Daftar Isi Jurnal Demokrasi & HAM
Vol. 5, No. 3, 2006
EDITORIAL Reformasi Birokrasi
3
ANALISIS Reformasi Kepegawaian (Civil Service Reform) di Indonesia Dr. Eko Prasojo
5
Reformasi Kelembagaan untuk Mewujudkan Cita-cita Bangsa Sofian Effendi
14
Mewujudkan Pluralisme Birokrasi di Indonesia R. Siti Zuhro
21
Upaya Pemerintah Meningkatkan Pelayanan Publik Taufiq Effendi
38
Korupsi dan Reformasi Birokrasi di Indonesia Komarudin
71
Best Practices, Reformasi Melalui Percontohan Langsung Mustofa Kamil Ridwan
89
Reformasi Birokrasi Menuju Pemerintahan Efektif dan Efisien di Kota Semarang Sukawi Sutarip
103
Sistem Layanan Publik (Praktek E-Government di Takalar) H. Zainal Abidin
123
BIODATA PENULIS
129
JURNAL DEMOKRASI & HAM Terbit sejak 20 Mei 2000 ISSN: 1441-4631 Penanggung Jawab Redaksi: A. Watik Pratiknya Dewan Redaksi: Muladi (Ketua) Indria Samego Dewi Fortuna Anwar Umar Juoro Andrinof A. Chaniago Pemimpin Redaksi: Andi Makmur Makka Redaktur Pelaksana: Mustofa Kamil Ridwan Redaktur: Taftazani Sekretaris: Djuwarso Suto Sutrisno Produksi: Ghazali H. Moesa Usaha: Fetty Fajriati Achmad Amal Layout dan Desain: M. Ilyas Thaha Alamat Penerbit dan Redaksi: Jl. Kemang Selatan No. 98, Jakarta 12560 – Indonesia Telp.: (021) 7817211, Fax: (021) 7817212 Website: http://www.habibiecenter.or.id E-mail:
[email protected]
Reformasi Birokrasi
3
Editorial
REFORMASI BIROKRASI Kita tidak boleh berkecil hati, jika mendengar penilaian para pebisnis asing yang mengkatagorikan birokrasi di Indonesia masih tergolong yang terburuk di dunia. Negara yang memiliki tingkat korupsi yang tertinggi . Birokrasi yang penuh dengan “red tape” atau birokrasi “benang kusut” dalam adminstrasi (laporan PERC Hongkong). Sejak Indonesia merdeka, birokrasi kita tidak pernah lepas dari penilaian negatif. Sejarah perjalanan birokrasi di Indonesia, seolah-olah tidak pernah bergerak maju sebagai katalisator pelayanan publik. Kendatipun dalam sebuah negara, birokrasi sangat diperlukan dalam upaya demokratisasi Birokrasi kita masa pra kemerdekaan, birokrasi kita yang masih muda sampai sekarang ini, tidak pernah lepas dari praktek primordialisme. Mulai sebagai negara yang menganut sistem demokrasi liberal masa itu, bermuculan partai-partai yang berkuasa, melakukan politisasi birokrasi. Jika seorang menteri berasal dari partai tertentu dalam sebuah departemen, maka mayoritas pejabat dalam kementerian itu direkrut dari partai menteri yang memimpin departemen itu. Jika seorang menteri dari etnik A yang memimpin departemen, maka departemen tersebut, akan dipenuhi oleh staf yang sama dengan etnik menterinya. Bukan rahasia lagi, terbentuknya sebuah patronase, penggunaan jabatan untuk memberikan keistimewaan kepada klien tertentu. Pencampuradukan urusan pribadi dan publik. Berpindah ke masa orde baru, kehidupan birokrasi mengalami hal yang sama. Dari primordialisme, berkembang ke politisasi birokrasi. Bahkan birokrasi menemukan bentuknya yang paling angker, ketika kekuasaan telah mencamplok dan memonopoli birokrasi. Peran birokrasi membengkak dan berlebihan, sebuah proliferasi birokrasi terjadi. Seperti pada rezim sebelumnya, jabatan dalam birokrasi terus penuh dengan “political appointment” yang tidak memperhatikan lagi sistem meritokrasi. Nepotisme dan kolusi, kronisme” menemukan bentuknya yang sangat empuk. Pada masa reformasi, birokrasi hanya berganti kostum. Para politisi tiba-tiba mendapat tempat lagi. Merekalah yang banyak yang memimpin departemen sebagai menteri dan menjadi gubernur, bupati di daerah. Sebagai pemimpin dalam partai, mereka membawa penyakit “conflict of interest”.
4
Reformasi Birokrasi
Banyak di antara mereka tergagap untuk memutuskan, mana yang menjadi kepentingan publik dan konstituen yang sebenarnya dan mana yang menjadi kepentingan partai. Dengan legislatif, para eksekutif menciptakan oligarki, persekutuan kepentingan yang sama dan laten, tanpa menghiraukan garis ideologi dan kepentingan rakyat. Pragmatisme yang dibangun atas dasar kepentingan golongan, ataupun prubadi. Lebih tragis lagi, sejumlah di antaranya tidak hanya membawa kepentingan partai yang mendukungnya, tetapi kadang-kadang, naluri asal usul eksekutif itu sebagai pebisnis yang berpartai. Inilah yang melahirkan penguasa pengusaha, bisnis dalam birokrasi. Atau dalam bentuk lain di daerah, ada yang mengkhawatirkan akan muncul “shadow state”. Kalangan swasta yang mengendalikan kebijakan birokrasi dari luar. Mereka yang tiba-tiba datang menuntut balas budi atas suksesnya klien mereka dalam pilkada-pilkada itu. Padahal sebetulnya, tanpa “shadow state” seperti yang dikhawatirkan ini, birokrasi kita sejak dulu, sudah makin jelas wajah aslinya sebagai “birokrasi pebisnis”. Cobalah datang ke tempat pelayanan publik di setiap lembaga pemerintah dari Pusat sampai di daerah, praktek uang pelicin, pungutan liar, masih subur dan bahkan dianggap sebagai suatu yang wajar. DKI Jakarta dianggap paling terdepan dalam praktek ini. Inilah yang menyuburkan penyalahgunaan kekuasaan. Pengawasan yang makin melemah karena bersinerginya beberapa kepentingan. Mereka inilah oleh beberapa kalangan disebut “birokratik rente” dan “kleptokrasi”. Birokrasi yang merampok kekayaan bangsa dan rakyatnya sendiri. Suasana birokrasi seperti ini, membuat makin kabur dan hilangnya fungsi-fungsi birokrasi sebagai pelayanan publik yang tidak mengenal diskriminasi dan efisiensi. Memang, banyak aspek positif dan banyak kemajuan dan perubahan yang telah dicapai birokrasi di Indonesia. Tetapi aspek yang kita ungkapkan di atas, juga tidak bisa diingkari. Semua ini telah menjadi riwayat perjalanan panjang birokrasi kita, jelek atau baik harus diakui adalah wajah kita juga Kita tidak mau birokrasi menjadi menghalang dan menghambat proses demokratisasi, karena itu, tidak boleh tidak, birokrasi harus direformasi sekarang juga. Dalam edisi jurnal kita kali ini, beberapa tulisan kami minta untuk memperkaya telaah kita mengenai reformasi birokrasi di Indonesia. Redaksi berterima kasih kepada para penyumbang tulisan, terutama kepada Menteri Penertiban Aparatur Negara, Taufiq Effendi yang telah bersedia sebagai salah seorang kontributor dalam edisi Reformasi Birokrasi jurnal ini. Begitu pula kepada beberapa pakar, para pejabat di daerah yang membagi pengalamannya yang khas dalam menciptakan pelayanan publik. (AMM)
Reformasi Birokrasi
5
REFORMASI KEPEGAWAIAN (CIVIL SERVICE REFORM) DI INDONESIA Dr. Eko Prasodjo
Pendahuluan Pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan merupakan fungsi dari berbagai faktor. Diantara faktor-faktor yang mempengaruhi pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan tersebut adalah kelembagaan, kepegawaian, proses, pengawasan dan akuntabilitas. Diantara faktor-faktor tersebut, maka faktor penting yang dapat menjadi pengungkit (leverage) dalam perbaikan pelayanan publik adalah persoalan reformasi kepegawaian negara. Dapat dikatakan bahwa baik buruknya suatu birokrasi negara sangat dipengaruhi oleh kualitas kepegawaian negaranya. Di Indonesia sektor kepegawaian negara, yang merupakan sub sistem dari birokrasi secara keseluruhan, belum dijadikan sebagai fokus dari reformasi birokrasi. Pentingnya memberikan perhatian pada reformasi kepegawaian negara ini paling tidak didasarkan pada fakta: (1) keberhasilan pembangunan beberapa negara, seperti Korea dan China terletak pada usaha sistematis dan sungguh-sungguh untuk memperbaiki sistem kepegawaian negara, (2) kepegawaian negara merupakan faktor dinamis birokrasi yang memegang peranan penting dalam semua aspek pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan perubahan struktur, norma, nilai dan regulasi kepegawaian negara telah menyebabkan gagalnya upaya untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Kualitas dan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik masih jauh dari harapan. Masih belum tercipta budaya pelayanan publik yang berorientasi kepada kebutuhan pelanggan (service delivery culture). Sebaliknya, yang terbentuk adalah obsesi para birokrat dan politisi untuk menjadikan birokrasi sebagai lahan pemenuhan hasrat dan kekuasaan (power culture). Karena
6
Reformasi Birokrasi
itulah, kekecewaan masyarakat terhadap birokrasi terus terjadi dalam kurun waktu yang lama sejak kita merdeka. Pola pikir birokrat sebagai penguasa dan bukan sebagai pelayan publik telah menyebabkan sulitnya melakukan perubahan kualitas pelayanan publik. Tidak mengherankan jika kompetensi birokrat masih belum memadai, prosedur pelayanan masih berbelit-belit, dan harga pelayanan publik masih tidak transparan. Konsekuensi hal tersebut adalah kewajiban masyarakat untuk membayar mahal pelayanan secara ilegal yang seharusnya menjadi tanggung jawab konstitusional negara dan pemerintah. Pungutan ilegal ini merupakan biaya ketidakpastian (cost of uncertainty) yang harus dikeluarkan oleh masyarakat setiap kali berhadapan dengan birokrasi untuk mendapatkan pelayanan publik. Anehnya, beberapa hasil penelitian, juga jika dipertanyakan secara langsung kepada birokrat dan masyarakat, pungutan liar dalam pelayanan publik adalah hal biasa dan normal. Pungutan liar dan sogokan dalam pelayanan publik telah diterima sebagai budaya yang sangat sulit dihapuskan. Hal ini tidak lepas penataan kepegawaian negara yang tidak pernah dilakukan secara sungguh. Dapat dikatakan, reformasi kepegawaian negara merupakan agenda terpenting dalam reformasi birokrasi secara keseluruhan. Situasi Problematik Akar permasalahan buruknya kepegawaian negara di Indonesia pada prinsipnya terdiri dari dua hal penting: (1) persoalan internal sistem kepegawaian negara itu sendiri, (2) persoalan eksternal yang mempengaruhi fungsi dan profesiolisme kepegawaian negara. Dan situasi problematis terkait dengan persoalan internal sistem kepegawaian dapat dianalisis dengan memperhatikan subsistem yang membentuk kepegawaian negara. Subsistem kepegawaian negara terdiri dari: (1) rekrutmen, (2) penggajian dan reward, (3) pengukuran kinerja, (4) promosi jabatan, (5) pengawasan. Kegagalan pemerintah untuk melakukan reformasi terkait dengan subsistem-subsistem tersebut telah melahirkan birokrat-birokrat yang dicirikan oleh kerusakan moral (moral hazard) dan juga kesenjangan kemampuan untuk melakukan tugas dan tanggungjawabnya (lack of competencies) (lihat prasojo, 2006). Terkait dengan persoalan rekrutmen dapat disebutkan beberapa situasi problematis yang dihadapi oleh birokrasi di Indonesia. Proses rekruitmen masih belum dilakukan secara profesional dan masih terkait dengan hubungan-hubungan kolusi, korupsi dan nepotisme. Rekruitmen pegawai masih dipandang seakan-akan menjadi kebutuhan proyek tahunan
Reformasi Birokrasi
7
dan bukan sebagai kebutuhan akan peningkatan kualitas pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Indikasi ini sangat nyata apabila dilihat bahwa job analisis sebagai persyaratan untuk menentukan job requirement masih belum dimiliki oleh pemerintah. Ketiadaan persyaratan jabatan telah menyebabkan rekruitmen dilakukan secara serampangan, dan tidak memperhatikan kualifikasi yang dibutuhkan. Itu sebabnya, meskipun dirasakan PNS di Indonesia tidak tahu apa yang dikerjakan, tetapi rekrutmen PNS tetap terus dilakukan. Untuk dapat melakukan dengan baik proses perekrutan, maka spesifikasi tugas dan jabatan harus diketahui secara baik. Ironisnya, banyak sekali PNS yang tidak mengetahui tugasnya, bahkan nama jabatannya. Jika perekrutan dilakukan tanpa mengetahui kebutuhan analisis jabatannya, SDM aparatur pada satuan organisasi menjadi berlebihan dan tidak sesuai dengan beban kerja yang ada. Rekrutmen yang demikian akan semakin memperbanyak pengangguran tidak kentara PNS (disguised unemployment). (lihat, Mujiyono, 2006) Pada sisi lainnya, kepastian tentang jumlah PNS yang dibutuhkan terhadap jumlah penduduk (rasio beban kerja) masih belum dapat dihitung secara baik untuk menentukan jumlah pegawai yang harus direkruit setiap tahunnya. Dari sisi penyelenggaraannya, rekruitmen pegawai masih dilakukan dengan cara-cara yang tidak menjamin kesempatan dan terjaringnya calon-calon yang potensial. Hal ini disebabkan karena rekrutmen masih dilakukan pemerintah, dan bukan oleh sebuah lembaga yang independen (seperti civil service commision). Dengan situasi birokrasi yang syarat dengan KKN, maka proses rekruitmen yang demikian tidak dapat menghasilkan calon-calon yang terbaik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses rekruitmen di Indonesia dilakukan dengan cara-cara penyuapan, pertemanan dan afiliasi. Budaya perekruten yang demikian hanya akan menghasilkan birokrat yang moralnya tidak terjaga dan kompetensinya yang tidak memadai. Problem perekrutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah juga tidak bebas dari masalah. Kuatnya egoisme daerah dan masih menonjolnya hubungan-hubungan persaudaraan dan afiliasi, juga telah menyebabkan proses rekrutmen tidak menghasilkan PNS-PNS yang memenuhi syarat kualifikasi dan akhlak yang baik. Bahkan kecenderungan untuk mengutamakan putra daerah dalam perekrutan PNS saat ini semakin menonjol dengan dilakukannya perekrutan oleh PNS. Itu sebabnya beberapa waktu lalu proses perekrutan PNS di beberapa daerah telah menimbulkan demonstrasi dan situasi chaos (Layanan Publik, 2006) Situasi problematis lainnya dalam perekrutan PNS adalah kekuatan eksternal yang mendorong terjadinya intervensi politik dalam proses
8
Reformasi Birokrasi
rekrutmen. Hal ini disebabkan karena birokrasi di Indonesia masih belum terpisah secara total dengan politik. Keinginan pihak-pihak tertentu – misalnya partai politik- untuk menjadikan birokrasi sebagai mesin politik, juga ikut mempengaruhi sukarnya melakukan reformasi rekrutmen PNS (lihat, Sunantara, 2006). Paling tidak, komitmen partai politik untuk mendorong terjadinya perubahan proses dan substansi rekrutmen akan membantu percepaten perbaikan rekrutmen PNS. Persoalan kedua yang harus menjadi acuan dalam reformasi kepegawaian adalah sistem penggajian PNS. Tingkat kesejahteraan PNS yang rendah sangat mempengaruhi kinerja dan perilaku PNS. Persoalannya terletak pada tidak seimbangnya antara kebutuhan yang harus dikeluarkan oleh seorang PNS, dengan gaji yang diterima. Jika mengikuti logika kehidupan eksisten minimum, maka gaji seorang PNS terendah sebesar Rp. 625.000, hanya dapat hidup setengah bulan saja. Kenaikan gaji yang dilakukan secara bertahap dengan persentase 10-15% tidak merupakan solusi bagi kecukupan PNS untuk memenuhi kebutuhannya selama sebulan. Meskipun UU 43 tahun 1999 tentang Kepegawaian Negara pada prinsipnya menganut sistem merit, tetapi dalam pengaturan dan praktek penggajian PNS di Indonesia masih belum mencerminkan hal tersebut. Hal ini dapat dilihat antara lain dari berbagai persoalan yang menyangkut sistem penggajian di Indonesia. Gaji pokok masih tidak didasarkan standar kompetensi. Hal ini disebabkan bahwa klasifikasi jabatan masih belum didasarkan pada standar kompetensi seseorang. Disisi lainnya, jenis tunjangan sangat banyak, tetapi belum memperhatikan tugas, wewenang dan tanggungjawab serta prinsip-prinsip keadilan. Bahkan, total tunjangan yang diberikan lebih besar dari gaji yang diterima PNS. Banyaknya tunjangan dan jenis-jenis tunjangan yang beragam ini pada akhirnya menyulitkan pengukuran berapa besarnya take home pay seorang PNS. Jika ditambahkan dengan persoalan “pekerjaan proyek”, maka besarnya tunjangan yang diterima PNS semakin sulit diukur dan semakin tidak transparan. Sumber-sumber pembiayaan gajipun sangat beragam,sehingga membuat income seseorang dalam jabatan negara tidak transparan. Bahkan, besarnya gaji yang diterima oleh PNS hanya berkisar 20-30% dari take home pay yang diterima oleh seorang PNS. Ini pula yang menyebabkan pemberian suap dan gratifikasi dalam pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Hal lain yang turut mewarnai carut marutnya sistem penggajian PNS di Indonesia adalah koneksi sistem penggajian dengan sistem penilaian kinerja. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa gaji PNS di Indonesia dibayarkan secara sama tanpa memperhatikan kinerja yang dilakukan.
Reformasi Birokrasi
9
Dengan bahasa lugas, seringkali disebut “pinter goblok, gaji sama (PGPS)”. Tidak berlebihan untuk mengatakan hal tersebut. Bahkan seorang PNS yang tidak memiliki tugas pasti, juga mendapatkan gaji, seperti halnya PNS yang melaksanakan tugasnya dengan baik. Akhirnya, seringkali gaji yang diterima PNS tidak memberikan insentif bagi pelaksanaan kinerja yang semakin baik. Dalam pengertian lain, sistem penggajian PNS belum berdasar pengukuran kinerja. Hal ini pula yang mematikan kreativitas dan inovasi PNS dalam bekerja. Ketiaadaan analisis jabatan dan klasifikasi jabatan menyebabkan penggajian masih belum berbasis pada bobot pekerjaan. Selanjutnya, terkait erat dengan persoalan kepegawaian negara adalah sistem penilaian kinerja. Sangat sulit mencari ukuran untuk mengatakan bahwa PNS di Indonesia memiliki kharakter profesionalisme dalam kinerja. Karena profesionalisme dalam kinerja memiliki ukuran-ukuran yang bisa secara kuantitatif terukur dan dapat diperbandingkan. Selama ukuran yang dijadikan sebagai indikator kinerja seorang PNS adalah Daftar Penilaian Prestasi Pegawai (DP3), maka sulit rasanya mengukur kinerja PNS. Hal ini karena ukuran-ukuran kinerja dalam DP3 sangat bersifat umum dan sangat memungkinkan memasukkan unsur-unsur like dan dislike pimpinan kepada bawahan. Ketidakjelasan pengukuran kinerja mempunyai dampak berupa ketidakjelasan standar promosi jabatan. Seseorang dipromosikan dalam jabatan tidak berdasarkan kinerjanya, tetapi lebih berdasarkan kesetiaannya dan kedekatannya dengan seorang atasan. Bahkan sampai saat ini kita tidak memiliki stock nama pejabat dan pegawai dengan kompetensi dan kinerja yang menjadi dasar promosi jabatan. Persoalan internal lainnya dalam sistem kepegawaian adalah lemahnya pengawasan terhadap perilaku dan disiplin pegawai. Sebagai suatu sistem, maka sub sistem kepegawaian saling terkait. Artinya ketidakjelasan sistem rekrutmen, penggajian, pengukuran kinerja dan promosi juga berdampak pada pengawasan terhadap perilaku dan disiplin pegawai. Keterkaitan ini ibarat lingkaran setan yang sulit ditentukan ujung pangkalnya. Lemahnya penegakkan pengawasan disebabkan oleh ketiadaan standar kinerja, rendahnya gaji, dan promosi yang kental dengan afiliasi. Dalam prakteknya yang terjadi adalah sulitnya mengawasi membengkaknya kekayaan dan harta pegawai, penerimaan hadiah dan gratifikasi menjadi hal yang lumrah, dan kehadiran pegawai menjadi tidak penting lagi. Secara eksternal, carut marutnya sistem kepegawaian di Indonesia juga diwarnai oleh kooptasi partai politik terhadap PNS. Ketidaknetralan PNS seringkali menyebabkan penyalahgunaan kewenangan oleh Pejabat dan PNS. Sulitnya membedakan antara tugas sebagai PNS dan
10
Reformasi Birokrasi
keberpihakannya pada partai politik, menyebabkan sistem kepegawaian tidak lagi berdasarkan kepada sistem merit, tetapi kepada spoil system. Anggaran negara tidak digunakan semestinya, melainkan atas kepentingankepentingan afiliasi politik. Promosi jabatan juga dilakukan atas dasar kedekatan hubungan dengan kolega dan pertemenan politik. Baik problem internal sistem kepegawaian, maupun problem kooptasi politik terhadap birokrasi akan mempengaruhi kinerja birokrasi secara keseluruhan. Karena beberapa reformasi kepegawaian harus diarahkan untuk memujudkan PNS yang profesional, independen dan berbudaya melayani masyarakatnya. Arah Pertumbuhan dan Perubahan Sistem Kepegawaian Untuk mengatasi berbagai persoalan diatas, perlu dilakukan berbagai perubahan sistem untuk menuju arah perubahan yang dikehendaki. Untuk menghasilkan calon-calon PNS yang baik, maka proses rekrutmen merupakan pengungkit utama. Karena itu ada beberapa rekomendasi arah perubahan sistem perekruten. Dalam hal perekrutan, harus dilakukan terlebih dahulu job analisis setiap jabatan dan pekerjaan di semua sektor dan semua level pemerintahan. Hal ini untuk mengetahui job requirement yang dibutuhkan dan harus dipenuhi oleh calon-calon PNS. Persyaratan jabatan dan pekerjaan ini diturunkan dalam materi eksaminasi yang mencerminkan kompetensi yang dimiliki oleh pelamar. Arah perubahan lainnya adalah perlunya dilakukan penghitungan secara pasti existing condition PNS yang ada pada saat ini. Existing condition ini mencerminkan tidak saja jumlah pegawai terhadap penduduk (rasio beban kerja), tetapi juga kualifikasi yang dimiliki oleh pegawai. Kebutuhan pemetaan ini memiliki relevansi terhadap jumlah dan kompetensi caloncalon PNS yang akan direkrut. Sehingga perekrutan PNS bukan hanya sekadar proyek tahunan karena adanya anggaran dan formasi bagi PNS di setiap sektor dan level pemerintahan. Perekrutan harus berdasarkan kepada needs assessment yang telah dilakukan secara cermat. Dalam hal pelaksanaannya, proses perekrutan harus dilakukan oleh lembaga profesional yang independent bukan oleh pemerintah (baik pusat maupun daerah). Pemerintah hanya menjadi regulator dan pengawasan, sedangkan pelaksanaan rekrutmen dilakukan oleh sebuah komisi kepegawaian negara yang anggotanya terdiri dari para profesional, seperti kalangan perguruan tinggi dan profesional swasta lainnya.Komisi Kepegawaian Negara menyiapkan desain materi eksaminasi, pelaksanaan perekrutan, sampai kepada penetapan calon PNS yang terpilih. Untuk
Reformasi Birokrasi
11
menjaga independensi Komisi Kepegawaian Negara, para anggota direkrut secara profesional melalui fit and proper test seperti halnya komisi-komisi lain yang ada pada saat ini. Model-model substansi dan materi eksaminasi dapat dilaksanakan dengan metode patok banding yang digunakan oleh pihak swasta. Dalam hal ini termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi baik dalam pendaftaran sampai proses pengumuman. Proses rekrutmen yang transparan dan terbuka tidaklah menjamin calon-calon PNS yang memiliki kompetensi dan moral yang baik, karena proses rekrutmen hanyalah satu dari subsistem dalam birokrasi. Karena itu, perbaikan perekrutan PNS harus diikuti dengan perbaikan subsistemsubsistem lainnya. Arah pertumbuhan dan perubahan sistem selanjutnya terkait dengan sistem penggajian. Dalam hal ini beberapa catatan yang dibuat oleh Bekke dkk. Reformasi penggajian menurut Bekke harus berdasarkan “individual worker based, training, competency, experience, productivity, or some other attribute” (Bekke, Perry dan Toonen, 1996). Jenjang penggajian bagi PNS dengan demikian harus berdasarkan pada kinerja pekerjaan seseorang, training yang sudah diikuti, kompetensi yang dimiliki, pengalaman, produktivitas, dan beberapa atribut penting. Menaikkan gaji tanpa memperhatikan faktor-faktor tersebut tidak akan berdampak secara efektif bagi peningkatan kinerja birokrasi secara keseluruhan. Bahkan sebaliknya, gaji yang dinaikkan hanya akan menyebabkan inefisiensi. Pada sisi lainnya, Bekke dkk juga mengingatkan agar paritas antara gaji swasta dan negeri untuk beban kerja yang kurang lebih sama tidak boleh terlalu tinggi. Karena hal ini akan menyebabkan interaksi ekonomi politik antara pegawai yang bekerja di sektor publik dengan pegawai di sektor private. Demikian juga, harus dimungkinkan perbedaan besarnya gaji antara individu dan kelompok-kelompo kerja di dalam satu instansi. Untuk mengefektifkan gaji yang diterima dengan kinerja yang diperoleh, maka perlu diatur secara rinci pengaruh reward terhadap kinerja. Dalam pengertian ini, harus dimungkinkannya disinsentif bagi penurunan kinerja. Terkait dengan jumlah besaran gaji yang harus dinaikkan, penulis berpandangan bahwa upaya yang dilakukan selama ini dengan cicilan kenaikan sebesar 10%-15%, tidak memiliki dampak yang besar bagi peningkatan kinerja. Hal ini karena, kenaikan dengan cicilan tersebut serta merta diikuti dengan kenaikan inflasi, disamping juga tidak memenuhi unsur kecukupan dan kebutuhan minimal. Dengan memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi tersebut, maka penulis berpandangan agar kenaikan gaji PNS dilakukan dengan menghitung jumlah besaran eksisten minimum kehidupan
12
Reformasi Birokrasi
layak seorang PNS dengan memperhatikan jabatan, kompetensi, kinerja, jumlah keluarga tingkat kemahalan dan faktor-faktor lain. Sejauh ini persoalan menaikkan gaji sesuai dengan kebutuhan minimum sangat terganjal oleh komitmen pemerintah untuk menyediakan dana yang dibutuhkan. Arah pertumbuhan dan perubahan sistem lainnya yang harus dilakukan adalah pengukuran kinerja. Instrumen penting dalam hal ini adalah adanya kesepakatan kinerja antara seorang PNS dengan unitnya, dan antara satu unit dengan instansinya. Hal ini sejatinya sudah diwacanakan dengan konsep kontrak kinerja. Hanya saja implementasi kontrak kinerja ini belum optimal, disebabkan oleh konsep dan political will pemerintah yang masih rendah. Melihat apa yang dilakukan di beberapa negara, kontrak kinerja ini dilakukan dalam bentuk tim melalui apa yang disebut sebagai kontrak menajemen. Setiap tim (unit) membuat indikator-indikator kinerja yang akan dicapai dalam kurun waktu tertentu (satu bulan, tiga bulan, enam bulan dan satu tahun). Dan setiap individu dalam tim, harus melaksanakan sejumlah indikator yang telah ditetapkan. Indikator-indikator yang telah disusun dievaluasi oleh kepala unit dan seterusnya oleh kepala instansi pemerintah. Tercapainya indikator akan menentukan juga reward dan punishment yang akan diberikan. Hal ini juga sekaligus menjadi catatan penting dalam kinerja dan promosi seseorang. Arah pertumbuhan lain yang dikehendaki untuk melakukan reformasi kepegawaian adalah penguatan pengawasan kode etik dan perilaku terhadap PNS. Dalam konteks ini ada dimensi yang harus diperhatikan. Pertama, terkait dengan lembaga yang akan melakukan pengawasan, kedua terkait dengan substansi pengawasan. Berkaca dari praktek di beberapa negara, pengawasan terhadap PNS dilakukan oleh lembaga-lembaga independen yang profesional (seperti civil service gift commission, civil service property commission). Sedangkan menyangkut dimensi substansi dapat meliputi pengawasan terhadap harta dan kekayaan PNS, pengawasan terhadap kode etik, pengawasan penerimaan hadiah, dan pengawasan terhadap PNS yang sudah pensiun. Sedangkan menyangkut kooptasi politik terhadap birokrasi, perlu kiranya dilakukan reformasi hubungan antara pejabat politik dan pejabat karir. Pemisahan antara pemilihan pejabat politik dan pejabat karir dalam suatu jabatan dimaksudkan untuk menjamin agar birokrasi tidak diisi oleh pejabat-pejabat politik, tetapi oleh pejabat-pejabat karir yang telah meniti karir melalui jenjang karir dan merit yang jelas. Perlu kiranya memikirkan pemisahan antara kementrian (yang dipimpin oleh seorang menteri) dan birokrasi (dengan istilah baru penulis “Departemen”) yang dipimpin oleh
Reformasi Birokrasi
13
seorang pejabat karir. Sedangkan untuk mengakomodasi kepentingan politik menteri, perlu ditunjuk pejabat politik sebagai staf khusus menteri. Penutup Reformasi kepegawaian merupakan salah satu sub sistem reformasi birokrasi. Keberhasilan reformasi birokrasi akan sangat ditentukan oleh keberhasilan reformasi kepegawaian. Dalam reformasi kepegawaian maka subsistem yang harus direformasi adalah sistem perekrutan, penggajian, pengukuran kinerja, promosi dan pengawasan terhadap etik dan perilaku PNS. Upaya yang tidak sistematis dan komprehensif, hanya akan menimbulkan persoalan baru dalam birokrasi.
Daftar Kepustakaan Prasojo, Eko, “Reformasi Birokrasi di Indonesia: Beberapa Catatan Kritis”, dalam: Jurnal Bisnis dan Birokrasi, Vol. XIV/1/Januari 2006. Sunantara, I Gede Arya, “Rekiblatisasi Peran Strategis Korpri: Sebagai Garda Depan Birokrasi Indonesia”, dalam: Jurnal Bisnis dan Birokrasi, Vol. XIV/1/Januari 2006. Layanan Publik, “Menpan Penuhi Janji”, Tahun II, Edisi XI, 2006. Mujiyono, “CPNS dan Pemberdayaan Aparatur”, dalam: Jurnal Layanan Publik, Tahun II, Edisi XI, 2006 Bekke, Hans; Perry James; Toonen,Theo, Civil Servive System in Comparative Perspective, Indiana University, 1996.
14
Reformasi Birokrasi
REFORMASI KELEMBAGAAN UNTUK MEWUJUDKAN CITA-CITA BANGSA *
Sofian Effendi
Salah satu bagian penting dari reformasi kelembagaan yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia adalah desentralisasi untuk pemberdayaan pemerintahan lokal. Untuk melaksanakan kebijakan tersebut, pada 1999 sebagai bagian dari kebijakan reformasi politik dan pemerintahan, Pemerintah Indonesia menerbitkan UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999. Untuk mengevaluasi bagaimana pelaksanaan kebijakan tersebut, pada 2003-2004, Tim dari Universitas Gadjah Mada dan Bank Dunia melakukan survei yang cukup komprehensif untuk mengevaluasi dampak desentralisasi, khususnya terhadap cakupan dan kualitas pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Survei “Tata Pemerintahan dan Desentralisasi” tersebut merupakan bagian dari survei tentang pelaksanaan desentralisasi di 6 negara Asia Timur yaitu Kambodja, RRC, Indonesia, Filipina, Muangthai dan Vietnam. 1 Seperti halnya negara-negara di Asia Timur, tujuan pokok kebijakan desentralisasi yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia adalah untuk mengadakan transformasi mendasar terhadap struktur pemerintah. Indonesia mengadakan perubahan secara drastis dan cepat struktur pemerintah yang amat sentralistis pada awal 2000. Sejak itu kewenangan pemerintahan dilimpahkan kepada Kabupaten dan Kota, sementara kepada Propinsi selain mendapat limpahan fungsi pemerintahan dari pusat juga mendapat tugas untuk melaksanakan sebagian fungsi pemerintah pusat di daerah (dekonsentrasi kewenangan). Diharapkan melalui transformasi tersebut akan terjadi peningkatan dalam kemampuan pemerintah daerah
Reformasi Birokrasi
15
menyelenggarakan pembangunan ekonomi daerah, menyediakan pelayanan umum, dan menyelenggarakan tata pemerintahan daerah. Hasil yang telah dicapai oleh Indonesia dalam bidang ekonomi memang belum cukup menggembirakan dan berhasil seperti di RRC dan Vietnam. Pengeluaran pemerintah daerah di Indonesia belum sampai sepertiga pengeluaran total pemerintah, sedangkan di RRC pengeluaran tersebut telah mencapai hampir 70 persen dan di Vietnam hampir 50 persen. Ketika mendampingi Menristek pada kunjungan kerja ke beberapa provinsi di RRC, saya pernah menanyakan kepada pejabat pemerintah pusat yang mengantarkan kami mengapa pemerintah daerah di China lebih besar peranannya dalam pembangunan ekonomi daerahnya. Beliau mengatakan bahwa keadaan tersebut sebenarnya not by design, tetapi lebih karena keterpaksaan. Karena Pemerintah Pusat tidak punya sumber daya untuk membangun daerah, maka daerah diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan pembangunan di daerah masing-masing. Hasilnya amat positif, pemerintah daerah di RRC mampu membangun sistem pemerintahan daerah yang mampu menyelenggarakan tugas pembangunan dan pemerintahan. Sejak desentralisasi digulirkan, kemampuan pemerintah daerah sudah mulai tumbuh, dan kalau kemajuan ini dapat berlanjut sangat mungkin desentralisasi pemerintahan akan mampu mempercepat penciptaan kemakmuran di daerah. Namun perlu diingat sejak awal bahwa langkahlangkah yang ditempuh oleh beberapa pemerintah daerah untuk mempercepat laju pembangunan daerah melalui pinjaman daerah dan nasional, aktivitas fiskal non-anggaran, dan akses lebih luas ke pasar modal nasional dan internasional, mengandung resiko cukup besar baik bagi daerah mau pun bagi pemerintah pusat. Untuk itu sejak awal harus dirancang adanya sistem kelembagaan, pegaturan dan pemantauan yang efektif. Survei Tata Pemerintahan dan desentralisasi2 yang dilakukan oleh UGM dan Bank Dunia itu juga menunjukkan bahwa desentralisasi mempunyai dampak positif terhadap kualitas pelayanan publik. Dari 1.815 responden rumah tangga di 8 provinsi diperoleh hasil sebagai berikut. 65 % menyatakan ada perbaikan dalam layanan kesehatan 60 % menyatakan ada perbaikan dalam pelayanan pendidikan 59 % menyatakan ada perbaikan dalam pelayanan umum pemerintahan. 64 % menyatakan belum ada perubahan dalam layanan kepolisian. Namun, di balik hasil yang cukup menggembirakan tersebut, survei ini juga mengungkapkan bahwa korupsi dan inefisiensi masih merupakan masalah yang cukup merisaukan dalam pelaksanaan desentralisasi. Joel Hellman, penasihat Tata Pemerintahan di Perwakilan Bank Dunia untuk
16
Reformasi Birokrasi
Indonesia menyimpulkan bahwa “desentralisasi belum mampu mengatasi korupsi, biaya tinggi dan peranan hubungan pribadi dalam pelayanan umum, padahal semuanya itu amat membebani masyarakat miskin”. Karena itu, lanjutnya “masih ada agenda besar yang belum terselesaikan dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia, yaitu perlunya peningkatan akuntabilitas “. Dari temuan Survei ini dapat disimpulkan bahwa desentralisasi yang telah berlangsung dengan cepat di Indonesia dapat menimbulkan ancamanancaman jangka panjang. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah antisipatif yang bertujuan. - Meningkatkan sistem organisasi antarpemerintah. Setelah desentralisasi pemerintah daerah mempunyai tugas yang semakin meningkat untuk mendorong pembangunan ekonomi derah, menyediakan layanan publik dan layanan umum pemerintahan. Tetapi sistem pemerintahan, khususnya tentang hubungan antara pusat dan daerah masih lemah dan belum efektif. Untuk mengatasj keadaan tersebut perlu diadakan pengaturan yang lebih efektif tentang penetapan kewenangan finansial pusat dan daerah. - Memperkuat struktur fiskal dan finansial antarpusat dan daerah. Desentralisasi pemerintahan sebenarnya telah mendorong pelimpahan kewenangan keuangan dari pusat ke daerah. Tetapi distribusi dana melalui perimbangan keuangan tidak selalu merata dan adil, padahal kemampuan daerah untuk menggali dana dan mengendalikan penggunaan dana juga amat terbatas. Untuk itu kemampuan daerah untuk meningkatkan pendapatannya perlu terus didorong, termasuk kemampuan untuk mengendalikan pengeluaran. - Memperkuat sistem akuntabilitas pemerintah daerah. Sistem pengelolaan keuangan daerah dalam kenyataannya masih mengandung berbagai kelemahan, pemeriksaan keuangan belum efektif dan kendali pusat terhadap sumber daya aparatur daerah, anggaran dan penggajian yang besar ternyata mempengaruhi pertumbuhan kemampuan daerah. . Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dirancang kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan akuntabilitas daerah melalui pengawasan dan pemantauan oleh masyarakat mau pun oleh pusat. Kelembagaan Independen untuk Pengelolaan Pemerintahan Reformasi politik yang berlangsung dengan cepat sejak 1998 ternyata tidak diikuti oleh perubahan yang besar pada penyelenggaraan pemerintahan. Akibatnya sistem pemerintahan termasuk pranata-pranata yang diperlukan
Reformasi Birokrasi
17
untuk mendukung sistem politik demokratis dan sistem ekonomi pasar yang lebih terbuka belum sepenuhnya tersedia. Salah satu pranata tersebut adalah sistem kepegawaian meritokratik. Landasan hukum untuk sistem kepegawaian meritokratik yang bertujuan untuk menjamin agar birokrasi pemerintah bersih dari intervensi politik sebenarnya sudah ada yaitu UU No.43 tahun 1999. Untuk menjamin agar birokrasi pemerintah bersih dari praktek “spoilled’ dan pengelolaan aparatur negara betul-betul terlaksana secara meritokratik, UU tersebut memperkenalkan konsep kelembagaan independen sebagai pembantu Presiden untuk merumuskan kebijakan-kebijakan kepegawaian negeri yang harus dilaksanakan oleh berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah. Pasal 13 Ayat (3) UU No 43 Tahun 1999 tentang Perubahan terhadap UU No.8 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian Negara menetapkan adanya komisi independen tersebut yaitu Komisi kepegawai Negara yang terdiri atas 5 anggota yang mewakili stakeholder penting yang belum dibentuk oleh Pemerintah. Bentuk lembaga independen seperti ini makin banyak digunakan di berbagai negara karena dipandang sebagai bentuk kelembagaan yang lebih cocok untuk mewadahi proses perumusan kebijakan yang lebih demokratis. Di banyak negara maju, independent civil service commission, yang terdiri 3 sampai 21 anggota telah digunakan karena dipandang lebih mampu menjamin proses perumusan kebijakan kepegawaian meritokratik. Sebagai salah seorang penyusun yang terlibat langsung dalam penyusunan UU No.43 tahun 1999, saya dapat bercerita sedikit tentang kerangka pemikiran yang mendasari pengusulan Komisi Kepegawaian tersebut. Sekitar tahun 1998-99 para perumus memperkirakan setelah Pemilu 1999 akan terjadi perubahan yang cukup mendasar dalam sistem pemerintahan dan kepegawaian Indonesia. Jumlah partai yang ikut dalam Pemilu meningkat secara drastis dan mencapai lebih dari 100 partai, sistem pemerintahan akan mengalami perubahan yang sangat fundamental, dari sistem dominasi satu partai yang relatif stabil menjadi sistem multi-partai yang relatif kurang stabil. Seiiring dengan perubahan sistem pemerintahan, pelaksanaan UU No.22 Tahun 1999 telah menyebabkan perubahan yang sangat mendasar pada hubungan pusat dan daerah. Kedua perubahan mendasar ini memerlukan sistem kepegawaian yang lebih terstandardisasi, lebih berorientasi stratejik serta lebih desentralistis dalam implementasinya. Agar dapat melaksanakan fungsi dan tugas yang baru ini sebagian besar beban operasional kepegawaian harus didelegasikan kepada instansi operasional, baik departemen, lembaga non departemen
18
Reformasi Birokrasi
mau pun pemeriantah daerah. Otoritas kepegawaian nasional seharusnya lebih memusatkan pada perumusan standar dan norma kepegawaian nasional, mengawasi pelaksanaan dari norma dan standar nasional kepegawaian, termasuk menyusun kebijakan penggajian, kesejahteraan dan evaluasi kinerja PNS. Singkatnya, otoritas kepegawaian akan lebih bersifat regulating daripada implementing. Otoritas kepegawaian untuk melaksanakan fungsi dan tugas regulasi tersebut tidak akan berjalan baik dalam wadah lembaga pemerintah non departemen (LPND) yang konvensional. yang dipimpin oleh seorang kepala seperti yang kita kenal. Pada suatu sistem pemerintahan yang demokratis. otoritas kepegawaian sebaiknya dilaksanakan oleh LPND yang dipimpin oleh Komisi (Commission). Dalam text-book administrasi, struktur seperti itu disebut multi-headed board. Sebenarnya di dalam sistem pemerintahan Indonesia bentuk semacam itu sudah mulai dikenal, misalnya, KPKPN (Komisi Pemeriksaan Kekayaan Pejabat Negara), Komisi HAM, dan KPU (Komisi Pemilihan Umum). Sekarang sudah saatnya bentuk kelembagaan yang lebih akomodatif dan regulatif ini dikenalkan pada tatanan birokrasi pemerintah, untuk mengelola fungsi-fungsi regulasi dalam pemerintahan. Demikianlah lebih kurang kerangka fikir para perumus pada waktu mengusulkan Komisi Kepegawaian. Di negara lain komisi kepegawaian mulai mulai lebih disukai daripada badan kepegawaian. Hampir semua negara Asia sekarang ini menggunakan bentuk komisi atau Civil Service Commission untuk menjalankan fungsi kepegawaian. Indonesia termasuk negara yang lamban mengadakan structural adjustment dalam bidang kepegawaian. Kalau Pemerintah Indonesia dapat menerima usulan dari para peserta Diklatpim-LAN tentang kelembagaan untuk menjalankan fungsi reformasi administrasi dan kepegawaian, ada dua pertanyaan terkait yang perlu dicari jawabannya. Yang pertama, perlukan Komisi independen tersebut dipimpin langsung oleh Presiden? Yang kedua, apakah kementerian merupakan format organisasi yang tepat untuk menjalankan fungsi koordinatif reformasi administrasi dan kepegawaian? Menurut penulis, Komisi Kepegawaian atau Civil Service Commission yang terdiri dari 5-7 anggota harus diberikan kemandirian yang memadai dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Karena itu komisi tidak perlu dipimpin langsung oleh Presiden, apalagi kalau Presiden masih merangkap jabatan ketua partai. Selama otoritas pengangkatan pejabat teras pemerintahan tetap dipegang oleh presiden. tak perlu khawatir dengan bentuk komisi independen.
