Daftar Isi Jurnal Demokrasi & HAM
Vol. 8, No. 1, 2008
CATATAN REDAKSI Satu Dasawarsa Reformasi
3
ANALISIS Meretas Jalan Panjang Keunggulan Daya Saing Indonesia di Milenium Ketiga: Refleksi 10 Tahun Reformasi Bidang IPTEK Zuhal 5
10 Tahun Reformasi Pendidikan H. Abdul Malik Fadjar
19
10 Tahun Reformasi TNI: How Low Can You Go? Indria Samego
32
Sewindu Realisasi Otonomi Daerah: Evaluasi Kritis atas Capaian dan Tantangan R. Siti Zuhro
46
Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Kemiskinan Umar Juoro
84
Menuntaskan Reformasi Konstitusi Refly Harun
102
Peta Kekuatan Politik Setelah Reformasi dan Kecenderungan Koalisi Parpol: Catatan Atas Hasil Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 Lili Romli 115
Konflik di Indonesia: Karakteristik dan Tantangan Ke Depan Moch. Nurhasim
143
Refleksi Reformasi Hukum di Indonesia: Pembangunan Budaya Hukum dalam Proses Reformasi Bidang Hukum Lilis Mulyani 176
Otonomi Daerah: Moratorium Pemekaran Pemerintahan Daerah Sulthon Sjahril Sabaruddin 195
RESENSI BUKU Reformasi Paradigma Pembangunan Knowledge Based Society
223
BIODATA PENULIS
226
2
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
JURNAL DEMOKRASI & HAM Terbit sejak 20 Mei 2000 ISSN: 1441-4631 Penanggung Jawab Redaksi: A. Watik Pratiknya Dewan Redaksi: Muladi (Ketua) Indria Samego Dewi Fortuna Anwar Umar Juoro Andrinof A. Chaniago Pimpinan Redaksi: Andi Makmur Makka Redaktur Pelaksana: Afdal Makkuraga Putra Redaktur: R. Siti Zuhro Sekretaris: Rahma Widhyasari Produksi: Ghazali H. Moesa Usaha: Achmad Amal Anggun Ingriani Layout: M. Ilyas Thaha Gambar Kulit: Agus Sumarno Alamat Penerbit dan Redaksi: Jl. Kemang Selatan No. 98, Jakarta 12560 – Indonesia Telp.: (021) 7817211, Fax: (021) 7817212 Website: http://www.habibiecenter.or.id E-mail:
[email protected]
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
3
Catatan Redaksi SATU DASAWARSA REFORMASI Sepuluh tahun lamanya Indonesia memasuki era reformasi dalam berbagai aspek kehidupan bangsa ini. Namun, sepuluh tahun, memang masa yang masih sangat singkat untuk mencapai semua sasaran reformasi. Tetapi tidak ada salahnya untuk mengukur apa yang telah dicapai dan apa yang masih harus kita kejar. Penilaian lengkap mengenai sepuluh tahun reformasi ini, telah disampaikan oleh Prof.Dr.Ing.B.J.Habibie, dalam sebuah acara refleksi perjalanan bangsa dalam satu dasawarsa reformasi. Pidato tersebut disampaikan dihadapan para anggota Dewan Perwakilan Daerah, tanggal 29 Mei 2008 di Jakarta. Menurut B.J.Habibie, makna reformasi yang dimulai 21 Mei 1998, adalah sebuah kesadaran akan perlunya kebebasan untuk melengkapi kemerdekaan. Adapun kebebasan itu adalah untuk membangun kehidupan bangsa yang demokratis, menghormati HAM dan menegakkan Kewajiban Azasi Manusia (KAM), kebebasan untuk mandiri, bermartabat dan berdaya saing. Selain itu, juga diperlukan adanya kebebasan untuk mengembangkan manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etik, mampu menguasai dan menerapkan iptek, manusia memiliki nilai dan etos enterpreurship, serta manusia yang produktif dalam bidangnya. Tetapi apa yang telah dicapai dalam satu dasawarsa demokrasi itu ? B.J.Habibie mengatakan bahwa memang harus diakui, kebebasan itu sudah ada. Reformasi memang sudah berjalan, tetapi kita harus jujur pula mengakui bahwa masih terdapat banyak kekurangan. Sebutlah katanya, (1).Tidak adanya kesinambungan pembangunan bangsa (GBHN sudah tidak ada). Konsekuensi perubahan yang telah dinyatakan dalam undangundang.(2). Kepentingan rakyat dan umum terabaikan, sementara kepentingan pribadi, kelompok dan partai lebih diutamakan.(3).Proses pengembangan, pemanfaatan dan pengendalian iptek ditinggalkan, bahkan sebagian dihentikan. (4).Jiwa dan semangat patriotisme terdesak oleh nilainilai materialism yang rakus, seiring dengan melemahnya etika dan moral. Dalam hal proses demokratisasi, B.J.Habibie juga menegaskan bahwa semuanya belum terkonsolidasi dengan baik, sehingga dalam praktek, masih terjadi penyimpangan. Hal ini dibuktikan: (1).Orientasi elit lebih pada kepentingan politik jangka dekat daripada orientasi pembangunan bangsa
4
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
dalam jangkau jauh ke depan. (2).Kelembagaan politik masih belum melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya, baik di birokrasi, partai politik, maupun lembaga perwakilan rakyat ( ini terjadi karena disorentasi elit tersebut). (3).Fenomena “politik uang” masih menggejala. Namun B.J.Habibie juga mengakui bahwa telah ada perbaikan ekonomi makro, tetapi sayangnya semua itu belum dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Apa yang terjadi sekarang . (1).Angka kemiskinan yang masih tinggi. (2).Angka pengangguran yang juga masih tinggi.(3). Investasi yang masih tersendat dan perkembangan sector riil yang stagnan. Kenapa kami mengutip secara lengkap refleksi B.J.Habibie di atas mengenai reformasi yang kita jalani dalam 10 tahun terakhir ini, karena kami anggap bahwa refleksi dan penilaian tersebut sangat relevan. B.J.Habibie sebagai presiden RI ke-3 lah, semua perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa ini kita mulai. Wajar kita melihat penilaian tokoh bangsa ini untuk menakar, apa yang semula hendak dicapai bangsa ini melakukan sebuah reformasi. Apa sebetulnya cita-cita reformasi itu ? Apa yang hendak dicapai ? Optimisme dan kekecewaan yang disampaikannya, ternyata tidak jauh dari optimisme dan kekecawan banyak orang. Tetapi, sekali lagi, sepuluh tahun adalah masa yang masih sangat singkat, perjalanan bangsa ini ke depan masih jauh. Namun tidak ada salahnya untuk memberikan evaluasi atas perjalanan reformasi yang telah kita telah lalui. Catatan itu pula yang kita hadirkan pada edisi khusus ini. Beberapa penulis telah kami minta untuk memberikan evaluasi dalam berbagai aspek, mulai dari politik, hukum, sosial, militer, otonomi daerah , kelembagaan, serta berbagai topik lainnya. Sebuah evaluasi dan penilaian yang tidak dilatarbelakngi oleh kepentingan golongan, pribadi, kecuali kejujuran seorang ilmuan.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
5
Meretas Jalan Panjang Keunggulan Daya Saing Indonesia di Milenium Ketiga: Refleksi 10 Tahun Reformasi Bidang Iptek Zuhal
Daya saing telah menjadi ukuran internasional bagi perkembangan sebuah bangsa dan Negara, namun sepuluh tahun reformasi tingkat daya saing Indonesia terus menurun jika dibandingkan dengan negara lain. Salah satu instrumen bagi peningkatan daya saing bangsa adalah inovasi teknologi yang berkelanjutan yang tercermin pada indeks teknologi, indeks inovasi, indeks kesiapan teknologi, indeks kesiapan teknologi informasi dan komunikasi, serta indeks pembangunan manusia. Walaupun posisi Indonesia relatif masih di posisi peringkat yang belum membanggakan, namun hal ini menjadi faktor pendorong yang sangat kuat bagi peningkatan peranan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai komponen kunci dalam inovasi teknologi. Tulisan ini tersusun atas beberapa sub bagian, yakni pertama memahami permasalahan keunggulan daya saing bangsa, kedua penggerak inovasi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan ketiga evaluasi dan rekomendasi berupa pembentukan Komisi Sistem Inovasi. Diharapkan sumbangan pemikiran yang sangat sederhana ini dapat berguna bagi pencapaian tujuan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang makmur dan sejajar dengan bangsa lain dalam percaturan persaingan global.
Pendahuluan Telah lewat masa satu dasawarsa momentum reformasi bergulir, yang diawali oleh terjadinya krisis keuangan dan kompleksitasnya yang melanda negara-negara di Asia, termasuk Indonesia, pada Tahun 1998. Seperti negara-negara Asia lainnya yang berupaya bangkit dari dampak krisis keuangan yang merusak tatanan sosial, ekonomi, budaya, politik, Indonesia pun berupaya bangkit dari krisis melalui agenda-agenda reformasi.
6
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Reformasi dengan segala dimensinya menyentuh tiap aspek kehidupan masyarakat bangsa Indonesia, berupa reformasi sistem hukum, sistem budaya, sistem politik, sistem ekonomi, sistem iptek, sistem pendidikan dan sistem sosial, hingga sistem pertahanan dan keamanan. Semua hal ini dilakukan oleh segenap komponen bangsa Indonesia, dengan tujuan akhir adalah keunggulan daya saing bangsa guna mencapai manusia sejahtera dan bermartabat. Namun demikian, sudah tepatkah arah reformasi Indonesia saat ini dan 10 tahun ke depan? Apakah kita menginginkan Indonesia menjadi suatu negara bangsa yang rentan karena rapuhnya keunggulan daya saing dalam kancah persaingan global? Apa yang harus dilakukan untuk meretas jalan menuju kebangkitan dari krisis, jawabnya adalah pembangunan kembali human capital. Pembangunan human capital merupakan modal kunci dari keunggulan daya saing bangsa. Kita menginginkan Indonesia dapat disejajarkan keunggulan daya saingnya dengan negara-negara lain. Hal ini antara lain diupayakan melalui sikap konsisten dan keberpihakan negara terhadap sumber daya manusia yang ada. Misalnya, memperhatikan kesejahteraan para guru dan dosen, serta para peneliti dan perekayasa, dengan membuat aturan yang mendukung kegiatan penelitian, pendidikan dan perekayasaan agar lebih bergairah. Keberhasilan pembangunan human capital dapat diukur dengan beberapa indikator, antara lain indeks pembangunan manusia (Human Development Index). HDI mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara dalam 3 dimensi dasar pembangunan manusia: Hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran. Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan dasar, menengah, atas gross enrollment ratio (bobot satu per tiga). Standar kehidupan yang layak diukur dengan GDP per kapita gross domestic product / produk domestik bruto dalam paritas kekuatan beli purchasing power parity dalam Dolar AS.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
7
Gambar 1. Peta Dunia Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia
Tabel 1. Peringkat Indeks pembangunan Manusia Indonesia (2005-2007) Tahun
Peringkat dari 177 Negara
Keterangan
2005
110 (0.697)
Malaysia 61 (0.796), Thailand 73 (0.778), Filipina 84 (0.758), Vietnam 108 (0.704).
2006
108 (0.711)
Vietnam 109 (0.704).
2007
108 (0.728)
Sumber: UNDP Pembangunan keunggulan daya saing Indonesia selain memperhatikan Indeks Pembangunan Manusia, seyogyanya juga memperhatikan indikator lain, terutama yang berkaitan pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi, antara lain menggunakan indeks teknologi (technology index) dan indeks inovasi (innovation index), seperti tertera dalam Tabel 2 berikut. Tabel 2. Indeks Teknologi (Tahun 2005) dan Indeks Inovasi (Tahun 2007) Negara Singapura Malaysia Thailand Filipina Indonesia Vietnam
Indeks Teknologi (2005) 4,99 (10) 4.22 (25) 3.69 (43) 3.43 (54) 3.13 (66) 2.72 (92)
Sumber: World Bank.
Indeks Inovasi (2007) n.a 6.74 5.95 3.78 3.38 2.79
8
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Perkembangan teknologi dan inovasi suatu bangsa sangat terkait dengan sistem pendidikan dan besaran anggaran litbang, seperti terlihat di Gambar 2 dan Gambar 3 berikut ini.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
9
Berdasarkan data-data di atas, sementara dapat disimpulkan bahwa Indonesia sebagai suatu negara bangsa meski menduduki peringkat terbawah pada indeks pembangunan manusia, indeks teknologi, indeks inovasi, sistem pendidikan dan anggaran litbang, namun, Indonesia tetap bisa bangkit untuk meningkatkan keunggulan daya saingnya. Tulisan ini merupakan sumbangan pemikiran bagi kebangkitan Indonesia ke depan, melalui peranan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam konteks perekonomian berbasis pengetahuan dalam rangka peningkatan keunggulan daya saing bangsa. Tulisan ini tersusun atas beberapa sub bagian, yakni pertama memahami permasalahan keunggulan daya saing bangsa, kedua penggerak inovasi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan ketiga evaluasi dan rekomendasi berupa pembentukan Komisi Sistem Inovasi. Diharapkan sumbangan pemikiran yang sangat sederhana ini dapat berguna bagi pencapaian tujuan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang makmur dan sejajar dengan bangsa lain dalam percaturan persaingan global. 1. Memahami Permasalahan Keunggulan Daya Saing Bangsa Stephane Garelli dalam bukunya “Top Class Competitors: How Nations, Firms, and Indivuduals Succeed in The New World of Competitiveness”, yang diterbitkan oleh John Wiley & Sons, 1996, menuliskan bahwa tujuan utama dari suatu keunggulan daya saing adalah berupaya mencapai seluruh tingkatan kemakmuran bangsa dan masyarakatnya. Sumber-sumber keunggulan daya saing bangsa dapat ditemukan dalam proses penciptaan nilai tambah yang dilakukan oleh industri. Peranan pemerintah adalah menjamin sebuah aliran proses kegiatan penciptaan nilai tambah di industri berlangsung lancar dan berkelanjutan, sekaligus bagi rakyatnya yang ikut menikmati langsung kesejahteraan yang berasal dari pelayanan pemerintah dan sarana prasarana yang disediakan oleh pemerintah dalam menunjang aktivitas ekonomi rakyatnya. Lebih lanjut, Stephan Garelli menjelaskan bahwa kemakmuran bangsa di tiap tingkatan merupakan “total sum” dari interaksi tiga kekuatan daya saing, yakni kekuatan daya saing industrinya yang terfokus pada pencapaian keuntungan, kekuatan daya saing rakyatnya yang terfokus pada pemenuhan kebutuhan diri sendiri, dan kekuatan daya saing bangsa yang terfokus pada kemakmuran yang lestari. Secara sistemik, interaksi dari tiga kekuatan ini secara dinamis menggerakan tiap-tiap komponen yang mana bila terdapat suatu aksi di salah satu komponennya, maka konsekuensi dari aksi ini memiliki
10
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
konsekuensi kepada seluruh sistem. Inovasi teknologi menjadi faktor yang mempercepat akselerasi aksi-aksi yang berlangsung dalam tiap komponen daya saing bangsa. Bila setiap negara bangsa secara akumulatif mendorong ketiga kekuatan daya saingnya ini, maka terciptalah suatu tatanan ekonomi baru yang berlandaskan pada human capital, teknologi dan informasi, atau biasa disebut, sebagai knowledge-based economy atau Ekonomi Berbasis Pengetahuan (EBP) adalah sistem ekonomi baru dimana penggunaan pengetahuan memegang peranan yang sangat penting pada pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kekayaan sebuah bangsa. Jika pada sistem ekonomi klasik faktor produksi yaitu modal, tenaga kerja, bahan mentah dan enterpreneurship memegang peranan yang sangat penting, maka pada era Ekonomi Berbasis Pengetahuan ini pengetahuan adalah faktor kunci dalam meningkatkan pertumbuhan, menciptakan nilai baru dan memberikan dasar yang kuat untuk tetap dapat bersaing di dunia internasional. Walaupun teknologi informasi merupakan alat utama pada era ini, namun inti dari sistem ekonomi baru tersebut tetap bergantung kepada sumber daya manusia yang memiliki kemampuan untuk menciptakan, membuat dan mengeksploitasi ide baru dan mengaplikasikan teknologi baru serta memiliki sifat entrepreneur yang sangat tinggi. Mengapa modal manusia (human capital) menjadi penting pada era ekonomi berbasis pengetahuan? Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat merupakan pendorong utama yang membuat peran modal manusia bertambah penting. Pekerjaan-pekerjaan berbasis ilmu pengetahuan saat ini memerlukan pengaturan sistem informasi, pemahaman konsep-konsep abstrak, serta kemampuan berpikir, menganalisa dan pemecahan masalah-masalah kompleks. Kombinasi pengaruh perkembangan iptek, perubahan sifat dan pola pekerjaan, serta meningkatnya persaingan global telah menyebabkan sumber-sumber keunggulan komparatif (comparative advantage) yang lama seperti tenaga kerja murah, ketersediaan SDA serta sumber-sumber keuangan murah tidak lagi memainkan peran yang menentukan. Keunggulan daya saing suatu bangsa ditentukan oleh keuntungan kompetitif (competitiveness advantage) yang mendorong suatu bangsa masuk ke dalam klaster-klaster negara technological innovator, technological adaptors, atau negara-negara yang tidak termasuk dalam klaster apapun secara teknologis, seperti tersaji dalam Gambar 1. Indonesia secara teknologis masuk dalam kategori negara technological adaptors.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
11
Gambar 4. Teknologi Ditemukan Hanya di Sedikit Negara di Dunia
Daya saing di era KBE berpijak pada keunggulan kompetitif (competitive advantage) yang terbentuk dari 3 unsur terkait satu sama lain, yakni modal manusia, kemampuan organisasi, penguasaan kompetensi. Ketiganya berjalan serempak, di mana kemampuan organisasi dan penguasaan kompetensi itu sendiri pada dasarnya juga bergantung pada keunggulan modal manusia yang menanganinya. Keberhasilan Toyota dalam mendesain dan memproduksi gasoline engine yang ’bandel’ misalnya, menunjukkan penguasaan kompetensi. Sedangkan produk Toyota Kijang yang sangat laris membuktikan kemampuan organisasi dalam memasarkannya sesuai dengan daya beli dan selera masyarakat Indonesia. Di Kotak 1, tersaji ulasan langkah-langkah mengatur modal intelektual di sistem produksi, yang menjadi resep keberhasilan suatu produk yang dihasilkan dari proses riset dan rekayasa yang terfokus Kotak #1. Empat Langkah Mengatur Modal Intelektual Dalam bukunya The Wealth of Knowledge (2001) Thomas A Stewart merumuskan empat langkah untuk mengatur Modal Intelektual pada industri/perusahaan. Langkah 1: Merumuskan dan mengevaluasi peran ilmu pengetahuan dalam bisnis anda. Penekanan iptek mana yang menjadi fokus Siapa yang akan dibayar dan untuk keahlian apa?
12
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Adakah yang mempunyai serupa serta dapat menghasilkan nilai tambah yang lebih baik?
Langkah 2: Cocokkan hasil yang diperoleh dengan aset pengetahuan yang dihasilkannya. Tentukan keahlian, kemampuan, ’brand’, hak cipta, proses-proses dan modal intelektual lainnya yang akan menghasilkan keuntungan bagi anda. Cari kombinasi aset human capital, structural capital dan customer capital yang paling tepat untuk memenuhi kebutuhan anda. Langkah 3: Kembangkan strategi untuk investasi dan memanfaatkan aset intelektual tadi. Apa sumber kendali anda dan model profit seperti apa yang anda harapkan? Apa strategi untuk meningkatkan intensitas pengetahuan pada bisnis anda? Mungkinkah anda memperoleh hasil yang lebih baik dengan cara merestrukturisasi aset intelektual yang ada? Langkah 4: Perbaiki efisiensi para pekerja ahli (knowledge worker). Menyadari bahwa pekerjaan untuk keahlian tertentu tidak berjalan secara linier, bagaimana anda mendorong agar produktifitas mereka dapat selalu ditingkatkan. Suatu aktivitas penelitian dan rekayasa yang berorientasi pasar mensyaratkan suatu kombinasi keahlian berupa keahlian teknikal dan keahlian aplikasi. Keahlian teknikal meliputi pengetahuan spesialis keteknikan dan keahlian aplikasi yang meliputi pengetahuan solusi atas masalah pelanggan, spesifikasi fungsi dari suatu produk, spesifikasi teknis, dan solusi teknis, seperti tersaji pada Gambar 5.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
13
Gambar 5. Aktivitas Penelitian dan Rekayasa Berorientasi pasar
2. Penggerak Inovasi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya Indonesia memiliki visi dan misi pembangunan hingga Tahun 2025 yang mana dalam proses mewujudkannya menghadapi tantangan globalisasi dengan ciri utama perdagangan bebas, produk-produk Indonesia bersaing secara langsung dengan produk negara lain baik di pasar domestik maupun di pasar internasional. Kunci untuk menghadapi tantangan itu adalah menjadikan Indonesia berdaya saing tinggi. KOTAK #2. VISI DAN MISI INDONESIA 2025 VISI: Mandiri
: Mampu mewujudkan kehidupan sejajar dan sederajat dengan bangsa lain dengan mengandalkan pada kemampuan dan kekuatan sendiri. Maju : Diukur dari kualitas SDM, tingkat kemakmuran, dan kemantapan sistem dan kelembagaan politik dan hukum Adil : Tidak ada diskriminasi dalam bentuk apapun, baik antar individu, gender, maupun wilayah. Makmur : Terpenuhi seluruh kebutuhan masyarakat sehingga dapat memberikan makna dan arti penting bagi bangsa-bangsa lain di dunia.
14
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
MISI Pembangunan: · Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila, melalui: 1. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing 2. Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum ·
Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu: 1. Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan 2. Mewujudkan Indonesia asri dan lestari 3. Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional 4. Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internaional.
Sumber: Bappenas, Rakornas Riset dan Teknologi (2008) Gambar 2. Riset dan Pengembangan Market Oriented Untuk menjadikan Indonesia yang berdaya saing, maka pembangunan ekonomi domestik diarahkan terutama pada melakukan transformasi bertahap dari perekonomian berbasis keunggulan komparatif ke perekonomian berbasis keunggulan kompetitif. Upaya ini dilakukan dengan mengekstraksi hasil-hasil bumi andalan yang bernilai tambah di dalam negeri sebelum dijual ke pasar global. Hal ini diupayakan melalui upaya membangun industri manufaktur sehingga secara bertahap menghasilkan produk bernilai tambah tinggi hasil kreativitas bangsa Indonesia. Dengan demikian, suatu upaya yang mengarah pada inovasi di setiap simpul dari mata rantai pertambahan nilai menjadi sesuatu yang penting dan mendesak untuk dilakukan. Perekonomian Berbasis Pengetahuan merupakan usaha untuk meningkatkan daya saing, produktivitas, dan pertumbuhan dengan pendekatan baru, pola pendidikan, inovasi, memanfaatkan teknologi informasi, meluaskan jejaring kerja sama, dan memberikan peran yang berbeda kepada pemerintah. Norwegia salah satunya, yang membuktikan bagaimana kekuatan ilmu pengetahuan mengatasi ketersediaan sumber daya alam. Negeri di kawasan Skandinavia ini memiliki wilayah pesisir yang sangat terbatas. Namun, Norwegia terbukti begitu terkenal dengan produk ikan salmon. Kekuatannya terletak kepada riset yang terfokus. Anggaran dan sumber daya riset sangat terbatas membuat negara tersebut tidak dapat
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
15
menembak ”semua sasaran” atau seluruh disiplin ilmu. Pemerintah kemudian menetapkan beberapa bidang riset utama dan salah satunya kelautan. Untuk mengatasi keterbatasan sumber daya alam, Norwegia bekerja sama dengan Cile yang memiliki kawasan pesisir dengan karakter sama di bidang penelitian kelautan, khususnya untuk riset terkait ikan salmon. Norwegia juga bekerjasama dengan Perancis untuk mengekploitasi minyak dan gas di lepas pantai di Ormen Lange. Keputusan ini yang dapat mengentaskan negara ini dari krisis minyak Tahun 1974. Masyarakat dibangun dengan faktor utama menciptakan, menyebarkan, dan menggunakan pengetahuan (knowledge) untuk meningkatkan nilai tambah hingga menaikkan tingkat kesejahteraannya. Pada saat dunia memasuki milenium ketiga semua bangsa maju sepakat bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan prasyarat (prerequisite) untuk meraih kemakmuran (prosperity) dalam kancah pergaulan internasional. Karena itu, fokus pembangunan yang kini dianut oleh banyak negara adalah mengutamakan usaha untuk menempatkan kegiatan penelitian, pengembangan dan rekayasa sebagai bagian integral dari pembangunan ekonomi, sehingga sangat menitikberatkan pada tersedia dan terserapnya inovasi yang secara nyata akan menunjang peningkatan produksi nasional. Oleh karena itu, dapat dimengerti jika para ilmuwan sejagat saat ini tengah berlomba-lomba melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan serta rekayasa untuk meningkatkan korpus pengetahuan. Namun, kegiatan yang dilakukan tidak semata untuk penelitian, harus pula dilandasi oleh kebutuhan nyata masyarakatnya dan program nasional yang akan dicapai. Hasil semua kegiatan itu kemudian dapat dijadikan modal untuk membangun masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based society) yang mampu memahami dan mendukung kegiatan dan kiprah ilmuwan selanjutnya. Dengan demikian, lambat laun terbentuklah peradaban berlandaskan budaya iptek, yaitu masyarakat modern yang kehidupan sehari-harinya mendasarkan segala sesuatu pada kemudahan dan solusi yang disediakan oleh kemajuan iptek itu. Untuk membangun kekuatan ilmu itu memerlukan saling menghayati kekuatan dan keterbatasan semua pemeran yang bermitra. Mereka itu adalah sumber daya manusia yang berada di bidang litbang dan rekayasa selaku penyedia jasa dan informasi, yang berkiprah pada sisi produksi sebagai pemanfaat yang mentransformasi iptek menjadi barang dan jasa, yang bergerak di sektor pendidikan guna menyiapkan penyedia dan pemakai ilmu dan teknologi, maupun yang berfungsi sebagai penyandang dana serta penyedia kemudahan lainnya sehingga merupakan faktor utama yang sangat menonjol
16
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Sejarah umat manusia menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan suatu bangsa. Pengembangan, penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi hanya dapat terjadi dalam suatu kebudayaan yang tinggi. Kebudayaan, termasuk sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, religi serta peralatan hidup dan perlengkapan hidup suatu bangsa merupakan faktor yang amat menentukan apakah ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dikembangkan dan dimanfaatkan secara efisien dan produktif oleh masyarakatnya. Pentingnya peranan iptek dalam pembangunan juga dicerminkan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional ( Propenas, tahun 2000-2004) melalui 4 program nasional, yaitu yang meliputi (i) iptek dalam dunia usaha, (ii) diseminasi informasi iptek, (iii) peningkatan sumberdaya iptek, dan (iv) kemandirian dan keunggulan iptek. Undang-undang Nomor 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek), yang diundangkan pada tanggal 20 Juli 2002. Undang-undang ini mewajibkan Pemerintah untuk memperhatikan upaya penguatan penguasaan ilmu-ilmu dasar, ilmu pengetahuan dan teknologi strategis, dan peningkatan kapasitas penelitian dan pengembangan, berikut penguatan penguasaan ilmu-ilmu sosial dan budaya yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemerintah juga diwajibkan untuk menguatkan pertumbuhan industri berbasis teknologi untuk meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi serta memperkuat tarikan pasar bagi hasil kegiatan penelitian dan pengembangan. Undang-undang Sisnas Iptek tersebut menekankan kewajiban pemerintah untuk menguatkan kemampuan audit teknologi impor yang dikaitkan dengan penguatan standar nasional Industri untuk melindungi konsumen dan memfasilitasi pertumbuhan industri dalam negeri. Sejalan dengan pemberdayaan daerah yang ditandai dengan diterapkannya otonomi daerah. Undang-undang Sisnas Iptek juga mengharuskan pemerintah Daerah untuk berfungsi menumbuh-kembangkan motivasi serta menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan serta sinergi tiga unsur, yaitu (1) unsur kelembagaan, (2) unsur sumber daya dan (3) unsur jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi di wilayah pemerintahannya sebagai bagian integral Sisnas Iptek itu. Sejalan dengan itu disadari sepenuhnya bahwa pemajuan iptek itu bukan menjadi tanggung jawab pemerintah semata -mata, tetapi tanggung jawab kita semua. Oleh karena itu dalam Undang-undang Sisnas Iptek ditekankan
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
17
peran badan usaha untuk mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi dalam meningkatkan kinerja produk dan daya saing barang dan jasa yang dihasilkan. Pada saat penulis menjabat sebagai Menristek di era kabinet reformasi yang dipimpin oleh B.J. Habibie, penulis berusaha menyuarakan, agar Indonesia, mampu mengantisipasi liberalisasi ekonomi dengan menerapkan pendekatan pembangunan yang tidak melulu mengunggulkan faktor endowment tradisional — seperti sumberdaya alam dan tenaga kerja murah sebagai basis keunggulan komparatif — tetapi mulai memikirkan upaya kombinasi faktor-faktor itu dengan keunggulan kompetitif, melalui peningkatan kandungan iptek hasil kemampuan SDM yang berkualitas tinggi. Pendekatan ini menjadi tema sentral upaya peningkatan daya saing dan nilai tambah produk nasional dalam rangka menyambut liberalisasi ekonomi. Lebih lanjut, pendekatan ini dalam implementasinya memerlukan syarat: bahwa kegiatan ekonomi semakin diarahkan pada kegiatan yang berkaitan dengan ekonomi riil; bukan ekonomi yang bersifat ‘’gelembung’’, yang hanya berorientasi untuk mendapatkan keuntungan spekulatif jangka pendek saja. Dengan demikian, maka stabilitas ekonomi makro dan pertumbuhan ekonomi diskenariokan akan bertumpu pada keunggulan SDM dalam menguasai iptek. 3. Evaluasi dan Rekomendasi: Pembentukan Komisi Sistem Inovasi Sistem inovasi memiliki peran penting dan strategis demi keberlanjutan proses pembangunan. Merancang kebijakan publik bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang menaungi kebijakan publik bidang ekonomi dan perdagangan, industri, keuangan dan moneter, pertanian, energi, dan sektorsektor pembangunan lainnya, sasarannya adalah untuk kepentingan pilihanpilihan teknologi, dan “research network” untuk pembiayaan kegiatan penelitian, pendidikan, dan perekayasaan, agar supaya proses produksi nilai tambah yang tercipta dan peningkatan kualitas human capital, dapat berlangsung secara berkelanjutan. Suatu kebijakan publik memiliki tujuan yang plural. Banyak kelompok “interest” yang ingin memfungsikan teknologi, apalagi jika dikaitkan dengan pemfungsian teknologi di industri, maka teknologi tidak hanya untuk tujuan penciptaan nilai tambah dan profitabilitas, tetapi juga tujuan kekuasaan. Sehingga, teknologi pun memiliki tujuan yang plural. Oleh karena itu, pemfungsian kebijakan iptek yang memiliki tujuan yang plural tersebut, tidak hanya mencakup otoritas publik atau pemerintah
18
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
saja, melainkan juga mencakup kelompok-kelompok sosial di masyarakat dan artifak-artifak teknikal. Meski formalisasi dan legislasi kebijakan dilakukan oleh Kementerian Negara Riset dan Teknologi, namun substansi dari kebijakan merupakan hasil dari proses kolektif, yang dikoordinir oleh suatu institusi Komisi Sistem Inovasi. Permasalahan umum dalam implementasi Sistem Inovasi Nasional (SIN) antara negara maju dan berkembang sangat berbeda satu sama lain. Bagi negera berkembang permasalahan dalam SIN umumnya terkait dengan rendahnya implementasi. Maka kehadiran Komisi Sistem Inovasi sebagai suatu organisasi organis yang berada langsung di bawah kewenangan Presiden dan Wakil Presiden, menjalankan fungsinya berupa implementasi substansi dari Undang-undang No 18 tahun 2002, yakni, sebuah prototype SIN Indonesia. SIN Indonesia pada dasarnya merupakan sistem yang terintegrasi antara agen institusi dan sistem ekonomi yang secara langsung mendorong pemunculan dan penggunaan inovasi dalam ekonomi nasional. Peran strategis dari Komisi Sistem Inovasi ini nantinya menjadi institusi penghubung antara pemerintah dengan pelaku riset, dalam suatu jejaring riset, pendidikan, rekayasa dan industri.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
19
10 Tahun Reformasi Pendidikan Abdul Malik Fadjar
Dalam era reformasi, Presiden BJ. Habibie bersama-sama Kabinet Reformasi yang dipimpinnya melakukan kebijakan dan perubahan. Di bidang pendidikan kebijakan pertama yang ditempuh adalah mempertahankan hasil yang telah dicapai sebelumnya sekaligus meningkatkan apa yang telah dinilai baik. Pemerintah juga menyosialisasikan visi dan misi reformasi pendidikan nasional melalui berbagai strategi. Presiden B.J. Habibie, melalui Surat Keputusan Presiden No.18 Th. 1999, membentuk suatu Tim Reformasi Menuju Masyarakat Madani. Di dalamnya terdapat kelompok yang merumuskan satu “platform” reformasi bidang pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Pemilu dan pergantian pemerintahan itu langsung maupun tidak langsung mempengaruhi perkembangan dan hasil capaian reformasi pendidikan. Hasil capaian selama 10 tahun pelaksanaan reformasi pendidikan, secara jujur harus diakui bahwa masa depan dunia pendidikan di Indonesia semakin berat. Padahal untuk tetap eksis dan survive di arena kehidupan global yang serba kompetitif diperlukan sumber daya manusia dalam jumlah besar yang memiliki keunggulan kompetitif. Sehingga reformasi pendidikan dan pengembangan kualitas SDM harus berkelanjutan agar tidak ketinggalan. Inilah tantangan masa depan dunia pendidikan di Indonesia.
21 Mei 1998. Presiden Soeharto menyatakan mundur. Dan sesuai konstitusi pasal 8 UUD 1945, menyerahkan kekuasaannya sebagai Presiden/ Mandataris MPR 1998-2003, kepada wakil Presiden BJ. Habibie. Peristiwa inilah yang menandai lahirnya era baru Indonesia – “Era Reformasi”.
20
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Era reformasi menuntut terciptanya tata kehidupan baru, ialah demokratisasi dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat madani (civil society), begitu kemudian sering disebut-sebut. Sejalan dengan tuntutan itu Presiden BJ. Habibie bersama-sama Kabinet Reformasi yang dipimpinnya melakukan berbagai kebijakan dan perubahan. Berkenaan dengan krisis yang melanda dan telah memporakporandakan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, maka kebijakan pertama yang ditempuh di bidang pendidikan adalah mempertahankan hasil yang telah dicapai sebelumnya sekaligus meningkatkan apa yang telah dinilai baik. Kedua segera mengatasi dampak dari krisis moneter dan ekonomi, dan sosial politik melalui program pemulihan (recovery) dalam bentuk Program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Dan ketiga, mensosialisasikan visi dan misi reformasi pendidikan nasional melalui berbagai strategi: (1) melaksanakan otonomi dan desentralisasi, (2) melaksanakan manajemen berbasis sekolah, (3) mereview kurikulum secara periodik untuk menjamin terlaksananya proses kegiatan pendidikan yang berkualitas, (4) pemerataan dan perluasan pendidikan sebagai upaya pencerdasan kehidupan bangsa yang dapat menjamin bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan, (5) menerapkan sistem manajemen mutu, (6) pengelolaan anggaran pendidikan yang berorientasi kepada prinsip efisiensi dan ketergunaan, (7) pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, dan (8) penerapan A Student Center Learning. Agar gerak reformasi terus bergulir, berkelanjutan, mempunyai arah yang jelas, terukur, dan konseptual, Presiden B.J. Habibie, melalui Surat Keputusan Presiden No.18 Th. 1999, membentuk suatu Tim Reformasi Menuju Masyarakat Madani. Di dalamnya terdapat kelompok yang merumuskan satu “platform” reformasi bidang pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Di dalam platform itu, yang selanjutnya dijadikan sumber penulisan seputar perjalanan serta pelaksanaan reformasi pendidikan dan pengembangan SDM ini terangkum garis besar uraian tentang “Arah Politik Pengembangan Pendidikan dan Pengembangan SDM,” dengan pokok bahasan: I. Visi dan Misi 1.
Visi reformasi pendidikan dan pengembangan SDM adalah terwujudnya tatanan kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia yang sesuai dengan amanat Proklamasi Kemerdekaan 1945 yang bertekad
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
2.
21
untuk mewujudkan masyarakat madani Indonesia yang memiliki citacita dan harapan masa depan, demokratis dan beradab, menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, berakhlak mulia, tertib dan sadar hukum, dan kooperatif dan kompetitif serta memiliki kesadaran dan solidaritas antar generasi dan antar bangsa. Misi reformasi pendidikan dan pengembangan SDM diwujudkan dalam: (1) pengelolaan secara profesional, (2) penyelenggaraan yang mencakup spektrum luas dengan melibatkan pemerintah, masyarakat, dan individu-individu untuk menampung berbagai kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai dengan kondisi ekonomi, bisnis, industri, dan sosial budaya masyarakat yang sedang mengalami perubahan cepat, (3) pengembangan kurikulum mengakomodasikan unsur-unsur praktis dan teoritik berdasarkan kebutuhan-kebutuhan nyata dan kebutuhan yang diperkirakan sesuai dengan dinamika kehidupan yang beraneka ragam, (4) menjadikan tenaga kependidikan dan pengembangan SDM (guru, para pelatih, pengelola dan pimpinan) sebagai simbol dan contoh yang hidup dari masyarakat beradab dan demokratis (madani) yang dapat menciptakan kemerdekaan pedagogis dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan hakekat, tujuan, dan prinsip-prinsip terbaik dari reformasi pendidikan dan pengembangan SDM, dan (5) mengupayakan tersedianya pembiayaan pendidikan yang wajar sehingga mencerminkan bahwa pendidikan untuk semua dan semua untuk pendidikan.
II. Sistem Pendidikan dan Pengembangan SDM, aspek-aspek yang penting untuk dikedepankan : 1.
2.
Filosofi, dan kebijakan pendidikan nasional yang menunjukkan bahwa reformasi filosofi, dan nilai-nilai dasar pendidikan sangat diperlukan sebagai dasar pengembangan pendidikan nasional yang secara konseptual dapat diterima oleh logika, secara kultural sesuai dengan budaya bangsa, dan secara politis dapat diterima oleh masyarakat luas. Pendidikan berbasis masyarakat dengan tujuan: (1) membantu pemerintah dalam memobilisasi sumber daya setempat dan dari luar serta meningkatkan peranan masyarakat untuk mengambil bagian yang lebih besar dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pendidikan di semua jenjang, jenis, dan jalur pendidikan, (2) menstimulasi perubahan sikap dan persepsi masyarakat terhadap rasa kepemilikan sekolah, tanggung jawab, kemitraan, toleransi, dan kesediaan menerima
22
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
perbedaan sosial dan budaya, (3) mendukung inisiatif pemerintah dalam meningkatkan dukungan masyarakat terhadap sekolah, khususnya orang tua dan masyarakat melalui kebijakan desentralisasi, dan (4) mendukung peranan masyarakat untuk mengembangkan inovasi kelembagaan guna melengkapi, meningkatkan dan mengganti peran sekolah dan meningkatkan mutu dan relevansi, pembukaan kesempatan yang lebih besar, peningkatan efisiensi manajemen pendidikan dasar untuk wajib belajar pendidikan dasar dan menengah. 1. Pemberdayaan guru dan tenaga kependidikan yang arahnya pada kinerja sistem pendataan kebutuhan, pendidikan, rekrutmen, penempatan, dan pemerataan penyebarannya, serta pembinaan karier dan perbaikan sistem imbalan serta kesejahteraannya dilakukan secara terdesentralisasi. 2. Manajemen berbasis sekolah sebagai pendekatan yang menekankan ke arah terciptanya kondisi yang desentralis baik pada tatanan birokrasi maupun pengelolaan sekolah. 3. Otonomi pendidikan tinggi (dalam arti luas), bukan saja masalah pengelolaan secara manajerial, tetapi termasuk pengembangan akademik secara terpadu, (transdisiplin ilmu); pertanggung jawaban (akuntabilitas); dan jaminan mutu (quality assurance). 4. Pembiayaan pendidikan yang mencerminkan komitmen Indonesia pada pendidikan untuk semua dan semua untuk pendidikan. Agenda Reformasi Pendidikan Untuk lebih terarah dan terukur secara konseptual tim telah merumuskan agenda reformasi pendidikan yang berisi sasaran dan program jangka pendek, menengah, dan jangka panjang sebagai berikut:
Pengembangan pengelolaan pendidikan usia dini dan pra sekolah
Pengelolaan pendidikan berbasis sekolah dan masyarakat terutama pada jenjang pendidikan dasar dan p e n d i d i k a n berkelanjutan
Peningkatan mutu Pendidikan Dasar dan penuntasan Wajib Belajar 9 tahun
1.
2.
3.
Program
Meletakkan dasar yang kuat menuju tatanan masyarakat belajar dan belajar sepanjang hayat
Meletakkan dasar kuat mutu pendidikan yang kompetitif dalam kehidupan global. Mendorong prakarsa masyarakat untuk menyiapkan rencana Wajib Belajar 12 tahun secara selektif. Mendesentralisasi rencana, program dan dana peningkatan mutu pendidikan dasar kepada Pemda. Menggalakkan kembali partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan (sekolah swasta) Pelaksanaan Wajib Belajar 9 tahun sepenuhnya dikembalikan kepada masyarakat melalui koordinasi Pemda Tingkat II.Wajib Belajar seharusnya bebas dari berbagai biaya.
Mengintegrasikan berbagai rencana program dan dana peningkatan mutu pendidikan dasar dari Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah dan masyarakat. Mengintegrasikan dan mengkoordinasi program dan dana JPS, GN-OTA, dan LSM yang ada hingga saat ini.
Mengintegrasikan berbagai program perluasan kesempatan pendidikan dengan institusi pendidikan yang sudah mengakar di masyarakat
Mendorong pemanfaatan rumah ibadah, pesantren, wadah kelompok kerja sekolah/ madrasah, dan pusatpusat kegiatan belajar masyarakat sebagai basis pengelolaan pendidikan dari, untuk dan oleh masyarakat
Jangka Panjang Memantapkan pelaksanaan pendidikan anak usia dini dan pra sekolah secara lintas sektoral dalam rangka pengembangan SDM
Jangka Menengah
Meningkatkan mutu dan Mengintegrasikan pendidikan usia perluasan kesempatan layanan dini dengan pembinaan kesehatan pendidikan usia dini dan pra anak usia balita sekolah
Jangka Pendek
AGENDA REFORMASI PENDIDIKAN DAN PENINGKATAN KUALITAS SDM
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
23
Peningkatan mutu Sekolah Menengah Umum/Madrasah Aliyah dan Kejuruan.
P e r l u a s a n kesempatan, peningkatan mutu, relevansi dan otonomi Pendidikan Tinggi.
4.
5.
Melepaskan campur tangan birokrasi Pemerintah Pusat yang sangat sentralistis dalam pengelolaan sumber-sumber daya dan dana, kurikulum dan bidang studi.Pengintegrasian lembaga konsorsium kedalam ikatan profesi.
Mengintegrasikan pendidikan kewirausahaan dari kejuruan di Sekolah Menengah Umum/ Madrasah Aliyah.
Peningkatan mutu digandengkan dengan pemberian otonomi yang luas kepada Perguruan Tinggi. Pengelolaan PT bukan kepanjangan birokrasi pemerintah.Dualisme pembinaan PTN dan PTS dihilangkan dengan adanya kemitraan yang positif dan sejajar dan saling
SMU/ MA yang bermutu dan dapat dijadikan model oleh sekolah lain oleh sebab itu harus selektif, Ekspansi SMU/MA harus disertai dengan peningkatan mutu. Melanjutkan program sistem ganda pada SMK/ MAK dengan partisipasi aktif dunia industri dan dunia usaha yang diatur dalam sistem keringanan pajak. Program pelatihan diserahkan sepenuhnya penyelenggaraan kepada Pemda Tingkat II kerjasama dengan Kadinda, Dunia Industri dan dunia usaha dan masyarakat.
Menuntaskan Wajar 9 tahun dalam rentang waktu 10 tahun (2000-2010)
Membina Pendidikan tinggi yang bermutu secara selektif (PTN dan PTS) dalam persaingan regional dan global.Pembenahan sistem, prosedur dan program akreditasi PT yang sifatnya membina dan tidak
M e n g g a i r a h k a n berkembangnya SMU/MA yang bermutu oleh Masyarakat.Tersusun sistem pelatihan nasional yang mengintegrasikan sistem pendidikan jalur sekolah dengan pendidikan jalur luar sekolah. Merumuskan rencana penggabungan SMU/MA dan Menengah dengan program studi akademik dan program ketrampilan.
24 Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Pemantapan m e k a n i s m e p e n g a d a a n , pengangkatan penempatan dan pembinaan karier dan kesejahteraan guru.
Pengaturan sistem penggajian guru dan tenaga kesehatan secara tersendiri.
Pengembangan p e n d i d i k a n alternatif yang
6.
7.
8.
Keikutsertaan organisasiorganisasi profesi guru dalam program pengadaan, pengangkatan, penempatan dan pembinaan guru.
Adanya program yang terintegrasi dalam pembinaan program guru. Mempercepat transformasi secara selektif IKIP dan IAIN menjadi Universitas.Meningkatkan penghargaan terhadap profesi guru yang bermutu dan selektif
Penataan sistem birokrasi yang memungkinkan adanya unit eselon I yang secara khusus menangani segala permaslahan pengadaan, pengangkatan, penempatan dan pembinaan guru.
Mengintegrasikan berbagai program pengadaan, pengangkatan, penempatan dan pembinaan guru yang terpencar-pencar dan boros.
Melepaskan sistem pengajian dan pembinaan karier dan kesejahteraan guru dan tenaga medis dari aturan kepegawaian yang berlaku secara umum
Menginventarisasikan program Meningkatkan program dan Pendidikan alternatif sebagai dan kegiatan pendidikan pendidikan alternatif seperti bagian integratif dari sistem alternatif yang diselnggarakan pendidikan jarak jauh, paket-paket pendidikan nasional.
diskriminatif antara PTN dan PTS maupun antara PT di bawah binaan Dikbud maupun PT yang berada di bawah binaan Departemen lain.
membantu PTS adalah aset nasional.Kehadiran PTA diterima positif dan terprogram dalam rangka mendorong mutu pendidikan tinggi nasional dan membatasi keluarnya devisa keluar negeri.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
25
Mewujudkan peningkatan dana pendidikan dan pelatihan 5 % dari GDP. Membebaskan dana pendidikan dan pelatihan dari berbagai jenis pajak. Mengurangi ketergantungan dana pinjaman dari pinjaman luar negeri setara bertahap.
Merumuskan kembali fungsi Pusdiklat dan berbagai lembaga pelatihan yang ada di Departemen. Keikut sertaan organisasi-organisasi profesi dalam peningkatan mutu
Mobilisasi dana pemerintah (APBN dan APBD) dan masyarakat untuk pendidikan dan pelatihan sekurangkurangnya 25% dari APBN. Penggunaan dana yang transparan dengan mengikutsertakan masyarakat Industri. Penggunaan dana pinjaman luar negeri lebih selektif dan diprioritaskan kepada peningkatan mutu pendidikan dasar.
Membentuk komisi untuk Menyusun rencana pengembangan menilai pos-pos penting karir disertai dengan program (eselon I, eselon II) dalam pelatihan berjenjang yang objektiv. jajaran Departemen, agar dijabat oleh tenaga-tenaga profesional, berdasarkan kriteria objective
dan belajar dan “cyber learning” yang sesuai dengan kondisi dan negara kepulauan. Meningkatkan citra program kursus dengan meningkatkan mutunya, meningkatkan pembinaannya, menyederhanakan prosedur pengelolaannya oleh masyarakat.
P e m b i y a y a a n Meninjau kembali rencana pendidikan yang pembiayaan berasal dari demokratis dan pemerintah agar diberi prioritas kepada gaji guru jenjang proporsional pendidikan dasar dan membebaskan orang tua dari semua biaya dari pendidikan dasar.
10. Menegakkan asas profesionalisme d a l a m penyelenggaraan sistem pendidikan nasional.
9.
pemerintah berbasis masyarakat oleh bagi kalangan usia masyarakat. lanjut, masyarakat tidak beruntung secara ekonomi, sosial, geografis, dan kultural dan anak luar biasa.
26 Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Merevisi PP 28/1990 dan PP29/1990 dan menempatkan pengelolaan pendidikan dasar dibawah satu atap. Merivisi kurikulum 1994 dengan merampingkannya serta menentukan kemampuandan kompetensi yang hendak dicapai dan menghilangkan dikotomi kurikulum nasional dan lokal. Meninjau kembali/merevisi UU No. 2 Tahun 1989 serta PP yang berkaitan dengan Undang-Undang itu. Menyusun peraturan yang mendorong partisipasi masyarakat yang semakin meningkat dalam berbagai jenis dan tingkatan.
Mengatasi ekses-ekses dualisme penyelenggaraan sekolah dasar seperti gaji guru, penempatan guru SD, dan sebgainya. Mencabut peraturan-peraturan yang bertentangan dengan gerakan reformasi.
12. Peraturan dan Menginventarisasi berbagai p e r u n d a n g - peraturan dan perundangan undangan. yang tidak sesuai dengan gerakan reformasi seperti tindak lanjut pencabutan peraturan mengenai NKK/BKK.
11. D i s e n t r a l i s a s i pengelolaan pendidikan dan kurikulum.
serta penjenjangan perkembangan karir dan bebas KKN.
Pengelolaan pendidikan dan pelatihan diserahkan sepenuhnya pada Pemda Tingkat II. Memberdayakan Pemda dalam melaksanakan kurikulum dengan peran serta masyarakat sekitar. Pengintegrasian Kanwil dan Dinas dan diserhakan kepada Pemda.
profesi. Sekretaris Jenderal sebagai jabatan profesionl (permanent secretary) mendampingi menteri yang dapat bersifat sebagai jabatn politis.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
27
budaya Menyususn peraturan dan program Menghidupkan yang lebih meningkatkan peranan kampus sebagai penjaga hati mahasiswa dalam kehidupan nurani rakyat. bermasyarakat dan berbangsa. Menyiapkan tenaga-tenaga pengawas (Inspektur) yang menguasai masalah pendidikan dan keuangan.Reformasi fungsi Inspektorat Jenderal dalam rangka reformasi lembagalemabga pengawasan (BPK, DPPK, Inspektorat Wilayah)
Meletakkan dasar sitem politik pendidikan dan pengembangan SDM jangka panjang.
Menyususn organisasi dan personalian yang terbuka, lepas dari unsur KKN dan Koncoisme. Mengfungsikan lembaga Inspektorat Jendral sebagai lembaga pengontrol kualitas pendidikan. Memberdayakan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan baik pemerintah maupun masyarakat sendiri. Menyiapakan segala bentuk peraturan dan ketentuan pokok sistem pelaksanaan pembangunan pendidikan nasional.
Pengakuan dari bangsa Indonesia terhadap mahasiswa yang gugur sebagai Pahlawan Reformasi.
Membersihkan oknum-oknum KKN dan Koncoisme dari seluruh organisasi Departemen dari Pusat sampai unit Pelaksanaan terkecil (sekolah).
Meninjau kembali UUSPN dengan memperhatikan berbagai tuntutan dinamika pembangunan nasional dan kecenderungan-kecenderungan regional dan global.
13. M e m b e r d a y a k a n Mahasiswa dalam mewujudkan citacita reformasi.
14. Pengikisan korupsi, kolusi, nepotisme d a l a m penyelenggaraan sistem pendidikan nasional.
15. Pemantapan sistem pendidikan dengan segala implikasinya pada pengelolaan pendidikan di semua jenjang, jenis dan jalur pendidikan.
28 Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
29
Perkembangan dan Hasil Capaian Dua kali pemilihan umum (Pemilu), 1999 dan 1004 reformasi telah melewati pergantian pemerintahan. Mulai dari Presiden BJ. Habibie (19981999), dengan Kabinet Reformasi Pembangunan; Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), dengan Kabinet Persatuan Nasional; Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004), dengan Kabinet Gotong Royong; hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-sekarang) dengan Kabinet Indonesia Bersatu. Pemilu dan pergantian pemerintahan itu langsung maupun tidak langsung mempengaruhi perkembangan dan hasil capaian reformasi pendidikan. Karena pada hakekatnya reformasi pendidikan tidak dapat dipisahkan dari reformasi berbagai bidang, seperti politik, hukum, ekonomi, sosial budaya dan lain lain termasuk komitmen serta konsistensinya. Kalau dilihat secara keseluruhan, langkah-langkah yang ditempuh pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie selama 17 bulan (1998-1999), baik yang berupa program jangka pendek maupun jangka panjang terus berkelanjutan dan menjadi dasar serta acuan dalam kebijakan yang ditempuh para penggantinya. Secara garis besar hal ini dapat dibaca pada keseluruhan isi, jiwa dan semangat yang tertuang dalam: 1. Undang-Undang No. 25 tahun 2000, tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, bidang Pendidikan. 2. Perubahan UUD 1945, pasal 31 tentang Pendidikan (antara lain: :Negara memprioritaskan anggaran Pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen (20%) dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”). 3. Undang undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 4. Undang undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 5. Beberapa Peraturan Pemerintah dan Menteri, serta Kebijakan yang merupakan tindak lanjut pelaksanaann, seperti pelaksanaannya pendidikan usia dini (PAUD), kecakapan hidup (life skills), biaya operasional sekolah (BOS) dan otonomi perguruan tinggi. Perkembangan dan hasil pencapaian yang dikemukakan secara garis besar itu memang belum dapat menjadi tolak ukur seputar pelaksanaan visi, misi dan agenda reformasi pendidikan dan pengembangan kualitas SDM sebagai mana yang telah dibentangkan tersebut di atas. Bahkan beberapa kebijakan yang ditempuh kurang mendukung dan belum memberikan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaannya secara simultan
30
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
dan berkesinambungan. Otonomi dan demokratisasi pendidikan sejalan dengan pewujudan otonomi daerah belum dijadikan dasar dan modal untuk “bersikap dan berparadigma” (Sundhunata, 2000), yang sejalan dengan tuntutan reformsi. Artinya sebagai contoh, misalnya prinsip pelaksanaan “manajemen berbasis sekolah”, masih dimaknai teknis manajerial dan finansial. Bergitu pula tentang otonomi perguruan tinggi. Ukurannya masih pada sekedar membayar uang gedung dan uang sekolah/ kuliah. Belum kepada perluasan mandat kepada masyarakat untuk ikut bertanggung jawab terhadap pendidikan sebagai salah satu wahana investasi SDM (human investment) dan modal sosial (social capital) pengembangan masa depan bangsa. Dan inilah yang membuat pendidikan semakin terasing dari kenyataan yang hidup dan berkembang di masyarakat. Akibatnya pendidikan menjadi “tumpul” dan kehilangan daya “kepekaan serta kekritisannya” (Paul Suparno dkk, 2002). Masa Depan Pendidikan Jauh sebelum futurolog Alvin Toffler berujar bahwa “pendidikan harus mengacu pada perubahan masa depan”, Kholifah Ali bin Abi Thalib telah menyampaikan pesan: “Didiklah dan persiapkanlah anak-anakmu untuk suatu zaman yang bukan zamanmu. Mereka akan hidup pada suatu zaman yang bukan lagi zamanmu”. Ini berarti bahwa reformasi pendidikan itu tidak boleh berhenti. Bahkan dalam perencanaan dan proses pendidikan harus selalu menggambarkan adanya pertumbuhan (growth), perubahan (change), pembaharuan (reform) dan kontinuitas (continuity) ke arah masa depan. Tanpa mengecilkan arti perkembangan dan hasil capaian selama 10 tahun pelaksanaan reformasi pendidikan, tetapi secara jujur harus diakui bahwa masa depan dunia pendidikan di Indonesia semakin berat. Lebihlebih milenium ketiga sebagai tonggak psikologis di dalam kehidupan umat manusia yang ditandai dengan perubahan yang serba cepat dan dahsyat dalam berbagai aspek kehidupan telah kita masuki. Saat ini kita telah berada di dalam tatanan kehidupan masyarakat mega kompetisi abad ke-21. Tidak ada lagi ruang dan waktu dalam masyarakat tanpa kompetisi. Kompetisi telah dan akan merupakan prinsip hidup yang baru. Dunia semakin terbuka dan bersaing untuk memposisikan diri agar berada diurutan terdepan dalam menghasilkan karya-karya unggulan dan merebut setiap kesempatan serta peluang yang terbuka dalam pasar kerja, pasar untuk berbagi jenis produk, jasa dan teknologi. Persaingan antar bangsa dan negara di bidang bisnis, investasi, perdagangan, industri, ekonomi, bahkan di bidang pendidikan,
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
31
kesenian dan kebudayaan juga semakin terbuka dan ketat. Untuk tetap eksis dan survive di arena kehidupan global yang serba kompetitif diperlukan sumber daya manusia dalam jumlah besar yang memiliki keunggulan kompetitif. Dalam hal ini pendidikan dituntut kemampuan dan perannya untuk menumbuhkkembangkan “potensi intelektual dan afeksi” (Makagiansar, 1990). Artinya, (1) melalui pendidikan peserta didik harus disiapkan supaya dapat mengantisipasi perkembangan berdasarkan pengetahuan; (2) melalui pendidikan, dikembangkan kemampuan dan sikap peserta didik untuk dapat memahami situasi-situasi dan berhadapan dengan situasi dan kondisi terbaru; (3) melalui pendidikan dikembangkan kemampuan peserta didik untuk mengakomodasi perkembangan Iptek yang pesat dan perubahan dahsyat yang ditimbulkannya, serta tetap bisa menguasai perubahan dan tidak turut tenggelam dalam perubahan itu; dan (4) melalui pendidikan persepsi peserta didik tetang dunia perlu diorientasikan kembali karena perkembangan Iptek dan perubahan sosial yang cepat. Tantangan dulu, lain dengan sekarang, dan yang akan datang. Dunia sekarang semakin kecil, sehingga reformasi pendidikan dan pengembangan kualitas SDM harus berkelanjutan agar tidak ketinggalan. Inilah tantangan masa depan dunia pendidikan di Indonesia. Bahan Rujukan: 1.
2.
3. 4.
Platform Reformasi Pendidikan dan Penmgembangan Sumber Daya Manusia, A. Malik Fadjar, Koordinator, PT. Logos Wacana Ilmu, Ciputat, 1999. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Sindhunata (Editor) Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2000. Reformasi Pendidikan: Sebuah Rekomendasi, Paul Suparno SJ, dkk, Penerbit ‘Kanisius, Yogyakarta, 2002. Dimensi dan Tantangan Pendidikan dalam Era Globaloisasi, MakaminanMakagiansar, Mimbar Pendidikan, No. 4 Th.IX Desember 1990.
32
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
10 Tahun Reformasi TNI: How Low Can You Go? Indria Samego
Proses demokratisasi di Indonesia menuntut perubahan internal dalam tubuh TNI melalui pengenalan “tiga-Re”, yakni redefinisi, restrukturisasi dan reposisi yang pada dasarnya menghilangkan peran dwifungsi, khususnya peran sosial-politiknya. Sebagai alat pertahanan, TNI mulai sekarang harus lebih memusatkan perhatiannya pada upaya sistemik di dalam membangun dirinya sebagai alat pertahanan yang efektif dan efisien. Dalam konteks ini, sebagai kekuatan pertahanan, TNI di masa depan seharusnya memiliki kemampuan dan postur yang dapat mengantisipasi perkembangan bentuk dan potensi ancaman serta perubahan lingkungan strategisnya. Dari berbagai bidang yang masih harus jadi perhatian, antara lain dalam hal doktrin organisasi, SDM, alutsista, dan aturan perundangan, TNI perlu diberi ketentuan yang lebih kontekstual dan operasional. Sebagai sebuah kekuatan negara bersenjata, sudah semestinya bila pengembangan kemampuan TNI didasarkan pada aturan-aturan normatif yang tertulis secara eksplisit bukan implisit. Ini pun sesuai dengan tradisi TNI yang selalu memegang doktrin sebagai dasar acuan tindakannya. Tanpa diikutsertakan upaya-upaya reformasi di bidang legal ini, boleh jadi akan menghambat percepatan peran TNI sebagai alat pertahanan negara.
Pendahuluan Dalam beberapa tahun terakhir ini, kita menyaksikan sebuah wacana yang amat menarik mengenai perubahan peran Tentara Nasional Indonesia (TNI). Bahkan lebih dari itu, meski pun masih mengundang kontroversi, wacana itu telah diterjemahkan ke dalam berbagai aturan perundangan dan langkah kebijakan di lapangan, yang kemudian lebih dikenal sebagai
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
33
reformasi TNI. Sesuai dengan semangat zaman, TNI tidak mungkin lagi memonopoli perannya sebagaimana dikenal di era Orde Baru. Sejalan dengan perkembangan lingkungan struktural yang mewarnai keberadaan negara-bangsa Indonesia, seluruh perangkat pemerintahan yang ada di tanah air – termasuk TNI – harus memperhatikan prinsip-prinsip kesetaraan dan tunduk pada aturan perundangan yang dibuat secara demokratis (objective civilian control). Bila di masa pra reformasi peran TNI (dulu ABRI) sangat diwarnai oleh interpretasi subyektif dari pemegang kekuasaan dalam menilai keadaan (subjective military control), sekarang tidak lagi. Di masa lalu, keberadaan ABRI sarat dengan program dan kegiatan yang merefleksikan dwifungsi – selain sebagai kekuatan pertahanan (Han) dan keamanan (Kam), TNI juga merupakan alat sosial-politik. Di masa sekarang, lembaga pemilik kekuatan bersenjata ini diharuskan untuk lebih memusatkan pada peran dasarnya. Bahkan, sejalan pula dengan Tap MPR No VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri, Tap MPR No.VII/ MPR/2000 mengenai Peran TNI dan Peran Polri serta UU No 3/2002 Mengenai Pertahanan Negara, TNI dalam masa selanjutnya harus menjadi kekuatan utama pertahanan. Lebih khusus lagi, setelah Amandemen UUD 1945 diberlakukan, di masa depan TNI pun tidak akan memiliki wakilnya di lembaga perwakilan rakyat yang selama ini mendapatkan keistimewaan sebagai Utusan Golongan yang diangkat. Sebagai konsekuensinya, TNI “merupakan alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Dalam posisinya yang demikian, TNI, “bertugas pokok menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undangundang Dasar 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara”.1 Sementara urusan keamanan, diserahkan kepada Polri. Artinya, berbeda dengan peran lama, TNI di era sekarang diminta untuk lebih memusatkan perhatiannya pada fungsi pertahan negara dan bangsa. Namun apakah amanat tersebut di atas sudah terwujud dalam kenyataan sehari-hari. Sebagaimana dipertanyakan dalam judul tulisan di atas, nampaknya implementasi dari perubahan tersebut tidaklah mungkin dapat dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Kalau pun TNI sendiri telah siap melakukannya, mungkinkah reformasi dalam lembaga yang sangat powerful di masa lalu itu dapat dilepaskan dari dinamika persoalan yang muncul di lingkungannya. Selain disebabkan oleh begitu kuatnya pengaruh
1
Pasal 2 ayat (1) dan (2), Tap MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri.
