Daftar Isi Jurnal Demokrasi & HAM
Vol. 6, No. 3, 2007
CATATAN REDAKSI :
• Dari Reformasi Hukum Sampai Aparat Yang Bersih
3
ANALISIS :
• Mendesain Presidensial yang Efektif Bukan “Presiden Sial” Atau Presiden Sialan” : Denny Indrayana
6
• Politik Pembangunan Hukum Nasional Dalam Era Pasca Reformasi : Satya Arinanto
35
• Menata Ulang Pengawasan Eksternal Hakim Pasca Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial : A. Ahsin Thohari
61
• Sistem Peradilan, Penyimpangan dan Lembaga Pengawasan : Topo Santoso
70
• Satu Dasa warsa Reformasi Hukum : Indonesia Di Persimpangan Jalan ? Susi Dwi Harijanti
84
• Reformasi Kelembagaan Negara Pasca Amendemen UUD 1945 : Lilis Mulyani
101
• RESENSI BUKU : Berjalan-Jalan di Ranah Hukum Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H Dari Reformasi Hukum Sampai Pilkada : V.A. Sapada
• BIODATA PENULIS
117 122
JURNAL DEMOKRASI & HAM Terbit sejak 20 Mei 2000 ISSN: 1441-4631 Penanggung Jawab Redaksi: A. Watik Pratiknya Dewan Redaksi: Muladi (Ketua) Indria Samego Dewi Fortuna Anwar Umar Juoro Andrinof A. Chaniago Pemimpin Redaksi: Andi Makmur Makka Redaktur Pelaksana: Mustofa Kamil Ridwan Redaktur: R. Siti Zuhro Taftazani Sekretaris: Produksi: Ghazali H. Moesa Usaha: Achmad Amal Tata Letak: A.Mudjazir Unde/Gambar Kulit : Anom Hamzah Alamat Penerbit dan Redaksi: Jl. Kemang Selatan No. 98, Jakarta 12560 – Indonesia Telp.: (021) 7817211, Fax: (021) 7817212 Website: http://www.habibiecenter.or.id E-mail:
[email protected]
Catatan Redaksi : Dari Reformasi Hukum Sampai Aparat Yang Bersih
3
Catatan Redaksi DARI REFORMASI HUKUM SAMPAI APARAT YANG BERSIH
Reformasi hukum di Indonesia dimungkinkan karena terjadinya gerakan reformasi, hampir satu dasawarsa yang lalu. Pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie, walaupun hanya dalam masa waktu tujuh belas bulan, tidak bisa dinafikkan, telah memulai reformasi hukum dan menumbuhkan konsep demokratisasi di Indonesia. Agenda reformasi itu tidak muncul begitu saja, tetapi melalui inventarisasi nilai-nilai dasar demokrasi atau core values of democracy. Salah satu agenda demokrasi yang berkali-kali diwacanakan dalam era pemerintahan B.J.Habibie adalah agenda amandemen UUD 1945. Proses amandemen UUD 1945 pada masa pemerintahan Kabinet Reformasi Pembangunan, memang belum dimulai, baru terlaksana pada pemerintahan selanjutnya. Tetapi sejumlah peraturan perundang-undangan yang signifikan sudah dimulai. Salah satu misalnya, Undang-Undang masalah politik yang kemudian melahirkan sejumlah partai yang mengikuti pemilu l999. Nilai-nilai dasar dalam undang-undang politik yang dibangun pada masa itu, menjadi sumbangan cukup penting dalam proses demokratiasi di Indonesia. Salah satu ide dasar lainnya adalah gagasan bagaimana dapat menciptakan sebuah sistem kepemerintahan yang baik atau good governance, dan tidak lain adalah bagaimana dapat membangun pemerintahan yang transparan, akuntabel dan responsif terhadap aspirasi rakyat. Untuk itulah dibentuk Undang-undang tentang Tindak Pidana Korupsi, yaitu UU No, 31/ 1999, yang diselesaikan melalui bantuan Menteri Kehakiman. UU ini merombak total UU No, 3/1971, searah perkembanganperkembangan yang terjadi. Gagasan pembuatan UU untuk memberantas tindak pidana korupsi tidak dapat dilepaskan dari pesan TAP MPR tentang pemerintahan dan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. TAP MPR itu
4
Reformasi Hukum
dijabarkan dalam UU No, 28/1999 tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Katakanlah semacam code of conduct. Selanjutnya disusul UU No 31/ 1999 tentang pembentukan dan pelaporan harta kekayaan pejabat negara, sekaligus sebagai dasar pembentukan Komisi Pelaporan Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN). Pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, ada yang disebut Pempres No 11 tahun 1963. Pada zaman Orde Baru menjadi UU No II Pempres Tahun 1963. Artinya Pempres itu ditingkatkan statusnya menjadi UU dan posisinya lebih kuat sehingga ada lembaga Kopkamtip dan lain-lain. Kemudian, setelah reformasi, UU tersebut dianggap tidak betul, karena sangat represif, perumusannya samar-samar, gampang menangkap orang tanpa proses Maka diputuskan mencabut UU yang sudah membawa korban banyak ini hanya napol yang terkait dengan komunisme masih dimasukkan di dalam KUHP. Dengan demikian, orang –orang yang menjadi korban UU subversi berarti harus dibebaskan semuanya. Sejak itu, semua tapol dan napol yang terkait dengan UU Subversi tahun 1963 dibebaskan. Agenda lainnya untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi adalah mengeluarkan sejumlah UU yang dapat menjamin kebebasan sosial, budaya, dan politik seluruh rakyat di bumi Indonesia. Atau dengan kata lain, ini berkaitan dengan masalah HAM. Dasarnya juga berupa TAP MPR sehingga muncullah UU tentang HAM yang juga melatar belakangi peningkatan bobot hukum Komnas HAM, yang dulu didasari Keppres ditingkatkan menjadi UU. Selain itu, diratifikasi perjanjian-perjanjian dan konvensi internasional tentang penyiksaan, tentang masalah hak-hak politik wanita dan sebagainya. Menyusul kekuasaan kehakiman yang merdeka dilahirkan dengan disahkannya UU No 35 tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman. Perlu dicatat bahwa perundang-undangan yang lahir di era Kabinet Reformasi Pembangun sampai 67 buah UU. Proses demokratisasi yang direncanakan dengan sistematis menjadi tiga hal penting. Pertama, rangkaian UU yang dimaksudkan untuk menghasilkan sebuah good governance. Kedua, rangkaian UU untuk pembangunan sosial, politik, budaya, dan HAM. Dengan langkah-langkah di atas, maka tidak bisa dinafikkan platform yang telah dikembangkan di era pemerintah ketika itu, terutama dalam reformasi hukum, merupakan dasar-dasar proses demokratisasi dan dasardasar pembangunan nilai-nilai demokrasi di Indonesia. Inti permasalah yang dibahas dalam edisi ini, tidak jauh dari uraian
Catatan Redaksi : Dari Reformasi Hukum Sampai Aparat Yang Bersih
5
kita di atas. Bahwa membicarakan reformasi hukum yang kita lakukan sekarang ini, tidak bisa tidak, mengambil kilas balik masa awal reformasi. Bahwa reformasi hukum memang harus dimulai dengan merubah undangundang dasar, semua itu telah kita lakukan. Perubahan ini, telah diikuti pembentukan sejumlah lembaga-lembaga hukum, berupa komisi-komisi yang sudah tidak terbilang jumlahnya. Tetapi ternyata pendirian lembaga-lembaga itu, tidak serta merta mencapai tujuan seperti yang diharapkan semula. Ada lembaga yang berkinerja luar biasa, seperti Mahkamah Konstitusi misalnya. Tetapi ada juga lembaga yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, Komisi Yudisial misalnya, bukan karena pelaksananya berkinerja buruk, tetapi lembaga itu telah mendapat reaksi eksternal dari lembaga lainnya yang justru harus dinilainya (Mahkamah Agung). Memang ada kelemahan awal dalam rumusan tugas-tugas lembaga itu, hal ini berpulang juga kepada perumus dan pembuat undang-undangnya. Pembahasan mengenai hal ini, terdapat juga pada beberapa tulisan dalam edisi ini. Suatu hal yang penting dan banyak dilupakan ketika berbicara mengenai reformasi hukum, adalah karakter dan mentalitas pelaksana hukum itu. Reformasi kelembagaan hukum akan tidak ada artinya, jika tanpa diikuti reformasi dan perubahan mentalitas pelaksana hukum. Hal ini membuat masyarakat mencemooh pelaksana atau aparat hukum sehingga rakyat trauma berurusan dengan lembaga penegak keadilan. Jargon “Mafia Peradilan” sudah menjadi populer dalam masyarakat. Dari presiden sampai rakyat dipinggir jalan, memang sepakat membasminya, tetapi semua itu hanya terbatas dalam pidato dan wacana, tidak pernah bisa tuntas. Kita sudah memulai melakukan reformasi hukum, tetapi reformasi hukum memang bukan hanya merubah dan mendirikan banyak lembaga , tetapi juga mereformasi mentalitas dan karakter pelaksana dan masyarakat. Bukankah hukum mencerminankansistem nilai budaya masyarakat. Tanpa perubahan dan tindakan yang konsisten, reformasi hukum tidak pernah menjadi kenyataan.(MM)
6
Reformasi Hukum
MENDESAIN PRESIDENSIAL YANG EFEKTIF Bukan ”Presiden Sial” Atawa ”Presiden Sialan”1 Denny Indrayana abstrak Tulisan singkat ini bertujuan akhir untuk mencari dan mengusulkan desain ketatanegaraan yang melahirkan sistem presidensial lebih efektif (effective presidential) di Indonesia. Namun, sebelum memfokuskan diri ke tataran praktik di Indonesia, bagian pertama akan memaparkan teori dan konsep dasar sistem presidensial dan bagaimana ia dijalankan di Amerika Serikat – negara pertama dan contoh paling akurat tentang hidup, serta jatuh-bangunnya, system presidensial. Bagian Kedua menceritakan pengalaman Indonesia menerapkan sistem presidensial. Akhirnya, bagian Ketiga mengusulkan desain system presidensial Indonesia masa depan.
I. SISTEM PRESIDENSIAL: SUATU PENGANTAR A. Lima Sistem Pemerintahan Presidensial hanyalah salah satu sistem pemerintahan. Sistem presidensial (presidential system) berkait erat dengan fungsi eksekutif. Sistem pemerintahan berbeda dengan bentuk pemerintahan, pun tidak sama dengan bentuk negara. Bentuk pemerintahan ada dua: republik dan kerajaan.
1
Tulisan ini pernah disampaikan dalam Pertemuan Ahli Hukum Tata Negara, ”Melanjutkan Perubahan UUD 1945 Negara RI 1945”, diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Bukit Tinggi, 11 – 13 Mei 2007; serta–sebelum diperbaharui– pernah dipresentasikan dalam Seminar Sehari,”Memperkuat Sistem Pemerintahan Presidensiil”, diselenggarakan oleh DPP Partai Demokrat, Forum Komunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi dan Friedrich Naumann Stifftung, Hotel Acasia, Jakarta, 13 Desember 2006.
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan “Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”
7
Bentuk negara terbagi tiga: kesatuan, federal dan konfederasi. Meski berbeda, system pemerintahan mempunyai korelasi kuat dengan bentuk pemerintahan. Presidensial adalah system pemerintahan dalam bentuk republik. Sedangkan pemerintahan kerajaan, sistem pemerintahannya adalah monarki. Korelasi yang serupa, tidak ada antara sistem pemerintahan dengan bentuk negara. Sistem pemerintahan presidensial terdapat di bentuk negara kesatuan, federal ataupun konfederasi. Selain sistem pemerintahan presidensial dan monarki, ada tiga sistem pemerintahan yang lain: sistem parlementer, sistem campuran (hibrid) dan sistem kolegial (collegial system). Sistem parlementer diantaranya dilaksanakan di Inggris, Australia dan Malaysia. Kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang perdana menteri. Perdana Menteri diangkat dari partai atau koalisi partai yang menguasai suara mayoritas di parlemen. Sedangkan kepala negara tidak dilaksanakan oleh perdana menteri. Di Inggris di pegang oleh Ratu; di Malaysia oleh Yang Di Pertuan Agung; di Australia oleh Gubernur Jenderal, yang masih di bawah pengaruh Ratu Inggris. Perdana menteri dengan dewan menteri atau kabinetnya bertanggungjawab kepada parlemen, dan dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya. Sedangkan raja (ratu atau sultan) selaku kepala negara tidak dapat diganggu gugat (the king can do no wrong). Berdasarkan system pertanggungjawaban demikian maka perdana menteri dan kabinetnya diklasifikasikan sebagai eksekutif sesungguhnya (real executive), di sisi lain, kepala negara hanya merupakan pimpinan simbolik (nominal executive)2. Sebagai pemimpin simbolik raja lebih banyak melaksanakan kerjakerja seremonial. Berbeda dengan sistem pemerintahan presidensial yang hanya diterapkan dalam bentuk negara republik, sistem parlementer bentuk pemerintahannya dapat dilaksanakan pada bentuk negara republik maupun kerajaan.3 Sistem campuran (hibrid) pertama kali dikembangkan oleh Perancis pada masa republik kelima, dimulai tahun 1958. Karenanya disebut pula sebagai sistem Perancis (French system) di samping sistem semipresidensial (semi-presidential system). Sistem ini menggabungkan beberapa elemen sistem pemerintahan presidensial dan parlementer. Peran kepala negara dijalankan oleh presiden, sedangkan kepala pemerintahan 2 3
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan (1999) hal. 17. Ibid.
8
Reformasi Hukum
dilakukan oleh perdana menteri. Meski selaku kepala negara, presiden tidak hanya menjalankan tugas-tugas seremonial yang simbolik. Hal itu karena presiden dipilih dan bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung. Berbeda dengan kepala pemerintahan, yang selain bertanggung jawab kepada presiden, pun bertanggung jawab kepada parlemen. Ketika partai sang presiden menguasai kursi mayoritas di National Assembly maka Presiden leluasa bekerjasama dengan parlemen dan perdana menteri. Sebaliknya, jika National Assembly dikuasai oleh lawan politik presiden, maka ia akan termarginalisasi. Meski perdana menteri dipilih oleh presiden, sang presiden tetap harus mematuhi aturan parlemen untuk memilih pemimpin partai mayoritas di parlemen. Jika presiden dan perdana menteri tidak dalam satu aliansi politik maka terjadilah cohabitation,4 hal tersebut terjadi di tahun 1985, ketika Presiden Chirac (Partai Sosialis) dipaksa memberikan lebih banyak kewenangan kepada Perdana Menteri Miterrand (Partai Gaullist).5 Sistem campuran yang awalnya dikembangkan oleh Charles de Gaulle ini telah diadopsi antara lain oleh Finlandia, Rusia dan Sri Lanka.6 Sistem kolegial diterapkan di Swiss. Jabatan kepala negara dipegang bersama-sama oleh tujuh orang Dewan Federal Swiss. Presiden dipilih dari Dewan Federal oleh Parlemen Swiss (Federal Assembly). Masa jabatan presiden adalah satu tahun yang dipilih secara bergantian di antara ke tujuh anggota Dewan Federal. Pergantian presiden dilakukan setiap awal tahun baru.7 Meski secara domestik, kepala Negara dijabat secara bersama oleh tujuh anggota Dewan Federal, secara internasional presiden terpilih diakui sebagai kepala negara, dan karenanya menerima surat-surat kepercayaan (Letters of Credence) dari duta besar negara sahabat.8 Sistem monarki meletakkan fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan kepada sang raja. Salah satu ciri khas sistem monarki adalah jabatan raja diwariskan secara turun temurun. Contoh negara yang masih 4
Ensiklopedi Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/President diakses pada 27 November 2006. 5 Alan R. Ball dan B. Guy Peters, Modern Politics and Government (6th edition, 2000) hal. 201, 216. 6 Ensiklopedi Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/President diakses pada 27 November 2006. 7 Jimly Asshiddiqie, Presidensialisme Versus Parlementarisme dalam Gerak Politik yang Tertawan: Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan (2002) hal. 42 – 43. 8 Ensiklopedi Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/President diakses pada 27 November 2006.
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan “Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”
9
menerapkan sistem ini adalah Brunei Darussalam dan Saudi Arabia. Sistem Presidensial meletakkan presiden tidak hanya sebagai pusat kekuasaan eksekutif tetapi juga pusat kekuasaan negara. Artinya, presiden tidak hanya kepala pemerintahan (chief of executive) tetapi juga kepala negara (chief of state). Itulah sebabnya rentang kekuasaan presiden tidak hanya menyentuh wilayah eksekutif, tetapi juga sedikit-banyak merambah pada proses legislasi serta kewenangan di bidang yudikatif.9 B. Sejarah Sistem Presidensial Jabatan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan pertama kali muncul di Amerika Serikat pada abad ke-18. Pasal II ayat 1 Konstitusi Amerika Serikat mengatur, ”The executive power shall be vested in a President of the United States of America.”10 Proses lahirnya presiden di Amerika Serikat cukup berliku. Hasrat untuk membentuk negara kerajaan – bukan republik – tetap mempunyai pendukung berani mati. Setahun sebelum konstitusi disetujui, John Jay mengirim surat kepada George Washington, mempertanyakan apakah tidak sebaiknya Amerika Serikat berbentuk kerajaan.11 Alexander Hamilton, meski tidak mendapatkan dukungan berarti, dengan lantang berargumen, sistem kerajaan Inggris adalah yang terbaik di dunia. Baginya, tidak akan ada pemerintahan yang baik tanpa eksekutif yang baik. Serta, eksekutif yang baik tidak akan pernah lahir dari negara republik.12 Pada akhirnya, setelah melalui perdebatan yang panjang, serta rumit-berbelit, bentuk negara republik disetujui, system presidensial diadopsi. George Washington dipilih secara bulat menjadi presiden pertama Amerika Serikat (1789 – 1797).13 Meski memilih presiden dan menolak raja, para perancang konstitusi Amerika Serikat memutuskan bahwa sang presiden harus mempunyai kekuatan yang memadai untuk menyelesaikan rumitnya masalah bangsa.14 Maka dirancanglah konstitusi yang memberikan kekuasaan besar kepada presiden, namun dengan tetap menutup potensi hadirnya pemimpin sejenis raja yang tiran.15 9
Bagian G tentang tugas dan wewenang presiden akan lebih menjelaskan tentang kekuasaan presiden. 10 Harun Alrasid, Pengisian Jabatan Presiden (1999) hal. 10. 11 Louis W. Koenig, The Chief Executive (1964) hal.16. 12 Ibid 20. 13 Ibid 19. 14 Jack Bell, The Presidency: Office of Power (1967) hal. 8. 15 Koenig, n 12, hal.19.
10
Reformasi Hukum
Di Eropa, presiden pertama kali muncul di Perancis.16 Meski bentuk negara republik berawal di tahun 1792, jabatan presiden baru muncul di era republik kedua (1848 – 1851), dengan Louis Napoleon sebagai presiden. Sempat menghilang di era Kaisar Napoleon III (1852 – 1870), jabatan presiden kembali muncul di masa republik ketiga (1875 – 1940). Di Jerman, jabatan presiden baru muncul setelah selesainya perang dunia I (1918), yaitu dengan berlakunya konstitusi Weimar. Sempat lenyap di era diktator Hitler (1934 – 1945), jabatan presiden kembali muncul setelah perang dunia kedua.17 Di Asia, jabatan presiden dicangkokkan oleh Amerika Serikat ketika memberikan kemerdekaan yang terbatas kepada Filipina di tahun 1935.18 Di Afrika, presiden Liberia yang hadir pada tahun 1848 adalah presiden pertama yang diakui dunia internasional.19 C. Sistem Presidensial dan Parlementer Sistem presidensial mempunyai pesaing utama dan sering diperhadapkan dengan system parlementer. Karena itu, perlu dipahami secara benar perbedaan di antara keduanya. Karakteristik sistem parlementer adalah: 1.Ada kepala negara yang perannya hanya simbolik dan seremonial, mempunyai pengaruh politik (political influence) yang amat terbatas. Kepala negara mungkin seorang presiden sebagaimana di Jerman, India dan Itali; meski di Jepang adalah kaisar atau ratu di Inggris. 2.Cabang kekuasaan eksekutif dipimpin seorang perdana menteri atau kanselir, yang bersamasama dengan kabinet, adalah bagian dari parlemen, dipilih oleh parlemen dan setiap saat dapat diberhentikan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya. 3.Parlemen dipilih melalui pemilu yang waktunya bervariasi, ditentukan oleh kepala negara berdasarkan masukan dari perdana menteri atau kanselir.20 Di antara negara-negara yang menerapkan sistem parlementer, masih 16
Ensiklopedi Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/President diakses pada 27 November 2006. 17 Alrasid, n 11, hal. 11. 18 Ibid. 19 Ensiklopedi Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/President diakses pada 27 November 2006. 20 Ball dan Peters, n 6, hal. 62.
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan “Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”
11
terdapat perbedaanperbedaan mendasar. Ketaksamaan tersebut dipengaruhi beberapa faktor: (1) perbedaan jenis parlemen, apakah unikameral atau bikameral, termasuk perbedaan sistem pemilihan anggota kamar kedua (second chamber); (2) perbedaan kekuatan eksekutif untuk membubarkan parlemen dan mempercepat pemilu, serta sebaliknya perbedaan kekuatan parlemen untuk memberhentikan perdana menteri; (3) perbedaan adanya kewenangan judicial review. Di Inggris kewenangan demikian tiada karena kedaulatan parlemen yang supreme; dan (4) perbedaan jumlah dan tipe partai politik.21 Ciri sistem presidensial adalah: 1.Presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan. 2.Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi langsung dipilih oleh rakyat (popular elected). 3.Presiden bukan bagian dari parlemen, dan tidak dapat diberhentikan oleh parlemen, kecuali melalui proses pemakzulan (impeachment). 4.Presiden tidak dapat membubarkan parlemen.22 Representasi paling akurat dari sistem presidensial adalah pemerintahan di Amerika Serikat. Negara lain di wilayah Amerika tengah dan selatan, kebanyakan hanya menduplikasi system pemerintahan negeri Paman Sam tersebut.23 Tentu, sebagaimana adanya perbedaan dalam detail penerapan sistem parlementer, rincian aplikasi sistem presidensial pun berbeda-beda. Di Filipina misalnya, kongres berwenang mengkonfirmasi kandidat wakil presiden, yang dinominasikan presiden, yaitu ketika terjadi terjadi kekosongan posisi wakil di tengah masa jabatan kepresidenan. Lebih jauh, kandidat wakil presiden harus anggota kongres.24 Di Amerika Serikat, senat berwenang mengkonfirmasi seluruh ”political appointment” presiden. Kewenangan konstitusional senat untuk memberi ”advise and consent” dalam pengangkatan hakim agung, misalnya, membuka kesempatan bagi parlemen untuk mempengaruhi kebijakan yudisial pada level federal.25 21
Ibid. Ibid 63. 23 Ibid. 24 Di Indonesia MPR juga berwenang memilih wakil presiden dari dua calon yang diajukan presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil presiden. Tetapi, tidak ada keharusan calon wakil presiden berasal dari parlemen, sebagaimana yang disyaratkan di Filipina 25 Ball dan Peters, n 6, hal. 177. 22
12
Reformasi Hukum
Presiden Amerika Serikat dipilih untuk masa jabatan empat tahun, dan dibatasi hanya untuk maksimal dua periode masa jabatan, sesuai Amandemen Ke-22 Konstitusi Amerika Serikat. Sang presiden dipilih langsung oleh rakyat (melalui Electoral College), tidak oleh kongres, dan karenanya tidak bertanggung jawab kepada kongres. Meskipun kongres dapat mengontrol arus keuangan negara, menganulir hak veto presiden dan menginvestigasi kebijakan presiden; kekuatan kantor kepresidenan tetap signifikan, tetap masih jauh dari konsep Jeffersonian yang memposisikan presiden sebagai pelayan keinginan kongres.26 E. Wakil Presiden The Executive Branch of the government of the United States has but two elected members: the President and the Vice-President. Only the former matters for what it is, the latter merely for what he might become. 27 Di Amerika Serikat, pertumbuhan pemerintahan yang pesat di abad ke-20 tidak membawa perubahan signifikan pada eksistensi dan fungsi wakil presiden. Setiap wakil presiden tidak mempunyai peran penting selain menunggu presiden wafat, atau berharap, magangnya sebagai wakil presiden berujung pada promosi menjadi presiden.28 Meski pada akhirnya tidak mempunyai kewenangan konstitusional yang signifikan, seleksi calon wakil presiden tetap dipandang strategis. Calon wakil presiden dipilih berdasarkan faktor-faktor yang dapat saling melengkapi dengan kandidat presiden. Contohnya, dengan memilih calon wakil presiden Walter Mondale, Jimmy Carter mempertimbangkan pasangan yang berasal dari utara, liberal dan senator partai demokrat yang terkenal. Faktor-faktor yang tidak dimiliki oleh Jimmy Carter sebagai kandidat presiden.29 Jimly Asshiddqie mendeskripsikan posisi seorang wakil presiden terhadap presiden adalah sebagai berikut: Pertama, wakil presiden merupakan pengganti atau ban serep (reserved power) presiden. Wakil presiden dapat bertindak untuk jangka waktu sementara atau dapat pula bertindak untuk seterusnya sampai masa jabatan presiden habis. Kedua, 26
Ibid 202. Nigel Bowles, Government and Politics of the United States (1998) hal. 98. 28 Ibid. 29 Ibid 106. Bagian tentang wakil presiden ini masih belum lengkap dan akan terus direvisi sesuai dengan makin banyaknya penulis membaca referensi tentang wakil presiden, yang jumlahnya masih amat terbatas. 27
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan “Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”
13
wakil presiden mewakili presiden dalam melaksanakan tugas-tugas kepresidenan tertentu yang didelegasikan kepadanya oleh presiden. Dalam hal demikian, wakil presiden bertindak sebagai petugas negara yang menjalankan tugas kepresidenan (on behalf of president). Artinya, kualitas tindakan wakil presiden sama dengan kualitas tindakan presiden itu sendiri. Ketiga, wakil presiden juga dapat bertindak membantu presiden melaksanakan seluruh tugas dan kewajiban presiden. Kualitas bantuan wakil presiden itu jelas berbeda tingkatannya dengan bantuan yang diberikan oleh para menteri yang juga disebut sebagai pembantu presiden.30 F. Presiden dan Lembaga Kepresidenan Presiden berbeda dengan lembaga kepresidenan. Presiden berhubungan dengan pemangku jabatan (personal, president, ambstrager). Sedangkan Lembaga Kepresidenan berkait dengan lingkungan jabatan (institusional, presidency, ambt).31Presiden berasal dari bahasan latin praesidens, praesidere yang berarti memimpin, bukan raja (monarch).32 Kata latin presidere berasal dari kata prae yang maknanya di depan, dan sedere yang artinya duduk.33 Berbeda dengan jabatan legislatif dan yudikatif yang ”multiple membership”, jabatan presiden merupakan jabatan tunggal, posisi ”a club of one” yang hanya diisi oleh satu orang pemangku jabatan.34 Tidak mengherankan karenanya, seorang presiden akan menikmati legitimasi pemilu yang sangat kokoh, menjadikannya national figur yang amat berpengaruh.36 Mengenai strategisnya pemangku jabatan tunggal tunggal tersebut, Nigel Bowles: A President’s greatest political asset is that the executive power in the United States is not collective but singular … A member of Congress is one of a body 435, a Senator of a hundred, a Governor of fifty, a President of one.36
Salah satu faktor yang menentukan dalam kesuksesan seorang presiden adalah dukungan administrasi kantor kepresidenan. Di Amerika Serikat, kantor Kepresidenan secara resmi dibentuk berdasarkan Reorganization Act tahun 1933, yang kemudian direvisi di tahun 1939.37 30
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (2005). Manan, n 3, hal. 1 – 2. 32 Ibid 4. 33 Alrasid, n 11, hal. 10. 34 3Alrasid, n 11, hal. 12; Bowles, n 28, hal. 98. 35 Bowles, n 28, hal. 98. 36 Ibid 111 37 38 Ibid 115 – 117. 31
14
Reformasi Hukum
Sejak pembentukannya di tahun 1939 Kantor Kepresidenan tumbuh sangat pesat. Di masa Presiden George Bush, kantor ini mempekerjakan sekitar 1500 orang. Angka sebenarnya lebih dari itu, karena beberapa pekerja diletakkan di bawah administrasi dan dibayar oleh kantor lain, bukan kantor kepresidenan.38 White House merupakan bagian dari kantor kepresidenan (executive of the president) (lihat table di bawah).39 White House membantu relasi internal kepresidenan, relasi eksternal dengan kongres, relasi eksternal dengan media massa, memberi nasihat kebijakan, hingga membuat naskah pidato presiden.40 Namun, staf di Gedung Putih tidak jarang mempunyai kekuasaan riil yang lebih besar dibandingkan menteri sekalipun. Harry McPherson, mantan staf senior Gedung Putih paling berpengaruh berpendapat posisi penasihat Gedung Putih hampir berkebalikan dengan wakil presiden. Penasihat di Gedung Putih mempunyai kekuasaan strategis yang kapan saja mungkin tiba-tiba lenyap; sebaliknya wakil presiden meski powerless, tetapi berkesempatan untuk menggantikan posisi presiden, dan karenanya menguasai kekuasaan yang luar biasa besar. The Executive Office of the President Representative Office of National Drug Control Policy (NDCP)
Council on Environmental Quality (CEQ)
White House Office (WHO)
The President
National Security Council (NSC) Office of Policy Development (OPD)-comprising the Domestic Policy Council (DPC), and the National Economic Council (NEC) Council of E c o n o m i c Advisers (CEA) 38
Ibid 117. Tabel diambil dari Bowles, n 28, hal. 119. 40 Ball dan Peters, n 6, hal. 212 – 213. 39
Office of Science and Technologi Policy (OSTP)
Office of Administration (OA)
Office of Management and Budge (OMB)
Office of the United States Trade Representative (USTR)
Office of the Vi c e - P r e s i d e n t (V-P)
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan “Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”
15
Meskipun secara formal merupakan bagian dari Executive of the President, White House Office secara factual berdiri terpisah dari struktur Kantor Kepresidenan. Tidak sebagaimana keanggotaan staff kepresidenan lain yang diatur dengan peraturan perundangan, staff gedung putih – sekitar 400 orang – ditentukan langsung oleh presiden, tanpa ada campur tangan Kongres. Orang-orang gedung putih adalah ”the President’s most intimate advisers”. 41 Di Amerika Serikat, presiden cenderung semakin bebas menentukan personil kabinet dan penasihat kepresidenan – bebas dari tekanan politik. Dikalkulasi, pada kurun waktu 1861 – 1896, 37% menteri kabinet berasal dari kongres. Persentase tersebut menurun menjadi hanya 15% di tahun 1941 – 1963. Mayoritas anggota kabinet berasal dari universitas, pengusaha dan ahli hukum.42 Pengalaman Amerika Serikat, pembentukan kabinet mempunyai lima fungsi strategis: (1) membalas jasa pendukung utama presiden; (2) membangun dukungan dari kelompok yang sebelumnya tidak mendukung, atau bahkan mantan lawan politik; (3) membangun dukungan dari kongres; (4) memperkuat jejaring dukungan dari kelompok kunci (key racial groups). Semua presiden masa Amerika Serikat modern mengangkat minimal satu orang menteri dari African american dan perempuan; dan (5) mengkonsolidasi lingkaran dalam tim kepresidenan.43 G. Tugas dan Wewenang Presiden mempunyai beberapa fungsi strategis. Berdasarkan Konstitusi Amerika Serikat, presiden menguasai tujuh peran: kepala negara (chief of state); kepala pemerintahan (chief of executive); panglima tertinggi angkatan bersenjata (comander-in-chief of the armed forces); pemimpin diplomasi (chief diplomat); pemimpin pembuat peraturan perundangan (chief legislator); chief magistrate for enforcement of laws; dan dispenser of pardons.4445 Merangkum Konstitusi Amerika Serikat, Nigel Bowles merumuskan:45
41
Bowles, n 28, hal. 119. Ball dan Peters, n 6, hal. 202. 43 Bowles, n 28, hal. 114 – 115. 44 Bell, n 15, hal. 10. 45 Bowles, n 28, hal. 100. 42
16
Reformasi Hukum
The Office of the Presidency: Article II of the Constitution • The executive power of the Federal Government is vested in the President. • The President has the power to appoint ambassadors, members of the Cabinet, Justices of the Supreme Court and Judges of Lower Federal Courts, with the advice and consent of the Senate. • The President may recommend to the Congress such legislative measures as he deems appropriate, and subject two-thirds of both Houses of Congress overriding his decision, veto bills emerging from Congress. • The President has the power to make treaties with foreign nations, with the advice and consent of two-thirds of the Senate. • The President is Commander-in-Chief of the armed forces of the United States. • The President may require the opinion in writing of the principal officer of each of the Executive Departments. • The President has the power to grant reprieves and pardons, save in the cases of impeachment.
Dengan kekuasaan yang sedemikian strategis, tidak mengherankan jika kantor kepresidenan adalah kantor yang paling menggoda di seluruh Amerika Serikat.4647 Beberapa kewenangan konstitusional di atas adalah eksklusif milik presiden. Misalnya pemberian ampunan hukum hanya dipunyai sang presiden Amerika Serikat. Berbeda dengan proses legislasi, meski didominasi legislatif, namun eksekutif tetap terlibat melalui hak veto.47 Salah satu kekuatan utama presiden adalah kewenangannya untuk mengangkat dan memberhentikan (appointment and removal) pejabat eksekutif. Jika kewenangan mengangkat dan memberhentikan itu mutlak dimonopoli oleh presiden, itulah yang disebut dengan hak prerogatif presiden. Hak prerogatif presiden terwujud nyata dalam penyusunan kabinet. Pengangkatan dan pemberhentian menteri adalah hak prerogatif presiden sebagai kepala pemerintahan. Kekuatan presiden untuk mengangkat dan memberhentikan personil pemerintahan adalah senjata utama presiden untuk menjaga soliditas tim kepresidenannya.48 Salah satu fungsi rekrutmen presiden menyangkut hakim agung. Presiden menominasikan hakim agung dengan persetujuan senat. Jabatan 46
Ibid Ibid 48 Clinton Rossiter, The American Presidency (1960) hal. 6 – 7. 47
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan “Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”
17
hakim agung adalah untuk seumur hidup. Latar belakang calon sangat mempengaruhi terpilihnya seorang hakim agung. Data hingga awal 1990an menunjukkan bahwa 88% hakim berasal dari kelas menengah ke atas. Seluruh proses rekrutmen hakim agung melibatkan pertimbangan politik. Di tahun 1969 dan 1970, Presiden Nixon gagal menominasikan dua hakim agung, yang merupakan kegagalan kedua dan ketiga pada abad ke-20. Kala itu Haynesworth dan Carswell ditolak senat karena alasan incompetence, meski alasan sebenarnya adalah alasan etnis. Di tahun 1988, calon hakim agung Bork, nominasi yang diajukan Presiden Reagan, ditolak oleh senat karena pandangannya yang konservatif, khususnya dalam hal aborsi. George Bush akhirnya berhasil menggolkan Thomas, seorang yang merupakan african american, setelah bertarung panjang dan melelahkan dengan senat.51 PengalamanAmerika tersebut menunjukkan bahwa jabatan seumur hidup bagi hakim agung tidak memberikan jaminan pasti independensi kekuasaan kehakiman.50 Presiden mempunyai kewenangan konstitusional untuk memveto suatu proses legislasi. Hak veto tersebut juga berlaku untuk proses legislasi yang dilakukan komisi eksekutif dan komisi independen. Hak veto Presiden bukan berarti ia melakukan intervensi. Veto adalah bentuk checks and balances yang melekat pada presiden atas kewenangan legislasi cabang kekuasaan yang lain.51 H. Pemakzulan Presiden Dalam dunia hukum tata negara ada dua konsep pemecatan presiden: impeachment dan forum prevelegiatum. Forum previlegiatum adalah konsep pemberhentian pejabat tinggi negara, termasuk presiden, melalui mekanisme peradilan khusus (special legal proceedings). Artinya, presiden yang dianggap melanggar hukum diberhentikan melalui mekanisme pengadilan yang dipercepat tanpa melalui jenjang pemeriksaan pengadilan konvensional dari tingkat bawah. Konsep ini diterapkan di Perancis yang dalam pasal 68 konstitusinya mengatur bahwa presiden dan para pejabat negara dapat dituntut untuk diberhentikan di dalam forum pengadilan Mahkamah Agung Perancis karena pengkhianatan kepada negara, melakukan kejahatan kriminal dan tindakan tidak pantas lainnya.