Reformasi Birokrasi
19
Dengan adanya Komisi Kepegawaian, peranan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara harus diredifinisi dan lebih diarahkan pada koordinasi perumusan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan good governance. Saat ini kebijakan good governance yang dijalankan oleh Pemerintah mencakup beberapa bidang pokok antara penataan sistem pemerintahan, desentralisasi pemerintahan atau otonomi daerah, penataan sistem keuangan negara, serta penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Pemberantasan KKN Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme adalah bagian terpenting reformasi tata pemerintahan yang telah dilakukan oleh Pemerintah. Mulai terbukanya berbagai skandal korupsi yang menyangkut bank-bank pemerintah, komisi-komisi independen, lembaga eksekutif, lembaga legislatif, komisi independen dan lembaga judikatif mungkin dapat menjadi penunjuk betapa serius pemerintah berusaha memberantas korupsi yang telah sangat mencemarkan nama bangsa ini di lingkungan masyarakat internasional. Namun, walaupun kerangka dan strategi pemberantasan korupsi yang cukup komprensif telah tersusun, mulai dari reformasi hukum, pembentukan jaringan pengawasan masyarakat (community corruption watch), dan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi dan berbagai lembaga penyelidikan tindak korupsi, harus difahami bahwa kemajuan yang cukup berarti dalam upaya pemberantasan tindak korupsi perlu waktu. Karena itu upaya pemberantasan korupsi di Indonesia haruslah lebih diarahkan pada penataan sistem hukum, sistem ekonomi, sistem pemerintahan dan sistem administrasi yang tidak memungkinkan terjadinya praktek korupsi. Gerakan pemberantasan KKN yang dilaksanakan oleh Pemerintah pada tahun pertama ini memang mampu untuk menimbulkan kembali harapan masyarakat yang sebelumnya hampir padam. Namun sayangnya gebrakan-gebrakan pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah baru mampu mengungkapkan kasus-kasus yang relatif kecil dan bahkan dapat dipandang sebagai kasus “membakar rumah untuk menangkap. tikus”, seperti yang terjadi pada kasus KPU, penangkapan para anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat, Gubernur suatu provinsi di Sumatra, beberapa unsur pimpinan bank BUMN, dan kasus DAU. Memang semua pelaku penyimpangan tersebut perlu ditindak, tetapi seharusnya pemerintah seharusnya lebih memproritaskan penindakan terhadap para koruptor kelas
20
Reformasi Birokrasi
kakap yang telah merugikan negara puluhan dan ratusan trilyun, yang hingga saat ini masih bebas berkeliaran. Yang lebih penting yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan penataan sistem yang betul-betul mampu menghambat praktek korupsi. Kesimpulan Reformasi kelembagaan adalah prasyarat mutlak yang diperlukan untuk menjamin berlangsungnya pengelolaan pemerintahan yang demokratis serta sistem ekonomi yang dapat menciptakan keadilan sosial bagi semua. Sayangnya model yang berhasil diterapkan suatu negara tidak dapat diterapkan begitu saja di Indonesia, karena belum tentu model yang cocok untuk suatu bangsa juga akan cocok untuk Indonesia. Karena itu, Indonesia harus berani mencari sistem pemerintahan dan sistem ekonomi yang sosio-demokratis yang dianggap paling sesuai dengan budaya bangsanya. Para pendiri negara menganggap corak bangsa Indonesia —gotong royong atau kekeluargaan— seharusnya merupakan landasan dasar dalam pemikiran tentang kedua sistem tersebut. Sayangnya, strategi dan kebijakan penataan kelembagaan yang ditempuh oleh Pemerintah selama ini, terutama selama 1 tahun pertama Pemerintahan KIB (Kabinet Indonesia Bersatu) belum menjadikan budaya bangsa tersebut sebagai landasan dalam reformasi kelembagaan. Akibatnya, reformasi kelembagaan yang telah dilakukan bukannya menciptakan landasan kelembagaan yang semakin mantap dan semakin adekuat untuk melaksanakan pemerintah buat mencapai cita-cita bangsa. Bahkan sebaliknya, komplikasi baru timbul yaitu ancaman entrofi pemerintahan nampak semakin nyata dan semakin mengancam kelangsungan pemerintahan KIB. Catatan kaki *
Makalah yang disampaikan pada Simposium Nasional “Mewujudkan Cita-cita Bangsa: Mengatasi Transisi yang Tidak Pasti” di Malang, Noovember 2005, kerjasama The Habibie Center dan Universitas Muhammadiyah Malang. Naskah telah diedit (Red).
1
Survei ini adalah bagian dari survey yang lebih besar yang mencakup 6 negara Asia Timur yang hasilnya dilaporkan dalam “East Asia Decentralization -Making Local Government Work”. Dapat diakses melalui: http://www.worldbank.orgleapdentralizes.
2
Mohammad Al-Arief, “Hasil Survei Terakhir Mayoritas Penduduk Indonesia Merasa Ada Perbaikan Pelayanan Umum”. www.worldbank.org/eapdecentralizes 11/29/2005
Reformasi Birokrasi
21
MEWUJUDKAN PLURALISME BIROKRASI DI INDONESIA R. Siti Zuhro “If there is to be lasting reform in Indonesia, the government must confront Soeharto’s authoritarian legacy head on and this is the place to begin”. (Human Rights Watch, 1998)
Pengantar Issu reformasi birokrasi dan demokratisasi di Indonesia menjadi tema sentral diskursus bidang politik pasca Gerakan Reformasi 1998. Hal ini karena terdapat hubungan yang erat antara birokrasi dan demokrasi. Menurut Etzioni-Halevi (1985:54), reformasi birokrasi dapat berjalan bersama seiring dengan proses demokratisasi, dan demokratisasi dapat mempromosikan pembangunan birokrasi. Dengan kata lain semakin demokratis sistem pemerintahan, semakin besar peluang untuk mereformasi birokrasi. Sebaliknya, semakin netral dan profesional birokrasi, semakin besar kemungkinan terciptanya demokrasi politik. Krusialnya isu reformasi birokrasi ini tidak dapat dilepaskan dari pengalaman pahit birokrasi di era Orde Barunya Soeharto, yang mengalami politisasi cukup lama. Di era itu birokrasi digunakan sebagai alat untuk mempertahankan staus quo. Sementara Partai politik (parpol) nyaris tak berfungsi sebagaimana layaknya parpol di negara demokrasi. Proses kebijakan publik hanya melibatkan elit birokrat dan militer, sementara parlemen dan partai politik serta kekuatan masyarakat tidak memiliki akses dalam proses tersebut (Zuhro, 1997:46-48). Pasca Gerakan Reformasi 1998, Indonesia mengalami proses transisi yang melibatkan pelembagaan politik sebagai upaya konsolidasi demokrasi dan desentralisasi pemerintahan. Proses transisi ini tentunya menghasilkan beberapa hal positif bagi bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya
22
Reformasi Birokrasi
meningkatkan partisipasi politik rakyat, tapi juga menimbulkan kekhawatiran yang cukup besar akan dampak negatifnya (Mishra, 2002:1). Tulisan ini akan membahas hubungan antara Gerakan Reformasi dan tuntutan reformasi birokrasi dengan memfokuskan pada gerakan netralitas birokrasi dan dampaknya terhadap demokratisasi pada umumnya dan penciptaan pluralisme birokrasi pada khususnya. Bahwa relatif berhasilnya mewujudkan netralitas birokrasi – khususnya dalam memperkuat hak politik pegawai negeri sipil dan kesetaraan partai politik – merupakan hal penting untuk membangun iklim demokrasi. Lebih dari itu, gerakan netralitas birokrasi juga memunculkan pluralisme birokrasi (bureaucratic pluralism), dimana format kebijakan lebih merupakan hasil dari kompetisi aktor-aktor ketimbang monopoli negara. Salah satu indikasi penting yaitu peluang untuk mempengaruhi kebijakan publik lebih dimungkinkan dan juga relatif meningkatnya tanggungjawab birokrasi terhadap masalah-masalah sosial dan tekanan sosial. Kebangkitan reformasi: Tekanan dari bawah Sejak awal tahun 1990-an partai politik relatif mendapatkan kebebasan dalam pemilihan umum, demikian juga organisasi masyarakat menjadi lebih cair dan kompetitif (MacIntyre, 1994:14). Meskipun pada periode itu terdapat tuntutan yang besar untuk reformasi politik, demokratisasi tidak hadir sampai akhir tahun 1990-an. Indonesia mengalamai perubahan politik secara gradual dalam periode 1989-1992 yang ditandai dengan posisi kunci di eksekutif ditentukan melalui pemilihan. Kecenderungan ini dilanjutkan dengan diterapkannya sistem multi-partai dan pemilu yang relatif demokratis tahun 1999 dan pemilihan presiden langsung tahun 2004. Arti penting dari fenomena-fenomena ini adalah bahwa Indonesia bergeser dari sistem demokrasi perwakilan (melalui partai politik) ke demokrasi partispatorif untuk menggantikan struktur otoritarian. Menariknya, kecenderungan ini secara reltif bahkan berlangsung beberapa tahun sebelum Soeharto jatuh. Sebagai hasilnya, kekuasaan partai politik dan parlemen relatif bisa mengimbangi kekuasaan eksekutif atau presiden. Lebih dari itu, peran kekuatan sosial (societal forces)1 menjadi lebih penting sejak Gerakan Reformasi, sehingga korupsi di birokrasi menjadi lebih tampak dan makin terkuak. Korupsi menyebar mulai dari birokrasi pusat sampai level yang paling bawah. Sebagaimana tercatat, korupsi yang terjadi di pemerintahan pada tahun 1980-an dan 1990-an secara umum cukup meningkat, khususnya diantara lingkaran keluarga Soeharto dan para kroninya (Liddle, 1999:105). Bahkan korupsi di Indonesia lebih
Reformasi Birokrasi
23
memprihatinkan dibanding dengan negara lainnya yang mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau korupsi menjadi isu sentral bagi Gerakan Reformasi. Masalah korupsi ini adalah hal yang paling berat yang dihadapi Indonesia di era transisi. Tidak seperti halnya Thailand dan Korea yang cukup berhasil mengatasi krisis dengan mengedepankan management baru yang berorientasi pada reformasi pemerintahan dan pelaksanaan demokrasi, pemerintah Orde Baru tidak mampu menyesuikan dengan perkembangan ekonomi baru dan situasi politik selama periode 1997-1998.2 Sebagai hasilnya, legitimasi pemerintahan Soeharto menurun drastis dan ia kehilangan kepercayaan dari rakyat. Krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi pada periode itu memicu munculnya Gerakan Reformasi 1998. Selain itu, otoriatarinisme dan maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di bawah kepemimpinan Soeharto, juga merupakan faktor pemicu yang tak kalah penting bagi gerakan ini. Mahasiswa, akademisi, aktivis partai dan beberapa politisi ikut bergerak, menuntut perubahan menyeluruh di bidang sosial, ekonomi dan hukum dan diterapkannya sistem demokrasi. Lebih dari itu, Gerakan Reformasi juga menuntut agar KKN diberantas karena merugikan negara dan menghambat proses demokratisasi. Kejatuhan Soeharto dari kursi kepresidenan tidak serta merta membuat demokrasi di Indonesia berjalan mulus. Perubahan yang cukup signifikan yang tampak adalah adanya transparansi di era transisi yang melibatkan partisipasi politik masyarakat secara signifikan. Perubahan ini menghadirkan suatu hal yang berbeda bagi segmen utama masyarakat, meski ini tidak perlu didefinisikan sebagai demokrasi liberal. Dapatlah disimpulkan bahwa sejak tahun 1998 kecenderungan bangkitnya partisipasi masyarakat (societal participation) tidak hanya menjadi lebih eksplisit, tapi juga makin meningkat. Artinya bahwa perubahan politik yang muncul pada tahun itu terutama disebabkan oleh tekanan yang kuat yang berasal dari rakyat untuk sebuah reformasi total. Gerakan netralitas birokrasi Gerakan netralitas birokrasi yang dimotori oleh sejumlah dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) atau disebut juga ‘Forum Salemba’3, merupakan gerakan yang berkaitan langsung dengan Gerakan Reformasi 1998. Munculnya kesadaran yang tinggi tentang perlunya mengubah tingkah laku, sikap dan orientasi dan budaya pegawai negeri sipil sebagai aparat birokrasi publik, merupakan faktor penting pendorong munculnya gerakan netralitas. Dampak dari gerakan ini relatif signifikan
24
Reformasi Birokrasi
karena ikut mendorong terwujudnya pemilu yang jujur, bebas dan adil, khususnya dalam pemilu 1999. Kesadaran penting lainnya juga muncul melihat birokrasi Indonesia yang masih berjuang meningkatkan transparansi, efektivitas, efisiensi, profesionalisme dan akuntabiltas birokrasi. Termasuk juga upaya menciptakan good governance – pemerintahan yang berdasarkan hukum, kebijakan yang transparan, dan pemerintahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Good governance juga menciptakan hubungan yang memadai antara negara-masyarakat (state-society), yang menghargai keterlibatan rakyat dalam semua proses kebijakan politik. Fisibilitas proses ini disebut transparansi, sedangkan akuntabilitas merujuk pada kondisi dimana hasil keputusan politik sedapat mungkin bisa dipertanggungjawabkan (Indonesia Human Development Report, 2001:24-25). Akuntabilitas dapat diperbaiki bila ada keterbukaan yang cukup besar. Gagasan netralitas didasarkan atas kemungkinan memisahkan politik dari karir administrasi (public service) dalam pemerintahan dan depolitisasi public service. Menurut Asmerom dan Reis (1996:22-23), netralitas birokrasi memerlukan beberapa karakteristik penting: “Politics and policy are separated from administration; public servants are appointed and promoted on the basis of merit rather than on the basis of party affiliation or contributions; public servants do not engage in partisan political activities; public servants do not express publicly their personal views on government policies or administration; public servants provide forthright and objective advice to their political masters in private and confidence. In return, political executives protect the anonymity of public servants by publicly accepting responsibility for departmental decisions”. Lebih lanjut Asmerom dan Reis (1996:27) juga berpendapat bahwa birokrasi yang tidak terpolitisasi akan menjamin stabilitas pemerintahan ke depan. Dua pakar ini juga mengatakan bahwa netralitas dari public service adalah komplementer terhadap merit system, dimana sistem rekrutmen dan promosi dalam berbagai posisi di public service ditentukan oleh merit, yaitu yang mendasarkan pada mekanisme legal rasional dan bukannya mendasarkan pada afiliasi politik atau patronase. Merit system ini memberikan keuntungan berupa terciptanya sistem yang langgeng, berkesinambungan, stabil dan imparsialitas dalam public service dan membangun profesionalisme. Karakteristik birokrasi seperti ini menekankan bahwa idealnya birokrasi tidak berpolitik, terbebas dari konflik dan hanya fokus pada adminsitrasi dan rasionalitas (Asmerom dan Reis, 1996). Hal
Reformasi Birokrasi
25
ini tentunya relevan dengan birokrasi Indonesia di era transisi yang sedang berupaya untuk mendepolitisasikan institusinya. Adapun gerakan netralitas birokrasi menuntut tiga hal penting, yaitu: (1) mengakhiri politisasi birokrasi yang sangat marak di era Orde Baru; (2) pegawai negeri sipil netral di dalam pemilu; dan (3) Korpri tidak boleh mendukung salah satu partai politik. Tiga tuntutan ini mengindikasikan dengan jelas bahwa gerakan netralitas secara tegas menuntut birokrat agar netral dalam politik, yaitu tidak aktif dan terlibat mendukung partai tertentu sementara mereka masih menjadi PNS. Gerakan ini mendapat dukungan dari Menteri Penerangan, Yunus Yosfhia dan sekretarisnya I.G.K Manila dengan menghapus Korpri di departemennya. Menurut mereka tidak ada gunanya mempertahankan Korpri karena dianggap tidak relevan dengan aspirasi dan kepentingan PNS. Demikian juga dengan Departemen Kehutanan yang mengumumkan netralitasnya dan tidak akan berafiliasi dengan partai tertentu. PPP dan PDI dan kelompok muda Golkar juga ikut mendukung gagasan netralitas birokrasi (Republika, 5 Januari 1999). Bahkan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ikut menyemangati dan mendukung ide tersebut yang disampaikan melalui tulisan kritisnya di media massa. Menariknya kritik yang disampaikan para peneliti ini mendapatkan dukungan dari Kepala BAKN, Prof Sofian Effendi, yang menegaskan bahwa peneliti mempunyai hak untuk berbicara atas nama aspirasi rakyat. Meskipun gerakan netralitas ini mendapat kecaman dari Ketua Korpri pusat, Feisal Tamin, yang mengatakan bila Korpri dibubarkan maka tidak akan ada lagi PNS, tekad untuk mewujudkan birokrasi yang netral tidaklah surut. Untuk merespon kecaman Feisal Tamin itu, Yunus Yosfhia mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara Korpri dan rekrutmen PNS. Bubarnya Korpri di Departemen Penerangan merupakan perwujudan dari aspirasi anggota Korpri itu sendiri (Kompas, 15 Juni 1999). Polemik ini justru mendorong gerakan netralitas birokrasi makin meluas dan relatif berpengaruh sampai ke tingkat pemerintah daerah. Dengan meluasnya gerakan netralitas ke daerah-daerah, makin besar pula peluang meluasnya pluralisme birokrasi di daerah. Kiranya jelas bahwa gerakan reformasi dan netralitas tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Bila Gerakan Reformasi dianggap sebagai perjuangan untuk memperbaiki sistem politik, sosial, ekonomi dan hukum, maka gerakan netralitas lebih memfokuskan pada perbaikan birokrasi. Lebih
26
Reformasi Birokrasi
dari itu, Gerakan Reformasi terutama ditujukan untuk memberantas KKN, sedangkan gerakan netralitas merupakan respons terhadap meluaskan tuntutan untuk mewujudkan good governance, yang cenderung meningkat tajam setelah Soeharto tumbang. Gerakan netralitas juga lebih memfokuskan pada upaya untuk merekonfigurasi birokrasi dalam rangka memperbaiki kualitasnya dan mewujudkan pemilu yang bebas dan jujur, dan untuk membantu mengurangi KKN. Dampak positif lainnya: publik menjadi sadar arti pentingnya mendemokratisasikan (democratising) dan mendebirokratisasikan (debureaucratising) Indonesia untuk kepentingan pemulihan ekonomi Indonesia. Peran kekuatan sosial dalam gerakan netralitas Meskipun gerakan netralitas birokrasi awalnya dimotori oleh ‘Salemba Forum’ dan elit politik tertentu, gerakan ini mendapat dukungan luas dari kekuatan sosial dalam masyarakat. Peran mereka ini sangat krusial dalam mem-pressure pemerintah untuk menerapkan peraturan yang tegas tentang PNS. Mereka menanyakan keberadaan birokrasi yang dalam banyak hal makin merosot kualitasnya setelah tumbangnya Soeharto. Perdebatan luas mengenai issu netralitas birokrasi pun digelar sejak periode 1998-1999. Tidak sedikit tulisan kritis berkaitan dengan isu itu dimuat dalam media massa seiring dengan perdebatan yang memanas di parlemen yang membahas issu yang sama. Tulisan-tulisan di media massa tersebut sedikit banyak berpengaruh terhadap opini publik pada umumnya dan anggota dewan pada khususnya. Jelas pula bahwa pengaruh dari kekuatan sosial ini menghasilkan partisipasi sosial yang lebih signifikan meskipun masih terkesan belum maksimal. Informasi tentang kebijakan publik disebarluaskan oleh media massa mulai dari pusat sampai daerah. Dalam kaitan ini radio dan pers penting dalam menyebarkan informasi mengenai isu nasional dan lokal. Demikian juga organisasi non-pemerintah (Ornop) berperan penting dalam meningkatkan kesadaran politik rakyat melalui program advokasinya baik di tingkat pusat maupun daerah. Advokasi yang dilakukan Ornop di daerah tentang kebijakan pemerintah daerah (Pemda) telah mendorong rakyat untuk ikut berpartisipasi, dan ini mempunyai makna penting karena reformasi birokrasi tidak bisa semata-mata hanya menggantungkan dari inisiatif pemerintah (from within). Dengan kata lain, kekuatan sosial tersebut mempromosikan partisipasi dan pluralisme, yang dalam banyak hal melemahkan aparat pemerintah sebagai agen kontrol sosial. Peran aparat birokrasi ini akan terus dipertanyakan, karena terciptanya good governance
Reformasi Birokrasi
27
dan pemberdayaan civil society menjadi kebutuhan masyarakat Indonesia di era transisi. Implementasi PP 5/1999 dan PP 12/1999 Disahkannya PP 5/1999 dan PP12/1999 tentang PNS yang menjadi Anggota Partai Politik ini merupakan upaya konkret kekuatan sosial dalam masyarakat, partai politik dan Pemerintah. Masalah boleh tidaknya PNS ikut kampanye atas nama partai sangat menonjol sejak pertengahan 1998 sampai sebelum pemilu Juni 1999. Dalam hal ini, Golkar berupaya keras agar kader Golkar yang menjadi menteri dan menduduki pos-pos kunci di pemerintahan waktu itu dibolehkan berkampanye. Bukan rahasia lagi kalau Golkar di era Orde Baru sangat menggantungkan perolehan suaranya dari birokrasi, meskipun hal ini jelas-jelas melanggar hak asasi PNS, dan membuat mereka terpaksa memilih Golkar dalam pemilu. Keinginan Golkar tersebut mendapat tantangan, baik dari kekuatan sosial maupun partai politik (PDI dan PPP) selama periode 1998-1999. Disahkannya PP 5/1999 dan PP 12/1999 mengakhiri kontroversi tentang keterlibatan PNS dalam politik. PP ini membolehkan PNS untuk menggunakan hak politiknya (memilih) dalam pemilu, tapi tidak membolehkan PNS menjadi anggota atau pengurus partai. Dengan kata lain, PNS dilarang berpolitik praktis sementara mereka masih menjadi PNS. Ketentuan ini dinilai memberikan pengaruh positif terhadap birokrasi karena relatif berhasil membatasi keterlibatan PNS dalam politik. Hal ini bisa dilihat dari keterkaitan PNS dengan Partai Golkar di sebagian besar wilayah Indonesia yang tampak mulai merenggang.4 Lebih dari itu, dengan diterapkan 3 UU Politik Baru: UU No.2/1999 tentang Partai Politik, UU No.3/1990 tentang Pemilihan Umum, dan UU No.4/1999 tentang Kedukakan MPR, DPR dan DPRD, membuat rakyat makin sadar tentang hak politiknya. Menariknya, dengan diterapkannya sistem multi partai dan UU politik baru tersebut, hal ini telah menyadarkan PNS bahwa birokrasi tidak harus identik dengan Golkar. Penulis berpendapat bahwa PP 5/1999 dan PP 12/1999 yang mencegah PNS menjadi anggota atau fungsionaris partai merupakan langkah positif. Setidak-tidaknya untuk waktu sementara ini, di mana politik Indonesia masih mengalami beberapa penyesuaian. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa pada level atas, birokrat terlibat dalam perumusan kebijakan. Dan pada level atas ini pula, pemerintah baru perlu memiliki hak untuk memilih penasehat public service yang bisa dipercaya supaya menarik bagi program partai. Sementara itu di bawah level yang paling atas,
28
Reformasi Birokrasi
dimungkinkan bagi PNS untuk profesional dan loyal pada pemerintah yang terpilih. Artinya, pada level atas, birokrat memiliki kewenangan untuk merekrut tenaga ahli dalam menopang program-programnya, dan pada level di bawahnya, birokrat bekerja secara profesional dan loyal kepada pemerintah yang sah. Dengan peraturan baru itu berarti PNS tidak boleh memegang dua posisi (sebagai PNS dan fungsionaris partai). Sebagai contoh, bila PNS ingin ikut kampanye, maka terlebih dulu harus mendapatkan ijin dari atasannya. Jika permohonannya itu dikabulkan, maka PNS harus mengundurkan diri dan selama tenggang waktu satu tahun PNS tadi akan mendapat gaji sebagai kompensasi (bab 7 PP 12/1999). Dalam hal tertentu, hal ini bisa diperpanjang sampai lima tahun, tapi tanpa gaji. Demikian juga dengan personil angkatan bersenjata yang ingin bergabung dengan partai politik juga diwajibkan mengundurkan diri (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 1999: 193-194, bab 7 PP12/1999). Menurut Menteri Penertiban Aparatur Negara (PAN), Feisal Tamin, pada periode 19992000 terdapat sekitar 636 PNS yang mengajukan diri untuk bergabung dengan partai. Mereka ini harus memutuskan apakah tetap menjadi PNS atau keluar. Lebih lanjut Tamin mengatakan bahwa mereka yang masih memegang dua posisi ini akan dikeluarkan sesuai dengan peraturan pemerintah (Jakarta Post, 24 Mei 2002). Makna penting netralitas birokrasi bagi demokratisasi Indonesia mengalami kegagalan dalam mengelola pembangunan ekonomi dan perubahan sosial di era Orde Baru karena penyelewengan peran birokrasi. Kegagalan yang sama juga terjadi dalam bidang penciptaan good governance. Dengan dua kegagalan itu masyarakat Indonesia menuntut agar pemerintah pasca 1998 secara sunggguh-sungguh mewujudkan perbaikan di kedua bidang tersebut. Pentingnya good governance ini karena terkait langsung dengan kebijakan ekonomi makro (Hadi Soesastro, 1999:7). Sementara itu, penguatan sistem checks and balances dalam sistem politik Indonesia masih dalam taraf proses pembelajaran. Dengan fenomena seperti ini, birokrasi di era transisi sekarang ini tidak hanya ditantang mampu mengelola pembangunan ekonomi, tapi juga melakukan restrukturisasi politik. Upaya pemerintah di era transisi, khususnya di bawah pemerintahan B.J. Habibie (1998-1999) dan Abdurrahman Wahid (1999-2001), menunjukkan keinginan untuk memperbaiki birokrasi. Tiga indikasi penting dari upaya Habibie ini adalah (1) ditetapkannya PP 5/1999 dan PP 12/
Reformasi Birokrasi
29
1999, (2) disahkannya tiga paket UU politik baru (mengenai Pemilu, partai politik dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPRD), dan (3) keengganan Habibie menggunakan birokrasi dalam pemilu 1999. Beberapa kebijakan Habibie tersebut berpengaruh positif terhadap proses demokratisasi di Indonesia, mengingat terobosan politik yang ia lakukan itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Dua PP dan tiga UU tersebut tidak hanya memperjelas posisi birokrasi dalam konteks sistem politik Indonesia, tapi juga memberikan ketegasan hukum yang sifatnya mengikat bagi PNS yang hendak berpolitik (Zuhro, 2003). Dampak positif kebijakan Habibie ini dapat dilihat dalam pemilu 1999 di provinsi-Indonesia barat, yang hasilnya sebagian besar dimenangkan oleh partai non-Golkar.5 Sebagai contoh di Jawa Timur: PKB dan PDI-P, masing-masing mendapatkan kursi 32 dan 31, sementara Partai Golkar berada di posisi ketiga, dengan 12 kursi. Padahal dalam pemilu 1997 Golkar di wilayah ini mendominasi kursi di DPRD, dan selama pemilu Orba, Golkar tak pernah terkalahkan. Sebaliknya di provinsi Indonesia timur, sebagian besar masih dimenangkan Partai Golkar. Sebagai contoh, Golkar menang telak di Provinsi Sulawesi Selatan dengan 44 Kursi (lihat tabel 1). Kemenagan Golkar di Sulawesi Selatan ini tidak terlepas dari issu naiknya Habibie (yang merupakan putra daerah) menjadi kandidat presiden. Selain itu, selama Orba wilayah ini juga merupakan basis kuat Golkar di mana sebagian besar tokoh lokal atau public figures sangat dekat dengan partai ini. Hal tersebut berbeda dengan Jawa Timur, yang merupakan basis pendukung PKB dan PDI-P, respons positif masyarakat Jawa Timur menunjukkan persetujuannya terhadap gagasan netralitas birokrasi. Adanya perbedaan wilayah dan basis politik ini berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan netralitas PNS, terutama dalam mempengaruhi sikap politik, orientasi politik dan respon mereka terhadap PP 5/1999 dan PP 12/1999. Untuk sebagian besar wilayah Indonesia timur, hubungan PNS dengan Golkar relatif tidak banyak berubah. Sedangkan untuk wilayah Indonesia barat PNS cenderung memiliki kebebasan untuk memilih wakilnya. Mereka tidak segan-segan lagi memilih partai yang disukai tanpa harus merasa takut dan mendapat teguran dari atasan. Sistem multi partai memberikan keleluasaan dan peluang tersendiri bagi PNS di Jawa Timur untuk memilih partai yang mereka nilai tepat, dan ini tidak harus ke Golkar. Di bawah pemerintahan Wahid, beberapa terobosan politik berkaitan dengan birokrasi juga dilakukan. Sebagai contoh konkret, di awal pemerintahannya Wahid membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial.6 Selanjutnya ia juga menerapkan kebijakan ‘negative
30
Reformasi Birokrasi
Tabel 1 Hasil pemilu 1999 di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan untuk 5 partai besar Provinsi
PKB
PDI-P
Golkar
PPP
PAN
Jawa Timur
32
31
12
5
4
Sulawesi Selatan
1
5
44
6
3
Sumber : Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 1999 di Jawa Timur, Panitia Pemilihan Daerah Tingkat 1 Jawa Timur; Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dari tiap-tiap Partai Politik Hasil Pemilu 1999 se-Sulawesi Selatan.
growth’ untuk PNS (tidak ada lagi rekrutmen PNS baru dan himbauan untuk pensiun dini bagi PNS yang merasa dirinya tidak bisa berkarier lagi).7 Bersamaan dengan itu pula Wahid tidak membolehkan posisi tertentu di birokrasi seperti dirjen, sekretaris direktur dan deputi dipegang oleh politisi. Hal ini tak lain dimaksudkan untuk menghindari politisasi birokrasi. Dan tak kalah penting dari itu, Wahid berupaya mengurangi kekuasaan (power) Sekretrariat Negara (Sekneg) dengan membentuknya menjadi tiga bagian: (1) Sekretaris Negara, (2) Sekretaris Presiden, dan (3) Sekretaris Kabinet. Kebijakan ini tentunya sangat mengagetkan karena Sekneg selama pemerintahan Orba dan Habibie dinilai sangat berkuasa dan solid. Tapi, dari perspektif perbaikan birokrasi, upaya yang dilakukan Wahid ini merupakan suatu tindakan yang memberikan shock therapy bagi proses perampingan birokrasi yang profesional dan pengurangan dominasi kekuasaan di satu lembaga negara (Sekneg) (Zuhro, 2002). Pembagian Sekneg menjadi tiga bagian itu setidak-tidaknya telah mengurangi kekuasaannya, sehingga Sekneg yang tadinya tampak sangat ‘angker’ dan tertutup itu akhirnya menjadi relatif agak transparan. Demikian juga dengan implementasi desentralisasi dan otonomi daerah sejak Januari 2001, telah memberikan dampak besar terhadap proses demokratisasi di tingkat lokal. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa upaya Wahid telah memberikan basis yang cukup kuat bagi proses liberalisasi dan demokratisasi ke depan. Di era kepemimpinann Megawati Soekarnoputri (2001-2004), birokrasi tidak mengalami perubahan apapun. Bahkan Presiden Megawati sendiri sempat mengeluhkan betapa buruknya birokrasi Indonesia, yang digambarkan sebagai “keranjang sampah”. Meskipun telah memahami bahwa birokrasi di negeri ini tidak profesional karena tidak efisien dan tidak efektif, upaya konkret untuk memperbaikinya tidak tampak. Selama
Reformasi Birokrasi
31
periode kepemimpinannya, Megawati cenderung memprioritaskan penciptaan keseimbangan hubungan antara eksekutif-legislatif dan merangkul TNI dan Polri ketimbang membenahi birokrasi. Bahkan beredar berita di berbagai media massa bahwa Pemerintah Mega menggunakan institusi birokrasi dalam pilpres 2004. Sebagai incumbent yang mencalonkan diri dalam pilpres, Megawati ditengarai menggunakan jalur birokrasi melalui Departemen Dalam Negeri (Depdagri) untuk mensosialisasikan dirinya dan untuk mendapat dukungan menjelang pilpres 2004.8 Fenomena birokrasi di era Megawati menunjukkan dengan jelas bahwa institusi ini rentan menjadi ajang tarik-menarik kepentingan partai politik. Di tataran praksis, sulit dihindari kecenderungsn untuk menarik birokrasi untuk tidak mendukung calon atau partai tertentu. Sedangkan di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004sekarang) birokrasi masih berkutat dengan warisan lama yang sarat dengan patron-klien dan korupsi. Kebijakan pemerintah SBY untuk memberantas korupsi di semua lembaga baik eksekutif, legislatif dan yudikatif tampaknya masih harus melalui jalan panjang karena hukum di negeri ini masih belum bisa ditegakkan secara penuh. Perkembangan terakhir upaya untuk mereformasi birokrasi mengambil bentuk jalur UU, yaitu dengan mengajukan usulan RUU berkaitan dengan perbaikan birokrasi atau administrasi publik. Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Taufiq Effendi, mengumumkan akan mereformasi birokrasi melalui lima RUU. Dikatakan bahwa RUU ini disiapkan untuk menata sistem manajemen berbasis kinerja yang meliputi kelembagaan, tata laksana, sumber daya manusia, budaya kerja dan hubungan teknologi (Kompas, 8 Juni 2006). Adapun lima RUU yang disiapkan tersebut meliputi: RUU Administrasi Pemerintahan, RUU Pelayanan Publik, RUU Etika Penyelenggaraan Negara, RUU Kementrian Negara dan RUU Kepegawaian Negara. Masalahnya, bila lima RUU tersebut berhasil disahkan dan diterapkan, apakah birokrasi Indonesia akan mengalami perubahan yang signifikan? Sejarahnya, birokrasi Indonesia mengalami perubahan dari periode ke periode. Namun, perubahan tersebut tidak selalunya berdampak positif bagi perkembangan birokrasi, dan justru melanggengkan sifat birokrasi patrimonial yang sarat dengan patron-klien. Pengalaman politisasi birokrasi di era Orde Baru menjadikan institusi ini tidak netral dan tidak professional. Sedangkan di pemerintahan sekarang ini, peran birokrasi tampak kabur meskipun relatif tidak terpolitisasi sebagaimana era Orba. Dengan kata lain, apakah kelima RUU tersebut cukup menjanjikan bila kultur lama
32
Reformasi Birokrasi
birokrasi (yang hanya berorientasi kepada penguasa dan mengabaikan pelayanan publik) dan kepastian hukum di Indonesia juga tak diperbaiki? Artinya, yang paling mendesak untuk diperbaiki seiring dengan reformasi birokrasi adalah reformasi hukum atau penegakan hukum. Penciptaan hukum yang mengikat yang mampu memberi penalti kepada warga negara sangat diperlukan karena tanpa itu sulit memberantas korupsi di birokrasi. Karena penciptaan UU sebagaimana yang diupayakan melalui kelima RUU di atas akan sia-sia bila tidak mengikat secara utuh aparat birokrasi. Selain itu, perbaikan sistem penggajian dan perubahan yang mendasar yang berkaitan dengan orientasi PNS pada etika profesionalisme sangat relevan untuk diterapkan seiring dengan usulan kelima RUU tersebut. Semua upaya tersebut akan bisa maksimal bila ditunjang oleh kepemimpinan yang kokoh (strong leadership) yang memahami pentingnya mereformasi birokrasi. Prospek pluralisme birokrasi pasca pemilu 2004 Menganalisis prospek pluralisme birokrasi ke depan tak dapat dilepaskan dari fenomena birokrasi saat ini. Apakah yang berubah dan apakah yang tetap dari birokrasi selama pemerintahan SBY (2004sekarang). Berbeda dengan pemerintahan Megawati yang tidak banyak membuat terobosan yang berarti untuk birokrasi, pemerintahan SBY relatif berani membuat kebijakan pemberantasan korupsi di birokrasi, meskipun ini belum menampakkan hasilnya yang maksimal. Apa yang tetap adalah SBY meneruskan kebijakan ‘minus growth’ pemerintah sebelumnya dan tetap mempertahankan departemen penerangan (departemen komunikasi dan informasi) dan departemen sosial yang dihidupkan kembali oleh Megawati. Demikian juga dengan Sekneg, kekuasaannya dikembalikan supaya lebih solid dalam membantu tugas-tugas presiden. Upaya perampingan birokrasi terhambat karena pemerintah justru menambah jumlah departemen yang ada. Masalah politisasi birokrasi tetap menjadi issu crucial bagi Indonesia. Kekhawatiran publik terhadap keberpihakan birokrasi tidaklah berlebihan karena institusi ini sangat rentan dan mudah menjadi wilayah konflik kepentingan partai politik. Terbukti masalah netralitas ini kembali marak dipertanyakan ketika muncul issu terjadinya mobilisasi PNS di Bali dalam rangka kampanye PDI-P menjelang pemilu legislatif bulan April 2004. Bahkan makin mencuat lagi ketika disinyalir adanya kampanye terselubung birokrat untuk mendukung salah satu capres dalam pemilu putaran kedua, 20 September 2004 (Kompas, 4 September 2004). Juga adanya Instruksi
Reformasi Birokrasi
33
Menteri Dalam Negeri, Hari Sabarno, No.4/2004 kepada gubernur dan bupati/walikota seluruh Indonesia untuk mendukung capres tertentu.9 Hal ini dengan jelas melanggar UU Pemilu 2003 yang secara tegas melarang melibatkan pejabat negara, baik struktural maupun fungsional (Kompas, 10 September 2004). Fenomena ini menunjukkan dengan jelas bahwa UU dan peraturan tentang birokrasi/PNS ternyata masih tidak cukup kuat untuk mencegah upaya penyelewengan fungsi birokrasi. Kecenderungan birokrat atau partai yang memerintah (apapun partainya) untuk menggunakan mesin birokrasi sebagai alat yang efektif untuk mendapatkan dukungan suara dalam pemilu (mulai dari pusat sampai ke level yang paling bawah), sulit dicegah. Oleh karena itu, akan sangat sulit mengharapkan perubahan mindset PNS saat ini, dan bisa jadi akan lebih mungkin mengharapkan adanya political will, ketauladanan, dan integritas dari pemimpin negara. Peluang reformasi birokrasi ke depan bisa jadi terhambat oleh konflik kepentingan yang tidak pernah absen untuk senantiasa menggunakan mesin birokrasi sebagai pengumpul suara dalam pemilu (baik dalam pilpres, pilkada dan pemilihan anggota legislatif). Lebih-lebih lagi di era pilkada langsung yang diterapkan sejak Juni 2005. Dengan sistem multi partai tidak tertutup kemungkinan konflik kepentingan di birokrasi akan makin menajam. Selain itu, gambaran belakangan ini menunjukkan bahwa disorientasi PNS ternyata masih berlangsung, di mana PNS cenderung bersikap pragmatis dan memihak partai yang berkuasa. Hal ini bila diteruskan akan menghilangkan makna birokrasi yang seharusnya melayani masyarakat dan bersikap profesional dalam menjalankan tugasnya. Dengan kata lain, prospek reformasi birokrasi pasca pemilu 2004 tergantung seberapa besar komitmen elit birokrat dan pimpinan negara untuk mereformasi birokrasi, sehingga mampu menghapus kesan bahwa komitmen mereka cenderung longgar dan pragmatis. Lepas dari tantangan besar yang masih didapi birokrasi untuk menjadi profesional, netral, akuntabel dan partisipatif, secara umum dapat dikatakan bahwa birokrasi di era transisi cenderung menciptakan birokrasi yang plural yang ditandai dengan makin pluralnya sistem politik di mana sistem ini lebih terbuka terhadap pengaruh kekuatan sosial (societal forces) dalam masyarakat. Salah satu indikator penting dari ciri pluralisme birokrasi adalah tak satu pun kebijakan publik yang ditetapkan pemerintah tak mendapatkan sorotan atau kritikan dari masyarakat. Meskipun tak semua keberatan publik dapat menggagalkan kebijakan pemerintah, sebagiannya terpaksa mengalami penundaan karena resistensi yang besar dari masyarakat.10 Hal ini tentunya tidak pernah terjadi di era Orde Baru.
