Jurnal Lex Publica
JURNAL
LEX PUBLICA ASOSIASI PIMPINAN PENDIDIKAN TINGGI HUKUM INDONESIA
DAFTAR ISI
Vol. II. No. 1, Nopember 2015 PENGANTAR REDAKSI UPAYA MENDORONG PENANAMAN MODAL DENGAN PENATAAN PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG EKONOMI Oleh : Dr. St. Laksanto Utomo, SH, MH ............ hal. 209 - 220 EVOLUSI TEKNOLOGI INFORMASI BERBASIS INTERNET DAN KEBIJAKAN PERBANKAN DALAM BINGKAI PRIVACY Oleh : Dr. Endah Nawangsasi Sukarton, S.H., M.H ............ hal. 221 - 230 HUBUNGAN ANTARA FAKTA, NORMA, MORAL DAN DOKTRIN HUKUM DALAM PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM Oleh : Dr. H. Rantawan Djanim, SH. MH ............ hal. 231 - 238 PEMBUKTIAN KASUS MALPRAKTEK DI INDONESIA Oleh: Lenny Nadriana, SH, MH ............ hal. 239 - 254 ASPEK YURIDIS PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI Oleh : Rineke Sara, SH. MH ............ hal. 255 - 266 MEMBANGUN “KPK” KABUPATEN/KOTA Sebuah Model Budaya Pencegahan Holistik Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Oleh : Prof. Dr. Ade Saptomo, SH., M.Si ............ hal. 267 – 274 PEMBANGUNAN HUKUM DAN SISTEM HUKUM Oleh : Dr. Hj. Evita Isretno, SH. MH ............ hal. 275 - 284 KEWENANGAN HUKUM FUNGSIONAL KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI (KPK) Oleh : H. Azis Budianto, SH. MS ............ hal. 285 - 302 PETUNJUK PENULISAN ............ hal. 303 - 306 207i
Jurnal Lex Publica
Pengantar Redaksi...... Hubungan antara politik dan penegakan hukum di era reformasi sekarang ini masih ada kaitannya dengan wujud politik yang terkesan otoriter dan tidak demokratis seperti pada masa Orde Baru. Pada masa itu sering diungkapkan upaya untuk mewujudkan supremasi hukum di segala bidang, namun tidak sesuai dengan kenyataan dan hanya sebagai slogan belaka. Sehingga secara umum sebenarnya adanya reformasi hukum harus terjadi perubahan dalam penegakan hukum. Kaitannya dengan produk hukum publik yang menyangkut wewenang penguasa atau elit politik yang berkuasa pada waktu itu, kiranya perlu adanya penyempurnaan peraturan-peraturan perundang-undangan sebagai wujud law in book yang banyak mengandung konspirasi politik atau sering dilakukan adanya terobosan hukum yang bertumpu pada kebijaksanaan sepihak namun belum tentu baik dalam pelaksanaanya. Untuk hal tersebut tergantung pada aparat penegak hukumnya. Artinya yang disesuaikan atau disempurnakan, yakni perlu adanya perombakan sikap mental, moral dan budaya bagi alat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) maupun masyarakat umum agar tidak terjadi mafia peradilan, hukum yang dapat dibeli, atau penguasa kebal hukum. Sebagai contoh banyak kepentingan penguasa, atau dihentikan penyidikan maupun penuntutannya dengan alasan tidak cukup bukti.Terkadang seringkali hukum yang selalu disalahkan, karena hukum merupakan produk politik yang lebih banyak ditentukan oleh pemegang kekuasaan politik yang dominan. Akibatnya sangat mungkin hukum itu lebih merupakan pencerminan visi dan kehendak politik Penguasa. Jika konfigurasi politik yang melahirkannya berubah, maka karakter produk hukum juga berubah. Wajah hukum di masa reformasi ini sebaiknya hukum dibentuk dan ditegakkan demi kesejahteraan umum Indonesia yang demokratis dan mandiri serta terlaksananya negara berdasarkan hukum dan konstitusi. Politik hukum merumuskan arah perkembangan tertib hukum dari ius constitutum yang telah ditentukan oleh kerangka landasan hukum yang dahulu, maka politik hukum berusaha menyusun ius constituendum ( hukum yang akan datang ). Politik hukum pada prinsipnya berarti kebijaksanaan negara mengenai hukum yang ada saat ini. Politik hukum mengandung arti kegiatan berdasarkan kekuasaan dalam negara berupa pengambilan keputusan, pembuatan kebijaksanaan dan melakukan pembagian tentang ketentuan, tujuan dan melaksanakan tujuan hukum tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Sajian Jurnal Lex Publica kali ini, merupakan refleksi dinamika praktis dari implimentasinya politik hukum yang berkarakteristik kekusaan. Setidaknya, ada pemikiran responship yang mengarah pada kontek tersebut. Meskipun singkat, mudah-mudahan sajian artikel ilmiah ini menambah wawasan para pembaca serta dapat mengusik simak atas tulisan yang ada, sehingga pembacapun menjadi terusik untuk berkreatifitas meluangkan waktu berpikir dan menulis. Selamat membaca, Salam Redaksi
Laksanto Utomo 208 ii
Jurnal Lex Publica
UPAYA MENDORONG PENANAMAN MODAL DENGAN PENATAAN PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG EKONOMI Oleh : Dr. St. Laksanto Utomo, SH, MH*) Abstrak Penanaman modal sangatlah signifikan dengan kebutuhan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Dan segi manfaat ada dua akibat utama dari penanaman modal yang menguntungkan Indonesia. Penataan hukum investasi dalam upaya menciptakan iklim investasi tersebut, telah dimulai dengan kehadiran Undang-Undang Penanaman Modal yang secara normatif telah mengakomodir berbagai kepentingan para penanam modal asing. Indonesia, bahwa salah satu upaya untuk menggerakkan kembali perekonomian Nasional adalah bagaimana menciptakan iklim dunia usaha yang kondusif. Dengan penataan hukum ekonomi khususnya hukum investasi diharapkan mendorong investasi di Indonesia, baik penanaman modal dalam negeri maupun asing. Kebijakan-kebijakan yang dirumuskan haruslah yang mampu membuat Indonesia bersaing dengan negara-negara di ASEAN khususnya, dalam menarik investasi asing. Secara spesifik, tujuan utama pembentukan UUPM adalah sebagai berikut; “memberikan kepastian hukum dan kejelasan mengenai kebijakan penanaman modal dengan tetap mengedepankan kepentingan nasional sehingga dapat meningkatkan jumlah dan kualitas investasi yang berujung pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan kerja, peningkatan ekspor dan penghasilan devisa, peningkatan kemampuan teknologi, peningkatan kemampuan daya saing nasional, dan pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Kata Kunci : Penataan, Peraturan Perundang-undangan, Investasi Abstract Capital investment is very significant to the needs and growth of the national economy. And in terms of benefits, there are two main effects of the investments that benefit Indonesia. Structuring investment law in order to create the investment climate, has started with the presence of the Investment Act that normatively have to accommodate the various interests of foreign investors. Indonesia, that one attempts to move back national economy is how to create a conducive business climate. By structuring economic law, especially the law of investment is expected to encourage investment in Indonesia, both domestic investment and foreign. The policies that are formulated to be capable of making Indonesia to compete with ASEAN countries in particular, in attracting foreign investment. Specifically, the main purpose of the establishment of the Capital Market Law are as follows; "Provide legal certainty and clarity regarding the investment policy by promoting national interests so as to increase the number and quality of investment that leads to economic growth, increased employment, increased exports and foreign exchange earnings, increased technological capabilities, upgrading national competitiveness, and in turn is expected to improve the welfare of society at large. Keywords: Planning, Legislation, Investment
*)
Dosen FH Usahid dan Dekan FH Usahid Jakarta
209
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 209 - 220 Jurnal Lex
A. Pendahuluan Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) menargetkan perbaikan kebijakan negara pada masa pemerintahannya yang dimulai pada awal tahun 2015 ini. Salah satunya berupa peningkatakan investasi. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) menargetkan investasi sebesar Rp 3.500 trilliun dalam kurun waktu lima tahun. Upaya ini ditempuh dalam rangka menggenjot pertumbuhan ekonomi dari 5 persen menjadi 7 persen. JK mengatakan bahwa ekonomi Indonesia dapat dikatakan stabil jika bertumbuh 6 persen sampai 7 persen.1 Visi misi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam Pemilihan Presiden Tahun 2014 tertuang dalam 41 halaman berjudul "Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian". Pasangan ini juga menyertakan sembilan agenda prioritas untuk mewujudkan visi dan misi mereka. Sembilan agenda itu disebut sebagai Nawa Cita. Berikut isi Nawa Cita: 1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara. Melalui pelaksanaan politik luar negeri bebasaktif. 2. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. 3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. 4. Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. 5. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui program Indonesia Pintar dengan wajib belajar 12 tahun bebas pungutan. Dan program Indonesia Sehat untuk peningkatan layanan kesehatan masyarakat. Serta Indonesia Kerja dan Indonesia Sejahtera dengan mendorong program kepemilikan tanah seluas sembilan juta hektar. 6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan 1
Berita Liputan 6 pada tanggal 24 Februari 2015
210
daya saing di pasar internasional. 7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi dan domestik. 8. Melakukan revolusi karakter bangsa melalui penataan kembali kurikulum pendidikan nasional. 9. Memperteguh KeBhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui penguatan kebhinekaan dan menciptakan ruang dialog antar warga. Investasi adalah merupakan salah satu penggerak proses penguatan perekonomian negara, karena itu dalam rangka kebijakan ekonominya beberapa negara berusaha keras untuk meningkatkan investasinya. Salah satu cara peningkatan investasi yang diharapkan adalah melalui investasi asing. Para investor diundang masuk ke suatu negara diharapkan dapat membawa langsung dana segar/fresh money dengan harapan agar modal yang masuk tersebut dapat menggerakkan roda perusahaan/industri yang pada gilirannya dapat menggerakkan perekonomian suatu negara.2 Penanaman modal sangatlah signifikan dengan kebutuhan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Dan segi manfaat ada dua akibat utama dari penanaman modal yang menguntungkan Indonesia. Pertama, meningkatnya pendapatan riil (seperti tercermin pada peningkatan tingkat upah, konsumen atau peningkatan penerimaan pemerintah). Kedua, adanya manfaat-manfaat tidak langsung seperti misalnya diperkenalkannya teknologi dan pengetahuan baru. Di lain pihak penanaman modal juga diharapkan peranannya dalam memperbesar devisa Indonesia lewat ekspor produksinya ke luar negeri. 3 Secara umum Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam mencerahkan iklim investasi di masa datang, baik secara internal di dalam negeri sendiri maupun secara eksternal dari negara lain. Di dalam negeri, tantangan itu antara lain masih belum memadainya ketersediaan sarana dan prasarana, perumusan kebijakan pemerintah dan koordinasi kelem2
Doni Kandiawan, Hukum dan Pembangunan Ekonomi : Penataan Hukum Investasi Dalam Upaya Mendorong Investasi Di Indonesia. 3 Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004. Hal. 185-186
Upaya Mendorong Penanaman Modal Dengan Penataan Peraturan dan .... Jurnal Lex Publica
bagaan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Tantangan lain adalah rendahnya produktivitas pekerja dan efisiensi produksi, kelangkaan tenaga kerja terampil, stabilitas politik dan keamanan serta kurang terjaminnya kepastian hukum bagi investor, khususnya investor asing. Tantangan ekstemalnya antara lain berupa persaingan iklim investasi dengan beberapa negara di kawasan Asia Pasifik serta negara-negara Asia lainnya.4 B. Permasalahan Dalam era globalisasi, masuknya investasi dalam suatu negara berkembang khususnya Indonesia merupakan salah satu peranan yang sangat signifikan dalam memacu pembangunan ekonomi. Karena di negara-negara berkembang kebutuhan akan modal pembangunan yang besar selalu menjadi masalah utama dalam pembangunan ekonomi. Sehingga diantara negara-negara berkembang yang menjadi perhatian bagi investor adalah tidak hanya sumber daya alam yang kaya, namun yang paling penting adalah bagaimana hukum investasi di negara tersebut dapat memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha. Dengan menguatnya arus globalisasi ekonomi yang menimbulkan hubungan interdependensi dan integrasi dalam bidang finansial, produksi dan perdagangan telah membawa dampak pengelolaan ekonomi Indonesia. Dampak ini lebih terasa lagi setelah arus globalisasi ekonomi semakin dikembangkannya prinsip liberalisasi perdagangan (trade liberalization) yang telah diupayakan secara bersama-sama oleh negaranegara di dunia dalam bentuk kerjasama ekonomi regional, seperti North American Free Trade (NAFTA), Single European Market (SEM), European Free Trade Agreement (EFTA), Australian-New Zealand Closer Economic Relation and Trade Agreement (ANCERTA), ASEAN Free Trade Area (AFTA), Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) dan World Trade Organization (WTO). Hukum merupakan faktor yang sangat penting dalam kaitannya dengan perlindungan hukum yang diberikan suatu negara bagi kegiatan penanaman modal. Sebagaimana diungkap4
Dumairy, Perekonomian Indonesia, Erlangga, Jakarta, 1994. hal. 134
Laksanto Utomo
kan oleh Erman Rajagukguk, bahwa faktor yang utama bagi hukum untuk dapat berperanan dalam pembangunan ekonomi adalah apakah hukum mampu menciptakan "stability", "predictability" dan "fairness". Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistem ekonomi apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stabilitas (stability) adalah potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Aspek keadilan (fairness), seperti, perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku Pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.5 Sehingga melalui sistem hukum dan peraturan hukum yang dapat memberikan perlindungan, akan tercipta kepastian (predictability), keadilan (fairness) dan efisiensi (efficiency) bagi para investor untuk menanamkan modalnya.6 Ironisnya, ternyata arus investasi asing yang masuk ke Indonesia diikuti dengan arus keluar yang jauh lebih tinggi. Inilah yang biasa disebut sebagai net capital inflows yang negatif. Data neraca pembayaran Indonesia, terutama pos investasi asing langsung, mencatat angka negatif sejak 1998, yang dari tahun ke tahun semakin membesar. Baru pada sejak tahun 2005 net capital inflows mulai mencatat angka positif, yang berarti mulai turning point.7 Berbagai studi menunjukkan bahwa iklim investasi Indonesia lebih buruk dibanding Cina, Thailand, Vietnam dan negara-negara ASEAN 5
Erman Rajagukguk, Hukum Ekonomi Indonesia: Memperkuat Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar 14-18 Juli 2003. 6 Doni Kandiawan, op.cit. 7 Prof Mudrajad Kuncoro, Akhir Paceklik Investasi?, Guru Besar FE UGM, Koordinator Ahli Ekonomi Regional PSEKP UGM, dan Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi FE UGM, Sumber:http://www.investorindonesia.com/index. php?option=com_content&task=view&id=29270.
211
Jurnal Lex Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 209 - 220
lainnya. Iklim investasi dapat didefinisikan „sebagai semua kebijakan, kelembagaan, dan lingkungan, baik yang sedang berlangsung maupun yang diharapkan terjadi di masa mendatang, yang bisa memengaruhi tingkat pengembalian dan risiko suatu investasi.‟8 Masalah yang sering menjadi hambatan dalam sektor investasi di Indonesia adalah infrastruktur nasional, baik infrastruktur fisik (seperti jalan, pelabuhan, dan listrik), maupun ifrastruktur non-fisik (seperti penegakkan hukum, dan sebagainya). Dalam meningkatkan iklim investasi yang kondusif, Jokowi-JK melakukan kebijakan berupa rencana program pembangunan infrastruktur nasional. Salah satu usaha realisasi dari rencana program tersebut adalah memperbaiki birokrasi investasi dengan mempermudah proses perizinan penanaman modal asing dan domestik di Indonesia. Saat ini, pengajuan dan pengambilan rekomendasi teknis untuk izin usaha cukup dilakukan di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pusat. Jokowi-JK menargetkan perizinan akan diproses paling cepat 1 bulan dan paling lama 6 bulan. Sesuai dengan amanah Presiden Joko Widodo, para investor tidak perlu lagi keliling Jakarta untuk mendapatkan izin usaha. Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana penataan hukum guna mendorong investasi di Indonesia ? C. Pembahasan Salah satu teori ekonomi pembangunan yang sampai sekarang masih digunakan adalah teori Tabungan dan Investasi oleh Harrod-Domar. Dalam teori ini mencapai kesimpulan bahwa pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh tingginya tabungan dan investasi. Kalau tabungan dan investasi rendah maka pertumbuhan ekonomi suatu Negara juga akan rendah. Masalah pembangunan pada dasarnya merupakan masalah menambahkan investasi modal, masalah keterbelakangan adalah masalah kekurangan modal. Kalau ada modal dan modal itu diinvestasikan hasilnya adalah pembangunan ekonomi. Sekarang ini hampir di semua negara, khususnya negara berkembang membutuhkan modal asing. Modal asing itu merupakan suatu hal yang semakin penting bagi pembangunan suatu negara. 8
Ibid.
212
Sehingga kehadiran investor asing nampaknya tidak mungkin dihindari. Yang menjadi permasalahan bahwa kehadiran investor asing ini sangat dipengaruhi oleh kondisi internal suatu negara, seperti stabilitas ekonomi, politik negara, penegakan hukum. Penanaman modal memberikan keuntungan kepada semua pihak, tidak hanya bagi investor saja, tetapi juga bagi perekonomian negara tempat modal itu ditanamkan serta bagi negara asal para investor. Pemerintah menetapkan bidang-bidang usaha yang memerlukan penanaman modal dengan berbagai peraturan. Selain itu, pemerintah juga menentukan besarnya modal dan perbandingan antara modal nasional dan modal asing. Melihat kondisi Indonesia setidaknya ada lima alasan mendasar mengapa Indonesia membutuhkan investasi asing saat ini: 1. Penyediaan lapangan kerja 2. Mengembangkan industri subsitusi impor untuk menghemat devisa Kehadiran penanaman modal asing dapat dipergunakan untuk membantu mengembangkan industri subsitusi impor dalam rangka menghemat devisa. 3. Mendorong berkembangnya industri barang-barang ekspor non-migas untuk mendapatkan devisa. 4. Pembangunan daerah-daerah tertinggal. Investasi asing diharapkan sebagai salah satu sumber pembiayaan dalam pembangunan yang dapat digunakan untuk membangun Infrastruktur seperti pelabuhan, listrik, air bersih, jalan, rel kereta api, dan lain-lain. 5. Alih teknologi. Salah satu tujuan mengundang modal asing adalah untuk mewujudkan alih teknologi. Awal tahun 2015 menjadi momentum tepat untuk memprediksi kondisi perekonomian Indonesia kedepan. Sebagai salah satu negara yang baru saja mengalami perombakan politik, serangkaian kebijakan baru tentunya akan mempengaruhi proyeksi ekonominya. Meskipun laju perekonomian di tahun lalu mengalami perlambatan, namun sejumlah ahli dan ekonom justru memprediksi bahwa di tahun 2015 perekonomian Indonesia akan mengalami peningkatan. Bagaimana hal ini dapat terjadi? Bahkan ditengah kondisi ekonomi internasional yang terbilang
Upaya Mendorong Penanaman Modal Dengan Penataan Peraturan dan .... Jurnal Lex Publica
pesimis dalam beberapa tahun terakhir? Berikut ini sejumlah data yang dikumpulkan dari datadata Bank Indonesia dan sejumlah kalangan mengenai perkembangan ekonomi di tahun 2015. Pada pertengahan Januari lalu, Bank Indonesia menetapkan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,75%, dengan suku bunga Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility masing-masing tetap pada level 8,00% dan 5,75%. Kemudikan dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap perkembangan ekonomi Indonesia di 2014 dan prospek ekonomi 2015 dan 2016 yang menunjukkan bahwa kebijakan tersebut masih konsisten dengan upaya untuk mengarahkan inflasi menuju ke sasaran 4±1% pada 2015 dan 2016, dan mendukung pengendalian defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat. Mengacu pada evaluasi terhadap perekonomian di tahun lalu, di tahun ini Bank Indonesia memperkirakan perekonomian Indonesia semakin baik, dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan stabilitas makroekonomi yang tetap terjaga, ditopang oleh perbaikan ekonomi global dan semakin kuatnya reformasi struktural dalam memperkuat fundamental ekonomi nasional. Menurut studi yang dilakukan Burg‟s mengenai hukum dan pembangunan terdapat 5 (lima) unsur yang harus dikembangkan supaya tidak menghambat ekonomi, yaitu “stabilitas” (stability), “prediksi” (preditability), “keadilan” (fairness), “pendidikan” (education), dan “pengembangan khusus dari sarjana hukum” (the special development abilities of the lawyer).9 Selanjutnya Burg‟s mengemukakan bahwa unsur pertama dan kedua di atas ini merupakan persyaratan supaya sistem ekonomi berfungsi. Di sini “stabilitas” berfungsi untuk mengakomodasi dan menghindari kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Sedangkan “prediksi” merupakan kebutuhan untuk bisa memprediksi ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan
Laksanto Utomo
ekonomi suatu negara.10 Sesuai dengan pendapat Burg‟s di atas maka, J.D. Ny Hart juga mengemukakan konsep hukum sebagai dasar pembangunan ekonomi, yaitu predictability, procedural capabilyty, codification of goals, education, balance, defenition and clarity of status serta accomodation.11 Dengan mengacu pada pendekatan hukum dalam pembangunan ekonomi di atas ini, maka hukum harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut :12 Pertama, hukum harus dapat membuat prediksi (predictability), yaitu apakah hukum itu dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi pelaku dalam memprediksi kegiatan apa yang dilakukan untuk proyeksi pengembangan ekonomi. Kedua, hukum itu mempunyai kemampuan prosedural (procedural capability) dalam penyelesaian sengketa. Misalnya dalam mengatur peradilan tribunal (court or administrative tribunal), penyelesaian sengketa diluar pengadilan (alternative dispute resolution) dan penunjukan arbitrer konsiliasi (conciliation) dan lembaga-lembaga yang berfungsi sama dalam penyelesaian sengketa. Ketiga, pembuatan, pengkodifikasian hukum (codification of goals) oleh pembuat hukum bertujuan untuk pembangunan negara. Keempat, hukum itu setelah mempunyai keabsahan, agar mempunyai kemampuan maka harus dibuat pendidikannya (education) dan selanjutnya disosialisasikan. Kelima, hukum itu dapat berperan menciptakan keseimbangan (balance). karena hal ini berkaitan dengan inisiatif pembangunan ekonomi. Keenam, hukum itu berperan dalam menentukan definisi dan status yang jelas (definition and clarity of status). Dalam hal ini hukum tersebut harus memberikan definisi dan status yang jelas mengenai segala sesuatu dari orang. Ketujuh, hukum itu harus dapat mengakomodasi (accomodation) keseimbangan, definisi dan status 10
Ibid J.D. Ny. Hart, “The Role of Law in Economic Development,” dalam Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Jilid 2, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1995), hal. 365-367. 12 Bandingkan, Burg‟s dalam Leonard J. Therberge, op. cit. dan J.D. N. Hart, loc.cit. lihat dalam Doni Kandiawan, Hukum dan Pembangunan Ekonomi : Penataan Hukum Investasi Dalam Upaya Mendorong Investasi Di Indonesia. 11
9
Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development,” Journal of International Law and Policy, (Vol. 9, 1980) : hal. 232. lihat juga dalam lihat dalam Doni Kandiawan, Hukum dan Pembangunan Ekonomi : Penataan Hukum Investasi Dalam Upaya Mendorong Investasi Di Indonesia.
213
Jurnal Lex Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 209 - 220
yang jelas bagi kepentingan inividu-individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Terakhir, tidak kalah pentingnya dan harus ada dalam pendekatan hukum sebagai dasar pembangunan adalah unsur stabilitas (stability) sebagaimana diuraikan di muka. Tiga hal utama yang diinginkan investor dan pengusaha: penyederhanaan sistem dan perijinan, penurunan berbagai pungutan yang tumpang tindih, dan transparansi biaya perizinan. Tumpang tindih peraturan pusat dan daerah, yang tidak hanya menghambat arus barang dan jasa tapi juga menciptakan iklim bisnis yang tidak sehat, perlu dieliminasi. Prioritas perlu diberikan pada deregulasi dan koordinasi berbagai peraturan daerah dan pusat.13 Berdasarkan uraian diatas maka jelaslah bagi bangsa Indonesia, bahwa salah satu upaya untuk menggerakkan kembali perekonomian Nasional adalah bagaimana menciptakan iklim dunia usaha yang kondusif. Dengan penataan hukum ekonomi khususnya hukum investasi diharapkan mendorong investasi di Indonesia, baik penanaman modal dalam negeri maupun asing. Kebijakan-kebijakan yang dirumuskan haruslah yang mampu membuat Indonesia bersaing dengan negara-negara di ASEAN khususnya, dalam menarik investasi asing.14 Menurut Dhaniswara K. Harjono, dalam kaitannya dengan hal tersebut dan dalam rangka memperbaiki serta menciptakan iklim investasi yang favorable dan sejalan dengan arah dan kebijakan pembangunan nasional, langkah-langkah yang telah dilakukan adalah : 15 1. menyederhanakan proses dan tata cara perizinan dan persetujuan dalam rangka penanaman modal; 2. membuka secara luas bidang-bidang yang semula tertutup atau dibatasi terhadap penanaman modal asing; 3. memberikan berbagai insentif, baik pajak maupun non pajak; 4. mengembangkan kawasan-kawasan untuk penanaman modal dengan berbagai 13
Prof. Mudrajad Kuncoro, op.cit. Doni Kandiawan, Hukum dan Pembangunan Ekonomi : Penataan Hukum Investasi Dalam Upaya Mendorong Investasi Di Indonesia. 15 Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007 hal. 75. 14
214
kemudahan yang ditawarkan; 5. menyempurnakan berbagai produk hukum dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang baru yang lebih menjamin iklim investasi yang sehat; 6. menyempurnakan proses penegakan hukum dan penyelesaian sengketa yang efektif dan adil; 7. menyempurnakan tugas, fungsi, dan wewenang instansi terkait untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih baik; 8. membuka kemungkinan pemilikan saham asing lebih besar. Lahirnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM), adalah langkah awal pembaharuan hukum investasi karena UUPM ini mencabut UUPMA dan UUPMD yang lama. Dengan UUPM ini diharapkan dapat mengakomodasi berbagai kendala investasi yang selama ini terjadi demi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang lebih baik kedepan. Alasan filosofis dari UUPM paling tidak terlihat dari konsideransnya,16 huruf c. Bahwa “untuk mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia diperlukan peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri”; dan huruf d.” dalam menghadapi perubahan perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerjasama internasional perlu diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan, dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional.”17 Secara spesifik, tujuan utama pembentukan UUPM adalah sebagai berikut; “memberikan kepastian hukum dan kejelasan mengenai kebijakan penanaman modal dengan tetap mengedepankan kepentingan nasional sehingga dapat meningkatkan jumlah dan kualitas investasi yang berujung pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan kerja, peningkatan ekspor dan penghasilan devisa, peningka16
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 17 Doni Kandiawan, op.cit.
Upaya Mendorong Penanaman Modal Dengan Penataan Peraturan dan .... Jurnal Lex Publica
tan kemampuan teknologi, peningkatan kemampuan daya saing nasional, dan pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.”18 Berlakunya UUPM tersebut masih perlu upaya penataan hukum investasi dan pranata hukum lainnya sangatlah berperan dalam mencapai tujuan pembentukan UUPM sebagaimana yang diuraikan diatas. Mengenai hal ini, Ida Bagus Rahmadi Supancana19 mengemukakan terdapat tantangan dan paradigma dibidang investasi yang bersumber dari faktor-faktor yang bersifat intern maupun ekstern. Faktor internal yang berpengaruh, antara lain :20 1. perubahan paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke arah desentralisasi (otonomi daerah dan otonomi khusus); 2. demokratisasi dalam berbagai sendi kehidupan bangsa; 3. reformasi dalam tata kelola pemerintahan (ke arah good governance and clean government), termasuk pemberantasan korupsi; 4. reformasi dalam tata kelola perusahaan ke arah good corporate governance; 5. perubahan struktur industri ke arah resource based industry; 6. meningkatkan pemahaman dan perlindungan lingkungan hidup; 7. meningkatnya perlindungan HAM; dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhinya, antara lain :21 1. globalisasi tatanan perdagangan, investasi, dan keuangan; 2. isu-isu global, seperti demokrasi, lingkungan hidup, dan HAM; 3. perlindungan HAKI; 4. program pengentasan kemiskinan global; 5. isu community development dan corporate social responsibility; 6. perlindungan hak-hak normatif tenaga 18
Keterangan Pemerintah kepada DPR Atas Penyampaian RUU PM, Maret 2006. Lihat juga Dhaniswara K. Harjono, op.cit, hal. 77. 19 Dhaniswara K. Harjono, op.cit, hal. 49. Mengutip, Ida Bagus Rahmadi Supancana, Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi Langsung di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006. 20 Doni Kandiawan, op.cit. 21 Ibid.
Laksanto Utomo
kerja, tenaga kerja anak-anak, dan perempuan; dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan penanaman modal pada dasarnya memerlukan suatu transparansi dan kepastian hukum dalam pelaksanaanya, karena kegiatan tersebut melibatkan pihak-pihak yang saling mengikatkan diri dalam suatu perjanjian yang kemudian akan menimbulkan hubungan hukum diantara mereka. Kepastian dan perlindungan hukum yang jelas akan memberikan rasa aman dan mendorong para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Kepastian hukum terhadap penyelesaian sengketa sangat diperlukan untuk dapat menarik modal investor masuk ke dalam wilayah suatu negara karena penyelesaian sengketa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari transaksi-transaksi internasional dalam investasi dan perdagangan luar negeri. Dunia globalisasi telah menghasilkan jumlah pihak-pihak transaksi internasional yang besar serta diikuti oleh fenomena fenomena sengketa dan litigasi terhadapnya. Dalam hubungan hukum yang ditimbulkan dari adanya suatu perjanjian antara para pihak, baik penanam modal asing dengan partner lokal dan/atau dengan pemerintah melalui sebuah perjanjian kerjasama, memungkinkan terjadinya suatu perbedaan pendapat ataupun pengingkaran pelaksanaan kewajiban perjanjian yang dibuat yang kemudian berujung pada adanya suatu sengketa dalam kerjasama mereka. Untuk mengatasi sengketa dan permasalahan tersebut, maka para pihak akan mencari penyelesaian melalui peradilan umum yang dibentuk oleh negara, alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau arbitrase. Dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing telah ditentukan pola penyelesaian sengketa yang terjadi antara pemerintah Indonesia dengan investor asing yang berkaitan dengan tindakan nasionalisasi oleh pemerintah, yaitu melalui lembaga arbitrase. Timbulnya sengketa ini adalah karena kedua belah pihak tidak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam, dan cara pembayaran kompensasi terhadap tindakan pemerintah dalam melakukan nasionalisasi. Oleh karena itu, setiap tindakan nasionalisasi akan menimbulkan kewajiban dari pemerintah untuk memberikan kompensasi/ganti rugi yang jum215
Jurnal Lex Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 209 - 220
lah, macam, dan cara pembayarannya disetujui oleh kedua belah pihak sesuai dengan asas-asas hukum internasional yang berlaku. Lembaga arbitrase baru digunakan apabila tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya kompensasi/ganti rugi. Badan arbitrase terdiri dari tiga orang yang dipilih oleh pemerintah dan pemilik modal masing-masing satu orang, dan orang ketiga sebagai ketuanya yang dipilih bersama-sama oleh pemerintah dan pemilik modal. Keputusan arbitrase ini mengikat kedua belah pihak. Pasal 32 ayat (1) dan ayat (3) UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah diatur cara penyelesaian sengketa yang timbul dalam penanaman modal antara pemerintah dengan investor asing. Dalam ketentuan itu, ditentukan dua cara dalam penyelesaian sengketa antara pemerintah Indonesia dengan investor asing. Kedua cara itu, adalah: 1. musyawarah dan mufakat; dan 2. arbitrase internasional. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional merupakan cara untuk mengakhiri perselisihan yang timbul antara pemerintah Indonesia dengan investor asing, dimana kedua belah pihak sepakat menggunakan lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia. Sifatnya internasional, biasanya lembaga arbitrase yang dipilih adalah arbitrase internasional yang berkedudukan di Paris. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi ICSID 1958 melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 sebagai salah satu upaya untuk menyelesaikan kemungkinan timbulnya sengketa antara penanam modal asing dengan pihak Indonesia baik oleh pemerintah sendiri maupun swasta. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan Atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal, telah ditentukan pola penyelesaian sengketa yang terjadi antara negara dengan warga negara asing. Di dalam Undang-Undang itu ditentukan bahwa ketentuan yang digunakan untuk penyelesaian sengketa antara negara dengan warga negara asing adalah International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID). ICSID lahir dari Convention on the Settlement of Investment Dispute Between States and 216
National of Other States yang merupakan badan yang sengaja didirikan Bank Dunia. Lembaga ini ditetapkan tanggal 14 Oktober 1966 di Amerika Serikat. Kantor pusatnya berada di Washington, Amerika Serikat. Tujuan dan wewenang ICSID adalah menyelesaikan persengketaan yang timbul di bidang investasi antara suatu negara dengan negara asing diantara sesama negara peserta konvensi. Dalam ICSID telah diatur dua pola penyelesaian sengketa, yaitu penyelesaian sengketa melalui konsiliasi dan penyelesaian sengketa menggunakan arbitrase. Arbitrase dapat diartikan sebagai suatu proses yang sederhana yang dipilih para pihak untuk menyelesaikan suatu perselisihan atau sengketa dengan suatu keputusan final. Persyaratan perwasitan dalam rangka penanaman modal asing paling banyak dicantumkan adalah penyelesaian perwasitan menurut konvensi Bank Dunia (World Bank) yang lebih dikenal dengan “International Center for The Settlement of Dispute” (ICSID). Dengan adanya lembaga ICSID ini, membuka kemungkinan bagi penanaman modal asing yang menanamkan modalnya di Indonesia bilamana mereka menganggap telah diperlakukan kurang wajar oleh pihak pemerintah Indonesia dapat mengajukan gugatan atau klaim sengketa tentang penanaman modal asing yang merupakan sengketa hukum (legal dispute) kepada dewan arbitrase ICSID yang berkedudukan di Washington DC yang akan diselenggarakan menurut “The convention of the settlement of investment dispute between states and national of other states.” Secara umum prosedur yang berlaku di ICSID tidak jauh berbeda dengan prosedur arbitrase pada umumnya dan khususnya dengan pranata hukum arbitrase di Indonesia yaitu UU No. 30 Tahun 1999 contohnya : a. Apabila para pihak tidak setuju mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, maka Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase (article 37 point B ICSID Convention; pasal 13 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999). b. Arbiter berhak meminta kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau buk-
Upaya Mendorong Penanaman Modal Dengan Penataan Peraturan dan .... Jurnal Lex Publica
ti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter (article 43 point A ICSID Convention; pasal 46 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999). c. Eksekusi Putusan Terdapat kesamaan prinsip antara UU No. 30 Tahun 1999 dengan ICSID Convention mengenai pelaksanaan putusan. Article 54 ayat (3) ICSID Convention berbicara tentang pelaksanaan putusan akan diatur oleh Undang-undang tentang pelaksanaan eksekusi yang berlaku di negara di wilayah yang tempat eksekusi tersebut berada. Hal ini sejalan dengan Pasal 66 butir e berisi dimana putusan arbitrase internasional yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung RI yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun terdapat juga hal-hal yang pengaturannya berbeda dari ketentuan arbitrase pada umumnya yang terdapat dalam konvensi ICSID ini yaitu : 1. Mekanisme Pembatalan Putusan. Tidak seperti lazimnya arbitrase, putusan ICSID tidak dibatalkan melalui pengadilan, tetapi dengan mengajukan permohonan ke Sekretaris Jenderal ICSID. Article 52 ICSID Convention memaparkan alasanalasan pembatalan sebagai berikut : a. That the Tribunal was not properly constituted. b. That the Tribunal has manifesty exceeded its powers. c. That there was corruption on the part of a member of the Tribunal/ d. That there has been a serious departure from a fundamental rule of procedure. e. That the award has failed to state the reasons on which it is based. 2. Dalam article 53 ICSID Convention termaktub bahwa putusan arbitrase mengikat para pihak dan tidak dapat dilakukan banding atau perbaikan lainnya, kecuali sebagaimana diatur dalam article 52 ayat
Laksanto Utomo
(1) ICSID Convention. Oleh karena itu, untuk mempertahankan kehadiran konvensi, bagaimanapun pengadilan nasional negara anggota konvensi tidak dapat meninjau ulang putusan ICSID karena yang dapat dilakukan adalah permohonan pembatalan, interpretasi, dan revisi terhadap putusan tersebut; 3. Terhadap putusan arbitrase ICSID, apabila suatu negara tidak mau mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase berdasarkan ketentuan konvensi, justru dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap article 53 ayat (1) ICSID Convention ini. Terhadap pelanggaran ini, investor dapat mengajukan 2 (dua) gugatan kepada negara tuan rumah yaitu : a. Mengajukan gugatan sebagaimana dikenal dalam hukum nasional negara tuan rumah (host state) pada tingkatan diplomatik. b. Menyampaikan sengketa tentang putusan arbitrase yang tidak dapat dilaksanakan kepada Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yang memiliki yurisdiksi yang berhubungan dengan sengketa mengenai penafsiran dan penerapan konvensi. Upaya perbaikan iklim investasi mendukung persiapan Indonesia dalam menghadapi AEC dari sisi investasi dan modal. Dengan terlaksananya AEC, masuknya Foreign Direct Investment (FDI) dapat meningkatkan investasi dan permodalan di Indonesia dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui perkembangan teknologi, penciptaan lapangan kerja, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan memudahkan akses ke pasar global. Namun, kita tidak bisa hanya bergantung pada investasi yang dilakukan pelaku asing, karena akan berpeluang memunculkan risiko ekploitasi terhadap sumber daya di Indonesia. Oleh sebab itu, sebagai generasi muda yang merupakan salah satu calon investor Indonesia, kita harus mulai turut aktif dan mendukung upaya pemerintah dalam memperkuat investasi negara kita agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sendiri sebelum terjadinya eksploitasi sumber daya tersebut. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi Indonesia 217
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 209 - 220 Jurnal Lex
yang stabil dapat dicapai dan selanjutnya kita dapat melakukan ekspansi ke negara lain yang dapat meningkatkan capital inflow, serta memperkuat daya saing dalam perekonomian. D. Kesimpulan Era reformasi telah lama dimulai, namun sepertinya belumlah memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Reformasi hukum yang telah dilakukan, khususnya penataan hukum investasi belumlah selesai dengan lahirnya UUPM. Dalam tataran normatif (law making proces) masih diperlukan peraturan pelaksanaan lainnya, seperti Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya yang sekaligus mencabut peraturan-peraturan yang bertentangan dan bersifat kontradiktif dengan tujuan pembentukan UUPM. Pengaturan mengenai penguatan kelembagaan yang mendukung pelaksanaan hukum investasi juga harus mendapat perhatian utama, yaitu segala kebijakan dan penguatan institusi baik di Pusat dan Daerah yang sinergis dalam pemberian perizinan dibidang investasi, seperti institusi pelayanan satu pintu yang diatur dalam UUPM. Dalam konteks ini perlunya reformasi di segala aspek (tidak hanya hukum) dan meningkatkan peran masyarakat sipil dalam pengawasan pembangunan adalah kunci perubahan paradigma pembangunan. Sehingga segala bentuk in-efisiensi yang menjadi akar dari krisis ekonomi dapat menjadi minimal, dan upaya reformasi struktural ini akan meningkatkan kredibilitas pemerintah di kalangan masyarakat internasional khususnya. Sehingga investasi asing akan meningkat, ekonomi mengalami pertumbuhan yang signifikan untuk mengurangi pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penataan hukum investasi dalam upaya menciptakan iklim investasi tersebut, telah dimulai dengan kehadiran UUPM yang secara normatif telah mengakomodir berbagai kepentingan para penanam modal asing. Misalnya adanya ketentuan-ketentuan dan perlakuan yang tidak diskriminatif, yang diberikan pada para pengusaha lokal atau domestik dalam arena memperebutkan pangsa pasar, adanya perlindungan dan jaminan investasi atas ancaman terjadinya resiko nasionalisasi dan eksproriasi, dan adanya jaminan dalam hak untuk dapat mentransfer la218
ba maupun deviden, serta hak untuk melakukan penyelesaian hukum melalui arbitrase internasional. Sehingga yang diperlukan ke depan untuk mendorong lebih lanjut peningkatan investasi penanaman modal di Indonesia, adalah bagaimana implementasi UUPM selanjutnya dalam menciptakan iklim investasi dan usaha yang lebih menarik. Singkat kata, iklim investasi yang positif yang perlu ditingkatkan dalam tataran kebijakan implementatif kedepan adalah selaras dengan upaya-upaya berkesinambungan yang dilakukan oleh para birokrat dan para pelaku ekonomi di lokalitas-lokalitas tempat investasi dalam hal-hal sebagai berikut : 1. Memberikan kepastian hukum atas peraturan-peraturan pada tingkat pusat dan daerah serta menghasilkan produk hukum yang berkaitan dengan kegiatan penanaman modal sehingga tidak memberatkan beban tambahan pada biaya produksi usaha. 2. Memelihara keamanan dari potensi gangguan kriminalitas oleh oknum masyarakat terhadap aset-aset berharga perusahaan, terhadap jalur distribusi barang dan gudang serta pada tempat-tempat penyimpanan barang jadi maupun setengah jadi. 3. Memberikan kemudahan yang paling mendasar atas pelayanan yang ditujukan pada para investor, meliputi perijinan investasi, imigrasi, kepabeanan, perpajakan dan pertahanan wilayah. 4. Memberikan secara selektif rangkaian paket insentif investasi yang bersaing. 5. Menjaga kondisi iklim ketenagakerjaan yang menunjang kegiatan usaha secara berkelanjutan. 6. Pola penyelesaian sengketa dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu melalui pengadilan dan alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan (ADR). Penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) adalah suatu pola penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak yang bersengketa, dimana dalam penyelesaian sengketa itu diselesaikan oleh pengadilan, yang putusannya bersifat mengikat. Penyelesaian sengketa melalui
Upaya Mendorong Penanaman Modal Dengan Penataan Peraturan dan .... Jurnal Lex Publica
alternatif penyelesaian sengketa (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Ada dua ca-ra yang dapat ditempuh oleh investor domestik untuk menyelesaikan sengketa yang tim-
Laksanto Utomo
bul antara pemerintah Indonesia dengan Investor domestik, yaitu melalui nonlitigasi atau ADR; dan melalui litigasi (pengadilan). Ada dua cara dalam penyelesaian sengketa antara pemerintah Indonesia dengan investor asing, yaitu melalui musyawarah dan mufakat serta arbitrase internasional.
