Petunjuk Penulisan
JURNAL ILMIAH
LEX PUBLICA ASOSIASI PIMPINAN PENDIDIKAN TINGGI HUKUM INDONESIA
DAFTAR ISI
Vol. II. No. 2, Mei 2016 PENGANTAR REDAKSI KEJAHATAN KORPORASI DIKAITKANKAN DENGAN UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL NO. 25 TAHUN 2007 Oleh : Prof. Dr. H. Faisal Santiago, SH. MM ............ hal. 307 - 312 PERJANJIAN TERAPEUTIK DALAM PENGAMBILAN TINDAKAN MEDIK PADA PASIEN GANGGUAN JIWA PSIKOTIK (Studi di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang) Oleh : Restu Prastiwi ............ hal. 313 - 326 PENERAPAN UU ITE DAN SURAT EDARAN KAPOLRI MENGENAI UJARAN KEBENCIAN HATE SPEECH TERHADAP PENYIMPANGAN PENGGUNAAN KEBEBASAN BEREKSPRESI DALAM KAJIAN PASAL 28 UUD 1945 TENTANG HAM DI RUANG MAYA CYBER SPACE Oleh : Sri Ayu Astuti ............ hal. 327 - 340 HAK PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL ATAS SERANGAN LANGSUNG DALAM KONFLIK BERSENJATAMENURUT HUKUM HUMANITER
INTERNASIONAL
Oleh : Sukmareni ............ hal. 341 - 350 MENATA ULANG SELEKSI PENJAGA KONSTITUSI Oleh: Sulardi ............ hal. 351 - 360 KONVENSI HUKUM LAUT PBB 1982 DAN HUKUM LAUT NASIONAL INDONESIA Oleh: Tommy Hendra Purwaka ............ hal. 361 - 382 KEKUASAAN DAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh: Zainal Arifin Hoesein ............ hal. 383 - 392
DAMPAK REVOLUSI GAYA KORUPSI TERHADAP KONSTRUKSI NEGARA HUKUM INDONESIA Oleh: Siti Marwiyah ............ hal. 393 - 400
PETUNJUK PENULISAN ............ hal. 401 - 404
305i
Lex Publica Petunjuk Penulisan
Pengantar Redaksi...... Sebagai suatu pengantar, redaksi kali ini ingin mengantarkan sekapur sirih dalam memaknai Equality Before The Law. Prinsip Equality Before The Law, sesungguhnya merupakan salah satu tema hukum yang tidak terpisahkan dari konsepsi negara demokrasi. Keterkaitan hukum lainnya dalam konsepsi demokrasi adalah hak-hak individu, pengawasan rakyat atas pemerintahan, dan rule of law. Konsep tersebut merupakan salah satu unsur dari negara hukum (Rule of Law) yang demokratis yaitu supremacy of law, equality before the law dan due process of law. Rule of Law dengan unsur tersebut membentuk prinsip fundamental konstitusi, dan supremasi hukum merupakan prinsip bahwa hukum negara berada diatas kekuasaan dan prerogatif penguasa yang sewenang-wenang, dan prinsip kesetaraan didepan hukum yang diartikan sebagai ketundukan secara setara semua kelompok masyarakat kepada hukum negara yang dijalankan secara umum, dengan meniadakan pengecualian dan kekebalan pejabat pemerintahan dan penguasa atau orang-orang lain tertentu dari kewajiban untuk patuh kepada hukum yang berlaku. Prinsip ini menekankan adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan yang diakui secara normatif dan dilakukan secara empirik, dan kemudian menjadi norma konstitusi dalam UUD 1945, yang didalamnya menjelaskan sebagai larangan atas sikap dan tindakan yang diskriminatif dalam segala bentuknya. Aspek equality before the law, dapat dipahami juga dalam kerangka due process of law, sebagai prinsip yang mensyaratkan, bahwa semua tindakan negara dilakukan melalui proses yang tertib dan teratur. Due process of law, meliputi procedural due process, yang menekankan pada metode atau prosedur pelaksanaan kebijakan pemerintahan, yang harus menjamin kejujuran (fairness). Dapat dicontohkan, bahwa dalam satu perkara yang sedang diperiksa pengadilan, para pihak harus sama-sama diberitahu dengan sepatutnya, dan memberi kesempatan yang sama pada para pihak untuk didengar dalam persidangan yang tidak berpihak. Sementara itu, bagian dari konsep equality before the law, ialah yang disebut egalite des arms (equality of arms), yang merupakan persamaan para pihak dalam proses peradilan, yaitu, suatu litigasi harus menjamin bahwa tidak satu pihakpun yang menikmati keuntungan yang tidak sewajarnya dalam proses yang akan berlangsung(neither party enjoys an improper advantage). Dengan konsep tersebut maka konsep persamaan didepan hukum secara umum yakni merupakan perlakuan, penerapan atau pemberlakuan aturan hukum yang sama bagi setiap orang yang sama, secara adil dan jujur, tanpa memberi keuntungan yang tidak seharusnya bagi satu pihak dan menyebabkan kerugian secara tidak adil bagi pihak lain, berdasarkan aturan yang rasional dan objektif. Artinya, bahwa jika dalam keadaan dan kedudukan yang sama dalam suatu sengketa peristiwa hukum, maka perlakuan yang diberikan pada satu pihak tidak boleh terjadi diskriminasi. Aturan standard yang sama, dalam keadaan dan kedudukan yang sama harus diperlakukan secara sama, dan tidak diperkenankan untuk melakukan pembedaan yang menyebabkan timbulnya ketidak adilan. Jikalau hak tertentu ditentukan dalam aturan hukum sebagai sesuatu yang dimiliki satu pihak, maka jikalau keadaan dan kedudukan yang sama dimiliki orang lain, maka hak yang sama, harus juga diberikan padanya secara adil. Dalam runtun pikiran redaksi, bahwa konsep equality before the law berintikan rumusan ―hak untuk memperoleh perlakuan yang sama dalam keadaan dan kedudukan yang sama didepan hukum‖. Selamat Membaca dan Salam Redaksi.
306 ii
Laksanto Utomo
Petunjuk Penulisan
KEJAHATAN KORPORASI DIKAITKANKAN DENGAN UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL NO. 25 TAHUN 2007 Oleh : Prof. Dr. H. Faisal Santiago, SH. MM*) Abstrak Masyarakat Ekonomi Asean sudah tidak dapat dielakkan lagi, kegiatan ekonomi menjadi peran strategis dalam mesyarakat ekonomi asean ini. Investasi di negara ASEAN akan menjadi sorotan utama, perusahaan dalam sekala kecil maupun perusahaan besar akan meramaikan iklim investasi. Peran Hukum menjadi sangat utama dalam menyikapi perdagangan global. Kejahatan korporasi menjadi hal yang harus diperhatikan para investor dalam menjalankan bisnis khususnya di Indonesia. Mencari keuntungan adalah motif setiap korporasi dalam menjalankan bisnisnya. Undangundang N0. 25 Tahun 2007 menjadi dasar para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Memperhtikan dan Menjalankan Undang-undang Penanaman Modal dengan sebaik-baiknya, maka perusahaan manaupun akan taat daam melakukan investasi. Perusahaan yang mempunyai etika dan norma yang baik adalah kunci utama dan yang diharapkan oleh semua negara dalam memasuki perdagangan bebas di kawasan ASEAN ini. Kata kunci : Kejahatan Korporasi Abstract Asean Economic Community is already inevitable, economic activity becomes a strategic role in this asean economic mesyarakat. Investment in ASEAN countries will be the main focus, the company in a small scale and large companies will enliven the investment climate. The law became very major role in addressing global trade. Corporate crime into something that must be considered investors in doing business, especially in Indonesia. Profit is the motive of every corporation in running the business. Law N0. 25 The year 2007 became the foundation of the investors to invest in Indonesia. Running Memperhtikan and Investment Act as well as possible, then the company will obey daam manaupun investment. Companies that have good ethics and norms is the key and expected by all countries in the region to enter free trade in ASEAN. Keyword : Corporate crime Pendahuluan Memasuki Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada tahun 2016, bukanlah sesuatu yang harus dihindari. Kemajuan suatu bangsa dapat terlihat dengan adanya dan berlangsungnya pembangunan di semua bidang. Indonesia adalah negara yang seksi untuk dijadikan negara untuk d investasi, betapa tidak ini terlihat dengan sumber daya alamnya yang *)
melimpah, jumlah penduduk yang banyak, diapit dua benua dan dua samudera menjadikan incaran bagi negara-negara lain Pembangunan Nasional yang sedang berlangsung saat ini diharapkan perlunya suatu kesinambungan yang terus menerus dan harus tetap dipertahankan. Hal ini adalah untuk mewujudkan cita-cita bangsa, menjadikan masyarakat yang sejahtera adil dan makmur berdasarkan
Ketua Program Doktor Ilmu Hukum dan Guru Besar Ilmu Hukum, Universitas Borobudur Jakarta.
307
Jurnal Lex Publica, Petunjuk Vol. II, No. Penulisan 2, Mei 2016, hal. 307 - 312
Pancasila. Guna untuk meningkatkan pembangunan maka diperlukan kemandirian usaha serta mengundang investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini dikarenakan untuk melakukan pembangunan di segala bidang bangsa indonesia perlu mendapatkan dana yang besar, dikarenakan keterbatasan dana tersebut maka diperlukan dana luar untuk menggerakkan pembangunan tersebut. Perlu investasi tapi tidak murahan dan mengemis, tetapi harus didasarkan semangat pembangunan dan saling menguntungkan dengan dibalut bisnis. Saling menguntungkan itu yang harus dikedepankan dalam rangka tercapainya tujuan nasional tersebut. Penanaman Modal Penanaman Modal, merupakan suatu kegiatan untuk menginvestasikan segala kegiatan baik berupa barang, uang, teknologi maupun jasa yang bertujuan mencari ke-untungan. Penanaman modal merupakan salah satu sarana yang baik untuk melaksanakan pembangunan guna kelangsungan dan kemajuan dari suatu negara. Investasi tidak dapat diellakkan saat ini oleh suatu negara, persaingan dalam kegiatan ekonomi merupakan faktor yang harus dihadapi. Investor akan mencari Sumber Daya Alam yang tersedia serta ditopang dengan Sumber Daya Manusia yang murah serta di tunjang skill yang memadai adalah tempatnya investor untuk menanamkan modalnya. Hal inilah yang mendorong suatu bangsa untuk terus mengundang para investor untuk menanamkan modal di negaranya, tanpa kecuali Indonesiapun melakukan hal yang sama untuk menarik para investor asing untuk menanamkan modalnya. Penanaman modal atau investasi dewasa ini menjadi seperti bahan rebutan bagi negara-negara atau daerah untuk dijadikan partner dalam melaksanakan pembangunan di segala bidang.1 Penanaman modal berkembang sejalan dengan kebutuhan suatu negara dalam melaksanakan pembangunan nasional guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya. Kebutuhan tersebut timbul akibat ketidakmam-
puan suatu negara memenuhi kebutuhan modal, sehingga penanaman modal menjadi salah satu alternatif terbaik selain melalui hutang luar negeri. Lahirnya Undang-undang Penanaman Modal No. 25 tahun 2007, mengisyaratkan bahwa bangsa Indonesia sangat memerlukan investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Beberapa waktu yang lalu pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi, yang intinya memberi kemudahan bagi investor asing untuk investasi di Indonesia. Ada beberapa tantangan untuk memberdayakan penanaman modal di Indonesia. Kendala dan tantangan tersebut adalah: 1. Persaingan kebijakan investasi yang dilakukan oleh Negara pesaing seperti Cina, Vietnam, Thailand dan Malaysia; 2. Masih rendahnya kepastian hukum; 3. Lemahnya insentif investasi; 4. Kualitas SDM yang rendah dan terbatasnya infrastruktur; 5. Tidak adanya kebijakan yang jelas untuk mendorong pengalihan teknologi dari PMA; 6. Masih tingginya biaya ekonomi karena tingginya kasus korupsi, keamanan dan penyalahgunaan wewenang; 7. Meningkatnya nilai tukar riil efektif rupiah; 8. Belum optimalnya pemberian insentif dan fasilitas.2 Investor asing mempunyai peranan yang sangat penting, oleh karena itu penggunaan modal asing perlu dimanfaatkan secara semaksimal mungkin untuk mempercepat pembangunan ekonomi di Indonesia. Sehingga dipergunakan dalam bidang-bidang dan sektor-sektor yang dalam waktu dekat belum dan atau tidak dapat dilaksanakan oleh pemodal Indonesia, namun begitu perlu diadakan suata ketentuanketentuan yang jelas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan pemodal pergunakan sebagai pembangunan nasional serta keuntungan yang akan diperoleh oleh kedua belah pihak baik pemerintah (masyarakat) maupun pemilik modal. Di samping menghindarkan keragu-ragu2
1
Faisal Santiago, Hukum Penanaman Modal, Jakarta: Cintya Press, 2010
308
Aditiawan Chandra, Strategi Menarik Penanaman Modal Asing Dalam Pembangunan Ekonomi, 18 Januari, 2007.
Kejahatan Korporasi Dikaitkan Dengan Undang-Undang ... Petunjuk
an dari pihak investor asing kita harus juga menyadari kekuatan ekonomi potensiil yang dengan karunia Tuhan Yang Maha Esa terdapat banyak diseluruh wilayah tanah air yang belum diolah untuk dijadikan kekuataan ekonomi riil yang disebabkan oleh karena ketiadaan modal, pengalaman, pengetahuan dan teknologi. Pembangunan ekonomi berarti pengolahan kekuatan ekonomi potensiil menjadi kekuatan ekonomi riil, serta peningkatan produksi ekonomi dapat tercapai melalui penanaman modal, penggunaan teknologi, penambahan pengetahuan, peningkatan ketrampilan, penambahan kemampuan berorganisasi dan manajemen. Oleh karena itu penggunaan modal asing perlu dimanfaatkan secara maksimal untuk mempercepat pembangunan. Kepastian Hukum Kepastian hukum, itulah yang selalu didengungkan oleh para investor asing apabila ingin menanamkan modalnya di Indonesia, wajar hal itu dipertanyakan oleh mereka demi keberlangsungan investasinya di Negara Indonesia. Iklim yang kondusif itulah yang diperlukan bagi mereka baik dalam pelaksanaanya maupun juga dari segi hukumnya. Undang-undang No. 25 tahun 2007 adalah sebagai bukti bahwa investasi di Indonesia di jaga kepastian hukumnya baik bagi para investor maupun pekerja yang bekerja di perusahaan Penanaman Modal Asing. Dengan adanya kepastian hukum, maka akan meningkatkan faktor kepercayaan dari para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, apalagi Indonesia terkenal sebagai negara yang berdasakan hukum. Kita ketahui negara hukum bertujuan untuk menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian dalam hubungan antar manusia dalam hal ini antara yang menanamkan modalnya dengan pihak yang ditanamkan modalnya, jadi harus ada suatu kepastian hukum yang legitemed. Dengan adanya kepastian hukum tersebut paling tidak akan mengikis keragu-raguan para investor untuk menanamkan modalnya, perlu diketahui sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1998 dan sampai saat ini masih menyisakan dampaknya. Hal tersebut terutama dengan ber-
Penulisan
Faisal Santiago
kurangnya para investor asing dalam menanamkan modalnya di Indonesia. Mungkin salah satu faktornya adalah tidak ada kepastian hukum. Bidang usaha merupakan bidang kegiatan yang diperkenankan atau dibolehkan untuk berinvestasi. Prosedur dan syarat-syarat merupakan tata cara yang harus dipenuhi oleh investor dalam menanamkan investasinya. Negara merupakan negara yang menjadi tempat investasi itu ditanamkan. Biasanya negara yang menerima investasi merupakan negara-negara yang sedang berkembang.3 Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam hukum investasi terdapat unsur-unsur yang harus diperhatikan: 1. Adanya kaidah hukum; 2. Adanya subjek, dimana subjek dalam hukum investasi adalah investor dan negara penerima investasi; 3. Adanya bidang usaha yang diperkenankan untuk investasi; 4. Prosedur dan syarat-syarat untuk melakukan investasi; 5. Negara.4 Prosedur dan syarat-syarat merupakan tata cara yang ditentukan oleh Negara penerima modal dalam pelaksanaan investasi dalam suatu Negara. Biasanya, prosedur dan syarat-syarat itu disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atau kalau memungkinkan juga harus memperhatikan adat istiadat serta kebiasaan setempat. Dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang No. 25 tahun 2007 jelas-jelas dikatakan terdapat sepuluh asas, yaitu: 1. Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal. 2. Asas keterbukaan, yaitu asas yang terbuka terhadap hak dan masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang kegiatan penanaman modal. 3. Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir 3
Salim HS dan Budi Santoso, Hukum Investasi di Indonesia, Raja Grafindo Indonesia, Jakarta, 2008, hal, 11. 4 Ibid, hal, 11.
309
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 307 - 312 Petunjuk Penulisan
dari penyelenggaraan penanaman modal dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4. Asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara adalah asas perlakuan pelayan non diskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal dari satu negara asing dan penanam modal dari negara-negara lainnya. 5. Asas kebersamaan adalah asas yang mendorong peran seluruh penanam modal secara bersama-sama dalam kegiatan usahanya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. 6. Asas efisiensi berkeadilan adalah asas yang mendasari pelaksanaan penanaman modal dengan mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif dan berdaya saing. 7. Asas keberlanjutan adalah asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun yang akan datang. 8. Asas berwawasan lingkungan adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup. 9. Asas kemandirian adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi. 10. Asas keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional adalah asas yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah dalam kesatuan ekonomi nasional. Asas tersebut perlu diperhatikan dengan baik dalam hal mengoptimalisasikan investasi khususnya di Indonesia. Sehingga penulis mengatakan harus adanya suatu keterkaitan yang harus diperhatikan antara keterkaitan asas hukum dengan hukum investasi; 1. Asas Ekonomi Perusahaan, yaitu asas dimana di dalam penanaman investasi dapat diu310
sahakan dan dilakukan secara optimal, dan sesuai prinsip efisiensi. 2. Asas Hukum Internasional, merupakan asas di dalam penyelesaian sengketa antara pemerintah dengan penanam modal, apabila pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi/pencabutan hak milik secara menyeluruh dan penyelesaiannya harus didasarkan pada asas hukum internasional. 3. Asas Demokrasi Ekonomi, yaitu asas dimana di dalam penanaman investasi didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi. 4. Asas Manfaat, yaitu merupakan asas dimana di dalam penanaman investasi dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia. Tanggung Jawab Hukum Dalam Penanaman Modal Dalam rangka memberikan perlindungan terhadap penanam modal asing, maka pemerintah Indonesia selain ikut serta menjadi pihak dalam beberapa perjanjian multilateral, pemerintah juga mengadakan perjanjian bilateral dengan pemerintah negara yang warga negaranya menanamkan modalnya di Indonesia. Perjanjian bilateral lebih disukai baik oleh negara penerima maupun negara penanam modal. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah perjanjian bilateral di bidang penanaman modal yang telah dibuat, dibandingkan dengan jumlah perjanjian multilateral yang sampai saat ini masih terbatas jumlahnya. Sampai dengan sekarang, Indonesia telah mengadakan perjanjian penanam modal dengan 51 negara, diantaranya adalah Amerika Serikat, Perancis, Singapura, RRC, Australia, Inggris dan Korea Selatan.5 Bagi negara penanam modal, perjanjian bilateral akan lebih menguntungkan karena jaminan perlindungan penanaman modal yang diberikan oleh negara tuan rumah diberikan secara khusus kepadanya, sehingga jaminan ini lebih kuat, dibandingkan dengan jaminan yang diberikan secara umum melalui perjanjian multilateral.6 Pelaksanan dari penanaman modal dan keberlanjutan dipergunkannya kaidah hukum da5
Data diperoleh dari Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya, Departemen Luar Negeri RI, Juni 2015. 6 Ibid
Kejahatan Korporasi Dikaitkan Dengan Undang-Undang ... Petunjuk
lam pelaksanaan investasi, maka perlu diperhatikan pasal 16 tentang tanggung jawab penanam modal: 1. Menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktek monopoli dan halhal lain yang merugikan Negara. 4. Menjaga kelestarian lingkungan hidup. 5. Menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja. 6. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan Setiap pelaksanaan dari penanaman modal perlu dilakukan satu tata kelola yang baik sehingga dalam pelaksanaanya diharapkan tidak menimbulkan masalah hukum dalam melakukan investasi tersebut. Oleh karena itu para investor harus memperhatikan pasal 15 yang menentukan bahwa setiap penanam modal mempunyai kewajiban: 1. Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. 2. Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaannya yaitu tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya setempat. 3. Membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal, dimana laporan ini merupakan laporan kegiatan penanaman modal yang memuat perkembangan penanaman modal dan kendala yang dihadapi penanam modal yang disampaikan secara berkala kepada BKPM dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang penanaman modal. 4. Menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal. 5. Mematuhi semua ketentuan peraturan per-
Penulisan
Faisal Santiago
undang-undangan.7 Kita mengharapkan agar para investor dalam melakukan kegiatan usahanya memperhatikan kaidah hukum yang berlaku, sehingga dalam pelaksanaannya akan berjalan dengan baik. Apabila ini berjalan dengan baik tentu tidak akan timbul masalah hukum baik pidana maupun perdata. Kejahatan Korporasi Menjalankan usaha di Indonesia harus berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dengan berpedoman dengan Undang-Undang Perseroan serta mematuhi Undang-Undang Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007, merupakan suatu kewajiban yang tidak bisa dihindari. Korporasi memegang peranan yang sangat penting dalam mengundang investor asing di Indonesia. Clinard dan Yeager menguraikan ada 6 bentuk utama dari kejahatan korporasi: 1. Pelanggaran administratif, pelanggaran ini meliputi tidak dipenuhinya persyaratan yang diberikan oleh suatu pranata pemerintahan atau oleh suatu pengadilan. 2. Pelanggaran lingkungan, antara lain melakukan pencemaran air dan udara termasuk limbah kimiawi, melanggar ambang batas kandungan polutan pada udara dan air. 3. Pelanggaran Keuangan, termasuk pembayaran yang tidak sah atau tidak mengakui adanya penyuapan, termasuk politik uang. 4. Pelanggaran perburuhan, yang dapat dibagi menjadi empat bentuk utama, diskriminasi dalam penerimaan pegawai, pelanggaran K3, praktik perburuhan yang tidak jujur dan pelanggaran upah. 5. Pelanggaran manufaktur, meliputi pelanggaran yang berada dibawah tiga lembaga, yaitu yang berhubungan dengan federal hazardous substances act, the poison prevention act, serta the consumer product safety act.8 Melakukan kejahatan korporasi tentu mempunyai tujuan, yaitu untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, apabila ini dilaku7
Dhaniswara, Hukum Penanaman Modal, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007., hal. 118. 8 www.academia.edu. Doni alfianda, Kejahatan Korporasi, 2016
311
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 307 - 312 Petunjuk Penulisan
kan proses pembiaran maka pada akhirnya akan merugikan dan menghambat terciptanya kemakmuran bagi masyarakat Indonesia. Dengan adanya Undang-undang No. 25 tahun 2007 serta konsistensinya Pemerintah Indonesia terus ingin melakukan penegakan hukum, maka diharapkan para investor asing tidak melakkukan kejahatan korporasi di Indonesia. Penutup Untuk bisa memenuhi harapan agar kejahatan korporasi tidak terjadi di Indonesia maka diharapkan, pemerintah, aparat hukum dan komponen masyarakat dituntut untuk segara menciptakan iklim yang kondusif untuk investasi. Menyadari pentingnya penanaman modal asing, pemerintah Indonesia menciptakan suatu iklim penanaman modal yang dapat menarik modal asing masuk ke Indonesia. Usaha-usaha tersebut antara lain adalah dengan mengeluarkan peraturan-peraturan tentang penanaman mo-
dal asing dan kebijaksanaan pemerintah yang pada dasarnya tidak akan merugikan kepentingan nasional dan kepentingan investor. Usaha pemerintah untuk selalu memperbaiki ketentuan yang berkaitan dengan penanaman modal asing antara lain dilakukan dengan memperbaiki peraturan dan pemberian paket yang menarik bagi investor asing. Pada akhirnya harus tetap diingat bahwa maksud diadakannya penanaman modal asing hanyalah sebagai pelengkap atau penunjang pembangunan ekonomi Indonesia. Pada hakekatnya pembangunan tersebut harus dilaksanakan dengan ketentuan swadaya masyarakat, oleh karena itu pemerintah harus bijaksana dan hatihati dalam memberikan persetujuan dalam penanaman modal asing agar tidak menimbulkan ketergantungan pada pihak asing yang akan menimbulkan dampak buruk bagi negara ini di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993. Aditiawan Chandra, Strategi Menarik Penanaman Modal Asing Dalam Pembangunan Ekonomi, 18 Januari, 2007. Dhaniswara, Hukum Penanaman Modal, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007. Faisal Santiago, Pengantar Hukum Pidana, Jakarta: Cintya Press, 2004 Faisal Santiago, Pengantar Hukum Bisnis, Jakarta: Cintya Press, 2005. Faisal Santiago, Memerangi Korupsi, Jakarta: Cintya Press, 2006. Faisal Santiago, Pidato Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar, Jakarta, Universitas Borobudur, 2007. Faisal Santiago, Hukum Penanaman Modal, Jakarta, Cintya Press, 2010. Faisal Santiago, Pengantar Hukum Bisnis edisi revisi, Jakarta, Mitra Wacana Media, 2012. Faisal Santiago, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Cintya Press, 2013. Faisal Santiago, Bunga Rampai Catatan Hukum, Jakarta: Cintya Press, 2016. Roscoe Pond, An Introduction to the Philosophy of Law, terjemahan, Jakarta, Bhatara Niaga Media, 1996. Salim HS dan Budi Santoso, Hukum Investasi di Indonesia, Raja Grafindo Indonesia, Jakarta, 2008, Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Adtya, Bandung, 2000. Undang-undang No. 25 Tahun 2007, tentang Penanaman Modal. Undang-undang No. 40 Tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas. http:// www.academia.edu. Doni alfianda, Kejahatan Korporasi, 2016
312
Petunjuk Penulisan
PERJANJIAN TERAPEUTIK DALAM PENGAMBILAN TINDAKAN MEDIK PADA PASIEN GANGGUAN JIWA PSIKOTIK (Studi di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang)* Oleh : Restu Prastiwi**
Fakultas Hukum Universitas Kristen Cipta Wacana (UKCW), Malang Jalan Griya Shanta Blok G No. 311, Malang, Jawa Timur, Indonesia
Abstrak Perjanjian Terapeutik dalam pelaksanaannya memerlukan persetujuan tindakan medik sebagai wujud atau syarat subyektifnya. Persetujuan tindakan medik atau persetujuan tindakan kedokteran merupakan persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Dalam persetujuan tindakan medik atau tindakan kedokteran pada pasien gangguan jiwa psikotik memiliki karakteristik yang khusus karena pasien gangguan jiwa psikotik termasuk dalam kriteria tidak cakap/tidak kompeten.Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul ―Perjanjian Terapeutik dalam Pengambilan Tindakan Medik pada Pasien Gangguan Jiwa Psikotik (Studi di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang).‖ Adapun perumusan masalah yang diteliti adalah apakah dasar pelaksanaan perjanjian terapeutik dalam pengambilan tindakan medik pada pasien gangguan jiwa psikotik di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, apakah ada batas waktu persetujuan tindakan medik dalam pengambilan tindakan medik pada pasien gangguan jiwa psikotik di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang diberikan oleh pengampunya. Metode dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Untuk memecahkan atau menjawab masalah yang telah ditengahkan dalam rumusan masalah sebagai objek penelitian maka digunakan pendekatan yakni pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dalam analisis bahan hukum dipergunakan analisa kualitatif. Pelaksanaan perjanjian terapeutik dalam pengambilan tindakan medik pada pasien gangguan jiwa psikotik di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang menggunakan kebijakan/prosedur tentang persetujuan tindakan medik yang telah dibuat oleh rumah sakit. Namun kebijkan/prosedur tersebut mengacu pada aturan lama yang sudah tidak berlaku karena adanya aturan baru yang sudah terbit menggantikan aturan lama tersebut. Dan kebijakan/prosedur tentang kriteria pasien gangguan jiwa psikotik yang memerlukan pengampu dan batas waktu persetujuan tindakan medik diberikan oleh pengampunya belum dimiliki oleh rumah sakit sehingga perlu untuk segera dibuat sebagai acuan bagi para dokter. Kata kunci: perjanjian terapeutik, tindakan medik, pasien gangguan jiwa psikotik Abstract Therapeutic agreement in the implementation of which requires the approval of medical action as a form or a subjective condition. Approval of medical action or approval of medical action is consent given by the patient or next of kin after receiving a full description of the medical or dental actions *
Disarikan dan diolah dari Tesis dengan judul yang sama Magister Kenotariatan dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen Cipta Wacana, Malang; alamat korespondensi:
[email protected] **
313
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 313 - 326 Petunjuk Penulisan
to be performed on the patient. In agreement medical action or actions medicine in patients with psychotic mental disorders have special characteristics for patients with psychotic mental disorders included in the criteria incompetent / not kompeten.Berdasarkan the description, the author interested in conducting a study entitled "Therapeutic Agreement in Medical Patients Taking action mental disorders, psychotic (Studies in RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang). "As for the formulation of the issues examined is whether the basis for implementing the agreement in making therapeutic medical action in patients with psychotic mental disorders in RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, is there a deadline for approval of medical action in taking medical action in patients with psychotic mental disorders in RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang given by pengampunya. The method in this research is normative. To solve or answer the problems that have been centered in the formulation of the problem as the research object then use the approach that is the approach of legislation and conceptual approaches. Legal materials used in this research is the primary legal materials and secondary law. In the analysis of legal materials used qualitative analysis. Implementation of the agreement in making therapeutic medical action in patients with psychotic mental disorders in RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang use policies / procedures for the approval of medical action that has been made by the hospital. But development policy / procedures referring to the old rules that no longer exists because of the new rules that have been published replace the old rules. And policies / procedures of the criteria for patients with psychotic mental disorders that require pengampu and the deadline for approval of medical action by pengampunya not owned by the hospital that need to be made immediately as a reference for physicians. Keywords: agreement therapeutic, medical action, patients with psychotic mental disorders A. Latar Belakang Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,1 ―Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.‖ Untuk mewujudkan tujuan pembangunan kesehatan tersebut diperlukan upaya kesehatan yang harus ditingkatkan terusmenerus agar masyarakat sehat dan produktif secara sosial dan ekonomis.2 Dalam kaitannya dengan peningkatan upaya kesehatan, dewasa ini tuntutan dari masyarakat sebagai penerima layanan kesehatan kepada pemberi layanan kesehatan semakin tinggi dan kompleks, bahkan cenderung kritis. Hal ini disebabkan karena perkembangan ilmu dan teknologi dibidang kesehatan, terutama dalam hal pengobatan dan diagnosis. Selain itu, karena ke1
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, pasal 3 2 Ibid, penjelasan pasal 3
314
sadaran hukum dari masyarakat saat ini semakin meningkat dengan derasnya arus informasi. Untuk itu perlu kaidah hukum yang mengatur hubungan antar manusia disegala bidang kehidupannya, termasuk dalam bidang kesehatan.3 Dalam bidang kesehatan sendiri terdapat hubungan antara dokter dengan pasien dalam hal menerima dan mengobati pasien yang disebut sebagai kontrak.4 Dari perspektif Burgerlijk Wetboek (BW), perjanjian mempunyai pengertian yang sama dengan kontrak.5 Perjanjian terjadi ketika seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dengan adanya perjanjian, maka terbitlah suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Perjanjian dalam bentuknya merupakan suatu rangkaian perkata3
Suryani Soepardan dan Dadi Anwar Hadi, Etika Kebidanan dan Hukum Kesehatan, Cetakan pertama, EGC, Jakarta, 2008, h. 112 4 M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Edisi keempat, Cetakan pertama, EGC, Jakarta, 2009, h. 42 5 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Edisi pertama, Cetakan kedua, Kencana, Jakarta, 2011, h. 15
Perjanjian Terapeutik Dalam Pengambilan Tindakan Medik ... Petunjuk
an yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.6 Hubungan antara dokter dan pasien tersebut terjalin di bidang jasa yang disebut sebagai kontrak terapeutik atau transaksi terapeutik.7 Kontrak terapeutik atau transaksi terapeutik menurut Rocky Marbun et al., merupakan:8 ―Hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam pelayanan medik secara profesional, didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu dibidang kedokteran.‖ Transaksi muncul ketika terjadi hubungan timbal balik karena adanya suatu komunikasi, sedangkan terapeutik adalah sesuatu yang mengandung unsur atau nilai pengobatan.9 Hubungan transaksi terapeutik ini dinamakan inspanningsverbintenis karena tindakan atau perbuatan terhadap pasien berupa upaya untuk menyembuhkan penyakit pasien dengan mencari terapi yang paling tepat oleh dokter yang belum tentu keberhasilannya dan bukan resultaatverbintenis sebagaimana persepsi pasien yang menilainya dari hasil.10 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 434/Men.Kes/X/1983 tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagi Para Dokter di Indonesia melampirkan Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia yang mencantumkan transaksi terapeutik sebagai berikut:11 ―Yang dimaksud dengan transaksi terapeutik adalah hubungan antara dokter dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani.‖ Menurut Isfandyarie, transaksi terapeutik disebut juga perjanjian terapeutik karena meru6
Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan keduabelas, Intermasa, Jakarta, 1990, h. 1 7 M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, loc. cit. 8 Rocky Marbun, et al., Kamus Hukum Lengkap, Cetakan pertama, Visi media, Jakarta, 2012, h. 315 9 Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik (Persetujuan dalam Hubungan Dokter dan Pasien) Suatu Tinjauan Yuridis, Cetakan kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, h. 1 10 Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum untuk Perumahsakitan, Cetakan pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, h. 59 11 Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku 1, Cetakan keenam, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2011, h. 58
Penulisan
Restu Pratiwi
pakan suatu perjanjian yang terjadi antara dokter dengan pasien.12 Dengan demikian, maka dalam transaksi terapeutik atau perjanjian terapeutik berlaku hukum perikatan yang diatur dalam buku III KUHPerdata, seperti disebutkan dalam pasal 1319 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:13 ―Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat didalam bab ini dan bab yang lalu.‖ Terjadinya perjanjian terapeutik membutuhkan syarat subjektif, yaitu informed consent atau persetujuan tindakan medik.14 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran menggunakan istilah Persetujuan Tindakan Kedokteran untuk informed consent. Menurut pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/ MENKES/PER/III/2008, yang dimaksud dengan Persetujuan Tindakan Kedokteran adalah:15 ―Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.‖ Sedangkan Tindakan Kedokteran menurut pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 adalah:16 ―Suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.‖ Dalam semua pengambilan tindakan medik diharuskan mendapat persetujuan tindakan kedokteran.17 Sebelumnya dokter harus memberikan penjelasan (informasi) kepada pasien atau keluarganya dan setelah itu baru dapat dimintakan persetujuan.18 Persetujuan tindakan kedok12
Ibid, h. 57 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan keduapuluh delapan, Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, h. 339 14 Anny Isfandyarie, op. cit., h. 127 15 Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, pasal 1 16 Ibid 17 Ibid, pasal 2 18 J. Guwandi, Medical Error dan Hukum Medis, Cetakan kedua, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, h. 102 13
315
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 313 - 326 Petunjuk Penulisan
teran mempunyai fungsi ganda, fungsi yang pertama adalah memberi rasa aman bagi dokter dalam menjalankan tindakan medik pada pasien dan digunakan sekaligus sebagai pembelaan diri terhadap kemungkinan adanya tuntutan atau gugatan dari pasien atau keluarganya bila timbul akibat yang tidak dikehendaki dan fungsi yang kedua merupakan penghargaan bagi pasien atas hak-haknya oleh dokter dan dapat digunakan sebagai alasan untuk menggugat dokter dari penyimpangan diberikannya persetujuan tersebut.19 Dengan persetujuan tindakan kedokteran sebagai syarat subyektifnya, maka adanya perjanjian terapeutik dalam pengambilan tindakan medik menjadi sangat penting, baik bagi dokter maupun pasien dalam pelayanan kesehatan. Dalam pelaksanaannya, perjanjian terapeutik dalam pengambilan tindakan medik dengan persetujuan tindakan kedokteran sebagai syarat subyektifnya, dapat diberikan secara tertulis maupun lisan dan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran.20 Adapun yang berhak memberikan persetujuan dalam persetujuan tindakan kedokteran menurut pasal 13 ayat 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 adalah pasien yang kompeten atau keluarga terdekat.21 Yang dimaksud dengan pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan secara bebas.22 Dari pengertian menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/ MENKES/PER/III/2008, maka pasien dewasa yang mengalami penyakit mental atau gangguan jiwa tidak masuk dalam kategori pasien yang kompeten sehingga tidak berhak memberikan 19
Adami Chazawi, Malpraktik Kedokteran (Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum), Edisi pertama, Cetakan pertama, Bayumedia Publishing, Malang, 2007, h. 39 20 Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, loc. cit. 21 Ibid, pasal 13 22 Ibid
316
persetujuan dalam persetujuan tindakan kedokteran. Pada pasien gangguan jiwa dikatakan tidak kompeten dikarenakan proses psikologis atau mentalnya tidak berfungsi dengan baik sehingga fungsi sehari-harinya terganggu dan menyulitkan diri sendiri dan/atau orang lain di sekitarnya.23 Persetujuan tindakan kedokteran pada pasien dewasa dengan gangguan jiwa diberikan oleh orang tua/wali/curator/saudara-saudara kandung.24 Hal ini tidak berarti melanggar Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 yang mendukung Hak Asasi Manusia untuk hidup, yang terdapat dalam Pasal 3, yaitu: ―every one has the right to life and security of person‖ dan Pasal 1 Covenant on civil and political rights (1996) yang menyatakan ―all peoples have the rights of self determinations‖,25 juga dalam Pasal 4 Undangundang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi ―Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.‖26 The right of self determinations sebagai hak dasar atau hak primer individual adalah sumber dari hak-hak individual yang meliputi:27 a. Hak atas privacy yang dikenal dengan hak atas rahasia kedokteran b. Hak atas tubuhnya sendiri, yaitu: 1. Hak atas persetujuan tindakan kedokteran 2. Hak memilih dokter dan rumah sakit 23
Willy F. Maramis dan Albert A. Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Edisi kedua, Cetakan pertama, Airlangga University Press, Surabaya, 2009, h. 732 24 Y.A. Triana Ohoiwutun, Bunga Rampai Hukum Kedokteran (Tinjauan dari Berbagai Peraturan Perundangan dan UU Praktik Kedokteran), Edisi pertama, Cetakan kedua, Bayumedia Publishing, Malang, 2008, h. 41 25 Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Cetakan pertama, Binarupa Aksara, Jakarta, 1996, h. 38-39 26 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 4 27 Danny Wiradharma, op. cit., h. 40-41
Perjanjian Terapeutik Dalam Pengambilan Tindakan Medik ... Penulisan Petunjuk
3. Hak menolak pengobatan/perawatan 4. Hak menolak tindakan medis tertentu 5. Hak menghentikan pengobatan/perawatan 6. Hak atas second opinion 7. Hak memeriksa rekam medis Namun pelaksanaan perjanjian terapeutik dalam pengambilan tindakan medik pada pasien gangguan jiwa psikotik dapat terkendala oleh tidak adanya orang tua/wali/curator/saudarasaudara kandung yang dapat memberikan persetujuan dalam persetujuan tindakan kedokteran. Hal ini terjadi dikarenakan orang tua/wali/curator/saudara-saudara kandung tidak selalu ada untuk menunggu pasien gangguan jiwa psikotik yang tengah menjalani rawat inap di rumah sakit. Rumah sakit di Indonesia yang memiliki potensi besar untuk munculnya kendala dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik dalam pengambilan tindakan medik pada pasien gangguan jiwa psikotik adalah rumah sakit jiwa. Dan salah satu rumah sakit jiwa di Indonesia yang sangat representatif untuk mewakili gambaran rumah sakit jiwa di Indonesia adalah Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang. Hal ini dikarenakan Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang yang merupakan rumah sakit khusus kelas A28 adalah salah satu rumah sakit jiwa besar di Indonesia yang berada dibawah Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang memiliki fasilitas rawat inap dengan kapasitas 700 tempat tidur dan tidak ada kewajiban bagi keluarga pasien untuk menunggu pasien yang tengah menjalani rawat inap. Hal-hal tersebut di atas menjadi alasan yang menarik bagi penulis untuk mengetahui perjanjian terapeutik dalam pengambilan tindakan medik pada pasien gangguan jiwa psikotik di Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang. Untuk memudahkan analisis dan menarik simpulan, penulis merumuskan permasalahan penelitian ini sebagai berikut: Pertama, apakah dasar pelaksanaan perjanjian terapeutik dalam pengambilan tindakan medik pada pasien gangguan jiwa psikotik di RSJ Dr.
Restu Pratiwi
Radjiman Wediodiningrat Lawang? Kedua, Apakah ada batas waktu persetujuan tindakan medik dalam pengambilan tindakan medik pada pasien gangguan jiwa psikotik di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang diberikan oleh pengampunya? B. Metode Penelitian Tipe penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif digunakan karena dilandasi oleh karakter khas ilmu hukum itu sendiri yang terletak pada metode penelitiannya, yaitu metode penelitian yang bersifat normatif hukum.29 Metode ini digunakan untuk melakukan analisis terhadap perundang-undangan,30 dalam hal ini lebih ditekankan pada perundang-undangan mengenai pelaksanaan perjanjian terapeutik dalam pengambilan tindakan medik pada pasien gangguan jiwa psikotik di Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang. Untuk memecahkan atau menjawab masalah yang telah ditengahkan dalam rumusan masalah sebagai objek penelitian maka digunakan pendekatan yakni pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang didukung dengan data primer.Data sekunder tersebut meliputi: 1. Bahan hukum primer Bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang sifatnya mengikat dan mutlak dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang akan dibahas. 2. Bahan hukum sekunder Bahan hukum yang terdiri dari buku-buku artikel, hasil seminar, laporan penelitian, jurnal yang sifatnya menjelaskan bahan hukum primer dan bahan hukum yang menunjang pembahasan permasalahan yang ada. Sedangkan data primer diperoleh dengan observasi dan wawancara. Wawancara dilakukan secara perseorangan dengan intensif dan mendalam dalam menjawab hal-hal yang dita-
28
Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 254 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang
29 30
Agus Yudha Hernoko, op. cit., h. 38 Ibid
317
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 313 - 326 Petunjuk Penulisan
nyakan.31 Populasi, yang merupakan sekelompok orang, benda, atau hal yang menjadi sumber pengambilan sampel atau suatu kumpulan yang memenuhi syarat tertentu yang berkaitan dengan masalah penelitian,32 dalam penelitian ini adalah para dokter yang bekerja di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang dan pejabat struktural dan fungsional yang terkait dengan pelaksanaan perjanjian terapeutik dalam pengambilan tindakan medik pada pasien gangguan jiwa psikotik di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang. Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, artinya pengambilan sampel dilakukan berdasarkan pertimbangan subyektif, jadi dalam hal ini peneliti menentukan sendiri responden mana yang dianggap dapat mewakili populasi.33 Setelah selesai mengumpulkan data, maka berikutnya dilakukan analisis data. Data yang telah dikumpulkan diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga dapat dipergunakan untuk menjawab permasalahan. Untuk menganalisis data yang bersifat kualitatif ini, maka peneliti mempergunakan analisa kualitatif, yaitu data diperoleh, dipilih, dan disusun secara sistematis, kemudian dianalisis secara kualitatif, untuk mendapatkan gambaran tentang perjanjian terapeutik dalam pengambilan tindakan medik pada pasien gangguan jiwa psikotik di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang.