34
Reformasi Birokrasi
Kesimpulan Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pemilu 1999 telah mencatat secara relatif keberhasilan netralitas birokrasi.11 Demikian juga pemilu 2004. Keberhasilan ini telah mengubah birokrasi dari model otoritarian ke model plural atau lebih terbuka. Konsep pluralisme birokrasi meluas ke suluruh wilayah Nusantara yang ditandai dengan makin kuatnya pengaruh kekuatan sosial atau kekuatan non-birokrasi terhadap kebijakan publik. Gambaran yang terbentang selama periode 1999-2006 menunjukkan: di satu sisi Indonesia bergerak ke sistem politik demokrasi, tapi di sisi lain masih berjuang melawan warisan patrimonialisme rejim Orde Baru. Dalam kasus Indonesia, harapan terjadinya pembangunan yang simultan antara reformasi birokrasi dan demokratisasi masih dipertanyakan. Proses demokratisasi yang berlangsung sejak 1998 yang awalnya diharapkan bisa memperbaiki kualitas birokrasi, ternyata belum bisa diwujudkan. Di tingkat praksis, proses demokratisasi tidak berjalan seiring dengan perubahan birokrasi. Kendala besar yang dihadapi birokrasi adalah dirinya sendiri. Mampu tidaknya birokrasi Indonesia melawan sikap pragmatismenya dan membuang disorientasi yang masih lekat di dirinya, akan menentukan sukses tidaknya birokrasi menjaga netralitasnya dengan partai. Idealnya memang dua bidang ini (demokrasi dan birokrasi) bisa berjalan seiring dan saling melengkapi. Tapi tantangan besar justru datang dari birokrasi yang tampak lamban dalam merespons perubahan yang pesat dalam masyarakat. Dengan kenyataan seperti ini hampir dapat dipastikan bahwa proses demokratisasi di Indonesia tidak akan berjalan mulus. Sebagai dampaknya, reformasi birokrasi akan berjalan di tempat, untuk tidak mengatakan nyaris stagnan. Daftar Pustaka Asmeron, Haile K. dan Elisa P. Reis, 1996, ‘Introduction’, dalam Haile K. Asmeron dan Elisa P. Reis, Democratisation and Bureaucratic Neutrality. London: Macmillan Press, hlm.1-19. Etzioni-Halevi, Eva, 1986, Bureaucracy and Democracy: A Political Dillema. London: Routledge & Kegan Paul. Edisi kedua. Human Rights Watch, 1998, ‘Disapperances in Indonesia: The Military Must Answer’, 28 April. Indonesian Human Development Report 2001, Toward a New Consensus. Jakarta:BPS- Statistik Indonesia, Bappenas dan UNDP, Indonesia.
Reformasi Birokrasi
35
International Monetary Fund (IMF), 1998, ‘Indonesia Memorandum of Economic and Financial Policies’, internet
Jakarta Post, 24 Mei 2002. Kohli, Atul, dan Vivienne Shue, 1994, ‘State Power and Social Forces: On Political Contention and Accomodation in the Third World’, dalam Joel S. Migdal, Atul Kohli, dan Vivienne Shue (ed.), State Power and Social Forces. Cambridge University Press. Kompas, 17 Juni 1997, ‘Pemberantasan Korupsi Butuh Tekad’. _______, 17 Januari 1998, _______, 15 Juni 1999. _______, 4 September 2004, ‘Tim Yudhoyono Khawatirkan Mesin Birokrasi, Tim Mega Tak Tanggapi’. _______, 10 September 2004, ‘Tim Yudhoyono Khawatirkan Instruksi Mendagri’. _______, 8 Juni 2006. Liddle, William R., 1999, ‘Indonesia’s Democratic Opening’, Government and Opposition, Vol. 34, No. 1, hlm. 94-116. MacIntyre, Andrew, 1994, ‘Organising Interests: Corporatism in Indonesian Politics’, Working Paper No.43, the Asia Research Centre Murdoch University. Migdal, Joel S, 1994, ‘The State in Society: An Approach to Struggles for Domination’, dalam Joel S. Migdal, Atul Kohli, dan Vivienne Shue (ed.), State Power and Social Forces. Cambridge University Press. Mishra, Satish, 2002, ‘History in the Making: Systemic Transition in Indonesia’, Journal of the Asia Pacific Economy, Nol.7, No. 1, hlm. 1-19. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.12 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil yang menjadi Anggota Partai Politik, Bandung: Kuraiko Pratama. Republika, 5 Januari 1999. Soesastro, Hadi, 1999, ‘The Economic Crisis in Indonesia: Lesson and Challenges for Governance and Sustainable Development’, internet Zuhro, R. Siti, 1997, ‘Negara, Parpol dan Korpri: Studi Kasus Surabaya’, dalam Muridan Satriyo Wijoyo (ed.), Politisasi Birokrasi: Implikasi Kebijakan Monoloyalitas Pegawai Negeri Sipil. Jakarta: PPWLIPI, hlm. 45-71.
36
Reformasi Birokrasi
___________, 2002, ‘Continuity and Change in the Indonesian Bureaucracy since 1998: The Struggle for Democratisation’, dalam Penny O’Connor dan Jane Scoot (ed.), Undisciplined Thoughts. Perth: Black and Swan, hlm. 157-168. ___________, , 2003, ‘The Significance of the Neutrality Movement for the Bureaucracy in the 1999 Indonesian Election’, dalam Janis Haswell dan Diana MacCallum (Ed.), Liveable Communities. Perth: Black and Swan, hlm. 155-165.
Catatan kaki 1
2
3
4
5
6
7
8
Yang terdiri atas mahasiswa, akademisi atau intelektual, organisasi non-oemerintah (Ornop), pers, dan masyarakat bisnis. Respon awal pemerintah waktu itu adalah mengambangkan nilai tukar rupiah dan meminta bantuan IMF. Beberapa bank ditutup dan proyek-proyek besar ditangguhkan. Tapi kepentingan bisnis yang dekat dengan presiden dilindungi. Meskipun demikian Paket bantuan IMF yang diberikan ke Indonesia 15 Januari 1998 itu tidak menghentikan jatuhnya nilai tukar rupiah. Sebaliknya, harga bahan pokok naik tajam, terutama barang-barang impor. Keadaan ini akhirnya berpengaruh serius terhadap perekonomian Indonesia. Lihat International Monetary Fund, 1998a; lihat juga Kompas, 17 Januari 1998. Dalam gerakan itu mereka beramai-ramai mencopot seragam Korpri untuk diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Bahkan mantan Rektor UI, Prof M.K. Tajudin ikut mendukung dan memberikan seragam Korprinya kepada ‘Form Salemba’. Dalam kesempatan itu mereka menyatakan mundur sebagai anggota Korpri. Dengan diterapkannya PP 5/1999 dan PP 12/1999, misalnya, Golkar menghadapi kesulitan untuk menggunakan fasilitas birokrasi dalam kampanye 1999. Penelitian yang penulis lakukan selama tahun 2001 di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan menunjukkan hal itu. Untuk pertama kali (pada 1999), politisi Indonesia (seperti menteri yang juga kader parpol), PNS dan angkatan bersenjata (TNI) dilarang berperan aktif dalam kampanye pemilu. Padahal dalam pemilu-pemilu sebelumnya di era Orde Baru, PNS dan keluarganya memilih dan dalam banyak kasus bekerja atas nama Golkar. Meskipun kemenangan partai-partai non-Golkar di Indonesia bagian barat tidak sematamata karena paket kebijakan politik Habibie, tapi peraturan dan perundang-undangan yang dihasilkan relatif berpengaruh penting terhadap birokrasi pada khususnya dan politik Indonesia pada umumnya. Dua departemen ini dinilai tidak sejalan dengan semangat reformasi, yang selama Orde Baru mengalami penyimpangan dalam pelaksanaannya. Kebijakan ‘negative growth’ ini dimaksudkan untuk mengurangi jumlah PNS, yaiu dengan tidak merekrut lagi tenaga baru, kecuali tenaga ahli yang diperlukan. Hari Sabarno sebagai Menteri Dalam Negeri waktu itu, diberitakan mensosialisasikan pencalonan Megawati dalam Pilpres yang dilakukan dalam kunjungan kerjanya ke beberapa daerah. Hal ini, bahkan, sempat menjadi polemik karena birokrasi harus netral sesuai dengan UU 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan PP 5/1999 dan PP 12/1999.
Reformasi Birokrasi
9
37
Instruksi Mendagri yang dipersoalkan itu karena mencamtumkan kalimat: “memberikan informasi kepada masyarakat mengenai keberhasilan pembangunan di semua aspek yang telah dicapai pemerintah hingga saat ini…hal-hal yang telah dilakukan pemerintah agar masyarakat tidak tersesat atau salah memilih dan menetapkan pilihannya secara rasional sehingga dapat menjamin keberlanjutan integrasi sistem pemerintahan” (Kompas, 10 September 2004). 10 Hal ini antara lain bisa dilihat melalui penundaan kenaikan tarif harga listrik yang awalnya direncanakan akan dinaikkan, tapi harus ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan karena masyarakat keberatan kebijakan ini diterapkan. Di tingkat lokal, tak jarang pemerintah daerah (Pemda) harus menunda, dan bahkan membatalkan suatu kebijakan (seperti kebijakan Tata Ruang Kota di Kabupaten Malang) karena dinilai merugikan masyarakat. 11 Keberhasilan ini tak lepas dari upaya publik yang terus menyoroti kesungguhan birokrat memegang komitmennya untuk tetap netral.
38
Reformasi Birokrasi
“UPAYA PEMERINTAH MENINGKATKAN PELAYANAN PUBLIK: KASUS STANDAR PELAYANAN MINIMAL” Reformasi Birokrasi, Penegakan Prinsip-prinsip Good Governance, Percepatan Pemberantasan Korupsi, dan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik harus dilaksanakan secara bersamaan dalam membangun tata pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (good govenanvce), pemerintah yang bersih (clean government), dan bebas KKN.
Taufiq Effendi
I.
PENDAHULUN
1.1
Reformasi Birokrasi
Visi dan Misi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 (RPJMN 2004-2009), Visi dan Misi Pendayagunaan Aparatur Negara 2004-2009, Program Prioritas Kementerian PAN 2005-2009, Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2006 (RKP 2006) dan RKP Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Tahun 2006 (RKP-PAN 2006), kesemuanya merupakan acuan pembangunan pendayagunaan aparatur negara dalam upaya menciptakan tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (good governance), pemerintah yang bersih (clean government), dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (bebas KKN). 1 Reformasi Birokrasi dihadapkan pada upaya mengatasi inefisiensi, inefektivias, tidak profesional, tidak netral, pelayanan publik rendah, rekrutmen PNS tidak transparan, belum ada perubahan mindset, KKN marak di berbagai jenjang pekerjaan, abdi masyarakat belum terbangun, pemerintahan belum akuntabel, transparan, partisipatif, dan kredibel, serta belum terbangun pelayanan publik prima. Best practices beberapa pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) di antara 33 provinsi
Reformasi Birokrasi
39
dan 440 kabupaten/kota (401 kabupaten, 39 kota), diharapkan dapat dijadikan contoh bagi pemerintah daerah lain untuk melakukan reformasi birokrasi. Reformasi Birokrasi Aparatur Negara merupakan upaya melakukan perubahan secara signifikan (evolusi yang dipercepat) melalui tindakan atau rangkaian kegiatan pembaharuan secara konsepsional, sistematis dan berkelanjutan dengan melakukan upaya penataan, peninjauan, penertiban, perbaikan, penyempurnaan dan pembaharuan sistem, kebijakan dan peraturan perundang-undangan bidang aparatur negara, termasuk perbaikan akhlak-moral sesuai tuntutan lingkungan dan memperhatikan komitmen didasarkan atas asas dan ketentuan peraturan perundangundangan. 2 Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan demokratis menyaratkan kinerja, akuntabilitas aparatur, peranserta swasta/dunia usaha, dan partisipasi masyarakat yang makin meningkat. Karena itu, reformasi birokrasi merupakan kebutuhan dan harus sejalan dengan perubahan tatanan kehidupan politik, kemasyarakatan, dan dunia usaha. Beberapa TAP MPRRI tentang reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi, etika kehidupan berbangsa, dan gerakan penghematan nasional, perlu diteliti dan dapat digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan reformasi birokrasi serta mencegah dan mempercepat pemberantasan korupsi. Pada RakornasPAN 2005, 15 November 2005, Presiden mengarahkan agar seluruh jajaran aparatur negara/pemerintah melaksanakan reformasi birokrasi, menegakkan prinsip-pinsip good governance, memberantas korupsi sekarang juga, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. 3 Prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance), pemerintah yang bersih (clean government), bebas KKN, tata kelola pemerintahan yang baik (good public governance), dan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance: kesetaraan dan kewajaran, fairness; keterbukaan, transparency; akuntabilitas, accountability; responsibilitas, responsibility; dan independensi, independency, yang tumbuh tanpa paksaan, harus berjalan bersamaan dan saling mengisi. 1.2 Rancangan Perpres Tentang Reformasi Birokrasi Pemerintahan Reformasi Birokrasi harus bisa memadukan antara lain pelaksanaan UU 28/1999 (Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN), UU 31/1999 (Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU 17/2003
40
Reformasi Birokrasi
(Keuangan Negara), UU 1/2004 (Perbendaharaan Negara), UU 25/2004 (Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional), UU 32/2004 (Pemerintahan Daerah), dan UU 43/1999 vide UU 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian serta substansi peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Program Reformasi Birokrasi paling sedikit berisi 7 (tujuh) Program untuk menciptakan Tata Pemerintahan Yang Bersih dan Berwibawa (RPJMN 2004-2009 Bab 14): (1) Program Penerapan Kepemerintahan Yang Baik; (2) Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara; (3) Program Penataan Kelembagaan dan Ketatalaksanaan; (4) Program Pengelolaan Sumber Daya Manusia Aparatur; (5) Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik; (6) Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur Negara; dan (7) Program Penyelenggaraan Pimpinan Kenegaraan dan Kepemerintahan. Tim Reformasi Birokrasi Pemerintahan (direncanakan) terdiri atas: Wapres (Ketua), Menpan (Ketua Pelaksana Harian), Mendagri, Menlu, Menkeu, Meneg PPN/Ka.Bappenas, Mensesneg, Seskab (Anggota), dan Sesmenpan/Deputi Tata Laksana (Sekretaris Tim). Dibentuk Kelompok Kerja sesuai keperluan, dibangun mekanisme perencanaan dan pengendalian, pembiayaan dibebankan pada anggaran belanja masingmasing instansi pemerintah pusat dan daerah, dan dokumen (Pedoman/ Pedoman Umum/Panduan) Reformasi Birokrasi, disusun dalam bentuk: I. Pendahuluan (latar belakang, maksud dan tujuan, pola pikir); II. Gambaran Keadaan Birokrasi (keadaan sekarang, yang diinginkan, pokok permasalahan); III. Tata Pemerintahan Yang Baik (pengertian Good Governance, peran dunia usaha dan masyarakat, prinsip-prinsip/ karakteristik Good Governance); IV. Strategi dan Upaya Reformasi Birokrasi (visi, misi, dan strategi); V. Rencana Aksi Reformasi Birokrasi; VI. Organisasi Pelaksana Reformasi Birokrasi. Diharapkan dilengkapi Lampiran yang berisi Matriks Rencana Aksi Nasional Reformasi Birokrasi dan matriks inventarisasi jenis dan kelompok pelayanan instansi pemerintah. Dokumen Reformasi Birokrasi terkait erat dengan Inpres 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi dan dokumen tindaklanjut Inpres ini, antara lain Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK), khususnya pada kegiatan pencegahan korupsi. 1.3
Penegakan Prinsip-prinsip Good Governance
Tata pemerintahan yang baik (kepemerintahan yang baik, tata kelola pemerintahan yang baik, good public governance), mengandung sepuluh elemen dasar (Depdagri, UN-Habitat) atau empatbelas elemen dasar
Reformasi Birokrasi
41
(Bappenas, Lembaga Donor Intenasional, Para Pakar). 4 Tata pemerintahan yang baik, sangat erat kaitannya dengan reformasi birokrasi, penegakan hukum, peningkatan kualitas pelayanan publik, perubahan mind-set dan culure-set, perubahan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak, menjadi lebih produktidf, efisien dan efektif. 1.4
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
Program peningkatan kualitas pelayanan publik pada RPJMN 2004-2009 bertujuan mengembangkan manajemen pelayanan publik yang bermutu, transparan, akuntabel, mudah, murah, cepat, patut dan adil kepada seluruh masyarakat guna menunjang kepentingan masyarakat dan dunia usaha, serta mendorong partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Kegiatannya meliputi peingatan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha, mendorong pelaksanaan prinsip-prinsip good governance dalam pelayanan publik (perpajakan, imigrasi, kepabeanan, penanaman modal), deregulasi, debirokratisasi dan privatisasi pelayanan publik, penerapan sistem merit dalam pelayanan, pemantapan koordinasi pelayanan, pemanfaatan teknologi informasi, intensifikasi pengaduan masyarakat, pengembangan partisipasi masyarakat, dan pengembangan mekanisme pelaporan dalam pelayanan publik. II.
PENCIPTAAN PELAYANAN PUBLIK YANG PRIMA
Menuju pelayanan publik yang prima, perlu dimulai dengan penetapan visi dan misi pelayanan, tujuan, sasaran, kebijakan, strategi, dan kaji tindak (action plan), identifiksai peoduk pelayanan, identifikasipelanggan, identifikasi kondisi internal dan ekestenal, rencanakan standar pelayanan, dan lakukan uji coba. Kembangkan standar sampai diperoleh standar yang sesuai, dan sempurnakan terus menerus sampai ke sosialisasi standar dan pengembangan sistem pelaporan. Tujuh komponen penting pelayanan perlu diperhatikan, yaitu visi, misi, produk, konsumen/pelanggan, prosedur, kontrol/ pengawasan kualitas, dan lampiran (denah, skema prosedur, dan formulir yang diperlukan). Pelayanan umum yang berkualitas harus berada dalam satu rangkaian pelayanan yang sederhana, terbuka, tepat, lengkap, wajar, terjangkau, aman, dan adil. Dimensi perlu diamati dalam mengukur tingkat kepuasan masyarakat, yaitu tangible, keandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance), dan empati (empathy). Data dan inormasi yang diperlukan dalam standar pelayanan minimal harus jelas, yaitu dasar hukum peraturan perundang-undangan, jenis pelayanan secara
42
Reformasi Birokrasi
rinci, indikator dan tolok ukur keberhasilan, kinerja unit pelayanan, waktu pelayanan (timeframes), biaya, persyaratan, dan prosedur, serta dukungan politik, ekonomi, sosial-budaya. Aparat pemerintah harus berubah dari terlalu birokratis, berkuasa, kurang ramah, menjadi aparat yang baik, bersih, berwibawa, bebas KKN, dan ramah kepada setiap pelanggan, dan tidak diskriminatif (Ismail Mohammad, LAN, 2002). Setiap aparatur pemerintah harus berusaha menciptakan pelayanan publik yang prima, mengacu pada Kepmenpan Nomor 63/2003. 5 Sejalan dengan itu, perlu diperhatikan Indeks Kepuasan Masyarakat pada Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, 6 serta Transparansi dan Akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan instansi pemerintah. 7 Sasaran yang ingin dicapai dalam prioritas program 2006 butir C.5 Penegakan Hukum, Pemberantasan Korupsi, dan Reformasi Birokrasi adalah (1) meningkatnya upaya pemberantasan korupsi; dan (2) meningkatnya kualitas pelayanan publik. Sasaran peningkatan kualitas pelayanan publik, diupayakan dengan (1) mendorong terselenggaranya pelayanan publik yang tidak dirkriminatif, cepat, murah dan manusiawi; (2) meningkatkan efektivitas dan efisiensi sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan; (3) meningkatkan kualitas sumber daya manusia aparatur pelayanan dan penegak hukum; dan (4) mempercepat penerapan e-Services di setiap instansi pelayanan publik. Arah reformasi birokrasi dan peningkatan kualitas pelayanan publik adalah meningkatkan kualitas pelayanan publik melalui (1) penyempurnaan dan percepatan implementasi pedoman pelayanan pengaduan masyarakat; (2) peningkatan kualitas penyelenggaraan administrasi negara, dengan cara mempercepat penyelesaian dan penerapan peraturan perundang-undangan tentang kelembagaan dan ketatalaksanaan birokrasi; (3) peningkatan kualitas dan kuantitas berbagai pelaksanaan pendidikan dan pelatihan serta menyempurnakan sistem remunerasi PNS; dan (4) peningkatan keberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan dengan cara meningkatkan kualitas layanan publik dan meningkatkan peran aktif masyarakat dan dunia usaha dalam penyelenggaraan pelayanan publik, serta mempercepat penerapan e-Service di setiap instansi pelayanan publik. III.
MEMENUHI STANDAR PELAYANAN MINIMAL
Standar Pelayanan Minimal/Minimal (SPM) adalah pengaturan batas minimal untuk mengukur kinerja yang berkaitan dengan jangkauan dan mutu pelayanan dasar. Standar Pelayanan Publik (SPP), merupakan proses pelayanan dan acuan penilaian pelayanan sebagai komitmen atau
Reformasi Birokrasi
43
janji untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. SPM menitikberatkan pada sisi kuantitas pelayanan secara minimal, sedangkan SPP menitikberatkan pada sisi proses dan kualitas pelayanan. Standar Pelayanan Minimal (SPM) dalam PP 65/2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Indikator SPM adalah tolok ukur prestasi kuantitatif dan kualitatif yang digunakan untuk menggambarkan besaran sasaran yang hendak dipenuhi dalam pencapaian suatu SPM tertentu, berupa masukan, proses, hasil dan/atau manfaat pelayanan. Pelayanan Dasar adalah jenis pelayanan pubik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan pemerintahan. Standar Pelayanan Publik (SPP), merupakan proses pelayanan dan acuan penilaian pelayanan sebagai komitmen atau janji untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Hal-hal yang terkandung dalam pedoman penyusunan dan penerapan SPM adalah ruang lingkup, prinsip-prinsip (alat penjamin akses dan mutu pelayanan dasar, diberlakukan untuk seluruh pemerintahan daerah, bagian dari penyelenggaraan pelayanan dasar nasional, bersifat sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan serta mempunyai batas waktu pencapaian, disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan keuangan nasional dan daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang yang bersangkutan), penyusunan dan penerapan SPM, pembinaan dan pengawasan, Pemerintah wajib melakukan pembinaan dan pengawasan berupa pemberian pedoman, standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, monitoring dan evaluasi. Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM dikembangkan menjadi acuan dalam penyusunan SPM oleh Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) dan dalam penerapannya oleh Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota. SPM disusun dan diterapkan dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Urusan Wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara yang penyelenggaraannya diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan kepada Daerah untuk perlindungan hak konstitusional, kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat, serta ketentraman dan ketertiban umum dalam rangka menjaga
44
Reformasi Birokrasi
keutuhan NKRI serta pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan konvensi internasional. SPM adalah ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Sesuai amanat Pasal 11 ayat (4) dan Pasal 14 ayat (3) UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah degan UU 8/ 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 3/2005 tentang Perubahan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi UU, SPM diterapkan pada urusan wajib Daerah terutama yang berkaitan dengan pelayanan dasar, baik Daerah Provinsi maupun Daerah Kabupaten/Kota. Untuk urusan pemerintahan lainnya, Daerah dapat mengembangkan dan menerapkan standar/indikator kinerja. Dalam penerapannya, SPM harus menjadi akses masyarakat ntuk mendapatkan pelayanan dasar dari Pemerintahan Daerah sesuai dengan ukuran-ukuran yang ditetapkan oleh Pemerintah. Oleh karena itu, baik dalam perencanaan maupun penganggaran, wajib diperhatikan prinsip-prinsip SPM yaitu sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan serta mempunyai batas waktu pencapaian. Di samping itu perlu dipahami bahwa SPM berbeda dengan Standar Teknis, karena Standar Teknis merupakan faktor pendukung pencapaian SPM. PP 65/2005 berisi Prinsip-prinsip Standar Pelayanan Minimal, Penyusunan Standar Pelayanan Minimal, Penerapan Standar Pelayanan Minimal, dan Pembinaan dan Pengawasan, monitoring dan evaluasi, penghargan dan sanksi. 8 Pelaksanaan Peraturan Pemerintah tentang SPM dimaksudkan untuk (1) terjaminnya hak masyarakat untuk menerima suatu pelayanan dasar dari Pemerintahan Daerah dengan mutu tertentu; (2) menjadi alat untuk menentukan jumlah anggaran yang dibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan dasar, sehingga SPM dapat menjadi dasar penentuan kebutuhan pembiayaan daerah; (3) menjadi landasan dalam menentukan perimbangan keuangan dan/atau bantuan lain yang lebih adil dan transparan; (4) menjadi dasar dalam menentukan anggaran kinerja berbasis manajemen kinerja. SPM dapat dijadikan dasar dalam alokasi anggaran daerah dengan tujuan yang lebih terukur. SPM dapat menjadi alat untuk meningkatkan akuntabilitas Pemerintahan Daerah terhadap masyarakat. Sebaliknya, masyarakat dapat mengukur sejauhmana Pemerintahan Daerah dapat memenuhi kewajibannya dalam menyediakan pelayanan publik; (5) memperjelas tugas pokok Pemerintahan Daerah dan mendorong terwujudnya checks and balances yang efektif; dan (6) mendorong
Reformasi Birokrasi
45
transparansi dan partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pemerintah membina dan mengawasi penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah. Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Daerah membina dan mengawasi penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang ada di wilayah kerjanya. Sementara itu, masyarakat dapat melakukan pengawasan atas penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Rekomendasi dapat berupa saran perbaikan/penyempurnaan, persetujuan untuk diteruskan dengan beberapa catatan, peninjauan ulang atas rancangan SPM yang disusun atau pertimbangan-pertimbangan lain yang perlu diperhatikan dan diperhitungkan. Informasi kepada masyarakat disampaikan melalui papan pengumuman yang tersedia, media cetak (surat kabar lokal dan nasional), media elektronik (website), dan forum diskusi publik, dan/atau media lainnya yang memungkinkan masyarakat mendapatkan akses pada informasi dimaksud. Yang dimaksud dengan “pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatka dampak lintas daerah” antara lain pelayanan sekolah, rumah sakit, dan pengelolaan sampah, dan “urusan wajib yang disusun dan diterapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” antara lain yang mengatur penyelenggaraan pelayanan dasar, seperti peraturan perundang-undangan bidang pendidikan, kesehatan, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, yang memuat ketentuan tentang urusan, tugas, wewenang dan tanggung jawab daerah. IV.
PERCEPATAN PEMBERANTASAN KORUPSI
4.1
Komitmen Pemerintah Terhadap Pemberantasan Korupsi
Pemerintah telah berusaha memberantas korupsi sejak lama, sebutlah 1967, kemudian ditetapkan UU 3/1971 yang terus disempurnakan, sampai ke Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN, Undang-Undang 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi, disempurnakan dengan Undang-Undang 20/2001, dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, ditetapkan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disingkat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komitmen Pemerintah terhadap Pemberantasan Korupsi sangat kuat, antara lain ditunjukkan dengan kesepakatan-kesepakatan dan ditetapkannya Inpres 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi:
46
Reformasi Birokrasi
1) Pada 25 Oktober 2004 di Istana Negara, Presiden mengeluarkan “Sembilan Instruksi (lisan) Presiden kepada para Gubernur”. 2) Pada 3 Desember 2004 di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Presiden mengajak para artis dan budayawan (artis, budayawan, pemerintah) untuk memberantas korupsi, Presiden SBY mengatakan rasa malu beliau pada Pertemuan 21 Pemimpin Negara-negara APEC di Chili saat membahas “fighting corruption and ensuring transparency”, seolah-olah semua pemimpin negara melihat kepada Bapak SBY yang negaranya, Indonesia, termasuk ke dalam lima besar negara terkorup di dunia pada 2004 atau urutan 137 dari 146 negara. SBY mengajak semua kalangan agar mempunyai komitmen tinggi, berbagai lembaga dan kalangan masyarakat memberi dukungan terhadap upaya percepatan pemberantasan korupsi. Indeks Persepsi Indonesia 2,0 (tahun 2004) menjadi 2,2 (tahun 2005) cukup mengembirakan, walaupun hanya berubah dari kelompok-5 (tahun 2004) ke kelompok-6 (tahun 2005), sehingga pada pertemuan APEC di Busan, November 2005, tidak memalukan. 3) Pada 9 Desember 2004 saat Pencanangan Hari Anti Korupsi dan Peringatan Hari Pemberantasan Korupsi Sedunia, sekaligus Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, 28 April 2005. Presiden menegaskan Delapan Langkah Pemberantasan Korupsi, harus dimulai dari rumah sendiri. 4) Dikeluarkannya Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, dibentuknya Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tas Tipikor) dengan Keppres 11/2005, Tim Pemburu Koruptor ke Luar Negeri, Gerakan Nasional Anti Suap, Kampanye Nasional Anti Suap, Kerjasama Pimpinan Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah dalam Membangun Gerakan Moral Pemberantasan Korupsi, Tiga Pilar Kemitraan yang Bersih, Transparan, dan Profesional, Dialog Nasional Berantas Korupsi, Peningkatan Koordinasi Antar Penegak Hukum, dan terakhir Komitmen Kementerian BUMN dan Komisaris/Direksi BUMN untuk melaksanakan Good Corporate Governance (GCG) dan mempercepat pemberantasan korupsi, menunjukkan komitmen kuat jajaran Pemerintah, Dunia Usaha/Swasta dan Masyarakat/LSM/ Lembaga Kemasyarakatan lainnya dalam mempercepat pemberantasan korupsi.
Reformasi Birokrasi
47
4.2 Empat Masalah, Tujuh Kelemahan, dan Lima Prasyarat Keberhasilan Pemberantasan Korupsi Empat Masalah: keluhan masyarakat, kelemahan data awal, ketidakjelasan tolok ukur, dan belum ada analisis keberhasilan/ ketidakberhasilan pemberantasan korupsi. Tujuh kelemahan: political will, ketidaksamaan persepsi, belum menerapkan teknologi informasi, belum menerapkan single identity number (SIN), duplikasi peraturan perundangundangan, kelemahan CJS (criminal justice system), serta tidak konsisten dan belum ada perubahan mind-set. Lima prasyarat keberhasilan pemberantasan korupsi: deregulasi peraturan perundang-undangan dan kehendak yang sungguh-sungguh, pemanfaatan teknologi informasi (eGovernment), pemanfaatan SIN, peraturan perundang-undangan yang saling mendukung, dan penataan CJS. 4.3 Perjalanan Panjang Pemberantasan Korupsi Perjalanan Pemerintahan sejak era Pemerintahan Presiden Soekarno sampai dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Buku II.a dan Buku II.b SANKRI, Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Lembaga Administrasi Negara). Berbicara korupsi, perlu kita cermati dan pahami peraturan perundang-undangan tentang korupsi dan keterkaitannya, paling sedikit (1) UU 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (2) UU 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN; (3) UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; (4) UU 20/2001 tentang Perubahan UU 31/1999 tentang PTPK; (5) UU 30/2002 tentang KPTPK; (6) Inpres 5/2004; dan (7) Keppres 11/2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tas ipikor). Di samping itu, harus dimengerti peraturan perundang-undangan tentang aparatur negara, antara lain UU 8/1974 yang diperbaharui dengan UU 43/1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, PP 42/2004 tentang Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, dan pengaturan lainnya. UU 30/2002 memuat pengaturan tentang ketentuan umum (Tindak Pidana Korupsi, Penyelenggara Negara), kelembagaan, asas, tugas, wewenang, dan kewajiban KPK, tatacara pelaporan dan penentuan status gratifikasi, tempat kedudukan, tanggungjawab dan susunan organisasi, pimpinan KPK, penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, rehabilitasi dan kompensasi, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.
48
4.4
Reformasi Birokrasi
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia
Hasil penelitian Transparency International (TI) di Berlin menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berkisar semitar 2,0 (IPK adalah 1-10). Terakhir, IPK 2,0 pada tahun 2004 sedikit lebih baik menjadi IPK 2,2 pada 2005, urutan ke-10 terkorup menjadi urutan ke20 dan urutan kelompok ke-5 menjadi ke-6 di dunia. Negara-negara terkorup dan terbersih dapat dilihat pada tabel Lampiran. 4.5 Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 berisi Sepuluh Instruksi Umum dan Sebelas Instruksi Khusus. 9 Sebagai contoh, instruksi kepada Menpan dan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai berikut: · Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara diinstruksikan: a. Menyiapkaan rumusan kebijakan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik. b. Menyiapkan rumusan kebijakan dalam rangka penyusunan penetapan kinerja dari pada pejabat pemerintahan. c. Menyiapkan rumusan kebijakan untuk penerapan prinsipprinsip tata kepemerintahan yang baik pada Pemerintah Daerah, LPND, dan Departemen. d. Melakukan pengkajian bagi perbaikan sistem kepegawaian negara. e. Mengkoordinasikan, memonitor, dan mengevaluasi pelaksanaan Inpres ini. · Gubernur dan Bupati/Walikota diinstruksikan: a. Menerapkan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik di lingkungan pemerintahan daerah. b. Meningkatkan pelayanan publik dan meniadakan pungutan liar dalam pelaksananannya. c. Bersama-sama dengan DPRD melakukan pencegahan terhadap kemungkinan terjadi kebocoran keuangan negara baik yang bersumber dari APBN dan APBD. 4.6
Peranserta Masyarakat Dalam Pemberantasan Korupsi
Pemberantasan korupsi tidak dapat hanya dilakukan oleh Pemerintah, tetapi harus dilakukan kemitraan Pemerintah dengan Dunia Usaha/Swasta,
Reformasi Birokrasi
49
dan Masyarakat/Lembaga Swadaya Masyarakat. Peranserta masyarakat dalam pemberantasan korupsi diatur dalam Undang-Undang 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN serta PP 71/2000. 4.7
Hubungan Korupsi, Transparansi, dan Akuntabilitas
Korupsi sangat erat kaitannya dengan transparansi dan akuntabilitas (termasuk dalam pelayanan publik). Transparansi tinggi, maka korupsi rendah, demikian pula akuntabilitas baik, maka korupsi menurun. Selanjutnya, perlu dipahami bahwa Korupsi terjadi jika ada niat dan kesempatan. 10
V. 5.1
UPAYA TINDAK LANJUT Tindak Lanjut Hasil Rakornas-PAN 2005
Hasil-hasil Rakornas-PAN 2005 digunakan sebagai acuan dalam menyusun program pendayagunaan aparatur negara 2006 dan 2007-2009 di pusat dan daerah. Kebijakan Penataan Kelembagaan Pemerintah antara lain, RUU Kementerian Negara, reposisi LPND, penataan lembaga nonstruktural, dan revisi PP 8/2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Pengaturan ketatalaksanaan meliputi dokumen reformasi birokrasi, RUU Administrasi Pemerintahan, RUU Tata Hubungan Kewenangan Antar Lembaga (Pusat-Daerah, Pusat-Pusat, Daerah-Daerah), dan persyaratan jabatan Staf Ahli di Pemerintah Daerah. Penataan SDM Aparatur meliputi perencanaan pegawai, rekrutmen dan seleksi, penempatan, pengelolaan kinerja, diklat, penghargaan dan sanksi, remunerasi, pola karir, pemberhentian dan pemensiunan, pembaharuan NIP, assesment center, jabatan rangkap, dan keikutsertaan PNS dalam kegiatan LSM, KPU, dan Komisi-Komisi. Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP), diupayakan dengan peningkatan pemahaman Sistem AKIP dan peningkatan komitmen pimpinan dalam menerapkan Sistem AKIP, dan usulan penerapan Sistem AKIP dari Inpres menjadi Peraturan Pemerintah. Upaya peningkatan kualitas pelayanan publik menuju pelayanan prima diupayakan dengan kelembagaan pelayanan satu atap, pemantapan kebijakan penanaman modal di pusat dan daerah, kemudahan ijin lokasi, dan prosedur yang tidak berbelit-belit. Percepatan pemberantasan korupsi diupayakan dengan audit investigatif sebagai upaya represif, upaya preventif dan edukatif, tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK, BPKP dan
50
Reformasi Birokrasi
institusi pengawasan lain, tindak lanjut pengaduan masyarakat, peningkatan koordinasi pengawasan, tindak lanjut RAN-PK (Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi), dan pemantapan Kormonev (koordinasi, monitoring dan evaluasi) Inpres 5/2004. 5.2
BEST PRACTICES
Best Practices Reformasi Birokrasi dimaksudkan sebagai contohcontoh keberhasilan suatu program di provinsi, kabupaten, dan kota, antara lain dapat dilihat di Provinsi Riau, Provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Provinsi Gorontalo, Provinsi Jawa Timur, dan DIY, Kabupaten Solok, Kabupaten Sragen, Kabupaten Jembrana, Kabupaten Tabanan, Kabupaten Sidoarjo, Kota Balikpapan, dan Kota Tarakan. 11 Di samping itu, hasil kerjasama beberapa Pemerintah Daerah dengan Lembaga Donor Internasional dalam reformasi birokrasi, good governance, dan pelayanan publik, hendaknya “ditularkan” ke Daerah-daerah lain. 12 5.3 Amanat Peraturan Perundang-undangan Setiap aparat pemerintah harus menegakkan nilai-nilai dasar budaya kerja menuju peningkatan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. 13 mengupayakan perubahan mind-set dan culture-set, mengamalkan etika kehidupan berbangsa, etika penyelenggara negara, jiwa korps dan kode etik PNS, mematuhi kewajiban dan larangan bagi PNS (PP 30/1980), sumpah jabatan, dan pakta integritas. Tindak lanjut TAP MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN adalah ditetapkannya UU 28/1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN. Dalam UU ini ditegaskan Tujuh Asas Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN, yaitu kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsional, profesional, dan akuntabilitas. 14 Tap MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportivitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggungjawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa, meliputi etika sosial dan budaya, politik dan pemerintahan, ekonomi dan bisnis, penegakan hukum yang berkeadilan, keilmuan, dan lingkungan.15 Dipandang penting membangun Etika Penyelenggara Negara sebagaimana diamanatkan dalam Tap MPR Nomor VI Tahun 2001. Pokok-pokok pikiran tentang Etika Penyelenggara Negara, meliputi kejujuran, kepedulian, ketaatan, keterbu-
Reformasi Birokrasi
51
kaan, konsisten, dan menghindari perbuatan tidak (patut, santun, arogan, berbohong, lalai, diskriminatif), dan tidak mengomersialkan jabatan. 16 Setiap PNS harus mengamalkan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS (PP 42/2004), dan Panca Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia. serta Hasta Dharma Korpsi Munas VI/2004, harus diamalkan. VI. PENUTUP Hal-hal yang terkait dengan reformasi birokrasi, good governance, dan percepatan pemberantasan korupsi, telah dibahas pada Bab V. Bagian ini berisi upaya peningkatan kualitas pelayanan publik dan rancangan peraturan perundang-undangan terkait yang harus diselesaikan untuk mendukung keberhasilan reformasi birokrasi dan penciptaan pelayanan publik prima. Berbagai instansi/institusi telah menyusun dokumen reformasi birokrasi secara spesifik, antara lain Lemhannas, Wantannas, KPK, dan LAN. Pemberantasan korupsi sudah digalakkan sejak awal Kabinet Indonesia Bersatu. Gaungnya makin besar setelah dikeluarkan Inpres 5/2004, disusul Tim Tas Tipikor, Tim Pemburu Koruptor ke Luar Negeri, Peningkatan Kerjasama Aparat Penegak Hukum, dan instrumen pengawasan lainnya. Diharapkan, prinsip-prinsip good governance, reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi, dan pelayanan publik yang prima, berjalan bersama secara sinergis sehingga para koruptor akhirnya lumpuh dan tata pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa dapat kita wujudkan secepatnya sesuai amanat RPJMN 2004-2009. Pelaksanaan pemerintahan bergeser dari “pelaksana” (rowing) ke “pengarah (steering), karena itu terjadi pembaharuan birokrasi, dari “government” ke “governance.” Sejalan dengan upaya menciptakan tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa, perlu diupayakan penataan/pembaharuan birokrasi pemerintahan secara menyeluruh (reinventing government). 17 Setiap PNS harus mengembangkan jiwa inovasi (menjadi inovator). 20 Tujuh Asas Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, harus ditegakkan. Kita semua harus melaksanakan butir-butir tata pemerintahan yang baik sesuai amanat RPJMN 2004-2009, Bab 14 (Terciptanya Tata Kepemerintahan Yang Bersih dan Berwibawa). Sepuluh Prinsip tata pemerintahan yang baik, harus diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, ditunjukkan dengan perwujudan pelayanan prima kepada masyarakat. Program Integrated Civil Service Reform (ICSR) Pemerintah DI Yogyakarta, melakukan transformasi budaya birokrasi dalam membangun Reformasi Terpadu
52
Reformasi Birokrasi
Pelayanan Publik. Sepuluh Temuan hasil pengamatan Menpan tentang reformasi buirokrasi, good govrnance, dan pelayanan publik (standar pelayanan minimal), perlu dicermati dan diamalkan. 18 Reformasi Pelayanan Publik Terpadu, didukung penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM), serta kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, peningkatan profesionalisme SDM, peningkatan partispasi masyarakat, pengembangan pola dan mekanisme unit pelayanan terpadu, pemberian penghargaan dan sanksi, pengembangan dan penerapan budaya kerja pelayanan, indeks kepuasan masyarakat, transparansi dan akuntabilitas, diklat profesi pelayanan, peningkatan kalitas sarana dan porasarana, dan penerapan teknologi informasi (e-government) dalam pelayanan publik, ditujukan pada penciptaan pelayanan publik yang berkualitas, cepat, pasti, jelas, wajar, transparan, hirarki birokrasi yang efisien dan efektif, tidak berbelit-belit, mekanisme dan prosedur jelas, pelayanan tertib, sederhana dan efektif, petugas pelayanan kompeten dan profesional, semangat kerja, iklim kondusif dan bebas KKN/pungli, sarana dan prasarana memadai, dan kinerja pelayanan makin baik dan akuntabel, pada gilirannya tercipta tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa, pemerintah yang bersih, dan bebas KKN.
