Jurnal Penelitian
Politik Vol. 12, No. 2, Desember 2015
DAFTAR ISI Catatan Redaksi iii Artikel • PKB, Kegagalan Pelembagaan Shared Values dan Dampaknya Firman Noor 1–20 • Rekonstruksi Sistem Pemilihan Gubernur dan Pemilihan Bupati/ Walikota di Indonesia Eko Noer Kristiyanto 21–31 • Hubungan Negara-Warga dan Demokrasi Lokal: Studi Konflik di Bima Septi Satriani 33–49 • Fenomena ‘Bosisme Lokal’ di Era Desentralisasi: Studi Hegemoni Politik Nur Alam di Sulawesi Tenggara Eka Suaib dan La Husen Zuada 51–69 • Nilai Strategis Aliansi Indonesia dengan Amerika Serikat dalam Pengamanan Blok Laut Ambalat Yanyan M. Yani dan Ian Montratama 71–86 Resume Penelitian • Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu Keamanan Non-Tradisional Athiqah Nur Alami 87–103 • Menata Ulang Pemilukada Menuju Tata Kelola Pemerintah Daerah Demokratis, Akuntabel, dan Berkelanjutan Kurniawati Hastuti Dewi 105–118 • Problematika Kekuatan Politik Islam di Yaman, Suriah, dan Aljazair Muhammad Fakhry Ghafur 119–135 Review Buku • Indonesia - Taiwan ECA: A Need of Strong Policy Action René L Pattiradjawane 137–139 Tentang Penulis 141–142 Indeks 143–144 Pedoman Penulisan 145–149
| i
ii | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013
CATATAN REDAKSI
Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya melalui kebiajkan-kebijakan publik yang dihasilkannya. Kebijakan publik tidak hanya berfungsi untuk mengatur berbagai segmen kehidupan bernegara tetapi juga sebagai perlindungan pemerintah atas kehidupan masyarakatnya. Proses perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan publik selalu menarik untuk dikaji dan diperbincangkan. Pada satu masa atau pada satu kelompok masyarakat, sebuah kebijakan publik dirasakan memberikan kebaikan, namun pada masa dan kelompok masyarakat yang lain, kebijakan publik justru menjadi penghancur usaha masyarakat menuju kebahagiaan hidupnya. Proses perumusan kebijakan publik tentu idealnya berasal dari persoalan-persoalan mendasar yang ada di dalam masyarakat, serta memberikan ruang kepada masyarakat untuk terlibat langsung dan aktif dalam perumusan tersebut. Proses perumusan kebijakan publik amat sering mengalami politisasi dari penguasa atau elit politik. Tidak jarang sebuah kebijakan publik menjadi tidak dapat ditetapkan atau disahkan berkat campur tangan para elit yang merasa terganggu keberadaannya. Namun, di sisi lain, tidak mengherankan jika sebuah kebijakan publik yang justru merugikan rakyat malah didahulukan untuk ditetapkan. Implementasi dari kebijakan publik pun mengalami berbagai persoalan. Tebang pilih, seringkali dilihat sebagai persoalan utama ketika implementasi sebuah kebijakan tidak diberlakukan sama rata. Hal yang juga seringkali dilupakan adalah menyiapkan perangkat peraturan pelaksana dan personil yang dapat mengawasi proses implementasi dari kebijakan tersebut. Pada tataran evaluasi, rekomendasi dari hasil evaluasi implementasi sebuah kebijakan publik seringkali diabaikan oleh para pemangku kebijakan. Hasil sebuah evaluasi seringkali
tidak menjadi rekomendasi utama dalam perumusan kegiatan-kegiatan pemerintah yang bersinggungan dengan kebijakan tersebut. Berbagai persoalan secara teoritik dan praktis dari politik dan kebijakan publik inilah yang mendorong Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 2, Desember 2015 kali ini mengangkat tema berbagai persoalan terkait dengan politik dan kebijakan publik dan beberapa isu yang terkait dengannya. Terbtan kali ini menyajikan lima artikel, tiga resume penelitian dan satu artikel review buku, yang kami sajikan di bawah tema “ Politik dan Kebijakan Publik: Perspektif Teori dan Praktis”. Artikel pertama merupakan tulisan dari Firman Noor, yang membahas tentang “PKB, kegagalan Pelembagaan Shared Values dan Dampaknya”. Dalam tulisannya, Firman mengulas tentang kegagalan PKB dalam pelembagaan shared values, ia mencatat bahwa dari sisi substansi, muncul sebuah relativisme yang menyulitkan penciptaan distinctive values bagi partai ini dengan partai-pertai yang berlatar belakang NU lainnya. Pada sisi aplikasinya, nilai-nilai yang bekerja pada level keormasan (civil society), yakni NU, tidak dapat dengan mudah ditransformasikan pada level partai (political society). Artikel selanjutnya mengulas tentang “Rekonstruksi Sistem Pemilihan Gubernur dan Pemilihan Bupati/ Walikota di Indonesia” yang ditulis oleh Eko Noer Kristiyanto. Dalam tulisannya ini, Eko memberikan rekomendasi untuk perubahan kebijakan dalam hal sistem pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Dasar pertimbangan yang ditelaah dalam tulisannya didasarkan pada kajian terhadap kaidah-kaidah hukun dan asas-asas hukum yang selama ini mengatur tentang sistem pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, yang dilakukan secara langsung. Telaah yang dilakukan oleh Eko Noer menitikberatkan ketimpangan dan dualisme dari
Catatan Redaksi | iii
kedudukan, peranan, fungsi dan kewenangan Gubernur dan Wakil Gubernur di era otonomi daerah yang berbeda jika dibandingkan dengan Bupati/Walikota. Artikel ketiga merupakan hasil karya dari Septi Satriani, yang melihat pada “Hubungan Negara-Warga dan Demokrasi Lokal: Studi Konflik Tambang di Bima”. Tulisan ini berangkat dari premis bahwa negara demokratis adalah sebuah negara yang jika hubungan Negara dan Warga tidak berbatas, lebih sejajar, lebih terlindungi dan ikatan untuk konsultasi juga lebih kuat. Dengan berpijak pada premis tersebut, Septi memperlihatkan dalam tulisannya bagaimana derajat demokrasi yang dibangun antara Negara (Bupati) dengan warga Kecamatan Lambu. Tulisan ini menyimpulkan bahwa hubungan politik Negara atau Bupati Ferry dengan Warga dalam konflik tambang di Kecamatan Lambu dalam posisi yang terbatas atau tidak luas, terbatas dalam hal aman terlindungi dan posisi konsultasi yang tidak saling mengikat. Eka Suaib dan La Husen Zuada dalam artikel selanjutnya menulis tentang “Fenomena ‘Bosisme Lokal’ di Era Desentralisasi: Studi Hegemoni Politik Nur Alam di Sulawesi Tenggara”. Tulisan ini mengangkat seorang politisi di Sulawesi Tenggara, bernama Nur Alam yang cukup fenomenal sebagai pemimpin politik dan bahkan penguasa sumber-sumber ekonomi di wilayah tersebut. Dalam tulisannya tersebut, Eko menyebut Nur Alam sebagai “bos lokal” yang menguasai akses politik, birokrasi, hukum dan ekonomi di Sulawesi Tenggara, dengan didasarkan pada konsep yang disampaikan oleh John Sidel terkait “bos lokal”. Artikel dengan judul “Nilai Strategis Aliansi Indonesia dengan Amerika Serikat dalam Pengamanan Blok Laut Ambalat” yang ditulis oleh Yanyan M. Yani dan Ian Montratama adalah artikel keempat yang disajikan dalam jurnal edisi ini. Artikel ini melihat berbagai manfaat bagi Indonesia untuk beraliansi dengan Amerika Serikat dalam kasus pengamanan perairan bermasalah di Blok Laut Ambalat. Lewat tulisan ini Yanyan dan Ian menunjukkan bahwa kemitraan strategis RI dan AS membuka jalan untuk meningkatkan kekuatan relatif bagi Indonesia, sekaligus menurunkan
kekuatan aliansi FPDA yang mana Malaysia merasa memiliki kekuatan yang lebih besar dari Indonesia di dalam aliansi tersebut. Tiga artikel selanjutnya merupakan bentuk resume penelitian yang dihasilkan di Pusat penelitian Politik. Resume penelitian pertama dengan tema “Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu Keamanan Non-Tradisional”, ditulis oleh Athiqah Nur Alami. Penelitian ini merupakan assesment terhadap pola dan tren pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia dalam empat isu keamanan non tradisional, yaitu lingkungan hidup, keamanan energi, migrasi internasional dan terorisme internasional. Kajian ini menganalisis perkembangan dan pengaruh isu-isu keamanan non tradisional yang strategis bagi politik luar negeri Indonesia. Resume kedua adalah rangkuman dari penelitian dengan tema “Menata Ulang Pemilukada Menuju Tata Kelola Pemerintahan Daerah Demokratis, Akuntabel, dan Berkelanjutan”, yang ditulis oleh Kurniawati Hastuti Dewi. Penelitian ini merumuskan model penataan ulang Pemilukada yang tepat bagi Indonesia. Melalui penelitian ini, tim merekomendasikan agar Pemilukada dilakukan secara “asimetris”, di mana Pemilukada dilaksanakan bervariasi levelnya tergantung kemampuan sumber daya manusia dan kemampuan keuangan daerah. Resume selanjutnya berkenaan dengan “Problematika Kekuatan Politik Islam di Yaman, Suriah dan Aljazair”. Resume penelitian yang ditulis oleh Muhammad Fakhry Ghafur ini menyajikan dinamika gejolak politik yang terjadi di Yaman, Suriah dan Aljazair. Ketiga negara tersebut dalam penelitian ini memperlihatkan gejala yang hampir sama, yaitu kecenderungan untuk kembali pada pemerintahan otoritarianisme. Pada bagian terakhir kami menyajikan artikel berjudul “Indonesia-Taiwan ECA : a Need of Strong Policy Actions” dalam bentuk review buku yang ditulis oleh René L Pattiradjawane. Ia memberikan review atas buku yang berjudul “Indonesia-Taiwan Economic Cooperation Arrangement: Is it Feasible?”. René menjelaskan berbagai kemungkinan bagi Indonesia untuk membentuk kerjasama di bidang ekonomi
iv | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015
dengan Taiwan, mengingat semakin besarnya peran Taiwan dalam peta ekonomi dunia saat ini. Apakah Indonesia akan siap berada di antara dua kekuatan, Taiwan dan Beijing? Serta bagaimana menempatkan diri dalam hubungan bilateral dengan kedua negara yang saling berseberangan secara politik tersebut.
kehadiran jurnal ini dapat bermanfaat dalam memperkaya khasanah keilmuan dan praktis terkait dengan kebijakan publik dari sisi teori dan praktis. Selamat membaca.
Redaksi
Pada akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang telah berkontribusi dalam penerbitan Jurnal Penelitian Politik, mulai dari penulis, mitra bestari dan pengelola jurnal. Kami berharap semoga
Catatan Redaksi | v
vi | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013
Jurnal Penelitian
Politik Vol. 12, No. 2, Desember 2015
DDC: 324.23 Firman Noor
PEMILIHAN BUPATI/ WALIKOTA DI INDONESIA
PKB, KEGAGALAN PELEMBAGAAN SHARED VALUES DAN DAMPAKNYA
Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 2, Desember 2015, Hlm. 2131
Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 2, Desember 2015, Hlm. 1-20
DDC: 352.14 Eko Noer Kristiyanto
Pemilihan kepala daerah dimaksudkan untuk memilih kepala daerah yaitu gubernur di tingkat provinsi dan bupati/walikota di tingkat kabupaten/ kota. Pengisian jabatan kepala daerah di tingkat provinsi adalah sama dengan pengisian jabatan kepala daerah di kabupaten kota, yaitu dipilih secara langsung oleh rakyat. Di Indonesia, penyelenggaraan pemerintahan menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dekonsentrasi dan tugas pembantuan diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah yang secara sederhana didefinisikan sebagai penyerahan kewenangan. Sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada gubenur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi. Mengingat perbedaan kedudukan provinsi dan kabupaten/ kota serta perbedaan peranan antara gubernur dan bupati/ walikota, apakah cara pemilihan kepala daerah yang dilakukan di provinsi dan kabupaten/kota harus sama?. Tulisan ini menjelaskan bahwa pemilihan di provinsi sebaiknya dilakukan secara tak langsung, namun disisi lain pemilihan langsung harus tetap dipertahankan di tingkat kabupaten/ kota. Banyak hal positif jika dua mekanisme ini dilaksanakan dan cara ini tidak bertentangan dengan konstitusi.
REKONSTRUKSI SISTEM PEMILIHAN GUBERNUR DAN
Kata Kunci: pemerintahan daerah, kepala daerah, dekonsentrasi, desentralisasi.
Kegagalan PKB dalam melembagakan shared values memiliki dampak yang serius bagi keberadaan partai ini. Kegagalan ini disebabkan oleh beberapa hal, yakni hadirnya shared values yang terlalu umum dan lemahnya komitmen membangun shared values yang dapat dijadikan working ideology dan identitas kolektif. Selain itu, peran serta lembaga lain di luar partai dalam proses pembentukan dan penyebaran shared values justru cenderung mengacaukan proses ini. Ada tiga dampak dari lemahnya keberadaan shared values dalam PKB, terciptanya faksi-faksi atau pengelompokan atas dasar pragmatisme, tumbuhnya loyalitas kepada tokoh dan bukan partai, dan munculnya gradasi pemahaman atas ideologi. Ketiga hal itulah yang pada akhirnya menjadi penyebab bagi sulit terbangunnya soliditas dalam partai ini. Kata Kunci: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai politik, pelembagaan.
Abstrak | vii
DDC: 321.8 Septi Satriani HUBUNGAN NEGARA-WARGA DAN DEMOKRASI LOKAL: STUDI KONFLIK TAMBANG DI BIMA Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 2, Desember 2015, Hlm. 3349 Tulisan ini mengkaji hubungan negara-warga dalam konteks berdemokrasi dengan menggunakan perspektif demokrasi Charles Thilly. Dalam perspektif yang sederhana, Charles Tilly mengatakan bahwa sebuah rezim yang demokratis adalah rezim yang pada tingkat hubungan politik antara negara dengan warganya pada posisi yang tanpa batas, setara, aman terlindungi serta pada posisi konsultasi yang saling mengikat. Sementara yang tidak demokratis jika hubungan antara negara dengan warga itu dangkal, kurang terlindungi, kurang sejajar posisinya dan hubungannya konsultasinya juga tidak erat. Jika mendasarkan pada parameter-parameter milik Charles Tilly ini derajat demokrasi di Bima dalam kasus konflik Lambu masuk dalam kategori perpotongan antara kapasitas rendah demokratis dan kapasitas rendah tidak demokratis. Kata Kunci: Negara, Warga, Hubungan, Demokrasi Lokal.
DDC: 352.25 Eko Suaib dan La Husen Zuada FENOMENA ‘BOSISME LOKAL’ DI ERA DESENTRALISASI: STUDI HEGEMONI POLITIK NUR ALAM DI SULAWESI TENGGARA Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 2, Desember 2015, Hlm. 5169 Artikel ini membahas tentang kemunculan Nur Alam sebagai bossisme lokal di Sulawesi Tenggara. Ia mengawali karir sebagai pengusaha di zaman Orde Baru. Reformasi dan desentralisasi membawa Nur Alam masuk dunia politik dengan menjadi deklarator Partai Amanat Nasional, lalu kemudian
memimpin PAN Sultra dan terpilih sebagai Gubernur. Pasca dipimpin Nur Alam, PAN Sulawesi Tenggara mengalami peningkatan suara dan kursi pada Pemilu Legislatif 2004, 2009 dan 2014; mampu memenangkan pemilihan Gubernur 2007 dan 2012; serta memenangkan 10 dari 12 Pemilukada Kabupaten/Kota yang berlangsung tahun 2010 sampai 2013. Saat dipimpin Nur Alam, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tenggara meningkat, angka kemiskinan menurun dan kualitas infrastruktur fisik semakin baik. Posisi Nur Alam sebagai ketua PAN sekaligus sebagai Gubernur menjadikannya sangat berpengaruh di Sulawesi Tenggara. Nur Alam semakin kuat secara ekonomi dan semakin berkuasa secara politik, berkat keberhasilannya menaklukkan lawan politiknya serta kemampuan menjalin kerja sama dengan para elit politik lokal lainnya. Ia juga mulai memanfaatkan kelonggaran pengaturan desentralisasi dengan mempersiapkan keluarganya sebagai pewaris tahta kekuasaannya. Kata Kunci: bosisme lokal, desentralisasi, Sulawesi Tenggara.
DDC: 327.598.073 Yanyan. M. Yani dan Ian Montratama NILAI STRATEGIS ALIANSI INDONESIA DENGAN AMERIKA SERIKAT DALAM PENGAMANAN BLOK LAUT AMBALAT Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 2, Desember 2015, Hlm. 7186 Dalam era globalisasi, kekuatan besar semakin memiliki pengaruh yang lebih intens dan luas ke negara-negara lain yang lebih lemah di dunia. Secara teoritis, Walt berpendapat bahwa negara-negara sedang dan lemah terpaksa mendekati negara yang lebih kuat untuk mendapatkan perlindungan dari ancaman. Namun dalam prakteknya, Indonesia tetap teguh untuk menjadi negara netral yang tidak beraliansi ke pihak manapun. Paper ini akan mengkaji manfaat bagi Indonesia untuk beraliansi dengan Amerika Serikat dalam kasus pengamanan perairan bermasalah di Blok Laut Ambalat. Kata Kunci: globalisasi, kekuatan besar, negara sedang, kuasi-aliansi, Blok Laut Ambalat.
viii | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015
DDC: 327.598 Athiqah Nur Alami POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DAN ISU KEAMANAN NONTRADISIONAL Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 2, Desember 2015, Hlm. 87103 Isu keamanan non-tradisional telah menjadi agenda politik luar negeri Indonesia sejak dua dasawarsa terakhir. Hal tersebut dipengaruhi oleh berakhirnya Perang Dingin dan semakin menguatnya ancaman keamanan non-tradisional yang sifatnya lintas negara yang membahayakan sendi-sendi kehidupan warga negaranya. Ancaman keamanan non-tradisional tersebut antara lain isu mengenai perubahan iklim dan kerusakan lingkungan hidup, keamanan energi, migrasi internasional, dan juga terorisme internasional.Sebagai bagian dari komunitas internasional, Indonesia juga tidak dapat terhindarkan dari ancaman keamanan non-tradisional yang memerlukan penanganan tidak hanya kebijakan domestik tapi juga kebijakan luar negeri. Untuk itu, tulisan ini akan mengkaji urgensi isu keamanan nontradisional dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Kata kunci: politik luar negeri Indonesia, keamanan non-tradisional.
DDC: 324.6 Kurniawati Hastuti Dewi MENATA ULANG PEMILUKADA MENUJU TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH YANG DEMOKRATIS, AKUNTABEL, DAN BERKELANJUTAN Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 2, Desember 2015, Hlm. 105118 Penelitian ini merumuskan model penataan ulang Pemilukada yang tepat bagi Indonesia. Atas dasar berbagai temuan empiris evaluasi format Pemilukada dibawah UU No. 32/2004 selama tiga tahun berturut-turut (2012, 2013, 2014) penelitian ini
merekomendasikan Pemilukada “asimetris” dimana Pemilukada dilaksanakan bervariasi levelnya tergantung kemampuan sumber daya manusia dan kemampuan keuangan daerah. Selain itu, penelitian ini merekomendasikan berbagai intervensi regulative dan teknis untuk menata ulang Pemilukada yang demokratis, akuntabel, berkelanjutan. Kata Kunci: pemilihan langsung kepala daerah (pemilukada), asimetris, pemerintahan daerah.
DDC: 297.272 Muhammad Fakhry Ghafur PROBLEMATIKA KEKUATAN POLITIK ISLAM DI YAMAN, SURIAH, DAN ALJAZAIR Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 2, Desember 2015, Hlm. 119135 Gelombang revolusi atau yang lebih dikenal dengan Arab Spring yang melanda Timur Tengah dewasa ini telah mengubah peta politik di kawasan tersebut dengan munculnya kekuatan politik Islam, dalam arti aktivitas politik yang didasari oleh prinsipprinsip Islam baik dari titik tolak, program, agenda maupun tujuannya. Kendati demikian, di sejumlah negara masih saja ada sikap phobia terhadap Islam. Hal ini mengindikasikan adanya upaya pembalikan kembali ke rezim otoritarianisme atau “backward bending prosses” seperti yang terjadi di Tunisia, Mesir, dan Libya, dimana rezim militer dapat berkuasa kembali. Demikian juga di Yaman, rezim Ali Abdullah Saleh digantikan oleh wakilnya yang berhaluan militer, Abd Rabbuh Manshur Hadi, sampai akhirnya harus terusir oleh gerakan separatis Al-Houti. Sedangkan di Suriah kekuatan politik Islam kerap mendapat serangan dari rezim Bashar Al-Assad yang sampai saat ini masih berkuasa. Adapun di Aljazair –meskipun tidak melebihi gejolak politik seperti yang terjadi di Yaman dan Suriah- gerakan Islam yang terdiri dari Ikhwanul Muslimin dan kelompok Salafiyyah membentuk aliansi dan meraih suara signifikan dalam pemilu parlemen 2012 meskipun pada akhirnya rezim militer dapat mendominasi kehidupan politik negara. Fenomena kekuatan politik Islam di Yaman, Suriah, dan Aljazair akan menjadi fokus kajian ini. Kata Kunci: Politik Islam, Yaman, Suriah, Aljazair.
Abstrak | ix
DDC: 3.375.980.512 Rene L. Pattiradjawane KERJA SAMA EKONOMI INDONESIA-TAIWAN: PERLUNYA KEBIJAKAN YANG KUAT Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 2, Desember 2015, Hlm. 137139 Ulasan buku ini membahas tentang kemungkinan diadakannya perjanjian kerja sama ekonomi antara Indonesia dan Taiwan. Meskipun Indonesia dan Taiwan tidak memiliki hubungan diplomatik, akan tetapi dengan melihat berkembangnya investasi dan perdagangan di antara kedua negara, Taiwan dapat dilihat sebagai salah satu mitra penting bagi Indonesia di dalam konteks kerja sama ekonomi. Studi ini memaparkan bahwa pembentukan perjanjian kerja sama ekonomi antara Indonesia dan Taiwan akan memperkuat aliran investasi,
dan akan meningkatkan hubungan ekonomi antara Indonesia-Taiwan. Selain itu, perjanjian kerja sama ekonomi dapat dipertimbangkan sebagai sebuah kebijakan yang mungkin dilakukan oleh kedua negara. Permasalahan dalam mendorong lebih jauh kerja sama di antara kedua negara ini adalah adanya kebijakan “Satu China”. Dengan adanya perubahan geopolitik di kawasan Asia Timur, Indonesia perlu mempertimbangkan adanya peluang untuk merumuskan ulang pemahaman Indonesia tentang kebijakan “Satu China”, dan membuat sebuah kebijakan yang kuat untuk mengatur hubungannya dengan Taiwan. Kata Kunci: perjanjian kerja sama ekonomi, hubungan Indonesia-Taiwan, kebijakan Satu China
x | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015
Jurnal Penelitian
Politik Vol. 12, No. 2, Desember 2015
ELECTION SYSTEM OF GOVERNOR AND REGENT/MAYOR IN INDONESIA
DDC: 324.23 Firman Noor PKB, THE FAILURE OF SHARED VALUES INSTITUTIONALIZATION AND ITS IMPACTS Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 2, December 2015, Page 1-20 The failure of PKB to institutionalize shared values has provided deep impact of its existence. The presence of vague or indistinct values and party less commitment to establish shared values as working ideology and collective identity are factors behind such a failure. Moreover, the massive role of outsiders in assisting party to create and socialize shared values also becomes the thing that confuses the value infusion process. There are three impacts of the absent of shared values in PKB namely, the establishment of internal factions or grouping based on the spirit of pragmatism, the growth of loyalty dedicated to the figures rather than the party itself which over time overshadows cadres’ loyalty to the party and the appearance of different or gradation in understanding party’s ideology. Those three impacts eventually have become reason behind catastrophic condition that ruins party’s internal solidity. Keywords: PKB, instituionalization.
political
party,
DDC: 352.14 Eko Noer Kristiyanto
Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 2, December 2015, Page 21-31 Local elections are meant to elect the provincial governors and regents/mayors in the district/ city. Filling the post of the head of the region at the provincial level is the same as charging regional head office in the city district, which is elected directly by the people. In Indonesia, the enforcement of government embraces the principles of decentralization, deconcentration, and assistance mandate. Deconcentration and assistance mandate are conducted since not all authorities and administration tasks can be performed by using the principle of decentralization. Decentralization is simply defined as delegation of authority. While deconcentration is the delegation of authority from central government to governor as government’s representative in the province. Given the differences in the position of the provincial and district/city as well as the difference between the role of governors and regents/mayors, must the implementatiom of local elections be the same among regions?. This paper explains that the elections in the province should be indirect, on the other hand, direct elections must be maintained at the district/city level. There will be many positive things if these two mechanisms are implemented. These mechanisms also do not contradict to the constitution. Keywords: local government, deconcentration, decentralization.
district
head,
THE RECONSTRUCTION OF
Abstract | xi
DDC: 321.8 Septi Satriani STATE-CITIZEN RELATIONS AND LOCAL DEMOCRACY: A STUDY ON MINING CONFLICT IN BIMA Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 2, December 2015, Page 33-49 This paper examines the state-citizens relation in a democratic context based on Charles Tilly’s approach. Charles Tilly argues that the degree of democratic regime can be seen based on the state’s capacity to accommodate public engagement. Following Charles Tilly’s argument, a democratic regime provides equal political relation. On the contrary, state-citizen relation in an undemocratic regime is unequal. Based on Charles Thilly’s perspective on state-citizen relations, Lambu’s mining conflict, at district of Bima, West Nusa Tenggara Province is in the intersection category between low capacity democracy and low capacity undemocracy. Keywords: State, Democracy.
Citizen,
Relation,
Local
legislative elections in 2004, 2009 and 2014; was able to win the governor election in 2007 and 2012; and won 10 of 12 local election which took place in 2010 to 2013. During his leadership in Southeast Sulawesi, the economic growth was increased, the poverty rate was decreased, even the quality of physical infrastructure. His position as the leader of PAN as well as the governor in Southeast Sulawesi makes Nur Alam has big influence. He becomes stronger economically and more powerful politically because of his success in conquering his political opposition as well as his ability to collaborate with other local political elites. He also began to utilize the weakness of decentralization regulation by preparing his family as heir to the throne of his power. Keywords: local Southeast Sulawesi.
bossism,
decentralization,
DDC: 327.598.073 Yanyan. M. Yani dan Ian Montratama STRATEGIC VALUE OF ALLIANCE BETWEEN INDONESIA AND THE UNITED STATES OF AMERICA IN DEFENDING AMBALAT SEA BLOCK Jurnal Penelitian Politik
DDC: 352.25 Eka Suaib dan La Husen Zuada THE PHENOMENON OF ‘LOCAL BOSSISM’ IN THE DECENTRALIZATION ORDER: THE STUDY OF NUR ALAM POLITICAL HEGEMONY IN SOUTHEAST SULAWESI Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 2, December 2015, Page 51-69 This article discusses the emergence of Nur Alam as local bossism in Southeast Sulawesi. He started his career as an entrepreneur in the New Order era. Reform era and decentralization brought Nur Alam in political world by becoming the declarator of Amanat National Party (PAN) in Southeast Sulawesi, then lead the party and elected as a governor. After Nur Alam lead PAN in Southeast Sulawesi, this party has significant vote in the
Vol. 12, No. 2, December 2015, Page 71-86 In globalization era, great powers pose more intense and wider influence toward other lesser states in the globe. Theoritically, Walt argues that medium and lesser states tend to align toward greater powers to have protection against threat. However, in practice, Indonesia keeps standing to become a neutral state that does not ally to any power blocks. This paper will examine the benefit for Indonesia to ally with the United States OF America in a case of securing the trouble water in Ambalat Sea Bloc. Keywords: globalization, great power, medium state, quasi-alliance, Ambalat Sea Bloc.