Kriteria pasien gangguan jiwa di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang mengacu pada Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia, edisi III (PPDGJ-III) yang diterbitkan oleh Direktorat Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Pelayanan medik, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. PPDGJ-III sendiri merupakan suatu pedoman diagnostik yang merujuk pada the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition (DSM-IV) yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association (APA). Menurut DSM-IV, definisi gangguan jiwa atau gangguan mental adalah:34 Suatu sindrom atau pola perilaku atau psikologis yang secara klinis bermakna yang terjadi pada seorang individu dan yang disertai dengan adanya penderitaan (misalnya, suatu gejala yang menyakitkan) atau kecacatan (misalnya, gangguan satu atau lebih bidang fungsi yang penting) atau dengan peningkatan risiko yang signifikan untuk mengalami kematian, kesakitan, kecacatan, atau kehilangan kebebasan secara penting. Para dokter dalam menentukan diagnosis bagi pasien gangguan jiwa di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang menggunakan PPDGJ-III yang mengelompokkan diagnosis gangguan jiwa menjadi 100 kategori diagnosis, dengan kode F00 - F98 dan kode F99 untuk diagnosis gangguan jiwa yang tidak tergolongkan (gangguan jiwa yang tidak khas). 35 Masing-masing dari kategori diagnosis (F00-F99) tersebut menurut PPDGJ-III masih dibagi lagi menjadi beberapa diagnosis gangguan jiwa. Dan berdasarkan gejala-gejala yang muncul pada diri pasien, maka para dokter di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang dapat membuat diagnosis gang-
C. Hasil Penelitian 1. Dasar Pelaksanaan Perjanjian Terapeutik dalam Pengambilan Tindakan Medik pada Pasien Gangguan Jiwa Psikotik di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang a. Kriteria Pasien Gangguan Jiwa di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang 31
M. Amin Amrullah, Panduan Menyusun Proposal Skripsi, Tesis dan Disertasi, Cetakan pertama, Smart Pustaka, Jakarta, 2013, h. 146-147 32 Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, Cetakan kesepuluh, Balai Pustaka, Jakarta, 1999, h. 782 33 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ketiga, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, h. 91
318
34
Harold I. Kaplan, Benjamin J. Sadock dan Jack A. Grebb, Sinopsis Psikiatri, Jilid 1, (Terjemahan Widjaya Kusuma), Bina Rupa Aksara, Tangerang, 2010, h. 500 35 Rusdi Maslim, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III, Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya, Jakarta, 1998, h. 8
Perjanjian Terapeutik Dalam Pengambilan Tindakan Medik ... Petunjuk
Penulisan
guan jiwa atas diri pasien berdasarkan pedoman diagnosis gangguan jiwa yang ada dalam PPDGJ-III tersebut.
tentang pelaksanaan persetujuan tindakan medis tersebut, Direktur Utama RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang menerbitkan Kebijakan Direktur Utama tentang Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) pada tanggal 16 Mei 2011. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk mengatur tentang pelaksanaan persetujuan tindakan medis di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang.38 Selain itu Direktur Utama RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang juga menerbitkan Prosedur Tetap Nomor 02 - 5 - 4 - 01 tentang Prosedur Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent) pada tanggal 1 Juni 2011. Tujuan prosedur tetap ini diterbitkan adalah sebagai acuan penerapan langkahlangkah untuk meminta persetujuan tindakan medis pada setiap pasien di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang. 39
b. Kebijakan/Prosedur Terkait Pelaksanaan Perjanjian Terapeutik dalam Pengambilan Tindakan Medik pada Pasien Gangguan Jiwa di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Dalam pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan medik di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, Direktur Utama telah menerbitkan Surat Keputusan Direktur Utama RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Nomor YM.01.01/VII.2/ 078/2011 tentang Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) tanggal 11 Januari 2011. Namun, surat keputusan tentang pelaksanaan persetujuan tindakan medis tersebut mengacu pada pedoman yang lama, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/MENKES/PER/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, meskipun sudah terbit peraturan yang baru, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Selain itu yang menjadi acuan sebagai pedoman adalah Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor HK.00.06.3.5.1866 tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medik (informed consent) yang terbit tanggal 21 April 1999. 36 Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor HK.00.06.3.5.1866 tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medik (informed consent) sendiri mempunyai tujuan agar pedoman persetujuan tindakan medik (informed consent) tersebut dijadikan acuan bagi rumah sakit di Indonesia dalam melaksanakan ketentuan tentang informed consent. 37 Untuk memperkuat surat keputusan 36
Surat Keputusan Direktur Utama RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Nomor YM.01.01/VII.2/078/ 2011 tentang Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) 37 Lampiran Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor HK.00.06.3.5.1866 tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medik (informed consent), angka I poin 3.
Restu Pratiwi
c. Pelaksanaan Perjanjian Terapeutik dalam Pengambilan Tindakan Medik pada Pasien Gangguan Jiwa di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Pelaksanaan perjanjian terapeutik dalam pengambilan tindakan medik pada pasien gangguan jiwa di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang diwujudkan melalui informed consent atau persetujuan tindakan medik. Menurut hampir semua responden di RSJ Dr. Radjiman Wediodingrat Lawang, informed consent atau persetujuan tindakan medik yang merupakan syarat subyektif dari perjanjian terapeutik selalu dimintakan terlebih dahulu sebelum dilakukan tindakan medik kepada pasien gangguan jiwa. Hanya 2 (dua) orang responden saja yang menyatakan bahwa tidak semua tindakan medik memerlukan adanya informed consent atau persetujuan tindakan medik. 40 Dalam pelaksanaannya, menurut ham38
Kebijakan Direktur Utama RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang tentang Persetujuan Tindakan Medis, angka II 39 Prosedur Tetap RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Nomor 02 - 5 - 4 - 01 tentang Prosedur Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent), h. 1 40 Hasil wawancara dengan dr. Alexandra Diah Mustika Wardhani, Sp.KJ dan dr. Didit Roesono, Sp.KJ
319
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 313 - 326 Petunjuk Penulisan
pir semua responden, informed consent atau persetujuan tindakan medik dilakukan dengan mengisi blangko persetujuan tindakan medik secara lengkap. Namun pendapat berbeda diungkapkan oleh 2 (dua) orang responden, responden pertama menyatakan bahwa persetujuan tindakan medik tidak selalu dengan mengisi blangko persetujuan tindakan medik, tetapi bisa dengan persetujuan lisan,41 sedangkan responden kedua menyatakan bahwa persetujuan tindakan medik memang dilakukan dengan mengisi blangko persetujuan tindakan medik, namun pengisian blangko tersebut belum tentu lengkap. 42 Blangko persetujuan tindakan medik sendiri disediakan oleh pihak RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang dengan bentuk dan isi yang sudah baku. Pihak pasien tinggal menandatangani blangko persetujuan tindakan medik tersebut bila pihak pasien telah menyetujui tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter, setelah terlebih dahulu mendapat informasi atau penjelasan terkait dengan tindakan medik tersebut. Menurut hampir semua responden, bentuk dari informed consent yang ada di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang adalah expressed consent atau yang dinyatakan dengan tertulis. Dua orang responden menyatakan bahwa bentuk informed consent adalah expressed consent atau yang dinyatakan baik dengan lisan maupun tertulis.43 Dua orang responden lainnya menyatakan bahwa bentuk informed consent dapat expressed consent, implied consent, maupun presumed consent untuk kasus gawat darurat. 44 Namun dalam prosedur yang ada di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang hanya berlaku expressed consent dan presumed consent untuk pasien gawat darurat. 45 Dalam hal proses pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan me-
dik, hampir semua responden menyatakan hal yang sama, yaitu dokter memberikan informasi atau penjelasan kepada pihak pasien terlebih dahulu sebelum dilakukannya tindakan medik. Bila pihak pasien menyetujui maka pihak pasien harus menandatangani blangko persetujuan tindakan medik. Pendapat berbeda dinyatakan oleh 1 (satu) orang responden yang menyatakan bahwa yang memberikan informasi atau penjelasan kepada pihak pasien adalah perawat dan bukan dokter. 46 Proses pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan medik di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang tertuang dalam Prosedur Tetap RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Nomor 02 - 5 - 4 01 tentang Prosedur Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent).47 Namun demikian, sebagian besar responden menyatakan bahwa prosedur tentang persetujuan tindakan medik tersebut memang ada tetapi mereka belum pernah melihat atau membacanya. Untuk persetujuan tindakan medik pada pasien gangguan jiwa di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang yang menjalani rawat inap, menurut semua responden bila akan dilakukan tindakan medik maka persetujuan tindakan medik yang dipakai adalah persetujuan tindakan medik yang telah dibuat pada saat awal pasien tersebut masuk rumah sakit (karena keluarga tidak ada yang menunggu). Bila pada persetujuan tindakan medik yang dibuat pada awal pasien tersebut masuk rumah sakit tidak terdapat macam tindakan medik yang akan dilakukan, maka pihak rumah sakit akan menghubungi keluarga pasien untuk dimintakan persetujuan tindakan medik. Pada pasien gangguan jiwa dengan keadaan gawat darurat atau kritis dan harus segera ditangani karena mengancam nyawanya, seluruh responden menyatakan bahwa persetujuan tindakan medik tidak diperlukan. Namun demikian, pihak rumah sakit tetap menghubungi pihak keluarga untuk me-
41
Hasil wawancara dengan dr. Yunatan Iko Wicaksono Hasil wawancara dengan dr. Alexandra Diah Mustika Wardhani, Sp.KJ 43 Hasil wawancara dengan drg. Sri Miendarwati dan drg. Yoyok Tri Sanyoto 44 Hasil wawancara dengan dr. Yunatan Iko Wicaksono dan Turasno, S.Kep 45 Hasil wawancara dengan dr. Yunatan Iko Wicaksono 42
320
46
Hasil wawancara dengan dr. Eko Djunaedi, Sp.KJ Prosedur Tetap RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Nomor 02 - 5 - 4 - 01 tentang Prosedur Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent) 47
Perjanjian Terapeutik Dalam Pengambilan Tindakan Medik ... Penulisan Petunjuk
minta persetujuan tindakan medik. Dalam pelaksanaan dari informed consent atau persetujuan tindakan medik di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, sebagian besar responden menyatakan bahwa belum pernah terjadi pasien atau dokter tidak memenuhi kewajibannya atau wanprestasi, namun bila ada maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun pendapat berbeda dikemukakan oleh 1 (satu) orang responden yang menyatakan pernah terjadi wanprestasi di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, dan yang bersangkutan telah diberikan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.48 Pemberian persetujuan tindakan medik oleh pihak pasien di RSJ Dr. Radjiman Wediodingrat Lawang menurut pendapat semua responden dilakukan dengan sukarela tanpa adanya paksaan, setelah pihak pasien mendapatkan informasi atau penjelasan terkait dengan tindakan medik yang akan dilakukan. Bila terjadi penolakan tindakan medik oleh pihak pasien, maka menurut semua responden, dokter akan memberikan penjelasan kembali kepada pihak pasien akan pentingnya tindakan medik yang akan dilakukan kepada pasien, dan bila pihak pasien tetap menolak, maka pihak pasien harus menandatangani blangko penolakan tindakan medik yang telah disediakan oleh pihak RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang.
atau tidak adanya tanda dan gejala, dan intensitasnya. Keparahan gangguan jiwa dapat ringan, sedang, atau berat, dan gangguan mungkin berada dalam remisi parsial atau remisi penuh.49 Pada gangguan ringan, terdapat beberapa gejala, jika ada, yang melebihi dari yang diperlukan untuk membuat diagnosis, dan gejala menyebabkan tidak lebih dari gangguan ringan dalam fungsi sosial atau pekerjaan. Pada gangguan sedang, terdapat gejala atau gangguan fungsional yang berada antara ―ringan‖ dan ―berat‖. Dan pada gangguan berat, terdapat banyak gejala yang melebihi yang diperlukan untuk membuat diagnosis, atau beberapa gejala yang khususnya berat, atau gejala menyebabkan gangguan jelas dalam fungsi sosial atau pekerjaan.50 Dalam remisi parsial, kriteria sepenuhnya untuk gangguan sebelumnya pernah terpenuhi, tetapi sekarang hanya beberapa gejala atau tanda dari gangguan yang tertinggal. Dan dalam remisi penuh, tidak ada lagi gejala atau tanda dari gangguan tetapi secara klinis masih relevan dengan gangguan yang dimaksud. Perbedaaan dalam remisi penuh dari kesembuhan memerlukan pertimbangan banyak faktor, termasuk perjalanan karakteristik dari gangguan, lamanya waktu sejak periode terakhir gangguan, durasi total gangguan, dan perlunya penilaian kontinu atau pengobatan profilaksis.51 Dalam ganggunan jiwa atau gangguan mental terdapat istilah gangguan jiwa psikotik dan gangguan jiwa neurotik. Menurut Willy F. Maramis dan Albert A. Maramis, gangguan jiwa psikotik adalah:52 Suatu gangguan jiwa yang serius dan yang mengganggu kemampuan berpikir, beremosi, berkomunikasi, mengingat kembali, menafsirkan kenyataan dan berperilaku secara wajar. Individu itu sudah kehilangan rasa-kenyataan (‗sense of reality‘) sehingga ia tidak
2. Batas Waktu Persetujuan Tindakan Medik dalam Pengambilan Tindakan Medik pada Pasien Gangguan Jiwa Psikotik di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Diberikan oleh Pengampunya a. Kriteria Pasien Gangguan Jiwa di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Yang Memerlukan Pengampu Tingkat keparahan gangguan jiwa menurut the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition (DSMIV), tergantung pada gambaran klinis, ada 48
Hasil wawancara dengan dr. I.G.D. Basudewa, Sp.KJ
Restu Pratiwi
49
Harold I. Kaplan, Benjamin J. Sadock dan Jack A. Grebb, op. cit., h. 489 50 Ibid 51 Ibid, h. 489-490 52 Willy F. Maramis dan Albert A. Maramis, op. cit., h. 759.
321
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 313 - 326 Petunjuk Penulisan
mampu lagi memenuhi tuntutan hidup yang biasa sehari-hari. Mungkin somatogenik atau fungsional (psikogenik) dan keadaan psikotik itu sangat bervariasi mengenai hal lamanya dan beratnya.
Dan menurut Willy F. Maramis dan Albert A. Maramis, gangguan jiwa neurotik adalah:56 Suatu gangguan jiwa yang ditandai oleh kecemasan. Kecemasan itu dapat dirasakan dan diekspresikan secara langsung atau dapat diubah (dikonversikan), disalahpindahkan atau diwujudkan pada tubuh. Meskipun neurotik tidak menunjukkan disintegrasi kepribadian ataupun distorsi kenyataan (realitas) yang nyata, tetapi dapat juga cukup hebat sehingga mengganggu seseorang berfungsi sehari-hari.
Istilah psikotik menekankan pada hilangnya tes realitas dan gangguan pada fungsi mental yang dimanifestasikan oleh waham, halusinasi, konfusi, dan gangguan ingatan. Pada sebagian besar penggunaan istilah dalam psikiatrik atau kedokteran jiwa, psikotik menjadi sinonim dengan gangguan berat dalam fungsi sosial dan pribadi yang ditandai oleh penarikan sosial dan ketidakmampuan untuk melakukan peranan rumah tangga dan pekerjaan yang biasanya.53 Yang termasuk gangguan psikotik dalam DSM-IV adalah gangguan perkembangan pervasif, skizofrenia, gangguan skizofreniform, gangguan skizoafektif, gangguan delusional, gangguan psikotik singkat, gangguan psikotik bersama, gangguan psikotik karena kondisi medis umum, gangguan psikotik akibat zat, dan gangguan psikotik yang tidak ditentukan, serta beberapa gangguan mood yang berat mempunyai ciri psikotik.54 Sedangkan untuk istilah gangguan jiwa neurotik didefinisikan sebagai berikut:55 Suatu gangguan mental dimana gangguan yang menonjol adalah suatu gejala atau kelompok gejala yang menyebabkan penderitaan bagi individual dan dikenali oleh diri penderita sebagai tidak dapat diterima dan asing (distonik-ego); tes realitas adalah sangat intak. Perilaku tidak secara aktif melanggar norma sosial yang besar (walaupun mungkin sangat mengganggu). Gangguan adalah relatif bertahan atau rekuren tanpa pengobatan, dan tidak terbatas pada suatu reaksi atau stresor sementara. Tidak dapat ditunjukkan etiologi atau faktor organik.
53
Harold I. Kaplan, Benjamin J. Sadock dan Jack A. Grebb, op. cit., h. 501 54 Ibid, h. 501-502 55 Ibid, h. 502
322
Istilah neurotik memasukkan suatu rentang luas gangguan dengan berbagai tanda dan gejala. Dengan demikian, gangguan mengalami kehilangan dalam berbagai derajat ketepatan kecuali menyatakan bahwa tes realitas seseorang dan organisasi kepribadian adalah intak. Tetapi, neurotik dapat dan biasanya cukup untuk mengganggu fungsi seseorang dalam sejumlah bidang. Dalam DSM-IV, gangguan neurotik adalah gangguan kecemasan, gangguan somatoform, gangguan disosiatif, gangguan seksual, dan gangguan distimik.57 Dari tingkat keparahan gangguan jiwa menurut DSM-IV yang menjadi acuan PPDGJ-III di Indonesia, maka para dokter di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang dapat membuat kriteria mengenai pasien gangguan jiwa di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang yang memerlukan pengampu. b. Kebijakan/Prosedur Terkait dalam Batas Waktu Persetujuan Tindakan Medik dalam Pengambilan Tindakan Medik pada Pasien Gangguan Jiwa di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Diberikan oleh Pengampunya Pasien dewasa yang mengalami penyakit mental atau gangguan jiwa, menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indo56
Willy F. Maramis dan Albert A. Maramis, op. cit., h. 751 57 Harold I. Kaplan, Benjamin J. Sadock dan Jack A. Grebb, loc. cit.
Perjanjian Terapeutik Dalam Pengambilan Tindakan Medik ... Penulisan Petunjuk
nesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, tidak masuk dalam kategori pasien yang kompeten sehingga tidak berhak memberikan persetujuan dalam persetujuan tindakan kedokteran.58 Gangguan jiwa atau gangguan mental menurut angka I poin 3 huruf m Lampiran Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor HK.00.06.3.5.1866 tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medik (informed consent) yang menjadi acuan Surat Keputusan Direktur Utama RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Nomor YM. 01.01/VII.2/078/2011 tentang Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) adalah:59 ―Sekelompok gejala psikologik atau perilaku yang secara klinis menimbulkan penderitaan dan gangguan dalam fungsi kehidupan seseorang, mencakup Gangguan Mental Berat, Retardasi Mental Sedang, Retardasi Mental Berat, Dementia Senilis.‖ Kebijakan/prosedur terkait batas waktu persetujuan tindakan medik dalam pengambilan tindakan medik pada pasien gangguan jiwa di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang diberikan oleh pengampunya, secara khusus belumlah ada. Kebijakan/ prosedur yang ada di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat hanya menyinggung secara sepintas tentang adanya pengampuan pada pasien gangguan jiwa tanpa adanya batasan waktu sampai kapan pasien jiwa tersebut berada dalam pengampuan dalam hal persetujuan tindakan medik. Dalam pasal 7 Lampiran Surat Keputusan Direktur Utama RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Nomor YM.01.01/ VII.2/078/2011 tentang Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) hanya menyatakan bahwa persetujuan diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam 58
Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, op. cit., pasal 1 ayat 7 59 Lampiran Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor HK.00.06.3.5.1866 tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medik (informed consent), angka I poin 3 huruf m
Restu Pratiwi
keadaan sadar dan ―non psikotik‖, sedangkan bagi pasien yang menderita ―gangguan psikotik‖, persetujuan diberikan oleh orang tua/penanggung jawab pasien/keluarga terdekatnya.60 Kebijakan Direktur Utama tentang Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) pada tanggal 16 Mei 2011 juga hanya menyatakan bahwa untuk pasien yang akan menjalani rawat inap, persetujuan tindakan medis dimintakan kepada penanggung jawab pasien sebelum pasien menjalani rawat inap di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, tanpa menyebutkan batasan waktu terkait pemberian persetujuan tindakan medik tersebut diberikan oleh pengampunya.61 Demikian pula pada Prosedur Tetap RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Nomor 02 - 5 - 4 - 01 Tahun 2011 tentang Prosedur Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent), pada bagian prosedur hanya menyatakan bahwa informasi diberikan kepada pasien/walinya dan setelah pasien/ walinya mengerti, maka pasien/walinya diminta menandatangani blangko persetujuan tindakan medik.62 c. Batas Waktu Persetujuan Tindakan Medik dalam Pengambilan Tindakan Medik pada Pasien Gangguan Jiwa di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Diberikan oleh Pengampunya Dalam pelaksanannya, persetujuan tindakan medik dalam pengambilan tindakan medik pada pasien gangguan jiwa di RSJ Dr. Radjiman Wediodingrat Lawang harus dilakukan oleh pengampunya. Menurut hampir semua responden, dalam pengambilan persetujuan tindakan medik diperlukan adanya pengampu. Hanya 1 (satu) orang responden saja yang menyatakan bahwa tidak semua 60
Lampiran Surat Keputusan Direktur Utama RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Nomor YM.01.01/VII.2/ 078/2011 tentang Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent), loc. cit. 61 Kebijakan Direktur Utama RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang tentang Persetujuan Tindakan Medis, op. cit., angka IV poin 1 62 Prosedur Tetap RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Nomor 02 - 5 - 4 - 01 tentang Prosedur Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent), loc. cit.
323
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 313 - 326 Petunjuk Penulisan
pasien gangguan jiwa memerlukan pengampu. Bila pasien gangguan jiwa tersebut telah mengalami remisi, maka pasien tersebut tidak memerlukan pengampu lagi.63 Kriteria pasien gangguan jiwa yang memerlukan pengampu menurut sebagian besar responden adalah gangguan jiwa berat atau psikotik karena pada pasien psikotik tidak ada insight, dan retardasi mental. Sementara itu 5 (lima) orang responden lainnya menyatakan bahwa semua pasien gangguan jiwa memerlukan pengampu.64 Mengenai ketentuan atau peraturan tentang penetapan pasien gangguan jiwa yang memerlukan pengampu, sebagian besar responden menyatakan bahwa ketentuan atau peraturan tentang penetapan pasien gangguan jiwa belumlah ada. Sementara itu 5 (lima) orang responden lainnya menyatakan bahwa ketentuan atau peraturan tersebut merupakan bagian dari ketentuan atau peraturan lainnya.65 Batasan mengenai siapa saja yang berhak memberikan persetujuan tindakan medik pada pasien gangguan jiwa menurut para responden bermacam-macam. Adapun yang berhak memberikan persetujuan tindakan medik menurut para responden adalah suami/istri, orang tua, anak kandung, wali, keluarga terdekat (saudara kandung, kakek/nenek, paman/bibi, sepupu), petugas dinsos (untuk pasien yang terlantar dan petugas harus disertai dengan surat tugas), dan perangkat desa (untuk pasien yang membahayakan lingkungan). Mengenai batas waktu pasien gangguan jiwa memerlukan pengampu dalam memberikan persetujuan tindakan medik di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, lebih dari separuh responden menyatakan bahwa tidak ada batas waktu pasien gangguan jiwa memerlukan pengampu. Sementara itu 6 (enam) orang responden menyatakan ada ba-
tas waktu pasien gangguan jiwa memerlukan pengampu, yaitu selama pasien tersebut menjalani rawat inap di rumah sakit.66 Dan 4 (empat) orang responden lainnya menyatakan bahwa batas waktu pasien memerlukan pengampu berakhir bila gangguan jiwa berat atau psikotiknya dinyatakan sembuh atau pasien telah mengalami remisi dan insightnya sudah bagus.67 D. Simpulan Berdasarkan keseluruhan uraian diatas, maka dapat ditarik simpulan: 1. Pelaksanaan perjanjian terapeutik dalam pengambilan tindakan medik pada pasien gangguan jiwa psikotik di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang berdasarkan pada Surat Keputusan Direktur Utama RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Nomor YM.01.01/VII.2/078/ 2011 tentang Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent), Kebijakan Direktur Utama tentang Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) Tahun 2011, dan Prosedur Tetap Nomor 02 - 5 - 4 - 01 Tahun 2011 tentang Prosedur Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent) yang mengacu pada peraturan lama, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/MENKES/PER/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik yang sudah diganti denganPeraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran dan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor HK.00.06.3.5.1866 tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medik (informed consent). 2. RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang tidak memiliki kebijakan/prosedur yang secara khusus mengatur tentang ba-
63
Hasil wawancara dengan dr. Alexandra Diah Mustika Wardhani, Sp.KJ 64 Hasil wawancara dengan dr. Hidayatul Husna, dr. Didit Roesono, Sp.KJ, Turasno, S.Kep, dr. Jumhur, Sp.OG, dan Heri Juwanto, SH 65 Hasil wawancara dengan dr. Wini Agus, Sp.KJ, dr. Eko Djunaedi, Sp.KJ, dr. Denny Tandra Yuwana, dr. Tiwik Kusdiningsih, Sp.KJ, dan Heri Juwanto, SH
324
66
Hasil wawancara dengan dr. Hidayatul Husna, dr. Eko Djunaedi, Sp.KJ, Turasno, S.Kep, dr. Jumhur, Sp.OG, dr. Denny Tandra Yuwana dan dr. Tiwik Kusdiningsih, Sp. KJ 67 Hasil wawancara dengan dr. Saiful Anam, dr. Wini Agus, Sp.KJ, Heri Juwanto, SH dan dr. Bambang Eko Sunaryanto, Sp.KJ
Perjanjian Terapeutik Dalam Pengambilan Tindakan Medik ... Petunjuk
Penulisan
tas waktu persetujuan tindakan medik diberikan oleh pengampunya dan kriteria pasien gangguan jiwa psikotik yang memerlukan pengampu, sedangkan kriteria pasien gangguan jiwa psikotik di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang selama ini mengacu pada Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia, edisi III (PPDGJ-III)
Restu Pratiwi
yang diterbitkan oleh Direktorat Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Pelayanan medik, Departemen Kesehatan Republik Indonesia yang merujuk pada the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition (DSMIV) yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association (APA).
Daftar Pustaka Buku Amrullah, M. Amin, Panduan Menyusun Proposal Skripsi, Tesis dan Disertasi, Cetakan pertama, Smart Pustaka, Jakarta, 2013 Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ketiga, Rineka Cipta, Jakarta, 2001 Chazawi, Adami, Malpraktik Kedokteran (Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum), Edisi pertama, Cetakan pertama, Bayumedia Publishing, Malang, 2007 Guwandi, J., Medical Error dan Hukum Medis, Cetakan kedua, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2007 Hanafiah, M. Jusuf dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Edisi keempat, Cetakan pertama, EGC, Jakarta, 2009 Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Edisi pertama, Cetakan kedua, Kencana, Jakarta, 2011 Isfandyarie, Anny, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku 1, Cetakan keenam, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2011 Kaplan, Harold I., Benjamin J. Sadock dan Jack A. Grebb, Sinopsis Psikiatri, Jilid 1, (Terjemahan Widjaya Kusuma), Bina Rupa Aksara, Tangerang, 2010 Koeswadji, Hermien Hadiati, Hukum untuk Perumahsakitan, Cetakan pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002 Komalawati, Veronica, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik (Persetujuan dalam Hubungan Dokter dan Pasien) Suatu Tinjauan Yuridis, Cetakan kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002 Maramis, Willy F. dan Albert A. Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Edisi kedua, Cetakan pertama, Airlangga University Press, Surabaya, 2009 Marbun, Rocky, et al., Kamus Hukum Lengkap, Cetakan pertama, Visi media, Jakarta, 2012 Maslim, Rusdi, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III, Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya, Jakarta, 1998 Ohoiwutun, Y.A. Triana, Bunga Rampai Hukum Kedokteran (Tinjauan dari Berbagai Peraturan Perundangan dan UU Praktik Kedokteran), Edisi pertama, Cetakan kedua, Bayumedia Publishing, Malang, 2008 Soepardan, Suryani dan Dadi Anwar Hadi, Etika Kebidanan dan Hukum Kesehatan, Cetakan pertama, EGC, Jakarta, 2008 Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan keduabelas, Intermasa, Jakarta, 1990 Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan keduapuluh delapan, Pradnya Paramita, Jakarta, 1996
325
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 313 - 326 Petunjuk Penulisan
Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, Cetakan kesepuluh, Balai Pustaka, Jakarta, 1999 Wiradharma, Danny, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Cetakan pertama, Binarupa Aksara, Jakarta, 1996 Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 254/MENKES/PER/III/2008 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor HK.00.06.3.5.1866 Tahun 1999 tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medik (informed consent) Surat Keputusan Direktur Utama RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Nomor YM.01.01/ VII.2/078/2011 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) Kebijakan Direktur Utama RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Tahun 2011 tentang Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) Prosedur Tetap RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Nomor 02 – 5 – 4 – 01 Tahun 2011 tentang Prosedur Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent)
326
Petunjuk Penulisan
PENERAPAN UU ITE DAN SURAT EDARAN KAPOLRI MENGENAI UJARAN KEBENCIAN HATE SPEECH TERHADAP PENYIMPANGAN PENGGUNAAN KEBEBASAN BEREKSPRESI DALAM KAJIAN PASAL 28 UUD 1945 TENTANG HAM DI RUANG MAYA CYBER SPACE Oleh : Sri Ayu Astuti Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Jl. Mojopahit No.666 B Sidoarjo Telp: 031-894544,Faxsimile 031-8949333,email.
[email protected] Abstrak Perkembangan HAM di berbagai negara terus menunjukan peningkatan yang berarti dalam kaitannya dengan penggunaan hak dasar manusia terhadap kepentingannya. HAM di Indonesia tertuang pada ketentuan Pasal 28 UUD 1945 yang menjadi dasar berkembangnya HAM dan Demokrasi pada masa Reformasi. Seiring reformasi berjalan terjadi era keterbukaan informasi dan komunikasi yang sangat cepat dengan ditandai kemajuan teknologi internet. Percepatan teknologi itu dengan tingkat partisipasi paling tinggi dikalangan masyarakat pengguna ruang maya cyber space dengan kehidupan masyarakat tanpa batas (borderless) adalah ruang media sosial. Kemanfaatan (convergance) media dalam internet dengan konteks masyarakat pengguna di media sosial, menimbulkan dampak positif dan negatif. Ruang maya (cyber space) memberikan perluasan terhadap kebebasan ekspresi hingga terjadi ruang interaksi tanpa batas dan jeda waktu. Ruang virtual itu banyak memberikan dampak negatif dengan berkembangnya berbagai macam tindak kejahatan. khususnya tindakan kejahatan yang menggunakan teknologi internet, dengan berbagai motif. Perilaku melampaui batas etika diruang cyber juga semakin tak terukur, yang akhirnya menjadi permasalahan hukum. Maka untuk mengatasi permasalahan hukum itu diperlukan penegakan hukum dengan penerapan UndangUndang Siber Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE, yang kini dikuatkan dengan Surat Edaran Kapolri RI Nomor SE/6/X/2015 tentang Ujaran kebencian atau Hate Speech, sebagai pedoman bagi polisi dalam menjerat kejahatan atas kalimat penghinaan di ruang publik. Peraturan perundang-undangan dan kebijakan Kapolri dihadirkan untuk mengatasi perilaku yang telah menyimpang dari fungsi penggunaan Kebebasan berekspresi di ruang Publik dan Cyber Space. Kata Kunci: HAM, ujaran Kebencian (Hate Speech), Kebebasan Berekspresi, Ruang Mayantara (Cyber Space) Abstract Human rights developments in various countries continue to show a significant increase in relation to the use of basic human rights against its interests. Indonesian human rights contained in the provisions of Article 28 UUD 1945 which became the basis of the development of human rights and democracy in the Reformation. As the reform goes occur era of information disclosure and communication is very fast with a marked advancement of internet technology. Acceleration technology with the highest participation rate among people who use cyberspace cyber space with people's lives without borders (borderless) is the social media space. Expediency (convergance) media in the context of the Internet user community in social media, positive and negative impacts. Cyberspace (cyber space) provides an extension to the freedom of expression to occur interaction space indefinitely and lag time. Virtual space that many have a negative impact to the development of a wide range of crimes. particularly crime that uses Internet technology, with various motifs. Behavior exceeded diruang cyber ethics also increasingly unfathomable eventually become legal 327
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 327 - 340 Petunjuk Penulisan
issues. So to address the legal issues that required law enforcement to the implementation of the Act Siber Indonesia Number 11 Year 2008 About the ITE, which is now confirmed by Circular Chief of Police No. SE / 6 / X / 2015 on speech-hatred or Hate Speech, as a guideline for police ensnare crimes sentence in humiliation in public spaces. Legislation and policies of the Chief of Police presented to address the behavior that has deviates from the use of Freedom of expression in public space and Cyber Space. Keywords : Human rights, speech Hate (Hate Speech), Freedom of Expression, Space mayantara (Cyber Space) PENDAHULUAN Penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika ITE sebagai undang-undang khsusus yang mengatur tindak pidana siber, sangat memberikan penguatan akan payung hukum yang dibutuhkan bagi pengguna masyarakat dalam media vitual dalam konteks masyarakat di era digital. Disahkannya UU ITE pada tanggal 21 April 2008 itu, terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal ini memuat 2 (dua) muatan besar yang diatur dalam Undang-Undang ITE ialah mengenali pengaturan Transaksi elektronik dan mengenai tindak pidana siber (cyber). Sedangkan materi dari UU ITE itu sendiri adalah implementasi dari beberapa prinsip ketentuan internasional, seperti UNCITRAL Model Law on Elektronic Commerce, UNCITRAL Elektronic Signature, Convention on Cybercrime, EU Directives on Eletronic Commerce, dan EU Directives on Elektronic Signature. Ini merupakan ketentuan International dan regional yang banyak diterapkan oleh negara-negara Eropa , Amerika dan Asia. Sementara itu terdapat substansi pengaturan tindak pidana siber dalam UU ITE mencakup hukum pidana materiil yaitu kriminalisasi perbuatan yang termasuk kategori tindak pidana siber, pedoman yang digunakan ialah Convention on Cybercrime. Undang-undang ini juga memuat ketentuan pidana formil yang khusus untuk menegakan hukum pidana siber. Ruang perkembangan siber dan ketentuannya tidak terlepas dari berbagai Fenomena politik dunia yang menghendaki keterbukaan politik yang terkait juga dengan pelaksanaan HAM dan menjadi isue central dalam perubahan politik suatu negara dengan dinamika kemajuan teknologi yang terjadi dan perubahan dinamika di da328
lam pemahaman Demokrasi. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi juga melanda Indonesia dalam pembangunan demokrasi yang sangat terasa saat mulai terjadinya reformasi di Indonesia pada tahun 1998 itu, membuka juga reformasi teknologi terkait dengan kemajuan HAM. Kemajuan pembangunan teknologi dan HAM serta hukum itu memberikan konsekuensi logis terjadi perubahan dalam kehidupan sosial masyarakatnya, dan HAM menjadi isu yang sangat menarik diruang demokrasi yang turut memperkuat atmosfir politik hukum berjalan dalam penyelenggaraan pemerintah Indonesia. HAM di dalam dalam kettentuan Kebebasan berekspresi yang berjalan pada ketentuan Hukum membuka ruang kebebasan dalam menggunakan Kemajuan teknologi tanpa jeda sebagai HAM dalam penguasaan pengetahuan teknologi. Undang-Undang Dasar 1945 memasukkan ketentuan jaminan HAM pada BAB XA Pasal 28 yang meresepsi HAM dari DUHAM (Declaration Universal of Human Rights) 1948. Pasal 29 Deklarasi Universal HAM dipandang tidak mengikat secara yuridis, hanya pedoman moral untuk menghormati hak dan kebebasan setiap orang, dan kewajiban moralitas bagi suatu negara menjamin ketertiban, dan kesejahteraan umum.1 Meski tidak mengikat secara yuridis tetapi pengaruh moral, politik dan edukatifnya sangat besar, bahkan komitment terhadap Hak Asasi Manusia menjadi acuan dalam ruang penegakan hukum. Hak Asasi Manusia dalam perjalanan ruang keadilan hukum di negara-negara penganut demokrasi dan masyarakat modern saat ini, 1
Miriam Budiardjo, Hak-Hak Asasi Manusia dalam Dimensi global, Jurnal Ilmu Politik,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990, hlm. 41
Penerapan UU ITE dan Surat Edaran Kapolri ...
Petunjuk Penulisan
yang berdimensi global diperkuat dengan perjanjian (covenant). Hal itu tentunya mengikat negara-negara pihak yang turut serta sebagai negara pihak terikat secara hukum, dari sekedar deklarasi sebelumnya. Dari perjalanan sejarah Hak Asasi Manusia HAM yang terpenting menjadi penguatan yang mengandung makna hukum adalah ketika Komisi Hak Asasi Manusia PBB pada tahun 1966 secara aklamasi sidang umum PBB, menyetujui 3 (tiga) dokumen HAM yaitu :2 (1) International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (Perjanjian Internasional tentang hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya); (2) International Convenant on Civil and Political Rights (Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik); (3) Optional Protocol to the International on Civil and Political Rights. Ketiga dokumen di atas beserta Deklarasi Universal HAM dinamakan International Bill of Human Rights (Undang-Undang Internasional tentang Hak-hak Manusia. Setelah diratifikasi oleh negara-negara hukum anggota PBB pada Tahun 1976, maka sejak saat itu Deklarasi Universal HAM memiliki kekuatan hukum Internasional. Terkait dengan berlakunya HAM dan Indonesia sebagai satu dari negara pihak yang turut meratifikasi, maka dari perspektif hukum internasional ada ketentuan yang harus ditaati dalam menegakan HAM. Indonesia sebagai negara hukum meresepsi norma dasar (Groundnorm) yaitu Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, untuk menerbitkan ketentuan khusus hukum tentang HAM. Dalam teori Hans Kelsen tentang Groundnorm itu menjadi sangat penting memperhatikan norma dasar yang terkandung didalam Pancasila sebagai payung hukum bangsa Indonesia dalam visi kebangsaannya. Untuk itu dalam membuat peraturan perundang-undangan harus memaknai martabat manusia dan memahami Hak Asasi Manusia yang harus dijabarkan didalamnya.3 2
I Gede Yusa, Demokrasi, HAM, dan Konstitusi, Setara Press, Malang, 2011, hlm.18-19 3 Philipus M.Hadjhon, Hak-hak Kewajiban Dasar suatu Kajian Hukum Tata Negara, dalam Majalah Hukum Yuridika Universitas Airlangga, Surabaya, 1988, hlm.258
Sri Ayu Astuti
Semangat Pasal 28 UUD 1945 mengatur HAM, yaitu Kemerdekaan mengeluarkan pikiran, pendapat dan berserikat. Kondisi ini sejalan dengan lahirnya UU Politik dan UU Ormas. Penegakan hukum HAM di Indonesia menjadi persoalan tersendiri dalam ruang keterbukaan informasi dan komunikasi saat ini, karena HAM menjadi persoalan yang banyak menjadi sorotan tajam atas ketidakmampuan setiap orang dalam memahami HAM yang terkandung sebagai tanggungjawab hukum bagi setiap orang dalam menggunakannya. Menjadi penting penegakan hukum HAM dilakukan secara adil berdasarkan ketentuan dasar hak-hak yang terkandung di dalam Pasal 28 UUD 1945, yang telah mengatur juga pembatasan hak yang ditetapkan oleh Pasal 28J Ayat (2). Hal tersebut dimaksudkan agar capaian keadilan penegakan hukum HAM dapat terpenuhi, maka setiap orang dibatasi dengan tanggungjawab dalam memahami tentang HAM yang menunjuk pada batasan hak dan kewajiban itu ada pada penggunaan fungsi etika. Etika berfungsi untuk dapat membatasi antara hak orang yang satu dengan orang yang lainnya. Ketentuan dalam penegakan hukum pada pengguna ruang media internet dipagari oleh ketentuan peraturan hukum. Ketentuan hukum positif yang terkait dengan hal yang sifatnya adalah perbuatan yang melanggar hak-hak setiap orang di muka umum dan dikenal dengan sebutan hatzaai artikelen yang terdapat dalam KUHP. Disamping itu ada Undang-Undang ITE dan SE Kapolri tentang Ujaran Kebencian (hate speech) yang ketiganya memiliki benang merah yang kuat untuk menegakan keadilan atas timbulnya perilaku tidak menyenangkan atau menyimpang dalam menggunakan ruang publik (public area) pada ruang maya cyber space. Ketentuan peraturan perundang-undangan itu dihadirkan untuk memberikan payung hukum bagi pengguna cyber space secara bertanggungjawab. Para pengguna ruang maya terikat dengan norma sosial dan norma hukum yang dikenal dengan etika atau netiket pada ruang cyber tersebut dan sejatinya HAM itu ada sebagai pengikat pada bentuk norma sosial dan norma hukum didalam kedudukan HAM itu sendiri. Fungsi 329
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 327 - 340 Petunjuk Penulisan
HAM berproses dalam upaya menjaga ketertiban dan menegakan hukum bagi setiap orang yang menggunakan kebebasan berpikir dan berpendapat dengan menegakan etika hukum (the rule of ethics), inilah substansi terdalam secara hakiki HAM belajar berhukum dari perilaku. RUMUSAN MASALAH Bagaimanakah penerapan Undang-Undang ITE Nomor 11 Tahun 2008, dan Surat Edaran Kapolri SE 6/X/2015 tentang Ujaran Kebencian (hate speech) dengan pelanggaran etika terkait penegakan Hukum dan HAM di ruang maya (cyber space). PEMBAHASAN A. Konvergensi Media (Convergance Of Media) Terkait Perubahan Pola Perilaku Komunikasi di Ruang Maya (Cyber Space) dan Aspek Hukumnya Perubahan pola komunikasi yang terjadi dalam masyarakat saat ini di ruang siber memang memberikan dampak pada perilaku kehidupan masyarakat modern. Kehadiran media siber merupakan bentuk cara baru dalam berkomunikasi. Bila selama ini pola komunikasi terdiri dari one-to-many atau dari satu sumber ke banyak audiences (seperti buku, radio, dan televisi), dan pola dari satu sumber ke satu audience atau one-to-one (seperti telepon dan surat), maka pola komunikasi masyarakat siber menggunakan many- to-many dan few-to-few.4 Medium komunikasi memiliki pengaruh yang sangat hebat bagi perubahan peradaban manusia sebagai pelaku pengguna media dengan konsep tata ruang yang berbeda tetapi dapat dipertemukan melalui suatu alat yang bernama media sebagai wadah mengkomunikasikan pesan. Bahkan McLuhan5 mengatakan bahwa ―medium tidak hanya memidiasi pesan, tetapi medium itu adalah pesan itu sendiri yang bisa mengubah bagaimana pola komunikasi antar . manusia. Medium juga mempengaruhi dan memberikan kontrol dari skala atau bentuk dari bagaimana manusia itu beraksi dan berhubungan. 4
Rulli Nasrullah, Teori dan Riset Media Siber (Cybermedia), Kencana, Prenamedia Group, 2014, hl. 23-24 5 Ibid,
330
Masyarakat di ruang maya atas penggunaan teknologi terjadi perubahan pola perilaku komunikasi. Kondisi itu memang telah memberikan dampak terhadap ruang perubahan dalam membangun sistem kemasyarakatan tersendiri. Sistem kemasyarakatan di ruang maya itu terbangun sebagaimanamodel dalam segi kehidupan masyarakat nyata, seperti halnya terdapat interaksi sosial, stratifikasi sosial, kebudayaan, pranata sosial, kekuasaan dan juga sistim kejahatan yang berjalan.6 Secara umum realitas sosial dapat diartikan dari dua sudut pandang yakni:7 (1) kenyataan tentang kejadian-kejadian di dalam masyarakat yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat dipandang sebagai realitas fenomena; (2) dapat diartikan juga sebagai gambaran tentang kenyataan atau pengetahuan tentang kenyataan sehingga dapat dipandang sebagai realitas konseptual. Realitas sosial dalam fenomena perubahan perilaku masyarakat modern yang berpindah pada gempitanya ruang virtual, itu keberadaannya dibentuk oleh suatu konstruksi sosial. Dunia virtual menjadi bagian dunia nyata dalam kehidupan masyarakat modern yang dibingkai oleh kekuatan dasyatnya kecepatan tekonologi informasi yang berkembang dan mengubah peradaban dalam kehidupan manusia. Konstruksi sosial berasal dari pemikiran filsafat dalam Teori Konstruksivisme. Ini melihat pemikiran Von Glaserfeld dan Mattew, berpendapat ―konstruksivisme adalah sebuah filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan manusia adalah konstruksi (bentukan) manusia sendiri.8 Menurutnya Konstruktivisme adalah sebagai berikut : 1. Pengetahuan bukan merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek. 2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang perlu un6
Burhan Bungin, Pornomedia : Konstruksi Sosial Telematika dan Perayaan Seks di Media Massa, Prenada Media, Jakarta, 2003, hlm. 34 7 I.S Susanto, Pemahaman Kritis Terhadap Realitas sosial, Majalah Masalah-Masalah Hukum, Nomor 9 Tahun 1992, hlm.14 8 Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Kanisius, Yogyakarta, 1997, hlm. 18
Penerapan UU ITE dan Surat Edaran Kapolri ...