Reformasi Birokrasi
53
NEGARA-NEGARA KORUPSI RENDAH DI DUNIA TAHUN 2004 DAN 2005 Data dalam kolom: Kelompok Terbaik / Nomor Urut / IPK / Negara TAHUN 2002:
TAHUN 2003:
TAHUN 2004:
TAHUN 2005:
1 2 3 3
1 2 3 4
9,7 9,6 9,5 9,5
Finland New Zealand Denmark Islandia
1 2 2 3
1 2 3 4
9,7 9,6 9,6 9,5
Iceland Finland New Zealand Denmark
4 5 6 7 8 9 10 11
5 6 7 8 9 10 11 12
9,3 9,2 9,1 8,9 8,8 8,7 8,6 8,5
SINGAPORE Swedia Swiss Norwegia Australia Netherlands UnitedKingdom Kanada
4 5 6 7 8 9 10 10 11 12 13 14 15 16
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
9,4 9,2 9,1 8,9 8,8 8,7 8,6 8,6 8,5 8,4 8,3 8,2 7,6 7,5
SINGAPORE Sweden Switzerland Norway Australia Austria Netherlands UnitedKingdom Luxembourg Canada HongKong Germany USA France
12 13 8,4 Austria 12 14 8,4 Luxembourg 13 15 8,2 Jerman 14 16 8,0 HongKong 15 17 7,5 Belgi 15 18 7,5 Irlandia 15 19 7,5 USA
17 19 7,4 Belgium 18 21 7,3 Chile 18 22 7,3 Jepang
16 20 7,4 Chile 18 22 7,1 Perancis 18 23 7,1 Spanyol 19 24 6,9 Jepang 21 26 6,4 Israel 22 27 6,3 Portugis 24 30 6,1 PersEmirArab 27 35 5,6 Taiwan 30 38 5,2 Qatar 31 39 5,0 MALAYSIA 33 33 34 34 35 38 4 96 1.9 INDONESIA 1 102 1.5 BANGLADESH
6 122 1,9 INDONESIA 1 133 1,3 BANGLADESH
42 43 44 45 47 50
4,8 4,8 4,6 4,6 4,5 4,3
Hungaria Italia Kuwait Lithuania KOREASLTN Suriname
5 137 2,0 INDONESIA 1 146 1,5 HAITI
19 23 7,0 Spain 22 26 6,5 Portugal 24 28 6,3 Israel 24 29 6,3 Oman 25 30 6,2 PersEmirArab 27 27 27 28
33 34 35 36
5,9 5,9 5,9 5,8
Qatar Taiwan Uruguay Bahrain
29 37 5,7 Cyprus 29 38 5,7 Jordan 30 31 31 31
39 40 41 42
5,1 5,0 5,0 5,0
MALAYSIA Hungary Italia KOREASLTN
6 140 2,2 INDONESIA 6 158 1,7 BANGLADESH 1 159 1,7 CHAD
54
Reformasi Birokrasi
KORUPSI-IPK-INDONESIA / NEGARA-NEGARA TERKORUP DI DUNIA TAHUN 2002, 2003, 2004, DAN 2005 Data: Kelompok Terburuk / No.Urut / IPK / Negara: TAHUN 2002:
TAHUN 2003:
TAHUN 2004:
TAHUN 2005:
9 85 2,4 Georgia 9 86 2,4 Ukraina 9 87 2,4 Vietnam 8 88 2,3
7 7 7 7
89 90 91 92
Kazakhstan 7 7 7 7 7 7 7
2,2 Bolivia 2,2 Kamerun 2,2 Ekuador 2,2 Haiti
122 123 124 125 126 127 128
2,2 2,2 2,2 2,2 2,2 2,2 2,2
Bolivia Guatemala Kazakhstan Kyrgyzstan Nigeria Sudan Ukraina
7 7 7 7 7 7 7
130 131 132 133 134 135 136
2,3 2,3 2,3 2,3 2,3 2,3 2,3
Burundi Kamboja Kongo,RepDem Georgia Kyrgyzstan PapuaNGuinea Venezuela
137 138 139 140 141 142 143
2,2 2,2 2,2 2,2 2,2 2,2 2,2
Azerbaijan Kamerun Ethiopia INDONESIA Ethiopia Kamerun Azerbaijan
144 145 146 147 148 149 150
2,1 2,1 2,1 2,1 2,1 2,1 2,1
KongoRepDem. Kenya Pakistan Paraguay Somalia Sudan Tajikistan
6 122 1,9 INDONESIA 6 123 1,9 Kenya
6 6 6 6
129 130 131 132
2,1 2,1 2,1 2,1
Kamerun Irak Kenya Pakistan
6 6 6 6 6 6 6
5 95 2.0 Azerbaijan
5 5 5 5 5
5 5 5 5 5 5 5
133 134 135 136 137 138 139
2,0 2,0 2,0 2,0 2,0 2,0 2,0
Angola KongorRepD. Cote d’Ivoire Georgia INDONESIA Tajikistan Turkmenistan
5 5 5 5 5 5 5
4 96 1.9 INDONESIA 4 97 1.9 Kenya
4 129 1,6 Myanmar 4 130 1,6 Paraguay
4 140 1,9 Azerbaijan 4 141 1,9 Paraguay
4 151 2,0 Angola
3 131 1,5 Haiti
3 142 1,7 Chad 3 143 1,7 Myanmar
3 152 1,9 Cote d’Ivoire 3 153 1,9 EquatorGuinea 3 154 1,9 Nigeria
6 93 2.1 Moldova 6 94 2.1 Uganda
3 98 1.7 Angola 3 99 1.7 Madagaskar 3 100 1.7 Paraguay
124 125 126 127 128
1,8 1,8 1,8 1,8 1,8
Angola Azerbaijan Kamerun Georgia Tajikistan
2 101 1,6 Nigeria
2 132 1.4 Nigeria
2 144 1,6 Nigeria
2 155 1,8 Haiti 2 156 1,8 Myanmar 2 157 1,8 Turkmenistan
1 102 1.5 Bangladesh
1 133 1,3 Bangladesh
1 145 1,5 Bangladesh 1 146 1,5 Haiti
1 158 1,7 Bangladesh 1 159 1,7 Chad
Reformasi Birokrasi
55
Perkembangan IPK dan Urutan Korupsi Indonesia 2002, 2003, 2004, dan 2005: 1. Kelompok Negara Terkorup di Dunia: Indonesia berada pada kelompok 4 (2002), 6 (2003), 5 (2004), da 6 (2005), dengan IPK 1,9 ke 1,9 ke 2,0 dan 2,2. 2. Urutan Negara Terkorup di Dunia dari Nomor 1: urutan ke-7 (2002), ke-12 (2003), 10 (2004), dan 20 (2005). 3. Di Asia: Indonesia hanya lebih baik dari Bangladesh (2002), Bangladesh dan Myanmar (2003), Bangladesh dan Myanmar (2004), dan Bangladesh, Myanmar, dan Pakistan (2005). Sumber: diolah dari data TI dan TII (2005).
Catatan kaki 1
Dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional dan Pembangunan Pendayagunaan Aparatur Negara 2004-2009 dan 2006: Visi RPJMN 2004-2009 adalah Indonesia yang Aman dan Damai, Adil dan Demokratis, serta Sejahtera dalam wadah NKRI. Misinya adalah tiga agenda untuk mencapai visi tersebut. Visi pendayagunaan aparatur negara 2005-2009, “Terwujudnya Aparatur Negara yang Profesional, Andal dan Bermoral Menuju Kepemerintahan Yang Baik“ Misi-nya, meningkatkan (1) efektivitas dan efisiensi koordinasi program pendayagunaan aparatur negara; (2) kualitas pelayanan publik; (3) akuntabilitas kinerja instansi pemerintah; (4) koordinasi pengawasan; (5) kelembagaan dan ketatalaksanaan yang efektif dan efisien; (6) profesionalitas SDM aparatur; dan (7) kinerja aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Dengan mendayagunakan aparatur negara, maka sasaran penyelenggaraan negara 2004-2009 adalah terciptanya kepemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa, profesional, dan bertanggungjawab, yang diwujudkan dengan sosok dan perilaku birokrasi yang efisien dan efektif serta dapat memberikan pelayanan yang prima kepada seluruh masyarakat. Arah Kebijakan Penyelenggaraan Negara 2004-2009: (1) Menuntaskan penanggulangan penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk praktik-praktik KKN; (2) Meningkatkan kualitas penyelenggaraan administrasi negara; dan (3) Meningkatkan keberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan. Program Utama Kementerian PAN 2005-2009: (1) Peningkatan kualitas pelayanan publik dan percepatan pemberantasan KKN; (2) Peningkatan kinerja aparatur melalui penerapan sistem penggajian yang berbasis merit dan remunerasi, akuntabilitas dan penegakan etika dan disiplin kerja secara konsisten, peningkatan perlindungan hukum, pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi, sistem penilaian berdasarkan kinerja, kelembagaan sesuai visi dan misi, dan ketatalaksanaan yang efektif; dan (3) Penyelesaian masalah pegawai honorer, pegawai harian lepas (PHL), dan pegawai tidak tetap (PTT). Program Pendayagunaan Aparatur Negara Tahun 2006, mengacu pada RKP 2006, dengan tema “Menyelesaikan Reformasi Menyeluruh untuk Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat” dengan empat pengarusutamaan (partisipasi masyarakat, pembangunan berkelanjutan, gender, dan tata kelola pemerintahan yang baik. Dari tujuh prioritas pembangunan 2006 (penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan;
56
Reformasi Birokrasi
peningkatan kesempatan kerja, investasi dan ekspor; revitalisasi pertanian dan perdesaan; peningkatan aksesibilitas dan kualitas pendidikan dan kesehatan; penegakan hukum, pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi; penguatan kemampuan pertahanan, pemantapan keamanan, ketertiban, dan penyelesaian konflik; serta rehabilitasi dan rekonstruksi NAD dan Nias Sumatera Utara; pembangunan aparatur negara berada pada butir kelima, yaitu “Penegakan hukum, pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi.” Sasaran yang akan dicapai adalah (a) Meningkatnya Upaya Pemberantasan Korupsi; dan (b) Meningkatnya Kualitas Pelayanan Publik dengan Arah Kebijakan: (1) Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi; dan (2) Reformasi Birokrasi dan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. 2
Reformasi Birokrasi, Pokok-pokok Pikiran Tentang Reformasi Birokrasi Aparatur Negara (kajian Kedeputian Menpan Bidang Program tahun 2003-2004): (1) Kelembagaan: organisasi “ramping struktur dan banyak/kaya fungsi, efisien, dan efektif”, organisasi disusun berdasarkan visi, misi, dan strategi yang jelas (structure follows strategy), organisasi efisien dan efektif, rasional, dan proporsional (rightsizing), flat atau datar, ramping, pembidangan sesuai beban dan sifat tugas, span of control yang ideal, bersifat jejaring (small organization but large networking, banyak diisi jabatan-jabatan fungsional (mengedepankan kompetensi dan profesionalitas dalam pelaksanaan tugasnya), dan menerapkan strategi organisasi pembelajaran (learning organization) yang cepat beradaptasi dengan terhadap perubahan (2) Sumber Daya Manusia Aparatur yang ditandai oleh “PNS yang profesional, netral, dan sejahtera, manajemen kepegawaian modern, PNS yang profesional, netral, berdayaguna, produktif, transparan, bersih dan bebas KKN untuk melayani dan memberdayakan masyarakat, jumlah dan komposisi pegawai yang ideal: sesuai dengan tugas, fungsi dan beban kerja yang ada di masing-masing instansi pemerintah, penerapan sistem merit dalam manajemen PNS, klasifikasi jabatan, standar kompetensi, sistem diklat yang mantap, standar kinerja, penyusunan pola karier PNS, pola karir terbuka, PNS sebagai perekat dan pemersatu bangsa, membangun sistem manajemen kepegawaian unified berbasis kinerja, dan dukungan pengembangan database kepegawaian, sistem informasi manajemen kepegawaian, sistem remunerasi yang layak dan adil, menuju manajemen modern; (3) Tata Laksana atau Manajemen, berusaha mewujudkan “mekanisme, sistem, prosedur, dan tata kerja yang tertib, efisien, dan efektif”, melalui pengaturan ketatalaksanaan yang sederhana: standar operasi, sistem, prosedur, mekanisme, tatakerja, hubungan kerja dan prosedur pada proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pengendalian, proses korporatisasi dan privatisasi, pengelolaan sarana dan prasarana kerja, penerapan perkantoran elektronis dan pemanfaatan e-government, dan apresiasi kearsipan. Juga penataan birokrasi yang efisien, efektif, transparan, akuntabel, hemat, disiplin, dan penerapan pola hidup sederhana. Efisiensi kinerja aparatur dan peningkatan budaya kerja, terwujudnya sistem dan mekanisme kerja yang efektif dan efisien (dalam administrasi pemerintahan maupun pelayanan kepada masyarakat), sistem kearsipan yang andal: tepat guna, tepat sasaran, tepat waktu, efektif dan efisien, otomatisasi administrasi perkantoran, dan sistem manajemen yang efisien dan efektif. Unit organisasi pemerintah yang mempunyai potensi penerimaan keuangan negara, statusnya didorong menjadi unit korporatisasi dalam bentuk BHMN, BUMD, Perum, Persero, UPT, UPTD, atau bentuk lainnya; (4) Akuntabilitas Kinerja Aparatur diarahkan untuk menciptakan “Kinerja Instansi pemerintah yang berkualitas tinggi, akuntabel dan bebas KKN”, ditandai oleh sistem akuntabilitas kinerja, Sistem
Reformasi Birokrasi
57
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) yang efektif, sistem dan lingkungan kerja yang kondusif: berdasarkan peraturan dan tertib administrasi, terlaksananya sistem akuntabilitas instansi yang berguna sebagai sarana penilaian kinerja instansi dan individu oleh stakeholders (atasan, masyarakat, dan pihak lain yang berkepentingan) yang didukung sistem informasi dan pengolahan data elektronik yang terpadu secara nasional dan diterapkan di semua departemen/lembaga di bidang perencanaan dan penganggaran, organisasi dan ketalaksanaan, kepegawaian, sistem akuntansi keuangan negara yang dikaitkan dengan indikator kinerja dan pelayanan masyarakat, dan aparatur negara yang bebas KKN (kondisi yang terkendali dari praktek-praktek penyalahgunaan kewenangan dan penyimpangan serta pelanggaran disiplin, tingginya kinerja sumber daya aparatur dan kinerja pelayanan publik); (5) Pengawasan yang terkoordinasi dengan baik, ditandai oleh sistem pengendalian dan pengawasan yang tertib, sisdalmen/waskat, wasnal, dan wasmas, koordinasi, integrasi dan sinkronisasi aparat pengawasan, terbentuknya sistem informasi pengawasan yang mendukung pelaksanaan tindak lanjut, serta jumlah dan kualitas auditor profesional yang memadai, intensitas tindak lanjut pengawasan dan penegakan hukum secara adil dan konsisten; (6) Pelayanan Publik, diharapkan dapat mewujudkan “pelayanan publik yang prima dalam arti pelayanan yang cepat, tepat, adil, dan akuntabel”, ditandai oleh pelayanan tidak berbelit-belit, informatif, akomodatif, konsisten, cepat, tepat, efisien, transparan dan akuntabel, menjamin rasa aman, nyaman, dan tertib, kepastian (waktu-biaya-hukum), dan tidak dijumpai pungutan tidak resmi. Kondisi kelembagaan, SDM aparatur, ketatalaksanaan, dan pengawasan, mampu mendukung penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas dan mendorong munculnya praktek-praktek pelayanan yang lebih menghargai para pengguna jasa; perubahan paradigma aparatur yang terarah dalam upaya revitalisasi manajemen pembangunan ke arah penyelenggaraan Good Governance: menjadi entrepreneurial-competitive government (pemerintahan yang kompetitif), customerdriven dan accountable government (pemerintahan tanggap/responsive), serta globalcosmopolit orientation government (pemerintahan yang berorientasi global); penerapan prinsip pelayanan prima: metode dan prosedur pelayanan, produk dan jasa pelayanan, mantapnya peraturan perundangan, penetapan standar pelayanan, indeks kepuasan masyarakat, pengembangan model dan penanganan keluhan masyarakat/pengguna jasa secara terorganisasi, serta partisipasi masyarakat; proses kerja serta modernisasi administrasi melalui otomatisasi administrasi perkantoran: elektronis di setiap instansi pemerintah serta penerapan dan pengembangan e-government; publikasi secara terbuka prosedur, biaya dan waktu pelayanan; dan peran serta masyarakat dengan adanya kejelasan tugas, wewenang dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat; (7) Budaya Kerja produktif, ditandai oleh “terbangunnya kultur birokrasi pemerintah yang produktif, efisien, dan efektif“, terciptanya iklim kerja yang berorientasi pada etos kerja dan produktivitas yang tinggi, melalui Pengembangan Budaya Kerja yang mengubah mind-set, sikap dan perilaku serta motivasi kerja; dengan pengembangan budaya kerja yang tinggi: terbentuk sikap, perilaku dan budaya kerja pegawai yang etis, bermoral, profesional, disiplin, hemat, hidup sederhana, jujur, produktif, menghargai waktu, menjadi panutan dan teladan, serta mendapat kepercayaan masyarakat; dan (8) Koordinasi program dan pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, pengawasan dan pengendalian program pendayagunaan aparatur negara, melalui “keterkaitan institusional (koordinatif) yaitu keterkaitan Kementerian PAN dengan Instansi/Lembaga terkait yang bersifat koordinasi dalam rancangan, integrasi dalam program, sinkronisai dalam kegiatan dan simplifikasi dalam prosedur“ , ditandai oleh kesatuan bahasa dan kerjasama dikembangkan melalui Rakor, Fortek dan Forkom, Raker, rapat berkala;
58
Reformasi Birokrasi
koordinasi dilakukan sejak penyusunan program kerja dan anggaran; jelasnya Instansi/ unit kerja yang secara fungsional berwenang dan bertanggungjawab atas sesuatu masalah atau tugas; dan program kerja Instansi/organisasi yang jelas (memperlihatkan keserasian kegiatan unit-unit kerja). 3
Arahan Presiden RI pada Rakornas-PAN 2005, 15 Desember 2005 di Istana Negara: Kita bersama wajib menindaklanjuti Arahan Presiden SBY pada RakornasPAN 2005, 15-17 Desember 2005 kepada para Sekretaris Jenderal, Sekretaris Utama, Sekretaris Daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) dan pejabat lainnya, sekitar 750 orang, di Istana Negara, yaitu (1) laksanakan reformasi birokrasi dan tegakkan prinsipprinsip good governance; (2) berantas korupsi sekarang juga dan hindari perbuatan tindak pidana korupsi; dan (3) tingkatkan kualitas pelayanan publik. Penegasan Presiden tersebut - Pertama: perlunya mewujudkan Good Governance yang bercirikan bersih, produktif, efisien, tanggap, responsif, terbuka atau transparan, akuntabel, dan harus lebih banyak bekerja daripada bicara. Kedua: melakukan upaya pemberantasan korupsi mulai sekarang dimulai dari diri sendiri dan lingkungan tempat kerja masing-masing, menghilangkan niat dan kesempatan untuk melakukan korupsi disertai peningkatan kesejahteraan bagi aparatur negara. Ketiga: memberikan pelayanan publik yang konkrit, aplikatif, cepat, tepat, mudah, murah, makin baik, terus menerus meningkat, dan tidak diskriminatif. Berikan contoh panutan dan keteladanan kepada masyarakat.
4
Sepuluh Prinsip / Karakteristik Kepemerintahan Yang Baik – To apply good governance principles in Indonesia: (1) Kesetaraan (equity): memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya; (2) Pengawasan (supervision): meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggara pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan ketertiban swasta dan masyarakat luas; (3) Penegakan hukum (law enforcement): mewujudkan adanya penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat; (4) Daya tanggap (responsiveness): meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat, tanpa kecuali; (5) Efisiensi dan Efektivitas (Effectiveness and Effciency): menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggungjawab; (6) Partisipasi (participation): mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung; (7) Profesionalisme (professionalism): meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau; (8) Akuntabilitas (accountability): meningkatkan tanggungjawab dan tanggunggugat para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas; (9) Wawasan ke Depan (strategic vision): membangun daerah berdasarkan visi dan strategi yang jelas dan mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya; dan (10) Transparansi (transparency): menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Sumber: Depdagri, UNDP, dan UN-Habitat, 2003, APKASI, APEKSI, ADEKSI, DLL.
Reformasi Birokrasi
59
Empat Belas Karakteristik Good Governance menurut Bappenas dan Lembagalembaga Donor: (1) Wawasan ke depan (strategic vision), pandangan ke depan (visioner), visi, misi, dan strategi jelas; (2) Terbuka (transparan), keterbukaan, transparansi (transparency); (3) Cepat tanggap (responsif), daya tanggap (responsiveness), dan menumbuhkan dialog; (4) Bertanggungjawab dan bertanggunggugat (akuntabel), akuntabilitas (accountability), dan mengetahui tugashak-kewajiban; (5) Profesional (profesionalitas, profesionalisme), kompeten, jujur, dan menumbuhkan keteladanan; (6) Efisien dan efektif (efisiensi dan efektivias), adil, manajemen pembangunan efektif, dan pelayanan publik prima; (7) Desentralistis, kejelasan pembagian tugas, fungsi, peran, wewenang; (8) Demokratis, menaati kesepakatan, kebebasan yang bertanggungjawab, konsensus, dan sinergi; (9) Legitimasi, supervisi/pengawasan terhadap administrasi publik, mengikutsertakan semua pihak, mengembangkan potensi yang ada, mendorong peranserta/partisipasi masyarakat (community/citizens participations), menumbuhkan kebersamaan, dan membangun masyarakat sipil/warga (civil society) yang kuat; (10) Mendorong kemitraan dengan swasta dan masyarakat, kesetaraan, kewajaran, kesamaan, keseimbangan hak dan kewajiban, komitmen yang kuat, pemerintah sebagai agent of change dan agent of development, administrasi pembangunan yang baik, dan mendorong investasi swasta; (11) Penegakan hukum, penghormatan terhadap hukum, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan kepastian hukum; (12) Komitmen pada pengurangan kesenjangan dan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan pengembangan koperasi dan UKMK; (13) Komitmen pada tuntutan pasar, pemanfaatan ipek, daya saing, dan peningkatan kualitas SDM; dan (14) Komitmen pada lingkungan hidup (pembangunan berkelanjutan, berkesinambungan, berwawasan lingkungan, untuk kepentingan generasi masa kini dan masa mendatang). Sumber: Bappenas, UK-ODA, UNDP, WORLD BANK, OECD-DAC, Nurcholish Madjid, Erna Witular, Bintoro Tjokroamidjojo, Setia Budi, MTI, TII, dan Kemitraan Bagi Pembaharuan. 5
Keputusan Menpan Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik: Maksud dan Tujuan (sebagai acuan bagi seluruh penyelenggara pelayanan publik dalam pengaturan dan pelaksanaan sesuai kewenangan yang diemban; dan mendorong terwujudnya penyelenggaraan pelayanan publik yang prima. Hakekat Pelayanan Publik: pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur negara sebagai abdi masyarakat. Asas Pelayanan Publik: transparansi, akuntabilitas, kondisional, partisipatif, kesmaan hak, serta keseimbangan hak dan kewajiban. Kelompok Pelayanan Publik: pelayanan administratif, pelayanan barang, dan pelayanan jasa. Penerapan prinsip-prinsip pelayanan publik: kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu, akurasi, keamanan, tanggungjawab, kelengkapan sarana dan prasarana, kemudahan akses, kedisiplinan, kesopanan dan keramahan, kenyamanan, standar pelayanan publik, sekurang-kurangnya meliputi prosedur pelayanan, waktu penyelesaian, biaya pelayanan, produk pelayanan, sarana dan prasarana, kompetensi petugas pemberi pelayanan, pola penyelenggaraan pelayanan publik, terdiri atas pola pelayanan fungsional, terpusat, terpadu satu atap, dan gugus tugas. Biaya Pelayanan Publik, penetapan besarnya biaya/tarif pelayanan harus memperhatikan: Tingkat kemampuan dan daya beli masyarakat; Nilai/harga yang berlaku atas barang dan atau jasa; Rincian biaya harus jelas untuk jenis pelayanan publik yang memerlukan tindakan seperti penelitian, pemeriksaan, pengukuran dan pengujian; dan Ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
60
Reformasi Birokrasi
dan memperhatikan prosedur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan bagi Penyandang Cacat, Lanjut Usia, Wanita Hamil dan Balita: Penyelenggaraan pelayanan wajib mengupayakan tersedianya sarana dan prasarana yang diperlukan serta memberikan akses khusus berupa kemudahan pelayanan bagi penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil dan balita. Pelayanan Khusus: penyelenggaraan jenis-jenis pelayanan publik tertentu seperti pelayanan transportasi, kesehatan, dimungkinkan untuk memberikan penyelenggaraan pelayanan khusus, dengan ketentuan seimbang dengan biaya yang dikeluarkan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, seperti ruang perawatan VIP di Rumah Sakit, dan Gerbong Eksekutif pada Kereta Api. Biro Jasa Pelayanan: sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik tertentu dimungkinkan adanya biro jasa. Status biro jasa tersebut harus jelas, memiliki ijin usaha dari instansi berwenang, dan berkoordinasi dengan instansi terkait. Tingkat Kepuasan Masyarakat: ukuran keberhasilan penyelenggaraan pelayanan ditentukan oleh tingkat kepuasan penerima pelayanan. Kepuasan penerima pelayanan memperoleh pelayanan sesuai dengan yang dibutuhkan dan diharapkan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengukuran indeks kepuasan masyarakat. Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan Publik: pengawasan melekat: pengawasan yang dilakukan atasan langsung; Pengawasan fungsional: pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional; dan Pengawasan masyarakat: pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat. Penyelesaian Pengaduan dan Sengketa: Setiap unit pelayanan wajib menyelesaikan setiap laporan/pengaduan masyarakat mengenai ketidakpuasan masyarakat sesuai kewenangannya. Dalam menyelesaikan pengaduan, perlu memperhatikan: prioritas penyelesaian pengaduan, penentuan pejabat yang menyelesaikan pengaduan, prosedur penyelesaian pengaduan, rekomendasi penyelesaian pengaduan, pemantauan dan evaluasi, pelaporan proses, penyampaian hasil, dan dokumentasi penyelesaian pengaduan. 6
Kepmenpan Nomor KEP/25/M.PAN/2/2004 Tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, mencatat, antara lain (1) Indeks Kepuasan Masyarakat adalah data dan informasi tentang tingkat kepuasan masyarakat yang diperoleh dari hasil pengukuran secara kuantitatif dan kualitatif atas pendapat masyarakat dalam memperoleh pelayanan dari aparatur penyelenggara pelayanan publik dengan membandingkan harapan dan kebutuhan; dan (2) ada 14 unsur minimal yang relevan, valid, dan reliabel untuk mengukur indeks kepuasan masyarakat dalam pelayanan, yaitu prosedur, persyaratan, kejelasan petugas, kedisiplinan petugas, tanggungjawab petugas, kemampuan petugas, kecepatan, keadilan, kesopanan dan keramahtamahan, kewajaran biaya, kepastian biaya, kepastian jadual waktu, kenyamanan lingkungan, dan keamanan pelayanan.
7
Kepmenpan Nomor KEP/26/M.PAN/2/2004 Tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik: (a) Transparansi penyelenggaraan pelayanan publik, utamanya meliputi (1) manajemen dan penyelenggaraan pelayanan publik; (2) prosedur pelayanan; (3) persyaratan teknis dan administratif; (4) rincian biaya; (5) waktu penyelesaian; (6) pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab; (7) lokasi; (8) janji; (9) standar pelayanan publik; (10) informasi pelayanan; dan (b) akuntabilitas pelayanan publik: (1) akuntabilitas kinerja; (2) akuntabilitas biaya; dan (3) akuntabilitas produk pelayanan publik; dan (c) tindak lanjut pengaduan masyarakat, pemanfaatan e-government, dan kerjasama dengan Komisi Ombudsman Nasional.
Reformasi Birokrasi
8
61
Prinsip-prinsip SPM: (1) SPM disusun sebagai alat Pemerintah dan Pemerintahan Daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib; (2) SPM ditetapkan oleh Pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; (3) Penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah merupakan bagian dari penyelenggaraan pelayanan dasar nasional; (4) SPM bersifat sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan serta mempunyai batas waktu pencapaian; dan (5) SPM disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan keuangan nasional dan daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang yang bersangkutan. Penyusunan SPM: Menteri/ Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) menyusun SPM sesuai dengan urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2); (2) Penyusunan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada peraturan perundang-undangan yang mengatur urusan wajib; (3) Dalam penyusunan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan jenis pelayanan dasar, indikator SPM dan batas waktu pencapaian SPM. Penyusunan SPM oleh masing-masing Menteri/Pimpinan LPND dilakukan melalui konsultasi yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Dalam penyusunan SPM, dipertimbangkan: (a) keberadaan sistem informasi, pelaporan dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menjamin pencapaian SPM dapat dipantau dan dievaluasi oleh pemerintah secara berkelanjutan; (b) standar pelayanan tertinggi yang telah dicapai dalam bidang yang bersangkutan di daerah; (c) keterkaitan antar SPM dalam suatu bidang dan antara SPM dalam suatu bidang dengan SPM dalam bidang lainnya; (d) kemampuan keuangan nasional dan daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang yang bersangkutan; dan (e) pengalaman empiris tentang cara penyediaan pelayanan dasar tertentu yang telah terbukti dapat menghasilkan mutu pelayanan yang ingin dicapai. Petunjuk Teknis disusun oleh Menteri yang bersangkutan. Penerapan SPM: (1) Pemerintahan Daerah menerapkan SPM sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri; (2) SPM yang telah ditetapkan Pemerintah menjadi salah satu acuan bagi Pemerintahan Daerah untuk menyusun perencanaan dan penganggaran penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; (3) Pemerintahan Daerah menyusun rencana pencapaian SPM memuat target tahunan pencapaian SPM dengan mengacu pada batas waktu pencapaian SPM sesuai dengan Peraturan Menteri; (4) Rencana pencapaian SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategi Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD); dan (5) Target tahunan pencapaian SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana Kerja Satuan Kerja Peringkat Daerah (Renja SKPD), Kebijakan Umum Anggaran (KUA), Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA SKPD) sesuai klasifikasi belanja daerah dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah. Penyusunan rencana pencapaian SPM dan anggaran kegiatan yang terkait dengan pencapaian SPM dilakukan berdasarkan analisis kemampuan dan potensi daerah dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh Mendagri. Rencana pencapaian target tahunan SPM serta realisasinya diinformasikan kepada masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan. Pemerintah Daerah mengakomodasikan pengelolaan data dan informasi penerapan SPM ke dalam sistem informasi daerah yang dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam rangka peaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dan/atau untuk menciptakan efisiensi, daerah wajib mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah
62
Reformasi Birokrasi
sekitarnya sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam pengelolaan pelayanan dasar secara bersama sebagai bagian dari pelayanan publik, rencana pencapaian SPM perlu disepakati bersama dan dijadikan sebagai dasar dalam merencanakan dan menganggarkan kontribusi masing-masing daerah. Dalam upaya pencapaian SPM, Pemerintah Daerah dapat bekerjasama dengan pihak swasta. Pembinaan dan Pengawasan: (1) Menteri/ Pimpinan LPND melakukan pembinaan kepada Pemerintahan Daerah dalam penerapan SPM; (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa fasilitas, pemberian orientasi umum, petunjuk teknis, bimbingan teknis, pendidikan dan pelatihan atau bantuan teknis lainnya yang mencakup: (a) perhitungan sumber daya dan dana yang dibutuhkan untuk mencapai SPM, termasuk kesenjangan pembiayaannya; (b) penyusunan rencana pencapaian SPM dan penetapan target tahunan pencapaian SPM; (c) penilaian prestasi kerja pencapaian SPM; dan pelaporan prestasi kerja pencapaian SPM; dan (3) Pembinaan penerapan SPM terhadap Pemerintahan Daerah Provinsi dilakukan oleh Pemerintah, dan pembinaan penerapan SPM terhadap Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah di Daerah. Pemerintah melakukan monitoring dan evaluasi atas penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah dalam rangka menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada kepada masyarakat. Monitoring dan evaluasi dilakukan Pemerintah untuk Pemerintahan Daerah Provinsi; dan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Daerah untuk Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Pemerintah wajib mendukung pengembangan kapasitas Pemerintahan Daerah yang belum mampu mencapai SPM, dapat melimpahkan tanggungjawab pengembangan kapasitas Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang belum mampu mencapai SPM kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Daerah. Dukungan pengembangan kapasitas Pemerintahan Daerah dapat berupa fasilitasi, pemberian orientasi umum, petunjuk teknis, bimbingan teknis, pendidikan dan pelatihan atau bantuan teknis lainnya, dengan mempertimbangkan kemampuan kelembagaan, personil, dan keuangan negara serta keuangan daerah. Mendagri bertanggungjawab atas pengawasan umum penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah. Menteri/Pimpinan LPND bertanggungjawab atas pengawasan teknis penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah. Mendagri dapat melimpahkan tanggungjawab pengawasan umum penerapan SPM oleh Pemerintahan Kabupaten/Kota kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Daerah. Menteri/Pimpinan LPND dapat melimpahkan tanggungjawab pengawasan teknis penerapan SPM yang dilakukan oleh Pemerintahan Kabupaten/Kota kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Daerah. Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada Pemerintahan Daerah yang berhasil mencapai SPM dengan baik dan memberikan sanksi kepada Pemerintahan Daerah yang tidak berhasil mencapai SPM dengan baik. 9
Inpres 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi: Sepuluh Instruksi Umum dan Sebelas Instruksi Khusus kepada para Menteri dan Pejabat tertentu. Sepuluh Instruksi Umum: Penyelenggara Negara, LHKPN, pelaporan, pendaftaran, pengumuman, dan pemeriksaan LHKPN; penetapan kinerja (target, indikator, hasil dan manfaat); kualitas pelayanan publik (jasa, perijinan), transparansi, standarisasi (persyaratan, target waktu penyelesaian, tarif biaya, pungutan liar); program dan wilayah bebas korupsi; mencegah kebocoran dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah serta kebocoran keuangan negara APBN, APBD); kesederhanaan (kedinasan dan kehidupan pribadi); penghematan dalam penyelenggaraan pemerintahan; dukungan pada pemberantasan korupsi; pemberian informasi; pemberian ijin pemeriksaan terhadap saksi/tersangka; kerjasama semua pihak dengan KPK (pencegahan dan pemberantasan
Reformasi Birokrasi
63
korupsi); dan meningkatkan pengawasan dan pembinaan aparatur; serta meniadakan perilaku koruptif. Sebelas Instruksi Khusus: Penerapan e-Procurement dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah; pengawasan perpajakan, kepabeanan, cukai, penerimaan bukan pajak, peniadaan kebocoran penerimaan keuangan negara, pengkajian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keuangan negara yang membuka peluang korupsi); menyempurnakan peraturan perundang-undangan; Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK); pelayanan publik; penetapan kinerja; prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik; sistem kepegawaian negara; kormonev; sinkronisasi, optimalisasi, dan amandemen UU pemberantasan korupsi; peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberantasan korupsi; tata kelola perusahaan yang baik pada BUMN; pendidikan dengan substansi semangat dan perilaku anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan formal dan non-formal; sosialisasi pendidikan anti korupsi dan kampanye anti korupsi; koordinasi para penegak hukum dalam penyidikan, penuntutan, dan sanksi tegas, serta peningkatan kerjasama penegakan hukum dan pemberantasan korupsi; dan melaksanakan inpres secara bertanggungjawab dan melaporkan kepada Presiden. Koordinasi, Monitoring, dan Evaluasi pelaksanaan Inpres 5/2004 dikerjakan Kementerian PAN, oleh Deputi Menpan Bidang Pengawasan/Koordinator Kormonev Tingkat Pusat: Jalan Jenderal Sudirman Kav. 69, Jakarta Selatan 12190, Website http:/ /www.kormonev.org e-mail: [email protected]. Telp. (021) 7398381-9 pswt. 2251; Fax (021) 7398346; 7398381-89, pswt. 2251. 10
Hubungan Korupsi, Transparansi, dan Akuntabilitas (Conceptual Framework of Transparency in e-Government – Relationship between Corruption and Transparency, Klitgaard, 1988): (1) CORRUPTION = MONOPOLY + DISCRETION - ACCOUNTABILITY (2) CORRUPTION = - TRANSPARENCY (3) TRANSPARENCY = - MONOPOLY - DISCRETION + ACCOUNTABILITY Implications: 1. Transparency is high, where Competition exists, Administrative Discretion is restricted. 2. Accountability is high (or Accountability is high, where Transparency is high). Syahruddin Rasul (KPK, mantan Deputi BPKP): Korupsi tumbuh dari adanya kewenangan yang diberikan oleh negara kepada seseorang tanpa disertai dengan sistem akuntabilitas yang memadai: CORRUPTION = POWER - ACCOUNTABILITY C = P A Kunci untuk memberantas korupsi yang sistematis ini adalah dengan membangun akuntabilitas dalam penyelenggaraan administrasi negara, selain melakukan tindakan-tindakan penegakan hukum terhadap para koruptor secara tegas dan konsisten serta berkelanjutan. Pemerintah Australia memilih FLAT (fairness, law and regulatory framework, accountability, and transparency) sebagai Governance Principle of Australia. Governance – The Analytical Framework menurut Lynn, Heinrich, and Hill (2001): O = f [ E, C, T, S, M ] dimana: O = outputs/outcomes; E = environmental factors; C = client characteristics; T = treatments; S = structures; dan M = managerial roles and actions. GONE Theory (Jack Bologne): faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kecurangan, meliputi Greeds (keserakahan), Opportunities (kesempatan), Needs (kebutuhan), dan Exposures (pengungkapan).