DDC: 327.598 Athiqah Nur Alami INDONESIAN FOREIGN POLICY AND NON-TRADITIONAL SECURITY ISSUES
xii | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015
Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 2, December 2015, Page 87103 Non-traditional security issues have become Indonesian foreign policy agenda since the last two decades. It is influenced by the Cold War and the growing strength of non traditional security threats that are transnational and endanger the life of people. The non traditional security threats include climate change and environmental destruction, energy security, international migration, and international terrorism. As part of international community, Indonesia is also unavoidable from nontraditional security threats that require the handling of not only domestic policy but also foreign policy. To that end, this paper will examine the importance of non-traditional security issues in Indonesian foreign policy. Keywords: Indonesian foreign policy, non traditional security.
DDC: 324.6 Kurniawati Hastuti Dewi REFORMULATING DIRECT LOCAL ELECTIONS TO ACHIEVE A DEMOCRATIC, ACCOUNTABLE AND SUSTAINABLE LOCAL GOVERNANCE Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 2, December 2015, Page 105118 This research formulated a better model of direct local elections for Indonesia. Based on the depth findings of three series of researches (2012, 2013, 2014) on direct local elections under Law No. 32/2004, this research recommended the “asymmetrical” direct local elections model in which direct local elections shall be varied in level depends on the quality of human development index and regional budget capacity. This research also suggested regulative and technical interventions to achieve democratic, accountable and sustainable direct local elections. Keywords: direct local elections, assymmetrical, local government.
DDC: 297.272 Muhammad Fakhry Ghafur PROBLEMS OF THE POWER OF POLITICAL ISLAM IN YEMEN, SYRIA AND ALGERIA Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 2, December 2015, Page 119135 The wave of democratization in the Middle East today has changed the political map of the region with the emergence of the power of political Islam, in the mean of political activity based on the principles of Islam both from the point of departure, the program, agenda and objectives. Nevertheless, in some countries there is still an attitude phobia against Islam. This shows the regime’s efforts to return to authoritarianism or “backward bending prosses” as an example in Tunisia, Egypt, and Libya, where the military regime can return to political power. Similarly in Yemen, Ali Abdullah Saleh’s regime was replaced by his deputy military, Abd Rabbuh Mansur Hadi, who must be driven by the separatist movement Al-Houti. Whereas in Syria the Islamic political forces are always under attack from the regime of Bashar Al-Assad which is still in power. As for the Algerian Islamic movements like the Muslim Brotherhood and Salafiyyah, they form alliances and achieve a significant voice in the parliamentary elections in 2012 although the military regime may dominate the political life of the country. The phenomenon of the power of political Islam in Yemen, Syria, and Algeria will be the focus of this study. Keywords: Political Islam, Yemen, Syria, Algeria.
DDC: 3.375.980.512 Rene L. Pattiradjawane INDONESIA – TAIWAN ECA : A NEED OF STRONG POLICY ACTIONS Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 2, December 2015, Page 137139
Abstract | xiii
This review discuss about the feasibility of economic cooperation agrrement between Indonesia and Taiwan (Republic of China). Although Indonesia do not have yet diplomatic relation with Taiwan, but in the economic context, Taiwan is one of important economic partner for Indonesia, since investment activity and trade between two countries are flourishing. This study promotes that the establishment of Economic Cooperation Agreement (ECA) between Indonesia and Taiwan will strengthen investment flows and enhance IndonesiaTaiwan economic relations. Besides, ECA will be considered as a fesible policy for both sides. The problem in enhancing further bilateral cooperation is the One China Policy. Because of the changing of geopolitical conditions in East Asia, Indonesia needs to consider the opportunity to reformulate the “One China Policy” and takes strong policy action in their relations. Keywords: Economic Cooperation Agrrement, Indonesia-Taiwan Relation, One China Policy.
xiv | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015
PKB, KEGAGALAN PELEMBAGAAN SHARED VALUES DAN DAMPAKNYA PKB, THE FAILURE OF SHARED VALUES INSTITUTIONALIZATION AND ITS IMPACTS Dr. Firman Noor, MA (Hons) Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 6 Agustus 2015; direvisi: 11 September 2015; disetujui: 20 Oktober 2015 Abstract The failure of PKB to institutionalize shared values has provided deep impact of its existence. The presence of vague or indistinct values and party less commitment to establish shared values as working ideology and collective identity are factors behind such a failure. Moreover, the massive role of outsiders in assisting party to create and socialize shared values also becomes the thing that confuses the value infusion process. There are three impacts of the absent of shared values in PKB namely, the establishment of internal factions or grouping based on the spirit of pragmatism, the growth of loyalty dedicated to the figures rather than the party itself which over time overshadows cadres’ loyalty to the party and the appearance of different or gradation in understanding party’s ideology. Those three impacts eventually have become reason behind catastrophic condition that ruins party’s internal solidity. Keywords: PKB, political party, institutionalization. Abstrak Kegagalan PKB dalam melembagakan shared values memiliki dampak yang serius bagi keberadaan partai ini. Kegagalan ini disebabkan oleh beberapa hal, yakni hadirnya shared values yang terlalu umum dan lemahnya komitmen membangun shared values yang dapat dijadikan working ideology dan identitas kolektif. Selain itu, peran serta lembaga lain di luar partai dalam proses pembentukan dan penyebaran shared values justru cenderung mengacaukan proses ini. Ada tiga dampak dari lemahnya keberadaan shared values dalam PKB, terciptanya faksi-faksi atau pengelompokan atas dasar pragmatisme, tumbuhnya loyalitas kepada tokoh dan bukan partai, dan munculnya gradasi pemahaman atas ideologi. Ketiga hal itulah yang pada akhirnya menjadi penyebab bagi sulit terbangunnya soliditas dalam partai ini. Kata Kunci: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai politik, pelembagaan.
Pendahuluan
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) adalah satu di antara partai yang paling dinamis dalam konstelasi politik era reformasi. Partai ini diprediksi akan tumbuh kuat dan solid serta akan muncul menjadi kekuatan politik yang disegani. Dalam dua kali pemilu di awal reformasi partai
ini terbukti mampu menjelma menjadi partai dengan jumlah pemilih terbesar ketiga, setelah Golkar dan PDIP. Selain itu, K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) salah satu deklarator partai pun terpilih menjadi presiden pertama di era reformasi.
PKB, Kegagalan Pelembagaan Shared Values ... | Firman Noor | 1
Namun demikian, dalam perkembangannya, prediksi tersebut tidaklah seutuhnya terjadi. Belum genap tiga tahun berdiri, PKB tidak saja mengalami konflik internal, namun juga perpecahan yang berujung pada muncuknya kepengurusan kembar. Sejarah kemudian mencatat bahwa tidak ada partai di Indonesia yang mengalami perpecahan dan melahirkan kepengurusan kembar sebanyak partai ini. Begitu juga tidak ada satupun partai yang menyelenggarakan muktamar atau kongres nasional hingga tujuh kali dalam periode sepuluh tahun keberadaannya. Perpecahan seolah menjadi bagian tak terpisahkan dalam partai ini. Berangkat dari fenomena tersebut, tulisan ini bermaksud menganalisis mengapa partai kalangan Nahdliyin ini memiliki potensi perpecahan yang demikian tinggi. Untuk kepentingan tersebut tulisan ini mencoba menawarkan jawaban dengan mengaitkan fenomena itu dengan kondisi internal partai yang jauh dari ideal, dimana kondisi yang jauh dari ideal itu sendiri diasumsikan adalah sebagai efek dari lemahnya pelembagaan partai. Berdasarkan asumsi sedemikian, tulisan ini akan mengkaji situasi pelembagaan yang ada dalam PKB. Meski demikian, tulisan ini tidak bermaksud menelaah keseluruhan dimensi yang menentukan kuat atau lemahnya pelembagaan. Tulisan ini hanya akan menelaah satu dimensi saja yakni, pelembagaan nilai-nilai bersama (shared values) atau umum secara teoritis dikenal sebagai value infusion. Hal ini tidak dimaksudkan untuk mengecilkan dimensi yang lain, namun lebih karena keterbatasan penulis. Selain itu, kajian mengenai shared values termasuk yang paling prinsipil tidak saja dalam melihat dampak pelembagaan dalam sebuah partai, namun pula dalam memahami hakekat partai itu secara hampir keseluruhan. Dalam pada itu, kajian mengenai PKB telah dilakukan oleh banyak pihak, mencakup banyak aspek dari partai ini. Berbagai kajian itu, telah dengan baik memotret kondisi internal partai1. Namun kajian-kajian yang melandaskan
diri pada perpektif pelembagaan masih belum banyak. Padahal kondisi pelembagaan partai tidak dapat dikesampingkan manakala kita akan membahas situasi internal sebuah partai politik. Studi Randall dan Svasand2 mengindikasikan peran penting kondisi pelembagaan dalam memahami kehidupan internal partai politik. Kajian mereka mengisyaratkan sejumlah keunggulan, di antaranya adalah cukup dapat menangkap apa yang sebenarnya terjadi di balik peristiwa-peristiwa penting dalam sebuah partai. Persoalan konflik internal PKB, misalnya, tidak hanya dilihat dalam soal bagaimana konflik itu berlangsung, namun apa yang menyebabkan potensi konflik itu eksis dan belakangan demikian mudah tersulut. Sehubungan dengan tujuan penulisan di atas ada tiga hal yang akan dikaji dalam tulisan ini. (1) eksistensi (potensi) shared values yang ada dalam PKB, (2) kondisi infusi shared values dalam partai ini, dan (3), dampak yang ditimbulkan dari kondisi nilai-nilai bersama itu bagi soliditas PKB. Adapun periode pembahasan akan difokuskan pada periode 1998-2008, atau dekade awal reformasi, dimana soliditas partai demikian cair yang kemudian menimbulkan dampak yang kompleks bagi PKB.
Kerangka Konseptual
Pelembagaan partai (party institutinalisation) telah menjadi sebuah perspektif yang kembali bangkit dalam beberapa dekade terakhir ini dalam ilmu politik, terutama dalam membahas kondisi internal partai-partai, dengan tidak harus terkait dengan sistem kepartaian. Kajian Maurice Duverger 3, misalnya, dipandang
sebagai kajian pembuka bagi kehadiran perspektif pelembagaan ini. Beberapa kajian dengan perspektif pelembagaan kemudian bermunculan4, membawa beberapa dimensi Harapan, (Jakarta: Panitia Nasional Harlah Ke-9 PKB, 2007). Vicky Randall dan Lars Svasand, “Party Institutionalization in New Democracies”, Party Politics, Vol. 8 January/1/2002. 2
Maurice Duverger, Political Parties: Their Organisation and Activity in the Modern State, (London: Methuen, 1964). 3
Kamarudin, Konflik Internal PKB, (Depok: Akses Publishing, 2008); A. Effendy Choirie, PKB Politik Jalan Tengah NU, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 2002); A. Effendy Choirie, IslamNasionalisme UMNO-PKB Studi Komparasi dan Diplomasi, (Jakarta: Pensil-234, 2008); Yenny Zannuba Wahid, A. Effendy Choirie, M. Kholid Syeirazi, (Eds), 9 Tahun PKB Kritk dan 1
Robert Michels, Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy, (New York: The Free Press, 1966); Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Society, (New Haven: Yale University Press, 4
2 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 1–20
dan aspek baru dalam kajian pelembagaan partai ini. 1. Infusi Nilai-Nilai Bersama sebagai Dimensi Pelembagaan Perlu disampaikan bahwa dalam perpektif pelembagaan partai, dimensi infusi nilai-nilai termasuk dalam aspek khusus. Ada dua aspek lain dalam teori-teori pelembagaan partai yang bersifat “non-nilai-nilai” yang umum diketahui. Pertama, aspek internal, yang terutama berhubungan dengan keberadaan dan kedudukan prosedur atau aturan main partai. Biasanya para teoretisi pelembagaan membahas aspek ini dengan mengaitkannya pada soal seberapa besar tingkat konsistensi partai dalam melaksanakan regulasi internal, eksistensi manajemen konflik, rekrutmen dan kaderisasi yang sistematis. Partai yang terlembaga, dengan demikian, adalah partai yang konsisten menerapkan aturan main dan memiliki kelengkapan untuk melaksanakan aturan main itu. Kedua, aspek eksternal. Dalam aspek ini titik fokus kajiannya adalah mengevaluasi pola hubungan antara partai politik dengan elemenelemen yang melingkupi dan mempengaruhi kehidupannya. Aspek eskternal ini melihat sejauhmana kemampuan sebuah partai untuk bertahan dalam sebuah sistem politik. Secara spesifik, aspek eksternal ini mencakup hal seperti kemandirian dalam pengambilan keputusan, kemampuan beradaptasi dan pengembangan hubungan yang mapan dengan masyarakat berdasarkan identitas bersama (reification), dan keberlanjutan berpartisipasi dalam pemilu. Aspek nilai-nilai, di sisi lain, tidak dapat dimasukan dalam kedua aspek di atas. Dapat 1968); Kenneth Janda, Political Parties: A Cross National Survey, (New York: The Free Press, 1980); Angelo Panebianco, Political Parties: Organization and Power, (Cambridge: Cambridge University Press, 1988); James W. McGuire, Peronism without Peron. Unions, Parties and Democracy in Argentina, (Stanford: Stanford University Press, 1997); Steven Levitsky “Institutionalisation and Peronism: the Case, the Concept and Case for Unpacking the Concept”, Party Politics, Vol.4, No.1, 1998; Vicky Randall dan Lars Svasand, “Party Institutionalization in New Democracies”, Party Politics, Vol. 8 January/1/2002; Mathias Basedau dan Alexander Stroh, “Measuring Party Institutionalization in Developing Countries: A New Research Instrument Applied to 28 African Political Parties”, GIGA Working Papers, (Hamburg: GIGA Research Program, 2008).
diartikan sebagai aspek ketiga yang terkait dengan soal-soal yang bersifat substansial, yang berkenaan dengan upaya-upaya menegakkan dan memantapkan nilai-nilai bersama, melalui infusi nilai (value infusion) di sebuah partai. Berbeda dengan aspek-aspek ”non-nilai” yang terlihat bersifat prosedural dan ”teknis”, aspek ini menekankan arti penting hal-hal seperti, norma, keyakinan atau ideologi, nilai-nilai bersama, platform, kebiasaan, tradisi, figur atau bahkan romantisme atas kejayaan masa lalu5. Levitsky mengatakan bahwa persoalan bagaimana nilainilai itu ditransformasikan dan memunculkan rasa hormat, bahkan ketergantungan, kader dan pendukung terhadap partai merupakan indikasi dari terlembaganya partai. Di sini, partai telah pada level atau status “bernilai karena keberadaanya” (valued for itself) di mata para anggotanya 6. Dalam tulisan ini, dengan demikian eksistensi PKB akan dilihat dalam konteks eksistensi nilai-nilai dan bagaimana nilai-nilai itu ditransformasikan dan berperan dalam memberikan identitas kolektif.7 2. Dampak atas Hilangnya Shared Values Keberadaan seperangkat shared values dapat berdampak positif terhadap partai. Hal ini terutama berperan sebagai sesuatu yang memotivasi kader untuk dapat bergerak tanpa berharap imbalan-imbalan material. Dengan kata lain, keberadaannya dapat menumbuhkan idealisme atau pemantapan nilai-nilai, yang pada akhirnya dapat memelihara komitmen kader untuk terus menjaga keberlangsungan hidup dan jati diri partai. Tidak selamanya sebuah partai yang mampu menjalankan rutinitas manajerial dapat menjamin keberlangsungan hidup partai sebagaimana yang diharapkan8. Selain itu, adanya nilai-nilai bersama yang ditanamkan dan berkembang dalam sebuah Steven Levitsky, “Institutionalisation and Peronism: the Case, the Concept and Case for Unpacking the Concept,” Party Politics, Vol. 4, No. 1, hlm. 77-92. 5
6
Ibid., hlm. 82.
Deliar Noer, “Ideologi, Politik dan Pembangunan”, (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan 1983) dalam Kamarudin, Partai Politik Islam di Pentas Reformasi. Refleksi Pemilu 1999 untuk Pemilu 2004, hlm. 50. 7
8
Levitsky, op.cit.
PKB, Kegagalan Pelembagaan Shared Values ... | Firman Noor | 3
partai mampu menciptakan identitas kolektif di setiap kadernya. Di sini, arti penting partai tidak saja terkait dengan upaya menjaga tujuantujuan politiknya, melainkan telah pada posisi sangat pribadi dimana partai menurut Selznick sudah menjadi “pemuas kebutuhan personal”9.
Partai telah mewakili keyakinan asasi para anggotanya dan menjelma menjadi “the ’receptacle’ of group idealism” (“wadah dari idealisme kelompok”).10
Lebih dari itu, nilai-nilai bersama itu dapat pula menjadi petunjuk (guidance) atas sebuah standard perilaku yang dikehendaki. Menurut McGuire, infusi nilai-nilai memiliki peran fundamental pada upaya partai meningkatkan kemampuan organisasi untuk membentuk dan memaksakan tingkah laku (yang dapat diterima) pada sebuah periode waktu yang lama11. Keberadaan komitmen ini juga mendorong kader memperbaiki perilakunya menurut nilai-nilai ini,12 dengan kata lain menjadi code of conduct. Keberadaan shared values untuk jangka waktu yang panjang secara teoritis menjadi suatu hal yang turut mendorong soliditas partai.13 Di sisi lain, ketiadaan atau lemahnya peran shared values canderung akan memberikan peluang kepada tiap anggota partai untuk dapat bertindak secara bebas sesuai dengan kepentingan masingmasing. Keadaan ini berpotensi menyuburkan sikap inkonsistensi, perilaku pragmatis atas dasar kepentingan diri sendiri, dan terciptanya perselisihan yang sulit dikompromikan. Dengan kata lain, lemahnya soliditas partai dan lemahnya pelembagaan akan nilai-nilai bersama di sebuah partai adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan.
PKB Selayang Pandang Keberadaan PKB secara normatif terkait erat dengan upaya mengembalikan kedudukan Philip Selznick, Leadershp in Administration: A Sociological Interpretation, (New York: Row, Peterson and and Company, 1957), hlm. 17. 9
Ibid., hlm. 22.
��
James W. McGuire, Peronism without Peron. Unions, Parties and Democracy in Argentina, (Stanford: Stanford University Press, 1997), hlm. 8. ��
Ibid., hlm. 8.
��
Randall dan Svasand, op.cit., hlm. 13.
��
NU dalam kancah politik nasional, disamping menjadi saluran bagi ide-ide dan kepentingan kalangan santri tradisional yang selama ini tenggelam. Kedudukan ini membuat PKB merupakan simbol kebangkitan bagi politik NU, meski dalam prakteknya ada pula kalangan NU yang mendirikan partai lain atau menjadi anggota partai lain. Meski demikian, kalangan santri tradisional dan ulama menyadari, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti, bahwa peran yang dimainkannya melebihi sekadar memperjuangkan kepentingan kalangan santri tradisonal. Ini menjadi salah satu alasan dibalik dipilihnya kata “Bangsa” dan bukan “Ulama” atau “Ummat”. Upaya menghadirkan sebuah partai yang menaungi kepentingan NU ini telah datang tidak lama setelah reformasi bergulir. Kalangan NU dari seluruh penjuru Indonesia, terutama di Jawa, mendorong Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk membentuk partai yang dapat menyalurkan aspirasi mereka. Usulan yang masuk ke PBNU sangat beragam, ada yang hanya mengusulkan agar PBNU membentuk parpol, ada yang mengusulkan nama parpol, lambang parpol, bentuk hubungan dengan NU, ada yang mengusulkan visi dan misi parpol, AD/ART parpol, nama-nama untuk menjadi pengurus parpol, ada juga yang mengusulkan semuanya. Di antara yang usulannya paling lengkap adalah Lajnah Sebelas Rembang yang diketuai KH M Cholil Bisri dan Pengurus Wilayah Nahdatul Ulama (PWNU) Jawa Barat. Dalam menyikapi usulan yang masuk dari masyarakat PBNU menanggapinya secara hati-hati. Hal ini didasarkan pada adanya kebijakan khittah yang menetapkan bahwa secara organisatoris NU tidak terkait dengan partai politik manapun dan tidak melakukan kegiatan politik praktis. K.H Abdurrahman Wahid, sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU sendiri pada awalnya menolak jika PBNU harus berurusan dengan pembuatan partai. Namun dalam perkembangannya PBNU tidak dapat mengelak dari keinginan masyarakat NU yang bersemangat untuk membuat partai. PBNU akhirnya mengambil jalan tengah yakni, bersedia untuk mendirikan partai tanpa harus menjadi partai. Atas dasar kepentingan seperti itulah PBNU mengadakan Rapat Harian Syuriyah dan
4 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 1–20
Tanfidziyah PBNU tanggal 3 Juni 1998 yang menghasilkan keputusan untuk membentuk Tim Lima yang diberi tugas untuk memenuhi aspirasi pendirian partai. PBNU kemudian membentuk Tim Asistensi yang bertugas membantu Tim Lima14. Setelah Tim Lima dan Tim Asistensi menyelesaikan tugasnya PBNU memutuskan hari pendeklarasian partai. Pada tanggal 23 Juli 1998, bertempat di kediaman Gus Dur, PKB dideklarasikan oleh lima orang tokoh NU yakni, K.H Munasir Ali, K.H. Ilyas Ruhiyat, K.H. Muchid Muzadi, K.H. Abdul Mustofa Bisri dan K.H. Abddurahman Wahid. Deklarasi ini dihadiri oleh ribuan santri NU. Hadir pula politisi, agamawan, cendikiawan, diplomat dan tokoh-tokoh nasional yang bersimpati dengan konsep perjuangan PKB. Beberapa kalangan merespons positif kehadiran partai ini dan beberapa diantaranya memprediksikan bahwa PKB akan memainkan peran penting pada Pemilu 1999 dan percaturan politik nasional. Proses kelahiran partai ini memperlihatkan bagaimana PKB menjadi satu-satunya partai yang difasilitasi oleh NU. Meski PBNU menjaga agar NU tidak terikat dengan PKB, pertumbuhan PKB di daerah-daerah banyak pula disokong oleh pengurus NU di daerah. Dalam perkembangannya, peran NU tidak saja bersifat seremonial dan administratif, namun pula dalam hal yang bersifat esensial, seperti nilai-niai bersama, pemikiran, dan budaya politik. Masa pendirian partai dan kampanye merupakan era ketika nilai-nilai bersama itu marak digembargemborkan. Pada situasi semacam itulah kesadaran sebagai kelompok Nahdliyin yang berideologikan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja) dengan tradisi pesantren yang kuat
Tugas kedua tim ini secara prinsip adalah dalam menginventarisasi dan merangkum usulan yang ingin membentuk parpol baru, dan membantu warga NU dalam melahirkan parpol baru yang dapat mewadahi aspirasi politik warga NU. Pada tanggal 22 Juni 1998 Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan rapat untuk mendefinisikan dan mengelaborasikan tugas-tugasnya. Tanggal 26 - 28 Juni 1998 Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan konsinyering di Villa La Citra Cipanas untuk menyusun rancangan awal pembentukan parpol. Pertemuan ini menghasilkan lima rancangan: Pokokpokok Pikiran NU Mengenai Reformasi Politik, Mabda’ Siyasiy, Hubungan Partai Politik dengan NU, AD/ART dan Naskah Deklarasi.
berikut pemahaman dan peran kebangsaannya coba untuk didengung-dengungkan. Namun upaya itu tidak berlangsung lama dan berkelanjutan. Khofifah Indar Parawansa membenarkan situasi ini dengan menyatakan bahwa kesadaran tentang shared values itu ada pada masa pembentukan partai dan kampanye untuk kemudian menghilang 15 . Hal mana terlihat kemudian dengan munculnya fenomena konflik internal yang berlangsung secara beruntun. Pada tahun 2001 PKB terpecah menjadi PKB-Kuningan dan PKB-Batu Tulis. Sekitar empat tahun kemudian muncul kepengurusan kembar yakni PKB-Alwi dengan PKB-Gus Dur. Menjelang Pemilu 2008, konflik kembali melanda yang berujung pada munculnya kepengurusan PKB-Ancol dan PKB-Parung. Berbagai persitiwa itu memancing berbagai spekulasi atas kemunculan fragmentasi yang nampak nyaris tiada hentinya itu. Pada masa-masa berikutnya, khususnya pasca wafatnya Gus Dur, upaya untuk mendekat kepada warga Nahdiyin dengan menawarkan ideologi Aswaja dan spirit kebangsaan ini mulai dikedepankan lagi16. Situasi ini terkait dengan upaya untuk kembali menyatukan elemen-elemen NU dan PKB yang telah tercerai berai pascakonflik berkepanjangan, dalam rangka menjaga eksistensi PKB yang berpotensi terancam hilang pada Pemilu 2014 jika elemen-elemen partai itu tidak mau juga bersatu. Hal ini kembali membuktikan tesis bahwa kesadaran untuk menumbuhkan semangat Aswaja sebagai shared values muncul pada masa-masa khas terutama dalam rangka membangun sebuah barisan. Kerja-kerja untuk membangun kembali shared values dan upaya untuk mengimplementasikannya secara lebih konsisten belakangan nampak mulai membawa hasil.