Petunjuk Penulisan
tuk pengetahuan. 3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang, struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang. Dengan demikian Konstruktivisme sosiologis mengambil pandangan bahwa pengetahuan itu merupakan hasil penemuan sosial dan sekaligus juga merupakan faktor dalam perubahan sosial. Dan perubahan sosial dari berbagai pengalaman masyarakat sosial itu menjadi titik penemuan kehidupan sosial masyarakat di dunia virtual yang berubah dalam konteks pola perilaku komunikasi dan seperangkat perubahan pola kehidupan dalam ruang mayantara. Penemuan sosial tersebut memberikan hasil hadirnya suatu pranata kehidupan sosial kehidupan masyarakat mayantara yang memiliki sistem sosial, sistem pranata, sistem penyelesaian konflik dan berkembangnya sistem kejahatan di ruang mayantara dengan pola kejahatan siber. Sistem pranata masyarakat sosial memiliki filosofi kebebasan menggunakan informasi dan kebebasan berkomunikasi yang diimplementasikan di ruang mayantara. Lalu ada kebebasan terkait dengan penegakan etika hukum yang bersisian dengan kebutuhan penggunaan media teknologi internet dengan mekanisme penyelesaian sengketa dan sistem penjatuhan sanksi. Pergaulan di ruang siber itu terkait menggunakan kebebasan yang merupakan HAM dalam berpikir dan berpendapat dan berekspresi itu terbatasi suatu tanggungjawab setiap orang dalam menggunakan perpaduan keahlian teknologi dan intelektualitas yang dimiliki. Kebebasan berpikir dan berpendapat dan berekspresi yang melampaui batas etika dan mencederai orang lain itu, penulis menggolongkannya pada kejahatan lisan lewat media khususnya oleh media sosial yang menjadi wadah masyarakat sosial dalam mengekspresikan diri. Perang lisan dengan menggunakan media internet yang dikenal sebagai hoax, fitnah dan penghinaan sering tak terhingga bahkan perilaku demikian dalam dunia mayantara sudah tidak mengenal batas teritorial (borderless) negara, menjadi persoalan yang sangat serius. Untuk itu diperlukan upaya pengendalian dengan sistem hu-
Sri Ayu Astuti
kum yang sesuai termasuk sistem hukum pidana sebagai ultimum remedium. Perubahan pola komunikasi dalam ruang mayantara itu memang merupakan perkembangan perilaku masyarakat moderen (modern social behaviour) menjadi suatu fenomena yang semakin kuat terjadi dan mendominasi dalam perkembangan teknologi informasi.9 Sebagaimana juga pandangan dari Alvin Tovler yang mengatakan bahwa tahap perkembangan masyarakat terkini telah mengarah pada masyarakat informasi, dimana kekuatan bersumber pada intelektualitas, informasi dan teknologi. Dalam aspek penegakan hukum di ruang siber, Indonesia menggunakan ketentuan Undang-undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika. Tentu ada yang menjadi titik perhatian pengguna internet yaitu ketentuan Pasal 27 Ayat (1),(2) dan (3) yang dianggap kontroversial sekaligus juga pernah menjerat prita mulyasari, kasus hukum siber akibat curhat di ruang maya, untuk selanjutnya berujung pada upaya penegakan hukum. Pasal tersebut terkait permasalahan pencemaran nama baik atau penghinaan melalui millis, forum dan blog, dan menjadi sorotan tajam bagi pengguna internet dikarenakan pemikiran bahwa Pasal 27 UU ITE tersebut adalah tidak ada pengertian yang jelas mengenai kesusilaan, pencemaran nama baik ataupun penghinaan. Pasal ini pernah diajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi oleh tim Advokasi untuk kemerdekaan Berekspresi Indonesia, yang kemudian ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan hukum UU ITE adalah bentuk perlindungan umum yang diberikan negara kepada setiap orang.10 Pasal 27 UU ITE ini dipandang kontroversial disebabkan tidak ada standar pasti mengenai definisi pencemaran nama baik atau penghinaan. Di dalam keputusan Mahkamah Konstitusi pada perkara Nomor 50/PUU-VI/2008 dan pada perkara Nomor 2/PUU-VII/2009 terkait Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang ITE mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik di 9
Wisnubroto, Makalah Perubahan Masyarakat dan Hukum; Dalam Kajian Aspek-aspek Pengubah Hukum,1996, hlm. 19-20 10 Merry Magdalena, UU ITE; Dont be the Next victim, Gramedia, Jakarta, 2009, hlm. 48-50
331
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 327 - 340 Petunjuk Penulisan
ruang maya dengan akses internet itu Mahkamah Konstitusi MK, memberikan pendapat mengenai unsur-unsur dalam putusan 50/PUU-VI/ 2008 sebagai berikut : ―Rumusan Pasal a quo (Pasal 27 Ayat (3) UU ITE) telah cukup jelas memberikan pengertian “mendistribukan” sebagai “penyalinan”... pengertian menstransmisikan adalah interaksi sekejap antara pihak pengirim dan penerima dan interaksi tersebut merupakan bagaian dari distribusi. Begitu juga dengan batasan “membuat dapat diakses”dapat berupa memberikan akses terhadap muatan secara langsung dan memberikan akses berupa alamat tautan”. Pendapat MK di atas didasarkan pada keterangan ahli dari pemohon,11 yaitu sepanjang mengenai kata ―mendistribusikan‖, dari perspektif Teknologi Informasi (TI) kata a quo dapat dimaknai sebagai ―membagikan salinan‖. Dalam hal ini, salinan yang dibagikan dapat langsung diterima atau dapat diterima pada waktu yang berbeda. Sedangkan jalur yang dipakai untuk melakukan ―distribusi‖ atau ―mendistribusikan‖ terdapat banyak cara yaitu dapat melalui web (web atau blog), milis, peer to peer, atau melalui server lain. Sepanjang mengenai kata mentransmisikan dalam perspektif spesifik Teknologi Informasi maka kata ―mentransmisikan‖ ditafsirkan sebagai harus ada pihak pengirim dan penerima. Transmisi merupakan bagian dari distribusi informasi, yaitu tatkala seseorang hendak mendistribusikan informasi maka ia harus melalui saluran yakni saluran transmisi informasi. Ada juga yang menjadi perhatian adalah sepanjang mengenai kata ―membuat dapat diakses‖ merupakan suatu istilah yang melibatkan banyak pihak, yaitu pembuat, penerbit, perantara, hosting, provider ISP dan lain sebagainya. maka kebebasan berekspresi yang menyimpang dari fungsinya berdasarkan ketentuan dari keputusan Mahkamah Konstitusi dari Pasal 27 UU ITE, penting kiranya mencermati hal-hal terkait dalam menjaga koridor kebebasan ber11
Josua Sitompul, Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Tatanusa, Jakarta, 2012, hlm. 152-153
332
pikir, berpendapat dan berekspresi dalam ketentuan normatif dan norma-norma yang berlaku dalam tatanan masyarakat umum. Ada juga yang menjadi perhatiaan tegas mengatur perilaku menyimpang atas penggunaan komunikasi dan informasi terkait dengan SARA di dalam UU ITE, sebagaimana terdapat pada Pasal 28. Penegakan hukum terhadap ketentuan yang terdapat di Pasal 28 UU ITE itu adalah bertujuan untuk memberikan perlindungan pada keamanan negara seperti halnya Pasal 28 Ayat (2) : ―Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA)‖. Pasal itu dimaksudkan untuk mengkriminalisasi penggunaan internet untuk menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan kebencian berdasarkan suku, agama ras dan antargolongan (SARA) yang dapat menimbulkan perang saudara dan merusak integrasi bangsa. Pasal itu untuk menjaga integritas bangsa atas perilaku berkaitan dengan SARA yang dengan sengaja menyebarkan kebencian oleh pengguna internet terhadap kebencian berdasarkan suku, agama ras dan antargolongan. Dalam konteks keberadaan Pasal 28 ayat (2) itu adalah selaras dengan First Additional Protocol to the Convention on Cybercrime concerning the criminalisation of acts of racist and xenophobic nature committed trough computer systems. yang dikeluarkan Tahun 2006 oleh Council of Europe (protokol). Council of Europe mengeluarkan Protokol untuk melengkapi CoC. Aspek hukum dari pola perilaku komunikasi yang berkembang secara masif menuai konsekuensi terhadap kehidupan baru bahkan dunia menjadi desa global, di ruang cyber. Terkadang pertemuan antar kultur dan budaya itu seringkali menabrak etika, seperti memaki, menghina dan Sara itu telah diatur pada ketentuan Undang-Undang ITE Pasal 27 dan 28. Di dalam Pasal 27 ayat (3) memuat unsur orang
Penerapan UU ITE dan Surat Edaran Kapolri ...
Petunjuk Penulisan
yang melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik. Pasal 27 Ayat (3) berbunyi sebagai berikut : ―Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.‖ Di dalam Pasal 27 di atas memuat unsur ―orang‖ dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik. Muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik itu terdapat unsur ―muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik mengacu juga pada KUHP dalam BAB XVI tentang Penghinaan. Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP memberikan dasar pemahaman atau esensi tentang penghinaan atau pencemaran nama baik, yang dilakukan adalah dengan tindakan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui oleh umum. Maka perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya di dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE itu haruslah dimaksudkan atau ada niat untuk menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui oleh umum. Dengan meletakan kata orang itu menunjuk pribadi kodrati (naturlijk persoon) dan bukan pribadi hukum (recht persoon). Pribadi hukum tidak mungkin memiliki perasaan terhina atau nama baiknya tercemar mengingat pribadi hukum merupakan abstraksi hukum. Kendati pribadi hukum dipresentasikan oleh pengurus atau wakilnya yang resmi, tetapi delik penghinaan hanya dapat ditujukan pada pribadi yang kodrati dari Tuhan yang Maha Kuasa. Begitu juga dengan pembunuhan atau penganiyaan tidak mungkin pribadi hukum dapat dibunuh atau dianiaya di dalam pengertian secara harfiah, yang seharusnya adalah pribadi kodrati manusia secara utuh. Ketentuan itu dapat dilihat dalam penekanan pasal 27 ayat (3) sebagai delik penghinaan yang bersifat subjektif dan itu sama dengan ke-
Sri Ayu Astuti
tentuan Pasal 310 KUHP. Mengandung perasaan bahwa telah terdapat rasa diserang nama baik dan kehormatan seseorang hanya ada dalam rasa si korban. Fungsi Pasal 27 ayat (3) UU ITE dapat memberikan perlindungan hukum pada kegiatan komunikasi dan sebaran informasi di ruang cyber bila terpenuhi kriteria objektif terkait perilaku yang telah disebutkan pada Pasal tersebut, dan itu merupakan pelanggaran HAM. Tentunya kriteria yang dimaksudkan dapta dibangun berdasarkan kejelasan identitas orang yang dihina dan muatan dari informasi atau dokumen elektronik dan terdapat kalimat yang dapat dibaca pada ketentuan terkandungnya maksud ucapan penghinaan dan pencemaran nama baik seseorang. Menjadi penting untuk mengetahui konten muatan penghinaan atau pencemaran nama baik dalam permasalahan hukum di ruang cyber dengan memperhatikan beberapa hal yang menjadi telaah, pada ketentuan penghinaan dan pencemaran nama baik yang dimaksud, yaitu:12 a. Kontent harus terdapat kejelasan identitas orang yang dihina; b. Identitas harus mengacu pada orang pribadi (natural person) tertentu bukan kepada pribadi hukum (legal person) kepada orang secara umum atau kepada sekelompok orang berdasarkan suku, agama, ras, atau golongan. Identitas dapat berupa gambar (foto), user name, riwayat hidup seseorang atau informasi lain yang berhubungan dengan orang tertentu yang dimaksud; c. Bila identitas yang dipermasalahkan bukan identitas asli maka penting ditentukan bahwa identitas memang dengan sengaja mengacu pada korban dan bukan pada orang lain; d. Identitas meski bukan asli tapi diketahui umum identitas itu menunjuk pada orang yang dimaksud dan bukan orang lain. Ini penting karena mengingat esensi dari tindak pidana ini adalah menyerang kehormatan orang lain untuk diketahui umum. Kriteria dipandang lebih kuat dan objektif 12
Ibid
333
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 327 - 340 Petunjuk Penulisan
dapat dilihat dari konten dan konteks dari tiaptiap kasus. Bisa diketahui langsung dari proses kalimat dan bahasa yang disampaikan di ruang maya itu dan juga terlihat dari ekspresi berpikiran dan berpendapat dari ruang sosial dan psikologi pemilik akun. Terkait pada pasal 27 ayat (3) Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa materi pasal itu konstitusional sebagaimana yang telah dinyatakan dalam putusan MK Nomor 50/PUUVI/2008 dan Nomor 2/PUU-VII/2009. Dengan berdasarkan pututsan Nomor 14/PUU-VI/2008, Mahkamah Konstitusi telah menegaskan dan menetapkan bahwa nama baik, Martabat, atau Kehormatan seseorang adalah salah satu kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana karena merupakan bagian dari hak konstitusional setiap orang yang dijamin baik oleh UUD 1945 maupun hukum Internasional. Dengan demikian bila terdapat sanksi pidana atas perbuatan yang menyerrang nama baik, martabat dan atau kehormatan seseorang hal itu tidak bertentangan dengan konstitusi. Berdasarkan keputusan MK itu dapat dilihat bahwa telah terjadi perlindungan HAM bagi seseorang dalam persoalan hukum yang berangkat dari ruang maya akan efektifitas dari penerapan Undang-Undang ITE dengan ketentuan Pasal 27 Ayat (3) dan 28 Ayat (2) yang sering menjadi pangkal permasalahan hukum akibat pelanggaran etika berlisan di ruang mayantara (cyber) terkait isu SARA. Alasan hukum sebagai pertimbangan Mahkamah Konstitusi terhadap Judicial Review Pasal 27 ayat (3) UU ITE, adalah:13 (1) Penghargaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan tidak boleh tercederai oleh tindakan-tindakan yang mengusik nilai-nilai kemanusiaan melalui tindakan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. (2) Masyarakat Internasional juga menjunjung tinggi nilai-nilai yang memberikan jaminan dan perlindungan kehormatan atas diri pribadi, seperti dalam Pasal 12 Universal Declaration of Human Rights (UDHR), Pasal 17 dan Pasal 19 International Covenant on Civil and Political 13
Ibid
334
Rights (ICCPR). (3) Rumusan KUHP dinilai belum cukup karena unsur dimuka umum sebagaimana diatur dalam Pasal 310 KUHP kurang memadai sehingga perlu rumusan khusus yang bersifat ekstensif yaitu mendistribusikan, menstransmisikan dan /atau membuat dapat diaksesnya penghinaan yang diatur dalam KUHP (penghinaan off line) dinilai tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia siber (penghinaan on line) karena ada unsur ―di muka umum‖. (4) Rumusan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, tidak bisa dilepaskan dari norma hukum pidana yang termuat dalam bab XVI tentang Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, sehingga konstitusionalitas Pasal 27 Ayat (3) UU ITE harus dikaitkan dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya menyatakan bahwa penghinaan yang diatur dalam KUHP (secara off line) dikatakan tidak dapat menjangkau tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan di ruang siber (on line) karena ada unsur ―di muka umum‖ maka perlu dimaknai dengan hatihati. Mahkamah Konstitusi menyatakan pendapat bahwa ―secara harfiah kurang memadai sehingga diperlukan rumusan khsusus yang bersifat ekstensif‖ adalah tepat sepanjang maksudnya ialah bahwa penghinaan dalam dunia siber tidak dapat dilakukan dimuka umum dalam koteks yang konvensional yang terjadi dalam realspace, yaitu dihadapan orang banyak secara fisik. Pasal 310 dan 311 KUHP merupakan pengaturan yang dibuat dalam zaman paperbased, sedangkan di dunia siber adalah penghinaan paper less dalam konteks penggunaan ruang mayantara itu. Dalam konteks cyber space itu Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa unsur ―dimuka umum‖ itu atau ―diketahui oleh umum‖ dapat digantikan dengan unsur mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diakses-
Penerapan UU ITE dan Surat Edaran Kapolri ...
Petunjuk Penulisan
nya, ini yang membuat tidak sesuai dengan esensi dari pengaturan penghinaan atau pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 310 dan 311 KUHP. Perkataan lain urgensi Pasal 27 ayat (3) UU ITE bukan terletak tidak dipenuhinya unsur dimuka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 dan 311 KUHP, tetapi pada bentuk di muka umum pada Pasal 27 (3) dalam konteks cyber space dan bukan realspace, yaitu informasi atau dokumen elektronik tersebut dapat diakses oleh umum sehingga dengan demikian dapat diketahui umum. Maka menurut penulis diperlukan keseriusan melindungi seseorang dari serangan penghinaan dan pencemaran nama baik, yang mengenai setiap orang dan mecederai marwah bagi setiap manusia, hal itu tidak boleh terjadi. ini terkait dari kepemilikan setiap manusia dan harus dilakukan perlindungan hukum terhadap HAM sekalipun itu terjadi di ruang mayantara yang harus menjadi perhatian serius dalam hal memberikan upaya penegakan hukum. Dengan uraian diatas tadi perlu diperhatikan esensi dari penghinaan baik di ruang mayantara (cyber space) maupun di ruang nyata (real space) adalah sama. Penekanan di ruang cyber space adalah dengan mentransmisikan hingga diketahui oleh umum. Adapun maksud unsur Mentransmisikan disini bertujuan mengirimkan pesan informasi atau dokumen elektronik dari satu orang atau satu tempat ke tempat lain sehingga diketahui oleh umum. Maka dalam ketentuan aspek hukum negara melalui konstitusi Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan ekspresi, berpikir dan berpendapat, telah melakukan perlindungan hukum kepada setiap orang untuk mendapatkan kepastian hukum melalui penegakan hukum dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi melalui media internet. Kebebasan berekspresi sebagi hak asasi manusia, telah tercukupi dalam perlindungan berdasarkan ketentuan UUD 1945 sendiri, UU ITE, dan Ujaran Kebencian sebagai pedoman Polri dalam mengambil tindakan terkait perbuatan pidana di ruang cyber space. Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga Konstitusi Negara atas kepentingan Hak Asasi Manusia juga telah memberikan penegasan perlindungan hukum terhadap pengguna internet dan elektronika. Hukum yang ada telah cukup
Sri Ayu Astuti
menyesuaikan dengan kebutuhan perkembangan teknologi, dan Undang-Undang ITE juga sudah mengakomodasi kepentingan perlindungan bagi setiap pengguna internet atas perbuatan yang melampaui batas etika dalam menggunakan komunikasi dan informasi di ruang mayantara (cyber space). B. Penerapan UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 Terkait dengan Ujaran Kebencian Terhadap Kebebasan Berekspresi dalam Ketentuan HAM Pasal 28 UUD 1945 Teknologi digital bergerak sangat cepat dalam kehidupan ruang masyarakat Indonesia sebagai bagian pergaulan komunikasi dan interaksi dengan berbagai negara di belahan dunia secara virtual. Situasi itu memberikan dampak terhadap tatanan masyarakat kehidupan sosial dan norma-norma kehidupan yang terusik dengan perubahan pola perilaku akibat dari penggunaan kemanfaatan media (convergance of media). Kondisi itu lebih disebabkan atas ketidaksiapan mental masyarakat menyikapi situasi perubahan kehidupan sosial masyarakat dengan percepatan teknologi digital. Kemanfaatan media (convergance media) banyak digunakan untuk hal yang tidak memberikan kemanfaatan positif dalam pembangunan karakter diri yang baik, justru seolah menjadi media untuk melepaskan kata-kata kasar dan umpatan serta kebencian (hate). Seorang pengamat data digital Irendra Radjawali14 menyatakan : ―Dunia maya miskin ujaran perdamaian. Bahasa teduh berada dalam posisi minor dan dikalahkan dan didominasi oleh ucapan radikal.‖ Hal itu disampaikan setelah melakukan penelusuran percakapan di dunia maya (web scrapping). Terdapat 300 kata kunci terkait radikalisme seperti ISIS, Khalifah, Jihad, dan Syiria. menurutnya ada lebih dari 100 ribu kata yang tergunakan menjadi dasar kalimat dalam sebaran radikalisme. Tetapi Irendra hanya menggunakan 300 kata yang dipakai untuk mencari pola penggunaan kata-kata terkait radi14
Media Indonesia, 13 oktober 2016/No.12915/Tahun ke47, hlm.11
335
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 327 - 340 Petunjuk Penulisan
kalisme di dunia maya.15 Gambaran fakta sosial tersebut menjadi satu titik tolak bahwa terjadi pergeseran paradigma penggunaan kebebasan yang tanpa batas dan bergerak secara masif di ruang sunyi bernama cyber space. Sebagaimana dikatakan Didik J. Rachbini16 ―dalam pelaksanaannya sistem teknologi terpaksa berbenturan dengan nilainilai moral. dampak negatif yang ditimbulkan oleh produk teknologi informasi, seperti internet menyebabkan proses perkembangan teknologi informasi belum mencapai tingkat kemapanan.‖ Demikian juga dalam pendapat dari Soerjono Soekanto17 ―kemajuan dibidang teknologi akan berjalan bersamaan dengan munculnya perubahan-perubahan dibidang kemasyarakatan. Perubahan-perubahan di dalam masyarakat dapat mengenai nilai sosial, kaidah-kaidah sosial pola-pola perilaku, organisasi, dan susunan lembaga kemasyarakatan.‖ Dengan demikian diperlukan regulasi yang mengatur tertibnya kehidupan masyarakat dalam tata hukum yang berjalan, agar hak dan kewajiban antara tiap orang di ruang negara hukum dapat berjalan seimbang secara adil dalam kepastian hukum. Akibat terjadinya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi memungkinkan siapain dapat saling terhubung dan saling bersaing dalam segala hal dan kepentingan tanpa lagi adanya pemisahan terkait faktor geografis. Sebagaimana padnagan Thomas L. Friedman yang mengatakan ―the world is flat‖ atau dunia yang datar. Penulis melihat kemajuan teknologi dengan pesatnya komunikasi itu semakin memberikan ruang tanpa batas bentuk etika. Silang dunia sudah saling berbenturan dengan kepentingan masing-masing entitas dan masyarakat 15
Lihat berita selengkapnya dalam statement Irendra Radjawali: ―kata-kata tersebut saling berkaitan dan menghasilkan temuan jika kelompok radikal agresif menggunakan kanal media sosial dalam menyebarkan faham radikal. Banjir kata-kata radikal juga dipengaruhi adanya penggunaan sistem robot anonimyang otomatis menyebarkan pesan-pesan radikal secara masif. Kata-kata yang sering muncul bukan berarti satu titik yang menjadi trigger (pe-micu) pesan-pesan kebencian tersebut. 16 Didik J. Rachbini, Mitos dan Implikasi Globalisasi, Yayasan Obor, Jakarta, 2001, hlm. 22 17 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1980, hlm. 87-88
336
luas yang terjadi juga kekgaetan budaya (shockculture), disinilah titik perhatian serius dalam menegakan regulasi dari masing-masing negara berdaulat. Sangat beralasan bila terkait penegakan hukum dalam ruang cyber. Disebabkan situasi masyarakat teknologi dengan pergerakannya harus berhadapan dengan kepentigan yang mengusung berbagai bentuk interaksi baru. Interaksi menggunakan media cyber, situasi ini menimbulkan bentuk pola perilaku dalam interaksi antar masyarakat di ruang nyata, tidak terkecuali bentuk perilaku kejahatan. Kejahatan di ruang maya semakin berkembang dengan bentuk kejahatan baru yang semua terkait dengan media internet. Ada 8 trend kejahatan terjadi di ruang maya atau dikenal cybercrime yaitu :18 1. Jasa Kejahatan; Crime as service menghubungkan penyedia perangkat dengan sejumlah kelompok kriminal terorganisasi. teroris potensial mengakses hal ini; 2. Ransomware : dan perbankan ini trojan tetap sebagai virus berbahaya mengunci komputer dan meminta uang tebusan untuk pengambilan data; 3. Penyalahgunaan Data: menjadi komoditas untuk aksi penipuan enkripsi demi tebusan bahkan pemerasan ; 4. Penipuan Pembayaran: penipuan dgn kartu elektronik, ada serangan malware terhadap mesin ATM, manipulasi memanfaatkan sistem NFC juga mulai berkembang; 5. Kekerasan sexual pd anak: penggunaan platform berenkripsi end to end, memfasilitasi praktik penyalahgunaan thd anak yang ditampilkan secara live streaming; 6. Penyalahgunaan Darknet : jalur gelap internet, Darknet memfasilitasi pertukaran bahan eksploitasi seksual anak, transaksi senjata dan perdagangan perangkat kejahatan siber ; 7. Manipulasi Psykologis: pencurian data terhadap target bernilai tinggi, spt CEO menjadi ancaman kunci. Target dimanipulasi dengan tujuan memberikan data rahasia ; 18
Media Indonesia, Jumat , 30 September 2016
Penerapan UU ITE dan Surat Edaran Kapolri ...
Petunjuk Penulisan
8. Alat Tukar Virtual: Bitcoin menjadi alat pembayaran untuk aksi pemerasan dan produk/jasa dari para penjahat dalam ekonomi bawah tanah dunia digital. Perkembangan bentuk kejahatan di atas adalah akibat dari penggunaan kebebasan berekspresi yang tanpa batas di dalam ruang maya. Kebebasan berekspresi yang menjadi bentuk perbuatan kejahatan itu kini semakin banyak terjadi di ruang maya (cyber space), dan kejahatan yang dilakukan di ruang maya itu banyak dikenal dengan istilah cyber crime, terdapat juga berbagai kasus ujaran kebencian baik atas persoalan hukum pribadi maupun yang memiliki kepentingan kelompok. Di dalamUUD 1945 dan Undang-Undang ITE, serta SE Kapolri Tentang Ujaran kebencian (hate speech) telah memberikan batasan tegas dalam pemberian sanksi terhadap pengguna ruang maya secara menyimpang menggunakan kemanfaatan ruang maya (cyber space). Pengguna masyarakat komunikasi cyber space yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat modern dengan pola komunikasi few-to-few dengan koneksi perangkat komputer yang menghubungkan (interconnected) komputer secara global. Dalam hal ini menunjukan cara kerja yang terhubung di dalam jaringan (online) tanpa melihat batasan lokasi, perangkat keras, atau program apa yang digunakan. Ketentuan sejumlah peraturan itu menjadi pagar bagi ketertiban hukum dalam masyarakat untuk dapat memberikan kenyamanan hidup masyarakat sosial yang menggunakan kemanfaatan dari media (convergance of media). Kebebasan berpikir dan berpendapat serta berekspresi dalam ruang maya, merupakan aplikasi hak setiap orang, akan tetapi kebebasan itu tidak mutlak karena ada pembatasan yang terdapat pada ketentuan dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945. Logika hukum dalam menerapkan alasan pembatasan itu, disebabkan adanya batasan tertib dalam menegakan tanggungjawab diantara hak dan kewajiban yang dikenal dengan etika. Bila menunjuk pada bentuk pertanggungjawaban hukum (liability of law) pada setiap orang, kalimat dari dibatasi dengan Undang-Undang, berarti setiap orang terikat dengan ketentuan hukum yang mengikat atas kebebasan yang
Sri Ayu Astuti
dimiliki, hal ini untuk menjamin agar setiap orang bijak menggunakan kebebasan yang dimilikinya termasuk kebebasan berekspresi tersebut. Lebih tegas adalah setiap orang mampu menggunakan hak kebebasannya dengan benar dan pada tempatnya agar tidak mencederai hak orang lain. Dalam ruang internasional hate speech di beberapa negara maju seperti Amerika dan Eropa HAM yang terserap dalam konvensi PBB itu adalah hak berpolitik dan bersuara, dan dalam kebebasannya mengemukakan pendapat ada koridor yang harus ditaati. Itu artinya seseorang tidak boleh menggunakan hak kebebasan itu dengan sebebas-bebasnya atau secara mutlak (absolut). Maka Hate speech menjadi tolok ukur tentang kesantunan, etis atau tidak komunikasi yang digunakan setiap orang didalam ruang demokrasi dalam mengusung kebebasan berekspresi. Di berbagai negara maju hak menggunakan kebebasan berekspresi di ruang maya cyber space, lebih mengedepankan logika berkomunikasi yang sehat. Logika atas nama kebebasan itu adalah menggunakan dengan ukuran kepantasan dan kepatutan, yang dikenal dengan etika komunikasi. Itu menunjuk pada perilaku komunikasi yang baik dan tidak boleh memaki, menghina juga memfitnah diruang publik dengan sesukanya. Maka jelaslah kebebasan yang diamanahkan di dalam UUD 1945 mengandung makna bahwa ada kebebasan yang terukur didalam penggunaan bagi setiap orang, karena terikat pada norma sosial, dan nilai moral dalam berkomunikasi. UUD 1945 amandemen dalam ketentuan Pasal 28, jelas menjamin kebebasan masyarakat untuk berpendapat, berpikir dan berekspresi. Hak ini juga dilindungi pada ketentuan UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia yang diakui sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights) sebagai komitmen nasional dan komitmen internasional. Dalam kontekstual Surat Edaran Kapolri sejatinya tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, ini berdasarkan ketentuan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 SE Kapolri tidak termasuk dalam tata urutan perundang-undangan. SE memang peraturan perundang-unda337
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 327 - 340 Petunjuk Penulisan
ngan (regeling), bukan juga sebagai keputusan tata usaha negara (beschikking) melainkan sebuah peraturan kebijakan. Maka Surat Edaran masuk pada ketentuan peraturan kebijakan (beleidsregel) atau peraturan perundang-undangan semu (pseudo wetgeving) dalam arti produk hukum yang isinya secara materiil mengikat umum namun bukanlah peraturan perundangundangan karena ketiadaan wewenang pembentuknya untuk membentuknya sebagai peraturan perundang-undangan. Hal itu sebagaimana pendapat beberapa pakar hukum seperti Philipus M. Hadjon, dan Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa surat-surat edaran selalu mereka masukan sebagai contoh peraturan kebijakan. Kendati demikian, Surat Edaran Kapolri itu diperuntukan pedoman bagi aparat kepolisian dijajarannya dalam menangani kasus-kasus yang berpotensi mengganggu keamanan dan ketertiban yang menimbulkan kerusuhan sosial, seperti kerusuhan di Tolikara Wamena Papua dan Aceh singkil. Surat Edaran Kapolri itu diharapkan dalam penerapannya tentunya penanganan hukum dari aspek penegakan hukum berkesesuaian dengan ketentuan KUHP yang telah memuat ketentuan pidana terhadap perbuatan pidana terkait penghinaan, fitnah, dan perbuatan tidak menyenangkan. Itu berarti menunjuk pada seperangkat regulasi yang dijadikan dasar hukum dilakukannya penegakan hukum (law enforcement) yaitu ketentuan Pasal 156, Pasal 157, Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Sedangkan dalam ketentuan lex specialist regulasi dapat digunakan yaitu Pasal 28 jo Pasal 45 Ayat (2) Undang-Undang ITE, Pasal 16 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, juga Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Namun pendapat beberapa ahli hukum mengatakan bahwa penerapan Pasal 310 dan 311 KUHP tidak tepat dimasukan terkait upaya penegakan hukum untuk menjerat tindak pidana dalam kasus hukum ujaran kebencian. Ini disebabkan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP itu merupakan delik aduan yang bersifat ranah privat, maka polisi tidak akan dapat berbuat banyak bila tidak ada aduan dari pengadu. Akan tetapi ketentuan Surat Edaran ini dipandang dapat memberikan bantuan meminimalisir perilaku yang 338
tak terpuji dalam menggunakan ruang publik cyber space, yang menjadi panduan bagi internal Polri yang peruntukannya menjaga kamtibmas di dunia maya khususnya media sosial. Tentunya dengan harapan warga masyarakat di ruang maya yang dikenal dengan netizen mampu merubah perilaku sosialnya dengan bentuk etika (netiket) yang bertitik pada kepatutan seharusnya berprilaku santun dan tidak merugikan orang lain dalam kehidupan sosial di ruang maya. PENUTUP Perkembangan teknologi dan komputer yang sangat cepat saat ini, mempengaruhi perubahan pola perilaku komunikasi dan bentuk komunikasi masyarakat di ruang nyata(real space) dan juga berdampak juga pada bentuk komunikasi di ruang maya (cyber space).cyber space memberikan kehidupan baru bagi masyarakat moderen di era digitalisasi ini dan menciptakan penyatuan manusia dengan teknologi berdasarkan pengembangan pengetahuan yang berpadu antara kecanggihan teknologi (technology sophisticated) dengan kemampuan pengetahuan manusia . Teknologi dan hukum merupakan dua unsur yang saling mempengaruhi dan keduanya juga mempengaruhi masyarakat. Teknologi internet dan informasi dapat dilihat sebagai alat (tool) dalam perubahan kehidupan masyarakat modern dalam kehidupan interaksi sosial masyarakat. Hukum dalam kehidupan masyarakat modern di era digitalisasi sangat dibutuhkan guna menyelesaikan permasalahan hukum yang terjadi di ruang maya (cyber space) sekaligus sebagai upaya untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pengguna internet terhadap perilaku menyimpang dari pengguna internet yang menabrak ketentuan HAM, seperti memaki, menghina, SARA dan pencemaran nama baik. Adalah kewajaran dalam satu negara berdaulat dan Indonesia yang telah menetapkan sebagai negara hukum, memiliki otoritas kewenangan dalam memberikan batasan hukum bagi setiap orang dalam menggunakan hak-haknya di ruang publik agar tidak berbenturan dengan hak-hak orang lain di dalam kepentingan hukum
Penerapan UU ITE dan Surat Edaran Kapolri ...
Petunjuk Penulisan
bagi setiap orang. Batasan hukum bagi setiap orang dalam masyarakat sosial di ruang cyber itu menjadi rambu-rambu etika agar tidak terjadi pelanggaran atas egoisme seseorang maupun entitas masyarakat yang ada. Hukum yang merupakan dasar batasan bagi masyarakat dan setiap orang berperilaku dan pelanggaran yang dilakukan dengan sengaja akan dikenakan sanksi yang memaksa oleh otoritas tertinggi dalam satu negara. Ketentuan Hukum siber (cyber of law) hadir sebagai upaya menciptakan ketertiban, dan memberikan keadilan bagi semua pihak dan atas kepentingan bagi setiap individu dan masyarakat secara kolektif, yang turut serta bersama-sama menggunakan ruang mayantara. Teknologi dan masyarakat bersifat dinamis diera digitalisasi ini berkembang dengan dinamika yang sangat kuat dalam percepatan perubahan kehidupan. Kondisi itu menghadirkan bentuk kejahatan baru dalam ruang maya yang dikenal dengan istilah kejahatan di ruang maya atau cyber crime. Teknologi dan manusia yang berseiring berkembang di ruang digitalisasi menuntut respon hukum yang cepat dalam mengatasi persoalan hukum siber. Untuk itu diperlukan pendekatan secara substantif melalui upaya melihat ke depan (forward looking) artinya pembuat regulasi membentuk regulasi baru guna melindungi kepentingan yang terganggu akibat perkembangan teknologi. Hal itu hukum dituntut untuk fleksibel dalam menangani persoalan hukum di ruang siber dengan mempertimbangkan hal sebagai berikut : (1) Teknologi yang berkembang; (2) Hukum yang telah ada terkait sudah mengakomodir kepentingan hukum terhadap masyarakat dan teknologi yang berkembang tersebut; (3) Kepentingan nilai , nomra yang hidup dalam masyarakat dan yang akan dilindungi; (4) Hukum yang diperlukan sendiri. Atas uraian tersebut di atas Indonesia sebagai negara hukum dan memasuki ruang teknologi yang berkembang, melahirkan UndangUndang ITE Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika. Penerapan UU ITE terhadap penegakan hukum yang menunjuk pada penertiban pada perlindungan hukum dan HAM bagi setiap pengguna internet
Sri Ayu Astuti
ternyata telah diatur di dalamnya. Ketentuan tersebut terkait dan sejalan dengan ketentuan dari SE Kapolri tentang Ujaran kebencian (hate speech), di dalam UU ITE yang dapat kita lihat dari penerapan Ketentuan Pasal 27, 28 sampai dengan Pasal 31. Sementara itu Pasal 28J UUD 1945 di dalam Ayat (1) menegaskan, yakni : Pasal 28 J ayat (1) : ―Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara‖, sedangkan di dalam Pasal 28J Ayat (2) tertuang juga bagaimana terdapat pembatasan seseorang menggunakan hak kebebasannya dengan maksud untuk saling menjaga hak-hak yang dimiliki setiap manusia satu dengan yang lainnya, dan kebebsan bukanlah hak mutlak, bahwa semua manusia memiliki tanggungjawab hukum dalam menggunakan hak kebebasannya. Pasal 28 J Ayat (2) menegaskan : ‖Dalam menjalankan kebebasannya, setiap orang wajib dan tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, kemanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.‖ Berdasarkan ketentuan peraturan-peraturan tersebut, maka setiap orang di dalam negara hukum Indonesia yang harus tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku, sejatinya mampu menjaga sikap hukum berdasarkan perilaku hukum yang baik dan sejalan dengan kebebasan HAM yang sesuai pada koridor hukum yang berlaku. KESIMPULAN 1. Penerapan UU ITE Nomor 11 Tahun 2008, adalah memiliki nafas yang sejalan dengan pengaturan tentang Hak Asasi Manusia bagi setiap orang di dalam menggunakan kebeba339
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 327 - 340 Petunjuk Penulisan
sannya. Hal itu juga telah ada pada ketentuan Pasal 28 UUD 1945, dan kebijakan Kapolri dengan Surat Edaran SE 6/X/2015 tentang Ujaran Kebencian (hate speech), dan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP terkait perilaku etika berekspresi, berpikir dan berpendapat di ruang mayantara (cyber space). 2. Kehadiran UU ITE, Surat Edaran Kapolri sebagai pedoman bagi pihak aparat kepolisian dalam menindak perilaku tertib hukum
di ruang cyber, adalah berkesesuaian dengan konstitusi yaitu nafas penghargaan bagi hak setiap orang dalam menjaga keseimbangan perilaku di ruang publik di dalam ruang siber itu, agar capaian ketertiban masyarakat terpenuhi untuk tidak memaki, menghina dan melakukan pencemaran nama baik, semua dilakukan sesuai prosedur hukum yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA Burhan Bungin, Pornomedia : Konstruksi Sosial Telematika dan Perayaan Seks di Media Massa, Prenada Media, Jakarta, 2003 Didik J. Rachbini, Mitos dan Implikasi Globalisasi, Yayasan Obor, Jakarta, 2001 I Gede Yusa, Demokrasi, HAM, dan Konstitusi, Setara Press, Malang, 2011 I.S Susanto, Pemahaman Kritis Terhadap Realitas sosial, Majalah Masalah-Masalah Hukum, Nomor 9 Tahun 1992 Josua Sitompul, Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Tatanusa, Jakarta, 2012 Merry Magdalena, UU ITE; Dont be the Next victim, Gramedia, Jakarta, 2009 Miriam Budiardjo, Hak-Hak Asasi Manusia dalam Dimensi global, Jurnal Ilmu Politik,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990 Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan,Kanisius, Yogyakarta, 1997 Philipus M.Hadjhon, Hak-hak Kewajiban Dasar suatu Kajian Hukum Tata Negara, dalam Majalah Hukum Yuridika Universitas Airlangga, Surabaya, 1988 Rulli Nasrullah, Teori dan Riset Media Siber (Cybermedia), Kencana, Prenamedia Group, 2014 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1980 Wisnubroto, Makalah Perubahan Masyarakat dan Hukum ;Dalam Kajian Aspek-aspek Pengubah Hukum,1996 Majalah dan Koran Media Indonesia,Jumat ,30 September 2016 Media Indonesia, 13 oktober 2016/No.12915/Tahun ke-47
340
Petunjuk Penulisan
HAK PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL ATAS SERANGAN LANGSUNG DALAM KONFLIK BERSENJATAMENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh : Sukmareni*) Abstrak Prinsip pembedaan (distinction principle) sangat erat kaitannya dengan perlindungan penduduk sipil, karena prinsip ini secara tegas membedakan penduduk di suatu Negara antara kombatan (combatan) dan penduduk sipil (civilian). Di samping itu juga membedakan objek-obejk yang berada di suatu Negara yang sedang bersengketa atas objek sipil (civilian objects) dan sasaran militer (military objectives). Pada penulisan ini akan dibahas tentang 1) Apa kategori orang sipil yang memperoleh perlindungan terhadap serangan langsung dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I dan II pada Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 ? dan 2) Faktor-faktor apa yang menyebabkan penduduk sipil kehilangan haknya atas perlindungan dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I dan II Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 ?. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa 1) orang sipil yang berhak atas perlindungan terhadap penyerangan langsung dalam konflik bersenjata adalah semua orang yang bukan anggota angkatan bersenjata Negara dan bukan anggota kelompok bersenjata terorganisasi dari pihak yang berkonflik atau bersengketa dan 2) Hak orang sipil atas perlindungan atas serangan langsung pada saat konflik bersenjata akan hilang atau hapus apabila orang sipil tersebut sebagai individu ambil bagian secara langsung dalam permusuhan,individu yang secara terus menerus menyertai atau mendukung kelompok bersenjata terorganisasi tetapi fungsinya tidak melibatkan keikutsertaan langsung dalam permusuhan bukanlah anggota kelompok tersebut dalampengertian HHI, mereka tetap sebagai orang sipil yang memegang fungsi pendukung, seperti petugas perekrutan, petugas pelatihan, petugas pendanaan dan petugas propaganda, kecuali fungsi mereka sudah mencakup pula kegiatan yang setara dengan keikutsertaan langsung dalam permusuhan, individu yang fungsinya terbatas pada kegiatan pembelian, penyelundupan, pembuatan dan pemeliharaan senjata dan perlengkapan lain di luar operasi militer spesifik atau terbatas pada kegiatan pengumpulan informasi intelijen di luar operasi militer. Kata Kunci : Perlindungan, Hak Sipil, Serangan langsung, Hukum Humaniter Internasional Abstract The principle of distinction (distinction principle) is closely associated with the protection of civilians, because this principle is expressly distinguishes a resident of a Contracting State between combatants (combatant) and civilians (civilian). In addition, it also distinguishes object-obejk who are in a dispute over the country to civilian objects (civilian objects) and military targets (military objectives). In this paper will discuss about 1) What category of civilian protection against direct attack in the 1949 Geneva Conventions and their Additional Protocols I and II to the Geneva Conventions of August 12, 1949? and 2) What are the factors that cause civilians lost their rights to protection under the 1949 Geneva Conventions and their Additional Protocols I and II of the Geneva Conventions of August 12, 1949?. Based on the results of the study found that 1) the civilians who are entitled to protection against direct attack in an armed conflict are all people who *)
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
341
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 341 - 350 Petunjuk Penulisan
are not members of the armed forces of the State and not members of armed groups organized on the sides of the conflict or dispute, and 2) The right of civil protection for the attacks directly during armed conflict will be lost or clear when civilians such as individuals take a direct part in hostilities, individuals who continuously accompany or support armed groups organized but its function does not involve direct participation in hostilities is not a member of the group in terms of international humanitarian law, they remained as a civilian who holds support functions, such as personnel recruitment, personnel training, personnel funding and the attendant propaganda, unless their functionality is already extends to activities that are equivalent to participation directly in hostilities, individuals whose function is limited to purchasing activities, smuggling, manufacturing and maintenance of weapons and other equipment outside specific military operations or be limited to the activities of intelligence gathering beyond military operations. Keywords : Protection, Civil Rights, direct attacks, International Humanitarian Law A. Pendahuluan Hukum Humaniter Internasional (HHI) yang dikenal juga dengan hukum perang atau hukum konflik bersenjata ialah seperangkat aturan yang bertujuan membatasi dampak konflik bersenjata atas dasar pertimbangan kemanusiaan. HHI melindungi orang yang tidak (tidak lagi) ikut serta dalam pertikaian dan membatasi sarana serta cara berperang.1 Menetapkan keseimbangan antara kepentingan militer (military necessities) dan tujuan kemanusiaan (humanities objectives).2 HHI menjamin hak-hak orang dalam daaerah konflik dan membatasi kekuasan pihak yang berperang agar tidak melakukan tindakan yang di luar batas kemanusiaan, sehingga pihak yang bersengketa tidak melakukan kekejaman atau kekerasan yang berlebihan dalam rangka mengalahkan lawan. Mereka boleh saja menghancurkan musuh tapi tidak boleh menghancurkan penduduk sipil yang tidak bersalah. Salah satu diantara prinsip yang dikenal dalam hukum humaniter internasional, yang untuk selanjutnya dalam tulisan ini disebut dengan HHI adalah prinsip pembedaan (distinction principle). Prinsip ini sangat erat kaitannya dengan perlindungan penduduk sipil, karena dengan prinsip inilah secara tegas membedakan penduduk di suatu Negara antara kombatan (combatan) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan adalah mereka yang secara aktif turut serta dalam pertempura, sedangkan penduduk sipil 1
ICRC, Mengintegrasikan Hukum, 2010, hlm 6 ICRC, Kekerasan dan Penggunaan Senjata, Delegasi Regional ICRC untuk Indonesia dan Timor Leste, 2012, hlm 10.
2
342
adalah golongan penduduk yang tidak berhak untuk turut serta dalam suatu pertempuran.3 Kemudian di samping pembedaan secara subyek di atas, prinsip pembedaan dalam Hukum Humaniter Internasional juga membedakan objek-obejk yang berada di suatu Negara yang sedang bersengketa atas objek sipil (civilian objects), yaitu semua objek yang bukan objek militer, dan oleh karena itu tidak dapat dijadikan sasaran seranagan pihak yang bersengketa dan sasaran militer (military objectives) yaitu suatu objek yang termasuk sasaran militer, yang dapat dihancurkan dalam persengketaan menurut HHI, seperti tank, barak-barak militer, pesawat militer atau kapal perang, dan semua objek yang dapat dijadikan sasaran militer. Teguh Sulistya4 menyatakan bahwa penduduk sipil meskipun merupakan orang-orang yang tidak terlibat dalam konflik, tetapi mereka sering berada di daerah konflik sehingga penduduk sipil termasuk golongan orang-orang yang dilindungi. Konflik bersenjata menimbulkan akibat fatal yang tidak diinginkan oleh setiap umat manusia, oleh karena itu HHI bertujuan untuk melindungi fisik dan mental penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu, menjamin 3
Haryomataram, 1984, dalam Miftah Idris, Perlindungan Penduduk Sipil dalam HHI dan Hukum Islam, dalam Konteks dan Perspektif Politik Terkait Hukum Humaniter Internasional Kontemporer, Denny Ramdhany dkk Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015, hlm 267 4 Teguh Sulistya, Pengaturan Perang dan Konflik Bersenjata dalam Hukum Humaniter Internasional, Jurnal Hukum Internasional Vol 4 No 3 April, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 2007, hlm535
Hak Perlindungan Penduduk Sipil Atas Serangan Langsung Petunjuk ... Penulisan
hak-hak asasi tertentu dari orang yang jatuh ke tangan musuh, memungkinkan dikembalikannya perdamaian dan membatasi kekuasaan pihak yang berperang. Kemudian sejauh menyangkut konflik bersenjata, ada pembedaan antara jus ad bellum yaitu hukum yang melarang perang, (terutama piagam PBB yang melarang penggunaan senjata dalam hubungan antar Negara kecuali dalam kasus pertahanan diri dan keamanan kolektif) dan jus in bello, yaitu hukum yang berlaku di masa konflik bersenjata.5Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, yang dibagi menjadi: (1) hukum yang mengatur cara dilakukannya perang. Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws; dan (2) hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang.Ini lazimnya disebut The Geneva Laws. Lebih lanjut Mochtar K mengatakan,bahwa ketentuan-ketentuan hukum atau KonvensiJenewa adalah sinonim dengan hukum atau konvensikonvensi humaniter. Dengan demikian yang dimaksud dengan seperangkat aturan yg memberikan jaminan perlindungan bagi manusia korban perang adalah meliputi Hukum Den Haag, Hukum Jenewa, dan Hukum Hak Asasi Manusia.6 Dalam setiap peperangan yang terjdi sudah pasti menimbulkan kerugian baik materil maupun non material.Salah satu yang tidak bisa dihindari adalah kerugian yang dialami oleh masyarakat sipil yang selalu menjadi korban atas perbuatan persengketaan yang terjadi. Perlindungan terhadap masyarakat sipil ini sudah diatur dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan menetapkan Undang-Undang No 59 Tahun 1958. Selain itu pengaturan perlidungan ini juga sudah dimuat dalam Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 dan yang berhubungan dengan Perlindungan Korban-Korban pertikaian-pertikaian bersenjata internasionan dan Protokol II untuk pertikaian bersenjata internasional. Keikutsertaan sipil dalam permusuhan terjadi dalam berbagai bentuk, pada berbagai taraf intensitas dan dalam berbagai konteks geografis, budaya, politik dan militer. Oleh sebab itu da-
Sukmareni
lam menentukan apakah suatu perilaku seseorang yang dapat dikatakan sebagai keikutsertaan langsung perlu dikaji dan dibahas secara rinci, sehingga jelas batasannya dalam rangka memberikan perlindungan terhadap penduduk sipil dalam konflik bersenjata yang terjadi. Jika berbicara tentang perlindungan dalam HHI tidak akan terlepas dari Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 mengatur tentang perlindungan dalam konflik bersenjata non internasional. Pasal 3 menentukan bahwa pihak-pihak yang bertikai dalam wilayah suatu negara berkewajiban untuk melindungi orang-orang yang tidak turut secara aktif dalam pertikaian, termasuk anggota angkatan bersenjata kombatan yang telah meletakkan senjatanya tidak lagi turut serta karena sakit, luka-luka, ditahan dan sebab lainnya untuk diperlakukan secara manusiawi atau mereka dilarang melakukan tindakan kekerasan terhadap jiwa dan raga atau menghukum tanpa diadili secara sah. Perlindungan yang diberikan kepada penduduk sipil di atas tidaklah bersifat absolut, karena ada beberapa hal yang menyebabkan hak mereka atas perlindungan dari akibat atas konflik bersenjata yang terjadi bisa berakhir atau tidak bisa dilindungi lagi. Untuk mengetahui lebih lanjut hal-hal yang menyebabkan hilangnya hak perlindungan bagi penduduk sipil akan akibat konflik bersenjata yang terjadi ini, maka penulis ingin mengkaji lebih lanjut tentang ―Hapusnya Hak Atas Perlindungan Bagi Penduduk Sipil. Dalam Hukum Humaniter Internasional‖ dalam suatu karya ilmiah dengan mengangkatkan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana bentuk perlindungan yang diberikan oleh Konvensi Jenewa terhadap penduduk sipil dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I dan II pada Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 ? 2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan penduduk sipil kehilangan haknya atas perlindungan dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I dan II Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 ?
