Daftar Isi Jurnal Demokrasi & HAM
Vol. 7, No. 2, 2007
CATATAN REDAKSI Aceh Pasca Perjanjian Helsinki
3
ANALISIS Aceh Pasca MoU Helsinki S. Wiryono
6
Quo Vadis Reintegrasi Aceh R. Siti Zuhro
13
Strategi Penyelesaian Konflik Aceh Moch. Nurhasim
45
Praktik Reintegrasi Gerakan Aceh Merdeka ke dalam Republik Indonesia Moch. Nurhasim
68
Prospek Damai Aceh Pasca MoU Helsinki M. Hamdan Basyar
93
Sejarah Konflik dan Penyelesaian Masalah Aceh: dari DI/TII sampai GAM Asvi Warman Adam
108
Peluang dan Kendala Reintegrasi dan Masa Depan Perdamaian di Aceh Wawan Ichwanuddin
124
RESENSI BUKU Rekonstruksi Sejarah Aceh
150
BIODATA PENULIS
154
2
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
JURNAL DEMOKRASI & HAM Terbit sejak 20 Mei 2000 ISSN: 1441-4631 Penanggung Jawab Redaksi: A. Watik Pratiknya Dewan Redaksi: Muladi (Ketua) Indria Samego Dewi Fortuna Anwar Umar Juoro Andrinof A. Chaniago Pimpinan Redaksi: Andi Makmur Makka Mustofa Kamil Ridwan Redaktur Pelaksana: Afdal Makkuraga Putra Redaktur: R. Siti Zuhro Sekretaris: Rahma Widhyasari Produksi: Ghazali H. Moesa Usaha: Achmad Amal Anggun Ingriani Layout: M. Ilyas Thaha Gambar Kulit: Anom Hamzah Alamat Penerbit dan Redaksi: Jl. Kemang Selatan No. 98, Jakarta 12560 – Indonesia Telp.: (021) 7817211, Fax: (021) 7817212 Website: http://www.habibiecenter.or.id E-mail:
[email protected]
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
3
Catatan Redaksi ACEH PASCA PERJANJIAN HELSINKI Jika pada edisi ini kita mengambil tema utama mengenai Aceh, tentu banyak sebabnya.H.J.Freidericy, bekas pejabat pemerintahan Belanda di Indonesia, kemudian dikenal sebagai doktor di bidang “Indologi” serta pengarang novel, menulis tentang Aceh sbb : “ Penduduk Aceh dalam tinjauan ini harus disebut secara terpisah. Mereka tanpa ragu-ragu harus disebut sebagai yang paling banyak menyusahkan orang-orang Belanda dan ini dapat disebutkan dalam cara yang masih “lembut”. Dalam hal ini, kita berhadapan dengan watak bangsa yang keras dan semangat juang yang besar, yang dipengaruhi oleh agama Islam yang ortodoks dan sering bersifat fanatik. Orang-orang Belanda bagi mereka adalah orang-orang kafir yang menyerbu masuk daerah mereka sebagai “tamu tak diundang”. Hal yang sama juga berlaku dalam sikap yang ditunjukkannya kepada Jepang. Dan jika informasi-informasi yang saya miliki benar, maka diwaktu sekarang ini, orang-orang yang mewakili pemerintah Pusat di Jakarta dan yang ada di Aceh, dianggap sebagai yang tidak memiliki kewibawaan”. (Ditulis H.J.Freidericy sekitar tahun l960). 1) Apa yang ditulis Freidericy, ada benarnya. Daerah Aceh dalam Hikayat Raja-Raja Pasai , jika bukan terjadi permusuhan karena dendam keluarga kerajaan, maka perang melawan pendatang asing, sebagai penjajah, hampir tidak ada jedah Perlawanan beratus tahun dan terakhir orang Aceh melawan Kompeni VOC dan kemudian dikenal sebagai penguasa Hindia Belanda. Perang melawan kolonialisme di Aceh belum berhenti pada tahun l933. Juga ketika di Jakarta dulu Batavia, yang kini menjadi ibukota Negara Indonesia, sudah berdiri STOVIR, sekolah pendidikan ilmu hukum. STOVIA sekolah ilmu kedokteran tahun l927, dimana pemuda-pemuda dari Jawa sudah bisa menimba pendidikan modern. Begitu pula ketika politik etis sudah dilancarkan pemerintah Hindia Belanda tahun l921, pendidikan HIS untuk anak-anak bumiputra hampir di seluruh wilayah Indonesia sekarang ini sudah dibuka. Indische Partij sudah dicetuskan di Bandung oleh Douwes Dekker tahun l912. Hari Kebangkitan Nasional
4
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
(dikukuhkan kemudian), paling tidak dalam buku sejarah, sudah ada di Jawa tahun l908. Kartini di Rembang sudah melakukan surat menyurat ke Belanda tahun l912. Masa masa itu Aceh masih diselimuti suasana peperangan yang tidak habis-habisnya? Kesimpulannya, Aceh memang terlambat “merdeka”, tidak seperti saudara-saudaranya di kawasan lain yang kemudian bernama Indonesia. Mungkin itulah yang membuat – sebagian- orang Aceh, cukup lama merasa tidak dalam satu bangsa atau meminjam istilah Ben Anderson “komunitas imajiner,” sebuah komunitas yang dibayangkan” bernama Indonesia. Suatu keadaan, ketika semua anggota bangsa itu, berusaha menjaga imajinasi akan kebersamaan dan masa depan yang dicita-citakan, seperti dalam bayangan mereka. Sehingga bangsa itu bisa menjaga keutuhannya sepanjang masa. Setelah Indonesia merdeka, bisa dikatakan Aceh juga tidak pernah lepas dari ingatan kita bahwa daerah itu selalu dalam pergelutan perang. Ketika kelompok perlawanan di bagian lain di Indonesia, sudah memilih berdamai dan meletakkan senjata melawan pemerintah, di beberapa tempat Aceh, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sampai tahun 2004, masih melakukan perang gerilya melawan pemerintah Indonesia. Rakyat Indonesia dan dunia kemudian terkejut dengan becana besar yang menimpa rakyat Aceh. Sebuah Tsunami telah memporakporandakan seluruhan daerah Aceh. Ribuan nyawa hilang ,bersamaan lahirnya berbagai kisah yang memilukan. Aceh tiba-tiba mendapat perhatian besar dunia. Beberapa bulan setelah Tsunami, sepanjang hari kita saksikan melalui media, para tokoh, baik dari mancanegara maupun lokal, muncul bagaikan selebriti. Mereka menawarkan kemurahan dan bantuan apa saja untuk membantu Indonesia dan rakyat Aceh. . Sebuah titik balik kemudian muncul. Pemerintah Indonesia dan elite perlawanan di Aceh, setuju mengadakan perundingan dalam satu forum yang kemudian hasilnya dikenal sebagai Perjanjian Helsinki. Sejumlah konsesi politik yang dituntut kelompok perlawanan Aceh disetujui pemerintah. GAM , kelompok perlawanan itu harus dibubarkan. Kedua belah pihak, pemerintah Indonesia dan GAM di Aceh, menyambut usaha perdamaian ini dengan senang hati. Rekonstruksi Aceh dilakukan secara bersama, dunia memberikan perhatian besar. Sebuah usaha rekonstruksi dalam bidang politik, penataan pemerintahan di daerah, pembangunan dan masalah kemasyarakatan bersamaan dilakukan. Itulah yang dibahas dalam edisi ini dari berbagai aspek. Apakah yang akan terjadi Pasca Perdamaian Helsinki? Apakah semua skenario minimal yang dapat diterima kedua pihak, bisakah terwujud
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
5
sebagaimana yang diharapkan? Apakah perdamaian ini, sebagai usaha yang sungguh-sungguh dan menguatkan semangat nasionalisme dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai bersama? Sejarahlah yang akan mencatatnya. (MM)
6
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Aceh Pasca MoU Helsinki S. Wiryono
Setelah Perjanjian Perdamaian Helsinki ditandatangani, masih banyak yang skeptis terhadap proses normalisasi yang bergulir dalam periode pasca konflik. Pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa tingkat kegagalan pelaksanaan perjanjian pasca-konflik cukup tinggi. Untuk kasus Aceh, jikalau para elite politik Aceh maupun di Jakarta dapat menyadari kenyataan ini dan menghormati semangat perdamaian rakyat Aceh , maka meskipun terdapat berbagai perkembangan negatif , normalisasi yang sudah berjalan dan perdamaian yang sudah mulai berakar harus dapat dipertahankan dan bahkan diperkokoh. Perdamaian bukanlah suatu detinasi, perdamaian adalah suatu perjalanan. Perjalanan untuk menyusuri jalan demokrasi dan mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi bagi rakyat Aceh. Rakyat Aceh berhak hidup dalam perdamaian , demokrasi dan kesejahteraan.
Sebagai mantan perunding dalam periode perundingan RI-GAM antara 2002 – 2003 , penulis dihinggapi dua perasaan yang saling bertentangan dalam membahas arah perkembangan Aceh kedepan , setelah lebih dari dua tahun pelaksanaan MoU Helsinki dan Undang Undang Pemerintahan Aceh. Disatu pihak , harapannya adalah agar proses damai yang sudah berlangsung relatif baik selama ini dapat terus bergulir dan bahkan membaik, sehingga rakyat Aceh yang sudah sekian lama menderita akibat situasi konflik yang berkepanjangan selama lebih dari 30 tahun,dapat semakin menikmati ketentraman dan kesejahteraan yang lebih tinggi. Dilain pihak harus diakui ada cukup banyak rasa khawatir atau bahkan skeptis terhadap proses normalisasi yang masih bergulir dalam periode pasca-konflik. Pengalaman menunjukkan bahwa tingkat kegagalan pelaksanaan perjanjian perdamaian pasca-konflik cukup tinggi. Hal ini juga terjadi misalnya dalam proses damai di Philipina Selatan dimana penulis juga pernah terlibat dalam proses perundingannya. Setelah perjanjian damai yang ditandatangani ditahun 1996 dan lebih dari 10 tahun telah berlalu , pelaksanaan perjanjian damai belum juga selesai dan masih
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
7
dihadang berbagai tantangan berat hingga sekarang. Dicapainya perjanjian damai tidak segera diikuti dengan proses pemulihan dan penguatan kehidupan ekonomi sosial - “peace-building” – yang mampu memaksimumkan terciptanya lapangan kerja. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman, memang harus disadari bahwa dari tiga tahap proses mencapai penyelesaian situasi konflik : (1) peace-making / perundingan, (2) peace-keeping / menjaga perdamaian dan (3) peace-building / pemulihan dan pembangunan kehidupan sosial ekonomi, maka tahapan ketiga inilah yang sebenarnya paling berat dan sulit. Karena memang tahap pemulihan dan pembangunan kembali kehidupan sosial ekonomi pasca-konflik masih mewarisi berbagai rasa sakit hati , benci dan keinginan membalas dendam serta rasa curiga dan rasa kurang percaya yang tinggi disamping rusaknya infrastruktur pemerintahan maupun simpul-simpul sosial budaya. Baik para pelaku kekerasan dimasa yang lalu maupun para korban tindak kekerasan dari kdua belah pihak dalam konflik tersebut perlu dapat membebaskan diri dari berbagai perasaan negatif dan memulai hidup baru dalam suatu rekonsiliasi. Di Aceh , proses semacam ini belum dapat dilaksanakan. UUPA pasal 228, 229 dan 259 yang mengatur pembentukan pengadilan HAM dan KKR , meskipun sudah melampaui batas waktu , masih belum terbentuk. Idealnya adalah kalau ada suatu proses rekonsiliasi , seperti yang terjadi beberapa negara seperti di Afrika Selatan melalui proses yang dikenal sebagai “Truth and Reconciliation” atau di Amerika Latin melalui proses “Truth , Justice and Reconciliation”. Oleh karenanya berbagai rasa negatif di Aceh masih merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari dengan akibat adanya berbagai insiden. Harus disadari bahwa perdamaian adalah satusatunya jalan menuju kemajuan dan dengan demikian harus diselamatkan. Pada peringatan 10 tahun perjanjian perdamaian antara Pemerintah Philipina dan Moro National Liberation Front di Manila tahun lalu, penulis dalam sambutannya menekankan bahwa : “ ....peace is not a destination. It is a road, a long and tortuous one. It is the way - the only way to progress , to the fulfillment of our human potential”. Jadi memang perdamaian adalah suatu perjalanan yang panjang dan penuh tantangan, bukan suatu akhir perjalanan. Gubernur Irwandi Yusuf sendiri tetap menunjukkan optimistisme. Membandingkan dengan situasi pasca-konflik dibagian dunia lain ia menyatakan “.....Aceh masih lebih baik jika dibanding dengan daerah yang pernah mengalami konflik di dunia”. (Kompas ,18 Desember 2007).
8
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Tantangan. Harus diakui bahwa berdasarkan pantauan dari sumber terbuka, penulis juga mencatat berbagai kejadian yang menunjukkan bahwa proses pelaksanaan MoU Helsinki maupun proses pembangunan Aceh pasca Tsunami masih dihadapkan dengan berbagai tantangan yang serius. Adalah suatu kenyataan bahwa memang segala perkembangan di Aceh sangat berkaitan dengan usaha rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca Tsunami yang belum sepenuhnya memuaskan. Segera setelah Tsunami, seakanakan telah terjadi suatu banjir bantuan – diperkirakan sebesar Rp 60 trilyun – yang secara mendadak merubah situasi kehidupan di Aceh. Gaji terendah di BRR / sopir adalah Rp2 juta , sementara Kepala Badan Pelaksana BRR menerima gaji Rp60 juta. Dikalangan NGO-pun skala gajinya serupa. Dengan sendirinya ekonomi Aceh mendapat dorongan kuat. Dalam suasana serba kacau dengan sendirinya terjadi cukup banyak korupsi. Dewan Pengawas BRR Nangroe Aceh Darussalam-Nias sendiri telah mencatat dan melaporkan terjadinya dugaan korupsi ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan data Satuan Kerja Anti-Korupsi BRR NAN-Nias sampai 31 Juli 2007 hampir seluruh sektor lembaga BRR terindikasi korupsi. Dari kalangan kontraktor yang adalah mitra BRR terdapat cukup banyak yang tidak bersih, sehingga BRR telah memasukkan 165 kontraktor dalam daftar hitamnya , sebelas diantaranya bahkan sudah diadili. (Transparansi Internasional , Indonesia, 11 September 2007 ). Sementara itu BRR dalam waktu 14 bulan lagi akan sudah mengakhiri masa tugasnya pada bulan April 2009 dan Aceh harus menyiapkan diri untuk melanjutkan dan melaksanakan sendiri pembangunan wilayahnya bagi rakyat Aceh. Banyak kalangan yang menyangsikan mengingat kurangnya pengalaman menangani pemerintahan dan pembangunan. Sebagian besar rumah telah dibangun meskipun masih ada lima ribuan kepala keluarga dan keluarganya yang masih tinggal di barak menunggu selesainya pembangunan perumahan mereka. Dalam pembagiannyapun terjadi berbagai kejanggalan. Ada yang malah dapat dua rumah atau lebih. (Kompas 5 Januari , halaman 39 ) Kehidupan ekonomi sudah menggeliat,tetapi dalam situasi ekonomi nasional yang belum sepenuhnya sehat dan ekonomi global yang lesu, jalan ke arah situasi normal di Aceh nampaknya masih panjang dan sulit. Realisasi investasi belum jelas. Meskipun sepanjang 2007 telah ditandatangani sedikitnya 45 MoU atau Nota Kesepakatan baik yg bersifat investasi maupun non-investasi, ditingkat provinsi maupun kabupaten , namun realisasinya belum begitu jelas. Namun Aceh bukannya tanpa daya
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
9
tarik dibidang investasi. Yang diperlukan investor adalah iklim investasi yang sehat. Artinya ada good governance / pemerintahan yang bersih, suatu hal yang belum dapat tercipta. Peristiwa kekerasan masih banyak terjadi. Selama kurun waktu setahun (2007) pasca-konflik , Kepolisian Aceh telah menyita 149 senjata api berbagai jenis , terdiri dari 66 senjata laras panjang , 80 senjata laras pendek , pelontar GLM 3 buah. Disita pula enam granat dan 778 butir amunisi dari berbagai jenis. Kepala Kepolisian Inspektur Jendral Rismawan dalam konferensi pers tutup tahun 2007 menjelaskan bahwa senjata disita dari tangan pelaku kriminal maupun senjata bekas konflik Aceh yang diserahkan pemiliknya. Diyakininya pula bahwa masih banyak senjata illegal yang berada dikalangan masyarakat sehingga perlu terus dilakukan razia kepemilikan senjata api. Dinyatakannya pula aksi kriminalitas sepanjang 2007 meningkat tajam. Tahun 2007 mencatat sebanyak 2419 kasus kriminilalitas sementara ditahun sebelumnya , 2006 , tercatat 1021 kasus saja (Acehkita.com 29 Desember 2007) Harian Kompas 18 Desember melaporkan jumlah perampokan bersenjata di NAD meningkat. Antara 2003 – 2005 tercatat 11 kasus sementara antara 2005 – 2007 meningkat menjadi 172 kasus. Menjelang akhir tahun 2007, 28 Desember 2007 , Gubernur Irwandi Yusuf dalam inspeksi mendadaknya telah menemukan 10 kilang pembalakan liar milik sejumlah pengusaha yang totalnya mencapai 600 ton di Kacamatan Langkahan dan Tanah Merah, Aceh Utara.( Serambi Indonesia, 2 Januari 2008) Dibidang politik pernah terjadi dikibarkannya bendera GAM dan juga diturunkanya sejumlah bendera nasional yang dengan sendirinya meracuni suasana sosial-politik di Aceh. Bagi banyak kalangan yang masih curiga terhadap ketulusan GAM untuk berada dalam pangkuan Ibu Pertiwi, gejala ini dilihat sebagai bagian dari strategi GAM untuk menggunakan pelaksanaan MoU sebagai sekedar “penyelesaian antara” dan bukan “penyelesaian akhir” yang dikhawatirkan dapat menjadi permulaan dari suatu “creeping process” kearah kemerdekaan. Dalam MoU tidak ada pasal tentang meninggalkan cita-cita kemerdekaan. Proses reintegrasi mantan pejuang GAM juga jauh dari mulus dan dengan sendirinya juga mempersulit proses rekonsiliasi. Pihak ex-GAM juga mengeluhkan masih terus adanya apa yang mereka sebut sebagai operasi “intellejens”.
10
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Menengok kebelakang. Sebelum membahas lebih jauh arah perkembangan proses normalisasi di Aceh, kiranya perlu juga dilihat proses perundingan yang melahirkan MoU Helsinki sebab hal ini sedikit banyak merupakan juga sumber berbagai kesulitan yang dihadapi sekarang. Dalam hubungan ini karena penulis terlibat pula dalam proses perundingan antara Pemerintah Philipina dan Moro National Liberation Front (MNLF) mengenai situasi konflik di Mindanao, Filipina Selalatan, maka mau tidak mau ia ingin membandingkan prosesnya dengan proses perundingan yang terjadi antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Salah satu perbedaan pokok adalah bahwa sejak memulai perundingan, Pemerintah Philipina mensyaratkan agar apapun yang disetujui harus diproses secara konstitusional. Artinya persetujuan harus disampaikan kepada badan legislatif dan melalui suatu proses legislatif menjadikan persetujuan damai sebagai “law of the land” yang bersifat tunggal. Dengan demikian tak terdapat terlalu banyak perbedaan yang memungkinkan multiinterpretasi antara persetujuan damai dan Undang-undang yang disetujui badan legislatif. Sebaliknya berbeda dengan proses perundingan sebelumnya ( 2002 2003 ) , apa yang terjadi dalam proses perundingan antara Pemerintah Indonesia dan GAM ditahun 2005 adalah bahwa pihak pemerintah sejak semula menyatakan bahwa DPR tidak perlu dilibatkan. Sebagai akibatnya, ketika MoU diumumkan , sebagian besar kalangan DPR sangat tidak suka terhadap isi dan semangat MoU dan bahkan kemudian melahirkan UndangUndang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang dalam banyak hal tidak mencerminkan MoU Helsinki. Misalnya MoU Helsinki tidak disebut dalam paragraf preambular UUPA sebagai pertimbangan. Berikut sekedar beberapa catatan dari sejumlah butir MoU yang kurang atau tidak tercermin di UUPA.. Ketidaksenangan GAM tentang perubahan formulasi pasal 1.1.2 a) MoU Helsinki yang menyebutkan adanya keharusan Pemerintah Pusat maupun DPR dalam mengambil keputusan yang menyangkut Aceh untuk berkonsultasi dengan (“in consultation with”) dan dengan persetujuan (“with the consent of “) DPR Aceh dan Gubernur Aceh . Istilah terakhir ini – dengan persetujuan / “with the consent of” telah diganti dengan kata “dengan pertimbangan”. Pergantian istilah ini adalah dengan sendirinya merupakan keharusan bagi DPR , karena istilah “with the consent of” jelas merupakan kejanggalan dilihat dari sistim ketata-negaraan Indonesia, tetapi jelas pula bahwa hal ini menimbulkan rasa kurang senang dipihak GAM.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
11
Menurut MoU ketentuan mengenai nama Aceh adalah wewenang pemerintah Aceh tanpa persetujuan pemerintah pusat. Dalam Undang Undang Pemerintahan Aceh pasal 251, ayat 3 ketentuannya adalah : “ Nama dan gelar sebagaimana diatur dalam ayat (1) ditetapkan dengan peraturan pemerintah berdasarkan usul dari DPR Aceh dan Gubernur Aceh. MoU pasal 4.11 menyatakan bahwa peran pertahanan TNI adalah untuk menghadapi “external defence” yang implikasinya adalah bahwa TNI tidak dapat digunakan untuk menangani ancaman dalam negeri. Hal ini dengan sendirinya sulit dimengerti. UUPA pasal 202,(2) menetralisir pengertian ini dan menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pertahanan negara adalah “memelihara , melindungi dan mempertahankan keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tugas lain di Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pihak GAM sempat mengeluhkan berbagai masalah ini dan sejumlah keluhan lainnya - yang terlalu banyak untuk disebut - kepada Aceh Monitoring Mission / AMM, tetapi menerima jawaban bahwa adalah tidak mungkin menentang suatu undang-undang yang diterima secara demokratis oleh DPR yang telah dipilih secara demokratis pula. Dengan kata lain , GAM harus menerima berlakunya UUPA yang dianggapnya sebagai tidak atau kurang disukainya. Kiranya hal ini tidak dapat lampau begitu saja. Berbagai upaya sudah dan akan dilakukan untuk merevisi UUPA. Sebagai konsekuwensinya berbagai hubungan antar golongan di Aceh dan antara Jakarta-Aceh menjadi tidak saja kurang serasi tetapi dapat memburuk, apa lagi bila dikaitkan dengan berbagai perkembangan negatif lainnya. Pemerintah pun mengatakan bahwa dengan telah masuknya tahap pelaksanaan MoU,maka sebenarnya GAM sudah tidak ada. Apalagi dengan telah terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur serta bupati. Pihak GAM atau ex-GAM membantah dengan mengatakan bahwa GAM sebagai pihak dalam MoU , keberadaannya tetap dibutuhkan. Suasana kurang serasi ini dapat diperkirakan telah berakibat negatif pada proses normalisasi. Sebagaimana diketahui dalam kenyataannya pelaksanaan perjanjian jauh lebih sulit dari mencapai persetujuan. Kebanyakan persetujuan tak dapat terlaksana atau hanya sebagian dapat terlaksana. Lagipula dengan adanya dua dokumen yaitu MoU dan UU Pemerintahan Aceh , terjadilah kerancuan dalam pelaksanaannya. Kalau kita bandingkan dengan apa yang terjadi di Philipina, maka jelas bahwa yang dilaksanakan adalah persetujuan yang telah melalu proses legislatif menjadi “law of the land” yang bersifat tunggal sehingga tidak terlalu banyak menimbulkan kesulitan.
12
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Yang dihadapi Indonesia adalah dua dokumen, dan kiranya dari sudut pandang Pemerintah yang harus lebih dilaksanakan adalah UUPA dan bukan MoU. MoU tidak disebut dalam paragraf preambular UUPA. Hanya disebut dalam penjelasan. Sebaliknya bagi GAM , kiranya tidak bisa lain dari berpegang teguh pada MoU Helsinki. Penulis mengemukakan aspek ini sekedar untuk melihat kenyataan adanya sumber ketidak serasian ini yang masih dapat menjadi masalah pada masa mendatang. Semangat Damai Rakyat Aceh. Diibalik berbagai ketidakserasian tersebut di atas , telah lahir pula suatu semangat atau spirit dikalangan rakyat Aceh, yaitu spirit perdamaian. Bagi rakyat Aceh pada umumnya yang penting adalah bahwa dalam periode pasca MoU Helsinki dan pasca Tsunami yang meluluh lantakkan Aceh , kehidupan sehari-hari telah membaik dan dalam arah yang benar. Oleh karenanya tugas elite politik baik di Aceh maupun di Jakarta adalah agar berbagai masalah rumit tersebut diatas harus dapat diatasi. Tidak ada perjanjian yang sempurna , karena semua perjanjian adalah hasil kompromi. Dilain pihak UUPA adalah produk hukum yang syah dan telah diterima melalui proses demokratis sehingga harus dihormati sebagai hukum negara. Perlu adanya kesediaan melaksanakan kompromi, yang telah dicapai, betapapun sulitnya suasana bathin diberbagai pihak , dan meninggalkan sikap mutlak dari masa lalu serta bersikap luwes. Meskipun demikian tingkat keluwesan pun bukannya tanpa batas. Dukungan dan bantuan nasional, regional dan internasional yang telah diberikan selama ini cukup besar dan masih akan terus dapat diberikan. Meskipun demikian , dapat pula dicatat bahwa beberapa bentuk bantuan seperti sistim penyulingan air laut yang biaya operasionalnya sangat tinggi ternyata jadi tidak dapat dimanfaatkan. Bantuan dana yang masuk sejak Tsunami sebesar Rp60 trilyun sungguh merupakan jumlah yang sangat besar. Tetapi periode ini sudah akan berakhir. Aceh perlu memampukan diri lebih berdikari. Dana pembangunan untuk Aceh pada tahun 2007 , termasuk untuk belanja pegawai , guru , staf kesehatan ,Polri , TNI serta dana rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh mencapai lebih dari 19,2 trilyun , suatu jumlah yang tidak kecil bagi rakyat Aceh. Menurut Ilyas Pasee , tokoh GAM dari Aceh Utara , ini berarti setiap rakyat Aceh dapat menerima sekitar 16 juta (US$1600) sebulan. Nampak bahwa ada cukup banyak dana , tetapi apakah ada kemampuan mengelolanya. Yang perlu ditumbuh-kembangkan adalah kemampuan dan kearifan daerah dalam mengelola Aceh.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
13
Kalau para elite politik Aceh maupun di Jakarta dapat menyadari kenyataan ini dan menghormati semangat perdamaian rakyat Aceh , maka meskipun terdapat berbagai perkembangan negatif , normalisasi yang sudah berjalan dan perdamaian yang sudah mulai berakar harus dapat dipertahankan dan bahkan diperkokoh. Perdamaian bukanlah suatu detinasi, perdamaian adalah suatu perjalanan. Perjalanan untuk menyusuri jalan demokrasi dan mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi bagi rakyat Aceh. Rakyat Aceh berhak hidup dalam perdamaian , demokrasi dan kesejahteraan. (Jakarta 6 Januari 2008)
14
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
QUO VADIS REINTEGRASI ACEH?1 R. Siti Zuhro Mewujudkan Aceh yang damai, aman dan maju secara ekonomi menjadi dambaan semua. MoU Helsinki dipandang sebagai salah satu cara untuk mewujudkan harapan tersebut. Adalah jelas bahwa kekerasan di Aceh harus diakhiri. Seiring dengan itu, sistem demokrasi diyakini akan mampu mewujudkan cita-cita rakyat Aceh pasca tsunami. Oleh karena itu, demokratisasi perlu didukung, baik pembenahan secara komprehensif melalui institusi demokrasi di Aceh maupun melalui realisasi reintegrasi Aceh. Masalah reintegrasi, khususnya politik dan ekonomi ini menjadi sangat krusial karena akan menjadi barometer berhasil tidaknya citacita damai Aceh. Peran terbatas yang ditunjukkan para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam mendorong proses reintegrasi sangat berpengaruh terhadap percepatan reintegrasi. Artinya, selama para pemangku kepentingan belum maksimal dalam mendorong proses reintegrasi maka nasib reintegrasi ke depan akan cenderung tidak pasti.
Pengantar Proses reintegrasi di Aceh mensyaratkan agar masyarakat lokal melakukan transformasi karakter dan budaya yang terlanjur akrab dengan kekerasan. Menciptakan iklim cinta damai menjadi suatu keniscayaan di Aceh. Upaya untuk menciptakan ini terkait erat dengan perubahan pola pikir masyarakat dan sejauhmana sosialisasi perdamaian dilakukan. Artinya, kebijakan-kebijakan pemerintah RI pasca MoU Helsinki, baik berupa UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh maupun pembentukan Badan Reintegrasi Aceh (BRA), tidak akan mencapai sasaran maksimal bila tidak diikuti oleh perubahan pola pikir masyarakat lokal di Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Lebih dari itu, sinergi juga diperlukan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan rakyat dalam mewujudkan perdamian dan kesejahteraan di tanah rencong. 1
Tulisan ini merupakan hasil revisi dari laporan penelitian tentang Proses dan Peran Elit Lokal dalam Implementasi Reintegrasi GAM Pasca MoU Helsinki, P2P-LIPI.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
15
Idealnya kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut bisa berjalan seiring dan mencapai hasil maksimal. Meskipun pemerintah pusat dan pemerintah NAD memiliki keinginan yang sama untuk mewujudkan perdamaian di Aceh, dalam realitanya keinginan tersebut bukanlah hal yang mudah. Tak sedikit tantangan yang harus dihadapi para pemangku kepentingan3 dalam merealisasikan proses reintegrasi. Sejauh ini langkah-langkah menuju perwujudan Aceh damai relatif menunjukkan hasilnya, meskipun belum final. Bila pelaksanaan otonomi khusus Aceh melalui UU Pemerintahan Aceh memiliki cakupan yang lebih luas, maka masalah reintegrasi Aceh memiliki skope yang lebih spesifik, namun mengemban tugas yang juga tak kalah berat. Masalahnya, gagal dalam merelisasikan programprogramnya akan menimbulkan guncangan yang mengancam stabilitas keamanan Aceh. Proses reintegrasi cenderung melibatkan banyak pihak atau aktor dan jumlah dana yang sangat besar. Berhasil tidaknya proses reintegrasi tergantung banyak hal. Adalah jelas bahwa dana yang dikucurkan untuk realisasi program reintegrasi bukanlah satu-satunya indikator keberhasilan. Namun, lebih dari itu dituntut kesungguhan semua pihak dalam mendorong proses tersebut. Dengan kata lain, damai tidaknya Aceh, tidak hanya ditentukan masalah dana, tapi juga sejauhmana para pemangku kepentingan tersebut ikut mendorong proses reintegrasi mantan GAM dan korban konflik ke dalam masyarakat Aceh, baik secara politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dalam konteks ini reintegrasi dapat dipandang sebagai proses penyatuan kembali mantan GAM baik secara sosial, budaya maupun politik dan ekonomi ke dalam masyarakat Aceh. Ini memberikan makna suatu reintegrasi secara kontinum, menyeluruh dan solid. Peran Stakeholders: Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Tidak sedikit narasumber di Aceh yang memuji kebijakan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) dalam menangani masalah Aceh.4 Sejak pasangan ini berkuasa (2004), Aceh relatif mendapat
3
4
Yang dimaksud dengan pemangku kepentingan dalam studi ini adalah pihak-pihak yang terlibat langsung dengan proses reintegrasi yang terdiri atas pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan-badan resmi (seperti BRA, KPA, FKK), tokoh agama, tokoh adat, intelektual/akademisi, LSM dan pers. Hasil wawancara mendalam dengan beberapa tokoh, seperti tokoh adat, tokoh agama, intelektual, aktivis dan mantan GAM, selama bulan Mei-Juni 2007.
16
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
perhatian yang sangat serius dari pemerintah pusat. Bahkan terobosan yang dibuat pemerintah tergolong berani. Secara umum, dampaknya sangat signifikan terhadap kehidupan di Aceh, khususnya dalam menciptakan Aceh yang damai. Keberhasilan pemerintahan SBY-JK tersebut dalam menghentikan konflik bersenjata (GAM-TNI) dan melucuti secara relatif hampir seluruh tentara GAM 5, merupakan langkah konkret untuk mengakhiri era kekerasan. Belajar dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya yang senantiasa gagal dalam menyelesaikan Aceh secara damai, pemerintah SBY-JK membuat terobosan mengejutkan dengan mendekati aktor-aktor penting GAM untuk diajak berdialog dan menyelesaikan masalah Aceh secara bersama dengan pemimpin RI. Meskipun langkah ini menimbulkan pro dan kontra, tak sedikit kalangan yang menghargai keputusan pemerintah tersebut karena memberikan solusi konkret bagi perdamaian Aceh. Argumen ini sejalan dengan pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla (17 April 2007): ”Perdamaian itu mahal. Tapi jauh lebih murah dari pada perang. Perdamaian di Aceh dicapai dengan jalan panjang, berbelit dan penuh kesabaran”.
Adalah jelas bahwa MoU yang ditandatangani di Helsinki tersebut merupakan langkah awal bagi Aceh untuk menuju Aceh yang dicita-citakan, damai dan sejahtera.6 Pekerjaan rumah pemerintah RI masih sangat banyak dan harus menempuh jalan panjang untuk dituntaskan. Sebagai contoh, pasca MoU Helsinki langkah lanjutan yang harus diambil pemerintah RI adalah mendukung pembentukan BRA. Seiring dengan itu, pemerintah juga membentuk FKK, meskipun di tingkat lokal keberadaannya masih mengundang kontroversi.7 Terlepas dari itu, semangat yang ditunjukkan pemerintah daerah (Pemda) dalam merespon proses reintegrasi juga cukup besar. Namun, belum banyak catatan peran penting yang dimainkan Pemda dalam
5
6
7
Meskipun argumen mengenai jumlah tentara GAM yang dilucuti ini masih diperdebatkan, setidaknya upaya perlucutan tersebut memberikan makna dan pengaruh tersendiri terhadap perdamaian di Aceh. Menurut Pieter Feith (2006), ”Koflik sudah berakhir. Proses perdamaian berada dalam jalur yang tidak tergantikan seiring dengan yang ditunjukkan oleh pihak-peihak kepada dunia internasional, kekerasan bukanlah jawabannya”. Kontroversi ini antara lain terungkap dalam sosialisasi FKK yang diadakan di Forum Bersama (Forbes), 25 Mei 2007, dimana para LSM lokal mempertanyakan keberadaan FKK: apakah forum ini diperlukan bagi perdamaian/reintegrasi Aceh?
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
17
mendorong proses tersebut.8 Sebagai contoh, pada tahap awal proses damai Aceh peran pemerintah daerah tak sebesar pemerintah pusat. Padahal dukungan penuh Pemda terhadap BRA dan peningkatan efektivitas lembaga-lembaga yang ada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk mendukung reintegrasi sangat diperlukan.9 Hal ini penting sebagai catatan bahwa ke depan Pemda harus berperan lebih aktif dan konkret menyukseskan reintegrasi Aceh. Harapan sebagian besar tokoh masyarakat lokal tersebut cukup beralasan karena perhatian penuh Pemda baik provinsi maupun kabupaten/ kota cenderung ke realisasi UU No. 11 Tahun 2006 (tentang Pemerintahan Aceh). Kekhawatiran muncul karena proses reintegrasi Aceh terkesan dilaksanakan kurang maksimal dan kurang mendapatkan perhatian yang serius dari Pemda. Pada saat yang sama muncul anggapan bahwa proses reintegrasi adalah tugas dan kewajiban pemerintah pusat untuk menuntaskannya cenderung menguat. Padahal ketergantungan penuh kepada pemerintah pusat sangatlah tidak tepat karena dalam konteks reintegrasi ini Pemda dinilai lebih memahami daerahnya ketimbang pemerintah pusat. Apalagi BRA ini bertanggungjawab langsung kepada gubernur, sehingga sangat logis kalau sukses tidaknya reintegrasi sebagian akan ditimpakan kepada gubernur ketimbang presiden. Bila dalam dua tahun pertama, pemerintah daerah Provinsi NAD belum menunjukkan perannya yang maksimal dalam mendorong proses reintegrasi, maka ke depan tidak ada pilihan lain bagi Pemda NAD selain lebih serius lagi mendorong secara konkret terwujudnya proses reintegrasi, baik melalui fasilitasi maupun pendampingan. Badan Reintegrasi Aceh Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dibentuk atas inisiatif pemerintah pusat melalui Instruksi Presiden No. 15 Tahun 2005. Gubernur NAD menindaklajuti dengan mengeluarkan keputusan tentang pembentukan badan tersebut, 2 Mei 2006. Meskipun dalam realisasinya menjadi tanggung jawab Gubernur NAD, pemerintah pusat memberikan dana ke BRA untuk mendukung semua aktivitasnya. 8
9
Salah seorang birokrat tinggi di Pemprov mengatakan bahwa masalah reintegrasi diserahkan sepenuhnya kepada BRA. Oleh karena itu, Pemprov tidak ikut campur dan cenderung menyerahkannya ke BRA. Hasil wawancara mendalam dengan salah seorang birokrat tinggi di Pemprov NAD, 23 Mei 2007. Hasil wawancara mendalam dengan beberapa tokoh agama, adat, politik dan LSM selama bulan Mei 2007.
18
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Secara organisasi pengurusanya terdiri atas: Pengarah: Menko Polhukam, Menko Kesra, Mendagri, Menkominfo, Men Hukum dan HAM, Mensos, Menkeu dan Ka Bappenas. Ketua : Gubernur Provinsi NAD. Ketua Harian dan 3 Koordinator Bidang. Sekretaris : 1 Kepala Sekretaris dan 1 Wakil Sekretaris. Anggota : Dinas-dinas terkait. Untuk oragnisasi BRA di tingkat provinsi dan kabupaten, selengkapnya bisa dilihat di bawah:10 Pembentukan BRA tak lain dimaksudkan sebagai program pendampingan dari pusat. Adapun program utama BRA meliputi: (a) bantuan kesejahteraan sosial untuk masyarakat korban konflik dan (b) memfasilitasi budaya lokal untuk perdamaian NAD. Strukturnya meliputi kelompok yang bekerja di beberapa bidang: ekonomi, Polhukam (Politik, Hukum dan Keamanan) dan HAM; Sosial dan Kesra (Kesejahteraan Masyarakat); data dan keuangan.
BRA PROVINSI DASAR 1. MoU Helsinki : · Ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki · Butir 3.2. MoU : Reintegrasi ke dalam masyarakat 2. Inpres No. 15 Tahun 2005 : Agar Gubernur NAD mengelola reintegrasi dan perberdayaan setiap orang yang terlibat dalam GAM ke dalam masyarakat mulai dari: penerimaan, pembekalan, pemulangan ke kampung halaman, dan penyiapan pekerjaan 3. Direktif Menko Polhukam : No. DIR-67/MENKO/POLHUKAM/12/2005 tentang Optimalisasi Pelaksanaan MoU 4. Keputusan Gubernur Prov. NAD : No. 330/106/2006 tanggal 2 Mei 2006 tentang Pembentukan BRA TUPOKSI BAPEL REINTEGRASI-DAMAI ACEH TUGAS POKOK DAN FUNGSI, antara lain : 1. Membuat strategi, kebijakan, program dan prosedur pemberdayaan ekonomi dan bantuan sosial untuk korban konflik (sebagai pedoman bagi BRA kabupaten/kota).
10 Disalin dari publikasi Forum Bersama (Forbes) Damai Aceh.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
2. 3.
4.
19
Pelaksana pemberdayaan ekonomi (untuk mantan TNA, mantan Tapol/Napol, GAM non TNA, dan Relawan PETA). Memonitor dan mengevaluasi program pemberdayaan ekonomi dan bantuan sosial untuk korban konflik yang dilakukan oleh BRA kab/ kota. Membuat laporan kepada pihak terkait.
ORGANISASI : 1. Pengarah : Menko Polhukam, Menko Kesra, Mendagri, Menkominfo, Men Hukum dan HAM, Mensos, Menkeu dan Ka Bappenas. 2. Ketua : Gubernur Provinsi NAD 3. Ketua Harian dan 3 Koordinator Bidang 4. Sekretaris : 1 Kepala Sekretaris dan 1 Wakil Sekretaris 5. Anggota : Dinas-dinas terkait STRUKTUR ORGANISASI BADAN REINTEGRASI – DAMAI ACEH (BRA) PROVINSI
1. 2.
PROGRAM BIDANG BIDANG EKONOMI Membuat dan menjalankan strategi, kebijakan, program dan prosedur pemberdayaan ekonomi untuk masyarakat korban konflik. Melaksanakan pemberdayaan ekonomi kepada : o Mantan TNA o Mantan Tapol/Napol
20
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
o o o
GAM non TNA GAM yang menyerah pra MoU Relawan PETA
BIDANG SOSIAL BUDAYA Membuat strategi, kebijakan, program dan prosedur tentang : 1. Bantuan sosial untuk : o Diyat o Bantuan rumah o Cacat akibat konflik o Bantuan kesehatan 2. Kegiatan pendekatan budaya (kearifan lokal) dalam proses reintegrasi.
1. 2.
BIDANG DATA dan MONEV Mengumpul dan mengolah data korban konflik Monitoring dan evaluasi implementasi program Korbid Ekonomi dan Korbid Sosial Budaya BRA kab/kota
DINAS TERKAIT BAPEL REINTEGRASI-DAMAI ACEH DIBAWAH KOORDINASI KORBID EKONOMI : 1. Dinas Pertanian TPH 2. Dinas Perindustrian Perdagangan 3. Dinas Koperasi dan PKM 4. Dinas Peternakan 5. Dinas Perkebunan 6. Dinas Kelautan & Perikanan 7. Badan Kesbang Linmas DIBAWAH KOORDINASI KORBID SOSIAL BUDAYA : 1. Dinas Sosial 2. Dinas Kesehatan 3. Dinas Perkotaan dan Pemukiman 4. Dinas Mobilitas Penduduk 5. Dinas Pendidikan 6. Dinas Kebudayaan 7. Dinas Syariat Islam 8. Majelis Permusyawaratan Ulama 9. Majelis Adat Aceh
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
21
DIBAWAH KOORDINASI KORBID DATA & MONEV : 1. BPDE 2. Biro Statistik 3. Dinas Informasi & Komunikasi BRA KABUPATEN UMUM TUPOKSI BRA kabupaten/kota merupakan perpanjangan tangan BRA Provinsi yang menjalankan tugas - tugas dan fungsi BRA di Kabupaten/Kota masingmasing. Oleh karena itu BRA Kabupaten/Kota akan melaksanakan tugas berdasarkan kelompok masyarakat sasaran yang dilayani, yakni : a. Mantan TNA b. GAM non TNA c. GAM yang menyerah d. Tapol/Napol e. Relawan PETA f. Masyarakat korban konflik A. TUGAS PELAYANAN UNTUK MANTAN TNA Bantuan kepada mantan TNA untuk TA 2005 diberikan kepada kelompok untuk pelaksanaan usaha bersama yang dibagi menjadi dua tahap. Oleh karena itu tugas pokok BRA kabupaten/kota adalah: 1. Melakukan tugas-tugas pembinaan dan pendampingan. 2. Melakukan monitoring terhadap penggunaan uang tahap pertama dalam usaha kelompok. 3. Memonitoring peran anggota yang tercatat dalam proposal dalam kegiatan usaha kelompok yang didanai. 4. Mengawasi penyaluran dana bantuan usaha untuk tahap kedua. 5. Mengawasi penggunaan dana bantuan tahap kedua dalam usaha kelompok. 6. Membuat laporan berkala. B . TUGAS PELAYANAN UNTUK GAM NON TNA Bantuan kepada mantan GAM non TNA untuk TA 2006 akan segera diberikan kepada kelompok untuk pelaksanaan usaha bersama yang dibagi dalam dua tahap. Pelayanan untuk kelompok GAM non TA mulai dari identifikasi penerima manfaat, verifikasi usulan usaha dan kelengkapan
22
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
administrasi, sampai pada penyaluran bantuan dilakukan oleh KESBANGLINMAS (mekanisme terlampir). Oleh karena itu tugas pokok BRA kabupaten/kota adalah: 1. Melakukan verifikasi administrasi dan evaluasi usulan kegiatan. 2. Mengawasi penyaluran dana bantuan usaha. 3. Mengawasi penggunaan dana bantuan dalam usaha. 4. Melakukan tugas-tugas pembinaan dan pendampingan. 5. Membuat laporan berkala. C. TUGAS PELAYANAN UNTUK GAM YANG MENYERAH Kelompok GAM yang menyerah sebelum MoU, dan GAM yang diberikan amnesti diperlakukan sama dalam paket program bantuan pemberdayaan ekonomi. Kelompok ini akan mendapatkan bantuan untuk TA 2006 dan TA 2007. Dalam pelayanan juga melibatkan
KESBANGLINMAS mulai dari identifikasi penerima manfaat dan verifikasi usulan usaha yang didanai. Oleh karena itu tugas pokok BRA kabupaten/ kota adalah: 1. Melakukan verifikasi administrasi dan evaluasi usulan kegiatan. 2. Mengawasi penyaluran dana bantuan usaha. 3. Mengawasi penggunaan dana bantuan dalam usaha. 4. Melakukan tugas - tugas pembinaan. 5. Membuat laporan berkala. D. TUGAS PELAYANAN UNTUK MASYARAKAT KORBAN KONFLIK Untuk masyarakat korban konflik bantuan langsung ini menggunakan mekanisme PPK yang berbasis musyawarah masyarakat desa. Oleh karena itu tugas pokok BRA kabupaten/kota adalah: 1. Membantu PPK untuk melakukan verifikasi proposal masyarakat desa yang masuk ke UPK. 2. Melakukan monitoring dan evaluasi untuk (a) memastikan bantuan dana yang didistribusikan tepat sasaran yang dilakukan dengan cara adil dan transparan; (b) memastikan agar bantuan untuk masyarakat korban konflik adalah untuk pemberdayaan ekonominya. 3. Melakukan tugas-tugas pembinaan dan pendampingan. 4. Membuat laporan berkala dan untuk setiap kegiatan pelaksanaan program. Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi ini disesuaikan dengan mekanisme penyaluran bantuan untuk masing-masing kelompok masyarakat korban konflik.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
23
Awalnya pengurus BRA terdiri atas birokrat dan TNI, mantan GAM, intelektual dan unsur masyarakat. Dalam perkembangannya, BRA mengalami perombakan pengurus baik karena adanya konflik internal maupun karena badan ini dinilai kurang efektif dalam melaksanakan tugasnya karena kucuran dana yang kurang lancar. Oleh karena itu, kepengurusan BRA terbaru akhirnya banyak dihuni oleh para birokrat dan sebagian lainnya dari unsur masyarakat. Dalam melaksanakan aktivitasnya, BRA didukung Forum Bersama (Forbes) Damai Aceh dan Badan Pelaksana Reintegrasi Damai Aceh dan Badan Pengawas Damai Aceh. BRA yang ditugasi melaksanakan program-program di bidang ekonomi, bidang politik, hukum, keamanan, HAM, bidang sosial dan kesejahteraan rakyat serta bidang data dan evaluasi, cenderung menghadapi banyak kendala. Hal ini bisa dilihat dari belum terpenuhinya target realisasi program BRA dan munculnya kekecewaan dalam masyarakat.11 Padahal secara bertahap, pemerintah telah mengucurkan dana ratusan miliar yang diberikan kepada mantan TNA, mantan napol dan warga korban konflik. Pada tahun 2006, misalnya, BRA telah mengucurkan dana reintegrasi sebesar Rp 200 miliar. Tahun 2007, direncanakan dana sekitar Rp 700 miliar untuk program reintegrasi.12 Secara keseluruhan, dana reintegrasi untuk para korban konflik, mantan GAM, dan Pembela Tahan Air (Peta) direncanakan mencapai Rp 1,5 triliun, sedangkan yang sudah disalurkan pada tahun 2005-2006 Rp 800 miliar. Meskipun belum semua jumlah dana tersebut dikucurkan pemerintah, sekurang-kurangnya pemerintah telah menunjukkan keseriusannya dalam mendukung proses reintegrasi.
11 Pendapat ini disampaikan oleh Forbes dan Sira yang menilai bahwa kinerja BRA masih jauh dari yang diharapkan. Pengembalian hak politik, ekonomi, sosial dan budaya serta kemudahan ekonomi seperti jaminan sosial, pemilikan tanah dan pekerjaan belum memuaskan bagi korban konflik dan mantan kombatan. Hasil wawancara mendalam selama bulan Mei 2007. 12 Kekurangan alokasi dana reintegrasi untuk tahun 2007 dalam APBN, menimbulkan kegusaran sejumlah kalangan di Aceh. Menurut Prof. Yusni Saby, kekurangan dana reintegrasi tahun 2007 diperkirakan sebesar Rp 450 miliar. Ini adalah sebuah tantangan yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Jika tidak, program integrasi akan macet, sehingga dikhawatirkan berdampak buruk terhadap proses perdamaian Aceh, yang sudah berjalan hampir dua tahun. Lebih lanjut, Yusni mengatakan bahwa “Kita harus terus memperjuangkan agar dana ini sesuai dengan komitmen awal pemerintah yakni Rp 700 miliar. Karena ini adalah program pemerintah, bisa saja pemerintah punya kebijakan lain yang kita tidak tahu. Tapi mudah-mudahan, saya yakin itu akan berhasil” (Serambi Indonesia, 5 Februari 2007).
