Jurnal Lex Publica
JURNAL
LEX PUBLICA ASOSIASI PIMPINAN PENDIDIKAN TINGGI HUKUM INDONESIA
DAFTAR ISI
Vol. I. No. 1, Nopember 2014 DARI REDAKSI PERMASALAHAN OUTSOURCING DALAM SISTEM KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA Dr. St. Laksanto Utomo, SH, MH ………. hal. 1 - 11 KEWAJIBAN PENGANGKUT KEPADA PIHAK YANG MENDERITA KERUGIAN DALAM UNDANG-UNDANG PENERBANGAN NASIONAL Dr. Ahmad Sudiro, SH., MH., MM ………. hal. 12 - 24 PENYELESAIAN PERSELISIHAN KETENAGAKERJAAN YANG DILAKUKAN MELALUI MEDIASI BERDASARKAN UU NO.2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Oleh : Pristika Handayani, SH., MH ………… hal. 25 - 29 PERSPEKTIF PENERAPAN ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA Oleh : Iwan Darmawan, SH., MH ………. hal. 30 - 34 FUNGSI LEGISLASI DPD RI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-X/2012 Oleh : Yenny AS, SH., MH ………. hal. 35 - 40 ANALISIS YURIDIS PENERAPAN ATURAN DAN SANKSI PELANGGARAN LALU LINTAS PENGENDARA SEPEDA MOTOR Oleh: Surajiman, SH, MH dan Diah Ratu Sari Harahap, SH., MH ………. hal. 41 - 54 STRATEGI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI : KAJIAN LEGAL SOSIOLOGIS Oleh : Prof. Dr. Faisal Santiago, SH., MM ………. hal. 55 - 69 INVESTASI BAGI HASIL DALAM PEMBIAYAAN AKAD MUDHARABAH PERBANKAN SYARIAH Oleh: Dr. Hj. R.A. Evita Isretno Israhadi SH, MH ………. hal. 70 - 97 PETUNJUK PENULISAN ……. hal. 98 - 100 i
Jurnal Lex Publica
Pengantar Redaksi...... LEX PUBLICA Sejak awal abad milileum ketiga di bumi ini, banyak pemikir ilmu hukum mempertanyakan eksistensi fungsi, penegakan dan tujuan hukum. Dari banyak pemikiran tentang fungsi, penegakan serta tujuan hukum, ada yang mereduksi jauh kebelakang dengan cara mengingatkan pemikiran Plato yang menganggap hukum itu sebagai pencerminan akal manusia yang paling sempurna (the reflection of common human reason in its full development). Standar yang digunakan dalam perspektif ini, aspek perbuatan yang boleh diperbuat manusia dan yang harus dihindari, dimulai dari proses pembuatan produk hukum. Artinya, pihak yang memiliki legitimasi kewenangan membuat perundang-undangan harus memiliki capability dan berintegritas sehingga produk hukum terhindar dari dasar pemikiran praktis yang menghasilkan undang-undang yang tak memberikan kegunaan bagi keadilan masyarakat. Dari kontek pemikiran Plato, maka benar adanya, jika guna menghindari cederanya cita dan tujuan hukum (justice), idealnya, keberadaan konsep hukum buatan manusia, merupakan hasil yang mencerminkan segala norma buatan manusia karena kekuasaan sebagai kesepakatan untuk merealisasikan hukum Tuhan dalam kehidupan manusia. Jika demikian konsep hukum yang tercipta, maka konsep buatan manusia tersebut akan mencerminkan norma moral maupun norma hukum yang pernah menjadi yurisprudensi. Untuk itu, karena keberadaan manusia yang beradab merupakan subyek dan obyek dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka layak kalau harus tunduk pada hukum di negaranya. Rudolf Von Jhering dalam “Der Zwech Im Recht” menyebut, bahwa Hukum adalah keseluruhan peraturan yang memaksa (compulsory rules) yang berlaku dalam suatu negara. Menurut E.Utrecht Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat yang harus ditaati. Pemikiran ahli tersebut benar adanya. Sayangnya, masih banyak masyarakat (luas) yang mencederai hukum. Padahal, dalam kehidupan manusia sebagai mahluk sosial akan selalu berinteraksi dengan manusia yang lain, serta tunduk pada kete-raturan norma-norma yang hidup dalam masyarakat maupun norma yang telah terkonsepkan. Dari keberadaan hukum itu maka dapat diketahui bahwa hukum memiliki fungsi guna menciptakan dan menjaga ketertiban serta keamanan. Penerbitan Jurnal Ilmiah Hukum “Lex Publica“ ini, merupakan hasil kesepahaman Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi Hukum Indonesia, yang dimaksudkan guna menjadi sarana para pemikir kritis di bidang ilmu hukum. Karena itu setiap penerbitan “Lex Publica“, selalu merefleksi beberapa peristiwa hukum yang dikaji berdasarkan kaidah ilmiah, sekaligus mengingatkan tentang pentingnya bahwa tujuan hukum harus diwujudkan melalui penegakkan hukum. Bagi para pihak yang membantu penerbitan jurnal ini tak lupa disampaikan terima kasih dan mudah-mudahan keberadaan Jurnal ”Lex Publica” dapat memberikan pencerahan bagi pembaca.
Salam Redaksi
Suradjiman ii
PERMASALAHAN OUTSOURCING DALAM SISTEM KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA Oleh: Dr. St. Laksanto Utomo, SH, MH
Abstrak Pola perjanjian kerja dalam bentuk outsourcing secara umum adalah ada beberapa pekerjaan kemudian diserahkan ke perusahaan lain yang telah berbadan hukum, dimana perusahaan yang satu tidak berhubungan secara langsung dengan pekerja tetapi hanya kepada perusahaan penyalur atau pengerah tenaga kerja. Model outsourcing dapat dibandingkan dengan bentuk perjanjian pemborongan bangunan walaupun sesungguhnya tidak sama. Perjanjian pemborongan bangunan dapat disamakan dengan sistem kontrak biasa sedangkan outsourcing sendiri bukanlah suatu kontrak. Permasalahan dalan sistem outsourcing secara garis besar terbagi atas beberapa masalah inti. Pertama, masalah terdapat dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan di Indonesia. Kedua, permasalahan terdapat dalam pelaksanaan pemberian hak pekerja. Ketiga, permasalahan dalam jenis pekerjaan yang dapat dioutsourcingkan. Keempat, permasalahan yang terdapat dalam hubungan kontrak kerja antara perusahaan outsourcing dengan pengguna jasa outsourcing. Kelima, permasalahan yang terdapat pada tenaga kerja outsourcing itu sendiri. Kata kunci : Outsourcing Dalam Sistem Ketenagakerjaan Abstract The pattern of employment agreement in the form of outsourcing in general is there some work then submitted to another company that has been incorporated, where the company does not deal directly with the workers but only to the company dealer or employment. Outsourcing model can be compared to the chartering agreements although the building is not really the same, building chartering agreement can be equated with ordinary contract system while outsourcing itself is not a contract. Problems in the outsourcing system divides in to several core issues. First, there are problems in the labor legislation in Indonesia. Second, there is the implementation problems worker entitlements. Third, the problem in this type of work that can be the outsourcing. Fourth, there are problems in the relationship between the employment contract with the outsourcing companies outsourcing services users, Fifth, there are problems in the outsourcing of labor itself. Keyword: Manpower outsourcing in system A. Pendahuluan Kondisi dunia yang telah dihegemoni oleh kekuatan kapitalisme global mencengkram seluruh sendi-sendi kehidupan. Dua sifat utama dari kapitalisme yaitu eksploitatif dan ekspansif. Kedua wajah kapitalisme ini berjalan beriringan sehingga pencapaian tujuan kapitalisme untuk meningkatkan akumulasi modal semakin masive. Menurut Tabb,1 bahwa 1
Lihat dalam Susetiawan. 2000. Konflik Sosial. Kajian Hubungan Buruh Perusahaan dan Negara Di Indonesia. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. hal. 6
konstruksi kelembagaan untuk mengatur tata dunia dilakukan melalui organisasi atau agenagen internasional antara lain WTO (World Trade Organization), GATT (General Agreement on Trade and Tariff), Bank Dunia (World Bank), IMF (International Monetary Fund) dan berbagai lembaga lainnya. Lambatnya pemulihan ekonomi mengakibatkan pengangguran meningkat, jumlah penduduk miskin makin bertambah, lapangan kerja menjadi hal yang langka. Akibat lainnya, hak dan perlindungan tenaga kerja tidak terja1
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 1 - 11
min dan kesehatan masyarakat menurun. Pemulihan ekonomi bertujuan untuk mengembalikan tingkat pertumbuhan dan pemerataan yang memadai, serta tercapainya pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai harkat dan martabat kemanusiaan. Perubahan dalam penerapan hasil teknologi modern dewasa ini banyak disebut-sebut sebagai salah satu sebab bagi terjadinya perubahan sosial, termasuk di bidang hukum ketenagakerjaan. Menurut Robert A. Nisbet dalam bukunya: Social Change and History., bahwa dengan timbul perubahan di dalam susunan masyarakat yang disebabkan oleh munculnya golongan buruh. Pengertian hak milik yang semula mengatur hubungan yang langsung dan nyata antara pemilik dan barang juga mengalami perubahan karenanya. Sifat-sifat kepemilikan menjadi berubah, oleh karena sekarang “barang siapa yang memiliki alat-alat produksi” bukan lagi hanya menguasai barang, tetapi juga menguasai nasib ribuan manusia yang hidup sebagai buruh.2 Pengertian outsourcing disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan. Sedangkan menurut Pasal 1601b KUH Perdata perjanjian pemborongan pekerjaan adalah suatu perjanjian dimana pemborong mengikat diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang mernborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu. Praktek sehari-hari outsourcing selama ini diakui lebih banyak merugikan pekerja/buruh, karena hubungan kerja selalu dalam ben2
Robert A. Nisbet, Social Change and History - Aspects of the Western Theory of Development, London, Oxfort University Press, 1972; Dalam: Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980, h. 97.
2
tuk tidak tetap/kontrak (PKWT), upah lebih rendah, jaminan sosial kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security serta tidak adanya jaminan pengembangan karir dan lain-lain sehingga memang benar kalau dalam keadaan seperti itu dikatakan praktek outsourcing akan menyengsarakan pekerja/buruh dan membuat kaburnya hubungan industrial.3Hal tersebut dapat terjadi karena sebe-lum adanya UU Ketenagakerjaan No. 13 Ta-hun 2003, tidak ada satupun peraturan perun-dangundangan di bidang ketengakerjaan yang mengatur perlindungan terhadap pekerja/buruh dalam melaksanakan outsourcing. Kalaupun ada, barang kali Permen Tenaga Kerja No. 2 Tahun 1993 tentang kesempatan kerja waktu tertentu atau (KKWT), yang hanya merupakan salah satu aspek dari ousourcing.4 UU No. 13 Tahun 2003 pada hakekatnya adalah suatu undang-undang yang memberikan perlindungan pada tenaga kerja bukan pada pekerja. Dasar filosofi itu dijelaskan lebih lanjut mengenai pembangunan ketenagakerjaan dalam penjelasan umum UU No. 13 Tahun 2003. Dari konsiderans huruf a - c UU No. 13 Tahun 2003, dapat diketahui bahwa pembentuk undang-undang menghendaki dibuatnya suatu aturan hukum yang memberikan perlindungan hukum kepada tenaga kerja. Perlindungan hukum itu diberikan mengingat peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembangunan nasional ini sesuai dengan tujuan negara yang terdapat di dalam alinea keempat Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu membentuk suatu 3
Umi Kholifah, 2010, Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Outsourcing Berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Tesis Magister Hukum Untag Semarang. Tidak dipublikasikan. 4 Gunarto Suhardi, 2006, Perlindungan Hukum Bagi Para Pekerja Kontrak Outsourcing, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. hal. 17
Permasalahan Outsourcing Dalam Sistem …
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak menyebutkan secara tegas mengenai istilah dari outsourcing, namun dalam Pasal 64 secara tidak langsung disinggung mengenai outsourcing yaitu "Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. B. Permasalahan Pola perjanjian kerja dalam bentuk outsourcing secara umum adalah ada beberapa pekerjaan kemudian diserahkan ke perusahaan lain yang telah berbadan hukum, dimana perusahaan yang satu tidak berhubungan secara langsung dengan pekerja tetapi hanya kepada perusahaan penyalur atau pengerah tenaga kerja. Pendapat lain menyebutkan bahwa outsourcing adalah pemberian pekerjaan dari satu pihak kepada pihak lainnya dalam 2 (dua) bentuk, yaitu :5 a. Mengerahkan dalam bentuk pekerjaan. b. Pemberian pekerjaan oleh pihak I dalam bentuk jasa tenaga kerja. Model outsourcing dapat dibandingkan dengan bentuk perjanjian pemborongan bangunan walaupun sesungguhnya tidak sama. Perjanjian pemborongan bangunan dapat disamakan dengan sistem kontrak biasa sedangkan outsourcing sendiri bukanlah suatu kontrak. Pekerja/buruh dalam perjanjian pemborongan bangunan dapat disamakan dengan pekerja harian lepas (PHL). PHL adalah pekerja yang bekerja pada pengusaha untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dan dapat berubah-ubah dalam hal waktu maupun volume pekerjaan dengan menerima upah yang didasarkan atas kehadiran pekerja secara harian. Berbagai macam cara dilakukan oleh Perusahaan penyedia 5
Hendro Yuono. Wawancara Pribadi tanggal 25 Agustus 2010.
Laksanto Utomo
jas atenaga kerja maupun perusahaan pengguna jasa tenaga kerja untuk mengakali peraturan perundang-undangan demi mendapatkan keuntungan. C. Pembahasan Pengertian tenaga kontrak outsourcing nampaknya hanyalah pengertian practical saja terutama dipandang dari sudut pengusaha sebagai pemberi kerja. Dalam situasi sekarang ini di mana banyak berdiri perusahaan dan pabrik-pabrik maka nampaknya sulit bagi perusahaan untuk merekrut atau menjaring tenaga kerja dalam jumlah banyak secara langsung. Biasanya mereka meminta agen atau biro jasa umum yang dapat mengumpulkan tenaga kerja yang cukup. Lama kelamaan biro jasa ini pekerjaannya mengkhususkan diri dalam penyediaan tenaga kerja dan jadilah mereka perusahaan penyedia tenaga kerja. Dipihak pekerja, terutama mula-mula pekerja non tehnis seperti pembantu, pembantu tukang dan lain-lainnya, mereka juga membutuhkan penempatan untuk kerja padahal mereka tidak banyak mengetahui perusahaan mana saja yang menerima tenaga kerja seperti mereka ini. Perusahaan penyedia tenaga kerja inilah yang mempunyai jalur informasi berbagai lowongan kerja. Lama kelamaan bukan hanya pekerja kasar saja akan tetapi juga pekerja kantoran dan teknisi-teknisi terdidik mencari kerja melalui perusahaan penyedia tenaga kerja ini. Tumbuh dan berkembangnya perusahaan penyedia tenaga kerja ini memang menggejala dengan pesat dan mempengaruhi pasar baik pasar kerja dalam negeri maupun luar negeri sehingga menimbulkan juga berbagai implikasi bagi pengaturan ketenagakerjaan dan pengaturan mengenai perlindungan tenaga kerja. Sebagai negara demokrasi maka Indonesia mau tidak mau harus pula membentuk hukum ketenagakerjaan yang sifatnya resposif. Akhirnya pada tahun 2003 berhasil ditetapkan Undang Undang Republik Indonesia No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang baru dengan dasar pertimbangan bahwa beberapa undang-undang di bidang ketenagakerjaan yang lama dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pem3
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 1 - 11
bangunan ketenagakerjaan, dan karena itu perlu dicabut dan atau ditarik kembali. Meskipun merupakan undang-undang ketenagakerjaan yang paling baru namun demikian masih juga sebagaimana biasanya terdapat beberapa celah yang dapt dimanfaatkan. Dalam masalah pemanfaatan celah inilah maka pada umumya pihak perusahaan penyedia tenaga kerja menunjukkan kepiwaiannya. Seperti nanti akan diuraikan dalam bagian lainnya maka kedudukan pekerja selalu berada dalam posisi yang lemah baik dihadapan perusahaan penyedia tenaga kerja maupun lebih-lebih dihadapan perusahaan pemakai tenaga kerja. Karena para pekerja berasal dari berbagai tempat dan kebanyakan bekerja dalam waktu yang terbatas yakni rata-rata 3 tahun maka tentu saja mereka tidak mudah untuk berorganisasi. Untuk masuk kedalam organisasi pekerja tetap juga tidak mudah karena mereka biasanya juga dianggap sebagai saingan terutama bersedia menerima gaji dan hak-hak yang lebih rendah dari pekerja tetap hingga posisi tawar pekerja tetap juga goyah dihadapan perusahaan pemakai tenaga kerja. Jadilah tenaga kerja outsourcing ini menjadi tenaga kerja yang terjepit dan terpaksa menerima nasib termasuk bilamana tiba-tiba harus berhenti karena pemberi kerja mau lebih efisien. Perlindungan hukum bagi tenaga kerja merupakan perwujudan dari usaha untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Tetapi, dasar filosofi yang ditetapkan oleh pembuat UU No. 13 Tahun 2003 ini, ternyata tidak konsisten. Hal ini tampak dalam konsiderans huruf d UU No. 13 Tahun 2003, yaitu : Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Konsiderans huruf d UU No. 13 Tahun 2003 yang membatasi pengertian tenaga kerja hanya mencakup pekerja saja bukan tenaga 4
kerja. Hal ini menunjukkan adanya pertentangan antara konsiderans huruf a-c dengan konsiderans huruf d UU No. 13 Tahun 2003. Lebih lanjut, dasar filosofi yang ada pada konsiderans huruf a-c tidak diterapkan dalam pasal-pasal UU No. 13 Tahun 2003, khususnya hanya membatasi pekerja yang bekerja pada pengusaha saja. Bukan pekerja yang bekerja pada pemberi kerja. Unsur perintah dalam hubungan kerja antara buruh dan majikan harus kita tinggalkan, sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila kita wajib dan mampu menempatkan buruh pada kedudukan yang terhormat (sederajat dengan majikan / pengusaha). Hubungan antara buruh dengan majikan /pengusaha bukan atas dasar perintah tetapi merupakan partner atau mitra kerja untuk menghasilkan barang atau jasa.66 Buruh selaku subyek hukum penerima kerja (werknemer) adalah tidak berada di bawah perintah majikan, tapi justru berkedudukan hukum sama dan sederajat dengan kedudukan hukum majikan sebagai layaknya pihakpihak yang mengikat diri pada suatu perjanjian timbal balik. Subyek hukum dalam perjanjian kerja pada hakekatnya adalah subyek hukum dalam hubungan kerja. Yang menjadi obyek dalam perjanjian kerja adalah tenaga yang melekat pada diri pekerja. Atas dasar tenaga telah dikeluarkan oleh pekerja / buruh maka ia akan mendapatkan upah.7 Hubungan kerja dilakukan oleh pekerja / buruh dalam rangka untuk mendapatkan upah. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 30 UU No. 13 Tahun 2003 Upah adalah : Hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. 6
Guno Prawoto. Wawancara Pribadi tanggal 28 Agustus 2010. 7 Laica Marzuki
Permasalahan Outsourcing Dalam Sistem …
Di dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu menurut Pasal 64 - 66 UU No. 13 Tahun 2003 dikenal pemborongan pekerjaan dan outsourcing. Berdasarkan ketentuan Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Menurut pendapat penulis terdapat kekeliruan dalam pasal 64 berkaitan dengan pengertian outsourcing. Kalimat terakhir keliru, yaitu “… penyerahan penyedia jasa pekerja buruh yang dibuat secara tertulis “ atau penyedia jasa buruh seharusnya ditiadakan diganti dengan perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Outsourcing di dalam Pasal 64 menunjukkan bahwa ada 2 macam outsourcing yaitu outsourcing mengenai pekerjaannya yang dilakukan oleh pemborong, dan outsourcing mengenai pekerjaannya yang dilakukan oleh perusahaan jasa pekerja. Outsourcing yang pertama mengenai pekerjaan, konstruksi hukumnya yaitu ada main contractor yang mensubkan pekerjaan pada sub kontraktor. Sub kontraktor untuk melakukan pekerjaan yang disubkan oleh main contractor yang membutuhkan pekerja. Di situlah sub kontraktor merekrut pekerja untuk mengerjakan pekerjaan yang disubkan oleh main contractor. Sehingga ada hubungan kerja antara sub kontraktor dengan pekerjaannya; Perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh harus memenuhi syar at sebagaimana dalam ketentuan Pasal 65 UU No. 13 Tahun 2003, yaitu : 1. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; 2. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; 3. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan 4. tidak menghambat proses produksi secara langsung Keberadaan ketentuan Pasal 57 - 66 UU No. 13 Tahun 2003 ini, mempunyai dampak yang negatif dalam perlindungan pekerja. Ba-
Laksanto Utomo
nyak perusahaan yang merubah sistem kerjanya dari pekerja tetap yang mendasarkan pada perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu menjadi pekerja kontrak yang didasarkan pada perjanjian kerja untuk waktu tertentu, yaitu outsourcing atau pemborongan kerja. Ketentuan ini menjadi salah satu pertimbangan pada permohonan Pengujian Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di lain pihak outsourcing juga menggunakan perjanjian kerja waktu tertentu. Perjanjian kerja waktu tertentu jelas tidak menjamin adanya job security, adanya kelangsungan pekerjaan seorang pekerja, karena seorang pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu pasti tahu bahwa pada suatu saat hubungan kerja akan putus dan tidak akan bekerja lagi di situ, akibatnya pekerja akan mencari pekerjaan lain lagi. Sehingga kontinuitas pekerjaan menjadi persoalan bagi pekerja yang di outsource dengan perjajian kerja waktu tertentu. Kalau job security tidak terjamin, jelas bertentangan dengan Pasal 27 yaitu hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Permasalahan dalan sistem outsourcing secara garis besar terbagi atas beberapa masalah inti yaitu : a. Pertama, masalah terdapat dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan di Indonesia. Pada permasalahan pertama yaitu mengenai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan di Indonesia dirasakan belum dapat memayungi hukum pelaksanaan sistem outsourcing di Indonesia. Menurut Lilis Mahmudah, akar permsalahan yang timbul dalam pelaksanaan outsourcing di Indonesia adalah :8 1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pasal 59 mengenai PKWT dan pasal 64-66 mengenai outsourcing. 8
Lilis Mahmudah. 2013. Permaslaahan Outsourcing dalam Sistem Perburuhan di Indonesia. Makalah disampaikan dalam FGD Outsourcing : Sejuta Masalah dalam Pelaksanaannya di Indonesia. Fakultas Hukum Usahid Jakarta, 23 Oktober 2013.
5
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 1 - 11
2) Kepmen 100/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan PKWT 3) Kepmen 101/2004 tentang Tata cara perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Buruh 4) Kepmen 220/2004 tentang SyaratSyarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain 5) Untuk Kepmen No. 101 dan 220/ 2004, kini disempurnakan dengan Permen No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain Akibat dari adanya ketidakjelasan peraturan perundang-undangan tersebut, Laksanto Utomo menegaskan bahwa hubungan industrial dalam model kerja outsourcing, menjadikan buruh tidak mempunyai kejelasan dalam hubungan, berimbas pada tidak jelasnya posisi buruh bagaimana mereka menuntut hak-haknya. Buruh dituntut untuk memenuhi persyaratan dalam outsourcing, jam kerja yang padat, upah yang tidak seimbang, tidak adanya kesempatan untuk bergabung dalam organisasi buruh, karena waktu yang habis dalam kontrak kerja. Hubungan yang terjadi antara buruh dengan perusahaan outsourcing dan perusahaan pengguna (pemilik modal), adalah hubungan ketergantungan. Tentunya tipe ketergantungan (dependensi) yang terjadi yaitu ketergantungan yang tidak seimbang.9 b. Kedua, permasalahan terdapat dalam pelaksanaan pemberian hak pekerja. Hubungan industrial dalam model kerja outsourcing, menjadikan buruh tidak mempunyai kejelasan dalam hubungan, berimbas pada tidak jelasnya posisi buruh bagaimana mereka menuntut hak-haknya. Buruh dituntut
untuk memenuhi persyaratan dalam outsourcing, jam kerja yang padat, upah yang tidak seimbang, tidak adanya kesempatan untuk bergabung dalam organisasi buruh, karena waktu yang habis dalam kontrak kerja. Pelanggaran terhadap perjanjian akan langsung berakibat pada pemberhentian secara langsung oleh manajemen perusahaan outsourcing. Dan digantikan oleh tenaga-tenaga outsourcing lainnya sebagai tentara-tentara cadangan. Kondisi ini membebaskan industri-industri pengguna dari kewajibankewajiban terhadap buruh kecuali hanya memberikan upah dari kerja buruh. Menurut Komang Priambudi,10 pihak pengusaha berpendapat bahwa ”Dari mana pekerja itu direkrut, bagaimana datangnya dan lain-lain adalah bukan urusan kita sebagai pemakai”. Inilah satu kondisi yang memperlihatkan bahwa pekerja adalah barang dagangan dan outsourcing tidak lain hanyalah triffiking yang dilegalkan. c. Ketiga, permasalahan dalam jenis pekerjaan yang dapat di-outsourcing-kan. Pada permasalahan tentang jenis pekerjaan yang dapat dioutsorcingkan, Sriyono D. Siswoyo menegaskan bahwa jenis pekerjaan yang dioutsourcingkan masing-masing perusahaan memiliki kebijakan tersendiri. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kepentingan antara Perusahaan dengan Tenaga Kerja yang berkaitan dengan kepentingan tertentu. Perbedaan kepentingan antara Institusi Tenaga Kerja dengan Institusi Regulator / Pembina. Pada Penetapan Proses Bisnis (termasuk Core/NonCore Activities) menemui kendala karena adanya Perbedaan pengertian Core non core masing-masing perusahaan pengguna jasa, Tidak semua industri mempunyai Asosiasi disisi lain Regulator tidak ingin terlibat dalam permasalahan perusahaan / tenaga kerja dan A-
9
Laksanto Utomo, 2013. Kritik Atas Sistem Outsourcing Perusahaan Penyedia Tenaga Kerja Di Indonesia. Makalah disampaikan dalam FGD Outsourcing : Sejuta Masalah dalam Pelaksanaannya di Indonesia. Fakultas Hukum Usahid Jakarta, 23 Oktober 2013.
6
10
Komang Priambudi, 2008, Op.cit., hal. 31
Permasalahan Outsourcing Dalam Sistem …
sosiasi yang ada tidak mampu mengidentifikasi Proses Bisnis yang dibutuhkan oleh perusahaan terkait.11 d. Keempat, permasalahan yang terdapat dalam hubungan kontrak kerja antara perusahaan outsourcing dengan pengguna jasa outsourcing. Hubungan yang terjadi antara buruh dengan perusahaan outsourcing dan perusahaan pengguna (pemilik modal), adalah hubungan ketergantungan. Tentunya tipe ketergantungan (dependensi) yang terjadi yaitu ketergantungan yang tidak seimbang. Eggi Sudjana,12 menjelaskan bahwa kekuasaan yang menumpuk di tangan kelompok pemberi upah atau borjuis dalam mengelola dan menguasai sumber-sumber daya yang terbatas. Sehingga dalam prakteknya hubungan ketergantungan ini berjalan dengan berat sebelah, karena prinsip para kapitalis yaitu memaksimalkan keuntungan yang menekankan pada efisiensi dan produktivitas, sehingga buruh sering dieksploitasi. Hubungan perburuhan dalam sistem outsourcing sebagaimana yang telah disebutkan diatas sangat merugikan kaum buruh. Penolakan dan terjadinya konflik perburuhan merupakan sebuah kegagalan poduk hukum dalam menampung dan mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada mereka. Terjadilah hubungan yang tidak sehat di satu sisi pengusaha diuntungkan dan dilain sisi buruh dirugikan. Inilah gambaran hubungan buruh dalam sistem outsourcing. Buruh dalam model kerja outsourcing menjadi sosok barang yang diperjualbelikan dengan harga murah, tidak harus menunggu rongsok dan bisa langsung mengganti dengan barang yang lain, dengan kualitas yang lebih bagus dan harga yang murah. Buruh 11
Sriyono D. Siswoyo. 2013. Alih Daya di PLN. Makalah disampaikan dalam FGD Outsourcing : Sejuta Masalah dalam Pelaksanaannya di Indonesia. Fakultas Hukum Usahid Jakarta, 23 Oktober 2013. 12 Eggi Sudjana, 2002, Op.cit. hal 27
Laksanto Utomo
adalah alat atau faktor produksi setelah modal, signifikannya peran buruh sehingga ketidakhadiran buruh, berakibat pada tidak akan tercipta akumulasi modal (capital). Idealnya buruh ditempatkan ditempat yang layak dan dihargai dengan nilai yang tinggi, kerena merekalah yang turut langsung menciptakan produk yang akan dikonsumsi konsumen. Outsourcing adalah model kerja yang mencederai makna HAM dan Demokrasi. Celia Mather, mengungkapkan bahwa outsourcing mengakibatkan tiga masalah utama yaitu pertama, tersingkirnya buruh dari meja atau kesepakatan negosiasi; kedua, tidak adanya tanggung jawab hukum perusahaan terhadap buruh; ketiga berkurangnya buruh tetap sehingga semua buruh masuk kedalam outsourcing, kondisi buruh dalam ketidakpastian.13 Perusahaan inti melalui kontrator penyedia jasa memberikan upah yang jauh lebih rendah daripada buruh tetap, mereka terhindar dari penyediaan tunjangan-tunjangan seperti pensiun, asuransi kesehatan, kematian atau kecelakaan, sakit dibayar, cuti dibayar, tunjangan melahirkan.14 Outsourcing merupakan bentuk nyata dari prinsip fleksibelitas pasar kerja dan dapat ditemukan dihampir seluruh bagian dalam rangkaian proses produksi.15 Selain itu outsoursing juga didefinisikan sebagai pengalihan sebagian atau seluruh pekerjaan dan atau wewenang kepada pihak lain guna mendukung strategi pemakaian jasa outsourcing baik pribadi, perusahaan divisi atau pun sebuah unit dalam perusahaan.16 Pada permasalahan yang terdapat dalam hubungan kontrak kerja antara perusahaan outsourcing dengan peng13
Mather, Celia. 2008. Menjinakkan Sang Kuda Troya, Perjuangan Serikat Buruh Menghadang Sitem Kontrak/ Outsourcing, Jakarta TURC (Trade Union Right Centre). hal. 28 14 Ibid, hal. 37 15 Ibid. hal. 71 16 Komang Priambudi. 2008. Outsourcing Versus Serikat Kerja. Jakarta. Alihdaya Publishing, hal. 12
7
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 1 - 11
guna jasa outsourcing, Lilis Mahmudah17 menegaskan bahwa pola pelanggaran terhadap hak pekerja terjadi dimulai sejak penandatanganan kontrak kerja, seperti: upah yang dicantumkan nilainya di bawah UMK, larangan melakukan pernikahan selama 2 tahun, larangan meninggalkan pekerjaan selama 3 bulan pertama, dengan alasan apapun. Selain itu juga pekerja tidak mendapatkan cuti tahunan, buruh perempuan tidak mendapatkan hak cuti yang terkait dengan hak reproduksinya (cuti haid, gugur kandungan, hamil dan melahirkan), Pekerja tidak mendapatkan Jaminan Sosial Tenaga Kerja serta tidak bebas untuk bergabung menjadi anggota serikat. Kaitannya dengan hak pekerja, berdasarkan penyebaran kuesioner diketahui bahwa pekerja outsourcing sangat minim dalam mendapatkan hakhaknya terutama tentang cuti dan jaminan sosial. Menurut Mega Amalia18 dikatakan bahwa ditempatnya bekerja mendapatkan jaminan kesehatan dari perusahaan, namun untuk biaya pengobatannya, perusahaan hanya memberikan ganti rugi jika berobat ke PUSKESMAS. Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Saipudin19 yang menceritakan bahwa pada saat istrinya melahirkan anaknya yang pertama, perusahaan hanya memberikan biaya pengobatan bersalin untuk istrinya untuk setingkat PUSKESMAS. Lain halnya dengan Destania Tissarua20 yang memiliki pengalaman bahwa biaya pengobatan terhadap dirinya pada saat sakit justru ditanggung oleh perusahaan pengguna jasa outsourcing, bukan pe17
Lilis Mahmudah. 2013.... Op. cit Hasil Wawancara dengan Mega Amalia pegawai Outsourcing Bank Umum di Tangerang Selatan. Tanggal 17 Oktober 2013. 19 Hasil Wawancara dengan Saipudin pegawai Outsourcing di Perusahaan Swasta di Jakarta. Tanggal 18 Oktober 2013. 20 Hasil Wawancara dengan Destania Tissarua pegawai Outsourcing di Bank Permata. Tanggal 17 Oktober 2013. 18
8
rusahaan outsourcing yang mengikat kontrak dengan dirinya. Permasalahan lain yang ditemui pada saat penelitian lapangan yang berkaitan dengan hubungan kontrak kerja antara perusahaan outsourcing dengan pengguna jasa outsourcing adalah sebagai berikut : 1) Adanya kecenderungan kerjasama yang saling menguntungkan antara pengguna jasa dengan perusahaan outsourcing yang merugikan pekerja. Hal ini terlihat pada beberapa responden yang memiliki status tenaga kerja outsourcing ditempatkan pada perusahaan yang sama lebih dari 5 tahun namun tiap tahunnya berganti kontrak dengan perusahaan outsourcing. 2) Untuk perjanjian kerja yang upahnya dicantumkan dalam perjanjian kerja sebesar UMK, namun tenaga kerja dikenakan potongan dari upahnya, yang besarnya ditentukan oleh PPJP 3) Sistem kerja target yang diterapkan perusahaan pengguna jasa outsourcing, yang melampaui kemampuan pekerja. 4) Adanya pemberian uang lembur dari perusahaan pengguna jasa outsourcing yang besarnya lebih rendah dari karyawan tetapnya. 5) Tenaga kerja outsourcing tidak diperkenankan masuk dalam Serikat Pekerja Perusahaan pengguna jasa outsourcing. 6) Perusahaan penyedia tenaga kerja outsourcing tidak memiliki serikat pekerja. e. Kelima, permasalahan yang terdapat pada tenaga kerja outsourcing itu sendiri. Permasalahan yang ditemui di lapangan yang berhubungan dengan kondisi tenaga kerja outsourcing adalah sebagai berikut : 1) Kurangnya pengetahuan tenaga kerja outsourcing tentang peraturan perundang-undangan yang menga-
Permasalahan Outsourcing Dalam Sistem …
tur pelaksanaan sistem outsourcing. 2) Kurangnya pemahaman terhadap kontrak yang ditandatanganinya sehingga adanya ketidaktahuan hak tenaga kerja yang tidak diberikan oleh perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. 3) Adanya tuntutan ekonomi yang tinggi mengakibatkan tenaga kerja dengan terpaksa menerima apapun yang diberikan oleh perusahaan penyedia tenaga kerja dan perusahaan pengguna tenaga kerja walaupun terjadi kesenjangan sosial yang cukup besar. 4) Tingginya keinginan tenaga kerja outsourcing terhadap kejelasan statusnya serta keinginan untuk menjadi karyawan tetap perusahaan pengguna jasa outsourcing. Dalam model kerja outsourcing adanya pergeseran ruang lingkup hubungan industrial. Awalnya yang terkenal dengan istilah tripartit atau hubungan antara buruh, pengusaha dan pemerintah. Dalam model outsourcing menjadi empat lingkaran hubungan yaitu buruh, perantara atau broker (perusahaan oustsourcing), perusahaan inti (pemilik modal) dan pemerintah. Outsourcing sebagai sebuah model perburuhan baru, melalui beberapa tahapan dalam perekrutan. Ketersediaan tenaga kerja yang tinggi di pasar tenaga kerja mengakibatkan turunnya harga buruh. Menurut Marx tersedianya tentara-tentara cadangan yang banyak mengakibatkan terjadinya penindasan terhadap hak-hak buruh. Eksploitasi, PHK dan lain sebagainya diputuskan secara sepihak oleh pemilik modal. Outsourcing memiliki dua jenis pertama, outsourcing pekerjaan yang berkaitan dengan pemborongan pekerjaan pada pihak lain, kedua, outsourcing manusia. Tipe outsourcing yang kedua merupakan praktek yang memberikan efisiensi pada tingkat tertentu dalam operasional bisnis, namun merugikan secara serius kepentingan buruh dipihak lain. Praktek inilah yang ditentang oleh gerakan buruh di Indonesia khususnya. Apalagi setelah disahkan-
Laksanto Utomo
nya UU No. 13 Tahun 2003, praktek sistem kerja kontrak merajarela bagaikan jamur di musim hujan. Nyaris semua perusahaan memberlakukannya dalam bentuk kontrak kerja yang pendek dan outsourcing. Bentuk perlindungan hukum hak pekerja adalah perlindungan hukum yang represif, tujuannya adalah untuk menyelesaikan sengketa. Berangkat dari konsep hukum pada rumusan norma hukum yang terdapat dalam Pasal-Pasal UU No. 13 Tahun 2003, dapat dimungkinkan timbulnya sengketa sehingga melahirkan klaim. Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak pekerja berasal dari pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Inti yang terkandung di dalam hak, yaitu adanya suatu tuntutan (claim). Claim dapat terjadi apabila terdapat hak yang tidak dilaksanakan. Merupakan suatu upaya hukum apabila ada pelanggaran hak. Antara hak dan kewajiban haruslah mengandung kesetaraan atau keseimbangan. Khusus untuk melindungi pekerja dengan waktu tertentu atau tenaga kerja kontrak outsourcing, maka ketentuan dalam pasal 6 adalah ketentuan yang sangat penting untuk mempersamakan perlakuan dengan pekerja tetap. Menurut pasal ini maka setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminalisasi dari pengusaha. D. Penutup Pola perjanjian kerja dalam bentuk outsourcing secara umum adalah ada beberapa pekerjaan kemudian diserahkan ke perusahaan lain yang telah berbadan hukum, dimana perusahaan yang satu tidak berhubungan secara langsung dengan pekerja tetapi hanya kepada perusahaan penyalur atau pengerah tenaga kerja. Pendapat lain menyebutkan bahwa outsourcing adalah pemberian pekerjaan dari satu pihak kepada pihak lainnya dalam 2 (dua) bentuk, yaitu : a. Mengerahkan dalam bentuk pekerjaan. b. Pemberian pekerjaan oleh pihak I dalam bentuk jasa tenaga kerja.
9
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 1 - 11
Permasalahan dalan sistem outsourcing secara garis besar terbagi atas beberapa masalah inti. Pertama, masalah terdapat dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan di Indonesia. Kedua, permasalahan terdapat dalam pelaksanaan pemberian hak pekerja. Ketiga, permasalahan dalam jenis pekerjaan yang dapat dioutsourcingkan. Keempat, permasalahan yang terdapat dalam hubungan kontrak kerja antara perusahaan outsourcing dengan pengguna jasa outsourcing. Kelima, permasalahan yang terdapat pada tenaga kerja outsourcing itu sendiri. Akibat dari adanya ketidakjelasan peraturan perundang-undangan tersebut, Laksanto Utomo menegaskan bahwa hubungan industrial dalam model kerja outsourcing, menjadikan buruh tidak mempunyai kejelasan dalam hubungan, berimbas pada tidak jelasnya posisi buruh bagaimana mereka menuntut hak-haknya. Buruh dituntut untuk memenuhi persyaratan dalam outsourcing, jam kerja yang padat, upah yang tidak seimbang, tidak adanya kesempatan untuk bergabung dalam organisasi buruh, karena waktu yang habis dalam kontrak kerja. Hubungan yang terjadi antara buruh dengan perusahaan outsourcing dan perusahaan pengguna (pemilik modal), adalah hubungan ketergantungan. Tentunya tipe ketergantungan (dependensi) yang terjadi yaitu ketergantungan yang tidak seimbang. Hubungan industrial dalam model kerja outsourcing, menjadikan buruh tidak mempunyai kejelasan dalam hubungan, berimbas pada tidak jelasnya posisi buruh bagaimana mereka menuntut hak-haknya. Buruh dituntut untuk memenuhi persyaratan dalam outsourcing, jam kerja yang padat, upah yang tidak seimbang, tidak adanya kesempatan untuk bergabung dalam organisasi buruh, karena waktu yang habis dalam kontrak kerja. Pelanggaran terhadap perjanjian akan langsung berakibat pada pemberhantian secara langsung oleh manajemen perusahaan outsourcing. Dan digantikan oleh tenaga-tenaga outsourcing lainnya sebagai tentara-tentara cadangan. Pada permasalahan tentang jenis pekerjaan yang dapat dioutsorcingkan, disebabkan jenis pekerjaan yang dioutsourcingkan masingmasing perusahaan memiliki kebijakan tersen10
diri. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kepentingan antara Perusahaan dengan Tenaga Kerja yang berkaitan dengan kepentingan tertentu. Perbedaan kepentingan antara Institusi Tenaga Kerja dengan Institusi Regulator / Pembina. Pada Penetapan Proses Bisnis (termasuk Core/Non-Core Activities) menemui kendala karena adanya Perbedaan pengertian Core non core masing-masing perusahaan pengguna jasa, Tidak semua industri mempunyai Asosiasi disisi lain Regulator tidak ingin terlibat dalam permasalahan perusahaan / tenaga kerja dan Asosiasi yang ada tidak mampu mengidentifikasi Proses Bisnis yang dibutuhkan oleh perusahaan terkait. Hubungan yang terjadi antara buruh dengan perusahaan outsourcing dan perusahaan pengguna (pemilik modal), adalah hubungan ketergantungan. Tentunya tipe ketergantungan (dependensi) yang terjadi yaitu ketergantungan yang tidak seimbang. Kekuasaan yang menumpuk di tangan kelompok pemberi upah atau borjuis dalam mengelola dan menguasai sumber-sumber daya yang terbatas. Sehingga dalam prakteknya hubungan ketergantungan ini berjalan dengan berat sebelah, karena prinsip para kapitalis yaitu memaksimalkan keuntungan yang menekankan pada efisiensi dan produktivitas, sehingga buruh sering dieksploitasi. Hubungan perburuhan dalam sistem outsourcing sebagaimana yang telah disebutkan diatas sangat merugikan kaum buruh. Penolakan dan terjadinya konflik perbruhan merupakan sebauh kegagalan poduk hukum dalam menampung dan mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada mereka. Terjadilah hubungan yang tidak sehat disatu sisi pengusaha diuntungkan dan dilain sisi buruh dirugikan. Inilah gambaran hubungan buruh dalam sistem outsourcing. Pada permasalahan yang terdapat dalam hubungan kontrak kerja antara perusahaan outsourcing dengan pengguna jasa outsourcing, Pola pelanggaran terhadap hak pekerja terjadi dimulai sejak penandatanganan kontrak kerja, seperti: upah yang dicantumkan nilainya di bawah UMK, larangan melakukan pernikahan selama 2 tahun, larangan meninggalkan pekerjaan selama 3 bulan pertama, dengan alasan
Permasalahan Outsourcing Dalam Sistem …
Laksanto Utomo
apapun. Selain itu juga pekerja tidak mendapatkan cuti tahunan, buruh perempuan tidak mendapatkan hak cuti yang terkait dengan hak reproduksinya (cuti haid, gugur kandungan, hamil dan melahirkan), Pekerja tidak mendapatkan Jaminan Sosial Tenaga Kerja serta tidak bebas untuk bergabung menjadi anggota serikat. Kaitannya dengan hak pekerja, berdasarkan penyebaran kuesioner diketahui bahwa pekerja outsourcing sangat minim dalam mendapatkan hak-haknya terutama tentang cuti dan jaminan sosial. Tenaga Kerja Outsourcing mendapatkan jaminan kesehatan dari perusa-
haan, namun untuk biaya pengobatannya, perusahaan hanya memberikan ganti rugi jika berobat ke PUSKESMAS. Pengalaman salah satu tenaga kerja outsourcing yang menceritakan bahwa pada saat istrinya melahirkan anaknya yang pertama, perusahaan hanya memberikan biaya pengobatan bersalin untuk istrinya untuk setingkat PUSKESMAS. Tenaga kerja outsourcing lainnya memiliki pengalaman bahwa biaya pengobatan terhadap dirinya pada saat sakit justru ditanggung oleh perusahaan pengguna jasa outsourcing, bukan perusahaan outsourcing yang mengikat kontrak dengan dirinya.