5
ICRC, 2012, Op.Cit, hlm 8 Syahmin AK, 1985, Hukum Internasional Humaniter I Bagian Umum, Armico, Bandung, hlm.13.
6
343
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 341 - 350 Petunjuk Penulisan
B. Pembahasan 1. Bagaimana bentuk perlindungan yang diberikan oleh Konvensi Jenewa terhadap penduduk sipil dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I dan II Menurut Haryomataram, Hukum HAM internasional adalah keseluruhan dari peraturan dan prinsip-prinsip yang bertujuan melindungi dan menjamin hak-hak individu apapun status mereka (=penduduk sipil, anggota angkatan bersenjata, warga negara, orang asing, pria maupun wajita), baik pada situasi damai atau situasi sengketa bersenjata.7 Penduduk sipil (civilian) adalah golongan yang tidak boleh turut serta dalam dalam pertempuran sehingga tidak boleh dijadikan sasaran atau objek kekerasan dan tidak boleh mengangkat senjata untuk menyerang kombatan pihak musuh. Penduduk sipil tidak ikut dalam permusuhan dengan pihak lawan, sehingga harus dilindungi dari tindakan peperangan.8 Penduduk sipil dalam tulisan ini terdiri dari semua orang sipil. Sedangkan orang sipil adalah setiap orang yang tidak termasuk dalam salah satu dari penggolongan-penggolongan orang -orang yang disebut dalam Pasal 4 A(1), (2), (3) dan (6) dari Konvensi Ketiga dan dalam Pasal 43 dari protocol iniBila ada keraguan apakah seseorang itu seorang sipil maka orang itu harus dianggap sebagai seorang sipil. Hadirnya di lingkungan penduduk sipil orang-orang yang tidak termasuk di dalam definisi orang sipil tidak mengurangi sifat sipil dari penduduk tersebut.9 Untuk tujuan prinsip pembedaan dalam konflik bersenjata internasional, semua orang yang bukan anggota angkatan bersenjata dari pihak peserta konflik dan tidak ikut serta dalam levee en masse adalah orang sipil sehingga, de7
Haryomataram, 1977, Hukum Humaniter: Hubungan dan keterkaitannya dengan Hukum Hak Asasi Manusia hlm 190. 8 Pietro Verri, Dictionary of International Law of Armed Conflict, Jakarta, ICRC, 1992, hlm 32 9 Direktorat Jenderal Administrasi Umum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Protokol Tambahan Konvensi Jenewa 1949 dan yang berhubungan dengan perlindungan korban-korban pertikaian-pertikaian bersenjata internasional (protocol I) dan Bukan Internasional (Protokol II), hlm 62
344
ngan demikian, mereka berhak atas perlindungan terhadap penyerangan langsung kecuali dan selama mereka ambil bagian secara langsung dalam permusuhan. Sedangkan dalam konflik bersenjata non internasional, semua orang yang bukan anggota angkatan bersenjata Negara dan bukan anggota kelompok bersenjata terorganisasi dari pihak pesrta konflik adalah orang sipil, sehingga mereka berhak atas perlindungan terhadap penyerangan langsung kecuali dan selama mereka ambil bagian secara langsung dalam permusuhan. Dalam konflik bersenjata non internasional, kelompok bersenjata terorganisasi merupakan angkatan bersenjata dari pihak non Negara peserta konflik dan terdiri hanya dari individu yang fungsinya secara terus menerus ialah ambil bagian secara langsung dalam permusuhan (continuous combat function) atau fungsi tempur terus menerus.10 Konvensi Jenewa sebagaimana telah direvisi dan diperluas pada tahun 1949 berisi sejumlah aturan untuk melindungi orang yang masuk dalam kelompok kelompok berikut : a. Korban sakit dan korban luka di medan pertempuran darat (konvensi Jenewa (KJ) I b. Korban sakit, korban luka dan korban karanm di laut (KJ) II c. Tawanan Perang – (KJ) KJ III d. Orang sipil di masa perang (KJ) IV Keempat Konvensi Jenewa tersebut adalah perjanjian internasional yang paling luas diterima dan telah mendapatkan penerimaan universal. Aturan-aturan yang mengatur perilaku pertikaian (conduct of hostilities) diuraikan dalam Konvensi Den Haag 1899 dan 1907. Kedua konvensi ini membatasi cara dan saranan berperang yang boleh dipakai oleh pihak yang terlibat konflik. Pada intinya, kedua konvensi ini mengatur perilaku operasi militer dalam konflik bersenjata dengan menetapkaan penggunaan-penggunaan seperti apa yang semestinya dan diperbolehkan atas senjata dan taktik militer. Aturan-aturan mengenai perlindungan orang dan perilaku pertikaian Orang-orang yang tidak turut aktif dalam sengketa ini, termasuk 10
Nils Melzer, Pedoman Penafsiran Tentang Konsep Keikutsertaan Langsung Dalam Permusuhan Menurut Hukum Humaniter Internasional, Komite Internasional Palang Merah (ICRC), hlm 20 dan 27
Hak Perlindungan Penduduk Sipil Atas Serangan Langsung ... Penulisan Petunjuk
anggota angkatan perang yang telah meletakan senjata-senjata nereka, serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan kemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas suku, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan tetap akan dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat apapun juga : dikumpulkan dan diperbaharui dalam dua Protokol Tambahan yang diadopsi pada tahun 1977 untuk konvenssi-konvensi Jenewa 1949. Sejumlah perjanjian internasional lain melengkapi kedua Protokol Tambahan ini, antara lain Konvensi Den Haag 1954 tentang Perlindungan Benda Budaya dalam konflik Bersenjata. Konvensi 1980 tentang Senjata Konvensional Tertentu. Konvensi 1997 tentang Pelarangan Ranjau Anti Personil, Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional, dan Protokol Tambahan 2005 untuk Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 (Protokol III), yaitu Protokol yang menetaapkan sebuah lambang baru (yang disebut sebagai Kristal merah) di samping lambang palang merah dan bulan sabit merah. Sebuah perjanjian Internasional harus mengikat Negara-negara yang telah menyatakan persetujuan untuk diikatnya biasanya melalui ratifikasi. Kewajiban-kewajiban sebagaimana tertulis dalam sebuah perjanjian internasional dilengkapi dengan aturan-aturan kebiasaan, yaitu aturan-aturan yang berasal dari praktek umum yang telah diterima sebagai hukum. Perlindungan terhadap penduduk sipil dalam Konvensi Jenewa IV tidak sama dengan orang yang dilindungi dalam Konvensi Jenewa I,II dan III yang mana perlindungannya ditujukan kepada combatan atau orang yang ikut serta dalam permusuhan. Pasal 27 Konvensi Jenewa IV 1949 ditujukan bagi orang-orang yang tidak ikut serta dalam permusuhan, dengan melarang pihak yang bersengketa untuk : 1. Memaksa baik jasmnai ataupun rohani untuk memperoleh keterangan 2. Menimbulkan penderitaan jasmnai 3. Menjatuhkan hukuman kolektif
Sukmareni
4. Mengadakan intimidasi, terorisme dan perampokan 5. Tindakan pembalasan terhadap penduduk sipil 6. Menangkap orang-orang untuk ditahan sementara11 Pasal 27 sampai pasal 34 Seksi I Konvensi Jenewa Tahun 1949 memberikan perlindungan kepada penduduk sipil antara lain : 1. Penghormatan atas pribadi, martabat, hak kekeluargaan, keyakinan dan praktik keagamaan, adat istiadat serta kebiasan penduduk sipil, termasuk penghormatan atas pribadi, martabat dan hak keluarga juga terhadap wanita terutama perkosaan, pelacuran yang dipaksakan atau setiap serangan yang melanggar susila 2. Perlakuan yang berperikemanusiaan tanpa membedakan berdasarkan ras, agama atau paham politik dan tidak membuat derita jasmaniah atau melakukan pemusnahan 3. Perlindungan terhadap segala perbuatan kekerasan atau ancaman, kekerasan, penghinaan dan mempertontonkan orang yang dilindungi Menurut Pasal 15 Protokol Tambahan I memberikan perlindungan bagi penduduk sipil sebagai berikut : 1. Penduduk sipil dan orang-orang sipil perorangan harus mendapatkan perlindungan umum terhadap bahaya-bahaya yang timbul dari operasi-operasi militer. Agar perlindungan ini dapat dirasakan hasilnya, ketentuan-ketentuan berikut ini, yang merupakan tambahan pada ketentuan-ketentuan hukum internasional lainnya yang dapat diterapkan harus dipatuhi dalam segala keadaan 2. Penduduk sipil maupun orang perorangan tidak boleh menjadi sasran serangan. Tindakan atau ancaman kekerasan dengan tujuan utamanya adalah menyebarkan terror dikalangan penduduk sipil adalah dilarang 11
Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan Departemen kehamkiman Republik Indonesia, Terjemahan Konvensi jenewa Tahun 1949
345
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 341 - 350 Petunjuk Penulisan
3. Orang sipil harus mendapat perlindungan seperti yang diatur diatas, kecuali dan selama mereka ikut serta langsung dalam permusuhan 4. Dilarang melancarkan serangan yang tidak membedakan sasaran a. Serangan yang tidak ditujukan terhadap sasaran khusus militer b. Serangan-serangan yang mempergunakan suatu cara atau alat-alat tempat yang tidak dapat ditujukan terhadap sasaran khusus militer c. Serangan-serangan yang mempergunakan suatu cara atau alat-alat tempur yang akibat-akibatnya tidak dibatasi sebagaimana ditentukan oleh Protocol ini ; dank arena itu, dalam tiap hal tersebut, serangan-serangan seperti itu pada hakekatnya adalah menyerang tanpa membeda-bedakan sasaran-sasaran militer dengan orang-orang sipil dan obyek-obyek sipil 5. Jenis-Jenis serangan yang harus dianggap sebagai tidak membedakan sasaran antara lain : a. Suatu serangan dengan pemboman dengan menggunakan cara-cara atau alat-alat apapun yang memperlakukan sejumlah sasaran militer yang jelas terpisahkan dan berbeda yang terletak di sebuah kota besar, kota, desa atau daerah lain yang juga berisikan pemusatan orang-orang sipil dan obyek-obyek sipil sebagai suatu sasaran militer. b. Suatu serangan yang dapat diduga akan menimbulkan kerugian yang tidak perlu berupa jiwa orang-orang sipil, luka-luka dikalangan orang sipil, kerusakan obyek-obyek sipil atau gabungan dari semuanya itu yang akan merupakan hal yang melampaui batas dibandingkan dengan keuntungan militer yang konkrit dan langsung yang diharapkan sebelumnya. 6. Serangan-serangan terhadap penduduk sipil atau orang-orang sipil dengan cara tindakan-tindakan pembatasan adalah dilarang. 346
7. Kehadiran atau gerakan penduduk sipil atau orang-orang sipil perorangan tidak boleh dipergunakan untuk menjadikan tempat-tempat atau daerah tertentu kebal dari operasi-operasi khususnya dalam usaha untuk melindungi sasaran-sasaran militer dan serangan-serangan atau melindungi, membantu atau menghalanghalangi operasi-operasi militer. Pihak-pihak dalam sengketa tidak boleh mengarahkan gerakan penduduk sipil perorangan agar supaya berusaha melindungi sasaran-sasaran militer dari serangan atau melindungi perasi militer. 8. Setiap pelanggaran terhadap larangan-larangan tidak boleh membebaskan pihakpihak dalam sengketa dari kewajiban-kewajiban hukum mereka berkaitan dengan pendudukan sipil dan orang-orang sipil, termasuk kewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan pencegahan yang dtetapkan dalam pasal 57.12 2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan penduduk sipil kehilangan haknya atas perlindungan dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I dan II Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 ? HHI tidak mendefinisikan lebih lanjut tentang keikutsertaan langsung dalam permusuhan, praktek Negara dan yurisprudensi internasional juga tidak menampilkkan penafsiran yang jelas tentang konsep tersebut.Oleh Karena itu perlu dicari penafsiran yang nantinya bisa menjelaskan maksud dari keikutsertaan langsung tersebut. Konsep keikutsertaan langsung dalam permusuhan tidak dapat mengacu pada perilkau yang terjadi diluar situasi konflik bersenjata, misalnya dalam situasi ganguan dan ketegangan internal seperti huru hara, tindakan kekerasan yang berdiri sendiri dan sporadic, dan tindakan berhakikat serupa lainnya (menurut Pasal 1 ayat (2) Protocol Tambahan II situasi semacam ini bukanlah merupakan konflik bersenjata). Keikutsertaan orang sipil secara langsung dalam permusuhan mengakibatkan hilangnya imunitas orang sipil yang bersangkutan terhadap penyerangan selama jangka waktu keiukutser12
Depkumham, Protocol I Konvensi Jenewa, Op.Cit, hlm 63-65
Hak Perlindungan Penduduk Sipil Atas Serangan Langsung ... Penulisan Petunjuk
Sukmareni
taan tersebut dan bisa juga mengakibatkan orang tersebut, bilamana tertangkap, untuk dikenai penuntutan pidana berdasarkan hukum domestic Negara yang menahannya. Meskipun konsekwensi hukumnya serius, baik konvensi Jenewa maupun Protokol Tambahannya belum memberikan definisi tentang perilaku seperti apa yang merupakan ―keikutsertaan aktif dalam permusuhan‖ dan bagaimana cara membedakan perlilaku itu dari keikutsertaan tidak langsung yang tidak mengakibatkan hilangnya perlindungan dari penyerangan langsung. Ada lagi kesulitan untuk menentukan kapan dimulainya jangka waktu keikut sertaan langsung tersebut, kapankah dimulainya perbuatan persiapan tindakan tersebut dan kapan berakhirnya.13 Hal ini merupakan tantangan baru dalam perkembangan perang di era teknologi informasi saat ini, apalagi penyerangan yang sudah menggunakan jaringan computer dan jejaring social bukan lagi konflik konvensional seperti perang zaman sebelumnya yang masih gampang untuk dilacak kebenarannya. Berdasarkan HHI, satu kriteria yang menentukan tentang keanggotaan individu dalam suatu kelompok bersenjata terorganisasi ialah apakah orang yang bersangkutan memegang sebuah fungsi terus menerus bagi kelompok tersebut yang membuatnya ikutserta secara langsung dalam ermusuhan (untuk selanjutnya disebut ―fungsi tempur terus menerus‖). Fungsi tempur trus menerus tidak berimplikasi adanya hak de jure atas privillese kombatan. Namun fungsi tersebut membedakan pemegangnya, yaitu anggota pasukan tempur terorganisasi dari pihak non Negara peserta konflik, dari orang sipil yang ikut serta secara langsung dalam permusuhan hanya secara spontan, secara sporadik, atau secara tidak terorganisasi saja atau dari orang sipil yang memegang fungsi yang secara ekslusif merupakan fungsi politik, fungsi administrasi ataupun fungsi non tempur lainnya. Dengan demikian berarti orang berhenti menjadi orang sipil selama mereka terus menerus memegang fungsi yang melibatkan keikutsertaan langsung dalam permusuhan (fungsi tempur terus menerus) bagi kelompok bersenjata terorganisasi yang merupakan bagian pada pihak peserta kon-
flik bersenjata non internasional.14 Fungsi tempur terus menerus, mensyaratkan kepadanya pengintegrasian permanen ke dalam kelompok bersenjata terorganisasi yang bertindak sebagai angkatan bersenjata pihak non Negara peserta konflik bersenjata. Jadi individu yang fungsi terus menerusnya disini dalam bentuk mempersiapkan, melaksanakan dan mengkomando tindakan atau operasi yang setara dengan keikutsertaan langsung dalam permusuhan. Individu yang direkrut, dilatih dan diperlenaakpi oleh kelompok semacam itu untuk secara terus menerus secara langsung ikut serta dalam permusuhan atas nama kelompok tersebut dapat dianggap sebagai memegang fungsi terus menerus, pun sebelum dia melaksanakan tindakan permusuhan untuk pertama kalinya. Indivisu semacam itu harus dibedakan dari orang yang sebanding dengan ―reservist (cadangan), yaitu orang yang setelah selama beberapa waktu menjalani keanggotaan aktif dan pelatihan meninggalkan kelompok bersenjata yang bersangkutan dan berintegrasi kembali ke dalam kehidupan sipil. Cadangan semacam itu adalah orang sipil sampai dia dipanggil kembali untuk menjalankan tugas aktif dan kecuali selama dia kembali menjalankantugas aktif tersebut. Dengan demikian berarti individu yang secara terus menerus menyertai atau mendukung kelompok bersenjata terorganisasi tetapi fungsinya tidak melibatkan keikutsertaan langsung dalam permusuhan bukanlah anggota kelompok tersebut dalampengertian HHI, mereka tetap sebagai orang sipil yang memegang fungsi pendukung, sama seperti kontraktor. swasta dan pegawai sipil yang menyertai angkatan bersenjata Negara. Orang-orang yang termasuk kategori ini antara lain petugas perekrutan, petugas pelatihan, petugas pendanaan dan petugas propaganda, kecuali fungsi merkea msudah mencakup pula kegiatan yang setara dengan keikutsertaan langsung dalam permusuhan. Hal yang sama juga berlaku bagi individu yang fungsinya terbatas pada kegiatan pembelian, penyelundupan, pembuatan dan pemeliharaan senjata dan perlengkapan lain di luar operasi militer spesifik atau terbatas pada kegiatan pengumpulan informasi intelijen di luar operasi
13
14
ICRC, 2012, Opcit, hlm. 29
M.Bothe, dalam Nils Mezner, Op Cit, hlm 34
347
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 341 - 350 Petunjuk Penulisan
militer. Spesifik atau terbatas pada kegiatan pengumplan informasi intelijen di luar yang berhakikat taktis. Meskipun orang tersebut bisa menyertai keelompok bersenjata terorganisasi dan memberikan dukungan substtansial kepada pihak peserta konflik. Mereka tidak memegang fungsi tempur terus menerus dan untuk tujuan prinsip pembedaan, tidak dapat dianggap sebagai anggota kelompok bersenjata terorganisasi. Sebagai orang sipil, mereka ikut serta secara langsung dalam permusuhan, meskipun kegiatan atau lokasi mereka bisa meningkatkan keterpaparan mereka pada kematian atau cidera incidental. C. Penutup Berdasarkan hal-hal yang sudah diuraikan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Orang sipil yang berhak atas perlindungan terhadap penyerangan langsung dalam konflik bersenjata adalah semua orang yang bukan anggota angkatan bersenjata Negara dan bukan anggota kelompok bersenjata terorganisasi dari pihak yang berkonflik atau bersengketa. 2. Hak orang sipil atas perlindungan atas serangan langsung pada saat konflik ber-
senjata akan hilang atau hapus apabila orang sipil tersebut sebagai individu ambil bagian secara langsung dalam permusuhan (fungsi tempur terus menerus) (Pasal 51 ayat (1) Protocol Tambahan I Konvensi Jenewa Tahun 1949. Individu yang secara terus menerus menyertai atau mendukung kelompok bersenjata terorganisasi tetapi fungsinya tidak melibatkan keikutsertaan langsung dalam permusuhan bukanlah anggota kelompok tersebut dalampengertian HHI, mereka tetap sebagai orang sipil yang memegang fungsi pendukung, seperti petugas perekrutan, petugas pelatihan, petugas pendanaan dan petugas propaganda, kecuali fungsi mereka sudah mencakup pula kegiatan yang setara dengan keikutsertaan langsung dalam permusuhan. Hal yang sama juga berlaku bagi individu yang fungsinya terbatas pada kegiatan pembelian, penyelundupan, pembuatan dan pemeliharaan senjata dan perlengkapan lain di luar operasi militer spesifik atau terbatas pada kegiatan pengumpulan informasi intelijen di luar operasi militer.
DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Administrasi Umum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Protokol Tambahan Konvensi Jenewa 1949 dan yang berhubungan dengan perlindungan korban-korban pertikaian-pertikaian bersenjata internasional (protocol I) dan Bukan Internasional (Protokol II) Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan Departemen kehamkiman Republik Indonesia, Terjemahan Konvensi jenewa Tahun 1949 Haryomataram, 1984, dalam Miftah Idris, Perlindungan Penduduk Sipil dalam HHI dan Hukum Islam, dalam Konteks dan Perspektif Politik Terkait Hukum Humaniter Internasional Kontemporer, Denny Ramdhany dkk Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015 --------------,1977, Hukum Humaniter: Hubungan dan keterkaitannya dengan Hukum Hak Asasi Manusia, nasional dan Hukum Pelucutan Bersenjata, Fakultas Hukum Trisakti, Jakarta, hlm. 10. ICRC, Mengintegrasikan Hukum, 2010 ICRC, Kekerasan dan Penggunaan Senjata, Delegasi Regional ICRC untuk Indonesia dan Timor Leste, 2012 M.Bothe, dalam Nils Mezner 15
Ibid, hlm 35
348
Hak Perlindungan Penduduk Sipil Atas Serangan Langsung ... Penulisan Petunjuk
Sukmareni
Nils Melzer, Pedoman Penafsiran Tentang Konsep Keikutsertaan Langsung Dalam Permusuhan Menurut Hukum Humaniter Internasional, Komite Internasional Palang Merah (ICRC) Pietro Verri, Dictionary of International Law of Armed Conflict, Jakarta, ICRC, 1992 Syahmin AK, 1985, Hukum Internasional Humaniter I Bagian Umum, Armico, Bandung, Teguh Sulistya, Pengaturan Perang dan Konflik Bersenjata dalam Hukum Humaniter Internasional, Jurnal Hukum Internasional Vol 4 No 3 April, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 2007
349
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 341 - 350 Petunjuk Penulisan
350
Petunjuk Penulisan
MENATA ULANG SELEKSI PENJAGA KONSTITUSI Oleh: Sulardi*) Abstrak Hasil perubahan UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 1999-2002, mendasari terbentuknya pemerintahan baru yang di dalamnya terdapat lembaga-lembaga negara baru sebagai konsekuensi menuju pada perubahan tatanan negara yang lebih baik. Salah satu lembaga baru itu adalah Mahkamah Konstitusi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan keniscayaan untuk memenuhi terselenggaranya negara hukum abad 21 yang demokratis, sekaligus sebagai penjaga UUD. Mahkamah Konstitusi mempunyai peran yang amat penting dalam penyelenggaraan negara Republik Indonesia. Oleh sebab itu dalam pemilihan para penjaga konstitusi ini sudah sepatutnya dilakukan secara cermat, teliti dan hati hati. Ketelitian, kecermatan dan kehatian-hatian itu diawali saat pembentukan Panitia Seleksi dan keterlibatan Komisi Yudisial sebagai lembaga yang bertugas menjaga harkat dan martabat Hakim, termasuk Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. Sejak awal, panitia seleksi merupakan figur yang benar benar independen, tidak mempunyai kepentingan secara pribadi maupun golongan. Dari sini akan terjaring calon calon hakim konstitusi yang benar-benar dapat bekerja atas nama keadilan dan demokrasi. Mekanisme seleksi pun tidak mencukupi jika hanya melalui pembuatan makalah, test kesehatan dan wawancara. Diperlukan mekanisme yang lebihbaik untuk memperoleh informasi yang detail atas diri calon hakim konstitusi. Penguasaan masalah konstitusi, demokrasi, kenegaraan, merupakan syarat mutlak, disamping itu hakim konstitusi juga harus memahami masalah sosial, budaya, politik, agama, dan kemasyarakatan yang heterogen. Apabila di awal seleksi telah terpilih calon hakim konstitusi yang independen non partisan, mempunyai wawasan dan penmgetahuan yang komprehensip, maka seleksi berikutnya di tingkat Komisi Yudisial akan mematangkan hasil seleksi Panitia. Kemudian oleh Komisi Yudisial diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), atau Presiden, atau Mahkamah Agung hanya tinggal seremional dan formalitas saja. Siapa pun yang terpilih oleh DPR, Presiden atau Mahkamah Agung dapat dipastikan figur yang berkemampuan dan berdedikasi sebagai negarawan dalam menjalankan tugasnya sebagai penjaga konstitusi. Kata kunci : Seleksi, hakim konstitusi Abstract The result of the 1945 changes were made in 1999-2002, underlies the formation of a new government in which there are new state institutions as a consequence lead to changes in the order of a better country. One of the new institution is the Constitutional Court. The existence of the Constitutional Court is a necessity to fulfill the implementation of the law states that a democratic 21st century, as well as the guardian of the Constitution. The Constitutional Court has a very important role in the organization of the Republic of Indonesia. Therefore, in the selection of the guardians of this constitution has been duly carried out a careful, thorough and careful. Accuracy, precision and caution was initiated during the formation of the Selection Committee and the involvement of the Judicial Commission as an institution in charge of maintaining the dignity of the judge, including the Chief Justice and the Constitutional Court. Since its inception, the selection committee is a figure which is truly independent, have no personal interest or class. From here will *)
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang,
[email protected]
351
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 351 - 360 Petunjuk Penulisan
be netted prospective candidates for constitutional judges were really able to work on behalf of justice and democracy. Selection mechanisms were not sufficient if only through the manufacture of paper, medical tests and interviews. Lebihbaik mechanisms need to obtain detailed information on a potential constitutional justice. Mastery problem constitution, democracy, statehood, is an absolute requirement, in addition to the constitutional judges also have to understand the social, cultural, political, religious, and social heterogeneous. If in the initial selection of candidates has been elected constitutional judges are independent, non-partisan, has insight and penmgetahuan that comprehensively, then the next selection level Judicial Commission will finalize the results of the selection committee. Then by the Judicial Commission submitted to the Council of Representatives (DPR), or the President, or the Supreme Court only stayed seremional and formality. Whoever is elected by the Parliament, the President or the Supreme Court can certainly figure highly skilled and dedicated as a statesman in performing its duties as guardian of the constitution. Keywords: Selection, constitutional judges A. Pendahululan Reformasi yang berlangsung pada tahun 1998, membawa semangat perubahan bagi negara Indonesia. Semangat perubahan itu tertampak pada hasyrat untuk melakukan perubahan UUD 1945. Patut dihargai, perubahan UUD yang berlangsung pada tahun 1999-2002 menghasilkan point penting bagi penyelenggaraan negara, antara lain : perubahan formulasi kedaulatan rakyat, harus dipahami bahwa Kedaulatan Rakyat baru muncul setelah J.J Rossou, dengan kontruksi social contract-nya berhasil meyakinkan khalayak, bahwa sesungguhnya pemilik sekaligus sumber kekuasaan yang ada pada negara itu adalah masyarakat, dan kekuasaan tertinggi yang dimaksud adalah volonte general.Volonte general atau kemauan umum itulah yang kemudian memunculkan pemahakam bahwa keuasaan tertinggi itu ada pada rakyat yang kini dikenal sebagai kedaulatan rakyat. Di Indonesia format kedaulatan rakyat dapat ditemukan pada dua tempat; pertama pada dasar negara, yakni Pancasila. Pada Sila keempat yang berbunyi; ―Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijkasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan‖. Pada UUD negara Indone-sia semangat kedaulatan rakyat diformulasi dalam dua pemahaman. Pemahaman pertama kedaulatan rakyat berada pada rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh majelis Permusyawaratan Rakyat. Konsekuensi dari pemahaman ini melahirkan lembaga superbody, yang dikenal sebagai lembaga tertinggi negara, dengan dalaih sebagai perwujudan masyarakat sekaligus sebagai pe352
laksana kedaulatan rakyat. Kekuasaan tertinggi tertampakan dalam berbagai hal; memilih dan mengakat presden dan wakil presiden sekaligus meminta pertanggungjawaban, menyusun panduan bagi presiden dan wakil presiden arah penyelenggaraan pemerintahan selama satu periode, yang dkenal dengan GBHN. Perwujudan lainnya adalah produk kebikan dan atau regulasi dari lembaga tetrtinggi ini tidak dapat dibatalkan atau diganggugugat oleh siapa pun. Kemudian setelah perubahan UUD 1945, pemahaman kedaulatan rakyat diformulasikan menjadi; ―Kedaulatan berada di tangan rakyat dilaksanakan berdasar UUD.‖ Perwujudan dari pemahaman ini adalah DPR, DPRD, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Rakyat. Kemudian dipahami juga untuk memilih kepala daerah; Gubernur, Walikota/Bupati. Demikian halnya dengan pengisisan jabatan lembaga negara, semuanya bermuara pada keputusan Dewan Perwakilan Rakyat lembaga negara itu antara lain, Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, Hakim Agung, Hakim Konstitusi, Bawaslu, Gubernur Bank Indonesia, Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dan lain sebagainya. Intinya kedaulatan telah dipahami yang berkuasa menentukan pimpinan jabatan lembaga negara adalah DPR. Hasil perubahan UUD lainnya adalah adanya lembaga-lembaga negara baru, yang semula tidak dikenal pada masa rezim sebelum reformasi, lembaga negara itu antara lain Mahkamah Kosntitusi, Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Daerah, Otoritas Jasa Keuangan dan lain seba-
Menata Ulang Seleksi Penjaga Konstitusi
Petunjuk Penulisan
gainya. Pada tulisan ini akan dikaji secara khusus rekriutmen hakim konstitusi dilakukan dengan menggunakan mekanisme yang berbeda dibanding dengan tata cara rekriutmen hakim lainnya, misalnya Hakim Agung, Hakin pada Peradilan umum, maupun hakim ad hoc. Dari titik ini menunjukan adanya keleluasaan masing-masing lembaga yakni MA, DPR dan Presiden dalam melakukan seleksi Hakim Konstitusi. Mengapa Hakim Konstitusi diseleksi melalui tiga lembaga yang berbeda? Kajian yang dilakukan oleh KRHN bekerjasama dengan Usaid1 menyampaikan bahwa bahwasannya mekanisme pemilihan Hakim Konstitusi saat ini berpotensi ada muatan kepentingan politik, mengingat peran dan fungsi Hakim Konstitusi sangat dekat dengan kebijakan dan produk hukum dari Presiden dan DPR, baik pada kewenangan MK dalam melakukan uji materi terhadap undang-undang, dan penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum. Padahal hakim konsitusi sebagai penjaga konstitusi dan demokrasi semestinya diletakan di luar kepentingan-kepentingan politik itu. B. Mahkamah Konstitusi Sebagai Lembaga Cheks and Balances Banyak sarjana yang selalu mengaitkan pemisahan kekuasaan negara ke dalam tiga pilar kekuasaan yang berdasar pada Trias Politika, maka Moh. Koesnoe2 mempunyai pandangan bahwa UUD 1945 justru tidak menganut Trias Politika, tetapi ‗Duo Politico‘ sebab ketentuan dalam UUD 1945 menunjukan adanya ajaran politik separation of power yang dibuktikan di dalam Bab III yang mengatur tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara dan di bab IX khusus untuk Kekuasaan Kehakiman. Setelah perubahan UUD Negara RI Tahun 1945 menghendaki adanya kekuasaan kehakiman yang mandiri, seperti yang termuat dalam Pasal 24 ayat (1) yaitu: ―Kekuasaan kehakiman dilakukan merupakan kekuasaan yang merdeka 1
KRHN, USAID dan DRSP, Menggapai Keadilan Konstitusi Suatu Rekomendasi untuk Revisi MK, (Jakarta, 2008,) hal 56 2 Moh.Koesnoe, Kedudukan dan Fungsi Kekuasaan Kehakiman Menurut Undang-Undang Dasar 1945, dalam Mudzakkir, Selayang Pandang Sistem Hukum Indonesia Menurut, H Moh.Koenoe, (Jakarta Universitas IndonesiaUniversitas Islam Indonesia), 1977, hal 119
Sulardi
untuk menyelenggarakan peradilan umum guna menegakan hukum dan keadilan‖. Jika sebelum perubahan UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung, hasil perubahan UUD 1945 kekuasaan kehakiman jadi dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi seperti yang termuat dalam Pasal 24 ayat (2): ―Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilam umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi‖. Pasal 24 ayat (2) UUD Negara RI 1945 : ―Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilam umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Rumusan ini menunjukan bahwa cita hukum pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah: esensi kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negara.3 Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia sesungguhnya tidak terlepas dari keinginan masyarakat di negara ini agar pemerintahan Indonesia diselenggarakan atas dasar prinsip-prinsip cita negara hukum. Di mana dalam paham negara hukum, hukumlah yang memegang komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara, hal ini sesuai dengan prinsip the rule of law, and not of Man, yang sejalan dengan pengertian ‗nomocratie’kekuasaan yang dijalankan oleh hukum.4 Selain negara diselenggarakan dengan memegang teguh prinsip cita negara hukum, masyarakat juga menghendaki terselenggaranya kekuasaan negara yang berpegang pada prinsip pemisahan kekuasaan dan checks and balances. Hal tersebut dikarenakan sepanjang Orde Baru berkuasa (1966-1988) pemerintahan Indonesia diselenggarakan dengan model pemusatan kekuasaan pada Presiden, di mana cita-cita sebagai negara hukum justru diwujudkan dalam bentuk negara kekuasaan. Je3
A. Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Pustaka Pelajar, Jogyakarta, 2001, hal.145 4 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta Sekjen Mahkamah Konstitusi, 2006), hlm 69
353
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 351 - 360 Petunjuk Penulisan
las hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Pada masa itu hukum dibentuk dan dimanfaatkan sebagai alat legitimitasi penguasa sehingga produk hukum berpihak pada penguasa yang bagi masyarakat sarat dengan sanksi, hukum seperti itu menurut Nonet dan Philip5 hukum bergerak ke arah hukum punitif yaitu dengan memasukkan suatu kecenderungan untuk memberi sanksi ke dalam proses hukum. Apalagi produk hukum yang semestinya dibentuk oleh lembaga legislatif, ternyata dalam prosesnya sangat didominasi oleh eksekutif. Hal demikian menjadikan undang-undang dibuat bukan atas dasar keinginan dan kebutuhan masyarakat - yang diwakili oleh lembaga legislatif namun karena pemerintah yang memerlukannya. Momentum keruntuhan pemerintahan Orde Baru 1998, memberi ruang terhadap diselenggarakannya pemerintahan republik Indonesia dengan prinsip-prinsip check and balances dan prinsip negara hukum, melalui agenda reformasi yang salah satunya adalah perubahan UUD 1945. Perubahan UUD 1945 yang pada waktu itu diyakini dapat merubah tatanan pemerintahan negara Indonesia menuju pemerintahan yang demokratis, salah satunya adalah terbentuknya lembaga lembaga baru yakni, Dewan Perwakilan Daerah, Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi. Keberadaan lembaga baru ini menurut Jimly Asshiddiqie mendorong terselenggaranya prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan, dimana lembaga dapat saling kontrol dan gagasan check and balances akan terwujud sebab dalam penyelesaian sengketa antar lembaga negara dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui proses persidangan yang terbuka adil dan fair. Apalagi pembentukan Mahkamah Konstitusi menurut Paulus Effendi Lotulong,6 dalam Firmansyah Arifin dan Julius Wardi ini tidak terlepas dari pengkajian baik dari segi politissosiologis, yuridis filosofis dan histories. Me5
Philippe Nonet dan PhilipSelznick, Law and Society : Toward Responsive Law, diterjemahkan oleh Rafael Edy Bosco, Hukum Responsif, (Jakarta Huma, 2003), hal 39 6 Firmansyah dan Juliyius Wardi, Merambah Jalan Pembentukan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta KRHN, 2002), hal 1.
354
nurut A. Fickar Hadjar dkk7 Paling tidak, ada empat hal yang melatarbelakangi dan menjadi pijakan dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi, yaitu : 1. Sebagai implikasi dari paham konstitusionalisme; 2. Mekanisme checks and balances ; 3. Penyelenggara negara yang bersih; dan 4. Perlindungan terhadap hak asasi manusia Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang masih muda memiliki wewenang dan kewajiban seperti yang diatur dalam pasal 24C UUD Negara RI 1945 yang berbunyi sebagai berikut; 1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD; 2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD; 3. Memutus pembubaran partai politik; dan 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihann umum, serta; 5. Wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Berdasar pada keinginan penyelenggaraan pemerintahan yang berprinsip cita hukum dan check and balances dan wewenang serta kewajiban Mahkamah Kontitusi yang termuat dalam UUD Negara RI 1945 dan yang diatur kembali dalam UU No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Kontitusi. Keberadaan Mahkamah Kontitusi dalam Negara Republik Indonesia merupakan tuntuntan jaman yang terus bergerak progresif, sehingga mampu menjawab masalah bangsa, khususnya masalah pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dan masalah pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden. Kedua hal 7
Fickar Hadjar dkk, Pokok-Pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang Makmah Konstitusi, (Jakarta KRHN dan Kemitraan, 2003), hal.3
Menata Ulang Seleksi Penjaga Konstitusi
Petunjuk Penulisan
tersebut diasumsikan sebagai tugas Mahkamah Konstitusi yang paling berhubungan dengan sistem presidensiil. Terbentuknya Mahkamah Konstitusi menurut Mahfud MD8 turut menggerakan roda pengembangan isu-isu ketatanegaraan menjadi lebih dinamis dan tidak sekedar berkutat dalam tataran teoritis semata. Sebagai suatu pengadilan ketatanegaraan, mahkamah Konstitusi juga menjadi kawah candradimuka bagi penerapan ilmu Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam tataran praktis. Mencermati wewenang dan kewajiban yang menjadi tanggung jawab Mahkamah Konstitusi dalam pasal 10 UU No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, sesungguhnya merupakan upaya menyelesaikan persoalan ketatanegaraan yang ada pada masa sebelum Mahkamah Konstitusi terbentuk. Sebab sebelum terbentuknya Mahkamah Konstitusi, apa yang saat ini menjadi wewenang dan tanggung jawab Mahkamah Konstitusi kalau tidak sekedar wacana maka dijalankan secara tidak adil dan tidak fair. Dari ketentuan pasal 24C UUD Negara RI 1945 dapat diketahui, bahwa wewenang Mahkamah Konstitusi sangatlah luas, hal tersebut menurut Ni‘matul Huda dikarenakan : 1. Pemberian wewenang kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji undangundang terhadap UUD, dipandang lebih tepat daripada wewenang tersebut diberikan kepada MPR. 2. Wewenang Mahkamah Konstitusi memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangnnya diberikan oleh UUD, perlu ada penjelasan lebih lanjut tentang pengertian lembaga negara yang dimaksud; 3. Memutus pembubaran partai politik. Kewenangan ini sebelumnya ada pada Mahkamah Agung yang sebagaimana diatur dalam UU No 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik yang menyatakan bahwa Mahakamah Agung berwenang membe8
Moh. Mahfud, MD, Refleksi dan Sistem Ketatanegaraan di Indonesia, Makalah Keynote Speech disampaikan pada acara ―Seminar Ketatanegaraan dan Refleksi Akhir Tahun‖ yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur pada 27 Desember 2009 di Jember Jawa Timur, hal.3
Sulardi
kukan atau membubarkan partai politik; 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilian umum. Kewenangan ini menjadi penting mengingat pemilihan umum merupakan kegiatan negara yang cukup rumit dan melelahkan karena banyaknya jumlah partai politik peserta pemilu dan tingkatan pemilihan, yakni pemilihan anggota DPR, DPRD, Propinsi, Kabupaten/Kota, DPD dan juga pemilihan presiden langsung serta pemilihan kepala daerah. 5. Berdasar pada Pasal 236 C UU No 12 tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah, Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi. 6. Setelah Pasal 236 C dinyatakan inkonstitusional oleh MK berdasar pada putusan MK no 97/PUU-XI/2013, dan menyerahkan penyelesaian sengketa pada pembentuk UU. 7. Namun sayangnya, pembentuk undangundang tidak memahami hal ini, berdasar pada Pasa 159 UU no 8 tahun 2015, pembentuk UU menyerahkan penyelesaian sengketa kepada Mahkamah Konstitusi sampai terbentuknya Peradilan Khusus Pemilu, yang paling lambat harus sudah terbentuk sebelum diselenggarakan pemilukada serentak pada tahun 2027. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi dalam ketatanegaraan Indonesia, Jimly Asshhidiqie9 berpendapat bahwa dalam jangka panjang secara tegas bangsa Indonesia dapat memisahkan antara Mahkamah Konstitusi sebagai court of law dan Mahkamah Agung sebagai court of justice. Mahkamah Konstitusi berfungsi untuk menjaga konstitusionalitas, sedangkan Mahkamah Agung berfungsi untuk mewujudkan keadilan bagi setiap warga Negara Indonesia dan badan-badan hukum di dalam sistem hukum Indonesia. C. Model Seleksi Hakim Konstitusi Merujuk pada PADA Pasal 24 C ayat 3, 4, 9
JimlyAsshhidiqie, Konstitusidan …op.cit. hal. 244
355
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 351 - 360 Petunjuk Penulisan
5 dan 6 Undang-undang dasar Negara RI tahun 1945 yang pada prinsipnya Hakim Konstitusi diajukan oleh DPR, MA dan Presiden, Pemilihan ketua dan Wakil Ketua oleh Hakim konstitusi dan Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan, yang menguasai konstitusi dan kenegaraan serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Pada dasarnya syarat dan mekanisme pemilihhan hakim konstitusi diserahkan pada Undang-undang. Kemudian berdasar pada UU No 23 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi persyaratan menjadi hakim konstitusi diatur dalam Pasal 15 UU No 24 tahun 2003, bahwa Hakim Konstitusi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut ; a. Memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; b. Adil; dan c. Negarawan yang mengusai konstitusi dan kenegaraan. Pada Pasal 16 ayat (1) nya mempersyaratkan ; a. Warga negara Indonesia; b. Berpendidikan Sarjana Hukum; c. Berusia sekurang-kurangnya 40 tahun saat pendaftan; d. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima0 tahun atau lebih; e. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan f. Mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun. Kemudian berdasar pada UU No 8 tahun 2011, persyaratan tersebut di atas mengalami sedikit perubahan antara lain mengenai persyaratan usia calon hakim, yakni menjadi sekurangkurang telah berusia 47 tahun dan maksimal 65 tahun pada saat pendaftaran. Demikian halnya pada persyaratan pengalaman kerja di bidang hukum yang semula 10 (sepuluh tahun) menjadi 15 (lima belas tahun), serta harus berijazah doktor dengan latar belakang sarjananya bidang ilmu hukum. Adapun mengenai rekriutmen hakim kons356
titusi di atur dalam Pasal 19 UU No 24 tahun 2003 yang pada dasarnya dilakukan secara transparan dan partisipasif. Ketentua lebih lanjut mengenai tata cara seleksi hakim Konstitusi diserahkan sepenuhnya kepada tiga lembaga negara, yakni DPR, MA dan Presiden. Sejauh ini hakim konstitusi yang diseleksi oleh DPR dan Presiden cukup terbuka, sehingga ,masyarakat dapat mengikuti proses dan transparansi yang diselenggarakan. Sedang proses seleksi Hakim Konstitusi oleh Mahkamah Agung terkesan tertutup, tidak memberi peluang pada masyarakat untuk berpartisipasi dalam mekanisme seleksi Hakim Konstitusi. Catatan Seleksi Hakim Terdahulu. Sejak pertama kali dilakukan seleksi Hakim Konstitusi, mekanisme yang dilakukan cukup beragam, misalnya pada waktu itu Buyung menegaskan tugas untuk menyeleksi calon hakim konstitusi tidaklah mudah. Rekrutmen hakim konstitusi ini lebih berat daripada segala rekrutmen atau seleksi yang sudah pernah saya kerjakan, ujar pria yang kerap masuk dalam panitia seleksi komisi-komisi negara ini. Alasannya, lanjut pria berambut putih ini, karena UU No 24 Tahun 2003 tentang MK memuat persyaratan yang sangat ketat untuk seorang calon hakim konstitusi. UU MK bukan saja mensyaratkan sarjana hukum dan berusia 40 tahun ke atas, tapi juga harus paham ketatanegaraan. Disamping itu, menurut Buyung ada kriteria berintegritas tinggi dan tak tercela dan mempunyai sifat kenegarawanan. Selama ini, Buyung mengaku gagal dalam melakukan seleksi. Integritas tinggi saja sangat susah. Tidak ada parameternya. Seandainya ditemukan calon yang memenuhi kriteria, menurut Buyung, calon tersebut jarang yang mau melamar menjadi hakim konstitusi. Karena orang-orang yang qualified, sarjana hukum berpengalaman, berintegritas tinggi, serta negarawan, tak akan mau mencalonkan diri, jelasnya. Dia akan segan, tambahnya. Karenanya, Buyung mengaku masih memikirkan mekanisme pencalonan yang tepat. Mekanismenya bisa dengan membuka lowongan calon hakim konstitusi di media massa atau melamar orang yang dianggap qualified.