49
Ball dan Peters, n 6, hal. 251 – 252. Ibid 252 51 Oliver A. Houck, President X and the New (Approved) Decisionmaking, The American University Law Review (36:1987) hal. 556. 50
18
Reformasi Hukum
Sedangkan konsep impeachment lahir di zaman Mesir kuno dengan istilah iesangelia, yang pada abad ke-17 diadopsi pemerintahan Inggris dan dimasukkan ke dalam konstitusi Amerika Serikat di akhir abad ke-18. Perlu dicatat bahwa konsep impeachment dalam sistem ketatanegaraan Amerika Serikat adalah mekanisme pemberhentian para pejabat negara – termasuk para hakim federal karena melanggar pasal-pasal impeachment, yaitu: penghianatan terhadap negara, penyuapan, kejahatan tingkat tinggi lainnya dan perbuatan tercela (treason, bribery, or other high crimes and misdemeanors).52 Pemakzulan (impeachment) presiden adalah proses pemberhentian yang dilakukan oleh parlemen. Secara tekstual, impeachment berarti dakwaan atau tuntutan.53 Hingga awal tahun 2000 diidentifikasi 93 negara yang konstitusinya secara eksplisit mengadopsi konsep impeachment bagi presiden. Meski demikian, hingga akhir 2002, baru tercatat 12 negara yang pernah mencoba memakzulkan presidennya, serta hanya Amerika Serikat yang pernah lebih dari satu kali melaksanakan proses impeachment dalam kurun waktu dua abad terakhir.54 Pemakzulan presiden jelas bukan perkara biasa, ia adalah ”political earthquake” dan ”extraordinary political event”.55 Yang terkena dampak buruk dari proses pemakzulan tidak hanya presiden yang menjadi terdakwa, namun juga pejabat negara lain yang terkait. Misalnya, akibat proses pemakzulan Presiden William Clinton, juru bicara House Newt Gingrich dan Bob Livingstone jatuh dari kursi kekuasaannya.56 Menurut Konstitusi Amerika Serikat, House of Representatives memiliki “the sole power of impeachment”, yaitu kewenangan untuk mendakwa presiden dengan pasal-pasal pemakzulan. Dakwaan yang dimulai dengan voting mayoritas sederhana dari anggota House dilanjutkan dengan persidangan di Senate yang memeriksa dakwaan dan memutuskan berdasarkan buktibukti yang dihadirkan. Setiap pasal yang didakwakan, diperiksa satu-persatu. Akhirnya, persetujuan dua pertiga dari senator yang hadir disyaratkan untuk memakzulkan presiden.57 Dua tahap pemakzulan di House dan Senate tersebut, diadopsi dari model 52
Charles L. Black, Jr., Impeachment: A Handbook (1974) hal. 2. Ibid 54 Jody C. Baumgartner dan Naoko Kada, Checking Executive Power: Presidential Impeachment in Comparative Perspective (2003) hal. 1. 55 Ibid 56 Ibid 57 Black, Jr., n 53, hal. 5 – 6. 53
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan “Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”
19
impeachment di Inggris yang melibatkan House of Commons dan House of Lords.58 Proses Pemakzulan di House. Meski konstitusi tidak mensyaratkan, House menugaskan Komisi Hukumnya untuk menyelidiki dan membuat laporan atas dugaan pemakzulan, termasuk pemakzulan kepada presiden. Dalam sejarahnya, hanya ada satu kasus dimana impeachment diputuskan House tanpa rekomendasi dari Komisi Hukum.59 Komisi Hukum memeriksa bukti-bukti berkait dengan dugaan pelanggaran pasal-pasal pemakzulan (impeachment articles). Jika ditemukan bukti-bukti kuat, Komisi Hukum melaporkan temuannya kepada House dengan rekomendasi pasal pemakzulan yang digunakan untuk menjerat pelaku pelanggaran. Rekomendasi Komisi dapat saja dirubah oleh House, biasanya dengan mengurangi pasal yang menjadi dasar pemakzulan; tetapi tidak dengan menambah dakwaan pasal baru. Karena, menambah dakwaan baru, tanpa rekomendasi Komisi Hukum, akan dilihat sebagai kelemahan pada tahap persidangan di Senate.60 Di House tidak lagi diadakan pemeriksaan barang bukti, melainkan hanya pengambilan keputusan atas dakwaan pasal-pasal yang direkomendasikan oleh Komisi Hukum. Pengambilan keputusan dilakukan atas semua pasal dakwaan secara bersamaan, ataupun secara terpisah, satu-persatu.61 Alternatif proses lainnya, pada tahap awal, Komisi Hukum hanya merekomendasikan dakwaan pemakzulan secara umum, tanpa pasal dakwaan yang spesifik. House kemudian mengambil keputusan dari rekomendasi umum tersebut. Jika diputuskan untuk meneruskan proses pemakzulan, maka Komisi Hukum ditugaskan untuk mempersiapkan rancangan impeachment lengkap dengan pasal yang didakwakan. Pasal dakwaan tersebut kembali diputuskan melalui pemungutan suara di House. Kuorum pungutan suara pemakzulan adalah disetujui oleh mayoritas sederhana dari anggota House yang hadir. Berkait dengan kehadiran, dalam hal pemakzulan presiden, anggota House amat jarang untuk membolos, karena akan sulit mempertanggungjawabkannya kepada konstituen. Pemungutan suara menghindari keadaan ”a close vote along party lines”, yaitu hasil voting yang secara nyata membagi kubu Partai Republik dan Demokrat. Hasil voting demikian akan sulit meyakinkan Senate, apalagi 58
Ibid 6 Ibid 60 Ibid 7-8 61 Ibid 8 59
20
Reformasi Hukum
masyarakat, karena kepentingan politik partai akan dianggap mengkontaminasi dakwaan pemakzulan.62 Dakwaan pemakzulan yang disetujui House, dalam format Bill of Impeachment, dikirim ke Senate untuk disidangkan dan dijatuhkan vonisnya.63 Tugas House selanjutnya adalah menentukan ”Jaksa” yang mempersiapkan tuntutan pemecatan sang presiden pada sidang Senate. ”Jaksa” yang profesional dan berkualitas sangat penting karena, dalam persidangan impeachment, House akan berperan sebagai penuntut umum. Para Jaksa tersebut adalah anggota House – biasanya berasal dari Komisi Hukum – yang dalam menyiapkan tuntutan pemakzulan akan dibantu oleh staff ahli. Mereka dipilih melalui pemungutan suara di House, atau cukup oleh pimpinan House. Partai Republik dan Demokrat akan terwakili di dalam komposisi jaksa penuntut umum impeachment. Tentu saja, anggota House yang tidak setuju dengan Bill of Impeachment tidak akan terpilih menjadi sang ”Jaksa”.64 Proses Pemakzulan di Senate. Setelah menerima Bill of Impeachment dari House, Senate berubah fungsinya menjadi forum pengadilan. Khusus untuk pemakzulan presiden, Ketua Mahkamah Agung menjadi ketua majelis sidang. Sebelum persidangan, semua senator melafalkan sumpah khusus untuk ”do impartial justice according to the Constitution and laws.” Kehadiran Ketua Mahkamah Agung dan pelafalan sumpah tersebut menunjukkan, dalam hal pemakzulan presiden, Senate sedang memerankan tugas yang berbeda, dari fungsi rutinnya sebagai lembaga legislatif.65 Sebenarnya, sejarah perumusan konstitusi Amerika Serikat hingga tahap akhir Constitutional Convention di tahun 1787, menentukan Mahkamah Agung sebagai forum persidangan impeachment. Karenanya, ketika pada akhirnya ditentukan Senate sebagai forum impeachment, format persidangan perkara hukum amat kental. Perbedaan mendasar antara kejahatan lain dengan impeachment adalah pemeriksaannya yang tanpa melibatkan sistem juri. Selebihnya, proses persidangan diharapkan mampu memverifikasi fakta dan korelasinya dengan aturan hukum, dengan meminimalkan sifat partisan atau bias kepentingan politik. Kesimpulannya, desain Senate sebagai forum pemakzulan paling tidak diarahkan sebagai quasi-judicial. 66 62
Ibid Ibid 64 Ibid 8-9 65 Ibid 10 66 Ibid 63
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan “Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”
21
Namun desain yang ideal itu tentu sulit diaplikasikan di lapangan. Misalnya, banyak senator yang mengalami benturan kepentingan karena merupakan sahabat karib dari presiden. Dalam persidangan kasus biasa, benturan kepentingan demikian dapat menyebabkan seseorang didiskualifikasi sebagai hakim atau juri. Tetapi dalam hal impeachment sistem diskualifikasi demikian tidak dapat diterapkan, karena berpotensi melahirkan persidangan dengan jumlah senator minimal yang jauh dari memadai. Untuk keluar dari masalah demikian, tidak ada jalan lain kecuali usaha keras senator sendiri untuk bersikap profesional, independen dan imparsial.67 Di persidangan, Senate memeriksa bukti yang berkait dengan setiap dakwaan pemakzulan. ”Jaksa” dari House mempresentasikan dakwaannya. Presiden pun akan didampingi oleh penasihat hukum, layaknya persidangan kriminal biasa, meski tidak tertutup kemungkinan presiden hadir sendiri. Para pihak berhak mengajukan saksi-saksi dan menunjukkan bukti pendukung. Setiap ada masalah hukum acara, ketua Mahkamah Agung – selaku ketua majelis – akan membuat keputusan, meskipun keputusannya dapat dibatalkan oleh voting mayoritas sederhana senator yang menghadiri sidang. Setelah pemeriksaan seluruh alat bukti selesai, tahap selanjutnya adalah pemberian argumentasi dari masing-masing pihak.68 Peraturan Tata Tertib Senate mengatur, dalam pemeriksaan kasus pemakzulan, Senate dapat memilih Komisi Dua Belas (Committee of Twelve) untuk lebih fokus memeriksa pembuktian dan membuat laporan kepada seluruh anggota Senate. Komisi demikian agaknya diambil dari system juri dalam pemeriksaan kasus kriminal biasa. Namun, untuk pemakzulan presiden yang teramat penting, konsep komisi demikian akan problematik sisi konstitusionalitasnya. Konstitusi secara jelas memberikan kewenangan persidangan impeachment kepada seluruh senator dan tidak kepada dua belas orang saja.69 Setelah pemeriksaan pembuktian dan jawab-menjawab argumen selesai dilakukan, Senate melakukan pemungutan suara. Voting dilakukan terpisah untuk masing-masing pasal tuntutan impeachment. Jika tidak ada pasal impeachment yang memenuhi syarat kuorum minimal disetujui dua pertiga anggota Senate, maka keputusan demikian diumumkan dan didokumentasikan. Sebaliknya, jika ada tuntutan impeachment yang 67
Ibid 11 Ibid 12 69 Ibid 68
22
Reformasi Hukum
dianggap terbukti dan presiden dinyatakan bersalah keputusan demikian dibacakan oleh Ketua Mahkamah Agung selaku pimpinan persidangan.70 Akhirnya, perlu digarisbawahi bahwa peran senator dalam mengambil keputusan pemakzulan presiden terbatas hanya pada tuntutan yang diajukan oleh House. Senate tidak boleh memutuskan presiden bersalah atas halhal yang tidak dituntut House. Meskipun tentu, hal-hal yang terungkap dalam persidangan impeachment di Senate dapat menjadi embrio bagi dakwaan impeachment baru yang bisa diajukan oleh House.71 Berkait dengan hukuman impeachment yang dijatuhkan Senate, konstitusi mengatur bahwa terdakwa impeachment harus dimakzulkan. Meski demikian timbul pertanyaan apakah kalimat ”shall be removed” di dalam konstitusi merupakan hukuman yang wajib dilaksanakan, atau merupakan alternatif hukuman. Namun pertanyaan demikian mungkin relevan untuk kasus impeachment selain presiden. Untuk presiden yang terbukti bersalah dalam kasus impeachment, akan sulit membayangkan ia akan tetap diterima rakyatnya setelah terbukti menghianati negara, melakukan atau menerima penyuapan, terjerat kejahatan tingkat tinggi lainnya, ataupun melakukan perbuatan tercela. Setelah membahas teori-konsep presidensial di atas, kini tiba gilirannya untuk melihat penerapannya di Indonesia. II. SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA A. Presidensial, Presiden Sial dan “Presiden Sialan” Berdasarkan pengalaman Indonesia, penulis mengklasifikasikan ada tiga macam sistem pemerintahan presidensial: (1) presiden sial (minority presidential); (2) “presiden sialan” (majority presidential); dan (3) presidensial (effective presidential).72 Sistem presidensial akan menjadi pemerintahan yang efektif dan demokratis bila ditopang dua hal utama: personal presiden yang baik dan design konstitutional yang demokratik (lihat table Lampiran I). Namun keduanya tidak pernah hadir secara bersamaan di Indonesia. Yang pernah terjadi justru, adanya seorang presiden yang bermoral problematik dengan sistem konstitusi yang buruk. Atau, kalaupun presidennya relatif baik, design konstitusinya relatif buruk. Seharusnya sistem presidensial yang kokoh 70
Ibid Ibid 13-14 72 Paparan di bawah ini berasal dari Denny Indrayana, Effective Presidential, Minority Presidential, Majority Presidential, Kompas 13 Mei 2004. 71
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan “Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”
23
dijamin dalam konstitusi, dan pada saat yang bersamaan, dikontrol oleh sistem parlemen yang kritis, sebagai hasil dari sistem kepartaian sederhana. “Presiden Sialan” adalah presiden yang didukung suara mayoritas mutlak di parlemen. Pemerintahan yang terjadi adalah pemerintahan kolutif (unified government). Kekuatan politik memusat di tangan presiden, dan parlemen hanya menjadi “macan ompong”. “Presiden Sialan” lebih mungkin terjadi dalam sistem presidensial yang berpadu dengan sistem mono-partai, atau didominasi oleh satu partai. Di Indonesia, sistem “Presiden Sialan” lahir jika terjadi penggabungan antara unsur personal yang buruk moral, dengan kekuasaan konstitusional dan partisan yang tanpa kontrol, ditambah system parlemen dan kepartaian yang mandul. Itulah sistem presidensial Indonesia sebelum amandemen UUD 1945. Kekuasaan presiden di dalam konstitusi sangat kokoh. Meski tidak dipilih langsung oleh rakyat, sang presiden jauh lebih berkuasa daripada lembaga perwakilan rakyat. Partai politik direkayasa menjadi hanya tiga. Satu yang asli, dua lainnya hanya sebagai penggembira. Hasilnya, terbentuklah struktur kekuasaan yang berbentuk piramid, dengan presiden berada di puncak kekuasaan.73 Lahirlah presiden yang lebih bertingkahpolah sebagai raja yang hanya wajib disembah dan haram disanggah. Setelah masa “Presiden Sialan selesai”, Indonesia pernah hidup di bawah sistem Presiden yang Sial. Secara moral, sang presiden berjiwa demokrat. Ia amat dekat, bahkan sering bersenda gurau dengan Tuhan, apalagi rakyat. Banyak yang menyebutnya Kiai, tidak sedikit yang menganggapnya wali. Sayangnya, ia hanya presiden yang bertahan hanya dalam hitungan ‘hari’. Selanjutnya – meminjam istilah Abdul Munir Mulkhan (Kompas 18/04/2000) – ‘Kiai Sang Presiden’ mengalami ujian langsung dari Tuhan sahabatnya, dan lulus dengan predikat summa cum laude sebagai Presiden yang Sial. Kesialan sang Kiai lebih disebabkan karena empat faktor utama, yaitu: melemahnya jaminan kekuasaan di tingkat konstitusi, menguatnya kontrol parlemen, minimnya kekuasaan atau dukungan partisan, sebagai konsekuensi hadirnya sistem multi partai yang tidak sederhana. Di era pemerintahannya, Perubahan Pertama dan Kedua UUD 1945 dilakukan. Pasca amandemen ini, desain konstitusi yang muncul adalah presiden yang bagaikan macan ompong.
73
William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics (1996) hal. 17.
24
Reformasi Hukum
Presiden sial adalah presiden yang disokong suara minoritas di parlemen. Pemerintahan yang terjadi adalah pemerintahan terbelah (divided government). Kekuatan politik terpecah antara presiden dan parlemen. Presiden sial lebih mungkin terjadi jika sistem presidensial dipadukan dengan sistem multi-partai.74 Pasca sistem presiden yang sialan dan presiden yang sial, rakyat Indonesia banyak belajar. Peta perjalanan untuk menuju sistem presidensial yang efektif dan demokratis sudah mulai dibaca dengan seksama. Mengacu pada pengalaman negara-negara di Amerika Latin, resep Mainwaring coba diterapkan. Jaminan kekuasaan konstitusi (constitutional power) lebih ditingkatkan. Dukungan kekuasaan partisan (partisan power) di parlemen lebih diupayakan.75 Di tingkat konstitusi setelah amandemen keempat, Indonesia lebih menuju sistem presidensial murni.76 Perubahan Ketiga dan Keempat UUD 1945, mengadopsi bahwa presiden dan wakil presiden akan dipilih langsung oleh rakyat dan sistem pemakzulan presiden dijadikan jauh lebih sulit. Namun, untuk lebih menguatkan kemurnian itu, hak veto presiden dalam legislasi seharusnya diberikan. Peluang majunya calon presiden independen juga harus mendapat tempat di konstitusi. Untuk dua hal ini, hasil kajian Komisi Konstitusi yang baru saja diserahkan ke MPR menjadi penting untuk dipertimbangkan. B. Presidensial di Era Yudhoyono
77
Bagaimana dengan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono? Beberapa kalangan berpendapat bahwa Yudhoyono akan menjadi presiden sial. Penulis berbeda pendapat. Personality Yudhoyono, aturan konstitusi dan arah koalisi akan menyebabkan Yudhoyono dapat bertahan sebagai presiden mulai 2004 hingga 2009. Secara formal, memang Yudhoyono adalah presiden sial. Modal awal Yudhoyono hanya 55 kursi Partai Demokrat, 10 persen kursi di DPR, lebih sedikit daripada persentase kursi PKB yang mendukung presiden sial Wahid. Namun, pribadi Yudhoyono berbeda dengan Wahid. Yudhoyono cenderung lebih akomodatif, sikap politik yang mau-tidak-mau diperlukan 74
Scott Mainwaring dan Matthew S. Shugart, Presidentialism and Democracy in Latin America (1990). 75 Ibid. 76 Andrew Ellis, ‘The Indonesian Constitutional Transition: Conservatism or Fundamental Change’ (2002) 6, Singapore Journal of International and Comparative Law. 77 Paparan ini berasal dari Denny Indrayana, Presidensial di Indonesia, Tempo No. 34/ XXXIV/18 - 24 Oktober 2004.
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan “Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”
25
oleh seorang presiden minoritas. Wahid cenderung lebih destruktif, sikap politik yang justru membuatnya semakin miskin sokongan di parlemen. Aturan konstitusi juga berpihak kepada Yudhoyono dibandingkan Wahid. Sepanjang pemerintahan Wahid, konflik antara presiden dan parlemen tidak mempunyai saluran penyelesaian konstitusional. Yang terjadi akhirnya adalah pertandingan tak berujung, tanpa wasit yang imparsial. Jika kemudian MPR memakzulkan Wahid, hal itu tidak lain karena MPR sendiri merupakan unsure parlemen yang ikut bermain dalam pertandingan presiden versus parlemen. Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945, bila terjadi konflik kewenangan antara presiden dengan parlemen, Mahkamah Konstitusi adalah hakim yang menentukan kebenaran konstitusional. Lebih jauh, berdasar konstitusi, Yudhoyono akan lebih sulit dimakzulkan dibandingkan Wahid. Pasca Perubahan Ketiga UUD 1945, alasan impeachment lebih yuridis ketimbang politis. Selain parlemen (DPR dan MPR), konfirmasi dari Mahkamah Konstitusi, bahwa presiden memang dapat dimakzulkan, merupakan syarat konstitusional yang harus dipenuhi dalam proses pemakzulan. Prosedur yang lebih rumit ini menyebabkan pemakzulan presiden akan lebih sulit di masa depan. Arah koalisi partai politik juga berpihak pada Yudhoyono. Kecerdasan pemilih yang memberikan mandat terpisah (ticket splitting), dengan memilih partai tertentu di pemilu legislatif, tetapi memilih calon presiden dari partai lain di pemilu eksekutif, menyebabkan konfigurasi politik presiden dan parlemen mengarah kepada dua kubu yang berbeda. Perlu diingat, sistem presidensial yang bersatu dengan sistem dua partailah yang mendorong hadirnya presidensial yang efektif (effective presidential) di Amerika Serikat. Hasilnya, relatif belum pernah ada presiden Amerika Serikat yang menjadi presiden sial karena dimakzulkan, ataupun menjadi presiden sialan. Padahal, menurut Giovanni Sartori, dalam rentang waktu sejak 1950-an sistem presidensial Amerika Serikat juga didominasi oleh fenomena pemerintahan terbelah. Bahkan dalam rentang waktu 24 tahun, sejak tahun 1969 hingga 1992, pemerintahan terbelah terjadi dalam kurun masa 20 tahun. Dalam tahun 1968 hingga 1992, Partai Republik selalu menduduki Gedung Putih kecuali masa 4 tahun di bawah Presiden Jimmy Carter. Sebaliknya, Partai Demokrat selalu mendominasi komposisi kursi di Kongres. Meski demikian, sistem dua partailah yang menyebabkan mekanisme saling kontrol dapat tetap berjalan antara presiden dan parlemen.78
26
Reformasi Hukum
Yudhoyono dapat menjadi pelopor bagi tidak sialnya (lagi) presiden sial Indonesia. Salah satunya dengan terus meneguhkan kekuatan sistem presidensial dalam penyusunan kabinet dan pengolahan adonan politik koalisi. 1. Presiden Yudhoyono, Kabinet dan Koalisi Dengan kabinet pelangi, logikanya setiap kebijakan pemerintah akan mendapat dukungan parlemen. Nyatanya tidak. Karena itu, lebih baik ada koalisi terbatas dan oposisi yang kuat dibandingkan mengakomodasi semua dalam kabinet pelangi. (Susilo Bambang Yudhoyono: 2004) Dalam sistem presidensial, penyusunan kabinet adalah hak prerogatif presiden. Namun, teori dan praktek seringkali berbeda jalan. Faktanya, kabinet tidak hanya bersandar pada hak prerogatif, namun juga tergantung pada kompromi dan akomodasi politik. Justru masalah kompromi inilah yang lebih dominan mewarnai penyusunan kabinet. Dominasi tersebut semakin terang-benderang apabila sistem presidensial berdiri di atas sistem multi partai. Dalam kondisi demikian, sering terjadi presiden terpilih tidak menguasai mayoritas suara di parlemen. Hadirlah presiden minoritas, lahirlah pemerintahan terbelah. Yaitu pemerintahan yang agenda politik eksekutifnya berseberangan jalan dengan mayoritas aspirasi politik di legislatif. Perbedaan yang parah antara presiden dan parlemen dapat berujung pada pemakzulan (impeachment) presiden. Perbedaan yang biasa-biasa saja sering menghambat agenda-agenda kerja presiden. Untuk mengantisipasi kesulitan itulah presiden membeli dukungan parlemen dengan menjual kursi di kabinet. Inilah ciri sistem parlementer yang diadopsi oleh system presidensial dengan multi partai. Muncullah koalisi pemerintahan, ciri utama sistem parlementer. Untuk menciptakan keseimbangan, seharusnya kelahiran koalisi itu diikuti dengan hadirnya oposisi. Namun, keinginan untuk menduduki kursi menteri, menyebabkan posisi koalisi lebih bergengsi dibandingkan oposisi. Koalisi pemerintahan dapat dibagi tiga: koalisi pas-terbatas (minimal winning coalition), koalisi kekecilan (undersized coalition) dan koalisi kebesaran (oversized coalition).79 Koalisi pas-terbatas adalah koalisi yang mendapatkan dukungan mayoritas sederhana di parlemen. Jumlah partai 78 79
Giovanni Sartori, Comparative Constitutiona Engineering (1997) hal. 87 – 88. Arendt Lijphart, Pattern of Democracy (1999).
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan “Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”
27
yang berkoalisi dibatasi hanya untuk mencapai dukungan mayoritas sederhana. Koalisi kekecilan adalah koalisi yang tidak mendapatkan dukungan mayoritas sederhana di parlemen. Sebaliknya, koalisi kebesaran adalah potret pemerintahan yang nyaris mengikutsertakan semua partai ke dalam kabinetnya. Koalisi pemerintahan yang kekecilan memunculkan presiden yang sial, dan sering dimakzulkan. Sebaliknya, koalisi kebesaran telah menghasilkan pemerintahan yang terlalu gemuk dan sulit disatu-padukan. Karenanya, untuk menuju pemerintahan yang efektif, bentuk aliansi politik ke depan sebaiknya diupayakan menjadi koalisi pas-terbatas. Koalisi kekecilan mengarah pada kabinet yang miskin dukungan politik di parlemen; Koalisi kebesaran menuju kabinet yang terlalu gemuk dan lamban. Yang ideal adalah dibentuknya Koalisi pas-terbatas, susunan kabinet yang mengakomodasi kepentingan politik sekaligus tidak mengorbankan pertimbangan kapasitas dan profesionalitas. Bagi rakyat, koalisi dan kabinet pas-terbatas diharapkan, karena melahirkan interaksi yang konstruktif antara presiden dan parlemen. Sedangkan bagi partai politik, koalisi pas-terbatas juga menguntungkan. Terbatasnya jumlah partai menyebabkan jatah kue kabinet (power sharing) yang dinikmati oleh masing-masing anggota koalisi akan lebih besar. Koalisi dan kabinet kekecilan dihindari karena melahirkan relasi presiden dan parlemen yang destruktif; sama halnya koalisi dan kabinet yang kebesaran tidak menjadi pilihan karena menghadirkan hubungan presiden dan parlemen yang kolutif. Berapakah angka ideal dukungan politik parlemen yang pas-terbatas itu? Seharusnya kisarannya adalah antara 275 hingga 300 kursi di DPR. Mengapa demikian? Dewan Perwakilan Daerah – sayangnya – relatif dapat dinafikan karena tidak mempunyai kekuatan konstitusi yang berbahaya bagi Presiden. Sebaliknya, DPR dapat mempelopori proses impeachment, menghambat proses legislasi dan proses rekrutmen politik orang-orang yang didukung presiden. Dengan jumlah anggota DPR 550 orang, maka angka 275 hingga 300 adalah dukungan politik yang lebih dari 50%, tidak kekecilan, namun juga tidak kebesaran, alias pas-terbatas. Saat ini Kabinet Indonesia bersatu didukung kursi DPR dari Partai Demokrat (55), Golkar (128), PPP (58), PAN (53), PKB (52), PKS (45), dan PBB (11). Itu artinya koalisi dan kabinet sekarang sudah membentuk 402 dukungan, atau hampir 75% jumlah kursi di DPR – meski patut dicatat
28
Reformasi Hukum
dukungan PKB yang terpecah memang tidaklah utuh. Namun tetap saja hitung-hitungan tersebut menunjukkan bahwa koalisi yang dibentuk Presiden Yudhoyono adalah koalisi dan kabinet yang kedodoran (oversized coalition). Tidak mengherankan relasinya dengan parlemen sangat kolutif. Artinya, DPR amat jarang bersikap kritis terhadap presiden. Momentum reshuffle kabinet harus menjadi saat untuk kembali menyehatkan kabinet menjadi ramping alias pas-terbatas, tidak lagi overweight. Namun, itu semua tergantung pada komitmen Yudhoyono untuk konsisten dengan ucapannya sendiri untuk menciptakan koalisi terbatas, sebagaimana dikutip di awal tulisan ini. Sayangnya, keinginan untuk menguasai parlemen agaknya lebih besar dibandingkan tujuan untuk membangun relasi yang lebih kontruktif. Di sisi parlemen sendiri, belum ada partai politik yang sadar bahwa posisi sebagai oposisi juga penting untuk terciptanya atmosfer politik yang dinamis dan demokratis. Untuk menghindari koalisi dan kabinet semata-mata menjadi dagangan kekuasaan, kehadiran Undang-undang Kementerian Negara yang mengatur tentang fungsi dan eksistensi kabinet menjadi wajib adanya. Kebutuhan akan regulasi tersebut makin nyata karena miskinnya etika politik para elit kita. Sebab, seandainya integritas poltisi kita dapat diandalkan, aturan tertulis hanyalah pelengkap semata. Tapi, agaknya sudah menjadi hukum alam bahwa etika dan kehidupan politik bukanlah kawan sejalan, melainkan lawan yang tak pernah searah setujuan. 2. Presiden Yudhoyono dan DPR
80
Beberapa waktu lalu, Amien Rais mengatakan DPR cenderung kembali menjadi stempel pemerintah. Kerisauan Amien Rais itu agaknya bermula dari kurang kritisnya DPR dalam menyikapi kebijakan pemerintah dalam beberapa isu strategis semacam kenaikan harga BBM dan kebijakan impor beras. Di satu sisi penulis relatif mengamini pernyataan Amien Rais tersebut, meski di sisi lain saya juga mempertanyakan kenapa Partai Amanat Nasional, yang sedikit banyak masih berada di bawah bayangbayang Amien Rais sendiri, ikut-ikutan menjadi stempel dari kebijakankebijakan pemerintah tersebut. Pengalaman kita sebagai bangsa telah lengkap menghadirkan potret relasi presiden dengan parlemen. Di masa Presiden Soeharto, hubungan presiden dengan DPR amatlah kolutif. Presiden seakan-akan adalah atasan langsung dari DPR. Apapun kebijakan Soeharto akan disambut dengan 81
Denny Indrayana, Presiden dan DPR Sekutu atau Seteru, Kompas 20 Februari 2006.
