, seperti pegadaian, pasar modal, bank, dan sebagainya. Meskipun demikian, dalam kenyataannya tidak semua pelaku usaha dapat dengan mudah mengakses dana dari setiap jenis sumber dana tersebut. Kesulitan memperoleh dana tersebut disebabkan oleh masing-masing lembaga keuangan ini menerapkan ketentuan yang tidak dengan mudah dapat dipenuhi oleh pihak yang membutuhkan dana.4 Di samping berperan sebagai sumber dana alternatif, lembaga pembiayaan juga mempunyai peranan penting dalam hal pembangunan, yaitu menampung dan menyalurkan aspirasi dan minat masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan. Aspirasi dan minat masyarakat dalam pembangunan di bidang ekonomi ini bisa terwujud jika ada pihak yang memfasilitasinya. Lembaga pembiayaan sebagai sumber pembiayaan dapat memberikan kontribusinya dalam bentuk bantuan dana guna menumbuhkan dan mewujudkan aspirasi dan minat masyarakat tersebut. Dengan bantuan dana dari lembaga pembiayaan ini diharapkan masyarakat (pelaku usaha) dapat mengatasi salah satu faktor krusial 3
Subekti, Aneka Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung, 1995, hal. 4 4 Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 1
Rudyanti D. Tobing
yang umum dialami yaitu faktor permodalan.5 Salah satu bidang usaha dari lembaga pembiayaan adalah modal ventura (venture capital). Dewasa ini istilah modal ventura sudah meluas penggunaannya, baik di kalangan dunia usaha maupun dalam tata pergaulan hukum di Indonesia. Istilah modal ventura merupakan terjemahan dari terminologi bahasa Inggris, venture capital yang berarti sesuatu yang mengandung risiko atau dapat pula berarti sebagai usaha. Jadi secara harfiah modal ventura berarti modal yang diinvestasikan pada suatu usaha yang mengandung risiko.6 Secara institusional dan formal usaha modal ventura ini baru ada setelah keluarnya Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan dan Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 telah diganti dengan Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan (selanjutnya ditulis Perpres No. 9 Tahun 2009). Lebih lanjut Modal Ventura diatur secara khusus dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.010/2012 tentang Perusahaan Modal Ventura (selanjutnya ditulis Permenkeu No. 18/ PMK.010/2012). Pasal 1 angka 2 Permenkeu No. 18/PMK. 010/2012 menyebutkan bahwa: “Perusahaan Modal Ventura (Venture Capital Company) yang selanjutnya disingkat PMV adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan/penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan (investee company) untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan dalam bentuk pembelian obligasi konversi, dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha.” Pembentukan Perusahaan Modal Ventura (selanjutnya ditulis PMV) di Indonesia adalah untuk melakukan pembiayaan sebanyak-banyaknya kepada Usaha Kecil dan Menengah (selanjutnya ditulis UKM). Sifat pembiayaan modal ventura adalah di samping memenuhi kebutuhan keuangan, juga memenuhi kebutuhan 5 6
Ibid., hal. 2 Ibid., hal. 19
419
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 417 - 432
non keuangan yaitu pendampingan manajemen. Untuk memenuhi kebutuhan non keuangan ini dibutuhkan keahlian spesifik sesuai dengan jenis usaha penerima modal ventura. PMV dalam menjalankan usahanya dilakukan dengan cara penyertaan modal ke dalam Perusahaan Pasangan Usaha (selanjutnya ditulis PPU). Dalam melakukan penyertaan modal tersebut PMV tidak sekedar merupakan semacam lembaga sosial yang bersifat philantropic atau charity yang menjalankan usahanya berdasarkan tanggung jawab sosial dan rasa belas kasihan. PMV adalah lembaga bisnis yang bertolak pada high risk dan high return investment serta bukan suatu usaha yang spekulatif. Konsep dasar modal ventura adalah pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal (equity participation) ke dalam perusahaan pasangan usaha. Penyertaan modal oleh PMV ini tidak dapat disamakan dengan perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian kredit perbankan. Dalam perjanjian modal ventura tidak ada pinjaman sejumlah uang, sehingga kedudukan PMV bukanlah sebagai Kreditur, melainkan sebagai partner usaha bagi PPU. Pada beberapa waktu ditemukan kondisi bahwa sebanyak 70% industri modal ventura saat ini melenceng dari fungsi utamanya yaitu penyertaan modal (equity participation) kepada PPU, terutama wirausaha pemula. Saat ini, mayoritas industri modal ventura bergerak di bidang pemberian kredit dan pinjaman langsung layaknya bank.7 Keadaan ini dipicu oleh semakin banyaknya pelaku usaha yang membutuhkan pinjaman untuk usahanya. industri modal ventura tidak hanya dibutuhkan bagi start up company tetapi high potential economy. Di sisi lain masih banyaknya pelaku usaha yang tidak memahami hakekat sesungguhnya dari perusahaan modal ventura. Pelaku usaha menganggap bahwa PMV adalah sama seperti bank yang memberikan pinjaman. Dalam ketidak mengertiannya dan dalam kondisi yang terdesak, banyak pelaku usaha yang melakukan perjanjian pinjam meminjam 7
Berubah Jadi 70% Modal Ventura 'Bank', http://mdn. biz.id/n/160724/http://www.medanbisnisdaily.com/news/r ead/2015/04/28/160724/70persen-modal-ventura-berubah -jadi-bank/#.VcwevX0wwdU diposting 28 April 2015, diakses 25 Maret 2016
420
dengan PMV. Perjanjian dibuat layaknya seperti perjanjian kredit perbankan. Dalam perjanjian tersebut juga mengharuskan adanya jaminan kebendaan. Jaminan ini dibuat dalam bentuk pembebanan Hak Tanggungan. PMV melakukan perjanjian ini dengan pelaku usaha karena memahami benar keadaan pelaku usaha yang sangat membutuhkan pinjaman. Padahal sesungguhnya PMV tidak memiliki kewenangan untuk melakukan perjanjian pinjam meminjam layaknya kredit perbankan. B. Metode Penelitian Penelitian ini tergolong jenis penelitian hukum normatif (legal research)8 yakni penelitian yang mengkaji peraturan perundang-undangan dalam suatu tata hukum yang koheren. Penelitian ini menggunakan bahan hukum sebagai sumber utamanya. Abdulkadir Muhammad mengatakan,9 “penelitian hukum normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat”. Dalam konteks penelitian hukum normatif, lebih lanjut Abdulkadir Muhammad berpendapat bahwa penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek yaitu : aspek teori, aspek sejarah, filsafati, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya. Penelitian ini menggunakan bahan hukum sebagai sumber utamanya. Oleh karenanya, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hukum po8
Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum normatif ini mencakup : (1) Penelitian terhadap asas-asas hukum; (2) penelitian terhadap sistemtaik hukum; (3) penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal; (4) perbandingan hukum; (5) sejarah hukum. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Edisi 1, Cet. V, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2001), hlm.23-24. Lihat juga Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di Dalam Penelitian Hukum, Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Indonesia, Jakarta, 1979, hal.15 9 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 51
Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian ...
sitifnya, dalam arti “menghimpun, memaparkan, mensistemasi, menganalisis, menafsirkan dan menilai norma-norma hukum positif yang berkaitan dengan konsep perjanjian kredit sindikasi yang berasaskan demokrasi ekonomi, berdasarkan dan dalam kerangka tatanan atau sistem hukum yang berlaku dimana hukum adalah salah satu sub sistem dari keseluruhan sistem aktivitas PerjanjianModal Ventura. Penelitian terhadap Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Modal Ventura ini dilakukan dengan pendekatan yaitu : a) pendekatan filsafat (philosophycal approach); b) pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach); c) pendekatan konseptual (conceptual approach), d) pendekatan historis (historical approach). C. Hasil dan Pembahasan 1. Modal Ventura sebagai Pembiayaan bagi Usaha Kecil dan Menengah Konsep dasar modal ventura adalah pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal (equity participation) ke dalam PPU. Penyertaan modal oleh PMV ini tidak dapat disamakan dengan penyertaan biasa, dan tidak juga semua penyertaan modal pada perusahaan lain dapat digolongkan sebagai pembiayaan modal ventura. Pembiayaan modal ventura mempunyai ciri-ciri atau karakteristik tertentu yang membedakan dengan usaha lain sekalipun usaha tersebut sejenis. Beberapa karakteristik yang melekat pada usaha modal ventura tersebut adalah sebagai berikut :10 1) Bantuan pembiayaan pada perusahaan pasangan usaha bukan dalam bentuk pinjaman (loan), tetapi dalam bentuk penyertaan modal (equity participation) atau setidak-tidaknya pinjaman yang dapat dialihkan ke equity (convertible); 2) Bantuan pembiayaan bersifat sementara, sampai pada waktunya dilakukan divestasi, dengan ketentuan tidak boleh melebihi jangka waktu 10 (sepuluh) tahun; 3) Penyertaan modal bersifat jangka panjang (long term), biasanya di atas 3 (tiga) tahun; 4) Pembiayaan ini berisiko tinggi (high 10
Sunaryo, Op.Cit., hal. 26
Rudyanti D. Tobing
5)
6) 7) 8) 9)
risk) karena tidak didukung dengan jaminan (collateral); Motif utamanya tetap bisnis, yaitu mengharapkan keuntungan yang tinggi berupa capital gain sebagai imbalan atas risiko yang tinggi; Perusahaan modal ventura terlibat dalam manajemen (hand on management) pada perusahaan pasangan usaha; Investasi modal biasanya dilakukan terhadap perusahaan yang tidak punya akses untuk memperoleh kredit dari bank; Umumnya ditujukan pada perusahaan kecil atau perusahaan baru, tetapi memiliki potensi besar untuk berkembang; Pemodal ventura merupakan personifikasi manusia unggul yang mampu mencari dan melihat peluang bisnis, profesional, kreatif, inovatif dan dinamis, serta memiliki jiwa entrepreneurship.
Pendirian PMV bukanlah tanpa ada tujuan dan manfaat. Sebagai lembaga bisnis, usaha modal ventura sudah tentu berorientasi untuk memperoleh keuntungan yang besar mengingat usaha ini mempunyai tingkat risiko yang tinggi (high risk). Meskipun demikian, bukan berarti usaha modal ventura ini tidak mempunyai misi humanistik (humanistic institution), yaitu lembaga penolong bagi usaha yang masih lemah. Di sini usaha modal ventura dapat memberikan banyak manfaat bagi pengembangan usaha, khususnya bagi UKM) yang banyak terdapat di Indonesia. Tujuan kegiatan usaha PMV, diatur secara tegas dalam Pasal 3 Permenkeu No. 18/PMK. 010/2012, yaitu : 1. Pengembangan suatu penemuan baru; 2. Pengembangan perusahaan atau UMKM yang pada tahap awal usahanya mengalami kesulitan dana; 3. Membantu perusahaan atau UMKM yang berada pada tahap pengembangan; 4. Membantu perusahaan atau UMKM yang berada pada tahap kemunduran usaha; 5. Pengembangan proyek penelitian dan rekayasa; 6. Pengembangan berbagai penggunaan teknologi baru dan alih teknomogi daik dari dalam maupun luar negeri; dan/atau 421
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 417 - 432
7. Membantu pengalihan kepemilikan perusahaan. Dari ketentuan di atas nampak jelas bahwa kegiatan usaha dari PMV antara lain adalah membantu perusahaan atau UKM yang berada pada tahap awal usahanya mengalami kesulitan, pada tahap pengembangan dan/atau pada tahap kemunduran usaha. Hal ini sejalan dengan sejarah Modal Ventura di Indonesia, yakni pendirian PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia oleh pemerintah pada tahun 1973 sebagai PMV pertama di Indoensia yang mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Menurut KPHN Hoedhiono Kadarisman, maksud dan tujuan didirikannya PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia ini adalah untuk :11 1. menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha dari pengusaha kecil dan menengah dengan mengusahakan segala bantuan yang diperlukan untuk mencapainya, tanpa mengabaikan kaidah berusaha yang sehat; 2. Membantu kelancaran pertumbuhan perusahaan kecil dan menengah dengan jalan mengadakan penyertaan modal saham dalam perusahaan-perusahaan, dan memberikan pinjaman jangka menengah /panjang serta menyediakan bantuan keahlian yang diberikan untuk mengatasi masalah manajemen perusahaan yang bersangkutan; 3. Membantu menciptakan kondisi berusaha yang baik bagi pengusaha kecil dan menengah agar mereka dapat tumbuh menjadi pengusaha yang dapat diandalkan. Menurut Dahlan Siamat, pembiayaan modal ventura di samping berorientasi untuk memperoleh keuntungan yang tinggi, dengan risiko yang tinggi pula, juga bertujuan untuk :12 1. Memungkinkan dan mempermudah pendirian suatu perusahaan baru; 11
KPHN Hoedhiono Kadarisman, Modal Ventura Alternatif Pembiayaan Usaha Masa Depan, IBEC, Jakarta, 1995, hal. 118. 12 Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2001, hal. 337.
422
2. Membantu membiayai perusahaan yang sedang mengalami kesulitan dana dalam pengembangan usahanya, terutama pada taha-tahap awal; 3. Membantu perusahaan baik pada tahap pengembangan suatu produk maupun pada tahap mengalami kemunduran; 4. Membantu terwujudnya dari hanya satu gagasan menjadi proyek jadi yang siap dipasarkan; 5. Memperlancar mekanisme investasi dalam dan luar negeri; 6. Mendorong pengembangan proyek research and development; 7. Membantu pengembangan teknologi baru dan memperlancar terjadinya alih teknologi; 8. Membantu dan memperlancar pengalihan kepemilikan suatu perusahaan. Di samping tujuan di atas, Martono menginventarisasi beberapa manfaat dilihat dari sisi Perusahaan Pasangan Usaha (Investee Company) yaitu sebagai berikut :13 1. Kegiatan usaha dapat ditingkatkan. Pada umumnya perusahaan pasangan usaha merupakan perusahaan kecil yang memerlukan penambahan dana untuk meningkatkan kegiatan usahanya. Perusahaan kecil dan baru pada awal perkembangan biasanya sulit untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank. Dengan adanya pembiayaan modal ventura, perusahaan kecil dan masih dalam awal perkembangan dapat menjadi perusahaan pasangan usaha sehingga dapat memperoleh bantuan dana untuk meningkatkan kegiatan usahanya. 2. Kemungkinan berhasil usaha lebih besar. Seseorang yang menemukan produk atau suatu ciptaan baru belum tentu mampu mepmproduksi dan berhasil memasarkan hasil produknya. Pelaksanaan produksi dan pemasaran produk membutuhkan suatu keahlian, pengalaman dan jaringan pemasaran yang dapat menjamin kelancaran usaha. Dengan masuknya modal ventura yang memiliki kemampuan ma13
Martono, Bank dan Lembaga Keuangan Lain,Ekonisia, Yogyakarta, 2002, hal. 129
Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian ...
3.
4.
5.
6.
najemen dan latar belakang bisnis yang kuat sebagai partner usaha, kemungkinan berhasilnya perusahaan pasangan usaha akan menjadi lebih besar. Peningkatan efisiensi pemasaran produk. Pada awal dilakukannya kegiatan produksi biasanya kegiatan pemasarannya tidak efisien. Hal ini disebabkan oleh kegiatan pemasaran dilakukan sendiri dan jumlah produksinya masih relatif kecil. Dengan masuknya modal ventura yang dapat memberikan bantuan dana, bantuan manajemen, juga memiliki jaringan pemasaran yang luas, maka Perusahaan Pasangan Usaha dapat meingkatkan efisiensi pemsaran produknya. Peningkatan bankabilitas. Perusahaan yang baru dan mengalami kesulitan dana biasanya juga memiliki manajemen yang lemah. Dengan kondisi yang demikian para kreditur termasuk bank kurang berminat untuk memberikan pinjaman. Dengan masuknya modal ventura, akan meningkatkan kepercayaan para kreditur/bank untuk memberikan pinjaman kepada perusahaan tersebut. Peningkatan tingkat likuiditas. Pembiayaan modal ventura dengan cara penyertaan modal tidak perlu membayar beban bunga dan angsuran utang. Hal ini berbeda dengan utang bank yang menimbulkan kewajiban membayar angsuran utang dan beban bunga. Dengan demikian, penambahan modal penyertaan secara langsung akan meningkatkan tingkat likuiditas perusahaan. Peningkatan tingkat rentabilitas. Dengan bantuan penambahan dana sekaligus bantuan manajemen yang memiliki tenaga-tenaga profesional dan berpengalaman, maka kegiatan produksi dan pemasaran akan lebih efektif dan efisien. Volume produksi dan penjualan dapat ditingkatkan. Biaya produksi dan pemasaran dapat ditekan, dan pada akhirnya akan meningkatkan kemampuan memperoleh laba (rentabilitas).
Rudyanti D. Tobing
2. Asas Kebebasan Berkontrak Dalam perjanjian Modal Ventura Pada basis (landasan) suatu sistem kaidah/ norma hukum terdapat kaidah-kaidah penilaian yang fundamental, yang dinamakan asas-asas hukum. Kata asas memiliki beragam makna. Secara gramatikal asas sering dipadankan dengan “alas” atau “landasan”. Makna asas menurut Poerwadarminta adalah kebenaran yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.14 Apabila kata asas digabungkan dengan kata hukum, yakni menjadi asas hukum, maka maknanya adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan berpendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum.15 Pemaknaan sederhana terhadap asas hukum tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa asas hukum merupakan landasan atau dasar segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum, baik ia merupakan materi, penegakan, maupun pelaksanaannya.16 Gagasan tentang asas hukum sebagai kaidah penilaian fundamental dalam suatu sistem hukum banyak ditemukan dalam karya-karya para teoritisi hukum. Paul Scholten misalnya menguraikan (memberikan definisi) asas hukum sebagai berikut : “Pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang system hukum masing-masing dirumuskan dalam aturanaturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang brkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya”.17 Dari definisi Scholten di atas, terlihat bahwa asas-asas hukum mewujudkan sejenis sistem sendiri yang sebagian termasuk ke dalam sistem hukum, tetapi sebagian lainnya tetap berada di luarnya. Dalam hal pikiran Scholten terarah pada sistem hukum positif. Peranan ganda dari asas hukum berkenaan dengan sistem hukum positif itu berkaitan dengan sifat (karakter) khas asas hukum sebagai kaidah penilaian (waarde14
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hal. 61 15 Mohammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 1990, hal. 113 16 Abdul Rachmad Budiono, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Bayumedia, Malang, 2005, hal. 90. 17 J.H. Bruggink alih bahasa Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 119.
423
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 417 - 432
ringsnomen). Asas hukum mengungkapkan nilai yang harus diperjuangkan untuk mewujudkannya, tetapi yang hanya sebagian saja dapat direalisasikan dalam hukum positif, maka asas hukum itu berada dalam sistem tersebut. Sejauh tidak demikian halnya, maka asas hukum berada di belakangnya. Fungsi asas hukum adalah merelaisasikan ukuran nilai itu sebanyak mungkin dalam kaidah-kaidah dari hukum positif dan penerapannya.18 Salah satu asas yang dijunjung tinggi dalam hukum perjanjian adalah asas kebebasan berkontrak. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dikenal sebagai perwujudan asas kebebasan berkontrak. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata berbunyi “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dari ketentuan Pasal tersebut berarti bahwa perjanjian-perjanjian yang dibuat secara sah diakui mengikat para pihak yang membuatnya sebagai undang-undang. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, Asas Kebebasan Berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut : (1) kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian; (2) kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian; (3) kebebasan untuk menentukan klausula dalam perjanjian yang dibuatnya; (4) kebebasan untuk menentukan objek perjanjian; (5) kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian; dan (6) kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend optional).19 Salah satu perwujudan asas kebebasan berkontrak adalah timbulnya perjanjian modal ventura. Perkembangan Usaha Modal Ventura di Indonesia masih dinilai lamban. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memantau industri modal ventura Indonesia dari tahun ke tahun kondisinya kurang baik jika dibanding industri lain baik lembaga pembiayaan maupun industri keuangan non bank secara umum. Bahkan, sejak pertama industri ini dikembangkan hingga akhir 2014, pertumbuhan aset industri modal ventura belum menunjukkan perkembangan signifikan sekalipun masih menunjukkan tren pertumbuhan. Total aset industri modal ventura pada 18 19
Ibid. Sutan Temy Sjahdeini, Op. Cit., Hal. 65
424
2014 tumbuh 9,10% dari Rp 8,24 triliun pada 2013 menjadi Rp 8,99 triliun pada akhir Desember 2014. Namun, market share industri modal ventura saat ini masih sangat kecil bila dibanding industri jasa keuangan lainnya seperti industri perusahaan pembiayaan. Industri pembiayaan yang dikembangkan pemerintah pada periode yang hampir bersamaan dengan industri modal ventura memiliki pertumbuhan cukup signifikan. Di mana saat ini total aset perusahaan pembiayaan sudah mencapai Rp 420,44 triliun pada akhir 2014. Dengan demikian, apabila dibandingkan dengan industri pembiayaan tersebut, total aset industri perusahaan modal ventura hanya sekitar 2,14% dari total aset industri pembiayaan. Dalam skala yang lebih besar lagi, apabila dibanding dengan jumlah total seluruh aset industri keuangan non bank sebesar Rp 1.351 triliun, maka market share perusahaan modal ventura relatif masih sangat kecil, yaitu hanya sebesar 0,67%.20 Selain perkembangan industri tersebut berjalan lambat, bahkan, core business dari PMV telah banyak bergeser dari tujuannya semula. Hal ini ditandai dengan minimnya aktivitas dalam bentuk penyertaan kepada PPU baik dalam bentuk equity participation maupun pembelian obligasi konversi.21 Sebanyak 70% industri modal ventura saat ini melenceng dari fungsi utamanya yaitu penyertaan modal (equity participation) kepada PPU, terutama wirausaha pemula. Saat ini, mayoritas industri modal ventura bergerak di bidang pemberian kredit dan pinjaman langsung layaknya bank.22 Salah satu contoh dari perjanjian modal ventura yang bergerak di bidang pemberian kredit dan pinjaman langsung layaknya bank adalah perjanjian yang dilakukan antara PT. Sarana 20
OJK: Perkembangan Industri Modal Ventura RI Kurang Baik Disfiyant Glienmourinsie http://ekbis.sindo news.com/read/994272/34/ojk-perkembangan-industrimodal-ventura-ri-kurang-baik-1430105390 diposting Senin, 27 April 2015 diakses tanggal 25 Agustus 2016 21 OJK Susun Aturan Soal Modal Ventura, http://www.hu kumonline.com/berita/baca/lt553de83c2f0f4/ojk-susunaturan-soal-modal-ventura diposting Senin, 27 April 2015, diakses tanggal 25 Agustus 2016 22 70% Modal Ventura Berubah Jadi 'Bank' http://www. medanbisnisdaily.com/news/read/2015/04/28/160724/70p ersen-modal-ventura-berubah-jadi-bank/#.VgIOmH2rgdU diposting 28 April 2015, diakses 25 Agustus 2016
Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian ...
Kalteng Ventura (selanjutnya ditulis PT. SKV) dengan Tri Akbar Samsi Silam. Dengan kasus posisi sebagai berikut : Tri Akbar Samsi Silam mendapat proyek pengadaan barang/jasa dari Kantor Dinas Pekerjaan Umum Bidang Sumber Daya Air Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah Tahun Anggaran 2014 di Palangka Raya yaitu pekerjaan Pembangunan Jaringan Raya D. R Desa Kampung Melayu Kabupaten Katingan dengan surat perjanjian (kontrak) Nomor: 302/KRTK-APBD/ SDA/DPUKT/II/2014 tanggal 14 Februari 2014, harga borongan Rp. 913.200.000,- dalam waktu pekerjaan 180 hari kalender. Untuk membiayai/memodali pekerjaan tersebut Tri Akbar Samsi Silam mengajukan kerjasama pembiayaan/penyertaan modal kepada PT. SKV. Permohonan tersebut ditanggapi
Rudyanti D. Tobing
oleh PT. SKV dan membuat Akta Perjanjian Pembiayaaan dengan pola bagi hasil di hadapan Notaris Ellys Nathalina di Palangka Raya pada tanggal 15 April 2014 dengan Akta Perjanjian Pembiayaan Nomor 36. Dalam perjanjian disepakati pembiayaan sebesar Rp. 400.000.000,0 (empat ratus juta rupiah) dengan imbalan bagi hasil 24% setahun, jangka waktu pembiayaan adalah selama 6 (enam) bulan. Dan sebagai jaminan dalam perjanjian tersebut adalah berupa tanah dan bangunan rumah yang dibebani Hak Tanggungan berdasarkan Akta Pemberian Hak Tanggungan No. 156/2014 tanggal 15 April 2014. Penerima pembiayaan tidak menerima sepenuhnya dana yang ada dalam perjanjian pembiayaan, akan tetapi dipotong dengan biayabiaya dengan rincian sebagai berikut :
Penyertaan Modal sebesar Rp. 400.000.000,Pengurangan : - Provisi 1% X Rp. 400.000.000,Rp. 4.000.000,- Biaya administrasi 1% X Rp. 400.000.000,- Rp. 4.000.000,- Biaya Notaris Rp. 6.400.000,- Asuransi rumah dan jiwa Rp. 2.190.000,- Titipan bagi hasil 3 bulan yaitu angsuran 1 bulan sebesar Rp. 8.000.000,Rp. 24.000.000,_____________ Rp.42.190.000,______________ Jumlah penyertaan modal yang diterima Rp. 357.810.000,Karena sesuatu hal maka Tri Akbar Samsi Silam belum dapat memberikan bagi hasil sepenuhnya dan mengembalikan modal kepada PT. SKV. Pada tanggal 28 Januari 2015 dilakukan pelelangan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Palangka Raya atas barang jaminan yang dimenangkan oleh Yuniasi Rimbun. Pada bulan Januari Tri Akbar Samsi Silam melalui kuasa hukumnya Aminuddin Lingga, SH. MH. dan Walden Sihaloho, SH. MH. mengajukan Gugatan ke Pengadilan Negeri Palangka Raya, dengan menggugat PT. SKV sebagai Tergugat I, Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Ellys Nathalina, SH. MH. sebagai Tergugat II, Pemerintah Republik Indonesia (RI) Cq Kementerian Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional (BPN) RI cq. Kantor Wilayah BPN Provinsi Kalimantan Tengah cq. Kantor Pertanahan Kota Palangka Raya sebagai Tergugat III., Pemerintah Republik Indonesia (RI) Cq. Kementerian Keuangan RI cq Kantor Wilayah DKJN Kalimantan Selatan dan Tengah cq. Kantor Pelayanan Negara dan Lelang Palangka Raya sebagai Tergugat IV dan Yuniasi Rimbun sebagai Tergugat V. Substansi gugatan dari Penggugat adalah pembatalan perjanjian, dengan alasan bahwa Tergugat I sebagai lenbaga pembiayaan telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan Akta Pendirian Perusahaan Tergugat I Nomor 6 Tahun 1997 dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan tentang Lembaga Pembiayaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah 425
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 417 - 432
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan jo Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2012 tentang Perusahaan Modal Ventura, dengan modus operansi yaitu Tergugat I membuat perjanjian pembiayaaan dengan Penggugat namun isi perjanjian bukan perjanjian pembiayaan atau penyertaan modal melainkan dibuat menjadi hutang piutang bagi Penggugat. Atas perkara ini dengan Putusan Nomor 20/Pdt.G/2015/PN Plk, tanggal 12 Agustus 2015, Hakim yang menangani dengan diketuai oleh Mulyanto, SH.MH. dengan Hakim Anggota Yuli Atmaningsih, SH. M.Hum. dan I Wayan Sugitarwan, SH menolak gugatan Penggugat seluruhnya dan menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp. 1.831.000,- (satu juta delapan ratus tiga puluh satu ribu rupiah). Pertimbangan dari hakim adalah bahwa tuntutan Penggugat yang menyatakan dalam hukum perjanjian pembiayaan antara Terguagat I dengan Penggugat di hadapan Tergugat II yaitu Perjanjian Pembiayaan No. 39 tanggal 15 April 2014 adalah tidak sah karena bertentangan dengan akte pendirian perusahaan tergugat I dan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, untuk membuktikan hal tersebut. Menimbang bahwa Tergugat I dalam jawabannya bahwa antara Tergugat I dengan Pengggugat telah sepakat untuk membuat dan menandatangani perjanjian pembiayaan per tanggal 15 April 2014 dengan Akta No. 39, yang dibuat dan ditandatangani secara notariil di hadapan Ellys Nathalina, SH. MH. Notaris dan PPAT di Palangka Raya/Tergugat II berikut dengan perjanjian accessoirnya. Berdasarkan hal tersebut maka tidak bisa membatalkan akte perjanjian yang telah dibuat antara Tergugat I dengan penggugat secara Notariil yang berupa Akte otentik, sehingga dengan demikian tuntutan Penggugat pada petitum ke-2 tersebut haruslah ditolak. Menimbang bahwa karena tuntutan Penggugat pada petitium ke2 yang menjadi pokok pesoalan dalam perkara ini telah ditolak, maka tuntutan Penggugat pada petitum yang selebihnya tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan lebih lanjut dan harus ditolak pula. Pertimbangan hakim dalam perkara tersebut menitik beratkan bahwa antara Tergugat I 426
dengan Pengggugat telah sepakat untuk membuat dan menandatangani perjanjian pembiayaan per tanggal 15 April 2014 dengan Akta No. 39, yang dibuat dan ditandatangani secara notariil di hadapan Ellys Nathalina, SH. MH. Notaris dan PPAT di Palangka Raya/Tergugat II. Menurut penulis, putusan hakim dalam perkara tersebut adalah tidak tepat. Pertimbangan hakim hanya menekankan bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah sepakat untuk membuat dan menandatangani perjanjian pembiayaan yang dibuat secara Notariil, sehingga tidak dapat dibatalkan. Putusan hakim hanya mendasarkan pada asas kebebasan berkontrak tanpa mempertimbangkan asas itikad baik dan penyalahgunaan keadaam (misbruik van omstandigheden atau undue influence). Perjanjian pembiayaan yang dibuat oleh PMV serta proses pemberian pembiayaan menyerupai pemberian kredit oleh bank. PMV meskipun dalam perjanjiannya menggunakan istilah pembiayaan tetapi secara substansi isinya sama dengan perjanjian kredit bank. Pemberian kredit dan pinjaman langsung layaknya bank oleh PMV kepada PPU melanggar fungsi utama PMV yaitu untuk melakukan pembiayaan kepada UMKM sebagai PPU. Fungsi utama PMV adalah penyertaan modal (equity participation) kepada PPU, terutama wirausaha pemula sesuai dengan Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.010/2012 tentang Perusahaan Modal Ventura menyebutkan bahwa: “Perusahaan Modal Ventura (Venture Capital Company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan/penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan (investee company) untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan dalam bentuk pembelian obligasi konversi, dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha.” Pemberian kredit dan pinjaman langsung layaknya bank oleh PMV ini dipicu oleh semakin banyaknya pelaku usaha yang membutuhkan pinjaman untuk usahanya. Di sisi lain masih banyaknya pelaku usaha yang tidak memahami hakekat sesungguhnya dari perusahaan modal ventura. Dalam ketidak mengertiannya dan dalam kondisi yang terdesak, banyak pelaku usaha yang melakukan perjanjian pinjam meminjam dengan PMV. Perjanjian dibuat layaknya seperti
Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian ...
Rudyanti D. Tobing
perjanjian kredit perbankan berikut dengan perjanjian jaminan dalam bentuk pembebanan Hak Tanggungan. Ketika PPU wanprestasi, maka agunan dieksekusi dan dilelang. Pemberian kredit dan pinjaman langsung layaknya bank oleh PMV seolah-olah berlandaskan pada asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak diakui oleh KUH Perdata, tetapi pada hakikatnya banyak dibatasi oleh KUH Perdata itu sendiri. Pada hekekatnya kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh beberapa faktor. Menurut Ridwan Khairandy, faktor-faktor yang mempengaruhi pembatasan kebebasan berkontrak adalah : 1. Semakin berpengaruhnya ajaran itikad baik, dimana itikad baik tidak hanya pada pelaksanaan kontrak, tetapi juga harus ada pada saat dibuatnya kontrak. 2. Makin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaam (misbruik van omstandigheden atau undue influence).23 Asas itikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata mengandung makna bahwa pelaksanaan dari suatu perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan keadilan. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata pada umumnya dihubungkan dengan Pasal 1339 KUH Perdata, bahwa “Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang”. Itikad baik meliputi tiga fase perjalanan kontrak, yaitu pre contractuele fase, contractuele fase, dan postcontractuele fase. "Penyalahgunaan keadaan" (misbruik van omstandigheden) sudah diatur dalam New Burgerlijke Wetboek (selanjutnya ditulis NBW), sedangkan di Indonesia penyalahgunaan keadaan muncul dari lapangan yurisprudensi. Sekalipun asas kebebasan berkontrak banyak dibatasi oleh KUH Perdata itu sendiri, tetapi daya kerjanya masih sangat longgar. Kelonggaran ini telah menimbulkan ketimpanganketimpangan dan ketidak adilan bila para pihak
yang membuat perjanjian tidak sama kuat kedudukannya atau mempunyai bargaining position yang sama. Tidak ada kebebasan berkontrak yang mutlak. Negara dapat daja mengatur dengan melarang klausula-klausula dalam suatu perjanjian yang dapat brakibat buruk atau merugikan kepentingan masyarakat. Lebih-lebih lagi di alam negara republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, adalah sudah selayaknya apabila negara tidak membiarkan pembuatan perjanjian hanya semata-mata diserahkan kepada bekerjanya mekanisme asas kebebasan berkontrak yang tidak terbatas. Pemberian kredit dan pinjaman langsung layaknya bank oleh PMV kepada PPU menunjukkan bahwa PMV tidak menerapkan asas itikad baik. PMV melakukan perjanjian ini dengan pelaku usaha karena memahami benar keadaan pelaku usaha yang sangat membutuhkan pinjaman. Padahal sesungguhnya PMV tidak memiliki kewenangan untuk melakukan perjanjian pinjam meminjam layaknya kredit perbankan. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata pada umumnya dihubungkan dengan Pasal 1339 KUH Perdata, bahwa “Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang”. Substansi Pasal 1339 KUH Perdata pada prinsipnya mempunyai kandungan yang sama dengan Pasal 6.248 paragraf 1 NBW yang menyatakan bahwa “kontrak tidak hanya mengikat apa yang secara tegas disepakati, tetapi juga kepada apa yang menurut sifat kontrak yang berasal dari hukum, kebiasaan atau persyaratan kerasionalan dan kepatutan”.24 Itikad baik sudah harus ada sejak saat proses negosiasi dan penyusunan kontrak hingga pelaksanaan kontrak. PMV tidak menerapkan asas itikad baik sejak saat pra kontrak, penyusunan kontrak hingga pelaksanaan kontrak. Menurut J. M. Van Dunne, daya berlaku itikad baik meliputi seluruh proses kontrak atau diibaratkan dengan “the rise and all of contract”. Dengan demikian itikad baik meliputi tiga fase perjala-
23
24
Ridwan Khairandy, Op.Cit., hal. 3
Ibid.
427
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 417 - 432
nan kontrak, yaitu (i) pre contractuele fase, (ii) contractuele fase, dan (iii) postcontractuele fase.25 Menurut Ridwan Khairandy, terlihat jelas bahwa teori hukum kontrak klasik yang merupakan refkesi hukum terhadap teori ekonomi laissez faire, telah mengesampingkan atau bahkan memusuhi doktrin itikad baik.26 Dalam menilai itikad baik, hakim harus memperhatikan kepatutan. Setiap kontrak harus didasarkan pretium iustum yang mengacu kepada reason dan equality yang mensyaratkan adanya keseimbangan antara kerugian dan keuntungan bagi kedua belah pihak dalam kontrak (just price). Hal tersebut sejalan dengan tujuan hukum sendiri, yakni merealisasikan keadilan. Isi hukum, termasuk isi kontrak harus memuat nilai-nilai keadilan. Dalam konteks hukum kontrak, hakim memiliki kewenangan untuk mencegah terjadinya pelanggaran rasa keadilan. Dengan kewenangannya, hakim harus mengurangi atau bahkan meniadakan sama sekali suatu kewajiban kontraktual dari suatu kontrak yang mengandung ketidak adilan.27 Asas kebebasan berkontrak pun dibatasi oleh makin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaam (misbruik van omstandigheden atau undue influence). Cacadnya sepakat sesuai perkembangan tidak hanya sebatas pada adanya dwang, dwaling, bedrog, tetapi dalam lapangan yurisprudensi telah dikenal lagi salah satu jenis penyebab cacadnya sepakat, yaitu "penyalahgunaan keadaan" (misbruik van omstandigheden). "Penyalahgunaan keadaan" (misbruik van omstandigheden) sudah diatur dalam New Burgerlijke Wetboek (selanjutnya ditulis NBW), sedangkan di Indonesia penyalahgunaan keadaan muncul dari lapangan yurisprudensi. Dalam NBW, misbruik van omstandigheden diatur dalam Pasal 3:44 Iid 1 yang menyebutkan bahwa perbuatan hukum dapat dibatalkan, jika terjadi adanya : a) ancaman (bedreiging); b) penipuan (bedrog); penyalahgunaan
keadaan (misbruik van omstandigheden).28 Cacadnya sepakat sesuai perkembangan tidak hanya sebatas pada adanya dwang, dwaling, bedrog, tetapi dalam lapangan yurisprudensi telah dikenal lagi salah satu jenis penyebab cacadnya sepakat, yaitu "penyalahgunaan keadaan" (misbruik van omstandigheden). "Penyalahgunaan keadaan" (misbruik van omstandigheden) sudah diatur dalam New Burgerlijke Wetboek (selanjutnya ditulis NBW), sedangkan di Indonesia penyalahgunaan keadaan muncul dari lapangan yurisprudensi. Dalam NBW, misbruik van omstandigheden diatur dalam Pasal 3:44 Iid 1 yang menyebutkan bahwa perbuatan hukum dapat dibatalkan, jika terjadi adanya : a) ancaman (bedreiging); b) penipuan (bedrog); penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).29 Dalam perkara antara Tri Akbar Samsi Silam dengan PT. SKV, alangkah bijaknya apabila Majelis Hakim menerapkan ajaran penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden). Unsur-unsur dan penggolongan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) sangat tepat dipedomani untuk melindungi PPU yang berada dalam kedudukan ekonomi lemah. Asas itikad baik yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata dapat dijadikan pedoman untuk menerapkan ajaran penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden). Salah satu keadaan yang dapat disalahgunakan ialah adanya kekuasaan ekonomi (economisch overwicht) pada salah satu pihak, yang mengganggu keseimbangan antara kedua pihak sehingga tidak ada kehendak yang bebas untuk memberikan persetujuan yang merupakan salah satu syarat bagi sahnya suatu perjanjian. Menurut Z. Asikin Kusumah Atmadja, yang penting sekarang ialah menciptakan beberapa titik taut yang merupakan dasar bagi hakim untuk menilai secara adil apakah suatu keadaan dapat ditafsirkan sebagai kekuasaan ekonomi yang disalahgunakan. Faktor-faktor yang dapat memberikan indikasi tentang adanya penyalah-
25
28
Ibid., hal. 118 Ridwan Khairandy, Kebebasan berkontrak & Pacta Sunt Servanda versus Itikad Baik Sikat yang Harus Diambil Pengadilan, FH UII Press, Yogyakarta, 2015, Hal.59 27 Ibid., hlm. 63 26
428
H.P. Panggabean, 2010, Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omstandigheden) Sebagai Alasan (baru) Untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum di Belanda dan Indonesia), Liberty, Yogyakarta, hal. 47 29 Ibid.
Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian ...
gunaan kekuasaan ekonomi antara lain :30 1. adanya syarat-syarat yang diperjanjikan, yang sebenarnya tidak masuk akal atau yang tidak patut atau yang bertentangan dengan perikemanusiaan (onredelijke contractsvoorwaarden atau unfair contract terms); 2. nampak atau ternyata pihak debitur berada dalam keadaan tertekan (dwang positie); 3. apabila terdapat keadaan dimana bagi debitur tidak ada pilihan-pilihan lain kecuali mengadakan perjanjian a quo dengan syarat-syarat yang memberatkan; 4. nilai dari hasil perjanjian tersebut sangat tidak seimbang kalau dibandingkan dengan prestasi timbal balik dari para pihak. Apabila dijumpai hal-hal tersebut maka hakim wajib meneliti apakah in concreto terjadi penyalahgunaan kekuasaan ekonomi. Disinilah berhadapan dengan metode tentang penemuan hukum yang diharapkan dapat memberikan penyelesaian bagi para pencari keadilan. Dalam perjanjian pembiayaan yang dibuat antara PT. SKV dengan Tri Akbar Samsi Silam dapat dikatakan bahwa PT. SKV telah melakukan penyalahgunaan keadaan (mibruik van omstandigheden) terutama penyalahgunaan kekuasaan ekonomi. Hal ini dapat terlihat bahwa : Pertama, adanya syarat-syarat yang diperjanjikan, yang sebenarnya tidak masuk akal atau yang tidak patut atau yang bertentangan dengan perikemanusiaan (onredelijke contractsvoorwaarden atau unfair contract terms); PT. SKV dalam menjalankan usahanya tidak sesuai dengan karakterikstik dan tujuan dari kegiatan usaha modal ventura sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.010 /2012. PT. SKV mendudukan diri sebagai kreditur layaknya sebuah Bank, bukan sebagai perusahaan yang membantu PPU. Meskipun perjanjian tersebut merupakan perjanjian pembiayaan, akan tetapi isi dari perjanjian tersebut bukanlah perjanjian pembiayaan yang sepatutnya. Terbukti dalam perjanjian tersebut ada, titipan bagi hasil 3 (tiga) bulan sebesar Rp. 24.000.000,(angsuran 1 bulan sebesar Rp. 8.000.000,-). PT. 30
Rudyanti D. Tobing
PMV yang secara normatif seharusnya menjadi mitra usaha bagi PPU dengan tujuan membantu PPU untuk mengembangkan usahanya, justru terlihat sangat mencekik PPU. Perjanjian kredit perbankan saja tidak sekejam perjanjian ini yang mengharuskan membayar angsuran untuk 3 bulan pertama dengan langsung memotong dari pinjaman. Pada perjanjian kredit perbankan saja, masih diberikan grace periode yaitu Debitur diperbolehkan untuk tidak mengangsur pinjamannya dalam beberapa jangka waktu tertentu hingga usahanya yang dibiayai oleh kredit dari bank dapat berjalan dengan baik. Kedua, nampak atau ternyata pihak debitur berada dalam keadaan tertekan (dwang positie); Karena kebutuhan dana yang mendesak untuk menjalankan usahanya, maka Tri Akbar Samsi Silam mau tidak mau, suka tidak suka dia harus menandatangani perjanjian yang telah dipersiapkan secara baku oleh pihak PT. SKV. Kondisi ini dapat dikatagorikan sebagai keadaan tertekan. Ketiga, terdapat keadaan dimana bagi debitur tidak ada pilihan-pilihan lain kecuali mengadakan perjanjian a quo dengan syarat-syarat yang memberatkan; Dalam perjanjian antara PT. SKV dengan Tri Akbar Samsi Silam tidak terdapat keseimbangan posisi (bargaining position). Tri Akbar Samsi Silam yang sangat membutuhkan dana untuk proyeknya, tidak mempunyai pilihan-pilihan lain kecuali tunduk kepada syaratsyarat yang memberatkan, antara lain harus menyerahkan agunan sebagai jaminan atas hutangnya, harus membayar berbagai biaya yang dipotong dari jumlah pinjaman. Pemotongan ini dilakukan di awal. Ke empat, nilai dari hasil perjanjian tersebut sangat tidak seimbang kalau dibandingkan dengan prestasi timbal balik dari para pihak. Hasil dari perjanjian modal ventura yang dinikmati oleh PT SKV sangat tidak seimbang dengan prestasi dari Tri Akbar Samsi Silam. PT. SKV pun telah menjalankan usahanya yang bertentangan dengan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2012 yaitu bahwa kegiatan usaha Perusahaan Modal Ventura adalah penyertaan saham (equity participation), penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quasi equty participation), dan/atau pembiaya-
H.P. Panggabean, Op.Cit., hal. 101-102
429
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 417 - 432
an berdasarkan pembagian atas hasil usaha (profit/revenue sharing). Selanjutnya dalam Pasal 10 ditegaskan bahwa kegiatan usaha Perusahaan Modal Ventura disertai dengan pemberian pelatihan dan pendampingan kepada PPU di bidang administrasi, akuntansi, manajemen, dan pemasaran, serta bidang lainnya yang mendukung kegiatan usaha PMV. Dari Pasal 10 ini terlihat jelas bahwa PMV bukanlah hanya sekedar pihak yang menyediakan dana tetapi juga turut membantu agar perusahaan pasangan usahanya yang pada umumnya berupa UMKM dapat menjadi lebih berkembang. Hal ini sejalan dengan asas demokrasi ekonomi yang mengutamakan kemakmuran masyarakat, bukan kemakmuran masingmasing individu. PT. SKV hanya mengeluarkan sejumlah uang tanpa melakukan pembinaan terhadap PPU, tetapi menuntut mendapatkan bagi hasil, tidak perduli bahwa PPU mengalami kerugian dan kendala dalam menjalankan usahanya. PT. SKV hanya ingin menikmati keuntungan tetapi tidak melakukan upaya apapun untuk membantu PPU, bahkan kerugian dibebankan sepenuhnya kepada PPU. Selain itu terdapat hubungan kausal (causaal verband) dalam perjanjian ini, adalah penting bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan yang didasari itikad tidak baik itu maka perjanjian itu tidak akan ditutup. Dalam perkara ini, PT. SKV telah menyalahgunakan keadaan, dimana PT. SKV telah mengetahui bahwa Tri Akbar Samsi Silam sangat membutuhkan tambahan modal untuk proyek yang sedang dikerjakannya. Apabila PT SKV menjelaskan secara rinci mengenai karakteristik dan tujuan dari modal ventura kepada Tri Akbar Samsi Silam, sudah pasti tidak akan terjadi perjanjian ini. D. Penutup Asas kebebasan berkontrak dalam perjnjian Indonesia, dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH perddata yang berbunyi :
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam asas kebebasan berkontrak terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa aia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian. Asas kebebasan berkontrak diakui oleh KUH Perdata, tetapi pada hakikatnya banyak dibatasi oleh KUH Perdata itu sendiri. Pada hekekatnya kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh beberapa faktor yaitu itikad baik dan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden atau undue influence). Asas itikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata mengandung makna bahwa pelaksanaan dari suatu perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan keadilan. "Penyalahgunaan keadaan" (misbruik van omstandigheden) sudah diatur dalam New Burgerlijke Wetboek (selanjutnya ditulis NBW), sedangkan di Indonesia penyalahgunaan keadaan muncul dari lapangan yurisprudensi. Pemberian kredit dan pinjaman langsung layaknya bank oleh PMV kepada PPU menunjukkan bahwa PMV tidak menerapkan asas itikad baik dan juga melakukan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden atau undue influence). PMV melakukan perjanjian ini dengan pelaku usaha karena memahami benar keadaan pelaku usaha yang sangat membutuhkan pinjaman. Padahal sesungguhnya PMV tidak memiliki kewenangan untuk melakukan perjanjian pinjam meminjam layaknya kredit perbankan. Meskipun perjanjian modal ventura didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, akan tetapi karena melanggar prinsip itikad baik, kepatutan dan undang-undang maka perjanjian modal ventura ini tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian.
DAFTAR PUSTAKA Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. 430
Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian ...
Rudyanti D. Tob ing
Abdul Rachmad Budiono, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Bayumedia, Malang, 2005. Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, LaksBang Mediatama, Yogyakarta, 2008. Algra N.E. et. all, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, Bina Cipta, Jakarta, 1983. Bruggink, J.H, alih bahasa Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2001. KPHN Hoedhiono Kadarisman, Modal Ventura Alternatif Pembiayaan Usaha Masa Depan, IBEC, Jakarta, 1995. Martono, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Ekonisia, Yogyakarta, 2002. Mohammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 1990. Panggabean, H.P., Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omstandigheden) Sebagai Alasan (baru) Untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum di Belanda dan Indonesia), Liberty, Yogyakarta, 2010. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1976. Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, Jakarta, 2004. Ridwan Khairandy, Kebebasan Berkontrak & Pacta Sunt Servanda versus Iktikad Baik Sikap yang Harus Diambil Pengadilan, FH UII, Yogyakarta, 2015 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Edisi 1, Cet. V, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1979, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di Dalam Penelitian Hukum, Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Indonesia, Jakarta Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2010 Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993 Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Penerbit Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, Balai Pustaka, Jakarta, 1998 Berubah Jadi 70% Modal Ventura 'Bank', http://mdn.biz.id/n/160724/ http://www.medanbisnis daily. com/news/read/2015/04/28/160724/70persen-modal-ventura-berubah-jadi-bank/#.Vc wevX0wwdU diakses tanggal 25 Agustus 2016 OJK: Perkembangan Industri Modal Ventura RI Kurang Baik Disfiyant Glienmourinsie http:// ekbis.sindonews.com/read/994272/34/ojk-perkembangan-industri-modal-ventura-ri-kurangbaik-1430105390 diposting Senin, 27 April 2015 diakses tanggal 25 Agustus 2016 OJK Susun Aturan Soal Modal Ventura, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt553de83c2f0f4 /ojk-susun-aturan-soal-modal-ventura diposting Senin, 27 April 2015, diakses tanggal 25 Agustus 2016 70% Modal Ventura Berubah Jadi 'Bank' http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2015/04/28 /160724/70persen-modal-ventura-berubah-jadi-bank/#.VgIOmH2rgdU diposting 28 April 2015, diakses 25 Agustus 2016 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan. Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.010/2012 tentang Perusahaan Modal Ventura
431
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 417 - 432
432
PERAN DAN FUNGSI MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Oleh: Agus Rasyid C.W.*) (Dosen FH Universitas Muhammadiyah Sukabumi) NIDN : 0430088602 Abstrak Sistem parlemen di Indonesia, setelah adanya perubahan UUD 1945 konsep kedaulatan rakyat telah mengalami perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Menurut aturan UUD 1945, kedaulatan yaitu kekuasaan tertinggi dan lazimnya disebut “kekuasaan negara” berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945. Dengan demikian UUD 1945-lah yang menentukan bagian-bagian dari kedaulatan rakyat itu diserahkan pelaksanaanya kepada “badan atau lembaga yang keberadaan, wewenang, tugas dan fungsinya ditentukan UUD 1945 serta bagian mana yang langsung dilaksanakan oleh rakyat, artinya tidak diserahkan kepada badan atau lembaga manapun, melainkan langsung dilaksanakan oleh rakyat itu sendiri melalui pemilu. Struktur parlemen Indonesia berdasarkan UUD 1945 setelah adanya perubahan Keempat, dapat dikatakan bersifat trikameral atau terdiri atas tiga kamar atau institusi sekaligus. Hal ini dapat dibenarkan karena keberadaan MPR sebagai lembaga yang tersendiri di samping DPR dan DPD . UUD 1945 sendiri masih memberikan wewenang kepada MPR secara terpisah dari wewenang DPR maupun DPD. Dalam menanggapi wacana arah perubahan UUD 1945 yang ke-5 tidak hanya sekedar keinginan memberlakukan lagi GBHN sebagai arah tujuan dari negara Republik Indonesia, namun dalam hal ini ada beberapa aspek perubahan UUD 1945 perlu memperhatikan dan mempertimbangkan sistem ketatanegaraan khususnya harmonisasi dan sistem check and balences. Kata kunci : Abstract Parliamentary system in Indonesia, after the 1945 changes the concept of sovereignty has undergone a change in the state system of Indonesia. Article 1 (2) of the 1945 Constitution states that "Sovereignty rests with the people and carried out according to the Constitution". According to the rules of the 1945 Constitution, sovereignty is supreme power and generically termed "state power" vested in the people and carried out according to the constitution, 1945. Thus, 1945 was the one that determines the parts of people's sovereignty was handed implementation to the "agency or institution where , powers, duties and functions specified 1945 and which part is directly exercised by the people, meaning not submitted to any body or agency, but directly exercised by the people themselves through the election. Indonesian parliamentary structures by 1945 after the change Fourthly, it can be said to be trikameral or consists of three rooms or at the same institution. This can be justified by the existence of the Assembly as an institution of its own in addition to the DPR and DPD. 1945 itself still give the authority to the Assembly separately from the authority of the DPR and DPD. In response to the discourse toward the 1945 changes that 5 is not merely a desire to impose more guidelines as the destination of the Republic of Indonesia, but in this case there are *)
Dosen Hukum Tata Negra Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI), SH (FH Universitas Islam Bandung 2004-2010), MH ( Pascasarjana Universitas Padjadjaran 2010-2013).
433
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 433 - 438
some aspects of the 1945 changes need to pay attention and consider the constitutional system, especially the harmonization and the system of checks and balences. Keyword: A. Pendahuluan Perjalanan reformasi politik tahun 1998 yang kemudian disusul dengan reformasi konstitusi tahun 1999-2002, telah membawa perubahan konstitusi dan struktur ketatanegaraan Indonesia. Reformasi konstitusi telah dilakukan terhadap desain kelembagaan negara, antara lain dengan pembentukan beberapa lembaga negara baru, ataupun perubahan kedudukan dan fungsi lembaga negara yang ada. Salah satu lembaga negara yang terkena dampak reformasi konstitusi, yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya disingkat MPR). Perubahan tersebut terjadi pada perubahan ketiga pada tahun 2001, yang meliputi kedudukan lembaga negara, yang berdampak pada perubahan tugas, wewenang dan fungsi terjadi dalam Perubahan Ketiga UUD 1945. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Perubahan Ketiga1 menyatakan : “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Rumusan tersebut berbeda dengan rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan: “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.2 1
“... Secara resmi kata yang dipakai dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah kata perubahan. Istilah amandemen yang berasal dari bahasa Inggeris tidak digunakan sebagai istilah resmi. Istilah amandemen banyak dipakai oleh kalangan akademis dan LSM serta orang asing”. Pernyataan tersebut dikutip dari Panduan Permasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan urutan Bab, Pasal, dan ayat, Sekertariat Jenderal MPR RI, Jakarta, 2005, hlm. 37. 2 Menurut beberapa ahli Hukum Tata Negara Indonesia, sebelum perubahan UUD, MPR merupakan satu-satunya lembaga yang mempunyai supremasi, yang mengandung dua prinsip yaitu: (i) sebagai badan berdaulat yang memegang kekuasaan yang berdasarkan hukum untuk menetapkan segala sesuatu yang telah ditegaskan oleh UUD 1945 (legal power), dan yang ke (ii) No rival authority, artinya tidak ada suatu otoritas tandingan baik perseorangan maupun badan yang mempunyai kekuasaan untuk melanggar atau mengenyampingkan sesuatu yang diputuskan oleh
434
Sebelum dilakukan perubahan atas UUD 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dikonstruksikan sebagai wadah penjelmaan seluruh rakyat yang berdaulat, tempat dimana Presiden harus tunduk dan mempertanggungjawabkan segala pelaksanaan tugas-tugas konstitusionalnya. Dalam Penjelasan UUD 1945 dinyatakan bahwa “Presiden bertunduk dan bertanggungjawab kepada MPR”. Dengan konstruksi yang demikian, maka MPR dipahami sebagai lembaga tertinggi negara dimana kedaulatan seluruh rakyat Indonesia terjelma. Oleh karena itu, segala ketetapan yang dikeluarkannya mempunyai kedudukan lebih tinggi dari produk hukum yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga tinggi negara yang lain, seperti Presiden, DPR, ataupun Mahkamah Agung. Dengan demikian, Ketetapan MPR(S) lebih tinggi kedudukannya hierarkinya dari undang-undang ataupun bentuk peraturan lainya.3 Kewenangan MPR dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan, meliputi: (i) menetapkan undang-undang dasar, (ii) mengubah undang-undang dasar, (iii) memilih Presiden dan/Wakil Presiden, dan (iv) menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara. Jimly Asshiddiqie, menjelaskan bahwa garis-garis besar haluan (daripada) negara itu diperlukan karena pedoman atau haluan-haluan kebijakan bernegara yang ditentukan dalam UUD 1945 sebelum perubahan sangat atau bahkan terlalu ringkas dan sederhana. Oleh karena itu, disamping haluan-haluan yang telah ditentukan dalam UUD 1945, masih diperlukan haluan-haluan negara yang lebih jelas diluar UUD 1945.4 Dengan pertimbangan demikian, maka haluan-haluan negara yang dimaksud perlu dituangkan dalam ketetapan-ketetapan yang mengatur dengan daya ikat yang efektif. Karena keduMPR. Lihat Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta: Aksara Baru, 1978, hlm. 16. 3 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm.33 4 Ibid.
Peran dan Fungsi MPR Dalam Perubahan UUD 1945
dukan MPR sendiri lebih tinggi daripada Presiden dan DPR, maka dengan sendirinya kedudukan Ketetapan MPR/S lebih tinggi daripada undang-undang. Ketetapan-ketetapan MPR/S yang bersifat mengatur itu juga mempunyai kedudukan sebagai konstitusi, karena dibuat dan ditetapkan oleh lembaga yang sama dengan yang menetapkan undang-undang dasar.5 Ketetapan MPR/S sebagai produk hukum yang mengatur (regeling) merupakan bentuk penafsiran MPR atas UUD 1945 dan Ketetapan yang berisi haluan negara yang terdapat dalam UUD 1945, Ketetapan MPR/S itu juga mempunyai nilai konstitusi atau setidaknya sebagai bentuk penafsiran atas UUD 1945 atau bahkan merupakan perubahan undang-undang dasar dalam bentuk yang tidak resmi menurut ketentuan Pasal 37 UUD 1945.6 Berdasarkan Pasal 37 UUD 1945, prosedur pembahasan dan pengambilan keputusan dalam proses pembentukan Ketetapan MPR/S itu memang berbeda dari penyusunan atau perubahan undang-undang dasar menurut ketentuan tersebut, maka keduanya dianggap tidak sederajat. Undang-Undang Dasar sebagai hukum tertinggi tetap mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada Ketetapan MPR/S lainnya.7 Itu sebabnya Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/ 1966 tentang Sumber Tertib Hukum menentukan hierarki Ketetapan MPR(S) itu sebagai peraturan di bawah undang-undang dasar dan di atas undang-undang. Kewenangan MPR pascaperubahan UUD 1945 meliputi: (i) menetapkan undang-undang dasar, (ii) mengubah undang-undang dasar, (iii) melantik, memberhentikan dan memilih Presiden dan/Wakil Presiden. Dengan demikian, MPR tidak lagi mempunyai kewenangan menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara, karena didalam naskah perubahan UUD 1945 kewenangan MPR dalam menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara telah dihapus. Oleh karena itu, MPR tidak berwenangan untuk membuat Ketetapan MPR sebagai produk hukum yang mengatur (regeling). Sebagai akibatnya, melalui Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945 Perubahan Ke-empat MPR ditugaskan me-
Agus Rasyid C.W.
lakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPR dan Ketetapan MPR Sementara [selanjutnya disingkat : Ketetapan MPR/S]. Tindak lanjut perintah Pasal I Aturan Tambahan yakni pada sidang tahunan MPR tahun 2003, telah diadakan peninjauan terhadap 139 Ketetapan MPR dan Ketetapan MPRS, dalam rentang waktu antara tahun 1960-2002. Hasil peninjauan tersebut adalah Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaraatan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. B. Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Berkaitan dengan Pasal 3 ayat (1) “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.”8 Undang-Undang Dasar adalah kumpulan asasasas yang mana pengaturan kekuasaan-keuasaan pemerintah, hak-hak yang diperintah, dan hubungan antara keduanya diatur (a collection of principles according to which the powers of the government, the rights of governed, and the relation between the two are adjusted.)9 Semula Undang-Undang Dasar hanya dimaksudkan untuk membatasi wewenang penguasa, menjamin hak rakyat, dan mengatur pemerintahan. Selanjutnya, seiring dengan kebangkitan paham kebangsaan dan demokrasi, UndangUndang Dasar juga menjadi alat rakyat mengkonsolidasikan kedudukan politik dan hukum dengan mengatur kehidupan bersama untuk mencapai cita-cita. Itulah sebabnya pada zaman sekarang Undang-Undang Dasar tidak hanya memuat aturan hukum tetapi juga merumuskan atau menyimpulkan prinsip-prinsip hukum, haluan negara, dan patokan kebijaksanaan yang mengikat penguasa. Secara umum Undang-Undang Dasar berisi tiga hal pokok, yaitu: Pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga 8
UUD 1945 (perubahan Keempat) Strong, C.F, Modern Political Constitution, An Introduction To The Comparative Study of Their History And Existing Form, London: Sidgwick & Jakcson Limited, 1960, hlm. 9. 9
5
Idem, hlm. 34. Ibid. 7 Ibid. 6
435
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 433 - 438
negara; kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental; dan ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.10 Perubahan atau amandemen Undang-Undang Dasar mempunyai banyak arti. Amandemen tidak saja berarti “menjadi lain isi serta bunyi” ketentuan dalam UUD tetapi juga “mengandung sesuatu yang merupakan tambahan pada ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Dasar yang sebelumnya tidak terdapat di dalamnya”.11 Dari berbagai pendapat yang dikemukakan para pakar paling tidak ada empat aspek perubahan Undang-Undang Dasar, yaitu: a. Prosedur perubahan; b. Mekanisme perubahan; c. Sistem perubahan; dan d. Substansi perubahan. Selanjutnya menurut K.C Wheare12 ada empat cara perubahan Undang-Undang Dasar, yaitu melalui some primary forces, formal amendment, judicial interpretation, dan usage and conventions. Pembedaan cara perubahan Undang-Undang Dasar yang lebih sederhana disampaikan oleh Jellinek,13 yaitu Verfassunganderung (perubahan Undang-Undang-Undang Dasar yang dilakukan dengan sengaja dan berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam UndangUndang Dasar) dan Verfassungwandlung (perubahan Undang-Undang Dasar dengan cara yang tidak terdapat dalam Undang-Undang Dasar melainkan melalui cara-cara istimewa seperti revolusi, coup d‟etat, convention, dan lain-lain). Mekanisme perubahan Undang-Undang Dasar berkenaan dengan langkah-langkah dalam pelaksanaan perubahan. Persiapan perubahan Undang-Undang Dasar dilakukan sendiri oleh lembaga yang berwenang melakukan perubahan atau dapat didelegasikan kepada lembaga lain. Jika persiapan perubahan Undang-Undang Da10
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni. Bandung. 1986, hlm. 45. 11 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Op. Cit,. hlm. 122. 12 K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern. Pustaka Eureka. Surabaya. 2003. hlm. 67-136. 13 Terpetik dari Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif. Suatu penyelidikan dalam Hukum Tata Negara, Jakarta: Aksara Baru, 1986, hlm. 41. yang dikutip dari George Jellinek, Verfassungsanderung und Verfassungswandlung, Eine staatsrechtlich politische Abhandlung, Berlin: Verslag von O. Haring, 1906, hlm. 3.
436
sar dilakukan lembaga lain, maka lembaga yang berwenang melakukan perubahan hanya sekedar menetapkan atau mengesahkan. Menurut Jimly Asshiddqie14 setelah perubahan Kempat UUD 1945, keberadaan MPR yang selama ini disebut sebagai lembaga tertinggi negara itu memang telah mengalami perubahan yang sangat mendasar, tetapi keberadaannya tetap sehingga sistem yang kita anut tidak dapat disebut sistem bikameral ataupun satu kamar, melainkan sistem tiga kamar (trikameralisme). Menurut Jimly Asshiddiqie, dasar-dasar yang mendukung bahwa sistem perlementer menganut sistem trikameralisme adalah sebagai berikut: 1. Susunan anggota MPR secara struktural karena dihapuskannya keberadaan Utusan Golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional (funcional resepresentation) dari unsur keanggotaan MPR. Dengan demikian, anggota MPR hanya terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mencerminkan prinsip perwakilan politik (political representation) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mencerminkan prinsip perwakilan daerah (regional representation). 2. Majelis ini tidak lagi berfungsi sebagai „supreme body‟ yang memiliki kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol sehingga kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol sehingga kewenangannya pun mengalami perubahan-perubahan mendasar. Sebelum diadakan Perubahan UUD, MPR memiliki kewenangan, yaitu: a. Menetapkan Undang-Undang Dasar dan mengubah Undang-Undang Dasar; b. Menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara; c. Memilih Presiden dan Wakil Presiden; d. Meminta pertanggungjawaban Presiden. 14
Jimly Asshiddiqie “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945”. Makalah ini disampaikan dalam simposium Nasional yang diadakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional. Departemen Kehakiman dan HAM 2003, hlm. 8-9.
Peran dan Fungsi MPR Dalam Perubahan UUD 1945
Dimana setelah diadakan Perubahan UUD 1945, kewenagan MPR berubah menjadi: a. Metapkan Undang-Undang Dasar dan atau Perubahan UUD; b. Melantik Presiden dan Wakil Presiden; c. Memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden, serta; d. Menetapkan Presiden dan atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya Presiden dan atau Wakil Presiden sebagai mana mestinya. 3. Diadopsinya prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) secara tegas antara fungsi legislatif dan eksekutif dalam perubahan Pasal 5 ayat (1) junto Pasal 20 ayat (1) dalam perubahan Pertama UUD 1945 yang dipertegas lagi dengan tambahan Pasal 20 ayat (5) Perubahan Kedua UUD 1945. Dengan perubahan ini UUD 1945 tidak lagi menganut sistem MPR berdasarkan prinsip „supremasi parlemen‟ dan sistem pembagian kekuasaan (distribution of power) oleh lembaga tertinggi MPR ke lembaga-lembaga negara dibawahhnya. 4. Diadopsinya prinsip pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu paket secara langsung oleh rakyat dalam ketentuan Pasal 6A ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 yang sekaligus dimaksudkan untuk memperkuat dan mempertegas aturan sistem pemerintahan presidentil dalm UUD 1945. Dengan sistem pemilihan langsung oleh rakyat, konsep dan sistem pertanggungjawaban Presiden tidak lagi dilakukan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi langsung kepada rakyat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam hubungannya dengan perorganisasian kedaulatan rakyat, kedaulatan yang berada di tangan rakyat itu sepanjang menyangkut fungsi legislatif, dilakukan oleh MPR yang terdiri atas dua kamar dewan, sedangkan dalam bidang eksekutif dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu paket kepemimpinan eksekutif yang dipilih
Agus Rasyid C.W.
langsung oleh rakyat.15 Sistem parlemen di Indonesia, setelah adanya perubahan UUD 1945 konsep kedaulatan rakyat telah mengalami perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Menurut aturan UUD 1945, kedaulatan yaitu kekuasaan tertinggi dan lazimnya disebut “kekuasaan negara” berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945. Dengan demikian UUD 1945-lah yang menentukan bagian-bagian dari kedaulatan rakyat itu diserahkan pelaksanaanya kepada “badan atau lembaga yang keberadaan, wewenang, tugas dan fungsinya ditentukan UUD 1945 serta bagian mana yang langsung dilaksanakan oleh rakyat, artinya tidak diserahkan kepada badan atau lembaga manapun, melainkan langsung dilaksanakan oleh rakyat itu sendiri melalui pemilu. Dengan adanya ketentuan baru tersebut MPR bukan lagi lembaga yang menentukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara pemegang kedaulatan rakyat, melainkan hanya lembaga negara yang terdiri dari anggota DPR dan DPD yang kesemuanya dipilih, baik melalui partai politik maupun perorangan. Dari segi fungsinya, selain masih memiliki wewenang untuk mengubah dan menetapkan UUD, MPR hanya berhak untuk melantik Presiden dan Wakil Presiden, tidak lagi memilih mereka. Struktur parlemen Indonesia berdasarkan UUD 1945 setelah adanya perubahan Keempat, dapat dikatakan bersifat trikameral atau terdiri atas tiga kamar atau institusi sekaligus. Hal ini dapat dibenarkan karena keberadaan MPR sebagai lembaga yang tersendiri di samping DPR dan DPD. UUD 1945 sendiri masih memberikan wewenang kepada MPR secara terpisah dari wewenang DPR maupun DPD. 15
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dulu dikenal sebagai lembaga tertinggi negara, dimasa depan berubah menjadi nama dari lembaga perwakilan rakyat Indonesia yang terdiri dari atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, yang secara bersama-sama kedudukannya sederajat, dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi (Jimly Asshiddiqie. Ibid. hlm.9)
437
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 433 - 438
Tidak ada satupun di dunia ini yang mempunyai struktur perlemen tiga kamar, kecuali Indonesia. Di dunia ini hanya dikenal kalau tidak sistem satu kamar atau unikameral, tentu menganut sistem dua kamar atau bikameral. Sedangkan struktur perlemen di Indonesia terdiri atas tiga kamar atau institusi, yaitu DPR,DPD, dan MPR. Kedudukan ketiganya sederajat satu sama lain. Bahkan keberadaan MPR itu sendiri dapat dikatakan merupakan perpanjangan tangan atau sebagai organ pendukung (auxiliary organ), ataupun sebagai kelengkapan forum yang tersendiri bagi DPR dan DPD untuk mengambil keputusan diluar kewenangan DPR dan DPD sendiri.16 C. Kesimpulan dan Saran Dalam menanggapi wacana arah perubahan UUD 1945 yang ke-5 tidak hanya sekedar keinginan memberlakukan lagi GBHN sebagai arah tujuan dari negara Republik Indonesia, namun dalam hal ini ada beberapa fokus menurut hemat penulis yang perlu dikaji: Pertama dari
aspek perubahan UUD 1945 perlu memperhatikan dan mempertimbangkan sistem ketatanegaraan khususnya harmonisasi dan sistem check and balences hubungan antar lembaga. Kedua keberadaan lembaga MPR apakah masih menjadi lembaga tinggi yang sejajar dengan lembaga negara lain atau berubah menjadi lembaga tertinggi negara. Ketiga mengenai pengaturan GBHN kedepan dalam peraturan perundang-undangan, tentu ini menjadi suatu pertanyaan apakah dalam menuangkan GBHN perlu diatur dalam ketetapan MPR dan masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan?. Keempat usulan terhadap materi perubahan UUD 1945 perlu studi perbandingan antara naskah asli UUD 1945 sebelum perubahan, dengan naskah UUD 1945 setelah perubahan atau kalaupun memang ada naskah perubahan secara totalitas, tentu ini menjadi pertimbangan masukan dalam perubahan UUD 1945 dan yang pasti dalam materi perubahan UUD 1945 kedepan tidak bertentangan dengan dengan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar Idologi bangsa.
Daftar Pustaka Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif. Suatu penyelidikan dalam Hukum Tata Negara, Jakarta: Aksara Baru, 1986. Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta: Aksara Baru, 1978. Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Pers, 2010. _______________, “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945”. Makalah ini disampaikan dalam simposium Nasional yang diadakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional. Departemen Kehakiman dan HAM 2003. K.C.Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern. Pustaka Eureka. Surabaya, 2003. Panduan Permasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan urutan Bab, Pasal, dan ayat, Sekertariat Jenderal MPR RI, Jakarta, 2005. Strong, C.F, Modern Political Constitution, An Introduction To The Comparative Study of Their History And Existing Form, London: Sidgwick & Jakcson Limited, 1960. Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni. Bandung, 1986. Undang-Undang Dasar 1945.
16
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi... Op. Cit., hlm.47.
438
MEMBANGUN HAKIM BERKARAKTER MELALUI PENDEKATAN SPIRITUAL PLURALISTIK PROGRESIF Oleh: Dr. Sukresno, SH, M.Hum Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus Gondangmanis, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia Email:
[email protected], Tel : 081325730613 Abstrak Hukum, hakim dan keadilan menjadi salah satu persoalan mengemuka dewasa ini. Setiap bicara keadilan acapkali disandingkan dengan mutu dan kualitas putusan hakim, sehingga berdasarkan kondisi tersebut seringkali menyandingkan status hakim sebagai sosok yang sangat memiliki karakter spiritual yang tinggi dalam menjalankan tugasnya. Implikasi dari kajian yang dilakukan sebenarnya kembali apa yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo dengan mengutip ucapan Taverne, “Berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan yang buruk sekalipun saya bisa membuat putusan yang baik”. Mengutamakan perilaku (manusia) daripada peraturan perundang-undangan sebagai titik tolak paradigma penegakan hukum, akan membawa kita untuk memahami hukum sebagai proses dan proyek kemanusiaan. Berdasarkan perspektif ini, kesaksian hakim sebagai corong keadilan adalah mutlak. Semua hakim harus memiliki karakter yang ideal. Dalam hal ini maka pertanyaannya adalah bagaimana membangun karakter hakim melalui pendekatan spiritual pluralistik progresif. Dalam pandangan realistis menganggap hakim sebagai sebuah instrument kekuatan keadilan. Nuansa spiritual seorang hakim sangat menjiwai dalam membuat putusan. Namun sebagaimana tantangan para pakar hukum bahwa dalam membuat hukum seorang hakim yang adil kemudian dia hanya ditempatkan pada posisi sentral dalam hukum. Keadilan yang berkarakter sebagai bentuk produk hakim harus dijiwai oleh hasrat, kekuatan dan semangat hakim dalam memaknai sebuah istilah keadilan dalam norma secara menyeluruh atau pluralistic. Bagunan dari itu semua yang dibutuhkan adalah hakim harus bertindak secara progresif. Tak ayal, bertindak progresif merupakan wujud nyata bagi hakim membentuk gagasan keadilan sebagai kekuatan hukum yang pantas dan wajib untuk ditaati oleh pencari keadilan. Pada sisi lain seluruh bangunan yang ada itu apabila ingin konsisten seorang hakim sudah seidealnya mentaati asas dan system hukum. Diharapkan dari itu semua hakim akan menjadi bukan wujud eksemplar dari undang-undang tapi sebuah ideology keadilan yang tidak bisa ditemukan dalam ruang manapun di dunia ini. Kata kunci : Hakim, Keadilan, Spiritual, Pluralistik, Progresif Abstract Law, judge and justice becomes the problems raised nowadays. Any talk of justice is often juxtaposed with the quality of the judge's verdict, so that based on these conditions; the status of a judge is often juxtaposed with someone who really has a high spiritual character in carrying out its duties. The implication of study actually refers to what has ever been stated by Satjipto Rahardjo, quoting Taverne "Give me a good prosecutor and judge, then even by bad regulation I could make a good decision ". Prioritizing behavior (human) rather than legislation as a starting point in the paradigm of law enforcement, will lead us to understand the law as a process and humanitarian projects. Based on this perspective, the judge‟s testimony as mouthpiece of justice was paramount. All judges should have such ideal character. In this case then the question is how to build a judge‟s 439
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 439 - 446
character through progressive pluralistic spiritual approach. In a realistic view it should be considered that judge is an instrument of justice powers. The spiritual nuance of a judge will very much inspire the judge in making a decision. However, as the challenges of legal experts in making the law, a just judge should be placed in a central position in law. Justice characterized as a form of judge's product must be inspired by the disire, strength and the spirit of the judges in understanding the meaning of a term in the norms of justice as a whole or pluralistic point of view. All the points of the construction is that a judge should act progressively. It is no doubt that the progressive action is a real program for judges to form the idea of justice as the appropriate legal force and are obliged to be obeyed by the justice seeker. To uphold the construction, a judge should consistently obey the principles and the legal system. It is expected that all of the judges will not be a form of copies of legislation but an ideology of justice that cannot be found in any room in this world. Keywords: judge, justice, progressive, pluralistic spiritual A. Latar Belakang Hukum, hakim dan keadilan menjadi salah satu persoalan mengemuka dewasa ini. Setiap bicara keadilan acapkali disandingkan dengan mutu dan kualitas putusan hakim, sehingga berdasarkan kondisi tersebut seringkali menyandingkan status hakim sebagai sosok yang sangat memiliki karakter spiritual yang tinggi dalam menjalankan tugasnya. Namun karakter hakim tidak bersifat tunggal. Hal inilah yang menjadi akar pikiran montesque. Dari situ terlihat Montesquieu tidak suka dengan sistem pemerintahan monarki, karena Raja bisa mencampuri urusan penegakan hukum yang seharusnya independen. Dimana pada saat itu Raja bisa membuat undang-undang sekaligus merevisi dan juga bisa menjadi hakim tunggal dalam memutus sebuah permasalahan. Dengan kata lain sabdanya bisa dijadikan legitimasi pemerintah dalam memberikan hukuman kepada seseorang, walaupun kepada orang-orang tertentu. Oleh karena itu membenci sistem pemerintahan Monarkhi yang memberikan kewenangan lebih kepada Raja.1 Dalam pandangan klasik bahkan dikatakan sumber muasal dari korupsi sendiri adalah dari budaya hakim. Sabastian Pompe, penulis buku The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collapse, mengatakan “nonsens” menyebut korupsi sebagai budaya bangsa Indonesia. Dalam kaitannya dengan dunia peradilan, menurut Pompe,judicial corruption baru muncul 1
Muhtar Said, 2013, Politik Hukum Tan Malaka, Thafa Media, Semarang, hlm 131
440
setelah peristiwa Malari tahun 1974 ketika lembaga peradilan dibina dengan sistem (dan mulai dimasuki oleh) kepemimpinan militer. Itu terjadi ketika Soeharto mulai melangkah untuk mengokohkan kekuasaannya dengan mengkooptasi kekuasaan kehakiman.Sejak itu, kata Pompe, terjadilah kebiasaan melayani (pemberian amplop atau upeti) di kalangan hakim.2 Pendapat Pompe itu sejalan dengan hasil studi yang pernah penulis lakukan yang menunjukkan bahwa dalam periode tertentu sejarah Indonesia, tepatnya pada tahun 1950-an, ternyata hukum dapat ditegakkan dengan baik melalui pimpinan yang tegas dan penuh integritas dalam menegakkan hukum. Pada masa itu, tercatat nama harum JaksaAgung, Soeprapto, yang tegas mengajukan siapapun, termasuk menteri, ke pengadilan karena tindak pelanggaran hukum. Selain itu, pada saat itu muncul hakim-hakim yang jujur dan berani menghukum pejabat yang terbukti melakukan tindak pidana.3 Berangkat dari situlah testimone hakim sebagai corong keadilan menjadi mutlak. Akan tetapi karakter dari seorang hakim sudah seidealnya karakter hakim tersebut tidak hanya dimiliki oleh seorang hakim. Semua hakim sudah idealnya memiliki karakter yang demikian. Dalam hal ini kemudian pertanyaannya adalah bagaimana membangun hakim berkarakter melalui pendekatan spiritual pluralistic progresif. 2
Moh. Mahfud MD, 2013, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 169-170 3 Moh. Mahfud MD, ibid, hlm 170
Membangun Hakim Berkarakter Melalui Pendekatan ...