24
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Berkaitan dengan dana BRA, menurut Prof. Yusni Saby (mantan Ketua BRA), jika dana ini tidak dianggarkan di pusat (dalam APBN), maka menjadi kewajiban bagi pemerintah daerah untuk menganggarkan dana itu di dalam APBD. Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa: yang pasti, sejumlah dana yang sudah menjadi komitmen tersebut harus ada, karena itu merupakan janji pemerintah kepada para korban konflik yang sudah masuk dalam kategori mendapatkan bantuan. Kalau dana reintegrasi tidak sesuai janji, kredibilitas pemerintah akan jatuh. Jatuh di dalam negeri, dan jatuh di luar negeri. Yang penting juga diingat, ini bisa menimbulkan gejolak-gejolak yang tidak sehat. Saya kira kalau pemerintah pusat tidak menganggarkan, ya pemerintah daerah harus menganggarkannya.13
Kekhawatiran atas kurangnya dana reintegrasi pada tahun 2007 juga diutarakan oleh Ketua Harian BRA Aceh Timur, Nabhani, dalam sambutannya pada acara pisah sambut dengan Pj. Gubernur dan Gubernur/ Wagub terpilih yang diwakili oleh Wakil Gubernur, Muhammad Nazar. ”Kami merasa sedih dengan kenyataan tersebut. Karena kami sudah menampung permohonan dari kabupaten. Apa yang akan terjadi ketika dana yang tersedia tidak cukup untuk memenuhi semua kuota yang telah kita susun dan sosialisasikan kepada masyarakat.”14 Menurut Nabhani, untuk Aceh Timur, rumah korban konflik yang harus dibangun mencapai 8.000 unit. ”Sampai sekarang sudah 2.000 unit yang dibangun. Jadi masih tersisa 6.000 unit lagi. Bagaimana kita menjelaskan kepada masyarakat jika ternyata proyek ini kita hentikan karena tidak ada dana.”15 Oleh karena itu, Nabhani meminta kepada Mustafa Abubakar yang bertugas kembali di Jakarta, untuk terus memperjuangkan hal ini kepada pemerintah. Dengan penuh harap ia mengatakan: Tolong Pak, karena ini janji kita kepada para korban konflik. Bagi orang Aceh, janji ini sangat sakral. Lain boleh saja kita lakukan, tapi jangan pernah sekali-kali mengingkari janji, karena akan menimbulkan luka sepanjang masa.16
Peliknya masalah yang dihadapi pengurus BRA, khususnya berkaitan dengan urusan teknis dan dana, Yusni mengusulkan kepada pemerintah agar menjadikan lembaga ini sebagai lembaga tingkat nasional. Struktur organisasi BRA harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah atau dengan 13 14 15 16
Lihat (www.serambinews.com). Lihat (www.kapanlagi.com) Lihat (www.rri-online.com) Lihat (www.rri-online.com)
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
25
Surat Keputusan Presiden. Menurut Yusni, wacana itu sudah lama ada, hanya saja selama ini belum diusulkan kepada Presiden. ”Ini kan ada dua “re” di Aceh, yaitu rekonstruksi untuk menangani korban akibat tsunami, dan reintegrasi untuk menangani korban akibat konflik. Satu Dekrit Presiden dan satu lagi Dekrit Gubernur. Pada BRR itu dananya banyak, pada BRA dananya sedikit”.17
Masalahnya, bagaimana mengantisipasi emosi korban yang cenderung tinggi di Aceh yang jumlahnya sangat banyak itu. Bagaimana pula bila yang pokok-pokoknya saja dari program BRA belum tersentuh, lantas masyarakat akan puas dan tidak kecewa. Oleh sebab itu, Yusni mengusulkan agar BRA ke depan memiliki otonomi mengelola dana sendiri agar programnya tidak tersendat-sendat.18 Terkait dengan gagasan tersebut, Pj. Gubernur NAD, Mustafa Abubakar menyatakan setuju dengan usul tersebut. ”Sangat positif kalau BRA bisa ditingkatkan menjadi lembaga yang dikukuhkan tingkat nasional, sehingga legitimasi kelembagaan menjadi lebih kuat. Apalagi untuk memperkokoh proses perdamaian yang sudah berjalan bagus. Termasuk komitmen pemerintah pusat nanti terhadap pengadaan dana dan menjamin proses perdamaian ini.”19 Sebab kekurangan alokasi dana reintegrasi untuk tahun 2007 dalam APBN, menimbulkan kegusaran sejumlah kalangan di Aceh. Menurut Yusni Saby, kekurangan dana reintegrasi tahun 2007 diperkirakan sebesar Rp 450 miliar. Ini adalah sebuah tantangan yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Jika tidak, program integrasi akan macet, sehingga dikhawatirkan berdampak buruk terhadap proses perdamaian Aceh, yang sudah berjalan dua tahun. Lebih lanjut, Yusni juga mengatakan bahwa ”Kita harus terus memperjuangkan agar dana ini sesuai dengan komitmen awal pemerintah yakni Rp 700 miliar. Karena ini adalah program pemerintah, bisa saja pemerintah punya kebijakan lain yang kita tidak tahu. Tapi mudah-mudahan, saya yakin itu akan berhasil.”20 17 Hasil Wawancara mendalam dengan mantan Ketua BRA, 23 Mei 2007. 18 Sebagai konsekuensinya orang-orang yang terlibat dalam organisasi BRA (di provinsi atau di kabupaten/kota) tidak boleh lagi rangkap jabatan. Waktunya harus full untuk BRA. Ketua ex-officio di tingkat provinsi adalah gubernur, dan di kabupaten/kota adalah bupati/walikota. Tapi, Ketua Hariannya, mesti orang yang punya waktu penuh untuk BRA. 19 Lihat Serambi Indonesia, 6 Februari 2007. 20 Lihat Serambi Indonesia, 5 Februari 2007.
26
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Seperti dikatakan Yusni, dana yang dijanjikan untuk reintegrasi Aceh tahun 2007 adalah sebesar Rp 700 miliar. Namun, yang disetujui dalam APBN hanya Rp 250 miliar.21 Bahkan dikatakan juga secara keseluruhan, dana reintegrasi untuk para korban konflik, mantan GAM, dan Pembela Tahan Air (Peta) direncanakan mencapai Rp 1,5 triliun. Yang sudah disalurkan selama periode 2005-2006 sekitar Rp 800 miliar. Oleh karena itu, Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar tidak hanya mendesak Pemerintah Pusat untuk mencairkan dana reintegrasi 2007 sebesar Rp 700 miliar, melainkan juga meminta agar program reintegrasi dilanjutkan hingga 2009 dan ditunjang dengan tambahan dana yang besar.22 Gagasan mengenai perpanjangan ini mendapat tanggapan positif. Perpanjangan ini tak lain dimaksudkan untuk perdamaian yang sudah dicapai. Meskipun kenyataannya tidaklah mudah untuk dikabulkan. Lebih lanjut Nazar23 juga mengungkapkan bahwa program reintegrasi Aceh tidak boleh terhambat, sebab akan berimplikasi sangat luas terhadap penguatan perdamaian Aceh yang sudah disepakati di Helsinki, 15 Agustus 2005. Ia juga menambahkan bahwa ”reintegrasi ini sangat sensitif, karena terkait langsung dengan perdamaian. Kita tidak ingin adanya hambatan apapun soal reintegrasi.”24 Uraian di atas menunjukkan dengan jelas adanya kompleksitas masalah reintegrasi. Buruknya kinerja BRA antara lain dapat dilihat dari lemahnya verifikasi pendataan korban konflik dan korban kombatan. Peran yang dimainkan BRA selama dua tahun ini masih minimal dan belum maksimal. Selain itu, format kerjanya juga belum terbentuk, padahal pada saat yang sama BRA sudah harus beroperasi. Ini menimbulkan kekecewaan masyarakat lokal. 21 Tahun 2007 ini Pemerintah telah memplot dana reintegrasi sebesar 700 miliar. Namun karena alasan keterlambatan pengajuan, APBN baru mengalokasikan Rp 250 miliar. Sementara sisanya, 450 miliar lagi akan dianggarkan melalui APBN-P mendatang. 22 Desakan tersebut diutarakan Muhammad Nazar dalam Rapat Koordinasi Khusus Polhukam, di Kantor Menko Polhukam, Jalan Merdeka Barat, Kamis (1/3/07). Rapat dipimpin Sekretaris Menko Polhukam Agustadi SP dihadiri pejabat dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Keuangan, Bappenas, Departemen Sosial. Sementara dari Aceh, selain Wagub, ada Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA) Dr Islahudin, Ketua DPR Aceh Sayed Fuad Zakaria, Kapolda Aceh Bahrumsyah Kasman, Kaster Kodam Iskandar Muda Pandu W, Kajati NAD, serta ahli perdamaian dan resolusi konflik Yunidar ZA, Prof Syahrizal, dan Sekjen Balai Syura Ureung Inong Aceh Ria Fitri SH MHum. 23 Untuk mengurus masalah reintegrasi Aceh, gubernur mendelegasikan tugas ini kepada Wagub Muhammad Nazar, sehingga hampir semua aktivitas berkaitan dengan reintegrasi dilaksanakan Wagub. 24 Lihat Serambi Indonesia, 16 April 2007.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
27
Sementara itu, para pelaksananya atau pengurus BRA juga menghadapi pressure yang cukup berat dari para korban konflik yang menuntut haknya untuk mendapatkan penggantian yang memadai. Sebagai contoh, di bidang pemberdayaan ekonomi, mantan TNA, mantan Tapol/ Napol, GAM non TNA, GAM yang menyerahkan pada MoU dan relawan PETA, mengharapkan adanya solusi yang konkret dan cepat atas hakhaknya. Namun, harapan ini tak jarang menghadapi kendala karena kurangnya dana yang dikelola BRA sebagaimana diakui oleh pengurusnya.25 Peran minimal yang ditunjukkan BRA tersebut mendorong agar badan ini dievaluasi dan bila perlu badan ini ditingkatkan posisinya supaya secara hukum lebih mengikat dan dipertimbangkan. Bagaimanapun juga usulan untuk meningkatkan posisi BRA ini tak dapat dilepaskan dari keberadaan BRR yang dalam hal ini bertanggungjawab langsung kepada pemerintah pusat, sehingga BRA diasumsikan akan lebih maksimal kinerjanya bila posisinya juga seperti BRR. Lepas dari itu, semua keluhan mengenai dana reintegrasi sebagaimana diuraikan di atas mengindikasikan dengan jelas bahwa proses reintegrasi lebih didominasi keharusan pemerintah memberikan semua dana yang dibutuhkan sesuai dengan jumlah yang telah dijanjikan. Dari perspektif daerah, peran pemerintah pusat dalam proses reintegrasi lebih dimaknai sebagai penyedia dana dan oleh karenanya wajib committed dengan janji yang pernah diucapkan tersebut. Sedangkan peran pemerintah daerah dalam proses reintegrasi cenderung sebagai pelaksana saja. Pemda tampak kurang maksimal dalam mendorong realisasi reintegrasi dan menganggap tugas tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah pusat. Kekurangan-kekurangan yang muncul dalam realisasi program reintegrasi lebih banyak diarahkan kepada pemerintah pusat ketimbang ke pemerintah daerah. Atas dasar pemikiran ini pula, muncul desakan agar BRA menjadi lembaga yang otonom yang memiliki keleluasaan dalam mengelola anggarannya. Seiring dengan itu, muncul pula dorongan untuk menjadikan BRA sebagai lembaga tingkat nasional. Struktur organisasi BRA harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah atau dengan Surat Keputusan Presiden. Pro-kontra mengenai posisi BRA: apakah sebagai lembaga yang bertanggungjawab langsung kepada Pemerintah NAD atau langsung ke Presiden menunjukkan kegalauan pemangku kepentingan lokal terhadap proses reintegrasi selama ini. Namun, jelas kiranya bahwa masalah 25 Kekuarangan dana yang dikelola BRA ini secra eksplisit diakui oleh mantan Ketua BRA, Yusni Saby.
28
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
reintegrasi ini tidak bisa hanya diserahkan sepenuhnya semata-mata kepada pemerintah (pusat dan daerah), keterlibatan atau dukungan penuh para pemangku kepentingan lokal sangat signifikan bagi sukses tidaknya reintegrasi mantan GAM dan korban konflik ke dalam masyarakat Aceh. Forum Komunikasi dan Koordinasi Damai Aceh Pada tanggal 18 April 2007 pemerintah pusat membentuk Forum Komunikasi dan Koordinasi (FKK) yang semua pengurusnya adalah orang pusat. Mereka ini berasal dari beberapa departemen (Depdagri, Menkopolhukam, Bappenas). FKK ini merupakan bagian dari Desk Aceh yang fokusnya adalah perdamaian dan reintegrasi dan lebih merupakan badan ad hoc atau yang menjembatani antara Pemerintah Pusat dan NAD, dan tidak mempunya perwakilan di daerah (Aceh). Oleh karena itu, FKK mengemban tugas khusus dalam konteks proses reintegrasi, yaitu untuk menginformasikan perkembangan proses damai dan reintegrasi di Aceh. Peran mediasi yang dilakukan FKK ini bukan tanpa kritik. Tak sedikit aktivis LSM Aceh yang mempertanyakan peran dan posisi FKK dalam konteks perdamaian dan reintegrasi Aceh. Dalam acara pertemuan antara pengurus FKK dan sejumlah LSM dan tokoh lokal di Aceh (25 Mei 2007),26 secara eksplisit dipertanyakan posisi dan peran FKK khususnya dalam proses reintegrasi Aceh. Meskipun Ketua FKK telah menjelaskan peran dan fungsi serta kedudukan FKK hanya sebagai badan ad hoc yang melakukan komunikasi dan tidak membuat keputusan dalam proses reintegrasi dan perdamaian Aceh, para aktivis tampaknya masih belum puas dengan jawaban tersebut. Apalagi ketua FKK, Brigjen Amiruddin adalah seorang jenderal dari unsur Badan Intelejen Negara (BIN). Hal ini makin menambah kecurigaan para aktivis. Mereka menilai ketulusan RI kepada NAD masih diragukan. Menurut beberapa aktivis (LSM), mestinya pemerintah pusat tidak perlu membentuk FKK yang dianggap hanya mewakili kepentingan pusat. Menurut para aktivis lokal, yang diperlukan Aceh saat ini adalah dukungan riil pemerintah pusat terhadap terwujudnya Aceh yang damai, aman dan maju secara ekonomi. Kritikan dan gugatan para aktivis lokal tersebut juga mencerminkan belum sirnanya distrust di antara masyarakat. Para aktivitis cenderung mencermati semua kehadiran badan-badan bentukan pemerintah pusat. Tak terkecuali juga FKK. Apalagi FKK ini juga tidak mempunyai perwakilan 26 Peneliti ikut hadir dalam pertemuan antara FKK dengan LSM dan tokoh-tokoh lokal Aceh yang diadakan di Forbes, NAD, 25 Mei 2007.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
29
di Aceh. Dari perspektif masyarakat lokal tak hanya FKK yang dinilai tidak mewakili kepentingan masyarakat, tapi birokrasi lokal juga dipandang tidak melayani mereka dan merupakan perpanjangan tangan pusat.27 Sedangkan dari perspektif pemerintah pusat dengan dibubarkannya AMM berarti tanggung jawab masalah pertahanan, keamanan dan stabilitas Aceh ada di pundak pemerintah pusat. Sulit dipungkiri bahwa pemerintah pusat masih sangat mengkhawatirkan kondisi Aceh pasca MoU pada umumnya dan pasca pembubaran AMM pada khususnya. Di tataran empirik menunjukkan bahwa masyarakat Aceh cenderung lebih percaya pada keterlibatan asing dalam menyelesaikan Aceh ketimbang kepada pemerintah pusat. Lemahnya kepercayan mereka terhadap pemerintah pusat ini menjadi kendala tersendiri dalam penciptaan pola hubungan Jakarta-Aceh yang harmonis. Adalah jelas bahwa posisi dan tugas FKK untuk kepentingan pemerintah pusat. Dalam konteks kepentingan daerah atau proses reintegrasi, perannya tidak terlalu dirasakan di daerah. Atau dengan kata lain, ada tidaknya FKK tidak-lah berpengaruh signifikan terhadap proses reintegrasi. Peran Komite Peralihan Aceh Komite Peralihan Aceh (KPA) dibentuk untuk menjaga kendali dan sebagai sumber atau data informasi tentang mantan kombatan GAM. Pengurusnya terdiri atas panglima-panglima GAM dari tingkat kecamatan sampai provinsi. Menurut beberapa narasumber dari unsur GAM, KPA merupakan wadah bagi mantan kombatan agar mereka tidak merasa seperti anak ayam kehilangan induk. Melalui wadah ini dimaksudkan agar mantan GAM atau kombatan tetap dalam kendali. Dalam konteks reintegrasi, data yang diberikan KPA sangat membantu dalam menginfomasikan orangorang mantan GAM yang perlu mendapat santunan dll. Dengan melihat posisi KPA dalam struktur organisasi sosial di Aceh, adalah jelas bahwa KPA ini lebih mengutamakan kepentingan para mantan GAM atau kombatan. Demikian juga dalam kaitannya dengan proses reintegrasi, KPA menempatkan diri sebagai informan atau narasumber penting personil mantan GAM atau kombatan yang harus mendapatkan dana dari BRA. 27 Meskipun saat ini yang memerintah di Aceh berasal dari unsur GAM, sebagian besar birokrat yang ada di birokrasi adalah orang-orang lama yang mindset dan pola pikirnya masih mewarisi kultur birokrasi era Orde Baru, yang cenderung mempertahankan sistem patron-klien atau birokrasi patrimonial.
30
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Namun, dalam perkembangannya KPA cenderung memperluas cakupan perannya seperti yang ditunjukkan di Aceh Utara dengan menggantikan posisi dan peran lembaga-lembaga non-formal seperti ulama, tokoh adat, keuchik, mukim dll. Kecederungan memperluas cakupan kerja KPA ini meresahkan masyarakat. Karena dengan begitu akan melumpuhkan tugas utama para ulama, tokoh adat, keuchik, dan mukim. Bila sebelum ada KPA para tokoh tersebut sangat berperan penting di masyarakat, namun sekarang peran mereka cenderung diambilalih oleh KPA. Perluasan peran KPA tersebut bisa jadi akan menyerupai intervensi militer dalam kehidupan masyarakat bila tidak ditempatkan pada posisinya yang tepat. Oleh karena itu, kajian secara serius dan cepat sangat diperlukan, untuk memberikan solusi atas peran KPA yang proporsional dalam konteks reintegrasi. Ini dimaksudkan agar KPA tidak mengulangi kesalahan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tempo dulu yang terlibat dalam politik dan birokrasi. Masalahnya, tidak tertutup kemungkinan KPA ini cenderung mengikuti sepak terjang ABRI, yaitu menempatkan lembaganya paralel dengan birokrasi. Sebagai contoh, KPA eksis baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota. Bila eksistensi dan peran KPA tak bisa dielakkan pasca MoU Helsinki, maka peran KPA ke depan perlu diarahkan ke profesionalismenya untuk membantu Aceh mencapai kedamaian dan kesejahtreraan. Peran LSM, Pers, Tokoh Adat, Tokoh Agama, Intelektual Dari beberapa elemen kekuatan yang ada dalam masyarakat, peran pers dan LSM cenderung signifikan dalam mendorong reintegrasi. Sedangkan peran tokoh agama dan adat belum memberikan kontribusi yang konkret karena beberapa organisasi keagamaan dan adat juga baru terbentuk pasca 1998, khususnya jumlahnya makin banyak sejak otonomi khusus diterapkan di Aceh (UU No.18 tahun 2001). Pada dasarnya semua elemen kekuatan dalam masyarakat Aceh sepakat untuk mewujudkan Aceh yang damai. Hal ini antara lain tercermin dari hasil wawancara dengan para pemangku kepentingan lokal dan beritaberita yang dimuat oleh beberapa koran lokal. Semangat mereka sama, yaitu keluar dari konflik. Perbedaan dalam derajat berkontribusi dalam proses reintegrasi sesuai dengan kewenangan yang mereka miliki sehingga ada yang mampu memberikan perannya lebih konkret, tapi ada pula yang cenderung normatif. Besar kecilnya keterlibatan para pemangku kepentingan ini juga menjadi indikasi seberapa besar kepentingan mereka
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
31
terhadap reintegrasi. Upaya-upaya mereka itu tentunya sangat berguna untuk mewujudkan cita-cita Aceh agar lebih maju dan damai. Oleh karena itu, sekecil apapun sumbangan mereka baik moril maupun fisik bagi reintegrasi Aceh patut untuk diapresiasi. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Pasca MoU Helsinki situasi Aceh secara umum cenderung aman dan memungkinkan bagi proses demokratisasi. Situasi ini memberikan kesempatan bagi rakyat untuk bangkit menata kehidupan mereka yang lebih baik lagi. Aktivitas pembangunan berlangsung di hampir semua daerah di Aceh. Tidak terkecuali yang dilakukan ribuan mantan TNA dan warga korban konflik. Sejumlah LSM, badan-badan organisasi dunia, dan para aktivis kemanusiaan aktif terlibat mendukung proses reintegrasi. Misalnya yang dilakukan International Organization of Migration (IOM). Melalui program “Makmu Gampong Kareuna Damç” (Desa Makmur Karena Damai), misalnya, mereka menyediakan proyek kerja komunitas berdampak cepat senilai Rp 50 juta (AS$5.500) kepada setiap 230 masyarakat yang terkena dampak konflik. Tiap desa juga menerima satu juta rupiah (AS$110) untuk mengadakan sebuah peusijeuk (upacara selamatan tradisional) sebagai kegiatan rekonsiliasi dan selamatan atas selesainya proyek. IOM juga mengembangkan program pelatihan kerja dan peluang pendidikan hingga penyediaan perlengkapan bertani dan bahan-bahan untuk memulai usaha kecil. Pemerintah Jepang juga memberikan hibah senilai US$ 357.494 atau sekitar Rp 3 miliar pada bekas TNA, khususnya mukim di Pidie. Sedangkan LSM lain seperti forum bersama (Forbes) ikut terlibat dalam memberikan pemikiran-pemikiran atau rumusan-rumusan atau formula yang tepat untuk dilaksanakan oleh badan pelaksana BRA. Dalam menjalankan tugasnya, Forbes yang mendapat bantuan dana dari Amerika28 ini, tak jarang menjadi tempat bertemunya berbagai tokoh dari berbagai kekuatan, baik pers, aktivis, tokoh agama, tokoh adat, maupun mantan tokoh-tokoh GAM. Dari aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan menunjukkan bahwa Forbes lebih menempatkan diri sebagai pemberi sarana dan prasarana bagi elemenelemen kekuatan lokal untuk mendiskusikan masalah-masalah Aceh, khususnya berkaitan dengan reintegrasi. 28 Hadirnya bantuan Amerika (USAID) ini tak lepas dari maraknya bantuan dana yang diberikan negara-negara Eropa Barat kepada Aceh. Kompetisi para donor ini tidak dapat dilepaskan dari kepentingan negara-negara tersebut terhadap Aceh. SDA yang cukup menjajikan yang dimiliki Aceh, seperti PT Arun dan Exxon adalah bukti yang jelas. Misi para donor adalah jelas dengan kehadirannya tersebut setidak-tidaknya bisa mempengaruhi para pengambil kebijakan berkaitan dengan SDA.
32
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Peran tersebut menurut salah seorang pengurusnya diperlukan untuk memperkuat rumusan-rumusan yang dihasilkan Forbes sebagai bahan masukan bagi BRA. Forbes juga melakukan peran menjembatani pihak BRA dan para pihak yang berhak mendapatkan dana kompensasi dari BRA. Bahkan Forbes juga melakukan studi ke beberapa daerah untuk mengetahui ketidakpuasan masyarakat berkaitan dengan dana yang diterima dari BRA. Dari ketidakpuasan itu, pengurus Forbes berupaya mencarikan solusinya dan memberikan masukan itu kepada badan pelaksana BRA. Lepas dari itu, kondisi keamanan yang kondusif pasca-kesepakatan damai RI-GAM, kini seakan memberi peluang dan kesempatan bagi rakyat daerah ini untuk menata kembali kehidupan mereka dengan lebih baik lagi. Gairah kehidupan dan denyut pembangunan kini memang terlihat di manamana, di hampir seluruh pelosok Aceh. Tidak terkecuali yang dilakukan oleh ribuan mantan GAM dan warga korban konflik lainnya. Bahkan sejumlah LSM, badan-badan organisasi dunia, dan para aktivis kemanusiaan juga aktif terlibat dalam proses reintegrasi itu. Melalui bantuan dana reintegrasi, pemerintah, organisasi-organisasi badan dunia dan LSM (nasional maupun internasional),29 kini tengah bahumembahu membangun tali silaturahmi untuk merekatkan kembali rakyat Aceh yang sempat terkoyak akibat konflik bersenjata. Media yang digunakan bukan hanya melalui bantuan ekonomi, tapi juga menyentuh aspek psikologi, kebudayaan, pendidikan, kesehatan, politik dsb. Berbagai usaha untuk membangun trust building mulai diupayakan sehingga terbangun nilai-nilai kebersamaan diantara warga yang terbelah. Semua elemen-elemen masyarakat tersebut, termasuk LSM dan sejumlah lembaga kemanusiaan itu, kini memainkan perannya masing-masing dalam upaya mendukung terpeliharanya suasana damai di Aceh. Selain mendukung proses reintegrasi dalam bentuk bantuan dana, misalnya, tak sedikit pula di antaranya yang aktif melakukan kegiatan penyembuhan trauma psikologis para korban konflik, serta memberdayakan mereka dengan memberikan berbagai bimbingan dan pelatihan keterampilan. Peran Pers Dalam proses reintegrasi, pers memiliki peran strategis, yaitu untuk menginformasikan dan memperkuat usaha-usaha membangun tali 29 Salah satu LSM yang cukup diperhitungkan adalah Forum Bersama (Forbes), yang merupakan suatu komite pemantau yang melibatkan GAM, kelompok sipil dan perwakilan masyarakat. Foum ini juga menjadi penasehat bagi badan pelaksana reintegrasi Aceh.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
33
silaturahmi di antara mantan kombatan dan warga (korban konflik). Untuk itu, pers diharapkan mampu mentransformasikan peran mereka agar tidak sekadar sebagai pewarta informasi yang mengutamakan nilai konflik. Konflik yang mengiringi proses reintegrasi, seharusnya dipahami sebagai bagian dari proses resolusi konflik menuju perdamaian yang sejati. Oleh karena itu, pers juga diharapkan bisa berperan aktif dan pro-aktif dalam ikut mendorong para pihak untuk membangun tali silaturahmi. Hal ini bukan berarti menuntut pihak pers atau jurnalis sebagai mediator. Namun, mereka diharapkan dapat “memprovokasi” para pihak yang terlibat dalam proses reintegrasi untuk mengedepankan upaya-upaya penyelesaian konflik secara damai melalui fakta media (berita) yang mereka produksi. Peran penting tersebut perlu dimainkan mengingat daya persuasi pemberitaan pers yang dipercaya ikut memperkuat pola pikir dan pola tindak seseorang. Untuk itu, perubahan perspektif dan ketrampilan teknis untuk mengimplementasikan jurnalisme damai dalam meliput berbagai isu atau peristiwa yang muncul di Aceh, tidak terkecuali dalam meliput proses reintegrasi sangat diperlukan. Dalam konteks itu, Kajian Informasi Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS) bekerjasama dengan Komisi Eropa menyelenggarakan pelatihan jurnalisme damai untuk meliput proses reintegrasi sebagai bagian dalam program “Peningkatan Kapasitas Profesionalisme Jurnalis untuk Mengawal Proses Perdamaian di Aceh”. Adapun tujuannya adalah: (1). Untuk meningkatkan pemahaman konsep dan teknik jurnalisme damai bagi para jurnalis media cetak dan radio yang berguna bagi jurnalis ketika mereka melakukan liputan reintegrasi di Aceh; (2) Meningkatkan ketrampilan menulis straight news dan (news) features berperspektif jurnalisme damai untuk liputan reintegrasi di Aceh; (3) Memberikan informasi tentang proses, tahapan, kegiatan, dan potensipotensi konflik yang mungkin selama proses reintegrasi di Aceh; (4) Mempersiapkan rencana liputan mendalam proses reintegrasi di Aceh, mulai dari latar belakang masalah, angle, daftar pertanyaan, narasumber, lama liputan dan pelaporan. Sebagaimana diakui oleh beberapa tokoh pers lokal bahwa peran pers relatif signifikan dalam mendorong proses reintegrasi. 30 Peran yang dimainkan pers sejauh ini adalah menyuarakan pentingnya perdamaian di 30 Meskipun harus diakui bahwa eksisnya beberapa koran lokal bukan berarti suara mereka satu dalam merespons perdamaian di Aceh, realitanya sebagian besar pers lokal lebih mendukung kondisi saat ini yang dinilai relatif aman.
34
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Aceh, mendorong reintegrasi atau rekonsialiasi, mengedepankan beritaberita kepentingan kemanusiaan dan menjadi pengawas perdamian. Dukungan pers terhadap MoU Helsinki dan kebijakan pasca kesepakatan ini didasarkan atas beberapa kenyataan bahwa perdamaian di Aceh sudah terwujud; elite sipil RI, elite TNI/Polri, mayoritas politisi RI mendukung. Demikian juga elite kombatan GAM, masyarakat internasional dan masyarakat domestik dan lokal ikut mendukung. Selain itu, dana integrasi juga tersedia. Menurut seorang tokoh jurnalis lokal, pers di Aceh perlu mengubah strateginya dari spirit war journalism ke peace journalism. Insan pers sendiri menyadari pentingnya untuk memiliki ”tekad damai, berpikir damai, berkata damai dan bertindak damai”.31 Di tengah proses reintegrasi yang kini sedang berlangsung itu, disadari atau tidak, ternyata pers memegang peranan yang teramat vital. Dengan kekuatannya mengolah dan menyebarluaskan informasi, masing-masing media, baik pers lokal, nasional maupun media internasional, telah memainkan peranan penting dalam mengungkap dan memberikan masukan dari berbagai tahapan proses tersebut. Istilah jurnalisme damai (Peace Jurnalism) tidak dikenal dalam teoriteori pers klasik. Asumsi ini, paling tidak, kalau kita merujuk pada unsurunsur pembentuk berita — seperti aktual (terbaru), menarik (unik, penting), jarak (kedekatan), keluarbiasaan, akibat (dampak), ketegangan dan pertentangan (konflik dan perang), penemuan-penemuan baru, emosi, humor dan lain-lain — yang kemudian menjadi referensi utama bagi lahirnya teori-teori pers klasik. Namun, unsur ketegangan dan pertentangan (konflik dan perang), mendominasi headline yang menghiasi berbagai halaman suratkabar, radio, dan layar televisi. Konsep Jurnalisme Damai yang mungkin saja ada tapi belum begitu disadari keberadaan dan manfaatnya, hampir tidak mendapatkan tempat dan porsinya secara layak. Karenanya, tidak mengherankan kalau penerapan dan implementasinya sekarang ini juga masih terkesan tidak memiliki nilai jual yang tinggi, kurang komersial dan tidak populer. Meski begitu, mengingat media cukup berperan dalam menciptakan dan membentuk opini publik dan opini pasar, maka tidak salah kalau upaya penerapan dan implementasi konsep Jurnalisme Damai dijadikan satu agenda penting yang harus disosialisasi oleh semua lembaga penerbitan dan penyiaran. Tidak hanya bagi Aceh, bahkan bagi daerah-daerah konflik, 31 Hasil Wawancara dengan dua orang tokoh pers di Aceh, 24 Mei 2007.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
35
seperti di Papua, Ambon, atau Poso, misalnya, konsep Jurnalisme Damai ini tampaknya sudah cukup mendesak untuk segera dibudayakan sebagai proto type penyebaran informasi oleh media pers. Aceh, misalnya, yang pernah tenggelam dalam kancah pertikaian dan konflik bersenjata yang berkepanjangan, merupakan contoh konkret dan perlu memiliki pers yang bervisi damai. Tampak jelas dan masih bisa kita saksikan sampai hari ini, bahwa bencana yang maha dahsyat itu ternyata telah menjadikan Aceh sebagai pusat perhatian dunia. Ratusan media massa internasional meliput peristiwa itu secara on the spot. Dengan kekuatannya mengolah dan menyebarluaskan informasi, masing-masing media telah memainkan peranan penting dalam mengungkap berbagai sisi bencana ini ke seluruh penjuru dunia. Peran media bukan hanya sebagai solidarity maker, tapi juga sekaligus sebagai fund raiser dan disaster manager dari dampak bencana yang membuat rakyat Aceh menderita itu. Bertolak dari asumsi dan pertimbangan-pertimbangan itu, jurnalisme damai di Aceh, tampaknya lebih dapat diterima oleh berbagai elemen masyarakat setempat. Sebab, dari berbagai literatur yang ada, kita melihat bahwa jurnalisme damai lebih netral (tidak memihak), tidak sporadis, dan lebih mengutamakan sisi-sisi kemanusiaan dibandingkan Jurnalisme Perang, yang ternyata sudah demikian banyak merenggut semangat dan jiwa para jurnalis itu sendiri. Di tengah situasi dan kondisi Aceh sekarang ini, peran jurnalis yang profesional dan independen amat dibutuhkan. Untuk membangun kembali kondisi Aceh yang hancur akibat konflik dan bencana tsunami, memang harus melibatkan semua elemen dan komponen masyarakat, termasuk kalangan pers. Sebab, sebagai satu bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat, pers menginginkan agar Aceh yang akan dibangun adalah Aceh yang bermartabat, damai, adil, makmur, dan sejahtera. Peran pers yang penulis pantau di Aceh sangat kooperatif dalam pencitraan perdamaian dan demokrasi lokal melalui pemberitaan yang proporsional yang menggambarkan kepada publik nasional tentang stabilitas perdamaian dan demokrasi di Aceh dengan tidak terlalu “memanas-manasi” tentang adanya elemen minoritas yang tidak puas dengan apa yang dicapai oleh pemerintah Indonesia dan rakyat Aceh. Tokoh Adat Tidak jauh berbeda dengan peran pers, para tokoh adat Aceh cenderung sangat antusias dan menghargai terwujudnya Aceh yang damai seperti sekarang ini. Semangat yang mereka tunjukkan dalam menyambut era
36
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
baru di Aceh cukup menonjol. Sebagian besar dari para tokoh adat ini berharap bahwa kondisi politik seperti saat ini bisa berkesinambungan sehingga Aceh dapat membangun perekonomiannya dengan memadai. Hasil wawancara penulis dengan beberapa tokoh adat menunjukkan harapan tersebut. Meskipun respon para tokoh ini baru sebatas semangat dan belum dikonkretkan dalam bentuk sumbangannya untuk membantu program reintegrasi dalam bidang sosial dan budaya, ke depan peranya sangat diperlukan untuk mengkonkretkan proses reintegrasi bidang sosial-budaya tersebut. Sejauh ini peran tokoh adat baru sebatas persuasif, mengajak warganya mendukung proses reintegrasi. Mereka ikut menyosialisasikan proses reintegrasi, meskipun belum maksimal. Lembaga adat relatif ikut berperan serta dalam menciptakan Aceh yang damai, meskipun itu hanya berupa himbauan. Sebagai contoh, Majelis Adat Aceh, meskipun lembaga ini dibentuk agak lama, realitasnya kontribusi dan keterlibatannya dalam proses reintegrasi juga masih sangat minim. Hal ini diakui oleh ketuanya, Abadrussaman Ismail, yang mengatakan bahwa lembaganya belum bisa berbuat banyak selain menghimbau kepada masyarakat untuk mendukung reintegrasi.32 Munculnya beberapa lembaga adat di Aceh belakangan ini menunjukkan bahwa pada dasarnya masyarakat Aceh terkait erat dengan adat istiadatnya. Sayangnya, keterikatan masyarakat kepada adatnya tersebut mulai terkikis dan melemah ketika pemerintah melaksanakan politik penyeragaman di era Orde Baru. Oleh karena itu, terbentuknya beberapa lembaga adat sejak 1998 belum bisa memberikan kontribusi signifikan terhadap proses reintegrasi karena lembaga-lembaga adat tersebut masih berbenah diri. Tokoh Agama Pemuka agama Islam di Aceh pada dasarnya sangat mundukung terwujudnya Aceh yang damai dan sejahtera. Mereka menyerukan pentingnya menciptakan Aceh yang damai dan menjauhkan konflik. Bahkan lebih dari itu, tokoh agama juga memberikan suasana kesejukan dan mensosialisasikan pentingnya perdamaian melalui reintegrasi mantan kombatan GAM ke dalam masyarakat Aceh. Peran tokoh agama tersebut cenderung bersifat himbauan, anjuran dan ajakan kepada masyarakat agar ikut mendukung proses reintegrasi. Tokoh agama di Aceh sebenarnya mempunyai pengaruh yang besar 32 Hasil wawanacara dengan ketua Majelis Adat Aceh, 26 Mei 2007.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
37
terhadap masyarakat. Tapi, dalam konteks reintegrasi pengaruh mereka tersebut kurang memberikan sumbangan konkret terhadap realisasi proses reintegrasi. Hal ini bisa jadi karena ada anggapan bahwa masalah reintegrasi adalah tugas dan kewenangan pemerintah (pusat dan daerah) untuk melaksanakannya. Sementara, tokoh atau pemuka agama berperan serta mensosialisasikan pentingnya reintegrasi agar terwujud ketentraman dalam masyarakat. Peran Intelektual Data empirik menunjukan bahwa jumlah intelektual yang bergabung dalam kegiatan perbaikan Aceh termasuk untuk menciptakan Aceh yang damai dan demokratis cukup banyak.33 Sebagai contoh, Rektor Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry (Prof. Yusni Saby) adalah mantan Ketua BRA. Demikian juga beberapa tenaga pengajar lainnya baik dari universitas tersebut maupun Universitas Syah Kuala banyak yang bekerja sebagai konsultan dan penasihat dalam badan-badan yang dibentuk untuk mendukung perdamaian Aceh. 34 Dengan kata lain, akademisi atau Intelektual lokal tidak hanya berada di luar badan-badan yang terbentuk pasca tsunami (BRA, BRR, Aceh Recovery Forum:ARF, Forbes dll.), tapi sebagian dari mereka juga berada di dalam badan-badan ini. Artinya, sebagian mereka melakukan tugas sebagai pengamat dan sebagian lainnya sebagai praktisi untuk reintegrasi dan perbaikan Aceh. Melalui tulisan-tulisannya, para intelektual juga menyuarakan pentingnya menciptakan damai Aceh. Gagasan-gagasan intelektual lokal disebarkan oleh mass media lokal, dan ini memberikan dampak positif terhadap masyarakat karena mereka mendapat informasi yang lebih akurat. Tak jarang pula, ide-ide yang disampaikan para intelektual tersebut ikut memperkuat argumen kebijakan pasca MoU Helsinki, sehingga berdampak positif terhadap terciptanya iklim politik yang lebih kondusif bagi masyarakat. Namun, pada saat yang sama para intelektual tersebut juga ikut mengkritisi kebijakan Pemerintah bila itu dinilai bertentangan dan tidak konsisten dengan tekad untuk mewujudkan reintegrasi. Dari uraian tentang peran para pemangku kepentingan tersebut di 33 Meskipun tidak ada penelitian khusus mengenai akademisi/intelektual yang bergabung di BRA, BRR dan ARF dll., hasil penelitian lapangan selama bulan Mei 2007 di Banda Aceh menunjukkan bahwa jumlah mereka cenderung banyak, khususnya sebagai tenaga ahli, peneliti dan penasihat. 34 Kegiatan para intelektual tidak hanya di Forbes, tapi juga di Aceh Recovery Forum (ARF), BRR dll.
38
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
atas menunjukkan bahwa tidak semua elemen kekuatan yang disebutkan bisa berperan maksimal dalam proses reintegrasi. Kajian empirik juga menunjukkan bahwa capaian-capaian itulah yang tergambar jelas di lapangan. Tak sedikit dari para pemangku kepentingan tersebut yang ingin memberikan kontribusi dalam mendorong teralisasinya reintegrasi Aceh ke depan. Masalahnya masing-masing mereka ini menghadapi kendala yang cukup variatif. Misalnya, BRA yang masih menghadapi masalah terbatasnya keuangan yang dikelola dan soliditas pengurusnya (untuk pembahasan secara detail lihat Bab 5). Untuk memperjelas peran para pemangku kepentingan di Aceh, berikut ini disajikan tabel ringkasannya. Tabel Posisi Pemangku Kepentingan dalam Proses Reintegrasi Institusi/Tokoh Pemerintah Pusat
1. 2. 3.
Forum Komunikasi dan Koordinasi (FKK)
1.
2.
3.
Pemerintah NAD
Badan Reintegrasi Aceh (BRA)
1.
Fungsi dan Peran di Tataran Praksis Sebagai fasilitator reintegrasi Memberikan bantuan dana melalui BRA. Memantau proses reintegrasi antara lain melalui FKK. Mendorong realisasi proses reintegrasi dan sekaligus menjembatani kepentingan pusatdaerah. Lebih berperan sebagai koordinator dan komunikator ketimbang bertindak riil dalam realisasi program-program reintegrasi. Memonitor jalannya reintegrasi (sebagai mata dan telinga pemerintah pusat). Memainkan peran terbatas dalam proses reintegrasi dan menyerahkan semua tugas reintegrasi kepada BRA. Membuat strategi, kebijakan, program dan prosedur pemberdayaan ekonomi dan
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
2.
3.
4.
5.
6.
Komite Peralihan Aceh (KPA) 1.
2.
39
bantuan sosial untuk korban konflik (sebagai pedoman bagi BRA Kabupaten/Kota). Pelaksana pemberdayaan ekonomi (untuk mantan TNA, mantan Tapol/ Napol, GAM non TNA, dan Relawan PETA). Memonitor dan mengevaluasi Program Pemberdayaan Ekonomi dan Bantuan Sosial untuk korban konflik yang dilakukan oleh BRA Kab/Kota. Mendata dan mengklasifikasikan mantan kombatan dan korban konflik serta menyalurkan dana ke mereka. Meyalurkan bantuan penguatan ekonomi kepada mantan kombatan GAM dan memberikan dana konpensasi dalam bentuk diyat bagi korban konflik. Memantau proses verifikasi kelayakan dan memastikan bahwa bantuan digunakan secara produktif. Sebagai kekuatan politik setengah militer dalam kehidupan politik, ekonomi dan masyarakat, peran KPA memberikan informasi/data kepada BRA tentang mantan kombatan GAM yang berhak mendapat dana bantuan. Di Aceh Utara, fungsi dan peran KPA cenderung menggantikan posisi ulama, tokoh adat, keuchik dan mukim. Artinya, ada perluasan peran dan fungsi KPA yang tak semata-mata sebagai pemberi informasi.
40
Pers
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
1. Mengubah wajah pers menjadi lebih damai yang mendukung sosialisasi proses reintegrasi dengan mengedepankan terwujudnya Aceh yang damai. 2. Menginformasikan dan memperkuat upaya membangun tali silaturahmi diantara mantan kombatan dan warga (korban konflik). 3. Mengubah opini masyarakat lokal dengan menonjolkan pentingnya membangun perekonomian Aceh. 4. Media massa cenderung memuat berita-berita yang menyejukkan ketimbang konflik, untuk lebih menciptakan stablitas politik di Aceh. Lembaga Swadaya Secara umum, LSM-LSM baik Masyarakat (LSM): dalam negeri maupun luar negeri memainkan peran penting baik dalam aspek ekonomi maupun aspek psikologi, kebudayaan, pendidikan, kesehatan dan politik. Ini dilakukan seiring dengan upaya realisasi program trust building untuk menciptakan kebersamaan diantara warga yang terbelah. 1. Forum Bersama (Forbes) 1. Forbes berfungsi sebagai penasehat dalam realisasi program-program BRA. 2. Forbes juga sebagai komite pemantau yang melibatkan GAM, kelompok sipil dan perwakilan masyarakat. 2. International Organization 1. Merealisasikan Program “Makmu of Migration (IOM) Gampong Kareuna Damc” (Desa Makmur Karena Damai) dengan melakukan kegiatan pembangunan fisik dan rekonsialiasi antara lain berupa upacara selamatan tradisional (peusijeuk).
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Tokoh Adat
Tokoh Agama
Intelektual
41
2. Program pelatihan kerja dan pendidikan. 3. Penyediaan perlengkapan bertani. 4. Penyediaan bahan-bahan untuk memulai usaha kecil. 1. Ikut menyosialisasikan proses integrasi, meskipun belum maksimal. 2. Lembaga adat ikut berperan serta dalam menciptakan Aceh yang damai. 1. Pemuka agama (Islam) berperan penting dalam menyerukan Aceh yang damai dan menjauhkan konflik. 2. Perannya lebih bersifat himbauan, anjuran dan ajakan kepada masyarakat agar ikut menunjang proses reintegrasi. 1. Peran konkret intelektual dalam proses reintegrasi adalah mendorong realisasi dan percepatan reintegrasi. 2. Banyak intelektual/akademisi lokal yang bergabung dalam badanbadan/lembaga di lokal untuk menciptakan Aceh yang damai dan demokratis. Sebagai contoh, Rektor Institut Agama Islam Negeri ArRaniry (Prof. Yusni Saby) pernah menjadi Ketua BRA. 3. Melalui tulisan-tulisannya, para intelektual juga berperan signifikan dalam menyuarakan Aceh yang damai. 4. Ikut mengkritisi kebijakan pemerintah bila itu dinilai bertentangan dan tidak konsisten dengan tekad mewujudkan reintegrasi.