��
Wawancara dengan Khofifah Indar Parawansa, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (1999-2001), Ketua Lembaga Pemenangan Pemilu DPP PKB (2002-2005), di Jakarta, 20 Oktober 2010. 15
Wawancara dengan Ahmad Shodiq Noor, Sekretaris Jenderal DPW PKB DKI Jakarta, di Jakarta, 3 November 2010. 16
PKB, Kegagalan Pelembagaan Shared Values ... | Firman Noor | 5
Shared Values dalam PKB: Sintesa Aswaja, Supremasi Kyai dan Kebangsaan Bagian ini membahas shared values dalam PKB. Pembahasan di bawah memperlihatkan bahwa shared values yang dimiliki PKB pada dasarnya masih bersifat potensi ketimbang manifes. Sebagai partai yang didirikan oleh warga NU dan difasilitasi oleh PBNU, PKB tidak dapat melepaskan dari tardisi dan nilai-nilai ke-NU-an. Sejauh ini ada beberapa nilai yang mengikat kaum Nahdiyin pada khususnya dan kader PKB pada umumnya, yang berangkat dari tradisi Islam Tradisional yakni (1) paham Aswaja, (2), tradisi kepatuhan santri atas kyai (supremasi kyai) dan (3), nilai-nilai kebangsaan, termasuk di dalamnya penghormatan terhadap pluralisme dan demokrasi menjadi nilai-nilai yang dikembangkan dalam partai ini17. Ketiga hal itulah merupakan norma-norma yang berpotensi berperan menjadi shared values dan juga shared values yang mengikat secara naluriah orangorang NU pada umumnya. Ketiga nilai itu pulalah yang kemudian dirangkum dan coba dikembangkan oleh para pendiri PKB di awal pendiriannya. Hasil dari rangkuman nilai-nilai itu menurut Kacung Marijan, salah seorang penyusun ideologi PKB versi Rembang, merupakan sebuah sintesa yang termaktub dalam ideologi “kebangsaan dalam semangat Islam Aswaja”, atau “nilai-nilai keAswajaan dalam semangat kebangsaan”18. Dua nilai pokok yang ditopang oleh tradisi pesantren ini merupakan sokoguru yang tidak dapat dilepaskan dalam ideologi politik yang diyakini oleh para warga NU. Namun demikian, “ideologi PKB” dengan ketiga nilai yang ada dalam tubuh NU itu tidak serta merta dapat ditegakkan dengan mudah. Dalam konteks internal, yang seharusnya dapat Tentang pemahaman Aswaja lihat H. Munawir Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang NU, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008). Tentang Tradisi Pesantern lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982); Kacung, Marijan Quo Vadis NU: NU setelah Khittah 1926, (Surabaya: Penerbit Erlangga, 1992). Tentang Paham Kebangsaan lihat A. Effendy, Choirie, IslamNasionalisme UMNO-PKB Studi Komparasi dan Diplomasi, (Jakarta: Pensil-234, 2008). 17
Wawancara dengan Prof. Dr. Kacung Marijan, Pengamat Politik NU dan Anggota Tim Asistensi Pendirian PKB versi Rembang, di Jakarta 26 November 2010. 18
mengatur kesamaan pandang dan tingkah laku, nilai-nilai ini seolah menjadi hambar. Ada semacam missing link manakala nilai-nilai, yang demikian tumbuh dan berkembang dalam NU itu, masuk dalam dunia politik, yang menyebabkan nilai-nilai itu tidak saja mengalami gradasi, namun cenderung terabaikan. 1. Paham Aswaja Menurut HA Thoyfer MC, seorang politisi NU, paham Aswaja mengatur kegiatan kalangan Nahdliyin tidak saja dalam konteks individu namun pula berorganisasi19. Nilai-nilai itu sendiri dilembagakan dalam tradisi NU dan dilaksanakan dengan baik. Hal ini terlihat secara jelas dalam agenda perjuangan organisasi yang menempatkan perjuangan penegakan Aswaja sebagai salah satu alasan utama (raison de etre) berdirinya NU20. Namun demikian kesibukan para mujtahid Aswaja atau aparatus ideologi dalam memberikan rel berpolitik PKB cenderung melupakan kerja-kerja penafsiran yang mengarah pada pembentukan kedisiplinan dan loyalitas kader dalam lingkup internal. Dalam prakteknya nilai Aswaja ini lebih difokuskan pada posisinya sebagai pembimbing pilihan kebijakan (policy domain). Namun sebagai sebuah identitas yang mengikat (identity domain) persoalan itu dianggap telah selesai taken for granted tanpa ada sebuah upaya sistematis menjadikannya sebagai tuntunan perilaku berorganisasi. Situasi ini menyebabkan paham ini belum menjadi nilai yang dilembagakan dan menentukan pembentukan code of conduct dalam PKB. Hal ini tidak saja menyebabkan munculnya berbagai penafsiran mengenai ideologi Aswaja, namun juga berpotensi menyebabkan masuknya paham atau nilai-nilai lain dalam kehidupan berpolitik orang NU dan kader PKB. Keterbengkalaian inilah yang menurut Khamami Zada menyebabkan banyaknya kader PKB di era reformasi yang HA Thoyfoer MC, Politik Kebangsaan NU. Tafsir Khitah Nahdlatul Ulama 1926, (Yogyakarta: Mutiara, 2010), hlm. 92-93. 19
Mengenai Aswaja sebagai agenda utama NU lihat Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, (Surabaya: Duta Aksara Mulia, 2010); Kacung Marijan, Quo Vadis NU: NU setelah Khittah 1926, (Surabaya: Penerbit Erlangga, 1992); Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, (Yogyakarta: LKiS, 2003). 20
6 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 1–20
dengan mudahnya memutuskan loncat pagar dan masuk dalam pangkuan organisasi lain, terutama dalam menyalurkan aspirasi politiknya21. Lebih dari itu, upaya pengembangan penafsiran atas nilai yang belum komprehensif menyebabkan ideologi Aswaja tidak mendapat warna yang substantif di PKB, dan masih cenderung lebih menjadi identitas ke-NU-an. Oleh karena itu, secara umum PKB dalam hal ini dapat dikatakan belum mampu membangun sebuah shared values yang khas dirinya yang kemudian dapat diimplementasikan dalam konteks internal partai secara baik. Ketergantungan ideologis (idelogical dependency) semacam ini memperlihatkan sebuah sisi negatif dari “fenomena copy paste” NU, baik secara organisatoris maupun ideologis22, dalam tubuh partai yang didirikannya sendiri. 2. Supremasi Kyai Pada soal nilai ketaatan santri kepada kyai merupakan sebuah potensi shared values di antara warga NU juga menunjukan gejala problematik yang sama. Sebenarnya dalam lingkup nonpolitik nilai ini nyaris bersifat absolut, dan dalam konteks sosial keagamaan telah menjadi karakter yang memberikan identitas khusus bagi NU. Peran menonjol kyai, yang dalam bahasa Dhofier adalah “raja kecil”23, telah ada dalam komunitas ini bahkan jauh sebelum jamiya terbentuk. Situasi ini terus dilestarikan, dan terjadi dengan sendirinya mengingat peran kyai dalam kehidupan santri mulai dalam persoalan membangun masyarakat dan negara hingga menyentuh persoalan paling privat dalam kehidupannya24. Tidak mengherankan jika kyai
Khamami Zada, “NU, Politik dan Khidmat Umat“, Kompas, 15 Desember 2006. 21
A. Effendy Choirie, “Menjadikan PKB Partai Nasional dan Terbuka“, dalam Yenny Zannuba Wahid, A. Effendy Choirie, M. Kholid Syeirazi, (Eds), 9 Tahun PKB Kritk dan Harapan, (Jakarta: Panitia Nasional Harlah Ke-9 PKB, 2007), hlm. 189190. Lihat juga A. Effendy, Islam-Nasionalisme UMNO-PKB Studi Komparasi dan Diplomasi, (Jakarta: Pensil-234, 2008). 22
Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm.58. 23
Wawancara dengan Anas Nashikin, Sekertaris Jenderal Garda Bangsa, di Jakarta, 26 Oktober 2010. Lihat juga Ibid, hlm. 57-60. 24
bagi sementara pengamat merupakan penuntun tingkah laku para santri. Alasan supremasi kyai ini pulalah yang mendorong NU keluar dari Masyumi di tahun 195225 dan mendorong pendukung PKB untuk bersedia berkorban jiwa raga membela Gus Dur, Sang Guru-Wali, yang tengah menghadapi impeachment di tahun 2001. Dalam AD/ART PKB refleksi dari nilai ini adalah dengan menempatkan para kyai dalam Dewan Syuriah yang merupakan the real leader dalam organisasi itu. Sedangkan Dewan Tanfidz, yang diisi para putra kyai dan santri pada umumnya, hanyalah merupakan pelaksana dari kebijakan yang telah digariskannya. Namun demikian, kondisi tradisi di atas cenderung menjadi relatif dalam dunia politik. Naluri komunitas NU mengandalkan tradisi supremasi kyai, yang salah satunya berintikan aspek ketaatan, tidak terjaga dengan baik dalam konteks politik dan kekuasaan. Dalam dunia politik pola tersebut cenderung menjadi relatif, kabur dan bahkan berantakan. Dalam lingkar elite, beberapa fenomena dalam tubuh NU dan juga pada akhirnya PKB, menunjukan pola bagaimana kelompok santri kerap melakukan penyeimbangan peran bahkan perlawanan terhadap kehendak dan aspirasi kyai, yang tercermin dari konflik antara Dewan Syuro (representasi kyai) dan Dewan Tanfidz (representasi santri). Peran dan kedudukan Dr. Idham Cholid, Ketua Dewan Tanfidz terlama dalam sejarah NU (1952-1984), vis a vis Dewan Syuriah yang ulang kali menyebabkan pergesekan diantara ke dua badan itu dan belakangan menciptakan faksionalisasi dalam tubuh NU yakni “Kelompok Cipasung” dan “Kelompok Situbodo”, menjadi contoh simbolik situasi ini. Kondisi ini disimpulkan dengan baik oleh Mahrus Irsyam dengan menyebutnya sebagai sebuah fenomena “simbiosis mutualisme”26. Pola hubungan yang disebabkan persaingan kyai dan santri ini memunculkan fenomena Lihat Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 19521967, (Yogyakarta: LKiS, 2003); Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamaati-Islami (Pakistan), (Jakarta: Paramadina, 1999). 25
Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik. Upaya Mengatasi Krisis, (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984), hlm. 166. 26
PKB, Kegagalan Pelembagaan Shared Values ... | Firman Noor | 7
persaingan vertikal diantara keduanya, yang biasanya diredakan jika kemudian bisa saling menguntungkan. Fenomena semacam ini menunjukan tidak berlakukan pola patron-client dalam tubuh komunitas NU manakala memasuki atau menyentuh wilayah politik27. Di sisi lain, tradisi ketaatan ini pun tidak berjalan dengan mulus pada level akar rumput. Fenomena berpikir dan berkehendak bebas ini dalam batas-batas tertentu merasuki ranah dunia pesantren dan memiliki implikasi yang cukup rumit, terutama dalam konteks politik. Situasi ini sejalan dengan berkembangnya masyarakat ke arah yang semakin individualistik dan independen. Beberapa fenomena kegagalan PKB dalam memenangkan hati warga NU dalam pilkada, meski telah “mengunci” kyai berpengaruh di sebuah wilayah, membuktikan adanya gradasi pandangan masyarakat terhadap peran kyai sebagai “juru arah aspirasi”. Situasi inilah yang kemudian dipahami sebagai munculnya fenomena masyarakat pragmatis atau masyarakat yang semakin “rasional”28. Fenomena di atas memperlihatkan adanya sebuah persoalan besar, baik pada level elit (hubungan Dewan Syuriah dan Dewan Tanfidziyah) dan akar rumput (hubungan kyai dan santri serta masyarakat sekitar), dalam upaya pemantapan tradisi supremasi kyai ini di dalam konteks politik. Yang dapat disimpulkan bahwa tradisi supremasi kyai nampak tidak terlalu kokoh dalam dunia politik. Dalam situasi seperti itulah NU mewariskan salah satu shared values-nya yang potensial itu kepada PKB. Sayangnya partai tidak menerimanya secara kritis, dengan menengok sejarah dan gejala kontemporer yang ada. Nilai tersebut cenderung dianggap statis dan diterima apa adanya, dengan harapan kepatuhan itu akan ada dengan sendirinya. Penerimaan pasif itu tercermin dari kurangnya komitmen membenahi pola hubungan kyai-santri dalam ranah politik 27
Ibid., hlm. 7-8.
Wawancara dengan Ali Masykur Musa, Wakil Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB (2005-2010) dan Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB-Versi Parung (2008-2009), di Jakarta 19 Oktober 2010. Lihat juga sikap kritis santri Dr. Faisal Ismail, MA, “Pilihan Politik Kiai dan Daya Kritis Jamaah NU”, dalam Dr. Faisal Ismail, MA, NU, Gusdurisme dan Politik Kiai, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1999), hlm. 27-34. 28
yang problematik itu. Kondisi inilah yang menyebabkan potensi shared values dalam diri tradisi patronase itu tidak berkembang dengan lebih baik, ataupun mampu dijadikan sebagai penjaga disiplin perilaku para kader partai. 3. Komitmen Kebangsaan Komitmen kebangsaan sebenarnya merupakan shared values yang berkembang dalam tubuh NU begitu pula dalam PKB. Kesadaran kebangsaan ini merupakan salah satu ciri khas keduanya yang diakui banyak kalangan. Dalam soal paham kebangsaan, nilai-nilai keagamaan NU yang sarat dengan ajaran seperti tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleransi), dan fleksibel mampu membuat dirinya beradaptasi dan menjadi garda terdepan bagi pembelaan dan penguatan nilai-nilai keindonesiaan29, bahkan sejak bangsa ini belum berdiri hingga di era Reformasi30. Nilai-nilai semacam ini telah menjadi pengikatan warga NU, mengingat praktek keagamaan yang sarat dengan pergumulan nilai-nilai lokal setempat dan keislaman. Dalam perkembangannya, nilai-nilai ini diperbaharui dengan lebih kontekstual lagi oleh Gus Dur. Namun demikian pengembangan ide kebangsaan dalam ranah keagamaan sebagaimana di atas tidaklah dimiliki oleh NU atau juga PKB semata. Hampir semua ormas dan orpol yang berbasiskan komunitas Islam mengakui hubungan tak terpisahkan antara agama dan kebangsaan. Bahkan PKS yang tumbuh dalam lagam pemikiran neo-reivalisme, juga semakin menunjukan prilaku kebangsaannya. Situasi ini menyebabkan dalam titik tertentu muncul semacam “relativisme identitas” yang pada akhirnya turut menopang kebebasan berpihak dan bertingkah laku bagi warga NU dalam menjalankan dan menyalurkan aspirasi kebangsaannya itu. Oleh karena itu, muncul pemikiran bahwa kebangsaan versi NU atau PKB dalam prakteknya dapat diterapkan pada banyak Ali Masykur Musa, “Politik NU dan Pragmatisme Parpol”, dalam Khamami Zada dan A. Fawaid Sjadzili, Nahdlatul Ulama, Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), hlm. 71-72. 29
Pembahasan mengenai keterkaitan Aswaja dengan paham kebangsaan lihat misalnya Eimar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, (Yogyakarta: LKiS, 2010). 30
8 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 1–20
aktivitas dan organisasi, yang tidak mesti harus di PKB. Dalam masa krisis keyakinan seperti ini mudah sekali menyebabkan seorang kader “pindah ke lain hati”. Dalam “mengantisipasi” situasi ini PKB sebagai sebuah partai berupaya mencarikan kekhasan kebangsaannya dengan mengedepankan perspektif Gus Dur, yang dalam perspektif Greg Barton dirangkum dalam terminologi “neo-modernisme Islam”31. Namun situasi ini tidak terlampau berhasil. Tidak saja karena pandangan Gus Dur tetap saja dapat dijalankan dalam ruang dan forum atau organisasi lain, artinya tidak harus di PKB, namun juga uniknya mendapatkan kritik dari dalam. Bagi beberapa kalangan konservatif, paham kebangsaan Gus Dur dianggap “terlalu jauh melangkah” dari kerangka Aswaja, sebagaimana yang akan dibahas kemudian. Disini relativisme identitas menjadi kontinum beriringan dengan resistensi yang muncul dari dalam. Akibatnya, meski paham kebangsaan berpotensi besar menjadi nilai bersama, dan dalam prakteknya memang telah berjalan, namun sekali lagi tidak saja paham ini menjadi demikian relatif tapi tidak pula mampu menjadi sesuatu hal yang mengikat dan mengatur tingkah laku para nahdiyin dalam konteks berpartai. Tiga persoalan yakni kecenderungan penafsiran ideologi ahlul sunnah waljamaah yang berorientasi keluar, kecenderungan tradisi supremasi kyai yang kabur dalam dunia politik dan paham kebangsaan yang relatif inilah yang menyebabkan partai ini belum memiliki modal nilai-nilai yang maksimal untuk dapat dikembangkan oleh para pendukung untuk menciptakan soliditas internal partai. Meskipun nilai-nilai tersebut tetap berpotensi menyatukan kader dan menjadi identitas ke-NU-an, namun pertumbuhannya sebagai sesuatu yang benarbenar mengikat dalam konteks ke-PKB-an hingga satu dekade keberadaannya menjadi relatif lemah.
kemudian berbagai istilah yang diklaim oleh partai ini seperti “partai terbuka”, “partainya orang NU”, “partai hijau”, “partai advokasi”. Hal yang kemudian membuat kuatnya aroma relativisme nilai dari partai ini. Kalangan pengamat pun dibuat menjadi tidak seragam dalam menempatkan partai ini. Ada yang memposisikan partai ini sebagai partai kebangsaan, partai Islam tradisionalis, partai Islam-Kebangsaan, partai Islam malah ada yang menuduhnya sebagai partai sekular. Situasi shared values sebagaimana yang digambarkan di atas menjadi persoalan mendasar yang menyebabkan pelembagaannya menjadi tidak berkembang. Dapat dimengerti jika kekacauan di PKB demikian besar, karena tidak saja pelembagaan itu yang tidak berjalan, sebagaimana yang akan dibahas pada bagian selanjutnya, namun juga karena apa yang seharusnya menjadi shared values itu sendiri masih bersifat potensi atau tidak sepenuhnya eksis.
Kondisi Pelembagaan Shared Values di PKB: Sebuah Kegagalan Dalam perjalanan sejarah PKB, upaya-upaya melembagakan partai itu ada. Namun sayangnya tidak selalu berhasil dengan baik. Pada bagian ini akan disampaikan upaya-upaya tersebut, termasuk elemen pelaksana dan berbagai kendala yang dihadapi. 1. Upaya-Upaya Melembagakan Shared Values
Kekaburan ideologis ini tercermin dari sikap partai yang kerap berubah-ubah dalam menunjukan eksistensi dirinya. Muncullah
Implementasi ideologi Aswaja, tradisi pesantren dengan semangat kebangsaan cukup terasakan, terutama dalam konteks penentuan arah kebijakan partai. Mabda Siyasi partai menjadi bukti otentik komitmen kebangsaan dalam kerangka pemikiran Islam tradisional. Sementara perilaku politik kader PKB secara umum juga memperlihatkan pembelaan dalam soal-soal itu. Beberapa kalangan mengakui bahwa dalam perjalanannya PKB telah menjelma menjadi sebuah ikon dan simbol partai yang membela pluralisme, demokrasi dan hak-hak minoritas.
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Paramadina, 1999).
Dalam soal menjadikan ideologi sebagai sebuah tuntunan pembuatan kebijakan, bagi beberapa kalangan, PKB termasuk partai yang
31
PKB, Kegagalan Pelembagaan Shared Values ... | Firman Noor | 9
berhasil menjalankannya. Dalam perilaku di parlemen Fraksi PKB, misalnya, memperlihatkan konsistensi dalam memperjuangkan ideologi partai. Ali Masykur Musa mengatakan bahkan implementasi ideologi Aswaja dalam nuansa kebangsaan telah masuk dalam ranah perjuangan anggota FPKB dalam mensukseskan anggaran pro-rakyat kecil. Dalam menyikapi kinerja F-PKB, Effendy Ghazali menyatakan bahwa kehadiran PKB sangat diharapkan karena memiliki nilai lebih berupa “konsistensinya terhadap kesatuan bangsa, pluralisme dan nilai-nilai kebangsaan yang merupakan inti dari keindonesiaan”32. Namun demikian dalam konteks internal, nilai-nilai ke-Aswaja-an dan tradisi pesantren belum diturunkan dan diimplementasikan secara komprehensif dan mendetail. Kegiatankegiatan kepartaian yang didedikasikan untuk menafsirkan ideologi dalam konteks internal tidak mudah ditemukan dan proporsinya lebih pada persoalan yang bersifat outward oriented atau policy oriented, ketimbang membangun soliditas identitas kolektif. Hingga satu dekade keberadaannya, tidak mudah mendapatkan sebuah kajian terkait erat dengan upaya mengimplementasikan shared values atau ideologi itu dalam soal mengatur kehidupan berpartai, struktur partai dan persoalan pengaturan pola pikir dan perilaku individu. Padahal sudah merupakan tugas partai menjelaskan dan mengimplementasikan nilai-nilai bersama itu dalam makna kepartaian, baik terkait dengan kepentingan organisasi dan penguatan loyalitas kader. Meski PKB berupaya untuk membenahi persoalan itu33, dalam prakteknya PKB tidak Lihat komentar itu dalam Umarudin Masdar (Ed), Mengabdi Tiada Henti. Rekam Jejak FKB 2004-2009, (Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2010), hlm. 272. 32
Lihat misalnya DPP PKB, Menumbuhkan Kader Bangsa. Investasi Politik Bersama Rakyat. Kosepsi Dasar dan Metodologi Sistem Kaderisasi Partai Kebangkitan Bangsa, (Jakarta: DPP PKB, 2000); DPP PKB, Menjadi Politisi Negarawan. Modul Pelatihan dan Orientasi Politik DPCDPW PKB Modul Orientasi Ideologi DPP PKB, (Jakarta: DPP PKB, 2000); Mufid A. Busyaeri, Menggerakan Roda Partai da Perubahan Sosial di Tingkat Basis. Modul Pendidikan Dasar Politik Tingkat Anak Cabang Sistem Kaderisasi Partai Kebangkitan Bangsa, (Jakarta: DPP PKB, 2000); Menjadi Politisi Organiser Masyarakat. Panduan Pendidikan Kader Basis Partai Kebangkitan Bangsa, (Jakarta: Lembaga Kaderisasi dan Pendidikan Politik, 2003); Andi Muawaiyah Ramly (Ed), Saya Bekerja Maka PKB Menang: Modul 33
secara komprehensif menyampaikan materimateri itu ke seluruh kader di tanah air dan berupaya melakukan standarisasi dan evaluasi secara konsisten dan konsekuen. Sementara kaderisasi sebagai media sosialisasi shared values atau ideologisasi menjadi salah satu fungsinya, lebih difokuskan pada persoalan pemenangan pemilu atau pilkada, atau pada persoalan peningkatan pemahaman kebangsaan dan bagaimana mengimplementasikan hal itu dalam konteks hubungan partai dengan kalangan lain di luar partai (eksternal)34. Dan seiring dengan proses kaderisasi yang berjalan lambat dan tersendatsendat 35, persoalan ideologisasi internal ini tidak berlangsung secara kontinu dan konsisten. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dengan tidak ditemukan jadwal dan pentahapan sistematik yang terkait dengan pemantapan ideologisasi dalam konteks internal dalam partai ini. Begitu pula turunan-turunan ideologis yang mengatur tingkah organisasi dan anggota partai tidak tergarap secara sistematis dan berkesadaran. Alasan-alasan yang bersifat apologetik seperti sempitnya waktu sosialisasi shared values ataupun urgensi mendahukukan kepentingan mempertahankan kekusaaan kerap dikemukakan untuk menjawab mengapa proses ini menjadi demikian tidak terlaksana dengan baik. Waktu kelahiran PKB dengan pemilu pertama di tahun 1999 yang demikian singkat, dianggap sebagai penyebab tidak tuntasnya eksplorasi dan pemantapan ideologi internal partai 36. Sehingga bergabungnya orang dalam tubuh Pelatihan Kader Penggerak Partai untuk Pemenangan Pemilu 2009, (Jakarta: DPP PKB, 2008); M. Hanif Dakhiri, Eman Hermawan dan Marwan Ja’far. Workshop Penguatan Sistem dan Manajemen Partai Menyongsong Pemilu 2009, (Jakarta: DPP PKB, 2007). Wawancara dengan Andi M. Ramly, Ketua Dewan Tanfidz (2002-2010), Sekretaris Dewan Syuro PKB-Versi Muhaimin (2008-2010) dan Penyusun Tunggal Mabda Syiyasi PKB, di Jakarta 15 Oktober 2010. 34
Wawancara dengan H.Z Arifin Junaidi, Sekretaris Dewan Suro DPP PKB (2002-2005) dan Ketua Dewan Syuro DPP PKB (2005-2010), di Jakarta, 28 Oktober 2008. 35
Wawancara dengan Prof. Dr. Kacung Marijan, Pengamat Politik NU dan Anggota Tim Asistensi Pendirian PKB versi Rembang, di Jakarta 26 November 2010; Wawancara dengan Tohadi Anggota PKB (1996-2005) dan Wakil Ketua PKNU DPP, di Jakarta, 6 Oktober 2010. 36
10 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 1–20
partai seberanya tidak dilandasi oleh persoalan itu. Sayangnya, selepas Pemilu 1999 partai ini malah terjebak atau lebih menyibukkan diri pada persoalan praktis, baik secara internal berupa perebutan kekuasaan akibat minimnya saluran dan potensi jabatan yang bisa diraih oleh kader di dalam atau di luar partai, namun juga terkait dalam upaya mempertahankan posisi Presiden Gus Dur dari serangan-serangan musuh politiknya37. Persoalan muncul ketika nilai-nilai itu dirasakan tidak kompatibel dengan perkembangan politik yang menuntut hal-hal lain yang bersifat pemenuhan kebutuhan politik. Dalam hal ini “rasionalitas mekanis”, sebagaimana yang diistilahkan oleh Ali Masykur Musa, yang dibutuhkan oleh kader, termasuk kebutuhan material dan persoalan pembagian kekuasaan (power sharing), sebagai kompensasi berpolitik, tidak ternaungi dengan baik ataupun memiliki arahan dan diatur dengan seksama oleh ideologi partai38. Hal ini memicu penafsiran bebas atas ideologi yang ada dalam melandasi perilaku berpolitik kader. Bagi sebagian kader bahkan telah dipandang dipandang tidak relevan lagi. Ketiadaan tuntunan berperilaku itu, menyebabkan shared values yang dimiliki menjadi jauh dari situasi mengikat. Shared values tidak mengatur dan menyeragamkan persepsi dan perilaku politik kader manakala berhadapan dengan situasi riil. Khofifah mengatakan manakala berada dalam situasi riil politik, “ideologi itu dimasukkan dalam kantong”39. Sementara itu, infusi shared values ini menjadi semakin tersendat dengan penampilan politik PKB yang secara umum masih jauh dari yang diharapkan. Perilaku elit dan poltisi PKB yang kerap belum ideal menyebabkan upaya pengembangan nilai-nilai menjadi tidak begitu Hampir semua narasumber menyinggung persoalan ini manakala ditanyakan penyebab lemahnya infusi ideologi dalam PKB. 37
Wawancara dengan Ali Masykur Musa, Wakil Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB (2005-2010) dan Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB-Versi Parung (2008-2009), di Jakarta 19 Oktober 2010. 38
Wawancara dengan Khofifah Indar Parawansa, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (1999-2001), Ketua Lembaga Pemenangan Pemilu DPP PKB (2002-2005), di Jakarta, 20 Oktober 2010. 39
diminati. Menurut K.H. Damanhuri, seorang ulama berpengaruh di Depok yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Syura DPD PKB Depok, hal ini disebabkan karena bagi sebagian kalangan tidak ada lagi yang dapat dibanggakan dari PKB. Menurutnya orang NU lebih tertarik untuk mendalami nilai-nilai itu dalam konteks keormasan saja, ketimbang dalam konteks kepartaian40. Perkembangan ini memperlihatkan bahwa telah muncul sikap enggan di sebagian kalangan atas kemungkinan dikembangkannya nilai-nilai Aswaja dan tradisi pesantren berikut paham kebangsaan, mengingat partai tidak lagi memberikan tawaran yang meyakinkan bagi para pendukung dan kadernya sendiri. 2. Peran Lembaga-Lembaga Formal versus Informal Dalam melembagakan shared values PKB kerap menggunakan lembaga informal di samping lembaga formal, seperti lembaga-lembaga dan onderbouw yang ada dalam NU dan juga pada pesantren. Dalam prakteknya semua hal yang terkait dengan ideologisasi nampak diserahkan pada masing-masing individu dan menjadi taken for granted, dimana keanggotaan keormasan (terutama NU) dipandang sebagai “bukti” telah berlangsungnya ideologisasi secara internal dalam PKB. Asumsi yang mendasari adalah adanya kesamaan keyakinan di antara kedua organisasi ini secara ideologi dan oleh karenanya dengan sendirinya pembinaan ideologi dalam NU akan dengan cepat “nyantel” dalam konteks kepartaian. Hal yang nampak kurang diantisipasi adalah semangat berormas tidak selalu sejalan dengan semangat kepartaian41. Salah satu soal besarnya adalah dalam ormas orientasi kekuasaan itu cenderung minim. Sementara semangat pengabdian kepada masyarakat merupakan fondasi keikutsertaan seseorang di dalamnya, Wawancara dengan K.H Damanhuri, Ketua Dewan Syuro PKB DPD Depok, Anggota FPKB DPRD Depok (2004-2009), di Depok, 31 Oktober 2010. 40
Wawancara dengan Zannubah Ariffah Wahid, Sekretaris Jenderal DPP PKB-Gus Dur, di Jakarta, 20 Oktober 2010; Wawancara dengan Khofifah Indar Parawansa, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (1999-2001), Ketua Lembaga Pemenangan Pemilu DPP PKB (2002-2005), di Jakarta, 20 Oktober 2010. 41
PKB, Kegagalan Pelembagaan Shared Values ... | Firman Noor | 11
yang oleh karenanya pengaturan tingkah laku berpolitik tidak diatur dengan seksama. Sementara berpartai merupakan suatu ajang pelatihan seseorang untuk belajar dan mengaplikasikan ide untuk merebut, mempertahankan dan menjalankan mesin kekuasaan secara elegan dan bermoral, di mana akibatnya pengaturan tingkah laku menjadi penting adanya. Dalam dua dunia yang tidak sama ini, penyerahan begitu saja proses ideologisasi ini kepada pihak lain dapat membawa persoalan pelik. Pendelegasian pelembagaan shared values yang terus terjadi menyebabkan fungsi infusi nilai-nilai itu bersifat cair dan parsial. Sebab dalam prakteknya, infusi ini lebih digerakan oleh patron, dalam hal ini para ulama NU, kepada para santrinya. Sementara kemampuan para patron itu amat terbatas, ditentukan oleh konteks dimana dia tumbuh dan berkembang dan banyak dibimbing oleh pemahaman yang diyakininya akan konteks dan waktu tertentu. Pemahaman akan shared values dan proses infusi atasnya dalam upaya mengatur perilaku kader seringkali bersifat garis besar saja, mengingat keikutsertaan mereka dalam dunia politik bukanlah sesuatu yang terbina secara konsisten, berdisiplin dan kontinum secara terus menerus. Di sisi lain, persoalan independensi ulama dan pesantren42 yang dimilikinya juga menjadi persoalan lain dimana penafsiran values itu akhirnya bersifat personal. Masing-masing pihak yang menyatakan diri sebagai orang NU dan PKB merasa diri paham dan berhak untuk menafsirkan nilai-nilai itu berdasarkan pandangannya. Tidak itu saja, penafsiran-penafsiran yang didelegasikan itu menyebabkan proses ideologisasi, baik internal maupun eksternal, terasa dilakukan demi kepentingan pemeliharaan simbiosis mutualisme di antara kyai dan pihakpihak yang akan menguntungkannya dan juga sebaliknya. Akibatnya, alih-alih menjadi media penguatan identitas partai, proses ini cenderung menyuburkan penafsiran subyektif yang suatu saat dapat dipergunakan oleh kalangan tertentu demi kepentingan lain di luar partai. Setidaknya, penafsiran subyektif ini berpotensi menutupi Wawancara dengan Yahya Cholil Staquf, Wakil Sekretaris Jendral PKB (1998-2005) dan Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid, di Rembang 11 November 2010. 42
kepentingan partai untuk menciptakan kesatuan pemahaman dan perilaku yang menyeluruh dari para kadernya yang berserakan di seluruh penjuru tanah air. Di sinilah kemudian parsialitas dan keberagaman menjadi sesuatu yang lumrah terjadi dalam infusi shared values di PKB. Intinya infusi itu bersifat “federatif” dimana masing-masing individu memiliki hak untuk menjalankannya dengan kualitas yang tidak sama. Apalagi keberadaan ulama yang memiliki kemampuan menafsirkan ideologi dan menyosialisasikannya secara baik, menurut Khatibul Wiranu, mantan wakil Sekjen PKB, sudah amat jarang dan makin terbatas dengan hengkangnya para ulama berpengaruh pascakonflik Gus Dur dan Alwi di tahun 200543. Dalam situasi ini fenomena PKB sebagai partai federatif, sebagaimana yang dikatakan oleh Yahya C. Staquf, menjadi terpelihara, dan jelas pada akhirnya menyulitkan langkah konsolidasi dan soliditas internal. Situasi ini menyebabkan “federalisme” penafsiran menjadi mungkin terjadi disamping kemungkinan tidak kokohnya penafsiran ideologi dalam konteks kepartaian mengingat media, kegiatan dan pelaku value infusion itu secara riil ada dan dilaksanakan dalam domain nonpartai. Masih berperannya pihak-pihak eksternal dalam konteks riil kehidupan ideologisasi PKB ini menunjukan lemahnya kemandirian partai dalam mengelola persoalan falsafah dasar partai. Ini merupakan indikasi dari belum kokohnya aspek otonomi partai dalam kesehariannya, yang mengindikasikan belum kokohnya pelembagaan partai ini. Di sisi lain, situasi ini menjadi semacam paradoks ketika Gus Dur berulang kali, terutama di setengah perjalanan partai, menyatakan untuk menyingkirkan para kyai dalam kehidupan politik yang dianggap bukanlah dunianya. “Serahkan politik pada saya dan biarkan kyai mengurusi pesantren” demikanlah pesan implisit yang kerap disampaikannya44. Dalam situasi sesungguhnya Wawancara dengan Khatibul Umam Wiranu, Wakil Sekretaris Jenderal PKB (1999-2005), Anggota FPKB DPR RI (19982004), di Depok, 17 Oktober 2010. 43
Wawancara dengan Khatibul Umam Wiranu, Wakil Sekretaris Jenderal PKB (1999-2005), Anggota FPKB DPR RI (19982004), di Depok, 17 Oktober 2010. 44
12 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 1–20
Gus Dur tetap membutuhkan peran kyai sebagai penggerak partai di level yang paling bawah, termasuk dalam soal shared values yang penting ini. Nampak Gus Dur terlalu percaya bahwa partainya dapat melaksanakan hal itu, meski dalam kenyataan tidaklah selalu demikian. Di sisi lain, tidak adanya pembinaan para ideolog dalam menafsirkan karena dipandang telah memahami secara taken for granted. Hal ini tidak saja akan mengurangi tingkat kesamaan intensitas dan pendalaman pemahaman atas nilai-nilai bersama, khususnya ideologi partai, para kader dalam konteks internal, namun juga dalam pelaksanaannya cenderung memunculkan aparatus ideologi dengan derajat komitmen yang beragam. Tidak adanya bimbingan, dan arahan, apalagi kompensasi yang memadai menyebabkan pelaksanaan infusi nilai-nilai bersama ini dilakukan oleh pihak-pihak atas dasar sukarela tanpa evaluasi dan standarisasi yang memadai. Dalam pelbagai situasi tersebut dapat terlihat bahwa pada PKB, tidak saja persoalan mengenai shared values seperti apa yang akan dikembangkan oleh partai itu sendiri masih belumlah terbangun dengan kokoh, infusi shared values sebagai sarana pelembagaan ideologi pun relatif tidak berjalan dengan memuaskan. Pemeliharan infusi shared values, pada akhirnya, sebagaimana implementasinya tidak berjalan dengan komprehensif dan cenderung segmenter.