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan “Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”
29
paduan suara yes men di DPR dan MPR. Akibatnya, Soeharto bertahan hingga lebih dari tiga puluh dua tahun. Pada titik ekstrim lainnya, di masa Presiden Abdurrahman Wahid, relasi presiden dengan parlemen amatlah konfrontatif. Presiden Wahid gagal membangun dukungan yang solid di DPR. Sebaliknya ia terus-menerus berkonflik dengan parlemen. Akibatnya, masa kepresidenan Wahid hanya bertahan satu setengah tahun. Baik hubungan yang kolutif maupun konfrontatif sama-sama bukanlah relasi yang ideal antara presiden dengan parlemen. Keduanya seharusnya membangun hubungan yang saling kontrol dan saling imbang (checks and balances), yaitu hubungan yang konstruktif untuk bersama-sama mendorong agenda pembangunan bangsa dengan tetap membuka pintu bagi perbedaan pendapat dan ruang untuk saling mengingatkan. Relasi yang konstruktif itulah yang sedikit banyak terjadi di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Yudhoyono). Sebagai presiden minoritas (minority president), Yudhoyono yang hanya didukung modal awal 7% suara di DPR telah cukup berhasil mengelola irama konfliknya dengan DPR. Memang dalam isu makro politik DPR terlihat knock out dihajar serangan beruntun dari sang presiden. Namun dibandingkan di masa Presiden Soeharto, tidak sedikit perbedaan pendapat yang berani dilontarkan oleh para anggota DPR, khususnya dalam masalah mikro politik. Namun kekritisan di isu-isu mikro tersebut, misalnya dalam penyusunan pasal undang-undang, dan kritisnya pertanyaan-pertanyaan dalam dengar pendapat dengan pemerintah, cenderung tenggelam secara pemberitaan media masa terutama karena dalam isu-isu populis, DPR lebih sering pasrah bongkokan kepada kebijakan Presiden. Kepasrahan tersebut karena bangunan koalisi yang dibangun Yudhoyono terbukti lebih solid dibandingkan poros tengah yang awalnya sempat mendukung Wahid. Padahal Presiden Wahid mempunyai modal awal yang lebih besar, yaitu pasukan berani mati PKB yang menduduki 11% kursi DPR. Gaya kepemimpinan Yudhoyono yang lebih akomodatif, dibandingkan Wahid yang lebih konfrontatif menyebabkan hasil akhir relasi presiden dan parlemen menjadi berbeda. Meski keduanya sama-sama merupakan presiden minoritas. Hal itu membuktikan sistem ketatanegaraan kita masih kental diwarnai gaya personal sang pemimpin. Sistem ketatanegaraan yang personal itu sebaiknya dihindari. Ke depan sistem politik kita harus lebih bersandar kepada sistem yang demokratis, bukan kepada orang. Itu artinya diperlukan rekayasa konstitusi (constitutional engineering) untuk membangun hubungan presiden dan
30
Reformasi Hukum
parlemen yang lebih konstruktif dan dinamis. III. Mencari Lembaga Kepresidenan yang Efektif Berangkat dari pendasaran teori, pengalaman paradoks serta anomali sistem presidensial Indonesia tersebut di atas; sebuah pertanyaan krusial sangat mendesak untuk dikemukakan: apakah solusi untuk keluar dari buah simalakama presiden sial atau presiden sialan? Bagaimanakah sebenarnya format ideal sistem presidensial yang efektif? Yang dimaksudkan dengan efektifitas di sini adalah suatu keadaan atau situasi dimana lembaga kepresidenan (dengan segala kewenangan yang dimilikinya) bisa merealisasikan platform politik dan program kerja pemerintahan secara efektif karena adanya hubungan konstruktif – bukan kolutif ataupun konfrontatif – dengan semua lembaga negara yang lain, khususnya parlemen. Untuk menciptakan lembaga kepresidenan yang efektif di tengah sistem multi partai maka perlu dilakukan beberapa langkah rekayasa hukum yang cerdas, sekaligus tetap demokratis. Pertama, sistem multipartai adalah keniscayaan bagi heterogennya alur dan pola pikir politik masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, Orde Baru mempunyai kesalahan fatal ketika mendesakkan penyederhanaan sistem kepartaian menjadi tiga: Golkar, PPP dan PDI. Bentuk pengkerangkengan partai politik melalui rekayasa politik dari atas (top down) tersebut jelas membunuh demokrasi dan mematikan keberagaman yang nyata-nyata ada di Indonesia. Sistem multipartai karenanya tidak bisa dihilangkan. Yang perlu dilakukan berkait dengan penciptaan lembaga kepresidenan yang efektif adalah mengarahkan agar sistem multipartai itu menjadi lebih sederhana. Pengarahan dilakukan tidak dengan pembatasan tetapi dengan seleksi alam melalui pemilu. Itu artinya mekanisme electotral threshold yang sekarang sudah diadopsi oleh undang-undang tentang partai politik dan pemilu sudahlah tepat. Kedua, namun dalam praktiknya, electoral threshold itu masih diakali dan disimpangi. Partai-partai yang tidak lolos ambang batas masih saja melakukan manipulasi politik-hukum sehingga mereinkarnasi partainya untuk tetap menjadi peserta pemilu. Maka, penerapan ambang batas harus lebih tegas diterapkan oleh Komisi Pemilihan Umum, di samping itu, ambang batas tidak hanya diberlakukan kepada partai politik, namun larangan menjadi peserta pemilu juga wajib diberlakukan kepada orang atau pengurus partai yang partainya tidak lolos electoral threshold. Meski, agar tidak
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan “Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”
31
bertentangan dengan hak asasi untuk berserikat dan berkumpul, maka pelarangan itu hanya diberlakukan untuk satu kali pemilu. Dengan larangan tidak hanya partai tetapi juga orang demikian, maka petualang politik yang membuat partai semata untuk kepentingan sesaat akan berkurang dan akhirnya tujuan penyederhanaan partai akan mungkin diwujudkan. Ketiga, perlu diatur bahwa calon presiden dan wakil presiden haruslah berasal dari partai yang sama, atau keduanya adalah calon independen sama sekali di luar partai. Hal ini penting untuk menyamakan platform politik lembaga kepresidenan. Tanpa antisipasi yang cerdas tidak mustahil ke depan pemerintahan tidak hanya terbelah antara presiden dengan parlemen (divided government), tetapi bahkan sudah terbelah secara internal di antara presiden dengan wakil presidennya – salah satunya – karena perbedaan partai dan kepentingan politik antara keduanya. Aturan demikian sebaiknya ada dalam undang-undang pemilihan presiden dan wakil presiden. Keempat, perlu disegerakan lahirnya undang-undang tentang Kementerian Negara yang akan membantu terciptanya koalisi pas-terbatas (minimal winning coalition) serta kabinet yang profesional. Undangundang demikian akan meminimalisir terlalu bebasnya seorang presiden membentuk dan/atau membubarkan departemen semata-mata karena ingin mengakomodasi kawan politiknya, atau membunuh lawan politiknya. Kabinet yang gemuk dan tidak efisien hasil dagang sapi politik antara presiden dengan partai politik akan terkontrol dengan jelasnya departemendepartemen apa yang sewajibnya ada. Polemik seputar reshuffle kedua yang dilakukan Presiden Yudhoyono makin meneguhkan perlunya aturan main kementerian untuk menghindari posisi menteri hanya menjadi jualan politik yang menafikan kepentingan publik. Kelima, undang-undang dewan pertimbangan presiden yang sudah menghasilkan para penasihat presiden harus segera bekerja untuk memberi masukan yang berbobot. Meskipun bobot masukan itu hanya berupa pertimbangan, namun jika kualitasnya terjaga tidak ada alasan bagi presiden untuk tidak memperhatikannya. Perbaikan di atas sebagian besar dapat dilakukan pada level amandemen Undang-undang. Kecuali masalah calon presiden yang harus dibuka pada level aturan konstitusi. Karena monopoli pencalonan presiden oleh partai politik atau koalisi parpol saat ini adalah materi muatan konstitusi. Di luar pengaturan internal kepresidenan, sistem checks and balances pada level UUD 1945 juga harus diperbaiki, itu artinya tidak hanya relasi
32
Reformasi Hukum
presiden DPR yang harus diperbaiki, tetapi peran Dewan Perwakilan Daerah juga ada baiknya diperbaiki. Dengan DPD yang berdaya kontrol dan dinamisnya kehidupan di internal parlemen akan terjadi, membatasi kewenangan oligarki partai yang saat ini nyaris tidak tertandingi.(*) DAFTAR PUSTAKA Alan R. Ball dan B. Guy Peters, Modern Politics and Government (6th edition, 2000). Andrew Ellis, ‘The Indonesian Constitutional Transition: Conservatism or Fundamental Change’ (2002) 6, Singapore Journal of International and Comparative Law. Arendt Lijphart, Pattern of Democracy (1999). Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan (1999). Charles L. Black, Jr., Impeachment: A Handbook (1974). Clinton Rossiter, The American Presidency (1960). Denny Indrayana, Effective Presidential, Minority Presidential, Majority Presidential, Kompas 13 Mei 2004. Denny Indrayana, Presiden dan DPR Sekutu atau Seteru, Kompas 20 Februari 2006. Denny Indrayana, Presiden yang Terpenjara, Media Indonesia 9 November 2006. Denny Indrayana, Presidensial di Indonesia, Tempo No. 34/XXXIV/ 18 - 24 Oktober 2004. Ensiklopedi Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/President diakses pada 27 November 2006. Giovanni Sartori, Comparative Constitutiona Engineering (1997) hal. 87 – 88. Harun Alrasid, Pengisian Jabatan Presiden (1999). Jack Bell, The Presidency: Office of Power (1967). Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (2005). Jimly Asshiddiqie, Presidensialisme Versus Parlementarisme dalam Gerak Politik yang Tertawan: Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan (2002).
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan “Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”
33
Jody C. Baumgartner dan Naoko Kada, Checking Executive Power: Presidential Impeachment in Comparative Perspective (2003). Louis W. Koenig, The Chief Executive (1964). Nigel Bowles, Government and Politics of the United States (1998). Oliver A. Houck, President X and the New (Approved) Decisionmaking, The American University Law Review (36:1987). Scott Mainwaring dan Matthew S. Shugart, Presidentialism and Democracy in Latin America (1990). William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics (1996).
(Minority President)
“Presiden Sialan”
(Minority President)
Presiden Sial
Buruk
Baik / Buruk
Baik
Presidensial
(Effective President)
Moralitas Personal
Tipe Lembaga Kepresidenan
Kuat
Lemah
Undersized Coalition
Kuat
Oversized coalition
Lemah
Minimal winning coalition
Kuat
(Partisan Power)
Kuat
Kekuatan Partisan
Kekuatan Komstitusi (Constitusional Power)
Satu partai yang dikontrol oleh penguasa
Multi Partai tidak sederhana
Dwi Partai atau Multi Partai Sederhana
Sistem Kepartaian
Disain Konstitusional
Perbandingan Sistem Presidensial, Presiden Sial dan “Presiden Sialan”
Lampiran I
Rendah
Tinggi
Tinngi
Kontrol Parlemen
34 Reformasi Hukum
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi
35
POLITIK PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL DALAM ERA PASCA REFORMASI1 Satya Arinanto
Abstrak Perubahan-perubahan yang terjadi begitu cepat di berbagai belahan dunia dalam konteks akademik telah melahirkan berbagai teori tentang transisi, baik dalam konteks politik, ekonomi, hukum, dan konteks-konteks lainnya. Dalam konteks politik, makna “transisi politik” antara lain diartikan sebagai peralihan atau perubahan pemerintahan yang terjadi di berbagai negara. Pengantar: Transisi Politik, Ekonomi, dan Hukum Dari selatan Afrika ke Uni Soviet, hingga ke Amerika Latin dan tempattempat lain di dunia, suatu arus perubahan global telah meninggalkan otokrasiotokrasi politik dan mengisolasinya bagaikan para pelaut yang berada pada bagian bawah dari gelombang air pasang.2 Semenjak tahun 1989, sejumlah besar negara di pelbagai belahan dunia dan benua, telah melaksanakan reformasi, dan bergerak ke arah kategori kemunculan dan kemunculan kembali demokrasi, dan memproklamirkan dukungan terhadap HAM 1
2
Semula disampaikan dalam acara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, 18 Maret 2006. Di Jerman, terjadi peristiwa runtuhnya Tembok Berlin yang memisahkan antara Jerman Barat dan Jerman Timur, yang kemudian diikuti dengan reunifikasi Jerman pada tanggal 3 Oktober 1990. Semenjak saat itu terdapatlah satu Konstitusi Republik Federal Jerman (Basic Law for the Federal Republic of Germany) yang baru. Dalam Kata Pendahuluannya Prof. Roman Herzog – Mantan Presiden Mahkamah Konstitusi Federal (Federal Constitutional Court) Jerman yang kemudian juga pernah menjadi Presiden Republik Federal Jerman – menilai bahwa Konstitusi Republik Federal Jerman tersebut sebagai berikut: “It is the most liberal constitution the Germans have ever had and has served as a model for many other democratic constitutions. We Germans have every reason to be proud of our Basic Law and to defend it to the best of our ability”. Lihat Kata Pendahuluan Herzog dalam Basic Law for the Federal Republic of Germany (Promulgated by the Parliamentary Council on 23 May 1949) (Bonn: The Press and Information Service of the Federal Government, 1995), hal. 3.
36
Reformasi Hukum
internasional dengan tulus.3 Di beberapa negara, kekuatan-kekuatan oposisi telah berubah menjadi penguasa; sementara itu di sebagian negara-negara lainnya, walaupun tidak sepenuhnya terputuskan dengan rezim sebelumnya yang lalim, namun telah menjauhkan dirinya dari mereka dan dari warisan pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya yang bersifat otoriter.4 Dalam beberapa kasus, arah transisi politik telah menuju demokrasi, baik dengan cara memulihkan suatu bentuk demokrasi dari pemerintahan yang telah dirusak oleh suatu rezim yang diktator, atau melalui langkahlangkah untuk membentuk suatu pemerintahan demokrasi yang baru, dimana tak satu pihak pun dari rezim sebelumnya yang dilibatkan. Di beberapa negara lainnya, rezim yang baru belum dipilih secara demokratis, atau bahkan mereka masuk ke dalam kekuasaan melalui kekuatan, namun mereka telah mengembangkan penghormatan terhadap HAM. Dalam beberapa situasi yang lain, pemerintahan yang baru menyalahkan kejahatankejahatan yang dilakukan oleh pemerintahan lalim sebelumnya, dan menghukum mereka-mereka yang dinyatakan bersalah; namun mereka kemudian juga terlibat dalam praktek-praktek represif sebagaimana dilakukan oleh rezim sebelumnya, meskipun dalam wujud karakter yang berbeda atau diarahkan pada target-target yang berbeda.5 Dalam konteks ekonomi, proses transisi yang terjadi sejak tahun 1989 juga menumbuhkan berbagai teori transisi ekonomi beserta aspek-aspek geopolitiknya. Menurut John Pickles dan Adrian Smith dalam Pengantar dari buku yang dieditnya, berbagai pengalaman yang berbeda dari transisi telah menumbuhkan dua isu krusial dalam pemahaman kita terhadap politik ekonomi dari perubahan yang terjadi, baik di negara-negara Timur dan Tengah Eropa (Eastern and Central Europe, atau ECE) dan pascakomunisme serta sosialisme pasar dari negara-negara sekelilingnya. Pertama, pandangan neoliberal yang konvensional tentang transisi, yang dipegang oleh lembaga-lembaga
3
4
5
Richard Pierre Claude dan Burns H. Weston, eds. Human Rights in the World Community (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1992), hal. ix; Lihat pula Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 1 – 2. Lihat José Zalaquett, “Confronting Human Rights Violations Committed by Former Governments: Principles Applicable and Political Constraints,” dalam Neil J. Kritz, ed., Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Regimes, Volume I: General Considerations (Washington, D.C.: United States Institute of Peace Press, 1995), hal. 5. Ibid.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi
37
multilateral dan para penasihat pemerintah di ECE, bahwa transisi merupakan:6 “a relatively unproblematic implementation of a set of policies involving economic liberalisation and marketisation alongside democratisation, enabling the creation of a market economy and a liberal polity, relies on an under-theorised understanding of change in postcommunism”. Kedua, berbagai penyebab dari krisis Czech, sebagaimana diidentifikasi oleh kalangan pers bisnis di Barat, menunjuk secara langsung kepada peranan sentral dari warisan kerangka-kerangka institusional and hubungan sosial yang eksis yang diperoleh dari sosialisme negara ke arah suatu pemahaman dari berbagai jalan dimana transisi memainkan dirinya sendiri. Dalam konteks yang kedua ini, Pickles dan Smith berpandangan bahwa:7 “transition is not a one-way process of change from one hegemonic system to another. Rather, a transition constitutes a complex reworking of old social relations in the light of processes distinct to one of the boldest projects in contemporary history – the attempt to construct a form of capitalism on and with the ruins of the communist system” Sebagaimana kemudian diuraikan dalam bagian-bagian selanjutnya dari buku yang diedit oleh Pickles dan Smith ini, arus utama teori transisi ekonomi yang dipaparkan didasarkan pada berbagai diskursus dan praktek dari teori liberalisasi. Hal ini nampak dari paparannya sebagai berikut:8 “Mainstream transition theory has, then, largely been written in terms of the discourses and practices of liberalisation. Theorising Transition attempts to move the ground away from such perspectives by directly engaging the criticism identified above. Liberalisation can thus be thought of in terms of what Michael Foucault has called the ‘technologics of the social body’: as a series of techniques of transformation involving marketisation of economic relations, privatisation of property, and the democratisation of political life. Each seeks to de-monopolise the power of the state and separate the state from the economy and civil society. Marketisation seeks to free-up the economy. Privatisation aims to break up economic monopolies in the spheres of production, purchasing and distribution. Democratisation and de-communisation aim to break the hold of the Communist Party in political life and to enable a rejuvenated 6
7 8
John Pickles dan Adrian Smith, eds., Theorising Transition: The Political Economy of PostCommunist Transformations (London: Routledge, 1998), hal. 1 - 2. Ibid. Ibid., hal. 2 – 4.
38
Reformasi Hukum
civil society to emerge. Each technique has, in turn, its own specific instruments: for example, the creation of markets and price reform for marketisation; restitution, voucher schemes, and share ownership, and the selling off of state property for privatisation; multy-partyism and parliamentary democracy for democratisation.” Dalam konteks hukum, masalah transisi ini antara lain memunculkan terminologi keadilan transisional (transitional justice). Keadilan transisional adalah keadilan dalam masa transisi politik. Dalam perspektif Ruti G. Teitel, konsepsi keadilan dalam periode perubahan politik bersifat luar biasa dan konstruktif: Hal ini secara bergantian dibentuk oleh, dan merupakan inti dari, transisi politik. Konsepsi keadilan yang timbul bersifat kontekstual dan parsial: Apa yang dipertimbangkan sebagai sesuatu yang “adil” bersifat tidak pasti dan dapat dikaitkan dengan masa yang akan datang; dan hal ini didasarkan atas informasi dari ketidakadilan sebelumnya. Respon-respon terhadap pemerintahan yang represif memberikan arti terhadap rule of law.9 Dengan berbagai cara, HAM telah menjadi pusat dari revolusi demokratis yang telah menyentuh setiap bagian dari belahan dunia dalam beberapa tahun terakhir ini. Walaupun arus demokrasi telah mengalir dengan cepat, demokrasidemokrasi yang muncul masih menghadapi hambatan-hambatan yang menakutkan dalam menegakkan aturan-aturan hukum dan membentuk jaminan yang kokoh terhadap HAM. Pemerintahan-pemerintahan yang demokratis ini seringkali merupakan ahli waris dari rezim-rezim diktator yang mempraktekkan berbagai pelanggaran HAM berat seperti eksekusi di luar hukum, “orang hilang”, penyiksaan sistematis, dan penahanan rahasia.10 Problematika yang dihadapi oleh negara-negara demokratis baru ini adalah bagaimana mereka harus memperlakukan pihak-pihak yang telah bersalah melakukan berbagai kejahatan tersebut dalam rezim yang lama. Kesulitan yang muncul dalam mencapai suatu solusi yang adil yang dapat diterima oleh masyarakat yang telah lama menderita dan yang mengarahkan kepada kedua pihak, baik pihak yang melakukan pembunuhan maupun pihak yang menutup-
9
Ruti G. Teitel, Transitional Justice (Oxford: Oxford University Press, 2000), hal. 6. Menurut Teitel, ketika suatu negara mengalami transisi politik, warisan ketidakadilan berhubungan dengan apa yang dianggap bersifat transformatif. Untuk beberapa konteks tertentu, timbulnya respon-respon hukum semacam ini telah memberi contoh transisi politik. Dari berbagai wacana yang ada, semakin terbukti bahwa peranan hukum dalam masa transisi politik bersifat kompleks. 10 Jamal Benomar, “Justice After Transition,” dalam Kritz, ed., Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Regimes, Volume I: General Considerations, op. cit., hal. 32.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi
39
nutupi perbuatan tersebut. Bagaimanapun pedihnya penderitaan para korban yang kemudian membuat mereka menuntut keadilan, para pengambil keputusan tetap harus menimbang-nimbang risiko-risiko untuk memulai suatu proses yang bisa menakutkan pihak militer atau kekuatan-kekuatan lain yang memiliki kaitan dengan orde sebelumnya sangat berpotensi untuk merusak transisi politik menuju demokrasi.11 Indonesia dalam Masa Reformasi Walaupun tidak dapat dikatakan berlangsung dengan mulus, dalam periode hampir 8 (delapan) tahun terakhir ini bangsa Indonesia telah memasuki masa reformasi. Dalam khazanah politik Indonesia, pengertian era reformasi merujuk pada masa pasca berhentinya Jenderal (Purn.) Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) pada tanggal 21 Mei 1998. Berhentinya Soeharto tersebut antara lain diakibatkan adanya protes yang bertubi-tubi dan terusmenerus dari rakyat pada umumnya dan para mahasiswa pada khususnya, di tengah-tengah merosotnya keadaan sosial dan ekonomi.12 Sebagaimana diketahui, Wakil Presiden B.J. Habibie kemudian dilantik sebagai Presiden untuk menggantikan Soeharto. Berbagai tuntutan pun kemudian disuarakan oleh elemen-elemen masyarakat untuk memperbaiki kondisi dan struktur ketatanegaraan pasca Orde Baru. Tuntutan-tuntutan tersebut antara lain adalah sebagai berikut: (1) amandemen UUD 1945; (2) penghapusan Dwifungsi ABRI; (3) penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); (4) desentralisasi dan hubungan yang adil antara Pusat dan Daerah (otonomi daerah); (5) mewujudkan kebebasan pers; dan (6) mewujudkan kehidupan demokrasi.13 Dalam pandangan Internasional IDEA, suatu lembaga internasional untuk bantuan demokrasi dan pemilihan umum (pemilu) yang berpusat di Swedia, agenda reformasi yang terjadi di Indonesia pasca berhentinya Soeharto meliputi beberapa bidang sebagai berikut: (1) konstitusionalisme dan aturan hukum; (2) otonomi daerah; (3) hubungan sipil–militer; (4) masyarakat sipil; (5) reformasi tata pemerintahan dan pembangunan sosial–ekonomi; (6) jender; dan (7) 11
Ibid. Donald K. Emmerson, ed. Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan The Asia Foundation, 2001), hal. xi. 13 Untuk mendalami hal ini, lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003), hal. 6. 12
40
Reformasi Hukum
pluralisme agama.14 Era ini di antaranya kemudian ditandai dengan pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan. Namun Kabinet ini tidak berumur panjang. Sekitar 13 (tiga belas) bulan kemudian, diselenggarakanlah pemilihan umum tahun 1999, yang – disamping adanya berbagai kekurangan – telah diakui sebagai penyelenggaraan pemilu demokratis kedua setelah pemilu pertama tahun 1955. Satu setengah tahun setelah berkuasa, Presiden B.J. Habibie pun terpaksa harus meletakkan jabatannya setelah pidato pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR dalam Sidang Umumnya pada tanggal 19 Oktober 1999.15 Padahal sebenarnya ia bisa saja tetap mencalonkan diri dalam pemilihan Presiden berikutnya, karena tidak ada larangan bagi seorang Presiden yang telah ditolak pidato pertanggungjawabannya untuk tetap mencalonkan diri; walaupun juga tidak ada jaminan bahwa ia akan bisa terpilih kembali setelah pidato pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR. Setelah melakukan penyempurnaan terhadap Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1973 tentang “Tatacara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia”16 menjadi Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/1999 tentang “Tatacara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia”,17 maka MPR pun kemudian mengangkat K.H. Abdurrahman Wahid menjadi Presiden RI18 dan Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden RI.19 Namun pemerintahan Presiden Wahid ini tidak berlangsung lama, melainkan hanya sekitar 20 bulan. Setelah diguncang oleh Skandal Bulog yang pertama atau yang lebih dikenal sebagai Buloggate I, dan setelah melalui 2 (dua) kali Memorandum DPR, maka melalui Ketetapan MPR Nomor II/MPR/ 14
Untuk mendiskusikan hal ini lebih lanjut, lihat International IDEA (Lembaga Internasional untuk Bantuan Demokrasi dan Pemilu), Penilaian Demokratisasi di Indonesia (Pengembangan Kapasitas Seri 8) (Jakarta: International IDEA, 2000). 15 Lihat Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1999 tentang “Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie” dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 1999), hal. 45 – 50. 16 Departemen Penerangan Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1973 (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), hal. 47 – 54. 17 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999, op. cit., hal. 89 – 96. 18 Ibid., lihat Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1999 tentang “Pengangkatan Presiden Republik Indonesia”, hal. 97 – 101. 19 Ibid., lihat Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1999 tentang “Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia”, hal. 103 – 107.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi
41
2001 tentang “Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid”,20 MPR akhirnya memutuskan untuk memberhentikan Wahid sebagai Presiden RI serta menyatakan tidak berlaku Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1999 tentang “Pengangkatan Presiden Republik Indonesia”.21 Putusan ini diambil setelah Presiden Wahid tidak hadir dan menolak untuk memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR tahun 2001 serta penerbitan Maklumat Presiden RI tanggal 23 Juli 2001 yang dinilai telah sungguh-sungguh melanggar haluan negara.22 Sejalan dengan hal itu, melalui Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2001 tentang “Penetapan Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri Sebagai Presiden Republik Indonesia”,23 MPR kemudian mengangkat Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI menggantikan K.H. Abdurrahman Wahid.24 Masa jabatan Presiden Megawati adalah terhitung sejak diucapkannya sumpah atau janji di hadapan Rapat Paripurna MPR sampai habis sisa masa jabatan Presiden RI 1999 – 2004.25 Sebagai hasil pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diselenggarakan secara langsung untuk pertama kalinya di Indonesia pada tahun 2004, terpilihlah pasangan Presiden dan Wakil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Yusuf Kalla. Dalam pelaksanaan pemilihan umum 2004 tersebut, tidak hanya Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih secara langsung, tetapi juga para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Proses demokratisasi itu kemudian berlanjut dengan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung yang mulai diselenggarakan di berbagai daerah pada tahun 2005. Indonesia Memasuki Era Pasca Reformasi Dengan telah diselenggarakannya pemilihan umum secara langsung dan terbentuknya berbagai pranata baru yang makin mendorong langkah-langkah menuju demokratisasi - diantaranya dengan telah dipemenuhinya beberapa tuntutan masyarakat yang mengemuka pada masa-masa awal reformasi sebagaimana disebutkan di muka, walaupun dalam kenyataannya tidak dapat berlangsung dengan mulus - tahap demi tahap bangsa Indonesia telah memasuki 20
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Putusan Sidang Istimewa MPR RI Tahun 2001 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2001), hal. 11 – 17. 21 Ibid., Pasal 2. 22 Ibid., Pasal 1. 23 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Putusan Sidang Istimewa MPR RI Tahun 2001, op. cit., hal. 19 – 24. 24 Ibid., Pasal 1. 25 Ibid., Pasal 2.
42
Reformasi Hukum
era pasca reformasi. Dalam era yang disebut sebagai pasca reformasi ini, beberapa tuntutan yang dikemukakan masyarakat akan tetap ada, terutama yang terkait dengan sektor-sektor yang belum tercapai pada masa reformasi. Dalam kaitan dengan topik Pidato Pengukuhan ini, sektor-sektor tersebut diantaranya adalah yang berkaitan dengan penegakan hukum, hak asasi manusia, dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Disamping itu juga akan selalu muncul tuntutan terhadap pemenuhan keadilan dalam bidang ekonomi. Agenda reformasi sebagaimana tersebut di muka terus bergulir dari semenjak masa kepresidenan B.J. Habibie, dan terus berlanjut pada masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono. Salah satu muara inti dari berbagai tuntutan yang diajukan masyarakat tersebut adalah terpenuhinya rasa keadilan masyarakat. Namun demikian, dalam realitanya, ukuran rasa keadilan masyarakat itu tidak jelas. Karena itulah isu pembangunan hukum sebagaimana dibahas dalam Pidato Pengukuhan ini akan menjadi sangat penting dalam era ini. Namun demikian karena terbatasnya alokasi waktu yang diberikan untuk membacakan pidato, dan juga terbatasnya jumlah halaman yang lazim diterapkan untuk suatu Pidato Pengukuhan, tidak mungkin semua hal tersebut akan dapat terbahas tuntas di dalamnya. Sistem Hukum dan Sistem Hukum Indonesia Salah satu permasalahan mendasar yang sering diwacanakan dalam era reformasi ini adalah mengenai aspek hukum. Aspek hukum yang dimaksudkan di sini mencakup berbagai dimensi yang luas, yang secara mendasar dapat disarikan menjadi 3 (tiga) anasir sebagai berikut: (1) structure (tatanan kelembagaan dan kinerja lembaga); (2) substance (materi hukum); dan (3) legal culture (budaya hukum). Ketiga aspek ini – yang diambil dari pendapat Lawrence M. Friedman – sangat sering dirujuk dalam berbagai penelitian dan kajian tentang sistem hukum di Indonesia.26 Dalam berbagai penelitian dan kajian di Indonesia, karya Friedman ini memang sering dijadikan sebagai semacam rujukan standar untuk mendeskripsikan elemen-elemen dari sistem hukum. Friedman menggambarkan sistem hukum dalam kalimat-kalimat sebagai berikut: “In modern American society, the legal system is everywhere with us and around us. To be sure, most of us do not have much contact 26
Mengenai hal ini lihat Lawrence M. Friedman, American Law: An Introduction (New York: W.W. Norton dan Company, 1984). Lihat pula Lawrence M. Friedman, A History of American Law (New York: Simon and Schuster), 1973.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi
43
with courts and lawyers except in emergencies. But not a day goes by, and hardly a waking hour, without contact with law in its broader sense – or with people whose behavior is modified or influence by law. Law is vast, though sometimes invisible, presence”.27 Elemen pertama yang disebut Friedman adalah structure (tatanan kelembagaan dan kinerja lembaga), yang dideskripsikannya sebagai berikut: “We now have a preliminary, rough idea of what we mean when we talk about our legal system. There are other ways to analyze this complicated and important set of institutions. To begin with, the legal system has structure. The system is constantly changing; but parts of it change at different speeds, and not every part changes as fast as certain other parts. There are persistent, long-term patterns – aspects of the system that were here yesterday (or even in the last century) and will be around for a long time to come. This is the structure of the legal system – its skeleton or framework, the durable part, which gives a kind of shape and definition to the whole”.28 Sedangkan elemen kedua yang dipaparkan oleh Friedman adalah substance (ketentuan perundang-undangan) yang digambarkannya sebagai berikut: “Another aspect of the legal system is its substance. By this is meant the actual rules, norms, and behavior patterns of people inside the system. This is, first of all, “the law” in the popular sense of the term – the fact that the speed limit is fifty-five miles an hour, that burglars can be sent to prison, that “by law” a pickle maker has to list his ingredients on the label of the jar”.29 Sedangkan tentang elemen ketiga adalah legal culture (budaya hukum). Mengenai legal culture ini Friedman antara mendeskripsikannya sebagai berikut: 27
Friedman, American Law: An Introduction, op. cit., hal. 1; Sebagai bahan diskusi, lihat pula Teuku Mohammad Radhie, “Pembaruan Hukum di Indonesia,” dalam Guru Pinandita: Sumbangsih untuk Prof. Djokosoetono, S.H. (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2006), hal. 569 – 590. 28 Friedman, American Law: An Introduction, op. cit.., hal. 5; Lihat pula Satya Arinanto, “Empat Tahun Reformasi Hukum,” Koran Tempo, 15 Mei 2002, hal. B7. 29 Friedman, American Law: An Introduction, op. cit., hal. 6 - 7; Lihat pula Satya Arinanto, “Beberapa Catatan tentang Sistem Hukum” (Makalah disampaikan dalam Pra Seminar Hukum Nasional dengan tema “Reformasi Hukum Melalui Peningkatan Kinerja Lembagalembaga Hukum” yang diselenggarakan atas kerja sama Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman dan HAM RI dan Komisi Hukum Nasional (KHN) RI di Jakarta, 31 Oktober – 1 November 2002).
44
Reformasi Hukum
“By this we mean people’s attitudes toward law and the legal system – their beliefs, values, ideas, and expectations. In other words, it is that part of the general culture which concerns the legal system. … The legal culture, in other words, is the climate of social thought and social force which determines how law is used, avoided, or abused. Without legal culture, the legal system is inert – a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea”.30 Pengaruh dari pandangan Friedman ini, khususnya yang terkait dengan 3 (tiga) unsur sistem hukum, bahkan tetap ada hingga saat ini, yakni dalam politik hukum yang diberlakukan dalam era pasca reformasi. Yang dimaksud dengan politik hukum dalam era pasca reformasi ini secara khusus merujuk pada beberapa arahan yang bertajuk “Pembenahan dan Sistem Politik Hukum” yang merupakan salah satu bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009.31 Dengan demikian pembahasan dalam bagian berikutnya ini juga akan didasarkan pada ketiga unsur sistem hukum tersebut. RPJMN ini bahkan dapat dilihat sebagai semacam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam era Orde Lama dan Orde Baru. Sebagai akibat dari proses perubahan UUD 1945, dimana salah satu dasar pemikiran perubahannya adalah tentang kekuasaan tertinggi di tangan MPR,32 maka semenjak tahun 2004, MPR hasil pemilihan umum pada tahun tersebut tidak lagi menetapkan produk hukum yang berupa GBHN. Padahal selama ini GBHN merupakan salah satu sumber untuk meninjau politik hukum dalam arti legal policy, baik yang akan atau telah dilaksanakan oleh pemerintah. Oleh karena 30
Ibid. Dalam pengamatan penulis, ketiga unsur sistem hukum yang dikemukakan oleh Friedman ini sangat mempengaruhi pendapat para sarjana hukum Indonesia dalam merumuskan berbagai pandangan mengenai hukum dan sistem hukum. Misalnya sebagaimana dilakukan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia ketika merumuskan unsur-unsur sistem hukum Indonesia. Menurut BPHN, sistem hukum Indonesia terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut: (1) materi hukum (tatanan hukum), termasuk di dalamnya ialah: (a) perencanaan hukum, (b) pembentukan hukum, (c) penelitian hukum, dan (d) pengembangan hukum. Untuk membentuk materi hukum harus diperhatikan politik hukum yang telah ditetapkan, yang dapat berbeda dari waktu ke waktu karena adanya kepentingan dan kebutuhan; (2) aparatur hukum, yakni mereka yang mempunyai tugas dan fungsi: (a) penyuluhan hukum, (b) penerapan hukum, (c) penegakan hukum, dan (d) pelayanan hukum. Adanya aparatur hukum tertentu tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan politik hukum yang dianut; (3) sarana dan prasarana hukum, yang meliputi hal-hal yang bersifat fisik; (4) budaya hukum yang dianut oleh warga masyarakat, termasuk para pejabatnya; dan (5) pendidikan hukum; Sebagai bahan diskusi lihat pula Tim Sejarah BPHN, Sejarah Badan Pembinaan Hukum Nasional (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2005). 31 Lihat Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, Perpres Nomor 7 Tahun 2005, LN Nomor 11 Tahun 2005. 32 Adapun dasar-dasar pemikiran perubahan UUD 1945 yang dilakukan antara tahun 1999 –
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi
45
2002 antara lain meliputi peninjauan dan penataan kembali hal-hal yang terkait dengan permasalahan sebagai berikut: (1) UUD 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusiinstitusi ketatanegaraan. Penguasaan terhadap MPR adalah kata kunci bagi kekuasaan pemerintahan negara yang seakan-akan tanpa ada hubungannya lagi dengan rakyat; (2) UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (presiden). Sistem yang dianut oleh UUD 1945 adalah executive heavy, yakni kekuasaan dominan berada di tangan presiden. Pada diri presiden terpusat kekuasaan menjalankan pemerintahan (chief executive) yang dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasaan membentuk UU. Hal ini tercermin jelas dalam Penjelasan UUD 1945, yang berbunyi Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi di bawah Majelis. Dua cabang kekuasaan negara yang seharusnya dipisahkan dan dijalankan oleh lembaga negara yang berbeda tetapi nyatanya berada di satu tangan (Presiden) yang menyebabkan tidak bekerjanya prinsip checks and balances dan berpotensi mendorong lahirnya kekuasaan yang otoriter; (3) UUD 1945 mengandung pasalpasal yang terlalu “luwes” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum diubah) yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Rumusan pasal itu dapat ditafsirkan lebih dari satu, yakni tafsir pertama bahwa presiden dan wakil presiden dapat dipilih berkali-kali dan tafsir kedua yang menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden hanya boleh memangku jabatan maksimal dua kali dan sesudah itu tidak boleh dipilih kembali. Contoh lain adalah Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 (sebelum diubah) yang berbunyi: “Presiden ialah orang Indonesia asli”. UUD 1945 tidak memberikan penjelasan dan memberikan arti kata “orang Indonesia asli” itu, sehingga rumusan ini membuka penafsiran beragam, antara lain, orang Indonesia asli adalah warga negara Indonesia yang lahir di Indonesia atau warga negara Indonesia yang orang tuanya adalah orang Indonesia; (4) UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang (UU). UUD 1945 menetapkan bahwa Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam UU. Hal ini menyebabkan pengaturan mengenai MPR, DPR, BPK, MA, DPA, dan Pemerintahan Daerah disusun oleh Presiden dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR; dan (5) Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hokum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya praktek penyelenggaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut: (a) tidak adanya checks and balances antarlembaga negara dan kekuasaan terpusat pada Presiden; (b) infrastruktur politik yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat, kurang mempunyai kebebasan berekspresi sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya; (c) pemilihan umum (pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses dan tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah; dan (d) kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah system monopoli, oligopoli, dan monopsoni. Disamping dasar-dasar pemikiran tersebut, dalam proses perubahan UUD 1945 juga ada beberapa kesepakatan dasar sebagai berikut: (1) tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; (2) tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); (3) mempertegas sistem pemerintahan presidensiil; (4) Penjelasan UUD 1945 ditiadakan, serta hal-hal normatif dalam Penjelasan dimasukan ke dalam pasal-pasal; dan (5) perubahan dilakukan dengan cara “addendum”. Lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, op. cit., hal. 11 – 15 dan hal. 25.