42
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Masalah Reintegrasi Politik dan Ekonomi Bila proses reintegrasi dimaknai sebagai proses pembauran mantan kombatan atau GAM dan korban konflik ke dalam masyarakat, maka peran pemangku kepentingan dalam mendorong terwujudnya proses ini masih belum maksimal. Masalahnya, apakah ini dikarenakan ketidaksungguhan para pemangku kepentingan dalam mendorong proses reintegrasi ataukah peliknya kendala yang dihadapi pemangku kepentingan, termasuk masalah keuangan yang harus dikucurkan pemerintah yang cenderung kurang lancar dalam mendukung proses tersebut. Atau ini karena masalah kurang mantapnya format yang dijadikan rujukan bagi BRA dalam melaksanakan tugasnya. Kedua masalah tersebut berujung pada ketidakpuasan para korban konflik/kombatan dan bahkan masyarakat umum yang menginginkan para pemangku kepentingan menjalankan tugasnya secara profesional dalam proses reintegrasi. Reintegrasi perlu didorong agar berbasis komunitas dan tidak sekadar berbasis wilayah geografis. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pemilahan program kerja BRA berdasarkan wilayah hanya memperumit masalah dan menghambat capaian reintegrasi dan rekonsiliasi. Oleh karena itu, BRA diharapkan bisa lebih adil dalam melaksanakan peran monitoringnya dalam proses verifikasi. Upaya memberikan pemahaman atau mensosialisikan makna atau esensi reintegrasi agar tidak diterjemahkan semata-mata sebagai konpensasi bagi korban konflik dan kombatan sangat diperlukan. Di tataran empirik terjadi pergeseran makna reintegrasi ke makna pemenuhan kompensasi ekonomi. Timbul pertanyaan materi apa yang telah disosialisasikan ke masyarakat Aceh sehingga proses reintegrasi lebih dimaknai sebagai penggantian rugi semata? Padahal proses reintegrasi memberikan makna yang lebih komprehensif ketimbang sekadar masalah kompensasi. Ini juga menyangkut masalah mentalitas dan rasa cinta negara. Bila reintegrasi dimaknai sebagai “pembauran kembali” mantan kombatan GAM kedalam aktifitas sosial kemasyarakatan, makna ini sudah menjadi landasan kuat mereka sejak lama. GAM yang semasa perjuangannya menerapkan metode gerilya dan menjadikan masyarakat sebagai benteng utama perjuangannya, telah berhasil mempertahankan eksistensi politik GAM selama 28 tahun di Aceh. Artinya, pembauran ini mengindikasikan bahwa pembauran GAM dan masyarakat tidak menemukan titik yang krusial karena GAM secara sosiologis adalah bagian dari masyarakat itu sendiri. Dalam tatanan masyarakat gampong di Aceh yang masih kental memiliki kekerabatan garis keturunan serta kekerabatan
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
43
perkawinan, menjadikan GAM sebagai bagian dari kekerabatan famili itu sendiri. Reintegrasi Aceh secara umum harus didefinisikan sebagai pembauran kembali masyarakat Aceh kedalam tatanan sistem politik dan ekonomi Indonesia setelah sekian lama mengalami degradasi kepercayaan dari masyarakat Aceh terhadap semua yang berbau Indonesia. Reintegrasi ekonomi politik secara yuridis formal telah memiliki landasannya sendiri melalui Undang-Undang Pemerintahan Aceh; yang meskipun tidak memberikan kepuasan yang mendalam, tapi sudah bisa diterima oleh masyarakat Aceh dengan catatan untuk melakukan perubahan yang lebih baik dikemudian hari. Sebenarnya semangat UU No. 11 Tahun 2006 (tentang Pemerintahan Aceh) adalah reintegrasi GAM dan masyarakat Aceh yang selama ini tidak memiliki saluran politik formal ke dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Pilkada 2006 di Aceh adalah indikator utama keberhasilan reintegrasi politik rakyat Aceh kedalam perpolitikan di Indonesia dimana Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar tidak lagi hanya menjadi monopoli atau perpanjang tangan elemen perlawanan di Aceh tetapi juga menjadi bagian dari pemerintahan pusat di Aceh. Hal ini juga terjadi pada tujuh Kabupaten/Kota yang dalam Pilkada yang lalu dimenangi oleh GAM. Hubungan seperti ini dalam kaca mata sosiologi politik sebenarnya sangat menguntungkan pemerintahan Indonesia, dimana memiliki “tangan-tangan” yang dipercayai dan dipatuhi oleh masyarakat Aceh. Namun, pandangan tersebut tidak menjadi landasan berpikir bagi semua kekuatan politik di Indonesia. Masih ada elemen politik yang melihat bahwa keistimewaan dan kekhususan yang dimiliki Aceh melalui UU No.11 Tahun 2006 adalah suatu yang berlebihan dan patut diwaspadai. Integrasi politik kedua pasca Pilkada akan terjadi melalui pembentukan Partai Politik Lokal (Parlok). Kecolongan pemerintah pusat dalam hal ini adalah pada perebutan otoritas penjabaran dan pemaknaan UU No.11 Tahun 2006 tentang partai lokal (Parlok) yang harus dijabarkan melalui Peraturan Pemerintah (PP). Tindakan politik ini dinilai sebagai signal ketidakpercayaan pemerintah pusat terhadap masyarakat Aceh untuk mengatur internalnya sendiri. Menurut tokoh-tokoh Aceh, sepatutnya peraturan rinci tentang Parlok cukup dilakukan melalui pembuatan Qanun oleh DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh). Pembuatan PP Parlok yang saat ini digodok oleh pemerintah masih memberikan indikasi kuat ketidakpercayaan mereka terhadap kepatuhan dan komitmen politik yang telah ditunjukkan oleh masyarakat Aceh. Kekhawatiran akan munculnya PP yang akan dikeluarkan oleh pemerintah akan menambah
44
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
ketidakpercayaan masyarakat Aceh terhadap pemerintah dan sistem politik Indonesia. Kondisi ini dikhawatirkan berpengaruh terhadap reintegrasi politik yang kemungkinan akan berjalan dengan tatanan yang keropos. Yang akan memperkokoh reintegrasi politik tidak hanya dimensi yuridis formal saja tetapi juga harus dibarengi oleh komitmen dan political will dalam segala bentuk dan aspek dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh. Hubungan yang hanya berlandaskan pada aspek yuridis formal biasanya akan bersifat normatif dan kaku bila tidak diimbangi dengan pola membantu dengan sungguh-sungguh untuk memajukan dan menyelesaikan kasus Aceh secara komprehensif. Undang-undang dan segala bentuk perangkat hukum lainnya adalah infrastruktur komitmen dan political will yang dapat ditiadakan dan diadakan sesuai dengan kebutuhan, berdasarkan komitmen dan political will pemerintah. Rumus utama dalam reintegrasi politik adalah semakin banyak campur tangan pemerintah pusat dalam mengatur perjalanan politik dan pemerintahan di Aceh, maka akan semakin membuka peluang kepada masyarakat Aceh bersatu dan menemukan perbedaan antara dirinya dengan pemerintah pusat. oleh karena iru, seyogyanya dibiarkan diversitas politik terjadi dengan sendirinya di Aceh. Peran pemerintah pusat hanya membantu. Tindakan jemput bola yang nantinya diperankan oleh pemerintah pusat juga dalam kaitan membantu dan bukan intervensi. Lepas dari bahasan reintegrasi politik, reintegrasi ekonomi adalah untuk memberikan peluang yang sebesar-besarnya kepada masyarakat Aceh, mantan kombatan GAM, korban konflik dan 62 persen masyarakat yang saat ini terpaksa hidup dalam garis kemiskinan. Pemerintah terlihat lalai dan terkesan terlambat dalam penangganan reintegrasi ekonomi ke semua pemangku kepentingan. Dimana-mana kesuksesan reintegrasi politik sangat ditentukan dari kesuksesan reintegrasi ekonomi. Pemerintah sangat terpaku pada jumlah 3000 mantan kombatan GAM, 6000 sipil GAM dan 63.000 korban konflik dengan mengandalkan pada jumlah uang dan dana yang dimiliki oleh BRA (Badan Reintegrasi Aceh) yang dari segi jumlah terlihat sangat sedikit dan tidak akan mencukupi. Sebagai Badan Pemerintah yang juga melibatkan unsur dari GAM, BRA telah menyalurkan bantuan ekonomi kepada 3000 mantan kombatan GAM dimana masing-masing menerima 25 juta rupiah. Untuk korban konflik, BRA akan mengalokasikan dana bantuan sebesar 70 hingga 170 juta melalui sistem basis kemasyarakatan untuk per-desa. Nominal tersebut sangat tergantung pada tinggi dan rendahnya eskalase konflik di masing-masing desa. Secara ekonomi, tampak ada keterpisahan konsepsional dimana
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
45
pemerintah tidak menjadikan pemberdayaan ekonomi korban konflik dan mantan kombatan sebagai bagian dari agenda pembangunan ekonomi daerah. Dalam hal ini pemerintah belum memiliki konsep apapun. Bantuan yang diberikan masih bersifat emergency response dan tidak menyentuh semua lapisan masyarakat korban konflik. Sepatutnya, pemulihan Aceh secara keseluruhan adalah bagian konkret dari pemulihan Aceh pasca konflik dan tsunami. Pendekatan yang dipakai haruslah pendekatan individual dan pendekatan kolektif yang berbasis pada landasan teritorial gampong/mukim serta sektor ekonomi yang akan dikembangkan. Contoh dari pembangunan yang berbasis kolektif adalah pembangunan sarana dan prasarana ekonomi rakyat melalui pembangunan jalan, irigasi, dan penyediaan lahan produksi. Sementara pendekatan individual adalah ketersediaan modal dan peningkatan sumberdaya manusia. Di daerahdaerah pasca konflik, misalnya, pembangunan yang akan dilakukan oleh pemerintah harus memberikan prioritas desa/komunitas yang paling besar terimbas oleh konflik, sehingga masyarakat korban dapat merasakan setiap pembangunan yang dilakukan pemerintah ataupun lembaga di luar pemerintahan adalah bagian dari reintegrasi masyarakat korban pasca konflik. Pembangunan ekonomi masyarakat korban harus diarahkan dalam bingkai pembangunan ekonomi raksasa di Aceh untuk menyahuti keterbukaan, globalisasi dan perdagangan regional sehingga pemerintah Aceh dalam pekerjaannya melakukan dua tugas sekaligus yaitu reintegrasi ekonomi dan pembangunan ekonomi makro yang berdampak pada peningkatan PAD. Tidak berjalannya reintegrasi secara baik di Aceh, dapat dilihat dengan jelas melalui peningkatan kriminalitas bersenjata api, illegal logging, dan pemerasan yang dilakukan oleh mantan kombatan GAM. Oleh karena itu, ke depan sangat diharapkan peningkatan peran semua pemangku kepentingan dalam menyukseskan proses reintegrasi. Sebab tanpa perannya yang maksimal dalam mendorong reintegrasi mantan GAM ke masyarakat, maka damai di Aceh hanya akan menjadi ilusi saja.
46
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
STRATEGI PENYELESAIAN KONFLIK ACEH Moch. Nurhasim Para ilmuan sosial telah memberikan satu kontribusi penting bagi upaya untuk menyelesaikan konflik. Secara teoretik hal ini telah dibahas oleh teori-teori konflik, khususnya resolusi konflik yang memberikan jalan bagaimana cara dan taktik untuk menyelesaikan suatu konflik. Namun, resep semacam itu tidaklah otomatis dapat diterapkan, karena dalam praktiknya, dibutuhkan inovasi-inovasi dan komitmen politik para aktor agar konflik dapat diselesaikan. Tanpa adanya kesadaran para aktor yang terlibat dalam konflik untuk menyelesaikannya, praktis konflik akan terus berlangsung dan terjadi. Pengalaman ini terekam dari perjalanan konflik Aceh dari waktu ke waktu hingga ditandatanganinya Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka.
Pengantar Bagaimana menyelesaikan konflik yang dipicu oleh kekecewaan politik, ekonomi, sosial dan budaya sebagaimana tergambar dari konflik Aceh. Konflik Aceh adalah perwujudan dari persoalan-persoalan yang multikompleks di masa lalu dan masa kini yang tidak diselesaikan secara bijak, sehingga memunculkan kelompok separatis yang disebut dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). GAM lahir dalam suasana deprivasi relatif sebagaimana disebutkan oleh Ted Gurr sebagai suatu akumulasi kekecewaan sebagian orang-orang Aceh terhadap kebijakan politik di tingkat pusat yang dimotori oleh Hasan Tiro. Dalam perkembangannya, ciri utama dari konflik tersebut adalah adanya aktor bersenjata –yaitu Gerakan Aceh Merdeka yang kemudian membentuk sayap militer bernama Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM), yang pada saat MoU Helsinki ditandatangani disebut sebagai Teuntara Neugara Aceh (TNA). TNA inilah yang kemudian dibubarkan pada 29 Desember 2006 sebagai kewajiban GAM untuk memenuhi butirbutir dalam perundingan Helsinki. Persoalannya adalah bagaimana strategi dan upaya untuk
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
47
mengintegrasikan GAM ke dalam Republik Indonesia? Apa langkah yang telah ditempuh dan sejauhmana peluangnya? Tulisan ini hendak menganalisis tiga pertanyaan tersebut dalam kerangka reintegrasi GAM ke dalam Republik Indonesia. Entry Point Penyelesaian Konflik: Persepektif Teoretik Untuk menyelesaikan konflik yang telah berlarut-larut dan dimensi konfliknya begitu kompleks seperti yang terjadi di Aceh, teori-teori konflik memberikan sejumlah rumusan. Salah satu teori yang populer adalah teori resolusi konflik khususnya transformasi konflik. Dalam pandangan John Burton, studi konflik memiliki dua fokus perhatian, yaitu pertama menjelaskan gejala konflik dan kekerasan di dalam masyarakat dan masyarakat dunia, guna menemukan pendekatan konstruktif untuk memecahkannya; kedua, memberikan penjelasan terhadap permasalahan konflik, untuk menemukan prinsip-prinsip dari proses dan kebijakan yang diturunkan dari suatu penjelasan mengenai konflik.1 Konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang persediannya tidak mencukupi, di mana pihak-pihak yang sedang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang diinginkan, melainkan juga memojokkan, merugikan atau menghancurkan lawan mereka.2 Maswadi Rauf membagi antara konflik sosial dan konflik politik. Menurutnya, konflik politik adalah bagian dari konflik sosial, hanya sumbersumbernya, dimensinya dan cakupannya yang berbeda. Tidak semua konflik sosial adalah konflik politik. Konflik politik berkaitan dengan penguasa politik dan/atau keputusan yang dibuatnya (keputusan politik). Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan pandangan tentang penguasa politik, perbedaan penilaian terhadap sumber-sumber kekuasaan politik yang dimiliki oleh penguasa politik, dan perbedaan penilaian terhadap keputusan politik.3 Konflik politik inilah yang terkait dengan masalah integrasi dan dapat menimbulkan masalah disintegrasi. Untuk menyelesaikan persoalan konflik tersebut, salah satu pendekatan yang muncul adalah pendekatan resolusi konflik. Resolusi konflik 1 2 3
John Burton, Conflic: Resolution and Prevention, (New York: The Macmillan Press Ltd, 1990), hlm. 3. K.J. Veeger, Realitas Sosial, (Jakarta: Gramedia, 1990), hlm. 211-212. Maswadi Rauf, “Konflik Politik dan Integrasi Nasional,” dalam Saafroedin Bahar dan A.B. Tangdililing, Integrasi Nasional Teori, Masalah dan Strategi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996), hlm. 80-82.
48
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
menekankan bahwa konflik yang sudah kompleks atau akut, khususnya konflik yang sudah pada tahap perang, perlu ditransformasikan sehingga dapat diselesaikan. Dalam pandangan Burton, resolusi konflik adalah upaya transformasi hubungan yang berkaitan dengan mencari jalan keluar dari suatu prilaku konfliktual sebagai suatu hal yang utama. Ada perbedaan antara resolusi konflik sebagai perlakuan (treatment) terhadap persoalan akar konlfik dengan resolusi konflik sebagai penanganan (seatlement) konflik dengan cara-cara paksa (coersion) atau dengan cara tawarmenawar (bargaining) atau perundingan (negotiation).4 Pendekatan pengelolaan dan penyelesaian konflik pada hakekatnya mendorong proses resolusi konflik dengan cara-cara di atas. Namun, menurut Lewis A. Coser, walaupun konflik oleh pendekatan Marxis dianggap gejala serba hadir dalam masyarakat, bukannya tidak dapat diselesaikan atau paling tidak dikendalikan. Upaya penyelesaian ini memiliki fungsi pengintegrasian, karena konflik memiliki sifat distruksi. Menurut Coser, ada enam (6) cara untuk penyelesaian konflik yakni:5 1. Menciptakan federasi (federation). Upaya ini dilakukan dengan memberi otonomi relatif kepada unit-unit yang ada. Ini berangkat dari faktor-faktor yang memungkinkan munculnya konflik, adanya heterogenitas, sehingga perlu federasi. 2. Mengubah hasil yang dikehendaki (altering the payoffs). Upaya ini dilakukan terutama terhadap ciri konflik yang menang-kalah (zero sum conflict) yang intensitasnya tinggi. Agar intensitasnya lebih rendah, struktur konfliknya harus diubah menjadi non zero sum conflict agar tercipta kompromi dan konsensus. 3. Memperluas sumber-sumber (expantion of recources). Cara ini dilakukan dengan memperluas sumber-sumber yang dipertentangkan. Perluasan ini diharapkan dapat meredakan konflik. 4. Memberikan bayaran tambahan (side payments). Pihak-pihak yang kalah dalam konflik diberi ”subsidi,” atau sejumlah kompensasi agar tidak tercipta oposisi politik. 5. Memperbaiki pola-pola komunikasi (improving communication patterns). Konflik seringkali menyebabkan penguatan terhadap masing-masing pihak. Agar konflik tidak selalu antagonistik, cara mengalihkan pola komunikasi yang bersifat antagonistik dapat dilakukan. 4 5
Burton, “Conflic: Resolution…,” hlm. 3. Lewis A. Coser, The Function of Social Conflict, (New York: Free Press, 1956), hlm. 157-161.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
6.
49
Mendefinisikan kembali konflik (redefining the conflict). Hal ini dilakukan terhadap konflik yang cenderung berubah dari konflik yang bersifat khusus ke konflik yang bersifat umum, maka konflik harus diarahkan pada hal-hal yang bersifat khusus, agar mudah penyelesaiannya.
Dari beberapa penjelasan tersebut di atas, separatisme di Aceh dapat dianggap sebagai konflik politik. Sementara perundingan yang ditempuh oleh RI dan GAM tergolong sebagai upaya untuk menyelesaikan konflik. Dalam penyelesaiannya, sebagaimana telah disebut bahwa resolusi konflik lebih menekankan pada penanganan dengan cara tawar menawar dan melalui suatu proses perundingan atau negosiasi. Untuk dapat mewujudkan hal itu, masing-masing kelompok yang bertikai harus mematuhi aturanaturan permainan tertentu sebagai kerangka penyelesaian sehingga memungkinkan adanya hubungan-hubungan sosial di antara mereka untuk menemukan pola penyelesaian. Pendekatan ini seringkali juga disebut sebagai langkah diplomasi. Dalam konteks ini, pendekatan diplomasi ditujukan untuk menghentikan perang dan kekerasan, dengan tahap-tahap sebagai berikut: (a) pencegahan konflik: mencegah perselisihan di antara kelompok-kelompok yang bertikai melalui pembenahan struktural, kelembagaan, ekonomi, dan budaya; (b) pencegahan eskalasi: mencegah baik eskalasi konflik vertikal dan horizontal agar tidak lebih memburuk dan mengundang aktor-aktor baru yang terlibat di dalamnya; dan (c) pencegahan pasca konflik: mencegah berulangnya konflik melalui reintegrasi dan rekonstruksi masyarakat yang telah tercabikcabik karena konflik.6 Tiga tahap ini dapat dikatakan sebagai tahap demobilisasi, disarmament dan reintegrasi. Demobilisasi adalah upaya untuk mengurangi kekuatan militer dalam konflik. Sedangkan disarmament adalah pengumpulan, pengawasan, dan pemusnahan senapan-senapan ringan, amunisi, bahan peledak dan senjata ringan dari para combatan. Setelah proses itu selesai barulah dilakukan tahap reintegrasi dan rekonstruksi. Dengan kata lain dua tahap di atas sesungguhnya adalah prasyarat bagi terciptanya peluang untuk melakukan proses reintegrasi baik secara politik, sosial, budaya maupun ekonomi. Reintegrasi dalam konteks resolusi konflik adalah sebuah proses yang kompleks yang meliputi transisi ekonomi, politik, sosial, dan psikologi dari kehidupan militer ke dalam kehidupan sipil. Reintegrasi sosial 6
Janie Leatherman, dkk, Memutus Siklus Kekerasan Pencegahan Konflik dalam Krisis Intranegara, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), hlm. 131-132.
50
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
adalah proses yang mendorong para combatant yang telah berhenti atau didemobilisasi dan keluarga mereka menyadari bahwa diri meraka adalah bagian dan diterima oleh komunitas di mana mereka tinggal dan masyarakat secara lebih luas.7 Selain itu, dalam teori resolusi konflik, tujuan dan cara-cara tindakannya juga jelas menggambarkan tiga perbedaan pendekatan, antara instrumen militer, ekonomi dan politik. Perbedaan tersebut tampak dalam tabel 1. di bawah ini: Tabel 1. Tujuan dan Cara-cara Tindakan Pencegahan Konflik8 Instrumen
Pembelahan Struktural
Legitimasi Kelembagaan
Ketegangan Budaya
Dinamika Eskalasi
Militer
Tidak valid (Not valid)
Tidak valid (Not valid)
Tidak valid (Not valid)
Ancaman dan Penggunaan Kekuatan (Threats and use of force)
Tidak valid (Not valid)
Tidak valid (Not valid)
Sanksi Ekonomi (Economic sanction)
Ekonomi Dukungan untuk perubahan (Support to reform) Politik
Tidak valid (Not valid)
Pembangunan Rekonsiliasi Kembali (Reconsiliation) Institusi (Rebuilding institutions)
Mediasi (Mediation)
Dalam pendekatan tersebut, upaya untuk mencapai kesepakatan dalam sebuah perundingan sehingga dapat mendorong tiga tahap di atas, acapkali menggunakan pihak mediasi yang berfungsi sebagai mediator. Teori-teori integrasi tidak mencakup hal ini, karena mediasi adalah bagian dari teoriteori konflik (resolusi konflik).
7 8
http://www.iss.co.za/static/templates/tmpl_html.php?node_id=42&link_id=25, diakses pada tanggal 2 Februari 2007. Ibid., hlm. 134.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
51
Dahrendrof yang mengutip Kerr menekankan bahwa hadirnya pihak ketiga amat penting dalam pengaturan pertentangan.9 Ada beberapa jenis peran pihak ketiga ini yaitu konsiliasi, mediasi, arbritasi (penindasan). Bentuk yang cocok dalam konteks penyelesaian separatisme di Aceh adalah mediasi, di mana kedua belah pihak yang bersengketa bersama-sama sepakat untuk menunjuk pihak ketiga dalam pengaturan pertentangan. Hadirnya pihak ketiga tersebut dapat berpotensi dua, menimbulkan konflik semakin besar, atau justru dapat meredakan konflik. Keberhasilan pihak ketiga yang berfungsi sebagai mediator tergantung pada kredibilitas dan peran yang dimilikinya, serta pendekatan yang digunakan. Pendekatan yang relevan adalah pendekatan bebas nilai (non-judgmental) yang didasarkan pada kepercayaan yang dimiliki pihak ketiga. Selain itu juga fleksibilitas yang berkaitan dengan kemampuan aktor pihak ketiga dalam upaya menyelesaikan masalah. Karena itu, mekanisme dan fleksibelitasnya serta independensi amat menentukan posisi pihak ketiga.10 Peran pihak ketiga ini menurut Kerr membawa lima akibat yang mengutungkan yaitu (1) mengurangi sikap irasional; (2) menyingkirkan sikap non-rasional; (3) menjajaki penyelesaian; (4) membantu kemunduran berlahan-lahan; dan (5) meningkatkan biaya pertentangan.11 Teori-teori penyelesaian konflik dan resolusi konflik di atas, khususnya yang membahas tentang peran pihak ketiga akan bermanfaat dalam menganalisis keberhasilan capaian konsensus normatif dalam perundingan antara RI-GAM, karena salah satunya dipengaruhi oleh peran pihak ketiga yang berfungsi sebagai negosiator dan mediator. Untuk menciptakan jalan konsensus, enam cara Coser tersebut di atas sangat membantu. Khususnya dalam mengubah konflik yang cenderung menang kalah (zero sum conflict) menjadi konflik menangmenang (non zero sum conflict). Konflik menang kalah adalah konflik yang antagonistik, sementara konflik menang-manang adalah situasi konflik dalam mana pihak-pihak yang terlibat di dalamnya mengadakan kompromi dan kerjasama, yang pada akhirnya dapat diselesaikan. Meskipun pada kenyataannya tidak ada yang menang-menang yang terjadi adalah solusi yang kalah-kalah (lose-lose solution). Karena itu, salah satu upaya yang penting adalah transformasi konflik. Dalam teori ini disebutkan bahwa konflik yang zero sum conflict, perlu 9
Ralf Dahrendrof, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri: Sebuah Analisa Kritik, (Jakarta: Rajawali Pers, 1986), hlm. 283-287. 10 Ibid., hlm. 157. 11 Dahrendrof, “Konflik dan Konflik…,” hlm. 283-287.
52
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
ditransformasikan sehingga kedua belah pihak memungkinkan untuk menjajaki penyelesaian dan terjadi proses “kemunduran berlahan-lahan,” dari tuntutan semula. Transformasi konflik diartikan sebagai upaya mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.12 Sedangkan pencegahan konflik bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui suatu persetujuan perdamaian, sementara pengelolaan konflik adalah upaya untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak yang terlibat, dan terakhir resolusi konflik adalah menangani sebab-sebab konflik.13 Masalahnya, bagaimana cara kerja sejumlah kerangka teoretik tersebut dapat dipraktikkan dalam bentuk tindakan-tindakan nyata untuk menyelesaikan konflik. Untuk itu, dalam tulisan ini ada baiknya, kita melihat praktik nyata dari pengalaman terjadinya perundingan Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Pendekatan Transformasi Konflik SBY-JK Untuk mengakhiri pertentangan bersenjata yang dilakukan oleh GAM, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK), khususnya JK memandang bahwa pendekatan transformasi dan pencegahan konflik lebih tepat sebagai strategi. Pendekatan ini bertumpu pada jalur dialog bukan cara kekerasan sebagaimana strategi yang dilakukan oleh pemerintahan Megawati Soekarno Puteri sebelumnya. Apa saja langkah yang ditempuh oleh JK sehingga perundingan dengan pihak GAM dapat terwujud? Harapan untuk penyelesaian Aceh muncul kembali setelah Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, menempuh cara damai untuk menghentikan perang dan merehabilitasi Aceh pasca tsunami. Bagaimanakah proses tersebut dapat berjalan, tentu bukan tanpa suatu persiapan. Ada pekerja perdamaian yang ditugaskan yang tersembunyi. Untuk mencapai hal itu, di mana kelompok separatis bersedia menerima kerangka konstitusi Republik Indonesia, sebagaimana tercermin dalam pembukaan kesapakatan antara RI-GAM yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 yang lalu, bukanlah sesuatu yang mudah. Untuk mencapai kesepakatan tersebut, pasti ada faktor-faktor yang mendorongnya di balik pencapaian konsensus normatif sebagaimana tertuang dalam MoU Helsinki. 12 S.N. Kartikasari, penyunting, Mengelola Konflik Ketrampilan & Strategi untuk Bertindak, cetakan pertama, (Jakarta: SMK Grafika Desa Putra, 2001), hlm. 7. 13 Ibid.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
53
A. Komitmen SBY-JK untuk Berdamai Komitmen elit politik, khususnya Presiden dan Wakil Presien –Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla menjadi salah satu faktor penting bagi terjadinya dialog antara RI-GAM di Helsinki sejak putaran pertama hingga kelima, hingga ditandatanganinya MoU Helsinki antara RI-GAM 15 Agustus 2005. Seandainya Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla tidak menjadi Presiden Republik Indonesia, jalan ceritanya mungkin akan lain. Mengapa ada asumsi demikian? Sebab komitmen elit politik amat penting bagi upaya untuk melakukan terobosan dan cara-cara alternatif bagi mengakhiri gerakan separatisme. Sebagaimana diketahui, Megawati Soekarno Puteri yang lolos dalam putaran kedua Pemilihan Presiden Langsung 2004, menempati urutan kedua perolehan suara. Bila Mega yang menang, dialog di Helsinki tidak akan dapat dilakukan. Ini dapat dilihat dari kontestasi Mega terhadap cara yang ditempuh oleh SBY-JK ketika perundingan Helsinki dilakukan dengan pihak GAM. Hal ini pula yang menyebabkan mengapa perundingan gagal untuk dirancang pada masa Megawati Soekarno Puteri, sebagaimana dijelaskan oleh Farid Husein. Menurutnya, sebenarnya kedua belah pihak sudah matang untuk melakukan pertemuan dialog, untuk mengakhiri darurat militer di Aceh, namun karena pada waktu itu pemilihan presiden secara langsung baru dilaksanakan, maka upaya ini ditunda.14 Artinya, seandainya SBY-JK tidak menang dalam pilpres tersebut belum tentu perundingan dengan pihak GAM dapat berlangsung. Mengutip kalimat Ahmad Farhan Hamid, yang mengatakan bahwa, ”kalau saya (Megawati) menjadi Presiden, orang-orang yang melakukan perundingan dengan pihak GAM akan saya jewer.”15 Hal ini menandakan bahwa Mega memang tidak setuju dengan cara yang ditempuh, karena dianggap membahayakan NKRI. Setelah Jusuf Kalla terpilih sebagai Wakil Presiden pada Pemilu Presiden Langsung 2004, babak baru perjanjian dengan pihak GAM dirintis kembali. Menurut juru runding RI, salah satu alasan dilakukannya 14 Informasi ini disampaikan oleh Farid Husein pada diskusi sehari di Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik bekerjasama dengan Deputi Bidang Politik Kantor Wapres di Hotel Santika Yogyakarta, 10 Maret 2007. 15 Komentar Ahmad Farhan Hamid, dalam diskusi sehari di Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik bekerjasama dengan Deputi Bidang Politik Kantor Wapres di Hotel Santika Yogyakarta, 10 Maret 2007.
54
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
perundingan adalah amanat dari TAP MPR RI No. VI/2002 yang menyebutkan penyelesaian Aceh secara bermartabat. Landasan inilah yang digunakan oleh Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono untuk menempuh perjanjian.16 Komitmen pemerintahan baru, SBY-JK dalam menempuh perjanjian damai di Aceh, tampak dari cara berfikir keduanya. Dalam sebuah makalah yang disampaikan oleh Jusuf Kalla mengatakan bahwa untuk menyelesaikan konflik Aceh harus dilakukan melalui memenangkan hati dan pikiran rakyat Aceh. Selain itu menurutnya, diperlukan keinginan politis dan komitmen yang kuat dari para pemimpin kedua belah pihak untuk berdamai. Perundingan damai harus dikedepankan yang meliputi empat hal yaitu kompromi dan fleksibelitas; kepercayaan dan ketulusan; pembahasan permasalahan yang nyata di lapangan; dan pemenuhan janji yang merupakan komponen paling vital dari perundingan yang berhasil.17 Bagaimanapun komitmen SBY-JK amat besar pengaruhnya bagi proses perundingan di Helsinki, karena secara politik merekalah yang menjadi faktor penentu dari proses integrasi politik di Aceh, khususnya dalam mendorong terjadinya perundingan sebagai pintu awal. Mengenai hal ini, dapat dilihat dari apa yang disampaikan oleh Farid Husein di bawah ini: ”...Dalam suatu kesempatan setelah tsunami, saya memasukkan secara rahasia Damien Kingsbury yang menjadi penasehat GAM ke Jakarta karena yang bersangkutan dicekal tidak boleh masuk ke Indonesia...Setelah bertemu dengan Jusuf Kalla, Damien mengatakan tidak bersedia membantu untuk menekan pihak GAM agar mau berunding.....Pak Jusuf Kalla mengatakan, ok kalau begitu, saya akan katakan kepada dunia bahwa yang membunuh rakyat Aceh adalah Anda, karena Anda tidak mau membantu untuk membujuk tokohtokoh GAM bersedia berunding....”18
Mengenai pertemuan Jusuf Kalla dengan Damien Kingsbury ini sebenarnya pernah dibantah oleh Wapres Jusuf Kalla dalam sebuah 16 Wawancara dengan juru runding dari pihak RI, Usman Basja di Jakarta, 1 Februari 2007. 17 M. Asruhin, “Penerapan Penyelesaian Konflik Model Aceh: Tantangan dan PosibilitasPerspektif RI terhadap Konflik di Sri Langka,” makalah disampaikan dalam acara Diskusi Sehari: Implementasi Model Aceh Sebagai Posibilitas Alternatif Terhadap Konflik di Sri Langka, Hotel Santika Yogyakarta, 10 Maret 2007 yang diselenggarakan oleh Kantor Sekretariat Wakil Presiden dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, hlm. 7. 18 Informasi ini disampaikan oleh Farid Husein pada diskusi sehari di Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik bekerjasama dengan Deputi Bidang Politik Kantor Wapres di Hotel Santika Yogyakarta, 10 Maret 2007.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
55
pemberitaan bahwa dirinya tidak melakukan pertemuan dengan Damien Kingsbury di Hotel Hilton. Dalam pemberitaan tersebut disebutkan: ”..... Wakil Presiden Jusuf Kalla membantah telah melakukan pertemuan dengan penasihat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berkewarganegaraan Australia, Dr. Damien Kingsbury di Hotel Hilton beberapa waktu lalu. Dalam jumpa pers seusai sholat Jumat di Istana Wapres, Jumat, Wapres menjelaskan bahwa sesuai dengan perintah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun Majelis Permusyarawaratan rakyat (MPR) dan kebijakan negara, bahwa penyelesaian di Nanggroe Aceh Darusalam (NAD), harus diselesaiakan dengan damai dan bermartabat. Yang namanya dialog harus berbicara dengan siapa saja, khususnya lawan. Kalau anda tidak berbicara dengan lawan itu namanya monolog, jadi kalau dialog itu harus dengan lawan bukan dengan kawan. Tapi saya tidak ke Hilton, itu persoalannya,” kata Wapres ketika ditanya soal pertemuannya dengan Damien Kingsbury. Sebelumnya dikabarkan bahwa Wapres Jusuf Kalla bertemu dengan penasihat GAM berkewarganegaraan Australia, Dr. Damien Kingsbury untuk menyelesaikan masalah Aceh. Disebutkan, di hotel tersebut Kingsbury bertemu dengan Jusuf Kalla, dan seorang pejabat dari Departemen Hukum dan HAM yang mewakili Menteri Hamid Awaluddin. Dalam pertemuan itu, GAM menuntut tiga hal, yaitu pertama, gencatan senjata, kedua, konsesi perkebunan (tanpa menyebut lokasi dan luas perkebunan), dan ketiga, uang senilai Rp 800 miliar. Soal kedatangan juru runding GAM di Jakarta itu, sebelumnya juga beredar melalui layanan pesan singkat (SMS) dan surat elektronik (e-mail). Kingsbury yang juga menjadi juru bicara pimpinan GAM di Swedia ini, selama di Indonesia dikabarkan tak kemana-mana. Ia langsung masuk ke hotel itu dan tanpa pernah ke luar dari kamarnya….”19
Dua kutipan di atas menggambarkan dua fenomena yang bertentangan, tetapi pada pernyataan pertama justru membenarkan bahwa wakil presiden pernah melakukan pertemuan dengan penasehat GAM. Perbedaannya adalah sifat rahasia dari pertemuan tersebut, karena memang ada kesepakatan tertentu dari pihak Jusuf Kalla agar GAM bersedia berunding dengan pihak RI. Isu bahwa GAM menuntut tiga hal, memang tidak terbuki, tetapi sebagaimana dijelaskan oleh Farid Husein bahwa tujuannya adalah agar pihak GAM bersedia duduk dalam meja perundingan. Gambaran di atas menunjukkan sejauhmana komitmen Jusuf Kalla untuk dapat berunding dengan pihak GAM. Bahkan, cara-cara untuk bertemu Damien, meskipun melalui orang kepercayaannya, menunjukkan sikap dan sense JK terhadap persoalan Aceh. Komitmen elit (khususnya 19 http://p3rirrwans.org/kliping/323.pdf.
56
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Wapres) dalam mengawal proses menuju Helsinki tersebut merupakan salah satu faktor penting bagi tahap penyelesaian Aceh secara damai. Atas dasar itulah, akhirnya Pemerintah RI melakukan strategi nonmiliter, membuka kembali perjanjian dengan pihak GAM yang sebelumnya mengalami kegagalan.20 Selain kedua faktor di atas, faktor lain yang mendorongnya adalah ketidakefektifan darurat militer di Aceh, karena hingga pelaksanaan darurat militer selama satu tahun (19 Mei 2003-18 Mei 2004) kekuatan GAM masih tetap eksis. Pernyataan Damien Kingsbury, ”while GAM has been demaged-walaupun GAM dihancurkan” karena darurat militer, ”it remains largley intact—ia secara keseluruhan masih utuh”21 merupakan kenyataan yang menjadi salah satu pertimbangan bagi Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Meskipun harus diakui pula akibat darurat militer sebagian besar kekuatan GAM terpojok, dan sebagian lain telah ditahan, sehingga hasil ini pun turut mendorong pihak GAM untuk memikirkan alternatif lain selain perang. B. Mendekati Pihak GAM Persiapan menuju perundingan di Helsinki-Finlandia antara RI dan GAM, bukanlah suatu persiapan yang taken for granted, sekali jadi, tetapi merupakan suatu proses yang panjang. Untuk dapat masuk ke lini utama aktor GAM, Jusuf Kalla menugaskan Farid Husein, orang kepercayaannya. Proses ini disebut sebagai proses mencari bibit perdamaian dalam rangka menumbuhkan trust building dengan pihak GAM. Hal ini dilakukan oleh Farid Husein sejak Mei 2003, ketika perundingan CoHA gagal Jusuf Kalla menugaskan orang kepercayaannya yang bernama Farid Husein untuk mencari alternatif bagi penyelesaian Aceh secara bermartabat dan berkeadilan. Jusuf Kalla pernah menawarkan sejumlah uang (mirip dengan strategi ekonomi dalam integrasi saat ini) kepada pimpinan GAM agar mereka mereduksi tuntutan politiknya.22 Namun langkah ini waktu itu 20 Sejak Pemerintahan Abdurrahman Wahid melakukan perjanjian dengan pihak GAM melalui Jeda Kemanusiaan I dan II yang kemudian diteruskan dengan CoHA (Cohession of Humanitarian Agreement) yang diteruskan oleh Presiden Megawati. CoHA yang difasilitasi oleh Henry Dunant Center (HDC) ini dihentikan secara sepihak oleh Pemerintah RI yang kemudian disusul dengan keluarnya Keputusan Presiden No. 28/ 2003 tertanggal 19 Mei 2003 tentang Peningkatan Status Keadaan Bahaya di Nanggroe Aceh Darussalam dengan tingkataan Keadaan Bahaya. Praksis pintu perjanjanjian (dialog damai) sudah tertutup dengan pihak GAM. 21 lihat dalam tulisan Damien Kingsbury berjudul “The Revolution of Indonesian Democracy,” dalam the Jakarta Post, 24 dan 25 September 2005. Damien Kingsbury adalah seorang penasihat GAM di Genewa yang berasal dari Australia. 22 Tempo, 23 April 2003.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
57
kurang efektif, karena keduanya tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan negosiasi dengan pihak GAM. Kesulitan untuk menyelesaikan separatisme Aceh setelah berlakunya darurat militer sejak 19 Mei 2003, akhirnya memunculkan inisiatif baru bagi Jusuf Kalla dengan cara bekerja di belakang layar (second track diplomacy) agar dapat masuk ke pusat pimpinan GAM dalam rangka melakukan komunikasi politik di satu sisi, dan di sisi lain untuk membangun kepercayaan. Cara yang ditempuh oleh dr. Farid Husein tercermin dari penuturannya berikut ini:23 ”....Menyelesaikan Aceh itu tahun 2003 bulan enam, saya dikasih petunjuk oleh Pak Jusuf Kalla-SBY, Farid coba kamu urusi itu Aceh bisakah kita duduk bersama, berbicara informal dengan tokoh-tokoh Aceh. Kalau Bapak tugaskan itu, Insya Allah saya berusaha, seperti yang kamu lakukan di Ambon dan Poso. Pada saat Ambon dan Poso saya jalan sendiri, mencari akar-akarnya, menebarkan benih-benih kedamaian, meninggalkan kursi dan jabatan, karena kalau kita menggunakan itu kita akan arogan. Mulailah jalan bulan 6 2003, setelah CoHA gagal....” 24
Empat tahap itulah yang dilakukan oleh Farid Husein dalam membantu penyelesaian Aceh. Tahap yang paling menentukan adalah tahap menanam bibit kedamaian yang dilakukannya sejak 2003-2005. Tahap ini dilakukan dengan cara mendatangi pihak-pihak yang disebut sebagai aktor GAM, mulai dari orang-orang Aceh di Jakarta, di Aceh, Singapura, Malaysia hingga di Genewa. Proses mencari bibit yang dilakukan oleh Farid Husein ini, akhirnya berhasil menemukan aktor-aktor GAM yang menggerakkan pemberontakan. Selain itu, Farid juga minimal dapat mengetahui siapa saja aktor yang perlu ditemui untuk diajak berdikusi tentang kemungkinan menyelesaiakan Aceh secara bermartabat. Menurutnya, aktor-aktor yang menggerakkan pemberontakan GAM ada lima kategori, yaitu: (a) kelompok think thank (intelektual GAM, mulai dari Jakarta, Aceh, hingga Australia); (b) civil society yang berada di Aceh; (c) Tentara Neugara Aceh, khususnya panglima-panglima perang GAM; (d) Perwakilan GAM di sejumlah tempat seperti di Denmark, Belanda, Singapura, dan Malaysia; dan (e) pemerintahan GAM yang bermarkas di Genewa.25 Untuk menyelesaikan masalah Aceh maka ia masuk ke seluruh lini GAM tersebut guna membangun komunikasi dengan pihak GAM. Diawali dengan cara mencari bibit-bibit nama-nama orang Aceh di Jakarta, 23 Ibid. 24 Ibid. 25 Ibid.
58
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
khususnya di Benhill di mana markas orang-orang Aceh berkumpul. Dari sanalah dia dapat menemukan siapa saja pihak-pihak yang mungkin harus didatangi olehnya hingga dapat masuk ke Pemerintahan GAM di Swedia. Semua informasi yang berkaitan dengan aktor pimpinan GAM di datanginya. Sebagai ilustrasi, ketika hendak menemui Malik Mahmud di Swedia, maka ia mendekati keluarganya, khususnya anaknya dan Saudaranya (Teungku Amir yang masih bujangan) yang tinggal di Singapura. Demikian pula, ketika Farid Husein ingin bertemu dengan tokoh GAM Zaini Abdullah, maka yang bersangkutan berangkat ke Aceh, menelusuri keluarga Zaini Abdullah yang masih hidup, khususnya ayah Zaini (Abu Abdullah) sebagai Ayah dari Zaini Abdullah.26 Secara teoretik, upaya ini dipahami sebagai second track diplomacy dalam teori-teori penyelesaian konflik, sementara dalam kontek untuk membangun integrasi politik, dalam kerangka Karl Deutzh yang dikutip oleh Ake disebut sebagai komunikasi sosial. Arti penting dari komunikasi sosial, dalam istilah Farid Husein sebagai ”pendekatan impersonal,”27 adalah bagaimana menciptakan dialog dengan pihak lawan, sehingga diketahui tuntutan-tuntutannya serta harapan-harapannya. Komunikasi politik inilah yang menjadi titik tolak untuk mendekati kelompok separatis.28 Dengan kata lain, komunikasi sosial yang dibangun oleh Farid Husein sebagai cara untuk mendekati kelompok-kelompok yang bersebrangan ternyata berguna untuk menerebos kebekuan hubungan antara pihak pemberontak dengan Pemerintah RI yang selama ini tidak pernah terjadi.29 Dalam proses menanam kepercayaan ini, cara yang ditempuh amatlah berat, karena semua tokoh yang berkaitan dengan GAM ditemuinya. Selama kurang lebih satu tahun, Farid membangun jaringan dengan menemui tokohtokoh GAM dari semua lini. Dengan cara seperti itulah, akhirnya Farid Husein dapat masuk dan diterima oleh pimpinan GAM di Swedia, sehingga ada kepercayaan terhadap dirinya. Modal inilah yang dimiliki oleh juru runding RI khususnya yang dibangun oleh orang kepercayaan Jusuf Kalla (Farid Husein), yang telah kenal dan dikenal serta dipercaya oleh pihak GAM dari seluruh lini, sehingga mempermudah jalur ke Helsinki. Dari lika-liku proses untuk membangun kepercayaan dengan pihak GAM di atas, dapat digaris bawahi bahwa proses trust building adalah 26 27 28 29
Ibid. Ibid. Ake, “A Theory of Political…,” hlm. 13-14. Informasi ini disampaikan oleh Farid Husein pada diskusi sehari di Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik bekerjasama dengan Deputi Bidang Politik Kantor Wapres di Hotel Santika Yogyakarta, 10 Maret 2007.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
59
suatu proses yang amat penting sebagai sebuah bagian dari komunikasi sosial dan politik dengan kelompok separatis. Melalui pendekatan ini, minimal dapat dipetakan tiga hal yang amat berguna dalam mengupayakan konsensus normatif dengan kelompok separatis, yaitu: pertama, melalui komunikasi sosial, atau komunikasi personal, dapat dipetakan tuntutan politik kelompok separatis, respon dan pemikiran kelompok separatis terhadap sejumlah langkah yang pernah ditempuh oleh Pemerintah RI, sikap politiknya, dan harapan-harapan kelompok separatis; kedua, adanya komunikasi personal antara pihak yang memberontak dengan Pemerintah RI sehingga masing-masing pihak saling memahami pemikiran dan solusi yang mungkin berguna dikemudian hari apabila akan terjadi perundingan; dan ketiga, adanya kepercayaan antara pihak-pihak yang saling berseteru. C. Mendisain Negositor yang Dipercayai Untuk menuju ke Helsinki, selain karena sudah ada pihak Pemerintah RI yang dapat menembus lini gerakan separatis, juga ditentukan oleh pilihan strategi pemerintah dalam menggunakan pihak ketiga sebagai negosiator. Upaya ini dibangun oleh Farid sejak pertemuannya dengan Juha Christensen (Interpeace organization) pada 2003. Melalui Juha inilah, akhirnya dapat ditentukan kira-kira organisasi apa yang mungkin dapat digunakan sebagai mediator, dan pembagian peran antara Farid dan Juha. Pilihan terhadap Martti Ahtisaari dengan lembaganya bernama Crisis Management Initiative (CMI), bukanlah suatu kebetulan, tetapi telah dirancang sebelumnya oleh para perancang perundingan RI. Hampir selama satu tahun lamanya Martti Ahtisaari berkomunikasi dengan Jusuf Kalla dalam mencari celah untuk perdamaian di Aceh melalui telpon. Artinya, diantara pihak RI dengan CMI, khususnya dengan Martti Ahtisaari telah ada komunikasi sebelumnya. Karena itu, fungsi komunikasi personal dalam mempersiapkan pihak mediator yang akan mengatur perundingan amat menentukan berhasil tidaknya jalannya perundingan. Pada 23 Desember 2003, Farid Husein bertemu dengan Juha Christensen,30 sehingga ada titik temu tentang bagaimana mempersiapkan kondisi apabila sewaktu-waktu akan terjadi perundingan. Sementara itu, Juha sendiri sebagai pekerja di bidang perdamaian dari Interpeace organization, sejak 2000 telah mendalami persoalan Aceh, dan baru pertama kali berkunjung ke Aceh pada Oktober 2002. Setelah pertemuan dengan Juha, terjadilah pembagian tugas di antara mereka. Farid bertugas untuk mempersiapkan pihak RI dalam mendorong terjadinya perundingan, dan Juha ditugaskan 30 Juha Christensen adalah salah seorang staf di Interpeace Organization.
60
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
untuk melakukan lobi dengan Martti dan pihak pimpinan GAM di Stock Holm, sementara Farid melakukan koordinasi ke dalam.31 Pihak GAM didatangi oleh Juha Christensen beberapa kali. Menurut penuturan Nur Dzuli sekitar enam kali. Pada awalnya, pihak GAM masih menghendaki agar Henry Dunant Center (HDC) yang menjadi mediator, namun karena Juha Christensen tidak mengenal lelah untuk melobi Malik Mahmud agar CMI yang menjadi mediator, akhirnya pihak GAM bersedia dengan sejumlah syarat. “….Jadi begini pak, ketika perundingan di Tokyo itu gagal, kan terjadi darurat militer. Seminggu setelah itu datang Juha Christensen dari SMI-Stokcholm meminta supaya dia new mediator, tetapi pada waktu itu kita masih mengharapkan HDC yang memainkan peran. Mereka yang datang ini diterima oleh Teungku Malik secara sopan. Tetapi sebulan sekali dia datang lagi, dua bulan, tiga bulan datang terus menawarkan diri sebagai mediator. Juha ini gigih, ngotot, dan terus melobi, dan orangnya juga baik, dan itu berlangsung mungkin selama enam bulan….”32 “….Kami mau berunding dengan tiga syarat, pertama dilepaskannya tahanan perunding kami yang dulu. Aneh, maaf cakap sudah diajak berunding tapi ditangkap. Dalam perjalanan di dalam mobil HDC ditangkap pada saat akan ke airport, jadi tinggal expert kita pak Sofyan Ibrahim Tiba yang meninggal karena tsunami. Jadi kita minta dilepaskan. Kedua, perundingan mesti di Genewa, dan mesti ada mediator. Ketiga adalah penarikan mundur tentara organik secara tegas. Kalau tidak ada persyaratan tersebut, kami katakan tidak ada perundingan…”33
Dipilihnya CMI (Crisis Manajemen Initiative) oleh pihak RI bukanlah tanpa alasan. Salah satu alasannya, karena Marti Ahtisaari memiliki kesepahaman dengan pihak RI, bahwa dalam menyelesaikan Aceh konsep yang mungkin digunakan adalah konsep otonomi khusus. ”...Pertemuan awal di Helsinki terjadi dengan pemahaman bahwa pihak GAM datang ke Helsinki karena telah menyetujui perundingan dalam kerangka penerimaan otonomi khusus sebagaimana telah ditegaskan oleh mantan Presiden Ahtisaari...”34 31 Juha Christensen dalam diskusi sehari di Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik bekerjasama dengan Deputi Bidang Politik Kantor Wapres di Hotel Santika Yogyakarta, 10 Maret 2007. 32 Wawancara dengan M. Nur Dzuli di Banda Aceh 30 Juni 2007. 33 Ibid. 34 Jawaban wawancara tertulis dengan Usman Basja yang diserahkan kepada penulis pada 27 Januari 2005, sebagaimana dalam lampiran tesis ini.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
61
Salah satu pertimbangan kenapa Ahtisaari dipilih karena dalam pandangan RI, ada persepsi bahwa Martti setuju dengan konsep otonomi khusus sebagai kerangka penyelesaian separatisme di Aceh. Selain pertimbangan tersebut, reputasi Martti sebagai mantan presiden juga turut mempengaruhinya. Selain itu, dengan melibatkannya, diharapkan dukungan negara-negara Uni Eropa akan diperoleh oleh Indonesia dalam menyelesaikan Aceh secara damai.35 Selain itu, keberadaan pihak GAM yang ada di Swedia diharapkan dapat ditemui dan dilobi oleh Martti, sehingga ada kepercayaan pihak GAM terhadap pihak negosiator. Senada dengan hal itu sebagaimana ditulis oleh Iskandar Zulkarnain, bahwa tingkat kepercayaan GAM terhadap CMI sangat membantu mengapa perundingan dapat berlangsung. “....CMI merupakan sebuah NGO internasional yang bergerak dalam bidang resolusi konflik yang berlokasi di pusat Kota Helsinki, Finlandia yang berdiri pada tahun 2000. Tujuan lembaga ini adalah membantu masyarakat internasional untuk keluar dari krisis internasional mulai dari isu kemanusiaan sampai dengan soal keamanan dan pembangunan. Lahan kerjanya tidak hanya di Eropa, tetapi juga sampai ke Afrika. Keuntungan dari CMI adalah ia memiliki Martti Ahtisaari sebagai Ketua Dewan Direktur yang juga mantan Presiden Finlandia. Posisi Ahtisaari ini menjadikan CMI dapat bergerak tidak hanya di jalur track two atau un-official diplomacy yang lazim digunakan oleh NGO, tetapi juga, dengan pengalaman, pengaruh dan statusnya sebagai mantan presiden, ia mampu menembus dan memasuki track one atau official diplomacy. Keberhasilannya dalam merangkum dua jalan tersebut membuatnya bisa diterima baik oleh GAM maupun RI sebagai jalan tengah atas kemungkinan sulitnya PBB atau ASEAN untuk masuk ke wilayah konflik di Aceh sehingga netralitasnya dapat terjamin. Dengan pengalaman dan pengaruhnya, ia mampu menekan organisasi antar negara (Eropa dan ASEAN) untuk terlibat dalam monitoring perdamaian. Ahtisaari sadar, titik paling sulit dalam persoalan damai konflik internal adalah masalah implementasi. Implementasi menjadi sulit karena keengganan negaranegara besar untuk terlibat di dalamnya...”36
Dari kutipan di atas, persoalan independensi atau netralitas bagi GAM amat penting, sementara bagi pihak RI, kepercayaan bahwa Martti tidak mendorong masalah Aceh menjadi agenda PBB (ada proses 35 Juha Christensen dalam diskusi sehari di Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik bekerjasama dengan Deputi Bidang Politik Kantor Wapres di Hotel Santika Yogyakarta, 10 Maret 2007. 36 Lihat Iskandar Zulkarnaen, “Peran Pihak Ketiga dalam Penyelesaian Konflik Di Aceh; Analisa Kegagalan Hdc Serta Prospek Damai Mou Helsinki,” dalam http:// www.acehinstitute.org/tulisan_iskandar_z_peran_pihak_ketiga.htm
62
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
internasioanalisasi) merupakan salah satu prasyarat mengapa organisasi ini yang dipilih, sebagaimana telah dijelaskan oleh salah seorang juru runding RI di atas, bahwa Martti sepemikiran dengan RI dalam menyelesaikan Aceh melalui kerangka otonomi khusus. Jalan Menuju Helsinki: Faktor SBY-JK dan GAM Dari gambaran di atas dapat dianalisis bahwa rute perundingan Helsinki adalah rute political underground yang dibangun oleh SBY-JK sejak awal masa pemberlakukan darurat militer di Aceh. Rute itu berakhir di meja perundingan antara RI dan GAM. Dari gambaran di atas, dapat dianalisis bahwa keadaan internal kedua belak pihak, khususnya setelah SBY-JK terpilih dan terjadinya tsunami di Aceh yang mempercepat kedua belah untuk mendiskusikan kebuntuan hubungan antara RI-GAM yang telah berlansung hampir 33 tahun. Mengutip tulisan Rizal Panggabean, penulis sepakat bahwa terdapat keadaan internal yang menggambarkan faktorfaktor kedua belah pihak yang turut mempercepat rute political underground yang telah disiapkan oleh SBY-JK sebelumnya. Tabel 2 Keadaan Internal: Sejumlah Faktor yang Mempengaruhi Pemerintah RI dan GAM untuk Menyelesaikan Konflik Aceh melalui meja Perundingan37 Faktor
Pemerintah Indonesia
Kepentingan elit Bagi Jusuf Kalla, perundingan sesuai pengambil keputusan dengan janji pemilu, dan selaras dengan komitmen personal yang ditunjukkan sebelumnya dalam konflik Maluku dan Sulawesi Tengah.