Dampak Lemahnya Shared Values Kepada Partai Dengan tidak berkembangnya infusi shared values, PKB tidak saja tidak memiliki parameter dalam menilai prestasi kader, namun pula tidak menjadi acuan bertingkah laku elit dan kader. Terjadilah kemudian semacam “kebebasan relatif” yang diberikan partai bagi para kader untuk menentukan pilihan-pilihan values yang dapat dikembangkannya di dalam partai dan menjadikannya tujuan berpartai. Kepatuhan dan ketaatan pada akhirnya lebih ditentukan atas dasar kepatuhan terhadap perorangan atau kepentingan kelompok. Secara lebih spesifik ada tiga dampak yang muncul dari lemahnya keberadaan shared values dalam partai ini yakni, (1) pengelompokan atas dasar pragmatisme, (2) tumbuhnya loyalitas
personal atau peer group kepada figur dan bukan partai, yang kemudian disusul atau diimbuhi oleh (3) gradasi pemahaman dan upaya pelurusan ideologis. Ketiga hal itu pada gilirannya berandil bagi terjadinya fragmentasi dalam PKB. 1. Pengkubuan dan Menguatnya “Pragmatisme” Ikatan shared values yang lemah cenderung dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berbeda pandangan untuk dapat menarik dukungan pada kader. Adanya “kelonggaran ideologis” menyebabkan pula komunikasi politik pragmatis mudah dikembangkan. Hilangnya batasanbatasan idealisme menyebabkan logika diskusi yang dikembangkan memang demikian praktis dan cenderung menarik karena terkait dengan mengamankan jalur keuntungan politik, baik dalam upaya merebut ataupun mempertahankan, meski secara objektif kerap juga tercampur dengan idealisme untuk menciptakan kondisi yang lebih baik atau mempertahankan hal-hal baik yang dipandang telah ada. Di sisi lain, berbagai tawaran itu disambut pula oleh kader dengan sudut pandang atau cara berfikir yang sama, yang juga tidak ideologis. Inilah yang pada akhirnya menyebabkan ajakanajakan itu mudah diterima. Dan kalaupun ajakan atau tawaran itu ditolak, alasan penolakannya pun tetap disadari oleh perhitungan-perhitungan nonideologis. Fenomena munculnya pengkubuan semacam ini terlihat dari terkonsolidasinya PKB Matori. Dia pun sanggup membentuk kekuatan politik dan melaksanakan Musyawarah Kerja Nasional yang disusul dengan Muktamar Luar Biasa (MLB) di tahun 2002. Kemampuan ini menurut berbagai kalangan sebagai sesuatu yang fantastis untuk ukuran sosok yang dianggap sekadar pion dan bukan siapa-siapa itu. Tidak sekadar berani melawan namun berhasil menunjukan kepada khalayak bahwa dirinya mampu dan didukung. Matori mampu membuat kepengurusan lengkap hingga ke beberapa daerah. Matori pun mampu mendekati kelompok-kelompok NU di pelosok daerah dan memanfaatkan jaringan kyai yang berpihak kepadanya untuk mendapatkan restu dan memperoleh lebih banyak lagi dukungan dari para santri. Dampaknya
PKB, Kegagalan Pelembagaan Shared Values ... | Firman Noor | 13
adalah dalam hitungan bulan Matori telah mampu mengkonsolidasikan kekuatannya di seluruh tanah air. Dan situasi ini membuatnya memiliki bargaining position yang diperhitungkan oleh lawan dan belakangan Pemerintahan Megawati. Beberapa spekulasi mencoba menjelaskan fenomena keberhasilan Matori ini, mulai dari kedekatannya dengan Presiden Megawati, kedudukannya yang strategis sebagai Menhankam, hingga adanya isu politik uang sebagaimana yang diyakini oleh Laode Ida. Namun berbagai spekulasi tersebut ditolak dengan tegas oleh Abdul Khalik Ahmad, orang dekat Matori yang juga sekjen PKB. Menurutnya, keberhasilan konsolidasi itu membuktikan adanya dukungan konkret dari bawah yang digerakkan oleh keprihatinan pengelolaan partai selama ini. Jika pun ada uang yang dibayarkan, menurutnya, itu sekadar pengganti biaya perjalanan45. Bahkan atas tuduhan Laode Ida itu pihak PKB-Matori melakukan somasi 46. Terlepas dari berbagai spekulasi itu kekosongan shared values, sekali lagi, memungkinkan terciptanya kesepakatan politik (political deals) dan juga dukungan terhadap kalangan yang bertikai dengan amat mudahnya. Tabel 1. Pelaksanaan Muktamar/Muktamar Luar Biasa di PKB (2002-2008) TEMPAT
WAKTU
PELAKSANA
DPW
DPC
Jakarta
14-16 Januari 2002
PKB-Matori
29
307
Yogyakarta
17-19 Januari 2002
PKB-Gus Dur/Alwi
29
330
Semarang
16-19 April 2005
PKB-Gus Dur/Muhaimin
33
394
Surabaya
1-2 Oktober 2005
PKB-Alwi
31
350
Parung (Bogor)
29 April-1 Mei 2008
PKB-Gus Dur
30
396
Ancol (Jakarta)
2-4 ei 2008
PKB-Muhaimin
32
429
Sumber: www.inilah.com; www.gatra.com; Lukman Edy (Ed), Kronologi Muktamar II PKB: Fakta Historis, Yuridis dan Politis, (Jakarta: DPP, PKB, 2005), hlm. 20.
Kondisi yang sama terulang kembali pada kasus Muhaimin Iskandar. Jaring-jaring pertemanan segera saja terbentuk dan menguat Wawancara dengan Abdul Khalik Ahmad, Sekretaris Fraksi PKB DPR RI (1999-2001) dan Sekretaris Jenderal PKB-Versi Matori (2000-2005), di Jakarta, 11 Oktober 2010.
sebagai respons atas pemecatan dirinya oleh Gus Dur. Ini memungkinkan Muhaimin dengan cepat bisa mendapat dukungan dari berbagai pihak dan akhirnya mampu membentuk kepengurusan inti. Keberanian Muhaimin untuk melawan dan beraksi cepat berangkat dari rasa ketidakpuasannya atas mekanisme pemecatan dan situasi internal yang menurut pandangannya telah dimasuki anasir pemecah belah partai. Dengan keyakinan atas situasi yang tidak kondusif di partainya itu segera saja dia mendapat sokongan dari beberapa pengurus daerah. Tidak diduga oleh kelompok Gus Dur, jaring-jaring kelompok Muhaimin mendapat sambutan antusias terutama oleh kader-kader yang dipecat atau mengalami “pendisiplinan sepihak” oleh kelompok Yenny Wahid 47. Situasi ini terus berkembang dan menggelembung hingga akhirnya melahirkan banyak kepengurusan kembar di daerah. Dan dalam waktu singkat, tidak sampai enam bulan, Muhaimin mampu membentuk kepengurusan lengkap hingga pelosok tanah air. Beberapa kalangan yang anti-Muhaimin merespon situasi itu dengan menuduh kentalnya nuansa pragmatisme seorang Muhaimin dan kelompoknya. Mereka menganggap Muhaimin dan para pendukungnya sudah tidak sejalan lagi dengan idealisme Gus Dur. Pemecatan Muhaimin dilihat sebagai bentuk ketidaksukaan Gus Dur atas budaya hidup hedonis Muhaimin dan kelompoknya. Sementara sebagian lainnya melihatnya dalam perspektif konspirasi. Menurut mereka Muhaimin ditanam dan didukung oleh kelompok eksternal untuk meredupkan kekuatan Gus Dur yang dianggap terlalu vokal. Menurut mereka tanpa adanya dukungan pihak luar
itu Muhaimin tidak akan berani melakukan perlawanan kepada Gus Dur.
Sementara bagi yang mendukung Muhaimin, melihat keberhasilan itu sebagai bentuk kemampuan Muhaimin meyakinkan banyak kalangan untuk bersama-sama membentuk kepengurusan partai yang terbebas dari kepentingan mereka yang ingin berkuasa dengan mengatasnamakan Gus Dur dan kepentingan
45
http://news.liputan6.com/read/26940/pkb-kubu-matorimensomasi-laode-ida. 46
Tercatat sebanyak 10 Pengurus Harian DPP PKB, termasuk Muhaimin Iskandar, 14 DPW PKB dan 67 DPC PKB dibekukan setelah Yenny naik menjadi Sekjend. Lihat dalam Laporan Lengkap Muktamar Luar Biasa Partai Kebangkitan Bangsa, Jakarta 2-4 Mei 2008, (Jakarta: DPP PKB, 2008). 47
14 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 1–20
partai. Terlepas dari berbagai pandangan itu, hal yag nampak jelas terlihat adalah ketiadaan parameter ideologis dan tidak bekerjanya shared values dalam soal ini yang memungkinkan friksi itu menjadi terus membesar sehingga pengkubuan pun semakin menguat dan terformalkan. 2. Kepentingan Figur di atas Kepentingan Partai Hal yang juga terjadi adalah terbangunnya komitmen kepada figur dan bukan partai. Dalam hal ini patron, dan bukan masalah ideologis, menjadi elemen penting yang memainkan peran dalam turut menentukan gerak langkah dan keberpihakan kader. Kenyataannya banyak kader yang pada akhirnya lebih melihat siapa sosok atau patron dibalik sebuah kelompok, ketimbang apa yang akan diberikan kelompok ini kepada partai. Fenomena banyak kader yang akhirnya memilih posisi yang berlawanan dengan Gus Dur dalam beberapa momen friksi internal membuktikan bahwa ada figur kyai lain yang layak atau lebih dihormati untuk diikuti. Meski Gus Dur kerap dipandang the big patron, bahkan sebagaimana yang dikatakan oleh K.H Mustafa Bisri, satu dari lima deklarator PKB, sebagai “PKB itu sendiri”48, keberadaannya tidak selalu menjamin kepatuhan santri atau kader PKB kepadanya. Adanya situasi ini mengakibatkan dalam tempo yang tidak berlangsung lama PKB-Alwi atau juga disebut sebagai PKB-Surabaya atau PKB-Ulama dapat segera terbentuk lengkap dengan kepengurusannya di berbagai daerah. MLB-Surabaya yang diselenggarakan sebagai tandingan MLB-Semarang, yang dianggap tidak sah, juga dihadiri oleh pengurus dari berbagai penjuru daerah dan cabang di tanah air. Selain alasan-alasan yang bersifat keabsahan yuridis, kemampuan membentuk PKB-Alwi dalam prakteknya juga amat mengandalkan dan bertumpu pada figur-figur kyai sepuh (khos) yang tergabung dalam Kyai Langitan49. Wawancara dengan K.H. A. Mustofa Bisri, satu dari Lima Deklarator PKB, di Rembang, 11 November 2010. Lihat juga Ahmad Mustofa Bisri, Gus Dur Garis Miring PKB, (Surabaya: Mata Air Publishing, 2008). 48
Kamarudin, Konflik Internal PKB, (Depok: Akses Publishing, 2008). 49
Berkerumunnya demikian banyak santri para ulama khos atau Kyai Langitan dalam acara MLB-PKB Ulama di Surabaya, untuk melawan eksistensi Muhaimin dukungan Gus Dur, ataupun belakangan pada saat membentuk PKNU, memperlihatkan bagaimana loyalitas itu ditasbihkan kepada para kyai. Kharisma Kyai Langitan menyebabkan dukungan atas PKB-Alwi mengalir dari berbagai pelosok. Inilah makna “federasi” dalam tubuh PKB sebagaimana yang terasakan dan disebutkan Yahya Staquf itu memperlihatkan wajahnya. Di sisi lain, kalangan pendukung Gus Dur juga amat bertumpu pada kebesaran nama Gus Dur. Dalam MLB Semarang, yang melegitimasi PKB-Gus Dur-Muhaimin, terlihat sekali nuansa kepentingan memuluskan kehendak sang patron, yang notabene sudah menyatakan diri tidak dapat bekerjasama dengan Syaifullah dan berkehendak untuk melepaskan Alwi dari jabatannya. Bagi sementara kalangan, meski perlu dibuktikan lebih lanjut, dengan berlindung dalam bayang-bayang Gus Dur, kepentingan eksklusif para pembela itu diharapkan dapat terus langgeng. Berbagai rekayasa dan pelanggaran aturan main saat dilangsungkannya MLB Semarang yang dipandang telah melampaui batas – termasuk di antaranya tidak diperkenankannya Alwi Shihab sebagai ketua umum beserta beberapa kyai sepuh untuk masuk ke dalam ruang sidang – mencerminkan kepatuhan terhadap sang Patron (Gus Dur). Situasi ini menyebabkan beberapa tokoh partai kecewa dan memilih untuk mengundurkan diri dari pencalonan dan bahkan dari partai, termasuk Prof. Dr. Mahfud MD dan Khofifah Indar Parawansa. Patronase ini pula yang menjadi penyebab keberhasilan Matori dan Muhaimin mendapatkan dukungan dari para kader dan santri. Keberadaan K.H Dimyati Rois, seorang tokoh ulama sepuh yang berpengaruh dari Salatiga di Jawa Tengah dan juga sosok K.H Maksum Jauhari50, bagi Matori, misalnya, merupakan sumber legitimasi moral yang kuat sekaligus sumber arus dukungan bagi keberadaannya sebagai Ketua Umum Lihat Laporan Pertanggungjawaban Ketua Umum DPP PKB Muktamar Luar Biasa Partai Kebangkitan Bangsa, Hotel Borobudur, 14-16 Januari 2002, (diperbanyak oleh DPW PKB Popinsi Bengkulu). 50
PKB, Kegagalan Pelembagaan Shared Values ... | Firman Noor | 15
PKB versinya. Begitu juga beberapa kyai besar seperti K.H Yusuf Chudlori ataupun K.H Abdul Azis Mansyur, dua tokoh kyai besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, menjadi penopang besar bagi legitimasi Muhaimin di mata para santri pengikutnya. Fenomena di atas memperlihatkan bahwa cara pandang elit dan kader telah dibentuk oleh pola pandang nonideologis sehingga semua impresi yang ada cenderung diterjemahkan sebagai sebuah tawaran-tawaran praktis saja. Kasus fragementasi dalam tubuh PKB sebenarnya tidak dapat terlepas dari sebuah fenomena mudah terbentuknya pengelompokan atas dasar kepentingan nilai-nilai nonideologis. “Perang Figur” juga memperlihatkan aspek lain dari lemahnya ideologisasi atau penanaman nilai-nilai bersama dalam tubuh partai ini. 3. Perbedaan Pemahaman atas Ideologi Partai Kegagalan infusi nilai-nilai bersama juga berdampak pada munculnya gradasi pemahaman ideologi dan nilai-nilai dalam partai. Sebagaimana yang telah disampaikan bahwa di beberapa daerah sikap dan kebijakan PKB dipertanyakan dengan tanda tanya besar oleh kader-kadernya sendiri. Hal ini mencerminkan bahwa gradasi pemahaman kader yang meski kerap dianggap tidak ada dan dikesampingkan oleh beberapa elit dan kader PKB51 telah demikian eksis dan sejatinya tidak dapat dikesampingkan. Para kyai atau ulama yang menyatakan memiliki pandangan berbeda dengan Gus Dur kerap mengaitkan perbedaan itu yakni, (1) masalah pengorganisasian partai yang dipandang tidak mencerminkan semangat demokrasi dan (2) tidak terakomodirnya implementasi ideologi Aswaja dan tradisi pesantren dengan memadai52. Wawancara dengan Andi M. Ramly, Ketua Dewan Tanfidz (2002-2010), Sekretaris Dewan Syuro PKB-Versi Muhaimin (2008-2010) dan Penyusun Tunggal Mabda Syiyasi PKB, di Jakarta 15 Oktober 2010, Ketua Dewan Tanfidz DPW PKB NTB (2002-2005), di Jakarta, 28 Oktober 2010 dan Wawancara dengan Ahmad Shodiq Noor, Sekretaris Jenderal DPW PKB DKI Jakarta, di Jakarta, 3 November 2010. 51
Wawancara dengan Choirul Anam, Ketua Dewan Tanfidz DPW PKB Jawa Timur (1998-2005) dan Ketua Umum Dewan Tanfidz-PKB versi Alwi (2005) dan Ketua Umum Dewan Tanfidz PKNU, di Jakarta, 13 Oktober 2010; Wawancara dengan Marinah Hardy, Ketua Dewan Tanfidz DPW PKB NTB (2002-
Pada soal pertama, berbagai pemecatan sepihak yang dialami oleh beberapa ketua umum atas prakarsa dan persetujuan segelintir orang menjadi bukti bagaimana fenomena otoritarianisme menggejala dalam partai ini. Atas dasar itu mereka yang berseberangan dengan Gus Dur kerap meminta dan mengkritisi agar personalisasi kekuasaan dalam PB dapat segera diakhiri. Pada soal kedua, erat kaitannya dengan kritik ideologis terhadap PKB, khususnya kepada Gus Dur. Bagi kalangan yang berseberangan dengan Gus Dur partai dipandang telah jauh melenceng dengan semangat keislaman yang murni Aswaja dengan memberikan porsi terlalu besar terhadap pluralisme yang dalam batas-batas tertentu justru menjadi bumerang bagi umat Islam itu sendiri. Keluhan itu tercermin dari pandangan K.H. Mas Subadar, salah seorang ulama berpengaruh pendukung Gus Dur yang kemudian beralih menjadi pembela Alwi dan pendiri PKNU. Dia mengatakan: “Ya bagaimana seorang ahlul shunnah wal jamaah kok mendukung Ahmadiyah. Orang ahlul shunnah wal jamaah senang ke Vatikan... Siapa tidak kecewa kalau ada Rancangan Undang-Undang Anti Porno Grafi dan Porno Aksi (RUU APP) lalu ditolak. Ini kan suatu pukulan kepada para kyai yang ingin menjadikan Syari’at Islam berjalan di bumi Indonesia. Tidak membuat negara Islam, tapi berjalan di bumi Indonesia”53.
Pluralisme nampak telah menjadi ideologi utama partai, yang sayangnya juga menurut para kyai sepuh telah melampaui batas. Di sisi lain pluralisme itu juga tidak banyak membawa manfaat praktis politik bagi PKB. Sebagaimana yang dikatakan Kamarudin, bahwa salah seorang elit utama PKB-Alwi mengatakan bahwa dalam prakteknya pluralisme yang diperjuangkan oleh Gus Dur tidak membawa manfaat yang signifikan bagi partai. Hal ini dapat terlihat dari pengalaman di suatu daerah non-Muslim, dimana meskipun PKB memiliki kepengurusan lengkap di wilayah itu, namun pada saat pemilihan PKB sama sekali tidak mendapatkan satu pun suara. Pandangan semacam ini jelas sedikit banyak
52
2005), di Jakarta, 28 Oktober 2010. “Para Kyai NU Kecewa dengan Gus Dur”, Al-Mujtama’, Edisi 5 Th.I/12 Sya’ban 1429H/14 Agustus 2008. 53
16 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 1–20
melupakan kesuksesan PKB di NTT dan Papua terkait dengan spirit pluralisme, namun adanya pandangan semacam ini menunjukan bagi sementara kalangan internal PKB pluralisme itu tidak memberikan dampak yang signifikan bagi partai, bahkan dalam kacamata “perjuangan keislamanan” merugikan. Selain masalah pluralisme yang kelewat batas, para kyai juga merasa bahwa partai di bawah kepemimpinan Gus Dur tidak menyuburkan nilainilai kepesantrenan, khususnya penghormatan atas kedudukan ulama. Prilaku Gus Dur yang kerap nyeleneh dan bahkan keras kepala menjadi symtom (gejala) bagi upaya mengesampingkan saran dan peran ulama dalam dunia politik. Hal ini terlihat, misalnya, dari penolakan Gus Dur atas permohonan ulama sepuh untuk tidak melengserkan Alwi dan Syaifullah. Meski telah diultimatum oleh para ulama agar menanati permintaan mereka, Gus Dur tetap bertahan atas kebijakannya memecat keduanya. Sementara bagi sebagian kalangan, perilaku Gus Dur itu memperlihatkan sebuah sikap yang dilandasi oleh keyakinan bahwa peran ulama dalam dunia politik memang seharusnya tidak tak terbatas. Pembatasan peran inilah yang coba secara perlahan diwujudkan oleh Gus Dur dalam PKB, yang tentu saja secara ideologis belum dapat diterima secara utuh oleh kebayakan kyai dan para pengikutnya. Atas dasar berbagai perbedaan pandangan itulah, para ulama yang disusul dengan politisi dan santri kemudian melakukan resistensi perlawanan terhadap Gus Dur. Perlawanan itu dipermukaan kerap dibungkus dengan persoalan lemahnya penegakan aturan main di PKB. Bentuk perlawanan ideologis itu disampaikan, misalnya, dengan menyebut PKB versi Alwi sebagai “PKBUlama”. Refleksi perlawanan terhadap PKB-Gus Dur itu kemudian tercermin pula dalam PKNU yang secara ideologis menyatakan dengan tegas tujuannya yakni, untuk melindungi kepentingan Islam Aswaja dan memelihara tradisi pesantren dalam kehidupan politik, termasuk penghormatan yang tinggi terhadap kyai. Berbagai situasi di atas memperlihatkan belum totalnya pemahaman atas shared values dalam tubuh PKB, yang pada akhirnya menyebabkan fragmentasi menjadi mudah
terjadi. Tidak saja karena para kyai itulah yang pada akhirnya memiliki otoritas yang kemudian menyebabkan dual-loyalitas, namun pula karena memang tidak adanya kesepahaman atas nilai-nilai bersama di sebagian besar kalangan. Dan karena ikatan yang ada tidak didasari oleh nilai-nilai bersama melainkan pada keberadaan “patron yang berkerumun”, maka manakala para patron itu merasa tersinggung keyakinan dan pandangan politiknya, yang memicu mereka untuk melakukan perlawanan, fragmentasi menjadi sesuatu yang tidak terelakan.