46
Reformasi Hukum
itu, untuk menganalisis politik pembangunan hukum nasional dalam era pasca reformasi, salah satu rujukan utama kita adalah pada naskah RPJMN tersebut. Namun demikian sebelum meninjau politik pembangunan hukum nasional dalam era pasca reformasi, akan kita tinjau lebih dahulu aspek historisnya, yakni politik pembangunan hukum nasional pada era sebelum masa reformasi dan pada masa reformasi. Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Sebelum Reformasi Sebagaimana disinggung di muka, sebelum masa reformasi, politik pembangunan hukum nasional didasarkan pada beberapa GBHN. Pada masa Orde Lama, landasan hukum GBHN tercantum dalam Ketetapan MPR Nomor I/MPRS/1960 tentang “Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai GarisGaris Besar Daripada Haluan Negara” yang ditetapkan di Bandung pada tanggal 19 Nopember 1960 dan Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang “Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama 1961 – 1969” yang ditetapkan di Bandung pada tanggal 3 Desember 1960.33 Namun demikian, dalam kedua Ketetapan MPRS dan sekaligus GBHN pertama di Indonesia, ini, tidak ditemui pengaturan yang spesifik yang bisa dijadikan landasan hukum politik pembangunan hukum nasional. Kondisi yang sama juga terjadi pada Ketetapan MPRS Nomor IV/MPRS/ 1963 tentang “Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan” yang ditetapkan di Bandung pada tanggal 22 Mei 1963. Ketetapan ini sama sekali tidak memberikan landasan hukum yang bersifat spesifik bagi politik pembangunan hukum nasional.34 Ketetapan MPRS pertama yang terkait secara langsung dengan bidang hukum adalah Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang “Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang Republik Indonesia” yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1966.35 Walaupun tidak mengatur atau terkait secara langsung dengan GBHN, namun dalam Ketetapan ini tercantum beberapa landasan pembangunan politik hukum nasional untuk masa itu. Selanjutnya politik pembangunan hukum nasional secara nyata tercantum dalam beberapa Ketetapan MPR tentang GBHN yang berlaku pada masa 33
Lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Himpunan Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960 sampai dengan 2002 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002), hal. 3 – 17. 34 Ibid., hal. 25 – 29. 35 Ibid., hal. 133 – 150.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi
47
Orde Baru, yang terdiri dari sebagai berikut: a. Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Maret 1973;36 b. Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Maret 1978;37 c. Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Maret 1983;38 d. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1988 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Maret 1988;39 e. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Maret 1993; 40 dan f. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1998 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Maret 1998.41 Pelaksanaan reformasi hukum sebenarnya telah mendapatkan landasan politik pembangunan hukum nasional yang lebih signifikan dalam GBHN 199342 dan 1998.43 Semenjak berlakunya kedua GBHN tersebut, legal policy dalam bidang hukum telah mengalami dua perkembangan sebagai berikut: (1) legal policy yang semenjak tahun GBHN 1973 pengaturannya dimasukkan ke dalam peringkat “Sektor” – dalam GBHN 1973 misalnya bersama-sama dengan Sektor Politik, Aparatur Pemerintah, dan Hubungan Luar Negeri -,44 dalam GBHN 1998 telah dimasukkan 36
Ibid., lihat khususnya pada hal. 456, dan tercantum dalam Bab IV tentang “Pola Umum Pelita Kedua”. 37 Ibid., khususnya pada hal. 627 – 628, dan tercantum dalam Bab IV tentang “Pola Umum Pelita Ketiga”. 38 Ibid., khususnya pada hal. 781 – 782, dan tercantum dalam Bab IV tentang “Pola Umum Pelita Keempat”. 39 Ibid., khususnya pada hal. 914 – 915, dan tercantum dalam Bab IV tentang “Pola Umum Pelita Kelima”. 40 Ibid., khususnya pada hal. 1072 – 1073, dan tercantum dalam Bab IV tentang “Pembangunan Lima Tahun Keenam”. 41 Ibid., khususnya pada hal. 1247 – 1252, dan tercantum dalam Bab IV tentang “Pembangunan Lima Tahun Ketujuh”. 42 Lihat Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara dalam Ketetapan-ketetapan MPR RI 1993 Beserta Susunan Kabinet Pembangunan VI (Semarang: Aneka Ilmu, 1993), hal. 11 – 133. 43 Lihat Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1998 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 1998), hal. 9 – 156. 44 Departemen Penerangan Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1973, op. cit., hal. 94 – 98. yang menggantikan Indische Comptabiliteits Wet (ICW) (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448). 45 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1998, op. cit., hal. 137 – 142.
48
Reformasi Hukum
pengaturannya ke dalam peringkat “Bidang”;45 dan (2) bila dalam GBHN 1993 hanya diatur mengenai 3 (tiga) Subbidang legal policy, yakni: (a) Materi Hukum; (b) Aparatur Hukum; dan (c) Sarana dan Prasarana Hukum. Sedangkan dalam GBHN 1998 terdapat dua tambahan Subbidang, yakni: (d) Budaya Hukum dan (e) Hak Asasi Manusia. Adapun pengaruh dari pemikiran Friedman mulai tampak dalam GBHN 1993, yakni ketika arahan-arahan Bidang Hukum dibagi menjadi 3 (tiga) Subbidang, yakni: (a) Materi Hukum; (b) Aparatur Hukum; dan (c) Sarana dan Prasarana Hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sejak tahun 1993, landasan dasar dari legal policy yang mengarahkan politik pembangunan hukum nasional kita sangat dipengaruhi oleh pandangan Friedman. Sebagai observasi umum, dapat dikatakan bahwa dalam era sebelum reformasi ini semangat pembaruan hukum di Indonesia sebenarnya juga sudah banyak dikemukakan. Dalam catatan Teuku Mohammad Radhie,46 dalam Pidato Dies Natalis di Universitas Gadjah Mada yang berjudul “Kedudukan Hukum Adat di Kemudian Hari” pada tahun 1947, Prof. Dr. Mr. R. Supomo47 telah mengutarakan cita-cita tentang kebutuhan suatu tata hukum yang kualitasnya sejajar dengan tata hukum dari negara-negara yang maju; suatu kesatuan hukum sipil untuk semua golongan warga negara; dan suatu sistem hukum yang mencakup segala aliran pikiran modern di dunia. Supomo juga menunjukkan bahwa suatu susunan ekonomi baru, cita-cita industrialisasi, hubungan-hubungan dagang dengan luar negeri akan membutuhkan pembentukan hukum sipil baru yang sesuai dengan hukum sipil di negara-negara maju.48 Selanjutnya Radhie juga mencatat bahwa dalam ceramahnya di hadapan para Anggota Perhimpunan Ahli Hukum Indonesia dan Ikatan Sarjana Hukum Indonesia di Jakarta pada tahun 1955, Mr. Soewandi dalam makalahnya yang berjudul “Sekitar Kodifikasi Hukum Nasional di Indonesia” juga telah mengemukakan pandangannya mengenai perubahan-perubahan hukum yang diperlukan di negara kita yang merdeka. Dikemukakan bahwa sebagai negara yang memegang kehormatan diri sendiri, Republik Indonesia tidak dapat mengelakkan diri dari kewajiban untuk menciptakan sendiri hukum nasionalnya; tidak hanya meneruskan warisan dari zaman lampau saja, zaman yang dalam 46
Yang semasa hayatnya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, disamping sebagai Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 47 Semasa hayatnya pernah menjabat sebagai Presiden – sekarang disebut Rektor -Universitas Indonesia yang ke-2 dan Menteri Kehakiman RI yang pertama. 48 Radhie, loc. cit., hal. 570; Sebagai bahan diskusi, lihat pula Francis Fukuyama, State Building: Governance and World Order in the Twenty-First Century (London: Profile Books, 2005).
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi
49
dasar-dasarnya sudah sama sekali berubah dari zaman kita saat ini, zaman yang tidak kita harapkan kembalinya.49 Dalam perkembangan selanjutnya tidak tercatat lagi banyaknya sarjana hukum dan institusi-institusi pendidikan dan penelitian hukum yang mengemukakan pandangan-pandangannya mengenai berbagai aspek pembaruan hukum di Indonesia. Pandangan-pandangan dan pemikiranpemikiran tersebut begitu kaya dan beragam, namun demikian dampaknya dalam konteks pembaruan hukum dalam realitanya terasa belum begitu menyentuh. Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Reformasi Dalam era reformasi, MPR menyelenggarakan Sidang Istimewa pada bulan November 1998. Salah satu hasil dari Sidang Istimewa tersebut adalah Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang “Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara” yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 November 1998.50 Dalam Ketetapan MPR yang juga dikenal sebagai “GBHN Mini” ini dimuat beberapa arahan politik pembangunan hukum nasional sebagai berikut:51 1.Penanggulangan krisis di bidang hukum bertujuan untuk tegak dan terlaksananya hukum dengan sasaran terwujudnya ketertiban, ketenangan, dan ketenteraman masyarakat. Agenda yang harus dijalankan adalah : a. Pemisahan secara tegas fungsi dan wewenang aparatur penegak hukum agar dapat dicapai proporsionalitas, profesionalitas, dan integritas yang utuh. b. Meningkatkan dukungan perangkat, sarana dan prasarana hukum yang lebih menjamin kelancaran dan kelangsungan berperannya hukum sebagai pengatur kehidupan nasional. c. Memantapkan penghormatan dan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia melalui penegakan hukum dan peningkatan kesadaran hukum bagi seluruh masyarakat. d. Membentuk Undang-Undang Keselamatan dan Keamanan Negara 49
Ibid. Dalam melakukan pengutipan ini penulis juga melakukan beberapa pengeditan bahasa, agar konteksnya bisa lebih dipahami sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia yang berlaku pada saat ini. 50 Lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Himpunan Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960 sampai dengan 2002, op. cit.., hal. 1315 – 1331. 51 Ibid., hal. 1328.
50
Reformasi Hukum
sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi yang akan dicabut. 2. Pelaksanaan reformasi di bidang hukum dilaksanakan untuk mendukung penanggulangan krisis di bidang hukum. Agenda yang harus dijalankan adalah: a. Pemisahan yang tegas antarfungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif. b. Mewujudkan sistem hukum nasional melalui program legislasi nasional secara terpadu. c. Menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. d. Terbentuknya sikap dan perilaku anggota masyarakat termasuk para penyelenggara negara yang menghormati dan menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Dalam konteks “GBHN Mini” ini, sangat jelas terlihat bahwa politik pembangunan hukum nasional diarahkan untuk menanggulangi krisis di bidang hukum. Penanggulangan krisis di bidang hukum bertujuan untuk tegak dan terlaksananya hukum dengan sasaran terwujudnya ketertiban, ketenangan, dan ketenteraman masyarakat. Selanjutnya, kira-kira 11 bulan kemudian, MPR hasil pemilihan umum tahun 1999 mengadakan sidang. Salah satu hasil dari Sidang MPR tersebut adalah Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang “Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 – 2004” yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Oktober 1999.52 Politik pembangunan hukum nasional dalam konteks legal policy pada saat itu memiliki tolok ukur 10 (sepuluh) butir arahan GBHN sebagaimana ditetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/ 1999. Kesepuluh arahan tersebut adalah sebagai berikut:53 1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum. 2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan jender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi. 3. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian 52 53
Ibid., hal. 1509 – 1528. Ibid., hal. 1524.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi
51
hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia. 4. Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk undang-undang. 5. Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum, termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan serta pengawasan yang efektif. 6. Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak mana pun. 7. Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional. 8. Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah, dan terbuka, serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan kebenaran. 9. Meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan perlindungan, penghormatan, dan penegakkan hak asasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan. 10. Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang belum ditangani secara tuntas. Jika dilakukan peninjauan secara komprehensif, politik pembangunan hukum nasional yang diarahkan pada era pasca reformasi ini masih terkena pengaruh pandangan Friedman, walaupun pengaruhnya – terutama dalam konteks pemberian judul-judul Bidang atau Subbidangnya, karena memang tidak dibagi atas hal-hal tersebut – tidak sebesar pengaruhnya dalam GBHN 1993. Namun pengaruh ini akan terlihat lebih jelas lagi pada politik pembangunan hukum nasional dalam era pasca reformasi. Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi Dalam era pasca reformasi, sebagaimana disinggung di muka, politik pembangunan hukum nasional merujuk pada beberapa arahan yang bertajuk “Pembenahan dan Sistem Politik Hukum” yang merupakan salah satu bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20042009.54 Dengan demikian pembahasan dalam bagian berikutnya ini juga akan 54
Lihat Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, loc. cit.
52
Reformasi Hukum
didasarkan pada ketiga unsur sistem hukum tersebut. Dalam Perpres ini pengaruh Friedman sangat tampak pada bagian-bagian awal, dimana permasalahan politik pembangunan hukum nasional ditinjau dari 3 (tiga) hal: substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Dalam konteks substansi hukum, terdapat beberapa permasalahan yang mengemuka antara lain sebagai berikut: terjadinya tumpang tindih dan inkosistensi peraturan perundang-undangan dan implementasi undang-undang terhambat peraturan pelaksanaannya.55 Selanjutnya dalam konteks struktur hukum juga disebutkan beberapa kendala antara lain sebagai berikut: kurangnya independensi dan akuntabilitas kelembagaan hukum, padahal faktor independensi dan akuntabilitas merupakan dua sisi mata uang logam. Selanjutnya disinggung pula mengenai kualitas sumber daya manusia di bidang hukum – mulai dari peneliti hukum, perancang peraturan perundang-undangan sampai tingkat pelaksana dan penegak hukum – masih memerlukan peningkatan. Ditegaskan pula mengenai permasalahan sistem peradilan yang transparan dan terbuka. Konteks ini juga menyarankan perlunya pelaksanaan pembinaan satu atap oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai upaya untuk mewujudkan kemandirian kekuasaan kehakiman dan menciptakan putusan pengadilan yang tidak memihak (impartial). Terakhir, dalam konteks budaya hukum, disoroti beberapa permasalahan antara lain sebagai berikut: timbulnya degradasi budaya hukum di lingkungan masyarakat. Gejala ini ditandai dengan meningkatnya apatisme seiring dengan menurunnya tingkat apreasiasi masyarakat, baik kepada substansi hukum maupun kepada struktur hukum yang ada. Selanjutnya disinggung pula permasalahan menurunnya kesadaran akan hak dan kewajiban hukum dalam masyarakat. Sehubungan dengan beberapa permasalahan tersebut, menurut Perpres tersebut, sasaran yang akan dilakukan dalam tahun 2004 – 2009 adalah terciptanya sistem hukum nasional yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif (termasuk tidak diskriminatif terhadap perempuan atau bias jender); terjaminnya konsistensi sekuruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi; dan kelembagaan peradilan dan penegak hukum yang berwibawa, bersih, profesional dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan masyarakat secara keseluruhan kepada hukum.56 55
Ibid., khususnya pada Bab 9 mengenai “Pembenahan Sistem dan Politik Hukum”, khususnya pada bagian “Permasalahan”. 56 Ibid., khususnya bagian “Sasaran”.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi
53
Berkaitan dengan hal-hal sebagaimana diuraikan di muka, “politik pembangunan hukum nasional”57 antara tahun 2004 – 2009 diarahkan pada kebijakan untuk memperbaiki substansi (materi) hukum, struktur (kelembagaan) hukum, dan kultur (budaya) hukum, melalui upaya:58 1. Menata kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan untuk memperhatikan tertib perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hirarki perundang-undangan; dan menghormati serta memperkuat kearifan lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan materi hukum nasional. 2. Melakukan pembenahan struktur hukum melalui penguatan kelembagaan dengan meningkatkan profesionalisme hakim dan staf peradilan serta kualitas sistem peradilan yang terbuka dan transparan; menyederhanakan sistem peradilan, meningkatkan transparansi agar peradilan dapat diakses oleh masyarakat dan memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan memihak pada kebenaran; memperkuat kearifan lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan hukum nasional. 3. Meningkatkan budaya hukum antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi berbagai peraturan perundang-undangan serta perilaku keteladanan dari kepala negara dan jajarannya dalam mematuhi dan menaati hukum serta penegakan supremasi hukum. Untuk melakukan pembaruan terhadap substansi (materi) hukum nasional, diperlukan penelitian yang bersifat mendalam, agar tujuan meniadakan tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan sebagaimana dikemukakan di muka dapat dihindari. Karena adanya Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945,59 pasca Proklamasi Kemerdekaan masih terjadi keanekaragaman hukum. Berdasarkan hal tersebut, banyak peraturan dari masa kolonial yang masih berlaku. Data pada sekitar tahun 1992 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 400 (empat ratus) peraturan dari masa kolonial yang masih berlaku hingga saat itu. 57
Atau diistilahkan oleh Perpres Nomor 7 Tahun 2005 sebagai “pembenahan sistem dan politik hukum”. 58 Lihat Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, loc. cit., bagian “Arah Kebijakan”. 59 Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang dimaksud terutama adalah ketentuan yang ada di dalam naskah asli UUD 1945 (sebelum diubah), yang menyatakan sebagai berikut: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
54
Reformasi Hukum
Berdasarkan data dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), diperkirakan bahwa peraturan-peraturan yang pernah dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda sampai dengan tahun 1949 berjumlah sekitar 7.000 peraturan. Jika dikaitkan dengan jumlah peraturan yang dikeluarkan per tahun sejak tahun 1819 – 1949 di dalam Buku Kumpulan Peraturan Perundangundangan Hindia Belanda yang disusun oleh Mr. E.M.L. Engelbrecht (terbitan tahun 1960), maka jumlah tersebut dapat dikatakan mendekati kebenaran.60 Dengan adanya pemberlakuan beberapa peraturan baru untuk menggantikan peratruran-peraturan lama tersebut, jumlah yang tersisa tidak lagi sekitar 400 peraturan, tetapi telah agak berkurang.61 Karena itu maka permasalahan utama politik pembangunan hukum nasional antara lain adalah sebagai berikut: (1) memperbarui atau mengganti peraturan hukum dari masa kolonial yang masih berlaku melalui Aturan Peralihan UUD 1945; dan (2) menciptakan hukum baru yang secara utuh bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 (termasuk Perubahan-perubahannya), sesuai dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat pada tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional dalam era globalisasi.62 Untuk mencapai berbagai tujuan yang disebutkan di muka, Perpres menetapkan berbagai program pembangunan yang mencakup 5 (lima) hal sebagai berikut:63 60
Untuk mendapatkan data yang lebih detail mengenai hal ini, lihat Roesminah, et. al. “Laporan Akhir Tim Penyusunan Rencana Pencabutan Peraturan Perundang-undangan Kolonial”. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1991/1992. Menurut pengamatan penulis, hingga saat ini belum ada langkah-langkah tindak lanjut yang signifikan terhadap hasil penelitian ini, dalam arti belum ada langkah-langkah kongkrit untuk melakukan penggantian secara progresif terhadap peraturan perundang-undangan kolonial. Hal ini misalnya dapat dilihat dari naskah “Program Legislasi Nasional Tahun 2005 – 2009”; dari sekitar 284 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diprogramkan untuk diselesaikan antara tahun 2005 – 2009 – atau yang nota bene bisa dikatakan sebagai politik (pembangunan) perundang-undangan kita pada era pasca reformasi – sangat sedikit sekali (atau bisa dikatakan hampir-hampir tidak ada) peraturan perundang-undangan kolonial yang diprogramkan untuk diganti. 61 Diantara peraturan-peraturan baru yang diberlakukan untuk menggantikan peraturanperaturan lama tersebut ialah UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang “Perbendaharaan Negara”, yang menggantikan Indische Comptabiliteits Wet (ICW) (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448). 62 Untuk memahami mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan globalisasi, lihat Joseph Stiglitz, Globalization and Its Discontents (London: Penguin Books, 2002). Penulis buku ini memenangkan Hadiah Nobel untuk bidang Ekonomi pada tahun 2001; Sebagai bahan diskusi lihat pula Sunaryati Hartono, “Pembinaan Hukum Nasional dalam Suasana Globalisasi Masyarakat Dunia.” (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran pada tanggal 1 Agustus 1991). 63 Lihat Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, loc. cit., bagian “Programprogram Pembangunan”; Bandingkan juga beberapa program reformasi hukum yang diuraikan dalam Firoz Gaffar dan Ifdhal Kasim, eds. Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta:
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi
55
1. program perencanaan hukum; 2. program pembentukan hukum; 3. program peningkatan kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegakan hukum lainnya; 4. program peningkatan kualitas profesi hukum; 5. program peningkatan kesadaran hukum dan hak asasi manusia. Penutup Berdasarkan berbagai uraian di muka, dapat disimpulkan bahwa pembangunan hukum nasional merupakan salah satu bidang pembangunan yang penting, yang juga memerlukan perhatian dan penanganan secara intensif sebagaimana bidang-bidang pembangunan lainnya. Dari tinjauan historis tampak bahwa terjadi permasalahan yang terkait dengan inkonsistensi dan tumpang tindihnya berbagai peraturan dalam pelbagai bidang. Inkonsistensi dan tumpang tindihnya berbagai peraturan ini menyebabkan upaya pembangunan hukum nasional menjadi agak sulit dilakukan. Politik pembangunan hukum nasional yang diberlakukan sejak masa Orde Lama hingga era Pasca Reformasi saat ini sebenarnya cukup memberikan akomodasi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan sebagaimana disebutkan di muka, namun demikian dalam realitanya politik pembangunan hukum nasional tersebut terkesan agak sulit diterapkan, sehingga dalam beberapa sisi, politik pembangunan hukum nasional dimaksud terkesan agak menjadi sloganistis. Sehubungan dengan hal tersbut dibutuhkan suatu politik pembangunan hukum nasional yang komprehensif untuk memperbaiki dan menyempurnakan tatanan hukum dalam era pasca reformasi. Sehubungan dengan hal tersebut, permasalahan utama politik pembangunan hukum nasional antara lain adalah sebagai berikut: (1) memperbarui atau mengganti peraturan hukum dari masa kolonial yang masih berlaku melalui Aturan Peralihan UUD 1945; dan (2) menciptakan hukum baru yang secara utuh bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 (termasuk Perubahan-perubahannya), sesuai dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat pada tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional dalam era globalisasi.
Cyberconsult, 2000; Lihat pula beberapa hasil studi dari Komisi Hukum Nasional (KHN) Republik Indonesia, antara lain Komisi Hukum Nasional, Kebijakan Reformasi Hukum: Suatu Rekomendasi (Jakarta: KHN, 2003).
56
Reformasi Hukum
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Apeldoorn, L.J. van. Inleiding tot de Studie van Het Nederlandse Recht, atau Pengantar Ilmu Hukum, terj. Oetarid Sadino. Jakarta: Pradnya Paramita, 1981. Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Asshiddiqie, Jimly. Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi. Jakarta: Balai Pustaka, 1998. Berman, Harold J. Law and Revolution: The Formation of the Western Legal Tradition. Cambridge: Harvard University Press, 1983. Claude, Richard Pierre dan Burns H. Weston, eds. Human Rights in the World Community. Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1992. Coper, Michael and George Williams, eds. The Cauldron of Constitutional Change. Canberra: Centre for International and Public Law Faculty of Law Australian National University, 1997. Dallmayr, Fred R. Achieving Our World: Toward a Global and Plural Democracy. Lanham: Rowman dan Littlefield Publishers, Inc., 2001. Dallmayr, Fred dan José M. Rosales, eds. Beyond Nationalism?: Sovereignty and Citizenship. Lanham: Lexington Books, 2001. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam Proses Demokratisasi: Laporan Pelaksanaan Fungsi, Tugas, dan Wewenang DPR RI pada Sidang Tahunan MPR RI, Tahun Pertama 1999 – 2000. Jakarta: Agustus 2000 _______. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam Proses Demokratisasi: Laporan Pelaksanaan Fungsi, Tugas, dan Wewenang DPR RI pada Sidang Tahunan MPR RI, Tahun Kedua 2000 – 2001. Jakarta: November 2001. Emmerson, Donald K., ed. Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan The Asia Foundation, 2001. Farnsworth, E. Allan. An Introduction to the Legal System of the
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi
57
United States. Oceana: 1983. Finer, S.E., Vernon Bogdanor, dan Bernard Rudden. Comparing Constitutions. Oxford: Clarendon Press, 1995. Friedman, Lawrence M. A History of American Law. New York: Simon and Schuster, 1973. _______. American Law: An Introduction. New York: W.W. Norton dan Company, 1984. Friedmann, Wolfgang. Law in a Changing Society. Middlesex: Penguin Books, 1972. _______. Legal Theory. New York: Columbia University Press, 1967. Fukuyama, Francis. State Building: Governance and World Order in the Twenty-First Century. London: Profile Books, 2005. Gaffar, Firoz dan Ifdhal Kasim, eds. Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Cyberconsult, 2000. International IDEA (Lembaga Internasional untuk Bantuan Demokrasi dan Pemilu. Penilaian Demokratisasi di Indonesia. Pengembangan Kapasitas Seri 8. Jakarta: International IDEA, 2000. Komisi Hukum Nasional (KHN) Republik Indonesia, antara lain Komisi Hukum Nasional, Kebijakan Reformasi Hukum: Suatu Rekomendasi (Jakarta: KHN, 2003). Kritz, Neil J., ed. Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Regimes, Volume I: General Considerations. Washington, D.C.: United States Institute of Peace Press, 1995. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI). Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003. Merryman, John Henry. The Civil Law Tradition: An Introduction to the Legal Western Europe and Latin America. Stanford: Stanford University Press, 1985. Pickles, John dan Adrian Smith, eds. Theorising Transition: The Political Economy of Post-Communist Transformations. London: Routledge, 1998.
58
Reformasi Hukum
Stiglitz, Joseph. Globalization and Its Discontents. London: Penguin Books, 2002. Teitel, Ruti G. Transitional Justice. Oxford: Oxford University Press, 2000. Tim Sejarah BPHN. Sejarah Badan Pembinaan Hukum Nasional. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2005. B. Artikel Arinanto, Satya. “Kinerja Kabinet Persatuan Nasional Menjelang 100 Hari: Beberapa Catatan Bidang Hukum.” Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari “Kinerja Kabinet Persatuan Nasional Menjelang 100 Hari” yang diselenggarakan oleh Panitia Sembilan di Jakarta, 24 Januari 2000. _______. “Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.” Pidato Ilmiah Dies Natalis XIV dan Wisuda Sarjana Strata Satu (S1) Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jakarta di Jakarta, 15 Juni 2002. _______. “Beberapa Catatan tentang Sistem Hukum.” Makalah disampaikan dalam Pra Seminar Hukum Nasional dengan tema “Reformasi Hukum Melalui Peningkatan Kinerja Lembaga-lembaga Hukum” yang diselenggarakan atas kerja sama Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman dan HAM RI dan Komisi Hukum Nasional (KHN) RI di Jakarta, 31 Oktober – 1 November 2002. Radhie, Teuku Mohammad. “Pembaruan Hukum di Indonesia,” dalam Guru Pinandita: Sumbangsih untuk Prof. Djokosoetono, S.H. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2006, hal. 569 – 590. Schmitter, Philippe C. “Recent Developments in the Academic Study of Democratization: Lesson for Indonesia from ‘Transitology’ and ‘Consolidology’.” Paper presented on the Inauguration and Colloquium of the Habibie Center in Jakarta, 22 – 24 May, 2000. C. Majalah Ilmiah Arinanto, Satya. “Reformasi Hukum, Demokratisasi, dan Hak-hak Asasi Manusia,” Hukum dan Pembangunan, Nomor 1 – 3, Tahun XXVIII, Januari – Juni 1998, hal. 124 – 125. _______.“Implementation of the House of Representatives’s Legislation Function,” TRACeS, Volume III, Number 1, January 2002, hal.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi
59
22. Kommers, Donald P. “German Constitutionalism: A Prolegomenon,” Emory Law Journal, Volume 40, Number 3, Summer 1991, hal. 837 – 873. Teitel, Ruti G. “Transitional Jurisprudence: The Role of Law in Political Transformation,” The Yale Law Journal, Volume 106, Issue 7, May 1997, hal. 2009 – 2080. D. Suratkabar Arinanto, Satya. “Konstitusi Baru dan Komisi Konstitusi,” Kompas, 8 Mei 2001, hal. 7. _______. “Empat Tahun Reformasi Hukum,” Koran Tempo, 15 Mei 2002, hal. B7. Schmemann, Serge. “Ideas and Trends: Transitional Justice; How to Face the Past, Then Close the Door,” The New York Times, Premium Archive, 8 April 2001. T07/Elok Dyah Messwati/Budiman Tanoredjo. “Indonesia Baru, Kultur Lama,” Kompas, 12 Agustus 2002, hal. 25. E. Data/Sumber yang Tidak Diterbitkan Arinanto, Satya. “Constitutional Law and Democratization in Indonesia.” Jakarta: Publishing House Faculty of Law University of Indonesia, 2000. Hartono, Sunaryati. “Pembinaan Hukum Nasional dalam Suasana Globalisasi Masyarakat Dunia.” Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran pada tanggal 1 Agustus 1991. Roesminah, et. al. “Laporan Akhir Tim Penyusunan Rencana Pencabutan Peraturan Perundang-undangan Kolonial”. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1991/1992. F. Internet Ima “Hasil Amandemen Keempat UUD 1945 Diusulkan Dijadikan Konstitusi Transisi.” .(http://www.kompas.com/utama/news/0204/24/ 022847.htm). 24 April 2002. Oki“Perlu Kesepakatan tentang Masa Transisi: Untuk Penerapan “Transitional Justice.” (http://www.kompas.com/kompascetak/0010/26/
60
Reformasi Hukum
nasional/perl07.htm).24 Oktober 2000. Prim “Konstitusi Transisi Ganggu Kehidupan Bangsa dan Negara.” (http:/ /www.kompas.com/utama/news/0204/30/051735.htm) 30 April 2002. G. Peraturan Dasar dan Peraturan Perundang-undangan Basic Law for the Federal Republic of Germany. Promulgated by the Parliamentary Council on 23 May 1949. Bonn: Press and Information Office of the Federal Government, 1995. Departemen Penerangan Republik Indonesia. Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1973. Jakarta: Pradnya Paramita, 1978. Ketetapan-ketetapan MPR RI 1993 Beserta Susunan Kabinet Pembangunan VI. Semarang: Aneka Ilmu, 1993. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapanketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1998. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 1998. .Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Ketetapanketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 1999. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Putusan Sidang Istimewa MPR RI Tahun 2001. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2001. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Himpunan Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960 sampai dengan 2002. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002. Republik Indonesia. Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004, LN Nomor 5 Tahun 2004, TLN Nomor 4355. Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, Perpres Nomor 7 Tahun 2005, LN Nomor 11 Tahun 2005.
Menata Ulang Pengawasan Eksternal Hakim Pascapengujian Undang-Undang
61
MENATA ULANG PENGAWASAN EKSTERNAL HAKIM Pascapengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial A. Ahsin Thohari Abstrak Tidak ada lagi pengawasan eksternal hakim! Itulah kesimpulan yang dapat diperoleh setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memereteli kewenangan lembaga pengawas eksternal hakim––Komisi Yudisial (KY)––melalui Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, yang diucapkan 23 Agustus 2006. Tidak tanggung-tanggung, putusan itu seperti mencabut separuh nyawa kewenangan KY: pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Kini, KY hanya hidup dengan separuh nyawa kewenangan lain: mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), suatu wewenang yang sangat sumir bagi lembaga negara yang wewenangnya bersumber langsung dari konstitusi (constitutionally based power). Ironisnya, pembuat undang-undang (DPR dan Presiden) sampai saat ini belum melakukan perbaikan (legislative review) terhadap UndangUndang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Padahal, jika pengawasan eksternal hakim tidak bisa dijalankan, hanya pengawasan internal hakim di Mahkamah Agung yang penuh distorsi, manipulasi, dan perlindungan semangat korps yang dapat diandalkan. Pendahuluan Hampir setahun berlalu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap permohonan pengujian undang-undang (judicial review) yang diajukan 31 (tiga puluh satu) hakim agung pada Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia. Para hakim agung itu menganggap hak dan kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-undang Nomor 22
62
Reformasi Hukum
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY),1 khususnya yang berkaitan dengan “pengawasan hakim” yang diatur dalam Bab III Pasal 20 dan Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5) serta yang berkaitan dengan “usul penjatuhan sanksi” yang diatur dalam Pasal 21, Pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) dihubungkan dengan Bab I Pasal 1 butir 5 UU KY. Pasal-pasal tersebut dianggap menimbulkan kerugian pada para pemohon karena hakim agung (juga hakim konstitusi) menjadi objek pengawasan serta dapat diusulkan sebagai objek penjatuhan sanksi oleh KY. Sebagaimana diketahui, akhirnya MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon. Putusan MK itu mengakibatkan: (1) hakim konstitusi tidak termasuk hakim yang perilaku etiknya harus diawasi KY; dan (2) KY tidak lagi mempunyai wewenang pengawasan. Dengan demikian, saat ini tidak ada lagi ketentuan peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi yang mengharuskan adanya pengawasan eksternal hakim. Singkatnya, saat ini terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum) di bidang pengawasan eksternal hakim. Padahal, pengawasan internal yang dilakukan MA sampai saat ini dapat dikatakan masih belum efektif. Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan bahkan secara ekstrem menilai, MA tidak mengalami kemajuan apa pun dalam pengawasan internal.2 Di lain pihak, dengan putusan itu, keberadaan KY pun menjadi tidak terlalu relevan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia jika wewenangnya hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR–– “wewenang sumir” yang seyogianya hanya boleh diperankan oleh panitia yang dibuat secara khusus dan bersifat sementara (ad hoc committee), bukan oleh lembaga negara permanen yang wewenangnya bersumber langsung dari konstitusi (constitutionally based power). Tulisan ini tidak bermaksud untuk membedah putusan MK yang sudah memperoleh kekuatan hukum mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 23 Agustus 2006 yang lalu, tetapi hanya ingin mendiskusikan apa yang “tersisa” dan masih bisa dilakukan perbaikan ke depan seperlunya setelah pasal-pasal inti (core provisons) UU KY yang menyangkut ketentuan-ketentuan mengenai pengawasan dan perilaku hakim dinilai MK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1
2
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, UU No. 22 Tahun 2004, LN No. 89, TLN No. 4415. Lihat ANA, “Pengawasan Tak Efektif: Kresna Menon Dipromosikan Jadi Wakil Ketua PN Bandung”, Harian Kompas, Edisi Rabu, 25 April 2007, hal.3.