Gerakan Aceh Merdeka Tim GAM yang berunding dengan pihak Indonesia memutuskan perundingan selaras dengan usaha mencapai paling tidak, sebagian dari cita-cita perjuangan GAM.
Kepentingan faksi dan Militer memilih memihak kebijakan Melalui proses belajar, faksi yang kelompok dominan pemerintah termasuk berunding berunding dengan Pemerintah dengan GAM. Indonesia memutuskan bahwa perundingan dapat membuka tercapainya sebagian dari cita-cita GAM. 37 Tabel ini dibuat oleh Rizal Panggabean, “Kemungkinan Penerapan Penyelesaian Konflik Model Aceh di Sri Lanka,” dalam Diskusi Implementasi Model Aceh Posibilitas Alternatif terhadap Konflik di Sri Lanka yang diadakan oleh Sekretaris Wakil Presiden Republik Indonesia Biro Hubungan Internasional, Deputi Politik dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Hotel Santika, Yogyakarta, 10 Maret 2007.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
63
P e r i m b a n g a n Ada perlawanan pada awalnya dari kekuatan-kekuatan DPR dan beberapa spoilers potensial tetapi dapat dibujuk, politik internal diyakinkan, atau ditekan oleh Presiden dan Wapres.
Pimpinan GAM yang berunding tidak mengikujti garis keras Hasan Tiro selama ini. Pimpinan GAM yang pro-perundingan unggul atas garis keras Hasan Tiro yang tua sekali dan sakit.
Tingkat & lama Komitmen terhadap kemenangan komitmen terhadap berkurang; ada proses decommitment dan, sebaliknya, “kemenangan” dukungan terhadap proses perundingan.
Pimpinan GAM yang berunding dengan Pemerintah Indonesia merasa bahwa strategi perjuangan bersenjata paling-paling hanya mencapai jalan buntu.
Keutuhan internal dan Relatif bagus sepanjang tingkat kontrol menyangkut perundingan. Dengan dukungan Presiden, Wapres secara pemimpin pribadi mengendalikan proses perundingan.Militer dan polisi menahhan diri sehingga tidak mudah terprovokasi atau secara terbuka menuduh GAM melakukan pelanggaranpelanggaran pasca kesepakatan.
Pimpinan GAM yang berunding merasa dipercaya dan dapat mengendalikan unsur-unsur GAM Irwandi Yusuf meminta mantan GAM tidak lagi memungut pajak Nanggroe, dan meminta supaya tindakan seperti ini dilaporkan.
Tingkat dukungan Kuat, baru saja memenangi Pemilu demokratis pada terhadap pemimpin yang 2004.Presiden dan khususnya Wapres bersedia “menjual” kesepakatan MoU kepada parlemen, militer, dan pihak-pihak yang belum menerima, sehingga konstituen perdamaian tercipta dalam tempo singkat.
Pimpian GAM dipengungsian dan di dalam tahanan, anggota GAM di lapangan dan kelompok yang menggunakan GAM sebagai bungkus tindak kriminal menunjukkan sikap kompak sepanjang menyangkut negosiasi dan MoU.
64
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Dari gambaran tabel di atas, maupun dari strategi dan langkah yang ditempuh oleh SBY-JK di atas, khususnya dalam komitmen politik, mencari bibit perdamian dan mencari pihak ketiga yang dapat dipercaya sebagai negosiator maupun sejumlah faktor yang mempengaruhi sehingga pihak GAM percaya dengan Indonesia, sesungguhnya SBY-JK telah mempraktikkan pendekatan transformasi dan pencegahan konflik. Dari kerangka transformasi konflik, MoU Helsinki menerapkan prinsipprinsip demokrasi sebagai jalan. Bahwa perundingan dapat dicapai, apabila sejumlah prinsip disepakati oleh kedua belah pihak sebagai perwujudan dari kepentingan antara Pemerintah RI maupun GAM tanpa ikatan maupun paksaan. Kerangka demokrasi sebagai jalan bagi penyelesaian konflik Aceh selain menjadi aturan main dalam perundingan juga munculnya tuntutan demokrasi lokal –dengan adanya parpol lokal dan self-goverment oleh GAM sebagai prasyarat untuk perjuangan bagi cita-cita politik mereka. Gambaran perundingan di bawah ini menggambarkan bagaimana dinamika dan agenda yang dibicarakan oleh kedua belah pihak sekaligus representasi atas kepentingan para pihak yang berunding.
Dinamika Pertemuan
1. Pertemuan hari pertama mendekati dead lock (jalan buntu), karena kedua belah pihak tetap pada posisi dasar mereka, menuntut posisi yang menjadi perjuangannya.1 2. Belum ada kesepakatan apapun dalam perundingan tahap pertama.
1. Terjadi deadlock, bahkan juru runding RI akan meninggalkan pertemuan, karena mereka sudah memesan tiket ke Jakarta. 2. Martti Ahtisaari sebagai juru runding marah atau kecewa terhadap pihak GAM yang masih menuntut kemerdekaan. Pada hari kedua, terjadi perubahan sikap GAM yaitu: 1. Bersedia menanggapi/ membahas posisi dasar Pemerintah RI dan agenda pertemuan lainnya. 2. Menanggapi substansi Otonomi Khusus yang dipaparkan juru runding RI 3. Meminta tanggapan terhadap wacana “self-goverment.”
Respon Pihak GAM
POSISI DASAR PIHAK GAM: Menolak tawaran otonomi khusus, tetap mengajukan konsep “self-determination,” atau kemerdekaan.
Pada putaran II ini posisi GAM adalah: 1 1. GAM tidak bersedia menggunakan terminologi otonomi khusus, menuntut pemberlakukan status quo untuk peluang penyelesaian baru. 2. Menuntut pemberlakukan cease fire dan menghadirkan polisi internasional serta menuntut Aceh sebagai “demilitarized zone.” 3. Meminta pembebasan semua tahan politik. 4. Masalah Aceh adalah masalah Internasional. Pihak GAM, khususnya Nurdin Abdul Rahman dan Damien Kingsbury telah menyiapkan tiga program sebagai agenda utama pihak GAM dalam konsep selfgovernment.
Gagasan Pemerintahan SBY-JK
POSISI DASAR PIHAK RI: 1. Penyelesaian Aceh melalui otonomi khusus. 2. Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Bersifat informal (dan tidak ada internasionalisasi).1
1. Pihak Indonesia melakukan protes atas pelibatan 2 orang warga negara Australia sebagai “advisor” GAM yaitu Damien Kingsbury dan Vacy Vlazna. 2. Protes atas serangan terhadap satuan Zeni TNI-AD yang melaksanakan tugas kemanusiaan. 3. Posisi Indonesia tetap sama menegaskan bahwa penyelesaian Aceh melalui otonomi khusus. 2
Babak Pertemuan
Putaran Pertama (28-31 Januari 2005)
Putaran Kedua (21-23 Februari 2005)
Hasil Kesepakatan
Pihak CMI sebagai negosiator khususnya Martti Ahtisaari kecewa dengan pihak GAM (bahkan sempat gusar) dan menekan agar pihak GAM bersedia berunding dalam kerangka otonomi khusus yang ditawarkan. Mulai ada kepercayaan dengan berbagai pihak, sehingga pada putaran hari kedua, format perundingan diubah dengan menggunakan bahasa Melayu yang difasilitasi oleh Juha Cristensen.2
Hingga akhir putaran kedua ini belum ada kesepakatan apa-apa antara RI dan GAM. Yang muncul adalah kesediaan GAM mempelajari usulan kerangka otonomi khusus pihak RI dan adanya pembicaraan atas wacana selfgovernment.
Ketika situasi hampir mengalami Belum ada hasil yang jalan buntu, CMI—Marti disepakati pada putaran I. Artikaasari memberikan solusi: Pembicaraan dimulai dari aspek yang ringan-ringan terlebih dahulu, tidak mencakup substansi dari tuntutan kedua belah pihak.1
Solusi CMI
Tabel 3. Ringkasan Proses dan Dinamika Pembicaraan Damai antara RI-GAM
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
65
38 39 40 41 42 43
Belum ada kesepakatan tentang substansi selfgovernment, dan Masalah partai politik lokal masih menjadi titik krusial perundingan.
Agenda pembicaraan adalah penarikan mundur kekuatan bersenjata kedua belah pihak, pengaturan pemberian amnesti dan kompensasi ekonomi untuk GAM. Pada pertemuan ini draft Memorandum of Understanding (MoU) telah dibuat dan disepakati oleh kedua belah pihak. Namun, dari dinamika yang terjadi, tampak menonjol bahwa persoalan partai politik lokal merupakan agenda yang paling rumit dan masih belum memperoleh persetujuan dari Pemerintah RI. Perundingan bahkan sempat berhenti selama hampir tiga jam, baru setelah ada kepastian dari Jusuf Kalla mengenai masalah partai lokal perundingan dapat berjalan kembali hingga pada hari terakhir.
Perundingan tahap kelima dalam membahas draft MoU yang disusun oleh CMI hampir deadlock, berada pada titik kritis, karena perbedaan mengenai tuntutan GAM atas partai politik lokal yang masih belum disetujui oleh Pemerintah RI.
Hasil kesepakatan adalah adanya penyempurnaan draft MoU yang disusun oleh CMI yang telah diparaf oleh kedua belah pihak untuk ditandatangani pada Agustus 2005.
CMI menyusun proposal dan agenda yang akan menjadi draft untuk dibicarakan dalam perundingan tahap terakhir (kelima). Agenda-agenda pembicaraan inilah yang kemudian menjadi draft awal MoU Helsinki dari CMI.
Pihak CMI menawarkan untuk menyusun draft MoU yang akan menjadi agenda pembicaraan pada putaran perundingan berikutnya (terakhir).
Terhadap otonomi khusus dan self-government belum ada kesepakatan substansial, tetapi terhadap isu-isu keamanan, keuangan dan ekonomi, ouside monitoring telah ada titik temu antar kedua belah pihak. Masalah partai politik lokal masih menjadi titik krusial perundingan.
Ibid. Ibid. Ibid. Wawancara tertulis dengan Usman Basja salah seorang juru runding, 27 Maret 2007. Ibid. Usul ini ditawarkan oleh Juha kepada Martti, dan Martti mengatakan kepada para juru runding, bahwa dalam pertemuan selanjutnya akan menggunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa pembicaraan apabila kedua belah pihak menghendakinya. Sebagai gantinya, pimpinan sidang akan diambil alih oleh Juha Christensen dan Marrti akan memantau jalannya perundingan.
Putaran Kelima (12-17Juli 2005)
Tahap Antara
Pembahasan sudah mulai melunak dengan mulai adanya pembahasan masalah “partisipasi politik dan keamanan “by rebels” dalam kerangka “self-government.”Masalah yang paling alot untuk dibahas adalah persoalan penerjemahan self-government, khususnya mengenai partai politik lokal.
Putaran Keempat (26-31 Mei 2005)
Wacana perubahan selfdetermination menjadi selfgovernment sudah dimunculkan oleh pihak GAM sebagai jalan bagi penyelesaian Aceh.
Pada putaran ketiga ini, kedua belah pihak sepakat meninggalkan terlebih dahulu konsep otonomi khusus dan selfgovernment, tetapi membicarakan agenda-agenda yang lebih memungkinkan bagi Aceh masa depan seperti partai politik, keuangan dan perdagangan, perpajakan, security agreement, amnesti, demobilisasi dan pelanggaran HAM, dan outside monitoring.
Putaran Ketiga (12-16 April 2005)
66 Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
67
Tabel 3 di atas menggambarkan beberapa hal. Pertama, awalnya antara GAM dan RI sebenarnya masih belum saling mempercayai, ketika putaran pertama perundingan dimulai. Ini maknanya, meskipun telah ada rute political underground yang dilakukan oleh Farid Husein, tampaknya sekat politik antarkedua belah pihak masih cukup tinggi. Kedua, suasana relatif mencair ketika pihak GAM relatif menurunkan tuntutan kemerdekaan, digantikan dengan self-government, menggantikan konsep otonomi khusus yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia pada perundingan putaran kedua. Seandainya GAM masih bersikukuh dengan permintaan kemerdekaan pada perundingan putaran kedua, tentu sudah berdampak fatal, perundingan tidak mungkin dapat dilanjutkan. Karena pada saat perundingan putaran kedua mengalami deadlock, delegasi RI yang berunding sudah membeli tiket dan akan berangkat ke Jakarta. Namun, akibat kepiawaian dari Martti Ahtisaari sebagai negosiator dia memberikan jalan keluar dengan memberikan konsep self-government kepada pihak GAM sebagai jalan untuk mencapai cita-cita politiknya. Ketiga, tabel di atas memberikan gambaran sejauhmana komitmen SBY-JK, khususnya Jusuf Kalla dalam mengikuti detik per detik pelaksanaan perundingan Helsinki dan dapat memberikan solusi akibat jalan buntu yang terjadi dalam perundingan, sebagaimana terjadi para putaran kelima, ketika delegasi GAM tidak bersedia melanjutkan perundingan apabila partai lokal tidak disetujui sebagai salah satu poin dalam partisipasi politik. Oleh karena itu, meskipun para delegasi yang dikirimkan untuk berunding sebagian adalah berstatus menteri, namun kewenangan mereka tetaplah terbatas. Seandaianya Jusuf Kalla tidak memberikan partai lokal bagi GAM tentu perundingan antara RI dan GAM tidak akan pernah terjadi. Makna yang dapat dipetik adalah dalam upaya menyelesaikan konflik seperti di Aceh, komitmen elit politik yang memegang kekuasaan (terutama presiden dan/atau wakil presiden) amatlah penting dan mendasar. Oleh sebab itu, perundingan sebagai jalan untuk mengakhiri konflik membutuhkan keseriusan dan komitmen pemimpin politik yang memerintah. Catatan Penutup Dari rangkaian bagaimana menyelesaikan konflik baik secara teoretik maupun praktis di atas, dapat disimpulkan bahwa cara kerja teori transformasi dan pencegahan konflik membutuhkan kesiapan para aktor yang terlibat dalam rute negosiasi untuk saling mengendurkan tuntutan. Proses dialog akan berjalan lancar apabila kedua belah pihak menarik satu langkah tuntutan awal mereka sebagai posisi dasarnya. Tanpa ada perubahan
68
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
posisi dan tuntutan maka dialog dan perundingan akan mengalami kegagalan. Faktor lainnya adalah perlunya kepercayaan kedua belah pihak yang berunding, ibarat tidak ada dusta diantara mereka. Metode ini yang ditawarkan oleh CMI bahwa dalam perundingan mereka dapat membicarakan apa saja tanpa takut dan tidak ada kewajiban untuk menyepakatinya menjadi butir-butir perundingan apabila masih ada keberatan salah satu pihak. Cara ini dipandang efektif dalam menyiasati beberapa persoalan yang pelik, khususnya mengkompromikan dua tuntutan dasar otonomi khusus di satu sisi dan self-determination di sisi yang lain sebagaimana tampak pada tabel 3 di atas. Dengan kata lain, perundingan membutuhkan kesiapkan para aktor dan komitmen mereka untuk mengakhiri perang bersenjata melalui pena dan kerta serta argumentasiargumentasi dalam perundingan untuk kemenangan kedua belah pihak, bukan untuk saling menjatuhkan dan mengalahkan. Inilah pengalaman dari perundingan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka yang terkenal dengan perundingan Helsinki.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
69
PRAKTIK REINTEGRASI GERAKAN ACEH MERDEKA KE DALAM REPUBLIK INDONESIA1 Moch. Nurhasim
Banyak pihak berharap bahwa konflik Aceh dapat dituntaskan melalui sejumlah program reintegrasi yang dijalankan oleh Pemerintah Pusat umumnya dan Badan Reintegrasi Aceh Damai khususnya. Namun dari praktik di lapangan, tampak reintegrasi yang dijalankan masih sebatas untuk memenuhi butir-butir yang termaktub dalam perundingan Helsinki, belum dalam pengertian integrasi yang sesungguhnya. Dari sejumlah program reintegrasi yang telah dilakukan, di satu sisi memberikan harapan positif, namun di sisi lain peluang disintegrasi dapat timbul apabila praktik program-program reintegrasi hanyalah berkutat pada persoalan ekonomi semata, tidak dibarengi oleh perbaikan kualitas kesejahteraan sosial dan perbaikan demokrasi politik di Aceh. Oleh karena itu, penting artinya komitmen dan pengawalan Pemerintah Pusat atas masalah integrasi di Aceh, sebagai jalur untuk menyelesaikan persoalan konflik yang telah berlangsung cukup lama dan agar tidak terulang kembali.
Oleh karena itu, integrasi adalah suatu proses secara utuh. Proses ini membutuhkan waktu yang relatif lama. Artinya, integrasi bukanlah suatu proses taken for granted, begitu kesepahaman antara RI-GAM ditandatangani maka secara otomatis integrasi akan dapat diwujudkan. Dibutuhkan sejumlah instrumen agar integrasi dalam pengertian pembauran dapat terwujud. Karena itu sejumlah faktor baik internal dan eksternal turut mempengaruhi percepatan integrasi GAM ke dalam Republik Indonesia.
1
Tulisan ini merupakan modifikasi dari tulisan penulis yang disajikan dalam laporan penelitian Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tahun 2007. Modifikasi dilakukan atas sejumlah sub judul namun dalam tulisan data-data hasil penelitian lapangan tetap digunakan sebagai bagian dari tulisan ini.
70
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Pengantar Tiga kerangka yaitu arrangement, disarmament dan reintegration adalah kerangka yang melandasi sejumlah konsep penting dalam MoU Helsinki. Ketiga kerangka ini menegaskan bahwa untuk menyelesaikan masalah konflik kelompok bersenjata, pertama-tama perlu dilakukan penataan kekuatan bersenjata (security arrangement). Setelah tahap ini diatur, barulah dilakukan suatu proses disarmament –yang dalam MoU Helsinki disebut sebagai decomisioning. Tujuannya adalah untuk mentransformasikan kekuatan kombatan menjadi sipil, dan setelah dalam proses transformasi tersebut berlaku konsep reintegration. Disain ini dikenal dengan istilah ADR (Arrangement, Disarmament and Reintegration) yang merupakan suatu konsep resolusi konflik yang sering digunakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam menyelesaikan konflik berdimensi separatis atau konflik yang didalamnya menggunakan kekuatan bersenjata. Oleh karena itu, MoU Helsinki adalah suatu proses, yang didalamnya mengikuti alur ADR tersebut, bukan dalam kerangka social, economy and political adjustment. Meskipun masalah sosial, ekonomi dan politik ini juga dicakup dalam pengertian reintegrasi, sebagai sebuah upaya untuk mentransformasikan aktor kombatan menjadi kekuatan sipil; dan mentransformasikan perjuangan bersenjata menjadi perjuangan politik. Tetapi, awal-awalnya proses ADR perlu ditempuh terlebih dahulu, meskipun kemudian dapat diikuti oleh social, economy and political adjusment, tetapi kerangka ini lebih merupakan kerangka yang berlalku dalam situasi normal, dan bukan dalam situasi transisional untuk mengembalikan dan mentransformasikan kekuatan bersenjata menjadi kekuatan sipil serta mentransformasikan perjuangan dengan cara bersenjata menjadi perjuangan politik. Dengan pemahaman seperti itu, maka proses penyelesaian GAM sebagai aktor bersenjata di Aceh dilakukan melalui tahapan-tahapan ADR. Sebagaimana diketahui, tahap penataan keamanan dan kekuatan senjata di Aceh telah dilakukan oleh Aceh Monitoring Mission (AMM) dengan cara menghancurkan kekuatan senjata milik GAM, demobilisasi pasukan TNI dan POLRI organik, serta pembubaran TNA (Tentara Neugara Aceh) yang kemudian membentuk wadah KPA (Komite Peralihan Aceh). Meskipun telah terbentuk KPA, tetapi wadah baru ini belum sepenuhnya dapat mengintegrasikan mantan kombatan secara politik; mungkin secara sosial dapat dilakukan, tetapi secara politik —khususnya hubungan dengan elit-massa, massa dengan massa, dan antara mantan kombatan dengan
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
71
kekuatan-kekuatan politik lainnya. Dengan kata lain, proses reintegrasi, pada awal-awalnya memang memiliki tujuan untuk mengembalikan mantan kombatan sebagai Warga Negara Republik Indonesia dan bagian dari civil society di Aceh. Masalahnya, bagaimana proses tersebut dilakukan dan sejauhmana implementasi dari reintegrasi itu berjalan. Integrasi Politik dan Konsensus Normatif Perundingan antara RI-GAM di Helsinki dipandang sebagai bagian yang paling mendasar dari proses integrasi politik kelompok separatis (GAM) ke dalam Republik Indonesia. Dalam pengertian yang luas, integrasi dipandang dari akar katanya, integer dalam bahasa Latin berarti keseluruhan. Integrasi berarti ada bagian-bagian, unsur-unsur, faktorfaktor, atau perincian-perincian yang telah digabung dalam bentuk yang demikian intimnya sehingga menimbulkan suatu keseluruhan yang sempurna. Istilah integrasi menunjukkan adanya suatu pembauran dan penggabungan yang menyeluruh dari hal-hal yang khusus sehingga masingmasing telah kehilangan jati diri yang khas.2 Dari definisi harfiah tersebut, integrasi merujuk pada suatu proses pembauran atau penggabungan bagianbagian maupun unsur-unsur sehingga mengarah pada suatu keseluruhan. Dalam kaitan itu, para ahli tentang integrasi seperti Myron Weiner mendefisinikan integrasi dalam lima pengertian, yaitu:3 (1) Integrasi mungkin merujuk pada proses penyatuan berbagai budaya dan sosial ke dalam satu kesatuan wilayah, dan pada pembentukan suatu identitas nasional; (2) Integrasi sering digunakan dalam arti yang serupa untuk merujuk pada masalah pembentukan wewenang kekuasaan nasional pusat di atas unitunit atau wilayah-wilayah politik yang lebih kecil yang mungkin beranggotakan suatu kelompok budaya atau sosial tertentu; (3) Integrasi sering digunakan untuk menunjuk pada masalah menghubungkan pemerintah dengan yang diperintah; (4)Integrasi kadang-kadang juga digunakan untuk menunjukkan adanya konsensus nilai yang minimum, yang diperlukan untuk memelihara tertib sosial; dan (5) Berkaitan dengan
2 3
A. Rahman Zainuddin, “Islam dan Masalah Integrasi,” dalam Bahar dan Tangdililing, “Integrasi Nasional….” hlm. 97. Yahya Muhaimin dan Colin MacAndrews, (eds.), Masalah-masalah Pembangunan Politik, cetakan keenam (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), 41-43. Mengenai tulisan aslinya dapat dilihat dalam Myron Weiner, “ Political Integration and Political Development,” dalam Cloude E. Welch, Jr. (ed)., Political Modernization: A Reader in Comparative Political Change, (Belmon: Wadswarth Publishing Company, 1969), hlm. 551-553.
72
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
“tingkah-laku integratif” yaitu kapasitas orang-orang di dalam suatu masyarakat untuk beroganisasi demi mencapai beberapa tujuan bersama. Myron Weiner membagi integrasi menjadi lima yaitu integrasi nasional wilayah, integrasi nilai, integrasi elit-massa dan tindakan integratif.4 Meskipun Weiner membagi lima tipe integrasi, istilah integrasi politik yang dimaksudkan cakupannya lebih luas tidak hanya mencakup dimensi vertikal, horizontal, tetapi juga mencakup nilai-nilai dan budaya.5 Sementara itu, menurut Coleman dan Rosberg, menggunakan istilah integrasi nasional yang cakupannya meliputi dua dimensi yaitu dimensi vertikal (elit-massa) yang merupakan integrasi politik; dan dimensi horizontal (teritorial). Integrasi vertikal (integrasi politik) diartikan sebagai hubungan antara elit dan massa, sementara integrasi horizontal dimaknai sebagai usaha untuk mengurangi diskontinuitas dan ketegangan kultural kedaerahan dalam rangka proses penciptaan suatu masyarakat politik yang homogen.6 Hampir senada dengan Coleman, R. Emerson dan K.H. Silvert memahami integrasi politik sama dengan pengertian integrasi nasional Coleman dan Rosberg. Ahli lain yaitu Claude Ake, dalam bukunya a theory of political integration, menolak penggunaan istilah integrasi nasional dan menggunakan istilah integrasi politik, karena integrasi nasional berbau tautologis.7 Menurutnya integrasi politik sebagai suatu proses untuk mencapai konsensus normatif. Konsensus normatif adalah suatu proses untuk membangun kultur dan komitmen politik berbagai pihak dalam mewujudkan kepercayaan terhadap sistem politik, simbol-simbol ekspresif, dan nilai-nilai yang disepakati bersama sebagai dasar tindakan politik.8 Dalam kajian ini, penulis menggunakan istilah integrasi politik dan bukan integrasi nasional. Alasannya, di samping karena alasan tautologis sebagaimana disebut oleh Claude Ake, secara substantif dalam memahami persoalan separatisme Aceh yang merupakan konflik politik sebagaimana ciri yang disebutkan oleh Maswadi Rauf, maka lebih cocok menggunakan integrasi politik. Strategi politik dilakukan oleh Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyelesaikan separatisme di Aceh melalui perundingan dengan pihak GAM, pada dasarnya adalah suatu proses yang bersifat bottom up (prosesnya berawal dari suatu upaya untuk membangun 4 5 6 7 8
Ibid. Ibid., hlm. 3. Ibid. Claude Ake, A Theory of Political Integration, (Homewood, Illinois: The Dorsey Press, 1967), hlm. 13-14. Ibid., hlm. 1 dan hlm 97.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
73
kesepakatan-kesepakatan normatif) antara RI-GAM, sehingga lebih tepat digunakan istilah integrasi politik yang merujuk pada pengertian Claude Ake. Dari beberapa penjelasan di atas, dalam kajian ini integrasi politik dipandang sebagai suatu proses, sehingga di dalamnya mencakup sejumlah faktor yang mempengaruhi proses dan yang menentukan proses integrasi politik.9 Faktor-faktor tersebut mencakup perilaku politik elit, tingkat kepercayaan dan komitmen elit sebagai pihak yang paling menentukan dalam proses integrasi politik, khususnya dalam membangun kultur dan kepercayaan terhadap pihak GAM dalam mewujudkan sistem politik, simbol-simbol ekspresif, dan nilai-nilai yang disepakati bersama sebagai dasar tindakan politik. Sementara dari segi pengertian dan cakupan integrasi politik, dalam kajian ini integrasi politik yang dimaksud adalah: 1. Suatu proses untuk mengembalikan pihak GAM sebagai kelompok separatis,—yang dapat disebut sebagai unit-unit politik yang sebelumnya terpisah, atau hendak memisahkan diri— ke dalam kerangka konstitusi Republik Indonesia. Pengertian ini merujuk pada upaya-upaya yang dibangun oleh Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dalam mendorong penyelesaian separatis dengan melakukan sejumlah konsensus normatif dengan pihak GAM. Dari pengertian ini maka tujuan integrasi politik jelas yaitu mengembalikan kelompok separatis sebagai bagian integral dari Republik Indonesia. 2. Merujuk pada langkah-langkah pemerintah dalam mengintegrasikan wilayah teritorialnya. Karena itu, pengertian ini merujuk pada upaya Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dalam mempertahankan Aceh sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia dengan mendorong pihak separatis untuk masuk di dalamnya. Karena itu, cakupan integrasi politik ini terkait dengan landasan bagi penyelesaian kelompok separatis melalui kerangka konstitusi Republik Indonesia sebagai cara untuk mengembalikan kesetiaan kepada negara dan integrasi sosial dalam konteks lokal; 3. Sebagai upaya untuk mengintegrasikan GAM ke dalam proses politik yang dijalankan bersama, suatu pengakuan terhadap juridiksi hukum dan kebijakan politik pemerintah. 4. Suatu proses untuk membangun kultur dan komitmen politik dengan pihak GAM dalam mewujudkan kepercayaan terhadap sistem politik, 9
Nazaruddin, “Integrasi Politik…,” hlm. 4-5.
74
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
simbol-simbol ekspresif, dan nilai-nilai yang disepakati bersama sebagai dasar tindakan politik. Para penganut teori integrasi politik, telah menyampaikan beberapa pandangan mengenai strategi untuk memperkuat integrasi politik. Weiner mengusulkan cara mengurangi/menghilangkan kesetiaan primordial dianggap sebagai solusi untuk meningkatkan kesetiaan nasional atau integrasi politik. Strategi yang dapat ditempuh adalah dengan cara asimilasi dan bhineka tunggal ika (unity in diversity).10 Sementara Coleman dan Rosberg menegaskan bahwa upaya memperkuat integrasi politik perlu dilakukan dengan cara mengurangi diskontinuitas dan ketegangan regional dan kultural. Sedangkan, Ake, mengusulkan cara konsensus normatif.11 Upaya untuk membangun konsensus normatif ini menurut Ake, umumnya dialami oleh negara-negara yang baru merdeka. Ada dua masalah yang dihadapi yaitu: bagaimana mendapatkan rasa hormat dan kesetiaan terhadap klain negara dan bagaimana meningkatkan konsensus normatif mengenai perilaku politik diantara anggota-anggota dalam suatu sistem politik.12 Meskipun kerangka Ake ini digunakan sebagai dasar untuk mencapai kesepakatan normatif bagi negara-negara yang baru merdeka, cara ini menurut penulis dipandang memiliki relevansi dalam memahami persoalan formula penyelesaian dalam perundingan antara RI-GAM di Helsinki yang akhirnya melahirkan sejumlah butir mengenai sistem politik lokal (pemerintahan Aceh) dan sejumlah kesepakatan lainnya sebagai kesepakatan kedua belah pihak dalam menyelesaikan akar-akar separatisme. Dibandingkan dengan cara Weiner dan Coleman dan Rosberg, sebagaimana telah disebut di atas, formula yang dikembangkan oleh Ake dan Geertz lebih relevan dalam membahas cara penyelesaian separatisme Aceh. Formula Geertz yang menekankan perlunya akomodasi, di mana kelompok-kelompok primordial yang ada diakomadasi secara politik juga dapat digunakan sebagai salah satu cara lain dalam meningkatkan integrasi 10 Weiner, “Integrasi Politik…,” hlm. 44, menurutnya secara garis besar ada dua strategi kebijakan pemerintah untuk mencapai integrasi nasional yaitu (1) penghapusan sifatsifat kulturil utama dari komuniti-komuniti minoritas yang berbeda menjadi semacam kebudayaan “nasional,” biasanya kebudayaan dari kelompok budaya yang dominan, suatu kebijaksanaan yang biasanya disebut assimilasionis; dan (2) penciptaan kesetiaan nasional tanpa menghapuskan kebudayaan-kebudayaan kecil yaitu kebijaksanaan “bhinneka tunggal ika” yang secara politis ditandai dengan “penjumlahan ethnis.” 11 Nazaruddin ,” integrasi….,” hlm. 7-8. 12 Ake, “A Theory of Political…,” hlm. 1.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
75
politik.13 Cara Geertz ini dianggap dapat mengurangi diskontinuitas dan ketegangan regional dan kultural, yang kerapkali menimbulkan problemproblem integrasi. Dengan model akomodasi Greetz, sejumlah capaian dalam perundingan antara RI-GAM di Helsinki dapat dianalisis dari pandangan Claude Ake dan Geertz tersebut. Cara Weiner dalam meningkatkan integrasi politik relatif riskan dan kurang relevan, karena dalam praktiknya cara seperti itu cenderung lemah, seperti disebut oleh Magenda, karena dalam implementasinya cara-cara ini relatif menekankan aspek paksaan dan bukan dengan cara alamiah. Dalam pandangan Claude Ake, model ini mirip dengan apa yang disebutnya sebagai compulsary integration, atau kewajiban integrasi.14 Sedangkan cara yang diberikan oleh Rosberg maupun Coleman memang cenderung aman, namun dalam konteks penyelesaian separatisme yang titik beratnya sudah pada “self-determination,” hak menentukan hidup sendiri, biasanya sulit digunakan. Cakupan dan Implementasi Program Reintegrasi Cakupan integrasi politik ini meliputi beberapa aspek sebagaimana tercermin dalam MoU Helsinki, yaitu: penyelenggaraan pemerintahan Aceh; partisipasi politik; ekonomi, peraturan perundang-undangan; hak asasi manusia; amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat; dan pengaturan keamanan. 15 Cakupan integrasi politik tersebut merupakan upaya pemerintah untuk mengembalikan GAM menjadi Warga Negara Republik Indonesia (WNI). Hal itu ditempuh dengan cara memberikan beberapa kelonggaran terhadap pihak GAM, khususnya adanya pengampunan, kompensasi ekonomi, dan peluang politik bagi mantan anggota GAM untuk terlibat dalam pemerintahan,16 sebagai cara untuk mengintegrasikan pihak 13 Clifford Geertz, “Ikatan-ikatan Primordial dan Politik Kebangsaan di Negara-negara Baru,” dalam Juwono Sudarsono, Pembangunan Politik dan Perubahan Politik, (Jakarta: Yayasan Obor, 1991), hlm. 8. 14 Ake, “A Theory of Political…,” hlm. 45. 15 MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 secara umum berisi butirbutir tentang pemerintahan, reintegrasi sosial dan ekonomi, serta penataan kekuatan GAM dan TNI/Polri. 16 MoU Helsinski butir 1. Dalam MoU Helsinki secara khusus butir tentang politik pengintegrasian GAM tercermin dalam butir-butir 3 (3.1-3.7), dapat dirangkum sebagai berikut: Pemerintah RI sesuai dengan prosedur konstitusional, akan memberikan amnesti kepada semua orang yang telah terlibat dalam kegiatan GAM sesegera mungkin dan tidak lewat dari 15 hari sejak penandatanganan MoU; Narapidana dan tahanan politik akan dibebaskan tanpa syarat secepat mungkin dan selambat-lambatnya 15 hari setelah penandatanganan MoU; Sebagai Warga RI, semua orang yang telah diberi
76
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
GAM ke dalam Republik Indonesia. Masalahnya, bagaimana cakupan integrasi ini dipraktikkan. A. Pemahaman tentang Integrasi di Aceh Bagaimana sesungguhnya integrasi di maknai oleh sejumlah elemen masyarakat di Aceh setelah MoU Helsinki selama dua (2) tahun berjalan? Dari segi prosesnya, konsep reintegrasi yang tercantum dalam MoU Helsinki, dapat dianalisis dari dua masalah yang mendasar. Pertama, bagaimana menyatukan “kelompok separatis” sebagai sebuah bagian integral dari sistem politik suatu negara; dan kedua, bagaimana meningkatkan kesetiaan “kelompok separatis” sebagai sebuah warga negara. Untuk mencapai kedua hal tersebut, model bangunan integrasi yang dicakup dalam MoU Helsinki memperlihatkan perbedaan pendekatan dan pandangan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Pendekatan integrasi yang digagas oleh GAM yang tertuang dalam MoU Helsinki, adalah suatu proses percepatan integrasi politik melalui sejumlah perubahan mendasar dalam sistem politik lokal. Demokrasi lokal menjadi salah satu instrumen mendasar bagi pengintegrasikan kelompok ini kedalam Republik Indonesia. Di sisi yang lain, pihak GAM juga menghendaki agar Pemerintah Republik Indonesia konsisten dengan logika amnesti atau dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan atau tempat penahanan lainnya akan memperoleh semua hak-hak politik, ekonomi, sosial serta hak untuk berpartisipasi secara bebas dalam proses politik baik di Aceh maupun pada tingkat nasional; Pemerintah RI dan Pemerintah Aceh akan melakukan upaya untuk membantu orangorang yang terlibat dalam kegiatan GAM guna memperlancar reintegrasi mereka dalam masyarakat. Langkah tersebut mencakup: pemberian kemudahan ekonomi bagi mantan anggota GAM, tahanan politik yang telah memperoleh amnesti dan masyarakat yang terkena dampak. Suatu dana reintegrasi di bawah kewenangan Pemerintah Aceh akan dibentuk; Pemerintah RI akan mengalokasikan dana bagi rehabilitasi harta benda publik dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik untuk dikelola oleh Pemerintah Aceh; Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh dengan tujuan untuk memperlancar reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam masyarakat dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil. Pemerintah akan memanfaatkan tanah dan dana sebagai berikut: a. Semua mantan pasukan GAM akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja; b. Semua tahanan politik yang memperoleh amnesti akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja; c. Semua rakyat sipil yang dapat menunjukkan kerugian yang jelas akibat konflik akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
77
integrasi, dengan memberikan sejumlah konsekuensi ekonomi dan politik bagi wilayah Aceh yang didasarkan atas beberapa butir dalam perundingan. Jelas, konsekuensi itu diminta oleh GAM dengan menelurkan konsep “selfgovernment,” di satu sisi, dengan ciri adanya kekhususan di bidang ekonomi dan politik, yaitu dengan adanya partai lokal sebagai wadah politik bagi kekuatan mantan kombatan.17 GAM secara tegas mengatakan bahwa untuk dapat mencapai jalan bagi integrasi, GAM menawarkan penerapan selfgovernment dengan sejumlah perangkatnya, yaitu pengaturan ekonomi, pemerintahan, partisipasi politik lokal (adanya partai lokal, peluang calon independen dalam pemilu lokal), amnesti, dan pengaturan masalah keamanan (security arrangement). 18 Langkah tersebut dipandang sebagai konsekuensi atas ditariknya tuntutan kemerdekaan oleh GAM, dan perubahan tuntutan sehingga GAM tidak lagi meminta merdeka.19 GAM menkonsepsikan target transformasi tuntutan tersebut. GAM membuat empat (4) perancanaan yaitu: (1) plan A adalah security arrangements, international monitors, accepting further talks of selfgovernment; (2) Plan B adalah security arrangements, international monitors, with political agreement on self-government; (3) Plan C adalah security arrangements, international monitors, with political agreement on self-government in practice; dan (4) pan plan D adalah exit strategy.20 Transformasi yang mendasar dari keempat konsep tersebut, meskipun yang dibicarakan dalam pertemuan putaran kedua perundingan Helsinki hanya plan A, adalah meminta partai politik lokal sebagai instrumen politik bagi mantan kombatan GAM untuk terlibat dalam proses politik di tingkat lokal.21 Dengan kata lain, GAM memiliki langkah dan strategi yang jelas bagaimana melakukan metamorfosis dirinya di dalam kerangka politik lokal yang akan diformulasikan setelah MoU ditandatangani. Sementara itu, Pemerintah RI tidak secara jelas menyiapkan konsep transformasi dari kelompok separatis menjadi warga negara Republik Indonesia dalam kerangka integrasi politik. Konsep yang ditawarkan adalah otonomi khusus—yang pernah diimplementasikan sesuai dengan UU No. 17 Wawancara dengan Muhammad Nur Djuli di Banda Aceh, Juni 2007. 18 Damien Kingsbury, Peace in Aceh A Personal Account of the Helsinki Peace Process, (Jakarta: PT Equinox Publishing Indonesia, 2005), hlm. 35-37. 19 Wawancara dengan Muhammad Nur Djuli di Banda Aceh, Juni 2007. 20 Kingsbury,“ Peace in Aceh…,” hlm. 35-37. 21 Wawancara dengan Muhammad Nur Djuli di Banda Aceh, Juni 2007. Menurut Nur Djuli, Nurdin Abdurrahman dan Damien Kingsbury sebagai konseptor dari empat plan tersebut –khususnya Nurdin Abdurrahman sempat marah karena yang dibacakan dan dibicarakan dalam perundingan putaran kedua hanya Plan A oleh delegasi GAM.
78
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Aceh. Dengan konsep otonomi khusus ini Aceh akan tetap menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan sejumlah kompensasi ekonomi bagi mantan GAM agar kembali ke dalam pangkuan Republik Indonesia, dan sejumlah kekhususan bagi Provinsi NAD, sehingga dapat menjadi pijakan penyelesaian dan mengintegrasikan wilayah yang terus bergolak ini. Konsepsi integrasi yang ditawarkan oleh Pemerintah RI, lebih mirip pada konsepsi integrasi dalam pengertian James C. Coleman dan Rosberg, lebih pada penekanan integrasi teritorial berbasis ekonomi, ketimbang integrasi politik. Dari lima babak pembahasan MoU Helsinki tampak terlihat bahwa Pemerintah RI masih menonjolkan konsepsi integrasi teritorial ketimbang integrasi politik dalam pengertian integrasi politik (elit-massa Coleman dan Rosberg). Tekanan bahwa perundingan Helsinki harus tetap dalam kerangka domestik dan tidak menjadikan internasionalisasi masalah Aceh sebagaimana dijelaskan oleh para juru runding RI menunjukkan integrasi wilayah yang dimaksud. Pemerintah RI khawatir internasional masalah Aceh akan berimplikasi pada lepasnya wilayah ini dari pangkuan Republik Indonesia. Pada putaran keempat dan kelima, Pemerintah RI sangat khawatir dengan permintaan partai politik lokal dari pihak GAM. Kekhawatiran ini selain karena masalah payung hukum, juga keberadaan partai politik lokal dianggap dapat menghambat partai nasional. Bagaimanapun keberadaan partai nasional di Aceh diperlukan sebagai salah satu institusi yang dapat menjadi instrumen bagi pemerintah pusat untuk melakukan integrasi politik. Oleh karena itu, para delegasi Pemerintah RI pada perundingan putaran keempat menawarkan konsep partai berbasis Aceh berskala nasional sebagai wadah bagi para anggota GAM. Namun, konsep ini ditolak, meskipun Pemerintah RI menjanjikan akan membantu pendirian partai tersebut dan partai-partai besar akan menghibahkan 1.000 orang anggotanya untuk masing-masing propinsi.22 Pihak GAM tetap menghendaki partai lokal sebagai instrumen dan kendaran politiknya. Argumentasi GAM sangat mendasar, tidak mungkin akan terjadi penyatuan elit-massa; apabila tidak terjadi perubahan dan percepatan konstelasi kekuasaan di Aceh pasca MoU. Bila integrasi vertikal sebagai sebuah cara untuk menciptakan integrasi elit massa sebagaimana disebutkan oleh James Coleman dan para teoretisi integrasi lainnya, maka permintaan para delegasi GAM untuk melakukan percepatan tersebut, adalah inti dari proses integrasi politik di Aceh. Oleh karena itu, adanya 22 Wawancara dengan Ketua BRA Aceh yang juga mantan juru runding GAM, M. Nur Dzuli di Banda Aceh 30 Juni 2007.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
79
peluang bagi mantan anggota GAM untuk terlibat dalam pemilu lokal melalui calon independen, di satu sisi dapat dipandang sebagai afirmative action bagi kelompok GAM yang selama ini terpinggirkan dalam percaturan politik di Aceh, dan di sisi lain sebagai upaya untuk mendorong terciptanya integrasi elit dan massa. Dalam menyelesaikan separatisme dan membangun integrasi politik, dibutuhkan demokrasi lokal sebagaimana konsep yang digagas oleh Metta Spencer. Spencer mengatakan bahwa integrasi politik mensyaratkan adanya jaminan atas praktik-praktik demokrasi yang kuat.23 Kerangka pikir dari Spencer menjelaskan dasar pemikiran pihak GAM bahwa logika penyelesaian konflik Aceh harus dikembalikan dalam proses reformasi politik melalui kerangka demokrasi. Tanpa berjalannya sistem demokrasi, dan aktor-aktor yang memegang teguh nilai-nilai demokrasi sebagai pedoman bertindak, maka kerangka integrasi sulit diwujudkan. Pandangan ini cukup menarik, karena integrasi politik ditesiskan hanya dapat lahir dari suatu sistem yang demokratis. Transformasi dari gerakan senjata menjadi gerakan politik —sebagai salah satu bagian dari upaya reintegrasi, mengharuskan sejumlah instrumen politik. GAM mengharapkan dengan adanya peluang bagi mereka untuk ikut dalam pemilu lokal dan adanya partai politik, akan terjadi percepatan perubahan politik di Aceh. Alasan GAM meminta adanya partai politik lokal di Aceh adalah dalam rangka solusi demokratis. Di sisi yang lain Menurut Damien, keberadaan partai sekarang dianggap merefleksikan kontrol yang tersentralisasi.24 Oleh karena itu, tidak salah apabila poin yang diperjuangkan oleh GAM adalah pemerintahan sendiri dan partai lokal. Menurut Malik Mahmud, partai lokal bagi GAM adalah suatu yang mendasar. Malik Mahmud menuntut agar rakyat Aceh memiliki partai lokal sendiri yang sesuai dengan aspirasi rakyat Aceh.25 Setelah hampir dua tahun MoU diimplementasikan, bagaimana sesungguhnya kekuatan-kekuatan demokrasi dan civil society di Aceh memandang reintegrasi. Sebagian besar pihak yang ditemui mengatakan bahwa reintegrasi adalah penyatuan kembali unsur-unsur yang dulu berpisah.26 Kelompok GAM sebagai kelompok yang “terpisah,” dengan 23 Metta Spencer, Democracy and Disintegration, (Lanham, Maryland: Rowman and Littlefield, 1998), khususnya bab introduction, lihat dalam http://metta.spencer.name/ papers/separatism-intro.html. 24 Wawancara dengan Ketua BRA Aceh yang juga mantan juru runding GAM, M. Nur Dzuli di Banda Aceh 30 Juni 2007. 25 Lihat wawancara Malik Mahmud dengan Majalah Tempo, edisi. 22/XXXIV/25 - 31 Juli 2005. 26 Wawancara dengan narasumber di Banda Aceh, Mei 2007.