Implikasi dari kajian yang dilakukan sebenarnya kembali apa yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo dengan mengutip ucapan Taverne, “Berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan yang buruk sekalipun saya bisa membuat putusan yang baik”. Mengutamakan perilaku (manusia) daripada peraturan perundang-undangan sebagai titik tolak paradigma penegakan hukum, akan membawa kita untuk memahami hukum sebagai proses dan proyek kemanusiaan.4 B. Konstruksi hakim berkarakter spiritual pluralistik Dalam pemikiran dewasa ini tentang hubungan konstitusional antara pembentuk undang-undang dan hakim maka subordinasi penuh peradilan pada perundang-undangan tidak lagi merupakan titik-tolak absolut. Titik-taut untuk pemikiran tentang hubungan-hubungan konstitusional dewasa ini adalah diskusi tentang larangan pengujian oleh hakim (Pasal 120 Grondwet) sebelum dan sesudah perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1983. Larangan itu memuat hal bahwa para hakim tidak boleh menguji undang-undang dalam arti formal, yang berasal dan (dibentuk oleh) pemerintah dan Staten- Generaal, pada Undang-Undang Dasar.5 Namun tetap demikian posisi hakim sebagai bentuk aklamasi terbitnya keadilan tidak bisa dipisahkan. Jika kita mengacu pada sifat normatif dan positfistik maka keadilan yang kita temukan adalah keadilan yang pada saat itu dipikirkan oleh legislator pada saat membuat menginginkan mewujudkan keadilan. Melalui peran hakim keadilan akan tertib sesuai dengan kebutuhan sanga pencari keadilan. Berdasarkan hal tersebut memang harus diingat bahwa secara filosofis hukum itu justru karena kita tidak boleh percaya begitu saja (husnudzon) semangat orang, melainkan harus curiga (suudzon) bahwa orang meskipun secara pribadi baik, jika berkuasa akan cenderung korup 4
Kusuma, Mahmud. 2009. Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia. Antony Lib bekerjasama LSHP. Yogyakarta, hlm 74 5 J.A Pointer, diterjemahkan oleh Arief Sidharta, 2008, penemuan hukum (judul asli rechtvinding), Jendela Mas Pusaka-Anggota Ikapi, Bandung, hlm 111-112
Sukresno
karena diseret untuk korup oleh lingkungan kekuasaannya. Dalam kasus Indonesia, kita mempunyai Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto yang secara pribadi sangat baik penuh integritas dalam mengabdi kepada nusa dan bangsa. Namun, ketika berkuasa di bawah UUDNRI Tahun 1945 yang sah sangat otoriter dan dengan kekuasaannya menciptakan kekerasan-kekerasan politik. Sikap otoriter atau korupsi penguasa ini terjadi berdasar hukum besi po1itik yang didalilkan Acton bahwa kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut kecenderungan korupnya absolut pula to corrupt, absolute power corrupts absolutely). Oleh sebab itu termasuk konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam suatu Negara, harus mengatur sistem dengan ketat dan kokoh mengontrol dan meminimalisasi kecenderungan; penguasa. Artinya hukum itu harus dibuat berdasar kecurigaan atau prasangka tidak baik bahwa siapa pun yang akan cenderung korup sehingga pengaturannya didalam konstitusi juga harus ketat dan kokoh. Di dalam agama pun sebenarnya kita tidak mutlak dilarang suudzon sebab dalil agamanya mengatakan, “jauhilah prasangka itu karena dari prasangka itu jelek.” ini berarti bahwa ada sebagian prasangka yang tidak jelek, yang dalam hal ini, dapat disebut contohnya dalam membuat konstitusi yakni harus berprasangka bahwa siapapun yang berkuasa akan cenderung korup.6 Hakim dituntut dalam menghadapi pluralism keadilan tentunya menghadapi inkonsistensi makna perihal keberadaannya. Oleh karena itu sikap berburuk sangka bukan menjadi sebuah perbuatan dalam menemukan keadilan secara buruk. Bahkan berburuk sangka merupakan sebuah estimasi mencari keadilan secara spiritual sufiistik. Seorang hakim yang ingin sekali mempertahankan kekuasaannya di lingkungan yang informal ini barangtentu tak bebas mengeluarkan pendapat yang berbeda jauh dan perangkat nilai-nilai yang diterima di dalam lingkungan itu. Dipandang dan sudut sosiologi hukum fenomena sedemikian itu merupakan suatu sasaran studi yang menarik. Schut menunjukkan bahwa fenomena pembentukan kelompok informal seperti dilukiskan di atas bukannya merupakan hal 6
Mahfud MD, 2010, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 143-144
441
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 439 - 446
yang ganjil, melainkan suatu keadaan yang dapat terjadi di mana-mana. Bagian-bagian organisasi hukum termasuk di dalamnya pengadilan, apabila dilihat secara sosiologis nampak menjalani kehidupannya sendiri, membentuk nilai-nilai dan norma-normanya sendiri serta mengejar tujuan tujuannya sendiri pula. Terbentuklah di sini suatu kultur yang pada gilirannya akan memberikan pengarahan kepada kerja selanjutnya organisasi itu kepada cara masing-masing pegawai di situ memenuhi tugas-tugasnya, kepada perluasan jumlah pegawai pegawainya, kepada pendidikan orang-orang yang baru masuk dan sebagainya.7 Dalam pandangan tersebut maka sudah sejatinya hukum yang diciptakan bukan kata-kata mati suri tanpa adanya latar belakang historis maupun sosiologis. Pada ranah sosiologis sebenarnya hakim diarahkan mewujudkan tatanan yang bukan sekedar rangkaian kata-kata undang-undang. Hukum dalam seni seorang hakim harus dikarakterkan sebagai sebuah bentuk menemukan konsep pluralistic secara terpadu, tersistem dan mengakomodir aspek-aspek kaidah dalam gagasan Sociological Jurisprudence. Sociological Jurisprudence merupakan salah satu bentuk perwujudan kesatuan Ilmu Hukum dengan basis sosialnya (termasuk ilmuilmu sosial) yang kemudian dapat berakibat dalam sistem penegakan hukum khususnya melalui mekanisme peradilan, yaitu mekanisme hakim dalam memutus perkara. Problematiknya akan muncul terkait dengan kemerdekaan hakim dalam memutus perkara. Sistem peradilan bersifat authopoietic6, tetapi juga harus melihat aspek-aspek lingkungan sosialnya. Di sinilah pentingnya seorang hakim untuk selalu memperhatikan aspek socilogik dan Ilmu Hukum yang digunakannya. Hakim seharusnya memahami aliran Sociological Jurisprudence dengan baik sehingga the living law, aspek sosial, politik, ekonomi dan budaya mendapat tempat dalam pertimbangan hakim untuk menghasilkan putusan yang tidak hanya memenuhi prinsip keadilan formal (formal Justice) tetapi jauh keadilan subtansial (subtantial justice) bahkan keadilan masyarakat (social justice) dalam penegakan hu-
kum nasional.8 Disinilah kemudian praktik keadilan yang disampaikan oleh hakim akan menjadi sebuah alternatif baru bagi pencapaian keadilan yang sesungguhnya. Hukum akan terasa adil jika telah merasuk dalam sanubari masyarakat, bukan karena penilaian pengusaha dengan melihat pada norma-norma yang telah layak untuk dipositifkan sebagai keadilan yang sesungguhnya. C. Bangunan hakim berkarakter spiritual pluralistic progresif Menurut Fritjof Capra, sekarang ini kita hidup dalam suatu masa turning point. Ketidakmampuan kita untuk kembali melihat kehidupan manusia dengan pandangan yang utuh, menurut Capra, menyebabkan terjadi krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral dan spiritual manusia Orang tidak bisa lagi memusatkan perhatian pada satu objek yang dipisahkan dari lingkunganya melainkan membiarkan objek tersebut bersatu dengan lingkungan. Metodologi analitis Cartesian, Baconian dan Newtonian tidak membawa kita kepada pemahaman yang benar tentang sesuatu. Metodologi harus mengutuh, bukan memisah-misahkan‟ Pendekatan dan metodologi holistik itu tidak hanya dalam fisika, tetapi juga dalam kedokteran, psikologi dan ilmuilmu sosial.9 Melalui kondisi yang demikian di atas kita dituntut memahami sebuah norma bukan hanya sekedar perintah hukum yang layak 100 persen untuk diikuti. Memang yang menjadi permasalahan pokok sesungguhnya adalah hakim mengalami dimensi tantangan yang berbeda dengan sebelumnya. Era dimana sebelumnya hakim melihat keadilan adalah kepatuhan wujud masyarakat sosial, akan tetapi sekarang hukum masyarakat yang dinamis yang memiliki subsistem koordinatif yang selalu layak untuk terus diperhitungkan. Oleh karena itulah kemudian tidak bisa di elakkan bahwa pembentuk undang-undang sangat kemungkinan besar kadang-kadang juga secara sadar menyerahkan perkembangan hukum kepada hakim. Dapat dikatakan bahwa terjadi “delegasi” kewenangan pembentukan atu8
7
Sadjipto Rahardjo, 1980, Hukum dan Masyarakat, Angkasa Bandung, hlm 64-65
442
Suteki, 2013, Desain Hukum Di Ruang Sosial,Thafa Media, Yogyakarta, hlm 21-22 9 Suteki, ibid, hlm 40
Membangun Hakim Berkarakter Melalui Pendekatan ...
ran kepada hakim. Terhadap “pembentukan aturan hukum oleh hakim” ini juga dapat (telah) dilancarkan keberatan-keberatan. Bukankah hakim tidak cukup disiapkan untuk tugas pembentukan aturan. Berbeda dan kekuasaan pembentukan undang-undang, hakim juris tidak memiliki dukungan aparat kepegawaian. Pada penataan bangunan (inrichting) kekuasaan kehaki man tidak dipikirkan kegiatan-kegiatan untuk hakim di luar peradilan yang lazim. Selanjutnya, suatu keberatan terhadap “pembentukan aturan oleh hakim” adailah bahwa hakim tidak dapat mengembangkan prakarsa-prakarsa sendiri untuk pembentukan aturan, melainkan akan harus menunggu sengketa konkrit. Yang lebih besar adalah keberatan-keberatan yang menyangkut pengorganisasian dan pembentukan putusan, misalnya tidak adanya legitimasi demokratik yang bersifat fundamental. Kadang-kadang hakim memperlihatkan secara jelas bahwa karena alasan-alasan itu tidak mau melakukan tindakan pembentukan hukum (bandingkan HR 8-7-1994 Nj 1995, 30 d.an. C).10 Tuntutan yang kemudian mengemuka adalah bagaimana karakter hakim dalam membangun karakter spiritual pluralistik dituntun melalui sebuah kode etik. Kode etik disini bukan hanya sekedar aturan etika perilaku, akan tetapi adalah sebuah sistem pencegahan dini dan agar hakim terus bergerak pada jalur yang telah ditentukan. Dalam forum International Judicial Conference di Bangalore, India tahun 2001 telah berhasil disepakati draft kode etik dan perilaku hakim sedunia yang kemudian disebut The Ban galore Draft. Setelah mengalami revisi dan penyempurnaan berkali-kali, draft ini akhirnya diterima luas oleh berbagai kalangan hakim di dunia sebagai pedoman bersama dengan sebutan resmi The Ban galore Principle of Judicial Conduct.11 Terdapat 6 (enam) prinsip penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia sebagaimana tercantum dalam The Bangalore Principle,yakni: 10
J.A Pointer, diterjemahkan oleh Arief Sidharta, Opcit, hlm 113 11 Sirajuddin dan Winardi, 2015, Hukum Tata Negara Indonesia, Setara Press(Kelompok Instras Publising), Malang, hlm 141
Sukresno
1. Independensi (Independence Principle). Independensi hakim merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum. 2. Ketidakberpihakan (Impartiality Principle). Ketidak berpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya. 3. Trite gritas (Integrity Principle). Integritas hakim merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. 4. Kepantasan dan Kesopanan (Propriety Principle). Kepantasan dan kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan norma kesusilaan antar pribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan. 5. Kesetaraan (Equality Principle). Kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain atas dasar perbedaan agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, status perkawinan, kondisi fisik, status sosial ekonomi, umur, pandangan politik ataupun alasan-alasan yang serupa. 6. Kecakapan dan Keseksahakim maan (Competence dan Diligence Principle) Kecakapan dan Kesamaan hakim merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya. Kecakapan tercermin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan dan atau pengalaman dalam pelaksanaan tugas. Sedangkan kesamaan merupakan sikap pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, ketekunan,
443
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 439 - 446
dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim.12 Disamping itu, bangunan hukum yang baik sudah seidealnya hakim mentaati sebuah sistem hukum sehingga hakim dalam putusannya akan bersifat progresif. Fuller mengajukan satu pendapat untuk mengukur apakah kita pada suatu saat dapat berbicara mengenai adanya suatu sistem hukum (Fuller, 1971:39-91). Ukuran tersebut diletakannya pada delapan azas yang dinamakannya principles of legality, yaitu: 1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturanp-peraturan. Yang dimaksud di sini adalah, bahwa ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusa yang bersifat ad hoc. 2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan. 3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian itu tidak ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai untuk menjadi pedoman tingkah laku. Membolehkan pengaturan secara berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untukberlaku bagi waktu yang akan datang. 4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti. 5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturanp peraturan yang bertentangan satu sama lain. 6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan. 7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering merubah-ubah peraturan sehingga menyebabkan seorang akan kehilangan orientasi Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.13 Karakter hakim spiritual pluralistik progresif sebenarnya merupakan sebuah pandangan terhadap tantangan untuk menjalankan hukum sebagai wujud semangat perubahan dalam kerangka pluralism kemajemukan bangsa. Semangat perubahan dalam bingkai pluralism akan
sangat sulit jika diterapkan namun mudah apabila kita menginginkan untuk mengucapkannya. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa perkembangan baru dalam studi hukum di abad ke20 memberi isyarat bahwa ada yang kurang benar dalam cara-cara orang mempelajari hukum selama ini, yaitu dengan membatasi diri dalam ranah hukum perundang-undangan. Perkembangan dalam studi hukum akan berlanjut terus dan tidak hanya berhenti sampai “sociological movement in law”. Studi sosiologis terhadap hukum yang menumbangkan analytical positivism hanya eksemplar saja atau hanya merupakan simbol saja dan dorongan untuk melakukan “studi terhadap hukum secara benar”. Di belakang studi sosiologis terhadap hukum masih berderet yang lain seperti antropologi, psikologi dan ekonomi.14 Menjadi harapan dalam membangun karakter hakim adalah kemudian bagaimana mengemukakan gagasan-gagasan hakim dalam ruang hukum yang berkeadilan dijiwai semangat spiritual pluralistik progresif. Berdasarkan uraian yang perlu dijalankan adalah melalui semangat memaknai mendalam terhadap aturan yang tertulis dengan mempertimbangkan asas dan sistem hukum yang berlaku. Darisinilah diharapkan keadilan akan terwujud sesuai dengan kerangka piker logis dan abstrak sesuai dengan kebutuhan keadilan. D. Kesimpulan Dalam pandangan realistis menganggap hakim sebagai sebuah instrument kekuatan keadilan. Nuansa spiritual seorang hakim sangat menjiwai dalam membuat putusan. Namun sebagaimana tantangan para pakar hukum bahwa dalam membuat hukum seorang hakim yang adil kemudian dia hanya ditempatkan pada posisi sentral dalam hukum. Keadilan yang berkarakter sebagai bentuk produk hakim harus dijiwai oleh hasrat, kekuatan dan semangat hakim dalam memaknai sebuah istilah keadilan dalam norma secara menyeluruh atau pluralistik. Bagunan dari itu semua yang dibutuhkan adalah hakim harus bertindak secara progresif. Tak ayal, bertindak progresif merupakan wujud nyata bagi hakim
12
Sirajuddin dan Winardi, Ibid, hlm 141-142 Sadjipto Rahardjo, 1982, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hlm 92 13
444
14
Suteki, lo‟cit, hlm 29
Membangun Hakim Berkarakter Melalui Pendekatan ...
membentuk gagasan keadilan sebagai kekuatan hukum yang pantas dan wajib untuk ditaati oleh pencari keadilan. Pada sisi lain seluruh bangunan yang ada itu apabila ingin konsisten seorang hakim sudah
Sukresno
seidealnya mentaati asas dan sistem hukum. Diharapkan dari itu semua hakim akan menjadi bukan wujud eksemplar dari undang-undang tapi sebuah ideologi keadilan yang tidak bisa ditemukan dalam ruang manapun di dunia ini.
Daftar Pustaka J.A Pointer, diterjemahkan oleh Arief Sidharta, 2008, penemuan hukum (judul asli rechtvinding), Jendela Mas Pusaka-Anggota Ikapi, Bandung. Kusuma, Mahmud. 2009. Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia. Antony Lib bekerjasama LSHP. Yogyakarta. Mahfud MD, 2010, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Raja Grafindo Persada, Jakarta. _________________, 2013, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Muhtar Said, 2013, Politik Hukum Tan Malaka, Thafa Media, Semarang. Sadjipto Rahardjo, 1980, Hukum dan Masyarakat, Angkasa Bandung. ________________ 1982, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung. Sirajuddin dan Winardi, 2015, Hukum Tata Negara Indonesia, Setara Press (Kelompok Instras Publising), Malang. Suteki, 2013, Desain Hukum Di Ruang Sosial,Thafa Media, Yogyakarta.
445
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 439 - 446
446
MODEL PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DI LUAR PENGADILAN MELALUI ARBITRASE KETENAGAKERJAAN Oleh : Ujang Charda S. Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Subang e-mail :
[email protected] Abstrak Arbitrase merupakan salah satu model penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan di samping konsiliasi dan mediasi untuk jenis perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan yang dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih untuk mencari keadilan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Kendala yang muncul dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase adalah selain bersifat teknis, psikologis juga masalah kepercayaan terhadap profesionalisme arbiter, tidak mudah untuk menentukan arbiter yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Kata kunci : Perselisihan, Pengadilan Hubungan Industrial, Arbitrase Ketenagakerjaan Abstract Arbitration is one model of labor dispute resolution outside the court on the side of conciliation and mediation to the type of conflicts of interest and disputes between trade unions /labor unions in one company on the basis of agreement between the disputing parties to seek justice with a simple, fast, and low cost. Obstacles that arise in the settlement of industrial disputes through arbitration is in addition to technical, psychological also the issue of trust in the professionalism of the arbitrator, the arbitrator is not easy to determine who can be accepted by both parties. Keywords : Disputes, the Court of Industrial Relations, Employment Arbitration A. Pendahuluan Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitannya tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja sebelum, selama, dan sesudah masa kerja,1 tetapi juga dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat.2 Untuk itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup perencanaan tenaga kerja, pengembangan sumber daya manusia, perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan kerja, pembinaan hubungan industrial, peningkatan perlindungan tenaga kerja, serta peningkatan
produktivitas dan daya saing tenaga kerja di Indonesia.3 Atas dasar itu, maka pemerintah memberikan perhatian kepada tenaga kerja agar mampu mengembangkan diri secara menyeluruh dan terpadu yang diarahkan pada peningkatan kompetensi dan kemandirian yang diharapkan dapat bekerja sama dengan mitranya, yaitu pengusaha.4 Oleh karenanya tenaga kerja mempunyai peran ganda dalam pembangunan, yaitu tenaga kerja sebagai pelaku pembangunan berperan meningkatkan produktivitas nasional dan kesejahteraan masyarakat, dan tenaga kerja sebagai tujuan pembangunan perlu memperoleh
1
3
Konsiderans “menimbang” huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 2 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Ibid. Ujang Charda S., Mengenal Hukum Ketenagakerjaan Indonesia : Sejarah, Teori & Praktiknya di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Subang, Subang, 2014, hlm. 2.
4
447
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 447 - 464
perlindungan dalam semua aspek, termasuk perlindungan untuk memperoleh pekerjaan di dalam dan di luar negeri, perlindungan hak-hak dasar pekerja, perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, serta perlindungan upah dan jaminan sosial sehingga menjamin rasa aman, tentram, terpenuhinya keadilan, serta terwujudnya kehidupan yang sejahtera lahir dan batin, selaras, serasi, dan seimbang.5 Berkaitan dengan pembinaan hubungan industrial dan peningkatan perlindungan kerja ini, merupakan sesuatu yang penting dalam rangka pengembangan pembangunan nasional dalam sistem hubungan industrial yang menekankan pada kemitraan dan kesamaan kepentingan sehingga dapat memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal, melindungi hak-hak dan kepentingan tenaga kerja, menjamin kesempatan dan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi, menciptakan hubungan kerja yang harmonis, menciptakan ketenangan berusaha, meningkatkan produktivitas perusahaan, meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya, memberikan kepastian hukum bagi pekerja, dan pada akhirnya mewujudkan masyarakat Indonesia yang maju dan sejahtera.6 Kenyataannya tidak mudah menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dan bahkan bukannya tercipta hubungan industrial yang tenang, dalam arti tenang bekerja dan tenang berusaha tetapi malah ketegangan yang sering timbul dalam pelaksanaan hubungan industrial tersebut. Ketegangan antara pekerja dan pengusaha sering memicu terjadinya perselisihan hubungan industrial yang diakibatkan karena banyaknya kepentingan yang saling bertentangan. Konflik kepentingan itu terjadi apabila dalam melaksanakan atau mengejar kepentingannya merugikan orang lain dan dalam kehidupan bersama konflik itu tidak dihindarkan.7 Oleh karena itu, terjadinya perselisihan ini tentunya akan mengganggu dan mempengaruhi keseimbangan tatanan manusia dalam masyarakat, sehingga manu-
sia selalu berusaha untuk menciptakan keseimbangan guna terciptanya suasana tertib, damai dan aman yang merupakan jaminan kelangsungan hidupnya. Keseimbangan tatanan manusia dalam masyarakat yang terganggu harus dipulihkan kembali ke keadaan semula (restitutio in integrum).8 Atas dasar tersebut, perselisihan yang saling bertentangan harus dikembalikan ke keadaan yang semula, tentunya melalui proses penyelesaian, baik secara litigasi maupun non litigasi, seperti halnya dalam perselisihan hubungan industrial. Di dalam hubungan industrial apabila terjadi perselisihan, menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, pertama-tama yang harus diupayakan adalah bentuk penyelesaian secara non litigasi (di luar Pengadilan Hubungan Industrial) yang dilakukan secara sukarela, kecuali apabila tidak bisa diselesaikan, maka dapat dilakukan melalui bentuk penyelesaian secara wajib melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Bentuk penyelesaian secara wajib bukan hal yang baru dalam lingkup hukum ketenagakerjaan. Sudah banyak kasus perselisihan hubungan industrial yang secara empiris terjadi yang penyelesaiannya melalui litigasi sering berlarut-larut, misalnya dalam kasus ketenagakerjaan di PT. Dirgantara Indonesia, PT. LaksamanaNet. Kedua perusahaan ini nota bene-nya perusahaan besar, diselesaikan melalui cara penyelesaian wajib (compulsory arbitration), namun dalam praktiknya penyelesaian perselisihan tersebut malah berlarut-larut, bahkan sampai terjadi perbuatan yang anarkis yang mengakibatkan korban waktu, harta sampai korban jiwa. Fakta tersebut merupakan suatu kenyataan, bahwa pelaksanaan penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Indonesia dapat dikatakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang memakan waktu lama dan tidak mencerminkan asas penyelesaian yang sederhana, murah dan waktu yang relatif singkat.9
5
Ujang Charda, PPHI Secara Non Litigasi, Kertas Kerja pada Diskusi Terbatas Bentuk-bentuk Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial pada Fakultas Hukum Universitas Subang, Subang, 2006, hlm. 2. 6 Lihat juga konsiderans ”menimbang” huruf d UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003. 7 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1996, hlm. 4.
448
8
Ibid. Elvira Ratnadila, “Suatu Tinjauan tentang Penerapan Arbitrase di Indonesia dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial”, Tesis, PPs UNPAD, Bandung, 2006, hlm. 7. 9
Model Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ...
Berdasarkan fakta empiris tersebut, tentunya penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan melalui sistem arbitrase10 ketenagakerjaan (selanjutnya disebut arbitrase saja) dapat dijadikan sebagai alternatif, mengingat penyelesaian sengketa melalui pengadilan banyak kelemahannya, baik inherent maupun tidak, antara lain karena penyelesaiannya yang berbelit-belit dan cost and time consuming. Oleh karena itu, wajar jika mencari alternatif penyelesaian melalui arbitrase. Tujuan utamanya bermuara untuk mencari keadilan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan (justice delayed, justice denied).11 Penyelesaian melalui arbitrase ini sebetulnya mempunyai kelemahan dan kelebihan. Kelemahannya adalah kurangnya kepercayaan terhadap lembaga arbitrase dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan,12 sehingga para pihak yang berselisih enggan untuk menggunakan sarana penyelesaian di luar pengadilan melalui arbitrase, namun di sisi lain arbitrase memberikan kebebasan yang besar kepada para pihak yang berselisih dengan prosedur dan proses pengambilan putusan lebih pendek dan cepat serta biaya yang relatif lebih murah. Di samping itu, kebebasan putusan pun dapat dijamin serta putusan arbitrase lebih cepat dieksekusi. Kenyataannya metode penyelesaian perselisihan lewat arbitrase sekarang ini telah menjadi suatu wacana alternatif yang dapat menyelesaikan sebagian kecil dari begitu banyak benang kusut yang dihadapi oleh orang-orang yang berkecimpung di bidang ketenagakerjaan, karena berbenturan dengan tembok-tembok hukum yang kusam, kelam, kaku, dan menyeramkan. Ini berarti telah menjadi tonggak sejarah progresivitas hukum, khususnya yang berkenaan de10
Priyatna Abdurrasyid dalam Sudiarto & Zaeni Asyhadie, Mengenal Abitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 28-29, mengemukakan arbitrase adalah : “Suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudisial seperti yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak”. 11 Munir Fuady, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 11. 12 Ibid., hlm. 95.
Ujang Charda S.
ngan aspek-aspek formalitas dan hukum acara, sehingga peranan arbitrase mempunyai prospek untuk bisa dijadikan altenatif dalam penyelesaian perselisihan di bidang ketenagakerjaan. B. Pembahasan 1. Dasar Pertimbangan Memilih Arbitrase dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Arbitrase hubungan industrial adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.13 Berdasarkan pengertian tersebut, maka perselisihan yang dapat diselesaikan oleh arbitrase hubungan industrial adalah hanya perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui kesepakatan tertulis. Dengan demikian, hanya 2 (dua) jenis perselisihan saja yang dapat diselesaikan oleh arbitrase dari 4 (empat) jenis perselisihan yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, yaitu : perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase ini tidak begitu saja terjadi, tetapi harus melalui suatu kesepakatan para pihak yang berselisih yang dituangkan ke dalam perjanjian secara tertulis. Oleh karena itu, apabila berbicara perjanjian perlu dikemukakan teori tentang perjanjian yang diawali dengan mengemukakan ketentuan perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUH 13
Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Peselisihan Hubungan Industrial. Bdgkan dengan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menyebutkan bahwa : “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian abitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
449
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 447 - 464
Perdata yang menyatakan bahwa : “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Definisi yang dikemukakan dalam Pasal 1313 KUH Perdata, menurut para sarjana tidak lengkap juga pengertiannya terlalu luas. Dikatakan tidak lengkap karena hanya menyebutkan perjanjian sepihak dan dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, namun istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan tersendiri, sehingga Buku III KUH Perdata secara tidak langsung tidak berlaku terhadapnya juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan.14 Dalam perkembangannya, perjanjian tidak lagi dipandang sebagai suatu perbuatan, tetapi merupakan satu perbuatan hukum yang bersisi dua (een tweezijdige rechtshandeling). Artinya dalam satu perjanjian terdapat satu perbuatan hukum yang mempunyai dua sisi. Sisi yang pertama adalah penawaran atau offer atau aanbod, sedangkan sisi yang kedua adalah penerimaan atau acceptance atau aanvaarding. Pada perkembangan selanjutnya, perjanjian tidak lagi dianggap sebagai suatu perbuatan hukum yang bersisi dua, tetapi perjanjian merupakan dua perbuatan hukum yang masing-masing bersisi satu (twee eenzijdige rechtshandelingen). Dua perbuatan hukum tersebut adalah penawaran atau offer atau aanbod dan penerima atau acceptance atau aanvaarding.15 Penawaran dan penerimaan masing-masing menimbulkan akibat hukum. Oleh karena itu, perjanjian juga merupakan perbuatan hukum yang masing-masing bersisi satu (twee eenzijdige rechtshandelingen). Berdasarkan hal tersebut, Sudikno Mertokusumo mengemukakan, perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hu14
Mariam Darus Badrulzaman, Kerangka Dasar Hukum Perjanjian (Kontrak), Elips, Jakarta, 1998, hlm. 4-5. 15 Taufiq El Rahman, “Perlindungan Debitur Terhadap Berlakunya Klausula-klausula yang Menguintungkan Kreditur dalam Perjanjian Kredit Sindikasi”, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1999, hlm. 5-7.
450
kum”.16 Berdasarkan definisi tersebut, jelas tampak bahwa untuk terjadinya perjanjian harus ada kata sepakat atau konsensus di antara para pihak. Kata sepakat dapat diberikan secara lisan, tulisan, atau bahkan dapat diberikan secara diam-diam atau dengan bahasa isyarat. Di dalam suatu perjanjian, para pihak sepakat untuk menentukan peraturan atau hak dan kewajiban yang mengikat untuk ditaati dan dijalankan. Kesepakatan itu adalah untuk menimbulkan akibat hukum, menimbulkan hak dan kewajiban dan kalau kesepkatan dilanggar, maka akibat hukumnya, pelanggar dapat dikenakan akibat hukum atau sanksi.17 Dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase, menurut Pasal 32 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 disyaratkan harus ada kata sepakat yang dituangkan ke dalam perjanjian secara tertulis. Aspek perjanjian merupakan faktor yang sangat penting di samping aspek undang-undang, walaupun aspek perjanjian bukan faktor yang mutlak harus ada. Adanya hubungan hukum berupa perjanjian tertulis tentu saja sangat membantu memperkuat posisi para pihak yang lemah dan dirugikan hak-haknya dalam penyelesaian perselisihan hubungan indusrial dalam berhadapan dengan pihak yang merugikan hak-haknya. Perjanjian ini perlu dikemukakan karena merupakan salah satu sumber perikatan sebagaimana yang disebutkan oleh Pasal 1233 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perikatan dapat bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Ada beberapa teori yang mengemukakan tentang saat-saat terjadi perjanjian antara para pihak, yaitu :18 a. Teori kehendak (wilstheori) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat. b. Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawa16
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hlm. 97. Ibid., hlm. 98. 18 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. hlm. 296297. 17
Model Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ...
ran. c. Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawaranya diterima. d. Teori kepercayaan (vertrouwenstrheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan. Sehubungan dengan syarat kesepakatan yang mengikatkan diri para pihak yang mengadakannya, maka dalam KUH Perdata dicantumkan beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut. Dilihat dari syarat-syarat sahnya perjanjian, maka Asser membedakan bagian perjanjian, yaitu bagian inti (wezenlijk oordeel) dan bagian bukan inti (non wezenlijk oordeel). Bagian inti disebutkan esensialia, bagian non inti terdiri dari naturalia dan aksidentalia.19 Berdasarkan uraian di atas, aspek perjanjian dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak bisa dilepaskan karena itu merupakan prinsip (nilai moral yang terkandung dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004) dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase yang dikategorikan sebagai Alternative Dispute Resolution (ADR), yaitu kehendak bebas yang diatur dari pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perselisihannya di luar hakim negara.20 Penyelesaian cara ini juga diakui oleh Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman melalui Pasal 58 yang menyatakan : “Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan perdata melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa”. Selanjutnya dalam Pasal 59 ditentukan sebagai berikut : “(1)Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 19
Ibid. Suyud Margono, “Pelembagaan Altenative Dispute Resolution (ADR) di Indonesia”, Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia (Mengenang Alm. Prof. Dr. Komar Kantaatmadja), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 21.
20
Ujang Charda S.
(2) Putusan arbitrase bersifat final yang mempunyai kekuatan tetap dan mengikat para pihak. (3) Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”. Selanjutnya, Pasal 60 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyatakan sebagai berikut : ”(1)Alternatif penyelesaian sengketa merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. (2) Penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hasilnya dituangkan dalam kesepakatan tertulis. (3) Kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik”. Dalam praktik, penyelesaian sengketa/perselisihan yang muncul diserahkan kepada masing-masing pihak, diselesaikannya melalui proses peradilan atau menggunakan cara penyelesaian lain di luar pengadilan, seperti arbitrase. Dalam kenyataanya terhadap perselisihan hubungan industiral para pihak yang berselisih menginginkan sistem penyelesaian sederhana, cepat, dan biaya ringan atau formal procedure and can be put in motion quickly.21 Dalam arti lain, bahwa model penyelesaian perselisihan hubungan industrial tetap berada dalam jalur sistem hukum atau formal yang dibenarkan oleh hukum. Penyerahan kepada arbiter dinyatakan dengan surat perjanjian antara kedua belah pihak di hadapan Pegawai Kementerian Ketenagakerjaan. Pada umumnya penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilakukan melalui lembaga arbitrase, karena lembaga ini mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan, 21
Ibid., hlm. 21-22.
451
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 447 - 464
yaitu :22 a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak. b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif. c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil. d. Para pihak dapat memilih hukum apa yang akan diterapkan untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase. Di dalam praktik, penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase tidak begitu diminati. Kendala yang muncul selain bersifat teknis, psikologis juga masalah kepercayaan terhadap profesionalisme arbiter, tidak mudah untuk menentukan arbiter yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Apabila penyelesaian melalui arbitrase tidak dikehendaki, baik oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak, maka para pihak dapat meminta kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi setempat dengan tembusan kepada Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Daerah disertai bukti-bukti perundingan untuk diselesaikan melalui pemerantaraan. Dalam koridor masyarakat yang sadar hukum, tidak dapat dihindari muncul berbagai prilaku yang saling tuntut menuntut satu sama yang lain, dan di masa depan yang dekat kuantitas dan kompleksitas perkara, terutama perkara-perkara ketenagakerjaan akan sangat tinggi. Metode penyelesaian sengketa lewat arbitrase telah menjadi suatu wacana alternatif yang dapat menyelesaikan sebagian kecil dari begitu ba22
Nurjihad, “Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997”, Jurnal Hukum & Keadilan Vol. 2 No. 1, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1999, hlm. 68, mengemukakan bahwa secara teoritis penyelesaian perselisihan melalui arbitrase mempunyai banyak keuntungan, di antaranya : a. Arbitrase memberikan kebebasan yang besar kepada para pihak. b. Prosedur dan proses pengambilan putusan lebih pendek dan cepat serta biaya yang relatif lebih murah. Di samping itu, kebebasan putusanpun dapat dijamin. c. Putusan arbitrase lebih cepat dieksekusi.