DAFTAR PUSTAKA Umi Kholifah. 2010. Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Outsourcing Berdasarkan UndangUndang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Tesis Magister Hukum Untag Semarang. Tidak dipubilkasikan. Gunarto Suhardi. 2006. Perlindungan Hukum Bagi Para Pekerja Kontrak Outsourcing. Universitas Atma Jaya. Yogyakarta. Robert A. Nisbet. Social Change and History - Aspects of the Western Theory of Development. London. Oxfort University Press. 1972 ; Satjipto Rahardjo. Hukum dan Masyarakat. Angkasa. Bandung. 1980. Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Alumni. Bandung. 1986. Rekson Silaban. 2009. Reposisi Gerakan Buruh. Peta Jalan Gerakan Buruh Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. Komang Priambudi. 2008. Outsourcing Versus Serikat Kerja. Jakarta. Alihdaya Publishing. I. Wibowo dan Francis Wahono. 2003. Neoliberalisme. Yogyakarta. Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Bambang Suhartono Widagdo. 2005. Kondisi Buruh di Indonesia. Pustaka Jaya Jakarta Eggi Sudjana. 2002. Buruh Menggugat Persfektif Islam. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. Sri Haryani. 2002. Hubungan Industrial Di Indonesia. Yogyakarta. AMP YKPN. Martin Khor. 2001. Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan. Yogyakarta. Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Damam. Raharjo. 1987. Kapitalisme Dulu Dan Sekarang. Jakarta. PT. New Aqua Press. Susetiawan. 2000. Konflik Sosial. Kajian Hubungan Buruh Perusahaan dan Negara Di Indonesia. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Celia Mather. 2008. Menjinakkan Sang Kuda Troya. Perjuangan Serikat Buruh Menghadang Sitem Kontrak/Outsourcing. Jakarta. TURC (Trade Union Right Centre). Soerjono Soekanto. 1982. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. (Jakarta : Raja Grafindo) Prasetya Irawan. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk ilmu-ilmu social. FISIP UI Perundang-undangan : Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 11
KEWAJIBAN PENGANGKUT KEPADA PIHAK YANG MENDERITA KERUGIAN DALAM UNDANG-UNDANG PENERBANGAN NASIONAL Oleh : Dr. Ahmad Sudiro, SH, MH, MM*
Abstrak Angkutan udara merupakan salah satu moda transportasi yang paling banyak diminati masyarakat Indonesia saat ini, karena aspek kecepatan dan keselamatan lebih terjamin. Namun demikian masih sering terjadi kecelakaan pesawat atau peristiwa lain yang menimbulkan kerugian terhadap penumpang sebagai konsumen dalam penyelenggaraan penerbangan nasional. Apabila terjadi peristiwa semacam ini, maka perusahaan penerbangan sebagai pengangkut berkewajiban untuk menyelesaikan tanggung jawab dalam pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang menderita kerugian berdasarkan Undang-undang No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Kata kunci: Kewajiban Pengangkut, Kecelakaan Pesawat Udara, Ganti Kerugian. Abstract Air transport is one of the most favorable mode of transportation chosen by Indonesians nowadays due to its relative warranty on speed and safety aspect. However, aircraft accidents is still rampant or other incidents that causes loss to passengers in the wake of its national trade. Should such event occurs, then the airline company as carrier bears the responsibility to provide compensation to victims based on Law No. 1 Year 2009 on Air Aviation. Keyword : Carrier Responsibility, Aircraft Accident, Reparation. A. Pendahuluan Angkutan udara mempunyai peran dan fungsi yang semakin penting saat ini. Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, maka angkutan udara memiliki posisi yang sangat strategis dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Angkutan udara merupakan alternatif moda transportasi yang cepat bagi pengangkutan antar pulau di Indonesia. Oleh karenanya penyelenggaraan pengangkutan udara harus dilaksanakan secara memadai dan lebih menjamin keamanan serta keselamatan penumpang sebagai konsumen, sehingga tidak menimbulkan risiko kerugian terhadap pengguna jasa pengangkutan udara. Perusahaan penerbangan dalam menjalankan usahanya, kemungkinan dapat menim* Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta. Jln. Letjend. S. Parman No. 1 Grogol Jakarta Barat (11440).Telp: (021) 5671748, 5604477, Fax: 5638336. HP: 085885834385. Email:
[email protected].
12
bulkan kerugian terhadap penumpang, baik sengaja atau tidak disengaja. Kerugian yang dialami penumpang akibat kecelakaan pesawat atau peristiwa lain yang terjadi dalam penyelenggaraan penerbangan akan berpengaruh baik terhadap penumpang/ korban maupun ahli warisnya atau pihak yang berhak memperoleh ganti kerugian tersebut. Dengan demikian penyelenggaraan pengangkutan udara tidak dapat dilepaskan dari segala risiko akibat kecelakaan pesawat atau peristiwa lain yang menimbulkan kerugian terhadap penumpang sebagai konsumen. Risiko bagi penumpang pesawat adalah meninggal dunia atau cacat/ menderita luka-luka akibat kecelakaan atau peristiwa lain yang dapat menimbulkan kerugian dalam pengangkutan udara. Sedangkan risiko berat bagi perusahaan penerbangan sebagai pengangkut adalah kehilangan pesawat dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang terlatih, seperti Pilot dan awak
Kewajiban Pengangkut Kepada Pihak Yang …
crew pesawat karena kecelakaan dalam penyelenggaraan penerbangan. Apabila terjadi peristiwa semacam ini, maka aspek yuridis yang terpenting adalah masalah kewajiban perusahaan penerbangan sebagai pengangkut kepada para pihak yang menderita kerugian akibat kecelakaan pesawat tersebut, baik mengenai tanggung jawab pengangkut dan jumlah ganti kerugian maupun proses pengajuan klaimnya. B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang/ pendahuluan di atas, maka permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini sebagai berikut: 1. Bagaimana kewajiban perusahaan penerbangan sebagai pengangkut terhadap pihak yang menderita kerugian akibat kecelakaan pesawat udara atau peristiwa lain yang menimbulkan kerugian berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan? 2. Bagaimana mekanisme pihak yang menderita kerugian dalam penyelenggaraan penerbangan mengajukan klaim ganti kerugian kepada perusahaan penerbangan sebagai pengangkut di Indonesia? C. Pembahasan 1. Kewajiban Perusahaan Penerbangan Sebagai Pengangkut Perjanjian pengangkutan penumpang merupakan suatu perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan penumpang, dimana perusahaan penerbangan sebagai pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu yang disepakati dengan selamat. Sedangkan pengangkutan dapat dilakukan oleh pengangkut sendiri atau badan hukum lain atas perintahnya. Jadi pengangkut adalah setiap orang atau badan hukum yang menjadi pemilik atau yang mengoperasikan pesawat dan menggunakannya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang atau badan hukum lain untuk mengangkut penumpang.1 1
E. Suherman, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah lain Dalam Bidang Penerbangan (Bandung: Alumni, 1996), hal. 68.
Ahmad Sudiro
Ketentuan yang mengatur kewajiban perusahaan penerbangan sebagai pengangkut kepada penumpang, terdapat dalam Pasal 141 Undang-undang No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang menyatakan: 1. Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara. 2. Apabila kerugian sbagaimana dimaksud ayat (1) timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakaannya, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam undangundang ini untuk membatasi tanggung jawabnya. 3. Ahli waris atau korban sebagai akibat kejadian angkutan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti kerugian tambahan, selain ganti kerugian yang telah ditetapkan. Selain itu kewajiban perusahaan penerbangan sebagai pengangkut diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Perhubungan (PerMenHub) RI No.77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, yang menyatakan bahwa: Pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap: a. penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka; b. hilang atau rusaknya bagasi kabin; c. hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat; d. hilang, musnah, atau rusaknya kargo; e. keterlambatan angkutan udara; dan f. kerugian yang diderita oleh pihak ketiga. Sedangkan Pasal 3 Peraturan Menteri Perhubungan tersebut mengatur mengenai jumlah ganti kerugian terhadap pihak yang menderita kerugian, yang merupakan tindak lanjut dari Pasal 165 ayat (1) Undang-undang 13
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 12 - 24
No.1 Tahun 2009. Berdasarkan Pasal 140 ayat (1) Undangundang No.1 Tahun 2009 menyatakan bahwa “Badan usaha angkutan udara niaga, wajib mengangkut orang dan/atau kargo, dan pos setelah disepakati perjanjian pengangkutan”. Perusahaan penerbangan Indonesia sebagai angkutan udara niaga telah melaksanakan kewajiban tersebut, dan sebagai bukti adanya kesepakatan perjanjian pengangkutan adalah tiket pesawat dan/atau dokumen muatan, yang diberikan setelah membayar biaya angkutan. Hal ini sesuai dengan Pasal 140 ayat (3) Undang-undang No. 1 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa “Perjanjian pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan tiket dan dokumen muatan”. Dengan demikian tiket pesawat dan/atau dokumen muatan merupakan tanda bukti telah disepakati perjanjian pengangkutan dan pembayaran biaya angkutan. Oleh karena itu seorang yang telah memiliki tiket pesawat, menunjukan bahwa orang tersebut telah membayar biaya pengangkutan dan berhak untuk naik pesawat sebagai penumpang, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam tiket, dan merupakan tanda bukti telah disetujuinya perjanjian pengangkutan antara penumpang dan perusahaan penerbangan. Jadi penumpang sebagai konsumen adalah salah satu pihak dalam perjanjian pengangkutan udara, sedangkan pihak lainnya adalah perusahaan penerbangan sebagai pengangkut. Tiket penumpang merupakan syarat dalam perjanjian pengangkutan udara, tetapi dalam praktek bukan merupakan syarat mutlak. Oleh karena perjanjian pengangkutan udara pada dasarnya bersifat konsensual artinya pembuatan perjanjian pengangkutan udara tidak disyaratkan harus tertulis, karena cukup secara lisan asalkan ada persetujuan kehendak/ konsensus dari para pihak, baik penumpang maupun pengangkut, seperti ditentukan Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan penumpang yang pertama kali harus dibuktikan adalah tiket pesawat, tetapi apabila tiket tidak ada atau salah dibuat atau hilang, maka hal itu tidak membatalkan perjanjian 14
pengangkutan yang telah ada. Jadi tiket pesawat hanya merupakan salah satu tanda bukti tentang adanya perjanjian pengangkutan, karena perjanjian pengangkutan dapat dibuktikan dengan cara pembuktian lain, misalnya daftar nama penumpang pesawat tersebut yang datanya masih tersimpan di perusahaan penerbangan sebagai pengangkut atau dapat diperiksa di kantor-kantor perwakilan pengangkut. Namun adanya sifat konsensual pada perjanjian pengangkutan udara dan tiket penumpang bukan merupakan syarat mutlak bagi seorang penumpang, tidak berarti bahwa tiket penumpang merupakan hal yang tidak perlu ada, karena dalam Pasal 151 ayat (1) Undangundang No.1 Tahun 2009 menyatakan bahwa “Pengangkut wajib menyerahkan tiket kepada penumpang perseorangan atau penumpang kolektif”. Berdasarkan pasal ini, keberadaan tiket bagi setiap penumpang masih tetap sangat diperlukan dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan udara. Menurut Suwardi,2 apabila pengangkut menerima seorang penumpang tanpa disuruh menunjukan tiket, maka pengangkut tersebut tidak berhak membatasi tanggung jawabnya jika terjadi kecelakaan atau kejadian yang dapat menimbulkan kerugian terhadap penumpang. Hal ini sesuai dengan Pasal 151 ayat (4) Undang-undang No.1 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa: “Dalam hal tiket tidak diisi keterangan-keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau tidak diberikan oleh pengangkut, maka pengangkut tidak berhak menggunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya”. Adapun Pasal 151 ayat (2) Undang-undang No.1 Tahun 2009, menyatakan bahwa “tiket penumpang paling sedikit harus memuat: a. nomor, tempat, dan tanggal penerbitan; b. nama penumpang dan nama pengangkut; c. tempat, tanggal, waktu pemberangkatan, dan tujuan pendaratan; d. nomor penerbangan; e. tempat pendaratan yang direncanakan 2
Suwardi, Penentuan Tanggung Jawab Pengangkut yang Terikat Dalam Kerjasama Transportasi Udara, (Jakarta: BPHN, 1999), hal. 40.
Kewajiban Pengangkut Kepada Pihak Yang …
antara tempat pemberangkatan dan tempat tujuan, apabila ada; ada f. pernyataan bahwa pengangkut tunduk pada ketentuan undang-undang ini. Dari Pasal 151 ayat (2) hurup (b) di atas tampak bahwa nama penumpang dan nama perusahaan penerbangan sebagai pengangkut harus dimuat dalam tiket atau tiket penumpang pesawat diterbitkan “atas nama”. Ketentuan ini untuk menjaga ketertiban dan keamanan serta kepastian hukum dalam penyelenggaraan penerbangan, karena sangat berkaitan dengan syarat-syarat khusus perjanjian yang terdapat dalam tiket pesawat, khususnya pada angka 2 yang menyatakan bahwa “tiket penumpang ini hanya dapat digunakan oleh orang yang namanya tertera dan tidak dapat dipergunakan oleh orang lain”. Hal ini sesuai dengan Pasal 151 ayat (3) Undang-undang No.1 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa “yang berhak menggunakan tiket penumpang adalah orang yang namanya tercantum dalam tiket yang dibuktikan dengan dokumen identitas diri yang sah”. Penumpang menyetujui bahwa jika perlu pengangkut dapat memeriksa apakah tiket ini benar digunakan oleh orang yang berhak. Apabila tiket digunakan atau dicoba untuk digunakan oleh orang lain yang namanya tersebut dalam tiket ini, maka pengangkut berhak untuk menolak pengangkutan orang tersebut, serta hak pengangkutan dengan tiket ini oleh orang yang berhak, menjadi batal. Jadi untuk kepentingan ketertiban dan keamanan serta kepastian hukum, maka memang lebih baik jika nama penumpang harus tertulis atau termuat dalam tiket pesawat. Selain itu tiket pesawat tidak perlu dinyatakan sebagai perjanjian pengangkutan udara, tetapi sebaiknya tetap bahwa tiket ini merupakan tanda bukti perjanjian pengangkutan udara yang bersifat konsensual. Perusahaan penerbangan sebagai pengangkut akan memberikan tiket pesawat kepada setiap penumpang setelah melunasi biaya pengangkutan, yang berfungsi sebagai tanda bukti dokumen angkutan udara. Dokumen pengangkutan ini bukan merupakan perjanjian tertulis, tetapi sebagai tanda bukti bahwa terjadinya persetujuan antara kedua belah pihak (pengangkut dan penumpang). Alasan perjanjian
Ahmad Sudiro
pengangkutan tidak dibuat secara tertulis karena hak dan kewajiban para pihak sebenarnya telah ditentukan dalam undang-undang. Namun jika undang-undang tidak menentukan atau tidak mengatur hak dan kewajiban para pihak, atau walaupun diatur tetapi dirasakan kurang sesuai dengan kehendak para pihak, maka para pihak mengikuti kebiasaan yang telah berlaku dalam praktik pengangkutan. Apabila terjadi perselisihan dapat diselesaikan melalui musyawarah atau pengadilan. Dalam praktik, penyelesaian sengketa penyelenggaraan penerbangan di Indonesia jarang yang melalui pengadilan. Para pihak memegang prinsip lebih baik rugi sedikit daripada rugi lebih banyak karena biaya pengadilan, dan membutuhkan proses waktu yang lama serta belum tentu memuaskan semua pihak. Hal di atas menunjukan bahwa peran undang-undang dan kebiasaan dalam pengangkutan sangat penting. Kesepakatan yang berisi kebiasaan dibuat secara lisan atau dirumuskan secara tertulis dalam dokumen pengangkutan, misalnya tiket penumpang atau surat muatan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa perjanjian pengangkutan yang dibuat para pihak hanya menciptakan hubungan kewajiban dan hak sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang dan kebiasaan, serta cenderung tidak membuat ketentuan sendiri. Hal ini sejalan dengan asas konsensual yang mendasari perjanjian pengangkutan. Kebiasaan yang hidup dalam praktek pengangkutan adalah kebiasaan yang berderajat hukum keperdataan, yaitu berupa perilaku atau perbuatan yang memenuhi ciri-ciri sebagai berikut:3 1. tidak tertulis yang hidup dalam praktik pengangkutan; 2. berisi kewajiban bagaimana seharusnya para pihak berbuat; 3. tidak bertentangan dengan undang-undang atau kepatutan; 4. diterima oleh para pihak karena adil dan masuk akal/logis; 5. menuju kepada akibat hukum yang dikehendaki oleh para pihak. 3
Abdulkadir Muhammad, Hukum Transportasi Darat, Laut dan Udara, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 26.
15
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 12 - 24
Sedangkan beberapa kebiasaan yang berlaku dalam pengangkutan, antara lain:4 1. Undang-undang tidak menentukan cara terjadinya perjanjian. Namun kebiasaan menentukan cara penawaran dan penerimaan, sehingga terjadi perjanjian. Cara tersebut dapat terjadi secara langsung antara para pihak atau secara tidak langsung dengan menggunakan jasa perantara, misalnya melalui biro perjalanan. Apabila pembuatan perjanjian pengangkutan dilakukan secara langsung, maka penawaran pihak pengangkut dilakukan dengan mengubungi langsung pihak penumpang atau melalui media cetak/ eletronik. Hal ini berarti pengangkut mencari sendiri muatan atau penumpang. Apabila penawaran pihak pengangkut dilakukan melalui iklan di media cetak/ elektronik, maka pengangkut hanya menunggu permintaan dari penumpang. Pada perusahaan penerbangan, dilakukan dengan cara pengangkut mengumumkan jadwal/ schedule penerbangan, yang meliputi jenis pesawat, jurusan, waktu dan tarif. Apabila dilihat dari pihak penumpang, maka pembuatan perjanjian pengangkutan secara langsung dapat dilakukan dengan cara menghubungi langsung pengangkut, setelah penumpang mendengar atau membaca iklan pengangkut. Namun jika melalui perusahaan travel biro perjalanan sebagai perantara, maka perusahaan travel tersebut yang menyiapkan tiket penumpang sebagai dokumen angkutan. 2. Undang-undang menentukan bahwa setiap penumpang harus memiliki tiket penumpang, tetapi tidak menentukan untuk berapa kali. Namun kebiasaan di perusahaan penerbangan menentukan bahwa tiket pesawat hanya berlaku untuk satu kali perjalanan yang telah ditentukan hari, tanggal dan jam keberangkatan. 3. Undang-undang menganut asas bahwa perubahan keberangkatan harus dengan persetujuan para pihak. Namun kebiasaan menentukan bahwa waktu keberangkatan sewaktu-waktu dapat berubah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Pasal 146 Undang4
Ibid, hal. 30.
16
undang No.1 Tahun 2009 menyatakan bahwa “Apabila penumpang mengalami kerugian akibat keterlambatan yang disebabkan terbukti merupakan kesalahan pengangkut dengan adanya perubahan waktu keberangkatan tersebut, maka pengangkut bertanggung jawab”. 4. Undang-undang tidak menentukan syarat mengenai jumlah ganti kerugian karena pembatalan perjanjian pengangkutan yang dilakukan oleh penumpang. Namun kebiasaan yang dicantumkan dalam tiket pesawat domestik Indonesia menentukan bahwa pembatalan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, maka penumpang dikenakan biaya, dan pembatalan tersebut harus dilaporkan paling lambat 24 jam sebelum jam keberangkatan pesawat. Akibat adanya perjanjian pengangkutan penumpang di perusahaan penerbangan, maka masing-masing pihak (pengangkut dan penumpang) mempunyai hak dan kewajiban yang harus ditaati dan dilaksanakan. Kewajiban pengangkut yaitu untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang dari satu tempat ke tempat lain tujuan tertentu yang telah disepakati dengan selamat. Kewajiban penumpang adalah untuk membayar biaya angkutan sebagai kontra prestasi dari penyelenggaraan penerbangan yang dilakukan oleh pengangkut dan hak untuk menuntut ganti kerugian kepada pengangkut jika isi perjanjian pengangkutan tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dalam penyelenggaraan penerbangan di Indonesia, tanda bukti telah dibayarnya biaya angkutan adalah tiket pesawat, sesuai dengan undang-undang penerbangan yang menyatakan bahwa tiket penumpang mempunyai beberapa fungsi, yaitu: 1. sebagai tanda bukti telah melakukan pembayaran atau melunasi biaya angkutan; 2. sebagai tanda bukti telah disepakati / terjadinya perjanjian pengangkutan; 3. sebagai salah satu tanda bukti dalam mengajukan tuntutan atau klaim ganti kerugian, jika terjadi kecelakaan atau peristiwa lain yang menimbulkan kerugian terhadap penumpang.
Kewajiban Pengangkut Kepada Pihak Yang …
Fungsi tiket penumpang di atas sangat berkaitan dengan Pasal 141 Undang-undang No.1 Tahun 2009 yang mengatur tanggung jawab pengangkut. Di perusahaan penerbangan Indonesia dalam melaksanakan pemberian jumlah ganti kerugian yang berkaitan dengan tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang berpedoman kepada Pasal 3 Peraturan Menteri Perhubungan RI No.77 Tahun 2011 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 37//PMK-010/2008 tentang Besar Santunan dan Iuran Wajib Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Penumpang Umum di Darat, Sungai/ Danau, Ferry/ Penyeberangan, Laut dan Udara. Pada dasarnya jika terjadi kecelakaan pesawat terbang, maka ada 2 (dua) kemungkinan yang akan timbul terhadap penumpang, yaitu: 1. Penumpang tetap hidup dan/atau mengalami luka-luka/cacat, atau 2. Penumpang meninggal dunia. Dengan melihat 2 (dua) kemungkinan tersebut, akan ditentukan pihak-pihak yang berhak untuk menuntut ganti kerugian kepada pihak pengangkut, yaitu: 1. Penumpang akibat kecelakaan pengangkutan udara yang masih hidup tetapi mengalami luka-luka/cacat pada anggota badannya, maka pihak yang berhak mendapat ganti kerugian adalah penumpangnya. Dengan demikian pihak pengangkut bertanggung jawab atas kerugian akibat dari lukaluka/cacat yang diderita oleh penumpang yang disebabkan kecelakaan pengangkutan udara. Jumlah batas ganti kerugian yang diberikan pengangkut udara kepada penumpang tersebut, berpedoman pada Pasal 3 hurup (c) Peraturan Menteri Perhubungan RI No. 77 Tahun 2011 dan Pasal 3 huruf (b) atau (c) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 37//PMK010/2008. Menurut Pasal 3 hurup (b) Peraturan Menteri Perhubungan RI ditentukan sebagai berikut: (c) 1). Penumpang yang dinyatakan cacat tetap total oleh dokter dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak terjadinya kecelakaan diberikan ganti kerugian
Ahmad Su diro
sebesar Rp. 1.250.000.000,2). Penumpang yang dinyatakan cacat tetap sebagian oleh dokter dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak terjadinya kecelakaan diberikan ganti kerugian sebagaimana termuat dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.5 Sedangkan Pasal 3 huruf (b) atau (c) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 37//PMK-010/2008, menentukan sebagai berikut: (c) 1). Penumpang yang dinyatakan cacat tetap total oleh dokter dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak terjadinya kecelakaan diberikan ganti kerugian sebesar Rp. 1.250.000.000,2). Penumpang yang dinyatakan cacat tetap sebagian oleh dokter dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak terjadinya kecelakaan diberikan ganti kerugian sebagaimana termuat dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.5 Sedangkan Pasal 3 huruf (b) atau (c) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 37//PMK-010/2008, menentukan sebagai berikut: (b) Dalam hal korban mendapat cacat tetap, menurut prosentase tingkatan cacat tetap sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1965. (c) Biaya perawatan dan pengobatan dokter, maksimal Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah). 2. Penumpang akibat kecelakaan pengangkutan udara yang meninggal dunia, maka pihak yang berhak untuk mendapatkan ganti kerugian adalah ahli waris korban yang menjadi tanggungan penumpang yang meninggal dunia. Pihak yang berhak sebagai 5
Berdasarkan Lampiran Peraturan Menteri Perhubungan RI No.77 Tahun 2011, besaran ganti kerugian cacat tetap sebagian berbeda-beda, karena tergantung anggota badan mana dari penumpang yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan pesawat tersebut.
17
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 12 - 24
ahli waris korban, yaitu suami atau istri dari penumpang yang meninggal dunia, anakanak korban atau orang tua yang menjadi tanggungan korban. Selain itu jumlah ganti kerugian yang diberikan perusahaan penerbangan sebagai pengangkut kepada penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pengangkutan udara, berpedoman pada Pasal 3 hurup (a) Peraturan Menteri Perhubungan RI No. 77 Tahun 2011 dan Pasal 3 huruf (a) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 37//PMK010/2008. Menurut Pasal 3 hurup (a) Peraturan Menteri Perhubungan RI ditentukan, bahwa: “penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat udara karena akibat kecelakaan pesawat udara atau kejadian yang semata-mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara diberikan ganti kerugian sebesar Rp. 1.250.000.000,- (satu milyar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang. Sedangkan Pasal 3 huruf (a) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 37//PMK-010/2008 menentukan bahwa: “Penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara dalam penyelenggaraan penerbangan nasional menerima santunan/ ganti rugi sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) untuk setiap penumpang”. Pembayaran jumlah ganti kerugian dari pengangkut tersebut akan diberikan sama untuk setiap penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pengangkutan udara.6 Namun untuk menghindari penuntutan ganti kerugian dari pihak yang sebenarnya tidak berhak, maka perusahaan penerbangan membuat suatu kriteria dan persyaratan bagi pihak yang akan menuntut ganti kerugian, sebagai berikut:7 1. Bagi penumpang yang masih hidup dan mengalami luka-luka/ cacat pada tubuhnya akibat kecelakaan pengangkutan udara, di6
Hal ini menunjukan bahwa perusahaan penerbangan sebagai pengangkut menerapkan sistem tanggung jawab ”Flat rate”, sesuai dengan Pasal 146 ayat (1) Peraturan Menteri Perhubungan RI No.77 Tahun 2011. 7 H.K. Martono dan Ahmad Sudiro, Hukum Angkutan Udara Berdasarkan Undang-undang RI No.1 Tahun 2009 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 312.
18
perlukan pemeriksaan dan keterangan dokter yang ditunjuk perusahaan penerbangan yang menentukan bahwa benar luka-luka/ cacat pada tubuh atau anggota badan penumpang tersebut ada setelah terjadi kecelakaan pengangkutan udara. Selain itu diperlukan surat keterangan kesehatan bagi penumpang yang sakit sebelum naik ke pesawat terbang. 2. Bagi penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pengangkutan udara, maka orang yang menjadi tanggungannya harus membuktikan bahwa benar sebagai ahli waris korban yang sah dan menjadi tanggungan penumpang tersebut, yang ditetapkan oleh pengadilan negeri dengan memperlihatkan fatwa waris. Dari ketentuan limitatif ini, maka tidak ada orang lain yang dapat menuntut ganti kerugian, kecuali golongan ahli waris yang telah ditetapkan pengadilan negeri tersebut atau keluarga yang mempunyai hubungan yang paling dekat dengan korban, yaitu: a. Suami atau isteri dari penumpang yang meninggal dunia tersebut, dengan bukti memperlihatkan akta perkawinan (surat nikah) dan kartu keluarga. b. Anak atau orang tua dari penumpang yang meninggal dunia tersebut dengan bukti memperlihatkan akte kelahiran dan kartu keluarga. Dari ketentuan di atas, khusus untuk orang tua dari penumpang yang meninggal dunia, ada ketentuan tambahan bahwa orang tua yang mempunyai penghasilan sendiri tidak dapat menuntut ganti kerugian. Sedangkan bagi suami atau isteri atau anak dari penumpang yang meninggal dunia masih tetap dapat menuntut ganti kerugian, meskipun mereka mempunyai penghasilan sendiri. Berdasarkan Pasal 141 ayat (1) Undangundang No. 1 Tahun 2009 dan Pasal 2 Peraturan Menteri Perhubungan RI No.77 Tahun 2011, maka perusahaan penerbangan sebagai pengangkut wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita penumpang. Kewajiban pengangkut ini jika dikaitkan dengan isi dan tujuan perjanjian pengangkutan sangat sesuai, karena pengangkut wajib menjaga keselamatan sejak saat penumpang naik ke dalam pesawat
Kewajiban Pengangkut Kepada Pihak Yang …
sampai turun ke luar dari pesawat selama dalam pengangkutan udara. Dengan demikian suatu hal yang wajar, jika pada pengangkut dimintakan tanggung jawab atas kerugian yang di derita penumpang akibat pelaksanaan isi dan tujuan perjanjian pengangkutan. Ketentuan pasal tersebut mempunyai tujuan agar pengangkut menyadari ada risiko tanggung jawab atau kewajiban yang harus dipikulnya sebagai pelaksanaan perjanjian pengangkutan. Prinsip tanggung jawab yang digunakan pada ketentuan ini merupakan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), karena dalam penjelasan Pasal 141 ayat (1) Undangundang No.1 Tahun 2009 dan Pasal 2 Peraturan Menteri Perhubungan RI No.77 Tahun 2011 di atas tidak menerangkan tentang adanya unsur beban pembuktian ataupun unsur kesalahan. Selain itu Pasal 3 Peraturan Menteri Perhubungan RI No.77 Tahun 2011, yang merupakan ketentuan untuk menindaklanjuti Pasal 141 ayat (1) dan Pasal 165 ayat (1) Undangundang No.1 Tahun 2009, mengatur jumlah ganti kerugian dengan prinsip pembatasan tanggung jawab pengangkut. Namun prinsip ini mempunyai dua variasi yaitu mungkin dilampaui dan tidak mungkin dilampaui. Pasal 3 Permenhub RI No.77 Tahun 2011menerapkan pembatasan jumlah ganti kerugian akibat kecelakaan pengangkutan udara yang tidak dapat dilampaui, dengan kalimat “ ........, diberikan ganti kerugian sebesar Rp. 1.250.000.000,(satu milyar dua ratus lima puluh juta rupiah)”. Mengenai kewajiban pengangkut kepada penumpang akibat kelambatan diatur pada Pasal 146 Undang-undang No.1 Tahun 2009 dan Pasal 2 hutup (e) Permenhub RI No.77 Tahun 2011, sedangkan mengenai jumlah ganti kerugian/batas tanggung jawab pengangkut akibat kelambatan pengangkutan udara terdapat pada Pasal 10 Permenhub RI No.77 Tahun 2011. Pasal 146 Undang-undang No.1 Tahun 2009 menerapkan prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga bahwa pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab (presumption of liability), sebab harus ada unsur kesalahan yang memerlukan beban pembuktian. Hal ini sesuai dengan Pasal 146 Undang-undang No.1 Tahun 2009 yang menyatakan: “Pengangkut bertang-
Ahmad Sudiro
gung jawab atas kerugian yang di derita akibat keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional”. Dengan demikian pengangkut tetap bertanggung jawab terhadap penumpang yang menderita kerugian akibat kelambatan pengangkutan udara. Sistem tanggung jawab yang diterapkan akibat kelambatan tersebut yaitu prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga bahwa pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab (presumption of liability) dikombinasikan dengan prinsip pembatasan tanggung jawab (limitation of liability), yang kemudian digabungkan dengan prinsip tanggung jawab “flat rate”.8 Hal ini didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut: 1. Kerugian akibat kelambatan pada umumnya lebih kecil dibandingkan dengan akibat penumpang meninggal dunia atau luka-luka/cacat; 2. Kelambatan merupakan pelanggaran kewajiban yang timbul dari perjanjian pada derajat kedua, artinya kewajiban tersebut masih dilaksanakan/dipenuhi tetapi tidak sebagaimana mestinya; 3. Dalam pengangkutan udara, kerugian akibat kelambatan lebih sering terjadi dibandingkan dengan kerugian akibat kecelakaan pesawat terbang, sehingga akan lebih memberatkan pengangkut apabila sistem tanggung jawab “strict liability” dikombinasikan dengan “limitation of liability” yang diterapkan. Dengan berlakunya sistem tanggung jawab di atas, maka pengangkut dibebaskan dari tanggung jawabnya jika dapat membuktikan bahwa pihaknya telah mengambil semua tindakan yang wajar untuk menghindarkan terjainya kelambatan, atau bahwa hal itu tidak mungkin dapat dilakukannya. Dengan demikian jika keterlambatan tersebut bukan disebabkan kesalahan pengangkut, maka dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya. Mengenai jumlah ganti kerugian/ batas tanggung jawab 8
Hal ini sesuai dengan jiwa Pasal 146 Undang-undang No.1 Tahun 2009 dan Pasal 10 Peraturan Menteri Perhubungan RI No.77 Tahun 2011.
19
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 12 - 24
pengangkut terhadap penumpang akibat kelambatan pengangkutan udara diatur pada Pasal 10 Peraturan Menteri Perhubungan RI No. 77 Tahun 2011, dengan menerapkan prinsip pembatasan tanggung jawab (limitation of liability). 2. Pengajuan Klaim Ganti Kerugian Dalam penyelenggaraan penerbangan di Indonesia, jika penumpang menderita kerugian akibat kecelakaan atau peristiwa lain yang menimbulkan kerugian, maka dapat menuntut kewajiban pengangkut sebagai bentuk tanggung jawabnya. Bagi penumpang atau ahli waris korban kecelakaan pesawat berhak untuk menuntut ganti kerugian kepada perusahaan penerbangan sebagai pengangkut dengan cara mengajukan klaim ganti kerugian. Di perusahaan penerbangan nasional biasanya terdapat bagian “Klaim dari Asuransi”, yang bertugas untuk menerima tuntutan pihak penumpang/ korban atau ahli warisnya, dan menyelesaikan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk menyelesaikan klaim, misalnya laporan mengenai kerusakan, kehilangan, resi penerimaan bagasi/ surat muatan udara, atau surat tuntutan ganti kerugian dari penumpang/korban yang menderita kerugian, dan sebagainya. Surat tuntutan/ pengajuan klaim ganti kerugian tersebut sangat diperlukan, karena menurut ketentuan dan syarat-syarat pengangkutan di Indonesia, klaim ganti kerugian harus diajukan secara tertulis. Berkas tuntutan disampaikan kepada komisi klaim setelah dokumen-dokumen yang diperlukan lengkap, dan kemudian memutuskan apakah klaim akan dikabulkan atau ditolak, serta berapa jumlah ganti kerugian yang akan dibayarkan. Dalam mengambil keputusan ini komisi klaim memeriksa apakah syarat-syaratnya sudah dipenuhi untuk mengabulkan atau menolak klaim, berdasarkan ketentuan Undang-undang No.1 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Perhubungan RI No.77 Tahun 2011, serta syarat-syarat yang ditentukan oleh perusahaan penerbangan sebagai pengangkut, sebagai berikut: a. Surat bukti pembayaran pengangkutan yaitu tiket pesawat yang membuktikan bahwa telah terjadi hubungan hukum antara pengangkut dengan penumpang; 20
b. Surat keterangan dokter yang menyatakan bahwa benar penumpang yang mengalami kerugian akibat kecelakaan pengangkutan udara sedang dalam perawatan dokter, disertai kuitansi obat atau resep dokter; c. Kartu Tanda Penduduk (KTP) penumpang/korban atau ahli warisnya yang sah dan masih berlaku; d. Akta perkawinan (surat nikah) dari suami atau isteri penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pengangkutan udara; e. Akte kelahiran dari anak-anak penumpang/korban sebagai ahli waris; f. Kartu Keluarga dari penumpang/korban; g. Jangka waktu pengajuan klaim 2 tahun.9 Komisi klaim ini mempunyai anggota yang terdiri dari wakil-wakil bagian dalam perusahaan penerbangan tersebut, terutama yang berkaitan dengan persoalan klaim dalam bidang masing-masing. Beberapa wakil bagian di perusahaan penerbangan yang termasuk dalam komisi klaim, misalnya Biro Hukum (Legal Department) yang bertugas menyelidiki segi-segi yuridis dari klaim ganti kerugian dan menjadi ketua komisi. Selain itu bagian penting lainnya yaitu bagian klaim yang bertugas mengumpulkan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan klaim ganti kerugian, dan meneliti persoalan-persoalan dalam bidang teknis operasional serta menjadi sekretaris komisi yang mengurus korespondensi dan suratsurat klaim ganti kerugian, kemudian bagian penjualan, yang turut menentukan kebijaksanaan putusan komisi klaim dilihat dari sudut hubungan antara perusahaan dengan penumpang sebagai konsumen, dan bagian asuransi yang akan menyelesaikan taraf terakhir dari penyelesaian klaim ganti kerugian dengan meminta pembayaran uang pertanggungan (asuransi tanggung jawab) kepada perusahaan asuransi, yaitu Konsorium Asuransi Penerbangan Indonesia (Indonesian Aviation Insurace Consortium). Keputusan komisi klaim disampaikan 9
H.K. Martono dan Ahmad Sudiro, Hukum Angkutan Udara …, op.cit, hal.313.
Kewajiban Pengangkut Kepada Pihak Yang …
kepada pihak yang menuntut jika ganti kerugian dapat dibayarkan kepadanya, setelah menandatangani sebuah pernyatan yang dinamakan “Final Release”, dalam mana dinyatakan bahwa pihak yang mengajukan klaim ganti kerugian tidak akan mengajukan tuntutan-tuntutan lagi terhadap pengangkut dan membebaskan pengangkut tersebut dari tanggung jawab apapun. Apabila keputusan komisi klaim tidak memuaskan pihak yang mengajukan klaim ganti kerugian atau keputusan komisi klaim menolak tuntutan pengajuan klaim ganti kerugian, maka tuntutan atau klaim ganti kerugian tersebut dapat diajukan gugatan ke pengadilan negeri dengan memohon putusan hakim yang seadil-adilnya. Berkenaan dengan ketidakpuasan pihak yang mengajukan klaim ganti kerugian, maka tuntutan gugatan ganti kerugian dapat diajukan pada:10 a. Pengadilan negeri di wilayah kantor pusat perusahaan penerbangan berada, atau; b. Pengadilan negeri di wilayah tiket dibeli, atau; c. Pengadilan negeri di wilayah tempat tujuan perjalanan, atau; d. Pengadilan negeri di wilayah perwakilan perusahaan penerbangan berada. Adapun proses pengajuan gugatan ganti kerugian penumpang kepada perusahaan penerbangan sebagai pengangkut melalui Pengadilan Negeri, sebagai berikut:11 1. Penumpang atau ahli waris korban atau kuasa hukumnya harus membuat permohonan gugatan yang ditujukan kepada ketua Pengadilan Negeri. Syarat-syarat permohonan gugatan tersebut, yaitu : a. Gugatan harus ditulis dan ditandatangani penggugat atau kuasa hukumnya, artinya surat gugatan ganti kerugian tersebut harus ditulis dan ditandatangani oleh penumpang yang bersangkutan atau ahli waris korban atau kuasa hukumnya sebagai pihak penggugat. b. Gugatan harus berisi penjelasan hubungan hukum antara penumpang dengan 10
Ibid, hal.315. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, & Putusan Pengadilan (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal. 99.
11
Ahmad Sudiro
pengangkut sebagai tergugat, artinya dalam surat gugatan harus dijelaskan bahwa antara penggugat dan tergugat ada hubungan hukum yaitu terikat dalam perjanjian pengangkutan udara, dan sebagai tanda buktinya adalah penggugat memperlihatkan tiket pesawat yang dibelinya. c. Gugatan harus menjelaskan alasan diajukannya gugatan, artinya dalam surat gugatan ganti kerugian dijelaskan secara terperinci alasan-alasan penggugat mengajukan gugatan tersebut. Selain itu dalam gugatan harus disertai dengan bukti-bukti yang diperlukan, misalnya surat keterangan dokter dan biaya-biaya pengobatan, atau bukti-bukti lainnya seperti surat keterangan ahli waris/ fatwa waris dari pengadilan negeri, jika penumpang meninggal dunia akibat kecelakaan pengangkutan udara. d. Gugatan harus menjelaskan apa yang dimohon penggugat supaya diputuskan dan diperintahkan oleh hakim, artinya surat gugatan ganti kerugian harus menyebutkan apa yang menjadi permohonan penggugat agar hakim dapat memutuskan dan memerintahkan kepada tergugat untuk membayar ganti kerugian tersebut, misalnya penggugat menegaskan berapa besar jumlah ganti kerugian yang diminta agar dibayar oleh pihak tergugat, atau bagaimana cara pembayaran ganti kerugian yang diinginkan penggugat. 2. Surat gugatan harus ditujukan kepada ketua pengadilan negeri. Pada waktu memasukkan gugatan, maka penggugat harus membayar biaya perkara gugatan melalui panitera pengadilan negeri, yang menurut hakim akan diperlukan sebagai biaya-biaya pemeriksaan perkara perdata berdasarkan Undang-undang, misalnya biaya memanggil para pihak atau saksi, biaya materaimaterai, dan lain-lainnya. 3. Surat gugatan oleh panitera pengadilan negeri dimasukan dalam daftar urutan perkara, yang khusus dibuat pada kepaniteraan untuk perkara-perkara perdata. Oleh karena gugatan yang timbul dari perjanjian pe21
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 12 - 24
gangkutan udara termasuk dalam perkara perdata. 4. Hakim yang mengadili gugatan tersebut menentukan hari dan tanggal pemeriksaan perkara. Pada hari dan tanggal yang telah ditentukan maka para pihak yaitu penggugat dan tergugat dipanggil untuk menghadap ke persidangan gugatan ganti kerugian tersebut. Dalam perkara gugatan ini, para pihak harus dapat menunjukan bukti-bukti yang jelas, sehingga hakim yang mengadili dapat memutuskan perkara berdasarkan bukti-bukti yang diberikan tersebut, misalnya alat-alat bukti seperti yang ditentukan dalam Pasal 164 RBG, yaitu pembuktian dengan surat-surat, pembuktian dengan saksi-saksi, persangkaan, pengakuan dari satu pihak, sumpah. Namun demikian alat bukti yang sering digunakan dalam perkara gugatan ganti kerugian adalah pembuktian dengan surat-surat. Alat-alat bukti surat yang diperlukan dalam pengajuan gugatan ganti kerugian tersebut, sebagai berikut:12 a. Surat bukti pembayaran pengangkutan yaitu tiket penumpang yang membuktikan bahwa telah ada hubungan hukum antara penggugat dan tergugat; b. Surat keterangan dokter (jika dokter berhalangan hadir dalam sidang), yang menerangkan bahwa benar penggugat sedang dalam perawatan atau pengobatan akibat kecelakaan pengangkutan udara; c. Surat kuitansi obat-obatan atau resep dokter atau bukti pembayaran operasi (jika ada); d. Akta perkawinan (surat nikah); e. Akte kelahiran; f. Kartu keluarga. Bagi penumpang yang masih hidup tetapi menderita luka-luka atau cacat tubuh akibat kecelakaan pengangkutan udara dan sedang dalam pengobatan (perawatan) dokter, kemudian mengajukan gugatan atau tuntutan ganti kerugian, maka harus memperlihatkan alat bukti surat huruf a, b, dan c. Bagi penumpang yang meninggal dunia 12
Ibid, hal.101.