DAFTAR PUSTAKA Bagir Manan, Dasar-dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 1994 Bismar Nasution, SH, MH, Reformasi Hukum Dalam Rangka Era Globalisasi Ekonomi, Disampaikan pada “Diskusi Pembangunan Hukum Dalam Rangka Era Globalisasi Ekonomi,” di Fakultas Hukum USU Medan, tanggal 25 September 1999. Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007. Dorojatun Kuntjoro Jakti, “Investasi Minim Akibat Lima Hal,” Bisnis Indonesia, 13 Juni 2002. Dumairy, Perekonomian Indonesia, Erlangga, Jakarta, 1994. Erman Rajagukguk, Hukum Ekonomi Indonesia: Memperkuat Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar 14-18 Juli 2003. _______________, Hukum Investasi di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Cet. I -Jakarta, 2007. Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun & Merancang Peraturan Daerah; Suatu Kajian Teoritis & Praktis Disertai Manual; Konsepsi Teoritis Menuju Artikulasi Empiris, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010. HAW. Widjaya, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia Dalam Rangka Sosialisasi UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005. Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006. Kusnu S. Gusniadhie, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan (Lex Specialis Suatu Masalah), JP Books, Surabaya, 2006. Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development,” Journal of International Law and Policy, (Vol. 9, 1980). A. Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, 2005. Prof Mudrajad Kuncoro, Akhir Paceklik Investasi?, Guru Besar FE UGM, Koordinator Ahli Ekonomi Regional PSEKP UGM, dan Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi FE UGM, Sumber:http:// www.investorindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=29270. Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Pembahasan Dilengkapi Dengan UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Nuansa Aulia, Jakarta, 2007. Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Rajagrapindo Persada, Jakarta 2009. Sri Soemantri, Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1971. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991. Surachmin, Asas Dan Prinsip Hukum Serta Penyelenggaraan Negara, Yayasan Gema Yustisia Indonesia, Jakarta. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 219
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 209 - 220 Jurnal Lex
220
Jurnal Lex Publica
EVOLUSI TEKNOLOGI INFORMASI BERBASIS INTERNET DAN KEBIJAKAN PERBANKAN DALAM BINGKAI PRIVACY Oleh : Dr. Endah Nawangsasi Sukarton, S.H., M.H.*) Abstrak Evolusi pada era globalisasi didefinisikan sebagai perubahan (pertumbuhan, perkembangan) secara berangsur-angsur dan perlahan-lahan yang membawa dampak positif bagi kehidupan. Teknologi merupakan keseluruhan sarana yang juga sebagai fasilitator utama dalam rangka menyediakan segala yang dibutuhkan bagi keseharian hidup manusia (gadjeting life style). Informasi berbasis teknologi seperti komputer, elektronik, dan telekomunikasi, adalah bertugas mengolah dan mendistribusikan informasi dalam bentuk digital. Sejalan dengan kemajuan zaman, bank dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat telah memanfaatkan kemajuan di bidang teknologi. Masyarakat dalam berinteraksi dengan finansial-nya tidak lagi dalam bentuk konvensional, namun dengan berbasis digital. Baik berupa EDC (electronic data capture), maupun melalui ATM (automatic teller machine). Sehubungan dengan hal tersebut, menjadi kewajiban merahasiakan nasabah penyimpan dan simpanannya. Di Indonesia payung hukum mengenai rahasia bank telah ditetapkan oleh pemerintah dengan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 23 Tahun 1960 Tentang Rahasia Bank, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Adapun pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 2/19/PBI/2000 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank. Dengan demikian kebijakan perbankan dalam bingkai privacy harus berdasarkan dan tidak boleh bertentangan dengan dasar hukum yang telah disebutkan di atas. Kata kunci : Teknologi informasi, kebijakan perbankan Abstract Evolution in the era of globalization is defined as the change (growth, development) gradually and slowly that bring a positive impact to the lives. Technology is a means as well as the overall primary facilitator in order to provide everything needed for the daily life of human beings (gadjeting life style). Based information technology such as computers, electronics, and telecommunications, is in charge of processing and distributing information in digital form. In line with the progress of time, the bank in providing services to the community take advantage of advances in technology. In interacting with the financial community was no longer in a conventional form, but with a digital based. Either EDC (electronic data capture), or through an ATM (automatic teller machine). In connection with this, the duty of secrecy and savings depositors. Indonesia's legal framework regarding bank secrecy has been established by the government with the laws and regulations as follows: Government Regulation in Lieu of Law (PERPU) No. 23 of 1960 About Secret Bank, Law No. 14 of 1967 on Principles of Banking, Law OF No. 7 of 1992 concerning Banking as amended by Act No. 10 of 1998. The exception to bank secrecy provisions stipulated in Law No. 7 of 1992 concerning Banking as amended by Act No. 10 *)
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila.
221
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 221 - 230 Jurnal Lex
of 1998, Bank Indonesia Regulation No. 2/19 / PBI / 2000 on the Terms and Procedures for Granting Permit Written Command or Open Secret Bank. Thus the banking policy within the framework of privacy should be based and must not conflict with the legal basis mentioned above. Keywords: information technology, banking policy I.
PENDAHULUAN Evolusi pada era globalisasi didefinisikan sebagai perubahan (pertumbuhan, perkembangan) secara berangsur-angsur dan perlahan-lahan yang membawa dampak positif bagi kehidupan. Teknologi merupakan keseluruhan sarana yang juga sebagai fasilitator utama dalam rangka menyediakan segala yang dibutuhkan bagi keseharian hidup manusia (gadjeting life style). Informasi berbasis teknologi seperti komputer, elektronik, dan telekomunikasi, adalah bertugas mengolah dan mendistribusikan informasi dalam bentuk digital. Evolusi adalah perubahan (pertumbuhan, perkembangan) secara berangsur-angsur dan perlahan-lahan (sedikit demi sedikit).1 Evolusioner adalah berangsur-angsur; sedikit demi sedikit: perubahan yang terjadi secara itu ternyata lebih baik dari pada yang terjadi secara revolusioner.2 Teknologi adalah keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia.3 Informasi adalah penggunaan teknologi seperti komputer, elektronik, dan telekomunikasi, untuk mengolah dan mendistribusikan informasi dalam bentuk digital.4 Kekuatan sistem komputer semakin hari, diakui semakin menjadi ancaman bagi hak privasi. Sebagai contoh, pada sebuah sistem komersial online yang ternama diperingatkan oleh anggota Kongres bahwa praktek penjualan dalam sistem online akan menimbulkan ancaman baru bagi ranah privasi. Menjamurnya smartphone tentunya diikuti dengan menjamurnya pelanggaran privasi di 1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Desember 2014), hlm. 385. 2 Ibid. 3 Ibid., hlm. 1422 4 Ibid.
222
dunia maya. Perangkat lunak bisa menjadi infrastruktur hacker beraksi di dunia maya. Inilah yang dinamakan code. Code menjadi batas-batas konstitusional di dunia maya menurut Lawrence Lessig. ― In real space, we recognize how laws regulate—through constitutions, statutes, and other legal codes. In cyberspace we must understand how a different ―code‖ regulates— how the software and hardware (i.e., the ―code‖ of cyberspace) that make cyberspace what it is also regulate cyberspace as it is. As William Mitchell puts it, this code is cyberspace’s ―law. ‖6―Lex Informatica,‖ as Joel Reidenberg first put it, for better, ―code is law.‖5 Di ruang nyata, kita mengenali bagaimana hukum mengatur melalui konstitusi, undang-undang, danaturan hukum lainnya. "Code" berfungsi sebagai regulasi. Serta perangkat lunak dan perangkat keras adalah merupakan bagian dari"Code" itu sendiri dalam dunia maya yang juga mengatur dunia maya. Seperti William Mitchell katakan, Code adalah "hukum." Dunia maya sebagai "Lex Informatica," menurut Joel Reidenberg yang pertama mengatakan, atau lebih baik menyebut"kode adalah hukum." Keterbukaan informasi publik akan bersamaan dengan berkurangnya ruang privasi. Segala aspek kehidupan berbasis elektronik mengurangi ruang gerak manusia yang hidup di jaman modern yang serba menggunakan teknologi elektronik. Namun Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik pada Pasal 17 huruf i angka 3, telah menganut konsep privasi dan berpihak pada nasabah. ―Setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk mendapatkan Informasi Publik, kecuali: 5
LawrencaLessig,‖ Code 2000‖kindle edition.
Evolusi Teknologi Informasi Berbasis Internet dan Kebijakan Jurnal Perbankan Lex Publica...
Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkap rahasia pribadi, yaitu: kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang;‖ Privasi telah menjadi global concern di dunia internasional. Privasi di Negara maju menjadi arti penting bagi sebuah kebebasan, demokrasi dan keamanan.6 Privasi merupakan konsep yang jauh lebih luas dari sekadar kerahasiaan, yang meliputi juga hak untuk bebas dari gangguan, hak untuk tetap mandiri dan hak untuk mengontrol peredaran dari informasi tentang seseorang.7 Kerahasiaan hanyalah salah satu alat untuk melindungi informasi pribadi, yang biasanya dalam bentuk pengamanan informasi tersebut dari penyingkapan yang tidak sah kepada pihak ketiga. II. PERMASALAHAN 1. Bagaimana tingkat keamanan atas data pribadi nasabah pada internet banking?. 2. Bagaimana regulasi mengatur keamanan privasi pada ruang cyber? III. PEMBAHASAN Secara umum tingkat keamanan atas data pribadi nasabah pada internet banking belum seutuhnya terlindungi. Baik pada sistem ATM maupun EDC. Keduanya memiliki fungsi yang sama. Banyak tangan terlihat di ruang cyber yang mampu meng-capture data nasabah yakni berupa pin maupun password. Pencurian data ini sangat mudah dilakukan dan digunakan untuk menarik dana. Pada fase pembelanjaan ecommerce pencuri data nasabah juga dapat melakukannya melalui kartu kredit. Dengan demikian pengetatan atas perlindungan data nasabah perlu mendapatkan perhatian oleh hukum. Data pribadi berupa pin, password adalah bagian dari hak privasi nasabah yang tidak boleh diketahui pihak lain karena ini menyangkut finansial yang dirahasiakan oleh bank, dan bank tidak diijinkan oleh undang-undang membocorkan data nasa6
Daniel J. Solve dan Paul, “Privacy, Information, and Technology‖,Third Edition, New York, 2011, hlm.2 7 Westin Alan F, Privacy and Freedom, Atheneum, 1967, hlm. 13.
Endah Nawangsih S.
bah. Menurut Allan Westin ada tiga aspek dari privasi, yaitu privasi mengenai pribadi seseorang (Privacy of a Person's Persona), privasi atas data tentang seseorang (Privacy of Data About a Person), dan privasi atas komunikasi seseorang (Privacy of a Person's Communications).8 Menurut Dictionary of Computer and Internet Term, pengertian internet adalah ―a cooperative message-forwarding system linking computer networks all over the world.‖9 Selanjutnya pengguna internet dapat menikmati berbagai fasilitas sebagaimana dikatakan oleh kamus tersebut ―Users of the Internet can view information on the World Wide Web, exchange electronic mail, participate in electronic discussion forums (newsgroups), send files from any computer to any other via FTP, or HTTP, and even use each other’s computers directly if they have appropriate passwords.‖10 Pengertian lain tentang internet dapat ditemukan dalam Online Dictionary of Library and Information Science yang menyatakan ―The high-speed fiber-optic networks that uses TCP /IP protocols to interconnect computer networks around the world, enabling users to communicate via e-mail, transfer data and program files via FTP, find information on the World Wide Web, and access remote computer systems such as online catalogs and electronic databases easily and effortlessly, using an innovatie technique called packet switching‖.11 Sejarah internet dimulai di Amerika Serikat pada awal tahun 1960an.12 Pada saat itu adalah masa perang dingin, ketika dunia terbelah menjadi dua kutub. Amerika Serikat dan Uni Soviet saling berkompetisi untuk memperluas pengaruhnya ke seluruh dunia, keduanya saling mengawasi dan mencurigai. Pada 4 Oktober 1957 Uni Soviet berhasil meluncurkan satelit 8
Westin Alan F., Privacy and Freedom, Ibid Douglas A. Downing, Dictionary of Computer and Internet Term, Tenth Edition, Barron‟s Business Guides, 2009, hlm. 256. 10 Ibid. 11 Joan M. Reitz, ODLIS: Online Dictionary of Library and Information Science, 2002, hlm. 348. 12 Raphael Cohen-Almagor, Internet History, International Journal of Technoethics, 2 (2), 45-64, April-June 2011, hlm. 48. 9
223
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 221 - 230 Jurnal Lex
ruang angkasa yang pertama, Sputnik. Sputnik berhasil membuat Amerika Serikat beraksi.13 Sebagai reaksi atas peluncuran Sputnik maka Departemen Pertahanan Amerika Serikat (The US Departement of Defense) membentuk the Advanced Research Projects Agency (ARPA) yang dirancang untuk mengembangkan penelitian guna menjamin bahwa Amerika Serikat berkompeten untuk melampaui laju perkembangan teknologi yang dimiliki oleh Uni Soviet.14 ARPA memiliki misi untuk menghasilkan ide-ide penelitian yang inovatif serta menghasilkan teknologi kualitas tinggi.15 Internet berawal dari jaringan komputer (computer network) yang dikembangkan oleh U.S. Defense Advanced Research Project Agency (ARPA, yang sekarang dikenal sebagai DARPA) untuk menghubungkan lokasi militer kepada lembaga penelitian. ARPANET memperkenalkan TCP/IP (Transmission Control Protocol/Internet Protocol) dan secara cepat berkembang menjadi internet seperti yang sekarang kita kenal.16 Menurut Luppicini, pada saat ini internet memainkan peranan yang sangat penting dalam teknologi dan masyarakat dunia.17 Internet telah menjadi bagian integral kehidupan manusia sehari-hari.18 Internet menjadi sumber informasi, hiburan, sarana komunikasi dan sarana kegiatan bisnis yang kita kenal dengan istilah electronic comerce atau e-commerce. A. KEBIJAKAN PERBANKAN DALAM BINGKAI PRIVACY Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana te-
lah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentukbentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan nasabah penyimpan dan simpanannya. Kepatuhan (Compliance) Bank merupakan ketaatan Bank terhadap ketentuan atau Peraturan Bank Indonesia ataupun Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di bidang perbankan.19 Fungsi kepatuhan merupakan serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang bersifat preventif (ex-ante) untuk memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur, serta kegiatan usaha yang dilakukan Bank telah sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.20 B. BANK BEKERJA ATAS DASAR KEPERCAYAAN MASYARAKAT Sebagaimana diketahui bahwa tugas bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan dana kepada masyarakat. Dalam menghimpun dana bentuknya sudah jelas yaitu berupa simpanan. Bank memberikan fasilitas jasa simpanan kepada masyarakat. Sebagai penerima dana simpanan masyarakat maka konsekuensinya bank wajib menjaga keamanan dana tersebut dan bank harus siap sedia menyerahkan kapan saja apabila dana simpanan ditarik oleh masyarakat.21 Di lain pihak masyarakat sebagai nasabah merasa percaya pada bank bahwa dana masyarakat yang disimpan di bank merasa aman. Uang 19
13
Ibid. Ibid. 15 Ibid. 16 Douglas A. Downing, Dictionary of Computer and Internet Term, op.cit, hlm. 27. 17 Ibid. 18 Ibid. 14
224
Ikatan Bankir Indonesia (IBI) & Forum Komunikasi Direksi Kepatuhan Perbankan (FKDKP), Menguasai Fungsi Kepatuhan Bank: Modul Sertifikasi Compliance & Anti Money Laundering Officer, Edisi Pertama, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2015), hlm. 3. 20 Ibid., hlm. 23. 21 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit: Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 64.
Evolusi Teknologi Informasi Berbasis Internet dan Kebijakan Jurnal Perbankan Lex Publica...
yang disimpan tidak akan disalahgunakan, tidak hilang dan terhindar dari kejahatan. Masyarakat juga menghendaki tidak menemui kesulitan dalam menarik uangnya.22 Sejalan dengan kemajuan zaman, bank dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat telah memanfaatkan kemajuan di bidang teknologi. Masyarakat dalam menarik dana simpanannya dapat menggunakan mesin ATM yang tersedia di mana-mana. Selain itu juga dapat melakukan transaksi suatu pembayaran melalui ATM maupun dengan SMS banking.23 Dengan gambaran itulah pada prinsipnya bank bekerja atas dasar kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat.24 Sehubungan dengan hal tersebut, di samping bank harus dapat mengelola dana simpanan masyarakat dengan baik, bank juga wajib merahasiakan nasabah penyimpan dan simpanannya. Nasabah tentu tidak ingin apa yang telah dilakukan dengan bank diketahui orang lainyang informasinya diperoleh dari bank. Di lain pihak, bank tidak diperkenankan memberi informasi kepada pihak lain.25 Di Indonesia dasar hukum tentang rahasia bank telah ditetapkan oleh pemerintah dengan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: 1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 23 Tahun 1960 Tentang Rahasia Bank. Berdasarkan Pasal 2: Bank tidak boleh memberikan keteranganketerangan tentang keadaan keuangan langganannya yang tercatat padanya dan hal-hal lain yang harus dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan. Penjelasan Pasal 2: Langganan bank dimaksudkan orang-orang yang mempercayakan uangnya pada bank, umpamanya mempunyai rekening pada bank, ataupun mengirim uang dengan perantara bank, menerima cek, bunga dari bank, dan lain sebagainya, pendeknya semua orang yang menerima, membayar atau me22
Ibid. Ibid. 24 Ibid. 25 Ibid., hlm. 65. 23
Endah Nawangsih S.
nitipkan uangnya pada bank sebagai akibat dari pelaksanaan tugas sehari-hari. 2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Berdasarkan Pasal 36: Bank tidak boleh memberikan keteranganketerangan tentang keadaan keuangan nasabahnya yang tercatat padanya dan hal-hal lain yang harus dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang ini. Penjelasan Pasal 36 di atas tidak memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan nasabah bank, namun Menteri Keuangan melalui suratnya Nomor 25/MK/IV/7/1969 tanggal 24 Juli 1969 memberikan penjelasan, bahwa yang dimaksud dengan: (1) Keadaan keuangan yang tercatat padanya ialah keadaan mengenai keuangan yang tercatat pada bank yang meliputi segala simpanan yang tercantum dalam semua pos-pos pasiva dan pos-pos aktiva yang merupakan pemberian kredit dalam berbagai macam bentuk kepada yang bersangkutan. (2) Hal-hal lain yang harus dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan ialah segala keterangan tentang orang dan badan hukum yang diketahui oleh bank karena kegiatan dan usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 yaitu antara lain: a. Pemberian pelayanan dan jasa dalam lau lintas uang, baik dalam maupun luar negeri. b. Mendiskontokan dan jual beli suratsurat berharga. c. Pemberian kredit. 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Berdasarkan Pasal 1 angka 28: rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan nasabah pe225
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 221 - 230 Jurnal Lex
nyimpan dan simpanannya. Berdasarkan Pasal 40 ayat (1): Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A. Penjelasan Pasal 40 ayat (1): Apabila nasabah bank adalah Nasabah Penyimpan yang sekaligus juga sebagai Nasabah Debitur, bank wajib tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai Nasabah Penyimpan. Keterangan mengenai nasabah selain sebagai Nasabah Penyimpan,bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan bank. Bagi bank yang melakukan kegiatan sebagai lembaga penunjang pasar modal, misalnya bank selaku kustodian dan atau Wali Amanat, tunduk pada ketentuan perundang-undangan di bidang pasar modal. Berdasarkan Pasal 1 angka 17: Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Berdasarkan Pasal 1 angka 18: Nasabah Debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Pihak-Pihak yang Wajib Menjaga Rahasia Bank Berdasarkan Pasal 1 angka 22: Pihak Terafiliasi adalah: a. anggota Dewan Komisaris, pengawas, Direksi atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank; b. anggota pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. pihak yang memberikan jasanya kepada bank, antara lain akuntan pub226
lik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lainnya; d. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga Komisaris, keluarga pengawas, keluarga Direksi, keluarga pengurus; Sanksi terhadap Pelanggar Rahasia Bank Pasal 47 (1) Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 10. 000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000. 000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). (2) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 4.000.000. 000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Pasal 47 A Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp4.000.000.000,00(empat miliar
Evolusi Teknologi Informasi Berbasis Internet dan Kebijakan Jurnal Perbankan Lex Publica...
rupiah) dan paling banyak Rp15.000. 000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 48 (1) Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 100. 000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). (2) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda sekurang-kurangnya Rp1.000. 000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Klasifikasi tindak pidana dalam Pasal 47 dan Pasal 48 ayat (1) adalah “kejahatan”, sedangkan tindak pidana dalam Pasal 48 ayat (2) adalah “pelanggaran”. Selain sanksi pidana penjara dan denda yang dikenakan pada pelaku pelanggar, juga dikenakan sanksi administrasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 52, bahwa: (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 47A, Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50A, Bank Indonesia dapat menetapkan sanksi administratif kepada bank yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini, atau Pimpinan Bank Indonesia dapat
Endah Nawangsih S.
mencabut izin usaha bank yang bersangkutan. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain adalah: a. denda uang; b. teguran tertulis; c. penurunan tingkat kesehatan bank; d. larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring; e. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan; f. pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia; g. pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang Perbankan. (3) Pelaksanaan lebih lanjut mengenai sanksi administratif ditetapkan oleh Bank Indonesia. C. Pengecualian terhadap Ketentuan Rahasia Bank 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. (1) Untuk kepentingan perpajakan Berdasarkan Pasal 41: (1) Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tertentu kepada pejabat pajak. (2) Perintah tertulis sebagaimana dimak227
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 221 - 230 Jurnal Lex
sud dalam ayat (1), harus menyebutkan nama pejabat pajak dan nama nasabah wajib pajak yang dikehendaki keterangannya. (2) Untuk kepentingan penyelesaian piutang bank. Berdasarkan Pasal 41A: (1) Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan Nasabah Debitur. (2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Ketua Panitia Urusan Piutang Negara. (3) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, nama Nasabah Debitur yang bersangkutan, dan alasan diperlukannya keterangan. (3) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana Berdasarkan Pasal 42: (1) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank. (2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, atau Ketua Mahkamah Agung. (3) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan 228
nama dan jabatan polisi, jaksa, atau hakim, nama tersangka atau terdakwa, alasan diperlukannya keterangan dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan. (4) Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabah Berdasarkan Pasal 43: Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, direksi bank yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada Pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut. (5) Dalam rangka tukar-menukar informasi antarbank Berdasarkan Pasal 44: (1) Dalam rangka tukar menukar informasi antar bank, direksi bank dapat memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain. (2) Ketentuan mengenai tukar menukar informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Bank Indonesia. Berdasarkan Pasal 44A: (1) Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang dibuat secara tertulis, bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan Nasabah Penyimpan pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan tersebut. (2) Dalam hal Nasabah Penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan Nasabah Penyimpan tersebut. (6) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan oleh Bank Indonesia Berdasarkan Pasal 30: (1) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia, segala keterangan, dan penjelasan mengenai usahanya menurut tata cara yang ditetapkan
Evolusi Teknologi Informasi Berbasis Internet dan Kebijakan Jurnal Perbankan Lex Publica...
oleh Bank Indonesia. (2) Bank atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya, serta wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen dan penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang bersangkutan. (3) Keterangan tentang bank yang diperoleh berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak diumumkan dan bersifat rahasia. Berdasarkan Pasal 31: Bank Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap Bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan. Berdasarkan Pasal 31A: Bank Indonesia dapat menugaskan Akuntan Publik untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan terhadap bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31. 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 2/ 19/ PBI/ 2000 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank Berdasarkan Pasal 1 angka 6: Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanan Nasabah. Berdasarkan Pasal 2: (1) Bank wajib merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanan Nasabah. (2) Keterangan mengenai Nasabah selain Nasabah Penyimpan bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan oleh Bank. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi pihak terafiliasi.
Endah Nawangsih S.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku untuk: a. kepentingan perpajakan; b. penyelesaian piutang Bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara; c. kepentingan peradilan dalam perkara pidana; d. kepentingan peradilan dalam perkara perdata antara Bank dengan Nasabahnya; e. tukar menukar informasi antar Bank; f. permintaan, persetujuan atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang dibuat secara tertulis; g. permintaan ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan yang telah meninggal dunia. Berdasarkan Pasal 3: (1) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a, huruf b, dan huruf c, wajib terlebih dahulu memperoleh perintah atau izin tertulis untuk membuka Rahasia Bank dari Pimpinan Bank Indonesia. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g, tidak memerlukan perintah atau izin tertulis untuk membuka Rahasia Bank dari Pimpinan Bank Indonesia. Dengan demikian kebijakan perbankan yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dalam bingkai privacy harus berdasarkan dan tidak boleh bertentangan dengan dasar hukum yang telah dijabarkan dan dijelaskan tersebut. IV. KESIMPULAN dan SARAN 1. Secara teoritis, perbankan Indonesia telah tepat mengakomodir teori rahasia bank sebagai awal dari perlindungan atas data pribadi nasabah. Namun pada pasal pengecualian membuat ruang kebocoran atas data pribadi nasabah. Maka tentunya UU Perbankan dibutuhkan revisi atau perbaikan guna lebih berpihak pada nasabah. 229
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 221 - 230 Jurnal Lex
2. Secara praktis, Undang-undang perbankan Indonesia belum berpihak pada nasabah. Perbankan hanya berpihak pada keuntungan bank dengan kurang memperdulikan hak privasi nasabah. Hal ini terbukti dari kejahatan perbankan yang semakin marak. 3. Dalam hal internet banking dimana transakasi perbankan terjadi di ruang cyber,
penulis menilai masih perlu penyempurnaan hukum perbankan di ruang cyber dalam rangka memberi perlindungan bagi data nasabah mengingat kejahatan perbankan semakin bervariasi dan dapat menghilangkan dana nasabah tanpa sepengetahuan nasabah.
DAFTAR PUSTAKA Allan Westin, Privacy and Freedom, Atheneum, 1967 Abdulkadir Muhammad, ―Hukum Perusahaan Indonesia‖, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999 -------------, “Hukum dan Penelitian Hukum‖, PT. Citra Adytia Bakti, Bandung, 2004 Abdul Halim BarkatullahTeguh Prasetyo, “Bisnis E-Commerce Studi dalam system Keamanan dan Hukum di Indonesia‖, Pusataka Pelajar, 2005 Ade Arthesa & Edia Handiman, “Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank‖, PT. Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta, 2006 Ahmad Ramli, “Cyber Law dan HAKI dalam sistem hukum Indonesia” PT Refika Aditama, Bandung, 2006. A. Downing, Douglas. Dictionary of Computer and Internet Term, Tenth Edition. Barron's Business Guides, 2009. Almagor-Raphael Cohen.Internet History. International Journal of Technoethics, 2(2),45-64, AprilJune 2011. Brown, Valerie J. Atkinson. Legal Research Via Internet.Canada: Thomson Delmar Learning,2001. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Desember 2014. Elias, Stephen dan Susan Levinkind. Legal Research How to Find & Understand the Law, Fourteenth Edition, Nolo, 2007. Herskowitz, Suzan D., & James E. Duggan. Legal Research Made Easy, 4th edition. Sphinx Publishing, 2002. Hutchinson, Terry.Researching and Writing in Law. Lawbook Co, 2002. Ikatan Bankir Indonesia (IBI) dan Forum Komunikasi Direksi Kepatuhan Perbankan (FKDKP), Menguasai Fungsi Kepatuhan Bank: Modul Sertifikasi Compliance & Anti Money Laundering Officer, Edisi Pertama, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2015. Reitz, Joan M. ODLIS: Online Dictionary of Library and Information Science. 2002. Supramono, Gatot. Perbankan dan Masalah Kredit: Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis. Jakarta: Rineka Cipta, 2009. Susanti, Dyah Ochtorina dan Aan Efendi. Penelitian Hukum (Legal Research), Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika, 2014. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 2/ 19/ PBI/ 2000 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 23 Tahun 1960 Tentang Rahasia Bank. Surat Menteri Keuangan Nomor 25/MK/IV/7/1969 tanggal 24 Juli 1969. 230
Jurnal Lex Publica
HUBUNGAN ANTARA FAKTA, NORMA, MORAL DAN DOKTRIN HUKUM DALAM PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM Oleh: Dr. H. Rantawan Djanim, SH. MH.*) Abstrak Secara jujur harus diakui, bahwa selama rezim Orde Lama dan Orde Baru berkuasa, NKRI sudah kehilangan karakter aslinya. Memang, NKRI masih memakai baju konstitusi, tapi ini hanya untuk dijadikan topeng oleh rezim yang tengah berkuasa, agar rakyat tetap percaya bahwa NKRI masih menjadi Negara Hukum yang demokratis, serta melindungi HAM seluruh rakyat Indonesia. Pengingkaran terhadap karakter asli NKRI yang merupakan pencerminan langsung dari karakter asli bangsa Indonesia, telah mengakibatkan perkembangan NKRI menjadi semakin tidak sehat, diantaranya NKRI menjadi sarang para koruptor, ketimpangan sosial demikian tajam, mafia peradilan merajalela, serta perlindungan HAM semakin terabaikan. Karakter (kepribadian) NKRI adalah karakter (kepribadian) bangsa Indonesia. Sedangkan, hukum sesunguhnya hanyalah sekedar alat bagi bangsa Indonesia (NKRI) untuk dapat mengembangkan diri sesuai dengan kepribadiannya. Oleh sebab itu, keberadaan hukum harus mengabdi pada kepentingan bangsa, jika tidak maka hukum itu tidak memiliki dasar pembenar. Nilai-nilai moral (asas hukum) adalah ruh dari setiap perundang-undangan. Tanpa ruh (asas hukum), maka perundang-undang tidak lebih dari kumpulan pasal-pasal yang memuat aturan-aturan hukum yang tidak memiliki daya hidup di tengah masyarakat. Dengan demikian, rumusan aturan hukum harus berlandaskan asas hukum (nilai-nilai moral). Hal ini sudah menjadi keharusan hukum, sehingga harus diperlakukan sebagai doktrin hukum Kata kunci : Doktrin hukum Abstract Honestly it must be admitted, that during the Old Order and New Order, Homeland already lost its original character. Indeed, Homeland is still wearing the constitution, but this is only to be used as a mask by the ruling regime, so that people continue to believe that the Homeland is still a democratic State of Law, as well as protecting the human rights of all Indonesian people. Denial of the original character of the Republic of Indonesia which is a direct reflection of the original character of the Indonesian nation, has resulted in the development of Homeland becoming increasingly unhealthy, including Homeland become a den of criminals, so sharp social inequality, rampant mob justice, and the protection of human rights are undermined. Character (personality) Homeland is a character (personality) of the Indonesian nation. Meanwhile, the law actually means merely a tool for the people of Indonesia (NKRI) to be able to develop themselves according to his personality. Therefore, the existence of the law must serve the interests of the nation, if not then it does not have any legal basis justifying. Moral values (the principle of law) is the spirit of any law. Without the spirit (legal principle), the statutory law is nothing more than a collection of articles that contain legal rules which does not have the power to live in the community. Thus, the formulation of the rule of law should be based on the principle of law (moral values). It has become imperative law, so it should be treated as a legal doctrine Key words: The doctrine of law *)
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta
231
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 231 - 238 Jurnal Lex
A. PENDAHULUAN Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Negara Hukum. Inilah komitmen bangsa yang melatarbelakangi pendirian NKRI, yang seharusnya dipegang teguh oleh seluruh komponen bangsa. Dengan adanya komitmen ini, maka seluruh rakyat Indonesia rela untuk menyerahkan fungsi penegakan hukum kepada (dimonopoli) kelembagaan negara (peradilan negara). Kerelaan dimaksud tentunya karena disertai dengan aspek kepercayaan, bahwa lembaga peradilan negara akan selalu menegakkan keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia, sehingga setiap orang akan selalu mendapatkan apa yang menjadi haknya. Adalah kewajiban negara untuk menjaga aspek kepercayaan rakyat ini. Di dalam komitmen sebagai negara hukum, secara langsung menyangkut makna sebagai negara demokrasi, yaitu penguasa negara tidak diperbolehkan memerintah menurut seleranya sendiri, melainkan harus berdasarkan pada kehendak rakyat. Dengan demikian, jika kebijakan penguasa negara sudah tidak lagi berlandaskan pada kehendak rakyat, maka NKRI itu tidak lagi bisa disebut sebagai Negara hukum yang demokratis, tetapi sudah berubah sifat menjadi NKRI yang otoriter. Artinya, sekalipun beribu-ribu perundang-undangan diterbitkan oleh negara, namun jika substansinya tidak mencerminkan keberpihakannya kepada kepentingan seluruh rakyat, maka keberadaan perundang-undangan itu tidak lebih dari sekedar tumpukan pasal-pasal semata, yang bukan sebagai pencerminan negara hukum demokratis. Karakter (sifat bawaan) ketiga yang di bawa NKRI sejak kelahirannya adalah NKRI berjanji menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi seluruh rakyat Indonesia. Sudah tentu yang diinginkan adalah perlindungan HAM dalam perspektif bangsa Indonesia, bukan dalam perspektif bangsa lain yang jelas-jelas ditolak oleh bangsa Indonesia. Itulah sebabnya, para pendiri NKRI dengan tegas-tegas mencantumkan landasan filosofis NKRI di dalam Pembukaan UUD 45, yaitu lima sila yang dinamai Pancasila. Hal ini, tidak lain untuk menunjukkan, bahwa perspektif bangsa Indonesia dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, yang dalam sisi-sisi tertentu berbeda dengan perspektif bangsa lain. Khususnya, menyangkut perlindu232
ngan HAM, bangsa Indonesia dengan tegas menolak perspektif HAM generasi pertama, yang mengagung-agungkan hak individual. Bangsa Indonesia menganut perspektif HAM generasi kedua dan ketiga, yaitu menganut keseimbangan perlindungan HAM individu dan HAM komunal, juga HAK kolektif seluruh bangsa-bangsa di dunia. Ketiga karakter NKRI yang dibawa sejak lahir pada tanggal 17 Agustus 1945, satu sama lain tidak dapat dipisahkan, artinya pengingkaran terhadap salah satu karakter tersebut saja, maka NKRI sudah kehilangan wajah aslinya. Intinya, para legislator harus membuat hukum yang sesuai dengan karakter NKRI, juga hakim harus mengadili dan memutus sesuai dan mengacu pada karakter NKRI tersebut. Pengingkaran terhadap karakter NKRI oleh para legislator, hanya akan melahirkan produk-produk hukum yang asing di mata warga masyarakat. Demikian juga dengan putusan hakim yang tidak mengacu pada karakter NKRI, hanya akan melahirkan putusan yang tidak temu nalar antara hakim dengan warga masyarakat. Secara jujur harus diakui, bahwa selama rezim Orde Lama dan Orde Baru berkuasa, NKRI sudah kehilangan karakter aslinya. Memang, NKRI masih memakai baju konstitusi, tapi ini hanya untuk dijadikan topeng oleh rezim yang tengah berkuasa, agar rakyat tetap percaya bahwa NKRI masih menjadi Negara Hukum yang demokratis, serta melindungi HAM seluruh rakyat Indonesia. Padahal dalam kenyataannya, NKRI telah kehilangan karakter aslinya sebagai negara hukum demokratis, menjadi negara hukum yang otoriter. Manipulasi karakter NKRI oleh dua rezim (Orla dan Orba) yang pernah berkuasa di masa lalu cukup menarik untuk disimak, khususnya menyangkut tentang keberadaan hukum. Penulis katakan menarik, karena rezim yang otoriter ternyata juga memerlukan hukum (perundang-undangan) untuk melegitimasi kebijakannya, sehingga selama rezim yang bersangkutan berkuasa cukup banyak perundang-perundangan yang diterbitkan. Namun, bila dicermati secara seksama segenap perundang-undangan yang diberlakukan itu, kebanyakan hanya untuk melindungi kepentingan penguasa dan pihak-pihak yang memiliki hubungan dekat dengan penguasa saja.
Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral dan Doktrin Hukum ... Jurnal Dalam Lex Publica
Adapun keterkaitannya dengan peran hakim adalah karena para hakim berada di bawah kendali rezim yang otoriter, maka keputusan yang harus diambil harus mengikuti kehendak para penguasa, artinya para hakim juga merupakan bagian dari rezim yang otoriter. Pengingkaran terhadap karakter asli NKRI yang merupakan pencerminan langsung dari karakter asli bangsa Indonesia, telah mengakibatkan perkembangan NKRI menjadi semakin tidak sehat, diantaranya NKRI menjadi sarang para koruptor, ketimpangan sosial demikian tajam, mafia peradilan merajalela, serta perlindungan HAM semakin terabaikan. Alhasil, NKRI telah gagal mencapai tujuannya, sehingga jatuh bangunnya suatu rezim penguasa selalu terjadi secara inkonstitusional, karena adanya instabilitas politik dan krisis ekonomi yang menyengsarakan seluruh rakyat Indonesia. Saat ini bangsa Indonesia tengah berada dalam Orde Reformasi, yang muncul sebagai reaksi penolakan terhadap cara-cara rezim Orba dalam menjalankan pemerintahan negara, yang disinyalir tidak demokratis (otoriter), mengingkari nilai keadilan sosial, serta memberlakukan hukum yang represif. Akibatnya, hampir semua komponen bangsa yang merasa tertekan menuntut pembaharuan total, yaitu menuntut agar penguasa negara selalu mendengar suara rakyat (demokratis), menghormati nilai keadilan sosial, serta menuntut pemberlakuan hukum yang bersifat responsif. Kenyataannya, selama lebih kurang 17 tahun perjalanan orde reformasi ini, belum banyak perubahan yang berarti. Jika-pun ada, itu baru sebatas perubahan perundang-undangan, yaitu dengan mengganti perundang-undangan lama produk rezim Orba dengan perundang-undangan baru demi memenuhi tuntutan reformasi. Namun, upaya pembaharuan lembaga dan penegak hukum, nampaknya berjalan di tempat. Buktinya, tindak korupsi tetap merajalela di hampir semua lembaga negara, jaringan mafia peradilan masuk ke semua lembaga peradilan, penguasaan sumber daya ekonomi masih dimonopoli oleh para penguasa negara dan oleh orang-orang yang memiliki akses untuk mempengaruhi penguasa negara, dan bahkan ada perkembangan baru yang cukup menyedihkan, yaitu maraknya peradilan jalanan yang pengaruhnya terhadap
Rantawan Djanim
kinerja penegak hukum cukup tinggi. Memang, sebagai negara demokrasi, NKRI harus melindungi hak kebebasan berpendapat, tetapi dalam prakteknya disalah artikan menjadi pemaksaan pendapat dengan menggunakan kekuatan massa untuk menekan lembaga peradilan. Jika fenomena ini tidak segera di atasi, maka kemandirian lembaga peradilan akan sangat terancam, dan bukan tidak mungkin potret penegakan hukum dalam orde reformasi akan lebih buruk dibandingkan dengan potret penegakan hukum pada orde-orde sebelumnya (Orla dan Orba). Carut marut dalam berhukum di NKRI selama ini, menurut banyak pihak adalah karena rusaknya moral para penegak hukum. Dalam hal ini penulis sependapat, meskipun bukan satu-satunya faktor, artinya selain faktor moral, apakah memang ada yang salah dengan sistem hukum kita; baik menyangkut substansi, struktur, maupun kulturnya. B. MORAL DAN DOKTRIN HUKUM Uraian mengenai karakter NKRI sebagaimana diuraikan di atas, sengaja penulis ketengahkan untuk menegaskan, bahwa NKRI ini sejak kelahirannya telah membawa sifat bawaan, yang tidak lain adalah pencerminan dari jiwa, pikiran, dan kehendak segenap bangsa Indonesia. Dengan kata lain, karakter (kepribadian) NKRI adalah karakter (kepribadian) bangsa Indonesia. Sedangkan, hukum sesunguhnya hanyalah sekedar alat bagi bangsa Indonesia (NKRI) untuk dapat mengembangkan diri sesuai dengan kepribadiannya. Oleh sebab itu, keberadaan hukum harus mengabdi pada kepentingan bangsa, jika tidak maka hukum itu tidak memiliki dasar pembenar (tidak legitimate). Jika demikian halnya, maka pembuatan hukum dan penegakan hukum harus diarahkan oleh nilai-nilai moral bangsa, mulai dari yang paling abstrak yaitu nilai-nilai Pancasila, sampai pada penjabarannya ke yang lebih konkret yaitu dalam bentuk kaidah hukum atau yang dikenal dengan istilah asas-asas hukum. Tegasnya, hukum itu adalah pernyataan moral bangsa, atau yang dalam istilah guru penulis Prof Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. (Almarhum) sebagai dokumenmoral etis.1 Memang, asas hukum tidak tampil 1
Satjipto Rahardjo, Asas-asas Hukum, Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang, 2006, hlm. 5.