64
Reformasi Birokrasi
Korupsi terjadi jika ada NIAT dan KESEMPATAN: N + K = C Kesempatan = Criminal )
( Niat +
11
Best Practices Pelayanan Publik beberapa Pemerintah Daerah dalam melaksanakan Reformasi Birokrasi dan Pelayanan Publik Berkualitas: (1) Provinsi Riau: menggalakkan LAKIP, Sistem AKIP, dan menerapkan prinsip-prinsip good governance pada semua kabupaten dan kota; (2) Provinsi Kalimantan Selatan: komitmen kuat dalam pembuatan LAKIP dan Sistem AKIP, pemerintahan bersih, dan bebas KKN; (3) Provinsi Kalimantan Tengah: telah mencanangkan percepatan pemberantasan korupsi di provinsi dan seluruh kabaupaten/kota, dalam membangun pemerintah yang bersih dan memberantas illegal logging; (4) Provinsi Gorotalo: melakukan penataan kelembagaan, asministrasi keuangan, menyediakan tunjangan kinerja kedinasan, jiwa wirausaha, budaya kerja apartur negara, mind-setting, management belife and values aparatur, memau produk unggulan daerah (jagung, pisang, nenas, ikan laut) dan pembangunan berorientasi keluar (ouward looking); (5) Provinsi Jawa Timur, mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik, pemanfaatan e-government, peningkatan investasi, produk unggulan daerah dan program gerakan kembali ke desa; (6) Pemerintah DI Yogyakarta, mendorong tata pemerintahaan yang baik (civil service reform), pelayanan publik prima, dan peluang program pensiun dini; (7) Kabupaten Solok, menerapkan pakta integritas (komitmen kejujuran) dalam engadaan barang dan jasa pemerintah, penerapan e-government, kesejahteraan bersama, dan penghematan; (8) Kabupaten Sragen, melakukan terobosan pada berbagai aspek pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan, antara lain fiskal, pajak, investasi swasta, pelayanan satu atap, dan budaya kerja; (9) Kabupaten Jembrana, mengelola keuangan seefektif dan efisien mungkin (bermodalkan DOA, yaitu duit, orang, dan alat), membebaskan biaya pendidikan dan kesehatan, mendorong pejabat baru mengikuti pendidikan dan pelatihan di luar negeri, antara lain di Korea dan Jepang (menambah wacana); (10) Kabupaten Tabanan, meningkatkan pelaynan ublik, antara lain rumh sakit menuju kemandirian; (11) Kabupaten Sidoardjo, mengembangkan pelayanan satu atap, penerapan e-government, mendorong percepatan pengembangan industri melalui kemudahan pelayanan perijinan, dan penataan kelembagaan; (12) Kota Balikpapan, pelayanan SIM cepat dan pembedaan tarif berdasarkan kemampuan warga dan lama/waktu pelayanan, penerapan e-government, dan meningkatkan partisipasi masyarakat; (13) Kota Tarakan, membangun tata pemerintahan yang baik, meningkatkan partisipasi masyarakat, pengembangan kota wilayah perbatasan, budaya keja, peningkatan pelayanan publik, dan pembaharuan birokrasi (reinventing government).
12
Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Lembaga Donor Internasional dalam Reformasi Birokrasi, Good Governance: 1. Performance Budgeting BIGG - Building Institutions for Good Governance (USAID): Kab. Gowa, Pati, Sukoharjo, Kota Bukittinggi, Bogor, Samarinda, Kab. Kutai Timur, Serang, Boyolali, Klaten, Sragen, Kudus, Tanah Datar, Pangkep, Sidrap, Kota Solok, Tiga Kabupaten di Papua, Kab. Sleman, Kab. Bukittinggi, Kab. Sidoarjo. 2. Peningkatan Kualitas SfGG - Support for Good Governance; Pakta Integritas (GTZ): Kab/Kota Bima, Kab. Solok. 3. Performance Management USAID for Regions: Kab. Bangli, Kab. Sleman, Kota Pontianak. 4. SfGG-II: DKI Jakarta, DIY, Prov. NTB, NTT, dan Sumbar.
Reformasi Birokrasi
5. 6. 7.
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
20.
21.
65
Performance Management CIDA for Regions: Prov. Gorontalo. Community/Local Govt Support Sector Development Program ADB: Kab. Kebumen. Capacity Building Assessment for Regions CLGI/Exxob Mobil (Bojonegoro), USAID (Mimika, Manokwari), British Petroleum (Teluk Bintuni, Kab. Bojonegoro, Mimika, Manokwari). Improving public service SfGG: Kab. Badung, Pati, Sambas, Kupang, Kota Batam, Manado, dan Medan. Mapping Study on Local CLGI, Government Strengthening USAID Program: Pemerintah Pusat. PRODA-Local Governance Capacity Bld., GTZ: NTB, Bima, Dompu, Sumba Timur, Alor. Local Government USAID, Organizational Development CLGI: NTB, Lombok Timur. Change Management CIDA: Sulsel, Bantaeng. Strategic Management for Local Government CIDA: Kab. Pangkep. Local Government, Organizational Development USAID: Kab. Sinjai. Civil Service Reform Partnership, World Bank, ADB: Prov. DIY, Kab. Jembrana, Kab. Tanah Datar. Civil Service Reform (Singapore): Prov. Riau; (Canadian for training): Kota Gorontalo. e-Government: Kota Tarakan. Civil Service Reform: Kab. Bulukumba, Kab. Boalemo; (ASIA Foundation): Kota Yogyakarta. A methodology for civil service reform – diagnostics and roadmap WORLD BANK: NTB (Provinsi, Kota Mataram, Kab.Lombok Tengah) dan Sumbar (Provinsi, Kab. Solok, Kota Solok). BRIDGE (Building and Reinventing Democratic Governance): Democratic Governance; Local Public Administration Reform; Civil Society Strengthening; Capacity-Building for Local Government; Local Economic Development; Integrating Gender in BRIDGE; Possible Implementation Scenario for Demonstration Projects; DRAFT Implementation Procedures and Implementation Authorities; Outline for Job Specification for Programme Staff; Process of Consultation and Formation Gathering. DONOR Programmes in Good Local Governance: PERFORM – Performance Oriented Regional Management (USAID); URBAN QUALITY – Civil SocietyMunicipal Cooperation for Better Urban Services (GTZ); ILGR – Initiative for Local Governance Reform (World Bank); PRODA – Local Governance Capacity Building (GTZ); USDRP – Urban Sector Development Reform Project (World Bank); SCBD – Sustainable Capacity Building for Decentralisation (ADB); IDEN – Indonesian Decentralised Environmental and Natural Resource Management; CRP – Community Recovery Programme (UNDP); Replication of KPEL – Partnership for Local Economic Development (BAPPENAS); Sustainable Cities Programme (UN-HABITAT); Neighborhood Improvement Programme (ADB); USDRP – Urban Sector Development and Reform Project (WB); ILGRP – Initiative for Local Governance Reform Project (WB); Kecamatan Development Project (WB).
66
13
Reformasi Birokrasi
Tujuh Belas Pasang Nilai-Nilai Dasar Budaya Kerja Aparatur Negara (Kepmenpan Nomor 25 Tahun 2002): (1) Komitmen dan Konsisten terhadap Visi, Misi, dan Tujuan Organisasi, dalam Pelaksanaan Kegiatan Pemerintahan dan Pembangunan: (a) Keteguhan hati, tekad yang mantap untuk melakukan dan mewujudkan sesuatu yang diyakini; dan (b) Ketetapan, kesesuaian, ketaatan, kemantapan dalam bertindak sesuai visi dan misi; (2) Wewenang dan Tanggungjawab: (a) Wewenang: Hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu; dan (b) Tanggungjawab: kesediaan menanggung sesuatu. Jika salah, wajib memperbaiki atau dapat dituntut/diperkarakan; (3) Keikhlasan dan Kejujuran: (a) Keikhlasan: Rela sepenuh hati, datang dari lubuk hati, tidak mengharapkan imbalan atau balas jasa, semata-mata karena menjalankan tugas/amanah demi Tuhan; dan (b) Kejujuran: Benar dalam kata dan perbuatan, berani menolak/melawan kebatilan; (4) Integritas dan Profesionalisme/Profesionalitas: (a) Integritas: Menyatu dengan unit kerja/sistem yang ada; dan (b) Profesionalisme: Terampil, andal, kompeten, dan bertanggungjawab; (5) Kreativitas dan Kepekaan (Sensitivitas) terhadap lingkungan tugas: (a) Kreativitas: Ide spontan, inovasi, adopsi, dan diffusi; dan (b) Kepekaan: Responsif dan proaktif/reaktif; (6) Kepemimpinan dan Keteladanan: (a) Kepemimpinan: Mengarahkan, membimbing, memotivasi, konsisten, dan komunikatif; dan (b) Keteladanan: Tindakan yang segera memicu/mendorong pihak lain, berbuat/bertindak agar ditiru, antara lain: iman, taqwa, beriptek, budaya baca-tulis, belajar terus, integritas, adil, arif, tegas, bertanggungjawab, ramah, rendah hati, toleran, gembira, silih asah-asih-asuh, sabar, periang dan tersenyum; (7) Kebersamaan dan Dinamika Kelompok Kerja: (a) Kebersamaan: Suasana hati bersama, untuk kepentingan bersama; dan (b) Dinamika Kelompok Kerja: Tidak bekerja sendiri, tidak egois, dan bekerja terintegrasi; (8) Ketepatan (Keakurasian) dan Kecepatan: (a) Ketepatan: Mengenai sasaran, mencapai tujuan, teliti, dan bebas kesalahan; dan (b) Kecepatan: Penggunaan waktu lebih singkat dan pendek; (9) Rasionalitas dan Kecerdasan Emosi: (a) Rasionalitas: Berpikir cerdas, obyektif, logis, sistematik, ilmiah, dan intelektual; dan (b) Kecerdasan Emosi: Spontan, kreatif, inovatif, holistik, integratif, dan kooperatif; (10) Keteguhan dan Ketegasan: (a) Keteguhan: Kuat dalam berpegang pada aturan, nilai moral, dan prinsip manajemen; dan (b) Ketegasan: Sifat, watak, dan tindakan yang jelas dan tidak ragu-ragu; (11) Disiplin dan Keteraturan Bekerja: (a) Disiplin: Taat aturan, norma, dan prinsip; dan (b) Keteraturan Bekerja: Perilaku konsisten mengikuti ketentuan/prosedur; (12) Keberanian dan Kearifan dalam mengambil Keputusan dan Menangani Konflik: (a) Keberanian: Berani menanggung resiko atas perbuatan yang dilakukan; dan (b) Kearifan: Menuju pada hal-hal yang benar/baik; (13) Dedikasi dan Loyalitas: (a) Dedikasi: Rela berkorban, mau menyatu dengan lingkungan; dan (b) Loyalitas: Mau dan patuh pada tindakan/anjuran atasan; (14) Semangat dan Motivasi: (a) Semangat: Daya/energi yang mendorong perilaku ke tingkat tertinggi; dan (b) Motivasi: Merujuk pada tujuan untuk memenuhi kebutuhan; (15) Ketekunan dan Kesabaran: (a) Teliti, rajin, konsisten, berkelanjutan, dan tidak cepat ke tingkat tertinggi; dan (b) Merujuk pada tujuan untuk memenuhi kebutuhan; (16) Keadilan dan Keterbukaan: (a) Keadilan: Bekerja sesuai tugas, fungsi, dan wewenang, dapat membedakan hak dan kewajiban, dan tidak memihak; dan (b) Keterbukaan: Tidak ada yang ditutupi (pada norma tertentu), bebas memperoleh informasi dan menyampaikan pendapat; dan (17) Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: (a) Penguasaan Ilmu Pengetahuan: Ilmu murni/terapan yang mengajak berbuat obyektif, tidak tahyul, dan menuju keteraturan; dan (b) Teknologi: Cara melaksanakan pekerjaan yang efisien dan efektif, cepat-tepat-pasti, baik dengan cara sederhana maupun canggih.
Reformasi Birokrasi
67
14
Tujuh Asas Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dai KKN (UU 28/ 1999), yaitu (1) Kepastian Hukum (Negara hukum, mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara); (2) Tertib Penyelenggaraan Negara (keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara); (3) Kepentingan Umum (mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif), (4) Keterbukaan (membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara); (5) Proporsionalitas (mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara); (6) Profesionalitas (mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku); dan (7) Akuntabilitas (setiap kegiatan dan hasil kegiatan akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi segera sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku).
15
Etika Kehidupan Berbangsa: TAP MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, menegaskan agar aparat negara mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportivitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggungjawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa, beretika sosial dan budaya, beretika politik dan pemerintahan, beretika ekonomi dan bisnis, beretika penegakan hukum yang berkeadilan, beretika keilmuan, dan beretika lingkungan. Etika sosial dan budaya (jujur, peduli, saling memahami, menghargai, mencintai, menolong, dan keteladanan), etika politik dan pemerintahan (menuju pemerintahan yang bersih, efisien dan efektif ditandai keterbukaan, tanggungjawab, tanggap, aspiratif, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan menerima pendapat orang lain, menjunjung tinggi hak asasi manusia, peduli, siap mundur apabila dirinya melanggar kaidah dan sistem nilai atau tidak mampu melaksanakan tugas, mendahulukan kepentingan umum, harus bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, rendah hati, dan menjadi teladan, toleransi tinggi, tidak pura-pura, tidak arogan, jauh dari munafik, tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan menghindari tindakan tidak terpuji), etika ekonomi dan bisnis (berjiwa enterpreneur, mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, mendorong pemberdayaan ekonomi, menghindari KKN, tidak diskriminasi, dan berusaha mengentaskan kemiskinan), berpandangan global), etika penegakan hukum yang berkeadilan (tenang, teratur, taat dan tertib hukum, kepastian hukum, berusaha bertindak adil dan tidak diskriminatif), etika keilmuan (menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, berimtaq dan beriptek, berbudauya kerja produktif, mewujudkan karsa, cipta dan karya yang tercermin dalam perilaku kreatif, inovatif, inventif, komunikatif, mendorong budaya baca-tulis-telitikarya) dan etika lingkungan (kesadaran menghargai melestarikan lingkungan hidup, penataan ruang, berkelanjutan, berkesinambungan, dan berwawasan lingkungan (sustainable development).
16
Pokok-pokok Pikiran tentang Etika Penyelenggara Negara atau Etika Pemerintahan meliputi etika, penyelenggara negara, pemerintah, pemerintahan, tata pemerintahan yang baik, norma, nilai-nilai dasar, jiwa korps, kode etik, asas-asas etika, berupa pengaturan tentang etika pemerintahan sebagai tindak lanjut etika kehidupan berbangsa.
68
Reformasi Birokrasi
17
Pembaharuan birokrasi atau mewirausahakan birokrasi (David Osborne dan Ted Gaebler, 1995, dalam bukunya “Reinventing Government: How the entrepreneurial spirit is transforming the public sector“), yaitu membangun: (1) pemerintah berorientasi pada pelanggan (customer-driven government), meeting he needs of the customers, not the bureaucracy; (2) pemerintah berorientasi misi (mission-driven government), transferring rule-driven organization; (3) pemerintah yang tanggap (anticipatory government), prevention rather than cure; (4) pemerintah berorientasi hasil (result-oriented government), funding outcomes, not inputs; (5) pemerintah yang kompetitif (competitive government), injecting competition into service delivery; (6) pemerintah yang berjiwa wirausaha (entreprising government), earning rather than spending; (7) pemerintah yang terdesentalisasi (decentralized government), from hierarchy to participation and teamwork; (8) pemerintah milik masyarakat (community-owned government), empowering rather than serving; (9) pemerintah katalis (cataytic government), steering rather than rowing; dan (10) pemerintah berorientasi pasar (market-oriented government), leveraging change through the market. Put it alltogether.
18
Qualities of an Innovator (Ditkoff, M., 15 October 2002): (1) Challenges status quo (tantangan status quo): dissatisfied with current reality questions authorty and routine and confronts assumptions; (2) Curious (keingintahuan): actively explores the environment, investigates new possibilities, and honors the sense of awe and wonder; (3) Self-Motivated (motivasi diri): repsonds to deep inner needs, proactively initiates new projects, intrinsically rewarded fo efforts; (4) Visionary (berwawasan ke depan): highly imaginative, maintains a future orientation, thinks mental pictures; (5) Entertains the Fantastics (melayani luar biasa): conjures outrageous scenarios, sees possibilities within the seemingly impossible, honors dreams and day dreams; (6) Takes Risks (berani mengambil risiko): goes beyond the comfort zone, experimental and nonconforming, courageusly willing to “fail”; (7) Peripatetic (peripatetik): hanges work environments as needed, wanders, walks or travels to inspire fresh thinking, given improvement and interaction; and (8) Playful/Humorous (gemar bergurau dan berjenaka): appreciates incongruities and surprise, able to appear foolish and childlike laughs easily and often.
19
Sepuluh Temuan Menpan (Reformasi Birokrasi, Pemberantasan Korupsi, dan Pelayanan Publik): 1. Kita harus punya visi, misi, kebijakan, strategi, upaya (subyek, obyek, metoda) yang jelas dan tepat (clear and accurate: vision, mission, policy, strategy, and action plan). Kebijakan yang tegas, sasaran-target rasional, hasil nyata, kepemimpinan kuat-efektif, manajemen efektif, dibekali imtaq dan iptek yang kuat, kesalehan-ketoyiban, dalam waktu singkat terbebas dari keterpurukan. Tugas kita, to accomplish the mission bekerja dalam team work, jangan pintar sendiri, tingkatkan motivasi, kreativitas, produktivitas, birokrat entrepreneur, dan jiwa inovasi. Harus ada satu/kesamaan persepsi, tujuan, sakinah wa rahmah mawaddah, sama cara bertindak, hindari kehilangan kepercayaan, jangan miskin hati dan miskin perasaan, tingkatkan akhlak, moral, rasa malu, dan ingatlah bahwa rasa malu adalah sebagian dari iman. 2. Kerjakan 4W (well plan, well organize, - who bring what, well arrangement, dan well control – supervise, supervisi). Terapkan 4C: Concept yang jelas, fragmatis,
Reformasi Birokrasi
3.
4.
5.
6.
7.
69
komprehensif, inovatif, konsep bagus dan bisa dilaksanakan. Competence ditegakkan, sebagai landasan penugasan, pelatihan yang jelas. Connections terjadi, keterkaitan antar elemen dan subsistem, hubungan yang jelas satu sama lain. Commitment penuh (know your mission, know your men kelebihan dan kekurangan, dan keep your men informed/involved). Tegakkan 2K di samping 4W dan 4C: konsistensi dan keseriusan (kesungguhan) dalam pelaksanaan tugas. Ubahlah mindset dan culture-set, menuju peningkatan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas kerja. Lakukan perubahan paradigma, shifting-paradigm, pola pikir, pola sikap, dan pola tindak, karakter, jati diri, dan budaya kerja aparatur. Ubahlah Budaya Kerja Malas ke Produktif, Mind-Set, Management Beliefs, Values. PP 42/2004: amalkan jiwa korps (rasa kesatuan dan persatuan, kebersamaan, kerjasama, tanggungjawab, dedikasi, disiplin, kreativitas, kebanggaan dan rasa memiliki organisasi PNS dalam NKRI) dan kode etik PNS (pedoman sikap, perilaku, tingkah laku, perbuatan PNS dalam melaksanakan tugas dan pergaulan sehari-hari: bernegara, berorganisasi, bermasyarakat, diri sendiri, dan terhadap sesama PNS. Patuhi kewajiban dan hindari larangan PNS (PP 30/1980), patuhi tata kerja, mekanisme kerja, prosedur kerja, pahami garis instruksi, buatlah pelaporan yang baik. Yakini etos kerja, sadari bahwa kerja adalah rahmat, amanah, tulus, syukur, panggilan, integritas, tanggungjawab, aktualisasi, semangat, seni, kreatif, sukacita, rendah hati, dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Perhatikan dan amalkan 6W (well select/selected, motivate/motivated, educate/ educated, train/trained, equip/equipped, and pay/paid). Bangun dan laksanakan 8C, model Universitas Sains Malaysia, Penang: commitment, concentration, capabilities, capacity, collaboration, commercialization, culture, dan community. Berusahalah membangun good governance, clean governmment, bebas KKN, good public governance, good corporate governance, transparan, partisipatif, akuntabel/akuntabilitas, dan responsible/responsibilitas. Upayakan penataan kesisteman: gaji, tunjangan, remunerasi, tatalaksana, penetapan kinerja, pelayanan publik yang prima, dan pengawasan. Selesaikan Rancangan Undang-undang: RUU Administrasi Pemerintahan, RUU Pelayanan Publik, RUU Kementerian Negara, RUU Etika Penyelenggara Negara/ RUU Etika Pemerintahan Negara (Perilaku Aparat Negara, Kode Etik Aparat Negara), RUU Kepegawaian Negara, RUU Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/ Duda, RUU Badan Usaha Nirlaba, RUUSistem Pengawasan Nasional, RUU Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, dan RUU Tata Hubungan dan Kewenangan. Juga harus diselesaikan UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, dan UU Pembuktian Terbalik. Tingkatkan Koordinasi, Integrasi, dan Sinkronisasi: memperhatikan kaidah sinkronisasi, realistis, orientasi pada visi, misi, strategi, dan kinerja, hindari duplikasi, tetapkan indikator keberhasilan kuantitatif (terukur) dan kualitatif. Manfaatkan Teknologi (teknologi informasi) dalam pemberantasan korupsi (single identification/identity number, e-government, e-commerce, e-business, information technology, procurement). Terapkan dan kembangkan e-Govenment, Laksanakan Single Identity Number (SIN), terapkan e-Government, e-Procurement, e-Office, e-Business, dan e-Bidding. Rewrite Indonesia, Rewrite the Republic, Rewrite the Nation: melihat ke masa depan, percaya pada diri sendiri, rasional dan analitik, kritis, beriptek dan imtaq, memanfaatkan informasi, longterm planning, budaya global, kepemimpinan
70
Reformasi Birokrasi
efektif, birokrat enterpreneur, disiplin tinggi, tepat waktu, komitmen, selektif, proaktif, terarah, fleksibel, akomodatif, unggul, tangguh, knowledge, knowledgebased economy, knowledge-based technology, knowledge-based society, attitude, skill, motivation, evironment, dan transparency. 8. Bangunlah profesionalisme, ditandai pendidikan, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman, ubahlah sikap (attitude), keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), motivasi (motivation), dan lingkungan (environment), tegakkan kinerja produktif (jujur, integritas tinggi, tegas, lugas, berani, disiplin, bermoral, bertanggungjawab, bersih, tekun, teliti, sabar, hemat, dan hidup sederhana), dan upayakan agar berakhlak mulia, ditandai kejujuran (siddiq), keteladanan (tabligh), terpercaya (amanah), kreatif (fatonah), dan konsisten (istiqomah). 9. Bangunlah 5 Sikap Dasar, 3 Syarat, dan 3 Cara (Soemarno Soedarsono, Lemhannas, 2003): (1) 5 Sikap Dasar: jujur, terbuka, berani mengambil resiko dan bertanggungjawab, komitmen, dan berbagi peran/sharing; (2) 3 Syarat: niat-doa, mengawali pekerjaan (nawaitu), mohon perkenan Tuhan (Insya Allah), dan bersyukur (alhamdulillah); dan (3) 3 Cara: shalat/doa, hasrat untuk berubah/ mewujudkan perubahan, dan menjadi panutan dan suri teladan. 10. Terapkan Standar Pelayanan Minimal mengacu pada PP 65/2005, tingkatkan kualitas pelayanan publik, ciptakan pelayanan publik prima, dan laksanakan pelayanan publik yang berkualitas, pasti, cepat, mudah, murah, terjangkau, transparan, biaya wajar, akuntabel, tepat, akurat, tida diskriminatif, terjangkau, tidak diskriminatif, dan bebas KKN. Sejalan dengan upaya peningkatan kualitas pelayanan publik, maka tegakkan prinsip-prinsip good governance, laksanakan reformasi birokrasi, percepat pemberantasan korupsi, bangunlah pakta integritas dan pulau-pulau integritas bebas korupsi, dan ubahlah mind-set dan culture-set, dan jadilah SATRIYA (Pemerintah Provinsi DIY: selaras, akal budi luhur, teladan, rela dan ikhlas melayani, inovatif, yakin dan percaya diri, dan ahli-profesional). Secara bertahap tetapi pasti, susunlah Standar Pelayanan Minimal (SPM), pelayanan publik yang transoaran dan akuntabel, perhatikan indeks kepuasan masyarakat, dalam menuju perwujudan pelayanan publik yang prima.
Reformasi Birokrasi
71
KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI DI INDONESIA Komarudin 1. Pendahuluan Pemerintahan saat ini digambarkan terlalu gemuk, tidak efisien, tidak efektif, tidak produktif, boros, tidak hemat, belum tertata dengan baik, tidak kompetitif, kelembagaan belum berorientasi tugas dan fungsi, sumber daya manusia aparatur bekerja lamban, ketatalaksanaan berbelit-belit dan tidak sederhana, banyak tumpang tindih pengaturan, akuntabilitas belum baik, pengawasan belum teratur, pelayanan publik belum prima, masih diskriminatif, pilih kasih, dan kurang terbuka. Di samping itu, budaya kerja produktif belum tumbuh, terkesan santai, belum ada perubahan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak atau perubahan mind-set ke aparatur yang dinamis dan produktif. Kondisi birokrasi yang diharapkan, organisasi pemerintah yang ramping, efisien, dan efektif; mekanisme, sistem, prosedur kerja, dan ketatalaksanaan yang tertib, efisien, dan efektif; PNS profesional, netral, dan sejahtera; kinerja yang akuntabel; pengawasan yang komprehensif dan tidak diskriminatif; pelayanan publik berkualitas dan prima. Korupsi telah menyebar hampir ke seluruh instansi pemerintah. Bidang kegiatan yang potensial dan rawan KKN: pengelolaan APBN dan APBD, BUMN/BUMD, Perbankan, SDA, SDM/Tenaga Kerja, dan Pelayanan Masyarakat. Bentuk-bentuk korupsi: penyalahgunaan wewenang, pembayaran fiktif, kolusi, persekongkolan, biaya perjalanan dinas fiktif dan penyalahgunaan hari perjalanan dinas, suap, uang pelicin, pungutan liar, penyalahgunaan fasilitas kantor, imbalan tidak resmi, pemberian fasilitas secara tidak adil, bekerja tidak seuai ketentuan dan prosedur, tidak disiplin waktu, komisi atas transaksi jual-beli yang tidak disetor ke kas negara, menunda/memperlambat pembayaran pajak, pengumpulan dana taktis, penyalahgunaan anggaran, penerimaan hadiah, dan sumbangan. Pakta Integritas diharapkan dapat diterapkan
72
Reformasi Birokrasi
di lingkungan pemerintah, eksekutif, legislatif, yudikatif, swasta, masyaraat luas, dan dan kalangan politik/politisi. Setelah pemerintahan memasuki era reformasi birokrasi pada 1998 dengan jatuhnya Soeharto, maka isu pemberantasan korupsi, reformasi birokrasi, dan good governance mencuat ke permukaan. Beberapa TAP MPR memberikan perhatian besar pada tiga hal tersebut dalam membangun pemerintahan yang bersih. Menindaklanjuti amanat MPR tersebut, Pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) menegaskan komitmen kuatnya dengan mengeluarkan Inpres 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, disusul Keppres 11/ 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Tim Pemburu Koruptor ke Luar Negeri, mengajak masyarakat (artis, budayawan, ulama, pengusaha) meningkatkan gerakan moral pemberantasan korupsi, menyamakan pemahaman dan membangun komitmen pemberantasan korupsi di kalangan BUMN/BUMD, menanggulangi korupsi, reformasi birokrasi, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik, antara lain bea-cukai, pajak, imigrasi, dan pertanahan. Reformasi birokrasi, sudah secara eksplisit tercantum dalam Program Seratus Hari Pertama KIB, yaitu menetapkan Tim Reformasi Birokrasi dalam bentuk Perpres, walaupun karena satu dan lain hal, dokumen dimaksud sampai sekarang belum ditetapkan. Dalam era globalisasi yang berubah sangat cepat, Indonesia harus berusaha mengejar ketinggalan dari negara-negara tetangga yang sudah lebih maju dan jangan sampai dikalahkan oleh negara-negara yang baru tumbuh, seperti Vietnam. II. PERJALANAN INDONESIA
PEMBERANTASAN
KORUPSI
DI
Data Transparency International (TI) di Berlin, menunjukkan bahwa pada 2003 (IPK 1,9) Indonesia berada pada urutan ke-12 terkorup (kelompok ke-5) dari 133 negara, pada 2004 (IPK 2,0) urutan ke-10 (kelompok ke-5) dari 146 negara, dan pada 2005 (IPK 2,2) urutan ke-20 (kelompok ke-6) dari 159 negara. Pada 2005, di Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara terkorup, sedangkan di Asia masih lebih baik dari Pakistan, Myanmar, dan Bangladesh. Hasil survei di Indonesia (terhadap 1.305 pebisnis: 1.117 lokal dan 188 multinasional, 21 kota) yang dilakukan Transparency International Indonesia (laporan 16 Februari 2005) menunjukkan (1) Pemda paling korup adalah Jakarta (IPK 3,87), Surabaya (3,93), Medan (4,09), Semarang (4,17), Batam (4,32); (2) Indeks Kinerja Pelayanan oleh Pemerintah
Reformasi Birokrasi
73
Daerah, paling jelek Pekanbaru (3,87), Batam (3,93), Bekasi (4,09), Jakarta (4,17), dan Medan (4,32); (3) Indeks Kinerja Pelayanan oleh Legislatif DPRD dan Parpol, paling jelek Pekanbaru (2,54), Denpasar (3,15), Balikpapan (3,17), Batam (3,27), Jakarta (3,38); (4) Kinerja terbaik di Pusat: Pos (6,36), Telekomunikasi (5,19), BPOM (5,38), dan Militer (5,35); (5) Institusi paling buruk kinerjanya: lembaga peradilan (3,67), kepolisian (3,79), dan bea-cukai (3,93); (6) Interaksi korupsi paling banyak dilakukan pebisnis adalah dengan bea-cukai (62% dari seluruh transaksi), kepolisian (56%), miliuter (49%), dan lembaga peradilan (48%); dan (7) Uang suap yang dibayarkan responden kepada pemerintah pusat, paling banyak kepada bea-cukai, disusul pajak, sedangkan di daerah, terbanyak diberikan suap kepada pejabat pemerintah daerah, DPRD, dan partai politik. Korupsi dan suap banyak terjadi, padahal upaya pemberantasan sudah dilakukan sejak lama, katakan sejak 1967. Berbagai upaya sudah dilakukan pada setiap periode Kabinet, tetapi hasilnya selalu kurang menggembirakan. Komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap pemberantasan korupsi sangat kuat. Jika KIB tidak berhasil memberantas korupsi secara signifikan, maka Kabinet jenis apa lagi yang bisa berkiprah dalam pemberantasan korupsi. Pada 1967, Soeharto yang baru menjadi Presiden RI, membentuk Tim Pemberantas Korupsi dipimpin Mayjen Sutopo Juwono. Sejak saat itu, berbagai lembaga sejenis silih berganti. Hasilnya? Korupsi masih merajalela. Tim Pemberantas Korupsi (Keppres 228/1967 tanggal 2 Desember 1967 dan UU 24/1960, Ketua Tim Sugiharto Jaksa Agung, Penasehat Menkeh dan Panglima ABRI, bertugas membantu pemerintah memberantas korupsi dengan tindakan preventif dan represif. Komisi Empat (Keppres 12/1970), 31 Januari 1970, terdiri atas Wilopo, Kasimo, Anwar Tjokroaminoto, Johannes, serta Sutopo Juwono, bertugas menghubungi pejabat atau instansi pemerintah, swasta, sipil, dan militer, memeriksa dokumen administrasi pemerintahan, menangani kasus Pertamina, penebangan hutan, defisit Bulog tahun 1971, menyederhanakan struktur administrasi negara, dan menyarankan agar atasan memberi contoh penegakan hukum. Komite Anti Korupsi (KAK) 1970, diisi Angkatan 66 (Akbar Tanjung, Mishael Setiawan, Thoby Muis, Jacob Kendang, Imam Waluyo, Tutu TW, Soerowijono, Agus Jun Batuta, M. Surachman, Alwi Nurdin, Lucas Luntungan, Asmara Nababan, Sjahrir, Amir Karamoy, E. Pesik, Vitue, Mengadang Napitupulu, dan Chaidir Makarim). KAK diskusi dengan Presiden membahas masalah penanganan korupsi. OPSTIB dan
74
Reformasi Birokrasi
Inpres 9/1977, Menpan sebagai koordinator tingkat pusat, operasional Pangkopkamtib, Kapolri, Jaksa Agung, para Irjen, Laksusda, Kadapol, dan Kejati, menangani pungutan liar, uang siluman di pelabuhan, aparat pemerintahan, penanganan kasus korupsi di Mabes Polri, kasus Pluit Endang Wijaya, dan kasus Arthaloka. Tim Pemberantas Korupsi 1982 dihidupkan lagi (Sumarlin, Sudomo, Mudjono, Ali Said, Ismail Saleh, Awaludin Djamin). Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK), UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, dilanjutkan dengan UU 31/1999, dan UU 20/2001, kemudian ditetapkan Perpu 19/2000, Ketua Adi Andojo, Soetjipto, didukung 25 anggota Kejaksaan dan Kepolisian. Beberapa dokumen terkait dihasilkan, antara lain tatacara pemeriksaan kekayaan penyelenggara negara (PP 65/1999), tatacara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara (PP 68/1999), dan tim gabungan pemberantasan tindak pidana korupsi (PP 19/2000). Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) 1999, Jusuf Sjakir dan anggota, rekrutmennya diproses melalui DPR. Lembaga ini melebur ke KPTPK/KPK berdasarkan UU 30/2002 tentang KPTPK. Lahirnya KPK, 27 Desember 2003 (UU 30/2002) membawa segudang harapan masyarakat. Ketua KPK (Taufiequrachman Ruki) dibantu para Wakilnya (Erry Ryana Hardjapamekas, TH Panggabean, Sjahruddin Rasul, Amien Sunaryadi) dan jajarannya diharapkan berperan nyata dalam pemberantasan korupsi di atas Rp 1 miliar bahkan korupsi triliun. Aparat penegak hukum telah memiliki Strategi Pemberantasan Korupsi. Ternyata, strategi saja tidak cukup, harus disertai konsep yang jelas, komitmen kuat, political will, government will, strong leadership, kompetensi, koneksitas, konsistensi, kesungguhan (keseriusan), dan perubahan mind-set. Perangkat perundang-undangan pemberantasan korupsi sudah cukup banyak, dimulai UU 3/1971, UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (diubah dengan UndangUndang 20/2001), dan dengan Undang-Undang 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terbentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Peranserta masyarakat dalam pemberantasan korupsi, diatur dalam Undang-Undang 28/1999 dan secara khusus dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Peranserta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tanggal 9 Desember 2004
Reformasi Birokrasi
75
mempunyai arti penting bagi KIB, karena pada tanggal tersebut diperingati Hari Pemberantasan Korupsi Sedunia, Pencanangan Tahun 2005 sebagai Tahun Dimulainya Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi, dan ditetapkannya Inpres 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Inpres 5/2004 berisi Sepuluh Instruksi Umum dan Sebelas Instruksi Khusus. Sepuluh Instruksi Umum - pelaporan dan pemeriksaan LHKPN, penetapan kinerja, peningkatan kualitas pelayanan publik (jasa, perijinan, transparansi, standarisasi, target waktu biaya, hasil), program dan wilayah bebas korupsi (pakta integritas), pengadaan barang dan jasa pemerintah menggunakan fasilitas teknologi informasi (e-government, e-procurement), kesederhanaan dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari, dukungan maksimal kepada aparat penegak hukum, pembinaan dan pengawasan aparatur untuk meniadakan perilaku koruptif. Sebelas Instruksi khusus: Menko Perekonomian, Menkeu, dan Meneg PPN/Kepala Bappenas (kajian dan uji coba pelaksanaan e-procurement), Menkeu (pengawasan ketat terhadap perpajakan, kepabeanan dan cukai, penerimaan bukan pajak, dan anggaran serta menghindari kebocoran), Meneg PPN/Kepala Bappenas (Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK), Menpan (rumusan kebijakan peningkatan kualitas pelayanan publik, penetapan kinerja, penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik, pengkajian sistem kepegawaian negara, koordinasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanan Inpres), MenhukHAM (amandemen UU dan optimalisasi pemberantasan korupsi, peraturan perundang-undangan yang mendukung pelaksanaan pemberantasan korupsi), MenBUMN (petunjuk dan implementasi tata kelola perusahaan yang baik), Mendiknas (pendidikan substansi anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan - usia dini, dasar, menengah, tinggi, kedinasan, non-formal), Menkominfo (sosialisasi pendidikan anti korupsi dan kampanye anti korupsi kepada masyarakat luas), Jaksa Agung dan Kapolri (optimalisasi, sanksi tegas, dan peningkatan kerjasama pemberantasan korupsi), Gubernur dan Bupati/Walikota (penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik di pemerintah daerah, pelayanan publik dan peniadaan pungutan liar, dan berusaha mencegah kebocoran anggaran keuangan negara yang bersumber dari APBN/APBD). Bagaimana tindak lanjut pelaksanaan Inpres ini? Harus diakui, gaung para Menteri yang diinstruksikan tidak sekeras yang dikumandangkan Presiden dan Ketua KPK. Sebagai contoh, perkembangan e-procurement belum diketahui masyarakat luas, pengawasan di perpajakan, kepabeanan dan cukai, penerimaan bukan pajak, dan anggaran masih lamban, RAN-
76
Reformasi Birokrasi
PK kurang jelas tindak lanjutnya, kormonev masih berada pada tahap sosialisasi dan pemantapan kelembagaan, pelaporan belum transparan, peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi belum sempurna, good corporate governance masih pada tahap penyamaan pemahaman, substansi pendidikan anti korupsi belum nyata, sosialisasi dan kampanye anti korupsi belum menjadi gerakan nasional, publik masih mempertanyakan peran penegak hukum (kejaksaaan agung dan polri), prinsip tata pemerintahan yang baik belm ditegakka dan pelayanan publik di pemerintahan daerah belum berkualitas. Sampai dengan 5 Juni 2006, dari 935 anggota DPR periode 1999-2004 yang wajib menyampaikan LHKPN, baru 871 yang melaporkan dan 64 tidak pernah melaporkan. Dan dari 550 anggota DPR periode 2004-2009, masih 103 anggota yang belum melaporkan/memperbaharui LHKPN (64 diantaranya belum pernah lapor). Akhirnya terjadi saling menyalahkan, KPK mesti sosialisasikan LHKPN ke lingkungan DPR, kelalaian dan tidak melaporkan LHKPN karena tanpa sanksi, dan terkesan memerangi korupsi kehabisan peluru, clearing house diperlukan sebagai bank data anti korupsi, dan berat bagiKPK bebaskan Indonesia dari korupsi. Pemberantasan korupsi tidak dapat dilakukan sendiri oleh Pemerintah, tetapi harus dijalin kemitraan Pemerintah dengan Dunia Usaha/Swasta, dan Masyarakat/LSM. Pada acara peluncuran Inpres 5/2004 tersebut, Ketua KPK memberikan Sambutan Pencanangan Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi. Paradigma baru pemberantasan korupsi (kebijakan, strategi, pembuktian terbalik, integritas, kontrol masyarakat, sarana dan prasarana penegakan hukum, program, dan hasil yang dicapai). Kebijakan dan strategi yang mengacu pada visi, misi, tujuan, dan sasaran pemberantasan korupsi telah disusun, baik tingkat nasional maupun instansional. Masalahnya terletak pada pelaksanaan yang harus konsisten, serius, sungguh-sungguh, dan berkelanjutan. Pembuktian terbalik, masih dalam proses pembahasan. Integritas diupayakan dengan membangun pulau-pulau integritas dan wilayah bebas korupsi, antara lain dengan penandatanganan pakta integritas. Contohnya, Pakta Integritas Pemerintah Daerah Kabupaten Solok, Pakta Integritas Menpan, Pakta Integritas Rektor Universitas Djuanda Bogor, Pembentukan Sekolah BTP (Bersih, Tranparan, dan Profesional), Sekolah Bebas Korupsi di Yogyakarta, Tiga Pilar Kemitraan Membangun Manusia Indonesia Masa Depan yang Bersih, Tramsparan, dan Profesional (BTP), dan Komitmen Moral Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama.