34
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
global dalam kehidupan negara pada umumnya dan TNI pada khususnya, peningkatan peran TNI sebagai kekuatan pertahanan semata juga sangat ditentukan oleh sejumlah faktor domestik dan internal TNI sendiri. Mulai dari segi konsep sampai ke persoalan struktur, kultur, instrumental, teknis dan finansial, telah menghambat optimalisasi peran TNI sebagai alat pertahanan negara. Ditambah lagi oleh dinamika politik domestik yang masih belum tentu arahnya, reformasi TNI sebagaimana digagas pada akhir 1980an, belakangan menghadapi hambatan, kalau tidak mau disebut mengalami stagnasi. Perubahan peran TNI ternyata tidak dapat berlangsung secara in vacuum, bebas dari faktor pendorong yang ada di sekelilingnya. Seandainya pun ada pimpinan TNI yang reformis dan mencoba mengabaikan semua persoalan tersebut, masalahnya – ibarat ungkapan sebuah iklan – “How low can you go?”. Konsekuensinya, sebagaimana kita saksikan sampai sekarang, reformasi peran TNI ternyata bukan sebuah perkara yang dapat berlangsung secara mekanistik. Asal ada aturan, maka semuanya akan berjalan sesuai dengan aturan tersebut. Jangan kan bicara soal reformasi kultural, perubahan pada tataran aturan perundangan saja tidak dapat berlangsung sebagaimana diharapkan. Secara struktural, mungkin lebih mudah mengukurnya. Dengan dihapuskannya sayap organisasi kekaryaan ABRI, tidak ada lagi alasan bagi anggota TNI untuk dipekerjakan ke lembaga di luar TNI. Sesuai dengan ketentuan, prajurit TNI harus melepaskan karir militernya bila memilih untuk bekerja di luar institusi TNI. Kecuali di beberapa instansi yang masih diperbolehkan, seperti Departemen Pertahanan, Menko Polhukam, Lemhannas, Wantannas dan Kantor Kepresidenan, di luar itu, seorang prajurit harus menanggalkan status kemiliterannya. Oleh karena itulah, ketika May Jen Tanribali Lamo diminta untuk menjadi penjabat Gubernur Sulawesi Selatan pasca Pilkada akhir 2007 yang lalu, dia harus dipensiun terlebih dahulu. Kemudian, belakangan banyak pertanyaan ditujukan kepada kaitan antara TNI dan Bisnis. Karena salah satu tuntutan dari reformasi TNI adalah diputusnya hubungan (delingking) antara TNI dengan berbagai aktivitas usaha di luar pertahanan, maka sangatlah wajar jika masalah ini pun dimunculkan dalam menilai satu dasawarsa reformasi TNI. Meski perkembangannya belum terlalu menggembirakan, namun setahap demi setahap, TNI sudah mulai mengalihkan persoalan ini ke pemerintah, lewat Tim Supervisi Transformasi Bisnis TNI. Dengan diserahkannya pengelolaan bisnis TNI ke Departemen Pertahanan, secara hukum, TNI tidak lagi berhubungan langsung dengan bidang di luar pertahanan.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
35
Secara lebih singkat dapat dikatakan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir ini, TNI telah banyak melakukan perubahan. Sejalan dengan tuntutan reformasi, perubahan tersebut – kendati belakangan dirasakan sangat lamban – telah mengakibatkan berkurangnya peran TNI dalam berbagai bidang di luar pertahanan. Untuk memperoleh gambaran lebih lanjut mengenai hal ini, uraian selanjutnya akan memfokuskan pada sejumlah faktor eksternal dan internal yang mendorong reformasi TNI di atas, serta kendala yang dihadapinya. Kemudian pada bagian akhir akan dikemukakan bagaimana implikasi dari masalah di atas terhadap masa depan pertahanan RI selanjutnya. Pergeseran Peran TNI Ada sejumlah faktor pendorong yang melatar-belakangi perlunya perubahan peran TNI. Sebagaimana telah disinggung di muka, sejak Presiden Soeharto dipaksa untuk melepaskan jabatannya, TNI tidak lagi menjadi sebuah kekuatan dominan yang digunakan negara untuk mempertahankan hegemoninya terhadap masyarakat. Alih-alih mampu mempertahankan posisinya, TNI sekarang sudah harus tunduk pada pemerintahan sipil (civilian supremacy). Artinya, masa depan TNI sangat ditentukan oleh persepsi dan aturan perundangan yang dibuat oleh kekuatan non-militer. Berbeda dengan masa sebelumnya, dwifungsi tidak lagi dijadikan pegangan TNI di dalam menjalankan fungsinya. Lain dengan era Pemerintahan Soeharto, keberadaan dan peran kekuatan yang pernah menjadi instrumen politik Orde Baru ini selanjutnya sangat ditentukan oleh sejumlah variabel berikut: Pertama, perubahan politik global dan globalisasi yang terjadi sejak awal dasawarsa 1990an telah memberikan pengaruh yang amat mendasar terhadap tata cara penyelenggaraan pemerintahan di seluruh penjuru dunia. Tumbangnya Uni Soviet yang selama Perang Dingin telah menjadi rival utama AS dalam politik internasional, telah memperbesar kesempatan negara adikuasa yang disebut terakhir itu untuk memperluas wilayah pengaruhnya (sphere of influence). Tiadanya kekuatan penyeimbang AS dalam pergaulan dunia, telah mempercepat kecenderungan global menuju sebuah sistem internasional yang sangat didominasi oleh nilai-nilai liberal di segala bidang. Sistem ekonomi pasar bebas, ketergantungan finansial dan teknologi negara berkembang terhadap negara maju, khususnya AS telah menimbulkan berbagai kerawanan nasional. Pada gilirannya, peningkatan intensitas dari kerawanan tersebut telah mengubah asumsiasumsi dasar mengenai ancaman integrasi nasional, pertahanan wilayah,
36
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
serta aktor dan persepsi mengenai keamanan suatu negara, tak terkecuali Indonesia. Sebagai sebuah negara yang selama ini tidak mampu melepaskan diri dari pengaruh global, khususnya AS, Indonesia tidak memiliki alternatif lain, kecuali mengikuti prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang ditentukan oleh negara adikuasa tersebut. Tumbangnya Pemerintahan Soeharto yang diikuti oleh pengaturan kembali kehidupan politik di tanah air, sebagian besar disebabkan oleh dampak dari kemenangan ideologi liberal di seluruh dunia. Dalam konteks ini pula, TNI – sebagai alat negara – terkena imbasnya untuk ditata ulang fungsi dan keberadaannya. Unsurunsur keunikan yang selama ini menjadi alasan pembenar dari dwifungsi TNI tidak lagi memiliki basis politis dan teknis. Besarnya pengaruh publik terhadap reorientasi peran TNI itulah yang kemudian mendorong lahirnya kedua Tap MPR dan UU No 3/2000 serta posisi politik TNI dalam lembaga perwakilan rakyat sebagaimana disebutkan terdahulu. Kedua, faktor-faktor teknik dan politik telah menjadi kekuatan lain yang memperkuat perlunya peningkatan profesionalitas TNI sebagai alat pertahanan. Kian kompleksnya persoalan pertahanan nasional dan revolusi di bidang kemiliteran (revolution in military affairs) telah mempengaruhi perkembangan doktrin dan organisasi militer serta strategi perang kontemporer. Teknologi militer yang menyangkut presisi, sistem pelontar, penginderaan, komunikasi dan lain sebagainya akan menentukan strategi dan taktik kemiliteran. Meski pun secara ekonomis dan finansial, Indonesia masih terpuruk, tapi dilihat dari urgensi kemiliteran, mau tidak mau, kita harus juga mengikuti kecenderungan perkembangan di atas. Konsekuensinya, perlu ada peningkatan perhatian pada semua instrumen pertahanan konvensional yang dimiliki Indonesia. Dengan kata lain, bukan hanya TNI Angkatan Darat saja yang paling diutamakan, melainkan juga TNI Angkatan Laut dan Angkatan Udara harus ditingkatkan perannya di dalam mengawal negara-bangsa ini. Selain itu, adanya tekanan publik politik di dalam negeri terhadap depolitisasi tentara yang semakin menguat, telah menjadi kekuatan baru bagi peningkatan profesionalisme TNI. Lewat perubahan aturan perundangan yang mendasari peran TNI, maka sempurna sudah tuntutan pergeseran tersebut. Ketiga, perkembangan regional dan merebaknya ancaman nonkonvensional telah mempengaruhi hakikat pertahanan dan kekuatan militer suatu negara. Sebagaimana diketahui, eksistensi Indonesia dan kemampuan pertahanannya di masa depan sangat ditentukan oleh persinggungan dari dinamika situasi global, hubungan antar negara di kawasan ini serta
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
37
kemampuan Indonesia di dalam mengatasi berbagai ancaman pertahanan non-konvensional. Dalam kaitannya dengan ancaman regional, pertahanan Indonesia akan dihadapkan pada konflik teritorial, perbatasan, komunikasi, dan isu nuklir. Sedangkan ancaman pertahanan non-konvensional bersumber pada bermacam kejahatan transnasional yang akhir-akhir ini sudah terlihat gejalanya. Di antaranya yang paling menononjol adalah penyelundupan ekonomi, perdagangan obat bius lintas negara, penyelundupan manusia, perdagangan senjata secara ilegal, perompakan dan terakhir adalah persoalan terorisme. Bila diletakkan ke dalam konteks mutakhir dari peran TNI sebagaimana diamanatkan dalam aturan perundangan, maka tidak ada alasan bagi TNI untuk menunda peningkatan kinerjanya. Khususnya bagi kekuatan laut dan udara, kini sudah saatnya untuk diberi prioritas yang semakin tinggi dibandingkan di masa lalu. Tanpa melupakan pula peran TNI AD di dalamnya, pemeliharaan integritas wilayah dan pertahanan nasional di masa depan yang dekat ini sangat tergantung pada profesionalitas TNI sebagai kekuatan utama pertahanan Indonesia. Masalah Akan tetapi, semua harapan dan idealisasi peran TNI sebagaimana dinyatakan sebelumnya tidaklah dapat dilepaskan dari sejumlah persoalan yang di hadapi Indonesia sekarang. Selain karena latar belakang peran TNI di masa lalu yang kurang mengutamakan pentingnya ancaman di bidang pertahanan, juga permasalahan sosial politik kontemporer telah mempersulit percepatan profesionalitas TNI sebagai alat pertahanan. Perkembangan lingkungan eksternal dan internal TNI telah mempersulit reformasi TNI. Berbagai fenomena perubahan politik yang sangat diwarnai oleh makin menurunnya peran Negara, telah menjadi salah satu penghambat dari perubahan peran TNI. Pergeseran lokus politik dari negara ke masyarakat, telah mengakibatkan kian beragamnya aktor perubahan di negeri ini. Bila sebelumnya negara menjadi agent of change, sekarang tidak lagi. Berkembangnya partai politik, organisasi kepentingan dan organisasi penekan telah berakibat pada dua hal. Pertama, tidak fokusnya perkembangan TNI ke depan. Ada yang berharap agar TNI lebih mengutamakan posisinya sebagai alat pertahanan semata. Namun tidak sedikit pula pikiran yang mendukung agar TNI tetap berperan seperti sebelumnya. Kedua, reformasi TNI juga tidaklah bebas dari biaya. Untuk menjadikan TNI lebih profesional, diperlukan anggaran yang tidak sedikit untuk mendukungnya. Keseluruhan biaya tersebut diperlukan untuk meningkatkan pembaharuan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI,
38
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
pengembangan sumber daya manusianya, kesiapan dan kesigapan dalam gelar pasukan (military deployment), dan tak kalah pentingnya adalah kesejahteraan anggota TNI dan keluarganya. Sedangkan, sejumlah persoalan yang menghadang peningkatan kemampuan TNI sebagai alat pertahanan ini adalah sebagai berikut: Pertama, lemahnya aturan perundangan serta doktrin yang mendasari peran TNI di bidang pertahanan, serta persepsi nasional mengenai ancaman. Memang, sudah ada beberapa aturan perundangan baru di bidang pertahanan yang dihasilkan oleh wakil rakyat di era reformasi ini. Akan tetapi, sebagaimana kita ketahui bersama, sampai sekarang masih terjadi pro dan kontra terhadap pemisahan secara tegas antara fungsi-fungsi “pertahanan” dengan “keamanan”. Yang pertama, dianggap sebagai domainnya TNI, sementara yang disebut kemudian menjadi wilayah Polri. Yang menjadi pertanyaan, adalah bagaimana halnya dengan munculnya persoalan yang terjadi di wilayah “abu-abu”. Kendati dalam aturan yang ada, baik Tap MPR, UU No 2/2002 mengenai Polri maupun UU No 3/ 2002 tentang Pertahanan Negara, telah menegaskan hal ini, namun implementasinya tidaklah begitu mudah. Khususnya dari pihak TNI, masih memerlukan payung hukum baru untuk ikut serta dalam usaha pemeliharaan keamanan di dalam negeri agar di kemudian hari tidak dihadapkan pada pelanggaran HAM. Kemudian dari sisi doktrin pun, TNI perlu melakukan berbagai perubahan, khususnya yang berkaitan dengan pergeseran dari dwifungsi menuju satu fungsi utamanya, yakni bidang pertahanan. Di samping itu, dalam doktrin lama, yakni Catur Darma Eka Karma (Cadek – 1988) TNI - yang merupakan sebuah alat negara yang berfungsi menjaga integritas wilayah Indonesia – masih melibatkan Polri di dalamnya. Dengan empat kekuatan (matra) yang dimilikinya (ketika itu masih disebut ABRI) : Angkatan Darat, Laut, Udara dan Kepolisian, TNI mengemban tugas bukan hanya di bidang pertahanan, tapi juga bidang sosial politik. Mempertahankan UUD 1945 dan Pancasila merupakan tanggungjawab utamanya. Lewat pengembangan Sistem Pertahanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) dan Wawasan Nusantara, TNI menyosialisasikan ideologi perjuangannya. Sampai sekarang, doktrin tersebut belum secara mendasar diperbaharui. Akan tetapi dengan Paradigma Baru TNI – baik Tahap Pertama maupun Keduanya - Polri sudah dipisah dari TNI, dan hanya mengurusi persoalan keamanan, sementara fungsi pertahanannya diserahkan kepada Markas Besar TNI dengan jajarannya. Dengan strategi pertahanan pada ke tiga angkatan, maka pengembangan postur kekuatan TNI diarahkan untuk mampu mengatasi ancaman yang datang dari luar.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
39
Dari sisi ideologis, doktrin lama pun tidak lagi dapat digunakan sebagai sumber legitimasi TNI di dalam menjalankan perannya sebagai alat pertahanan. Perubahan lingkungan strategis serta perkembangan tuntutan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, telah mengubah hakikat persepsi ancaman (perception of threat) nasional. Jika di masa lalu TNI senantiasa dihadapkan pada setiap anasir kekuatan yang ingin mengganggu jalannya pembangunan nasional, sekarang pemikiran ini dianggap tidak lagi sesuai dengan semangat zaman. Sebagai akibat dari kuatnya doktrin lama yang menganggap bahwa ancaman dari luar relatif lemah, telah menyebabkan konsentrasi pertahanan TNI ditujukan ke dalam. Perbedaan suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA) dipandang sebagai potensi disintegrasi bangsa. Politik TNI, antara lain, ditujukan untuk mengantisipasi setiap gerakan yang berusaha mempertajam perbedaan tersebut. Selain itu, TNI harus selalu mewaspadai kemungkinan munculnya ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Dalam kaitannya dengan itu, TNI juga memiliki “persepsi peran” yang berbeda dengan fungsi dan peran tentara di negara-negara lain, yaitu: memberi sumbangan (dharma bhakti) dalam pembangunan, turut serta mengembangkan demokrasi, meningkatkan kesejahteraan, dan ikut memelihara perdamaian dunia. Kedua, sebagai alat pertahanan negara, postur TNI masih sangat lemah. Makna postur di sini adalah gambaran mengenai sumberdaya pertahanan Indonesia yang di dalamnya mencakup struktur kekuatan TNI, sumberdaya manusia beserta latar belakang pendidikan, kemampuan dalam bidang pertahanan serta alat utama sistem pertahanannya (Alutsista) yang dimiliki TNI. Dalam kaitannya dengan struktur kekuatan dan persepsi ancaman, sekarang sudah waktunya bagi TNI untuk memberikan perhatian yang lebih serius pada pengembangan kemampuan laut dan udaranya. Akan tetapi, karena sejarah peran TNI di masa lalu yang terlalu berorientasi ke dalam, maka pemihakan terhadap kekuatan darat, jauh lebih menonjol dibandingkan terhadap pengembangan kemampuan udara dan laut. Dengan mengandalkan Sistem Pertahanan Rakyat Semestanya, fungsi pertahanan di masa lalu ditekankan pada pembinaan manusia di darat di dalam menghadapi berbagai persoalan sosial dan budaya yang mengancam integritas bangsa ini. Padahal, bila melihat kondisi geostrategis Indonesia, sudah selayaknya jika negara memberikan perhatian yang kian berarti kepada pengembangan postur kekuatan pertahanan laut dan udaranya. Namun, karena keterbatasan dana, maka pengembangan kedua kekuatan non-darat tersebut sampai sekarang masih relatif terabaikan. Mahalnya
40
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
teknologi militer untuk mendukung kemampuan pertahanan udara dan laut, di satu pihak, dan kondisi negara di pihak lain, telah memperkuat proses pengabaian tersebut. Ketiga, sebagai akibat dari rendahnya anggaran TNI baik di masa lalu, maupun di masa sekarang, pengembangan peralatan utama sistem pertahanan (alutsista) RI menjadi terhambat. Berdasarkan data resmi yang ada, anggaran sektor pertahanan kita berkisar antara 0,85 –0,95% dari PDB (Produk Domestik Brutto). Angka tersebut jelas terlalu rendah dibanding negara-negara lain sekawasan, terutama Singapura dan Malaysia. Untuk mencapai angka kebutuhan pertahanan yang wajar, mestinya negara menyediakan sekitar tiga sampai lima persen dari PDB. Hal ini semua menandakan bahwa anggaran sektor pertahanan kita masih jauh di bawah kebutuhan minimum sekali pun. Sebagai akibatnya, kemampuan TNI untuk memiliki Alutsista yang memadai juga sangat terganggu. Jangankan untuk dapat mengikuti kecenderungan revolusi teknologi perang, sekedar untuk dapat memenuhi keperluan pertahanan yang komprehensif saja, teknologi militer yang dimiliki TNI sangat ketinggalan. Sebagian besar alutsista yang dikuasai TNI adalah produk dasawarsa 1970an, dan bahkan tidak sedikit pula yang dibeli pada era 1960an. Kombinasi dari krisis ekonomi yang berkepanjangan serta embargo AS terhadap bantuan militer kepada Indonesia, telah memperlemah kesiapan kita di dalam menghadapi ancaman pertahanan mutakhir. Kesulitan di dalam bidang anggaran di atas, pada gilirannya juga memengaruhi pengembangan kualitas sumberdaya manusia Indonesia di dalam sektor pertahanan. Terutama dalam beberapa tahun terakhir ini, karena keterbatasan kemampuan finansial negara di satu pihak, dan tingkat inflasi di pihak lain, nilai riil anggaran pertahanan kita semakin merosot. Dalam kondisi di mana anggaran pertahanan hanya mampu memenuhi sekitar 20-30% dari biaya pertahanan – dan ironinya sebesar 60 –70% terserap habis untuk belanja pegawai – maka berbagai cara dilakukan oleh prajurit TNI – mulai dari pimpinan sampai ke pasukan yang paling bawah – untuk memenuhi kebutuhan mereka yang paling mendasar, yakni kesejahteraan. Seberapa besar arti dana sebanyak itu untuk memenuhi upah dan gaji anggota TNI yang berjumlah sekitar 340.000 personil.2 Dari 2
Asrenum Panglima TNI pernah membuat perhitungan mengenai kebutuhan personil guna mendukung tugas dan fungsi TNI, idealnya adalah 1% dari jumlah penduduk, ukuran wajarnya sekitar 0,5%, dan minimal, 0,25%. Lihat, makalah yang disampaikan oleh Mayjen Agus Wirahadikusumah, “Pokok-Pokok Pikiran tentang Postur TNI Memasuki Abad XXI” Seminar Postur Kekuatan Hankamneg, Sesko TNI, Bandung, 12 Mei 1999.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
41
sekitar 40% anggaran rutin, biasanya dialokasikan hanya untuk kebutuhan tersebut dan pemeliharaan sarana, mulai dari pembelian alat tulis sampai pemeliharaan bangunan dan perlengkapan lainnya. Sisanya untuk memenuhi kebutuhan pengembangan prasarana, dan itu pun sangat amat terbatas. Konon, dana tersebut hanya mampu menutupi kebutuhan yang amat minimal dan mendasar dari TNI. Jangankan untuk membeli pesawat terbang, atau panser dan kapal perang yang canggih, sekedar untuk dapat memelihara yang lama saja sudah kerepotan. Konon, untuk setiap jam terbangnya pesawat F-15, diperlukan biaya tidak kurang dari $ 5000 US. Praktis tidak sesuai dengan kebutuhan TNI untuk dapat bekerja secara profesional. Keempat, selain faktor struktural seperti di atas, yang juga tidak kalah pentingnya dalam mempengaruhi kemampuan TNI sebagai alat pertahanan adalah apa yang sering disebut sebagai kendala budaya (culture). Sejarah panjang dari pengembangan TNI di masa lalu, suka atau tidak, telah menyebabkan lahirnya budaya TNI yang lebih mengedepankan aturan legalformal dan kesetiaan kepada figur (personal rulership) ketimbang terhadap sistem dan penegakan hukum. Ditambah lagi dengan adanya sosialisasi dan internalisasi doktrin yang lebih mengutamakan peran sosial politik ketimbang peran pertahanan, prajurit TNI secara de facto lebih terdidik sebagai penjaga kekuasaan ketimbang sebagai penjaga negara (guardian of the state). Penguasa di masa lalu, seolah-olah membiarkan adanya berbagai penyalahgunaan kekuasaan di kalangan prajurit, sejauh dimaksudkan untuk memperkuat posisi penguasa politik di mata siapa pun, terutama rakyatnya. Seperti telah disebutkan di atas, kelemahan TNI dalam bidang anggaran, telah mendorong lahirnya berbagai “usaha mandiri”, baik secara institusi maupun perorangan. Setiap kesatuan memiliki yayasan yang berusaha menjalin kerjasama dengan pihak luar TNI. Sementara koperasi didirikan untuk membantu prajurit di dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Bila itu pun masih belum memenuhi kebutuhan hidup masing-masing prajurit dan keluarganya, “ngobyek” sana-sini menjadi hal yang lumrah, mulai dari jadi tukang ojek sampai makelar. Yang bisa berbisnis – secara informal – akan dapat hidup lebih dari ukuran kelayakan. Karena kontribusi konkrit atau kelihaian melobby serta kepercayaan pihak luar, tidak sedikit anggota TNI – melalui keluarganya – aktif dalam perusahaan tertentu. Sebaliknya, tidak sedikit pula yang hidup sederhana dan menggantungkan hidupnya dari imbalan yang diberikan negara. Jauh sebelum krisis ekonomi menimpa negara kita, TNI banyak terlibat dalam berbagai bisnis militer, mulai dari sektor jasa sampai produksi. Jasa keamanan, tentu yang paling menonjol untuk ditekankan. Ada keamanan
42
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
pribadi dan kelompok serta perusahaan. Ada yang langsung dan secara fisik dilakukan oleh anggota TNI, namun tidak jarang pula yang kolektif atau kelembagaan dan tidak langsung, melalui perantara, yakni dengan mendukung pembentukan semacam pengamanan swakarsa, organisasi kepemudaan yang berseragam (istilah sekarang “milisi”). Untuk sektor jasa lainnya dan produksi, biasanya berkisar pada pemenuhan kebutuhan TNI serta masyarakat di luarnya. Pada umumnya dibentuk semacam “holding company” di bawah payung Yayasan. Pembangunan rumah sakit (RSPAD, RSAL dan RS Tentara di daerah), universitas (Universitas Pembangunan Nasional, Universitas Ahmad Yani), serta bank (Arta Graha) merupakan beberapa di antaranya yang paling menonjol. Sementara itu, untuk meningkatkan skala dan diversifikasi produk, yayasan-yayasan milik TNI juga mendirikan berbagai perusahaan. Di bawah Departemen Pertahanan, kita mengenal dua yayasan, yakni Satya Bhakti Pertiwi dan Yayasan Sudirman. Untuk membantu kesejahteraan prajurit, yayasan yang disebut pertama memiliki saham di sejumlah perusahaan, misalnya: PT Yamatran (transportasi), PT Koda Jaya (jasa), PT Mina Jaya (perikanan) dan PT Undagi Wana Lestari dan Yayasan Maju Kerja yang masing-masing menguasai HPH. Akibatnya, TNI tidak bisa netral dari pemilik kapital. Ketergantungan secara struktural (structural dependence) ini mengakibatkan distorsi dalam pelaksanaan tugasnya. Di masa lalu, pemilik kapitalnya adalah Presiden Soeharto sendiri, keluarga dan kroninya. Secara institusi, TNI telah menjadi alat kekuasaan mereka. Pada tingkat individu, sebagai akibat dari “manunggalnya TNI dan Rakyat”, kontribusi dari mereka yang mampu dan membutuhkan jaminan keamanan, menjadi sebuah kewajaran. Ini semua membawa kinerja TNI untuk memihak pada penguasa (resmi dan tidak resmi), baik di pusat mau pun di daerah. Fungsi TNI yang paling menonjol (di darat), adalah mengawasi dinamika politik di sekitarnya, ikut menyelesaikan persoalan perburuhan, membuat label-label ekstrim (kiri atau kanan) atas kegiatan yang muncul dari “bawah”. Sebagai akibatnya, betapa pun besarnya perhatian negara terhadap pendidikan tentara, pada akhirnya tergusur oleh pertimbangan-pertimbangan pragmatis seperti di atas. Kelima, organisasi militer juga tidak diarahkan pada upaya yang mendukung kinerja TNI di bidang pertahanan. Karena posisi TNI di masa lalu sangat bias kekuasaan, maka pengorganisasiannya sangat ditentukan oleh lembaga yang sangat berkuasa di tingkat Markas Besar. Sebagai akibat dari Doktrin TNI dan digunakannya TNI sebagai alat kekuasaan di masa Presiden Soeharto, terjadilah kooptasi prajurit secara kasat mata. Untuk
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
43
menjaga kewibawaan dan kesinambungan pimpinan nasional saat itu, ditempatkanlah perwira tinggi yang dapat dipercaya oleh Presiden untuk mengendalikan TNI. Dengan demikian, meski pun Markas Besar TNI merupakan sebuah lembaga yang sangat powerful, tapi kekuasaannya di bawah kendali Presiden Soeharto. Dengan demikian, kriteria loyalitas kepada pimpinan, jauh lebih penting di dalam mengembangkan pola rekrutmen Pimpinan TNI ketimbang kapasitas profesional sebagai prajurit. Pada gilirannya, masing-masing satuan angkatan dalam TNI, kalah wewenang dan gengsi dibandingkan Markas Besarnya. Padahal, jika mau ideal, semestinya pengembangan instrumen kekuatan diserahkan kepada kekhasan masing-masing angkatan. Sebagai bentuk yang terintegrasi kemampuan pertahanan TNI harus dikembangkan, namun kepada masing-masing angkatan diberi ruang untuk memikirkan kekhasannya sendiri. Tapi, menurut Doktrin TNI, perlu ada salah satu kekuatan yang diutamakan. Di sana tidak disebutkan secara eksplisit, siapa, namun diperkirakan yang dimaksudkannya adalah TNI Angkatan Darat. Lewat lembaga teritorialnya, TNI AD memasuki wilayah sosial politik, mulai dari tingkat desa sampai tingkat nasional. Para perwiranya memimpin fungsi teritorial tersebut. Meski istilah militer bukan semata-mata milik TNI AD, dalam praktek, seluruh kekuatan teritorial dipegang oleh prajurit AD, mulai dari Bintara Pembina Desa (Babinsa) sampai Panglima Komando Daerah Militer (KODAM). Demikian juga pos-pos strategis lain di jajaran Departemen Pertahanan dan Keamanan, di masa lalu, senantiasa diprioritaskan untuk perwira TNI AD. Patut disayangkan, bahwa selain adanya pemihakan terhadap salah satu angkatan seperti diatas, faktor lain yang mempengaruhi kurang optimalnya pengembangan kekuatan TNI adalah “dibiarkannya” penyimpangan penggunaan anggaran pertahanan. Demi menjaga loyalitas bawahan terhadap atasan, di satu pihak, dan politik stabilitas Orde Baru di pihak lain, penyimpangan penggunaan anggaran seolah-olah dibiarkan. Bahkan, karena terbatasnya kemampuan negara di dalam menyediankan anggaran yang diperlukan untuk menciptakan kesejahteraan prajurit, negara seolah-olah tidak acuh terhadap penyalahgunaan wewenang yang dimiliki oleh anggota TNI. Munculnya berbagai kegiatan prajurit dalam mencari penghasilan tambahan, baik secara kelembagaan maupun perorangan, telah ikut pula menurunkan profesionalitas mereka sebagai alat negara di bidang pertahanan. Yang terjadi kemudian adalah berkembangnya sikap kurang bertanggungjawab terhadap Sumpah Prajurit dan Sapta Marga, yang seharusnya dijunjung tinggi oleh setiap prajurit TNI.
44
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Untuk TNI AD, mungkin agak berbeda masalahnya. Profesionalisme prajurit berlainan antara tataran pasukan dengan staf. Di tingkat pasukan dipusatkan pada pemeliharaan fungsi tradisional yakni pertahanan. Gelar pasukan di TNI AD, mulai dari Kompi sampai Divisi. Kemudian ada pasukan khusus TNI, seperti Kopasus untuk TNI-AD, Kopaskhas untuk TNI-AU, Marinir untuk TNI- AL. Di masa lalu, sayangnya, pasukan tersebut seolah-olah hanya sekedar instrumen politik. Artinya, pergerakannya ditentukan oleh pertimbangan mereka yang memiliki kekuasaan politik. Sebagai akibatnya, selain kurang bergengsi, ada keterbatasan karier bagi mereka yang berada di pasukan. Tenaga-tenaga terbaiknya, akan disuruh melanjutkan pendidikan sebagai prasyarat untuk dapat promosi. Dalam pendidikan tersebut, materi pendidikan yang berorientasi jabatan lebih ditekankan ketimbang materi yang diperlukan untuk pengembangan pasukannya. Tentu saja, promosi jabatan akan lebih menarik, selain memberi kesempatan untuk naik pangkat, juga peningkatan akses dan “rezeki”. Oleh karena itu tidak terlalu mengherankan jika pada tingkat ini mulai terjadi semacam “mobilitas sosial” baik secara vertikal maupun horizontal. Prospek Di bidang doktrin dan organisasi, dimensi pertahanan harus lebih diprioritaskan ketimbang dimensi sosial politiknya. Untuk itu, keperluan bagi TNI untuk mendapatkan aturan perundangan, doktrin dan organisasi yang baru telah menjadi sebuah keharusan. Bila TNI sungguh-sungguh ingin mengembangkan fungsinya sebagai penjaga negara, maka sudah seharusnya negara memberi peluang yang lebih besar kepada TNI untuk memusatkan usahanya pada peningkatan profesionalitas dalam berbagai segi. Dalam bidang politik, misalnya, TNI harus bertahap mengurangi keterlibatannya secara praktis. Ini semua akan sangat bermanfaat untuk menghilangkan fragmentasi kekuatan di dalam tubuh TNI serta loyalitas yang kian optimal terhadap negara, bukan penguasa politik. Doktrin pertahanan TNI, baik ditingkat pusat mau pun masing-masing angkatan sudah seharusnya direvisi, dan diarahkan secara lebih akuntabel dan profesional. Dalam kaitannya dengan sumberdaya manusia, baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya perlu dikembangkan secara lebih memadai. Pendidikan, pelatihan dan kesejahteraan prajurit sudah semestinya diarahkan pada upaya meningkatkan kemampuan mereka sebagai bayangkara negara. Tanpa didukung oleh alokasi anggaran yang memadai, maka sulit diharapkan
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
45
akan lahirnya prajurit TNI yang profesional. Sebaliknya, sebagaimana berlaku selama ini, karena adanya sumber dana dari tempat lain, di luar negara, maka tidak berlebihan bila kemudian kesetiaan dan dedikasi prajurit TNI tercemar oleh kepentingan pihak lain tersebut. Sementara alutsistanya juga harus mendapatkan perhatian yang optimal dari negara. Sebagai akibat dari lemahnya dukungan anggaran negara serta embargo AS terhadap pembelian alat pertahanan kita, kondisi alutsista Indonesia sekarang sangat memperihatinkan. Dalam kaitannya dengan persoalan ini, selain berusaha membangun kembali diplomasi bantuan pertahanan dengan AS, pemerintah hendaknya mencari pasar alternatif, serta mendorong DPR untuk meningkatkan belanja pertahanan RI. Tanpa adanya usul-usul konkrit dalam bidang ini, barangkali agak mustahil bagi Indonesia untuk menampilkan kemampuan pertahanannya sebagai negara yang patut diperhitungkan di kawasan ini. Dua pemikiran yang dikemukakan terakhir di atas, nampaknya sangat erat kaitannya dengan kelemahan anggaran pertahanan Indonesia. Dengan alokasi anggaran yang jauh dari cukup, nampaknya sulit bagi Indonesia untuk mewujudkan tentara dan gelar pasukan yang sungguh-sungguh profesional. Terutama bila pengembangan pertahanan itu ditujukan pada matra udara dan laut, maka kata kuncinya adalah seberapa besar negara mampu memberikan dana untuk mendukung revolusi teknologi di bidang dirgantara dan kelautan. Tanpa adanya usaha-usaha yang rasional, konkrit dan di dasarkan pada perkiraan-perkiraan kompetensi pasukan, barangkali hanya mimpi saja jika kita menuntut banyak dari peningkatan kemampuan pertahanan laut dan udara Indonesia.
46
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Sewindu Realisasi Otonomi Daerah: Evaluasi Kritis atas Capaian dan Tantangan R. Siti Zuhro Sewindu sudah realisasi otonomi daerah. Apa yang telah dicapai dan apa yang belum menjadi catatan penting sejarah otonomi daerah di Indonesia. Apa yang dicapai akan menjadi tonggak penting bagi daerah. Sebaliknya, apa yang belum tercapai akan menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Menariknya, selama periode 2001-2008 telah diterapkan dua UU yang berbeda, yang secara esensial keduanya berbeda pula dalam merumuskan kewenangan daerah. UU 22/1999 lebih mengedepankan makna kewenangan ketimbang UU 32/2004 (mengenai Pemerintahan Daerah) yang condong pada penggunaan istilah urusan. Demikian pula peran DPRD lebih menonjol di bawah UU 22/1999 ketimbang UU 32/ 2004. Sulit dipungkiri bahwa UU 32/2004 cenderung menarik kembali kewenangan ke pusat, sehingga nuansanya lebih mengembalikan kekuasaan ke pusat ketimbang memberikan kewenangan riil kepada daerah. Oleh karena itu, atas desakan rakyat yang menginginkan perbaikan terhadap beberapa isu seperti peraturan pilkada langsung, perbaikan pelayanan publik, peningkatan partisipasi masyararakat dan pemberdayaan DPRD, maka UU 32/2004 direvisi oleh Depdagri. Meskipun hasil revisi belum tuntas, jelas kiranya bahwa semangat yang menggelora baik di Depdagri maupun kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat mengharapkan agar UU otonomi daerah bisa memuaskan semua pihak, tak hanya membuat pemerintah pusat happy tapi juga daerah.
Latar Belakang Masalah Telah banyak kajian mengenai otonomi daerah, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun institusi non-pemerintah. Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa tak sedikit kendala yang dihadapi daerah dalam melaksanakan otonomi.1 Dari perspektif daerah, ada beberapa 1
Lihat antara lain R. Siti Zuhro et al, Konflik dan Kerjasama AntarDaerah: Studi Kasus Pengelolaan Kewenangan di Jawa Timur, Kalimantan Timur dan Bangka Belitung, Jakarta: LIPI. Proyek Pengembangan Riset Kompetitif Program Isu LIPI, 2004; dan R. Siti Zuhro et al, Menata Kewenangan Pusat-Daerah yang AplikatifDemokratis, Jakarta: LIPI. Proyek Pengembangan Riset Kompetitif Program Isu LIPI, 2005.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
47
permasalahan penting yang dihadapinya dalam merealisasikan otonomi, yaitu: (a) Pemerintah Pusat dinilai tidak konsisten dalam melaksanakan kebijakan otonomi daerah. Sikap ini dapat dilihat baik di tataran kebijakan, tataran wacana para pejabat pemerintahan, dan tataran implementasi. Di satu sisi, ada janji-janji pemerintah untuk mewujudkan otonomi seluas-luasnya, namun di sisi lain, pemerintah berusaha melakukan resentralisasi (menarik kembali desentralisasi) melalui paket-paket aturan pelaksanaannya. Inkonsistensi implementasi kebijakan ini juga tercermin dari beberapa peraturan pemerintah (PP) yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 (tentang Pemerintahan Daerah), yang bertentangan dengan UU itu sendiri. Lebih dari itu, beberapa PP yang ada untuk mengoperasionalkan kebijakan otonomi daerah juga belum lengkap. Pemerintah Pusat belum siap atau ‘enggan’ membuat seluruh PP yang diperlukan untuk operasionalisasi kebijakan otonomi daerah; (b) Persepsi sepihak daerah tentang kewenangannya yang acapkali lebih mementingkan kepentingan daerahnya sendiri tanpa mempertimbangkan secara sungguh-sungguh manfaatnya dalam konteks yang lebih luas (baik regional maupun nasional). (c) Pengelolaan hubungan kewenangan daerah dan antardaerah cukup rumit. Munculnya konflik atau benturan kepentingan antardaerah terjadi baik di daerah yang kaya sumber daya alam:SDA (Nunukan), daerah baru hasil pemekaran (Bangka), maupun daerah yang kaya sumber daya ekonomi:SDE (Malang). Sementara itu, kerjasama antardaerah belum menjadi tema penting di kalangan pimpinan daerah, sehingga kerjasama yang terbentuk masih sangat minim. Bahkan, ada kesan kuat bahwa kerjasama antardaerah bukan merupakan suatu keharusan bagi daerah. (d) Kuatnya tarik-menarik kewenangan atas nama SDA, SDE, sumber daya manusia (SDM) dan kelembagaan, terutama disebabkan oleh tumpang tindih atau ketidakjelasan kewenangan antara Pemerintah Pusat (Pempus), Pemerintah Provinsi (Pemprov), dan Pemerintah Daerah (Pemda). Kendala ini juga disebabkan kurang adanya political will dan political commitment dari Pempus dan juga kurangnya inisiatif daerah untuk melakukan kerjasama antardaerah karena kuatnya egoisme daerah, kurang tegasnya peraturan yang ada yang mensyaratkan kerjasama antardaerah. Dan mungkin di atas semuanya, sangat lemahnya sistem/mekanisme pengawasan serta law
48
(e) (f)
(g) (h)
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
enforcement di samping tahapan/pelaksanaan kebijakan dan/atau rangkaian distorsi dan manipulasi jenjang kewenangan itu. Banyaknya tabrakan wewenang antardinas, lembaga pemerintah, perundang-undangan, dan peraturan daerah (Perda). Kuatnya dominasi kalangan pengusaha yang mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan kemaslahatan umum maupun kesehatan lingkungan. Obsesi penguasaan sumber-sumber daya ekonomi dan sumber-sumber daya alam di ketiga jenjang pemerintahan (Pempus, Pemprov, Pemda). Tiadanya persambungan antara pelbagai kepentingan masyarakat luas dan dominasi pelbagai kepentingan sempit para pejabat di ketiga jenjang pemerintahan.
Rangkaian implikasi negatif pengelolaan hubungan kewenangan pusatdaerah antardaerah itu menghambat proses otonomi daerah. Hal ini menyimpang dari tujuan otonomi daerah, yakni untuk memberikan pelayanan yang prima dan mensejahterakan rakyat. Otonomi daerah direspons secara positif oleh elit politik lokal, dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan pribadi/kelompok mereka semata. Sementara itu, rakyat kurang merespons kebijakan otonomi daerah, dan mereka cenderung sebagai sasaran eksploitasi darinya. Sumber konflik atau sengketa yang muncul antardaerah yang pada dasarnya bertolak dari tarik-menarik masalah resources itu, tidaklah mudah dicarikan penyelesaiannya, karena banyak pihak atau aktor yang terlibat dalam konflik kepentingan tersebut. Hasil temuan penelitian tahun kedua (2004) menunjukkan bahwa pengusaha, elit birokrat dan beberapa anggota dewan lokal, beberapa individu aparat serta aktor pusat (pengusaha dan elit birokrat) ikut terlibat dalam konflik yang terjadi di daerah. Salah satu contoh paling jelas keterlibatan mereka ini tampak dalam kasus penambangan timah liar (TI) di Bangka dan illegal logging di Nunukan. Munculnya konflik kepentingan di daerah juga menunjukkan kurang memadainya pengelolaan kewenangan daerah dan antardaerah. Banyaknya kendala, distorsi, dan manipulasi yang dihadapi daerah dalam mengelola kewenangannya itu, mensyaratkan ditingkatkannya political will, political commitment dan law enforcement masing-masing pimpinan daerah untuk saling terbuka, sama-sama akuntabel, dan membahas bersama permasalahan yang sedang dihadapi daerahnya. Diperlukan integrasi program antara provinsi-kabupaten/kota agar lebih selaras untuk mencapai kesejahteraan bersama. Antara gubernur dan bupati/walikota juga bisa
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
49
membangun kerjasama, sehingga upaya pertumbuhan wilayah akan makin efektif. Hal ini penting dilakukan, karena tanpa kerjasama intradaerah dan antardaerah sulit bagi daerah membangun diri secara maksimal. Lepas dari itu, dari rangkaian momen-momen transisi sejak pertengahan tahun 1998, Indonesia saat ini sedang mengalami transisi dari UU No. 22 Tahun 1999 ke UU No. 32 Tahun 2004 (tentang Pemerintahan Daerah). Transisi ini tentunya tidaklah mudah bagi daerah. Ini juga dapat dimaknai sebagai suatu perubahan yang ekstrim: dari UU No. 22 Tahun 1999 yang dinilai sarat dengan aroma federasi, ke UU No. 32 Tahun 2004 yang dinilai sarat dengan upaya resentralisasi.2 Sulit dipungkiri bahwa UU Pemerintahan Daerah yang baru ini memperkuat kembali peran pemerintah pusat dan provinsi atas kabupaten/kota. Salah satu indikator konkret dari upaya resentralisasi tersebut adalah penarikan istilah kewenangan dan digunakannya istilah urusan dalam UU No.32 Tahun 2004. Dua istilah ini (kewenangan dan urusan) tentunya memiliki makna yang berbeda dan merujuk pada tujuan yang berbeda pula. Sebagaimana akan diuraikan dalam kerangka pemikiran tentang esensi kewenangan di bawah, kewenangan menjadi esensi dari desentralisasi dan otonomi daerah. Diubahnya istilah dari kewenangan menjadi urusan juga mengindikasikan tiada lagi ”otonomi seluas-luasnya” sebagaimana tertera dalam UU tersebut. Karena istilah otonomi seluas-luasnya tak lebih dari jargon kosong untuk mengelabui daerah. Hal ini sebenarnya akan ”menyesatkan” pemahaman daerah tentang desentralisasi dan otonomi daerah. Karena daerah senantiasa dibingungkan oleh penggunaan jargon yang digunakan para perumus UU Pemerintahan Daerah yang tujuannya hanya untuk membuat kesan bagus, dan bukannya sungguh-sungguh untuk membenahi pemerintahan daerah agar berjalan demokratis dan mampu melayani masyarakat lokal. Dalam UU 32/2004, urusan yang ditangani oleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib artinya wajib dilakukan oleh pemerintahan daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Ada 16 ”urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi”3 dan 16 ”urusan wajib 2
3
Di satu sisi ada upaya resentralisasi cukup kuat, di sisi lain ada upaya mencitrakan bahwa UU yang baru ini bernuansa otonomi yang demokratis, yaitu melalui kebijakan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung. (1) Perencanaan dan pengendalian pembangunan; (2) Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; (3) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; (4) Penyediaan sarana dan prasarana umum; (5) Penanganan bidang kesehatan; (6) Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi Sumber daya manusia potensial;
50
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota 4. Sedangkan urusan pilihan ”meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan” [pasal 13 (2) dan pasal 14 (2)] UU 32/2004. Namun, istilah urusan wajib dan urusan pilihan dalam realisasinya sangat membingungkan daerah, karena klasifikasi urusan pilihan acapkali kabur dengan urusan wajib. Pertanyaannya, sanksi apakah yang akan dikenakan pusat kepada daerah bila urusan pilihan tak dijalankan. Apakah lantas hal itu diabaikan saja, atau ada sanksi khusus seperti pengambilalihan urusan pilihan oleh pusat karena daerah dinilai tak mampu atau lalai. Lebih dari itu, digunakannya istilah ”urusan wajib yang menjadi kewenangan” daerah menunjukkan bahwa daerah menjadi tugas pembantuan yang mendapat tugas dari pemerintah pusat. Dalam kaitan ini, pemerintah pusat lebih condong menerapkan desentralisasi administratif ketimbang desentralisasi politik. Artinya nasib otonomi daerah kembali ke era sebelum diterapkannya UU 22/ 1999, di mana pendekatan administratif dan sektoral relatif dikedepankan. Hasil rumusan yang tertera dalam UU 32/2004 tidak dapat dilepaskan dari peran Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang dalam proses perumusan sampai terbentuknya UU tersebut mereka terlibat langsung. Proses pergantian UU Pemerintahan Daerah ini, dan proses pembuatan PP yang banyak ditangani oleh Depdagri,
4
(7) Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; (8) Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; (9) Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; (10) Pengendalian lingkungan hidup; (11) Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; (12) Pelayanan kependudukan dan catatan sipil; (13) Pelayanan administrasi umum pemerintahan; (14) Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; (15) Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan kabupaten/ kota; (16) Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundanganundangan. (1) Perencanaan dan pengendalian pembangunan; (2) Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; (3) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; (4) Penyediaan sarana dan prasarana umum; (5) Penanganan bidang kesehatan; (6) Penyelenggaraan pendidikan; (7) Penanggulangan masalah sosial; (8) Pelayanan bidang ketenagakerjaan; (9) Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; (10) Pengendalian lingkungan hidup; (11) Pelayanan pertanahan; (12) Pelayanan kependudukan dan catatan sipil; (13) Pelayanan administrasi umum pemerintahan; (14) Pelayanan administrasi penanaman modal; (15) Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; (16) Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang undangan.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
51
menyebabkan Depdagri menjadi sorotan masyarakat. Meskipun peran Depdagri berbeda dengan perannya di bawah era Orde Baru, dalam realitanya peran Depdagri masih relatif besar dalam merumuskan otonomi daerah. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa dalam proses perumusan rancangan UU Pemerintahan Daerah, misalnya, Depdagri kurang mengakomodasi aspirasi masyarakat? Hal ini sangat menarik untuk dikaji lebih jauh, khususnya dalam memahami otonomi daerah di Indonesia dan perubahan perundang-undangan atau peraturan yang dibuat oleh Depdagri dewasa ini. Dari beberapa uraian di atas, urgensi untuk merevisi UU 32/2004 semakin dirasakan. Penataan kewenangan pusat-daerah yang aplikatifdemokratis penting dilakukan setelah mengkaji secara seksama permasalahan pengelolaan kewenangan daerah dan antardaerah baik dilihat dari sisi peluang, kendala maupun konflik dan kerjasama di ketiga daerah penelitian (Jatim, Bangka Belitung, Kalimantan Timur). Target utamanya adalah untuk memberikan payung hukum yang cukup kepada daerah dalam melaksanakan otonomi daerah. Artinya, UU tentang otonomi daerah hasil revtak hanya memberikan kepuasan kepada pemerintah pusat, tapi juga pemerintah daerah. Permasalahan Terwujudnya pembagian kewenangan pusat-daerah dan antardaerah dalam mendorong proses otonomi adalah penting dan relevan untuk dilakukan karena tiga hal. Pertama, setelah delapan tahun implementasi otonomi daerah, harapan akan terwujudnya masyarakat lokal yang sejahtera dan mendapatkan pelayanan yang prima masih jauh dari harapan. Kedua, banyaknya kendala yang dihadapi dalam melaksanakan otonomi daerah, khususnya masalah kewenangan, mensyaratkan dilakukannya evaluasi terhadap implementasi otonomi daerah, dan sekaligus perlu diupayakan suatu penataan kewenangan antara pusat-daerah yang lebih demokratis, yang didasarkan atas pluralitas lokal (Zuhro et al, 2004). Upaya ini tampaknya masih belum banyak mendapat perhatian khusus dari kalangan intelektual dan bahkan tulisan yang menyoroti secara spesifik tentang topik ini bisa dikatakan masih sedikit sekali. Ketiga, dari sisi kebijakan, revisi UU 32/2004 menjadi sangat penting, khususnya untuk merespons tuntutan masyarakat yang menghendaki agar peraturan tentang pilkada dikeluarkan dari UU tersebut dan sekaligus merespon calon perorangan dalam pilkada. Demikian juga dengan peraturan mengenai desa, banyak kalangan yang menginginkan agar ada UU tersendiri tentang desa. Secara umum,
52
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
masyarakat menghendaki agar hasil revisi UU 32/2004 lebih aspiratif dan akomodatif yang bisa menterjemahkan pelayanan publik dan partisipasi masyarakat dalam pasal-pasalnya. Kerangka Pemikiran Meskipun gerakan reformasi 1998 dinilai tidak maksimal dalam membawa perubahan di berbagai bidang seperti ekonomi, politik, sosial dan hukum, sekurang-kurangnya gerakan ini telah meningkatkan partisipasi masyarakat. Seiring dengan itu, berkembangnya kekuatan sosial dalam masyarat yang menjadi pendorong partisipasi dan pluralisme, mempengaruhi hubungan negara dan masyarakat (state-society). Khususnya dalam hal interaksi antarkeduanya yang relatif meningkat: tidak lagi satu arah, tapi cenderung dua arah (Budiman, 2002). Meskipun perubahannya belum substansial, “dominasi peran pemerintah pusat dalam perumusan kebijakan desentralisasi relatif mulai berkurang… sebaliknya peran pemerintah daerah mulai diperhitungkan” (Hidayat, 2003:56). Dengan kata lain, barometer politik Indonesia dewasa ini tidak hanya tergantung pada Jakarta, tapi juga perkembangan politik di daerah (Zuhro, 2005:38). Hal tersebut mengindikasikan dengan jelas bahwa kebangkitan politik lokal ikut mewarnai politik nasional. Kebangkitan politik lokal ini juga mencerminkan menguatnya kewenangan yang dimiliki daerah, khususnya kabupaten/kota. Daerah, bahkan, bisa memberikan pressure kepada pemerintah pusat agar tuntutannya dikabulkan. Hal ini tentunya tidak pernah terjadi di era Orde Barunya Soeharto yang sangat represif itu. Ini juga merupakan proses kemajuan pola interaksi antara negara dan masyarakat, meskipun belum dalam bentuknya yang komplit sebagaimana yang terdapat di negara demokrasi.5 Terbukanya politik di Indonesia sejak 1998 memungkinkan berkembangnya demokrasi lokal, dimana nilai-nilai demokrasi dan keragaman masyarakat lokal mendapatkan tempat yang lebih memadai. Seiring dengan itu, daerah otonom memiliki hak dan keleluasaan untuk menyampaikan aspirasinya. Secara teoretik, otonomi daerah berjalan seiring dengan demokrasi lokal, dimana otonomi dimiliki pula oleh kelompok masyarakat yang mendiami suatu wilayah tertentu dalam suatu wilayah negara. 5
Peran masyarakat di era transisi lebih banyak diwakili oleh elit massa. Oleh karena itu, interaksi antara negara dan masyarakat dalam konteks desentralisasi cenderung mengambil bentuk pola interaksi antara elit penguasa dan dan elit massa (Hidayat, 2003:59).
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
53
Desentralisasi dan otonomi daerah akan berpengaruh terhadap terciptanya political variety dan structural variety sesuai dengan karakteristik lokal. Hal ini sebagai konsekuensi logis berkembangnya keleluasaan atau kemandirian daerah dalam era otonomi. Semakin terbuka politik lokal, akan semakin besar pula pengaruhnya terhadap perubahan peta kekuatan politik lokal. Pola hubungan kekuasaan antardaerah otonom tidak bersifat hierarkis. Sementara itu, pola hubungan antara pusat dan daerah mencerminkan hubungan antarorganisasi, bukan intra organisasi sebagaimana yang ditunjukkan dalam penyelenggaraan dekonsentrasi. Otonomi daerah dilaksanakan oleh institusi pemerintahan daerah yang merepresentasikan aspirasi dan kepentingan lokal yang terpisah dari institusi pemerintah pusat. Otonomi daerah juga dimaksudkan untuk menerapkan prinsip-prinsip good governance dan menciptakan struktur birokrasi yang ramping yang menekankan mission driven dan bukannya rules driven. Berkaitan dengan konteks kewenangan yang dimiliki daerah, penyelenggaraan otonomi daerah mensyaratkan pengawasan pusat yang bersifat tidak langsung dan tidak mematikan aspirasi dan prakarsa masyarakat dan pemerintah daerah, di mana realisasi otonomi daerah dan pengawasan bersifat simultan. Ada dua elemen penting yang mendasari realisasi desentralisasi yaitu penciptaan daerah otonom dan dilaksanakannya penyerahan kekuasaan (kewenangan) secara legal dari pemerintah pusat ke daerah. UU No. 22 Tahun 1999 menegaskan bahwa penyerahan kewenangan yang dilaksanakan dirumuskan secara umum. Artinya, daerah otonom memiliki kewenangan mengemban fungsi yang berada di luar kompetensi pemerintah pusat, seperti yang diatur dalam pasal 7 UU No. 22 Tahun 1999. Ketentuan tersebut bukan berarti berbagai fungsi pemerintahan yang tidak dirinci secara eksplisit dalam pasal 7 tersebut secara otomatis dilaksanakan berdasarkan kaidah desentralisasi oleh pemerintah provininsi sebagai daerah otonom maupun daerah kabupaten/kota mencakup seluruh bidang pemerintahan kecuali diatur dalam pasal 11 (a): ”kewenangan kabupaten/ kota mencakup seluruh bidang pemerintahan kecuali yang diatur dalam pasal 7 dan 9”, serta pasal 11 (b): ”bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan kabupaten/kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan dan tenaga kerja”. Berdasarkan UU No.22 Tahun 1999, penyelenggaraan fungsi pemerintahan tidak sepenuhnya menerapkan sistem desentralisasi, tapi juga
54
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
menerapkan asas dekonstrasi dan tugas pembantuan. Sebagai daerah otonom, provinsi memiliki kewenangan dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/kota serta menangani fungsi pemerintahan yang belum dapat ditangani oleh kabupaten/kota, seperti yang diatur dalam pasal 9. Selain itu, provinsi juga merupakan wilayah administratif sebagai konsekuensi dari penerapan dekonsentrasi, seperti diatur dalam pasal 9 (c) di mana kewenangan provinisi sebagai wilayah administratif meliputi kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah. Hal tersebut menunjukkan bahwa status provinsi dilematis: antara administratif dan otonom, dimana peran ganda gubernur berdasarkan UU tersebut cenderung menganut integrated perfectoral system. Ada beberapa alasan yang melandasi kecenderungan sistem tersebut, pertama, untuk memelihara hubungan yang harmonis antara pusat-daerah dalam konteks NKRI; kedua, melaksanakan kewenangan yang bersifat lintas kabupaten/kota; ketiga, menyelenggarakan kewenangan yang dilimpahkan secara dekonsentrasi. Baik secara teoretik maupun praksis, tidak ada satu pun negara yang menjalankan secara penuh desentralisasi dan sentralisasi, melainkan mengombinasikan antara asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan ke arah desentralisasi dan sentralisasi ditentukan oleh sistem pemerintahan yang diberlakukan di suatu negara. Namun, yang jelas bahwa model demokrasi lokal yang digunakan dalam pendekatan politik akan memberikan peluang yang besar bagi dihormatinya keragaman lokal dan kemandirian lokal. Rumusan desentralisasi yang didasarkan atas demokrasi menegaskan bahwa daerah perlu memiliki kekuasaan dan stakeholders perlu berperan serta dalam pengambilan keputusan. Penyerahan kewenangan untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan kepada daerah, baik yang berlandaskan desentralisasi, dekonsentrasi maupun tugas pembantuan menuntut pengaturan yang jelas sehingga tidak terjadi overlapping dan konflik dalam penyelenggaraannya antara jenjang pemerintahan (Pempus, Pemprov, Pemkab./Pemkot). Meskipun daerah otonom tidak bersifat hierarkis, urusan pemerintahan yang menjadi otonomi daerah otonom pada dasarnya juga menjadi perhatian kepentingan pusat. Untuk itu, diperlukan sinkronisasi dan sinergi dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan. Dengan kata lain, perlu penyesuaian antara fungsi pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom dengan kewenangan yang dimiliki oleh departemen sektoral di pusat.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
55
Sebagaimana dinyatakan dalam hasil penelitian IPSK LIPI tahun 2004, UU No.22 Tahun 2004 tidak mengatur secara tegas masalah kewenangan di antara jenjang pemerintahan berkaitan dengan desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Padahal esensi kewenangan yang dimiliki daerah otonom pada dasarnya diarahkan untuk melayani kebutuhan masyarakat lokal. Kebutuhan ini menyangkut kebutuhan dasar seperti air, kesehatan, pendidikan, dll, dan kebutuhan yang menjadi sektor unggulan daerah masing-masing. Fungsi daerah otonom, terutama kabupaten dan kota sebagaimana diatur dalam pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999 tidak mencerminkan pembagian kebutuhan masyarakat lokal. Sebaliknya, yang terjadi adalah penyeragaman model otonomi daerah untuk semua daerah dan mengabaikan keragaman dan karakteristik yang dimiliki masing-masing daerah. Lebih dari itu, distribusi kewenangan untuk jenjang pemerintahan (Pempus, Pemprov, Pemkab/Pemkot) tidak memberikan kriteria yang jelas dan tegas, seperti: eksternalitas, ekonomi skala, efisiensi dan akuntabilitas. Ketidakjelasan dan ketidaktegasan dalam distribusi kewenangan antara jenjang pemerintahan (Pempus, Pemprov, Pemkab./Pemkot) tersebut memunculkan konflik kewenangan yang melibatkan ketiga jenjang pemerintahan ini. Selain itu, penyeragaman penyerahan kewenangan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar dan sektor unggulan memunculkan beberapa masalah: pertama, distribusi kewenangan (menurut pasal 11 UU No.22 tahun 1999) tidak membagi secara jelas fungsi pemerintahan apa yang dapat memenuhi kebutuhan dasar masyarakat lokal dan yang merupakan sektor unggulan. Kelemahan mendasar pasal 11 tersebut adalah menafikan keragaman dan karakteristik masing-daerah daerah dan mewajibkan daerah untuk melaksanakan bidang pemerintahan yang sudah digariskan tersebut tanpa mempertimbangkan kesiapan, potensi dan keragaman daerah. Kedua, konflik dalam pengelolaan sumber daya alam antara pemerintah daerah (yang mengacu pada pasal 10) dengan instansi departemen sektoral (misalnya BUMN:Badan Usaha Milik Negara). Sebagai contoh, konflik antara Perum Perhutani (yang memiliki kewenangan untuk pengurusan hutan lindung dan hutan produksi) dengan pemerintah provinsi yang juga memiliki kewenangan bidang kehutanan. Ketiga, benturan antara pasal 4 PP No.25 Tahun 2000 dengan kewenangan Pemprov pasal 7, 9 dan 11 UU No. 22 Tahun 1999 kewenangan kabupaten/kota menyebabkan Pemprov sulit melaksanakan kewenangan secara maksimal. Adalah jelas bahwa UU No.22 Tahun 1999 meletakkan desentralisasi politik sebagai tujuan. Daerah kabupaten/kota menjadi unit desentralisasi yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus. Berbeda dengan
56
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
UU No.22 tahun 1999, UU No.32 Tahun 2004 lebih diarahkan ke desentralisasi adminsitratif. Kewenangan6 daerah tidak menjadi isu pokok dalam rumusan UU baru ini, tapi penekanan pada urusan yang menjadi kewajiban masing-masing jenjang pemerintah (Pempus, Pemprov, Pemkab./ Pemkot) cukup menonjol. Pasal 10 (2) UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa “dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluasluasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi7 dan pembantuan8”. Salah satu esensi penting dari terselenggaranya otonomi daerah adalah maksimalisasi urusan yang diberikan pemerintah kepada daerah. Dalam hal urusan ini, disebutkan selain ada urusan wajib (sebagaimana diuraikan sebelumnya) juga ada urusan pilihan. Menurut pasal 14 (2) ”urusan pemerintahan kabupaten/ kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan”. Meskipun di satu sisi ada perhatian khusus terhadap keragaman dan kekhasan lokal, dan potensi daerah, tak urung urusan pilihan ini menimbulkan kebingungan pula. Masalahnya, urusan pilihan acapkali kabur dengan makna urusan wajib. Hal ini, bahkan, menjadi perdebatan alot dalam proses pembuatan peraturan pemerintah (PP) tentang urusan di Departemen Dalam Negeri karena masih kaburnya pengelompokan urusan pilihan yang acapkali bisa digolongkan pula menjadi urusan wajib. Istilah ”urusan wajib” dan ”urusan pilihan” ini bisa jadi membingungkan daerah karena pihak perumus UU pemerintahan daerah tampaknya masih belum ”pasti” ketika dikaitkan dengan contoh konkret bidang sektoral. Hal semacam ini tidak semestinya muncul ketika UU yang baru tentang pemerintahan daerah disahkan, PP-nya belum ada.9 6
7
8
9
Yang dimaksudkan dengan kewenangan dalam tulisan ini adalah kekuasaan membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989:1011). Kewenangan merujuk pada hak dan kekuasaan untuk menentukan atau mengambil kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Menurut rumusan UU No.32 Tahun 2004 otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Pemerintah (Depdagri) terlalu lama mengeluarkan PP yang mengatur tentang urusan (PP 38/2007), sehingga daerah mencari rujukan dan akhirnya mereka merujuk pada PP lama.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
57
Lepas dari itu, kerangka konseptual yang dibangun atau asumsi dasar yang perlu ditekankan adalah bahwa pengelolaan kewenangan menjadi bagian integral dari otonomi daerah dan merupakan salah satu penentu terpenting bagi sukses tidaknya implementasi otonomi yang berlangsung sejak Januari 2001 (King, 2002:2-3). Masalah pengelolaan kewenangan ini sangat krusial dan menjadi tolok ukur penting bagi aktivitas otonomi, khususnya bila dikaitkan dengan pengelolaan kewenangan SDA, SDE, SDM dan kelembagaan. Pengalaman pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia menunjukkan banyaknya tantangan yang dihadapi daerah dan provinsi dalam mengelola kewenangan daerah dan antardaerah. Hal ini merupakan indikasi penting ketidakjelasan bidang kewenangan yang disebabkan oleh tiadanya ‘standardisasi’, sehingga tak jarang daerah meminta petunjuk langsung ke pemerintah pusat.10 Desentralisasi dan otonomi daerah (yang dimaknai sebagai kemandirian daerah untuk mengelola daerahnya sendiri dan resources yang dimiliki), menjadi bagian tak terpisahkan dari proses demokratisasi yang bergulir sejak 1998. Perubahan politik ini mensyaratkan diimplementasikannya desentralisasi dan otonomi daerah sejak 2001. Dalam proses menuju demokrasi, otonomisasi yang berlangsung di daerah-daerah di Indonesia diharapkan menunjang secara signifikan demokratisasi lokal. Perubahan politik yang dialami Indonesia juga menandai berlangsungnya proses transisi. Dengan kata lain, Indonesia telah ‘keluar’ dari era represif atau otoritarian dan memasuki era menuju demokrasi. Era transisi ini juga menandai berlangsungnya proses desentralisasi dan the weakening of state power in some respects. Tak sedikit pengamat yang mengatakan bahwa hubungan negara-masyarakat di bawah era Orde Baru diklasifikasikan sebagai “integrated domination” (Migdal, 1994:9), meaning that the state acted in a more or less coherent fashion and had broad power over society. Pertanyaannya, apakah Indonesia saat ini telah menuju kondisi “dispersed domination” (Migdal, 1994:9), in which there is no coherent state and no countryside domination. Sebagaimana dikemukakan Grugel (2002:91), “states are notoriously resistant to change”. Dalam konteks Indonesia, negara telah kehilangan kapasitasnya untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakannya, terutama karena krisis ekonomi, struktur otoritarian negara berkaitan dengan dominasi militer dan birokrasi yang korup. Namun, hal ini perlu dipahami bukan dalam konteks 10
Salah satu indikasi penting daerah meminta petunjuk langsung pemerintah pusat adalah seringnya para pejabat daerah datang ke Depdagri untuk mengkonsultasikan permasalahan otonomi yang dihadapi daerahnya.
58
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
the weakening of state power, tapi lebih karena a partial transfer of power from central state actors to local state actors. Periode transisi yang dialami Indonesia ini bisa dikategorikan juga dalam periode hybrid regime: campuran antara sistem otoritarian dan nilai-nilai demokrasi (Diamond, 2002). Realitas ini membawa dampak terhadap keputusan desentralisasi dan otonomi daerah yang bervariasi sesuai dengan periode rezim yang memerintah. Hasil rumusan desentralisasi dan otonomi daerah akan berbeda, tergantung pada bentuk rezim yang berkuasa. Periode 1998-1999 menghasilkan UU No. 22 Tahun 1999 yang dinilai sangat maju tapi tidak diaplikasikan pada saat yang tepat (Pabottingi, 2003:26-27). “Asumsi suatu kebijakan politik adalah rasional manakala pada dirinya tak ada diskrepansi normal-darurat antara kebijakan dan realitas politiknya” (Pabottingi, 2003:26). Esensi Desentralisasi dan Kaitannya dengan State-in-Society Perspective Studi ini akan menggunakan perspektif desentralisasi (desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi) dalam menata kewenangan pusatdaerah yang aplikatif dan demokratis. Menurut Parson (196:23), desentralisasi adalah “sharing of the governmental power by a central ruling group with other groups, each having authority within a specific area of the state”. Sedangkan menurut Mawhood (1987:9), desentralisasi adalah devolution of power from central to local governments. Definisi yang maknanya hampir sama juga dikemukan oleh Smith (1985), yang mengatakan bahwa desentralisasi adalah “the transfer of power from top level to lower level, in a territorial hierarchy, which could be one of the government within a state, or offices within a large organisation”. Ketiga definisi yang dikemukakan para teoretisi tersebut, pada intinya merujuk pada perspektif desentralisasi politik, yang intinya adalah penyerahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan teoritisi desentralisasi administrasi, seperti Rondinelli dan Cheema (1983:18) mengemukakan bahwa: “decentralisation is the transfer of planning, decision-making, or administrative authority from central government to its field organisations, local administrative units, semi autonomous and parastatal organisations, local government, or non-governmental organisations”. Definisi ini dengan jelas menegaskan desentralisasi sebagai delegasi wewenang administratif, dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kedua difinisi desentralisasi
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
59
yang memiliki penekanan yang berbeda tersebut, bermanfaat untuk mempelajari fenomena desentralisasi yang ada di Indonesia. Bila desentralisasi dilihat dari state-in-society perspective, tampak jelas bahwa desentralisasi dimaksudkan sebagai upaya untuk mendekatkan negara ke masyarakat, sehinga tercipta interaksi yang dinamis antara negaramasyarakat seperti dalam proses pembuatan kebijakan dan dalam implementasinya (Ostrom, 1991). Pandangan state-in-society perspective ini mengedepankan adanya hubungan yang timbal balik atau interaksi antara negara dan masyarakat. Interaksi antarkeduanya bisa melalui proses pembuatan kebijakan dan dalam implementasi kebijakan. Sebagai hasilnya, keputusan yang diambil negara pada dasarnya merupakan refleksi dari partisipasi masyarakat dan kepentingan negara itu sendiri (Migdal, 1994). Dengan kata lain, upaya untuk merefleksikan peran serta masyarakat dalam pemerintahan merupakan salah satu prioritas penting. Oleh karena itu, desentralisasi dalam perspektif state-in-society menekankan perlunya penegakan kedaulatan rakyat, dimana demokrasi, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, menjadi tujuan akhir yang perlu dicapai. State-in-society perspective sebagaimana dikemukakan oleh Migdal tersebut menawarkan a more balanced framework for the analysis of the state-society relations, sebagaimana teori Weber tentang negara yang meliputi: intitutional character, rule making function, monopoly of legitimate use of physical force, and authority in a territorially defined area (Migdal 1994:11). Seperti disebutkan sebelumnya, kerangka teori ini mendasarkan pada asumsi bahwa antara negara-masyarakat saling berinteraksi. Menurut Migdal (1994:2-3) “state and society transform each other…state effectiveness depends on the form of state-society relations… states and other societal forces may be mutually empowering”. Perspektif hubungan negara dan masyarakat dalam konteks desentralisasi menekankan penyerahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Rationale dari argumen ini adalah bahwa dengan penyerahan kekuasaan itu, daerah dan masyarakatnya akan memiliki otonomi, baik dalam proses pembuatan keputusan maupun dalam implementasinya. Sedangkan dalam konteks otonomi daerah, khususnya dilihat dari sisi masyarakat, merupakan hak masyarakat untuk mendapatkan kesempatan dan perlakukan yang sama, khususnya dalam mengekspresikan aspirasi dan kepentingannya vis-à-vis pemerintah, serta dalam mengontrol penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dalam konteks otonomi daerah, khususnya dilihat dari sisi negara, dapat dimaknai sebagai hak, wewenang
60
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
dan tanggung jawab pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya sendiri. Penataan Kewenangan Lepas dari diskursus tentang teori di atas, di bawah ini, akan dibahas pola pembagian urusan pusat-daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 (lihat diagram 1.1). Diagram 1.1 di bawah ini menunjukkan asas pembantuan dan otonomi daerah menjadi asas penting pelaksanaan otonomi daerah. Dan ini secara prinsip menjamin hubungan kekuasaan dan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. UU ini juga menjabarkan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan pusat (6 urusan), pemerintahan daerah provinsi (16 urusan), dan pemerintahan daerah kabupaten/kota (16 urusan). Selain urusan wajib, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota juga memiliki urusan pilihan.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
61
Sedangkan diagram 2 di bawah menggambarkan kerangka konseptual penataan kewenangan yang didasarkan atas pluralitas lokal, demokrasi dan efisiensi. Pembagian ini meletakkan asas desentralisasi dan otonomi daerah sebagai asas penting yang mendasari pembagian tersebut. Desentralisasi mencerminkan pengaturan hubungan kekuasaan dan hubungan keuangan antarketiga jenjang pemerintahan (Pempus, Pemprov, Pemda) yang lebih berimbang dan bisa diterapkan di ketiga jenjang pemerintahan. Sedangkan otonomi lebih merujuk pada prakarsa atau inisiatif Pemda dan masyarakat lokal dalam memutuskan dan menerapkan kebijakan lokal berdasarkan aspirasi dan kemampuan yang dimiliki. Dengan kata lain, penataan kewenangan di ketiga jenjang pemerintahan tersebut akan didasarkan atas pluralitas lokal, kemampuan daerah, dan demokrasi, sehingga kewenangan yang dimiliki masing-masing jenjang pemerintahan ini bisa berlaku standar dan dapat diterapkan. Kerangka konseptual di bawah ini juga menggambarkan penyerahan kekuasaan, yang merupakan prasyarat bagi terwujudnya otonomi daerah. Hal ini ditandai dengan dipromosikannya hak pemerintah dan masyarakat daerah untuk mengambil keputusan dan mengimplementasikan kebijakankebijakan berdasarkan prakarsa sendiri, aspirasi masyarakat, dan kemampuan yang dimiliki daerah. Hal ini secara eksplisit merefleksikan perlunya ruang lingkup otonomi yang dimiliki daerah provinsi, kabupaten/ kota dan sekaligus menuntut adanya political will, political commitment, dan keseriusan pemerintah pusat dalam menjamin kewenangan daerah yang telah diserahkannya itu. Meskipun demikian, beberapa faktor seperti karakteristik, potensi, dan kekhususan-kekhususan yang dimiliki masing-masing daerah, perlu pula dipertimbangkan secara serius dalam konteks otonomi daerah. Tanpa menyesuaikan faktor-faktor tersebut dengan kondisi riil masing-masing daerah, akan menimbulkan sejumlah kendala bagi daerah. Adapun jumlah dan ruang lingkup urusan yang diserahkan tidak harus sama antara daerah satu dengan lainnya. Ini dimaksudkan agar proses penyerahan urusan ke daerah bisa berlangsung secara bertahap dan disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing daerah. Hal ini penting untuk mengantisipasi serta menghindari munculnya konflik pusat-daerah dan antardaerah. Dengan kata lain, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang demokratis adalah bila penyerahan kekuasaan kepada daerah disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan riil yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Selanjutnya, tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tersebut adalah untuk mempertahankan
62
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
integrasi bangsa, mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, demokratisasi di tingkat lokal, menciptakan good local governance, meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah serta pelayanan publik. Dua tujuan pertama tersebut adalah tujuan desentralisasi berdasarkan kepentingan nasional, sementara empat tujuan yang tersebut terakhir adalah tujuan desentralisasi berdasarkan kepentingan daerah.