233
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 231 - 238 Jurnal Lex
dalam bentuk aturan konkret,2 tetapi asas hukumlah yang mengarahkan perumusan aturanaturan hukum dalam setiap perundang-undangan. Oleh sebab itu, terkait dengan upaya pembaharuan sistem hukum Indonesia, penulis ingin menegaskan betapa penting bagi para legislator dan penegak hukum untuk mendalami nilai-nilai moral Pancasila, sehingga setiap penerbitan peraturan hukum dan penegakannya memiliki landasan nilai-nilai moral yang jelas. Apabila ruh (asas / moral) ini tercerabut dari peraturan perundang-undangan, maka peraturan perundang-undangan yang dihasilkan oleh para legislator itu ibarat racun yang membunuh bangsa Indonesia. Sebuah rezim dikatakan otoriter ataukah demokratis, tentunya dapat dicermati dari produk-produk hukum yang diberlakukan oleh rezim tersebut selama berkuasa. Setiap rezim yang berkuasa tidak akan bersedia disebut otoriter, meskipun dalam praktiknya konfigurasi politik yang dibangun oleh rezim yang bersangkutan adalah konfigurasi politik otoriter. Namun tetap saja tidak mau disebut otoriter, karena seluruh komponen bangsa tidak akan menyukai hal ini. Dengan kata lain, hampir seluruh komponen bangsa sudah terlanjur yakin, bahwa sistem politik demokrasi adalah satu-satu sistem penyelenggaraan kehidupan kenegaraan yang dianggap paling beradab dan berkeadilan sosial untuk saat ini. Itulah sebabnya, rezim otoriter tetap menggunakan konstitusi untuk menutupi wajah aslinya, sehingga tampak sebagai rezim yang benar-benar demokratis.3 Juga tetap menggunakan per-undang-undangan sebagai landasan kebijakannya.4 Namun, satu hal yang tidak dapat ditutupi oleh rezim otoriter adalah menyangkut soal asas-asas hukum yang mendasari perundang-undangan yang diberlakukannya. Artinya, rezim yang otoriter tidak ingin kehendak dan kepentingannya dibatasi oleh asas-asas hukum. Jadi, biarlah nilai-ni2
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan – Proses dan Teknik Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm. 239. 3 Bandingkan dengan pendapat Schuyt, Dalam J.E. Sahetapy, Pisau Analisis Kriminologi, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2005, hlm. 70. Schuyt mengatakan, bahwa kehidupan kenegaraan yang otoriter dan anarkis tidak berarti karena tidak adanya hukum, tetapi karena tidak ada central gezag. 4 J.E. Sahetapy, ibid, hlm. 70.
234
lai moral etis itu tinggal dalam Konstitusi (UUD 45) dan asas-asas hukum itu tinggal dalam Undang-Undang (organik) pelaksanaan konstitusi. Dari uraian di atas dapatlah diketahui, betapa pentingnya bagi para hakim untuk memahami nilai-nilai moral etis yang menjadi karakter bangsa Indonesia dan sekaligus dilekatkan pada pendirian NKRI ini, yang selanjutnya di tuangkan dalam konstitusi negara. Tanpa pengetahuan yang mendalam tentang nilai-nilai moral etis ini, maka mustahil para hakim akan mampu menggali asas-asas hukum yang mendasari pembuatan setiap perundang-undangan, lebihlebih apabila dalam suatu perundang-undangan (pelaksanaan) tertentu tidak secara tegas mencantumkan asas-asas hukum dimaksud, maka para hakim diwajibkan untuk menggalinya sendiri. Penguasaan terhadap asas-asas hukum ini akan sangat membantu hakim, terutama dalam menghadapi masalah ketidakjelasan aturan perundang-undangan dalam penyelesaian masalah hukum yang konkret, sebagaimana dijelaskan oleh Roeslan Saleh5 di bawah ini: “Jika undang-undang yang telah dirumuskan itu tidak memberikan suatu cara penyelesaian yang mudah dalam penerapannya, maka petugas hukum itu harus memperhatikan pula pangkal tolak yang dijadikan sendi dari aturan itu dan berorientasi pada nilai-nilai yang ada di belakang dari ketentuan hukum itu. Dapat pula dikatakan, bahwa petugas hukum itu tidak menemukan aturan yang bersifat eksplisit dalam undang-undang mengenai pilihan hukum sehingga dia harus kembali kepada asas-asas yang menjadi pangkal tolak dari undang-undang itu dan mengikuti asasasas tadi itu sebagai suatu petunjuk”. Sampai disini penulis ingin mengatakan, bahwa untuk mengemban tugas sebagai hakim yang adil, ternyata tidak mudah. Untuk itu dibutuhkan pengetahuan yang luas, yang tidak sekedar berkemampuan mengartikan kata-kata yang tertera dalam pasal-pasal undang-undang. Selain harus memahami pemikiran filosofis bangsanya, juga harus memahami latarbelakang dan tujuan 5
Roeslan Saleh, Penjabaran Pancasila dan UUD 45 Dalam Perundang-undangan, Aksara Baru, Jakarta, 1979, hlm 14.
Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral dan Doktrin Hukum ... Jurnal Dalam Lex Publica
dari berbagai kebijakan yang diambil oleh penguasa dalam berbagai aspek kehidupan, serta perkembangan sosial-budaya masyarakatnya,6 karena semua ini harus menjadi dasar pertimbangan dari putusannya. Secara jujur memang harus diakui, bahwa peranan hakim dalam pembaharuan hukum di Indonesia dapat dikatakan sangat minim, artinya hakim di Indonesia lebih banyak berperan sebagai corong undang-undang saja. Lebih-lebih selama berada di bawah kendali rezim penguasa yang otoriter (Orde lama dan Orde baru), sudah tentu para hakim tidak diperkenankan untuk menguji setiap kebijakan penguasa, apakah sesuai dengan nilai-nilai moraletis yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Hampir tidak ada doktrin hukum baru yang dihasilkan melalui putusan-putusan hakim, sebagai hasil dari upaya penemuan hukum yang dilakukan oleh para hakim. C. NORMA DAN FAKTA HUKUM Para legislator tidak akan mungkin dapat menyusun norma-norma atau aturan-aturan hukum dalam sebuah perundang-undangan, tanpa bertolak dari asas-asas hukum, tujuan (kebijakan), serta fenomena sosial tertentu. Inilah yang sesungguhnya disebut sebagai ide hukum (rechts idea). Meskipun, sebetulnya keinginan untuk menuangkan ide hukum secara lengkap, jelas, dan rinci ke dalam rumusan pasal-pasal dalam perundang-undangan adalah tidak mungkin. Bahkan menurut Scholten,7 adalah suatu khayal belaka, apabila orang beranggapan bahwa undang-undang itu telah mengatur segalanya secara tuntas. Asumsi, bahwa teks hukum sudah jelas, adalah suatu cara saja bagi pembuat hukum untuk bertindak pragmatis seraya diam6
Djokosoetono, ibid, hlm 44. Mengenai kelemahan dari pola pikir yang demikian, Djokosoetono mengemukakan sebagai berikut: Orang (baca: para positivis) tidak lagi mengetahui seluruh hutan. Men ziet alleen maar de bomen. Itulah sebabnya maka akhir-akhir ini timbul hasrat untuk mempersatukan kembali. Timbul de zucht naar synthese. Dalam mempelajari hukum misalnya, lihat juga ekonomi, sosiologi, ilmu kebudayaan dan lain-lain. Jangan hanya melihat hukum saja. Nanti seperti katak di bawah tempurung. 7 Paul Scholten, Algemeen Deel, Zwolle, WEJ Tjeenk Willink, 1954.
Rantawan Djanim
diam mengakui, bahwa ia mengalami kesulitan untuk memberi penjelasan. Penjelasan penulis di atas, di satu sisi ingin menegaskan, bahwa meskipun dalam Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, diatur tentang asas-asas yang perlu diikuti dalam menyusun peraturan perundang-undangan,8 namun menurut hemat penulis adalah tidak mungkin untuk menerapkan semua asas tersebut dalam merumuskan setiap perundang-undangan. Di lain sisi, juga ingin menegaskan, bahwa mengingat kelemahan tersebut, maka fungsi penafsiran hukum tidak mungkin dapat ditiadakan dari tangan hakim, artinya kewenangan untuk menafsirkan hukum tidak mungkin dapat dicabut dari tangan hakim. Dengan kata lain, dengan tetap memberikan kewenangan kepada hakim untuk menafsirkan aturan-aturan yang dirumuskan dalam pasal-pasal perundang-undangan, maka beberapa kelemahan dari perumusan aturan dimaksud dapat teratasi. Pernyataan penulis di atas tidak untuk mengecilkan sama sekali usaha para ahli hukum dalam merumuskan pedoman pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik. Penulis hanya ingin mengatakan, bahwa sekuat apapun niat dan usaha para legislator untuk membuat peraturan perundang-undang yang jelas, lengkap, dan rinci, sehingga mampu menjabarkan ide hukum para legislator secara sempurna adalah hal yang tidak mungkin. Oleh sebab itu, fungsi penafsiran hukum akan tetap dibutuhkan, yaitu selama hukum itu mengambil bentuknya yang tertulis. Namun, menurut hemat penulis, keberadaan pedoman pembuatan peraturan perundang-undangan tetap perlu, yaitu agar penerapan perundang-undangan tidak menimbulkan kesulitan yang berarti, karena bahasanya terlalu kabur. Sudah tentu, selama paham legisme masih menguasai para penegak hukum Indonesia, maka pencarian arti kata-kata yang tertuang dalam 8
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Penjelasan Pasal 5 menjelaskan, bahwa asas-asas pemebentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah : Asas kejelasan tujuan, Asas Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, Asas Kesesuaian antara jenis dan materi muatan, Asas dapat dilaksanakan, Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, Asas kejelasan rumusan, dan Asas keterbukaan.
235
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 231 - 238 Jurnal Lex
pasal-pasal perundang-undangan tidak akan menemui kesulitan yang berarti, dan juga kesepakatan antar penegak hukum mengenai arti katakata dimaksud mudah dicapai, karena itu sudah merupakan pekerjaan rutinitas, sehingga sekali penafsiran harfiah dilakukan oleh hakim, maka hasil penafsiran dimaksud akan berlaku selamalamanya dan akan diikuti oleh semua penegak hukum dalam semua tingkatannya. Bagi para pencari keadilan, sangatlah sulit untuk memahami jalan pikiran para penegak hukum dalam penyelesaian masalah-masalah hukum yang diajukan kepada mereka. Hal ini disebabkan, penyelesaian masalah-masalah hukum dengan menggunakan pendekatan legisme mengharuskan penegak hukum untuk menafikan segala fakta-fakta yang dinilai ekstra legal yang tidak masuk dalam skema aturan hukum. Artinya, dari semua fakta-fakta yang mengiringi peristiwa hukum, oleh penegak hukum akan disaring untuk kemudian diidentifikasi mana yang merupakan fakta-fakta hukum dan mana pula yang bukan fakta hukum. Hanya yang merupakan fakta hukum lah yang menjadi pegangan para penegak hukum. Hal inilah yang menyebabkan para pencari keadilan selalu merasa tidak diperlakukan secara adil oleh lembaga peradilan. D. PENAFSIRAN DAN PUTUSAN HAKIM Permasalahan mendasar yang diajukan disini adalah apakah perlu untuk mempertahankan paham legisme, sehingga para hakim hanya diperkenankan untuk menafsirkan hukum dalam lingkaran, tata bahasa, sejarah, dan sistematika perundang-undangan saja. Memang, paham legisme ini dibangun dari landasan teoritis tertentu, yaitu dibangun oleh aliran Begriffsjurisprudenz atau legal-positivism, yang pokok pikirannya mengharuskan pemisahan secara tegas antara pembuatan hukum dan penafsiran hukum. Artinya, penciptaan hal-hal baru adalah monopoli legislatif, maka para hakim dilarang melakukan terobosan-terobosan hukum, karena akan mengorbankan kepastian hukum. Artinya, hakim hanya boleh melakukan penafsiran hukum dalam rangka memahami pikiran legislator sebagaimana yang dituangkan dalam perundangundangan. Menurut hemat penulis, penerapan paham 236
legisme yang dibangun oleh aliran legal-positivism jelas tidak realistis. Pemaksaan penerapannya di dalam praktik penegakan hukum telah menyebabkan potret penegakan hukum di Indonesia semakin tampak buruk. Hal ini disebabkan, karena penegakan hukum kerap kali mengabaikan nilai-nilai moral etis, serta tidak memiliki tujuan yang jelas. Oleh sebab itu, sudah saat bagi hakim di Indonesia untuk mulai menerapkan penafsiran dengan “pendekatan tujuan” (purpose approach), yaitu penafsiran hukum yang bertolak dari kehendak dan tujuan pembentuk undang-undang. Upaya untuk keluar dari belenggu paham legisme dan selanjutnya menganut paham progresif memang tidak mudah. Jika semula, para hakim (penganut paham legisme) hanya dituntut mahir dalam menerjemahkan kata-kata dalam perundang-undangan, maka selanjutnya untuk mampu menerapkan pendekatan progresif para hakim dituntut memiliki pemahaman hukum yang holistis dan mampu menggali makna yang terkandung dalam sistem hukum yang berlaku, yang kemudian mampu menuangkannya ke dalam putusan yang bernilai bagi pemecahan masalah kemanusiaan. Penggunaan pendekatan progresif dalam pelaksanaan tugas mengadili, sudah tentu menuntut keberanian dari para hakim, karena selain dituntut memiliki sikap mandiri dalam pemikiran, juga dituntut keteguhan hati dalam menegakkan nilai-nilai moral etis. Para hakim dengan kualifikasi yang demikian, sangat dibutuhkan untuk mengakhiri masa transisi dalam orde reformasi sekarang ini. Bagaimana tidak? Segenap elemen bangsa di satu sisi tengah tidak sabar untuk segera menyaksikan tegaknya supremasi hukum di Indonesia, sementara di lain sisi para hakim harus mengadili di atas landasan produk-produk hukum warisan rezim penguasa yang otoriter. Tentu saja, segenap elemen bangsa dan khususnya para pencari keadilan tidak harus menunggu datangnya keadilan sampai selesainya pembaharuan hukum secara total. Dengan kata lain, para hakim masih bisa menyuguhkan keadilan dengan cara melakukan terobosan hukum. Oleh sebab itu, sebelum mengakhiri pembahasan ini, perlu penulis ingatkan bahwa sudah saatnya para hakim Indonesia untuk mulai menjalankan peranannya dalam upaya pembaharuan hukum, karena di tangan para hakim
Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral dan Doktrin Hukum ... Jurnal Dalam Lex Publica
terdapat kewenangan untuk melakukan “penemuan hukum”. Berkaitan dengan hal ini, Scholten9 menjelaskan, bahwa penemuan hukum itu berbeda dengan penerapan hukum (rechtstoepassing), oleh karena disini “ditemukan sesuatu yang baru”. Ia mengatakan, bahwa penemuan hukum bisa dilakukan baik lewat penafsiran, atau analogi, maupun penghalusan atau perluasan hukum. Penegakan hukum tidak hanya dilakukan dengan logika penerapan hukum, melainkan juga memasuki ranah pembentukan hukum (rechtsvorming). Pembentukan hukum itu tidak hanya berwujud penerapan hukum yang mengandalkan penggunaan logika (een hanteren van logishe figuren), melainkan melibatkan penilaian, memasuki ranah pemberian makna. Melalui silogisme dan kesimpulan logis saja, kita tidak bisa menemukan sesuatu yang baru, seperti dikehendaki oleh penemuan hukum yang bermakna kebenaran dan keadilan. E. PENUTUP Dari keseluruhan uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: a. Nilai-nilai moral (asas hukum) adalah ruh dari setiap perundang-undangan. Tanpa ruh (asas hukum), maka perundang-undang tidak lebih dari kumpulan pasal-pasal yang memuat aturan-aturan hukum yang tidak memiliki daya hidup di tengah masyarakat. Akibatnya, di satu sisi keberadaan aturan-aturan hukum yang demikian tidak berpihak pada kepentingan masyarakat. Di lain sisi, kerap kali disalahgunakan untuk melindungi kepentingan penguasa. Dengan demikian, rumusan aturan hukum harus berlandaskan asas hukum (nilai-nilai moral). Hal ini sudah menjadi keharusan hukum, sehingga harus diperlakukan sebagai doktrin hukum; b. Tidak akan ada perundang-undangan (norma hukum) yang mampu menjabarkan ide hukum (politik hukum) dengan sempurna, melalui rumusan kalimat (dalam pasal-pasal) yang singkat, jelas dan rinci. Sekalipun diberi penjelasan di belakang pasal-pasalnya. Disinilah ar9
Scholten, op.cit.
Rantawan Djanim
ti pentingnya fungsi penafsiran hukum, yaitu bukan sekedar untuk menemukan arti dari bahasa hukum (unsur-unsur perbuatan), tetapi dalam rangka menemukan makna hukum (politik hukum), agar penegakan hukum benar-benar dapat mewujudkan tujuan hukum; c. Dengan hanya bermodalkan penafsiran harfiah dan sistematis, maka para hakim tidak akan sampai pada penemuan makna hukum yang sesungguhnya. Akibatnya, para hakim tidak akan pernah mampu berperan memandu perjalanan bangsanya dalam mewujudkan cita-citanya. Pekerjaan mengadili hanya berkutat pada pengidentifikasian fakta-fakta hukum yang disaring dari rangkaian peristiwa hukum (prilaku konkret), untuk kemudian dicocokkan dengan arti kata-kata (unsur-unsur) yang tertuang pada pasal-pasal perundang-undangan. Atas dasar ini pula, maka para hakim sampai pada kesimpulan siapa yang salah dan siapa yang benar. d. Selama para hakim di Indonesia masih membiarkan dirinya dibelenggu oleh paham legisme (semata mulut undang-undang), maka selama itu pula para hakim tidak akan pernah merasa berkewajiban untuk menegakkan nilai-nilai moral dalam lingkup tugas mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Selama lebih kurang 17 tahun perjalanan Orde Reformasi, ternyata upaya pembaharuan hukum (perundangan-undangan) dalam artian penggantian perundang-undangan produk rezim Orba yang otoriter dengan perundangan-undangan yang sesuai dengan tuntutan Orde Reformasi, masih membutuhkan waktu. Keterlambatan proses pembaharuan hukum (perundang-undangan) tidak harus diterima begitu saja sebagai takdir, karena masih terbuka jalan lain untuk mempercepat proses pembaharuan. Untuk itulah, penulis ajukan beberapa pandangan-pandangan, yakni: a. Hakim harus meninggalkan paham legisme dan beralih ke paham progresif, artinya tidak lagi memandang perundangundangan sebagai kitab suci, melainkan sekedar pedoman untuk mengadili. Da237
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 231 - 238 Jurnal Lex
lam paham progresif, mengadili adalah untuk tujuan kemanusiaan, sehingga di dalamnya terkandung tujuan penegakan nilai-nilai moral (keadilan). Penegakan nilai-nilai moral ini tidak boleh dikalahkan oleh tujuan lain, sekalipun untuk menjamin kepastian hukum demi melindungi kepentingan Individu. b. Hakim tidak harus tunduk pada perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan tuntutan reformasi, karena dalam paham progresif keberadaan perundang-undangan hanya sekedar pedoman untuk mengadili, sehingga jika diperlukan untuk penegakan nilai-nilai moral bangsa, maka terbuka jalan bagi hakim untuk melakukan terobosan, sehingga hasilnya adalah dalam bentuk penemuan hukum oleh hakim;
c. Hakim harus mengedepankan pertimbangan yang rasional dan berlandaskan pada nilai-nilai moral. Keharusan ini harus tampak dalam uraian mengenai alasanalasan (pertimbangan-pertimbangan) putusan hakim. Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi hakim untuk mengatakan ada kesulitan mengadili karena aturan-aturan dalam pasal-pasal perundang-undangan tidak jelas. Kesulitan demikian dapat diatasi dengan menelusuri asas-asas hukum yang mendasari setiap perundangundangan. Jikapun, suatu perundang-undangan tidak secara eksplisit mencantumkan asas (moral) hukum, maka hakim dapat mencarinya pada perundangundangan yang lebih tinggi, hingga sampai pada Undang-Undang Dasar.
DAFTAR PUSTAKA Djokosoetono, dihimpun oleh Harun Al Rasjid, Ilmu Negara, IN-HILL-CO, Jakarta, 2006. Indrati, Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan – Proses dan Teknik Pembentukannya 2, Kanisius, Yogyakarta, 2007. Juwana, Hikmanto, Arah Kebijakan Pembangunan Hukum di Bidang Perekonomian dan Investasi, Makalah Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, Diselenggarakan oleh Badan Pedmbinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 29 – 31 Mei 2006. Rahardjo, Satjipto, Asas-asas Hukum, Bahan bacaan untuk mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang, 2006. ----------------------, Penafsiran Hukum Yang Progresif, Bahan Bacaan untuk mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang, 2006. Sahetapy, J.E., Pisau Analisa Kriminologi, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2005. Saleh, Roeslan, Penjabaran Pancasila dan UUD 45 Dalam Perundang-undangan, Aksara Baru, Jakarta, 1979. -------------------, Mengadili Sebagai Pergulatan Kemahusiaan, Akasar Baru, Jakarta, 1983. -------------------, Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, Akasara Baru, Jakarta, 1983. Scholten, Paul, Algemeen Deel, Zwolle, WEJ Tjeenk Willink, 1954. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
238
Jurnal Lex Publica
PEMBUKTIAN KASUS MALPRAKTEK DI INDONESIA Oleh : Lenny Nadriana, SH, MH*) Abstrak : Keputusan yang meneliti pelanggaran etika atau dokter tindakan disipliner tidak mempengaruhi jalannya pemeriksaan kasus pidana dan perdata karena penyelesaian jalur pidana dengan kewenangan IMDC merupakan entitas yang terpisah dalam konteks kelembagaan atau output yang dihasilkan. Seorang hakim dalam memeriksa dokter/dokter gigi memiliki otoritas independen untuk mencari, menemukan dan menentukan dokter kesalahan sehingga dapat memberikan putusan yang adil bagi para pencari keadilan. Membuktikan hubungan hukum antara Lembaga Audit Code, Institut Peneliti Disiplin Profesional merupakan bukti hukum dalam pemeriksaan di pengadilan sebagai karakter yang terpisah. Setiap lembaga pemeriksa yang memenuhi syarat sesuai dengan kewenangan sendiri untuk menentukan bukti dan menentukan kesalahan dokter. Pengadilan yang bertugas memeriksa kelalaian medis memiliki otoritas independen untuk menentukan kesalahan dokter tanpa menunggu keputusan dari lembaga penyelesaian seperti profesi atau audit disiplin pemeriksaan lembaga kode etik. Ini merupakan efek hukum pasal 66 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 yang mengatur kualifikasi yang kesalahan yang terpisah. Antara peradilan, lembaga audit profesi dan lembaga audit disiplin perilaku tidak dalam hubungan berurutan dan satu entitas untuk menentukan kesalahan dokter. Jika suatu saat hakim memeriksa kasus kelalaian medis, hakim memiliki kebebasan untuk menentukan kesalahan medis tanpa mempertimbangkan keputusan organisasi profesi, profesi dan disiplin hasil Audit lembaga kode etik. Kata kunci: Bukti, Malpraktek Medis Abstract : Indonesian Medical Disciplinary Council (IMDC) decision which examine ethical violation or disciplinary action doctors did not influence the course of the examination of criminal and civil cases due to the completion of the criminal path with IMDC authority is a separate entity within the context of institutional or outputs produced. A judge in examining doctor / dentist has the independent authority to search, find and determine fault doctors so as to provide a fair verdict for justice seekers. Proving the legal relationship between the Audit Institutions Code, Institute of Professional Discipline Examining the rules of evidence in the examination in court is a separate character. Each institution examiner qualified in accordance with the authority alone to define the evidence and determine fault doctor. The courts are in charge of checking medical negligence has independent authority to determine the fault doctor without waiting for a decision on the settlement institution such as profession or discipline audit institution audit institution code of conduct. It is the legal effect of article 66 of Law number 29 of 2004 which regulates qualifications that are separate errors. Between the judiciary, the profession and discipline audit institution audit institution of conduct not in sequential relationship and one entity to determine the guilt of a doctor. If at any time a judge examine the case of medical negligence, the judge has the freedom to determine medical errors without considering the decision of professional organizations, professions and disciplines audit institution audit institution code of conduct. Keywords: Evidence, Medical Malpractice
*)
Lenny Nadriana, S.H., M.H., Dosen LB FH Usahid; Pengacara & Praktisi Hukum saat ini sedang menyelesaikan S3 Pascasarjana di Unpad Bandung.
239
Jurnal Lex Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 239 - 254
A. Pendahuluan Dunia kedokteran yang dahulu seakan tak terjangkau oleh hukum, dengan berkembangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhannya tentang perlindungan hukum menjadikan dunia pengobatan bukan saja sebagai hubungan keperdataan, bahkan sering berkembang menjadi persoalan pidana. Banyak persoalan-persoalan malpraktek yang kita jumpai, atas kesadaran hukum pasien maka diangkat menjadi masalah pidana. Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu pemikiran dan langkah-langkah yang bijaksana sehingga masing-masing pihak baik dokter maupun pasien memperoleh perlindungan hukum yang seadil adilnya. Membiarkan persoalan ini berlarut-larut akan berdampak negatif terhadap pelayanan medis yang pada akhirnya akan dapat merugikan masyarakat secara keseluruhan. Memang disadari oleh semua pihak, bahwa dokter hanyalah manusia yang suatu saat bisa salah dan lalai sehingga pelanggaran kode etik bisa terjadi, bahkan mungkin sampai pelanggaran normanorma hukum. Soerjono Soekanto dan Kartono Muhammad berpendapat bahwa belum ada parameter yang tegas tentang batas pelanggaran kode etik dan pelanggaran hukum. Belum adanya parameter yang tegas antara pelanggaran kode etik dan pelanggaran di dalam perbuatan dokter terhadap pasien tersebut, menunjukan adanya kebutuhan akan hukum yang betul-betul diterapkan dalam pemecahan masalah-masalah medik, yang hanya bisa diperoleh dengan berusaha memahami fenomena yang ada didalam profesi kedokteran. Maraknya tuntutan hukum yang diajukan masyarakat dewasa ini, menunjukkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter, selain itu sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memicu masyarakat gemar menuntut, ataupun sebab lain yang seringkali diidentikkan dengan kegagalan upaya penyembuhan yang dilakukan dokter. Seseorang yang mengalami ganguan kesehatan pasti mendatangi seorang dokter untuk mendapatkan penyembuhan penyakit yang dideritanya. Kemudian muncul hubungan hukum antara dokter dan pasien, yang menimbulkan hak dan kewajiban. Dalam melaksanakan kewajiban bagi dokter itulah dapat menimbulkan penderitaan bagi pasien, akibat kela240
laian atau kekurang hatian-hatian dokter dalam menjalankan profesinya. Dikenal dengan istilah malpraktek (malpractice) medis dan dapat membebani tanggung jawab hukum terhadap akibat buruk bagi pasien. Berbicara mengenai malpraktik atau malpractice berasal dari kata “mal” yang berarti buruk. Sedang kata “practice” berarti suatu tindakan atau praktik. Dengan demikian secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu tindakan medik “buruk” yang dilakukan dokter dalam hubungannya dengan pasien. Di Indonesia, istilah malpraktik yang sudah sangat dikenal oleh para tenaga kesehatan sebenarnya hanyalah merupakan suatu bentuk medical malpractice, yaitu medical negligence yang dalam bahasa Indonesia disebut kelalaian medik. Menurut Gonzales dalam bukunya Legal Medical Pathology and Toxicology menyebutkan bahwa malpractice is the term applied to the wrongful or improper practice of medicine,which result in injury to the patient.1 Kasus-kasus dugaan malpraktek seperti gunung es, hanya sedikit yang muncul di permukaan. Kasus dokter Ayu ini tidak hanya menjadi peristiwa dugaan malpraktek semata tetapi akibat hukuman yang dijatuhkan MA ribuan dokter hampir diseluruh indonesia melakukan aksi demo menuntut kebebasan dokter ayu yang dianggap telah dikriminalisasi sehingga pelayanan terhadap masyarakat terganggu akibat tidak ada dokter yang melayani sehingga kita melihat seolah hukum tidak dapat menyelesaikan masalah. 2 Maka dalam hal ini kita dapat melihat bahwa hukum itu, asalnya dari kesadaran manusia sosial dimana msyarakat sebagai pasien di rumah sakit sekarang ini tidak lagi mau diperlakukan semena-mena oleh dokter yang mengobatinya namun disisi lain keberanian masyarakat yang sadar akan hukum menimbulkan gejolak sosial yang dilakukan para dokter berupa penolakan terhadap hukuman yang mungkin dijatuhkan terhadap seorang dokter maka hukum dibutuhkan agar setiap orang kembali sebagai manu1
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi.CV. Kita. Surabaya. 2006, hlm 58. 2 http://news.kantorhukum-lhs.com/malpraktik-vs-uu-kesehatan.
Pembuktian Kasus Malpraktek di Indonesia
Jurnal Lex Publica
sia sosial yang berbudi seperti pendapat Hugo Grotius3 yang menyatakan bahwa kekacauan terjadi semata-mata karena gesekan-gesekan sosial dalam hidup bersama, utamanya ketika tidak ada aturan main bersama. Di situ terbuka muncul berbagai pencitraan, entah dalam bentuk pengambilan hak milik orang lain, ataupun dalam wujud ingkar janji dan lain sebagainya. Isu Kelalaian medis selalu menarik untuk disimak dan dipelajari. Apalagi, dewasa ini kesehatan telah menjadi kebutuhan penting masyarakat. Maraknya dugaan kasus kelalaian medis dan dalam rangka meningkatkan profesionalisme profesi dokter, dijawab dengan menyiapkan seperangkat peraturan di bidang kedokteran. Ada beberapa jalur penyelesaian kasus yang bisa dipilih apabila masyarakat menghadapi praktek dokter yang menyimpang. Jalur pertama adalah melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), Kedua Pengajuan gugatan perdata ke pengadilan negeri, Ketiga pelaporan tindak pidana kepada aparat yang berwenang, keempat melalui MKEK/MKEKG/ P3EK. Apabila merujuk Pasal 66 UU tahun 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran, ada 3 penyelesaian hukum yang bisa dilakukan terkait dengan pelanggaran praktek dokter yaitu MKDKI, kedua pemeriksaan pidana, ketiga penyelesaian perdata. Sementara itu, ada juga lembaga penyelesai untuk pelanggaran-pelanggaran etik. Keempat penyelesaian sebagaimana dijelaskan pada paragraph pertama dapat bersifat alternatif dan juga bersifat kumulatif. Tidak menutup kemungkinan, kasus praktek dokter yang merugikan pasien, menempuh empat penyelesaian sekaligus yaitu mengadukan secara tertulis kepada Majelis kehormatan Disiplin kedokteran Indonesia, mengajukan gugatan perdata dan melaporkan dugaan tindak pidananya kepada pihak yang berwenang dan melaporkan kepada majelis kehormatan kode etik kedokteran. Pada sisi lain, bisa juga penyelesaian itu hanya menggunakan salah satu atau beberapa saja dari jalur penyelesaian yang disediakan. Problem hukum bisa saja muncul apabila diantara para pihak tidak ada kesesuaian jalur penyelesiaan dan hasil penyele3
Lihat dalam Munir Fuady, Sumpah Hippocrates Aspek Hukum Malpraktik Dokter, Citra Aditya Bakti, Bandung . 2005. hlm.2-3.
Lenny Nadriana
saian atas kasus dugaan kelalaian medis itu saling bertolak belakang. Rumusan pasal 66 ayat 1 UU no 29 tahun 2004 masih memungkinkan seorang dokter untuk memilih MKDKI sebagai alternatif penyelesaian kasus. Pasal ter-sebut menyebutkan bahwa : Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan oleh tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktek kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Dari rumusan ini, tidak hanya pasien saja yang bisa mengadukan kepada pihak MKDKI sebagai pihak yang dirugikan namun seorang dokter atau pihak lain diluar pelaku konflik bisa memilih pilihan MKDKI sebagai orang yang mengetahui. Seorang pasien yang dirugikan oleh tindakan dokter tentu saja lebih tertarik pada penyelesaian melalui jalur keperdataan atau pidana dari pada MKDKI atau MKEK karena faktanya esprit de corps di kalangan dokter sangat kuat, pilihan ini tentu berbeda dengan dokter. Persoalan tentu akan muncul pada saat keputusan MKDKI atau MKEK menyatakan tidak bersalah. UU No 29 tahun 2004 tidak mengatur kekuatan mengikat dari keputusan MKDKI atau pun MKEK terhadap pihak lain diluar dokter, dokter gigi, konsil kedokteran Indonesia dan pada sisi lain Undang-Undang memungkinkan penyelesaian kasus diluar MKDKI dan MKEK. Oleh karena itu, tidak tertutup kemungkinan, nantinya ada kasus yang divonis tidak bersalah oleh MKDKI atau MKEK dan di sisi lain pihak pasien telah mengadukan dugaan tindak pidananya kepada pihak yang berwenang atau mengajukan gugatan perdata dan pengadilan memutuskan lain. Kondisi ini tentu menciptakan tanda tanya terhadap proses perkara yang sedang berjalan di jalur keperdataan ataupun kepidanaan. Penegakan hukum yang proporsional terhadap tindakan dokter yang diduga melakukan tindakan malpraktik medik selain memberi perlindungan hukum bagi masyarakat sebagai konsumen dan biasanya mempunyai kedudukan lemah, dilain pihak juga bagi dokter yang tersangkut dengan persoalan hukum jika memang telah melalui proses peradilan dan terbukti tidak me241
Jurnal Lex Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 239 - 254
lakukan perbuatan malpraktik akan dapat mengembalikan nama baiknya yang dianggap telah tercemar, karena hubungan dokter dan pasien bukanlah hubungan yang sifatnya kerja biasa atau atasan bawahan tapi sifatnya kepercayaan. Pasien akan datang pada seorang dokter untuk menyerahkan urusan kesehatannya karena ia percaya atau yakin pada kemampuan dokter tersebut melalui penawaran terbuka yang diberikan dokter lewat pemasangan plang nama dan kualifikasi keahliannya (misalnya spesialis apa). Dengan demikian reputasi dokter sehingga menimbulkan kepercayaan pasien adalah modal. Istilah malpraktik medik awalnya memang tidak dikenal dalam sistem hukum kita. Tidak ada peraturan perundangan yang secara khusus menyebut masalah malpraktik ini. Hal ini wajar mengingat istilah ini berasal dari sistem hukum Anglo Saxon, meskipun sebenarnya ada beberapa peraturan hukum seperti KUHPerdata (perbuatan wanprestasi/pasal 1243 BW dan Perbuatan melawan hukum dalam pasal 1365BW) serta beberapa pasal konvensional dalam KUHP (seperti pasal 359,360 dan 344) yang meskipun tidak secara ekspilisit menyebut ketentuan tentang malpraktik namun dapat digunakan sebagai dasar pengajuan gugatan perdata atau tuntutan pidana.4 B. Permasalahan Bila diamati secara umum, Indonesia sekarang ini memasuki era “krisis malpraktek”. Hubungan dokter dan pasien yang awalnya saling percaya, sekarang menjadi hubungan yang saling curiga. Tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien atau keluarganya kepada pihak rumah sakit dan atau dokternya semakin meningkat. Tuntutan hukum tersebut dapat berupa tuntutan pidana maupun perdata, dengan hampir selalu mendasarkan kepada teori hukum kelalaian. Perilaku yang dituntut merupakan kumpulan dari kelompok perilaku profesional medis yang “menyimpang” dari standar profesi medis dan mengakibatkan cedera, kematian atau kerugian bagi pasiennya. Kasus-kasus dugaan malpraktek yang pernah terekspos media antara lain kasus malpraktek terhadap Pramita Wulansari. Wanita ini meninggal dunia tidak lama setelah menjala4
Danny Wiradharma. Hukum Kedokteran. Binarupa Aksara, Jakarta. 1996, hlm 64.
242
ni operasi caesar di Rumah Sakit Surabaya Medical Service. Korban mengalami infeksi pada saluran urin dan kemudian menjalar ke otak. (www.indosiar.com/tags/malpraktek). Di Indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja profesi dokter terus berkembang. Tuntutan masyarakat untuk membawa kasus dugaan malpraktek medis ke pengadilan, dapat dipahami mengingat sangat sedikit jumlah kasus malpraktek medis yang diselesaikan di pengadilan. Baik secara hukum perdata, hukum pidana atau dengan hukum administrasi. Padahal media massa nasional juga daerah berkalikali melaporkan adanya dugaan malpraktek medis yang dilakukan dokter tetapi tidak berujung pada penyelesaian melalui sistem peradilan. Masyarakat sering beranggapan keliru bahwa tindakan medis yang menimbulkan kerugian dapat dikategorikan sebagai malpraktek medis. Hal tersebut dikarenakan, hukum kedokteran Indonesia belum dapat merumuskan secara mandiri sehingga batas-batas tentang malpraktek medis belum dapat dirumuskan, akibatnya isi, pengertian, dan batasan-batasan malpraktek medis belum seragam bergantung pada sisi mana orang memandangnya.5 Kelemahan sistem hukum kesehatan di Indonesia karena Indonesia belum memiliki hukum normatif (Undang-Undang) tentang malpraktek medis sehingga pengaturan dan ketentuan yuridis bila terjadi malpraktek tidak ada. Permasalahan lain yakni, kesediaan dokter yang dijadikan saksi ahli dalam suatu kasus dugaan malpraktek karena diantara dokter itu sendiri terdapat perlindungan korps dan saling berusaha untuk tidak membeberkan kesalahan dokter lainnya. Namun, tidak berarti upaya-upaya hukum untuk menuntut hak pasien berkaitan dengan kasus malpraktek selamanya akan gagal. Pasien dengan bekal pembuktian yang kuat dan bila dokter benar-benar terbukti melakukan malpraktek, pasti hak pasien akan diterima kembali. Oleh karena itu, pasien yang merasa memiliki keluhan atas pelayanan medis yang diterimanya di institusi kesehatan, harus mengumpulkan informasi sebanyak mungkin agar upaya menuntut keadilan atas haknya tidak sia-sia. 5
Adami Chazawi. Malpraktik Kedokteran. Bayumedia, Malang, 2007, hlm. 4.
Pembuktian Kasus Malpraktek di Indonesia
Jurnal Lex Publica
C. Pembahasan Dalam hukum kesehatan antara pasien dan dokter terdapat hubungan yang bersifat paternalistik yaitu kepercayaan yang bertolak dari prinsip “Father Knows Best” yang memberikan ketergantungan pasien kepada dokter. Hubungan interaksi antara dokter dan pasien sangatlah pribadi antar individu. Hubungan interakasi tersebut disebut “transaksi terapeutik” yang dilindungi oleh hukum. Dari transaksi terapeutik ini muncul sifat inspannings verbintesis. Sesuai pendapat dari Met Zorgen Inspannings6 bahwa objek perikatan dari hubungan antara dokter dan pasien berupa kewajiban berusaha untuk menyembuhkan pasien yang dilakukan dengan hati-hati dan usaha keras. Dengan landasan yang sangat mendasar dari posisi keduanya maka pihak-pihaknya harus benar-benar memahami urgensi posisinya. Dalam malprakteklah hubungan keduanya ini sering terjadi benturan dan yang melahirkan kesalahan terutama dari pihak dokter. Padahal posisi dokter sangat penting. Karena pasien datang ke dokter pada dasarnya adalah untuk sembuh. Tanpa disadari bahwa ada kemungkinan lain yaitu penyakitnya tambah parah atau berujung pada kematian. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktik” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktik berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”.7 Dalam kamus bahasa medis Malpraktik adalah prilaku atau praktek medis (Kedokteran/ Keperawatan) yang dilakukan dengan salah (keliru) dan melanggar keetisan dan undang-undang, yang mana dalam menjalankan profesionalnya itu menimbulkan cedera pada pasien atau kerugian fatal lainya.8 Definisi malpraktik profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society
Lenny Nadriana
de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).9 Pengertian malpraktik medik menurut WMA (World Medical Associations) adalah Involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or a lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient (adanya kegagalan dokter untuk menerapkan standar pelayanan terapi terhadap pasien, atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang menjadi penyebab langsung terhadap terjadinya cedera pada pasien). Dapat kita katakan bahwa semua bidang dalam kehidupan kita telah mempunyai hukumnya sendiri termasuk bidang kesehatan yang telah mempunyai hukumnya sendiri. Namun, perlu diterangkan bahwa hukum dalam hubungannya dengan bidang kesehatan yang diterangkan di sini ialah hukum yang tertulis. Meskipun dalam praktik, seorang hakim tidak mboleh menolak kasus yang diajukan, walaupun kasus tersebut belum mempunyai dasar hukum tertulis. Terdapat contoh yang dapat diterangkan mengenai malpraktik dalam hubungannya dengan bidang hukum. Misalnya dalam bidang hukum yang biasa disebut dengan istilah malpraktik yuridis, seperti malpraktik sipil (civil malpractice), malpraktik administrasi (administration malpractice), dan criminal malpractice.10 1. Civil malpractice Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice, antara lain: tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya, melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna, melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
6
Lihat dalam Ameln, Fred, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, 1991, hal. 29 7 http://Wikipedia.malpaktik.com 8 M. Dachlan. Y Al-Barry, Yustina Akmalia, S.Kp, A. Rahman Usman ; Kamus Istilah Medis, 2000.
9
Lihat dalam Safitri Hariyani, Sengketa Medik, (Jakarta: Diadit Media, 2004), hlm. 58. 10 Adami Chazawi. 2007, Op. Cit hlm 99.