Reformasi Birokrasi
77
Pakta Integritas adalah perjanjian keterpaduan, kebulatan, keutuhan, kejujuran atau perjanjian kebulatan, perjanjian kejujuran, kesepakatan kejujuran atau komitmen kejujuran. Pakta Integritas adalah perjanjian kebulatan/kejujuran atau kesepakatan kejujuran. Menpan telah menandatangani Pakta Integritas Membangun Mayarakat Indonesia BAru yang Besih, Transparan dan Proifesional pada 9 Desember 2005, setahun setelah Inpres 5/2004 dikeluarkan. Berikutnya pada April 2006, jajaran Pejabat eselon I dan II Kementerian PAN juga menandatangani Pakta Integritas sebagai komitmen menuju tata pemeringahan yang bersih, baik, dan berwibawa, anti korupsi, anti suap, dan anti KKN. Pakta Integritas Pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Solok (tidak akan melakukan praktik KKN, tidak meminta/ menerima/memberi sesuatu yang bersangkutan dengan jabatan dan pekerjaan, tidak memberi/menjanjikan akan memberikan sesuatu berkaitan dengan jabatan/pekerjaan, menjamin tidak melakukan pelangggaran atas aturan, menegakkan transparansi, menciptakan lingkungan kondusif, tidak diskriminatif, memberikan informasi selengkap mungkin, memberikan bantuan/dukungan atas upaya pengungkapan praktik suap dan KKN, dan membangkitkan sikap dan perilaku bersih dan anti KKN. Contoh lainnya, Pakta Integritas pengadaan barang dan jasa pemerintah, sosialisasi internal dan eksternal, dan ajakan kepada semua pihak untuk jujur, adil, akuntabel, transparan, dan tidak melakukan perbuatan tindak pidana. Kita perlu menyamakan persepsi, tujuan, rencana tindak, membuat konsep yang jelas, kompeensi, koneksitas (jejaring), dan komitmen, serta konsistensi dan keseriusan (kesungguhan), mengubah mind-set, mendorong pelayanan umum dan percontohan (best practices). Berantas korupsi sekarang juga dan hindari perbuatan tindak pidana korupsi. Menpan Taufik Effendi (2005) mencatat empat masalah menonjol kelemahan aparatur negara (kurang responsif terhadap keluhan masyarakat, data awal berbeda, tolok ukur keberhasilan tidak jelas, dan belum ada analisis penyebab keberhasilan/ketidakberhasilan pemberantasan korupsi) dan tujuh kelemahan (political/government will, perbedaan persepsi, tujuan, sasaran, dan rencana tindak, belum memanfaatkan secara luas, belum diterapkan SIN (single identity number), duplikasi peraturan perundang-undangan, tidak konsisten dan tidak sungguh-sungguh (serius) dalam mengubah mind-set dan memberantas korupsi, dan kelemahan dalam CJS (criminal justice system). Taufik Effendi menetapkan lima syarat keberhasilan memberantas korupsi, yaitu kesungguhan dan keseriusan (Inpres 5/2004), memanfaatkan teknologi informasi, membangun SIN,
78
Reformasi Birokrasi
sinkronisasi peraturan perundang-undangan, dan penataan CJS. Gunawan Hadisusilo (Deputi Pengawasan, Kempan, 2005) menyosialisasikan dan memantapkan Kormonev (koordinasi, monitoring, dan evaluasi) Inpres 5/2004, termasuk menggalakkan pakta integritas (komitmen kejujuran). Korupsi saling mempengaruhi dengan monopoli, diskresi, akuntabiitas, transparansi, kekuasaan, niat, dan kesempatan, keserakahan (greediness), kesempatan (opportunities), kebutuhan (needs), dan pengungkapan (exposures), teori GONE. Arie Sulendro (Kapala BPKP, 2005) mencatat ada pelaku (sendiri/ bersama, pegawai/nonpegawai), ada penyimpangan/perbuatan melanggar hukum, ada unsur merugikan negara (tangible/intangible), dan ada unsur/ tujuan menguntungkan diri sendiri/keluarga/kroni. Ia menyodorkan konsep pemberantasan korupsi dengan caracara mencegah/preventif, deteksi, ungkap fakta kejadian dan tindaklanjuti (investigatif/represif), dan kepedulian/edukatif, preventif, investigatif, edukatif, dengan mengedepankan atribut: kebijakan yang terintegrasi, struktur pertanggungjawaban, kajian risiko kejadian korupsi, kepedulian pegawai, kepedulian pelanggar/masyarakat, sistem pelaporan kejadian korupsi, pengungkapan yang dilindungi, pemberitahuan kepada pihak eksternal, standar investigasi, dan standar perilaku dan disiplin. BPKP sudah menyusun strategi pemberantasan korupsi nasional yang menekankan perunya komitmen politik nasional, strategi (preventif,detektif, dan represif), aspek-aspek hukum, pembiayaan, dan koordinasi, penelitian penyebab terjadinya korupsi, penyebab kegagalan penanggulangan korupsi, kekeliruan penerapan UU 3/1971, kesulitan dalam pembuktian, manajemen SDM dan penggajian, transaksi uang, kode etik (sektor pblik, parpol, organisasi profesi, asosiasi bisnis), pelaporan kekayaan pribadi, peran berbagai pihak dalam peemberantasan korupsi, kelembagaan, tabulasi masalah, pengertian korupsi, hasil pemeriksaan BPK dan BPK, tindak lanjut oleh Polri dan Kejaksaan Agung, persepsi masyarakat internasional, dan pemberantasan korupsi sejak sebelum dan di awal orde baru sampai dengan sekarang. III.
REFORMASI BIROKRASI PEMERINTAHAN
Tindaklanjuti TAP MPR-RI yang mengamanatkan penyelenggaraan negara yang besih dan bebas KKN, persatuan dan kesatuan bangsa, visi Indonesi masa depan, rekomendasi arah kebijakan pemberabtasan dan pencegakahkurpisi, Kolusi dan Nepotisme, Gerakan Penghematan Nasional, pemulihan ekonomi nasional, termasuk reformasi birokrasi dan membangun
Reformasi Birokrasi
79
penyelenggara negara dan dunia usaha yang bersih, Pemberantasan KKN, Penegakan Hukum, dan Reformasi Birokrasi. Dalam melaksanakan reformasi birokrasi, MPR merekomendasikan kepada Presiden agar membangun kultur birokrasi Indonesia yang transparan, akuntabel, bersih, bertanggungjawab, dapat menjadi pelayan masyarakat, abdi negara, contoh dan teladan masyarakat. Reformasi Birokrasi berusaha mewujudkan pemerintahan yang amanah, membangun aparatur negaa yang efektif dan efisin, bebas dari praktik KKN dan perbuatan tercela lainnya, menghasilkan pelayanan publik yang prima, dengan mengembalikan cita dan citra birokrasi pemerintahan sebagai abdi negara dan abdi masyarakat serta dapat menjadi suri teladan dan panutan masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari (Reformasi: pengubahan, perombakan, penataan, perbaikan, penyempurnaan; Birokrasi: aparatur, lembaga/instans, organisasi pemerintah, pegawai pemerintah, sistem kerja, dan perangkat). Sofian Effendi (UGM, 2005) menyatakan, minimal diperlukan waktu 5-10 tahun untuk mengubah budaya organisasi dengan skala seperti RI atau pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Karena itu strategi yang dianjurkan oleh para ahli (Morgan, 1996 dan Toolpack, 2001) adalah perubahan secara bertahap dan gradual. Memang kurang revolusioner, kurang radikal tetapi lebih aman. Government pemerintah, sedangkan Governance tata pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pemerintahan Good Governance penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjoyo) tata pemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggungjawab (LAN), dan pemerintahan yang bersih, pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa. Dalam Government, peran pemerintah lebih dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan, sedankan Governance, bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumber daya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat (mengandung unsur demokatis, adil, transparan, rule of law), the process whereby elements in society wield power and authority, and influence and enact policies and decisions concerning public life, economic and social development. Indonesia belum mampu mengembangkan good governance (Sofyan Effendi,2005) dengan baik: pemberantasan KKN, clean government kebijakan yang tidak jelas, penempatan personil yang tidak kredibel, enforcement menggunakan sentra kehidupan politik yang kurang berorientasi pada kepentingan bangsa. Masih terjadi tarik menarik Budaya Organisasi Vs Budaya Birokrasi, apakah mendukung God Governance? Budaya oganisasi mudah diubah, sedangkan
80
Reformasi Birokrasi
budaya birokrasi sangat sulit berubah. Kita dapat mengubah budaya organisasi menuju budaya organisasi pemerintahan yang amanah. Syarat paling utama yang menjadi keberhasilan upaya perubahan berbudaya organisasi adalah kepemimpinan yang kuat (strong leadership) baik dalam kemampuan memimpin maupun dalam ketajaman visinya (Peter Bijur, 2001). Ini kendala utama Bangsa Indonesia. Reformasi Birokrasi di Indonesia dihadapkan pada upaya meningkatkan efisiensi dan efektivitas, kualitas pelayanan publik, rekrutmen PNS yang transparan, mengubah mindset PNS, menghilangkan maraknya KKN dalam birokrasi, menghilangkan PNS yang tidak profesional dan tidak netral, membangun PNS sebagai abdi masyarakat, menghindari abdi negara menjadi abdi pemerintah, membangun kemandirian dalam era otonomi daerah, menghilangkan kendala yang menyulitkan efisiensi dan efektivitas, meningkatkan kinerja birokrasi, membentuk Komisi Kepegawaian Negara (Civil Service Commission) yang merupakan check and balance dan wahana kompetisi positif sesuai amanat UU 43/1999 (pengganti UU 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian), mengenal dengan jelas pemilahan dan klasifikasi permasalahan birokrasi PNS, mempercepat terciptanya good governance ditandai transparansi, akuntabilitas, partisipasi, pelayanan publik, dan kredibilitas pemerintah serta belajar dari pengalaman keberhasilan (best practices) beberapa pemerintah daerah, antara lain Semarang, Sragen, Takalar, Solok, Jembrana, Sidoarjo, digerakkan oleh wawasan dan determinasi pemimpin daerah. Tantangan reformasi cukup besar, antara lain belum adanya perubahan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak aparatur, perubahan budaya kerja, mind-set dan culture-set, dan peraturan perundang-undangan yang sering multitafsir, mekanisme penyusunan, pelaksanaan, dan pengawasan anggaran masih membuka peluang korupsi, dan belum kuatnya niat untuk meninggalkan tindak pidana korupsi. Walaupun demikian, prospeknya cukup baik, antara lain diperlihatkan dengan komitmen semua jajaran pemerintahan termasuk BUMN/BUMD, pernyataan dan kesungguhan untuk memberantas korupsi, munculnya banyak gerakan anti korupsi dan anti suap, serta gerakan moral hidup bersih, transparan, dan profesional. Keberhasilan penerapan good governance di beberapa instansi pemerintah pusat dan daerah, dapat dijadikan contoh untuk daerah lain. Misalnya, pakta integritas Pemerintah Kabupaten Solok, pelayanan terpadu satu atap di Sragen dan Sidoarjo, peningkatan kualitas pelayanan publik di Jembrana dan Tabanan, pelayanan SIM yang tertib di Balikpapan, dan rangsangan tunjangan kinerja daerah di Provinsi Gorontalo.
Reformasi Birokrasi
81
Bagaimana Pemerintah Daerah melaksanakan reformasi birokrasi? Dari pengalaman kerjasama internasional dan melaksanakan otonomi daerah berdasarkan UU 22/1999, maka kehadiran UU 32/2004 dengan perangkat peraturan pemerintahnya, diharapkan membangun reformasi birokrasi sejalan dengan pemberantasan korupsi dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Pemerintah Australia memilih FLAT (fairness, law and regulatory framework, accountability, dan structures) dan Singapura menetapkan CARE (Courtesy, Accessibility, Responsiveness, and Effectiveness), dan Malaysia punya perspektif Manajemen Kreatif untuk Pemerintah, enhancing efficiency and effectiveness of the Government Delivery System, services delivered must be efficient, speedy, and accurate toward custome satisfaction and national competitiveness. Improving service delivery through systems and procedures, technology, law and regulations, and human capital, dalam melaksanakan reformasi birokrasi dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. CONTOH YANG DILAKSANAKAN OLEH BEBERAPA KABUPATEN Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta melaksanakan reformasi birokrasi, berdasarkan temuan berbagai permasalahan di bidang keuangan, sdm, regulasi dan nilai-budaya, dengan reformasi birokrasi di bidang perencanaan, organisasi (kelembagaan dan tatalaksana), pengembangan SDM, anggaran, dan pengawasan, serta memprioritaskan reformasi pelayanan publik. Birokrasi kurang responsif, pelayanan mweupKn barang mahal sehingga pelayanan kurang baik. Muncullah tuntutan perubahan manajemen, program aksi, dan control, meliputi (1) pembaharuan APBD; (2) pembaharuan manajemen SDM; (3) reformasi hukum dan peraturan; dan (4) reformasi budaya dan nilai-nilai. Reinventing, Reinvention adalah transformasi secara mendasar untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, kemampuan beradaptasi, dan kapasitas berinovasi, dengan mengubah tujuan, insentif, akuntabilitas, struktur kekuasaan dan kultur organisasi. Efisiensi diperoleh dengan melaksanakan penyederhanaan prosedur (memotong biaya operasi dan transaksi), dengan mendorong transparansi yang meningkatkan akuntabilitas penyelenggara administrasi pemerintahan dan mendorong partisipasi masyarakat dalam pengawasan) dan proses organisasi. Efektivitas dicapai dengan memperoleh formula yang tepat antara keterampilan, srategi, sumberdaya, proses, struktur, dan kultur organisasi. Kemampuan pemimpin mengorganisasikan unsur-unsur tersebut akan menghasilkan efektivitas organisasi. Dalam situasi yang tidak menentu,
82
Reformasi Birokrasi
kemampuan adaptasi, menciptakan kompetensi baru, dan mempelajari situasi, sangat penting untuk dimiliki pejabat yang terlibat dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan keputusan dan evaluasi. Agar menghasilkan modernisasi tata laksana pelayanan publik sehingga meningkatkan mutu, diperlukan komitmen SDM, untuk mau berubah, siap menjawab setiap perubahan lingkungan strategis. Perubahan tidak harus segera dan menghasilkan perubahan besar, meski bertahao, namun konsisten. Yang paling sukar berubah adalah sikap mental (mental attitude), mindset dan kebiasaan (menurut Koentjaraningrat, sistem budaya itu berakar kuat, sehingga sulit diubah). Lakukan reformasi birokrasi sekarang juga. Pemerintah Kabupaten Jembrana, membebaskan biaya pendidikan, mengatur pendanaan pembangunan, dan berusaha meningkatkan kesejahteraan pegawai. Jembrana: locus, focus, obyektif, metode; 24 program, hanya 6 internal; 4 program pelayanan, 7 kapasitas aparatur, dan 13 kesejahteraan masyarakat; BIS (bebas iuran sekolah), JKJ (jaminan kesehatan Jembrana); menggagas program inovasi; kerjasama internasional; Best Practices (dampak, kemitraan, keberlanjutan, kepemimpinan, pemberdayaan masyarakat, kesetaraan gender, inovasi konteks lokal dan dapat dipindahkan/transferability, dan lesson-learned). Bupati Jembrana juga mempelajari pengalaman Prefektur Oita di Jepang, yang membangun daerahnya dengan motto One Village One Produc Movement, Bringing the Spirit of the Village into he City, dan Think Globally, Commit Regionally, Act Locally. Bipati Jembrana memfokuskan pada DOA (duit, orang, dan alat) yang dikelola dengan baik. Pemerintah Kabupaten Sragen mendorong produksi beras organaik non chemical pesticie delicio organic rice, Varietas Mentik Wangi dan IR64 dengan label Pelopor, meningkatkan kualitas SDM Sragen, diklat perdesaan, diklat sistem magang (otomotif, garmen, meubel, industri rumah tangga, gamelan, salon). Ternak cacing Lumbricus Rubellusjangkrik, kascing yang menyuburkan tanah, bahan pakan ternak, pelayanan RSUD Sragen dengan billing system, profesioalisme tenaga medis, peningkatan kemampuan Puskesmas dan poliklinik kesehatan desa, KAntor Pelayanan Terpadu (KPT) berdasarkan Perda 15/2003, perijinan dan non-perijinan prima dan satu pintu, klinik terapoi holistik, ruang konsultasi jiwa, ruang wangi untuk menenangkan pikiran, ruang pengobatan menggunakan batu giok, situs prasejarah Sangiran, batu-batuan akik bertuah, outward looking, Citra Yasa, motto perubahan belum pasti membawa perbaikan, tetapi dapat dipastikan bahwa untuk menjadi lebih baik segala sesuatu harus berubah. Reformasi Birokrasi tersebut meliputi kelembagaan, ketatalaksanaan, sumber daya manusia, akuntabilitas, pengawasan, dan pelayanan
Reformasi Birokrasi
83
publik, serta perubahan budaya kerja dan mind-set serta culture-set ke arah penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan yang lebih produktif, efisien, dan efektif. Secara mikro, dilakukan reformasi birokrasi peraturan perundang-undangan, kelembagaan pemerintahan pusat dan daerah, kepegawaian berbasis kinerja, penyederhanaan ketatalaksanaan, sistem dan prosedur kerja, peningkatan akuntabilitas kinerja aparatur negara, pengawasan komprehensif, dan sistem peayanan publik yang prima. Prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance) merupakan rambu-rambu reformasi birokrasi. Dari sekian banyak prinsip yang dikemukakan oleh berbagai organisasi internasional, paling sedikit telah ada dua kesepakatan, yaitu sepuluh prinsip tata pemerintahan yang baik (Depdagri) dan empat belas prinsip tata pemerintahan yang baik (Bappenas). Sepuluh Prinsip/Karakteristik Kepemerintahan Yang Baik To apply good governance principles in Indonesia (Depdagri, UNHabitat, APKASI, APEKSI, ADEKSI, 2003): kesetaraan (equity), pengawasan (supervision), penegakan hukum (law enforcement), daya tanggap (responsiveness), efisiensi danefektivitas (effectiveness and efficiency), partisipasi(participation), profesionalisme (professionalism), akuntabilitas (accountability), wawasan ke depan (strategic vision), dan transparansi (transparency). Empat belas karakteristik kepemerintahan yang baik ( Bappenas, UK-ODA, UNDP, WORLD BANK, OECD-DAC, Nurcholish Madjid, Erna Witular, Bintoro Tjokroamidjojo, MTI, TII, dan Kemitraan): sepuluh butir di atas ditambah (11) legitimasi, demokratisasi dan desentralistis; (12) kemitraan, kewajaran, kesamaan, dan kesetaraan, keseimbangan hak dan kewajiban, dan komitmen; (13) manajemen pembangunan yang efektif dan pelayanan publik yang prima; dan (14) komitmen pada pengurangan kesenjangan dan kemiskinan, tuntutan pasar (daya saing, pemanfaatan iptek, peningkatan kualitas SDM), dan komitmen pada lingkungan hidup (pembangunana berkelanjutan, berkesinambungan, dan berwawasan lingkungan). Prof. Bintoro Tjokroamidjojo (mantan Ketua LAN, 2002), peran pemerintah adalah sebagai agent of change menjadi planned change (perubahan yang berencana), ke agent of development, pendorong proses pembangunan dan perubahan masyarakat/bangsa. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dituntut mewujudkan manajemen pelayanan publik yang prima dalam arti pelayanan yang cepat, tepat, pasti, edisien, transparan, akuntabel, menjamin rasa aman, nyaman, dan tertib bagi masyarakat.
84
Reformasi Birokrasi
Fungsi pemerintah mulai bergeser dari pelaksana (rowing) ke pengarah (steering), dari government ke governance. penciptaan tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa, penataan/pembaharuan birokrasi pemerintahan secara menyeluruh (reinventing government), pembaharuan birokrasi, mewirausahakan birokrasi, pemerintah berorientasi pada pelanggan, misi, ytangap, orientasi hasil, kompetitif, berjiwa wirausaha, terdesentralisasi, mili masyarakat, katalis, dan orientasi pasar. Komitmen pada RPJMN 2004-2009, harus ditunjukkan dengan keteguhan mendukung pencapaian sasaran pemberantasan korupsi dengan memulihkan kepercayaan masyarakat, mempercepat perwujudan aparatur negara yang profesional, bertanggungajwab dan bebas KKN, serta meningkatan kualitas pengawasan internal, eksternal, dan masyarakat. Peningkaan kualitas pelayanan publik diupayakan dengan pelayanan publik yang tidak diskriminatif, cepat, murah, manusiawi, efektif, efisien, kelembagaan dan ketatalaksanaan yang mendukung, sdm berbasis kinerja, penerapan teknologi informasi (e-government, e-procurement, dan eservices). Dikerjakan pula penataan peraturan perundang-undangan, laporan kekayaan pejabat, penguatan lembaga penegak hukum, dan koordinasi, tindak lanjut pengaduan masyarakat, kualitas administrasi negara, dan diklat berbasis kompetensi. Pengarusutamaan difokuskan pada pengarusutamaan partisipasi masyarakat, pembangunan berkelajutan, gender, dan tata kelola pemrintahan yang baik. Untuk memayungi reformasi birokrasi, diupayakan Penataan Kelembagaan dan Penyelesaian Lima RUU pada 2006, yaitu RUU Administrasi Pemerintahan, RUU Pelayanan Publik, RUU Etika Penyelenggara Negara, RUU Kementerian dan Kementerian Negara, RUU Kepegawaian Negara sehingga tidak ada lagi pembedaan PNS, Anggota TNI dan Polri, reposisi LPND, penanganan lembaga nonstruktural (Komisi, Dewan, Badan, dll.), kelembagaan Badan Layanan Umum dan Lembaga Nirlaba, pedoman organisasi perangkat daerah, status staf ahli Kepala Daerah, tipologi pemerintahan daerah, dan eselonisasi PNS. Lima RUU di atas, disusul RUU Badan Usaha Nirlaba, RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupoaten dan Kota, RUU Pensiun/Janda, RUU Sistem Pengawasan Nasional, dan RUU Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Penyederhanaan Ketatalaksanaan harus mendorong pelayanan terpadu, sistem, mekanisme dan prosedur, ketatalaksanan internal dan eksternal manajemen pemerintahan, tata hubungan kewenangan, korporatisasi unit-unit pelayanan publik, memasukkan aspek-aspek
Reformasi Birokrasi
85
kemiskinan, pembangunan pertanian-perkebunan-kehutanan, kelautan, nelayan, dan usaha kecil menengah ke dalam kegiatan pendayagunan aparatur negara. Kepegawaian berbasis kinerja harus dibangun, meliputi Perencanaan Kepegawaian (formasi, analisis jabatan, organisasi dan bebas kerja, nomenklatur jabatan fungsional, rekrutmen, seleksi, fit and proper test yang tidak diskriminatif, standar kompetensi, kompetitif, transparan, anti KKN; penempatan pegawai (standar kompetensi, kompetitif, transparan, standar kompetensi jabatan, penggunaan metode assessment centre, perpindahan sesuai kompetensi, jabatan terbuka, orientasi pada prestasi kerja, DP3 lebih obyektif, berorientasi hasil dan kualitas, ada catatan prestasi harian pegawai. Pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi, pola pikir-sikap-perilaku produktif, didukung analisis kebutuhan diklat, penyaluran pasca diklat, dukungan anggaran memadai. Reward and punishment (penghargaan, sanksi tegas, kriteria dan konsistensi pemberian penghargaan. Remunerasi, hindasi tunjangan, atur gaji, beban kerja dan tanggungjawab, adil dan layak. Pemberhentian dan pemensiunan (batas usia pensiun masih 56 tahun, harus ketat di seluruh Indonesia, mengapa TNI dan Polri 58 tahun, tetapi PNS tetap 56 ahun? Pola karir PNS, pengaturan jabatan struktural dan jabatan fungsional, pola kerja PNS, rangkap jabatan, PNS menjadi angota LSM, PNS aktif di partai politik. Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, AKIP (pelaporan, pemahaman, rencana strategis, rencana kinerja tahunan, penetapan indikator kinerja, pengukuran, analisis, dan evaluasi kinerja, pelaporan kinerja, peningkatan komitmen pimpinan dalam menerapkan Sistem AKIP, penentuan indikator kinerja yang disepakati, penentuan target kinerja, kurangnya sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan akuntabilitas kinerja, kurangnya koordinasi, derajat dasar hukum penerapan Sistem AKIP (Inpres) ditingkatkan menjadi UndangUndang atau Peraturan Pemerintah. Pelayanan publik: kelembagaan pelayanan satu atap (landasan hukum, kewenangan, dan mekanisme pembentukan, kebijakan penanaman modal di pusat dan daerah); kejelasan kewenangan; kejelasan institusi; kejelasan sistem dan prosedur; koordinasi lintas sektoral; peraturan perundangundangan yang inkonsisten dan tumpang tindih; keamanan dan penegakan hukum; ijin lokasi dalam mendorong investasi sistem dan prosedur; persyaratan; jangka waktu; biaya; dan kejelasan institusi dan kewenangan; dan target peningkatan indeks kinerja pelayanan (service performance index) masing- masing instansi.
86
Reformasi Birokrasi
Pengembangan Sistem Pengawasan Nasional, Mekanisme Kormonev (koordinasi, monitoring dan evaluasi) secara berjenjang dan pembentukan organissi Kormonev di masing-masing instansi, penyelenggaraan konsultasi publik oleh masing-masing instansi dalam program percepatan pemberantasan korupsi dan pengawasan (internal, eksternal, masyarakat), Untuk memperkuat reformasi birokrasi, Keppres, Perpres atau Inpres diperlukan sebagai komitmen Presiden untuk melakukan perubahan penyelenggaraan pemerintahan secara signifikan dan sesuai UU 10/2004 tentang Tata Urut Peraturan Perundang-undangan. V.
CATATAN PENUTUP
Pemerintah KIB punya komitmen kuat untuk mencegah dan mempercepat pemberantasan korupsi. Dalam memberantas korupsi/KKN diperlukan reformasi dan revitalisasi institusi penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman), mulailah dari diri sendiri, harus dipilih pejabat yang bebas KKN, para penegak hukum yang berani, tegas dalam menindak pelanggaran hukum da memberikan hukuman yang berat dan setimpal kepada koruptor, perlu ada sistem pengawasan yang kuat disertai shock therapy dan kontinuitas indakan. Amanat Etika Kehidupan Berbangsa, agar aparat negara mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportivitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggungjawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa, beretika sosial dan budaya, beretika politik dan pemerintahan, beretika ekonomi dan bisnis, beretika penegakan hukum yang berkeadilan, beretika keilmuan, dan beretika lingkungan, harus dijadikan acuan dalam membangun etika penyelenggara negara. Kata-kata kunci tata pemerintahan yang baik, harus diamalkan, yaitu jujur, peduli, saling memahami, menghargai, mencintai, menolong, dan keteladanan, menuju pemerintahan yang bersih, efisien dan efektif ditandai keterbukaan, tanggungjawab, tanggap, aspiratif, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan menerima pendapat orang lain, menjunjung tinggi hak asasi manusia, peduli, siap mundur apabila dirinya melanggar kaidah dan sistem nilai atau tidak mampu melaksanakan tugas, mendahulukan kepentingan umum, harus bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, rendah hati, dan menjadi teladan, toleransi tinggi, tidak pura-pura, tidak arogan, jauh dari munafiK. Tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan menghindari tindakan tidak terpuji,
Reformasi Birokrasi
87
berjiwa enterpreneur, mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, mendorong pemberdayaan ekonomi, menghindari KKN. Tidak diskriminasi, dan berusaha mengentaskan kemiskinan, berpandangan global, tenang, teratur, taat dan tertib hukum, kepastian hukum, berusaha bertindak adil dan tidak diskriminatif, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, berimtaq dan beriptek, berbudaya kerja produktif, mewujudkan karsa, cipta dan karya yang tercermin dalam perilaku kreatif, inovatif, inventif, komunikatif. Mendorong budaya baca-tulis-teliti-karya, peranserta dan partisipasi masyarakat, dan melestarikan lingkungan hidup, penataan ruang, berkelanjutan, berkesinambungan, dan berwawasan lingkungan. Cermati Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peranserta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peranserta masyarakat adalah peran aktif perorangan, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi: (1) Hak dan Tanggungjawab Masyarakat dalam mencari, memperoleh, memberi informasi, saran dan pendapat; (2) Hak dan Tanggung Jawab Masyarakat Dalam Memperoleh Pelayanan dan Jawaban dari Penegak Hukum; (3) Hak dan Tanggung Jawab Masyarakat Dalam Memperoleh Perlindungan Hukum; dan (4) Pemberian Penghargaan: Setiap orang, Organisasi Masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat yang telah berjasa dalam usaha membantu upaya pencegahan atau pemberantasan tindak pidana korupsi berhak mendapat penghargaan, berupa piagam atau premi. Aparatur Negara didorong agar menjadi birokrat entrepreneur yang bisa menggali peluang bisnis di daerahnya, menemukan potensi dan produk unggulan dan menumbuhkembangkan perekonomian daerah. Dampak dan manfaat good public governance sangat besar dan luas, karena itu penerapannya merupakan keharusan yang sangat mendesak, namun perlu, tetapi tidak cukup (necessary, but not sufficient), perlu dipadukan dengan international best practices yang merupakan voluntary, walaupun kita harus hati-hati karena no one model fits for all size dan hal lainnya merupakan mandatory. Good Public Govenance bukan mantra ajaib yang dapat menyelesaikan seluruh masalah NKRI tercinta. Persyaratan kondisi internal, eksternal, dan konsistensi berkesinambungan dalam penegakan pilar-pilar good public governance harus terpenuhi untuk optimalnya kualitas penerapannya. Agar penerapan kebijakan good public governance dapat berkesinambungan, harus lebih merupakan dorongan internal untuk memperbaiki kinerja lembaga, sehingga
88
Reformasi Birokrasi
tidak terjebak pada form over substance. Penerapan good public governance tidak langsung terjadi pada satu waktu dan sempurna. Sebaliknya, ia memerlukan komitmen pimpinan/pemimpin yang menyatu dengan sistem organisasi, waktu panjang dengan skedul yang jelas, kesabaran dan perbaikan serta prioritas mana yang didahulukan.
Reformasi Birokrasi
89
Best Practices, Reformasi Melalui Percontohan Langsung Mustofa Kamil Ridwan
Mati memang kuasa Allah. Hanya saja, kan ada pepatah yang menyebut betapa “sebelum ajal berpantang mati.” Maknanya tentu saja, jangan menyerah kepada “nasib”. Sebab nasib bisa diubah melalui ikhtiar (sedangkan takdir bisa diubah melalui doa). Jadi kalau seseorang cedera parah atau bahkan meninggal (atau sering sebutannya “tewas”) dalam suatu kecelakaan, jangan terburu kita menghakimi kecelakaan itu sebagai “takdir” sebab siapa tahu sebenarnya kecelakaan itu bisa dihindari melalui ikhtiar, misalnya memerbaiki sarana pengangkutannya, atau mutu sumberdaya manusianya yang membawa sarana angkutan itu. Kisah yang dututurkan AA Gym menyebut tentang dua orang gadis naik bus antarkota. Bus mengalami kecelakaan, banyak orang tewas tetapi kedua gadis itu selamat. Tentu, keselamatan itu (akhirnya) menjadi takdir, namun kecelakaan bus yang mereka tumpangi barangkali dapat dihindari kalau (misalnya) sopir bus lebih barhati-hati. Di lain sisi, keselamatan kedua gadis itu — yang cukup mengherankan — bisa dirunut kepada upaya atau ikhtiar keduanya sebelum bus berangkat. Tak lain, itu adalah sadakah yang mereka berikan. Jadi ada upaya mencegah kecelakaan sebelum terjadi, selain doa yang mereka panjatkan. Masih menyangkut dunia transportasi, masyarakat pengguna jasa perkeretaapian masih belum lepas dari trauma akibat kecelakaan kereta api secara beruntun hanya dalam jangka pendek. Ini termasuk sebuah lokomotif berjalan sendiri berkilo-kilo meter tanpa masinis, bahkan terlebih konyol lagi ketika ada kereta barang yang sempat mencemaskan banyak pihak lantaran dikendalikan seorang perempuan gila tanpa diketahui masinis serta petugas stasiun. Akhirnya terpaksa kereta barang itu dihentikan dengan memotong relnya, mengakibatkan ribuan ton bahan bakar yang diangkutnya tumpah ruah.1
90
Reformasi Birokrasi
Tuhan memang tidak akan mengubah nasib sebuah kaum kalau kaum itu sendiri tidak berupaya mengubahnya. Itu ayat yang banyak kali dilupakan oleh masyarakat Indonesia, padahal seharusnya mereka memahaminya mengingat posisinya sebagai mayoritas. Akibatnya yang disebut kaum miskin melonjak jumlahya akibat krisis keuangan yang diteruskan oleh krisis multidimensional. Sungguh memalukan; dan itu sudah sama-sama kita sadari. Tetapi apa langkah yang sudah kita lakukan untuk mengatasinya? Banyak pihak—orang Islam juga—yang lebih suka menengok ke luar dirinya: pemerintah, terutama, sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas nasib mereka. Jarang sekali mereka menyadari tanggung jawab mereka terhadap diri mereka sendiri terlebih dulu, sebelum melirik kepada orang atau pihak lain. Sebuah cerita sufi barangkali bisa memberi sedikit ilustrasi. Alkisah, Nasruddin sedang mencari-cari sesuatu di halaman rumahnya. Demikian tekun ia mencari-cari sampai seorang tetangganya ikut-ikutan mencari. Lama-lama si tetangga bertanya, “sebenarnya apa yang sedang kau cari, Nasruddin?” Nasruddin menjawab, “sebuah kunci.” Si tetangga bertanya lagi: “Di mana hilangnya kunci itu?” “Di dalam rumahku,” sahut Nasruddin. Tetangganya jadi penasaran. “Tetapi mengapa engkau mencarinya di halaman?” Enteng saja Nasruddin menyahut: “Karena di sini lebih terang.” Nasruddin lebih menyukai pencarian di “tempat lain” daripada di dalam rumahnya (dirinya) sendiri karena memang lebih enak. Tak perlu bersusah payah walau siapa pun tahu dia tidak akan menemukan yang dicarinya sampai kapan pun. Mencari di dalam diri sendiri bisa saja mengungkapkan hal-hal yang siapa tahu tak disenanginya, seperti, ternyata kesalahan itu ada pada dirinya. Dia telah menjatuhkan kunci itu di dalam rumah. Kalau saja dia mau sedikit bersusah payah ia tak perlu berlama-lama mencari. Apakah sekarang sudah terlambat untuk memulai ikhtiar? Tidak parnah ada kata terlambat untuk memulai sesuatu kebaikan. Dan, nyatanya, banyak contoh bisa disebut, betapa upaya yang sungguh-sungguh telah berhasil mengubah nasib sebuah kaum dari keterpurukan tanpa harus merengekrengek minta dibantu. Bahkan mereka bisa dijadikan teladan bagi kaum atau wilayah lain. Adalah terlampau menggeneralisasi tatkala kita mengatakan bahwa keterpurukan menimpa seluruh bangsa Indonesia. Sebab nyatanya, di sela-sela kerumunan bangsa ini ada percik-percik sinar cerah yang menumbuhkan optimisme bagi rakyat di seputar tempat itu. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi sangat gemar menyebut keberhasilan beberapa kabupaten dalam membangun diri sebagai “best practices” sebuah good governance. Apa boleh buat,
Reformasi Birokrasi
91
sejauh ini ia masih mengunggulkan Sragen sebagai salah satu best of the best. Tetapi ia ingin seluruh kabupaten di Indonesia berhasil seperti Sragen. Dan ia rajin sekali bertandang ke daerah-daerah untuk menyaksikan apa yang sudah dikerjakan dan sejauh mana keberhasilannya. Ini ia maksudkan untuk membuktikan bahwa sebenarnya sudah banyak yang dikerjakan pemerintah, tidak seperti yang digembar-gemborkan banyak pihak selama ini bahwa pemerintah tidak berbuat apa-apa untuk mengatasi keterpurukan yang melanda negeri ini akibat krisis moneter yang disusul krisis multi dimensional. Kegerahan atas kritik-kritik yang terkadang tidak proporsional mendorongnya untuk memerintahkan stafnya menulis buku “Setahun Reformasi Birokrasi” yang sekarang sudah rampung. Sekaligus penulisan buku itu merupakan pendorong bagi anak buahnya di Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara agar menjalankan tugas seoptimal mungkin khususnya dalam bidang pelayanan publik — mengoptimalkan pelayanan pemerintahan dan pemberdayan masyarakat. Dukungan bagi upaya itu sendiri kian meningkat. Bahkan Gubernur Jawa Tengah Mardianto sudah bertekad di tahun 2006 ini seluruh Kabupaten di Jawa Tengah sudah seperti Sragen. Artinya sudah memberi pelayanan kepada masyarakat seperti yang dilakukan Kabupaten di bawah pimpinan H. Untung Wijono tersebut. Selangkah di belakang Sragen adalah kabupaten tetangganya, Karanganyar. Dengan kepemimpinan bupati yang hajjah itu rakyat sudah sampai merelakan tanahnya diambil 2 meter sepanjang 2 kilometer untuk melebarkan jalan menuju ke kawasan wisata air terjun yang diresmikan oleh Menteri Koperasi dan UKM Suryadharma Ali beberapa waktu lalu. Yang ada di Sragen Lalu, apa sebenarnya yang ada di Sragen? Semuanya memang dimulai sejak hari pertama bupatinya dilantik. Antara lain ia menggulirkan, istilahnya, recovery fund program. 2 Ini adalah program pengelolaan anggaran pemerintah oleh dinas-dinas yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Fokusnya adalah membantu masyarakat dalam permodalan setelah lebih dulu dilakukan pembimbingan. Dalam praktik program ini sangat membantu masyarakat memeroleh modal dana lunak dengan bunga sangat rendah, jauh lebih ringan dari bunga bank konvensional. Seperti dipaparkan Asisten I Pemda, Edy Sasongko, dulu bunga pegadaian 4% per bulan. Ini bukan menolong namun, istilah Edy, “mengisap darah rakyat.” Kini rakyat tak perlu lagi ke pegadaian melainkan cukup ke lembaga keuangan desa maupun kecamatan untuk
92
Reformasi Birokrasi
11 Jaminan Kualitas Pelayanan Sebagai Janji One Stop Service Kabupaten Sragen 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Memiliki tingkat keterjangkauan yang tinggi; Memiliki tingkat ketepatan yang tinggi; Memberikan jaminan kesopanan sesuai tata nilai yang berlaku; Menunjukkan kemampuan profesional; Memberikan kenyamanan pada pelanggan; Mempunyai kredibilitas kepada pemohon; Memiliki tingkat efisiensi yang tinggi; Memiliki tingkat efektivitas yang tinggi; Memiliki fleksibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan; Memiliki kejujuran; Memiliki kemampuan merespon secara cepat dan tepat.