Analisis Penataan kewenangan pusat-daerah yang akan dibangun dalam studi ini menggunakan pendekatan desentralisasi (baik politik dan administrasi) dalam konteks state-in-society perspective. Transfer kekuasaan dari pusat ke daerah sebagai makna desentralisasi politik, dan pendelegasian wewenang administratif dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah sebagai makna administratif, akan lebih memberikan kejelasan dan pemahaman yang kompreshensif tentang pembagian kewenangan. Pendekatan desentralisasi yang menekankan bidang politik (demokratisasi lokal) dan administrasi (efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan) ini akan lebih memberikan suatu ‘nuasa’ tersendiri bagi penataan kewenangan pusat-daerah bila dikaitkan dengan state-in-society perspective, yang menekankan interaksi antara state-society baik di tataran pembuatan keputusan maupun di tataran implementasinya. Dari perspektif ini, pendekatan desentralisasi yang memiliki dua titik tekan yang berbeda tersebut, pada dasarnya memiliki pemikiran yang sama: upaya mendekatkan
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
63
negara ke masyarakat. Tujuannya pun kurang lebih sama, yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Artinya, dengan pendekatan desentralisasi ini, pluralitas lokal bisa menjadi faktor penting dalam penataan kewenangan pusat-daerah.11 Oleh karena itu, state-in-society perspective dapat dijadikan sebagai landasan berpikir dalam pengembangan konsep desentralisasi pada umumnya dan model kewenangan pada khususnya. Kajian empirik tentang desentralisasi dan otonomi daerah, khususnys tentang kewenangan yang dilakukan di Jawa Timur, Bangka Belitung dan Kalimantan Timur menunjukkan bahwa: · Realisasi desentralisasi dan otonomi daerah tak dapat dipisahkan dari peran pemerintah pusat-daerah dan stakeholders. Artinya peran mereka sangat besar dalam menunjang keberhasilan otonomi daerah. · Peran pemerintah, stakeholders, dan pemerintah daerah atau birokrat tinggi daerah sebenarnya memainkan peran penting dalam menyukseskan desentralisasi dan otonomi daerah. Argumen ini berdasarkan hasil penelitian pertama (2003) dan kedua (2004) yang dilakukan Peneliti LIPI, yang menunjukkan bahwa pemerintah daerah memainkan peran sentral. Sebagai contoh, munculnya penyimpangan dalam penambangan timah di Bangka Belitung, ternyata juga melibatkan para aktor tataran pemerintah seperti birokrat aparat dan anggota DPRD. Dalam kasus TI, misalnya, tidak hanya masyarakat saja yang harus dibenahi tapi juga aparat dan birokrat serta anggota DPRD. Demikian juga kasus Songgoroti Resort yang ada di Malang, Jawa Timur yang tak kunjung tuntas karena keterlibatan berbagai aktor seperti pemkab Malang, PT Jasa Yasa (yang nota bene milik pemkab Malang), dan Pemkot Batu. Demikian juga dengan masalah penebangan kayu liar di Nunukan, Kalimantan Timur, tak hanya melibatkan birokrat lokal, anggota DPRD, tapi juga pengusaha, aparat (anggota TNI) dan sekelompok masyarakat lokal. · Dengan kewenangan yang dimiliki, eksekutif dan legislatif bisa bernegosiasi untuk mengegolkan program tertentu yang acapkali merugikan masyarakat. Hal ini sangat menonjol terjadi di Kabupaten Bangka dan Kabupaten Nunukan. Di Bangka, Perda No. 6/2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum dinilai sebagai pemicu munculnya konflik yang memperebutkan tambang timah. Konflik muncul antara Pemkab-Pempus/PT Timah, antara PemkabMasyarakat, antara PT Timah-Masyarakat, dan antara Masyarakat11
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari model penyeragaman dalam pembagian kewenangan, sebagaimana yang selama ini dilakukan Pusat terhadap Daerah.
64
·
·
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Masyarakat. Demikian pula dengan masalah yang dihadapi Nunukan, cenderung beragam dan menyangkut masalah keamanan perbatasan, karena Nunukan berbatasan langsung dengan Tawau (Malaysia). Yang tak kalah pentingnya juga yaitu munculnya masalah antara pemkabpengusaha-masyarakat adat, khususnya berkaitan dengan melemahnya keberadaan hukum adat/hak ulayat berhadapan dengan kepentingan local state dan pengusaha. Peran pengusaha sebagai pemilik modal juga sangat besar dalam pelaksanaan proyek-proyek pembangunan di daerah. Dinamika pembangunan Pemkab era otonomi daerah diwarnai oleh peran para pengusaha baik lokal maupun nasional. Sementara itu peran masyarakat dalam konteks otonomi daerah belum menunjukkan perannya yang signifikan karena masyarakat berada di luar sistem dan sejauh ini perannya baru di tataran pengaruh saja dan belum sampai pada tataran yang dapat menggagalkan program pemkab, meskipun program tersebut acapkali merugikan mereka.
Tantangan Pemerintah dan Stakeholders dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Sementara itu, cukup banyak kendala yang dihadapi baik pemerintah (pusat-daerah) maupun stakeholders lainnya dalam melaksanakan desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu: · Tantangan yang paling dirasakan oleh pemerintah daerah adalah peraturan yang tidak konsisten yang dikeluarkan pemerintah pusat yang tak jarang saling membatalkan secara hukum dan sangat membingungkan daerah. Hal ini merupakan ekspresi adanya tarikmenarik kepentingan antara pusat-daerah dalam mengelola kekayaan alam di daerah. Hal ini semestinya tak perlu terjadi bila aturan main yang ada mengikat secara hukum dan penalti atasnya juga diberlakukan bila ada pelanggaran. · Belum tereformasinya birokrasi baik di pusat maupun di daerah membuat tujuan desentralisasi dan otonomi daerah tidak bisa berjalan secara maksimal, sehingga hasilnya pun masih minimal. Birokrasi yang tidak profesional dan tidak netral membuat fungsi pelayanan kepada masyarakat menjadi terhambat. Seiring dengan itu, efektivitas dan efisiensi yang dicanangkan pemerintah makin sulit direalisasikan dan oleh karena itu cenderung menjadi jargon administrasi saja. · Kendala yang muncul tidak hanya berasal dari pelaku di pusat, tapi juga pelaku di daerah yang acapkali menonjolkan egonya, yang semata-
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
·
65
mata mementingkan kehendak daerahnya sendiri ketimbang daerah lain. Egoisme sempit tersebut menghambat daerah untuk berkembang dan hal ini menyempitkan makna kerjasama antardaerah. Lebih dari itu, dengan diterapkannya UU 32/2004, pemerintah kabupaten merasa bingung dan berada dalam ”ketidakpastian” baru. Sampai sebelum PP 38/2007 tentang urusan dikeluarkan, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota menjadikan UU 22/1999 dengan berbagai PP-nya sebagai petunjuk teknis. Satusatunya materi UU 32/2004 yang sudah dilengkapai dengan PP adalah pilkada langsung. Oleh sebab itu, pilkada bisa dilaksanakan daerah sejak Juni 2005.
Syarat-Syarat Menata Kewenangan Pusat-Daerah Adapun syarat-syarat untuk menata kewenangan pusat-daerah yang aplikatif-demokratis diperlukan beberapa hal penting sebagai berikut: · Tata pemerintahan pusat-daerah yang demokratis · Konsistensi dan kontinuitas proses kebijakan dan manajerial pusatdaerah · Efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan · Mencerminkan keseimbangan kepentingan nasional dan pluralitas Lokal (sumber daya, sosial-budaya, sejarah dll.) Dalam operasionalisasinya dapat dijabarkan sebagai berikut: 1.
2.
Pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota masing-masing memiliki kewenangan yang dijamin secara hukum. Artinya, jangan sampai terjadi peraturan yang dibawahnya bisa membatalkan peraturan yang di atasnya. Sebagai contoh, kasus pengelolaan sarang burung walet di Kabupaten Malang, yang berdasarkan PP25/2000 menjadi wewenang daerah, namun ditarik ke pusat melalui Keputusan Menteri Kehutanan. Juga masalah pertanahan yang mengalami nasib yang sama, ditarik ke pusat melalui Kepres No.34/2003. Dan bidang industri yang semestinya menjadi kewenangan daerah ditarik kembali melalui keputusan menteri perindustrian. Oleh karena itu, saat ini yang diperlukan adalah eksisnya political will, political commitment dan law enforcement dalam proses desentralisasi dan otonomi daerah. Kewenangan bidang pertanahan tidak hanya mencakup fungsi pelayanan, tapi juga mengatur perdata, sehingga perlu memposisikan kewenangan pertanahan di daerah yang rincian kewenangannya diatur dalam UU sektoral.
66
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Aspek-aspek penting dalam sistem pertanahan perlu menjadi pertimbangan seperti: tata guna tanah, pengaturan/pengusahaan tanah, hak-hak atas tanah, pengukuran/pendaftaran tanah. Semua aspek ini memiliki fungsi teknis dan ketatausahaan, tapi secara yuridis berdimensi hukum publik, hukum adat dan perdata. Meskipun ada penyerahan kewenangan kepada daerah (seperti pendaftaran, pengukuran, dan sertifikasi), pemerintah pusat tetap memiliki kewenangan pada tingkat manjerial seperti perencanaan, pengendalian, dan pengawasan. Oleh karena itu, tata guna tanah sebaiknya diatur dalam UU organik. Regulasi yang berdampak terhadap publik diserahkan ke kabupaten/ kota. Sebagai contoh, pengaturan perimbangan keuangan, semestinya pemerintah pusat memperhitungkan kemungkinan resiko yang dialami daerah penghasil dan pengelola sumber daya alam, sehingga daerah yang terkena dampaknya mendapat kompensasi anggaran. Pembagian kewenangan mempertimbangkan tingkat teknologi yang diterapkan, industri yang berteknologi tinggi menjadi kewenangan pusat karena ketersediaan SDM dan modal yang terbatas di tingkat kabupaten/kota. Sebaliknya, kewenangan dalam pengelolaan industri kecil dan menengah, sepenuhnya diserahkan ke kabupaten/kota. Pembagian wilayah laut acapkali memunculkan konflik dan merupakan upaya pengkaplingan wilayah laut. Untuk itu wilayah laut tidak perlu dibagi-bagi, karena ikan-ikan yang ada di laut selalu berpindah dan tak ada yang menanam ikan-ikan tersebut. Meskipun mungkin dalam konteks kekayaan laut lainnya pembatasan wilayah dirasakan perlu. Pembagian kewenangan antara kabupaten dan desa, apakah desa dijadikan sebagai daerah otonom, yang berarti menjadi pusat pelayanan publik atau wilayah komunitas, yang berarti tempat bagi pemberdayaan masyarakat. Bila desa dijadikan sebagaimana yang tersebut pertama, pelayanan masyarakat akan berhenti di tingkat kecamatan. Desa menjadi wilayah komunitas yang tidak terintervensi pemerintah, baik secara kelembagaan maupun mekanisme tata kelola pemerintahannya. Pembagian kewenangan harus diikuti oleh perimbangan keuangan yang riil dan konsisten. Perimbangan keuangan pusat-daerah dirumuskan secara adil dan transparan yang tidak hanya mempertimbangkan jumlah dan variasi (kondisi) penduduk, tapi juga mempertimbangkan luas wilayah dan daya dukung lingkungan dan sumber daya alam.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
67
Perlu rekonstruksi pengaturan pembagian pendapatan daerah yang tak hanya ditarik dari hasil sumber daya alam (tambang, hutan, laut), tapi juga dari pajak dan bea cukai (rokok di Malang). Hal ini perlu dilakukan karena daerah senantiasa terkena dampak negatifnya seperti masalah keruskan lingkungan, kasus perburuhan dll. Perumusan kembali UU sektoral yang mempertimbangkan klasifikasi berdasarkan jenis dan dampak lingkungannya (penambangan batu berbeda dengan kapur dan jenis lainnya). Pembagian kewenangan antara jenjang pemerintahan (Pempus, Pemprov, Pemkab/Pemkot) dan sektor harus jelas, khususnya dalam pengurusan perijinan karena hal ini berpengaruh terhadap dunia usaha dan investasi. Untuk itu, pembagian kewenangan daerah juga perlu memperhatikan eksisnya kepentingan yang berbeda dari para pelaku/ aktor. Perlu upaya untuk mewujudkan kemitraan antara masyarakat dan swasta (public private partnership) supaya beban perijinan dan modal dapat berkurang. Intinya adalah pelibatan masyarakat. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari model pembagian kewenangan yang mengarah pada kerjasama yang menguntungkan antara pemerintah-swasta-masyarakat. Diperlukan kerjasama atau kesepakatan antaradaerah dalam perencanaan suatu program untuk memberikan kemudahan pada dunia usaha dan investasi yang mempunyai cakupan skala dan dampak antardaerah. Keserasian kewenangan antarsektor dan ketiga jenjang pemerintahan (Pempus, Pemprov, Pemkab/Pemkot) memberikan iklim yang kondusif bagi dunia usaha. Perlunya ditemukan mekanisme dan kelembagaan baru untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan dunia usaha. Partisipasi masyarakat dalam hubungannya dengan kewenangan asli desa dinilai belum berarti, karena pengakuan pemerintah terhadap desa tidak disertai Dana Alokasi Umum (DAU) desa. Sebagai akibatnya, partisipasi masyarakat cenderung dimobilisasi untuk mendukung program-program kabupaten/kota. Dengan mempertimbangkan kondisi obyektif SDM di Jawa dan di luar pulau Jawa, perlu reformulasi apakah desentralisasi berada di tingkat provinsi atau kabupaten. Meskipun untuk ini tidak harus dipertentangkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tapi yang lebih penting untuk mewujudkan Indonesia maju ke depan adalah tetap mempertimbangkan masalah ”persatuan”.
68
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
17. Pentingnya reoritenasi penganggaran yang berpihak kepada kelompok yang senantiasa tertinggal (masalah kemiskinan) dengan menempatkan kelompok ini sebagai prioritas. 18. Khusus daerah perbatasan (seperti Nunukan), perlu penegasan kewenangan pusat yang didekonsentrasikan, mengingat banyaknya persoalan pelik yang dihadapi daerah perbatasan (seperti TKI, illegal logging, illegal fishing, illegal migrant) yang memerlukan penanganan secara cepat. 19. Pengelolaan kawasan hutan dan sungai di daerah tidak bisa hanya didasarkan atas pendekatan batas-batas administratif, tapi juga perlu mempertimbangkan pendekatan ekosistem/kelestarian lingkungan. 20. Kewenangan perijinan untuk usaha-usaha pertambangan, perikanan, dan kehutanan yang dimiliki daerah perlu memperhatikan kemampuan dan potensi kemandirian daerah. Skala usaha yang perijinannya di daerah diperbesar karena terkait dengan peluang bagi pengusaha lokal untuk bersaing dengan pengusaha nasional dan asing. 21. Pemerintah diminta untuk mewaspadai ’penguasaan’ pihak asing atas sumber daya alam Indonesia melalui World Bank, ADB, dan IMF, kegiatan investasi dan melalui proyek-proyek konservasi. Kalau ini terus berlanjut yang dirugikan adalah masyarakat lokal. 22. Munculnya ketidakpuasan atas desentralisasi dan otonomi daerah yang sudah digariskan melalui UU Pemerintahan Daerah, khususnya dari beberapa daerah yang memiliki kekayaan alam seperti Kalimantan Timur, Riau, dan Bali. Hal ini menunjukkan bahwa daerah tetap menuntut otonomi seluas-luasnya. Meskipun beberapa daerah tersebut enggan menggunakan istilah ”federasi” dalam menyampaikan tuntutannya tersebut, sebenarnya mereka menginginkan bentuk ”federasi”. Bagi daerah, istilah ”federasi” seolah tabu untuk diucapkan karena akan meresahkan pemerintah pusat. Oleh karena itu, muncullah tuntutan daerah untuk mendapatkan ”otonomi khusus” atau”otonomi plus”, yang belakangan ini dilontarkan secara eksplisit oleh Bali dan secara malu-malu oleh Kalimantan Timur dan Riau. Kewenangan dan Kaitannya dengan SDA, SDE, SDM (Pendidikan) Ada dua alasan penting dalam pemilihan tiga bidang (SDA, SDE, SDM) sebagai fokus kajian kewenangan, yaitu: Pertama, ketiga bidang ini secara empirik adalah sumber konflik kewenangan yang paling menonjol; kedua, ketiga bidang tersebut juga merupakan bidang unggulan dalam mencapai tujuan otonomi daerah, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
69
(melalui pengelolaan SDA) dan pelayanan publik (Bidang SDM atau pendidikan) dan mendorong daya saing (bidang SDE). Penataan kewenangan di bidang SDA didasarkan atas prinsip-prinsip jaminan terhadap pemeliharaan lingkungan atau manajemen bioregional, pembangunan yang berkesinambungan, diterapkannya insentif dalam pengelolaan SDA dan kesejahteraan masyarakat. Penataan ini dibangun dengan suatu sasaran operasional utama adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai tuntutan dari diberlakukannya otonomi daerah. Prinsip dan konsep yang digunakan dalam menata kewenangan di bidang SDA adalah mengupayakan peningkatan peran masyarakat dalam pengelolaan SDA & LH sehingga menjadi aktor utama dalam perkembangan regional dan global yang dinamis. Meskipun demikian untuk operasionalisasinya perlu diuji dan divalidasi supaya penataan kewenangan SDA ini dapat diterapkan atau aplikatif. Optimasi pengunaan SDA & LH merupakan proses hilir dari perubahan yang dilakukan mengingat sebagai negara berkembang SDH & LH merupakan tumpuan pembangunan ekonomi sementara pengelolaannya cenderung tidak efisien dan menimbulkan dampak yang mengkhawatirkan bahkan dapat mempengaruhi keberlangsungan pembangunan ekonomi itu sendiri. Proses optimasi penggunaan SDA & LH yang diimplementasikan oleh stakeholders akan berdampak terhadap reposisi perannya dalam proses perubahan secara menyeluruh. Hasil studi di lapangan selama ini menunjukkan bahwa proses optimasi tersebut belum berlangsung dan penggunaan SDA & LH masih berprinsip pada eksploitasi maksimum memanfaatkan regulasi dan pengawasan yang masih lemah, ditambah kepentingan sektoral yang tidak jarang menimbulkan konflik (Sarmidi, 2005:126). Sumber Daya Alam yang analog dengan kekayaan alam (pasal 33 UUD 45) dikelola (agar efisien dan efektif) dengan prinsip-prinsip: bermanfaat, berkeadilan dan berkelanjutan bagi seluruh rakyat. Oleh sebab itu, hendaknya dihindari pengertian sumberdaya alam pusat dan daerah atau nasional dan lokal yang menyesatkan (Sarmidi, 2005:133). Sedangkan penataan kewenangan di bidang SDE didasarkan atas pertimbangan pembagian tugas yang jelas antara ketiga jenjang pemerintahan (Pempus, Pemprov, Pemkab/Pemkot), khususnya tentang siapa yang bertanggungjawab terhadap tugas perencanaan, pelaksanaan atau pengelolaan dan pengawasan. Dalam kenyataannya, pembagian kewenangan antara Pempus, Pemprov dan Pemkab/Pemkot dalam pengelolaan sumber daya ekonomi
70
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
(SDE) di dalam pertaturan perundang-undangan yang ada tampak belum menampung semua urusan dan kebutuhan tata kelola pemerintahan. Hal tersebut dapat dilihat baik dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maupun Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dan sejak keluarnya Undang-undang No. 32 tahun 2004 dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004. Ketidakcukupan dan ketidakjelasan aturan tersebut menimbulkan tarik-menarik bahkan konflik yang berlarut antara Pusat dan Daerah, sehingga dapat menghilangkan peluang-peluang ekonomi yang semestinya bisa dimanfaatkan semenjak direalisasikannya desentralisasi tahun 2001. Dari sisi ilmu ekonomi publik, masalah pembagian kewenangan PusatDaerah dalam pengelolaan SDE berarti membagi tiga fungsi pemerintahan dalam perekonomian: fungsi alokasi, redistribusi dan stabilisasi ke dalam berbagai jenis kewenangan yang kemudian didistribusikan secara hierarkis maupun horizontal di antara jenjang-jenjang pemerintahan. Fungsi alokasi terkait penyediaan barang atau modal yang wajib disediakan oleh pemerintah dengan tujuan peningkatan pendapatan keseluruhan dan kemudian hasil peningkatan pendapatan secara agerat itu diarahkan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata. Oleh karena itu, fungsi redistribusi terkait dengan tujuan pemerataan atau pengurangan ketimpangan. Sedangkan, fungsi stabilisasi terkait dengan tujuan untuk menjaga kelangsungan pertumbuhan dan kelangsungan kesejahteraan masyarakat (Chaniago, 2005:152-153). Untuk membuat fungsi-fungsi ekonomi dari pemerintahan efektif, maka-maka fungsi-fungsi tersebut dijabarkan menjadi distribusi dan pembagian kewenangan-kewenangan di dalam sistem pemerintahan. Model distribusi dan pembagian kewenangan itulah yang kemudian menjadi indikator sistem pemerintahan yang dianut oleh suatu negara. Pada tataran kelembagaan, rencana pengelolaan ekonomi yang mencerminkan fungsi pemerintah perlu dilihat dari seperangkat norma yang dianut di dalam menjalankan fungsi dan pembagian kewenangan pada tiap bidang pemerintahan. Norma-norma tersebut muncul di dalam beberapa konsep seperti azas, tujuan, prinsip, visi, dan kriteria yang tertuang di dalam Konstitusi, Undang-undang, dan peraturan lainnya. Dengan demikian, jika kita ingin melihat bagaimana fungsi ekonomi pemerintah hendak dijabarkan di Indonesia, kita terlebih dahulu harus mencermati bagaimana normanorma untuk menjalankan fungsi tersebut disusun dan dinyatakan di dalam berbagai peraturan yang ada di Indoensia.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
71
Masalah tersebut tidak hanya soal cakupan atas masalah dan urusan praktis yang muncul atau berpotensi muncul dalam penyelenggaraan otonomi daerah, tetapi juga masalah yang masih mendasar, yakni soal kelengkapan nilai-nilai prinsip atau nilai-nilai dasar, apakah itu yang didefinisikan sebagai azas, norma, atau kriteria dan sebagainya. Sebagai contoh, Undang-undang No. 32 Tahun 2004 telah mencantumkan beberapa nilai dasar tambahan yang dikategorikan sebagai kriteria bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah, yakni ”eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi”. Penempatan nilai-nilai ini sebagai kriteria, tanpa disadari, masih membingungkan untuk dijadikan pedoman penyelenggaraan otonomi daerah. Pada tataran pelaksanaan, UU No. 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah belum menampung beberapa kebutuhan sistem manajemen pemerintahan di era otonomi daerah. Beberapa daerah telah terlebih dahulu berinisiatif melangkah melakukan kerja sama regional sebelum keluarnya UU No. 32 Tahun 2004, seperti yang dilakukan beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Model kerjasana antardaerah yang diprakarsai oleh beberapa kelompok daerah kabupaten/kota ini tentu perlu diiringi dengan penetapan kewenangan yang jelas dalam memfasilitasi, mengkoordinasi dan memediasi dari Pemerintah Pusat atau Provinsi. Dengan berpatokan kepada tujuan, azas-azas, dan kriteria-kriteria yang sudah ada di dalam UU, ditambah dengan syarat aplikatif-demokratis, distribusi bobot kewenangan di tiap jenjang pemerintahan dan antardaerah memang semestinya bervariasi. Di Sektor Perhubungan, misalnya, adalah wajar kewenangan terbagi relatif berimbang antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota jika dilihat dari tujuan, azas-azas dan kriteria yang ada. Di Bidang Perkebunan, adalah wajar jika kewenangan Pemerintah Pusat sangat kecil, karena penting menjadikan pembagian kewenangan di bidang ini dilebur ke dalam model manajemen kerjasama antarpemerintah daerah. Sementara di Sektor Perikanan dan Kelautan, kembali harus diperhatikan pentingnya kewenangan Pemerintah Pusat pada tingkat tertentu karena sektor ini terkait dengan barang publik murni, yakni perairan dan nilai strategis dari perairan laut (Chaniago, 2005:160-161). Contoh-contoh kasus yang dikemukakan di atas bisa menunjukkan bahwa masalah-masalah yang muncul dalam implementasi otonomi daerah di Indonesia sejak tahun 2001 bukanlah semata-mata bersumber dari kapasitas sumber daya di pemerintahan semata, baik di pusat maupun di daerah, tetapi pertama sekali bersumber dari sistematika dan kategorisasi perumusan norma-norma di dalam beberapa konsep masih bermasalah
72
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
dan menyulitkan pemahaman para pihak stakeholders dalam menjalankannya. Di dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004, misalnya, orang bisa dibingungkan oleh norma-norma yang masuk kategori azas penyelenggaraan pemerintahan, norma-norma yang disebut sebagai kriteria, yakni eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dan beberapa norma yang masuk ke dalam kategori kewajiban. Jika kita renungkan, konsep eksternalitas adalah konsep yang berfungsi untuk mengarahkan tujuan, sedangkan konsep akuntabilitas dan efisiensi adalah konsep untuk penyelenggaran kegiatan agar tujuan tercapai dengan efektif. Maka, mestinya, jika Undang-undang ini ingin memisahkan antara norma-norma yang termasuk azas dan norma-norma yang termasuk kriteria, konsep eksternalitas lebih tepat dimasukkan ke dalam azas (Chaniago, 2005: 161). Kita juga bisa mencermati kejanggalan pada beberapa norma yang dimasukkan ke dalam kategori kewajiban sebagaimana tertuang di dalam Pasal 22 UU 32/2004. Jika kita perhatikan sebagian besar butir dari lima belas butir yang tercantum sebagai kewajiban daerah, jelas bahwa makna kewajiban di sini adalah keharusan untuk mencapai nilai tertentu, seperti menjadi lebih baik, lebih maju, lebih bermanfaat, lebih memuaskan dan sebagainya. Tetapi di antara kelimabelas butir-butir nilai kewajiban tersebut bisa kita lihat ada beberapa butir kewajiban yang sebetulnya tidak memiliki makna atau nilai. Misalnya butir i yang hanya berbunyi, “menyusun perencanaan dan tata ruang” atau butir l. yang berbunyi, “mengelola administrasi kependudukan”. Selain masih adanya kewajiban-kewajiban lain yang perlu dicantumkan, mestinya rumusan yang tidak bermakna tadi dilengkapi dengan pilihan kata yang mengandung tujuan yang wajib dicapai, seperti “menyusun perencanaan yang logis”, “menyusun tata ruang yang jelas”, “menciptakan tertib administrasi kependudukan” dan sebagainya (Chaniago, 2005: 161-162). Kategorisasi yang lebih tepat lagi menurut hemat penulis adalah cukup membedakan antara norma-norma yang digolongkan ke dalam azas dari sistem yang dicita-citakan, dan azas penyelenggaraan untuk mencapai terbentuknya sistem tersebut. Azas dari sistem yang hendak dicapai tentu berisi bentuk dan nilai-nilai ideal dari sistem yang diinginkan, seperti keseimbangan, proporsionalitas, salingketergantungan, keserasian, keharmonisan, keberlanjutan, kestabilan, dinamis, keadilan dan sebagainya. Sedangkan nilai-nilai yang patut dimasukkan ke dalam azas penyelenggaraan adalah partisipasi, efisiensi, efektifitas, akuntabilitas, transparansi, berdasarkan kepastian hukum, dan sebagainya. Dua kategori ini, ditambah dengan rumusan mengenai tujuan yang hendak dicapai dalam
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
73
sistem penyelenggaraan oronomi daerah, kiranya akan menjadi panduan yang mudah dipahami oleh para pihak (stakeholders) pemerintahan, karena perbedaan kedua kategori nilai ini cukup jelas. Dari sisi manajemen pemerintahan dan sistem kebijakan, kekurangan dalam pengaturan kewenangan pemerintahan Pusat-Daerah saat ini terletak pada fungsi evaluasi dan pengawasan. Sementara itu, pada fungsi pelaksanaan telah diatur sedemikan lengkap dengan kecenderungan kuat pihak Pemerintah Pusat mengontrol pemberian kewenangan kepada daerah dengan berbagai landasan norma, nilai, prinsip dan kriteria. Namun, jika dicermati dari segi sistem perundang-undangan, sumber kekurangan tersebut berasal dari beberapa hal. Pertama, belum sempurnanya sistem norma dalam perundang-undangan dan berbagai peraturan yang menjabarkan tara cara pembagian kewenangan antara Pusat dan daerah. Kedua, tidak tertampung dan tidak terbaginya kewenangan secara proporsional dan seimbang berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan pemerintahan, sementara pembagian urusan pemerintahan diuraikan cukup rinci. Belum aplikatif-demokratisnya penataan bidang SDA dan SDE juga dialami bidang pendidikan. Idealnya penataan kewenangan bidang pendidikan didasarkan atas pertimbangan shareholders, dimana derajat tingkat partisipasi dari shareholders berimbang dengan kewenangan yang dimilikinya, dan semua kewenangan dilaksanakan dalam satu kesatuan manajerial yang berkesinambungan diantara jenjang pemerintahan. Penataan kewenangan bidang pendidikan ini tidak bisa mengabaikan peran state-soecirty-market, dimana ketiganya saling berinteraksi dalam realisasi pendidikan nasional dan daerah baik dalam hal perencanaan, monitoring, pembiayaan, sarana/prasarana, kurikulum, da ketanagaan. Dalam penataan tersebut perlu dipertimbangkan kemungkinan dua model: pertama, yang menekankan peran pemerintah (Dinas Pendidikan). Model ini cenderung melihat intervensi pemerintah termasuk melalui pendidikan, sangat penting untuk mengembangkan ‘pasar’ (produksi lokal) yang pada gilirannya berdampak positif terhadap kemampuan ekonomi daerah, sebagai upaya mencapai otonomi daerah. Kedua, yang menekankan perlunya peran masyarakat dikerangkakan secara lebih sistematis oleh pemerintah daerah untuk ikut mengembangkan otonomi pendidikan di daerah. Model ini menganggap bahwa pendidikan adalah barang konsumsi dan investasi masyarakat yang dapat berdampak positif terhadap pertumbuhan sosial ekonomi masyarakat yang pada gilirannya positif pula untuk pengembangan otonomi daerah. Masyarakat dianggap konsumen
74
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
sekaligus investor pendidikan yang terpenting dan mengetahui ‘pasar’, sedangkan pemerintah daerah lebih sebagai fasilitator yang perlu mengkerangkakan kekuatan keduanya dalam perencanaan sebagai bagian dari pengembangan otonomi daerah (Sukarno, 2005:181-182). Penekanan peran negara, baik oleh karena alasan pengembangan (birokrasi) daerah, dana yang cukup maupun alasan keamanan (perbatasan) dan potensi alam yang melimpah sering termanifestasikan dalam proliferasi (anggaran) sekolah negri dan pada lemahnya pengembangan peran swasta. Akibatnya, tidak hanya mendorong inefisiensi karena pembiayaan personal yang meningkat dan pertanggungjawaban yang cenderung ‘project oriented’— melainkan juga menghambat upaya pengembangan sikap otonom di sekolah-sekolah negri dan mengurangi pangsa pasar sekolah swasta yang telah relatif otonom dikelola masyarakat. Oleh karena itu, penekanan pada peran negara seharusnya lebih dibatasi, hanya di daerahdaerah yang kekurangan sarana pendidikan atau mendirikan jenis sekolah baru yang belum ada di kabupaten itu dan sekitarnya, namun strategis untuk mengolah potensi sumberdaya ekonomi yang ada (Sukarno, 2005:184). Penekanan daerah terhadap ‘otonomi sekolah/madrasah’ sebagai ujung tombak pelaksanaan otonomi daerah di bidang pendidikan, misalnya, telah mendorong sekolah/madrasah untuk berkompetisi mendekati masyarakat, pasar serta sumber daya ‘ekonomi politik’ terutama pemerintah dan elit politik. Sekolah/madrasah yang bermutu dan besar pada umumnya mempunyai sumberdaya sosial-ekonomi dan politik yang cukup. Dengan otonomi yang dimilikinya, sekolah/madrasah semacam itu cenderung lebih cepat berkembang dibandingkan sekolah yang kecil. Otonomi yang diberikan di tengah kesenjangan sumberdaya itu kurang memungkinkan terwujudnya pemerataan pendidikan. Oleh sebab itu, peran pemerintah daerah seharusnya lebih terfokus kepada upaya pemerataan, agar kemungkinan pelebaran kesenjangan itu dapat diperlambat. Di daerah dengan kemampuan anggaran yang besar, komitmen terhadap pemerataan merupakan faktor yang krusial. Sebab, dana yang besar itu di satu pihak dapat mendukung realisasi atas komitmen yang ada, sehingga dapat mengurangi laju pelebaran kesenjangan. Tetapi di lain pihak, dana yang besar itu mengundang sekolah/madrasah terutama yang besar, untuk mengkonversi sumberdaya sosial, ekonomi dan politiknya menjadi kekuatan tawar politik, sehingga pemerintah mengalokasikannya pada sekolah/ madrasah tersebut. Kemungkinan ini cenderung memperlebar kesenjangan (Sukarno, 2005:184-185).
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
75
Untuk Indonesia, perlu pengembalian hak-hak warga negara dan masyarakat dan pengaturan dan fasilitasi oleh pemerintah yang mengarah kepada pemenuhan hak-hak tersebut. UU Sisdiknas Bab IV tentang hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat dan pemerintah memberikan petunjuk tentang itu. Bagian yang sangat relevan dengan uraian di atas adalah bahwa “masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan” dengan “..kewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan” (pasal 8 dan 9). Sedangkan hak pemerintah lebih bersifat ‘steering’ (sebagai regulator). “Pemerintahan dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku” dan dengan kewajiban sebagai fasilitator: “ pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan pelayanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu…” ‘ ..wajib menjamin tersedianya dana bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun’ (pasal 10 dan 11). Implikasi Teoretis Selama masalah kewenangan menjadi bagian integral realisasi desentralisasi dan otonomi daerah, dan selama penataannya tidak ditangani secara serius sesuai dengan fenomena dan tantangan yang ada, sulit mengharapkan desentralisasi dan otonomi daerah yang riil di Indonesia. Pertanyaannya, apakah implikasi teoretik dari studi yang dilakukan ini? Secara umum, butir-butir kesimpulan yang diangkat dari hasil studi ini menunjukkan bahwa meskipun tidak mudah menata kewenangan pusatdaerah yang aplikatif-demokratis, hal ini perlu dan mendesak untuk dilakukan segera, karena gagal melakukannya berarti setback bagi pemerintahan daerah dan kegagalan bagi Indonesia dalam mewujudkan kemandirian daerah (daerah otonom). Pembagian kewenangan pusatdaerah, baik yang dirumuskan dalam UU 22/1999 maupun UU 32/2004 tidak menunjukkan hubungan dan interaksi yang timbal balik antara negara dan masyarakat. Karena hal tersebut absen dalam proses pembuatan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dan dalam implementasinya. Padahal mestinya keputusan yang diambil negara (pemerintah) tidak hanya merupakan refleksi kepentingan negara tapi juga partisipasi masyarakat. Kenyataan ini yang dalam state-in-society perspective dinilai tidak memprioritaskan peran serta masyarakat dalam pemerintahan (Migdal, 1994). Padahal, desentralisasi dalam state-in-sosciety perpective
76
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
menekankan perlunya penegakan kedaulatan rakyat, dimana demokrasi, kemakmuran dan kesejahteraan, menjadi tujuan akhir yang perlu dicapai. Menata desentralisasi dan otonomi daerah bukan hanya berarti menata hubungan pusat-daerah, tapi lebih dari itu juga dapat dimaknai sebagai menata hubungan negara-masyarakat (state-society). Dalam kaitan inilah state-in-society perspective menawarkan kerangka analisis yang lebih berimbang tentang hubungan negara-masyarakat. Menurut Migdal (1994:23), bahwa antara negara-masyarakat melakukan interaksi dan saling memperkuat (mutually empowering), di samping juga saling melakukan tranformasi. Efektivitas negara tergantung pada bentuk hubungan negaramasyarakat. Kaidah-kaidah seperti ini tampaknya yang belum tercermin dalam rumusan UU Pemerintahan Daerah di Indonesia, sehingga menyebabkan munculnya resistensi daerah ketika UU Pemerintahan Daerah yang baru diterapkan. Penekanan pada perspektif hubungan negara-masyarakat dalam konteks desentralisasi ditandai dengan dimilikinya kekuasaan (power) oleh pemerintah daerah (ostrom, 1991). Baik pemerintah daerah maupun masyarakat dalam konteks perspektif ini masing-masing memiliki hakhaknya (Migdal, 1994). Dengan kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah berarti pemerintah daerah memiliki otonomi dalam menentukan daerahnya. Dari perspektif masyarakat, berarti mereka memiliki hak yang dilindungi hukum untuk menyampaikan aspirasi dan kepentingannya visa-vis pemerintah (daerah) dan dalam mengontrol penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini yang belakangan ini memunculkan kesenjangan dalam realisasi desentralisasi, yang cenderung sangat elitis karena hanya dinikmati oleh elit pemerintahan daerah, sementara masyarakat lokal merasa dipinggirkan dan tidak berperan serta dalam desentralisasi. Pendekatan desentralisasi administratif dalam perumusan UU Pemerintahan Daerah di Indonesia memang diperlukan dan hal ini yang selama ini diterapkan. Namun, pendekatan desentralisasi politik yang intinya memberikan authority dan power kepada daerah juga sangat diperlukan supaya terjadi keseimbangan antara kedua pendekatan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia mempertimbangkan secara serius kondisi riil yang berkembang pesat sejak 1998 di mana political opening menjamah hampir seluruh wilayah pelosok nusantara. Dengan mempertimbangkan dua pendekatan tersebut dalam perumusan atau penataan kewenangan pusat-daerah, diharapkan akan mengurangi resistensi daerah terhadap pusat.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
77
Dalam realitasnya, penataan kewenangan di bidang SDA tidak didasarkan atas prinsip-prinsip jaminan terhadap pemeliharaan lingkungan atau manajemen bioregional dan pembangunan yang berkesinambungan. Hal ini mengakibatkan pendekatan sektoral lebih dikedepankan tapi mengabaikan manajemen bioregion. Penyeragaman instansi-instansi daerah dengan menyamai instansi pusat sulit dihindari. Konsistensi sulit diciptakan ketika instansi yang menyontek instansi di pusat tersebut dibentuk di daerah. Di tingkat praksis, masing-masing departemen berjalan sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi, sehingga acapkali membingungkan daerah. Akibat serius diabaikannya pertimbangan tentang lingkungan dan pembangunan berkesinambungan dalam pengelolaan SDA, Indonesia menghadapi kerusakan lingkungan yang akut seperti di Bangka Belitung yang disebabkan penambangan timah liar (TI), dan kerusakan hutan di Kalimantan Timur yang disebabkan penebangan kayu secara liar (illegal logging). Oleh karena itu, pengelolaan bidang SDA perlu ditata kembali untuk disesuaikan dengan konsep manajemen lingkungan dan kesinambungan pembangunan, supaya SDA Indonesia bisa dikelola secara benar dan berkesinambungan. Dengan kata lain, pengelolaan bidang SDA ini tidak dapat dilepaskan dari dimensi bioregion, yang menekankan nilai-nilai bahwa setiap pembagian kewenangan harus memperhatikan sifat saling ketergantungan antarsektor, kawasan, unsur ekosistem dan antara kebutuhan masa kini dan masa depan yang akan mempengaruhi kelangsungan keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan hidup. Kecenderungan makin menguatnya saling ketergantungan antarberbagai dimensi tersebut perlu diakomodasi dengan nilai-nilai tata kelola yang sesuai di dalam sistem pemerintahan. Oleh karena itu, yang pertama kali perlu diperhatikan adalah ketepatan model pembagian kewenangan yang dirancang Pemerintah dan pihak Legislatif di Indonesia: sejauhmana norma-norma yang dituangkan ke dalam konsep desentralisasi dan otonomi daerah sesuai, aplikatif dan efektif untuk diberlakukan. Rekomendasi Kebijakan Baik UU 22/1999 maupun UU 32/2004 tidak cukup memadai dalam menata kewenangan pusat-daerah, oleh karena itu, perumusan yang mencerminkan keseimbangan kepentingan nasional dan pluralitas lokal, yaitu kewenangan yang bisa dikelola dengan baik oleh tiga jenjang pemerintahan (Pempus, Pemprov, Pemkab/Pemkot) mendesak untuk direalisasikan di Indonesia. Penataan kewenangan pusat-daerah ini mensyaratkan pemerintahan pusat-daerah yang demokratis dan syarat
78
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
pelaksanaan fungsi manajerial yang efektif dan efisien dalam penyelenggaraan pemerintahan juga menjadi suatu yang niscaya. Kewenangan tidak mengenal dikotomi wajib dan pilihan. Nomenklatur seperti ini adalah out of concept dan tidak tepat karena kewenangan dan kewajiban adalah dua hal yang berbeda. Mencampuradukkan kedua terminologi (kewenangan dan kewajiban) ini hanya akan membingungkan daerah dan menghambat realisasi desentralisasi. Karena kewenangan merupakan hal yang paling hakiki yang semestinya dimiliki daerah, masih menjadi area tarik-menarik antara pusat-daerah. Peran state-society-market mensyaratkan adanya shareholders, dimana “aktor” memegang peran penting. Pengelolaan kewenangan bidang SDA, SDE dan SDM terkait erat dengan peran ketiga hal tersebut (statesociety-market). Di era sekarang ini tidak hanya negara (pemerintah) dan pasar yang memegang peran penting, masyarakat pun juga ikut andil di dalamnya. Gagal dalam melibatkan keikutsertaan masyarakat dalam kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan SDA, SDE dan SDM menyebabkan kurang optimalnya hasil capaian akhir pengelolaan ketiga bidang tersebut. Karena masyarakat tidak bisa dilihat sebagai pengguna (user) belaka, lebih dari itu mereka adalah penentu pula dalam proses dan mekanisme pengelolaan ketiga bidang tersebut. Perlu ditelaah kembali sistem norma dalam perumusan kewenangan. Rumusan UU 32/2004 sarat dengan keinginan untuk mengarahkan, mengatur, dan membatasi pemerintah daerah oleh pemerintah pusat melalui berbagai nilai-nilai atau norma-norma yang dituangkan ke dalam asas, prinsip-prinsip, dan kriteria dll. Untuk itu, diperlukan rumusan yang tidak hanya menonjolkan pengarahan, pengaturan, pembatasan kepada pemerintah daerah, tapi lebih dari itu juga pemberian keleluasaan dan kemandirian pada daerah. Perlunya pembangunan struktur dan transformasi sosial serta law enforcement. Ketika layer pertama yaitu perumusan dan norma serta kaidah penataan kewenangan dibenahi dan disesuaikan dengan aspirasi dan fenomena yang berkembang, maka perlu pembangunan struktur dan transformasi sosial serta law enforcement untuk menunjang realisasi desentralisasi dan otonomi, khususnya pelaksanaan kewenangan yang riil bagi daerah. Hal ini dimungkinkan bila pembangunan struktur terlaksana dan transformasi sosial bisa berlangsung lancar serta law enforcement berhasil diwujudkan di Indonesia. Perlunya dicarikan terobosan model kerjasama antardaerah seperti membentuk konsorsium. Belakangan ini muncul pemikiran di beberapa
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
79
kabupaten/kota untuk memperkuat kerjasama antardaerah dengan membentuk konsorsium untuk mengelola urusan-urusan yang bersifat lintas kabupaten/kota. Konsorsium ini diperlukan untuk mengatasi munculnya penolakan kabupaten/kota terhadap pengambilalihan urusan lintas kabupaten/kota oleh provinisi. Ide ini antara lain muncul di Jawa Timur di mana daerah menginginkan membentuk konsorsium untuk mengatasi adanya konflik antar daerah. Dalam merespons keinginan tersebut mungkin akan lebih arif bila pemerintah provinsi memfasilitasi usaha-usaha kerjasama beberapa kabupaten/kota dalam wilayahnya. Hal ini dimaksudkan pula untuk menghindari pendekatan top-down pemerintah provinsi terhadap pemerintah kabupaten/kota karena dinilai tidak cocok dengan iklim keterbukaan politik lokal saat ini. Dengan kata lain, otonomi daerah diharapkan mampu meminimalisasi konflik dan dapat meningkatkan kerjasama. Untuk itu, partnership/kemitraan antara negara (tingkat pusat dan lokal) dengan swasta dan komunitas lokal perlu diupayakan dan dikembangkan secara signifikan (Ratnawati, 2005:87-89). Era desentralisasi sekarang ini semestinya ditandai dengan era kerjasama antara pusat-daerah dan antardaerah. Akhirnya satu hal yang perlu diutarakan juga adalah perkembangan selama periode 2007-2008 yaitu menegnai eksisnya political will dan political commitment Pemerintah melalui Depdagri yang sedang merevisi UU 32/2004. Revisi ini akan memisahkan peraturan pemilihan kepala daerah (pilkada) dari UU Pemerintahan Daerah, dan diharapkan selesai tahun 2008. Selain itu, UU hasil revisi juga diharapkan dapat mengakomodasi keinginan rakyat untuk mewujudkan pelayanan publik dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Dua hal penting ini menjadi tekad publik dan patut dipertimbangkan secara serius oleh Pemerintah untuk dimasukkan dalam revisi. Penataan daerah ke depan harus didasarkan atas spirit untuk mewujudkan good governance, di mana transparansi, akuntabilitas dan partisipasi menjadi fokus utamanya. Daftar Pustaka Budiman, Arief, 2002, ‘Civil Society and Democratic Governance: The Case of Indonesia’, paper dipresentasikan pada konferensi Democracy di Seoul, 29-30 Juli. Chaniago, Andrinof A., 2005, ’Kewenangan Pusat-Daerah dan Kerjasama AntarDaerah dalam Pengelolaan Sumber Daya Ekonomi’, dalam R. Siti Zuhro et al, Menata Kewenangan Pusat-Daerah yang
80
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Aplikatif-Demokratis, Jakarta: LIPI. Proyek Pengembangan Riset Kompetitif Program Isu LIPI. Diamond, Larry, 2002, ‘Thinking about Hybrid Regime’, Journal of Democracy, Vol. 13, No. 2 (April). Dick, Howard, 2002, Surabaya, City of Work: A Socioeconomic History, 1900-2000. Southeast Asia. Athens: Ohio University Press. Djohan, Djohermansyah, 2003, Kebijakan Otonomi Daerah 1999. Jakarta: Yarsif Watampone. Gafar, Affan, 2000, ‘Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan di Masa Mendatang’, dalam Wacana, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, No. V. Hadiz, Vedi R., 2003, ‘Local Power: Decentralisation and Political Reorganisation in Indonesia’, makalah yang dipresentasikan dalam konferensi ‘Globalisation, Conflict and Political Regimes in East Asia and Southeast Asia’, Fremantle, Perth 15-16 Agustus. Hidayat, Syarif, 2003, ‘Desentralisasi dalam Perspektif State-Society Relation: Rekonstruksi Konsep dan Pendekatan Kebijakan’, dalam Syamsuddin Haris (ed.), Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Naskah Akademik dan RUU Usulan LIPI. Kerjasama Pusat Penelitian Politik-LIPI dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, hlm. 13-41. Hirotsune, Kimura, 1999, ‘Desentralisasi: Bentuk Baru Integrasi Nasional? Jurnal Ketahanan Nasional, No.4 (3), Desember. Hoessein, Bennyamin, 1995, ‘Sentralisasi dan Desentralisasi: Masalah dan Prospek’, dalam Syamsuddin Haris dan Riza Sihbudi, Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru, Jakarta: Gramedia. ______________, 1998, ‘Otonomi dan Pemerintahan Daerah: Tinjauan Teoritis’, dalam Pemerintahan Lokal dan Otonomi Daerah, Jakarta: PPW LIPI. Jurnal Pasar Modal Indonesia, Januari 2000, hal. 38. King, Dwight Y., 2002, ‘Political Reforms, Decentralisation and Democratic Consolidation’, makalah yang dipresentasikan dalam konferensi ‘Can Decentralisation Help Rebuild Indonesia?’, Georgia State University, Atlanta, 1-3 Mei. Koswara, Engkos, 2001, Otonomi Daerah Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat, Jakarta: Yayasan PARIBA. Legge, John D., 1961, Central Authority and Regional Autonomy in Indonesia, Ithaca, New York: Cornell University Press.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
81
Linz, Juan J., 2001, “Some Thought on Decentralization, Devolution, and the Many Varieties Democratic Federal Arrangement”, dalam R. William Liddle (ed.), Crafting Indonesian Democracy. Jakarta: PPW-LIPI-The Ford Foundation-Mizan. Mawhood, P (ed.), 1987, Local Government in the Third World: The Experience of Tropical Africa. Chicheser: John Wiley & Sons. Media Indonesia dalam suplemen Perspektif, 8 Mei 2000. Migdal, Joel S., 1994, ‘The State in Society: An Approach to Struggles for Domination’, dalam Migdal Joel S., Atul Kohli, dan Vivienne Shue, State Power and Societal Forces. Cambridge University Press. Miller, Kenton R., 1996, Balancing the Scales: Guidelinens for Increasing Biodiversity’s Chances Through Bioregional Management. World Resources Institute. Ostrom, Vincent, 1991, The Meaning of American Federalism: Constituting Self-Governing Society. San Francisco: ICS Press. Pabottingi, Mochtar, 2003, ‘UU No. 22 Tahun 1999: Blunder Asumsi di Tengah Irasionalitas Politik’, dalam Syamsuddin Haris (ed.), Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Naskah Akademik dan RUU Usulan LIPI. Kerjasama Pusat Penelitian Politik-LIPI dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, hlm. 13-41. Rasyid, Ryaas, 2002, ‘The Policy of Decentralisation in Indonesia’, makalah yang dipresentasikan dalam konferensi ‘Can Decentralisation Help Rebuild Indonesia’?, Atlanta, Georgia, 1 Mei. ___________, 2003, ‘Regional Autonomy and Local Politics in Indonesia’, dalam Edward Aspinall dan Greg Fealy (ed.), Local Power and Politics in Indonesia: Decentralisation and Democratisation. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Ratnawati, Tri, Alfitra Salamm, dan Lili Romli, 2003, Hubungan Kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Otonomi Daerah di Indonesia: Peluang, Kendala dan Implikasinya. Jakarta: Proyek Pengembangan Riset Kompetitif Program Isu LIPI. Ratnawati, Tri, 2005, ‘Beberapa Studi Otda di Indonesia: Dimensi Kewenangan, Konflik dan Kerjasama’, dalam R. Siti Zuhro et al, Menata Kewenangan Pusat-Daerah yang Aplikatif-Demokratis, Jakarta: LIPI. Proyek Pengembangan Riset Kompetitif Program Isu LIPI. Sarmidi, Ahmad, 2005, ‘Kewenangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Otonomi Daerah: Manajemen Bioregion dan Kesejahteraan
82
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Rakyat’, dalam R. Siti Zuhro et al, Menata Kewenangan PusatDaerah yang Aplikatif-Demokratis, Jakarta: LIPI. Proyek Pengembangan Riset Kompetitif Program Isu LIPI. Sarundayang, S.H., 2005, Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah, Jakarta: Kata Hasta Pustaka. ___________, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Jakarta: Sinar Harapan, 1999. Silalahi, Pande Radja, 2000, “Implikasi Kebijakan Ekonomi Pemerintah Pusat dan Pembangunan Ekonomi di Daerah”, Analisis CSIS, No.1. Sonan, Ali Djufri Chozin, 2000, “Persoalan Dalam Pelaksanaan UU No. 25/1999”, dalam Indonesia Menapak Abad 21, Jakarta: IPSKLIPI. Sukarno, Makmuri, 2005, Menata Kewenangan di Bidang Pendidika’, dalam dalam R. Siti Zuhro et al, Menata Kewenangan Pusat-Daerah yang Aplikatif-Demokratis, Jakarta: LIPI. Proyek Pengembangan Riset Kompetitif Program Isu LIPI. Surbakti, Ramlan, 1999, ‘Implikasi UU Politik terhadap Politik Lokal’, dalam Anshari Thayeb et al (ed.), Jawa Timur dalam Perspektif Negara dan Masyarakat. Surabaya: Yayasan Lubuk Hati. Uhlin, Anders, 2002, ‘Globalization, Regime Transition and the Indonesian State’, paper dipresentasikan dalam ‘the 2002 Annual Meeting of the American Political Science Association’, 29 Agustus-1 September. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerinatahan Daerah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah. UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Zuhro, R. Siti, 1999, ‘Masa Depan Otonomi Daerah dan Integrasi Bangsa’, Jurnal Madani, No. 3 Vol. 2. __________, 1999, ‘Masa Depan Otonomi Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan: Perjuangan Panjang Menegakkan Otonomisasi’, Jurnal Otonomi, Vol. I No. I, Oktober. __________, 2004, ‘Otoda dalam Konteks Pemerintahan Baru’, Edisi Khusus Media Indonesia, 19 Oktober. Zuhro, R. Siti et al, 2004, Konflik dan Kerjasama Antardaerah: Studi Kasus Pengelolaan Hubungan Kewenangan Daerah dan Antardaerah di Malang (Jawa Timur), Bangka (Bangka Belitung) dan Nunukan (Kalimantan Timur). Jakarta: Proyek Pengembangan Riset Kompetitif Program Isu LIPI.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
83
Zuhro, R. Siti et al, 2005, Menata Kewenangan Pusat-Daerah yang Aplikatif-Demokratis, Jakarta: LIPI. Proyek Pengembangan Riset Kompetitif Program Isu LIPI. Zuhro, R. Siti, 2005, ‘Dinamika Kekuatan Masyarakat Lokal dan Demokratisasi: Studi Kasus di Kabupaten Malang, 2001-2004’, dalam Afadlal (ed.), Dinamika Kekuatan Masyarakat Lokal Era Otonomi Daerah. Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI, hlm. 3774.
84
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Kemiskinan Umar Juoro
Tidak dimungkiri bahwa perekonomian pada umumnya telah keluar dari krisis sebagaimana diperlihatkan oleh pertumbuhan ekonomi yang moderat sekitar 6% dan stabilitas ekonomi makro yang cukup baik, sebagaimana ditunjukkan oleh penurunan suku bunga dan inflasi. Namun pertumbuhan moderat tersebut tidak diiringi dengan perluasan kesempatan kerja yang memadai dan pengurangan tingkat kemiskinan yang berarti. Pertumbuhan semakin lemah korelasinya dengan penciptaan kesempatan kerja. Sementara itu kebijakan langsung dalam mengatasi pengangguran dan kemiskinan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah sangat lemah baik dalam perencanaan maupun implementasi. Dalam masa demokrasi ini kebijakan ekonomi sangat ditentukan oleh dinamika politik. Kebijakan ekonomi yang baik belum tentu dapat dilaksanakan jika tidak mendapatkan dukungan politik memadai. Karena itu sinergi kebijakan ekonomi dan dukungan politik menjadi sangat penting. Tentu saja waktu dan daya yang dibutuhkan untuk itu lebih besar, namun jika hal ini dilakukan dengan proporsional, kebijakan menjadi lebih kuat dan langsung menjawab tantangan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Pendahuluan Pembangunan ekonomi dalam tataran kebijakan pada umumnya dimengerti sebagai pencapaian pertumbuhan yang tinggi dan pemerataan. Pertumbuhan ekonomi saja kemungkinan hanya akan menguntungkan sebagian kecil masyarakat dan meninggalkan sebagian besar masyarakat dalam kemiskinan. Sedangkan mengutamakan pemerataan saja tanpa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dapat meningkatkan kesejahteraan atau hanya berputar pada pemerataan kemiskinan.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
85
Paradigma pertumbuhan dengan pemerataan selalu menjadi kunci dalam kebijakan ekonomi di Indonesia sejak masa Orde Baru. Pada masa Pemerintahan SBY-JK tema yang di kedepankan adalah tiga jalur pembangunan ekonomi yaitu pro-growth, pro-job, pro-poor. Suatu semboyan yang sangat menarik untuk di dengar dan dibahas, tetapi sangat sulit untuk dilaksanakan. Luas dipahami bahwa pertumbuhan ekonomi harus dapat sejalan dengan perluasan kesempatan kerja. Pertumbuhan ekonomi juga harus dapat secara langsung mengatasi kemiskinan. Makalah ini membahas bagaimana peertumbuhan ekonomi pasca-krisis mengalami perbaikan pada tingkatan yang moderat sekitar 6%, namun permasalahan pengangguran masih tinggi pada angka sekitar 9%, dan tingkat kemiskinan juga masih tinggi sekitar 16%. Keadaan ini menggambarkan bahwa pertumbuhan tidak dengan sendirinya sejalan dengan perluasan kesempatan kerja dan pengurangan tingkat kemiskinan. Untuk membuat pembangunan pro-rakyat, yang berarti pertumbuhan tinggi sejalan dengan perluasan kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan, diperlukan upaya langsung baik dari pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat luas. Ekonomi Berkembang Secara Tidak Merata Perkembangan ekonomi Indonesia pada masa pasca-krisis secara makro mengalami pertumbuhan moderat sekitar 6% dan pendapatan per kapita telah melebihi pada masa sebelum krisis, menjadi sekitar $ 1500 perkapita. Stabilitas ekonomi sebagaimana diperlihatkan oleh tingkat inflasi, nilai tukar rupiah, dan inflasi terjaga cukup baik (lihat Gambar 1). Namun kecenderungan perkembangan ekonomi terjadi secara tidak merata. Beberapa sektor tumbuh tinggi, dan bahkan sangat tinggi mencapai dua digit dalam beberapa tahun terakhir, seperti sektor telekomunikasi. Sektor keuangan juga berkembang cukup pesat, apalagi berkaitan dengan pasar modal, sebagaimana ditunjukkan oleh kenaikan indeks pasar modal pada tingkatan 2600an, dan begitu pula dengan perkembangan pasar obligasi.
86
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Gambar 1. Pertumbuhan, Inflasi dan Suku Bunga
Sumber: BPS, BI, estimasi Sektor konstruksi, terutama perumahan, perkembangannya bergantung pada tingkat suku bunga, jika suku bunga rendah maka pertumbuhan sektor konstruksi tinggi, dan sebaliknya. Sedangkan sektor perdagangan, terutama perdagangan modern, tumbuh cukup tinggi. Namun perdagangan tradisional mengalami kesulitan dengan menurunnya daya beli masyarakat golongan bawah. Sedangkan sektor yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar yaitu industri manufaktur dan pertanian secara umum perkembangannya dapat dikatakan mengecewakan. Sektor pertambangan juga tidak dapat memanfaatkan tingginya harga komoditas untuk menarik investasi dalam jumlah besar. Kegiatan di sektor pertambangan hanyalah berupa peningkatan produksi dari kegiatan yang ada dan minim kegiatan ekplorasi. Produksi minyak cenderung menurun dan praktis tidak adanya penemuan baru dalam sumber migas dan pertambangan. (lihat Tabel 1.)
87
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Tabel 1. Pertumbuhan Sektoral Sektor
2004
2005
2006
2007 2008*
Pertanian
4.1
2.5
3
3.5
3.5
Pertambangan
-4.6
1.6
2.2
2
2
Manufaktur
6.2
4.6
4.6
4.7
4.5
Listrik, Air,Gas
5.9
6.5
5.9
10.4
7.5
Konstruksi
8.2
7.3
9
8.6
6.5
Perdagangan, Hotel, Rest.
5.8
8.6
6.1
8.5
7
Transp. And Telekom.
12.7
13
13.6
14.4
10
Keuangan
7.7
7.1
5.7
8
6.5
Jasa-Jasa
4.9
5.2
6.2
6.6
5.5
PDB
5.1
5.6
5.5
6.3
5.8
Sumber: BPS, estimasi Perkembangan ekonomi ini memperlihatkan bahwa sektor-sektor yang telah dileberalisasikan tidak banyak lagi campur tangan pemerintah mengalami pertumbuhan yang tinggi, dan memberikan manfaat tinggi pada konsumen, sekalipun bagi produsen dalam negeri keadaannya berbeda. Sedangkan untuk sektor-sektor yang masih membutuhkan regulasi dan dukungan pemerintah mengalami perkembangan yang tidak menggembirakan. Dari sisi pengeluaran, kegiatan konsumsi masyarakat masih menjadi penggerak utama perekonomian. Namun konsumsi masyarakat yang tumbuh tinggi pada umumnya adalah pada golongan masyarakat berpendapatan tinggi, sedangkan mereka yang berpendapatan rendah cenderung stagnan atau bahkan menurun. Ekspor dapat tumbuh cukup tinggi karena tingginya harga komoditas, seperti kelapa sawit, batu bara, dan karet. Perkembangan investasi belum menggembirakan karena hambatan investasi seperti kepastian hukum dan permasalahan ketenagakerjaan belum dapat diatasi dengan baik (lihat Tabel 2). Pembangunan infrastruktur juga masih tertunda. Pembebasan tanah untuk jalan tol tidak kunjung terlaksana, sedangkan pembangunan pembangkit listrik mengalami permasalahan karena tuntutan untuk mendapatkan garansi penuh dari pemerintah terutama dari investor Cina dalam percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW.
88
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Tabel 2. Pertumbuhan Sisi Pengeluaran Pertumbuhan Sisi Pengaluaran 2005
2006
2007
2008*
Konsumsi
4.4
3.2
5
4.5
Pengeluaran Pemerintah
8.1
9.6
3.9
5.5
Investasi
9.9
2.9
9.2
7.5
Ekspor
8.6
9.2
8
7
Impor
12.3
7.6
8.9
8
PDB
5.6
5.5
6.3
5.8
Sumber: BPS, estimasi Dengan perkembangan ekonomi seperti ini kecenderungan tingkat pengangguran masih tinggi dan demikian pula dengan tingkat kemiskinan. Pertumbuhan moderat ini dengan pertumbuhan yang tinggi pada sektor tertentu membuat lapisan masyarakat tertentu saja yang menikmati perkembangan ekonomi ini, sedangkan sektor lain dan bagian terbesar masyarakat relatif berada di pinggiran. Hal ini yang tampaknya terfleksikan pada hasil survei berkaitan dengan rendahnya kepuasan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah mengembangkan perekonomian. Dengan perkembangan ekonomi seperti ini maka kencenderungannya adalah persaingan yang semakin ketat pada kegiatan ekonomi yang paling aktif. Kita perhatikan bagaimana persaingan demikian ketat diantara operator telekomunikasi untuk telepon selular dengan variasi harga dan berbagai jenis pelayanan. Demikian pula di sektor perbankan, bank-bank berlomba-lomba menawarkan kredit konsumsi yang menarik dengan bunga yang bersaing ditambah fasilitas lainnya. Kredit konsumsi ini dalam bentuk kredit kepemilikan rumah, pemilikan kendaraan bermotor, dan kartu kredit. Untuk menarik deposito diberikan bermacam hadiah. Bank-bank yang kuat permodalannya dan dikelola dengan baik mendapatkan keuntungan yang terus meningkat, sedangkan bank-bank yang lemah sangat sulit bahkan hanya untuk bertahan hidup. Karena itu konsolidasi perbankan menjadi penting. Demikian pula di kegiatan perdagangan, pusat-pusat perdagangan besar bersaing ketat dengan menawarkan harga produk yang lebih murah dan jenis produk yang beragam. Sementara pedagang tradisional kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan persaingan ini. Dari sisi tenaga kerja, mereka yang mempunyai pengalaman dan kemampuan tinggi dalam bidang kosumen mendapatkan penawaran yang
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
89
tinggi dari berbagai perusahaan perdagangan, industri, dan bahkan juga perbankan. Hal ini sejalan dengan pola perkembangan ekonomi yang lebih consumer oriented. Mereka yang berketrampilan tinggi dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan bisnis, tidak saja mendapatkan pekerjaan yang baik tetapi juga imbalan yang tinggi. Sedangkan pekerja yang biasa-biasa saja semakin sulit bahkan untuk mempertahankan pekerjaannya. Bagi pemula kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang berupah tinggi atau paling tidak memadai semakin keras persaingannya. Karena itu pengangguran terdidik semakin meningkat. Kesempatan kerja yang bersifat tetap semakin sulit karena perusahaan cenderung untuk tidak menambah pekerja, atau melakukan outsourcing untuk menghindari pembayaran biaya kompensasi yang tinggi jika memberhentikan pekerja. Untuk produk manufaktur dengan semakin terbukanya perekonomian, konsumen diuntungkan dengan masuknya berbagi jenis produk impor terutama dari Cina dengan harga yang sangat murah. Sedangkan dari sisi produsen sangat sulit untuk menyaingi produk impor ini, bahkan banyak produsen yang memproduksi barangnya di Cina dan memasarkannya di Indonesia. Karena itu kecenderungan kesempatan kerja di industri manufaktur mengalami penurunan. Perkembangan ekonomi di daerah juga semakin tidak merata. Daerahdaerah tertentu yang telah berkembang ekonominya terlebih dahulu dan menjadi pusat kegiatan ekonomi akan tetap menjadi pusat kegiatan ekonomi. Daerah tersebut terutama berpusat di sekitar kota Jakarta dan Surabaya. Dengan aliran dana yang besar ke daerah tertentu yang kaya sumber daya alam melalui dana alokasi umum, maka daerah tersebut mendapatkan dana yang bahkan lebih besar dari kebutuhannya. Daerah tersebut terutama adalah Kalimantan Timur dan Riau. Sayangnya daerah tersebut belum mampu memanfaatkan dana besar yang diperoleh dengan optimal untuk kegiatan pembangunan. Sedangkan daerah yang miskin dengan sumber daya alam menghadapi permasalahan serius berkaitan dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Ketidak merataan ekonomi tersebut semestinya diseimbangkan oleh pemerintah dengan memperluas kegiatan ekonomi yang dapat menyerap tenaga kerja yang lebih luas dan upah yang lebih baik. Namun pemerintah sekarang ini masih disibukkan dengan urusannya sendiri, seperti menjaga defisit anggaran tetap rendah, dan berusaha mengalokasikan anggaran secara lebih optimal. Pemerintah daerah juga kurang mampu dalam memanfaatkan dana yang telah tersedia untuk pembangunan. Langkahlangkah untuk memperbaiki iklim investasi, memperluas kesempatan kerja, dan mengurangi kemiskinan berjalan terseok-seok.