Menata Ulang Pengawasan Eksternal Hakim Pascapengujian Undang-Undang
63
(UUD) 1945. Hal ini mengingat, sebagaimana diakui oleh Ketua KY Busyro Muqoddas, KY belakangan ini mengalami keterbatasan ruang gerak dalam mengawasi perilaku hakim, menyusul putusan MK yang menganulir beberapa kewenangan KY.3 Lalu, apa yang bisa ditawarkan kepada semua pemangku kepentingan hukum agar pengawasan eksternal dapat segera diwujudkan kembali sesuai dengan amanat Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 yang mengandung semangat bahwa pembentukan KY dimaksudkan agar masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim?4 Selain itu, apa upaya-upaya bisa ditawarkan kepada semua pemangku kepentingan hukum agar KY dapat “diselamatkan” keberadaannya, sehingga tidak terjerumus menjadi organ konstitusional dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang mubazir karena hanya memiliki wewenang yang semestinya cukup diperankan panitia seleksi insidental yang menginduk departemen teknis tertentu? Menolak Gagasan Ketua MA Di saat pengawasan eksternal hakim tidak bisa lagi diperankan KY karena putusan MK, Ketua MA Bagir Manan justru melontarkan gagasan kontroversial agar KY dipimpin oleh Ketua MA secara ex officio.5 Gagasan ini seperti menjadi bukti bahwa elit MA sendiri justru alergi dengan pengawasan eksternal hakim dan ingin mengukuhkan kembali pengawasan internal hakim seperti sebelum lahirnya KY. Terlepas dari apakah gagasan itu etis atau tidak dilontarkan oleh Ketua MA, melihat sikap-sikap Ketua MA dan hakim agung lain terhadap KY sebelumnya dan pengalaman sejarah pengawasan hakim kita yang dikelola secara “kekeluargaan”, gagasan itu boleh dibilang sangat tendensius dan ahistoris. Tendensius karena selama ini Ketua MA menampilkan sikap yang tidak bersahabat dan resisten terhadap kehadiran KY yang ditandai dengan mengabaikan semua rekomendasinya dan sejumlah hakim agung mengajukan permohonan pengujian UU KY kepada MK sebagaimana disinggung di atas. Ahistoris karena munculnya gagasan pembentukan KY sebagai pengawas eksternal hakim di Indonesia justru dipicu oleh tidak 3
4
5
ANS, “Komisi Yudisial: MA Belum Pernah Tangani Hakim Nakal”, Harian Kompas, Edisi Senin, 23 April 2007, hal. 3. Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hal. 42. ANA, “Gagasan Bagir Dikritik: Mengusulkan Komisi Yudisial Dipimpin Ketua MA secara ‘Ex Officio’”, Harian Kompas, Edisi Jumat, 2 Maret 2007, hal.3.
64
Reformasi Hukum
pengawasan hakim seperti sebab utama pembentukan KY di Indonesia. Dengan demikian, sangat tidak adil membandingkan dua lembaga di negara berbeda yang dibentuk dengan alasan dan latar belakang sejarah berbeda pula. Oleh karena itu, penulis cenderung menolak gagasan Ketua MA. Pada titik ini, respons-respons Ketua MA yang kurang menghargai sepak terjang KY bisa diartikan sebagai––sekali lagi––sikap alergi MA terhadap perubahan. Tampaknya MA terlanjur menikmati tirani yudikatif yang dikelola secara tertutup, sehingga tidak mau berbagi tugas pengawasan terhadap hakim dengan pihak lain. Dengan uraian tersebut, sangat naif untuk mengatakan bahwa gagasan Ketua MA agar KY dipimpin oleh Ketua MA secara ex officio tidak ada kaitan dengan episode perseteruan MA-KY sebelumnya. Sebagaimana diketahui, konflik terbuka MA-KY dapat dilihat sejak rencana KY menyeleksi ulang hakim agung yang dibalas MA dengan usulan menyeleksi ulang anggota KY; KY mengumumkan hakim bermasalah pada tahap pemeriksaan awal yang menurut MA seharusnya menjadi rahasia; dan rekomendasi sanksi KY terhadap sejumlah hakim yang diabaikan MA.10 Jadi, reformasi peradilan gagal justru di tangan benteng terakhir peradilan sendiri, sebuah ironi luar biasa mengingat semangat reformasi peradilan merupakan perintah langsung dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004.11 Undang-undang itu memerintahkan upaya-upaya pemberdayaan peradilan dengan cara meningkatkan pengawasan proses peradilan secara transparan, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan sistem manajemen dan administrasi peradilan, menyusun sistem perekrutan dan promosi hakim dan penegak hukum lain yang lebih ketat, serta mengembangkan pengawasan terhadap proses perekrutan dan
10
11
Comparative Perspective for the Establishment of Judicial Commission in Indonesia”, (makalah disampikan dalam Seminar Sehari Komisi Yudisial, diselenggarakan kerja sama antara Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI dengan Australian Legal Resources International, Jakarta, 24 Juli 2002), hal. 1-2.. Sebagai catatan, menurut Ketua KY Busyro Muqoddas, sampai dengan dibuatnya tulisan ini, KY sudah merekomendasikan 18 (delapan belas) hakim yang diduga melanggar kode etik atau melakukan penyimpangan agar diberi sanksi oleh MA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, belum satu pun rekomendasi KY yang ditindaklanjuti MA. Lihat ANS, loc. cit. Selain itu, seakan ingin meruntuhkan moral KY, Ketua MA Bagir Manan justru mempromosikan Kresna Menon––hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang pernah direkomendasikan KY diberhentikan sementara selama setahun––sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung. Lihat ANA, “Pengawasan..., loc. cit. Republik Indonesia, Undang-undang tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004, UU No. 25 Tahun 2000, LN No. 206 Tahun 2000.
Menata Ulang Pengawasan Eksternal Hakim Pascapengujian Undang-Undang
65
promosi hakim dan penegak hukum lain. Untuk memuluskan langkah itu, salah satunya diamanatkanlah pembentukan KY. Kesalahan Rancang Bangun Secara kelembagaan, KY dapat dikatakan sebagai komisi yang memiliki keunikan jika dibandingkan dengan komisi lain. Pertama, berbeda dengan komisi-komisi yang lain, kewenangan KY diberikan langsung oleh UUD 1945, yaitu Pasal 24B. Memang, komisi pemilihan umum juga mempunyai kewenangan yang diberikan langsung oleh UUD 1945, yaitu Pasal 22E ayat (5), tetapi komisi pemilihan umum yang dimaksud dalam pasal tersebut bukan sebuah nama definit. Buktinya penulisannya tidak dengan huruf kapital, yang menunjukkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum apa pun nama lembaganya. Kedua, Berbeda dengan komisi-komisi yang lain, KY secara tegas dan tanpa keraguan merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman meskipun bukan dalam pengertian sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, karena pengaturannya ada dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman yang terdapat dalam UUD 1945.12 Pengaturan KY dalam UUD 1945 itu tidak terlepas dari adanya upaya untuk memperkuat kekuasaan kehakiman dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, sebagai konsekuensi logis dari dianutnya paham negara hukum yang salah satunya diwujudkan dengan cara menjamin perekrutan hakim agung yang kredibel dan menjaga kontinuitas hakim-hakim yang bertugas di lapangan untuk tetap berpegang teguh pada nilai-nilai moralitasnya sebagai seorang hakim yang harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil, serta menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme. Dalam kerangka inilah Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001 hadir dan mengamanatkan terbentuknya lembaga yang disebut KY.13 Akan tetapi, sayangnya, Pasal 24B UUD 1945 cenderung lebih menempatkan KY sebagai penjaga (watchdog) yang hanya didesain untuk mencari kesalahan hakim daripada sebagai mitra kerja sejajar (sparring 12
13
A. Ahsin Thohari, “Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Hukum Jentera, Edisi 12 Tahun III, April-Juni 2006, hal. 34. A. Ahsin Thohari, “Peranan Komisi Yudisial dalam Rangka Mewujudkan Gagasan Checks and Balances System di Cabang Kekuasaan Kehakiman”, (makalah disampaikan dalam Diskusi Mimbar Konstitusi dengan tema “Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan: Menyambut Terbentuknya Komisi Yudisial Republik Indonesia”, diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengkajian Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia atau Puslitka MK RI, di Hotel Millenium, Jakarta, Kamis, 28 April 2005), hal. 1.
66
Reformasi Hukum
partner) yang––selain mencari kesalahan––juga bisa memberikan penghargaan terhadap prestasi, bahkan memperjuangkan kesejahteraannya. Selain mengusulkan pengangkatan hakim agung, Pasal 24B UUD 1945 hanya memberikan kewenangan kepada KY untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Kewenangan itu diterjemahkan menjadi bentuk pengawasan yang didesain secara tidak maksimal oleh UU KY, sehingga akhirnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK. Ini berbeda dengan konstitusi Italia, misalnya, di mana selain berwenang melakukan pengangkatan dan pemberhentian serta tindakan pendisiplinan hakim, Superior Council of the Judiciary juga berwenang melakukan mutasi dan promosi hakim.14 Jadi, peran KY sebenarnya tidak hanya di ranah preventif-represif, tetapi juga konsultatif-protektif. Itu sebabnya di beberapa negara nomenklatur untuk KY adalah Komisi Pelayanan Yudisial (Judicial Service Commission). Fungsi pelayanan terhadap hakim inilah yang tidak diatur dalam konstitusi kita. Semestinya UU KY perbaikan kelak dapat mengatur fungsi ini. Berlarut-larutnya perseteruan kedua organ konstitusional itu, hemat penulis, salah satunya disebabkan oleh adanya kesalahan rancang bangun kelembagaan KY pada tingkat konstitusi, yang kemudian diperparah dengan undang-undang di bawahnya yang tidak sempurna. Catatan Akhir Tujuan semula (original intention) Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 pada saat dibuat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana tertulis dalam buku Panduan dalam Memasyarakatkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah kehadiran KY di Indonesia didasari pemikiran bahwa hakim agung yang duduk di MA dan para hakim merupakan figur-figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan, apalagi hakim agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi dalam susunan peradilan. Sebagai negara hukum, masalah kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku seluruh hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk mendukung upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham Indonesia adalah negara hukum. Melalui KY ini, diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan 14
The Constitution of Italy, the translation of the later amendments by Bernard E. DeLury, Jr., published in 1994.
Menata Ulang Pengawasan Eksternal Hakim Pascapengujian Undang-Undang
67
penegakan hukum dan pencapaian keadilan melalui putusan hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya.15 Oleh karena itu, semua pemangku kepentingan hukum sebaiknya tidak boleh lupa terhadap original intention tersebut, sehingga (1) masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim; dan (2) KY tidak terjerumus menjadi organ konstitusional dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang mubazir karena hanya memiliki wewenang yang semestinya cukup diperankan panitia seleksi insidental yang menginduk departemen teknis tertentu. Palu sudah diketuk oleh Ketua MK. Putusan MK juga sudah memperoleh kekuatan hukum mengikat (legal binding force) sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Meskipun putusan itu masih dapat diperdebatkan di ruang wacana, namun tetap berlaku asas hukum res judicata pro veritate habetur atau de inhoud van het vonnis geld als waard (apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap sebagai benar). Berkaca pada beberapa uraian di atas, beberapa hal yang perlu mendapat perhatian bersama adalah: 1. Pengawasan hakim oleh lembaga eksternal tetap diperlukan untuk menghindari distorsi, manipulasi, dan munculnya semangat korps yang selama ini ditunjukkan pengawasan internal; 2. Pola hubungan yang harus dibangun antara MA-KY seyogianya adalah mitra sejajar (sparring partner), di mana KY selain berperan sebagai pengawas hakim (watchdog) juga berperan sebagai pihak yang dapat memperjuangkan kepentingan hakim tanpa harus membuat keduanya kehilangan kemandirian. Dalam bahasa Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006, hubungan MA-KY sebaiknya bersifat mandiri tetapi saling berkait (independent but interrelated);16 dan 3.Revisi terhadap UU KY perlu segera dilakukan untuk menyelamatkan KY dengan mengakomodasi Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006, mengingat KY adalah organ konstitusional yang 15
16
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003), hal. 195. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, diucapkan pada Rabu 23 Agustus 2006.
68
Reformasi Hukum
semestinya dimaksimalkan wewenangnya oleh undang-undang, bukan justru undang-undang itu menghambat wewenang KY dalam melakukan pengawasan eksternal hakim sebagaimana diamanatkan konstitusi. *** Daftar Pustaka ANA, 2007. “Gagasan Bagir Dikritik, Mengusulkan Komisi Yudisial Dipimpin Ketua MA secara ‘Ex Officio’”, Harian Kompas. Edisi Jumat, 2 Maret 2007. _______, 2007. “Pengawasan Tak Efektif: Kresna Menon Dipromosikan Jadi Wakil Ketua PN Bandung”, Harian Kompas. Edisi Rabu, 25 April 2007. ANS, 2007. “Komisi Yudisial: MA Belum Pernah Tangani Hakim Nakal”, Harian Kompas. Edisi Senin, 23 April 2007. Assegaf, Rifqi S., dan Josi Khatarina, 2005. Membuka Ketertutupan Pengadilan, Pokok Pemikiran dan Usulan Rancangan SK Ketua Mahkamah Agung tentang Pedoman Pelaksanaan Hak Masyarakat Memperoleh Informasi Pengadilan. Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan/LeIP didukung oleh The Asia Foundation dan USAID. Asshiddiqie, Jimly, 2002. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. HK, 1968. “Mahkamah Agung sebagai Puncak Keempat Macam Peradilan Menjurus ke Peradilan Terpimpin”. Harian Kompas, Edisi Djum’at, 1 Nopember 1968. _______, 1968. “RUU tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung Dibitjarakan DPRGR”, Harian Kompas. Edisi Senin, 21 Oktober 1968. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 005/PUUIV/2006, diucapkan pada Rabu, 23 Agustus 2006. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2003. Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menata Ulang Pengawasan Eksternal Hakim Pascapengujian Undang-Undang
69
Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI. Schmatt, Ernest, 2002. “Implementation of Judicial Commission in New South Wales as a Comparative Perspective for the Establishment of Judicial Commission in Indonesia”, makalah disampikan dalam Seminar Sehari Komisi Yudisial, diselenggarakan kerja sama antara Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI dengan Australian Legal Resources International, Jakarta, 24 Juli 2002. The Constitution of Italy. The translation of the later amendments by Bernard E. DeLury, Jr., published in 1994. Thohari, A. Ahsin, 2006. “Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Hukum Jentera, Edisi 12 Tahun III, April-Juni 2006. _______, 2004. Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan. Cetakan Pertama, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/ELSAM. _______, 2004. “Membangun Komisi Yudisial”, Harian Kompas, Edisi Jumat, 23 Januari 2004. _______, 2005. “Peranan Komisi Yudisial dalam Rangka Mewujudkan Gagasan Checks and Balances System di Cabang Kekuasaan Kehakiman”. Makalah disampaikan dalam Diskusi Mimbar Konstitusi dengan tema “Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan: Menyambut Terbentuknya Komisi Yudisial Republik Indonesia”, diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengkajian Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Puslitka MK RI), di Hotel Millenium, Jakarta, Kamis, 28 April 2005. Republik Indonesia, 2004. Undang-Undang tentang Komisi Yudisial. UU No. 22 Tahun 2004, LN No. 89, TLN No. 4415. _______, 2004. Undang-undang tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004. UU No. 25 Tahun 2000, LN No. 206 Tahun 2000.
70
Reformasi Hukum
SISTEM PERADILAN, PENYIMPANGAN DAN LEMBAGA PENGAWASAN Topo Santoso Abstarak Tulisan ini membahas mengenai kondisi umum dan masalah yang terjadi dalam sistem peradilan pidana (termasuk penyimpangannya) dan bagaimana peranan lembaga-lembaga negara bidang hukum yang terkait dengan sistem ini. Selama ini memang sudah ada pengawasan internal dalam sistem peradilan pidana, tetapi menipisnya kepercayaan publik telah mendorong lahirnya lembagalembaga pengawas (atau paling tidak yang menerima laporan/ keluhan publik), yang menjadi pertanyaan sejauh mana lembagalembaga semacam itu dapat bekerja memenuhi harapan publik dan perbaikan apa yang perlu dilakukan ke depan. Secara umum, tampaknya perhatian terhadap lembaga peradilan cukup tinggi, sementara lembaga pemasyarakatan sangat rendah sehingga perlu ditingkatkan. A. Sistem Peradilan di Indonesia dan Masalahnya Saat ini terdapat sejumlah lembaga hukum di Indonesia baik yang diatur secara eksplisit dalam UUD 1945 maupun dalam peraturan perundangundangan lain, yaitu Mahkamah Agung (Pasal 24 ayat (2) dan 24 a UUD 1945 dan diatur secara khusus dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung), Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat (2) dan 24 c UUD 1945 dan Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi) dan Komisi Yudisial (Pasal 24 b UUD 1945 dan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial). Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara serta Mahkamah Konstitusi (MK) menjalankan kekuasaan kehakiman. Mahkamah Konstitusi
Sistem Peradilan, Penyimpangan dan Lembaga Pengawasan
71
mempunyai kompetensi untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu, memutus impeachmen presiden, pembubaran parpol, dan pengujian undangundang, serta sengketa antar lembaga negara. Komisi Yudisial (KY) merupakan komisi yang bersifat mandiri, berwenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan menjalankan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kepolisian sebagai alat negara juga disebut langsung dalam Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 dengan tugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum, dan lebih khususnya diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Selain lembaga hukum yang diatur dalam konstitusi, terdapat lembaga hukum lain yaitu Kejaksaan (UU No. 16 Tahun 2004) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (UU No. 30 Tahun 2002), serta Komisi Nasional HAM (KOMNAS HAM) yang lahir berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993 yang kemudian diganti dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Di luar itu masih ada Komisi Ombudsman Nasional (KON). Dalam jajaran eksekutif sebenarnya secara khusus ada Departemen Hukum dan HAM yang di dalamnya ada BPHN. Setiap departemen juga memiliki biro hukum-nya masing-masing. Di daerah, setiap pemerintah daerah juga dilengkapi dengan biro hukum atau bagian hukum. Keseluruhan lembaga-lembaga di atas memiliki peran dalam pembangunan dan penegakan hukum sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangan masing-masing. Persoalannya bagaimana peran itu telah dilakukan? Apa inisiatif dan peranan masing-masing lembaga dalam melakukan reformasi hukum? Untuk mengetahui hal ini tampaknya perlu dilakukan kajian lebih lanjut. Selama tahun 2005-2006, dua instansi dalam Departemen Hukum dan HAM menerima kritik keras dari masyarakat yaitu Imigrasi dengan banyaknya pelaku kejahatan yang berhasi lari ke luar negeri serta Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) berhubungan dengan metode pembinaan, pengawasan dan kesejahteraan wargabinaan yang jauh melebihi kapasitas Lapas. Mengenai kinerja masing-masing lembaga tampaknya hasil-hasil survey dan jajak pendapat yang ada menunjukkan banyaknya ketidakpuasan. Jika perhatian akan dikhususkan mengenai kinerja Kejaksaaan maka perspektif masyarakat akan kinerja Kejaksaan sebagai suatu organisasi yang menjalankan penegakan hukum ternyata digambarkan secara buruk. Hal
72
Reformasi Hukum
ini ternyata dari polling yang diadakan Harian Kompas, 29 November 20041, dimana 54.8 persen responden berpendapat bahwa kinerja Kejaksaan masih buruk, hanya 31.4 persen yang berpendapat kinerja Kejaksaan baik, dan 13.8 persen responden mengaku tidak mengetahui kinerja lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan ini. Dalam beberapa penelitian atau asessment atas organisasi Kejaksaan yang pernah dilakukan seperti Governance Audit oleh Price Waterhouse Cooper (PWC) pada tahun 2001, penelitian Standar Minimum Profesi Jaksa, Asessment Sistem Rekrutmen Jaksa dan Penelitian Sistem Pengawasan Kejaksaan yang dilakukan oleh MaPPI dan KHN, terdapat kesamaan temuan mendasar atas permasalahan yang dihadapi oleh Kejaksaan saat ini yang bermuara pada sumber daya manusia (SDM) Kejaksaan dalam menjalankan tugas serta wewenangnya. Belum lagi akhirakhir ini Kejaksaan sedang didera dengan terkuaknya praktek intervensi dalam pelaksanaan pembuatan tuntutan tiga tahun penjara terhadap Hariono Agus Cahyono, terdakwa dalam kasus kepemilikan 20 kg sabusabu di Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang tidak layak. Tidak saja Kejaksaan, MA juga menghadapi kritik yang berat khususnya berkaitan dengan anggapan resistennya MA terhadap pengawasan yang dilakukan oleh KY sampai MA mengajukan judicial review terhadap UU KY ke MK, ditambah dengan kode etik hakim yang dikeluarkan MA yang dinilai oleh sebagian besar masyarakat “kontroversial” karena mentolerir praktek pemberian hadiah. Permohonan judicial review MA atas UU KY, sudah terjawab dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006 yang mengabulkan hampir semua permohonan uji materi UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (KY). Kewenangan KY untuk mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim yang perilakunya tidak menunjang tegaknya kehormatan dan keluhuran martabat hakim kini dihilangkan. Di luar permasalahan di atas, MA tetap disorot karena sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman tertinggi dianggap belum mampu menjaga kinerja para hakim dan memberantas mafia peradilan. Kinerja para hakim baik pada tingkat pertama, banding, serta kasasi dalam mengadili berbagai kasus dianggap masih jauh dari kekuatan hukum para hakim itu sendiri. Menurut jajak pendapat yang diadakan oleh harian Kompas, 4 April 20052, hampir tiga dari empat responden (73 persen) menilai kinerja 1 2
Polling Gambaran Kejaksaan Saat Ini, Kompas, 29 November 2004. Keadilan dan Kepastian Hukum Masih Menggantung, (http://www.kompas.com/kompas-cetak/ htm), diakses tanggal 8 Oktober 2006.
Sistem Peradilan, Penyimpangan dan Lembaga Pengawasan
73
para hakim masih bergantung pada pihak lain. Kepentingan-kepentingan dari luar yang begitu besar, baik kepentingan ekonomi, kepentingan politik, atau kepentingan hukum itu sendiri dianggap sebagai hambatan. Tampaknya sudah menjadi rahasia umum, campur tangan pihak di luar yang selalu dominan justru menghambat jalannya proses kasus hukum. Tidak jarang pula persoalan hukum yang ditengarai sarat dengan muatan praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme memberi dampak pada kemandirian hakim dalam memperkarakan kasus hukum. Hal ini pun diyakini oleh 86 persen responden yang menilai belum bebasnya kinerja para hakim di pengadilan dari praktik yang menghambat penegakan hukum itu sendiri. Hanya 7 persen responden yang meyakini sudah bebasnya para hakim dari praktik politik uang. Indikasi mafia peradilan bahkan terjadi di lingkungan MA dengan mencuatnya kasus suap mantan hakim tinggi yang menjadi pengacara seorang pengusaha Probosutedjo pada kasus korupsi. Kabarnya kasus ini sampai melibatkan ketua MA. Banyaknya kasus korupsi, pembakalan liar dan pelanggaran HAM yang bebas baik di tingkat pertama, banding, serta kasasi juga mendapat kritik masyarakat. Dunia Kepolisian juga tidak luput dari berbagai skandal. Walaupun secara umum hasil jajak pendapat yang diadakan oleh harian Kompas, 3 Juli 2006,3 memperlihatkan kinerja Polri pada usianya yang ke-60 tahun menunjukkan peningkatan yang kian positif. Paling tidak, lebih dari separuh bagian (55,8 persen) responden mengungkapkan kinerja Polri saat ini semakin baik daripada tahun sebelumnya. Bahkan, dari segi citra pun terjadi peningkatan apresiasi yang cukup drastis dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kalau tahun sebelumnya mereka yang menganggap citra polisi baik hanya disuarakan rata-rata di bawah 40 persen responden, kini disuarakan oleh 51 persen. Tetapi dalam beberapa segi kinerja Polri dipandang belum memuaskan. Dalam penegakan hukum, Polri dinilai masih banyak meninggalkan pekerjaan rumah kepada masyarakat, terutama dalam kasus-kasus hukum yang besar, dan juga “keterlibatan” oknum Kepolisian dalam mafia peradilan. Terseretnya mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Suyitno Landung dan mantan Kepala Unit II/Perbankan dan Pencucian Uang Bareskrim Komisaris Besar Irman Santosa dalam perkara pembobolan Bank BNI oleh Grup Gramarindo tahun 2002-2003 seolah menguatkan dugaan publik betapa parahnya jaring-jaring korupsi 3
Profesionalitas Polri di Tengah Membaiknya Pamor, (http://www.kompas.com/ kompascetak/htm), diakses tanggal 8 Oktober 2006.
74
Reformasi Hukum
telah merasuk ke dalam institusi Polri. Di satu sisi Kepolisian telah mengalami kemajuan positif dimana membaiknya kinerja Kepolisian dan berani tegas terhadap para perwiranya, tetapi di sisi lain justru menghawatirkan karena reformasi di tubuh Polri belum optimal, praktikpraktik mafia peradilan masih juga terjadi. Berbeda dengan penegak hukum lainnya, kinerja KPK dipandang cukup baik oleh berbagai kalangan karena keberhasilannya dalam menyidik dan menuntut kasus-kasus korupsi. Akan tetapi lembaga inipun tidak luput dari kritik, yaitu mengintervensi pengadilan korupsi, melakukan praktek tebang pilih (khususnya dalam kasus korupsi di KPU), tidak dapat menangani banyak kasus korupsi yang dilaporkan. Terakhir, mencuatnya kasus pemerasan oleh penyidik KPK membuktikan KPK tidak immune dari penyakit korup yang melanda Indonesia. Ujung dari sistem peradilan pidana adalah lembaga lembaga pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan (Lembaga Pemasyarakatan/ LP) merupakan salah satu institusi yang menjadi bagian dalam sistem peradilan pidana. Lembaga pemasyarakat merupakan muara dari peradilan pidana yang menjatuhkan pidana penjara pada para Terpidana. Pelaksanaan hukuman penjara bagi narapidana tidak dilakukan semata sebagai sebuah upaya balas dendam dan menjauhkan Narpidana dari masyarakat. Pemenjaraan terhadap Narapidana dilakukan berdasarkan sebuah sistem Pemasyarakatan. Penghukuman melalui mekanisme pemenjaraan dinilai tidak memberikan nilai tambah bagi seorang Narapidana dalam memperbaiki hidupnya. Pemenjaraan menurut sistem pemasyarakatan tidak ditujukan untuk membuat seorang narapidana merasakan pembalasan akibat perbuatan jahat yang telah dilakukannya. Sistem pemasyarakatan dikembangkan dengan maksud agar Terpidana menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup wajar sebagai masyarakat yang baik dan bertanggung jawab. Menilik tujuan yang hendak dicapai maka pemenuhan hak dasar para narapidana menjadi suatu yang tidak dapat dihindarkan. Sistem pemasyarakatan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersebut menempatkan para narapidana sebagai seorang manusia yang melakukan kesalahan dan harus dibina untuk kembali ke jalan yang lurus. Hal itu ditunjukan dengan penyebutan Narapidana dengan sebutan Warga Binaan. Namun upaya tersebut nampaknya tidak seindah konsep yang
Sistem Peradilan, Penyimpangan dan Lembaga Pengawasan
75
ditawarkan karena pelaksanaan sistem pemasyarakatan menimbulkan permasalahan. Permasalahan yang sering kali mengemuka adalah tidak ada persamaan perlakuan dan pelayanan kepada para warga binaan, seringkali terjadi pungli, adanya kesulitan warga binaan untuk bertemu dengan pihak keluarga, adanya kesan bahwa Lembaga Pemasyarakatan merupakan ajang sekolah bagi pengembangan kemampuan kriminalitas seseorang, minimnya standar pelayanan kesehatan yang diberikan, dan masih banyak permasalahan lain yang harus diperhatikan untuk segera dibenahi. Berbagai permasalahan yang timbul merupakan imbas dari kurangnya perhatian masyarakat terhadap lembaga pemasyarakatan. Selain itu, di dalam Lembaga Pemasyarakatan kerap kali terjadi tindak kekerasan terhadap narapidana. Tindak kekerasan ini terutama dilakukan oleh pejabat sipir penjara. Hasil penelitian LBH Jakarta di 5 wilayah Jakarta menemukan, kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum selama 2003-2005, 25 % diantaranya dilakukan di dalam penjara. Dalam Lembaga Pemasyarakatan juga sering terdengar adanya pungutan liar (korupsi) yang dilakukan petugas kepada para pengunjung. Bahkan tidak sedikit narapidana yang bertambah jahat setelah keluar dari penjara. Dari kasus-kasus tersebut di atas menunjukkan adanya persoalan yang serius di dalam penyelenggaraan Lembaga Pemasyarakatan. Jika dikualifikasikan persoalan-persoalan tersebut adalah pertama, masih minimnya jaminan perlindungan hak-hak narapidana. Kedua, tidak adanya pengawasan yang efektif terhadap penyelenggaraan Lembaga Pemasyarakatan. Ketiga, lemahnya regulasi (kebijakan) yang berimplikasi pada penyelenggaraan Lembaga Pemasyarakatan. Beberapa kelemahan yang ditenggarai terjadi di dalam penyelenggaraan pemasyarakatan harus dicarikan jalan jalan keluar yang tidak sekedar tambal sulam antara satu kebijakan dengan kebijakan yang lainnya. Untuk mengetahui permasalahaan yang terjadi di tubuh lembaga pemasyarakatan dan untuk mencari jalan penyelesaian yang akan ditempuh maka perlu dilakukan sejumlah penelitian, meskipun kelemhana yang terjadi di dalam penyelenggaraan pemasyarakat seringkali diberitakan oleh media massa. Gambaran yang diberikan oleh media massa belum cukup memadai untuk melihat secara seksama permasalahan yang terjadi di dalamnya. C. Kehadiran Komisi-Komisi Negara terkait Sistem Peradilan Jika lembaga-lembaga negara di atas merupakan komponen dalam sistem peradilan pidana, ada juga lembaga-lembaga hukum yang terkait dan baru hadir kemudian. Kehadiran komisi-komisi negara bidang hukum
76
Reformasi Hukum
yang memiliki tugas terkait komponen-komponen dalam system peradilan pidana (kepolisian, kejaksaaan, hakim) di Indonesia membuat harapan masyarakat akan tegaknya hukum dan peradilan semakin meningkat. Selama ini memang banyak kritik dari dalam dan luar negeri yang dialamatkan baik kepada kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan. Dengan adanya komisi-komisi baru diharapkan semakin ada kontrol dan ada ruang bagi publik untuk menyalurkan keluhan. Tapi persoalannya, apakah komisikomisi terkait sistem peradilan pidana itu telah bekerja secara optimal ? Maraknya tuduhan korupsi-kolusi-nepotisme di ketiga lembaga (kepolisian, kejaksaan, pengadilan) telah mendorong upaya reformasi hukum dan peradilan, antara lain tercermin dari lahirnya Komisi Yudisial (KY) melalui Pasal 25 B UUD 1945 dan Undang-Undang No. 22 Tahun 2004. Meskipu tidak diatur dalam konstitusi, lahir juga dua lembaga lainnya yaitu Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS) yang lahir berdasarkan Undang-Undang Kepolisian dan Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2005 serta Komisi Kejaksanaan (KK) yang lahir berdasarkan Undang-Undang Kejaksaan dan dan Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2005. Selain ketiga lembaga itu, komisi negara bidang hukum lainnya adalah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan Komisi Hukum Nasional (KHN) yang bertugas memberikan masukan kepada Presiden mengenai reformasi bidang hukum. Mengenai Komisi Yudisial, Pasal 25 B UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu wewenang lembaga ini adalah “menjaga dan menegakkan kehormatan, keluruhan martabat, serta perilaku hakim”. Latar belakang dibentuknya komisi ini adalah karena dalam waktu cukup lama, praktik peradilan telah tercemar dan mengalami public distrust. Dalam pertimbangan UU No. 22 Tahun 2004 dinyatakan bahwa komisi yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan hakim yang transparan dan partisipatif. Mengenai Komisi Kepolisian, Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2005 menyatakan bahwa salah satu wewenang Kompolnas adalah menerima saran dan keluhan masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikannya kepada Presiden. Mengenai Komisi Kejaksaan, Pasal 10 Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2005 menyatakan bahwa Komisi kejaksaan mempunyai tugas antara lain melakukan pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap kinerja jaksa dan pegawai kejaksaan dan melakukan pengawasan, pemantauan, dan
Sistem Peradilan, Penyimpangan dan Lembaga Pengawasan
77
penilaian terhadap sikap dan perilaku jaksa dan pegawai kejaksaan. Sementara itu mengenai KPK, Pasal 8 (1) UUU No. 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas supervisi KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang melaksanakan pelayanan public. Ada perbedaan dan persamaan di antara komisi-komisi negara tersebut baik dalam tugas, wewenang maupun metode dalam melakukan sebagian dari tugas pengawasan perilaku dan kinerja para penegak hukum yang tercakup dalam system peradilan pidana, yaitu polisi, jaksa, dan hakim. Sebagian dari komisi tersebut telah menjalankan tugasnya cukup lama seperti KHN, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi sebagian relative baru seperti Komisi Kejaksaan dan Kompolnas. Komisi-komisi tersebut selama ini juga berhubungan dengan unsureunsur masyarakat sipil yang berperan sebagai mitra. Sebagian telah mendapatkan dukungan dari lembaga-lembaga donor untuk lebih mendorong pelaksanaan kinerjanya masing-masing. Berdasarkan lingkup tugas dan wewenang, hubungan dengan berbagai lembaga serta pengalaman selama ini dalam melaksanakan mandatnya tersebut, maka menjadi sangat penting untuk mengetahui bagaimana masing-masing komisi dapat mendapatkan dukungan eksternal, dengan cara belajar dari pengalaman KPK yang selama ini telah banyak menerima dukungan serta belajar dari Komisi Yudisial mengenai bagaimana memulai pembentukan jejaring di berbagai daerah. D. Perkembangan Kompolnas Dibandingkan Komisi Yudisial, sepak terjang Kompolnas kurang begitu terdengar padahal lembaga ini mempunyai peranan penting, baik dalam memberikan masukan kepada Presiden mengenai Polri, pengangkatan Kapolri serta menerima keluihan masyarakat terkait Polri. Undang-Undang yang mengatur mengenai kepolisian nasional Indonesia menyebutkan dengan jelas keberadaan lembaga kepolisian yang bernama Komisi Kepolisian Nasional yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden (Pasal 37 UU No. 2 Tahun 2002). Komisi ini bertugas : (1) membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan (2) memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Kepolisian Nasional berwenang