NO
JENIS PELAYANAN Non PERIZINAN SRAGEN
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
KK Sragen Kota KTP Sragen Kota Akte Kelahiran Akte Kematian Akte Pengangkatan Anak Akte Pengakuan & Pengasuhan Anak Akte Perubahan / Ganti Nama Akte Perkawinan Akte Perceraiah Informasi dan Pengaduan
WAKTU PENYELESAIAN 1 hari kerja 1 hari kerja 5 hari kerja 2 hari kerja 2 hari kerja 2 hari kerja 2 hari kerja 2 hari kerja 2 hari kerja 2 hari kerja
memeroleh dana dengan bunga hanya 1% per bulan. Akhirnya pegadaian pun meniru lembaga keuangan pemerintah itu, menurunkan bunganya menjadi 1% juga. Dana dari APBD itu tidak hilang, kata Bupati karena secara akuntabel dikembalikan ke kas daerah, dan “keuntungan”-nya atau hasilnya dapat digunakan untuk operasi lebih lanjut dan insentif bagi dinas yang mengelolanya. Program ini dimaksud sebagai salah satu jawaban untuk memenuhi kebutuhan dana murah dan mudah didapat masyarakat. Masyarakat juga dididik agar tertib bermanajemen didasari mental kewirausahaan (entrepreneurship) yaitu, lebih dulu “berbuat sesuatu” karena dana recovery baru akan diberikan kalau si anggota masyarakat sudah lebih dulu memiliki usaha yang prospektif. Di sisi lain, dengan mengelola dana
Reformasi Birokrasi
93
recovery secara tertib dan benar, PNS akan mendapat insentif secara resmi/sah, yang lebih lanjut dapat mencegah mereka melakukan korupsi. Untuk anggaran pembangunan, ada dua langkah yang dilakukan, pertama, pembangunan dengan anggaran keseluruhan diambilkan dari APBD. Kedua, pembangunan dibiayai bersama oleh masyarakat dan pemerintah (shared). Di sini, pemerintah hanya memberi bantuan perangsang berupa dana, aspal dan semen. Bantuan perangsang ini tidak diberikan begitu saja, tetapi terlebih dulu dilakukan pengecekan di lapangan, apakah warga yang bersangkutan benar-benar memiliki semangat swadaya. Secara fisik, tim yang terjun ke lapangan juga mengecek material pendukung misalnya pasir, grosok atau tenaga kerja. Di lapangan, bantuan perangsang semacam ini cukup efektif untuk menghimpun swadaya masyarakat dan sekaligus mendekatkan peran pemerintah dengan masyarakat. Pada tahun 2004 pemerintah menyediakan dana stimulus sekitar Rp8,7 miliar dan dampaknya dapat menghimpun swadaya masyarakat yang mencapai Rp81 miliar lebih. Sragen tidak bisa mengalokasikan dana sebesar itu hanya untuk pembangunan prasarana. Dengan cara ini masyarakat di desa-desa mampu memiliki jalan beraspal atau jalan cor, dapat memerbaiki saluran air dan memerbaiki jembatan yang rusak. Di masyarakat memang cukup marak koperasi simpan pinjam yang justru menjalankan praktik “lintah darat” yang di Sragen lazim disebut Bank Plecit atau bank titil. Sebutan ini (mungkin) timbul dari cara penagihan pinjaman yang kerap berlangsung kucing-kucingan (plecitan). Atau, giriknya tiap hari disobek satu-satu (dititil). Patugas penagihannya juga selalu mendatangi nasabah di pasar, rumah atau tempat usaha. Kelihatannya seperti menolong namun bank plecit nyatanya justru sangat memberatkan mengingat bunga yang dikenakan berkisar antara 5-10% per bulan. Di lain sisi, bank-bank plecit cukup diminati sebagian masyarakat, khususnya masyarakat bawah yang kurang berani berurusan dengan bank. Suburnya praktik semacam ini ditengarai karena sistem perbankan yang birokratik dan berbelit-belit. Sementara itu, masyarakat kecil umumnya ingin praktikal, dan tidak berpanjang-panjang, sedangkan perbankan tidak bisa “sepraktikal” itu mengingat prinsip kehati-hatian yang dituntut untuk diterapkan. Sragen melakukannya dengan memerkuat lembaga keuangan dan membangun lembaga keuangan baru.
94
Reformasi Birokrasi
NO
JENIS PELAYANAN PERIZINAN KAB. SRAGEN
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37.
Izin prinsip lzin Lokasi lzin Mendirikan Bangunan (IMB) HO / SITU SIUP IUI TDP TDI lzin Usaha Rekreasi & Hiburan Umum lzin Usaha Rumah Makan lzin Usaha Salon Kecantikan lzin Usaha Hotel Bunga Melati Biro / Agen Perjalanan Wisata lzin Pondok Wisata lzin Penutupan Jalan Pajak Reklame lzin Usaha Huller Izin Praktek Bersama Dokter Umum / Gigi lzin Pendirian Rumah Bersalin lzin Pendirian Balai Pengobatan lzin Pendirian Dokter Spesialis lzin Praktek Dokter Umum / Gigi lzin Praktek Bidan lzin Praktek Perawat lzin Pendirian Apotik lzin Mendirikan Optik lzin Praktek Tukang Gigi lzin Praktek Toko Obat Izin Pengobatan Tradisional lzin Produksi Makanan dan Minuman Rekomendasi Pendirian RS Swasta Rekomendasi Pendirian Pusat Kebugaran Rekomendasi Pendirian Salon Kecantikan Rekomendasi Pendirian Lembaga Pendidikan Rekomendasi Praktek Bersama Dokter spesialis Tanda Daftar Gudang (TDG) Perijinan Penggunaan Ketel Uap, Minyak untuk setiap ketel Perizinan Penggunaan Bejana Uap/ Pemanas Air yang berdiri sendiri Perizinan Penggunaan Bejana Tekan Perizinan Botol Baja Perizinan Penggunaan Pesawat Angkat dan Angkut Perizinan Penggunaan Pesawat Tenaga dan Produksi Perizinan Penggunaan Instalasi Kebakaran Perizinan Penggunaan Instalasi Listrik Perizinan Penggunaan Instalasi Penyalur Petir Izin Trayek Tetap Izin Usaha Angkutan Izin Kursus lzin Usaha Peternakan Izin Pendirian Pemotongan Hewan lzin Keramba Apung Izin Usaha Jasa Konstruksi
38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52.
WAKTU PENYELESAIAN 12 12 15 7 5 7 5 5 5 5 6 12 10 12 2 1 7 5 12 12 5 5 5 5 7 7 6 5 5 5 5 5 5 5 5 5
hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja
7 hari kerja 7 hari kerja 7 hari kerja 7 hari kerja 7 hari kerja 7 7 7 7 12 12 5 12 12 12 12
hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja hari kerja
Reformasi Birokrasi
95
E-Govt. di Takalar UU No.22/1999 dan No.32 menetapkan peletakan otonomi daerah kepada kabupaten/kota dengan keyakinan bahwa pemberian pelayanan kepada masyarakat akan lebih baik karena kedekatan pemerintah (daerah) dan rakyatnya. Namun kenyataan menunjukkan besarnya kendala akibat buruknya pelayanan masyarakat (public service) oleh pegawai negeri (public servants)-nya. Mantan Bupati Takalar H. Zainal Abidin dalam tulisannya berjudul, Sistem Layanan Publik (Praktek E-Government di Takalar) 3 betapa kemampuan aparatur pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pelayanan masyarakat (public service) hampir selalu bermasalah seperti tampak pada proses delivery yang tidak sesuai dengan komitmen, pelayanan yang tidak berstandar, ketidakpastian waktu, tidak transparan, tidak praktis, tidak efisien serta pembiayaan yang tidak masuk akal (unreasonable). Semua itu seakan telah menjadi fenomena yang serba melekat pada aparatur yang melayani warga. Kepercayaan masyarakat di daerah maupun di luar negeri pun lambat laun terus berkurang dan isu korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) berembus kencang. Untuk memulihkan kepercayaan masyarakat mau tak mau pemerintah daerah harus mengubah pola manajemen pelayanan publik dengan menyediakan sistem informasi yang memungkinkan publik mengetahui secara persis dan transparan apa saja yang sedang dilakukan pemerintah daerah serta kebijakan-kebijakannya. Masyarakat pun dilibatkan dalam proses pembangunan melalui pemanfaatan teknologi informasi yang di sebagian lembaga pemerintahan daerah serta lembaga swasta terbukti mampu meningkatkan kepercayaan publik yang pada gilirannya secara perlahan berdampak pada peningkatan pendapatan asli daerah dari jasa pelayanan yang diberikan kepada masyarakat sebagai sumber pembiayaan pembangunan daerah. 4 Tetapi implementasi sistem informasi pembangunan yang dapat menunjang otonomi daerah menuntut sejumlah persyaratan, di antaranya kepemimpinan yang kokoh dan serasi antara Pemerintah Daerah dan DPRD besertra segenap jajarannya. Selain itu, harus ada kesediaan untuk terus menerus mengikuti perkembangan teknologi informasi sehingga pimpinan daerah bisa mengembangkan sumberdaya manusia (SDM) di lingkungan pemerintahan agar dapat mengelola sendiri aset-aset teknologi yang dimilikinya. Bila persyaratan itu terpenuhi maka penerapan sistem informasi pembangunan di daerah tidaklah sulit. Pada 23 April 2000 bersamaan dengan dibukanya MTQ Tingkat Provinsi Sulawesi Selatan di Takalar diterapkanlah Sistem Layanan Satu
96
Reformasi Birokrasi
Atap (Simtap) berbasis web. Dorongan utamanya, menurut Zainal Abidin, ialah keinginan memberikan layanan yang lebih cepat, transparan dan akuntabel sekaligus mewujudkan good governance dari aspek birokrasi. Dengan itu, tumnuhlah kembali kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, hal yang selama itu merupakan barang mewah. Untuk membangun sistem layanan seperti itu Pemda Takalar menggandeng Divisi Riset dan Teknologi PT Telkom di Bandung sebagai konsultan dan pelaksana program sistem tersebut. Setelah melalui “proses politik” pada April 1999 Bupati berhasil mengeluarkan surat keputusan tentang tatalaksana pelayanan umum melalui satu atap. Melalui pembahasan bersama DPRD ditetapkanlah pembentukan Kantor Unit Pelayanan Terpadu (UPT) yang menggabungkan lima kantor dinas dengan 12 jenis pelayanan. Layanan Simtap di dalam satu gedung UPT ini berfungsi sebagai one stop service untuk mengurusi layanan masyarakat berupa Izin Mendirikan Bangunan (IMB), KTP, Sertifikat Tanah, akte Catatan Sipil, Izin Gangguan (HO), Izin Reklame, Mutasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Usaha Kecil (TDIK) serta Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Untuk membangun layanan masyarakat seperti itu Pemda Takalar mengeluarkan dana sebesar Rp350 juta di luar biaya pembangunan gedung UPT senilai Rp150 juta. Walau Takalar tergolong kabupaten berpenghasilan rendah di Sulawesi Selatan, namun nyatanya ia bisa menyediakan “kenikmatan” layanan online kepada masyarakat. Berbagai layanan masyarakat itu cukup ditangani enam petugas loket yang telah dilatih oleh Risti Telkom Bandung serta The Habibie Center sehingga mampu mengoperasikan komputer serta memakai sistem database. Dengan proses secara online maka seluruh status transaksi Simtap dapat dipantau oleh pejabat terkait. Sesuai otoritasnya Bupati pun dapat memantau secara realtime semua jenis layanan maupun jumlah transaksi dan pendapatan yang masuk ke kas Pemda. Semua ini dapat mencegah praktik penyimpangan. Dengan Simtap pula praktik administrasi pemerintahan dapat lebih diefisienkan menuju ke paperless office melalui proses komunikasi dan persetujuan via e-mail. Dalam pengembangannya, layanan Informasi Simtap menyiapkan dan dapat diakses masyarakat antara lain melalui homepage Pemda serta informasi terkait, juga data statistik status order layanan di UPT, penyuluhan dan pengumuman serta informasi dan bursa tenaga kerja. Lalu, pengembangan selanjutnya ialah akses 24 jam ke perpustakaan umum, sistem polling dan online voting maupun knowledge management untuk
Reformasi Birokrasi
97
mesyarakat (pengetahuan praktikal tentang kesehatan, pertanian, perikanan, dsb.) Kenyataan menunjukkan, pelayanan kepada masyarakat sejak Simtap diterapkan meningkat 200% dibanding sebelumnya, dan pendapatan asli daerah (PAD) yang bersumber dari layanan publik tersebut melonjak tajam, dari Rp200 juta pada 2000 menjadi Rp600 juta pada 2005 atau 300%. Dengan demikian biaya investasi software prasarana dan pembuatan software aplikasi Simtap serta biaya operasional maupun pemeliharaan secara ekonomis. Dengan demikian, pelayanan kepada masyarakat malah justru sangat menguntungkan dan memuaskan, sehingga akhirnya menambah kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah Daerah. Dalam perkembangan selanjutnya e-government tak sekadar merupakan sarana layanan publik seperti Simtap melainkan bisa diperluas dengan “kotak elektronik Desa Maju, sebuah layanan informasi pertanian, kesehatan, pendidikan dan teknologi tepat guna yang disediakan agar dapat diakses oleh siapapun dan di mana pun melalui satu nomor telepon. Ini merupakan bantuan kerja sama dari JICA, Jepang. Sistem layanan informasi lain yang disediakan adalah Warintek (Warung Informasi Teknologi) berujud tujuh keping CD hadiah dari kantor Meneg Ristek. CD berisi informasi digital tentang teknologi tepat guna yang dapat diakese masyarakat luas di Perpustakaan Umum. Hal lain yang amat penting dikembangkan ialah aplikasi APBD Masa Depan yang dapat dibuat sebagai sistem informasi anggaran untuk eksekutif meskipun kalangan umum juga bisa mengeksesnya pada pos-pos anggaran tertentu. Pada 2000 pernah Pemda Takalar membicarakan dengan Sekjen Depkeu tentang pengembangan sinkronisasi data-data APBD dengan APBN di pusat. Ini akan memudahkan integrasi program-program pembangunan dan perencanaannya secara nasional, selain juga koordinasi antara daerah dan pusat. Namun diakui pengembangan ini tidak mudah apalagi kita belum memiliki kesepakatan tentang sistem informasi anggaran yang dapat mendukung kinerja. Pengembangannya lebih lanjut ialah aplikasi Sistem Informasi SDM (Sidama) sebagai pusat assessment sumberdaya manusia, merupakan database seluruh PNS Pemda yang dapat diakses untuk kepentingan perekrutan pegawai, kenaikan dan masa pensiun. Badan Kepegawaian Daerah dapat mengeksesnya untuk kepentingan promosi jabatan, proses SK kenaikan pangkat dan SK pensiun dengan tepat waktu.
98
Reformasi Birokrasi
Pelayanan publik di Semarang 5 Di Kota Semarang jumlah dinasnya 20. Kalau dikaitkan dengan pembatasan jumlah perangkat daerah yang diatur dalam PP 8/2003 (khususnya tentang batasan jumlah dinas 14 unit kerja) maka terdapat kelebihan 6 unit kerja. Sudah begitu, perangkat daerah ini ternyata belum mampu mendukung efentivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas-tugas birokrasi pemerintah Kota Semarang. Kendalanya, menurut Walikota Semarang Sukawi Sutarip, Sh, SE, adalah, masih adanya duplikasi tugas dan fungsi serta kewenangan; masih adanya lembaga yang perlu ditingkatkan statusnya; masih adanya tugas dan beban kerja yang belum proporsional; masih adanya ego sektoral unit kerja yang lebih menonjol. Arah reformasi pelayanan publik yang ingin dicapai oleh Pemerintah Kota Semarang adalah terselenggaranya “pelayanan yang prima”. Ini merupakan pelayanan yang memenuhi standar permintaan pelanggan. Pelayanan yang memenuhi standar adalah mutu suatu produk seperti yang diharapkan pelanggan. Intinya ialah pelayanan yang lebih baik, lebih murah dan lebih cepat. Sosok reformasi di bidang pelayanan publik antara lain adalah: A) Pembentukan unit pelayanan terpadu, berdasar SK Walikota Semarang No. 001.1/526/20 Nov. 2000. Unit ini bertugas memberikan pelayanan administratif dan perizinan kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan mudah, murah dan cepat melalui sistem pelayanan satu atap (one roof service). B) Pererintah Kota Semarang juga telah menyusun Standar Pelayanan Minimal (SPM) bagi semua unit kerja pelayanan Perizinan di lingkungan Pemerintah Kota Semarang yang berisi landasan hukum pelayanan, prosedur pelayanan (administrasi maupun teknikal, biaya pelayanan, waktu penyelesaian dan mekanisme penyelesaian pengaduan yang dituangkan dalam Keputusan Walikota Semarang. C) Menindaklanjuti Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang telah disusun, diselenggarakanlah kegiatan Bulan Layanan Publik (BLP) selama tiga bulan yakni awal Januari hingga 31 Maret 2004. Pemerintah Semarang juga menyediakan layanan telepon hotline untuk informasi yang dapat diakses 24 jam yakni nomor 290-900. Ini diharapkan dapat memberi gambaran tentang persyaratan, prosedur, dan mekanisme pelayanan yang diinginkan. Ada lagi nomor telepon lain yakni telepon pengaduan, 356.1717 serta nomor-nomor telepon pada masing-masing unit kerja pelayanan, yang diharapkan dapat menjadi wadah dalam menampung
Reformasi Birokrasi
99
keluhan-keluhan/pengaduan dari masyarakat dalam pelaksanaan pelayanan, sehingga dapat segera ditangani penyelesaiannya. D) Dari bulan April sampai dengan akhir 2004 Pemkot Semarang melaksanakan kegiatan Tahun Peningkatan Pelayanan Publik (TP3) dengan sasaran meliputi seluruh sektor/jenis pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur pemerintah termasuk BUMD. Cakupan masalah yang ditangani tidak hanya keluhan masyarakat saja melainkan juga berkaitan dengan pembaruan-pembaruan yang dilakukan, transparansi, akuntabilitas dan pencapaian prestasi. Dalam penyelenggaraan TP3 juga disusun Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) yaitu data dan informasi tentang tingkat kepuasan masyarakat yang diperoleh dari hasil pengukuran secara kuantitatif dan kualitatif atas pendapat masyarakat dalam memeroleh pelayanan dari aparatur penyelenggara pelayanan publik dengan membandingkan antara harapan dan kebutuhannya. E) Untuk meningkatkan mutu pelayanan publik Pemkot Sermarang telah melaksanakan panilaian terhadap seluruh unit kerja pelayanan terhadap semua aspek pelayanan sesuai SPM yang dilaksanakan oleh Tim Koordinasi maupun LSM (LSM “Krisis” — Kajian Strategis Demokrasi dan Sosial) dengan cara mengamati langsung proses pelayanan maupun wawancara dengan pemohon/masyarakat. Dari hasil penilaian tersebut, tampak telah adanya perubahan yang cukup signifikan sejak dilaksanakannya Reformasi Pelayanan Publik, antara lain: 1. Adanya peningkatan pelayanan prima kepada masyarakat; 2. Adanya peningkatan kinerja apartur; 3. Perbaikan/penyusunan kebijakan dalam memberikan pelayanan baik yang menyangkut sistem pelayanan maupun sumberdaya aparatur yang melaksanakan pelayanan; 4. Adanya hubungan baik antara masyarakat yang menerima pelayanan dengan Pemerintah Kota Semarang yang memberikan pelayanan sehingga peran serta masyarakat meningkat. Kekurangan tentu masih ditemukan di sana-sini yang masih memerlukan perbaikan. F) Dalam upaya menindaklanjuti hasil penilaian dan untuk meningkatkan pelayanan maka dilakukan kegiatan Tahun Peningkatan Pelayanan Publik 2005 dengan 4 butir langkah-langkah perbaikan.
100
Reformasi Birokrasi
G) Berdasar Keputusan Walikota Semarang No. 11/2005 dibentuk Pusat Penanganan Pengaduan Pelayanan Publik (P5) yaitu lembaga yang membantu walikota dalam mengoordinasikan, melaksanakan dan mengendalikan penanganan pengaduan di tingkat Pemerintah Kota. Keberadaan P5 ini ternyata sangat strategik baik bagi Pemerintah Kota Semarang selaku penyelenggara pelayanan maupun masyarakat sebagai penerima pelayanan, terbukti dari sambutan yang sangat responsif dari masyarakat. Pengaduan yang masuk ke P5 periode Januari hingga Mei 2006 berjumlah: - Jumlah pengaduan masuk 254 - Jumlah pengaduan tertangani 215 - Jumlah pengaduan dalam proses 39 - Persentase pengaduan tertangani 84, 65% H) Berdasar Peraturan Walikota Semarang No. 2/2006 tertanggal 7 Februari 2006 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelayanan Terpadu (UPT) Kota Semarang dibentuklah KPT. KPT ini adalah pengembangan dari Unit Pelayanan Terpadu (UPT) yang menerapkan sistem pelayanan perijinan satu atap (One Roof Service). Dengan KPT ini kemudian dikembangkan sistem pelayanan satu pintu (One Stop Service) yaitu unit yang bertujuan memberikan pelayanan optimal dalam pengurusan berbagai macam perijinan secara cepat, tepat, mudah dan murah serta singkat, hanya melalui satu tempat saja. Layanan perijinan dan rekomendasi/surat keterangan yang dilaksanakan oleh KPT Kota Semarang berjumlah 34 jenis ( lihat tulisan Sukawi Sutarip ) . Maksud dan tujuan pelayanan perijinan tanpa retribusi adalah penyelenggaraan pelayanan prima dengan mengedepankan kemudahan dan kemurahan serta percepatan penyelesaian perijinan. Harapannya adalah mampu memberikan citra Kota Semarang agar berpengaruh positif bagi tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat Kota Semarang. Semua itu akhirnya membuahkan hasil berupa pelbagai penghargaan di bidang pelayanan. I) Langkah kebijakan dan strategi itu tidak akan optimal hasilnya tanpa dukungan-dukungan yang mampu memberikan percepatan kepada reformasi birokrasi yang efektif dan efisien. Dukungan tersebut antara lain:
Reformasi Birokrasi 101
1.
2.
Kepastian Hukum. Ini adalah ketegasan peraturan perundangundangan yang memberikan kepastian hukum atas kewenangan yang diberikan pemerintah pusat dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan. Pelaksanaan kebijakan mengandung konsekuensi pembiayaan dan tertib administrasi yang harus dipenuhi, sehingga memerlukan pengawasan dalam pengelolaan keuangan oleh berbagai macam lembaga pengawas dan penegak hukum. Di sisi lain, niat dan tekad memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat seringkali terhadang oleh aturan hukum yang membatasi kegiatan administrasi pemerintahan daerah. Contoh: - Suatu bentuk kebijakan inovatif yang seharusnya merupakan terobosan dalam meningkatkan pelayanan sering menjadi sasaran atau tuduhan tindak pidana korupsi; - Kesalahan administrasi yang seharusnya dapat diselesaikan secara administrasi negara justru dijadikan kasus pidana; - Pemeriksaan dari berbagai lembaga pemeriksa dan penegak hukum pada satu objek permasalahan dirasakan sangat mengganggu kinerja administrasi. Ketidakjelasan batasan antara wilayah kebijakan administrasi negara dengan hukum inilah yang mengakibatkan timbulnya kejadian-kejadian tersebut yang akan berdampak pada penurunan kinerja birokrasi. Untuk ini Pemkot Semarang mengusulkan perbaikan di bidang hukum administrasi, antara lain: a. Perlunya disusun perundangan di bidang hukum administrasi negara yang mampu memberikan petunjuk dan batasan mengenai kebijakan yang boleh dilakukan; b. Perlunya revisi perundang-undangan yang menegaskan pengaturan kewenangan pengujian atas kebijakan pemerintah daerah sebelum dilakukan pemeriksaan projustisi; c. Perlunya penegasan tentang kedudukan hukum suatu kegiatan yang payung hukumnya tidak dibatalkan oleh pemerintah tetapi oleh penegak hukum kegiatan itu dianggap sebagai pelanggaran hukum; d. Perlunya disusun UU yang mengatur prosedur standar administrasi pemerintahan daerah. Peningkatan fungsi pengawasan. Salah satu upaya meningkatkan percepatan reformasi birokrasi adalah melalui mekanisme kontrol/
102
Reformasi Birokrasi
pengawasan baik oleh kalangan internal birokrasi maupun oleh masyarakat. Dalam kalangan birokrasi, pengawasan bisa dilakukan oleh atasan langsung atau oleh aparat pengawas fungsional. Pengawasan oleh atasan langsung dikenal sebagai “pengawasan melekat” artinya pengawasan yang melekat pada jabatan seseorang terhadap kinerja pelayana publik yang dilaksanakan oleh bawahan yang bersangkutan. Sementara itu, pengawasan oleh aparat pengawas fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pemerintah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi khusus pengawasan secara internal terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Masyarakat juga mempunyai peran sangat penting dalam mendukung peningkatan kinerja pelayanan publik oleh Pemerintah Kota Semarang. Dalam hal ini masyarakat dapat terlibat langsung dalam pelaksanaan pengawasan, terutama bila program tersebut memiliki sasaran masyarakat. Dengan demikian keterlibatan masyarakat menjadi mutlak adanya mengingat masyarakatlah yang akan memanfaatkan dan menilai keberhasilan sesuatu program. Berikut ini adalah dua tulisan sebagai contoh best practices yang telah dilakukan oleh dua kabupaten. *** Catatan kaki 1 2 3
4 5
Layanan Publik Tahun II Edisi XII2006 p. 48. Layanan Publik Tahun II, Edisi XII/2006 hlm. 14,15. H. Zainal Abidin, Sistem Layanan Publik (Praktek E-Government di Takalar) tanpa halaman. Ibid Reformasi Birokrasi Menuju Pemerintahan Efektif dan Efisien di Kota Semarang, Pemerintah Kota Semarang, 2006.
Reformasi Birokrasi 103
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN EFEKTIF DAN EFISIEN DI KOTA SEMARANG Sukawi Sutarip
A. LATAR BELAKANG Bangsa yang besar adalah bangsa yang produktif, inovatif dan kompetitif. Kalau mau menjadi bangsa yang besar maka kita harus melakukan berbagai upaya serius dan sistematis ke arah itu. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah meminimumkan dan mengefesienkan birokrasi pemerintahan. Perubahan peran birokrasi sebagaimana diistilahkan dalam konsep Reinveting Government sebagai “steering than rowing” mengharuskan birokrasi mereposisikan dirinya sebagai fasilitator dan penggerak partisipasi masyarakat. Namun fenomena yang muncul di masyarakat selama ini, birokrasi cenderung menerapkan pola manajemen Top Down sehingga publik tidak mempunyai ruang yang cukup dalam menampung kepentingannya. Akibatnya birokrasi hanya dilihat sebagai potret lembaga yang sarat dengan in-efisiensi, lamban serta rentan dengan KKN. Jika posisi tawar masyarakat menjadi lemah, maka ditinjau dari aspek fungsionalnya maka birokrasi tidak memiliki eksistensi lagi terhadap masyarakatnya. Birokrasi kehilangan rohnya sendiri sebagai pelayan masyarakat. Kondisi tersebut mempersulit birokrasi untuk menjadi instrumen perubahan di tengah masyarakat yang modern. Konstelasi ini tentu harus dicarikan suatu solusi yang efektif, mengingat terpaan kritik sebagian besar masyarakat terhadap rendahnya kinerja birokrasi harus segera direspon secepat mungkin. B. GAMBARAN UMUM BIROKRASI KOTA SEMARANG Sebelum masuk pada pokok bahasan kiranya perlu diketahui gambaran
104
Reformasi Birokrasi
umum birokrasi Kota Semarang yang merupakan bagian integral dari konsep-konsep kebijakan reformasi birokrasi yang akan diambil. Adapun gambaran umum birokrasi Kota Semarang adalah sebagai berikut : 1. Pembagian Wilayah Kota Semarang merupakan Ibukota Propinsi Jawa Tengah dengan luas wilayah 373,70 Km2 dibagi menjadi 16 Kecamatan yang terdiri dari 177 Kelurahan. Adapun pembagian wilayah Kota Semarang sebagaimana peta dan tabel berikut : PETA PEMBAGIAN WILAYAH KOTA SEMARANG
2. Mekanisme Kerja Penyelenggaraan Pemerintahan Lebih lanjut dalam struktur organisasi dan tata kerja Perangkat Daerah Kota Semarang disusun suatu mekanisme kerja penyelenggaraan pemerintahan yang menjabarkan alur / mekanisme pelaksanaan tugas dan pembagian kewenangan masing-masing perangkat daerah yang terdiri dari: a. Unsur Pimpinan yaitu Walikota dan Wakil Walikota b. Unsur Kebijakan yaitu Sekretariat Daerah c. Unsur Penunjang yaitu Lembaga Teknis Daerah yang terdiri dari Badan dan Kantor d. Unsur Pelaksana yaitu Dinas Daerah, Kecamatan dan Kelurahan Adapun dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya seluruh unit teknis melaporkan kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah. Adapun mekanisme kerja penyelenggaraan pemerintahan Kota Semarang adalah sebagimana Bagan dibawah ini.
Reformasi Birokrasi 105
BAGAN MEKANISME KERJA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KOTA SEMARANG DPRD
SET DPRD BAD AN
WALIK OTA
DINAS D AERAH (CAB ANG DIN AS & UPTD)
MAS YAR AKA T
SETDA
WAK IL WALIKOTA
UNSUR PIMP INAN
UNSUR KEBIJAK AN
KANTOR
KECAMATAN (KELURAHAN)
UNSUR PENUNJANG
UNSUR PELAKSANA
Garis Pertanggungjawaban Garis Komando Garis Koordinasi Garis Penunjang Peningkatan pelayanan & kesejahteraan masyarakat
3. Sumber Daya Aparatur Dalam melaksanakan tugasnya Pemerintah Kota Semarang didukung oleh Aparatur Pemerintah Daerah sebanyak 14.841 orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan 2.660 orang Tenaga Pegawai Harian lepas (TPHL) dengan komposisi menurut kualifikasi pendidikan formal, sebagai berikut : JUMLAH PNS PEMERINTAH KOTA SEMARANG MENURUT KUALIFIKASI PENDIDIKAN FORMAL NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9
JENIS PENDIDIKAN SD SMP SMA D1 D2 D3 S1 S2 S3 JUMLAH
Sumber : Data BKD April 2006
JUMLAH 659 680 5372 259 1807 1855 3937 235 1 14.841
106
Reformasi Birokrasi
Sedangkan komposisi menurut kualifikasi Golongan, sebagai berikut : NO
Golongnan
PNS
CPNS
1 2 3 4
IV III II I
4136 7344 2968 188
154 121 -
14.566
275
JUMLAH Sumber : Data BKD April 2006
C. PENDEKATAN TEORI REFORMASI BIROKRASI Reformasi merupakan sebuah proses perubahan, Selo Sumardjan memberikan pengertian perubahan itu sendiri suatu bentuk perubahan pada lembaga-lembaga dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk tata nilai, sikap dan pola perilaku antara kelompok dalam masyarakat. Sedangkan Birokrasi memiliki pengertian yang sangat luas, Max Weber mengenalkan birokrasi sebagai organisasi untuk mengelola masyarakat modern yang bisa mengatur mekanisme pemerintahan dengan efisien. Untuk membatasi pengertian birokrasi, dalam pembahasan ini birokrasi dimaksudkan sebagai organisasi yang mengelola masyarakat melalui mekanisme pemerintahan dan melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan masyarakat. Konsep reformasi birokrasi muncul untuk menyikapi dinamika perubahan dalam masyarakat. Birokrasi dituntut untuk meredefinisi visi, misi, peran, strategi, implementasi dan evaluasi yang dilaksanakan selama ini. Disamping hal tersebut, birokrasi juga dituntut untuk menjalani restrukturisasi menuju organisasi yang efektif dan efisien. Demikian pula birokrasi harus mulai memikirkan aliansi dengan pihak yang dilayani. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya melayani masyarakat, birokrasi justru bisa makin adaptif-proaktif-efisien jika bermitra dengan masyarakat yang dilayani. Dengan demikian reformasi birokrasi dapat dikatakan sebagai perubahan dalam organisasi pemerintahan yang disebabkan tuntutan dinamika masyarakat. Untuk mewujudkan konsep reformasi birokrasi tersebut, terdapat tiga komponen utama sistem birokrasi yang perlu direformasi yakni organisasi,
Reformasi Birokrasi 107
ketatalaksanaan dan sumber daya manusia. Pemberdayaan ketiga komponen tersebut harus didasarkan dengan tolok ukur efisiensi dan efektivitas. D. PELAKSANAAN REFORMASI BIROKRASI DI KOTA SEMARANG Selaras dengan filosofi otonomi daerah dan adanya potensi, kendala serta harapan masyarakat yang begitu besar, maka Pemerintah Kota Semarang dalam upaya reformasi birokrasi menuju pemerintahan yang efektif dan efisien melaksanakan perbaikan dan penataan di berbagai bidang, yakni 1. Penyusunan Visi dan Misi Dengan menginventarisir seluruh kewenangan, tanggung jawab, potensi, karakteristik dan sumberdaya yang tersedia, maka Pemerintah Kota Semarang menetapkan Visi kota untuk menjawab tuntutan dan harapan mayarakat, yaitu “Semarang Kota Metropolitan yang religius berbasis Perdagangan dan Jasa” Adapun Visi tersebut mengandung tiga kunci pokok yaitu : KOTA METROPOLITAN mengandung arti bahwa Kota Semarang mempunyai sarana prasarana yang dapat melayani seluruh aktivitas masyarakat Kota dan hinterlandnya; RELIGIUS mengandung arti bahwa masyarakat Kota Semarang meyakini akan kebenaran ajaran dan nilai-nilai agama yang menjadi pedoman dan tuntunan dalam menjalankan kehidupannya, dalam wujud keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan YME. PERDAGANGAN DAN JASA yaitu merupakan basis aktivitas ekonomi masyarakat guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan Misi yang ditetapkan untuk mewujudkan Visi dimaksud, selanjutnya dijabarkan sebagai berikut : a. Mewujudkan kualitas sumber daya manusia yang religius melalui peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan, pendidikan dan derajat kesehatan masyarakat, dengan memperbesar akses bagi masyarakat miskin, serta penguasaan ilmu pengetahuan dan tehnologi ; b. Memantapkan pelaksanaan otonomi daerah menuju tata kelola pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa, melalui peningkatan kualitas pelayanan publik, kemandirian keuangan daerah, pengembangan kapasitas SDM dan profesionalisme
108
Reformasi Birokrasi
c.
d.
e.
f.
aparatur pemerintahan, serta didukung oleh infrastruktur kepemerintahan yang berbasis tehnologi ; Memantapkan perwujudan tatanan kehidupan politik, sosial dan budaya yang demokratis, serta memperkokoh ketertiban, ketentraman umum dan keamanan yang kondusif melalui upaya penegakan supremasi hukum; Mendukung peningkatan kinerja pertumbuhan ekonomi kota secara terpadu dan sinergi diantara para pelaku ekonomi yang berbasis pada perdagangan dan jasa, mendorong kemudahan berinvestasi, penguatan dan perluasan jarigan kerjasama ekonomi lokal, regional, nasional dan internasional ; Mewujudkan perlindungan sosial melalui penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial, korban bencana alam, perlindungan anak dan remaja, pemberdayaan perempuan, dan peningkatan peran pemuda, serta pencapaian keluarga sejahtera ; Mewujudkan terselenggaranya kegiatan penataan ruang yang konsisten bagi terwujudnya struktur dan pola tata ruang yang serasi, lestari dan optimal didukung pengembangan infrastruktur yang efektif dan efisien serta pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
2. Reformasi Kelembagaan Perangkat Daerah Dibidang kelembagaan perangkat daerah sebagaimana digambarkan sebelumnya ternyata belum mampu mendukung efektifitas dan efesiensi pelaksanaan tugas – tugas birokrasi pemerintah Kota Semarang. Hal ini disebabkan adanya kendala-kendala sebagai berikut : - Masih adanya duplikasi tugas dan fungsi serta kewenangan. - Masih adanya lembaga yang perlu ditingkatkan statusnya. - Masih adanya tugas dan beban kerja yang belum proporsional. - Masih adanya ego sektoral unit kerja yang lebih menonjol. Selanjutnya dengan diterbitkannya PP 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah dan guna mengantisipasi kendala-kendala tersebut, maka pemerintah Kota Semarang melaksanakan analisa organisasi yang didasarkan pada kewenangan, karakteristik, potensi dan kebutuhan. Adapun hasilnya adalah rencana restrukturisasi perangkat daerah antara lain struktur organisasi, formasi perangkat daerah dan formasi eselon sebagaimana berikut :
DINAS DAERAH
1. Dinas Pekerjaan Umum 2. Dinas Kesehatan 3. Dinas Pendidikan 4. Dinas Pertanian 5. Dinas Perhubungan 6. Dinas Perindustrian dan Perdagangan 7. Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah 8. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi 9. Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup 10. Dinas Penanaman Modal dan Pemberdayaan Aset 11. Dinas Kelautan dan Perikanan 12. Dinas Kesos, KB dan Pemberdayaan Masy. 13. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan 14. Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah 15. Dinas Tata Kota 16. Dinas Kebakaran 17. Dinas Kebersihan 18 Di P t d P k KELURAHAN
KECAMATAN
Bappeda Badan Pengawas Daerah Badan Kependudukan dan Capil Badan Kesatuan Bagsa dan Perlindungan Masyarakat 5. Badan Pelayanan Perijinan, 6. Rumah Sakit Umum Daerah 7. Badan Kepegawaian Daerah 8. Kantor Pendidikan dan Pelatihan 9. Kantor Perpustakaan dan Arsip 10. Kantor Penelitian dan Pengembangan 11. Satuan Polisi Pamong Praja
1. 2. 3. 4.
Bag Ekonomi Bag Sosial Bag Sarpras Kota dan LH Pemberdayaan Masy & Perempuan
Bag Pemerintahan Bag Hukum Bag. Perkotaan Bagian Organisasi
LEMBAGA TEKNIS DAERAH
ASISTEN PEREKONOMIAN DAN KESMAS
SEKRETARIAT DAERAH
ASISTEN PEMERINTAHAN DAN APARATUR
WAKIL WALIKOTA
WALIKOTA
Bag Umum Bag Perlengkapan Bag Infokom Bag Pengolahan Data Elektronik
ASISTEN UMUM DAN PERLENGKAPAN Bag Persidangan dan Risalah Bag. Tata Usaha Bag. Keuangan
SEKRETARIAT DPRD
DP R D
Reformasi Birokrasi 109
RANCANGAN STRUKTUR ORGANISASI PEMERINTAH KOTA SEMARANG (PP 8 Th 2003 dan SKB MENPAN DAN MENDAGRI)
110
Reformasi Birokrasi
Tabel Konsep Formasi Perangkat Daerah Kota Semarang NO 1
Perangkat Daerah
Yang ada saat ini
Sekretariat Daerah
Berdasarkan Kajian
3 Asisten
3 Asisten
8 Bagian
12 Bagian 1 Sekretaris
Selisih Jumlah
+ 4 Bagian
2
Sekretariat DPRD
1 Sekretaris 3 Bagian
3 Bagian
-
3
Dinas Daerah
18 Dinas
20 Dinas
+ 2 Dinas
4
Lembaga Teknis Daerah a. Badan
6 Badan
5 Badan + 1 RSUD
b. Kantor
4 Kantor
3 Kantor
Lembaga diluar
-
2 Lembaga
5
-
- 1 Kantor + 2 Lembaga
PP No 8 Th 2003 6
Kecamatan
16 Kecamatan
16 Kecamatan
-
7
Kelurahan
177 Kelurahan
177 Kelurahan
-
Tabel Konsep Formasi Eselon di Lingkungan Pemerintah Kota Semarang
No 1
Eselon
Saat ini
Berdasar PP 8 Th 2003
2
3
4
Selisih Berdasarkan Selisih (3-4) Kajian (3-6) 5
6
7
1
Eselon II a
1
1
0
1
0
2
Eselon II b
28
24
-4
32
+4
3
Eselon III a
165
129
- 36
166
+1
4
Eselon III b
16
-
- 16
-
- 16
5
Eselon IV a
856
522
- 334
594
- 262
6
Eselon IV b
1065
885
- 180
885
- 180
7
Eselon V a
-
67
+ 67
67
+67
Reformasi Birokrasi 111
Apabila hasil kajian analisa organisasi Pemerintah Kota Semarang tersebut yang menyebutkan jumlah dinas sebanyak 20 unit dikaitkan dengan pembatasan jumlah perangkat daerah yang diatur dalam PP 8 Th 2003 (khususnya mengenai batasan jumlah dinas 14 unit kerja), maka terdapat kelebihan 6 unit kerja. Sebagaimana diketahui bahwa dalam pasal 26 PP 8 Th 2003 membuka peluang bagi daerah untuk menambah jumlah perangkat daerah sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerah. Berdasarkan pasal tersebut Pemerintah Kota Semarang menyusun naskah akademis sebagai bahan pertimbangan usulan kepada Presiden, namun ajuan tersebut sementara belum dapat disetujui oleh Menpan dan diarahkan tidak menambah jumlah unit kerja. Dalam proses penyesuaian kajian tersebut kemudian diterbitkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sehingga perlu adanya revisi PP 8 Th 2003. Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah Kota Semarang terus mengkaji guna penyesuainnya sambil menunggu diterbitkannya revisi PP dimaksud dengan melaksanakan analisa organisasi, analisa beban kerja, analisa jabatan dan analisa kebutuhan pegawai dalam rangka mewujudkan birokrasi yang efisiensi dan efektifitas. 3. Reformasi Sumber Daya Aparatur Peran dan fungsi Pegawai Negeri Sipil sangatlah strategis, disamping sebagai pelaksana Peraturan Perundangan-undangan, sebagai pelayan public, juga sekaligus berperan sebagai penyangga persatuan dan kesatuan bangsa serta pengelola pemerintahan. Dalam dimensi lain, Pembangunan sektor aparatur ditujukan sebagai upaya untuk mewujudkan sosok birokrasi yang profesional, efektif dan efisien yang akhirnya bermuara pada pada terwujudnya kepemerintahan yang baik (Good Governance). Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam upaya pelaksanaan kebijakan pembangunan / peningkatan kapasitas Sumber Daya Aparatur, antara lain dengan melaksanakan : a. Peningkatan kualitas pendidikan formal PNS; b. Pengoptimalan Diklat dan peningkatan Bintek; c. Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan ; d. Penyusunan Pola pembinaan Karier PNS; e. Pengembangan jabatan fungsional; 4. Reformasi Pelayanan Publik Arah dari reformasi pelayanan publik yang ingin dicapai oleh
112
Reformasi Birokrasi
Pemerintah Kota Semarang adalah terselenggaranya “Pelayanan Umum Yang Prima” Pelayanan prima merupakan pelayanan yang memenuhi pelayanan standar terhadap permintaan pelanggan. Pelayanan yang memenuhi standar adalah kualitas (mutu) suatu produk yang diharapkan oleh pelanggan. Dengan demikian pelayanan prima terdapat dua hal yang berkaitan, yaitu antara pelanggan dan kualitas. Secara sederhana definisi mutu adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan yang diinginkan yaitu menghasilkan pelayanan yang. Lebih Baik, Lebih Murah dan Lebih Cepat. Pemerintah Kota Semarang telah melaksanakan reformasi dibidang pelayanan publik sebagaimana berikut : a) Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu. Berdasarkan Keputusan Walikota Semarang Nomor 001.1/526 tanggal 20 Nopember 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Kota Semarang, yaitu unit yang bertugas memberikan pelayanan administrasi dan perijinan kepada masyarakat yang membutuhkan secara mudah, murah, cepat dan tepat melalui sistem pelayanan dalam satu atap (One Roof Service). Hal ini sebagai upaya memudahkan masyarakat dalam pengurusan pelayanan perijinan dengan penempatan pengurusan perijinan di satu lokasi dengan didukung sistem komputerisasi yang sudah on line sistem dengan dinas terkait sehingga mendukung adanya data yang terpadu serta diharapkan bukan lagi pemohon yang berjalan tapi berkas permohonan yang berjalan. b) Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pemerintah Kota Semarang telah menyusun Standar Pelayanan Minimal (SPM) bagi semua Unit Kerja Pelayanan Perijinan di lingkungan Pemerintah Kota Semarang yang berisikan landasan hukum pelayanan, prosedur pelayanan (administrasi maupun teknis), biaya pelayanan, waktu penyelesaian dan mekanisme penyelesaian complain/ pengaduan yang dituangkan dalam Keputusan Walikota Semarang. Dalam penyelenggaraan pelayanan tersebut juga memperhatikan dan menyelesaikan secepat mungkin segala bentuk pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat dengan dibentuk Tim Penanganan Pengaduan yang dituangkan dalam Keputusan Kepala dinas / instansi.