22
akibat kecelakaan pengangkutan udara, maka ahli waris atau kuasa hukumnya dapat mengajukan gugatan atau tuntutan ganti kerugian dengan ketentuan: a. Apabila suami atau isterinya, maka harus memperlihatkan alat bukti surat huruf a, d, dan f; b. Apabila anak-anaknya, maka harus memperlihatkan alat bukti surat huruf a, e, dan f; c. Apabila orang tuanya, maka harus memperlihatkan alat bukti surat huruf a dan f. Berdasarkan alat-alat bukti tersebut, majelis hakim akan membuat putusan, dan ada 3 (tiga) kemungkinan putusan yaitu: a. hakim mengabulkan permohonan penggugat dengan memutuskan atau memerintahkan tergugat membayar ganti kerugian sesuai dengan yang dituntut oleh penggugat; b. Hakim tidak mengabulkan permohonan penggugat, melainkan membenarkan jumlah ganti keruian yang telah ditetapkan oleh tergugat sebelumnya, dan memutuskan agar pengguagat menerima jumlah ganti kerugian tersebut; c. Hakim menetapkan jumlah ganti kerugian yang baru sesuai dengan penilaian atau pendapatnya. Di perusahaan penerbangan Indonesia jangka waktu untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian atau gugatan adalah 2 (dua) tahun. Jangka waktu tersebut berlaku baik pada tuntutan yang diajukan kepada pengangkut maupun gugatan yang diajukan kepada pengadilan negeri. Perhitungan jangka waktu dua tahun itu dihitung sejak/mulai saat datangnya penumpang di tempat tujuan atau mulai hari pesawat terbang tersebut seharusnya tiba (datang), atau mulai pengangkutan udara itu diputuskan. Dalam jangka waktu dua tahun semua pihak yang merasa dirugikan atau tidak puas dengan jumlah ganti kerugian yang ditetapkan oleh pengangkut dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian atau gugatan. Apabila lebih dari jangka waktu tersebut atau setelah jangka waktu dua tahun berakhir, maka segala hak dari pihak yang merasa dirugikan atau pihak yang merasa tidak puas dengan jumlah ganti kerugian yang
Kewajiban Pengangkut Kepada Pihak Yang …
diberikan oleh pengangkut untuk menuntut ganti kerugian menjadi hilang/berakhir. Dalam menentukan jumlah ganti kerugian, terhadap penumpang yang mengalami kerugian akibat kecelakaan pengangkutan udara, maka perusahaan penerbangan di Indonesia menerapkan prinsip tanggung jawab “flat rate” dengan berpedoman kepada Pasal 3 Peraturan Menteri Perhubuingan RI No.77 Tahun 2011 dan Pasal 3 huruf (a) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 37//PMK-010/ 2008. Di perusahaan penerbangan Indonesia jumlah ganti kerugian dapat diberikan dengan berbagai cara, yaitu sebagai berikut: 1. Pembayaran ganti kerugian secara tunai sesuai jumlah yang telah disepakati bersama; 2. Pembayaran ganti kerugian secara berkala dengan kesepakatan bersama, dengan jangka waktu yang telah ditetapkan; 3. Pembayaran ganti kerugian berdasarkan perhitungan biaya-biaya yang diperlukan dalam masa pengobatan secara berkala (khusus bagi penumpang yang masih hidup dan menderita lukaluka atau cacat tubuh dan sedang dalam perawatan dokter). Mengenai penumpang yang masih hidup akan tetapi mengalami luka-luka atau cacat pada tubuhnya, maka pembayaran ganti kerugian berdasarkan perhitungan biaya-biaya sebagai berikut: 1. Perwatan dan pengobatan dokter; 2. Pembedahan/ operasi plastik; 3. Biaya-biaya lain yang berkaitan dengan perawatan dan pengobatan penumpang tersebut. Bagi penumpang yang menjalani “pembedahan /operasi plastik” maka harus berdasarkan pertimbangan dokter yang menangani, karena apakah hal itu sangat perlu/harus dilakukan atau masih ada cara perawatan dan pengobatan lain yang lebih memungkinkan bagi penumpang tersebut. Dalam praktik di Indonesia, penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pengangkutan udara, pada umumnya ahli waris korban tidak keberatan/menerima jumlah ganti kerugian yang diberikan pengangkut dengan
Ahmad Sudiro
mengacu pada undang-undang penerbangan dan peraturan menteri perhubungan. Hal ini terbukti dari langka atau sedikitnya kasus/perkara gugatan ganti kerugian yang sampai ke pengadilan, karena beberapa pertimbangan, yaitu antara lain:13 1. Pihak korban atau ahli warisnya tidak ingin mengalami kerepotan dengan mengajukan gugatan ganti kerugian melalui pengadilan, karena dalam proses pengadilan seringkali memakan waktu yang lama dan biaya yang besar. Selain itu belum tentu gugatan mereka diterima dan dimenangkan, sehingga lebih memilih untuk menerima jumlah ganti kerugian yang diberikan pengangkut. 2. Para korban atau ahli warisnya tidak mengetahui bahwa ketentuan yang memberikan hak atas ganti kerugian yang lebih besar dari yang ditawarkan oleh perusahaan penerbangan. Faktor ini tidak mengherankan karena mereka tidak mengerti ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan penyelenggaraan penerbangan. D. Penutup Perusahaan penerbangan sebagai pengangkut merupakan pihak yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang dialami penumpang sebagai konsumen akibat kecelakaan pesawat atau peristiwa lain dalam penyelenggaraan penerbangan, sejak saat penumpang naik ke dalam pesawat sampai turun keluar dari pesawat di tempat tujuan yang disepakati. Penumpang yang menderita kerugian akibat peristiwa tersebut berhak untuk memperoleh ganti kerugian berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 2009, dengan jumlah ganti kerugian seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan RI No.77 Tahun 2011 dan Peraturan Menteri Keuangan RI No.37/PMK010/2008. Berdasarkan ketentuan di atas, perusahaan penerbangan sebagai pengangkut dibebani kewajiban membayar ganti kerugian kepada pihak yang menderita kerugian dalam peng13
Ahmad Sudiro, Ganti Kerugian Dalam Kecelakaan Pesawat Udara: Studi Perbandingan Amerika Serikat Indonesia, (Jakarta: PSHE-UI, 2011), hal. 211.
23
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 12 - 24
angkutan udara, dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) terhadap penumpang pesawat yang meninggal dunia atau cacat/ luka-luka, dan penerapan prinsip praduga bertanggung jawab (presumption of liability) terhadap keterlambatan. Masingmasing prinsip tanggung jawab itu dikombinasikan dengan prinsip pembatasan tanggung ja-
wab (limitation of liability) dan prinsip tanggung jawab flat rate. Pihak yang menderita kerugian tersebut harus mengajukan klaim ganti kerugian kepada komisi klaim dan asuransi di perusahaan penerbangan sebagai pengangkut yang bertanggung jawab atas kerugian penumpang pesawat.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrasyid Priyatna, Masa Depan Penerbangan Komersial di Indonesia (Bandung: Binacipta, 1987). Harahap Yahya, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, & Putusan Pengadilan (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) Martono H. K., Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa (Bandung: Alumni, 1997). ______, dan Ahmad Sudiro, Hukum Angkutan Udara Berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 2009 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010). ______, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012). ______, Aspek Hukum Tranportasi Udara Jamaah Haji Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013). Muhammad, Abdulkadir, Hukum Pengangkutan Darat, Laut dan Udara (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999). Saefullah Wiradipradja E., Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Udara Internasional dan Nasional (Jogjakarta: Liberty, 1999). Shawcross C.N. and K.M. Beamont, Air Law, 3rd Edition, (London: Butterworth, 1987). Sudiro, Ahmad, Ganti Kerugian Dalam Kecelakaan Pesawat Udara: Studi Perbandingan Amerika Serikat - Indonesia (Jakarta: PSHE-UI, 2011). ______, “Nilai Keadilan pada Hubungan Pelaku Usaha dan Konsumen Dalam Hukum Transportasi Udara Niaga”, dalam Hukum dan Keadilan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013). Suherman E., Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Udara Indonesia (Bandung: Eresco, 1982). ______, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan (Bandung: Alumni, 1996). ______, Analisa dan Evaluasi Hukum Tertulis Tentang Ketentuan-Ketentuan Hukum yang Berkenaan dengan Penentuan Jumlah Ganti Rugi Dalam Bidang Pengangkutan Udara (Jakarta: BPHN, 1992). Suwardi, Penentuan Tanggung Jawab Pengangkut yang Terikat Dalam Kerjasama Pengangkutan Udara Internasional (Jakarta: BPHN, 1999).
24
PENYELESAIAN PERSELISIHAN KETENAGAKERJAAN YANG DILAKUKAN MELALUI MEDIASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Oleh : Pristika Handayani, SH., MH*)
Abstrak Perselisihan perburuhan terjadi antara pekerja dengan pengusaha secara individu atau antara serikat pekerja dengan individu pengusaha atau antara serikat pekerja dengan persatuan pengusaha atau antara pekerja individu dengan persatuan pengusaha, sering terjadi yang disebabkan antara lain karena ketidaksepahaman antara pihak tersebut. Undang-undang nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial memberikan legitimasi kepada para pihak yang berselisih bebas memilih cara untuk menyelesaikan perselisihan yang dihadapi, yang salah satunya sebagaimana disebutkan dalam undang-undang tersebut yakni dengan cara mediasi. Mediasi merupakan penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pihak, dan perselisihan antar serikat pekerja dalam suatu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Dengan mediasi tersebut maka diharapkan para pihak mampu menyelesaikan konsep perselisihan dengan cara penyelesaian perselisian hubungan industrial secara adil. Kata kunci : Penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan yang dilakukan melalui mediasi Abstract Labor disputes occur between employees with individual operators or between unions and individual employers or the unions or employers associations between individual employees and employers associations, which often occurs due to, among others, because ketidaksepahaman between the parties. Law number 2 of 2004 About Industrial Relations Dispute Settlement gives legitimacy to the party who disagree are free to choose how to resolve conflicts encountered, one of which, as mentioned in the law that is by way of mediation. Mediation is a dispute resolution rights, conflict of interest, the conflict, and the conflict between the union in an enterprise through a consensus brokered by one or more of a neutral mediator. By then it is hoped that the mediation is able to resolve the dispute by means of the concept of industrial relations perselisian solution fairly. Keywords: Settlement of labor disputes through mediation conducted A. Pendahuluan Pertentangan, perselisihan dan perdebatan argumentatif merupakan salah satu upaya yang dilakukan manusia untuk mempertahankan pendirian dan pengakuan dalam proses pencapaian suatu kepentingan. Perselisihan terjadi karena ada beberapa kepentingan yang saling berbenturan. perilaku yang kontra produktif semakin menimbulkan kecenderungan terhadap masing-masing individu yang sedang bertikai untuk tetap bertahan dan berusaha sa-
ling menguasai dengan segala upaya yang ada, baik secara fisik (kekerasan), kekuasaan, konfrontasi, diplomasi, negosiasi maupun dengan menggunakan prosedur hukum formal yang telah disediakan oleh Negara melalui forum litigasi.1 1
D.Y. WITANTO, Hukum Acara Mediasi Dalam Perkara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum Dan Peradilan Agama Menurut PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, Alfabeta: Bandung, 2011, hal. 2
*)
Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan (UNRIKA) Batam.
25
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 25 - 29
Perselisihan perburuhan terjadi antara pekerja dengan pengusaha secara individu atau antara serikat pekerja dengan individu pengusaha atau antara serikat pekerja dengan persatuan pengusaha atau antara pekerja individu dengan persatuan pengusaha.2 Perselisihan antar serikat pekerja adalah perselisihan antar serikat pekerja dengan serikat pekerja lain dalam satu perusahaan, karena tidak adanya kesesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikat pekerjaan.3 Masalah yang timbul di dalam dunia kerja nantinya akan mempengaruhi kinerja si pekerja itu sendiri. Perselisihan yang timbul antara pekerja dengan pengusaha sebaiknya dilakukan secara mediasi terlebih dahulu. Dengan cara mediasi maka banyak keuntungan yang didapat oleh para pekerja maupun pengusaha itu sendiri. B. Pengertian Mediasi Mediasi (mediation) adalah proses negosiasi pemecahan masalah, dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) bekerjasama dengan pihak yang bersengketa untuk mencari kesepakatan bersama. Mediator tidak berwenang untuk memutus sengketa, tetapi hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya.4 Mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjukna peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. “Berada di tengah” bermakna, bahwa mediator harus berada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Mediator harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dengan kedudukan atau posisi yang sama, sehingga menimbulkan kepercayaan
(trust) dari para pihak yang bersengketa.5 Mediasi adalah kegiatan menjembatani antara dua pihak yang bersengketa guna menghasilkan kesepakatan (agreement). Kegiatan ini dilakukan oleh mediator sebagai pihak yang ikut membantu mencari berbagai alternatif penyelesaian sengketa. Posisi mediator dalam hal ini adalah mendorong para pihak untuk mencapai kesepakatan yang dapat mengakhiri perselisihan dan persengketaan. Mediator tidak dapat memaksa para pihak untuk menerima tawaran penyelesaian sengketa darinya. Para pihak yang menentukan kesepakatan-kesepakatan apa yang mereka inginkan. Mediator hanya membantu mencari alternatif dan mendorong mereka secara bersama-sama ikut menyelesaikan sengketa.6 Mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pihak, dan perselisihan antar serikat pekerja dalam suatu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pihak, dan perselisihan antar serikat pekerja dalam suatu perusahaan. C. Macam-macam penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial 1. Di Luar Pengadilan : a. perundingan bipartit b. mediasi c. konsiliasi d. arbitrase 2. Pengadilan Hubungan Industrial D. Syarat-Syarat Mediator Syarat-syarat sebagai mediator adalah
2
Abdussalam, Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan), Restu Agung: Jakarta, 2009, hal. 129 3 Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 4 Khotibul Umam, Penyelesaian sengketa Di Luar Pengadilan, Pustaka Yustisia: Yogyakarta, 2010, hal. 10
26
5
Susanti Adi Nugroho, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 213. 6 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2009, hal. 6.
Penyelesaian Perselisihan Ketenagakerjaan Yang …
sebagai berikut:7 1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa 2. Warga Negara Indonesia 3. Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter 4. Menguasai Peraturan perundang-Undangan di Bidang Ketenagakerjaan 5. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela 6. Berpendidikan sekurang-kurangnya Strata satu (S-1) dan, 7. Syarat lain yang ditetapkan Menteri. Disini mediator adalah sebagai pegawai negeri sipil atau PNS maka selain syarat-syarat yang ada dalam Pasal ini harus dipertimbangkan pula ketentuan yang mengatur tentang pegawai negeri sipil pada umumnya. E. Mekanisme Kerja Mediator 1. Mediator dalam mengerjakan tugasnya mempunyai waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan, mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan siding mediasi. 2. Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam siding mediasi guna diminta dan didengar keterangannya. 3. Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan dengan keputusan Menteri. 4. Saksi ahli yang dimaksudkan adalah seseorang yang mempunyai keahlian khusus di bidangnya termasuk pegawai pengawas ketenagakerjaan. 5. Barang siapa yang diminta keterangannya oleh mediator guna penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan. 7
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Pristika Handayani
6. Keterangan yang diperlukan oleh mediator terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasian, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 7. Mediator wajib merahasiaan semua keterangan yang diminta. 8. Keterangan yang dimaksud adalah membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat, yaitu antara lain buku tentang upah atau surat perintah lembur dan lain-lain yang dilakukan oleh orang yang ditunjuk mediator. 9. Jabatan-jabatan tertentu menurut peraturan perundang-undangan harus menjaga kerahasiannya, maka permintaan keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli harus mengikuti prosedur yang ditentukan. 10. Dalam hal tercapainyanya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di Wilayah hukum, pihakpihak mengadakan perjanjian bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. F. Apabila Tidak Tercapai Kesepakatan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Mediasi 1. Mediator mengeluarkan anjuran tertulis 2. Anjuran tertulis dalam waktu selambatlambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak. 3. Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atay menolak anjuran tertulis dalam waktu selambatlambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis. 4. Pihak yang tidak memberikan pendapatnya dianggap menolak anjuran tertulis. 5. Dalam hal para p[ihak menyetujui an27
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 25 - 29
juran tertulis, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat perjanjian bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan hubungan industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum, pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. G. Pendaftaran Perjanjian Bersama 1. Perjanjian bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian bersama. 2. Apabila perjanjian bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilayah perjanjian bersama didaftar untuk mendapatkan penetapan eksekusi. 3. Dalam hal permohonan eksekusi berdomisili diluar wilayah hukum pengadilan hubujgan industrial perjanjian bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi. Anjuran tertulis adalah pendapat atau saran tertulis yang diusulkan oleh mediator kepada para pihak dalam upaya menyelesaikan perselisihan mereka. 4. Anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke pengadilan hubungnan industrial pada pengadilan negeri setempat. 5. Penyelesaian perselisihan dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri setempat. 6. Ketentuan mengenai pengajuan gugatan dengan tata cara penyelesaian perkara perdata pada peradilan umum. 7. Mediator menyelesaikan tugasnya da28
lam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan. 8. Apabila perundingan bipartit gagal maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. 9. Apabila bukti-bukti tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas. 10. Apabila para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) kerja, maka instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator. 11. Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. 12. Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. 13. Para pihak bebas menentukan penyelesaian perselisihan yang mereka kehendaki. 14. Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian mediator serta tata kerja mediasi diatur dengan keputusan Menteri. H. Kesimpulan Mediasi adalah salah satu cara untuk menyelesaikan perselisihan ketenagakerjaan yaitu perselisihan hubungan industrial. Cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial ini lebih diperkuat lagi dengan adanya undang-undang nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penye-
Penyelesaian Perselisihan Ketenagakerjaan Yang …
lesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Para pihak yang berselisih bebas memilih cara untuk menyelesaikan perselisihan yang dihadapi.
Pr istika Handayani
Mediator adalah sebagai penengah atau wasit untuk menyelesaikan perselisihan yang dihadapi oleh kedua belah pihak.
DAFTAR PUSTAKA Buku: Abdul hakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Citra Aditya Bakti: Jakarta 2009. Abdussalam, Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan), Restu Agung: Jakarta, 2009. Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Jakarta: Rajawali Grapindo Persada, 2008. D.Y. WITANTO, Hukum Acara Mediasi Dalam Perkara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum Dan Peradilan Agama Menurut PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan , Alfabeta: Bandung, 2011. Khotibul Umam, Penyelesaian sengketa Di Luar Pengadilan, Pustaka Yustisia: Yogyakarta, 2010 Surya Tjandra dan Jafar Suryomenggolo, Makin Terang Bagi Kami Belajar Hukum Perburuhan, Trade Union Rights Centre: Jakarta, 2006. Susanti Adi Nugroho, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta, 2009. Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2009. Perundang-Undangan: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
29
PERSEKTIF PENERAPAN ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA Oleh : Iwan Darmawan, SH., MH*
Abstrak Hukum pidana itu bersifat lex certa (jelas dan tegas), oleh karena itu dalam hukum pidana penggunaan penafsiran harus hati-hati agar tidak melanggar asas lex certa tersebut dan juga tidak bertentangan dengan asas legalitas. Penggunaan penafsiran dalam hukum pidana bertujuan untuk memperjelas pengertian-pengertian yang terdapat dalam hukum pidana yang bertujuan untuk mendapatkan keadilan yang maksimal. Dapat memberikan suatu penanfsiran, dapat dicontohkan misalnya tentang Asas legalitas, sangatlah mungkin ada yang beranggapan bahwa rumusan itu berasal dari hukum romawi kuno, pada hal menurut Moelyatno, baik adagium ini maupun asas legalitas tidak dikenal dalam hukum Romawi kuno. Demikian pula menurut Sahetapy yang menyatakan bahwa asas legalitas dirumuskan dalam bahasa latin semata-mata karena bahasa latin merupakan bahasa dunia hukum yang digunakan pada waktu itu. Ada pula yang berpendapat bahwa asas legalitas seolah berasal dari ajaran Montesquieu yang dituangkan dalam L‟Esprit des Lois Tahun 1748. Menurut Montesquieu dalam pemerintahan yang moderat, hakim harus berkedudukan terpisah dari penguasa dan harus memberikan hukuman yang setepat mungkin sesuai ketentuan harafiah hukum. Hakim harus bertindak berhati-hati untuk menghidari tuduhan tidak adil terhadap orang-orang yang tidak bersalah. Hakim dalam menjatuhkan putusannya tidak dibimbing oleh pandangan-pandangan atau pikirannya sendiri atau memutus menurut apresiasi pribadi. Dalam hal ini hakim menjalankan fungsinya yang mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap undangundang terhadap peristiwa hukum konkret. Pandangan ini disebut analoginya merupakan sebagai pandangan yang materill yuridis. Kata kunci: Penerapan analogi hukum pidana Abstract The criminal law is the lex certa (clear and unequivocal), therefore the use of criminal law interpretation should be careful not to violate the principle of lex certa and also does not conflict with the principle of legality. Use of interpretation in criminal law aims to clarify the notions contained in the criminal law that aims to get the maximum justice. Can provide a penanfsiran, can be exemplified for instance about the legality principle, it is possible there who think that the formula was derived from the ancient Roman law, in the case according to Moelyatno, both the adage and the principle of legality is not recognized in ancient Roman law . Similarly, according Sahetapy stating that the principle of legality in Latin formulated solely because Latin is the language used in the legal world at that time. Some are of the opinion that the principle of legality is derived from the teachings of Montesquieu as set forth in L' Esprit des Lois 1748. According to Montesquieu in moderate government, the judge should be located separately from the authorities and shall provide penalties as accurately as possible in accordance with the law literally. Judges must act carefully to avoid unfair accusations against innocent people. Judge in imposing its decisions are not guided by the views or her own mind or decide according to personal appreciation. In this case the judge to function independently in the application of the law against the law to concrete legal events. This view is called the analogy is a juridical materill view. Keywords : Application of criminal law analogy *
Dosen Hukum Pidana dan Filsafat Hukum Fakultas Hukum Univesitas Pakuan serta peneliti pada PSHD (Pusat Studi Hukum dan Demokrasi) Fakultas Hukum Universitas Pakuan.
30
Perspektif Penerapan Analogi Dalam Hukum Pidana
A. Pendahuluan Kata Hukum Pidana pertama-tama digunakan untuk merujuk pada keseluruhan ketentuan yang menerapkan syarat-syarat apa saja yang mengikat negara. Bila negara berkehendak untuk memunculkan hukum mengenai pidana, serta aturan-aturan yang merumuskan pidana, maka hukum pidana dalam artian itu adalah hukum pidana yang berlaku atau hukum pidana positif, yang sering juga disebut ius poenale, yang mencakup : 1. Perintah dan larangan yang atas pelanggaran terhadapnya oleh organ-organ yang dinyatakan berwenang oleh undang-undang dikaitkan (ancaman) pidana, norma-norma yang harus ditaati oleh siapapun juga. 2. Ketentuan-ketentuan yang menetapkan sarana-sarana apa yang dapat didayagunakan sebagai reaksi terhadap pelanggaran norma-norma itu. 3. Aturan-aturan yang secara temporal atau dalam jangka waktu tertentu menetapkan batas ruang lingkup kerja norma-norma. Hukum pidana itu bersifat lex certa (jelas dan tegas), oleh karena itu dalam hukum pidana penggunaan penafsiran harus hati-hati agar tidak melanggar asas lex certa tersebut dan juga tidak bertentangan dengan asas legalitas. Penggunaan penafsiran dalam hukum pidana bertujuan untuk memperjelas pengertianpengertian yang terdapat dalam hukum pidana yang bertujuan untuk mendapatkan keadilan yang maksimal. Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang mengemban tugas melaksanakan ius puniendi, yang mewakili kepentingan masyarakat atau persekutuan hukum. Adalah tugas hukum pidana untuk memungkinkan terselenggaranya kehidupan bersama antara manusia, tatkala persoalannya adalah benturan kepentingan antara pihak yang melanggar norma dengan kepentingan masyarakat umum.1 Karakter publik dari hukum pidana mengemuka dalam fakta bahwa sifat dapat dipi1
Jan Remenelink, Hukum Pidana, (Jakarta: Gramedia, 2003), hal. 5.
Iwan Darmawan
dananya suatu perbuatan tidak akan hilang dan tetap ada, sekali pun perbuatan tersebut terjadi seijin atau dengan persetujuan orang terhadap siapa perbuatan tersebut ditujukan. Hukum pidana memiliki karakter-karakter khas sebagai hukum yang berisikan perintah dan larangan tegas. B. Asas Legalitas Asas legalitas diciptakan oleh Johan Anslem von Feuerbach (1775-1883), seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya “Lehrbuchdes penlichen recht” pada tahun 1801. Menurut Bambang Purnomo apa yang dirumuskan oleh Feurbach mengandung arti yang sangat mendalam yang dalam bahasa latin berbunyi: nulla Poenasine Lege, Nulla Poena Sine Crimine, Nullum Crimen Sine Poena Legali. Ketiga frasa tersebut kemudian dikembangkan oleh Feurbach menjadi adagium: “Nullum Delictum, Nulla Poenaline Praevia Legi Poenali”.2 Jauh sebelum lahirnya asas legalitas, prinsipal Hukum Romawi memperlihatkan wajah tatanan hukum yang individualistis, sedangkan dalam bidang politik kebebasan warga negara semakin dibelenggu. Menurut Moelyatno diutarakan bahwa pada zaman Romawi dikenal adanya crimine extra ordinaria yaitu kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan dalam undang-undang, diantara crimine extstra ordinaria ini terdapat crime stelli onatus yang artinya perbuatan jahat atau durjana. Ketika hukum Romawi kuno diterima di Eropa Barat. Pada awal abad pertengahan, crime exstra ordinaria tersebut diterima oleh raja-raja yang berkuasa, dan para raja itu cenderung menggunakan hukum pidana itu sewenangwenang menurut kehendak dan kebutuhannya.3 Pada Zaman itu, sebagian besar hukum pidana tidak tertulis, sehingga dengan kekuasaannya yang sangat absolut, raja dapat menyelenggarakan pengadilan dengan sewenangwenang. Penduduk tidak mengetahui secara 2
Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, (Jakarta : Erlangga, 2009), hal. 7 3 Moelyotno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 2000), hal. 24.
31
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 30 - 34
pasti mana perbuatan yang dilarang, mana perbuatan yang tidak dilarang proses peradilan berjalan tidak adil karena hukum diterapkan menurut perasaan hukum dari hakim yang mengadili. Pada saat yang bersamaan muncul ahli pikir seperti Montesquieu dan J.J Rouseau yang menuntut agar kekuasaan raja dibatasi dengan undang-undang tertulis. Demikianlah yang terjadi, pasca revolusi Prancis, struktur hukum mulai dibangun dengan adanya hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah, antara kekuasaan negara dan individu.4 Asas legalitas dirumuskan dalam bahasa latin, maka sangatlah mungkin ada yang beranggapan bahwa rumusan itu berasal dari hukum romawi kuno, sesungguhnya menurut Moelyatno, baik adagium ini maupun asas legalitas tidak dikenal dalam hukum Romawi kuno, demikian pula menurut Sahetapy yang menyatakan bahwa asas legalitas dirumuskan dalam bahasa latin semata-mata karena bahasa latin merupakan bahasa dunia hukum yang digunakan pada waktu itu.5 Ada pula yang berpendapat bahwa asas legalitas seolah berasal dari ajaran Montesquieu yang dituangkan dalam L‟Esprit des Lois Tahun 1748. Menurut Montesquieu dalam pemerintahan yang moderat, hakim harus berkedudukan terpisah dari penguasa dan harus memberikan hukuman yang setepat mungkin sesuai ketentuan harafiah hukum. Hakim harus bertindak berhati-hati untuk menghidari tuduhan tidak adil terhadap orang-orang yang tidak bersalah. Ajaran Montesquieu bertujuan untuk melindungi kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-wenang pemerintah negara. Asas legalitas juga mempunyai tujuan yang sama, yaitu melindungi individu terhadap perlakuan sewenang-wenang pihak peradilan Arbitrer, yang pada jaman sebelum Revolusi Prancis menjadi satu kenyataan yang umum di Eropa Barat.6 C. Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Sistem hukum Indonesia berasal dari Belanda, sebagai negara yang pernah mengua-
sai Indonesia, sehingga sistem haluan Belanda pun diterapkan di Indonesia berdasarkan asas konkonansi. Hukum Belanda berada dalam lingkungan sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law), maka sistem hukum Indonesia juga termasuk dalam lingkungan sistem hukum Civil Law, sehingga sudah barang tentu hakim Indonesia dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara, termasuk pula di dalamnya mengenai masalah penemuan hukum, dipengaruhi oleh sistem hukum civil tersebut. Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dapat terbagi menjadi dua yaitu:7 1. Penemuan Hukum Heteronom yaitu penemuan hukum yang mengutamakan undangundang yang tidak beri tempat pada pengakuan subyektivitas atau penilaian, karena hakim mendasarkan pada peraturan-peraturan di luar dirinya, hakim tidak mandiri karena harus tunduk pada undang-undang. 2. Penemuan hukum otonom (mandiri) yaitu penemuan hukum dimana hakim tidak lagi dipandang sebagai corong undang-undang, tetapi sebagai pembentuk undang-undang yang secara mandiri memberi bentuk kepada isi undang-undang dan menyesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan hukum. Hakim dalam menjatuhkan putusannya dibimbing oleh pandangan-pandangan atau pikirannya sendiri atau memutus menurut apresiasi pribadi. Dalam hal ini hakim menjalankan fungsinya yang mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap undang-undang terhadap peristiwa hukum konkret. Pandangan ini disebut sebagai pandangan yang materill yuridis. Teori penemuan hukum otonomi ini dipelopori oleh Oskar Bullow dan Eugen Ehrlich di Jerman, Francois Geny di Perancis, Oliver Wendel Holmes dan Jerome Frank di Amerika Serikat, serta Paul Scholten di Belanda. Penemuan hukum heteronom dijumpai dalam sistem peradilan di negara-negara Eropa Kontinental (civil law) termasuk indonesia, dimana hakim bebas, tidak terikat pada putusan hakim lain yang pernah dijatuhkan mengenai
4
Eddy O. S. Hiariej, Op. Cit., hal. 8. J.E. Sahetapy, “Asas Retro Aktif: Suatu Kajian Ulang”. KHN News Letter, Edisi Mei 2003, hal. 21 6 Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hal. 9. 5
32
7
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 19.
Perspektif Penerapan Analogi Dalam Hukum Pidana
perkara yang sejenis. Hakim berpikir deduktif dari bunyi undang-undang (umum) menuju ke peristiwa khusus dan akhirnya sampai pada putusan.8 Penemuan hukum otonom biasanya dijumpai dalam sistem hukum peradilan di negara-negara Anglo Saxon (Common Law), yang menganut asas The Binding force of Precedent. Disini hakim terikat pada putusan hakim yang terdahulu mengenai perkara yang sama jenisnya, dan hakim yang akan menjatuhkan putusan perkara sejenis itu seakan-akan bertindak menyatu dengan hakim yang terdahulu tersebut.9 Penemuan hukum menurut Marwissen, merupakan pengembanan hukum (rechtsboefening) adalah kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum di masyarakat yang meliputi kegiatan membentuk, melaksanakan, menerapkan, menekankan menafsirkan secara sistematis, mempelajari, dan mengajarkan hukum. Pengembanan hukum dibedakan dalam pengembanan hukum praktis dan pengembangan hukum teoritis. Pengembanan hukum praktis meliputi kegiatan berkenaan dengan hal mewujudkan hukum dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan pengembanan hukum teoritis meliputi kegiatan pembentukan hukum, penemuan hukum, dan bantuan hukum.10 Oliver Wendel Holmes dan Jerome Frank, menentang pendapat bahwa hukum yang ada itu lengkap yang dapat dijadikan sumber bagi hakim untuk memutuskan dalam peristiwa yang konkrit. Pelaksanaan undangundang oleh hakim bukan semata-mata merupakan persoalan logika dan penggunaan pikiran yang tepat saja, tetapi lebih merupakan pemberian bentuk yuridis kepada asas-asas hukum materil yang menurut sifatnya tidak logis dan lebih mendasarkan pada pengalaman dan penilaian yuridis dari pada mendasarkan pada akal yang abstrak.11 8
Ibid., hal. 20. Ibid. 10 B. Arief Sidarta, “Pengembangan Hukum” Majalah Hukum Pro Justitia, Tahun XII No, 1, Januari 1994, hal. 61. 11 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Jakarta: Gunung Agung, 2002), hal. 153-154. 9
Iwan Darmawan
D. Penafsiran dan Analogi Machteld Boot mengatakan “Every Legal Norm Needs Interpretation” yang berarti bahwa setiap norma hukum membutuhkan interpretasi. Senada dengan Boot, van Bemmelen dan Van Hattum Menyatakan “Elke Geschreven Wetgeving behoeft interpretatie” yang artinya setiap aturan perundang-undangan tertulis membutuhkan interpretasi.12 Utrecht membedakan interpretasi dengan analogi sebagai berikut :13 1. Interpretasi adalah menjalankan undang-undang setelah undang-undang itu dijelaskan, sedangkan analogi adalah menyelesaikan suatu perkara dengan tidak menjalankan undang-undang. 2. Interpretasi adalah menjalankan kaidah yang oleh Undang-Undang tidak dinyatakan dengan jelas, sementara analogi adalah menjalankan kaidah tersebut untuk menyelesaikan suatu perkara yang tidak disinggung oleh kaidah itu tetapi mengandung kesamaan dengan perkara yang disinggung kaidah tersebut. Pekerjaan mengkonstruksi hukum dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu melalui analogi, penghalusan hukum dan argumentasi a-contrario. Dalam ketetapan Pengadilan Negeri Jakarta Barat/Selatan No. 546/73 P tanggal 14 November 1973 telah berhasil mengisi kekosongan peraturan hukum tentang pergantian jenis kelamin. Keputusan yang berupa ketetapan ini menunjukkan bahwa hakim telah berhasil menciptakan hukum sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat.14 Dalam konteks hukum pidana, pertanyaan selanjutnya adalah boleh atau tidaknya analogi diterapkan. Apabila bertumpu pada asas legalitas dengan salah satu makna yang terkandung di dalamnya “Nullum Crimen, Noela Poena Sine Lege Stricta” Secara Implisit Analogi tidak diperbolehkan. Arti “Nullum Crimen, Noela Poena Sine Lege Stricta” seperti yang telah diutarakan di atas adalah 12
Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hal. 63 Ibid, hal. 70. 14 Yudho Bakti Ardhiwisastro, Penafsiran dan Konstruksi Hukum. (Bandung: Alumni, 2000), hal. 53. 13
33
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 30 - 34
bahwa ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat sehingga tidak menimbulkan perbuatan pidana baru. Larangan untuk menggunakan penafsiran analogi dirumuskan dalam adagium “Ein Palladium der Burgerlichen Freiheit” atau “La Garantie Esssentiele de Laliberte”. Sebagian besar negara di daratan Eropa masih melarang penggunaan analogi, kecuali Denmark dan Inggris, yang membolehkan analogi dalam menerapkan hukum pidana. Demikian pula Cina, membolehkan analogi dengan menerapkan ketentuan pidana dalam KUHP yang paling mirip dengan perbautan yang dipandang patut dipidana tetapi tidak tercantum dalam KUHP.15 Dalam praktik pengadilan, sulit untuk mengutarakan bahwa hakim pidana tidak menggunakan analogi. Isu analogi ini telah menimbulkan kontroversi di antara para pakar hukum pidana sejak akhir abad ke 19 dengan putusan Hoge Raad tanggal 21 November
1892 mengenai “Telefoon palen Arrest” putusan tersebut membuktikan bahwa Hoge Raad telah menerima analogi atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi ekstensif dalam Hukum Pidana.16 E. Penutup Penerapan analogi dalam hukum pidana masih menjadi kontroversi diantara para ahli Hukum Pidana, khususnya di Belanda, meski-pun dalam praktek Hakim tidak bisa menghin-dar untuk menerapkan analogi. Dengan meli-hat komparatif ke Inggris, Denmark, dan Cina penulis berpendapat Penarapan Analogi dalam hukum pidana dapat diterima sepanjang untuk tujuan keadilan, artinya keadilan dalam hukum merupakan esensi yang sangat penting, oleh karena itu apabila asas legalitas dalam penerapannya tidak menimbulkan keadilan, maka analogi menjadi alternatif dalam pemenuhan keadilan itu.
DAFTAR PUSTAKA Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum. (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis). Jakarta: Gunung Agung, 2002. Ardhiwisastra, Yudha Bakti. Penafsiran dan Kontruksi Hukum. Bandung: Alumni, 2000. Asshiddiqie Jimly, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesi. Bandung : Angkasa, 1996 Hiariej, Eddy O.S. Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana. Jakarta : Erlangga, 2009. Moelyatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta, 2000. Remmelink, Jan. Hukum Pidana. Jakarta : Gramedia, 2003. Rifai, Ahmad. Penemuan Hukum oleh Hakim, Dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta : Sinar Grafika, 2010. Sahetapy, JE. “Asas Retro Aktif : Suatu Kajian Ulang“ KHN News Letter, Edisi Mei 2003. Santoso, Topo dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006. Sahetapy, JE. Kejahatan Korporasi. Bandung : PT. Eresco, 1994. Sidarta, Arief. “Pengembanan Hukum” Majalah Hukum Pro Justitia, Tahun XII No. 1, Januari 1994.
15 16
Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hal. 71. Ibid, hal. 71
34
FUNGSI LEGISLASI DPD RI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-X/2012 Oleh : Yenny AS, SH, MH*
Abstrak
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 92/PUU-X/2012, sistem pembentukan peraturan perundang-undangan mengalami banyak perubahan, termasuk didalamnya kedudukan DPD dalam pembentukan undang-undang. Dalam rangka pelaksanaan Putusan MK tersebut, desain penyusunan RUU harus diubah dengan mengakomodasi Putusan MK. Lingkup DPD seuai UUD 1945. Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan kewenangan DPD dalam hal dapat mengajukan rancangan undang-undang yang terkait dengan daerah, MK menegaskan bahwa kata “dapat” dimaknai sebagai pilihan subjektif DPD untuk mengajukan atau tidak mengajukan RUU yang berkaitan dengan daerah. Kata kunci: Fungsi Legislasi Abstract The Constitutional Court Decision Post Number 92/PUU-X/2012, system development legislation undergone many changes, including the actual position of the DPD in legislation. In order to implement the Decision MK, design restructuring bill should be modified to accommodate Decision MK. DPD seuai scope of the 1945 Constitution. Article 22D paragraph (1) of the 1945 Constitution cites authority in the case of DPD may propose draft laws related to the district, MK pointed out that the word "could" be perceived as a subjective choice DPD to submit or not submit a bill related to the district. Keyword : Functions legislation A. Pendahuluan Peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari subsistem hukum. Oleh karena itu, bila kita membahas mengenai politik peraturan perundang-undangan pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari membahas politik hukum. Istilah politik hukum atau politik perundang-undangan didasarkan pada prinsip bahwa hukum atau peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari suatu produk politik. Dikatakan sebagai suatu produk politik karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan rancangan atau hasil desain lembaga politik (body politic).1 Sedang* Dosen Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti Pontianak.
1
HM. Laica Marzuki, Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-Undang, Jurnal Legislasi Vol. 3 Nomor 1, Maret 2006, hal. 2. Lihat juga M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. II (Jakarta: LP3ES, 2001), hal. 5. Mahfud MD menyebutkan bahwa hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai formalitas atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersanginan. Lebih jauh Mahfud MD mengemukakan bahwa hubungan kausalitas antara hukum dan politik yang berkaitan dengan pertanyaan apakah hukum mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum, dapat dijawab Pertama; hukum determinan atas politik yaitu kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua; politik determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan. Ketiga; politik dan hukum sebagai subsistem ke-
35
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 35 - 40
kan pemahaman atau definisi dari politik hukum secara sederhana dapat diartikan sebagai arah kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah.2 M. Mahfud MD mengemukakan bahwa politik hukum meliputi: Pertama; pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; Kedua; pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.3 Bila dilihat dari pemahaman bahwa politik peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari politik hukum, dengan demikian dapat dikatakan bahwa mempelajari atau memahami politik hukum pada dasarnya sama dengan memahami atau mempelajari politik perundang-undangan demikian pula sebaliknya, karena pemahaman dari politik hukum termasuk pula di dalamnya mencakup proses pembentukan dan pelaksanaan/penerapan hukum (salah satunya peraturan perundang-undangan) yang dapat menunjukkan sifat ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan.4 Bagir Manan mengartikan istilah politik perundang-undangan secara sederhana yaitu sebagai kebijaksanaan mengenai penentuan isi atau obyek pembentukan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan itu sendiri diartikan sebagai tindakan melahirkan suatu peraturan perundang-undangan.5 Sedangkan Abdul Wahid mengartikan politik peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan (beleids/policy) yang diterjemahkan sebagai tindakan pemerintahan/negara dalam membentuk peraturan perundang-undangan sejak tahap perencanaannya sampai dengan penegakannya
masyarakatan berada pada posisi yang sederajat determinasinya. 2 M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. II (Jakarta: LP3ES, 2001), hal. 9. 3 Ibid. Lihat juga Abdul Hakim garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, makalah pada Kerja Latihan Bantuan Hukum, Surabaya, September 1985. 4 Bagir Manan, Politik Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, Mei 1994, hal. 1. 5 Ibid, hal. 2.
36
(implementasinya).6 Sehingga dapat disimpulkan bahwa politik perundang-undangan merupakan arah kebijakan pemerintah atau negara mengenai arah pengaturan (substansi) hukum yang dituangkan dalam peraturan perundangundangan (hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimana dapat kita melihat politik perundang-undangan yang sedang dijalankan oleh pemerintah: Uraian di atas menggambarkan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan akan selalu dipengaruhi oleh unsur politik itu sendiri, karena arah kebijakan suatu pembentukan peraturan perundang-undangan akan selalu mengikuti perkembangan politik yang ada pada saat itu. Untuk melihat perkembangan atau politik hukum maupun politik perundang-undangan yang berlaku pada masa tertentu secara substansial sebenarnya dapat dilihat dari produk peraturan perundang-undangan yang dibentuk. B. Peran dan Fungsi Legislasi dalam Pembentukan Perundang-undangan Pembentukan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Sementara peraturan perundang-undangan menurut Pasal 1 angka 2 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga nagara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Pembentukan peraturan perundanganundangan dimaksud disusun dalam Prolegnas. Program Legislasi Nasional (Prolegnas) adalah bagian dari manajemen dan politik pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan instrument perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis7 yang ditetapkan untuk jangka waktu panjang, 6
Abdul Wahid Masru, Politik Hukum dan Perundangundangan, Makalah, Jakarta, 2003. 7 Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005, Psl. 1 angka 1.
Fungsi Legislasi DPD RI Pasca Putusan MK…
menengah, dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang. Prolegnas sangat diperlukan untuk menata sistem hukum nasional secara menyeluruh dan terpadu yang didasarkan pada cita-cita Proklamasi dan landasan konstitusional negara hukum Indonesia. Persoalannya adalah lembaga negara manakah secara konsitusional memiliki kewenangan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan dimaksud? Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 pada tanggal 27 Maret 2013, politik ketatanegaraan Indonesia khususnya model proses legislasi telah semakin mempertegas bentuknya menuju arah sistem parlemen dua kamar. Hal ini merupakan implikasi setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan untuk sebagian permohonan DPD tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Uji materi ini dilakukan dalam rangka mempertegas kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh DPD dalam hal proses legislasi. Mengapa implikasi ini merupakan jalan menuju penegasan sistem parlemen dua kamar, sebelumnya patut dicermati kondisi DPD dalam sistem legislasi Indonesia sebelum dan sesudah putusan MK ini. Berdasarkan Amandemen terhadap UUD NRI 1945 terjadi perubahan mendasar terhadap lembaga perwakilan rakyat di Indonesia. Pasal 2 ayat (1) UUD NRI 1945 menyebutkan: Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Berdasarkan pasal tersebut di atas dapat ditafsir bahwa seolah-olah sistem perwakilan di MPR menganut sistem bikameral di mana MPR adalah forum bersama (joint session) antara DPR dan DPD. Namun demikian apabila diperbandingkan lebih lanjut lagi antara kewe-
Yenny AS
nangan legislasi DPR dan DPD maka ada ketimpangan derajat diantara dua lembaga perwakilan tersebut. Diantaranya adalah (1) dalam pasal 22C UUD NRI 1945 bahwa jumlah anggota DPD tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR, (2) dalam pasal 20 UUD NRI 1945 “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang” sedangkan dalam pasal 22D UUD NRI 1945 menegaskan DPD hanya dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang dan ikut membahas RUU tertentu yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Ketentuan UUDNRI 1945 mengatur keberadaan lembaga DPD di dalam struktur ketatanegaraan Indonesia antara lain dimaksudkan guna memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI dan memperkokoh persatuan kebangsaan seluruh wilayah nusantara, meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah-daerah, serta mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah serta serasi dan seimbang. Keberadaan DPD diharapkan dapat menjembatani kepentingan pusat dan daerah, serta memperjuangkan kepentingan masyarakat dan daerah dalam kebijakan nasional. Selain itu keberadaan DPD diharapkan dapat memperkuat sistim parlemen yang pada gilirannya dapat memperkuat demokrasi. Landasan konstitusional kekuasaan DPD diatur dalam Pasal 22D UUDNRI 1945. Selanjutnya kewenangan DPD diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Selain itu sehubungan dengan fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPD maka kewenangannya diatur pula dalam Undnag-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Menurut UU MD3, DPD RI dapat mengajukan usul suatu RUU ke DPR. Apabila suatu RUU 37
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 35 - 40
disetujui atau disetujui dengan perubahan, RUU tersebut akan menjadi rancangan undang-undang usul DPR. Selanjutnya, terhadap RUU usul DPD RI yag telah diadopsi menjadi RUU usul DPR RI, pimpinan DPR RI akan meminta kepada pimpinan DPD RI untuk menunjuk alat kelengkapan yang akan membahas RUU tersebut di DPR. Pembahasan atas sebuah RUU di DPR dilakukan dalam dua tingkat pembicaraan. Pembicaraan tingkat satu dilaksanakan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus. Sementara itu, pembicaraan tingkat dua dilakukan dalam rapat paripurna yang merupakan forum pengambilan keputusan. Dari kedua tingkat pembicaraan tersebut, DPD RI hanya dapat mengambil peran pada pembicaraan tingkat pertama. Hal tersebut juga hanya dilakukan dalam bentuk penyampaian pendapat mini yang disampaikan pada akhir pembicaraan tingkat satu. Ada atau tidak adanya pendapat mini dari DPD RI terhadap sebuah RUU tidak menyebabkan terhentinya atau tidak sahnya pembicaraan tingkat satu sehingga pembahasan terhadap sebuah RUU dapat dilanjutkan pada tingkat dua. Namun, kewenangan DPD berdasarkan UU MD3 dan UU P3 dianggap telah direduksi dari maksud UUD. Sehingga melalui instrumen constitutional review, DPD mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi. Dalam hal proses legislasi, ketimpangan ini semakin terlihat di dalam pengaturan kewenangan di dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Di dalam UU No 12 Tahun 2011 Pasal 20 ayat (1): “Penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah”, pengertian Pasal 20 ayat (1) ini tentu tidak sejalan dengan maksud pasal 22D UUD NRI 1945 yang memberikan kewenangan “Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan UndangUndang yang berkait de38
ngan otonomi daerah…………..”. Ayat (3) di dalam pasal ini kemudian menyebutkan ” Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat. Pengaturan ini nampak menunjukan bahwa kewenangan DPD untuk mengajukan RUU didistorsi seolah-olah sama seperti kewenangan fraksi dan komisi sebagai alat kelengkapan DPR, DPD hanya berwenang untuk mengusulkan rancangan UU untuk diajukan kepada DPR, selanjutnya usul RUU DPD tersebut akan tergantung dari tindak lanjut DPR di parlemen, dengan kata lain DPD merupakan sub ordinat dari DPR atau hanya sebatas organ pelengkap DPR di dalam sistem parlemen dua kamar. Selain kewenangan pengajuan RUU, kewenangan dalam hal pembahasan RUU di parlemen pun dibuat tidak setara antara DPR dan DPD, di dalam Pasal 65 ayat (3) UU No 12 Tahun 2011 keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat I. Pasal 150 ayat (3) UU No.27 Tahun 2009 juga mengecualikan DPD untuk terlibat dalam pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah sebagaimana DPR dan Pemerintah, padahal pengajuan dan pembahasan DIM justru merupakan ”inti” dari pembahasan RUU dan menentukan politik hukum dari suatu RUU. C. Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Pasca Putusan MK Beberapa kondisi tersebut mendorong DPD untuk menegaskan konstitusionalitas fungsi, tugas, dan wewenangnya dalam sistem parlemen dua kamar (bikameral) melalui pengujian UU No.27 Tahun 2009 dan UU No 12 Tahun 2011 terhadap UUD NRI 1945 di Mahkamah Konstitusi, atas pengujian tersebut MK menyimpulkan lima pokok persoalan konstitusional DPD. Pertama, kewenangan DPD mengusulkan RUU yang diatur Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, yang menurut DPD, RUU dari DPD harus diperlakukan setara RUU dari presiden dan DPR. Kedua, kewenangan DPD ikut membahas RUU yang disebut Pasal 22D UUD
Fungsi Legislasi DPD RI Pasca Putusan MK…
1945 bersama DPR dan presiden. Ketiga, kewenangan DPD memberi persetujuan atas RUU yang disebut Pasal 22D UUD 1945. Keempat, keterlibatan DPD dalam penyusunan program legislasi nasional (prolegnas) yang menurut DPD sama dengan keterlibatan presiden dan DPR. Kelima, kewenangan DPD memberi pertimbangan terhadap RUU yang disebut Pasal 22D UUD 1945. Berdasarkan pengujian tersebut, MK mengeluarkan putusannya bahwa kedudukan DPD di bidang legislasi setara dengan DPR dan presiden, atas dasar itu DPD berhak dan/ atau berwenang mengusulkan RUU tertentu yaitu menyusun program legislasi nasional (prolegnas) di lingkungan DPD dan membahas RUU tertentu tersebut sejak awal hingga akhir tahapan, namun DPD tidak memberi persetujuan atau pengesahan RUU menjadi undangundang (UU). Konsekuensi dari putusan MK ini adalah terciptanya proses legislasi model tripartit (DPR-DPD-Presiden) khusus untuk RUU tertentu tersebut yaitu RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Putusan MK tersebut menimbulkan konsekuensi atas kedudukan dan peran DPD, diantaranya : 1. RUU dari DPD setara dengan RUU dari Presiden dan RUU dari DPR. Terkait dengan pengajuan usul RUU, MK memutuskan beberapa hal yaitu (a) kedudukan DPD sama dengan DPR dan Presiden dalam hal mengajukan RUU (b) DPD mengusulkan sesuai dengan bidang tugas, (c) DPD dapat mengajukan RUU diluar Prolegnas, dan (d) Usul RUU DPD tidak menjadi usul RUU DPR. 2. Pembahasan RUU dilakukan dengan tiga pihak yang setara (tripartit), yaitu Presiden, DPD, dan DPR (bukan Fraksi-Fraksi DPR). 3. Dalam hal pembahasan RUU, MK berpendapat sebagai berikut :
Yenny AS
a) Pembahasan dari DPD harus diberlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR. b) Terhadap RUU dari Presiden, Presiden diberikan kesempatan memberikan penjelasan sedangkan DPR dan DPD memberikan pandangan. c) Terhadap RUU dari DPR, DPR diberikan ksempatan memberikan penjelasan sedangkan Presiden dan DPD memberikan pandangan. d) Hal yang sama juga diperlakukan terhadap RUU dari DPD yaitu DPD diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan sedangkan DPR dan Presiden memberikan pandangan. e) Pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR. f) Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) diajukan oleh masing-masing lembaga Negara (DPR, DPD, Pemerintah). D. Penutup Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 memberikan perubahan pola legislasi DPD. Dalam putusannya, dapat dilihat kedudukan DPD di bidang legislasi tidak lagi sebagai subordinat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), melainkan setara dengan DPR dan presiden. Selanjutnya, DPD berhak dan/ atau berwenang untuk mengusulkan dan membahas RUU tertentu sejak awal hingga akhir tahapan, namun kewenangan DPD tetap berhenti pada persetujuan atau pengesahan RUU menjadi undang-undang (UU). Hal ini dikarenakan secara eksplisit UUD telah membatasi ketentuan mengenai hal tersebut. Sehingga ketentuan limitatif tersebut pada dasarnya adalah kehendak konstitusi. MK juga memutuskan bahwa DPD ikut menyusun program legislasi nasional (prolegnas). Langkah-langkah selanjutnya yang harus ditempuh pasca putusan MK ini tentu saja merevisi UU No 27 Tahun 2009 dan UU No 12 Tahun 2011 khusus seputar pengaturan mengenai kewenangan legislasi DPD yang diuji oleh MK, atau paling tidak langkah jangka pendek yang setidaknya bisa dilakukan adalah menyesuaikan Tata Tertib lembaga masing39
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 35 - 40
masing (DPR dan DPD) untuk bisa mengako-
modir proses legislasi DPD.
DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie, Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007. _____, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005. Haryadi, Agus, et.al, Bikameral Bukan Federal, Kelompok DPD di MPR RI, Jakarta, 2006. Masru, Abdul Wahid Politik Hukum dan Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, 2003. M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. II (Jakarta: LP3ES, 2001). Rahman, Hasanuddin, Dewan Perwakilan Derah : Bicameral Setengah Hati. Media Pressindo, Yogyakarta, 2004.
40
ANALISIS YURIDIS PENERAPAN ATURAN DAN SANKSI PELANGGARAN LALU LINTAS PENGENDARA SEPEDA MOTOR Oleh: Surajiman, SH, MH dan Diah Ratu Sari Harahap, SH. MH
Abstrak Penegakkan hukum dalam lalu lintas dapat diketahui dan dilaksanakan bila diketahui secara pasti ketentuan-ketentuan apa yang berlaku dalam lalu lintas baik dalam aspek sarana transportasinya maupun penggunaannya. Sarana transportasi dari sepeda motor adalah sepeda motor itu sendiri yang terdiri dari sejumlah spesifikasi yang secara menyeluruh membentuk sepeda motor yang sempurna (standar). Penggunaan sepeda motor secara teknis harus didasarkan pada fungsi kendaraan dengan mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan. Ketentuan pokok di bidang lalu lintas saat ini diatur dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan dan peraturan pelaksanaannya, memuat beberapa pasal tentang sepeda motor dan penggunaannya. Pasal-pasal tersebut mengatur penggunaan dan memberi sanksi terhadap pelanggaran dalam berlalu lintas. Baik pengaturan dan sanksi dalam penggunaan sepeda motor berada pada lingkup hukum administrasi, hukum perdata, dan hukum pidana, guna menjamin terlaksananya lalu lintas dengan tertib dan aman. Pada kasus pelanggaran lalu lintas, berdasarkan pengamatan peneliti meskipun belum ditemukan angka yang pasti jumlah pelanggaran lalu lintas yang dilakukan pengguna kendaraan di jalan umum, jauh lebih banyak dilakukan oleh pengendara sepeda motor dibanding pengguna kendaraan lainnya. Fenomena tersebut dengan mudah dapat dilihat oleh siapa saja yang selalu berlalu lintas di jalanan umum. Jenis pelanggaran yang sering dilakukan oleh pengendara sepeda motor adalah; tidak menggunakan helm, tidak patuh pada rambu lalu lintas, menggunakan sepeda motor di luar spesifaksi standar, tidak memiliki surat tanda nomor kendaraan (STNK) dan surat ijin mengemudi (SIM). Urgensi (keutamaan) dari penelitian ini yaitu tercapainya pemahaman tentang aturan dan sanksi perihal sepeda motor dan penggunaannya, sanksi yang dijauhkan oleh penegak hukum terhadap pengendara sepeda motor yang melanggar aturan lalu lintas. Kata kunci: Analisa yuridis pelanggaran lalu lintas oleh sepeda motor. Abstract Law enforcement in traffic can be discovered and implemented when known for certain qualifying terms of what happens in good traffic in terms of transport links means or use. Means of transport from motorcycle motorcycle itself is composed of a number of specifications as a whole constitute the perfect motorcycle (default). The use of motorcycles is technically should be based on the function of the vehicle in compliance with applicable laws and regulations in the field of road traffic and transport . Terms of trees in the area of the current traffic is governed by Act No. 22 of 2009 on Road Traffic and Transport and its implementation rules, take some article about a motorbike and use. Clauses govern the use and provide sanctions for violations of traffic. Good regulation and sanctions in the use of motorcycles is in the scope of administrative law, civil law and criminal law, in order to guarantee the implementation of traffic orderly and peaceful. In case of traffic violations was observed although researchers have not found a definite total number of traffic violations committed in a public road transport users, a lot more done by bikers compared to other transport users. This phenomenon can easily be seen by anyone who is always traffic on public streets. Types of violations that are often performed by bikers is : do not use a helmet, did not adhere to traffic signs, used motorcycles outside spesifaksi standard, not a numeral letter 41
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 41 - 54
vehicle (VIN) and a letter of driving license (SIM). Urgency (priority) of the research that is reaching an understanding of the rules and sanctions regarding motorbike and use, the sanction is removed by law enforcement against bikers who violate traffic rules, Keywords: juridical analysis of traffic violations by motorbike. A. Latar Belakang Masalah Fenomena pengguna sepeda motor di Indonesia menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Bila dibandingkan dengan pengguna kendaraan mobil maka pengguna sepeda motor jauh lebih banyak. Kenyataan tersebut dapat dilihat pada kegiatan sehari-hari baik di perkotaan maupun di pedesaan. Keadaan tersebut dapat disebabkan situasi ekonomi masyarakat yang belum mapan ditambah lagi sarana dan prasarana transportasi yang belum mendukung dalam menggunakan kendaraan transportasi umum. Menurut catatan Kantor Kepolisian Republik Indonesia jumlah kendaraan sepeda motor di Indonesia dari tahun 1987 sampai dengan 2010 berjumlah 61.078.188 unit, sedangkan jumlah kendaraan mobil (tidak termasuk bis dan truk) pada periode tahun yang sama berjumlah 8.891.041 unit.1 Mengingat begitu besarnya jumlah kendaraan bermotor terutama sepeda motor menimbulkan dampak sosial yang cukup mengkhawatirkan seperti kemacetan, polusi, boros bahan bakar minyak (BBM) sampai pada pelanggaran lalu lintas yang dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas dan lainlain. Pada kasus pelanggaran lalu lintas, berdasarkan pengamatan peneliti meskipun belum ditemukan angka yang pasti jumlah pelanggaran lalu lintas yang dilakukan pengguna kendaraan di jalan umum, pelanggaran lalu lintas jauh lebih banyak dilakukan oleh pengendara sepeda motor dibanding pengguna kendaraan lainnya. Fenomena tersebut dengan mudah dapat dilihat oleh siapa saja yang selalu berlalu lintas di jalanan umum. Jenis pelanggaran yang sering dilakukan oleh pengendara sepeda motor adalah; tidak menggunakan helm, berbonceng lebih dari dua penumpang, tidak patuh pada rambu lalu lintas, menggunakan se1
Kantor Kepolisian Republik Indonesia, data diolah.
42
peda motor di luar spesifaksi standar, tidak memiliki surat tanda nomor kendaraan (STNK) dan surat ijin mengemudi (SIM), bahkan sampai ada yang melakukan tindakan kriminal. Situasi dan kondisi di atas bila tidak diatasi maka akan menimbulkan persoalan hukum yang akhirnya dapat mendorong pada situasi “keos lalu lintas”, dimana suasana lalu lintas yang buruk dan centang perenang dapat pula menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah. Oleh karena itu supaya lalu lintas menjadi tertib dan aman akibat penggunaan sepeda motor yang salah satunya dengan menegakkan hukum lalu lintas. Penegakkan hukum dalam lalu lintas dapat diketahui dan dilaksanakan bila diketahui secara pasti ketentuan-ketentuan apa yang berlaku dalam lalu lintas baik dalam aspek sarana transportasinya maupun penggunaannya. Sarana transportasi dari sepeda motor adalah sepeda motor itu sendiri yang terdiri dari sejumlah spesifikasi yang secara menyeluruh membentuk sepeda motor yang sempurna (standar). Penambahan atau pengurangan spesifikasi mengakibatkan sepeda motor secara yuridis menjadi berubah dari bentuk aslinya. Sedangkan penggunaan sepeda motor secara teknis harus didasarkan pada fungsi kendaraan dengan mematuhi peraturan perundangundangan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan. Ketentuan pokok di bidang lalu lintas saat ini diatur dengan Undang Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan yang selanjutnya di sini ditulis dengan UU Lalu Lintas dan Angkutan jalan, dan peraturan pelaksanaannya. UU Lalu Lintas dan Angkutan jalan memuat beberapa pasal tentang sepeda motor dan penggunaannya baik secara jelas maupun samar. Pasal-pasal tersebut mengatur penggunaan dan memberi sanksi terhadap pelanggaran dalam berlalu lintas. Baik pengaturan dan sanksi dalam penggunaan sepeda motor berada
Analisis Yuridis Penerapan Aturan dan Sanksi …
pada lingkup hukum administrasi, hukum perdata, dan hukum pidana. Ketiga lingkup hukum tersebut oleh pembentuk undang-undang dituangkan dalam UU Lalu lintas dan Angkutan Jalan guna menjamin terlaksananya lalu lintas dengan tertib dan aman. Mengingat sudah tersedianya peraturan perundang-undangan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan sedangkan pelanggaran lalu lintas terutama oleh pengguna sepeda motor juga masih terus terjadi bahkan kecenderungannya makin meningkat, oleh sebab itu peneliti tertarik melakukan penelitian di bidang hukum yang berjudul: “Analisis Yuridis Penerapan Aturan dan Sanksi Pelanggaran Lalu Lintas Pengendara Sepeda Motor”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan judul dan latar belakang masalah di atas maka permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah ketentuan hukum yang mengatur tentang sepeda motor dan penggunaannya? 2. Ancaman sanksi apa sajakah yang dapat dijatuhkan terhadap pengendara sepeda motor yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang lalu lintas? 3. Apakah sanksi yang dijatuhkan oleh penegak hukum terhadap pengendara sepeda motor yang melakukan pelanggaran lalu lintas sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah tersebut maka tujuan khusus yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Menganalisis secara hukum aturan tentang sepeda motor dan penggunaannya; 2. Menganalisis secara hukum ancaman sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pengendara sepeda motor yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang lalu lintas; 3. Menganalisis secara hukum kesesuaian sanksi yang dijatuhkan oleh penegak hukum dengan aturan hukum yang
Surajiman & Diah Ratu Sari Harahap
berlaku. Urgensi (keutamaan) dari penelitian ini yaitu tercapainya pemahaman tentang aturan dan sanksi perihal sepeda motor dan penggunaannya, sanksi yang dijauhkan oleh penegak hukum terhadap pengendara sepeda motor yang melanggar aturan lalu lintas, serta memahami secara mendalam kesesuaian antara aturan yang berlaku dengan sanksi yang dijatuhkan oleh penegak hukum. Temuan/inovasi yang menjadi target serta penerapannya dalam rangka menunjang pembangunan adalah memberi gambaran analisis hukum kepada pemerintah bahwa perlu ditegaskannya penegakan hukum terhadap pengendara sepeda motor yang melakukan pelanggaran lalu lintas. Analisis hukum ini diharapkan menjadi masukan dan pertimbangan bagi penegak hukum dan pengambil kebijakan dalam rangka melakukan tugas dan kewenanganya. Di samping itu juga memberikan informasi kepada masyarakat luas mengenai aturan dan sanksi dalam penggunaan sepeda motor supaya lebih mematuhi peraturan perundang-undangan dalam berlalu lintas. D. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Sebagai konsekuensi pemilihan topik permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian yang objeknya adalah permasalahan hukum (sedangkan hukum adalah kaidah atau norma yang ada dalam masyarakat), maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.2 2. Pendekatan Masalah Oleh karena tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian. 2
Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia Publishing, 2005, hal. 240-243.
43
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 41 - 54
Selain itu juga digunakan pendekatan lain yang diperlukan guna memperjelas analisis ilmiah yang diperlukan dalam penelitian normatif, yakni pendekatan konsep (con-septual approach) dan penedekatan analisis (analytical approach). 3. Bahan Hukum Uraian tentang bahan hukum yang dikaji meliputi meliputi beberapa hal berikut: a. Bahan Hukum Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hirarki Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Undang-undang/Perpu, Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan seterusnya. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks (textbooks) yang ditulis para ahli hukum berpengaruh (deherseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil seminar mutakhir yang sesuai dengan topik penelitian. c. Bahan Hukum Tersier bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lainlain. 4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum Baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan sistem bola salju dan diklasifikasi menurut sumber dan hirarkinya untuk dikaji secara komprehensif. 5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel dimaksud peneliti uraikan dan hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih 44
sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya bahan hukum yang ada dianalisis untuk melihat solusi apa yang dapat dipecahkan menurut peraturan perundang-undangan yang ada. E. Ketentuan Hukum Yang Mengatur Tentang Sepeda Motor Dan Penggunaannya 1. Konsep Sepeda Motor Sepengetahuan peneliti bahwa penelitian mengenai penerapan aturan dan sanksi terhadap pengendara sepeda motor yang melakukan pelanggaran lalu lintas belum pernah diteliti oleh pihak lain, terutama sejak UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tahun 2009 diterapkan. Oleh karena itu peneliti berasumsi bahwa penelitian ini merupakan penelitian yang memiliki sifat orisinil atau setidaknya memiliki sifat kebaruan informasi karena situasi dan kondisinya yang berbeda. Sehubungan dengan penerapan aturan dan sanksi hukum hal ini sangat terkait dengan teori-teori hukum. Secara umum, teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang mengindikasikan adanya hubungan di antara konsep-konsep tersebut yang membantu kita memahami sebuah fenomena. Sehingga bisa dikatakan bahwa suatu teori adalah suatu kerangka kerja konseptual untuk mengatur pengetahuan dan menyediakan suatu cetak biru untuk melakukan beberapa tindakan selanjutnya.3 Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia menulis bahwa teori memiliki 3 (tiga) arti yaitu: a. pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa (kejadian dan sebagainya); b. asas dan hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan, dan 3
http://carapedia.com/pengertian_definisi_teori_menurut_para_ahli_info502.html, diunduh jumat, 25 Januari 2013.
Analisis Yuridis Penerapan Aturan dan Sanksi …
c. pendapat, cara, dan aturan untuk melakukan sesuatu.4 Teori hukum menurut Edmon Makarim dalam bukunya, “Tanggung Jawab Hukum Penyelenggara Sistem Elektronik”, menyebutkan bahwa: Teori hukum mempunyai fungsi untuk menerangkan atau menjelaskan, menilai dan memprediksi serta memengaruhi hukum positif, misalnya menjelaskan ketentuan yang berlaku, menilai suatu perbuatan atau perbuatan hukum dan memprediksi hak dan kewajiban yang akan timbul dari suatu hubungan hukum yang terjadi. Teori hukum tersebut akan digunakan sebagai patokan untuk menguraikan analisis permasalahan dengan memperhatikan fakta-fakta dan filsafat hukum yang berkembang dengan tetap memperhatikan sifat dasar (nature) atau pun karakteristik khusus dari sesuatu hal yang diletakkan sebagai objek kajiannya.5 Oleh karena itu supaya selaras dengan fungsi teori hukum tersebut maka penelitian ini akan menggunakan teori kedaulatan hukum seperti yang dikatakan Krabbe yang menyebutkan bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan hukum yang sumbernya terdapat pada perasaan hukum setiap orang. Para Profesor dari University of Missouri dan Ohio State University yang menerjemahkan buku Krabbe memberi pengantar, bahwa: The real issue is whether the state can be adequately conceived as a souvereign will and whether law can be adequately conceived as an expression of will. The proposition that the law recives its bindingforce from a souvereign will must be judged as representing a certain conception of law. From this point of view the law is command, an order 4
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal. 932. 5 Edmon Makarim, Tanggung Jawab Hukum Penyelenggara Sistem Elektronik (Jakarta: Lembaga Kajian Hukum Teknologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010), 13.
Surajiman & Diah Ratu Sari Harahap
issuing from one will and adressed to another will.6 Makna dari teori kedaulatan hukum bahwa hukum memiliki kedaulatan yang tinggi, bahkan di atas kedaulatan negara. Menurut Hasbullah Sjawie dalam disertasinya menyebutkan bahwa dalam hukum terdapat perasaan hukum dan keadilan yang terjelma dalam naluri hukum (Rechtsinstink) atau dalam bentuk kesadaran hukum (Rechtsbewuszijn) di dalam suatu negara akan membentuk sesuatu yang abstrak yang disebut sebagai legislative power atau kekuasaan legislatif. Dengan demikian parlemen atau lembaga pembuat undang-undang itu hanya suatu lembaga atau alat semata yang dipergunakan untuk menjelmakan perasaan hukum atau perasaan keadilan atau kesadaran hukum dari masyarakat.7 Terkait dengan kedaulatan hukum dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945) pada Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam buku “Panduan Pemasyarakatan” menjelaskan bahwa Pasal tersebut sebenarnya berasal dari Penjelasan UUD 1945 sebelum diamandemen yang “diangkat” ke dalam UUD NRI 1945. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menegakkan kebenaran dan keadilan, dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan (akuntabel).8 Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, dapat dilihat bekerjanya tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di ha6
Krabbe, The Modern Idea of The State, Authorized Translation With An Introduction By George H. Sabine and Walter J. Shepard (New York-London: D. Appleton And Company, 1922), hal. XLVI. 7 Hasbullah Sjawie, Kedudukan dan Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggung Jawaban Pidana Perseroan TerbatasSebagai Korporasi, Disertasi (Jakarta: Program Pascasarjana Doktor Ilmu Hukum - Universitas Trisakti, 2011), hal. 21. 8 Majelis Permusyawaratan Rakyat, Panduan Pemasyarakatan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2011), hal. 65.
45
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 41 - 54
dapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Oleh karena itu, pada setiap negara hukum akan terlihat ciri-ciri adanya: (i) jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia, (ii) kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka, dan (iii) legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa baik pemerintah/negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum.9 2. Dasar Hukum Penggunaan Sepeda Motor Sepeda motor merupakan alat transportasi yang penggunaannya tunduk pada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia terutama pada UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sepeda motor menurut Pasal 1 butir ke (20) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah, “Kendaraan Bermotor roda dua dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau Kendaraan bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah”. Sebagai alat transportasi sepeda motor pemanfaatannya harus selaras dengan tujuan transportasi yaitu mampu mengangkut orang dari tempat asal sampai ke tempat tujuan dengan selamat,10 cepat, tepat, efektif dan efisien.11 Transportasi oleh ahli manajemen transportasi diartikan sebagai tindakan atau kegiatan mengangkut atau memindahkan muatan (barang dan orang) dari suatu tempat ke tempat lain, atau dari tempat asal ke tempat tujuan. Tempat asal dapat merupakan daerah perumahan (pemukiman), sedangkan tempat tujuannya adalah tempat bekerja, kantor, sekolah, kampus, rumah sakit, pasar, pusat perbelanjaan, hotel, pelabuhan, bandar udara, dan masih banyak lagi yang lainnya, ataupun dalam arah sebaliknya, yaitu tempat tujuan merupakan tempat asal dan tempat asal merupakan 9
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Panduan Pemasyarakatan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2011), hal. 65-66. 10 Tujuan pengangkutan secara tradisional adalah mampu mengangkut orang dan atau barang dari tempat asal ke tempat tujuan dengan selamat. 11 Dalam dunia modern yang semuanya serba cepat maka tujuan transportasi menurut peneliti diikutkan variabel cepat, tepat, efektif dan efisien.
46
tempat tujuan.12 Hal-hal yang dikemukakan di atas adalah sesuatu norma ideal yang bisa dikaitkan dalam penyelenggaraan tarnsportasi. Penyelenggaraan transportasi di Indonesia dalam hal lalu lintas dan angkutan jalan tunduk pada Undang Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-undang ini terdiri dari 326 pasal yang dikelompokkan dalam 22 bab. Berkenaan dengan penerapan aturan dan sanksi penggunaan sepeda motor dalam berlalu lintas berada pada bab-bab tentang Kendaraan, Pengemudi, Lalu Lintas, Angkutan, Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Dampak lingkungan, Kecelakaan lalu Lintas, Penyidikan dan Penindakan Pelanggaran Lalu lintas dan angkutan Jalan, dan Ketentuan Pidana. Penegakan hukum terhadap pelanggaran lalu lintas banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Menurut Soerjono Soekanto faktor-faktor tersebut adalah: 1. faktor hukumnya sendiri; 2. faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum; 3. faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; 5. faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.13 Undang Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak mengatur secara khusus tentang sepeda motor. Meskipun demikian semangat dalam Undang Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam mengatur kendaraan bermotor dapat dilihat 12
Sakti Adji Adisasmita, Transportasi dan pengembangan Wilayah (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), hal. 7. 13 Soerjono Soekanto, Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 8.
Analisis Yuridis Penerapan Aturan dan Sanksi …
dari tujuan yang hendak dicapai, seperti yang tercantum dalam Pasal 3 bahwa, bertujuan: a. terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteran umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa; b. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa, dan c. terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. Guna mewujudkan tujuan tersebut pemerintah bertanggung jawab melaksanakan pembinaan antara lain yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2), yang meliputi: a. Perencanaan; b. pengaturan; c. pengendalian; dan d. pengawasan. Oleh karena itu dalam rangka mewujudkan sistem transportasi nasional semua aktivitas transportasi harus berada pada perencanaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan pemerintah sebagai satu kesatuan. Setiap pengguna jalan, terutama pengguna kendaraan bermotor wajib berperilaku tertib serta mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan maupun yang dapat menimbulkan kerusakan jalan (Pasal 105 huruf a dan b). Guna mencapai ketertiban dan keselamatan dalam berlalu lintas menurut Pasal 106 Undang Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan bahwa: “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi. (1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki dan pesepeda. (2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mematuhi ketentuan tentang persyaratan teknis dan laik jalan.
Surajiman & Diah Ratu Sari Harahap
(3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mematuhi ketentuan: a. Rambu perintah atau rambu larangan; b. Marka Jalan; c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas; d. Gerakan Lalu Lintas; e. Berhenti dan Parkir; f. Peringatan dengan bunyi dan sinar; g. Kecepatan maksimal atau minimal; dan/atau h. Tata cara penggandengan dan penempelan dengan Kendaraan lain. (4) Pada saat diadakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor wajib menunjukkan: a. Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor atau Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor; b. Surat Izin Mengemudi; c. Bukti lulus uji berkala; dan/atau d. Tanda bukti lain yang sah. (5) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan. (6) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah di Jalan dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan dan mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia. (7) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor dan Penumpang Sepeda Motor wajib mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia. (8) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tanpa kereta samping dilarang membawa Penumpang lebih dari 1 (satu) orang. `Berdasarkan keadaan di atas maka persoalan mengenai aturan dan sanksi dalam UU Lalu lintas dan Angkutan Jalan sudah mulai terlihat, hanya saja bagaimana penerapan aturan dan sanksi tersebut dilaksanakan.
47
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 41 - 54
F. Ancaman dan Sanksi Terhadap Pengendara Sepeda Motor Yang Melanggar Peraturan-Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Lalu Lintas UU lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak terlalu membedakan secara tegas subjek pelaku dan bentuk pelanggaran yang diancam dengan hukuman. Kenyataannya pasal-pasal tersebut tersedia sedemikian rupa baik bagi masyarakat secara umum, pengendara sepeda motor maupun pengendara kendaraan bermotor non sepeda motor. Bila dirinci pengelompokkan tersebut dapat terlihat sebagai berikut: 1. Setiap Orang Mengakibatkan gangguan pada: fungsi rambu lalu lintas, Marka Jalan, Alat pemberi isyarat lalu lintas fasilitas pejalan kaki, dan alat pengaman pengguna jalan. Pasal 275 ayat (1) jo pasal 28 ayat (2) diancam dengan denda Rp. 250.000; 2. Setiap Pengguna Jalan Tidak mematuhi perintah yang diberikan petugas Polri sebagaimana dimaksud dalam pasal 104 ayat (3), yaitu dalam keadaan tertentu untuk ketertiban dan kelancaran lalu lintas wajib untuk : Berhenti, jalan terus, mempercepat, memperlambat, dan/atau mengalihkan arus kendaraan. Pasal 282 jo Pasal 104 ayat (3) diancam dengan denda Rp. 250.000; 3. Setiap Pengemudi (Pengemudi Semua Jenis Kendaraan Bermotor) a. Tidak membawa SIM Tidak dapat menunjukkan Surat Ijin Mengemudi yang Sah Pasal 288 ayat (2) jo Pasal 106 ayat (5) hrf b diancam dengan denda Rp. 250.000; b. Tidak memiliki SIM Mengemudikan kendaraan bermotor di jalan, tidak memiliki Surat Izin Mengemudi Pasal 281 jo Pasal 77 ayat (1) diancam dengan denda Rp. 1.000.000; c. STNK / STCK tidak Sah Kendaraan Bermotor tidak dilengkapi dengan STNK atau STCK yang ditetapkna oleh Polri. Psl 288 ayat (1) jo Psl 106 ayat (5) huruf a. diancam dengan denda Rp. 500.000; d. TNKB tidak Sah Kendaraan Bermotor tidak dipasangi Tanda Nomor Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Polri. Pasal 280 jo pasal 68 ayat (1) dian48
cam dengan denda Rp. 500.000; e. Perlengkapan yang dapat membahayakan keselamatan. Kendaraan bermotor di jalan dipasangi perlengkapan yang dapat menganggu keselamatan berlalu lintas antara lain ; Bumper tanduk dan lampu menyilaukan. Pasal 279 jo Pasal (58) diancam dengan denda Rp. 500.000; f. Sabuk Keselamatan Tidak mengenakan Sabuk Keselamatan Psl 289 jo Psl 106 Ayat (6) diancam dengan denda Rp. 250.000; g. lampu utama malam hari; Tanpa menyalakan lampu utama pada malam hari dan kondisi tertentu. Pasal 293 ayat (1) jo Pasal 107 ayat (1) diancam dengan denda Rp. 250.000; h. Cara penggandengan dan penempelan dengan kendaraan lain; Melanggar aturan tata cara penggandengan dan penempelan dengan kendaraan lain, Pasal 287 ayat (6) jo Pasal 106 (4) huruf h diancam dengan denda Rp.250.000; i. Ranmor Tanpa Rumah-rumah selain Sepeda Motor Mengemudikan Kendaraan yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah, tidak mengenakan sabuk keselamatan dan tidak mengenakan Helm. Pasal 290 jo Pasal 106 (7) diancam dengan denda Rp. 250.000; j. Gerakan lalu lintas Melanggar aturan gerakan lalu litas atau tata cara berhenti dan parkir Pasal 287 ayat (3) jo Pasal 106 ayat (4) e diancam dengan denda Rp. 250.000; k. Kecepatan Maksimum dan minimum Melanggar aturan Batas Kecepatan paling Tinggi atau Paling Rendah Psl 287 ayat (5) jo Pasal 106 ayat (4) huruf (g) atau Pasal 115 huruf (a) diancam dengan denda 500.000; l. Membelok atau berbalik arah Tidak memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atau isyarat tangan saat akan membelok atau berbalik arah. Pasal 294 jo Pasal 112 (1) diancam dengan denda Rp. 250.000; m. Berpindah lajur atau bergerak ke samping Tidak memberikan isyarat saat
Analisis Yuridis Penerapan Aturan dan Sanksi …
n.
o.
p.
q.
r.
s.
akan berpindah lajur atau bergerak kesamping. Pasal 295 jo pasal 112 ayat (2) diancam dengan denda Rp. 250. 000; Melanggar Rambu atau Marka Melanggar aturan Perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Rambu lalu lintas atau Marka Psl 287 ayat(1) jo Pasal 106 (4) huruf (a) dan Pasal 106 ayat (4) huruf (b) diancam dengan denda Rp. 500.000; Melanggar Apill (TL) Melanggar aturan Perintah atau larangan yang dinyatakan dengan alat pemberi isyarat Lalu Lintas. Pasal 287 ayat (2) jo psl 106(4) huruf (c) diancam dengan denda Rp. 500.000; Mengemudi tidak Wajar - Melakukan kegiatan lain saat mengemudi - Dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan Pasal 283 jo pasal 106 (1) diancam dengan denda Rp. 750.000; Diperlintasan Kereta Api Mengemudikan Kendaran bermotor pada perlintasan antara Kereta Api dan Jalan, tidak berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, Palang Pintu Kereta Api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain, Pasal 296 jo Pasal 114 huruf (a) diancam dengan denda Rp. 750.000; Berhenti dalam Keadaan darurat. Tidak Memasang segitiga pengaman, lampu isyarat peringatan Bahaya atau isyarat lain pada saat berhenti atau parkir dalam keadaan darurat di jalan. Pasal 298 jo psl 121 ayat (1) diancam dengan denda Rp. 500.000; Hak utama Kendaraan tertentu Tidak memberi Prioritas jalan bagi kendaraan bermotor memiliki hak utama yang menggunakan alat peringatan dengan bunyi dan sinar dan/atau yang dikawal oleh petugas Polri: a) Kendaraan Pemadam Kebakaran yang sedang melaksanakan tugas; b) Ambulan yang mengangkut orang sakit ; c) Kendaraan untuk memberikan per-
Surajiman & Diah Ratu Sari Harahap
tolongan pada kecelakaan Lalu lintas; d) Kendaraan Pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia; e) Kendaraan Pimpinan dan Pejabat Negara Asing serta Lembaga internasional yang menjadi tamu Negara; f) Iring-iringan Pengantar Jenazah; dan g) Konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian RI. Pasal 287 ayat (4) jo Pasal 59 dan Pasal 106 (4) huruf (f) jo Pasal 134 dan Pasal 135, diancam dengan denda Rp. 250.000; t. Hak pejalan kaki atau Pesepeda Tidak mengutamakan pejalan kaki atau pesepeda Pasal 284 jo 106 ayat (2), diancam dengan denda 500.000; 4. Pengemudi Kendaraan Bermotor Roda 4 atau Lebih; a. Perlengkapan Ranmor Ranmor tidak dilengkapi dengan : Ban cadangan, segitiga pengaman, dongkrak, Pembuka Roda, dan peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan. Pasal 278 jo pasal 57 ayat (3) diancam dengan denda Rp. 250.000; b. Sabuk Keselamatan Pengemudi atau Penumpang yang duduk di samping pengemudi tidak menggunakan sabuk keselamtan. Pasal 289 jo Pasal 106 (6) diancam dengan denda Rp. 250.000; c. Ranmor Tanpa Rumah- rumah Pengemudi dan penumpang tidak menggunakan sabuk keselamatan dan Helm. Pasal 290 jo pasal 106 ayat (7) diancam dengan denda Rp. 250.000; d. Persyaratan Teknis Ranmor tidak memenui persyaratan teknis meliputi : Kaca Spion, Klakson, Lampu utama, Lampu mundur, lampu batas tanda batas Dimensi badan kendaraan, lampu gandengan, lampu Rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, kedalaman alur ban, kaca depan, spakbor, bumper, penggandengan, penempelan, atau pengha49
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 41 - 54
pus kaca. Pasal 285 ayat 2 jo Pasal 106 (3) jo Pasal 48 (2) diancam dengan denda Rp. 500.000; e. Persyaratan laik jalan Ranmor tidak memenui persyaratan laik jalan sekurang-kurangnya meliputi ; a) Emisi Gas Buang ; b) Kebisingan suara; c) Efisiensi sistem rem utama; d) Efisiensi system rem parkir; e) Kincup Roda Depan; f) Suara Klakson; g) Daya pancar dan arah sinar lampu utama; h) Radius putar; i) Akurasi alat penunjuk kecepatan; j) Kesesuaian kinerja roda dan kondisi Ban; k) Kesesuaian daya mesin pengerak terhadap berat kendaraan Pasal 286 jo Pasal 106 ayat (3) jo Pasal 48 (3). Diancam dengan denda Rp. 500.000; 5. Penumpang Kendaraan bermotor yg duduk di samping pengemudi (Sabuk Keselamatan) Tidak menggunakan sabuk keselamatan Pasal 289 jo 106 ayat (6) diancam dengan denda Rp. 250.000; 6. Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum atau Angkutan Orang: a. Buku Uji Ranmor tidak dilengkapi dengan surat keterangan Uji berkala Pasal 288 ayat (3) jo ps 106 (5) hrf (c) diancam dengan denda Rp. 500.000; b. Tidak singgah di terminal sesuai ijin trayek Kendaraan bermotor umum dalam trayek tidak singgah diterminal. Pasal 276 jo Pasal 36 diancam dengan denda Rp. 250.000; c. Tanpa ijin dalam trayek Tidak memiliki ijin menyelangarakan angkutan orang dalam trayek Pasal 308 huruf (a) jo psl 173 ayat (1) huruf (a) diancam dengan denda Rp. 500.000; d. Tanpa Ijin tidak dalam Trayek Tidak memiliki ijin menyelanggarakan angkutan orang tidak dalam trayek Psl 308 huruf (b) jo Pasal 173 ayat (1) huruf (b). Diancancam dengan denda Rp. 500.000; 50
e. IjinTrayek Menyimpang Menyimpang dari ijin yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173. Pasal 308 huruf (c) jo Pasal 173 diancam dengan denda Rp. 500.000; f. Pengunaan jalur atau lajur Tidak menggunakan lajur yg tlah ditentukan atau tidak menggunakan lajur paling kiri kecuali saat akan mendahului / mengubah arah. Pasal 300 huruf (a) jo Pasal 124 ayat (1) huruf (c). Diancam dengan denda Rp. 250.000; g. Turun Naik Penumpang Tidak memberhentikan kendaraannya selama menaikkan dan/atau menurunkan penumpang Pasal 300 huruf (b ) Pasal 124 ayat (1) huruf (d) diancam dengan denda Rp. 250.000; h. Pintu tidak ditutup Tidak menutup Pintu kendaraan selama kendaraan berjalan Pasal 300 huruf (c) jo Pasal 124 (1) huruf (e) diancam dengan denda Rp. 250.000; i. Mengetem, menaikkan / turunkan penumpang tidak di Halte, melanggar jalur Trayek Tidak berhenti selain di tempat yang telah ditentukan, mengetem, menurunkan penumpang selain di tempat pemberhentian, atau melewati jaringan jalan selain yang ditentukan dalam ijin trayek Pasal 302 jo Pasal (126) diancam dengan denda Rp. 250. 000; j. Ijin khusus disalahgunakan Kendaraan angkutan orang dengan tujuan tertentu, tapi menaikkan atau menurunkan penumpang lain di sepanjang perjalanan atau menggunakan kendaraan angkutan tidak sesuai dengan angkutan untuk keperluan lain. Pasal 304 jo Pasal 153 ayat (1) diancam dengan denda Rp. 250.000; 7. Pengemudi Kendaraan Bermotor Bus tidak dilengkapi dengan surat keterangan uji berkala dan tanda lulus uji berkala Pasal 288 ayat (3) jo Pasal 106 (5) huruf (c) diancam dengan denda Rp. 500.000; 8. Pengemudi Angkutan Barang: a. Buku Uji Ranmor dan/atau kereta Gandengannya atau kereta tempelannya ti-
Analisis Yuridis Penerapan Aturan dan Sanksi …
dak dilengkapi dgn surat keterangan uji berkala & tanda lulus uji berkala. Pasal 288 ayat (3) jo Pasal 106 ayat (5) huruf (c) diancam dengan dengan 500.000; b. Jaringan Jalan Tidak menggunakan jaringan jalan sesuai dengan kelas jalan yang ditentukan Pasal 301 jo Pasal (125) diancam dengan dengan denda Rp. 250.000; c. Mengangkut Orang Mobil barang untuk mengangkut orang tanpa alasan Psl (303) jo pasal 137 ayat (4) hrf (a), (b), (c) diancam dengan denda Rp. 250. 000; d. Surat Muatan Dokumen Perjalanan Membawa Muatan, tidak dilengkapi Surat muatan dokumen perjalanan Pasal 306 jo Pasal 168 ayat (1) diancam dengan denda Rp. 250.000; 9. Pengemudi Angkutan Umum Barang: a. Tata Cara Pemuatan Barang Tidak mematui ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi kendaraan Pasal 307 jo Pasal 169 ayat (1) diancam dengan denda Rp. 500.000; b. Buku Uji Ranmor dan/ atau kereta gandengannya atau kereta tempelannya tdk dilengkapi dgn surat keterangan uji berkala & tanda lulus uji berkala. Pasal 288 ayat (3) jo Pasal 106 ayat (5) huruf (c) diancam dengan denda Rp. 500. 000; 10. Pengemudi yang mengangkut barang Khusus (Persyaratan keselamatan dan keamanan) Tidak memenuhi ketentuan persyaratan keselamatan, pemberian tanda barang, parkir, bongkar dan muat, waktu operasi dan rekomendasi dan instansi terkait Pasal 305 jo pasal 162 ayat (1) huruf (a,b,c,d,e dan f ). Diancam dengan denda Rp. 500. 000; 11. Pengendara Sepeda Motor: a. lampu Tanpa menyalakan Lampu utama pada siang hari Psl 293 ayat (2) jo Pasal 107 (2) diancam dengan denda Rp. 100.000; b. Helm Standart, Tidak menggunakan helm standar Nasional Indonesia Pasal 291 ayat (1) jo Pasal 106 ayat (8) diancam dengan denda Rp. 250.000;
Surajiman & Diah Ratu Sari Harahap
c. Helm Penumpang Membiarkan Penumpangnya Tidak mengenakan Helm Pasal 291 ayat (2) jo Pasal 106 ayat (8) diancam dengan denda Rp. 250.000; d. MuatanTanpa Kereta samping mengangkut penumpang lebih dari 1 orang Pasal 292 jo Pasal 106 ayat (9) diancam dengan denda Rp. 250.000; e. Persyaratan Teknis dan laik jalan Tdk Memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan, meliputi : kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah, atau alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, knalpot dan kedalaman alur ban. Pasal 285 ayat (1) jo Pasal 106 ayat (3), dan Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3) diancam dengan denda Rp. 250.000; 12. Pengendara Kendaraan tidak bermotor Dengan sengaja: a. Berpegangan pada kendaraan bermotor untuk ditarik; b. Menarik benda-benda yang dapat membahayakan pengguna jalan lain, dan/atau; c. Menggunakan jalur jalan Kendaraan Bermotor. Sedangkan telah disediakan jalur jalan khusus bagi kendaraan tidak bermotor. Pasal 299 jo 122 hrf (a,b dan c) diancam dengan denda Rp.100.000; 13. Balapan liar di Jalanan: Pengendara bermotor yang balapan di jalan akan dikenai pidana kurungan paling lama satu tahun atau diancam dengan denda Rp 3.000.000 (Pasal 297). G. PENERAPAN HUKUM DI BIDANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN TERHADAP PENGENDARA SEPEDA MOTOR 1. Penerapan Hukumnya Jumlah kendaraan yang terus bertambah setiap tahun, bahkan bulan dan hari - terutama sepeda motor, di samping memberi pengaruh positif juga menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif tersebut yaitu adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pengendara sepeda motor. 51
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 41 - 54
Secara kasat mata menurut pengamatan Penulis pelanggaran lalu lintas oleh pengendara sepeda motor antara lain berpenumpang lebih dari dua orang, tidak menggunakan helm, menggunakan helm yang tidak standar SNI, melanggar rambu lalu lintas, melebihi kecepatan maksimal, menggunakan knalpot yang tdak standar (bising), menggunakan klakson yang melebihi kapasitas, menggunakan lampu rem yang yang menyilaukan, measuki jalur busway, melawan arus, naik trotoar, tidak memiliki STNK yang sah, tidak memiliki SIM, dan lain-lain. Pelanggaran yang dilakukan oleh pengendara sepeda motor sudah sedemikian seriusnya sehingga perlu diperlukan usaha yang serius dalam penegakan hukumnya. Penegakan hukum yang dilakukan oleh penegak hukum (Polisi Lalu Lintas) berupa tindak langsung (Tilang) selama ini cenderung lebih “lunak”, ditambah lagi hukuman yang dijatuhkan oleh hakim tidak maksimal. Selama ini berdasarkan data yang tersedia menunjukkan bahwa hukuman/sanksi yang dijatuhkan oleh hakim sangat jauh dari ancaman maksimal yang terdapat dalam Undang Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan jalan. Suatu pelanggaran yang misalnya ancaman dendanya Rp. 250. 000.- oleh hakim hanya dijatuhi hukuman paling tinggi Rp. 125.000.-. kalaupun ada yang dijatuhi sanksi maksimal hanya sebagian kecil saja. Polisi yang bekerja di lapangan adalah pihak yang sangat berperan untuk meletakan pasal-pasal yang dilanggar oleh pengendara sepeda motor. Pasal-pasal tersebut bukan berarti diterapkan secara sembarang, melainkan ditaruh atas pelanggaran yang terjadi. Dalam beberapa kasus polisi “terkesan tidak serius”, menggunakan pasal berlapis yang dilanggar oleh pengendara sepeda motor. Misalnya pelanggaran atas tidak menggunakan helm, berkendara lebih dari dua orang, tidak memiliki SIM, melanggar rambu lalu lintas, sepeda motor menyalahi spesifikasi standarisasi. Dalam kasus ini polisi misalnya hanya menindak satu pasal saja seperti melanggar rambu lalu lintas saja. Padahal kalau diperhatikan jenis pelanggaran yang dilanggar beberapa 52
pasal sehingga hukumannya menjadi kumulasi. Peran polisi yang “menerakan” pasal pelanggaran membawa konsekuensi logis pada putusan hakim dalam persidangan tilang di pengadilan. Putusan hakim terhadap pelanggaran lalu lintas (tilang polisi) tidak akan melebihi atas tilang yang diterakan (catat) oleh polisi. Kesimpulan yang dapat ditarik penegakan hukum bagi pelanggar aturan lalu lintas seperti sepeda motor dirasakan tidak maksimal. 2. Analisis Terhadap Penerapan Hukumnya Penerapan hukum terhadap pengendara sepeda motor yang melanggar Undang Undang Lalu lintas dan Angkutan Jalan dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain: pembiaran terhadap pelanggaran, penindakan yang tidak maksimal, penindakan maksimal. Pertama, pembiaran terhadap pelanggaran lalu lintas. Hal yang sangat lumrah menjadi pemandangan sehari-hari bahwa jumlah pelanggar lalu lintas di jalan raya sudah tidak terhitung. Para pelanggar tersebut sebagian besar tidak ditindak oleh polisi. Beberapa alasan tidak ditindaknya tersebut antara lain karena: i) terbatasnya jumlah petugas, ii) tidak beradanya petugas di lapangan, iii) petugas terkesan “cuek” terhadap pelanggar, iv) petugas terkesan tidak ingin capek, v) petugas sangat familiar dengan masyarakat setempat. Kesan pembiaran yang dilakukan oleh polisi (petugas) tidak dapat “digebyah uyah” (digeneralisasi) untuk semua kasus dan tempat. Faktanya, untuk lokasi tertentu polisi (petugas) sangat tegas dalam mengambil tindakan, misalnya di jalan-jalan protokol yang ada di Jakarta seperti jalan Sudirman, jalan Thamrin, Gatot Subroto dan beberapa jalan yang melalui kantor pemerintahan dan area bisnis. Begitupa di jalan Margonda Raya Kota Depok, polisi sangat menjaga ketertiban. Jalan-jalan yang dijaga ketertibannya seperti yang disebutkan di atas di Indonesia tentu sangat terbatas jumlahnya. Dapat dibayangkan, betapa banyak jalan dan lokasi yang tidak dijaga secara rutin oleh polisi, dan hanya mengandalkan rambu-rambu lalu lintas yang jumlahnya juga terbatas serta kesadaran masyarakat yang belum maksimal,
Analisis Yuridis Penerapan Aturan dan Sanksi …
sehingga pelanggaran dalam berlalu lintas dirasakan semakin kritis. Akibat dari pembiaran ini masyarakat menganggap bahwa pelanggaran terhadap aturan lalu lintas dianggap bukanlah “dosa”, yang lama-kelamaan menjadi budaya biasa. Kedua, penindakan yang tidak maksimal. Ada beberapa alasan mengapa petugas tidak maksimal terhadap pelaku pelanggar lalu lintas, seperti pengendara sepeda motor, yaitu: kesalahan pelanggar masih dapat dimaafkan, petugas mengambil keuntungan atas pelanggaran tersebut, petugas “rikuh” (sungkan) karena sudah kenal atau familiar dengan pelanggar dan masyarakat setempat, petugas kasihan terhadap pelanggar. Situasi dan kondisi demikian menyebabkan timbulnya anggapan dari masyarakat bahwa pelanggaran lalu lintas yang kemudian ada tindakan yang tidak tegas menjadi dianggap sepele. Akibatnya, bahwa setiap pelanggaran yang dilakukan dirasakan seperti tidak merasakan pengaruh yang berarti (signifikan) dari tindakan yang dijatuhkan sanksinya. Ketiga, penindakan yang maksimal. Beberapa kasus polisi di lapangan berani mengambil tindakan tegas terhadap pelanggar lalu lintas. Tindakan tegas tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yaitu: pelanggar terangterangan menyepelekan imabauan petugas, perintah dari komandan bahwa semua pelanggar lalu lintas pada lokasi dan tempat tertentu harus ditindak tegas (diberi hukuman maksimal), petugas sangat menyadari bahwa pelanggar harus dijatuhi hukuman (tilang) yang maksimal dengan tujuan untuk mendidik dan menimbulkan efek jera. Kemampuan dan kemauan dari petugas kepolisian dalam menindak secara tegas dengan mencantumkan semua jenis pelanggaran terhadap pelanggar lalu lintas harus diapresiasi oleh hakim dalam menjatuhkan hukuman. Kemauan hakim menjatuhkan sanksi maksimal seperti yang diterakan oleh polisi akan menjadi momentum yang baik dalam penegakan hukum lalu lintas. Tentunya hakim harus juga mempertimbangkan pembelaan yang diajukan oleh si pelanggar. Bagi pelanggar lalu lintas yang tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah harus dianggap sebagai tindakan
Surajiman & Diah Ratu Sari Harahap
yang menyepelekan sanksi pelanggaran. Dalam kasus seperti ini hakim harus menjatuhkan sanksi yang maksimal. H. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas kesimpulan yang bisa ditarik, bahwa: a. Ketentuan hukum yang mengatur tentang sepeda motor dan penggunaannya sudah tersedia sedemikian rupa, mulai dari Undang Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sampai kepada peraturan pelaksanaannya, termasuk kepada peraturan yang sifatnya administratif yaitu upaya dari pemerintah dan perbankan guna membatasi penggunaan sepeda motor. Hanya saja diakui bahwa peraturan perundangan yang dimaksud tidak mengatur secara spesifik khusus bagi sepeda motor. b. Ancaman sanksi yang dijatuhkan pada pengguna sepeda motor umumnya adalah sanksi denda. Sanksi denda ini diatur dijatuhkan terhadap pelanggar lalu lintas yang secara nyata telah melakukan pelanggaran. Namun pelanggaran yang menimbulkan cacatnya orang atau bahkan menimbulkan kematian si pelanggar diancam dengan pidana kurungan. c. Sanksi yang dilakukan oleh polisi (petugas) dalam bentuk tilang masih beragam, mulai dari yang paling ringan yaitu hanya mencantumkan salah satu pasal yang dilanggar saja, sampai dengan mencantumkan pasal berlapis. Tindakan petugas dengan “memilihkan” pasal yang paling ringan menggiring opini masyarakat bahwa pelanggaran lalu lintas dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan sepele. Hal ini akan mengikat hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar lalu lintas. Sanksi yang berat hanya dilakukan oleh polisi (petugas) dalam kasuskasus tertentu karena ada alasan yang khusus pula. 53
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 41 - 54
2. Saran Sudah saatnya bahwa negara dalam hal ini para penegak hukum mengambil sikap untuk menerapkan hukum di bidang lalu lintas secara tegas. Kelalaian, ketidakkonsistenan, dan ketidaktegasan dari aparat penegak hukum membuat masyarakat tidak percaya kepada hukum. Oleh karena di samping melakukan upaya-upaya lain dalam memperbaiki sistematisasi lalu lintas dan angkutan jalan, pene-
gakan hukum lalu lintas harus ditegakkan. Sehingga citra negara hukum seperti yang terdapat dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dapat tercapai. I. Jadwal Penelitian Penelitian dilakukan selama 1 (satu) semester dimulai bulan Maret 2013 sampai dengan bulan September 2013.