90
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Sekalipun masyarakat tidak puas terhadap pemerintah berkaitan dengan kinerja ekonomi, tampaknya masyarakat pada umumnya cenderung untuk menerimanya, karena mereka juga yang telah secara langsung memilih Presidennya. Karena itu sekalipun pengagguran tinggi dan daya beli masyarakat cenderung menurun, strabilitas sosial-politik relatif terjaga. Dalam keadaan seperti ini maka bagi dunia usaha dan juga masyarakat pada umumnya, upaya mereka sendiri yang menentukan keberadaannya dalam bidang ekonomi untuk lebih baik atau lebih buruk. Bagi mereka yang dapat memanfaatkan peluang pendapatan mereka lebih tinggi, sedangkan yang tersisih semakin berat untuk bertahan. Ekonomi Jangka Pendek Perkembangan ekonomi Indonesia semakin dicirikan oleh sifatnya yang jangka pendek. Stabilitas ekonomi makro pasca krisis pada umumnya tidak bertahan lama hanya sekitar satu tahun sebelum inflasi meningkat kembali, baik karena kenaikan harga administratif, seperti BBM, kenaikan harga bahan pangan pada umumnya, ataupun permintaan yang lebih tinggi daripada penawaran. Pada saat inflasi rendah maka suku bunga juga menurun dan sektor ekonomi tertentu, terutama keuangan, perdagangan, perumahan, dan penjualan kendaraan bermotor mendapatkan peluang besar untuk tumbuh tinggi. Sebagaimana kita lihat beberapa waktu yang lalu, peningkatan yang tinggi dari indeks pasar modal, minat yang tinggi terhadap obligasi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam denominasi rupiah dan dolar, minat tinggi pada obligasi perusahaan bahkan untuk perusahaan yang merugi seperti PLN karena jaminan pemerintah, minat pada saham PGN suatu BUMN di bidang infrastruktur, menunjukkan tingginya permintaan terhadap aset keuangan (liquid asset). Namun belakangan ini ketika inflasi meningkat seiring dengan kenaikan harga pangan dan energi, minat investor terhadap pasar modal dan terutama pasar obligasi menurun. Dengan besarnya subsidi BBM yang mencapai Rp 187 triliun pada APBN-P 2008 maka investor melihat kebijakan ekonomi sebagai tidak rasional, apalagi defisit sebesar Rp 95 triliun harus dibiayai dengan peneribitan SUN sebesar Rp 117 triliun. Investor juga lebih tertarik pada investasi strategis dengan membeli saham perusahaan yang ada daripada melakukan investasi baru. Bagi banyak investor strategis ini setiap saat mereka dapat menjual kembali perusahaan yang dibelinya dengan mendapatkan keuntungan (capital gain) yang cukup tinggi. Hanya sedikit investor strategis yang mempertahankan perusahaan yang dibelinya dalam jangka menengah apalagi jangka panjang.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
91
Begitu pula bagi masyarakat pemilik dana perhatian mereka adalah pada aktivitas ekonomi yang relatif aman dan menguntungkan dalam jangka pendek. Karena itu sekitar 70% dari Dana Pihak Ketiga di perbankan nasional adalah deposito satu bulan, sekalipun kecenderungannya deposito ini dipertahankan oleh pemiliknya untuk satu bulan selanjutnya (rollover). Konsekuensinya bank tidak berani memberikan kredit dalam jangka panjang, di atas 10 tahun, dan sangat hat-hati bahkan untuk jangka menengah, sekitar 3-5 tahun. Karena itu konsentrasi kredit perbankan adalah pada modal kerja dan kredit konsumsi.Untuk kredit konsumsi pada umumnya, seperti kredit kepemilikan rumah, bunganya pada tingkatan tetap hanya pada tahun pertama saja, karena ketidakpastian ke depan. Bank tidak berani memberikan bunga deposito yang jauh lebih menarik untuk jangka yang lebih panjang karena ketidakpastian ke depan. Sedangkan instrumen kebijakan moneter yang paling diminati adalah yang juga jangka pendek yaitu SBI satu bulan. Ekonomi jangka pendek ini tidak akan menghasilkan perekonomian yang kokoh dan tidak dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat kebanyakan. Orientasi investor pada investasi portfolio tidak memberikan sumbangan pada penciptaan kesempatan kerja yang berarti. Di tambah dengan hambatan struktural investasi yang tidak dapat diatasi secara berarti oleh pemerintah realisasi investasi langsung, baik domestik mapun asing juga rendah, sekalipun sebenarnya minat cukup tinggi. Distribusi pendapatan masyarakat juga akan semakin timpang dengan mereka yang mempunyai aset keuangan yang mendapatkan imbal hasil (return) yang jauh lebih tinggi, sedangkan sebagian besar masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan tetap seja semakin sulit. Upaya untuk mengarahkan dana pensiun bagi investasi jangka panjang sejauh ini jauh dari memuaskan. Bahkan dana pensiun sendiri kebanyakan ditempatkan pada deposito. Sedangkan pasar modal lebih sebagai sarana masuknya dana jangka pendek dari luar negeri yang memperebutkan saham yang tergolong unggulan sehingga harganya terus meningkat yang semakin kurang sepadan dengan kinerja perusahaan yang bersangkutan daripada sebagai sarana untuk mendapatkan modal bagi perusahaan pada umumnya. Sebenarnya pemerintah cukup dipercaya untuk mendapatkan dana jangka panjang baik dalam bentuk dolar maupun rupiah sebagaimana diperlihatkan dari relatif tingginya permintaan terhadap obligasi jangka panjang, sampai dengan 30 tahun yang diterbitkan pemerintah, sekalipun belakangan ini minat tersebut menurun karena tingginya inflasi dan subsidi BBM. Namun di sisi pengeluaran, belanja pemerintah dalam APBN adalah
92
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
bersifat tahunan, dan pengeluaran terbesar dari pemerintah adalah untuk pengeluaran rutin, termasuk pembayaran utang dan alokasi dana ke daerah, dengan persentase belanja modal yang relatif kecil. Karena itu pemanfaatan dari pinjaman melalui obligasi jangka panjang ini tidak terkait langsung dengan investasi publik jangka panjang. Program pembangunan infrastruktur kurang mendapatkan minat dari investor swasta dalam pelaksanaannya. Praktis hanya investor Cina yang terlibat, itupun masih membutuhkan negosiasi yang bisa berkepanjangan. Ironisnya adalah perusahaan Cina tersebut pada umumnya adalah BUMN yang tentu saja menuntut garansi dari pemerintah Indonesia. Lemahnya kemampuan pemerintah dalam memberikan kepastian kepada investor, antara lain dalam menyediakan lahan, membuat pembangunan infrastruktur lebih sebagai kampanye yang semakin tidak menarik dari pada realisasi yang nyata. Selama orientasi ekonomi adalah masih jangka pendek, maka perekonomian Indonesia rentan terhadap membaliknya inflasi dan keluar masuknya dana jangka pendek dari luar negeri untuk investasi portfolio. Pemerintah sebenarnya dapat mendorong investasi jangka panjang mulai dari dirinya sendiri, antara lain dengan mendapatkan persetujuan DPR untuk pembiayaan proyek pembangunan dalam APBN, dan juga APBD di tingkat daerah, dalam beberapa tahun (multiyears). Selanjutnya penerbitan obligasi yang spesifik, terutama untuk pembangunan infrastruktur, yang berjangka panjang juga dapat dilakukan memanfaatkan minat investor pada aset keuangan. Pemberian garansi oleh pemerintah untuk pembangunan infrastruktur, seperti pembangkit listrik, adalah cara untuk memberikan kepastian kepada investor. Namun perlu diperhatikan untuk bersifat selektif, supaya pengalaman dengan masa sebelum krisis tidak terulang lagi yang erat kaitannya dengan permasalahan akuntabilitas. Harapannya langkah ini dapat diikuti oleh peran investor swasta dalam investasi jangka panjang. Tentu saja apa yang selalu kita desak agar pemerintah dapat memperbaiki iklim investasi harus dilakukan untuk menarik investasi langsung. Namun perbaikan iklim investasi ini tampaknya tidak dapat diciptakan dalam waktu dekat kerena kemampuan pemerintah yang rendah untuk menjalankannya, dan lemahnya dukungan dari pihak-pihak lain, baik DPR maupun organisasi masyarakat seperti, serikat pekerja khususnya dalam revisi UU Ketenagakerjaan yang lebih fleksibel bagi penciptaan kesempatan kerja. Namun bagaimanapun tidak ada jalan pintas untuk itu. Kita mengharapkan adanya perbaikan dalam hal ini sekalipun secara bertahap karena masa depan kita bersama sangat bergantung pada perbaikan ini.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
93
Permasalahan Tingginya Pengangguran dan Kemiskinan Permasalahan tingginya pengangguran di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor: Pertama, lemahnya investasi sejak krisis ekonomi menyebabkan rendahnya penyerapan tenaga kerja. Perekonomian tumbuh moderat didorong terutama oleh konsumsi masyarakat. Pola ekonomi demikian menyebabkan kesempatan kerja formal yang tercipta relatif kecil. Perkembangan konsumi masyarakat yang menonjol, selain kebutuhan pangan, adalah telekomunikasi, terutama dalam bentuk telepon nirkabel dan sepeda motor. Fenomena ini menonjol terutama sejak masa krisis. Perkembangan telekomunikasi nirkabel tentu saja membutuhkan investasi besar, namun berbeda dengan kegiatan di sektor manufaktur, sektor telekomunikasi tidak bersifat padat karya. Pembelian sepeda motor sebenarnya berkaitan dengan perkembangan sektor manufaktur. Namun investasi di industri sepeda motor juga tidak banyak menyerap tenaga kerja, dibandingkan misalnya dengan industri padat karya seperti tekstil, garmen, dan alas kaki. Kedua, perusahaan pada umumnya menganggap bahwa kakunya peraturan tenaga kerja terutama berkaitan dengan mahalnya biaya memberhentikan tenaga kerja dan terus meningkatnya upah minimum menyebabkan perusahaan enggan untuk menambah tenaga kerja secara berarti. Bagi perusahaan lebih baik mencari peluang, sekalipun tidak langsung, untuk melakukan outsourcing. Hal ini sejalan dengan kecenderungan semakin rendahnya keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dengan peneyerapan tenaga kerja. Jika sebelum krisis pertumbuhan 1% dapat menyerap tenaga kerja sekitar 250 ribu, maka setelah krisis hanya setengahnya atau lebih kecil lagi. Sedangkan permasalahan tingginya angka kemiskinan 15,6% pada tahun 2007 terutama disebabkan oleh: Pertama, inflasi yang tinggi terutama sejak kenaikan harga BBM pada Oktober 2005. Inflasi yang tinggi pada waktu itu disumbangkan oleh kenaikan biaya transportasi dan bahan pangan. Kemiskinan sangat terkait dengan harga bahan pangan ini. Karena itu jika harga bahan pangan tinggi maka tingkat kemiskinan cenderung meningkat. Begitu pula sebaliknya menurunya inflasi akan menurunkan tingkat kemiskinan. Pemerintah berencana akan meningkatkan harga BBM lagi pada akhir Mei atau awal Juni tahun 2008 ini karena subsidi yang sudah demikian tinggi. Akibatnya adalah inflasi dan tingkst kemiskinan akan meningkat. Kedua, kurang efektifnya kebijaksanaan pemerintah dalam upaya
94
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
mengatasi kemiskinan. Sekalipun pemerintah telah menjalankan program BLT (Bantuan Langsung Tunai) namun bantuan ini tidak dapat mengkompensasi kenaikan harga bahan pangan dan kenaikan harga lainnya. Semula perhitungan BLT sebagai bentuk kompensasi kenaikan harga BBM memperhitungkan kenaikan harga BBM sekitar 30%, namun realisasinya kenaikan harga BBM rata-rata sekitar120%. BLT juga dipergunakan lagi untuk membantu golongan miskin dalam rencana kenaikan harga BBM pada tahun 2008 ini. Ketiga, semakin melemahnya institusi baik formal maupun informal yang mendukung program mengatasi kemiskinan. Lembaga-lembaga yang dibentuk pemerintahan Suharto seperti Posyandu dan PKK banyak yang tidak lagi berfungsi. Pemerintah pusat semakin rendah kemampuannya dan sumberdayanya untuk memberdayakan lembaga-lembaga tersebut, sementara itu pemerintah daerah tidak banyak menaruh perhatian. Akibatnya masyarakat bawah semakin kurang mendapatkan informasi dan pembinaan untuk hidup yang lebih sehat dan tidak mendapatkan dukungan memadai untuk ke luar dari kemiskinan. Gambar 2. Tingkat Pengangguran dan Kemiskinan Pengangguran dan Kemiskinan
Sumber: BPS
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
95
Kebijakan Mengatasi Pengangguran dan Kemiskinan Sejauh ini kebijaksanaan pemerintah untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan dapat dikatakan jauh dari efektif. Kebijaksanaan untuk mengatasi pengangguran jauh tertinggal dari perkembangan permasalahannya. Kebijaksanaan untuk mendorong investasi dapat dikatakan kurang berhasil. Pada tahun 2006 dapat dikatakan investasi mengalami stagnasi dibandingkan dengan tahun 2005. Padahal investasi merupakan sumber pencipta kesempatan kerja formal yang utama. Prospek membaiknya perekonomian pada tahun 2007 lebih banyak terjadi karena pengaruh dari perbaikan stabilitas ekonomi makro dan pulihnya konsumsi masyarakat, serta dalam hal tertentu ekspor. Namun prospek investasi masih belum kelihatan lebih baik secara signifikan, terutama karena hambatan-hambatan investasi yang ingin diatasi oleh paket kebijaksanaan investasi belum teratasi. Upaya untuk merevisi UU Ketenagakerjaan mendapat tantangan keras dari serikat pekerja dan pemerintah belum dapat meyakinkan serikat pekerja atau mencari jalan keluar agar permasalahan kekakuan peraturan ketenagakerjaan tidak dijadikan alasan bagi perusahaan untuk tidak melakukan investasi atau mempekerjakan tenaga kerja baru secara optimal. Sementara itu belanja modal yang sekalipun pemerintah pusat menyatakan 85% telah tersalurkan, namun tidak demikian keadaannya di tingkat daerah. Pada umumnya belanja modal di tingkat propinsi dan kabupaten masih rendah sehingga program dan proyek pembangunan tidak optimal. Padahal inilah yang dapat memberikan sumbangan penting bagi penciptaan kesempatan kerja. Sejauh ini alasan ketatnya audit dan gerakan anti korupsi masih sering dijadikan alasan rendahnya pencairan dana ini. Bagaimanapun hambatan investasi harus diatasi. Jika pemerintah tidak dapat membuat peraturan ketenagakerjaan lebih fleksibel sebagaimana yang diminta investor, maka cara lain harus dilakukan untuk membuat lingkungan investasi lebih kondusif. Apakah itu melalui insentif pajak atau insentif lainnya. Begitu pula hambatan administratif yang menghambat investasi baik di tingkat pusat maupun daerah harus di atasi. Begitu pula pencairan dana untuk belanja modal, terutama di tingkat daerah harus ditingkatkan. Alasan ketatnya audit dan gerakan anti korupsi tidak lagi dapat di kedepankan rendahnya belanja modal terutama di derah, setelah pemerintahan baru berjalan dua tahun. Pemerintah termasuk lembaga yang menangani audit dan korupsi harus bekerja secara terkoordinasi sehingga alasan ini tidak selalu mengedepan. Dalam hal upaya mengatasi kemiskinan, kebijakan tidak dapat hanya
96
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
mengandalkan jalan pintas melalui bantuan tunai, sekalipun sudah dimodifikasi dengan persyaratan tertentu, dan impor beras untuk mengendalikan harga bahan pangan. Jalan pintas ini tidak menyelesaikan permasalahan dalam jangka menengah apalagi jangka panjang. Cara mudah impor beras untuk mengendalikan harga pangan hanyalah sementara sifatnya, permasalahan mengenai ketersediaan pangan harus dipecahkan dengan tidak sekedar menyandarkan pada impor untuk negara berpenduduk besar ini. Ini berarti kebijaksanaan mengenai ketahanan pangan menjadi sangat penting. Pada saat ini dimana peran Bulog melemah untuk menjaga persediaan beras, subsidi input untuk petani, seperti pupuk akan dikurangi atau bahkan dihapuskan, kredit untuk petani semakin terbatas, maka kebijaksanaan pangan menjadi semakin tidak jelas. Semestinya jika subsidi tidak langsung terhadap faktor input dikurangi atau dihapuskan, maka alternatifnya adalah memberikan subsidi langsung kepada petani terutama untuk produsen bahan pangan. Namun subsidi langsung, sebagaimana contoh dari BLT, tidaklah mudah untuk membuatnya efektif. Permasalahan pangan akan tetap menjadi yang terpenting berkaitan dengan kemiskinan. Lemahnya kebijakan pangan akan membuat permasalahan kemiskinan akan tetap tinggi. Perbaikan kebijakan pangan yang mendasar, terutama berkaitan dengan ketersediaan dan keterjangkauan harga, akan sangat menentukan upaya mengurangi kemiskinan. Selanjutnya ketersediaan kesempatan kerja bagi golongan miskin akan mengurangi tingkat kemiskinan secara mendasar. Dengan pendapatan relatif tetap golongan miskin dapat mengatasi permasalahannya, dan akan semakin kecil ketergantungannya pada pemerintah. Dalam negara yang demokratis salah satu ukuran keberhasilan suatu pemerintahan adalah penciptaan kesempatan kerja. Jika tingkat pengangguran rendah atau kesempatan kerja tercipta luas bagi angkatan kerja, maka pemerintahan tersebut dikatakan berhasil. Sebaliknya jika pengangguran tinggi, sekalipun indikator ekonomi dan non-ekonomi lainnya relatif baik, pemerintahan tersebut dianggap gagal. Pandangan ini tentu saja dapat kita terapkan untuk kasus Indonesia. Sekalipun stabilitas ekonomi makro membaik, nilai rupiah stabil, inflasi rendah, dan suku bunga cenderung menurun, namun tingkat pengangguran cenderung meningkat. Sekarang ini tingkat pengangguran terbuka berada pada tingkatan 9.8%, tingkat pengangguran yang dapat dikatakan tertinggi bahkan sejak masa Orde Baru. Jika kita menggunakan tingkat pengangguran tersembunyi tingkatannya mencapai sekitar setengah dari angkatan kerja. Karena itu kita dapat mengatakan bahwa pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
97
adalah pemulihan ekonomi tanpa penciptaan kesempatan kerja (jobless recovery). Bagi masyarakat kebanyakan, stabilitas ekonomi makro menjadi tidak banyak artinya jika mereka tidak mempunyai pekerjaan. Akibatnya sekalipun kecenderungan tingkat harga menurun, sebagaimana yang ditunjukkan oleh menurunnya inflasi, bagi masyarakat kebanyakan terasa harga kebutuhan pokok terus meningkat. Apa yang terjadi sebenarnya adalah bukannya harga kebutuhan pokok meningkat tinggi, tetapi daya beli masyarakat yang semakin menurun karena kebanyakan dari mereka tidak mempunyai pekerjaan dengan penghasilan yang layak. Mereka yang menganggur juga mengalami tekanan psikologis yang berat, apalagi jika dikaitkan dengan status sebagai kepala keluarga. Pengangguran juga terkait langsung dengan tingkat kriminalitas terutama pada angkatan kerja berusaia muda. Pengangguran terdidik pun tinggi tingkatannya. Bahkan lulusan dari universitas ternama sekalipun sekarang ini kesulitan mendapatkan pekerjaan. Pengangguran terdidik ini membuat sumber daya manusia menjadi tidak termanfaatkan. Jelaslah bahwa pengangguran membawa akibat sosial-ekonomi yang sangat besar bagi individu yang bersangkutan, keluarganya, dan masyarakat luas. Dewasa ini pemerintah tampaknya tetap percaya bahwa jika stabilitas ekonomi makro terjaga, maka investasi akan masuk ke Indonesia dan akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan memperluas kesempatan kerja. Namun dalam kenyataannya stabilitas ekonomi makro tidak dengan sendirinya menarik investasi. Iklim investasi yang tidak kondusif dan tidak koherennya kebijaksanaan untuk menarik investasi menyebabkan bukan investor baru yang masuk bahkan investor yang ada cenderung meninggalkan Indonesia. Tambahan lagi, program-program langsung dari pemerintah, seperti program padat karya, tidak dijalankan dalam skala yang memadai, sehingga penganggur dapat dikatakan tidak mendapatkan uluran tangan dari pemerintah. Pada saat tingkat pengangguran tinggi, maka semestinya pemerintah tidak dapat hanya menunggu sambil mengharapkan stabilitas ekonomi makro akan menciptakan kesempatan kerja dengan sendirinya. Pertama, pemerintah harus mengembangkan program-program yang langsung dapat menyerap tenaga kerja, seperti pembangunan infrastruktur, pengembangan usaha kecil dan mikro, dan program padat karya lainya. Kedua, memfasilitasi dan menciptakan iklim investasi yang kondusif terutama yang bersifat padat karya dengan memberikan prioritas yang tegas dan mengatasi secara langsung permasalahan yang menghambat investasi, seperti
98
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
kebijaksanaan yang tidak konsisten, maraknya berbagai pungutan, kerangka hukum yang lemah, permasalahan ketanagakerjaan, dan jaminan keamananan. Kedua jalur untuk menciptakan kesempatan kerja ini harus dilakukan secara sinergis. Seringkali pemerintah menyatakan bahwa dana tidak tersedia untuk membiayai program-program pembangunan infrastruktur dan program padat karya lainnya. Jika dana tidak tersedia dalam jumlah besar, program tersebut sebenarnya tetap dapat dilakukan dengan alokasi biaya yang ada saja, misalnya dengan pembangunan infrastruktur berskala kecil, seperti irigasi, jalan desa, dan kebersihan lingkungan, yang dilakukan dengan mengikutsertakan pemerintah daerah. Harap diingat bahwa pengurangan pengangguran melalui program padat karya dapat dikatakan sebagai investasi publik yang selanjutnya dapat mendorong investasi swasta, karena menurunkan angka kriminalitas, dan menurunkan potensi konflik sosial. Pemerintah dapat juga membiayai program pembangunan infrastruktur dan padat karya dengan meminjam dana masyarakat, karena likuiditas cukup banyak di perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Pemerintah dapat mengeluarkan SUN (Surat Utang Negara) baik jangka panjang maupun jangka pendek (kurang dari satu tahun) untuk membiaya programprogram padat karya. Untuk program padat karya ini kita tidak perlu harus meminjam dana dari luar negeri. Sedangkan untuk mendorong investasi padat karya, kepastian bagi dunia usaha perlu diperbaiki. Industri padat karya, seperti tekstil, garmen, alas kaki, dan elektronika mengahadapi ancaman dari luar dan dalam negeri yang sangat berat, sementara itu pemerintah tidak berbuat banyak untuk membantu mengatasinya. Pemerintah seakan-akan membiarkan para pengusaha di industri padat karya berjuang sendiri untuk mengatasi permasalahan mereka. Ancaman dari luar negeri adalah persaingan dari Cina dan Vietnam dengan biaya tenaga kerja yang lebih murah dan produktivitas yang lebih tinggi. Ancaman dari dalam negeri adalah besarnya berbagai pungutan, biaya tenaga kerja, energi dan transportasi yang meningkat, dan lemahnya kepastian hukum. Untuk mengatasinya pemerintah perlu untuk memperbaiki kepastian usaha, menghapuskan berbagai pungutan oleh birokrat pusat dan daerah. Untuk itu tentu saja diperlukan kepemimpinan nasional yang tegas yang berwibawa tidak saja di tingkat pusat tetapi sampai ke tingkat daerah. Selanjutnya pemerintah juga perlu memberikan akses yang lebih baik kepada kegiatan usaha yang bersifat padat karya kepada perbankan, perluasan pasar domestik, dan pasar ekspor. Dalam hal ini diperlukan
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
99
kerjasama antara berbagai pihak. Karena pemerintah tidak lagi diperkenankan memberikan subsidi, maka sinergi perlu dikembangkan antara sektor keuangan dan sektor riil, dan perluasan akses pada pasar. Tugas pemerintah adalah memfasilitasi dan menciptakan sinergi tersebut. Kebijakan Minim Implementasi Pemerintahan SBY-JK banyak membuat kebijakan ekonomi dan akan lebih banyak lagi, namun minim dalam implementasi. Para penentu kebijakan ekonomi di pemerintahan ini, melihat bahwa peran pemerintah terutama adalah sebagai regulator, sedangkan implementasi kegiatan ekonomi diserahkan pada swasta. Hal ini sangat berbeda dengan pemerintahan pada masa Soeharto, dimana pemerintah bertindak sekaligus sebagi regulasi dan pelaksana kegiatan ekonomi. Sebenarnya Wapres Kalla masih pada pandangan bahwa peranan pemerintah bukanlah hanya pada regulasi tetapi juga aktif mengimplementasikan kebijakan. Kebijakan ekonomi yang di rangkum dalam berbagai paket kebijakan lebih mengarahkan peranan pemerintah sebagai regulator, karena itu lebih banyak isinya menyangkut mengenai berbagai perundangan dan peraturan yang disiapkan dan akan diselesaikan. Sayangnya adalah begitu undangundang atau peraturan disahkan atau dikeluarkan, tidak banyak membantu dalam mendorong kegiatan ekonomi secara nyata. Suatu Undang-Undang harus diikuti oleh peraturan pemerintah dan kemudian keputusan menteri. Revisi UU berarti juga perubahan dalam peraturan dan keputusan menteri. Karena itu sekalipun UU investasi, misalnya sudah disahkan, masih menunggu peraturan pemerintah yang mengikutinya. Jika peraturan pemerintah yang sekarang dikenal sebagai peraturan presiden dikeluarkan tidak mudah untuk dilaksanakan, karena kemungkinan tidak bersesuaian dengan UU yang lain, dan kondisi riilnya juga tidak memungkinkan implementasi peraturan tersebut. Misalnya Peraturan mengenai pembebasan tanah untuk kepentingan publik, yang dalam prakteknya tidak dapat berfungsi optimal dalam mendukung pembangunan infrastruktur. Berbeda dengan kebijakan ekonomi makro yang bersifat agregat dan dapat ditangani pemerintah dan Bank Indonesia dengan relatif baik, terutama berkaitan dengan inflasi dan defisit anggaran, kebijakan yang berkaitan dengan kegiatan riil ekonomi bersifat spesifik dan sangat bergantung siapa yang akan menjalankannya. Pada masa Soeharto, kebijakan ekonomi yang berasangkutan dengan sektor riil didorong langsung oleh pemerintah. Bahkan pemerintah, terutama dalam pembangunan
100
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
infrastruktur, menjalankannya secara langsung. Dalam kegiatan lainnya sekalipun, seperti industri dan perbankan, pemerintah juga terlibat sekalipun tidak langsung melalui BUMN. Selain pendekatan kebijakan yang semakin menempatkan pranan pemerintah sebagai regulator, ketatnya audit dan gerakan anti-korupsi semakin menurunkan aktivitas pemerintah dalam mendorong kegiatan perekonomian. Tambahan lagi sejumlah besar dana telah dialihkan ke daerah melalui Dana Alokasi Umum. Daerah dengan kemampuan yang relatif rendah, tidak dapat mempergunakan dana tersebut secara optimal untuk mendorong kegiatan ekonomi di daerah bersangkutan. Daerah pun lebih suka membuat berbagai peraturan yang kecenderungannya menghambat bukan mendorong kegiatan ekonomi. Dengan peranan BI yang fokus pada pengendalian inflasi dan pengawasan perbankan, sementara pemerintah pusat dan daerah semakin terbatas peranannya sebagai regulator, maka kegiatan pembangunan semakin terpinggirkan. Kegiatan ekonomi oleh swasta terutama berorientasi untuk mendapatkan keuntungan. Itupun pada saat regulasi kurang mendukung kegiatan bisnis, dan regulasi yang semestinya mendukung bisnis tidak dapat difungsikan secara optimal, membuat kegiatan swasta juga tidak optimal. Karena itu tidak mengherankan jika pembangunan infrastruktur semakin tertinggal, dan pengangguran dan kemiskinan cenderung meningkat. Dalam keadaan perekonomian pada tingkatan seperti Indonesia ini, peranan pemerintah masih sangat penting, tidak hanya sebagai regulator, tetapi juga mendorong kegiatan ekonomi paling tidak dalam beberapa kegiatan tertentu. Tentu saja peranan pemerintah yang berlebihan akan menghambat perkembangan swasta, namun peranan pemerintah yang jauh dari optimal seperti sekarang ini, membuat perkembangan ekonomi jauh dari optimal. Karena itu dalam membuat kebijakan, sebaiknya perhatiannya bukan sekedar membuatnya secara komprehensif dan sudah pada arah yang benar (the right track), tetapi jelas tergambar bagaimana pelaksanaannya, dan siapa yang melaksanakannya. Jangan hanya berharap swasta yang akan melakukan, tetapi juga peranan pemerintah yang efektif dalam bidang tertentu yang sangat penting kehadirannya, seperti pembangunan infrastruktur, penciptaan kesempatan kerja, dan pengurangan kemiskinan. Lebih baik kebijakan yang terfokus tetapi dilaksanakan dengan sungguhsungguh,daripada paket kebijakan yang komprehensif dan pada jalur yang benar, tetapi tidak ada yang menjalankannya.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 101
Jika kebijakan ekonomi lebih fokus dan dilaksanakan dengan sungguhsungguh, maka sektor swasta, baik perbankan maupun sektor riil, dapat bersinergi untuk memanfaatkan sumber daya yang ada, terutama dana. Jika tidak maka sumber dana yang terbatas akan cenderung menumpuk di instrumen keuangan yang aman, seperti SBI, SUN, dan SPN. Sementara dana dari luar negeri juga akan cenderung masuk pada instrumen serupa dan portofolio khususnya pasar modal. Keadaan demikian akan membuat ketimpangan semakin besar. Kesimpulan Perekonomian harus tumbuh lebih tinggi lagi dengan dorongan investasi. Karena itu kebijakan yang memfasilitasi peningkatan investasi harus dijalankan di tingkat lapangan. Begitu pula upaya di tingkat peraturan maupun tindakan langsung harus dilakukan untuk memperluas kesempatan kerja. Peraturan ketenagakerjaan yang lebih fleksibel tanpa harus mengurbankan hak-hak utama pekerja penting untuk memfasilitasi perkembangan investasi yang sejalan dengan perluasan kesempatan kerja. Upaya untuk mengentaskan kemiskinan harus sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Mekanisme penciptaan kesempatan kerja adalah cara paling efektif untuk mengurangi pengangguran. Namun dibutuhkan juga kebijakan langsung dalam memperbesar akses golongan miskin pada pelayanan dasar seperti air bersih, kesehatan, dan pendidikan. Dalam masa desentralisasi ini tanggung jawab tidak hanya pada pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah. Begitu pula keikutsertaan dunia usaha dan masyarakat luas sangat menentukan dalam mengintegrasikan golongan miskin dalam kegiatan ekonomi yang produktif.
102
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Menuntaskan Reformasi Konstitusi Refly Harun Semenjak digaungkannya reformasi pada tahun 1999, telah banyak perubahan yang terjadi di negara kita ini, termasuk pula perubahan di bidang hukum. Tercatat sekitar 147 kali perubahan dalam UUD 1945, baik dalam bentuk perubahan atau penambahan pasal, ayat, maupun bab. Namun, perubahan-perubahan tersebut masih saja menuai kritik dan protes dari beberapa pihak, dan tuntutan untuk melakukan perubahan lanjutan pun tak pernah putus. Hal ini disebabkan oleh masalah-masalah objektif ketatanegaraan yang sebenarnya menuntut lebih dari sekedar perubahan undang-undang. Perubahan UUD 1945 turut mempengaruhi performa konstitusi kita setelah mengalami empat kali perubahan. Banyak substansi yang dapat dijadikan agenda lanjutan perubahan UUD 1945. Salah satunya menyangkut kewenangan lembaga-lembaga konstitusional yang ada. Perubahan UUD 1945 memunculkan tiga lembaga yang aneh, sia-sia, dan kurang optimal. Namun, kepuasan DPR terhadap UUD 1945 hasil amendemen menyebabkan tidak adanya keinginan untuk mengubah UUD 1945. Disinilah diperlukan peran serta masyarakat dalam pelipatgandaan isu amendemen. Reformasi konstitusi hanya mungkin untuk dicapai jika amendemen UUD 1945 menjadi common platform rakyat.
Tidak terasa pada tahun 2008 ini Indonesia telah memasuki 10 tahun reformasi sejak Presiden Soeharto meletakkan jabatan pada 21 Mei 1998. Selama rentang 10 tahun tersebut, tentu banyak yang telah dicapai sebagai buah dari reformasi, namun pastinya banyak yang belum digapai. Hal ini berlaku pula untuk bidang hukum. Banyak kemajuan hukum yang telah ditorehkan, tetapi tidak sedikit pula yang masih menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Salah satunya adalah reformasi konstitusi, atau yang lebih dikenal dengan amendemen UUD 1945. Tulisan berikut ini akan menyoroti mengenai reformasi konstitusi sebagai reformasi hukum yang paling fundamental yang telah dijalankan pada era reformasi ini. Dalam kurun waktu 1999-2002, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah melakukan empat kali perubahan UUD 1945 yang dikenal dengan Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), Perubahan
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 103
Ketiga (2001), dan Perubahan Keempat (2002). Perubahan Pertama UUD 1945 dicapai dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1999 (SU MPR 1999). Dalam SU MPR itu MPR telah mengubah sembilan pasal UUD 1945. Perubahan yang terpenting adalah pergeseran kekuasaan legislatif dari presiden ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pergeseran ini telah membuat UUD 1945 menganut paradigma baru dalam hal pengaturan kekuasaan negara, yaitu dari paradigma pembagian kekuasaan (division of power/distribution of power) menjadi pemisahan kekuasaan (separation of power). 1 Perubahan Kedua UUD 1945 dicapai dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2000 (ST MPR 2000). Dalam ST MPR 2000 MPR telah mengubah/menambah 25 pasal dan lima bab. Yang terpenting dari perubahan kedua adalah penegasan prinsip otonomi daerah, penegasan mengenai hak-hak DPR dan anggota DPR, serta penerimaan pasal-pasal tentang hak asasi manusia. Perubahan Ketiga UUD 1945 dicapai dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2001 (ST MPR 2001) yang berlangsung pada tanggal 3-9 November 2001. Dalam ST MPR 2001 MPR telah
1
Lihat Jimly Asshiddiqie, “Pergeseran Kekuasaan Legislatif-Eksekutif dan Peningkatan Peran DPR di Masa Depan”, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional tentang Peningkatan Peran DPR-RI yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional di Jakarta, 6 September 2000. Ajaran tentang pemisahan kekuasaan untuk pertama kalinya dikemukakan oleh John Locke dalam bukunya Two Treatises of Government (1690). Locke membagi kekuasaan negara menjadi tiga cabang, yaitu legislatif, eksekutif, dan federatif. Ajaran ini kemudian disempurnakan oleh Montesquieu melalui ajaran trias politikanya, yaitu pembagian kekuasaan negara menjadi tiga cabang kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Lihat John Locke, Two Treatises of Government, new edition (London: Everyman, 1993) hlm. 188-190; Montesquieu, The Spirit of Laws, http://www.constitution.org/cm/sol.txt. Secara prinsip konsep trias politik masih dipakai, namun tidak dalam tafsiran yang tradisional. Zaman modern telah menimbulkan paradoks bahwa lebih banyak undangundang yang berasal dari inisiatif eksekutif. Austin Raney bahkan mendefinisikan eksekutif sebagai kekuasaan yang meliputi bidang diplomatik, administratif, militer, yudikatif, dan legislatif. Lihat dalam Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1988), hal. 208. G.W. Paton menyatakan, “Although in political theory much has been made of the vital importance of the separation of powers, it is extraordinary difficult to define precisely each particular power…The political usefulness of a separation of powers is clearly recognized today, but the major juristic difficulty is to discover any clear definitions of the legislative, administrative, and judicial process which can be related to the functioning of actual states”. Lihat Paton, A Text-Book of Jurisprudence, second edition (Oxford: The Clarendon Press, 1951), hlm. 262.
104
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
mengubah/menambah 23 pasal dan tiga bab. Materi yang terpenting adalah penerimaan pasal tentang pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung pada putaran pertama (first round), penerimaan pasal tentang pemberhentian presiden (impeachment), pengaturan tentang pemilihan umum, dan disetujuinya pasal-pasal tentang pembentukan lembaga-lembaga konstitusional baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Perubahan Keempat UUD 1945, yang merupakan perubahan terakhir selama periode reformasi konstitusi 1999-2002, dicapai dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyaratan Rakyat 2002 (ST MPR 2002). Dalam ST MPR 2002 MPR telah menyepakati setidaknya tiga hal krusial, yaitu pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung untuk putaran kedua (second round), penghapusan utusan golongan dan utusan daerah di MPR sehingga MPR terdiri atas anggota-anggota DPR dan DPD yang dipilih secara langsung oleh rakyat saja, dan penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai lembaga negara. Dalam catatan penulis, selama periode 1999-2002, UUD 1945 setidaknya sudah mengalami 147 kali perubahan, terdiri atas perubahan dan/atau penambahan pasal, ayat, dan bab. Sungguhpun demikian, masih banyak kalangan yang merasa tidak puas dengan perubahan UUD 1945 yang telah dihasilkan MPR. Suara-suara untuk diadakannya perubahan lanjutan terus disuarakan. Ada problem-problem objektif ketatanegaraan yang menuntut penyelesaian melalui perubahan konstitusi, tidak cukup dengan perubahan undang-undang, apalagi peraturan di bawahnya lagi. Problem objektif yang menonjol adalah betapa ’amburadul’-nya performa konstitusi kita setelah mengalami empat kali perubahan. Naskah lampiran hasil perubahan jauh lebih tebal ketimbang naskah aslinya. Dari 71 ayat dalam naskah UUD 1945, hanya 23 ayat (16,33%) yang dipertahankan, selebihnya berubah, baik perubahan karena penghapusan ketentuan lama maupun penambahan ketentuan baru.2 Jumlah bab yang sebelumnya 16 berubah menjadi 21 bab, tetapi nomor angka bab tersebut tetap sama, yaitu 16. Penambahan dilakukan dengan cara menambah huruf (A dan B) setelah nomor angka. Jumlah pasal juga tetap dipertahankan sebanyak 37 pasal. Penambahan pasal juga dengan menambahkan huruf A, B, C, dan seterusnya, sehingga ada Pasal 28A, Pasal 28B, hingga Pasal 28J. Orang awam pastilah sulit membaca dan memahami konstitusi hasil perubahan ini. 2
Lihat Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi Prosedur Perubahan UUD di Indonesia 1945-2002 serta Perbandingannya dengan Konstitusi Negara Lain di Dunia, cetakan pertama (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004) hlm. 211.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 105
Substansi Perubahan Predikat aneh pantas dilayangkan kepada MPR dan DPD. Menurut UUD 1945 hasil perubahan, lembaga ini memiliki kewenangan sebagai berikut. Pertama, mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar.3 Kedua, melantik presiden dan/atau wakil presiden. 4 Ketiga, memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-undang Dasar.5 Keempat, memilih wakil presiden dari dua calon yang diusulkan presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil presiden.6 Kelima, memilih presiden dan wakil presiden dari dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang diusulkan parpol atau gabungan parpol yang pasangan calon presiden dan calon wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu sebelumnya dalam hal terjadi kekosongan jabatan presiden dan wakil presiden secara bersamaan.7 Dari lima kewenangan tersebut, satu-satunya kewenangan yang pasti dijalankan hanyalah melantik presiden dan/atau wakil presiden. Itu pun hanya sekali dalam lima tahun (kecuali bila ada presiden dan/atau wakil presiden yang berhenti di tengah jalan). Empat kewenangan lainnya hanya dilakukan sewaktu-waktu, dalam keadaan tertentu bahkan luar biasa saja. Ironi yang muncul adalah, kelembagaan MPR bersifat permanen, lengkap dengan pimpinan dan kesekretariatan. Keberadaan MPR yang seperti ini jelas memboroskan anggaran negara. Fakta yang muncul saat ini, MPR terkesan mencari-cari pekerjaan, antara lain melakukan pekerjaan sosialisasi perubahan UUD 1945 dan putusan MPR lainnya yang sebenarnya tugas eksekutif. Tugas MPR sesungguhnya cukup sampai membuat keputusan saja, termasuk keputusan mengenai perubahan UUD 1945. Itulah sebabnya muncul keinginan untuk menjadikan MPR sekadar joint session saja seperi halnya Kongres AS. Dalam konsep ini MPR tidak lagi sebagai sebuah badan, melainkan sekadar forum. MPR ada bila DPR dan DPD bersidang. Pimpinan MPR ada ketika ada sidang MPR. Pimpinan tersebut dapat dijabat secara ex officio oleh Ketua DPR dan Ketua DPD.
3 4 5 6 7
Pasal 3 ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945. Pasal 3 ayat (2) Perubahan Ketiga dan Perubahan Keempat UUD 1945. Pasal 3 ayat (3) Perubahan Ketiga dan Perubahan Keempat UUD 1945. Pasal 8 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945. Pasal 8 ayat (3) Perubahan Keempat UUD 1945.
106
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Contoh lembaga yang “sia-sia” adalah DPD. Menurut UUD 1945 hasil perubahan, DPD memiliki kewenangan sebagai berikut.8 1. Dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; 2. Ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; 3. Memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undangundang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; 4. Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama; serta menyampaikan hasil pengawasan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Selain empat macam kewenangan tersebut di atas, yaitu mengajukan, membahas, dan memberikan pertimbangan terhadap rancangan undangundang serta melakukan pengawasan terhadap undang-undang tertentu, DPD juga diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada DPR terhadap pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).9 Kewenangan DPD dalam UUD 1945 sesungguhnya sangat terbatas. Kekuasaan legislatif (membentuk undang-undang) berada di tangan DPR.10 DPD tidak ikut memegang kekuasaan, melainkan hanya berhak mengajukan dan ikut membahas rancangan undang-undang tertentu, serta mengawasi pelaksanaan undang-undang tertentu pula. Dalam aras pelaksanaan fungsi legislasi, peran DPD bahkan bisa dibilang lebih kecil dibandingkan peran pemerintah (presiden). Pemerintah diberikan kewenangan konstitusional untuk membahas dan menyetujui setiap rancangan undang-undang,11 8 9 10 11
Pasal 22D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945. Pasal 23F ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945. Pasal 20 ayat (1) Perubahan Pertama UUD 1945. Pasal 20 ayat (2) Perubahan Pertama UUD 1945 menyatakan bahwa setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 107
sedangkan DPD tidak. Hal ini bisa terjadi karena perubahan UUD 1945 dikerjakan secara bertahap serta disertai semangat untuk memperkuat kekuasaan DPR di satu sisi dan membatasi kewenangan presiden di sisi lain. Kekuasaan legislatif (legislative power) diberikan kepada DPR para Perubahan Pertama (1999),12 sedangkan pasal-pasal tentang DPD baru diadopsi pada Perubahan Ketiga (2001).13 Kewenangan DPD untuk membahas rancangan undang-undang tertentu dilakukan hanya pada awal pembicaraan tingkat satu yang agendanya berupa pemandangan umum DPD, DPR, dan pemerintah terhadap sebuah rancangan undang-undang.14 Pembahasan rancangan undang-undang selanjutnya sampai tahap persetujuan tidak lagi mengikutkan DPD, semua bergantung kepada DPR dan pemerintah. Kewenangan DPD untuk memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang tertentu hanya dilakukan secara tertulis sebelum rancangan undang-undang dimaksud memasuki tahapan pembahasan antara DPR dan pemerintah. 15 Kesimpulanya, DPD tidak memiliki kekuasaan yang menentukan baik ketika mengusulkan, membahas, maupun memberikan pertimbangan terhadap suatu rancangan undang-undang. Semua kewenangan DPD, termasuk memberikan pertimbangan terhadap pemilihan anggota BPK, terpulang kepada DPR untuk menindaklanjutinya atau tidak. Selama ini, seperti yang kerap dikeluhkan DPD dan diakui beberapa anggota DPR, masukan DPD kepada DPR entah dalam bentuk rancangan undang-undang, hasil pembahasan, pertimbangan, dan hasil pengawasan sering tidak digubris, hanya masuk dalam keranjang sampah. Seandainya DPD tidak melaksanakan fungsinya, DPR agaknya tidak pula berkeberatan dan roda kenegaraan tetap dapat berjalan utuh tanpa keikutsertakan lembaga DPD. Hal ini jelas merupakan sebuah ironi. Sebuah lembaga konstitusi (constitutional organ) diletakkan di undang-undang dasar ternyata tidak memiliki kekuasaan yang signifikan. Lembaga yang tidak memiliki kewenangan menentukan (determinan) seperti DPD tentulah hanya sebuah kesia-siaan dan memboroskan anggaran 12 13 14
15
Pasal 20 ayat (1) Perubahan Pertama UUD 1945. Bab VIIA, Pasal 22 C dan Pasal 22D Perubahan Ketiga UUD 1945. Pasal 43 ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pasal ini sesungguhnya mengebiri kewenangan konstitusional DPD yang terdapat dalam UUD 1945. Namun, hingga tulisan ini dibuat, wacana untuk memintakan pengujian pasal ini di MK hanya tinggal wacana. Belum ada langkah nyata dari DPD untuk memintakan pengujian tersebut. Pasal 44 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
108
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
negara. Terhadap lembaga seperti ini pilihannya hanya dua: diperkuat atau dibubarkan. Kedua jalan, baik diperkuat maupun dibubarkan, memerlukan jalan amendemen atau perubahan UUD 1945. Itulah sebabnya kemudian DPD mendengungkan dan mengonsolidasikan dukungan akan perubahan UUD 1945 dengan misi atau pilihan memperkuat lembaga DPD. Bila DPD tidak memiliki kekuasaan yang menentukan, tidak demikian halnya dengan MK. Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, MK memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. MK juga diberikan kewenangan dalam proses impeachment (pemakzulan), yaitu memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut UUD 1945. Kekuasaankekuasaan yang diberikan oleh UUD 1945 sangat menentukan, bahkan terbilang luar biasa. MK misalnya dapat membatalkan suatu undang-undang hanya dengan keputusan lima dari sembilan hakim, mengalahkan keputusan atau kesepakatan 550 orang anggota DPR, ditambah pemerintah. Tidak heran misalnya ada suara-suara dari kalangan DPR yang menginginkan pembatasan kekuasaan MK, terutama ketika MK baru saja membatalkan sebuah undang-undang yang telah dibuat dengan susah payah oleh DPR. Kendati demikian, yang perlu dilakukan sebenarnya bukanlah mengurangi kewenangan MK, melainkan lebih mengoptimalkan kewenangan yang sudah ada, bahkan bila perlu menambahkannya. Alasannya, pekerjaan MK saat ini ’terlalu ringan’ dibandingkan dengan anggaran dan fasilitas kerja yang mereka miliki. MK adalah contoh lembaga konstitusional yang kurang dioptimalkan fungsinya. Rata-rata MK hanya menangani 25-35 perkara per tahun atau hanya 2-3 perkara per bulan. Kuantitas perkara seperti ini bahkan jauh lebih ringan dibandingkan dengan jumlah perkara yang harus ditangani satu pengadilan negeri. Oleh karena itu, ada kebutuhan akan perluasan kewenangan lembaga ini. Dua hal yang perlu dipertimbangkan adalah memberi kewenangan kepada MK untuk menangani pengaduan konstitusional (constitutional complaint) dan menangani semua permohonan pengujian peraturan perundang-undangan. Bila ada seorang warga negara yang hak-hak konstitusionalnya dilanggar oleh negara atau aparat negara, ia dapat mengadukan tindakan tersebut ke MK dan sekaligus meminta restorasi hak. Sebagai the guardian of the constitution sudah sepatutnya MK diberikan kewenangan ini. Bila tidak, lebel sebagai penjaga konstitusi hanya akan menjadi kata-kata manis
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 109
di atas kertas. Kehadiran MK sebagai penjaga konstitusi tidak akan dirasakan manfaatnya secara langsung oleh warga negara.16 Berikutnya adalah mengenai pengujian peraturan perundang-undangan dalam satu atap. Perubahan Ketiga UUD 1945 menentukan bahwa MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang, sedangkan MK diberikan kewenangan untuk menguji undangundang.17 Di masa depan akan lebih baik bila pengujian undang-undang disatuatapkan ke dalam kewenangan MK sehingga MA bisa berkonsentrasi pada pemberian keadilan bagi pencari keadilan (mahkamah keadilan) dan MK berkonsentrasi untuk menjaga tatahukum di negeri ini (mahkamah sistem hukum).18 Konsep perubahan UUD 1945 versi DPD yang telah diluncurkan pada Maret 2008 telah mengadopsi optimalisasi peran MK tersebut. Selain pengujian satu atap dan pengaduan konstitusional, kewenangan lain yang dioptimalkan atau ditambahkan adalah sengketa kewenangan lembaga negara, yang tidak hanya terbatas pada lembaga konstitusional (constitutional organ), melainkan juga lembaga yang kewenangannya yang diberikan oleh undang-undang. Sementara yang ditambahkan adalah memutus perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah. Sekadar catatan, UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengadopsi peralihan kewenangan memutuskan sengketa hasil pilkada dari MA ke MK. Cara Perubahan Dalam kaitan dengan cara perubahan penulis perlu menggarisbawahi gagasan Jimly Asshiddiqie mengenai konsolidasi materi UUD 1945 dan segala perubahan yang ia sebut dengan “Jalan Tengah Mengatasi Keterlanjuran”.19 Menurutnya, teknik perubahan dengan jalan amendemen
16
17 18
19
Pada tahun 2004 MK telah membatalkan UU Nomor 16 Tahun 2003 yang menerapkan ketentuan retroaktif kepada pelaku Bom Bali. Namun, pembatalan tersebut tidak memiliki dampak terhadap terpidana yang telah divonis dengan undang-undang tersebut. Mereka tetap divonis hukuman mati melalui undang-undang yang akhirnya dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Lihat Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945. Istilah mahkamah keadilan dan mahkamah sistem hukum penulis adalah istilah yang kerap dikemukakan Prof. Jimly dalam beberapa kesempatan. Jimly Asshiddiqie, Pengantar Pemikiran tentang Rancangan Perubahan Undangundang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, (Jakarta: The Habibie Center, 2001), hlm. 9.
110
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
memang memiliki kelebihan, yaitu berkesinambungan dan tidak meninggalkan jejak sejarah. Untuk masa mendatang sebaiknya prosedur inilah yang dipilih dengan menegaskannya dalam ketentuan mengenai perubahan undang-undang dasar. Namun, untuk mengakhiri masa transisi konstitusi, Asshiddiqie berpendapat diperlukan adanya suatu naskah undangundang dasar baru yang akan ditetapkan pada tahun 2002, atau selambatlambatnya 2004.20 Untuk itu, semua naskah yang ada, yaitu naskah asli UUD 1945 beserta penjelasannya, Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), dan Perubahan Ketiga (2001) (serta kemungkinan Perubahan Keempat [2002])21 disusun kembali menjadi satu kesatuan naskah undang-undang dasar yang baru dengan nama “Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Sebelum terbentuknya UUD baru itu, periode sekarang (2001) harus dianggap sebagai masa transisi dan UUD 1945 beserta perubahannya harus dipandang sebagai naskahnaskah yang berisi ‘interim constitution’ (konstitusi sementara).22 Pemikiran yang dilontarkan Asshiddiqie pada pertengahan tahun 2001 itu kiranya masih relevan untuk dikemukakan. Secara objektif, UUD 1945 yang sudah mengalami empat kali perubahan itu memang harus disusun kembali, terutama dari segi sistematikanya yang semakin tidak teratur setelah mengalami perubahan. Saat ini, paling tidak terdapat dua naskah UUD 1945, yaitu (1) naskah UUD 1945 berikut lampiran-lampirannya mulai dari Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), Perubahan Ketiga (2001) hingga Perubahan Keempat (2002); (2) naskah konsolidasi yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal MPR yang kemudian diikuti pula oleh Sekretariat Jenderal MK. Kedua naskah ini termuat dalam buku Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 baik yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal MPR maupun Sekretariat Jenderal MK. Sejatinya, naskah yang resmi adalah naskah yang pertama. Naskah ini sesuai dengan sistem perubahan yang dianut oleh MPR dengan jalan amendemen, yaitu melampirkan naskah perubahan sebagai bagian tak terpisahkan dari naskah asli seperti dipraktikkan dalam perubahan konstitusi
20 21
22
Ibid. Gagasan ini dikemukakan Jimly Asshiddiqie setelah berakhirnya Perubahan Ketiga (2001) dan sebelum Perubahan Keempat UUD 1945 (2002). Ide mengenai konstitusi transisi juga pernah diungkapkan oleh Koalisi untuk Konstitusi Baru (KKB), sebelumnya dikenal dengan Koalisi Ornop, menjelang ST MPR 2002. Kompas, “Koalisi Ornop Soal Perubahan UUD – Sebaiknya Dijadikan Konstitusi Transisi”, 24 April 2002, hlm. 1
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 111
di Amerika Serikat.23 Namun, tidak mudah ’membaca’ konstitusi dengan performa seperti itu. Hal inilah yang tampaknya mendorong Sekretariat Jenderal MPR dan Sekretariat Jenderal MK menerbitkan naskah yang sudah disatukan. Untuk menandai pasal-pasal perubahan, di dalam naskah tersebut diberi tanda bintang (*), mulai dari bintang satu (*) untuk Perubahan Pertama, bintang dua (**) untuk Perubahan Kedua, bintang tiga (***) untuk Perubahan Ketiga, dan bintang empat (****) untuk Perubahan Keempat. Naskah kreasi Sekretariat Jenderal MPR inilah yang banyak dijadikan acuan untuk membacara UUD 1945. Di masa depan bukan tidak mungkin buku-buku UUD 1945 yang terbit kemudian tidak lagi mencantumkam versi asli UUD 1945, melainkan cukup naskah terkonsolidasi seperti yang dibuat Sekretariat Jenderal MPR. Melihat fakta tersebut, jelas ada kebutuhan untuk melakukan perubahan konstitusi lagi. Penulis sepenuhnya setuju dengan ide Asshiddiqie untuk dilakukan konsolidasi materi. Panitia atau Komisi Ahli Persoalannya, lembaga mana yang akan melakukan konsolidasi materi sehingga terbentuk undang-undang dasar baru yang berstruktur baik. Apakah hal ini bisa diserahkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)? Apakah diserahkan kepada sebuah komisi konstitusi baik seperti yang pernah dibentuk MPR maupun yang pernah menjadi tuntutan masyarakat? Pada titik ini penulis tidak sepakat bila konsolidasi materi tersebut diserahkan baik kepada MPR maupun sebuah komisi konstitusi.24 Tugas
23
24
Lazimnya dalam mengubah suatu konstitusi dipakai dua sistem. Pertama, sistem amendemen, yaitu dengan menjadikan naskah perubahan sebagai lampiran yang tidak terpisahkan dari naskah asli. Kedua, sistem pergantian, yaitu menetapkan teks konstitusi baru untuk menggantikan teks lama. Lihat Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1984), hlm. 71 Ketika terjadi arus perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002, penulis termasuk pihak yang mendukung ide pembentukan komisi konstitusi yang independen untuk melahirkan konstitusi baru. Bahkan, penulis tergabung dalam Kolisi untuk Konstitusi Baru (KKB) pada tahun 2002 yang paling gencar menuntut pembentukan komisi konstitusi independen. Namun, penulis berpendapat, meski tuntutan itu ideal, tetapi urgensi sudah sangat berkurang untuk saat ini. Ide-ide tentang materi konstitusi sudah mengkristal dan tinggal dituangkan dalam suatu naskah. Pekerjaan ini cukup dilakukan oleh panitia ahli.
112
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
seperti ini sebenarnya cukup diserahkan pada panitia ahli25, terutama yang memiliki keahlian sebagai perancang undang-undang (termasuk konstitusi). Perdebatan mengenai materi konstitusi yang sudah dialami selama era reformasi konstitusi periode 1999-2002 rasanya sudah cukup. Sekarang yang dibutuhkan adalah bagaimana menuangkan segala gagasan itu dalam bentuk naskah yang baik dan tidak tumpang-tindih serta menjamin sistem yang baik. Dalam hal ini MPR bisa menetapkan guidance bagi panitia ahli dalam melakukan konsolidasi. Misalnya, konsolidasi tidak boleh menghilangkan hal-hal yang telah disepakati oleh MPR selama periode 1999-2002. Halhal yang harus dipertahankan misalnya mengenai dasar negara (Alinea IV Pembukaan UUD 1945), sistem pemerintahan presidensial, bentuk negara kesatuan, pemilihan presiden secara langsung dengan sistem dua putaran (two round system), lembaga-lembaga baru seperti MK dan DPD, prinsip perwakilan yang semuanya dipilih, dan lain-lain. Intinya, guidance MPR tersebut adalah nlai-nilai yang sudah tercantum dalam UUD 1945 berserta perubahannya mulai dari Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), Perubahan Ketiga (2001), hingga Perubahan Keempat (2002). Saat ini lembaga yang telah menginisiasi perubahan UUD 1945 adalah DPD, yang telah meluncurkan konsep perubahan yang sebelumnya telah disiapkan beberapa ahli hukum tatanegara yang tergabung dalam ’Tim Sembilan’.26 Usulan DPD ini mempertahankan apa yang telah disebutkan di atas. Saat tulisan ini dibuat konsep DPD sedang ’dijajakan’ ke berbagai pihak, termasuk kepada Presiden SBY dan fraksi-fraksi di DPR. Memang tidak mudah mendapatkan dukungan akan perubahan UUD 1945 dari MPR, lembaga formal yang memang memiliki hak untuk mengubah UUD 1945. Sebab, mayoritas anggota MPR adalah anggota DPR.27 Dalam kaitan ini penting dikemukakan pendapat K.C. Wheare,
25
26
27
Sekadar perbandingan, Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-undangan Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani yang diketuai Jimly Asshiddiqie dan dibentuk pada era Presiden Habibie pernah mengusulkan pembentukan komisi negara untuk mengkaji perubahan UUD 1945 pada tahun 1999. Lihat Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan, Gagasan Amendemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung Sebuah Dokumen Historis, (Jakarta: Sekretariat Jendeal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI), hlm. x. Mereka adalah Bivitri Susanti, Denny Indrayana, Fajrul Falaakh, Irmanputra Sidin, Marwan Mas, Refly Harun, Saldi Isra, Yuliandri, dan Zainal Arifin Mochtar. Untuk periode 2004-2009 MPR terdiri dari 550 anggota DPR dan 128 anggota DPD. Perubahan UUD 1945 harus diajukan oleh 1/3 anggota MPR. DPD harus mendapatkan dukungan dari para anggota DPR bila ingin mengusulkan perubahan UUD 1945.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 113
seorang ahli konstitusi Inggris. Menurutnya, perubahan undang-undang dasar tidak hanya tergantung pada ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang tata cara perubahan konstitusi, melainkan juga tergantung pada kelompok-kelompok sosial dan politik yang dominan di masyarakat; apakah mereka puas atau setuju dengan pengorganisasian dan distribusi kekuasaan yang terdapat dalam konstitusi tersebut.28 Pada titik ini DPD jelas tidak puas dengan pengorganisasian dan distribusi kekuasaan yang ada dalam UUD 1945, namun posisi yang berbeda tampaknya dipegang DPR. Bagi DPR, apa yang telah dihasilkan UUD 1945 hasil amendemen telah memberikan kepuasan bagi mereka sehingga bisa jadi tidak ada keinginan untuk mengubah UUD 1945. Menghadapi fenomema ini, pelipatgandaan isu amendemen harus diarahkan ke masyarakat. Amendemen UUD 1945 harus menjadi common platform rakyat. Tanpa itu, agaknya sulit melihat ada penuntasan reformasi konstitusi. DAFTAR PUSTAKA Dewan Perwakilan Daerah. ”Draft Amendemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Kesepakatan Kelompok DPD di MPR RI 25 Maret 2008”, Maret 2008. G.W. Paton. A Text-Book of Jurisprudence. The Clarendon Press (Second Edition), Oxford, 1951. Jimly Asshiddiqie. “Pergeseran Kekuasaan Legislatif-Eksekutif dan Peningkatan Peran DPR di Masa Depan”, Makalah Disampaikan dalam Seminar Nasional tentang Peningkatan Peran DPR-RI, Komisi Hukum Nasional, Jakarta, 6 September 2000. _________. Pengantar Pemikiran tentang Rancangan Perubahan Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2001. Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan. Gagasan Amendemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung Sebuah Dokumen Historis, Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2005. John Locke, Two Treatises of Government, Everyman (New Edition), London, 1993. K.C. Wheare. Modern Constitution, Oxford University Press, London, 1971. 28
K.C. Wheare, Modern Constitution, (London: Oxford University Press, 1971) hlm. 17.
114
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Kompas, “Koalisi Ornop Soal Perubahan UUD – Sebaiknya Dijadikan Konstitusi Transisi”, 24 April 2002. Montesquieu. The Spirit of Laws, di http://www.constitution.org/cm/sol.txt. Refly Harun. ”Reformasi Konstitusi Jilid II”, Makalah Disampaikan dalam Diskusi Panel Ahli ”Kontroversi Kewenangan DPD RI”, Jakarta, 29 Juni 2006. Sri Soemantri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1984. Taufiqurrohman Syahuri. Hukum Konstitusi Prosedur Perubahan UUD di Indonesia 1945-2002 serta Perbandingannya dengan Konstitusi Negara Lain di Dunia, Ghalia Indonesia (Cetakan Pertama), Jakarta, 2004.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 115
Peta Kekuatan Politik Setelah Reformasi dan Kecenderungan Koalisi Parpol: Catatan Atas Hasil Pemilu 1999 dan Pemilu 20041 Lili Romli
Salah satu hasil reformasi adalah pelaksanaan Pemilu yang dipercepat. Pertimbangannya, Pemilu 1997 merupakan rekayasa rezim Orde Baru. Selama pemilu-pemilu Orde Baru, pemenang pemilu sudah ditentukan. Golkar, pada masa orde baru, harus keluar sebagai pemenang. Setelah Soeharto jatuh, rakyat menuntut agar segera dilaksanakan pemilu. Tuntutan yang besar dari masyarakat tersebut melahirkan sebuah ledakan partisipasi politik yang ditandai dengan menjamurnya partai-partai politik. Hal ini menyebabkan partai politik peserta Pemilu 1999 meningkat berkali-kali lipat, yaitu sebesar 48 partai dari yg sebelumnya hanya tiga partai. Jumlah partai peserta Pemilu tersebut menurun pada Pemilu lima tahun berikutnya, yaitu sebesar 24 partai politik. Sementara, jumlah partai peserta Pemilu pada tahun 2009 mendatang diperkirakan akan kembali meningkat. Dengan jumlah peserta pemilu yang relatif banyak itu, ternyata menghasilkan fragmentasi dan polarisasi kekuatan politik di DPR. Baik Pemilu 1999 maupun Pemilu 2004 menghasilkan sistem multi partai ekstrem, dengan jumlah yang “sangat” banyak dan tidak ada partai yang dominan. Dengan konfigurasi seperti ini, koalisi merupakan salah satu solusinya. Tetapi bagaimana koalisi yang mereka bangun dalam membentuk pemerintahan. Dalam konteks tersebut, tulisan ini mencoba menjelaskan kecenderungan koalisi, sistem kepartaian dan peta kekuatan politik hasil Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Begitu pula mengenai Model Demokrasi Konsensual yakni dengan menerapkan Sistem Pemilu Proporsional.
1
Tulisan ini pernah disampaikan dalam Seminar Nasional XXII Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Banjarmasin, 15-16 April 2008.