Penutup Pembahasan di atas memperlihatkan bahwa PKB sebenarnya telah memiliki potensi shared values yang dapat dijadikan sebuah pengikat yang kuat. Namun, terdapat persoalan dalam nilai-nilai itu sendiri yang meliputi substansi dan aplikasi. Dari sisi substansi, muncul sebuah relativisme yang menyulitkan penciptakan distinctive values bagi partai ini dengan partai-partai yang berlatar belakang NU lainnya. Sementara dari sisi aplikasi, nilai-nilai yang bekerja pada level keormasan (civil society), yakni NU, tidak dapat dengan mudah ditransformasikan pada level partai (political society). Dalam perkembangannya, setidaknya hingga dalam satu dekade awal keberadaannya, PKB juga memiliki persoalan dalam melakukan infusi atas potensi shared values itu. Fokus kerja partai pada level eksternal, terutama dalam pemerintahan, ketimbang pembenahan dan penguatan shared values menyebabkan kerja-kerja infusi menjadi terbengkalai. Situasi ini diperburuk dengan kenyataan bahwa proses infusi itu tidak tertangani secara langsung oleh partai sehingga tidak memiliki standar yang memadai baik dalam soal materi dan pengelolaan. Proses infusi pada akhirnya dilakukan oleh banyak “broker ideologi” yang tidak terkontrol. Fenomena “federasi”, sebagaimana yang dikatakan oleh Staquf, atau “negara dalam negara” pun terjadi. Dalam situasi ini,terjadilah perbedaan penafsiran atas nilai dan code of counduct yang ada dalam partai. Muncul kemudian kebebasan menafsirkan apa yang dianggap layak dan tepat bagi partai. Penafsiran itu kerap bersifat subyektif, berdasarkan intepretasi dan kepentingan elite atau
PKB, Kegagalan Pelembagaan Shared Values ... | Firman Noor | 17
patron. Akibatnya, muncul multiloyalitas dan sikap menomorduakan shared values, yang telah ditafsirkan secara multiintepretasi itu. Dengan berbagai kecenderungan itu PKB menjadi berkembang menjadi sebuah partai tanpa pelembagaan nilai-nilai, yang menyebabkan soliditas internal menjadi cair dan situasi yang terbangun menjadi pragmatis. Tidak adanya semangat kebersamaan, sebagai dampak logis dari ketiadaan infusi nilai-nilai bersama, menyebabkan pada akhirnya soliditas partai mudah tergerus. Akibatnya, konflik mudah sekali tumbuh berkembang dan memiliki kecenderungan untuk tidak mudah terselesaikan. Semua kasus fragmentasi yang dihadapi oleh PKB memang dipicu oleh kesalahan prosedur, namun konflik itu sendiri tidak harus memicu fragmentasi jika dia tidak hadir dalam ranah partai yang memiliki shared values kuat. Artinya, fragmentasi itu, sekali lagi mungkin dapat dihindari sejak dini jika partai dapat mengembangkan shared values dan menginternalisasikannya secara sungguhsungguh kepada organisasi maupun kader. Keberadaan shared values memunculkan rasa hormat atas cita-cita ideal partai, ketimbang kepentingan terbatas kelompok atau figur tertentu dan cita-cita parsial yang mengiringinya. Keberadaannya juga dapat membawa partai sebagai sebuah alat ideologi (ideological tools), yang dapat membawa rasa bangga dan memiliki di antara para kader. Sementara dalam konteks kader, adanya infusi nilai-nilai bersama setidaknya kader memiliki pandangan yang solid, utuh, dan obyektif dengan sebuah parameter nilai yang jelas. Sayangnya, hal itu tidak juga mewujud dalam PKB setidaknya selama satu dekade keberadaannya.
Daftar Pustaka Buku Anam, Choirul. 2010. Pertumbuhan dan Perkembangan NU. Surabaya: Duta Aksara Mulia. Barton, Greg. 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad
Wahib dan Abdurrahman Wahid. Jakarta: Paramadina. Bisri, Ahmad Mustofa. 2008. Gus Dur Garis Miring PKB. Surabaya: Mata Air Publishing. Busyaeri, Mufid A. 2000. Menggerakan Roda Partai dan Perubahan Sosial di Tingkat Basis. Modul Pendidikan Dasar Politik Tingkat Anak Cabang Sistem Kaderisasi Partai Kebangkitan Bangsa. Jakarta: DPP PKB. Lembaga Kaderisasi dan Pendidikan Politik. 2003. Menjadi Politisi Organiser Masyarakat. Panduan Pendidikan Kader Basis Partai Kebangkitan Bangsa. Jakarta: Lembaga Kaderisasi dan Pendidikan Politik. Choirie, A. Effendy. 2008. Islam-Nasionalisme UMNO-PKB Studi Komparasi dan Diplomasi. Jakarta: Pensil-234. Choirie, A. Effendy. 2002. PKB Politik Jalan Tengah NU. Jakarta: Pustaka Ciganjur. Wahid, Yenny Zannuba, A. Effendy Choirie, M. Kholid Syeirazi (Eds). 2007. 9 Tahun PKB Kritk dan Harapan. Jakarta: Panitia Nasional Harlah Ke-9 PKB. Dakhiri, M. Hanif, Eman Hermawan dan Marwan Ja’far. 2007. Workshop Penguatan Sistem dan Manajemen Partai Menyongsong Pemilu 2009. Jakarta: DPP PKB. Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1982. Duverger, M. 1964. Political Parties: Their Organisation and Activity in the Modern State. London: Methuen. Edy, Lukman (Ed). 2005. Kronologi Muktamar II PKB: Fakta Historis, Yuridis dan Politis. Jakarta: DPP, PKB. Fatah, Munawir Abdul. 2008. Tradisi Orang-Orang NU. Yogyakarta: Pustaka Pesantren. Fealy, Greg. 2003. Ijtihad Politik Ulama. Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta: LKiS. Huntington, Samuel P. 1968. Political Order in Changing Society. New Haven: Yale University Press. Irsyam, Mahrus. 1984. Ulama dan Partai Politik. Upaya Mengatasi Krisis. Jakarta: Yayasan Perkhidmatan. Ismail, Dr. Faisal. 1999. “Pilihan Politik Kiai dan Daya Kritis Jamaah NU”, dalam NU, Gusdurisme dan Politik Kiai. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta. Janda, Kenneth. 1980. Political Parties: A Cross National Survey. (New York: The Free Press.
18 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 1–20
Kacung, Marijan. 1992. Quo Vadis NU. NU setelah Khittah 1926. Surabaya: Penerbit Erlangga. Kamarudin. 2008. Konflik Internal PKB. Depok: Akses Publishing. Mahendra, Yusril Ihza. 1999. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamaat-i-Islami (Pakistan). Jakarta: Paramadina. Masdar, Umarudin (Ed). 2010. Mengabdi Tiada Henti. Rekam Jejak FKB 2004-2009. Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa. McGuire, James W. 1997. Peronism without Peron. Unions, Parties and Democracy in Argentina. Stanford: Stanford University Press. DPP PKB. 2000. Menjadi Politisi Negarawan. Modul Pelatihan dan Orientasi Politik DPC-DPW PKB Modul Orientasi Ideologi DPP PKB. Jakarta: DPP PKB. DPP PKB. 2000. Menumbuhkan Kader Bangsa. Investasi Politik Bersama Rakyat. Kosepsi Dasar dan Metodologi Sistem Kaderisasi Partai Kebangkitan Bangsa. Jakarta: DPP PKB, 2000. Michels, Robert. 1966. Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy. New York: The Free Press. Musa, Ali Masykur. 2010. “Politik NU dan Pragmatisme Parpol”, dalam Khamami Zada dan A. Fawaid Sjadzili. Nahdlatul Ulama, Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Panebianco, Angelo. 1988. Political Parties: Organization and Power. Cambridge: Cambridge University Press. Ramly, Andi Muawaiyah (Ed). 2008. Saya Bekerja Maka PKB Menang: Modul Pelatihan Kader Penggerak Partai untuk Pemenangan Pemilu 2009. Jakarta: DPP PKB. Sitompul, Eimar Martahan. 2010. NU dan Pancasila. Yogyakarta: LKiS. Thoyfoer, HA. 2010. Politik Kebangsaan NU: Tafsir Khitah Nahdlatul Ulama 1926. Yogyakarta: Mutiara.
Jurnal Levitsky, Steven. 1998. “Institutionalisation and Peronism: the Case, the Concept and Case for Unpacking the Concept”. Party Politics 4(1). Randall, Vicky dan Lars Svasand. “Party Institutionalization in New Democracies”. Party Politics, Vol. 8 January/1/2002.
Laporan dan Makalah Basedau, Mathias dan Alexander Stroh. 2008. “Measuring Party Institutionalization in Developing Countries: A New Research Instrument Applied to 28 African Political Parties”. GIGA Working Papers. Hamburg: GIGA Research Program. DPP PKB. 2008. Laporan Lengkap Muktamar Luar Biasa Partai Kebangkitan Bangsa. Jakarta, 2-4 Mei 2008. Jakarta: DPP PKB. DPP PKB. 2002. Laporan Pertanggungjawaban Ketua Umum DPP PKB Muktamar Luar Biasa Partai Kebangkitan Bangsa. Jakarta, 14-16 Januari 2002, (diperbanyak oleh DPW PKB Popinsi Bengkulu). Wawancara dengan Abdul Khalik Ahmad, Sekretaris Faksi PKB di DPR RI (1999-2001) dan Sekretaris Jenderal PKB–Matori (2000-2005), di Jakarta, 11 Oktober 2010. Wawancara dengan Ahmad Shodiq Noor, Sekretaris Jenderal DPW PKB DKI Jakarta, di Jakarta, 3 November 2010. Wawancara dengan Dr. Ali Masykur Musa, Wakil Ketua Dewan Tanfidz PKB (2005-2010) dan Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB-Parung (2008-2009), di Jakarta, 19 Oktober 2010. Wawancara dengan Anas Nashikin, Sekretaris Jenderal Garda Bangsa, di Jakarta, 26 Oktober 2010. Wawancara dengan Andi M. Ramly, Ketua Dewan Tanfidz (2002-2010), Sekretaris Dewan Syuro PKB – Muhaimin (2008-2010) dan penulis “Mabda Syiyasi PKB,” di Jakarta, 15 Oktober 2010. Wawancara dengan Choirul Anam, Ketua Dewan Tanfidz DPW PKB Jawa Timur (1998-2005) dan Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB-Alwi (2005-2007), di Jakarta, 13 Oktober 2010. Wawancara dengan Dr. Kamarudin, Pengamat Partai Politik Islam, Dosen di Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia di Depok, 7 Oktober 2010. Wawancara dengan H.Z. Arifin Junaidi, Sekretaris Jenderal Dewan Syuro PKB (2002-2005) dan Ketua Dewan Syuro PKB (2005-2010), di Jakarta, 28 Oktober 2010. Wawancara dengan Khofifah Indar Parawansa, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (1999-2001), Ketua Lembaga Pemenangan Pemilu PKB (2002-2005), di Jakarta, 20 Oktober 2010.
PKB, Kegagalan Pelembagaan Shared Values ... | Firman Noor | 19
Wawancara dengan Marinah Hardy, Ketua Dewan Tanfidz DPW PKB Nusa Tenggara Barat (20102015), di Jakarta, 15 Oktober 2010. Wawancara dengan Prof. Dr. Kacung Marijan, Pengamat NU dan Anggota Tim Asistensi Rencana Pembentukan PKB (versi Rembang), di Jakarta, 26 November 2010. Wawancara dengan Zannuba Arifah “Yenny” Wahid, Sekretaris Jenderal Dewan Tanfidz PKB-Wahid (2008-2010), di Jakarta, 20 Oktober 2010. Wawancara dengan Tohadi, Anggota PKB (19962005) dan Wakil Ketua PKNU DPP, di Jakarta, 6 Oktober 2010. Wawancara dengan Khatibul Umam Wiranu, Wakil Sekretaris Jenderal PKB (1999-2005), dan
Anggota DPR (1998-2004), di Depok, 17 Oktober 2010. Wawancara dengan A. Mustafa Bisri, Salah Satu Pendiri PKB, di Rembang, 11 November 2010.
Surat Kabar dan Website Zada, Khamami. “NU, Politik dan Khidmat Umat“. Kompas. 15 Desember 2006. “Para Kyai NU Kecewa dengan Gus Dur”. AlMujtama’. Edisi 5 Th.I/12 Sya’ban 1429H/14 Agustus 2008.
20 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 1–20
REKONSTRUKSI SISTEM PEMILIHAN GUBERNUR DAN PEMILIHAN BUPATI/ WALIKOTA DI INDONESIA THE RECONSTRUCTION OF ELECTION SYSTEM OF GOVERNOR AND REGENT/MAYOR IN INDONESIA Eko Noer Kristiyanto Staf Badan Pembinaan Hukum Nasional-Kementerian Hukum dan HAM RI Jalan Mayjen Sutoyo Nomor 10 Jakarta Timur E-mail:
[email protected] Diterima: 28 Juli 2015; direvisi: 21 September 2015; disetujui: 15 November 2015 Abstract Local elections are meant to elect the provincial governors and regents/mayors in the district/city. Filling the post of the head of the region at the provincial level is the same as charging regional head office in the city district, which is elected directly by the people. In Indonesia, the enforcement of government embraces the principles of decentralization, deconcentration, and assistance mandate. Deconcentration and assistance mandate are conducted since not all authorities and administration tasks can be performed by using the principle of decentralization. Decentralization is simply defined as delegation of authority. While deconcentration is the delegation of authority from central government to governor as government’s representative in the province. Given the differences in the position of the provincial and district/city as well as the difference between the role of governors and regents/ mayors, must the implementatiom of local elections be the same among regions?. This paper explains that the elections in the province should be indirect, on the other hand, direct elections must be maintained at the district/ city level. There will be many positive things if these two mechanisms are implemented. These mechanisms also do not contradict to the constitution. Keywords: local government, district head, deconcentration, decentralization. Abstrak Pemilihan kepala daerah dimaksudkan untuk memilih kepala daerah yaitu gubernur di tingkat provinsi dan bupati/walikota di tingkat kabupaten/kota. Pengisian jabatan kepala daerah di tingkat provinsi adalah sama dengan pengisian jabatan kepala daerah di kabupaten kota, yaitu dipilih secara langsung oleh rakyat. Di Indonesia, penyelenggaraan pemerintahan menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dekonsentrasi dan tugas pembantuan diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah yang secara sederhana didefinisikan sebagai penyerahan kewenangan. Sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada gubenur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi. Mengingat perbedaan kedudukan provinsi dan kabupaten/ kota serta perbedaan peranan antara gubernur dan bupati/ walikota, apakah cara pemilihan kepala daerah yang dilakukan di provinsi dan kabupaten/kota harus sama?. Tulisan ini menjelaskan bahwa pemilihan di provinsi sebaiknya dilakukan secara tak langsung, namun disisi lain pemilihan langsung harus tetap dipertahankan di tingkat kabupaten/ kota. Banyak hal positif jika dua mekanisme ini dilaksanakan dan cara ini tidak bertentangan dengan konstitusi. Kata Kunci: pemerintahan daerah, kepala daerah, dekonsentrasi, desentralisasi.
Rekonstruksi Sistem Pemilihan Gubernur ...| Eko Noer Kristiyanto | 21
Pendahuluan Dinamika praktik ketatanegaraan Republik Indonesia kembali menjadi pembahasan menarik, khususnya rezim pemerintahan daerah. Kali ini terkait mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada). Ada dua mekanisme yang pernah diatur oleh undang-undang.Yang pertama adalah pemilihan kepala daerah secara tak langsung yang dilakukan oleh DPRD, dan kedua adalah pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Pasca-Reformasi, bangsa ini telah melaksanakan pilkada secara langsung dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Namun pada penghujung 2014, dinamika politik di parlemen menghendaki agar kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD. Pro-kontra pun bermunculan dengan argumen beragam, dari mulai efisiensi anggaran hingga isu perampasan kedaulatan rakyat. Tentunya negara ini harus dikendalikan dengan dasar-dasar hukum yang logis, bukan hukum yang didasarkan pada opini dan politik. Oleh karena itu, persoalan ini penting untuk terus dilakukan, terkait bagaimana mekanisme pemilihan kepala daerah yang ideal serta sesuai dengan konstitusi dan demokrasi. Pemilihan kepala daerah dimaksudkan untuk memilih kepala daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yaitu gubernur di tingkat provinsi dan bupati/ walikota di tingkat kabupaten/kota. Pengisian jabatan kepala daerah di tingkat provinsi adalah sama dengan pengisian jabatan kepala daerah di kabupaten kota, yaitu dipilih secara langsung oleh rakyat. Konstitusi memberi dasar bahwa pemilihan umum kepala daerah diselenggarakan secara demokratis1, melalui mekanisme pemilihan secara langsung oleh rakyat. Pemilihan secara demokratis untuk kepala daerah sesuai dengan amanat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dapat dimaknai melalui dua cara pemilihan, yaitu pemilihan oleh DPRD sebagai perwakilan rakyat (demokrasi perwakilan) dan dipilih langsung oleh rakyat (demokrasi langsung), sehingga pelaksanaan kedua cara ini sesuai dengan amanat konstitusi. Tulisan ini tidak menghadapkan dan mempertentangkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis”. 1
dua cara tersebut karena keduanya memiliki sisi positif dan sisi negatif.2 Namun penulis mencoba menggambarkan cara mana yang tepat dilakukan untuk melakukan pemilihan kepala daerah di masing-masing tingkatan daerah, dalam hal ini provinsi dan kabupaten/kota. Pemilihan kepala daerah secara langsung dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk nyata pelaksanaan otonomi daerah, dimana rakyat dapat langsung memilih para pemimpin yang dikehendaki secara langsung. Mekanisme kampanye dan proses lain akan membuat para calon pemimpin daerah dikenal lebih baik oleh rakyatnya. Diberikannya otonomi kepada daerah melalui proses desentralisasi, tidak terlepas dari tujuan negara, Dalam hal ini, otonomi memiliki sejumlah fungsi terkait dengan tujuan pemberikan otonomi. Bagir Manan mengidentifikasi 5 fungsi otonomi 3, salah satunya adalah fungsi pelayanan publik.4 Dengan desentralisasi diharapkan pelayanan kepada masyarakat akan berjalan dengan lebih baik dan optimal dengan peningkatan efisiensi dan efektifitas.5 Dalam konteks ini, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat dianggap sebagai sesuatu yang ideal. Pelayanan publik secara nyata hanya terjadi di daerah yang memiliki teritorial, yaitu kabupaten/kota, sedangkan provinsi adalah penyebutan secara administrasi terkait wilayah kerja gubernur, yang terdiri atas beberapa kabupaten/kota sekaligus merupakan daerah yang dipimpin oleh seorang gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah. Meskipun pada umumnya sama-sama disebut daerah, perlu dibedakan antara kota/kabupaten sebagai daerah otonom dan provinsi sebagai wilayah administratif: 1. Provinsi merupakan wilayah administratif, karena pelaksanaan tugasPuslitbang BPHN, Pemilihan Kepala Daerah, (Jakarta: BPHN, 2011), hlm. 36. 2
Empat fungsi lainnya adalah: fungsi pengelolaan pemerintahan, fungsi politik, fungsi polisionil, dan fungsi keragaman. 3
Bagir Manan, “Tugas Sosial Pemerintahan Daerah,” Pikiran Rakyat, 28 November 2008. 4
Badrul Munir, Perencanaan daerah Dalam Perspektif Otoda, (Mataram: Bappeda, 2002), hlm. 28. 5
22 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 21–31
tugas dan kewenangan gubernur serta lembaga provinsi dalam menjalankan kewenangan dilimpahkan oleh pemerintah pusat. Pemerintahan wilayah administratif adalah satuan pemerintah daerah di bawah pemerintahan pusat yang semata-mata hanya menyelenggarakan pemerintahan pusat di wilayah negara. 2. Kabupaten/kota merupakan daerah otonom yang pemerintahannya berada dalam lingkup pemerintahan daerah otonom yang memiliki ciri-ciri kemandirian untuk menjalankan urusan rumah tangganya termasuk memilih sendiri para pejabat, termasuk mengangkat dan memberhentikannya. 6 Berdasarkan penjelasan awal tersebut, dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan yang mendasar secara kedudukan dan antara provinsi dan kabupaten/kota walau sama-sama menyandang sebutan “daerah”. Mengingat karakteristik yang khas dan berbeda antara provinsi dan kabupaten/kota seperti dijelaskan di atas, serta tugas dan kewenangan yang berbeda pula antara gubernur dan bupati/walikota, menjadi pertanyaan apakah tepat jika mekanisme yang sama diberlakukan dalam proses pemilihan kepala daerah di tingkat provinsi dan kota/kabupaten?.
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif pada dasarnya meneliti kaidah-kaidah hukum dan asas-asas hukum7, menelaah permasalahan dengan berpedoman pada data sekunder, yaitu bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Bahan hukum primer yang dimaksud adalah UndangSuryo Sakti Hadiwijoyo, Gubernur, (Jakarta: Graha Ilmu, 2011), hlm. 45. 6
Bagir Manan, “Penelitian Terapan di Bidang Hukum”, makalah, disampaikan pada Lokakarya Peranan Naskah Akademis dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, BPHN, Jakarta, 9 – 11 November 1993, hlm. 7. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji menyatakan bahwa penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka yaitu dengan cara menelaah permasalahan dengan berpedoman pada data sekunder. 7
Undang Dasar 1945, undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan judul penelitian. Bahan hukum sekunder yang dimaksud adalah doktrin, ajaran para ahli, hasil karya ilmiah para ahli, berita-berita dan hasil wawancara pihak terkait yang diperoleh dari surat kabar serta situs-situs internet yang relevan dengan judul penelitian. Data di atas dikumpulkan melalui studi kepustakaan (library research) dan penelusuran melalui media internet (online research). Dalam hal ini penulis menitikberatkan dalam konteks pemerintahan daerah, termasuk di dalamnya mengkaji kedudukan provinsi, kabupaten, dan kota. Serta kemudian membandingkannya dengan tugas dan kewenangan gubernur, bupati, dan walikota dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Bagaimana pula mekanisme yang tepat dalam pemilihan kepala daerah di masingmasing daerah yang memiliki peranan berbeda terkait desentralisasi, dekonsentrasi serta tugas pembantuan. Berdasarkan hasil kajian tersebut, dapat disimpulkan daerah mana yang tepat untuk melaksanakan pemilihan langsung oleh rakyat dan daerah mana yang cukup melakukan pemilihan tak langsung melalui DPRD. Kemudian penulis akan mencoba menawarkan solusi dalam pemilihan gubernur, bupati dan walikota sesuai dengan kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Pembahasan
1. Sejarah Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah Indonesia mulai menata sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam penataan tersebut, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah (KND) yang ditetapkan tanggal 23 Nopember 1945. Dalam undangundang tersebut, kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat, dan mereka merupakan wakil pemerintah di daerah. Selain itu, kepala daerah juga memimpin Komite Nasional Daerah yang kemudian berubah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD) yang anggotanya
Rekonstruksi Sistem Pemilihan Gubernur ...| Eko Noer Kristiyanto | 23
sebanyak 5 (lima) orang sebagai penyelenggara pemerintahan daerah sehari-hari. 8 Dengan demikian, pengangkatan kepala daerah tidak melalui suatu proses politik atau tahapantahapan sebagaimana lazimnya sekarang, seperti pencalonan, penjaringan, seleksi dan pemilihan, tetapi lebih merupakan pengangkatan langsung dari pemerintah pusat. Hal itu dilakukan karena beberapa faktor, antara lain karena suasana politik yang belum stabil, masyarakat masih dalam kondisi traumatik, aturan pelaksanaan belum jelas, dan DPRD yang merupakan representasi suara rakyat belum ada, karena pemilu belum dilaksanakan.9 Setelah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 dianggap kurang memadai dalam menata penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan usaha mencapai demokratisasi kehidupan politik sebagai tujuan revolusi, pemerintah melakukan pembaharuan dengan menetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang tersebut dimaksudkan untuk menciptakan pelaksanaan pemerintahan daerah yang dapat memenuhi harapan masyarakat. Salah satu aspek penting yang diperbaharui adalah menyangkut tata cara rekrutmen calon kepala daerah. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa kepala daerah diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari sekurang-kurangnya dua, dan sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh DPRD. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk merekrut kepala daerah yang didasarkan atas kepentingan politik masyarakat setempat, sehingga pemerintah pusat mengangkat calon berdasarkan atas aspirasi masyarakat yang disampaikan melalui DPRD bersangkutan. Pengangkatan yang dilakukan oleh Mendagri itu adalah sebagai upaya menyesuaikan kepentingan politik masyarakat setempat dengan kepentingan politik pemerintah pusat. Sampai akhir berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dan diganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, tidak pernah ada undang undang
yang mengatur tentang tatacara rekrutmen kepala daerah, sehingga lebih merupakan pajangan konsep politik. Dalam perkembangan selanjutnya, rezim Soekarno dan Soeharto menjadikan pengisian jabatan kepala daerah cenderung dikendalikan dan didominasi oleh pusat. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah menunjukkan karakter sentralistik yang sangat kuat. Saat itu pejabatpejabat di daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/ kota dapat dipastikan berasal dari militer atau petinggi Golkar.10 Pasca-Reformasi, semangat desentralisasi menguat. Akhirnya dua produk undang-undang lahir dan menjadi momentum bergesernya bandul dominasi pusat ke daerah. Kedua Undang-Undang yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Terjadi evolusi hukum serta mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) yang sangat penting di masa reformasi ini. Jika semula pilkada dilakukan atas dasar pencalonan fraksi-fraksi di DPRD dan dipilih oleh anggota DPRD, kini menjadi dicalonkan oleh partai politik yang memperoleh suara 15% kursi DPRD, untuk kemudian dipilih langsung oleh rakyat. Terobosan penting lainnya terjadi pada tahun 2007 ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 005/ PUU-VII/2007 yang membuka ruang bagi calon perseorangan untuk berkompetisi menjadi seorang kepala daerah.11 Pada tahun 2014 terbitlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. DPR menyetujui revisi Undang-Undang terkait pilkada yang menyerahkan kembali pemilihan kepala daerah kepada DPRD. Banyak yang menganggap hal ini adalah langkah mundur. Pilkada langsung tetap akan dilaksanakan di negeri ini setelah DPR menyetujui Peraturan Sulardi, “Dinamika Demokratisasi Dalam Pemilukada dan Dilema Calon Perseorangan”, Jurnal Konstitusi, Vol. III, No.1, 2010, hlm. 11. 10
Terlepas dari hal-hal positif dan terobosan-terobosan selama praktik pilkada, di sisi lain, pemilihan kepala daerah secara langsung ternyata menimbulkan banyak persoalan, dari mulai anggaran yang sangat besar, politik uang yang merajalela, konflik-konflik horisontal di masyarakat hingga kualitas pemimpin daerah yang buruk karena hampir seluruh kepala daerah hasil pemilihan langsung terjerat kasus korupsi. 11
Jayadi Nas, Otonomi Daerah dan Pemilihan Kepala Daerah, (Makassar: UNHAS, 2002 ), hlm. 36
8
Lomba Sultan, “Sistem Pemilihan Kepala Daerah dalam Perspektif Hukum Islam di Indonesia”, Jurnal AL-FIKR, Vol. 15, No. 2, 2011, hlm. 156. 9
24 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 21–31
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang pada intinya adalah pemerintah tetap melaksanakan mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung. 12 Hal ini semakin diperkuat dengan PERPPU yang disetujui menjadi Undang-Undang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. 2. Kedudukan Provinsi dan Kewenangan Gubernur Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang administrasi dari pemerintah pusat kepada pejabatnya di daerah atau pejabatnya di wilayah negara di luar kantor pusatnya.13 Dalam konteks ini maka yang dilimpahkan adalah wewenang administrasinya, bukan wewenang politik.14 Gubernur adalah penerima wewenang dari pemerintah pusat 15, maka pada hakikatnya gubernur adalah pejabat pemerintah pusat yang ditempatkan di daerah. Dalam hal ini sesungguhnya gubernur adalah bagian dari wilayah administratif yang merupakan bagian dari pusat, tugasnya pun sangat terbatas karena sebagai pelaksana administratif gubernur hanya menjadi pelaksana dari keputusan dan kebijakan pusat. Secara hierarki administrasi pun sangat tegas bahwa gubernur tunduk kepada pemerintah pusat.16 Gubernur memiliki kedudukan sebagai
Secara garis besar PERPPU ini mencabut dan menyatakan tidak berlaku Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang mengatur pelaksanaan pilkada secara tidak langsung oleh DPRD. 12
Hanif Nurcholis, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Jakarta: Grasindo, 2007), hlm. 18. 13
14
Ibid.