Menata Ulang Seleksi Penjaga Konstitusi
Petunjuk Penulisan
Kita perlu sistem jemput bola, ujarnya. Namun, sistem jemput bolanya seperti apa, masih baru akan dipikirkan. Sementara itu, Haris Azhar dari Aliansi Masyarakat untuk Mahkamah Konstitusi (AMUK) sempat mengutarakan sistem jemput bola ini agar diterapkan oleh DPR. Komisi III juga bisa meminta nama yang dianggap kredibel untuk ikut seleksi. Namun, untuk pengajuan hakimhakim MK berikutnya Presiden SBY tidak lagi melakukan seleksi terbuka. Hamdan Zoelva (2010) langsung ditetapkan oleh Presiden tanpa seleksi terbuka sehingga muncul kritik gencar dari masyarakat. Menurut pengakuan Hamdan, terhadap dirinya sudah dilakukan fit and proper test oleh tiga menteri terkait, yakni Menko Polhukam, Mensesneg, dan Menkumham. Tetapi siapapun tahu, kalaupun ada, tentu itu bukanlah seleksi yang transparan dan partisipatif, melainkan lebih politis. Untungnya, terlepas dari prosesnya yang banyak dipersoalkan, pengangkatan Hamdan yang cukup dikritik; ternyata dia cukup kapabel dan profesional sampai mengakhiri tugasnya. Namun, ketika ternyata pada 2013 Presiden SBY masih mengangkat lagi Patrialis Akbar tanpa seleksi terbuka, maka masyarakat sipil bukan hanya mengkritik, melainkan langsung memerkarakannya ke PTUN. Terpilihnya Palguna sebagai hakim MK haruslah kita terima sebagai produk dari satu proses yang transparan dan partisipatif sesuai dengan ketentuan Pasal 19 UU MK. Palguna tidak ditunjuk secara sepihak, melainkan sudah melalui seleksi terbuka yang bertahap. Bahwa ada yang mengkritik atas penetapannya karena dia pernah punya kaitan dengan partai politik adalah biasa di dalam negara demokrasi. Siapa pun yang ditetapkan oleh presiden pasti akan ada yang mengkritik, tetapi siapapun bisa mengkritik lagi terhadap kritik yang mungkin berlebihan. Pada dasarnya mekanisme seleksi calon hakim konstitusi yang dilakukan oleh ketiga lembaga itu berbeda, baik yang diseleksi oleh DPR, Presiden, maupun Mahkamah Konstitusi. Hal inilah yang perlu dikritisi agar dikemudian hari, mekanisme seleksi Hakim konstitusi oleh
Sulardi
tiga lembaga itu mampu mennghasilkan figur figur hakin konstitusi yang benar benar berintegritas dan negarawan serta tidak tercela seperti yang diamanatkan oleh konstitusi. Seleksi untuk memilih hakim MK sebaiknya lebih menitikberatkan pada integritas dan kapabilitas. Walaupun sulit untuk menghindari figur-figur yang berasal dari partai politik namun hal itu jangan sampai membebani kinerja hakim konstitusi yang merasa berhutang budi pada partai politik yang telah mengusulkannya, baik itu yang diusulkan oleh Presiden maupun oleh DPR. Alangkah baiknya apabila masing-masing lembaga membentuk tim seleksi yang independen untuk menyeleksi hakim MK. Catatan tentang seleksi yang dilakukan oleh Risky Argama,10 yang termuat dalam Parlemen.net 3 April 2008 menunjukan bahwa kepentingan-kepentngan politik berpengaruh dalam proses seleksi Hakim Konstitusi. Komisi III membuka pintu bagi setiap fraksi untuk mengusulkan paling banyak tiga calon untuk diseleksi. Jumlah nama bakal calon yang semula 21 kemudian ditambah dengan nama-nama yang diusulkan fraksi akhirnya mengerucut. Setelah melalui proses administratif, Komisi III menilai hanya delapan belas nama yang layak melanjutkan proses seleksi berikutnya. Komposisinya adalah: (i) tiga calon berstatus Anggota DPR, yakni Akil Mochtar dari Fraksi Partai Golkar, Moh. Mahfud MD dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Yusuf Fanie Andi Kasim dari Fraksi Bintang Reformasi. (ii) dua calon adalah hakim konstitusi, yaitu Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie dan hakim MK Harjono. (iii) tiga belas orang lainnya memiliki latar belakang beragam seperti advokat, akademisi, dan pegawai negeri sipil. Seperti yang dikutip dri hukumonline.com 29 02.2008 disebutkan bahwa tidak sedikit kalangan yang memberi respons negatif terhadap proses yang diselenggarakan oleh Komisi III DPR tersebut. Seperti diberitakan di berbagai media massa, dua nama calon yang lolos seleksi 10
Risky Argama, Politisi Memilih Hakim Konstitusi, Jakarta Parlemen. Net 3 April 2008.
357
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 351 - 360 Petunjuk Penulisan
administratif dan masih menjabat sebagai hakim konstitusi, Jimly dan Harjono, oleh DPR diputuskan untuk tidak diikutsertakan dalam proses uji kepatutan dan kelayakan. Inilah sebuah keistimewaan bagi kedua incumbent tersebut yang memunculkan potensi diskriminatif bagi para calon lainnya. Ada yang menilai tahapan seleksi nama bakal calon hakim konstitusi yang akan diajukan oleh DPR kepada Presiden itu tidak memenuhi asas transparansi, bahkan dianggap cenderung diskriminatif. Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Denny Indrayana misalnya, berpendapat bahwa seharusnya perlakuan istimewa terhadap calonincumbent sebatas pada seleksi administratif, sementara uji kepatutan dan kelayakan tetap harus diikuti. Pembedaan antara calon incumbent dengan calon yang merupakan muka baru, menurut Denny, dapat dilakukan dengan memberikan pertanyaan yang berbeda materinya satu sama lain. Kepada calon incumbent, pertanyaan seputar pengetahuan hukum tata negara tidak perlu lagi diajukan, cukup pertanyaan mengenai komitmen calon untuk kembali menjadi hakim konstitusi. Sementara menurut Irmanputra Sidin, mantan Koordinator Staf Ahli MK, semua calon tanpa terkecuali seharusnya melewati tahapan proses yang sama. Perlakuan istimewa yang diberikan kepada para calon incumbent ini menurutnya merupakan bentuk diskriminasi yang merugikan calon-calon lainnya (hukumonline.com, 29/02/ 08). Sesungguhnya proses seleksi Hakim Konstitusi yang ber bau politik tidak dapat dihindari, sebab seleksi hakim MK dilakukan oleh lembaga politik. Bagaimana pun dan apa pun pertimbangan DPR, dapat dipastikan perimbangan politik merupakan hal yang menentukan. D. Menata Ulang Seleksi Hakim Konstitusi Pada dasarnya UUD negara RI tahun 1945 mengamanatkan bahwa mekanisme seleksi Hakim MK dilakukan secara transparan dan partisipatif. Amanat itu mengandung makna agar mekanisme seleksi Hakim MK menghasilkan hakim hakim yang diinginkan oleh UUD , yakni hakim yang memiliki integritas, menguasai konstitusi dan kenegaraan. Secara detail selanjutnya diserahkan kepada DPR, Presiden dan 358
Mahkamah Agung yang diperintah oleh UUD melakukan seleksi. Penyerahan aturan main diserahkan kepada masing-masing lembaga ini sesungguhnya telah terjadi reduksi regulasi. Semestinya diingatkan bahwa amanat konstitusi memerintahkan mekanisme seleksi hakim konstitusi diatur dalam Undang-undang. Kalau pun di dalam UU MK baru mengatur tentang persyaratan hakim konstitusi, masih dimungkinkan dibentuk UU tentang seleksi Hakim Konstitusi. Dengan adanya payung hukum dalam suatu undang-undang, maka peran masing-masing lembaga secara yuridis terjaga. Secara demikian, maka secara garis besar di dalam UndangUndang yang akan dibentuk oleh DPR dan Presiden memuat secara garis besar tentang, persyaratan hakim konstitusi yang dirujuk dari UU MK dan UUD Negara RI tahun 1945. UU tentang Seleksi Hakim Konstitusi itu ( yang kelak akan disusun) mensyaratkan bahwa DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung wajib melakukan seleksi hakim monstitusi secara transparan dan partisipasif. Masing masing lembaga membentuk tim seleksi yang berasal dari kalanagn masyarakat yang dikenal memiliki loyalitas kepada kepentingan negara dan independen. Tim seleksi atau yang disebut panitia seleksi ini, merupakan mekanisme seleksi tahap pertama, yang menjaring, mencari dan meminta masyarakat untuk mendaftarkan diri atau mendaftarkan orang lain menjadi hakim konstitusi. Dari pansel ini akan terseleksi calon hakim konstitusi yang tidak hanya secara adminstrasi memenuhi syarat, termasuk rekam jejak masing masing calon, yang dilakukan secara sounding dengan melakukan penelusuran perilaku di masa lalu calon hakim konstitusi secara “rahasia” oleh panitia seleksi. Hasil seleksi Panitia akan diserahkan calon terbaik kepada Komisi Yudisial (kelak Komisi Yudisial melakukan seleksi akhir terhadap seleksi Hakim Agung, Hakim Konstitusi dan hakim di peradilan yang ada di Indonesia). Komisi Yudisial secara kualitatif akan menyeleksi calon hakim konstitusi tahap pertama, di sini oleh Komisi Yudisial akan digali sifat sifat integritas, kenegarawanan dan kemampuan penguasaan konstitusi, masing-masing calon hakim konstitusi. Baik itu dilakukan secara simulasi dalam menghadapi masalah masalah
Menata Ulang Seleksi Penjaga Konstitusi
Petunjuk Penulisan
kehidupan ketatanegaraan, maupun melalui pemikiran-pemikiran para calon hakim yang ditulis dalam berbagai makalah yang diminta dibuat oleh Komisi Yudisial. Dari titik ini, akan dihasilkan Calon Hakim Konstitusi yang secara integritas, kenegarawanan dan keahliannya dalam bidang konstitusi. Setelah itu diserahkan kepada masing masing lembaga ( DPR, Presiden, Mahkamah Sagung) untuk dipilih calon hakim terbaik dari yang terbaik, best of the besat. Siapa pun yang lolos seleksi oleh DPR, Presiden atau pun DPR, dapat dipastikan merupakan Hakim Konstitusi seperti yang dikendaki oleh UUD Negara RI tahun 1945. Mekanismenya terkesan ribet, tetapi ini demi mendapatkan calon calon hakim yang benar-benar memiliki integritas, kenegarawanan dan ahli konstitusi. E. Kesimpulan dan Rekomenadi Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa, Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang dan kewajiban yang sangat penting dalam berlangsungnya ketatanegraan di Indonesia. Mekanisme yang selama ini dilakukan terhadap
Sulardi
calon hakim konstitusi tidak sesuai dengan perintah Pasal 24 C UUD Negara RI tahun 1945. Semestinya mekanisme didasarkan pada UU tentang Mahkamah Konstitusi, akan tetapi justru UU No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mendelegasikan kepada tiga lembaga untuk melakukan proses seleksi calon hakim monstitusi. Akibatnya, mekasisme menjadi tertutup seperti yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, tidak ada standasrisasi seperti yang dilakukan oleh Presiden baik pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, maupun Presiden Joko Widodo. Demikian halnya yang dilakukan oleh DPR akan sulit menghindarkan diri dari kepentingan-kepentingan politik. Pasa masa yang akan datang, sebaiknya ada payung hukum berupa Undang-Undang tentang Seleksi Hakim Konstitusi, yang mengatur bagiamana ketiga lembaga negara itu DPR, Presiden dan Mahkamah Agung melakukan seleksi calon hakim konstitusi. Mengingat peran penting hakim konstitusi, maka proses seleksi harus lebih teliti dan cermat. Oleh sebab itu, dalam kajian ini direkomendasikan untuk segera diterbitkan UU yang mengatur tentang seleksi hakim konstitusi.
Daftar Pustaka A. Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Pustaka Pelajar, Jogyakarta, 2001. Fickar Hadjar dkk, Pokok-Pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang Makmah Konstitusi, (Jakarta KRHN dan Kemitraan, 2003). Firmansyah dan Juliyius Wardi, Merambah Jalan Pembentukan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta KRHN, 2002). Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,(Jakarta Sekjen Mahkamah Konstitusi, 2006). Moh. Mahfud, MD, Refleksi dan Sistem Ketatanegaraan di Indonesia, Makalah Keynote Speech disampaikan pada acara ―Seminar Ketatanegaraan dan Refleksi Akhir Tahun‖ yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur pada 27 Desember 2009 di Jember Jawa Timur. Moh. Koesnoe, Kedudukan dan Fungsi Kekuasaan Kehakiman Menurut Undang-Undang Dasar 1945, dalam Mudzakkir, Selayang Pandang Sistem Hukum Indonesia Menurut, H Moh. Koenoe, (Jakarta Universitas Indonesia-Universitas Islam Indonesia), 1977, hal 119 Philippe Nonet dan PhilipSelznick, Law and Society : Toward Responsive Law, diterjemahkan oleh Rafael Edy Bosco, Hukum Responsif, (Jakarta Huma, 2003). Risky Argama, Politisi Memilih Hakim Konstitusi, Jakarta Parlemen. Net 3 April 2008. KRHN, USAID dan DRSP, Menggapai Keadilan Konstitusi Suatu Rekomendasi untuk Revisi MK, (Jakarta, 2008,) hal 56
359
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 351 - 360 Petunjuk Penulisan
360
Petunjuk Penulisan
KONVENSI HUKUM LAUT PBB 1982 DAN HUKUM LAUT NASIONAL INDONESIA Oleh: Tommy Hendra Purwaka Dosen Hukum Laut Internasional Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta Jl. Jenderal Sudirman 51, Jakarta 12930
[email protected] Abstrak Konvensi PBB tahun 1982 tentang Hukum Laut (KHL) atau United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS) telah menjadi bagian dari hukum positif Indonesia melalui UU Ratifikasi nomor 17 tahun 1985. KHL tersebut diajarkan di fakultas hukum dalam mata kuliah Hukum Laut Internasional. Oleh karena KHL tersebut telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia dan wajib diterapkan di wilayah NKRI, serta NKRI sendiri merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, maka sudah selayaknya fakultas hukum juga mengkuliahkan Hukum Laut Nasional Indonesia sebagai ilmu pengetahuan hukum yang mencakup pengertian, pemahaman dan pengetahuan tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Oleh karena itu, tulisan singkat ini dapat dipandang sebagai langkah awal untuk mewujudkan kehendak dan keinginan tersebut. Kata kunci : Konvensi hukum laut Abstract The 1982 UN Convention on the Law of the Sea (KHL) or the United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS) has become part of the positive law of Indonesia through the Ratification Act number 17 of 1985. The KHL is taught in the faculty of law in the course Law of the Sea International. Therefore KHL has become part of Indonesian national law and must be applied in the Homeland and the Homeland itself is the largest archipelago in the world, then it is proper law faculties also lecture Law of the Sea National Indonesia as the science of law which covers the definition, understanding and knowledge of the Unitary Republic of Indonesia as the largest archipelago country in the world. Therefore, this short article can be viewed as the first step to realize the will and desire. Keyword : Law of the sea convention I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konvensi Hulum Laut PBB III (KHL) diadakan oleh PBB setelah melihat kenyataan bahwa Konvensi Hukum Laut PBB I (1958) dan Konvensi Hukum Laut PBB II (1960) tidak ber-
hasil diberlakukan untuk secara internasional mengikat seluruh negara-negara di dunia. Konferensi PBB III tentang Hukum Laut diselenggarakan dalam kurun waktu lebih dari 10 tahun, yaitu dari tahun 1972 sampai dengan 1982 dimana para wakil negara peserta menandatangani KHL tersebut pada bulan Desember 1982 di Montigo Bay, Jamaica. KHL diberlakukan dan 361
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 361 - 382 Petunjuk Penulisan
mengikat secara internasional setelah negara ke 60 meratifikasi KHL pada tahun 1994. Dengan demikian dapat dipahami bahwa penyelenggaraan KHL ini merupakan ajang diplomasi dan negosiasi antar negara terpanjang yang berlangsung secara berkelanjutan dalam sejarah pekembangan Hukum Laut Internasional. Pemberlakuan KHL dimaksudkan untuk mengatur ocean space (ruang laut) yang merupakan bagian terbesar dari bumi kita. Oleh karena keseluruhan aspek ruang laut berkaitan satu sama lain, maka aspek-aspek tersebut haruslah diatur sebagai satu kesatuan yang terpadu dalam KHL. Dalam kaitan ini, KHL dipandang oleh Tommy T.B. Koh, President of the third UNCLOS, sebagai suatu konstitusi kelautan (a constitution for the ocean).1 Tidaklah keliru bila KHL disebut sebagai konstitusi kelautan karena dalam pengimplementasiannya menunjukkan bahwa tidak hanya aspek kelautan saja dari ruang laut yang diatur melainkan juga aspek daratan dan udara di atasnya. KHL diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi KHL 1982. Sejak saat itu, KHL merupakan bagian dari hukum positif Indonesia. Berbagai produk hukum yang diundangkan sebelum dan sesudah tahun 1982 telah mengacu pada ketentuan-ketentuan KHL. Di antara produk-produk hukum tersebut adalah Deklarasi Djuanda 1957, UU Perairan Indonesia (1960), UU Landas Kontinen (1974), UU ZEE (1980), UU Lingkungan Hidup (1982), UU Perikanan (1985), UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (1990), UU Pelayaran (1992), dan UU Pemerintahan Daerah (1999). Beberapa UU saat ini telah diubah dan digantikan dengan UU yang baru. KHL disosialisasikan kepada masyarakat Indonesia antara lain melalui seminar-seminar dan lokakarya-lokakarya tentang Implementasi Wawasan Nusantara. Kegiatan sosialisasi ini dimotori oleh Mochtar Kusumaatmadja, penggagas prinsip-prinsip negara kepulauan dan konseptor Deklarasi Djuanda 1957. Prinsip-prinsip negara kepulauan tersebut pada akhirnya diteri1
Tommy Hendra Purwaka, ―Paradigmn Shift in the Implementation of the Law of the Sea in Indonesia,‖ dalam Jurnal Hukum Internasional, Volume 8 Numkber 1 October 2010, p. 114.
362
ma dan diatur dalam Part IV KHL dengan judul Archipelagic States. Keberhasilan ini merupakan buah dari perjuangan diplomasi yang tak kenal lelah yang dilakukan oleh Delegasi RI ke Konferensi PBB III tentang Hukum Laut2 di bawah pimpinan Mochtar Kusumaatmadja yang pada saat itu menjabat Menteri Luar Negeri RI. Disamping disosialisasikan kepada masyarakat Indonesia, KHL tersebut juga diajarkan di fakultas hukum diberbagai universitas dan perguruan tinggi di Indonesia melalui mata kuliah Hukum Laut Internasional. Pengertian, pemahaman dan pengetahuan mahasiswa fakultas hukum tentang KHL akan menjadi lebih lengkap lagi apa bila mata kuliah Hukum Laut Internasional didampingi dengan mata kuliah Hukum Laut Nasional Indonesia. Mata kuliah Hukum Laut Nasional Indonesia tersebut sampai saat ini belum ada dan oleh karena itu masih perlu diadakan dan dikembangkan. Dalam kaitan ini, tulisan singkat ini dimaksudkan sebagai upaya awal untuk merealisasikan gagasan tentang perlu diadakannya mata kuliah Hukum Laut Nasional Indonesia. B. Pernyataan Masalah KHL sebagai landasan bagi pengembangan hukum laut internasional telah menjadi bagian dari hukum positif Indonesia melalui UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi KHL. Artinya, KHL wajib diterapkan di wilayah laut Indonesia dan berbagai produk hukum yang menjadi landasan hukum bagi pelaksanaan pembangunan kelautan di Indonesia wajib diselaraskan dengan KHL. Dengan kata lain, KHL sebagai hukum laut internasional bersama-sama dengan hukum positif Indonesia lainnya pada akhirnya harus diterapkan di wilayah laut negara kepulauan Indonesia. Bukakankah KHL dan hukum-hukum yang diberlakukan di wilayah laut Indonesia tersebut dapat dihimpun dan dipadukan menjadi Hukum Laut Nasional Indonesia. 2
Anggota Delegasi RI ke Konferensi PBB tentang Hukum Laut tersebut antara lain (mohon maaf bila ada kesalahan, ketidak-lengkapan dan tanpa gelar dalam penulisan nama): Hasyim Djalal, Nugroho Wisnu Murti, Adi Sumardiman, Parapat, V. Susanto, Komar Kantaatmadja, Etty Agus, Munadjat Danusaputro, Napitupulu, dan Sitepu.
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 dan Hukum Laut Petunjuk Nasional Indonesia Penulisan
Oleh karena hukum internasional dimengerti sebagai hukum yang mengatur peristiwa hukum internasional, yaitu suatu peristiwa yang terdiri dari perbutan-perbuatan hukum oleh subyek hukum, hubungan-hubungan hukum yang terbentuk oleh interaksi antar perbuatan-perbuatan hukum tersebut, dan akibat-akibat hukum yang melampaui batas-batas negara, maka hukum laut internasional dapat dipahami sebagai hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum antar negara dengan obyek hubungannya berkaitan dengan ruang laut (ocean space) dan segala aspeknya. Dengan demikian, penerapan KHL sebagai hukum laut internasional oleh Indonesia dapat dipahami sebagai upaya Indonesia untuk memperjuangkan, mempertahankan, dan mewujudkan kepentingan-kepentingan Indonesia di bidang kelautan, baik di dalam maupun di luar wilayah laut Indonesia melalui hubungan antar negara berdasarkan asas, prinsip, dan ketentuan hukum laut internasional. Sejalan dengan upaya Indonesia melalui hubungan kelautan internasional tersebut di atas, Indonesia juga melakukan kegiatan pembangunan kelautan nasional secara berkelanjutan. Kegiatan pembangunan kelautan nasional tersebut merupakan upaya Indonesia untuk mengisi wilayah negara kepulauan Indonesia yang telah memperoleh pengakuan internasional melalui pemuatannya sebagai Part IV dalam KHL. Oleh karena pembangunan kelautan nasional tersebut lebih memfokuskan diri pada peristiwaperistiwa hukum nasional dari pada internasional di bidang kelautan, walaupun tak dapat disangkal tentang adanya interaksi antara kduanya, maka Indonesia sudah selayaknya membentuk, memberlakukan dan mengembangkan hukum laut nasional sebagai landasan hukum bagi pembangunan kelautan nasional. C. Ruang Lingkup Ruang lingkup tulisan singkat ini mencakup tiga hal pokok, yaitu: Pertama, membahas aspek yuridis normatif dan yuridis empiris dari KHL sebagai hukum laut internasional yang menjadi landasan hukum bagi hubungan-hubungan internasional Indonesia; Kedua, mengupayakan adanya hukum laut nasional Indonesia sebagai landasan hukum bagi
Tommy Hendra P.
pelaksanaan pembangunan kelautan nasional di wilayah negara kepulauan Indonesia; dan Ketiga, mengembangkan hukum laut nasional Indonesia sebagai mata kuliah ilmu pengetahuan hukum yang diajarkan di fakultas hukum dan di pendidikan tinggi hukum. D. Maksud dan Tujuan Tulisan singkat ini bertujuan untuk mengingatkan kita kembali, khususnya mengingatkan generasi muda dan mahasiswa, bahwa NKRI adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang diperoleh melalui perjuangan diplomasi yang panjang dalam kancah Konferensi PBB III tentang Hukum Laut. Dengan mengingatkan kembali tentang posisi NKRI sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, tulisan singkat ini bermaksud untuk menyadarkan kita, generasi muda, dan mahasiswa bahwa implementasi KHL merupakan landasan bagi kita untuk mempertahankan dan mengembangkan posisi NKRI sebagai negara kepulauan. E. Manfaat Tulisan singkat ini diharapkan akan memiliki dua manfaat bagi para pembacanya, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis yang diharapkan akan diperoleh adalah peningkatan pemahaman aspek normatif dari KHL dalam kaitannya dengan produk-produk hukum internasional dan nasional. Keterkaitan KHL dengan produk-produk hukum internasional akan memberikan pemahaman tentang adanya lapangan-lapangan hukum dalam hukum laut internasional, sedangkan keterkaitannya dengan produk-produk hukum nasional akan memberikan pemahaman tentang adanya peluang untuk membentuk hukum laut nasional Indonesia. Manfaat praktis yang diharapkan akan diperoleh adalah peningkatan pemahaman tentang teknik implementasi KHL yang beraspek hukum laut internasional dalam ranah hubungan antar negara dan yang beraspek hukum laut nasional dalam ranah pembangunan kelautan nasional, serta keterkaitan kedua aspek tersebut. F. Landasan Teori Beberapa teori hukum yang dapat dipergunakan di sini untuk memahami keberadaan 363
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 361 - 382 Petunjuk Penulisan
KHL sebagai suatu konstitusi bagi ruang laut (ocean space) meliputi antara lain teori negara, teori kedaulatan negara, teori ketertiban umum, teori sistem hukum, dan teori fungsi hukum. Teori tentang negara (state theory) mengatakan bahwa suatu negara ada atau exist apa bila memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu ada wilayah negara yang jelas batas-batasnya, ada warga negara yang tinggal di dalam wilayah negara tersebut, ada pemerintahan negara, dan ada pengakuan dari negara lainnya. NKRI sebagai negara kepulauan terbesar di dunia sudah memenuhi ke empat persyaratan tersebut. Namun demikian, belum seluruh batas-batas wilayah lautnya dengan negara tetangga diselesaikan berdasarkan kaedah-kaedah hukum laut internasional yang ada di dalam KHL. Teori kedaulatan negara (sovereignty of the state theory) menjelaskan bahwa negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan kekuasaannya di dalam wilayah negara. Negara yang mampu menjalankan kekuasaan negara yang terdiri dari kekukasaan pemerintahan, kekuasaan pembentuk UU, dan kekuasaan kehakiman dengan baik di dalam wilayah negara disebut sebagai negara yang berdaulat. Menurut KHL dan berdasarkan UU Perairan Indonesia, wilayah NKRI terdiri dari wilayah daratan pulau-pulau besar dan kecil yang berjumlah lebih dari 17.000 pulau dengan panjang pantai 81.000 km, wilayah lautan yang terdiri dari perairan pedalaman, perairan nusantara dan laut territorial 12 mil laut (nautical miles), dan wilayah udara di atas wilayah daratan dan lautan. Kedaulatan NKRI atas wilayah negara tersebut juga meliputi kedaulatan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah negara tersebut. Menurut KHL dalam kaitannya dengan teori kedaulatan negara, Indonesia mempunyai dan menerapkan hak-hak berdaulat (sovereign rights) di wilayah laut di luar wilayah negara yang terdiri dari zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen. Teori ketertiban umum (public order theory) menjelaskan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup manusia yang tak terbatas sifatnya dengan menggunakan sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan yang terbatas sifatnya harus diatur oleh hukum agar tercipta ketertiban umum. Apa bila pemenuhan kebutu364
han tersebut tidak diatur oleh hukum maka akan terjadi kekacauan dimana pihak-pihak yang memiliki kekuatan, baik kekuatan ekononmi, politik maupun militer, akan selalu menang. Dengan demikian dapat dipahami dalam kaitan ini bahwa KHL diadakan oleh negara-negara untuk mewujudkan ketertiban umum dalam memanfaatkan ruang laut beserta segala aspeknya bagi terpenuhinya kepentingan nasional masing-masing negara. Teori sistem hukum (legal system theory) menegaskan bahwa hukum sebagai suatu sistem merupakan proses interaksi antara tiga sub sistem hukum, yaitu materi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture), dimana apa bila salah satu sub sistem berubah, maka perubahan tersebut akan mengakibatkan perubahan pada kedua sub sistem lainnya. Dari sudut pandang input-output model dapat dikatakan di sini bahwa dalam suatu sistem hukum apa bila salah satu sub sistem hukum menghasilkan output, maka output tersebut akan menjadi input bagi kedua sub sistem lainnya. Dalam kaitan ini, KHL sebagai suatu sistem memiliki tiga sub sistem hukum, yaitu materi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Materi hukum terdiri dari hukum tertulis dan tidak tertulis. Hukum tertulis mencakup antara lain hukum nasional, perjanjian internasional, dan putusan pengadilan internasional, sedangkan hukum tak tertulis merupakan kebiasaan-kebiasaan internasional dalam mengelola dan memanfaatkan ruang laut dan segala aspeknya. Kesemuanya ini merupakan sumber hukum formil dari KHL. Untuk memperoleh pemahaman yang utuh tentang sumber hukum KHL, maka keberadaan sumber hukum formil tidak dapat dilepaskan dari sumber hukum materiil yang terdiri dari landasan idiil, yaitu keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum, serta landasan riil (kenyataan sehari-hari), yaitu kegiatan hubungan antar negara dalam kehidupan masyarakat internasional di bidang kelautan yang mencakup aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, lingkungan hidup, dan hukum. Dalam kaitan ini, penegakan ketentuan-ketentuan hukum KHL memerlukan struktur hukum yang kuat yang terdiri dari organisasi kelembagaan di tingkat nasional dan internasional. Organisasi kelembagaan tersebut
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 dan Hukum Laut Petunjuk Nasional Indonesia Penulisan
hendaknya memiliki budaya hukum, yaitu sikap dan perilaku positif terhadap KHL agar supaya materi KHL dapat dimengerti dan dipahami untuk kemudian dapat ditegakkan sebagaimana seharusnya. Teori fungsi hukum (legal function theory) menjelaskan bahwa hukum memiliki dan menjalankan fungsi social engineering. Artinya, hukum melakukan rekayasa terhadap kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Hukum bukan hanya sekedar alat untuk melakukan rekayasa sosial (tool of social engineering), melainkan merupakan hukum yang hidup (the living law) dan bekerja menjalankan fungsi rekayasa sosial. Jika hukum hanya sebagai alat, maka hukum tersebut mati. Oleh karena itu untuk dapat melakukan rekayasa sosial, hukum harus merupakan hukum yang hidup, yaitu hukum yang memiliki karakter populis (tidak elitis), responsif (tidak represif), dan otonom (tidak ortodox). KHL dalam kaitan ini merupakan hukum yang populis karena mampu menyerap aspirasi masyarakat internasional, khususnya aspirasi negara-negara sedang berkembang. Disamping itu, KHL juga merupakan hukum yang bersifat responsif karena dapat cepat tanggap dan memberikan respon terhadap tidak berfungsinya UNCLOS 1958 dan UNCLOS 1960 dengan menyelenggarakan Konferensi PBB III tentang Hukum Laut pada tahun 1972. Kemudian KHL juga merupakan hukum yang otonom karena mampu tegak berdiri walaupun di bawah tekanan-tekanan dari negara-negara super power di bidang kelautan seperti Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara OECD lainnya. Kehadiran KHL menurut teori fungsi diharapkan akan dapat mewujudkan kestabilan jika ditinjau dari aspek politik, efisiensi jika ditinjau dari aspek ekonomi, kesejahteraan bilka ditinjau dari aspek sosial, kemapanan nilai-nilai bila ditinjau dari aspek budaya, ketahanan/kekuatan jika ditinjau dari aspek pertahanan, ketentraman jika ditinjau dari aspek keamanan, keberlanjutan jika ditinjau dari aspek lingkungan, serta keadilan, kepastian, dan kebenaran jika ditinjau dari aspek hukum dalam mengelola, menggunakan, dan memanfaatkan ruang laut beserta segala aspeknya. G. Pendekatan Tulisan singkat ini menggunakan pende-
Tommy Hendra P.
katan hukum dan kelembagaan dalam menguraikan dan membahas KHL. KHL memberikan mandat hukum kepada organisasi kelembagaan yang antara lain terdiri dari negara-negara, organisasi internasional, dan para anggota masyarakat internasional untuk memanfaatkan ruang laut dan segala aspeknya dengan tidak melanggar ketertiban umum, baik nasional maupun internasional. Ketertiban umum akan terwujud apa bila setiap organisasi kelembagaan tunduk dan patuh pada KHL. H. Organisasi Penulisan Tulisan singkat ini diawali dengan uraian Pendahuluan pada Bab I yang mencakup Latar Belakang, Pernyataan Masalah, Ruang Lingkup, Maksud dan Tujuan, Manfaat, Landasan Teori, Pendekatan, dan Organisasi Penulisan. Bab Penduhuluan tersebut merupakan pengantar untuk memasuki pembahasan pada Bab II tentang Hukum Laut Internasional, Bab III tentang Hukum Laut Nasional Indonesia, Bab IV tentang Ilmu Hukum Laut Nasional Indonesia, Bab V tentang Penerapan Ilmu Hukum Laut Nasional Indonesia Dalam Pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi, dan Bab VI sebagai Penutup Bab II yang berjudul Hukum Laut Internasional akan mengetengahkan uraian tentang sejarah singkat perkembangan masalah kelautan sampai dengan diberlakukannya KHL yang mengikat secara internasional. KHL tersebut berisi materi hukum yang meberikan mandat kepada organisasi kelembagaan hukum laut internasional untuk melaksanakan KHL di wilayah-wilayah laut tertentu sesuai dengan rejim-rejim hukum laut internasional yang diatur di dalam KHL. Penerapan KHL tersebut akan membawa konsekuensi terjadinya interaksi dengan penerapan konvensi-konvensi internasional lainnya yang akan menumbuh-kembangkan lapanganlapangan hukum baru dalam hukum laut internasional. Bab III yang berjudul Hukum Laut Nasional Indonesia akan membahas bahwa hukum laut nasional Indonesia itu benar-benar ada dan keberadaannya memang benar-benar diperlukan. Keberadaan hukum laut nasional tersebut didukung oleh cara pandang Bangsa Indonesia terhadap wilayah lautnya yang merupakan bagian tak terpisahkan dari wilayah nasional 365
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 361 - 382 Petunjuk Penulisan
NKRI. Cara pandang atau wawasan Bangsa Indonesia tersebut tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan implementasi hukum laut internasional di Indonesia. Bab IV yang berjudul Ilmu Hukum Laut Nasional Indonesia akan mengetengahkan uraian tentang hukum laut nasional Indonesia sebagai ilmu pengetahuan hukum. Bahwa hukum itu adalah ilmu pengetahuan sudah bukan merupakan masalah lagi. Dengan demikian, hukum laut nasional Indonesia adalah juga ilmu pengetahuan. Sebagai ilmu pengetahuan, hukum laut nasional berintikan fakta dan kebenaran tentang misalnya NKRI sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, serta berbagai metode seperti metode penelitian untuk mencari fakta dan menemukan kebenaran, metode verifikasi untuk menguji kembali kebenaran atas fakta dan kebenaran secara ilmiah, metode pembelajaran untuk memberikan pengertian, pemahaman dan pengetahuan tentang fakta dan kebenaran, serta metode sosialisasi untuk menjelaskan fakta dan kebenaran tersebut kepada masyarakat. Hasil dari ilmu pengetahuan adalah peningkatan kompetensi dan kemampuan. Bab V yang berjudul Penerapan Ilmu Hukum Laut Nasional Indonesia Dalam Pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi akan mengetengahkan pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat di bidang hukum laut nasional Indonesia. Tulisan singkat ini akan ditutup dengan Bab VI yang berisi kesimpulan dan saran-saran. II HUKUM LAUT INTERNASIONAL A. Sejarah Singkat Permasalahan Kelautan Internasional Wilayah laut dunia dan segala isinya telah menarik minat banyak negara pantai, khususnya negara-negara besar, untuk menggunakan dan memanfaatkannya guna memenuhi kebutuhan dan kepentingan dari masing-masing negara yang bersangkutan. Persaingan antara negaranegara besar sudah terjadi sejak abad ke 14. Dalam tahun 1492, misalnya, Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda saling bersaing dalam melakukan eksplorasi laut sebagai pintu masuk untuk menguasai wilayah laut. Pada tahun 1493, 366
Spanyol mengklaim Samudera Pasifik dan Portugis mengklaim Samudera Antlantik. Kedua klaim tersebut didukung oleh Tahta Suci Vatikan dengan mengeluarkan Papal Bulls dari Paus Alexander VI yang kemudian dimodikasi ke dalam bentuk Traktat bilateral antara Spanyol dan Portugis, yaitu Traktat Tordesillas pada tahun 1494. Pengesahan tersebut menjadi landasan bagi Spanyol dan Portugis untuk menguasai Benua Amerika dan menerapkan konsep mare clausum atau laut tertutup.3 Penerapan mare clausum tersebut menimbulkan konflik dengan Inggris dan Belanda. Delapan puluh tujuh tahun kemudian, Ratu Elizabeth dari Inggris mendeklarasikan kebebasan atas laut (freedom of the sea) pada tahun 1580 dan Hugo Grotius dari Belanda mencanangkan doktrin laut terbuka (mare liberum) pada tahun 1609.4 Minat negara-negara maritim besar seperti Amerika, Rusia, Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, Itali, Swedia, dan Jepang terhadap ruang laut dan segala aspeknya diwujudkan salah satunya dengan melakukan ekspedisi-ekspedisi penelitian ilmiah kelautan yang telah mereka mulai pada Abad 18 sampai dengan sekarang yang jumlahnya telah mencapai ratusan.5 Sejak 1950an, organisasi internasional dan negara-negara sedang berkembang mulai terlibat secara terbatas dalam beberapa ekspedisi penelitian ilmiah kelautan tersebut.6 Disamping itu, pentingnya masalah ruang laut dan segala aspeknya bagi banyak negara di dunia juga dapat dilihat dengan jumlah konvensi internasional yang dibuat dan diberlakukan, serta jumlah kasus dan insiden kelautan yang terjadi. Berbicara tentang konvensi 3
Lihat R.R. Churchill and A.V. Lowe, The Law of the Sea, third ed., Manchester, UK: Manchester University Press, 1999, p. 204. Lihat juga Tommy Hendra Purwaka, ―Paradigmn Shift in the Implementation of the Law of the Sea in Indonesia,‖ dalam Jurnal Hukum Internasional, Volume 8 Numkber 1 October 2010, p. 114. 4 Ibid., R.R. Churchill and A.V. Lowe, serta Tommy Hendra Purwaka. 5 Jumlah ratusan tersebut merupakan perkiraan penulis berdasarkan data 62 ekspedisi penelitian ilmiah kelautan yang dilakukan di perairan kepulauan Indonesia dan sekitarnya tahun 1804-1980, di mana masing-masing ekspedisi dilakukan 1-4 kali setahun (lihat Joseph R. Morgan and Mark J. Valencia, Atlas for Marine Policy in Southeast Asian Seas, Berkeley and Los Angeles, California: University of California Press, 1983, pp. 18-24. 6 Ibid., Joseph R. Morgan and Mark J. Valencia.
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 dan Hukum Laut Petunjuk Nasional Indonesia Penulisan
internasional, misalnya, pada tahun 1661-1997 telah dibuat dan diberlakukan 309 konvensi internasional, dan pada tahun 1805-1998 telah terjadi 124 kasus dan insiden kelautan.7 Fakta-fakta sejarah dan praktik negaranegara yang terjadi di sepanjang sejarah perkembangan hukum laut internasional sampai dengan diberlakukannya KHL yang mengikat secara internasional pada tahun 1994 menunjukkan betapa pentingnya ruang laut dan segala aspeknya bagi masyarakat internasional. Dalam kaitan ini, Bernado Zuleta, Wakil Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Hukum Laut, dalam Bab Pendahuluan dari UNCLOS mengatakan bahwa berbagai permasalahan ruang laut adalah saling terkait satu sama lain dan oleh karena itu perlu dipahami secara keseluruhan. Javier Perez de Cuellar, Sekretaris Jenderal PBB, dalam pernyataannya mengenai UNCLOS yang berjudul ―International Law is Irrevocably Transformed‖ mengatakan bahwa permasalah-permasalahan ruang laut yang saling kait mengkait tersebut perlu ditangani secara bersama-sama. Tommy T.B. Koh, President UNCLOS, dalam sambutannya terhadap UNCLOS yang berjudul ―A Constitution for the Ocean‖ menyatakan bahwa permasalahan-permasalah ruang laut yang saling terkait tersebut perlu ditangani keseluruhannya secara integral. Ketiga pernyataan tersebut dapat dipandang sebagai cerminan dari kesadaran para wakil negara-negara penandatangan UNCLOS bahwa keseluruhan permasalahan ruang laut adalah saling berhubungan satu sama lain dan perlu penanganan secara integral. Dengan kata lain, ketiga pendapat tersebut hendak menyatakan bahwa pendekatan menyeluruh yang mengedepankan kerjasama internasional merupakan pendekatan yang sesuai untuk mengaplikasikan KHL. B. Konvensi Hukum Laut PBB 1982 Sistematika KHL meliputi Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penutup. Pembukaan terdiri dari Pendahuluan yang ditulis oleh Bernado Zuleta, Wakil Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Hukum Laut, pernyataan dari Javier Perez de Cuellar, Sekretaris Jenderal PBB, dengan ju7
Lihat Lihat R.R. Churchill and A.V. Lowe, The Law of the Sea, third ed., Manchester, UK: Manchester University Press, 1999, pp. xix-xlix.
Tommy Hendra P.
dul International Law is Irrevocably Transformed, dan ulasan dari Tommy T.B. Koh, President KHL yang berasal dari Singapura, dengan judul A Constitution for the Ocean. Ketiga tulisan tersebut menyatakan bahwa ruang laut dan segala aspeknya yang terkait satu sama lain perlu ditangani sebagai satu keseluruhan dan oleh karena itu perlu diatur dalam suatu KHL. KHL yang sejak tahun 1994 berlaku dan mengikat secara internasional merupakan landasan bagi berbagai subyek hukum internasional untuk saling bekerjasama dalam mengelola, memanfaatkan, dan menggunakan ruang laut dan segala aspeknya untuk kepentingan damai. Batang Tubuh KHL terdiri dari 27 Bab dan 320 Pasal, serta 9 Annex.8 Bab I Pendahuluan terdiri dari satu Pasal saja yaitu Pasal 1 yang mengatur tentang: 1. Terminologi yang digunakan dan ruang lingkup KHL. 2. Subyek hukum laut yang meliputi negara-negara sebagai pihak penandatangan KHL serta subyek hukum lainnya yang memiliki kedudukan hukum setara dengan negara-negara penandatangan KHL. Bab II yang berjudul Laut Teritorial dan Zona Tambahan terdiri dari 32 Pasal, yaitu Pasal 2 sampai dengan Pasal 33. Ketentuan-ketentuan hukum di dalam Bab II ini mengatur tentang: 1. Status hukum laut teritorial, udara di atasnya, dan dasar laut di bawahnya. 2. Laut teritorial 12 mil laut dan perairan pedalaman. 3. Garis pangkal normal dan garis pangkal lurus.9 4. Karang, muara sungai, teluk, pelabuhan, roadsteads, dan garis air surut.10 5. Cara penetapan batas antara dua negara 8
Lihat The Law of the Sea, United Nations Convention on the Law of the Sea with Index and Final Act of the Third United Nations Convention on the Law of the Sea. New York: United Nations, 1983. 9 Garis pangkal satu lagi adalah garis pangkal kepulauan yang diatur dalam Pasal 47 (1) KHL. Ketiga macam garis pangkal tersebut merupakan titik-titik pangkal untuk mengukur dan menetapkan berbagai macam wilayah perairan laut yang dimiliki oleh suatu negara. 10 Kesemuanya adalah lokasi terdapatnya titik-titik pangkal untuk membentuk garis pangkal.