243
Jurnal Lex Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 239 - 254
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya. 2. Administrative malpractice Tenaga bidang kesahatan dikatakan telah melakukan administrative malpractice apabila tenaga bidang kesehatan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga bidan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi. 3. Criminal Malpractice Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice apabila perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni : a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela. b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence). c. Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP). d. Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent. e. Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati 244
mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien. Pertanggung jawaban di depan hukum pada criminal malpractice bersifat individual/ personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/ sarana kesehatan. Sebelum lebih jauh melangkah ke depan untuk menjelaskan tentang pembuktian malpraktik, kita harus tahu membedakan anatara malpraktik dan resiko medis. Perbedaan yang ingin dijelaskan di sini cukup sederhana, yaitu malpraktik menyebabkan petugas kesehatan dapat dituntut, sedangkan resiko medis tidak dapat menyebabkan petugas kesehatan dituntut. Untuk lebih jelasnya, marilah kita memperhatikan uraian singkat ini. Untuk dapat menikmati manfaat dari semua tindakan kita, pasti ada resiko yang akan kita hadapi. Hal inilah yang selalu kita temukan dalam kehidupan kita, meskipun resiko itu tergolong resiko yang sangat kecil dibandingkan dengan manfaat yang akan kita hadapi dan tak perlu diperhatikan sebagai suatu hambatan. Namun dalam hubungannya dengan bidang kesehatan, kita harus memperhatikan resiko itu, sekecil apapun itu, karena saat kita berbicara tentang kesehatan, maka hal itu dapat berujung pada kelumpuhan atau bahkan kematian. Dalam bidang kesehatan, hasil yang tidak diharapkan dapat saja muncul karena beberapa kemungkinan, yakni :11 1. Hasil dari sebuah perjalanan penyakit, atau komplikasi penyakit yang tidak ada hubunganya dengan tindakan medik yang dilakukan oleh petugas kesehatan. 2. Hasil dari resiko yang tak dapat dihindari, misalnya : a. Resiko yang tak dapat diketahui sebelumnya (unforeseeable). Resiko ini sangat mungkin terjadi dalam dunia kesehatan karena sifat ilmu yang empiris dan sifat tubuh manusia yang bervariasi. Misalnya syok anafilaktik. b. Resiko yang telah diketahui sebelumnya (forseeable) tetapi dapat diterima (acceptable). Resiko ini bia11
Alexandra Indriyanti Dewi, Etika Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2008. hlm.267.
Pembuktian Kasus Malpraktek di Indonesia
Jurnal Lex Publica
sanya telah diinformasikan kepada pasien sebelum tindakan medik dilakukan, baik resiko itu tergolong kecil dan dapat diantisipasi maupun yang tergolong besar karena merupakan satu-satunya cara untuk dapat disembuhkan, terutama dalam keadaan darurat.
Lenny Nadriana
Selain itu, dalam ilmu hukum terdapat adagium volontie non fit injura atau assumpsion of risk yang maksudnya ialah bahwa seseorang yang telah menempatkan dirinya ke dalam suatu bahaya yang sudah ia ketahui, maka ia tak dapat menuntut pertanggung jawaban pada orang lain apabila hal itu benar-benar terjadi. Malpraktik dapat masuk ke ranah hukum pidana bila :13 1. Syarat sikap batin dokter : sengaja atau tidaknya seorang dokter melakukan malpraktik medik. 2. Syarat perlakuan medis : perlakuan medis yang menyimpang atau tidak sesuai prosedur standar. 3. Syarat mengenai hal akibat : timbulnya kerugian bagi kesehatan atau nyawa pa-
sien. Namun, ada juga yang disebut rahasia medik yang diatur dalam pasal 322 KUHP, yang menerangkan bahwa Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah. Menurut perumusan pasal 224 KUHP sesorang yang dipanggil oleh Pengadilan sebagai saksi ahli harus datang memenuhi panggilan menghadap untuk memberikan keterangan tentang sesuatu yang terletak di bidang keahliannya. Ini adalah kewajiban hukum bagi setiap orang termasuk juga profesi kedokteran. Dalam perkembangan pelayanan medis ternyata memiliki berbagai faktor yang turut mempengaruhi sehingga telah mengakibatkan hubungan antara dokter dan pasien semakin tidak pribadi. Misalnya, semakin banyak pasien menunggu dan dokter mengejar waktu untuk berpraktek di tempat lain atau dengan semakin banyak peralatan diagnosis (penentuan jenis penyakit) dan terapeutik yang digunakan sehingga tidak lagi diperlukan penanganan secara langsung oleh dokter sendiri sehingga dokter sering lalai dan mempercayakan seluruhnya kepada peralatan medis tersebut. Telah menjadi kenyataan bahwa alat teknologi medis yang maju mampu meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan jangkauan diagnosis dan terapi sampai kepada batasan yang tidak dibayangkan atau diduga sebelumnya. Kendati demikian alat teknologi yang modern tidak selalu mampu menyelesaikan problema penyakit dari seorang penderita, bahkan adakalanya menimbulkan efek samping bagi pasien seperti misalnya cacat, bahkan sampai mengakibatkan kematian.14 Sampai sekarang, hukum kedokteran di Indonesia belum dapat dirumuskan secara mandiri sehingga batasan-batasan mengenai malpraktek belum bisa dirumuskan, sehingga isi pengertian batasan-batasan malpraktek kedokteran belum seragam bergantung pada sisi mana orang memandangnya. Pasal 66 Ayat (1) Un-
12
14
Resiko medik di Indonesia tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi dijelaskan dalam beberapa bentuk lain, yakni :12 1. Informed consent, yakni merupakan persetujuan tindakan medik yang ditandatangani oleh pasien yang mengizinkan suatu tindakan tertentu terhadap dirinya. Dokumen ini bermaksud agar melindungi petugas kesehatan dari tuntutan yang mungkin akan muncul di kemudian hari dan merupakan pernyataan penentuan nasib sendiri oleh pasien tersebut. 2. Pasal 45 ayat (1), (2), (3),(4),(5) undangundang nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran. 3. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia nomor 585/Men.Kes/Per/IX/ 1989 tentang persetujuan tindakan medik. 4. Pernyataan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia tentang informed consent.
Y.A. Trianan Ohoiwutun. Bunga Rampai Hukum Kedokteran. Bayumedia. Malang. 2007, hlm. 87. 13 Danny Wiradharma. 1995, Op. cit, hlm 82.
Munir Fuady, Sumpah Hippocrates Aspek Hukum Malpraktik Dokter, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. hlm. 12-13.
245
Jurnal Lex Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 239 - 254
dang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran mengandung kalimat yang mengarah pada kesalahan praktek kedokteran yaitu ”setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktek kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia”. Aturan ini hanya memberi dasar hukum untuk melaporkan dokter ke organisasi profesinya apabila terdapat tindakan yang membawa kerugian, bukan pula sebagai dasar untuk menutut ganti rugi atas malpraktek kedokteran. Pasal itu hanya mempunyai sudut hukum administrasi praktikkedokteran. Malpraktek medik memang merupakan konsep pemikiran Barat khususnya Amerika. Dalam kepustakaan Amerika secara jelas menggunakan medical malpractice karena istilah ini berkembang dari sistem hukum tort atau sistem juri yang mana tidak dikenal dalam sistem hukum di Indonesia. Hukum itu mempunyai 3 pengertian, sebagai sarana mencapai keadilan, yang kedua sebagai pengaturan dari penguasa yang mengatur perbuatan apa yang boleh dilakukan, dilarang, siapa yang melakukan dan sanksi apa yang akan dijatuhkan (hukum objektif). Dan yang ketiga hukum itu juga merupakan hak.Oleh karenanya penegakan hukum bukan hanya untuk medapatkan keadilan tapi juga hak bagi masyarakat (korban). Praktik kedokteran bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan siapa saja, tapi hanya dapat dilakukan oleh kelompok professional kedokteran yang berkompeten dan memenuhi standar tertentu. Secara teoritis terjadi sosial kontrak antara masyarakat profesi dengan masyarakat umum. Dengan kontrak ini memberikan hak kepada masyarakat profesi untuk mengatur otonomi profesi, standar profesi yang disepakati. Sebaliknya masyarakat umum (pasien) berhak mendapatkan pelayanan sesuai dengan standar yang diciptakan oleh masyarakat profesional tadi. Dengan demikian dokter memiliki tanggungjawab atas profesinya dalam hal pelayanan medis kepada pasiennya.15 15
Kayus Koyowuan Lewloba. Malpraktek Dalam Pelayanan Kesehatan (MalpraktekMedis). Bina Widya, Jakarta, 2008, hlm. 3
246
Tanggungjawab profesi dokter ini dapat dibedakan atas tanggungjawab etik dan tanggungjawab hukum.Tanggungjawab hukum terbagi atas hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana. Terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum ini dapat dilakukan tindakan ataupun penegakan hukum. Dalam hal penegakan hukum ini Sacipto Rahardjo16 menyatakan bahwa hakekat penegakan hukum adalah suatu proses untuk mencapai keinginan atau ide hukum menjadi kenyataan. Keinginan atau ide itu merupakan pikiran pembentuk UU berupa konsep keadilan,kepastian hukum dan kemanfaatan sosial yang dituangkan dalam rumusan suatu peraturan. Pendapat yang lebih sempit disebutkan oleh Soetandyo Wignjosoebroto,17 bahwa penegakan hukum adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum baik tindakan pencegahan juga penindakan dalam menerapkan ketentuan hukum yang berlaku guna tercipta kedamaian, keamanan, ketertiban demi kepastian hukum dalam masyarakat. Makna penegakan hukum dalam penanganan kasus malpraktik medik dimaksudkan sebagai upaya mendayagunakan atau memfungsikan instrument/perangkat hukum (hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana) terhadap kasus malpraktik guna melindungi masyarakat (pasien) dari tindakan kesengajaan atau kelalaian dokter dalam melakukan tindakan medik. Malpraktik medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Kelalaian yang dimaksudkan disini adalah sikap kurang hati-hati yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Dapat juga disebut kelalaian jika tindakan dokter dilakukan di bawah standar pelayanan medik. Kelalaian bukanlah suatu kejahatan 16
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, hal. 33 17 Soetandyo Wignjosoebroto, “Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya”, ELSAM, Jakarta. 2002. hal. 42.
Pembuktian Kasus Malpraktek di Indonesia
Jurnal Lex Publica
jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang tersebut dapat menerimanya (de minimus non curat lex= hukum tidak mengurusi hal-hal sepele), tapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain maka dapat diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata) yang tolok ukurnya adalah bertentangan dengan hukum, akibatnya dapat dibayangkan, akibatnya dapat dihindarkan dan perbuatannya dapat dipersalahkan. Terhadap akibat seperti ini adalah wajar jika si pembuatnya di hukum.18 Sehubungan dengan hal ini, Adami Chazawi19 juga menilai tidak semua malpraktik medik masuk dalam ranah hukum pidana. Ada 3 syarat yang harus terpenuhi, yaitu pertama sikap bathin dokter (dalam hal ini ada kesengajaan/ dolus atau culpa), yang kedua syarat dalam perlakuan medis yang meliputi perlakuan medis yang menyimpang dari standar profesi kedokteran, standar prosedur operasional, atau mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai sebab antara lain tanpa STR atau SIP, tidak sesuai kebutuhan medis pasien. Sedangkan syarat ketiga untuk dapat menempatkan malpraktek medik dengan hukum pidana adalah syarat akibat, yang berupa timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu luka-luka (pasal 90 KUHP) atau kehilangan nyawa pasien sehingga menjadi unsur tindak pidana. Selama ini dalam praktek tindak pidana yang dikaitkan dengan dugaan malpraktik medik sangat terbatas. Untuk malpraktek medik yang dilakukan dengan sikap bathin culpa hanya 2 pasal yang biasa diterapkan yaitu Pasal 359 (jika mengakibatkan kematian korban) dan Pasal 360 (jika korban luka berat). pada tindak pidana aborsi criminalis (Pasal 347 dan 348 KUHP). Hampir tidak pernah jaksa menerapkan pasal penganiyaan (pasal 351-355 KUHP) untuk malpraktik medik. Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsure sifat melawan hukum baik yang dicantumkan dengan tegas ataupun tidak. Secara umum sifat melawan hukum malpraktik 18
Guwandi. Dugaan Malpraktek Medis dan Draft RPP ―Perjanjian Terapetik Antara Dokter dan Pasien‖. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 53. 19 Adami Chazawi. 2007, Op. Cit, hlm 108.
Lenny Nadriana
medik terletak pada dilanggarnya kepercayaan pasien dalam kontrak teurapetik tadi. Dari sudut hukum perdata, perlakuan medis oleh dokter didasari oleh suatu ikatan atau hubungan inspanings verbintenis (perikatan usaha), berupa usaha untuk melakukan pengobatan sebaik-baiknya sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, kebiasaan umum yang wajar dalam dunia kedokteran tapi juga memperhatikan kesusilaan dan kepatutan. Perlakuan yang tidak benar akan menjadikan suatu pelanggaran kewajinban (wanprestasi).20 Ada perbedaan akibat kerugian oleh malpraktik perdata dengan malpraktik pidana. Kerugian dalam malpraktik perdata lebih luas dari akibat malpraktik pidana. Akibat malpraktik perdata termasuk perbuatan melawan hukum terdiri atas kerugian materil dan idiil, bentuk kerugian ini tidak dicantumkan secara khusus dalam UU.21 Berbeda dengan akibat malpraktik pidana, akibat yang dimaksud harus sesuai dengan akibat yang menjadi unsure pasal tersebut. Malpraktik kedokteran hanya terjadi pada tindak pidana materil (yang melarang akibat yang timbul, dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana). Dalam hubungannya dengan malpraktik medik pidana, kematian,luka berat, rasa sakit atau luka yang mendatangkan penyakit atau yang menghambat tugas dan matapencaharian merupakan unsur tindak pidana. Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran maka ia hanya telah melakukan malpraktik etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian maka penggugat harus dapat membuktikan adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien, dokter telah melanggar standar pelayananan medik yang lazim dipergunakan, penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya. Terkadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tergugat. Dalam hukum dikenal istilah Res Ipsa Loquitur (the things speaks for itself),22 misal20
Bahder Johan Nasution. 2005. Hukum Kesehatan dan Pertanggungjawaban Dokter. Jakarta: PT Rineka Cipta. hal. 17. 21 Agus Irianto. Analisis Yuridis Kebijakan Pertanggungjawaban Dokter Dalam Malpraktik. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2006, hlm. 32. 22 Danny Wiradharma, 1996, Hukum Kedokteran, Jakarta: Binarupa Aksara, hal 64.
247
Jurnal Lex Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 239 - 254
nya dalam hal terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut pasien sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya. Tuntutan terhadap malpraktek kedokteran seringkali kandas di tengah jalan karena sulitnya pembuktian. Dalam hal ini pihak dokter perlu membela diri dan mempertahankan hak-haknya dengan mengemukakan alasan-alasan atas tindakannya. Baik penggugat dalam hal ini pasien, pihak dokter maupun praktisi (hakim dan jaksa) mendapatkan kesulitan dalam mengahadapi masalah malpraktek kedokteran ini, terutama dari sudut teknis hukum atau formulasi hukum yang tepat untuk digunakan karena memang belum diatur secara khususnya mengenai malpraktek medik di Indonesia. Penegakan hukum tindak pidana malpraktek medik masih menggunakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Praktek Kedokteran, Undang-Undang Kesehatan serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran serta UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak mengatur secara khusus atau tidak dikenal adanya tindak pidana malpraktek medik. Pemberlakuan ketentuan-ketentuan pidana yang tercantum dalam KUHP hanya merupakan ultimum remedium, yakni ketentuan-ketentuan pidana yang digunakan karena dalam penyelenggaraan praktek kedokteran telah menimbulkan korban baik luka, cacat serta kematian sementara tidak diaturnya ketentuan khusus tentang tindak pidana malpraktek medik dalam penyelenggaraan praktek kedokteran. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Hak Asasi Manusia serta Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, hanya mengatur mengenai pemberian perlindungan terhadap hak korban akibat pelanggaran HAM berat dengan memberikan hak kompensasi dan restitusi, sedangkan perlindungan hak korban yang diakibatkan oleh malpraktek medik (bukan pelanggaran HAM berat) diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan memberikan hak ganti kerugian materiil. 248
Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara tenaga kesehatan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaat verbintenis).23 Sebagai contoh adanya komplain terhadap tenaga bidan dari pasien yang menderita radang uretra setelah pemasangan kateter. Apakah hal ini dapat dimintakan tanggung jawab hukum kepada tenaga bidan? Yang perlu dipahami semua pihak adalah apakah ureteritis bukan merupakan resiko yang melekat terhadap pemasangan kateter? Apakah tenaga bidan dalam memasang kateter telah sesuai dengan prosedur profesional ? Hal-hal inilah yang menjadi pegangan untuk menentukan ada dan tidaknya malpraktek. Apabila tenaga bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan. Dalam hal tenaga bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni : a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela. b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila tenaga bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hatihati ataupun kurang praduga. Namun biasanya dalam kasus criminal malpractice pembuktiannya dilakukan dengan 2 cara, yakni :24 1. Cara langsung 23
Adami Chazawi, Op cit, hlm 43. Oemar Seno Adji, Etika Professional Dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter ―Profesi Dokter‖, Jakarta: Erlangga, Cet. ke-4, 1991, hal. 59. 24
Pembuktian Kasus Malpraktek di Indonesia
Jurnal Lex Publica
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni : a. Duty (kewajiban) Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga perawatan haruslah bertindak berdasarkan 1) Adanya indikasi medis,) Bertindak secara hati-hati dan teliti, 3) Bekerja sesuai standar profesi, 4) Sudah ada informed consent. b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang tenaga perawatan melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka tenaga perawatan tersebut dapat dipersalahkan. c. Direct Causation (penyebab langsung) d. Damage (kerugian) Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga perawatan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien). 2. Cara tidak langsung Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria: a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalai. b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawa-
Lenny Nadriana
tan. c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence. Lalu bagaimanakah cara menghadapi tuntutan hukum dalam hubungannya dengan kasus malpraktik? Dalam kasus tuduhan kepada bidan yang merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan dapat melakukan : 1. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan. Dalam informal defence ini hendaknya bidan menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya, apakah itu merupakan kesengajaan, atau resiko medik atau hal-hal yang lain. 2. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggungjawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggungjawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa. Dengan demikian, bidan harus membuktikan hal-hal di atas agar dapat terlepas dari tuntutan. Dalam Undang Undang Nomor 29 Nomor 29 Tahun 2004 tidak diatur secara tegas mengenai malpraktik medis. Memang pada UU tentang Praktik Kedokteran konsep DPR yang diusulkan, ada bab dan pasal-pasal yang mengatur pembentukan Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Medis yang meliputi penyelenggaraan Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Medis, Susunan Pengadilan, Kekuasaan Pengadilan Disiplin Profesi Tenaga Medis dan Pengadilan Tinggi Disiplin 249
Jurnal Lex Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 239 - 254
Profesi Tenaga Medis, Hukum Acara, dan Pemeriksaan Peninjauan Kembali, dimana peradilan ini merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi masyarakat pencari keadilan terhadap sengketa akibat tindakan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam praktik kedokteran. Namun dalam pembahasan antara DPR dan Pemerintah pasal peradilan ini disepakati ditiadakan karena pertimbangan antara lain sumberdaya manusia yaitu dokter dan dokter gigi sebagai hakim profesi meskipun dalam UU tentang Kehakiman dimungkinkan pembentukannya. Dengan demikian maka jika terjadi kelalaian yang menimbulkan luka atau mati pada pasien, maka akan tetap diadili sesuai ketentuan hukum pidana di pengadilan negeri dan gugatan sesuai dengan hukum perdata untuk tuntutan ganti rugi. Dalam UU tentang Praktik Kedokteran memang tidak dibentuk peradilan profesi, tetapi dengan UU tersebut dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia dalam menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. Sedangkan MKDKI tidak dapat menetapkan semacam “uang tali kasih” seperti hal nya Medische Tucht Raad25 di Belanda sehingga pasien tidak perlu menggugat secara perdata ke Pengadilan. Ini yang dinilai masyarakat sebagai kritikan bahwa UU tentang Praktik Kedokteran tidak mengatur malpraktik karena tidak ada satu katapun ada istilah malpraktik didalamnya, tetapi sebenarnya pengaturan ini ada jika dicermati dari pengertian malpraktik dan pencegahannya. Pengaturan kelalaian yang menyebabkan luka atau kematian memang tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang Undang Hukum Perdata dalam hal permintaan ganti rugi, tetapi pengaturan untuk mencegah terjadinya kelalaian, penetapan kewajiban dan standarstandar telah diatur dalam UU ini sehingga diharapkan dapat terlaksana sesuai tujuannya. Pengaturan dimaksud meliputi surat tanda registrasi, surat izin praktik, pelaksanaan praktik,
standar pendidikan, hak dan kewajiban dokter dan dokter gigi, standar kompetensi, standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi (informed consent), rekam medis, rahasia kedokteran, kendali mutu dan kendali biaya. Ketentuan pengaturan jika terjadi dugaan kelalaian medis dokter dituntut secara pidana dan atau perdata dapat membuat stress kalangan profesi medis yang disamakan dengan pesakitan pada ummunya. Hal ini sebenanya juga akan berdampak kepada masyarakat dengan penerapan “defensive medicine” dan kemungkinan pemeriksaan penunjang yang berlebihan. Sebagai perbandingan di New Zealand untuk setiap orang yang terluka /mati termasuk karena adanya kelalaian medis ganti rugi akan diberikan oleh The Accident Compensation Corporation (ACC) jadi tidak perlu melalui jalur pengadilan. Sedangkan dokter/dokter gigi akan dibawa ke pengadilan jika benar-benar melakukan tindak pidana misal mencuri uang pasien atau melakukan perbuatan asusila kepada pasien.26 Jika terjadi dugaan kelalaian dokter/dokter gigi akan dibawa terlebih dahulu ke Medical Council dimana di dalamnya terdapat Professional Conduct Committees atau diajukan kepada Health & Disability Commissioner yang melindungi hak-hak konsumen termasuk pasien. Jika tidak dapat diselesaikan maka akan diajukan ke NZ Health Practitioners Disciplinary Tribunal dimana sanksinya pencabutan sementara/tetap registrasinya Jadi tidak langsung ke Pengadilan sebagaimana di Indonesia pasien dapat langsung ke Pengadilan tanpa perlu melalui MKDKI terlebih dahulu, bahkan dokter/dokter gigi dapat digugat ke Pengadilan sekaligus ke MKDKI.27 Berkaitan dengan malpraktik ketentuan pidana baik berupa tindak kesengajaan (professional misconducts) ataupun akibat culpa (kelalaian/ kealpaan) sebagai berikut : a. Menyebabkan mati atau luka karena kelalaian (Pasal 359 KUHP, Pasal 360 KUHP, Pasal 361 KUHP); b. Penganiayaan (Pasal 351 KUHP), untuk tindakan medis tanpa persetujuan dari
25
26
M. Jusuf Hanafiah, 1999, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal 45.
250
Y.A. Trianan Ohoiwutun, 2007, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Malang: Bayumedia, hal 69. 27 Ibid., hal 70.
Pembuktian Kasus Malpraktek di Indonesia
Jurnal Lex Publica
pasien (informed consent); c. Aborsi (Pasal 341 KUHP, Pasal 342 KUHP, Pasal 346 KUHP, Pasal 347 KUHP, Pasal 348 KUHP, Pasal 349 KUHP); d. Euthanasia (Pasal 344 KUHP, Pasal 345 KUHP); e. Keterangan palsu (Pasal 267-268 KUHP); Seorang dokter atau dokter gigi yang menyimpang dari standar profesi dan melakukan kesalahan profesi belum tentu melakukan malpraktik medis yang dapat dipidana, malpraktik medis yang dipidana membutuhkan pembuktian adanya unsur culpa lata atau kalalaian berat dan pula berakibat fatal atau serius (Ameln, Fred, 1991). Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 359 KUHP, pasal 360, pasal 361 KUHP yang dibutuhkan pembuktian culpa lata dari dokter atau dokter gigi. Dengan demikian untuk pembuktian malpraktik secara hukum pidana meliputi unsur : a. Telah menyimpang dari standar profesi kedokteran; b. Memenuhi unsur culpa lata atau kelalaian berat; dan c. Tindakan menimbulkan akibat serius, fatal dan melanggar pasal 359, pasal 360, KUHP. Adapun unsur-unsur dari pasal 359 dan pasal 360 sebagai berikut : a. Adanya unsur kelalaian (culpa). b. Adanya wujud perbuatan tertentu . c. Adanya akibat luka berat atau matinya orang lain. d. Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain itu. Berbagai kasus malpraktik medis yang diajukan gugatan secara perdata didasarkan pada ketentuan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad, tort) yang diatur dalam pasal 1365, pasal 1366, pasal 1367 KUH Perdata. Berkaitan dengan ganti rugi ini juga diatur dalam pasal 55 UU Kesehatan sebagai berikut : a. Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan pe-
Lenny Nadriana
raturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pembuktian perkara perdata, pihak yang mendalilkan sesuatu harus mengajukan bukti-buktinya. Dalam hal ini dapat dipanggil saksi ahli untuk diminta pendapatnya. Jika kesalahan yang dilakukan sudah demikian jelasnya (res ipsa loquitur, the thing speaks for itself) sehingga tidak diperlukan saksi ahli lagi, maka beban pembuktian dapat dibebankan pada dokternya. Namun demikian ada pula masyarakat yang melakukan penyelesaian melalui jalan lain yang dianggap lebih cepat yaitu melalui mediasi yang dilakukan oleh lembaga kemasyarakatan yang bergerak di bidang kesehatan. Masalahnya disini jika dokter/dokter gigi tidak “deal” membayar ganti rugi maka kasus itu akan dipublikasikan dan dibawa ke pengadilan, sehingga dokter/dokter gigi yang belum tentu melakukan kelalaian, yang tidak ingin namanya tercemar dan digugat ke Pengadilan memilih “deal” dalam mediasi tersebut. Dalam kasus-kasus di mana dokter merupakan salah satu pihak (kasus kasus kesalahan/kelalaian dokter dalam melaksanakan profesi), salah satu kendala yang dihadapi dalam proses pembuktian ialah keterangan ahli. Berdasarkan Pasal 186 KUHAP, keterangan ahli yang dimaksudkan di sini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam satu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan tersebut. Apabila hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik/penuntut umum, maka pada waktu pemeriksaan di sidang pengadilan diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan sidang mengenai kebenaran keterangannya sebagai saksi ahli. Sumpah atau janji yang diucapkan di muka sidang mengenai kebenaran keterangannya yang diberikan sebagai saksi ahli ini harus dibedakan dengan sumpah/janji yang diucapkan pada waktu menerima jabatan/pekerjaan. Keterangan ahli yang dimaksudkan oleh Pasal 186 KUHAP tersebut bila dikaitkan de251
Jurnal Lex Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 239 - 254
ngan hubungan antara dokter dan pasien dapat dituangkan dalam bentuk baik tertulis maupun tidak tertulis. Keterangan ahli yang berwujud tertulis dapat berupa Rekam Medik (RM) yang dari segi formal merupakan himpunan catatan mengenai hal-hal yang terkait dengan riwayat perjalanan penyakit dan pengobatan/perawatan pasien. Sedangkan dari segi material, isi RM meliputi identitas pasien, catatan tentang penyakit, hasil pemeriksaan laboratorik, foto rontgen, dan pemeriksaan USG. Hal ini secara jelas diatur dala Pasal 1a Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 749a/Menkes/PER/XII/1989 tentang Rekam Medis (RM). Selanjutnya dalam Pasal 5 Per.Men.Kes. RI. tersebut juga menyebutkan bahwa setiap pencatatan ke dalam RM harus dibubuhi dengan nama dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan/tindakan medis tertentu. Oleh karena itu RM berfungsi selain sebagai sarana komunikasi dan informasi antara dokter dan pasien, juga dapat berfungsi sebagai sarana administrasi bila kegiatan itu dilakukan di rumah sakit. Fungsi legal dari RM adalah sebagai alat bukti bila terjadi silang pendapat/tuntutan dari pasien, dan di lain pihak sebagai perlindungan hukum bagi dokter. Yang penting ialah bahwa RM yang merupakan catatan mengenai dilakukannya tindakan medis tertentu itu secara implisit juga mengandung Persetujuan Tindakan Medik (yang didasarkan pada “informed consent”), karena tindakan medis tertentu itu tidak ada persetujuan dari pasien. Dengan demikian, apabila RM yang mempunyai multifungsi tersebut dikaitkan dengan Pasal 184 KUHAP, maka RM selain berfungsi sebagai alat bukti suratjuga berfungsi sebagai alat bukti keterangan ahli. Mengenai alat bukti surat ini, menurut ketentuan Pasal 187 KUHAP adalah surat-surat yang dibuat oleh pejabat-pejabat resmi yang berbentuk berita acara, akta, surat keterangan atau surat yang lain yang mempunyai kaitan dengan perkara yang disidangkan. Syarat mutlak untuk menentukan dapat tidaknya surat dikategorikan sebagai alat bukti ialah surat tersebut harus dibuat di atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Dalam kaitannya dengan hubungan dokter - pasien dalam hal terjadi kesalahan/kelalaian dokter dala melaksanakan profesinya yang ber252
akibat merugikan pasien, ada 4 (empat) macam surat yang dihasilkan dari hubungan tersebut, yaitu (1) kartu berobat (medical card); (2) persertujuan tindakan medik (PERTINDIK berdasarkan informed consent); (3) Rekam Medik (medical record); dan (4) resep dokter (medical resipe). Dengan demikian maksud dari ketentuan Pasal 187 KUHAP tersebut ialah agar para pejabat yang mempunyai wewenang untuk membuat surat itu tidak perlu menghadap sendiri di persidangan, karena surat-surat yang mereka tandatangani atas/berdasar sumpah jabatan itu cukup dibacakan di persidangan. Ini berarti bahwa dari segi formal, surat sebagai alat bukti merupakan alat bukti yang sempurna. Namun demikian, penetapan suatu surat sebagai alat bukti di persidangan sepenuhnya tergantung pada persetujuan Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan. Selanjutnya dikaitkan dengan alat bukti “petunjuk”, macam-macam surat yang dihasilkan dari hubungan terapeutik tersebut, kiranya dapat juga dikualifikasikan sebagai alat bukti tersebut. Menurut ketentuan Pasal 188 ayat (1) (2) (3) KUHAP, yang dimaksud dengan petunjuk adalah perbuatan/kejadian/keadaan yang karena persesuaiannya dengan tindak pidana menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana. Kata menandakan dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP tersebut menunjukkan adanya kemungkinan untuk diperoleh kepastian mutlak bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, sehingga dari kata-kata yang digunakannya dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk membuktikan tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa. Alat bukti petunjuk mempunyai kekuatan apabila terdapat persesuaian antara perbuatan dengan kejadian/keadaan. Oleh karena itu penilaian terhadap kekuatan pembuktian dari alat bukti petunjuk menurut Pasal 188 ayat (3) KUHAP dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana dalam setiap keadaan tertentu, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan cermat dan teliti berdasarkan hati nuraninya serta informasi yang diperoleh dari proses penanganan upaya pelayanan kesehatan. Hakim dengan demikian harus mengetahui dan mencari kebenaran yang sejati, apakah suatu kegagalan dalam pelayanan medis (malpraktek) disebabkan oleh error in persona ataukah error
Pembuktian Kasus Malpraktek di Indonesia
Jurnal Lex Publica
in objectanya. Sifat kekuatan pembuktian dari alat bukti petunjuk sama dengan alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, dan surat yang mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang bebas. Di sinilah kekuatan alat bukti petunjuk dala meyakinkan hakim mengenai tindakan yang didakwakan karena hukum pidana modern menyatakan bahwa celaan dari suatu tindakan tidak terletak pada adanya hubungan antara keadaan batin pelaku dengan perbuatan yang dilakukannya, tetapi pada penilaian dari hubungan itu. D. Penutup Apapun keputusan MKEK, MKEKG, P3EK atau MKDKI yang memeriksa pelanggaran etika ataupun tindakan indisipliner dokter tidak mempengaruhi jalannya pemeriksaan pidana dan perdata karena antara penyelesaian kasus jalur pidana dengan kewenangan MKEK, MKEKG, P3EK atau MKDKI merupakan sesuatu yang terpisah dalam konteks kelembagaan ataupun out put yang dihasilkan. Hakim di penga-
Lenny Nadriana
dilan yang memeriksa dokter/dokter gigi mempunyai otoritas mandiri untuk mencari, menemukan dan menentukan kesalahan dokter sehingga mampu memberikan putusan yang adil bagi pencari keadilan. Hubungan hukum pembuktian antara Lembaga Pemeriksa Kode Etik, Lembaga Pemeriksa Disiplin Profesi dengan hukum pembuktian pada pemeriksaan di pengadilan adalah bersifat terpisah. Masing-masing institusi pemeriksa sesuai dengan kewenangannya mempunyai kualifikasi sendiri-sendiri untuk mendefinisikan alat bukti dan menentukan kesalahan dokter. Pembuktian memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam kasus-kasus di mana dokter merupakan salah satu pihak (kasus-kasus kesalahan/kelalaian dokter dalam melaksanakan profesi/malpraktek), salah satu kendala yang dihadapi dalam proses pembuktian ialah membuktikan unsur kesalahan. Oleh sebab peranan ahli sangat penting dalam menyelesaikan hal tersebut.
Daftar Pustaka Al-Barry, M. Dachlan. Y, Yustina Akmalia, S.Kp, A. Rahman Usman ; Kamus Istilah Medis, 2000. Ameln, Fred, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, 1991. Chazawi, Adami. Malpraktik Kedokteran. Bayumedia, Malang, 2007. Dewi, Alexandra Indriyanti, Etika Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2008. Fuady, Munir, Sumpah Hippocrates Aspek Hukum Malpraktik Dokter, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Guwandi. Dugaan Malpraktek Medis dan Draft RPP ―Perjanjian Terapetik Antara Dokter dan Pasien‖. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2006. Hanafiah, M. Jusuf. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1999. Hariyani, Safitri, Sengketa Medik, Jakarta: Diadit Media, 2004. http://news.kantorhukum-lhs.com/malpraktik-vs-uu-kesehatan http://Wikipedia.malpaktik.com Irianto, Agus. Analisis Yuridis Kebijakan Pertanggungjawaban Dokter Dalam Malpraktik. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2006, Lewloba, Kayus Koyowuan. Malpraktek Dalam Pelayanan Kesehatan (MalpraktekMedis). Bina Widya. Jakarta, 2008. Nasution, Bahder Johan. Hukum Kesehatan dan Pertanggungjawaban Dokter. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2005. Ohoiwutun, Y.A. Trianan. Bunga Rampai Hukum Kedokteran. Bayumedia. Malang. 2007. Rahardjo, Satjipto, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006. Seno Adji, Oemar, Etika Professional Dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter ―Profesi Dokter‖, Jakarta: Erlangga, Cet. ke-4, 1991.
253
Jurnal Lex Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 239 - 254
Tanya, Bernard L., Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi.CV. Kita. Surabaya. 2006. Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, ELSAM, Jakarta. 2002. Wiradharma, Danny. Hukum Kedokteran. Binarupa Aksara, Jakarta. 1996. Y.A. Trianan Ohoiwutun. Bunga Rampai Hukum Kedokteran. Malang: Bayumedia. 2007.
254
Jurnal Lex Publica
ASPEK YURIDIS PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI Oleh: Hj. Rineke Sara, SH. MH*) Abstrak Tulisan ini menjelaskan gambaran tentang penataan sistem hukum dalam penyelengaraan telekomunikasi dimulai dari masa transisi monopolistik menuju pada pasar bebas, tentunya diwarnai dengan ketegangan yang berkaitan dengan penyesuain kaedah hukum, termasuk mengisi ruang kebijakan pelaksanaan secara keseluruhan di Indonesia. Perubahan yang cepat dari keadaan yang monopilistik dalam penyelenggaraan telekomunikasi domesitik kearah liberalistik, menimbulkan attitude kompetisi yang belum mendukung tujuan pemerintah dalam menciptakan iklim kompetisi yang kondusif dan fair. Pemberlakuan kebijakan pertelekomunikasian yang baru belum dilengkapi perangkat pelaksananya banyak memberikan berbagai dampak negatif terutama dalam memberikan jaminan dan kepastian kelayakan usaha, disamping itu dengan adanya perubahan cara pandang pemerintah dalam bidang telekomunikasi memerlukan penyesuaian yang tidak mudah dan mempunyai dampak yang luas. Kata kunci: Aspek hukum telekomunikasi Abstract This article describes about an arrangement of system law in organize a telecommunication that begun from the monopolistics’ transition era toward the globalization era, of course, absolutely coloured with the tightten of the suitable law function, including the filling of a whole accomplishment’ skill of room in Indonesia. The quick changing from the monopolistics condition in domestic telekomunication of organization toward liberalistic, to make on attitude competition that not support yet the government gual in create competition zone that useful and fairfull. This research applies normative method which involves literature study andrelated provision of law. The using an accomplisthment of every new telecommunication that not complete yet with theset of its perfornur give a lot of negative consenquence especially in givity guarantee and the certain suitable effort, besides that, with a changing of the government view in telecommunication discipline need a difficult arrangement and a wide consequence. Key Word : The aspect of the telecomunication of law A. LATAR BELAKANG MASALAH Masalah telekomunikasi merupakan salah satu faktor penting dan mempunyai nilai strategis dalam menunjang dan meningkatkan daya saing ekonomi suatu bangsa dalam persaingan global. Ini bisa dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan juga sebagai salah satu faktor untuk dapat memperkuat daya saing *) Dosen Fakultas Hukum Universitas Borobudur
produk-produk nasional, dimana dalam perkembangan fungsi telekomunikasi telah mengalami pergeseran yang semula merupakan sebagai sarana utilitas (kegunaan) menjadi komoditi perdagangan dengan nilai ekonomi yang tinggi dan banyak diincar oleh berbagai kalangan pelaku bisnis. Dimana segala sesuatu dilaksanakan oleh pemerintah harus terselenggara berdasarkan 255
Jurnal Lex Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 255 - 266
azas keterbukaan, sehingga setiap peluang kerjasama yang direalisasikan dalam bentuk perjanjian harus pula dilakukan secara transparan dan terlepas dari unsur monopoli serta seluruh pihak yang berminat terhadap bisnis telekomunikasi harus mempunyai akses yang berimbang. Keterlibatan swasta dalam bidang telekomunikasi adalah dalam investasi prasarana dan penyelenggaraan jasa telekomunikasi dengan prinsip menghilangkan segala macam bentuk monopoli, yang bertujuan agar terdapat persaingan yang sehat diantara swasta sehingga pengguna telekomunikasi akan mempunyai kebebasan untuk memilih. “Regulator sebagai pemegang amanat konstitusi yang termuat dalam pasal 33 ayat 2 UUD 1945 sudah mahir bagi kita semua akan isinya. Namun kandungan isinya sebagai dasar demokrasi ekonomi bahwa produksi dilakukan dan dikerjakan secara bersama-sama, oleh semua dan untuk semua, karena kemakmuran adalah hak bagi setiap orang, sehinga cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Pengertian dikuasai berkaitan dengan kedaulatan yang berhubungan dengan politik, maupun ekonomi, dimana negara mandapat amanah konstitusi untuk menjamin adanya kemampuan negara menegakkan kedaulatan, serta melindungi kepentingan umum dan kepentingan ekonomi rakyat”.1
tangan kepemilikan sumber daya alam yang terbatas berhadapan dengan dengan kepemilikan teknologi yang membangkitkannya. Perkembangan teknologi menimbulkan konvergensi teknologi dimana terjadinya integrasi yang progresif dari beberapa platfrom jaringan yang berbeda untuk menyalurkan layanan yang serupa dan atau layanan yang berbeda yang disalurkan pada platform jaringan yang sama. Konvergensi adalah bersatunya layanan telekomunkasi merupakan kegiatan penyediaan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi melalui media apa saja, termasuk TV, siaran, radio dan multi media(source: media law ombudsperson). Dalam hal ini yang perlu dicermati adanya keinginan atau tuntutan untuk penyatuan peraturan dan kebijakan dengan tidak terpisahnya aturan teknologi dan informasi/penyiaran. “Pembangunan pos dan telematika diarahkan untuk mendorong terciptanya masyarakat berbasis informasi (Konowledge-based society) melalui penciptaan landasan kompetisi jangka panjang. Penyelenggaraan Pos dan telematika dalam lingkungan multi operator, mengantisipasi implikasi dari konvergensi telekomunikasi,teknologi informasidan penyiaran baik mengenai kelembagaan, maupun peraturan termasuk yang terkait dengan keamanan, kerahasiaan, privasi dan integritas informasi dan penerapan hak kekayaan intelektual”.2
Dalam mengatur ini adanya perubahan yang sangat mendasar yaitu dengan adanya dorongan perubahan paradigma untuk pembukaan pasar dari monopoli ke oligopoli, hal ini sangat berkaitan erat dengan pemanfaatan sumberdaya alam yang terbatas dan tidak bisa diperbaharui, tetapi dibangkitkan oleh perkembangan teknologi dan tingkat kemampuannya yaitu frekuensi radio. Sehingga pengertian terbatas menjadi dalam suatu keadaan tertentu tetapi dengan kemajuan teknologi digital dapat menjawab tantangan keterbatasan tersebut. Untuk dipahami dari aspek hukumnya akan berubah dan mendapat tan-
Ini sejalan dengan arah pembangunan hukum dalam mewujudkan Indonesia yang demokratis sebagaimana dimuat dalam UU No. 17 tahun 2007, dimana arah, tahapan dan Prioritas pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005 2025.3 Perencanan hukum sebagai bagian dari pembangunan dalam hal ini materi hukum harus diselenggarakan dengan memperhatikan berbagai aspek yang mempengaruhi, baik dalam masyarakat sendiri maupun dalam pergaulan masyarakat internasional yang dilakukan secara terpadu dan meliputi semua bidang pembangunan. Sehingga produk hukum yang dihasilkan
1
2
Gunawan Sumodiningrat, Sistem Ekonomi Pancasila da-lam perspektif, Jakarta: Impac Wahana Cipta, 1999, hal. 50.