80
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
RI, maka dicoba untuk disatukan, dikembalikan menjadi warga negara biasa. Persoalannya terletak pada, bagaimana konsep reintegrasi ini dijalankan dalam bentuk program-program yang nyata, dan bagaimana strategi untuk proses penyatuan tersebut harus dilakukan. Pada kenyataannya, justru ada celah yang cukup besar yang terjadi di dalam masyarakat Aceh sekarang. Dikhotomi terjadi dengan mengelompoknya mantan kombatan GAM dalam Komite Peralihan Aceh (KPA) versus dengan mereka-mereka yang bukan mantan GAM. KPA justru menjadi sebuah organisasi yang eksklusif dan elitis, yang tertutup bagi “kelompok-kelompok di luarnya” bahkan untuk mantan anggota mereka sendiri yang menyerah pada saat darurat militer, sehingga muncul kelompok mantan GAM pra MoU Helsinki. Kesan ada sekat-sekat dan dikhotomi itu juga tampak dengan kategorisasi dalam pemberian bantuan dari pihak BRA [BRDA]. Saat ini bahkan muncul istilah PETA (Pembela Tanah Air) yang tentu secara mudah akan dapat dipandang sebagai kelompok pembela NKRI. Padahal tujuan dari reintegrasi adalah untuk menghindari adanya dikhotomi-dikhotomi semacam itu, tetapi pada kenyataannya justru terjadi distorsi-distorsi. Karena itu, dalam dua tahun setelah MoU ditandatangani, masih belum dapat dikatakan ada proses penyatuan unsur-unsur yang pada awalnya memang berbeda ideologi, tujuan dan cara perjuangan. Kita masih dengan kasat mata dapat memandang ada kelompok NKRI dengan segala macam atributnya di satu sisi, dan di sisi lain kita masih menganggap ada kelompok lain yang disebut sebagai mantan GAM. Dikhotomi ini terjadi mulai dari pemberian dana kompensasi, dalam praktik politik, hubungan masyarakat, hingga dalam kontestasi politik lokal menjelang dan pasca Pilkada secara langsung. Di sisi yang lain, reintegrasi lebih parah justru sekedar sebagai pemberian uang, kompensasi ekonomi terhadap mantan GAM (TNA), mantan GAM yang menyerah sebelum MoU, para korban konflik, dan unsur-unsur masyarakat lainnya. Tidaklah heran, reintegrasi sebagai sebuah konsep sebagaimana tercantum dalam butir 3 (3.1-3.7) diartikan oleh Nur Djuly secara kasar sebagai menukar senjata dengan uang dan sejumlah kompensasi lainnya.27 Pemaknaan seperti itu juga ditemukan dari aparat pemerintah di Kabupaten Aceh Utara. Bahwa reintegrasi cenderung sebagai upaya untuk perbaikan ekonomi, namun sepertinya hanya sebatas persoalan kompensasi. Seakan-akan, setelah ada BRA [BRDA] pemerintah daerah 27 Wawancara dengan Ketua BRA dan mantan juru runding RI, M. Nur Dzuli di Banda Aceh, 30 Juni 2007.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
81
pun melepaskan tanggungjawab dan perannya pada lembaga yang dibentuk tersebut.28 Kesan bahwa semuanya diserahkan kepada BRA [BRDA] sangat terlihat sekali. Sementara itu, pemerintah daerah pun menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan secara normal. Padahal, idealnya pemerintahan Aceh saat ini adalah pemerintahan transisional.29 Apalagi dalam praktinya, BRA [BRDA] terkesan dibonsai, sehingga kurang dapat melakukan inovasi-inovasi sebagai pengembangan dari disain reintegrasi itu sendiri. Reintegrasi secara teoretik sebagaimana telah disinggung pada bab pendahuluan, adalah suatu proses jangka panjang, meliputi persoalan eks kombatan, sosial, ekonomi, dan politik. Betapapun dalam BRA [BRDA] telah menyusun program, tetapi disain programnya cenderung hanyalah program-program penyaluran dana. Inilah yang menyebabkan kehadiran BRA [BRDA] ibarat bonsai di tengah hutan belantara yang memerlukan fungsi dan peran yang jauh lebih besar. Gambaran itu tampak dari hadirnya BRA [BRDA] di kabupaten sebagai “kaki dari BRA [BRDA]” propinsi hanya sebatas fungsi penyaluran semata-mata. 30 Karena itu, dari segi disain reintegrasi sendiri, tidak ada platform yang jelas, bagaimana sesungguhnya upaya pembauran dapat dilakukan, bagaimana percepatan dapat dilakukan dan bila reintegrasi memang dimaknai seperti itu. Ciri-ciri konseptual reintegrasi yang dikembangkan oleh BRA [BRDA] lebih condong pada ciri-ciri fisik, padahal reintegrasi tidak hanya berkaitan dengan fisik, tetapi psikologis, pemahaman dan pemaknaan orang atas sikap dan tindakan dirinya yang dapat dikatakan sebagai suatu tindakan yang terintegrasi sebagaimana disebutkan oleh Weiner. Di mana integrasi berkaitan dengan nilai-nilai, suatu nilai bagaimana ada semacam konsensus bersama untuk menjadi suatu nilai sebagai suatu target yang harus dituju oleh semua pihak. Siapa yang membangun arah tersebut? Dari gambaran di atas, tampaknya kurang ada pihak yang mencoba membawa Aceh ke dalam suatu rumusan bersama tentang citacita Aceh baru ke depan. Idealnya, sejumlah konseptual tentang reintegrasi dikembangkan dalam UU No. 11/2006 tentang Pemerintah Aceh, namun sayang, justru persoalan disaian integrasi tidak disentuh sama sekali. Idealnya, reintegrasi harus dijabarkan dalam bentuk-bentuk baik yang bersifat fisik maupun non-fisik.
28 Wawancara dengan Asisten I Pemerintahan Aceh di Banda Aceh, Mei 2007. 29 Wawancara dengan Humam Hamid, Intelektual Unsyiah di Banda Aceh, Mei 2007. 30 Wawancara dengan Ketua BRDA Aceh Utara di Aceh Utara, Mei 2007 .
82
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
B. Program-program “Charity” Integrasi Perjanjian Helsinki di satu sisi memunculkan harapan, namun di sisi lain memunculkan kekhawatiran. Harapan, karena perjanjian ini dapat “menghentikan konflik” yang telah lama berlangsung antara Pemerintah RI-Gerakan Aceh Merdeka. Namun, di sisi yang lain sekaligus memunculkan kekhawatiran, karena disain integrasi yang diterapkan, cenderung bukan sebagai jalan panjang bagi integrasi politik yang sesungguhnya. Selain dipandang dapat menghentikan konflik, perjanjian ini memunculkan harapan untuk mengembalikan masyarakat Aceh yang tergabung dalam GAM kembali ke pangkuan ibu pertiwi, khususnya dengan program-program reintegrasi GAM secara politik, budaya dan ekonomi.31 Harapan atas perjanjian Helsinki ini tercermin dari antusiasme masyarakat Aceh secara luas, bahkan ketika perjanjian ini ditandatangani, hampir semua lapisan masyarakat Aceh melakukan sujud syukur di masjid dan mushola serta di berbagai tempat,32 agar GAM kembali sebagai anak bangsa yang telah lama berpisah karena perbedaan ideologi dan tujuan. Implementasi untuk menuju ke integrasi politik –dalam pengertian mengembalikan “kelompok separatis,” sebagai bagian dari Republik Indonesia ditempuh melalui jalur amnesti atau pengampunan, serta sejumlah poin tentang reintegrasi ke dalam masyarakat. Untuk menindaklanjuti hal itu, Pemerintah mengeluarkan Inpres No. 15/2005 yang berisi tentang instruksi agar Gubernur Provinsi NAD merencanakan dan melaksanakan reintegrasi dan perberdayaan setiap orang yang terlibat dalam GAM ke dalam masyarakat mulai dari: penerimaan, pembekalan, pemulangan ke kampung halaman, dan penyiapan pekerjaan.33 Atas dasar Inpres tersebut, pemerintah daerah membuat beberapa langkah untuk menyiapkan infrastruktur implementasi. Langkahlangkah tersebut adalah:
31 Dalam MoU Helsinki secara khusus poin tentang integrasi menyebutkan akan adanya program-program tersebut. 32 Beberapa koran lokal seperti Serambi Indonesia dan Waspada yang memberitakan secara khusus tentang Aceh umumnya menurunkan berita-berita tentang wujud syukur setelah MoU Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005. Beberapa upaya sujud syukur meluas dilakukan di Aceh oleh hampir semua orang. Bahkan beberapa anggota GAM sempat melakukan pawai di jalan-jalan menyambut penandatanganan MoU Helsinki. 33 Poin-poin yang dikeluarkan oleh BRA Aceh pada Presentasi BRA dalam acara Kunjungan Kerja TPPNK Banda Aceh, 26 April 2006.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
83
(a) Pada 28 Nopember 2005, dibentuk Tim Sosialisasi Nota Kesepahaman Damai antara Pemerintah RI dengan GAM di Helsinki (SK Gubernur Prov. NAD No. 330/255/2005) (b) Padal 24 Desember 2005, dibentuk Forum Bersama Pendukung Perdamaian Aceh (SK Gubernur Prov. NAD No. 330/406/2005) (c) Pada 11 Februari 2006, dibentuk Badan Reintegrasi Mantan Anggota GAM ke Dalam Masyarakat (SK Gubernur Prov. NAD No. 330/ 032/2006) (d) Pada 13 April 2006, dibentuk Badan Reintegrasi-Damai Aceh (SK Gubernur NAD No. 330/106/2006), terdiri dari: Forum Bersama Pendukung Perdamaian Aceh; Badan Pelaksana Reintegrasi-Damai Aceh; dan Badan Pengawas Reintegrasi-Damai Aceh. Untuk mewujudkan reintegrasi GAM, pemerintah daerah membentuk beberapa badan yang diberi tugas untuk mewujudkan hal itu, sebagaimana di sebut di atas. Tim Sosialisasi MoU Helsinki. Tim ini mensosialisasikan butir-butir MoU, dengan cara melakukan pertemuan dengan pihak GAM. Demikian pula dengan Forum Bersama Pendukung Perdamaian, yang cakupannya terdiri atas tokoh-tokoh perwakilan dari RI, GAM dan tokoh masyarakat. Namun, kesan yang muncul, kedua badan ini masih tampak didominasi oleh birokrasi. Walaupun demikian, mereka beberapakali berhasil melakukan upacara peusejuk, untuk menyambut kehadiran GAM yang kembali, lagi-lagi pendekatan budaya semacam ini masih kurang maksimal. Di sisi yang lain, pemerintah pada awalnya telah berhasil membentuk Badan Reintegrasi Aceh (BRA), pada awalnya dibentuk 11 Februari 2006 dengan komposisi keanggotaan meliputi wakil pemerintah (termasuk TNI), GAM, intelektual dan unsur masyarakat. Namun, dalam perjalanannya, BRA mengalami kendala secara struktural, karena organisasi ini terkesan lamban dan kurang efisien dalam melaksanakan kerjanya. Di samping itu, kewenangan BRA sangat minim, amat tergantung dari instruksi pemerintah pusat dan daerah. Akibat cara kerja seperti itu, maka unsur GAM yang ada di BRA kemudian mengundurkan diri, karena BRA dianggap tidak dapat bekerja dan di dalamnya ada gesekan-gesekan kepentingan. 34 Dua bulan setelah dibentuk, BRA kemudian direstrukturisasi, keanggotannya dirampingkan, dengan tujuan agar lebih 34 Komentar salah satu anggota GAM yang duduk di BRA mengatakan bahwa keluarnya kelompok GAM karena mereka merasa tidak puas dengan cara kerja BRA. Hal ini juga diperkuat oleh keterangan informan pada saat peneliti melakukan pengumpulan data di lapangan di Aceh Utara pada, Juli 2006.
84
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
luwes dan efisien. Keanggotaannya juga direvisi, tidak lagi terdapat unsur GAM, LSM dan intelektual.35 Dalam perubahan tersebut, BRA diperluas kewenangannya karena lembaga ini sudah mendapat seluruh pelimpahan otoritas dari pemerintah pusat, sehingga semua kebijakan dan pengendalian dapat diputuskan di Banda Aceh.36 Versi lain menyebutkan bahwa keluarnya unsur GAM dalam BRA karena pihak GAM memprotes cara kerja BRA yang tidak sistematis dan adanya kepentingan terselubung dalam perencanaan dan implementasi program-program BRA. Protes ini dilakukan disebabkan karena BRA tidak dapat bekerja, padahal rencana kerja telah disusun, namun karena dana dari APBN (pemerintah pusat) tidak kunjung cair, maka BRA sering diprotes oleh para mantan GAM maupun pihak-pihak yang merupakan korban konflik.37 Restrukturisasi BRA menggambarkan pengambilalihan badan ini oleh pemerintah, sehingga strukturnya kemudian hampir sama dari BRA Pusat (provinsi) hingga ke BRA Kabupaten. Setelah BRA yang lama sebagian besar anggotanya mengundurkan diri, pada 13 April 2006, dibentuk Badan Reintegrasi-Damai Aceh/BRDA (SK Gubernur NAD No. 330/106/2006) yang sama dengan unsur-unsur yang berbeda dan sebagian besar adalah unsur pemerintah daerah. BRA ini pun didukung oleh Forum Bersama Pendukung Perdamaian Aceh; Badan Pelaksana Reintegrasi-Damai Aceh; dan Badan Pengawas Reintegrasi-Damai Aceh. BRDA ini kemudian menetapkan empat (4) program yang merupakan lingkup kegiatan yang akan mereka wujudkan, khususnya program bidang ekonomi; politik, hukum, keamanan dan HAM, dan bidang data serta monitoring dan evaluasi:38 Dalam menjalankan programnya, BRDA m e r a n c a n g p r o g r a m r e i n t e g r a s i m e l a l u i j a n g k a p e n d e k , 39 35 Komentar Menurut Pj GubernurMustafa Abubakar, Serambi Indonesia, 17 Juni 2006. 36 Hal itu disampaikan Pj Gubernur NAD, Mustafa Abubakar dalam rapat khusus dengan 17 Bupati/Walikota se NAD, di sela-sela menghadiri Rakornas Apeksi di Hotel Aston, Palembang, Sumatera Selatan, Serambi Indoneisa, 16 Juni 2006. 37 Komentar salah satu anggota GAM yang duduk di BRA mengatakan bahwa keluarnya kelompok GAM karena mereka merasa tidak puas dengan cara kerja BRA. Hal ini juga diperkuat oleh keterangan informan pada saat peneliti melakukan pengumpulan data di lapangan di Aceh Utara pada, Juli 2006. 38 Poin-poin yang dikeluarkan oleh BRA Aceh pada Presentasi BRA dalam acara Kunjungan Kerja TPPNK Banda Aceh, 26 April 2006. 39 Dalam program jangka pendek BRDA diestimasikan bahwa sejak dibentuk hingga 5 Mei 2006 BRA telah berhasil: 1. Menyusun & tersosialisasi program serta anggaran BRA tahun 2005-2006; 2.Tersusun Buku Pedoman dan kriteria korban konflik; 3.Tersusun Renstra BRA; 4.Terbentuk BRA di setiap Kab/Kota; 5.Terdistribusi bansos dan bantuan pemberdayaan ekonomii TA 2005; dan 6.Terkirim laporan BRA secara berkala.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
85
menengah 40 dan panjang.41 Diestimasikan bahwa pada 2009 program reintegrasi ini akan selesai. Sementara dari sekema pelaksanaan reintegrasi, reintegrasi mencakup tiga kegiatan yaitu pengembalian hak, kemudahan ekonomi dan dana reintegrasi. Target atau sasarannya adalah mantan pasukan GAM; GAM non mantan pasukan; Tapol yang mendapat amnesti; dan masyarakat korban konflik (meninggal dunia/ hilang; ahli waris dari korban yang meninggal/hilang; rumah yang dibakar/hancur; harta yang rusak/hancur/hilang; mengungsi; cacat/ hilang anggota tubuh; sakit mental; sakit fisik; dan hilang mata pencaharian pokok). Pengembalian hak meliputi empat hal yaitu politik, ekonomi, sosial dan partisipasi. Sementara kemudahan ekonomi meliputi tanah pertanian yang pantas; jaminan sosial; dan pekerjaan. Pelaksana dari program-program yang telah dirancang tersebut adalah dinas-dinas pemerintah daerah baik di tingkat propinsi maupun kabupaten. Dilihat dari strukturnya, Pemerintah Pusat adalah pengarah (dalam hal ini adalah Menko Polhukam dan Menko Kesra; Mendagri; Menkominfo; Men Hukum & HAM; Mensos; Menkeu; dan Ka Bappenas). Sementara Gubernur menjabat sebagai ketua demikian selanjutnya untuk bidang-bidang operasional dari BRDA adalah dinas-dinas hingga ke tingkat kabupaten. Dari program reintegrasi di bidang politik, dapat dianalisis bahwa program-program integrasi bidang politik dan pengembalian hak relatif sulit dilakukan, ketimbang program-program yang bersifat kompensasi ekonomi. Tabel di bawah ini sekurang-kurangnya menggambarkan tingkat kesulitan implementasi integrasi bidang politik, yaitu:
40 Pada jangka menengah, BRA mengharapkan agar: 1. Tersedia data dan needs assesment korban konflik; 2.Ter up-date program dan strategi BRDA 2006-2009; 3.Terdistribusi bansos dan pemberdayaan ekonomi TA 2006 melalui BRA Kab/Kota; 4.Terealisasi Program Bidang Polhukam & HAM 5.Terealisasi program yang off budget dari NGO; 6.Terintegrasi Program Kerja dgn BRA Kab/Kota; dan 7.Terkirim laporan BRA secara berkala. 41 Target jangka panjag adalah: 1.Terkoordinir dan terintegrasi pelaksanaan program BRA sesuai dgn amanat MoU; 2.Terjadi ishlah akbar; dan 3.Terkirim laporan BRA secara berkala. Pada jangka panjang ini akan diharapkan bahwa tercipta kondisi masyarakat Aceh yang adil, damai, aman, sejahtera dan bermartabat secara berkelanjutan dalam bingkai NKRI.
86
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Tabel 1 Program Integrasi Politik dan Implementasinya Program
Implementasi
Problematik
Melanjutkan sosialisasi Sosialisasi MoU Helsinki masih Survei yang dilakukan oleh Bank Dunia 2005 menjelaskan bahwa hampir MoU dilakukan secara parsial. sebagian besar mantan combatan GAM kurang memahami langkah-langkah kompensasi politik dan ekonomi. M e n d o r o n g Sudah dilakukan penyusunan RUU PA
Munculnya kekecewaan tertentu dari pihak GAM atas sejumlah pasal dalam UU No. 11/2006 yang dipandang tidak sejalan dengan butir-butir MoU Helsinki.
Mendorong Pilkada Masih dalam proses 2006 tepat waktu
Pilkada telah dilakukan tepat waktu, 11 Desember 2006, namun di beberapa lokasi seperti di Aceh Tengah, Aceh Barat dan Banda Aceh menimbulkan ketidakpuasan karena sebagian besar pemilih tidak terdapaftar. Fenomena Pilkada 2006 di Aceh menimbulkan “kekecewaan politik,” dan potensi rivalitas politik antara calon independen dengan partai-partai politik.
Mendorong pendirian Belum dilakukan partai lokal
Upaya untuk mengalihkan GAM sebagai sebuah kekuatan ideologis belum sepenuhnya berhasil dilakukan. Komite Peralihan Aceh (KPA) yang semula dianggap sebagai tranformasi GAM tampaknya masih belum maksimal.
M e n d o r o n g Belum dilakukan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
Dengan dihapusnya UU tentang KKR oleh Mahkamah Konstitusi, institusi KKR di Aceh tidak akan bekerja maksimal untuk mendorong rekonsiliasi, apalagi KKR di Aceh tidak menganut asas retroaktif.
M e n d o r o n g Belum dilakukan Pembentukan Komisi Bersama Penyelesaian Klaim
Potensial tidak mungkin dapat diwujudkan, karena UU KKR dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
87
Memberi dukungan Sudah dilakukan kepada AMM
AMM secara fungsional berhasil menjadi katalisator bagi kedua belah pihak yang bertikai. Pasca bubarnya AMM ditakutkan kurang adanya lembaga yang dapat dipercaya oleh kedua belah pihak yang dapat dipercaya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi.
M e n d o r o n g Sudah dilakukan (termasuk rehabilitasi PNS yg pemberian amnesti terhadap terlibat GAM 2.100 mantan anggota GAM).
Masalah di lapangan yang terjadi berkaitan dengan tingkat pendidikan mantan GAM yang rata-rata di bawah SLTA.
Mendorong mantan Belum dilakukan (akan GAM menjadi TNI/ terganjal oleh aturan teknis POLRI untuk menjadi anggota TNIPOLRI karena sebagian besar mantan anggota GAM relatif tidak berpendidikan).
Masalah di lapangan yang terjadi berkaitan dengan tingkat pendidikan mantan GAM yang rata-rata di bawah SLTA.
Mendorong pemulihan Sudah dilakukan. kewarganegaraan
Dilakukan melalui penertiban KTP Merah Putih yang berlaku pada Operasi Terpadu dengan KTP yang sifatnya nasional.
M e n d o r o n g Belum dilakukan. pembententukan Pengadilan HAM di NAD
Masih belum dapat diwujudkan.
Ada kesan bahwa sosialisasi MoU masih kurang dilakukan, sehingga muncul persepsi lain. Sebagian mantan TNA masih menganggap bahwa Aceh sedang berlaku pemerintahan sendiri (self-government). Salah seorang anggota KPA yang diwawancarai di Aceh Utara menyebutkan hal itu.42 Padahal untuk keberhasilan integrasi politik dan pencapaian tujuan integrasi itu sendiri, sosialisasi menjadi salah satu kuncinya. Pada masamasa awal implementasi MoU Helsinki, adanya AMM (Aceh Monitoring Mission), selain berfungsi sebagai pemantauan, di dalamnya juga terdapat
42 Wawancara dengan anggota KPA di Aceh Utara, Mei 2007.
88
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
forum-forum konsultasi antara RI-GAM dalam bentuk CoSA yang sebagian besar unsurnya juga melibatkan masyarakat dalam rangka sosialisasi damai dan integrasi. Setelah AMM bubar secara resmi pada Desember 2006, dibentuklah Forum Koordinasi dan Komunikasi Damai Aceh (FKK Aceh) di bawah Menkopolkam sebagai penggantinya. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Ketua FKK bahwa fungsi sosialisasi FKK ini masih sangat terbatas, sehingga belum dapat menjangkau masyarakat secara luas.43 Dampaknya, ada persepsi lain bahwa perundingan di Helsinki masih dipandang sebagai jalan bagi referendum dan kemerdekaan di Aceh. Hal ini menurutnya terjadi di beberapa wilayah pedalaman (gampong-gampong), karena proses sosialisasi yang salah.44 Kesan lain, pada bidang politik yang paling penting dan mendasar untuk instrumen integrasi politik adalah partai lokal. Salah satu tujuan dari integrasi politik GAM adalah bagaimana mentransformasi GAM sebagai kekuatan combatan (bersenjata) menjadi kekuatan politik. Untuk menjadi kekuatan politik, kekuatan combatan —Tentara Neugara Aceh (TNA) dulu AGAM (Angkatan Gerakan Aceh Merdeka) —dibubarkan di depan AMM pada akhir Desember 2005. Namun, setelah mereka membentuk KPA sebagai wadah baru bagi mantan anggota GAM, tampaknya upaya pemerintah masih terlalu minim untuk mendorong transformasi kekuatan kombatan menjadi kekuatan politik yang dapat dikontrol oleh Undang-undang. Metamorfosis TNA—menjadi KPA, dan bukan sebagai partai politik, menyebabkan lembaga ini tidak dapat diatur dan tunduk pada kerangka perundang-undangan. Akan sangat berbeda apabila KPA langsung menjadi partai politik, maka segala tingkah lakunya akan diatur menurut UU Partai Politik. Metamorfosis ini menyebabkan beberapa konsekuensi. Pertama, KPA –masih identik dengan TNA, karena secara struktural, organisasi KPA disusun mirip dengan TNA. Kedua, organisasi ini sangat ekslusif dan tertutup, yang keanggotannya hanya berasal dari mantan TAN. Bahkan untuk para anggota GAM yang menyerah sebelum MoU Helsinki terjadi (pada saat darurat militer) tidak dianggap sebagai kelompok mereka. Ketiga, KPA dalam praktiknya menjadi kekuatan politik setengah militer dalam kehidupan bermasyarakat, berpolitik dan dalam dunia ekonomi. Padahal salah satu tujuan dari upaya reintegrasi adalah terciptanya pembauran secara sosial dan politik. Karena prosesnya cenderung ekslusif, KPA menjadi sebuah organisasi yang hanya diperuntukkan untuk mantan 43 Wawancara dengan Ketua FKK di Banda Aceh, 30 Juni 2007. 44 Ibid.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
89
TNA GAM. Gejala semacam ini, tidaklah bagus bagi upaya-upaya untuk menciptakan pembauran politik dan sosial di Aceh. Ada gejala pembiaran dalam proses ini, karena Pemerintah RI gagal melakukan pengawalan bagi upaya-upaya pembauran sosial dan politik sebagai salah satu cara mereduksi gagasan-gagasan masa lalu, dan untuk membangun Aceh baru sebagai tujuan dari munculnya konsep reintegrasi sebagaimana disebut dalam MoU Helsinki. Lemahnya pengawalan ini, karena integrasi identik dengan program bagi-bagi uang dari pemerintah RI kepada beberapa kelompok. Charity integrasi—atau integrasi berbasis ekonomi yang sesaat ini, tampak sekali dari konsep yang dikembangkan oleh Pemerintah Pusat sebagai implementasi dari MoU Helsinki. Konsentrasi program-program reintegrasi BRDA sejak dibentuk hingga saat ini, lebih pada masalah kompensasi dana di bidang ekonomi dan pemberdayaan program bidang sosial budaya. Untuk pemberdayaan ekonomi diberikan kepada Mantan TNA, Tapol/Napol, masyarakat korban konflik; dan kelompok lainnya (GAM non TNA, GAM menyerah pra MoU, dan Peta—Pembela Tanah Air). Sementara untuk bidang sosial budaya, bentuk programnya adalah diyat, rumah dibakar/rusak, korban cacat, dan pelayanan medis. Tabel 2 Analisis atas Program Bidang Ekonomi BRA [BRDA] Program
Implementasi
Memberi kemudahan Sulit dilakukan, karena pada ekonomi praktiknya, program-program lebih bersifat sesaat, berupa kompensasi.
Problematika Program-program BRA [BRDA] sejak awal berdirinya hanya terfokus pada program-program yang berkaitan dengan kompensasi ekonomi. Untuk disain sebuah program ekonomi yang sifat cakupannya untuk pemberdayaan ternyata bukan menjadi tugas dan peran dari BRA [BRDA] padahal ini yang paling penting untuk dipikirkan.
90
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Memberi kesempatan BRA [BRDA] tidak Program ini hanya sebatas untuk kerja menyentuh program-program memberikan peluang bagi mantan ini. kombatan di beri tempat pada beberapa lembaga, seperti BRA [BRDA] dan BRR atau lembaga lainnya, tetapi memberi kesempatan kerja untuk kategori mantan kombatan GAM, mantan non-kombatan GAM dan masyarakat korban konflik ternyata masih belum ada perencanaannya. Alokasi lahan pertanian, Tidak berjalan sesuai dengan dsb. rencana, bahkan tidak ada implementasi mengenai butir ini.
Sejumlah praktik program BRA [BRDA] justru mengganti kompensasi untuk lahan pertanian ini dengan sejumlah uang, akibatnya lahan yang dijanjikan sebagaimana tercantum dalam butir MoU Helsinki tidak dapat diimplementasikan. Padahal gagasan itu adalah untuk mendorong mantan kombatan agar menanggalkan sifat diri mereka dan orientasinya untuk tidak lagi mengangkat senjata.
Dari tabel 2 di atas, tampak sekalibahwa sifat dari program-program reintegrasi ini masih berjangka pendek, ibarat memberi kue ditengah orang yang sedang lapar. Meskipun dalam judul disebut sebagai dana pemberdayaan ekonomi, dalam praktinya program-program tersebut bukan dalam pengertian pemberdayaan yang semestinya, karena sifat penggunaan dana sebagian besar adalah untuk konsumsi, menyambung hidup, dan bukan untuk menciptakan pekerjaan atau lapangan kerja dan bidang usaha. Bahkan ada yang memperoleh dana bantuan rumah terbakar/rusak, ternyata tidak digunakan untuk membangun rumah, tetapi untuk membeli Motor Honda. Kasus ini misalnya terjadi di Aceh Utara.45 Secara umum, rincian program-program BRDA hingga Mei 2007 tampak pada tabel di bawah ini:
45 Wawancara dengan Ketua BRA Aceh Utara, Mei 2007.
Kelompok Sasaran
1. 2. 3. 4. 5.
Diyat Rumah dibakar/dirusak Korban Cacat Pelayanan Medis Kegiatan Budaya
B. Bidang Sosbud
A. Pemberdayaan Ekonomi 1. Mantan TNA 2. Tapol/Napol 3. Masyarakat Korban Konflik 4. Kelompok lainnya: a. GAM non TNA b. GAM Menyerah pra MoU c. PETA
No.
517 orang 3.253 unit 0 orang 1 paket 0 paket
1.200 orang 500 orang 1.000 orang
6.200 orang 3.204 orang 6.500 orang
21.000 orang 14.000 unit 3.600 orang 3 paket 1 paket
1.000 orang 0 orang 0 kecamatan
2005
3000 orang 2.035 orang 221 kecamatan
Target
19.597 orang 1.725 unit 550 orang 1 paket 0 paket
5.00 orang 2.704 orang 3.000 orang
2.000 orang 1.500 orang 67 kecamatan
2006
Total
20.114 orang 4.978 unit 550 orang 2 paket 0 paket
6.200 orang 3.204 orang 4.000 orang
3.000 orang 1.500 orang 67 kecamatan
Realisasi
Tabel 3 Penyaluran Dana Reintegrasi (hingga Mei 2007)
95.78 35.56 15.28 66.67 0.00
100.00 100.00 61.54
100.00 73.71 30.32
Persentase
1403 orang 9022 unit 3050 1 paket 1 paket
0 orang 0 orang 2500 orang
0 orang 535 orang 154 kecamatan
Sisa
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
91
92
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Dari tabel 3 di atas, untuk program pemberdayaan ekonomi, terdapat empat kelompok sasaran yaitu mantan TNA, Tapol/Napol, masyarakat korban konflik dan kelompok lainnya. Masing-masing kelompok sasaran mendapatkan bantuan dana yang berbeda-beda. Untuk Mantan TNA yang berjumlah 3.000 orang mendapat bantuan dana 25 juta maisng-masing orang. Cek telah diserahkan pada tanggal 29 November 2006 hingaa 22 Mei 2007. Oleh karena itu, untuk mantan TNA ini sesuai dengan jumlah dalam MoU Helsinki telah diberi bantuan untuk seluruhnya. Masalahnya, jumlah TNA yang disebutkan dalam MoU Helsinki tidak dapat menampung jumlah yang riil yang ada di lapangan. Estimasi jumlah bahkan di atas 30.000 orang, bahkan hingga mencapai 40.000 orang.46 Karena jumlahnya terlalu besar, akhirnya penyaluran dana tidak dapat langsung ke masing-masing orang, bahkan dalam realisasinya dana dibagi-bagi oleh KPA karena penyaluran tidak diberikan kepada yang bersangkutan, tetapi melalui panglimanya masing-masing.47 Akibatnya, dana bantuan yang direncanakan dapat menjadi “modal awal,” minimal untuk bertahan hidup, rata-rata hanya memperoleh 5 jutaan. Ini sebagai konsekuensi mantan TNA yang ditangung dalam MoU Helsinki hanya sekitar 3.000 orang. Masalahnya adalah bagimana dengan munculnya kompensasi terhadap kelompok berkategori lain (seperti Mantan GAM non TNA, mantan GAM yang menyerah sebelum MoU, dan PETA— Pembela Tanah Air), yang mirip milisi yang muncul pada saat konflik dan sebagian besar pada masa darurat militer. Sementara bagi kelompok sasaran lainnya, seperti masyarakat korban konflik, yang tersebar di 221 kecamatan, baru sekitar 30,32 persen dapat dipenuhi. Rata-rata mereka mendapatkan bantuan dana yang variatif. Untuk korban meninggal, diberi dana diyat sebanyak 3 juta masing-masing orang, hingga mencapai 60 juta rupiah. Jumlah ini didasarkan pada hukum Islam, bahwa untuk penggantian seorang yang terbunuh itu sekitar 50 ekor unta, diperkirakan oleh BRA sebanyak 60 juta rupiah.48 Padahal, rata-rata sebagian besar baru menerima satu kali, meskipun sudah ada yang keempat kali. Bila satu tahun mereka mendapat bantuan 3 juta rupiah, untuk mencapai angka bantuan 60 juta rupiah dibutuhkan waktu sekitar 20 tahun.
46 Wawancara dengan Mantan Ketua BRA Aceh, Husni di Banda Aceh Mei 2007. Hal ini juga diakui oleh sebagian besar narasumber yang diwawancarai, bahwa jumlah GAM yang disebutkan dalam MoU Helsinki tidak dapat menampung seluruh jumlah GAM yang riil di lapangan. 47 Wawancara dengan Ketua FKK di Banda Aceh, 29 Juni 2007. 48 Wawancara dengan mantan Ketua BRA, M. Husni di Banda Aceh, Mei 2007.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
93
Untuk bantuan rumah rusak atau terbakar, masing-masing korban diberikan antara 34,5 juta hingga 35 juta, sebagai kompensasi agar mereka dapat membangun rumah kembali.49 Terhambatnya penyaluran dana untuk tahun 2006, khususnya bagi diyat dan bantuan cacat serta bantuan rumah yang dibakar/rusak, karena adanya pengalihan dana untuk membiayai AMM sebesar 20 milyar. Masa tugas AMM yang diperpanjang hingga pelaksanaan Pilkada Aceh, menyebabkan dana operasional AMM harus ditanggung oleh BRA. Akhirnya dana tersebut diambilkan dari dana yang awalnya telah diprogramkan untuk masyarakat korban konflik, diyat, korban cacat dan rumah yang dibakar/rusak.50 Catatan Penutup Dari gambaran di atas, tampaknya praktik pelaksanaan integrasi politik, ekonomi dan sosial masih bersifat semu. Integrasi semata-mata masih dimaknai sebagai pemberian kompensasi, belum ada kemajuan lebih dari makna seperti itu. Integrasi semacam ini tentu bersifat ringkih terhadap goncangan-goncangan perubahan ideologi maupun politik. Padahal Aceh membutuhkan supervisi dan pengawalan yang lebih jauh dari hanya sekedar untuk memberikan kompensasi sejumlah uang. Sebab integrasi mencakup pula masalah tindakan dan ideologis, apakah perilaku politik kelompokkelompok di Aceh (baik masyarakat secara luas maupun mantan GAM) justru semakin memperkuat nilai-nilai ke-Indonesiaan, ataukah justru timbul dua bangsa dan dua negara, di satu sisi bangsa Aceh semakin kuat, tetapi resistensi terhadap Indonesia juga tidak semakin menurun.
49 Ibid. 50 Wawancara dengan staf BRA di Banda Aceh, 30 Mei 2007.
94
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
PROSPEK DAMAI ACEH PASCA MoU HELSINKI M. Hamdan Basyar
Pengantar Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), pada tanggal 15 Agustus 2005, di Koeningstedt Estate, luar Kota Helsinki, menandai adanya babak baru dalam penyelesaian masalah Aceh. Ada harapan damai yang terpancar dari MoU tersebut. Sebelumnya, di wilayah Aceh, telah terjadi konflik yang berlangsung sejak lama. Pada tahun 1953, Teungku Daud Beureuh memproklamirkan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Munculnya gerakan itu akibat adanya kebijakan pemerintah pusat melebur Provinsi Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Penggabungan dua propinsi ini membawa konsekuensi dihapusnya hak istimewa bagi masyarakat Aceh untuk menjalankan syariat Islam dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan. Konflik ini akhirnya dapat diredakan dengan diberikannya status istimewa bagi Aceh dengan otonomi luas dalam bidang agama, adat, dan pendidikan pada tahun 1959. Konflik Aceh muncul kembali pada akhir 1976, ketika Hasan Tiro memproklamirkan kemerdekaan Aceh, 4 Desember 1976. Mereka menganggap Pemerintah Jakarta tidak adil dalam mengeksploitasi kekayaan alam Aceh. Hasil tambang minyak dan gas yang cukup besar itu tidak memberikan kesejahteraan bagi sebagian besar rakyat Aceh. Memang, pemerintah Orde baru yang mengejar pertumbuhan ekonomi itu lebih mementingkan “kue besar”, tanpa melihat aspek keadilan dan kurang memperhatikan aspek keberlanjutan. Akibatnya, eksploitasi sumber daya alam yang terjadi secara besar-besaran itu kurang memperhatikan kepentingan masyarakat lokal. Sebagaian masyarakat Aceh menentang ketidakadilan itu dengan
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
95
mengibarkan bendera “Gerakan Aceh Merdeka” (GAM). Jakarta menganggap GAM sebagai sebuah gerakan separatis yang hendak memisahkan diri dari wilayah RI. Gerakan itu berusaha ditumpas oleh Pemerintah Pusat pada masa Orde Baru dengan berbagai cara, seperti pemberlakukan Operasi Jaring Merah (OJM) yang menjadikan sebagian wilayah Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Meskipun demikian, perlawanan GAM tidak pernah sepenuhnya berhasil ditumpas. Setelah Pemerintahan Orde Baru tumbang, masalah konflik Aceh berusaha diselesaikan dengan berbagai cara. Pada masa Presiden Abdurahman Wahid dan Presiden Megawati, ada momentum penting untuk perdamaian Aceh. Pertama, pada Mei 2000 ketika Pemerintah RI dan GAM menandatangani Kesepahaman Bersama Jeda Kemanusiaan. Tujuan Jeda Kemanusiaan ini adalah untuk mengurangi kekerasan di Aceh, menyalurkan bantuan kemanusiaan, dan sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional kepada RI dan GAM. Untuk kepentingan tersebut, dibentuklah Tim Pemantau dari kedua belah pihak. Tetapi suasana Jeda Kemanusiaan yang difasilitasi oleh Henry Dunand Center (HDC) itu tidak berlangsung lama. Kedua, pada Desember 2002, Pemerintah RI dan GAM kembali membuat kesepakatan yang biasa disebut Cessation of Hostility Agreement (CoHA). Dalam CoHA disebutkan pembentukan Tim Pemantau dari negara-negara ASEAN yang tergabung dalam Joint Security Committee (JSC). Di samping itu, disepakati juga zona damai. Tetapi CoHA juga tidak berumur panjang. Kantor JSC di Aceh Tengah dihancurkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya, tentara RI bentrok kembali dengan GAM. Kegagalan CoHA telah mengubah kebijakan yang diambil oleh Pemerintah RI, dari pendekatan dialogis menjadi represif. Jakarta kemudian menerapkan keadaan darurat militer di Aceh (Mei 2003 – Mei 2004) dan dilanjutkan dengan pemberlakuan darurat sipil (Mei 2004 – Mei 2005). Berbagai bentuk penyelesaian tersebut tidak berhasil, karena kurang adanya “kesetaraan” di antara pihak-pihak yang bertikai. Selain itu, mediator kurang berfungsi sebagaimana mestinya. Sikap netral dan proaktif dibutuhkan bagi mediator, agar para pihak yang bertikai memberikan kepercayaan yang penuh. pada masa Pemerintahan Orde Baru, tidak ada “kesetaraan” antara pihak yang bertikai. Dengan sikap seperti itu, maka dialog tidak pernah ada. Pada masa Abdurahman Wahid, para pihak sudah diperlakukan “setara”, tetapi mediator kurang dapat netral dan proaktif, sehingga perundingan tidak berjalan dengan mulus. Pemerintahan Megawati, pada awalnya mengadakan semacam ‘dialog’, tetapi kemudian
96
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
melakukan kebijakan represif dengan penerapan darurat militer yang kenyataannya tidak dapat menyelesaikan masalah konflik Aceh. Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) menerapkan kebijakan yang berbeda. Mereka melakukan dialog dengan posisi yang “setara” dengan dibantu mediator yang cukup netral dan proaktif. Hasilnya adalah Momerandum of Understanding (MoU) Helsinki. MoU tersebut telah mengantarkan adanya proses perdamaian di Aceh. Kelompok GAM mau berdamai dengan pemerintah Indonesia. Selama 30 tahun, GAM melakukan pemberontakan untuk memisahkan diri dari pemerintah Indonesia. Banyak korban berjatuhan akibat pemberontakan ini, baik di kalangan Tentara Nasional Indonesia (TNI), GAM, maupun rakyat sipil. Sulit mendapatkan data yang akurat tentang jumlah korban tersebut, karena pihak-pihak yang terkait berkepentingan untuk melebihkan atau mengurangi jumlah korban jiwa. Kesulitan juga dijumpai untuk menemukan data yang lengkap mengenai kerugian material, seperti: rumah dibakar atau dirusak, harta dijarah, perusakan ladang atau kebun, dan lain sebagainya. “Aceh menderita” adalah ucapan yang pantas dikemukakan, selama masa konflik itu. Kemudian, pada tanggal 26 Desember 2004, gempa bumi dan tsunami melanda Aceh. Peristiwa itu telah menambah penderitaan masyarakat Aceh. Ratusan ribu orang meninggal dunia. Kerugian material tidak dapat dihitung lagi. Peristiwa tersebut telah menimbulkan keprihatinan bersama. Sukarelawan dari berbagai daerah berdatangan untuk membantu Aceh. Masyarakat dunia juga berusaha meringankan penderitaan Aceh. Bantuan kemanusiaan berdatangan dari seluruh penjuru dunia. Hikmah dari peristiwa tsunami adalah adanya kebersamaan untuk membantu dan menyelesaikan masalah Aceh. Pemerintah Indonesia dan GAM juga tampaknya menyadari perlu ada suasana damai untuk melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca tsunami. Mereka kemudian mengadakan perundingan yang dimediasi oleh mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari. Hasilnya adalah ditandatanganinya “Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka,” yang secara umum dikenal sebagai MoU Helsinki, sebagaimana disebutkan pada bagian awal tulisan ini. MoU tersebut bermula dari perundingan “informal” antara delegasi RI dan GAM yang berlangsung sejak akhir Januari hingga Mei 2005. Perudingan ini dilakukan dengan bantuan fasilitasi dari Crisis Management Initiative (CMI), sebuah lembaga internasional yang dipimpin Martti Ahtisaari. Rangkaian pembicaraan yang berlangsung empat tahap antara
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
97
delegasi Pemerintah RI dan GAM di luar Kota Helsinki itu akhirnya menghasilkan sebuah MoU. MoU Helsinki mengatur berbagai kesepakatan. Pada poin pertama, diatur tentang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh. Hal ini menyangkut pembuatan Undang-undang Pemerintahan Aceh; partisipasi politik yang di dalamnya terdapat klausul pendirian partai politik lokal Aceh; masalah ekonomi yang antara lain menyebutkan “Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya”; dan pengaturan perundang-undangan. Dalam poin kedua disebutkan hak asasi manusia yang di dalamnya menerangkan pembentukan pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).1 Poin ketiga MoU tersebut mengatur pemberian amnesti dan upaya reintegrasi mantan anggota GAM dan tahanan politik ke dalam masyarakat. Upaya reintegrasi ini merupakan bagian integral dari penyelesaian konflik yang menyeluruh di samping proses disarmament (pelucutan senjata) dan demobilization (penarikan pasukan).2 Proses reintegrasi membutuhkan prasyarat yang tidak mudah. Hal itu menyangkut pihak yang akan diintegrasikan, pihak yang akan menerima, dan cara-cara reintegrasi itu sendiri. Dengan menggunakan terminologi “negara kesatuan,” maka pihak yang diintegrasikan adalah siapa saja atau kelompok yang dianggap pernah berusaha “keluar” dari negara kesatuan, dalam hal ini adalah mantan GAM.3 Sedangkan pihak yang akan menerima adalah mereka yang tidak pernah keluar dari negara kesatuan. Barangkali tidak perlu dipermasalahkan siapa subyek dan siapa obyek reintegrasi, untuk menghindari klaim-klaim kebenaran yang dapat menyudutkan pihak lain. Reintegrasi semestinya dapat memberikan kesempatan kepada mantan anggota GAM untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan “normal” setelah 1
2
3
Sampai saat ini, KKR belum terbentuk. Padahal hal itu sudah dicantumkan dalam UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Pasal 260 UU tersebut menyebutkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh seharusnya berlaku efektif mulai 1 (satu) tahun sejak UUPA diundangkan (1 Agustus 2006). Komisi itu adalah bagian tidak terpisahkan dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana diatur dengan UU No. 27 Tahun 2004. KKR Aceh menjadi tidak punya sandaran hukum, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa Pasal 27 UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) bertentangan dengan UUD 1945. Dalam MoU Helsinki tidak digunakan istilah disarmament, melainkan decommissioning. Posisi ini yang seringkali ditolak oleh mantan GAM, karena mereka merasa sudah terintegrasi dengan masyarakat dan tidak membutuhkan sebuah proses reintegrasi atau tidak sepakat tentang siapa yang benar dan siapa yang salah.
98
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
menanggalkan senjata. Mereka perlu didorong untuk mampu mengambil kesempatan di bidang pendidikan, ekonomi, politik, sosial dan sebagainya. Di sisi lain, masyarakat luas juga didorong untuk dapat menerima mereka dalam kehidupan yang wajar. Mengingat proses reintegrasi yang tidak mudah, maka pada tanggal 11 Maret 2006 dibentuk Badan Reintegrasi Aceh (BRA), yang kemudian berubah nama menjadi Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA). BRA mengemban misi yang tidak ringan. Mereka didorong sebagai agen untuk memuluskan adanya reintegrasi mantan kombatan GAM dan korban konflik Aceh. Tugas BRA meliputi berbagai bidang. Di bidang ekonomi, antara lain, BRA bertugas melaksanakan pemberdayaan ekonomi untuk masyarakat korban konflik. Di samping itu, BRA juga diminta melaksanakan pemberdayaan ekonomi kepada mantan Tentara Negara Aceh (TNA), mantan tapol/napol, anggota GAM non-TNA, GAM yang telah menyerah sebelum adanya MoU, dan kepada relawan Pembelan Tanah Air (PETA). Di bidang sosial budaya, BRA bertugas memberikan bantuan sosial (untuk diyat, bantuan rumah, cacat akibat konflik, maupun bantuan kesehatan). BRA juga diharapkan dapat melakukan berbagai kegiatan dengan pendekatan budaya (kearifan lokal) dalam proses reintegrasi. Beberapa Permasalahan MoU Helsinki tidak mudah dilaksanakan. Dalam implementasi MoU tersebut dijumpai berbagai permasalahan dan kendala. Permasalahan tersebut, antara lain, adanya pemaknaan MoU yang berbeda di antara pemangku kepentingan (stakeholders); jumlah dan cara memberikan kompensasi; dan koordinasi antar aparat atau lembaga terkait. Pertama, adanya perbedaan pemaknaan terhadap MoU. Para mantan anggota GAM yang tergabung dalam Komite Peralihan Aceh (KPA) menganggap MoU Helsinki sebagai titik pijak yang sangat fundamental bagi perdamaian di Aceh. Oleh karena itu, segala kebijakan dan perilaku hendaknya mengikuti apa yang ada dalam MoU tersebut. Dalam sebuah diskusi dengan beberapa anggota KPA terlontar kata-kata: “… ini harus benar-benar dilaksanakan sesuai dengan MoU...... Semua yang ada di MoU mohon dilaksanakan....”4 Mereka menganggap bahwa segala isi MoU tidak boleh diubah lagi. Dalam implementasinya, para pihak tidak diperkenankan mengubah isi MoU. Harapan anggota KPA tersebut tidak 4
Wawancara dengan beberapa tokoh KPA di Aceh Utara, Mei 2007.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
99
terlalu berlebihan. Mereka khawatir bila ada pihak yang tidak mematuhi isi MoU, maka usaha perdamaian yang diusahakan dengan susah payah tersebut, tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Pemerintah Indonesia sangat memahami hal itu. Dalam buku panduan sosialisasi MoU yang berjudul “Mengawal dan Mengamankan Agenda Perdamaian di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam,” antara lain, disebutkan: “Nota Kesepahaman (MoU) antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka adalah rumusan solusi kompromistik kedua belah pihak yang harus dicermati dan dipahami secara utuh dan holistik.”5 Terlihat ada keinginan untuk memahami permasalahan Aceh secara paripurna. Dengan demikian, akan diperoleh suatu penyelesaian damai yang komprehensif, adil, permanen, bermartabat, dan berkelanjutan. Pemerintah juga menyadari bahwa akhir proses dari suatu perundingan adalah menjadi titik awal dari suatu pekerjaan besar dalam mengimplementasikan butirbutir kesepakatan.6 Kesuksesan pekerjaan itu sangat tergantung pada niat baik, kesungguhan dan kepatuhan semua pihak yang terlibat di dalamnya, serta didukung sepenuhnya oleh seluruh rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Aceh. Kedua belah pihak menghendaki kesuksesan implementasi MoU. Akan tetapi mereka sedikit berbeda dalam pemaknaan MoU itu sendiri. Para mantan GAM menganggap bahwa isi MoU itu memberikan keleluasaan bagi masyarakat Aceh untuk mengatur diri sendiri. Mereka sering menggunakan istilah “self government”. Mereka tidak sependapat dengan istilah “otonomi khusus” maupun “otonomi luas” yang diterapkan ke Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sedangkan Pemerintah Indonesia lebih cenderung memaknai MoU sebagai bentuk “otonomi luas” bagi NAD. Pemerintahan sendiri (self government) akan dapat mengurangi arti penting Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan beberapa kalangan di Jakarta, mengkhawatirkan NAD lepas dari NKRI, bila MoU Helsinki dimaknai sebagai self government. Kondisi seperti itu cukup menyulitkan posisi bupati atau walikota yang berasal dari mantan GAM atau simpatisannya. Bupati Aceh Utara,7 misalnya, menjelaskan:
5
6 7
Lihat Tim Sosialisasi Pemerintah, Mengawal dan Mengemankan Agenda Perdamaian di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, hlm. 9. Ibid., hlm. 10. Bupati Aceh Utara, T.Ilyas Hamid, adalah mantan anggota Tentara Nasional Aceh (TNA) yang terpilih dalam pilkada Aceh, Desember 2006, melalui kelompok independen.