DAFTAR PUSTAKA BUKU: Adisasmita, Sakti Adji Adisasmita, Transportasi dan pengembangan Wilayah. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988. Ibrahim, Johnny. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing, 2005. Krabbe, The Modern Idea of The State, Authorized Translation With An Introduction By George H. Sabine and Walter J. Shepard. New York-London: D. Appleton And Company, 1922. Makarim, Edmon, Tanggung Jawab Hukum Penyelenggara Sistem Elektronik .Jakarta: Lembaga Kajian Hukum Teknologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010. Majelis Permusyawaratan Rakyat, Panduan Pemasyarakatan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2011. Sjawie, Hasbullah, Kedudukan dan Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggungjawaban Pidana Perseroan TerbatasSebagai Korporasi, Disertasi (Jakarta: Program Pascasarjana Doktor Ilmu Hukum – Universitas Trisakti, 2011), hal. 21. Soekanto, Soerjono, Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007. Internet: http://carapedia.com/pengertian_definisi_teori_menurut_para_ahli_info502.html, Undang Undang: Undang Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
54
STRATEGI PEMBERANTASAN KEJAHATAN KORUPSI: KAJIAN LEGAL SOSIOLOGIS Oleh: Prof. Dr. Faisal Santiago, SH. MM
Abstrak Kejahatan korupsi menjadi salah satu topik yang secara konsisten mendominasi wacana publik pasca reformasi secara luas serta menjadi salah satu program utama pemerintah bahkan lintas negara. Kejahatan Korupsi oleh masyarakat international dikatagorikan sebagai “trans national crimes” serta dikatagorikan pula sebaga “extra ordinary crimes”, diperlukan kesepahaman political will guna dipersiapkan strategi khusus dalam penanganannya. Dibeberapa negara di dunia secara institusional memang telah didirikan lembaga khusus, termasuk di Indonesia yang disebut sebagai institusi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi(KPK). Sejumlah perangkat hukum sebagai instrumen legal dalam proses pemberantasan korupsi di Indonesia telah diberlakukan. Namun efektivitas hukum dan pranata hukum serta penegakan hukum belum cukup memadai sehingga kejahatan korupsi di Indonesia tetap terus berkembang. Permasalahannya, terletak pada konsep strategi pemberantasan kejahatan korupsi. Guna menghasilkan pemikiran representatif, untuk itu penulis mempergunakan kajian berdasarkan pendekatan teori Legal System yang dicetuskan Lawrence Meyer Friedman, yang berintikan tiga komponen, yaitu: legal structure, legal substance, dan legal culture. Dalam pendekatan legal sosiologis dimaksudkan guna mempermudah explanation pemikiran dalam rangka menghasilkan opini strategis dalam pemberantasan kejahatan korupsi. Dalam hal konsep strategi pemberantasan kejahatan korupsi, pemerintah harus melancarkan strategi quick win di berbagai sektor, perlu disusun skala prioritas untuk memberantas korupsi, terutama pencegahan korupsi serta harus menjadi bagian dari perlawanan masyarakat serta harus memfasilitasi dan mendukung civil society maupun kelompok kritis lainnya agar mampu menggalang tekanan publik dan melakukan aksi-aksi sosial berkelanjutan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Kata kunci: Pemberantasan kejahatan korupsi Abstract Crime corruption became one of the topics that consistently dominate public discourse and postreform broadly into one of the major government programs and even cross country. Corruption by public international crimes categorized as "trans-national crimes," and also categorized sebaga "extraordinary crimes", understanding the political will required a specific strategy in order to be prepared to handle. In some countries in the world have indeed institutionally established special institutions, including in Indonesia, which is referred to as an institution Corruption Eradication Commission (KPK). A number of legal instruments as a legal instrument in the process of combating corruption in Indonesia have been put in place. However, the effectiveness of law and legal institutions and law enforcement is not sufficient so that the evil of corruption in Indonesia still continues to grow. The problem, lies in the concept of crimes of corruption eradication strategy. In order to produce a representative thinking, to use the author's study is based on theoretical approaches that triggered Legal System Lawrence Meyer Friedman, who cored three components, namely : legal structure, legal substance, and legal culture. In the legal approach is intended to facilitate explanation of sociological thought in order to produce a strategic opinion in eradicating corruption crimes. In terms of the concept of crimes of corruption eradication strategy, the government should launch a quick win strategies in various sectors, priorities need to be 55
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 55 - 69
prepared to combat corruption, especially corruption and prevention should be a part of community resistance and should facilitate and support civil society and other critical groups to be able to mobilize public pressure and perform ongoing social action, both nationally and at the local level. Keywords : Eradication of corruption crimes A. Pendahuluan Hampir kebanyakan negara terutama negara berkembang, dalam hal memecahkan masalahnya antara lain direpotkan dengan persoalan korupsi. Kejahatan korupsi secara berkelanjutan selalu menjadi bahan perbincangan diberbagai forum publik. Perbincangan tentang kejahatan korupsi berkembangan dari tingkat kalangan masyarakat bawah, menengah termasuk kalangan elit. Demikian pula dengan kementerian dan lembaga-lembaga pemerintah kerap dituding sebagai sarang korupsi. Padahal lembaga-lembaga tersebut mempublikasikan mendesain program good governance dan pemberantasan korupsi. Namun, korupsi menjadi salah satu topik yang secara konsisten mendominasi wacana publik pasca reformasi secara luas. Pemberantasan korupsi juga menjadi salah satu program utama pemerintah bahkan lintas negara. Di Indonesia, seiring dengan kebijakan desentralisasi dan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara langsung, korupsipun menjadi bagian yang dapat menarik perhatian publik, karena korupsi di daerah bisa disaksikan langsung oleh masyarakat lokal. Relasi sosial yang lebih pendek di tingkat lokal membuat masyarakat dapat menyaksikan langsung bagaimana politikus yang semula miskin mendadak kaya raya setelah menduduki jabatan formal, seperti anggota DPRD atau kepala daerah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam laporan akhir tahunnya hingga akhir tahun 2013, kepada wartawan di Jakarta, secara keseluruhan baru menangani 70 perkara. Sedangkan pada 2012, berhasil menangani 49 perkara. Pada 2013, KPK melakukan 76 kegiatan penyelidikan, 102 penyidikan, dan 66 penuntutan. Sementara untuk eksekusi lebih dari 40 keputusan pengadilan. Dari kegiatan tersebut termasuk melakukan belasan operasi tangkap tangan. 56
KPK pada tahun 2013 melakukan tindakan 46 perkara korupsi yang terjadi di kementerian dan lembaga negara. Kasus di level pemerintah kabupaten dan kota berada di peringkat kedua, 18 kasus. Tiga kasus melibatkan wali kota, bupati, dan wakil bupati. Kemudian dua gubernur yang berada dalam daftar pejabat yang harus berurusan dengan KPK. Pihak swasta terdapat 24 perkara. Laporan KPK, mencatat adanya 51 kasus yang berkait dengan penyuapan. Dari laporan KPK akhir tahun 2013, anggaran yang digunakan. Dari Rp 703 miliar anggaran APBN, KPK hanya menggunakan Rp 357,6 miliar. Hingga saat ini KPK memiliki 987 personel. Ketua KPK Abraham Samad dalam laporan akhir tahun di kantornya, Jalan Rasuna Said, Jakarta, Senin (30/12/ 2013). "Pengembalian PNBP (penerimaan negara bukan pajak) dari penanganan tindak pidana korupsi dan gratifikasi sebesar Rp 1,196 triliun,". Kemudian tahun 2013 ini kegiatan KPK dilakukan dengan menggunakan APBN. Dari pagu sebesar Rp 703,8 miliar, KPK hanya menggunakan sebesar Rp 357,6 miliar. Di lain pihak, dalam keterangan pers tanggal 25 Nopember 2013 di Hotel Bidakara Jakarta, terkait kasus korupsi yang ditangani Polri, Kapolri Jenderal Polisi Sutarman menyatakan; Polri tahun 2013 menangani 1.363 kasus, naik 187 kasus dari tahun 2012 yang hanya 1.176 kasus. “Penyelesaian perkara korupsi tahun 2013 sebanyak 906 kasus, sedangkan pada tahun 2012 ada 657 kasus. Ada kenaikan 249 kasus atau 27,48 persen,”. Anggaran Polri untuk penanganan kasus korupsi jauh di bawah KPK dan wilayah operasionalnya juga sampai ke pelosok desa. Sutarman juga pernah mengungkapkan, hampir 70% anggaran yang dite-
Strategi Pemberantasan Kejahatan Korupsi: …
rima Polri hanya habis untuk gaji personelnya. “Tepatnya 67 persen dari alokasi anggaran,".1 Berkembangnya dinamika korupsi menjadi keprihatinan di tingkat lokal saat APBD dan berbagai pengadaan barang pemerintah dikorupsi oleh elite politik lokal. Fakta terkait penegakan hukum, proses dan penegakan hukum sering mengejutkan masyarakat. Sebut saja seperti yang terjadi di Padang beberapa waktu lalu,hampir seluruh anggota DPRD Sumatera Barat ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus korupsi.2 Fakta lain dari pelaku korupsi yang berpredikat penegak hukum atau penyelenggara negara dan pemerintahan yang tiada punya rasa malu melakukannya, seperti tertangkap basahnya mantan ketua MK, Akil Muchtar dan mantan Kepala Kajari Praya Lombok Tengah, serta dijadikannya tersangka mantan Menteri Olah Raga dan Gubernur Banten Atut Chosiah oleh KPK. Hal ini disaksikan masyarakat dari jarak dekat, sehingga tidak mengherankan korupsi menjadi wacana publik utama bila terjadi di tingkat nasional. Pemberantasan korupsi di Indonesia pada dasarnya sudah dilakukan sejak empat dekade silam atau tepatnya sejak 10 tahun negara ini merdeka. Sejumlah perangkat hukum sebagai instrumen legal yang menjadi dasar proses pemberantasan korupsi di Indonesia telah diberlakukan sejak lama. Namun efektivitas hukum dan pranata hukum serta penegakan hukum belum cukup memadai sehingga menyebabkan iklim korupsi di Indonesia tidak kunjung membaik. Indeks korupsi yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga independen yang 1
Catatan penulis yang dihimpun dari berbagai media cetak dan elektronik, 3 Januari 2014. 2 Pada Mei 2004, Pengadilan Negeri Padang memvonis 43 dari total 44 anggota DPRD Sumatera Barat bersalah dalam kasus korupsi APBD 2002. Mereka dinilai telah melakukan korupsi karena mengalokasikan anggaran penghasilan dan berbagai macam tunjangan yang merugikan keuangan negara. Forum Peduli Sumatera Barat (FPSB) menghitung setidaknya ada 27 jenis penghasilan; lihat Saldi Isra, "Ruang Publik dan Desentralisasi: Pengalaman Forum Peduli Sumatera Barat", dalam Agus Sudibyo et al., Republik tanpa Ruang Publik (Yogyakarta: IRE Press dan Yayasan SET, 2005).
Faisal Santiago
berbeda, dengan metode dan variabel yang juga berbeda, namun menghasilkan hasil pengukuran yang relatif sama, yakni menempatkan Indonesia di ranking paling bawah. Hasil studi yang dilakukan Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2006 adalah 2,4 dan menempati urutan ke-130 dari 163 negara. Sebelumnya, pada tahun 2005 IPK Indonesia adalah 2,2, tahun 2004 (2,0) serta tahun 2003 (1,9).3 Bahkan berdasarkan hasil survei di kalangan para pengusaha dan pebisnis oleh lembaga konsultan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hong Kong, Indonesia kembali dinilai sebagai negara paling terkorup di Asia pada awal tahun 2004 dan 2005. Hasil survey PERC menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling korup di antara 12 negara Asia. Predikat negara terkorup diberikan karena nilai Indonesia hampir menyentuh angka mutlak 10 dengan skor 9,25 (nilai 10 merupakan nilai tertinggi atau terkorup). Sedangkan pada tahun 2005 Indonesia masih termasuk dalam tiga teratas negara terkorup di Asia.4 Tindak pidana korupsi di Indonesia di samping merugikan secara langsung bagi pertumbuhan perekonomian dan pemerataan pembangunan nasional, juga berdampak negatif bagi masuknya investasi asing ke Indonesia, serta melunturkan citra dan martabat bangsa di dunia internasional. Karenanya, dapat disimpulkan bahwa strategi pemberantasan korupsi harus dibangun dengan adanya itikad kolektif berupa kemauan dan kesungguhan (willingness) dari semua pihak untuk bersama-sama tidak memberikan toleransi terhadap kejahatan korupsi. Memerangi kejahatan korupsi harus dicitrakan sebagai kesepahaman dan diperlakukan bahwa korupsi sebagai perilaku extra ordinary crime yang 3
Azis Budianto, Pemberantasan Tindak Pidana di Indonesia, Cintya Press, Jakarta 2007, hal 19 4 Muchlis Pratikno, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dan Permasalahannya, Pamator Press, Jakarta, 2006, hal 32.
57
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 55 - 69
mengancam cita-cita negara, yang memerlukan penanganan hukum secara lebih serius. Di samping itu, keberhasilan penanganan korupsi di negara-negara lain hendaknya dapat dijadikan perbandingan atau pembelajaran strategi anti korupsi yang kuat dalam menangani pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sebagai contoh, Singapura dan Hong Kong atau bahkan Malaysia hanya memiliki satu lembaga anti korupsi yang memiliki kewenangan penuh untuk menyelidiki dan mengajukan tuntutan kasus-kasus korupsi. B. Permasalahan Dari latar belakang pemikiran singkat tersebut maka permasalahan besarnya adalah: bagaimana mengkonsepkan wujud strategi pemberantasan korupsi di Indonesia. C. Kajian Teori Guna memudahkan alur analisis dalam menjawab permasalahan dalam rangka menghasilkan pemikiran ilmiah yang representatif, untuk itu penulis akan mempergunakan kajian berdasarkan pendekatan teori Legal System yang dicetuskan oleh Lawrence Meyer Friedman. Meskipun permasalahan ini dikaji berdasarkan teori tersebut, namun penulis akan mempergunakan pendekatan legal sosiologis guna mempermudah explanation pemikiran yang dihimpun dalam rangka menjawab permasalahan tersebut. Tesis yang lazim dari Lawrence M. Friedman terkait teorinya, bahwa teori tersebut dalam setiap sistem hukum senantiasa mengandung tiga komponen, yaitu: legal structure, legal substance, dan legal culture.5 Pemahaman legal structure, dikemukakan Friedman sebagai berikut. First many Features of a working legal system can be called Structural The moving parts, so to speak of the machine courts are simple and obvious example, their structures can be described a panel of such and such a size, sitting at such and such a time, which this or that limitation on jurisdiction. The shape size and powers of legislature is another 5
Ibid., hal. 7.
58
element of structure. A written constitution is still another important feature in structural landshape of law. It is, or attempts to be the expression or blueprint of basic. Features of the country's legal process the organization and framework of Government." 6 Friedman kemudian mengidentifikasikan unsur-unsur sebuah sistem hukum, yakni sebagai berikut, pertama-tama sistem harus mempunyai struktur.7 Struktur sistem hukum ini merupakan kerangkanya, yang merupakan bagian yang bertahan paling lama yang memberikan bentuk tertentu dan batasan-batasan keseluruhan sistem hukum. Struktur sistem hukum terdiri dari unsur-unsur yang sejenis, misalnya pengadilan sebagai lembaga yang diberi wewenang menerapkan hukum, secara struktural menyangkut mengenai jumlah dan besarnya anggota majelis, lingkup kekuasaannya atau batas-batas kewenangan. Singkatnya, faham ini berkenaan dengan struktur lembaga pembuat undang-undang, dari lembaga-lembaga yang diberi wewenang untuk menerapkan hukum dan penegakkan hukum. Apabila komponen struktural sistem hukum ini dipahami dari perspektif institusi penegakan hukum terkait pemberantasan korupsi maka pihak atau institusi yang berwenang harus memiliki legitimasi yang sah dalam menyelesaikan tindak pidana korupsi. Dari uraian Friedman tersebut dapat diketahui bahwa unsur struktur dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan bermacam-macam fungsinya dalam rangka aktifitas sistem tersebut. Salah satu di antara lembaga itu adalah pengadilan. Unsur kedua dari sistem hukum menurut Friedman adalah substance, "The second type of component can be called "Substantive". There are the actual product of the legal system what the Judges, for example, actually say and do. Substance includes, naturally e6
Lawrence M. Friedman (b), "On Legal Development," Rutgers Law Review 24 (1969): 27. 34 7 Teks aslinya berbunyi, "to begin with the legal system has structure. "
Strategi Pemberantasan Kejahatan Korupsi: …
nough, those propositions referred to as legal rules realistically it also includes rules which are not written down i.e. those regulation of behavior that could be reduced to general statement every decision too is a substantive product of the legal system as is every doctrine announced in Court or enacted by legislature or adopted by agency of government."8 Komponen substance mencakup segala sesuatu yang merupakan hasil dari structure, di dalamnya termasuk norma hukum, baik yang berupa peraturan perundang-undangan, keputusan maupun doktrin-doktrin. Dikemukakan oleh Friedman dalam What is a legal system?,9 bahwa hukum tidak hanya dalam bentuk tertulis (undang-undang atau peraturan perundang-undangan) sebagai produk resmi dari perintah, tetapi juga berupa aturan-aturan atau hukum yang berasal di luar undang-undang. Karenanya, lanjut Friedman, terdapat dua cara untuk memandang hukum yakni hukum resmi yang berasal dari pemerintah, dan yang lainnya harus dilihat secara lebih luas.10 Untuk itu, ada suatu garis pembatas antara undang-undang dan aturan-aturan dan badan-badan (institusi-institusi) yang mempengaruhi manusia, dan menurut Friedman dalam pengertian inilah yang dimaksud dengan sistem hukum. Konkritnya, bahwa legal system tidak hanya sekedar memuat ketentuanketentuan hukum atau aturan-aturan saja, tapi juga mengenal prosedur, batas-batas wewenang dalam persidangan, dan mengenai hakim. Friedman mengatakan bahwa unsur sistem hukum bukan hanya terdiri atas structure dan substance saja. Melainkan masih ada yang lainnya yang merupakan unsur ketiga, adalah budaya Hukum (legal culture). Menurut Friedman legal culture adalah, "Legal Culture can be defined as those attitudes and values affecting behaviour related to law 8
Ibid. Friedman (b) , op. cit., hal. 1. 10 Teks aslinya berbunyi, "made up exclusively of official governmental act the other takes a broader approach". 9
Faisal Santiago
and its institution either positively or negatively. Love of litigation or a hatred of it is part of the Legal Culture as would be attitudes toward child rearing in, so far as these attitudes affect behaviour which is at least nomi-nally governed by law. The legal culture then is a general expression for the way the legal system fits into the culture of the general society."11 Budaya hukum mencakup sikap masyarakat atau nilai yang mereka anut yang menentukan kegiatan atau aktifitas sistem hukum yang bersangkutan. Sikap dan nilai inilah yang akan memberikan pengaruh baik yang positif maupun yang negatif terhadap tingkah laku yang berkaitan dengan hukum sehingga budaya hukum merupakan perwujudan dari pemikiran masyarakat dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum tersebut digunakan, dihindari atau dilecehkan.12 Setiap masyarakat, setiap daerah, setiap kelompok memiliki budaya hukum. Mereka memiliki sikap dan pandangan terhadap hukum yang tidak selalu sama. Dengan kata lain ide, pandangan dan sikap masyarakat terhadap hukum dipengaruhi oleh sub-culture seperti suku, atau etnik, usia, jenis kelamin, status sosial-ekonomi, kebangsaan, pekerjaan dan pendapatan, kedudukan dan kepentingan, lingkungan agama. Budaya hukum sebagai perwujudan dari pemikiran masyarakat terhadap hukum akan berubah sesuai perubahan sikap, pandangan serta nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat, karena itu pemahaman akan budaya hukum suatu masyarakat harus juga memperhatikan secara menyeluruh aspek kemasyarakatan dari masyarakat yang bersangkutan dan proses perubahan serta perkembangan yang terjadi di dalamnya.13 11
Laurence M. Friedman, "Legal Culture and Social Development, " Law and Society Review, 6 (1969) p. 19 dalam Henry W. Ehrmann, Comparative Legal Culture (New Jersey: Prentice-Hall Inc., 1976), ha1.9. 12 Friedman , op. cit., hal. 7. 13 Steward Macaulay, Lawrence M. Friedman, John Stookey, "Legal Culture Descriptious of Whole Legal System," dalam Steward Macaulay, Lawrence M. Friedman
59
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 55 - 69
Selain disebabkan perubahan sosial, budaya hukum juga dapat berubah akibat pendidikan, modernisasi teknologi, masuknya unsur asing dan berbagai pergerakan pembaharuan yang juga akan merubah pola pemikiran seseorang atau masyarakat terhadap budaya hukum. Dalam budaya hukum yang modern di dalamnya terkandung konsep mengenai individualisme. Pemahaman individualisme dalam hal ini adalah suatu konsep yang mengutamakan hak-hak dari perseorangan untuk dapat mengembangkan diri pribadinya sendiri, yang berusaha untuk memiliki secara bebas gaya hidupnya sendiri yang dapat memuaskan bagi pribadinya.14 Individualisme dalam pengertian budaya hukum merupakan pemikiran-pemikiran dan harapan-harapan masyarakat, hal ini tidak digantungkan pada kebebasan memilih secara nyata tetapi cukup bahwa mereka mengetahui adanya kebebasan yang dimilikinya tersebut. Konsep individualisme dan kebebasan memilih mencerminkan keputusan yang dapat diterima secara umum dan masuk akal serta dan mendasarkan kepada aspek-aspek realitas dunia modern. Konsep budaya hukum modern Friedman tersebut nampak sama dengan konsep budaya hukum terbuka menurut Satjipto Rahardjo yang mengatakan bahwa di dalam masyarakat modern setiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih dan menentukan terhadap hukum dan lembaga-lembaga yang akan berlaku bagi dirinya. Menurut Satjipto Rahardjo peran serta anggota masyarakat merupakan unsur penting terhadap bekerjanya hukum, karena mereka yang akan menjadi sasaran pengaturan hukum dan yang akan mendan John Stookey, Law and Society : Reading on the Social Study of Law, (New York: W.W. Norton Comp. 1995), hal. 165. Lihat Lawrence M. Friedman, "Legal Culture and the Welfare State," dalam Macaulay, Law & Socie, loc. cit., hal. 269. 14 Lawrence M. Friedman, The Republic of Choice (Cambridge: Harvard University Press, 1990), ha1.6164.
60
jalankan hukum positif.15 Segala sesuatu yang akan menjadi hukum di dalam masyarakat tersebut, akan ditentukan oleh sikap pandangan dan nilai-nilai yang dihayati dalam masyarakat yang bersangkutan. Satjipto Raharjo membedakan budaya hukum menjadi tiga macam yaitu budaya hukum masyarakat tradisional, budaya hukum masyarakat yang sedang berkembang dan budaya hukum masyarakat modern. Dalam masyarakat tradisional yang mempunya ciri utama ketertutupan berlaku budaya hukum absolut yang merupakan perwujudan dari keadaan masyarakat tradisional yang tidak memberikan kebebasan kepada individu untuk berusaha mendapatkan sesuatu yang sesuai pribadinya, menilai konflik sebagai sesuatu hal yang negatif serta tidak mengusahakan penyelesaian untuk mendapatkan ketenangan masyarakat bersama.16 Dalam masyarakat modern, terdapat budaya hukum terbuka, di mana terdapat kebebasan kesempatan untuk memilih dan menentukan hukum dan lembaga-lembaga yang berlaku baginya. Dalam konteks kebijakan dalam penyelenggaraan strategi pemberantasan korupsi maka diperlukan kebijakan sistemik yang dapat memberikan kemanfatan serta keadilan bagi seluruh kepentingan pentingan negara. Jika dikaitkan dengan teorinya L. Friedman, ketiga komponen tersebut yang diakomodir dalam sistem maka kepentingan negara harus dibingkai dengan hukum sekunder maupun primer dan tersier secara tepat, maupun legitimasi kewenangan dari penegak hukum, serta membangun budaya hukum masyarakat hingga pada tingkat memiliki kesadaran hukum ikut serta memerangi tindak pidana korupsi di Indonesia. Dapat disimpulkan dari teori legal sys15
Satjipto Rahardjo, "Budaya Hukum dalam Permasalahan Hukum di Indonesia," (makalah dalam seminar Hukum Nasional ke IV, Jakarta, 1979), ha1.39. 16 A. Budianto, Sosiologi Hukum, Pamator Press, Jakarta, 1998, hal 57
Strategi Pemberantasan Kejahatan Korupsi: …
tem Laurence M. Friedman yang mengidentifikasikan unsur-unsur sebuah sistem hukum, sebagai berikut, pertama; sistem harus mempunyai struktur.17 Struktur sistem hukum ini merupakan kerangkanya, yang merupakan bagian yang bertahan paling lama yang memberikan bentuk tertentu dan batasan-batasan keseluruhan sistem hukum. Struktur sistem hukum terdiri dari unsur-unsur yang sejenis, misalnya pengadilan sebagai lembaga yang diberi wewenang menerapkan hukum, secara struktural menyangkut mengenai jumlah dan besarnya anggota majelis, lingkup kekuasaannya atau batas-batas kewenangan. Singkatnya, faham ini berkenaan dengan struktur lembaga pembuat undang-undang, dari lembaga-lembaga yang diberi wewenang untuk menerapkan hukum dan penegakkan hukum. Apabila komponen struktural sistem hukum ini dipahami dari perspektif institusi penegakan hukum terkait pemberantasan korupsi maka pihak atau institusi yang berwenang harus memiliki legitimasi yang sah dalam menyelesaikan tindak pidana korupsi. Unsur kedua dari sistem hukum, adalah menyangkut "substansi". Pengertian substansi, adalah bentuk nyata yang dihasilkan oleh sistem hukum, baik berupa norma norma, dan pola-pola perilaku masyarakat, kesemuanya dikenal dengan sebutan "hukum", merupakan tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhi oleh suatu sistem hukum. Artinya, bahwa produk hukum sekunder maupun primer serta tersier harus dapat dilaksanakan secara tegas dan normatif, termasuk sanksi yang harus diberlakukan jika terjadi pelanggaran. Unsur ketiga dari sistem hukum adalah "budaya hukum". Menurut Friedman, budaya hukum ini merupakan sikap-sikap atau nilainilai dari masyarakat terhadap hukum. Budaya hukum ini memegang peranan penting untuk dapat mengarahkan perkembangan sistem hukum, karena itu berkenaan dengan persepsipersepsi, nilai-nilai, ide-ide, dan pengharapan masyarakat terhadap hukum.18 Friedman ke17
Teks aslinya berbunyi, "to begin with the legal system has structure." 18 Teks aslinya berbunyi "and this bring us to the third component of a legal system... the least obvious : the legal culture".
Faisal Santiago
mudian mengemukakan, bahwa "budaya hukum diletakkan sebagai faktor yang menentukan bagaimana sistem memperoleh tempat dalam rangka budaya masyarakat. Termasuk mewujudkan kesadaran peranan masyarakat sebagai budaya ikut serta melakukan kontrol sosialnya terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. D. Pembahasan Korupsi semakin menarik perhatian publik, terutama melalui liputan media massa, karena berbagai skandal korupsi satu per satu terungkap dan mengejutkan publik. Belum tuntas satu kasus diselesaikan oleh penegak hukum, muncul skandal lain dengan skala dan magnitudo semakin besar. Strategi pemberantasan korupsi harus sesuai kebutuhan, target, dan berkesinambungan. Dengan penetapan target, maka strategi pemberantasan korupsi akan lebih terarah, dan dapat dijaga kesinambungannya. Strategi pada dasarnya merupakan rencana berskala besar yang berorientasi pada jangka panjang yang jauh ke masa depan serta menetapkan sedemikian rupa sehingga memungkinkan organisasi berinteraksi secara efektif dengan lingkungannya dalam kondisi persaingan yang kesemuanya diarahkan pada optimalisasi pencapaian tujuan dan berbagai sasaran yang bersangkutan. Webster's New World Dictionary strategi didefisikan sebagai the science of planning and directing military operation. Selanjutnya Chandler mengemukakan bahwa strategi berperan sebagai alat untuk mencapai tujuan organisasi dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang, program tindak lanjut serta prioritas alokasi sumber daya. Hal senada, dikemukakan oleh Learned et.al bahwa strategi merupakan alat untuk menciptakan keunggulan bersaing. Dengan demikian salah satu fokus strategi adalah memutuskan apakah bisnis tersebut harus ada atau tidak ada. Strategi dapat dipandang sebagai suatu alat yang dapat menentukan langkah organisasi baik dalam jangka pendek mau-
61
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 55 - 69
pun jangka panjang. 19 Pada umumnya strategi merupakan rencana yang disatukan, menyeluruh dan terpadu yang mengaitkan keunggulan strategi organisasi dengan tantangan lingkungan dan dirancang untuk memastikan bahwa tujuan utama organisasi dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat oleh organisasi. Strategi sebuah organisasi, atau subunit sebuah organisasi lebih besar yaitu sebuah konseptualisasi yang dinyatakan atau yang diimplikasi oleh pemimpin organisasi yang bersangkutan, berupa: - Sasaran-sasaran jangka panjang atau tujuan-tujuan organisasi tersebut; - Kendala-kendala luas dan kebijakan-kebijakan, yang atau ditetapkan sendiri oleh sang pemimpin, atau yang diterimanya dari pihak atasannya, yang membatasi lingkup aktivitas-aktivitas organisasi yang bersangkutan. - Kelompok rencana-rencana dan tujuan-tujuan jangka pendek yang telah diterapkan dengan ekspektasi akan diberikannya sumbangsih mereka dalam hal mencapai sasaransasaran organisasi tersebut. 20 Implikasi dari eksistensi strategi tersebut maka strategi dapat dikatakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan akhir (sasaran), akan tetapi strategi sendiri bukan sekedar suatu rencana. Strategi harus bersifat menyeluruh dan terpadu. Strategi dimulai dengan konsep penggunaan sumber daya organisasi secara paling efektif dalam lingkungan yang berubah-ubah. Strategi harus dilaksanakan secara efektif, sehingga rencana strategi harus dipadukan dengan masalah operasional. Dengan kata lain, kemungkinan berhasil diperbesar oleh kombinasi perencanaan strategi yang baik dengan pelaksanaan strategi yang baik pula. 19
Mujiono Heryawan, Prinsip Manajemen Strategi, Jakal Press, Yogyakarta, 2001, hal 32. 20 Rukmanto, Manajemen Strategi Organisasi, Wacana Press, Jakarta, 2002, hal 95
62
Dalam hal implimentasi suatu strategi yang berkaitan dengan proses penegakan hukum dari aspek sosiologi hukum, masyarakat merupakan subyek hukum yang memiliki peran cukup besar. Karena itu, dalam memerangi tindak pidana korupsi, warga masyarakat mempunyai hak dasar untuk turut serta menjadi bagian dari strategi pemberantasan korupsi. Strategi pemberantasan juga harus bebas kepentingan golongan maupun individu, sehingga pada prosesnya tidak ada keberpihakan yang tidak seimbang. Semua strategi berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku dan objektif. Instrumen strategi pemberantasan lain yang menjadi bagian dari elemen masyarakat adalah pers. Transparansi dapat difasilitasi dengan baik dengan adanya dukungan media massa yang memainkan peranannya secara kuat. Dengan adanya kebebasan pers, maka kontrol masyarakat dapat semakin ditingkatkan lagi. Keterukuran strategi merupakan hal yang tidak bisa dikesampingkan. Salah satu caranya yaitu membuat mekanisme pengawasan dan evaluasi atas setiap tahapan pemberantasan korupsi dalam periode waktu tertentu secara berkala. Selain itu juga, dalam rangka penyusunan strategi yang terukur, perlu untuk melakukan survei mengenai kepuasan masyarakat atas usaha pemberantasan korupsi yang telah dilakukan pemerintahan. Terakhir adalah bahwa sebuah strategi pemberantasan memerlukan prinsip transparan dan bebas konflik kepentingan. Transparansi ini untuk membuka akses publik terhadap sistem yang berlaku, sehingga terjadi mekanisme penyeimbang. Pemberantasan korupsi memang membutuhkan waktu cukup lama dan sumber daya besar. Memberantas korupsi ibarat memperkenalkan nilai baru kepada masyarakat yang terlanjur menganggap korupsi sebagai praktik yang wajar dan normal. Akan tetapi, dengan program pemberantasan korupsi yang gencar dilakukan dan dengan ditegakkannya hukum, proses pemberantasan korupsi bisa berjalan dengan cepat. Mengadopsi keberhasilan negara lain, pemberantasan korupsi tidak perlu mengulang kesalahan yang sama sehingga korupsi, dengan cepat dapat dibersihkan.