256
Undang-undang RI No 17 tahun 2001, tentang rencana pembangunan Panjang Nasional Tahun 2005-2025. 3 Ibid. IV.I.3 Butir 7.
Aspek Yuridis Penyelenggaraan Telekomunikasi Berdasarkan UU No. 36 ... Jurnal Lex Publica
dapat memenuhi kebutuhanmasyarakat bangsa dan negara serta dapat mengantisipasi perkembangan zaman. Pembentukan hukum diselenggarakan melalui proses terpadu dan demokratis sehingga menghasilkan produk hukum dan peraturan pelaksanaan yang dapat diaplikasikan secara effektif dengan didukung oleh penelitian dan pengembangan hukum yang didasarkan pada aspirasi dan kebutuhan masyarakat. B. PERMASALAHAN 1. Bagaimanakah peran dan fungsi pemerintah dalam hal penyelenggaraan telekomunikasi. 2. Apakah Undang-undang no 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi telah mampu menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. C. METODOLOGI PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah metode melalui pendekatan secara yuridis normatif, yang dalam hal ini dengan mempelajari peraturan perundangundangan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan aspek hukum penyelenggaraan telekomunikasi berdasarkan UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. D. TINJAUAN PUSTAKA 1. Telekomunikasi “Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio atau sistem elektromagnetik lainnya. Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi. Penyelenggara Telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), badan usaha swasta, instansi pemerintah dan instansi pertahanan keamanan negara. Penyelenggaraan Telekomunikasiadalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya
Rineke Sara
telekomunikasi”.4 Dari pengertian telekomunikasi tersebut di atas jelaslah bahwa telekomunikasi merupakan sarana penting dan merupakan alat untuk berkomunikasi atau dengan kata lain peran dan arti pentingnya dalam aktifitas kehidupan, maka diperlukannya suatu pranata hukum yang mampu mengatur lalu lintas penggunan telekomunikasi agar perbedaan kepentingan diantara berbagai pihak tidak menimbulkan situasi yang dapat merugikan. Disamping itu perkembangan bidang telekomunikasi berbanding lurus dengan perkembangan tehnologi, khususnya tehnologi komunikasi sesuai dengan kenyataan senantiasa berkembang secara cepat. Teknologi membuka cakrawala baru bagi penelitian sain seperti komputer sebagai produk teknologi memungkinkan para ahli sains memungkinkan untuk melakukan banyak hal secara lebih mudah untuk mengindentifikasi unsurunsur dan dapat segera melakukan simulasi diatas layar monitor, sehingga apa yang dihasilkan dari penelitian sains dengan menggunakan jasa teknologi lalu kemudian melahirkan teknologi baru yang lebih maju. 2. Kompetisi Dan Globalisasi Dalam alam kompetisi yang dituangkan dalam UU No 36 tahun 1999 kewajiban pelayanan umum dibebankan kesemua penyelenggara khususnya penyelenggara jaringan. Pengelolaan program KPU dapat dilakukan oleh regulator (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang sudah dibentuk, sedangkan dana KPU dapat dikelola oleh pihak ketiga seperti institusi finansial atau perbankan. Dimana dana KPU direncanakan untuk subsidi bagi pelayanan akses pelayanan ke desa-desa, dana ini diperoleh dari prosentasi pendapatan para penyelenggara. Kewajiban pelayanan umum (KPU) harus dilihat lebih sebagai peluang daripada sebagai suatu beban atau kewajiban, karena perluasan jaringan akan memberikan pertambahan pemakaian yang akan menguntungkan operator yang besar maupun kecil. Dalam strategi pengembangan infrastruktur telekomunikasi yang konvensional, peranan 4
UU No 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, pasal 1
257
Jurnal Lex Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 255 - 266
lembaga negara (pemerintah) sangat dominan dan monopoli dalam menentukan arah pembangunan telekomunikasi, pada strategi pembangunan yang responsif yang mempunyai peranan besar adalah lembaga dan partisipasi luas kelompok-kelompok sosial atau individu dalam masyarakat. Konsekuensi dari kedua tradisi ini menghasilkan produk telekomunikasi yang berbeda. Strategi pertama produk yang dihasilkan bersifat positif instumentalis, yaitu hukum yang berfungsi sebagai alat yang ampuh bagi pelaksanaan idiologi dan program negara. Hal ini merupakan perwujudan nyata visi sosial dan para pemegang kekuasaan negara. Tradisi kedua pembangunan yang kreatif dan responsif terhadap tuntutanberrbagai kelompok sosial individu dalam masyarakat. Roscou Pound berpendapat,5 Hukum itu diselenggarakan dengan tujuan untuk memaksimumkan pemuasan kebutuhan dari kepentingan (interest), beliau cenderung melihat kepentingan (bukan etika atau moral) sebagai unsur yang palinghakiki didalam percaturan hukum, dan yang karena itu pantas dijadikan konsep dasar untuk membangun seluruh teori sociological jurisproudence. Dalam rangka pelaksanaan pembinaan telekomunikasi nasional yang melibatkan peran serta masyarakat, penguasaan sistem telekomunikasi nasional serta penanggung jawab urusan administrasi telekomunikasi nasional tetap berada pada menteri yang bersangkutan. Namun harus diketahuidengan terbentuknya Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) sebagai badan independen. Badan ini ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No 31 tahun 2003, diharapkan dapat berperan sebagai lembaga yang dapat menjamin adanya transparansi, indenpendensi dan prinsip keadilan dalam penyelenggaraan telekomunikasi jaringan atau jasa telekomnikasi. Tujuan berikutnya adalah untuk meningkatkan kinerja pelayanan dalam penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi. BRTI yang fungsinya membuat regulasi mengenai telekomunikasi. Tetapi dalam kenyataannya indenpendensi dari lembaga BRTI menurut berapa kala-
ngan masih dipertanyakan posisi pemerintah yang masih kuat dan mempunyai hak veto. Pemerintah diharapkan sebagai pemegang kebijakan saja sedangkan regulator seyogyanya dipegang oleh badan yang mandiri. Regulator menetapkan standar sistem pelayanan dan peralatan telekomunikasi besarnya tarif pemakaian yang layak sesuai dengan biaya pengadaannya (based cost) kecuali untuk pelayanan umum (USO). 3. Regulasi Dan Deregulasi Tugas dan peran pemerintah diera deregulasi/liberalisasi hanya pada tatanan kebijaksanaan, dimana sebelum adanya Badan Regulasi Mandiri (Independent Regulatory Body), fungsi regulasi masih tetap dijalankan oleh pemerintah melalui undang-undang, seperti UU No 3/1989 dan UU No. 36/1999 dan/atau kebijakan makro, kebijakan investasi dan lain-lain. Dan pelaksanaan undang-undang melalui pengaturan/regulasi dilaksanakan oleh institusi pemerintah yang umumnya mencakup penciptaan level playing field, inter koneksi, perizinan, USO, alokasi frekuensi, dan lain-lain. Pada dasarnya setiap kebijakan yang diambil pemerintah bertujuan untuk menciptakaan sistem ekonomi yang sehat. “Dimana sistem ekonomi yang sehat itu akan tercipta jika kegiatan-kegiatan ekonomi diselenggarakan secara efisien, dengan mengeleminir segala bentuk distorsi ekonomi, dimana pada awalnya kegiatan-kegiatan ekonomi yang dulunya tertutup kini semakin terbuka dengan dikeluarkan nya berbagai paket deregulasi yang berdasarkan pada dua segi penting, yaitu menyangkut segi ekonomi dan segi hukum di dalamnya, sehingga kedua aspek tersebut saling berkaitan satu sama lain”.6 Dengan pesatnya kemajuan teknologi telekomunikasi, informatika dengan penyebaran infrastruktur informasi secara global telah merubah pola dan cara pengelolaan di Industri, perdagangan dan termasuk pada pemerintah sendiri. Dalam kerangka Kebijakan pengembangan dan pendayagunaan telematika sebagaimana yang diatur dengan Inpres No 6 tahun 2001,
5
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode, dinamika dan masalahnya, Jakarta, ELSAM da HUMA, 2002, hal 47.
258
6
Dimyati Hartono, Perdata Internasional, 1994, hal 2
Aspek Yuridis Penyelenggaraan Telekomunikasi Berdasarkan UU No. 36 ... Jurnal Lex Publica
tentang pengembangan dan pendayagunaan telematika di Indonesia : a. Telematika adalah untuk mempersatukan bangsa dan memperdayakan rakyat ; b. Telematika dalam masyarakat dan untuk masyarakat ; c. Infrastruktur informasi nasional ; d. Penningkatan kapasitas dan teknologi ; e. Government on line; f. Tim kordinasi Telematika Indonesia (TKTI) C. PEMBAHASAN 1. Peran pemerintah dalam mengawasi dan pengelolaan perkembangan Teknologi Informatika Dalam melihat peran pemerintah dalam pengelolaan dan pengawasan Teknologi dan informasi dan komunikasi meliputi aspek Infrastruktur Informasi, aspek kandungan informasi, aspek perangkat keras dan perangkat lunak, (Software dan Hardware) semuanya harus dipandu oleh Undang-undang serta peraturan pelaksanaannya. a. Dari segi aspek Infrastruktur dan perangkat Informatika Infrastruktur informasi terdiri atas beberapa aspek yang seluruhnya harus dibangun secara paralel dan saling menunjang. Kegiatan pertama adalah jaringan fisik yang berfungsi sebagai jalan raya informasi baik pada tingkat jaringan tulang-punggung maupun tingkat akses pelanggan. Jaringan tulang punggung harus mampu menghubungkan seluruh daerah Indonesia sampai wilayah pemerintahan terkecil. Pada tingkat akses pelanggan harus memungkinkan tersedianya akses yang murah dan memadai bagi masyarakat luas. Kegiatan kedua menekankan pada kemanfaatan sebesar-besarnya pengelolaan sumber informasi bagi seluruh komponen masyarakat. Kondisi ini dapat dicapai melalui diwujudkannya interoperabilitas sumber daya informasi yang tersebar luas sehingga dapat dimanfaatkan secara efisien dan efektif oleh seluruh pemangku kepentingan. Aspek terakhir adalah pengembangan perang-
Rineke Sara
kat keras, baik di sisi jaringan maupun di sisi terminal. Pengembangan ini harus dirancang berdasarkan kebutuhan dan kondisi jaringan yang ada di Indonesia, dengan mengadopsi sistem terbuka dan menanamkan tingkat kecerdasan tertentu untuk memudahkan integrasi sistem dan pengembangannya di masa depan. b. Perangkat Lunak (Software) Pengembangan perangkat lunak diarahkan pada realisasi sistem aplikasi yang mampu menunjang proses transaksi ekonomi yang cepat dan aman, serta pengambilan keputusan yang benar dan cepat. Harga yang terjangkau dan daya saing pada tingkat internasional merupakan salah satu kriteria yang dipersyaratkan, khususnya mendukung kebijakan substitusi impor. Perangkat lunak sistem operasi dengan kehandalan tinggi dan kebutuhan sumber daya memori maupun prosesor yang minimal serta fleksibel terhadap perangkat keras maupun program aplikasi yang baru, merupakan prioritas yang harus dikembangkan. Program aplikasi juga perlu dikembangkan, terutama yang terkait dengan sektor perekonomian, industri, pendidikan, maupun pemerintahan. Dalam mempercepat pengembangan dan pendayagunaan perangkat lunak, perlu pula ditinjau implementasi konsep open source. Penerapan konsep open source ini diharapkan mampu menggalakkan industri perangkat lunak dengan partisipasi seluruh lapisan masyarakat tanpa melakukan pelanggaran hak cipta. Dalam implementasi penggunaan Infrastruktur Informatika Ditunjang oleh perangkat keras dan perangkat lunak mengikuti standard internasional dan Undang-undang serta Peraturan menteri yang terkait. Merupakan mandatory dan harus diikuti bagi setiap industri yang ada, operator, maupun instansi pemerintah sendiri Sedangkan secara valuntary, sukarela aturan-aturan teknis dalam perangkat yang yang digunakan. Dalam ketentuan Internasional masih banyak yang belum diadop menjadi keputusan, UU atau keputusan menteri terkait sehingga keberadaannya hanya sebagai kesukarelaan dan ti259
Jurnal Lex Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 255 - 266
dak dapat ditegakkan untuk dapat menjadi jaminan penyelenggaraan Telekomuniasi yang aman. Hal ini terkait perkembangan teknologi TIK, secara bersamaan berkembang juga kejahatan di dunia maya, yang harus diantisipasi dengan mengikuti perkembangan teknolologi Securitynya, ini banyak menyangkut dari segi hukumnya, soal penyadapan, mengalihkan sebagian atau seluruhnya kepada yang tidak berhak. c. Dari aspek Kandungan Isi Informasi Kegiatan pengembangan kandungan informasi (information content) bertuju-an melakukan penataan, penyimpanan, dan pengolahan informasi yang diperlukan untuk meningkatkan efisiensi proses pembangunan, pengorganisasian, pencarian, dan pendistribusian informasi. Kegiatan riset dan pengembangan kandungan informasi diawali dengan pemetaan berbagai potensi dan informasi nasional beserta pemodelan proses information retrieval. Dengan demikian implementasi information repository dan information sharing merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi. Pemanfaatan maksimal kandungan informasi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan potensi lokal, akumulasi kekayaan seni dan budaya Indonesia yang beraneka ragam dapat pula dieksploitasi sebesar-besarnya untuk menghasilkan produk-produk seni budaya yang berbasis multimedia. Dalam perkembangan TI sangat banyak menyangkut segi hukum kandungan isi Informasi mengamankan masyarakat dari satu sisi dan sisi lain jaminan keamanan perangkat tidak disadap dan disalahgunakan, jaminan tidak terjerat oleh hukum seperti Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 27 ayat 3-nya, dalam penerapan dapat menjerat dengan pasal 27 ayat 3 tersebut," 3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan 260
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. 2. Undang-undang no 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi dalam menghadapi tantangan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi a. Pengembangan Organisasi Penyelenggaraan Telekomunikasi Dalam proyeksi pengaturan tentang konvergensi telematikan, bahwa pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah. Pembinaan teknologi informasi dan komunikasi diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan teknologi informasi dan komunikasi yang meliputi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian sesuai dengan tujuan pembangunan teknologi informasi dan komunikasi nasional. Menteri menjalankan fungsi penetapan kebijakan dan menetapkan arah peta jalan pembangunan teknologi informasi dan komunikasi ke depan. Menteri melimpahkan fungsi pengaturan, pengawasan dan pengendalian untuk menumbuh kembangkan industri kepada suatu Badan Regulasi. Dalam melaksanakan fungsi pembinaan dan menumbuhkembangkan industri teknologi informasi dan komunikasi, Menteri dan Badan Regulasi memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta perkembangan global. Dalam rangka pelaksanaan pembinaan teknologi informasi dan komunikasi, Pemerintah melibatkan peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud berupa penyampaian pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai arah pengembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam rangka penetapan kebijakan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan dibidang teknologi informasi dan komunikasi. Dalam rangka menerapkan pengaturan yang lebih sesuai dengan dinamika perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, fungsi perumusan pengaturan dapat dilaksanakan pula secara sware-
Aspek Yuridis Penyelenggaraan Telekomunikasi Berdasarkan UU No. 36 ... Jurnal Lex Publica
gulasi. Swaregulasi dilakukan oleh lembaga yang keanggotaannya dapat terdiri dari para pelaku industri maupun pakar sesuai bidang yang akan diaturnya. Lembaga Swaregulasi Industri dapat mengajukan rumusan peraturan untuk ditetapkan oleh Badan Regulasi. Ketentuan jenis-jenis pengaturan yang dapat dirumuskan oleh Lembaga Swaregulasi Industri ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Selanjutnya struktur perizinan yang ditetapkan di dalam Undang-Undang harus mencerminkan struktur ekonomi atau struktur bisnis penyelenggaraan teknologi informasi dan komunikasi dalam konteks menuju konvergensi. Konvergensi layanan yang menuntut konvergensi perangkat terminal dan konvergensi jaringan, meski dalam lingkungan yang multi-operator. b. Tantangan Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) diperlukan upaya peningkatan kemandirian dan keunggulan, yang salah satunya adalah dengan mengembangkan sistem pendidikan dan pelatihan untuk membentuk keahlian dan keterampilan masyarakat dan peneliti dalam bidang teknologi yang strategis serta mengantisipasi timbulnya kesenjangan keahlian sebagai akibat kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi. mencapai tujuan kebijakan sektor telekomunikasi. Perihal Sumber Daya Manusia Penyelenggaraan telekomunikasi, khususnya dalam bentuk-bentuk untuk keperluan dan konsumsi publik, perlu ada persyaratan usaha, keahlian dan ketrampilan dari Sumber Daya Manusia atau para pelaku dalam sektor. Apalagi dengan globalisasi dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi, yang di dalamnya terkandung pula pergerakan lintas-batas dari angkatan kerja (workforce) dari dan ke seluruh penjuru dunia, maka kualitas Sumber Daya Manusia yang berkecimpung dalam usaha pertelekomunikasian di Indonesia (dalam berbagai disiplin, dan tingkat keahlian serta ketrampilan) harus senantiasa dipelihara dan dijaga. Untuk hal tersebut, faktor Sumber Daya Manusia sektor te-
Rineke Sara
lekomunikasi perlu diperkuat keberadaannya di dalam UU tentang Telekomunikasi yang akan datang. Diusulkan agar perihal persyaratan sumber daya manusia ditampilkan belum dalam satu pasal dalam batang tubuh UU Telekomunikasi. Seharusnya dapat dipahami suatu konsepsi tentang kualitas usaha, keahlian dan ketrampilan seperti yang tertuang dalam Pasal 8 Undang-undang Jasa Konstruksi Nomor 18 Tahun 1999, dan mengharapkan konsepsi yang sama diterapkan pula pada UU Telekomunikasi. Mengingat kompleksitas sektor telekomunikasi, perlu adanya persyaratan usaha, keahlian dan ketrampilan dari pelaku sektor telekomunikasi. Pelaku sektor telekomunikasi yang berbentuk badan usaha harus memenuhi ketentuan tentang perijinan usaha di sektor telekomunikasi, memiliki sertifikat, klasifikasi,dan kualifikasi yang ditentukan oleh peraturan pemerintah. Sertifikasi Sumber Daya Manusia juga sangat penting bagi Indonesia untuk dapat bersaing secara global, karena setelah era pasar bebas, sertifikasi adalah salah satu persyaratan penting bagi sumber daya manusia maupun perusahaan Indonesia, untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan di negara lain. Sertifikasi di Indonesia merupakan langkah persiapan bagi kiprah sumber daya manusia Indonesia di era globalisasi. 10 Selain itu, catatan penting yang lebih merupakan penekanan juga diberikan terhadap UU Telekomunikasi dalam hubungannya dengan upaya menyelaraskan undang-undang yang akan dihasilkan sebagai produk pembahasan di DPR-RI dalam perubahan Undang-Undang Telekomunikasi. c. Tantangan Pengembangan Regulasi dan Standarisasi perangkat Pos dan Informatika Aspek regulasi yang paling penting dalam pengelolaan sektor TIK yang mengarah pada persaingan (kompetisi) adalah proses perijinan (lisensi) untuk layanan baru. Hal ini terutama untuk lebih menentukan layanan yang membutuhkan sumber daya alam terbatas dan menggunakan teknologi tinggi serta tingkat investasi yang besar. Di261
Jurnal Lex Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 255 - 266
mana beberapa aspek dan pemikiran yang berkaitan dengan proses lisiensi termasuk pendekatan-pendekatan yang dapat diadopsi pada tahapan awalnya. Landasan dan sasaran yang terkandung didalamnya merupakan suatu yang bersifat relatif mengingat secara praktik, hal ini telah menjadi pengalaman di kalangan industri, namun perlu penyesuaianpenyesuain yang dapat berperan secara signifikan karena perkembangan kemajuan teknologi Teknologi Informatika dan komunikasi telah memberikan paradigma baru terhadap praktek yang berjalan. Hinca IP Panjaitan menyatakan “apabila sejak dini tidak diberikan perbedaan yang jelas tentang peran dan kewenangan antara pemerintah, rergulator dan operator, dalam hal ini Undang-undang no 36 tahun 1999 secara tegas memberikan arah regulasi telekomunikasi nasional, yaitu bisnis telekomunikasi dibina oleh pemerintah untuk dan atas nama negara, yang dalam pelaksanaannya tercakup empat fungsi sekaligus”.7 Adapun fungsi-fungsi pemerintah dalam arah regulasi bidang telekomunikasi tersebut adalah fungsi penetapan kebijakan, fungsi pengendalian,fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan. Dalam penyelenggaraan telekomunikasi harus berdasar dan memperhatikan sungguh-sungguh azas pembagunan nasional, dengan mengutamakan “azas manfaat, azas adil dan merata, azas kepastian hukum, azas keamanan, kemitraan, etika dan azas kepercayaan pada diri sendiri”.8 Adapun azas-azas yang terkandung dalam UU No. 36 tahun 1999 tersebut adalah sebagai berikut: 1. Azas manfaat, penyelenggaraan telekomunikasi akan lebih berdaya guna dan berhasil guna bagi infrastruktur pembangunan. 2. Azas adil dan merata, penyelengga7 8
Hinca IP Panjaitan, 2003. UU RI No 36 Tahun 1999, pasal, 2).
262
3.
4.
5.
6.
7.
raan telekomunikasi memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada semu pihak. Azas kepastian hukum, penyelenggaraan telekomunikasi harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang menjamin kepastian dan perlidungan hukum. Azas kepercayaan pada diri sendiri, penyelenggaraan telekomunikasi dengan memanfaatkan potensi sumber daya nasional. Azas kemitraan, mengandung makna bahwa penyelenggaraan telekomunikasi harus dapat mengembangkan iklim yang harmonis dan timbal balik. Azas keamanan, dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan telekomunikasi selalu memperhatikan faktor keamanan. Azas etika, maksudnya agar dalam penyelenggaraan telekomunikasi senantiasa dilandasi oleh semangat profesionalisme, kejujuran, kesusilaan dan keterbukaan
Sedangkanber bagai penyempurnaan kebijakan terkait bidang Standarisasi teknologi informasi, komunikasi dan broadcasting. Salah satunya adalah UU No. 36/1999, tentang telekomunikasi yang sudah mulai ketinggalan dengan perkembangan teknologi dan tuntutan masyarakat. Sedangkan implementasikan UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang sering disalahgunakan memerlukan revisi, dan berbagai UU lain yang dapat mendorong pertumbuhan aplikasi IT sangatlah diharapkan realisasinya pada tahun 2005-2025. Termasuk dalam kerangka regulasi ini adalah mempercepat terlaksananya proses kompetisi yang sebenar-benarnya dalam penyediaan jasa telekomunikasi sehingga dapat memberikan perbaikan kondisi layanan, kemudahan bagi pengguna jasa, serta harga yang ekonomis. Dalam menyempurnakan kerangka hukum, membentuk pasardan restrukturisasi pasca privatisasi PT Telkom dan PT Indosat, yang didasarkan pada tema-tema pokok antara lain menghilangkan bentuk-bentuk monopoli dengan memberikan persaingan yang sehat pada seg-
Aspek Yuridis Penyelenggaraan Telekomunikasi Berdasarkan UU No. 36 ... Jurnal Lex Publica
men pasar dan mencegah penyalahgunaannya, menghilangkan bentuk-bentuk diskriminasi dan potongan harga (restriksi) bagi swasta dalam penyelengaraan jaringan dan jasa telekomunikasi, memisahkan peran-peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan, regulasi pengawasan serta memisahkannya dengan fungsi-fungsi operasi. Dalam perkembangan teknologi Indonesia bukan pembuat teknologi tetapi jauh dibelakang sebagai pengguna, regulasi untuk mengantisipasi perkembangan teknologi rentan terhadap kemandirian, dan keberpihakan masyarakat lokal memerlukan komitmen pemerintah dalam penyelenggaran telekomunikasi, yang aman dan beradap. Melihat situasi dan kondisi yang terus berkembang, Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1999 No. 36 tentang Telekomunikasi. Dengan berbagai kelemahannnya belum sepenuhnya dapat mengayomi perkembangan TIK di Indonesia. 3. Regulasi Dan Deregulasi Penyelenggaraan (TIK) Telekomunikasi, informasi dan komunikasi Undang-Undang No 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi, menderegulasi sektor telekomunikasi nasional dengan membangun struktur industri yang kompetitif dari sebelumnya yang monopolistik, serta semakin dibatasinya peran pemerintah sebagai pihak yang paling dominan dalam sektor itu. Ini diperkuat adanya Cetak Biru Telekomunikasi Indonesia yang mengadopsi aspek-aspek pengaturan dan penyelenggaraan berbagai jasa telekomunikasi secara modern, di antaranya yang paling penting adalah antisipasi terhadap perkembangan teknologi komunikasi bergerak dan multimedia. Sebagai arah pengembangan penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia. Dengan kata lain UU no 36 tahun 1999 tersebut belum juga memberikan jalan keluar dari masalah-masalah kepentingan yang terdapat dalm produk-produk hukum pemerintah dalam bidang telekomunikasi, seperti masih diakuinya hak eksklusif untuk Telkom dan Indosat serta Satelindo dalam sektor telekomunikasi dasar baik itu tetap maupun jarak jauh dan internasional. Bila diperhatikan lebih jauh pasal 10 ayat 1 menjelaskan bahwa dalam penyelengga-
Rineke Sara
raan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidaak sehat diantara penyelenggara telekomunikasi”. Dalam Undang no 36 tahun 1999, tentang telekomunikasi juga mengancam pidana terhadap perbuatan manipulasi akses ke jaringan telekomunikasi, menimbulkan gangguan fisik dan elektronik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi, menyadap informasi melalui jaringan telekomunikasi. Hal ini belum detil dalam pasal 1 definisi bahwa telekomunikasi bagian dari telematika, pasal 17 standarisasi pelayanan juga mencakup standard securitynya sesuai dengan level kepentingannya. Dalam pasal 17 menyebutkan, penyelenggaraan jaringan telekomunikasi atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip : a) Perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna; b) peningkatan efisiiensi dalam penyelengaraan telekomunikasi dan, c) pemenuhan standard pelayanan serta standar penyediaan sarana dan prasarana . Perkembangan sarana dan prasarana telekomunikasi yang sangat pesat termasuk media dan informatika secara global secara terus menerus melakukan kegiatan yang berorientasi pada kemudahan dan kecepatan dalam pertukaran akses. Disisi lain jaringan telekomunikasi rentan terhadap keamanan akibat globalisasi yang bersifat negatif seperti melemahnya ikatan nasionalism dan munculnya berbagai kejahatan penyadapan, penguasaan server, secara otomatis melemahnya nasionalism, mudahnya intervensi internasional. Transformasi global bidang teknologi yang berimbas juga pada perdaganagan global, membutuhkan jaminan hukum, dalam dunia maya akan membuahkan berbagai perbuatan hukum dan tidak menutup kemungkinan para pihak yang berinteksi dengan pihak lain saling intervensi sehingga melemahnya kemandirian Nasional. Beberapa bentuk kejahatan yang berhubungan erat dengan jaringan telekomunikasi. Hukum ditantang untuk menjadi mekanisme pengintegrasian dan mempersatukan kepentingan individual, publik, dan social interest berhadapan dengan kepentingan nasional dengan kepentingan internasional. Dalam kaitan responsibiltas 263
Jurnal Lex Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 255 - 266
hukum dalam perkembangan informatika dengan membangun, dapat dicatat merupakan salah satu pengembangan hukum progresif yang digulirkan oleh Prof. Sutjipto Raharjo seperti dinyatakan dibawah ini : Hukum positif diinginkan menjadi kritis dan fungsional, oleh karena itu ia tidak henti-hentinya melihat kekurangan yang ada dan menemukan jalan untuk memperbaikinya. Parameter yang ada adalah terkait dengan fungsionalnya dengan manusia, masyarakat dan dinamika masyarakat. Hukum bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk turut memberikan penyelesaian terhadap masalahkemasyarakatan khususnya yang mutakhir, membara dan diperkirakan akan datang (current, burning and emerging issues).9 Dalam kaitan ini akan sangat berbahaya bagi suatu negara jika terus-menerushanya menjadi pengguna dan menerima perangkat yang diproduksi dari luar (pihak asing) tanpa adanya jaminan standarisasi keamanan ataupun enkripsi yang dibuktikan dengan mengikuti peraturan nasional sehingga hukum positif diinginkan menjadi kritis dan fungsional bisa jalan maupun pada tingkat internasional yang sudah ditetapkan oleh lembaga-lembaga berwenang dalam menciptakan kemandirian berbangsa dan bernegara. Terakhir kebijakan privatisasi juga melanggar Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Fakta menunjukkan SingTel yang satu grup dengan STT sebelumnya telah mengakui sisa 35% saham PT Telkomsel, dengan kepemilikan di ISAT (41,94%) dan PT Telkomsel (35%) oleh perusahaan-perusahaan singapura tersebut. Dengan sendiringya Satelindo dan IM3 ikut dimiliki oleh grup mereka, hal itu bukan saja bertentengan dengan pasal 28 ayat 2 UU No. 5 tahun 1999, tetapi juga melanggar pasal 10 ayat 1 UU Telekomunikasi. Menurut ketentuan pasal 28 ayat 2 UU Nn. 5 tahun 1999 disebutkan ”Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan 9
Satjipto Raharjo, Jurnal hukum progresif, Pencarian, pembebasan, pencerahaan dalam makalah hukum Progresif: Hukum yang membebaskan, Vol.1/nomor 1 April 2005, PDIH UNDIP Semarang, hal 23.
264
lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau usaha persaingan tidak sehat. Sebagai kenyataan bahwa Undang-Undang Telekomunikasi yang saat ini berlaku diciptakan didalam suatu lingkungan yang berbeda dengan keadaan sekarang untuk menatap ke depan, dalam kerangkanya sudah ada seperti tersebut dibawah ini : Pasal 5 ayat 3 UU no 36 tahun 1999 menyatakan “pelaksanaan peran serta masyarakat diselenggarakan oleh lembaga mandiri yang dibentuk untuk maksud tersebut” yang selanjutnya diatur dalan PP No. 52 tahun 2000. Akhirnya tahun 2003 dengan Keputusan Menteri Perhubungan No. 31 tahun 2003, ditetapkan pendirian Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang tujuan utamanya adalah peran aktif masyarakat dalam pelaksanaan pembinaan telekomunikasi yang diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaran telekomunikasi yang meliputi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian. Dengan katalain dapat mengatur, mengawasi dan mengendalikan jasa telekomunikasi di Indonesia secara fair bagi semua operator badan usaha milik Negara maupun swasta yangdiharapkan dapat menjadi badan independen dan profesional. Dimana “Menteri Pengatur dan Pengelola sector yang sebelumnya mempunyai kewenangan pembinaan telekomunikasi yang meliputi penetapan, pengawasan dan pengendalian, melimpahkan fungsi pengaturan, pengawasan dan pengendalian untuk mengamankan jaringan telekomunikasi dan penyelenggaraan jasa telekomunikasi kepada Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).10 Dimana Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) ini dapat diharapkan, dalam menjalankan tugasnya bebas dari kekuasaan dan intervensi pihak lain dan dapat menciptakan pengaturan yang mendukung iklim kompetisi, menjamin kelangsungan interkoneksi antar operator, peraturan yang menarik bagi pelaku usaha dan peraturan yang fair berdasarkan prinsip equal treatment (perlakuan yang sama), disamping melakukan fungsi arbitrase, sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia No. 31 tahun 2003 10
25
Drektorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, 2003, hal
Aspek Yuridis Penyelenggaraan Telekomunikasi Berdasarkan UU Publica No. 36 ... Jurnal Lex
tentang Penetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia. Bila kita lihat pasal 4 ayat 2 UU no 36 tahun 1999, maka fungsi regulator masih tetap di tangan pemerintah, walaupun dalam penjelasannya dinyatakan bahwa fungsi regulator tersebut dapat dialihkan kepada suatu badan independen. Dalam tingkat pelaksana KM no 31 tahun 2003 pada pasal 5 diatur secara jelas bahwa kewenangan menteri dalam pembinaan telekomunikasi yang meliputi fungsi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian dilimpahkan ke BRTI sebagaimana yang dijelaskan diatas. Sesuai dengan KM 31/2003, BRTI mempunyai tiga fungsi dalam pengelola sistem telekomunikasi Indonesia, yakni fungsi pengaturan, pengawasan, dan pengendalian. Selanjutnya, berdasarkan KM 67/2003, ketiga fungsi BRTI tersebut menjadi landasan wewenang BRTI lebih jauh di dunia telekomunikasi Indonesia. Misalnya, fungsi pengaturan memungkinkan BRTI untuk menyusun dan menetapkan ketentuan tentang perizinan jaringan dan jasa telekomunikasi yang dikompetisikan sesuai Kebijakan Menteri pengelelola dan pengatur sektor, serta menyusun dan menetapkan ketentuan tentang standar kinerja operasi penggunaan jaringan dan jasa telekomunikasi. Fungsi dan wewenang tersebut sejalan dengan visi BRTI untuk menjamin adanya transparansi, independensi dan prinsip keadilan dalam penyelenggaraan telekomunikasi menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat. Visi tersebut dijalankan dengan beberapa misi, antara lain menciptakan pasar penyelenggaraan telekomunikasi berdasarkan persaingan yang sehat, berlanjut dan setara, menciptakan iklim usaha yang kondusif serta mencegah terjadinya praktik persaingan usaha tidak sehat, mewujudkan prasarana dan pelayanan telekomunikasi yang handal bagi upaya peningkatan kemakmuran rakyat dan daya saing ekonomi nasional dalam era masyarakat reformasi, dan melindungi kepentingan konsumen dalam hal jasa telekomunikasi yang diterima. Berdasarkan analisa diatas dapatlah kita jelaskan bahwa dalam penyelenggaraan telekomunikasi terlihat adanya kemajuan, dimana sebelumnya menganut azas monopoli dan duopoli berubah menjadi azas kompetisi dan hak eksklu-
Rineke Sara
sivitas masih dipertahankan sesuai dengan jadwal dan dipercepat dengan memberikan kompensasi,yaitu masih tetap PT Telkom, PT Indosat dan swasta berstatus sama. Namun diantara mereka diperlakuan sama, tarif ditetapkan oleh operator berdasarkan formula dari Pemerintah dan dalam pembuat keputusan pemerintah dibantu oleh komite independen, walaupun peran pemerintah masih terlihat tapi sudah ada badan yang sifatnya independen. E. PENUTUP 1. Kesimpulan Fungsi pemerintah dalam penyelenggaraan telekomunikasi tersebut adalah melaksanakan fungsi penetapan kebijakan, fungsi pengendalian, fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan serta dituntut sebagai suatu sistem mampu sebagai lembaga pengatur dan pengendali sektor secara dinamis dan menimbulkan hukum positif kritis fungsional. Dalam pelaksanaan sehari-hari agar sifatnya lebih indepeden dibantu oleh komite, diharapkan akan melahirkan hukum positif, untuk senantiasa melihat kekurangan dan mencari jalan untuk perbaikan. Dinamis dalam penegmbangan teknologi, kritis dalam pemanfaatan teknologi dan fungsional sesuai dengan fungsi yang diinginkan pemanfanfaatan teknologi dan diluar itu ditolak, adalah menjamin adanya transparansi, independensi dan prinsip keadilan dalam penyelenggaraan telekomunikasi menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat. 2. Saran Peran pemerintah perlu ditingkatkan terutama dalam fungsi pengawasan, tatanan kebijakan dalam penegakan hukum terhadap bidang telekomunikasi, guna menghindari ketimpangan -ketimpangan antara penyelenggaradan pengguna jasa telekomunikasi, baik penyediaan sarana dan prasarana. Diperlukan suatu strategi induk untuk mengawal kompetisi berjalan sesuai dengan mapping regulasi, melalui tahapan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang yang semuanya bermuara pada persyaratan peraturan pelaksana yang efektif.
265
Jurnal Lex Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 255 - 266
DAFTAR PUSTAKA Ali, Ahmad, Sosiologi Hukum, Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, BP.IBLAM Jakarta, 2004 Fuady, Munir, Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dari WTO), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. Gunawan Sumodiningrat, Sistem Ekonomi Pancasila dalam perspektif, Jakarta: Impac Wahana Cipta, 1999. Hartono, Dimyati, Pengaruh Pasar Bebas Terhadap Regulasi Penyelenggaraan Telekomunikasi di Indonesia, Makalah Seminar, 2000. Islamy Irfan, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 2003 Badan Litbang Perhubungan RI, Studi kaji Ulang Undang-undang No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Jakarta, 2004. ------------------, Study Kebijakan Penyelenggaraan Jasa Multimedia Mobile, Jakarta, 2004 Departemen Perhubungan Republik Indonesia, Cetak Biru Kebijakan Pemerintah Tentang Reformasi Sektor Telekomunikasi Indonesia. Panjaitan, Hinca IP, 2003, Luruskan (Kembali) Arah Regulasi Telekomunikasi, Bisnis Indonesia 16 April 2003. Rasyid, Asmiati, 2004, Pembenahan Pengelolaan Sektor Telekomunikasi, Kompas 5 Pebruari 2004. Rachbini, Didik .J., Ekonomi Politik, paradigma, Teori dan Perspektif Baru., Cides Satjipto Raharjo, Jurnal hukum progresif, Pencarian, pembebasan, pencerahaan dalam makalah hukum Progresif: Hukum yang membebaskan, Vol.1/nomor 1 April 2005, PDIH UNDIP Semarang, hal 23. Wignjosubroto, Soetandyo, Hukum paradigma, metode dan dinamika. Undang-undang No 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi Undang-undang no. 5 Tahun 1999 Tentang Anti Monopoli Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran (UU Penyiaran); Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasidan Transaksi Elektronik (UU ITE). Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi Drektorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, Laporan tahunan 2003
266
Jurnal Lex Publica
MEMBANGUN “KPK” KABUPATEN/KOTA Sebuah Model Budaya Pencegahan Holistik Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Prof. Dr. Ade Saptomo, SH., M.Si*) I. Pengantar Jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berdiri 17 Agustus 1945, fenomena korupsi sebenarnya telah merambah ke berbagai strata kehidupan tata pemerintahan. Demikian pula kondisi korupsi setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berdiri, terbukti dengan pernyataan Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama, Bung Hatta, bahwa korupsi di Indonesia telah membudaya.1 Dalam perpekstif yuridis formal, upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dimaksud telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan menerbitkan sejumlah undang-undang. Di antara undang-undang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Peraturan Penguasa Militer yang dikeluarkan 9 April 1957 Nomor Prt/PM/06/ 1957, tanggal 27 Mei 1957 Nomor Prt/ PM/03/1957, dan tanggal 1 Juli 1957 Nomor Prt/PM/011/1957. Hal ini menunjukkan bahwa segera setelah kemerdekaan, korupsi sidah muncul dan membahayakan Negara termasuk yang terjadi di lingkungan militer. 2. Peraturan Pemberantas Korupsi Penguasa Perang Pusat No.prt/Perpu/013/1958 tanggal 16 April 1958. Peraturan ini menunjukkan adanya langkah militer melalui piranti aturan hukum untuk memberantas korupsi. *)
Dosen, dan kini Dekan, Fakultas Hukum Universitas Pancasila. 1 Pernyataan ini menurut pandangan penulis berkmakna sindiran kuat terhadap kondisi umum korupsi yang terjadi selama dua dekade sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia. Artinya, korupsi bukan budaya mengingat budaya, menurut pandangan penulis, sebuah nilai yang terbangun sebagai proses panjang budah budhi (baik) dan daya (akal). Dengan kata lain, budaya baik sebagai proses maupun produk merupakan nilai positif.