367
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 361 - 382 Petunjuk Penulisan
yang berhadapan dan yang berdampingan. 6. Lintas damai, hak dan kewajiban dalam lintas damai, alur-alur pelayaran, kapal niaga, kapal pemerintah, kapal perang, kapal selam, kapal nuklir, hak negara pantai, jurisdiksi pidana, dan jurisdiksi perdata di atas kapal. Bab III yang berjudul Selat yang Digunakan Untuk Pelayaran Internasional terdiri dari 11 Pasal, yaitu dari Pasal 34 sampai dengan Pasal 45. Ketentuan-ketentuan hukum Bab III tersebut mengatur tentang: 1. Pengertian dan status hukum selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional. 2. Lintas transit, lintas damai, hak dan kewajiban bagi kapal dan pesawat udara saat transit. Bab IV yang berjudul Negara-Negara Kepulauan terdiri dari 9 Pasal, yaitu dari Pasal 46 sampai dengan Pasal 54. Kesembilan Pasal tersebut mengatur tentang: 1. Garis pangkal kepulauan. 2. Perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen. 3. Status hukum perairan kepulauan, udara di atasnya, serta dasar laut dan lapisan di bawahnya. 4. Hak lintas damai dan hak lintas di aluralur kepulauan bagi kapal dan pesawat udara. 5. Perjanjian-perjanjian antar negara yang sudah ada, hak penangkapan ikan tradisional, serta kabel dan pipa bawah laut. Bab V yang berjudul Zona Ekonomi Eksklusif terdiri dari 21 Pasal, yaitu dari Pasal 55 sampai dengan Pasal 75. Ketentuan-ketentuan hukum dalam ke 21 Pasal tersebut mengatur tentang: 1. Rejim hukum khusus dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). 2. Hak dan kewajiban dari negara pantai dan negara lainnya (negara pantai lainnya, negara dengan kondisi geografi kurang beruntung, dan negara tak berpantai) di ZEE. 3. Larangan pengalihan hak, serta penegakkan hukum dan peraturan dari negara 368
pantai. 4. Pulau buatan, instalasi, dan bangunan di ZEE. 5. Pengelolaan, pemanfaatan, dan konservasi sumber daya alam hayati di ZEE (shared stocks, highly migratory species, marine mammals, anadromous stocks, catadromous species, dan sedentary species). 6. Pemetaan dan penetapan batas ZEE antar negara. Bab VI yang berjudul Landas Kontinen terdiri dari 9 Pasal, yaitu dari Pasal 76 sampai dengan Pasal 85. Ketentuan-ketentuan hukum dari kesembilan Pasal tersebut mengatur tentang: 1. Penetapan batas terluar, penetapan batas landas kontinen antar negara, dan pemetaan landas kontinen. 2. Status hukum landas kontinen, ruang air dan udara di atasnya. 3. Hak negara pantai dan kebebasan dari negara lainnya. 4. Pipa dan kabel bawah laut, pulau buatan, instalasi dan bangunan di landas kontinen, serta kegiatan pengeboran (drilling) di landas kontinen. Bab VII yang berjudul Laut Lepas terdiri dari 35 Pasal, yaitu dari Pasal 86 sampai dengan Pasal 120. Ketentuan-ketentuan hukum dari ke 35 Pasal tersebut mengatur tentang: 1. Laut lepas sebagai wilayah laut yang bukan ZEE, laut teritorial, perairan kepulauan, dan bukan perairan pedalaman. 2. Kebebasan laut lepas bagi semua negara, baik yang berpantai maupun tidak berpantai, yang terdiri dari kebebasan pelayaran, kebebasan penerbangan, kebebasan meletakkan kabel dan pipa bawah laut, kebebasan membangun pulau buatan dan instalasi lainnya, kebebasan penangkapan ikan, dan kebebasan melakukan penelitian laut untuk tujuan damai sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum dalam KHL. 3. Status hukum kapal laut, hubungan kapal laut dan negara bendera kapal, kewajiban negara bendera kapal, hak memeriksa kapal laut, dan hak melakukan pengejaran tanpa henti (hot pursuit).
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 dan Hukum Laut Petunjuk Nasional Indonesia Penulisan
4. Imunitas kapal perang dan kapal pemerintah. 5. Permasalahan tubrukan kapal, perompakan, pengangkutan budak, lalu lintas narkotika, penyiaran gelap, dan kerjasama antar negara untuk mengatasi permasalahan tersebut. 6. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati, serta kerjasama antar negara. Bab VIII yang berjudul Rejim Pulau-Pulau terdiri dari hanya satu Pasal, yaitu Pasal 121 dengan tiga ayat. Pasal 121 tersebut mengatur: 1. Pulau adalah tanah yang tetap timbul (tidak tenggelam) pada waktu air laut pasang. 2. Laut teritorial, zona tambahan, ZEE, dan landas kontinen dari suatu pulau ditetapkan berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum dalam KHL. 3. Pulau karang yang tidak dapat dihuni dan tidak dapat mendukung kehidupan ekonomi penghuninya tidak dapat memiliki laut teritorial, zona tambahan, ZEE, dan landas kontinen. Bab IX yang berjudul Laut Tertutup dan Semi Tertutup terdiri dari dua Pasal, yaitu Pasal 122 dan Pasal 123. Kedua Pasal tersebut mengatur tentang: 1. Pengertian laut tertutup dan semi tertutup. Keduanya didefinisikan sebagai: (a) teluk (gulf), dangkalan (basin) atau wilayah laut yang dikelilingi oleh dua atau lebih negara pantai dan yang menghubungkan ke wilayah laut lainnya atau lautan melalui suatu alur sempit; atau (b) wilayah laut yang seluruhnya merupakan laut teritorial dan ZEE dari dua negara pantai atau lebih. 2. Kerjasama antara negara-negara yang mengelilingi wilayah laut tersebut, yang dapat juga melibatkan negara lain dan organisasi internasional dalam bidang (a) pengelolaan, konservasi, ekplorasi dan eksploitasi sumber daya alam hayati; (b) penerapan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan proteksi dan preservasi lingkungan laut; dan (c) kebijakan dan pelaksanaan penelitian ilmiah kelautan.
Tommy Hendra P.
Bab X yang berjudul Hak Negara-Negara Tak Berpantai Atas Akses Ke dan Dari Laut Serta Kebebasan Transit yang terdiri dari 9 Pasal, yaitu dari Pasal 124 sampai dengan Pasal 132. Kesembilan Pasal tersebut mengatur tentang: 1. Definisi dari: (a) Land-Locked States (LLS) sebagai negara tak berpantai; (b) Transit State sebagai negara baik berpantai maupun tak berpantai yang terletak di antara LLS dan laut yang dilalui oleh transit dari LLS menuju laut atau dari laut kembali ke LLS; (c) Traffic in transit berupa orang, bagasi, barang, dan sarana transportasi; dan (d) Sarana transportasi yang meliputi kendaraan darat, kereta api, dan kendaraan air. 2. Hak akses, pengecualian dari penerapan klausula most-favoured-nation (MFN), kewajiban bea-cukai, perpajakan dan pungutan lainnya, fasilitas zona bebas dan kepabeanan, kerjasama dan fasilitas transit, dan perlakuan yang sama (equal treatment) di pelabuhan laut. Bab XI yang berjudul Dasar Laut Internasional (Tha Area) terdiri dari 59 Pasal, yaitu dari Pasal 133 sampai dengan Pasal 191. Ketentuan hukum dalam Pasal-Pasal tersebut mengatur tentang: 1. Wilayah dasar laut yang berada di luar landas kontinen beserta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. 2. Prinsip-prinsip pengurusan dasar laut internasional yang meliputi antara lain status hukum, kepemilikan seluruh umat manusia (common heritage of mankind), pemanfaatan untuk kepentingan damai, perlindungan lingkungan laut, alih teknologi, dan perlindungan kehidupan manusia. 3. Pembangunan dan pengembangan dasar laut internasional yang meliputi kebijakan antara lain mengenai kegiatan pengelolaan, eksplorasi, eksploitasi, produksi, dan pemasaran yang tidak boleh mematikan kegiatan serupa di daratan, bahkan harus saling mendukung untuk kemaslahatan umat manusia. 4. Badan Otoritas Dasar Laut Internasional sebagai badan pengelola dasar laut inter369
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 361 - 382 Petunjuk Penulisan
nasional dan kekayaan alanm yang terkandung di dalamnya. Organ Badan Otorita terdiri dari Assembley, Council, Secretariat, dan Enterprise, berikut kekuasaan dan kewenangan, tugas dan fungsi, serta administrasi/tata kelola dan keuangannya. 5. Advisory dan Penyelesaian sengketa dilakukan melalui Sea-Bed Dispute Chamber yang berada dalam naungan International Tribunal for the Law of the Sea. Bab XII yang berjudul Proteksi dan Preservasi Lingkungan Laut yang terdiri dari 46 Pasal, yaitu dari Pasal 192 sampai dengan Pasal 237. Ketentuan hukum ke 46 Pasal tersebut mengatur tentang: 1. Negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam dengan kewajiban untuk melakukan proteksi dan preservasi lingkungan laut sesuai ketentuan KHL. 2. Kerjasama antar negara dan antara negara dengan organisasi internasional, termasuk penelitian, studi, tukar menukar data dan informasi, serta monitoring, evaluasi, dan asesmen lingkungan. 3. Ketentuan hukum internasional dan nasional tentang pencegahan, pengurangan, dan pengawasan polusi yang terdiri dari polusi bersumber dari darat, dari kegiatan di sea-bed dan dasar laut internasional, dari buangan (dumping), dari kapal, dan melalui atmosfir. 4. Penegakan hukum berkaitan dengan polusi dari darat, dari kegiatan di sea-bed dan dasar laut internasional, dari buangan, dan melalui atmosfir, penegakan hukum oleh negara bendera kapal, negara pelabuhan, dan negara pantai, serta pengamanan, investigasi, responsibility dan liability. Bab XIII yang berjudul Penelitian Ilmiah Kelautan terdiri dari 28 Pasal, yaitu dari Pasal 238 sampai dengan Pasal 265. Ke 28 Pasal tersebut mengatur tentang: 1. Hak untuk melakukan penelitian ilmiah kelautan, prinsip-prinsip umum penelitian ilmiah kelautan. 2. Kewajiban negara pantai dan kerjasama internasional. 370
3. Penelitian ilmiah kelautan oleh organisasi internasional. 4. Penelitian ilmiah kelautan di laut teritorial, landas kontinen dan ZEE serta di luar ZEE dan di dasar laut internasional. 5. Responsibility and liability, serta penyelesaian sengketa. Bab XIV yang berjudul Pengembangan dan Alih Teknologi terdirin dari 13 Pasal, yaitu dari Pasal 266 sampai dengan Pasal 278. Ke 13 Pasal tersebut berisi ketentuan hukum yang mengatur tentang: 1. Pedoman, criteria dan standar. 2. Upaya negara pantai dan upaya melalui kerjasama dengan negara lain dan/atau organisasi internasional. 3. Kerjasama internasional dan perlindungan kepentingan-kepentingan yang legitimate. Bab XV yang berjudul Penyelesaian Sengketa terdiri dari 21 Pasal, yaitu dari Pasal 279 sampai dengan Pasal 299. Ketentuan-ketentuan hukum dalam ke 21 Pasal tersebut mengatur tentang: 1. Kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai. 2. Penyelesaian berdasarkan persetujuanpersetujuan umum, regional dan bilateral. 3. Sarana penyelesaian sengketa: tukar pandangan (negosiasi), konsiliasi, pilihan beracara melalui International Tribunal for the Law of the Sea atau International Court of Justice, serta arbitrase. Bab XVI yang berjudul Ketentuan Umum terdiri dari 5 Pasal, yaitu dari Pasal 300 sampai dengan Pasal 304. Ke 5 Pasal tersebut mengatur tentang: 1. Itikad baik dalam penyelenggaraan hak, jurisdiksi, dan kebebasan sesuai dengan KHL. 2. Penggunaan dan pemanfaatan laut untuk tujuan damai. 3. Kerahasiaan informasi berkaitan dengan keamanan negara. 4. Benda-benda arkeologi dan bersejarah yang ditemukan di laut. 5. Responsibility dan liability. Bab XVII yang berjudul Ketentuan Penutup terdiri dari 16 Pasal, yaitu dari Pasal 305
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 dan Hukum Laut Petunjuk Nasional Indonesia Penulisan
sampai dengan Pasal 320. Ke 16 Pasal tersebut mengatur tentang: 1. Penandatanganan KHL. 2. Ratifikasi dan konfirmasi resmi. 3. Pemberlakuan KHL. 4. Status Annex sebagai bagian tak terpisahkan dari KHL. Uraian tentang ketentuan-ketentuan hukum di dalam Batang Tubuh KHL diakhiri dengan pemuatan 9 Annexes yang meliputi: Annex I Highly Migratory Species (Jenis-Jenis Sumber Daya Alam Hayati yang Beruaya Jauh). Annex II Commission on the Limits of the Continental Shelf (Komisi tentang Batas Landas Kontinen). Annex III Basic Conditions of Prospecting Exploration and Exploitation (Kondisi Dasar Pengembangan Eksplorasi dan Eksploitasi. Annex IV Statue of the Enterprise (Pengaturan Badan Usaha Dasar Laut Internasional). Annex V Conciliation (Perdamaian). Annex VI Statue of the International Tribunal for the Law of the Sea (Pengaturan Tribunal Internasional untuk Hukum Laut). Annex VII Arbitration (Arbitrase). Annex VIII Special Arbitration (Arbitrase Khusus). Annex IX Participation by Internationa Organization (Pertisipasi Organisasi Internasional). Penutup KHL berisi uraian pendahuluan yang kemudian diikuti dengan catatan-catatan yang dituangkan dalam 6 Annexes, serta kemudian diakhiri dengan penandatanganan KHL, kronologi hukum laut, dan index. C. Rejim-Rejim Hukum Laut Internasional Rejim hukum dapat diartikan secara sederhana sebagai diberlakukannya hukum tertentu di wilayah tertentu. Dengan demikian, rejim hukum laut adalah berlakunya ketentuan KHL tertentu bagi wilayah laut tertentu. Dalam kaitan ini, wilayah laut tertentu yang akan diketengahkan di sini adalah wilayah laut yang penetapan
Tommy Hendra P.
batas-batasnya diukur dengan menggunakan garis pangkal, baik garis pangkal normal, garis pangkal lurus maupun garis pangkal kepulauan. Wilayah laut tersebut ada delapan, yaitu perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, laut lepas, landas kontinen, dan dasar laut internasional. Rejim hukum laut yang berlaku di ke delapan wilayah laut tersebut disebut rejim hukum perairan pedalaman, rejim hukum perairan kepulauan, rejim hukum laut teritorial, rejim hukum zona tambahan, rejim hukum zona ekonomi eksklusif, rejim hukum laut lepas, rejim hukum landas kontinen, dan rejim hukum dasar laut internasional.11 Masing-masing rejim hukum laut internasional tersebut akan diuraikan singkat berikut ini. Rejim Hukum Perairan Pedalaman adalah hukum yang diterapkan di perairan laut yang terletak di sisi dalam garis pangkal dengan daratan. Sebagai contoh perairan pedalaman antara lain adalah teluk dengan mulut teluk kurang dari 12 mil laut pada saat air surut, fjord dengan mulut fjord kurang dari 12 mil laut pada saat air surut, muara sungai, pelabuhan, atol, genangan air pada saat air surut, dan rawa-rawa hutan bakau. Negara memiliki dan menjalankan kedaulatan penuh di perairan pedalaman tersebut tanpa ada kewajiban internasional yang harus dijalankan oleh negara tersebut. Rejim Hukum Perairan Kepulauan adalah hukum yang diterapkan di wilayah perairan yang terletak di antara pulau-pulau dengan batas luarnya adalah garis pangkal kepulauan. Sebagai contoh perairan kepulauan antara lain adalah Laut Jawa, Laut Frores, Laut Halmahera, Laut Banda, Laut Arfura, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makasar, Selat Wetar, dan Selat Madura. Negara, dalam hal ini NKRI, mempunyai dan menjalankan kedaulatan penuh atas wilayah perairan kepulauan tersebut dengan kewajiban internasional yang harus dilakukan antara lain menjamin adanya hak lintas damai bagi kapal11
Rejim hukum laut internasional yang diatur di dalam KHL tidak hanya ke delapan rejim hukum tersebut, melainkan ada beberapa seperti rejim transit, rejim lintas damai, rejim selat untuk pelayaran internasional, dan rejim alur-alur laut kepulauan. Ke delapan rejim hukum laut tersebut ditonjolkan karena berkaitan dengan keberadaan wilayah negara, pemerintahan negara, dan kegiatan warga negara di suatu wilayah laut tertentu.
371
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 361 - 382 Petunjuk Penulisan
kapal asing dan mengadakan alur-alur kepulauan sesuai ketentuan KHL. Rejim Hukum Laut Teritorial adalah hukum yang diterapkan di wilayah perairan selebar 12 mil laut yang diukur tegak lurus dari garis pangkal sepanjang atau mengelilingi wilayah suatu negara.Sebagai contoh laut teritorial 12 mil laut adalah laut teritorial Indonesia yang mengelilingi negara kepulauan Indonesia yang meliputi perairan Samudera Hindia, Laut Arafura, Samudera Pasifik, Laut Sulawesi, Laut Cina Selatan, dan Selat Malaka. Negara, dalam hal ini NKRI, mempunyai dan menjalankan kedaulauatan penuh dengan kewajiban internasional yang wajib dijalankan yaitu, antara lain, menjamin terlaksananya hak lintas damai dan penyelesaian batas-batas wilayah laut antara Indonesia dan negara tetangga. Rejim Hukum Zona Tambahan adalah hukum yang diterapkan di wilayah perairan laut selebar 12 mil laut diukur dari batas luar laut teritorial atau selebar 24 mil laut diukur dari garis pangkal. Dengan demikian, keberadaan zona tambahan tersebut sejajar dengan laut teritorial. Zona tambahan tersebut tidak secara otomatis ada, namun keberadaannya harus diundangkan dan petanya harus didepositkan ke PBB sesuai ketentuan KHL. Adanya zona tambahan tersebut dimaksudkan sebagai sabuk pengamanan wilayah suatu negara. Negara tidak mempunyai kedaulatan penuh (sovereignty) di zona tambahan melainkan memiliki hak-hak berdaulat (sovereign rights) dalam bidang-bidang tertentu di zona tambahan. Hak-hak berdaulat tersebut meliputi antara lain hak kepabeanan, hak sanitasi, dan hak karantina. Oleh karena zona tambahan berada di luar laut teritorial, maka zona tersebut tidak menjadi bagian wilayah nasional suatu negara, ruang airnya (water column) tunduk pada rejim hukum laut lepas dan dasar lautnya tunduk pada rejim hukum landas kontinen. Rejim Hukum Zona Ekonomi Eksklusif adalah hukum yang diterapkan di wilayah perairan selebar 200 mil laut diukur dari garis pangkal. Bila dikurangi dengan lebar laut teritorial dan zona tambahan maka lebar zona ekonomi eksklusif tinggal 176 mil laut. Zona ekonomi eksklusif diadakan untuk mendukung pengembangan ekonomi kelautan suatu negara dan keberadaannya harus diundangkan dan petanya ha372
rus didepositkan di PBB sesuai ketentuan KHL. Sebagaimana halnya di zona tambahan, negara memiliki dan menjalankan hak-hak berdaulat di bidang perikanan, lingkungan hidup, dan pembangunan pulau buatan serta konstruksi instalasi lainnya dengan kewajiban internasional antara lain melakukan pengelolaan dan konservasi terhadap sumber daya alam hayati, menghitung jumlah tangkapan sumber daya ikan yang diperbolehkan (TAC/total allowable catch), kemampuan tangkap domestik (DHC/domestic harvesting capacity), dan surplus stocks yang wajib diberikan kepada negara lain, serta melakukan proteksi dan preservasi lingkungan laut. Ruang airnya tunduk pada rejim hukum laut lepas dan dasar lautnya tunduk pada rejim hukum landas kontinen. Rejim Hukum Laut Lepas adalah hukum yang diterapkan di wilayah perairan laut di luar perairan zona ekonomi eksklusif. Di laut lepas berlaku kebebasan laut lepas (freedom of the high seas), dimana setiap negara memiliki kebebasan untuk melakukan pelayaran dan terbang lintas di atas laut lepas, serta kebebasan untuk melakukan berbagai aktivitas kelautan. Batasanbatasan diatur oleh KHL dalam kaitannya dengan kegiatan penangkapan ikan yang bersifat straddling stocks dan highly migratory species12 serta proteksi dan preservasi lingkungan laut. Dalam kaitan ini, KHL mewajibkan adanya kerjasama antara negara pantai, negara-negara pelaku kegiatan kelautan dan organisasi internasional yang bergerak dalam bidang kegiatan tersebut. Rejim Hukum Landas Kontinen adalah hukum yang diterapkan di wilayah dasar laut yang merupakan kelanjutan alamiah (natural prolongation) dari daratan.13 Batas terluar landas kontinen diukur dari garis pangkal sampai 12
Straddling stocks adalah jenis-jenis ikan yang daerah migrasinya berada di wilayah perbatasan antara zona ekonomi eksklusif dan laut lepas, sedangkan highly migratory species adalah jenis-jenis ikan yang bermigrasi jarak jauh melampaui batas-batas wilayah laut sebagaimana ditetapkan oleh KHL. 13 Dari kata kontinen dalam landas kontinen memberi petunjuk bahwa kontinen/benua dan pulau besar seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Halmahera dan Irian dapat memiliki landas kontinen, sedangkan pulau kecil kelihatannya tidak berpeluang untuk mempunyai landas kontinen sendiri.
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 dan Hukum Laut Petunjuk Nasional Indonesia Penulisan
dengan terdapatnya continental slope atau continental rise (patahan di dasar laut). Apa bila landas kontinen tidak memiliki continental slope atau continental rise karena dasar laut di dekat pantai langsung curam, maka batas terluar landas kontinen berimpit dengan batas terluar zona ekonomi eksklusif, yaitu 200 mil laut diukur dari garis pangkal. Landas kontinen yang berada di luar laut teritorial bukan merupakan wilayah nasional suatu negara. Oleh karena itu, negara tidak mempunyai dan melaksanakan kedaulatan malinkan hak-hak berdaulat atas sumber daya alam yang melekat dan terkandung di dalam landas kontinen. Rejim Hukum Dasar Laut Internasional adalah hukum yang diterapkan di wilayah dasar laut di luar landas kontinen. KHL menetapkan dasar laut internasional ini sebagai warisan untuk anak cucu (common heritage of man kind). Oleh karena itu, dasar laut internasional dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dikelola oleh suatu badan otorita di bawah PBB yang disebut Badan Otorita Dasar Laut Internasional. Badan Otorita tersebut terdiri dari Assembly, Council, Secretariat, dan The Enterprise. Badan Otorita melayani setiap permohonan yang diajukan oleh suatu negara untuk memperoleh hak pemanfaatan sumber daya alam dasar laut internasional sesuai ketentuan KHL. D. Lapangan Hukum Laut Internasional Disamping KHL, PBB telah memberlakukan sejumlah konvensi internasional yang dibuat sebelum dan sesudah tahun 1994 dimana KHL berlaku dan mengikat secara internasional. Dalam kaitan ini, penerapan KHL sudah barang tentu akan memperhatikan dan mempertimbangkan konvensi-konvensi internasional yang sudah ada dan sebaliknya, penerapan konvensi-konvensi internasional lainnya yang berkaitan dengan kegiatan kelautan pasti akan memperhatikan dan mempertimbangkan KHL. Interaksi antara KHL dan konvensi-konvensi internasional lainnya akan menumbuhkembangkan lapanganlapangan hukum di bidang hukum laut internasional. Sebagai contoh dari lapangan-lapangan hukum tersebut adalah hukum keaneka-ragaman hayati (Biodivesity Convention), hukum pemanasan global (Global Warming Convention)
Tommy Hendra P.
yang akan mengatur perubahan daratan sebagai akibat naiknya permukaan laut karena mencairnya es di kedua kutub bumi akibat pemanasan global, hukum pengendalian pencemaran laut (Marine Pollution/Marpol Convention), dan hukum keselamatan pelayaran (Safety of Life at Sea/Solas Convention). III HUKUM LAUT NASIONAL INDONESIA A. Latar Belakang Sejarah Keberadaan Hukum Laut Nasional Indonesia NKRI sejak diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 belumlah merupakan satu kesatuan wilayah yang utuh. Hal ini disebabkan oleh karena perairan laut yang berada di antara pulau-pulau Indonesia masih merupakan laut lepas di mana banyak dilakukan kegiatan-kegiatan yang merugikan kesatuan wilayah Indonesia. Perairan laut tersebut masih menjadi penyekat, bukan perekat kesatuan wilayah Indonesia. Pemahaman atas permasalahan tersebut dan semangat untuk mempertahankan NKRI sebagai negara berwilayah kepulauan (satu tanah air, tanah air Indonesia)14 telah melahirkan Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957 yang menyatakan bahwa perairan laut di antara pulau-pulau dengan laut teritorial selebar 12 mil laut mengelilingi kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan wilayah NKRI. Untuk memperkuat Deklarasi Djuanda tersebut, pemerintah mengeluarkan Perpu yang kemudian menjadi UU Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Deklarasi Djuanda 1957 dan UU Nomor 4 Prp Tahun 1960 telah menjadi landasan bagi pengembangan prinsip-prinsip negara nusantara. Indonesia telah memperjuangkan agar prinsip-prinsip negara nusantara tersebut diakui secara internasional melalui diplomasi di Konferensi PBB tentang Hukum Laut yang Pertama tahun 1958, yang Kedua tahun 1960, dan yang Ketiga tahun 1982. Perjuangan diplomasi tersebut baru membuahkan hasil ketika Prinsip-Prinsip Negara Kepulauan diterima untuk dimasukkan dalam Bab IV KHL dengan judul Archipelagic State Principles dan kemudian KHL ditan14
Sumpah Pemuda 1928: satu tanah air/satu nusa, satu bangsa, satu bahasa—Indonesia.
373
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 361 - 382 Petunjuk Penulisan
datangani oleh para wakil negara peserta Konferensi pada tanggal 10 Desember 1982 di Montigo Bay, Jamaica. Namun demikian, perjuangan diplomasi tersebut belumlah selesai karena negara-negara maritim besar seperti Amerika Serikat dan Inggris belum mau mengakui prinsip-prinsip negara nusantara. Pemerintah Indonesia memberikan konsesi minyak dan gas bumi lepas pantai kepada beberapa perusahaan Amerika dan Inggris melalui kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) dengan salah satu persyaratannya adalah pengakuan perusahaan-perusahaan minyak dan gas bumi tersebut terhadap prinsipprinsip negara nusantara. Pengakuan tersebut telah melunakkan sikap resistensi Amerika Serikat dan Inggris terhadap prinsip-prinsip negara nusantara. Tiga tahun setelah KHL ditandatangani pada tanggal 10 Desember 1982, Indonesia meratifikasi KHL melalui UU Nomor 17 Tahun 1985. Hal ini berarti, Indonesia wajib menerapkan KHL dan menyelaraskan beberapa peraturan perundang-undangan yang berafiliasi kelautan dengan KHL. Disamping itu, Indonesia bersama beberapa negara kepulauan seperti Pilipina terus berupaya mendorong negara-negara peserta Konferensi PBB III agar segera meratifikasi KHL. Upaya tersebut membuahkan hasil dengan negara ke-60 meratifikasi KHL pada tahun 1994 yang membawa konsekuensi bahwa KHL berlaku dan mengikat secara internasional. Dengan demikian dapat dikatakan di sini bahwa wilayah NKRI yang terdiri dari darat, laut dan udara baru benar-benar utuh dan mendapat pengakuan internasional setelah KHL berlaku dan mengikat secara internasional pada tahun 1994. B. Perlunya Ada Hukum Laut Nasional Indonesia Ratifikasi KHL melalui UU Nomor 17 Tahun 1985 telah menjadikan KHL sebagai hukum positif Indonesia. Hal ini berarti bahwa KHL sebagai hukum positif Indonesia adalah hukum yang berlaku saat ini di wilayah hukum NKRI. Wilayah hukum NKRI tempat diberlakukannya KHL tersebut meliputi seluruh wilayah laut beserta seluruh sumber daya alam hayati dan non-hayati yang terkandung di dalamnya yang menurut KHL berada di bawah jurisdiksi 374
NKRI. Berbagai peraturan perundang-undangan telah diadakan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatur wilayah laut dan kekayaan alam tersebut. Sebagaimana dikemukakan di atas, peraturan perundang-undangan tersebut perlu diselaraskan dengan KHL. Penerapan KHL bersamasama dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang telah diselaraskan tersebut di wilayah laut yang sama dan dalam waktu yang sama pula hendaknya dapat meyakinkan pemerintah Indonesia tentang kenyataan perlunya membentuk hukum laut nasional Indonesia. Adanya hukum laut nasional Indonesia tersebut dapat menjamin kepastian hukum bagi warga negara Indonesia dan warga negara asing yang ingin melakukan kegiatan bisnis, perdagangan dan investasi di wilayah laut Indonesia. C. Keterkaitan Hukum Laut Nasional dan Internasional Uraian singkat di atas hendak menegaskan bahwa penerapan hukum laut nasional Indonesia tidak akan melampaui batas-batas negara dan diberlakukan bagi kegiatan-kegiatan kelautan yang dilakukan di wilayah laut yang berada di bawah jurisdiksi Indonesia. Apa bila kegiatankegiatan kelautan tersebut melampaui batas-batas negara atau mengandung unsur-unsur asing, maka hukum yang akan diberlakukan adalah hukum laut internasional sesuai kaedah-kaedah hukum internasional yang berlaku. Jadi jelas di sini keterkaitan antara hukum laut nasional Indonesia dengan hukum laut internasional. Hukum laut nasional Indonesia berlaku sebagai hukum khusus (lex specialis) dan hukum laut internasional berlaku sebagai hukum umum (legi generali). Dengan demikian hubungan antara keduanya dapat dijelaskan dengan asas hukum lex specialis de rogat legi generali. Artinya, hukum yang akan diberlakukan bagi kegiatan-kegiatan kelautan di wilayah laut yang berada di bawah jurisdiksi Indonesia adalah hukum laut nasional Indonesia. Namun apa bila hukum laut nasional Indonesia tidak mengaturnya, maka akan diberlakukan hukum laut Internasional. Hubungan semacam ini merupakan hubungan saling melengkapi dan bukan hubungan saling meniadakan.
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 dan Hukum Laut Petunjuk Nasional Indonesia Penulisan
D. Wawasan Nasional Terhadap Hukum Laut Internasional Sebagaimana diuraikan di atas bahwa perjuangan diplomasi yang dilakukan oleh delegasi Republik Indonesia dan wakil-wakil bangsa Indonesia di dunia internasional bertujuan untuk memposisikan prinsip-prinsip negara nusantara sebagai kaedah-kaedah hukum yang dapat diberlakukan dan mengikat secara internasional. Perjuangan diplomasi tersebut dilandasi oleh suatu cara pandang atau wawasan terhadap hukum laut internasional yang disebut Wawasan Nusantara. Dengan cara pandang tersebut, bangsa Indonesia melihat bahwa perubahan dan perkembangan hukum laut internasional merupakan peluang bagi bangsa Indonesia untuk memperjuangkan agar NKRI diakui sebagai negara kepulauan. Pada akhirnya perjuangan tersebut membuahkan hasil dimana prinsip-prinsip negara kepualauan tersebut diakui dan dimuat sebagai ketentuan-ketentuan hukum dalam Bab IV KHL. Wawasan Nusantara diawali dengan wawasan kewilayahan, yaitu cara pandang bangsa Indonesia tentang satu kesatuan wilayah negara yang terdiri dari wilayah darat, laut dan udara, di mana wilayah laut yang terletak di antara pulau-pulau adalah perekat yang menyatukan pulau-pulau dan bukannya penyekat yang memisahkan pulau yang satu dengan lainnya. Wilayah laut tersebut merupakan penyekat karena menurut KHL 1958 dan 1960 Indonesia memiliki lebar laut 3 mil laut yang diukur dari garis pangkal normal mengelilingi setiap pulau. Sebagai akibatnya wilayah laut di antara pulau-pulau yang berada di luar laut terirorial 3 mil laut adalah laut lepas dan di situ berlaku the freedom of the high sea. Artinya, negara-negara lain memiliki kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan kelautan di laut lepas yang terletak di antara pulau-pulau Indonesia dan kegiatan-kegiatan tersebut sering merugikan Indonesia. Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah Indonesia mengeluarkan Deklarasi Djuanda 1957, mengundangkan UU Nomor 4 Prp 1960 tentang Perairan Indonesia, memperjuangkan Prinsip-Prinsip Negara Nusantara dimuat dalam Bab IV KHL 1982, dan mengupayakan berlakunya KHL yang mengikat secara internasional pada tahun 1994. Hasilnya adalah wilayah laut di an-
Tommy Hendra P.
tara pulau-pulau Indonesia diakui secara internasional sebagai peairan nusantara Indonesia. Sebagai konsekuensi logisnya wilayah laut di antara pulau-pulau sekarang bukan lagi penyekat malinkan perekat yang mempersatukan pulau-pulau dan sejak saat itu NKRI memiliki keutuhan wilayah negara. Langkah selanjutnya yang dilakukan pemerintah adalah mengimplementasikan Wawasan Nusantara dengan cara mengisi wilayah laut Indonesia dengan pembangunan nasional. Wawasan Nusantara sebagai wawasan kewilayahan bergeser dan berubah menjadi wawasan pembangunan. Pembangunan kelautan nasional tersebut sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1960, yaitu sejak diberlakukannya UU Nomor 4 Prp 1960. Kegiatan pembangunan kelautan tersebut dilakukan untuk membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia mampu mengisi wilayah laut hasil Deklarasi Djuanda 1957 dengan pembangunan nasional. Pembangunan nasional di bidang kelautan tersebut dimotori oleh pembangunan pelayaran nasional yang menggantikan pelayaran KPM (Koninkelijk Part Matschapij), anjungan minyak lepas pantai, dan perikanan laut. Pembangunan kelautan nasional tersebut merupakan bagian strategi wawasan kewilayahan sampai dengan diterimanya prinsip-prinsip negara kepulauan sebagai ketentuan hukum yang dimuat dalam Bab IV KHL pada tahun 1982. Kemudian pada tahun 1982-1994, Indonesia meluncurkan satelit Palapa yang sangat berhasil dalam mempersatukan wilayah NKRI dan mengisinya dengan pembangunan nasional. Peluncuran satelit Palapa dan pembangunan nasional yang difasilitasinya merupakan bagian dari strategi Wawasan Nusantara sebagai wawasan pembangunan. Untuk lebih memperkuat kesatuan wilayah pembangunan nasional tersebut, pemerintah pada tahun 1990-an memperkenalkan Wawasan Nusantara sebagai wawasan benua maritim. Cara pandang ini melihat wilayah laut NKRI sebagai suatu kontinen atau benua yang disebut benua maritim. Wawasan benua maritim tersebut tidak berumur lama karena tidak memperoleh sambutan yang positif dari masyarakat luas. Hal ini terjadi karena pada saat itu masyarakat telah mulai memahami dengan benar apa itu Wawasan Nusantara sebagai wawasan kewilayahan 375
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 361 - 382 Petunjuk Penulisan
dan wawasan pembangunan yang dilandasi oleh KHL, sedangkan wawasan benua maritim kurang selaras dan bahkan dapat dikatakan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum Bab IV KHL. Menyadari kekeliruan tersebut, pemerintah kemudian melakukan upaya-upaya untuk mengembangkan kebijakan kelautan nasional (national ocean policy) yang dapat mengakomodir dan memadukan wawasan kewilayahan, wawasan pembangunan dan gagasan-gagasan cemerlang dari wawasan benua maritim. Upaya mengembangkan kebijakan kelautan nasional tersebut dapat dipahami sebagai era dimulainya Wawasan Nusantara sebagai wawasan kebijakan. Kebijakan kelautan nasional tersebut sampai saat ini secara resmi belum terwujud. Untuk merealisasikan kebijakan kelautan nasional tersebut barangkali pembentukan hukum laut nasional Indonesia dapat dipandang sebagai langkah awal yang kongkrit dan nyata karena materi hukumnya sudah tersedia, struktur hukumnya sudah ada, dan budaya hukumnya sudah mapan.15 E. Sistem Hukum Laut Nasional Indonesia Uraian di atas menegaskan bahwa hukum laut nasional Indonesia dapat diadakan, dibentuk dan dikembangkan karena adanya materi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Ketiganya menurut Lawrence M. Friedman (2009)16 adalah sub-sub sistem dari sistem hukum. Dengan demikian dapat dipahami bahwa sistem hukum laut nasional Indonesia merupakan keterpaduan hubungan kesisteman antara materi hukum, struktur hukum dan budaya hukum laut nasional Indonesia. Materi hukum laut nasional Indonesia terdiri dari hukum tertulis dan tak tertulis. Hukum laut nasional yang tertulis meliputi KHL, serta 15
Materi hukumnya adalah seluruh materi hukum positif, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang berkaitan dengan kelautan. Struktur hukumnya adalah organisasi kelembagaan yang terdiri dari aparat pemerintah dalam arti luas, dunia usaha atau swasta, dan masyarakat yang berperan dalam menegakkan hukum positif kelautan. Budaya hukumnya adalah nilai-nilai yang sudah mapan yang terbetuk selama perjuangan diplomasi yang panjang dan kegiatan sosialisasi yang berkelanjutan dalam meng-implementasikan Wawasan Nusantara. 16 Lihat Lawrence M Friedman., Sistem Hukum, Perspektif Ilmu Sosial. Terjemahan M. Khozim. Judul asli ―The Legal System, A Social Science Perspective.‖ Cetakan I. Bandung: Nusa Media, 2009.
376
konvensi-konvensi internsional, traktat, perjanjian, yurisprudensi, dan doktrin tentang dan yang berkaitan dengan bidang kelautan. Materi hukum laut nasional Indonesia yang tak tertulis mencakup hukum adat tak tertulis dan hukum kebiasaan kelautan. Keseluruhan materi hukum tersebut menurut ilmu hukum merupakan sumber hukum formil dari hukum laut nasional Indonesia. Keberadaan sumber hukum formil tersebut tidak terlepas dari keberadaan sumber hukum materiil yang terdiri dari landasan idiil tentang keadilan, kebenaran dan kepastian, serta landasan riil yang mencakup kehidupan nyata sehari-hari di bidang politik, ekonomi, budaya, pertahanan, keamanan, lingkungan dan hukum di bidang kelautan. Keseluruhan materi hukum laut nasional Indonesia tersebut merupakan kristalisasi berbagai aspirasi rakyat dan bangsa Indonesia dan pada hakekatnya adalah ius mare constitutum atau hukum laut positif Indonesia. Sebagaimana diketahui dari uraian di atas bahwa keberadaan materi hukum laut nasional Indonesia tidak terlepas dari perjuangan diplomasi dari anggota Delegasi RI ke Konferensi PBB III dan wakil-wakil bangsa Indonesia di berbagai forum internasional. Anggota Delegasi RI dan wakil-wakil bangsa Indonesia tersebut berasal dari unsur-unsur eksekutif, legislatif, judikatif, dunia usaha/swasta, dan kelembagaan masyarakat. Kesemuanya ini merupakan kerangka kelembagaan yang menyebabkan struktur bangunan hukum laut nasional Indonesia dapat berdiri tegak. Dengan kata lain dapat dijelaskan di sini bahwa struktur bangunan hukum laut nasional Indonesia itu ada sampai saat ini karena adanya kerangka kelembagaan yang menopangnya. Hukum laut nasional Indonesia dan pilar-pilar kelembagaan tersebut merupakan dwi-tunggal struktur hukum laut nasional Indonesia. Diplomasi hukum laut jangka panjang di forum-forum internasional menunjukan kegigihan para anggota Delegasi RI dan wakil-wakil bangsa Indonesia dalam memperjuangkan prinsip-prinsip negara kepualauan agar diakui oleh masyarakat internasional dan kemudian diterima sebagai kaedah-kaedah hukum dalam KHL. Kegigihan seperti itu merupakan cerminan dari kesadaran sikap dan perilaku positif tentang betapa pentingnya prinsip-prinsip negara kepulauan
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 dan Hukum Laut Petunjuk Nasional Indonesia Penulisan
bagi keutuhan wilayah NKRI. Sikap dan perilaku terhadap hukum yang seperti itu merupakan budaya hukum dari kelembagaan hukum laut nasional Indonesia. Dari uraian singkat di atas dapat dijelaskan hubungan kesisteman antara materi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum laut sebagai berikut: materi hukum tanpa kelembagaan hukum tidak akan dapat tegak berdiri dan tanpa budaya hukum akan mati. Kelembagaan hukum tanpa budaya hukum tidak akan dapat memahami materi hukum sebagai kristalisasi aspirasi rakyat dan bangsa, dan kelembagaan tanpa materi hukum akan menjadi bangunan tanpa landasan. Budaya hukum tanpa kelembagaan hanya akan merupakan impian atau angan-angan belaka, dan budaya hukum tanpa materi hukum akan menjadi kehampaan. IV ILMU HUKUM LAUT NASIONAL INDONESIA A. Ciri Ilmu Pengetahuan Ilmu pengetahuan menurut Admin (2011)17 mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: ada obyek kajian, punya metode, serta bersifat sistematis, universal, obyektif, analitis, dan verifikatif. Berdasarkan ciri-ciri tersebut di atas, ilmu pengetahuan dapat dipahami sebagai suatu sarana yang sistematis dan universal untuk menjawab keingintahuan kita tentang kebenaran mengenai suatu obyek atau fakta atau fenomena sosial tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Rasa ingin tahu tersebut mendorong timbulnya upaya untuk meneliti obyek penelitian yang dilakukan secara obyektif dan analitis dengan menggunakan metodologi penelitian, dimana hasilnya dapat diuji kembali kebenarannya (verifikasi) secara ilmiah. Disamping itu, ilmu pengetahuan sendiri merupakan suatu proses metodologik untuk mengadakan perubahan positif dari berbuat (ada unsur aksi dan reaksi/low level: operasional) melalui belajar menjadi berpikir (ada unsur ingin tahu yang dijawab melalui penelitian dan kemudian diikuti dengan pengambilan keputusan/mid level: semi operasional dan semi kon17
Lihat Admin, ―Ciri Ilmu Pengetahuan‖ dalam http:// budisma.web.id/ciri-ilmu-pengetahuan/, 1 Agustus 2011.