452
nyak benang kusut yang dihadapi oleh orangorang yang berkecimpung di bidang ketenagakerjaan, karena berbenturan dengan temboktembok hukum yang kusam, kelam, kaku, dan menyeramkan. Dengan di undangkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 berarti telah menjadi tonggak sejarah progresivitas hukum, khususnya yang berkenaan dengan aspek-aspek formalitas dan hukum acara.23 Atas dasar uraian di atas tujuan akhir untuk semua itu adalah untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap arbitrase dan Alternative Dispute Resolution (ADR), serta menumbuhkan keyakinan yang kukuh bahwa arbitrase dan Alternative Dispute Resolution (ADR) memiliki supremacy atau power. Memiliki kekuatan untuk menciptakan perubahan positif dalam masyarakat, yakni untuk menciptakan rasa aman dan untuk menyelesaikan sengketa secara damai di masyarakat, serta menciptakan suatu potensi konflik menjadi potensi persaudaraan yang lebit erat.24 Dalam dunia ketenagakerjaan, tentunya banyak pertimbangan yang mendasari pelaku usaha dan pekerja untuk memilih arbitrase sebagai upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang akan dihadapi. Walaupun kadangkala pertimbangan itu berbeda, baik apabila ditinjau secara teoritis maupun secara empiris atau kenyataan di lapangan. Oleh karena itu, dasar pertimbangan memilih arbitrase, karena arbitrase mempunyai beberapa kelebihan diantaranya :25 a. Dijamin kerahasiaannya sengketa para pihak. b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedur dan administratif. c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur, dan adil. d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah serta 23
Ujang Charda, PPHI …, Op. Cit., hlm. 4. Huala Adolf, “Beberapa Catatan tentang Arbitrase dalam Milenium Baru”, Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia (Mengenang Alm. Prof. Dr. Komar Kantaatmadja), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 78. 25 Sudiarto & Zaeni Asyhadie, Op. Cit., hlm. 33. 24
Model Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ...
proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase. e. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Di dalam beberapa literatur perlu juga diketahui bahwa ada beberapa pertimbangan yang melandasi para pihak untuk memilih arbitrase sebagai upaya penyelesaian perselisihan, khususnya dalam perselisihan hubungan industrial. Pertimbangan tersebut adalah sebagai berikut :26 a. Ketidakpercayaan para pihak pada pengadilan negeri; b. Proses cepat; c. Dilakukan secara rahasia; d. Bebas memilih arbiter; e. Diselesaikan oleh ahlinya (expert); f. Merupakan putusan ahli (final) dan mengikat (binding); g. Biaya lebih murah; h. Bebas memilih hukum yang berlaku; i. Eksekusinya mudah; j. Kepekaan arbiter; k. Kecenderungan yang modern. Di samping dasar pertimbangan sebagaimana tersebut di atas, ada beberapa juga keuntungan penyelesaian sengketa melalui arbitrase sebagaimana dikemukakan oleh Agnes M. Toar yang secara rinci mengemukakan sebagai berikut :27 a. Keuntungan dari satu peradilan arbitrase ialah menang waktu karena dapat dikontrol oleh para pihak, sehingga keterlambatan dalam proses peradilan pada umumnya dapat dihindari. b. Di samping keuntungan tersebut, kerahasiaan proses penyelesaian sengketa suatu hal yang sangat dibutuhkan dalam dunia usaha dapat dikatakan terjamin. c. Macam-macam bukti dalam penyelesaian perselisihan yang tidak terletak dalam bidang yuridis pun dapat digunakan, se-
Ujang Charda S.
hingga tidak perlu terlambat karena ketentuan undang-undang mengenai pembuktian yang bersangkutan. d. Suatu putusan arbitrase pada umumnya terjamin, tidak memihak, mantap, dan jitu karena diputusakan oleh orang ahli yang pada umumnya menjaga nama dan martabatnya. Oleh karenanya kebiasaan berprofesi dalam bidang tertentu. e. Keuntungan yang lain ialah peradilan arbitrase potensial menciptakan profesi yang lain, yaitu sebagai arbiter yang merupakan faktor pendorong untuk para ahli agar lebih menekuni bidangnya untuk mencapai tingkat paling atas secara nasional. Sementara itu H.M.N. Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase), yaitu :28 a. Penyelesaian sengketa dapat dilakasanakan dengan cepat. b. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang dipersengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak. c. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak. d. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perushaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha. Berdasarkan uraian di atas tentang dasar pertimbangan mengapa para pihak lebih condong memilih penyelesaian melalui arbitrase daripada pengadilan, pada dasarnya dapat disimpulkan ada 3 (tiga) hal pokok yang menyebabkan kecondongan tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Subekti bahwa penyelesaian perselisihan sengketa lewat arbitrase atau perwasitan mempunyai beberapa keuntungan, yaitu dilakukan dengan cepat, oleh ahli, dan secara rahasia.29
26
Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta, 2000, hlm. 1-2. 27 Agnes M. Toar dalam Sudiarto & Zaeni Asyhadi, Mengenal Arbitrase (Salah Satu Altenatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), RajaGafindo Persada, Jakata, 2004, hlm. 41.
28
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang, Jilid 8, Jambatan, Jakarta, 1988, hlm. 34. 29 Subekti, Arbitrase Perdagangan, Binacipta, Bandung, 1992, hlm. 5-6.
453
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 447 - 464
2. Model Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Luar Pengadilan Melalui Arbitrase Ketenagakerjaan Perselisihan atau pertengkaran atau persengketaan merupakan suatu keadaan yang tidak dikehendaki oleh setiap orang yang sehat akal dan pikirannya. Artinya jika ada orang yang senang berselisih/bersengketa, dapat dipastikan bahwa orang itu tidak waras, akan tetapi dalam pergaulan di masyarakat, tempat di mana manusia hidup di tengah orang yang berbeda tabiat dan kepentingan, pasti tidak akan bisa sama sekali tidak berhadapan dengan perselisihan. Perselisihan itu bisa disebabkan oleh hal yang kecil dan tidak mempunyai akibat hukum apapun, seperti perbedaan pendapat dengan isteri/suami tentang penentuan waktu keberangkatan ke luar kota atau bisa pula merupakan persoalan serius dan mempunyai akibat hukum, misalnya tentang batas tanah dengan tetangga atau perselisihan atas perjanjian yang telah dibuat sebelumnya, atau perselisihan di lingkungan tempat seseorang bekerja. Suatu perselisihan itu muncul ke permukaan, antara lain disebabkan karena masing-masing merasa benar, merasa berhak atas apa yang diperselisihkan. Sebab kalau salah satu pihak dari yang berselisih merasa bersalah dan tahu tidak berhak atas sesuatu yang diperselisihkan, perselisihan itu tidak ada atau berakhir ketika ketidakbenaran dan ketidakberhakkannya disadari. Di dalam pergaulan masyarakat, terutama masyarakat pekerja pada dasarnya kedamaian adalah merupakan idaman dan harapan dalam suatu hubungan kerja di lingkungan kerja, sehingga akan menciptakan ketenangan kerja dan ketenangan dalam berusaha. Harapan ini sungguh merupakan suatu keadaan yang didambakan, baik oleh pihak pengusaha dan lebih-lebih oleh pihak pekerja sebagai pihak yang diberi tugas oleh pengusaha untuk melakukan suatu pekerjaan dalam rangka pelaksanaan hubungan kerja. Dengan demikian, kedamaian dalam pelaksanaan hubungan kerja akan terwujud antara lain, kalau aneka kepentingan yang berbeda dari masing-masing tidak saling bertabrakan/bertentangan. Oleh karena itu, dalam suatu kegiatan usaha perlu suasana hubungan kerja dalam lingkungan kerja yang kondusif, sehingga segala 454
bentuk perselisihan antara pengusaha dengan pihak pekerja dapat diselesaikan secara cepat dan tepat, sehingga tidak berlarut-larut yang mengakibatkan tidak kondusifnya suasana di tempat kerja. Atas dasar hal tersebut, maka pada dasarnya dapat diketahui bahwa sesungguhnya pertentangan kepentingan itu yang menimbulkan perselisihan/persengketaan dan untuk menghindari gejala tersebut, harus dicari jalan untuk mengadakan tata tertib, yaitu dengan membuat ketentuan atau kaidah hukum yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat, agar dapat mempertahankan hidup bermasyarakat. Dalam kaedah hukum yang ditentukan itu, setiap orang diharuskan untuk bertingkah laku sedemikian rupa, sehingga kepentingan anggota masyarakat lainnya akan terjaga dan dilindungi. Apabila kaidah hukum itu dilanggar, maka kepada yang bersangkutan akan dikenakan sanksi atau hukuman. Adapun yang dimaksudkan dengan kepentingan seperti disebutkan di atas, adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata yang diatur dalam hukum perdata materiil. Hukum perdata (materiil) itu menjelma dalam undang-undang atau ketentuan yang tidak tertulis, merupakan pedoman bagi masyarakat tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat. Ketentuan-ketentuan, seperti : ”Siapa yang mengambil barang milik orang lain dengan niat untuk dimiliki sendiri secara melawan hukum .... dan sebagainya”, ”siapa yang karena salahnya menimbulkan kerugian kepada orang lain diwajibkan mengganti kerugian kepada orang lain tersebut”, itu semuanya merupakan pedoman atau kaedah yang pada hakekatnya bertujuan untuk melindungi kepentingan orang.30 Pelaksanaan dari hukum perdata (materiil) dapat berlangsung secara diam-diam di antara para pihak yang berinteraksi, tanpa harus melalui instansi resmi, namun acapkali terjadi hukum perdata (materiil) itu dilanggar, sehingga ada pihak yang dirugikan dan terjadilah gangguan keseimbangan kepentingan di dalam masyarakat. 30
Budhy Budiman, ”Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktik Peradilan Perdata dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999”, www. google.co.id., akses 2 Januari 2014, jam 19 : 26 WIB.
Model Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ...
Dalam hal ini maka hukum materil perdata yang telah dilanggar itu haruslah dipertahankan dan ditegakkan. Untuk melaksanakan hukum perdata (materiil) terutama dalam hal ada pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum perdata (materiil) dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan hukum lain, yaitu yang disebut hukum formil atau hukum acara perdata. Hukum Acara Perdata merupakan keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materil dengan perantaraan kekuasaan negara. Perantaraan negara dalam mempertahankan dan menegakkan hukum perdata materiil itu terjadi melalui peradilan. Cara inilah yang disebut dengan litigasi. Di samping melalui litigasi, juga dikenal alternatif penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan yang lazim disebut non litigasi. Hal yang terakhir ini dimungkinkan selain karena peraturan perundang-undangan, juga karena pada dasarnya dalam cara litigasi, inisiatif berperkara ada pada diri orang yang berperkara (dalam hal ini penggugat). Dengan kalimat lain ada atau tidak adanya sesuatu perkara, harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang merasa, bahwa haknya atau hak mereka dilanggar, yaitu oleh penggugat atau para penggugat.31 Dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoritisi hukum. Peran dan fungsi peradilan, dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of time), biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum atau dianggap terlampau formalistik (formalistic) dan terlampau teknis (technically).32 Penyelesaian perselisihan (perkara) perdata yang sederhana, cepat dan murah adalah dambaan kita semua. Dambaan itu disadari oleh pembentuk undang undang di negara Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, yang berbunyi: ”Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
Ujang Charda S.
tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”. Ketentuan tersebut, selaras dengan penjelasan ketentuan Pasal 2 dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang merupakan suatu moto peradilan yang secara lengkap berbunyi : ”Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” adalah sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan, bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Kenyataannya, hal tersebut ternyata sangat sulit untuk diwujudkan, bahkan dalam praktiknya pelaksanaan peradilan perdata semakin jauh dari harapan. Terbukti pada belakangan ini muncul suara sumbang mencerca lembaga peradilan sebagai penyelesai masalah yang menimbulkan masalah (tidak seperti slogan peradilan mengatasi masalah tanpa masalah). Kritik tajam terhadap lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya yang dianggap terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of time), mahal (very expenxive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum serta dianggap terlampau formalistik (formalistic) dan terlampau teknis (technically). Itu sebabnya masalah peninjauan kembali perbaikan sistem peradilan ke arah yang efektif dan efisien, terjadi di mana-mana. Sistem peradilan Inggris dianggap lambat dan mahal (delay and expensive), sehingga penyelesaian perkara yang dihasilkan dianggap putusan yang tidak adil (injustice). Bahkan muncul kritik yang mengatakan bahwa proses perdata dianggap tidak efisien dan tidak adil (civil procedure was neither efficient no fair).33 Apabila kritik terhadap peradilan itu benar adanya, maka diperlukan perbaikan-perbaikan. Secara menarik Satjipto Rahardjo 34 menguraikan agar pengadilan dapat menjalankan 33
31
Ibid. 32 Ibid., hlm. 2.
Ibid. Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1976, hlm. 33. 34
455
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 447 - 464
fungsinya sesuai harapan, yaitu pertama-tama para warga masyarakat haruslah bergerak untuk memanfaatkan jasa yang dapat diberikan oleh lembaga ini. Masyarakat harus senantiasa bersedia untuk membawa perkara-perkaranya ke depan pengadilan untuk diselesaikan. Ada bermacam-macam alasan yang dapat menjadi pendorong sehingga warga negara bersedia untuk membawa perkara-perkaranya itu. Alasanalasan tersebut di antaranya adalah : 35 a. Kepercayaan, bahwa di tempat itu akan memperoleh keadilan seperti mereka kehendaki. b. Kepercayaan, bahwa pengadilan merupakan lembaga yang mengekspresikan nilai-nilai kejujuran, mentalitas yang tidak korup dan nilai-nilai utama lainnya lagi. c. Bahwa waktu dan biaya yang mereka keluarkan tidak sia-sia. d. Bahwa pengadilan merupakan tempat bagi orang untuk benar-benar memperoleh perlindungan hukum. Alasan bahwa prosedur penyelesaian secara litigasi memakan waktu, biaya yang mahal sehingga tidak bisa menciptakan justice delayed and justice denied, sehingga menjadikan pihakpihak yang berselisih mencari altenatif penyelesaiannya melalui non litigasi (di luar pengadilan). Hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan penyelesaian yang cepat, efektif dan efisien serta tidak prosedural. Salah satu bentuk alternatif penyelesaian tersebut adalah melalui arbitrase di bidang hubungan industrial. Arbitrase hubungan industrial diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, yaitu sebagai salah satu dari empat undang-undang bidang ketenagakerjaan yang dibuat dalam era reformasi. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, istilah arbitrase sudah mulai akrab sebagai salah satu alternatif penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar Pengadilan Hubungan Industrial, karena dalam masa-masa persiapan, telah dilakukan berbagai kegiatan seminar, lokakarya, workshop juga berbagai bentuk sosialisasi agar para stakeholder dapat memahami secara utuh dan komprehensif, sehingga pada saat mulai berlakunya un-
dang-undang ini diharapkan tidak ada kendala/ hambatan di lapangan atau setidak-tidaknya dapat diminimalisir. Sebenarnya istilah arbitrase bukanlah suatu barang baru di bidang ketenagakerjaan sebab Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 telah memberikan ruang dalam menyelesaian perselisihan perburuhan melalui Dewan Pemisah (arbitrase), namun kenyataannya dalam kurun waktu 48 tahun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tersebut berjalan, perselisihan yang diselesaikan melalui arbitrase dapat dihitung dengan jari, ini membuktikan pihak-pihak yang berselisih ternyata masih enggan menempuh jalur arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan. Hal ini (mungkin) disebabkan beberapa hal, misalnya masih kurangnya pemahaman tentang arbitrase itu sendiri karena belum memasyarakat, kemampuan para arbiter yang menyelesaikan perselisihan tidak sesuai dengan harapan masyarakat, prosedur penyelesaiannya tidak jelas atau perangkat peraturannya yang kurang lengkap dan lain-lain penyebabnya. Berbeda dengan yang terjadi di negara-negara maju, pada umumnya masyarakat di sini justru lebih mengedepankan penyelesaian perselisihan di luar pengadilan melalui arbitrase. Ada beberapa alasan mengapa para pihak menggunakan arbitrase ini, yaitu : 36 a. Adanya kebebasan, kepercayaan dan keamanan dalam penyelesaian perselisihan. b. Arbiter memiliki keahlian (expertise) untuk memeriksa dan memutus perselisihan dinilai objektif. c. Penyelesaian lebih cepat dan hemat biaya (arbitration is a simple proceeding). d. Bersifat rahasia (confidential). e. Adanya kepekaaan arbiter dalam mengambil keputusan. f. Bersifat nonprecedent. g. Pelaksanaan lebih mudah dilaksanakan. Di dalam ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan, arbitrase hubungan industrial (arbitrase) adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kese36
35
Budhy Budiman, Op. Cit., hlm. 3.
456
http://www.nakertrans.go.id/majalahbuletin/, akses 5 Pebruari 2015, jam 22 : 19 WIB.
Model Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ...
pakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 2, jenis perselisihan hubungan industrial meliputi : perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Berdasarkan keempat jenis perselisihan tersebut, sesuai dengan Pasal 29, hanya dua jenis perselisihan hubungan industrial yang dapat diselesaikan melalui arbitrase, yaitu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, sedangkan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikat pekerjaan. Berdasarkan paparan di atas, maka secara yuridis operasional ternyata keberadaan arbitrase dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial sejak lama telah mendapat pengakuan, baik menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 yang sekarang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, sehingga eksitensi dan kedudukan arbitrase berperan sebagai salah satu alternatif penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dipertanggungjawabkan. Diakuinya arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian perselisihan hubungan industrial, perannya diharapkan sebagai penegak hukum yang dapat menciptakan ketertiban, keadilan dan kepastian yang pada akhirnya dapat bermuara pada kesejahteraan, kebahagiaan seluruh umat manusia, sehingga putusan arbitrase yang dihasilkan oleh para arbiter mempunyai nilai kemanfaatan dan kegunaan sebagai putusan yang secara psikologis memenuhi rasa keadilan masyarakat dan secara teoritis praktis
Ujang Charda S.
penyelesaian perselisihan melalui arbitrase banyak keuntungannya, yaitu : a. Arbitrase memberikan kebebasan yang besar kepada para pihak. b. Prosedur dan proses pengambilan putusan lebih pendek dan cepat serta biaya yang relatif lebih murah. Di samping itu, kebebasan putusanpun dapat dijamin. c. Putusan arbitrase lebih cepat dieksekusi. Dalam koridor masyarakat yang sadar hukum, tidak dapat dihindari muncul berbagai prilaku yang saling tuntut menuntut satu sama yang lain, dan di masa depan yang dekat kuantitas dan kompleksitas perkara, terutama perkaraperkara hubungan industrial akan sangat tinggi. Metode penyelesaian sengketa lewat arbitrase telah menjadi suatu wacana alternatif yang dapat menyelesaikan sebagian kecil dari begitu banyak benang kusut yang dihadapi oleh orangorang yang berkecimpung di bidang ketenagakerjaan, karena berbenturan dengan temboktembok hukum yang kusam, kelam, kaku, dan menyeramkan. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 diharapkan akan menjadi tonggak sejarah progresivitas hukum, khususnya yang berkenaan dengan aspek-aspek formalitas dan hukum acara dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Berdasarkan fakta empiris tersebut, tentunya penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan melalui arbitrase dapat dijadikan sebagai alternatif, mengingat penyelesaian sengketa melalui pengadilan banyak kelemahannya, baik inherent maupun tidak, antara lain karena penyelesaiannya yang berbelit-belit dan cost and time consuming. Oleh karena itu, wajar jika mencari alternatif penyelesaian melalui arbitrase. Tujuan utamanya bermuara untuk mencari keadilan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan (justice delayed, justice denied). Dijadikannya arbitrase sebagai alternatif penyelesaian perselisihan hubungan industrial, karena arbitrase mempunyai kelebihan atau keuntungan, antara lain :37 a. Prosedur tidak berbelit dan keputusan dapat dicapai dalam waktu relatif singkat. b. Biaya lebih murah. 37
Munir Fuady, Op. Cit., hlm. 94.
457
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 447 - 464
c. Dapat dihindari expose dari keputusan di depan umum. d. Hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih relaks. e. Para pihak dapat memilih hukum yang mana akan diberlakukan oleh arbitrase. f. Para pihak dapat memilih sendiri para arbiter. g. Dapat dipilih para arbiter dari kalangan ahli dalam bidangnya. h. Keputusan dapat lebih terkait dengan situasi dan kondisi. i. Keputusan umumnya final and binding (tanpa harus naik banding dan kasasi). j. Keputusan arbitrase umumnya dapat diberlakukan dan dieksekusi oleh pengadilan dengan sedikit atau tanpa riview sama sekali. k. Proses/prosedur arbitrase lebih mudah dimengerti oleh masyarakat luas. l. Menutup kemungkinan untuk dilakukan forum shopping. Di balik kelebihan yang dimiliki oleh arbitrase, namun penyelesaian melalui arbitrase juga tidak lepas dari kelemahan atau kekurangan yang dimiliki oleh arbitrase ini, antara lain :38 a. Hanya baik dan tersedia dengan baik terhadap perusahaan-perusahaan bonafide. b. Due process kurang terpenuhi. c. Kurang unsur finality. d. Kurang power untuk mengiringi para pihak ke settlement. e. Kurang power untuk menghadirkan barang bukti, saksi, dan lain-lain. f. Kurang power untuk hal law enforcement dan eksekusi keputusan. g. Dapat menyembunyikan dispute dari public scurity. h. Tidak dapat menghasilkan solusi yang bersifat preventif. i. Kemungkinan timbulnya keputusan yang saling bertentangan satu sama lain, karena tidak ada sistem precedent terhadap keputusan sebelumnya dan juga karena unsur fleksibilitas dari arbiter. Oleh karena itu, keputusan arbitrase tidak pre38
Ibid., hlm. 95.
458
dektif. j. Kualitas keputusannya sangat bergantung pada kualitas para arbiter itu sendiri, tanpa ada noma yang cukup untuk menjaga standar mutu keputusan arbitrase. Oleh karena itu, sering dikatakan an arbitration is as good as arbiters. k. Berakibat kurangnya upaya untuk mengubah sistem pengadilan konvensional yang ada. l. Berakibat semakin tinggi rasa permusuhan kepada pengadilan. Arbitrase adalah penyelesaian perselisihan oleh seorang atau tiga orang arbiter yang atas kesepakatan para pihak yang berselisih diminta menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja. Dalam hal pihak yang berselisih memilih 3 (tiga) orang arbiter, dalam 3 (tiga) hari masing-masing pihak dapat menunjuk seorang arbiter dan paling lambat 7 (tujuh) hari sesudah itu, kedua arbiter tersebut menunjuk arbiter ketiga sebagai Ketua Majelis Arbiter. Sama halnya dengan juru atau dewan pemisah dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957, arbiter menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 ini harus memenuhi syarat tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah dan didaftar di Kantor Pemerintah yang membidangi ketenagakerjaan. Dalam hal kesepakatan memilih penyelesaian arbitrase, pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja membuat surat perjanjian arbitrase yang antara lain memuat pokok persoalan perselisihan yang diserahkan kepada arbiter, jumlah arbiter yang akan dipilih dan kesiapan untuk tunduk pada dan menjalankan keputusan arbitrase. Arbiter pertama-tama mengupayakan penyelesaian secara bipartit. Bila penyelesaian berhasil, arbiter membuat akta perdamaian. Bila kedua belah pihak tidak mencapai titik perdamaian, arbiter melanjutkan sidang-sidang arbitrase dengan mengundang kedua belah pihak dan bila perlu mengundang saksi. Secara keseluruhan, arbiter wajib menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter. Atas persetujuan kedua belah pihak yang berselisih, arbiter hanya dapat memperjuangkan waktu penyelesaian pa-
Model Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ...
ling lama 14 (empat belas) hari kerja. Putusan arbiter merupakan putusan yang bersifat akhir, tetap dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang berselisih. Bila salah satu pihak tidak melaksanakan keputusan arbitrase, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri untuk memerintahkan pihak tersebut melaksanakan keputusan arbitrase (final and binding) sebagai undang-undang. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak keputusan arbiter, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, hanya apabila : a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, ternyata diakui atau terbukti palsu. b. Pihak lawan terbukti secara sengaja menyembunyikan dokumen yang bersifat menentukan dalam pengambilan keputusan. c. Keputusan arbitrase terbukti didasarkan pada tipu muslihat pihak lawan. d. Putusan melampaui kewenangan arbiter. e. Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Di dalam sejarah penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Indonesia, arbitrase merupakan satu-satunya cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara sukarela, namun dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, telah menawarkan bentuk lain penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara sukarela yang bukan hanya arbitrase, tetapi juga konsiliasi dan mediasi. Ketiga bentuk penyelesaian sukarela tersebut untuk masa yang akan datang diharapkan mempunyai prospek sebagai tonggak progresivitas dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Indonesia, misalnya mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang paling fleksibel dan kreatif, memberikan kendali maksimum kepada kedua belah pihak, sedangkan arbitrase merupakan ektrim yang lain dari proses ini dengan prosedur-prosedur formilnya, dan mengemukakan suatu hasil akhir yang mengikat oleh seseorang yang bukan dari kedua belah pihak. Beda utama antara mediasi dan arbitrase adalah mediasi itu pada pokoknya merupakan suatu prosedur negosiasi, sedangkan arbitrase
Ujang Charda S.
itu pada pokoknya merupakan suatu proses pertimbangan (penentuan). Para arbiter dan mediator memerlukan keahlian yang berbeda, tetapi mereka memiliki beberapa persyaratan penting yang sama, baik para arbiter maupun para mediator, harus memiliki kepentingan dari perselisihan itu (diperlukan pernyataan tidak akan ada beda kepentingan, sebelum dia menerima setiap penugasan), mereka tidak memiliki prefensi di antara beberapa kemungkinan hasil dari perselisihan itu, mereka harus tidak memihak, seimbang dan adil dalam menjalankan proses. Menurut tahapan-tahapan penyelesaian hubungan industrial seperti telah penulis kemukakan di bagian muka, maka urutan penyelesaian sengketa hubungan industrial melalui jalur arbitrase berada pada urutan kedua setelah dilakukannya perundingan antara pihak pengusaha dan pekerja, namun penyelesaian lewat jalur arbitrase ini sifanya sukarela. Apabila perundingan sebagaimana dimaksud tidak tercapai suatu kesepakatan, maka keduanya dapat diselesaikannya melalui arbitrase (juru/dewan pemisah). Penyerahan kepada arbiter dinyatakan dalam surat perjanjian antara kedua belah pihak di hadapan pegawai Depnakertrans yang pada pokoknya berisi kesepakatan bahwa keduanya (pengusaha dan pekerja) akan tunduk pada putusan yang dimabil arbiter, setelah putusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan tersebut selanjutnya mempunyai kekuatan hukum sebagai putusan arbitrase setelah mendapat pengesahan dari pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri. Atas dasar itulah, arbitrase merupakan suatu proses pertimbangan (penentu) pihak-pihak yang memakai proses ini, secara sukarela meminta suatu penyelesaian yang tuntas dan mengikat dari penyelesaian perselisihan mereka kepada seorang arbiter yang tidak mempunyai kepentingan pribadi pada perselisihan tersebut atau kepada kedua belah pihak atau pada masalahnya, dan atau pada hasilnya. Lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 ini merupakan prospek terciptanya penyelesaian hubungan industrial di perusahaan swasta lewat arbitrase, karena Undang-Undang tersebut sudah secara khusus mengatur alternatif penyelesaian lewat arbitrase. Di samping itu, Undang-Undang ter459
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 447 - 464
sebut sudah jelas kedudukannya dan mempunyai tata cara tersendiri dalam penyelesaian perselisihan, yaitu dengan adanya pengaturan hukum acara penyelesaian secara arbitrase. Oleh karena itu, adanya kemungkinan untuk lebih dikembangkan cara-cara penyelesaian lewat arbitrase ini, karena prospeknya yang cukup baik dan mempunyai kelebihan tersediri bila dibandingkan dengan cara penyelesaian secara wajib yang terlalu prosedural dan memakan waktu lama serta biaya yang mahal. 3. Kendala yang Timbul dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Arbitrase Ketenagakerjaan Dalam penyelesaian perselisihan lewat arbitrase ini para pihak yang berselisih menyerahkan segala perkaranya pada yang mewakilinya yaitu arbiter. Arbiter inilah yang akan menyelesaikan sengketa yang terjadi. Oleh karena itu, putusan yang diambil oleh arbiter akan dinilai. Sejauhmana bobot dan penerapan hukum (keadilan) terhadap para pihak yang berselisih yang dituangkan ke dalam isi putusannya, maka dari itu ada perkataan “An Arbitration is as good as arbitrators”, ini menunjukkan bahwa kualitas keputusan sangat tergantung pada kualitas para arbiter itu sendiri. Berkaitan dengan putusan, maka inilah yang membuat pihak yang berselisih bersikap hati-hati dalam menyelesaikan sengketa ketenagakerjaan lewat arbitrese, dan yang terjadi di lapangan, justru dalam penyelesaian sengketa hubungan industrial melalui lembaga ini tidak begitu diminati, malah memilih jalur litigasi. Padalah jalur litigasi begitu panjang cara penyelesaiannya bila dibandingkan lewat jalur non litigasi. Sebetulnya kendala yang muncul selain bersifat teknis, psikologi juga masalah kepercayaan terhadap profesionalisme arbiter. Tidak mudah menentukan arbiter yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Masalah kepercayaan ini tentunya sangat sentral, apalagi di era reformasi saat ini, kualitas ideal yang dituntut masyarakat luas bukan sekedar sumber daya manusia aparat penegak hukum yang memiliki kualitas intelektual/pengetahuan (knowledge/cognitive) dan kualitas keterampilan (skill/sensori motor) yang cukup tinggi, tetapi justru memiliki kualitas sikap/nilai kejiwaan (attitude/affective). 460
Slogan reformasi saat ini, yaitu pemberantasan KKN jelas menuntut kualitas sumber daya manusia sebagai penegak hukum yang bersih dan berwibawa, yang jujur dan bermoral, tidak korup dan dapat dipercaya menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan sebagai homo juridicus (jurist), tetapi yang dituntut masyarakat adalah sumber daya manusia yang memiliki kematangan kejiwaan, kematangan etika, kemantapan budaya, dan hati nurani yang cukup tinggi dalam mengemban dan menegakkan nilai-nilai yang sangat mendalam dan mendasar dari hukum sebagai homo ethicus.39 Melalui proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui penegakan hukum ketenagakerjaan diharapkan adanya keseimbangan antara proses penerapan hukum dan penegakan nilai keadilan dan kebenaran. Gabungan kedua kualitas ini dapat pula disebut dengan istilah penegaka hukum Al-Amin sebagai simbol homo juridicus dan Al-Amin artinya yang dapat dipercaya, sebagai simbol homo ethicus dan itu semua tidak lahir dengan sendirinya, akan tetapi lahir lewat proses, yaitu harus dibentuk melalui di lingkungan profesi dan masyarakat luas.40 Atas dasar paparan di atas, agar arbiter dipercaya dalam menyelesaikan kasus-kasus hubungan industrial di bidang ketenagakerjaan, maka dituntut harus meningkatkan kualitas diri terhadap keprofesionalisasiannya dalam menyelesaikan sengketa hubungan industrial, yaitu melalui :41 a. Memiliki kemahiran hukum : kemampuan menemukan dan menangani (interpretasi dan kritik) bahan hukum untuk menawarkan penyelesaian masalah hukum. b. Berwawasan kebangsaan Indonesia dan menghayati serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental. c. Memiliki intelektualitas yang berbudaya dan berakhlak tinggi serta bertakwa. 39
Ujang Charda “Pendidikan Tinggi Hukum Mencetak Sarjana Hukum Homo Juridicus dan Homo Ethicus”, Jurnal Wawasan Hukum : Edisi Khusus, Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB), Bandung, September 2006, hlm. 68. 40 Ujang Charda, “Pendidikan Tinggi Hukum Mencetak Sarjana Hukum Homo Juridicus dan Homo Ethicus”, Makalah disampaikan pada Pengenalan dan Pembekalan Mahasiswa Baru Tahun Akademik 2005/2006, Univesitas Subang (UNSUB), 2005, hlm. 3. 41 Ibid., hlm. 6-7.
Model Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ...
d. Memiliki komitmen pada keadilan, citacita luhur perjuangan bangsa Indonesia, kepekaan terhadap masalah-masalah kemasyarakatan, serta keprihatinan dan kepedulian pada orang kecil. e. Menghayati nilai-nilai kultural pengembanan profesi hukum. f. Memiliki kemampuan berpikir kreatifimajinatif. g. Memahami dan menguasai sistem hukum Indonesia. Untuk dapat mengemban profesi hukum dengan baik, maka seorang arbiter harus memiliki kemahiran sebagai berikut :42 a. Kemahiran yuridikal (legal skills), yakni kemampuan untuk : 1) Menemukan bahan hukum (legal materials). 2) Kecakapan dalam menangani bahan hukum (secara konstektual memahami, menginterpretasi dan menerapkan kaidah hukum yang tercantum dalam undang-undang, yurisprudensi dan bahan hukum sosiolegal). b. Kemahiran intelektual dan personal, yakni kemampuan untuk : 1) Memperoleh dan menggunakan informasi secara efisien. 2) Berkomunikasi secara jelas (lisan dan tertulis). 3) Menganalisis isu-isu majemuk (complex issues) 4) Mengindentifikasi dan menyelesaikan masalah. 5) Mensintesis dan mengintegrasikan unsur-unsur yang tidak sejenis. 6) Mengevaluasi dan mengkritik bahanbahan. 7) Mengadaptasi pada gagasan-gagasan dan informasi baru. 8) Bekerja secara kooperatif dengan orang lain. Kemahiran yuridikal yang dikemukakan tadi mutlak diperlukan untuk dapat secara bertanggung jawab bekerja di bidang karya yuridik. Bidang karya yuridik ini, menurut Crombag, mencakup :43 42
Ujang Charda, PPHI …. Op. Cit., hlm. 6. Cromba dalam Bernard Arief Sidharta, “Sebuah Gagasan tentang Penataulangan Kurikulum Pendidikan Tinggi 43
Ujang Charda S.
a. Menyelesaikan konflik secara formal (pengadilan). b. Mencegah terjadinya konflik (prevensi). c. Menyelesaikan konflik secara informal. d. Menerapkan hukum di luar konflik. Untuk menumbuhkan kemampuan menjalankan kemahiran yuridikal (legal skills) itu, maka satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah dengan menjalankan pelatihan secara terstruktur (learning by doing). Pelatihan untuk menumbuhkan legal skills tersebut dilakukan agar :44 a. Menemukan dan merumuskan fakta-fakta dari masalah yang dihadapi. b. Membaca secara utuh dan menganalisis putusan hukum untuk mendistilasi kaidah hukumnya dari dalamnya dengan merumuskan : 1) Duduk perkara. 2) Pertanyaan yuridiknya. 3) Aturan hukum positif yang digunakan. 4) Hukum yang terkandung dalam aturan hukum positif dalam konteks duduk perkara (interpretasi dan konstruksi). 5) Aplikasi kaidah hukum yang ditemukan pada kedudukan perkara. 6) Komentar terhadap butir-butir di atas. c. Mencari dan menemukan, membaca dan menganalisis bahan hukum (aturan perundang-undangan, yurisprudensi, kontrak, dan sebagainya). d. Menghadapi, menganalisis dan memberikan (menawarkan alternatif) penyelesaian terhadap berbagai masalah hukum. e. Menelusuri perkembangan aplikasi kaidah hukum pada kasus konkrit. f. Memberikan opini hukum terhadap situasi konkrit. g. Membuat rancangan aturan dan kontrak. Di samping itu, kemahiran-kemahiran yang harus dimiliki tersebut aktualisasinya diHukum di Indonesia” : Antisipasi ke Masa Depan”, Aspek-aspek Hukum dari Perdagangan Bebas (Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas), Fakultas Hukum UNPAR bekerjasama dengan Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 513. 44 Ibid.