100
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
..... peran kami sebagai Bupati sangat berat sekali. Pihak TNI memaknai dengan Otsus; KPA dengan self government. Jadi sekarang yang sedang kami ambil langkah-langkah itu adalah mengadakan sosialisasi MoU ke lapangan. Kami sudah bentuk tim, dari pemerintah dan KPA untuk memberikan pemahaman yang sama, tidak double interpretasi. Jadi tidak pemerintah dengan makna Otsus dan KPA dengan self government mereka. Ini malah jadi jurang di antara mereka. Itu yang pertama adalah sosialisasi. Yang kedua, kami sering silaturahmi antara kita seperti semalam, kami meeting bersama antara KPA dan Kapolres dan pemerintah dalam rangka peluncuran modal usaha di masyarakat miskin korban konflik....8
Perbedaan pemaknaan MoU Helsinki juga terjadi di kalangan elit Jakarta. Salah satu butir dalam MoU itu adalah dibuatnya undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintah di Aceh. Undang-undang ini diharapkan mampu mengakomodir berbagai kepentingan masyarakat Aceh dan pemerintah pusat. Oleh karena itu, proses pembuatan undang-undang melibatkan berbagai kalangan. DPRD NAD menampung aspirasi masyarakat yang akhirnya dilahirkan menjadi Rancangan Undang-undang Pemerintah Aceh (RUU PA) versi DPRD NAD. RUU ini dikirimkan ke Departemen Dalam Negeri RI untuk disandingkan dengan RUU PA versi pemerintah pusat. Di sini, terlihat perbedaan kepentingan. Misalnya, dalam RUU PA versi DPRD NAD disebutkan istilah “pemerintah sendiri” (pasal 17), tetapi dalam RUU PA versi pemerintah pusat tidak ada lagi istilah itu. Pihak Depdagri memberi alasan bahwa “pemerintah sendiri” itu cenderung sebagai bentuk federasi yang bertentangan dengan UUD 1945. Masalah calon independen juga berbeda. DPRD NAD mengusulkan calon independen berlaku secara permanen. Artinya, setiap ada pemilihan pemimpin di daerah diperkenankan adanya calon independen yang tidak melalui partai politik. Tetapi, pihak Depdagri memberikan batasan bahwa calon independen hanya diberi satu kali kesempatan dalam pilkada tahun 2006. Memang, berbagai kepentingan wajar bermunculan, ketika suatu aturan yang akan mengikat cara kehidupan masyarakat, tengah dibahas. Maka, tidak mengherankan bila pembahasan RUU PA di DPR berlangsung dengan cukup alot. Ada 1.446 daftar inventarisasi masalah (DIM) yang diusulkan oleh fraksi-fraksi yang ada di DPR.9 Banyaknya DIM tersebut menunjukkan adanya kepedulian fraksi di DPR akan nasib Aceh. Memang, 8 9
Wawancara dengan Bupati Aceh Utara, Mei 2007. Lihat antara lain Ahmad Farhan Hamid, Jalan Damai Nanggroe Endatu: Catatan Seorang Wakil Rakyat Aceh. Jakarta: Penerbit Suara Bebas, 2006, hlm. 374.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 101
ada fraksi yang mengkhawatirkan lepasnya Aceh dari NKRI, bila Aceh terlalu banyak diberikan kewenangan. Tetapi, ada juga fraksi yang tidak begitu khawatir terhadap kemungkinan itu. Bagi mereka, yang lebih penting damai mesti segera terwujud di bumi Aceh. MoU antara Pemerintah Indonesia dan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah menyebutkan bahwa Aceh masih dalam naungan NKRI. Dalam MoU disebutkan bahwa: “Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia.”10 Pernyataan itu dapat dianggap sebagai “pagar” yang membatasi gerak langkah pemerintahan Aceh untuk tetap dalam naungan NKRI. Oleh karena itu, sikap yang bijak adalah membiarkan masyarakat Aceh untuk menentukan sendiri bagaimana sebaiknya mereka berkehidupan, asalkan tidak melewati “pagar” tersebut. Sebenarnya dengan adanya “pagar” NKRI yang telah disepakati itu, masalah Aceh “telah selesai.” Masyarakat Aceh dapat mengatur kehidupan mereka sendiri. Keinginan itu sesuai dengan tuntutan mereka. Akan tetapi kehidupan itu tetap dalam bingkai NKRI. Kondisi terakhir itu sesuai dengan keinginan Pemerintah Pusat Jakarta. Permasalahan lain adalah yang menyangkut dana kompensasi. Pemberian dana kompensasi merupakan suatu kesepakatan yang mesti dipenuhi oleh pemerintah. Dana ini diberikan kepada mantan GAM maupun korban lainnya. Pemberian dana dari pemerintah itu menjadi kompensasi bagi mantan GAM untuk kembali berintegrasi ke dalam pangkuan Indonesia. Memang, reintegrasi lebih dimaknai sebagai pemberian kompensasi itu. Ketua BRA (BRDA), Nur Dzuli, misalnya, menyebutkan bahwa reintegrasi dianggap sebagai “menukar senjata dengan uang dan sejumlah kompensasi lainnya.”11 Pemaknaan yang hampir sama juga ditemukan dari aparat pemerintah di Kabupaten Aceh Utara. Mereka cenderung menganggap reintegrasi sebagai upaya untuk perbaikan ekonomi, tetapi hanya sebatas persoalan dana kompensasi. Padahal, semestinya persoalan perbaikan ekonomi tidak hanya terbatas pada ganti rugi maupun kompensasi saja, tetapi lebih luas dari itu, termasuk bagaimana mengupayakan masyarakat dapat hidup lebih mandiri.
10
11
Lihat “Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.” Wawancara dengan Ketua BRA dan mantan juru runding RI, M. Nur Dzuli di Banda Aceh, 30 Juni 2007.
102
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Dengan memahami reintegrasi sebagai masalah dana kompensasi, maka pemerintah daerah merasa tidak perlu mengurusinya. Hal itu karena sudah ada BRA yang tugasnya menyalurkan berbagai bantuan tersebut. Dalam konteks ini tampaknya, Pemerintah Daerah “lepas tangan”. Bila persoalan itu ditangani secara lebih komprehensif dan terpadu, maka Pemda dapat membuat berbagai program lanjutan untuk kepentingan reintegrasi. Memang terlihat ada masalah berkaitan dengan koordinasi antara berbagai pihak yang terkait. Padahal dalam Inpres No. 15 Tahun 2005, dengan jelas disebutkan siapa yang berperan dalam reintegrasi. Secara formal, pejabat yang ditugasi melaksanakan reintegrasi, menurut inpres tersebut, adalah Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), dan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam inpres itu, secara tegas disebutkan, bahwa tugas Menko Kesra adalah: Mengkoordinasikan perencanaan dan penyusunan kebijakan dalam pelaksanaan nota kesepahaman di bidang sosial dan kemanusiaan, khususnya menyangkut jaminan sosial dan kompensasi lain dalam rangka percepatan reintegrasi setiap orang yang terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka ke dalam masyarakat, maupun kompensasi kepada anggota masyarakat lain yang terkena dampak konflik dengan melibatkan menteri menteri dan pimpinan instansi terkait dalam lingkup koordinasinya dan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.12
Sedangkan tugas Mendagri adalah: Menyiapkan rencana dan kebijakan tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, baik mencakup penyusunan/ penyempurnaan undang-undang tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, partisipasi politik, perekonomian, sosial budaya, lembaga kemasyarakatan, maupun peraturan perundang-undangan lainnya serta reintegrasi dan pemberdayaan setiap orang yang terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka ke dalam masyarakat, berkoordinasi dengan instansi terkait.13
Sementara itu, Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sebagai pelaksana lapangan mempunyai beberapa tugas, antara lain: Merencanakan dan melaksanakan reintegrasi dan pemberdayaan setiap 12 13
Lihat Inpres No. 15 Tahun 2005. Ibid.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 103
orang yang terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka ke dalam masyarakat mulai dari penerimaan, pembekalan, pemulangan ke kampung halaman dan penyiapan pekerjaan.14
Dengan pembagian sebagaimana disebutkan di atas, semestinya ada koordinasi yang jelas. Koordinasi yang baik akan menghasilkan suatu kerja yang sinergis. Kenyataan di lapangan, tidak ada koordinasi yang jelas dalam penanganan dana reintegrasi tersebut. Hal itu diakui oleh Ketua BRA maupun Kepala Kesbang Linmas di Kabupaten Aceh Utara. Secara struktur, BRA Kabupaten berada di bawah BRA Propinsi, maka mereka hanya melaksanakan tugas dari atasannya itu saja. Mereka menyalurkan dana reintegrasi dan bantuan lainnya, tanpa merasa perlu berhubungan dengan Kesbang kabupaten yang juga menangani pemberian bantuan kepada masyarakat. Akibat tidak adanya koordinasi itu, maka ada masyarakat yang memperoleh bantuan double. Memang, ada kesenjangan pemahaman tentang dana reintegrasi dan dana bantuan lainnya. Sebagian pemimpin daerah menganggap reintegrasi adalah “urusan orang pusat.” Dana yang digunakan juga berasal dari APBN. Sedangkan dana bantuan lainnya bisa berasal dari APBD, APBN, maupun sumber yang lain. Bupati Aceh Utara, misalnya, mengatakan: “Masalah reintegrasi, kalau ditugaskan ke bupati atau gubernur, kami tidak sanggup. Ini adalah janji pemerintah pusat kepada 3000 orang mantan kombatan. Ini sampai sekarang belum terealisasi seluruhnya namun sudah mulai ada beberapa tahap, seharusnya sampai saat ini sudah selesai, setahun yang lalu.”15 Terlihat penyerahan tanggung jawab reintegrasi ada pada pemerintah pusat. Pemerintah daerah merasa tidak perlu ikut menangani masalah ini. Walaupun demikian, pada tahun 2007, APBD Kabupaten Aceh Utara menganggarkan 25 milyar untuk bantuan para korban konflik atau untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat. Sampai bulan Mei 2007, rincian alokasi dana 25 milyar tersebut belum begitu jelas. Di tingkat propinsi, koordinasi juga kurang berjalan dengan baik. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara (yang biasa disingkat disebut BRR) tidak bersinergi dengan BRA. Hal itu diakui oleh Yusni Sabi, mantan Ketua BRA. Menurutnya, komunikasi antara BRR dan BRA memang ada, tetapi tidak ada koordinasi yang jelas, sehingga mereka tidak mengetahui apa yang telah diperbuat oleh masing-masing lembaga. Mereka berjalan sendiri-sendiri. Padahal dibutuhkan suatu konsep 14 15
Ibid. Wawancara dengan Bupati Aceh Utara, Mei 2007.
104
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
yang terpadu untuk membangun kembali suatu wilayah yang hancur akibat bencana alam dan konflik yang berkepanjangan itu. Oleh karenanya, dia menyambut baik adanya “Pertemuan Simpang Tiga” yang melibatkan berbagai pihak. Dengan pertemuan itu, diharapkan BRR dan BRA dapat bersinergi dan semua program untuk membangun masyarakat tidak dilakukan secara overlaping. Dengan dibantu oleh sekitar 15 donor, mereka dapat diharapkan mengatur program yang tidak menimbulkan kesenjangan.16 Menangani reintegrasi dibutuhkan kebersamaan antara berbagai pemangku kepentingan. Tetapi sayangnya, tidak semua pemangku kepentingan berperan dengan maksimal. Prospek Reintegrasi Dengan berbagai permasalahan sebagaimana disebutkan, maka apakah masih ada prospek reintegrasi yang menguntungkan berbagai pihak? Pertanyaan itu tentu tidak mudah dijawab. Prospek masa depan dapat dilihat dari dua sisi. Kaum optimistis selalu akan melihat masa depan penuh tantangan, peluang dan harapan. Bila kemudian keberhasilan diraih, maka hal itu akan memberikan kepuasan. Seberapa berat kondisi yang mesti dilalui, mereka masih mempunyai harapan untuk sukses. Sedang kaum pesimis akan melihat masa depan dengan ketidakpastian. Mereka selalu khawatir meniti kehidupannya. Akibatnya peluang kesuksesan akan menurun dan bahkan mungkin akan hilang. Reintegrasi Aceh pun dapat dilihat dari perspektif tersebut. Salah satu peluang yang memberikan prospek positif dan optimis adalah kemenangan calon independen dalam pilkada Aceh, Desember 2006. Gubernur Aceh yang berasal dari mantan GAM dapat memberikan peluang adanya akses bagi kelompok itu. Mereka diberi kesempatan dan kepercayaan untuk memimpin wilayah yang dahulu mereka perjuangkan dengan kekuatan senjata. Kemenangan beberapa tokoh GAM dalam pilkada Aceh tersebut dapat disebutkan sebagai salah satu bentuk transformasi massa yang lebih independen.17 Hal itu dapat mengurangi apa yang disebut oleh Ake sebagai parochialism.18 Sikap seperti itu telah menimbulkan gap antara elite dan 16 17
18
Wawancara dengan Prof. Yusni Sabi, Mei 2007. Beberapa mantan anggota GAM yang memenangkan Pilkada lewat jalur independen, dapat menjelaskan betapa massa tidak dapat lagi dikendalikan oleh “penguasa”. Secara independen massa mencoba mentransfomasikan keinginanannya lewat tokoh alternatif. Sikap sempit atau picik dari kaum elit yang biasanya merasa “tinggi” secara sosioekonomi dan budaya terhadap masyarakat yang dianggap masih “rendah”. Kondisi tersebut dapat menimbulkan alienasi di kedua belah pihak. Lihat Claude Ake, A Theory of Political Integration (Illionis: The Dorsey Press, 1967), hlm. 71.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 105
massa yang tentunya akan menghambat adanya reintegrasi. Barangkali tidak berlebihan bila para pemimpin baru tersebut dapat disebut sebagai “jembatan” yang menjadi penghubung elite dan massa. Dengan adanya “jembatan” itu, strata elite yang biasanya “tinggi” akan lebih mudah mendekati masyarakat yang masih “rendah”. Akhirnya, mereka dapat terintegrasi dengan baik. Kondisi tersebut akan semakin baik, bila antar elite terjadi hubungan yang baik. Dibutuhkan kerjasama yang saling menunjang antara elite baru dan elite lama. Ketika mereka sudah saling mendekat itulah berbagai konsensus dapat dibicarakan, agar kehidupan selanjutnya akan berlangsung dengan baik. Memang, integrasi politik berhubungan dengan sebuah konsensus tentang sasaran yang akan dicapai oleh sebuah sistem politik dan menyangkut siapa yang mengatur dan mengendalikan pencapaian sasaran tersebut. Para pemimpin baru itu, semestinya dapat menjadi alat integratif dari berbagai elemen yang ada. Sudah barang tentu ini memerlukan suatu proses transformasi, untuk mengupayakan adanya penyatuan potensi para pemimpin level menengah dengan para pengikutnya. Hubungan baik perlu dibangun di antara mereka, sehingga mereka dapat melakukan proses negosiasi dan penciptaan perdamaian.19 Akhirnya, mereka dapat membangun suatu sikap saling percayaan yang dibutuhkan untuk mentransformasikan struktur yang ada dan menempa sebuah budaya bersama yang baru. Permasalahannya, pemimpin baru yang menjadi penguasa pemerintah daerah belum memperlihatkan kemampuannya untuk membuat budaya baru yang bersama dapat mengakomodir berbagai kepentingan. Hal ini, misalnya, terlihat ketika anggota Komite Peralihan Aceh (KPA)20 terlihat lebih diuntungkan dalam pergaulan sehari-hari dibandingkan dengan kelompok lain. Bahkan mereka seakan mengambil peran tokoh yang secara tradisional ada dalam masyarakat Aceh, seperti ulama, keuchik, atau tokoh adat lainnya. Padahal kesuksesan reintegrasi juga karena adanya rekonsiliasi dari berbagai pihak, tanpa ada yang lebih diuntungkan. Hal itu penting untuk membangun sikap saling percaya, saling kasih sayang, dan berkeadilan, yang bermuara pada kehidupan masyarakat yang sejahtera. Sebenarnya, apakah masih ada peluang yang mengarah ke sana? Menurut beberapa 19
20
Lihat Sean Byrne, “Transformational Conflict Resolution and the Northern Ireland Conflict”, International Journal on World Peace (No. XVIII, No. 2, June 2001), hlm. 4. Komite Peralihan Aceh (yang biasa disingkat KPA) adalah kelompok organisasi yang menampung aspirasi mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
106
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
kalangan, peluang tersebut masih ada dan dapat ditumbuhkan. Hal itu dapat dijadikan indikasi bahwa reintegrasi masih mempunyai prospek yang dapat diharapkan. Sudah barang tentu, peluang tersebut perlu didorong agar terwujud menjadi suatu kenyataan. Bila tidak ada usaha itu, maka peluang akan menjadi sia-sia belaka. Membangun Reintegrasi yang Sinergis Reintegrasi adalah suatu pekerjaan yang tidak ringan. Reintegrasi itu sendiri adalah sebuah proses yang kompleks yang meliputi transisi ekonomi, politik, sosial, dan psikologi dari kehidupan militer ke dalam kehidupan sipil. Kompleksnya cakupan transisi tersebut menyebabkan reintegrasi, berupa proses untuk menjadi sipil sepenuhnya, menjadi proses yang membutuhkan waktu lama. Reintegrasi ekonomi adalah proses yang memberikan para kombatan yang telah berhenti atau didemobilisasi kemandirian keuangan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan hidup diri mereka dan orang-orang yang menjadi tanggungannya melalui kegiatan produksi atau pekerjaan dengan penghasilan yang memadai. Reintegrasi ekonomi seringkali sulit untuk dicapai di masyarakat yang kondisi ekonominya kurang baik. Reintegrasi politik adalah proses yang memberikan jalan bagi para kombatan yang telah berhenti atau didemobilisasi untuk memperoleh kesempatan ikut serta dalam kehidupan politik komunitasnya, seperti menjadi anggota atau pengurus organisasi sipil dan sebagainya.21 Reintegrasi sosial adalah proses yang mendorong para kombatan yang telah berhenti atau didemobilisasi dan keluarga mereka menyadari bahwa diri mereka adalah bagian dan diterima oleh komunitas dimana mereka tinggal dan masyarakat secara lebih luas. Sikap komunitas terhadap mantan kombatan ini biasanya dipengaruhi oleh persepsi terhadap peran historis yang dijalankan oleh kombatan sebelumnya. Reintegrasi psikologi adalah proses dimana para kombatan yang telah berhenti atau didemobilisasi melakukan penyesuaian dari gaya hidup militer, yang secara umum teratur secara hierarkis mengikuti garis komando dan pengawasan, ke dalam kehidupan yang lebih fleksibel ala warga sipil.22 Begitu kompleksnya masalah reintegrasi, maka dibutuhkan suatu kerjasama yang komprehensif, berkesinambungan, dan sinergis. Dari hasil beberapa kajian dan temuan lapangan, maka ada beberapa kondisi yang 21
22
http://www.iss.co.za/static/templates/tmpl_html.php?node_id=42&link_id=25, diakses pada tanggal 2 Februari 2007. Ibid.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 107
perlu diperhatikan, agar tercipta suatu keadaan yang memungkinkan terjadinya reintegrasi dengan baik. Pertama, perlu diciptakan kondisi yang dapat mendorong adanya perilaku-perilaku integratif dari berbagai pihak terhadap implementasi MoU, dengan mengurangi dan menghindari perilaku yang dapat menghancurkan kondisi damai di Aceh. Untuk organisasi GAM perlu segera ditransformasikan menjadi partai politik lokal. Sebaliknya, unsur-unsur NKRI harus ‘legowo’ menerima kehadiran mereka dengan segala hak politis, sosial, ekonomi dan budaya mereka. Kedua, infrastuktur demokrasi di tingkat lokal sebagai instrumen transfungsi konflik perlu segera diwujudkan dan diperkuat. Ketiga, perlu konsistensi pemerintah pusat atas implementasi integrasi berbasis ekonomi melalui berbagai program yang mampu mentransformasikan konflik bersenjata manjadi perjuangan politik. Untuk itu diperlukan koordinasi yang jelas antara berbagai pihak yang terkait dengan masalah reintegrasi. Ini berkaitan dengan elit formal dari pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, ditambah dengan berbagai institusi yang menangani masalah reintegrasi. Kondisi tersebut menyebabkan koordinasi tidak berjalan dengan baik. Di tingkat provinsi, misalnya, aparat pelaksana di kantor dinas gubernuran, BRA, dan BRR, tidak cukup melakukan koordinasi. Memang benar, mereka sudah melakukan pembagian tugas, tetapi koordinasi masih diperlukan, agar tidak terjadi komunikasi keliru yang menghambat kegiatan reintegrasi. Padahal di dalam tiga institusi tersebut, Gubernur ikut terlibat. Pada masa mendatang, diperlukan suatu koordinasi yang intensif, untuk menghindari komunikasi keliru dan program yang overlaping. Koordinasi itu dapat dilakukan secara periodik. Lembaga BRA yang sifatnya temporer dapat mengalihkan tugasnya secara bertahap kepada kantor dinas di gubernuran yang lebih permanen. Kondisi tersebut dapat diikuti di level kabupaten/kota, sehingga di semua level ada koordinasi yang jelas. Dengan demikian, Pemda tidak lagi dianggap “lepas tangan” dari permasalahan reintegrasi mantan GAM. Kemenangan beberapa tokoh yang dekat dengan GAM dalam Pilkada Aceh, semestinya dapat mempermudah masalah koordinasi. Akan tetapi, kenyataannya koordinasi tersebut belum sepenuhnya terjadi, sebagaimana diterangkan sebelumnya. Keempat, diperlukan untuk memperkuat infrastuktur lembaga pelaksana reintegrasi dan sekaligus mempersiapkan peralihan tanggung jawab kepada Pemerintah Daerah. Dalam hal ini diperlukan kejelasan peralihan dari BRA kepada Pemda. Kelima, seluruh pemangku kepentingan di Aceh perlu didorong untuk
108
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
ikut aktif dalam program reintegrasi tersebut, agar tercipta penyelesaian konflik yang permanen. Untuk itu tokoh-tokoh informal, seperti ulama, tokoh adat, tahapeut, keuchik, dan sebagainya perlu diberdayakan dalam reintegrasi ini, agar tidak timbul kesenjangan antara “tokoh lama” dan “tokoh baru”. Peran mereka yang sudah cukup mengakar akan sangat membantu pemulihan kepercayaan di antara masyarakat. Keenam, program reintegrasi perlu dibuat berkesinambungan, tidak hanya terbatas pada dana kompensasi. Untuk tahap awal, boleh saja hanya berkaitan dengan dana kompensasi, tetapi pada tahap lanjutan, program yang jelas dan menyeluruh/komprehensif diperlukan, agar tercipta kondisi yang memungkinkan para mantan kombatan hidup layak dalam komunitas sipil lainnya. Dengan demikian, program tidak hanya bersifat charity, tetapi lebih bertumpu pada pemberdayaan dan penguatan ekonomi para mantan kombatan dan korban konflik lainnya. Program juga diharapkan dapat mengentaskan kemiskinan dan berjalan secara berkesinambungan. Oleh karena itu, perlu adanya lembaga pengawas independen, agar berbagai program pemberdayaan tersebut tepat sasaran. Daftar Bacaan “Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.” Ake, Claude, A Theory of Political Integration (Illionis: The Dorsey Press, 1967). Byrne, Sean, “Transformational Conflict Resolution and the Northern Ireland Conflict”, International Journal on World Peace (No. XVIII, No. 2, June 2001). Hamid, Ahmad Farhan, Jalan Damai Nanggroe Endatu: Catatan Seorang Wakil Rakyat Aceh. (Jakarta: Penerbit Suara Bebas, 2006). http://www.iss.co.za/static/templates/tmpl_html.php?node_id=42 &link_id=25, diakses pada tanggal 2 Februari 2007. Inpres No. 15 Tahun 2005. Tim Sosialisasi Pemerintah, Mengawal dan Mengemankan Agenda Perdamaian di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR).
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 109
SEJARAH KONFLIK DAN PENYELESAIAN MASALAH ACEH: DARI DI/TII SAMPAI GAM Asvi Warman Adam
Kekerasan telah lama terjadi di Aceh dan berlangsung terus setelah Indonesia merdeka. Terdapat kontinuitas penyebab pada konflik politik dari pemberontakan DI/TII dan GAM. Namun terjadi perubahan solusi setelah bencana alam yang dahsyat memporakporandakan daerah tersebut. Bila sebelumnya persoalan diselesaikan dengan senjata maka pasca tsunami konflik ditransformasikan ke wilayah politik. Namun kekerasan yang diderita rakyat Aceh tidak dapat diobati dengan reintegrasi ekonomi dan politik semata-mata, perlu juga reintegrasi sosial dan psikologi.
Pengantar Selama ini daerah Aceh dijuluki Serambi Mekkah. Namun dalam buku suntingannya mengenai Aceh, sejarawan terkemuka Anthony Reid secara ironis memberi judul Veranda of Violence1, Serambi Kekerasan. Memang selama 130 tahun belakangan ini di sana terjadi kekerasan. Kekerasan sudah ada sebelum kedatangan orang Eropa di kawasan ini termasuk di Aceh. Kekerasan dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda terhadap cucunya yang masih kecil dengan melemparkannya ke dinding. Namun Henk Schulte Nordholt berpendapat bahwa kolonialisme mempunyai andil dalam penciptaan kekerasan yang sistematis di Nusantara ini. Ini terlihat dalam kasus perang Aceh, antara 1871 sampai tahun 1910, sebanyak 100.000 orang penduduk tewas, di antaranya 75.000 orang Aceh (15 % dari jumlah penduduk). Untuk seluruh Nusantara, jumlah korban yang tewas
1
Anthony Reid (ed), Verandah of Violence, The Background to the Aceh Problem, Singapore: Singapore UP, 2006
110
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
adalah 125.000 orang, lebih banyak dari penduduk kota Semarang tahun 1910.2 Menurut Anthony Reid 3, kekhasan Aceh dengan daerah lain di Indonesia adalah: 1) Wilayahnya sudah merdeka penuh sebelum tahun 1873 karena penentangan terhadap basis bangsa asing di wilayah mereka.4 2) Rakyat Aceh menemukan identitas mereka dalam hubungannya dengan negara (dinasti Aceh Darussalam) dalam derajat yang tidak ditemukan di tempat lain. Di Jawa identitas itu lebih diperlihatkan dalam kekhasan budaya, pada masyarakat Minangkabau dan Batak dalam ketentuan adat. Informasi dan pengetahuan tentang sejarah Aceh lebih meyakinkan setelah penaklukan yang dilakukan Sultan Ali Mughayat Syah tahun 1520-an terhadap pelabuhan-pelabuhan di belahan Utara Sumatera. Ialah sultan yang pertama memerintah di Aceh dan yang pertama pula memeluk dan mengembangkan agama Islam. Aceh disatukan oleh sebuah dinasti muslim yang bertekad mengeliminasi intervensi asing. Kebangkitan Aceh justeru terjadi ketika melakukan perlawanan terhadap invasi Portugis ke wilayah itu tahun 1509—1520. Motif perlawanan terhadap intervensi asing menjadi raison d’etre bagi eksistensi kesultanan Aceh selama berabad-abad. 3) Aceh kelihatannya tidak memiliki hubungan dengan Jawa atau Batavia sebelum 1873, tetapi sudah memiliki hubungan erat dengan semenanjung Melayu dan beberapa pelabuhan di Samudra Hindia, dan juga dengan Inggris, Perancis dan Turki. 4) Pengidentifikasian diri dengan Turki sebagai terlihat dalam bendera dan meriam abad XVI, dihidupkan kembali abad XIX untuk menampilkan citra alternatif memasuki dunia modern. 5) Resistensi Aceh terhadap imperialisme Hindia Belanda meluas, sengit dan intensif dibanding daerah lain di Nusantara. Selain dari faktor struktural, kekerasan yang terjadi di Aceh itu dipengaruhi pula oleh aspek kultural. Perlawanan rakyat Aceh terhadap penjajah didukung unsur memori kolektif yang dibangun antara lain melalui
2
3 4
Henk Schulte Nordholt, “A Genealogy of violence” in Freek Colombijn and J Thomas Lindblad (eds),Roots of Violence in Indonesia, Leiden, KITLV Press, 2002, hal 37 Ibid, hal 13 Ada persamaan dengan Vietnam yang juga tidak mengijinkan kekuatan asing memasuki wilayah mereka walaupun raja-raja yang saling berperang mau membeli senjata dari pihak luar.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 111
penceritaan hikayat. Menurut Ibrahim Alfian hal tersebut dilakukan dengan retorika jihad melalui Hikayat Perang Sabil. Hikayat di Aceh merupakan puisi yang diceritakan dan memikat bagi para pendengarnya. Itulah yang dibacakan sebelum berperang.5 Di dalam hikayat itu terdapat ajakan untuk berperang melawan orang kafir dan mati syahid. Pada sebuah naskah yang tersimpan di Leiden diuraikan tujuh pahala yang didapat orang yang tewas dalam perang sabil yakni 1) diampuni dosanya, 2) mendapat tempat dalam surga, 3) kuburnya menjadi luas dan ia sentosa di dalamnya, 4) luput dari bahaya kiamat, 5) di dalam surga diberi pakaian indah berhias permata, 6) memperoleh istri bidadari satu mahligai 72 orang, 7) diampunkan oleh Tuhan 70 kerabat dari orang yang mati syahid itu. Mereka yang mengeluarkan dana untuk perang sabil itu akan diberi ganjaran oleh Allah sebanyak 700 kali lipat. 6 Penumbuhan memori kolektif melalui penceritaan hikayat perang sabil tampaknya lebih efektif dari upaya yang dilakukan pemerintah dengan mengangkat sekian banyak pahlawan nasional dari Aceh seperti yang dilakukan kemudian. Tujuannya jelas untuk menampilkan wajah-wajah Aceh dalam album perjuangan bangsa Indonesia. Sejak dari tahun 1964 telah diangkat beberapa pejuang asal Aceh sebagai pahlawan nasional yakni tahun 1964 (Cut Nyak Dien dan Cut Nyak Meutia), 1973 (Teungku Cik Di Tiro, Teuku Umar), 1974 (Teuku Nyak Arief), dan tahun 1993 (Sultan Iskandar Muda). Isa Sulaiman menggarisbawahi eksploitasi ekonomi dan marjinalisasi sebagai penyebab fundamental jangka panjang dari masalah Aceh. Ia menyatakan bahwa gerakan nasionalis Aceh yang dipelopori oleh Hasan di Tiro tidak muncul tiba-tiba tahun 1976 atau tahun 1980-an. Akar penyebabnya adalah persoalan ekonomi dan politik, tetapi keduanya berkombinasi lagi dengan aspirasi, ideologi, kekecewaan, ambisi dan kepentingan. Eksploitasi ekonomi dan politik bukan hanya terjadi masa Orde Baru tetapi sudah dimulai sejak Belanda mengintegrasikan kesultanan Aceh ke dalam lingkungan politik nasional yang berpusat di Batavia. Kondisi ini berlangsung terus kecuali sekitar 5 tahun pada masa revolusi setelah 5
6
Pada tulisan UU Hamidy, “Peranan Cerita Rakyat dalam Masyarakat Aceh” dalam Alfian (ed), Segi-Segi Sosial Budaya Sosial Masyarakat Aceh, Jakarta: LP3ES, 1977, disebutkan bahwa Hikayat Perang Sabil muncul ketika Teungku Tjik Di Tiro (kakek buyut dari Hasan Di Tiro, pencetus GAM) sedang berjuang melawan Belanda tahun 1880-an. Namun berdasarkan tulisan Ibrahim Alfian kemunculan Hikayat Perang Sabil itu jauh lebih awal. Untuk memudahkan pengutipan, bagian ini menggunakan tulisan Ibrahim Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Gadjah Mada UP, 2005.
112
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Indonesia merdeka. Namun menjadi intensif pada era pemerintahan Soeharto ketika modal asing meraup keuntungan dari sumber daya alam lokal. Aceh sendiri tetap miskin, terkebelakang dan terinjak-injak sehingga menciptakan kelompok tertindas. Hasan di Tiro pada mulanya ikut dalam gerakan Pemerintahan Rakyat Indonesia tahun 1962 yang menginginkan Aceh sebagai bagian dari Negara Federal Indonesia. Upaya ini gagal, sehingga menyebabkan Hasan di Tiro kemudian mengubah strategi perjuangan dari inter-cultural nationalism menjadi ethno-regional. Kontinuitas Penyebab Kekerasan sudah berlangsung sejak lama di Aceh, namun kekerasan yang berwujud perlawanan terhadap pemerintah telah terjadi beberapa kali sejak Indonesia merdeka. Tahun 1953 meletus pemberontakan DI/TII dan sejak tahun 1976 muncul gerakan menuntut kemerdekaan Aceh. Kebanyakan penulis melihat diskontinuitas pada kedua peristiwa tersebut. Yang pertama dikatakan gerakan yang masih berada dalam lingkungan Republik Indonesia sedangkan yang kedua disebut sebagai gerakan separatis.7 Seakan-akan terjadi diskontinuitas dalam kedua gerakan tersebut. Tulisan ini ingin memperlihatkan bahwa terdapat kesinambungan pada keduanya terutama menyangkut aspek kekerasan. Jadi penyebab peristiwa itu lebih kurang sama, yang berbeda adalah penanganannya. Yang pertama diselesaikan dengan kekuatan senjata sedangkan yang kedua dicoba diatasi –setelah melalui perundingan—dengan mentransformasikan konflik ke dalam arena politik. Pemberontakan DI/TII meletus tahun 1953. Penyebabnya adalah pertemuan empat sebab yang merupakan kombinasi analisis Nazaruddin Sjamsuddin dengan beberapa pakar yaitu: 8 1) konflik intern masyarakat Aceh yaitu antara ulebalang dengan ulama (Konflik antara ulebalang dan ulama itu menimbulkan Perang Cuemboh menjelang tahun 1945), 2) konflik politik tingkat nasional antara PNI dengan Masyumi (Aceh adalah basis Masyumi) 3) konflik kepentingan rakyat Aceh dengan pemerintah pusat 4) gabungan dari ketiga aspek di atas, dengan catatan bahwa unsur keagamaan tidak hanya terdiri dari ulama tetapi juga non ulama (zuama).
7
8
Seperti tampak pada hasil penelitian riset kompetitif LIPI selama tiga tahun (20022004). Sebagaimana diuraikan dalam laporan riset kompetitif LIPI tahun 2004 “Konflik Aceh: dari DI/TII ke GAM (Gerakan Aceh Merdeka)” oleh Abdurrachman Patji dkk.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 113
Pembubaran propinsi Aceh disampaikan oleh M. Natsir, Januari 1951. Tanggal 27 Januari 1953 Presiden Soekarno berpidato di Amuntai, Kalimantan Selatan yang menyatakan ia menolak Islam sebagai dasar negara. Pemberontakan baru meletus November 1953. Faktor kekerasan dalam kedua peristiwa ini dibahas oleh Edward Aspinall 9 yang menceritakan pertemuannya dengan informan yang terdiri dari dua lusin pengungsi dan simpatisan GAM di Malaysia awal 2004. Yang sangat menonjol dalam pembicaraan mereka adalah aspek kekerasan. Kekerasan yang dialami sendiri, saudara, tetangga, penduduk desa atau yang didengar dari orang lain. Kemudian kekerasan ini ditempatkan dalam konteks penderitaan orang Aceh dan posisi Aceh dalam negara Indonesia. Menurut mereka, “Indonesia adalah penindas dan kolonialis” dan karena itu “Aceh harus merdeka”. Di dalam buku Hasan Saleh10 seorang pimpinan DI seperti dikutip Aspinall juga digambarkan tentang kekerasan yang dilakukan tentara Indonesia termasuk perampokan ketika melakukan operasi militer. Gambaran yang lebih rinci mengenai kekerasan ini diuraikan oleh A.H.Gelanggang11 Bukan hanya perampokan tetapi pembakaran rumahrumah penduduk yang dicurigai sebagai pemberontak, penculikan dan perkosaan. Selain itu juga digambarkan penyiksaan yang dilakukan oleh militer dan polisi. Dalam berbagai kasus, penulis mencantumkan nama para korban dan pelaku kekerasan tersebut. Kekerasan itu dilakukan pertama dalam rangka memperkaya diri, dalam hal ini operasi militer diikuti dengan perampasan harta. Namun yang kedua adalah karena tentara tidak bisa membedakan antara penduduk biasa dengan kombatan. Terjadi pungutan liar sepanjang jalan antara Aceh dengan Medan. Hal ini berlangsung terus sampai masa Orde Baru. Bahkan pada era reformasi sering terdengar ungkapan “Tentara Indonesia datang ke Aceh membawa M 16 tetapi pulang membawa 16 M”. Februari 1955 terjadi pembantaian terhadap warga desa Pulot Leupung dan Cot Jeumpa di Aceh Besar. Sebuah truk tentara meledak karena tangki bahan bakarnya disulut api. Karena tidak dapat menemukan pelakunya, tentara membalasnya dengan menghabisi nyawa penduduk desa, sekitar 9
10 11
Edward Aspinal, “Violence and Identity Formation in Aceh under Indonesian Rule”, in A Reid, Verandah of Violence, The Background to the Aceh problem, 2006 Revolusi Islam di Indonesia, Darussalam: Pustaka Jihad, 1956 A.H.Gelanggang, Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik Mr S.M.Amin (Kutaradja: Pustaka Murnihati, 1956). Menurut Isa Sulaiman, A.H.Gelanggang adalah nama samaran dari Bupati Pidie, T.A.Hasan.
114
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
100 orang tewas. Kekerasan itu menimbulkan solidaritas warga Aceh termasuk yang berada di luar daerah. Para pelajar Aceh yang berada di Jakarta, Yogya, Semarang, Bandung dan Medan mengutuk tindakan tersebut. Bagaimana penderitaan rakyat Aceh saat itu digambarkan oleh Sjamaun Gaharu12 yang pernah menjadi komandan daerah militer Aceh sejak tahun 1956. “Ribuan putra Aceh mati tanpa pusara. Banyak wanita yang jadi janda, banyak anak-anak kehilangan ayah. Pistol, senapan berat dan ringan silih berganti berbunyi. Rakyat biasa bertindih bangkai. Tangisan pilu terdengar di mana-mana. Yang tidak ikut berontak dicurigai. Mereka ditangkap dan dipenjarakan. Penjara Aceh penuh sesak sehingga akhirnya penjara Sumatera Timur dan Tapanuli juga dipenuhi orang Aceh... Para siswa yang belajar di luar Aceh turut menderita. Hubungan dengan orang tua terputus, kiriman tidak ada lagi….Penduduk yang tidak bisa mengungsi terpaksa tetap tinggal di Aceh. Penderitaan mereka lebih parah lagi. Siang hari, pasukan TNI datang dan menanyai rakyat mengenai DI/TII. Bila jawab mereka mereka meragukan, mereka kena tampar, sepak, terjang dan sebagainya. Malam hari pasukan DI/TII gantian datang. Mereka menanyai rakyat. Bila salah jawab, rakyat dituduh Phek (kependekan dari kata munafik). Mereka kemudian dibawa, lalu dibunuh tanpa dimandikan, disalatkan dan dikuburkan tetapi dibuang saja atau ditanam seperti menanam kucing.” Kekerasan ini yang menjadi rutinitas di Aceh tahun 1950-an. Itu pula yang terjadi di sana terutama pada masa DOM (daerah operasi militer) 1989-1998. Ketika komandan GAM diwawancarai televisi swasta (ini bagian dari perang melalui media) yang ditonjolkan adalah kekerasan yang dilakukan tentara Indonesia. Diskontinuitas penyelesaian Bila alasan timbulnya pemberontakan di Aceh yang disebabkan antara lain faktor yang berkesinambungan yakni kekerasan yang dilakukan terhadap rakyat Aceh, maka dalam penyelesaian masalah terdapat perbedaan dari waktu ke waktu. Dalam kasus DI/TII, panglima militer di Aceh, Sjamaun Gaharu mencoba melakukan beberapa upaya untuk membujuk tokoh-tokoh Aceh. Ulama Teungku Abdullah Ujung Rimba diangkat menjadi Ketua MUI Aceh dan kemudian diupayakan untuk dapat naik haji. Ulama besar Aceh lainnya seperti Teungku Hasballah Indrapuri 12
Ramadhan KH dan Hamid Jabbar, Sjamaun Gaharu, Cuplikan Perjuangan di Daerah Modal, Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 1995, hal 318
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 115
diberi fasilitas untuk berobat ke Malaysia. Teungku Ali Teupin Raya mendapat fasilitas untuk belajar ke Mesir. Namun di luar itu, ia berusaha menambah kekuataan TNI di Aceh. Batalyon asal Aceh yang bertugas di Sulawesi dan Sumatera Barat ditarik. Beberapa perwira asal Aceh yang berdinas di daerah lain diusahakan pindah ke Aceh. Sjamaun Gaharu melakukan kontak-kontak pribadi dengan petinggi kombatan. Pertemuan pertama diadakan di kampung Lamteh tanggal 5 April 1957 bukan sebagai perundingan antara pemerintah RI dengan pemberontak DI/TII melainkan pertemuan antara putra Aceh untuk menyelesaikan masalah Aceh. Mereka bersalaman dan saling berpelukan. Pertemuan kedua tanggal 7 April 1957 di tempat yang sama masih membicarakan penghentian permusuhan dan cara-cara pelaksanaannya. Dari pihak RI yang mengikuti pertemuan itu adalah Sjamaun Gaharu, M Insya (Kepala Polisi Sumatera Utara dan Aceh), Mayor A Sani, Kapten Usman Nyak Gade dan Ismail. Sedangkan dari pihak DI/TII hadir Teungku Hasan Alu (Perdana Menteri DI/TII), Hasan Saleh (Menteri Pertahanan DI/TII), Abdul Gani Mutiara (Menteri Penerangan DI/TII) dan Ayah Pawang Leman. Setelah dua jam berunding, mereka saling terdiam dan tiba-tiba terdengar suara keras yang sedih dan pilu dari Ayah Pawang Leman “Kalau Bapak-Bapak tidak sanggup menyelesaikan masalah ini, mari kita bakar saja Aceh ini, supaya kita puas dan agar anak-cucu kita di belakang hari ini akan menuduh kita sebagai pengkhianat, dan orang yang tidak bertanggung jawab.” Setelah ucapan itu berakhir, Ayah Pawang Leman menangis pilu. Sejenak hening di ruangan. Kepala Polisi Sumatera Utara dan Aceh bersuara “ Di awal pertemuan, kita menyaksikan bagaimana panglima perang yang dulu saling tembak telah saling berangkulan. Setelah itu kita makan bersama-sama. Bagaimana sekarang kita mengambil keputusan untuk mengumumkan perhentian permusuhan?” Semua setuju dan ditandatangani Ikrar Lamteh yang berbunyi “Kami putra-putra Aceh, di pihak mana pun berada akan berjuang bersungguh-sungguh untuk: Menjunjung tinggi kehormatan agama Islam, Menjunjung tinggi kehormatan dan kepentingan rakyat Aceh.” Setahun setelah Ikrar Lamteh diucapkan, keamanan belum sepenuhnya pulih di Aceh karena pemberontakan PRRI ikut menyulut api di daerah itu. Baru tanggal 17 Desember 1958 dikeluarkan Memorandum PM Juanda yang menyangkut 1) bidang Politik, Sosial dan Ekonomi dan 2) bidang Militer :
116
1.
2.
13
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Bidang Politik, Sosial dan Ekonomi a) Pemerintah akan memberikan hak dan isi otonomi seluas-luasnya untuk daerah Aceh terutama dalam lapangan keagamaan, pendidikan dan peradatan. Semua tentu saja dalam batas-batas UUD Sementara 1950 dan Undang-Undang serta peraturan lain yang berlaku. b) Mengenai penampungan dari anggota-anggota eks DI/TII, penyantunan terhadap kekacauan, baik moril maupun materil, telah didapat persesuaian yang sama dengan kebijaksanaan selama ini. c) Pemerintah akan menentukan prosedur agar antara DPRD Aceh, Penguasa Perang Daerah, Angkatan Perang dan Pemerintah dapat tercipta kerjasama yang lebih sempurna dalam usaha-usaha menertibkan kembali daerah Aceh. d) Mengenai penempatan wakil-wakil yang capable dan acceptable dari Aceh dalam Lembaga Demokrasi Republik Indonesia pada waktu sekarang, Pemerintah sedang mengusahakan suatu modus yang dapat diterima oleh semua pihak. Bidang Militer a) Atas dasar hasrat kesatuan DI/TII Aceh untuk kembali kepada pangkuan Negara Republik Indonesia, maka kesatuan DI/TII tersebut akan meletakkan senjata dan akan taat kepada pimpinan TNI. b) Pemerintah Republik Indonesia, kemudian menampung kesatuan DI/TII itu dan menyalurkan ke lapangan kemiliteran dan kelapangan kemasyarakatan dalam rangka pembangunan Aceh khususnya dan Indonesia umumnya. Untuk itu: a) Kesatuan tersebut di atas sementara akan diperlakukan sebagai milisi darurat di bawah Komando seorang perwira tertinggi dari kesatuan tersebut. b) Komandan itu berada di bawah Komando Daerah Militer Aceh. Kesatuan tersebut dipelihara oleh Komando Daerah Militer Aceh dan seterusnya dari kalangan mereka direkrut tenaga-tenaga yang memenuhi norma-norma militer yang berlaku guna perluasan TNI di Aceh. c) Pangkat yang diberikan oleh Komandan tersebut di atas ditentukan menurut Instruksi yang diberikan Perdana Menteri, Menteri Pertahanan dan KSAD kepada Komandan Daerah Militer Aceh. 13 Ibid hal 351-353
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 117
Kemerdekaan Aceh Sumatra (Declaration of Independence AchehSumatra) diproklamasikan Teungku Hasan M di Tiro tanggal 4 Desember 1976. Pada mulanya gerakan yang dianggap sebagai Gerakan Pengacau Keamanan itu tidak membawa dampak signifikan. Operasi pihak militer untuk memusnahkan gerakan ini yakni operasi Jaring Merah (1989-1998) yang menjadikan Aceh sebagai DOM (Daerah Operasi Militer) menimbulkan kekerasan yang akumulatif di wilayah tersebut. Suasana euphoria demokrasi yang membuka kran informasi dan berkembangnya media televisi pada masa awal reformasi menyebabkan gerakan ini mendapat angin bahkan mempunyai peluang untuk mendapatkan senjata dalam jumlah yang memadai untuk melakukan perlawanan bersenjata. Penyelesaian Pasca Soeharto: Periode Habibie Bila pada masa Orde Baru, masalah Aceh ditangani dengan senjata, perubahan terjadi setelah Soeharto berhenti menjadi Presiden. Sejak awal reformasi Mei 1998, menguat tuntutan penghapusan DOM di Aceh. Walaupun DOM dinyatakan dicabut oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Wiranto, tanggal 7 Agustus 1998, namun pasukan militer Indonesia tidak berhasil menumpas habis GAM. Dalam pidato kenegaraan di depan DPR 16 Agustus 1998, Presiden Habibie secara resmi meminta maaf kepada rakyat Aceh atas tindakan kekerasan yang dilakukan oknum ABRI. Pada tanggal 31 Agustus 1998 di Lhokseumawe setelah upacara pemberangkatan 652 personil TNI non-organik keluar Aceh terjadi kerusuhan. Komandan Korem 011/Liliwangsa diganti. BJ Habibie mencoba menyelesaikan masalah ini dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dengan mengangkat Menko Kesra sebagai koordinator tim independen. Sesuai dengan usul tim penasihat Presiden tentang Aceh yang dibentuknya, Habibie memberi amnesti kepada 39 narapidana politik GAM (termasuk Teungku Bantaqiah), meminta pemda Aceh membongkar kuburan massal korban DOM dan menguburkan kembali sesuai syariat Islam, memberi bantuan kesejahteraan bagi anak yatim dan janda korban, merehabilitasi bangunan di desa bekas wilayah operasi keamanan, meningkatkan mutu pendidikan di Aceh, memperpanjang landasan bandara Iskandar Muda agar dapat berfungsi sebagai terminal embarkasi haji, membangun Sabang sebagai pelabuhan bebas/terpadu, membangun kembali rel kereta api Banda Aceh-Besitang dan mengangkat 2188 anak korban DOM menjadi PNS tanpa testing. Pembongkaran kuburan massal itu sempat dilakukan di beberapa tempat walaupun mendapat protes dari kalangan LSM yang menuduh
118
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
pemerintah berusaha menghilangkan bukti-bukti pelanggaran HAM berat. Di lain pihak, perkembangan di Timor Timur juga mempengaruhi masyarakat Aceh terutama generasi muda yang menuntut diadakan referendum. Sementara itu kekerasan tetap terjadi di Aceh. Tanggal 3 Mei 1999 dalam operasi sadar rencong I, terjadi kasus Simpang KKA yang menyebabkan 65 orang terbunuh. Tanggal 23 Juli 1999, pasukan yang dipimpin Letkol Sudjono mendatangi pondok pesantren Teungku Bantaqiah sesuai telegram rahasia Danrem 012/Teuku Umar Kolonel Syafnil Armen, karena berdasarkan laporan intelijen di sana disimpan 100 pucuk senjata api.14 Dalam peristiwa ini Teungku Bantaqiah beserta 56 santrinya tewas. Tanggal 30 Juli 1999 Habibie mengeluarkan Keppres no 88 tahun 1999 tentang pembentukan Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan Aceh (KIPTKA) yang diketuai Amran Zamzami. Pada era Habibie dikeluarkan tiga Undang-Undang yang sangat menguntungkan Aceh. Dalam Undang-Undang no 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tercantum “Pengakuan keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh didasarkan pada sejarah perjuangan kemerdekaan nasional, sedangkan isi keistimewaannya berupa pelaksanaan kehidupan beragama, adat dan pendidikan serta memperhatikan peranan ulama dalan penetapan kebijakan Daerah.” Sedangkan dalam Undang-Undang nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, daerah termasuk Aceh memperoleh bagian: 80 % dari penerimaan negara yang berasal dari sumber daya alam sektor kehutanan, pertambangan umum, dan perikanan; 15 % dari sektor pertambangan minyak (setelah dikurangi komponen pajak) dan 30 % dari sektor pertambangan gas alam (setelah dikurangi pajak). Dalam Undang-Undang no 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, syariat Islam ditegaskan sebagai bagian dari keistimewaan dalam bidang agama. Periode Abdurrahman Wahid Pada masa Abdurrahman Wahid dilakukan pembentukan pengadilan koneksitas kasus penembakan Teungku Bantakiyah dan santrinya. Tidak terbukti adanya senjata api di pesantren Teungku Bantaqiah. Dalam persidangan beberapa prajurit diputuskan bersalah dan dijatuhi hukuman namun komandan mereka yakni Letnan Kolonel Sudjono yang meminta cuti pulang ke Jawa, tidak pernah muncul di persidangan. 14
Amran Zamzami, Tragedi Anak Bangsa, Pembantaian Teungku Bantaqiah dan Santrisantrinya, Jakarta: Bina Reksa Pariwara, 2001
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 119
Dalam pemilu 7 Juni 1999, partisipasi yang rendah terjadi pada tiga kabupaten di Aceh yakni Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Namun hasil pemilu di Aceh itu tetap dinyatakan sah. Sementara itu kekerasan tetap saja terjadi di sana. Referendum yang dulu dituntut para mahasiswa kini juga disuarakan oleh HUDA (Himpunan Ulama Dayah Aceh). Inisiatif dari daerah bukannya tidak ada. Bulan Juli 1999 Gubernur Aceh, Syamsuddin Mahmud membentuk tiga tim yang akan menemui Hasan di Tiro di Swedia, Panglima AGAM Teungku Abdullah Syafe’i di pedalaman Pidie dan Presiden Habibie/Pangab Wiranto di Jakarta. Upaya itu tidak membuahkan hasil. Pada Sidang Umum MPR tahun 1999, di dalam TAP mengenai GBHN dinyatakan tentang “penetapan Daerah Istimewa Aceh sebagai daerah otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang”. Dalam pembentukan kabinet, Abdurrahman Wahid mengangkat seorang putra Aceh Hasballah M Saad sebagai Menteri Negara Urusan HAM. Presiden Wahid juga membatalkan rencana pembentukan Kodam Iskandar Muda. Tanggal 8 November 1999, SIRA menggelar Sidang Umum Masyarakat Pendukung Referendum di Banda Aceh yang dihadiri sekitar 200.000 orang. Pertengahan November 1999, Kapolri Jenderal Rusmanhadi mengusulkan digelarnya darurat militer terbatas di Aceh seperti di Pidie dan Aceh Utara. Karena situasinya kian meruncing, Bamus (Badan Musyarawah) DPR 11 November 1999 menyetujui pembentukan Pansus tentang Permasalahan di Daerah Istimewa Aceh. Tanggal 7 Desember Pansus ini mengeluarkan 10 rekomendasi penyelesaian kasus Aceh dengan mendesak pemerintah untuk: 1) Mempercepat proses pengadilan pelanggar HAM berdasarkan pengadilan koneksitas 2) Mengintensifkan dialog dengan seluruh masyarakat Aceh termasuk lembaga legislatif dan eksekutif Daerah Istimewa Aceh. 3) Mencegah diberlakukan darurat sipil atau darurat militer 4) Meningkatkan kerja sama TNI/Polri dengan masyarakat untuk menangkap provokator dan aktor intelektual 5) Menyusun bersama DPR, Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Aceh. 6) Merealisasikan komitmen terdahulu yang menyangkut pelabuhan bebas Sabang, perluasan bandara Iskandar Muda, kompensasi bagi korban HAM, membangun kembali fasilitas umum yang rusak. 7) Menanggulangi pengungsi Aceh dan dari Aceh.