Reformasi Birokrasi 113
c) Pelaksanaan Bulan Layanan Publik (BLP) Menindaklanjuti Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang telah disusun tersebut diselenggarakan kegiatan Bulan Layanan Publik (BLP) selama 3 bulan yakni awal Januari s/d 31 Maret 2004, yang pencanangannya dilaksanakan pada tanggal 2 Januari 2004. Disamping itu Pemerintah Kota Semarang menyediakan telepon khusus Hotline untuk informasi yang dapat diakses 24 jam yakni nomor 290-900, yang diharapkan dapat memberikan gambaran tentang persyaratan, prosedur, dan mekanisme pelayanan yang diinginkan. Selain telepon khusus Hotline Pemerintah Kota Semarang juga menyiapkan nomor telepon pengaduan 356.1717 serta nomor-nomor telepon pada masing-masing unit kerja pelayanan, yang diharapkan dapat menjadi wadah dalam menampung keluhan-keluhan / pengaduan dari masyarakat dalam pelaksanaan pelayanan, sehingga dapat segera di tangani penyelesaiannya. d) Pelaksanaan Tahun Peningkatan Pelayanan Publik (TP3) 2004 Kegiatan Tahun Peningkatan Pelayanan Publik (TP3) ini dilaksanakan bulan April sampai dengan akhir 2004 dan sasarannya, meliputi seluruh sektor/jenis pelayanan publik yang diberikan oleh Aparatur Pemerintah termasuk BUMD. Cakupan masalah yang ditangani tidak hanya terbatas pada complaint/keluhan masyarakat saja, melainkan juga berkaitan dengan inovasi-inovasi yang dilakukan, transparansi, akuntabilitas dan pencapaian prestasi. Dalam penyelenggaraan TP3 juga disusun Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) yaitu data dan informasi tentang tingkat kepuasan masyarakat yang diperoleh dari hasil pengukuran secara kuantitatif dan kualitatif atas pendapat masyarakat dalam memperoleh pelayanan dari aparatur penyelenggara pelayanan publik dengan membandingkan antara harapan dan kebutuhannya. Adapun unsur-unsur dari Indeks Kepuasan Masyarakat adalah : 1) Prosedur pelayanan; 2) Persyaratan pelayanan; 3) Kejelasan petugas pelayanan; 4) Kedisiplinan petugas pelayanan; 5) Tanggung jawab petugas pelayanan; 6) Kemampuan petugas pelayanan; 7) Kecepatan pelayanan; 8) Keadilan mendapatkan pelayanan; 9) Kesopanan dan keramahan petugas;
114
Reformasi Birokrasi
10) Kewajaran biaya pelayanan; 11) Kepastian biaya pelayanan; 12) Kepastian jadwal pelayanan; 13) Kenyamanan lingkungan; 14) Keamanan pelayanan. e) Evaluasi Kualitas Pelayanan Dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik dilingkungan Pemerintah Kota Semarang telah melaksanakan evaluasi terhadap seluruh unit kerja pelayanan terhadap semua aspek pelayanan sesuai SPM yang dilaksanakan oleh Tim Koordinasi maupun oleh LSM (LSM “Krisis” (Kajian Strategis Demokrasi dan Sosial)) dengan cara mengamati langsung proses pelayanan maupun interview kepada pemohon/masyarakat. Dari hasil evaluasi tersebut telah dicapai adanya perubahan yang signifikan sejak dilaksanakannya Reformasi Pelayanan Publik, antara lain: 1) Adanya peningkatan pelayanan prima kepada masyarakat; 2) Adanya peningkatan kinerja aparatur; 3) Perbaikan / penyusunan kebijakan dalam memberikan pelayanan baik yang menyangkut Sistem Pelayanan maupun Sumber Daya Aparatur yang melaksanakan pelayanan; 4) Adanya hubungan baik antara masyarakat yang menerima pelayanan dengan Pemerintah Kota Semarang yang memberikan pelayanan sehingga partisipasi masyarakat meningkat. Walaupun masih juga ditemukan adanya beberapa hal yang harus disempurnakan/diperbaiki dalam upaya pencapaian pelayanan prima kepada masyarakat. f) Langkah Penyempurnaan Pelayanan Dalam penyusunan Standar Pelayanan Minimal yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota Semarang disadari masih belum sepenuhnya dapat memberikan gambaran nyata tentang harapan nyata dan kebutuhan masyarakat, hal ini karena dalam proses penyusunan SPM tersebut masih dilaksanakan sepihak yaitu oleh instansi Pemerintah selaku pemberi pelayanan, namun belum melibatkan masyarakat selaku penerima pelayanan. Sehubungan dengan hal tersebut dan dalam rangka menindak lanjuti hasil evaluasi dan guna peningkatan pelayanan dilaksanakan kegiatan Tahun Peningkatan Pelayanan Publik Tahun 2005, dengan langkah-langkah perbaikan sebagai berikut
Reformasi Birokrasi 115
1) Penyempurnaan SPM dengan melibatkan Masyarakat (LSM, LP2K, dan para Pakar), agar diperoleh gambaran nyata tentang harapan dan kebutuhan masyarakat serta tingkat kemampuan Dinas dalam penyelenggaraan pelayanan yang dapat memenuhi Indek Kepuasan Masyarakat. Penyempurnaan tersebut meliputi prosedur pelayanan (administrasi maupun teknis), biaya pelayanan, waktu penyelesaian dan mekanisme penyelesaian complain/ pengaduan yang kemudian ditetapkan dengan Peraturan Walikota. 2) Peningkatan insentif bagi pegawai di lingkungan Pemerintah Kota Semarang, dengan harapan dapat memberikan dorongan dan semangat dalam pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat, adapun insentif yang diberikan sebanyak : a) Eselon II a sebesar Rp. 2.600.000,b) Eselon II b sebesar Rp. 1.600.000,c) Eselon III a sebesar Rp. 700.000,d) Eselon III b Camat sebesar Rp. 1.500.000,e) Eselon IV a sebesar Rp. 225.000,f) Eselon IV b sebesar Rp. 200.000,g) Staf Golongan III dan IV sebesar Rp. 200.000,h) Staf Golongan I dan II sebesar Rp. 150.000,i) TPHL sebesar Rp. 100.000,3) Peningkatan kualitas SDM pada petugas pelayanan melalui bimbingan teknis mengenai Customer Service dan penanganan penyelesaian pengaduan (complain). 4) Peningkatan sarana prasarana pelayanan yang diharapkan mampu meningkatkan kinerja pelayanan, sehingga memenuhi tuntutan dan harapan masyarakat. Adapun sarana prasarana tersebut antara lain : a) Pengadaan unit komputer kepada semua unit pelayanan di tingkat kota sampai dengan semua kelurahan. b) Pengadaan Mobil Puskesmas Keliling; c) Pengadaan Mobil Perpustakaan Keliling d) Rehabilitasi Gedung Sekolah Dasar; e) Pengadaan Kendaraan Pengangkut Sampah. f) Dalam rangka peningkatan dan pendekatan pelayanan kesehatan, secara bertahap dipenuhi sarana prasarana Puskesmas sehingga diharapkan dapat memberikan pelayanan kesehatan secara optimal kepada masyarakat.
116
Reformasi Birokrasi
g) Dalam rangka meningkatkan pelayanan publik akan dibangun infrastruktur berdasarkan skala prioritas dan kemampuan keuangan daerah yang pada gilirannya nanti diharapkan mampu meningkatkan investasi di Kota Semarang g) Pembentukan Pusat Penanganan Pengaduan Pelayanan Publik (P5) Berdasarkan Keputusan Walikota Semarang Nomor 11 Tahun 2005 dibentuk Pusat Penanganan Pengaduan Pelayanan Publik (P5) yaitu lembaga yang membantu Walikota dalam mengkoordinasikan, melaksa-nakan dan mengendalikan penanganan pengaduan di tingkat Pemerintah Kota Keberadaan P5 ini ternyata sangat strategis baik bagi pemerintah Kota Semarang selaku penyelenggara pelayanan maupun masyarakat sebagai penerima pelayanan terbukti dengan sambutan yang sangat responsif dari masyarakat. Untuk jumlah pengaduan yang masuk ke P5 periode bulan januari s/d mei 2006, yakni : - Jumlah pengaduan masuk = 254 pengaduan - Jumlah pengaduan tertangani = 215 pengaduan - Jumlah pengaduan dalam proses = 39 pengaduan - Prosentase pengaduan tertangani = 84,65 % Adapun 10 besar jumlah pengaduan yang masuk dan tertangani bulan Januari sampai dengan Mei 2006 adalah sebagaimana diagram berikut ini: 52
45
30
32
31 25 25 21
15
18 18
14 14 12 9
10 10 7 6
7 6 3
Pengaduan Masuk Pengaduan Tertangani
Reformasi Birokrasi 117
Namun disadari pula bahwa dalam pelayanan pengaduan ini masih ada kendala-kendala sehingga kedepan langkah–langkah pengembangan P5 akan terus diupayakan. h) Pembentukan Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) Berdasarkan Peraturan Walikota Semarang Nomor 2 Tahun 2006 tanggal 7 Februari 2006 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelayanan Terpadu (UPT) Kota Semarang. KPT ini adalah pengembangan dari Unit Pelayanan Terpadu (UPT) yang menerapkan sistem pelayanan perijinan satu atap (One Roof Service) yang kemudian dengan KPT dikembangkan sistem pelayanan perijinan satu pintu (One Stop Service) yaitu unit yang bertujuan untuk memberikan pelayanan optimal dalam mengurus berbagai macam perijinan secara cepat, tepat, mudah dan murah, serta singkat, hanya melalui satu tempat saja Adapun layanan perijinan dan rekomendasi/ surat keterangan yang dilaksanakan oleh KPT Kota Semarang sejumlah 34 jenis, yakni : 1) Perijinan dengan Retribusi a) Ijin Mendirikan Bangunan (IMB/Pemutihan IMB); b) Ijin Gangguan (HO); c) Ijin Pemasangan Reklame; d) Ijin Trayek; e) Ijin Operasional Taxi; f) Ijin Penyambungan Jalan Masuk; g) Tanda Daftar Perusahaan; h) Keterangan Rencana Kota (KRK); 2) Perijinan tanpa Retribusi a) Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP); b) Ijin Usaha Industri (IUI) / Tanda Daftar Industri (TDI); c) Ijin Usaha Pasar Modern; d) Ijin Usaha Rumah Makan; e) Ijin Usaha Gelanggang Renang; f) Ijin Usaha Bilyard; g) Ijin Usaha Panti Pijat/ Mandi Uap; h) Ijin Usaha Permainan Anak; i) Ijin Usaha Hotel; j) Ijin Usaha Bar dan Karaoke; k) Ijin Usaha Biro Perjalanan Wisata; l) Ijin Usaha Persewaan VCD; m) Ijin Usaha Permainan Ketangkasan Play Station;
118
Reformasi Birokrasi
n) o) p) q) r) s) t) u) v) w) x) y) z)
Ijin Usaha Diskotek / Klab Malam; Ijin Usaha Pengilingan Padi; Ijin Usaha Peternakan; Ijin Laboratorium Kesehatan Swasta; Ijin Usaha Apotik; Ijin Usaha Toko Obat; Ijin Penyelenggaraan Medik Dasar Swasta; Ijin Rumah Sakit; Ijin Klinik Spesialis; Ijin Asrama atau Akomodasi Penampungan Calon TKI; Ijin Lokasi; Persetujuan Prinsip; Tanda Daftar Gudang.
Adapun maksud dan tujuan pelayanan perijinan tanpa retribusi ini adalah dalam rangka penyelenggaraan pelayanan prima dengan mengedepankan kemudahan dan kemurahan serta percepatan penyelesaian perijinan. Harapannya adalah mampu memberikan image Kota Semarang sebagai Kota Pelayanan yang pada gilirannya dapat menarik minat para investor untuk menanamkan modalnya di Kota Semarang sehingga membawa dampak positif terhadap tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat Kota Semarang. Perhatian dan keseriusan Pemerintah Kota Semarang dalam rangka reformasi pelayanan publik telah membuahkan hasil yang mengngembirakan ditandai dengan diperolehnya penghargaan dibidang pelayanan antara lain: a) Penghargan dari MENPAN sebagai Kepala Daerah yang aktif dalam kegiatan BLP. b) Penghargaan CITRA PELAYANAN PRIMA dari MENPAN sebagai Kepala Daerah Berprestasi Dalam Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. c) Penghargaan SATYA ABDI PRAJA dari Gubernur Jateng sebagai Kepala Daerah Yang Terbaik Dalam Pembinaan Pelayanan Publik Tahun 2004. d) Penghargaan CITRA PELAYANAN PRIMA dari MENPAN kepada Dinas Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil sebagai Unit Pelayanan Percontohan Tahun 2004. e) Penghargaan SATYA ABDI PRAJA Tahun 2004 dari Gubernur Jawa Tengah kepada Dinas Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil atas Prestasinya dalam memberikan pelayanan dibidang Pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Reformasi Birokrasi 119
f)
Penghargaan Otonomi Award dari Suara Merdeka sebagai kota yang paling menarik dan kondusif di bidang investasi. g) Penghargaan Otonomi Award dari Jawa Pos Group sebagai kota yang berhasil dibidang pembangunan ekonomi. E. DUKUNGAN PERCEPATAN REFORMASI BIROKRASI Berbagai langkah kebijakan dan strategi yang telah direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah, khususnya Pemerintah Kota Semarang tidak akan optimal hasilnya tanpa adanya dukungan-dukungan yang mampu memberikan percepatan terhadap reformasi birokrasi yang efektif dan efisien, dukungan tersebut antara lain : 1. Kepastian Hukum Berbagai langkah kebijakan dan strategi yang telah direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah, khususnya Pemerintah Kota Semarang tidak akan optimal hasilnya, apabila tidak didukung dengan ketegasan peraturan perundang-undangan (Regulasi) yang memberikan kepastian hukum atas kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan Seperti kita ketahui, pelaksanaan kebijakan mengandung konsekuensi pembiayaan dan tertib administrasi yang harus dipenuhi, sehingga perlu dilaksanakan pengawasan dalam pengelolaan keuangan oleh berbagai macam lembaga pengawas dan penegak hukum. Akan tetapi disisi lain, manakala kita sebagai aparat pemerintah telah mempunyai niat dan tekad untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, seringkali terhadang oleh aturan hukum yang membatasi kita dalam melakukan kegiatan administrasi Pemerintahan Daerah. Sebagai contoh : - Suatu bentuk kebijakan inovatif yang seharusnya merupakan terobosan dalam meningkatkan pelayanan, sering menjadi sasaran atau tuduhan tindak pidana korupsi; - Kesalahan administrasi yang seharusnya dapat diselesaikan secara administrasi negara justru dijadikan kasus pidana; - Pemeriksaan dari berbagai lembaga pemeriksa dan penegak hukum, pada satu obyek permasalahan sehingga dirasakan sangat mengganggu kinerja administrasi. Ketidak jelasan batasan antara wilayah kebijakan administrasi Negara dengan wilayah hukum inilah yang mengakibatkan timbulnya kejadian-
120
Reformasi Birokrasi
kejadian tersebut, dimana nantinya akan berdampak pada penurunan kinerja birokrasi. Dari uraian diatas Pemerintah Kota Semarang mengusulkan perbaikanperbaikan dibidang hukum administrasi negara, antara lain : a. Perlunya disusun perundangan dibidang hukum administrasi negara yang mampu memberikan petunjuk dan batasan mengenai kebijakan yang boleh dilakukan; b. Perlunya revisi perundang-undangan yang menegaskan pengaturan mengenai kewenangan pengujian atas kebijakan Pemerintah Daerah sebelum dilakukan pemeriksaan projusticia; c. Perlunya penegasan tentang kedudukan hukum suatu kegiatan dimana payung hukumnya yang oleh Pemerintah Pusat tidak dibatalkan tapi oleh penegak hukum kegiatannya dianggap sebagai pelanggaran hukum; d. Perlunya disusun UU yang mengatur prosedur standar administrasi pemerintahan daerah. Apabila hal tersebut tidak kita sikapi bersama, akan timbul pertanyaan akankah harapan masyarakat bisa terwujud dalam ketidakberdayaan birokrasi. 2. Peningkatan Fungsi Pengawasan Salah satu upaya untuk meningkatkan percepatan reformasi birokrasi adalah melalui mekanisme kontrol/pengawasan. baik oleh internal Birokrasi maupun oleh Masyarakat. a. Pengawasan Oleh Birokrasi 1) Pengawasan oleh Atasan Langsung Pengawasan atasan langsung ini dikenal dengan sebutan pengawasan melekat, artinya pengawasan yang melekat pada jabatan seseorang terhadap kinerja pelayanan publik yang dilaksanakan oleh bawahan yang bersangkutan. Dengan adanya pengawasan melekat ini, diharapkan dapat diketahui sedini mungkin setiap penyimpangan yang dilakukan oleh aparat birokrasi, sehingga dapat langsung dilakukan pembinaan terhadap aparat yang bersangkutan 2) Pengawasan oleh Aparat Pengawas Fungsional Aparat Pengawas Fungsional adalah aparat pemerintah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi khusus melakukan pengawasan secara internal terhadap penyelenggaraan
Reformasi Birokrasi 121
pemerintahan. Pelaksanaan pengawasan fungsional dilakukan melalui : - Pemeriksaan reguler adalah pelaksanaan pemeriksaan oleh aparat pengawas fungsional yang dilakukan secara berkala terhadap penyelenggaraan Pemerintahan. - Pemeriksaan Kasus / khusus, ini dalah salah satu bentuk pengawasan fungsional yang dilakukan dalam rangka menindaklanjuti setiap pengaduan yang dilakukan oleh masyarakat atas adanya dugaan penyimpangan / penyalahgunaan wewenang yang dilakukan aparat pemerintah - Pelaksanaan Sidak Penegakan Disiplin PNS, ini dimaksudkan untuk meningkatkan kedisiplinan PNS. Dengan adanya PNS yang disiplin, akan sangat berpengaruh dalam peningkatan kinerja birokrasi. b. Pengawasan Oleh Masyarakat Selain pengawasan fungsional yang dilakukan oleh aparat pengawas fungsional pemerintah tersebut diatas, masyarakat juga mempunyai peran yang sangat penting dalam mendukung peningkatan kinerja pelayanan publik oleh Pemerintah Kota Semarang. Pelaksanaan pengawasan tidak hanya dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam program seperti pengelola (aparat atau pihak yang ditunjuk), akan tetapi masyarakatpun dapat terlibat secara langsung dalam pelaksanaan pengawasan. Keterlibatan masyarakat menjadi sangat penting apabila program tersebut memiliki sasaran masyarakat. Sehingga keterlibatan masyarakat sangat mutlak diperlukan mengingat masyarakatlah yang akan memanfaatkan dan menilai keberhasilan suatu program. B. PENUTUP Upaya-upaya Reformasi Birokrasi sebagai upaya mengubah mindset PNS akan terus dilaksanakan, sampai benar-benar tercipta efesiensi dan efektifitas birokrasi yang mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat membudaya baik pada aparat yang melayani maupun masyarakat yang dilayani, guna mewujudkan good governance. Apapun upaya yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Semarang tidak akan mampu membawa hasil yang optimal apabila hal ini tidak didukung segenap stakeholder penyelenggara pelayanan sesuai bidang pelayanan masing-masing dengan semangat mewujudkan pelayanan
122
Reformasi Birokrasi
prima dan yang tidak kalah pentingnya adalah peran aktif masyarakat Kota Semarang dalam menjalankan fungsi pengawasan. DAFTAR PUSATAKA 1. Reformasi Birokrasi di Indonesia, Selo Sumardjan (1998), Jogyakarta. 2. Reeventing Goverment , David Osborne & Ted Gaibler (1998), Balai Pustaka, Jakarta. 3. Informasi Kelembagaan Perangkat Daerah Kota Semarang, Pemerintah Kota Semarang (2005), Semarang. 4. Reformasi Pelayanan Publik di Lingkungan Pemerintah Kota Semarang, Pemerintah Kota Semarang (2005), Semarang. 5. Formasi Kepegawaian Bulan April 2006, Badan Kepegawaian Daerah Kota Semarang (2006), Semarang. 6. Laporan Bulan Mei 2006, Pusat Penanganan Pengaduan Pelayanan Publik (P5) Kota Semarang (2006), Semarang.
Reformasi Birokrasi 123
SISTEM LAYANAN PUBLIK ( PRAKTEK E-GOVERNMENT DI TAKALAR)
H. ZAINAL ABIDIN
Sistem Informasi Layanan Publik Kemajuan teknologi dewasa ini, khususnya di bidang sarana komunikasi, sangat mendukung sistem informasi yang dapat menjangkau seluruh negara tanpa mengenal batas teritorial kedaulatan suatu negara. Dunia seolaholah semakin sempit atau semakin dekat. Setiap kejadian yang timbul di suatu negara atau wilayah dengan cepat dapat dikonsumsi oleh seluruh dunia. Di satu sisi kemajuan teknologi informasi ini sangat menguntungkan, namun di sisi lain dapat pula merugikan, misalnya hal-hal negatif di suatu tempat akan dapat diketahui oleh publik yang tentunya sangat berpengaruh pada pembentukan opini masyarakat. Dikaitkan dengan sistem informasi manajemen pembangunan dalam rangka otonomi daerah, maka sistem informasi manajemen pembangunan daerah di suatu daerah dapat diakses oleh daerah lain atau sebaliknya bila kita bisa manfaatkan dengan baik, maka akan terwujud interkoneksitas yang pada gilirannya dapat digunakan untuk saling melengkapi dalam menunjang pembangunan daerah. Bertolak dari keyakinan bahwa otonomi daerah yang oleh UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 32 Tahun 2004 diletakkan sepenuhnya pada Kabupaten/Kota, karena lebih dekat dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Namun harus diakui kondisi dan kenyataan bahwa kemampuan aparatur pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pelayanan masyarakat (public service) hampir selalu bermasalah. Seperti tampak pada proses pelayanan yang tidak sesuai dengan komitmen, pelayanan yang tidak berstandar, ketidakpastian waktu, tidak transparan, tidak praktis, tidak efisien, serta pembiayaan yang tidak masuk akal (unreasonable).
124
Reformasi Birokrasi
Semua itu seakan telah menjadi fenomena yang serba melekat pada aparatur yang melayani warga. Kepercayaan masyarakat di daerah maupun di luar negeri pun lambat laun terus berkurang, dan isu korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) terhembus kencang. Untuk memulihkan kepercayaan masyarakat, mau tidak mau pemerintah daerah harus mengubah pola manajemen pemerintahan pelayanan publik solusinya menyediakan sistem informasi yang memungkinkan publik mengetahui secara persis dan transparan tentang apa saja yang sedang dilakukan pemerintah daerah serta kebijakan-kebijakannya. Masyarakat pun dilibatkan dalam proses pembangunan melalui pemanfaatan teknologi informasi yang di sebagian lembaga pemerintahan daerah, serta lembaga swasta, terbukti mampu meningkatkan kepercayaan publik. Pada gilirannya, secara perlahan berdampak pada peningkatan pendapatan asli daerah melalui jasa pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dan menjadi sumber pembiayaan pembangunan daerah. Pengembangan sistem informasi pembangunan juga dapat membawa dampak tidak kecil pada peningkatan ekonomi masyarakat. Kepercayaan kalangan pengusaha termasuk investor setelah mereka membaca dan mendengar kabar perihal penggunaan sistem informasi tersebut. Tetapi, implementasi sistem informasi pembangunan yang dapat menunjang Otonomi Daerah menuntut sejumlah persyaratan. Di antaranya, persyaratan kepemimpinan yang kokoh dan serasi antara pemerintah daerah dan DPRD beserta segenap aparatnya. Selain itu, kesediaan untuk terus menerus mengikuti perkembangan teknologi informasi, Pimpinan daerah harus bisa mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) di lingkungan pemerintahan agar bisa mengelola sendiri aset-aset teknologi yang dimilikinya. Bila persyaratan tersebut terpenuhi, penerapan sistem informasi pembangunan, di daerah tidaklah sulit. Sebagai ilustrasi dalam tulisan Joko Sugiarsono berjudul “Membangun Efisiensi dan Transparansi lewat E-Government”, majalah “Swa” (2000) menyebutkan bahwa di negara maju seperti Amerika Serikat, praktek egovernment masih tergolong hijau, apalagi di negara-negara berkantong tipis. Buktinya, seperti diungkap Business Week Online (17 Januari 2000) sekitar US $ 600 miliar nilai transaksi pemerintah (dari individu maupun perusahaan) per tahun; yang dilakukan secara online kurang dari 1%. Hal ini umumnya karena sektor publik takut mengambil resiko dan juga karena kurangnya orang yang mengerti teknologi. Beberapa negara bagian malah memanfaatkan aplikasi yang sudah benar-benar berbasis web. Contohnya, kini warga negara bagian Georgia bisa memberi izin berburu, memancing dan berkapal lewat internet. Para
Reformasi Birokrasi 125
profesional di negara bagian Maryland bisa memperbarui SIM lewat komputer di rumah. Tak sedikit pula para pengacara di Carolina Utara yang bisa mengakses ringkasan file secara elektronik. Anggaran yang dikeluarkan memang tak sedikit, pemerintah negara bagian California misalnya, harus rela merogoh koceknya sebesar US $15 juta “hanya“ untuk membuat database file perusahaan agar bisa diakses para banker yang ingin mengetahui properti yang tersedia. Membangun Efisiensi dan Transparansi lewat E-Government di Takalar. Pada tanggal 23 April 2000 bersamaan dengan dimulainya MTQ Tingkat Provinsi Sulawesi Selatan di Takalar, Kabupaten yang pertama di Indonesia menerapkan Sistim Informasi Layanan Satu Atap (SIMTAP) berbasis web, sementara daerah lain masih sibuk dengan berbagai agenda politik. Sebenarnya sistim layanan satu atap bukan hal baru, Kabupaten Gianyar Bali lebih dulu menerapkannya, tapi masih manual menggunakan formulir tercetak dan petugas melayani face to face. Sistem Layanan Satu Atap Takalar lebih maju, sebab menggunakan aplikasi komputer berbasis teknologi web, Kesigapan Pemerintah Daerah membangun SIMTAP didorong keinginan memberikan layanan yang baik yang lebih cepat, transparan dan akuntabel sekaligus dapat mewujudkan good governance dari aspek birokrasi. Akan tetapi lebih dari itu dari aspek politik telah tumbuh kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang selama ini senantiasa mendapatkan cemoohan karena layanan yang buruk. Untuk membangun sistem layanan seperti itu, Pemda Takalar yang pada tahun 1999 menggandeng Divisi Riset dan Teknologi PT. Telkom di Bandung sebagai konsultan dan pelaksana program sistem layanan tersebut, dalam arti bahwa ide SIMTAP lahir dari kemauan keras dari Bupati dan Divisi Risti yang mewujudkannya suatu keputusan yang sangat spektakuler di masa itu. Rancangan software berkali-kali didiskusikan di kantor Risti Telkom Bandung. Pada saat itu, belum ada contoh software yang bisa dicontoh atau diduplikasi. Semua murni kreasi pemda Takalar dan Risti. Setelah melalui proses politik yang lancar, pada April 1999 Pemda Takalar berhasil mengeluarkan surat keputusan tentang tatalaksana pelayanan umum melalui satu atap yang pembahasannya melibatkan DPRD. Langkah selanjutnya ditetapkan pembentukan kantor Unit Pelayanan Terpadu (UPT) yang menggabungkan lima kantor dinas dengan
126
Reformasi Birokrasi
12 jenis layanan. Lewat SK seperti itu, kerjasama antar dinas berjalan lancar. Sesuai namanya, layanan SIMTAP di dalam satu gedung UPT ini berfungsi sebagai one stop service untuk mengurusi 12 layanan publik terdiri dari Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Kartu Tanda Penduduk (KTP), Sertifikat Tanah, Akte Catatan Sipil, Izin Gangguan (HO), Izin Reklame, Mutasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Surat Izin Usaha Perdagangan (TDUP) dan Tanda Daftar Industri Kecil (TDIK) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Untuk membangun sistem layanan publik seperti itu, Pemda Takalar rela mengeluarkan dana sebesar Rp350 juta di luar biaya pembangunan gedung UPT yang memakan anggaran Rp150 juta. Untuk diketahui Kabupaten ini tergolong daerah berpenghasilan rendah di Sulawesi Selatan. Walaupun demikian Kabupaten ini ternyata bisa menyediakan kenikmatan layanan online kepada masyarakat. Layanan publik tersebut lewat UPT hanya ditangani 6 petugas loket yang telah dilatih oleh pihak Risti Telkom, sehingga mampu mengoperasikan komputer dan memakai sistem database. Petugas loket 1 menerima pembayaran setiap pemohon pada semua layanan sesuai tarif yang tercantum pada papan pengumuman, serta merekap dan menyetor pembayaran ke pemegang Kas. Sementara Petugas loket 2 sampai 6 menangani ke 12 layanan publik tersebut. Bagi masyarakat, praktek layanan satu atap atau SIMTAP jelas lebih nyaman bila dibandingkan layanan sebelumnya yang terpisah dan banyak kantor yang harus didatangi. Layanan manual dengan waktu yang lama dan tidak memuaskan. Layanan publik berbasis teknologi informasi ini sangat transparan karena masyarakat juga dapat mengetahui kemajuan proses dan status layanan yang dibutuhkan para petugas misalnya status selesai atau tidak lengkap berkas. Proses SIMTAP berjalan secara online sehingga semua status transaksi bisa dimonitor oleh pejabat terkait maupun bupati bisa memonitor secara realtime jumlah transaksi dan pendapatan yang masuk ke kas Pemda. Sebelum SIMTAP diluncurkan, semua pejabat terkait mendapatkan pelatihan dari Risti Telkom Bandung sehingga mampu melakukan monitoring sesuai hak aksesnya masing-masing. Bupati memiliki otoritas akses monitoring untuk semua jenis layanan. Sistem SIMTAP Kabupaten Takalar dengan segera bisa mencegah praktek penyimpangan. Selain itu dengan praktek administrasi pemerintahan yang efisien bisa diarahkan menuju paperless office, berkat proses komunikasi dan persetujuan via e-mail.
Reformasi Birokrasi 127
Layanan informasi SIMTAP Kabupaten Takalar dalam pengembangannya dipersiapkan untuk dapat diakses masyarakat melalui homepage Pemda beberapa informasi terkait seperti data statistik daerah, status order layanan di UPT, penyuluhan, dan pengumuman serta informasi dan bursa tenaga kerja. Pengembangan selanjutnya juga menerima pengaduan layanan umum 24 jam, akses kepustakaan umum (persiapan perpustakaan digital sudah diresmikan), sistem polling dan online voting, serta knowledge management untuk masyarakat (pengetahuan praktis tentang kesehatan, pertanian, perikanan, dsb). Untuk hal ini Pemda Takalar telah menjalin kerjasama dengan Kantor Menristek untuk menerima akses Warintek “Warung Teknologi”. Tentunya dibutuhkan tersedianya fasilitas jaringan internet yang ekonomis ke daerah-daerah. Manfaat SIMTAP Pelayanan masyarakat sejak SIMTAP diterapkan pada tahun pertama meningkat 200 persen bila dibanding sebelumnya. Dan pandapatan asli daerah yang bersumber dari layanan publik tersebut meningkat tajam, dari Rp 200.000.000,- tahun 2000 menjadi Rp600.000.000,- pada tahun 2005 atau 300% (persen). Dengan demikian biaya investasi infrastruktur dan pembuatan software aplikasi SIMTAP dan biaya operasional dan pemeliharaan secara ekonomis pelayanan ini bagi masyarakat sangat menguntungkan dan memuaskan, menambah kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah Daerah. E-government Kabupaten Takalar tak sekedar berupa aplikasi layanan publik seperti SIMTAP. Takalar juga meluncurkan Kotak Elektronik Desa Maju, sebuah layanan informasi pertanian, kesehatan, pendidikan dan teknologi tepat guna yang disediakan agar dapat diakses oleh masyarakat umum di manapun, melalui satu nomor telepon. Program ini terwujud berkat bantuan dan kerjasama Pemda Takalar dengan JICA Jepang, selain layanan informasi lainnya yang disediakan berupa Warintek (Warung Informasi Teknologi). Aplikasi lain yang amat penting dikembangkan adalah aplikasi APBD Masa Depan, yang dapat dibuat lebih sebagai sistim informasi anggaran untuk eksekutif, meskipun kalangan umum juga bisa mengaksesnya pada pos-pos anggaran tertentu. Pada tahun 2000 Pemda Takalar membicarakan dengan Sekjen Departemen Keuangan untuk mengembangkan kemungkinan sinkronisasi data-data APBD dengan APBN di pusat. Hal ini akan memudahkan integrasi program-program pembangunan dan perencana-
128
Reformasi Birokrasi
annya secara nasional, selain koordinasi antara daerah dan pusat. Namun diakui bahwa pengembangan itu tidak mudah, apalagi kita belum memiliki kesepakatan tentang sistem informasi anggaran yang dapat mendukung kinerja. Takalar juga mengembangkan aplikasi Sistim Informasi SDM (Sidama), sebagai pusat assessment sumber daya manusia, merupakan database seluruh PNS Pemda yang dapat diakses untuk kepentingan rekrutmen pegawai, kenaikan pangkat, data Diklat dan masa pensiun, semua dapat diakses oleh Badan Kepegawaian Daerah untuk kepentingan promosi jabatan, proses SK kenaikan pangkat dan SK pensiun dengan tepat waktu. Walaupun Kementerian Infokom yang telah diserahi tugas oleh Presiden untuk mengembangkan telematika nasional, yang tugas-tugasnya tertera dalam Keputusan Presiden No 6 Tahun 2001 tentang Telematika, penyiapan SDM tak kalah pentingnya dari sekedar menyediakan sistem informasi atau e-govemment. Oleh karena itu Pemerintah Daerah yang akan menerapkan sistem informasi layanan publik harus mampu menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga nasional dan internasional, seperti Kantor Menristek, The Habibie Center, PT. Telkom, JICA, dalam melakukan pelatihan-pelatihan aparat. Tak kalah pentingnya adalah adanya kemauan dan semangat serta kemampuan leadership Kepala Daerah untuk memulai sekarang juga, karena kalau tidak, kita akan terlalu jauh ketinggalan dari negara-negara maju atau negara-negara tetangga yang telah lama memanfaatkannya. Kepala Daerah perlu memiliki visi dan wawasan teknologi ke depan. Jika tidak, program yang telah ditanamkan untuk sistem teknologi informasi berupa e-government akan mubasir. IT terus berkembang, aplikasi atau software akan mudah tertinggal. Karena itu perlu terus menerus diadakan penyesuaian dan perubahan. Pemeliharaan harus terus ada dan kesadaran teknologi serta semangat untuk memberikan layanan publik sebagai inti berdemokrasi harus terus diperjuangkan secara mikro. Praktek E-Govemment di Takalar ini membuat layanan Pemerintah Daerah menjadi lebih efisien, dan ini menimbulkan banyak penghematan. Sesuatu yang sangat penting dalam langkah reformasi birokrasi.
Biodata Penulis
Eko Prasodjo, Doktor, Dosen ilmu politik. Ketua Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI dan Konsultan GTZ SfGG di Kantor Menpan.
Sofian Effendi, Pernah jadi Deputi Menristek, Ketua BAKN dan sekarang Rektor Universitas Gadjah Mada.
R. Siti Zuhro, memperoleh Phd di Curtin University of Technology di Perth, Australia. Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Manager Riset The Habibie Center. Menulis sejumlah artikel dan penelitian di bidang politik.
Taufiq Effendy, alumni Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Brigjen Pol. (purn.), Master of Business Administration dan Alumni International Police Academy, Washington DC, AS. Menteri Penertiban Aparatur Negara. Pernah jadi Anggota DPR RI dan Liaison Officer Dinas Hubungan Luar Negeri Polri dan Staf Ahli Kapolri.
Komaruddin, alumni ITB dan APU. Pernah menjadi Deputi Analisis Sistem BPPT. Deputi kemudian Staf Ahli Menpan.
Mustofa Kamil Ridwan, Master Ilmu Komunikasi Ohio University. Pernah berkerja sebagai wartawan Antara, Indonesia Times, Harian Suara Karya, Wakil Pemred Harian Republika. Sekarang senior fellow di The Habibie Center.
Sukawi Sutarip, Sarjana Hukum, Walikota Semarang (dua periode)
H. Zainal Abidin, Wakil Ketua DPRD Provinsi Sulsel mewakili Partai PDK, Pernah menjadi Sekda Kab. Gowa dan Bupati Kab. Takalar Sul-sel.
KAJIAN The Habibie Center
Jawara dan Kekuasaan: Peranan Jawara dalam Polltik Pasca Pembentukan Propinsi Banten Lili Romli & Taftazani
Problematika Myanmar dalam ASEAN Awani Irewati; Ratna Shofi Inayati; Jopkie Kurniawan
Peran Birokrasi dalam Pilkada di Jember R. Siti Zuhro
Dampak Kenaikan Harga BBM pada Kelompok Masyarakat Near Poor Komuter di BODETABEK Andrinof A Chaniago; Joko Tirto Raharjo; Vidia Arianti
Pemilihan Kepala Daerah Langsung di Daerah Pemekaran: Studi Kasus Kabupaten Kaur Propinsi Bengkulu Irman G. Lanti; Aly Yusuf; Afdal Makkuraga
Upaya Inovasi Sistem Rekrutmen CPNS Pasca Orde Baru: Studi Terhadap Sistem Rekrutmen CPNS Tahun 2004 - 2005 Andrinof A Chaniago; Israr Iskandar; Dodi Priambodo
Hubungi: THE HABIBIE CENTER Jl. Kemang Selatan No. 98 Telp. (021) 7817211 Fax. (021) 7817212 Jakarta 12560