3. Surat Keputusan kepala Staf Angkatan Laut Nomor Z/1/1/7 Tanggal 17 April 1958. Dengan berdasarkan pada peraturan Pemberantas Korupsi Penguasa Perang Pusat No.prt/Perpu/013/1958 tanggal 16 April 1958, Angkatan Laut juga bertekad untuk meberantas korupsi. 4. Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. 5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tanggal 29 Maret 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Upaya pemerintah Indonesia menerbitkan seperangkat undang-undang tersebut penulis amat memahami mengingat ada hubungan antara pemberanstasan koruspi dengan pembangunan. Pemahaman penulis dimaksud berdasarkan asumsi, bahwa pembangunan nasional akan tersendat, bahkan akan terhenti jika kekayaaan/ uang Negara yang seharusnya digunakan untuk membiayai pembangunan baik supra maupun infrastruktur diambil dengan berbagai dalih hanya untuk memperkaya segelintir orang atau sekelompok orang. Sehubungan dengan itu, dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, upaya pemberantasan korupsi ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Setelah Era Reformasi juga telah diterbitkan kerangka hukum baru sebagai koreksi berbagai kelemahan baik pada tingkat pengaturan maupun pada tingkat pelaksanaan. Diantara landasan hukum dimaksud adalah: 267
Jurnal Lex Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 267 - 274
1. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. 2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dai Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Undang-Undang ini merupakan konsekuensi yuridis dari TAP MPR tersebut. 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tanggal 16 Agustus 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketentuan ini sebenarnya telah termuat di dalam pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa akan dibentuk suatu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999, berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 juga disebutkan tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.2 7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convection Againts Corruption 2003/Konvensi Anti Korupsi/ KAK 2003. Dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 berarti Indonesia secara yuridis terikat dan berkomitmen melaksanakan United Nation Convection Againts Corruption 2003 dengan segala ketentuan dan konsekuensi yuridisnya.3 2
Artidjo Alkostar, Korupsi Politik…op.cit, hlm 343-344 Lihat Nyoman Sarekat Putra Jaya, dalam laporan lokakarya tentang kerjasama International dalam pemberantasan korupsi. Semarang oleh BPHN-RI, FH-UNDIP, Kantor Wilayah DEPHUM dan HAM, Jawa Tengah, Mei 2008, mengemukakan bahwa masalah korupsi adalah masalah antar bangsa, sehingga kejahatan itu dipandang sebagai kejahatan transnasional, oleh karena itu tindakan pencegahan melalui hokum nasional dengan mengadopsi sesuai prinsip hokum nasional melalui tindakan legislative dalam rangka meningkatkan citra bangsa Indonesia. 3
268
Memang keberadaan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibentuk yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 amat diperhitungkan oleh orang yang berniat atau sedang atau telah melakukan korupsi sebagai hal yang akan mengganggu kepentingannya dan kelompoknya. Jika dihitung sejak lembaga ini berdiri hingga sekarang, komisi ini telah berumur 8 (delapan) tahun dan selama delapan tahun lembaga negara tersebut menjalankan tugas dan kewenangannya telah menjebloskan koruptor berbagai tingkatan status sosial ekonomi dan pofesi ke penjara baik politikus pusat dan daerah, birokrat pusat dan daerah. Sementara bagi mereka yang belum tercium KPK, kemungkinan mereka membangun benteng dan pasang kuda-kuda untuk melakukan perlawanan terhadap kinerja KPK bahkan berupaya melemahkan eksistensi KPK. Keberadaan KPK ditakuti tidak saja oleh koruptor, atau mereka yang berniat korupsi terpaksa berpikir ulang, tetapi juga penyelenggara Negara takut mengambil resiko terhadap proyek-proyek pembangunan di lingkungan kementerian yang menjadi tanggung jawabnya. Implikasi upaya pemberantasan korupsi yang menekankan aspek penindakan yang dilakukan oleh KPK memunculkan kesan kuat bahwa tidak saja pada tataran normatif KPK memiliki kewenangan luas sebagai lembaga superbody tetapi juga sebagian kiprah penindakannya menjadikan situasi kebathinan penyelenggara pemerintahan, politik dan hukum yang mempunyai niat, sedang, dan telah melakukan tindak pidana korupsi merasa terancam, bahkan mereka melakukan serangan balik, bahkan mereka berupaya menghambat akselerasi pembangunan. Kondisi demikian seakan kontra produktif dengan tujuan pemberantasan korupsi sehingga menurut pandangan penulis fakta penindakan oleh KPK ini memunculkan kesan kuat selain menenggalamkan upaya-upaya pencegahan yang sebenarnya juga telah diatur dalam Pasal 6 jo Pasal 13 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Untuk itu, penulis bermaksud menguatkan posisi pencegahan korupsi yang secara yuridis telah diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002 tersebut. Alasannya, keberhasilan KPK bukan saja bias diukur dari jumlah orang yang dimasukkan
Membangun “KPK” Kabupaten/Kota ...
Jurnal Lex Publica
ke dalam proses pro-justisia (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemenjaraan), tetapi juga diukur jumlah potensi korupsi menurun dari tahun ke tahun. Dengan tujuan agar potensipotensi terjadinya tindak pidana korupsi dimaksud berhenti sebelum berkembang. Lantas, pertanyaan kemudian, apakah model pencegahan yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi social budaya Indonesia? II. Metode Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dalam konteks pencegahan tindak pidana korupsi, metode dimaksud adalah cara pencegahan. Sementara, teori hukum yang gunakan untuk membangun model pencegahan berdasarkan teori yang penulis kembangkan bahwa law is not separated from its culture and social where it’s existence. Untuk itu, model pencegahan korupsi yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Secara normatif, Pencegahan dimaksud oleh Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 diatur dalam Pasal 6 huruf (d) bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: “Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi”.4 Kemudian, tindakan pencegahan dimaksud disebutkan dalam pasal 13 bahwa “dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf d, komisi pemberantasan tindak pidana korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut: a. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggaran Negara; b. Menerima laporan dan menetapkan status grafitikasi; c. Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan; d. Merancang dan mendorong terlaksa4
Secara keseluruhan Pasal 6 Undang-Undang Nomer 30 tahun 2002 berbunyi sebagai berikut: komisi pemberantasan korupsi mempunyai tugas: a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasna tindak pidana koripsi; b. Supervisi terhadap instansi yang berwennag melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana koripsi; d. Melakukan tindakantindakan pencegahantindak pidana korupsi; e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Ade Saptomo
nanya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi; e. Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat umum; f. Melakukan kerjasama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Sehubungan dengan itu, langkah pertama konsep pencegahan penulis adalah dengan mengkonstruksi sasaran penerapan pasal 13 huruf f di atas, sebagai berikut: 1. Melakukan kerjasama dengan seluruh Gubernur sebanyak 33 seluruh provinsi di Indonesia, agar gubernur mengambil satu kabupaten/kotamadya untuk diajak dan dijadikan percontohan sebagai Kabupaten Bebas Korupsi, yang dalam tulisan ini disebut KPK KABUPATEN. Alasannya, korupsi telah merajalela di daerah-daerah, misalnya saja semenjak Presiden SBY berkuasa sudah 150 kepala daerah dijerat UU 31 tahun 1999. 2. Dalam satuan kabupaten tersebut terdapat delapan wilayah rawan korupsi, yaitu meliputi wilayah Pendapatan Negara dan Daerah, Belanja Negara dan Daerah, Hubungan Pejabat dengan Pengusaha, bisnis keluarga pejabat terkait APBN dan APBD, Pengadaan Barang, Pajak dan Bea Cukai, Pendaftaran Pegawai, dan Pengurusan Perizinan.5 Dalam konteks terakhir ini, pertanyaannya, bagaimanakah model pencegahan tindak pidana korupsi agar tidak meluas diberbagai tataran kehidupan penyelenggaraan Negara di daerah. III. Model Budaya Pencegahan Sebelum mengurai lebih dalam tentang 5
“Awasi 8 Wilayah Rawan Korupsi: Hari Antikorupsi Sedunia, Hanya KPK yang Dinilai Berprestasi,” Kompas, Rabu 10 Desember 2008. Dalam acara ini pula presiden menyampaikan bahwa ada beberapa pencapaian kejaksaan agung dan komosi pemberantasna korupsi yang patut diapresiasi yaitu penyelamatan asset Negara, kegigihan pencegahan korupsi, iklim takut korupsi, konsisten dan tidak pandang bulu dalam pemberantasan korupsi, dan meningkatnya penilaian lembaga dan masyarakat internasional sola indeks korupsi. Tahun 2004 indeks persepsi korupsi Indonesia 2,0 (nomor 137 dari 147 negara) naik pada 2008 menjadi 2,6 (nomor 126 dari 180 negara).
269
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 267 - 274 Jurnal Lex
Model Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, di bawah ini secara berturut-turut dikemukakan teori-teori sosiologi kejahatan penting yang sudah dikemal umum dan relevan untuk menjelaskan mengapa kejahatan tindak pidana korupsi terjadi.6 Pertama, Kejahatan terjadi ketika niat jahat bertemu dengan kesempatan. Kedua, kejahatan terproduksi oleh dinamika masyarakat itu sendiri (Saptomo, 2010). Artinya, kejahatan dimaksud terwujud karena ada kesempatan dalam masyarakat. Ketika seseorang yang memiliki niat jahat memanfaatkan kesempatan yang ada dalam masyarakat, maka kejahatan terjadi. Dengan demikian,dalam konteks tindak pidana korupsi ada tiga unsur utama, (1) unsur niat pada individu pejabat penyelenggaran Negara, (2) masyarakat, dan (3) masyarakat terorganisir seperti Negara.
Dan Nepotisme,7 sementara korporasi dimaksud sebagaimana disebut Pasal 1 (1) bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.8 Bahkan, jika tindak pidana dimaksud dilakukan oleh Presidenpun, maka yang bersangkutan diturunkan sebagaimana dimaksud dalam UUD Tahun 1945, pada perubahan ketiga, dalam pasal 7A disebutkan bahwa “Presiden dan/wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya, oleh MPR-RI atas usul DPR-RI, baik apabila terbukti telah melakukan korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden”.9
1. Tataran Individual (sebut saja: Pejabat Penyelenggara Negara) Niat merupakan krenteg bathin seseorang untuk melakukan sesuatu. Demikian pula Niat jahat dimaksud ada dalam dan lahir dari pikiran orang perseorangan atau kelompok. Dalam konteks kejahatan, niat jahat dimaksud lahir, hidup dan tumbuh dalam alam pikiran seseorang ketika dipengaruhi kenyataan kebutuhan riil seharihari, yang menurut perhitungan subyektfinya, tidak memenuhi. Seseorang melakukan kejahatan, menurut pandangan penulis, dipengaruhi kondisi internal dan eksternal. Pertama, kondisi internal dimaksud sebagai niat jahat yang lahir dari dalam diri sendiri (the real needs internally). Tentu bukan setiap orang perseorangan saja tetapi juga termasuk korporasi sebagaimana dimaksud Pasal 1 (3). Orang perseorangan dalam pengertian UU 30 tahun 2002 yaitu penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU nomer 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi,
Model pencegahannya, pada kondisi demikian dimana orang perorangan dimaksud merupakan pegawai negeri atau penyelenggara negara, maka model remunerasi, asuransi pendidikan dan kesehatan dapat dijadikan pilihan positif untuk mencegah niat seseorang atau kelompok orang mewujudkan krenteg jahat. Sementara pada kondisi lain, memang ada niat jahat bukan karena kebutuhan riil tidak terpenuhi tetapi karena kerakusan (greedy), gaya hidup mewah (glamory alife style). Model pencegahannya,
6
Diana Napitupulu (2010) menyebutkan sebab maraknya korupsi di Indonesia ada 8, yaitu adanya rangkap jabatan, 20 memandang publik sebagai pelayan, birokrasi yang gemuk,bebsarnya kekuasaan yang dipegang, tidak sempurnanya sistem peradilan, sistem pengadaan barang dan jasa belum empurna, dan adanya keserakhan dan kesempatan> Bogor:Raih Asa Sukses. hlm..27-38).
270
7
Pasal 2 Penyelenggara Negara meliputi: 1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; 2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; 3. Menteri; 4. Gubernur; 5. Hakim; 6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. 8 Keseluruhan bunyi Pasal 1 UU 30 tahun 1999 sebagai berikut. Pasal 1 Dalam Undang-undang Ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 2. pegawai Negeri adalah meliputi : 1) pegawai negeri sebagaimana undang-undang tentang Kepegawaian; 2) pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana; 3) orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; 4) orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau 5) orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. 9 Sekretariat Jenderal MPR-RI 2008, UUD 1945.
Membangun “KPK” Kabupaten/Kota ...
Jurnal Lex Publica
Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggaran Negara baik di pusat maupun di daerah-daerah; Menerima laporan dan menetapkan status grafitikasi baik pusat maupun di daerah-daerah; Kedua, kondisi eksternal dimana niat jahat lahir karena disuruh, dipaksa, diiming-imingi. Kondisi ini sebenarnya menggambarkan bahwa mereka bukan tidak terpenuhi secara ekonomi tetapi karena desakan dari luar. Artinya, remunerasi bukan satu-satunya sehingga pada titik ini, kemudahan pelayanan publik bagi masyarakat luas dapat dijadikan model pencegahan, misalnya saja Pelayanan Satu Atap. 2. Tataran Masyarakat Karakter permisif Masyarakat Indonesia diduga secara tidak langsung dapat mendorong dan membuka peluang terjadi tindak pidana korupsi, bahkan kondisi ekonomi dan tingkat kesejahtraan yang rendah, misalnya kemiskinan dan pengangguran (8,59 juta) menjadikan mereka sibuk mengentaskan dirinya sendiri sehingga mereka cenderung tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh orang lain ayang ternyata termasuk korupsi. Untuk itu, asumsinya adalah jika pemerintahan bebas korupsi maka pemerintah setempat akan mampu meningkatkan kesejahteraan baik secara sosial maupun secara ekonomi masyarakat setempat dan mampu mendorong pembangunan baik supra maupun infrastruktur. Peningkatan kesejahteraan harus dibutkikan dengan adanya penambahan infrastruktur yang dapat dinikmati warga masyarakat setempat. Jika ini terwujud, maka tumbuh citra positif bahwa bebas korupsi rakyat setempat sejahtera. Dengan keberhasilan mewujudkan konsep demikian ini, kepedulian masyarakat terhadap pencegahan terhadap tindak pidana korupsi tumbuh dan meningkatkan partisipasi mereka dalam mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Untuk itu, membangun satuan kabupaten/kota bersih korupsi menjadi perlu. 3. Tataran Negara Tataran Negara yang dimaksud dalam paper ini adalah produk hokum berupa peraturan perundang-undangan. Dalam konteks kejahatan umumnya dan khususnya tindak pidana korupsi
Ade Saptomo
maka hubungan antara kejahatan dengan peraturan perundang-undangan terletak, mialnya, pada kelonggaran-kelonggaran aturan, pengaturan belum jelas. Pada titik kelonggaran norma tersebut dapat melahirkan, menumbuhsuburkan niat kejahatan tindak pidana korupsi. Bisanya memanfaatkan peraturan-peraturan yang belum jelas atau longgar terjadi subur dalam sektor pelayanan publik baik pada berbagai tataran. IV. Konsep/Model Budaya Pencegahan Holistik Tindak Pidana Korupsi Secara teoretik keilmuan, penulis pada awal tulisan ini telah menunjukkan keyakinan atas validitas pandangan bahwa law not separated from its culture, social where it’s existence. Berdasarkan teori itu, bangsa Indonesia masih memiliki budaya yang dapat dijadikan landasan untuk melakukan pemberantasan korupsi. Artinya, model pemberantasan korupsi berbasiskan nilai budaya bangsa Indonesia, satu diantaranya, rasa malu. Namun selama ini rasa malu dipertontonkan, tentu mereka tidak menghendaki demikian. Artinya, jika seseorang dipermalukan maka yang bersangkutan akan melawan sekuat tenaga sehingga hubungan diantara anak bangsa menjadi tidak rukun, bahkan akan mempengaruhi situasi sosial, politik, ekonomi. Secara budaya dan filosofis, ingat nilai nusantara yang dikristalisasi ke dalam lima sila Pancasila. Diantaranya, nilai kerukunan, sehubungan dengan itu memberantas korupsi dengan tetap menjaga kerukunan diantara anak bangsa. Untuk itu jawabannya, menerapkan konsep budaya Menang Tanpa Ngasorake. Artinya, memberantas korupsi yang efektif dengan tanpa koruptor merasa tidak dipermalukan. Selain itu, paradigma keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi, menurut penulis, sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia seharusnya berubah atau digeser dari ukuran keberhasilan pemberantsan korupsi adalah jumlah koruptor yang ditangkap menjadi jumlah koruptor berkurang. Dengan kata lain, keberhasilan pemberantasan korupsi bukan jumlah orang yang ditangkap tetapi jumlah tindak pidana korupsi menurun setiap tahun. Pemberantasan Korupsi secara holistik berarti pendekatannya tidak saja pendekatan regular saja tetapi perlu pendekatan budaya dan 271
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 267 - 274 Jurnal Lex
sosial masyarakat Indonesia. Inilah bedanya pendekatan selama ini dengan yang penulis usulkan, dimana keterlibatan tokoh-tokoh yang dituakan secara sosial dan budaya diberdayakan. Misalnya, “pengusiran” atau “penjauhan” atau dengan bahasa yang lebih lunak adalah tidak diakuinya status social budaya koruptor dari masyarakat yang dipimpinya atau menuakannya patut dipertimbangkan, tentu- cara-cara juga harus sesuai dengan nilai budaya masyarakat setempat. Jika ini menjadi gerakan nasional maka keberhasilan pemberantasan korupsi akan bergeser dari berapa jumlah koruptor yang ditangkap menjadi berapa jumlah koruptor yang berkurang setiap tahunnya. Gerakan nasional seperti ini akan memunculkan tokoh nasional yang lahir sesuai dengan kebutuhan nasional, yaitu pemberantasan korupsi secara holistik. Secara kelembagaan, sudah 5 (lima) tahun terakhir penulis sebagai penasehat salah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang Pemantauan Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI yang ada di seluruh propinsi. Atas pengalaman itu, “KPK” Kabupaten/kotamadya perlu menjaid model budaya dibangun dengan visi dan misi sebagai berikut: VISI 2015-2020 “MENJADIKAN KABUPATEN/KOTAMADAYA KPK BERSIH KORUPSI” 1. 2. 3. 4. 5. 6. 10
MISI10 Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggaran Negara; Menerima laporan dan menetapkan status grafitikasi; Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan; Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi; Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat umum; Melakukan kerjasama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana
Enam misi dikutip dari Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 13.
272
korupsi. SASARAN 1. Pejabat Penyelenggara Negara dalam lingkungan Kabupaten; 2. Pejabat Penyelenggara Negara yang diduga menerima Gratifikasi dalam lingkungan Kabupaten; 3. Peserta didik Satuan Pendidikan Formal dan Informal dalam lingkungan Kabupaten ; 4. Tenaga Satuan Pelayanan Publik dalam lingkungan Kabupaten ; 5. Warga Masyarakat Profesional dan Umum dalam lingkungan Kabupaten ; 6. Institusi Pemerintah Propinsi/Daerah dan Lembaga Masyarakat Anti Korupsi. TUJUAN 1. Terwujudnya Hidup Proporsional bagi Pejabat Penyelenggara Negara dalam lingkungan Kabupaten; 2. Tewujudnya Sumbangan Proporsional bagi Pejabat Penyelenggara Negara dalam lingkungan Kabupaten; 3. Tertanamnya Pemahaman Bersih Korupsi pada Peserta Didik dalam lingkungan Kabupaten; 4. Tertanamnya Pemahaman Bersih Korupsi bagi Pelaku Pelayanan Publik dalam lingkungan Kabupaten; 5. Tumbuhnya Kepedulian Anti Tindak Pidana Korupsi dalam Masyarakat dalam lingkungan Kabupaten; 6. Terlibatnya Unsur Pemprov/pemda dan lembaga masyarakat dalam pencegahan tindak pidana korupsi dalam lingkungan Kabupaten. Visi, Misi, sasaran dan tujuan tersebut akan penulis wujudkan dengan strategi melibatkan pemerintahan daerah tingkat propinsi dan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang pemantauan penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana tergambar dalam matrik sederhana di bawah:11 11
Untuk sementara yang penulis ketahui ada lembaga yang bergerak dalam bidang pemantauan penyelenggaraan pemerintahan, misalnya, LP3 NKRI (Lembaga Pemantau Penyelenggara Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia). Lembaga ini ada di ke 34 propinsi seluruh Indonesia.
Membangun “KPK” Kabupaten/Kota ...
No. 1
Strategi I Melibatkan kepala daerah tingkat propinsi
2
Melibatkan kepala daerah Pemerintahan Kabupaten
3
Melibatkan LSM
1
2 3
4
5 6
Strategi II Melibatkan LSM dan aparatur daerah Melibatkan LSM dan aparatur daerah Melibatkan LSM dan aparatur daerah
Ade Saptomo
Jurnal Lex Publica
Rencana Aksi (6 bulan pertama) Mendiskusikan kesepakatan kesediaan menunjuk satu kabupaten Mendiskusikan kesediaan Pemerintahan Kabupaten dijadikan Model KPK Kabupaten Mendiskusikan kesediaan LSM sebagai mitra kerja KPK Rencana Aksi (2 tahun) Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggaran Negara; Menerima laporan dan menetapkan status grafitikasi; Menyelenggarkan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan;
Melibatkan LSM dan aparatur daerah
Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi; Melibatkan LSM dan Melakukan kampanye anti aparatur daerah korupsi kepada masyarakat umum; Melibatkan LSM dan Melakukan kerjasama bilateral aparatur daerah atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. E V A L U A SI Rencana Aksi Lanjutan (2 tahun)
4. Kesimpulan: Dengan demikian, tema utama pemberantasan tindak pidana korupsi lima tahun ke depan adalah membangun dan menerapakan Model Pencegahan Holistik Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, dengan satu kabupaten setiap propin-
Indikator MoU MoU
MoU
Terwujudnya pendafataran/pendataan dan laporan harta kekayaan Terwujudnya laporan status gratifikasi Terwujudnya pendidikan anti korupsi pada sekolah dasar hingga pendidikan tinggi Terwujudnya sosialisasi Partisipasi masyarakat dalam anti korupsi Terwujudnya kerjasama dalam pemberantasan korupsi
si untuk dijadikan KPK KABUPATEN. Dengan demikian, kesejahteraan sosial ekonomi, politik masyarakat daerah meningkat. Inilah cara penulis to improve the prosperity of Indonesia people.
273
Jurnal Lex Publica, Vol. Jurnal II, No. Lex 1, Publica Nopember 2015, hal. 267 - 274
Daftar Pustaka Ade Saptomo, (2010), Hukum dan Kearifan Lokal, Jakarta: Grassindo ……………., (2014), Budaya Hukum dan Kearifan Lokal, Jakarta: FHUP Press Andi Hamzah, (2002), Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Jakarta: Sumber Ilmu Jaya. Diana Napitupulu, (2010), KPK in Action, Jakarta: Raih Aksa Sukses. Nyoman Sarekat Putra Jaya, (2008), Laporan lokakarya tentang kerjasama International dalam pemberantasan korupsi. Semarang: BPHN-RI, FH-UNDIP, Kanwil DEPHUM dan HAM, Jawa Tengah.
274
Jurnal Lex Publica
PEMBANGUNAN HUKUM DAN SISTEM HUKUM Oleh : Dr. Hj. Evita Isretno, SH. MH*) Abstrak Pembangunan hukum di Indonesia dapat dilakukan melalui perbaikan sistem hukum yang mencakup semua bidang penting yang menjadikan sistem itu mampu bekerja dengan baik. Revisi Konsep maupun prosedural dapat menjadi pilihan dengan tambahan kemungkinan adanya penciptaan yang baru bidang pendidikan hukum, sistem perundang-undangan dan pranata penegakan dan pelayanan hukum.Reformasi hukum di Indonesia merupakan jargon yang kian hari kian santer disuarakan dalam rangka melakukan perbaikan hukum baik dalam arti pembangunan hukum maupun pembinaan hukum, yakni baik dalam arti semua kegiatan yang mengarah pada pembaharuan hukum dalam makna penciptaan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan di satu pihak maupun dalam rangka memelihara dan menumbuhkan semua kegiatan di bidang hukum yang meliputi pembaharuan hukum itu sendiri di pihak lain. perbaikan hukum di Indonesia lebih tepat dimulai dari sistem hukum itu sendiri. Apa yang dimaksud dengan reformasi hukum menurutnya adalah reformasi sistem hukum itu sendiri secara menyeluruh. Suatu pemikiran yang cemerlang dan patut ditindaklanjuti dengan upaya nyata dan terukur. Konsekwensi perbaikan melalui sistem akan meliputi beberapa hal yang utama yakni tentang sistem pendidikan hukum, pembaharuan sistem perundang-undangan atau kaidah hukum itu, pembaharuan mengenali tata cara penegakan hukum termasuk pembaharuan di bidang pelayanan hukum kepada masyarakat luas. Kata kunci: Pembangunan sistem hukum Abstract Legal development in Indonesia can be done through the improvement of the legal system which covers all the important areas that make it the system to work well. Concept and procedural revisions may be an option in addition to the possibility of the creation of a new field of legal education, the legal system and the institutions of law enforcement and service. Legal reform in Indonesia is a mission that is increasingly widely voiced in the framework of legal remedies both in terms of legal development and the fostering of law, which is good in the sense of all the activities that lead to the renewal of the law within the meaning of creation and the improvement of legislation on the one hand and in order to maintain and foster all activities in the field of law which includes the renewal of the law itself on the other. improvement of law in Indonesia is more precise beginning of the legal system itself. What is a law reform says is reform of the legal system itself as a whole. A brilliant idea and should be followed up with tangible and measurable effort. Consequences improvement through the system will cover some of the major things about the legal education system, reform the legal system or the rule of law that recognizes renewal procedures for law enforcement, including the renewal in the field of legal services to the public. Keywords: Construction of legal system
*)
Dosen Fakultas Hukum Univ. Borobudur.
275
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 275 - 284 Jurnal Lex
A. Pendahuluan Pembangunan hukum di Indonesia dapat dilakukan melalui perbaikan sistem hukum yang mencakup semua bidang penting yang menjadikan sistem itu mampu bekerja dengan baik. Konsep maupun prosedural dalam hukum acara termasuk hukum acara administrasi negara merupakan bagian dari pembangunan serta sistem hukum yang patut dicermati atau bahkan dievaluasi, sehingga dalam penerapan hukum acara tersebut tidak dicederai oleh pelaksana hukum. Dapat menjadi pilihan dengan tambahan kemungkinan adanya penciptaan yang baru bidang pendidikan hukum, sistem perundang-undangan dan pranata penegakan dan pelayanan hukum termasuk, termasuk pula kesepahaman dalam menyikapi pentingnya penyelesaian setiap konflik hukum yang terkait kepentingan administrasi publik dalam penyelenggaraan pemerintahan maupun ketatanegaraan. B. Hakikat Pembangunan Hukum Pembangunan selalu ingin dimaknai sebagai perubahan, yang dilakukan melalui bermacam cara dengan tujuan ideal mencapai suatu keadaan yang lebih baik dari yang pernah ada atau pernah didapat. Aspek mendasar dan penting yang selalu ada dalam nomen klatur pembangunan adalah perbaikan. Dalam rana hukum, perbaikan cenderung diistilahkan sebagai revisi yang dapat dilakukan baik secara keseluruhan atau hanya sebagian sesuai dengan kebutuhan, keadaan dan sesuai pula dengan perkembangan zaman. Secara filosofis ideologis, suatu pembaharuan hukum, bertitik tolak dari hal yang amat mendasar yakni konsep. Masing-masing bidang memiliki konsep tersendiri. Konsep ekonomi berbeda dengan politik, dan berbeda pula dengan hukum. Kewajiban dan hak dimungkinkan samasama ada pada bidang ekonomi, politik, dan hukum tetapi sudut pandang hukum akan tetap berbeda karena beda tujuan yang hendak dicapai. Hukum dalam konsep senantiasa tidak keluar dari sifatnya yang normatif dan di dalamnya terkandung makna-makna nilai tentang keadilan, kepatutan dan sebagainya. Konsep menentukan arah dari suatu upaya perbaikan dan karenanya pembangunan yang baik adalah pembangunan yang ber276
dasarkan konsep; demikian pula dalam arti revisi, hal itu pun haruslah memiliki konsep. Dengan konsep itulah maka pembangunan menjadi suatu aktivitas yang terukur dan dapat diukur.1 Suatu konsep tidak akan ada artinya tanpa tindakan lebih lanjut. Apa yang tertuang di dalamnya idealnya harus sampai ke tataran praktis. Mekanisme dalam hal mana konsep hendak diwujudkan berhubungan dengan tata cara atau prosedural. Keduanya saling berhubungan erat sehingga selalu didapati kenyataan bahwa revisi konsep senantiasa digandengkan dengan revisi prosedural. Keterikatan yang demikian menimbulkan fenomena fungsional bahwa keduanya bertindak seakan-akan sebuah sistem. Berbagai peristiwa dapat menyebabkan timbulnya upaya perbaikan baik dalam bentuk revisi konsep maupun prosedural. Dan bahkan beberapa peristiwa menjadikannya tidak hanya sekedar revisi dalam konteks pembangunan, melainkan lebih dari itu yakni mengarah kepada penciptaan-penciptaan yang benar-benar baru (invention) dan tidak sekedar dalam arti menemukan sesuatu yang telah ada sebelumnya (discover). Meningkatnya kasus-kasus pelanggaran hukum di Indonesia baik secara kualitas maupun kuantitas, serta fenomena menumpuknya perkara-perkara di Mahkamah Agung,2 ditambah adanya asumsi lemah nya penegakan hukum di Indonesia menimbulkan keprihatinan banyak pihak. Tak jarang hal itu menimbulkan penilaian-penilaian miring terhadap para petugas hukum kita yang sebenarnya penilaian itu tidak perlu dikemukakan apalagi atas maksud-maksud tertentu (vested interest). Justru yang diperlukan adalah pemikiran dan pengayaan implimentasi yang baik dan benar dalam rangka mempertinggi dan mempertajam - kualitas hukum di Indonesia. Dalam keprihatinan tersebut lahir berbagai keinginan untuk mengatasi berbagai kendala di bidang hukum. Reformasi hukum di Indonesia merupakan jargon yang kian hari kian santer 1
Buchari Zainun, Konsep Administrasi Pembangunan, Jakarta : LAN, 1996, hal 15. 2 Henry Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung Indonesia, 2001, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. Xxxviii.
Pembangunan Hukum dan Sistem Hukum
Jurnal Lex Publica
disuarakan dalam rangka melakukan perbaikan hukum baik dalam arti pembangunan hukum maupun pembinaan hukum,3 yakni baik dalam arti semua kegiatan yang mengarah pada pembaharuan hukum dalam makna penciptaan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan di satu pihak maupun dalam rangka memelihara dan menumbuhkan semua kegiatan di bidang hukum yang meliputi pembaharuan hukum itu sendiri di pihak lain. Banyak pemikiran yang timbul untuk mencapai perbaikan di bidang hukum. Lembaga yang dipandang berperan besar dalam bidang hukum menjadi bidikan pertama dalam konteks pembaharuan hukum. Mahkamah Agung sebagai benteng terakhir peradilan tak luput dari sasaran pemikiran mendalam terhadap perbaikan dunia hukum di Indonesia termasuk lembaga peradilan di bawahnya. Berturut-turut kemudian Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia dan lembaga lain, misalnya advokasi. Di luar dari pemikiran yang melihat perbaikan pada sektor institusi tersebut, ada pemikiran yang cukup bagus yang muncul dalam rangka mencapai perbaikan hukum di Indonesia, yakni pemikiran tentang perbaikan sistem hukum itu sendiri. Prof. Dr. Bagir Manan SH mengajukan suatu pemikiran bahwa perbaikan hukum di Indonesia lebih tepat dimulai dari sistem hukum itu sendiri. Apa yang dimaksud dengan reformasi hukum menurutnya adalah reformasi sistem hukum itu sendiri secara menyeluruh.4 Suatu pemikiran yang cemerlang dan patut ditindaklanjuti dengan upaya nyata dan terukur. Konsekwensi perbaikan melalui sistem akan meliputi beberapa hal yang utama yakni tentang sistem pendidikan hukum, pembaharuan sistem perundang-undangan atau kaidah hukum itu, pembaharuan mengenali tata cara penegakan hukum termasuk pembaharuan di bidang pelayanan hukum kepada masyarakat luas. Yang terakhir termasuk dari apa yang selama ini mendapat perhatian besar yaitu lembaga peradilan, kejaksaan dan kepolisian. 3
Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, 2001, Kompas, Jakarta, hal 132-133. 4 Bagir Manan, Hukum dan Pembangunan, Jakarta: Media Perspektif Baru, 2003, hal 29.
Evita Isretno
Setuju dengan pemikiran Prof. Bagir Manan, bahwa memang pembangunan hukum itu haruslah dimulai dari sistem sebab dengan bermula dari sistem itulah cakupan holistic suatu reformasi hukum akan lebih aktual. Tanpa cakupan yang demikian maka perbaikan itu hanyalah bersifat parsial dan hukum dimungkinkan akan berkembang secara liar, suatu yang wilde groei menurut Prof. Koesnoe, Pembangunan hukum mengarah kepada proses tambal sulam. C. Sistem, Ide Dan Tujuan Hukum Menurut Schrode & Voch sebagaimana dikutip oleh Satjipto, pengertian dasar yang terkandung dalam sistem menyangkut adanya tujuan, keseluruhan (holism), saling berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, transformasi, adanya kecocokan satu sama lain (keterhubungan); dan adanya kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu.5 Bersandar pada karakteristik suatu sistem tersebut, maka sistem hukum secara umum dapatlah diartikan sebagai kumpulan yang terdiri dari berbagai elemen yakni norma, asas, konsep, teori-teori yang saling terkait satu sama lain dan pula saling mempengaruhi dalam suatu “bangunan” hukum. Keterkaitan antara elemen itu disebabkan oleh adanya asas dan atau beberapa asas sedangkan saling mempengaruhi lebih disebabkan adanya perbedaan konsep antar elemen itu sendiri. Hukum dalam konsep Continental berbeda dengan hukum dalam konsep Anglo-Saxon dan bahkan perbedaan yang demikian dapat dilihat pula pada konsep dalam hukum adat maupun dalam konsep hukum Islam. Mengupas sistem hukum dapat berarti membahas gambaran tentang bagaimana hukum itu menampakkan dirinya atau bagaimana hukum itu ada dalam pengertian bekerjanya sesuatu yang dinamakan hukum. Membahas sistem hukum pula bermakna meninjau secara menyeluruh tentang apa dan bagaimana hukum itu bekerja dari sudut pendekatan sistem. Bekerjanya suatu hukum tak lepas dari adanya bangunan hukum. Sebagai bangunan sistematis, ia memiliki beberapa hal penting sebagai penunjang yakni struktur, kategori dan konsep. Ketiga elemen ini menempati substansi 5
Ibid, hal 33.
277
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 275 - 284 Jurnal Lex
mendasar dalam mana hukum bekerja untuk kemudian berperan yang menurut John Rawls menjadi “a coercive order of public rules addressed to rational persons for Tahune purpose of regulating Tahuneir conduct and providing Tahune framework for social cooperation”. Mengakomodir pandangan John Rawls ini, bekerjanya hukum ini menurut Hari Chand disebabkan adanya beberapa rasionalitas praktis yang memenuhi tiga aspek masing-masing “value, right and moral worTahun, relates to social and institutions.”6 Baik struktur maupun kategori yang berada di dalam suatu sistem digerakkan oleh sistem itu sendiri dalam rangka menjadikan hukum itu tetap hidup dalam suatu lingkungan masyarakat dan sekaligus menyatukan masyarakat itu sendiri untuk tetap berada dalam sistem.7 Adanya struktur dan kategori membuktikan adanya suatu kesatuan yang berpola. Teori Stufenbau dari Hans Kelsen dapat dipergunakan untuk membenarkan hal ini dengan asumsi adanya suatu Grundnorm yang berada pada posisi teratas dari tingkatan-tingkatan serta kategori yang ada di bawahnya. Grundnorm ibarat bahan bakar yang menggerakkan seluruh sistem8 dan berakibat satu sama lain saling mengikat dan melengkapi (setidaknya berhubungan satu sama lain), yang berpedoman kepada nilai yang tertuang dalam bentuk asas-asas hukum. Hans Kelsen dalam Tahune Normative Tahuneory of Law menyimpulkan bahwa sistem hukum “... is made of a hierarchy of norms. Each norm is derived from its superior norm. Tahune ultimate norm from which every legal norm deduces its validity is Tahune highest basic norm.“ 9 Konsepsi tentang hukum selalu ada dan sekaligus merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari adanya dalam suatu sistem hukum. Bagaimana hukum yang dipahami, gambaran hukum yang bagaimana yang menjadi Idee, ser6
Hari Chand, Modern Jurisprudence, 1994, International Book Services, Kuala Lumpur, hal 51. 7 James K. Fleibleman, Justice, Law and Culture, 1985, Martinus Nijhoff Publisher, Lancaster, hal. 64 8 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), 2002, Gunung Agung, Jakarta, hal. 273. 9 Surya Prakash Sinha, Jurisprudence, 1993, West Publishing Company, London, hal. 186.
278
ta hukum yang bagaimana yang timbul atas kebutuhan manusia merupakan wujud pemikiran mendalam dari manusia untuk memahami hukum itu sendiri. Pendapat Stamler yang menegaskan bahwa, “Tahune concept of law is Tahune technical legal science which concerns with a legal system. It is Tahune sum of laws which may be found in a legal system”10 memiliki keterkaitan dengan pemahaman dalam menghasilkan berbagai konsep berikutnya. Ciri sistem yang bersifat kompleks sebagai contoh mengisyaratkan bahwa hukum yang hendak dikaji berposisi sebagai sesuatu yang tidak dapat dipandang sederhana, sesuatu yang tentunya bersifat kompleks. Karena keadaan yang demikian; timbul berbagai konsep pemikiran tergantung dari aspek apa hukum itu hendak dikaji. Ia terkait pula dengan eksistensi ilmuilmu sosial lainnya misalnya sosiologi, antropologi, dan ilmu politik itu sendiri di samping memang aslinya ia berada dalam kajian ilmu hukum yang murni (pure legal science). Konsekwensi pendekatan yang demikian mengakibatkan apa saja yang menjadi elemen suatu sistem maka elemen itu pula digunakan dalam mengenali hukum dimaksud. Keterkaitan berbagai disiplin ilmu menimbulkan perbedaan konsep tentang hukum itu sendiri disertai dengan adanya perbedaan berbagai cara memandang hukum, yang dari perbedaan ini menimbulkan berbagai aliran hukum serta teori-teori hukum di dunia. Satu-satunya persamaan dalam suatu sistem---lengkap dengan berbagai perbedaan di dalamnya---adalah hukum dan sistem hukum itu semuanya mengarah kepada upaya bagaimana hukum itu dapat mencapai tujuannya. Konsep hukum dan teori hukum dalam sistem mendekatkan hukum pada permasalahan peran sekaligus fungsi hukum. Orang (termasuk dalam pengertian kelembagaan) dapat melakukan sesuatu kehendak melalui pemanfaatan hukum. Di sinilah bermula masuknya dunia politik sekaligus di sinilah hubungan kausalitas antara politik dan hukum menjadi lebih signifikan.
10
Hari Chand, Op Cit, hal. 49.
Pembangunan Hukum dan Sistem Hukum
Jurnal Lex Publica
Adalah tepat ungkapan Mahfud MD11 yang menggambarkan kausalitas itu dengan ungkapan: “Dalam realitas empiris hukum lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang melatarbelakangi. Kalimat-kalimat yang ada dalam aturan hukum tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan. Dalam kenyataan terlihat bahwa politik sangat menentukan bekerjanya hukum.” Meskipun ada benarnya pendapat Mahfud tersebut bahwa bekerjanya hukum lebih banyak ditentukan oleh kekuatan politik, tetapi menempatkan politik dan kekuatannya pada unsur utama dalam sistem hukum adalah kurang tepat: Politik di dalam hukum hanyalah strategi sementara substansi hukum berbeda tempat dengan sistem hukum yang mengkoordinasikan hukum menjadi bekerja. Meletakkan unsur politik sebagai bagian utama bekerjanya hukum dalam suatu sistem hukum lebih didasari hanya atas kekuasaan politik semata-mata sedangkan hukum dan kekuasaan itu tidaklah sama. Hukum yang melahirkan kekuasaan sedangkan kekuasaan tugas intinya adalah menjaga hukum dalam arti turut serta mewujudkan tujuan-tujuan ideal hukum. Dalam ilmu hukum memang dijumpai faham yang mengemukakan bahwa pemanfaatan hukum untuk tujuan tertentu. Dalam tatanan praktis sebagai contoh, peran sekaligus fungsi hukum dapat dilihat dalam hubungannya dengan kebijakan negara (state policy). Teori Roscoe Pound (1870-1964) dalam Law as a Tool of Social Engineering memaparkan suatu fungsi sosial yang besar untuk merubah suatu masyarakat ke arah yang lebih baik. Suatu konsep yang menunjang Sociological Tahuneory of Law pada faham Jurisprudence of Interests. Roscoe Pound mengemukakan bahwa hukum dipergunakan untuk menjamin kepentingan (interests) dengan tiga kategori utama (a) public interests; (b) individual interests; (c) social interests, 12 suatu pandangan lanjutan 13 dari Philip
Evita Isretno
Heck (1858-1943) yang berpandangan bahwa tugas-tugas hakim tidak hanya sekedar memenuhi perintah-perintah khusus (aturan-aturan hukum) melainkan pula melindungi totalitas kepentingan. Konsep ini dianut di Indonesia dan diartikan dengan manis dalam era Soeharto sebagai sarana pembaharuan (pembangunan masyarakat). Sistem hukum sebagai suatu bangunan di dalamnya terdapat idee hukum yang menurut Prof. Koesnoe dapat menjadi ukuran dalam mana suatu aturan dapat dimasukan ke dalam hukum atau tidaknya dalam masyarakat yang bersangkutan.14 Dari pendapat Prof. Koesnoe ini dapatlah dikatakan bahwa Idee hukum sebagai “identifier” untuk menandai ada atau tidaknya hukum itu di suatu komunitas tertentu yang sekaligus untuk menandai apakah suatu aturan itu bernilai hukum atau tidak. Bertitik tolak dari kesimpulan ini selanjutnya secara induktif dapat dikatakan bahwa ada atau tidak adanya sistem hukum akan ditentukan pula oleh idee hukum. Jika tidak ada idee hukum dalam suatu sistem, maka dengan sendirinya sistem hukum tidak ada. Prof. Koesnoe berkesimpulan bahwa tidak semua peraturan itu dapat disebut peraturan hukum; hanya yang bernilai hukum saja dapat disebut peraturan hukum dan selebihnya peraturan biasa.15 Sependapat dengan Prof. Koesnoe, memang persoalan Idee hukum bersentuhan dengan keadilan sebagaimana pula yang ditegaskan oleh Radbruch bahwa idee hukum berisikan persoalan keadilan (Die Idee des Rechts kannun keine andre sein als die Gerechtigkeit). Tetapi menyamakan idee hukum sebagai tujuan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Rad-bruch kurang tepat. Idee hukum bukan tujuan hukum melainkan tampilan mendasar dari suatu bangunan hukum. Idee hukum dapat diibaratkan suatu kendaraan tetapi tidak dapat dikatakan bahwa satu kendaraan itu hanya untuk satu tujuan saja; kita dapat menggunakan satu kendaraan ke berbagai tujuan yang kita kehendaki. 13
11
Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1999, hal. 69. 12 Surya Prakash Sinha dalam Jurisprudence, Op Cit., p. 233-234.