120
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
8) Mengkaji keinginan referendum 9) Menciptakan suasana yang kondusif untuk penyelesaian masalah Aceh 10) Menetapkan jadwal penyelesaian masalah Aceh secara rinci yang dikoordinasikan antara pemerintah Pusat dan Daerah. Sepuluh butir Pansus itu disahkan rapat paripurna DPR 16 Desember 1999. Namun sebulan kemudian, ketika Wakil Ketua Pansus dari FPPP, Teungku Nashruddin Daud berada di Medan ia diculik orang tidak dikenal dan ditemukan sudah menjadi mayat. Pada tahun 2000 terdapat dua langkah penting dalam penyelesaian masalah Aceh yakni dialog dengan GAM yang menghasilkan penandatangan Jeda Kemanusiaan (Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh) Mei 2000 dan dikeluarkannya Perpu no 2 tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang September 2000. Jeda kemanusiaan tahap I berlangsung tiga bulan (2 Juni sd 2 September 2000 yang diperpanjang sampai 27 September). Pada masa ini, kontak senjata antara TNI/Polri dengan GAM tetap terjadi, tetapi sudah berkurang. Dalam dialog antara pemerintah Indonesia dengan GAM tanggal 16 September 2000 disepakati perpanjangan Jeda Kamanusiaan (tahap II) sampai tanggal 15 Januari 2001. Namun pada masa Jeda Kemanusiaan II ini justeru tindak kekerasan meningkat. Sementara itu SIRA menggelar sidang umum masyarakat Aceh “Sidang Raya Rakyat Aceh untuk Kedamaian” (Sira-Rakan). Kegiatan ini cenderung membuat gerakan mahasiswa (SIRA) dan GAM menjadi sinergis. Awal Maret 2001 Exxon Mobil menutup operasinya di Aceh karena ladang gasnya mendapat gangguan dari GAM. Terjadi penembakan terhadap dua helikopter yang membawa rombongan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tanggal 20 Maret 2001 yang menyebabkan pemerintah dan DPR menyetujui operasi militer terbatas di Aceh. Operasi ini menyebabkan kekerasan kembali terjadi di Aceh. Tahun 2001 dikeluarkan Inpres no 4 tahun 2001 tentang Langkah-Langkah Komprehensif Penyelesaian Konflik Aceh. Periode Megawati Soekarnoputri Tanggal 23 Juli 2001 MPR mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden menggantikan Abdurrachman Wahid. Tujuh belas hari setelah dilantik, Megawati menandatangani Undang-Undang no 18 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh dalam
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 121
Bentuk Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Undang-Undang ini memuat sejumlah materi yang berbeda dari apa yang berlaku dalam pemerintahan daerah di Indonesia misalnya tentang pelaksanaan syariat Islam, kewenangan gubernur di bidang keamanan dan penegakan hukum, perimbangan keuangan, kedudukan lembaga legislatif, pengaturan lembaga adat, pengaturan terhadap lambang dan “bendera”, sistem pemilihan kepala daerah secara langsung dll. Penamaan propinsi Nanggroe Aceh Darussalam jelas memberikan nuansa kultural dan historis bagi masyarakat Aceh. Selanjutnya dikeluarkan pula Inpres no 1 tahun 2002 tentang Peningkatan Langkah Komprehensif Dalam Rangka Percepatan Penyelesaian Masalah Aceh. Dengan adanya Inpres no 1 tahun 2002 itu Gubernur NAD bekerja sama dengan Panglima Kodam Iskandar Muda diberikan wewenang dan tugas melakukan dialog untuk rekonsiliasi dengan semua unsur masyarakat Aceh, termasuk GAM. Tanggal 5 Februari 2002 Kodam Iskandar Muda diresmikan dengan Brigjen Djali Yusuf sebagai Pangdam. GAM menginginkan dialog diadakan di luar negeri. Perundingan dilakukan bulan Februari dan Mei 2002 di Swiss (pemerintah Indonesia diwakili Duta Besar S Wiryono). CoHA (Cession of Hostilities Agreement) ditandatangani tanggal 9 Februari 2003. Namun CoHA ternyata tidak efektif karena perundingan tidak dilakukan dengan tatap muka (face to face). HDC (Henry Dunand Center) berperan sebagai “kurir” yang membawa usulan kedua belah pihak dan HDC sebagai fasilitator dinilai tidak netral. Komitmen kedua belah pihak (RI dan GAM) tidaklah kuat. Hal ini berbeda dengan perundingan Helsinki seperti dibahas dalam bab III selain komitmen yang kuat, faktor tsunami dan sorotan serta dukungan internasional membuat pertemuan itu membuahkan hasil yang lebih kongkret. Kelemahan CoHA ini diikuti tindakan kekerasan yang menyebabkan keputusan pemerintah menjadikan Aceh sebagai daerah darurat militer dan kemudian diperbaiki menjadi darurat sipil. . Belum dicapai hasil yang memuaskan, sampai kemudian terjadi bencana alam dahsyat tsunami yang menimpa daerah Aceh tanggal 26 Desember 2004. Peristiwa dahsyat menyebabkan tewasnya lebih dari 100.000 warga dan menyebabkan rusaknya infrasruktur seperti jalan, jembatan, sekolah dan rumah penduduk. GAM kehilangan sekian banyak kombatan dan masyarakat pendukung mereka. Saat itu merupakan momentum yang tepat untuk mencari solusi damai. Perundingan yang terjadi kemudian membuka jalan bagi penyelesaian konflik Aceh yang lebih
122
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
memungkinkan dengan ditanganinya MoU antara GAM dengan pejabat pemerintah Indonesia di Helsinki 15 Agustus 2005. Penutup Kekerasan di Aceh sudah berlangsung lama sebelum era kolonial. Walaupun sejak era penjajahan kekerasan itu dilakukan secara sistematis. Aceh yang sejarahnya sebelum tahun 1873 lebih banyak berorientasi ke mancanegara seperti ke Turki, Inggris, Perancis dan tidak banyak menengok ke pulau Jawa memiliki kebanggaan sendiri sebagai Kesultanan yang tidak pernah dijajah Belanda sebelum abad XX. Integrasi Aceh dengan Indonesia berjalan secara intensif ketika perjuangan merebut kemerdekaan. Aceh termasuk daerah yang menyumbang demikian banyak bagi Republik antara lain dua pesawat terbang. Namun perlakuan yang diterima kemudian dari Pemerintah Pusat menyebabkan elit dan rakyat Aceh kecewa. Tahun 1953 timbul pemberontakan DI/TII dan tahun 1976 dideklarasikan kemerdekaan Acheh-Sumatra yang bersambung dengan pembentukan Gerakan Aceh Merdeka. Memang terdapat perbedaan cara perjuangan kedua gerakan tersebut. Yang pertama berdasarkan Islam dan yang kedua lebih mengarah kepada nasionalisme Aceh. DI/TII cenderung digolongkan sebagai gerakan yang bukan untuk memisahkan diri dari Indonesia sedangkan GAM dianggap sebagai gerakan separatis. Namun kalau diteliti lebih jauh dari gerakan tahun 1953 sampai gerakan tahun 1976 unsur kekerasan yang menimpa warga Aceh merupakan faktor yang menonjol dan berkesinambungan. Oleh sebab itu upaya reintegrasi yang dilakukan di Aceh tidak akan berhasil bila hanya memusatkan perhatian kepada reintegrasi bidang ekonomi dan politik saja. Yang tidak kalah pentingnya adalah reintegrasi psikologis. Oleh sebab itu perlu dipertimbangkan pembentukan lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. Walaupun secara nasional, institusi payungnya telah mati suri, namun peluang untuk membentuk lembaga ini melalui UndangUndang Pemerintahan Aceh masih dapat dilakukan. Penyelesaian konflik Aceh masa lalu (DI/TII) diselesaikan dengan bersenjata. Walaupun ada sedikit perundingan namun kedudukan pemerintah pusat yang jauh lebih kuat menyebabkan solusi yang diambil tetap menimbulkan trauma bagi masyarakat Aceh. Daoed Beureuh memang tidak ditembak mati seperti Soumokil dari RMS namun ketika muncul deklarasi Aceh Merdeka, tokoh kharismatik itu kemudian seakan diasingkan di Jakarta.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 123
Baru dalam kasus GAM, penyelesaian yang berbeda telah diambil. Pasca Soeharto ditempuh cara penyelesaian konflik Aceh yang berbeda dari kebijakan Orde Baru. Selain dari pembuatan beberapa UndangUndang yang sangat menguntungkan Aceh, dilakukan perundingan di dalam dan di luar negeri. Sebelum musibah tsunami, perundingan itu juga diikuti dengan kekerasan di Aceh. Namun peristiwa alam yang dahsyat itu membuat situasi menjadi berubah. Bantuan internasional berdatangan dan wilayah Aceh kini menjadi terbuka setelah sebelumnya tertutup. Suasana ini menyebabkan ketegangan berkurang. Pada tahap selanjutnya konflik bersenjata telah ditransformasikan menjadi persaingan politik dengan membuka peluang bagi eks GAM untuk bertarung dalam bidang politis dan ternyata beberapa elit mereka berhasil memenangkan pemililihan kepala daerah di Aceh. Model penyelesaian konflik Aceh ini menurut Anthony Reid bisa dijadikan model bagi penyelesaian konflik serupa di wilayah lain di Asia. Kepustakaan Hamid, Ahmad Farhan, Jalan Damai Nanggroe Endatu, Catan Seorang Wakil Rakyat Aceh, Jakarta: Penerbit Suara Bebas, 2006 Nurhasim, Moch dkk, Konflik Aceh, Analisis Atas Sebab-sebab Konflik, Aktor Konflik, Kepentingan dan Upaya Penyelesaian, Jakarta: Riset Kompetitif LIPI, 2003 Patji, Abdul Rachman dkk, Negara & Masyarakat Dalam Penyelesaian Konflik Aceh, Studi tentang Peran Pemerintah dan Masyarakat dalam Penyelesaian Konflik Aceh, Jakarta: Riset Kompetitif LIPI, 2004 Ramadhan KH dan Hamid Jabbar, Sjamaun Gaharu, Cuplikan Perjuangan di Daerah Modal, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995 Reid, Anthony (ed), Veranda of Violence, The Background to the Aceh Problem, Singapore & Seattle: Singapore University Press & University of Washington Press, 2006 Thung Ju Lan dkk, Penyelesaian Konflik di Aceh: “Aceh dalam Proses Rekonstruksi & Rekonsiliasi”, Jakarta: Riset Kompetitif LIPI, 2005 Zamzami, Amran, Tragedi Anak Bangsa, Pembantaian Teungku Bantaqiah dan Santri-santrinya, Jakarta: Bina Reksa Pariwara, 2001
124
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
PELUANG DAN KENDALA REINTEGRASI DAN MASA DEPAN PERDAMAIAN DI ACEH Wawan Ichwanuddin Hingga dua tahun sejak penandatanganan MoU Helsinki dilakukan, perdamaian di Aceh masih bertahan. Namun, dalam kurun waktu tersebut usaha untuk mereintegrasikan mantan GAM ke dalam masyarakat dihadapkan pada berbagai kendala. Tulisan ini menyajikan uraian mengenai kendala program yang menghambat implementasi berbagai program reintegrasi yang dijalankan oleh BRA, antara lain menyangkut desain program yang kurang komperehensif, sehingga menimbulkan persoalan dalam penentuan kelompok target hingga penyaluran bantuan, terbatasnya dana yang disalurkan Pemerintah Pusat, dan lemahnya sinergi antarlembaga, khususnya antara BRA dan BRR. Reintegrasi juga dihadapkan pada persoalan lambatnya implementasi UU Pemerintahan Aceh, yang sebenarnya berfungsi sebagai payung hukum bagi implementasi kesepahaman damai yang telah dicapai. Selain kendala program dan lambatnya implementasi UUPA, reintegrasi mantan GAM ke dalam masyarakat juga menghadapi kendala psikologis, yakni masih belum kokohnya mutualtrust antarpihak yang terlibat konflik, terutama terkait dengan perbedaan pandangan mengenai esensi MoU Helsinki dan belum adanya pembubaran GAM secara resmi. Di samping berbagai kendala di atas, tulisan ini menjelaskan bahwa ada dua modal penting yang memberikan peluang dan harapan bagi keberhasilan reintegrasi di Aceh, yaitu adanya dukungan yang begitu besar dari berbagai kalangan terhadap MoU Helsinki serta perdamaian di Aceh dan substansi MoU Helsinki yang memuat pengaturan yang cukup komperehensif dan kreatif terhadap berbagai persoalan krusial, sehingga dapat menjadi fondasi perdamaian yang memadai.
Pendahuluan Setelah sekitar dua tahun terhenti akibat diberlakukannya status darurat militer di Aceh sejak Mei 2003, pembicaraan damai antara Pemerintah Pusat dan pihak GAM dimulai kembali. Setidaknya ada dua faktor penting yang berada di balik perkembangan tersebut, yaitu terpilihnya pasangan
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 125
Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden dalam pemilihan langsung tahun 2004 dan bencana gempa dan tsunami yang melanda Aceh dan Nias, Sumatera Utara, pada 26 Desember 2004. Tidak lama setelah terpilih menjadi wakil presiden, Jusuf Kalla langsung mengumpulkan beberapa orang kepercayaannya untuk mengerjakan rencana rahasia membangun perdamaian di Aceh. Tim inilah yang selama sekian bulan berusaha membangun kontak dengan aktivis GAM, baik yang berada di Aceh maupun di luar negeri, dan mencari pihak ketiga yang dapat diterima oleh kedua belah pihak sebagai penengah yang menjembatani dialog. Upaya ini akhirnya dapat mempertemukan kedua belah pihak untuk melakukan pembicaraan informal yang berlangsung sejak akhir Januari hingga Mei 2005 dengan bantuan fasilitasi dari Crisis Management Initiative (CMI), sebuah lembaga internasional yang dipimpin mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari. Terlepas dari upaya keras pemerintahan baru dalam mencari penyelesaian konflik di Aceh, bencana gempa dan tsunami berperan besar mendorong pihak GAM untuk memulai kembali dialog dengan Pemerintah Pusat. Dengan korban meninggal dunia dan hilang yang mencapai jumlah ratusan ribu jiwa serta kerusakan infrasturktur yang demikian besar, perdamaian dalam jangka panjang menjadi satu-satunya pilihan yang paling masuk akal bagi pemulihan Aceh. Bahkan, untuk memungkinkan masuknya bantuan dari dalam dan luar negeri pada tahap tanggap darurat bencana, pihak GAM mengumumkan gencatan senjata sepihak. Rangkaian pembicaraan yang berlangsung lima putaran antara delegasi Pemerintah RI dan GAM, yaitu pada 7-29 Januari, 21-23 Februari, 12-16 April, 26-31 Mei, dan 12-17 Juli 2005, akhirnya menghasilkan sebuah Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005, di Koenigstedt, sebuah rumah peristirahatan di tepi Sungai Vantaa, yang terletak di barat daya Helsinki, Finlandia. Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM ini, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan MoU Helsinki, memuat kesepakatan dalam berbagai hal, antara lain penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, pengaturan partisipasi di bidang politik, hak-hak ekonomi bagi Aceh, pembentukan peraturan perundang-undangan, penyelesaian pelanggaran HAM, pemberian amnesti dan upaya reintegrasi mantan anggota GAM ke dalam masyarakat, pengaturan keamanan, pembentukan misi monitoring Aceh dan mekanisme penyelesaian perselisihan dalam tahap implementasi kesepakatan di lapangan.
126
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Saat ini, dua tahun telah berlalu sejak MoU Helsinki ditandatangani. Dalam kurun waktu tersebut, perdamaian di Aceh masih dapat bertahan dan kedua belah pihak telah berhasil menuntaskan beberapa poin penting dalam MoU, sementara sebagian lainnya masih dalam proses. Tulisan ini akan menganalisis faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam melaksanakan proses reintegrasi, sehingga dapat menghambat terciptanya perdamaian yang berkelanjutan. Selain itu, tulisan ini juga akan menganalisis peluang apa saja yang tersedia bagi implementasi proses reintegrasi di Aceh. Dari Persoalan Program Hingga Persoalan Psikologis: Sejumlah Kendala Reintegrasi Proses reintegrasi hingga saat ini masih berjalan dan dihadapkan pada berbagai hal yang menjadi kendala bagi tercapainya perdamaian yang berkelanjutan di Aceh, antara lain: kendala program; belum kokohnya kesalingpercayaan antarpihak yang sebelumnya terlibat konflik; lambatnya implementasi UUPA; dan perilaku disintegratif mantan GAM. Kendala Program Persoalan pertama yang terkait dengan masalah program adalah desain program reintegrasi yang kurang jelas dan tidak berkelanjutan. MoU Helsinki memuat kesepakatan yang mengatur beberapa hal untuk mengintegrasikan kembali mantan anggota GAM ke dalam masyarakat secara ekonomi, politik, sosial, dan psikologi.1 Di bidang politik, mantan anggota GAM yang telah mendapatkan amnesti dipulihkan kembali haknya untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik baik di tingkat lokal maupun nasional. Salah satu pencapaian yang paling menonjol di bidang politik adalah diperbolehkannya calon independen untuk bertarung dalam pilkada 2006. Ketentuan sementara yang berlaku hingga digantikan oleh pembentukan partai politik lokal ini, sebagaimana diatur dalam butir 1.2.1 MoU, telah mengantarkan beberapa pasangan calon yang berasal dari kalangan mantan anggota GAM menduduki jabatan kepala daerah. Kemenangan calon independen dari kalangan GAM ini, yang diakui secara resmi pemerintah melalui melalui pelantikan resmi telah menjadi penanda penting telah 1
ISS mendefinisikan renitegrasi sebagai “a complex economic, political, social and psychological process by which former soldiers make the transition from a military life to a civilian life.” “Demobilisation, Disarmament, and Reintegration (DDR)”, http://www.iss.co.za/static/ templates/tmpl_html.php?node_id=42&link_id=25, diakses pada tanggal 2 Februari 2007.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 127
dipulihkannya hak politik mantan anggota GAM. Selain itu, hingga akhir 2007 ada beberapa partai politik lokal yang telah didirikan di Aceh, baik sudah maupun belum dideklarasikan, antara lain Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai GAM2, Partai Aliansi Rakyat Aceh Peduli, Partai Aman Adil Sejahtera (PAAS), Partai Gabthat, Partai Serambi Nasional Indonesia, dan Partai Masyarakat Aceh Bersatu. Jika di bidang politik ada beberapa hal penting yang telah berhasil dicapai, maka di bidang sosial-ekonomi kondisinya relatif lebih rumit. Ada tiga program pokok reintegrasi di bidang sosial-ekonomi yang diatur dalam MoU, yaitu: (1) pemberian dana reintegrasi untuk memfasilitasi pemberdayaan ekonomi mantan kombatan, tahanan politik, dan masyarakat korban; (2) rehabilitasi harta benda publik dan perorangan yang hancur dan rusak akibat konflik; dan (3) alokasi tanah pertanian, penyediaan lapangan kerja bagi mantan kombatan, tahanan politik, dan masyarakat korban.3 Dalam praktiknya pelaksanaan program di bidang sosial-ekonomi ini dihadapkan pada berbagai persoalan, mulai dari definisi yang kurang jelas mengenai kelompok target dan indikator masing-masing kelompok target, jenis kompensasi, hingga mekanisme penyaluran dana kepada kelompok target dan proses sosialisasinya.4 Kurang jelasnya desain program ini juga terlihat dalam realisasi penyaluran dana bantuan yang cenderung bersifat “pukul rata” dan tidak mencerminkan tingkat kebutuhan atau kerugian riil yang diderita. Sebagai contoh, bantuan sosial setiap rumah yang hancur atau dibakar pada masa konflik tidak diklasifikasi secara pasti tingkat kerugiannya dan semua mendapatkan bantuan sebesar Rp 35 juta.5 Persoalan yang sama juga terjadi dalam pemberian bantuan terhadap korban cacat, sebagaimana dituturkan oleh Dr. Nasir Arafat, Ketua BRA Kabupaten Aceh Utara: “... orang yang tidak apa-apa, yang lecet kukunya aja minta, datang minta 10 juta. Dulu kuku saya ini bagus, katanya. Bagaimana dengan orang yang dalam ginjalnya masih ada pelurunya? Kalau dioperasi enggak cukup 10 juta, jadi sangat sulit... Ketentuannya enggak jelas, 2
3 4
5
Pendirian Partai GAM sempat mengundang kontroversi, karena banyak kalangan menganggap bahwa digunakannya nama GAM bertentangan dengan semangat MoU Helsinki, UUPA dan PP tentang Parpol Lokal. Di dalam kesepakatan poin 4.2 disebutkan bahwa GAM tidak akan memakai seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol militer setelah penandatanganan nota kesepahaman ini. Lihat butir 3.2.3 – 3.2.5 MoU Helsinki. Wawancara dengan Fuad Mardhatillah, staf ahli Badan Reintegrasi dan Rehabilitasi Aceh dan Nias (BRR) , pada tanggal 21 Mei 2007. Wawancara dengan Alfian, dosen Universitas Malikussaleh, pada tanggal 24 Mei 2007.
128
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
jadi kita berantem. Orang luka telinganya ini datang minta juga. Jadi, untuk mengidentifikasi cacat aja susah.”6 Selain cenderung “pukul rata”, dana bantuan yang diberikan tidak seluruhnya diterima secara utuh oleh kelompok target. Masih menurut Dr. Nasir Arafat, di Aceh Utara banyak ahli waris dari orang yang meninggal dunia atau hilang karena konflik tidak menerima uang diyat secara utuh, yakni sebesar Rp 3 juta per orang yang meninggal dunia/hilang.7 Ada pihakpihak tertentu yang memanfaatkan ketidaktahuan para ahli waris dengan memotong dana diyat melalui berbagai modus operandi, terutama berupa imbalan yang harus dibayarkan penerima dana diyat atas “bantuan” yang diberikan para calo dalam mengurus proses pengajuan atau pencairan dana. Jumlah potongan yang dikenakan kepada setiap ahli waris cukup besar, bahkan ada ahli waris yang dikenakan potongan hingga Rp 1 juta. BRA Kabupaten Aceh Utara sendiri sudah mencoba mencegah terjadinya pemotongan seperti itu dengan menyalurkan dana diyat secara langsung ke rekening bank ahli waris. Pengusutan dan penindakan terhadap praktik tersebut bukan menjadi kewenangan BRA, melainkan kewenangan aparat keamanan. BRA menyambut baik langkah pihak kepolisian yang meminta data dari BRA untuk menindaklanjuti masalah tersebut.8 Selain itu, desain program di bidang sosial-ekonomi juga nampak dari kecenderungan yang masih kental dengan pendekatan charity. Banyak narasumber yang diwawancarai dalam penelitian ini berpendapat bahwa dana pemberdayaan ekonomi yang diterima oleh masing-masing individu tidak dapat dipastikan penggunaannya. Padahal, reintegrasi ekonomi sebenarnya menghendaki adanya proses yang memberikan para mantan kombatan kemandirian keuangan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan hidup diri mereka dan orang-orang yang menjadi tanggungannya melalui kegiatan produksi atau pekerjaan dengan penghasilan yang memadai. Sementara itu, selama kurang dari tiga tahun sejak didirikan pada tahun 2006 BRA tidak hanya mengalami tiga kali pergantian kepemimpinan, tetapi 6
7
8
Wawancara dengan Nasir Arafat, Ketua Badan Pelaksana BRA Kabupaten Aceh Utara, pada tanggal 25 Mei 2007. Jumlah uang diyat yang diterima ahli waris sebesar Rp 3 juta ini masih bersifat sementara, mengingat hingga saat ini belum ada ketentuan yang baku tentang jumlah uang diyat yang harus dibayarkan. Lihat BRA Provinsi Aceh, Petunjuk Operasional Kerja Program Bantuan Kesejahteraan Sosial dan Budaya BRA Tahun Anggaran 2008. Wawancara dengan Nasir Arafat. Hingga 2006 jumlah ahli waris yang sudah mendapatkan dana diyat mencapai 20.114 orang. Secara keseluruhan hingga tahun 2008 BRA menargetkan untuk menyalurkan dana diyat sebesar Rp 100.272.000.000,kepada 33.424 orang. Lihat BRA Provinsi Aceh, loc.cit.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 129
juga beberapa kali perubahan kebijakan terkait program yang dijalankan.9 Pada masa kepemimpinan Ir. Usman Hamid, M.Si, BRA menerapkan mekanisme pengajuan proposal bertema pemberdayaan ekonomi kepada BRA oleh setiap individu yang merasa memenuhi kriteria yang ditetapkan. Program ini kemudian tidak bisa dijalankan hingga tuntas, karena besarnya jumlah proposal yang masuk dibandingkan dana yang tersedia. Dalam waktu tiga bulan jumlah proposal yang diterima BRA tidak kurang dari 48.000 buah, yang masing-masing berisi rata-rata sepuluh orang calon penerima bantuan, sedangkan dana reintegrasi yang dikucurkan Pemerintah saat itu ‘hanya’ sekitar Rp 200 miliar. Pada masa kepemimpinan Prof. Dr. Yusny Sabi, MA, BRA mengubah pendekatannya dengan merancang program Bantuan Reintegrasi Berbasis Masyarakat bagi Korban Konflik. Program BRA ini menggunakan konsep community development yang telah dijalankan Program Pemberdayaan Kecamatan (PPK) di Aceh sejak tahun 1998. Dalam program ini penerima manfaat tidak ditentukan lagi oleh BRA, tetapi oleh masyarakat sendiri, berdasarkan kriteria-kriteria yang dibuat BRA. Kriteria-kriteria yang dibuat BRA sendiri bersifat fleksibel, karena dapat disesuaikan dengan kondisi riil di lapangan, contohnya dalam hal penggunaan dana bantuan. Jika forum musyawarah di masing-masing desa menyetujui, maka semua warga desa dimungkinkan untuk merasakan manfaat dari program BRA, antara lain dengan menggunakannya untuk pembangunan infrastruktur desa, seperti irigasi, air bersih, atau jalan desa. Besaran dana yang diterima masingmasing desa berkisar antara Rp 60 juta hingga Rp 170 juta, berdasarkan intensitas konflik dan jumlah penduduk. Lagi-lagi karena keterbatasan dana yang tersedia, program ini pun hanya menjangkau sebagian desa di Aceh. Sayangnya, program yang mencoba menguatkan aspek pemberdayaan ini digantikan oleh pendekatan bantuan individual yang kembali digunakan oleh BRA di bawah kepemimpinan M. Nur Djuli. Berbagai kendala yang terkait dengan desain program yang ada, terutama yang terjadi pada fase awal secara umum dapat dilihat sebagai kekurangsiapan BRA dalam mengelola berbagai kegiatan yang demikian kompleks, baik karena keterbatasan waktu dan maupun kurangnya keahlian dalam mengelola program reintegasi.10 9
10
T. Zukhardi S., “Korban Konflik Aceh; Penanganan Tanpa Strategi”, diakses dari www.acehinstitute.org, pada tanggal 30 November 2007. Wawancara dengan Wiratmadinata, aktivis LSM di Banda Aceh, pada tanggal 21 Mei 2007. Dalam menyusun program, BRA juga dianggap kurang memperhatikan hambatan yang potensial muncul.
130
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Persoalan kedua, terkait dengan program reintegrasi, adalah adanya keterbatasan dana. Untuk membiayai program BRA, Pemerintah telah mengucurkan dana sebesar Rp 200 miliar pada tahun 2005 dan Rp 600 miliar pada tahun 2006. Sedangkan pada tahun 2007 dari dana sebesar Rp 700 miliar yang direncanakan, hingga pertengahan tahun hanya Rp 250 miliar yang telah diterima BRA.11 Kecilnya jumlah dana yang direalisasikan berpengaruh besar pada kinerja BRA, mengingat program BRA setiap tahunnya disusun berdasarkan rencana alokasi dana yang telah dibuat sebelumnya. Dengan berkurangnya alokasi dana tersebut, dapat dipastikan bahwa ada banyak target program yang tidak dapat terpenuhi pada tahun anggaran 2007. Padahal, besaran dana bantuan yang disalurkan BRA sebenarnya relatif kecil, kalau tidak dianggap kurang memadai, setidaknya dengan membandingkannya dengan alokasi dana yang disalurkan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi untuk NAD dan Nias (BRR). Beberapa kalangan yang terlibat dalam proses penyaluran dana ini mengakui bahwa dana tersebut hanya sebatas “menahan sakit” dan tidak dapat menyembuhkan.12 Hingga tahun 2006, realisasi penyaluran dana reintegrasi di bidang pemberdayaan ekonomi yang telah mencapai angka 100 persen tercatat baru meliputi tiga kelompok sasaran, yaitu mantan TNA (3.000 orang), GAM non TNA (6.200 orang), dan GAM yang menyerah sebelum MoU (3.204 orang). Realisasi bantuan untuk Tapol/Napol baru sekitar 73,71 persen, masyarakat korban konflik 30,32 persen, dan PETA 61,54 persen. Sementara itu, realisasi penyaluran dana reintegrasi di bidang sosialbudaya persentasenya lebih rendah lagi. Penyaluran dana pengganti tumah dibakar/dirusak, korban cacat, dan pelayanan medis baru mencapai masing-masing 35,56 persen, 15,28 persen, dan 66,67 persen. Bahkan, untuk kegiatan budaya (1 paket), BRA belum menyalurkan dana sama sekali. Hanya realisasi penyaluran dana diyat yang mencapai angka 95,78 persen. 13 Bagi BRA, realisasi pencairan dana oleh Pemerintah Pusat merupakan masalah sensitif, karena para penerima bantuan sudah umumnya sudah mengetahui mengenai jumlah dana yang akan dialokasikan setiap tahunnya. Akibatnya, BRA seringkali berada pada posisi terjepit di antara permohonan
11
12 13
Wawancara dengan Yusny Sabi, Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh dan mantan Ketua Bapel BRA, pada tanggal 21 Mei 2007. Wawancara dengan Alfian, dosen Universitas Malikussaleh dan aktivis LSM.. Laporan Forbes Damai Aceh per 22 Mei 2007.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 131
dana bantuan yang demikian banyak dan terbatasnya dana yang tersedia untuk disalurkan.14 Terkait dengan berakhirnya tugas BRA pada tahun 2008, timbul pertanyaan mengenai jumlah dana yang akan dialokasikan untuk menuntaskan proses reintegrasi di Aceh di masa yang akan datang. Hal ini patut mendapatkan perhatian, mengingat pada saat yang bersamaan lembaga-lembaga donor asing pun mulai mengurangi jumlah bantuannya. Bahkan, saat ini beberapa lembaga internasional sudah meninggalkan Aceh. Proses reintegrasi bukanlah proses instan, karena itu program yang dijalankan pun tidak bisa hanya mencakup program jangka pendek. Terakhir, selain desain program yang lemah dan adanya keterbatasan dana, pelaksanaan program reintegrasi juga dihadapkan persoalan penting lain, yaitu lemahnya sinergi antarlembaga. Ada dua lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani recovery pascatsunami dan pascakonflik, yaitu BRR dan BRA. BRR dibentuk oleh pemerintah pusat dengan tugas pokok mengkoordinir proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias di Sumatera Utara pasca tsunami pada 26 Desember 2004. Sedangkan BRA dibentuk sebagai lembaga khusus yang mengelola program-program reintegrasi mantan anggota GAM dan tahanan/narapidana politik ke dalam masyarakat Aceh. Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dibentuk melalui Surat Keputusan Gubernur No. 330/032/2006 tanggal 11 Februari 2006 dan diubah dengan keputusan No. 330/106/2006 tanggal 13 April 2006 dan Keputusan No. 330/213/2006. Badan ini mempunyai mandat untuk merancang implementasi dana reintegrasi ke dalam tiga bidang, yaitu bidang pemberdayaan ekonomi, kesejahteraan sosial dan budaya, serta data dan monitoring.15 14
15
Pejabat di tingkat pusat biasa menyampaikan ke publik jumlah dana yang direncanakan akan dikucurkan untuk program reintegrasi, tetapi dalam pelaksanaannya tidak seluruhnya jumlah dana tersebut direalisasikan. Dalam beberapa kesempatan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyinggung rencana alokasi dana Rp 700 miliar, meskipun ternyata hingga pertengahan tahun 2007 hanya terealisasi sebesar Rp 250 miliar. Wawancara dengan M. Adli Abdullah, dosen Universitas Syiah Kuala dan tokoh Panglima Laut, sebuah organisasi yang mewadahi masyarakat nelayan, pada tanggal 22 Mei 2007. BRA mengemban misi antara lain: mengakomodir perencanaan dan pelaksanaan antarlembaga pemerintah dan non-pemerintah, baik domestik maupun asing untuk melaksanakan program pemberdayaan ekonomi dalam rangka reintegrasi di Aceh, sesuai dengan MoU Helsinki; melaksanakan program dan kegiatan yang berkaitan dengan reintegrasi Aceh menuju perdamaian yang berkelanjutan di Aceh; mengakomodir dan memantau pelaksanaan pemberdayaan di kabupaten kota/kota agar realisasi program sejalan dengan upaya pemenuhan kesepatan MoU; memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan program dan kegiatan yang telah disepakati; dan mengkompilasi dan mendistribusikan laporan atas realisasi program yang dilakukan oleh masing-masing lembaga pelaksana kepada institusi terkait.
132
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Sejauh ini kerja sama antara BRA dan BRR serta lembaga-lembaga lain yang terlibat dalam proses reintegrasi, rekonstruksi, dan rehabilitasi di Aceh dinilai belum optimal. Seperti diakui mantan Ketua Bapel BRA, Prof. Yusny Sabi dan staf ahli BRR, Fuad Mardhatillah, BRR dan BRA masih berjalan sendiri-sendiri, padahal keduanya bekerja pada wilayah dan subjek bantuan yang sama. Persoalan program yang tumpang-tindih atau perbedaan standar bantuan yang menimbulkan kecemburuan antarwarga penerima merupakan sebagian dari persoalan yang muncul akibat lemahnya sinergi antara keduanya. Sebagai perbandingan, jika besar bantuan rumah BRR mencapai Rp 60 juta, bantuan rumah BRA hanya sebesar Rp 35 juta.16 Baik BRR maupun BRA dibentuk sebagai lembaga yang bersifat sementara dan diberikan kewenangan dan tugas untuk menjalankan program dalam jangka waktu yang terbatas. Hingga penelitian ini dilakukan, belum jelas benar siapa yang akan melanjutkan berbagai pekerjaan yang belum diselesaikan keduanya. Jika tanggung jawab itu nanti diserahkan kepada pemerintah daerah, maka kesiapan aparat sangat mungkin akan menjadi kendala.17 Selama ini BRA kabupaten merupakan perpanjangan dari BRA provinsi yang dirancang dan didanai oleh pemerintah pusat, karena itu pemerintah daerah, termasuk DPRD tidak terlibat. Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah kecilnya peran organisasi masyarakat sipil dalam proses reintegrasi, dimana selama ini sebagian besar lembaga donor internasional yang bekerja di Aceh tidak melibatkan mereka sebagai mitra lokal dalam menjalankan berbagai program dan memilih untuk membawa staf sendiri.18 Kesalingpercayaan Yang Masih Rentan Sejarah konflik yang demikian panjang dan mendalam memang sulit untuk dilupakan begitu saja, sehingga pembentukan rasa saling percaya memerlukan waktu yang tidak singkat. Pada masa awal setelah MoU ditandatangani Irwandi Yusuf, yang saat itu menjabat perwakilan senior 16 17
18
Wawancara dengan Yusny Sabi dan Fuad Mardhatillah. Wawancara dengan A. Humam Hamid, Ketua Badan Pekerja Areh Recovery Forum, pada tanggal 22 Mei 2007. Seorang Kepala Kesbanglinmas di salah satu kabupaten di Aceh mengaku tidak mengetahui mengenai pelaksanaan program reintegrasi yang dijalankan oleh BRA dan hasil-hasil yang dicapai (wawancara pada tanggal 24 Mei 2007). Minimnya peran pemerintah daerah, termasuk DPRD, dalam proses reintegrasi juga diakui oleh seorang wakil ketua DPRD di salah satu kabupaten di Aceh (wawancara pada tanggal 24 Mei 2007). Wawancara dengan Wiratmadinata, Ketua Koalisi LSM Aceh, pada tanggal 22 Mei 2007.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 133
GAM di AMM pernah menolak untuk menyerahkan nama-nama anggota GAM untuk menerima dana reintegrasi. Permintaan untuk menyerahkan nama-nama anggota GAM dianggap tidak sesuai dengan butir-butir yang disepakati dalam MoU Helsinki. Pihak GAM juga menolak dana reintegrasi diambil di dinas sosial setempat, karena takut anggota GAM secara mudah dapat diidentifikasi.19 Keengganan ini menggambarkan masih rapuhnya kepercayaan mantan anggota GAM kepada pemeritah. Ada ketakutan apabila nama-nama anggota GAM beserta posisi mereka diserahkan, maka jika perjanjian gagal, peta kekuatan dan penyebaran mereka akan dengan mudah diketahui lawan. Adanya ganjalan semacam ini kembali terulang pada awal Juli 2007 ketika sebagian mantan GAM mendirikan partai lokal dengan nama Partai GAM serta menggunakan lambang yang sama persis dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka. Reaksi keras pun bermunculan, baik dari kalangan TNI, Lemhanas, bahkan elit partai politik di Jakarta. Sebagian melihat pendirian partai lokal dengan identitas GAM tersebut merupakan indikasi masih adanya keinginan untuk mengusahakan referendum atau jajak pendapat sebagaimana pernah diterapkan di Timtim. Sementara itu, para pendiri Partai GAM membantah pemakaian bendera sebagai lambang partai bertentangan dengan MoU Helsinki, karena bendera bukan merupakan lambang militer.20 Persoalan mutual trust ini barangkali terkait dengan satu hal yang masih tersisa dari MoU Helsinki, yakni tidak adanya pembubaran GAM dan pernyataan resmi bahwa GAM meninggalkan tuntutan kemerdekaan mereka. MoU hanya mengatur pembubaran angkatan bersenjata GAM. Hal inilah yang membuat sebagian kalangan masih memiliki kekhawatiran bahwa GAM akan kembali menyuarakan aspirasi merdeka, mungkin tidak lagi dengan senjata, melainkan melalui jalur politik, antara lain dengan mengikuti pemilihan umum. Kemenangan calon independen dengan latar belakang GAM pada Pilkada 2006 menambah kekhawatiran tersebut.21 Tidak adanya dua hal tersebut memang mengundang kritik sebagian kalangan kepada Pemerintah. Akan tetapi, menurut Rizal Sukma, jika memperhatikan konteks pembicaraan damai yang terjadi saat itu, dapat dipastikan kesepakatan akan sulit tercapai jika isu tersebut dipaksakan untuk diatur dalam MoU. Pimpinan GAM yang terlibat dalam pembicaraan akan mendapat penentangan yang lebih besar dari internal GAM, sehingga 19 20
21
Waspada, 1 Oktober 2005. Hisar Sitanggang “Menyikapi Pembentukan Partai GAM”, www.antara.co.id/arc, diakses tanggal 30 Juli 2007. Sidney Jones, “Priorities for a GAM-Led Government in Aceh”, The Jakarta Post, 29 Desember 2006
134
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
pembicaraan damai mungkin akan menemui jalan buntu dan berakhir tanpa hasil. Rizal Sukma berpendapat bahwa tanpa pernyataan verbal mengenai pembubaran GAM, GAM secara de facto akan bubar dengan sendirinya jika proses disarmament, demobilisasi, dan reintegrasi berhasil dijalankan.22 Pendapat lain yang menjelaskan mengapa pembubaran GAM belum juga dilakukan adalah sikap GAM yang juga masih menaruh curiga terhadap pemerintah, terutama terhadap isi UUPA yang dianggap tidak sepenuhnya mengakomodasi MoU. Teungku Ilyas A. Hamid, Bupati Aceh Utara yang juga mantan pimpinan TNA mengakui bahwa memang ada perbedaan pemahaman mengenai MoU, dimana GAM menerima MoU karena pemerintah pada saat perundingan menawarkan pemerintahan sendiri (selfgovernment) bagi Aceh, bukan otonomi khusus, seperti diatur dalam UUPA. Selain itu, ia mengkritik kebijakan pertahanan yang melihat masih adanya ancaman terhadap kedaulatan Indonesia dari dalam masyarakat. Hingga saat wawancara penelitian dilakukan, menurutnya, pasukan TNI masih keluarmasuk kampung, padahal sebenarnya hal tersebut tidak diperlukan lagi, mengingat mantan anggota GAM tidak lagi memiliki senjata. Tumpang-tindih fungsi pertahanan dan keamanan pada masa transisi semacam itu justru memelihara perasaan saling curiga. Namun demikian, menurutnya perbedaan tersebut masih mungkin untuk didialogkan, dengan catatan masing-masing pihak tidak dengan tawaran yang bersifat harga mati. Kesepahaman yang dihasilkan dari dialog tersebut harus ditindaklanjuti dengan sosialisasi bersama antara tim pemerintah dan tim KPA ke level akar rumput.23 Dalam level berbeda, ada berbagai hal lain yang sebenarnya kurang mendukung usaha untuk menguatkan perasaan saling percaya. Salah satunya adalah keputusan Gubernur Aceh Irwandi Jusuf yang mengangkat Mohamad Nur Djuli, tokoh GAM yang terlibat dalam proses negosiasi, sebagai ketua BRA. Dalam fase transisi semacam ini figur yang lebih netral dianggap akan lebih mendukung upaya penguatan kesalingpercayaan antara berbagai pihak.24 Di samping itu, beberapa pengamat melihat bahwa sejauh ini hubungan antara Irwandi Jusuf dengan pihak TNI tidak terlalu hangat, padahal secara kelembagaan keduanya harus terlibat kerja sama.25
22
23
24 25
Rizal Sukma, “Resolving the Aceh Conflict: The Helsinki Peace Agreement.” www.hdcenter.org, diakses tanggal 10 Juli 2007. Wawancara dengan Bupati Aceh Utara, Teungku Ilyas A. Hamid, pada tanggal 25 Mei 2007. Wawancara dengan A. Humam Hamid. Wawancara dengan seorang wartawan senior di Banda Aceh pada tanggal 22 Mei 2007.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 135
Lambatnya Implementasi UUPA Akar konflik di Aceh yang demikian kompleks, tidak hanya struktural, tetapi juga kultural, sehingga dibutuhkan upaya penyelesaian yang bersifat komperehensif. Karena itu, semua kebijakan yang terkait dengan persoalan Aceh harus memperhatikan seluruh aspek yang menjadi penyebab konflik di Aceh.26 Dalam konteks ini, implementasi ‘kekhususan’ Aceh yang diatur dalam UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh harus mendapatkan perhatian serius. Hingga saat ini implementasi ‘kekhususan’ Aceh tersebut banyak terkendala oleh belum adanya pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan pelaksanaan maupun pengaturan hubungan antara UUPA dengan berbagai undang-undang lainnya, khususnya yang bersifat sektoral dan terkait dengan hak ekonomi Aceh atas kekayaan alam mereka. Setidaknya terdapat 1 Undang-Undang, 9 Peraturan Pemerintah, 3 Peraturan Presiden, dan 59 Qanun Aceh yang diamanatkan untuk dibentuk guna mengimplementasikan UUPA. UUPA hanya memerintahkan satu peraturan pelaksanaan yang berbentuk UU, yaitu mengenai kawasan khusus untuk perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas di Aceh [pasal 4 ayat (4)]. Saat ini Pemerintah belum membuat UU yang spesifik mengatur kawasan khusus untuk perdagangan bebas dan/ atau pelabuhan bebas di Aceh, namun telah menerbitkan UU yang secara umum mengatur tentang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, yaitu Undang-Undang Nomor 44 tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 26
Aceh merupakan salah satu daerah yang memiliki sumber daya alam paling kaya di Indonesia. Ironisnya, sumber daya alam yang kaya ini tidak memberikan kesejahteraan bagi warga Aceh. Selama Orde eksploitasi minyak bumi, gas alam, hutan, dan mineral lain di Aceh menyumbang sekitar 11 persen pendapatan nasional Indonesia. Akan tetapi, ekspansi kegiatan industri, khususnya di bidang gas alam, pupuk, dan pulp telah menimbulkan berbagai dampak yang tidak diharapkan, seperti penggunaan lahan tanpa pemberian kompensasi yang layak bagi petani pemilik tanah dan kerusakan lingkungan. Sumber konflik Aceh lainnya adalah politik Orde Baru yang sangat sentralistis dan memaksakan keseragaman dan mengabaikan karakter asli Indonesia sebagai sebuah bangsa yang plural. Dengan cara pandang semacam ini, dalam jangka panjang program transmigrasi telah melahirkan persepsi kolonialisasi budaya Jawa atas Aceh. Secara politik, sentyralisasi dan penyeragaman juga telah merusak lembagalembaga politik dan budaya lokal, yang kemudian berdampak pada pelemahan identitas lokal orang Aceh. Represi militer dan impunitas pelaku pelanggaran HAM yang terjadi telah menimbulkan trauma sekaligus perasaan benci terhadap Pemerintah Pusat. Lihat Sukma, “Resolving the Aceh Conflict...”, loc cit.