78
Reformasi Hukum
untuk : (a) mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkaitan dengan anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengembangan sumber daya manusia Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pengembangan sarana dan prasarana Kepolisian Negara Republik Indonesia; (b) memberikan saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang profesional dan mandiri; dan (c) menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikannya kepada Presiden. (Pasal 38 UU No. 2 Tahun 2002). Ketentuan lebih lanjut mengenai komisi ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2005 Saat ini Komisi Kepolisian Nasional sudah terbentuk dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan selaku ketua merangkap Anggota dan dua anggota lain dari unsure pemerintah yaitu Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum dan HAM serta enam orang anggota lainnya dari pakar kepolisian dan tokoh masyarakat. Kiprah dari komisi ini semakin ditunggu oleh masyarakat karena adanya harapan yang tinggi agar kinerja kepolisian semakin meningkat. Disamping itu komisi-komisi negara lainnya yang terkait bidang hukum juga sudah menunjukkan kinerja seperti komisi yudisial. Sejak Desember 2006 hingga saat ini, komisi kepolisian telah menghasilkan beberapa hal. Adapun hasil-hasil Kompolnas selama ini adalah : telah membuat Organisasi dan tata kerja kompolnas, telah menyusun kode etik anggota kompolnas, telah membuat Rencana Kerja Tahunan, dan telah membuat Tata Cara penanganan laporan. Kompolnas juga telah menerima sekitar 60 saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja polisi. Keluhan mengenai polisi juga diterima lembaga lainnya seperti Komisi Ombudsman Nasional (KON) ataupun langsung ke kepolisian daerah. Laporan-laporan tersebut biasanya ditembuskan ke komisi kepolisian nasional. Dewasa ini peran serta masyarakat dalam upaya peningkatan kinerja lembaga-lembaga semakin terlihat. Hal itu antara lain diwujudkan dalam bentuk memberikan saran dan keluhan mengenai lembaga-lembaga negara di dalam sistem peradilan pidana. Dengan adanya kompolnas yang memiliki wewenang menerima saran dan keluhan masyarakat maka diharapkan peran serta masyarakat dapat disalurkan dengan baik. Saran dan keluhan itu juga dapat digunakan untuk memperbaiki kinerja kepolisian baik dengan jalan memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden maupun dengan jalan memberikan masukan langsung kepada Polri. Hal yang terakhir ini
Sistem Peradilan, Penyimpangan dan Lembaga Pengawasan
79
telah menjadi kesepakatan antara Komisi dengan Polri dimana saran dan keliuhan masyarakat dapat langsung diberikan kepada Polri sebagai bahan perbaikan kinerja Polri. Keterbukaan Polri dalam menerima saran dan keluhan masyarakat melalui komisi kepolisian nasional merupakan sisi positif yang dapat digunakan secara maksimal untuk meningkatkan kinerja Polri. Dengan demikian komisi kepolisian dapat memanfaatkan situasi ini dengan sebaikbaiknya dengan jalan membangun atau memperbaiki mekanisme penerimaan saran dan keluhan masyarakat serta mengkajinya dan meneruskannya kepada Presiden dan kepada Polri. Salah satu kendala dalam menerima dan menindaklanjuri saran dan keluhan masyarakat adalah mengingat luasnya wilayah Indonesia dimana saran dan keluhan masyarakat mungkin berasal dari seluruh pelosok tanak air, padahal komisi hanya berkedudukan di tingkat pusat. Untuk mengatasi kendalam tersebut ada beberapa metode yang telah difikirkan oleh komisi kepolisian nasional, antara lain dengan membangun jejaring di seluruh Indonesia yang diperkuat dengan suatu kesepakatan (memorandum of understanding) atau dengan membangun struktur di bawah Kompolnas hingga tingkat provinsi. Mengenai yang terakhir undang-undang memang tidak jelas memerintahkan, tetapi juga tidak ada larangan mengenai hal ini. Meskipun Kompolnas telah membuat Organisasi dan tata kerja Kompolnas, telah menyusun kode etik anggota Kompolnas, telah membuat Rencana Kerja Tahunan, dan telah membuat Tata Cara Penanganan Laporan, akan tetapi ada beberapa hal yang belum dilakukan yaitu bagaimana Kompolnas dapat mengukur kinerja mereka, apa rencana strategis yang akan dilakukan selama masa jabatan anggotanya, dan bagaimana mengevaluasi pelaksanaan wewenangnya mereka (misalnya bagaimana komisi ini menerima dan menindaklanjuti saran dan keluhan masyarakat). Problem lainnya adalah berkaitan dengan tugas dan wewenang Kompolnas yaitu membantu presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Untuk melaksanakan tugas ini Kompolnas berwenang (a) mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran kepada presiden yang berkaitan dengan anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengembangan sumber daya manusia Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pengembangan sarana dan prasarana Kepolisian Negara Republik Indonesia; (b) memberikan saran dan pertimbangan lain kepada presiden dalam upaya mewujudkan
80
Reformasi Hukum
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang profesional dan mandiri. Untuk melaksanakan tugas dan wewenang di atas Kompolnas perlu mengumpulkan dan menganalisa data. Pengumpulan dan analisa data itu tentu E. Perkembangan dan Kendala Komisi Kejaksaaan dan Komisi Yudisial Selain Komisi Kepolisian Nasional, Kiprah Komisi Kejaksaan pun juga kurang terdengar oleh masyarakat. Padahal sudah cukup banyak laporan yang masuk dan diproses oleh lembaga ini. Laporan pengaduan masyarakat sampai Desember 2006 adalah sebanyak 492 laporan. Dari jumlah tersebut yang sudah diteliti sebanyak 299 laporan. Selanjutnya, yang diteruskan ke jaksa agung/Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan (jamwas) dan kemudian sudah diteliti sebanyak 110. Kinerja jaksa yang dilaporkan antara lain “ menuntut tidak melalui rentut (rencana penuntutan), menuntut yang berbeda dengan yang disetujui atasan, pengembalian perkara ke penyidik lebih 2 kali, mengajukan kasasi tidak membuat memori kasasi.4 Sementara terkait sikap selama ini telah dilaporkan kepada Komisi Kejaksanaan Sikap/perilaku jaksa yang : menerima suap, melakukan pemerasan, beristri dua tanpa ijin istri dan instansi, melakukan selingkuh, serta memasuki daerah “hitam” tanpa alasan. Menurut salah seorang anggota komisi ini, selama ini masyarakat cukup antusias, tapi sesudah kita diberi penjelasan mereka kecewa karena KK hanya terbatas memberikan rekomendasi. Misalnya Jaksa di Depok memalsukan vonis hakim tapi KK tidak bisa bertindak, hanya bisa mengajukan surat ke Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas).5 Kendala yang dihadapi oleh komisi ini, khususnya dalam menuntaskan laporan ini antara lain komisi tidak boleh menghadiri Majelis Pemeriksaan Jaksa, serta tidak ada wewenang untuk lakukan pemeriksaan langsung pada kinerja dan sikap perilaku jaksa bermasalah. Kesulitan lainnya yang dihadapi adalah terbatasnya anggaran, dimana pada tahun 2005 hanya 5 miliar, Sementara tahun 2007 juga hanya 5 miliar. Mengenai anggaran ini Komisi Kejaksaan tidak diajak bicara oleh pihak Kejaksaaan Agung sehingga anggaran sudah ditetapkan hanya 5 miliar, sehingga ketika KK ajukan lebih dari 5 miliar tidak bisa. Berbeda dengan Kompolnas dan Komisi Kejaksanaan yang sudah 4 5
Mardi P, Diskusi Terbatas Komisi-Komisi Negara, Jakarta 26 Maret 2007 Mardi P, Diskusi Terbatas Komisi-Komisi Negara, Jakarta 26 Maret 2007
Sistem Peradilan, Penyimpangan dan Lembaga Pengawasan
81
dibahas di atas, sepak terjang Komisi Yudisial sudah cukup diketahui masyarakat. Hal itu terjadi sejak awal dimana KY telah memproses sejumlah hakim yang dianggap bermasalah. Hubungan yang agak kurang harmonis dengan Mahkamah Agung juga mencuat dan diperhatikan masyarakat. Apalagi setelah Undang-Undang yang mengatur komisi ini diuji di Mahkamah Konstitusi. Tanggal 7 Agustus 2006 dianggap sebagai puncak pembabatan Komisi Yudisial oleh Mahkamah Konstitusi. Meski sebagian kewenangan KY telah terpangkas melalui uji materi tersebut, masyarakat masih tetap menyerahkan pengaduan kepada komisi ini. Laporan pengaduan masyarakat yang diterima oleh komisi ini begitu banyak, yaitu sekitar 800-900 laporan. Dari pengalaman pemeriksaan muncul friksi yang tak terhindarkan dari MA dan KY misal kewenangan memeriksa. Perdebatan lainnya adalah tentang kewenangan memeriksa putusan hakim. Kehormatan hakim tercermin pada putusan hakim, putusan dipelajari apakah ada yang merendahkan martabat, dilihat ketika memutus apakah ada pelanggaran, dari sinilah bencana mulai timbul. Menurut salah seorang anggota Komisi Yudisial, kendala yang dihadapi saat ini adalah temuan yang KY lakukan tidak ada respon dan pimpinan MA. Tidak satupun rekomendasi KY yang ditindaklanjuti MA, padahal wajib hukumnya.6 Salah satu tantangan Komisi Yudisial dalam menjaga kehormatan hakim adalah menyangkut perilaku korup dalam lembaga peradilan yang lebih dikenal sebagai “mafia peradilan”. Masalah ini sebenarnya juga menjadi tantangan bagi internal lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung. Apalagi di MA sudah ada Badan Pengawas internal. Seorang hakim di Pengadilan Tinggi Jawa Tengah menyatakan bahwa permasalahan mafia peradilan sudah dibicarakan lama oleh berbagai kalangan. Menurutnya, terjadinya praktek-praktek menyimpang di dunia peradilan tidak semata-mata hanya terkait hakim dan panitera saja, melainkan juga pihak-pihak lain seperti masyarakat yang memberikan uang untuk mempengaruhi putusan. Guna menanggulangi adanya penyimpangan, di Mahkamah Agung telah ada Badan Pengawas di bawah salah satu Ketua Muda MA bidang Pengawasan. Juga telah ada ketentuan dimana untuk tingkat pertama pengawasan dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dan di tingkat Banding oleh Ketua PT. Oleh karena itu jika masyarakat mendapati adanya penyimpangan oleh oknum pengadilan 6 7
Sukotjo Suparto, Diskusi Terbatas Komisi-Komisi Negara, Jakarta 26 Maret 2007 Suwardi, Dialog Publik : Membangun Budaya Hukum Masyarakat Anti Mafia Peradilan,Semarang,19 April 2007
82
Reformasi Hukum
maka dapat dilaporkan disertai bukti-buktinya.7 Suwardi, Dialog Publik : Membangun Budaya Hukum Masyarakat Anti Mafia Peradilan, Semarang,19 April 2007 F. Tantangan ke Depan Ada satu masalah mencuat yaitu mengenai bagaimana ukuran keberhasilan lembaga-lembaga itu. Ada beberapa parameter untuk menilai baik buruk lembaga, yaitu antara lain dilihat dari kedudukan dan jaminan hukumnya. Makin kuat maka akan punya impact, secara politis jika kedudukannya beda maka powernya akan beda, seberapa jauh mandat yang diberikan peraturan perundangan, bagaimana organisasi dan dukungan finansial, serta bagaimana mekanisme atau akuntabilitas lembaga tersebut. Di luar hal itu perlu juga dilihat dua variabel lain yaitu bagaimana komposisi keanggotaan dan anggotanya serta strategi dan pendekatan anggota.8 Di beberapa negara maju dimana tingkat keberhasilan lembaga-lembaga hukum cukup tinggi, problemnya bukan pada komisinya tapi partnernya. Perlu dibuat ketentuan agar partner dari lembaga itu mematuhi rekomendasi yang dikeluarkan. Yang jelas, komisi-komisi yang terkait sistem peradilan pidana dapat menjadi kekuatan yang dahsyat dalam mewujudkan Good Governance. Hal ini mempersyaratkan keterbukaan komisi dalam bekerja, serta kebijakannya harus bisa diakses masyarakat. Kebijakan yang diambil komisi harus bisa diukur. Harus bisa dikoreksi. Harus ada sanksi moral dan hukum kalau komisi ini tidak bekerja. Memperhatikan hal-hal tersebut maka ada embiro gagasan menarik untuk didukung yaitu Kompolnas perlu didukung dalam rangka meningkatkan kinerja Polri melalui peningkatan fungsi dan peranan Kompolnas dalam memberikan rekomendasi kebijakan Polri serta penerimaan dan penanganan laporan masyarakat Strategi penguatan fungsi dengan kerjasama bersama LSM dan Perguruan Tinggi sebagaimana dibangun oleh Komisi Yudisial perlu digunakan juga oleh Komisi Kejaksaan dan Kompolnas. Performane indicator dari ketiga komisi mesti ada, dibangun dari sekarang sesuai standar, mandat dan kewenangan masing-masing. Sementara itu, ada satu aspek yang sangat minim perhatian yaitu pengawasan terhadap lembaga pemasyarakatan sebagai salah satu komponen dalam sistem peradilan pidana. Tampaknya reformasi di bidang ini masih perlu didorong lebih kuat mengingat banyaknya masalah dan kendala yang dihadapi.
8
Rifqi Assegaf, Diskusi Terbatas Komisi-Komisi Negara, Jakarta 26 Maret 2007
Sistem Peradilan, Penyimpangan dan Lembaga Pengawasan
83
Daftar Pustaka Mahkamah Agung Republik Indonesia, Laporan Tahunan 2006 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2007. Tim Rancang Tindak Pembaruan Hukum dan Peradilan. “Pembenahan Lembaga Penegakan Hukum dalam Rangka Memulihkan Kepercayaan Masyarakat terhadap Supremasi Hukum”, Jakarta : Kemitraan, 2004. Laporan Tahun 2006 Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 2007. ADB dan Kemitraan, Laporan Penilaian Tata Pemerintahan Negara Indonesia, 2004. Komisi Yudisial Republik Indonesia, Satu Tahun Komisi Yudisial 2006, Jakarta, 2006. Kompas, 29 November 2004. Keadilan dan Kepastian Hukum Masih Menggantung, (http:// www.kompas.com/kompas-cetak/htm), diakses tanggal 8 Oktober 2006. Konvensi Anti-Korupsi Belum Diratifikasi, Bukti Tidak Adanya Strong Leadership,(http://hukumonline.com/ detail.asp?id=14043&cl =Berita) Management System International, Handbook of Democracy and Governance Program Indicators. Washington : Center for Democracy and Governance, 1998. pp. 21. Profesionalitas Polri di Tengah Membaiknya Pamor,(http:// www.kompas.com/ kompas-cetak/htm), diakses tanggal 8 Oktober 2006. Peringatan Hari Antikorupsi Diwarnai Unjuk Rasa, (http:// www.liputan6.com/view/1,113888,1,0,1135376028.html), diakses tanggal 5 Oktober 2006. Survey Peradilan Indonesia (http://www.ti.or.id/attach/ barometer_2004_release_complete&final.pdf# search=’survey %2C%20peradilan%2C%2Aindonesia%2C%20korupsi’) diakses tanggal 8 Oktober 2006. (http://www.unitar.org/ccp/).
84
Reformasi Hukum
SATU DASA WARSA REFORMASI HUKUM : INDONESIA DI PERSIMPANGAN JALAN? Susi Dwi Harijanti* Abstrak Tulisan ini hendak mengangkat permasalahan-permasalahan yang dijumpai dalam pelaksanaan reformasi hukum. Penulis berpendapat meskipun reformasi hukum menyentuh berbagai bidang hukum yang secara fundamental berperan untuk membangun kembali sistem hukum, namun reformasi berjalan dengan lambat bahkan terkesan tidak dilakukan secara sistematis. Apabila perbaikan terhadap segala bentuk kekurangan tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh, tujuan reformasi hukum akan sulit dicapai. Pada bagian akhir dilontarkan beberapa gagasan untuk diwacanakan kembali. PENGANTAR Tahun 1998 dikenang dalam sejarah Indonesia sebagai salah satu tahun yang menandai perubahan radikal berbagai tatanan kehidupan melalui gerakan reformasi. Meskipun pada mulanya reformasi merupakan gerakan politik karena berkaitan dengan perjuangan pembaharuan tatanan politik, namun dampak yang ditimbulkannya tidak hanya pada bidang politik, melainkan menyentuh bidang-bidang lain, misalnya hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. Tanpa menegasikan pentingnya reformasi di bidang lain, reformasi hukum tampaknya memiliki arti yang fundamental bagi tercapainya tujuan gerakan reformasi, yaitu menjadikan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Munculnya berbagai aturan dan institusi baru ataupun penguatan lembaga-lembaga hukum yang ada yang mampu membentuk tata nilai baru yang adil dan mampu memenuhi kebutuhan baru yang akan melancarkan tercapainya cita-cita reformasi. Oleh karena itu, minimnya perbaikan-perbaikan di sektor hukum, reformasi sangat diragukan mencapai tujuan yang dicita-citakan. Selama sembilan
Satu Dasa Warsa Reformasi Hukum : Indonesia Di Persimpangan Jalan ?
85
tahun lebih perjalanan reformasi hukum, perbaikan-perbaikan memang terlaksana meskipun terkesan parsial. Berbagai kekurangan dan kelemahan masih dijumpai, dapat menjadikan gerakan berbalik arah ke tatanan lama yang bersifat otoriterisme. REFORMASI HUKUM: PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP Titik awal untuk mendapatkan pengertian utuh mengenai reformasi hukum haruslah dimulai dari pengertian hukum itu sendiri. Bagir Manan menyatakan bahwa ruang lingkup dan pengertian hukum dalam reformasi hukum ‘tidak diartikan secara parsial, apalagi hanya fenomena atau persoalan yang muncul seketika’.1 Misalnya, apabila terdapat kejadian dimana seorang pegawai MA terlibat penipuan perkara, mendadak timbul gagasan “mengocok ulang semua Hakim Agung”.2 Cara-cara berpikir sporadik dan cenderung reaksioner yang tidak didukung oleh landasan konseptual yang komprehensif dapat berakibat pada munculnya tindakantindakan kontra produktif.3 Agar reformasi hukum dapat menjadi dasar kokoh reformasi maka lingkup dan pengertian reformasi hukum adalah reformasi sistem hukum.4 Lawrence M. Friedman menawarkan tiga elemen sistem hukum yang meliputi legal structure (struktur hukum), legal substance (substansi hukum) dan legal culture (budaya hukum).5 Dalam bukunya Friedman menjelaskan bahwa struktur hukum menunjuk pada lembaga-lembaga negara, misalnya: legislatif; eksekutif; dan yudikatif. Substansi hukum menunjuk pada aturan-aturan, sedangkan budaya hukum berarti persepsi masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum. Agar lebih mudah memahami, Friedman memberikan pengandaian: struktur adalah semacam mesin; substansi merupakan sesuatu yang diproduksi oleh mesin; sedangkan budaya hukum adalah apapun atau siapapun yang memutuskan memutuskan apakah mesin akan dihidupkan atau dimatikan serta bagaimana mesin itu digunakan. Agak berbeda dengan Friedman, Bagir Manan berpendapat bahwa elemen-elemen sistem hukum meliputi: sub sistem aturan hukum; sub sistem 1
Bagir Manan, “Peranan Pendidikan Tinggi Hukum Dalam Reformasi Hukum”, Makalah disampaikan pada Ceramah Ilmiah pada Minahasa Law Center, Manado, 16 Januari 2007, hlm 3. 2 Ibid. 3 Ibid. 4 Ibid, hlm 4. 5 Lawrence M. Friedman, American Law: An Introduction, 1998, hlm 16-34
86
Reformasi Hukum
penegakan hukum; sub sistem pelayanan hukum; sub sistem profesi hukum; sub sistem pendidikan hukum; dan sub sistem budaya hukum.6 Bagir Manan memandang perlunya memasukkan budaya hukum sebagai sub sistem karena : hukum tidak lepas dari masyarakat…maka isi budaya hukum mencakup segala bentuk tingkah laku sosial (politik, ekonomi, sosial, dan budaya itu sendiri), yang disatu pihak menjadi sumber tatanan hukum, dipihak lain merupakan refleksi hukum yang ada.7 Dalam makalahnya, Bagir Manan menjelaskan yang dimaksudkan dengan reformasi aturan hukum tidak semata-mata diartikan sebagai reformasi hukum kolonial. Menurutnya, yang tidak kalah penting adalah pembentukan hukum baru untuk memenuhi tuntutan dan perkembangan baru yang dapat dilakukan melalui pembentukan peraturan perundangundangan dan putusan hakim dengan menggunakan metoda penemuan hukum.8 Reformasi penegakan hukum menurut Bagir Manan tidak hanya dikonsentrasikan pada penindakan, melainkan mencakup pula membangun sistem pencegahan atau penyimpangan terhadap hukum. Selain itu, reformasi penegakan hukum tidak hanya semata-mata ditujukan pada proses peradilan karena harus pula memasukkan reformasi penegakan hukum dalam proses birokrasi.9 Terdapat beberapa alasan mengapa penegakan hukum perlu dimasukkan sebagai unsur sistem hukum. Pertama, keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan tergantung pada penerapannya. Apabila penegakan hukum tidak berjalan dengan baik, maka tujuan pembentukan peraturan tersebut tidak akan tercapai.10 Kedua, putusan-putusan dalam rangka penegakan hukum merupakan instrumen kontrol dalam arti putusan-putusan tersebut dapat berfungsi sebagai feedback bagi pembaharuan atau penyempurnaan peraturan perundangundangan.11 Ketiga, penegakan hukum merupakan dinamisator peraturan perundang-undangan.12 Hal ini berarti putusan dalam rangka penegakan hukum dapat menghidupkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat, bahkan, suatu peraturan perundang-undangan yang kurang baik akan dapat mencapai tujuan hukum 6
Bagir Manan, loc. cit. Ibid. 8 Ibid, hlm 5-6. 9 Ibid, hlm 6-7. 10 Bagir Manan, “Politik Perundang-undangan”, Makalah pada Penataran Dosen FH/STH PTS se Indonesia, Bogor, 26 September – 16 Oktober 1993, hlm 4-5. 11 Ibid, hlm 5. 12 Ibid. 7
Satu Dasa Warsa Reformasi Hukum : Indonesia Di Persimpangan Jalan ?
87
di tangan para penegak hukum yang baik.13 Dalam kaitan dengan pelayanan hukum, Bagir Manan menyatakan bahwa pelayanan hukum berpusat pada lingkungan jabatan birokrasi. Oleh karena itu, pembaharuan birokrasi dalam rangka mewujudkan konsep the service state dan the welfare state merupakan sub-sistem dari reformasi sistem hukum.14 Sub sistem profesi hukum berkaitan dengan pekerjaan pelayanan bebas atas dasar keahlian tertentu, misalnya advokat.15 Sedangkan sub sistem pendidikan hukum berkaitan dengan pengajaran dan penelitian hukum.16 Dan terakhir, sub-sistem budaya hukum menyoroti sikap masyarakat terhadap hukum.17 Sebagai pembanding, Moh. Mahfuf MD berpendapat bahwa sistem hukum nasional Indonesia adalah: Sistem hukum yang berlaku di seluruh Indonesia yang meliputi semua unsur hukum (seperti isi, struktur, budaya, sarana, peraturan perundangundangan, dan semua sub unsurnya) yang antara satu dengan yang lain saling bergantung dan yang bersumber dari Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945.18 Penulis pendapat dengan pemikiran yang dilontarkan oleh Bagir Manan bahwa reformasi hukum haruslah merupakan gerakan pembaharuan seluruh elemen sistem hukum yang dilakukan secara serempak dan komprehensif. Mengenai sub-sistem hukumnya sendiri, penulis mengadaptasi pendapat Friedman dan Bagir Manan. Hal ini berarti penulis mengambil pendekatan Friedman sebagai dasar utama penentuan sub-sistem hukum, yakni struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum dengan memasukkan unsurunsur penegakan hukum, pelayanan hukum dan pendidikan hukum ke dalam sub-sistem struktur hukum dan substansi hukum. Ada beberapa alasan mengapa penulis mengambil pendekatan yang mengakomodasi kedua pemikiran para ahli hukum tersebut. Pertama, pendekatan Friedman lebih mudah digunakan untuk melakukan kategorisasi karena menggunakan pendekatan kelembagaan, materi hukum serta hubungan masyarakat dengan hukum. Kedua, pendekatan Bagir Manan 13 14 15 16 17 18
Ibid. Bagir Manan, “Peranan Pendidikan Tinggi Hukum ..., op. cit, hlm 7-8. Ibid, hlm 9. Ibid, hlm 9, 16-17. Ibid, hlm 4. Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, 2006, hlm 21.
88
Reformasi Hukum
digunakan untuk melengkapi sub-sistem yang ditawarkan oleh Friedman, terutama dalam kaitan dengan penegakan hukum, pelayanan hukum, profesi hukum, dan pendidikan hukum. Namun secara ringkas penulis mengambil utuh ketiga pendekatan Friedman dan membatasi pendekatan Bagir Manan hanya terhadap peran birokrasi serta pendidikan hukum. Pembatasan ini akan dibahas pada bagian akhir tulisan ini yang menyinggung ke depan reformasi hukum berdasarkan unsur-unsur peraturan perundang-undangan, kelembagaan, budaya hukum dan pendidikan hukum. PROSES REFORMASI A. Mengapa reformasi hukum? Perlunya reformasi hukum berangkat dari pemikiran bahwa hukum mempunyai fungsi yang penting dalam masyarakat, terutama masyarakat yang sedang berubah. Hukum dirasakan harus memainkan peran lebih dalam kondisi dimana pergeseran nilai berubah dengan sangat cepat sebagai akibat perubahan yang mengandung sifat revolusioner. Sejumlah ahli hukum dalam dan luar negeri telah menulis dan mengutarakan pikiran-pikirannya mengenai fungsi hukum dalam masyarakat yang mencerminkan aliran hukum yang dianut. Mochtar Kusumaatmadja, misalnya, berpendapat bahwa untuk mengetahui fungsi hukum maka dapat dikembalikan pada pertanyaan dasar, yakni ‘apakah tujuan hukum itu’.19 Menurutnya, tujuan pokok hukum adalah ketertiban (order) karena ketertiban merupakan syarat mutlak bagi adanya suatu masyarakat yang teratur.20 Disamping ketertiban, hukum juga mempunyai tujuan lain yaitu terwujudnya keadilan yang berbeda-beda menurut isi dan ukurannya karena tergantung pada masyarakat dan zamannya.21 Oleh karena sangat menekankan pada fungsi pencapaian ketertiban, ‘sifat hukum pada dasarnya adalah konservatif’.22 Namun, fungsi ini tidak dapat dipertahankan sebagai satu-satunya fungsi utama karena hukum juga harus berperan dalam masyarakat yang sedang membangun. Dalam kaitan ini Mochtar Kusumaatmadja, dengan mengadaptasi konsep fungsi hukum Roscoe Pound mengenai ‘law as a tool of social engineering’, memperkenalkan konsep hukum sebagai sarana pembangunan. Menurutnya peranan hukum dalam pembangunan adalah ‘untuk menjamin 19
20 21 22
Otje Salman dan Eddy Damian (eds), Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan: Kumpulan Karya Tulis Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LLM, 2002, hlm 3. Ibid. Ibid, hlm 3. Ibid, hlm 13.
Satu Dasa Warsa Reformasi Hukum : Indonesia Di Persimpangan Jalan ?
89
bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur’.23 Menanggapi pendapat Mochtar Kusumaatmadja mengenai peran hukum dalam masyarakat, S. Tasrif menekankan perlunya pemahaman bahwa seluruh produk hukum yang dihasilkan harus mampu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur secara materil dan spiritual.24 Memperhatikan pentingnya fungsi hukum untuk terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, maka sudah sewajarnya seluruh produk hukum, terutama peraturan perundang-undangan,25 ditinjau ulang dan apabila perlu diubah agar sesuai dengan aspek-aspek filosofis, yuridis, sosiologis dan teknik perancangan.26 Dalam periode transisi yang dalam beberapa hal menunjukkan perubahan yang penuh gejolak, antagonisme antara penolakan tatanan dan nilai lama dengan keinginan menciptakan tatanan dan nilai baru, hukum harus memainkan peran tambahan. Hal ini disebabkan ‘setiap gerakan atau perubahan yang mengandung sifat revolusioner atau gerakan rakyat praktis tidak dapat terhindar dari situasi “excessive”’.27 Menurut Bagir Manan, peran-peran hukum dalam kondisi seperti ini dapat menjelma dalam berbagai bentuk: Pertama, mendorong dan memberikan arah perubahan yang dikehendaki atau yang dicita-citakan.28 Kedua, menjamin fungsi kestabilan masyarakat agar terhindar dari segala bentuk excessive yang timbul akibat reformasi.29 Guna menjamin kestabilan ini, aparat penegak hukum tidak boleh mempunyai keragu-raguan dalam upaya penindakan dan penegakan hukum agar ketentraman dan ketertiban masyarakat tidak goyah.30 B. Mengapa reformasi hukum berjalan lambat? Tidak mudah memberikan jawaban komprehensif terhadap pertanyaan seputar lambatnya reformasi hukum di Indonesia. Jawaban umum yang dapat dilontarkan adalah sebagai suatu proses, reformasi dapat berjalan 23 24 25
26
27
28 29 30
Ibid, hlm 19. Ibid, hlm 44. Tanpa mengurangi pentingnya sumber hukum lain, peraturan perundang-undangan masih menjadi sumber hukum utama dalam sistem hukum Indonesia. Pentingnya aspek-aspek ini, lihat Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, 1992, hlm 14-20. Bagir Manan, ‘Peranan Hukum Dalam Pergeseran Nilai Sosial Budaya Masyarakat Memasuki Era Reformasi’, Makalah disampaikan pada Seminar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unpad, Bandung, Maret 1999, hlm 8. Ibid, hlm 9. Ibid. Ibid.
90
Reformasi Hukum
lambat karena ia tidak didahului oleh persiapan yang berhati-hati dan perencanaan yang sangat teliti; pelaksanaannya tidak efektif; kurangnya koordinasi antar lembaga dan pejabat-pejabat; serta tidak ada atau lemahnya ‘agreement’ antara pihak-pihak yang secara langsung terkait dengan reformasi.31 Bahkan tidak jarang terjadi, proses reformasi hukum terganggu karena munculnya kejadian-kejadian yang tidak terduga, misalnya bencana alam, demonstrasi, konflik masyarakat di daerah yang berkepanjangan, dan lain-lain. Makna reformasi hukum yang tidak diartikan secara tepat oleh para penentu kebijakan juga menyebabkan reformasi hukum menjadi sulit dilakukan. Acapkali reformasi hukum hanya semata-mata diterjemahkan sebagai pembentukan peraturan perundang-undangan saja. Padahal, maknanya jauh lebih luas dari sekedar membuat peraturan perundangundangan. Kelambatan lain juga dapat disebabkan karena ruang lingkup reformasi hukum yang lebih luas. Beberapa dekade terdahulu, ruang lingkup reformasi hukum lebih ditekankan pada kebijakan hukum di bidang ekonomi, terutama penanaman modal asing. Hal ini sejalan dengan menguatnya tekanan agar ‘the Washington consensus’ disatukan kedalam kebijakan nasional negara.32 Saat ini, reformasi hukum juga menyentuh bidang-bidang lain, misalnya: peradilan; hubungan pusat dan daerah; lingkungan; hak asasi manusia; dan lain-lain. Berkenaan dengan hal ini, Faundez mengatakan: An overcrowded reform agenda makes it difficult for officials in charge of the reform process to spare the time to understand its wider implications. An overcrowded agenda also reduces the time for consultation and deliberation. Hence, apart from weakening the institutional system, an overcrowded reform agenda may unintentionally also undermine the democratic process.33 Tidak jarang terjadi kelambatan proses reformasi hukum juga disebabkan oleh faktor luar. Misalnya, adanya pengaruh atau tekanan politik 31
J.Faundez, “Legal Reform in Developing and Transition Countries: Making Haste Slowly”, h t t p : / / b i b l i o i b e r o . f l a s c o . e d u . m x / T E M P F T P / C AT E D R A 4 T R I M O S / Legal%20reform%20in%20developing%20and%20transition%20countries.pdf, terakhir dikunjungi 24 Mei 2007. 32 Lihat J. Faundez, “Legal Reform in Developing and Transition Countries: Making Haste S l o w l y ” , h t t p : / / b i b l i o i b e r o . f l a s c o . e d u . m x / T E M P F T P / C AT E D R A 4 T R I M O S / Legal%20reform%20in%20developing%20and%20transition%20countries.pdf, terakhir dikunjungi 24 Mei 2007. 33 Ibid.
Satu Dasa Warsa Reformasi Hukum : Indonesia Di Persimpangan Jalan ?
91
dari negara asing, terutama jika program-program reformasi hukum dianggap sebagai ’a set conditions for soft loans or a foreign aid package’.34 Jika hal ini terjadi, tidak jarang ’penolakan’ terhadap programprogram reformasi dikaitkan dengan isu kedaulatan, yang pada gilirannya akan lebih menyulitkan pelaksanaan reformasi itu sendiri. Apalagi jika diiringi dengan isu ketakutan terjadinya ’legal imperialism’.35 Berdasarkan hal-hal di atas, menjadi penting bagi kita untuk melakukan evaluasi pelaksanaan reformasi hukum yang selama ini dilaksanakan, sekaligus menetapkan agenda-agenda ke depan. Bagian berikut dari tulisan ini akan membahas agenda-agenda reformasi yang perlu dipertajam. REFORMASI HUKUM: AGENDA KE DEPAN A. Melanjutkan reformasi konstitusi dan peraturan perundangundangan Perubahan-perubahan UUD 1945 yang dilakukan dari tahun 19992002 masih menyisakan berbagai kekurangan, misalnya, kelemahan design ketatanegaraan dan struktur atau sistematika UUD 1945. Hal ini ditunjukkan, antara lain, pada tidak jelasnya peran DPD sebagai salah satu lembaga perwakilan. Selain itu, diletakkannya ketentuan mengenai Komisi Yudisial dalam Bab mengenai Kekuasaan Kehakiman yang dapat menimbulkan salah penafsiran karena dapat saja timbul pandangan bahwa Komisi Yudisial merupakan salah satu lembaga yang berkaitan dengan fungsi yudisial.36 Beberapa bulan terakhir gagasan mengenai perlunya dilakukan perubahan kelima, gencar dilakukan. Hal ini terutama berkaitan dengan keinginan para anggota DPD untuk memperkuat peran dan fungsi DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Gagasan amandemen kelima memang perlu didukung, namun yang harus diperhatikan adalah sikap kehati-hatian dalam melaksanakan ketentuan perubahan. Sikap kehatihatian ini juga diingatkan oleh James L. Sundquist yang mengutip pendapat Morris: Nothing human can be perfect. Surrounded by difficulties, we did the best we could; leaving it with those who should come after us 34
Ibid. Ibid. 36 Lihat Bagir Manan, “Hubungan Ketatanegaraan Mahkamah Agung (dan Mahkamah Konstitusi) dengan Komisi Yudisial, (Suatu Pertanyaan)”, Makalah disampikan pada Diskusi yang diselenggarakan Fraksi Partai Golkar di MPR, 9 Maret 2006, hlm 12. 35
92
Reformasi Hukum
to take counsel from experience, and exercise prudently the power of amendment, which we had provided.37 (garis tebal oleh penulis) Perlu juga diperhatikan bahwa reformasi konstitusi jangan hanya diartikan sebagai perubahan Undang-Undang Dasar, melainkan meliputi juga pengembangan konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan. Melalui konvensi ketatanegaraan, kaidah-kaidah ketatanegaraan dapat berjalan sesuai dengan pertumbuhan atau perkembangan pemikiran baru. Hal ini sejalan dengan fungsi konvensi menurut Ivor Jennings, yakni: (1)...enable a rigid legal framework and all laws tend to be rigid – to be kept up with changing social needs and changing political ideas; (2) …enable the men who govern to work machines.38 Kebiasaan ketatanegaraan juga perlu dikembangkan karena ‘ia merupakan sub sistem konstitusi yang selalu ada pada setiap negara, tanpa melihat sistem konstitusi yang dianut’.39 Dalam konteks inilah, arti dinamik UUD 1945 dapat ditemukan karena ‘konvensi dapat melengkapi, mengoreksi, atau menyesuaikan dengan asas-asas umum penyelenggaraan negara yang baik’.40 Reformasi peraturan perundang-undangan memegang peran yang tidak kalah penting. UUD 1945 perubahan telah ‘mengalihkan’ kewenangan utama pembentukan undang-undang kepada DPR. Praktek selama ini memperlihatkan telah terjadi semacam ‘inflasi’ undang-undang yang mengakibatkan kualitas undang-undang cenderung menurun. Pembatalan undang-undang secara parsial atau seluruhnya yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi seakan menjawab keprihatinan ini. Program legislasi nasional juga kurang menampakkan hasil yang maksimal, bahkan terkesan tidak realistis dan ambisius.41 Banyak rancangan undang-undang yang akan dibahas, tetapi tanpa betul-betul memerhatikan berbagai faktor, misalnya: waktu; pelaksanaan tugas-tugas DPR lain; dan lain sebagainya. Semua hal tersebut akhirnya berakibat kaburnya politik perundang-undangan pasca reformasi. Pembentukan seluruh aturan dibawah undang-undang juga perlu 37 38 39 40 41
James L. Sundquist, Constitutional Reform and Effective Government, 1992, hlm 1. Dikutip dari Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, 2006, hlm 80. Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, 2006, hlm 98. Ibid. Lihat, misalnya, Bivitri Susanti, “Menakar bobot legislasi 2006: Selintas Catatan Awal Tahun PSHK”, Jentera, PSHK, 2007, hlm 108.