461
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 447 - 464
tuangkan ke dalam keputusan yang dihasilkan yang harus betul-betul mencerminkan rasa keadilan bagi para pihak yang berselisih. Apabila bicara rasa keadilan itu tergantung pada waktu, tempat, keadaan, dan orang yang menerimanya rasa keadilan tersebut, namun demikian agar putusan arbiter itu memenuhi rasa keadilan sedapat mungkin harus mengusahakan rasa keadilan itu. Apabila dipakai arbitrase ini, maka yang paling penting bagi kedua belah pihak adalah harus percaya pada netralitas dan integritas para profesional yang membantu dalam hal ini adalah arbiter. Kemampuan dan netralitas arbiter memegang peranan yang sangat besar pada keputusan yang diambilnya. Berdasarkan hasil penelitian yang berkaitan dengan penyelesaian perselisihan hubungan industrial ini tidak pernah terjadi. Dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dicari itu adalah mana yang lebih mendekati perasaan keadilan, yaitu melalui tahapan-tahapan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Sampai dengan sekarang penyelesaian lewat arbitrase hanya merupakan penyelesaian yang tersurat saja dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, karena dalam praktiknya di lapangan arbitrase justru dianggap kurang memberikan perlindungan dalam penyelesaian perselisihan industrial, terutama bagi pihak yang lemah dalam hal ini adalah pihak pekerja yang kedudukannya relatif tidak seimbang secara ekonomi. Hal tersebut karena Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 lebih menekankan pada paradigma konflik, karena hanya memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang ingin memenangkan perkara, sedangkan pihak-pihak yang ingin menyelesaikan persoalan tidak diberi keleluasaan dalam menggunakan mekanisme yang ditawarkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Hal ini tercermin dari perbedaan kewenangan pengadilan hubungan industrial dibandingkan dengan kewenangan arbitrase. Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, pengadilan hubungan industrial diberi kewenangan untuk menyelesaikan semua jenis perselisihan hubungan industrial sebagaimana dimaksudkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, yaitu : perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan 462
hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja, sedangkan kewenangan arbitrase terbatas pada perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja. Pihak-pihak yang ingin memenangkan perkara jalurnya adalah pengadilan, sementara itu pihak-pihak yang ingin menyelesaikan persoalan bukan ke pengadilan melainkan ke arbitrase sebagai alternative dispute resolution.45 Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, para pihak yang menyelesaikan perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan hak tidak dapat menyelesaikannya melalui arbitrase dan mereka harus menempuh jalur pengadilan hubungan industrial. Padahal 99,9% perselisihan hubungan industrial adalah perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan hak. Dengan demikian, 99,9% dari ribuan kasus ketenagakerjaan akan diselesaikan melalui jalur pengadilan hubungan industrial dan akan bermuara di Mahkamah Agung. Timbul pertanyaan di sini apakah pengadilan hubungan industrial dapat menyelesaikan kasus ketenagakerjaan yang jumlahnya ribuan itu dalam waktu 50 hari untuk setiap kasusnya? Pertanyaan serupa juga dapat dikemukakan di sini kepada Mahkamah Agung yang diberi waktu selama 30 hari untuk menyelesaikan setiap kasusnya. Dengan demikian harapan terselesaikannya kasus perburuhan dalam waktu 140 hari melalui mekanisme yang ditawarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 akan jauh dari kenyataan. Dengan dicabutnya Pasal 158 tentang Kesalahan Terberat untuk kasus pemutusan hubungan kerja sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga akan memperlama proses penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja. Hal ini disebabkan pengadilan hubungan industrial baru dapat memproses kasus tersebut terutama dengan alasan pencurian, penggelapan atau penganiayaan setelah kasus tersebut mendapatkan keputusan dari pengadilan pidana. Selanjutnya kendala yang timbul dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah masalah biaya untuk membayar arbiter. 45
Aloysius Uwiyono, “Refleksi Masalah Hukum Perburuhan Tahun 2005 dan Tren Hukum Perburuhan Tahun 2006”, http://www.lkht.net/artikellengkap.php?id=46, akses tanggal 2 Januari 2015, jam 21 : 29 WIB.
Model Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ...
Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tidak disebutkan atau diatur biaya untuk membayar arbiter, hal ini akan lain bila arbiter dalam penyelesaian sengketa perdagangan yang hampir dipastikan mereka yang bersengketa itu orang-orang yang punya akses dan koneksi serta secara ekonomi mampu untuk membayar arbiter, sedangkan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial hampir dipastikan pekerja/ buruh yang berkonflik tidak bisa membayar arbiter kalau akan mempergunakan sistem penyelesaian melalui arbitrase. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah perlu membuat aturan serendah-rendahnya melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja yang mengatur tentang biaya penyelesaian perselisihan yang diselesaikan melalui sistem arbitrase, bahwa biaya untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial ditanggung oleh negara. C. Penutup Peranan arbitrase sebagai bentuk penyelesaian alternatif di luar pengadilan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak diragukan lagi dengan mengingat kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh arbitrase bila diban-
Ujang Charda S.
dingkan dengan penyelesaian secara litigasi, seperti tidak berlarut-larutnya waktu dalam penyelesaian perselisihan. Metode penyelesaian sengketa lewat arbitrase telah menjadi suatu wacana alternatif dan diharapkan akan menjadi tonggak sejarah progresivitas hukum, mengingat penyelesaian sengketa melalui pengadilan banyak kelemahannya, baik inherent maupun tidak, antara lain karena penyelesaiannya yang berbelit-belit dan cost and time consuming. Oleh karena itu, alternatif penyelesaian melalui arbitrase merupakan suatu prospek untuk mencari keadilan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Kendala yang muncul dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah selain bersifat teknis, psikologis juga masalah kepercayaan terhadap profesionalisme arbiter, tidak mudah untuk menentukan arbiter yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Oleh karena itu, keprofesionalan arbiter perlu terus ditingkatkan dalam rangka menyelesaikan sengketa hubungan industrial di bidang ketenagakerjaan. Di samping masalah ruang lingkup sengketa yang bisa diselesaikan melalui sistem arbitrase dan siapa yang harus membayar biaya arbiter, karena bagi pekerja/buruh hampir dipastikan tidak mungkin.
DAFTAR PUSTAKA Bernard Arief Sidharta, “Sebuah Gagasan tentang Penataulangan Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia” : Antisipasi ke Masa Depan”, Aspek-aspek Hukum dari Perdagangan Bebas (Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas), Fakultas Hukum UNPAR bekerjasama dengan Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta, 2000. Huala Adolf, “Beberapa Catatan tentang Arbitrase dalam Milenium Baru”, Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia (Mengenang Alm. Prof. Dr. Komar Kantaatmadja), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Mariam Darus Badrulzaman, Kerangka Dasar Hukum Perjanjian (Kontrak), Elips, Jakarta, 1998. _____, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Munir Fuady, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Nurjihad, “Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997”, Jurnal Hukum & Keadilan Vol. 2 No. 1, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1999. Purwosutjipto, H.M.N., Pengertian Pokok Hukum Dagang, Jilid 8, Jambatan, Jakarta, 1988. Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1976 Subekti, Arbitrase Perdagangan, Binacipta, Bandung, 1992. Sudiarto & Zaeni Asyhadie, Mengenal Abitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004. 463
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 447 - 464
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1996. Suyud Margono, “Pelembagaan Altenative Dispute Resolution (ADR) di Indonesia”, Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia (Mengenang Alm. Prof. Dr. Komar Kantaatmadja), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Taufiq El Rahman, “Perlindungan Debitur Terhadap Berlakunya Klausula-klausula yang Menguntungkan Kreditur dalam Perjanjian Kredit Sindikasi”, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1999. Ujang Charda, “Pendidikan Tinggi Hukum Mencetak Sarjana Hukum Homo Juridicus dan Homo Ethicus”, Makalah disampaikan pada Pengenalan dan Pembekalan Mahasiswa Baru Tahun Akademik 2005/2006, Univesitas Subang (UNSUB), 2005. _____, PPHI Secara Non Litigasi, Kertas Kerja pada Diskusi Terbatas Bentuk-bentuk Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial pada Fakultas Hukum Universitas Subang, Subang, 2006. _____, “Pendidikan Tinggi Hukum Mencetak Sarjana Hukum Homo Juridicus dan Homo Ethicus”, Jurnal Wawasan Hukum : Edisi Khusus, Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB), Bandung, September 2006. Ujang Charda S., Mengenal Hukum Ketenagakerjaan Indonesia : Sejarah, Teori & Praktiknya di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Subang, Subang, 2014. Akses internet : Aloysius Uwiyono, “Refleksi Masalah Hukum Perburuhan Tahun 2005 dan Tren Hukum Perburuhan Tahun 2006”, http://www.lkht.net/artikel lengkap.php?id=46, akses tanggal 2 Januari 2015, jam 21 : 29 WIB. Budhy Budiman, ”Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktik Peradilan Perdata dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999”, www.google.co.id., akses 2 Ja-nuari 2014, jam 19 : 26 WIB. http://www.nakertrans.go.id/majalahbuletin/info_hukum/vol1vi2005/Arbitraseketenagakerjaan.php, akses 5 Pebruari 2015, jam 22 : 19 WIB. http://www.nakertrans.go.id/majalah_buletin/info_hukum/vol1_vi_2005/Arbitrase_ketenagakerjaan. php.
464
NEGARA DAN KONSTITUSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM KETATANEGARAAN DAN POSISI ILMU HUKUM TATA NEGARA*) Oleh: Otong Rosadi (Fakultas Hukum Universitas Ekasakti. Email:
[email protected]) Abstrak Sejak Reformasi 1998 lalu hingga kini, kehidupan ketatanegaraan Indonesia bergerak dinamis. Di masa depan kehidupan ketatanegaraan Indonesia akan lebih dinamis. Dinamisasi politik ketatanegaraan akan melahirkan dua hal sekaligus. Pertama, kecenderungan politik menjadi lebih demokratis dan terbuka. Kedua menjadi semakin ruwet, dan mudah pecah (fragile). Kecenderungan ruwet dan mudah pecah sistem (politik) ketatanegaraan kita terjadi karena masa transisi kita yang lama dan Amandemen UUD 1945 bukanlah hasil amandemen yang sempurna. Kondisi ini menuntut lahirnya produk-produk hukum ketatanegaraan sebagai rule of game bagi kehidupan ketatanegaraan Indonesia sekarang dan di masa datang. Dalam konteks inilah Ilmu Hukum Tata Negara kelak akan menjadi materi pengajaran yang menarik minat (interessant) serta sangat penting (par-ecellence) bagi banyak kalangan. Kata kunci: konstitusi, negara, pancasila Abstract Since the Reformation in 1998 and until now, the Indonesian constitutional life of dynamic moves. In the future the constitutional life of Indonesia will be more dynamic. Dynamics of politics will give birth to two things at once. First, the political tendency to become more democratic and open. Both are becoming increasingly complicated and fragile (fragile). The tendency intricate and fragile system of (political) our constitutional transition occurs because we are old and Amendment of 1945 is not the result of a perfect amendment. These conditions require birth products of constitutional law as a rule of the game for the Indonesian constitutional life now and in the future. In this context the State Constitutional Law will become teaching materials that interest (interessant) as well as very important (par-ecellence) for many people. Keywords: constitution, country, Pancasila A. Pendahuluan Sejak Reformasi 1998 yang diawali krisis finasial, lalu krisis ekonomi dan berujung pada krisis sistem politik (ketatanegaraan) Indonesia. Puncaknya adalah pengunduran diri Presiden Suharto, yang baru saja dipilih oleh MPR (hasil Pemilu 1997) di Sidang Umum MPR, lalu digantikan oleh Wakil Presiden B.J. Habibie.1 Pe*)
Artikel ini disiapkan juga untuk Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Cirebon. 1 Otong Rosadi, Landasan Hukum Berhentinya Presiden, Harian Republika, tanggal 21 Mei 1998.
ristiwa ini menandai berakhirnya sistem (Politik) Ketatanegaraan Indonesia di bawah Orde Baru. Pilihan politik Pemerintahan Habibie, yang menyatakan bahwa pemerintahannya hanya bersifat transisional dan Kesepakatan Nasional untuk menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat 1999, menandai perubahan corak kehidupan ketatanegaraan Indonesia dari kecenderungan otoriatian atau tepatnya nondemokratis menjadi demokratis. Di dalam coraknya yang demokratis inilah, kehidupan ketatanegaraan terus bergerak 465
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 465 - 474
dengan dinamis. Banyak Undang-undang dibuat dalam masa Pemerintahan BJ Habibie dan setelahnya (Presiden Abdurahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri). Seluruh undang-undang yang dibuat sangat „reformatif‟ bahkan „revolutif‟ untuk ukuran pada masa itu. Tuntutan Reformasi sistem ketatanegaraan, dalam banyak hal dipenuhi. Ini ditandai, misalnya dengan lahirnya UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Poitik, UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan, MPR, DPR dan DPRD, UU Pemerintahan Daerah (UU No. 22 dan 25 Tahun 1999), UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN; UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan UU tentang Kekuasaan Kehakiman; UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Beberapa undang-undang tentang Pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB). Termasuk mengenai penyelenggaraan haji, zakat, telekomunikasi, kehutanan, Informasi publik, dan lain-lain undang-undang. Puncak dari terpenuhinya agenda reformasi adalah Perubahan UUD 1945.2 Perubahan dilakukan dalam Sidang MPR dari tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Perubahan didasarkan pada pertimbangan bahwa sistem dan corak pemerintahan Indonesia menghasilkan penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang cenderung otorian (nondemokratis). Menjadi pertanyaan kemudian, apakah Perubahan UUD 1945 dan praktek ketatanegaraan pascareformasi 19982016 (18 tahun) ini menghadirkan sistem ketatanegaraan Indonesia yang ideal? Kajian mengenai hubungan antara Negara, Fungsi Konstitusi dan perspektif hukum ketatanegaraan dewasa ini serta dan prospek Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia di masa depan penting dilakukan untuk menjawab pertanyaan ini. Artikel ini penting disusun karena beberapa alasan. Pertama, karena pembahasan mengenai Negara dan Fungsi Konstitusi adalah pembahasan klasik yang tak pernah selesai dan selalu menjadi perhatian banyak pemikir kemudian. Kedua, Hukum ketatanegaraan Indonesia dewa-
sa ini tengah berada pada fase transisional dengan gerak yang sangat dinamis. Ketiga, hukum ketatanegaraan di masa transisi ini haruslah menjadi „landasan‟ yang kokoh bagi sistem ketatanegaraan (politik) Indonesia yang juga bergerak dinamis. Keempat, ke depan diperlukan penataan sistem ketatanegaraan yang lebih bersifat keindonesiaan berdasarkan Pancasila yang holistik dan terintegrasi. Bukan hukum ketatanegaraan yang parsial dan tidak mempunyai rujukan filosofikal yang tegas. Dan kelima, posisi ilmu hukum tata negara Indonesia di masa depan harus menyesuaikan dengan perkembangan zamannya. Artikel ini, bagian dari ikhtiar untuk menemukan pokok-pokok dan dasar atau landasan hukum ketatanegaraan Pancasila. Sebagai suatu ikhtiar, artikel ini terlalu summir dan harus mendapatkan sanggahan, kritik, masukan, dan perbaikan dari penulis juga pembaca yang berkesempatan menyimaknya. B. Negara dan Fungsi Konstitusi: Pembahasan Klasik Hingga Modern Sejak Socrates, Filsuf Yunani yang juga memikirkan tentang keberadaan negara. Pemikiran Socrates dilanjutkan oleh Murid terbesarnya Plato (429-347 SM). Plato membuka sekolah Filsafat di Athena dengan nama “Academia”. Plato banyak menulis buku antara lain Politiea (negara), Politikos (ahli Negara) dan Nomoi (undang-undang). Murid terbesar Plato adalah Aristotes, dari banyak bukunya Aristoteles membahas mengenai Ethica (tentang Keadilan) dan Politica (tentang Negara).3 Hukum dan Konstitusi menjadi diskursus yang menarik dan terus berkembang, setelahnya hingga dewasa ini. E.C.S. Wade dalam bukunya “Constitutional Law” menyebutkan Undang-undang dasar adalah suatu naskah yang berisi kerangka kerja dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintah suatu negara dan menetukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut. (a document which sets out the framework and principal functions of the organs of government of a state and declares the principles governing the
2
Bandingkan dengan Teguh Satya Bhakti, Pola Hubungan Presiden dan DPR Menurut Perubahan UUD 1945, dalam Jurnal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi, Volume 6 Nomor 4, Nopember 2009, hlm. 117
466
3
I. Gde Pantja Astawa dan Suprin Na‟a, Memahami Ilmu Negara & Teori Negara, (Bandung: Refika Aditama, 2012), hlm. 60-61
Negara dan Konstitusi Dalam Perspektif Hukum ...
Otong Rosadi
operation of the organs).4 Beranjak dari pendapat E.C.S. Wade tersebut, Miriam Budiardjo5 mengemukan beberapa fungsi dari konstitusi, yaitu sebagai berikut: Pertama, Bagi yang memandang negara dari sudut kekuasaan (organisasi kekuasaan), maka konstitusi merupakan kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dalam negara dibagi. Herman Finner menamakan undangundang dasar sebagai “riwayat hidup suatu hubungan kekuasaan” (The Autobiography of a Power Relationship). Kedua, bagi Negara yang mendasarkan diri pada demokrasi konstitusional, undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sehingga penyelenggaraan negara (kekuasaan) tidak berbuat sewenang-wenang. Dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara lebih terlindung. Gagasan atau faham pembatasan kekuasaan melalui undang-undang dasar ini dinamakan “Konstitusionalisme”. Menurut Carl J. Friederich, Konstitusionalisme merupakan gagasan bahwa pemerintahan merupakan kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak di salah gunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah. Cara pembatasan yang dianggap paling efektif adalah membagi kekuasaan. Ketiga, pada negara-negara komunis (dulu) gagasan Konstitusionalisme tidak dikenal. Undang-undang dasar di negara komunis mempunyai fungsi ganda, yaitu disatu pihak mencerminkan kemenangan-kemenangan yang telah dicapai dalam menuju masyarakat komunis dan pihak lain undang-undang dasarnya memberikan rangka dan dasar hukum untuk perubahan masyarakat yang dicita-citakan dalam perkembangan tahap berikutnya. Keempat, Pada Negara-negara baru yang timbul di kawasan Asia dan Afrika misalnya India, Filipina dan Indonesia, maka kebaradaan dari undang-undang dasar merupakan salah satu atribut kenegaraan yang melambangkan kemer-
C. Hukum Ketatanegaraan Indonesia: UUD 1945 Hingga Perubahan Menurut Sri Soemantri M., apabila dilakukan penyelidikan tidak ada satu negara pun di dunia sekarang ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa negara dan konstitusi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Seperti halnya negara-negara lain, Negara Kesatuan Republik Indonesia berkonstitusi yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah pernyataan Proklamasi Kemerdekaan.6 UUD 1945 itu, ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Rancangan UUD 1945 dibuat (disiapkan) oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam sidang-sidangnya yang dilaksanakan tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan tanggal 16 Juli 1945. Kedua badan ini semula merupakan bentukan Pemerintah Pendudukan Jepang, pada perkembangannya kemudian kedua badan ini melakukan perbahan dan penambahan anggota, serta melakukan pekerjaan yang melampaui tugas yang diemban serta tujuan pembentukan awalnya. Dilihat dari sistematikanya Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, terdiri dari: (1) Pembukaan UUD 1945 dan (2) Batang Tubuh yang terdiri dari 37 (tiga puluh tujuh) pasal. 4 (empat) pasal Aturan Peralihan, dan Aturan Tambaha. Dan penjelasan Undang Undang Dasar.7 Secara teoretis dilihat dari kedudukannya
4
6
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 96 5 Ibid, hlm. 96-99
dekaan yang baru diperoleh. Negara-negara tersebut, menganggap undang-undang dasar sebagai dokumen yang mempunyai arti yang khas (konstitusionalisme). Bagi saya, dalam artinya yang khas inilah maka Konstitusi dapatlah dipahami, tidak semata sebagai atribut kenegaraan bagi Negara baru atau rezim baru namun juga sekaligus sebagai sumber hukum dasar bagi pengaturan pembagian kekuasaan (organisasi negara), kewenangan, dan hubungan antara Negara dengan warganya secara garis besar.
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1987), hlm. 2 7 Ibid., hlm. 3.
467
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 465 - 474
dalam sistem hukum suatu negara, ada Undang Undang Dasar yang berkedudukan sebagai aturan hukum yang tertinggi dalam sistem hukum negaranya, (terutamanya terhadap kaidah-kaidah hukum tertulis lainnya). Undang Undang Dasar yang berkedudukan tidak lebih tinggi dari kaidah hukum tertulis lainnya disebut Undang Undang Dasar berderajat rendah. Kriteria berderajat tinggi dan berderajat rendah, dilihat dari ada tidaknya “hak menguji materiil” terhadap peraturan perundang-undangan di bawahnya. Jika suatu negara menentukan bahwa undang-undangnya tidak dapat diuji “undang-undang tidak dapat diganggu gugat”, maka UUD-nya berderajat rendah. UUD 1945 termasuk konstitusi yang berderajat tinggi karena ia menjadi batu uji bagi undang-undang di bawahnya, terdapat ketentuan yang mengatur hak melakukan uji materiil (judicial review). Ketentuan ini telah diatur dalam UUD 1945 dengan lahirnya Mahkamah Konstitusi. Salah satu kewenangan yang dimilikinya adalah melakukan pengujian undangundang terhadap UUD 1945. Mengenai kedudukan UUD 1945 dalam sistem hukum dan tata urutan perundang-undangan di Indonesia, terdapat Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Dalam Ketetapan MPR ini disebutkan bahwa UUD 1945 merupakan perwujudan dari Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Dalam memorandum DPR-GR disebutkan bahwa: “Ketentuanketentuan yang tercantum di dalam pasal-pasal Undang Undang Dasar adalah ketentuan-ketentuan yang tertinggi tingkatnya yang pelaksanaannya dilakukan dengan Ketetapan MPR, Undang-undang atau Keputusan Presiden.” Sedangkan dalam Pasal 3 Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan bahwa: “Undang-Undag Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia, memuat dasar dan garis hukum dalam penyelenggaraan negara.” Sejak ditetapkan, UUD 1945, pernah diganti oleh Konstitusi RIS 1949, lalu menjadi UUD Sementara 1950, kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dilihat dari 468
corak (sistem) Penyelenggaraan Pemeritahan Negara-nya UUD 1945 pernah dijalankan dengan corak sangat Demokratis, demokratis, Nondemokratis, dan cenderung Otoriter. Dan itu dilaksanakan sejak 1945 hingga 1998 (kecuali di masa Konstitusi RIS dan UUD Sementara, 1949-1959), hingga kemudian Indonesia memasuki sejarah baru8 dengan telah dilakukannya amandemen keempat UUD 1945 pada Sidang Tahunan MPR tanggal 10 Agustus 2002 yang lalu.9 Amandemen adalah sebutan lain untuk perubahan. MPR sendiri secara resmi menggunakan istilah Perubahan UUD 1945. Sejarah ketatanegaraan Indonesia mencatat beberapa kali penggantian dan perubahan Undang Undang Dasar, yaitu: (a) Perubahan Undang Undang Dasar 1945, melalui Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober 1945 Jo Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, yang berubah pertanggungjawaban menteri-menteri yang semula kepada Presiden menjadi kepada Komite Nasional Indonesia. Sehingga menganut Kabinet Parlementer; (b) Pergantian Undang Undang Dasar 1945 dengan Konstitusi RIS 1949, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 48 Tahun 1950, Indonesia menjadi Negara Federal dengan Sistem Pemerintahan Parlementer; (c) Pergantian Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi UUD Sementara 1950, melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1950; (d) Pergantian UUD Sementara 1950 dengan UUD 1945, melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 159 Tahun 1959; (d) Perubahan Pertama UUD 1945, tanggal 19 Oktober 1999, oleh MPR, Perubahan 8
Sebagian besar tulisan ini telah dipublikasikan dalam Jurnal Res-publica Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Univ. (lancangkuning Pekanbaru, Vol. 2 No. 3 Oktober 2002). 9 Istilah amandemen berasal dari istilah asing „to amend‟ (bahasa Inggiris) yang berarti mengubah. Mengubah undang-undang dasar dalam bahasa Inggris biasa disebut „to amend the constitution‟, sedangkan perubahan undangundang dasar dalam bahasa Inggrisnya „constitutional amandement‟. Lihat Sri Soemantri M, Prosedur … op. cit., hlm. 133.
Negara dan Konstitusi Dalam Perspektif Hukum ...
Kedua UUD 1945, tangga 18 Agustus 2000, oleh MPR, Perubahan Ketiga UUD 1945, tanggal 19 Novemberi 2001, oleh MPR dan Perubahan Keempat UUD 1945, tanggal 10 Agustus 2001, oleh MPR. Perubahan mendasar pertama adalah adanya penegasan dalam Pasal 1 Ayat (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar. Ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 semula berbunyi: „Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR‟. Perubahan pasal ini merupakan reposisi terhadap faham kedaulatan yang dianut UUD 1945. Bila selama ini kedaulatan rakyat direduksi menjadi kedaulatan MPR (baca: kedaulatan negara), maka Perubahan Ketiga dan Keempat UUD 1945 mengembalikan kedulatan kepada rakyat menurut Undang Undang Dasar (kedaulatan rakyat dengan berdasar hukum). Hal ini dipertegas oleh Pasal 1 Ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. Dilihat dari segi kelembagaan negara, perubahan terjadi mulai dari MPR yang semula merupakan lembaga tertinggi negara pemegang kedaulatan rakyat, hanya menjadi badan negara yang merupakan rapat gabungan (joint session) dari DPR dan DPR (Dewan Perwakilan Daerah). DPD merupakan negara yang anggotanya mewakili setiap daerah di Indonesia. Anggota DPR dan DPD dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Perubahan lainnya adalah mengenai mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (dalam satu paket) yang dipilih langsung oleh rakyat. Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat UUD 1945 masih menyisakan sejumlah persoalan mendasar ketatanegaraan Indonesia. Persoalan itu adalah belum disusunnya undang-undang pelaksanaan (organik) yang mengatur lebih lanjut ketentuan dasar dalam UUD 1945. Persoalan lainnya yang masih mengganjal adalah dipandang oleh berbagai kalangan Perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan masih belum selaras, belum sempurna dan disana-sini tidak sistematis. Melihat catatan sejarah di atas, maka perubahan Undang Undang Dasar 1945 yang sesuai dengan prosedur yang diatur dalam Pasal 37 UUD 1945 dilakukan oleh MPR hasil Pemilu
Otong Rosadi
1999 ini. Perubahan Pertama hingga Keempat UUD 1945 oleh dan melalui mekanisme MPR menunjukkan ikhtiar MPR melaksanakan amanah reformasi konstitusi. Ikhtiar MPR ini sudah berada pada rel konstitusi (baca hukum ketatanegaraan, dalam arti luas). Karenanya sepanjang Pasal 37 UUD 1945 belum diubah, maka mekanisme yang berlaku adalah mekanisme yang ditempuh oleh dan melalui MPR. Sebagaimana yang kita pahami bahwa Undang Undang Dasar merupakan produk dari suatu generasi dan (kurun waktu tertentu) yang dibuat oleh orang-orang terpilih pada saat itu. Karenanya konstitusi berisi pikiran-pikiran para penyusunnya. Sebagai sebuah karya bersama orang-orang yang dibuat pada zamannya terdapat dua hal yang harus kita perhatikan mengenai daya berlakunya konstitusi. Pertama, karena ia dibuat oleh banyak orang (para penyusun),10 maka konstitusi merupakan hasil kompromi dari beragam pandangan dari para penyusun. Kedua, karena sebuah konstitusi dibuat pada suatu masa tertentu, maka persoalan yang dituangkan (diatur) dalam konstitusi juga persoalan-persoalan yang berkembang (terpikirkan) pada saat itu. Dalam hal ini Undang Undang Dasar sangat terpengaruh oleh pandangan hidup (falsafah berpikir) dari pada pembentukannya (the founding father) serta situasi dan kondisi pada saat Undang Undang Dasar itu dibuat.11 Adalah wajar jika terhadap ketentuan dalam Undang Undang Dasar dimungkinkan adanya perubahan sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan zamannya. Pandangan filsafat, nilai, dan kehendak dari suatu generasi tertentu ada yang tetap dianggap sesuai dengan generasi berikutnya, tetapi kebanyakan dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan generasi berikutnya. Terhadap Undang Undang Dasar merupakan hal yang wajar jika diperbaharui, karena Undang Undang Dasar merupakan buatan manusia yang tentunya tidak sempurna, ada „celahcelah‟ yang menunjukkan kelemahan, yang pada saat dibuatnya. Mengenai hal ini K.C. Wheare, merupakan tatkala dirancang dan dite10
Nama badan/lembaga penyusun konstitusi: Konstituante, Komisi Konstitusi, Badan Negara, atau seperti Indonesia Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 11 Rosjidi Ranggawidjaja, Wewenang Menafsirkan UUD, (Bandung: Citra Bhakti Akademika, 1996), hlm. 51.
469
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 465 - 474
tapkan Undang Undang Dasar cendering menggambarkan kepentingan dan keyakinan yang dominan pada saat itu. Pengaturannya mencermikan ciri atau karakter masyarakat pada saat itu.12 Soekarno, Ketua Panitia Perancang UUD dan Ketua PPKI, pada tanggal 18 Agustus 1945, mengutarakan: “UUD yang dibuat sekarang ini, adalah UUD Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah UUD kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali MPR yang dapat membuat UUD yang lebih lengkap dan lebih sempurnya”13 Sementara itu, Bagir Manan menyebutkan berbagai alasan perlunya pembaharuan UUD 1945, yaitu:14 1. Struktur UUD 1945 menempatkan dan memberikan kekuasaan yang besar pada kekuasaan eksekutif; 2. Struktur UUD 1945 tidak cukup memuat sistem „cheks and balances‟, antar cabang-cabang pemerintahan (lembaga negara) untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan atau suatu tindakan melampaui batas. Misalnya tidak adanya pembatasan kekuasaan Presiden mengeluarkan Perpu; 3. Terdapat berbagai ketentuan yang tidak jelas (vague) yang membuka peluang penafsiran bertentangan dengan prinsip negara berdasrkan konstitusi. Misalnya ketentuan Pasal 6 mengenai pemilihan presiden terdapat penggalan kalimat: „…. Dan sesudahnya dapat dipilih kembali‟, yang membuka peluang penafsiran, bahwa Presiden dapat dipilih terus menerus sesudahnya Presiden menyelenggarakan periode sebelumnya. 4. Struktur UUD 1945 banyak mengatur ketentuan organik (undang-undang organik), tanpa disertai arahan tertentu materi muatan yang harus dipedomani. Misal12
K.C. Wheare, Modern Constitution, (London: Oxford University Press, 1969), hlm. 68, menyebutkan: “A constitution is indeed the resultante of parallelogram forcespolitical, economic and social-which operate at that time its adoption.”. 13 Saafroeddin Bahar (Et. All), Risalah Sidang …op., hlm. 311. 14 Bagir Manan, Pembaharuan Undang Undang Dasar 1945, (Bandung: Makalah Disampaikan di UNPAD, Oktober 1998).
470
nya Pasal 18 mengenai pemerintahan daerah, setiap undang-undang yang dibuat berbeda materi muatannya; 5. Berkaitan dengan adanya Penjelasan UUD 1945. Tidak ada kelaziman Undang Undang Dasar mempunyai penjelasan. Apalagi dalam Penjelasan UUD 1945 ada yang tidak konsisten dengan batang tubuh. Misalnya dalam Pasal 6 Ayat (2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR, sedangkan dalam Penjelasan UUD 1945: “Presiden diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis”; 6. Berkaitan dengan kekosongan materi muatan. Meskipun diakui Undang Undang Dasar hanya memuat asas-asas dan kaidah-kaidah konstitusi yang pokok saja. Tetapi tidak berarti harus meninggalkan hal-hal penting yang mestinya ada. Misalnya mengenai: hak asasi manusia, masa jabatan presiden, dan tentang pembatasan waktu pengesahan rancangan undang-undang oleh presiden. Berdasarkan uraian di atas, maka dapatlah disebutkan bahwa Negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang terdiri atas unsur rakyat (penduduk), wilayah dan pemerintah. Pemerintahlah yang menyelenggarakan dan melaksanakan tugas-tugas demi terwujudnya tujuan negara. Di Negara demokrasi, pemerintah yang baik adalah pemerintah yang menjamin sepenuhnya kepentingan rakyat serta hak-hak dasar rakyat. Upaya mewujudkan pemerintahan yang menjamin hak dasar rakyat serta kekuasaan yang terbatas itu dituangkan dalam suatu aturan bernegara yang umumnya disebut kostitusi (hukum dasar atau undang-undang dasar negara). Konstitusi atau undang-undang dasar negara mengatur dan menetapkan kekuasaan negara sedemikian rupa sehingga kekuasaan pemerintahan negara efektif untuk kepentingan rakyat serta tercegah dari penyalahgunaan kekuasaan. Gagasan bahwa kekuasaan Negara harus dibatasi serta hak-hak dasar rakyat dijamin dalam suatu konstitusi dinamakan konstitusionalisme. “Konstitusionalisme adalah gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk pada beberapa pembatasan
Negara dan Konstitusi Dalam Perspektif Hukum ...
yang dimaksud untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah. Pembatasan yang dimaksud termaktub dalam konstitusi. (Carl. J. Friederich). D. Hukum Ketatanegaraan Pancasila: Idealita dan Realita Hasil Perubahan UUD 1945 (1999-2002), merubah banyak hal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam praktek menimbulkan penyimpangan (deviasi) dalam pelaksanaannya. Beberapa hal yang menurut penulis menonjol secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut, yaitu: a. Bentuk (Bangunan) Negara Kesatuan tetap menjadi pilihan dalam perubahan UUD 1945. Hal ini diatur dalam Pasal 1, Pasal 18 Pasal 18A dan Pasal 18B. Namun demikian dalam praktek betuk negara Kesatuan ini mempunyai kecenderungan bersifat federalis. Misalnya politik hukum pengaturan desentralisasi-asimetris untuk Daerah Istimewa NAD, Otonomi Khusus Papua dan DIY. b. Sistem Pemerintahan adalah Presidensiil. Pasangan Presiden dan wakil. Presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun. Presiden dalam sistem Pemerintahan Presidensiil harus mempunyai keleluasaan dalam menyelenggarakan pemerintahan, memilih para pembantunya: para Menteri, Kapolri dan Panglima TNI. Namun dalam praktek pasca perubahan UUD 1945. Pada saat Presiden akan memilih para pembantunya: Menteri, Jaksa Agung, Kapolri, Panglima TNI, Kepala BIN dan lain-lain jabatan. Presiden terkesan „tergantung‟ kepada DPR, dan bahkan kepada Ketua Umum Partai. c. Sistem Kamar di Parlemen yang mempunyai bikameral system, yaitu terdiri dari Dewan perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Keduanya dippilih melalui mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat (repre-
Otong Rosadi
sentatif) Namun kewenangan dan fungsinya berbeda. d. Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi menjadi Lembaga Tertinggi Negara, melainkan hanya merupakan Badan tempat bergabungnya DPR dan DPD. Kedudukan dan fungsi MPR juga dipandang „tidak jelas‟ setelah amandemen. e. Hadirnya Mahkamah Konstitusi yang diberi wewenang untuk melakukan constitutional review terhadap Undang-Undang dalam kalimat Pasal 24C ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945: “...menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya iberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” Adalah wajar jika terhadap ketentuan Undang Undang Dasar dilakukan perubahan sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan zamannya. Pandangan filsafat, nilai, dan kehendak dari suatu generasi tertentu ada yang tetap dianggap sesuai dengan generasi berikutnya, tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tantangan zamannya. Mengenai Pancasila sebagai Falsafah Negara saya berpandangan bahwa Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, masihlah sangat relevan menjadi Filosofische Grondslag bagi UUD 1945, sekaligus menjadi bintang pemandu (asas utama), dan lalu menjadi batu uji (juga asas utama) dalam pelaksanaannya. Saya juga berpandangan bahwa Perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan masih belum selaras dengan Filsafat Pancasila, belum sempurna sebagai suatu dokumen khas (konstitusionalism) dan disana-sini tidak sistematis. Misalnya pada perubahan mendasar pertama, penegasan dalam Pasal 1 Ayat (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar. Ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 semula berbunyi: „Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR‟. Perubahan Pasal 1 ayat (2) selain merupakan reposisi terhadap faham kedaulatan yang dianut UUD 1945. Bila selama ini kedaulatan rakyat direduksi menjadi kedau471
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 465 - 474
latan MPR (baca: kedaulatan negara), maka Perubahan Ketiga dan Keempat UUD 1945 mengembalikan kedulatan kepada rakyat menurut Undang Undang Dasar (kedaulatan rakyat dengan berdasar hukum). Hal ini dipertegas oleh Pasal 1 Ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. Namun di sisi lain malah membuat MPR, menjadi tidak jelas kedudukan, wewenang dan fungsinya. Dilihat dari segi kelembagaan negara, MPR yang semula merupakan lembaga tertinggi negara pemegang kedaulatan rakyat, hanya menjadi badan negara yang merupakan rapat gabungan (joint session) dari DPR dan DPR (Dewan Perwakilan Daerah). Pada sisi yang lebih dalam lagi bagi saya, Perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bertentangan dengan nilai yang dianut dalam sila Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah/Kebijakasanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Apalagi jika hal ini kita hubungkan dengan Pasal 6A ayat (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Bagi saya Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dianut oleh UUD 1945 yakni: “Sistem Pemerintahan MPR, lebih dekat dan sesuai dengan Filsafat Pancasila yang dianut Indonesia”, dibandingkan “Sistem Pemerintahan Negara yang berdasarkan Undang-Undang Dasar” sebagaimana yang dianut oleh Pasal Pasal 1 Ayat (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar dan Pasal 4 ayat (1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang Undang Dasar. Sebagaimana yang diatur dalam Perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan uraian di atas, maka keinginan untuk melakukan Perubahan Kelima UUD 1945, haruslah ditempatkan sebagai ikhtiar besar bangsa Indonesia untuk mengembalikan UUD 1945 kepada kesejatiannya, sebagai dokumen pendirian Negara, tonggak pencapaian/ perjalanan bangsa, cita-cita dan tujuan bernegara, pembagian kekuasaan negara dan sekaligus filosofi, nilai, asas dan kaidah ketatanegaraan yang bersifat fundamental. Ikhtiar besar ini tentu saja haruslah menjadi konsensus bersama (nasional) seluruh anak bangsa serta dilakukan sesuai dengan hukum ketatanegaraan In472
donesia. Perubahan Kelima UUD 1945 yang mengembalikan sistem ketatanegaraan kepada Hukum Ketatanegaraan Pancasila adalah keperluan kita, sekarang dan di masa yang akan datang. Sekarang dengan memulainya menafsirkan dan mengimplemantasikan norma dalam UUD 1945 dalam bentuk perundang-undangan berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan saat bersamaan juga menyiapkan Dokumen Awal Perubahan Kelima UUD 1945 yang komprehensif melalui kajian mendalam di MPR, dengan terbuka dan melibatkan sebanyak-banyak partisipasi rakyat. E. Prospek dan Model Pengajaran Hukum Tata Negara: Penutup Gagasan Perubahan Kelima UUD 1945 un-tuk mengembalikan sistem ketatanegaraan kepada Hukum Ketatanegaraan Pancasila sebagai keperluan kita bersama, tidaklah gagasan sederhana. Karenanya Pendidikan Tinggi Hukum, harus juga menjadi bagian yang memberikan kontribusi bagi upaya ini. Ilmu Pengetahuan hukum termasuk Hukum Tata Negara adalah ilmu kemasyarakatan yang terus berkembang sedemikian rupa mengikuti pengembangan masyarakat. Perkembangan Hukum Tata Negara Indonesia dalam kurun waktu dua windu 16 (empat belas) tahun terakhir ini, sejak bergulirnya tuntutan reformasi 1997-1998 demikian cepat. Menuntut pula kesiapan Ilmu Hukum mengikuti pekembangan zaman dan kebutuhan hukumnya. Sesuatu yang sebelumnya tidak mungkin menjadi mungkin, perubahan ketatanegaraan dewasa ini semakin cepatnya dengan perubahan di bidang-bidang lain. UUD 1945 yang secara politik pada masa Orde Baru „disakralkan‟ dan „haram‟ diubah telah mengalami 4 (empat) kali perubahan dalam kurun waktu empat tahun (1999-2002). MPR lembaga negara yang berwenang melakukan Perubahan, malah merefosisi eksistensi yang dimiliki dirinya. Perubahan UUD 1945 membawa implikasi pada berubahnya format (wujud, struktur, kultur dan proses) seluruh sendi dari sistem kehidupan bernegara dan bermasyarakat, termasuk pada sistem penyelenggaraan pemerintahan negara hingga level paling rendah. Tantangan hari ini dan ke depan juga semakin banyak, luas dan kompleks.