Dalam sistem otonomi daerah Indonesia, terdapat dua pola hubungan yaitu: a. Pola hubungan antara pusat dan provinsi b. Pola hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota Dengan demikian, pusat hanya berhubungan secara langsung dengan provinsi, sedangkan hubungannya dengan kabupaten/ kota tidak secara langsung, melainkan harus melalui provinsi. Hal tersebut memperlihatkan bahwa gubernur bertindak sebagai perantara dan “jembatan” antara pusat dan daerah. Gubernur menjadi pengawas pelaksanaan program-program pembangunan dan pelayanan publik di daerah (kabupaten/kota), karena dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, pengawasan merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari kebebasan berotonomi. Kebebasan dan kemandirian berotonomi di satu pihak dan pengawasan di pihak lain merupakan dua sisi dari satu lembar mata uang dalam negara kesatuan dengan sistem otonomi (desentralisasi).18 Pelimpahan kewenangan pemerintahan pusat kepada gubernur adalah bentuk nyata pelaksanaan asas dekonsentrasi di Indonesia. Dekonsentrasi diberlakukan karena tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat dilaksanakan dengan menggunakan asas desentralisasi. Selain itu, sebagai negara kesatuan tak mungkin seluruh wewenang dan urusan pemerintah didesentralisasikan kepada daerah.19 Salah satu tujuan administratif dari kebijakan dekonsentrasi adalah pejabat dekonsentrasi dapat mengetahui apa yang menjadi potensi dan kebutuhan daerah. Hal ini berkaitan dengan penyusunan program-program pusat ataupun daerah yang saling sinergis dan menunjang satu Pasal 25 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. 17
Pasal 1 butir 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menyatakan: “dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada gubenur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi”. 15
Hal ini berbeda dengan konsep desentralisasi yang menciptakan otonomi dan daerah otonom seperti kabupaten/ kota. 16
wakil pemerintah pusat juga dikarenakan gubernur bertanggung jawab kepada presiden.17
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: PSH UII, 2005), hlm. 154. 18
Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. 19
Rekonstruksi Sistem Pemilihan Gubernur ...| Eko Noer Kristiyanto | 25
hanyalah bersifat administrasi semata;
sama lain.20 Kehadiran dekonsentrasi adalah semata-mata untuk melancarkan pemerintahan sentral/pusat di daerah.21 Dari uraian tersebut dapat terlihat bahwa Gubernur sebagai pejabat dekonsentrasi seharusnya hanya berperan sebagai perantara antara pemerintah pusat dan daerah, sebatas administratif tanpa ada kewenangan-kewenangan politis. Dalam konteks ini sebenarnya peraturan perundang-undangan terkait Pemerintahan Daerah telah mengatur secara tegas mengenai kewenangan gubernur dan tidak memberi peluang untuk melebihi kewenangan administratif. Namun peran dan fungsi sebagai ujung tombak pemerintah pusat di daerah menjadi tak dapat terlaksana optimal jika gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat. Hikmahanto Juwono mengatakan bahwa kerap terjadi kondisi dimana kepala daerah lebih mengutamakan kepentingan rakyat pemilihnya daripada kepentingan pemerintah pusat, karena yang ditafsirkan adalah amanah, mandat rakyat serta janji kampanye yang dalam banyak hal bisa jadi berbeda dengan garis kebijakan pemerintah pusat dalam tataran yang paling konkret.22 Provinsi merupakan wilayah administratif, karena pelaksanaan tugas-tugas dan kewenangan gubernur serta lembaga provinsi dalam menjalankan kewenangan yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat. Pemerintahan wilayah administratif adalah satuan pemerintah daerah di bawah pemerintahan pusat yang sematamata hanya menyelenggarakan pemerintahan pusat di wilayah negara. Adapun ciri-ciri dari pemerintahan wilayah administratif adalah:23 a. Satuan pemerintahan semacam ini pada hakikatnya adalah perpanjangan tangan dari pemerintah pusat; b. Penyelenggaraan urusan pemerintahan 20
Suryo Sakti Hadiwijoyo, op.cit, hlm. 67-68.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia. (Bandung: Alumni, 1997), hlm. 274-275. 21
Inna Junaenah, “Implikasi Pemilihan Gubernur Secara Langsung Terhadap Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat”, Jurnal Konstitusi, Vol. II, Juni 2010, hlm. 61. 22
23
Suryo Sakti Hadiwijoyo, op.cit, hlm. 44.
c. Pelaksananya adalah pejabat-pejabat pemerintah pusat yang ditempatkan di daerah; d. Hubungan antara pemerintahan wilayah administrasi dan pemerintahan pusat adalah hubungan antara atasan dan bawahan dalam rangka menjalankan perintah; e. Seluruh penyelenggaraan pemerintahannya dibiayai dan menggunakan sarana dan prasarana dari pusat. Dari paparan di atas maka gubernur sebagai pejabat wilayah administrasi mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya ke pusat dan bukan kepada rakyat di daerah tersebut. Rakyat pun tidak dapat meminta pertanggungjawaban perihal kebijakan yang telah digariskan pusat. Pejabat dekonsentrasi hanya bertanggungjawab dari aspek pelaksanaan dari kebijakan tersebut.24 Maka sesungguhnya tidak perlu gubernur dipilih secara langsung oleh masyarakat, karena memang tidak ada kewenangan yang melahirkan suatu pertanggungjawaban antara gubernur dengan rakyat, pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat tidak relevan karena interaksi yang terjalin antara rakyat dan gubernur tidak bersifat langsung. Dengan fungsi yang sangat terbatas dan lebih bersifat administratif, penulis berpendapat bahwa pemilihan gubernur tidak perlu dilakukan secara langsung. 3. Kabupaten/Kota, dan Kewenangan Bupati/Walikota Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahannya menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dekonsentrasi dan tugas pembantuan diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi.25 Desentralisasi adalah penyerahan 24
Ibid., hlm. 66.
Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan 25
26 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 21–31
kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Dengan adanya desentralisasi, maka muncul otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana didefinisikan sebagai penyerahan kewenangan.26 Kabupaten/kota merupakan daerah otonom yang pemerintahannya berada dalam lingkup pemerintahan daerah otonom yang memiliki ciriciri kemandirian untuk menjalankan urusan rumah tangganya termasuk memilih sendiri para pejabat, termasuk mengangkat dan memberhentikannya.27 Maka memilih langsung kepala daerahnya dalam hal ini bupati dan walikota tentunya menjadi langkah yang tepat, karena merekalah yang akan memimpin daerahnya dan berhubungan secara langsung dengan masyarakat daerahnya. Janji-janji dan komitmen kepala daerah semasa kampanye pun akan menjadi tanggung jawab secara langsung antara pemimpin dan rakyatnya. Cara pemilihan langsung seperti yang diimplementasikan untuk memilih bupati dan walikota layak diapresiasi dan dipertahankan. Cara ini tepat ketika dilakukan di tingkat kabupaten/kota, bukan provinsi, karena berkaitan dengan hubungan dan interaksi secara langsung antara rakyat dan kepala daerah. Selain itu juga, karena otonomi yang sesungguhnya dalam konteks desentralisasi terdapat di kabupaten/ kota. Bagir Manan menekankan pentingnya pemilihan secara langsung berkaitan dengan otonomi daerah.28 Kedudukan bupati/walikota sebagai kepala pemerintah kabupaten/kota sebagai unit langsung yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat perlu memiliki legitimasi yang kuat melalui pemilihan langsung oleh rakyat sehingga berakibat interaksi yang berbasis kepercayaan.29
Di daerah otonom seperti kabupaten dan kota, rakyat dapat benar-benar memilih sendiri seorang kepala daerah sesuai dengan aspirasinya. Hal ini dapat dikatakan sejalan dengan pendapat Bagir Manan bahwa daerah yang otonom dan mandiri layak diberi tempat untuk mengurus rumah tangganya sendiri sehingga tidak ada alasan bagi daerah untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia.30 Titik utama dan penentu dari otonomi daerah seyogyanya terletak di daerah itu sendiri. Daerah yang dimaksud dalam konteks ini adalah kabupaten dan kota. Berbeda dengan provinsi justru di kabupaten/kotalah hakikat otonomi daerah itu tampak. Peranan kepala daerah sangat besar terhadap daerahnya. Fungsi pelayanan dan tanggung jawab itu harus didukung legitimasi kuat yang hanya akan didapatkan melalui pemilihan langsung oleh rakyat. 4. Sistem Pemilihan Gubernur dan Bupati/ Walikota pada Masa yang Akan Datang Dengan sistem yang ada sekarang, provinsi sebagai daerah otonom sekaligus wilayah administrasi menimbulkan konsekuensi terhadap kedudukan gubernur. Selain sebagai kepala daerah, gubernur juga berkedudukan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah yang berkewajiban menjalankan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepadanya. Namun tidak dapat dinafikan, bahwa dwi status yang disandang gubernur cenderung membuka peluang terjadinya tumpang tindih perhatian antara kedua peran. Konflik ini akan terjadi ketika gubernur menghadapi masalah untuk menunda kebijakan pemerintah pusat yang memiliki kemungkinan bertentangan dengan aspirasi masyarakat daerah.31 Kegamangan serta tarik ulur antara dua status itu akan semakin kuat jika gubernur dipilih langsung oleh masyarakat.32 dikutip dari http://www.radarsulteng.co.id/index.php/berita/ detail/Rubrik/43/6090, diakses pada tanggal 25 Februari 2013. 30
Eko Noer Kristiyanto, “Pemilihan Gubernur Tak Langsung Sebagai Penegasan Eksistensi Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah”, Jurnal Rechtsvinding, Vol. I, No. 3, 2012, hlm. 397. 26
27
Suryo Sakti Hadiwijoyo, op.cit., hlm. 45.
28
Inna Junaenah, op.cit., hlm. 65.
29
Hal senada diutarakan oleh menteri dalam negeri seperti
Inna Junaenah, op.cit, hlm. 58.
Inna Junaenah, “Menemukan Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Masa Transisi Otonomi”, makalah disampaikan dalam Simposium Nasional, “Satu Dasawarsa Perubahan Undang-Undang Dasar 1945: Indonesia Menuju Negara Konstitusional?”, Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, 31 Oktober-1 November 2012. 31
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, posisi gubernur menjadi unik dan khas, karena otonomi daerah dan pemilihan 32
Rekonstruksi Sistem Pemilihan Gubernur ...| Eko Noer Kristiyanto | 27
Semakin kuat otonomi di tingkat provinsi akan melemahkan otonomi di kabupaten/kota. Dengan tetap tergantung kepada programprogram gubernur, semakin banyak pelayanan publik yang harus dilaksanakan oleh perangkat provinsi. Hal ini mengurangi hakikat otonomi untuk mendekatkan pelayanan publik kepada rakyat karena jarak antara pemerintah provinsi dan rakyat terlalu jauh. Sementara itu pada tingkat kabupaten/kota yang lebih membutuhkan pembinaan dan fasilitasi kurang terberdayakan kemampuan dan kemandiriannya.33 Lebih jauh, Bagir Manan mengatakan bahwa otonomi di dua tingkat pemerintahan daerah menjadikan overlapping teritorial, overlapping wewenang, dan inefisiensi birokrasi.34 Gubernur sebagai pemimpin provinsi bertugas mengarahkan walikota dan bupati sebagai pemimpin kota/kabupaten untuk melakukan pembangunan dan pelayanan di daerahnya agar sinergis dan harmonis dengan pusat. Pelaksanaan otonomi daerah harus dapat menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dengan daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan, dan juga harus menjamin perkembangan dan pembangunan daerah.35 Untuk melaksanakan tugas itu, maka gubernur harus memiliki kewenangan yang kuat dan tak dapat dinafikan oleh bupati maupun walikota. Nyatanya hingga saat ini masih banyak walikota/bupati yang mengabaikan eksistensi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.36 Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa peran dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat merupakan salah satu instrumen langsung di daerah telah menjadikan gubernur sebagai seorang kepala daerah, namun di sisi lain dengan adanya asas dekonsentrasi mana gubernur pun bertindak sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Gubernur sebagai kepala daerah provinsi berfungsi pula sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan, termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan di kabupaten dan kota. 33
Ibid.
Inna Junaenah, “Menemukan Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Masa Transisi Otonomi”, op.cit. 34
Ateng Syafrudin, Pasang Surut Otonomi Daerah, (Bandung: Binacipta, 1985), hlm. 35.
sentralisasi37yang penting untuk melaksanakan tugas konstitusional mengantarkan daerah-daerah pada masa transisi otonomi.38 Kewenangan yang dimiliki oleh gubernur seperti diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pelaksana terkait, menunjukkan bahwa peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat lah yang perlu diperkuat agar pemerintahan dan penyelenggaraan negara dapat berjalan dengan baik dan konstitusional. Secara redaksional pun, kata-kata yang tercantum dalam UndangUndang Pemerintahan Daerah seperti pembinaan, koordinasi, pengawasan ataupun supervisi, fasilitasi, monitoring, evaluasi, secara esensi menunjukkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. 39 Arah optimalisasi yang dapat dikembangkan dari fungsi gubernur adalah dengan berfokus kepada pelaksanaan fungsi pembinaan, pengawasan, dan koordinasi. 40 Untuk itu, di masa yang akan datang perlu dilakukan kebijakan terkait pembatasan otonomi provinsi atau bahkan penghapusan. Bagir Manan mengatakan bahwa semakin optimal tugas gubernur sebagai wakil pemerintah otonomi di provinsi akan semakin terbatas.41 Dalam konteks yang sama, Ateng Syafrudin mengatakan bahwa semakin luas otonomi daerah dalam rangka desentralisasi, semakin sedikit fungsi-fungsi dekonsentrasi.42 Sehingga untuk mengoptimalkan Dianutnya desentralisasi dalam organisasi negara tidak berarti ditinggalkannya asas sentralisasi, karena asas tersebut tidak bersifat dikotomis, melainkan kontinum. Pada prinsipnya, tidaklah mungkin diselenggarakan desentralisasi tanpa sentralisasi, sebab desentralisasi tanpa sentralisasi, akan menghadirkan disintegrasi. Desentralisasi bukanlah alternatif dari sentralisasi, dalam satu negara tidak mungkin dianut hanya asas sentralisasi saja untuk semua urusan, dan demikian pula sebaliknya. 37
Hal senada diungkapkan Inna Junaenah dalam makalah berjudul “Menemukan Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Masa Transisi Otonomi”, op.cit. 38
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. 39
40
Inna Junaenah, op.cit.
41
Ibid.
35
36
Suryo Sakti Hadiwijoyo, op.cit., hlm. viii.
Inna Junaenah, “Implikasi Pemilihan Gubernur Secara Langsung Terhadap Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat”, Jurnal Konstitusi, Vol. II, Juni, 2010, 42
28 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 21–31
fungsi gubernur dalam kaitannya sebagai wakil pemerintah yang melaksanakan dekonsentrasi, tidak perlu diadakan pemilihan langsung untuk memilih gubernur di tingkat provinsi. Lain halnya tentang pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten dan kota. Mekanisme kampanye dan proses lain akan mampu membuat para calon pemimpin daerah dikenal lebih baik oleh rakyatnya. Hal ini sangat penting karena berkaitan erat dengan salah satu tujuan dan desentralisasi dan otonomi daerah. Diberikannya otonomi kepada daerah melalui proses desentralisasi tidak terlepas dari tujuan negara. Dalam hal ini, otonomi memiliki sejumlah fungsi terkait dengan tujuan pemberikan otonomi. Bagir Manan mengidentifikasi 5 fungsi dari otonomi. Salah satunya adalah fungsi pelayanan publik43 yaitu agar lebih dekat dengan rakyat yang wajib dilayani.44Adanya desentralisasi diharapkan pelayanan kepada masyarakat akan berjalan dengan lebih baik dan optimal dengan peningkatan efisiensi dan efektifitas.45 Dalam konteks ini, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat dianggap sebagai sesuatu yang ideal, karena pemilihan langsung lebih tepat jika dilaksanakan di daerah otonom yang melakukan desentralisasi secara penuh, dalam hal ini kabupaten/kota.46 hlm. 62. Empat fungsi lainnya adalah fungsi pengelolaan pemerintahan, fungsi politik, fungsi polisionil, dan fungsi keragaman. 43
44
Bagir Manan, “Tugas Sosial Pemerintahan Daerah”, op.cit.
45
Badrul Munir, op.cit., hlm. 28.
Pemilihan kepala daerah secara demokratis pada umumnya secara langsung banyak menuai kecaman dan permasalahan dalam pelaksanakaannya seperti terjadinya money politic di masyarakat secara langsung, dinasti politik, ongkos untuk menjadi kepala daerah sangat besar hingga ada yang menghabiskan dana milyaran rupiah dan lain sebagainya. Namun yang patut disyukuri ialah dengan adanya pemilihan kepala daerah secara langsung bermunculan muka-muka baru pemimpin-pemimpin daerah yang memang berhasil membangun daerahnya dan dicintai serta disukai oleh masyarakatnya. Hal ini menandakan pemilihan kepala daerah secara langsung dapat memberdayakan masyarakat dan menciptakan kepemimpinan lokal/daerah yang arif dan bijaksana dalam mewujudkan kesejahtaeran dan kemakmuran masyarakat daerah. Sebagus apapun sebuah negara yang ditata secara demokratis, tidak akan dianggap benar-benar demokratis manakala pemimpinpemimpinnya tidak dipilih secara bebas oleh rakyatnya sendiri. Pemilihan selalu dijadikan tolok ukur untuk menentukan sebuah negara demokratis atau tidak. Demokrasi memang tidak sematamata ditentukan oleh ada tidaknya pemilihan oleh rakyat atas
Mekanisme pemilihan kepala daerah perlu mempertimbangkan sistem pemerintahan yang dianut. Namun tidak berarti sistem pemerintahan presidensial yang diterapkan Indonesia saat ini mewajibkan pemilihan kepala daerah secara langsung di semua level pemerintahan. Amerika dan Inggris menjadi contoh nyata bahwa perekrutan kepala daerah di seluruh tingkat pemerintah daerah tidak harus kongruen dengan penentuan kepala daerah di tingkat nasional. Bahkan, pilkada di level pemerintahan tertentu diberlakukan secara asimetris.47 Inggris yang menerapkan sistem parlementer misalnya, ternyata menerapkan pemilihan kepala daerah secara langsung yang identik dengan sistem presidensial. 48 Di Amerika Serikat semua gubernur negara bagian juga dipilih secara langsung oleh rakyat, tetapi di tingkat city dan municipality pemilihan kepala daerahnya tidak seragam.49 Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 mengamanatkan agar pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis. Pemilihan secara demokratis untuk kepala daerah sesuai dengan amanat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dapat dimaknai melalui dua cara pemilihan, yaitu pemilihan oleh DPRD sebagai perwakilan rakyat (demokrasi perwakilan) dan dipilih langsung oleh rakyat (demokrasi langsung). Dengan demikian pelaksanaan kedua mekanisme ini telah memenuhi amanat konstitusi sebab konstitusi tidak memerintahkan secara tegas cara demokratis mana yang harus dilaksanakan dan tidak membatasi hanya satu cara saja untuk diterapkan dalam seluruh tingkatan pemilihan kepala daerah.
46
Penutup Pemilihan Kepala Daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota tidak perlu dilakukan pemimpin-pemimpinnya. Pemilihan memerlukan perangkat lain untuk mendukung proses pemilihan. Lihat Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 204. Mardyanto Wahyu Tryatmoko, Keluar dari Hitam Putih Pilkada, 16 September 2014, http://nasional.kompas.com/ read/2014/09/16/14123031/Keluar.dari.Hitam-Putih.Pilkada, diakses pada tanggal 18 Februari 2015. 47
48
Ibid.
49
Ibid.
Rekonstruksi Sistem Pemilihan Gubernur ...| Eko Noer Kristiyanto | 29
secara kongruen. Pemilihan kepala daerah di dua tingkatan ini sebaiknya dilakukan dalam mekanisme dan cara berbeda, yaitu pemilihan secara langsung oleh rakyat untuk memilih bupati/walikota di tingkat kabupaten/kota, dan pemilihan secara tak langsung untuk memilih gubernur di tingkat Provinsi. Alasan gagasan pelaksanaan dua cara pemilihan kepala daerah ini dikarenakan kedudukan provinsi dan kabupaten/ kota yang berbeda walau sama-sama disebut sebagai daerah. Begitu pula peranan, fungsi dan kewenangan yang sangat berbeda antara gubernur dan bupati/ walikota walaupun sama-sama disebut sebagai kepala daerah. Gubernur adalah penerima wewenang dari pemerintah pusat, maka hakikatnya gubernur adalah pejabat pemerintah pusat yang ditempatkan di daerah. Dalam hal ini sesungguhnya gubernur wakil pemerintah pusat di daerah, tugas dan kewenangannya pun sangat terbatas. Untuk mengoptimalkan fungsi gubernur dalam kaitannya sebagai wakil pemerintah yang melaksanakan dekonsentrasi, tidak perlu diadakan pemilihan langsung untuk memilih gubernur di tingkat provinsi. Lain halnya ketika kita berbicara dan membahas tentang pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten dan kota yang pada hakikatnya adalah daerah yang secara nyata melaksanakan desentralisasi. Mekanisme kampanye dan proses lain dalam rangkaian pemilihan langsung akan mampu membuat para calon pemimpin daerah dikenal lebih baik oleh rakyatnya. Hal ini sangat penting karena berkaitan erat dengan tujuan dan fungsi desentralisasi serta otonomi daerah utamanya terkait pelayanan publik. Dalam konteks ini, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat dianggap sebagai sesuatu yang ideal. Kedua cara tersebut, yaitu pemilihan langsung oleh rakyat dan secara tak langsung melalui DPRD adalah cara yang demokratis, sehingga pelaksanaannya pun tak melanggar ketentuan konstitusi yang sebatas menghendaki dan mengamanatkan agar pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis. Konstitusi juga tidak mengatur secara terbatas pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara kongruen dan tak pula membatasi cara demokratis mana yang harus dilaksanakan.
Daftar Pustaka Buku Hadiwijoyo, Suryo Sakti. 2011. Gubernur. Jakarta: Graha Ilmu. Huda, Ni’matul. 2009. Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Manan, Bagir. 2005. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: PSH UII Manan, Bagir dan Kuntana Magnar. 1997. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung: Alumni. Munir, Badrul. 2002. Perencanaan daerah Dalam Perspektif Otoda, Mataram: BAPPEDA Nas Jayadi. 2002. Otonomi Daerah dan Pemilihan Kepala Daerah. Makassar: UNHAS. Nurcholis, Hanif. 2007. Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: Grasindo. Puslitbang BPHN. 2011. Pemilihan Kepala Daerah. Jakarta: BPHN. Syafrudin, Ateng. 1985. Pasang Surut Otonomi Daerah. Bandung: Binacipta. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Jurnal Junaenah, Inna. 2010. Implikasi Pemilihan Gubernur Secara Langsung Terhadap Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Jurnal Konstitusi. Vol II. Juni. Kristiyanto, Eko Noer. 2012. “Pemilihan Gubernur Tak Langsung Sebagai Penegasan Eksistensi Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah”. Jurnal Rechtsvinding 1(3). Sulardi. 2010.“Dinamika Demokratisasi Dalam Pemilukada dan Dilema Calon Perseorangan”. Jurnal Konstitusi 3(1). Sultan, Lomba. 2011. “Sistem Pemilihan Kepala Daerah Dalam Perspektif Hukum Islam di Indonesia”. Jurnal AL-FIKR 15(2).
Laporan dan Makalah Manan, Bagir. 1993. “Penelitian Terapan di Bidang Hukum”. Makalah disampaikan pada Lokakarya Peranan Naskah Akademis dalam Penyusunan Peraturan Perundang- undangan, BPHN, Jakarta, 9-11 November.
30 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 21–31
Junaenah, Inna. 2012. “Menemukan Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Masa Transisi Otonomi”. Makalah disampaikan pada Simposium Nasional di Universitas Padjadjaran.
Surat Kabar dan Website Manan, Bagir. 2008. “Tugas Sosial Pemerintahan Daerah”. Pikiran Rakyat. 28 November. “Membalik Locus Otonomi.” 4 Desember 2012. http://www.radarsulteng.co.id/index.php/berita/ detail/Rubrik/43/6090. “Keluar Dari Hitam Putih Pilkada.” 16 September 2014. http://nasional.kompas.com/ read/2014/09/16/14123031/Keluar.dari.HitamPutih.Pilkada.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Lain-lain
Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Rekonstruksi Sistem Pemilihan Gubernur ...| Eko Noer Kristiyanto | 31
32 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 21–31
HUBUNGAN NEGARA-WARGA DAN DEMOKRASI LOKAL: STUDI KONFLIK TAMBANG DI BIMA STATE-CITIZEN RELATIONS AND LOCAL DEMOCRACY: A STUDY ON MINING CONFLICT IN BIMA Septi Satriani Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 27 Juli 2015; direvisi: 20 September 2015; disetujui: 10 Desember 2015 Abstract This paper examines the state-citizens relation in a democratic context based on Charles Tilly’s approach. Charles Tilly argues that the degree of democratic regime can be seen based on the state’s capacity to accommodate public engagement. Following Charles Tilly’s argument, a democratic regime provides equal political relation. On the contrary, state-citizen relation in an undemocratic regime is unequal. Based on Charles Thilly’s perspective on state-citizen relations, Lambu’s mining conflict, at district of Bima, West Nusa Tenggara Province is in the intersection category between low capacity democracy and low capacity undemocracy. Keywords: State, Citizen, Relation, Local Democracy. Abstrak Tulisan ini mengkaji hubungan negara-warga dalam konteks berdemokrasi dengan menggunakan perspektif demokrasi Charles Tilly. Dalam perspektif yang sederhana, Charles Tilly mengatakan bahwa sebuah rezim yang demokratis adalah rezim yang pada tingkat hubungan politik antara negara dengan warganya pada posisi yang tanpa batas, setara, aman terlindungi serta pada posisi konsultasi yang saling mengikat. Sementara yang tidak demokratis jika hubungan antara negara dengan warga itu dangkal, kurang terlindungi, kurang sejajar posisinya dan hubungannya konsultasinya juga tidak erat. Jika mendasarkan pada parameter-parameter milik Charles Tilly ini derajat demokrasi di Bima dalam kasus konflik Lambu masuk dalam kategori perpotongan antara kapasitas rendah demokratis dan kapasitas rendah tidak demokratis. Kata Kunci: Negara, Warga, Hubungan, Demokrasi Lokal.