Satu Dasa Warsa Reformasi Hukum : Indonesia Di Persimpangan Jalan ?
93
mendapat perhatian khusus. Hal ini disebabkan peraturan-peraturan di bawah undang-undang ini seakan-akan ‘lebih mengikat’ administrasi negara. Dalam praktek seringkali terjadi pejabat administrasi lebih tunduk pada peraturan menteri daripada undang-undang. Selain itu, perlu disadari bahwa pembentukan peraturan pemerintah, dan seterusnya, kurang memberikan ruang yang memadai bagi peran serta masyarakat. Sehingga seringkali timbul masalah-masalah begitu suatu aturan disahkan. Contoh paling nyata adalah PP No. 37/2006. Pembentuk undang-undang seringkali memberikan delegasi kepada eksekutif untuk membuat peraturan pelaksanaan (implementing legislation). Makin banyaknya pendelegasian terjadi karena beberapa sebab: pertama, DPR mungkin kekurangan waktu untuk membahas dan merumuskan secara rinci hal-hal yang perlu diatur dengan undang-undang.42 Kedua, DPR kurang mempunyai anggota-anggota yang benar-benar memiliki pengetahuan khusus di bidang tertentu sehingga dapat meninjau secara mendalam setiap aspek yang diatur dalam suatu undang-undang.43 Ketiga, delegasi dapat disebabkan karena pertimbangan kecepatan atau urgensi,44 serta elastisitas.45 Berdasarkan hal-hal di atas, pemerintah harus menetapkan politik perundang-undangan di masa depan. Hal ini untuk mencegah atau memperkecil peluang terjadinya problem perundang-undangan. B. Melanjutkan reformasi kelembagaan negara Tanpa kelembagaan negara yang kokoh, reformasi hukum tidak akan berjalan dengan baik. Faundez telah mengingatkan bahwa ‘weak institutional frameworks have on the outcome of the reform process’.46 Lebih lanjut Faundez menjelaskan: A state that has a strong institutional framework – a strong stateis a state that can get things done in accordance with pre-established procedures and with minimum use of coercion. A strong state is not necessarily authoritarian or ruthless. It also not necessarily a large state – indeed size is often the reason for its weakness. Strong state can implement policies and laws, while weak status are generally unable to ‘get things done’, to formulate and implement policy or to 42 43 44 45 46
Bagir Manan, Dasar-dasar ..., op. cit, hlm 42. Ibid. Ibid, hlm 43. Ibid, hlm 45. J. Faundez, op. cit.
94
Reformasi Hukum
secure compliance with the law by its citizens.47 Dalam tataran konstitusi, Amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan radikal dalam sistem kelembagaan negara. Perubahan tersebut ditandai dengan perubahan pengertian; kedudukan; jenis; tugas dan wewenang; serta hubungan antar lembaga negara.48 Dalam kaitan dengan komisi-komisi negara, diawali dengan pendirian Komnas HAM di tahun 1990-an, fenomena pendirian lembaga-lembaga negara mencapai puncaknya pada masa reformasi. Fenomena ini tidak dapat diklaim sebagai khas Indonesia, karena di banyak negara yang menjalani periode transisi fenomena semacam ini umum dijumpai, misalnya di Thailand dan Afrika Selatan.49 Perubahan-perubahan ini tidak dengan serta merta menjamin keberhasilan tercapainya tujuan reformasi. Bahkan Bagir Manan menyatakan bahwa aneka ragam lembaga negara justru menimbulkan berbagai kerancuan baru praktek ketatanegaraan. 50 Cornelius Lay menyatakan ‘densitas kelembagaan di tingkat negara telah mencapai sebuah titik yang sangat padat, untuk tidak mengatakan telah mencapai titik jenuh’.51 Masalah-masalah kelembagaan muncul disebabkan selain karena kerancuan pengertian lembaga negara juga terjadi karena penyusun perubahan UUD tidak mempunyai konsep yang jelas mengenai materi muatan UUD.52 Merespon berbagai anomali dalam aturan dan praktek ketatanegaraan, perlu dilakukan langkah-langkah untuk mengharmonisasi aturan-aturan ketatanegaraan, baik pada tingkat UUD maupun peraturan perundangundangan lainnya.53 Selain itu, perlu dilakukan upaya untuk menertibkan berbagai kelembagaan untuk membedakan kelembagaan ketatanegaraan dan yang bukan ketatanegaraan serta meninjau ulang mana yang menjadi materi muatan UUD dan yang bukan materi muatan UUD.54 C. Mengintensifkan reformasi birokrasi Birokrasi merupakan salah satu aktor penting dalam reformasi hukum. 47
Ibid. Lihat Bagir Manan, “Pembaharuan Lembaga-lembaga Negara Dalam UUD 1945 – Baru”, Makalah disampaikan pada Ceramah dihadapan Civitas Academica Universitas Sam Ratulangi, Manado, Januari 2007, hlm 3. 49 Cornelius Lay, “State Auxiliary Agencies”, Jentera, PSHK, 2006, hlm 7. 50 Bagir Manan, “Pembaharuan Lembaga-lembaga Negara …”, op. cit, hlm 6. 51 Cornelius Lay, loc. cit. 52 Bagir Manan, “Pembaharuan Lembaga-lembaga Negara …”, op. cit, hlm 12. 53 Ibid, hlm 22. 54 Ibid. 48
Satu Dasa Warsa Reformasi Hukum : Indonesia Di Persimpangan Jalan ?
95
Apalagi, para birokrat dipandang sebagai garis terdepan yang berhubungan dengan masyarakat, dan di tangan mereka inilah warga melihat bagaimana negara beroperasi.55 Terdapat empat faktor mengapa birokrasi memegang peran sentral dalam negara. Pertama, birokrasi memiliki sumber daya hukum (legal resources).56 Secara hukum birokrasi memiliki kedudukan yang kuat karena ketentuan-ketentuan hukum menetapkan fungsi, tugas dan wewenang birokrasi. Bahkan melalui aturan-aturan, putusan-putusan administrasi negara dapat ditegakkan sehingga masyarakat melihat bahwa birokrasi merupakan legal representatives negara. Kedua, sumber daya material berupa uang dan sumber-sumber lain menyebabkan posisi birokrasi sangat kuat.57 Ketiga, birokrasi memiliki sumber daya strategi organisasi.58 Dalam kaitan ini birokrasi memiliki beberapa keunggulan, antara lain: keahlian dan spesialisasi; kemampuan memengaruhi suatu putusan; dan lain-lain. Keempat, birokrasi mempunyai sumber daya berupa tindakantindakan politik dimana institusi-institusi birokrasi mampu menggabungkan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan organisasi.59 Agar reformasi hukum berjalan sesuai dengan arah yang dicita-citakan, netralitas birokrasi merupakan suatu syarat yang tidak dapat dikompromikan lagi. Ditinjau dari pendekatan hukum tertulis, terdapat dua opsi agar netralitas administrasi negara dapat dicapai. Pertama, memasukkan ketentuan-ketentuan yang menjamin kebebasan administrasi negara dalam konstitusi.60 Hal ini dilakukan, antara lain, oleh Jerman61 dan Filipina.62 Kedua, independensi administrasi negara dilakukan dijamin melalui peraturan perundang-undangan. Dalam kaitan ini, Agung Hendarto mengatakan perlunya langkah-langkah strategis guna mendorong reformasi birokrasi melalui perundang-undangan, yakni: pertama, membangun dan memperluas wacana independensi administrasi negara dari lingkaran dalam, yaitu pemerintah. 63 Kedua, mengawal proses pembahasan dan penyempurnaan undang-undang yang berkaitan dengan administrasi 55
Goran Hayden, Julius Court dan Ken Mease, Making Sense of Governance: Empirical Evidence from 16 Developing Countries, 2004, hlm 121. 56 Larry B. Hill, “Introduction: Public Bureaucracy and the American State” dalam Larry B. Hill (ed), The State of Public Bureaucracy (1992), hlm 4-6. 57 Ibid. 58 Ibid. 59 Ibid. 60 Lihat, misalnya, Agung Hendarto, “Netralitas Birokrasi: Menjernihkan Pola Hubungan Pemerintah dan Birokrasi”, Jentera, PSHK, 2007, hlm 52. 61 Agung Hendrarto, “Netralitas Birokrasi: Menjernihkan Pola Hubungan Pemerintah dan Birokrasi”, Jentera, PSHK, 2007, hlm 52-54. 62 Lihat Article XI, Section 1 Konstitusi Filipina 1987. 63 Agung Hendarto, op. cit, hlm 56.
96
Reformasi Hukum
negara.64 Namun, berhasil tidaknya reformasi birokrasi juga dipengaruhi oleh reformasi di bidang lain, terutama politik. Pada negara yang menjalani periode transisi, administrasi negara seringkali dipengaruhi secara dominan oleh kepemimpinan politik tertentu. Oleh karena itu, proses demokratisasi menjadi suatu hal yang tidak dapat ditawar lagi karena netralitas birokrasi akan ditentukan juga oleh derajat demokrasi. Sejalan dengan pemikiran ini, Michiel S. de Vries mengatakan ‘bureaucray and democracy need one another’. 65 D. Membangun budaya hukum Budaya hukum berkaitan dengan persepsi dan apresiasi masyarakat tentang hukum.66 Dalam kalimat senada, Moh. Mahfud M.D menyatakan bahwa budaya hukum diartikan sebagai: sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum yang mencakup kepercayaan, nilai, ide, dan harapan-harapan masyarakat terhadap hukum.67 Menunjuk pada praktek selama ini, rendahnya budaya hukum masyarakat Indonesia ditunjuk sebagai penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Disinyalir budaya yang berkembang di masyarakat adalah budaya korupsi dan budaya paternalisme serta feodalisme.68 Budaya korupsi, misalnya, seringkali diperlihatkan dalam praktek penegakan hukum di pengadilan yang terkenal dengan istilah judicial corruption. Bahkan, karena dipengaruhi paternalisme dan feodalisme, ‘ucapan’ seorang petinggi seringkali diartikan sebagai hukum yang harus dilaksanakan. Akan tetapi, sejarah membuktikan bahwa penegakan hukum pernah berjalan dengan baik di negeri ini. Hal ini diperlihatkan dengan baik dalam salah satu disertasi mengenai Mahkamah Agung Republik Indonesia yang ditulis oleh Sebastiaan Pompe dimana Pompe mengatakan: After the 1970 law, the political debate on the place and role of the judiciary in Indonesia effectively collapsed for many years. The 64 65
66
67 68
Ibid. Michiel S. de Vries, “Democracy and the Neutrality of Public Bureaucracy” dalam Haile K. Asmerom dan Elisa P. Reis (eds), Democratization and Bureaucracy Neutrality, 1996, hlm 80. Bagir Manan, “Reorientasi Politik Hukum Nasional”, Makalah disampaikan dalam Diskusi IKAPTISI, Yogyakarta, 1999, hlm 16. Moh. Mahfud M.D, op. cit, hlm 44. Lihat antara lain, Ibid, dan Bagir Manan, “Reorientasi ...”, loc. cit.
Satu Dasa Warsa Reformasi Hukum : Indonesia Di Persimpangan Jalan ?
97
law showed that the New Order government was not prepared to change fundamentally political relations in the country. Henceforth, the issue confronting the judiciary, and the Supreme Court in particular, was how best to survive in a political environment that clearly aimed at restricting the role of the courts as much as posible, if it was not outright hostile to its goal and interests. This renewed political marginalization of the judiciary cut deeper and would last longer than anything before. In the thirty years from 1970 until Reformasi, an entire generation of judges grew up and made their careers in an environment that accorded neither respect nor relevance to their function. It deeply demorilized the judiciary, contributed to the dramatic weakening of its professional capabilities, and boosted corruption in a service that until 1970 had still relatively clean (underpaid though it was even then).69 Lebih menyedihkan lagi, dalam melakukan kerjasama dengan donor asing dalam pembentukan berbagai pranata hukum melalui ‘legal transplant’, para ahli asing yang terlibat seringkali ‘menganggap remeh’ perihal budaya hukum ini. Tim Lindsey menyebutkan dua alasan utama mengapa para ahli hukum Barat acapkali gagal membuat design legal transplant untuk Asia.70 Pertama, para ahli hukum Barat kurang memiliki pengetahuan memadai dalam hal isi dan seluk beluk operasional legal sistem Asia.71 Kedua, kesulitan memahami budaya hukum di Asia juga diakibatkan dari kurang komprehensifnya pengertian budaya itu sendiri yang mengakibatkan kurangnya perhatian oleh para donor asing terhadap masalah budaya hukum.72 Agenda reformasi ke depan, mau tidak mau, harus lebih memberikan penekanan pada isu budaya hukum. Masyarakat harus didorong untuk memahami bahwa hukum mencakup hampir seluruh kehidupan manusia dan bahwa sistem hukum itu penting.73 Oleh karena itu, membangun budaya hukum harus dilakukan secara komprehensif. Pemerintah harus membuat design yang jelas yang tidak hanya menggunakan pendekatan hukum saja. Pendidikan adalah salah satu 69
Sebastiaan Pompe, The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse, 2005, hlm 111. 70 Tim Lindsey, “History Always Repeats? Corruption, Culture, and ‘Asian Values’ dalam Tim Lindsey dan Howard Dick (eds), Corruption in Asia: Rethinking the Governance Paradigm (2002), hlm 3-4. 71 Ibid, hlm 3. 72 Ibid, hlm 4.
98
Reformasi Hukum
kata kunci untuk membangun kesadaran hukum sejak usia dini, yang melibatkan baik pihak keluarga maupun sekolah. Kurikulum pendidikan formal dan non-formal harus dibuat sedemikian rupa untuk mendorong para siswa menghargai hukum dalam kehidupan seharí-hari. Lebih lanjut, upaya membangun kesadaran hukum tidak terutama dengan cara-cara menambah pengetahuan masyarakat tentang hukum.74 Malahan, usaha pertama adalah membangun masyarakat yang demokratis sehingga membangun budaya hukum tidak dapat dilepaskan dari upaya pembaharuan sosial.75 E. Mereformasi pendidikan tinggi hukum Bagir Manan berpendapat bahwa reformasi pendidikan hukum merupakan ‘garda depan reformasi hukum karena out put pendidikan hukum merupakan sumber yang menentukan corak dan hasil sub sistem lainnya’.76 Berangkat dari pemikiran tersebut, sudah saatnya ‘para pemain reformasi hukum’ memberikan perhatian lebih pada bidang ini. Hal ini perlu ditekankan karena selama hampir satu dekade terakhir ini pendidikan tinggi hukum seakan-akan tersisih dari perhatian, dan ini terlihat pada minimnya program-program yang diadakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan hukum di Indonesia pada masa reformasi.77 Padahal, sejak awal tahun 1970-an berbagai langkah pembaharuan pendidikan hukum di Indonesia telah ditempuh, termasuk pengenalan pendidikan klinis hukum yang dipelopori oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dengan tokoh utama Mochtar Kusumaatmadja.78 Kritikan-kritikan acapkali dialamatkan kepada fakultas hukum karena tidak menghasilkan lulusan yang siap pakai. Meskipun telah mencoba merespon dengan cara memperkenalkan mata kuliah-mata kuliah kemahiran dan penulisan akhir berupa memorandum hukum dan studi kasus, namun tetap saja belum mampu memenuhi harapan pemakai. Hal ini terjadi karena “kurangnya stakeholders yang memperhatikan perbedaan antara 73
Lihat, misalnya, Kathy Laster, Law as Culture, 2001, hlm 1. Bagir Manan, “Reorientasi ...”, loc. cit. 75 Ibid. 76 Bagir Manan, “Peranan Pendidikan Tinggi Hukum …”, op. cit, hlm 9. 77 Berbagai program kerjasama di bidang pendidikan hukum justru terjadi pada masa sebelum reformasi yang dibiayai oleh berbagai negara donor luar negeri, misalnya Belanda dan Amerika Serikat. Kerjasama meliputi program penulisan dan penterjemahan buku; penataran dosendosen; dan lain-lain. Lihat Mardjono Reksodipuro, “Peranan Pendidikan Tinggi Hukum dalam Pembaharuan Hukum Indonesia”, Jentera, PSHK, Jakarta, 2003, hlm 21-27. 78 Lihat Ibid. 74
Satu Dasa Warsa Reformasi Hukum : Indonesia Di Persimpangan Jalan ?
99
pendidikan hukum akademis dan pendidikan hukum profesi”.79 Reformasi pendidikan tinggi hukum dapat dimulai dengan melihat alternatif-alternatif yang tersedia. Hikmahanto Juwana menawarkan tiga alternatif bagi pembenahan sistem pendidikan tinggi hukum di Indonesia.80 Pertama, fakultas hukum tetap menjalankan pendidikan hukum akademis, sedangkan pendidikan hukum profesi dilaksanakan oleh organisasi profesi pasca kelulusan mahasiswa dari fakultas hukum.81 Kedua, fakultas hukum diubah semata-mata menjadi institusi yang menyelenggarakan pendidikan hukum profesi sebagaimana yang dilakukan oleh law school di Amerika Serikat.82 Ketiga, fakultas hukum menyelenggarakan pendidikan hukum akademis dan profesi.83 Ketiga alternatif tersebut memiliki konsekuensi-konsekuensi. Misalnya, jika opsi ketiga yang dipilih, konsekuensinya jangka waktu pendidikan akan lebih lama. Oleh karena itu menjadi penting disadari bahwa kebijaksanaan pendidikan tinggi hukum harus diambil melalui keputusan bersama agar komitmen untuk melakukan pembaharuan pendidikan hukum dapat terus dijaga. PENUTUP Faundez mengingatkan bahwa reformasi hukum adalah suatu proses, dan hal ini yang seringkali dilupakan dalam prakteknya.84 Pemerintah seringkali melupakannya karena hampir seluruh politisi bekerja dalam jangka waktu tertentu dan selama periode tersebut mereka ingin mendapatkan credit untuk sebuah reformasi hukum besar-besaran. Negara donor juga melupakannya karena mereka bekerja untuk jangka waktu dan jumlah dana tertentu. Di Indonesia dimana reformasi hukum berjalan selama kurang lebih sembilan tahun, namun masih kurang menampakkan hasil sesuai dengan yang diharapkan, banyak pihak mulai merasa pesimis jika sekarang Indonesia berada pada jalur yang benar (on the right track). Penulis menekankan bahwa kondisi akan berbahaya apabila mereka yang tidak sabar dengan jalannya reformasi hukum akan berbalik arah untuk kembali pada sistem otoriter karena alasan efisiensi dan kecepatan pelaksanaan 79
80 81 82 83 84
Hikmahanto Juwana, “Memikirkan Kembali Sistem Pendidikan Hukum di Indonesia”, Jentera, PSHK, 2003, hlm 94. Ibid, hlm 96-97. Ibid, hlm 96. Ibid. Ibid, hlm 97. J. Faundez, op. cit.
100
Reformasi Hukum
program. Oleh karena itu perlu disadari bahwa tidak ada model sempurna bagi reformasi hukum yang berlaku di semua negara. Atau dengan kata lain, tidak ada blueprint yang berisi sebuah rencana detail mengenai bentuk dan isi sebuah proses reformasi karena yang ada adalah ’a simplified description of what the reform process should achieve and it is used to assist those in charge of designing and implementing the reform process’. 85 Beranjak dari pemikiran ini, para pembuat kebijaksanaan di negeri ini harus melakukan upaya-upaya mengkaji ulang seluruh rencana dan pelaksanaan reformasi hukum yang telah dilakukan. Dengan demikian dapat diidentifikasi berbagai kendala yang terjadi, sekaligus dapat menemukan kebijaksanaan yang tepat bagi pelaksanaan agenda selanjutnya.
85
Ibid.
Reformasi Kelembangaan Negara Pasca 101 Amandemen UUD 1945
REFORMASI KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Lilis Mulyani Abstrak Proses reformasi yang salah satunya menghasilkan amandemen UUD 1945, telah membawa konsekuensi berubahnya struktur ketatanegaraan di Indonesia. Perubahan ini tidak hanya dengan diformulasikannya kembali hubungan-hubungan antar kekuasaan yang ada (terutama eksekutif dan legislatif), namun juga dengan dibentuknya beberapa lembaga negara baru.Akibatnya posisi, struktur dan hubungan politik-hukum antarlembaga-lembaga negara yang ada dan yang baru juga telah berubah secara signifikan. A. Pendahuluan Kompleksitas permasalahan kenegaraan dalam negara dan masyarakat yang sedang berubah membawa implikasi terhadap struktur kenegaraan Indonesia. Hal ini diiringi pula dengan bertambah banyaknya ide-ide atau konsep-konsep baru dari dunia secara global yang sedikit banyak memengaruhi situasi masyarakat dan negara di Indonesia. Konsepkonsep tersebut telah membawa pembaruan teoritis dan pembaruan kelembagaan serta fungsional dari institusi-institusi dalam struktur kenegaraan yang telah ada. Yang pasti, negara-negara yang berada dalam situasi transisi menuju demokrasi seperti Indonesia mulai menata kembali struktur ketatanegaraannya sebagai pra-kondisi menuju terciptanya negara yang memiliki sistem pemerintahan yang baik dan transparan melalui pengawasan oleh lembaga perwakilan rakyat dan masyarakat sipil; dan yang terutama adalah yang menghormati dan menegakkan hak asasi manusia; yang semuanya membentuk suatu kesatuan sistem yang saling berproses. Sejalan dengan hal ini, terdapat kebutuhan untuk merevisi cabang-cabang kekuasaan negara berdasarkan teori klasik separation of power sebagai suatu langkah untuk memahami institusi-institusi kenegaraan
102
Reformasi Hukum
sebagai mekanisme ketatanegaraan yang memadai, yang mampu membuat dan melaksanakan hukum dan kebijakan yang relevan dalam masyarakat yang sedang berubah.1 B. Lembaga Negara dalam Konteks Ketatanegaraan Secara definitif, alat-alat kelengkapan suatu negara atau yang lazim disebut sebagai lembaga negara adalah institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara.2 Berdasarkan teori-teori klasik mengenai negara setidaknya terdapat beberapa fungsi negara yang penting seperti fungsi membuat peraturan atau kebijakan (fungsi legislatif), fungsi melaksanakan peraturan atau fungsi penyelenggaraan pemerintahan (fungsi eksekutif), dan fungsi mengadili (fungsi yudikatif).3 Kecenderungan praktek ketatanegaraan terkini di Indonesia, oleh banyak ahli hukum tata negara dan ahli politik dikatakan menuju sistem pemisahan kekuasaan antara ketiga pelaksana fungsi negara ini. Hal ini merupakan sebuah perubahan yang sangat penting karena sebelum Amandemen UUD 1945 Indonesia menganut sistem pembagian kekuasaan. Maksudnya MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat tertinggi (sekaligus sebagai lembaga negara yang memiliki posisi tertinggi) ”membagi-bagikan” tiga fungsi negara ini kepada lembaga negara lain khususnya kepada DPR dan Presiden. Alat kelengkapan negara berdasarkan teori-teori klasik hukum negara meliputi kekuasaan eksekutif dalam hal ini bisa presiden atau perdana menteri atau raja; kekuasaan legislatif dalam hal ini bisa disebut parlemen atau dengan nama lain seperti Dewan Perwakilan Rakyat, dan kekuasaan yudikatif seperti Mahkamah Agung atau Supreme Court. Masing-masing alat-alat kelengkapan negara tersebut bisa memiliki organ-organ lain untuk membantu pelaksanaan fungsinya. Kekuasaan eksekutif misalnya, dibantu oleh wakil dan menteri-menterinya yang biasanya memimpin satu departemen tertentu.4 Meskipun demikian, dalam kenyataannya, tipe-tipe lembaga negara yang diadopsi setiap negara berbeda-beda sesuai dengan perkembangan sejarah politik kenegaraan dan juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam negara yang bersangkutan. 1
2
3
4
Bissera Zankova, 2002, The Independent Bodies and the State Administrative Structure: The Case of Bulgaria, diambil dari
4 Oktober 2004 . Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Jakarta: Gaya Media Pratama. Untuk penjabaran mengenai teori fungsi-fungsi Negara ini bisa dilihat di Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih, ibid. Ibid.
Reformasi Kelembangaan Negara Pasca 103 Amandemen UUD 1945
Secara konseptual, tujuan dari diadakannya lembaga-lembaga negara atau alat-alat kelengkapan negara selain untuk menjalankan fungsi negara tetapi juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Dengan kata lain, lembaga-lembaga ini harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara atau istilah yang digunakan Prof. Sri Soemantri adalah actual governmental process.5 Jadi, meskipun dalam prakteknya tipe lembagalembaga negara yang diadopsi setiap negara bisa berbeda, namun secara konsep lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dan memiliki relasi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara dan secara ideologis mewujudkan tujuan negara jangka panjang. Proses reformasi yang salah satunya menghasilkan amandemen UUD 1945, telah membawa konsekuensi berubahnya struktur ketatanegaraan di Indonesia. Perubahan ini tidak hanya dengan diformulasikannya kembali hubungan-hubungan antar kekuasaan yang ada (terutama eksekutif dan legislatif), namun juga dengan dibentuknya beberapa lembaga negara baru. Akibatnya posisi, struktur dan hubungan politik-hukum antarlembagalembaga negara yang ada dan yang baru juga telah berubah secara signifikan. Perubahan yang paling utama adalah bahwa berdasarkan Amandemen UUD 1945, kini tidak ada lagi dikotomi antara lembaga tertinggi negara (yang dulu adalah MPR) dan lembaga tinggi negara. Amandemen UUD 1945 telah ’mereduksi’ kekuasaan negara yang asalnya dimiliki oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan memisahkan kekuasaan negara tersebut kepada lembaga-lembaga tinggi negara terutama kepada legislatif (DPR) dan eksekutif (Presiden). C. Lembaga-lembaga negara baru pasca Amandemen Salah satu fenomena ketatanegaraan pasca dilakukannya Amandemen UUD adalah dengan semakin maraknya pembentukan lembaga-lembaga negara baru berbentuk komisi. Pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru dalam konteks transisi demokrasi di Indonesia merupakan suatu hal yang menjadi kelaziman –jika tidak bisa dibilang sebagai suatu ’keharusan’berdasarkan semakin tingginya demand dari masyarakat sipil (baik nasional maupun global) terhadap struktur ketatanegaraan yang ”diharuskan” memperhatikan konsep-konsep atau ide-ide mengenai hak asasi manusia dan demokrasi. Salah satu contoh yang paling signifikan dalam 5
Sri Soemantri, 1986, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Bandung: Alumni.
104
Reformasi Hukum
perkembangan dan pembentukan institusi-institusi demokratis di Indonesia adalah dibentuknya komisi-komisi yang disebut juga sebagai lembagalembaga negara (independen). Pembentukan lembaga-lembaga negara baru ini bisa disebabkan karena tekanan internal dan eksternal. Tekanan internal diantaranya disebabkan oleh gejolak dari dalam struktur politik dan sosial masyarakat negara yang bersangkutan.Di Indonesia, hal ini ditandai dengan terjadinya reformasi politik, hukum dan sosial; yang secara politis dan hukum menyebabkan terjadinya dekonsentrasi kekuasaan negara dan reposisi atau restrukturisasi sistem ketatanegaraan. Adapun tekanan eksternal dalam hal ini adalah arus global pasar bebas, demokratisasi dan gerakan hak asasi manusia internasional. Ketiga arus global ini sangat penting pengaruhnya terhadap proses reformasi yang membawa Indonesia ke dalam situasi transisi demokrasi ini karena banyak institusi internasional yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki kepentingan di Indonesia meng-impose pemerintah untuk menerapkan – dalam banyak hal- konsep-konsep demokrasi dan hak asasi manusia yang disosialisasikan diantaranya melalui lembaga-lembaga internasional dan regional seperti PBB dan Bank Dunia. Dalam kasus Indonesia, ada beberapa hal yang bisa disebut sebagai inti dari pembentukan lembaga-lembaga negara baru seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Komnas HAM, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, Komisi Persaingan Usaha, Komisi Perlindungan Anak, atau yang paling akhir Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran, diantaranya yaitu: 1. Tiadanya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada akibat asumsi (dan bukti) mengenai korupsi yang sistemik dan mengakar dan sukar untuk diberantas; 2. Tidak independennya lembaga-lembaga negara yang ada karena satu atau lain halnya tunduk di bawah pengaruh satu kekuasaan negara atau kekuasaan lain; 3. Inkapabilitas lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang urgent dilakukan dalam masa transisi demokrasi karena persoalan birokrasi dan KKN; 4. Pengaruh global, dimana pembentukan yang dinamakan auxiliary state agency atau watchdog institutions6 di banyak negara yang berada dalam situasi transisi menuju demokrasi telah menjadi suatu kebutuhan –bahkan suatu keharusan- sebagai alternatif dari
Reformasi Kelembangaan Negara Pasca 105 Amandemen UUD 1945
lembaga-lembaga yang ada yang mungkin menjadi bagian dari sistem yang harus direformasi; 5. Tekanan lembaga-lembaga internasional; tidak hanya sebagai prasyarat untuk memasuki pasar global tetapi juga untuk membuat demokrasi sebagai satu-satunya jalan bagi negara-negara yang asalnya berada di bawah kekuasaan yang otoriter. Pembentukan lembaga-lembaga baru di luar lembaga negara yang telah ada pasca amandemen UUD 1945 merupakan suatu bukti keinginan baik pemerintah maupun rakyat Indonesia untuk membentuk suatu lembaga negara dengan fungsi yang lebih khusus yang sifatnya independen dan terlepas dari sistem yang sudah ada dan terbentuk sejak lama. Alasan kuat di balik ini selain untuk memeroleh ’kepercayaan dan ketenangan’ publik (nasional dan internasional); juga karena lembaga yang telah ada banyak yang sudah turun kredibilitasnya, jika tidak bisa dikatakan tidak memiliki kredibilitas sama sekali di mata masyarakat nasional maupun internasional. Mengingat bahwa lembaga-lembaga negara yang telah ada telah ”tercemar” oleh korupsi, kolusi dan nepotisme, membentuk lembagalembaga negara baru yang independen dan lepas dari struktur kenegaraan yang telah ada merupakan satu-satunya jawaban dan cara yang paling mungkin dan paling cepat untuk dilakukan. Hal ini juga mengindikasikan mulai munculnya ”kekuatan baru” dalam struktur ketatanegaraan yang berasal dari konsep demokrasi dan hak asasi manusia yaitu kekuatan masyarakat sipil. Menurut salah satu pakar HAM Indonesia, pembentukan lembaga-lembaga baru yang independen ini seperti mencangkokkan suatu lembaga baru berdasarkan konsep demokrasi dan penghormatan terhadap HAM, dengan harapan lembaga ’cangkokan’ ini bisa memberi pengaruh positif terhadap ”sistem induknya”. Namun patut pula diperhatikan bahwa, jika sistem induknya sudah terlanjur ”rusak atau busuk” maka hasil cangkokan pun bukannya memberi pengaruh positif pada sistem induk, tapi alih-alih ia sendiri yang kemungkinan akan ikut menjadi rusak atau busuk.7
6
Istilah yang digunakan di Australia, misalnya. Lihat juga Fink Haysom, 2001, dalam Firmansyah Arifin, 2004, Lembaga Negara Pasca Amandemen UUD 1945, Apa Saja Problemnya?, Makalah, disampaikan dalam Diskusi Terbatas KRHN, “Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945”, Hotel Aryaduta, Jakarta 9 September 2004. 7 Abdul Hakim Garuda Nasution
106
Reformasi Hukum
D. Lembaga Negara menurut Mahkamah Konstitusi Sebelum Amandemen UUD 1945, berdasarkan TAP MPR No. III/ MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, jelas dikatakan bahwa lembaga tinggi negara hanya yang dimaksud dalam UUD 1945 saja yaitu: Presiden, Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung. Dalam penafsiran Prof. Dr. Sri Soemantri, lembagalembaga ini hanya merupakan political institutions saja.8 Secara teoritis, lembaga-lembaga negara ini dibentuk sebagai pengejawantahan dari distribution of power negara.9 Kekuasaan yang dimaksud berasal dari rakyat yang menjelma dalam lembaga perwakilan rakyat tertinggi yaitu MPR yang kemudian “membagi-bagikan” kekuasaan tersebut kepada lembaga-lembaga tinggi negara yaitu: Presiden dan menteri-menterinyanya (eksekutif); Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif); dan MA (yudikatif). Dalam Konstitusi RIS tahun 1950, disebutkan dengan jelas lembaga-lembaga yang termasuk sebagai alat-alat kelengkapan negara yaitu dalam Bab III berjudul Perlengkapan Republik Indonesia Serikat yang terdiri dari: Presiden, Menteri-menteri, Senat, Dewan Perwakilan rakyat, Mahkamah Agung Indonesia dan Dewan Pengawas Keuangan. Sementara dalam UUD Sementara tahun 1950, alat-alat kelangkapan negara juga disebutkan secara jelas dalam Bab II berjudul Alat-alat Kelengkapan Negara Pasal 44 yang terdiri dari: Presiden dan Wakil Presiden, Menterimenteri, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung dan Dewan Pengawas Keuangan. Lain halnya dengan UUD 1945 pasca Amandemen Keempat, di dalamnya tidak disebut secara jelas lembaga mana saja yang termasuk “lembaga negara” atau alat kelengkapan negara dalam konsep menjalankan atau menyelenggarakan fungsi negara. Satu-satunya ‘petunjuk’ yang diberikan oleh UUD 1945 pasca Amandemen adalah berdasarkan Pasal 24C ayat 2 yang menyebutkan bahwa salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah untuk mengadili dan memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.10 Berdasarkan Pasal ini terdapat dua jenis lembaga 8
Prof.Dr. Sri Soemantri, S.H., dalam Diskusi Terbatas tentang “Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945”, diselenggarakan oleh KRHN, 9 September 2004. 9 Firmansyah Arifin, dalam Diskusi Terbatas tentang “Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945”, diselenggarakan oleh KRHN, 9 September 2004. 10 Huruf miring dari penulis.