Negara dan Konstitusi Dalam Perspektif Hukum ...
Keadaan ini menuntut pengajaran materi Hukum Tata Negara menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bernegara dan di tengah pergaulan masyarakat antar bangsa. Pendekatan pengajaran Hukum Tata Negara yang semula historical-forma-institutional, sudah saatnya ditambah dengan pendekatan yang lebih komprehensif - fungsional - holistik. Masalah ketatanegaran harus dipandang dari berbagai sudut pandang (komprehensif) dengan tetap tidak melupakan pendekatan formal agar tetap ajeg secara hukum (objektif). Materi yang disampaikan dalam perkuliahan haruslah sesuai dengan situasi/keadaan pada zamannya. Upaya penyesuaian materi perkuliahan dapat dilakukan dengan penyempurnaan kurikulum dan dapat pula dilakukan dengan penyampaian materi (topik) mata kuliah yang disesuaikan dengan suasana kemasyarakatan pada saat itu. Saya ingin menutup artikel ini dengan mengutip kembali pandangan Maha Guru Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Djokosoetono, bahwa kebutuhan untuk senantiasa menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan zaman diharapkan agar mata kuliah tidak hanya teori semata tetapi juga sesuai dengan kenyataan, tidak „knowledge for knowledge‟ akan tetapi „knowledge for what?‟. Sebuah pandangan yang tidak saja akan tetap relevan kapan pun, tetapi juga sesuai dengan konsep penyusunan Kurikulum yang Berbasis Kompetensi (KKNI) dan sesuai dengan Kebutuhan Zamannya, yang dewasa ini tengah dilakukan oleh Pendidikan Tinggi di Indonesia. Karena di masa depan kehidupan ketatanegaraan Indonesia akan lebih dinamis lagi, yang akan melahirkan dua hal sekaligus. Pertama, kecenderungan politik menjadi lebih demokratis dan terbuka. Kedua malah menjadi semakin kacau, ruwet, dan mudah pecah (fragile). Apapun dampaknya kondisi ini menuntut lahirnya produk-produk hukum ketatanegaraan Indonesia sekarang dan dimasa datang yang responsif. Dengan demikian mata kuliah Hukum Tata Negara kelak akan menjadi materi pengajaran yang menarik minat (interessant) serta sangat penting (par-excellence) bagi banyak kalangan mahasiswa dan peminat hukum lainnya,
Otong Rosadi
bukan hanya bagi mahasiswa Fakultas Hukum seperti selama ini. Penstudi Ilmu Hukum umumnya dan hukum tata negara khususnya, tidak hanya mengkaji Hukum Tata Negara, secara logos-positivistik-strukturalistik- semata. Namun pengkaji Hukum Tata Negara (termasuk Ilmu Hukum, secara umum) haruslah menggunakan segenap hati (qalbu), akal dan budi. Hukum, menurut Awaludin Marwan tidaklah harus berhenti pada keterhubungannya dengan hukum (norma, kaidah) lainnya. Namun juga memiliki relasi dengan pemikiran hukum. Hukum hendaknya memiliki basis filosofis dan sains.15 Keadaan ini, pada gilirannya harus pula mendorong penstudi hukum tata negara, tidak hanya mengkaji Hukum Tata Negara dari perspektif „struktural-formal‟ semata namun juga „fungsional-actual‟, juga dengan memperhatikan kondisi kekinian selalu. Kajian terhadap green constitution (Konstitusi Hijau) seperti yang ditulis Jimly Ashshiddiqie bahkan „deep constitution‟, juga kajian terhadap konsep „desentralisasi a-simetris‟ dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, sistem perlindungan jaminan sosial warga negara dan kajian-kajian lainnya haruslah menjadi subjek (Ilmu) Hukum Tata Negara Indonesia ke depan. Dengan tentu saja memperkuat basis filsafat yang sesuai dengan konteks keindonesiaan. Karena bukankah cara berhukum yang tetat untuk masyarakat Indonesia adalah cara berhukum Indonesia (Pancasila).
15
Awaludin Marwan, Dekonstruksi Teks Hukum: Ketika Derrida Memikirkan Hukum dalam Jurnal Konstitusi, Mahkamah Kosntitusi, Volume 6 Nomor 4, Nopember 2009.
473
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 465 - 474
Daftar Pustaka Buku Bagir Manan, Pertumbuhan Dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Editor H. Mashudi dan Kuatana Magnar), (Bandung: Mandar Maju, 1986) ______________, Konvensi Ketatanegaraan, (Bandung: Armico, 1987). ______________, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, (Kerawang: Uniska, 1993) Emir Soendoro, Kembali Ke UUD 1945, (Depok: Cinta Indonesia, 2014) I. Gde Pantja Astawa dan Suprin Na‟a, Memahami Ilmu Negara & Teori Negara, (Bandung: Refika Aditama, 2012) Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006) ______________, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: Buana Imu Popular, 2007) K.C. Wheare, Modern Constitution, (London: Oxford University Press, 1969) Otong Rosadi, Hukum Tata Negara: Teks dan Konteks, (Yogyakarta: Deepublish, 2015) Rosjidi Ranggawidjaja, Wewenang Menafsirkan UUD, (Bandung: Citra Bhakti Akademika, 1996) Sri Soemantri M., Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, (Jakarta, Rajawali, 1984) _____________., Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1987 ) _____________., Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Edisi II (Bandung: Alumni, 2006) _____________., Hukum Tata Negara Indonesia: Pemikiran dan Pandangan, (Bandung: Rosda, 2015) Tukiran Taniredja, et. all., Indonesia Negara Paripurna (Purwokerto: UMP, 2016) Jurnal dan Artikel Lepas Awaludin Marwan, Dekonstruksi Teks Hukum: Ketika Derrida Memikirkan Hukum dalam Jurnal Konstitusi, Mahkamah Kosntitusi, Volume 6 Nomor 4, Nopember 2009. Otong Rosadi, Jurnal Res-publica Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Univ. Lancangkuning Pekanbaru, Vol. 2 No. 3 Oktober 2002. ___________, Landasan Hukum Berhentinya Presiden, Harian Republika, tanggal 21 Mei 1998. Teguh Satya Bhakti, Pola Hubungan Presiden dan DPR Menurut Perubahan UUD 1945, dalam Jurnal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi, Volume 6 Nomor 4, Nopember 2009
474
SISTEM PENGAWASAN DAN PENEGAKAN KODE ETIK HAKIM DI TURKI Oleh : Hermansyah*) Abstrak Tulisan ini membahas 3 permasalahan yaitu: (1) siapakah yang berwenang melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim di Turki, (2) bagaimanakah sistem pengawasan tersebut dilakukan ? Dan (3) bagaimanakah prosedur penegakan kode etik hakim di Turki ? Dalam pembahasan ditemukan bahwa yang berwenang mengawasi perilaku hakim di Turki adalah Dewan Tinggi Hakim dan Jaksa Turki (The High Council of Judges and Presecutors - selanjutnya dalam tulisan ini disebut HCJP). Organ HCJP yang bertugas melakukan pengawasan atas kinerja dan perilaku hakim adalah Kamar Ketiga (Third Chamber) HCJP. Dan secara teknis, tugas pengawasan Kamar Ketiga HCJP ini dijalankan oleh Badan Pengawas (Inspection Board) HCJP. Dalam pelaksanaan tugasnya tersebut HCJP memperhatikan prinsip independensi peradilan dan prinsip imparsialitas. Penegakan etika disiplin bagi hakim mengacu kepada aturan hukum, surat edaran dan standar perilaku etis hakim yang diadopsi dari prinsip Bangalore. Dalam proses pemeriksaan dan investigasi terhadap dugaan pelanggaran etika atau disiplin oleh hakim, maka HCJP bertanggung-jawab untuk menjaga kredibelitas sistem peradilan dan menjaga kepercayaan masyarakat. Kata Kunci: Hakim, Kode Etik, Pengawasan Perilaku, Penegakan Kode Etik Abstract This paper discusses three issues: (1) who is authorized to supervise the conduct of judges in Turkey, (2) how the control system do ? And (3) how the enforcement procedures code of conduct of judges in Turkey? In the discussion it was found that the authorities supervising judges in Turkey is the High Council of Judges and Prosecutors of Turkey (The High Council of Judges and Presecutors - hereinafter in this article called HCJP). HCJP is organ in charge of supervising the performance and behavior of judges is the Third Room (Third Chamber) HCJP. And technically, the task of monitoring HCJP Third Room is run by the Board of Supervisors (Inspection Board) HCJP. In the execution of these duties HCJP attention to the principle of judicial independence and impartiality principle. Ethics enforcement of discipline for the judge refers to the rule of law, circulars and standards of ethical behavior of judges adopted the principle of Bangalore. In the process of examination and investigation of alleged violations of ethics or discipline by the judge, then HCJP responsible for maintaining credible judicial system and maintain public confidence. Keywords: Judge, Code of Conduct, Behavior Monitoring, Enforcement Code of Ethics A. Pendahuluan Untuk mengawali tulisan ini menarik dikemukakan pernyataan Bapak Bangsa Turki, Mustafa Kemal ATATÜRK, yaitu1 “a nation *)
Hermansyah, saat ini adalah Direktur Riset dan Program Lembaga Studi Hukum Indonesia (LSHI) Jakarta. Ia juga Redaktur Pelaksana Majalah Legal Era Indonesia,
whose judicial power is not independent cannot dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta. 1 Ministry of Justice, Republic of Turkey, The Judicial System of Turkey and Organisation of Ministry of Justice, di download dari website http://www.uhdigm.adalet.gov. tr/The Judicial System Of Organization Of The Ministry Of Justice.pdf.
475
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 475 - 482
be accepted as a state”. Pernyataan ini menekankan pentingnya independensi kekuasaan kehakiman bagi suatu negara. Bahkan suatu bangsa tidak dapat diterima sebagai sebuah negara jika kekuasaan kehakiman di negara itu tidak independen. Prinsip independensi kekuasaan kehakiman tersebut termuat secara tegas dalam Konstitusi Turki. Sebagai negara yang demokratis, sekuler, dan sosialis berdasarkan hukum, dan memosisikan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang independen atas nama bangsa Turki. Dalam posisi yang demikian, maka hakim sebagai aktor atau pelaksana kekuasaan kehakiman tentu ditempatkan sebagai profesi yang mulia dan terhormat bagi bangsa Turki. Jadi tidaklah mengherankan jika Konstitusi Turki dan aturan hukum yang terkait memberikan perlindungan terhadap profesi dan keamanan hakim. Namun demikian, Konstitusi Turki dan aturan hukum lainnya juga mengatur hal-hal yang menyebabkan seorang hakim dapat dikenakan sanksi disiplin dari yang tingkat paling rendah sampai dengan yang paling tinggi, yaitu pemberhentian dari profesinya. Dalam konteks etika perilaku hakim, Turki mengadopsi Prinsip Bangalore. Enam nilainilai inti yang dianut adalah independensi, kenetralan, integritas, propriety, kesetaraan, kompetensi dan diligence. Prinsip-prinsip ini digunakan sebagai pedoman dalam menetapkan standar perilaku etis bagi hakim sekaligus mengatur perilaku hakim. Untuk memastikan hakim dalam menjalankan tugasnya sesuai amanat konstitusi, aturan hukum, dan surat edaran, maka kinerja dan perilaku hakim diawasi oleh Dewan Tinggi Hakim dan Jaksa Turki (The High Council of Judges and Presecutors - selanjutnya dalam tulisan ini disebut HCJP). Tentu saja keberadaan HCJP mempunyai peranan penting dan strategis dalam pelaksanaan proses reformasi peradilan di Turki. Eratnya kaitan HCJP dengan reformasi peradilan di Turki ditegaskan juga oleh Presiden Kamar Pertama (First Chamber) HCJP, Ibrahim Okur. Pada intinya Ibrahim mengemukakan bahwa2 HCJP adalah bagian dari reformasi pera2
Ibrahim Okur, Reforms Promoting Independence, Integrity and Accountability in The Judiciary in Turkey, paper
476
dilan dan ia berperan penting dalam melakukan reformasi sistem peradilan di Turki, termasuk perannya dalam pengembangan sistem evaluasi kinerja hakim dan jaksa. B. Permasalahan Permasalahan dalam yang dibahas dalam tulisan ini adalah (1) Siapakah yang berwenang melakukan pengawasan terhadap perilaku Hakim di Turki, (2) Bagaimanakah sistem pengawasan terhadap perilaku hakim tersebut ? Dan bagaimanakah prosedur penegakan kode etik hakim di Turki ? C. Pembahasan 1. Pengawasan terhadap perilaku Hakim di Turki Kinerja dan perilaku hakim di Turki diawasi oleh Dewan Tinggi Hakim dan Jaksa Turki (The High Council of Judges and Presecutors – selanjutnya dalam tulisan ini disebut HCJP). HCJP adalah dewan tinggi yang independen dan didirikan untuk bertindak sesuai dengan prinsip independensi pengadilan dan imparsialitas. Keberadaan HCJP sebagai lembaga pengawas kinerja dan perilaku hakim sangat penting dan strategis untuk memastikan setiap hakim di Turki dalam menjalankan tugasnya sesuai amanat konstitusi, aturan hukum, dan surat edaran. Bahkan, HCJP memiliki posisi dan peranan penting dalam pelaksanaan proses reformasi peradilan di Turki. Eratnya kaitan HCJP dengan reformasi peradilan di Turki ditegaskan juga oleh Presiden Kamar Pertama (First Chamber) HCJP, Ibrahim Okur. Pada intinya Ibrahim mengemukakan bahwa3 HCJP adalah bagian dari reformasi peradilan dan ia berperan penting dalam melakukan reformasi sistem peradilan di Turki, termasuk perannya dalam pengembangan sistem evaluasi kinerja hakim dan jaksa. presented to a Seminar Independence and Integrity of The Judiciary, Proceeding of The Regional Seminar, Istanbul, Turkey, 28 - 29 June 2012. 3 Ibrahim Okur, Reforms Promoting Independence, Integrity and Accountability in The Judiciary in Turkey, paper presented to a Seminar Independence and Integrity of The Judiciary, Proceeding of The Regional Seminar, Istanbul, Turkey, 28 - 29 June 2012.
Sistem Pengawasan dan Penegakan Kode Etik Hakim di Turki
Pasca amandemen konstitusi,3 dewan yang berwenang mengawasi kinerja dan perilaku hakim dan jaksa ini perlu direstrukturisasi komposisi dan jumlah anggotanya agar mereka dapat memberikan kontribusi lebih representatif bila dibandingkan sebelumnya. Kewenangan Menteri Kehakiman atas Dewanpun berkurang menyusul amandemen Konstitusi, walaupun Menteri Kehakiman secara ex officio masih tetap sebagai Presiden Dewan Tinggi Hakim dan Jaksa. Dalam buku The Silent Revolution - Turkish Democratic Change and Transformation Inventory 2002-2012, pada intinya juga dikemukakan bahwa salah satu alasan4 Dewan Tinggi Hakim dan Jaksa dan perlu direstrukturisasi agar lebih demokratis. Sejalan dengan itu, UU No 6087 Tahun 2010 tentang HCJP, juga berulang kali menekankan pentingnya prinsip independensi dan imparsialitas tersebut. Pasal 1 UU HCJP pada pokoknya menekankan bahwa HCJP didirikan, terorganisir dan berfungsi sesuai dengan prinsip independensi pengadilan dan keamanan bagi hakim. Selain itu, ketentuan Pasal 3 ayat (6), menentukan bahwa HCJP harus independen dalam pelaksanaan wewenang dan tugasnya. Tidak ada organ, otoritas, atau individu diperbolehkan memberi perintah atau instruksi kepada Dewan Tinggi. Di sisi lain, ketika menjalankan tugasnya Dewan Tinggi harus menghormati prinsip independensi pengadilan dan keamanan bagi hakim dan jaksa dalam dalam kerangka prinsip imparsialitas.5 Dalam Rencana Strategis HCJP 2012 2016, telah ditetapkan empat program utama yang hendak dilakukan oleh HCJP, yaitu : (1) untuk memperkuat independensi dan imparsialitas peradilan, (2) untuk memperkuat jabatan ha3
Komisi Yudisial, Laporan Kunjungan ke Turki, Tahun 2012. 4 Republic of Turkey, Prime Ministry, The Silent Revolution - Turkish Democratic Change and Transformation Inventory 2002 – 2012, 3rd Edition, by Undersecretariat Of Public Order and Security Publication, November 2013. 5 Disarikan dari HCJP, Report on The Turkish High Council of Judges and Public Prosecutors: Assessment of Its Initial Track Record of Operation, di download melalui website http://www.hcjp.gov.tr/news/t-giegerich-degerlendirme-raporu-Enlish.pdf.
Hermansyah
kim dan jaksa penuntut umum, (3) untuk meningkatkan kepercayaan publik peradilan, dan (4) untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi peradilan. Jadi makin jelas bahwa HCJP adalah6 sebagai lembaga yang berwenang dalam merekrut, mengatur penempatan, promosi, mutasi, mengawasi, dan penjatuhan sanksi disiplin terhadap hakim yang sekaligus mendorong terciptanya integritas hakim, dan terlaksananya tugas pengadilan secara profesional. Secara organisatoris, komposisi HCJP terdiri dari 22 anggota biasa dan 12 anggota pengganti. Fungsinya dilaksanakan melalui sidang pleno dan tiga kamar. Penjelasan lebih lanjut mengenai HCJP adalah sebagai berikut :7 anggota dewan, sekretaris jenderal, deputi sekretaris jenderal, badan pengawas. Menteri Kehakiman adalah Presiden HCJP, sedangkan Wakil Menteri Kehakiman adalah anggota biasa dari HCJP. HCJP melakukan wewenang dan tugasnya harus memperhatikan prinsip independensi pengadilan dan keamanan hakim dalam kerangka prinsip-prinsip keadilan, ketidak-berpihakan, akurasi, kejujuran, konsistensi, kesetaraan, kompetensi dan kualifikasi.8 Dengan demikian, secara garis besar HCJP memiliki wewenang dalam tata kelola dan pengaturan tentang hakim, yaitu melakukan rekrutmen, mutasi, promosi, pengaturan jenjang karier, skorsing, sampai dengan penjatuhan sanksi disiplin. 2. Sistem Pengawasan Perilaku Hakim di Turki Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa kewenangan pengawasan atas kinerja dan perilaku hakim di Turki dilakukan oleh HCJP. Sesuai ketentuan Pasal 159 Konstitusi Turki dan Pasal 4 UU 6087 tentang HCJP ditentukan bahwa tugas HCJP antara lain adalah mengawasi apakah hakim melakukan tugas mereka sesuai dengan hukum, aturan hukum, dan surat edaran. Dan untuk untuk memeriksa apakah mereka melakukan pelanggaran sehubungan dengan atau selama pelaksanaan tugas mereka, atau apakah perilaku mereka sesuai dengan persyaratan kapasitas dan tugas, dan jika diperlukan, dapat me6
Komisi Yudisial, Laporan Kunjungan ke Korea Selatan dan Turki, Tahun 2012. 7 http://www.hcjp.gov.tr/ 8 Ministry of Justice, Republic of Turkey, Op.Cit.
477
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 475 - 482
lakukan pemeriksaan atau investigasi terhadap hakim.9 Kewenangan pengawasan HCJP ini adalah untuk memastikan hakim dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan hukum, surat edaran, dan pedoman standar perilaku etis hakim. Oleh sebab itu, jika ditemukan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh hakim baik yang berkaitan dengan kinerja maupun perilakunya, maka HCJP berwenang untuk melakukan pemeriksaan dan investigasi. Organ HCJP yang bertugas melakukan pengawasan atas kinerja dan perilaku hakim adalah Kamar Ketiga (Third Chamber) HCJP. Dan secara teknis, tugas pengawasan Kamar Ketiga HCJP ini dijalankan oleh Badan Pengawas (Inspection Board) HCJP. Tugas pengawasan atas kinerja dan perilaku hakim oleh Kamar Ketiga (Third Chamber) HCJP yang dibantu oleh Badan Pengawas tersebut adalah sebagai berikut :10 (1) bertugas memeriksa apakah hakim melakukan tugasnya sesuai dengan undang-undang, peraturan, dan surat edaran, (2) memeriksa laporan dan pengaduan tentang hakim, (3) meneliti, apakah hakim melakukan pelanggaran sehubungan dengan atau selama pelaksanaan tugasnya atau apakah perilaku dan tindakan-tindakan hakim sesuai dengan persyaratan kapasitas dan tugastugasnya, dan (4) untuk melakukan pemeriksaan dan investigasi terhadap hakim. Sejalan dengan kewenangan dan tugasnya sebagai pengawas kinerja dan perilaku hakim dan jaksa, maka sebagian besar beban kerja dari Kamar Ketiga (Third Chambers) HCJP adalah menerima pengaduan dari masyarakat terhadap hakim. Namun banyak dari pengaduan itu tidak dapat ditindaklanjuti karena pokok pengaduannya berkaitan dengan kewenangan pengadilan banding. Bahkan, tidak jarang pengaduan yang disampaikan ke Kamar Ketiga (Third Chambers) HCJP itu berpotensi menimbulkan intervensi dari HCJP sebab pokok pengaduannya berkaitan dengan perkara yang sedang dalam proses persidangan. Untuk menjaga independensi peradilan, maka Kamar Ketiga (Third Chamber) HCJP 9
http://www.hcjp.gov.tr/news/news-10.pdf Disarikan dari Kewenangan dan Tugas Third Chambers HCJP sebagaimana dimuat dalam website http://www. hcjp.gov.tr/. 10
478
bertanggung jawab untuk mengawasi pelaksanaan tugas Badan Pengawas HCJP dalam melakukan pengawasan rutin, dan pengawasan yang bersifat ad hoc ketika seorang hakim diduga telah melakukan pelanggaran disiplin selama melaksanakan tugasnya. Sehubungan dengan pelaksanaan pemeriksaan rutin, Badan Pengawas HCJP mengajukan skema pada bulan Januari setiap tahun. Setelah usulan itu setujui oleh Kamar Ketiga, maka usulan itu harus disetujui oleh Menteri Kehakiman dalam kapasitasnya sebagai Presiden HCJP. Badan Pengawas HCJP ini tidak memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan akhir, tetapi sebatas melaksanakan tugas berdasarkan instruksi dan supervisi dari Kamar Ketiga (Third Chamber) HCJP. Inspektur, yang juga adalah hakim senior yang berpengalaman, bertugas melakukan pengawasan rutin untuk setiap dua tahun, serta melakukan pemeriksaan dan investigasi atas dugaan pelanggaran disiplin yang berkaitan dengan hakim di semua pengadilan di Turki. Pemeriksaan rutin dilakukan sesuai dengan skema tahunan yang diterbitkan di situs HCJP seperti yang telah dikemukakan. Atas pemeriksaan rutin yang dilakukan itu, maka inspektur Badan Pengawas HCJP melaporankan hasil penilaian atas hakim tersebut kepada Kamar Ketiga (Third Chamber) HCJP. Hasil pemeriksaan rutin ini merupakan elemen penting dalam proses promosi hakim. Oleh sebab itu, pemeriksaan rutin terhadap kinerja hakim harus dilandasi oleh objektifitas dan kompetensi fungsional hakim. Misalnya kriteria untuk hakim adalah durasi proses sidang, validitas alasan untuk menunda sidang. Sedangkan dalam konteks melakukan pengawasan adhoc untuk menyelidiki dugaan pelanggaran disiplin, inspektur Badan Pengawas HCJP memiliki kewenangan penuntutan. Seperti halnya jaksa penunut umum, maka inspektur Badan Pengawas juga membutuhkan surat perintah pengadilan untuk melakukan misalnya penyadapan telepon hakim. Informasi yang diperoleh dari penyadapan yang tidak melalui perintah pengadilan, maka hasil penyadapan itu tidak dapat digunakan.
Sistem Pengawasan dan Penegakan Kode Etik Hakim di Turki
3. Prosedur Penegakan Kode Etik Terhadap Hakim di Turki Dalam tradisi filsafat istilah “etika” lazim difahami sebagai11 suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkaitan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupa-kan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik. Persoalan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat dikaji kembali secara kritis. Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis yang difahami, diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata kadangkala disebut ethos. Jadi tidaklah mengherankan jika setiap profesi memiliki kode etik. Prinsip etika itu disusun dengan tujuan agar anggota suatu profesi mentaati kode etik profesi dalam pelaksanaan tugasnya dan untuk meningkatkan kepercayaan publik. Peran kode etik ini adalah untuk menjaga dan memastikan perilaku anggota profesi tersebut mencapai standar tertinggi. Begitu juga halnya dengan profesi hakim. Prinsipnya etika mengacu pada sekumpulan standar yang digunakan untuk menilai benar atau salahnya perilaku dalam hubungannya dengan sesuatu yang dianggap benar dan adil.12 Dengan demikian, perilaku etis dapat dimaknai sebagai perilaku seseorang yang dianggap benar dan diterima oleh seluruh masyarakat. Dalam makalahnya Mag. Nina Betetto menyatakan bahwa “judicial ethics as an attitude about judge‟s professional conduct”.13 Lebih lanjut, Nina Betetto mengemukakan bahwa14 hakim harus berperilaku penuh integritas dalam kedinasan dan juga dalam kehidupan pribadi11
Komarudin Hidayat, Etika Dalam Kitab Suci dan Relevansinya Dalam Kehidupan Modern Studi Kasus di Turki, artikel dalam website http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Etika1.html. 12 Yeh-Yun L. C., “A Comparison of Perceptions About Business Ethics in Four Countries”, The Journal of Psychology, 1999. 13 Mag. Nina Betetto, Judicial Ethics and Enforcement Mechanisms. European Court for Human Rights Practice, paper presented to a Seminar Independence and Integrity of The Judiciary, Proceeding of The Regional Seminar, Istanbul, Turkey, 28 – 29 June 2012. 14 Ibid.
Hermansyah
nya, harus bertindak dengan cara yang baik, memihak realitas dan dalam penampilan. Ini adalah tugas setiap hakim untuk membuat keputusan etis. Ini juga penting untuk menilai apakah suatu kegiatan tertentu sesuai dengan standar etika. Etika hakim berkaitan erat dengan perilaku profesional hakim. Sehingga tidak berlebihan jika Irmgard Gris mengemukakan bahwa “to be a good judge is a matter of character”.15 Tentu saja menjadi hakim yang baik adalah sebuah misi mulia, sehingga hakim harus mengadili bahkan tanpa dibayar, sebagaiamana dikemukakan oleh Mag Nina Betetto bahwa16 “to be a judge is a mission, thus the judge should adjudicate even without being paid”. Sama halnya dengan negara lain, Turki juga memandang penting aturan disiplin atau kode etik profesi bagi hakim. Oleh sebab itu, prinsip Bangalore telah diadopsi dengan keputusan HCJP tanggal 27 Juni 2006, nomor 315. Selain itu, disiapkan juga resolusi untuk menyiapkan bahwa setiap perilaku atau tindakan hakim yang bertentangan dengan Prinsip Bangalore adalah persoalan disipliner yang harus diselidiki. Sehingga pelanggaran aturan etika oleh hakim menimbulkan tanggung jawab disiplin bagi hakim tersebut. Bahkan, prinsip Bangalore itu dijadikan sebagai bagian integral dari proses reformasi peradilan di Turki. Bukan hanya sekedar menggabungkan Prinsip Bangalore dengan kode etik nasional, tetapi juga didukung oleh program reformasi integritas yang komprehensif dan berkesinambungan. Dalam konteks penegakan disiplin, perlu ditegaskan lagi bahwa HCJP bertanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan dan investigasi terhadap hakim mengenai apakah mereka melakukan pelanggaran yang berkaitan dengan tugasnya, dan sekaligus melakukan investigasi terhadap hakim jika diperlukan. Selanjutnya HCJP17 membuat keputusan berdasarkan prosedur penegakan disiplin terhadap hakim. Dengan demikian, hakim harus menjaga kinerja dan perilakunya sesuai dengan aturan 15
Ibid. Ibid. 17 Serkan Kizilyel, Turkish Judicial System and Current Trends, di download dari website http://www.danistay. gov.tr/upload/isvec_ysk_Serkan_kizilyl.pdf. 16
479
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 475 - 482
hukum, surat edaran dan kode etik perilaku hakim. Sebab jika perilaku atau tindakan hakim itu melanggar aturan disiplin, maka setiap orang memiliki hak untuk mengajukan pengaduan terhadap hakim tersebut ke HCJP. Jadi sangatlah jelas, apabila kinerja dan perilaku itu melanggar aturan disiplin, maka ia akan di proses, dan jika terbukti dijatuhi sanksi disiplin. Tugas HCJPlah untuk meneliti, memeriksa dan menginvestigasi setiap pengaduan masyarakat terhadap hakim dalam upaya mengungkap kebenaran atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh hakim dimaksud. Dalam konteks penegakan etika atau disiplin hakim di Turki, maka prosedurnya secara garis besar dapat dibagi dalam 2 (dua) tahap, yaitu (1) tahap pemeriksaan dan investigasi, dan (2) tahap penjatuhan sanksi. Untuk tahap pemeriksaan dan investigasi atas dugaan pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh hakim, proses pemeriksaan dan investigasinya dilakukan oleh Badan Pengawas berdasarkan instruksi dan supervisi Kamar Ketiga (Third Chamber) HCJP. Pemeriksaan dan investigasi atas dugaan pelanggaran disiplin terhadap hakim terlapor dapat dilakukan berdasarkan adanya laporan atau pengaduan dari masyarakat. Selanjutnya laporan hasil pemeriksaan dan investigasi Badan Pengawas tersebut dilaporkan ke Kamar Ketiga (Third Chamber) HCJP untuk ditelaah lebih lanjut. Laporan hasil pemeriksaan dan investigasi tersebut tidak mengikat HCJP. Jika berdasarkan hasil pemeriksaan dan investigasi yang dilakukan oleh Badan Pengawas itu hakim tersebut terbukti melanggar disiplin baik dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas atau diluar tugasnya maka hasil pemeriksaan dan investigasi itu diteruskan kepada Kamar Kedua (Second Chamber) untuk ditindaklanjuti dengan penjatuhan sanksi disiplin. Adapun sanksi disiplin yang dapat dijatuhkan kepada hakim berupa peringatan, pemotongan gaji, penundaan kenaikan golongan, penundaan promosi, mutasi, dan pemberhentian dari profesi hakim. Sanksi yang dijatuhkan tergantung dari berat atau ringannya pelanggaran yang dilakukannya. Hakim dijatuhkan sanksi disiplin diberi kesempatan untuk membela diri. Selama menunggu proses keputusan Kamar Kedua (Second Chamber) untuk menjatuhkan 480
sanksi disiplin, maka hakim jaksa yang bersangkutan di non-aktifkan dari tugas profesinya. Berkaitan dengan penjatuhan sanksi disiplin ini, terhadap hakim yang dicurigai atau diduga menerima suap, bahkan walaupun dugaan menerima suap itu tidak dapat dibuktikan, maka hakim tersebut dapat dikenakan sanksi disiplin berupa mutasi. Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa dalam konteks penegakan etika atau disiplin hakim di Turki dilakukan oleh 2 (dua) kamar HCJP yaitu Kamar Ketiga (Third Chamber) dan Kamar Kedua (Second Chamber). Prosedur atau mekanisme ini menggambarkan penerapan prinsip kehati-hatian oleh HCJP dalam melakukan proses pemeriksaan dan investigasi sampai dengan penjatuhan sanksi terhadap hakim. Prosedur ini tentu sejalan juga dengan amanat UU tentang HCJP yang menekankan bahwa dalam HCJP menjalankan tugasnya harus memperhatikan prinsip independensi peradilan dan prinsip imparsialitas. Koordinasi dan kerjasama dalam kerangka objektifitas dan profesionalitas antara kedua kamar HCJP tersebut menjadi penting sejak pengaduan dari masyarakat tentang dugaan pelanggaran etika atau disiplin yang dilakukan oleh hakim terlapor itu terbukti berdasarkan hasil pemeriksaan dan investigasi yang dilakukan. Namun demikian, jika menurut pendapat atau penilaian Kamar Kedua (Second Chamber) HCJP bahwa hasil pemeriksaan dan investigasi yang dilakukan oleh Kamar Ketiga (Third Chamber) HCJP kurang meyakinkan dan tidak cukup bukti, maka Kamar Kedua (Second Chamber) HCJP dapat saja menolak untuk menjatuhkan sanksi disiplin kepada hakim yang bersangkutan. Jadi seorang hakim di Turki hanya dapat dijatuhkan sanksi disiplin setelah ia diberi hak atau kesempatan untuk membela diri, dan didukung oleh alat bukti yang kuat dapat dipertanggung-jawabkan. Akhirnya, proses sidang disiplin bagi hakim yang diduga melanggar disiplin merupakan sebuah keharusan. Sanksi disiplin tidak boleh dijatuhkan kepada hakim kecuali dapat dibuktikan tanpa ada keraguan. Ketika melakukan pemeriksaan dan investigasi atas dugaan pelanggaran disiplin oleh hakim, terutama dalam kasus-kasus besar, HCJP bertanggung-jawab un-
Sistem Pengawasan dan Penegakan Kode Etik Hakim di Turki
tuk menjaga kredibelitas sistem peradilan dan menjaga kepercayaan masyarakat. Dalam perkembangannya, penjatuhan sanksi disiplin bagi hakim-pun telah juga diterbitkan versi anonim atas keputusan tentang sanksi disiplin di situsnya oleh HCJP. Sejalan dengan proses reformasi peradilan di Turki, maka keputusan yang diambil oleh HCJP mengenai pemberhentian hakim dapat diajukan banding ke HCJP. Namun, keputusan lain yang diambil oleh HCJP yang berkaitan dengan hakim, misalnya penagguhan, pengangkatan, pemindahan, serta tindakan disiplin lainnya hanya dapat diajukan banding internal sebelum dilakukan pleno salah satu dari Kamar (Chamber) HCJP yang berwenang.
Hermansyah
D. Penutup HCJP adalah lembaga yang berwenang dalam mengawasi kinerja dan perilaku hakim, termasuk menjatuhkan sanksi disiplin terhadap hakim yang terbukti melanggar kode etik hakim di Turki. Dalam pelaksanaan tugasnya tersebut HCJP harus memperhatikan prinsip independensi peradilan dan prinsip imparsialitas. Penegakan kode etik hakim mengacu pada aturan hukum, surat edaran dan standar perilaku etis hakim yang diadopsi dari prinsip Bangalore. Dalam proses pemeriksaan dan investigasi terhadap dugaan pelanggaran etika atau disiplin oleh hakim, maka HCJP bertanggung-jawab untuk menjaga kredibelitas sistem peradilan dan menjaga kepercayaan masyarakat.
REFERENSI/BAHAN BACAAN HCJP, Duties of The High Council of Judges and Presecutors, in http://www.hcjp.gov.tr/. --------, Report on The Turkish High Council of Judges and Public Prosecutors: Assessment of Its Initial Track Record of Operation, di download melalui website http://www.hcjp.gov.tr/ news/t-giegerich-degerlendirme-raporu-Enlish.pdf. Ibrahim Okur, Reforms Promoting Independence, Integrity and Accountability in The Judiciary in Turkey, paper presented to a Seminar Independence and Integrity of The Judiciary, Proceeding of The Regional Seminar, Istanbul, Turkey, 28 – 29 June 2012. Komarudin Hidayat, Etika Dalam Kitab Suci dan Relevansinya Dalam Kehidupan Modern Studi Kasus di Turki, artikel dalam website http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/ Etika1.html. Komisi Yudisial RI, Laporan Kunjungan Kerja ke The High Council of Judges and Presecutors, and Justice Academy of Turkey, Tahun 2012. Mag. Nina Betetto, Judicial Ethics and Enforcement Mechanisms. European Court for Human Rights Practice, paper presented to a Seminar Independence and Integrity of The Judiciary, Proceeding of The Regional Seminar, Istanbul, Turkey, 28 – 29 June 2012. Ministry of Justice, Republic of Turkey, The Judicial System of Turkey and Organisation of Ministry of Justice, di download dari website http://www.uhdigm.adalet.gov.tr/The Judicial System Of Organization Of The Ministry Of Justice.pdf. Republic of Turkey, Prime Ministry, The Silent Revolution – Turkish Democratic Change and Transformation Inventory 2002 – 2012, 3rd Edition, by Undersecretariat Of Public Order and Security Publication, November 2013. Serkan Kizilyel, Turkish Judicial System and Current Trends, di download dari website http:// www.danistay.gov.tr/upload/isvec_ysk_Serkan_kizilyl.pdf. Yeh-Yun L. C., “A Comparison of Perceptions About Business Ethics in Four Countries”, The Journal of Psychology, 1999.