116
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Pendahuluan Pasca jatuhnya Soeharto, Indonesia memasuki fase liberalisasi politik yang ditandai oleh terjadinya ledakan partisipasi politik. Di kalangan elit, ledakan partisipasi politik, antara lain, diwujudkan dengan berlomba-lomba mendirikan atau menghidupkan kembali partai politik. Keberadaan partai politik tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Pada awal reformasi sampai dengan tahun 1999 tercatat ada sekitar 148 parpol yang didirikan. Menghadapi Pemilu 2004, pendirian partai politik terus berlanjut. Tercatat kurang lebih sekitar 261 partai yang berdiri. Kini menghadapi Pemilu 2009, partai politik yang didirikan juga terus bertambah. Menurut Gary W Cox, sebagaimana dikutip oleh Kacung Marijan, ada tiga pertimbangan elit politik mendirikan partai politik, yaitu (1) biaya untuk memasuki arena; (2) keuntungan-keuntungan yang didapat manakala duduk di dalam kekuasaan; dan (3) adanya kemungkinan untuk memperoleh dukungan dari pemilih.2 Menurut Kacung, semakin kecil biaya yang timbul dari pembentukan partai baru, ditambah adanya keuntungan yang cukup besar di dalam kekuasaan, serta masih terbukanya kemungkinan memperoleh dukungan pemilih, semakin besar bagi terbukanya celah bagi pembentukan partai-partai baru. 3 Berdasarkan ketiga pertimbangan tersebut, tampaknya elit politik kita melihat cukup besar peluangnya sehingga mereka terus mendirikan parpol. Dengan banyak partai politik tersebut, tentu berdampak pada keikutsertaan dalam pemilu. Pada Pemilu 1999, jumlah perserta pemilu ada 48 partai. Pemilu 2004, jumlah perserta pemilu turun menjadi 24 parpol. Pemilu 2009 nanti, jumlah peserta pemilu kemungkinan tidak akan turun, sebaliknya cenderung akan naik lebih dari 24 parpol. Selain banyaknya partai-partai politik yang didirikan, faktor lain adalah karena UU Pemilu No 10 tahun 2008 menganulir aturan electoral threshold (ET) 3%, sehingga parpol yang mendapat kursi di DPR bisa ikut pemilu berikutnya tanpa verifikasi. Sistem Kepartaian Kajian teoritis tentang sistem kepartaian mengacu pada aspek tipologi numerik (numerical typology), yaitu sejumlah partai yang dianutny a. Studi 2
3
Kacung Marijan, “Demokrasi dan Stabilitas pemerintahan: Perbandingan Sistem Pemerintahan, Sistem Pemilu, dan Sistem Kepartaian”, Pidato Pengukuhan Guru Besar FISIP Unair, 8 Desember 2007, hal. 56. Ibid.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 117
klasik yang dilakukan oleh Duverger, misalnya, memperlihatkan hal tersebut (jumlah partai) yang membagi sistem kepartaian atas sistem partai tunggal, dwi partai, dan multi partai. Begitu juga studi-studi yang dilakukan oleh Blondel dan Rokkan, melihat sistem kepartaian dilihat dari segi jumlah. Namun berbeda dengan Duverger, Blondel dan Rokkan menambahkannya dengan melihat segi kompetisi di antara partai-partai yang ada sehingga melahirkan sistem partai dominan dan tidak dominan. Sementara itu, Sartori melihat sistem kepartaian selain berdasarkan jumlah dan kompetisi juga berdasarkan jarak ideologi di antara partai-partai yang ada. Ia menggolongkan sistem kepartaian didasarkan atas jumlah kutub (polar), jarak di antara kutub-kutub itu (polaritas), dan arah perilaku politiknya. Berdasarkan itu, ia lalu mengklasifikasikan sistem kepartaian menjadai tiga, yaitu pluralisme sederhana, pluralisme moderat, dan pluralisme ekstrim. Sama dengan Sartori, Sairoff juga menjelaskan sistem kepartai berdasarkan jarak ideologi, sehingga menghasilkan sistem dua partai, dua setengah partai, multi partai moderat dan multi partai ekstrem. Dalam sistem multi partai moderat terbagi atas: satu partai dominan, dua partai utama, dan keseimbangan antar partai. Begitu juga dengan multi partai ekstrem, yang terbagi atas: satu partai dominan, dua partai utama, dan keseimbangan antar partai. 4 Berbeda dengan hal di atas, Huntington mengkaji sistem kepartaian dari sudut institusionalisasi (pelembagaan). Sistem kepartaian yang kokoh, demikian Huntington, sekurang-kurangnya harus memiliki dua kapasitas. Pertama, melancarkan partisipasi politik melalui jalur partai, sehingga dapat mengalihkan segala bentuk aktivitas politik anomik dan kekerasan. Kedua, mencakup dan menyalurkan partisipasi sejumlah kelompok yang baru dimobilisasi, yang dimaksudkan untuk mengurangi kadar tekanan kuat yang dihadapi oleh sistem politik.5 Dengan demikian, sistem kepartaian yang kuat menyediakan organisasi-organisasi yang mengakar dan prosedur yang melembaga guna mengasimilasikan kelompok-kelompok baru kedalam sistem politik. Senada dengan Huntington tersebut, Mainwaring juga melihat sistem kepartaian dari sudut institusionalisasi. Meski berangkat dari konsep yang sama dengan Huntington, ia mengelompokan sistem kepartaian melihatnya berdasarkan (1) Stabilitas dalam persaingan kepartaian; (2) Mengakarnya 4 5
Ibid., hal. 34. Manuel Kaisiepo, “Partai Baru atau Sistem Kepartaian Baru, Kompas, 20 September 1994.
118
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
parpol dalam masyarakat; (3) Legitimasi atas partai dan pemilu sebagai mekanisme yang sah; dan (4) Struktur organisasi partai yang stabil.6 Sedangkan Herbert Kitschelt mengusulkan klasifikasi partai-partai politik dalam kerangka membahas isu sistem kepartaian berdasarkan atas tiga tipe ideal, yaitu partai-partai programatik, karismatik, dan klientilistik. Partai programatik adalah partai yang mendasarkan pekerjaannya pada program partai secara khusus. Partai karismatik ditentukan oleh kepemimpinan seseorang yang karismatik. Dan partai klientelistik adalah partai yang bekerja lebih condong pada kepentingan pribadi, keuntungan partisan, dan jasa untuk klien setia mereka.7 Tabel 1 Berbagai Tipe Sistem Kepartaian8 Author
Principal Types of Party System Identified
Principal Criteria for Classification
Duverger (1954) Numbers of parties
- One-party system - Two-party systems - Multyparty systems
Dahl (1966)
Competitiveness opposition
Blondel (1968)
Numbers of partyRelative - Two-party systems - Two-and-a-half-party systems size of parties - Multyparty systems with one dominant party
6
7
8
of -
Strickly competitive Cooperative-competitive Coalescent competitive Strickly Coalescent
Scott Mainwaring, “Party System in The Third Wave”, dalam Larry Diamond and Marc F Plattner, The Global Divergence of Democracies, Baltimore and London; The Johns Hopkins University Press, 2000. Dikutip dari Aurel Croinssant, “Politik Pemilu di Asia Tenggara dan Asia Timur: Perspektif Perbandingan”, dalam Aurel Croinssant, Gabriele Bruns, dan Marei John (eds), Politik Pemilu di Asia Tenggara dan Asia Timur, Jakarta; FES dan Pensil-324, hal.452-453. Peter Mair, “Party Sistem and Structures of Competition”, dalam Lawrence Leduc, Richard G. Niemi, and Pippa Norris (eds.), Comparing Democracies: Election and Voting in Global Perpective, California: Sage Publication, Inc., 1996, hal, 86.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 119
- Multyparty systems without dominant party Rokkan (1968)
Numbers of partyLikelihood - The British-German”1 vs 1 + 1" system of single-party - The Scandinavian”1 vs 3-4 sistem majotitiesDistribution of - Even multyparty systems; “1 vs 1 vs 1 + 2-3” minority party strengths
Sartori (1976)
Numbers of partyIdeological - Two-party systems - Moderate pluralism distance - Polarized pluralism - Predominant –party systems
Siaroff (2000)9
Numbers of partyIdeological - Dua Partai - Dua Setengah Partai distance - Multi-Partai Moderat dengan satu partai dominan - Multi-Partai Moderat dengan Dua Partai Utama - Multi-Partai Moderat dengan adanya Keseimbangan antar partai Utama - Multi Partai Ekstrem dengan satu partai dominan - Multi Partai Ekstrem dengan Dua Partai Utama-Multi Partai Ekstrem dengan Keseimbangan antar Partai
Sejak kemerdekaan hingga kini, Indonesia telah mempraktekan sistem kepartaian berdasarkan pada sistem multipartai, meski dalam derajat dan kualitas yang berbeda Pada masa Demokrasi Parlementer (1945-1959) menerapan sistem multipartai dengan tingkat kompetisi yang tinggi, sementara pada masa Demokrasi Terpimpim (1959-1965), meski mempraktekkan sistem multpartai, tetapi tidak ada kompetisi dan hanya sekedar jumlah saja karena partai-partai politik yang ada tidak memiliki peran apa-apa. Begitu juga masa Orde Baru dengan jumlah yang hanya tiga, masih disebut sebagai sistem multipartai (sederhana) juga. Namun sistem multipartai yang ada pada masa Orde Baru sama dengan masa Demokrasi Terpimpin. Bedanya. Pada masa Orde Baru terdapat partai politik dominan, yakni Golkar, tetapi terus menerus sepanjang masa Orde Baru sehingga kerap orang menyebutnya sebagai sistem partai hegemonik. 9
Kacung, op.cit.
120
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Kini pada masa reformasi, Indonesia juga menerapkan sistem multipartai. Tetapi, seperti telah dikemukakan, sistem multipartai yang berjalan sangat ekstrim (hyper multyparties) karena saking banyaknya jumlah partai politik yang ada. Meski sudah dua kali pemilu dilaksanakan (Pemilu 1999 dan 2004), ternyata pelaksanaan pemilu itu tidak mengurangi jumlah partai politik. Bahkan sebalikinya, partai-partai politik terus bertumbuhan dan didirikan. Peta Kekuatan Politik Pemilu 1999 dilaksanakan pada 7 Juni 1999. Meski pada awalnya ada kesanksian apakah pemilu dapat terlaksana dengan baik di tengah-tengah krisis ekonomi dan politik yang sedang melanda, ternyata pemilu berjalan aman, damai,dan demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Di satu sisi hasil Pemilu 1999 memang berhasil mengurangi hegemoni Golkar selama 32 tahun lebih. Di sisi lain, partai-partai politik yang dianggap reformis tidak ada yang memperoleh suara mayoritas. PDIP yang memenangkan pemilu ternyata hanya memperoleh 33,73% suara. Partai Golkar, yang dituntut agar dibubarkan, ternyata masih mendapat dukungan yang besar dari masyarakat dengan memperoleh 22,46% suara. PPP, yang merupakan partai oposisi loyal pada masa Orde Baru, mendapat suara 10,72%. Sedangkan partai-partai baru yang mengusung reformasi, seperti PKB, PAN, PBB, dan PK masing-masing memperoleh 12,62%, 7,12%, 1,94%, dan 1,36%. Partai-partai lain pada umumnya memperoleh suara kurang dari satu persen. Hasil Pemilu menunjukkan dari 48 parpol peserta pemilu, hanya 21 parpol yang memperoleh kursi di DPR. Dari 21 jumlah parpol itu, sesuai dengan ketentuan UU Pemilu No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, parpol yang lolos electoral threshold (ET) 2% hanya enam parpol, yaitu PDIP, Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PBB. Selebihnya tidak lolos ET, sehingga bila mereka hendak ikut pemilu berikutnya harus mengganti nama atau membentuk partai abru.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 121
Tabel 1 Peta Kekuatan Hasil Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 No
Partai Politik
1999
2004
1
PDIP
153
109
2
Golkar
120
128
3
PKB
58
52
4
PPP
51
58
5
PAN
34
53
6
PBB
13
11
7
PK
7
45
8
PD
-
55
9
PBR
-
14
10
PDS
-
13
11
PPDK
-
4
12
Partai-Partai Lain
26*
8**
Sumber: Aris Ananta, hal. 28. Keterangan: *. PDKB, PNU, dan PKP masing-msing 5, 4, dan 2 kursi, sedangkan 11 partai lainnya masing-masing 1 kursi. **. Partai Pelopor (3 kursi), PPKB (2), PKPI, PNIM, dan PPDI masingmasing 1 kursi Sehubungan dengn hasil pemilu yang tidak menghasilkan pemenang mayoritas di DPR, pada gilirannya menghasilkan fragmentasi dan polarisasi kekuatan di DPR. Dari segi jumlah partai, banyak partai-partai politik yang memperoleh kursi di DPR, yaitu 21 parpol. Dari segi kekuatan, peta kekuatan yang ada di DPR relatif berimbang. PDIP memang keluar sebagai pemenang pemilu, tetapi hanya menguasai 153 kursi, di susul kemudian Golkar dengan 120 kursi. Partai-partai lainnya, seperti PKB, PPP, PAN, dan PBB masing-masing memperoleh 58 kursi, 51 kursi, 34 kursi, dan 13 kursi. Peta kekuatan politik seperti itu menunjukkan bahwa hasil Pemilu 1999 tidak menghasilkan kekuatan politik yang dominan, seperti pada pemilu-pemilu Orde Baru di mana Golkar selalu sebagai kekuatan
122
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
mayoritas (single majority). Sementara peta kekuatan politik yang terbentuk hasil Pemilu 1999 relatif berimbang. Dari segi ideologi, partai-partai politik yang memperoleh kursi di DPR juga terpolarisasi. Peta kekuatan politik yang terbentuk hasil Pemilu 1999 terdiri atas beragam ideologi dan agama. Ada ideologi nasionalis, Islam, marhenisme, dan berdasarkan agama (Kristen). Masing-masing ideologi itu terpecah-pecah juga dalam kekuatan-kekuatan partai yang tidak sehaluan. Sebagai contoh dalam ideologi Islam, yang terpecah dalam partai Islam tradisionalis (PKB), moderat (PAN dan PBB) dan fundamentalis (PK). Begitu juga dengan kekuatan partai yang mengusung ideologi nasionalis terpecah dan mereka tidak sehaluan, seperti antara PDIP dan Golkar. Pada Pemilu 2004, meski jumlah perserta pemilu berkurang dari pemilu sebelumnya, yakni dari 48 partai (Pemilu 1999) menjadi 24 partai (2004), hasil Pemilu 2004 tetap menghasilkan tingkat fragmentasi dan polarisasi kekuatan politik di DPR.10 Dalam pemilu 2004, Golkar keluar sebagai pemenang pemilu dengan memperoleh suara 21,6% (128 kursi). Meski memenangi Pemilu, suara yang peroleh Golkar mengalami penurunan dibanding dengan Pemilu 1999 (22,4%). PDIP yang pada Pemilu 1999 sebagai pemenang, pada Pemilu 2004 ia berada pada urutan kedua dengan memperoleh suara18,5% (109 kursi). Ia mengalami penurunan suara sekitar 15% dari hasil Pemilu 1999 (33,73%). Urutan ketiga ditempati oleh PKB dengan 10,6% (52 kursi), kemudian PPP 8,2% (58 kursi), dan PAN 6,4% (52 kursi). Sama dengan Golkar dan PDIP, ketiga partai ini sama-sama mengalami penurunan suara. Bila Pemilu 1999, kekuatan partai sedang ada tiga partai (PPP, PKB, dan PAN), pada Pemilu 2004 kekuatan partai sedang bertambah dua partai lagi, yaitu PKS dan PD. PKS merupakan “wajah baru” dari PK (Partai Keadilan) pada Pemilu 1999, yang didirikan oleh kalangan aktivis muda Islam kampus yang bergerak dalam Tarbiyah Islamiyah. Karena tidak lolos ET kemudian “bermetamorfose” dalam wujud PKS. Pada Pemilu 2004, ia mendapat dukungan suara cukup berarti yaitu 7,3% (45 kursi), naik sekitar 5,9% dari pemilu sebelumnya. Partai politik sedang lainya adalah PD (Partai Demokrat). Partai ini dipimpin oleh Prof. Dr. Subur Budhisantoso. Sosok ini lebih dikenal sebagai 10
Tampaknya ketentuan ET 2% hanya berhasil mengurangi jumlah partai peserta pemilu, tetapi tidak berhasil mengurangi minat para elite politik untuk membentuk partai baru, termasuk oleh para pengurus partai yang gagal memenuhi batas ET untuk pemilu berikutnya.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 123
seorang akademisi yang menekuni bidang ilmu antropologi di UI. Dalam dunia politik, mungkin dan bahkan orang tidak banyak mengenal. Dalam kampanyenya partai ini mengusung sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dianggap reformis dan berfikiran maju tetapi “terzalimi”. Hasil pemilu, PD memperoleh suara cukup signifikan, yaitu 7,45% (75 kursi). Dengan perolehan suara itu, PD sejajar dengan partai-partai sedang lainnya. Selain menghasilkan partai dengan kekuatan sedang, Pemilu 2004 juga menghasilkan kekuatan partai yang relatif cukup berarti, yaitu PBB, PBR, dan PDS. Pada 2004 ini PBB sebenarnya perolehan suaranya naik, dari 1,94% menjadi 2,62%. Namun jumlah kursi yang diperoleh turun dari 13 menjadi 11 kursi. PBR merupakan partai baru, pecahan dari PPP akibat konflik internal. PBR dipimpin oleh kyai kondang sejuta umat, KH. Zaenuddin MZ.11 Dalam pemilu ini ia memperoleh suara 2,44% (14 kursi). PDS (Partai Damai Sejahtera) merupakan partai baru yang dibentuk dari para aktivis agama Kristen. Partai ini di pimpin oleh Pdt. Dr. Ruyandi Hutasoit. Suara yang diperoleh pada Pemilu 2004 sebanyak 2,13% (13 kursi). Selain partai-partai di atas, partai-partai lain yang memperoleh kursi di DPR, yaitu PPDK (Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan) 4 kursi, Partai Pelopor (3 kursi), PKPB (Partai Karya Peduli Bangsa) 2 kursi, dan PKPI (Partai Kebangsaan Persatuan Indonesia) dan PPDI (Partai Penegak Demokrasi Indonesia) masing-masing satu kursi. Dari penjelasan tersebut di atas, jika ditotal maka partai-partai yang memperoleh kursi di DPR hanya 16 parpol dari 24 peserta pemilu. Bila mengikuti ketentuan ET 3% berdasarkan UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilu, maka yang lolos ET ada 7 parpol. Ini berarti, meski jumlah ET dinaikkan dari 2% menjadi 3%, ternyata bukan mengurangi jumlah parpol yang lolos ET malah sebaliknya bertambah, dari 6 menjadi 7 parpol. Adanya 7 parpol yang lolos ET ditambah dengan tiga parpol (PBB, PBR, dan PDS) yang memperoleh kursi relatif berarti, menghasilkan kekuatan politik di DPR makin terfragmentasi dan terpolarisasi, dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Bila hasil Pemilu 1999, jumlah partai efektif di DPR sekitar 6 atau 7 parpol, maka Pemilu 2004 menghasilkan jumlah partai efektif menjadi 10 parpol (Golkar, PDIP, PKB, PPP, PAN, PD, PKS, PBR, PBB, dan PDS). Pertanyaan yang muncul, mengapa Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 menghasilkan fragmentasi dan polarisasi kekuatan politik di DPRD? 11
PBR kini dimpin oleh Burzah Zarnubi, mantan Ketua Cabang dan Ketua PB HMI serta aktivis LSM Humanika.
124
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Jawaban atas pertanyaan itu munkin bisa dijelaskan dengan tiga faktor yang saling terkait. Pertama, faktor pluralitas masyarakat Indonesia, yang terbelah berdasarkan kedaerahan, kesukuan, agama, dan aliran-aliran politik.Herbert Feith dan Lance Castle, misalnya, menjelaskan tentang aliran-aliran politik yang ada dalam masyarakat politik Indonesia saat menggambarkan tentang peta kekuatan politik tahun 1950-an. Menurut mereka, terdapat lima aliran politik, yaitu: Islam, Nasionalisme Radikal, Komunisme, Sosialisme Demokrat, dan Tradisionalisme Jawa.12 Aliran-aliran politik yang dikemukakan oleh Feith dan Castle tersebut, hemat penulis, masih relevan untuk menggambarkan kondisi saat ini. Minus komunisme, hemat penulis, aliran-aliran politik yang lain tetap eksis atau mengalami kebangkitan kembali. Sama dengan kondisi pada tahun 1950an, aliran-aliran politik itu juga mengalami fragmentasi. Seperti telah disinggung, setiap aliran politik terpecah-pecah dalam membentuk kekuatan politik. Dalam aliran nasionalis, misalnya, banyak partai politik yang didirikan atas nama ideologi nasionalis. Begitu juga dalam Islam, banyak partai yang didirikan oleh masing-masing elitnya. Bahkan dalam satu aliran Islam modernis atau tradisioanl, melahirkan banyak partai politik.13 Selain mengacu pada Herbert Feith dan Lance Castle, Daniel Dhakidae juga menunjukkan fragmentasi dan polarisasi partai-partai politik pasca Orde Baru berdasarkan jalur kelas dan jalur aliran.14 Partai yang mengambil jalur kelas membedakan dirinya berdasarkan pandangannya terhadap modal, yang pada akhirnya membagi masyarakat atas kelas pemilik modal dan kaum buruh dengan segala kompleksitasnya. Partai yang mengambil aliran akan membedakan dirinya berdasarkan pandangan terhadap dunia dan persoalannya dan bagaimana cara memecahkannya. Agama dan kebudayaan menjadi pilihannya. Daniel selajutnya membagi partai-partai politik yang ada dipisahkan atas dua sumbu, yaitu sumbu vertikal dan sumbu horizontal. Sumbu vertikal memisahkan dua kutub, yaitu partai yang berdasarkan agama dan partai yang berdasarkan kebangsaan. Sumbu horizontal juga memisahkan dua 12
13
14
Lihat Herbert Feith dan Lance Castle, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, Jakarta: LP3ES, 1988. Untuk menyebut beberapa contoh, dalam aliran nasionalis, selain ada PDIP, terdapat Golkar, PD, PKPI, PNBK, PPDI, dan PNIM. Begitu juga dalam aliran Islam, misalnya pada pemlu 1999, ada 19 partai politik Islam. Lihat, Lili Romli, Islam Yes, Partai Islam Yes, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Daniel Dhakidae, Partai Politik Indonesia, Ideologi, Strategi dan Program, Jakarta: Kompas, 1999, hal. 34.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 125
kutub lainnya berdasarkan kelas, yaitu developmentalisme dan sosialisme radikal. Tabel 3 Aneka Asas Parpol Peserta Pemilu 2004 No
Asas Partai Politik
Nama Partai Politik
1
Pancasila (tanpa embel-embel)
PDIP, Golkar, PD, PDS, PKB, PAN, PKPI, PPDK, PPDI, PSI, PPD, Pelopor, dan Patriot Pancasila.
2
Pancasila dan UUD 1945
PBSD
3
Pancasila berasaskan kekeluargaan Partai Merdeka dan gotong royong
4
Keadilan, Demokrasi, dan Pancasila PPIB
5
Islam
PPP, PKS, PBB, PBR, PPNUI
6
Marhaenisme Ajaran Bung Karno
PNI Marhanenisme dan PNBK
Sumber: Tomi A Legowo, 2005; 63 Persoalannya, meski partai politik yang didirikan itu berdasarkan ideologi tertentu, tetapi ideologi yang mereka usung lebih hanya sebagai tameng dan instrumen untuk posisi tawar dan merebut kekuasaan. Ideologi yang dimiliki oleh partai-partai belum dijadikan sebagai landasan untuk membuat kebijakan alternatif bagi pembangunan bangsa. Oleh karena itu tidak heran, meski di DPR terdiri atas banyak partai dan juga partai-partai di luar DPR yang banyak didirikan, satu sama lain sesungguhnya tidak banyak berbeda dalam mengusung kebijakan. Partai yang mereka bentuk cenderung dijadikan instrumen bagi para elitnya untuk “mencari dan memburu keuntungan dan kekuasaan”. Kedua, faktor sistem pemilu. Sebagaimana diketahui, sistem pemilu yang diberlakukan pada Pemilu 1999 dan 2004 adalah sistem pemilu proporsional (proportional representation systems). Sistem proporsional atau perwakilan berimbang, cenderung akan menghasilkan banyak kekuatan politik di parlemen. Sistem ini mengakomodasi partai-parti kecil.
126
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Konsekuensi penerapan sistem ini adalah menghasilkan fragmentasi kekuatan politik di DPR. Sebagaimana ditunjukkan di atas, selama dua kali pemilu, fragmentasi kekuatan politik di DPR tetap tinggi. Ketiga, sistem multipartai. Terbentuknya sistem multipartai ini tidak lepas dari sistem pemilu yang diberlakukan, yakni pemilu proporsional. Sudah menjadi diktum, sistem pemilu proporsional cenderung akan menghasilkan sistem multipartai. Berbeda dengan masa Orde Baru, sistem multipartai yang terbentuk bersifat sederhana (tiga partai) dengan satu kekuatan dominan (Golkar). Sementara era reformasi ini sistem multipartai yang terbentuk adalah sistem multipartai ekstrem dengan tidak ada kekuatan dominan. Ternyata sistem multipartai yang terbentuk itu relatif belum memberikan kontribusi bagi efektivitas pemerintahan. Alih-alih memberikan efektivitas bagi jalannya pemerintahan, ternyata sistem multipartai yang ada cenderung menjadi “penghambat” efektivitas pemerintahan itu sendiri. Sistem multipartai yang ada cenderung memperlemah tata-kelola pemerintahan, serta mempersulit dicapainya konsensus, baik di antara partaipartai maupun antara parlemen dan pemerintah. Proses pengambilan keputusan dan kebijakan politik akan panjang dan bertele-tele di DPR.15 Kecenderungan Koalisi Mainwaring dan Linz mengatakan bahwa problem sistem presidensiil manakala dikombinasikan dengan sistem multipartai.16 Kombinasi seperti ini akan menghasilkan instabilitas pemerintahan. Ini terjadi karena faktor fragmentasi kekuatan-kekuatan politik di parlemen dan “jalan buntu” bila terjadi konflik relasi eksekutif-legislatif. Oleh karena, dalam sistem presidensiil lebih cocok menggunakan sistem dwi partai. Dengan mengunanakan sistem ini, efektivitas dan stabilitas pemerintahan relatif terjamin. Berbeda dengan kedua ahli di atas, Arend Lijphart mengatakan bahwa dalam sistem multi partai juga bisa menghasilkan sistem demokrasi presidensiil yang efektif dan stabil. Kondisi itu, menurutnya, bisa di atasi dengan cara mengembangkan demokrasi konsensual (demokrasi konsensus). Salah satu ciri demokrasi konsensual, menurut Arend, yaitu
15 16
Haris, op.cit. hal. 23 Lihat Scott Mainwaring, ”Presidensialisme di Amerika Latin” dan Juan J Linz, ” Resiko Dari Presidensialisme”, dalam Arend Lijphart (ed.), Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1995.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 127
dengan membangun koalisi pemerintahan (kabinet) di antara partai-partai politik.17 Dalam konteks itu, pertanyaan yang muncul: apakah sistem multipartai dewasa ini menjadi problem bagi sistem presidensialisme? Tulisan ini tidak secara khusus untuk menjawab pertanyaan itu. Tulisan ini ingin mengapresiasi pendapat Arend tersebut bahwa bisa saja sistem presidensialisme akan stabil bila dibangun koalisi. Sehubungan dengan itu, pada bagian ini membahas tentang kecenderungan koalisi di Indonesia pasca reformasi ini. Secara garis besar, teori koalisi dikelompokkan dalam dua kelompok. Pertama, policy blind coalition, yaitu koalisi yang tidak didasarkan atas pertimbangan kebijakan, tetapi untuk memaksimalkan kekuasaan (office seeking). Kedua, policy-based coalitions, yaitu koalisi berdasarkan pada preferensi tujuan kebijakan yang hendak direalisasikan (policy seeking).18 Kedua model koalisi itu dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Policy Blind Coalitions Theory
Policy Based Coalitions Theory
Menekankan prinsip ukuran atau jumlah kursi
Menekankan kesamaan dalam preferensi kebijakan
Minimal winning coalitions (William Riker)
Minimal connected coalitions (Rober Axelrod)
Asumsi partai bertujuan “office seeking” (memaksimalkan kekuasaan)
Asumsi partai bertujuan “policy seeking” (mewujudkan kebijakan sesuai kepentingan partai)
17
18
Sebagai contoh, dalam kasus di Swiss dan Belgia, Arend mengemukakan 10 ciri demokrasi konsensus di kedua negara tersebut yang dijadikan consensus bersama, yaitu (1) Executive power-sharing in broad coalition cabinets; (2) Executive-legislative balance of power; (3) multiparty system; (4) proportional representation; (5) interest group corporation; (6) federal and decentralized government; (7) strong bicameralism; (8) constitutional rigidity; (9) judicial review; and (10) Central bank independence. Arendt Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countrien, New Haven and London, Yel University, 1999, 34-41. Lihat, Sri Budi Eko Wardani, “Koalisi Partai Politik Dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung: Kasus Pilkada Provinsi Banten Tahun 2006”, Tesis, Jakarta: Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI, 2007. Dalam teori-teori koalisi, Arend mengemukakan ada 6 teori koalisi, yaitu (1) minimal winning coalitions; (2) minimum size coalitions; (3) coalitions with the smallest number of parties; (4) minimal range coalitions; (5) minimal connected winning coalitions; dan (6) policy-viable coalitions. Arendt, op.cit., hal. 92-95.
128
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Loyalitas peserta koalisi sulit dijamin Loyalitas peserta koalisi secara minimal diikat oleh kesamaan tujuan kebijakan Sulit diprediksi, juga range ukuran jumlah partai sangat beragam
Koalisi bisa sangat gemuk dengan melibatkan partai-partai yang tidak perlu agar tujuan kebijakan mendapat dukungan mayoritas.
Sumber: Sri Budi Eko Wardani, 2007. Berbicara tentang koalisi pemerintahan di Indonesia, sesungguhnya bukan hal yang baru. Pada awal kemerdekaan, ketika sistem pemerintahan menganut sistem parlementer, kabinet yang terbentuk merupakan hasil koalisi antara partai-partai politik di parlemen saat itu. Sebagai contoh adalah pembentukan Kabinet Sahrir II. Pembentukan kabinet ini merupakan hasil koalisi longgar antara partai-partai di parlemen (KNIP), yaitu koalisi antara PSI, PSII, Masyumi, Perwari, Parkindo, dan Badan Kongres Pemuda. Begitu juga masa Kabinet Ali II, pasca Pemilu 1955, merupakan kabinet hasil koalisi longgar antara PNI, Masyumi, NU, PSII, Perti, Partai Katolik, Parkindo, dan IPKI.19 Pada era reformasi, kecenderungan koalisi partai dalam kehidupan politik Indonesia mulai terbangun pasca Pemilu 1999, yaitu dalam pemilihan presiden dan wakil presiden oleh MPR. Pada Sidang Umum (SU) MPR 1999 muncul dua calon presiden, yaitu Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP, dan KH. Abdurahman Wahid, tokoh pendiri PKB. Secara fatsoen politik seharusnya Megawati yang pantas menjadi Presiden karena partainya, PDIP keluar sebagai pemenang Pemilu 1999. Itulah yang kemudian menjadi sikap PDIP dan Megawati. Mereka merasa berhak memperoleh kesempatan untuk memimpin pemerintahan menggantikan Habibie. Sementara kalangan lain berpandangan bahwa tidak ada kaitan antara pemenang pemilu dengan keharusan menjadi presiden karena Indonesia menganut sistem presidensiil. Dalam konteks itu, Amien
19
Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Ithaca and New York: Cornel University Press, 1968.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 129
Rais dan Poros Tengah lalu mengusung Abdurahman Wahid sebagai calon presiden. 20 Bagi Amien Rais dan Poros Tengah, pencalonan Abdurahman Wahid tampaknya merupakan “jalan tengah” atau alternatif di antara Habibie yang dicalonkan Golkar dan Megawati yang diusung PDIP. Penolakan terhadap Megawati selain karena adanya keberatan dari kalangan ulama tentang kepemimpinan perempuan dan tingginya kecurigaan kelompok Islam terhadap kelompok nasionalis sekuler yang dipimpin Megawati, juga karena adanya resistensi dari para pendukung Habibie. Sementara itu pencalonan Habibie oleh Golkar mendapat perlawanan dari kekuatan-kekuatan prodemokrasi karena dianggap sebagai reproduksi dari rezim Orde Baru. Pencalonan Abdurahman oleh poros tengah itu menuai hasil. Dalam pemungutan suara yang dilakukan oleh MPR, Abdurahman Wahid terpilih sebagai Presiden dengan memperoleh 375 suara, mengalahkan Megawati yang mendapat 313 suara. Kemenangan Abdurahman Wahid dalam pemilihan ini selain berasal dari koalisi poros tengah dan PKB, juga diperkirakan berasal dari Golkar, Utusan Daerah, Utusan Golongan, dan TNI/Polri. Bila kita cermati, koalisi poros tengah dan para pendukungnya dalam pemilihan presiden di MPR tersebut cenderung berorientasi jangka pendek dan pragmatis. Koalisi ini terbentuk bukan direncanakan sejak awal, tetapi sebagai respon terhadap perkembangan politik yang ada saat itu: penolakan pencalonan Megawati dan Habibie. Dibalik pembentukan koalisi itu tidak ada agenda yang substansial, yang penting asal bukan Megawati (ABM) atau ABH (asal bukan Habibie). Pencalonan Abdurahman Wahid sendiri juga bukan karena pertimbangan substansial untuk membangun platform bersama, selain karena alasan di atas (ABM atau ABH) juga karena Abdurahman Wahid dipandang sebagai sosok “jalan tengah” untuk memecah kebekuan di antara Megawati dan Habibie. Sebab Abdurahman Wahid sendiri sebenarnya bukan sosok ideal, 21 namun di antara calon20
21
Koalisi Poros Tengah beranggotakan PAN (34 kursi), PPP (58 kursi), PBB (13 kusri), PK (7 kursi), dan partai-partai Islam “gurem” lainya (5 kursi). Koalisi poros tengah merupakan koalisi longgar, yang keanggoatannya tidak bersifat formal dan organisatoris, kecuali sekedar sebagai forum bagi berbagai kesepakatan lisan yang diambil dalam pertemuan-pertemuan untuk mengantisipasi perkembangan politik, khususnya persaingan dua kubu calon presiden, Megawati dan Habibie. Lihat Syamsuddin Haris, Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia, Jakarta; Grafiti Pers, 2007, hal. 78. Sebagamana diketahui Abdurahman Wahid sebenarnya adalah “tokoh kontroversial” yang ucapan dan pendapatnya kerap mengundang “kecaman” dari berbagai kalangan, terutama dari kalangan umat Islam. Selain itu, kondisi kesehatannya juga kurang prima akibat terkena serangan stroke.
130
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
calon yang ada ia di pandang dapat diterima oleh semua kelompok dan memiliki resistensi yang minimal.22 Tabel Hasil Pemilihan Presiden dan Perkiraan Sumber Dukungan Calon Presiden Dalam SU MPR 1999. Pilihan
Perolehan Siuara
Perkiraan Sumber Dukungan Partai/Fraksi
Suara
Abdurahman Wahid
375
Golkar PPP PKB PAN PBB PK Partai Islam lain Utusan Daerah Utusan Golongan TNI/Polri
100 57 51 35 12 7 10 57 15 30
Megawati Soekarnowati
313
PDIP Utusan Golongan Utusan Daerah Golkar Partai Nasionalis lain TNI/Polri
154 69 50 20 17 3
Abstain
5
TNI/Polri
5
Sumber: Syamsuddin Haris, 2007, hal. 84 Koalisi longgar dan pragamtis itu berlanjut dalam pembentukan kabinet, yaitu Kabinet Persatuan Naional. Dalam pembentukan kabinet ini terjadi kompromi politik antara pimpinan partai-partai politik besar pendukung Abdurahman Wahid (Amien Rais, Ketua Umum PAN, Akbar Tanjung, Ketua Umum Golkar, dan Hamzah Haz, Ketua Umum PPP), Wapres Megawati yang juga Ketua Umum PDIP, dan Jenderal Wiranto selaku wakil dari militer. Kompromi politik ini menghasilkan komposisi kabinet 22
Lihat Haris, op.cit.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 131
yang sebagian besar diisi oleh wakil-wakil partai politik dan militer. Dari 34 orang anggota kabinet, 23 orang merupakan wakil partai dan militer, yaitu Golkar (4 orang), PAN (4), PDIP (3), PKB (3), PPP (2), PBB (1), PK (1), dan TNI (5).23 Proses pembentukan kabinet itu, menurut hemat penulis, sesuatu yang “ironis”. Seharusnya dalam sistem presidensiil, pembentukan kabinet merupakan hak prerogratif Presiden. Tetapi yang terjadi dalam pembentukan kabinet itu “hasil kesepakatam” dari para pendukung Presiden Abdurahman Wahid. Pertimbangan yang mengemuka dalam pembentukan kabinet lebih pada “bagi-bagi kekuasaan”, “hutang politik”, atau “balas budi”. Pada perkembangan kemudian terjadi perpecahan antara Abdurahman Wahid dengan para pendukung koalisi. Bermula dari reshufle kabinet yang dilakukan oleh Abdurahman Wahid, seperti pemberhentian Hamzah Haz selaku Menko Kesra dan Taksin, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Yusuf Kalla, dan Meneg BUMN Laksamana Sukardi. Selain faktor itu, faktor-faktor lain juga turut mempengaruhi, seperti faktor personalisasi kekuasaan pada diri Abdurahman Wahid dan pembangkangan yang dilakukan oleh TNI dan Polri. Puncak dari perpecahan adalah pemberhentian Abdurahman Wahid sebagai Presiden dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri.24 Terlepas dari kontroversi dibalik kebijakan-kebijakan Presiden Abdurahman Wahid, hemat penulis, penjatuhan Abdurahman Wahid dari kursi Presiden merupakan sesuatu yang ironis. Ironis karena ia dijatuhkan oleh pendukung koalisi itu sendiri, yang nota bene mereka seharusnya membela dan mempertahankan Abdurahman Wahid sebagai Presiden. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, mereka adalah pelopor bagi penjatuhan Abdurahman Wahid itu sendiri. Lazimnya pelopor bagi gerakan menjatuhkan pemerintahan adalah pihak oposisi, bukan pendukung koalisi pemerintahan. Tampaknya tradisi di Indonesia berbeda, alih-alih membangun oposisi loyal, yang terjadi justru “pengkhianatan koalisi”. Selain koalisi dalam pemilihan Presiden tahun 1999 di MPR, dalam pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2004 yang dipilih langsung 23 24
Ibid., hal. 85. Memang faktor penjatuhan Presiden Abdurahman tidak tunggal, banyak faktor yang mempengaruhi, seperti kasus Bulog dan dana sumbangan Sultan Brunei, pemberhentian Jenderal (Pol) S. Bimantoro, yang digantikan oleh Komjen Chaeruddin Ismail. Akumulasi dari semua itu berunjung pada Memorandum I dan II oleh DPR, yang tidak diindahkan oleh Abdurahman Wahid, sehingga kemudian MPR mengadakan Sidang Istimewa untuk pencopotan Abdurahman Wahid.
132
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
oleh rakyat terjadi juga koalisi partai-partai politik. Kolisi ini niscaya dilakukan karena tidak ada kekuatan politik yang dominan di DPR. Selain untuk mendapat dukungan nantinya di DPR bila terpilih dan dukungan suara dari para pendukung partai, koalisi pencalonan presiden dan wakil presiden dilakukan karena regulasi UU Pilres (UU No. 23 Tahun 2003) adanya klausul “gabungan partai politik” dalam pencalonan presiden dan wakil presiden. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 mengatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan itu lalu diterjemahkan melalui UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden. Dalam Pasal 5 ayat (1) menyebutkan, “Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah Pasangan Calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum”. Lalu Pasal 101 mengatakan, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat diajukan oleh partai politik yang memperoleh kursi di DPRD sebanyak 3% atau yang memperoleh 5% suara sah secara nasional dalam Pemilu legislatif. Dalam putaran pertama ( 5 Juli 2004) pemilihan presiden dan wakil presiden, ada lima pasang calon presiden dan wakil presiden. Kelima pasang calon tersebut, yaitu: (1) Wiranto – Salahuddin Wahid, yang diusung oleh koalisi Golkar, PKB, PKPB, PPNUI. Dan Patriot Pancasila; (2) pasangan Megawati – Hasyim Muzadi yang diusung oleh koalisi PDIP dan PDS; (3) pasangan Amien Rais – Siswono Yudo Husodo didukung oleh koalisi PAN, PKS, PBR, PSI, PNI Marhaenisme, PPDI, PNBK, dan PBSD; (4) pasangan Susilo Bambang Yudhoyono- Yusuf Kalla, yang didukung oleh koalisi PD, PBB, dan PKPI; dan (5) pasangan Hamzah Haz – Agum Gumelar, yang dicalonkan oleh PPP, tanpa koalisi. Memperhatikan pasangan calon presiden dan wakil presiden serta dukungan partai politik terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden, tampak terjadi kecenderungan pola koalisi antara Islam dan Nasionalis. Ini berarti koalisi yang dibentuk meruntuhkan sekat-sekat perbedaan ideologis, antara Islam dan ideologi sekuler (nasionalis).25 Hal ini karena di antara anggota partai pendukung koalisi, selain terdiri atas partai-partai sekuler terdapat pula partai-partai Islam, seperti PPP dam PBR. Runtuhnya sekat-sekat ideologis itu sesuatu yang positif. Tetapi tampaknya, dibalik runtuhnya sekat-sekat ideologis tersebut, terdapat motif 25
Dhurorudin Mashad, “Pemilu Presiden: Runtuhnya Sekat Ideologi Islam-Sekuler”, dalam Quo Vadis Politik Indonesia ?, Year Book 2004 P2P LIPI, hal. 41.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 133
lain, yang dalam bahasa Eep, koalisi sekedar untuk “mesin politik pendulang suara”26 atau koalisi sekedar “bagi-bagi kekuaasaan”, suatu bentuk koalisi fragmatis dan jangka pendek. Kecenderungan koalisi seperti itu tampak semakin jelas dalam putaran kedua (20 September 2004) pemilihan presiden dan wakil presiden. Pada 19 Agustus 2004, sebulan sebelum putaran kedua pemilihan presiden dan wakil presiden, empat partai politik, yaitu Golkar, PDIP, PPP, dan PDS mendeklarasikan terbentuknya Koalisi Kebangsaan. Koalisi ini dimotori oleh Abkar Tanjung sebagai Ketua Umum Golkar. Koalisi ini sepakat untuk memenangkan Mega-Hasyim dalam putaran kedua. Dalam deklarasi koalisi ini dihadiri juga oleh ketua partai dari PBR, PKPB, dan PNIM. Bila di total, jumlah kekuatan pendukung koalisi kebangsaan ini mencapai 55,75% dari total hasil suara pemilu DPR.27 Apa tujuan dari koalisi ini? Seperti dikatakan oleh Heri Akhmadi, Sekretaris Tim Sukses Mega-Hasyim, tujuan koalisi ini adalah “untuk membangun pemerintahan dan parlemen yang kuat”.28 Memang, dengan menguasai 55,8% di DPR, pemerintahan yang terbentuk nantinya akan kuat, karena kekuatan koalisi ini sudah mayoritas (50 + 1) di DPR. Sementara konsesi bagi anggota koalisi berupa pembagian jatah menteri. Pembagian kursi menteri didasari proporsi perolehan kursi di DPR. Tiap 20 kursi DPR akan mendapat 1 kursi menteri departemen. Partai yang memiliki kurang dari 20 kursi tapi tak lebih rendah dari 15 kursi akan mendapat satu jabatan menteri non departemen.29
26 27
28 29
Lihat Eep Saefulloh Fatah, “Koalisi”, Tempo, 25 April 2004. Aris Ananta, at all, Emerging Democracy in Indonesia, Singapore: ISEAS, 2005, hal. 106 Lihat Tempo, 29 Agustus 2004. Tempo, 5 September 2004.
134
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Tabel Peta Kekuatan Pendukung Koalisi Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan Berdasarkan Hasil Pemilu Legislatif 2004 Koalisi Kebangsaan Partai Pendukung
Koalisi Kerakyatan
% Suara Hasil Pemilu
Partai Pendukung
% Suara Hasil Pemilu
Golkar
21,58
PD
7,45
PDIP
18,53
PKS
7,34
PPP
8,15
PBB
2,62
PBR
2,44
PKPI
1,26
PDS
2,13
PPDK
1,16
PKPB
2,11
PP
0,77
PNIM
0,81
PPDI
0,75
Total
21,34
PKB
10,57
PAN
6,44
Total
38,36
Total
55,75
Sumber: Aris Ananta, Evi Nurvidya, dan Leo Suryadinata, 2005; 108. Tidak kalah dengan pengusung pasangan Mega-Hasyim, pasangan Yudhoyono–Kalla juga mendeklarasikan koalisi dengan nama Koalisi Kerkayatan pada 26 Agustus 2004. Anggota koalisi ini selain PD, PBB, dan PKPI, juga bergabung PKS, yang pada putaran pertama mendukung Amien-Siswono, PPDK, PP, dan PPDI. Jika di total kekuatan mereka DPR hanya mencapai 21,34% suara. Apabila dibandingkan di antara dua kekuatan koalisi ini tampak jauh sekali. Koalisi Kebangsaan didukung oleh kekuatan mayoritas di DPR, yakni 55,75% sementara Koalisi Kerakyatan hanya 21,34%, dan bila ditambah dengan PAN dan PKB hanya mencapai 38,4%. Berdasarkan perhitungan kekuatan di DPR tersebut, secara matematis pasangan MegaHasyim tentu akan memenangkan pemilu Presiden putaran kedua. Hitungan-hitungan matematis itu ternyata tidak terwujud. Pasangan calon yang diusung oleh koalisi kebangsaan ternyata kalah dengan pasangan
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 135
yang didukung oleh koalisi kerakyatan.30 Dengan kegagalan koalisi kebangsaan dalam memenangkan calon yang diusung, akhirnya membenarkan sejumlah kritik yang dilontarkan selama ini. Pertama, koalisi yang mereka bentuk merupakan aspirasi segelintir elit partai. Kedua, koalisi yang mereka bangun tidak jelas akar perekatnya. Ketiga, koalisi mereka sarat dengan pembagian kekuasaan semata.31 Kritik yang sama sebenarnya bisa ditujukan juga pada koalisi kerakyatan. Kemenangan yang mereka peroleh bukan karena faktor koalisi yang mereka bangun. Faktor koalisi bukan faktor signifikan dari kemenangan Yudhoyono-Kalla. Hemat penulis, faktor kemenangan pasangan ini lebih banyak pada faktor figur Yudhoyono, yang dianggap oleh rakyat akan membawa perubahan sesuai dengan tema yang diusungnya. Bagaiamana kelanjutan koalisi yang mereka bangun? Untuk koalisi kebangsaan, dalam perjalanannya ternyata “pecah kongsi”. Adalah PPP yang pertama-tama meninggalkan koalisi. PPP menyatakan mundur dari koalisi kebangsaan dan bergabungan dengan koalisi kerakyatan setelah ia ditawari posisi Ketua DPR dalam pemilihan pimpinan DPR.32 Koalisi partai-partai politik pengusung Yudhoyono-Kalla berlanjut dalam pembentukan Kabinet. Bukan hanya itu saja, ternyata Yudhoyono-Kalla mengajak juga partai-partai politik lain untuk bergabung. Yudhoyono-Kalla ingin koalisi pemerintahan yang mereka akan bentuk mendapat dukungan yang luas di DPR. Dalam konteks itu, mereka kemudian mengajak PAN dan PKB bergabung dalam pembentukan kabinet, yang mereka namakan sebagai Kabinet Indonesia Bersatu. Belum cukup sampai di situ, Yudhoyono pun “mengizinkan” Kalla ikut berkompetisi dalam pemilihan Ketua Umum Golkar pada awal 2005. Ternyata Kalla berhasil merebut kursi Ketua Umum Golkar. Pemerintah pun punya kaki yang besar dan kuat di lembaga legislatif. Ada 10 partai yang terwakili dalam Kabinet dengan menguasai mayoritas kursi DPR.
30
31 32
Hasil Pilpres putaran kedua, pasangan Yudhoyono-Kalla memperoleh suara 69.266.350 (60,62%) dan pasangan Mega-Hasyim mendapat 44.990.704 suara (39,38%). Lihat SB Eko Wardani, op.cit. Dalam pemilihan pimpinan DPR, koalisi kerakyatan kalah dengan koalisi kebangsaan, sehingga harapan PPP menjadi Ketua DPR menjadi kandas.
136
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Tabel Kekuatan Partai Pemerintah di DPR Partai
Kursi di DPR
Kursi di Kabinet
Golkar
127
3
PKB
52
2
PPP
58
2
PD
56
2
PKS
45
3
PAN
53
3
PBB
11
1
PKPI
1
1
Total
404
17
Pertanyaan yang segera muncul, apakah koalisi besar dengan menguasai mayoritas kursi di DPR tersebut, koalisi yang dibangun oleh pemerintahan Yudhoyono-Kalla berjalan efektif? Tampaknya koalisi yang dibentuk belum berjalan efektif. Alih koalisi yang itu mendukung pemerintah, yang terjadi justru sebaliknya. Para pendukung koalisi kerap tidak searah dan sejalan dengan pemerintah. Bahkan para pendukung koalisi melakukan protes yang tajam dalam bentuk hak angket atau interpelasi atas kebijakan pemerintah. Contoh kasus adalah interpelasi kasus busung lapar dan polio, interpelasi resolusi PBB tentang isu nuklir Iran, angket kenaikan harga BBM dan angket impor Beras. Selain itu, adalah kasus pemilihan calon Gubernur BI, yang ternyata tidak didukung oleh partai-partai pendukung pemerintah, yang menyebabkan calon yang diajukan oleh Pemerintah ditolak oleh DPR. Seharusnya ini tidak terjadi bila partai-partai anggota koalisi mendukung kebijakan pemerintah. Berkaitan ini, paling tidak ada tiga faktor yang saling berkaitan satu sama lain. Pertama, koalisi yang mereka bentuk lebih didasarkan pada pragmatisme politik. Partai-partai yang tergabung dalam koalisi tidak diikat oleh kesamaan visi dan landasan politik untuk membangun bangsa ini. Mereka bergabung dalam rangka untuk kepentingan kekuaasaan an sich. Dengan pondasi seperti ini, tidak heran bila di antara pendukung koalisi itu sendiri terjadi perbedaan pandangan dalam mengusung suatu kebijakan. Dalam konteks itu, tidak heran bila kemudian partai pendukung pemerintah, yang nota bene anggota koalisi menentang kebijakan pemerintah, yang
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 137
merupakan bagian yang harus mereka dukung. Bila hal itu dilakukan oleh partai opisisi dapat difahami, tetapi bila dilakukan oleh partai pendukung pemerintahan, ini sesuatu yang ironis.33 Kedua, partai yang memimpin koalisi berasal dari kekuatan partai minoritas. Kondisi di mana kekuatan PD yang hanya mempunyai kursi di DPR sebanyak 56 kursi (10,2%) menjadi problem dalam memimpin koalisi. Dengan kekuatan partai yang relatif kecil tersebut pada gilirannya mempengaruhi bargaining posisition yang mereka lakukan dalam proses pengambilan keputusan di DPR. Ketiga, kaoalisi Presiden dan Wakil Presiden menghasilkan kohabitasi dalam kepemimpinan eksekutif ala Indonesia 34 Ini terjadi karena Presiden dan Wakil Presiden berasal dari dua partai yang berbeda, yakni Partai Demokrat (56 atau 10,2% kursi DPR) dan Partai Golkar (127 atau 23,1%). Akibat kohabitasi, mau tak mau terbangunlah hubungan segiempat: Yudhoyono-Partai Demokrat-Kalla-Partai Golkar. Membangun Demokrasi Konsensual: Catatan Penutup Problem yang dihadapi hasil Pemilu 2004 (dan juga hasil Pemilu 1999) adalah menghasilkan sistem multipartai yang terfragmentasi dan terpolarisasi. Penerapan electoral threshold (ET) 2% ternyata tidak berhasil menciptakan sistem multipartai sederhana. ET hanya berhasil mengurangi jumlah perserta pemilu, tetapi tidak berhasil mengurangi jumlah partai di parlemen. Ini karena model ET yang diterapkan di Indonesia bukan untuk membatasi partai politik yang tidak memenuhi ambang itu mengirimkan wakilnya di parlemen, tetapi untuk tidak ikut pemilu berikutnya. Selain itu, sistem proporsional yang diberlakukan juga memberikan kontribusi terbangunnya sistem multipartai yang terfragmentasi dan terpolarisasi. Oleh karena itu, bila kita ingin mengupayakan agar sistem kepartaian kita tidak terfragmentasi secara ekstrem, di mana jumlah partai 33
34
Contoh aktual adalah saat pemerintah mengajukan calon Gubernur BI, yang ternyata tidak didukung oleh partai-partai pendukung pemerintah. Calon yang diajukan oleh Pemerintah ditolak oleh DPR. Seharusnya ini tidak terjadi bila partai-partai anggota koalisi mendukung kebijakan pemerintah. Menurut Eep Saifulloh Fatah, kohabitasi biasanya ditemukan dalam praktik semipresidensialisme semacam di Perancis atau Finlandia. Kohabitasi terjadi manakala Presiden (yang memiliki legitimasi kuat karena dipilih langsung melalui pemilu) dan Perdana Menteri (yang mengelola pemerintahan sehari-hari berdasarkan mandat yang diterima via pemilu legislatif) berasal dari dua partai yang berbeda. Kedua pemimpin pun harus saling menyesuaikan diri dan orientasi mereka untuk membuat sistem politik bekerja secara layak. Lihat, Eep, “Kobabitasi Ala Indonesia”, 9 Oktober 2007.
138
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
yang punya kursi efektif di DPR sekitar lima partai, maka cara untuk itu adalah mengubah sistem proporsional menjadi sistem pluralitas (sistem distrik). Kalau sistem pluralitas diterapkan, jika data Pemilu 2004 digunakan sebagai prediksi, kemungkinan partai yang punya wakil di DPR dengan jumlah efektif adalah Golkar dan PDIP. PKB mungkin masih punya kursi meskipun tidak banyak, karena dalam Pemilu 2004 cukup banyak calon PKB yang mendapat suara terbanyak di sejumlah daerah pemilihan di Jawa Timur. PKS punya wakil di DPR dari daerah pemilihan di Jakarta dan Jawa Barat. Partai lain seperti Demokrat, PPP, dan PAN, apalagi partai lain yang lebih kecil, kemungkinan akan hilang karena tidak mendapat suara paling banyak di satu pun daerah dalam Pemilu 2004.35 Namun, menurut hemat penulis, menerapkan sistem distrik bukan pilihan realistis. Kondisi masyarakat Indonesia yang plural, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, tidak bisa diabaikan begitu saja. Hemat penulis, penerapan sistem proporsional merupakan wujud penghormatan dan pengakuan atas pluralitas masyarakat Indonesia. Kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat Indonesia, termasuk kelompok minoritas, harus diakui eksistensinya. Mengutip Arend, dengan tetap kita menerapkan sistem pemilu proporsional, kita mencoba membangun model demokrasi konsensual. Yang perlu dilakukan dengan tetap menerapkan sistem proporsional adalah mencoba menciptakan sistem kepartaian sederhana. Cara untuk itu, seperti yang sudah menjadi kesepakatan di DPR, dengan menerapkan ET di DPR, yang disebutnya parliamenary threshold (PT). Dengan menerapkan PT maka partai-partai politik yang tidak memenuhi batas ambang yang ditetapkan dalam PT tersebut tidak bisa memperoleh kursi di DPR. Dengan memberlakukan PT ini pada gilirannya nanti jumlah partaipartai politik di DPR yang efektif relatif sedikit. UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD telah menerapkan ET atau PT di Parlemen sebesar 2,5%. Berdasarkan simulasi yang dilakukan oleh CETRO, mengacu data hasil Pemilu 2004, partai-partai politik yang lolos PT sekitar 8 parpol, yaitu Golkar, PDIP, PKB, PPP, PAN, PD, PKS, dan PBB. Hemat penulis, bila ditingkatkan lagi menjadi 3% - 4%, maka jumlah partai politik di DPRD kemungkinan akan semakin sedikit. Dengan menaikkan PT lebih besar, hemat penulis, tidak ada masalah dilihat dari perspektif demokrasi, karena mereka (partaipartai) tetap diakui eksistensi dan bisa mengikuti pemilu berikutnya. Yang 35
Lihat Saiful Muzani, “Plus-Minus Penyederhanaan Partai”, Majalah Tempo, Edisi 915 Juli 2007
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 139
mungkin dilanggar adalah asas rasa kebersamaan kelompok-kelompok anak bangsa yang secara sosiologis beragam. Tabel Perkiraan Perolehan Kursi Partai Politik bila Memberlakukan 2,5% PT dan Sisa Suara 50% BPP No Partai
Hasil Pemilu 2004 Suara
%
2,5% PT
50% BPP
Kursi
%
Kursi
%
Kursi
1
Golkar
24.480.757 21,57
127
26,1
152
28,0
154
2
PDIP
21.026.629 18,53
109
22,4
126
22,7
125
3
PKB
11.989.564 10,52
52
12,8
53
9,8
54
4
PPP
9.248.764
8,15
58
9,9
57
10,5
58
5
PD
8.455.225
7,45
56
9,0
57
10,0
55
6
PKS
8.325.020
7,34
45
8,9
46
8,4
46
7
PAN
7.313.305
6,45
53
7,8
49
8,5
47
8
PBB
2.970.487
2,62
11
3,2
11
2,0
11
Sumber: CETRO, 2008. Seiring dengan pemberlakuan PT tersebut, hemat penulis, yang harus segera dilakukan oleh partai-partai dalah mengembalikan citra partai politik yang buruk di mata publik. Kritik yang ditujukan selama ini terhadap partai politik dinilai kurang aspiratif dan abai melakukan pendidikan politik. Selain itu, dari sudut pelembagaan, partai juga menghadapi masalah. Mengacu pada pendapat Herbert Kitschelt, cenderung pada tipe partai politik karismatik dan klientelistik daripada partai programatik.36 Sedang merujuk pada pendapat Scott Mainwaring,37 partai-partai politik yang ada masih menghadapi derajat kesisteman yang rendah, kurang mengakarnya parpol dalam masyarakat, struktur organisasi partai yang tidak stabil yang tidak mengacu pada AD/AR, 36
37
Aurel Croinssant, “Politik Pemilu di Asia Tenggara dan Asia Timur: Perspektif Perbandingan”, dalam Aurel Croinssant, Gabriele Bruns, dan Marei John (eds), Politik Pemilu di Asia Tenggara dan Asia Timur, Jakarta; FES dan Pensil-324 Lihat Mainwaring, “Party System in The Third Wave”, dalam Larry Diamond and Marc F Plattner, The Global Divergence of Democracies, Baltimore and London; The Johns Hopkins University Press, 2000.
140
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Bila keberadaan partai politik baik dari segi fungsi maupun kelembagaan masih seperti itu, lalu bagaimana masa depan partai politik sebagai pilar demokrasi? Padahal di satu sisi adalah penting adanya partai politik karena tanpa ada partai politik maka demokrasi tidak akan berjalan. Arti penting partrai politik dalam demokrasi adalah agar demokrasi dapat berjalan, hal ini karena partai politik adalah kendaraan utama bagi perwakilan politik; mekanisme utama bagi penyelenggaraan pemerintahan; dan saluran utama untuk memelihara akuntabilitas demokrasi. Oleh karena hemat penulis, partai politik segera “mereformasi dirinya”. Model demokrasi konsensual yang perlu dibangun, dan selama ini sudah terbentuk, adalah memperkuat koalisi pemerintahan. Sebagaimana dikatakan oleh Arend bahwa bisa saja masyarakat yang plural dengan sistem multipartai dengan kombinasi sistem presidensil, antara lain, dengan membangun koalisi dalam pemerintahannya. Koalisi yang dibangun selama ini merupakan bagian dari model demokrasi konsensual seperti dikemukakan oleh Arend tersebut. Yang menjadi persoalan pemerintahan tidak efektif selama ini karena bentuk dari koalisi itu sendiri. Salah satu kritik yang muncul dalam bentuk koalisi selama ini adalah ketiadaan koalisi besar yang permanen di parlemen, sehingga setiap pengambilan keputusan oleh pemerintah hampir senantiasa mendapat hambatan dan tantangan dari parlemen. Koalisi yang dipraktikkan oleh partai-partai politik kita dewasa ini cenderung bersifat instant karena lebih berdasarkan kepentingan politik jangka pendek dan belum berdasarkan platform dan program politik yang disepakati bersama. Dengan demikian, strategi yang perlu diambil ialah mendorong terbentuknya koalisi permanen. Yang dimaksud dengan koalisi permanen di sini adalah koalisi yang dibangun untuk jangka waktu minimal selama satu periode pemerintahan (5 tahun). Koalisi yang dibentuk harus diikat dalam bentuk “kontrak politik” yang mengikat bagi pihak-pihak yang berkoalisi. Koalisi yang dibentuk berdasarkan atas kesepakatankesepakatan politik yang mengikat dan transparan hingga berakhir masa pemerintahan.38 38
Dalam konteks membangun sistem presidensial yang kuat dan efektif, Tim LIPI mengusulkan penataan mekanisme pencalonan melalui, antara lain, yaitu: (1) pemberlakuan syarat pembentukan koalisi partai secara permanen atas dasar platform politik yang sama sebagai kriteria pengajuan pencalonan pasangan Presiden-Wapres di masa mendatang; (2) pencalonan pasangan Presiden-Wapres harus dilakukan oleh partai/koalisi partai yang memperoleh suara minimal 30% dalam Pemilu DPR; (3) pasangan calon berasal dari satu partai/koalisi partai yang sama. Lihat Tim LIPI, “Menuju Sistem Pemerintahan Presidensial Yang Demokratis, Kuat da Efekti”, Usulan Naskah Akademik Revisi UU Bidang Politik, Jakarta: P2P LIPI, 2007.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 141
Seiring dengan terbentuknya koalisi permanen, koalisi yang dibangun juga harus kuat, yakni mendapat dukungan lebih dari 50% suara di DPR (50 + 1). Dengan dukungan mayoritas di parlemen pada gilirannya Presiden tidak akan dipaksa melakukan tawar-menawar dengan partai-partai di luar koalisi partai pendukungnya. Sebaliknya, bila hanya didukukung oleh kekuatan minoritas di DPR maka cenderung akan membuka peluang “digoyang” oleh partai bukan pendukung koalisi. Selain terbentuknya koalisi permanen di DPR, yang juga perlu dibangun adalah adanya kekuatan oposisi. Keberadaan oposisi di DPR penting untuk menegakkan mekanisme check and balances. Jika kedua syarat tersebut terpenuhi, koalisi permanen dan adanya koalisi, selain akan terwujudnya pemerintahan presidensial yang kuat dan efektif, juga terwujudnya sistem presidensiil yang demokratis dan stabil. Semoga. Daftar Pustaka Aris Ananta, at all, Emerging Democracy in Indonesia, Singapore: ISEAS, 2005. Croinssant, Aurel, Gabriele Bruns, dan Marei John (eds), Politik Pemilu di Asia Tenggara dan Asia Timur, Jakarta; FES dan Pensil-324, Dhakidae, Daniel, Partai Politik Indonesia, Ideologi, Strategi dan Program, Jakarta: Kompas, 1999. Fatah, Eep Saefulloh, “Koalisi”, Tempo, 25 April 2004. Fatah, Eep Saefulloh, “Kobabitasi Ala Indonesia”, 9 Oktober 2007. Feith, Herbert dan Lance Castle, Pemikiran Politik Indonesia 19451965, Jakarta: LP3ES, 1988. Feith, Herbert, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Ithaca and New York: Cornel University Press, 1968. Haris, Syamsuddin, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta; Yayasan Obor, 1999. Haris, Syamsuddin, Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia, Jakarta; Grafiti Pers, 2007. Irwan, Alexander dan Edriana, Pemilu Pelanggaran Asas Luber, Jakarta: Sinar Harapan, 1995. Kaisiepo, Manuel.“Partai Baru atau Sistem Kepartaian Baru, Kompas, 20 September 1994. Liddle, William, Pemilu-Pemilu Orde Baru, Jakarta; LP3ES, 1992. Lijphart, Arend (ed.), Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1995.
142
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Lijphart, Arend, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countrien, New Haven and London, Yel University, 1999. Mashad, Dhurorudin “Pemilu Presiden: Runtuhnya Sekat Ideologi IslamSekuler”, dalam Quo Vadis Politik Indonesia ?, Year Book 2004 P2P LIPI. Romli, Lili, Islam Yes, Partai Islam Yes, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Mainwaring, Scott, “Party System in The Third Wave”, dalam Larry Diamond and Marc F Plattner, The Global Divergence of Democracies, Baltimore and London; The Johns Hopkins University Press, 2000. Mainwaring, Scott, Party System in The Third Wave”, dalam Larry Diamond and Marc F Plattner, The Global Divergence of Democracies, Baltimore and London; The Johns Hopkins University Press, 2000. Mair, Peter, “Party Sistem and Structures of Competition”, dalam Lawrence Leduc, Richard G. Niemi, and Pippa Norris (eds.), Comparing Democracies: Election and Voting in Global Perpective, California: Sage Publication, Inc., 1996. Marijan, Kacung,“Demokrasi dan Stabilitas pemerintahan: Perbandingan Sistem Pemerintahan, Sistem Pemilu, dan Sistem Kepartaian”, Pidato Pengukuhan Guru Besar FISIP Unair, 8 Desember 2007. Muzani, Saiful, “Plus-Minus Penyederhanaan Partai”, Majalah Tempo, Edisi 9-15 Juli 2007 Tempo, 29 Agustus 2004. Tempo, 5 September 2004. Tim LIPI, “Menuju Sistem Pemerintahan Presidensial Yang Demokratis, Kuat da Efekti”, Usulan Naskah Akademik Revisi UU Bidang Politik, Jakarta: P2P LIPI, 2007. Wardani, Sri Budi Eko, “Koalisi Partai Politik Dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung: Kasus Pilkada Provinsi Banten Tahun 2006”, Tesis, Jakarta: Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI, 2007.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 143
Konflik di Indonesia: Karakteristik dan Tantangan Ke Depan1 Moch. Nurhasim
Indonesia merupakan salah negara di dunia yang sangat rentan terhadap konflik. Ada sejumlah faktor yang potensial dapat memicu terjadinya konflik, baik dari segi budaya, nilai, dan sejumlah masalah sosial, ekonomi dan politik. Hal ini bukan saja sifatnya laten (tersembunyi) tetapi telah menjadi konflik yang terbuka. Pengalaman konflik yang pernah terjadi di Indonesia baik di masa Orde Baru maupun di masa reformasi memperlihatkan bahwa konflik yang terjadi dipicu oleh faktorfaktor yang beragam. Bentuk konfliknya pun sangat kompleks, mulai dari kerusuhan sosial (riots), konflik horizontal/komunal, hingga konflik bersenjata dalam wujud separatisme. Pengalaman Indonesia menghadapi konflik sebelum dan sesudah masa reformasi, perlu adanya review di masa depan yang lebih matang dan ideal.
Pengantar Konflik di dalam suatu negara dewasa ini merupakan persoalan yang relatif sering dihadapi. Isu konflik menjadi salah agenda banyak negara, tidak hanya di Indonesia. Kasus-kasus konflik di dunia seperti di bekas Negara Uni Soviet, India, Pakistan, dan termasuk Indonesia terkait dengan persoalan-persoalan domestik suatu negara. Konflik bagaimanapun akan berdampak langsung maupun tidak langsung bagi stabilitas suatu negara. Kesalahan tindakan preventif terhadap konflik yang terjadi, akan berakibat fatal bagi keutuhan sebuah negara. Pengalaman penanganan konflik etnik yang melanda Uni Soviet dan negara1
Tulisan ini merupakan modifikasi dari hasil penelitian Kaji Ulang Pertahanan: Perspektif Politik dalam sub bab yang berjudul Konflik Intra State di Indonesia oleh IPSK LIPI.