Tommy Hendra P.
septual, serta high level: konseptual) guna menghasilkan peningkatan pengertian (unsur consciousness), pemahaman (unsur awareness), dan pengetahuan (unsur sciences) dalam rangka menumbuh kembangkan kompetensi yang profesional (profesionalisme: professional capability, professional responsibility, professional ethics, dan professional liability). B. Hukum Laut Nasional Indonesia Sebagai Obyek Ilmu Pengetahuan Hukum Obyek ilmu pengetahuan hukum yang terdapat di dalam hukum laut nasional Indonesia terdiri dari pemikiran-pemikiran hukum (legal thought) tentang hukum laut, teori dan praktik hukum di bidang kelautan, serta aspek das sollen dan das sein dari materi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum dari KHL dan berbagai lapangan hukum yang terkait seperti hukum sumber daya alam (antara lain: pertambangan, hukum perikanan, dan hukum kehutanan), hukum sumber daya manusia (antara lain hukum tenaga kerja kelautan), hukum sumber daya buatan (antara lain hukum IPTEK kelautan), hukum kekayaan negara, hukum perbendaharaan negara, hukum keuangan negara, hukum pajak, hukum pelayaran, hukum lingkungan, hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum ekonomi, hukum bisnis, hukum dagang, hukum perusahaan, hukum perdata, dan hukum adat. Uraian singkat di atas menunjukkan bahwa hampir semua lapangan hukum yang saat ini diajarkan di fakultas dan perguruan tinggi hukum dapat dikaitkan dengan aspek kelautan dan oleh karena itu dapat menjadi obyek ilmu hukum laut nasional Indonesia. Disamping itu, lapangan hukum baru di bidang kelautan juga bisa dikembangkan seperti hukum sumber daya kelautan yang terdiri dari hukum sumber daya lam laut, hukum sumber daya manusia kelautan, dan hukum sumber daya buatan kelautan. Kesemuanya itu merupakan obyek ilmu hukum laut nasional Indonesia. Obyek ilmu hukum laut nasional Indonesia tersebut menunjukkan bahwa hukum laut nasional Indonesia memiliki kekayaan ilmu pengetahuan hukum yang sangat potensial untuk dikembangkan. Pengembangan materi, struktur, dan budaya hukum laut nasional Indonesia akan menjadi sarana rekaya sosial yang ampuh dalam pembangunan kelautan Indonesia. 377
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 361 - 382 Petunjuk Penulisan
Dengan demikian hukum laut nasional Indonesia tersebut layak dan pantas untuk diadakan dan dikembangkan. C. Metode Ilmu Pengetahuan Hukum Laut Nasional Indonesia Sebagaimana diuraikan di atas, KHL melalui UU Ratifikasi Nomor 17 Tahun 1985 telah menjadi hukum positif Indonesia. KHL sebagai hukum positif Indonesia mencakup hukum laut yang berdimensi eksternal, yaitu hukum laut internasional dan yang berdimensi internal, yaitu hukum laut nasional Indonesia. Hukum positif Indonesia dipahami sebagai hukum yang diberlakukan pada saat ini di Indonesia. Kata ―hukum‖ dan kata ―diberlakukan‖ dalam pengertian hukum yang diberlakukan pada saat ini di Indonesia mengandung dua aspek hukum yang berbeda, yaitu aspek normatif (das sollen/apa yang seharusnya) dan aspek empiris (das sein, apa yang terjadi). Berdasarkan kedua aspek hukum tersebut, metode ilmiah yang digunakan untuk memperlajari hukum laut nasional Indonesia meliputi dua metode, yaitu metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Kedua metode ilmiah tersebut merupakan dua sisi dari satu mata uang logam (koin) yang sama. Metode yuridis normatif, di satu sisi, memfokuskan diri pada pembelajaran normanorma hukum yang terkandung di dalam hukum laut nasional Indonesia, termasuk antara lain teori hukum, sistem hukum, kelembagaan hukum, budaya hukum, dan sejarah hukum. Metode yuridis empiris, di sisi lainnya, memfokuskan diri pada pembelajaran aplikasi norma-norma hukum di lapangan, termasuk antara lain penemuan hukum, konstruksi hukum, harmonisasi hukum, penetapan batas wilayah laut antar daerah, dan penyelesaian sengketa kelautan. Kedua metode ilmiah tersebut juga dapat digunakan sebagai metode penelitian hukum dan metode untuk melaksanakan pengabdian kepada masyarakat. D. Sifat Ilmu Pengetahuan Hukum Laut Nasional Indonesia Ilmu pengetahuan hukum laut nasional Indonesia bersifat sitematis, obyektif, analitis, dan verifikatif. Bersifat sistematis artinya ilmu pe378
ngetahuan hukum secara sistematis memberi pengertian, pemahaman dan pengetahuan bahwa ketentuan-ketentuan hukum laut nasional Indonesia: 1. Mempunyai tujuan. 2. Memberi mandat hukum yang dijabarkan menjadi kewenangan, tugas, fungsi, hak, dan kewajiban untuk mewujudkan tujuan tersebut. 3. Memberi landasan untuk mengadakan sarana dan prasarana guna melaksanakan mandat hukum tersebut. 4. Memberi landasan untuk merekrut SDM yang berkualitas guna melaksanakan mandat hukum dengan menggunakan sarana dan prasarana tersebut. 5. Memberi landasan untuk menempatkan leader yang mempunyai leadership. 6. Mengatur jejaring kerja antar lembaga. 7. Mengatur mekanisme kerja antar lembaga. 8. Mengatur standar hasil kerja yang harus dicapai sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan di atas. Kedelapan unsur yang diatur oleh hukum laut nasional Indonesia tersebut bersifat universal. Bersifat universal artinya bahwa di semua lapangan hukum memiliki kedelapan unsur tersebut. Kebenaran mengenai hal ini dapat diuji kembali atau diverifikasi secara obyektif dengan melakukan kajian secara analitis (mendalam), yaitu melalui penafsiran dan penalaran hukum terhadap satu atau beberapa lapangan hukum disertai dengan argumentasi yang rasional. V PENERAPAN ILMU HUKUM LAUT NASIONAL INDONESIA DALAM PELAKSANAAN TRI DARMA PERGURUAN TINGGI A. Pelaksanaan Tri Darma Bidang Hukum Laut Nasional Indonesia Tri Darma Perguruan Tinggi terdiri dari tiga kegiatan utama, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Pendidikan hukum laut nasional Indonesia bertujuan untuk memberikan pengertian, meningkatkan pemahaman, dan mengembangkan pengetahuan maha-
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 dan Hukum Laut Petunjuk Nasional Indonesia Penulisan
siswa atau peserta didik tentang hukum laut nasional Indonesia dan keterkaitannya dengan hukum laut internasional. Pendidikan dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku melalui sarana tatap muka/komunikasi langsung antara dosen dan mahasiswa dengan metode student center learning (SCL) dan e-learning (EL) dan berpedoman pada kurikulum operasional, silabus, dan satuan acara perkuliahan. Hukum laut nasional Indonesia dan keterkaitannya dengan hukum laut internasional memiliki banyak sekali obyek penelitian, baik secara normatif maupun empiris, baik dari aspek lapangan hukum (seperti misalnya: aspek hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum perdata, hukum pidana, hukum ekonomi, bisnis dan perdagangan, dan hukum lingkungan) maupun dari aspek penggolongan hukum (seperti misalnya: hukum subyektif dan obyektif, hukum memaksa dan mengatur, hukum umum dan khusus, hukum formil dan materiil, hukum yang berlaku saat ini dan yang akan datang, serta hukum privat dan publik). Pengabdian kepada masyarakat adalah kegiatan ilmiah sosial yang dilakukan oleh dosen dan/atau mahasiswa dengan tujuan untuk mencerdaskan dan memberdayakan masyarakat agar masyarakat memiliki kemampuan untuk menggunakan hukum laut nasional Indonesia sebagai landasan hukum bagi kegiatan-kegiatan kelautan mereka. Pengabdian kepada masyarakat tersebut dapat berupa kegiatan sosialisasi hukum laut nasional Indonesia atau berwujud pembelajaran, pelatihan, pembimbingan, dan pendampingan tentang bagaimana menggunakan ketentuan-ketentuan hukum laut nasional dan internasional guna mendukung kegiatan kelautan masyarakat. B. Pelaksanaan Tri Darma Sebagai Sistem Pembelajaran Tri Darma sebagai suatu sistem memposisikan masing-masing darma sebagai sub-sistem, yaitu sub sistem pendidikan, sub sistem penelitian, dan sub sistem pengabdian masyarakat. Hubungan ketiga sub sistem dapat dijelaskan sebagai berikut: hasil yang dikeluarkan (out put) oleh sub sistem pendidikan akan menjadi masukan (in put) bagi sub sistem penelitian dan sub sistem pemberdayaan masyarakat.
Tommy Hendra P.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi sebagai suatu sistem di bidang hukum laut nasional Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut: Hasil pendidikan berupa peningkatan pengertian, pemahaman dan pengetahuan akan menumbuhkan rasa ingin tahu tentang permasalahan-permasalahan hukum laut nasional Indonesia dan keterkaitannya dengan hukum laut internasional yang belum dapat terjawab melalui kegiatan pendidikan dan rasa ingin tahu tersebut mendorong upaya untuk menemukan kebenaran tentang permasalahan tersebut melalui penelitian ilmiah. Disamping itu, hasil pendidikan terutama hal-hal baru di bidang hukum laut nasional Indonesia akan menumbuhkan upaya sosialisasi tentang hal-hal baru tersebut kepada masyarakat. Sosialisasi tersebut merupakan salah satu unsur kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Hasil penelitian berupa jawaban tentang kebenaran suatu permasalahan yang berkaitan dengan hukum laut nasional Indonesia dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk memperkaya materi pendidikan dan untuk melaksanakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Demkian juga halnya dengan hasil dari pengabdian kepada masyarakat berupa permasalahan-permasalahan yang perlu dicaraikan jawabannya melalui penelitian ilmiah dan peningkatan kemampuan masyarakat berbasis hukum laut nasional Indonesia akan menjadi ramuan untuk memperkaya materi pendidikan. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi merupakan sistem keterpaduan dari tiga sub sistem, yaitu sub sistem pendidikan, sub sistem penelitian dan sub sistem pengabdian masyarakat dalam bidang pembelajaran hukum laut nasional Indonesia. C. Pengembangan Pola Ilmiah Pokok Kelautan Pengembangan ilmu pengetahuan hukum di bidang kelautan akan pesat apa bila didukung dengan pola pikir kelautan yang dituangkan dalam Pola Ilmiah Pokok (PIP) Kelautan dari universitas atau perguruan tinggi yang bersangkutan. PIP memiliki kedudukan yang sangat penting sebagai kiblat bagi pelaksanaan Tridarma perguruan tinggi di setiap universitas atau per379
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 361 - 382 Petunjuk Penulisan
guruan tinggi, seperti Unika Atma Jaya. PIP sebagai Basic Scientific Design berintikan desain (pola) pokok pemikiran ilmiah tentang arah kebijakan pengembangan universitas atau perguruan tinggi. Dengan demikian PIP dapat dipandang sebagai landasan filosofis, psikologis, dan sosiologis bagi perumusan kebijakan universitas atau perguruan tinggi. Pembuatan kebijakan lazimnya juga didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku sebagai landasan yuridis. Dengan demikian keempat landasan tersebut akan menjadikan PIP Kelautan suatu universitas atau perguruan tinggi mantap. Salah satu contoh PIP Kelautan adalah Pembangunan Manusia, Bangsa, dan Kesehatan Berbasis Kelautan (Marine Base Human, Nation, and Health Development) yang diusulkan oleh sebagian civitas akademika Unika Atma Jaya Jakarta. VI PENUTUP A. Kesimpulan 1. KHL berlaku dan mengikat secara internasional sejak tahun 1994. KHL sebagai hukum internasional merupakan landasan hukum bagi hubungan antar subyeksubyek hukum internasional di bidang kelautan. 2. KHL berlaku dan mengikat secara nasional di wilayah NKRI sejak diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 17 Tahun 1985. Sebagai konsekuensinya, semua penerapan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kelautan harus mengacu kepada atau diselaraskan dengan KHL.
3. Ratifikasi KHL telah menjadikan hukum laut internasional dan peraturan perundang-undangan yang mengatur kelautan yang telah disesuaikan dengan KHL sebagai hukum laut nasional Indonesia. 4. Hukum laut nasional Indonesia sebagai ilmu pengetahuan hukum dapat diaplikasikan dalam pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi di setiap fakultas dan perguruan tinggi hukum di Indonesia. B. Saran-Saran 1. Perlu diadakan sosialisasi kepada aparat/ lembaga negara dan masyarakat tentang materi, struktur, dan budaya hukum dari KHL sebagai hukum laut internasional yang menjadi landasan hubungan antar subyek hukum internasional di bidang kelautan. 2. Perlu dilakukan sosialisasi kepada aparat/lembaga negara dan masyarakat tentang ratifikasi KHL dan konsekuensi hukumnya, yaitu bahwa KHL wajib diberlakukan dan mengikat secara nasional di wilayah NKRI. 3. Perlu dilakukan sosialisasi kepada seluruh aparat/lembaga negara dan masyarakat tentang batas-batas KHL sebagai hukum laut internasional dan hukum laut nasional Indonesia. 4. Hukum laut nasional Indonesia perlu segera diajarkan dalam perkuliahan hukum laut internasional, sebelum nantinya berdiri sendiri sebagai mata kuliah hukum laut nasional Indonesia.
Daftar Pustaka A. Buku Dahuri, Rokhmin. ―Desentralisasi Pengelolaan Sumber Daya Perairan Umum, Pesisir, dan Laut, ― dalam Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Balikpapan: Konas IV, 2004. Dahuri, Rokhmin, Pengembangan Potensi Industri Sumber Daya Kelautan Untuk Kesejahteraan Masyarakat Pesisir. Jakarta: DKP, 2003. Flewwelling, P. An Introduction to Monitoring, Control and Surveillance Systems for Capture Fisheries. Rome: FAO, 1994. Garner, Bryan A. Black’s Law Dictionary. Deluxe, seveth ed. St. Paul, Minn: West Group, 1999. 380
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 dan Hukum Laut Petunjuk Nasional Indonesia Penulisan
Tommy Hendra P.
Koers, Albert W. International Regulation of Marine Fisheries. London: Fishing News, 1973. Krishnamurti. Education and the Significance of Life. San Francisco, CA: Harper and Row, 1981. Kusumaatmadja, Mochtar and Tommy H. Purwaka. ―Legal and Institutional Aspects of Coastal Zone Management in Indonesia.‖ Dalam Marine Policy. Vol. 20. No. 1. Great Britain: Elsevier Science, Pergamon, 1996, pp.63-68. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia. Cetakan pertama. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1998. Mahfud MD. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Cetakan pertama. Yogyakarta: Gama Media, 1999. Mitnick, Barry M. Political Economy of Regulations. NY: Columbia University, 1980. Patlis, Jason M., Tommy H. Purwaka, Adi Wiyana, dan Glaudy H. Perdanahardja. Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia. Jakrta: KPPN/BAPPENAS, DKP, DH&HAM, dan USAID, 2005. Posner, Richard A. Economic Analysis of Law. Second ed., sixth printing. Boston: Little, Brown and Company, 1977. Purwaka, Tommy H. Pelayaran Antar Pulau Indonesia. Jakarta: PSWN dan Bumi Aksara, 1993. Purwaka, Tommy H. Bunga Rampai Analisis Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Kelautan dan Perikanan. Jakarta: THP, 2003. United Nations, The Law of the Sea. NY: United Nations, 1983. Vinogradoff, Paul. Common Sense in Law. Revised by H.G. Hanbury. Third ed. Connecticut, Westport: Greenwood, 1987. Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002. B. Makalah Dahuri, H. Rokhmin. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor: FPIK, IPB, 2002. Haluan, John. Sistem Informasi Manajemen Dalam Pengembangan Perikanan Tangkap di Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Pengembangan Sistem Operasi Penangkapan Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor: FPIK, IPB, 2002. Kusumastanto, H. Tridoyo. Reposisi Ocean Policy Dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia di Era Otonomi Daerah. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Kebijakan Ekonomi Perikanan dan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Instiutut Pertanian Bogor. Bogor: FPIK, IPB, 2002. Kusumastanto, H. Tridoyo. Rekonstruksi Kebijakan Pembangunan Kelautan Dalam Bingkai Wawasan Nusantara di Era Otonomi Daerah. Bogor: PKSPL-IPB, 2003. Purwaka, Tommy H. Keterpaduan Wawasan Nusantara dan Otonomi Daerah. Jakarta: FHUAJ, 2004. Purwaka, Tommy H. Bunga Rampai Analisis Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Kelautan dan Perikanan. Jakarta: DKP2, 2003. Purwaka, Tommy H. Kewenangan Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan di Tingkat Pusat dan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Jakarta: FHUAJ, 2001. Purwaka, Tommy H. Model Pengaturan Hukum Pengelolaan Wilayah Laut yang Integral. Jakarta: DPK2, 2000.
381
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 361 - 382 Petunjuk Penulisan
Purwaka, Tommy H. Sistem MCS Dalam Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Bidang Perikanan. Jakarta: DPK2, 2000. Purwaka, Tommy H. Profil Kelautan Indonesia. Jakarta: DPK2, 1999. Purwaka, Tommy H. Kronologi Politik Hukum Laut. Jakarta: FHUAJ, 1986. C. Laporan Departemen Kelautan dan Perikanan. Laporan Tahunan Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun 2000. Jakarta: DKP, 2000. Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Tahun 2002. Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. Konsep Pembangunan Lembaga Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. Laporan Akhir. Jakarta: DPSDKP, 2002. Direktorat Jenderal Pengembangan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran. Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pengembangan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran Tahun 2002. Jakarta: DPK2P, 2002. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Tahun 2002. Jakarta: DPB, 2002. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Tahun 2002. Jakarta: DPT, 2002. D. Undang-Undang 1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-Undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Periran Indonesia. 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah sebagaimana diganti dengan Undang-Undang Noimor 22 Tahun 1999 dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia 6. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan 7. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hukum Laut 8. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya 9. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati 10. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Mengenai Perubahan Iklim
382
Petunjuk Penulisan
KEKUASAAN DAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh: Zainal Arifin Hoesein*) Abstrak Kekuasaan yang eksklusif, dan sifat diskresi pada pembuat keputusan, serta kurangnya akuntabilitas penyelenggaraan kekuasaan dapat mengakibatkan suburnya perbuatan korupsi, sehingga korupsi selalu terkait dengan sifat monopoli, diskresi, dan akuntabilitas. Semakin tersentralisasi kekuasaan, semakin kuat peluang korupsi di pusat kekuasaan. Demikian pula sebaliknya, jika pusat kekuasaan tersdesentarlisasi atau terbagi, seperti otonomi daerah, maka korupsi pun mengikutinya sejajar dengan otonomi tersebut. Hal ini disebabkan kekuasaan berpindah dari satu pusat kekuasaan ke banyak pusat kekuasaan yang otonom, maka virus korupsi pun mengikutinya berpindah dari satu pusat kekuasaan kepada banyak pusat kekuasaan. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi bukanlah sekadar penerapan pasal, legal reasoning sebuah putusan, ataupun perdebatan tafsir antara ahli hukum, tetapi harus pada titik oligarki politik - bisnis. Kata Kunci: Kekuasaan, oligarki politik, akuntabilitas, korupsi Abstract The exclusive power and discretionary nature of the decision makers, as well as the lack of accountability of power could lead to the proliferation of acts korupti, so corruption is always associated with the nature of monopoly, discretion and accountability. The more centralized power, the stronger the chances of corruption at the center of power. Vice versa, if the power pusaat tersdesentarlisasi or divided, such as regional autonomy, the corruption was followed parallel to the autonomy. This is due to power moved from one center of power to the many autonomous power centers, the virus of corruption followed him move from one center of power to many centers of power. Therefore, fighting corruption is not just the application of Article, the legal reasoning of a decision, or the interpretation of debate among legal experts, but should be on the point of the political oligarchy - business. Keywords: Power, political oligarchy, accountability, corruption I. Pendahuluan Satu abad yang lalu Emile Durkheim (1858-1917),1 seorang tokoh sosiologi hukum klasik, dalam bukunya The Division of Labor and Society (1893) mengingatkan bahwa ma*)
Direktur Program Pascasarjana UIA, Dosen Program Magister dan Program Doktor Ilmu Hukum UIA, Wakil Sekjen Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar HTN dan HAN se Indonesia, Pengurus Pusat Asosiasi Pendidikan Tinggi Hukum Indonesia, dan Pengurus Pusat Asosiasi Profesi Hukum Indonesia. 1 Dragan Milovanovic, A Primer in The Sociology of Law, Edisi ke-2, (Harrow and Heston Publishers, 1994).
syarakat pada umumnya terbagi dalam dua golongan, yaitu masyarakat solidaritas mekanis (mechanical solidarity) dan masyarakat solidaritas organis (organic solidarity). Masyarakat solidaritas mekanis adalah masyarakat yang mementingkan kebersamaan dan keseragaman, serta tidak ada ruang untuk berkompetisi secara individual dan kedudukan pemimpin sangat sentral. Selain itu, dalam masyarakat solidaritas mekanis juga tidak ada pembagian kerja (deferensiasi kerja), sehingga seorang pemimpin dapat merangkap juga sebagai panglima perang, 383
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 383 - 392 Petunjuk Penulisan
dukun, atau hakim yang mengadili jika ada perselisihan. Jika masyarakat demikian kemudian berkembang dan bergaul dengan masyarakat luar, sehingga memengaruhi budaya, politik ataupun ekonomi mereka, maka mereka akan berkembang ke arah masyarakat solidaritas organis. Dalam masyarakat solidaritas organis, individu menonjol dan persaingan menjadi lebih ketat, serta pembagian kerja semakin luas dan terspesialisasi berkat kemajuan ilmu dan tehnologi. Masyarakat akan lebih terbuka menerima perbedaan-perbedaan atau kelembagaan masyarakat sebagai civil society yang bermunculan dengan aneka ragam visi, misi, dan programnya sebagai saluran keinginan politik masyarakat dalam ikut serta menentukan perkembangan masyarakatnya. Dalam masyarakat solidaritas organis (organic solidarity), maka paradigma perubahan sebagai bagiaan tujuan dilakukannya pembangunan dapat dijalankan karena pada kelompok masyarakat organis, kekuasaan dan kekuataannya berada pada masyarakat itu sendiri. Dinamika perubahan sosial, lajunya dapat diprediksi tetapi kadangkala sulit diprediksi. Kendali atas setiap dinamika perubahan perlu terus dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat, sehingga masyarakat akan siap secara totalitas atas perubahan yang terjadi. Salah satu faktor terpenting adalah kepercayaan (trust) terhadap kekuatan masyarakat dalam mengarahkan dan mengendalikan perubahan. Oleh karena itu, hukum harus dipahami sebagai refleksi dari tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam perspektif ini, maka hukum dapat dijadikan sebagai acuan pembaruan masyarakat sebagaimana konsep Roscoe Pound tentang, law as a tool of social engeneering. 2 Materi muatan hukum selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yang bersifat kekinian, melainkan sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, budaya dan po2
Roscoe pound, An Introduction to the Philosophy of Law - with a new introduction by Marshal L. De Rosa, (New Brunswick (USA) and London (UK), 1999 – Originally published in 1922 by Yale University Press), hal. 4.
384
litik di masa depan. Pemikiran tersebut menunjukkan bahwa hukum bukan sekedar norma statis yang mengutamakan kepastian dan ketertiban, tetapi merupakan norma-norma yang harus mampu mendinamisasi pemikiran dan merekayasa perilaku masyarakat dalam mencapai citacitanya.3 Pandangan ini menunjukkan bahwa norma hukum pada dasarnya inheren dengan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat, tetapi daya kekuatan keberlakuan hukum, tidak dapat melepaskan diri dari kelembagaan kekuasaan, sehingga hukum, masyarakat dan kekuasaan merupakan unsur dari suatu tatanan masyarakat. Oleh karena itu, Hukum tidak sekedar dipahami sebagai norma yang menjamin kepasatian dan keadilan tetapi juga harus dilihat dari perspektif kemanfaatan. 4 Namun demikian, jika pengendalian yang merupakan bagian dari perencanaan tersebut tidak dilakukan secara ketat, terencana dan berkesinambungan, akan berakibat tumbuh suburnya sikap koruptif terutama pada pusaran pemegang kekuasaan. Tidak berjalannya prinsip good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan, justeru menyuburkan sikap koruptif pejabat dan pelaku usaha serta masyarakat yang ingin cepat mendapatkan pelayanan, sehingga system aturan tidak dapat dijalankan sesuai prosedur yang benar, rendahnya etika para penyelenggara Negara karena aparatnya mudah disogok sehingga pelanggaran sangat mudah dilakukan oleh masyarakat. Politik monopoli kekuasaan juga merupakan sumber korupsi, karena tidak adanya kontrol oleh lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat. Demikian pula budaya pertemanan yang tidak proporsional seperti dalam rumusan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang masih sangat tinggi dan 3
Bagir Manan, Menegakkan Hukum Suatu Pencarian, Cetakan Pertama (Jakarta: Asosiasi Advokat Indonesia, 2009), hal. 164 – 165. Lihat pendapat David N. Schiff, Hukum Sebagai Suatu Fenomena Sosial, dalam Adam Podgorecki dan Christopher J. Welan(editor), Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, terj. dari Sociological Approaches To Law, (Jakarta: Bina Aksara, 1999), hal. 252-254 4 John Rawl, Teori Keadilan, Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 513517, terjemahan A Theory of Justice, (Cumbride, Massachusett: Harvard University Press: 1995)
Kekuasaan dan Korupsi di Indonesia
Petunjuk Penulisan
tidak adanya sistem kontrol yang baik menyebabkan masyarakat menganggap bahwa korupsi merupakan suatu hal yang sudah biasa terjadi. Lingkungan sosial juga dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan korupsi, seperti halnya tradisi memberi yang disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dapat dipahami bahwa adagium korupsi dan kekuasaan5 ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan ―pintu masuk‖ bagi tindak korupsi. Inilah hakikat dari pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke-19 dengan adagium-nya yang terkenal ia menyatakan: ―Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut). Terdapat postulat yang mengatakan korupsi mengikuti watak kekuasaan. Jika kekuasaan berwatak sentralistis, korupsi pun mengikutinya berwatak sentralistis. Semakin tersentralisasi kekuasaan, semakin hebat pula korupsi di pusat kekuasaan itu. Jenis ini ditemukan di masa orde baru. Sebaliknya, jika yang terjadi adalah otonomi, seperti otonomi daerah, maka korupsi pun mengikutinya sejajar dengan otonomi tersebut. Karena kekuasaan berpindah dari satu pusat kekuasaan ke banyak pusat kekuasaan yang otonom, korupsi pun mengikutinya berpindah dari satu pusat kekuasaan kepada banyak pusat kekuasaan. Jenis ini dialami sekarang, di zaman pasca orde baru. Bisa dibayangkan jika yang terjadi otonomi yang seluas-luasnya. II. Korupsi di Indonesia A. Aspek Historis Korupsi di Indonesia sudah tergolong extra-ordinary crimes karena telah merusak, tidak saja keuangan negara dan potensi ekonomi negara, tetapi juga telah meluluhlantakkan pilarpilar sosio budaya, moral, politik, dan tatanan hukum dan keamanan nasional.6 Oleh karena 5
Aswab, Mahasin. ―Negara dan Kuasa‖, Jurnal Prisma, ―Negara atau Masyarakat‖, Nomor 8, tahun 1984. (Jakarta: LP3ES, 1984), Hlm. 2. 6 Mark A. Drumbl, Extraordinary Crime and Ordinary Punishment An Overview, Cambridge University Press,
Zainal Arifin Hoesein
itu, pola pemberantasannya tidak bisa hanya oleh instansi tertentu dan tidak bisa juga dengan pendekatan parsial. Ia harus dilakukan secara komprehensif dan bersama-sama, oleh penegak hukum, lembaga masyarakat, dan individu anggota masyarakat. Untuk maksud itu, kita harus mengetahui secara persis peta korupsi di Indonesia dan apa penyebab utamanya. Seperti seorang dokter, sebelum memberi terapi kepada pasiennya, harus mengetahui lebih dahulu apa diagnose penyakitnya. Diagnosa yang tepat membawa terapi yang dilakukan akan berhasil, tetapi jika diagnose salah, terapi yang diberikan tidak saja gagal, malah menambah parah pasien tersebut. Demikian pula dengan masalah korupsi di Indonesia. Adapun penyebab terjadinya korupsi di Indonesia menurut Abdullah Hehamahua, yang dikutip oleh Ermansyah Jaya7, maka berdasarkan kajian dan pengalaman setidaknya ada delapan penyebab, yaitu sebagai berikut: 1. Sistem Penyelenggaraan Negara yang Keliru Sebagai Negara yang baru merdeka atau Negara yang baru berkembang, seharusnya prioritas pembangunan di bidang pendidikan. Tetapi selama puluhan tahun, mulai dari orde lama, orde baru sampai orde reformasi ini, pembangunan difokuskan pada bidang ekonomi. Padahal setiap Negara yang baru merdeka, terbatas dalam memiliki SDM, uang, manajemen, dan teknologi. Konsekuen1994, p. 3-4, yang menjelaskan bahwa In terms of substantive categorization, however, extreme evil was no ordinary crime. After all, Arendt herself noted that extreme evil “explode[d] the limits of the law.”18 This did not mean that this evil was incapable of condemnation through law, but that the law had to catch up to it. In this regard, international lawmakers categorized acts of extreme evil as qualitatively different than ordinary common crimes insofar as their nature was much more serious.These acts seeped into the realm of extraordinary international criminality. And the perpetrator of extraordinary international crimes has become cast, rhetorically as well as legally, as an enemy of all humankind. I use both of these phrases in this book given that they reflect dominant understandings of the wrongdoing and wrongdoers. Those acts of atrocity characterized as traordinary international crimes include crimes against humanity (an appellation that neatly embodies our shared victimization), genocide, and war crimes. 7 Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 51
385
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 383 - 392 Petunjuk Penulisan
2.
3.
4.
5.
386
sinya, semuanya didatangkan dari luar negeri yang pada gilirannya, menghasilkan penyebab korupsi; Kompensasi PNS yang Rendah Wajar apabila Negara yang baru merdeka tidak memiliki uang yang cukup untuk membayar kompensasi yang tinggi kepada pegawainya, tetapi disebabkan prioritas pembangunan di bidang ekonomi, sehingga secara fisik dan cultural melahirkan pola yang konsumerisme, sehingga 90% PNS melakukan KKN. Baik berupa korupsi waktu, melakukan kegiatan pungli maupun mark up kecil-kecilan demi menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran pribadi/keluarga; Pejabat yang Serakah Pola hidup konsumerisme yang dilahirkan oleh sistem pembangunan di atas mendorong pejabat untuk menjadi kaya secara instant. Lahirlah sikap serakah dimana pejabat menyalahgunakan wewenang dan jabatannya, melakukan mark up proyek-proyek pembangunan, bahkan berbisnis dengan pengusaha, baik dalam bentuk menjadi komisaris maupun menjadi salah seorang share holder dari perusahaan tersebut. Law Enforcement Tidak Berjalan Disebabkan para pejabat serakah dan PNS-nya KKN karena gaji yang tidak cukup, maka boleh dibilang penegakan hukum tidak berjalan hamper di seluruh lini kehidupan, baik di instansi pemerintahan maupun di lemmbaga kemasyarakatan karena segala sesuatu diukur dengan uang. Lahirlah kebiasaan plesetan kata-kata seperti KUHP (Kasih Uang Habis Perkara), Tin (Ten persen), Ketuhanan Yang Maha Esa (Keuangan Yang Maha Esa), dan sebagainya; Disebabkan law enforcement tidak berjalan dimana aparat penegak hokum bisa dibayar mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan pengacara, maka hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor sangat ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi koruptor. Bahkan tidak menimbulkan rasa takut dalam masyarakat, sehingga pejabat dan pengusaha tetap me-
lakukan proses KKN; 6. Pengawasan yang Tidak Efektif Dalam sistem manajemen yang modern selalu ada instrument yang internal control yang bersifat in build dalam setiap unit kerja, sehingga sekecil apapun penyimpangan akan terdeteksi sejak dini dan secara otomatis pula dilakukan perbaikan. Internal control di setiap unit tidak berfungsi karena pejabat atau pegawai terkait ber-KKN. Beberapa informasi dalam banyak media massa, untuk mengatasinya dibentuklah Irjen dan Bawasda yang bertugas melakukan internal audit; 7. Tidak ada Keteladanan Pemimpin Ketika resesi ekonomi (1997), keadaan perekonomian Indonesia sedikit lebih baik dari Thailand. Namun pemimpin di tahailand memberi contoh kepada rakyatnya dalam pola hidup sederhana dan satunya kata dengan perbuatan, sehingga lahir dukungan moral dan material dari anggota masyarakat dan pengusaha. Dalam waktu relative singkat, Thailan telah mengalami recovery ekonominya. Di Indonesia tidak ada pemimpin yang bias dijadikan teladan, maka bukan saja perekonomian Negara yang belum recovery bahkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara makin mendekati jurang kehancuran; 8. Budaya Masyarakat yang Kondusif KKN Dalam Negara agraris seperti Indonesia, masyarakat cenderung paternalistic. Dengan demikian, mereka turut melakukan KKN dalam urusan sehari-hari seperti mengurus KTP, SIM, STNK, PBB, SPP, pendaftaran anak ke sekolah atau universitas, melamar kerja, dan lain-lain, karena meniru apa yang dilakukan oleh pejabat, elit politik, tokoh masyarakat, pemuka agama, yang oleh masyarakat diyakini sebagai perbuatan yang tidak salah. Secara historis, penanganan masalah korupsi di Indonesia sebenarnya telah berjalan cukup lama, bahkan nyaris setua umur Republik ini berdiri. Berbagai upaya represif dilakukan
Kekuasaan dan Korupsi di Indonesia
Petunjuk Penulisan
terhadap para pejabat publik atau penyelenggara negara yang terbukti melakukan korupsi. Sudah tidak terhitung telah berapa banyak pejabat negara yang merasakan getirnya hidup di hotel prodeo. Berdasarkan sejarah, selain KPK yang terbentuk di tahun 2003, terdapat 6 lembaga pemberantasan korupsi yang sudah dibentuk di negara ini yakni; (i) Operasi Militer di tahun 1957, (ii) Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, (iii) Operasi Tertib pada tahun 1977, (iv) tahun 1987 dengan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara dari sektor pajak, (v) dibentuknya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TKPTPK) pada tahun 1999, dan (vi) tahun 2005 dibentuk Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor). Kebijakan pencegahan juga telah diupayakan oleh pemerintah. Peningkatan transparansi dari penyelenggara negara telah menjadi perhatian pemerintah bahkan sejak tahun 1957. Pemerintah Indonesia sejak tahun 1957 melalui Kepres No. 48/1957 Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution selaku penguasa militer menetapkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/ 1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Salah satu aspek penting dalam peraturan tersebut adalah membentuk suatu unit kerja yang bertugas menilik harta benda setiap orang yang disangka, didakwa atau sepatutnya disangka melakukan korupsi, termasuk harta benda suami, istri, anak atau badan/institusi yang diurus oleh orang tersebut. Pada masa orde baru, lahir Keppres No. 52/1970 tentang Pendaftaran Kekayaan Pribadi Pejabat Negara/Pegawai Negeri/ABRI. Di orde reformasi dengan adanya UU no. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih KKN dibentuklah Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Dalam tugasnya KPKPN berhasil meletakkan landasan yang baik bagi mekanisme pelaporan kekayaan penyelenggara negara secara komprehensif. Berbagai kebijakan dan lembaga pemberantasan yang telah ada tersebut ternyata tidak cukup membawa Indonesia menjadi negara yang bersih dari korupsi. Berdasarkan kondisi dimana Indonesia tetap dicap sebagai salah satu negara terkorup di dunia tentunya ada beberapa hal yang kurang tepat dalam pelaksanaan kebijakan atau pun kinerja dari lembaga pemberantasan korupsi tersebut. Tidak berjalannya program-program pemberan-
Zainal Arifin Hoesein
tasan korupsi di Indonesia selama ini lebih banyak dikarenakan; (i) dasar hukum untuk melaksanakan tugas dan fungsi dalam pemberantasan korupsi tidak kuat, (ii) program pemberantasan korupsi tidak dilakukan secara sistematis dan terintegrasi, (iii) sebagian lembaga yang dibentuk tidak punya mandat atau tidak melakukan program pencegahan, sementara penindakan tindak pidana korupsi dilaksanakan secara sporadis, sehingga tidak menyurutkan pelaku korupsi lain dalam melakukan pelanggaran yang sama, (iv) masyarakat mempunyai persepsi bahwa lembaga anti korupsi yang dibentuk berafiliasi kepada golongan/partai tertentu sehingga masyarakat tidak mempercayai keberhasilan lembaga tersebut dalam memberantas korupsi, (v) tidak mempunyai sistem sumber daya manusia yang baik, sistem rekrutmennya tidak transparan, program pendidikan dan pelatihan tidak dirancang untuk meningkatkan profesionalisme pegawai dalam bekerja, sehingga SDM yang ada pada lembaga tersebut tidak memiliki kompetensi yang cukup dalam melaksanakan tugas dalam pemberantasan korupsi, (vi) tidak didukung oleh sistem manajemen keuangan yang transparan dan akuntabel. Sistem penggajian pegawai yang tidak memadai, mekanisme pengeluaran anggaran yang tidak efisien dan pengawasan penggunaan anggaran yang lemah, (vii) lembaga dimaksud menjalankan tugas dengan benar hanya pada tahun pertama dan kedua, maka setelah itu menjadi lembaga pemberantas korupsi yang korup dan akhirnya dibubarkan. Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tahun 2003 dengan lingkup tugas dan fungsi meliputi koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan, monitoring, berdasarkan Undang-Undang No. 30 tahun 2002, berusaha untuk tidak mengulang kegagalan lembaga-lembaga sebelumnya. B. Makna dan Jenis Korupsi Banyak ragam definisi tentang korupsi. Dari beragam definisi korupsi didefinisikan sebagai perilaku yang menyimpang dari aturan etis formal yang menyangkut tindakan seseorang dalam posisi otoritas publik yang disebabkan oleh motif pertimbangan pribadi, seperti
387
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 383 - 392 Petunjuk Penulisan
kekayaan, kekuasaan dan status.8 Korupsi juga sering dimengerti sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Namun, korupsi juga bisa dimengerti sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip ―mempertahankan jarak‖. Artinya, dalam pengambilan kebijakan di bidang ekonomi, apakah itu dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau oleh pejabat publik, hubungan pribadi atau keluarga tidak memainkan peranan. Sekali prinsip ―mempertahankan jarak‖ ini dilanggar dan keputusan dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga maka korupsi akan timbul. Contohnya, konflik kepentingan dan nepotisme. Prinsip mempertahankan jarak ini adalah landasan untuk organisasi apa pun untuk mencapai efisiensi. Sementara dari ragamnya, korupsi dapat dilihat dari empat macam jenis yaitu, Pertama, korupsi jalan pintas. Banyak dipraktekkan dalam kasus penggelapan uang negara, perantara ekonomi dan politik, dimana sektor ekonomi membayar untuk keuntungan politik. Contoh dari kategori ini adalah kasus para pengusaha yang menginginkan agar UU tertentu diberlakukan; atau peraturan-peraturan yang menguntungkan usaha tertentu untuk tidak direvisi. Lalu partai-partai politik mayoritas memperoleh uang sebagai balas jasa. Kedua, korupsi-upeti. Bentuk korupsi yang dimungkinkan karena jabatan strategis. Berkat jabatan tersebut seseorang mendapatkan persentase dari berbagai kegiatan, baik dalam bidang ekonomi, politik, budaya, bahkan upeti dari bawahan, kegiatan lain atau jasa dalam suatu perkara, termasuk di dalamnya adalah upaya mark up. Jenis korupsi yang pertama dibedakan dari yang kedua karena sifat institusional politiknya lebih menonjol. Money politics masuk dalam kategori yang pertama meski pertukarannya bukan langsung dari sektor ekonomi. Ketiga, korupsi-kontrak. Korupsi ini tidak bisa dilepaskan dari upaya mendapatkan proyek atau pasar; masuk dalam kategori ini adalah usaha untuk mendapatkan fasilitas pemerintah. Keempat, korupsi-pemerasan. Korupsi ini sangat terkait dengan jaminan keamanan dan urusan-urusan gejolak intern maupun dari luar; perekrutan perwira menengah Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau polisi menjadi manajer hu-
man recources departement atau pencantuman nama perwira tinggi dalam dewan komisaris perusahaan. Penggunaan jasa keamanan seperti di Exxon Mobil di Aceh atau Freeport di Papua adalah contoh yang mencolok. Termasuk dalam kategori ini juga adalah membuka kesempatan pemilikan saham kepada ―orang kuat‖ tertentu. Dengan penyebutan ragam yang hampir sama, Amien Rais,9 membagi jenis korupsi yang harus diwaspadai dan dinilainya telah merajalela di Indonesia ke dalam empat tipe. Pertama, korupsi ekstortif (extortive corruption). Korupsi ini merujuk pada situasi di mana seseorang terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atas hak dan kebutuhannya. Sebagai misal, seorang pengusaha terpaksa memberikan sogokan (bribery) pada pejabat tertentu agar bisa mendapat ijin usaha, perlindungan terhadap usaha sang penyogok, yang bisa bergerak dari ribuan sampai miliaran rupiah. Kedua, korupsi manipulatif (manipulative corruption). Jenis korupsi ini merujuk pada usaha kotor seseorang untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya. Sebagai misal, seorang atau sekelompok konglomerat memberi uang pada bupati, gubernur, menteri dan sebagainya agar peraturan yang dibuat dapat menguntungkan mereka. Bahwa kemudian peraturan-peraturan yang keluar akan merugikan rakyat banyak, tentu bukan urusan para koruptor tersebut. Ketiga, korupsi nepotistik (nepotistic corruption). Korupsi jenis ini merujuk pada perlakuan istimewa yang diberikan pada anak-anak, keponakan atau saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon. Dengan preferential treatment itu para anak, menantu, keponakan dan istri sang pejabat dapat menangguk untung yang sebanyak-banyaknya. Korupsi nepotistik pada umumnya berjalan dengan melanggar aturan main yang sudah ada. Namun pelanggaran-pelanggaran itu tidak dapat dihentikan karena di belakang korupsi nepotistik itu berdiri seorang pejabat yang biasanya merasa kebal hukum. Keempat, korupsi subversif. Korupsi ini berbentuk pencurian terhadap kekayaan negara yang dilakukan oleh para pejabat 9
8
Vito Tanzi, “Corruption, Governmental Activities and Markets‖, IMF Working Paper, Agustus 1994.
388
Amien Rais, ―Suksesi Sebagai Suatu Keharusan,‖ Makalah, disampaikan dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah, Yogyakarta, 1993
Kekuasaan dan Korupsi di Indonesia
Petunjuk Penulisan
negara. Dengan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya, mereka dapat membobol kekayaan negara yang seharusnya diselamatkan. Korupsi ini bersifat subversif atau destruktif terhadap negara karena negara telah dirugikan secara besar-besaran dan dalam jangka panjang dapat membahayakan ek-sistensi negara. C. Hubungan Korupsi dengan Kekuasaan 1. Akar Korupsi Korupsi sebagai kebusukan ekonomi, kagagalan politik kolektif dan kejahatan luar biasa tidak mungkin dapat dilihat secara mikro dan sektoral dengan pengamatan yang melompatlompat. Ia bukan kejahatan yang putus dan sekali selesai. Tetapi merupakan satu noktah hitam yang dibangun oleh sistem politik, kekuasaan yang terpusat pada segelintir orang, dan imperium bisnis yang menggunakan fasilitas kekuasaan untuk meraup keuntungan, baik di birokrasi, lembaga negara ataupun institusi politik diluar parlemen, sehingga, rakyat menjadi korban. Pada akhirnya publik percaya, pemberantasan korupsi bukanlah sekadar penerapan pasal, legal reasoning sebuah putusan, ataupun perdebatan tafsir antara ahli hukum, tetapi jauh lebih besar yaitu pada titik oligarki politik-bisnis. Oligarki itu sendiri merupakan istilah yang awalnya digunakan Plato untuk menjelaskan sebuah sistem pemerintahan pra-demokrasi. Dalam arti netral, oligarki dipahami sebagai pemerintahan yang dipimpin oleh beberapa orang. Tetapi, dalam makna realis, oligarki politik digunakan untuk membaca fenomena korupsi yang menggambarkan sistem pemerintahan yang dikuasai bukan saja oleh segelintir orangorang kaya, namun juga kelompok kepentingan yang menguasai pusat kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif dengan kebijakan dan keputusan yang berkiblat pada kepentingan kelas atas. Kacamata oligarki inilah yang dapat diterapkan untuk melihat gambaran lebih besar dari serpihan puzzle korupsi yang ditemui langsung sehari-hari. Karena sifat korupsi yang tidak mungkin lepas dari unsur ―penyalahgunaan kewenangan/posisi‖, merugikan rakyat, keuangan negara dan perekonomian negara, maka korupsi itupun sesunguhnya berpusat pada bangunan kekuasaan. Selain akibat, sifatnya yang kriminogen
Zainal Arifin Hoesein
dengan kejahatan turunan yang dipicunya, mungkin karena itu juga ia diklasifikasikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Penguasa yang memegang kewenangan, sangat mungkin merupakan induk sebuah organized crime, sehingga jika dikaitkan dengan korupsi, maka akar korupsi itu justru bersarang di tempat legitimasi kekuasaan formal negara dipertahankan. Secara kelembagaan dapat berwujud pada lembaga politik dan pemerintahan yang dibungkus melalui regulasi, aturan kebijakan, diskresi kewenangan, bahkan instansi penegak hukum. Dalam kondisi korupsi yang sangat akut, hampir setiap sudut dan setiap regulasi sulit terbebas dari virus korupsi. Ada banyak sebab yang mengakibatkan ―prestasi‖ Indonesia dalam soal korupsi begitu hebat, diantaranya adalah korporatisme (tepatnya state corporatisme).Dalam khasanah literatur ekonomipolitik, korporatisme sering disepadankan dengan praktik politik dimana pemerintah (regimes) berinteraksi secara tertutup dengan sektor swasta besar. Dalam ketertutupan tersebut, transaksi ekonomi mapun politik terjadi hanya untuk kepentingan segelintir kelompok kepentingan (interest group) yang terlibat di dalamnya. Biasanya transaksi politik maupun eknomi yang seperti ini terjadi secara informal dalam tatanan hukum yang kabur atau tatanan hukum yang memihak kepentingan kelompok kecil tersebut. Berlakunya korporatisme bukan hanya menjadi gejala tidak bekerjanya mekanisme politik dan ekonomi yang partisipatif, tapi juga merupakan bukti distorsi dari sistem ekonomi dan politik yang demokratis. Di mana pun sistem korporatisme akan menimbulkan ketidakstabilan yang akhirnya akan ambruk dengan sendirinya karena kekuatan rakyat (yang selama ini dirugikan) terpaksa dan harus menyingkirkan sistem seperti ini. Dalam praktiknya, korporatisme biasanya ―berselingkuh‖ dengan praktik ―haram‖ lainnya yang disebut dengan rent seeking (memburu rente) yang dilakukan oleh para elite penguasa atau pun keluarga di lingkup elite. Rent seeking dalam praktiknya adalah menjualbelikan jabatan publik yang dimiliki oleh pejabat publik guna memperoleh keuntungan ekonomi, yang praktiknya berwatak ―koruptif‖. Praktek korporatisme dan rent seeking ini tampak begitu selama 389
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 383 - 392 Petunjuk Penulisan
berkuasanya rezim orde baru, dan kemungkinan pada masa reformasi ini. Akumulasi dan distribusi modal hanya dinikmati oleh segelintir orang (sekitar 10%) dengan cakupan modal cukup berlimpah (sekitar 90%). Sementara kebanyakan orang (90% lainnya) sangat kesulitan untuk mengakses mendapatkan modal yang hanya sedikit (hanya sekitar 10%). Kenyataan pahit ini ditambah dengan perubahan paradigma pembangunan nasional dari yang sebelumnya lebih berorientasi pada politik menjadi lebih berorientasi pada ekonomi. Kebanyakan negara yang mengedepankan aspek ekonomi, maka konsekuensinya, arah pembangunan lebih dititikberatkan pada aspek pertumbuhan ketimbang pemerataan. Negara yang berorientasi pada pertumbuhan biasanya akan menjadikan makro ekonomi sebagai alat ukur. 2. Kekuasaan dan Korupsi Analisis lain dikemukakan oleh Robert Klitgaard yang berhasil mengembangkan sebuah formula dengan mengidentifikasi 3 (tiga) faktor penyebab terjadinya korupsi, yaitu:10 Kekuasaan eksklusif pada pembuat keputusan; Diskresi pada pembuat keputusan; dan Kurang/ tidak adanya akuntabilitas atas penyalahgunaan kekuasaan dan diskresi tersebut. Apabila disusun dalam bentuk rumus, maka formula Klitgaard di atas akan menjadi sebagai berikut: Korupsi = Monopoli + Diskresi – Akuntabilitas. Khusus apabila diterapkan pada hakim dan pengadilan, rumus Klitgaard tersebut bermakna bahwa hakim akan menjadi jauh lebih cenderung untuk korupsi apabila mereka: memonopoli upaya penyelesaian sengketa hukum, misalnya (1) apabila tidak ada upaya-upaya penyelesaian sengketa alternatif, seperti arbitrasi atau mediasi; memiliki diskresi yang luas; (2) mekanisme review terhadap putusan hakim; dan, (3) kurang memiliki akuntabiltas. Apabila dicermati, teori Klitgaard di atas hanya memfokuskan perhatian pada faktor kekuasaan dan dalam kondisi-kondisi apakah kekuasaan tersebut cenderung untuk diselewengkan, baik dalam konteks umum maupun dalam konteks proses peradilan. Klitgaard sama sekali tidak menyinggung faktor 10
JMT Simatupang, Penegakan Kode Perilaku Hakim: Perspektif Filosofis & Religius, (Jakarta, Konstitusipress, 2009).