Achmad Ali, Op Cit., hal. 292. Koesnoe, Filsafat Hukum, Malang: Sekolah Tinggi Ilmu Hukum, 1988, hal. 76. 15 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni,1991, hal 59-61. 14
279
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 275 - 284 Jurnal Lex
Gambaran Idee hukum dalam sistem hukum ditemukan dalam organ-organ suatu negara misalnya kalangan eksekutif, legislatif maupun yudikatif yang pada hakikatnya mengimplementasikan suatu Idee hukum.16 Peran eksekutif, legislatif dan yudikatif memicu dan memacu bergeraknya hukum dalam lintasan waktu, tempat dan keadaan tertentu dengan membawa misi hukum yakni mewujudkan nilai-nilai seperti yang dimaksud Gustav Radbruch berupa keadilan, kepastian dan kemanfaatan di dalam hukum.17 Di situ kemudian ditemukan penempatan yang pas tentang tujuan hukum yang dalam bahasa Jerman dikenali sebagai “Zwek Des Rechts” atau “Tahune End of Law”. Implementasi yang demikian yang dilakukan oleh tiga lembaga penggerak negara dimaksud pada hakikatnya merupakan upaya sosiologis fungsional dan sekaligus menggambarkan peran suatu sistem hukum, bahwa di samping mengandung konsep hukum di situ pula terbukti adanya Idee hukum untuk diaplikasikan. Pernyataan Stammler yang menegaskan bahwa “Tahune idea of law is Tahune application of Tahune concept of law in Tahune realization of justice”18 mengisyaratkan bahwa idee hukum adalah aplikasi konsep hukum dalam rangka perwujudan keadilan, suatu pernyataan yang jika diperhatikan sungguh-sungguh dipengaruhi semboyan filsafat Skolastik: ius quia iustum (hukum karena adil). Pengertian dan idee hukum memotret secara jelas tentang bagai-mana bekerjanya suatu sistem hukum dengan menghubungkan pemaknaan keadilan dan ketidakadilan. Pada saat ketidakadilan itu timbul, maka sistem mulai bekerja dengan menerapkan asas-asas, konsep-konsep, dan termasuk aturan-aturan untuk mengembalikannya kedalam suatu kondisi sebaliknya yakni keadilan. Pergulatan antara keduanya menampakkan bahwa sistem hukum menjadi alat media dalam hal hukum itu diadakan. Pergulatan yang demikian digambarkan oleh James K. Feibleman19 dengan kalimat: “If justice is a system of order, injustice is disorder ... “, dan sistem hukum mengatur di antara keduanya. 16
Koesnoe, Op Cit., hal. 53. Achmad Ali, Op Cit., hal. 72. 18 Hari Chand, Op Cit., hal. 49. 19 James K. Feibleman, Op Cit. hal. 18.
Memahami hukum dengan sudut pandang berpola sistem maka dapat dipahami mengapa di kalangan ahli hukum timbul perdebatan tentang apakah hukum itu ada pada alam sein (kenyataan empiris) atau dalam alam sollen (keharusan yang ada dalam alam kejiwaan semata). Pada saat yang sama dapat dimengerti mengapa timbul pandangan netral bahwa hukum itu terdapat baik dalam alam sein maupun alam sollen. Pengaruh pandangan netral yang menganggap hukum itu ada baik dalam konteks “sein” maupun “sollen” berpengaruh pada perkembangan sistem hukum di dunia. Hukum sebagai suatu manifestasi nilai, dan nilai merupakan saripati budaya dan budaya sendiri merupakan fundamen hukum. Berkembangnya budaya menimbulkan perkembangan baru tentang hukum yang dicita-citakan memenuhi kebutuhan suatu masyarakat bangsa tertentu. Sistem hukum berkembang seakan-akan tidak lagi ada suatu sistem hukum yang universal 20 dan justeru sebaliknya, sistem hukum bergerak ke arah yang lebih khusus, tertentu, dan terbatas oleh budaya masing-masing masyarakatnya. Secara tak terelakkan pembangunan sistem hukum kemudian lebih berorientasi kepada kebutuhan masyarakat (based on social needs). Hukum berkembang seirama dengan perkembangan zaman21dan karenanya pembangunan hukum itu haruslah bersifat terus menerus (sustainable) dan tetap dalam sifatnya yang sistematis dan tidak secara parsial. Pembangunan dalam Idee hukum hendaknya berada dalam satu paket dari tujuan hukum itu sendiri. Kalau selama ini tujuan hukum masih dengan pola melihat permasalahan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum itu dibahas dalam bagian yang terpisah haruslah diubah sebagai bahasan yang utuh. Artinya, kita tidak perlu lagi memikirkan suatu perkembangan tujuan hukum dalam konteks pemilihan asas yang cocok untuk diterapkan, misalnya, apakah keadilan sebagai prioritas, kemanfaatan atau kepastian saja. Pembangunan hukum melalui sarana sistem akan lebih baik jika ketiga asas tujuannya dijadikan satu sebagai sasaran akhir (final goal) hukum. Mengaplikasikan ketiga unsur keadilan, kemanfaatan, dan kepastian secara terpisah-pi-
17
280
20 21
Surya Prakash Sinha, Op Cit. hal 206. Hari Chand, Op Cit., hal 125.
Pembangunan Hukum dan Sistem Hukum
Jurnal Lex Publica
sah membuka cakrawala luas timbulnya suatu konflik sistem hukum tetapi menyatukan ketiganya secara bersama bukanlah hal yang mudah. D. Sistem Hukum Di Indonesia Beberapa waktu lampau, berbicara tentang sistem hukum didunia selalu mengarah kepada dua sistem hukum besar, yakni sistem hukum Eropa Benua dan sistem hukum Inggris. Sebutan lain untuk sistem hukum Eropa lazimnya adalah Sistem Hukum Romawi-Jerman atau “Civil Law System” sedangkan sistem hukum Inggris dikenal dengan sebutan “Common Law System” atau Sistem Anglo-Saxon. Meskipun dua sistem tersebut telah mendapat pengakuan di kalangan pemikir hukum di dunia, perkembangan sistem hukum dengan mazhab pembangunan melalui sistem tidak dapat terelakkan adanya. Sistem hukum mengarah kepada sistem yang non-universal. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan, bahwa bagi Amerika maka hukum yang dicita-citakan adalah sesuai dengan budaya Amerika. Nilai-nilai hukum di Arab dicita-citakan pula oleh bangsa yang mendiami jazirah arab, dan demikian pula di Indonesia yang menimbulkan keinginan untuk menggunakan hukum yang sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan bangsa Indonesia sendiri. Konsep sistem hukum nasional Indonesia yang timbul pada perkembangan terakhir berasal dari keyakinan bahwa sistem hukum yang baik yang haruslah “sein” yang ditransformasikan dari elemen “sollen” yang dalam budaya bangsa Indonesia sendiri dan bukan dari bangsa lain. Pembangunan hukum haruslah sesuai dengan cita rasa masing-masing bangsa, tidak universalitas. Di lain pihak, pengaruh faham “globalisasi” yang berkeyakinan adanya kondisi ―borderless‖ dan negara-negara di dunia sebagai suatu ―an opened big family‖ menimbulkan suatu keinginan adanya kesamaan sistem hukum terutama dalam hal-hal tertentu misalnya masalah ekonomi dan perdagangan, masalah kemanusiaan dan hak-hak yang melekat padanya. Keterlibatan badan dunia seperti PBB dan lembaga keuangan internasional IMF maupun lembaga lainnya tidak dapat dipandang kecil dalam menciptakan suatu sistem lanjutan dalam bidang hukum: sistem hukum dunia (world wide legal sys-
Evita Isretno
tem), suatu sistem yang tidak dibatasi oleh budaya satu bangsa atau suku bangsa saja melainkan ditentukan oleh peradaban dunia sebagai suatu pranata sosial internasional. Perkembangan sistem yang demikian tidak dapat tidak berpotensi mereduksi dua sistem hukum sebelumnya yakni Civil Law dan Anglo-Saxon dan juga terhadap perkembangan sistem hukum yang universal. Pergulatan sistem hukum bagaimanapun juga memberi tanda bahwa hukum berkembang dari masa kemasa sesuai dengan peradaban manusia. Dalam aliran hukum yang historis, hukum tidaklah statis walaupun diakui sebagai perkembangan yang amat lambat,22 ia tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan rakyat, menjadi kuat bersama kekuatan rakyat dan pada akhirnya hilang pula dalam hal suatu bangsa kehilangan kebang-saannya.23 Dianut atau tidak dianut aliran ini oleh siapapun, ada peringatan penting di dalamnya yang menyatakan bahwa suatu bangsa tidak boleh kehilangan hukumnya sendiri sebab bila suatu bangsa telah kehilangan hukumnya, maka ia telah kehilangan kekuatan dan pada akhirnya runtuhlah bangsa itu. Jauh sebelum Belanda datang ke Indonesia dalam misi pertamanya berdagang, bangsa Indonesia, dengan segala kesederhanaannya telah memiliki sesuatu yang dipergunakan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat di masing-masing lingkungannya, sesuatu yang dalam Teori HLA Hart dinamakan sebagai ―primary rules‖, sesuatu yang ―impose on people in Tahune relevant population Tahune duty to act, or refrain from acting, in certain ways‖; dengan argumen pembenaran bahwa “All societies have such primary rules, even societies Tahunat lack any legal system‖.24 Berbagai kebiasaan yang dilakukan berkembang menjadi sesuatu yang seharusnya dilakukan atas kesadaran bahwa di dalam kebiasaan itu ada nilai. Nilai-nilai itu diyakini haruslah dilestarikan (tradisi) sebagai pegangan hidup dan kemudian berkembang menjadi adat istiadat. A22
Sue Farran, Comparative Legal System, LA: Course Materials, University of Soutahun ,1981, hal 59. 23 CST. Kancil, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1999, hal 51. 24 Deno Kamelus, Perkembangan Teori Sistem secara Sosiologis, Surabaya: Dharmawangsa Press, 2001, hal 82.
281
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 275 - 284 Jurnal Lex
dat yang demikian terus mengalami “metamorfosa” nilai yang kemudian membentuk dirinya sebagai hukum adat walaupun secara keseluruhannya yang dimaksud dengan hukum adat dalam kondisi ini masih di dominasi karakter kaidah primer (primary rule), dan sebagian lagi terbentuk dari adanya kaidah sekunder (secondary rule) yakni berupa petunjuk pengenal sebagai hukum (rules of recognition). Indonesia memiliki sistem hukum betapa pun sederhananya sistem itu. Konstitusi Indonesia secara tegas menyatakan bahwa Indonesia negara hukum (rechtsstaat). Konsekwensi yuridis dari pengakuan Indonesia negara hukum tidak dapat tidak membuktikan adanya suatu sistem hukum yang dianut di Indonesia terlepas dari apakah sistem itu ”jiplakan” atau memang yang timbul sebagai pernyataan semangat kebangsaan (volksgeist) dari budaya bangsa Indonesia sendiri. Terlepas juga apakah sistem itu mampu atau tidak mampu untuk mensinergiskan berbagai tujuannya. E. Pembangunan Sistem Hukum Di Indonesia Terdapat dua alasan penting mengapa kajian tentang pembangunan sistem hukum di Indonesia dipandang sebagai hal yang amat perlu. Alasan pertama, bahwa suatu kenyataan kita belum memiliki sistem hukum nasional yang ideal. Suatu sistem dikatakan ideal bila ia menampung nilai-nilai hukum sebagai sari pati budaya nasional. Hukum yang ada sekarang adalah hukum yang sarat dengan falsafah barat dan bukan falsafah bangsa Indonesia. Alasan kedua, bahwa situasi dan kondisi Indonesia sedang mengalami berbagai perubahan. Beberapa fenomena perubahan antara lain telah terjadi perubahan paradigma dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan di Indonesia yang oleh Prof. Romli25 disebut “dari sistem otoritarian kepada sistem demokrasi, dan dari sistem sentralistik ke dalam sistem Otonomi. Perubahan ini berdampak cukup luas terhadap sistem hukum yang dianut.” Dalam pandangan Prof. Romli, terdapat lima fenomena penting dalam hal mana suatu perkembangan (pembangunan) hukum ke depan 25
Romli Atmasasmita, Menata Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional, Kompas, 19 Maret 2004.
282
perlu dicermati dan dikaji secara mendalam. Fenomena itu terdiri atas: 1. Kecendrungan sistem Otonomi menjadi lebih diperluas sehingga dapat menjadi federalisme. 2. Kecenderungan sistem multipartai yang berdampak terhadap sistem kabinet presidensial yang selama ini dianut dalam UUD 1945 dengan munculnya kabinet koalisi. 3. Kecenderungan pemisahan kekuasaan secara tegas (separation bukan differentiation) yang dapat mempengaruhi “law making process” dan “law enforcement”. 4. Masuknya pengaruh kelompok LSM dalam pengambilan keputusan pemerintah dan legislasi. 5. Adanya Tap MPR yang memerintahkan Presiden untuk melaksanakan pemberantasan KKN. Apa yang Prof. Romli kemukakan menyentuh suatu lapangan hukum yang luas dan dalam menyangkut berbagai aspek. Tidak ada pilihan lain kecuali perubahan itu harus disikapi dengan tindakan nyata berupa pembangunan secara menyeluruh. Sebagaimana disinggung di bagian muka, pembangunan dalam aspek sistem mengandung konsekwensi dibangunnya beberapa item yang membentuk sistem itu sendiri, yang meliputi sistem pendidikan hukum, pembaharuan sistem perundang-undangan atau kaidah hukum itu sendiri, pembaharuan mengenali tata cara penegakan hukum termasuk pembaharuan di bidang pelayanan hukum kepada masyarakat luas, antara lain meliputi sistem pendidikan hukum. Secara kelembagaan sistem pendidikan hukum memenuhi dua kriteria masing-masing yakni pendidikan hukum yang dilakukan melalui institusi dan non-institusi. Secara institusi, terdapat kelembagaan-kelembagaan misalnya perguruan tinggi, lembaga hukum yang memang diarahkan untuk melakukan peningkatan sumber daya manusia secara internal misalnya pelatihan korps hakim, jaksa dan kepolisian maupun lembaga lain, misalnya, non-hukum yang melakukan upaya pelatihan sejenis dalam konteks memahami hukum. Non-institusi dapat diartikan sebagai proses pembelajaran hukum secara tidak langsung, misalnya, sosialisasi hukum oleh apa-
Pembangunan Hukum dan Sistem Hukum
Jurnal Lex Publica
ratur negara kepada segenap masyarakat baik dalam konteks tertentu misalnya penyuluhan Pemilu, Pajak dan sebagainya. Dalam arti yang demikian, pendidikan hukum dapat pula terjadi secara tidak sengaja. Artinya bagaimana hukum dan aplikasinya diketahui oleh masyarakat melalui berbagai kejadian, misalnya, dalam hal adanya konflik, timbulnya putusan-putusan hakim atas suatu kasus dan atau seseorang itu telibat dalam kasus-kasus hukum di dalam maupun di luar pengadilan. Sistem perundang-undangan secara umum tidak terpisah dari politik hukum yang mengandung tiga hal utama, yakni (1) Law making process; (2) Implementation; (3) Law Enforcement. Dari tiga hal ini, membicarakan pembangunan hukum terutama dalam aspek sistem perundangundangan yang terpenting adalah proses pembuatan hukumnya (law making process). Law making process adalah tahap awal dimana pembangunan itu muncul. Pada tahap awal ini akumulasi berbagai kepentingan muncul baik dari aspek ekonomi, sosial, budaya, dan hukum itu sendiri. Hal ini wajar karena tahap ini tidak lain merupakan tahap latar belakang di mana suatu produk hukum itu hendak dibentuk. Di dalam tahap awal ini dalam praktik sarat dengan berbagai pengaruh terutama pengaruh politik yang tengah berkembang di tanah air. Dalam hal terdapat pengaruh politik yang kuat maka hasilnya dapat ditebak bahwa suatu peraturan sarat dengan kepentingan politis. Pada tahap ini tidak jarang ditemukan bahwa suatu peraturan perundang-undangan itu dibuat hanya untuk melegalkan kekuasaan seseorang atau sekelompok orang saja. Di sini hukum diperankan untuk kepentingan kekuasaan semata. Untuk mendapatkan latar belakang murni hukum dalam suatu sistem perundang-undangan dan bebas dari “vested interest” yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka terdapat langkah-langkah penting yaitu: Penajaman Kaidah Hukum dan Klarifikasi Fungsi Hukum. Membicarakan penegakan maupun pelayanan hukum selalu diarahkan kepada lembagalembaga formal yakni hakim, jaksa, polisi, advokat/pengacara dan lembaga lain yang karena tugas dan fungsinya yang sering masuk sebagai pilar kelima dalam aspek penegakan hukum dan pelayanan hukum misalnya pers.
Evita Isretno
Karena kelima lembaga itu dipandang memiliki kompetensi yang besar, maka selalu dalam pembicaraan pembangunan hukum menjadi bagian sentral dalam adanya berbagai kebijakan hukum. Terhadap jajaran hakim dan institusinya, dilakukan reformasi institusi di mana Mahkamah Agung kini telah menjadi lembaga yang mandiri termasuk aspek administratif hakim. Kepolisian pun secara institusional telah direformasi dan lepas dari bagian kemiliteran Indonesia. Pers diberi kebebasan untuk dan atas nama mengawal demokrasi dan keterbukaan. Reformasi pada tatanan institusi cukup baik dilakukan tetapi hal itu belum memadai. Penegakan hukum masih belum memuaskan. Tumpukan perkara serta banyaknya pelanggaran merupakan bukti bahwa upaya itu belumlah cukup. Keadilan di kalangan masyarakat masih menjadi barang mewah atau barang mahal. Perubahan dapat saja terjadi secara total sehingga membawa kepilihan mengganti sistem hukum dari yang kontinental menuju sistem hukuan Anglo-saxon sebagaimana dianut pula oleh beberapa negara di sekitar Indonesia. Walaupun upaya ini berat dilakukan tetapi tidak ada pilihan lain untuk menyelamatkan hukum di Indonesia. Pil pahit harus ditelan agar mendapat kesembuhan. Pertanyaan menarik yang harus selalu diingat dalam hal ini adalah atas sebab apa pergantian sistem hukum itu diperlukan. F. Penutup Pembangunan hukum yang meliputi pembaharuan maupun pembinaan haruslah bertumpu kepada sistem itu sendiri sebab jika sistem itu tidak memberikan kesempatan untuk pelaksana berbuat sesuatu yang kurang baik, maka perbuatan itu tidak dapat ia lakukan atau setidaknya perbuatan yang melawan sistem itu akan amat mudah terdeteksi dan pada akhirnya akan banyak membantu dalam hal diperlukannya upaya penegakan hukum (law enforcement). Pembangunan hukum baik dalam arti pembaharuan maupun penciptaan elemen-elemen hukum sebaliknya dilakukan dalam konteks dan konten sistem hukum. Dalam konteks, pembangunan hukum itu merupakan tidak lain dalam rangka mewujudkan Indonesia yang bertitel negara hukum dan menjunjung tinggi hukum dalam setiap nafas kehidupan bernegara. 283
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 275 - 284 Jurnal Lex
Dalam konten (isi), pembangunan itu haruslah dilakukan secara menyeluruh terhadap setiap elemen yang menjadikan sistem hukum itu lebih nyata adanya, lebih mampu mengatur subsistem yang ada di dalamnya. Dibutuhkan keberanian yang luar biasa dari pemerintah untuk memperbaiki hukum dalam hal dipilihnya suatu alternatif krusial: penggantian sistem hukum secara menyeluruh, baik itu dengan label menuju sistem hukum nasional atau lain dari itu. Pembangunan hukum tidak sekedar hanya menggantungkan kemauan politik (political will) saja melainkan ia membutuhkan kebera-
nian negara (state courage) untuk menetapkan sistem hukum mana yang baik dengan segala konsekwensi yang ada. Upaya ―tambal sulam‖ peraturan hukum justeru berpengaruh pada elemen-elemen lainnya yang pada akhirnya mereduksi peran dan fungsi sistem hukum itu sendiri. Batasan antara mana yang sistem dan mana yang subsistem tidak lagi tampak, bias, dan akhirnya kesulitan untuk mendeteksi pada fungsi hukum yang mana ia harus mendapat tekanan lebih untuk diperbaiki. Bukan sebaliknya, bahwa pembangunan hukum hanya sekedar retorika dari masa ke masa, dari rejim ke rejim.
Daftar Pustaka Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosio-logis), Jakarta: Gunung Agung, 2002 Andrew Altman, Critical Legal Studies - A Liberal Crtique, Princeton University Press, USA, 1989 Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta: Kompas, 2001 CST.Kancil, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1999 Deno Kamelus, Perkembangan Teori Sistem secara Sosiologis, Surabaya: Dharmawangsa Press, 2001 Hari Chand, Modern Jurisprudence, Kuala-Lumpur: International Book Services, 1994 Henry Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001 James K. Fleibleman, Justice, Law and Culture, Lancaster: Martinus Nijhoff Publisher, 1985 Koesnoe, Filsafat Hukum, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum, Malang, 1988 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1991 Surya Prakash Sinha, Jurisprudence,West Publishing Company, London, 1993 Romli Atmasasmita, Menata Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional, Kompas, 19 Maret 2004.
284
Jurnal Lex Publica
KEWENANGAN HUKUM FUNGSIONAL KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI (KPK) Oleh: H. Azis Budianto, SH. MS*) Abstrak Kewenangan yang melahirkan tugas serta fungsi dari suatu institusi atau lembaga, yang dituang kan atau diatur oleh undang-undang, merupakan kewenangan yang sah berdasarkan hukum. Pelaksanaan kewenangan yang dimiliki aparatur negara, harus dilakukan secara konsekuen sesuai ketentuan hukum yang berlaku, tak terkecuali termasuk pelaksanakan kewenangan yang dilakukan oleh KPK berdasarkan legalitas hukum berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Esensi dari asas legalitas, wewenang merupakan kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu dari pihak yang diberikan kewenangan. Mengimplimentasikan kewenangan dan fungsi yang dilandasi oleh ketentuan perundang-undangan, hal tersebut merupakan perilaku yang harus dipertanggungjawabkan guna kepentingan tujuan hukum, yang berintikan, keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum. Dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi, serta memfungsikan berbagai institusi penegak hukum yang ada dan atau jika diperlukan negara melakukan teroboson kebijakan dengan membentuk institusi baru, dalam rangka guna meningkatkan pendayagunaan political will negara, maka diperlukan kebijakan sistemik yang dapat memberikan kemanfatan serta keadilan bagi seluruh kepentingan negara, dalam kerangka mewujudkan tujuan hukum pada suatu negara yang berdasarkan atas hukum. Kata kunci : Kewenangan fungsional Abstract The authority which gave birth to the duties and functions of an institution or organization, which is poured or regulated by law, the legal authority under the law. The implementation of the authority is the state apparatus, it should be done consistently in accordance with applicable law, not least including the implementing authority carried out by the Commission based on the legality of the law is based on Law Number 30 Year 2002 on Corruption Eradication Commission (KPK). The essence of the principle of legality, the authority is the ability to perform certain actions on the part of the law may be authorized. Implementation of the powers and functions based on the statutory provisions, it is a behavior that should be accounted for in the interests of legal purposes, the core, fairness, certainty and legal expediency. In the context of combating corruption, as well as the functioning of the various law enforcement agencies that exist and or if necessary the state do teroboson policy by forming new institutions, in order to increase the utilization of political will of the state, then the policy is needed systemic may provide kemanfatan and justice for all interests countries, within the framework of realizing the goal of law in a country that is based on the law. Keywords: Functional Authority
*)
Dosen Fakultas Hukum Universitas Borobudur.
285
Jurnal Lex Publica, Vol. Jurnal II, No. Lex 1, Publica Nopember 2015, hal. 285 - 302
A. Pendahuluan Berdasarkan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum terkait keberadaan lembaga Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yaitu Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), secara substansional mengatur kewenangan, tugas dan fungsi KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Lingkup kewenangan dan fungsi yang diemban KPK, merupakan legitimasi hukum atas nama kekuasaan negara, yang secara umum keseluruhan sumberdaya penyelenggara administrasi ketatanegaraan maupun administrasi pemerintahan lazim disebut sebagai aparatur negara. “Aparatur negara adalah keseluruhan lembaga dan pejabat negara serta pemerintahan negara yang meliputi aparatur kenegaraan dan pemerintahan sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, bertugas dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan negara. Sedangkan Penyelenggara Negara, adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.1 Aparatur negara yang bertanggungjawab melaksanakan kewenangan, fungsi hukum administrasi negara merupakan landasan bagi aparatur negara guna melakukan tindakan-tindakan hukum yang memiliki legitimasi dalam melakukan pelayanan publik. Menurut Joseph Raz, dalam hal mengapresiasi hukum positif justru lebih berorientasi pada otoritas atau kewenangan. ―A much more promising approach to the normativity of law is found in Joseph Raz's theory of authority, which also shows how such a theory about the normativity of law entails important conclusions with respect to the conditions of legal validity. The basic insight of Raz's argument is 1
Bachsan Mustafa, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1995, hal. 113
286
that the law is an authoritative social institution. The law, Raz claims, is a de facto authority. How-ever, it is also essential to law that it must be held to claim legitimate authority. Any particular legal system may fail, of course, in its ful-fillment of this claim. But the law is the kind of institution which necessarily claims to be a legitimate authority.‖ 2 (Suatu pendekatan yang lebih menjanjikan terhadap kenormatifan hukum dikemukakan dalam teori Joseph Raz tentang otoritas (kewenangan), yang juga dihubungkan dengan teori tentang kenormatifan hukum, sehingga menghasilkan kesimpulan penting yang berkaitan dengan kondisi validitas hukum. Pokok pemikiran yang mendasar dari argumen Joseph Raz adalah bahwa hukum merupakan sebuah lembaga sosial otoritatif. Raz beranggapan bahwa, hukum adalah kewenangan de facto. Maka dari itu, keberadaan hukum yang diciptakan atau undang-undang sebagai produk hukum harus dibuat oleh lembaga yang memiliki otoritas atau kewenangan yang sah). Suatu produk hukum (undang-undang), guna kepentingan yang bersifat khusus, sudah tentu akan menentukan kewenangan yang sah, jika undang-undang tersebut dibuat oleh institusi yang memiliki legitimasi hukum untuk membuatnya. Lebih lanjut menurut Raz; That for something to be able to claim legitimate authority, it must be of the kind of thing capable of claiming it.3 (Bahwa guna menyatakan sesuatu dapat mengklaim otoritas yang sah, hal tersebut harus dilakukan oleh pihak yang mampu mengklaim hal itu). Jika dikaitkan dengan kepentingan hukum administrasi negara, maka produk hukum yang dibuat melalui proses yang sesuai ketentuan hu2
Joseph Raz, (1995), Law and Society : Reading on the Social Study of Law, New York: W.W. Norton Comp, p. 54 3 Finnis, John, Natural Law and Natural Rights, Oxford: Clarendon Press. 1980: p. 10
Kewenangan Hukum Fungsional Komisi Pemberantasan Tindak Jurnal LexPidana PublicaKorupsi (KPK)
kum, secara otomatis undang-undang tersebut memiliki legitimasi untuk dilaksanakan sesuai substansinya. “Fungsi hukum administrasi negara yang paling utama antara lain yaitu: Pemeliharaan ketertiban dan ketenangan, pertahanan dan keamanan, hubungan diplomatik, perpajakan, dan protektif memang harus dilaksanakan terus, serta mencakup fungsi pelayanan kepada rakyat dan mencakup fungsi peningkatan kesejahteraan rakyat.”4 Konsekuensi dari keberadaan fungsi hukum administrasi negara, maka penyelenggara negara atau aparatur negara memiliki tanggungjawab amanat untuk melaksanakan kewenangan serta fungsi yang timbul, sebagaimana yang telah diperintahkan oleh undang-undang. Kewenangan yang melahirkan tugas serta fungsi dari suatu institusi atau lembaga, yang dituangkan atau diatur oleh undang-undang, merupakan kewenangan yang sah berdasarkan hukum. Menurut Soerjono Soekanto; “Kewenangan yang sah menurut hukum, bahwa: Wewenang rasional atau legal adalah wewenang yang disandarkan pada sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat. Sistem hukum di sini difahamkan sebagai kaidah-kaidah yang telah diakui serta ditaati masyarakat, dan bahkan yang telah diperkuat oleh negara. Kemudian harus ditelaah pula hubungannya dengan sistem kekuasaan serta diuji pula apakah sistem hukum tadi cocok atau tidak dengan sistem kebudayaan masyarakat, supaya kehidupan dapat berjalan dengan tenang dan tenteram”.5 Pelaksanaan kewenangan yang dimiliki aparatur negara, harus dilakukan secara konsekuen sesuai ketentuan hukum yang berlaku, tak terkecuali termasuk pelaksanakan kewenangan yang dilakukan oleh KPK berdasarkan legalitas hukum berdasarkan Undang-undang Nomor 30 4
Bernard L. Tanya 2010, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia, Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, hal 11. 5 Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta,1990, hal. 313.
Azis Budianto
Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Esensi dari asas legalitas, wewenang merupakan kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu dari pihak yang diberikan kewenangan. Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam hukum tata negara dan hukum administrasi. Mengingat begitu penting aspek kewenangan, maka banyak ahli menyebut bahwa kewenangan merupakan sebagai konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi. “Kewenangan yang di dalamnya terkandung hak dan kewajiban, merupakan. Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. Wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban”.6 Penyelenggaraan kewenangan seringkali dipergunakan atau di distribusikan terhadap tugas-tugas penyelenggaraan oleh pejabat aparatur negara yang ditujukan kepada bawahan guna meningkatkan kinerja pelayanan publik maupun terkait tugas tertentu yang berfungsi mewakili pejabat dalam waktu tertentu. Perundang-undangan yang kemudian memberikan kewenangan atas keberadaan suatu institusi sekaligus mengatur tentang fungsi yang terkait kewenangan tersebut. “Fungsi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan Balas Pustaka Departemen Pendidikan Nasional adalah diartikan “Kegunaan suatu hal”, atau fungsi dikaitkan dengan sesuatu yang berhubungan dengan Jabatan. Fungsi merupakan suatu keadaan tentang adanya kegu6
Bagir Manan, Kewenangan Hukum Penyelenggara Negara, Bandung: Eresco,1995, hal. 142.
287
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 285 - 302 Jurnal Lex
naan dari kegiatan tertentu”.7 Fungsi seringkali dihubungkan dengan keadaan yang memiliki hubungan dengan kegunaan kegiatan tertertu. Dalam kontek kewenangan dalam kegiatan tertentu dalam suatu kelembagaan yang diatur oleh undang-undang, fungsi biasa merupakan rangkaian keadaan atau sifat dari legitimasi formal yang saling terkait dengan kewenangan, agar kewenangan tersebut lebih memiliki keleluasaan. Secara praktis kewenangan diskresioner administrasi negara yang kemudian melahirkan peraturan kebijaksanaan mengandung dua aspek pokok: ―Pertama, kebebasan menafsirkan mengenai ruang lingkup wewenang yang dirumuskan dalam peraturan dasar wewenangnya. Aspek pertama ini lazim dikenal dengan kebebasan menilai yang bersifat objektif. Kedua, kebebasan untuk menentukan sendiri dengan cara bagaimana dan kapan wewenang yang dimiliki administrasi negara itu dilaksanakan. Aspek kedua ini dikenal dengan kebebasan menilai yang bersifat subjektif”.8 Mengimplimentasikan kewenangan dan fungsi yang dilandasi oleh ketentuan perundangundangan, hal tersebut merupakan perilaku yang harus dipertang-gungjawabkan guna kepentingan tujuan hukum, yang berintikan, keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum. Demikian pula seharusnya kewenangan dan fungsi institusi KPK yang diatur oleh Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Permasalahan yang dimunculkan oleh penulis sebagai landasan kajian penulisan paper ini yakni, bagaimana konsep Kewenangan Hukum Fungsional Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dalam mengimplimentasikan tujuan hukum yang memiliki legitimasi hukum.
7
A. Budianto, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Cintya Press, 2011, hal 94. 8 Indroharto, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, Jakarta: Universitas Indonesia, 1992, hal 44.
288
B. Kajian Teori Tentang Legal System Theori (Teori Sistem Hukum) Tindak Pidana Korupsi merupakan kejahatan yang kronis dinegeri ini, justru cukup serius, penyebab kecenderungan antara lain terkait integritas moral, institusi, substansi undang-undang, dan institusi penegak hukum. Dalam kontek kewenangan hukum fungsional KPK ini, dari permasalahan yang di kemukakan tersebut, guna memudahkan pemecahaan permasalahan penulis mencoba mempergunakan pisau analisis melalui teori legal system yang sekaligus difungsikan sebagai grand teori. Teori Legal Syastem (Sistem Hukum) yang dikemukakan Lawrence M. Friedman,9 dalam bukunya yang berjudul American Law An Introduction, menguraikan tentang latar belakangnya melalui kalimat pendek What is a legal sistem ? Menurut Friedman, bahwa; “Hukum tidak hanya dalam bentuk tertulis (undang-undang atau peraturan perundang-undangan) sebagai produk resmi dari perintah, tetapi juga berupa aturan-aturan atau hukum yang berasal di luar undangundang. Karenanya, lanjut Friedman, terdapat dua cara untuk memandang hukum yakni hukum resmi yang berasal dari pemerintah, dan yang lainnya harus dilihat secara lebih luas. Untuk itu, ada suatu garis pembatas antara undang-undang dan aturan-aturan dan badan-badan (institusiinstitusi) yang mempengaruhi manusia, dan menurut Friedman dalam pengertian inilah yang dimaksud dengan sistem hukum”.10 Secara konkret legal sistem tidak hanya sekedar memuat ketentuan hukum atau aturan saja, tapi juga mengenal prosedur, batas wewenang dalam persidangan, dan mengenai hakim. Secara analogi, bahwa masalah kewenangan fungsional dari institusi penegak hukum sebagai suatu sistem kelembagaan dalam crimes justice system yang berdiri sendiri, namun juga erat hubungan dengan aturan berkenaan dengan proses tindakan hukum dan upaya hukum seba9
Lawrence M.Friedman, American Law An Introduction, New York: W.W.Norton & Company, 1984, p.1. 10 Ibid, p.3.
Kewenangan Hukum Fungsional Komisi Pemberantasan Tindak Jurnal LexPidana PublicaKorupsi (KPK)
Azis Budianto
gaimana diatur dalam KUHAP di samping syarat-syarat dan prosedur yang harus ditempuh dan pengaturan hukum. Bersandarkan telaah tersebut, Lawrence M. Friedman mempertegas pendapatnya bahwa sistem hukum senantiasa mengandung tiga komponen, yaitu : structure, substance, dan legal culture.11 Mengenai structure, Friedman mengatakan sebagai berikut, ―First many Features of a working legal sistem can be called Structural The moving parts, so to speak of the machine courts are simple and obvious example, their structures can be described a panel of such and such a size, sitting at such and such a time, which this or that limitation on jurisdiction. The shape size and powers of legislature is another element of structure. A written constitution is still another important feature in structural landshape of law. It is, or attempts to be the expression or blueprint of basic. Features of the country's legal process the organization and framework of Government." 12
Komponen struktur dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi yang diciptakan oleh sistem hukum, dengan bermacam-macam fungsi dalam rangka aktifitas sistem. Salah satu di antara yang memiliki kewenangan terkait crimes justice system, pada komponen ini, lembaga KPK merupakan bagian dari unsur sistem hukum. Komponen berikut dari sistem hukum, adalah "Substansi". Menurut Friedman ; "The second type of component can be called "Substantive". There are the actual product of the legal sistem what the Judges, for example, actually say and do. Substance includes, naturally enough, those propositions referred to as legal rules realistically it also includes rules which are not written down i.e. those regulation of behavior that could be reduced to general statement every decision too is a substantive product of the legal sistem as is every doctrine announced in Court or enacted by legislature or adopted by agency of government."13
Struktur, dalam sistem hukum merupakan kerangka, yang merupakan bagian yang bertahan paling lama yang memberikan bentuk tertentu dan batasan keseluruhan sistem hukum. Struktur sistem hukum terdiri dari unsur-unsur yang sejenis, misalnya Institusi penegak hukum yang memiliki kewenangan Penyidikan dan penuntutan sebagai pihak lembaga yang diberi wewenang menerapkan hukum, secara struktural menyangkut mengenai lingkup kekuasaan atau batas-batas kewenangan. Unsur Struktur, dapat dikaitkan dengan lembaga pembuat undang-undang, atau lembaga lain yang diberi wewenang untuk menerapkan hukum dan penegakkan hukum. Apabila komponen struktural sistem hukum ini dipahami dari perspektif peningkatan kualitas integritas kinerja dalam mengemban kewenangan, maka secara berkesinambungan, maka aspek tugas, peranan dan fungsi suatu lembaga akan menjadi bagian yang dapat dicakup dalam komponen Struktur.
Substansi hukum, merupakan bentuk nyata yang dihasilkan oleh sistem hukum, baik berupa norma, dan pola perilaku masyarakat, yang dikenal dengan sebutan "hukum", serta merupakan tuntutan yang harus dipenuhi dalam suatu sistem hukum. Bahwa produk hukum sekunder maupun primer guna pemberantasan tindak pidana koruspi harus dapat dilaksanakan secara tegas dan normatif, termasuk sanksi yang harus diberlakukan jika terjadi pelanggaran. Komponen ketiga dari sistem hukum adalah legal culture atau budaya hukum. Menurut Friedman, "Legal Culture can be defined as those attitudes and values affecting behaviour related to law and its institution either positively or negatively. Love of litigation or a hatred of it is part of the Legal Culture as would be attitudes toward child rearing in, so far as these attitudes affect behaviour which is at least nominally governed by law. The legal culture then is a general
11 12
Ibid, p.4. Ibid, p.27.
13
Ibid, p.30.
289
Jurnal Lex Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 285 - 302
expression for the way the legal sistem fits into the culture of the general society."14 Budaya hukum merupakan nilai-nilai dari masyarakat terhadap hukum, memegang peranan penting untuk dapat mengarahkan perkembangan sistem hukum, karena itu berkenaan dengan persepsi-persepsi, nilai-nilai, ide-ide, dan pengharapan masyarakat terhadap hukum. Nilai-nilai masyarakat terhadap hukum itulah yang akan memberikan pengaruh baik yang positif maupun yang negatif terhadap tingkah laku yang berkaitan dengan hukum sehingga budaya hukum merupakan perwujudan dari pemikiran masyarakat dan kekuatan sosial yang menentukan bagai-mana hukum digunakan, dihindari atau dilecehkan. “Budaya hukum sebagai perwujudan dari pemikiran masyarakat terhadap hukum akan berubah sesuai perubahan sikap, pandangan serta nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat, karena itu pemahaman akan budaya hukum suatu masyarakat harus juga memperhatikan secara menyeluruh aspek kemasyarakatan dari masyarakat yang bersangkutan dan proses perubahan serta perkembangan yang terjadi di dalamnya”.15 Selain disebabkan perubahan sosial, budaya hukum juga dapat berubah akibat pendidikan, modernisasi teknologi, intervensi unsur asing dan berbagai pergerakan pembaharuan yang juga akan merubah pola pemikiran seseorang atau masyarakat terhadap budaya hukum. “Budaya hukum yang modern di dalamnya terkandung konsep mengenai individualisme. Pemahaman individualisme dalam hal ini adalah suatu konsep yang mengutamakan hak-hak dari perseorangan untuk dapat mengembangkan diri pribadinya sendiri, yang berusaha untuk memiliki secara bebas gaya - hidupnya sendiri yang dapat memuaskan bagi pribadi-
nya”.16 Individualisme dalam pengertian budaya hukum merupakan pemikiran dan harapan masyarakat, hal ini tidak digantungkan pada kebebasan memilih secara nyata tetapi cukup bahwa mereka mengetahui adanya kebebasan yang dimilikinya tersebut. Konsep individualisme dan kebebasan memilih mencerminkan keputusan yang dapat diterima secara umum dan masuk akal serta dan mendasarkan kepada aspek realitas dunia modern. Budaya hukum merupakan faktor yang menentukan bagaimana sistem memperoleh tempat dalam rangka budaya masyarakat. Jika pandangan ini dipahami dalam konteks peningkatan kualitas upaya tindakan hukum dari institusi yang bertanggungjawab (institusi KPK), berarti dalam pelaksanaan diperlukan sosialisasi secara luas guna menjaring peningkatan kesadaran hukum masyarakat yang ikut melakukan kontrol, yang bersandar semata-mata kepada hukum negara sebagai dasar tindakan hukum. Menurut Erlich, hukum yang hidup adalah hukum yang mendominasi kehidupan itu sendiri, yakni berupa kumpulan harapan-harapan normatif dan tingkah laku dari individu-individu.17 Jika hukum yang hidup dianalogikan sebagai kumpulan harapan dan tingkah laku yang bersifat normatif dari individu maupun masyarakat, maka tugas negara diperlukan sikap akomodatif yang dapat diwujudkan penyadaran hukum secara luas melalui penerangan, pendidikan tentang hukum secara luas. Sistem hukum seperti dimaksud Friedman tersebut, menunjukkan suatu garis pembatas antara undang-undang, aturan-aturan dengan badan-badan (institusi-institusi) yang memiliki kewenangan serta peranan dan fungsi maupun menumbuhkembangkan kesadaran budaya hukum masyarakat guna mempengaruhi sikap dan nilai masyarakat manusia, sebagai pihak subyek dalam negara hukum. Dengan demikian yang dimaksud dengan sistem hukum, secara konkrit, 16
14
Ibid, p.28 Steward Macaulay, Lawrence M. Friedman, dan John Stookey, Law and Society : Reading on the Social Study of Law, New York: W.W. Norton Comp. 1995, p. 165.