Pendahuluan: Lambu dalam Perspektif Bima Kecamatan Lambu adalah kecamatan pemekaran dari Kecamatan Sape yang kini menjadi salah satu dari delapan belas kecamatan yang ada di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Kecamatan ini memiliki dua belas desa dan terletak di ujung timur Kabupaten Bima. Penulis berkesempatan untuk pertama kali datang ke Lambu pada 23 April - 5 Mei 2011, beberapa
bulan setelah terjadinya konflik antara aparat negara dengan warga yang menyebabkan hancurnya kantor Kecamatan Lambu. Pada saat kejadian, warga yang merasa tuntutannya tidak diakomodir merusak dan membakar satu unit truk Polisi Pamong Praja atau satpol PP Kecamatan Lambu, satu unit mobil kijang patroli Satpol PP Camat Lambu, satu unit mobil dinas Camat Lambu, satu unit mobil pemadam kebakaran Kota Bima, satu unit mobil avanza, satu unit rumah
Hubungan Negara-Warga dan Demokrasi ... | Septi Satriani | 33
jabatan Camat Lambu, satu unit kantor Camat Lambu, delapan unit sepeda motor serta sepuluh unit komputer dan ruang aula Camat Lambu.1 Konflik antara Negara dengan warga Lambu ini dipicu oleh kehadiran PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) yang ternyata telah mengantongi Izin Usaha Penambangan (IUP) sejak tahun 2008 yang kemudian diperbaharui dan dilakukan penyesuaian oleh Pemerintah Kabupaten Bima pada tahun 2010. Ijin Usaha Penambangan bernomor 188/45/357/004/2010 memberikan hak kepada PT SMN untuk beroperasi di lokasi seluas 24.980 ha di kecamatan Lambu, Sape dan Langgudu. Warga masyarakat Kecamatan Lambu merasa tidak diajak berdiskusi atas aktivitas PT SMN di lokasi tempat mereka tinggal. Masyarakat menduga bahwa ada prosedur yang diabaikan oleh negara dalam pemberian ijin usaha penambangan kepada PT SMN karena hanya kalangan aparat desa dan aparat kecamatan yang diberitahu oleh negara tentang adanya perusahaan yang akan beroperasi di wilayah Kecamatan Lambu.2 Masyarakat merasa berhak untuk menolak kehadiran PT SMN mengingat luas lokasi yang begitu besar dan ancaman bahaya lingkungan yang tidak sebanding dengan jaminan kesejahteraan atas proses penambangan yang akan terjadi di Kecamatan lambu. Masyarakat mencoba menyampaikan kegelisahan mereka kepada Muhaimin, S.Sos, Camat setempat. Dan Camat pun berjanji akan menyampaikan kegelisahan warga kepada Bupati yang memiliki kedekatan dengan warga Lambu terutama menjelang pemilukada 2010 dimana Bupati ini hampir tiap minggu mengunjungi bahkan bermalam di Kecamatan Lambu.3 Sewaktu penulis berkunjung di Desa Sumi Kecamatan Lambu memang penulis dapati Bupati Ferry 4memiliki kediaman yang khusus dibangun di sana. Kediaman ini sengaja dibangun karena tingginya intensitas Wawancara dengan Agus Mawardy, Ketua LMND Bima, 24 April 2011. 1
Wawancara dengan Agus Mawardy, Ketua LMND Bima, 24 April 2011. 2
Wawancara dengan Agus Mawardy, Ketua LMND Bima, 24 April 2011. 3
Bupati Ferry Zulkanaen meninggal dunia pada 26 Desember 2013. 4
Bupati Ferry mengunjungi wilayah ini. Selain itu, menurut pendapat pribadi penulis wajar bahwa Bupati Ferry membangun kediaman di lokasi tersebut mengingat lokasi tersebut sulit dijangkau karena jalan yang cukup terjal, berkelok-kelok serta membutuhkan waktu yang lama jika ditempuh darat dari Kota Bima melalui Sape. Beberapa kali ke wilayah tersebut, perut rasanya seperti dikocok-kocok mengingat jalan yang mesti dilalui cukup sempit dengan tikungan yang cukup tajam. Belum lagi jalan yang dilalui rawan longsor dan jarak jalan dengan sungai di sisi kiri jalan lumayan tinggi.
Lokasi
Sumber: Kabupaten Bima dalam Angka 2010 Gambar 1. Peta Lokasi Kecamatan Lambu, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat
Sebagai ilustrasi awal, Kabupaten Bima dikepalai oleh seorang Bupati keturunan Kesultanan Bima cucu dari Sultan R. Salahuddin yang bernama H. Ferry Zulkarnain, S.T. Bupati ini menduduki posisi politis sebagai kepala Kabupaten Bima sejak tahun 2005. Ferry kemudian maju kembali dalam pemilihan Bupati Bima pada tahun 2010 dan menang meski kemenangannya banyak mengalami ‘resistensi’.5 Penulis menyimpulkan adanya resistensi berdasarkan begitu maraknya demo dan ‘konflik’ yang terjadi di Kabupaten Bima termasuk konlfik Lambu yang secara langsung maupun tidak adalah imbas dari hasil pilkada 2010. Dari wawancara dengan beberapa narasumber yang saya temui di Kabupaten Bima sebagian besar mereka meyakini bahwa demo-demo yang hampir setiap hari ada, isu bom di pendopo ketika pembacaan Laporan Pertanggungjawaban Bupati Ferry di depan DPRD Kabupaten Bima, konflik tambang Lambu dan Parado adalah bagian dari gambaran ketidakpuasan ‘rival’ Ferry pada Pemilukada 2010. 5
34 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 33–49
Diusung oleh 10 partai, yaitu Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Bulan Bintang, Partai Demokrasi Kebangsaan, Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Pelopor, Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia,6 Ferry berhasil mendapatkan suara sebanyak 154.735 atau sekitar 60,76% dari total 254.629 suara sah.7 Dibandingkan dengan pilkada 2005, suara Ferry mengalami peningkatan sebesar 16,2% dari 100.438 suara atau sekitar 44,58% dari total jumlah suara sebanyak 225.304 suara pada pilkada Bima 2005. Kedekatan bupati terpilih Ferry Zulkarnain dengan warga Lambu dapat dilihat dari hasil pemilihan suara pada Pemilukada 2005 maupun 2010. Khusus di Kecamatan Lambu suara Ferry pada tahun 2005 mencapai 8.828 suara dari total suara pemilih di Kecamatan tersebut sebanyak 16.876. Jika diprosentase suara Ferry di kecamatan ini mencapai 52,31%. Sementara pada pemilu tahun 2010 suara Ferry di Kecamatan ini mencapai 12.294 dari total suara sebanyak 18.505 atau sekitar 66,44%. Hanya saja kedekatan ini tidak bisa menjamin Bupati Ferry mau mendengar dan mengikuti kemauan dari warga Lambu. Begitu juga dengan suara Ferry di Kecamatan lain. Ferry hampir selalu mampu meraih suara di atas 50% di setiap kecamatan yang tersebar di seluruh Bima.
Formulir Model B-KWK yang dikeluarkan KPUD Kabupaten Bima. 6
Model DB-KWK Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bima oleh KPUD Kabupaten Bima 14 Juni 2010.
Tabel 1. Perbandingan Perolehan Suara Ferry dengan Jumlah Pemilih per Kecamatan pada Pilkada 2005 dan Pemilukada 20108 No.
Kecamatan*
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Tambora Sanggar Madapangga Bolo Donggo**** Belo Monta Woha Sape Lambu Wawo**** Langgudu Wera Ambalawi TPS Khusus Soromandi Parado Palibelo Lambitu Jumlah
Perolehan Suara
Total Jumlah Pemilih Pemilukada **
***
2005 1.457 3.263 7.676 9.085 8.522 8.284 8.245 8.409 12.497 8.828 5.546 7.432 6.775 4.365 54
2010 2.175 3.855 10.550 17.917 7.220 7.647 8.986 13.967 16.875 12.294 6.434 9.944 10.431 5.859 35 5.664 3.818 8.793 2.271
2005 2.783 5.777 15.298 24.209 15.418 26.065 21.988 21.693 27.697 17.128 10.983 13.984 14.792 10.627 151
2010 3.590 6.519 17.660 27.103 9.390 14.018 19.197 25.212 30.112 18.659 9.516 15.399 16.609 11.762 195 8.879 5.142 15.058 3.040
100.438
154.735
228.593
257.060
Prosentase perolehan suara Dibanding jumlah pemilih per Kecamatan 2005 2010 Prosentase 52.35 60.58 8,23 56.48 59.13 2,65 50.17 59.74 9,56 37.52 66.11 28,57 55.27 76.89 21,61 31.78 54.55 22,77 37,50 46.80 9,31 38.76 55.39 16,63 45.12 56.04 10,92 51.54 65.88 14,35 50.49 67.61 17,11 53.14 64.57 11,43 45.80 62.80 17,00 41.07 49.81 8,74 35.76 17.94 -17,81 63.79 74.25 58.39 74.70
Catatan: * Jumlah Kecamatan pada tahun 2010 mengalami perubahan akibat Pemekaran dari 14 menjadi 18 kecamatan ** dan *** Jumlah ini termasuk suara yang tidak sah ****Berdasarkan wawancara merupakan daerah yang memiliki Ikatan emosional dengan Kerajaan Bima
Tabel di atas memperlihatkan bahwa tingkat elektabilitas Ferry cukup besar. Minimal kemenangannya memang dikehendaki oleh rakyat. Apalagi proses pemilu di kedua periode ini dilakukan secara langsung tidak seperti periode sebelumnya yang masih dipilih oleh DPRD. Disini warga bebas menentukan pilihan kepada siapakah suaranya akan diberikan. Namun fakta yang terjadi di lapangan tidaklah demikian. Pascakemenangan Ferry untuk kedua kalinya justru tuntutan gejolak dan resistensi banyak bermunculan. Salah satunya yang paling menonjol selain konflik tambang di Parado adalah konflik Lambu ini. Konflik ini berlangsung cukup lama dan negosiasi yang dilakukan warga Lambu kepada Bupati Ferry berlangsung dari tahun 2010 hingga pecah lagi di pelabuhan Sape 24 Desember 2011. Konflik di Sape adalah buntut dari konflik yang terjadi di Kecamatan Lambu dan tuntutan warga masih sama yaitu pencabutan SK tambang yang dikeluarkan Bupati Ferry
7
Septi Satriani (ed), Dinamika Peran Elit Lokal dalam Pilkada Bima 2010, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2015), hlm 55. 8
Hubungan Negara-Warga dan Demokrasi ... | Septi Satriani | 35
Nomor. 188/45/357/004/2010. Pada konflik ini dua remaja, Arif Rahman dan Mahfud, tewas tertembak peluru aparat. Seorang peserta demo lainnya, Arifudin, meninggal beberapa hari kemudian. Ada yang mengalami trauma terhadap desingan peluru dan atraksi kekerasan aparat di depan matanya yang menyebabkan kondisinya ambruk.9
Dari beberapa fakta inilah, tulisan ini ingin melihat bagaimana derajat demokrasi di Bima jika dilihat dari hubungan antara negara atau Bupati Ferry dengan warga terutama dalam konflik di Lambu. Tulisan selama ini lebih banyak melihat praktek demokrasi sebatas pada saat pemilukada berlangsung baik dari sisi penyelenggaranya seperti Komisi Pemilihan Umun (KPU),
Tabel 2. Kronologis Konflik Negara (Bupati Ferry) dengan Warga Lambu10 dengan Warga Lambu10 No. 1.
Waktu Oktober 2010
Tuntutan Warga Menolak kehadiran industri tambang PT Sumber Mineral Nusantara. Menolak Surat Keputusan yang telah dikeluarkan Bupati Bima Nomor 188/45/357/004/2010 dengan luas 24.980 Ha yang beroperasi di kecamatan Lambu, Sape dan Langgudu dan seluas 14.318 Ha untuk PT. Indo Mineral Cipta Persada yang beroperasi di kecamatan Parado Front Rakyat Anti Tambang menuntut dipertemukan dengan Perwakilan PT SMN.
2.
Desember 2010
3.
8 Januari 2011
4.
31 Januari 2010
Front Rakyat Anti Tambang atau FRAT dan warga meminta Camat Lambu menandatangani penolakan terhadap PT SMN.
5.
9 Februari 2011
6.
10 Februari 2011
7.
16 Februari 2011
Warga menolak himbauan pihak kecamatan untuk tidak berunjuk rasa dan hampir terjadi konflik. Menuntut Camat menandatangani surat penolakan terhadap IUP PT SMN Nomor 188/45/357/004/2010 dengan luas 24.980 Ha yang beroperasi di kecamatan Lambu, Sape dan Langgudu dan seluas 14.318 Ha untuk PT. Indo Mineral Cipta Persada yang beroperasi di kecamatan Parado. Warga tiarap (sembunyi).
Respon Negara Kekerasan.
Camat menerima dan berjanji akan menyampaikan ke Bupati Bima.
Camat yang diharapkan mampu menjembatani tidak menemui dan mendengarkan tuntutan warga. Camat menolak dengan alasan bukan kewenangannya untuk menandatangani surat tersebut. Menghimbau warga untuk tidak berujuk rasa. Camat menolak dan memberitahu bahwa Bupati Ferry tidak dapat hadir di Lambu.
Sweeping ke desa dan lokasi dengan konflik tambang.
Data diperoleh dari Laporan yang dibuat oleh Komunitas Babuju. 9
Data diperoleh dari Laporan yang dibuat oleh LEAD (Liga Edukasi dan Advokasi), Komunitas Babuju, WALHI, 8. 19-23 Warga dari Sape, Lambu dan daerah http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20110226/ sekitar menduduki pelabuhan Sape Desember perlawanan-rakyat-parado-menolak-tambang-emas.html, http:// 2011 menuntut pencabutan SK www.rimanews.com/read/20110214/16560/lokasi-tambangpertambangan di Lambu dan Parado. emas-dirusak-massa, http://www.walhi.or.id/index.php/id/ ruang-media/kumpulan-kronologis-kasus-sda/1860-kronologispenolakan-tambang-emas-di-kec-lambu-kab-bima-ntb.html 10
36 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2
Keterangan 35 orang luka ringan.
Ratusan aparat gabungan dari TNIPolri yang terdiri dari TNI BKO langsung dari Yon 743/SWY, Gebang Mataram, Brimob BKO dari DesemberDetasemen 2015 | 33–49 Mataram dan Detasemen Bima.
250 personil aparat Polres Kota Bima, 60 personil gabungan intel dan Bareskrim dan 60 personil Brimob Polda NTB menyemprotkan gas air mata, peluru karet bahkan diduga ada juga yang menggunakan peluru tajam. Lima orang yang dijadikan tersangka dan sedang ditahan di Mapolresta Kota Bima yakni Abidin asal Desa Sumi, Tasrif asal Desa Rato, Fesadin asal Desa Sumi, Nurrahman asal Desa Nae dan Mashulin asal Desa Lanta. Tiga orang tewas versi masyarakat yang diamini oleh WALHI dan Komnasham. Sementara versi Negara hanya dua karena satu orang lainnya meninggal beberapa hari setelah kejadian dan dianggap tidak ada kaitannya dengan konflik di SAPE.
2011
7.
16 Februari 2011
8.
19-23 Desember 2011
surat penolakan terhadap IUP PT SMN Nomor 188/45/357/004/2010 dengan luas 24.980 Ha yang beroperasi di kecamatan Lambu, Sape dan Langgudu dan seluas 14.318 Ha untuk PT. Indo Mineral Cipta Persada yang beroperasi di kecamatan Parado. Warga tiarap (sembunyi).
memberitahu bahwa Bupati Ferry tidak dapat hadir di Lambu.
Warga dari Sape, Lambu dan daerah sekitar menduduki pelabuhan Sape menuntut pencabutan SK pertambangan di Lambu dan Parado.
Ratusan aparat gabungan dari TNIPolri yang terdiri dari TNI BKO langsung dari Yon 743/SWY, Gebang Mataram, Brimob BKO dari Detasemen Mataram dan Detasemen Bima.
pemilihnya (partisipasi) maupun tingkah polah elitnya pada saat pemilukada berlangsung. Tulisan ini ingin melengkapi berbagai tulisan sebelumnya tentang praktek demokrasi dengan melihat hubungan Nnegara dengan Warga terutama setelah praktek pemilukada itu selesai. Dari paparan fakta lapangan terhadap kasus Lambu terutama bagaimana interaksi hubungan antara negara yang direpresentasikan oleh perilaku Bupati Ferry terhadap warga Lambu diharapkan mampu menjawab derajat demokratis tidaknya rezim Bupati Ferry tersebut.
Demokrasi dalam Perspektif Teori Kajian-kajian yang selama ini menaruh perhatiannya pada demokrasi lebih banyak melihat bahwa tidak berhasilnya demokrasi pascaotoritarian disebabkan karena Indonesia masih berada dalam selang antara (transisi) dari otoritarian ke demokrasi itu sendiri. Dalam konteks transisi politik dari Rezim Soeharto kepada kepemimpinan politik setelahnya diibaratkan seperti membuka kotak Pandora. Selalu ada kejutan dan kondisi yang sulit untuk diprediksi hasilnya. Secara teori transisi politik dimaknai oleh Guillermo O’ Donnell dan Phillippe Schmitter sebagai “selang waktu antara rezim otoritarian dengan rezim demokratis”.11 Asumsi yang dibangun oleh keduanya adalah Guillermo O’Donnell, Philippe C. Schmitter, Laurence Whitehead, Transisi Menuju Demokrasi, Tinjauan Berbagai Perspektif (LP3ES: Jakarta, 1993), hlm. 6. 11
Sweeping ke desa dan lokasi dengan konflik tambang.
Bima, 60 personil gabungan intel dan Bareskrim dan 60 personil Brimob Polda NTB menyemprotkan gas air mata, peluru karet bahkan diduga ada juga yang menggunakan peluru tajam. Lima orang yang dijadikan tersangka dan sedang ditahan di Mapolresta Kota Bima yakni Abidin asal Desa Sumi, Tasrif asal Desa Rato, Fesadin asal Desa Sumi, Nurrahman asal Desa Nae dan Mashulin asal Desa Lanta. Tiga orang tewas versi masyarakat yang diamini oleh WALHI dan Komnasham. Sementara versi Negara hanya dua karena satu orang lainnya meninggal beberapa hari setelah kejadian dan dianggap tidak ada kaitannya dengan konflik di SAPE.
ketika rezim otoritarian tumbang maka semua gejala yang menyertainya seharusnya lamakelamaan akan ikut menghilang dengannya. Sayangnya transisi politik tidak melulu mengarah kepada konsolidasi demokrasi namun justru reotoritarianisme ataupun demokrasi yang terbatas. Pola yang tidak linier antara transisi politik dengan konsolidasi demokrasi menurut beberapa literatur disebabkan oleh banyak hal. Pertama, pada masa transisi aturan politik ‘dimaknai ulang’ oleh tiap entitas yang berkepentingan dalam politik. Masing-masing butuh untuk mengondisikan agar ‘aturan politik’ yang terbentuk menguntungkan diri dan kelompoknya sehingga mampu beradaptasi bahkan mendominasi dalam sistem politik yang baru. Selain itu, posisi yang dikejar oleh masing-masing entitas adalah berada dalam negara karena dengan berada dalam negara maka mereka memiliki akses untuk melakukan tindakan ‘penyalahgunaan’ wewenang kekuasaan demi kepentingan pribadi yang tentunya akan melanggar hukum yang berlaku.. 12 Maka kecenderungan yang ada adalah terjadinya pembajakan elit.13 Kedua, demokrasi diasumsikan bisa berjalan dalam keadaan masyarakat yang modern dan Edward Aspinall dan Gerry van Klinken (Ed), The State and Illegality in Indonesia, (Jakarta: KITLV Press, 2011), hlm. 2. 12
Vedi R Hadiz, Localising Power at Post Authoritarian in Indonesia: A Southeeast Perspective, (California: Standford University Press, 2010), hlm. 28. 13
Hubungan Negara-Warga dan Demokrasi ... | Septi Satriani | 37
maju (sejahtera).14 Dalam thesis Amin Tohari dinyatakan bahwa salah satu faktor tidak berkembangnya demokrasi adalah adanya ketimpangan struktur sosial yang diakibatkan oleh timpangnya penguasaan aset agraria. Hal inilah yang membawa Amin Tohari pada satu kesimpulan bahwa demokratis tidaknya suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh hubungan antara struktur dengan suprastruktur. Amin Tohari berpendapat bahwa di dalam modus produksi agraris, penguasaan atas sumber agraria menentukan besar kecilnya kekuasaan yang dimiliki dan menentukan kemenangan serta kekalahan kontestasi kekuasaan dalam arena demokrasi. Ketika penguasaan sumber agraria timpang maka kecenderungan yang terjadi masyarakat menjadi kekurangan kecakapan untuk mengontrol elit sehingga demokrasi justru tidak banyak berarti kecuali hanya menjadi arena perebutan sumber-sumber kekayaan. 15 Amin sampai pada satu kesimpulan bahwa watak demokrasi yang oligarkhis dan terfragmentasi di tingkat lokal pascaliberalisasi politik dan desentralisasi kekuasaan adalah dampak dari warisan masa lalu dalam pembentukan struktur agraria yang juga terdiferensiasi, terstratifikasi dan bersifat involutif. Struktur agraria yang demikian menurut Amin berkontribusi pula pada pembentukan kelas sosial yang terfragmentasi dan tidak terkonsolidasi.16
Willian R Brock, Welfare, Democracy, and The New Deal, (New York: Cambridge University Press, 1998). Amin Thohari, Struktur Penguasaan Sumber Agraria dan Demokrasi Lokal, Thesis, (Yogyakarta: Pasca Sarjana Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM, 2012), hlm. 10. 14
15
Thohari, op.cit., hlm. 10.
16
Ibid, hlm. 10.
Tabel 3. Peta Kajian tentang Demokrasi17 Kajian Institusionalis
Fokus Kajian Menitik beratkan pada persoalan partisipasi, representasi, pemilihan umum, bentuk-bentuk institusi demokrasi.
Strukturalis
Demokrasi akan tumbuh manakala ada kesetaraan ekonomi dan sosial yang terbangun sehingga buruh dan orang-orang miskin memiliki daya tawar dan daya kontrol terhadap kekuasaan. Demokrasi dipengaruhi sikap dan perilaku elit.
Behavioralis
Pengarang Tornquist, National Democratic Institute (NDI), International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA). Vedi Hadiz, Amin Tohari.
Gerry Van Klinken, Ari Dwipayana, R Siti Zuhro.
Selain Amin, penelitian serupa juga dilakukan oleh Mohammad Zulfan Tadjoeddin pada 282 pemilukada di seluruh Indonesia pada tahun 2005-2007 membawanya pada satu kesimpulan bahwa tingkat kematangan masyarakat dalam berdemokrasi sangat dipengaruhi oleh IPM (indeks pembangunan manusia) dan modernisasi (kesejahteraan). Keduanya memberi kontribusi pada tingkat kemusuhan (konflik) pada proses pemilukada. Semakin modern masyarakat yang ditunjukkan oleh tingginya indeks pembangunan manusia maka masyarakat tersebut semakin matang sehingga tingkat kemusuhan (konflik) di masyarakat tersebut ketika proses pemilukada semakin rendah.18 Namun sayangnya Zulfan tidak memasukkan Depok sebagai salah satu unit analisis diantara 282 sampel wilayah yang ditelitinya. Padahal jika Zulfan mengacu pada modernisasi yang terlihat dari tingginya angka IPM maka Depok yang memiliki angka 79,20 tidak termasuk wilayah yang memiliki tingkat kemusuhan yang tinggi. Namun fakta di lapangan pemilu di Kota Depok 2005 telah terjadi konflik. Konflik pilkada Depok dimulai ketika salah satu pasangan dari lima pasangan, yaitu Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad mengajukan keberatan ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat pada 11 Juli 2005 dengan menggugat Komisi Pemilihan Umum Kota Depok. Alasannya, terdapat kesalahan perhitungan suara sehingga pasangan itu dirugikan. Sebelumnya, KPU Depok mengumumkan hasil perhitungan suara pilkada 2005. Pasangan Nur Mahmudi Ibid, hlm. 4-6 dan dilengkapi dari berbagai sumber referensi lainnya. 17
Mohammad Zulfan Tadjoeddin, Electoral Conflict and The Maturity of Local Democracy in Indonesia: Testing the Modernisation Hypothesis, (University of Social Sciences, 2011) 18
38 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 33–49
Isma’il-Yuyun Wirasaputra meraih 232.610 suara atau 43,90 persen, disusul pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad 206.781 suara (39,03 persen), Yus Ruswandi-Soetadi Dipowongso 34.096 (6,44 persen), Abdul Wahab Abidin-Ilham Wijaya 32.481 suara (6,13 persen) dan Harun Heryana-Farkhan 23.850 (4,5 persen).19 Pada 4 Agustus 2005, Pengadilan Tinggi Jawa Barat mengeluarkan putusan No 01/Pilkada/2005/ PT Bandung yang mengabulkan permohonan dari pemohon dan menyatakan batal hasil perhitungan suara 6 Juli 2005 serta menetapkan jumlah perhitungan suara yang benar, yaitu suara Badrul Kamal-Sihabuddin Ahmad menjadi 269.551, sedangkan suara Nur Mahmudi Isma’il turun menjadi 204.828. Keputusan ini pun menganulir kemenangan pasangan Nur Mahmudi-Yuyun W dan memenangkan pasangan Badrul KamalSyihabuddin. Atas putusan PT Jabar tersebut, Komisi Pemilihan Umum Depok menolak dan mengajukan memori Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) pada 16 Agustus 2005. Pada 8 September 2005 Mahkamah Agung mengumumkan pembentukan Majelis PK perkara sengketa Pilkada Depok dan menetapkan lima hakim agung. MA akhirnya memutuskan mengabulkan permohonan PK dari KPU Depok, membatalkan putusan PT Jabar di Bandung tanggal 4 Agustus 2005, dan menolak keberatan dari permohonan Badrul Kamal-Syihabuddin ihwal pilkada Depok. Dengan putusan MA ini berarti Nur Mahmudi Isma’il-Yuyun Wirasaputra sah dan punya kekuatan hukum yang tetap sebagai Walikota dan Wakil Walikota Depok. Pada 3 Januari 2006, pasangan Badrul Kamal mengajukan permohonan keberatan atas putusan MA ke Mahkamah Konstitusi (MK).20 Dari dua contoh ini maka tesis yang dibangun keduanya menjadi kurang pas. Struktur ekonomi dan tingkat kesejahteraan yang ada tidak serta membuat praktek demokrasi menjadi hal yang tanpa cacat. Sementara narasi lain yang digaungkan oleh kaum behavioralis berpendapat bahwa peranan ‘agency’ atau karakter dan perilaku tokoh-tokoh kuncilah yang mewarnai setiap kebijakan strategis sehingga demokratis 19
http://www.suaramerdeka.com/harian/0508/09/nas16.htm.