144
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
negara bagiannya misalnya, menyadarkan banyak negara akan arti pentingnya tindakan preventif untuk pencegahan konflik, agar tidak berdampak negatif bagi keamanan nasional mereka. Pengalaman Uni Soviet yang gagal untuk mengantisipasi konflik menyebabkan negara tersebut runtuh menjadi serpihan-serpihan negara kecil, ternyata telah menyadarkan banyak negara akan dampak langsung konflik bagi aspek pertahanan. Begitu pula sulitnya penanganan konflik yang dipicu oleh masalah identitas agama yang menyebabkan konflik yang belum kunjung selesai di India antara Hindu-Muslim —sehingga Muslim membentuk identitas tersendiri sejak akhir abad 19 2 mendorong setiap negara untuk mengantisipasi sifat dan jenis-jenis konflik yang mungkin berdampak bagi faktor keamanan dan pertahanan. Karena itu, karakter konflik yang ditimbulkan akibat faktor identitas, seperti gejala munculnya “separatisme,” atau perjuangan untuk merdeka, bukan saja merepotkan, tetapi akan menggangu keamanan dan pertahanan suatu negara dalam jangka panjang. Kasus Tamil, Moro, dan beberapa perang akibat perjuangan kemerdekaan seperti itu, ternyata menjadi persoalan keamanan yang kompleks bagi negara yang mengalaminya. Tidaklah mengherankan, apabila banyak negara —memandang stategik hubungan antara konflik dan stabilitas di dalam negeri, serta aspekaspek teknis untuk mengatasinya, termasuk menggunakan kekuatan militer di samping ada cara-cara lain untuk menyelesaikannya. Pilihan atas caracara preventif dan tindakan langsung untuk mengatasi konflik, seringkali berkaitan dengan kebijakan pertahanan dan keamanan yang dianut dan diterapkan. Meskipun secara teoretik, konflik adalah sesuatu yang lumrah terjadi, karena konflik tidak mungkin dapat dihilangkan dan dimusnahkan, yang dapat dilakukan adalah melakukan “pencegahan—bila belum terjadi,” dan bila sudah terjadi melakukan “penyelesaian –upaya-upaya pengelolaan.” Aspek-aspek hubungan langsung antara konflik dengan sifat ancaman dan tindakan preventif maupun tindakan militer merupakan salah satu isu utama sejak Indonesia mengalami transisi politik, mengingat konflik yang terjadi di Indonesia eskalasinya cukup meningkat drastis. Tulisan ini mencoba menggambarkan dan menganalisis dimensi konflik yang pernah terjadi sebelumnya dan tantangan ke depan khususnya potensi konflik yang mungkin akan terulang kembali di Indonesia. 2
Marc Gaborieau, “Konflik Hindu Muslim di India dalam Perspektif Sejarah, “dalam Dewi Fortuna Anwar, Helene Bouvier, Glenn Smith, dan Roger Tol, Konflik Kekerasan Internal, Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik, (Jakarta: Yayasan Obor, 2004), hlm. 21.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 145
Karakteristik dan Tipologi Konflik di Indonesia Dalam tulisan ini, konflik didekati melalui dua tipologi, yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara negara di satu sisi dengan masyarakat (civil society—dapat pula mencakup konflik antara pusat dan daerah), sementara konflik horizontal adalah konflik yang terjadi antara masyarakat (civil society) dengan masyarakat. Namun untuk membedakan akar-akar konfliknya, secara teoretik dapat didekati melalui pemikiran Louis Kriesberg. Menurutnya, konflik dapat dibedakan dalam empat hal, yaitu (1) isu yang dikonflikkan; (2) karakteristik dari kelompok yang berkonflik; (3) hubungan antara kelompok-kelompok yang berkonflik; dan (4) cara yang digunakan oleh masing-masing kelompok dalam berkonflik.3 Sementara itu, konflik menurut Dahrendorf sangat dipengaruhi oleh peran para aktor dalam organisasi yang didukung oleh ideologi dan kepentingan tertentu. Bahkan Talcott Parsons menyebutkan bahwa konflik terjadi karena benturan-benturan kepentingan (perebutan status, kekuasaan dan materi) dari para aktor yang ada. Asumsi yang melandasi konflik tersebut, karena setiap aktor yang ada dalam organisasi saling merebut tujuan tertentu, dan aktor-aktor itu memiliki cara untuk mencapai tujuan tersebut. Aktor-aktor dari kelompok yang berbeda tersebut dihadapkan dengan sejumlah kondisi situasional tertentu yang bisa menimbulkan ketegangan sosial dan konflik yang terbuka.4 Konflik di kalangan para aktor terutama elit politik ini akan selalu terjadi dalam setiap masyarakat, khususnya dalam dua hal, yakni: berkaitan dengan pertentangan kepentingan yang sama dalam pengembangan diri, dan pertentangan dalam kepentingan organisasi yang bersamaan untuk mengabaikan elit lain dari kelompok yang berbeda. Cara-cara yang digunakan dalam suatu masyarakat yang normal akan mengikuti aturan yang telah disepakati bersama dalam undang-undang yang berlaku, namun ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan undang-undang yang berlaku karena akan mengalami kegagalan, maka dilakukan suatu cara yang illegal.5 Cara-cara illegal ini adalah cara-cara kekerasan sebagai suatu reaksi atau 3
4
5
Louis Kiesberg, Social Conflict, Second Edition, (Englewood Cliffit, N.Y: Prentice Hall, Inc, 1982), hlm. 36. Pandangan Talcott Parsons tersebut dijelaskan dalam bukunya George Ritzer (1981) yang disadur oleh Ali Mandan, Sosiologi Paradigma Ganda, (Jakarta: Penerbit Rajawali, 1986). Robert K. Merton menjelaskan pandangan tentang konflik ini dalam Marvin E. Wolfgang, Leonard Savits dan Norman Jonhston, The Sociology of Crime and Delinquency, (New York: John Wiley and Sons, 1970).
146
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
cara melakukan perlawanan. Para anggota yang terlibat dalam konflik kolektif akan memunculkan suatu kesadaran baru, menumbuhkan keberanian, meningkatkan solidaritas. Individu-individu yang terlibat dalam konflik massa akan larut dalam berbagai perilaku di mana individu tidak mampu lagi melakukan kontrol terhadap dirinya. Gustave Le Bon 6 menyebutkan bahwa ciri dari gerakan kolektif memiliki efek penularan (contagion) yang sangat cepat; seolah-olah para anggota yang melakukan gerakan tersebut dihipnotis (suggestablity); para anggota yang ada di dalamnya seakan-akan hilang identitas dirinya yang muncul adalah identitas kelompok (anonimity). Bentuk-bentuk kerumunan sosial (social crowds) merupakan salah satu contoh dari kasus ini, sedangkan bentuk yang paling nyatanya adalah kerusuhan sosial (riots). Gerakan sosial-massa ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) daya dukung struktural (structural condusiveness) di mana suatu gerakan sosialmassa akan mudah terjadi dalam suatu lingkungan atau masyarakat tertentu yang berpotensi untuk melakukan suatu gerakan massa secara spontan dan berkesinambungan. Dalam lingkungan masyarakat kampus dan pabrik (industri) adalah lingkungan yang paling kondusif untuk terciptanya gerakan massa; (2) adanya tekanan-tekanan struktural (structural strain) akan mempercepat orang untuk melakukan gerakan massa secara spontan karena keinginan mereka untuk melepaskan diri dari situasi yang menyengsarakan; (3) menyebarkan informasi yang dipercayai oleh masyarakat luas. Hal ini akan membangun perasaan kebersamaan dan juga bisa menimbulkan kegelisahan secara kolektif akan situasi yang tidak menguntungkan tersebut. Informasi yang disebarkan ini akan menguatkan dan memperluas gerakan sosial-massa; (4) faktor yang bisa memancing tindakan massa, karena emosi yang tidak terkendali. Misalnya ada rumor atau isu-isu yang bisa membangkitkan kesadaran kolektif untuk melakukan perlawanan; dan (5) Upaya mobilisasi orang-orang untuk melakukan tindakan tindakan yang telah direncanakan. Faktor persuasi dan komunikasi bisa mempengaruhi tindakan sosial secara drastis; juga faktor kepemimpinan sangat berpengaruh dalam mengambil inisiatif para anggotanya untuk melakukan tindakan.7 Dengan menggunakan kerangka di atas, dari segi isu ada temuan menarik bahwa konflik di Indonesia selama lima tahun terakhir merupakan 6
7
Gustave Le Bon, The Crowd: A Study of the Popular Mind, (New York: The Viking Press, 1966), hlm. 29-34. Pendapat Neil J. Smelser dalam Ron E Robert dan Robert Marsh Kloss, Social Movement Between the Balcony and the Barricade, (London: The C.V. Mosby Company), 1979.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 147
paduan dari isu-isu lama yang diangkat kembali dan sebagian yang lain merupakan isu baru yang berkembang di masa reformasi. Sepanjang tahun 1995-2004, Indonesia tidak luput dari tipe konflik vertikal dan horizontal.8 Konflik vertikal yang terus berlanjut hingga sekarang adalah kasus separatisme di Papua dengan Gerakan Papua Merdeka (1966) dan Gerakan Aceh Merdeka (1976), sedangkan konflik horizontalnya —diwujudkan dalam bentuk-bentuk kerusuhan sosial (riots). Perluasan yang terjadi dari segi jenis konflik di masa transisi adalah dengan terjadinya konflik-konflik komunal di Kalimantan Barat (Sambas-Sangauledo), Kalimantan Tengah (Sampit), Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku (Ambon), Maluku Utara, dan Poso. Tabel 1 Kerusuhan Sosial Sepanjang 1995-1999. Daerah terjadinya Kerusuhan
Pembagian Wilayah
Liquisa Timor Timor
Indonesia Bagian Timur
12 Januari 1995
Dili Timor-Timur
Indonesia Bagian Timur
12 September 1995
Purwakarta
Indonesia Bagian Barat
31 Oktober dan 3 November 1995
Kediri Jawa Timur
Indonesia Bagian Barat
25 November 1995
NTT
Indonesia Bagian Tengah
26 Desember 1995
Pekalongan
Indonesia Bagian Barat
Akhir November 1995 dan April 1997
Tasikmalaya
Indonesia Bagian Barat
September 1996
Medan
Indonesia Bagian Barat
April 1996
Situbondo
Indonesia Bagian Barat
Oktober 1996
Cikampek
Indonesia Bagian Barat
14 Januari 1996
Senitani-Abepura Irja
Indonesia Bagian Timur
18 Maret 1996
Ujung Pandang
Indonesia Bagian Tengah
23-24 April 1996
Jl. Diponegoro Jakarta
Indonesia Bagian Barat
27 Juli 1996
Sukabumi
Indonesia Bagian Barat
16 Desember 1996
Sanggauledo
Indonesia Bagian Barat
29 Desember 1996
Rengasdengklok
Indonesia Bagian Barat
Januari 1997
Baucau Timor Timor
Indonesia Bagian Timur
1 Januari 1997
8
Tahun
Berbagai jenis konflik yang pernah terjadi di Indonesia, khususnya yang sering disebut dengan istilah kerusuhan sosial, disarikan dari berbagai sumber.
148
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Temanggung dan Jepara
Indonesia Bagian Barat
April 1997
Pontianak
Indonesia Bagian Barat
April 1997
Banjarmasin
Indonesia Bagian Barat
Mei 1997
Sampang dan Bangkalan
Indonesia Bagian Barat
Mei 1997
Rutan Medaeng
Indonesia Bagian Barat
11 Juni 1997
Tanah Abang
Indonesia Bagian Barat
Agustus 1997
Mataram dan Ujung Pandang
Indonesia Bagian Tengah
September 1997
Ende Flores dan Subang
Indonesia Bagian Timur
Agustus 1997
Tanggerang
Indonesia Bagian Tengah
23 Mei 1997
Kudus
Indonesia Bagian Barat
14 Mei 1997
Tegal
Indonesia Bagian Barat
17 Mei 1997
Pasuruan
Indonesia Bagian Barat
17 Mei 1997
Yogyakarta
Indonesia Bagian Barat
Mei 1997
Tanggerang
Indonesia Bagian Barat
23 Mei 1997
Madura-Sampang
Indonesia Bagian Barat
29 Mei 1997
Sumenep
Indonesia Bagian Barat
1 Juni 1997
Pamekasan
Indonesia Bagian Barat
2 Juni 1997
Majalengka
Indonesia Bagian Barat
2 Juni 1997
Jember, Balai Desa Kemiri Kec. Panti
Indonesia Bagian Barat
4 Juni 1997
Tol Jatibening Bekasi
Indonesia Bagian Barat
12 Juni 1997
Bangkalan Madura
Indonesia Bagian Barat
14 Juni 1997
Ujung Pandang
Indonesia Bagian Tengah
Jakarta
Indonesia Bagian Barat
13-15 Mei 1998
Medan
Indonesia Bagian Barat
13-15 Mei 1998
Surabaya
Indonesia Bagian Barat
13-15 Mei 1998
Surakarta
Indonesia Bagian Barat
13-15 Mei 1998
Palembang
Indonesia Bagian Barat
13-15 Mei 1998
Peristiwa Pembantaian Aparat Kepolisian di Bangkalan
Indonesia Bagian Barat
01-11-1998
Peristiwa Semanggi-Jakarta
Indonesia Bagian Barat
13-11-998
Peristiwa perusakan dan penjarahan di Jakarta
Indonesia Bagian Barat
14-11-1998
15 September 1997
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 149
Lembaga Pemasyarakatan Lowokwaru, Kota Madya Malang (KMM)
Indonesia Bagian Barat
19-11-1998
Kerusuhan di tambak udang Desa Linduk, Kecamatan Ponang, Serang
Indonesia Bagian Barat
20-11-1998
Peristiwa berdarah di DPRD Tingkat – I Bengkulu
Indonesia Bagian Barat
21-11-1998 22, 23-11-1998
Peristiwa Ketapang-Jakarta
Indonesia Bagian Barat
Kerusuhan di Kabupaten Pinrang, Sulsel
Indonesia Bagian Tengah
25-11-1998
Peristiwa Porsea dan Tarutung – Tapanuli Utara
Indonesia Bagian Tengah
25-11-1998
Kerusuhan Kupang – NTT
Indonesia Bagian Timur
30-11-1998
Kerusuhan Pasirjambu Ciwidey & Rancaekek – Jawa Barat Kerusuhan di Surakarta-Solo, Jawa Tengah
Indonesia Bagian Barat
01-12-1998
Indonesia Bagian Barat
3-12-1998
Kerusuhan di Bogor
Indonesia Bagian Barat
6-12-1998
Kerusuhan di BrebesJawa Tengah
Indonesia Bagian Barat
6-12-1998
Kerusuhan Petani di BloraJawa Tengah
Indonesia Bagian Barat
10-12-1998
Kerusuhan Porsea-TarutungTapanuli Utara
Indonesia Bagian Tengah
10-12-1998
Kerusuhan di Belu Kupang-NTT Indonesia Bagian Timur
19-12-1998
Kerusuhan di Samarinda
Indonesia Bagian Tengah
15-12-1998
Kerusuhan di Poso
Indonesia Bagian Tengah
25-12-1998
Kerusuhan di Situbondo
Indonesia Bagian Barat
5-12-1998
Kerusuhan Palopo
Indonesia Bagian Tengah
Kerusuhan di Solo
Indonesia Bagian Barat
Desember 1998 13-12-1998
Kerusuhan di Bekasi
Indonesia Bagian Barat
Kerusuhan Poso Sulawesi Tengah
Indonesia Bagian Tengah
19-12-1998
Pelemparan 2 gereja di Sukabumi
Indonesia Bagian Barat
31-12-1998
Penghancuran dan Pengrusakan gereja di Cilacap, Jawa Tengah
Indonesia Bagian Barat
6-1-1999
Kerusuhan di Kerawang
Indonesia Bagian Barat
8-1-1999
27-12-1998 dan 30-12-99
150
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Kerusuhan di Ambon
Indonesia Bagian Tengah
19-1-1999
Kerusuhan Maluku Utara
Indonesia Bagian Tengah
1999
Konflik yang terjadi dari tahun 1995-2004 dapat dibagi ke dalam dua periode konflik. Konflik periode akhir Orde Baru (1995-1998) umumnya adalah konflik horizontal berbentuk kerusuhan sosial (riots). Pada periode ini tidak pernah disebutkan terjadinya konflik komunal, lebih merupakan konflik yang terjadi secara sesaat. Konflik jenis ini kebanyakan dipicu oleh persoalan-persoalan tekanan penduduk (population pressure conflicts) sebagai dampak dari isu ekonomi-politik dan kesenjangan sosial. Bentuk konfliknya hampir mirip yaitu dimulai dari terjadinya anomia massa dalam situasi kerumunan sosial (crowd), penyebaran isu-isu, yang kemudian menyebabkan berkumpulnya massa, hingga terjadinya kerusuhan sosial (social riot). Periode konflik di masa Orde Baru ini pun lokasinya amat terbatas (terlokalisasi), dan sulit untuk mengalami perluasan apalagi penyebaran (contagion) sebagaimana disebutkan oleh Gustav Le Bon. Salah satu faktornya adalah kuatnya negara, khsusunya aparat keamanan dalam mengantisipasi terjadinya gangguan keamanan di sejumlah wilayah Indonesia. Sementara itu, bentuk konflik yang terjadi di masa transisi (khususnya 1998-Pemilu 1999), dari segi isunya, berkisar pada isu-isu kesenjangan sosial-ekonomi, ketidakpuasaan terhadap kekuasaan dalam pemerintahan yang dianggap oleh beberapa daerah sangat sentralistik, mendikte dan diskriminatif, baik yang menyangkut pengelolaan sumber daya manusia maupun sumber daya alam.9 Kedua isu ini di masa awal transisi Indonesia telah menyebabkan beberapa kejadian menarik, seperti terjadinya kerusuhan sosial berskala besar dan massif di Jakarta yang terkenal dengan kerusuhan 13-15 Mei 1998. Dari catatan kasus-kasus kerusuhan yang pernah terjadi sepanjang tahun 1995-1999 di atas, ada kecenderungan peningkatan jenis-jenis dan karakter konflik di Indonesia dari tahun 1995 hingga tahun 1999. Ciri umum konflik dari tahun 1995 sampai pertengahan 1998 adalah konflik yang terjadi lebih merupakan bentuk-bentuk riots (kerusuhan sosial). Namun memasuki era reformasi, pertengahan 1998-2004, konflik yang terjadi sudah berbeda, 9
Lihat penelitian konflik yang dilakukan oleh tim peneliti LIPI dalam laporan penelitian berjudul Konflik di Indonesia: Karakteriktik, Penyebab dan Solusinya, (Jakarta: LIPI, 2003).
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 151
dengan mulai terjadinya konflik komunal (konflik antar warga) dan gejalagejala separatisme yang semakin kuat di Aceh dan Papua. Konflik menjelang periode akhir kekuasan Orde Baru ini memang sangat menonjol, khususnya terjadi di daerah-daerah Jawa, seperti: Jawa Timur (Situbondo), Jawa Tengah (Pekalongan), Jawa Barat (Rengas Dengklok, Tasikmalaya, dan Kerawang). Kerusuhan umumnya dipicu oleh persoalan ekonomi-politik, walaupun tesis ini gagal menjelaskan pertanyaan, jika kesenjangan ekonomi-politik merupakan faktor utama konflik tersebut, mengapa di Jakarta yang tingkat kesenjangan ekonominya jauh lebih besar dibandingkan daerah lainnya tidak terjadi kerusuhan serupa? Atau mengapa daerah-daerah lain yang memiliki tingkat kesenjangan sosial-ekonomi tidak mengalami hal yang sama. Namun, antitesis tersebut ternyata gagal menjelaskan, mengapa pada tahun 1998, muncul sejumlah kerusuhan besar yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa 13-15 Mei 1998. Tingkat kerusakan dan kerusuhannya cukup tinggi dan belum pernah terjadi dalam peristiwa-peristiwa kerusuhan sosial sebelumnya. Penjarahan, penganiayaan, perusakan dan “pemerkosaan,” merupakan bentuk baru dari dampak terjadinya kerusuhan sosial yang melanda Jakarta, Medan, Solo, sebagian Surabaya, dan Palembang. Kasus-kasus kerusuhan menjelang akhir periode Orba tersebut, merupakan sebuah antiklimaks dari apa yang disebut sebagai tekanan penduduk akibat terjadinya krisis sosial, politik, ekonomi yang sangat parah. Namun demikian, konflik jenis ini ketahanan waktunya sangat terbatas, antara 2-7 hari. Skala waktu konflik dengan ciri kerusuhan sosial, relatif mudah ditangani, karena memang aktor-aktor konfliknya, lebih merupakan kelompok sosial yang belum terbentuk, karena ada kegagalan dalam mewujudkan aktor inti konflik, karena isu SARA sebagai jembatan pemicu konflik, kurang efektif sebagai penyebar konflik selanjutnya. Kerumunan (crowd) merupakan ciri yang paling utama dalam kerusuhan sosial yang terjadi pada 1995-1998. Pola konfliknya lebih pada konflik antara etnik pribumi versus etnik Tionghoa. Berlangsungnya masa transisi demokrasi Indonesia (periode 19992004), konflik di Indonesia, mulai ada perkembangan, baik dari segi isu maupun dari segi penyebabnya. Isu yang berkembang bukan lagi isu etnik pribumi versus etnik Tionghoa, tetapi antara etnik asli versus pendatang, putra daerah dengan non-putra daerah, serta konflik mulai bergeser dari isu kesenjangan ekonomi yang bersifat umum, menjadi kesenjangan ekonomi-politik yang berbasis etnik dan isu-isu yang berkaitan dengan politik identitas.
152
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Di lain sisi, penerapan otonomi daerah sejak tahun 2000 dengan dikeluarkannya UU No. 22/1999, sebagian konflik di beberapa daerah di Indonesia dipicu oleh isu-isu masalah pendatang dan penduduk asli. Kasus yang paling mengerikan dalam sejarah sosial di Indonesia adalah kasus konflik antara Madura-Dayak di Kalimantan Barat (1998) dan di Sampit (2000). Sejak otoda diberlakukan, isu sensitif yang dapat memicu pertentangan adalah isu-isu yang berkaitan dengan putra daerah dan nonputra daerah. Dengan kata lain, transisi di Indonesia telah menjadi instrumen atas terjadinya transformasi isu-isu konflik di masa Orde Baru yang terkesan monoton, dan konstan berubah menjadi varian-varian isu konflik yang lebih spesifik. Bila di masa Orba, konflik lebih merujuk pada konflik pusat-pinggiran (center-periphery conflicts), perkembangan konflik di masa transisi, mengarah pada konflik kawasan baik di Indonesia Timur, Indonesia Tengah dan Indonesia Barat. Pola-pola konflik ini, mengacu pada pendapat Gunther Baechler bahwa konflik mulai terjadi antara pihak pemerintah pusat dengan daerah, mulai berkembang konflik etno-politik (ethno-political conflicts) yakni adanya penguasaan wilayah ekonomi oleh kelompok etnik tertentu, konflik komunal, dan gejala separatisme.10 Hampir sebagian besar analisa konflik di masa Orba—khususnya kerusuhan sosial, selalu dikaitkan dengan masalah kesenjangan ekonomi, sementara analisa tentang kerusuhan sosial di masa transisi, karakteristik konfliknya dianggap lebih kompleks dan dinamis. Mulai muncul isu-isu konflik yang dipicu karena masalah politik kedaerahan yang menyebabkan timbulnya pertikaian antara Jakarta dengan daerah-daerah lainnya. Karena itu, masa transisi telah menjadi medium pengurai konflik-konflik laten (tersembunyi) sebelumnya menjadi konflik yang bersifat amat terbuka. Dari segi time frame (waktu terjadinya), hampir semua konflik yang terjadi telah mencukupi segi waktu terjadinya. Ada konflik yang terjadi hanya sesaat (maksimal sehari hingga seminggu) dan setelah itu berhenti, dan ada konflik-konflik yang terjadi secara berkesinambungan (terus menerus). Dari segi scope (luas tidaknya), sepanjang lima tahun terakhir, konflik-konflik yang pernah terjadi di Indonesia, menggambarkan cakupan luas konflik dari yang hanya bersifat terbatas hingga yang cakupannya sangat luas (bahkan satu provinsi). Sedangkan dari segi intensitas konfliknya, konflik-konflik sebelum dan sesudah Orde Baru, menggambarkan bentuk-bentuk intensitas konflik yang telah disebut dalam teori-teori tentang konflik, baik yang berintensitas rendah, sedang dan tinggi, hampir semuanya tersedia dalam kasus-kasus 10
Lihat laporan penelitian Tung Julan, editor, Konflik di Indonesia: Karakteristik, Faktor Penyebab dan Penyelesaian Jangka Penjang, (Jakarta: LIPI, 2003), bab 1.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 153
konflik yang telah terjadi. Karakter lainnya yang menonjol bahwa konflikkonflik yang pernah terjadi sebelum dan setelah Orde Baru, selalu disertai dengan tindak kekerasan (violence) bahkan ada yang mengarah pada genocide (seperti kasus yang terjadi di Sambas dan Sampit). Tabel 2 Karakteristik Konflik: Perbandingan Masa Orba, Masa Transisi dan Masa Konsolidasi11 Periode
Jenis Konflik
Isu yang dikonflikkan
Intensitas dan Ketahanan Konflik
Masa Orba - K e r u s u h a n - P e r s o a l a n - p e r s o a l a n - Sesaat (sporadis) tidak lebih dari penduduk seminggu dengan wilayah yang ( r i o t s ) — tekanan k o n f l i k (population pressure terbatas (scope conflict-nya conflicts) sebagai dampak terbatas). horizontal .- Konflik vertikal dari isu ekonomi-politik - Intensitas konflik –khususnya dan kesenjangan sosial – kekerasan rendah (dapat —separatisme aktor konflik adalah dikontrol), namun kelompok pribumi dan non-pribumi. separatis tidak dapat ditumpas - Masalah ketidakadilan, karena ketahanannya sangat penindasan/pelanggaran tinggi. HAM, pembagian SDA, kemiskinan, dll, seperti kasus Aceh dan Papua. M a s a - K e r u s u h a n Persoalan perebutan sumber - Intensitas kerusuhan ada yang daya ekonomi, kesenjangan kurang dari seminggu dan T r a n s i s i sosial (riots) (Kejatuhan - K o n f l i k sosial, dan perebutan mengalami perluasan isu, aktor Soeharto – k o m u n a l kekuasan politik, mulai dan wilayah konflik. P e m i l u ( c o m m u n a l muncul isu pendatang versus - Kerusuhan sosial dan konflik asli (putra daerah), SDA, komunal melonjak (intensitasnya 2004) conflict) ketidakadilan hubungan sangat tinggi). - Separatisme pusat dan daerah, justice/ - Separatisme hampir meluas keadilan hukum, dan aspek sebagai sebuah gagasan pemerataan pembagian bergainning potition dengan pemerintah pusat, khususnya kekayaan alam. dengan adanya gagasan “kemerdekaan” Riau, Sulsel dan Kaltim, meskipun akhirnya mereda (berhenti). 11
Masa Orba adalah masa rejim Soeharta hingga jatuh, masa transisi adalah dari jatuhnya Presiden Soeharto hingga jatuhnya Abdurrahman Wahid, dan masa konsolidasi demokrasi adalah masa Pemerintahan Megawati hingga sekarang (pasca Pemilu 2004). Dimulainya masa konsolidasi demokrasi di masa Pemerintahan Megawati karena relatif lebih stabil secara politik, walaupun masa konsolidasi demokrasi tetap merupakan bagian dari transisi demokrasi.
154
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
M a s a - K o n f l i k Konsolidasi komunal Demokrasi - Separatisme (Pemilu 2004 – sekarang)
Persoalan perebutan sumber - Walaupun intensitas konflik daya ekonomi, kesenjangan mulai agak melemah (skala sosial, dan perebutan kekerasannya mulai menurun) kekuasan politik, SDA, namun tingkat ketahanan ketidakadilan hubungan konfliknya masih cukup tinggi pusat dan daerah, justice/ karena faktor-faktor pemicu dan keadilan hukum, dan aspek masalah konflik belum dapat pemerataan pembagian diatasi. kekayaan alam. - Mulai menurun tingkat perlawanannya, namun belum sepenuhnya dapat dituntaskan (khususnya kasus GAM dan OPM) dan kekuatan ini masih eksis.
Dari segi wilayah konfliknya, tampak ada perbedaan karakteristik, bila kita mengikuti pembagian wilayah atas dasar tiga tipologi yaitu Indonesia Timur, Indonesia Tengah dan Indonesia Barat. Untuk kasus-kasus konflik yang pernah terjadi di Indonesia Barat, khususnya di wilayah Jawa, karakteristik konfliknya lebih cenderung konflik yang terjadi secara sporadis dan tiba-tiba dalam bentuk riots atau kerusuhan sosial dan perkelahian antarwarga dan antarkampung. Meskipun kecenderungan seperti itu juga ada di beberapa wilayah Indonesia lainnya seperti di Ujung Pandang, Banjarmasin dan sebagainya. Namun, untuk jajaran gugus pulau Sumatera, karakter konfliknya agak lain. Di ujung barat yaitu Aceh, kecenderungan separatisme sangat kuat. Sementara di Medan gejala premanisme yang terjadi, dan di Lampung, konflik lebih banyak dipicu oleh persoalan tanah dan perkebunan. Sementara di wilayah Indonesia Tengah dan Timur, ada indikasi kuat bahwa konflik lebih mengarah pada konflik antarkelompok etnik/golongan “agama,” yang sering disebut dengan istilah communal conflict. Tipologi wilayah dan konflik ini pernah disinggung oleh UNSFIR yang mencoba membuat klasifikasi daerah konflik dari tahun 1990-2001, yang dibagi atas daerah konflik tinggi, daerah konflik sedang, dan daerah konflik rendah.12 Namun, klasifikasi semacam ini kadang agak membahayakan dan rancu, karena lebih didasarkan pada hal-hal yang sudah terjadi, bukan dianalisis atas dasar 12
Lihat Working Paper: 02/01-I oleh Mohammad Zulfan Tadjoedin, UNSFIR, Jakarta, April 2002, hlm. 36. Daerah konflik tinggi adalah Maluku, Aceh, dan Kalteng; daerah konflik sedang adalah Sulteng, Jakarta, Kalbar, Papua, Kalsel, NTT, Riau, dan NTB; dan daerah berkonflik rendah adalah Bali, Sulut, Sulsel, Jabar, Lampung, Jateng, Sumut, Jatim, DIY, Sumbar, Jambi, Sumsel, Kaltim, Sultra dan Bengkulu.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 155
karakter konflik secara kualitatif. Artinya, asumsi-asumsi bahwa daerah konflik rendah bukan berarti tidak memiliki potensi-potensi konflik sebagaimana di daerah-daerah lainnya. Satu contoh dari makalah itu, misalnya disebutkan bahwa Sulteng masuk dalam kategori daerah berkonflik sedang –padahal melihat perkembangan konflik Poso yang hingga tahun 2004 tidak “terselesaikan,” ketimbang konflik di daerah Maluku misalnya, tentu membutuhkan analisis yang sifatnya lebih kualitatif untuk mendalami mengapa terjadi konflik dan mengapa intensitas dan ketahanan konfliknya begitu tinggi. Melalui pendekatan sosiologis, dapat dibangun asumsi atas dasar kecenderungan konflik yang pernah terjadi sebelumnya. Bahwa untuk daerah yang cenderung osmosis sosialnya homogen, bila terjadi konflik akan lebih cenderung massal dan cenderung lama, ketimbang daerahdaerah yang bersifat heterogen. Namun, masalah tersebut tidak begitu saja dapat terjadi, karena itu ada pengaruh faktor-faktor kunci yang menyebabkannya, seperti terancamanya suatu entitas sosial-komunal, dan adanya masalah identitas (historis, sosiologis, termasuk agama) yang belum selesai. Dengan cara pandang demikian, kita dapat menganalisa, mengapa di Jawa tidak terjadi “pemberontakan” dan penolakan terhadap “kekuasaan pusat,” dan mengapa di Aceh dan Papua, serta isu-isu “merdeka,” dari Riau dan Kaltim pernah terjadi. Demikian pula dengan kasus-kasus yang terjadi di daerah Maluku, Maluku Utara dan Poso, lebih karena persoalan terancamnya suatu entitas sosial-komunal sehingga masing-masing pihak bertahan untuk tetap melakukan konflik dan konflik cenderung lama. Selain itu, dalam kehidupan sosial-ekonomi, politik dan budaya, juga harus dipandang sebagai faktor-faktor yang dapat menyokong terjadinya konflik dalam suatu daerah. Demikian pula “agama, etnik dan ras,” adalah suatu instrumen yang dapat digunakan sebagai perantara terjadinya konflik. Dari karekteristik dan tipologi konflik yang pernah terjadi di Indonesia sebelumnya, ada butir menarik yang patut dicatat, bahwa setiap konflik yang akan terjadi, selalu didahului oleh adanya faktor perantara atau faktor pemicu. Secara teoretik, faktor ini sering disebut dengan trigerring factor atau faktor pemicu.13 Dalam teori Neil J. Smelser disebut sejumlah faktor yang memicu kerusuhan —seperti telah adanya sumber-sumber ketegangan (structural condusivesness, structural strain),14 yang kemudian diikuti oleh adanya penyebaran kepercayaan dan kebencian. Di sinilah, intervensi politik, aktivis maupun kepentingan elite, seringkali menumpangi proses13
14
Penelitian PPW-LIPI, Kekerasan Massa: Faktor Penyebab dan Penyelesaiannya, (Jakarta: PPW-LIPI, 1998), hlm. 6-13. Ibid., hlm. 8.
156
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
proses ketegangan, sehingga merambat menjadi kebencian dan tindakantindakan anarkis. Dalam konsep ini faktor perantara merupakan faktorfaktor yang dengan cepat dapat menghantarkan berbagai persoalan yang dialami oleh masyarakat, sehingga cepat menimbulkan kemarahan, kebencian, maupun sikap-sikap a-toleransi lainnya, bahkan berbuah tindak kekerasan seperti pembakaran, perusakan dan lain sebagainya. Beberapa variasi dari trigering factor dapat ditipologikan berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah ada mengenai konflik yang berskala besar. Konflik komunal di Maluku, Maluku Utara, dan Poso, dipicu oleh masalah ketegangan antar etnik yang berbeda. Berawal dari konflik yang terjadi di Maluku, yang kemudian merembet ke wilayah lainnya yaiut Maluku Utara dan Poso. Sementara dari segi sumber-sumber penyebabnya, variasi penjelasannya cukup banyak, mulai dari sumber karena masalah tata ruang15 (segregasi sosial), ketimpangan ekonomi-politik, perebutan jabatan birokrasi, masalah hubungan sosial, dan masalah-masalah sosial lama yang menjadi sejarah sosial (social history) dari masyarakat yang turut menyumbang terjadinya konflik. Selain masalah-masalah tersebut, sumber konflik juga sering dirunut dari akar historis perkembangan sosial suatu wilayah atau suatu penduduk. Bahkan sering pula sumber-sumber politik masa kolonial juga digunakan sebagai analisa mengenai apa yang menyebabkan konflik terjadi. Selain masalah-masalah di atas, masalah kecemburuan sosial, ketimpangan, keadilan, dan sebagainya sering digunakan sebagai pisau analisa dalam memahami mengapa konflik terjadi di suatu daerah atau wilayah. Sebuah penelitian yang pernah dilakukan oleh CIDES misalnya mengkategorikan adanya empat penyebab atas kerusuhan-kerusuhan sosial yang pernah terjadi di Indonesia periode 1995-1997. Faktor-faktor tersebut adalah, masalah ketimpangan sosial-ekonomi, masalah hukum, masalah kekuasan dan politik, dan masalah hubungan pri dan non-pri. Sementara dari segi korban, menurut data dari UNSFIR16 tampak ada kencenderungan peningkatan dari tahun 1990-2003, baik korban tewas maupun luka-luka. Di masa transisi, jumlah peningkatan korban kekerasan (violance) sebagai bagain dari konflik yang sedang terjadi memang cukup besar, khususnya setelah adanya konflik komunal di Sambas (Kalbar), Sampit (Kalteng), Ambon (Maluku), Maluku Utara dan Poso (Sulteng). 15
16
Lihat penelitian LIPI tentang Konflik Komunal di Maluku (Ambon), (Jakarta: LIPI, 2003); lihat pula penelitian LIPI tentang Konflik Poso, (Jakarta: LIPI, 2003), Penelitian LIPI tentang Konflik di Maluku Utara, belum dipublikasikan, 2004. Meskipun pada saat workshop mengenai pembahasan masalah ini ada banyak kritik atas metolodologi untuk tabulasi data, namun sebagai gambaran awal dapat diambil dari data ini.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 157
Dokumen UNSFIR juga menjelaskan variasi dari kekerasan komunal dikategorikan sebagai kekerasan yang terkait dengan isu etnis, agama, asli dan pendatang. Sedangkan kasus separatis di Aceh dan Papua diasumsikan sebagai akibat ketidakmerataan, sementara untuk kasus Timor Timur sebagai buah dari warisan kolonial.17 Dengan kata lain, variasi atas sumbersumber konflik sangat luas dan banyak. Karena itu, untuk memahami setiap konflik yang terjadi, ada baiknya saran dari Louis Kriesberg di mana konflik dapat dibedakan dalam empat hal, yaitu (1) isu yang dikonflikkan; (2) karakteristik dari kelompok yang berkonflik; (3) hubungan antara kelompokkelompok yang berkonflik; dan (4) cara yang digunakan oleh masing-masing kelompok dalam berkonflik, akan digunakan sebagai pisau analisa dalam membahas konflik, khususnya pendekatan yang mungkin dapat dilakukan. Tabel 3 Korban dalam Kekerasan di Indonesia 1990-2003
Sumber:UNSFIR Working Paper - 04/03 Patterns of collective violence in indonesia (1990-2003)
17
Working Paper: 02/01-I oleh Mohammad Zulfan Tadjoedin, Jakarta, UNSFIR, April 2002, hlm. 44.
158
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Kasus Separatisme dan Konflik Komunal Dalam sejarah politik Indonesia, persoalan pemberontakan bukanlah persoalan pemerintahan sekarang, tetapi telah terjadi jauh-jauh hari sebelumnya, ketika Indonesia baru satu dasawarsa merdeka. Berbagai kasus pemberontakan terjadi, seperti kasus pemberontakan DI/TII Kartosuwirjo, Kasus pemberontakan Kahar Muzakar, dan sebagainya. Namun, sisa-sisa dari masalah pemberontakan ini, khususnya di Aceh – yang masih dapat dikaitkan dengan masa pemberontakan DI/TII, tampaknya memang sulit di selesaikan. Dari segi isu yang dikonflikkan, kedua wilayah ini sebenarnya hampir memiliki kecenderungan yang relatif agak sama. Sementara dari karakter konfliknya memang agak berbeda. Di Aceh, karakter yang sangat menonjol adalah karakter “perang,” dan terjadinya kekerasan akibat konflik bersenjata antara GAM dan TNI. Di papua, kelompok OPM memang tidak sekuat GAM dalam melakukan perlawanan di Papua. Sejarah gerakan separatis di Papua ini sudah terjadi dari tahun 1960-an, namun hingga tahun 2004 masih juga belum dapat diatasi. Demikian juga dengan kisah separatisme di Aceh –yang muncul sejak tahun 1976 dengan nama ASNLF, dan hingga kini juga bernasib hampir sama, bahkan ada kecenderungan kelompok GAM semakin meningkat kekuatan personelnya sekitar 5000 personel pada saat operasi terpadu dilaksanakan oleh Presiden Megawati 19 Mei 2002 hingga sekarang. Dua wilayah ini –hampir memiliki persoalan yang sama, di mana kehadiran kelompok separatis pada awalnya dipicu oleh masalah sumber daya alam, kemiskinan, dan masalah kekecewaan historis terhadap Pemerintah Indonesia.18 Masalah ini ditanggapi dengan cara-cara represif di masa Orba yang menyebabkan timbulnya kekecewaan-kekecewaan baru akibat salah penanganan dan pendekatan. Salah satu cara kebijakan yang ditempuh di masa Orba adalah kebijakan kekerasan yang dilakukan oleh negara. Kekerasan politik negara merupakan tindakan yang dilakukan oleh sekelompok atau rezim untuk memperoleh, mendukung, dan mempertahankan kekuasaannya. Kebijakan kekerasan ini di masa Orba melahirkan ideologi kekerasan yang dilakukan oleh negara. Ideologi kekerasan ini mencakup segala mekanisme, proses, dan teknik kekerasan yang dilakukan secara kolektif dan terstruktur.19 18
19
Tim Peneliti LIPI, Bara Dalam Sekam: Identifikasi Akar Masalaah dan Solusi atas Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 110. Tim Peneliti LIPI, Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 27.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 159
Kekerasan merupakan salah satu dari bagian struktur ide Orde Baru dan khsusunya ABRI diwaktu itu. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila persoalan-persoalan GAM di Aceh, OPM di Papua dan kasus-kasus seperti Tanjung Priok dan Komando Jihad, merupakan sesuatu yang dipahami mengancam, bukan saja negara, tetapi sekaligus mengancam kekuasaan Soeharto. Mesin Orba yang disebut dengan ABRI akan dengan cepat menangani hal-hal itu, dengan karakter dan ciri-ciri kekerasan di masa Orba. Di Aceh, cara seperti itu, khususnya di masa OJM sangat kasat mata sering dilakukan oleh ABRI waktu itu. Beberapa bentuk dari cara-cara militer dan kebijakan kekerasan negara sangat terlihat. Beberapa cara yang dilakukan di masa Orba khususnya untuk mengangani GAM pada periode 1989-1995 adalah dilakukannya Operasi Jaring Merah I hingga IX. Operasi Jaring merah adalah sebuah operasi khusus yang dilakukan untuk Aceh sebagai cara untuk mengantisipasi lahirnya Gerakan Aceh Merdeka pada periode kedua, setelah yang pertama 1976 mereka berhasil ditumpas dan sebagian aktivisnya lari keluar negeri, termasuk Malaysia dan Libya hingga ke Swedia. Operasi Jaring Merah ini, memberikan beberapa dampak. Pendekatan militer an sich tanpa disertai dengan pendekatan untuk “meminimalisasi sumber-sumber konflik di kedua daerah ini,” justru memicu pertumbuhan kelompok separatis oleh generasi-generasi baru, khususnya generasi korban akibat penanganan secara operasi militer, ditunjang oleh generasi-generasi yang kecewa atas keadaan sosial, ekonomi, politik, kemiskinan, dan sebagainya. Pemerintah hampir menempatkan cara yang sama untuk menangani dengan cara pemberian otonomi khusus dan operasi militer. Kedua daerah ini juga telah mengalami pahit getirnya operasi militer, yang justru menimbulkan masalah di masa sekarang, karena dendam akibat pelanggaran HAM seakan-akan tidak terhapuskan di kedua wilayah ini. Di Papua, operasi militer pernah digelar dari tahun 1984-1996, sedangkan di Aceh, sudah terhitung banyak operasi militer yang digelar, sejak munculnya GAM tahun 1976, seperti Operasi Jaring Merah I-IX, operasi terpadu, dan lainnya. Namun persoalan konflik jenis separatisme di kedua daerah ini sepertinya masih belum ada tanda-tanda akan dapat diselesaikan.
160
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Tabel 4 Perbandingan Indikator terjadinya Kasus Separatisme di Papua dan Aceh Kasus Separatisme Indikator Faktor pemicu
Papua
Aceh
Persoalan integrasi Irian Jaya ke Faktor pemicu munculnya gerakan Indonesia pada tahun 1960-an separatis di Aceh pada 1976 adalah yang dipertanyakan kembali. kekecewaan politik sebagian orang Aceh atas masalah ketimpangan sosial-ekonomi pasca dieksplorasinya minyak dan gas bumi di Aceh Utara. Ada dugaan bahwa Jakarta mengeksploitasi kekayaan alam Aceh.20
Sumber konflik Munculnya kasus separatisme di Papua pada masa transisi sumbernya antara lain, karena persoalan integrasi Papua ke Indonesia yang dianggap oleh sebagian masyarakat Papua yang anti-integrasi sebagai bentuk pemaksaan kehendak.21
Akar masalah munculnya kembali GAM periode ketiga 1998-sekarang disebabkan oleh: faktor kekecewaan historis— digabungnya Aceh dengan Sumatera Timur dan Tapanuli, kekecewaan akibat pembangunan pada tahun 70-an khususnya eksploitasi sumber minyak bumi. Sumber ini diperparah oleh masalah utama yaitu DOM dan masalah tindak kekerasan militer di masa Orba — menimbulkan gerakan untuk penegakan hukum atas pihak-pihak yang melanggar HAM. Pada titik ini sumber utama konflik berhimpit dengan masalahmasalah pembangunan sosial, ekonomi, ketimpangan, kemiskinan, eksploitasi dan lain sebagainya.22
Intensitas
Sangat tinggi sejak 1976 sebagai periode pertama munculnya GAM, 1986-1989 periode kedua GAM yang kemudian dilakukan operasi militer [DOM] dan periode ketiga 1998- sekarang dengan dua kali operasi terpadu dalam situasi darurat militer dan diperpanjang dua kali dalam situasi darurat sipil.
20 21
22
Dibandingkan dengan kasus separatisme yang terjadi di Aceh, kasus separatisme di Papua tingkat intensitasnya masih sedang, dengan kelompok OPM yang relatif masih kecil.
Ibid. Ringkasan Laporan penelitian “Pemetaan Peran dan Kepentingan Aktor dalam Konflik di Papua,” Tim Peneliti Konflik LIPI, Adriana Elizabeth (Koordinator), Sinal Belegur, dan Muridan S yang dipresentasikan dalam seminar hasil-hasil penelitian di PDII LIPI, 15 Desember 2004. Tim Peneliti LIPI, “Bara Dalam…,” hlm. 60-62.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 161
Isu-isu seputar Selain dimensi politik sebagai konflik sumber, konflik di Papua juga sering dikaitkan dengan isu-isu mengenai dimensi keadilan ekonomi, sosial, budaya, keamanan, psikologis.23 Sementara Ikrar Nusa Bhakti mencatat bahwa konflik di Papua di masa Orba hingga jatuhnya rezim Seoharto karena adanya kesalahan modernisasi di Papua, Papua yang selalau dilupakan di masa kolonial dan Orba, trauma atas tindakan pelanggaran HAM, Proses Irianisasi yang lamban.24 Pada masa transisi dan konsolidasi Konflik di Papua juga disebabkan karena isuisu pemekaran wilayah yang justru menjadi isu baru untuk melawan pemerintah pusat karena dianggap otonomi khusus yang diberikan tidak diimplementasikan secara ikhlas dan konsisten.
Pelanggaran HAM oleh TNI, masalah keadilan terhadap korban kekerasan di Aceh, kemiskinan struktural dan kultural, pengurasan SDA Aceh, ketimpangan antara pusat-daerah dalam masalah keuangan, syariat Islam dan pendidikan, serta masalah-masalah sosial ekonomi lainnya.
Karakteristik kelompok y a n g berkonflik
Secara nyata antara GAM dengan TNIPolri, namun dalam prakteknya, aktoraktor konfliknya sangat kompleks melibatkan unsur-unsur negara (Pemerintah Pusat dan Daerah, TNI, Polri, dan institusi lainnya), masyarakat (Ulama, NGO’s, Mahasiswa, Pemuda, dan kelompok perempuan), kelompok gelap baik yang mengaku diri sebagai GAM maupun sebagai “penjahat,” dan sebagainya.
23 24 25
Pada masa Orba kelompok yang berkonflik adalah antara OPM dengan Pemerintah RI. Namun dalam perkembangan terakhir, ada dua kelompok yaitu Nasionalis Papua dan Nasionalis NKRI yang berhadap-hadapan di antara mereka mengenai masalah Papua termasuk masalah separatisme.25
Ibid. Tim Peneliti LIPI, “Bara Dalam…,” hlm. 132-134. Ringkasan Laporan penelitian “Pemetaan Peran dan Kepentingan Aktor dalam Konflik di Papua,” Tim Peneliti Konflik LIPI, Adriana Elizabeth (Koordinator), Sinal Belegur, dan Muridan S yang dipresentasikan dalam seminar hasil-hasil penelitian di PDII LIPI, 15 Desember 2004. Dari hasil penelitian tersebut disebutkan bahwa Kelompok Nasionalis Papua mengagendakan: Perjuangan Papua Merdeka, Pelurusan sejarah papua, perjuangan demi hak-hak penentuan nasib sendiri, perlawanan bersenjata (TPN/ OPM) dan perjuangan damai (PDP); sementara Klompok Nasionalis NKRI mengagendakan: Mempertahankan NKRI, status Papua sebagai bagian dari NKRI sudah final, perjuangan melawan kaum separatis, operasi militer, operasi politik melalui kooptasi, pemenjaraan dan lain-lain.
162
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
H u b u n g a n Pada mulanya bersifat antagonis, pihak yang khususnya antara OPM dengan pihak Republik Indonesia, namun berkonflik ada perkembangan menarik bahwa kelompok-kelompok nasionalis Papua (MRP –dan OPM) sepakat bahwa otonomi khusus dapat sebagai cara untuk menyelesaikan konflik.26
Dalam konteks GAM vs Republik Indonesia (khususnya: TNI dan Polri, serta Pemda NAD) mereka sangat berhadap-hadapan. Dalam konteks dengan civil society, ada kecenderungan berhadapan, ada kecenderungan tidak berhadapan langsung.
Cara yang - Perang/teror - Kelompok GAM menggunakan cara digunakan - Bergaining politik perang - Negosiasi politik - Kelompok di luar GAM menggunakan - Kemungkinan win-win solution cara diplomasi politik dan negosiasi terbuka lebar. untuk meningkatkan tuntutan - Kemungkinan win-win solution sulit dilakukan dalam waktu dekat (2-3 tahun).
Tabel 4 memberi ilustrasi perbandingan kasus separatisme di Aceh dan Papua. Dari segi perkembangan, di Aceh kelompok GAM cukup cepat pertumbuhannya, khususnya pada periode 1999-2001. Sementara di Papua, kasus separatis OPM perkembangannya “memang tidak sebesar pertumbuhan GAM di Aceh.” Dari segi aktor, kasus Papua lebih memungkinkan untuk proses win-win solution, ketimbang konflik yang sudah multikompleks di Aceh. Perbedaan karakter aktor utama dalam konflik yang memungkinkan untuk dapat dilakukan cara-cara pendekatan yang berbeda. Aktor utama konflik di Aceh —khususnya GAM pasca CoHA—relatif “kurang menerima” tawaran dialog untuk negosiasi penyelesaian. Cara perang masih terus diberlakukan di wilayah ini, sementara karakter aktor utama di Papua cenderung memilih kemungkinan negosiasi untuk penerapan otonomi khusus sangat terbuka lebar.27 Hal ini dipengaruhi karena kekuatan senjata OPM masih relatif kecil dibandingkan dengan kekuatan senjata GAM yang telah mencapai 5000 orang personel dengan cara gerilya mengangkat senjata dengan luas wilayah yang sudah “menyentuh hampir di 17 kabupaten di Aceh,” sementara di Papua konsentrasi perjuangan OPM masih di gunung dan belum ada cakupan wilayah perjuangan yang besar seperti GAM (sudah hampir menyatu dengan 26 27
Ibid. Beberapa kesimpulan yang diperoleh dalam diskusi dalam hasil penelitian tim konflik LIPI di PDII LIPI, 15 Desember 2004.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 163
masyarakat melalui perang gerilya kota). Karena itu penerapan pendekatan militer –khususnya operasi militer harus benar-benar mempertimbangkan perbedaan karakter perlawanan di antara kedua kasus separatisme di atas. Perbedaan karakter dua kasus separatis di Aceh dan Papua ini dalam konteks pertahanan di Indonesia perlu menjadi pertimbangan yang amat serius, khususnya untuk melakukan penanganan melalui pendekatan militer dan cara alternatif lain misalnya diplomasi. Di Papua, negosiasi mungkin lebih tepat ketimbang cara-cara operasi militer, sementara di Aceh “operasi militer” terbatas harus dipahami sebagai cara untuk membuka pintu perdamaian dan penyelesaian konflik, khususnya menyelesaikan sumbersumber konflik yang merupakan unresatle problem yaitu sumber-sumber konflik yang disebabkan oleh masalah-masalah warisan masa lalu yang belum terselesaikan. Menempatkan kasus Papua dan Aceh yang sama, justru akan menimbulkan berbagai kesalahan pendekatan dan akan berimplikasi pada perluasan pertentangan di kedua daerah ini. Selain itu, terhadap anggota-anggota GAM yang “ditangkap,” kemudian sebagian dilepaskan kembali –harus dicatat bawha mereka perlu memperoleh pembinaan berintegrasi yang jauh dari cara-cara militer, tetapi harus lebih merupakan program kemanusiaan untuk mengembalikan diri mereka sebagai bagian dari Republik Indonesia. Cara-cara indoktrinasi militer dalam pembinaan anggota GAM yang menyerah yang sebagian digunakan sebagai TPO (Tugas Pembantu Operasi) –akan terlalu berisiko, sebagaimana yang pernah terjadi di masa DOM, ketika mereka dijadikan sebagai TPO –dalam istilah lokal disebut cuak/mata-mata, justru ketika operasi militer dicabut, muncul konflik horizontal antara cuak/TPO dengan masyarakat korban. Sementara itu, konflik yang terjadi di Maluku, Maluku Utara, Poso, Sambas, dan Sampit dapat digolongkan sebagai konflik komunal, walaupun ada pihak yang menyebut sebagai “konflik agama.” Namun, tampak bahwa konflik yang terjadi lebih condong sebagai bentuk konflik komunal, ketimbang sebagai konflik agama, walaupun ada pihak-pihak tertentu yang mencoba menarik ke arah sana. Dalam hal ini, agama dapat dipahami sebagai instrumen yang menyebabkan konflik. Ketiga-tiganya hampir identik atau mempunyai kemiripan dalam berkonflik. Konflik di Maluku (Ambon) meletus pertama kali pada 19 Januari 1999 —bertepatan dengan umat Islam merayakan hari raya “Idul Fitri.” Dari segi kemunculannya ada dugaan kuat bahwa konflik yang terjadi adalah setting atau disain dari pihak luar atau pihak tertentu. Dari berbagai penelitian yang sudah pernah dilakukan, baik oleh LIPI, PSKP UGM,
164
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Bakubae, dan lainnya, hampir ada kesepaktan tentang periodesasi konflik yang terjadi di Maluku. Setidak-tidaknya beberapa penelitian menyebutkan sekurang-kurangnya ada enam periode konflik yang terjadi di Maluku (Ambon). Periode pertama terjadi di Ambon dan Pulau Aru. Periode kedua terjadi ketika konflik antarpreman yang merembet menjadi pertikaian antarkelompok agama dan meledak hampir diseluruh kota bahkan di beberapa pulau di sekitar Ambon. Periode ketiga, konflik terjadi pada saat Pemilu 1999. Periode keempat, konflik pasca Pemilu 1999 dan masuknya kelompok luar dalam konflik khususnya Laskar Merah dan Laskar Putih (termasuk Laskar Jihad). Periode kelima, periode coolling down dengan adanya upaya dari pemerintah untuk menumbuhkan perdamaian. Periode terakhir yaitu periode keenam adalah periode deeskalasi konflik, dengan kecenderungan terjadinya bentuk-bentuk teror bom dan sejenisnya.28 Dari segi kurun waktunya, konflik di Maluku (Ambon) terjadi hampir kurang lebih selama lima tahun. Namun, intensitas konfliknya yang paling tinggi terjadi sepanjang tahun 1999-2002 yang dicirikan oleh terjadinya perang antar kelompok Islam dan Kristen yang menggunakan jensi-jenis senjata yang sudah mirip dengan jenis-jenis senjata yang digunakan oleh militer.29 Senjata-senjata yang digunakan sangat menyerupai senjata-senjata “jenis-jenis” yang pernah digunakan oleh pihak militer. Dalam suasana konflik, khususnya setelah periode pertama, masing-masing kelompok yang terlibat dalam konflik, telah memodernisasi diri mereka dengan cara membuat alat-alat yang mendukung konflik. Ini merupakan bagian dari mekanisme survival dari masing-masing kelompok yang bertikai. Konflik telah memberi inspirasi bagi mereka untuk menciptakan alat yang dapat digunakan untuk saling bunuh membunuh. 28
29
Penelitian yang dilakukan oleh Sri Yanuarti, Yusuf, Josephine Maria, dan Mardyanto Wahyu Triatmoko, Konflik di Maluku Tengah, Penyebab, Karakteristik, dan Penyelesaian Jangka Panjang, (Jakarta: LIPI, 2003), hlm.55-70. Tim Peneliti LIPI, Bara Dalam Sekam, Identifikasi Akar Masalah dan Solusi atas Konflik-konflik Lokal di Aceh, maluku, Papua dan Riau, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 77, yang bersumber dari MABES TNI yang pernah dikutip oleh GATRA No. 10, Tahun VI, 22 Januari 2000 menyebutkan berbagai macam jenis senjata yang pernah digunakan yang berhasil disita oleh aparat keamanan seperti: senjata standar (6 pucuk), pistol rakitan (12 pucuk), senjata rakitan laras panjang (334 pucuk), senjata rakitan laras pendek (46 pucuk), mortir/meriam rakitan (115 pucuk), senjata pelontar anak panah (80 buah), amunisi standar campuran (329 butir), anak panah panjang (15.094 buah), senjata tajam (parang, dll) sebanyak 894 buah, tombak (331 batang), panah busur (385 buah), bom rakitan (991 buah), ketapel (91 buah), bahan bom dari pipa (100 batang), laras senapan rakitan (37 batang), pipa pembuat laras (24 batang), Magazin SS-1 (24 buah), dan serbuk amunisi sebanyak 2 kantong.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 165
Tabel 5 Perbandingan Indikator-indikator Konflik Komunal di Maluku, Poso dan Maluku Utara Konflik Komunal Indikator
Poso
Maluku Utara
Faktor pemicu Adanya pertikaian antara warga yang kebetulan beragama Islam dengan warga yang beragama Kristen di sekitar Batu Merah Atas dan Batu Merah Bawah, Januari 1999.30
Pertengkaran warga yang kebetulan beragama kristen dan Islam, yang menyebabkan terjadinya konflik di antara mereka.31
Pemekaran wilayah di Kecamatan Malifut, di mana daerah Kao dimasukkan sebagai bagian dari Kecamatan Malifut, memicu kedua etnik yang kebetulan berbeda agama ini bertikai.32
S u m b e r 1. Ketidakadilan di bidang konflik sosial dan ekonomi. 2. Politisasi birokrasi 3. Melemahnya mekanisme tradisional 4. Keterlibatan militer dan konflik kepentingan elit Pusat 5. Intervensi asing 33
1. Perebutan jabatan 34 1. Perebutan sumber daya strategis dalam politik alam antar etnik yang 2. Politisasi agama berbeda 3. Masalah demografi 2. Rivalitas elit lokal dalam sosial/komposisi perebutan jabatan-jabatan komunitas strategis politik di Malut. 4. K e t i m p a n g a n 3. M u n c u l n y a pendapatan (masalah etnosentrisme. 35 sosial dan ekonomi)
30
31
32
33
34
35
Maluku
Tim Peneliti LIPI, Bara Dalam Sekam, Identifikasi Akar Masalah dan Solusi atas Konflik-konflik Lokal di Aceh, maluku, Papua dan Riau, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 77. Lihat laporan penelitian yang dilakukan oleh M. Hamdan Basyar, editor, Konflik Poso, (Jakarta: LIPI, 2003). Lihat laporan penelitian LIPI yang belum dipublikasikan, berjudul: Konflik di Maluku Utara, Penyebab, Karakteristik, dan Penyelesaian Jangka Panjang, (Jakarta: LIPI, 2004), belum dipublikasikan. Tim Peneliti LIPI, “Bara dalam…,” hlm. 99-102. Sementara dari penelitian yang dilakukan oleh Sri Yanuarti, Yusuf, Josephine Maria, dan Mardyanto Wahyu Triatmoko, Konflik di Maluku Tengah, Penyebab, Karakteristik, dan Penyelesaian Jangka Panjang, (Jakarta: LIPI, 2003), hlm. 141 menyebutkan bahwa sumber dan akar permaslahan konflik Maluku dapat ditelusuri dari sisi sejarah dan sikap kolonial Belanda, dominasi pemerintah pusat paska kemerdekaan khususnya di era Orba, sisi agama, budaya, kemasyarakatan, hingga sisi ekonomi dan pembagian sumberdaya. Sisi lainnya adalah sisi politik dan perebutan kekuasaan yang juga mengalami perubahan menyolok di era akhir Orde Baru tahun 1990-an yang dilanjutkan dengan era reformasi. Disarikan dari hasil penelitian M. Hamdan Basyar, Konflik Poso: Pemetaan dan Pencarian Pola-pola Alternatif Penyelesaiannya, (Jakarta: P2P LIPI), 2003. Lihat Ringkasan Konflik Maluku Utara Penyebab, Karakteristik dan Penyelesaian Jangka Panjang, Kelompok Tim Konlfik LIPI, Sri Yanuarti (Koordinator), Yusuf, Josephine Rosa Marieta, Mardyanto Wahyu Tryatmoko yang dipresentasikan pada Seminar Hasil Penelitian di PDII LIPI, 15 Desember 2004.
166
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Intensitas
Sangat tinggi, masih terus terjadi konflik meskipun hanya sporadis (tergantung adanya pemicu-pemicu tertentu).
Isu-isu seputar Masalah keadilan sosial konflik ekonomi, politik, perimbangan kekuasaan, masalah etnik hubungannya dengan agama dan masalah disharmoni antara Islam dan Kristen. Selain itu, ada gejala kuatnya isu bahwa pihak luar ikut bermain dalam konflik yang terjadi.
Sangat Tinggi, masih terus Sangat Tinggi (mulai reda terjadi konflik meskipun sudah pada tahap cooling hanya sporadis down). (tergantung adanya pemicu-pemicu tertentu). Masalah-masalah hubungan sosialkeagamaan, ketimpangan ekonomi-politik, dan masalah disharmoni antara Islam dan Kristen. Selain itu, ada gejala kuatnya isu bahwa pihak luar ikut bermain dalam konflik yang terjadi.
Masalah keadilan ekonomisosial, perebutan kekuasaan, disharmoni antara Islam dan Kristen, pembagian kekayaan alam (khususnya di Kao-Malifut). Selain itu, ada gejala kuatnya isu bahwa pihak luar ikut bermain dalam konflik yang terjadi.
mengelompok Cenderung mengelompok Karakteristik Cenderung k e l o m p o k dalam kelompok etnik dan dalam kelompok etnik y a n g agama. dan agama. berkonflik
Cenderung mengelompok dalam kelompok etnik dan agama, meskipun bukan sebagai konflik yang disebabkan karena agama.36
H u b u n g a n · Antagonis dan non- · Antagonis dan non- · Antagonis dan nonpihak yang kompromi kompromi kompromi · Mulai ada kelompok- · Kelompok inisiator · Mulai ada kelompokberkonflik kelompok inisiator perdamaian masih kelompok inisiator perdamaian “minim.” perdamaian · Ada kesadaran untuk · Ada kesadaran untuk membangun dialog dari membangun dialog dari kedua belah pihak yang kedua belah pihak yang berkonflik berkonflik Cara yang · Kekerasan · Kekerasan · Kekerasan digunakan · Perang (termasuk dengan · Perang (termasuk · Perang (termasuk dengan menggunakan senjata) dengan menggunakan menggunakan senjata) senjata)
Tidaklah mengherankan bila dalam kurun waktu 1999-2002, hampir semua orang yang berada di Ambon dan sekitarnya, terlibat dalam konflik, dan mereka mengelompok dalam dua kekuatan yaitu Islam dan Kristen. Bahkan aparat kepolisian dan TNI (organik) juga mengalami pengelompokan semacam itu, sehingga mereka tidak menjadi pihak pelerai/ penengah tetapi sekaligus menjadi aktor yang terlibat dalam konflik. Sementara konflik komunal—sering pula disebut dengan istilah konflik horizontal —di Maluku Utara oleh beberapa kalangan dianggap sebagai “imbas” dari konflik komunal yang terjadi di Maluku (Ambon). Konflik dipicu oleh pertikaian antara kelompok etnik Kao dengan kelompok etnik Malifut, 36
Ibid.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 167
sehubungan batas wilayah antar kedua Kecamatan Kao dan Malifut (Malifut dihuni oleh kelompok etnik Makian). Hal ini disebabkan karena adanya Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 1999 tentang Pembentukan dan Penataan beberapa kecamatan dalam wilayah di Maluku Utara, yang akhirnya menyebabkan perbedaan etnik Kao dan Malifut sehingga menimbulkan pertikaian. Berdasarkan Keputusan Pemerintah, beberapa desa yang dihuni oleh etnik Kao, diserap masuk ke dalam Kecamatan Malifut. Masyarakat desa tersebut tidak menghendakinya dan tetap ingin bergabung dengan Kecamatan Kao yang pada umumnya dihuni oleh etnik Kao. Akibat perbedaan itu, akhirnya terjadi bentrokan antarkedua kelompok. Kedua belah pihak saling menyerang dan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta benda. Penduduk etnik Makian yang ada di Malifut, kemudian secara besar-besaran mengungsi ke Ternate; bersamaan dengan pengungsian tersebut, muncul sebuah selebaran gelap di Tidore yang berbentuk surat, yang berasal dari Ketua sinode GPM di Ambon. Isinya mengandung hasutan untuk bekerjasama dengan Sinode GMIH di Tobelo dalam rangka menyerang komunitas Muslim.37 Dampaknya, akhirnya di daerah-daerah lainnya terjadi pertikaian antar etnik yang berbeda yang “kebetulan” berbeda agama antara Islam dengan Kristen. Konflik di Kecamatan Malifut-Kao terjadi pada bulan Agustus hingga Oktober 1999. Pada awal November 1999 terjadi bentrok antara kelompok Kristen dan Islam di Ternate, dan selang sebulan kemudian (Desember 1999) terjadi bentrokan di Tobelo, Galela, Jailolo, Suhu, Ibu, dan Morotai. Sedangkan konflik Poso yang menelan korban jiwa ratusan orang, mulai berlangsung pada Desember 1998. Konflik itu sendiri berlangsung “secara berseri.” Setelah konflik Desember 1998 itu, konflik berikutnya terjadi pada April 2000 yang seringkali oleh media massa disebut sebagai konflik “tahap kedua”. Tidak lama setelah peristiwa April 2000, ada konflik “tahap ketiga” yang terjadi antara bulan Mei dan Juni 2000. Konflik tidak berhenti sampai di situ. Hal ini terlihat dengan terjadinya kerusuhan Poso “tahap keempat” yang terjadi pada bulan Juli 2001. Ini disambung lagi dengan konflik “tahap kelima” terjadi pada November 2001, yang merupakan akhir dari kerusuhan Poso. Kerusuhan Poso yang terjadi selama ini nampaknya menunjukkan adanya keterkaitan antara kerusuhan tahap pertama hingga kerusuhan tahap kelima.38 37
38
Tim Kajian Universitas Pattimura, Ambon, Analisis Sosial Kondisi pertikaian antarkelompok Menjelang dan sesudah pengalihan Komando operasi pengendalian (KODAL). Laporan M. Hamdan Basyar, “Penanganan Kasus Konflik Komunal Di Poso,” dalam penelitian Tim LIPI, Relasi TNI-Polri dalam Penanganan Masalah Keamanan Dalam Negeri, laporan belum dipublikasikan.