Reformasi Kelembangaan Negara Pasca 107 Amandemen UUD 1945
negara yaitu: 1. Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; dan 2. Lembaga negara yang kewenangannya berdasarkan peraturan lain, dalam hal ini bisa berasal dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau bahkan Keputusan Presiden. Pembedaan lembaga negara berdasarkan peraturan yang menjadi dasar pembentukannya sebetulnya tidak bertentangan dengan definisi konseptual dari keberadaan alat-alat kelengkapan negara, asalkan lembagalembaga ini memang membentuk suatu kesatuan proses dalam menjalankan fungsi pemerintahan negara. Yang menjadi permasalahan disini adalah bila kemudian lembaga-lembaga yang kemudian meng’klaim’ diri sebagai ”lembaga negara” memiliki fungsi atau kewenangan yang saling tumpang tindih atau bahkan berpotensi menimbulkan konflik. Selain itu, ketidakjelasan yang dinamakan lembaga negara juga dapat menimbulkan konsekuensi yang memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, karena lembaga-lembaga ini dibayai dari APBN. Karena satu-satunya pasal yang menjelaskan tentang Lembaga Negara adalah pasal yang notabene merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi, seharusnya jawaban ada pada lembaga yang baru terbentuk ini. Dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yaitu Keputusan Perkara No. 005/PUU-I/2003 tentang perkara permohonan pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap UUD 1945, ada sedikit penjelasan mengenai ”status lembaga negara”. Meskipun perlu diingat bahwa Keputusan MK sifatnya tidak harus menjadi jurisprudensi dan otomatis berlaku untuk lembaga lainnya dengan kata lain, keputusan MK sifatnya per kasus saja, namun penjelasan MK tentang ”lembaga negara” dalam keputusan ini cukup relevan dan bahkan penting untuk dibahas. Dalam kasus ini salah satu permohonan yang diajukan Pemohon11 adalah: (Point ) 2. Penjelasan tentang KPI sebagai Lembaga Negara. Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002: KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran. 11
Terdiri dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Assosiasi Televisi Siaran Indonesia (ATVSI), Persatuan Sulih Suara Indonesia (PERSUSI), dan Komunitas Televisi Indonesia (KOMTEVE).
108
Reformasi Hukum
Ihwal “lembaga negara” ini membutuhkan suatu pengaturan konstitusional satu dan lain hal untuk memberikan kejelasan karena sekarang begitu banyak lembaga yang masuk dalam kategori auxiliaries state agencies seperti Komnasham, KPK, KPKPN, Ombudsman, KHN, KPPU dsb. Adalah tugas MK sebagai `the ultimate interpreter of Constitution’ (guardian of Constitution) untuk membuat klarifikasi konstitusional mengenai apa yang disebut “lembaga negara” agar nantinya tidak ada konflik interpretasi. Jadi Para Pemohon bukannya anti status lembaga negara, tetapi dalam formatnya yang sekarangbisa saja “lembaga negara” seperti KPI dikategorikan sebagai sesuatu yang inkonstitusional.12 Sehubungan dengan permohonan ini, hakim Mahkamah Konstitusi menjelaskan dalam Pertimbangannya bahwa terdapat dua pembedaan makna yang signifikan dari penyebutan lembaga negara dengan menggunakan huruf kecil dan huruf kapital pada L dan N. Yang dimaksud “Lembaga Negara” tidak sama dengan “lembaga negara”. Penyebutan suatu lembaga sebagai “lembaga negara (dengan huruf kecil)” tidak berarti memberikan status “Lembaga Negara” pada lembaga yang bersangkutan.13 Hal ini dalam pertimbangan MK semata-mata karena dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya KPI mendapatkan sumber dana dari negara melalui mekanisme yang berlaku yaitu APBN.14 Dalam penjelasan selanjutnya MK menjelaskan tentang kelahiran institusi-insitusi demokratis dan “lembaga-lembaga negara” dalam berbagai bentuk diantaranya yang paling banyak di Indonesia adalah dalam bentuk komisi-komisi. Dalam penjelasan MK disebutkan bahwa: Komisi Independen yang lahir ini memang merupakan sebuah konsekuensi logis dari sebuah negara demokrasi modern yang ingin secara lebih sempurna menjalankan prinsip check and balances untuk kepentingan yang lebih besar.15 Adapun dalam amar putusan MK tentang kasus ini, MK menyatakan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, istilah “lembaga negara” tidak selalu dimaksudkan sebagai lembaga negara yang hanya disebutkan dalam UUD 1945 saja, atau yang dibentuk berdasarkan perintah konstitusi, 12
Keputusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 005/PUU-I/2003 tentang perkara permohonan pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap UUD 1945 halaman 3-4. 13 Ibid, hal. 21. 14 Ibid. 15 Keputusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 005/PUU-I/2003 tentang perkara permohonan pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap UUD 1945 halaman 21-22.
Reformasi Kelembangaan Negara Pasca 109 Amandemen UUD 1945
tapi juga ada lembaga negara lain yang dibentuk dengan dasar perintah dari peraturan di bawah konstitusi, seperti UU dan bahkan Keppres.16 Satu point penting lainnya adalah bahwa dalam salahh satu amar putusannya MK menyatakan bahwa lembaga negara seperti KPI tidak boleh secara sekaligus memiliki dan melaksanakan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yustisi, karenanya KPI yang tujuan awalnya merupakan sebuah lembaga pengawas, tidak boleh memiliki wewenang membuat peraturan pemerintah khusus di bidang penyiaran dan MK mengembalikan wewenang ini kepada Presiden (eksekutif).17 Berdasarkan analisa dan pertimbangan yang diberikan oleh MK ini, bisa diambil beberapa kesimpulan penafsiran yuridis atas istilah lembaga negara: 1. “Lembaga Negara” (huruf kapital pada L dan N) harus dibedakan dengan “lembaga negara” (huruf kecil pada l dan n) karena kedua penyebutan itu memiliki status dan konsekuensi yang berbeda. Sayangnya, MK tidak mengelaborasi lebih lanjut lembaga mana saja yang dimaksud dengan “Lembaga Negara” dan apa kriterianya; 2. Penyebutan “lembaga negara” (dengan huruf kecil) ditujukan untuk lembaga-lembaga yang dibiayai oleh negara yaitu melalui APBN, dimana lembaga ini merupakan lembaga yang independen dan bebas dari kekuasaan manapun. 3. Komisi independen (merujuk pada KPI sebagai “lembaga negara”) bertujuan untuk menjalakan prinsip check and balances untuk kepentingan publik. 4. ‘lembaga negara” tidak boleh melaksanakan secara sekaligus fungsi legislatif, eksekutif dan yustisi berdasarkan prinsip pembatasan kekuasaan negara hukum.18 Secara eksplisit MK membedakan antara “status” Lembaga Negara (huruf kapital) dengan lembaga negara (huruf kecil), meski tidak dijelaskan apa perbedaan statusnya ini. Namun jika dihubungkan dengan Pasal 24C ayat 2, status ini bisa berdasarkan kewenangan yang diberikan melalui UUD atau bukan UUD, atau status sebagai Lembaga Negara yang sifatnya politis (political institutions) atau bukan. Selain itu, pembatasan yang berhubungan dengan “lembaga negara” adalah bahwa “lembaga negara” 16
Ibid, hal. 79. Ibid, hal. 80. 19 Ibid, hal. 80. 17
110
Reformasi Hukum
tidak boleh secara sekaligus melaksanakan tiga fungsi negara yang paling pokok yaitu fungsi legislatif, eksekutif dan yustisi. Pembatasan ini penting sebagai sebuah pedoman dalam menentukan kewenangan “lembaga negara”. Dengan demikian, lembaga-lembaga yang disebut dalam UUD 1945 pasca Amandemen, diantaranya adalah DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Menteri-Menteri, Pemerintah Daerah, BPK, MK, MA, Komisi Yudisial, bank sentral, Kepolisian, dan TNI. Jika merujuk pada argumen bahwa yang dimaksud Lembaga Negara adalah sebagai institusi politik, dalam hal ini untuk menjalankan fungsi check and balances antar lembaga pelaksana fungsi-fungsi negara, maka pilihannya menjadi hanya: DPR dan DPD (sebagai pelaksana fungsi legislatif), Presiden dan Wakil Presiden (dalam hal ini beserta Menteri-menteri sebagai pembantu Presiden), serta MA (sebagai pelaksana fungsi yudikatif).19 Hal ini berkaitan dengan asas check and balances antar fungsi-fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Berdasarkan penjelasan di atas, bisa diambil dua kategori besar lembaga negara yaitu “Lembaga Negara” (dengan huruf kapital) yang apabila kita kembali pada konsep negara, fungsi negara dan alat-alat kelengkapan negara, maka pengertian ini harus dipersempit menjadi lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi pemerintahan, dalam hal ini adalah eksekutif dan legislatif. Selain itu ada “lembaga negara” (huruf kecil) yang merupakan bagian dari sistem pemerintahan dan lembaga negara yang berfungsi sebagai “pengawas” jalannya pemerintahan. Sebagai kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan penjelasan di atas, ada dua macam lembaga negara, yaitu pertama, lembaga negara yang kewenangannya diberikan berdasarkan UUD 1945. Untuk lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945 ini, bisa dibagi dua kembali yaitu Lembaga Negara (dicetak dengan huruf kapital pada huruf L dan N) yang berdasarkan Pasal 24C bisa menjadi pihak di MK; dan lembaga negara (huruf kecil) yang tidak bisa menjadi pihak dalam sengketa antar lembaga negara di MK. Lembaga negara yang kedua adalah lembaga-lembaga negara yang dasar hukum pembentukannya selain dari UUD 1945 atau dengan kata lain lembaga negara (huruf kecil) yang kewenangannya diberikan oleh peraturan lain di luar UUD 1945. Lembaga ini selain berfungsi sebagai watchdog institutions dari jalannya pemerintahan negara, juga sebagai. 19
Lihat Bintan R. Saragih, 2004, Komisi-komisi Negara dalam Sistem dan Struktur Pemerintahan Terkini, Makalah, disampaikan dalam Diskusi Terbatas KRHN, Hotel Menara Peninsula, Jumat, …Oktober 2004.
Reformasi Kelembangaan Negara Pasca 111 Amandemen UUD 1945
C. Lembaga-lembaga Negara dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia Terkini Secara spesifik, tidak ada dua atau lebih lembaga yang memiliki fungsi atau kewenangan yang sama. Hanya saja, dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya, dalam hal ini karena adanya interaksi antar lembaga, ada kemungkinan terjadinya tumpang tindih atau overlapping atau bahkan konflik. Secara struktural juga masih terdapat hubungan-hubungan antar negara yang belum tegas. Jika mengacu pada penjelasan sub-bab sebelumnya, maka secara sederhana kedudukan lembaga-lembaga negara yang ada bisa digambarkan sebagai berikut. Bagan 1
Ada beberapa hubungan yang terbentuk dalam kelembagaan negara pasca Amandemen UUD 1945, diantaranya adalah: 1. Hubungan fungsional a. Hubungan antara DPR/DPD dengan Presiden dalam membuat undang-
112
Reformasi Hukum
undang dan anggaran belanja negara juga untuk menyampaikan usul, pendapat serta imunitas; b. Hubungan antara DPR dengan DPD dalam membuat peraturan atau kebijakan yangg berhubungan dengan otonomi daerah; c. Hubungan antara Komisi Yudisial dengan Presiden dalam pengangkatan hakim (dalam konteks memberikan rekomendasi); d. BPK dengan lembaga-lembaga negara lain (terutama Presiden dan menteri-menteri) dalam penyelenggaraan keuangan lembaga-lembaga tersebut; e.Komisi Pemilihan Umum dengan pemerintah dalam menyelenggarakan pemilihan umum; f. Komisi Hukum Nasional dengan Presiden untuk memberikan pendapat tentang kebijakan hukum dan masalah-masalah hukum serta membantu Presiden sebagai panitia pengarah dalam mendesain pembaruan hukum; g. Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian dan Kejaksaan Agung (Pemerintah) dalam melakukan penyelidikan atas dugaan kasus korupsi; 2. Hubungan pengawasan a.Hubungan antara DPR dengan Presiden dalam melaksanakan pemerintahan; b. Hubungan antara DPD dengan pemerintah pusat dan daerah khususnya dalam pelaksanaan otonomi daerah; c. MA dengan Presiden untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang; d.MK dengan pembentuk UU (dalam hal ini DPR/DPD dan Presiden) untuk menguji konstitusionalitas UU; e. Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Pemerintah; f.Komisi Ombudsman Nasional dengan Pemerintah dan aparatur pemerintah, aparat lembaga negara, lembaga penegak hukum dan peradilan dalam pelaksanaan pelayanan umum agar sesuai dengan asasasas umum pemerintahan yang baik (good governance). 3. Hubungan yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa a. MK dengan lembaga-lembaga negara lain, untuk menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga negara; b. MK dengan penyelenggara pemilu untuk menyelesaikan 4. Hubungan pelaporan atau pertanggungjawaban
Reformasi Kelembangaan Negara Pasca 113 Amandemen UUD 1945
a. DPR/DPD dalam MPR dengan Presiden; b. DPR dengan Komisi-komisi negara seperti Komnas HAM, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Komisi Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan; c. Presiden dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Pada dasarnya, konsep kelembagaan negara selain harus memiliki fungsi dan kewenangan yang jelas juga harus membentuk suatu kesatuan yang berproses dalam melaksanakan fungsi-fungsi negara dalam sistem pemerintahan secara aktual. Meski dalam konteks kelembagaan negara sekarang ada banyak lembaga negara yangg sifatnya independen dan lepas dari pengaruh kekuasaan inti negara (kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif), namun secara fungsional harus memiliki keterkaitan dengan lembaga negara lain, terutama lembaga negara yang diawasinya dan juga harus jelas kepada siapa lembaga-lembaga ini harus bertanggung jawab (akuntabilitasnya). Dengan jelasnya fungsi dan akuntabilitas lembagalembaga negara yang ada, lembaga-lembaga ini akan memiliki ”kekuatan hukum” dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya. Lembaga-lembaga negara yang berfungsi sebagai watchdog institutions di Indonesia dalam dasar hukumnya memiliki kewajiban memberikan laporan kepada DPR dan memberikan rekomendasi kepada lembaga yang diawasinya. Namun jika melihat kepada kewajiban memberikan laporan ini, terlihat ada ketidaktegasan akuntabilitas lembagalembaga negara ini. Laporan dalam konsepnya tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, melaporkan tidak berarti harus mempertanggung jawabkan kinerjanya kepada DPR. Selain itu kewenangan memberikan rekomendasi kepada lembaga yang diawasi juga tidak memberikan suatu ketegasan secara yuridis kepada lembaga yang bersangkutan. Rekomendasi yang sifatnya tidak mengikat ini pada akhirnya kembali pada lembaga negara yang diawasinya apakah akan dilaksanakan atau tidak. Misalnya saja dalam kasus Komnas HAM, meski setelah dilakukan penyelidikan mengenai pelanggaran HAM yang terjadi, kemudian Komnas HAM memberikan rekomendasi kepada Jaksa Agung, tapi dalam banyak kasus Jaksa Agung bisa saja ”mengabaikan” rekomendasi Komnas HAM dan tidak menindak lanjuti rekomendasi yang diberikan Komnas HAM. Demikian juga halnya dengan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi atau Komisi Ombudsman Nasional.
114
Reformasi Hukum
Hal yang juga penting berkaitan dengan masalah independensi lembagalembaga negara adalah masalah sumber keuangan lembaga-lembaga tersebut. Apabila kita hendak mengambil rujukan tentang ”lembaga negara” sebagai lembaga-lembaga independen yang sumber dananya berasal dari APBN, maka harus ada konsistensi bagi semua lembaga yang ada. Dalam kenyataannya, ada suatu lembaga yang krusial melaksanakan fungsi pengawasan atas pelaksanaan tugas-tugas penyelenggaraan negara oleh eksekutif, khususnya, yaitu Komisi Ombudsman Nasional yang sumber dananya berasal dari Sekretariat Negara yang berkoordinasi dengan Menteri Keuangan (lihat Keppres No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional jo. Keppres No. 66 Tahun 2002 tentang Honorarium Bagi Ketua, Wakil Ketua, Anggota, Tenaga Tim Asistensi, Dan Staf Administrasi Kesekretariatan Komisi Ombudsman Nasional). Dilihat dari segi ini maka secara struktural ”agak janggal” jika menempatkan lembaga ini sebagai lembaga yang independen, jika sumber dananya berasal dari salah satu institusi pembantu Presiden, yaitu Sekretariat Negara. Berkaitan dengan hal ini, penjelasan MK dalam Keputusannya tentang KPI yang berhubungan dengan sumber dana lembaga negara dan independensi lembaga yang bersangkutan mungkin bisa dijadikan suatu bahan analisa, bahwa independensi suatu lembaga negara (dalam hal ini KPI) tidak semata-mata diukur berdasarkan sumber dananya tapi pada integritas dan profesionalisme anggota-anggotanya. Dan prinsip utama yang harus dimiliki lembaga-lembaga negara yang ada ini adalah: keterbukaan, transparan dan akuntabel.20 Hal yang paling penting mengenai keberadaan lembaga-lembaga negara yang berfungsi sebagai watchdog institutions adalah sejauh mana lembaga yang ada bisa melaksanakan kewenangannya jika berhubungan dengan lembaga lain. Misalnya Komnas HAM jika telah memperoleh bukti pelanggaran HAM berat dan mengajukan rekomendasi kasus ke Jaksa Agung. Yang terpenting dari hal ini adalah sejauh mana lembaga lain mengakui kewenangan yang dimiliki lembaga-lembaga yang ada. Akhirnya, ada setidaknya tiga rekomendasi dalam hal reformasi kelembagaan negara pasca Amandemen UUD 1945 ini diantaranya adalah bahwa dasar hukum dari lembaga-lembaga negara (terutama yang dibentuk bukan oleh UUD 1945) harus dikonsistenkan, dalam hal ini dalam bentuk yang memiliki kekuatan hukum paling kuat seperti UU yang dibuat 20
Keputusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 005/PUU-I/2003 tentang perkara permohonan pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap UUD 1945 halaman 15.
Reformasi Kelembangaan Negara Pasca 115 Amandemen UUD 1945
bersama-sama antara kekuasaan legislatif dan eksekutif. Hal ini penting selain untuk mengontrol fungsi lembaga negara yang ada melalui peraturan perundang-undangan, juga untuk mempertegas kedudukan lembaga negara yang bersangkutan sehingga fungsi dan kewenangannya diakui oleh lembaga-lembaga lain, terutama lembaga yang berhubungan langsung dengan pelaksanaan fungsi dan kewenangannya itu. E. Potensi Konflik Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Negara Konflik antar lembaga negara yang pernah terjadi di Indonesia pada khususnya, kadang sukar dibedakan dengan yang dinamakan konflik elit politik. Karena dalam banyak kasus konflik antarlembaga negara, yang justru paling banyak bukanlah konflik antar lembaga yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang mengaturnya atau konflik yang berasal dari fungsi dan kewenangannya, namun lebih merupakan konflik yang sifatnya politis dalam rangka melindungi kepentingan masing-masing elit politik, baik kepentingan pribadi maupun kelompok politiknya (dalam hal ini partainya). Konflik elit yang sifatnya politis ini biasanya akan diselesaikan secara ”non-hukum” pula. Mekanisme penyelesaian konflik yang bersifat ”non-hukum”, misalnya melalui lobi politik atau melalui politik kekuasaan dari salah satu lembaga negara. Dampak mekanisme ini secara juridis dalam relasi antar lembaga-lembaga negara. Ketidaktransparanan mekanisme non-hukum ini dapat mengakibatkan pihak tertentu yang dirugikan atau bahkan dilanggar haknya. Selain itu, proses yang seperti ini akan semakin menambah ketidak jelasan penegakan hukum –khususnya hukum tata negara- di Indonesia dan hanya berdasarkan pada lobi-lobi yang sifatnya politis semata. Lobi ini dikhawatirkan memiliki kepentingan politis para elite politik saja tanpa memperhatikan kepentingan publik secara keseluruhan. Namun, dalam banyak kasus di Indonesia, justru lobi politik atau jalur penyelesaian konflik yang non-hukum ini yang bisaanya lebih berperan dalam ”menyelesaikan” konflik. Maksud menyelesaikan di sini tidak selalu berarti semua pihak menjadi puas atas hasilnya, ”menyelesaikan disini bisa diartikan pula sebagai ”menghentikan konflik” dengan berbagai macam jalan, meski akibatnya bisa merugikan hak-hak hukum atau hak politik pihak tertentu. Dalam jangka panjang, apabila demokrasi kita sudah mapan, konflik elit diselesaikan melalui wadah dan mekanisme demokrasi, seperti pemilihan umum dan parlemen. Dengan menggunakan argumen dan persuasi (di parlemen dan media, misalnya), atau dengan berusaha meraih angka yang lebih banyak (dalam pemilu, misalnya), elit berlomba merebut pengaruh dan kekuasaan. Dalam situasi yang normal seperti itu, kekerasan tidak
116
Reformasi Hukum
mendapatkan tempat dalam penyelenggaraan pemerintahan, kecuali kekerasan yang menjadi kewenangan polisi dan tentara. Dalam era transisi, penanganan dan penyelesaian konflik elit dapat dilakukan melalui perundingan dan rembukan dalam rangka mencari kompromi, menyelesaikan perbedaan pendapat, dan mengatur hubungan di antara mereka. Elit kita sudah sering melakukannya – misalnya yang diadakan di Kraton Ngayogyakarta beberapa bulan lalu, atau pertemuan Ciganjur, dan beberapa pertemuan lain. Sekarang pun, beberapa tokoh masyarakat dan pemerintahan kembali mengulangi perlunya elit nasional duduk bersama menyelesaikan konflik mereka. Referensi Bintan R. Saragih, 2004, Komisi-komisi Negara dalam Sistem dan Struktur Pemerintahan Terkini, Makalah, disampaikan dalam Diskusi Terbatas KRHN, Hotel Menara Peninsula, Jumat, …Oktober 2004. Bissera Zankova, 2002, The Independent Bodies and the State Administrative Structure: The Case of Bulgaria, diambil dari 4 Oktober 2004 . Fink Haysom, 2001, dalam Firmansyah Arifin, 2004, Lembaga Negara Pasca Amandemen UUD 1945, Apa Saja Problemnya?, Makalah, disampaikan dalam Diskusi Terbatas KRHN, “Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945”, Hotel Aryaduta, Jakarta 9 September 2004. Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Jakarta: Gaya Media Pratama. Sri Soemantri, 1986, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Bandung: Alumni. Sri Soemantri, S.H., 2004, dalam Diskusi Terbatas tentang “Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945”, diselenggarakan oleh KRHN, 9 September 2004. Keputusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 005/PUU-I/2003 tentang perkara permohonan pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap UUD 1945 halaman 3-4.
Dari Reformasi Hukum Sampai PILKADA 117
Resensi Buku
Judul Pengarang Penerbit Tahun Tebal
: Berjalan-Jalan di Ranah Hukum : Prof.Dr.H.M.Laica Marzuki,S.H : Mahkamah Konstitusi : 2006 : 296 hal
DARI REFORMASI HUKUM SAMPAI PILKADA “Hukum dan keadilan telah diperjualbelikan di pengadilan. Selama ini – sejak beberapa tahun berselang- telah menurun kepercayaan orang banyak terhadap dunia peradilan.Hukum di pengadilan telah diperjualbelikan, bak bursa pasar yang acap kali dinamakan black market justice “ (Laica Marzuki) Buku ini memang berupa “bloemlezing” Laica Marzuki, guru besar ilmu hukum Univresitas Hasanuddin Makassar, mantan Hakim Agung dan sekarang sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Sebuah buku yang memuat pikiran-pikiran lepas atau bunga rampai penulisnya, walaupun demikian, penulis telah mengklasifikasinya dalam beberapa bagian. Pertama, tulisan bertema Hukum Tata Negara . Kedua, tulisan yang bertema tentang Mahkamah Konstitusi dan “Judicial Reveiew”. Ketiga, tulisan yang bertema otonomi daerah. Keempat, tulisan mengenai pilkada dan terakhir mengenai Penegakan Hukum. Laica juga menambahkan prolog dan satu tulisan di bagian terakhir, diambil dari orasi penulis saat pengukuhannya menjadi guru besar ilmu hukum pada Universitas Hasanuddin Makassar. Judul orasi itu, “Perjanjian Pemerintahan (governmental contract) pada kerajaankerajaan Bugis- Makassar”. HUKUM BAGIAN DARI KEBUDAYAAN Laica membuka bukunya dalam prolog dengan membahas hukum sebagai bagian dari kebudayaan. Ia menulis bahwa reformasi yang telah terjadi ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Soeharto telah melahirkan tuntutan reformasi di segala bidang kehidupan masyarakat. Reformasi itu dipandang dapat merambah jalan menuju masyarakat
118
Reformasi Hukum
Indonesia baru yang lazim dirumuskan dengan penamaan “civil society” atau masyarakat madani. Dan reformasi yang telak terjadi – harusmembawa perubahan. Reformasi menuntut penggantian radikal, semua sarana dan partikel bangunan masyarakat lama dalam makna “Unwertung aller Werte”, terutama pegeseran nilai-nilai lama yang mengarah pada terbentuknya masyarakat madani dan mau tidak mau juga adanya reformasi hukum. Terakhir ini, diharapkan meluangkan jalan legalitas dan pemberdyaan hukum ke arah perwujudan masyarakat baru. Hukum yang menjadi bagian dari budaya itu sendiri. Bagi penulis, hukum sebagai bagian dari kebudayaan dan merupakan refleksi sistem nilai budaya masyarakat. Untuk mengukuhkan pengertian ini, penulis memperjelas arti kebudayaan dan sistem sosial dengan mengutip pandangan beberapa pakar kebudayaan seperti Koentjaraningrat, Mattulada, yang menggunakan teori tindakan Talcott Persons. Laica pada dasarnya ingin menunjukkan bahwa dalam teori ilmu sosial dikenal adanya “wujud kebudayaan dan isi kebudayaan”. Hukum sebagai bagian kebudayaan juga adalah produk kebudayaan. Hukum merupakan bagian nilai-nilai etika yang terdapat pada wujud sistem budaya (culture system) yang antara lain berupa perasaan hukum, kesadaran hukum, asasasas hukum serta kaidah hukum. Hukum yang terdapat dalam wujud sistem sosial contohnya : antara lain, aktivitas (kegiatan) para pembuat undangundang (legislators) aparat penegak hukum. Pada wujud kebudayaan phisik, contoh : antara lain, perlatan phisik hukum, gedung perlemen, toga hakim dll. Sementara hukum dalam dimensi isi kebudayaan, hukum merupakan sub unsur dalam organisasi sosial. Apabila kedua dimensi dirangkaikan maka akan tampak dalam diagram matriks seperti berikut : (Lihat Gambar) REFORMASI HUKUM NASIONAL Laica memperkuat pendapat bahwa reformasi hukum nasional bermula dari reformasi konstitusi, seperti pendapat Harun Alrasid yang dikutip dalam buku ini. Bahwa reformasi hukum yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, mengacu pada undang-undang dasar. Untuk menghindar dari lingkaran yang tidak berujungpangkal, maka seharusnyalah dimulai dengan penyusunan undang-undang baru. Hal ini lebih beralasan, karena UUD l945 sejak disahkan memang bersifat sementara, tidak dapat lagi mengakomodasi pemberdayaan kedaulatan rakyat serta kehidupan demokrasi menuju “civil society”. Adapun perubahan UUD l945 (1999,2000, 2001) yang sudah dilakukan sejak lahirnya reformasi, diharapkan dapat merambah lahirnya suatu
Dari Reformasi Hukum Sampai PILKADA 119
undang-undang dasar yang baru. Faktor lain, karena karakteristik dan asas hukum dalam peraturan perundangundangan sudah bercampuraduk, Eropah continental, Anglo Saxon dan itulah yang membuat wajah hukum di negeri ini, bagaikan kepingan bahan keras berwarna, disusun dan direkat seperti mozaik. Menurut Laica, unifikasi hukum nasional yang idiil adalah mengakomodasi perangkat kodifikasi-kodifikasi hukum, namun tetap memerhatikan pelbagai nilai hukum yang masih hidup dalam masyarakat. Pada dua bab berikutnya, Laica menuangkan enam tulisan yang bertema hukum tata negara dan empat tulisan mengenai Mahkamah Konstitusi dan “judicial review”.Empat tulisan lainnya mengenai otonomi daerah serta dua tulisan mengenai pilkada. Hampir rata-rata tulisan pada bab ini, hanya bernilai informatif, terutama tulisan yang berjudul “Sudi Mampir di Mahkamah Konstitusi”, Laica menghabiskan beberapa halaman memuat peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Pedoman Beracara dalam perkara Pengujian Undang-undang Mahkamah Konstitusi Rep.Indonesia. Laica hanya menengahi, bahkan seperti memberikan penjelasan saja dalam setiap akhir tulisan pada subjudul “Post Scriptum”. Pada akhir setiap tulisan, Laica tidak membuat kesimpulan. Tulisan terakhir pada inti buku, berjudul : Membangun Sistem Penegakan Hukum yang Akuntabel”. Pada tulisan ini, Laica berbicara mengenai perlunya penegakan hukum (“Law enforcement”) dengan mengutip Apeldoorn, pakar hukum Belanda yang bukunya jadi buku
120
Reformasi Hukum
“babon” dipakai mahasiswa hukum kita di Indonesia sejak tahun limapuluhan.. Apeldoorn mengatakan bahwa bagi orang awam yang tidak mengerti tentang hukum, persepsinya mengenai hukum hanyalah mengenai sosok hakim, advokat, juru sita, polisi. Karena itu, orang awam hanya melihat apa yang mereka temukan, mereka itu para aparat, juru sita, advokat dan simbol-simbol hukum yang nyata lainnya. Maka hendaknya, menjadi keharusan dalam negara adanya pemerintahan yang bersih (clean government). Karena hanya dengan aparat hukum yang profesional dan bersih, tidak korup dan akuntabel yang akan mendapat dukungan dan kepercayaan dari rakyat banyak (“public trust”). Darimana memulai terwujudnya penegakan hukum yang akuntabel ? Menurut Laica, dimulai dengan pemberian jaminan kemandirian (selbstandig) bagi institusi penegakan hukum oleh pemerintah, serta didukung oleh aparat yang profesional, bersih, jujur, tidak korup. Dengan contoh berbagai pernyataan lembaga internasioal pemantau korupsi yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara peringkat tertinggi dalam hal korupsi, Laica berpendapat bahwa korupsi di negeri ini bukan hanya karena lemahnya upaya penegakan hukum, tetapi aparat penegak hukum itu sendiri bagian dari kondisi kerawanan korupsi, termasuk korupsi di pengadilan. Selama ini menurut Laica – sejak beberapa tahun berselang”- telah menurun kepercayaan orang banyak terhadap dunia peradilan. Hukum dan keadilan telah diperjual belikan di pengadilan, bak bursa pasar yang acap kali dinamakan “black market justice” . Karena itu Komisi Yudisial menurut Laica harus segera didayagunakan, bukan saja merekrut calon hakim agung yang bersih, tetapi dapat turut mengawasi “judge conducts” yang merusak citra dunia peradilan kita. Tidak lengkap rasanya jika tidak disinggung bagian akhir tulisan dalam buku ini, yang juga mungkin sebagai “epilog”. Tulisan ini, diambil dari orasi Laica Marzuki ketika dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2005. Judul tulisan terakhir; Perjanjian Pemerintahan (governmental contract) pada kerajaan-kerajaan Bugis- Makassar. Orasi ini menarik, karena menunjukkan bahwa dalam masa kejayaan kerajaan bagi orang BugisMakassar, ada praktek kontradiktif yang menjadi kearifan lokal mereka. Bahwa di dalam kehidupan kerajaan Bugis Makassar yang feodalistis, ternyata dipraktekkan pula sifat-sifat demokratis dalam hubungan raja dan kawula (rakyat). Bahwa dalam praktek pemerintahan, penguasa tidak boleh zalim, semena-mena memerlakukan para kawula atau rakyatnya.
Dari Reformasi Hukum Sampai PILKADA 121
Laica memberikan bukti-bukti sejumlah raja atau “arung” dimakzulkan oleh rakyatnya dengan paksa ataupun dengan damai. Karena dalam sistem pemerintahan kerajaan di Bugis Makassar, raja sudah menandatangani sebuah kontrak – perjanjian- dengan rakyatnya sebelum dinobatkan. Dalam perjanjian tersebut, dinyatakan klasula-klasula yang mengikat bagi raja dalam memerlakukan rakyatnya. Jika klasula tersebut diingkari, maka raja bisa turun tahta atas kehendak rakyatnya. Inilah contoh sebuah praktek demokrasi lokal yang bisa menjadi pelajaran untuk kita. Bandingkan misalnya sistem kekuasaan di Jawa, dimana raja tidak bisa diturunkan atau diganti oleh rakyat, karena kekuasaan raja bersumber dari “wahyu”, sesuatu yang tidak nyata atau “intangible” (lihat : The Idea of Power in Javanese Culture : Ben Anderson, Cornell,Ithaca). Pada dasarnya buku Laica Marzuki Berjalan-jalan di Ranah Hukum, menarik. Mungkin tepat dibaca oleh mahasiswa tahun awal, pejabat pemerintahan dan pemerhati masalah hukum. Buku ini sangat informatif dan tidak berpretesi ilmiah. (V.A.SAPADA)
122
Reformasi Hukum
Biodata Penulis • Denny Indrayana adalah dosen Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. Ia lulus PhD dari University of Melbourne pada tahun 2005; LL.M. dari University of Minnesota tahun 1997 dan Sarjana Hukum dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1995. Saat ini Denny juga aktif sebagai Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM dan Direktur Indonesian Court Monitoring. Kegiatan intelektualnya semakin lengkap dengan menulis ratusan kolom di berbagai media massa nasional. • Prof. Dr. Satya Arinanto, adalah Guru Besar Tetap di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pria kelahiran Surabaya 16 November 1965, meraih gelar SH (1990), Magister Hukum (1997) dan Doktor (2003) semuanya dari Universitas Indonesia. Selain menjadi pengajar Hukum Tata Negara, juga menjabat Wakil Direktur II Bidang Penelitian dan Pengembangan Pusat Studi Jepang UI. • A. Ahsin Thohari, adalah Dosen Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta dan Staf Direktorat Tata Negara Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Mata kuliah yang diasuhnya adalah Hukum Konstitusi dan Sistem Pemerintahan Indonesia. Karyakaryanya yang telah diterbitkan menjadi buku adalah Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/ ELSAM, 2004) dan Dasar-dasar Politik Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004). • Topo Santoso adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia sejak 1993. Ia juga pernah diangkat menjadi anggota Panwaslu (Pusat) tahun 2003-2004. Saat ini ia menjadi Kandidat Ph.D di Faculty of Law, University of Malaya, Malaysia dan juga merangkap sebagai National Advisor untuk Security and Justice Governance di Partnership for Governance in Indonesia, sejak Oktober 2006. Jabatan lain yang diembannya adalah sebagai Wakil Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM), sejak 2004 - sekarang. • Susi Dewi Harijanti, Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan Wakil Ketua Paguyuban Hak Asasi Manusia (PAHAM) pada lembaga yang sama. Melbourne University, Kadindat Doktor Melbourne. • Lilis Mulyani, adalah staf peneliti bidang hukum di LIPI dan The Habibie Center. Menempuh pendidikan Sarjana Hukum di Universitas Padjadjaran Bandung dan lulus tahun 1998, kemudian setelah menjadi pegawai LIPI melanjutkan program Master bidang Public and International Law di University of Melbourne, dan lulus tahun 2004. Saat ini ia aktif melakukan kajian dalam bidang HAM dan konstitusi.