Strategi Pemberantasan Kejahatan Korupsi: …
Untuk itu, dalam mewujudkan sebuah strategi yang efektif, dibutuhkan pemenuhan prasyarat sebagai berikut : - Didorong oleh keinginan politik serta komitmen yg kuat dan muncul dari kesadaran sendiri - Menyeluruh dan seimbang - Sesuai dengan kebutuhan, ada target, dan berkesinambungan - Berdasarkan pada sumber daya dan kapasitas yang tersedia - Terukur - Transparan dan bebas dari konflik kepentingan Political will serta komitmen yang harus dibangun, maka perlu menegaskan kembali political will pemerintah, diantaranya melalui : - Penyempurnaan undang-undang Anti Korupsi yang lebih komprehensif, mencakup kolaborasi kelembagaan yang harmonis dalam mengatasi masalah korupsi - Kontrak politik yang dibuat pejabat publik - Pembuatan aturan dan kode etik PNS - Pembuatan pakta integritas - Penyederhanaan birokrasi (baik struktur maupun jumlah pegawai) Penyempurnaan perundang-undangan terkait pemberantasan tindak pidana korupsi selain untuk menjawab dinamika dan perkembangan kualitas kasus korupsi, juga untuk menyesuaikan dengan instrumen hukum internasional. Saat ini isu korupsi tidak lagi dibatasi sekat-sekat negara, namun telah berkembang menjadi isu regional bahkan internasional. Hal ini tidak lepas dari praktek korupsi yang melibatkan perputaran dan pemindahan uang lintas negara. Adanya kewenangan yang jelas dan tegas yang diberikan oleh suatu lembaga anti korupsi juga menjadi kunci keberhasilan strategi pemberantasan korupsi. Tumpang tindih kewenangan di antara lembaga-lembaga yang menangani masalah korupsi menyebabkan upaya pemberantasan korupsi menjadi tidak efektif dan efisien. Strategi pemberantasan korupsi harus juga bersifat menyeluruh dan seimbang. Ini berarti bahwa strategi pemberantasan yang parsial dan
Faisal Santiago
tidak komprehensif tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas. Berkenaan dengan hal itu maka, strategi pemberantasan korupsi harus dilakukan secara adil, dan tidak ada istilah “tebang pilih” dalam memberantas korupsi. Di samping itu penekanan pada aspek pencegahan korupsi perlu lebih difokuskan dibandingkan aspek penindakan. Upaya pencegahan (ex ante) korupsi dapat dilakukan, antara lain melalui: - Menumbuhkan kesadaran masyarakat (public awareness) mengenai dampak destruktif dari korupsi, khususnya bagi PNS. - Pendidikan anti korupsi - Sosialisasi tindak pidana korupsi melalui media cetak dan elektronik - Perbaikan remunerasi PNS Upaya penindakan (ex post facto) korupsi harus memberikan efek jera, baik secara hukum, maupun sosial. Selama ini pelaku korupsi, walaupun dapat dijerat dengan hukum dan dipidana penjara ataupun denda, namun tidak pernah mendapatkan sanksi sosial. - Hukuman yang berat ditambah dengan denda yang jumlahnya signifikan. - Pengembalian hasil korupsi kepada negara. - Tidak menutup kemungkinan, penyidikan dilakukan kepada keluarga atau kerabat pelaku korupsi. Dari perspektif penegakan hukum kendala pemberantasan korupsi dapat dilihat dari tiga faktor dominan yang mempengaruhi tegak tidaknya hukum terhadap sang koruptor. Faktor-faktor tersebut adalah : 1. Faktor pertama adalah faktor penegak hukum, faktor manusianya, di tengah maraknya tindakan represif melalui pengadilan (litigation) terhadap para koruptor masih ada saja penegak hukum yang justru memanfaatkan posisinya untuk keuntungan pribadi. Seperti kasus penyidik KPK Suparman, kasus hakim perkara korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Meski tak banyak jumlahnya,kasus ini merupakan indikator masih maraknya korupsi di lembaga-lembaga penegakan hukum. 2. Berkembangnya modus operandi ko63
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 55 - 69
rupsi utamanya di bidang “rekayasa keuangan” merupakan faktor kedua yang mempengaruhi penegakan hukum. Privatisasi tindakan kriminal terjadi di bidang pasar modal, asuransi, serta melalui instrumen-instrumen keuangan lainnya yang bersifat keperdataan. Tidak sedikit perjanjian-perjanjian keperdataan membungkus tindakan koruptif. 3. Faktor ketiga, Instrumen hukumnya. Meski baru beberapa bulan saja tepatnya sejak Desember 2006 pasca lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapuskan satu unsur tindak pidana korupsi, yaitu unsur melawan hukum materiil dianggap bertentangan dengan konstitusi UUD 45 karena adanya ketidak pastian hukum bagi terdakwa dalam konteks “melanggar kepatutan, melanggar kesusialaan” yang di setiap ruang dan waktu akan berbeda penafsirannya. Sejak putusan Mahkamah Konstitusi ini penuntutan tindak pidana korupsi harus didasarkan pada perbuatan melawan hukum secara formal yaitu melanggar hukum positif peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengakuan terhadap Konvensi Anti Korupsi PBB (United Nation Conventions Against Corruption) telah ditandatangani oleh 133 negara termasuk Indonesia pada 9 Desember 2003 di Merida, Mexico. Konvensi ini merupakan wujud kesadaran masyarakat internasional untuk berusaha mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Indonesia telah meratifikasi denganUndang-undang No. 7 tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nation Conventions Against Corruption 2003. Dalam konvensi tersebut disepakati empat Strategi Besar (Grand Strategy), yaitu: Pencegahan, Penindakan, Pengembalian Asset dan Kerjasama International. Konvensi PBB ini juga menetapkan peranan dan tanggung jawab yang seimbang antara Negara/Pemerintah dan pihak swasta dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi dan menempatkan peran serta masyarakat sebagai partner kerja yang sama pentingnya dengan pemerintah dalam pencegahan korupsi. 64
Beberapa prinsip penting yang harus dilaksanakan oleh negara-negara anggota, sebagai berikut: 1. Menerapkan peraturan nasional tentang pencegahan korupsi dengan membangun, menerapkan, memelihara efektifitas dan mengkoordinasikan kebijakan anti korupsi yang melibatkan partisipasi masyarakat, dan peraturan nasional yang mampu menjamin penegakan hukum, pengelolaan urusan dan prasarana publik yang baik, ditegakkannya integritas, transparansi dan akuntabilitas di sektor publik; 2. Membangun badan independen yang bertugas menjalankan dan mengawasi kebijakan anti korupsi yang diadopsi oleh Konvensi Anti Korupsi; 3. Melakukan perbaikan dalam sistem birokrasi dan pemerintahan masing-masing yang menjamin terbangunnya sistem birokrasi dan pemerintahan yang bersih dari korupsi; 4. Setiap anggota wajib meningkatkan integritas, kejujuran dan tanggung jawab para pejabat publiknya, termasuk menerapkan suatu standar perilaku yang mengutamakan fungsi publik yang lurus, terhormat dan berkinerja baik; 5. Membentuk sistim pengadaan barang dan jasa pemerintah, manajemen keuangan publik dan sistim pelaporan untuk tujuan transparansi, serta peran peradilan yang bersih dalam pemberantasan korupsi; 6. Melakukan pencegahan korupsi di sektor swasta yang mengedepankan transparansi, sistim akuntansi dan pelaporan. Sekaligus melibatkan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi; 7. Negera peserta Konvensi Anti Korupsi harus melakukan usaha pencegahan pencucian uang, menerapkan kriminalisasi dan penindakan korupsi termasuk pembekuan dan penyitaan harta hasil korupsi, memberikan perlindungan saksi ahli dan korban, menerapkan sistem ganti rugi bagi korban korupsi, melaksanakan pembangunan kerjasama
Strategi Pemberantasan Kejahatan Korupsi: …
pemberantasan korupsi, termasuk dengan institusi-institusi keuangan, menerapkan sistim kerahasiaan bank yang tidak menghambat pemberantasan korupsi, mengatur yuridiksi dalam penanganan perkara korupsi, melakukan kerjasama international memberantas korupsi termasuk hal-hal yang terkait dengan pemberian bantuan hukum dan teknis, ekstradisi, asset Recovery. Dalam konteks pencegahan dan pemberantasan korupsi baik melalui penyusunan dan pelaksanaan kebijakan maupun aktivitas penindakan melalui penegakkan hukum, dapatlah direkomendasikan beberapa langkah: 1. Memaksimalkan penegakaan hukum aturan tentang “Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara” (LHKPN) serta “aturan tentang gratifikasi” dalam rangka tindakan pengawasan dan prevensi terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik utamanya para penegak hukum; 2. Meski sampai kini Pengadilan (khusus) Tindak Pidana Korupsi masih berjalan, namun pada dasarnya pasca putusan Mahkamah Konstitusi eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terancam, karena batas waktu yang diberikan Mahkamah Konstitusi hanya sampai tiga tahun sejak diputuskan yaitu Desember 2009. Pengadilan TIPIKOR merupakan bagian dari penanganan tindak pidana korupsi yang bersifat luar biasa (extra ordinary), maka kehadiran Undang-undang yang menjadi dasar keberadaannya sangatlah signifikan untuk segera disahkan, karenanya direkomendassikan untuk sesegera mungkin pernyusunan, perumusan dan pengesahan Undang-undang Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai dasar dari kehadiran Pengadilan TIPIKOR sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang mengadili perkara tindak pidana korupsi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari upaya pemberantasan Korupsi di Indonesia. 3. Dalam penyusunan undang-undang Tentang Tindak Pidana Korupsi yang
Faisal Santiago
akan datang hendaknya ketentuan-ketentuan yang ada dapat mengakomodasi paradigma dan kecenderungan korupsi yang tidak hanya sebagai kejahatan yang bersifat nasional, regional, tetapi juga internasional. Oleh karenanya semaksimal mungkin ketentuan-ketentuan tersebut disesuaikan dengan hasil Konvensi PBB Anti Korupsi (UNCAC), antara lain: meratifikasi secara internal melalui peraturan perundangundangan yang mengikat secara yuridis. Lahirnya Undang-undang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan bagian dari strategi pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia yang menghasilkan berdirinya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi, guna melengkapi institusi Kepolisian dan Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Mengingat dampaknya yang merusak, secara hukum korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Pengakuan bahwa korupsi adalah "kejahatan luar biasa" dapat dilihat pada bagian Menimbang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan: Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Undang-undang tersebut merupakan pengakuan formal negara terhadap bahaya praktik korupsi. Karena dianggap sebagai kejahatan luar biasa, pemberantasannya pun perlu dilakukan dengan cara-cara luar biasa. Sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999 tentang Pemberantasan 65
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 55 - 69
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kemudian dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Itu merupakan rangkaian kalimat yang tertera dalam bagian Menimbang di tubuh UndangUndang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain melalui jalur penegakan hukum, upaya pemberantasan korupsi juga perlu dilakukan dengan berbagai strategi pencegahan dan pendidikan publik. Agenda pemberantasan korupsi di Indonesia sesungguhnya adalah titik-temu antara kepentingan lembaga-lembaga keuangan internasional yang terusik dengan praktik korupsi di Indonesia dan kepentingan domestik. Korupsi dan good governance menjadi dua isu utama sebagai prasyarat penting bagi investasi dan globalisasi. Pada saat bersamaan, Reformasi 1998 yang berhasil menumbangkan Suharto mengangkat isu pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme sebagai salah satu tujuan gerakan ini. Absennya kerangka pemikiran dan gagasan operasional untuk memberantas korupsi akhirnya menjadi pintu masuk bagi pertemuan berbagai kepentingan. Lembaga keuangan internasional yang memiliki pengetahuan lebih dan berpengalaman melakukan pemberantasan korupsi di negara-negara lain kemudian mengekspor pendekatan itu ke Indonesia dalam bentuk program-program reformasi good governance. Program yang diperkenalkan lembaga-lembaga internasional tersebut mendapat dukungan sebagian besar aktor domestik yang menyadari bahwa korupsi merupakan sebuah isu penting yang harus segera diselesaikan. Paradigma mainstream dalam pemberantasan korupsi berakar pada pendekatan principal-agent. Pendekatan ini memandang bahwa korupsi terjadi karena asimetri informasi. Masyarakat sebagai principal telah mendelegasikan pelaya66
nan publik kepada agen, yakni pemerintah dan dalam hal ini adalah pegawai di kantor-kantor pelayanan publik. Dalam pelaksanaannya, agen memiliki banyak informasi tentang pelayanan publik, sementara masyarakat yang sesungguhnya merupakan principal justru tidak memiliki informasi yang cukup. Agen menggunakan informasi yang dimiliki untuk mendapatkan keuntungan melalui korupsi dengan meminta "biaya" ekstra dari masyarakat yang berurusan dengan pelayanan publik.21 Pemberantasan korupsi yang kemudian disebut sebagai pendekatan good governance menitikberatkan pada mekanisme pasar. 22 Pasar yang secara alamiah merupakan arena kompetisi antarpelaku cenderung menolak praktik korupsi, karena menjadikan pasar tidak efisien dan tidak sempurna. Karena itu, untuk memberantas korupsi diterapkan pelbagai kebijakan privatisasi dan liberalisasi. Peran negara di bidang ekonomi dikurangi. Negara diletakkan kembali pada tugas utamanya sebagai regulator yang menjamin ditegakkannya hukum. Langkah berikutnya adalah memerangi korupsi secara langsung dengan, misalnya, menaikkan gaji pegawai negeri sipil (PNS) untuk mengurangi demand terhadap korupsi. Kenaikan gaji PNS merupakan bagian dari reformasi birokrasi yang hendak menata ulang birokrasi dengan mengurangi peluang bagi praktik korupsi. Pendekatan good governance untuk memerangi korupsi dapat diwujudkan dengan membentuk lembaga independen antikorupsi. Strategi ini mengikuti keberhasilan Independent Comission Against Corruption (ICAC) Hongkong, sebuah lembaga independen dengan kewenangan 21
Anna Persson, Bo Rothstein, dan Jan Teorell, "The Failure of Anti-Corruption Policies: A Theoretical Mischaracterization of the Problem", Working Paper Series No. 19, The Quality of Government Institute, Department of Political Science, University of Gothenburg, Swedia, Juni 2010. 22 Mustaq H Khan, "Corruption and Governance", dalam KS Jomo and Ben Fine (eds.), The New Development Economics: After the Washington Consensus (New York, London, New Delhi: Zed Books & Tulika Books, 2006, p.165
Strategi Pemberantasan Kejahatan Korupsi: …
investigasi yang menjauhkannya dari intervensi politik.23 Di Indonesia lembaga semacam itu disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di sisi lain, secara alamiah sektor swasta harus selalu bersaing. Hanya dengan efisiensi sebuah perusahaan dapat keluar sebagai pemenang. Karena aspek kompetisi dan efisiensi, maka sektor swasta akan senantiasa menampik praktik korupsi. Karena itu, digulirkan kebijakan liberalisasi agar peran swasta dalam perekonomian semakin besar dan sektor publik didorong berkompetisi dengan sektor swasta sehingga korupsi akhirnya bisa ditekan. Seiring dengan meluasnya gagasan neoliberal, pemberantasan korupsi dilakukan dengan cara mengurangi peran pemerintah. Pada tataran ini diasumsikan bahwa pemerintah adalah sumber korupsi. Jika peran pemerintah dikurangi dengan sendirinya korupsi akan berkurang. Pemberantasan korupsi harus memasukkan variabel lain, terutama kualitas governance. Negara dengan kualitas governance lemah dapat menggunakan strategi yang efektif dengan, antara lain, mengurangi skala sektor publik dan membatasi aktivitas pemerintah agar lebih fokus pada tugas utamanya. Pemberantasan korupsi bertumpu pada penguatan institusi akan memfasilitasi segala upaya agar negara diperkuat dan dikembalikan fungsinya dalam menyusun kebijakan dan membuat kerangka kelembagaan yang menjamin kualitas kinerja dengan sempurna, termasuk memberantas korupsi. Negara yang telah dikuasai koruptor akan mengurangi kemampuannya untuk menjalankan tugas pokok menjaga hukum, yakni menegakkan hukum menjadi membuat hukum tidak berdaya. Pendekatan mainstream dalam soal pemberantasan korupsi, bahwa pemberantasan korupsi justru harus menjadi bagian tak terpisahkan dari perlawanan masyarakat dalam memperjuangkan hak dan kepentingan mereka. 23
Hongkong dengan ICAC menjadi model keberhasilan penegakan hukum melawan kasus korupsi. Tentang keberhasilan ICAC; lihat, Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998, hal 194.
Faisal Santiago
Pemberantasan korupsi juga harus masuk menjadi bagian dari perjuangan untuk mendapatkan dan menegakkan keadilan. Reformasi sektor publik hanya menekankan tujuan sempit good governance, yakni liberalisasi ekonomi dan politik tanpa disertai fondasi institusional yang kuat dan esensial. Karenanya reformasi pemberantasan korupsi bukan sekadar peningkatan manajemen sektor publik, tetapi juga soal keadilan. Pemberantasan korupsi bukan hanya membutuhkan demokratisasi yang mendalam seperti pemilihan umum, tetapi juga perlawanan terhadap isu-isu riil antara orang dan kelompok yang mampu mempertahankan diri untuk mencapai tujuan politik. 24 Perlawanan dan kepemilikan sosial atas lembaga-lembaga akan mendorong terciptanya demokrasi yang kuat dalam masyarakat. Tanpa fondasi sosial yang kuat, ide reformasi paling baik sekalipun tidak akan bisa dijalankan “Pada aspek yang lain, akar praktik korupsi adalah bergerak pada lingkup politik. Dengan menafikan dimensi politik, pemberantasan korupsi tidak akan mampu menyentuh akar persoalan. Pemberantasan korupsi dengan corak seperti itu ibarat meredam letusan gunung berapi; hanya membuatnya tidak aktif, sementara magma yang menggejolak terus berusaha mencari jalan keluar dan sewaktu-waktu bisa menjebol puncak gunung api bersangkutan”.25 Sumber korupsi di bidang politik yang tak bisa dipadamkan akan terus berusaha men-cari cara bagaimana mendapatkan sumber daya melalui praktik korupsi. Maka pemberantasan korupsi secara tuntas hanya bisa dilakukan dengan melakukan perubahan mendasar. Korupsi juga dilakukan agar hukum berjalan seperti diharapkan dan hakim serta aparat penegak hukum tidak melakukan ajang atau perilaku transaksional. De24
Jeff Huther dan Anwar Shah, "Anti-Corruption Policies and Programs: A Framework for Evaluation", Policy Research Workibng Paper No. 2501, Country Evaluation and Regional Relations Division, Operations Evaluation Department, Washington, DC: The World Bank, Desember 2000. 25 Faisal santiago, Makalah yang disajikan dalam “Seminar Penegakan Hukum di Negara Hukum” di Palembang tanggal 20 November 2013.
67
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 55 - 69
ngan demikian gerakan sosial melawan korupsi juga harus dijalankan di tingkat lokal. Fakta yang berkembang, merebaknya korupsi di tingkat lokal merupakan konsekuensi dari desentralisasi yang semula didorong oleh terwujudnya reformasi bidang pemerintahan. Pada awalnya, desentralisasi bertujuan meningkatkan akuntabilitas pemerintah daerah pada rakyat, mendekatkan pengambil keputusan dengan rakyat sebagai konsumen pelayanan publik dan akhirnya mampu membuat pemerintah daerah semakin responsif. Akan tetapi, pada saat yang sama desentralisasi juga membuka peluang lebar bagi elite lokal untuk melakukan korupsi, sehingga yang kemudian muncul adalah "desentralisasi korupsi". Aneka bentuk korupsi saat ini sangat marak terjadi di tingkat lokal dengan cara "primitif seperti mentransfer dana dari rekening Pemda ke rekening pribadi untuk membiayai kepentingan sang kepala daerah, seperti dalam kasus Bupati Garut.26 Cara lain yang digunakan tampak dalam, misalnya, kasus korupsi di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur Pemda membeli tanah untuk keperluan pembangunan bandar udara dari anak bupati dengan harga telah "digelembungkan".27 Pemilihan umum di tingkat lokal adalah "anugerah" mendadak yang tidak disang26
Bupati Garut Agus Supriadi divonis 7 tahun 6 bulan penjara, karena membeli mobil dan rumah pribadi dengan menggunakan dana APBD. Dia juga didakwa menerima gratifikasi dari pengusaha yang memperoleh kontrak pembangunan pasar di Garut. Wijayanto dan Ridwan Zachrie (eds), Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat dan Prospek Pemberantasan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hal. 746-750. 27 Pada 18 Desember 2006, KPK menetapkan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani Hasan Rais sebagai tersangka dalam kasus korupsi pembebasan lahan Bandara Loa Kulu yang diduga merugikan negara sebesar Rp 15, 36 miliar. Pada 14 Desember 2007, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memvonis Syaukani hukuman penjara 2 tahun 6 bulan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi selama 2001 hingga 2005 dan merugikan negara Rp113 miliar. Tindak pidana korupsi yang dilakukannya adalah menyalahgunakan dana perangsang pungutan sumber daya alam (migas), dana studi kelayakan dan pembangunan Bandara Kutai, serta penyalahgunaan dana pos anggaran kesejahteraan masyarakat.
68
ka oleh klan lokal untuk merebut kekuasaan formal. Bila di Indonesia tidak ada perlawanan dan gerakan sosial memberantas korupsi hingga tingkat lokal, maka korupsi ditingkal lokal akan makin membahayakan negara. Di beberapa daerah, beberapa keluarga elite lokal mulai mengambil alih kekuasaan formal pemerintah daerah dan DPRD.Maka itu Tanpa mengikutsertakan civil society dalam melawan "ketamakan" elite lokal. E. Penutup Walaupun telah dilakukan dengan gencar, upaya pemberantasan tidak bisa mengenyahkan korupsi secara tuntas dari Indonesia. Upaya pemberantasan korupsi menghadapi resistansi luar biasa dari berbagai kekuatan ekonomi dan politik yang saat ini diuntungkan oleh praktik korupsi. Untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, pemerintah harus melancarkan strategi quick win di berbagai sektor. Karena itu, perlu disusun skala prioritas untuk memberantas korupsi, terutama pencegahan korupsi. Bila masyarakat merasakan manfaat langsung pemberantasan korupsi, pemerintah dengan sendirinya akan mudah memperoleh dukungan. Pemberantasan tindak pidana korupsi harus menjadi bagian tak terpisahkan dari perlawanan masyarakat. Konsekuensinya, pemberantasan korupsi di Indonesia harus memfasilitasi dan mendukung civil society dan kelompok kritis lainnya agar mampu menggalang tekanan publik dan melakukan aksi-aksi sosial berkelanjutan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa strategi besar pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, pemberantasan korupsi di Indonesia tidak terbatas pada bidang penegakan hukum. Faktanya, banyak proses hukum kasus korupsi yang dihentikan di tengah jalan atau bahkan tidak pernah disentuh para jaksa, kepolisian dan bahkan tak tertangani oleh KPK. Dapat dicontohkan, kasus rekening "gendut" yang dimiliki oleh sejumlah perwira tinggi kepolisian menunjukkan bagaimana korupsi justru menjadi persoalan bagi polisi.
Strategi Pemberantasan Kejahatan Korupsi: …
Dengan desain KPK yang terbatas, karena hanya ada di Jakarta, dan setiap tahun menangani paling banyak 50-60 kasus korupsi, dapat dikatakan pemberantasan korupsi belum berjalan dengan baik. Hal tersebut terutama karena sebagian besar proses hukum kasus korupsi masih di tangan Kejaksaan Agung dan terkesan kuran tranfaran. Kasus yang ditangani KPK memang tuntas di pengadilan dan pelakunya divonis hukuman penjara, namun hukuman yang dijatuhkan relatif ringan. Dengan mendapatkan berbagai remisi, koruptor cukup mendekam 2-3 tahun saja di penjara, bahkan bisa kurang. Belum lagi kasus Arthalyta Suryani.3 Alih-alih
Faisal Santiago
menderita dan merenungi nasib karena dihukum penjara Arthalyta malah mendapatkan pelbagai fasilitas di dalam penjara. Kedua, diperlukan konsep strategi terstruktur yang bersifat preventif, represif serta pemberdayaan masyarakat yang memiliki legitimasi hukum melalui penguatan sosial kontrol yang konstruktif dan berdaya guna. Ketiga, diperlukan strategi evaluasi ter-hadap produk hukum yang ada, sehingga se-cara substansional dapat menunjukkan wibawa hukum yang berkeadilan dan dapat menimbulkan rasa takut untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
DAFTAR PUSTAKA A. Budianto, Sosiologi Hukum, Pamator Press, Jakarta, 1998 Agus Sudibyo et al., Republik tanpa Ruang Publik , IRE Press dan Yayasan SET, Yogyakarta, 2005 Anna Persson, Bo Rothstein, dan Jan Teorell, "The Failure of Anti-Corruption Policies: A Theoretical Mischaracterization of the Problem", Working Paper Series No. 19, The Quality of Government Institute, Department of Political Science, University of Gothenburg, Swedia, Juni 2010. Azis Budianto, Pemberantasan Tindak Pidana di Indonesia, Cintya Press, Jakarta 2007 Faisal santiago, Makalah yang disajikan dalam “Seminar Penegakan Hukum di Negara Hukum” di Palembang tanggal 20 November 2013. Henry W. Ehrmann, Comparative Legal Culture, New Jersey: Prentice-Hall Inc., 1976 Jeff Huther dan Anwar Shah, "Anti-Corruption Policies and Programs: A Framework for Evaluation", Policy Research Workibng Paper No. 2501, Country Evaluation and Regional Relations Division, Operations Evaluation Department ,Washington, DC: The World Bank, Desember 2000. Lawrence M. Friedman (b), "On Legal Development," Rutgers Law Review 24 , 1969 --------"Legal Culture and Social Development, " Law and Society Review, 6 ,1969 --------, The Republic of Choice , Cambridge: Harvard University Press, 1990 Muchlis Pratikno, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dan Permasalahannya, Pamator Press, Jakarta, 2006 Mujiono Heryawan, Prinsip Manajemen Strategi, Jakal Press, Yogyakarta, 2001 Mustaq H Khan, "Corruption and Governance", dalam KS Jomo and Ben Fine (eds.), The New Development Economics: After the Washington Consensus (New York, London, New Delhi: Zed Books & Tulika Books, 2006 Rukmanto, Manajemen Strategi Organisasi, Wacana Press, Jakarta, 2002 Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998 Satjipto Rahardjo, "Budaya Hukum dalam Permasalahan Hukum di Indonesia," (makalah dalam seminar Hukum Nasional ke IV, Jakarta, 1979 Steward Macaulay, Lawrence M. Friedman, John Stookey, "Legal Culture Descriptious of Whole Legal System," dalam Steward Macaulay, Lawrence M. Friedman dan John Stookey, Law and Society : Reading on the Social Study of Law, New York: W.W. Norton Comp. 1995 Wijayanto dan Ridwan Zachrie (eds), Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat dan Prospek Pemberantasan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2009. 69
INVESTASI BAGI HASIL DALAM PEMBIAYAAN AKAD MUDHARABAH PERBANKAN SYARIAH
Oleh: Dr Hj. R.A. Evita Isretno Israhadi SH, MH Abstrak Kehadiran industri perbankan syariah sebagai sistem perbankan yang dapat menjadi salah satu pilihan di samping sistem perbankan konvensional di Indonesia, telah mendapat kekuatan hukum paripurna sebagai hukum nasional dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Hal tersebut memacu pendirian bank-bank syariah yang dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi kerakyatan sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang Dasar 1945. Investasi pembiayaan dengan sistem bagi hasil yang disebut mudharabah sebagai produk perbankan syariah merupakan jawaban untuk memenuhi kebutuhan riil masyarakat Indonesia yang sebagian besar pemeluk agama Islam dalam melakukan kegiatan usaha melalui lembaga intermediasi yang bebas dari praktik maisyir, gharar dan riba (maghrib). Sistem perbankan syariah dimaksud, mempunyai beberapa produk dan salah satu produk investasi pembiayaan, menggunakan prinsip bagi hasil antara pihak bank dengan nasabah sehingga eksistensi perbankan syariah sebagai lembaga perbankan Islam bebas dari unsur perjudian (maisir), unsur ketidak pastian (gharar) dan unsur bunga (riba). Permasalahannya, implementasi akad investasi pembiayaan mudharabah sebagai penggerak sektor riil belum dapat berjalan dengan baik serta akselerasi payung hukum terhadap investasi pembiayaan mudharabah bagi para pihak. Kata Kunci: Investasi Bagi Hasil dalam Pembiayaan Mudharabah Perbankan Syariah Abstract The presence of Islamic banking industry as the banking system could be one option in addition to the conventional banking system in Indonesia, has gained strength as a complete law enforcement of the national legislation with Law Number 21 Year 2008 concerning Islamic Banking. This should drive the establishment of sharia banks can contribute to the economic development of citizenship as mandated by the law of 1945. Investment financing system for the results mentioned mudharabah as a response to Islamic banking products to meet the real needs of the majority of Indonesian Muslims is doing business activities through the intermediary of the independent board of practical maisyir, gharar and riba (maghrib). Islamic banking system in question, has a number of products and one of the financing of investment products, using the principle of the results between the bank and customers to the existence of Islamic banking as banking institutions free from gambling (maisir), elements of uncertainty (gharar) and the elements of interest (laptop). The problem, the implementation of investment contracts mudharabah financing real sector as the engine can not run properly and acceleration of investment funding umbrella mudharabah for the party. Keywords : Investment in Financing For Proceeds Mudharabah Islamic Banking A. Latar Belakang Masalah Berdirinya PT Bank Syariah Muamalat Indonesia Tbk pada tahun 1991 yang memulai kegiatan operasionalnya pada bulan Mei 1992, pendiriannya diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pemerintah Indonesia, serta mendapat dukungan nyata dari eksponen Ika70
tan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha Muslim. Selain itu, pendirian Bank Muamalat juga mendapat dukungan dari warga masyarakat yang dibuktikan dengan komitmen pembelian saham Perseroan senilai Rp 84 miliar pada saat penandatanganan akta pendirian Perseroan. Selan-
Investasi Bagi Hasil Dalam Pembiayaan Akad Mudharabah …
jutnya, pada acara silaturahmi peringatan pendirian tersebut di Istana Bogor, diperoleh tambahan komitmen dari warga masyarakat Jawa Barat yang turut menanam modal senilai Rp 106 miliar.1 Payung hukum perbankan syariah, pada mulanya berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, merupakan tahap lanjutan proses legitimasi yang memperkenalkan sistem bagi hasil serta memiliki dasar operasional “bagi hasil” berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank. Perundang-undang tersebut, melegitimasi dualisme sistim perbankan di Indonesia dan sekaligus menjadi pendorong bagi perkembangan perbankan syariah berdasarkan prinsip syariah. Hal tersebut tampak pada ketentuan Pasal 1 angka 3 yang memberikan definisi bank umum sebagai bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah dalam kegiatannya memberikan jasa lalu lintas pembayaran, yang kemudian ditindak lanjuti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pertumbuhan dan perkembangan bank syariah dan unit usaha syariah (bank-bank konvensional yang membuka unit syariah sebagai perwujudan dual banking system), serta pengukuhan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan syariah merupakan tiang pancang eksistensi lembaga intermediasi bebas bunga yang dalam pelaksanaan perbankan yang menggunakan prinsip syariah. Di samping itu eksistensi hukum perbankan syariah merupakan jawaban untuk memenuhi kebutuhan riil masyarakat yang sebagian besar pemeluk agama Islam dalam melakukan kegiatan usaha melalui lembaga intermediasi yang bebas dari praktik maisyir, gharar dan riba (maghrib). Kehadiran industri perbankan syariah sebagai sistem perbankan yang dapat menjadi salah satu pilihan di samping sistem perbankan konvensional di Indonesia dalam satu dasawarsa ini, telah mendapat kekuatan hukum paripurna sebagai hukum nasional dengan
Evita Isretno Israhadi
pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Hal tersebut memacu pendirian bank-bank syariah yang dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi kerakyatan sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang Dasar 1945. Sejalan dengan dukungan konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (4) UndangUndang Dasar 1945 : ”... Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional....”.2 Menurut zubairi Hasan,3 institusi ekonomi yang paling tepat untuk menerjemahkan hal tersebut adalah perbankan syariah berdasarkan pertimbangan bahwa: 1. Perbankan syariah sesuai dengan aspirasi masyarakat serta sangat tepat untuk masyarakat Indonesia yang sebagian besar menjadi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah sesuai dengan asas demokrasi ekonomi . 2. Perbankan syariah mengutamakan kemajuan bersama dari pada kemajuan individu (asas kebersamaan). 3. Perbankan syariah sangat cocok sebagai solusi pembiayaan untuk masyarakat kecil sehingga mereka dapat menikmati layanan perbankan dengan memberdayakan diri (asas keadilan dan kemandirian). 4. Perbankan syariah tidak boleh mendukung atau bermitra dengan pengusaha atau perusahaan yang terlibat dalam kerusakan lingkungan (asas berkelanjutan dan lingkungan). 5. Perbankan syariah menggabungkan antara tuntutan duniawi dengan uhrawi (asas keseimbangan). 2
Undang-Undang Dasar 1945, dalam Pasal 33 ayat (4) Zubairi Hasan, Undang-Undang Perbankan Syariah, Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional, Jakarta, Rajawali Pres, 2009, Ed.1,-1., hal. 16. 3
1
Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, Cetakan ke 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 10.
71
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 70 - 97
6. Perbankan syariah sangat mengutamakan kemajuan sektor riil, yang sangat cocok dengan ekonomi nasional yang berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya manusia (asas kesatuan nasional). Penerapan operasional produk perbankan syariah yang berkenaan mudharabah dan musyarakah masih rendah bila dibandingkan produk perbankan syariah yang berkenaan murabahah bagi para pelaku usaha berpenghasilan kecil secara perorangan. Mereka belum dapat menikmati secara maksimal jasa layanan investasi pembiayaan secara perorangan terutama terhadap layanan produk syariah investasi pembiayaan dengan sistem bagi hasil yang disebut mudharabah. Hal dimaksud terjadi karena persyaratan yang tidak mampu dipenuhi oleh pengusaha kecil sehingga sulit mengajukan investasi pembiayaan mudharabah. Dewasa ini justru yang dapat merasakan manfaat investasi pembiayaan adalah orang yang termasuk dalam kategori pengusaha menengah ke atas dan/atau kelompok-kelompok seperti koperasi, antara lain karena dinilai mempunyai kredibilitas yang memadai terhadap jaminan (colateral) sebagai salah satu persyaratan pengajuan investasi pembiayaan mudharabah. Sistem perbankan syariah dimaksud, mempunyai beberapa produk dan salah satu produk investasi pembiayaan, menggunakan prinsip bagi hasil antara pihak bank dengan nasabah sehingga dapat dikemukakan bahwa eksistensi perbankan syariah sebagai lembaga perbankan Islam yang bebas dari unsur perjudian (maisir), unsur ketidak pastian (gharar) dan unsur bunga (riba) yang biasa disebut maghrib (maisir, gharar, dan riba) mempunyai prinsip akad pada investasi pembiayaan mudharabah dalam sistim perbankan syariah.4 Dalam hal usaha, produk pembiayaan mudharabah, salah satu pihak berperan sebagai penyedia modal (shahibul mal) dan pihak lain sebagai pengelola modal (mudharib). Penerapan prinsip-prinsip hukum perbankan secara umum dapat dilakukan dalam bentuk akad suatu produk, sejauh hal tersebut tidak 4
Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, Cetakan Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hal 1
72
bertentangan dengan prinsip syariah. B. Perumusan Masalah Berdasarkan deskripsi dinamika perkembangan hukum dan kenyataan situasi sistem perbankan syariah di atas, maka fenomena aktualisasi dan akselerasi penerapan prinsip syariah menjadi menarik untuk dikaji, ditelaah dan diteliti yang berkenaan pemasalahan isu hukum sebagai berikut: 1. Mengapa implementasi akad investasi pembiayaan mudharabah sebagai penggerak sektor riil belum dapat berjalan dengan baik? 2. Bagaimana penerapan akad mudharabah serta akselerasi payung hukum terhadap investasi pembiayaan mudharabah? C. Kerangka Teoretis dan Konseptual 1. Kerangka teoretis Kehadiran hukum Perbankan Syariah saat ini di Indonesia tidak terlepas dari sejarah perkembangan hukum positif di Indonesia yang dipengaruhi oleh hukum Islam, hukum adat dan hukum barat. Hal tersebut tidak dipungkiri bahwa dinamika hukum Indonesia diwarnai oleh pergumulan sosial politik dan budaya yang dimulai dari masuknya agama Islam di Indonesia, pada masa pra kemerdekaan sampai dengan era pasca kemerdekaan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa teori eksistensi yang diperkenalkan oleh Ichtijanto SA sebagai berikut.5 a. Hukum Islam sebagai bagian integral dari hukum nasional; b. Kemandirian dan kewibawaannya diakui oleh hukum nasional dan diberi status sebagai hukum nasional; c. Norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional; d. Sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional yang diujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Salah satu norma hukum Islam dalam 5
Ichtijanto SA, Hukum Islam dan Hukum Na sional, (Jakarta: Ind-Hill co, 1990), hal 86
Investasi Bagi Hasil Dalam Pembiayaan Akad Mudharabah …
bidang muamalah masa kini ditandai dengan kehadiran bank-bank yang menggunakan prinsip syariah dalam kegiatan usaha, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Perjalanan panjang melalui berbagai proses transformasi yang terkondisi pada saat situasi ekonomi Indonesia terpuruk sebagai akibat krisis berkepanjangan di awali dengan melakukan deregulasi yang dimulai dari keluarnya paket-paket kebijaksaan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan disusul Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang merupakan revisi undangundang sebelumnya sampai mencapai titik kulminasinya, berupa pemberlakuan undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah. Kebijakan dan pengembangan ekonomi syariah, khususnya perbankan syariah, didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sejumlah peraturan pelaksanaannya. Di samping itu, merupakan bagian yang terintegrasi dalam upaya penyehatan sistem perbankan nasional yang berorientasi kepada penguatan fundamental ekonomi nasional. Munir Fuady6 mengemukakan bahwa: “lahirnya bank berdasarkan prinsip syariah di dalam sistem perbankan Indonesia, bukan saja menambah semaraknya khasanah hukum, melainkan juga mempertegas visi tentang kehidupan perbankan di Indonesia”, dengan didasarkan pada dua alasan pokok, yaitu: a. Karena sebagian besar bangsa Indonesia beragama Islam, sehingga kehadiran bank berdasarkan prinsip syariah yang nota bene dilandasi pada unsur syariat Islam tersebut benar-benar seperti gayung bersambut, b. Karena sistem perbankan konvensional yang kegiatan usahanya hanya mengandalkan pada simpanan atau kredit berdasarkan pada bunga, yang oleh kelompok tertentu dalam Islam masih dipersamakan dengan bunga uang yang dilarang dalam hukum Islam, atau setidak-tidaknya ada keraguan terhadap halal dan haramnya bunga bank”.
Evita Isretno Israhadi
Pasal 2 UU No 7 tahun 1992 Tentang Perbankan menetapkan bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Mencermati isi ketentuan dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, maka telah merinci dan membatasi kegiatan usaha bank, yakni: a. Mengatur kegiatan-kegiatan usaha yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh bank; b. Kegiatan usaha bank tersebut dibedakan antara bank umum dan bank perkreditan rakyat; dan c. Bank umum dapat mengkhususkan untuk melaksanakan kegiatan usaha tertentu dan memilih jenis usaha yang sesuai dengan keahlian dan bidang usaha yang ingin dikembangkannya. Kegiatan usaha yang dijalankan oleh bank umum lebih luas daripada kegiatan usaha yang dijalankan oleh bank perkreditan rakyat. Bagi bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, wajib menerapkan prinsip syariah dalam melakukan kegiatan usahanya.7 Keharusan untuk menggunakan prinsip syariah sesuai ajaran-ajaran Islam yang pada intinya melarang maghrib, penerapan kegiatan usaha produk-produk syariah tampak berbeda dengan produk-produk bank konvensional, karena bunga tidak diperkenankan dalam setiap kegiatan usaha. Dalam hukum ekonomi syariah segala sesuatu yang dilakukan harus halalan thayyibah, benar secara hukum Islam dan baik dari perpekktif nilai dan moralitas Islam, termasuk juga antara lain usaha perbankan syariah. Perbankan syariah menyangkut segala sesuatu tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usaha; Selain itu, bank syariah merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
6
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-Undang Tahun 1998, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1999, hal 167.
7
Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, (Jakarta, PT Djambatan, 2002), hal 52.
73
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 70 - 97
dan menyalurkannya kepada masyarakat dengan prinsip syariah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan membantu mensejahterakan masyarakat. Kebalikan dari halalan thayyibah disebut haram, sesuatu jika dilakukan akan menimbulkan dosa. Pada perbankan syariah berlaku mutlak prinsip tersebut, meninggalkan yang haram mutlak kewajibannya dan sebaliknya melaksanakan yang halal mutlak kewajibannya. Dalam hal ibadah, kaedah hukum yang berlaku bahwa semua hal dilarang, kecuali yang ada ketentuan tersebut berdasarkan alQuran dan as-Sunnah; Sedangkan dalam urusan muamalah (hubungan inter aksi antara manusia dengan manusia dalam kehidupan bermasyarakat), semua diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarang. Penyebab terlarangnya sebuah transaksi pembiayaan pada bank syariah, disebabkan faktor-faktor sebagai berikut: a. Zat tersebut haram. Dalam hal zat, Islam melarang mengkonsumsi, memproduksi, mendistribusikan dengan seluruh mata rantai terhadap barang perniagaan dan aktivitas yang meliputi zat yang haram b. Haram yang bukan zatnya. Dalam proses bisnis dan investasi, Islam mengharamkan setiap transaksi pembiayaan yang mengandung unsur atau potensi ketidakadilan dan perbuatan zalim (mengzalimi atau dizalimi), yang di dalamnya termasuk unsur riba, gharar dan maisyir.8 Riba, secara bahasa berarti tambahan, pertumbuhan, kenaikan, membengkak, dan bertambah, akan tetapi, tidak semua tambahan atau pertumbuhan dikategorikan sebagai riba. Secara fiqh,9 riba diartikan sebagai setiap tam8
Adiwarman A. Karim, Bank Islam - Analisis Fikih dan Keuangan, Edisi ketiga, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 30. 9 Fiqh, dalam bahasa Arab, secara harfiah berarti pemahaman yang mendalam terhadap sesuatu hal. Beberapa ulama memberi penguraian bahwa arti fiqh secara terminologi merupakan suatu ilmu yang mendalami hukum Islam yang diperoleh melalui dalail di Al-Qur‟an dan Sunnah. Selain itu, fiqh adalah ilmu yang membahas hukum Islam yang berhubungan kehidupan sosial manusia.
74
bahan dari harta pokok yang bukan merupakan kompensasi, hasil usaha ataupun hadiah. Namun pengertian riba secara tehnis merupakan pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Batil dalam hal ini perbuatan ketidakadilan (zalim). Dengan demikian, esensi pelarangan riba berupa, penghapusan ketidakadilan dan penegakan keadilan dalam kontrak investasi pembiayaan bank syariah. Gharar, disebut juga taghrir, yaitu suatu ketidakpastiaan dalam suatu transaksi kontrak investasi pembiayaan dan bersifat spekulatif. Maisyir secara sederhana merupakan suatu perjudian yang menempatkan salah satu mitra atau pihak harus menanggung beban kerugian mitra atau pihak lain sebagai akibat dari perbuatan yang mengandung unsur maisyir dalam suatu transaksi kontrak investasi pembiayaan bank syariah. Abdul Gani Abdullah10 mengemukakan dalam analisis dan evaluasi hukum terhadap perbankan syariah, ia menemukan sedikitnya empat hal yang menjadi tujuan pengembangan perbankan berdasarkan prinsip syariah, yaitu: a. untuk memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima konsep bunga (interest); b. terciptanya dual banking system di Indonesia yang mengakomodasi terlaksananya sistem perbankan konvensional dan perbankan syariah dengan baik dalam proses kompetisi yang sehat, di mana didukung dengan pola perilaku bisnis yang bernilai dan bermoral; c. mengurangi risiko kegagalan sistem keuangan di Indonesia; d. mendorong peran perbankan dalam menggerakkan sektor riil dan membatasi segala bentuk eksplotasi yang tidak produktif serta mengabaikan nilianilai moral. TM Hasbi Ash-Shiddieqy,11 mengartikan akad sebagai suatu peristiwa mengum10
Abdul Gani Abdullah(2003;2), yang dikutip H.M Arifin Hamid, Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah di Indonesia), Bogor, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007), hal. 129. 11 T M Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah, (Semarag: PT Putra Rizki Utama, 2001), hal. 37.
Investasi Bagi Hasil Dalam Pembiayaan Akad Mudharabah …
pulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi satu benda; Sedangkan Hendi Suhendi,12 menyatakan bahwa akad merupakan ikatan dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun secara abstrak, dari satu sisi atau dari dua sisi. Dalam hukum perjanjian investasi pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan penerapan pembuatan akad, ada beberapa asas atau prinsip yang harus diperhatikan dan tidak boleh diabaikan. Asas ini berpengaruh pada status suatu akad. Ketika asas-asas ini tidak terpenuhi, maka akan mengakibatkan batal atau tidak sahnya perjanjian atau akad yang dibuat. Prinsip atau asas itu adalah suatu dasar atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir dan bertin-dak.13 Adapun asas-asas dimaksud, sebagai berikut. a. Prinsip Ilahiyah. Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari ketentuan Allah SWT. Dengan demikian, manusia memiliki tanggung jawab akan hal ini. Akibatnya manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya, karena segala perbuatannya akan mendapat balasan dari Allah SWT. b. Prinsip al-Huriyah atau Kebebasan. Merupakan prinsip dasar dari suatu perjanjian, dimana manusia mempunyai kebebasan membuat perjanjian, menentukan dan melaksanakannya, selama hal tersebut tidak bertentangan dengan syariah Islam. Prinsip ini bertujuan menghindari penindasan, tindakan yang sewenang-wenang, penekanan dan penipuan. c. Prinsip al-Musawah atau Persamaan (kesetaraan). Prinsip ini memberikan landasan bahwa kedua belah pihak yang melakukan perjanjian atau akad mempunyai kedudukan yang sama antara satu dengan yang lainnya. Sehingga pada saat menentukan hak dan ke12
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta, Rajawali Pres, 20020, hal. 95. 13 H. Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal 35
Evita Isretno Israhadi
d.
e.
f.
g.
wajiban masing-masing didasarkan pada prinsip ini. Prinsip al-Adalah atau Keadilan. Allah SWT sangat mencintai umatnya yang berlaku adil, karena keadilan adalah salah satu sifat Allah SWT. Prinsip ar-Ridho atau kerelaan. Prinsip ini menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas kerelaan antara masing-masing pihak. Pernyataan untuk mengikatkan diri dalam perjanjian betul-betul muncul dari kesadaran dan keikhlasan untuk melakukan perjanjian. Prinsip ash-Shidiq atau Kejujuran dan Kebenaran. Dalam perjanjian akan terjadi perselisihan apabila terdapat ketidakjujuran. Prinsip al-Kitabah atau tertulis. Dalam surah QS al-Baqarah (2) 282-283, disebutkan bahwa Allah SWT menganjurkan kepada manusia hendaknya suatu perikatan dilakukan secara tertulis, dihadiri oleh saksi-saksi, dan diberi tanggung jawab individu yang melakukan perikatan, dan yang menjadi saksi.