481
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 475 - 482
482
REKONSTRUKSI PERAN ORMAS DALAM MENCIPTAKAN KEAMANAN UNTUK MEWUJUDKAN TUJUAN PEMBANGUNAN DI PROVINSI DKI JAKARTA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN 2013 TENTANG ORMAS Oleh : Megawati Barthos*) Abstrak Keberadaan Ormas di Negara kesatuan Republik Indonesia diatur dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2013 Tentang ORMAS. Secara mengejutkan, pemerintah pada 20 April 2012 mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendaftaran ORMAS di lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah. Undang-undang Ormas tahun 2013 dimaksudkan untuk mengontrol ketat ORMAS, termasuk membubarkannya jika dianggap bertentangan dengan kemauan pemerintah dan Negara. Dalam penelitian ini, penulis melakukan kajian penelitian secara menyeluruh, terutama dari sudut pandang hukum. Penelitian yang penulis lakukan termasuk dalam penelitian hukum normatif dan empiris yaitu penelitian yang dilakukan tidak hanya menganalisis dan mengkaji dari bahan hukum kepustakaan, tetapi penulis juga melakukan penelitian langsung ke lapangan untuk mengetahui kondisi hukum yang ada di masyarakat dalam hubungannya dengan fungsi ormas Provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan 2 pendekatan, pertama, Social legal research, yaitu: perpaduan antara legal research dengan social science research. Penelitian legal research adalah meneliti struktur dan upaya hukum, termasuk fasilitas dan pandangan masyarakat terhadap hokum, kedua, Legal social research, yang mengacu kepada fungsi ormas dalam menciptakan keamanan dan kenyamanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan ORMAS yang ada dan tersebar di DKI Jakarta tentunya dipandang sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat dengan menunjukkan semangat mempersatukan kelompok-kelompok masyarakat dalam keterikatannya dengan politik hukum yang dibangun guna pembelajaran dan kesadaran hukum masyarakat ibu kota.Disisi lain, kurangnya kesadaran yang dimiliki oleh anggota ormas untuk mendukung dan mewujudkan pemerintahan yang bersih di provinsi DKI Jakarta merupakan aktifitas yang dinilai keliru atau bahkan salah oleh beberapa tokoh dan masyarakat. Dengan lemahnya sistem yang dibangun dalam menjalankan ORMAS, maka hal tersebut sangat mudah untuk dipengaruhi oleh beberapa pihak terkait dengan politik hukum yang berjalan di Indonesia. Kata Kunci: Peran ORMAS Mewujudkan Tujuan Pembangunan Abstract The presence of ORMAS in the State Unitary Republic of Indonesia stipulated in Law No. 17 Year 2013 about the Social Organization. Surprisingly, the government on April 20, 2012 issued Minister of Home Affairs Regulation No. 33 Year 2012 on Guidelines for Registration of Social Organizations in the Ministry of Home Affairs and Local Government. Organizations Act of 2013 was intended to strictly control community organizations, including dissolve it if it is considered contrary to the will of the government and the State. In This study, the researcher conducted a thorough research studies, especially from a legal standpoint. Research by the author included in the normative legal research and empirical research conducted not only analyze and study of *)
Dekan Fakultas Hukum Universitas Borobudur Jakarta
483
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 483 - 498
material legal literature, but I also conduct research directly to the field to determine the condition of existing laws in the community in conjunction with the functions of organizations of DKI Jakarta Province. This study used two approaches, first, Socio legal research, namely the combination of legal research with social science research legal research. The research is researching the structure and legal efforts, including public's view of the law and, secondly, Legal social research, which refers to organizations function in creating security and comfort. The results showed that the presence of community organizations that exist and spread in Jakarta must be viewed as a form of community service by showing the spirit of community groups to unite in a political attachment to the law that was built for learning and public awareness. In the other hand, lack of awareness owned by members of the organization to support and realize a clean government in the province of Jakarta is an activity considered erroneous or even one of the few leaders and the public. With the weakness in the system is built to run social organization, then it is very easy to be influenced by some political parties to run in Indonesian law. Key Word: Role ORMAS Achieve Development Goals A. Latar Belakang Masalah Sejak digulirkannya reformasi di Indonesia pada tahun 1998, Ormas berkembang secara signifikan. Keberadaan Ormas sebagai mitra pemerintah baik pusat maupun daerah sesuai amanah Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang ORMAS. Idealnya Organisasi Masyarakat merupakan mitra strategis yang harus diberdayakan untuk mengawal dan bekerjasama dengan Pemerintah termasuk mitra Pemerintah Daerah DKI Jakarta dalam melakukan pembangunan di Jakarta. Hingga tahun 2014, jumlah 1469 Ormas yang terdaftar di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi DKI Jakarta. Hal tersebut terindikasi bahwa keberadaan Ormas sangat diperlukan sekaligus bagian dari kesadaran masyarakat guna berpatisipasi terhadap pembangunan disegala bidang, termasuk pembangunan hukum, serta penegakan hukum agar hukum dapat berfungsi, menjaga ketertiban guna terciptanya kemanan masyarakat di wilayah hukum DKI Jakarta. Maraknya demonstrasi yang berlansung serta diikuti dengan cara-cara anarkis pada lima tahun belakangan ini, membuat pemerintah daerah berupaya untuk menggandeng dan bersinergi agar ormas lebih meningkatkan kualitas kesertaannya dalam terlaksananya pembangunan di DKI Jakarta. Pembangunan Nasional yang sedang berlangsung dan perlunya suatu kesinambungan yang terus menerus adalah untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Oleh karena itu diperlukan 484
sumber daya manusia yang berkemampuan dan berkualitas serta memiliki tingkat kesadaran hukum dan ketaatan yang tinggi terhadap peraturan perundang-undangan, sebagai wujud daya dukung terhadap menyelenggarakan pembangunan sehingga tujuan cita negara mewujudkan masyarakat adil dan makmur dapat tercapai. Konstitusi negara yakni melalui penjelasan Undang-undang Dasar 1945, menyebutkan "Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Artinya segala kegiatan yang berlangsung di Indonesia berdasarkan atas hukum. Berbagai problematika yang terjadi di tengah masyarakat dan dalam kehidupan bernegara seperti Indonesia, ini sudah semestinya dikaitkan dengan eksistensi hukum. Keberadaan ORMAS untuk hadir mengisi pembangunan di Indonesia, pada dasarnya merupakan mitra pemerintah untuk mengisi pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didasari pancasila. Elemen-elemen di masyarakat makin banyak yang menggunakan modus kampanye isu (pembentukan opini) publik hingga rekayasa dan pengguliran aksi-aksi massa guna pencapaian aspirasi atau kepentingannya, baik berdimen-
Rekonstruksi Peran Ormas Dalam Menciptakan Keamanan ...
si sosial, ekonomi maupun politik, meskipun acapkali berujung pada terjadinya tindak kekerasan maupun bentrok massa. Warga masyarakat rentan terseret dalam pusaran pertarungan antar pihak-pihak dengan dinamika perubahan dan pragmatisme kepentingan sesat, sehingga memunculkan ketegangan bahkan konflik yang berkepanjangan antar warga masyarakat sehingga menimbulkan kondisi terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat. Pada aspek yang lain, keamanan, ketenteraman, kenyamanan dan ketertiban masyarakat merupakan suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional. Karenanya kondisi tersebut harus tetap terjaga dan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Tak terkecuali diwilayah hukum Pemprov.DKI Jakarta yang memerlukan kemitraan strategis dengan Ormas guna menjaga ketertiban dan keamanan, serta meningkatnya kesadaran maupun kualitas masyarakat terhadap hukum sekaligus meningkatkan kualitas kontrol terhadap penegakan hukum, sehingga pada gilirannya tujuan pembangunan, khususnya di DKI Jakarta dapat tercapai sesuai tujuannya. Setiap pelaksanaan tugas untuk menciptakan ketertiban dan keamanan dalam pelaksanaan pembangunan, perlu dilakukan dengan kemauan politik yang kuat oleh pemegang kekuasaan melalui perangkat hukum. Dengan demikian Ormas dalam partisipasinya tidak menyimpang, sekaligus guna memberikan jawaban bahwa hukum memiliki kepentingan atas hak dan kewajiban masyarakat hukum termasuk kepentingan negara. Bahwa untuk lebih meningkatkan peran ormas untuk turut mendukung dan berpartisipasi dalam pembangunan nasional maupun ditingkat daerah.Adanya hubungan yang cukup signifikan antara ormas dengan pemerintah dalam membangun struktur sosial, budaya dan hubungan antar masyarakat dalam suatu wilayah. Peran serta masyarakat dalam membangun tata kehidupan yang demokratis sudah semakin terbuka lebar, dengan adanya kesempatan yang luas untuk menyampaikan pendapat, kebebasan membentuk kelompok masyarakat yang peduli terhadap kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara
Megawati Barthos
serta pembentukan masyarakat sipil yang mempunyai peran yang lebih luas dalam penyelenggaraan pemerintah, pembangunan dan kemasyarakatan. Ormas sebagai lembaga yang bersentuhan langsung dengan realita masyarakat di level grass root, dituntut harus mampu melakukan pembacaan, memberikan pernahaman serta melakukan pendampingan dari perilaku dan ancaman yang akan menghegemoni masyarakatnya, baik secara fisik maupun pernikiran. Sebab sebagai sebuah lembaga yang berada di tengah-tengah antara penguasa (dalarn hal ini pemerintah dan lembaga public service lainnya) di satu sisi dan rakyat (masyarakat ataupun anggotanya) di sisi lain, Ormas harus mampu menjadi lidah penyambung antara dua sisi yang sangat rentan terjadi konflik kepentingan. Sebagai lembaga yang berada di tengah-tengah (penyeimbang dari tindakan penguasa yang lebih superior di hadapan rakyat). Organisasi Kemasyarakat yang ada di Indonesia, khususnya yang ada di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta ketika organisasi tersebut menjalankan fungsinya, termasuk ketika ORMAS diberi dan memerankan sebagai partisan dalam pembangunan. Karena itu, penulis melakukan penelitian berjudul; Re-konstruksi Peran ORMAS Dalam Menciptakan Keamanan Untuk Mewujudkan Tujuan Pemba-ngunan Di Provinsi DKI Jakarta berdasarkan Undang-undang No. 17 Tahun 2013 tentang ORMAS sehingga pembangunan di Provinsi DKI Jakarta dapat berlangsung sesuai dengan harapan masyarakat dan Pemerintah Daerah. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana politik hukum terhadap ORMAS di Jakarta? 2. Bagaimana peran ormas dalam menciptakan keamanan dan pembangunan hukum di Jakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang ORMAS? 3. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam memperkuat Peran ORMAS Dalam Menciptakan Keamanan Untuk Mewujudkan Tujuan Pembangunan Di Provinsi DKI Jakarta? 485
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 483 - 498
2013 Tentang ORMAS. C. Tujuan Penelitian Untuk mengkaji politik hukum terhadap 3. Sumber Data ORMAS di Jakarta; menelaah peran ormas daPenelitian ini menggunakan sumber data : lam menciptakan keamanan di Jakarta berdasara. Data primer, yaitu data yang diperoleh kan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013. langsung peneliti melalui wawancara deSerta mengkaji peran pemerintah daerah dalam ngan narasumber, yang berpedoman pamemperkuat Peran ORMAS Dalam Menciptada pertanyaan langsung yang telah diperkan Keamanan Untuk Mewujudkan Tujuan siapkan. Narasumber ditentukan terlebih Pembangunan Di Provinsi DKI Jakarta. dahulu secara purposive sampling dengan mengikuti prinsip snowball. Narasumber adalah subyek yang dipilih deD. Manfaat Penelitian Manfaat teoritis untuk memberikan gamngan keyakinan dapat merepresentasikan baran yang jelas tentang Ormas dalam mencipberbagai ide yang mendalam mengenai takan keamanan dan kenyamanan di Provinsi obyek penelitian. DKI Jakarta dan Manfaat praktisnya memberib. Data sekunder, yaitu data yang berasal kan pengetahuan kepada masyarakat Indonesia dari lilteratur berupa buku-buku, lapokhususnya masyarakat Jakarta mengenai ormas. ran, dokumen-dokumen, hasil penelitian peneliti lain, serta sumber lain termasuk studi media yang memiliki relevansi deE. Metodologi Penelitian ngan permasalahan penelitian. 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan 4. Teknik Pengumpulan Data social-legal research yaitu perpaduan antara lea. Pengamatan (observation) gal research dengan social science research, Data yang diperoleh dianalisis secara penelitian sosio-legal adalah meneliti struktur kualitatif dengan penguraian secara deskripdan udaya hukum, termasuk fasilitas dan pandatif. Penelitian ini tidak hanya mengungkapngan masyarakat terhadap hukum. masalah kan dan menggambarkan data, melainkan diefektivitas aturan hukum, kepatuhan terhadap ungkapkan realitas yang ada tentang Rekonaturan-aturan hukum, peranan lembaga atau insstruksi Peran Ormas dalam menciptakan Ketansi hukum dalam penegakan hukum, impleamanan dan Kenyamanan di Provinsi DKI mentasi aturan hukum, pengaruh aturan hukum Jakarta Berdasarkan Undang-undang No 17 terhadap masalah sosial tertentu atau sebaliktahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyaranya, pengaruh masalah sosial tertentu terhadap katan (ORMAS). aturan hukum. Pendekatan legal social research Sebagai kegiatan terakhir peneliti, yaimengacu pada Rekonstruksi Peran ORMAS Datu melakukan verifikasi data untuk dapat lam Menciptakan Keamanan Untuk Mewujudmelakukan penyimpulan melalui suatu pekan Tujuan Pembangunan Di Provinsi DKI Januturan deskriptif tentan apa yang berhasil karta Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tadimengerti dari masalah penelitian. hun 2013 Tentang ORMAS. b. Wawancara (interview) Wawancara merupakan cara untuk 2. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis memperoleh data pendukung guna melengyaitu bertujuan untuk memperoleh suatu uraian kapi informasi yang diperlukan di dalam atau gambaran umum yang menyeluruh serta menjawab permasalahan penelitian dengan menguraikan keadaan yang sebenarnya ataupun mengadakan tanya jawab (wawancara) terfakta dari objek penelitian yakni terkait Rekonhadap berbagai pihak, diantaranya Badan struksi Peran Ormas dalam menciptakan KeaKesatuan Bangsa dan Politik Provinsi DKI manan dan Kenyamanan di Provinsi DKI JakarJakarta. ta Berdasarkan Undang-undang No. 17 tahun 486
Rekonstruksi Peran Ormas Dalam Menciptakan Keamanan ...
c. Studi kepustakaan Studi kepustakaan dilakukan oleh penulis untuk menemukan konsep-kosnep, teori-teori hukum, pendapat-pendapat yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Data kepustakaan ini berupa peraturan perundang-undangan, karya ilmiah para sarjana dan sumber lainnya. 5. Teknik Analisis Data Pada intinya, analisa data sekunder dan data primer sebagaimana dalam penelitian yang sifatnya deskriptif analisis dengan pendekatan yuridis sosiologis, maka analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif yaitu analisis data non deskriptif atau data textular. Jenis data yang digunakan dalam studi baik data primer maupun data sekunder umumnya berbentuk deskripsi yang terdiri dari teks atau tulisan, kata-kata serta gambar bukannya angka-angka. Kalaupun ditemui data berupa angka, fungsinya lebih bersifat sebagai penunjang. Data yang dianalisis untuk nantinya dirangkai sebagai naskah penulisan disertasi melalui literatur yang berisi pendapat-pendapat serta pemikiran-pemikiran para ahli, peraturan perundang-undangan serta dokumen yang berhubungan dengan obyek penelitian. F. Kajian teori 1. Teori Negara Hukum Konsep “negara hukum” yang seringkali diterjemahkan sebagai “the rule of law”, “Rechtsstaat”, “etat de droit”, atau “estado de derecho” merupakan suatu konsep yang diperdebatkan atau dipermasalahkan (disputed or contested concept). Konsep ini mempunyai arti berbeda bagi setiap orang dan seringkali digunakan untuk kepentingan politik yang berbeda. Hampir setiap pemerintahan, baik pemerintahan otoriter, sosialis maupun demokratis, menggunakan prinsip ini. Konsep modern the rule of law dalam tradisi Anglo Saxon dikemukakan oleh A.v. Dicey pada tahun 1885. Menurut Dicey terdapat tiga hal penting dalam konsep tersebut, yaitu: We mean, in the first place, that no man is punishable or can be lawfully made to suffer in body or goods except for a distinct breach of
Megawati Barthos
low established in the ordinary legal manner before the ordinary Courts of the land. We mean in the second place . . . not only that with us no man is above the law, but (what is a different thing) that here every man, whatever be his rank or condition, is subject to the ordinary law of the realm and amenable to the jurisdiction of the ordinary tribunals... Thirdly, the constitution is pervaded by the rule of law on the ground that the general principles of the constitution (as for example the right to personal liberty, or the right of public meeting) are with us the result of judicial decisions determining the rights of private persons in particular cases brought before the Courts. Tiga aspek tersebut, yang meliputi supremasi hukum, persamaan di muka hukum dan pengadilan dikenal secara umum sebagai dasardasar pemahaman formal negara hukum. Indonesia sebagai Negara Hukum menurut UUD 1945 Perubahan. Sebelum perubahan UUD 1945, konsep negara hukum terdapat dalam Penjelasan UUD 1945. Dalam Perubahan Ketiga UUD 1945, didalamnya terdapat ketentuan Pasal 1 ayat (3), bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Bagir Manan berpendapat: UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 seperti dimuat Pasal 33 dan Pasal 34 - melukiskan dengan tegas asas negara hukum kesejahteraan. Dengan demikian, ada sumber asas negara hukum kesejahteraan dalam UUD 1945, yaitu: Pertama; ajaran demokrasi yaitu demokrasi sosial atau disebut juga demokrasi ekonomi. Dari segi demokrasi, asas negara kesejahteraan menjelma dalam bentuk: a. penguasaan oleh negara atau rakyat atas segala sesuatu yang menyangkut kepentingan rakyat banyak. b. sistem pengelolaan usaha melalui koperasi. Koperasi adalah pranata demokrasi di bidang ekonomi. Kedua; ajaran negara hukum kesejahteraan (soeiaal rechtsstaat). Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 ayat (3) menyebutkan; “Negara Indonesia negara hukum”. Makna negara hukum disini adalah negara yang menegakan supermasi hukum untuk 487
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 483 - 498
menegakan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan. Arti lain negara hukum ini adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Secara umum dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum memiliki prinsip-prinsip dasar, yaitu supermasi hukum (supremacy of law) atau pemerintah berdasarkan hukum, kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Salah satu prinsip dasar penting dalam negara hukum yakni prinsip supremasi hukum. Menurut Dicey makna dari supremasi hukum adalah sebagai berikut : “La ley est la plus haute inheritance, que le roi had; car par la ley in meme et toutes ses sujets sont rules; et si la ley ne fuit, nut roi et nui inheritance sera” (Terjemahannya; hukum menduduki tempat tertinggi, lebih tinggi dari kedudukan raja, terhadapnya raja dan pemerintahnya harus tunduk, dan tanpa hukum maka tidak ada raja dan tidak ada pula kenyataan hukum ini). Sejak kelahirannya konsep rule of law atau negara hukum dimaksudkan sebagai usaha untuk membatasi kekuasaan penguasa negara agar tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk menindas rakyatnya atau abuse of power, abus de droit. Intinya, konsep negara hukum merupakan pembatasan kekuasaan negara. Karena itu konsep rule of law mempunyai esensi dasar, diantaranya adalah: a. Negara memiliki hukum yang adil b. Berlakunya prinsip distribusi kekuasaan c. Semua orang, termasuk penguasa negara harus tunduk kepada hukum d. Semua orang mendapat perlakuan yang sama dalam hukum e. Perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat. Beberapa konsekuensi dari penerapan konsep hukum tersebut, menurut Albert Venn Dicey mengandung 3 (tiga) prinsip yang berlaku bagi suatu negara hukum, yaitu; prinsip sup488
remacy of law, prinsip equality before the law, prinsip the constitution based on individual rights. Pengertian negara hukum dapat dipahami dalam Ensiklopedia Indonesia, yang menyebutkan bahwa negara hukum (bahasa Belanda; rechtsstaat), bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum, yakni tata tertib yang umumnya berdasarkan hukum yang terdapat pada rakyat. Negara hukum menjaga ketertiban hukum supaya jangan terganggu dan agar semuanya berjalan menurut hukum. Rumusan negara hukum tersebut, dijabarkan oleh R. Supomo dengan memberikan pengertian bahwa Indonesia dibentuk sebagai negara hukum artinya negara akan tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum berlaku pula bagi segala badan dan alat-alat perlengkapan negara. Ini berarti bahwa negara hukum menjamin adanya tertib hukum dalam masyarakat, yang artinya memberi perlindungan hukum pada masyarakat. 2. Teori Hukum Pembangunan Beberapa argumentasi krusial Teori Hukum Pembangunan banyak mengundang atensi. Pertama, Teori Hukum Pembangunan sampai saat ini adalah teori hukum yang eksis di Indonesia karena diciptakan oleh orang Indonesia dengan melihat dimensi dan kultur masyarakat Indonesia, lahir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi Indonesia yang pluralistik. Kedua, secara dimensional maka Teori Hukum Pembangunan memakai kerangka acuan pada pandangan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa Indonesia berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan maka terhadap norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam Teori Hukum Pembangunan tersebut relatif sudah merupakan dimensi yang meliputi structure (struktur), culture (kultur) dan substance (substansi) sebagaimana dikatakan oleh Lawrence W. Friedman. Ketiga, Teori Hukum Pembangunan menentukan pengertian struktur adalah, “The structure of a system is its skeleton framework; it is the permanent shape, the institutional body of the system, the though rigid nones that keep the process flowing within bounds..”, kemudian substansi dirumuskan sebagai, “The substance is
Rekonstruksi Peran Ormas Dalam Menciptakan Keamanan ...
composed of substantive rules dua dasar fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” and rules about how institutions should behave,” dan budaya hukum dirumuskan sebagai, “The legal culture, system their beliefs, values, ideas and expectation. Legal culture refers, then, to those ports of general culture customs, opinions ways of doing and thinking that bend social forces toward from the law and in particular ways.” (law as a tool social engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang. Oleh karena itu maka Teori Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja, memperagakan pola kerja sama dengan melibatkan keseluruhan stakeholders yang ada dalam komunitas sosial tersebut. Dalam proses tersebut maka Mochtar Kusumaatmadja menambahkan adanya tujuan pragmatis (demi pembangunan). Mochtar Kusumaatmadja secara cemerlang mengubah pengertian hukum sebagai alat (tool) menjadi hukum sebagai sarana (instrument) untuk membangunan masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut adalah bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaharuan memang diinginkan, bahkan mutlak perlu, dan bahwa hukum dalam arti norma diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan itu. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa: Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah konservatif artinya, hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena di sini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang sedang membangun, yang dalam difinisi kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki memiliki fungsi demikian saja. Dalam perkembangan berikutnya, konsep hukum pembangunan ini akhirnya diberi nama oleh para murid-muridnya dengan "Teori Hukum Pembangunan" atau lebih dikenal dengan Madzhab UNPAD.
Megawati Barthos
Ada 2 (dua) aspek yang melatarbelakangi kemunculan teori hukum ini, yaitu: Pertama, ada asumsi bahwa hukum tidak dapat berperan bahkan menghambat perubahan masyarakat. Kedua, dalam kenyataan di masyarakat Indonesia telah terjadi perubahan alam pemikiran masyarakat ke arah hukum modern. Aksentuasi tolok ukur konteks menunjukkan ada 2 (dua) dimensi sebagai inti Teori Hukum Pembangunan yang diciptakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, yaitu : a. Ketertiban atau keteraturan dalam rangka pembaharuan atau pembangunan merupakan sesuatu yang diinginkan, bahkan dipandang mutlak adanya; b. Hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia yang dikehendaki ke arah pembaharuan. 3. Politik Hukum Ada sejumlah ahli pernah mengemukakan definisi tentang politik hukum, diantaranya: Menurut Satjipto Rahardjo, politik hukum diartikan seagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Dari berbagai pendapat tentang definisi politik hukum, dapat disimpulkan bahwa politik hukum merupakan kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga negara yang berwenang untuk mengarahkan peraturan perundangan yang akan dibangun yang diarahkan guna mencapai tujuan bangsa dan Negara. Menurut Satjipto Rahardjo, politik hukum diartikan seagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Politik hukum negara Indonesia dilandaskan pada Pancasila dan UUD 1945, karena merupakan dasar pembentukan negara Indonesia. Begitupun juga merupakan dasar penerapan, serta pelaksanaan politik hukum itu sendiri. Peranan politik hukum dalam penyelenggaraan negara sangat diperlukan karena dalam menata 489
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 483 - 498
sebuah negara yang demokrasi mestinya mempunyai berbagai tujuan tertentu. 4. Teori Penegakan Hukum Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum adalah: “suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut keinginan-keinginan hukum di sini adalah pikiran-pikiran pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturanperaturan hukum itu.” Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Karena itu, penerjemahan perkataan „law enforcement‟ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan „penegakan hukum‟ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah „penegakan peraturan‟ dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah „the rule of law‟ versus „the rule of just law‟ atau dalam istilah „the rule of law and not of man‟ versus istilah „the rule by law‟ yang berarti „the rule of man by law‟. Dalam istilah „the rule of law‟ terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai ke490
adilan yang terkandung di dalamnya. Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau kaedah-kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah di kenal secara konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik pemerintahlah yang bertanggung jawab. Penegakan hukum merupakan proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku berkaitan dengan atau hubunganhubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. G. Hasil Penelitian Dan Pembahasan 1. Politik Hukum Terhadap ORMAS di Jakarta Politik hukum merupakan aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara-cara yang hendak dipakai guna mencapai tujuan hukum dalam masyarakat, dan tentunya hal itu harus bisa diimplementasikan dalam tatanan hidup bermasyarakat, tak terkecuali dalam ORMAS di Indonesia umumnya dan khususnya di ibu kota Jakarta. Akan tetapi karena dalam praktiknya selalu penuh dengan intrik dan melibatkan orang banyak secara kolosal, politik menjadi terlihat lebih menarik dan hingar bingar sehingga seolah-olah politik merupakan segalagalanya dalam kehidupan manusia. Sistem politik Indonesia pasca-kolonialisme mengalami perubahan yang cukup signifikan. Bahkan sejak kemerdekaan hingga saat ini telah terjadi perubahan penting yang menyebabkan konstelasi sistemik politik Indonesia terus berubah. Setelah era reformasi terjadi pula perubahan konstelasi politik yang penting untuk dicermati. Secara teori, politik hukum dalam ormas
Rekonstruksi Peran Ormas Dalam Menciptakan Keamanan ...
adalah segala hal yang berkenaan dengan kekuasaan dan hiruk pikuk politik bangsa ini. Pusat kekuasaan di suatu komunitas adalah negara. Oleh sebab itu, ketika politik disebut secara tersendiri, maka yang dimaksud adalah segala hal yang berkenaan dengan kekuasaan negara dan derivatnya. Memasuki era Orde Baru, kekuasaan berubah menjadi presidensial. Kali ini presiden, selain bertindak sebagai kepala negara, juga menjalankan peran sebagai kepala eksekutif (pemerintahan). Dalam sistem ini selama Orde Baru, eksekutif dengan posisinya demikian menjadi sangat powerfull dibandingkan pemegang kekuasaan rekannya, yaitu DPR dan kehakiman. Semasa Suharto berkuasa sepanjang Orde Baru, kekuasaannya dianggap “otoriter” hingga perlu dikoreksi. Kritik terhadap Orde Baru inilah yang akhirnya melahirkan Reformasi. Secara politik, gerakan Reformasi berhasil merombak pola pembagian kekuasaan yang dianggap otoriter semasa Suharto. Kekuasaan presiden dipangkas. Sekalipun masih tetap kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, namun kekuasaannya untuk mengeksekusi program-program harus disetujui oleh DPR. Bila sebelumnya DPR tidak banyak memiliki kekuasaan, justru sejak Reformasi bergulir DPR memiliki tambahan kewenangan yang membuatnya bisa lebih berkuasa daripada sebelumnya. Bahkan, dalam hal-hal tertentu DPR bisa lebih berkuasa dari kepala negara (presiden). Reformasi telah mengubah semua itu. Politik biaya tinggi dan keterbukaan politik yang hampir tanpa batas telah menyebabkan politik hanya ramah bagi mereka yang memiliki modal. Mereka yang tidak bermodal besar, sekalipun memiliki segudang prestasi jangan terlalu bermimpi bisa berada di lingkaran kekuasaan. Mereka yang berani maju dalam pertarungan politik dan berpotensi besar memenangkannya adalah “yang punya modal” atau “yang dimodali”. Kelompok-kelompok kepentingan ini pun boleh mengorganisasi diri sebagaimana halnya organisasi negara. Kelompok-kelompok inilah yang disebut sebagai non-government organization (NGO) atau dikenal pula dengan istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Organisasi massa pada dasarnya adalah
Megawati Barthos
bagian dari civil society dalam sistem politik modern yang dianut Indonesia saat ini. Keberadaannya diakui oleh negara sebagai kelompok kepentingan. Kelompok kepentingan ini sebagaimana NGO lainnya diperkenankan memiliki aspirasi politik dan menyuarakannya, langsung ataupun tidak. Bedanya kekuatan kelompok NGO ini dibandingkan dengan aparat politik adalah tidak memiliki kewenangan mengeksekusi langsung aspirasi politiknya dengan alatalat yang dimiliki oleh negara. Akan tetapi, dibandingkan negara, NGO bisa langsung berhubungan dengan masyarakat untuk memperjuangkan misinya tanpa harus melalui alat-alat negara yang terkadang terlalu rigid. Sebagai kelompok kepentingan yang memiliki kekuatan politik di negara modern, ada dua hal yang bisa dilakukan melalui organisasi ini. Pertama, secara sah, ormas tertentu sebagai organisasi dapat mengusulkan apa yang menjadi aspirasinya kepada negara melalui saluran-saluran politik negara yang diakui seperti pemerintah, birokrasi, atau anggota legislatif. Sepanjang daya tawar politik yang dimiliki kuat, apa yang menjadi aspirasinya sangat mungkin segera akan ditindaklanjuti oleh pemegang kekuasaan di wilayah political society. Kalau daya tawar politiknya rendah, memang akan menyulitkan untuk dapat secara kuat memaksakan aspirasinya. Kedua, ormas memiliki akses tanpa batas kepada publik dan anggotanya secara langsung. Aspirasi yang diembannya, sepanjang menyangkut kepentingan publik dan anggotanya dapat langsung diterapkan tanpa harus menunggu kekuatan negara turut membantunya. Bahkan dari sisi ini, kekuatan political society tidak lebih kuat dibandingkan kekuatan yang dimiliki ormas lain. Ormas pada dasarnya akan dapat menghalangi masuknya akses political society kepada jamaah dan anggotanya, bila kekuatan proteksi ormas efektif dan besar. Pada bagian inilah kekuatan ormas lebih unggul dibandingkan organisasi lain, bahkan dibandingkan organisasi politik (orpol). Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila ormas (baca: NGO) tepat juga apabila disebut sebagai kekuatan keempat (fourth power) setelah kekuatan eksekutif, legislatif, dan 491
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 483 - 498
yudikatif. Dengan prinsip demokrasi partisipasi publik/rakyat berjalan dengan baik dalam segala bidang, baik pada proses pengisian jabatan-jabatan dalam struktur politik, maupun dalam proses penentuan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh berbagai struktur politik itu. Keberadaan ORMAS yang ada dan tersebar di DKI Jakarta tentunya dipandang sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat dengan menunjukan semangat mempersatukan kelompok-kelompok masyarakat dalam keterikatannya dengan politik hukum yang dibangun guna pembelajaran dan kesadaran hukum masyarakat ibu kota. Disisi lain, kurangnya kesadaran yang dimiliki oleh anggota ormas untuk mendukung dan mewujudkan pemerintahan yang bersih di provinsi DKI Jakarta merupakan aktifitas yang dinilai keliru atau bahkan salah oleh beberapa tokoh dan masyarakat. Dengan lemahnya sistem yang dibangun dalam menjalankan ORMAS, maka hal tersebut sangat mudah untuk dipengaruhi oleh beberapa pihak terkait dengan politik hukum yang berjalan di Indonesia. Keberadaan undang-undang yang mengatur pergerakan ORMAS dan partai politik, sudah pasti anggota ORMAS harus menjalankan tugas dan perannya sesuai dengan undang-undang yang telah mengaturnya masing-masing. Politik hukum sebagai faktor determinan keberadaan ormas di DKI Jakarta menjadi hal yang tak terbantahkan keberadaanya dan sebagai batu pijakan atas kebijakan-kebijakan menyangkut sepak terjang ormas saat in dan masa yang akan datang. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Ormas. Dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
492
2.
Rekonstruksi Peran Ormas Dalam Menciptakan Keamanan Dan Pembangunan Hukum Di Jakarta Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS). Ormas merupakan potensi kekuatan rakyat secara berkelompok, yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela tanpa pamrih dan mandiri untuk bersama-sama membangun masyarakat, bangsa dan negara. Hal dimaksud, peran ormas dalam menciptakan keamanan dan pembangunan hukum di Jakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS) adalah sebagai pengontrol dalam upaya menerapkan good corporate social dan community oleh pelaku ormas, pada saat yang sama, ada keinginan untuk mengimplementasikan good governance atau tata kelola pemerintah yang baik. Keterlibatan ORMAS dalam proses pembangunan baik dalam perencanaan, implementasi sampai dengan monitoring merupakan wujud partisipasi publik yang menjadi salah satu elemen penting dalam mewujudkan tatakelola pemerintahan yang baik (good governance) khususnya dalam era otonomi dan desentralisasi saat ini. Partisipasi tersebut juga memberikan peranan yangpenting dalam pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi mereka dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pembangunan yang berbasis masyarakat khususnya masyarakat lokal merupakan pembangunan yang melibatkan segenap sumber daya lokal secara optimal. Pembangunan yang dilaksanakan harus berorientasi kepada kepada kesejahteraan masyarakat. Pembangunan diwujudkan secara kemitraan dan membuka akses masyarakat lokal terhadap teknologi, pasar, pengetahuan manajemen dan lain-lain. Dalam melaksanankan program atau proyek pembangunan, diperlukan adanya peran serta atau partisipasi masyarakat terutama organisasi masyarakat sebagai elemen utama pembangunan yang berbasis masyarakat, sehingga proyek ataupun program pembangunan tersebut tepat sasaran yang mencapai target sebagimana yang telah direncanakan sebelumnya.
Rekonstruksi Peran Ormas Dalam Menciptakan Keamanan ...
Dinamika perkembangan Ormas dan perubahan sistem pemerintahan membawa paradigma baru dalam tata kelola ORMAS dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila merupakan dasar dan falsafah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, setiap warga Negara, baik secara individu maupun kolektif, termasuk Ormas wajib menjadikan Pancasila sebagai napas, jiwa, dan semangat dalam mengelola Ormas. Dalam undang-undang yang dimaksud dengan ORMAS yang selanjutnya disebut Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dantujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Dalam hal ini, di satu sisi Ormas bertujuan untuk: 1. Meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat. 2. Memberikanpelayanan kepada masyarakat. 3. Menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 4. Melestarikan dan memelihara norma, nilai, moral, etika, dan budaya yang hidup dalam masyarakat. 5. Melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup. 6. Mengembangkan kesetiakawanan sosial, gotong royong, dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. 7. Menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Di sisi lain, Ormas berfungsi : 1. Penyalur kegiatan sesuai dengan kepentingan anggotadan/atau tujuan organisasi 2. Pembinaan dan pengembangan anggota untuk mewujudkan tujuan organisasi. 3. Penyalur aspirasi masyarakat. 4. Pemberdayaan masyarakat. 5. Pemenuhan pelayanan sosial. 6. Partisipasi masyarakat untuk memelihara, menjaga, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. 6. Pemelihara dan pelestari norma, nilai,
Megawati Barthos
dan etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Peran ormas akan sangat menentukan arah demokrasi di Indonesia. Ormas-ormas yang mewakili berbagai kepentingan dan kelompok tersebut bisa dikatakan sebagai miniatur dari keberagaman luas dalam masyarakat Indonesia dan merupakan ujung tombak peran masyarakat dalam negara. Bagaimana ormas beraktifitas di dalam negara, akan menjadi model mikro interaksi sosial politik masyarakat Indonesia yang amat majemuk dan beragam. Dalam konteks pasca reformasi dan kondisi yang relatif stabil serta demokratis, kemajemukan yang luar biasa dalam berbagai masyarakat sipil (civil society) ini justru menjadi aset, dan bisa dilihat sebagai lahan test/ujian yang amat penting. Interaksi ormas-ormas sebagai wakil berbagai kepentingan akan menjadi indikator berhasil atau gagalnya masyarakat Indonesia yang majemuk untuk hidup berdampingan dan bekerja sama dalam perbedaan. Ormas secara spesifik sebagai bagian dari masyarakat sipil (civil society) dikatakan mempunyai peran kritis dan penting dalam membentuk fondasi masyarakat dan negara demokratis. Peran ini menjadi lebih penting lagi dalam konteks negara yang sangat majemuk seperti Indonesia. Peran penting ormas dalam kemajemukan sebagai berikut: 1. Ormas secara konkrit dan aplikatif berfungsi sebagai sarana penting untuk melaksanakan dan memajukan hak konstitusional warga negara Indonesia sesuai dengan UUD 45 pasal 28 mengenai hak kebebasan berserikat dan berkumpul serta berpendapat. 2. Ormas mempromosikan nilai-nilai pluralisme, yang karena kegiatan dan aktifitasnya harus mengakomodasi berbagai pihak dan kepentingan akan menciptakan masyarakat yang lebih toleran. 3. Ormas dapat mempromosikan stabilitas sosial dan kepastian hukum, dimana Undang-Undang yang mengaturnya mampu memberikan eksistensi secara legal dan perlindungan hukum selama ormas memenuhi aturan hukum dalam kegiatankegiatannya secara bertanggung jawab.