390
motivasi dan dorongan yang membuat seseorang melakukan tindakan koruptif. Padahal dalam analisis perilaku koruptif, terdapat beberapa faktor yang memengaruhinya yaitu antara lain, besarnya keuntungan yang tersedia; tingkat resiko dari suatu perbuatan koruptif; kekuatan tawar-menawar relatif antara penyuap dan yang disuap. Faktor-faktor tersebut dapat terjadi pada para pemangku jabatan publik yang pada umumnya memiliki gaji/pendapatan rendah, kondisi kerja yang buruk dan minimnya sumber daya. Mereka mungkin akan menyalahgunakan kekuasaan yang mereka miliki apabila resiko untuk ketahuan rendah, atau sekalipun ketahuan tetapi tidak mengarah pada dijatuhkannya sanksi. Faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat resiko adalah efektivitas organisasi, yaitu apabila informasi tentang cara kerja organisasi tidak tersedia atau samar-samar, maka hal tersebut akan dapat memfasilitasi perilaku koruptif, karena resiko untuk ketahuan menjadi lebih rendah. Kekuatan tawar-menawar dalam pemberian pelayanan terutama perijinan ditentukan oleh tingkat kebutuhan finansial, sumberdaya yang tersedia dan kompetisi. Keseluruhan faktor tersebut mempengaruhi tingkat praktik korupsi yang terjadi. Sedangkan, kekuatan tawar-menawar relatif yang dimiliki oleh pejabat public akan dipengaruhi oleh ada atau tidak adanya monopoli, besar atau kecilnya diskresi, dan tingkat akuntabilitas yang dimiliki. Dengan demikian, terlihat bahwa dengan memperhitungkan faktor motivasi dan kondisi-kondisi yang dapat memunculkan motivasi atau dorongan untuk korupsi merupakan bagian dari rapuhnya kekuasaan yang menimbulkan perilaku koruptif. III. Membangun Paradigma Kekuasaan yang Amanah sebagai Jalan Keluar Gambaran buram tentang kekuasaan dikarenakan kita sering merujuk praktik kekuasaan yang digenggam oleh politisi busuk. Akan tetapi, adagium ―kekuasaan itu cenderung korup‖ sebenarnya bisa ditepis ketika hadir kekuasaan yang amanah, adil dan demokratis serta memiliki visi dan komitmen yang jelas tentang clean government dan good governance. Kepemimpinan yang amanah adalah kepemimpinan yang mengedepankan keteladanan, transparansi dan akuntabilitas dalam memegang kekuasaan. Ke-
Kekuasaan dan Korupsi di Indonesia
Petunjuk Penulisan
pemimpinan yang adil adalah kepemimpinan yang mengedepankan supremasi hukum dan memberlakukan hukum bagi semua pihak atas dasar rasa keadilan masyarakat tanpa sikap diskriminatif. Kepemimpinan yang demokratis adalah kepemimpinan yang partisipatif dan dalam konstelasi checks and balances antar unit-unit suprastruktur politik maupun infrastruktur politik. Di sinilah urgensi diperlukannya kepemimpinan baru yang memenuhi kriteria itu. Tanpa kepemimpinan baru yang kredibel, kapabel dan akseptabel, korupsi akan sulit untuk dibasmi. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elite pemerintahan menjadi faktor penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia. Perubahan dalam memilih pemimpin dari sistem perwakilan kepada system pemilihan langsung merupakan salah satu jalan untuk menghasilkan pemimpin yang legitimate dan competence atau pemimpin capable dan acceptable yaitu pemimpin yang diterima oleh rakyat dan memiliki kompetensi, sehingga dengan model tersebut pemerintahan dapat menghasilkan produk kebijakan yang memiliki kaulitas tinggi dan pemihakan yang jelas terhadap kesejahteraan bersama. Dengan dsemikian prinsip demokrasi tercermin dalam aspek ’legitimasi’ dan prinsip teknokrasi tercermin dalam aspek ’kompetensi’ Keseimbangan antara prinsip ’legitimasi’ dan prinsip ’kompetensi’ akan mengasilkan kebijakan publik yang diterima oleh masyarakat dan sekaligus mempercepat terhadap perwujudan indikator kesejahteraan bersama. Dengan demikian, dalam menata ulang kebijakan publik diperlukan keseimbangan antara demokrasi dan teknokrasi.11 Wujud demokrasi terlihat di lembaga perwakilan dan proses politiknya, dan wujud teknokrasi adalah lebih ditekankan pada lembaga eksekutif. Dalam perspektif demokrasi, pemilu memiliki dua fungsi pokok. Pertama, sebagai sarana memperbarui dan memperkokoh legitimasi politik penguasa yang sedang berjalan. Jika pemerintah dan partai yang berkuasa aspiratif bagi kepentingan rakyat, melaksanakan agenda reformasi, menegakkan keadilan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat, maka fungsi pemilu adalah memperbarui legitimasi politik. Para pe11
Zainal Arifin Hoesein, Hukum dan Dinamika Sosial, Jakarta: Ramzi Putra Pratama, 2014, hal. 112
Zainal Arifin Hoesein
milih datang ke bilik suara untuk mengamanahkan kembali kedaulatan politik yang berada di tangannya. Pemerintahan dan partai itu layak mendapat kepercayaan kembali untuk mengelola negara dan mewakili kepentingan rakyat banyak. Keberadaan partai-partai lain dalam pemilu dimaksudkan untuk melahirkan kekuatan checks and balances sehingga pemerintah tidak melakukan abuse of power yang menyimpang dari agenda reformasi. Kedua, sebagai sarana mendelegilitimasi pemerintahan lama dan membentuk pemerintahan baru. Jika pemerintah dan partai yang berkuasa tidak aspiratif, mengabaikan amanah reformasi, dikendalikan oleh politisi busuk dan tidak kapabel menjalankan roda pemerintahan, maka pemilu menjadi momentum untuk melakukan suksesi kepemimpinan nasional, baik pada level eksekutif maupun legislatif, dari pusat hingga ke daerah. Pemilihan umum seharusnya menjadi mimpi buruk bagi rezim yang korup, politisi busuk, partai yang gemar obral janji pembela wong cilik dan siapa saja yang mendukung mereka. Para pemilih akan ―mengeksekusi‖ mereka di bilik-bilik suara dan mengalihkan legitimasinya pada pemimpin baru dan partai alternatif yang aspiratif dengan kepentingan mereka. Persoalannya adalah apakah para pemilih memiliki tingkat budaya politik yang tinggi sehingga memahami makna pemilu itu dan mampu mengevaluasi secara kritis rezim yang berkuasa? Ataukah mereka justru tidak memiliki memori kolektif yang agak panjang dan mampu mengingat perilaku penguasa yang tidak amanah, tidak adil dan korup selama mereka berkuasa? Jika kesadaran politik rakyat rendah dan memori politiknya pendek, maka mereka dengan mudah dihibur dan diberi ―gulagula politik‖ oleh penguasa sehingga pemilu hanya akan berfungsi sebagai momentum memperbarui kontrak politik dan peneguh kekuasaan, meskipun kinerja mereka mengecewakan. Oleh karena itu, sudah saatnya dilakukan gerakan untuk mendorong dan memperkuat kekuasaan yang amanah yaitu kokohnya struktur organ penggeraknya, pemimpin yang memiliki kreteria sifat Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathanah (STAF), dan arah kebijakan, tujuan dan sasaran serta strategi yang terukur dan manageable, dan kultur gerakan yang amanah, sehingga setiap program dan kegiatan memiliki 391
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 383 - 392 Petunjuk Penulisan
effort yang besar bagi kemanfaatan dan kemajuan bersama dalam kerangka memperkuat barisan dalam mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia. Wallahu a’lam bi shawab….. IV. Penutup Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan ―pintu masuk‖ bagi tindak korupsi. Kekuasaan yang absolute melahirkan pemimpin yang tiran dan korup yang jauh dari impian rak-
yatnya, seperti pidato Socrates di muka pengadilan: ―Tuan-tuan, kekuasaan tuan-tuan dapat membuat hukum semau-maunya. Tetapi kekuasaan tuan-tuan pada akhirnya akan dapat dikalahkan perasaan keadilan dari rakyat yang tidak dapat dimatikan atau ditindas. Lama setelah saya mati nanti, tuan-tuan sebagai hakim akan dikenal sebagai contoh-contoh, di mana hukum tidak sama dengan keadilan. Hukum datang dari otak manusia, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat....‖.
Daftar Pustaka Djaja, Ermansjah, Memberantas Korupsi Bersama KPK, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) Hoesein, Zainal Arifin, Hukum dan Dinamika Sosial, Jakarta: Ramzi Putra Pratama, 2014 Mahasin, Aswab, ―Negara dan Kuasa‖, Jurnal Prisma, ―Negara atau Masyarakat‖, Nomor 8, tahun 1984. (Jakarta: LP3ES, 1984), hlm. 2. Manan, Bagir, Menegakkan Hukum Suatu Pencarian, Cetakan Pertama, Jakarta: Asosiasi Advokat Indonesia, 2009. Milovanovic, Dragan, A Primer in The Sociology of Law, Edisi ke-2, Harrow and Heston Publishers, 1994. Pound, Roscoe, An Introduction to the Philosophy of Law - with a new introduction by Marshal L. De Rosa, (New Brunswick (USA) and London (UK), 1999 - Originally published in 1922 by Yale University Press. Rais, Amien ―Suksesi Sebagai Suatu Keharusan,‖ Makalah, disampaikan dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah, Yogyakarta, 1993 Rawal, John, Teori Keadilan, Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 513-517, terjemahan A Theory of Justice, (Cumbride, Massachusett: Harvard University Press: 1995) Simatupang, JMT, Penegakan Kode Perilaku Hakim: Perspektif Filosofis & Religius, (Jakarta, Konstitusipress, 2009. Schiff, David N., Hukum Sebagai Suatu Fenomena Sosial, dalam Adam Podgorecki dan Christopher J. Welan(editor), Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, terj. dari Sociological Approaches To Law, (Jakarta: Bina Aksara, 1999), hal. 252-254 Tanzi, Vito, “Corruption, Governmental Activities and Markets‖, IMF Working Paper, Agustus 1994.
392
Petunjuk Penulisan
DAMPAK REVOLUSI GAYA KORUPSI TERHADAP KONSTRUKSI NEGARA HUKUM INDONESIA Oleh: Siti Marwiyah Pengurus Pusat APHTN-HAN dan Dekan Fakultas Hukum Unitomo Surabaya Abstrak Setiap kejahatan tentulah berdampak negatif, apalagi korupsi. Lebih makro lagi dampak korupsi itu, bilamana korupsinya semakin revolutif. Perubahan pola atau gaya berkorupsi dapat mengakibatkan rapuhnya bangunan negara hukum, apalagi jika pelakunya berasal dari kalangan aparat penegak hukum. Kuat tidaknya bangunan negara hukum sangat ditentukan oleh sikap dan perilaku aparat penegak hukum, bukan hanya ketika aparat ini menangani perkara korupsi, tetapi juga sikap dan perilaku konsistennya yang terjaga dari keterjerumusan tergoda melakukan korupsi. Tidak sedikitnya aparat penegak hukum yang terjerumus melakukan korupsi merupakan ancaman seiius, baik sekarang maupun ke depan terhadap konstruksi Indonesia ebagai negara hukum. Kata Kunci: negara hukum, korupsi, sikap, perilaku, penegak hukum Abstract Every crime must have been a negative impact, especially corruption. More macro again the impact of corruption, where corruption is getting revolutionarily. Changes in the pattern or style of corruption can lead to fragility of building a state of law, especially if the perpetrators come from the law enforcement officers. How strong the legal state building is largely determined by the attitude and behavior of law enforcement officers, not only when these forces are handling cases of corruption, but also the attitude and behavior of consistency is maintained on the wishes of corruption. Not the least of law enforcement officers are mired with corruption is a threat seiius, both current and future state of the construction Indonesia sa law. Keywords: rule of law, corruption, attitude, behavior, law enforcement PENDAHULUAN “Abite nummi, ego vos mergam, ne mergar a vobis‖ (Pergilah wahai uang, saya akan menenggelamkan kamu, sehingga kamu tidak bisa menenggelamkan saya).1 Kata mutiara ini sebenarnya mengingatkan setiap penyelenggara kekuasaan atau seseorang yang sedang dipercaya menduduki suatu ―kursi‖ untuk berhati-hati dengan uang, karena uang dapat menjerumuskannya menjadi koruptor. Sayangnya, saat seseorang ini menjabat, bukan uang yang ―ditenggelamkan‖-nya, melainkan dirinya yang di1
Usman Hadi, Negara dalam Cengkeraman Koruptor, Makalah, Malang, 15 Agustus 2015, hlm. 2.
tenggelamkan oleh uang. Banyak elemen rezim di ranah lokal (daerah) hingga pusat yang ditenggelamkan dengan uang. Tidak sedikit misalnya akademisi, yang semula di kampus sangat giat menggelorakan kampanye moral berpolitik, namun begitu dipercaya menduduki jabatan strategis yang berelasi dengan uang banyak, sang penjaga moral ini, terjerumus menjadi koruptor. Realitas itu terbaca akibat tidak lepas dari kuatnya daya cengkeram kultur korupsi yang kalau boleh disebut, mengalami ―pemerataan‖ di semua lini strategis bangsa, sehingga begitu seseorang menjadi segmentasi strukturalnya, 393
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 393 - 400 Petunjuk Penulisan
tuntutan beradaptasi secara anomalistik lebih hegemonik dibandingkan tuntutan beradaptasi secara yuridis dan moralistik. PEMBAHASAN Akselerasi Korupsi Di negara ini, tidak salah kalau ada guyonan yang menyebut, bahwa ―Indonesia sekarang ini tidak mempunyai produk asli yang mencerminkan sebagai kekayaan bangsa sendiri, kecuali hanya korupsi‖. Perusahaan-perusahaan besar yang berdiri megah bukan miliknya masyarakat atau elite pemodal besar Indonesia, tetapi kepunyaan pemodal dari negara asing. Dalam berbagai literatur disebutkan, bahwa korupsi merupakan penyakit yang masih disukai oleh berbabagai bangsa di dunia, termasuk Indonesia, Korupsi berawal dari bahasa latin ‖corruption‖ atau ―corruptus‖. Corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Prancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari Bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia yaitu korupsi, yang kemudian menjadi demikian akrab sebagai penyakit yang sebagian orang membenci dan memusuhinya, tapi sebagian lainnya sangat menyukainya.2 Adapun yang dipunyai oleh Indonesia tinggal kultur korupsi yang terus menerus mengalami dinamika dan bahan ―reinkarnasi‖, sehingga gaya berkorupsinya berlanjut mengalami diversifikasi. Ada saja model baru strategi berkorupsi yang dihasilkan atau didesain oleh koruptor. Sebagai refleksi, terbukti seperti data yang diungkap Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang mencatat bahwa hingga Januari 2014 saja sebanyak 318 orang dari total 524 orang kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut dengan kasus korupsi. Kepala daerah yang ditetapkan tersangka oleh kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berjumlah 318 orang di Indonesia ini adalah
sejak diterapkan pilkada langsung digelar.3 Temuan ICW semester I tahun 2015 menguatkan data Kemendagri itu, bahwa dilihat dari latar belakang aktor korupsi, pejabat atau pegawai di lingkungan Kementerian dan Pemerintah Daerah menjadi pelaku yang paling banyak ditetapkan sebagai tersangka (212 orang), disusul aktor yang berlatar belakang sebagai direktur, komisaris, konsultan dan pegawai di lingkungan swasta di posisi kedua (97 orang), 28 orang berlatarbelakang Kepala Desa, Lurah dan Camat ditetapkan sebagai tersangka. Sedangkan urutan berikutnya 27 Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota), 26 kepala dinas dan 24 anggota DPR/DPRD/DPD yang ditetapkan sebagai tersangka. Temuan ICW ini menunjukkan bahwa 27 Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/ Walikota) dapat menjadi sekumpulan orang-orang yang bermasalah hukum, padahal ketika sebelum menjabat, tidak sedikit dari mereka adalah tokoh-tokoh yang dikenal bersih. Kalau dikaitkan dengan bacaan dari sudut kerugian secara umum misalnya, dapat terbaca dalam Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. P2EB ini merilis hasil analisis terhadap 1365 kasus korupsi yang sudah mendapatkan putusan tetap dari Mahkamah Agung. Ada 1842 terdakwa koruptor selama 2001 sampai 2012, dengan nilai total hukuman finansial Rp15,09 triliun, sementara itu jumlah nilai uang yang dikorupsi atau biaya eksplisit korupsi mencapai Rp 168,19 triliun.4 Jika hal itu dikaitkan dengan beberapa data tersebut, faktanya, asumsi atau pernyataan di atas soal ―produk asli‖ bangsa tidak berlebihan, karena koruptor dan sindikasinya memang terus mengalami kemajuan dan kepiawaian. Kehadiran rezim baru, tetap saja diikuti reproduksi korupsi atau bahkan revolusi gaya berkorupsi. Mereka itu terus berinovasi atau berimprovisasi dalam menghadirkarkan langkah-langkah berani untuk membuat strategi hebat atau mencanggihkan modus operandi korupsinya, dan menyelamatkan diri dari kemungkinan terjerat pertanggjawaban hukum. 3
2
Hermawan, Korupsi Tanpa Tanding, Episode Keberlanjutan Keterpurukan Indonesia, (Jakarta: LPKI-Pembebasan Indonesia, 2010), hal. 12.
394
Sumantono, Tradisi Korupsi Politik, Makalah, Surabaya, 2015, hal. 1. 4 Chalid Mawardi, Akselerasi Korupsi di Indonesia, (Jakarta: LPPK, 2015), hal. 2.
Dampak Revolusi Gaya Korupsi Terhadap ...
Petunjuk Penulisan
Siti Marwiyah
Di awal menduduki suatu jabatan, sebenarnya negara menuntutnya menjadi pemimpin atau sosok yang teguh dalam mengemban amanat, jujur dan trasnparan dalam menjalankan kewajiban. Sayangnya lambat laun, kejujuran yang ditegakluruskan, tereduksi dan bahkan didegradasinya. Ada suatu pesan yang berbunyi ―honesto virum bonum nihil deterret” yang bermakna tidak ada yang menakutkan (menggetarkan) orang baik yang melaksanakan kewajiban/tugasnya dengan jujur. Pesan ini mengajarkan tentang urgensi menjaga etika dalam menjalankan tugas dan kewajiban. Realitas itu mengisyaratkan bahwa sosok hebat merupakan deskripsi seseorang yang teguh pendirian dalam menjalankan kejujuran, tidak goyah ketika dihadapkan dengan banyak godaan, atau setia menjalankan kewajiban yang diamanatkan oleh negara, meski beragam penyakit budaya, politik, ekonomi, dan lainnya mengeksaminasinya secara bergelombang. Sayangnya, mencari sosok pegiat atau pengaplikasi kewajiban dengan jujur itu tidak mudah. Adapun yang banyak dan mudah ditemukan adalah sekumpulan demagogis atau para pengkhiat dan pendusta amanat. Mereka ini kelompok berdasi yang lantang mengucapkan sumpah tentang kewajiban menjalankan tugas dan kewajiban, namun sumpah ini tidak lebih dari aksesoris. Mereka itu memang sudah bersumpah atas nama Tuhan dan amanat rakyat, namun realitasnya, sikap dan perilakunya, menunjukkan sebagai ―sampah‖ masyarakat. Mereka ini lebih bangga atau arogan menjatuhkan opsi sebagai produsen dan pelaku korupsi. Syafii Maarif pernah menyatakan, bahwa di negeri ini masih banyak orang baik diantara banyaknya orang jahat. Pernyataan ini harusnya diinterpretasikan, kalau sebenarnya orang jahat atau pelaku korupsi ini sangat hegemonik, sehingga konstruksi kehidupan kenegaraan (pemerintahan), menjadi demikian gampang ―berhiaskan‖ para koruptor.5 Munculnya dugaan kasus mega korupsi Pelindo mengindikasikan kalau koruptor dan sel-selnya tidak gampang diberantas, apalagi di-
habisi. Mereka bisa saja mencari dan menciptakan lahan yang bisa digunakannya untuk merevolusi gaya berkorupsinya. Koruptor seakan tidak pernah kehabisan amunisi dan jurus untuk menjadikan dirinya pemenang. Mereka seperti tak pernah sulit membuat ―bunker‖ dengan cara menyusup dan mempengaruhi dengan beragam cara dan dari berbagai lini strategis untuk menghentikan atau mematahkan gerakan-gerakan yang bertajuk perang melawan korupsi. Koruptor menunjukkan pada publik kalau diri dan komunitasnya lebih suprematif, digdaya, atau superior dibandingkan kekuatan dari manapun. Mereka mengepakkan sayap kekuatannya untuk memasuki beberapa ranah strategis seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Jati Diri Jawapos (15/6/2015) pernah menulis (mengkritisi) saat Pansel KPK memulai penjaringan, bahwa KPK tidak boleh diisi orang biasa-biasa saja, apalagi cuma pemburu jabatan. Lembaga itu mesti kuat karena musuh tersengitnya kerap justru orang-orang berbaju ‖penegak‖ hukum.6 Begitu integritas mereka diragukan, KPK akan kehilangan nyawa. Tak lebih dari lembaga-lembaga ‖pemberantas‖ korupsi basabasi ala Orla dan Orba. Tulisan itu sudah mengingatkan secara radikal, bahwa problem korupsi di Indonesia ini sudah merata ke segala lapisan. Lembaga yang seharusnya menjadi pemberantas korupsi saja justru menjadi obyek yang harus dibersihkan akibat tidak jarang ditemukan menjadi koruptor. Selain itu, jika dibaca tulisan itu dan dinamika modus iperandi korupsi, maka koruptor yang akan superior atau bahkan makin kuat ke depan adalah koruptor yang menjadikan lembaga-lembaga pemberantas korupsi sebagai ―bunkernya‖. Apa mungkin lembaga-lembaga pemberantas ini mau dijadikan sebagai ―bunkernya‖?
5
6
Usman Hadi, Op.Cit, hlm . 3.
Mengoyak Konstruksi Negara Hukum Kalau dari sisi das sollen, barangkali memang tidak akan pernah ada lembaga-lembaga penegak hukum yang marwahnya mau diinjakinjak oleh koruptor, karena penegak hukum merupakan pilar utama yang menentukan kuat Jawapos, 15 Juni 2015, hlm. 4
395
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 393 - 400 Petunjuk Penulisan
tidaknya bangunan Negara hukum. Kalau koruptor banyak ditemukan dimana-mana atau mudah sekali terjaring di berbagai lembaga strategis, apalagi lembaga penegakan hukum, maka tentu saja logis jika wujud negara hukumnya yang dipertanyakan. Negara hukum tidak bisa dilepaskan dari pengertian negara demokrasi. Hukum yang adil hanya ada dan bisa ditegakkan di negara yang demokratis. Dalam negara yang demokrasi, hukum diangkat, dan merupakan respon dari aspirasi rakyat. Oleh sebab itu hukum dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.7 Dalam tulisan Oemar Seno Adji disebutkan, bahwa konsep ―Rule of Law‖ sebagai lanjutan gagasan ―negara hukum‖ dahulu, dimulai oleh Kant, Stahl, Dicey, telah dibahas dalam berbagai pertemuan. Mulai dari Athena tahun 1955, Chicago 1957, Warsawa 1958, New Delhi 1959, Lagos 1961, Rio de Janero 1962.8 Istilah ―rechtsstaat‖ (negara hukum) adalah suatu istilah muncul abad ke-19. Lebih muda dari dari istilah-istilah ketatanegaraan lainnya seperti: demokrasi, konstitusi, kedaulatan, dan lain sebagainya. Menurut Soediman Kartohadiprodjo, istilah ―rechtsstaat‖ pertama kali digunakan oleh Rudolf ven Gueist seorang guru besar Berlin. Tetapi konsep negara hukum itu sendiri sudah dicetuskan sejak abad ke-17, bersama-sama dengan timbulnya perlawanan terhadap sistem pemerintahan (kekuasaan) yang absolut, otoriter, bahkan sewenang-wenang. Secara teoritikal konsep negara hukum lahir sebagai reaksi terhadap konsep kedaulatan negara tradisional yang di gagas oleh: Augustinus, Thomas Aquinas (teori kedaulatan tuhan), Machiavelli, Paul Laband, Georg Jellinek (teori negara kekuasaan), Jean Bodin (teori kedaulatan raja), Thomas Hobbes (teori konstruk yang disebut homo homini lupus), Rouseau, Montesquieu, John Lockc (teori kedaulatan rakyat), Hugo de Groot, Krabbe, Leon Duguit (teori kedaulatan hukum atau supremacy of law).9 Sejalan dengan ini, Philipus M.Hadjon juga menyebut, bahwa isti-
lah rechtsstaat yang diterjemahkan sebagai negara hukum menurut mulai populer di Eropa sejak abad ke-19,meski pemikiran tentang hal itu telah lama ada.10 Joeniarto menyatakan bahwa negara hukum berarti dalam penyelenggaraan negara segala tindakan penguasa dan masyarakat negara harus berdasarkan atas hukum dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka dengan maksud untuk membatasi kekuasaan penguasa dan melindungi kepentingan masyarakat yakni perlindungan terhadap hak asasi manusia dari tindakan yang sewenang-wenang.11 Menurut Hugo Krabbe (guru besar Universitas Leiden), yang dimaksud dengan ―hukum‖ pada konsep negara hukum bukan sematamata hukum formal yang diundangkan, tetapi hukum yang ada di masyarakat, dan hukum formal adalah benar apabila sesuai dengan hukum materil yakni perasaan hukum yang hidup di masyarakat. Menurut Friedrich Julius Stahl, negara hukum harus memenuhi (memiliki) empat unsur (elemen) yaitu: (1) terjaminnya Hak Asasi Manusia (HAM), (2) pembagian kekuasaan, (3) pemerintahan berdasarkan peraturan perundangundangan, dan (4) peradilan tata usaha negara. AV. Dicey menyebut, bahwa negara hukum terdiri atas unsur: (1) supremacy of law, (2) equality before the law, dan (3) human rights.12 Negara hukum merupakan suatu negara yang diatur dengan sebaik-baiknya berdasarkan undang-undang, sehingga segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahan didasarkan atas hukum. Negara hukum adalah negara yang diperintah oleh hukum bukan oleh orang atau kelompok orang (a state that not governed by men, but by laws). Supomo dalam bukunya Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia mengartikan istilah ―negara hukum‖ sebagai negara yang tunduk kepada hukum, peraturan perundangundangan yang berlaku bagi segala alat negara, badan negara, dan semua komponen negara.13 10
7
Purnadi Purbacaraka & M. Chaidir Ali, Disiplin Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm, 18-24. 8 Umar Kasim, Negara Hukum, Intan Pustaka, Jakarta, 2010, hlm. 14. 9 C.S.T. Kansil & Christine S.T. Kansil, Ilmu Negara, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hlm. 151.
396
Philipus.M.Hadjon, Kedaulatan Rakyat,Negara Hukum dan Hak-hak Asasi Manusia, Kumpulan Tulisan dalam rangka 70 tahun Sri Soemantri Martosoewignjo, Media Pratama, Jakarta,1996, hlm.72 11 Umar Kasim, Op.Cit, hlm. 15. 12 Ibid, hlm . 14. 13 Ibid.
Dampak Revolusi Gaya Korupsi Terhadap ...
Petunjuk Penulisan
Ketundukan pada hukum menjadi konsekuensi dari penegakan konstruksi negara hukum. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan, bahwa ―Negara Indonesia negara hukum‖. Negara hukum dimaksud adalah negara yang menegakan supermasi hukum untuk menegakan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan.14 Negara Hukum ialah negara yang berediri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.15 Prinsip penting dalam negara hukum adalah perlindungan yang sama (equal protection) atau persamaan dalam hukum (equality before the law).Perbedaan perlakuan hukum hanya boleh jika ada alasan yang khusus, misalnya, anak-anak yang di bawah umur 17 tahun mempunyai hak yang berbeda dengan anak-anak yang di atas 17 tahun. Perbedaan ini ada alasan yang rasional. Tetapi perbedaan perlakuan tidak dibolehkan jika tanpa alasan yang logis, misalnya karena perbedaan warna kulit, gender agama dan kepercayaan, sekte tertentu dalam agama, atau perbedaan status seperti antara tuan tanah dan petani miskin. Meskipun demikian, perbedaan perlakuan tanpa alasan yang logis seperti ini sampai saat ini masih banyak terjadi di berbagai negara, termasuk di negara yang hukumnya sudah maju sekalipun.16 Konsep itu relevan dengan pernyataan Dicey, bahwa berlakunya Konsep kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), di
Siti Marwiyah
mana semua orang harus tunduk kepada hukum, dan tidak seorang pun berada di atas hukum (above the law).17 Lebih halus disampaikan oleh Aristoteles, bahwa yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik tidaknya suatu peraturan undang-undang dan membuat undang-undang adalah sebagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Oleh karena itu Menurut Aristoteles, bahwa yang pentinng adalah mendidik manusia menjadi warga negara yang baik, karena dari sikapnya yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya.18 Lebih lanjut Aristoteles menyebut bahwa suatu negara yang baik ialah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ia menyatakan, bahwa ―Constitutional rule in a state is closely connected,also with the requestion whether is better to be rulled by the best men or the best law,since a goverrment in accordinace with law, accordingly the supremacy of law is accepted by Aristoteles as mark of good state and not merely as an unfortunate neceesity.‖ 19 Artinya aturan konstutitusional dalam suatu Negara berkaitan secara erat, juga dengan mempertanyakan kembali apakah lebih baik diatur oleh manusia yang terbaik sekalipun atau hukum yang terbaik, selama pemerintahan menurut: hukum. Oleh sebab itu, supremasi hukum diterima oleh Aristoteles sebagai pertanda Negara yang baik dan bukan semata-mata sebagai keperluan yang tidak layak. Kalau dari ranah das sein, terbaca masih ada banyak oknum yang ―merelakan‖ menjadi bagian dari ―anatomi‖ korupsi, sehingga dampak perbuatan jahat mereka ini sangat terasa terhadap konstruksi negara hukum. Bangunan Negara hukum ini menjadi sangat rentan akibat sejumlah elemen strategisnya, yang semestinya harus konsisten menegakkan norma-norma yuri-
14
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengnan Urutan Bab, Pasal dan ayat), Sekertaris Jendral MPR RI, Jakarta, 2010, hlm, 46 15 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta 1988, hlm., 153 16 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat), Refika Aditama, Bandung 2009, hlm., 207.
17
Ibid., hlm. 3 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op.Cit., hlm. 154. 19 George Sabine ,A History of Political Theory,George G.Harrap & CO.Ltd.,London,1995,hln.92 : dan Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Hak-hak Asasi Manusia, hlm.22 18
397
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 393 - 400 Petunjuk Penulisan
dis, justru terjerumus menjadi pengaman koruptor atau mendiain dirinya sendiri menjadi koruptor. Aristoteles juga sudah mengemukakan tiga unsur dari pemerintahan berkonstitusi. Pertama, pemerintah dilaksanakan untuk kepentingan umum.Kedua,pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan ketentuanketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang mengesampingkan konvensi dan konstitusi. Ketiga, pemerintahan berkonstitusi yanga dilaksanakan atas kehendak rakyat.20 Dekonstruksi kultur anomali di lingkungan lembaga-lembaga penegakan hukum yang masih setengah hati dengan seringnya ditemukan praktik penyalahgunaan jabatan oleh elemen-elemen strategisnya, mengindiksikan bahwa koruptor ke depan tidak kesulitan mendapatkan tempat atau kekuatan yang memproteksinya akibat masih bisa mendapatkan ―kawan‖. Korupsi mengakibatkan munculnya dampak negatif dan sangat berpengaruh pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena sangat merugikan semua pihak di berbagai bidang. Kegagalan penegakan hukum tindak pidana korupsi tidak hanya didasarkan atas ketidaksempurnaan undang-undang yang dibuat, akan tetapi juga ketidaksempurnaan aparat penegak hukumnya yang disinyalir tebang pilih dan terasa tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Karena UndangUndang yang ada tidak dijalankan secara maksimal. Karena dengan adanya budaya yang masih menjunjung tinggi budaya feodalisme, yang mana hanya melindungi kepentingan penguasa maupun pejabat yang berduit saja.21 Ketakutan utama publik adalah jika akselerasi revolusi korupsi di lingkungan lembagalembaga peradilan terjadi dan merebak, karena kalau sampai di lembaga-lembaga yudisial ini terjadi revolusi gaya melakukan korupsi, maka yang menjadi penjaga utama bangunan negara hukum tidak ada, atau negara hukum kehilangan kekuatan fundamentalnya. Munculnya asumsi beberapa pihak kalau 20
Ibid. Sudarmanto, Korupsi dan Penegakan Hukumnya, http://majalahfaktanew.blogspot.co.id/2014/10/opinikorupsi-dan-penegakan-hukumnya.html, akses 15 Oktober 2015. 21
398
lembaga yang banyak mendapatkan perhatian seperti Komisi Pemberntasan Korupsi (KPK) sekarang misalnya tidak sekuat KPK terdahulu, idealitasnya disikapi sebagai tantangan untuk membuktikan diri bahwa KPK sekarang tidak akan kalah dalam menunjukkan kinerjanya dibandingkan dengan KPK terdahulu. Asumsi ini semestinya dibaca sebagai kekuatan kritik yang mengingatkan penegak hukum ad hoc ini untuk membangun dirinya, khususnya di ranah etik dan yuridis. Asumsi yang barangkali ―kurang menyenangkan‖ bagi aparat penegak hukum dan institusinya tersebut, sama sekali tidak bermaksud melecehkan, tetapi sebagai ajakan untuk bersama-sama menjaga marwah Indonesia yang secara konstitusional sebagai negara hukum (rechtstaat), yang salah satu karakter sakralitasnya ditentukan oleh ―bekerjanya‖ norma yuridis secara egaliter dan berkeadilan. Bangunan negara hukum tidak akan kuat, meskipun didukung dengan beragam dan banyak pihak yang memilarinya, selama subyek yang memilarinya ini tidak menunjukkan komitmen merevolusi sikap dan perilakunya, dan bukan serba memperbarui cara-cara malakukan korupsi. PENUTUP Revolusi gaya berkorupsi apapun tidak akan mampu mengalahkan kinerja aparat penegak hukum yang menjaga marwah profetisnya. Artinya sikap dan perilaku etis yang diunjukkan aparat penegak hukum akan mampu menghadapi setiap sikap dan perilaku koruptor. Meskipun terjadi revolusi gaya atau pola berkorupsi, mereka tetap bisa dijerat atau dipertanggungjawabkan, selama mentalitas aparat teguh dalam menjaga integritas dirinya. Sikap militan dalam menghadapi siapapun yang melakukan korupsi, khususnya tersangka korupsi berkelas grand corruption, merupakan sikap utama guna mencegah keniscayaan keberlanjutan revolusi gaya berkorupsi. Setiap pihak yang berkecendrungan ingin melakukan korupsi dengan berbagai revolusi dari sudut polanya, tidaklah akan bisa terwujud, bilamana aparat penegak hukumnya menununjukkan kinerja etis yang, diantaranya berorientasi menjaga martabat Indonesia sebagai negara hukum.
Dampak Revolusi Gaya Korupsi Terhadap ...
Petunjuk Penulisan
Siti Marwiyah
DAFTAR PUSTAKA Buku-buku Chalid Mawardi, 2015, Akselerasi Korupsi di Indonesia, Jakarta: LPPK, C.S.T. Kansil & Christine S.T. Kansil, 2001, Ilmu Negara, Jakarta: Pradnya Paramita. Dahlan Thaib, 2000, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi, Yogyakarta: Liberty. George Sabine ,A History of Political Theory, 1995, London: George G.Harrap & CO.Ltd. Hermawan, 2010, Korupsi Tanpa Tanding, Episode Keberlanjutan Keterpurukan Indonesia, Jakarta: LPKI-Pembebasan Indonesia, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2010, Panduan Pemasyarakatan UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengnan Urutan Bab, Pasal dan ayat), Jakarta: Sekertaris Jendral MPR RI. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Sinar Bakti. Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat) , Bandung: Refika Aditama. Philipus. M. Hadjon, 1996, Kedaulatan Rakyat,Negara Hukum dan Hak-hak Asasi Manusia, Kumpulan Tulisan dalam rangka 70 tahun Sri Soemantri Martosoewignjo, Jakarta: Media Pratama. Purnadi Purbacaraka & M. Chaidir Ali, 1986, Disiplin Hukum, Bandung: Alumni, Umar Kasim, 2010, Negara Hukum, Jakarta: Intan Pustaka. Makalah Sumantono, Tradisi Korupsi Politik, Makalah, Surabaya, 2015. Usman Hadi, Negara dalam Cengkeraman Koruptor, Makalah, Malang, 15 Agustus 2015. Internet/Koran Jawapos, 15 Juni 2015. Sudarmanto, Korupsi dan Penegakan Hukumnya, http:// majalahfaktanew. blogspot. co.id/2014/ 10/opini-korupsi-dan-penegakan-hukumnya.html, akses 15 Oktober 2015.
399
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 2, Mei 2016, hal. 393 - 400 Petunjuk Penulisan
400
Petunjuk Penulisan Penulisan Petunjuk
Jurnal Ilmu Hukum Lex Publica Asosiasi Pimpinan Pendidikan Tinggi Hukum Indonesia PETUNJUK PENULISAN 1. Naskah yang diterima adalah artikel yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya. naskah dapat berupa jurnal laporan hasil suatu penelitian atau artikel ulasan (review). Naskah ditulis dengan Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. 2. Naskah diketik pada kertas ukuran A4 (210 x 297 mm) dengan jarak antar baris 1 spasi. Batas pengetikan dari tepi kertas diatur sebagai berikut: - Tepi atas : 3 cm - Tepi bawah : 2.5 cm - Tepi kiri : 3 cm - Tepi kanan : 2.5 cm 3. Naskah diketik dengan mempergunakan jenis huruf Times New Roman dengan spesifikasi ukuran huruf sebagai berikut: - Judul naskah : ukuran huruf 14 point - Nama penulis, keterangan lembaga penulis, abstrak dan kata kunci: ukuran huruf 12 point - Isi naskah : ukuran huruf 12 point - footnote : ukuran huruf 10 point - Daftar pustaka : ukuran huruf 12 point 4. Format penulisan mempergunakan format satu kolom. Naskah setiap halaman diberi nomor berurutan, minimal 20 halaman dan maksima130 halaman. Naskah dikirim melalui email atau file dalam CD ke: Redaksi Jurnal Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi Hukum. Jl. Raya Kalimalang No. 1, Jakarta Timur Email:
[email protected] 5. Naskah disusun secara berurutan terdiri atas: - Judul artikel - Nama lengkap penulis (tidak disingkat) - Afiliasi penulis (instansi tempat penulis bekerja dan alamat email untuk korespondensi) - Abstrak dan kata kunci (dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris) - Latar belakang - Pembahasan - Kesimpulan - Daftar pustaka - Tabel dan gambar apabila ada 6. Deskripsi bagian naskah a. Judul dicetak tebal (bola) dengan huruf kapital. Judul maksimum terdiri dari 12 kata untuk Bahasa Indonesia dan 10 kata untuk Bahasa Inggris. Nama penulis ditulis lengkap tanpa gelar, lembaga tempat penulis bekerja, dan alamat email. Contoh: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENCIPTA BERKAITAN DENGAN KARYA ILMIAH DI INDONESIA Azis Budianto, SH. MS Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya Email:
[email protected] 401
Petunjuk Penulisan Penulisan Petunjuk
b. Setiap artikel harus disertai satu paragraf abstrak (bukan ringkasan yang terdiri atas beberapa paragraf) dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris yang secara gamblang, utuh, dan lengkap menggambarkan esensi isi keseluruhan tulisan. c. Materi muatan artikel terdiri dari latar belakang (berisi tentang permasalahan dan metode penelitian jika tulisan merupakan hasil penelitian), pembahasan, dan kesimpulan. d. Contoh tata aturan penulisan footnote sebagai berikut: 1. Buku Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit INDHILL.CO, Jakarta, 1992, hlm. 3. C. De Rover, To Serve and To Protect (Acuan Universal Penegakan HAM), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 51. 2. Buku karya terjemahan Scholten, Paul, De Structuur Dere Rechtswetenschap, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan oleh Arief Sidharta, Bandung, Alumni, 2011, hlm. 7. 3. Buku yang berisi kumpulan artikel Mahmod Thoha (Ed), Dampak Persetujuan Putaran Uruguay-GATT Terhadap Industri Kecil, UI Press, Jakarta, 1998, hlm. 89. 4. Skripsi, tesis atau disertasi Jazim Hamidi, Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2005, Tidak dipublikasikan, hlm. 2. 5. Artikel dalam buku kumpulan artikel Moh Fadli, Nondelegationdoctrine dan Peraturan Delegasi di Indonesia, Susi Dwi Harijanti (Eds), Negara Hukum yang Berkeadilan Kumpulan Pemikiran dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr H. Bagir Manan, Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (PSKN FH UNPAD), Bandung, 2011, h1m. 33. 6. Artikel dalam jurnal Moh. Fadli, Program Legislasi Nasional (Prolegnas): Ketersiapan Data dan Optimalisasi Kinerja DPR, Jurnal Konstitusi, Volume IV No. 1, Juni 2011, PPK Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2011, hlm. 20. 7. Artikel dalam majalah atau koran Bartens, K., 11 Agustus 2003, Aborsi Di Tengah Polarisasi "Pro Life "-"Pro Choice", Kompas, hlm. 89. 8. Artikel dalam majalah atau koran tanpa penulis Jawa Pos, 22 April 1995, Wanita Kelas Bawah Lebih Mandiri, hlm. 4. 9. Makalah Ni'matul Huda, Penulisan Laporan Penelitian untuk Jurnal, makalah disajikan dalam Lokakarya Penelitian Tingkat Dasar Bagi Dosen PTN dan PTS di Malang Angkatan XIV, Pusat Penelitian IKIP Malang, Malang, 12 Juli 2004, hlm. 53. 10. Artikel internet Ali Safaat, Penafsiran Konstitusi (online), http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/11/ Penafsiran-Konstitusi.pdf, diakses 3 Februari 2013. Kennedy, DC., In Search of Balance Between Police Power and Privacy in The Cybercrime Treaty (online), The Richmond Journal Law and Technology, http:// www. richmond. jlt.htmU185.htm, diakses 12 Januari 2003. 11. Dokumen resmi pemerintah Arsip dan Dokumentasi, Risalah Rapat Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undangundang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tanggal 23 Februari 2011, Jakarta, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2011, hlm. 7. 402
Petunjuk Penulisan Penulisan Petunjuk
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Pedoman Penulisan Laporan Penelitian, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978, hlm. 88. 12. Peraturan Perundang-undangan Pasa15 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 7. Contoh tata aturan penulisan daftar pustaka sebagai berikut: Buku Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit IND-HILL. CO, Jakarta. C. De Rover, 2000, To Serve and To Protect (Acuan Universal Penegakan HAM), Raja Grafindo Persada, Jakarta. Jazim Hamidi, 2005, Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi program Doktor Ilmu Hu kum pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Tidak dipublikasikan. Mahmod Thoha (Ed), 1998, Dampak Persetujuan Putaran Uruguay-GATT Terhadap Industri Kecil, UI Press, Jakarta. Moh. Fadli, 2011, Nondelegationdoctrine dan Peraturan Delegasi di Indonesia, Susi Dwi Harijanti (Eds), Negara Hukum yang Berkeadilan Kumpulan Pemikiran dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. H. Bagir Manan, Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (PSKN FH UNPAD), Bandung. Scholten, Paul, 2011, De Structuur Dere Rechtswetenschap, Struktur IImu Hukum, Terjemahan oleh Arief Sidharta, Bandung, Alumni. Jurnal dan Artikel Bartens, K., 11 Agustus 2003, Aborsi Di Tengah Polarisasi "Pro Life"-"Pro Choice", Kompas. Jawa Pos, 22 April 1995, Wanita Kelas Bawah Lebih Mandiri. Moh. Fadli, 2011, Program Legislasi Nasional (Prolegnas): Ketersiapan Data dan Optimalisasi Kinerja DPR, Jurnal konstitusi, Volume IV No. 1, Juni 2011, PPK Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Makalah Arsip dan Dokumentasi, 2011, Risalah Rapat Panitia ysus (Pansus) Rancangan Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tanggal 23 Februari 2011, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta. Ni'matul Huda, 2004, Penulisan Laporan Penelitian untuk Jurnal, makalah disajikan dalam Lokakarya Penelitian Tingkat Dasar Bagi Dosen PTN dan PTS di Malang Angkatan XIV, Pusat Penelitian IKIP Malang, Malang. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1978, Pedoman Penulisan Laporan Penelitian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perindangundangan. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. 403
Petunjuk Penulisan Penulisan Petunjuk
Artikel Internet Ali Safaat, Penafsiran konstitusi (online), http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/11/ Penafsiran-Konstitusi.pdf. Kennedy, DC., In Search of Balance Between Police Power and Privacy in The Cybercrime Treaty (online), The Richmond Journal Law and Technology, http:// www. richmond.jlt.htm185.htm. 8. Redaksi berhak melakukan penyuntingan melalui Dewan Penyunting tanpa mengubah isi dan makna redaksi. Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap isi naskah.
404