136
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Tentang Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang Menjadi Undang-Undang. Sementara itu, untuk mengatur beberapa permasalahan hukum berkaitan dengan penyelenggaraan administrasi pemerintahan, hak keperdataan, perwalian, pertanahan, dan perbankan, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Wilayah Dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara.27 Setidaknya terdapat 9 pasal dalam UUPA yang menghendaki dibuatnya Peraturan Pemerintah, yaitu untuk mengatur tentang: (1) pembagian kewenangan antara Pemerintah, Pemerintah Aceh/Kabupaten/Kota dan Badan Pengelola kawasan Khusus; (2) kedudukan keuangan Gubernur Aceh; (3) tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur Aceh; (4) tata cara penetapan kriteria calon dan masa jabatan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota; (5) tata cara pengisian kekosongan, persyaratan, dan masa jabatan pejabat Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota; (6) partai politik lokal; (7) persyaratan dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Sekda Aceh dan Sekda Kabupaten/Kota; (8) standar, norma, dan prosedur pembinaan dan pengawasan PNS Aceh/Kabupaten/Kota; dan (9) pengelolaan SDA, minyak dan gas bumi, yang akan dilaksanakan mulai tahun anggaran 2008. Hingga akhir 2007 Peraturan Pemerintah yang telah dibuat adalah: (1) PP No 5 Tahun 2007 tentang Pemindahan Ibukota Kabupaten Aceh Timur dari Wilayah Kota Langsa ke Wilayah Kecamatan Idi di Rayeuk Kabupaten Aceh Timur; (2) PP No. 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh; dan (3) PP No. 32 Tahun 2007 tentang Pemberian Fasilitas Perpajakan dalam Rangka Penanganan Bencana Alam di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara.28 Sedangkan Peraturan Presiden yang dibutuhkan adalah untuk mengatur tentang: (1) tata cara konsultasi dan pemberian pertimbangan mengenai rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintah Aceh yang dibuat oleh Pemerintah, rencana pembentukan UU 27
28
Andi Mattalatta, “Masa Depan Aceh Paska MoU Helsinki dalam Kerangka Integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia” (keynote speech Menteri Hukum dan HAM RI pada Seminar “Masa Depan Aceh Paska MoU Helsinki dalam Kerangka Integrasi NKRI”, yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia pada tanggal 29 November 2007), halaman 7. Ibid., halaman 8-9.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 137
oleh DPR berkaitan dengan Pemeraintahan Aceh, dan kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemeraintah Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah; (2) kerjasama Pemerintah Aceh dengan lembaga/ badan di luar negeri selain yang menjadi kewenangan Pemerintah; dan (3) peralihan Kanwil BPN Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.29 Selain berbagai peraturan perundang-undangan di atas, ada dua lembaga yang diperintahkan UUPA yang hingga saat kini belum terbentuk, yaitu Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh (pasal 259) dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) (pasal 229). Pembentukan Pengadilan HAM di Aceh ini berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pengadilan yang mempunyai kewenangan memutuskan pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi korban pelanggaran HAM di Aceh ini seharusnya sudah terbit paling lambat satu tahun sejak diundangkannya UUPA. Keterlambatan penerbitan PP ini terjadi disebabkan, salah satunya, adanya perdebatan mengenai kemungkinan diterapkannya asas retroaktif. UUPA juga memerintahkan pembentukan KKR paling lambat satu tahun sejak UUPA diundangkan (pasal 260). Keterlambatan ini antara lain disebabkan oleh putusan judicial review Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa pasal 27 UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bertentangan dengan UUD 1945, karena tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada korban. Pemberian kompensasi dan rehabilitasi, sebagaimana diatur dalam pasal 27 tersebut, digantungkan kepada sesuatu yang belum pasti, yaitu amnesti, yang sepenuhnya merupakan kewenangan Presiden. Karena seluruh operasionalisasi UU KKR bergantung dan bermuara pada pasal tersebut, maka implikasi hukumnya mengakibatkan seluruh pasal berkaitan dengan amnesti tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga seluruh ketentuan dalam UU KKR menjadi tidak mungkin untuk dilaksanakan.30 Perilaku Disintegratif Mantan GAM Pilkada Aceh yang diselenggarakan secara serentak pada Desember 2006 ditandai oleh hasil yang menarik berupa kemenangan calon independen asal GAM. Dalam pemilihan Gubernur Aceh pasangan calon Irwandi Jusuf dan Muhammad Nazar yang memperoleh suara 38,2 persen berhasil mengalahkan tujuh pasangan calon lain dengan selisih perolehan suara yang cukup jauh. 29 30
Ibid., halaman 9-10. Ibid., halaman 10-11.
138
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Tabel 1. Perolehan Suara Pemilihan Gubernur Aceh Tahun 2006 No.
Nama Kandidat
Partai Politik/ Afiliasi
Jumlah Persentase Suara
1.
Iskandar Hoesin danSaleh Manaf PBB, PDK, PP Pancasila, 111.553 PNI Marhaenisme, PPD, PBSD, dan PKPB
5,54
2.
Tamlicha Ali dan Tgk. Harmen PBR, PPNUI, PKB Nuriqmar
80.327
3,99
3.
A. Malik Raden danSayed Fuad Partai Golkar Zakaria
281.174
13,97
4.
Ahmad Humam Hamiddan Hasbi Independen Abdullah
334.484
16,62
5.
M. Djali Yusuf dan R.A.Syauqas Independen Rahmatillah
65.543
3,26
6.
Irwandi Jusuf danMuhammad Independen Nazar
786.745
38,20
7.
Azwar Abubakar dan M. Nasir PAN dan PKS Jamil
213.556
10,61
8.
Ghazali Abas danShalahudin Alfata
156.978
7,80
Adan Independen
Sumber: Diolah dari International Crisis Group, “Indonesia: How GAM Won in Aceh”, Asia Briefing, No. 61 (Jakarta/Brussels, 22 March 2007), halaman 2-16. Selain jabatan Gubernur, calon independen asal GAM juga berhasil menjadi pemenang dalam pemilihan kepala daerah di beberapa kabupaten dan kota, antara lain di Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Barat, Kota Lhokseumawe, dan Kota Sabang.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 139
Tabel 2. Pasangan Calon Pemenang Pilkada Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh Tahun 2006 No.
Kabupaten/Kota
Pasangan Calon
Partai Politik/ Afiliasi
1. Kota Sabang
Munawarliza Zein dan Islamuddin Independen
2. Kota Banda Aceh
Mawardi Nurdin dan Illiza PPP, PBR, Demokrat Sa’aduddin Djamal
3. Kab. Aceh Besar
Tgk. Buckari Daud dan Anwar PAN, PBR Ahmad
4. Kab. Pidie
Mirza Ismail dan Nazir Adma
Independen
5. Kab. Aceh Utara
Ilyas A. Hamid dan Syarifuddin
Independen
6. Kab. Gayo Luwes
Ibnu Hasim dan Firdaus Karim
PG, PPP, PAN, PSI, Demokrat
7. Kab. Aceh Timur
Muslim Hasballah dan Nasrudin Independen Abu Bakar
8. Kota Langsa
Zulkifli Zainon danSaifudin Razali Partai Golkar
9. Kab. Aceh Barat
Ramli MS dan Fuadri
10. Kab. Aceh Jaya
Azhar Abdurrahman dan Zamzami Independen A. Rani
11. Kab. Aceh Barat Daya* Akmal Ibrahim dan Syamsurijal
Independen
PAN
12. Kab. Nagan Raya
T. Zulkarnaini danM. Kesem PG PP Pancasila, PBB Ibrahim
13. Kab. Aceh Singkil
Makmur Syah Putra danKhazali
Partai Golkar
14. Kota Lhokseumawe
Munir Usman dan T. Suadi Yahya
Independen
15. Kab. Aceh Tengah
Nasaruddin dan Djauhar Ali
PBR, PAN, PKPI, PP Pancasila
16. Kab. Aceh Tamiang
Abdul Latif dan Awaludin
PAN
17. Kab. Simeulue
Darmili dan Ibnu Aban GT. Ulma
-
18. Kab. Bener Meriah
Tagore Abubakar danSirwandi Laut Partai Golkar Tawar Smik
Catatan: Pilkada di Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Aceh Barat Daya dilakukan hingga dua putaran, karena pada putaran pertama tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara di atas 25 persen, sebagaimana
140
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
disyaratkan peraturan perundang-undangan untuk menentukan pemenang. Pada putaran pertama, di Aceh Barat, pasangan Iskandar - Chudri Yunus dan Ramli MS – Fuadri masing-masing memperoleh suara 18 dan 24 persen. Sedangkan di Aceh Barat Daya, pasangan Akmal Ibrahim – Syamsurijal dan Sulaiman Adami - Munir H. Ubit masing-masing memperoleh 21,9 dan 20,9 persen. Sumber: Diolah dari International Crisis Group, “Indonesia: How GAM Won in Aceh”, Asia Briefing, No. 61 (Jakarta/Brussels, 22 March 2007), halaman 17-21; Kompas, 24 Maret 2007; Kompas, 10 Maret 2007. Terpilihnya calon independen yang seluruhnya memiliki latar belakang GAM ini di satu sisi merupakan peluang bagi proses reintegrasi, dimana pemulihan hak politik mantan anggota GAM untuk berpatisipasi dalam pemerintah telah dilakukan dalam waktu singkat. Setidaknya ini membuktikan bahwa pemerintah sungguh-sungguh memulihkan kembali hak politik mantan anggota GAM untuk terlibat aktif dalam membangkitkan kembali Aceh pasca tsunami dan konflik. Namun, terpilihnya calon independen dari kalangan GAM ini bisa saja tidak memberikan manfaat bagi proses reintegrasi jika kepala daerah terpilih tidak mampu melewati beberapa tantangan mendasar. Ada tiga tantangan utama yang dihadapi oleh mantan anggota GAM yang menduduki jabatan eksekutif. Pertama, mereka harus mampu mengubah mindset mereka selama ini, yakni sebagai pihak yang melawan pemerintah menjadi bagian dari pemerintah. Sebagai konsekuensinya, mereka harus berada pada posisi yang melayani semua pihak dan tidak memberikan privilege kepada kelompok pendukungnya, meskipun faktanya kemenangan mereka juga ditentukan oleh mobilisasi struktur GAM . Beberapa kalangan melihat bahwa saat ini KPA mulai menjadi aktor yang mengambil peran penting dalam pembagian proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah. Di beberapa kabupaten/kota, salah satunya adalah Aceh Utara, KPA telah menjelma sebagai pemerintahan bayangan yang menjalankan peran yang sama seperti TNI di masa lalu. Di pesisir timur, selatan, dan barat Aceh, para kontraktor atau subkontraktor yang mengerjakan proyek pemerintah mengaku menerima permintaan ‘setoran’ dari KPA sebesar 10 hingga 20 persen nilai proyek.31 Meskipun masih perlu dibuktikan lebih lanjut, namun sinyalemen ini patut mendapatkan perhatian.32 Elit GAM yang 31
32
International Crisis Group, “Aceh: Post-Conflict Complications”, Asia Report, No. 139 (Jakarta/Brussels, 4 October 2007), halaman 1 dan 4. Wawancara dengan seorang aktivis LSM di Aceh Utara pada tanggal 26 Mei 2007.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 141
menduduki jabatan eksekutif ini dihadapkan pada tantangan untuk mengubah mantan anggota GAM menjadi warga sipil yang sepenuhnya melakukan kegiatan ekonomi secara legal dan meninggalkan potensi kekerasan yang mereka miliki. Tentu saja, transformasi perilaku ini harus memperhatikan prioritas kebutuhan sosial-ekonomi mantan anggota GAM.33 Kedua, mereka harus mampu menunjukkan kinerja yang baik, terutama terkait dengan kesempatan untuk mengelola keuangan yang jauh lebih besar sejak disahkannya UUPA. Korupsi adalah salah satu persoalan yang ikut membuat Aceh demikian menderita dan masih menjadi ancaman bagi pemerintahan baru, terlebih lagi jika mengingat jumlah uang yang kini dikelola oleh pemerintah daerah.34 Pada tahun 2006 Aceh mendapatkan alokasi dana lebih dari Rp 10 triliun atau meningkat lebih dari tiga kali dari dana yang diperoleh sebelum diterapkannya otonomi daerah pada tahun 1999, yang hanya Rp 2,2 triliun. Pada tahun 2008 diperkirakan dana yang akan diterima Aceh tidak kurang dari Rp 13 triliun. Ketiga, terkait dengan kebutuhan untuk membuat berbagai terobosan guna menyejahterakan rakyat Aceh, mereka dituntut untuk dapat bekerja sama dengan kekuatan politik lain, khususnya partai politik yang berada di DPRD. Kepala daerah tidak memiliki kekuasaan veto untuk memaksakan agenda mereka kepada lembaga legisatif. Selain ekslusivitas KPA, hal lain yang masih menjadi kendala bagi reintegrasi mantan anggota GAM adalah overlaping peran KPA dalam urusan ketertiban dan keamanan di masyarakat. Ada yang melihat pembesaran peran ini disebabkan oleh kepercayaan masyarakat kepada KPA yang mampu menyelesaikan persoalan di dalam masyarakat secara efektif jika dibandingkan aparat pemerintah, yang cenderung lambat dan terlalu birokratis. KPA juga dianggap lebih proaktif dengan melibatkan diri menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat tanpa harus diminta, misalnya dalam menyelesaikan pertengkaran antarwarga. Bahkan, karena efektivitas KPA tersebut, aparat keamanan juga melibatkan KPA untuk melaksanakan tugas kamtibmas.35 Jika overlaping peran KPA dalam 33
34
35
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan Bank Dunia, berikut ini prioritas kebutuhan dan aspirasi mantan anggota GAM: pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, penyedian perumahan, pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelatihan, dan kepemilikan tanah. The World Bank, GAM Reintegration Needs Assessment: Enhancing Peace through Community-level Development Programming (The World Bank, March 2006), hlm. x-xi. The World Bank, “The Aceh Peace Agreement: How Far Have We Come?” Diakses dari http://web.worldbank.org, pada 13 Mei 2007. Wawancara dengan Abkar Abdullah, dosen Universitas Malikus Saleh, pada tanggal 23 Mei 2007.
142
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
urusan ketertiban dan keamanan ini sebenarnya dapat menghambat peralihan mantan GAM ke dalam masyarakat, karena sangat mungkin akan membawa konsekuensi bertahannya KPA sebagai entitas yang tetap terpisah dari masyarakat. Aparat kepolisian seharusnya mengambil peran yang lebih besar dalam mengelola keamanan dan ketertiban masyarakat dengan memberikan pelayanan yang lebih profesional. Kerangka MoU dan Dukungan terhadap Perdamaian: Modal Penting Reintegrasi Di samping berbagai kendala di atas, ada dua modal utama yang menjadi peluang bagi keberhasilan proses reintegrasi, yaitu dukungan dari berbagai pihak terhadap proses damai dan desain MoU yang memberikan fondasi memadai bagi perdamaian yang berkelanjutan. Dukungan terhadap Proses Perdamaian Apresiasi positif dan penerimaan masyarakat Aceh dan Indonesia umumnya terhadap MoU Helsinki merupakan modal penting bagi terpeliharanya perdamaian di Aceh. Survey yang dilakukan Lingkar Survey Indonesia (LSI) pada tahun 2006 menunjukkan bahwa sekitar 67 persen publik Aceh puas dengan kondisi Aceh pasca MoU dan 56,7 persen optimistis dengan masa depan perdamaian di Aceh. Sementara di tingkat nasional, 47,1 persen masyarakat merasa puas dengan kondisi Aceh setahun sejak penandatanganan MoU dan 43,9 persen yakin kondisi yang ada akan membawa perdamaian. Jumlah responden yang menyatakan tidak yakin terhadap dua hal tersebut masing-masing 19,2 dan 26,8 persen.36 Keyakinan yang sama juga ditunjukkan oleh mantan anggota GAM yang menjadi responden survey yang dilakukan oleh Bank Dunia. Sekitar 84,8 persen mantan anggota GAM aktif menyatakan yakin dan sangat yakin terhadap proses perdamaian yang tengah berjalan.37 Persepsi tersebut bisa dilihat sebagai refleksi dukungan dari kalangan mantan GAM terhadap proses yang sedang berjalan. Seorang mantan anggota TNA di Aceh Utara, yang diwawancarai dalam penelitian ini, secara tegas menyatakan akan menolak jika harus kembali mengangkat senjata dan hidup dalam konflik. Ia mengaku bahwa menjadi anggota TNA lebih disebabkan oleh ‘keterpaksaan’ sejarah, yakni dendam atas terbunuhnya anggota keluarga. Karena itu, jika ia diharuskan untuk memilih, maka ia akan lebih memilih 36
37
LSI, “Persepsi Publik Aceh dan Nasional Atas Kondisi Aceh: Aceh Menjelang Setahun MoU Helsinki”, www.lsi.co.id, diakses tanggal 10 Mei 2007. The World Bank, GAM Reintegration..., halaman viii-ix.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 143
proses damai, yang telah memberikan kesempatan kepadanya hidup secara normal. Baginya, MoU adalah penyelesaian terbaik bagi semua pihak.38 Sikap mantan anggota GAM ini mungkin dapat dikaitkan dengan bencana tsunami di Aceh pada akhir Desember 2004, dimana di antara 100 ribu lebih korban tewas adalah anggota GAM dan keluarganya. Kehancuran pasca tsunami juga telah menyulitkan pasokan logistik bagi anggota GAM. Faktor-faktor inilah barangkali yang turut mengubah cara pandang pimpinan GAM, sehingga mau memperhatikan kebutuhan mendesak rekonstruksi dan rehabilitasi serta merespon harapan berbagai kalangan agar pihak-pihak yang bertikai mau kembali ke meja perundingan. Bagi GAM, perdamaian yang ditawarkan Pemerintah Indonesia mungkin merupakan kesempatan terakhir untuk mendapatkan kesepakatan terbaik yang mungkin dapat mereka peroleh.39 Dukungan terhadap perdamaian juga datang dari komunitas internasional, yang memandang MoU Helsinki sebagai penyelesaian terbaik bagi konflik di Aceh dan seharusnya merupakan penyelesaian final. Karena itu, pasca MoU Helsinki aspirasi memerdekakan diri yang selama ini diperjuangkan GAM akan sulit mendapatkan dukungan luas dari dunia internasional.40 Besarnya dukungan internasional juga dirasakan dalam proses implementasi kesepakatan damai. Aceh Monitoring Mission (AMM) yang melibatkan pemantau dari beberapa negara di Uni Eropa dan ASEAN diakui telah bekerja maksimal, sehingga proses awal implementasi, khususnya pelucutan senjata dan demobilisasi dapat berjalan lancar. Sementara itu, lembaga-lembaga internasional, seperti Bank Dunia dan the International Organisation of Migration (IOM) juga telah banyak membantu pemerintah untuk menjalankan program reintegrasi, khususnya melalui berbagai program fasilitasi di bidang sosial dan ekonomi. MoU Helsinki sebagai Fondasi Perdamaian Ada beberapa alasan mengapa MoU Helsinki dianggap sebagai sebuah terobosan baru dalam penyelesaian konflik di Aceh. MoU mengatur beberapa isu pokok dengan cara yang relatif komprehensif serta merefleksikan keinginan kedua belah pihak untuk berkompromi dan menghindari posisi menang-kalah dalam menyelesaikan konflik di Aceh. Selain itu, MoU juga menyediakan formula yang kreatif dalam 38
39 40
Wawancara dengan salah seorang mantan anggota TNA di Aceh Utara pada tanggal 25 Mei 2007. Sukma, “Resolving the Aceh Conflict...”, loc cit. Wawancara dengan M. Adli Abdullah.
144
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
menyelesaikan isu-isu paling sulit yang tidak pernah terselesaikan dalam berbagai pembicaraan damai, seperti isu keberadaan GAM dan tuntutan kemerdekaan yang mereka ajukan.41 Berikut ini setidaknya tiga alasan mengapa MoU Helsinki dapat dikatakan komprehensif. Pertama, jika Jeda Kemanusiaan dan Perjanjian Penghentian Permusuhan atau COHA fokus pada gencatan senjata di tingkat bawah, MoU merupakan usaha pertama yang juga mengusahakan solusi politik. Kedua, MoU adalah kesepakatan pertama antara Pemerintah Indonesia dan GAM yang menjadikan disarmament (perlucutan senjata), demobilisasi, dan reintegrasi (DDR) sebagai sebuah kerangka kerja integral bagi penyelesaian konflik. Pengaturan mengenai disarmament dan demobilisasi memegang peran kunci dalam mengakhiri permusuhan yang sudah sedemikian mendalam antara TNI dan GAM dan membangun kesalingpercayaan antara kedua belah pihak. Di satu pihak hingga Desember 2005 GAM bersedia mendemobilisasi 3.000 anggota TNA dan menyerahkan 840 pucuk senjata, sedangkan di sisi lain Pemerintah Indonesia setuju untuk menarik pasukan TNI dan Polri non-organik dari Aceh, sehingga pasukan TNI dan Polri yang bertugas di Aceh masing-masing akan berjumlah 14.700 dan 9.100 personel.42 Adapun mengenai reintegrasi, MoU Helsinki memuat kesepakatan bahwa Pemerintah Indonesia bersedia menyediakan insentif ekonomi dan memfasilitasi mantan kombatan GAM dan mantan tahanan politik, termasuk penyediaan pekerjaan. Pemerintah Indonesia juga akan memulihkan hakhak politik mantan anggota GAM, antara lain dengan pemberian amnesti bagi semua orang yang pernah terlibat dalam aktivitas GAM, membebaskan tahanan politik, serta memberikan hak partisipasi politik, termasuk mendirikan partai politik lokal, sejauh memenuhi ketentuan yang dibuat Pemerintah. Bahkan, mantan anggota GAM mempunyai hak untuk menjadi anggota TNI atau Polri.43 Ketiga, MoU mengatur sejumlah isu penting menyangkut masa lalu dan masa depan Aceh, mulai dari soal hukum, pemerintahan, penyelesaian pelanggaran HAM, insentif ekonomi hingga mekanisme pelaksanaannya, termasuk susunan kelembagaan dan mekanisme jika terjadi perselisihan. Kesepakatan mengenai pembentukan Aceh Monitoring Mission (AMM), yang terdiri dari Uni Eropa, Norwegia, Swiss dan lima negara ASEAN, yang berfungsi sebagai lembaga monitoring pelaksanaan MoU juga turut 41 42 43
Sukma, “Resolving the Aceh Conflict...”, loc.cit. Lihat butir 4.3, 4.5. 4.6, dan 4.7 MoU Helsinki. Lihat butir 3.2 MoU Helsinki.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 145
membantu menciptakan kondisi yang kondusif. AMM menjalankan mandat untuk memonitor pelaksanaan proses demobilisasi GAM; decommisioning dan penghancuran senjata, amunisi, dan bahan peledak milik GAM; pemulangan pasukan nonorganik TNI/Polri; reintegrasi mantan anggota aktif GAM; dan situasi HAM. Lembaga ini mempunyai wewenang penuh untuk menghukum pelanggaran atas butir-butir MoU dan perselisihan di antara kedua belah pihak dengan keputusan yang bersifat mengikat.44 Butir-butir kesepakatan yang ada dalam MoU Helsinki menunjukkan adanya keinginan yang sangat kuat dari kedua belah pihak untuk mengkompromikan tuntutan awal masing-masing, antara lain menyangkut status final Aceh sebagai bagian dari negara Republik Indonesia. Hak-hak yang diberikan kepada pemerintahan Aceh dalam MoU merupakan jalan tengah antara status merdeka yang dituntut pihak GAM dan otonomi khusus yang ditawarkan Pemerintah Indonesia. Selain itu MoU Helsinki juga merupakan kompromi menyangkut transformasi dan partisipasi politik anggota GAM serta penyelesaian masalah pelanggaran HAM. Pemerintah Indonesia juga bersedia untuk mengkompromikan jumlah pasukan TNI yang ada di Aceh, dimana di luar situasi perang menghadapi ancaman dari luar, di Aceh hanya akan ditempatkan tentara organik.45 Meskipun pada awalnya berbagai persoalan dan insiden sempat terjadi di tingkat bawah, implementasi kesepakatan damai dapat berjalan dan menunjukkan dampak yang signifikan. Jumlah insiden dan korban kekerasan turun secara drastis. Dari akhir Januari hingga Agustus 2005 insiden kekerasan telah mengakibatkan 179 orang meninggal dan 172 orang lukaluka. Sejak penandatanganan MoU hingga Oktober 2005 hanya terjadi tiga insiden besar antara TNI dan GAM, yaitu di Lhokseumawe, Nagan Raya, dan Aceh Timur. Ketiga kasus tersebut mengakibatkan satu orang meninggal dunia dan enam orang luka-luka, terdiri dari empat orang GAM dan dua orang anggota TNI. Ketiga kasus ini langsung ditangani oleh AMM. Tindakan penyiksaan dan intimidasi yang dilakukan baik oleh pihak TNI/ Pori maupun GAM juga mengalami penurunan yang drastis.46 Kemajuan paling penting yang dicapai pada awal implementasi MoU adalah decommisioning dan demobilisasi pasukan GAM dan TNI/Polri. Pada fase pertama, 15-17 September 2005, GAM menyerahkan 243 pucuk senjata untuk dihancurkan oleh AMM, sedangkan TNI/Polri memulangkan masing-masing 6.671 dan 1.300 personelnya kembali ke kesatuannya di 44 45 46
Lihat butir 5 dan 6 MoU Helsinki. Tentang penempatan tentara dalam situasi non-perang, lihat butir 4.11 MoU Helsinki. Sukma, “Resolving the Aceh Conflict...”, loc cit.
146
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
luar Aceh. Pada fase kedua, 14-16 Oktober 2005, GAM menyerahkan 291 pucuk senjata, sedangkan Pemerintah Indonesia menarik 6.117 personel TNI dan 1.050 personel Polri. Pada fase ketiga yang berakhir 22 November 2005 GAM telah menyerahkan 630 pucuk senjata atau sekitar tiga perempat yang disepakati untuk dimusnahkan. Pada saat yang bersamaan 18.000 personel TNI dan 3.700 personel Polri ditarik dari Aceh. Dan, sebelum misi AMM pertama berakhir pada April 2006 penarikan pasukan dan penyerahan senjata telah selesai dilaksanakan.47 Pemerintah Indonesia pun memberikan amnesti kepada 3.000 kombatan GAM dan sekitar 1.900 orang tahanan politik. Pada saat yang bersamaan program reintegrasi, antara lain pemberian insentif ekonomi kepada mantan kombatan GAM mulai dilakukan.48 Berbagai kemajuan ini sangat berpengaruh pada peningkatan kesalingpercayaan antara kedua belah pihak dan sekaligus menjadikan proses damai sebagai proses yang tidak dapat diputar-balik (dibatalkan). Penutup Hingga dua tahun sejak penandatanganan MoU Helsinki dilakukan, proses reintegrasi banyak terkendala oleh lemahnya desain program yang dimiliki BRA, sehingga BRA dihadapkan pada lemahnya efektivitas program yang mereka jalankan. Tidak hanya seringkali dianggap tidak merata, secara umum berbagai program BRA belum mendorong pemberdayaan masyarakat. Pada fase awal, BRA bahkan disibukkan oleh berbagai persoalan mendasar, seperti kejelasan definisi korban, jenis bantuan, serta mekanisme penyalurannya. Lemahnya desain program ini diperburuk oleh terhambatnya realisasi dana reintegrasi oleh Pemerintah Pusat. Hal ini tentu saja tidak hanya dapat menghambat program yang sudah disusun, tetapi juga dapat menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan terhadap kesungguhan proses reintegrasi. Selain itu, selama dua tahun lebih BRA belum mampu menunjukkan sinergi yang optimal dengan berbagai lembaga lain yang terlibat dalam recovery Aceh pasca tsunami dan berakhirnya konflik, terutama dengan BRR. Sementara itu, belum diterbitkannya berbagai peraturan perundang-undangan yang diamanatkan dalam UUPA tersebut akan menghambat implementasi berbagai “kekhususan” Aceh, yang selama ini menjadi salah satu pangkal permasalah di Aceh.
47
48
International Crisis Group, “Aceh: So Far, So Good”, Asia Briefing, No. 44 (Jakarta/ Brussels, 13 December 2005), halaman 1. Republika, 10 Oktober 2005.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 147
Secara psikologis proses reintegrasi menghadapi kendala dengan belum terbentuknya mutual trust yang kokoh. Suka atau tidak suka harus diakui bahwa antara mantan GAM dan sebagian kalangan lain, khususnya di lembaga pemerintah dan di pusat masih terdapat saling curiga, seperti dalam kasus peresmian Partai GAM oleh sebagian mantan GAM. Belum dibubarkannya GAM secara resmi memang menyisakan hambatan bagi peningkatan mutual trust. Padahal, perdamaian hanya dapat terwujud jika masing-masing pihak setuju dan berupaya optimal untuk fokus pada pembentukan kesalingpercayaan. Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah fragmentasi di antara mantan GAM dan dinamika politik tingkat nasional yang demikian mudah berubah. Kesempatan mobilitas vertikal bagi yang terbuka, baik secara politik maupun ekonomi, tidak dinikmati secara merata oleh semua mantan anggota GAM. Beberapa insiden kecil di kampung-kampung di Aceh Utara, misalnya, disinyalir merupakan upaya mantan anggota GAM mencari perhatian dari ‘atasannya’, yang dianggap kurang memperhatikan nasib mereka. Sebagian kalangan melihat kemungkinan kaitan antara ketidakpuasan sebagian mantan anggota GAM terhadap proses reintegrasi dengan peningkatan angka kriminalitas bersenjata api dalam beberapa waktu terakhir serta kasus pelemparan granat di kediaman Sofyan Dawud dan di Lhokseumawe. 49 Keberhasilan pembicaraan damai yang dituangkan dalam MoU Helsinki tidak terlepas dari adanya komitmen politik dari pemerintahan baru pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla (SBY-JK) yang terpilih melalui pemilihan langsung untuk mengusahakan penyelesaian konflik melalui cara dialog dibandingkan penggunaan cara militer. Selama menjadi anggota kabinet pada masa pemerinahan Gus Dur dan Megawati SBY sudah menunjukkan keberpihakannya atas resolusi konflik secara damai, antara lain terlibat dalam mengupayakan Jeda Kemanusiaan I dan II. Sementara itu, JK juga sudah lama memiliki perhatian terhadap penyelesaian konflik di Aceh. Pada awal 2004 ia pernah melakukan pembicaraan dengan sebagian pimpinan GAM mengenai konsesi ekonomi untuk perdamaian, meskipun kemudian gagal. Saat terpilih pada tahun 2004, SBY-JK menempatkan penyelesaian konflik di Aceh sebagai salah satu prioritas kerja pemerintahannya. 49
Kamaruddin, “Merindukan Reintegrasi Sepenuh Hati” (makalah dalam diskusi Peran Elit Lokal dalam Proses Re-Integrasi Politik Pasca MoU, yang diselenggarakan oleh P2P-LIPI pada tanggal 27 Januari 2007), halaman 1. Wawancara dengan seorang wartawan senior di Banda Aceh dan akademisi di Aceh Utara pada Mei 2007.
148
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Komitmen Pemerintahan SBY-JK tersebut didukung oleh beberapa hal, yaitu kemampuan SBY dalam ‘mengontrol’ sikap TNI, seperti ditunjukkan dalam kasus pembatalan usulan pengangkatan Ryamizard Ryacudu sebagai Panglima TNI, yang telah diusulkan oleh Presiden Megawati. Ini didukung oleh keberadaan JK yang memimpin fraksi terbesar di DPR, sehingga memudahkan kebijakan mengenai Aceh tersebut di parlemen. Di sisi lain, JK mempunyai hubungan baik dengan dan juga pengaruh atas kelompok-kelompok Islam besar di Indonesia.50 Dinamika politik nasional ke depan, khususnya setelah Pemilu 2009 mungkin akan berubah secara signifikan. Perubahan ini dapat saja mengubah dukungan politik atas proses yang tengah berjalan di Aceh. Di tengah berbagai kendala yang ada, kita masih tetap dapat berharap proses perdamaian dapat terus bertahan dalam jangka waktu lama. Ada beberapa hal yang yang menjadi modal dan peluang yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Pertama, adanya dukungan begitu besar dan luas terhadap MoU Helsinki dan penyelesaian konflik secara damai di Aceh. Dukungan tidak hanya datang dari masyarakat Aceh dan Indonesia umumnya, tetapi juga dari mantan anggota GAM sendiri dan komunitas internasional. Kedua, MoU Helsinki yang memuat pengaturan yang cukup komperehensif dan kreatif terhadap berbagai persoalan krusial dapat menjadi fondasi perdamaian yang memadai. Masa depan proses reintegrasi dan perdamaian di Aceh pada akhirnya ditentukan oleh kemampuan mengelola dan memanfaatkan peluang serta mengatasi kendala yang ada. Kepustakaan BRA Provinsi Aceh, Petunjuk Operasional Kerja Program Bantuan Kesejahteraan Sosial dan Budaya BRA Tahun Anggaran 2008. 50
Dalam pandangan Damien Kingsbury, penunjukan JK untuk menjalankan agenda ini menguntungkan setidaknya dari tiga hal. Pertama, JK bukan berasal dari kalangan tentara, seperti SBY, sehingga lebih relatif tidak terkendala secara pribadi. Kedua, JK juga kemudian berhasil menjadi ketua umum Partai Golkar, partai pemenang Pemilu 2004 dan menguasai kursi parlemen paling banyak, memungkinkan terhindarnya SBY dari hambatan di dalam parlemen. Ketiga, latar belakang JK yang berasal dari Sulawesi Selatan juga turut menguntungkan, karena ia mempunyai akses personal untuk dapat mendekati masyarakat Aceh. Pada tahun 1950-an baik di Sulawesi Selatan maupun Aceh pernah terjadi pemberontakan DI/TII. Kingsbury, op cit., halaman 15-16. Latar belakang budaya JK ini juga dikemukakan oleh M. Adli Abdullah yang menambahkan bahwa ada hubungan kultural antara Aceh dan Sulawesi Selatan yang telah berlangsung sejak lama.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 149
International Crisis Group, “Aceh: So Far, So Good”, Asia Briefing, No. 44 (Jakarta/Brussels, 13 December 2005). International Crisis Group, “Indonesia: How GAM Won in Aceh”, Asia Briefing, No. 61 (Jakarta/Brussels, 22 March 2007). International Crisis Group, “Aceh: Post-Conflict Complications”, Asia Report, No. 139 (Jakarta/Brussels, 4 October 2007). ISS, “Demobilisation, Disarmament, and Reintegration (DDR)”, http://www.iss.co.za, diakses pada tanggal 2 Februari 2007. Jones, Sidney, “Priorities for a GAM-Led Government in Aceh”, The Jakarta Post, 29 Desember 2006. Kamaruddin, “Merindukan Reintegrasi Sepenuh Hati” (makalah dalam diskusi Peran Elit Lokal dalam Proses Re-Integrasi Politik Pasca MoU, yang diselenggarakan oleh P2P-LIPI pada tanggal 27 Januari 2007). Kingsbury, Damien, Peace in Aceh A Personal Account of the Helsinki Peace Process, (Jakarta: PT Equinox Publishing Indonesia, 2005). LSI, “Persepsi Publik Aceh dan Nasional Atas Kondisi Aceh: Aceh Menjelang Setahun MoU Helsinki”, www.lsi.co.id , diakses tanggal 10 Mei 2007. Mattalatta, Andi, “Masa Depan Aceh Paska MoU Helsinki dalam Kerangka Integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia” (makalah keynote speech Menteri Hukum dan HAM RI pada Seminar “Masa Depan Aceh Paska MoU Helsinki dalam Kerangka Integrasi NKRI”, yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia pada tanggal 29 November 2007). Republika, 10 Oktober 2005. Sitanggang, Hisar, “Menyikapi Pembentukan Partai GAM”, www.antara.co.id/arc, diakses tanggal 30 Juli 2007. Sukma, Rizal, “Resolving the Aceh Conflict: The Helsinki Peace Agreement.” www.hdcenter.org, diakses tanggal 10 Juli 2007. The World Bank, “The Aceh Peace Agreement: How Far Have We Come?” Diakses dari http://web.worldbank.org, pada 13 Mei 2007. The World Bank, GAM Reintegration Needs Assessment: Enhancing Peace through Community-level Dvelopment Programming (The World Bank, March 2006). Waspada, 1 Oktober 2005. T. Zukhardi S., “Korban Konflik Aceh; Penanganan Tanpa Strategi”, diakses dari www.acehinstitute.org, pada tanggal 30 November 2007.
150
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Resensi Buku REKONSTRUKSI SEJARAH ACEH Judul : “ Aceh Sepanjang Abad” Pengarang : H. Mohammad Said. Tebal buku ( dua jilid) : 1160 hal. Penerbit : Harian Waspada Medan, 2007. Buku “Aceh Sepanjang Abad” (jilid I dan II) , tulisan H.Moh.Said adalah buku yang komprehensif mengenai sejarah Aceh. Begitu panjang pembicaraan Moh.Said mengenai sejarah Aceh, membuat buku ini dibagi dalam dua jilid. Buku Moh.Said mungkin hanya segelintir tulisan orang Indonesia mengenai sejarah Aceh. Banyak buku sejarah mengenai Aceh, ditulis oleh orang-orang Barat, terutama Belanda. Buku tersebut , tidak bisa tidak, melihat Aceh dari sudut pandang Barat dan khususnya lagi sebagai kolonial. Sebut misalnya, mengenai sejarah penaklukan Aceh yang ditulis oleh H.C Zentgraaf, dalam buku berjudul “Aceh”. Walaupun penulisnya wartawan yang embedded pada pasukan Belanda dalam Perang Aceh, tulisannya tetap mewakili perasaan dan visi penulis sebagai orang Belanda. Padahal Zentgraaf terkenal sebagai penulis yang banyak memberikan kritik mengenai perlakuan tidak senonoh dan adil pasukan Belanda selama Perang Aceh. Penulis asing lain mengenai sejarah Aceh, tidak terhitung banyaknya, seperti J.E. Banck dengan buku “ Atchin’s verheffing, H.T Damste “ Hikayat Prang Sabil”, A.J.A. Gerlach dan tentu saja speasilis Aceh, Snouck Hurgrounje dalam buku “ De Atjehers”. Tulisan Moh.Said, tokoh wartawan Indonesia dan pemilik surat kabar Waspada, koran tertua di Medan, tentang sejarah Aceh, memang jauh lebih lengkap. Pada jilid ke-satu , ia mulai dari Aceh masa Purbakala , Perkenalan dengan bangsa lain, kedatangan Islam, sampai pada masa Ibrahim Mansyur Syah (1857-1870) . Kemudian pada jilid ke-2, Moh Said menelusuri masa menjelang serangan Belanda, Invansi ke-1 Belanda yang gagal,sampai pada perjuangan Aceh hingga pertengahan 1945. Untuk menulis buku ini, menurut penulisnya, ia telah menjelajah berbagai sumber di dalam negeri maupun di luar negeri, mengumpulkan bahan-bahan.
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 151
Terkadang ia harus meninggalkan keluarga begitu lama dan tentu semua atas biaya sendiri. Sebagai otodidak dalam penulisan sejarah, apalagi yang berpretensi ilmiah, Moh.Said dengan rendah hati mengakui bahwa buku ini, tidak bertujuan untuk menjadi buku ilmiah. Penulis memang tidak memberikan analisis dari berbagai disiplin ilmu sosial, sebagaimana metodologi penulisan sejarah yang diajarkan oleh Sartono Kartodihardjo. Sebuah pendekatan sejarah yang multidimensional. Moh.Said menulis bukunya secara konvensional saja, deskriptif dan naratif ( apa,siapa, dimana dan kapan) . Untuk yang satu ini, kualifikasi Moh.Said sebagai wartawan sangat memenuhinya, karena gayanya yang bertutur , pembaca seperti dibawanya membaca sebuah novel sejarah, walaupun minus imajinasi. Tetapi bukan berarti Moh.Said tidak pernah menyertakan pendapat. Ketika berbicara mengenai pengaruh Hindu misalnya pada Bab II ,Moh.Said meragukan beberapa pendapat peneliti yang menyatakan bahwa telah terjadi pengaruh Hindu pada kebudayaan Aceh. Buktinya ? karena terdapat sejumlah nama yang menggunakan kata Sanskerta, misalnya Indrapura sebagai nama tempat. Begitu pula dengan adanya kuburan yang diduga sebagai kuburan Hindu. Semua ini tidak serta merta membuktikan, suatu kepercayaan Hindu atau budaya Hindu, sungguh-sungguh mengalir ke dalam tubuh orang Aceh dan mengisi kebudayaan orang Aceh ( hal 20). Moh.Said mungkin benar, karena di beberapa tempat di Nusantara ini, terdapat bukti-bukti peninggalan kebudayan bendawi Hindu, pada suatu kelompok masyarakat. Tetapi hal itu bukanlah pertanda, pernah merasuknya kebudayaan Hindu dalam mayarakat setempat. Mungkin hanya sebagai bukti bahwa pernah terjadi persinggahan orang-orang yang punya kepercayaan Hindu, di daerah itu. Tetapi hal itu, tidak langsung bisa dikatakan kebudayaan Hindu sudah pernah diadaptasi mereka. Kecuali di Pulau Jawa, Sumatera Selatan dan sebagian Kalimantan, mungkin ada benarnya. Bantahan seperti ini, juga sudah dilakukan oleh Christian Pelras, antropolog Perancis yang menulis dalam bukunya “The Bugis” (Oxford l996) Dalam buku sejarah ini, Moh.Said juga sering mencoba menyertakan interpretasinya, dengan kata “pada hemat penulis”, seperti halnya dalam bab yang membicarakan mengenai nama-nama asing . Moh.Said mengatakan : “ pada hemat penulis, Kaling ( Holing) yang dimaksud adalah Sriwijaya atau Palembang…..” ( hal. 37). “…Pada hemat penulis, itulah naskah terdahulu Hikayat Sri Rama……dst”. Penulis kadang-kadang melibatkan emosi dengan bumbu kata-kata : “ Menjelang akhir 1857
152
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Belanda sudah memulai langkah jahatnya……( halaman 424). Atau “ dengan liciknya selalu menyalahkan pembajak pembajak laut….( halaman 430). Banyak kata -kata subyektif semacam ini ditemukan dalam dua jilid buku ini. Namun, fakta-fakta sejarah yang diungkapkan penulis, cukup dapat dipertanggungjawabkan, karena rujukannya dilengkapi catatan kaki. Tidak tanggung-tanggung tercatat 206 buku rujukan , di luar sumber-sumber surat kabar dan majalah. Hal ini juga menunjukkan keseriusan penulis dan kewibawaan buku ini. PIMPINAN WANITA Banyak hal menarik yang diungkapkan kembali Moh.Said dalam buku “Aceh Sepanjang Abad” ini. Untuk menunjukkan masyakarat Aceh tidak melakukan diskriminasi gender, dapat dibaca di Bab : Aceh dipimpin oleh raja-raja ( ratu, sultanah) wanita antara tahun 1641-1699 . Atau 43 tahun lamanya pada masa kekuasaan Taj’al Alam, janda Iskandar Tsani dan putri Iskandar Muda. Dalam perhitungan waktu, 43 tahun tidak lama. Tetapi bukan berarti tidak banyak yang terjadi pada kurun waktu tersebut. Waktu 43 tahun berkuasa tidak begitu mudah dipertahankan jika ratu tsb. tidak punya kemampuan yang luar biasa. Bandingkan penguasa Orde Baru yang berkuasa hanya 32 tahun saja, sudah bisa memberi bentuk cara berpikir, mereorientasi bentuk Negara,dsb . Begitu pula masa kekuasaan komunis yang berkuasa setelah kejatuhan kaisar Rusia. Bahkan ideologi negara bisa menciptakan polarisasi dunia berpuluh tahun. Hal ini menunjukkan, masa pemerintahan penguasa-penguasa wanita itu, bukan waktu yang sedikit untuk merubah peradaban di Aceh. Untuk konteks politik modern, sejak dulu Aceh sangat demokratis dalam memilih pimpinan , tidak ada perbedaan seorang wanita atau seorang laki-laki yang berhak duduk sebagai pimpinan. Ternyata pada masa itu , juga konsep ekonomi, dimana wanita dinyatakan mempunyai hak atas harta pencarian suaminya sudah digunakan. Wanita tidak melulu dianggap feminis sebagaiman kodratnya. Di Aceh, wanita sebagai panglima perang juga sudah dibuktikan dengan hadirnya Cut Meutiah dan Cut Nya’ Din. Perlawanan Cut Nya’ Din bahkan tidak bisa dianggap enteng oleh Belanda. Untuk melumpuhkan perlawanan Cut Nya’ Din yang kemudian sudah uzur dan buta, Belanda mengirim ekspedisi perang yang tidak tanggung-tanggung. Dengan persenjataan yang lengkap, perwira lulusan akademi militer, strategi perang mutakhir (abad itu), Pasukan Belanda memerlukan waktu lama mengejar dan melumpuhkan Cut Nyak
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 153
Din. Jika bukan karena penghianatan Panglima Lot, pembantu dekat Cut Nya’ Din ( karena kasihan melihat kondisi phisik Cut Nya’ Din), mustahil pahlawan wanita itu bisa ditangkap dan diasingkan ke Sumedang. Bab-bab terakhir buku ini, memang diisi banyak cerita perang. Lihatlah misalnya Perjuangan Teuku Umar, Perjuangan Cuk Nya’ Dien isterinya, bahkan sampai perjuangan putri Teuku Umar . Dalam bab tersebut, Moh.Said tidak sedikit mengungkapkan kekejaman dan kebrutalan pasukan Belanda melawan pejuangan-pejuang Aceh. Semua cerita seperti ini , tentu dengan rujukan yang punya kredibilitas, jarang ditemui dalam buku-buku teks dan perang Aceh yang ditulis oleh sumber-sumber Belanda. ACEH TERLAMBAT MERDEKA ? Apa hikmah setelah membaca buku ini ? Jika kita berbicara tentang perang Aceh, menarik untuk mengetahui, kenapa stamina rakyat Aceh begitu kuat melawan musuh? Senjata “agama melawan kafir”, juga menjadi senjata yang sama kerajaan-kerajaan lain untuk melawan Belanda? Perang di Aceh melawan Belanda masih berlanjut sampai tahun 1933 di Blang Pidi, Tapak Tuan dan beberapa daerah lagi. Sementara di daerah lain di Nusantara ini, sudah terkalahkan habis dipenghujung tahun 1900? Kenapa Aceh masih diselimuti suasana peperangan yang tidak habis-habisnya? Ada jawaban sementara yang menarik, bahwa di seluruh Aceh, dari Aceh Besar sampai Aceh Selatan, -walaupun kemudian negeri ini pernah dimasukkan sebagai bagian dari Sumatra Utara-, tidak pernah timbul kerajaan kecil yang berlawanan satu sama lain. Musuh bersama dan utama mereka akhirnya tertuju hanya pada Pasukan Belanda yang dicapnya bangsa “kahfe” itu. Setelah Indonesia merdeka, semangat perlawanan rakyat Aceh –minimal sebagian- masih melakukan perlawanan kepada pemerintah Indonesia, bukan lagi kepada negara penjajah. Tetapi H. Mohammad Said, yang wafat pada tahun 1995, tidak sempat menyaksikan apa yang terjadi di Aceh setelah itu. Apa pula yang terjadi dengan Perjanjian Helsinki. Tetapi buku Moh. Said “ Aceh Sepanjang Abad”, telah berhasil merekonstruksi sejarah Aceh untuk kita semua.(VA.Sapada)
154
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki
Biodata Penulis S. Wiryono Diplomat senior Departemen Luar Negeri (Deplu), pernah menjadi Dubes RI untuk Austria, Perancis dan Australia, Ketua Tim Juru Runding Delegasi RI dalam Kesepakatan Damai Aceh (2002). Gubernur Asia-Europe Foundation untuk Indonesia. R Siti Zuhro Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik - Lembaga, Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan the Habibie Center (THC). Menyelesaikan studi S1 Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNEJ, Jember. Mendapat gelar MA Ilmu Politik dari The Flinders University, Adelaide, Australia dan PhD Ilmu Politik dari Curtin University, Perth, Australia. Chief Editor Postscript The Habibie Center. Menulis artikel “Continuity and Change in the Indonesian Bureaucracy Since 1998” (Black Swan Press, 2002) dan “The Neutrality Movement of the Bureaucracy and the 1999 election: Some Lessons for the Reformist Movement in Indonesia” (Black Swan Press, 2003). Menulis buku Konflik dan Kerjasama AntarDaerah: Studi Kasus Pengelolaan Kewenangan di Jawa Timur, Kalimantan Timur dan Bangka Belitung (Jakarta: LIPI, 2004); Menata Kewenangan Pusat-Daerah yang Aplikatif-Demokratis (Jakarta: LIPI, 2005); Profesionalitas dan Netralitas Birokrasi: Menuju Daya Saing Ekonomi Daerah, Studi di Empat Provinsi (Jakarta: The Habibie Center dan Hanns Seidel Foundation, 2007). M. Nur Hashim Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Salah seorang anggota tim penelitian yang mengambil tema tentang Hak Pilih TNI dalam Pemilu. M. Hamdan Basyar Peneliti Utama bidang Politik pada Pusat Penelitian Politik – LIPI. Selain itu, dia juga sebagai pengajar pada Program Pasca Sarjana Kajian Timur Tengah dan Islam – UI, dan Program Pasca Sarjana Hubungan Internasional – UI. Aktivitas lain sebagai Wakil Sekjen Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dan Direktur Eksekutif The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES). Beberapa
Aceh Pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 155
tulisannya dimuat di berbagai media massa. Kontributor dan co-author sejumlah buku. Asvi Warman Adam DEA dan doctor di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris, Perancis, 1984-1990. Sarjana Muda Sastra Perancis, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1977. Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 1983-sekarang. Lektor Bahasa dan Sastra Indonesia di Institut Nasional des Langues et Civilization Orientales), Universite de la Sorbone-Nouvelle, Paris, 1984-1986. Penulis sejumlah buku. Wawan Ichwanuddin Menyelesaikan Program Sarjana Ilmu Politik di FISIP UI dan kini tengah menyelesaikan studi S2 di Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI. Sejak 2006 menjadi peneliti pada Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Selain itu, penulis aktif menjadi pengajar tidak tetap di Departemen Ilmu Politik FISIP UI.