493
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 483 - 498
Peran ormas yang demikian penting dalam konsolidasi demokrasi Indonesia masih mengalami banyak tantangan. Ormas/LSM yang terdaftar di Badan Kesatuan Bangsa Dan Politik (Bakesbangpol) Provinsi DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta hingga 2014 berjumlah 1.496, menunjukkan bahwa konsep politik hukum yang berjalan di ibukota telah berjalan. Tetapi di tengah pertumbuhan ormas tersebut terlihat masih banyak permasalahan peran ormas dalam kerangka hukum yang ada. Ormas perlu dibedakan mana yang sah beraktifitas dan mana yang tidak sesuai dengan kehidupan demokratis di Indonesia. Kelompok masyarakat apapun yang secara aktif berkecimpung dan menyentuh ranah publik/negara, otomatis merupakan bagian dari civil society. Hak partisipatif kelompok dalam ranah publik tidak dapat diberikan tanpa adanya komitmen untuk melaksanaan kewajibannya. Ormas dalam alam bebas demokrasi rentan terhadap penyalahgunaan (abuse) dan penyimpangan (misuse). Penyalahgunaan ormas sebagai tempat praktik pencucian uang, dan penyimpangan ormas sebagai wadah gerakan terorisme serta gerakan-gerakan radikal yang mengancam kesatuan negara terlihat meningkat dalam kurun sepuluh tahun terakhir. Ormas yang seharusnya berperan positif dalam hubungan antar masyarakat Indonesia yang majemuk malah menjadi sumber opresi horizontal dengan melakukan kekerasan, antara lain pelanggaran hukum berat atas nama penegakkan nilai agama (contohnya: kasus warga Ahmadiyah di Cikeusik, kekerasan pada kelompok pendukung kebebasan beragama di Monas, dan sebagainya). Ormas biasa juga ditemukan mendapat konotasi negatif dari masyarakat luas karena ulah-ulah ormas yang tidak bertanggungjawab dan mengganggu ketertiban umum. Aksiaksi kelompok-kelompok “ormas” tersebut bahkan menciptakan persepsi publik bahwa demokrasi dan kebebasan semenjak reformasi sudah “kebablasan”. Aksi kekerasan dan anarkis organisasi-organisasi masyarakat yang mengatas-namakan agama meningkat, sedangkan pemerintah dan penegak hukum kewalahan bertindak tegas sesuai hierarki hukum yang ada. Ketidakmam494
puan aparat negara dalam menjaga keamanan/ ketertiban serta menindak tegas ormas pelaku kekerasan menciptakan keresahan masyarakat dan menurunnya kepercayaan terhadap negara. Kurang tegasnya pemerintah dan penegak hukum mungkin saja disebabkan alasan politis atau dikarenakan kepentingan dan alasan-alasan tertentu.Namun pada dasarnya bisa dilihat dua alasan normatif dan mendasar yang menjadi alasan kebingungan dan kegamangan pemerintah dalam bertindak tegas. Pertama, kontradiksi yang ada di antara Undang-Undang yang satu dengan yang lain sering menjadi kebingungan penegak hukum yang belum terbiasa mengacu kepada konstitusi sebagai hukum yang tertinggi. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS) yang khusus mengatur ormas juga belum mewakili kondisi demokratis Indonesia saat ini. Kedua, pemahaman dan konsep-konsep demokratis dalam perundang-undangan dan aplikasinya masih merupakan paradigma baru. Pemahaman dan konsep ini selain belum tersirat dalam Undang-Undang tersebut, dan juga belum digunakan dalam cara berpikir pemerintah dalam menanggapi permasalahan-permasalahan yang ada. Organisasi keagamaan yang hanya bersifat internal bagi anggota-anggotanya, seperti organisasi gereja (misal: HKBP, Sinode gereja, dll), secara umum juga tidak merupakan ormas (civil society organization). Walaupun sebaliknya organisasi keagamaan yang merupakan wajah publik bagi anggota-anggotanya dan berkecimpung dalam ranah publik/negara (misal: Muhammadiyah, MUI, PGI) merupakan bagian dari civil society. Intinya ormas merupakan wadah konkrit masyarakat sipil (civil society) yang berfungsi sebagai perantara/penghubung ranah individual anggotanya kepada publik dan negara (state). Organisasi atau kelompok yang beraktifitas dalam ranah negara dan publik telah menjadi bagian civil society, yang artinya harus menghargai hak-hal konstitusional warga negara lainnya dan mengakui kesetaraan di hadapan hukum. Saat ini Ormas tugasnya; pertama, membina dan membimbing anggotanya dan masyarakat sekelilingnya. Kedua, menyampaikan aspi-
Rekonstruksi Peran Ormas Dalam Menciptakan Keamanan ...
rasi dan kepentingan anggotannya dan masyarakat sekelilingnya kepada pemerintah atau pihak lainnya yang terkait. Selanjutnya Pemerintah membina dan membimbing Ormas, maka terdapat serangkaian pembinaan dan pembimbingan yang bertingkat, yaitu Pemerintah terhadap Ormas dan Ormas terhadap anggotannya dan masyarakat sekelilingnya. Ormas akhirnya memperoleh tugasnya yang mulia, yaitu membina dan membimbing anggota dan masyarakat sekelilingnya, meningkat dari tugasnya dimasyarakat sipil yang tadinya ikut mengimbangi kekuasaan Pemerintah dan pasar. Walaupun Pemerintah membina dan membimbing Ormas, tetapi Ormas tidak harus tunduk dan mengikuti apa saja kehendak Pemerintah. Ormas harus tetap jadi penyeimbang kepada kekuasaan Pemerintah dan pasar. Oleh karena itu, Ormas yang menjadi organisasi sayap parpol tidak layak mendapat dukungan Pemerintah, karena kalau parpol yang bersangkutan jadi pemenang Pemilu (jadi penguasa), tentu saja fungsi Ormas tersebut tidak akan dapat melakukan kontrol sosial kepada parpol yang sedang berkuasa yang induk Ormas tersebut. Kemendagri mencatat jumlah Ormas di Indonesia sekarang ada 139.957 organisasi. Keberadaan ormas-ormas ini akan ditata ulang. Kesbangpol Kemendagri menyatakan saat ini Kementrian Dalam Negeri mempersiapkan tujuh peraturan pemerintah (PP) sebagai turunan dari UU ORMAS (Ormas). Peraturan pemerintah itu nantinya akan mengatur Ormas-ormas di Indonesia. Sekarang, jumlah Ormas tercatat dengan rincian; 65.577 Ormas di bawah kendali Kemendagri, 25. 406 Ormas di bawah Kementrian Sosial, 48.866 Ormas di bawah Kementrian Hukum dan HAM, dan 108 Ormas Asing di Kementrian Luar Negeri. Ormas dan LSM merupakan kekuatan bangsa dalam menegakkan proses demokratisasi. Namun akan disayangkan jika cara-cara yang digunakan dalam menjalankan aktivitasnya melanggar hukum dan merusak infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat. Ekspresi kebebasan manusia dalam bentuk organisasi, tersalurkan dalam negara demokrasi, sehingga terlahir ORMAS (Ormas) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Dengan demikian Ormas dan LSM hanya tumbuh dalam negara demokratis. De-
Megawati Barthos
mokrasi pada hakekatnya berada di antara kutub otoriter dan anarkhi, karenanya untuk menjadi masyarakat yang benar-benar demokratis secara kualitatif perlu menjaga keseimbangan itu, baik di ranah suprastruktur maupun infrastruktur. Sebagai Negara yang berdaulat tidak ada aktivitas masyarakat, kelompok atau organisasi apapun yang berhak luput dari kontrol negara, demi ketenteraman dan kesejahteraan masyarakatnya. Untuk itu perlu keterbukaan informasi terkait kegiatan/aktivitas Ormas dan LSM dengan dana bantuan luar negeri serta transparansi sumber dan penggunaan dananya. Jangan sampai kegiatan Ormas/LSM yang dibiayai dana asing itu mengganggu roda perekonomian, mengganggu kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara serta stabilitas dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Semua ini sebagai fenomena nasionalisme, yang implementasinya bersifat subjektifitas, sebab di negara manapun di dunia ini, parameter nasionalisme bukan objektifitas maupun universalitas. ORMAS sebagai organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga Negara Indonesia secara sukarela berdasarkan kesamaan tertentu dan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 disebutkan bahwa ORMAS merupakan organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesaruan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Sebagai organisasi yang anggotanya adalah masyarakat warga negara serta memiliki kultur dan struktur yang dekat dengan keseharian masyarakat, ORMAS memiliki peran besar dalam suatu konflik sosial, baik memicu konflik ataupun menyelesaikan konflik sosial. ORMAS mampu menggerakan anggotanya menjadi massa yang tidak rasional dalam suatu konflik sosial. Sebaliknya, ORMAS juga memiliki kekuatan untuk mencegah terjadinya konflikdan menyelesaikan konflik dengan cara damai. Sesuai dengan arah revitalisasi peran ormas untuk menegakkan nilai Bhinneka Tunggal 495
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 483 - 498
Ika serta dalam menciptakan keamanan dan pembangunan hukum di Jakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang ORMAS, maka nampak jelas bahwa peran ormas sesungguhnya dalam menciptakan keamanan dan pembangunan hukum di Ibu Kota adalah sebagai berikut: a. Mampu menjaga hubungan yang dijalin tidak bersifat intervensi dan instruktif, melainkan menempatkan ormas dalam posisi yang lebih sejajar melalui proses dialogis dan partisipatif dalam pembentukan dan pelaksanaan kebijakan. b. Mendorong ormas bersifat inklusif dan mandiri serta terbuka untuk melakukan dialog dengan anggota atau ormas yang lain. c. Mendorong dan memfasilitasi pelaksanaan program dan kegiatan ormas yang mengarah pada peningkatan sikap saling menghormati (mutual respect) dan saling percaya (mutual trust) antar anggota masyarakat dan antar ormas. d. Menjadikan ormas yang bersifat inklusif sebagai patner dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah untuk menegakkan nilai Bhinneka Tunggal Ika dan mencegah terjadinya konflik sosial. e. Mendorong peran ormas sebagai media bagi anggota masyarakat untuk menyelesaikan konflik sosial secara damai. f. Mendorong peningkatan komunikasi dan dialog antar ormas untuk mendiskusikan dan menyelesaikan permasalahan kemasyarakatan. g. Menumbuhkan etika berorganisasi dan etika politik guna mencegah konflik politik memasuki wilayah ormas. 3.
Peran Pemerintah Daerah Dalam Memperkuat Ormas Untuk Mewujudkan Tujuan Pembangunan Hukum di DKI Jakarta Ormas merupakan organisasi non pemerintah yang didirikan oleh masyarakat untuk tujuan tertentu, terutama untuk ikut memberikan andil dalam pembangunan. Untuk itu, ada beberapa catatan yang penting untuk dikemukakan dan perlu diatur dalam UU Ormas nanti, juga dalam rangka un496
tuk mengupayakan relasi ang baik antara Pemerintah dan Ormas yang tak lagi dipenuhi kecurigaan dan ketidakpercayaan. Juga, supaya juga ada sinergisitas yang baik di masa depan antara Pemerintah dan Ormas untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Catatan tersebut adalah sebagai berikut : Pertama, Pemerintah seharusnya bertindak sebagai fasilitator.Pemerintah harus menyiapkan fasilitas bagi pertumbuhan dan perkembangan serta keterlibatan Ormas dalam kegiatankegiatan keseharian masyarakat. Kedua, Ormas harus menjadi lembaga yang mandiri dan independen. Ia tak boleh menjadi agen yang semata-mata dikendalikan oleh Pemerintah atas dasar bantuan yang diberikan. Kerjasama dengan Pemerintah tak mesti membuat Ormas kehilangan daya kritis terhadap program pembangunan yang tak berpihak kepada kepentingan rakyat banyak. Peran Ormas sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan nasional merupakan kebutuhan yang tak bisa ditawar-tawar. Dan sebagai lembaga independen, Ormas harus menjadi mitra kritis Pemerintah. Ketiga, kerjasama Ormas dengan pemerintah harus dipandang sebagai kewajiban pemerintah, di satu sisi, dan merupakan hak Ormas, di sisi lain. Hal ini perlu ditegaskan untuk menghindari kesalah pahaman dalam relasi antara Pemerintah dan Ormas, seperti yang selama ini terjadi. Dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2013, ditegaskan bahwa ormas mempunyai fungsi sebagai penyalur kegiatan sesuai dengan kepentingan anggota dan atau tujuan organisasi; pembinaan dan pengembangan anggota untuk mewujudkan tujuan organisasi; penyalur aspirasi masyarakat; pemberdayaan masyarakat; pemenuhan pelayanan sosial; partisipasi masyarakat untuk memelihara pelestarian norma, nilai dan etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pembinaan ormas yang seyogyanya dilaksanakan oleh pemerintah daerah diera otonomi daerah dan pembangunan demokrasi antara lain, kesatu, Adanya kesepakatan terhadap nilai nilai dasar, ideologi dan cita cita untuk bersatu menjadi suatu bangsa (integrasi normatif), kedua, adanya rasa ketergantungan fungsional dan
Rekonstruksi Peran Ormas Dalam Menciptakan Keamanan ...
manfaat fungsional yang konkrit dari tiap ormas dengan terintegrasi dalam satu kesatuan (integrasi fungsional), ketiga, adanya kekuatan dalam menjaga komitmen tiap ormas untuk menciptakan ke stabilan dan keteraturan (integrasi koersif). Dalam situasi sekarang, kebijakan pemerintah daerah harus lebih banyak bersifat memfasilitasi daripada memaksakan peraturan peraturan di masyarakat lokal. Namun pada dasarnya bisa dilihat dua alasan normatif dan mendasar yang menjadi alasan kebingungan dan kegamangan pemerintah e. dalam bertindak tegas. Pertama, kontradiksi yang ada di antara Undang-Undang yang satu dengan yang lain sering menjadi kebingungan penegak hukum yang belum terbiasa mengacu kepada konstitusi sebagai hukum yang tertinggi. Undang-Undang No. 8 tahun 1985 tentang ORMAS yang khusus mengatur ormas juga sudah tidak sesuai dengan kondisi demokratis Indonesia saat ini. Kedua, pemahaman dan konsep-konsep demokratis dalam perundang-undangan dan aplikasinya masih merupakan paradigma baru. Pemahaman dan konsep ini selain belum tersirat dalam Undang-Undang lama, dan juga belum digunakan dalam cara berpikir pemerintah dalam menanggapi permasalahan-permasalahan yang ada. Misalnya terlihat adanya kerancuan antara melindungi hak kebebasan menjalankan agama dan hak kebebasan berserikat dan berkumpul. Peran pemerintah daerah dalam memperkuat ormas untuk pembangunan hukum di Jakarta sangat mutlak diperlukan, diantaranya : a. Pemerintah perlu melakukan perubahan paradigma dalam mengelola negara, dari orientasi elit political base berubah tekanan ke community base. Dan, gaya pemerintahan yang otoritarianis dan represif model Orde Baru tak lagi memiliki tempat dalam iklim demokrasi yang menjadi syarat utama pengelolaan pemerintahan di zaman Orde Reformasi ini; b. Pemerintah perlu melakukan reformasi pengelolaan negara berdasarkan prinsipprinsip akuntabilitas, partisipatif dan transparansi. Nilai-nilai ini bertentangan dengan prinsip-prinsip pengaturan Or-
Megawati Barthos
mas yang tertuang dalam isi UU No. 17/ 2013. c. Peran Ormas sebagai social capital dalam pengembangan civil society tidak lagi sekadar sebagai alat untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan pemerintah seperti yang terjadi dulu. d. Pemerintah perlu melakukan harmonisasi dan sinkronisasi dengan UU lain, khususnya UU yang lahir di era reformasi, agar langgam gerak Ormas seirama dengan pembangunan demokrasi secara menyeluruh. H. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan seluruh pembahasan penulisan hasil penelitian disertasi ini maka dapat disimpulkan dan saran sebagai berikut. 1. Kesimpulan a. Politik hukum terhadap keberadaan ORMAS di Jakarta dipandang sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat dengan menunjukan semangat mempersatukan kelompok-kelompok masyarakat yang dibangun guna pembelajaran dan kesadaran hukum masyarakat ibu kota. b. Rekonstruksi peran ormas untuk menanamkan nilai Bhinneka Tunggal Ika serta dalam menciptakan keamanan dan pembangunan hukum di Jakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang ORMAS, maka nampak jelas bahwa peran ormas sesungguhnya dalam menciptakan keamanan dan pembangunan hukum di Ibu Kota. c. Peran pemerintah daerah dalam memperkuat ormas untuk pembangunan di DKI Jakarta sangat mutlak diperlukan, diantaranya : 1). Pemerintah melakukan perubahan paradigma dalam mengelola negara, dari orientasi elit political base berubah tekanan ke community base. 2). Pemerintah melakukan reformasi pengelolaan negara berdasarkan prinsip-prinsip akuntabilitas, partisipatif dan transparansi. 3). Peran Ormas sebagai social capital dalam pengembangan civil society ti497
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 483 - 498
dak lagi sekadar sebagai alat untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan pemerintah seperti yang terjadi dulu. 4) Dinamika Ormas saat ini memang memerlukan bentuk hukum baru sebagai landasan untuk menjalankan perannya bagi pembangunan masyarakat. 2. Saran Adapun saran yang dapat penulis sampaikan sebagai alternatif pemecahan masalah adalah sebagai berikut : a. Diharapkan ormas untuk dapat meningkatkan kinerjanya dalam mengontrol kebijakan pemerintah provinsi DKI Jakarta, meningkatkan sumberdaya manusia (SDM) dalam proses organisasi, maupun
menjadi penyambung aspirasi antara pihak pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan masyarakat kota Jakarta. Sebagai penyalur aspirasi rakyat, ormas diharapkan lebih peka terhadap berbagai permasalahan yang di hadapi di kalangan masyarakat. b. ORMAS di Provinsi DKI Jakarta diharapkan memiliki fungsi sebagai sarana penyalur aspirasi anggota, dan sebagai sarana komunikasi social timbal balik. c. Terkait dengan beberapa pelanggaran yang dilakukan beberapa ormas di Provinsi DKI Jakarta, pemerintah diharapkan memiliki ketegasan dan menindak tegas serta memberi sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
Daftar Pustaka Jimly Asshiddiqie, (2006), Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstiusi, Jakarta: Konstitusi Press. --------, (2009), Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara Indonesia. Jakarta: Makalah Seminar, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Lawrence W. Friedman, (1984), American Law: An invaluable guide to the many faces of the law, and how it affects our daily our daily lives, W.W. Norton & Company, New York, dan pada Legal Culture and Social Development, Stanford Law Review, New York, p. 1002-1010 serta dalam Law in America: a Short History, Modern Library Chronicles Book, New York, 2002. Mochtar Kusumaatmadja, (2002), Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan Karya Tulis) , Bandung: Alumni. Mochtar Kusumaatmadja, (1986). Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bandung: Binacipta. ---------, (1995), Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasio-nal, Bandung: Binacipta. ---------, (2001), Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pemba-ngunan Nasional, Bandung: Bina Cipta. Moh. Mahfudz MD, (1996), Perkembangan Politik Kebangsaan Dan Produk Hukum Otonomi Daerah dalam Naionalisme; refleksi kritis kaum ilmuwan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. --------, (1999) Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogya-karta: Gama Media. --------, (2006) Politik hukum di Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. --------, (2010) Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers. Satjipto Rahardjo, (2000) Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti.
498
MEWUJUDKAN PERADILAN UMUM YANG AGUNG MELALUI AKREDITASI PENJAMINAN MUTU oleh: Herri Swantoro Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung RI A. Pendahuluan Mahkamah Agung dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035 telah menetapkan visi “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia Yang Agung” atau Indonesian Court Performance Excellence (ICPE). Badan Peradilan Umum (Badilum) sebagai salah satu unit eselon I di bawah MA menerjemahkannya menjadi “Terwujudnya Kemandirian Peradilan Umum yang Agung” melalui upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia tenaga teknis dan peningkatan pelayanan di bidang administrasi kepada masyarakat. Ketua Mahkamah Agung dalam pidato tertulisnya pada peringatan hari jadi MA yang ke-71 menekankan pentingnya disiplin dan etos kerja seluruh aparatur pengadilan, baik hakim maupun non hakim. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 7, 8, dan 9 Tahun 2016 menjadi titik tolak dari pidato tersebut. Perma No. 7 mengatur penegakan disiplin kerja hakim, Perma No. 8 berisi tentang pengawasan dan pembinaan, serta Perma No. 9 mengatur tentang pedoman penanganan pengaduan masyarakat. Ketiga regulasi tersebut merupakan respon atas adanya ulah yang tidak profesional dari beberapa oknum aparat peradilan yang terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu. Pencapaian suatu peradilan yang agung didukung oleh terpenuhinya unsur-unsur sebagai berikut: (1) tata organisasi yang jelas dan terukur; (2) proses perkara yang sederhana, cepat, tepat waktu, biaya ringan, dan proporsional; (3) lingkungan kerja yang kondusif; (4) Sumber Daya Manusia yang kompeten; (5) pengawasan yang efektif; (6) pelayanan publik prima; (7) manajemen informasi handal; (8) berbasis teknologi informasi; (9) kekuasaan yang indepen-
den, efektif, dan berkeadilan; serta (10) anggaran berbasis kinerja. B. Akreditasi Badilum Tidak dapat dipungkiri bahwa semangat yang terkandung dalam ketiga perma di atas adalah bagian dari Akreditasi Penjaminan Mutu (APM) Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Badilum) yang bertujuan mewujudkan performa peradilan Indonesia yang unggul (ICPE). Dengan sistem skoring, terdapat 7 (tujuh) kriteria yang harus dipenuhi untuk dapat meraih sertifikat penjaminan mutu dari Badilum yakni Leadership, Strategic Planning, Customer Focus, Document System, Resource Management, Process Management, dan Performance Results. Sistem penjaminan mutu ini telah disesuaikan dengan standar Sertifikasi ISO 90012008 (sekarang ISO 9001-2015) dan diperkaya dengan penerapan International Framework for Court Excellence, Pelaksanaan Reformasi Birokrasi, dan standar pengawasan dari Badan Pengawas MA. Program Akreditasi Penjaminan Mutu telah berlangsung sejak tahun 2015. Program ini diawali dengan penerbitan Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor: 1639 / DJU / SK / OT.01.1 /9 /2015 Tahun 2015 Tentang Pembentukan Tim Akreditasi Penjaminan Mutu Badan Peradilan Umum Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Tahun Anggaran 2015. Sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2016 Badilum telah memberikan sertifikat kepada 67 (enam puluh tujuh) pengadilan negeri dan 7 (tujuh) pengadilan tinggi. Badilum sebagai institusi yang diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap Pengadilan Tinggi maupun Pengadilan Negeri tentunya akan memberikan perhatian yang besar atas ko499
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 1, Nopember 2016, hal. 499 - 501
mitmen seluruh insan yang terlibat dalam program akreditasi ini, serta mempertimbangkan pencapaian ini sebagai prestasi yang patut untuk diberikan penghargaan. Akreditasi Penjaminan Mutu diartikan sebagai penjaminan mutu pelayanan kepada pencari keadilan, Akreditasi Penjaminan Mutu merupakan salah satu cara dalam mewujudkan ICPE, selain 2 (dua) cara lainnya, yakni melalui evaluasi diri dan sertifikasi. Akreditasi merupakan suatu penilaian menyeluruh yang dilakukan oleh Tim Audit Penjaminan Mutu (TAPM) Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum untuk menentukan peringkat pengakuan terhadap kualitas penyelenggaraan seluruh aktivitas penjaminan mutu pada Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. Evaluasi diri merupakan kegiatan refleksi terhadap keadaan diri sendiri berdasarkan data maupun fakta yang ada, baik itu kekuatan, keterbatasan, peluang/kesempatan dan ancaman (strength, limitation, opportunity and threat) yang dilaksanakan oleh seluruh jajaran pada pengadilan dan ditindaklanjuti dengan membangun semangat perubahan (improvement to change). Sedangkan sertifikasi adalah keputusan Komite Pengambil Keputusan Akreditasi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum atas penilaian hasil audit/assessment Pengadilan Tinggi atau Pengadilan Negeri dalam bentuk pemberian sertifikat akreditasi. Akreditasi dimulai dari adanya keinginan dari semangat insan pengadilan yang bersangkutan untuk membangun suatu perubahan (improvement to change). Semangat tersebut kemudian dituangkan dalam dokumen permohonan akreditasi yang terdiri dari berbagai syarat yang selanjutnya disampaikan kepada Tim Audit Penjaminan Mutu (TAPM). Dalam hal persyaratan dipandang lengkap maka TAPM akan melakukan kunjungan (on site visit) ke pengadilan tersebut. Atas kunjungan tersebut selanjutnya TAPM akan menyusun laporan kunjungan berupa laporan audit. Laporan tersebut kemudian disampaikan kepada Komite Keputusan Akreditasi (KKA). Komite terus melakukan pengawasan sekaligus melakukan survei kepuasan pelanggan kepada masyarakat sebanyak 2 (dua) kali. Apabila hasil survei membuktikan bahwa penyelenggaraan seluruh aktivitas di pengadilan dimaksud telah memenuhi syarat maka Komite 500
akan menyetujui akreditasinya. Proses akreditasi ini berlangsung rata-rata selama 3 (tiga) tahun. C. Berbasis Teknologi Informasi Dalam praktiknya sehari-hari layanan administrasi peradilan bertumpu pada 2 (dua) bagian besar, yaitu kesekretariatan dan kepaniteraan. Kedua bagian tersebut memegang peranan yang sangat besar dalam menunjang pelaksanaan fungsi badan peradilan secara administratif. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah perkara yang ditangani oleh suatu pengadilan pada umumnya melebihi kapasitas dari sumber daya manusia yang tersedia pada pengadilan tersebut, baik tenaga hakimnya, panitera, maupun panitera penggantinya. Kondisi seperti inilah yang menjadi latar belakang perlunya dilakukan inovasi dalam tata kelola badan peradilan. Terdapat 2 (dua) pendekatan yang dapat digunakan untuk mewujudkan Badilmintun Yang Agung, yakni melalui penerapan: 1. Case Management System (CMS). Ini merupakan sistem informasi yang dirancang untuk penanganan perkara mulai dari pemberian informasi tentang prosedur beracara, penyampaian permohonan secara on-line, perkembangan penanganan perkara, jadwal sidang, risalah sidang, dan putusan. Di masa mendatang, pendaftaran gugatan idealnya dapat dilakukan secara on-line sehingga praktikpraktik pungli untuk mempersulit para pencari keadilan dapat dicegah dan diberantas. Seluruh informasi mengenai pendaftaran, persidangan, dan putusan disampaikan secara on-line, baik melalui e-mail maupun fitur pada aplikasi telepon seluler (gadget). Selain itu apabila dibutuhkan pada keadaan mendesak maka dapat dilakukan persidangan melalui tele-conference. Dalam hal adanya pembayaran biaya perkara maka seluruh pembayarannya harus dilakukan melalui lembaga perbankan. Perbankan yang ditunjuk selanjutnya akan menginformasikan secara harian kepada kepaniteraan pengadilan mengenai biaya-biaya perkara yang telah dibayarkan agar dicocokkan dengan permohonan pendaftaran perkara yang diajukan. Apabila sesuai
Mewujudkan Peradilan Umum Yang Agung ...
maka perkara dimaksud dapat segera diproses administrasinya untuk pemeriksaan selanjutnya. Untuk tersedianya CMS yang efektif dan efisien maka kesekretariatan pengadilan perlu mempersiapkan ruang sidang dan keamanan sidang yang memadai secara kualitas dan kuantitas, jadwal sidang yang dapat diakses secara terbuka, serta anggaran yang mencukupi untuk segala keperluan penerapan CMS tersebut. 2. Audio to Text Recording (ATR). Aplikasi ini berfungsi untuk mengubah suara menjadi bentuk teks atau tulisan. Selain itu aplikasi ini juga dapat digunakan untuk merekam dialog antar pihak selama proses persidangan yang kemudian dirubah menjadi teks atau tulisan. Aplikasi ini akan mewujudkan transparansi dan akuntabilitas serta membangun kepercayaan masyarakat terhadap kinerja lembaga peradilan. ATR sangat membantu hakim dalam membuat putusan, dan membantu panitera dalam membuat Berita Acara Persidangan (berguna untuk proses persidangan selanjutnya), secara cepat sehingga berkas perkara yang diputus bisa segera disampaikan kepada para pihak. Idealnya pada masa mendatang setiap ruang sidang pengadilan memiliki ATR. Pengembangan aplikasi
Herri Swantoro
ATR akan menjadi tanggung jawab bagian kepaniteraan pengadilan. D. Penutup Strategi Badilum dalam mewujudkan Visi MA dibangun berdasarkan konsep “Bottom Up” dimana pencapaian ICPE dimulai dari pengadilan tingkat pertama kemudian ke tingkat banding yang pada akhirnya akan mendorong terwujudnya Visi Mahkamah Agung secara menyeluruh. Dalam kesempatan ini Badilum mengajak dan mendorong pengadilan negeri lainnya untuk segera mengajukan permohonan akreditasi ke Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum. Dalam hal ini dibutuhkan komitmen yang kuat dari semua pihak tanpa kecuali apabila MA ingin mencapainya sebelum tahun 2035. Badilum juga mengajak civitas akedemik seluruh universitas di nusantara untuk membuka jurusan maupun program studi dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang mendukung pengembangan dan pelaksanaan program akreditasi penjaminan mutu tersebut demi melahirkan sumber daya manusia sarjana yang terampil dan berintegritas untuk bergabung menjadi aparatur peradilan. Aparatur peradilan yang handal dan profesional sangat diperlukan dalam Reformasi Birokrasi dan Akreditas Penjaminan Mutu yang sedang dijalankan Badilum khususnya dan MA pada umumnya.
501
Petunjuk Penulisan
Jurnal Ilmu Hukum Lex Publica Asosiasi Pimpinan Pendidikan Tinggi Hukum Indonesia PETUNJUK PENULISAN 1. Naskah yang diterima adalah artikel yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya. naskah dapat berupa jurnal laporan hasil suatu penelitian atau artikel ulasan (review). Naskah ditulis dengan Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. 2. Naskah diketik pada kertas ukuran A4 (210 x 297 mm) dengan jarak antar baris 1 spasi. Batas pengetikan dari tepi kertas diatur sebagai berikut: - Tepi atas : 3 cm - Tepi bawah : 2.5 cm - Tepi kiri : 3 cm - Tepi kanan : 2.5 cm 3. Naskah diketik dengan mempergunakan jenis huruf Times New Roman dengan spesifikasi ukuran huruf sebagai berikut: - Judul naskah : ukuran huruf 14 point - Nama penulis, keterangan lembaga penulis, abstrak dan kata kunci: ukuran huruf 12 point - Isi naskah : ukuran huruf 12 point - footnote : ukuran huruf 10 point - Daftar pustaka : ukuran huruf 12 point 4. Format penulisan mempergunakan format satu kolom. Naskah setiap halaman diberi nomor berurutan, minimal 20 halaman dan maksima130 halaman. Naskah dikirim melalui email atau file dalam CD ke: Redaksi Jurnal Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi Hukum. Jl. Raya Kalimalang No. 1, Jakarta Timur Email:
[email protected] 5. Naskah disusun secara berurutan terdiri atas: - Judul artikel - Nama lengkap penulis (tidak disingkat) - Afiliasi penulis (instansi tempat penulis bekerja dan alamat email untuk korespondensi) - Abstrak dan kata kunci (dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris) - Latar belakang - Pembahasan - Kesimpulan - Daftar pustaka - Tabel dan gambar apabila ada 6. Deskripsi bagian naskah a. Judul dicetak tebal (bola) dengan huruf kapital. Judul maksimum terdiri dari 12 kata untuk Bahasa Indonesia dan 10 kata untuk Bahasa Inggris. Nama penulis ditulis lengkap tanpa gelar, lembaga tempat penulis bekerja, dan alamat email. Contoh: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENCIPTA BERKAITAN DENGAN KARYA ILMIAH DI INDONESIA Azis Budianto, SH. MS Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya Email:
[email protected] 502
Petunjuk Penulisan
b. Setiap artikel harus disertai satu paragraf abstrak (bukan ringkasan yang terdiri atas beberapa paragraf) dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris yang secara gamblang, utuh, dan lengkap menggambarkan esensi isi keseluruhan tulisan. c. Materi muatan artikel terdiri dari latar belakang (berisi tentang permasalahan dan metode penelitian jika tulisan merupakan hasil penelitian), pembahasan, dan kesimpulan. d. Contoh tata aturan penulisan footnote sebagai berikut: 1. Buku Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit INDHILL.CO, Jakarta, 1992, hlm. 3. C. De Rover, To Serve and To Protect (Acuan Universal Penegakan HAM), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 51. 2. Buku karya terjemahan Scholten, Paul, De Structuur Dere Rechtswetenschap, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan oleh Arief Sidharta, Bandung, Alumni, 2011, hlm. 7. 3. Buku yang berisi kumpulan artikel Mahmod Thoha (Ed), Dampak Persetujuan Putaran Uruguay-GATT Terhadap Industri Kecil, UI Press, Jakarta, 1998, hlm. 89. 4. Skripsi, tesis atau disertasi Jazim Hamidi, Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2005, Tidak dipublikasikan, hlm. 2. 5. Artikel dalam buku kumpulan artikel Moh Fadli, Nondelegationdoctrine dan Peraturan Delegasi di Indonesia, Susi Dwi Harijanti (Eds), Negara Hukum yang Berkeadilan Kumpulan Pemikiran dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr H. Bagir Manan, Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (PSKN FH UNPAD), Bandung, 2011, h1m. 33. 6. Artikel dalam jurnal Moh. Fadli, Program Legislasi Nasional (Prolegnas): Ketersiapan Data dan Optimalisasi Kinerja DPR, Jurnal Konstitusi, Volume IV No. 1, Juni 2011, PPK Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2011, hlm. 20. 7. Artikel dalam majalah atau koran Bartens, K., 11 Agustus 2003, Aborsi Di Tengah Polarisasi "Pro Life "-"Pro Choice", Kompas, hlm. 89. 8. Artikel dalam majalah atau koran tanpa penulis Jawa Pos, 22 April 1995, Wanita Kelas Bawah Lebih Mandiri, hlm. 4. 9. Makalah Ni'matul Huda, Penulisan Laporan Penelitian untuk Jurnal, makalah disajikan dalam Lokakarya Penelitian Tingkat Dasar Bagi Dosen PTN dan PTS di Malang Angkatan XIV, Pusat Penelitian IKIP Malang, Malang, 12 Juli 2004, hlm. 53. 10. Artikel internet Ali Safaat, Penafsiran Konstitusi (online), http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/11/ Penafsiran-Konstitusi.pdf, diakses 3 Februari 2013. Kennedy, DC., In Search of Balance Between Police Power and Privacy in The Cybercrime Treaty (online), The Richmond Journal Law and Technology, http:// www. richmond. jlt.htmU185.htm, diakses 12 Januari 2003. 11. Dokumen resmi pemerintah Arsip dan Dokumentasi, Risalah Rapat Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undangundang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tanggal 23 Februari 2011, Jakarta, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2011, hlm. 7. 503
Petunjuk Penulisan
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Pedoman Penulisan Laporan Penelitian, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978, hlm. 88. 12. Peraturan Perundang-undangan Pasa15 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 7. Contoh tata aturan penulisan daftar pustaka sebagai berikut: Buku Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit IND-HILL. CO, Jakarta. C. De Rover, 2000, To Serve and To Protect (Acuan Universal Penegakan HAM), Raja Grafindo Persada, Jakarta. Jazim Hamidi, 2005, Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi program Doktor Ilmu Hu kum pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Tidak dipublikasikan. Mahmod Thoha (Ed), 1998, Dampak Persetujuan Putaran Uruguay-GATT Terhadap Industri Kecil, UI Press, Jakarta. Moh. Fadli, 2011, Nondelegationdoctrine dan Peraturan Delegasi di Indonesia, Susi Dwi Harijanti (Eds), Negara Hukum yang Berkeadilan Kumpulan Pemikiran dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. H. Bagir Manan, Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (PSKN FH UNPAD), Bandung. Scholten, Paul, 2011, De Structuur Dere Rechtswetenschap, Struktur IImu Hukum, Terjemahan oleh Arief Sidharta, Bandung, Alumni. Jurnal dan Artikel Bartens, K., 11 Agustus 2003, Aborsi Di Tengah Polarisasi "Pro Life"-"Pro Choice", Kompas. Jawa Pos, 22 April 1995, Wanita Kelas Bawah Lebih Mandiri. Moh. Fadli, 2011, Program Legislasi Nasional (Prolegnas): Ketersiapan Data dan Optimalisasi Kinerja DPR, Jurnal konstitusi, Volume IV No. 1, Juni 2011, PPK Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Makalah Arsip dan Dokumentasi, 2011, Risalah Rapat Panitia ysus (Pansus) Rancangan Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tanggal 23 Februari 2011, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta. Ni'matul Huda, 2004, Penulisan Laporan Penelitian untuk Jurnal, makalah disajikan dalam Lokakarya Penelitian Tingkat Dasar Bagi Dosen PTN dan PTS di Malang Angkatan XIV, Pusat Penelitian IKIP Malang, Malang. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1978, Pedoman Penulisan Laporan Penelitian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perindangundangan. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. 504
Petunjuk Penulisan
Artikel Internet Ali Safaat, Penafsiran konstitusi (online), http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/11/ Penafsiran-Konstitusi.pdf. Kennedy, DC., In Search of Balance Between Police Power and Privacy in The Cybercrime Treaty (online), The Richmond Journal Law and Technology, http:// www. richmond.jlt.htm185.htm. 8. Redaksi berhak melakukan penyuntingan melalui Dewan Penyunting tanpa mengubah isi dan makna redaksi. Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap isi naskah.
505