2. Kerangka Konseptual Era perbankan syariah di dalam sistem perbankan Indonesia, selain telah disertai dengan segenap perangkat peraturan pelaksanaan yang memuat jabaran aturan lebih rinci tentang jenis produk dan segmen kegiatan usaha yang dapat dioperasikan, juga telah diikuti dengan kebijakan strategi bagi upaya pengembangan kegiatan usaha perbankan berdasarkan prinsip syariah secara lebih rinci, sebagaimana antara lain telah diatur lebih lanjut dalam: a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/Kep/Dir. tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/36/Kep/Dir. tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Bahkan, untuk upaya akselerasi kebijakan perbankan berdasarkan prinsip syariah, 75
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 70 - 97
juga diikuti dengan terbitnya beberapa Surat Keputusan Direksi dan Peraturan Bank Indonesia (PBI), baik yang berkaitan dengan pengaturan tentang bank umum konvensional maupun pengaturan bank umum berdasarkan prinsip syariah. Perangkat hukum perbankan syariah tersebut menjadi landasan peraturan pelaksanaan bagi perjalanan perbankan syariah yang dimotori oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral. Tak lepas dari hal tersebut di atas, peran Dewan Syariah Nasional (DSN) pun mendapat pijakan yang kokoh dan menjadi mitra Bank Indonesia dalam memberikan saran dan keputusan yang berhubungan dengan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perbankan syariah dalam bentuk fatwa. Peraturan-peraturan pelaksanaan operasional bagi perbankan syariah yang didasari oleh fatwa DSN-MUI, dituangkan dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia, yang kemudia lebih rinci lagi diatur dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia. Selain tunduk pada fatwa DSN, produk dan akad dalam kegiatan penyaluran dana perbankan syariah berupa pembiayaan juga tunduk pada berbagai ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang mengatur mengenai produk dan akad penyaluran dana perbankan (syariah) kepada masyarakat, diantaranya, Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/ 19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/16/PBI/ 2008, yang merupakan pengganti dan penyempurnaan-dari aturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008 perihal Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank syariah. Pada investasi pembiayaan mudharabah yang berdasarkan prinsip bagi hasil, landasan operasional mutlak diperlukan, karena secara yuridis formal merupakan dasar dari setiap 76
tindakan kegiatan yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu akad pembiayaan sebagai salah satu produk perbankan syariah. Secara yuridis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah de-ngan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menggunakan dua istilah yang berbeda, namun mengandung makna yang sama untuk pengertian “kredit”. Kata “kredit,” itu sendiri digunakan bank konvensional dalam menjalankan kegiatan usahanya, dan sedangkan kata "pembiayaan” berdasarkan Prinsip Syariah, adalah istilah yang digunakan pada bank syariah untuk pengertian yang sama.14 Kemudian, ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menegaskan bahwa: "Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian” Ketentuan dalam Pasal tersebut dapat diketahui secara jelas bahwa perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usaha diwajibkan berasaskan dan mengimplementasikan prinsip syariah. Artinya, kegiatan usaha yang dijalankan perbankan syariah dimaksud tidak mengandung unsur-unsur sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008, antara lain: a. riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil), antara lain, dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fardhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang &- feta melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasiah); b. maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan; c. gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat 14
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta, Sinar Grafika, 2010), hal 264
Investasi Bagi Hasil Dalam Pembiayaan Akad Mudharabah …
diserahkan pada saat transaksi dilakukan, kecuali diatur lain dalam syariah; d. haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau e. zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya. Pengertian pembiayaan disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yaitu: "Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil". Selanjutnya, pengertian pembiayaan tersebut lebih diperjelas lagi dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 yang menyatakan sebagai berikut: "Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan/piutang yang dapat dipersamakan dengan itu dalam transaksi investasi yang didasarkan, antara lain, atas akad mudharabah dan/atau musyarakah..” Dari ketentuan dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 dapat diketahui bahwa pembiayaan itu merupakan penyediaan dana atau tagihan/piutang yang dapat dipersamakan dengan itu dalam transaksi investasi, sewa, jual beli, pinjaman, dan multijasa yang didasarkan pada akad tertentu yang sesuai dengan prinsip syariah. Pengertian yang sama juga dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, yaitu: "Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: transaksi bagi hasil dalam
Evita Isretno Israhadi
bentuk mudharabah dan musyarakah”. Akad syariah yang dapat dipergunakan dalam kegiatan penyaluran dana berupa pembiayaan disebutkan, antara lain, dalam ketentuan Pasal 3 huruf b Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 yang menetapkan bahwa: “Dalam kegiatan penyaluran dana berupa pembiayaan dengan mempergunakan, antara lain, akad mudharabah musyarakah, murabahah, salam, istishna‟, ijarah, ijarah muntahiyah bittamlik dan qardh.” Kemudian Penjelasan atas Pasal 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/ PB1/2007 menjelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan: "Mudharabah adalah transaksi penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu yang sesuai syariah, dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya." Hal yang sama dirumuskan juga dalam penjelasan atas Pasal 19 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 bahwa: "Yang dimaksud dengan akad mudharabah dalam pembiayaan adalah akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (shahibul maal atau bank syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (mudharib atau nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh bank syariah, kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.” Dasar landasan operasional yang menyangkut kontrak investasi pembiayaan mudharabah dapat dilihat dari sisi hukum Islam yang merupakan hukum pokok pemberlakuan syariah yang berasal dari firman Allah SWT sebagaimana tertulis dalam al-Quran, kemudian dari as-Sunnah berupa perkataan, tinda77
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 70 - 97
kan kelakuan dan persetujuan nabi SAW, dan juga hasil pemikiran para fuqaha (para ahli fiqh muamalah atau para faqih) yang diaktualisasikan melalui „ijma (musyawarah). Merujuk pada hukum positif, investasi pembiayaan mudharabah ini diatur dalam ketentuan pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008. Selain itu DSN telah mengeluarkan fatwa berkenaan dengan produk tersebut dalam fatwa DSN Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qirad). Sebagai tindak lanjut berlakunya fatwa tersebut, Bank Indonesia mengeluarkan peraturan untuk mendapatkan pedoman operasional produk investasi pembiayaan mudharabah yang diatur dalam pasal 1 angka 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007. Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan dan menjadi landasan teori bagi penelitian ini adalah Teori Akad/Perikatan sebagai Grand Theory. Teori ini memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena dilakukan berdasarkan hukum Islam. Produk apapun yang dihasilkan oleh semua perbankan, termasuk di dalamnya perbankan syariah tidak terlepas dari proses transaksi yang dalam istilah fiqih muamalah disebut akad. Menurut Amin Summa,15 ada beberapa asas al-uqud yang harus dilindungi dan dijamin, yaitu: a. Asas ridha‟iyah (rela sama rela) b. Asas manfaat c. Asas keadilan d. Asas saling menguntungkan Selain asas-asas hukum di atas, ada beberapa hal yang juga harus diperhatikan dalam suatu akad, yang menurut Gemala Dewi,16 bahwa akad yang akan dilakukan para pihak bersifat mengikat (mulzim), para pihak harus memiliki itikad baik (husnun-niyah), memperhatikan ketentuan atau tradisi ekonomi yang berlaku dalam masyarakat selama tidak bertentangan dengan asas akad (al-uqud) dan para pihak diberi kebebasan untuk mene-
tapkan syarat-syarat yang ditetapkan dalam akad sepanjang tidak menyalahi moral Islam. Sejalan pengertian akad dimaksud, Adiwarman A Karim,17 mengartikan akad dengan kontrak antara dua belah pihak, yaitu mengikat pihak yang saling bersepakat, masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing. Dengan demikian akad dapat diartikan sebagai adanya perbuatan yang sengaja dilakukan oleh kedua belah pihak berdasarkan persetujuan masingmasing yang ditetapkan dengan ijab qabul. Dalam konteks pembahasan ini dan berkenaan dengan istilah akad berdasarkan syariat Islam, maka terdapat dua istilah yang digunakan dalam al-Quran, „ahdu dan „aqdu, yang menurut Abdoerraoef,18 kata „ahdu menunjukkan pada pengertian perjanjian sepihak yang dibuat oleh seseorang tanpa memerlukan persetujuan dari pihak lain, yaitu sikap orang lain terhadap perjanjian tersebut, setuju atau tidak setuju sama sekali tidak mempengaruhi akan sahnya perjanjian tersebut, karena itu perjanjian tetap mengikat secara sepihak dan harus dilaksanakan. Sedang kata „aqdu sebagai padanan perikatan (verbintenis) menunjukkan kepada suatu pelaksanaan dari persetujuan, yaitu „ahdu dari masing-masing pihak telah saling memiliki hubungan, sehingga telah terjadi „aqdu antara kedua belah pihak, sejak itulah perikatan yang bersumber dari pelaksanaan „ahdu berlaku bagi para pihak. Pengertian di atas, bila dihubungkan dengan sistim hukum perdata sesungguhnya terdapat kemiripan, dimana dalam hukum perdata mengenal perjanjian dan perikatan, sedangkan dalam hukum al-Quran terdapat tiga istilah, „ahdu (perjanjian), pertautan „ahdu yang satu dengan yang lainnya (persetujuan), dan „aqdu (perikatan). Mengetahui kapan terjadi ijab qabul atau kata sepakat, menurut Supramono Gatot,19 dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori yang merupakan Middle Range Theory sebagai berikut. 1. Teori Kehendak (wilstheorie), dalam
15
H M Amin Suma, Ekonomi Syariah sebagai alternative sistem ekonomi konvensional, Jurnal Hukum Bisnis, Jakarta, 2002. 16 Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana prenada Media Group, 2006), hal 23
78
17
Lihat, Adiwarman A. Karim, op.cit, hal 65 Lihat, Abdoerrauoef, Al-Quran dan Ilmu Hukum, (Jakarta,: Bulan Bintang, 1970), hal 35 19 Supramono Gatot, Perikatan dan Masalah, (Jakarta: Djembatan, 1966), hal 85 . 18
Investasi Bagi Hasil Dalam Pembiayaan Akad Mudharabah …
teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi manakala para pihak menyatakan kehendaknya untuk mengadakan suatu perjanjian. 2. Teori Kepercayaan (vetrouwenstheorie), dalam teori ini kata sepakat dalam perjanjian dianggap telah terjadi pada saat pernyataan salah satu pihak dapat dipercaya secara obyektif oleh pihak lain. 3. Teori Ucapan (uitingstheorie), dalam teori ini yang dilihat adalah ucapan debitur, kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat debitur mengucapkan persetujuannya terhadap penawaran yang dilakukan kreditur. 4. Teori Pengiriman (verzendingstheorie), dalam teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat debitur telah mengirimkan surat jawaban kepada kreditur. 5. Teori Penerimaan (ontvangstheorie), dalam teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat kreditur mengetahui bahwa debitur telah menyatakan menerima tawarannya. Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K Lubis,20 mengemukakan bahwa secara umum yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian adalah: 1. Tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya, sebagaimana dalam hadist Rasulullah ditentukan bahwa: “segala bentuk persyaratan yang tidak ada dalam kitab Allah adalah batil, sekalipun seribu ayat”. 2. Harus ada ridho dan ada pilihan, yakni haruslah didasarkan pada kesepakatan dan atas kehendak bebas masingmasing pihak, tidak boleh ada paksaan dari pihak yang satu terhadap yang lain. 3. Harus jelas dan gamblang, yakni para pihak haruslah mempunyai interpretasi yang sama tentang apa yang mereka perjanjikan, baik terhadap isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh perjan-
Evita Isretno Israhadi
jian tersebut. Sebagai Teori Aplikasi dalam pembahasan penelitian ini dan sejalan dengan uraian di atas, maka digunakan Teori Pencampuran (the theory of venture) yang sangat berpengaruh bagi pelaksanaan investasi pembiayaan mudharabah dengan prinsip bagi hasil (profit sharing). Teori ini merupakan panduan akad dalam suatu investasi pembiayaan yang tidak memberikan kepastian pendapatan (natural uncertainty contracts) baik dari segi jumlah dan waktunya dengan return-nya bisa positif, negatif atau nol. Akad-akad investasi ini secara “sunnatullah” (by their nature) tidak menawarkan return yang tetap dan pasti. Jadi sufatnya tidak fixed and predetermined.21 Akad jenis tersebut mengharuskan pihak-pihak yang melakukan akad saling mencampurkan asetnya (baik real assets maupun financial assets) menjadi satu kesatuan dan kemudian menanggung semua resiko secara bersama-sama, baik keuntungan maupun kerugian. Investasi pembiayaan mudharabah dimasukan ke dalam golongan natural uncertainty contracts (akad/ kontrak bisnis yang tidak memberikan kepastian pendapatan) yang berbasis dari teori pencampuran (the theory of venture). D. Hasil Penelitian Dan Analisis 1. Implementasi Akad Bagi Hasil Investasi Pembiayaan Mudharabah a. Realita Konsep Bagi Hasil Investasi Mudharabah Secara umum bank syariah dapat diartikan sebagai media intermediasi yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasajasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya dilandasi oleh syariah Islam baik dalam bentuk jual-beli, bagi hasil maupun sewa-menyewa. Namun secara eksplisit konsep bagi hasillah yang benar-benar mewakili konsep islam dalam perbankan, karena selain ia bisa menggerakkan sektor rill secara berimbang, ia juga berindikasi jangka panjang sehingga akan mempunyai kontribusi bagi pertumbuhan eko-
20
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta, Sinar grafika, 1996), hal 86.
21
Adiwarman A. Karim, Op.Cit., hal 52.
79
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 70 - 97
nomi secara berkesinambungan. Jadi berdasarkan pengertian diatas idealnya bank syariah adalah bank bagi hasil yang mengedepankan konsep profit and loss sharing atau bagi hasil dalam pengembangan produk. Dari penelitian yang dilakukan pada beberapa bank syariah di Jakarta, antara lain Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, BRI Syariah, BNI Syariah dan Bank Mega Syariah Indonesia, terhadap produk syariah dengan prinsip bagi hasil investasi pembiayaan mudharabah, maka pada kenyataannya produk tersebut sampai saat ini bukanlah merupakan produk syariah unggulan. Operasionalisasi prinsip bagi hasil dalam pembiayaan yang diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perekonomian dan akan menjadi dasar tumbuhnya sektor riil melalui perbankan syariah sebagaimana yang diamanatkan undang-undang, mengalami banyak hambatan. Dalam perjalanan usahanya, bank syariah tidak bisa memberikan kontribusi yang maksimal untuk mendukung kemajuan sektor riil. Hal ini terjadi karena produk pembiayaan yang diberikan bank-bank syariah di Indonesia didominasi oleh pembiayaan non bagi hasil seperti murabahah dan ijarah. Padahal konsep pembiayaan dengan prinsip bagi hasil selain merupakan esensi pembiayaan syariah, juga sebagai sarana yang bergerak di sektor riil karena dapat meningkatkan hubungan langsung dan pembagian resiko antara investor dengan pelaku usaha. Dalam praktik perbankan syariah modern, kini dikenal dua bentuk mudharabah muqqayadah, yakni muqqayadah on balancesheet dan muqqayadah off balance-sheet. Pada muqqayadah on balance-sheet, aliran dana terjadi dari satu nasabah investor ke sekelompok pelaksana usaha dalam beberapa sektor terbatas, misalnya pertanian, manifaktur, dan jasa. Nasabah investor lainnya mungkin mensyaratkan dananya hanya boleh dipakai untuk pembiayaan di sektor pertambangan, properti, dan pertanian. Selain berdasarkan sektor, investor dapat saja mensyaratkan berdasarkan jenis akad yang digunakan, misalnya hanya boleh digunakan berdasarkan akad penjualan cicilan saja, atau penyewaan cicilan saja, atau kerja sama usaha saja. Skim inilah yang dise80
but on balance-sheet, karena dicatat dalam neraca bank. Dalam mudharabah off balance-sheet, aliran dana berasal dari satu nasabah investor kepada satu nasabah pembiayaan (yang dalam bank konvensional disebut debitur). Disini, bank syariah bertindak sebagai arranger saja. Pencatatan transaksinya di bank syariah dilakukan secara off balance-sheet. Sedangkan bagi hasilnya tergantung kesepakatan antara nasabah investor dan nasabah penglola pembiayaan. Bank hanya memperoleh arranger fee. Skema ini disebut off balance-sheet karena transaksi ini tidak tercatat dalam neraca bank, tetapi hanya dicatat dalam rekening administrasi saja. Investasi mudharabah terdiri dari mudharabah bilateral (sederhana), mudharabah multirateral, mudharabah bertingkat, dan kombinasi musyarakah dan mudharabah. Jenis skema mudharabah bilateral/sederhana adalah jenis yang sudah sering dibahas baik uraian maupun dengan bagan, karena merupakan jenis paling sederhana yang sering dijumpai pada skema mudharabah di bank syariah. Di samping itu ia merupakan bentuk dasar yang mengilhami berbagai variasi produk pembiayaan syariah sesuai kebutuhan di era modern ini. Lebih jelasnya mudharabah bilateral adalah mudharabah antara satu pihak sebagai shahibul maal dan satu pihak lain sebagai mudharib. Contoh pembagian keuntungan antara shahibul maal dan mudharib atas dasar kesepakatan, misalnya: modal pembiayaan yang diberikan Rp 50.000.000,-. Sedangkan nisbah bagi hasil yang disepakati adalah sebesar 30:70. Hal ini berarti bahwa keuntungan akan dibagi 30% untuk shahibul maal dan 70% untuk mudharib. Setelah menjalankan usaha selama satu tahun, modal telah mencapai Rp 120 000.000,-. Terlihat bahwa keuntungan yang dicapai selama satu tahun adalah sebesar Rp 70. 000.000,- (Rp 120.000.000,- dikurangi Rp 50. 000.000,-). Dari keuntungan bersih ini mudharib berhak mendapat bagian sebesar Rp 49. 000.000 (0,7 X Rp 70.000.000,-) dan shahibul maal berhak mendapat bagiannya yang 30% sebesar Rp 21.000.000,- (03 X Rp 70.000. 000,-).
Investasi Bagi Hasil Dalam Pembiayaan Akad Mudharabah …
Sebaliknya, apabila setelah menjalankan usaha selama satu tahun, modal menyusut menjadi Rp 20.000.000,-. Berarti bahwa setelah diusahakan selama satu tahun mudharib mengalami kerugian bersih sebesar Rp 30. 000.000,- (Rp 50.000.000,- dikurangi Rp 20. 000.000,-). Bila kerugian tersebut tidak disebabkan oleh kelalaian dan kecurangan mudharib, maka dari kerugian bersih ini, mudharib tidak menanggung beban sedikitpun, sedangkan shahibul maal yang menanggung semua kerugian sehingga modal shahibul maal tinggal Rp 200.000,Mudharabah multirateral adalah jenis lainnya dimana dalam satu akad investasi terdapat beberapa pihak sebagai shahibul maal dan satu pihak lain sebagai mudharib. Sebagai contoh perhitungan pembagian keuntungan dalam investasi mudharabah multilateral, yaitu shahibul maal pertama menyediakan dana atau modal Rp 25.000.000,- dan shahibul maal kedua menyediakan modalnya sebesar Rp 25. 000.000,- untuk dikelola oleh mudharib. Nisbah yang disepakati adalah 70 : 30. Jika setelah satu tahun usaha tersebut berjalan, nilai proyek tersebut menjadi Rp 120.000.000,-, maka bagian keuntungan mudharib adalah Rp 49.000.000,- (0,7 X Rp 120.000.000 - Rp 50. 000.000,-), sedangkan bagian keuntungan untuk shahibul maal adalah Rp 21.000.000,- (0,3 X Rp 120.000.000 - Rp 50.000.000,-), kemudian dibagi untuk shahibul maal pertama dan shahibul maal kedua, sehingga mereka masing -masing menerima Rp 10.500.000,Apabila dalam satu tahun kenyataannya modal tersebut menyusut karena menderita kerugian sebesar Rp 30.000.000,- (Rp 50. 000.000- Rp 20.000.000), maka menjadi tanggungan shahibul maal berdua,masing-masing Rp 15.000.000,- dan mudharib sendiri tidak menanggung kerugian. Akibatnya, mo-dal shahibul maal masing-masing tinggal Rp 10.000. 000,-. Mudhrabah bertingkat, adalah mudharabah antara tiga pihak. Pihak pertama sebagai shahibul maal, pihak kedua sebagai mudharib antara, dan pihak ketiga sebagai mudharib akhir. Investasi mudharabah bertingkat adalah sebagai berikut, pertama shahibul maal menyediakan modalnya sebesar Rp 50.
Evita Isretno Israhadi
000.000,- untuk diusahakan mudharib dengan nisbah yang disepakati sebesar 70:30. Kemudian mudharib antara bermitra dengan mudharib akhir. Dengan modal Rp 50.000.000,- yang akan dikelola mudharib akhir dan nisbah yang disepakati adalah 60:40. Apabila setelah satu tahun berjalan dan nilai proyek menjadi Rp 120.000.000,- maka bagian keun-tungan mudharib akhir adalah Rp 28.000.000 (0,4 X Rp 70.000.000,-), bagian mudharib an-tara adalah Rp 12.600.000,-(0,3 X 0,6 X Rp 70.000.000,-), dan bagian dari shahibul maal adalah Rp 29. 400.00,-(0,7 X 0,6 X Rp 70.000. 000,-). Apabila setelah satu tahun berjalan ternyata mengalami kerugian dan modal menyusut menjadi Rp 20.000.000,- dan kerugian tersebut bukan karena kelalaian mudharib, maka kerugian Rp 30.000.000,- (Rp 50.000.000 - Rp 20.000.000) ditanggung oleh shahibul maal, sedangkan mudharib tidak menanggung kerugian tersebut. Akibatnya modal shahibul maal tinggal Rp 20.000.000,-. Investasi kombinasi musyarakah dan mudharabah adalah jenis lain yang merupakan campuran antara skema pembiayaan mudharabah dengan skema bentuk lain yang bernama musyarakah. Dalam perjanjian mudharabah pada umumnya diasumsikan bahwa pengelola tidak ikut menanamkan modalnya, tetapi hanya bertanggung jawab dalam menjalankan usahanya saja, sedangkan modal seluruhnya berasal dari shahibul maal atau pemodal. Namun demikian, ada kemungkinan bahwa pengelola juga ingin menginvestasikan dananya dalam usaha mudharabah ini. Pada kondisi seperti ini musyarakah dan mudhara-bah digabung menjadi satu akad, dan kerja sama semacam ini disebut kombinasi musyarakah dan mudharabah. Dalam akad ini pengelola mendapatkan bagian nisbah bagi hasil dari modal yang dinvestasikannya sebagai mitra usaha dalam musyarakah, dan pada saat yang bersamaan pengelola juga mendapatkan bagian nisbahnya dari hasil kerjanya sebagai mudharib dalam mudharabah. b. Skala Prioritas Produk Syariah Perbankan syariah adalah bank yang menggunakan mekanisme bagi hasil, bukan bunga, maka bagi hasil, khususnya mudhara81
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 70 - 97
bah, seharusnya menjadi mekanisme usaha yang dominan dalam aktivitas perbankan syariah. Kenyataannya, mekanisme akad bagi hasil tidak menunjukkan persentase yang cukup tinggi dalam keseluruhan aktivitas perbankan syariah terutama dalam produk investasi pembiayaan mudharabah. Pada data statistik perbankan syariah per 2010 yang dikeluarkan Bank Indonesia akhir Maret 2010, memperlihatkan hasil analisis total pembiayaan investasi mudharabah dengan nilai penempatan dana Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) pada Bank Indonesia, meningkat tajam lebih dari 65% dari sebelumnya pada Maret 2009 sebesar 5,958 trilyun rupiah menjadi 9,837 trilyun rupiah pada Februari 2010. Secara faktual pembiayaan dengan akad murabahah, istishna, dan ijarah mendominasi hampir 60% dari total pembiayaan, sementara mudharabah dan musyarakah (produk dengan konsep bagi hasil) hanya berkisar 35% saja dari seluruh penyaluran dana.22 Dengan demikian, murabahah, istishna, dan ijarah yang berbasis jual-beli dan sewa adalah akad-akad “aman” dimana bank syariah sudah pasti mendapatkan imbal hasil berupa margin keuntungan dari akad-akad tersebut dan nyaris tak akan ada resiko kerugian kecuali ancaman angsuran pembayaran yang macet dari nasabah. Sementara mudharabah adalah akad dalam perbankan syariah yang berbasis kemitraan usaha (partnership) dengan prinsip profit-lost-sharing (PLS) yang mempunyai resiko tinggi (high risk) menyebabkan bank syariah menghadapi kesulitan untuk menempatkan produk ini menjadi produk andalan. Prinsip bagi hasil ini, mengharuskan bank sebagai pemodal mengambil resiko finansial, karena jika usaha yang dibiayai tidak menghasilkan keuntungan (profit), maka bank syariah tersebut akan ikut menanggung kerugiannya (lost). Secara realita dapat dikatakan bahwa produk perbankan syariah yang paling dominan saat ini adalah produk murabahah dengan prinsip jual-beli, dikarenakan adanya return bagi bank berupa margin yang bersifat low risk
c. Indentifikasi Pertumbuhan dan Komposisi Investasi Mudharabah Hal yang menarik untuk dicermati pada data statistik perbankan syariah Februari 2010 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Data itu mencatat bahwa Dana Pihak Ketiga (DPK) yang berhasil dikumpulkan oleh Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) adalah sebesar 53,299 trilyun rupiah. Angka ini meningkat lebih dari 40% dibandingkan periode Maret 2009 sebesar 38,040 trilyun rupiah. Namun peningkatan DPK ini ternyata tidak dibarengi dengan peningkatan komposisi pembiayaannya dilihat dari angka Financing to Deposit Ratio (FDR) pada periode yang sama. Jika pada Maret 2009 komposisi pembiayaan itu sebesar 39,308 trilyun rupiah dengan FDR 103,33%, maka pada Februari 2010 hanya berkisar 48,479 trilyun Rupiah dengan FDR 90,96%. Namun kecenderungan FDR di bawah 100% itu ternyata memang sudah berlangsung sejak akhir 2009 yang lalu.23 Pada akad mudharabah, bank syariah berposisi sebagai pemilik dana (rabbul mal) yang memberikan modal kepada pengusaha (mudharib) untuk menjalankan usahanya. Keduanya kemudian menetapkan nisbah (rasio) bagi hasil, yakni proporsi keuntungan antara kedua belah pihak yang diharapkan dari usaha itu. Jika usaha mengalami kerugian, maka kerugian itu hanya ditanggung oleh bank sebagai pemilik modal. Dengan demikian, maka produk mudharabah yang berbasis bagi hasil ini merupakan penanda dan ciri khas bahwa usaha bank syariah tidaklah sekedar “meminjam dan meminjamkan” dana seperti halnya bank konvensional. Cakupan usaha bank syariah sangat luas dan bervariasi, mulai dari profit-sharing based (bagi hasil), sale-based (jual-beli), lease-based
22
23
Data statistik BI
82
(resiko yang rendah). Disini jelas terlihat bahwa bank syariah bersikap risk averse (menghindari resiko), sehingga prioritas bank-bank syariah seharusnya mengedepankan produk dengan konsep bagi hasil sebagai ciri khas perbankan syariah seperti yang diamanatkan undang-undang, masih sulit dilaksanakan.
Harian Republika 16 April 2010.
Investasi Bagi Hasil Dalam Pembiayaan Akad Mudharabah …
(sewa), fee-based (upah), hingga voluntarybased (sosial). Hal mana itu semua menunjukkan bahwa bank syariah sebenarnya tidak ada bedanya dengan seorang enterpreneur (wirausahawan). Sebagaimana sifat seorang enterpreneur yang berani mengambil resiko dalam berbisnis (risk-taker), maka demikian jugalah seharusnya perbankan syariah. Jika pada kenyataannya saat ini keberanian itu kurang memadai jika dilihat dari fenomena rendahnya FDR serta kecenderungan mengambil produk/skema pembiayaan yang “aman” seperti sinyalemen di atas, maka hal tersebut merupakan bentuk ketidaksiapan sumber daya insani (SDI) perbankan syariah dalam menjalankan peran dan fungsi sebenarnya. Hal ini masih bisa dimaklumi mengingat bahwa sebagian besar SDI perbankan syariah saat ini masih berasal dari SDI perbankan konvensional. Tentu warisan mindset (pola pikir) konvensionalnya masih belum bisa dihilangkan begitu saja. 2. Prosedur, Tahapan Pembiayaan Akad Mudharabah dan Akselerasi Payung Hukum Terhadap Pembiayaan Mudharabah a. Prosedur dan Tahapan Pembiayaan Akad Mudharabah Prosedur dan tahapan pembiayaan akad mudharabah secara sederhana dan besarnya dapat di uraikan sebagai berikut. 1). Pengajuan proposal calon nasabah; 2). Calon nasabah diajak berdialog (wawancara) tentang usaha-usaha apa yang ditekuni, kemudian ditanya jum-lah modalnya berapa dan keuntungan ratarata per tahun, bulan atau per minggunya berapa. a). Calon nasabah meyakinkan pihak bank syariah dengan syarat-syarat jaminan yang telah ditetapkan. Pihak bank syariah mengadakan survei ke lokasi usaha calon nasabah dan sekaligus melihat dan mengamati kondisi tempat tinggal calon nasabah. b). Pihak bank syariah memutuskan apakah mengabulkan permohonan calon nasabah ataukah menolak. Setelah memutuskan untuk menga-
Evita Isretno Israhadi
bulkan permohonan calon nasabah maka terjadilah akad atau transaksi mudharabah. Kemudian, tawar-menawar keuntungan atau hasil yang akan dibagi antara pihak pengusaha dengan bank Islam. Dari tawar-menawar itu terjadi kesepakatan pembagian keuntungan antara kedua belah pihak, 50:50 atau 30:70 dan seterusnya,24 maka terjadilah transaksi atau perjanjian antara pihak bank Islam dengan pihak pengusaha dengan perjanjian akad mudharabah c). Setelah persyaratan dan mekanisme serta prosedur baik yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional serta persyaratan para pihak terpenuhi dengan baik maka dana pembiayaan akad mudharabah cair. Selain itu, perlu dikemukakan secara rinci prosedur dan tahapan serta persyaratan dan mekanisme serta prosedur akad mudharabah secara administratif yang tidak berbeda dengan persayaratan yang diberlakukan pada akad Murabahah, namun perbedaan tersebut ada pada soal prinsip jual beli dan bagi hasil. Selanjutnya, pembahasan tentang prosedur dan tahapan pemberian pembiayaan secara umum, skema besar pembiayaan dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu: (a) Pembiayaan Produktif, yakni pembiayaan yang dibe-rikan untuk kebutuhan usaha. Pembiayaan produktif dimaksud, terbagi menjadi dua macam, yaitu: pembiayaan investasi dan pembiayaan modal kerja, dan (b) Pembiayaan konsumtif, yakni pembiayaan yang diberikan untuk pembelian ataupun pengadaan barang tertentu yang tidak digunakan untuk tujuan usaha.25 b. Akselerasi Payung Hukum Terhadap Investasi Pembiayaan Mudharabah Sejak berlakunya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana 24
Data diperoleh dari hasil survei dengan BMI, September 2010 25 Data diperoleh dari management BMI., pada Juni 2010.
83
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 70 - 97
telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, ketentuan tentang perbankan syariah sangat minim sehingga tidak bisa menjadi jawaban terhadap keunikan dan kekhususan perbankan syariah. Menurut pakar hukum perbankan, Sutan Remy Sjahdeini,26 perangkat hukum tersebut hanya secara samar-samar memberikan indikasi mengenai kemungkinan suatu bank memberikan fasilitas perbankan berdasarkan bagi hasil. Pasal 6 huruf m Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 hanya menyebutkan bahwa bank umum dapat menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, maka dikeluarkanlah aturan pelaksanaan yang berbentuk peraturan pemerintah (PP) antara lain PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Inti dari PP No. 72 Tahun 1992 ini adalah bahwa bank yang melaksanakan prinsip bagi hasil harus memerhatikan prinsip-prinsip syariah (Pasal 2) dan kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian tertulis antara para pihak (Pasal 3). Selain itu, bank yang melaksanakan prinsip bagi hasil harus memiliki Dewan Pengawas Syariah (Pasal 5). Bank yang melaksanakan prinsip bagi hasil juga dilarang melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (Pasal 6), Meskipun PP No. 72 Tahun 1992 yang hanya terdiri dari 9 pasal ini serta PP lainnya dikeluarkan untuk menunjang dan memperkuat Undang-Undang No 7 Tahun 1992, namun belum cukup untuk mengeksplorasi kekhususan perbankan syariah, karena hanya mengatur bagian yang sangat kecil tentang perbankan syariah. Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, ketentuan tentang perbankan syariah dinyatakan lebih tegas lagi, seperti terlihat dalam Pasal 1 angka 3 dan 4 bahwa bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Selanjutnya dalam Pasal 1 26
Sutan Remy Sjahdeini, opcit, hal 122
84
angka 13 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, prinsip syariah dijelaskan sebagai prinsip aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). Kelemahan dari Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dalam perspektif perbankan syariah adalah pengaturan dan ketentuan yang berlaku ditujukan untuk semua bank, baik bank konvensional maupun bank syariah, sebagaimana terlihat dari pendefinisian bank umum yang tercantum dalam undang-undang tersebut. Dapat dicermati bahwa Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 telah merancukan batasan antara bank konvensional dengan bank syariah sehingga seakan-akan semua ketentuan yang mengatur bank umum dapat mengatur pula perbankan syariah. Kerancuan di atas semakin terlihat, karena hal yang mengatur secara khusus tentang perbankan syariah sangat minim. Dari 59 Pasal yang ada dalam UndangUndang No. 10 Tahun 1998, hanya ada 8 Pasal yang mengulas perbankan yaitu Pasal 1 angka (12), Pasal 6 huruf (n), Pasal 7 huruf (c), Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 11 ayat (1) dan (4a), Pasal 13, Pasal 29 ayat (3), dan Pasal 37 ayat (1) huruf (c). Dengan penjelasan di atas, maka Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 belum menjelaskan kekhususan dari Perbankan Syariah dan bagaimana mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Peraturan pemerintah terakhir yang membahas tentang perbankan syariah adalah PP No. 30 Tahun 1999 tentang pencabutan PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan PP No. 73 Tahun 1998 dan PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Alasan dari adanya peraturan
Investasi Bagi Hasil Dalam Pembiayaan Akad Mudharabah …
pemerintah ini adalah pemberlakuan UndangUndang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, maka ketentuan pelaksanaan mengenai Bank Umum dan BPR (Bank Perkreditan Rakyat), termasuk yang melaksanakan prinsip bagi hasil, menjadi wewenang Bank Indonesia, bukan pemerintah. Walau begitu, peraturan pemerintah yang dicabut tadi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang serta tidak dicabut atau diperbarui. Dengan adanya PP No. 30 Tahun 1999, maka semua regulasi yang mengatur perbankan secara umum dan perbankan syariah secara khusus tidak lagi melalui Peraturan Pemerintah (PP), melainkan melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI). Pada undang-undang perbankan syariah ini diatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, dan larangan bagi bank umum syariah (BUS) maupun usaha unit syariah (UUS) yang merupakan bagian dari bank umum konvensional. Undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah ini juga mengatur tentang masalah kepatuhan syariah (syariah compliance) yang kewenangannya berada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI)/ Dewan Syariah Nasional (DSN), direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang ha-rus dibentuk pada masing-masing BUS dan UUS. Sementara itu, penyelesaian sengketa yang mungkin timbul pada perbankan syariah, akan dilakukan melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Agama yang merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Di samping itu, dibuka pula kemungkinan penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitrase, atau melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Umum sepanjang disepakati di dalam akad oleh para pihak. Dalam undang-undang perbankan syariah banyak pasal-pasal yang memerintahkan "ketentuan lebih lanjut mengenai hal tertentu diatur dalam PBI." Setidak-tidaknya terdapat 21 ketentuan dalam UU Perbankan Syariah yang memerintahkan pengaturan lebih lanjut hal tertentu dalam PBI, yaitu: (1) PBI tentang
Evita Isretno Israhadi
tugas manajemen, remunerasi komisaris dan direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan hal-hal lainnya; (2) PBI tentang jumlah maksimum kepemilikan Bank. Umum Syariah oleh warga negara asing dan/ atau badan hukum asing diatur dalam Peraturan Bank Indonesia; (3) PBI tentang perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah; (4) PBI tentang besarnya modal disetor minimum untuk mendirikan Bank Syariah; PBI tentang Izin perubahan UUS menjadi Bank Umum Syariah; PBI tentang tata cara pembentukan, keanggotaan, dan tugas komite perbankan syariah; (7) PBI tentang uji kemampuan dan kepatutan pemegang saham pengendali; (8) PBI tentang syarat, jumlah, tugas, kewenangan, tanggung jawab, serta hal lain yang menyangkut dewan komisaris dan direksi Bank Syariah; (9) PBI untuk memastikan kepatuhan Bank Syariah terhadap pelaksanaan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya; (10) PBI tentang uji kemampuan dan kepatutan dewan komisaris dan direksi; (11) PBI tentang pengangkatan pejabat eksekutif Bank Syariah; (12) PBI tentang pembentukan Dewan Pengawas Syariah; (13) PBI tentang tata kelola Perbankan Syariah yang baik; (14) PBI tentang pelaksanaan dan pelaporran batas maksimum penyaluran dam; (15) PBI tentang pengelolaan risiko; (16) PBI tentang pembelian agunan oleh Perbankan Syariah; (17) PBI tentang tukar-menukar informasi antar bank; (18) PBI tentang tingkat kesehatan Perbankan Syariah; (19) PBI tentang persyaratan dan tata cara pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada pada Perbankan Syariah oleh Akuntan Publik atau pihak lain; (20) PBI tentang pelaksanaan sanksi administratif; dan (21) PBI tentang persyaratan dan tata cara pencabutan izin usaha Bank Syariah. Keberadaan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, maka Fatwa MUI juga mempunyai pijakan. Hal ini terjadi karena Undang-Undang Perbankan Syariah menentukan bahwa perincian mengenai prinsip syariah difatwakan oleh MUI, yang kemudian menjadi PBI setelah melalui peng85
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 70 - 97
godokan di Komite Perbankan Syariah yang dibentuk oleh Bank Indonesia, seperti terlihat dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah bahwa: (1) Kegiatan usaha Perbankan Syariah dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada Prinsip Syariah; (2) Prinsip Syariah itu difatwakan oleh MUI; dalam rangka penyusunan Bank Indonesia membentuk Komite Perbankan Syariah. Berdasarkan ketentuan di atas, maka Fatwa MUI tentang perbankan syariah akan lebih berdaya guna, karena akan dituangkan menjadi PBI itu sendiri. Akhirnya, fatwa MUI dapat menjadi hukum positif yang diakui keabsahannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Secara kelembagaan, saat ini jumlah bank syariah telah mencapai 11 bank umum syariah (BUS), 23 unit usaha syariah (UUS) dan 146 BPRS dengan jaringan kantor sebanyak 1.625 kantor pada akhir September 2010. Secara geografis, sebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini telah menjangkau masyarakat di lebih 89 kabupaten/kota di 33 propinsi. Dari hasil penelitian yang dilakukan maka didapatkan suatu fakta bahwa bank-bank syariah belum melakukan kegiatan penyaluran dana dengan prinsip bagi hasil melalui produk/ skema mudharabah bagi perorangan secara optimal. E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Akad Bagi Hasil Mudharabah 1. Faktor-Faktor Yang Membedakan dengan Bunga 1) Faktor Langsung Di antara faktor-faktor langsung (direct factors) yang mempengaruhi perhitungan bagi hasil antara lain : investment rate, jumlah dana yang tersedia, dan nisbah bagi basil (profit sharing ratio). a) Investment rate merupakan persentase aktual dana yang diinvestasikan dan total dana. Jika bank menentukan investment rate sebesar 80 persen, hal ini berarti 20 persen dan total dana dialokasikan untuk memenuhi likuiditas. 86
b) Mudharib c) Jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan merupakan jumlah dana dari berbagai sumber dana yang tersedia untuk diinvestasikan. Dana tersebut dapat dihitung dengan menggunakan metode ratarata saldo minimum bulanan, atau dengan metode rata-rata total saldo harian. d) Nisbah (rasio bagi hasil) Salah satu ciri mudharabah adalah nisbah yang harus ditentukan dan disetujui pada awal perjanjian. Nisbah antara satu bank dan bank lainnya dapat berbeda. Nisbah juga dapat berbeda dari waktu ke waktu dalam satu bank. 2) Faktor Tidak langsung a) Penentuan pendapatan dan biaya mudharabah. Bank dan nasabah melakukan share dalam pendapatan dan biaya (profit and sharing). Pendapatan yang "dibagihasilkan" merupakan pendapatan yang diterima dikurangi biaya-biaya. Istilah profit and sharing tepat digunakan karena yang dibagi antara shahibul maal dengan mudharib adalah keuntungan dan kerugian. Keuntungan dimaksud, dibagi antara shahibul maal dengan mudharib dan bila terjadi kerugian, maka pihak shahibul maal menanggung kerugian modal dan mudharib menanggung kerugian tenaga dan waktu. b) Kebijakan akunting (prinsip dan metode akunting). Bagi hasil secara tidak langsung dipengaruhi oleh berjalannya aktivitas yang diterapkan, terutama sehubungan dengan pengakuan pendapatan dan biaya.