168
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Dari gambaran tabel 5 tampak bahwa konflik komunal, sebagai ciri baru munculnya konflik di masa transisi hingga konsolidasi demokrasi, hampir memiliki kecenderungan karakter konflik. Dari segi faktor pemicu, cenderung isu yang dapat memicu konflik dihimpitkan dengan masalah “suku dan agama.” Sementara itu, di daerah-daerah yang telah terjadi konflik komunal ini telah tersedia sejumlah sumber-sumber konflik yang sudah lama ada, seperti ketimpangan ekonomi-politik, ketimpangan akses terhadap sumber daya alam dan kekuasaan, adanya perebutan masalah sumber daya alam yang terbatas, stereotipeness, dan lain sebagainya. Hubungan di antara pihak yang berkonflik cenderung antagonis –khususnya dalam periode-periode memuncaknya konflik, dengan tingkat ketahanan yang tinggi apabila telah menyatu dengan identitas kultural dan agama sebagai bukan saja instrumen konflik, tetapi sebagai tujuan untuk berkonflik. Sedangkan dari cara-cara yang digunakan pun hampir mirip yaitu cara perang dan kekerasan termasuk pembunuhan, pengusiran, pengrusakan dan sebagainya. Tantangan dan Potensi Konflik ke Depan Dari pembahasan di atas, pertanyaan kita adalah apakah Indonesia masih memiliki potensi konflik yang cukup, yang akan mempengaruhi stabilitas dalam negeri di masa yang akan datang. Ke depan, Indonesia masih akan tetap menghadapi dua kategori konflik yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal berkaitan dengan isu-isu “kemerdekaan,” dan/atau separatisme, khususnya di Aceh dan Papua. Meskipun isu ini sudah relatif mereda, dengan mulai ”berakhirnya konflik Aceh.” Isu-isu konflik vertikal yang senantiasa menggunakan isu kemerdekaan ini relatif mereda di Aceh, tetapi tidak demikian untuk wilayah Papua dan Maluku –dengan masih adanya kelompok Oganisasi Papua Merdeka dan gagasan RMS di Maluku yang masih belum padam. Namun, skala isunya pun tidak sedahsyat pada saat awal-awal reformasi. Isu-isu ini akan berhimpitan dengan persoalan keadilan, kesejahteraan, dan masalah sharing of resources di daerah antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Jadi sifatnya sangat politis. Sementara konflik horizontal masih akan diwarnai oleh dua potensi konflik yaitu kerusuhan sosial (riots) dan potensi konflik komunal di sebagian wilayah Indonesia Timur dan Tengah, seperti yang masih terjadi di Poso, dan Maluku (Ambon), serta potensial konflik berkarakter etnik di sebagian wilayah Kalimantan (Barat dan Tengah) serta di sejumlah daerah. Dari pengalaman karakter konflik di masa Orba, transisi dan masa
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 169
konsolidasi demokrasi sebagaimana telah disebut di atas, ada kecenderungan bahwa isu dan faktor di bawah ini akan tetap dominan sebagai salah satu penyebab timbulnya konflik lima tahun mendatang. Tabel 6 Indikator Isu/Faktor dengan Potensi Konflik Indonesia Lima Tahun Mendatang Isu/Faktor
K e m u n g k i n a n Sebaran Kejadian jenis konflik Wilayah yang muncul
Tingkat Intensitas
Tingkat Ketahanan
Isu dan fakor Kerusuhan sosial - Dapat terjadi di 1:Murni kesenjangan (riots) semua lokasi, ekonomi dan sosial khususnya lokasi(yang dipicu oleh lokasi yang ketimpangan) timpang atau kesenjangan ekonomi tinggi - Dengan lokasi yang terbatas).
Rendah dan Sedang, Sesaat (kurang dari disertai dengan 3 hari). perusakan gedung, tempat usaha, dan potensi kekerasan seksual serta pembunuhan juga dapat terjadi.
Isu dan faktor - Kerusuhan 2:Gabungan antara isu sosial (riots). k e s e n j a n g a n - Komunal ekonomi, sosial, konlfik politik dan kekuasaan dengan “agama, etnik/suku sebagai instrumen.” Salah satu gejalanya adalah isu-isu sekte yang memicu konflik intra dan antar umat beragama dan Dimensi isu konflik yang multidimensi
Pada awalnya sebarannya terbatas, tapi bila salah antisipasi akan cepat terjadi contagion (penyebaran) baik dari segi isu, aktor yang terlibat dalam konflik, dan wilayah/ cakupan konfliknya.
Tinggi disertai dengan kekerasan, pembunuhan, perusakan dan sebagainya. Biasanya akan terjadi potensi untuk berhadaphadapan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Isu dan faktor Separatisme 3:Gabungan isu 1+2 ditambah dengan mulai adanya pengorganisasi kelompok yang mengembangkan ideologi militan untuk perlawanan politik, ekonomi,
Potensial tetap diduki Bila gagal Tinggi dan adanya oleh daerah Aceh dan diselesaikan pada k a d e r i s a s i Papua. masa konsolidasi kelompok. demokrasi – berdasarkan pengalaman historis masa Orba, masa transisi, kelompokkelompok ini akan tetap eksis, dengan modus perlawanan
Apabila isu awal berubah dan bersentuhan dengan isu-isu k e l o m p o k “mayoritas,” baik agama, suku atau antar golongan, t i n g k a t ketahanannya akan sangat lama, bisa satu bulan hingga 3 tahun, khususnya apabila telah ada faktor kebencian dan dendam.
170
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
sosial, budaya, dan senjata.Dimensi isu konflik yang multikomples
Isu/Faktor 4:Transisi demokrasi yang gagal dilakukan untuk m e m e c a h k a n problem “nationstate.”
dari dalam (kecil) tetapi mereka tetap melawan dari luar negeri.
P e r t a r u n g a n Luas politik dan m e m i n c u p e c a h n y a hubungan pusatdaerah
RendahSedangTinggi Sedang dan lama
Dari tabel 6 tampaknya Indonesia lima tahun mendatang akan tetap mengalami masalah konflik yang ditimbulkan oleh tiga jenis isu/faktor, yaitu isu-isu kesenjangan sosial-ekonomi yang dipicu oleh masalah ketimpangan sosial. Cakupan wilayahnya dapat terjadi di mana saja, tergantung dari tingkat karakter ketimpangan yang ada dalam suatu wilayah. Kecenderungan dari kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya, bahwa isu-isu ketimpangan terjadi di beberapa lokasi yang “sempit lahan penduduk dengan tingkat penghasilan yang rendah,” dan di daerah-daerah di mana terjadi “perpindahan penduduk,” sehingga menimbulkan isu-isu asli dan non-asli. Karena itu, isu seperti ini masih merupakan isu yang cukup “rawan,” di Indonesia, walaupun aktornya masih terbatas dengan jaringan yang masih sangat lokalistik. Kedua, adalah kombinasi dari isu pertama yang telah menemukan “instrumen atau alat” sebagai perantara untuk terjadinya konflik lebih dalam. Biasanya, instrumen atau alat yang digunakan adalah agama, identitas sosial masyarakat, suku dan golongan. Kombinasi semacam ini akan cepat meluas apabila telah ada faktor-faktor sejarah sosial —khususnya ketimpangan dan ketidakadilan yang dirasakan secara derivatif oleh kelompok yang pada awalnya dianggap minoritas namun dalam perkembangan sosiologis menjadi kelompok yang besar hampir menyamai kelompok awalnya. Kombinasi ini tercermin dari konflik yang terjadi di Maluku (Ambon), Maluku Utara, dan Poso, di mana kedua kekuatan adalah seimbang. Selain itu, kombinasi osmosis sosial –sebagai pengelompokan suku –yang dengan mudah tercermin dalam dua kelompok: A dan B, akan memudahkan timbulnya jenis konflik yang kedua ini. Jaringan antar aktor mulai terjadi baik di dalam dan di luar wilayahnya (dominan jaringan dengan daerah lain dan kecil dengan lingkup luar negeri). Hadirnya “senjata” pada awalnya merupakan sarana untuk bertahan, namun bila berlarut-larut tidak ditangani akan berubah menjadi tujuan –karena itu, apabila konflik jenis ini terjadi lebih dari 3-5 bulan, kebencian dan dendam menjadi ciri utama dari konflik ini.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 171
Dari kasus-kasus dan sumber-sumber yang ada, secara potensial kombinasi kedua ini tersedia di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di daerah Indonesia Timur dan Tengah –serta sebagian Indonesia Barat. Sementara jenis konflik ketiga yang mungkin terjadi adalah konflik yang dipicu oleh problem struktural (vertikal) kombinasi dengan problem kulturalhorizontal, sehingga menghasilkan dimensi isu konflik yang bukan sematamata multidimensi tetapi sekaligus multikompleks yang dicirikan telah adanya “kelompok yang masih embiro dan kelompok yang sudah mapan sebagai instrumen bersama untuk melawan,” banyak aktor konflik yang mulai terlibat, baik di dalam negeri maupun di luar negeri serta mulai adanya kekuatan bersenjata sebagai cara untuk mencapai tujuan. Kasus-kasus seperatisme di Papua dan Aceh dapat dikategorikan sebagai konflik yang terjadi atas perluasan isu-isu seperti itu. Selain konflik yang bersifat vertikal dan horizontal tersebut, aspek transisi demokrasi juga patut dijadikan sebagai “potensi” pemicu konflik yang bersifat politik –khususnya menyangkut hubungan struktural pusat dan daerah. Kegagalan dalam membangun demokrasi —atas dasar kesepakatan bersama, dan bukan kesepakatan yang dipaksakan –dapat memicu perpecahan wilayah. Pengalaman Uni Soviet patut menjadi pelajaran berharga dalam konteks ini. Karena itu tidaklah mengherankan apabila demokrasi dapat berbuah konflik, 39 manakala keliru cara konsolidasinya. Selain itu, masalah desentralisasi dan otonomi juga berpotensi akan menajamkan faktor-faktor konflik identitas di Indonesia, manakala ada persepsi yang salah mengenai hal itu. Apakah konflik antardaerah kemungkinan dapat terjadi, antara daerah kaya-miskin, antara daerah-pusat dan sebagainya.40 Yang cukup menakutkan dari sifat-sifat jenis konflik tersebut adalah kombinasi dari kesemuanya. Tidaklah mungkin bahwa di wilayah Indonesia muncul seluruh kombinasi tersebut. Aceh dan Papua adalah contoh yang paling memungkinkan terjadinya kombinasi isu 1+2+3+4, karena itu Aceh pantas disebut sebagai daerah unresatle problem (daerah di mana terlalu banyak masalah yang tidak dan/atau belum terpecahkan).41 Sementara dari segi karakter jenis-jenis konfliknya, ada perbedaan yang nyata antara jenis konflik separatis, komunal dan kerusuhan sosial. Tabel 7 menunjukkan tingkat perbedaan karakter dari ketiga jenis konflik yang diidentifikasi. 39 40 41
Dewi Fortuna Anwar, dkk, “Konflik Kekerasan…,” hlm. 1. Ibid. Lihat penelitian Tim Konflik LIPI, Orientasi Negara Versus Masyarakat dalam Konflik Aceh, (laporan penelitian 2004).
172
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Tabel 7 Perbedaan Karakter Jenis-jenis Konflik: Separatis, Komunal dan Kerusuhan Sosial Indikator
Separatis
Konflik Komunal
Riots/ Kerusuhan Sosial Kerumunan sosial (crowds) kelompoknya belum matang sebagai alat perlawanan.
Kelompok
Adanya kelompok yang menyebut dirinya sebagai kelompok b e r s e n j a t a n (combatan) secara militer.
Sudah ada kelompok yang jelas berhadaphadapanada yang bersenjata dan ada yang tidak bersenjata, tapi umumnya telah menggunakan senjata sebagai alat, namun bukan tergolong combatan secara militer.
Tingkat Ketahanan
Sangat tinggi
Tinggi bila meluas jadi Terbatas/sesaat pertentangan yang melibatkan wilayah dan aktor-aktor lainnya
Cara yang digunakan
-
- Provokasi - Teror - Perang
Agenda
Jelas, merdeka atau Tersembunyi memisahkan diri
Provokasi Negosiasi Teror Perang Dukungan ke luar negeri
- Provokasi - Perusakan
Tersembunyi
Bila kita mengamati gejala konflik pasca 2004, khususnya sejak 2005 cukup menarik. Ada gejala menurunnya konflik berskala massif (masal) yang melibatkan aspek-aspek identitas dan komunal. Gejala konflik yang terjadi adalah konflik yang sifatnya lokal dan hal itu tergantung pada momentum politik, khususnya pemilihan kepala daerah secara langsung. Kasus-kasus konflik yang dipicu oleh isu kecurangan dalam pilkada seperti yang terjadi di Kabupaten Tuban Jawa Timur, Maluku Utara, Sulawesi
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 173
Selatan, Kaur Bengkulu, dipicu oleh masalah kontestasi politik elit dengan elit yang melibatkan massa pendukungnya. Selain itu, potensi konflik intraagama (internal agama) juga menguat dengan mulai lahirnya gerakan-gerakan kelompok dominan yang memusuhi aliran lain yang dianggap sesat. Kasus Ahmadiyah dapat dijadikan sebagai contoh, bahwa isu-isu kesesatan agama akan lebih mudah dipolitisasi menjadi pertentangan antar umat beragama. Penutup Belajar dari karakteristik konflik di atas, tentu dapat diambil hikmahnya. Hikmah itu adalah perlunya ada kesadaran bahwa kita ini memang beragam (multikultural). Hikmah yang lain adalah pengelolaan negara terhadap konflik perlu arif atau bijak. Salah satu kelemahan Indonesia adalah lemahnya kapasitas negara dalam mengatasi konflik. Negara di sini adalah pemerintah pusat dan daerah. Dampak dari kelemahan cara penanganan konflik ini justru dapat memicu tumbuhnya konflik baru yang lebih kompleks aktoraktor dan kepentingannya. Di sisi yang lain, selama ini masalah konflik dan kerawanan cenderung didekati melalui pendekatan militer, khususnya di masa transisi, di mana Polisi sebagai pihak yang harus bertanggungjawab atas semua jenis konflik yang terjadi yang dibantu oleh pihak TNI. Pola penanganan ini dikembangkan pada beberapa kejadian penanganan konflik, khususnya riots/kerusuhan sosial yang pernah terjadi. Ketidakjelasan dalam penanganan dan role of engagement (RoE) dalam penanganan konflik menyebabkan penanganan konflik justru tidak efektif dan berlarut-larut. Kasus yang paling menonjol adalah penanganan konflik komunal di Sambas dan Sampit, di mana pihak TNI dan Polri terkesan “dibiarkan,” untuk mengatasi kejadian tersebut tanpa adanya keputusan yang jelas dari pihak otoritas sipil. Alasannya, karena kurang jelasnya kebijakan politik untuk menangani hal itu dan belum adanya aturan yang jelas pasca pemisahan. Tak mengherankan apabila di antara kedua institusi ini justru larut dalam konflik yang terjadi, yang semestinya mereka menjadi pihak pelerai atau pihak yang menyelesaikan. Maraknya konflik dengan berbagai jenisnya di masa jatuhnya Soeharto, di masa transisi, dan masa konsolidasi justru menunjukkan adanya “kegagalan” model kebijakan pembangunan baik di bidang ekonomi, sosial, politik dan keamanan. Kecenderungan pembangunan yang berorientasi jakarta centris, justru melemahkan dan mematikan kekuatan masyarakat lokal dalam menyelesaikan masalahnya sendiri. Dengan potensi konflik yang mungkin masih akan menjadi salah satu faktor ancaman bagi
174
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
keamanan dan pertahanan Indonesia, patut dilakukan beberapa perubahan kebijakan pemerintah di masa yang akan datang. Di masa transisi, pengalaman penanganan konflik tampak ambivalen, di satu sisi Polri dikedepankan sebagai institusi utama untuk menangani, namun, SDM dan kompetensi teknisnya kurang memadai. Di sisi yang lain, ada “keengganan atau lebih tepat keraguan,” untuk menerjunkan TNI. Dalam situasi yang ambivalen itu, akhirnya mekanisme penanganan yang dilakukan adalah Polri di depan dibantu oleh TNI. Namun, pada awalawal penyelesaian konflik seperti di Sampit, Maluku, Maluku Utara — justru antara TNI dan Polri bertikai dan menjadi bagian dari konflik yang terjadi. Akibatnya, efektifitas pencegahan gagal dilakukan. Untuk antisipasi ke depan, perlu adanya review secara matang dan ideal, mengenai penanganan konflik dan memperkuat institusi TNI dan Polri dalam rangka mencegah perluasan konflik agar tidak terjadi korban yang lebih besar. Ada beberapa alternatif yang dapat diwujudkan secara ideal, bahwa untuk mengatasi konflik vertikal (khususnya dalam menghadapi separatisme dan kekuatan bersenjata), TNI merupakan komponen utamanya, yang dapat melakukan operasi militer terbatas dengan dibantu oleh operasi intelijen dan tetap ada operasi bantuan kemanusiaan (PKO). Operasi militer terbatas di sini adalah operasi militer yang khusus diputuskan oleh pemerintah mengenai waktu, jenis pasukan, pembiayaan, peralatan, dan misi yang harus mereka emban. Sementara dalam menghadapi konflik komunal, perlu dipisah menjadi dua, yaitu konflik komunal yang tidak menggunakan senjata dan yang menggunakan senjata (ke arah genocide). Kejelian dari pemerintah untuk menganalisis setiap kejadian konflik komunal akan sangat menentukan kebijakan yang akan mereka tentukan, apakah mengirimkan TNI atau mengirimkan Polisi. Karena itu, estimasi situasi dan prediksi kejadian sangat menentukan tingkat kebijakan yang akan diambil. Namun, prinsip operasi yang harus dilakukan oleh keduanya adalah Peace Keeping Operation (PKO). Dalam fungsi militer (sebagaimana dibahas dalam bab terakhir, PKO merupakan salah satu tugas dari militer –yaitu masuk dalam kelompok tugas-tugas selain perang. TNI sebenarnya memiliki pengalaman PKO, namun di akhir Orba dan hingga sekarang, TNI masih sangat ketinggalan atas peran-peran ini dalam program PBB, karena alasan-alasan kemampuan dan faktor masalah HAM. Padahal PKO haruslah menjadi salah satu bagian dari kemampuan “utama,” TNI ketika tidak ada perang konvensional dan justru tentara banyak difungsikan untuk mengatasi konflik di belahan dunia lainnya, atau untuk mencegah masalah-masalah kekerasan (violence) yang
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 175
terjadi. Meskipun PKO bukan menjadi bagian dari tugas Polisi, namun, karena situasi perundangan di Indonesia yang belum jelas, Polisi tetap perlu mempelajarinya. Sementara dalam situasi riots atau kerusuhan sosial yang diterjunkan adalah Polri dengan jenis operasi sebagai operasi pemulihan keamanan. Dalam waktu tertentu (1x24 jam) perlu ada evaluasi —mengingat ciri dari kerusuhan yang dapat mengarah pada perusakan, apabila dalam 1x24 jam ada estimasi bahwa Polri tidak dapat menangani, harus diganti jenis operasinya dengan Peace Keeping Operation (PKO). Dengan demikian kebijakan politik dari pemerintah khususnya yang mengatur secara jelas, dalam situasi riots (kerusuhan sosial), konflik komunal dan vertikal harus dilandasi oleh prinsip-prinsip pencegahan dalam kerangka resolusi konflik. Dalam konteks itu, penggunaan aparat keamanan sifatnya hanyalah entry poin (pintu masuk) dengan tujuan agar tidak terjadi korban manusia. Selanjutnya pendekatan dialog, dapat dijadikan sebagai landasan bagi setiap upaya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
176
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Refleksi Reformasi Hukum di Indonesia:
Pembangunan Budaya Hukum dalam Proses Reformasi Bidang Hukum Lilis Mulyani
Reformasi hukum, sebagai salah satu agenda era reformasi, belum menunjukan hasil yang optimal. Kenyataannya, telah terjadi stagnansi dalam proses penegakan hukum di indonesia. Kesuksesan dalam penanganan kasus korupsi, dan beberapa kasus lainnya, hanya sebagian kecil dari tugas yang masih tersisa untuk pemerintah. Bagaimana pun, penegakan hukum tidak hanya menjadi tugas institusi hukum semata, inti dari upaya tersebut terletak pada pembentukan budaya hukum yang menghormati hukum dan hak orang lain. Tulisan ini berupaya untuk mengungkap dan menganalisis bagaimana budaya hukum dapat mendukung keseluruhan proses penegakan hukum dan faktor-faktor apakah yang dibutuhkan untuk membangun budaya hukum tersebut? Pendekatan yang digunakan adalah bahwa masyarakat bukan subyek hukum yang pasif, sebaliknya, masyarakat memiliki kekuasaan untuk “membentuk” hukum sebagaimana hukum berusaha untuk membangun mereka. Semua ini bergantung pada pengertian dan pengetahuan masyarakat atas substansi hukum, kepercayaan mereka kepada institusi hukum, dan berbagai pemikiran rasional pada diri subyek mengenai apakah menaati hukum akan memberikan keuntungan bagi mereka atau tidak.
Pendahuluan Tahun 2008 menandai masa sepuluh tahun reformasi nasional. Salah satu tonggak utama dari proses reformasi yang dicanangkan sejak tahun 1998 adalah reformasi yang diarahkan pada tegaknya supremasi hukum (rule of law). Penegakan hukum yang diarahkan terutama untuk
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 177
memberantas korupsi yang sistemik yang ada di dalam pemerintahan baik di tingkat pusat maupun di daerah masih harus menghadapi banyak tantangan berat. Sementara penegakan hukum di tingkat masyarakat pun menghadapi problema yang tidak kalah kompleks, mulai dari peristiwa main hakim sendiri, konflik horizontal antar kelompok masyarakat baik konflik yang sifatnya aktual maupun yang laten, semua semakin menambah panjang daftar “pekerjaan rumah” aparat penegak hukum. Proses penegakan hukum dalam masa reformasi ini selalu menjadi topik yang penting jika melihat kenyataan bahwa hingga saat ini hukum masih juga belum efektif, meskipun upaya dan sosialisasi penegakan hukum sudah dikumandangkan dengan cukup gencar. Di titik ini, kita melihat seolah ada gejala “kejenuhan” –bahkan “kebuntuan”- dalam proses penegakan hukum di negara ini. Hal ini tidak semata-mata disebabkan karena proses implementasi hukum masih sulit karena dihinggapi permasalahan kronis KKN maupun lemahnya kapabilitas aparat penegak hukum, namun juga dari segi substansi, hukum sendiri masih memiliki banyak kekurangan. Permasalahan-permasalahan substansial dan institusional di bidang hukum ini menyebabkan masyarakat luas menjadi “apatis” terhadap proses penegakan hukum. Setelah sepuluh tahun berlalu, proses dan mekanisme penegakan hukum masih mengalami “stagnasi”, dimana misalnya saja, kasus-kasus yang menyerap perhatian banyak publik seperti kasus korupsi yang ditangani aparat penegak hukum masih banyak yang belum menyentuh koruptor “kelas kakap”, atau kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia masih banyak yang belum tuntas, atau kasus-kasus kejahatan lingkungan juga masih menemukan kendala dengan seringnya perusahaan perusak lingkungan “bebas” dari jerat hukum; belum lagi kasus-kasus konflik horizontal yang membawa dampak bertambahnya jumlah pengungsi internal (internally displaced persons atau IDPs) di banyak tempat di Indonesia.1 Akar permasalahan utama dari masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia telah banyak dikaji, namun hingga kini situasinya masih belum banyak berubah. Permasalahan birokrasi, KKN, masih lemahnya institusi pembuat dan penegak hukum, membuat dunia hukum kita seolah berada dalam situasi yang blunder atau seperti “benang kusut”, yang sering kita tidak tahu harus mulai dari mana untuk meluruskannya. Dalam pandangan penulis, permasalahan utama terletak pada proses penegakan hukum yang didekati semata-mata dari sudut struktural-formal, 1
Misalnya pengungsi Madura yang terusir dari Kalimantan Tengah, pengungsi konflik Ambon, pengungsi dari kelompok agama minoritas seperti Ahmadiyah.
178
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
yang hanya dilakukan semata-mata demi memenuhi substansi peraturan perundang-undangan semata, dan belum sampai pada tahap pemahaman bahwa hukum yang bermuara pada ketertiban dan keadilan merupakan sebuah kebutuhan; tidak hanya bagi negara, tapi bagi setiap individu yang menjadi subyek hukum, baik itu aparat penegak hukum maupun masyarakat dalam konteks yang lebih luas. Sebagaimana telah sering dikutip dari pendapat Lawrence M. Friedmann dalam bukunya American Law (1975), elemen-elemen dalam sistem hukum meliputi: (1) struktur, (2) substansi, dan (3) budaya hukum. Ketiga elemen ini dalam hukum Amerika dipergunakan untuk menganalisis segala sesuatu yang berkaitan dengan sistem hukum. Dalam kaitan ini, penegakan hukum memerlukan suatu pendekatan baru yang aktual dengan kondisi masyarakat sekarang sebagai salah satu upaya mengatasi krisis nasional. Pendekatan yang dilakukan selama ini masih seringkali bersifat top down, strukturalis, hanya melingkupi kalangan top level governments, akademisi dan NGO di tingkat pusat, sementara masyarakat secara lebih luas, ataupun individu-individu aparat penegak hukum secara lebih spesifik masih belum tersentuh. Hal ini terutama dikarenakan pemecahan masalah penegakan hukum seringkali melihat pada proses bagaimana hukum itu ditegakkan, jarang sekali ada kajian yang melakukan pendekatan dari sisi “aktor” pembuat, pendukung, pelaksana hingga pemangku kepentingannya, hingga pada subyek hukum itu sendiri. Proses memetakan aktor-aktor ini menjadi menarik untuk dilakukan untuk memahami kepentingan mereka, tujuan yang ingin mereka capai, hingga permasalahan riil di lapangan sehari-hari yang mereka hadapi. Dengan mengetahui sisi aktor ini, diharapkan pemecahannya dapat dilakukan secara lebih terarah. Kondisi penegakan supremasi hukum haruslah merupakan sebuah proses yang berjalan, bukan hanya sebagai sebuah tujuan yang utopis. Salah satu cara mewujudkan hal tersebut adalah ketika hukum kemudian melebur ke level para subyeknya. Kita tidak dapat lagi memandang hukum seperti kata-kata O.W. Holmes yaitu sebuah oracles atau sabda agung. Hukum harus menjadi bagian dari subyeknya, subyek pembuatnya, pendukungnya, penegaknya hingga subyek di level paling bawah yaitu masyarakat secara lebih luas. Jika melihat pada kenyataan sehari-hari di beberapa wilayah di Indonesia misalnya Provinsi Bali, ketertiban masyarakat sangat terasa, yang salah satunya didasari pada ketaatan masyarakat Bali pada nilai-nilai adat, nilai-nilai budaya lokal yang mendukung masyarakatnya untuk
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 179
senantiasa mematuhi hukum adat yang berlaku. Hal ini juga menarik untuk dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia seperti di Provinsi Jambi atau Sumatera Barat, yang relatif masih memiliki keterkaitan dengan adat istiadat atau kebiasaan setempat, meskipun dalam taraf yang berbeda dengan masyarakat di daerah Bali. Ketaatan masyarakat akan nilai-nilai budaya yang positif yang menciptakan ketertiban patut untuk mendapatkan kajian lebih lanjut, guna melihat apakah nilai-nilai budaya lokal yang positif ini dapat juga digunakan untuk mendorong penegakan hukum negara secara lebih efektif. Dengan berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka pokok permasalahan yang akan menjadi fokus dalam tulisan ini adalah: (1) sejauh mana penegakan hukum dapat dilaksanakan dengan cara membangun budaya hukum yang positif?; dan (2) faktor-faktor apa sajakah yang mendukung dan menghambat proses pembentukan budaya hukum yang positif di dalam masyarakat? Tulisan ini diharapkan dapat memberikan analisa mengenai faktor budaya hukum dalam proses penegakan hukum, yang pada akhirnya diharapkan dapat digunakan dalam mencari solusi mengenai pembangunan budaya hukum di dalam masyarakat. Mempertanyakan Kembali Konsep “Law as a Tool of Social Change” Kajian-kajian sosiologis and antropologis dalam konteks bagaimana masyarakat atau subyek, melihat struktur hukum telah banyak dilakukan diantaranya adalah Sally F Moore (1983) dan James C Scott (1976, 2000). Moore mengkritik konsep “law as a tool of social engineering”2 karena menurutnya masyarakat itu tidak seperti “kertas kosong yang bisa ditulisi” apa saja.3 Scott di sisi lain menyebut sebuah bentuk resistensi dari masyarakat bawah dari tekanan hukum formal yang tidak memenuhi rasa keadilan mereka4. Bentuk perlawanan tidak selalu dalam bentuk frontal, kadang hanya dengan bersikap pasif tidak melaksanakan hukum, atau purapura tunduk padahal setelah petugas tidak ada mereka melanggarnya merupakan bentuk-bentuk perlawanan terhadap sistem hukum yang ada. 2
3
4
Yang dikemukakan salah satunya oleh Roscoe Pound, dan disetujui oleh salah seorang pakar hukum Indonesia, Prof. Mochtar Kusumaatmadja. Moore dalam Soehendra, Djaka, 2006, Dukungan Kajian Ilmu-ilmu Sosial untuk Telaah Ilmu Hukum, Jurnal Law, Society and Development, Volume 1, Desember 2006 – Maret 2007. Scott, James, C, 2000, Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts, New Haven and London: Yale University Press.
180
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Mungkin terlalu jauh jika kita membahas bentuk-bentuk resistensi masyarakat terhadap hukum formal, tapi kenyataan ini tidak dapat dinafikkan begitu saja. Hal ini memang terjadi. Dalam konteks penegakan hukum misalnya, pengalaman dimana para koruptor tidak ditindak dengan tegas, atau kalaupun dihukum hanya dengan hukuman ringan di bawah lima tahun sementara hasil uang korupsinya tidak dikembalikan ke negara, sedikit banyak mempengaruhi para koruptor-koruptor generasi selanjutnya dalam melakukan tindakan melanggar hukum. Ketika pengalaman menunjukkan demikian, kemudian dalam kenyataan sekarang aparat penegak hukum masih lemah, kesempatan untuk melakukan kejahatan itu ada, dan sanksi yang berlaku pun masih belum dengan tegas ditegakkan, maka kemungkinan seseorang melakukan tindakan korupsi akan semakin besar. Sedangkan konsep budaya hukum sendiri, pada awalnya diperkenalkan oleh Friedmann (1969) dan dikembangkan secara lebih komprehensif diantaranya oleh Lev (1990). Dalam pandangan Lev,5 budaya hukum terdiri dari dua unsur yaitu: 1. Unsur yang berkaitan dengan nilai hukum keacaraan (procedural legal values). Nilai ini berkaitan dengan sarana-sarana penataan sosial dan pengelolaan perselisihan (conflict management) yang menjadi landasan budaya sistem hukum, dan membantu menentukan “ruang sistem” (system space) yang diberikan kepada lembaga hukum, politik, agama atau lembaga-lembaga lainnya yang berlainan 2. Unsur budaya hukum yang substantif terdiri dari anggapan dasar mengenai distribusi dan penggunaan sumber daya dalam masyarakat, benar dan salah di segi sosial, dan sebagainya; anggapan mana berubahubah dan secara konseptual memerlukan unsur yang dinamis. Persepsi Subyek Hukum terhadap Hukum Selama ini banyak kajian tentang hukum masih menganggap para subjek hukum, baik dari level pembuat hukum, pelaksana, pendukung hingga masyarakat pemangku kepentingan hanya sebagai “subyek” yang pasif yang hanya dapat menerima hukum berdasarkan sifat memaksanya. Dalam kenyataannya, subjek hukum ini merupakan subyek yang aktif, mereka memiliki rationale (alasan) dalam setiap tindakannya, tidak terkecuali dalam tindakan yang menyangkut melaksanakan hukum dalam konteks penegakan hukum. Selama ini kita hanya melihat bagaimana hukum bekerja, tidak 5
Daniel S Lev, 1990, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan, Jakarta: LP3ES, halaman 119-120.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 181
melihat bagaimana hukum kemudian “dipahami”, “diinterpretasikan” hingga “dipergunakan” oleh para subyek hukum ini. Dalam kajian-kajian Socio-Legal Studies, hukum dilihat tidak hanya sebagai struktur yang ada dalam ruang hampa, tapi ada berbagai macam faktor yang mempengaruhi hukum. Subyek hukum, dalam kehidupan sehariharinya akan selalu berusaha “membentuk (reshaping)” hukum sehingga hukum selalu menjadi norma yang hidup (living law). Bumiller 6 menyebutkan bahwa kesadaran tentang hukum (legal consciousness) mempengaruhi perilaku hukum seseorang, tentang bagaimana dia menerima atau menolak hukum tersebut dan bagaimana dia mempergunakan hukum tersebut dalam perilaku hukumnya sehari-hari. Pengetahuan tentang hukum akan mempengaruhi kesadaran hukum masyarakat yang akhirnya membangun perilaku hukum yang diinginkan. Jika perilaku hukum sudah terbangun maka dengan sendirinya budaya hukum (legal culture) terbentuk. Penekanan utama dari pendekatan ini adalah masyarakat, baik individu aparat penegak hukum maupun masyarakat dalam artian yang lebih luas. Jika berdasarkan pada aliran positivistik hukum, hukum dianggap sebagai supra struktur yang memiliki kekuatan mengikat terhadap masyarakat yang diaturnya. Aliran positivistik dalam mendekati hukum dianggap tidak lagi sesuai dengan kebutuhan, terutama dalam rangka menyikapi perubahan masyarakat yang sangat cepat. Simarmata (2006) menangkap setidaknya ada dua kelemahan aliran positivistik dalam pendekatan hukum, yaitu: 1. Bangunan sistem hukum beserta doktrin-doktrin yang menopangnya memang tidak memungkinkan hukum melakukan perubahan sosial atau menghadirkan keadilan substantif; 2. Tercemarnya institusi-institusi hukum karena bekerja sebagai alat kekuasaan sehingga menyebabkan sulitnya menghadirkan tertib hukum seperti yang dijanjikan penganut aliran positivistik hukum. Hukum, berbeda dengan pemikiran aliran positivistik, dalam kenyataannya tidak berada dalam ruang hampa, hukum juga tidak statis dan hukum hidup dan dipengaruhi berbagai “kekuatan” di luar hukum (Muladi, 2007; Simarmata, 2006). Pembentukan hukum tidak semata bersumber pada teks hukum itu sendiri secara normatif atau sebagaimana diungkapkan oleh pelopor aliran sociological jurisprudence, Eugen Erhlich (1862-1922) bahwa:
6
Kristin Bumiller, 1988, The Civil Rights Society, John Hopkins University Press.
182
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
“...the center of the gravity of legal development lies not in legislation, nor in juristic science, nor in judicial decision, but in society it self...”
Masyarakat Sebagai Subyek yang Aktif Membentuk Hukum Masyarakat, baik elit pemerintah daerah, lembaga non departemen maupun masyarakat secara umum, bukanlah merupakan subyek yang pasif dalam menerima hukum, mereka dalam kehidupan sehari-hari akan selalu berusaha “membentuk (reshaping)” hukum sehingga hukum selalu menjadi norma yang hidup (living law). Setidaknya ada beberapa pertimbangan yang akan diambil subyek hukum dalam tindakan yang berhubungan dengan hukum: 1. Pertimbangan pengalaman di masa lalu, baik pengalamannya sendiri maupun pengalaman orang lain yang diketahuinya, misalnya ketika dia pernah melihat orang yang melanggar aturan lalu lintas tidak ada yang mengenakan sanksi karena tidak ada aparat hukum yang mengawasi, maka ada kemungkinan dia akan melakukan hal yang sama, setidaknya sekali atau beberapa kali; 2. Pertimbangan “keuntungan “ atau benefit yang akan dia dapatkan dari tindakannya terhadap hukum (baik itu tindakan melaksanakan, tidak melaksanakan secara pasif, maupun melanggar hukum); 3. Pertimbangan faktor resiko yang akan dia terima kalau dia melakukan suatu tindakan pelanggaran hukum; 4. Terakhir dan yang terpenting dalam kaitannya dengan fokus kajian dalam tulisan ini adalah nilai-nilai budaya lokal yang didasarkan pada adat istiadat atau kebiasaan setempat yang mendukung subyek hukum untuk menaati hukum negara. Dalam kaitan dengan faktor-faktor yang menyebabkan seseorang mematuhi atau tidak mematuhi hukum, Soekanto7 juga telah menyebutkan beberapa faktor yang dapat ditambahkan atas pertimbangan subyek hukum di atas, yaitu: 1. Seseorang patuh terhadap hukum karena identifikasi, yaitu ingin memelihara hubungan baik dengan sesama warga masyarakat atau dengan pemimpin kelompok; 2. Seseorang patuh terhadap hukum karena kepentingan-kepentingannya terpenuhi atau setidaknya terlindungi; 7
Soerjono Soekanto, dan Mustafa Abdullah, 1982, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta: Rajawali, hal. 235-240.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 183
3.
Seseorang patuh terhadap hukum karena penjiwaan dari norma-norma yang dianggapnya sesuai dengan nilai-nilai yang menjadi pegangan masyarakat.
Lebih khusus lagi, dalam kajian sosiologi ada yang dinamakan teori “rational choice” atau teori pilihan rasional. Salah satu pendukung teori ini yaitu Homans8 menyebutkan bahwa: “...in choosing between alternative actions, a person will tend to choose the one for which he perceives the probability of obtaining a particular reward, multiplied by the value of the unit of the reward, is greater. A person’s perception depends on his past experiences of the actions and of the past and present circumstances attending them.”
Namun demikian, tentunya pertimbangan-pertimbangan di atas tidak selalu berlaku sama antara subyek yang satu dengan yang lain, parameter yang digunakan setiap orang berbeda-beda. Selain itu, fenomena sosial juga sifatnya jauh lebih kompleks sehingga kadang pilihan yang diambil tidak dapat dikatakan rasional sama sekali.9 Kajian lain dari Coleman 10 menampilkan sebuah grafik yang menunjukkan bagaimana individu bertindak berdasarkan pengalamannya, pengalaman orang lain atau situasi dan kondisi lingkungan yang mendukungnya untuk melakukan suatu tindakan yang menciptakan situasi sosial tertentu.
8
9 10
Comans, George C, 1987, Behaviourism and After, dalam Giddens, Anthony and Turner, Jonathan (eds), 1987, Social Theory Today, Stanford, Stanford University Press. Comans, 1987: 62 Sebagaimana dikutip dalam Hedstrom,Peter and Stern, Charlotta, 2006, Rational Choice and Sociology.
184
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Gambar 1 Grafik Mikro-Makro Coleman11
Dalam konteks penegakan hukum, jika gambar Coleman tersebut kita modifikasi dan memasukkan sistem hukum maka akan terlihat hubungan sebagaimana berikut. Gambar 2 Modifikasi Grafik Mikro-Makro Coleman
11
Coleman, James, 1986, Social Theory, Social Research and Theory of Action, Chicago: Aldin.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 185
Jika A merupakan pengalaman yang pernah dialami subyek hukum, atau diketahuinya berdasarkan pengalaman, atau kondisi yang memungkinkan suatu tindakan dilakukan, dalam melihat suatu sistem hukum, B sebagai individu akan mempertimbangkan hal ini sebelum melakukan suatu tindakan hukum (C). Tindakan ini jika dilakukan secara terus menerus akan menghasilkan suatu situasi dimana bisa saja hukum dilaksanakan atau justru hukum ditinggalkan. Jika A merupakan kondisi atau pengalaman yang negatif terhadap penegakan hukum, maka probabilitas D sebagai suatu keadaaan hukum juga akan negatif. Salah satu cara untuk meningkatkan pemahaman B tentang sistem hukum adalah melalui partisipasi aktif dalam proses pembuatan dan pelaksanaan hukum. Selain itu peran agen perantara antara sistem hukum, kondisi yang diciptakan atau yang ideal juga bisa disosialisasikan melalui peran agen ini. Agen ini bisa institusi partai politik atau lembaga non pemerintah lainnya. Faktor-faktor Untuk Membangun Budaya Hukum Permasalahan yang paling sering dikemukakan dalam konteks kesadaran hukum, ketaatan hukum maupun budaya hukum masyarakat adalah kurangnya pengetahuan masyarakat atas hukum, kurangnya rasio perbandingan jumlah aparat penegak hukum dengan masyarakat, dan permasalahan lain seperti sanksi yang tidak selalu ditegakkan secara sama untuk kasus yang sama. Budaya taat hukum yang rendah juga seringkali dituding dikarenakan kurangnya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan hukum dan kebijakan. Terakhir dan juga tidak kalah penting adalah bahwa terdapat kecenderungan masyarakat “meniru” perilaku tidak taat hukum yang dilakukan –tidak hanya oleh aparat penegak hukum- tapi juga oleh para pemimpin pemerintahan yang seharusnya menjadi “teladan” bagi pembentukan budaya hukum yang positif di dalam masyarakat. Dengan berdasarkan permasalahan tersebut di atas, rekomendasi yang seringkali diberikan dalam rangka meningkatkan kesadaran dan ketaatan masyarakat atas hukum diantaranya adalah: (1) peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan hukum dan kebijakan; (2) proses sosialisasi aturan hukum yang lebih transparan; (3) proses penegakan hukum harus ditegakkan utamanya terhadap para pemimpin terlebih dahulu, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap hukum dapat meningkat, seiring dengan itu diharapkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan proses penegakannya akan semakin meningkat pula.
186
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Namun, bagian ini akan mencoba memaparkan lebih lanjut mengenai faktor-faktor utama yang diperlukan untuk membangun budaya hukum di dalam masyarakat. a. Faktor Substansi Faktor yang pertama dari faktor substansi atau materi hukum adalah adanya kepastian dan stabilitas materi hukum. Untuk mengukur hal ini dapat dilakukan dengan melihat beberapa indikator diantaranya yaitu: (1) jumlah aturan/materi hukum yang ada dibentuk oleh lembaga yang tepat dan berwenang; (2) apakah suatu materi hukum bersifat pasti atau dapat diprediksi oleh subjek hukum atau tidak; (3) latar belakang paling umum di balik penggantian suatu materi hukum oleh pemerintahan yang baru; (4) apakah aturan dibuat umum atau hanya menguntungkan pihak tertentu saja; (5) seberapa banyak materi hukum yang ada yang dapat/tidak dapat dilaksanakan; (6) sejauh mana materi hukum yang ada tidak menimbulkan multi atau salah tafsir. Selanjutnya, faktor yang kedua adalah konsistensi antar materi hukum yang indikatornya dapat dilihat melalui pengukuran diantaranya terhadap: (1) produk hukum yang dibuat memiliki kesesuaian antara jenis dan materi muatan; (2) aturan/materi hukum yang bertentangan satu dengan yang lainnya yang dikeluarkan oleh satu pemerintahan yang berkuasa (vertikal maupun horizontal); (3) proses harmonisasi aturan hukum yang ada sudah dilakukan (termasuk kesesuaian dengan ideologi negara – terkait hukum peninggalan kolonial). Yang ketiga dari faktor substansi/materi hukum mencakup kedayagunaan dan kehasilgunaan, untuk mengukur hal ini dapat dilakukan dengan melihat beberapa indikator diantaranya adalah: (1) seberapa jauh materi hukum yang ada dapat merespon kebutuhan masyarakat dan aturan hukum yang ada dirasakan kegunaannya bagi masyarakat; (2) apakah prosesnya melibatkan peran serta masyarakat; (3) seberapa banyak aturan yang dikeluarkan merespon secara efektif persoalan (di segala bidang); (4) seberapa banyak materi hukum yang didorong dari bawah (bottom up) sebagai bentuk partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Faktor yang terakhir dari faktor substansi/materi hukum ini adalah respon pemerintah terhadap persoalan kontemporer mencakup jawaban atas permasalahan mengenai sebeerapa banyak aturan hukum yang dikeluarkan memiliki sifat antisipatif terhadap munculnya konflik, atau justu berapa banyak aturan hukum yang dikeluarkan menimbulkan konflik struktural (antar lembaga) maupun di tingkat masyarakat (grass root).
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 187
Salah satu faktor yang paling penting dari segi substansi dalam rangka membangun budaya hukum adalah kesesuaian substansi hukum dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Ketika secara substansi hukum yang tertulis dan diundangkan oleh negara merupakan hasil rumusan dan “perasan” dari nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, maka kecenderungan masyarakat untuk mematuhi hukum akan jauh lebih tinggi. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang diatur di dalam aturan hukum adalah juga merupakan nilai-nilai yang sama yang ada di dalam pemahaman dan perilaku hukum mereka dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini merupakan pengjawantahan dari konsep idealnya Eugen Erhlich tentang living law yang kemudian dijadikan state law sehingga tingkat resistensi masyarakat dapat ditekan. Permasalahan utama dalam konteks negara Indonesia adalah keberagaman nilai-nilai budaya lokal untuk dapat dijadikan sebagai sebuah “nilai nasional” yang sangat variatif, meskipun memiliki kesamaan dalam satu dan lain hal. Proses “memeras” persamaan ini untuk dijadikan sebuah nilai yang sifatnya “universal” dalam konteks negara Indonesia ini yang memerlukan pemikiran dan usaha yang keras. Faktor yang kedua dalam konteks membangun budaya hukum adalah substansi hukum yang ada sudah seharusnya memiliki mekanisme pemberian “sanksi dan penghargaan” atau lebih terkenal dengan ungkapan carrot and stick. Jadi materi hukum tidak melulu berisi “sanksi” tapi juga perlu dipikirkan untuk memasukkan “penghargaan” atau “reward” bagi individu-individu yang memiliki semangat dan terbukti ikut serta secara aktif dalam proses penegakan hukum. Sosialisasi dan tingkat partisipasi masyarakat terhadap hukum, baik dari segi substansi (pembuatan hukum dan kebijakan) maupun dalam hal prosedur hukum, memiliki korelasi positif dengan tingkat ketaatan masyarakat terhadap hukum. Semakin tinggi tingkat sosialisasi aturan hukum yang dilakukan pemerintah dan semakin besarnya tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan dan penegakan hukum, maka tingkat kesadaran hukum masyarakat akan semakin tinggi. Inti pemikiran dari hal ini adalah membangun rasa tanggung jawab bersama di dalam masingmasing individu masyarakat dan juga penegak hukum, untuk menanamkan kesadaran bahwa menjaga ketertiban hukum adalah tanggung jawab bersama, tidak semata-mata tanggung jawab aparat penegak hukum. Namun tentunya, dalam logika masyarakat, hanya hukum yang memiliki “wibawa” lah yang bisa diikuti. Untuk memiliki wibawa ini, maka proses pembuatan materi peraturan perundang-undangan harus memenuhi kaidahkaidah pembentukan hukum yang ideal sebagaimana ditunjukkan dalam
188
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
indikator penegakan hukum di bidang substansi/materi hukum dalam pembahasan sebelumnya. b. Faktor Kelembagaan Faktor kelembagaan/struktur hukum ini mencakup setidaknya tiga faktor yang harus dipenuhi, yang pertama adalah faktor independensi lembaga penegak hukum, yang mana faktor ini dapat dilihat melalui beberapa indikator, diantaranya adalah: (1) secara substansi, sejauh mana lembaga penegak hukum independen dalam melaksanakan tugasnya; (2) berapa banyak kasus intervensi dalam pelaksanaan penegakan hukum oleh lembaga yang bersangkutan. Faktor yang kedua adalah adanya transparansi dari lembaga penegak hukum diantaranya dapat dilihat melalui: (1) sejauh mana informasi yang berkaitan dengan lembaga penegak hukum dapat diakses oleh masyarakat umum; (2) sejauh mana upaya pemerintah yang berkuasa mendorong transparansi lembaga. Faktor yang terakhir adalah adanya mekanisme kontrol/pengawasan yang jelas yang dapat dilihat diantaranya melalui indikator-indikator: (1) keberadaan dan efektifitas mekanisme kontrol atau pengawasan (baik internal maupun eksternal) terhadap lembaga penegak hukum; (2) upaya pemerintah untuk mendorong (memperketat) atau bahkan memperlemah kontrol/pengawasan terhadap lembaga penegak hukum; (3) mengukur efektivitas mekanisme sanksi atas pelanggaran atau penyalahgunaan wewenang. Melihat faktor kelembagaan dalam proses membangun budaya hukum yang positif salah satu hal yang penting untuk diperhatikan adalah seberapa besar/layak aparat penegak hukum mendapatkan ‘penghargaan’ atas kerjanya. Hal ini tentunya dikaitkan dengan penghasilan (gaji) atau penghargaan lain apabila dia berhasil melaksanakan tugasnya. Tingkat penghasilan yang layak akan memunculkan perasaan kepuasan dalam melakukan pekerjaan karena secara kebutuhan dasar sudah terpenuhi. Hal ini juga untuk mengurangi tingkat korupsi atau suap yang diterima aparat penegak hukum. Tentunya, sanksi yang tegas pun perlu diterapkan terhadap aparat yang melanggar aturan ataupun kode etik dalam tugasnya. Selain faktor penghasilan, sarana pendukung lainnya dalam konteks menjalankan tugas penegakan hukum juga harus diperhatikan. Misalnya penyediaan peralatan yang memadai maupun penggunaan teknologi untuk semakin memudahkan tugas para aparat penegak hukum. Sarana dan prasarana ini juga diperlukan untuk memudahkan koordinasi antar lembaga
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 189
atau institusi penegak hukum sehingga tidak terjadi tumpang tindih/ overlapping kewenangan antara yang satu dengan yang lainnya. Terakhir yang juga penting adalah adanya pengawasan/kontrol terhadap kinerja lembaga atau institusi penegak hukum ini, baik yang dilakukan secara internal dan eksternal. Pengawasan eksternal bisa dilakukan oleh lembaga lain yang memiliki kewenangan khusus (misalnya BPK untuk pengawasan keuangan atau penggunaan anggaran, komisi-komisi negara untuk pengawasan kinerja seperti Komisi Yudisial, Komis Kejaksaan, Komisi Kepolisian dan lain sebagainya), maupun oleh masyarakat secara lebih luas (dapat melalui lembaga non pemerintah atau LSM, maupun individuindividu masyarakat yang merasa berkepentingan melakukan pengawasan terhadap kinerja lembaga/institusi penegak hukum ini). c. Faktor Budaya Hukum Faktor pertama dan terpenting dalam proses membangun budaya hukum ini adalah partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum. Faktor ini dapat dilihat melalui indikator-indikator diantaranya yaitu: (1) keberadaan dan efektifitas partisipasi masyarakat; (2) partisipasi masyarakat dalam kebijakan lokal; dan (3) tingkat pengetahuan masyarakat atas substansi hukum. Indikator yang pertama perlu melihat seberapa banyak aturan hukum yang dikeluarkan pemerintah tertentu yang mendorong partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum. Dalam hukum kita, partisipasi masyarakat secara substantif memang sangat didorong, terbukti dengan dimasukkannya sub-bab Partisipasi Masyarakat dalam beberapa peraturan perundang-undangan.12 Dalam konteks partisipasi ini, diperlukan suatu upaya timbal baik antara pemerintah dan masyarakat. Upaya pemerintah dilakukan dengan melindungi partisipasi dalam substansi peraturan dan juga secara riil mendorong masyarakat untuk membuat kebijakan lokal yang berorientasi pada kesepakatan masyarakat yang bertujuan untuk memberdayakan mereka. Partisipasi dalam pembentukan kebijakan lokal hanyalah salah satu cara diantara banyak cara untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat atas materi hukum (baik umum maupun khusus). Cara lain, selain dengan sosialisasi aktif dari pemerintah dapat juga dilakukan oleh lembaga-lembaga non pemerintah atau organisasi-organisasi 12
Misalnya dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, UU No. 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, dan masih banyak lagi.
190
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
kemasyarakatan dan keagamaan yang dekat dengan kehidupan masyarakat. Tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan substansi hukum merupakan salah satu faktor pendorong terbangunnya budaya hukum di dalam masyarakat. Secara lebih spesifik, partisipasi masyarakat dalam proses penegakan hukum juga mencakup tingkat partisipasi masyarakat dalam mengajukan pembatalan peraturan yang dinilai bertentangan dengan ideologi dan visi misi reformasi melalui mekanisme yang ada, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung; juga meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melaporkan atau mengadukan melalui aparat penegak hukum dan atau komisi negara yang terkait, orang yang diduga pelaku tindak pidana dan atau peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana; dan partisipasi masyarakat melaporkan atau mengadukan aparat penegak hukum atau pejabat negara yang diduga melanggar hukum melalui aparat penegak hukum dan atau komisi negara yang terkait. Selain menyediakan substansi dan mekanisme secara formal dalam struktur hukum yang ada, pemerintah juga harus menghormati mekanismemekanisme penyelesaian sengketa informal, ataupun substansi-substansi hukum adat (tentunya yang tidak bertentangan dengan hak asasi manusia) yang ada dan hidup dalam masyarakat. Seringkali penegasian pemerintah atau negara terhadap hukum di luar negara ini menjadi faktor resistensi masyarakat terhadap proses penegakan hukum. Harmonisasi antara nilainilai positif dalam masyarakat dengan hukum tertulis merupakan suatu keharusan. Terkait erat dengan penghormatan terhadap hukum yang berlaku dalam masyarakat, dalam hal ini adalah hukum adat, Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta 14-17 Januari 1975 menyimpulkan bahwa (MA, 1980): 1. Hukum adat merupakan salah satu sumber penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang menuju pada unifikasi hukum dan yang terutama akan dilakukan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan dengan tidak mengabaikan timbul/ tumbuh berkembangnua hukum kebiasaan dan pengadilan dalam pembinaan hukum; 2. Pengambilan bahan-bahan dari hukum adat dalam penyusunan hukum nasional pada dasarnya berarti: a. Penggunaan konsepsi-konsepsi dan azas-azas hukum dari hukum adat untuk dirumuskan dalam norma-norma hukum yangg memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini dan mendatang, dalam
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 191
3.
rangka membangun masyarakat yang adil, makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; b. Penggunaan lembaga-lembaga hukum adat yang dimordenisir dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman, tanpa menghilangkan ciri dan sifat-sifat kepribadian Indonesianya; c. Memasukkan konsep-konsep dan azas-azas hukum adat ke dalam lembaga-lembaga hukum baru, dan lembaga-lembaga hukum dari hukum asing yang dipergunakan untuk memperkaya dan meperkembangkan hhukum nasional, agar tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Di dalam pembinaan hukum harta kekayaan nasional, adat merupakan salah satu unsur, sedangkan di dalam pembinaan hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan nasional merupakan intinya (MA, 1980: 14).
Dengan mempertimbangkan hasil seminar nasional yang melibatkan berbagai unsur adat dari seluruh Indonesia dan ahli-ahli hukum di Indonesia ini, Mahkamah Agung kemudian membuat pedoman batas pemberlakuan hukum adat dalam konteks hukum nasional diantaranya adalah (MA, 1980: 15): (1) hukum adat (melalui Perundang-undangan, putusan hakim dan ilmu hukum) dibina ke arah hukum nasional secara hati-hati; (2) hukum perdata nasional hendaknya merupakan hukum kesatuan bagi seluruh rakyat Indonesia dan diatur dalam undang-undang yang bersifat luwes yang bersumber pada azas-azas dan jiwa hukum adat; (3) kodifikasi dan unifikasi hukum dengan menggunakan bahan-bahan dari hukum adat hendaknya dibatasi pada bidang-bidang dan hal-hal yang sudah mungkin dilaksanakan pada tingkat nasional. Bidang-bidang hukum yang diatur hukum adat yang bercorak lokal masih diakui sepanjang tidak bertentanggan dengan Pancasila dan UUD 1945 namun hendaknya dibina ke arah unifikasi hukum; (4) agar segera diadakan kegiatan-kegiatan unifikasi hukum harta kekayaan adat yang tidak erat hubungannya dengan kehidupan spirituil dan hukum harta kekayaan barat, dan perundang-undangan sehingga terbentuknya hukum harta kekayaan nasional; (5) agar dalam mengikhtiarkan pengarahan hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan kepada unifikasi hukum nasional, dilakukan melalui lembaga peradilan; dan (6) hendaknya dibuatkan undang-undang yang mengandung azas-azas pokok hukum perundang-undangan yang dapat mengatur politik hukum termasuk kedudukan hukum adat.
192
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
d. Persepsi Aktor Subyek Hukum terhadap Substansi dan Institusi Hukum Seringkali individu (baik aparat penegak hukum maupun masyarakat secara lebih luas) bertanya, “Apa yang saya dapatkan jika menaati hukum?” atau “Mana yang lebih menguntungkan (dari segi biaya maupun waktu) antara menaati hukum dan tidak menaati hukum?”. Hal ini tidak dapat dipungkiri, karena dalam teori “rational choice” setiap individu selalu memiliki pilihan dalam melakukan perbuatan tertentu, apakah itu didasarkan pada norma agama, norma adat, atau hanya didasarkan pada faktor untung-rugi (lebih bersifat ekonomi) dari suatu perbuatan. Pertimbangan-pertimbangan yang ada di balik suatu tindakan seringkali yang menjadi faktor menentukan seseorang menaati atau melanggar hukum. Faktor ekonomi (untung-rugi) memang seringkali menjadi faktor utama, apalagi jika dikaitkan dengan situasi perekonomian Indonesia yang masih belum stabil. Keuntungan yang didapatkan dari menerima uang suap atau korupsi di benak individu aparat penegak hukum mungkin mengalahkan pemikiran mengenai sanksi hukum karena memang proses pengawasan dan penegakan sanksi yang masih lemah. Di dalam benak individu pemberi suap misalnya yang dipikirkan mungkin bahwa memberi suap akan jauh lebih menguntungkan dari segi biaya dan waktu karena suatu proses bisa jadi lebih cepat. Tentunya tidak sesederhana itu kita melihat persepsi aktor subyek hukum terhadap hukum, ada banyak faktor lain yang bisa setidaknya diketahui dalam proses membangun kesadaran hukum masyarakat ini. Tingkat kepercayaan terhadap lembaga atau institusi hukum juga misalnya memiliki pengaruh yang sangat penting dalam proses pembentukan persepsi subyek hukum ini terhadap hukum. Pertanyaan yang ada di benak subyek hukum kebanyakan adalah, “Apa yang saya lihat, dengar, rasakan atau ketahui jika berurusan dengan institusi hukum?”. Apakah berurusan dengan institusi hukum akan menguntungkan kepentingannya ataukah justru akan membawa kerugian bagi kepentingannya juga menjadi faktor yang penting dalam hal ini. Wibawa lembaga atau institusi hukum menjadi hal yang pertama dilihat oleh masyarakat yang menjadi subyek hukum sebelum berurusan dengan hukum (substansi atau materi). Semakin tinggi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga atau institusi hukum, seharusnya akan memiliki korelasi positif terhadap meningkatnya kesadaran hukum yang akan membentuk perilaku hukum posisif. Setelah perilaku hukum terbangun maka dengan sendirinya budaya hukum yang positif pun akan terbangun di
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 193
dalam masyarakat sehingga tercipta suatu masyarakat yang tertib hukum dan harmonis. Penutup Selama ini pendekatan yang digunakan dalam proses reformasi hukum masih menitikberatkan pada pembangunan substansi dan institusi hukum, dan masih meninggalkan proses pembangunan budaya hukum sebagai core dari proses penegakan hukum itu sendiri. Oleh karena itu, reformasi dalam rangka menegakkan supremasi hukum di Indonesia masih banyak menghadapi kendala, karena para persepsi maupun sifat aktif dari para subyek hukum itu sendiri, dalam menegakkan hukum, masih seringkali dinegasikan. Telah dikatakan dalam pembahasan sebelumnya bahwa partisipasi dari subyek hukum ini menjadi penting untuk menjadikan hukum sebagai bagian dari subyek hukum itu sendiri, bukan sekedar produk yang tidak memiliki arti bagi mereka atau membuat para subyek pada akhirnya hanya sebagai outsider dari hukum itu sendiri. Penegakan hukum harus dimulai dari memahami para subyek hukumnya, permasalahan dan hambatan yang dihadapinya, sehingga semua dapat dipetakan dengan jelas. Ketika pemetaan subyek hukum ini sudah jelas, maka diharapkan cara pemecahan masalah yang berkaitan dengan bagaimana mereka menegakkan hukum pun dapat ditemukan. Yang terpenting untuk diingat adalah bahwa hukum senantiasa hidup dalam masyarakat, hukum tidak statis, hukum dibentuk tidak hanya dalam kata per kata undang-undang tapi juga dalam kenyataan sehari-hari atau dengan kata lain hukum diharapkan menjadi budaya positif yang terbentuk di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di negara ini. Hal ini juga penting dalam rangka membangun budaya hukum yang mendukung proses penegakan hukum. Budaya hukum disini baru akan terbentuk ketika perilaku yang bersumber dari hukum yang positif (yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, baik yang berasal dari hukum negara maupun hukum kebiasaan yang positif) senantiasa menjadi sebuah perilaku keseharian para subyek hukum. Pada awalnya tentu perilaku ini dapat dibentuk berdasarkan pada sanksi dan norma yang ada di dalam hukum itu sendiri, namun juga dapat dengan mengintegrasikan antara hukum negara yang sifatnya tertulis dengan norma-norma budaya hukum positif yang diterapkan di dalam masyarakat sehari-hari.
194
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
REFERENSI Comans, George C, 1987, Behaviourism and After, dalam Giddens, Anthony and Turner, Jonathan (eds), 1987, Social Theory Today, Stanford, Stanford University Press. Daniel S Lev, 1990, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan, Jakarta: LP3ES, halaman 119-120. James Coleman, 1986, Social Theory, Social Research and Theory of Action, Chicago: Aldin. James C. Scott, 2000, Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts, New Haven and London: Yale University Press. Kristin Bumiller, 1988, The Civil Rights Society, John Hopkins University Press. Mahkamah Agung, 1980, Penelitian Hukum Adat tentang Warisan di Wilayah Pengadilan Tinggi Padang, Proyek Penelitian Hukum Adat Mahkamah Agung. Muladi, Prof. Dr., 2007, Keynote Speech dalam Seminar Memperbaiki Kualitas Pembuatan Undang-undang di Indonesia, Hotel Niko, Februari 2007, diselenggarakan oleh The Habibie Center bekerja sama dengan Hanns Seidel Foundation. Peter Hedstrom and Charlotta Stern, 2006, Rational Choice and Sociology. Sally F Moore dalam Djaka Soehendra, 2006, Dukungan Kajian Ilmu-ilmu Sosial untuk Telaah Ilmu Hukum, Jurnal Law, Society and Development, Volume 1, Desember 2006 – Maret 2007. Soerjono Soekanto, dan Mustafa Abdullah, 1982, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta: Rajawali.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 195
Otonomi Daerah: Moratorium Pemekaran Pemerintahan Daerah Sulthon Sjahril Sabaruddin
Pemekaran Pemerintahan Daerah telah berkembang pesat semenjak DPR mensahkan UU. No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada tanggal 7 Mei 1999. Pada tahun 2001, Indonesia telah memasuki era Otonomi Daerah (Otoda). Sejak periode tersebut, kabupaten/kota terus meningkat jumlahnya dan pemerintah kewalahan menanganinya. Sejak era reformasi, telah ada tujuh provinsi baru dan jika dilihat dari tingkat provinsi maupun kabupaten/kota maka setidaknya sudah ada 173 daerah otonom baru hasil pemekaran. Dengan adanya Otoda, di era reformasi pemerintah daerah bukan lagi berperan sebagai administrator pelaksana misi pemerintah pusat tetapi justru menjadi ujung tombak dalam penyelenggaraan persoalan publik lokal. Di satu sisi, pemekaran ini mempunyai tujuan mulia yakni dari sisi ekonomi agar tercapainya efisiensi, keadilan, dan kemandirian. Sedangkan dari sisi politik, untuk meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia dan mencegah munculnya tuntutan separatisme. Tetapi dibalik tujuan mulia tersebut, pemekaran ini juga menyebabkan munculnya tantangan-tantangan baru bagi pemerintah maupun masyarakat. Dari sudut politik, munculnya kepentingan elit politik daerah demi memperoleh kekuasaan, dan dari sudut pandang ekonomi, terjadinya inefisiensi dalam produksi dan alokasi sumber daya ekonomi lokal. Saat ini pemerintah pusat kewalahan dan tak berdaya mengambil sikap dan DPR sendiri cenderung berupaya untuk tetap mensahkan pembentukan daerah otonom ini. Baru-baru ini, Pemerintah Pusat melakukan moratorium pemekaran guna menurunkan laju pertumbuhan pemekaran daerah. Tetapi ternyata, langkah pemerintah ini tetap menerima berbagai tantangan-tantangan baru.