15
290
Ahmad Zaenal Fanani, Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam, Yogyakarta: Jakal Press, hal 1999, hal 49. 17 Eugen Erlich, "The Theory of the Living Law ", dalam Giffith, "What of Legal Pluralism," Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law, November 1988: p. 26.
Kewenangan Hukum Fungsional Komisi Pemberantasan Tindak Jurnal LexPidana PublicaKorupsi (KPK)
tidak hanya sekedar memuat ketentuan hukum atau aturan-aturan saja, tapi juga mengenal prosedur, batas-batas wewenang institusi yang terstruktur, dan budaya hukum masyarakat. Budaya hukum sebagai perwujudan ekspresi pemikiran masyarakat terhadap hukum akan berubah sesuai perubahan sikap, pandangan serta nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat, karena itu pemahaman akan budaya hukum suatu masyarakat harus juga memperhatikan secara menyeluruh aspek kemasyarakatan dari masyarakat yang bersangkutan dan proses perubahan serta perkembangan yang terjadi di dalamnya. “Budaya hukum sebagai perwujudan dari pemikiran masyarakat terhadap hukum akan berubah sesuai perubahan sikap, pandangan serta nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat, karena itu pemahaman akan budaya hukum suatu masyarakat harus juga memperhatikan secara menyeluruh aspek kemasyarakatan dari masyarakat yang bersangkutan dan proses perubahan serta perkembangan yang terjadi di dalamnya”.18 Selain disebabkan perubahan sosial, budaya hukum juga dapat berubah akibat pendidikan, modernisasi teknologi, masuknya unsur asing dan berbagai pergerakan pembaharuan yang juga akan merubah pola pemikiran seseorang atau masyarakat terhadap budaya hukum. Dalam budaya hukum yang modern terkandung konsep mengenai pemikiran dan harapan masyarakat, hal ini tidak digantungkan pada kebebasan memilih secara nyata tetapi cukup bahwa mereka mengetahui kebebasan yang dimiliki tersebut. Konsep budaya hukum modern Friedman ini nampak sama dengan konsep budaya hukum terbuka. Berdasarkan pandangan dan pemahaman tersebut, Satjipto Raharjo membedakan budaya hukum menjadi tiga macam yaitu budaya hukum masyarakat tradisional, budaya hukum masyarakat yang sedang berkembang dan budaya hukum masyarakat modern. Dalam masyarakat tradisional yang mempunyai ciri utama ketertutupan berlaku budaya hukum absolut yang merupakan perwujudan da-
Azis Budianto
ri keadaan masyarakat tradisional yang tidak memberikan kebebasan kepada individu untuk berusaha mendapatkan sesuatu yang sesuai pribadinya, menilai konflik sebagai sesuatu hal yang negatif serta tidak mengusahakan penyelesaian untuk mendapatkan ketenangan masyarakat bersama. Dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi, serta memfungsikan berbagai institusi penegak hukum yang ada dan atau jika diperlukan negara melakukan teroboson kebijakan dengan membentuk institusi baru, dalam rangka guna meningkatkan pendayagunaan political will negara, maka diperlukan kebijakan sistemik yang dapat memberikan kemanfatan serta keadilan bagi seluruh kepentingan negara, dalam kerangka mewujudkan tujuan hukum pada suatu negara yang berdasarkan atas hukum. Menurut Gustav Radbruch tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Keadilan menempati posisi yang pertama dan paling utama dari pada kepastian hukum dan kemanfaatan. “Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radburch tujuan kepastian hukum menempati peringkat yang paling atas diantara tujuan yang lain. Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut di Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu. Gustav Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut diatas dengan menempatkan tujuan keadilan menempati posisi diatas tujuan hukum yang lain”.19 Sebagaimana diketahui bahwa di dalam kenyataannya sering kali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan. Sebaliknya kalau kemanfaatan masyarakat luas dipuaskan, perasaan adil bagi orang tertentu terpaksa harus dikorbankan. 19
18
Hermawan Abraham, Perilaku Hukum, Jakarta: Cintya Press, 2011, hal 136.
Ahmad Zaenal Fanani, Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam, Yogyakarta: Jakal Press, hal 1999, hal 49.
291
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 285 - 302 Jurnal Lex
Korelasi teori Laurence M. Friedman, dari ketiga komponen tersebut dapat dijadikan bagian yang diakomudir dalam sistem. Kepentingan negara harus dibingkai dengan hukum sekunder maupun primer dan tersier secara tepat, maupun legitimasi kewenangan dari aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsi KPK sebagai institusi penegak hukum, serta membangun budaya hukum masyarakat hingga memiliki kesadaran hukum terhadap kewajiban. Dalam kerangka pendekatan terhadap pemanfaatan teori legal system terkait permasalahan ini, menjadi penting ditelaah konsep sistem hukum di Indonesia, yang menurut penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat), bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Indonesia sebagai negara hukum, dalam penyelenggaraan ketatanegaraan yang berdasarkan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, memiliki tanggungjawab melaksanakan amanat konstitusi, yang berisikan amanat atau perintah konstitusi mengatur seluruh komponen negara guna pencapaian tujuan negara. “Tujuan Negara dan hukum adalah untuk mewujudkan kepentingan umum, maka negara didirikan untuk mewujudkan kepentingan umum, dan hukum merupakan sarana utama untuk merealisasi tujuan itu. Suatu masyarakat dianggap baik, bila kepentingan umum diperhatikan, baik oleh penguasa maupun oleh warganya sendiri”. 20
Kedua, sistem sebagai suatu rencana, metode dan/atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu, untuk memahami sistem hukum akan terlihat, bahwa keduaduanya dapat dikenali kembali pemakaiannya, misalnya pada waktu membicarakan mengenai penafsiran dan/atau penemuan hukum”.21
Kedudukan hukum kemudian menjadi sarana tujuan negara, yang tentu melalui konstitusi pula telah diatur pula sistem hukum. Hukum sebagai suatu sistem akan tunduk pada batasan dan ciri-ciri sistem itu. Sistem dimaksud, mempunyai dua pengertian yang penting untuk diketahui, yaitu: “Pertama, adalah pengertian sistem sebagai jenis satuan, yang mempunyai tatanan tertentu. Hal ini, menunjuk kepada suatu struktur yang tersusun dari bagianbagian yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan lainnya.
Pemahaman yang umum mengenai sistem merupakan suatu kesatuan yang bersifat kompleks, yang terdiri atas bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain. Pemahaman itu, menekankan pada ciri keterhubungan dari bagianbagiannya, tetapi mengabaikan ciri yang lain, bagian-bagian tersebut bekerja bersama secara aktif untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuan tersebut. Dalam mengakomodir tujuan negara berdasarkan atas hukum, sistem hukum menjadi hal yang penting guna memudahkan pembuatan konsep hukum, penerapan dan penegakan hukum, mengatur kewenangan institusi pembuat dan penegakan hukum, sesuai sistem hukum yang dikehendaki konstitusi. Hubungan asas hukum, hukum positif dan sistem hukum di Indonesia, dengan mengemukakan contoh: Pancasila sebagai asas hukum nasional di negara Republik Indonesia, maka Undang-Undang Dasar 1945, undang-undang, dan peraturan lainnya mesti sejalan atau tidak boleh bertentangan dengan Pancasila sebagai asas hukum. Demikian juga undang-undang, dan peraturan lainnya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan contoh itu, dapat disebut sistem hukum Indonesia berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Keberadaan institusi KPK beserta kewenangan hukum fungsionalnya, merupakan sarana guna mewujudkan keadilan bagi masyarakat Indonesia yang kedudukannya sebagai subyek yang dirugikan oleh adanya tindak pidana korupsi. Kurang optimalnya penegakan hukum oleh penegak hukum yang ada sementara ini, mengakibatkan terganggunya kesejahteraan yang semestinya menjadi hak masyarakat, tetapi tidak dapat dinikmati secara utuh oleh rakyat. Dengan demikian masyarakat tidak memperoleh
20
21
Roscoe Pound, Filsafat Hukum, Jakarta: Bhrata, 2006, hal. 25.
292
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 120.
Kewenangan Hukum Fungsional Komisi Pemberantasan Tindak Jurnal LexPidana PublicaKorupsi (KPK)
haknya serta diperlakukan secara tidak adil. Menurut pemikir teori Hukum Alam sejak Socrates hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan “the search for justice”.22 Pedoman-pedoman yang obyektif berasal dari groundnorm (norma dasar). Groundnorm menyerupai sebuah pengandaian tentang tatanan yang hendak diwujudkan dalam hidup bersama (dalam hal ini adalah Negara). Groundnorm merupakan syarat transendentals-logis berlakunya seluruh tata hukum, dan seluruh tata hukum positif harus berpedoman secara hinarki pada groundnorm.23 “Keadilan sosial ala John Rawl dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomi harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan sosial ekonomi dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seseprang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan dan otoritas”.24 Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan bagi golongan masyarakat yang lemah. Hal ini akan terjadi apabila dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orangorang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Beberapa pemikiran terkait lingkup keadilan tersebut, maka; “Keadilan hanya bisa dipa22
Theo Huijibers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: cet VIII, Kanisius, 1995 hal 196 23 Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Surabaya: CV. Kita, 2010, hal. 127. 24 Teori Keadilan Sosial ala John Rawls, A Theory of Justice, Publisher: Belk n ap Press, 1999
Azis Budianto
hami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya”.25 Korelasi konsep teori legal system ini terkait kewenangan hukum fungsional KPK dengan keadilan, dari ketiga unsur legal system tersebut dapat disimpulkan bahwa keberadaan KPK memiliki dasar dan landasan kepastian hukum berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta memberikan kemanfaatan yang besar bagi masyarakat melalui fungsi-fungsi yang diberikan kepada KPK. C. Kepastian Hukum Kewenangan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) KPK, sebagai salah satu lembaga penegakan hukum, yang diperintah oleh undang-undang, menjadi subyek sekaligus obyek dalam suatu struktur birokrasi sistem peradilan pidana terpadu. Menurut Merton, terkait bekerjanya struktur birokrasi sebagai berikut. 1. Birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara rasional dan formal. 2. Ia meliputi suatu pola kegiatan yang memiliki batas-batas yang jelas. 3. Kegiatan-kegiatan tersebut secara ideal berhubungan dengan tujuan-tujuan organisasi. 4. Jabatan-jabatan dalam organisasi diintegrasikan ke dalam keseluruhan struktur birokratis. 5. Status-status dalam birokrasi tersusun ke dalam susunan yang bersifat hierarkis. 6. Berbagai kewajiban serta hak-hak di dalam birokrasi dibatasi. oleh aturan-aturan yang terbatas serta terperinci. 7. Otoritas pada jabatan, bukan pada orang. 8. Hubungan-hubungan antara orang-orang 25
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nusamedia, 2004, hal 239.
293
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 285 - 302 Jurnal Lex
dibatasi secara formal.26 Organisasi-organisasi berskala besar, memberikan ilustrasi yang baik tentang model birokrasi yang diuraikan Merton tentang struktur, sebagai produk organisasi struktural tersebut. Struktur birokratis memberi tekanan terhadap individu sehingga mereka menjadi "disiplin, bijaksana, metodis". Tekanan individu kadangkadang menjurus pada kepatuhan mengikuti peraturan secara membabi buta. tanpa mempertimbangkan tujuan dan fungsi-fungsi untuk apa aturan-aturan itu pada mulanya dibuat. Walaupun aturan-aturan tersebut dapat berfungsi bagi efisiensi organisasi, tetapi aturan yang demikian dapat juga memberikan fungsi negatif dengan menimbulkan kepatuhan yang berlebih-lebihan. “Penyelenggaraan Hukum Administrasi Negara antara lain diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan serta peraturanperaturan pelaksanaan lainnya, yang fungsinya guna menciptakan ketertiban administrasi penyelenggaraan ketatanegaraan, baik penyelenggaraan ketatanegaraan dan pemerintahan pada tingkat pusat hingga pada tingkat daerah”.27 Diantara perundang-undangan yang di undangkan yaitu Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang secara substansional mengatur kewenangan dan fungsi KPK dalam kinerjanya terkait pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Lingkup kewenangan dan fungsi yang diemban KPK, merupakan legitimasi hukum atas nama kekuasaan negara. Dalam melaksakan kewenangan yang dimiliki aparatur negara maka aparatur negara harus konsekuen sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Begitu juga, KPK yang memiliki kewenangan berdasarkan legalitas hukum, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). 26
Merton Robert. K Merton, (1957), Social Theory and Social Structure, London,:The Free Press, p. 195-196, dalam Margaret M.Paloma,(1984), Sosiologi Kontemporter, Jakarta: Rajawali Pers, hal 31. 27 Ridwan Ahsanti, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999 hal. 169.
294
Esensi dari asas legalitas adalah wewenang, yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu. Menurut H.D. Stout; “Wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik. Menurut F.P.C.L. Tonnaer, Kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu, dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara”.28 Kewenangan yang di dalamnya terkandung hak dan kewajiban, merupakan kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum. “Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. Wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban”.29 Dari penyelenggaraan kewenangan seringkali dipergunakan atau didistribusikan terkait tugas-tugas penyelenggaraan oleh pejabat aparatur negara yang ditujukan kepada bawahannya guna meningkatkan kinerja pelayanan publik maupun terkait tugas tertentu yang berfungsi mewakili pejabat dalam waktu tertentu. Mengimplimentasikan kewenangan dan fungsi yang dilandasi oleh ketentuan perundangundangan, pada dasarnya merupakan perilaku 28
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1988, hal 59. 29 Bagir Manan, Kewenangan Hukum Penyelenggara Negara, Bandung: Eresco, 1995, hal 142.
Kewenangan Hukum Fungsional Komisi Pemberantasan Tindak Jurnal LexPidana PublicaKorupsi (KPK)
yang harus dipertanggungjawabkan guna kepentingan tujuan hukum, yang didalamnya berintikan, kemanfaatan hukum, kepastian hukum serta keadilan. Demikian pula seharusnya kewenangan dan fungsi institusi KPK yang diatur oleh Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). “Otoritas atau wewenang sering didefinisikan sebagai kekuasaan, kekuasaan yang memerintahkan kepatuhan. Kekuasaan itu meletakkan kleimnya atas otoritas yang dikuasai. Yang dimaksud dengan otoritas atau wewenang atau kewewenangan ialah hak yang sudah didirikan, dalam ketertiban sosial manapun, untuk menetapkan kebijaksanaan, untuk mengumumkan keputusan pertimbangan atas pokok persoalan yang relevan, dan untuk mendamaikan pertentangan-pertentangan, atau, secara lebih luas, untuk bertindak sebagai pemimpin, atau pembimbing bagi orangorang lain”.30 Kewenangan dalam hal penegakan hukum melalui tindakan hukum oleh KPK diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang substansinya meliputi tindakan hukum Penyidikan dan upaya hukum Penuntutan KPK serta dapat melakukan koordinasi serta dapat melakukan supervisi dengan institusi penegak hukum lainnya. Menurut Sudikno Mertokusumo, tentang tujuan dan fungsi hukum bahwa: "Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia hukum mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masa30
Mc. Iver, 1980: Mc. Iver, Jaring-jaring Pemerintahan, Jakarta: Aksara Baru, 1980, hal 94.
Azis Budianto
lah hukum serta memelihara kepastian hukum".31 Masyarakat yang tertib merupakan perilaku yang teratur, dan menaati berbagai peraturan perundang-undangan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Ketertiban merupakan suatu keadaan di mana masyarakatnya hidup serba teratur baik yang diartikan dengan keseimbangan suatu keadaan masyarakat, yang memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa diskriminatif. Tugas hukum yang utama adalah: a. membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat; b. membagi wewenang; c. mengatur cara memecahkan masalah hukum; dan d. memelihara kepastian hukum.32 Guna memecahkan kebuntuhan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, diperlukan konsep produk hukum berupa peraturan perundangan-undangan sesuai kebutuhan. Aktivitas dari institusi yang memiliki kewenangan dapat melakukan pendekatan sistem hukum guna melakukan upaya dan tindakan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi. Teori Legal System yang dikemukakan Laurence M. Friedman, yang meng-indikasikan sistem hukum terdiri atas tiga komponen, yaitu komponen struktural, komponen substansi, dan komponen budaya hukum, komponen substansi melahirkan Perundang-undangan yang mengatur tentang kewenangan institusi penegak hukum dalam hal ini Polri, Jaksa dan KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi, serta merupakan dasar hukum positif yang memberikan rumusan tentang korupsi, tindakan hukum, serta sanksi hukum terhadap pelaku korupsi. Berdasarkan rumusan tentang tindak pidana korupsi, negara dapat melakukan proses dan upaya hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Di Indonesia, sebelum lahir Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, institusi 31
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2011, hal.17. 32 Baharudin Lopa, Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jakarta: Grafindo, 1998, hal. 149.
295
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 285 - 302 Jurnal Lex
yang bertanggungjawab terhadap tindakan hukum penyidikan dan penuntutan yaitu dilakukan institusi Penyidik Polri dan Penyidik Kejaksaan, sedangkan dalam hal Penuntutan dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) berdiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, merupakan jawaban apresiasi negara sejak era reformasi, yakni mewujudkan supremasi hukum, pemberantasan korupsi, serta perwujudan good governance dan good govermance. Kewenangan fungsional tersebut merupakan legitimasi secara formal guna mewujudkan tujuan hukum yang berlandaskan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Kewenangan hukum fungsional KPK dimaksudkan untuk mampu melakukan tindakan dan upaya hukum yang adil, tidak diskriminatif dalam melakukan pemberantasan tindak pidana, independen, tranfaran serta memberikan jaminan kepastian hukum bahwa pelaku tindak pidana korupsi harus dilakukan tindakan serta diproses sesuai hukum, demi keadilan dan bermanfaat bagi negara. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), merupakan bagian wujud implementasi reformasi dalam meregulasi hukum Negara dan Hukum Administrasi Negara. “Hukum Tata Negara (constitusional law) ialah hukum yang mengatur bentuk, organisasi, tugas, dan wewenang negara. Hukum Tata Negara melihat negara dalam keadaan statis, tidak bergerak. Hukum Tata Negara diatur dalam konstitusi, misalnya di Indonesia diatur dalam UUD 1945. Hukum Administrasi Negara atau Hukum Tata Usaha Negara adalah hukum yang mengatur negara dalam keadaan bergerak”.33 Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, kewenangan hubungan kinerja terkait Penyidikan dan Penuntutan KPK dapat berkoordinasi serta dapat melakukan supervisi dengan institusi Kepolisian dan Kejaksaan, diatur pada
pasal-pasal sebagai berikut. Berdasarkan Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002:34 Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas : a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Berdasarkan Pasal 7, dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi; b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait; d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. Kemudian berdasarkan Pasal 8, (1) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.
33
34
Faridarta Usman, Hukum dan Demokrasi, Jakarta: Pamator Press, 2011, hal 153.
296
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kewenangan Hukum Fungsional Komisi Pemberantasan Tindak Jurnal LexPidana PublicaKorupsi (KPK)
(2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. (3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi. (4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan wewenang kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi pemberantasan Korupsi. Berdasarkan Pasal 9 Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan : a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindak-lanjuti; b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Mencermati kewenangan hukum fungsio-
Azis Budianto
nal KPK tersebut, secara filosofis dan sosiologis diharapkan mampu memberikan kemanfaatan bagi masyarakat dan negara. Setidaknya indikator yang ada, bahwa jika penegak hukum yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana korupsi hanya 2 (dua) institusi yakni Polisi dan Jaksa, maka setelah berdirinya KPK, maka pihak yang melakukan penyidikan menjadi 3(tiga) institusi yakni ditambah institusi KPK. Maka kemanfaatannya diharapkan ruang lingkup pelaku tindak pidana korupsi makin sempit dan ruang gerak penegak hukum makin luas. Dengan demikian ancaman kerugian keuangan negara semakin kecil, dan pada gilirannya kesejahteraan rakyat kualitasnya makin baik. D. Kemanfaatan Kewenangan Hukum Fungsional KPK Dalam memerangi tindak pidana korupsi, sangat diperlukan kesepahaman dari pimpinan institusi penegak hukum serta pengambilan sikap tegas dan memerintahkan seluruh aparatnya, agar pelaku korupsi tidak diberi kesempatan kemudahan tertentu yang dapat mencederai perundangan-undangan yang berlaku. Anti tesisnya bahwa, sementara ini upaya yang tidak bermoral dari perilaku kejahatan tindak pidana korupsi, modus operandinya selalu mencoba mempengaruhi penyidik, penuntut umum dan bahkan hakim. Perilaku tersebut telah berlangsung lama serta telah mampu memporak porandakan tatanan nilai moral keadilan dalam proses crime justice system yang harus dilaksanakan berdasarkan KUHAP. “Sementara ini, masyarakat hukum terkadang merasakan adanya ketidakadilan dalam bentuk diskriminasi tindakan hukum yang ditujukan kepada pelaku korupsi dengan berbagai dalih termasuk asas praduga tak bersalah. Kongkritnya, pelaku korupsi seringkali akomodatif dengan penegak hukum sejak dari penyidikan, penuntutan, peradilan serta bahkan meskipun mereka di LP kan, seakan bukan hal yang memalukan. Hal demikian menunjukkan bukti tentang adanya perlakuan yang tertuju pada pencederaan keadilan, kehendak kepastian hukum maupun kemanfaatan
297
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 285 - 302 Jurnal Lex
hukum”.35 Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), merupakan suatu mekanisme kerja tindakan dan upaya hukum yang dikehendaki Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam melakukan proses hukum terhadap adanya suatu tindak pidana. “Berdasarkan hukum acara pidana yang diatur KUHAP, kewenangan institusi dalam proses hukum acara, secara bertahap penyidikan dilakukan oleh Polisi, penuntutan oleh Jaksa, peradilan oleh Hakim. Karena itu, patut dicermati, bahwa kegagalan suatu proses hukum yang tidak memenuhi harapan keadilan masyarakat, dalam suatu tindak pidana hal tersebut merupakan tanggungjawab hukum yang dibebankan pada institusi masing-masing”. 36 Berpangkal pada ketentuan KUHAP, rangkaian tindakan tehnis sejak penyidikan hingga proses peradilan, semua intitusi berkewajiban memiliki hak moral dan kemauan untuk menegakkan hukum secara utuh, sesuai kemauan hukum guna mewujudkan keadilan, kepastian hukum serta kemanfaatan bagi masyarakat. Secara etimologi, kata "kemanfaatan" berasal dari kata dasar "manfaat", yang menurut Kamus Bahasa Indonesia, berarti faedah atau guna.37 Hukum merupakan urat nadi dalam kehidupan suatu bangsa untuk mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa; masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum itu untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakkan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan malah akan timbul keresahan di dalam masyarakat itu sendiri 38. 35
Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial, Jakarta: Sinar Harapan, 1998, hal. 83. 36 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensialisme dan Abilisionisme, Bandung: Bina Cipta,1996, hal 18. 37 Kamus Bahasa Indonesia. 38 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial-prudence), Bandung: Rineka Cipta, 2007, hal. 216.
298
Kemanfaatan hukum pada dasarnya telah menempatkan umat manusia sebagai tatanan hidup bersama harus diarahkan untuk tercapainya perilaku yang bermanfaat bagi tujuan kehidupannya, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diatur oleh hukum, tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summum ius, summa injuria, summa lex, summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan.39 Tercederanya tujuan hukum, dalam tatanan hidup bernegara karena terjadi inkonsistensi dalam penegakan hukum, baik dilakukan anggota masyarakat maupun yang dilakukan oleh penegak hukum. Adanya tata peraturan dan perundang-undangan, dimaksudkan sebagai alat hukum agar masyarakat hukum memiliki takaran atau pedoman dalam hidup bernegara. Berpangkal dari realitas perbedaan konseptual dalam menganalogikan kegunaan kehadiran peraturan perundang-undangan, maka dari celah perbedaan tersebut mengakibatkan adanya pelanggaran hukum atau perlawanan hukum, yakni antara lain berupa tindak pidana korupsi, yang diklasifikasikan sebagai extra ordinary crime. Mewujudkan masyarakat hukum yang tertib, maka setiap produk hukum yang berupa peraturan perundang-undangan harus ada penegakan hukum. Penegakan hukum yang berkeadilan seharusnya sarat dengan etis dan moral serta dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat. Namun disamping itu, masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai keadilan. Kendatipun demikian, terkadang apa yang dianggap berguna belum tentu adil, begitu juga sebaliknya, apa 39
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum,Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010, hal. 59.
Kewenangan Hukum Fungsional Komisi Pemberantasan Tindak Jurnal LexPidana PublicaKorupsi (KPK)
yang dirasakan asil, belum tentu berguna bagi masyarakat. Namun perlu diperhatikan bahwa di dalam menegakan hukum akan lebih baik diutamakan nilai keadilan. Institusi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) berdiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, merupakan jawaban apresiasi negara sejak era reformasi, guna mewujudkan supremasi hukum, pemberantasan korupsi, serta perwujudan good governance dan good govermance. Kewenangan fungsional tersebut merupakan legitimasi formal guna mewujudkan tujuan hukum yang berlandaskan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Kewenangan hukum fungsional KPK dimaksudkan untuk mampu
Azis Budianto
melakukan tindakan dan upaya hukum yang adil, tidak diskriminatif dalam melakukan pemberantasan tindak pidana, independen, tranfaran serta memberikan jaminan kepastian hukum bahwa pelaku tindak pidana korupsi harus dilakukan tindakan serta diproses sesuai hukum, demi keadilan dan bermanfaat bagi negara. Implimentasi kemanfaatan hukum melalui kewenangan hukum fungsional KPK, dalam hal penanganan tindak pidana korupsi berdasarkan jenis perkaranya sejak tahun 2004 hingga 2014 total perkara sebanyak 366 (Tabulasi data I). Penanganan perkara tersebut dilakukan melalui fungsi penyidikan dan fungsi penuntutan yang kemudian memperoleh kepastian hukum melalui proses peradilan Tipikor yang ada di wilayah hukum seluruh Indonesia.
Tabulasi Data I: Penanganan Korupsi (oleh KPK) Berdasarkan Jenis Perkara Tahun 2004-2014 (per 31 Maret 2014).Sumber data KPK Jabatan
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Jumlah
Pengadaan Barang/Jasa
2
12
8
14
18
16
16
10
8
9
2
115
Perijinan
0
0
5
1
3
1
0
0
0
3
0
13
Penyuapan
0
7
2
4
13
12
19
25
34
50
4
170
Pungutan
0
0
7
2
3
0
0
0
0
1
1
14
Penyalahgunaan Anggaran
0
0
5
3
10
8
5
4
3
0
1
39
TPPU
0
0
0
0
0
0
0
0
2
7
3
12
Merintangi Proses KPK
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
1
3
Jumlah
2
19
27
24
47
37
40
39
49
70
12
366
Selanjutnya perkara yang ditangani oleh KPK terkait tindak pidana korupsi berdasarkan jabatan pelaku korupsi seperti Anggota DPR-RI dan DPRD, kepala lembaga dan kementrian, kepala daerah seperti Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia sejak tahun 2004 hingga tahun 2014 sejumlah 402 Perkara. (lihat Tabulasi Data II)
Perkara tersebut selanjutnya diproses hu-kum melalui tindakan hukum penyidikan dan penuntutan serta proses peradilan Tindak Pidana Korupsi seluruh Indonesia. Sebagian besar dari 402 perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Tabulasi Data II: Pelaku Korupsi Berdasarkan Jabatan Tahun 2004-2014 (per 31 Maret 2014) Jabatan
Anggota DPRD
DPR
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Jumlah
dan
0
0
0
2
7
8
27
5
16
8
0
73
Kepala Lembaga/Kementerian
0
1
1
0
1
1
2
0
1
4
1
12
Duta Besar
0
0
0
2
1
0
1
0
0
0
0
4
299
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 285 - 302 Jurnal Lex Jabatan
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Jumlah
Komisioner
0
3
2
1
1
0
0
0
0
0
0
7
Gubernur
1
0
2
0
2
2
1
0
0
2
0
10
0
0
3
7
5
5
4
4
4
3
0
35
Eselon I / II / III
2
9
15
10
22
14
12
15
8
7
1
115
Hakim
0
0
0
0
0
0
1
2
2
3
2
10
Swasta
1
4
5
3
12
11
8
10
16
24
1
95
Lainnya
0
6
1
2
4
4
9
3
3
8
1
41
Jumlah Keseluruhan
4
23
29
27
55
45
65
39
50
59
6
402
Walikota/Bupati Wakil
dan
Berdasarkan kedua gambaran data tersebut dapat disimpulkan bahwa KPK dalam hal melaksanakan kewenangan hukum fungsionalnya telah memiliki legitimasi hukum berdasarkan keadilan, kepastian hukum serta memberikan kemanfaatan bagi tercapainya tujuan hukum. E. Penutup Berdasarkan dari seluruh uraian pembahasan dari permasalahan paper ini, maka penulis dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut. 1. Kewenangan hukum fungsional institusi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) lahir berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Secara struktural kewenangan hukum fungsional KPK berupa; a. Kewenangan preventif dan b. Kewenangan represif. Kewenangan preventif sifatnya merupakan upaya pencegahan dalam rangka agar tidak terjadi peristiwa hukum tindak pidana korupsi. Kewenangan represif berupa tindakan dan upaya hukum melalui tindakan hukum penyidikan dan penuntutan. 3. Secara kultural upaya pencegahan dilakukan KPK melalui sosialisasi dan pendidikan pencegahan tindak pidana korupsi serta meningkatkan upaya peran serta masyarakat ikut serta berpartisipasi melakukan sosial kontrol agar komunitas sebagian kecil masyarakat tidak melakukan perbuatan tindak pidana korupsi.
Daftar Pustaka Buku : Abdul Kadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Citra Adtya Bhakti, Bandung, 1997. Abdoel Gani, Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Dharmawangsa Press, Surabaya, 1995. A.Budianto, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Cintya Press, 2011. Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), Bandung: Rinekacipta, 2007. Ade Purnadi, Sosiologi Hukum, Jakarta: Pamator Press, 2009. Ahmad Zaenal Fanani, Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam, Yogyakarta: Jakal Press, 1999. Aswanto, Filsafat Hukum dalam Perpektif HAM, Airlangga Press, 2001. Al-Qur‟an. Bagir Manan, Kewenangan Hukum Penyelenggara Negara, Bandung: Eresco, 1995. Baharudin Lopa, Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jakarta: Grafindo, 1998. Bachsan Mustafa, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1995. 300
Kewenangan Hukum Fungsional Komisi Pemberantasan Tindak Jurnal LexPidana PublicaKorupsi (KPK)
Azis Budianto
Bernard L. Tanya 2010, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia, Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing. Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nusamedia, 2004. Chairil Sukandani, Hukum Tata Negara, Jakarta: Grafitty Press, 1991. Department of Justice: Office Regional Operation Law Enforcement Assistance Administration, 1977. Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010. Eugen Erlich, "The Theory of the Living Law ", dalam Giffith, "What of Legal Pluralism," Journal of Legal. Faridarta Usman, Hukum dan Demokrasi, Jakarta: Pamator Press, 2011. Finnis, John, Natural Law and Natural Rights, Oxford: Clarendon Press. 1980. Helbert Edelherz, The Investigation of White Collar Crime A Manual.for Law Enforcement Agencies, U.S. Hermawan Abraham, Perilaku Hukum, Jakarta: Cintya Press, 2011. Indroharto, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, Jakarta: Universitas Indonesia, 1992. Joseph Raz, (1995), Law and Society : Reading on the Social Study of Law, New York: W.W. Norton Comp. John Finnis, Natural Law and Natural Rights, Oxford: Clarendon Press. 1980. John Rawls, A Theory of Justice, Publisher: Belk n ap Press, 1999. Kamus Bahasa Indonesia, Kahar Mansyur, Membina Moral dan Akhlak, Jakarta: Kalam Mulia, 2005. Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial, Jakarta: Sinar Harapan, 1998. Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction, New York: W.W.Norton & Company, 1984. Lily Rasyidi, Sistem Hukum di Indonesia, Grafitty, Jakarta, 1998. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia,1998. Marcus Lukman, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Hukum Nasional, Bandung: Universitas Padjadjaran, 1996. Meuwissen dan K. Larenz, (1979), Richtiges Recht B. Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Bandung: Refika Aditama, Bandung, 2007. Merton Robert. K Merton, Social Theory and Social Structure, London: The Free Press, 1957. Margaret M.Paloma,Sosiologi Kontemporter, Jakarta: Rajawali Pers, 1984. Mc.Iver,1980: Mc.Iver, Jaring-jaring Pemerintahan, Jakarta: Aksara Baru, 1980. Mustafa Bachsan, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1995. Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999. Roscoe Pound, Filsafat Hukum, Jakarta: Bhrata, 2006. Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensialisme dan Abilisionisme, Bandung: Bina Cipta, 1996. Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung: Reneka Cipta, 1991. Satya Arinanto, Satya, Nunik Triyanti, Memahami Hukum: Dari Kontruksi sampai Implimentasi, Rajawali Press, Jakarta, 2009. Steward Macaulay, Lawrence M. Friedman, dan John Stookey, Law and Society : Reading on the Social Study of Law, New York: W.W. Norton Comp. 1995. Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2011. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2010. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1999. 301
Jurnal Lex Publica, Vol. II, No. 1, Publica Nopember 2015, hal. 285 - 302 Jurnal Lex
Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta,1990. Theo Huijibers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1995. Yusfendi Sudarso, Implimentasi HAM di Negara Hukum, Pamator Press, Jakarta, 1999. Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Perundang-Undangan: Undang-Undang Dasar 1945. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KUHAP.
302
Petunjuk Penulisan Jurnal Lex Publica
Jurnal Ilmu Hukum Lex Publica Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi Hukum Indonesia PETUNJUK PENULISAN 1. Naskah yang diterima adalah artikel yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya. naskah dapat berupa jurnal laporan hasil suatu penelitian atau artikel ulasan (review). Naskah ditulis dengan Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. 2. Naskah diketik pada kertas ukuran A4 (210 x 297 mm) dengan jarak antar baris 1 spasi. Batas pengetikan dari tepi kertas diatur sebagai berikut: - Tepi atas : 3 cm - Tepi bawah : 2.5 cm - Tepi kiri : 3 cm - Tepi kanan : 2.5 cm 3. Naskah diketik dengan mempergunakan jenis huruf Times New Roman dengan spesifikasi ukuran huruf sebagai berikut: - Judul naskah : ukuran huruf 14 point - Nama penulis, keterangan lembaga penulis, abstrak dan kata kunci: ukuran huruf 12 point - Isi naskah : ukuran huruf 12 point - footnote : ukuran huruf 10 point - Daftar pustaka : ukuran huruf 12 point 4. Format penulisan mempergunakan format satu kolom. Naskah setiap halaman diberi nomor berurutan, minimal 20 halaman dan maksima130 halaman. Naskah dikirim melalui email atau file dalam CD ke: Redaksi Jurnal Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi Hukum. Jl. Raya Kalimalang No. 1, Jakarta Timur Email:
[email protected] 5. Naskah disusun secara berurutan terdiri atas: - Judul artikel - Nama lengkap penulis (tidak disingkat) - Afiliasi penulis (instansi tempat penulis bekerja dan alamat email untuk korespondensi) - Abstrak dan kata kunci (dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris) - Latar belakang - Pembahasan - Kesimpulan - Daftar pustaka - Tabel dan gambar apabila ada 6. Deskripsi bagian naskah a. Judul dicetak tebal (bola) dengan huruf kapital. Judul maksimum terdiri dari 12 kata untuk Bahasa Indonesia dan 10 kata untuk Bahasa Inggris. Nama penulis ditulis lengkap tanpa gelar, lembaga tempat penulis bekerja, dan alamat email. Contoh: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENCIPTA BERKAITAN DENGAN KARYA ILMIAH DI INDONESIA Azis Budianto, SH. MS Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya Email:
[email protected] 303
Petunjuk Penulisan Jurnal Lex Publica
b. Setiap artikel harus disertai satu paragraf abstrak (bukan ringkasan yang terdiri atas beberapa paragraf) dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris yang secara gamblang, utuh, dan lengkap menggambarkan esensi isi keseluruhan tulisan. c. Materi muatan artikel terdiri dari latar belakang (berisi tentang permasalahan dan metode penelitian jika tulisan merupakan hasil penelitian), pembahasan, dan kesimpulan. d. Contoh tata aturan penulisan footnote sebagai berikut: 1. Buku Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit INDHILL.CO, Jakarta, 1992, hlm. 3. C. De Rover, To Serve and To Protect (Acuan Universal Penegakan HAM), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 51. 2. Buku karya terjemahan Scholten, Paul, De Structuur Dere Rechtswetenschap, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan oleh Arief Sidharta, Bandung, Alumni, 2011, hlm. 7. 3. Buku yang berisi kumpulan artikel Mahmod Thoha (Ed), Dampak Persetujuan Putaran Uruguay-GATT Terhadap Industri Kecil, UI Press, Jakarta, 1998, hlm. 89. 4. Skripsi, tesis atau disertasi Jazim Hamidi, Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2005, Tidak dipublikasikan, hlm. 2. 5. Artikel dalam buku kumpulan artikel Moh Fadli, Nondelegationdoctrine dan Peraturan Delegasi di Indonesia, Susi Dwi Harijanti (Eds), Negara Hukum yang Berkeadilan Kumpulan Pemikiran dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr H. Bagir Manan, Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (PSKN FH UNPAD), Bandung, 2011, h1m. 33. 6. Artikel dalam jurnal Moh. Fadli, Program Legislasi Nasional (Prolegnas): Ketersiapan Data dan Optimalisasi Kinerja DPR, Jurnal Konstitusi, Volume IV No. 1, Juni 2011, PPK Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2011, hlm. 20. 7. Artikel dalam majalah atau koran Bartens, K., 11 Agustus 2003, Aborsi Di Tengah Polarisasi "Pro Life "-"Pro Choice", Kompas, hlm. 89. 8. Artikel dalam majalah atau koran tanpa penulis Jawa Pos, 22 April 1995, Wanita Kelas Bawah Lebih Mandiri, hlm. 4. 9. Makalah Ni'matul Huda, Penulisan Laporan Penelitian untuk Jurnal, makalah disajikan dalam Lokakarya Penelitian Tingkat Dasar Bagi Dosen PTN dan PTS di Malang Angkatan XIV, Pusat Penelitian IKIP Malang, Malang, 12 Juli 2004, hlm. 53. 10. Artikel internet Ali Safaat, Penafsiran Konstitusi (online), http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/11/ Penafsiran-Konstitusi.pdf, diakses 3 Februari 2013. Kennedy, DC., In Search of Balance Between Police Power and Privacy in The Cybercrime Treaty (online), The Richmond Journal Law and Technology, http:// www. richmond. jlt.htmU185.htm, diakses 12 Januari 2003. 11. Dokumen resmi pemerintah Arsip dan Dokumentasi, Risalah Rapat Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undangundang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tanggal 23 Februari 2011, Jakarta, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2011, hlm. 7. 304
Petunjuk Penulisan Jurnal Lex Publica
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Pedoman Penulisan Laporan Penelitian, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978, hlm. 88. 12. Peraturan Perundang-undangan Pasa15 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 7. Contoh tata aturan penulisan daftar pustaka sebagai berikut: Buku Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit IND-HILL. CO, Jakarta. C. De Rover, 2000, To Serve and To Protect (Acuan Universal Penegakan HAM), Raja Grafindo Persada, Jakarta. Jazim Hamidi, 2005, Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi program Doktor Ilmu Hu kum pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Tidak dipublikasikan. Mahmod Thoha (Ed), 1998, Dampak Persetujuan Putaran Uruguay-GATT Terhadap Industri Kecil, UI Press, Jakarta. Moh. Fadli, 2011, Nondelegationdoctrine dan Peraturan Delegasi di Indonesia, Susi Dwi Harijanti (Eds), Negara Hukum yang Berkeadilan Kumpulan Pemikiran dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. H. Bagir Manan, Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (PSKN FH UNPAD), Bandung. Scholten, Paul, 2011, De Structuur Dere Rechtswetenschap, Struktur IImu Hukum, Terjemahan oleh Arief Sidharta, Bandung, Alumni. Jurnal dan Artikel Bartens, K., 11 Agustus 2003, Aborsi Di Tengah Polarisasi "Pro Life"-"Pro Choice", Kompas. Jawa Pos, 22 April 1995, Wanita Kelas Bawah Lebih Mandiri. Moh. Fadli, 2011, Program Legislasi Nasional (Prolegnas): Ketersiapan Data dan Op-timalisasi Kinerja DPR, Jurnal konstitusi, Volume IV No. 1, Juni 2011, PPK Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Makalah Arsip dan Dokumentasi, 2011, Risalah Rapat Panitia ysus (Pansus) Rancangan Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tanggal 23 Februari 2011, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta. Ni'matul Huda, 2004, Penulisan Laporan Penelitian untuk Jurnal, makalah disajikan dalam Lokakarya Penelitian Tingkat Dasar Bagi Dosen PTN dan PTS di Malang Angkatan XIV, Pusat Penelitian IKIP Malang, Malang. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1978, Pedoman Penulisan Laporan Penelitian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perindangundangan. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. 305
Petunjuk Penulisan Jurnal Lex Publica
Artikel Internet Ali Safaat, Penafsiran konstitusi (online), http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/11/ Penafsiran-Konstitusi.pdf. Kennedy, DC., In Search of Balance Between Police Power and Privacy in The Cybercrime Treaty (online), The Richmond Journal Law and Technology, http:// www. richmond.jlt.htm185.htm. 8. Redaksi berhak melakukan penyuntingan melalui Dewan Penyunting tanpa mengubah isi dan makna redaksi. Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap isi naskah.
306