Investasi Bagi Hasil Dalam Pembiayaan Akad Mudharabah …
2. Kelemahan dan Keunggulan Akad Bagi Hasil Investasi Mudharabah Fakta yang menunjukkan bahwa dalam perkembangan perbankan syariah di Indonesia masih mengunggulkan produk non bagi hasil terutama produk jual-beli murabahah pada kegiatan penyaluran dana. Hal itu, diuraikan sebagai berikut. Pertama, tingginya pembiayaan produk jual-beli murabahah bila dibandingkan dengan produk mudharabah merupakan kelemahan dari perkembangan pembiayaan bank syariah, karena pembiayaan non bagi hasil murabahah dan ijarah, sesungguhnya merupakan fixed return modes, dimana seharusnya ciri khas yang membedakan secara prinsipil antara bank syariah dan bank konvensional terletak pada prinsip profit and loss sharing-nya. Kedua, skema murabahah cenderung menambah bahan bakar kepada kemungkinan terjadinya inflasi, yaitu harga komoditas barang cenderung meningkat. Ketiga, skema murabahah tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan produktivitas barang dan jasa. Selain itu, tingginya pembiayaan non-bagi hasil tidak hanya menimbulkan masalah bagi dunia usaha, tetapi juga mengakibatkan rendahnya perolehan pendapatan bank syariah itu sendiri, karena walaupun dengan risiko yang lebih tinggi, produk pembiayaan bagi hasil dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar daripada produk pembiayaan non-bagi hasil apabila dikelola sesuai dengan manajemen risiko. Adapun keunggulan pembiayaan investasi mudharabah dengan konsep bagi hasil sebagai berikut. Pertama, Pembiayaan mudharabah akan menggerakkan sektor rill karena pembiayaaan ini bersifat produktif yakni disalurkan untuk kebutuhan investasi dan modal kerja. Jika investasi di sektor riil meningkat tentunya akan menciptakan kesempatan kerja baru sehingga dapat mengurangi pengangguran sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat. Kedua, Nasabah akan memiliki dua pilihan, apakah akan mendepositokan dananya pada bank syariah atau bank konvensioanal. Nasabah akan membandingkan antara expec-
Evita Isretno Israhadi
ted rate of return yang ditawarkan oleh bank syariah dengan tingkat suku bunga bank konvensional. Dimana selama ini, kecenderungannya rate of return bank syariah lebih tinggi daripada suku bunga bank konvensional. Dengan demikian diharapkan akan menjadi pendorong peningkatan jumlah nasabah di bank syariah. Ketiga, Peningkatan persentase pembiayaan bagi hasil akan mendorong tumbuhnya pengusaha atau investor yang berani mengambil keputusan bisnis yang berisiko. Pada akhirnya akan berkembang berbagai inovasi baru yang akan meningkatkan daya saing bank syariah. Keempat, Pola pembiayaan mudharabah adalah pola pembiayaan berbasis produktif yang memberikan nilai tambah bagi perekonomian dan sektor riil sehingga kemungkinan terjadinya krisis keuangan akan dapat dikurangi. Selain itu, dengan mengoptimalkan pembiayaan bagi hasil bank syariah dapat menumbuhkan jiwa entrepreneurship nasabah yang pada akhirnya dapat meningkatkan distribusi pendapatan dan memberdayakan ekonomi masyarakat. 3. Hukum dan Kebijakan Dalam sosialisasi UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Karim Business Consulting memaparkan bahwa biaya pembiayaan syariah masih lebih tinggi dari biaya kredit perbankan konvensional, dengan perbandingan antara 18 persen untuk pembiayaan syariah dan 15 persen untuk kredit konvensional. Perinciannya, masih menurut Karim Business Consulting, biaya pembiayaan Perbankan Syariah yang mencapai 18- persen terdiri dari cost of fund 9 persen, marjin keuntungan 2 persen, dan biaya operasional 6-8 persen. Sedangkan biaya kredit perbankan konvensional yang mencapai 15 persen juga terdiri dari cost of fund 9 persen, marjin keuntungan 2 persen, dan biaya operasional 4 persen. Jadi, penyebab utama tingginya biaya pembiayaan perbankan syariah adalah karena biaya operasional yang lebih tinggi dari biaya
87
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 70 - 97
operasional perbankan konvensional.27 Kehadiran UU Perbankan Syariah dapat memangkas pembiayaan perbankan syariah maka perbankan syariah harus melakukan hal berikut: 1) Pertama, untuk menyiasati keluasan dan keleluasaan kegiatan yang bisa dilakukan perbankan syariah mulai dari gadai, leasing, penyertaan modal tetap atau sementara, mendirikan dan mengurus dana pensiun, serta melakukan kegiatan di pasar modal di samping kegiatan inti perbankan lainnya (Pasal 19-20 UU Perbankan Syariah), maka perbankan syariah harus melakukan konsolidasi satu sama lain, sehingga sebuah kegiatan bisa dilakukan secara bersama-sama dengan biaya semurah mungkin untuk mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin. Misalnya, untuk kegiatan di pasar modal, maka bank syariah A menjadi leader dan penanggung jawab, sedangkan bank syariah lainnya cukup mengekor dan mengawasi saja. Begitu juga untuk kegiatan yang bersifat spesifik lainnya, seperti leasing atau pengurusan dana pensiun. Dengan cara ini, maka biaya yang dialokasikan perbankan syariah untuk kegiatan tertentu menjadi lebih kecil, karena ditanggung renteng oleh banyak perusahaan. 2) Kedua, biaya untuk struktur perbankan syariah mau tidak mau akan lebih mahal dari perbankan konvensional. Hal ini terjadi karena, antara lain, dalam perbankan syariah harus ada Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang diangkat atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia atau MUI (Pasal 32 ayat 1-2 UU Perbankan Syariah). DPS yang harus terdiri dari lebih dari satu orang karena bernama dewan, sudah pasti menimbulkan biaya tersendiri. Sudah begitu, proses pengangkatannya juga dapat menimbulkan biaya, karena melibatkan lembaga lain, yakni MUI, yang harus melakukan kajian menda27
Ori Basuki, Biaya Kredit Syariah Tinggi, Harian Kompas, 11 Agustus 2008
88
lam (seperti sertifikasi atau semacamnya) untuk dapat menemukan calon anggota DPS yang layak untuk direkomendasikan. Untuk memangkas biaya tinggi dari hal di atas, maka perbankan syariah harus bersiasat, dengan cara menjadikan menjadikan dua atau tiga orang sebagai DPS pada beberapa perbankan syariah sekaligus, dengan biaya yang ditanggung renteng atau ditanggung bersama. Penyiasatan ini tidak melanggar UU Perbankan Syariah. Yang penting, masing-masing perbankan syariah harus mempunyai DPS. Mengenai teknis pelaksanaan dan pembiayaannya bisa diatur dengan baik, terutama agar tidak menimbulkan biaya tinggi pada perbankan syariah. 3) Ketiga, akad-akad dalam perbankan syariah yang berbasis bagi hasil dan bagi risiko, seperti mudharabah dan musyarakah sebagai akad yang berbasiskan pada kerja sama beberapa pihak mengharuskan perbankan syariah terlibat aktif dalam pembiayaan tersebut, sehingga mau tidak mau mengalokasikan sumber daya manusia tertentu, dengan konsekuensi pembiayaannya. Agar hal ini tidak (menimbulkan biaya tinggi, maka antara beberapa perbankan syariah harus lebih banyak melakukan pembiayaan sindikasi (pembiayaan bersama) untuk usaha tertentu, di mana bank syariah A mewakili bank syariah lainnya dalam upaya menjadikan kegiatan usaha berbasis mudharabah dan musyarakah itu mendatangkan keuntungan besar dengan biaya operasional semurah mungkin. Masih banyak hal lain yang perlu dilakukan perbankan syariah agar biaya operasional lembaga keuangan ini bisa lebih murah dari perbankan konvensional. Dengan cara ini, maka perbankan syariah dapat menjadi tuan di negeri sendiri, bukan seperti sekarang menjadi tamu di rumah sendiri. Menyangkut analisis akselerasi payung hukum, pemaknaan dari aturan pelaksanaan seperti PBI masih terjadi sebagai akibat dari
Investasi Bagi Hasil Dalam Pembiayaan Akad Mudharabah …
penjabaran yang berujung pada implementasi akad pembiayaan yang belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip syariah. Sebagai contoh simulasi kasus yang dapat saja terjadi di lapangan sebagai berikut: Mudharib memiliki pembiayaan sebesar Rp. 150.000.000,- pada bank syariah “A” dengan jangka waktu 12 bulan menggunakan sistem mudharabah angsuran yang harus diba-yar tiap bulan adalah sebesar Rp.13.750.000,-. Pada bulan ketiga usaha yang bersangkutan terkena dampak krisis global, yang bersangkutan mengajukan permohonan untuk perpanjangan jangka waktu menjadi 24 bulan supaya angsuran per bulannya juga akan berkurang, karena kesanggupan bayar mudharib hanya berkisar antara angka Rp. 6.000.000,- s/d Rp. 5.000. 000,- /bulannya. Dari contoh tersebut dapat dikaitkan dengan PBI No 10/18/PBI/ 2008. Mudharib yang akan di restrukrisasi haruslah nasabah yang telah memiliki kualitas “Kurang Lancar”, diragukan dan macet. Sedangkan untuk kasus mudharib diatas, masih dalam kondisi Lancar. Permasalahan, yang terjadi apakah mudharib akan dibiarkan masuk ke fase kurang lancar dulu baru setelah itu nasabah akan direstruktur, sedangkan mudharib tersebut memiliki iktikad baik untuk tetap melakukan pembayaran angsuran. Secara tidak langsung, bank tidak mungkin memberikan pemahaman mengenai PBI No. 10/18/PBI/2008 kepada mudharib. Karena hal itu akan mengakibatkan mudharib akan memposisikan performance usahanya, yang semula “Lancar” menjadi “Kurang lancar”. Seandainya mudharib yang mengalami hal tersebut bukan hanya satu, dapat dibayangkan berapa orang nasabah yang akan berada pada tingkat kualitas “Kurang lancar” untuk kurun waktu 6 bulan. Mudharib yang tidak memahami kondisi peraturan dan bank tidak bisa memberikan solusi terhadap permasalahannya akan mengakibatkan tingkat kepercayaan terhadap dunia perbankan syariah akan berkurang. Bank syariah yang tidak segera merespon keinginan nasabah untuk me-reschedule pembiayaannya, secara tidak langsung bank syariah akan diposisikan sebagai bank yang tidak bisa memihak kepada kepentingan mu-
Evita Isretno Israhadi
dharib. Dan jika keinginan tersebut direalisasikan, bank syariah akan dihadapkan dengan penerapan PBI yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Untuk untuk mengatasi permasalahan ini, bank syariah dikhawatirkan akan melakukan beberapa tindakan operasional yang terkadang sedikit menyimpang prinsip syariah yang telah diterapkan. 4. Perbandingan Beban Nasabah Bank Syariah dengan Bank Konvensional Bila membandingkan beban nasabah bank syariah dengan beban nasabah bank konvensional, maka dapat diuraikan sebagai berikut: Bila calon nasabah bank syariah dipandang memenuhi syarat dan standar operasional penyaluran dana maka dilakukan transaksi akad Mudharabah yang mengacu pada jumlah keuntungan bersih pengusaha dibagi antara pengusaha dengan pihak bank dengan perhitungan atau perbandingan 90 : 10, 80 : 20, 70:30 atau bisa lebih dan bisa kurang dalam setiap bulan sesuai kesepakatan bersama pada saat penandatanganan perjanjian atau transaksi dengan dasar pertimbangan dan perhitungan 90:10 didasarkan pada kondisi usaha nasabah, administrasi di bank syariah, suku bunga yang berlaku pada saat itu, pertimbangan kemanusiaan (menolong), kerelaan kedua belah pihak. Untuk lebih jelasnya berikut contoh nasabah bank syariah dalam pembiayaan bagi hasil.28 Pak Ilyas, salah seorang pengusaha mengajukan pembiayaan kredit bagi hasil pada bank syariah dengan jangka waktu pengembalian 1 tahun dengan pengajuan modal Rp 10.000.000,00. Setelah diadakan wawancara (dialog) maka diketahui penghasilan Pak Ilyas rata-rata setiap minggunya berkisar antara Rp 500.000,00 - Rp 7.50.000,-. Apabila dibulatkan dalam satu bulan Pak Ilyas berpenghasilan Rp. 3.000.000,00 bersih. Dengan melalui dialog antara bank Syariah dengan Pak Ilyas dicapai kesepakatan, bahwa Pak Ilyas rela penghasilannya diminta atau dibagi dengan 28
Hasil wawancara merujuk pada Dewan Syariah Nasional MUI Bank Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional, ed 2, jakarta : Internusa, 2003.
89
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 70 - 97
pihak bank Syariah dengan perbandingan 90: 10 dalam setiap bulannya. Dengan perjanjian apabila Pak Ilyas mengalami masalah dalam usahanya, pihak bank Syariah akan meninjau kembali perjanjian yang telah disepakati bersama setelah pihak bank Syariah mengadakan peninjauan dan analisa bersama. Setelah segala sesuatunya diselesaikan dengan baik dan traksaksi perjanjian disepakati bersama. Maka dapat diuraikan sebagai berikut : 1 = Rp. 10.000.000,00 (pokok pinjaman) 2 = 12 bulan (jangka waktu pengembalian) 3 = Rp. 833.000 (angsuran pokok modal) 4 = Rp. 300.000,. (90:10 keuntungan bank) 5 = Rp. 1.133.000 (Total beban angsuran) 6 = Rp. 13.846.000,. (Total Beban yg harus dibayar).29 Maka dapat diketahui bahwa hasil keuntungan bank syariah adalah Rp 3600.000, Keuntungan tersebut diperoleh dari margin sebesar Rp 300. 000, perbulan dalam perbandingan 90:10 selama 12 bulan dari keuntungan Pak Ilyas yang telah disepakati bersama antara bank syariah dengan Pak Ilyas. Pada penerapannya keuntungan dapat ditetapkan oleh bank syariah 90:10, per bulan dari keuntungan (hasil usaha) nasabah sesuai kesepakatan. Besarnya angsuran yang harus dibayar Pak Ilyas sebesar Rp 1.133.000, setiap bulan sampai bulan yang terakhir jangka waktu pinjaman. Maka besarnya angsuran Pak Ilyas akan berubah apabila terjadi perubahan pendapatan terhadap hasil usaha Pak Ilyas. Dengan demikian nisbah bank tidak akan berubah apabila pendapatan Pak Ilyas tidak mengalami peningkatan atau penurunan. Namun apabila mengalami penurunan (usaha merugi) hal ini dapat dilakukan negosiasi ulang setelah bank syariah melakukan peninjuan dan analisa terhadap usaha Pak Ilyas tersebut.30 Dalam penjelasan tentang angsuran investasi pembiayaan mudharabah Pak Ilyas dalam uraian ini terlihat bahwa angsuran Pak 29
Hasil wawancara data diolah sendiri merujuk pada Dewan Syariah Nasional MUI Bank Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional, ed 2, Jakarta : Internusa, 2005. 30 Dokumen Pedoman Operasional Standar pemberian kredit dan hasil wawancara dengan Staf dan pimpinan Bank, data diolah sendiri.
90
Ilyas dari bulan pertama hingga bulan terakhir terlihat dalam tabel tersebut nilai nominal yang dibayar oleh Pak Ilyas sama atau tidak ada perubahan. Karena itu, Pertanyaan yang muncul dari uarain tersebut adalah mengapa harus sama angsuran Pak Ilyas dari bulan pertama sampai dengan bulan terakhir, padahal akad atau perjanjian yang digunakan antara Pak Ilyas dengan pihak bank syariah adalah akad atau perjanjian mudharabah, seharusnya angsuran Pak dalam setiap bulannya sesuai dengan pasang surutnya uasaha Pak Ilyas. Artinya apabila keuntungan usahanya naik maka angsuran Pak Ilyas naik dan apabila keuntungan usaha Pak Ilyas turun maka tentu angsuran Pak Ilyas juga turun dan bahkan apabila kondisi usaha tidak menentu dan suatu saat Pak Ilyas mengalami kerugian maka pihak lain juga harus ikut menanggung dari kerugian usaha tersebut, dalam hal ini adalah pihak bank syariah. Apabila angsuran pembiayaan mudharabah di bandingkan dengan angsuran sistem bunga memang secara nominal ada perbedaan dan nampak lebih ringan namun secara substansial antara kedua transaksi tersebut memiliki karakter yang sama yaitu mengusahakan keuntungan. Hal ini dapat diartikan bahwa pihak bank syariah dalam melakukan kerjasama bagi hasil dalam bentuk akad mudharabah maka mudharib dalam mengelola usahanya tampak keuntungan yang dibagi mencerminkan usaha mudharib keuntungannya tetap, yaitu tidak naik dan tidak turun. Sistem atau prinsip bagi hasil di atas, akan dibandingkan dengan sistem bunga di bank konvensional dengan langkah-langkah pengajuan kredit modal usaha sebagai berikut: 1. Pengajuan kredit usaha pada bank konvensional. 2. Wawancara, setelah diketahui bentuk usahanya dan syarat-syarat jaminan lengkap lalu di-survey lokasi usahanya, situasi dan kondisi tempat tinggal calon debitur. Pihak bank telah memberi informasi bahwa bunga yang berlaku di bank konvensional sebesar 3%, tidak ada tawar-menawar tentang bunga, bila nasabah setuju maka transaksi akan dilaksanakan apabila menolak maka batal.
Investasi Bagi Hasil Dalam Pembiayaan Akad Mudharabah …
3. Bank akan memutuskan apakah ditolak atau dikabulkan permohonan calon debitur tersebut sesuai dengan ketentuan dan standar operasional yang berlaku. 4. Penandatanganan atau transaksi pihak bank dengan nasabah (debitur). Untuk lebih jelasnya sistem bunga pada bank konvensional sebagai berikut:31 Angsuran pokok = Jumlah pinjaman 12 bulan Bunga
= Jumlah pinjaman 3 % x 12 bulan
Total angsuran per bulan = Jumlah pinjaman + 3 % 12 bulan
Untuk memperjelas mekanisme sistem bunga tersebut di atas dapat dilihat pada contoh nasabah berikut ini: Pak Parsha mengajukan kredit usahanya sebesar Rp. 10.000.000, pada bank konvensional dengan jangka waktu pengembalian satu tahun dengan ketentuan bunga pinjaman 3 % ditambah uang administrasi. Dari perhitungan di atas, nasabah tersebut (Pak Parsha) harus membayar angsuran sebesar Rp.1.133.000, setiap bulannya (pokok pinjaman Rp. 10.000. 000, + bunga 3% = Rp. 300.000, x 12 bln = Rp. 13.600.000,). Perhitungan di atas belum termasuk tambahan denda tunggakan apabila nasabah tersebut (Pak Parsha) terlambat membayar angsuran dalam setiap bulannya yang berkisar antara 0,5 % - 0,1 % dihitung harian. Dari uraian di atas antara sistem bunga dengan sistem bagi hasil secara mendetail dapat ditemukan perbedaan. Perbedaan tersebut terletak dari proses pengambilan keuntungan bank syariah mengambil keuntungan berdasarkan atas pertimbangan penghasilan (keuntungan bersih) yang didapat oleh para pengusaha; Sedangkan sistem bunga bank konvensional menetapkan bunga (keuntungan) berdasarkan ketetapan bunga yang berlaku secara umum pada hari traksaksi dilakukan. Artinya usaha atau penghasilan nasabah dalam sistem bunga tidak dijadikan pertimbangan dalam
Evita Isretno Israhadi
menetapkan bunga (keuntungan), akan tetapi berpedoman pada bunga yang diberlakukan di intern bank konvensional secara umum dengan berdasarkan ketentuan bunga secara umum oleh bank Indonesia. Kecuali dalam sistem bagi hasil tidak ada denda bagi nasabah yang terlambat (menunggak) angsuran dan keuntungan yang diambil bank syariah le-bih ringan (di bawah) dari pada sistem bunga yang dioperasikan bank bank konvensional lainnya. Ketentuan keuntungan yang diambil bank syariah dapat dimusyawarahkan kembali apabila di kemudian hari ada pihak-pihak (nasabah dan bank) yang dirugikan sesuai dengan perjanjian yang di sepakati.32 Dari uraian di atas diketahui ada dua nasabah, satu nasabah bank syariah dan satu nasabah bank konvensional. Kedua nasabah tersebut mengajukan kredit modal sebesar Rp. 10.000.000, pada masing-masing bank dengan jangka waktu pengembalian selama 1 tahun (12 bulan) menggunakan sistem bagi hasil dengan prinsip 90:10 apabila dijadikan persen sama dengan 10% dari keuntungan bersih nasabah (pak Ilyas; Sedangkan bank konvensional menggunakan sistem bunga dengan ketetapan 3% berdasarkan bunga yang berlaku secara umum pada saat transaksi. Dari uraian terdahulu diketahui bahwa penghasilan nasabah bank lslam (Pak Ilyas rata-rata per bulan Rp 3.000.000. Hal ini berarti yang akan dibagi antara Pak Ilyas dengan pihak bank syariah dengan perbandingan 90: 10 atau 10% dari keuntungan Pak Ilyas sebesar Rp 3.000.000, dengan demikian Pak Ilyas harus mengeluarkan 10% dari penghasilan setiap bulannya Rp 300.000 ditambah pokok angsuran Rp 833.000 sehingga sama dengan beban total angsuran nasabah (Pak Ilyas) setiap bulannya menjadi Rp 1.133.000, Adapun beban Pak Parsha selaku nasabah bank konvensional setiap bulannya harus mengeluarkan 3 % dari jumlah pokok pinjaman Rp 10. 000.000, = Rp300.000, ditambah pokok angsuran Rp 833.000, = Rp 1.133.000,-. Apabila dijumlah dalam satu tahun (12 bulan) beban nasabah bank lslam total menja-
31
Dokumen Pedoman Operasional Standar pemberian kredit dan hasil wawancara dengan Staf dan pimpinan Bank, data tersebut diolah sesuai dengan standar operasional, penelitian bulan agustus 2010.
32
Dokumen Pedoman Operasional Standar pemberian kredit dan hasil wawancara dengan Staf dan pimpinan Bank Muamalat.
91
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 70 - 97
di Rp1.133.000, x12 bulan = Rp.13.846.000, Sedangkan nasabah bank konvensional total selama satu tahun menjadi Rp1.133.000, x 12 bulan = Rp.13.846.000,-.33 Beban masing-masing dari kedua nasabah tersebut belum termasuk uang adminstrasi sebesar Rp 24.000,00 sedang bank Konvensional sebesar Rp 50.000, 00 pada setiap peminjaman di atas Rp 1.000. 000,00 - Rp 10.000.000,00. Maka dengan demikian nasabah bank Konvensional jumlah total = Rp 13.846.000,+biaya administrasi Rp 50.000,00 = Rp 13.896.000, Adapun nasabah bank Islam jumlah total = Rp 13.846.000, + biaya administrai Rp 24.000,00 = Rp13.870. 000, Untuk memperjelas beban pada masingmasing nasabah. Dari mekanisme sistem bagi hasil dan sistem bunga yang dilihat di lapangan ditemukan bahwa antara bank syariah dan bank konvensional sama-sama menggunakan perhitungan prosentase. Hal ini dapat dilihat pada bank Islam dalam mengambil keuntungan dengan perbandingan 90:10. Apabila dijadikan bentuk prosen maka sama dengan 10. Namun yang menjadi perbedaan fundamental pada kedua bank tersebut terletak pada dasar dalam menetapkan prosentase. Bagi bank syariah ketetapan 90:10 berdasarkan pada hasil usaha nasabah setelah dibulatkan dalam satu bulan dengan pertimbangan, faktor kemanusiaan, administrasi bank syariah, dialog, bunga yang berlaku pada bank -bank lain pada saat transaksi dan kerelaan kedua belah pihak; Sedangkan bank konvensional dalam menetapkan 3% pada debitur, berdasarkan pada bunga yang berlaku pada saat itu secara umum. sehingga dialog atau tawar-menawar bagi rendahnya bunga antara calon debitur dengan pihak bank sangat kecil sekali kemungkinannya.34
33
Laporan Tahunan 2010 Annual Report 2009, PT. Bank Mu‟amalat Indonesia dan dokumen transaksi 2003. 34 Laporan Tahunan 2010 Annual Report 2009, PT. Bank Mu‟amalat Indonesia dan Hasil wawancara merujuk pada Dewan Syariah Nasional MUI Bank Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional, ed 2, Jakarta : Internusa, 2003.
92
5. Analisis Ketentuan Pidana Menurut Hukum Positif Pemberantasan dan pencegahan tindak pidana perbankan syariah harus dilaksanakan secara profesional, dengan mengacu dan menerapkan peraturan perundang-undangan yang ada termasuk di dalamnya unsur melawan hukum yang terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Perbankan syariah tidak hanya merujuk pada tindak pidana yang diatur dalam UU Perbankan Syariah, yang menerapkan sanksi apabila komisaris, direksi, pegawai dan pihak terafiliasi dengan bank (“orang dalam”) atau orang yang mengaku menjalankan usaha bank sendiri sebagai pelaku, melainkan juga yang diatur dalam UU lain, seperti larangan pemalsuan warkat (Pasal 263 dan 264 KUHP), larangan penggelapan (Pasal 372 KUHP), penggelapan dalam jabatan (Pasal 374 KUHP), pemalsuan uang dan uang yang dimanipulasikan (Pasal 244 sampai dengan 252 KUHP), dan penipuan kredit (Pasal 378 KUHP), pemalsuan dokumen (Pasal 244 dan 263 KUHP, atau pencurian (Pasal 362 KUHP). Tindak pidana perbankan syariah dapat juga merujuk pada Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 3/1971, UU No. 31/99 jo UU no. Tahun 2002. Ketentuan UU Korupsi biasanya diterapkan terhadap kasus yang menimpa bank pemerintah. Undang-undang ini dipergunakan untuk memudahkan menjerat pelaku, mengenakan hukuman yang berat dan memperoleh uang pengganti atas kerugian negara. Berkaitan dengan tindak pidana di bidang perbankan syariah, kejahatan yang dilakukan oleh “orang dalam” perlu mendapat perhatian khusus. Kejahatan “orang dalam” merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang dalam bank terhadap bank (crimes against the bank). Kejahatan "orang dalam" dalam bentuk penipuan (fraud) dan self dealing merupakan penyebab utama kehancuran bank karena bagian terbesar asset bank berbentuk likuid. Kejahatan “orang dalam” sangat erat kaitannya dengan dominasi terhadap kebijakan dan administrasi oleh seorang atau beberapa orang dan lemahnya pengawasan baik pengawasan yang dilakukan oleh penga-
Investasi Bagi Hasil Dalam Pembiayaan Akad Mudharabah …
was internal maupun eksternal (regulator). Di samping itu, berbagai ketentuan yang berlaku menyebabkan bank sering mengambil risiko yang berlebihan, yang menyebabkan turunnya tingkat pengawasan internal, sehingga kegagalan bank yang disebabkan oleh penipuan oleh orang dalam menjadi lebih tinggi.35 Undang-undang perbankan syariah ternyata hanya mengatur dan mengancam tindak pidana personal bank, tidak/ belum terdapat ketentuan pidana dalam UU Perbankan mengatur unsur tindakan melawan hukum pidana bagi mudharib. Dengan demikian UU Perbankan tidak secara khusus dapat memidanakan mudharib yang jelas-jelas sengaja menyalahgunakan atau merekayasa perhitungan pembiayaan yang diterimanya. Sehingga upaya menjerat tindakan melawan hukum pidana tersebut harus merujuk pada KUHP dan hukum tindak pidana khusus lainnya. Kasus penjualan produk derivatif Bank Danamon kepada nasabah Unit Usaha Syariah Bank Danamon beberapa tahun yang lalu, menunjukkan lemahnya independensi UUS terhadap induknya, bank konvensional, sampai saat ini belum ada proses kelanjutannya.36 Sesuai prinsip syariah, transaksi derivatif tidak mempunyai ma‟kud „alaih, berupa barang dan jasa yang mejadi rukun dalam transaksi bisnis, sehingga mengandung unsur riba, maisyir dan gharar. Menurut ekonomi syariah, sektor moneter dan sektor riil tidak terpisah, sedangkan dalam sistem ekonomi kapitalis keduanya terpisah secara diametral. Akibat keterpisahan itu, maka arus uang (moneter) berkembang dengan cepat sekali, sementara arus barang di sektor riil semakin jauh tertinggal. Sektor moneter dan sektor riil menjadi sangat tidak seimbang. Kegiatan bisnis yang memisahkan sektor moneter dan riil seperti yang dilakukan sistem ekonomi kapitalis, tidak lain adalah praktek riba. Terminologi kontemporer menyebutnya derivatif. Ri35
Jonathan R Macey and Geoffrey P Miller yang dikutip Zulkarnain Sitompul, Makalah, Tindak Pidana Perbankan dan Pencucian Uang (Money Laundering), Padang, 2003. 36 Reza Agusti, Kasus Danamon Bukti Lemahnya Independensi Unit Syariah, Harian Republika Senin,4 April 2011.
E vita Isretno Israhadi
ba memberikan konstribusi melalui transaksi-transaski derivatif dan spekulatif pada institusi institusi keuangan.37 Sisi hukum pidana memandang tindakan spekulatif transaksi derivatif merupakan kejahatan perbankan . Kasus kejahatan perbankan yang sudah memasuki wilayah perbankan syariah juga terjadi belum lama, dialami oleh Bank Bukopin Syariah cabang Melawai, Jakarta Selatan, berupa penarikan uang dengan jumlah 7 milyar dalam waktu singkat yang diduga melibatkan oknum pegawai bank yang bersangkutan.38 Menyimak ketentuan sanksi pidana dalam Undang-Undang Perbankan Syariah, khususnya Pasal 63 (Pemalsuan Dokumen, Korupsi, penyuapan, dan Tidak Mematuhi UU), Pasal 64 (Pihak Terafiliasi yang Tidak Menaati UU Perbankan Syariah), Pasal 65 (Pemegang Saham yang Menjadi Provokator Pelanggaran UU), dan Pasal 66 (Direksi dan Pegawai yang Merugikan Bank Syariah, Menghalangi Pemeriksaan, dan Lalai dalam Mematuhi UU Perbankan Syariah), didapatkan satu benang merah, berupa pasal-pasal yang tidak merujuk pada pelanggaran tertentu dalam pasal tertentu, seperti ketentuan dalam Pasal 35 (anggota direksi yang tidak menyampaikan laporan) atau ketentuan yang sejenis. Secara umum dalam setiap undang-undang, ketentuan tentang pidana selalu merujuk pada satu atau dua pasal yang menjadi penyebab keberlakuan ketentuan pidana tersebut. Namun, dalam UU Perbankan Syariah terdapat empat (4) ketentuan pidana yang tidak merujuk pada pasal tertentu, bahkan merujuk pada UU Perbankan Syariah secara keseluruhan, berarti setiap pasal dalam UU Perbankan Syariah dapat menjadi indikasi terjadinya suatu pelanggaran tindak pidana. Ketentuan tersebut seharus diwaspadai oleh semua pihak yang terafiliasi agar terhindar dari jerat hukum pidana yang mengandung unsur-unsur kelalaian, kecurangan, manipulasi, spekulasi yang bersifat melawan hukum, berupa sanksi penjara dan denda uang, bukan hanya sekedar sanksi administratif, se37
Agustianto, Al Qur‟an dan Transaksi Derivatif, Artikel Islamic Economics,10 April 2011. 38 Harian Republik, Rabu 4 Februari 2009.
93
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 70 - 97
hingga pelanggaran terhadap semua pasal berarti pelanggaran pidana, sehingga pihak yang terlibat di dalamnya harus mempunyai integritas yang tinggi dan mengasah kompetensinya setiap saat. F. Kesimpulan 1. Implementasi akad Investasi Pembiayaan mudharabah sebagai penggerak sektor riil melalui pemberian pembiayaan mudharabah bagi pelaku usaha kecil perorangan menemui berbagai kendala untuk dapat berjalan dengan baik sebagai akibat berbenturan kepentingan dalam pelaksanaan kegiatan perbankan syariah sehingga belum maksimal memenuhi harapan sebagaimana esensi yang dituangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Bebepara hal yang menyebabkan akad investasi pembiayaan mudharabah belum dapat berjalan baik sebagai berikut: a. Operasional investasi pembiayaan mudharabah belum dilakukan secara maksimal karena tingginya resiko pembiayaan pada jenis akad ini, dibandingkan dengan produk pembiayaan lainnya. Bank syariah selaku shahibul maal melakukan risk averse (penghindaran resiko) sebagai tindakan melindungi assetnya terhadap moral hazard mudharib. b. Sikap risk averse tersebut merupakan bentuk ketidaksiapan menanggung kerugian terhadap produk investasi pembiayaan mudharabah dengan memberlakukan prinsip kehati-hatian, yang pada dasarnya bank syariah akan menghentikan langkah syariah hanya sampai pada tahap aman dan tidak beresiko, sehingga fleksibilitas pembiayaan bagi hasil berkurang. Tidak dipungkiri bahwa penanganan pembiayaan bagi hasil tidak semudah pembiayaan lainnya. Namun hal tersebut dapat dikatakan bank sya94
riah selaku shahibul maal menjurus pada penghindaran “Sunnatullah” yang Allah tentukan, yang dalam dunia usaha dikenal dengan “untung dan rugi” yang merupakan konsekuensi logis pada suatu perniagaan. Pengaruh pola pikir konvensional yang mengedepankan keuntungan semata masih tersirat dibalik aturan-aturan pelaksanaan operasionalisasi perbankan syariah. c. Bentuk ketidaksiapan bank syariah dapat dipahami sebagai infant industry (dalam tahap pertumbuhan) memiliki kualitas sumber daya insani yang belum memadai dalam menangani produk pembiayaan bagi hasil mulai dari hilir sampai hulu. Hal tersebut menimbulkan situasi asymetric information (ketidakjelasan dan ketidakseimbangan dalam informasi) sehingga sulit melihat level usaha mudharib serta terbatasnya informasi mengenai produktifitas suatu usaha, yang mengakibatkan absolut risk aversion dilakukan bank syariah. Kondisi yang ideal baik shahibul maal maupun mudharib, masing-masing mendapatkan informasi yang lengkap dan berimbang (symmetric information), sehingga berbagai kemungkinan yang dapat menimbulkan kerugian dapat perkecil. d. Proses pengajuan investasi pembiayaan mudharabah yang berbelit-belit akan berakibat masyarakat kecil sebagai pangsa pasar potensial akan berpaling kembali pada bank konvensional. 2. Dilihat dari segi akad, ditemukan penerapan akad investasi pembiayaan mudharabah masih menunjukkan bahwa kedudukan bank syariah sebagai shahibul maal lebih dominan dari pada penerima pembiayaan atau mudharib, berupa persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi mudharib, dituangkan ke dalam isi akad sebagian
Investasi Bagi Hasil Dalam Pembiayaan Akad Mudharabah …
besar berupa inisiatif dan keinginan shahibul maal, sehingga mudharib tidak mempunyai posisi tawar secara adil yang mencerminkan prinsip kesetaraan dan kemitraan. Pemberlakuan jaminan dan pola bagi hasil dengan sistem bagi hasil revenus sharing yang dilakukan bank-bank syariah pada skema penyaluran dana khususnya investasi pembiayaan mudharabah sebenarnya merupakan suatu cerminan penerapan prinsip kehati-hatian yang masih bernuansa konvensional. Selanjutnya penerapan akad dengan prinsip syariah belum dapat mencerminkan suatu keadilan, kesetaraan dan tranparansi dalam hubungan kerja sama antara pihak bank dengan nasabah investasi pembiayaan mudharabah. Hal tersebut dapat di uraikan antara lain sebagai berikut: a. Bank syariah selaku shahibul maal menetapkan secara sepihak agunan sebagai syarat utama dalam memberikan pembiayaan mudharabah. b. Bank syariah mempunyai kewenangan untuk menentukan lelang dan harga jual barang agunan, bila terjadi investasi pembiayaan mudharabah macet. c. Dalam penentuan nisbah bagi hasil masih menyetarakan dengan bunga yang diberlakukan di bank konvensional dan ditentukan oleh shahibul maal. d. Adanya kebebasan bertindak (asas diskresi) yang dilakukan bank syariah sebagai bentuk penjabaran aturan-aturan yang diterima seperti PBI berisi aturan-aturan yang belum rinci sehingga mengandung ambivaliensi makna, dapat mengaburkan tujuan, visi dan misi perbankan syariah terutama yang menyangkut prinsip syariah, mengakibatkan perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional menjadi samar. 3. Secara keseluruhan dapat diambil kesimpulan keberadaan perbankan syari-
Evita Isretno Israhadi
ah di Indonesia bersifat taktis strategis dengan memanfaatkan situasi dan kondisi ekonomi global saat ini sebagai salah satu cara untuk menggerakkan roda perekonomian, sehingga para pelaku usaha dapat menentukan pilihan diantara dua sistem perbankan yang berlainan namun pada dasarnya dalam implementasi pelaksanaan baik perbankan syariah maupun perbankan konvensional tidak jauh berbeda. Hal ini dapat dikatakan bahwa perbankan syariah di Indonesia belum sepenuhnya murni syariah, karena faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain bahwa Undang-Undang Perbankan Syariah merupakan cerminan dari penyerapan (absorption) dan pengadaptasian (adaption) hukum positif terhadap hukum Islam dalam hal ini hukum syariah di bidang muamalah yang masih memerlukan perbaikan, peningkatan, pengkajian pada peraturan pelaksanaan, agar perbankan syariah bukan hanya sekedar menjadi sistem perbankan alternatif di samping sistem konvensional, tetapi dapat menjadi solusi dalam menghadapi pasang surut perekonomian di indonesia. Akad pembiayaan investasi mudharabah secara akademis harus diletakan pada persoalan yang sebenarnya. Oleh karena itu, ia adalah pemahaman terhadap syariah yang mempunyai formulasi pemahaman terhadap fiqh ala Indonesia yang telah mengalami berbagai penyesuaian, bukan kebenaran yang tunggal atau altenatif satu-satunya. Sebagai pemahaman, ia bisa benar dan bisa salah, dan sebagai strategi atau praktik ekonomi, ia bisa mendatangkan atau bisa juga sebaliknya. Hal ini berarti harus dilakukan pengujianpengujian secara terbuka dan terus menerus, tidak bersembunyi dibalik “kebenaran Islami “ untuk dipaksakan kepada semua orang. Karena walau bagaimanapun, ia adalah fiqh atau pemahaman yang harus juga membuka diri pada pemahaman-pemahaman lain 95
Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Nopember 2014, hal. 70 - 97
dan pada pengujian-pengujian empirik-materiil. Sebagai sebuah proses pencarian terhadap konsep pembiayaan mudharabah patut diapresiasi, setidaknya karena ia mengkaitkan sektor moneter dengan sektor ekonomi riil. Akan tetapi, juga harus disadari bahwa ia adalah fiqh, pemahaman terhadap syariah, bahkan penyesuaian dengan realitas „perekonomian dan perbankan kontemporer yang kapitalis‟. G. Saran 1. Untuk memberikan pemahaman yang melahirkan kesadaran masyarakat Indonesia terhadap pelaksanaan sistem perbankan syariah diperlukan sosialisasi dalam berbagai elemen masyarakat sehingga seluruh aktivitas dalam kehidupan umat muslim dari semua hal yang berbau riba atau yang dipersamakan dengan itu, diharapkan tidak lagi terdapat ambivalensi dalam implementasi operasional perbankan syariah, karena ia mempunyai karakteristik aslinya yang jauh berbeda dengan sistem perbankan konvensional yang sudah berjalan jauh sebelum beroperasinya perbankan di Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, diperlukan aturan-aturan pelaksanaan baik yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia maupun oleh DSN yang benar-benar signifikan, sistematis, dan akurat agar bank syariah dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan mampu berkembang dan bersaing dengan bank konvensional, disamping
perbankan syariah harus merevisi khususnya unsur tindak pidana perbankan agar tidak ada lagi celah untuk melakukan kejahatan perbankan . 2. Mengingat pesatnya perkembangan perbankan syariah di Indonesia, maka sumber daya insani sangat diperlukan dalam waktu yang singkat dan simultan. Keberhasilan pengembangan bank syariah pada level mikro sangat ditentukan oleh kualitas manajemen dan tingkat pengetahuan serta ketrampilan pengelola bank syariah. Sumber daya insani dalam perbankan syariah memerlukan persyaratan pengetahuan yang luas di bidang perbankan, memahami implementasi prinsip-prinsip syariah dalam praktik perbankan serta harus mempunyai komitmen yang kuat untuk menerapkannya secara konsisten. Selain itu lembaga akademik dan pelatihan tentang perbankan syariah, di Indonesia masih sangat terbatas, sehingga tenaga terdidik dan berpengalaman yang diperlukan baik oleh bank syariah sebagai pelaksana maupun Bank Indonesia sebagai bank sentral belum memadai. 3. Enterpreneurship secara syariah perlu digalakkan dan sebaiknya menjadi primadona dalam pengelolaan perbankan syariah. Untuk itu, perlu langkah dan tindakan yang lebih fenomenal dan mendasar terkait perubahan pola pikir ini. Karena justru aspek inilah salah satu keunggulan perbankan syariah dibandingkan dengan perbankan konvensional.
DAFTAR PUTAKA Buku Abdoerrauoef, Al-Quran dan Ilmu Hukum, Jakarta,: Bulan Bintang, 1970 Abdul Gani Abdullah(2003;2), yang dikutip H.M Arifin Hamid, Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah di Indonesia), Bogor, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007 Adiwarman A. Karim, Bank Islam - Analisis Fikih dan Keuangan, Edisi ketiga, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2007 Amin Suma, Ekonomi Syariah sebagai alternative sistem ekonomi konvensional, Jurnal Hukum Bisnis, Jakarta, 2002 96
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta, Sinar grafika, 1996 Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Jakarta, Sinar Grafika, 2010 Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana prenada Media Group, 2006 Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah, Semarang: PT Putra Rizki Utama, 2001 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta, Rajawali Pres, 2002 H.Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004 Ichtijanto SA, Hukum Islam dan Hukum Na sional, Jakarta: Ind-Hill co, 1990 Jonathan R Macey and Geoffrey P Miller yang dikutip Zulkarnain Sitompul, Makalah, Tindak Pidana Perbankan dan Pencucian Uang (Money Laundering), Padang, 2003 Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-Undang Tahun 1998, Bandung, Citra Aditya Bakti,1999 Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, (Jakarta, PT Djambatan,2002), Reza Agusti, Kasus Danamon Bukti Lemahnya Independensi Unit Syariah, Harian Republika Senin, 4 April 2011. Supramono Gatot, Perikatan dan Masalah, Jakarta: Djembatan, 1966 Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, Cetakan ke 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal. 10. Zubairi Hasan, Undang-Undang Perbankan Syariah, Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional, Jakarta, Rajawali Pres, 2009 Wawancara Hasil wawancara merujuk pada Dewan Syariah Nasional MUI Bank Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional, ed 2, jakarta : Internusa, 2003. Hasil wawancara data diolah sendiri merujuk pada Dewan Syariah Nasional MUI Bank Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional, ed 2, Jakarta : Internusa, 2005. Media Agustianto, Al Qur‟an dan Transaksi Derivatif, Artikel Islamic Economics,10 April 2011. Harian Republik, Rabu 4 Februari 2009 Ori Basuki, Biaya Kredit Syariah Tinggi, Harian Kompas, 11 Agustus 2008 Harian Republika 16 April 2010.
97
Petunjuk Penulisan
Jurnal Ilmu Hukum Lex Publica Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi Hukum Indonesia PETUNJUK PENULISAN 1. Naskah yang diterima adalah artikel yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya. naskah dapat berupa jurnal laporan hasil suatu penelitian atau artikel ulasan (review). Naskah ditulis dengan Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. 2. Naskah diketik pada kertas ukuran A4 (210 x 297 mm) dengan jarak antar baris 1 spasi. Batas pengetikan dari tepi kertas diatur sebagai berikut: - Tepi atas : 3 cm - Tepi bawah : 2.5 cm - Tepi kiri : 3 cm - Tepi kanan : 2.5 cm 3. Naskah diketik dengan mempergunakan jenis huruf Times New Roman dengan spesifikasi ukuran huruf sebagai berikut: - Judul naskah : ukuran huruf 14 point - Nama penulis, keterangan lembaga penulis, abstrak dan kata kunci: ukuran huruf 12 point - Isi naskah : ukuran huruf 12 point - footnote : ukuran huruf 10 point - Daftar pustaka : ukuran huruf 12 point 4. Format penulisan mempergunakan format satu kolom. Naskah setiap halaman diberi nomor berurutan, minimal 20 halaman dan maksima130 halaman. Naskah dikirim melalui email atau file dalam CD ke: Redaksi Jurnal Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi Hukum. Jl. Raya Kalimalang No. 1, Jakarta Timur Email:
[email protected] 5. Naskah disusun secara berurutan terdiri atas: - Judul artikel - Nama lengkap penulis (tidak disingkat) - Afiliasi penulis (instansi tempat penulis bekerja dan alamat email untuk korespondensi) - Abstrak dan kata kunci (dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris) - Latar belakang - Pembahasan - Kesimpulan - Daftar pustaka - Tabel dan gambar apabila ada 6. Deskripsi bagian naskah a. Judul dicetak tebal (bola) dengan huruf kapital. Judul maksimum terdiri dari 12 kata untuk Bahasa Indonesia dan 10 kata untuk Bahasa Inggris. Nama penulis ditulis lengkap tanpa gelar, lembaga tempat penulis bekerja, dan alamat email. Contoh: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENCIPTA BERKAITAN DENGAN KARYA ILMIAH DI INDONESIA Azis Budianto, SH. MS Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya Email:
[email protected] b. Setiap artikel harus disertai satu paragraf abstrak (bukan ringkasan yang terdiri atas beberapa paragraf) dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris yang secara gamblang, utuh, dan lengkap menggambarkan esensi isi keseluruhan tulisan. c. Materi muatan artikel terdiri dari latar belakang (berisi tentang permasalahan dan metode penelitian jika tulisan merupakan hasil penelitian), pembahasan, dan kesimpulan. 98
Petunjuk Penulisan
d.
Contoh tata aturan penulisan footnote sebagai berikut: 1. Buku Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit INDHILL.CO, Jakarta, 1992, hlm. 3. C. De Rover, To Serve and To Protect (Acuan Universal Penegakan HAM), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 51. 2. Buku karya terjemahan Scholten, Paul, De Structuur Dere Rechtswetenschap, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan oleh Arief Sidharta, Bandung, Alumni, 2011, hlm. 7. 3. Buku yang berisi kumpulan artikel Mahmod Thoha (Ed), Dampak Persetujuan Putaran Uruguay-GATT Terhadap Industri Kecil, UI Press, Jakarta, 1998, hlm. 89. 4. Skripsi, tesis atau disertasi Jazim Hamidi, Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2005, Tidak dipublikasikan, hlm. 2. 5. Artikel dalam buku kumpulan artikel Moh Fadli, Nondelegationdoctrine dan Peraturan Delegasi di Indonesia, Susi Dwi Harijanti (Eds), Negara Hukum yang Berkeadilan Kumpulan Pemikiran dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr H. Bagir Manan, Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (PSKN FH UNPAD), Bandung, 2011, h1m. 33. 6. Artikel dalam jurnal Moh. Fadli, Program Legislasi Nasional (Prolegnas): Ketersiapan Data dan Optimalisasi Kinerja DPR, Jurnal Konstitusi, Volume IV No. 1, Juni 2011, PPK Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2011, hlm. 20. 7. Artikel dalam majalah atau koran Bartens, K., 11 Agustus 2003, Aborsi Di Tengah Polarisasi "Pro Life "-"Pro Choice", Kompas, hlm. 89. 8. Artikel dalam majalah atau koran tanpa penulis Jawa Pos, 22 April 1995, Wanita Kelas Bawah Lebih Mandiri, hlm. 4. 9. Makalah Ni'matul Huda, Penulisan Laporan Penelitian untuk Jurnal, makalah disajikan dalam Lokakarya Penelitian Tingkat Dasar Bagi Dosen PTN dan PTS di Malang Angkatan XIV, Pusat Penelitian IKIP Malang, Malang, 12 Juli 2004, hlm. 53. 10. Artikel internet Ali Safaat, Penafsiran Konstitusi (online), http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/11/ Penafsiran-Konstitusi.pdf, diakses 3 Februari 2013. Kennedy, DC., In Search of Balance Between Police Power and Privacy in The Cybercrime Treaty (online), The Richmond Journal Law and Technology, http:// www.richmond. jlt.htmU185.htm, diakses 12 Januari 2003. 11. Dokumen resmi pemerintah Arsip dan Dokumentasi, Risalah Rapat Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undangundang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tanggal 23 Februari 2011, Jakarta, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2011, hlm. 7. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Pedoman Penulisan Laporan Penelitian, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978, hlm. 88. 12. Peraturan Perundang-undangan Pasa15 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
7. Contoh tata aturan penulisan daftar pustaka sebagai berikut: 99
Petunjuk Penulisan
Buku Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit IND-HILL. CO, Jakarta. C. De Rover, 2000, To Serve and To Protect (Acuan Universal Penegakan HAM), Raja Grafindo Persada, Jakarta. Jazim Hamidi, 2005, Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi program Doktor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Tidak dipublikasikan. Mahmod Thoha (Ed), 1998, Dampak Persetujuan Putaran Uruguay-GATT Terhadap Industri Kecil, UI Press, Jakarta. Moh. Fadli, 2011, Nondelegationdoctrine dan Peraturan Delegasi di Indonesia, Susi Dwi Harijanti (Eds), Negara Hukum yang Berkeadilan Kumpulan Pemikiran dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. H. Bagir Manan, Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (PSKN FH UNPAD), Bandung. Scholten, Paul, 2011, De Structuur Dere Rechtswetenschap, Struktur IImu Hukum, Terjemahan oleh Arief Sidharta, Bandung, Alumni. Jurnal dan Artikel Bartens, K., 11 Agustus 2003, Aborsi Di Tengah Polarisasi "Pro Life"-"Pro Choice", Kompas. Jawa Pos, 22 April 1995, Wanita Kelas Bawah Lebih Mandiri. Moh. Fadli, 2011, Program Legislasi Nasional (Prolegnas): Ketersiapan Data dan Optimalisasi Kinerja DPR, Jurnal konstitusi, Volume IV No. 1, Juni 2011, PPK Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Makalah Arsip dan Dokumentasi, 2011, Risalah Rapat Panitia ysus (Pansus) Rancangan Undangundang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tanggal 23 Februari 2011, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta. Ni'matul Huda, 2004, Penulisan Laporan Penelitian untuk Jurnal, makalah disajikan dalam Lokakarya Penelitian Tingkat Dasar Bagi Dosen PTN dan PTS di Malang Angkatan XIV, Pusat Penelitian IKIP Malang, Malang. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1978, Pedoman Penulisan Laporan Penelitian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perindangundangan. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. Artikel Internet Ali Safaat, Penafsiran konstitusi (online), http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/11/ Penafsiran-Konstitusi.pdf. Kennedy, DC., In Search of Balance Between Police Power and Privacy in The Cybercrime Treaty (online), The Richmond Journal Law and Technology, http:// www. richmond.jlt.htm185.htm. 8. Redaksi berhak melakukan penyuntingan melalui Dewan Penyunting tanpa mengubah isi dan makna redaksi. Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap isi naskah. 100