Pendahuluan Pembangunan ekonomi merupakan salah satu tujuan penting di negeri ini. Bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi berbagai masalah sosial
196
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
dan ekonomi yang diantaranya: tingkat kemiskinan yang relatif tinggi serta adanya ketimpangan pendapatan yang besar antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pada masa reformasi ini, rakyat menuntut demokratisasi politik dan ekonomi dan salah satu agenda reformasi ini adalah perubahan sistem pemerintahan dari yang bersifat sentralistik menjadi sistem pemerintahan yang desentralistik. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1999 Pemerintahan B.J. Habibie menyetujui UU. Tentang Otonomi Daerah. Maka pada tahun 2001, sejak disahkannya oleh DPR pada tanggal 7 Mei 1999 UU. No.22/ 1999 tentang pemerintahan daerah (Pemda), Indonesia telah mulai memasuki era baru dalam pemerintahan yakni adanya otonomi daerah (Otoda). Sejak diratifikasi UU. No.22/1999, banyak Pemda baru (kabupaten/kotamadya) telah dibentuk dan diajukan. Dari tahun 1999 sampai 2007, ada sekitar 165 Pemda baru yang dibentuk dan diajukan oleh pemerintah dan DPR1. Bahkan menurut Inno Jemabut (2008) setidaknya telah ada 173 daerah otonom baru hasil pemekaran sejak tahun 1999 silam (Lihat Lampiran A Tentang Pemekaran Provinsi Kabupaten dan Kota). Tahun 2008 sendiri, DPR telah menyetujui 212 RUU Usul Inisiatif Anggota DPR tentang pembentukan provinsi, kabupaten dan kota (Sekjen DPR RI 2008). Jumlah ini signifikan dan akan membawa tantangan-tantangan baru di negeri ini. Dengan banyaknya pemekaran yang tidak dapat terkontrol dan banyak pemekaran wilayah yang tidak sesuai dengan tujuan efisiensi, keadilan dan kemandirian daerah, maka pada bulan Pebruari 2008 yang lalu, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menunda pemekaran daerah (melakukan moratorium). 1
2
Made Suwandi (2008), “Proliferation of Local Government: Within the Corridor of Law 32/2004”, Jakarta. RUU Usul Inisiatif Anggota DPR tentang pembentukan Provisi, Kabupaten dan Kota yaitu pembentukan Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Selatan, Provinsi Kalimantan Utara, Kabupaten Manokwari Selatan di Provinsi Papua Barat, Kabupaten Pegunungan Arfak di Provinsi Papua Barat, Kabupaten Grime Nawa di Provinsi Papua, Kabupaten Pesisir Barat di Provinsi Lampung, Kabupaten Banggai Laut di Provinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Morowali Utara di Provinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Kolaka Timur di Provinsi Sulawesi Tenggara, Kabupaten Muna Barat di Provinsi Sulawesi Tenggara, pembentukan Kota Raha di Provinsi Sulawesi Tenggara, Kabupaten Musi Rawas di Provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir di Provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Rokan Darussalam di Provinsi Riau, pembentukan Provinsi Aceh Barat Selatan, Provinsi Aceh Leuser Antara, Provinsi Papua Barat, Provinsi Papua Barat Daya, Provinsi Sulawesi Timur, dan pembentukan Kabupaten Mamuju Tengah di Provinsi Sulawesi Barat.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 197
Proses Perjalanan Sejarah Pemekaran dan Tantangan Baru Sistem pemerintahan dan pembangunan ekonomi Indonesia telah mengalami banyak perubahan. Pada zaman Orde Baru (Orba) Indonesia menganut sistem sentralisasi sejak disahkannya UU Nomor 5 tahun 1974. Ketika itu, tujuan utama lebih condong meningkatkan efisiensi guna mendongkrak pertumbuhan ekonomi ketimbang keadilan sosial dan pemerataan pendapatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sejak tahun 1974 hingga tumbangnya rezim Orba pada tahun 1998, pembangunan ekonomi Indonesia sangat tersentralisasi. Pada era reformasi, saat rakyat Indonesia menuntut untuk mendapat hak kebebasan, hak demokrasi mereka pada tahun 2001, diratifikasi UU. No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU. No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Sejak itu Indonesia telah mengalami perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik dimana sistem pemerintahan desentralisasi ini lebih berorientasi untuk mencapai tujuan kemandirian daerah dan keadilan daripada efisiensi. Ada dua faktor penting yang mendorong munculnya sistem pemerintahan desentralisasi. Pertama, negara ini memiliki wilayah yang luas dengan jumlah penduduk yang besar, keanekaragaman budaya, serta aspirasi politik yang berlainan di setiap daerah yang tentu sangat sulit jika dikelola dengan sistem pemerintahan yang sentralistik. Kedua, desentralisasi merupakan salah satu dari agenda reformasi untuk mengeliminasi sistem yang tidak memenuhi tuntutan demokrasi, termasuk sistem pemerintahan yang sentralistis. Berikut adalah rangkuman tabel perbedaan dasar antara UU No.5/1974 dan UU No.22/1999 serta gambaran umum tentang perbedaan sistem pemerintahan sentralisasi dan desentralisasi: Tabel 1 Perbedaan Dasar UU No. 5/1974 dan UU No. 22/1999 No. Aspek 1. Nama UU & Asas yang Digunakan.
UU NO.5/1974
UU NO.22/1999
Disebut UU tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah didasarkan kepada asas desentralisasi. dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Kepala Daerah merangkap Kepala wilayah.
Disebut UU tentang Pemerintahan Daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan berdasarkan ketiga asas yang mengarah pada prinsip devolusi. Tidak ada lagi Kepa1a Daerah yang merangkap Kepala Wilayah, sebagai kepanjangan tangan dari pusat.
198
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
2. Model Structural Efficiency Model yang penye1enggaraan menekanan persatuan dan kesatuan Desentralisasi nasional dan cenderung mengabaikan nilai-nilai lokal serta nilai-nilai demokrasi, dengan alasan menjamin efisiensi dan kemajuan ekonomi.
Local Democratic Model yang menenekankan nilai-nilai lokal dan demokratik serta menghargai perbedaan dan keanekaragaman.
3. Penekanan definisi ‘Otonomi Daerah’
Ada1ah pada penyerahan urusan kepada lembaga pemerintah daerah yang di beri hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan men gurus rumah tangganya sendiri.
Lebih berorientasi kepada masyarakat, kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri.
4. Status Daerah Otonom
Titik berat otonomi pada Dati II, namun Dati I tetap berstatus daerah otonom yang utuh. Daerah otonom merangkap sebagai daerah admi nistrasi
Otonomi yang luas dan utuh pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. dan tidak merangkap sebagai daerah administrasi.
5. Hubungan antar Dati I dan Dati II
Terdapat hubungan hirarkis antara Dati Tidak ada hubungan hirarkis I dan Dati II melalui jalur “Kepala maupun subordinatif antara daerahWilayah” daerah otonam.
6. Kedudukan Badan Legislatif
Fungsi eksekutif dan fungsi legislatif tercampur aduk karena kedudukan Kepala Daerah yang merangkap Kepala Wilayah.
Fungsi eksekutif dan fungsi legislatif dipisahkan secara tegas yaitu Kepala Daerah sebagai fungsi eksekutif dan DPRD sebagai fungsi legislatif. Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD.
7. Prinsip Pembiayaan Pengeluaran
Function Follows Finance, jadi tergantung dari pemberian Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan INPRES dari Pusat.
Finance Follows Function. fungsi fungsi pengeluaran Daerah terdefinisi dengan jelas yaitu PU, kesehatan. pendidikan, perhubungan industri dan perdagangan, penanaman modal lingkungan hidup, pertanahan,koperasi dan tenaga kerja.
Sumber: Puspa Delima Amri (2000), “Dampak Ekonomi dan Politik UU No.22 dan 25 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah”, Centre for Strategic and International Studies. UU. No.22/1999 tentang Otonomi Daerah memberi kesempatan bagi daerah yang merasa diperlakukan tidak adil terutama dari distribusi pendapatan, telah memicu daerah tersebut membentuk daerah baru dan
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 199
berpisah dari induknya. Selama Orde Baru, daerah yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah tidak menikmati keuntungan karena pajaknya dialokasikan ke pemerintah pusat. Data menunjukkan bahwa 90% penerimaan pajak dan non-pajak untuk pusat sedangkan pemerintah daerah hanya memperoleh 10% saja3. Walaupun demikian sayangnya, kesempatan pemekaran ini justru membuat tantangan baru dari berbagai dimensi bagi pemerintah dan masyarakat. Sampai kini, pemekaran pemerintahan daerah cenderung lebih banyak menyebabkan bengkaknya biaya daripada keuntungan. Misalnya, terjadinya peningkatan biaya overhead, biaya birokrasi, dan menyebabkan terbatasnya dana yang diperlukan untuk meningkatkan capacity building di masing-masing daerah. Dengan terbatasnya dana tersebut, maka akan sulit bagi pemda untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat setempat. Juga, pada umumnya daerah yang memiliki potensi lebih besar akan lebih mampu meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat lokal sedangkan daerah yang memiliki potensi yang lebih kecil akan lebih sulit meningkatkan kesejahteraan hidupnya, bahkan sebagian mengalami kemunduran. Hal ini akan membuat ketimpangan pendapatan antara daerah yang memiliki sumber daya alam berlimpah dengan daerah yang memiliki kekurangan sumber daya alam. Gambar 1: Sentralisasi versus Desentralisasi. Sumber: Made Suwandi, “Proliferation of Local Government: Within the Corridor of Law 32/2004”, Jakarta.
3
Hadi Soesastro, “Regional Autonomy: Economic Dimensions and Issues” Unpublished paper.
200
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Tujuan Mulia Pemekaran Di Indonesia, pembangunan daerah dapat didefinisikan sebagai bentuk semua kegiatan pembangunan baik yang berurusan dengan rumah tangga daerah maupun yang tidak termasuk, meliputi berbagai sumber pembiayaan, baik yang bersumber dari Pemerintah (APBD dan APBN) maupun yang bersumber dari masyarakat4. Dan salah satu cara untuk mempercepat pembangunan daerah adalah dengan mewujudkan pemekaran daerah secara baik serta terkontrol. Pada dasarnya, pemekaran ini bertujuan untuk mendapatkan keadilan dan pemerataan dengan cara meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mempercepat ekonomi pembangunan, mempercepat proses demokrasi, meningkatkan pelayanan publik dan pada waktu yang bersamaan dengan membawa pemda yang baru untuk lebih dekat dengan rakyat. Dari sisi politik, tujuan pemekaran adalah untuk mengakhiri sistem sentralisasi serta mempercepat tuntutan proses demokratisasi melalui sistem desentralisasi. Desentralisasi adalah penciptaan badan yang terpisah oleh aturan hukum dari pemerintah pusat, dimana pemerintah daerah diberi kekuasaan untuk mengelola sumber daya daerah dan membuat keputusan persoalan publik. Di sini basis politiknya berada pada tingkat daerah bukan tingkat nasional. Pemerintah daerah diberi hak untuk membuat keputusan yang diperkuat oleh undangundang dan hanya dapat dirubah melalui legislasi baru (Mawhood 1983, hal.2). Untuk konteks negeri ini, dengan jumlah penduduk yang besar, wilayah yang luas serta beragamnya kultur masyarakat Indonesia sangat sulit ditangani dengan regime sentralistik, sehingga desentralisasi menjadi alternatif yang paling tepat. Diharapkan dengan adanya otonomi daerah ini, pemerintah daerah dapat menciptakan kebijakan yang lebih sesuai dengan situasi wilayah masing-masing. Pemekaran pemerintahan daerah diharapkan akan lebih mensejahterakan daerah yang mempunyai sumber daya alam berlimpah, namun pemerintah pusat juga siap membantu daerah yang kekurangan sumber daya alam dengan Dana Perimbangan5. Berikut adalah tabel Bagi Hasil Pajak dan Kekayaan Alam:
4
5
Kunarjo (1992, p. 132), in: Lembaga Administrasi Negara (2004), “Evaluasi Kinerja Pembangunan Pra dan Pasca Pembangunan Daerah”, Bandung. Dana Perimbangan terdiri dari: Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Bagi Hasil Pajak Bumi dan Pembangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta Kekayaan Alam.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 201
Tabel 2. Bagi Hasil Pajak dan Kekayaan Alam (Dalam Persentase)
Sumber: Puspa Delima Amri (2000), “Dampak Ekonomi dan Politik UU No.22 dan 25 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah”, Centre for Strategic and International Studies, Jakarta. Alasan politis lainnya adalah upaya kepentingan pemerintah pusat untuk mencegah tuntutan separatisme terutama muncul akibat dari ketimpangan pendapatan daerah sehingga mengakibatkan pudarnya rasa nasionalisme di wilayah tersebut. Sebagai contoh, Provinsi Irian Jaya Barat yang dimekarkan dari Provinsi Papua adalah semata-mata agenda pemerintah pusat untuk melawan separatisme di provinsi paling timur di Indonesia (Irman et al 2006, p.116). Contoh lain adalah upaya pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara dan Aceh Barat Selatan untuk menangani masalah separatisme yang ditengarai oleh Gerakan Aceh Merdeka (Tengku 2008). Dari sisi ekonomi, manfaat pemekaran tersebut adalah: pertama, untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah yakni dengan meningkatnya jumlah lapangan kerja serta meningkatnya kesejahteraan rakyat daerah. Diharapkan, kesempatan yang diberikan kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya alamnya, rakyat dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi serta memperoleh keadilan dan pemerataan pendapatan. Kedua, dengan melakukan desentralisasi fiskal diharapkan dapat mengatasi masalah ketidakefisienan pemerintah yang diukur dari besaran dari biaya transaksi, ketidakstabilan makro ekonomi yang diukur dari tingkat inflasi dan pengangguran daerah, serta kelambanan pertumbuhan ekonomi yang diukur dari PDRB. Ketiga, dengan pemekaran
202
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
ini diharapkan dapat menurunkan level pelayanan masyarakat ke tingkat wilayah administrasi paling bawah sehingga dapat mengelola pembangunan daerah menjadi lebih cepat dan akurat. Kinerja pelayanan sektor publik dapat dilihat dari dua indikator, yakni efisiensi melalui manajemen sumber daya untuk memproduksi output dan efektifitas melalui accessibility, appropriateness, outcomes, dan quality (Dollery dan Wallis, 2001, p.74). Sebagai contoh, kemampuan pemerintah daerah untuk membuat regulasi perizinan yang sederhana dan murah. Dan keempat, dengan otonomi daerah ini diharapkan anggaran daerah dapat mengalir menuju sektor atau masyarakat dengan tepat sasaran sehingga dapat mencapai kegiatan pembangunan daerah yang merata dan tepat di masing-masing daerah. Beberapa indikator untuk mengukur tingkat pemerataan pendapatan antara lain adalah: gini ratio, luas daerah di bawah kurva Lorenz6, dan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Di sini, dapat dilihat bahwa jumlah penduduk miskin di masing-masing daerah merupakan indikator yang paling representatif untuk mengukur kinerja pemerintahan daerah dalam mencapai pemerataan pendapatan di daerahnya masingmasing. Tetapi untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan daerah, tentu harus dilihat bukan dari aspek ekonomi saja, tetapi dari berbagai aspek lainnya. Menurut Lembaga Administrasi Negara7 (2004) untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan daerah dan implementasi kebijakan desentralisasi melalui pemekaran daerah, maka sebaiknya harus dilihat indikator-indikator yang mencakup dari berbagai aspek, misalnya, bidang ekonomi, sosial, sarana dan prasarana dasar, serta keuangan daerah. Model dasar yang dikembangkan oleh lembaga ini adalah sebagai berikut:
6
7
Kurva Lorenz merupakan kurva yang menunjukkan ketimpangan pendapatan antara grup dengan pendapatan tinggi dan grup dengan pendapatan rendah. Ibid.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 203
Tabel 3: Indikator Variabel Kinerja Pembangunan Sumber: Lembaga Administrasi Negara (2004), “Evaluasi Kinerja Pembangunan Pra dan Pasca Pembangunan Daerah”, Bandung.
Berbagai Masalah Baru yang Muncul Akibat Pemekaran Daerah Meskipun pemekaran ini seakan membawa berkah untuk rakyat di masing-masing daerah, tetapi fakta menunjukkan bahwa proses pelaksanaannya tidak konsisten dengan tujuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah (PP) No.129/2000. Pertama, kinerja pemerintah daerah dalam mengalokasikan keuangannya. Pemda diberi fiscal autonomy untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi, tetapi yang terjadi adalah pemborosan biaya. Sebagai contoh, Harian Kompas8 (Pebruari 2008) menyebutkan bahwa di Papua dan Papua Barat sekitar Rp. 5,8 miliar dari APBD hanya digunakan untuk gaji dan tunjungan pegawai negeri sipil (PNS) dan biaya administrasi kantor dan tidak dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat setempat. Di Jawa Timur, misalnya, anggaran di tingkat kabupaten tersita untuk membangun kantor bupati yang megah dimana pada saat bersamaan wilayah tersebut sedang mengalami masalah kelangkaan air bersih dan sedangkan di daerah lainnya, seorang kepala daerah di tingkat kabupaten mengganti mobil dinasnya dengan alasan prestige (Ahmad 2008, p.19). Kedua, di berbagai daerah masih cukup banyak pemda yang berkuasa dengan KKN dan money politics, sehingga bukannya terjadi pemerataan 8
Aryo Wisanggeni G (2008), “72 Persen APBD Papua Habis untuk Membiayai Birokrasi”, Kompas Online, Pebruari. Available from: http://www.kompas.com/ read.php?cnt=.xml.2008.02.09.10005368&channel=1&mn=2&idx=1
204
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
pendapatan tetapi pemerataan KKN sehingga hanya para elit lokal misalnya pegawai negeri sipil dan pihak ke-3 yang menikmati keuntungan dari pemekaran ini. Ditambah lagi, ada beberapa fakta bahwa pemda yang baru berdiri lebih cenderung melakukan praktek-praktek penyalahgunaaan dana daerah. Sejak pemerintah Indonesia mengajukan dua UU tentang desentralisasi, yakni, UU No. 25/1999 dan No. 22/1999 dimana kemudian dikonsolidasikan dengan munculnya UU baru tentang desentralisasi pada Januari 2001, pemda mempunyai otoritas penuh untuk mengelola dan menentukan jumlah dari alokasi anggaran yang dibutuhkan untuk mendukung kemajuan pembangunan setempat. Ini artinya dengan kekuatan baru yang diperkuat dengan UU, pemda sangat rentan terhadap buruknya performa dalam memformulasikan kebijakan APBD dan praktek-praktek korupsi. Sebagai contoh untuk kedua masalah di atas adalah alokasi APBD di provinsi Papua yang digunakan untuk membangun kantor-kantor untuk pejabat daerah, DPRD baru, polisi dan tentara sebagai prioritas tertinggi daripada membangun kapasitas untuk rakyat miskin setempat. Alokasi sumber dana ini pada umumnya hanya menguntungkan para pihak ke-3 dan pemda untuk memperoleh komisi. Seharusnya dana-dana tersebut akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk membangun ketiga infrastruktur misalnya untuk pembangunan jalan raya, sekolah, dan kesehatan. Akibatnya, kesejahteraan rakyat tidak dapat berkembang sementara pelayanan publik buruk dan dinodai dengan maraknya praktek-praktek korupsi. Total kerugian negara akibat tata kelola yang buruk oleh pemerintah mencapai Rp.13,8 triliun (Kompas).9 Ketiga adalah kondisi daerah yang sudah terbiasa di masa Orde Baru dalam hal ketergantungan pada pusat ini, menimbulkan pertanyaan dari berbagai kalangan tentang kesiapan untuk mengelola sumber daya lokal dengan mandiri. Ketidakmampuan pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya serta mengalokasikan secara efisien dan efektif justru akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Di banyak daerah, kualitas SDM masih dominan berpendidikan rendah dan masih lemah dalam entrepreneurship skill-nya. Hal ini dapat dilihat dari Human Development Index (HDI) daerah, dimana terjadi ketimpangan antara HDI di kota-kota besar dengan daerah yang terpelosok dan terbelakang. Hal ini diperburuk dimana di daerah tersebut akses untuk pendidikan perguruan tinggi serta lembaga riset sangat minim, sehingga rakyat sulit untuk mengembangkan kemampuan dan daya saing mereka. 9
Kompas 6 Januari 2007, in: Ahmad Erani Yustika (2008), “Desentralisasi Ekonomi di Indonesia: Kajian Teoritis dan Realitas Empiris”, Bayumedia, Malang, hal. 20.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 205
Keempat, daerah-daerah tidak bisa membangun kemampuan mereka karena perpecahan dan hilangnya sumber daya ekonomi. Untuk kasus ini, sumber dana dibagi untuk daerah masing-masing, yang membuat daerahdaerah tersebut sangat tergantung pada dana yang diberikan oleh pemerintahan pusat. Akibatnya, kemampuan keuangan pemda turun meskipun itu merupakan faktor yang krusial untuk membangun masyarakat lokal. Masalah ini diperbesar karena banyak pemerintah daerah mengalokasikan dana lokal untuk membayar biaya overhead birokrasi dan mencakup sekitar 70 persen dari total anggaran (seperti tercantum di atas), misalnya, di Papua 72 persen dari APBD 2008 hanya dialokasikan untuk biaya birokrasi. Ini artinya, hanya 28 persen dari anggaran yang dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat setempat. Oleh karena itu, pemekaran telah terbukti bahwa ini tidak menyelesaikan sumber masalah, tetapi justru yang terjadi adalah ketidakmerataannya pembangunan ekonomi di masing-masing daerah. Kelima, walaupun strategi pemekaran ini membawa beberapa keuntungan kepada masyarakat, tetapi pada saat bersamaan juga membawa dampak negatif. Beberapa penduduk setempat beruntung untuk mendapatkan pemimpin pemda yang kredibel dan jujur serta menikmati infrastruktur-infrastruktur yang lebih baik. Juga, para pegawai negeri sipil daerah ikut senang karena mereka memperoleh kesempatan untuk mendapatkan promosi dan mendapat akses untuk pembangunan gedung dan fasilitas kantor di pemda-pemda yang baru didirikan. Tetapi di sisi lain, ada pihak yang mengambil kesempatan dari pemekaran sebagai cara untuk menjadi kepala dari empire kecil di pemda. Keenam, pendekatan radikal untuk menjalankan misi desentralisasi, yakni mengubah secara drastis bentuk sentralisasi pengelolaan negara dan melaksanakan dalam waktu singkat. Akibatnya, terjadi ketidakmampuan kapasitas birokrasi daerah dan ketidaklengkapan desain regulasi untuk mengikuti ritme percepatan proses desentralisasi. Ketujuh, pemekaran dapat menyebabkan prioritas pembangunan ekonomi lebih dipengaruhi oleh pemodal terutama dengan kegiatan yang lebih banyak memberikan kontribusi pendapatan daerah, misalnya, pembangunan perumahan mewah dan pusat perbelanjaan. Pemilik modal dapat membeli kebijakan pemda dengan kekuatan uangnya. Pada era sentralisasi, kesanggupan pemodal untuk “membeli” kebijakan relatif sulit karena tingginya harga oleh pemerintah pusat, akan tetapi pada era desentralisasi ini, para pemodal akan lebih mampu “membeli” kebijakan pemda karena harga yang relatif murah diberikan kepada pemerintah daerah padahal, pemerintahan yang efektif umumnya independen dari pengaruh politik dan uang.
206
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Kedelapan, banyak pemekaran wilayah dilaksanakan menurut garis etnis dan bahkan pertimbangan etnisitas (primordial) merupakan salah satu faktor utama. Sebagai contoh, Provinsi Maluku Utara muncul tuntutan masyarakat Halmahera, Ternate, dan Tidore yang sebagian besar merupakan kaum Muslim dengan tujuan memisahkan diri dari Maluku bagian selatan yang berpenduduk mayoritas Kristen (Irman et al 2006, p.105). Demikian juga dengan Provinsi Banten yang memisahkan diri dengan alasan perbedaan etnis dengan Sunda, Jawa Barat. Namun memang tidak semua pemekaran wilayah baik di tingkat kabupaten maupun provinsi selalu dilandasi dengan pertimbangan primordial. Sebagai contoh, Kepulauan Riau yang berpisah dari Riau Daratan yang lebih dipicu oleh egoisme daerah dengan tujuan memiliki sumber daya alam daerah yang melimpah. Dan kesembilan, terjadinya diseconomies of scale atau inefisiensi dalam produksi dan alokasi sebagai akibat dari daerah yang memaksakan diri untuk mekar, sementara daerah tersebut belum mempunyai sumber daya yang memadai guna melakukan produksi barang dan jasa secara efisien dan skala besar (economies of scale). Pada akhirnya, hanya akan banyak perusahaan sejenis dalam skala kecil di daerah tersebut hanya karena motivasi kemandirian. Egoisme daerah, terutama mereka yang memiliki sumber daya alam melimpah, cenderung menuntut peningkatan status Daerah Otonom, seperti Kepulauan Riau yang ingin berpisah dari Riau Daratan. Hal-hal seperti ini dapat mengancam persatuan dan disintegrasi bangsa yang sangat bertentangan dengan maksud semula UU, yakni untuk mencegah disintegrasi bangsa. Moratorium, Penggabungan Daerah dan Revisi Terbatas UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Proses pemekaran yang tidak terkontrol jumlahnya, buruknya pelayanan publik kepada masyarakat setempat, ketidakefisienan dalam mengelola dan megalokasikan keuangan daerah serta maraknya praktekpraktek korupsi di pemerintahan daerah membuat pemerintah pusat memutuskan mengadakan moratorium pemekaran. Diharapkan para politisi akan mulai memberikan perhatian yang lebih kepada masalah kesejahteraan masyarakat daerah daripada memikirkan dirinya sendiri. Moratorium ini paling tidak merupakan salah satu jalan untuk menyelamatkan masyarakat daerah dari kondisi yang lebih buruk. Keputusan pemerintah untuk melakukan moratorium melalui PP No.78/ 2007 yang menggantikan PP No.129/2000 merupakan sinyal yang bagus untuk mengelola masalah-masalah yang muncul dari pemekaran. Tetapi
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 207
bagaimanapun, langkah ini tetap dapat menerima beberapa tantangantantangan, terutama dari DPR yang mempunyai kekuasaan untuk mengajukan UU tanpa veto dari pemerintah. Pada tahun 2006, DPR menerima 39 proposal pemekaran pemerintah daerah. Ditambah lagi, pada tahun yang sama, Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) telah menerima total sejumlah 150 proposal. Angka ini masih meningkat di tahun 2007 dan 2008. Disini dapat dilihat bahwa faktor politis berperan besar dalam memengaruhi dampak dari pemekaran. Tapi bagaimana pun, pemerintah dan DPR telah membuat moratorium pemekaran dan diharapkan kebijakan ini akan membawa pembangunan ekonomi daerah yang sustainable dan dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi untuk masyarakat lokal daripada membuat para elit partai politik lokal menjadi lebih kaya dan kuat. Disisi lain, jika gagasan pemerintah melakukan penggabungan daerah bukan berarti tidak menimbulkan masalah. Penggabungan kabupaten yang bertujuan untuk mencapai efisiensi bisa mendapat pembenaran secara ekonomi, namun secara politik, belum tentu demikian. Penggabungan dua kabupaten akan menimbulkan dinamika conflict of interest yang hebat, yaitu dengan terjadinya perebutan untuk memperoleh kekuasaan yang paling besar. Ditambah lagi bila terdapat perbedaan yang tajam antara komposisi partai politik yang terdapat di DPRD. Kesimpulan dan Saran Sepuluh tahun sudah Indonesia mengalami proses reformasi. Sejak era reformasi, rakyat Indonesia menuntut demokratisasi politik dan ekonomi sebagai bagian dari agenda reformasi. Lahirlah otonomi daerah yang merubah sistem sentralisasi menjadi desentralisasi. Artinya pemerintah daerah tidak lagi menjadi pelaksana misi dari pemerintah pusat tetapi menjadi pengelola dan penyelenggara sumber daya lokal serta membuat keputusan persoalan publik lokal. Desentralisasi yang merupakan salah satu tuntutan rakyat pada era reformasi, disetujui oleh pemerintahan B.J. Habibie pada tanggal 7 Mei 1999. Oleh karena itu, pada tanggal tersebut Otonomi Daerah UU. No.22/1999 tentang pemerintahan daerah (Pemda) disahkan. Dari tahun 1999 sampai 2007, muncul banyak tuntutan baru yang diajukan oleh DPR agar dilakukan pemekaran pemerintahan di daerah. Sehingga muncul tantangan baru yang belum pernah dialami sebelumnya di negeri ini. Pemekaran daerah ini mempunyai tujuan mulia, yakni, agar rakyat memperoleh pemerataan dan keadilan ekonomi dan politik. Sedangkan dari
208
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
sisi politik, rakyat dapat memperoleh hak untuk berdemokrasi dan berpartisipasi dalam pemerintahan lokal. Hingga saat ini, dampak pemekaran ini telah banyak menimbulkan masalah biaya dari pada kesejahteraan rakyat daerah. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia melakukan moratorium dan merevisi UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah guna memuluskan dan mencapai pelaksanaan sistem desentralisasi yang optimal demi kesejahteraan rakyat Republik Indonesia. Pemekaran pemerintahan daerah ini justru mengakibatkan penurunan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, akan sangat penting untuk tidak hanya memekarkan pemerintahan daerah tetapi pemerintah harus menentukan jumlah pemda yang optimal yang dibutuhkan untuk mengelola daerah masing-masing supaya pembangunan ekonomi di daerah dapat dimaksimalkan dan sustainable. Melihat teori ekonomi dasar dan dengan kendala tertentu misalnya banyaknya jumlah penduduk, luasnya area geografi, dan tidak meratanya distribusi dari sumber daya ekonomi, pemerintah harus mencari titik keseimbangan untuk memperoleh jumlah unit pemda yang optimal. Tidak tercapainya kondisi tersebut akan mengakibatkan pembangunan ekonomi di daerah menjadi tidak efisien dan efektif. Hal ini akan mengancam persatuan dan disintegrasi bangsa. Daftar Pustaka Ahmad Erani Yustika (2008), “Desentralisasi Ekonomi di Indonesia: Kajian Teoritis dan Realitas Empiris”, Bayumedia, Malang. Aryo Wisanggeni G (2008), “72 Persen APBD Papua Habis untuk Membiayai Birokrasi”, Kompas Online, Pebruari. Available from: http://www.kompas.com/ Dollery, Brian E. Dan Joe L. Wallis (2001), ”The Political Economy of Local Government: Leadership, Reform and Market Failure”, Edward Elgar, UK dan USA. Hadi Soesastro, “Regional Autonomy: Economic Dimensions and Issues” Unpublished paper. Inno Jemabut (2008), “Siapa Berani Tolak Pemekaran?”, 4 Pebruari Sinar Harapan Online. Available from: http://www.sinarharapan.co.id/ Irman G. Lanti, Afdal Makkuraga, & Ali Yusuf (2006), “Pemekaran Wilayah: Dilema Antara Kebutuhan dan Permainan Politik”, Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol.6, No.2, The Habibie Center, Jakarta. Kunarjo (1992), in: Lembaga Administrasi Negara (2004), “Evaluasi Kinerja Pembangunan Pra dan Pasca Pembangunan Daerah”, Bandung.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 209
Lembaga Administrasi Negara (2004), “Evaluasi Kinerja Pembangunan Pra dan Pasca Pembangunan Daerah”, Bandung. Made Suwandi (2008), “Proliferation of Local Government: Within the Corridor of Law 32/2004”, Jakarta. Mawhood Philip (1983), Decentralization: The Concept and the Practice. Dalam Philip Maw Hood. (ed.), ”Local Government in the Third World: The Experience of Tropical Africa”, John Wiley & Sons, Chichester. Otonomi Media (2008), “Babak Baru Pilkada: Kiamat Parpol atau Makin Dekat?” Edisi No.02 Tahun III. Puspa Delima Amri (2000), “Dampak Ekonomi dan Politik UU No.22 dan 25 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah”, Centre for Strategic and International Studies, Jakarta. Sekretariat Jenderal DPR RI (2008), ”DPR Setujui Usul Inisiatif Pembentukan Provinsi, Kabupaten dan Kota”, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Online, 23 Januari. Tengku Abdurrahman Ichsani (2008), ”Penyelesaian Masalah Partai GAM”, Harian Umum Pelita Online, Mei. Wikipedia (2008), “Pemekaran Daerah di Indonesia”, Wikipedia Online, 19 April. Available from: http://id.wikipedia.org/wiki/ Pemekaran_daerah_di_Indonesia
210
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
LAMPIRAN A. Pemekaran Provinsi, Kabupaten dan Kota Sejak Era 1999Sekarang. Era 1999-sekarang Pemekaran provinsi di Indonesia sejak tahun 1999 adalah sebagai berikut: 1. Maluku Utara dengan ibukota Sofifi-Ternate, dimekarkan dari Provinsi Maluku, menjadi provinsi Indonesia ke-27 pada tanggal 4 Oktober 1999 2. Banten dengan ibukota Serang, dimekarkan dari Provinsi Jawa Barat, menjadi provinsi Indonesia ke-28 pada tanggal 17 Oktober 2000 3. Kepulauan Bangka-Belitung dengan ibukota Pangkal Pinang, menjadi provinsi Indonesia ke-29 pada tanggal 4 Desember 2000 4. Gorontalo dengan ibukota Kota Gorontalo, dimekarkan dari Provinsi Sulawesi Utara, menjadi provinsi Indonesia ke-30 pada tanggal 22 Desember 2000 5. Irian Jaya Barat dengan ibukota Manokwari, dimekarkan dari Provinsi Papua, menjadi provinsi Indonesia ke-31 pada tanggal 21 November 2001 6. Kepulauan Riau dengan ibukota Tanjung Pinang, dimekarkan dari Provinsi Riau, menjadi provinsi Indonesia ke-32 pada tanggal 25 Oktober 2002 7. Sulawesi Barat dengan ibukota Mamuju, dimekarkan dari Provinsi Sulawesi Selatan, menjadi provinsi Indonesia ke-33 pada tanggal 5 Oktober 2004 Pemekaran Kabupaten dan Kota Berikut adalah pemekaran kabupaten dan kota di Indonesia sejak tahun 1991. 1. Nanggroe Aceh Darussalam a. Kabupaten Simeulue, pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat (4 Oktober 1999) b. Kabupaten Nagan Raya, pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat (10 April 2002) c. Kabupaten Aceh Jaya, pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat (10 April 2002) d. Kabupaten Aceh Singkil, pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan (20 April 1999)
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 211
e.
Kabupaten Aceh Barat Daya, pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan (10 April 2002) f. Kabupaten Bener Meriah, pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah (19 Desember 2003) g. Kabupaten Gayo Lues, pemekaran dari Kabupaten Aceh Tenggara (10 April 2002) h. Kabupaten Aceh Tamiang, pemekaran dari Kabupaten Aceh Timur (10 April 2002) i. Kota Langsa, pemekaran dari Kabupaten Aceh Timur (21 Juni 2001) j. Kota Lhokseumawe, pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara (21 Juni 2001) k. Kabupaten Bireuen, pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara (4 Oktober 1999) l. Kota Subulussalam, pemekaran dari Kabupaten Aceh Singkil (2 Januari 2007) m. Kabupaten Pidie Jaya, pemekaran dari Kabupaten Pidie (2 Januari 2007) 2. Sumatra Utara a. Kabupaten Pakpak Bharat, pemekaran dari Kabupaten Dairi (25 Februari 2003) b. Kabupaten Serdang Bedagai, pemekaran dari Kabupaten Deli Serdang (18 Desember 2003) c. Kabupaten Nias Selatan, pemekaran dari Kabupaten Nias (25 Februari 2003) d. Kabupaten Mandailing Natal, pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan (23 November 1998) e. Kota Padang Sidempuan, pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan (21 Juni 2001) f. Kabupaten Toba Samosir, pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara (23 November 1998) g. Kabupaten Humbang Hasundutan, pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara (25 Februari 2003) h. Kabupaten Samosir, pemekaran dari Kabupaten Toba Samosir (18 Desember 2003) i. Kabupaten Batubara, pemekaran dari Kabupaten Asahan (2 Januari 2007)
212
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
j. k.
Kabupaten Padang Lawas, pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan (17 Juli 2007) Kabupaten Padang Lawas Utara, pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan (17 Juli 2007)
3. Jambi a. Kabupaten Muaro Jambi, pemekaran dari Kabupaten Batang Hari (4 Oktober 1999) b. Kabupaten Sarolangun, pemekaran dari Kabupaten Sarolangun Bangko (4 Oktober 1999) c. Kabupaten Tanjung Jabung Timur, pemekaran dari Kabupaten Tanjung Jabung (4 Oktober 1999) d. Kabupaten Tebo, pemekaran dari Kabupaten Bungo Tebo (4 Oktober 1999) Catatan: - Kabupaten Sarolangun Bangko telah berubah nama menjadi Kabupaten Merangin - Kabupaten Tanjung Jabung telah berubah nama menjadi Kabupaten Tanjung Jabung Barat - Kabupaten Bungo Tebo telah berubah nama menjadi Kabupaten Bungo 4. Riau a. Kabupaten Rokan Hilir, pemekaran dari Kabupaten Bengkalis (4 Oktober 1999) b. Kabupaten Siak, pemekaran dari Kabupaten Bengkalis (4 Oktober 1999) c. Kota Dumai, pemekaran dari Kabupaten Bengkalis (4 Oktober 1999) d. Kabupaten Kuantan Singingi, pemekaran dari Kabupaten Indragiri Hulu (4 Oktober 1999) e. Kabupaten Pelalawan, pemekaran dari Kabupaten Kampar (4 Oktober 1999) f. Kabupaten Rokan Hulu, pemekaran dari Kabupaten Kampar (4 Oktober 1999) 5. Sumatra Barat a. Kabupaten Kepulauan Mentawai, pemekaran dari Kabupaten Padang Pariaman (4 Oktober 1999)
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 213
b. c. d. e.
Kota Pariaman, pemekaran dari Kabupaten Padang Pariaman (10 April 2002) Kabupaten Pasaman Barat, pemekaran dari Kabupaten Pasaman (18 Desember 2003) Kabupaten Dharmasraya, pemekaran dari Kabupaten Sawahlunto Sijunjung (18 Desember 2003) Kabupaten Solok Selatan, pemekaran dari Kabupaten Solok (18 Desember 2003)
6. Bengkulu a. Kabupaten Kaur, pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Selatan (25 Februari 2003) b. Kabupaten Seluma, pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Selatan (25 Februari 2003) c. Kabupaten Muko-Muko, pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Utara (25 Februari 2003) d. Kabupaten Kepahiang, pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong (25 Februari 2003) e. Kabupaten Lebong, pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong (25 Februari 2003) 7. Sumatra Selatan a. Kota Pagar Alam, pemekaran dari Kabupaten Lahat (21 Juni 2001) b. Kota Prabumulih, pemekaran dari Kabupaten Muara Enim (21 Juni 2001) c. Kabupaten Banyuasin, pemekaran dari Kabupaten Musi Banyuasin (10 April 2002) d. Kabupaten Ogan Ilir, pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ilir (18 Desember 2003) e. Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ulu (18 Desember 2003) f. Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ulu (18 Desember 2003) g. Kota Lubuklinggau, pemekaran dari Kabupaten Musi Rawas (21 Juni 2001) h. Kabupaten Empat Lawang, pemekaran dari Kabupaten Lahat (2 Januari 2007)
214
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
8. Lampung a. Kabupaten Tanggamus, pemekaran dari Kabupaten Lampung Selatan (3 Januari 1997) b. Kabupaten Lampung Timur, pemekaran dari Kabupaten Lampung Tengah (20 April 1999) c. Kota Metro, pemekaran dari Kabupaten Lampung Tengah (20 April 1999) d. Kabupaten Lampung Barat, pemekaran dari Kabupaten Lampung Utara (UU No.6 Tahun 1991 tanggal 16 Agustus 1991) e. Kabupaten Tulang Bawang, pemekaran dari Kabupaten Lampung Utara (3 Januari 1997) f. Kabupaten Way Kanan, pemekaran dari Kabupaten Lampung Utara (20 April 1999) g. Kabupaten Pesawaran, pemekaran dari Kabupaten Lampung Selatan (17 Juli 2007) 9. Kepulauan Bangka-Belitung a. Kabupaten Bangka Barat, pemekaran dari Kabupaten Bangka (25 Februari 2003) b. Kabupaten Bangka Selatan, pemekaran dari Kabupaten Bangka (25 Februari 2003) c. Kabupaten Bangka Tengah, pemekaran dari Kabupaten Bangka (25 Februari 2003) d. Kabupaten Belitung Timur, pemekaran dari Kabupaten Belitung (25 Februari 2003) 10. Kepulauan Riau a. Kota Batam, pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Riau (4 Oktober 1999) b. Kabupaten Karimun, pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Riau (4 Oktober 1999) c. Kabupaten Natuna, pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Riau (4 Oktober 1999) d. Kota Tanjung Pinang, pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Riau (21 Juni 2001) e. Kabupaten Lingga, pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Riau (18 Desember 2003) Catatan: Kabupaten Kepulauan Riau sekarang telah berubah nama menjadi Kabupaten Bintan
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 215
11. DKI Jakarta a. Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, pemekaran dari Kota Jakarta Utara (3 Juli 2001) 12. Banten a. Kota Cilegon, pemekaran dari Kabupaten Serang (20 April 1999) b. Kota Tangerang, pemekaran dari Kabupaten Tangerang (27 Februari 1993) c. Kota Serang, pemekaran dari Kabupaten Serang (17 Juli 2007) 13. Jawa Barat a. Kota Tasikmalaya, pemekaran dari Kabupaten Tasikmalaya (21 Juni 2001) b. Kota Depok, pemekaran dari Kabupaten Bogor (20 April 1999) c. Kota Banjar, pemekaran dari Kabupaten Ciamis (11 Desember 2002) d. Kota Bekasi, pemekaran dari Kabupaten Bekasi (16 Desember 1996) e. Kota Cimahi, pemekaran dari Kabupaten Bandung (21 Juni 2001) f. Kabupaten Bandung Barat, pemekaran dari Kabupaten Bandung (2 Januari 2007) 14. Jawa Timur a. Kota Batu, pemekaran dari Kabupaten Malang (21 Juni 2001) 15. Bali a. Kota Denpasar, pemekaran dari Kabupaten Badung (15 Januari 1992) 16. Nusa Tenggara Barat a. Kota Bima, pemekaran dari Kabupaten Bima (10 April 2002) b. Kota Mataram, pemekaran dari Kabupaten Lombok Barat (26 Juli 1993) c. Kabupaten Sumbawa Barat, pemekaran dari Kabupaten Sumbawa (18 Desember 2003) 17. Nusa Tenggara Timur a. Kabupaten Lembata, pemekaran dari Kabupaten Flores Timur (4 Oktober 1999)
216
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
b. c. d. e. f. g. h.
Kabupaten Rote Ndao, pemekaran dari Kabupaten Kupang (10 April 2002) Kota Kupang, pemekaran dari Kabupaten Kupang (11 April 1996) Kabupaten Manggarai Barat, pemekaran dari Kabupaten Manggarai (25 Februari 2003) Kabupaten Nagekeo, pemekaran dari Kabupaten Ngada (2 Januari 2007) Kabupaten Sumba Tengah, pemekaran dari Kabupaten Sumba Barat (2 Januari 2007) Kabupaten Sumba Barat Daya, pemekaran dari Kabupaten Sumba Barat (2 Januari 2007) Kabupaten Manggarai Timur, pemekaran dari Kabupaten Manggarai (17 Juli 2007)
18. Kalimantan Barat a. Kabupaten Landak, pemekaran dari Kabupaten Pontianak (4 Oktober 1999) b. Kabupaten Bengkayang, pemekaran dari Kabupaten Sambas (20 April 1999) c. Kota Singkawang, pemekaran dari Kabupaten Bengkayang (21 Juni 2001) d. Kabupaten Sekadau, pemekaran dari Kabupaten Sanggau (18 Desember 2003) e. Kabupaten Melawi, pemekaran dari Kabupaten Sintang (18 Desember 2003) f. Kabupaten Kayong Utara, pemekaran dari Kabupaten Ketapang (2 Januari 2007) g. Kabupaten Kubu Raya, pemekaran dari Kabupaten Pontianak (17 Juli 2007) 19. Kalimantan Tengah a. Kabupaten Barito Timur, pemekaran dari Kabupaten Barito Selatan (10 April 2002) b. Kabupaten Murung Raya, pemekaran dari Kabupaten Barito Utara (10 April 2002) c. Kabupaten Gunung Mas, pemekaran dari Kabupaten Kapuas (10 April 2002) d. Kabupaten Pulang Pisau, pemekaran dari Kabupaten Kapuas (10 April 2002)
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 217
e. f. g. h.
Kabupaten Lamandau, pemekaran dari Kabupaten Kotawaringin Barat (10 April 2002) Kabupaten Sukamara, pemekaran dari Kabupaten Kotawaringin Barat (10 April 2002) Kabupaten Katingan, pemekaran dari Kabupaten Kotawaringin Timur (10 April 2002) Kabupaten Seruyan, pemekaran dari Kabupaten Kotawaringin Timur (10 April 2002)
20. Kalimantan Selatan a. Kabupaten Tanah Bumbu, pemekaran dari Kabupaten Kotabaru (25 Februari 2003) b. Kabupaten Balangan, pemekaran dari Kabupaten Hulu Sungai Utara (25 Februari 2003) c. Kota Banjarbaru, pemekaran dari Kabupaten Banjar (20 April 1999) 21. Kalimantan Timur a. Kabupaten Malinau, pemekaran dari Kabupaten Bulungan (4 Oktober 1999) b. Kabupaten Nunukan, pemekaran dari Kabupaten Bulungan (4 Oktober 1999) c. Kota Tarakan, pemekaran dari Kabupaten Bulungan (8 Oktober 1997) d. Kabupaten Kutai Barat, pemekaran dari Kabupaten Kutai (4 Oktober 1999) e. Kabupaten Kutai Timur, pemekaran dari Kabupaten Kutai (4 Oktober 1999) f. Kota Bontang, pemekaran dari Kabupaten Kutai (4 Oktober 1999) g. Kabupaten Penajam Paser Utara, pemekaran dari Kabupaten Pasir (10 April 2002) h. Kabupaten Tana Tidung, pemekaran dari Kabupaten Bulungan (17 Juli 2007) Catatan: Kabupaten Kutai sekarang telah berubah nama menjadi Kabupaten Kutai Kartanegara 22. Sulawesi Utara a. Kabupaten Kepulauan Talaud, pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Sangihe Talaud (10 April 2002)
218
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
b. c. d. e. f. g. h. i.
Kabupaten Minahasa Selatan, pemekaran dari Kabupaten Minahasa (25 Februari 2003) Kabupaten Minahasa Utara, pemekaran dari Kabupaten Minahasa (18 Desember 2002) Kota Tomohon, pemekaran dari Kabupaten Minahasa (25 Februari 2003) Kota Bitung, pemekaran dari Kabupaten Minahasa (15 Agustus 1990) Kota Kotamobagu, pemekaran dari Kabupaten Bolaang Mongondow (2 Januari 2007) Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, pemekaran dari Kabupaten Bolaang Mongondow (2 Januari 2007) Kabupaten Kepulauan Sitaro, pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Sangihe (2 Januari 2007) Kabupaten Minahasa Tenggara, pemekaran dari Kabupaten Minahasa Selatan (2 Januari 2007) Catatan: Kabupaten Kepulauan Sangihe Talaud sekarang telah berubah nama menjadi Kabupaten Kepulauan Sangihe.
23. Gorontalo a. Kabupaten Boalemo, pemekaran dari Kabupaten Gorontalo (4 Oktober 1999) b. Kabupaten Pohuwato, pemekaran dari Kabupaten Boalemo (25 Februari 2003) c. Kabupaten Bone Bolango, pemekaran dari Kabupaten Gorontalo (25 Februari 2003) d. Kabupaten Gorontalo Utara, pemekaran dari Kabupaten Gorontalo (2 Januari 2007) 24. Sulawesi Tengah a. Kabupaten Banggai Kepulauan, pemekaran dari Kabupaten Banggai (4 Oktober 1999) b. Kabupaten Parigi Moutong, pemekaran dari Kabupaten Donggala (10 April 2002) c. Kota Palu, pemekaran dari Kabupaten Donggala (22 Juli 1994) d. Kabupaten Morowali, pemekaran dari Kabupaten Poso (4 Oktober 1999) e. Kabupaten Tojo Una-Una, pemekaran dari Kabupaten Poso (18 Desember 2003)
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 219
f.
Kabupaten Buol, pemekaran dari Kabupaten Buol Toli-Toli (4 Oktober 1999) Catatan: Kabupaten Buol Toli-Toli sekarang telah berubah nama menjadi Kabupaten Toli-Toli
25. Sulawesi Barat a. Kabupaten Mamuju Utara, pemekaran dari Kabupaten Mamuju (25 Februari 2003) b. Kabupaten Mamasa, pemekaran dari Kabupaten Polewali Mamasa (10 April 2002) Catatan: Kabupaten Polewali Mamasa sekarang berubah menjadi Kabupaten Polewali Mandar 26. Sulawesi Selatan a. Kabupaten Luwu Utara, pemekaran dari Kabupaten Luwu (20 April 1999) b. Kabupaten Luwu Timur, pemekaran dari Kabupaten Luwu Utara (25 Februari 2003) c. Kota Palopo, pemekaran dari Kabupaten Luwu (10 April 2002) 27. Sulawesi Tenggara a. Kabupaten Bombana, pemekaran dari Kabupaten Buton (18 Desember 2003) b. Kabupaten Wakatobi, pemekaran dari Kabupaten Buton (18 Desember 2003) c. Kota Bau-Bau, pemekaran dari Kabupaten Buton (21 Juni 2001) d. Kabupaten Kolaka Utara, pemekaran dari Kabupaten Kolaka (18 Desember 2003) e. Kabupaten Konawe Selatan, pemekaran dari Kabupaten Kendari (25 Februari 2003) f. Kota Kendari, pemekaran dari Kabupaten Kendari (3 Agustus 1995) g. Kabupaten Konawe Utara, pemekaran dari Kabupaten Konawe (2 Januari 2007) h. Kabupaten Buton Utara, pemekaran dari Kabupaten Muna (2 Januari 2007) Catatan: Kabupaten Kendari sekarang berubah menjadi Kabupaten Konawe
220
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
28. Maluku a. Kabupaten Buru, pemekaran dari Kabupaten Maluku Tengah (4 Oktober 1999) b. Kabupaten Seram Bagian Barat, pemekaran dari Kabupaten Maluku Tengah (18 Desember 2003) c. Kabupaten Seram Bagian Timur, pemekaran dari Kabupaten Maluku Tengah (18 Desember 2003) d. Kabupaten Kepulauan Aru, pemekaran dari Kabupaten Maluku Tenggara (18 Desember 2003) e. Kabupaten Maluku Tenggara Barat, pemekaran dari Kabupaten Maluku Tenggara (4 Oktober 1999) f. Kota Tual, pemekaran dari Kabupaten Maluku Tenggara (117 Juli 2007) 29. Maluku Utara a. Kabupaten Halmahera Selatan, pemekaran dari Kabupaten Maluku Utara (25 Februari 2003) b. Kabupaten Halmahera Utara, pemekaran dari Kabupaten Maluku Utara (25 Februari 2003) c. Kabupaten Kepulauan Sula, pemekaran dari Kabupaten Maluku Utara (25 Februari 2003) d. Kota Ternate, pemekaran dari Kabupaten Maluku Utara (20 April 1999) e. Kabupaten Halmahera Timur, pemekaran dari Kabupaten Halmahera Tengah (25 Februari 2003) f. Kota Tidore, pemekaran dari Kabupaten Halmahera Tengah (25 Februari 2003) Catatan: Kabupaten Maluku Utara sekarang telah berubah nama menjadi Kabupaten Halmahera Barat 30. Papua Barat a. Kabupaten Kaimana, pemekaran dari Kabupaten Fak-Fak (11 Desember 2002) b. Kabupaten Teluk Bintuni, pemekaran dari Kabupaten Manokwari (11 Desember 2002) c. Kabupaten Teluk Wondama, pemekaran dari Kabupaten Manokwari (11 Desember 2002) d. Kabupaten Raja Ampat, pemekaran dari Kabupaten Sorong (11 Desember 2002)
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 221
e. f.
Kabupaten Sorong Selatan, pemekaran dari Kabupaten Sorong (11 Desember 2002) Kota Sorong, pemekaran dari Kabupaten Sorong (4 Oktober 1999)
31. Papua a. Kabupaten Boven Digoel, pemekaran dari Kabupaten Merauke (11 Desember 2002) b. Kabupaten Mappi, pemekaran dari Kabupaten Merauke (11 Desember 2002) c. Kabupaten Asmat, pemekaran dari Kabupaten Merauke (11 Desember 2002) d. Kabupaten Yahukimo, pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya (11 Desember 2002) e. Kabupaten Pegunungan Bintang, pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya (11 Desember 2002) f. Kabupaten Tolikara, pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya (11 Desember 2002) g. Kabupaten Sarmi, pemekaran dari Kabupaten Jayapura (11 Desember 2002) h. Kabupaten Keerom, pemekaran dari Kabupaten Jayapura (11 Desember 2002) i. Kota Jayapura, pemekaran dari Kabupaten Jayapura (2 Agustus 1993) j. Kabupaten Supiori, pemekaran dari Kabupaten Biak Numfor (18 Desember 2003) k. Kabupaten Waropen, pemekaran dari Kabupaten Yapen Waropen (11 Desember 2002) l. Kabupaten Mamberamo Raya, pemekaran dari Kabupaten Sarmi (15 Maret 2007) m. Kabupaten Lanny Jaya, pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya (4 Januari 2008) n. Kabupaten Mamberamo Tengah, pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya (4 Januari 2008) o. Kabupaten Nduga Tengah, pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya (4 Januari 2008) p. Kabupaten Yalimo, pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya (4 Januari 2008)
222
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
q.
Kabupaten Puncak, pemekaran dari Kabupaten Puncak Jaya (4 Januari 2008) r. Kabupaten Dogiyai, pemekaran dari Kabupaten Nabire (4 Januari 2008) Sumber: Wikipedia (2008), “Pemekaran Daerah di Indonesia”, Wikipedia Online, 19 April. Available from: http://id.wikipedia.org/ wiki/Pemekaran_daerah_di_Indonesia
B. SISTEM DESENTRALISASI
Source: Made Suwandi, “Proliferation of Local Government: Within the Corridor of Law 32/2004”, Jakarta.
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 223
Resensi Buku REFORMASI PARADIGMA PEMBANGUNAN
KNOWLEDGE BASED SOCIETY Judul : Mengatarkan pemahaman Knowledge Based Society Pengarang : DR. Bambang Setiadi Tahun terbit : 2008 Buku yang ditulis Bambang Setiadi, mantan Deputi dan Staf Ahli di Kementerian Riset dan Teknologi/BPPT,sekarang Kepala Badan Standarirasi Nasional,berjudul “Mengantarkan Pemahaman Knowledge Based Socienty” (KBS). Buku alit ini mengingatkan kita perlunya Indonesia kembali ke pradigma yang telah lama kita kenal : Masyarakat Berbasis Ilmu Pengetahuan. Kenapa ? Hal itu dijawab oleh Bambang Setiadi dalam prolog buku ini, mengenai bagaimana keberadaan dunia sekarang ini. Apa yang kita hadapi sekarang ini dalam memasuki globalisasi. Bahwa arus barang, jasa dan manusia,semakin bebas. Pembagian kerja internasional ditentukan oleh apa yang disebut efisiensi. Pembagian pekerjaan bergerak ke arah horizontal. Selera konsumen mengalami perubahan (bersifat massal, bersifat individual).Kedaulatan ekonomi suatu negara berkurang.Transparansi merupakan tuntutan . Sanksi pelanggaran makin nyata.Konsen atas pelestarian lingkungan semakin mencolok. Penulis kemudian mencatat bagaimana paradigma baru ekonomi merubah situasi bisnis di dunia . Hal ini disebabkan , kemudahan akses ke ICT. Kecepatan distribusi knowledge. Perubahan kelas menengah yang cepat. Pengurangan biaya transaksi. Perubahan struktur organisasi (merger). Pertumbuhan produktivitas yang cepat, hampir sedikit inflasi, upah memadai dan pengangguran rendah, ternyata semua ini tidak mungkin dihadapi dengan ekonomi paradigma lama. Kesimpulan, kita membutuhkan paradigma baru dan itu paradigma itu knowledge based society. Semua yang diungkapkan penulis dalam buku ini, kata kuncinya adalah “knowledge”, satu-satunya ukuran untuk menilai derajat satu bangsa. Tanpa kemampuan suatu bangsa menguasai “ knowledge”, bangsa itu akan terpuruk dan tidak pernah menang dalam “perang” yang amunisinya “knowledge”. Sebenarnya paradigma ini secara teoritis juga sudah dibahas dalam
224
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
buku Michael E.Porter “ The Competitive Advantage of Nation”, setebal 830 halaman dan sangat popular tahun 90-an. Porter juga menyerukan sebuah paradigma baru (waktu itu) dan secara detail menguraikan fondasi sebuah perusahaan dalam dunia globalisasi. Bahkan lebih jauh memberikan implikasi paradigma itu untuk menjadi strategi perusahaan, kebijakan pemerintah, dan bagaimana jika menjadi agenda nasional.. Buku Porter dianggap telah memberikan insipirasi baru, bagaimana sebuah negara bisa menjadi kompetitif untuk memiliki daya saing dalam segala hal. Buku ini juga dinilai oleh banyak pengamat, sebagai sebuah standar mahakarya yang paling serius membicarakan mengenai pentingnya “competitiveness”. Karena itu, apa yang disebut Bambang Setiadi sebagai sebuah “paradigma baru”, sekarang tidak lagi sepenuhnya benar. Karena paradigma ini, sudah dikenal lama oleh kalangan yang konsen pada teori pembangunan. Bahkan di Indonesia, juga tidak asing lagi, satu-satunya alasan untuk masih menyebut paradigma ini masih “baru”, karena bangsa Indonesia tidak pernah sadar untuk melaksanakannya. Sebagai buku “ pengantar pemahaman”, penulis juga sudah memberikan contoh kasus bagaiman KBS dilaksanakan di Eropa pada belahan dunia Barat dan Korea di belahan Asia. Untuk membicarakan kasus Eropa yang sudah punya tradisi ilmu pengetahuan yang tinggi berabad yang lalu dan melahirkan revolusi industri, mungkin kurang tepat menjadi contoh bagi negara Asia. Tetapi kasus Korea sebagai salah satu negara Asia yang baru saja turut dilanda krisis membuat salah satu negara “ Macan Asia “ ini terpuruk, sangat relevan. Dengan strategi KBS , Korea ternyata dengan cepat bisa bangkit kembali dengan memakai krisis tersebut justru sebagai tantangan. Salah satu yang dilakukan Korea adalah dengan melakukan deregulasi dalam bidang pendidikan. Korea juga mengeluarkan dana besar dalam bidang R&D. Banyak contoh yang diberikan penulis ketika membicarakan kasus Korea. Maka dalam waktu singkat, Korea bisa dinyatakan sebagai negara yang memimpin penerapan “knowledge based society” ( hal 20). Jika akan diperpanjang lagi, sebetulnya Jepang juga bisa menjadi kasus menarik. Setelah Jepang dinyatakan kalah perang tahun l945, Jepang dipaksa menerima berbagai regulasi dari negara Barat untuk pengembangan industri dalam negeri. Ekonomi Jepang memang sementara lumpuh setelah perang, tetapi dengan strategi yang jitu, Jepang kembali melakukan R&D dalam berbagai bidang produk industri. Dalam waktu hanya lebih sepuluh tahun setelah mengalami kelumpuhan ekonomi, Jepang kemudian bangkit menjadi negara industri dunia. Dana R&D yang dikuncurkan Jepang untuk teknologi dan industri dan oleh negara Asia
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 225
seperti Indonesia justru ditakuti, karena dianggap “ membuang-buang uang negara”, “bukan skala prioritas”, telah membawa Jepang menaklukkan Amerika Serikat dan Eropa dalam berbagai hasil teknologi. Dengan modal itu pula, dunia berkiblat pada produk teknologi Jepang dan negara ini unggul membangun ekonomi negaranya, dalam waktu singkat. Praktis tanpa Indonesia Arti penting lainnya buku ini, karena bisa dijadikan rujukan praktis. Penulis memang memberikan arahan bagaimana penerapan KBS dalam BUMN, bagaimana KBS dan pola kerja, bagaimana KBS dan lingkungan, KBS dengan pemerintah (halaman 15). Namun, arahan untuk BUMN, lebih cenderung pada antisipasi manajemen, tidak terlalu jauh menunjukkan strategi penerapannya dalam industri misalnya. Padahal contoh dalam bidang ini sudah pernah dilaksanakan di Indonesia dengan “strategi transformasi teknologi” yang dilakukan diberbagai industri strategis dan digerakkan oleh Menristek B.J.Habibie. Dalam upaya meningkatkan daya saing nasional, B.J.Habibie menetapkan sepuluh industri strategis dalam BPIS ( Badan Pengelola Industri Strategis) harus memiliki visi, antara lain memiliki kemampuan mengembangkan iptek untuk meningkatkan kemampuan, mempercepat tercapainya tujuan pembangunan nasional serta untuk menghadapi tata perdagangan internasional yang semakin kompetitif. Strategi ini sudah dikembangkan di IPTN ( PTDI), PT.Pal, PT.Pindad dan industri strategis lainnya. Industri strategis akan dijadikan wahana system pengembangan SDM, infrastruktur iptek dan sistim manajemen teknologi. Bukti produk teknologi dengan kekuatan SDM yang menguasai berbagai spektrum teknologi sudah ditunjukkan. Kemampuan SDM berbasis iptek bermekaran dan hanya menghitung waktu untuk tampil kompetitif dalam globalisasi. Sayangnya, skenario ini kandas dengan ketentuan LOI IMF. Selebihnya karena permainan politik praktis elit kita sendiri. Buku ini menarik karena nilai praktisnya sebagai rujukan awal jika kita ingin mengenal “knowledge based society”. Hanya penulis masih membatasi diri mengupas KBS dalam batas-batas makro. Ia tidak terlalu jauh melihat bagaimana KBS itu di Indonesia. Kelemahan mendasar buku ini adalah dari segi grafika. Syarat grafika sebagai sebuah buku yang menarik, banyak dilalaikan. ( Vitria.T.M)
226
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Biodata Penulis
Zuhal Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) dan juga Guru Besar Elektroteknik pada Fakultas Teknik, Universitas Indonesia (FT-UI). Ia memperoleh gelar M.Sc. EE dari University of Southern California, Los Angeles, dan menyelesaikan pendidikan doktor di Universitas Indonesia dan University of Tokyo, Jepang, dengan predikat cum laude. Ia pernah menjadi Direktur Utama PLN (1992-1995), Direktur Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi pada Departemen Pertambangan dan Energi (1995-1997), hingga kemudian diangkat menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi pada Kabinet Reformasi. Selain karya tulis yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah lokal dan internasional, ia juga menghasilkan enam buku, yaitu Dasar Tenaga Listrik (Penerbit ITB), Dasar Teknik Tenaga Listrik dan Elektronika Daya (PT. Gramedia Pustaka Utama), Ketenagalistrikan Indonesia (Ganeca Exact), Visi IPTEK Memasuki Milenium III (UI Press), Prinsip Dasar ELEKTROTEKNIK (PT. Gramedia Pustaka Utama), Kekuatan Daya Saing Indonesia (Penerbit Buku KOMPAS).
Abdul Malik Fadjar Lahir di Yogyakarta, 22 Februari 1939, adalah mantan Menteri Agama pada Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999), dan Menteri Pendidikan Nasional pada Kabinet Gotong Royong (2001-2004). Ia lulus pada tahun 1972 dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Malang. Saat ini Malik Fadjar aktif di Habibie Center sebagai Senior Fellow, Anggota Dewan Pengarah Lemhannas dan aktif mengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Indria Samego Lahir di Cirebon, 13 Juni 1950 adalah anggota Majelis Profesor (MPR)LIPI dan juga Dewan Pengawas The Habibie Center. Ia meraih gelar sarjana di FISIP Universitas Gajah Mada (UGM) pada tahun 1975, dan gelar pasca sarjana di bidang Studi Pembangunan di The Flinders University of South Australia pada 1989 dan gelar Ph.D dari universitas yang sama pada tahun 1992. Ia juga menulis beberapa karya tulis dan
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 227
tulisan ilmiah, diantaranya adalah: Bila ABRI Berbinis (Editor; Pustaka Mizan, 1999); TNI di Era Reformasi (Penulis; Penerbit Airlangga, 2000); Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara: Analisis Potensi dan Problem (Editor; The Habibie Center, 2001).
R. Siti Zuhro Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan The Habibie Center (THC). Ia menyelesaikan studi S1 Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNEJ, Jember. Mendapat gelar MA Ilmu Politik dari The Flinders University, Adelaide, Australia dan PhD Ilmu Politik dari Curtin University, Perth, Australia. Chief Editor Postsricpt The Habibie Center. Menulis buku Konflik dan Kerjasama AntarDaerah: Studi Kasus Pengelolaan Kewenangan di Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan Bangka Belitung (Jakarta: LIPI, 2004); Menata Kewenangan Pusat-Daerah yang Aplikatif-Demokratis (Jakarta: LIPI, 2005); Profesionalitas dan Netralitas Birokrasi: Menuju Daya Saing Ekonomi Daerah, Studi di Empat Provinsi (Jakarta, The Habibie Center dan Hanns Seidel Foundation, 2007).
Umar Juoro Lahir di Solo, 6 Desember 1959 saat ini menjabat sebagai Direktur Center for Information and Development Studies (CIDES) dan juga Senior Fellow di The Habibie Center (THC). Ia pernah menjabat sebagai asisten Presiden dan Wakil Presiden untuk bidang Ekonomi dan Industri pada tahun 1998-1999. Ia meraih gelar sarjana Fisika di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1984, kemudian menyelesaikan pendidikan S2 di bidang ekonomi, di University of the Philippines pada 1987, dan S2 di bidang Ekonomi Politik di Boston University pada 1992. Ia juga pernah menulis beberapa buku dan karya ilmiah, diantaranya adalah: Pandangan dan Langkah Reformasi B.J. Habibie (Vol. 1 Ekonomi & Politik), (Raja Grafindo Persada, 1999); Politik Bank Sentral : Posisi Gubernur Bank Indonesia dalam mempertahankan Independensi (Lspeu, 2003).
Refly Harun Konsultan dan pengamat hukum independen. Saat ini terikat kontrak sebagai staf ahli kelompok DPD di MPR dan konsultan Partnership for Governance Reform (Kemitraan) untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU).
228
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi
Lili Romli Lahir di Serang Banten, adalah Peneliti Pusat penelitian Politik LIPI dan Staf Pengajar Pascasarjana Ilmu Politik UI. Ia lulusan Doktor Ilmu Politik dari Universitas Indonesia. Saat ini ia menjadi Direktur Desk Pemilu dan Pilkada di Pusat Kajian Ilmu Politik (Puskapol) UI. Banyak melakukan penelitian tentang partai politik, pemilu, Parlemen, dan Otonomi Daerah. Aktif menulis di berbagai jurnal ilmiah dan menjadi kontributor beberapa buku. Menulis beberapa buku, antara lain, Islam Yes, Partai Islam Yes, Pustaka Pelajar, 2006.
Moch. Nurhasim Lahir di Lamongan 14 Juli 1972 dari tujuh orang bersudara. Sejak Maret 1997 diterima sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Politik dan Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPW-LIPI) yang kini berubah menjadi Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI). Ia memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Politik pada tahun 1991 dari Universitas Airlangga Surabaya, dan gelar master of science dari Universitas Indonesia pada tahun 2007. Ia juga menulis buku atau karya/tulisan ilmiah, diantaranya adalah sebagai kontributor beberapa tulisan pada buku tentang: Bila ABRI Berbisnis (Mizan, 1999); Gerakan Mahasiswa 1998 (Erlangga, 2000); Militer dan Kekerasan Polik (Mizan, 2000); Kerusuhan Sosial di Indonesia (Grasindo, 2001); Bara Dalam Sekam: Analisis atas disintegrasi di Maluku, Papua, Riau, dan Aceh (Grasindo, 2001); Pemilu 1999 dan Kekerasan Politik (KIPP, 2002); Tentara Mendamba Mitra (Mizan, 2002); dll.
Lilis Mulyani Staf peneliti bidang hukum di LIPI dan The Habibie Center. Ia menempuh pendidikan Sarjana Hukum di Universitas Padjajaran Bandung dan lulus pada tahun 1998, kemudian meraih gelar Master of Public and International Law di University of Melbourne pada tahun 2004. Saat ini ia aktif melakukan kajian dalam bidang HAM dan konstitusi.
Sulthon Sjahril Sabaruddin Lahir pada tanggal 16 Mei 1983 di Jeddah (Saudi Arabia), menyelesaikan pendidikan S-1 Bachelor of Commerce (Finance) dari University of Wollongong dan S-2 Master of Business Administration dari Charles Sturt University, Australia. Saat ini bekerja sebagai peneliti
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi 229
di The Habibie Center dan dosen ilmu ekonomi di Faculty of Commerce, INTI College Indonesia. Ia juga, saat ini sedang menempuh studi Strata-3 ilmu ekonomi spesialisasi di bidang ekonomi industri dan internasional, Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi (PPIE), Universitas Indonesia.
230
Indonesia Setelah 10 Tahun Reformasi