Abdoel Fattah, “Konflik Pasca Pilkada: Kasus Depok,” Jurnal Politik Vol. 1, No. 1, 2008. 20
tidaknya sebuah pemerintahan dan negara sangat dipengaruhi oleh tingkah polah dari para aktor atau elit yang ada. Kajian-kajian menyangkut demokrasi yang menaruh perhatian pada sikap dan perilaku elit (behavioralis) salah satunya adalah Gerry Van Klinken yang menyatakan bahwa pascaOrde Baru menjadi penanda redefinisi peran berbagai elit lokal di hampir seluruh wilayah Indonesia.21 Selain itu, ada buku Ari Dwipayana yang membandingkan aristokrasi di dua kota (Gianyar dan Surakarta) pasca-Orde Baru mirip dengan kesimpulan Gerry Van Klinken bahwa ada kebangkitan kembali atau minimal daya survivalitas kelompok aristokrasi dalam sistem politik baru melalui berbagai cara.22 Namun, perlu dicatat bahwa tingkah polah yang dilakukan elit adalah gambaran respon mereka terhadap situasi dan struktur yang ada sehingga peletakan demokrasi dalam perspektif elit juga tidak bisa menafikan posisi dan bangunan struktur yang ada dimana demokrasi itu akan dibangun.23 Sedikit kajian politik lokal yang menggunakan pendekatan behavioral dengan metodologi etnografi adalah Y Argo Twikromo dan Jacqueline Veil. Buku Y Argo Twikromo memfokuskan studinya pada peran elit lokal dalam hubungannya antara negara dengan komunitas lokal. Elit lokal berusaha untuk memelihara penguasaannya atas sumber daya negara maupun masyarakat, mendapatkan keuntungan maksimal dari keduanya. Studi ini menaruh perhatiannya pada taktik dan strategi yang dilakukan oleh elit lokal di ujung timur Sumba untuk memelihara penguasaannya atas berbagai sumber daya dan keseimbangan dengan aktor lain dalam mencapai tujuan mereka.24
Henley, Davidson, Moniaga (Eds.), Adat dalam Politik Indonesia, (Jakarta: KITLV, 2010), hlm. 50. 21
AAGN Ari Dwipayana, Bangsawan dan Kuasa: Kembalinya Para Ningrat di Dua Kota, (Yogyakarta: IRE Press, 2004), hlm 7. 22
Septi Satriani (Ed), Dinamika Peran Elit Lokal dalam Pilkada Bima 2010, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2015). 23
Y Argo Twikromo, The Local Elit and The Appropriation of Modernity: A Case in East Sumba Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm 23. 24
Hubungan Negara-Warga dan Demokrasi ... | Septi Satriani | 39
Di sini Argo Twikromo menjelaskan bahwa pada umumnya, daerah yang berada di luar Jawa memandang negara seperti layaknya benda asing yang jauh letaknya. Berada jauh dari pusat kekuasaan negara, Argo Twikromo menjelaskan bahwa daerah-daerah ini memilih untuk hidup dengan menggunakan tradisi dan lingkungan yang sesuai dengan keyakinan mereka. Argo Twikromo menjelaskan bahwa mereka cenderung menghindari kontak langsung dengan negara dan berbagai kebijakan yang dimilikinya. Peluang inilah yang dimanfaatkan oleh elit lokal melalui berbagai strategi kreatif yang berakar dari tradisi mereka dalam kerangka melibatkan diri atau menolak kebijakan pemerintahan nasional.25 Peran yang diemban elit lokal ini, menurut Argo Twikromo hanya bisa dijelaskan bahwa mereka memilih menjadi perantara antara komunitas lokal dan negara. Menjadi perantara, elit lokal memiliki kesempatan untuk memanipulasi dan menggunakan pola maupun simbol kebudayaan dalam kerangka menciptakan komunitas masyarakat yang sah. Menurut Argo Twikromo, melalui posisi dan peran ini, mereka dapat menuai keuntungan politik dan ekonomi. Sebagai tambahan, studi ini juga memiliki argument yang kuat bahwa meski isu desentralisasi dan otonomi daerah muncul namun ata (budak) masih mematuhi dan mengikuti kekuasaan dan kewenangan elit.26 Dalam karya Jacqueline AC Vel yang berjudul Uma Politics, Jacqueline ingin menggambarkan bagaimana seorang kandidat mencoba membangun ‘brand image’ tentang dirinya. Karya ini mampu memberi gambaran bagaimana Umbu Sappi Pateduk menanamkan harapan kepada masyarakat akan kesejahteraan mereka jika nantinya dia terpilih dalam pemilukada Sumba Barat 2005 dengan menggunakan modal kulturalnya. Menurut pendapat Jacqueline AC Vel konsepsi Sumba mengenai kekuasaan telah melampaui dikotomi antara tradisional dan barat. Mereka mengadopsi konsep kekuasaan ‘barat’ yang memandang kekuasaan sebagai kekuatan yang berasal dari berbagai sumber. Orang Sumba telah menggabungkan berbagai elemen 25
Ibid.
26
Ibid.
yang konsekuensinya adalah bahwa orang yang ingin menjadi pemimpin yang paling sah, kuat dan karismatik harus mengontrol berbagai jenis sumber daya sebisa mungkin dalam jumlah besar. Jacqueline menambahkan bahwa kekuasaan dapat dipahami sebagai akumulasi modal, kombinasi modal budaya, sosial dan ekonomi tradisional dan modern. 27 Disini Jacqueline AC Vel ini memperlihatkan bahwa tradisi adalah modal yang masih relevan digunakan dalam kepemimpinan politik di Sumba. Hal yang sama disampaikan oleh Y Argo Twikromo bahwa konsep tentang asal usul, garis keturunan masih menjadi faktor utama dalam menentukan derajat atau posisi seseorang dalam masyarakat. 28 Praktek yang dilakukan oleh Umbu Bintang jika dilihat dengan perspektif karya Y Argo Twikromo bahwa orasi maupun makam leluhur menjadi semacam bukti yang memperkuat klaim yang dilakukan oleh ‘elit’ untuk memasukkan dirinya sebagai keturunan dari kelas yang ‘utama’. Praktek di atas adalah bagian dari implementasi ‘sejarah oral’ mengenai asal usul dan nenek moyang Umbu Bintang. Keberadaan artefak makam memperkuat klaim atas klasifikasi sosial, peringkat, kekuasaan dan otoritas dalam hubungannya dengan orang atau klan lain. Sayangnya Umbu Bintang kalah dalam pemilukada 2005 meski dia mampu meraih 75% suara di wilayahnya. Umbu Bintang hanya mampu meraih 19% suara dikalahkan oleh pasangan Drs. Julianus Pote Leba MSi-dr Kornelis Kodi Mete yg berhasil mengantongi 32% suara. Drs. Julianus Pote Leba MSi adalah bupati incumbent periode sebelumnya dan dr Kornelis Kodi Mete adalah kepala rumah sakit umum di Kabupaten Sumba Barat. Studi lain mengenai elit lokal dilakukan oleh Syarif Hidayat yang memfokuskan pada dinamika politik lokal di Banten. Disini Syarif ingin memperlihatkan relasi antara pengusaha dengan penguasa dalam perebutan akses sumber daya yang ada di sana. Intinya Syarif ingin Jacqueline AC Vel, Uma Politics: An Ethnography or Democratization of West Sumba Indonesia 1986-2006, (Leiden: KITLV, 2008), hlm. 70. 27
Y Argo Twikromo, The Local Elit and The Appropriation of Modernity: A Case in East Sumba Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 64. 28
40 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 33–49
mengatakan bahwa Jawara sebagai ‘shadow state’ mampu mempengaruhi jalannya pemerintahan di Propinsi Banten.29 Dalam literatur yang sama John M Mac Dougall menulis tentang kriminalitas dan ekonomi politik keamanan di Lombok. Disini Dougall menyinggung pula bagaimana posisi Tuan Guru dalam politik nasional pada tahun 1971 serta kompensasi yang didapatkan oleh Tuan Guru ketika membantu kemenangan Golkar pada pemilu tersebut. Tuan Guru Nahdlathul Wathan (NW) mendapat kompensasi bantuan militer dan pejabat pemerintah dalam melakukan dakwah khususnya di Lombok Utara (wet semokan/Islam wetu telu).30 Penelitian lain yang dilakukan oleh LIPI juga memperlihatkan bahwa pasca-Reformasi membuka peluang peran elit di tingkat lokal khususnya Tuan Guru mengalami pergeseran peran dari ranah kultural ke politik pemerintahan.31 Selain itu, kajian LIPI tentang elit juga memperlihatkan bahwa paradoks demokrasi di tingkat lokal terjadi karena polah tingkah elit yang membajak jalannya demokrasi dan pemerintahan.32 Narasi lain yang coba dipetakan oleh Amin Tohari tentang demokrasi adalah bahwa kajian-kajian selama ini yang menaruh perhatian kepada demokrasi pasca-Orde Baru lebih banyak menitikberatkan pada persoalan partisipasi, representasi, pemilihan langsung dan bentukbentuk institusi demokrasi di tingkat lokal. Selain itu, kajian demokrasi yang menitikberatkan pada kelembagaan berpendapat bahwa dengan kelembagaan yang baik maka demokrasi akan tumbuh dengan sendirinya. Kelembagaan yang dimaksud disini menyangkut kebebasan sipil dan politik.33 Sayangnya Amin hanya memetakan saja Syarif Hidayat, “Shadow State…?, Bisnis dan Politik di Provinsi Banten”, (Jakarta: KITLV-YOI, 2007), hlm 265-303 dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken (Ed), Politik Lokal di Indonesia, (Jakarta: KITLV-YOI, 2007). 29
John M Mac Dougall, “Kriminalitas dan Ekonomi Politik Keamanan di Lombok”, (Jakarta: KITLV-YOI, 2007), hlm 375-405 dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken (Ed), Politik Lokal di Indonesia, (Jakarta: KITLV-YOI, 2007). 30
Irine Hiraswari Gayatri (Ed), Dinamika Peran Toan Guru Pasca Orde Baru di Lombok Timur, (Jakarta: LIPI Press, 2009). 31
Septi Satriani (Ed), Dinamika Peran Elit Lokal dalam Pilkada Bima 2010, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2015). 32
33
Tohari, op.cit.
tanpa membahas sampai sejauh mana bekerjanya masing-masing kajian yang selama ini menaruh perhatian pada persoalan-persoalan ini. Hal inilah yang akan coba penulis lengkapi. Berbicara mengenai partisipasi, teori yang dibangun oleh para ilmuwan yang menaruh perhatian pada demokrasi menyatakan bahwa tingkat partisipasi dapat digunakan untuk mengukur apakah sistem politik di negara tersebut demokratis atau tidak.34 Asumsinya tingginya tingkat partisipasi warga mencerminkan bahwa sistem politik di negara yang bersangkutan memberi ruang atau hak kepada warga masyarakat untuk ikut menentukan arah kebijakan negara. Maka pada jaman Soeharto ketika menerapkan sistem monoloyalitas tunggal kepada PNS dan kebijakan floating mass bagi parpol membuat rezim ini masuk dalam kategori yang tidak demokratis. 35 Begitu juga dengan tingkat representasi. Ketika jaman Soeharto diterapkan fusi partai menjadi tiga dengan sistem perwakilan yang ada membuat tingkat representasi warga jauh lebih ‘rendah’ dibandingkan sistem perwakilan saat ini yang membuka peluang yang luas bagi warga untuk ikut memilih wakil-wakilnya. Menyangkut soal transparansi untuk kadar tertentu pelaksanaan pemilu di Indonesia saat ini jauh lebih terbuka. Sebagai contoh pelaksanaan pemilu dari awal hingga akhir bisa dipantau oleh berbagai elemen dari dalam maupun luar baik swasta maupun negara. Keberadaan teknologi yang tercermin dari ketersediaan Informasi dan Teknologi atau IT di ruang kontrol Komisi Pemilihan Umum pusat juga menjadi salah satu wahana pengawasan jalannya penghitungan suara. Belum lagi keterlibatan awak media baik elektronik maupun cetak yang tersebar di seluruh wilayah hadir sebagai lembaga pengawas yang berada di luar negara. Jika semua parameter yang diidentifikasi oleh Amin telah terpenuhi dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia saat ini mengapa hasilnya seolah menjauh dari praktek demokrasi itu Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Grasindo Media Utama), hlm. 142. 34
Affan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999); Ikrar Nusa Bhakti, Pers dalam Revolusi Mei: Runtuhnya Sebuah Hegemoni, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 65. 35
Hubungan Negara-Warga dan Demokrasi ... | Septi Satriani | 41
sendiri. Tingkat elektabilitas yang tinggi yang tercermin dalam suara yang tinggi diberikan warga kepada Ferry ternyata tidak menjamin pemerintahan yang dibangun menjadi demokratis. Untuk itu penulis akan mencoba mengaplikasikan konsep demokrasi ala Charles Tilly yang melihat kesesuaian perilaku negara dengan tuntutan warga sebagai parameter untuk melihat demokratis tidaknya rezim yang dibangun oleh Bupati Ferry.
Charles Tilly kemudian menjelaskan bahwa terminologi luas, setara, aman terlindungi atau perlindungan dan saling mengikat terkait pada empat bagian dimensi yang bebas di antara berbagai rezim yang ada. Deskripsi kasar dari empat dimensi ini menurut Charles Tilly adalah sebagai berikut:39 1. Keluasan: Dari hanya segmen kecil dari populasi yang mampu menikmati hak-hak yang luas hingga pada inklusi politik bagi semua orang yang berada di bawah yurisdiksi negara (pada satu titik, setiap rumah tangga memiliki hubungan tersendiri dengan negara, tetapi hanya beberapa rumah tangga memiliki hak penuh kewarganegaraan, di sisi lain semua warga negara dewasa termasuk dalam kategori yang sama dalam hal kewarganegaraan).
Sejak awal Charles Tilly berpendapat bahwa susah mencari definisi yang pas untuk demokrasi. Dalam beberapa fakta ada negara yang dikategorikan demokratis tetapi dalam prakteknya justru sangat menjauh dari demokrasi itu sendiri. Di sini Charles Tilly mencontohkan negara Kazakhstan. 36 Di sisi lain ada negara dikategorikan tidak demokratis tetapi justru dalam prakteknya memenuhi nilai-nilai demokratis. Di sini Charles Tilly mencontohkan negara Jamaica. 37 Menurut Charles Tilly penilaian terhadap demokratis tidaknya sebuah rezim diukur dari sejauh mana berperilaku negara sesuai dengan tuntutan yang diungkapkan warga negaranya sehingga ukuran demokratisasi dan de-demokratisasi dilihat pada sejauh mana kesesuaian bertambah atau berkurang. Dalam perspektif yang sederhana, sebuah rezim demokratis menurut Charles Tilly adalah jika pada tingkat hubungan politik antara negara dengan warganya ada pada posisi yang luas, setara, aman terlindungi dan pada posisi konsultasi yang saling mengikat. Maka menurut Charles Tilly rezim yang demokratis jika hubungan yang dibangun antara negara dengan warga tidak berbatas atau luas, lebih sejajar, lebih terlindungi dan ikatan untuk konsultasi juga lebih kuat. Sementara yang tidak demokratis jika hubungan antara negara dengan warga itu dangkal, kurang terlindungi, kurang sejajar posisinya dan hubungannya konsultasinya juga tidak erat.38
2. Kesetaraan: dari ketimpangan besar di antara dan di dalam kategori warga hingga kesetaraan yang luas di kedua hal (pada satu titik yang ekstrim, kategori etnis jatuh ke dalam urutan peringkat yang jelas dengan hak dan kewajiban yang tidak setara, tetapi di sisi lain, etnis tidak memiliki hubungan signifikan dengan hak atau kewajiban politik dan sebagian besar hak sama berlaku antara warga kelahiran asli dan naturalisasi). 3. Perlindungan: dari sedikit hingga perlindungan yang luas terhadap tindakan sewenang-wenang negara (pada satu titik, agen negara terus menerus menggunakan kekuasaan mereka untuk menghukum musuh pribadi, dan menghargai teman-teman mereka, di lain pihak semua warga menikmati proses yang terlihat oleh umum tersebut). 4. Konsultasi saling mengikat: dari konsultasi yang tidak mengikat dan atau sangat asimetris hingga pada konsultasi yang saling mengikat (pada titik yang ekstrim, pencari keuntungan negara harus menyuap, membujuk,
Charles Tilly, Democracy, (USA: Cambridge University, 2007), hlm. 2-3. 36
37
Ibid, hlm. 5.
38
Ibid, hlm. 13-14.
39
Ibid, hlm. 14-15.
42 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 33–49
mengancam, atau menggunakan pengaruh pihak ketiga untuk mendapatkan segalanya; di lain sisi, agen negara memiliki kewenangan yang jelas, kewajiban hukum untuk memberikan manfaat berdasarkan kategori penerima)
melalui perjuangan dari atas maupun pemberontakan massa dari bawah 2. Kapasitas Rendah Tidak Demokratis yang ditandai oleh panglima perang, blok etnis dan mobilisasi agama, perjuangan kekerasan sering terjadi termasuk perang sipil, beberapa aktor politik termasuk para penjahat menyebarkan kekuatan yang mematikan
Lebih lanjut, Charles Tilly mengatakan bahwa kapasitas negara dibutuhkan dalam pelaksanaan demokrasi karena bagi Charles Tilly tidak ada demokrasi yang bisa berjalan jika negara kekurangan kapasitas untuk mensupervisi pembuatan kebijakan yang demokratis serta menerapkannya dalam praktek keseharian bernegara.40 Kapasitas negara merujuk pada sejauh mana intervensi negara dalam sumber daya yang ada diantara sumber daya nonnegara, kegiatan, dan koneksi antar personal sebaik hubungan dalam distribusi diantara mereka. Intinya menurut Charles Tilly dalam rezim yang memiliki kapasitas yang tinggi segala aksi yang dilakukan negara akan berpengaruh pada sumber daya, aktivitas maupun hubungan interpersonal secara signifikan. Begitu juga sebaliknya dalam kapasitas negara yang rendah, apapun yang negara lakukan tidak akan berpengaruh secara signifikan, jikalau berpengaruh hanya pada derajat yang rendah meskipun atau bagaimanapun mereka berusaha untuk merubahnya.41 Charles Tilly kemudian memetakan karakter rezim politik publik didasarkan pada tinggi rendahnya kapasitas negara dan tinggi rendahnya demokrasi. Disini Charles Tilly menggambarkan dalam sebuah diagram garis yang bergerak dari angka 0 (nol) hingga 1 (satu) yang membentuk empat kuadran dengan karakter seperti di bawah ini42: 1. Kapasitas Tinggi Tidak Demokratis yang ditandai oleh suara publik porsinya sedikit kecuali ditimbulkan oleh negara, keterlibatan yang luas dari pasukan keamanan negara dalam politik, perubahan rezim baik 40
Ibid, hlm. 15.
41
Ibid, hlm. 16.
42
Ibid, hlm. 20-21.
3. Kapasitas Rendah Demokratis yang digambarkan Tilly seperti rezim kapasitas tinggi demokrasi, gerakan sosial sering, kegiatan kelompok kepentingan dan mobilisasi partai politik ditambah konsultasi formal (termasuk pemilihan kompetitif) kegiatan politik sangat tinggi tetapi pemantauan keadaan kurang efektif, keterlibatan yang lebih tinggi dari pelaku legal dan setengah ilegal dalam politik lebih tinggi 4. Kapasitas Tinggi Demokratis yang ditandai oleh gerakan sosial sering, kegiatan kelompok kepentingan dan mobilisasi partai politik, konsultasi formal (termasuk pemilihan kompetitif) sebagai titik tinggi aktivitas politik, pemantauan negara atas politik publik dikombinasikan dengan tingkat kekuasaan politik yang relatif rendah. Dari kuadran yang digambarkan oleh Charles Tilly dapat disimpulkan bahwa demokratisasi (proses demokrasi) dan de-demokratisasi (proses menjadi tidak demokrasi) adalah gambaran interaksi dalam sisi perubahan kapasitas negara. Selanjutnya Charles Tilly mengatur penjelasan utama demokratisasi dan de-demokratisasi ke dalam tiga cluster pusat perubahan43: 1. Meningkatkan dan menurunkan integrasi antara jaringan kepercayaan interpersonal seperti misalnya kekerabatan, keanggotaan agama, dan hubungan dalam perdagangan dan masyarakat politik 2. Meningkat dan penurunan isolasi politik publik dari ketidaksetaraan 43
Ibid, hlm. 23.
Hubungan Negara-Warga dan Demokrasi ... | Septi Satriani | 43
kategoris utama seperti misalnya jenis kelamin, ras, etnis, agama, kelas, kasta sekitar warga yang mengatur kehidupan sehari-hari mereka. 3. Meningkat dan menurunnya otonomi pusat kekuatan utama terutama yang memegang cara-cara koersif signifikan seperti warlods, rantai patron-klien, tentara, dan lembaga keagamaan yang berkaitan dengan politik publik. Penjelasan Charles Tilly mengenai praktek demokrasi jika dikaitkan dengan kesesuaian perilaku negara dengan tuntutan yang diungkapkan warga negaranya memberi pemahaman kepada penulis bahwa pada satu titik kapasitas negara dalam mewujudkan demokrasi tidak lepas dari bagaimana kemampuan negara dalam mewujudkan pemberian hak dan kesetaraan bagi warga negara, perlindungan, penghargaan terhadap warga yang terlihat dari adanya konsultasi yang dilakukan oleh negara terhadap warganya di atas jenis kelamin, ras, etnis ,agama kelas maupun kasta.
Praktek Demokrasi di Bima dalam Perspektif Charles Tilly Setelah mencoba mengidentifikasi berbagai teori yang ada mengenai demokrasi, penulis akan mencoba membunyikan data lapangan dalam konflik Lambu dengan menggunakan perspektif Charles Tilly. Pilihan perspektif lebih kepada keinginan penulis untuk mengisi kekosongan tulisan yang menggunakan perspektif ini. Selain itu perspektif yang menggunakan ikatan primordial seperti yang dilakukan oleh LIPI atas data yang sama44 cenderung menempatkan warga sebagai objek yang dipersalahkan. Dengan menggunakan perspektif Charles Tilly yang melihat hubungan negara dengan warga, penulis berpendapat bahwa posisi warga disetarakan dengan negara sehingga interaksi diantara keduanya akan bisa dijadikan parameter untuk mengukur derajat demokrasi di Bima terutama dalam kasus konflik di Lambu. Kajian selama ini selalu hanya sepihak melihat perilaku negara atau aktor dan menempatkan warga sebagai objek Septi Satriani (Ed), Dinamika Peran Elit Lokal dalam Pilkada Bima 2010, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2015). 44
yang tidak memiliki peran, jikalau ada hanya terbatas atau memiliki pengaruh secara negatif terhadap proses atau praktek demokrasi karena rendahnya tingkat pengetahuan yang dimilikinya (pemilih tradisional). Dalam tulisannya Amin Tohari berpendapat bahwa di dalam modus produksi agraris, penguasaan atas sumber agraria menentukan besar kecilnya kekuasaan yang dimiliki dan menentukan kemenangan serta kekalahan kontestasi kekuasaan dalam arena demokrasi. Ketika penguasaan sumber agraria timpang maka kecenderungan yang terjadi masyarakat menjadi kurang kecakapan untuk mengontrol elit sehingga demokrasi justru tidak banyak berarti kecuali hanya menjadi arena perebutan sumber-sumber kekayaan. 45 Amin pada satu kesimpulan bahwa watak demokrasi yang oligarkis dan terfragmentasi di tingkat lokal pascaliberalisasi politik dan desentralisasi kekuasaan adalah dampak dari warisan masa lalu dalam pembentukan struktur agraria yang juga terdiferensiasi, terstratifikasi dan bersifat involutif. Struktur agraria yang demikian menurut Amin berkontribusi pula pada pembentukan kelas sosial yang terfragmentasi dan tidak terkonsolidasi.46 Secara fakta, watak elit di Bima memang sangat oligarkis. Politik kekerabatan dan kedekatan menjadi bagian dari operasi kekuasaan masing-masing elit lokal untuk bersaing dalam kompetisi meraih kemenangan politik. Berdasarkan wawancara dengan beberapa narasumber47, minimal ada empat keluarga yang boleh dibilang menonjol di Kabupaten Bima. H. Ahmad, Putra Abdul Kahir, H. Abidin dan H. Adenan.48 Dua nama terakhir adalah kakak beradik yang menguasai peternakan dan jasa konstruksi bangunan. Putra Abdul Kahir memiliki 45
Thohari, op.cit., hlm. 10.
46
Tohari, op.cit.
Wawancara dengan pemimpin redaksi media cetak di Kabupaten Bima, anggota DPRD Kabupaten Bima dari Fraksi PKS, sekretariat KPUD Kabupate Bima, pengurus harian Gapensi Kabupaten Bima. 47
Penulis akui bahwa minimnya data membuat penulis kesulitan untuk melengkapi detil-detilnya. Mungkin melalui penelitian lebih lanjut nama-nama yang boleh dibilang menonjol ini bisa dikaji lebih lengkap. 48
44 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 33–49
empat orang anak satu di antaranya meninggal karena kecelakaan.49 Ketiga yang lainnya adalah Ferry Zulkarnain yang menjabat menjadi Bupati Kabupaten Bima 2005-2010 dan 2010-2015,50 Fera menjabat menjadi Ketua DPRD Kota Bima dan Ade yang duduk menjadi anggota DPRD Kabupaten Bima periode 2009–2014. Data terakhir yang diperoleh penulis, istri mendiang Bupati Ferry, Indah Dhamayanti Putri bahkan mampu mengalahkan petahana dalam pilkada Kota Bima 2015. 51 Haji Adenan memiliki anak H Arifin yang merupakan orang tua dari Ady Mahyudi. Ia adalah salah satu wakil ketua DPRD Kabupaten Bima periode 2009-2014 dari fraksi Partai Amanat Nasional. Ady Mahyudi kemudian menikah dengan salah satu kerabat dari Haji Abidin.52 Haji Abidin memiliki beberapa anak dari dua istri antara lain H. Qurais, H. Arrahman, H. Abidin, Hj Siti Sundari, Mawarni, dan Andang Abidin. H Qurais bin Abidin dan H Arrahman bin Abidin adalah Walikota dan Wakil Walikota Kota Bima periode 2008–2013. H Qurais bin Abidin menjadi Walikota Kota Bima pada tahun 2010 ketika Drs. H M Nur A Latif Walikota yang menjadi pasangannya pada pemilukada 2008 wafat pada 6 Maret 2010. Drs. H M Nur A Latif pernah menjabat menjadi Walikota Bima pada tahun 2003–2005 berpasangan dengan H Umar Abubakar Husen.53 Hj Siti Sundari anak dari H Abidin yang merupakan pengusaha jasa perhotelan di Kabupaten Bima menikah dengan salah satu Wawancara ketua komunitas generasi muda ‘terdidik’ di Kabupaten Bima, 27 April 2014. Berdasarkan penuturan narasumber kecelakaan diindikasi karena yang bersangkutan sedang mabuk berat padahal sebenarnya di tangan beliaulah tadinya tahta kesultanan akan diwariskan hingga muncul rumor bahwa kematian sang kakak adalah bagian dari skenario perebutan tahta meski rumor tersebut tidak bisa dibuktikan kebenarannya hingga penelitian ini dilakukan. 49
Bupati ini meninggal pada 26 Desember 2013, http://kahaba. net/berita-bima/13880/bupati-bima-dipanggil-sang-khalik. html, diakses pada tanggal 27 Desember 2015. 50
http://pilkada-serentak-2015.liputan6.com/read/2386076/ pilkada-kabupaten-bima-srikandi-ini-tumbangkan-petahana, diakses pada tanggal 27 Desember 2015. 51
Septi Satriani (Ed), Dinamika Peran Elit Lokal pada Pemilu Bima 2010, (Yogyakarta, CV Andi Offset, 2015). 52
53
Ibid.
anak keluarga Haris, yaitu H. Abd Rahim Haris. Dia merupakan mantan Ketua PBB cabang Kab. Bima, ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bima serta Ketua Yayasan Islam yang mengelola tanah wakaf milik kesultanan yang merupakan kelanjutan dari Makhamatul Syariah atau lembaga Syara’ pada masa kesultanan. Terakhir Andang Abidin adalah ketua tim sukses dari pasangan Zaenul Arifin mantan Bupati Kabupaten Bima 2003–2005 dengan Usman AK mantan wakil Bupati Bima 2005 yang berpasangan dengan Ferry Zulkarnain. Hubungan yang dijalin antara keluarga H Abidin yang bergerak dalam jasa konstruksi bangunan di Kabupaten Bima dengan keluarga H Adenan melalui Ady Mahyudi, anggota DPRD Kabupaten Bima sekaligus Ketua Gapensi Kabupaten Bima, disinyalir sebagai bagian untuk membentuk blok tandingan jasa konstruksi yang dibangun oleh keluarga Ferry dan kroninya.54 Di satu titik tesis Amin terbukti di Bima dalam hal watak elit yang oligarkis. Namun di sisi lain tesis ini tidak bisa diterapkan terutama dalam kaitan dengan ketiadaan kontrol dari masyarakat. Justru fragmentasi yang ada membuat faksi yang ada bisa saling mengontrol satu sama lain dan elit yang ada tidak bisa berkuasa secara dominan dalam politik lokal di Bima.55 Termasuk dalam kasus konflik tambang di Lambu. Dari data kronologis yang penulis paparkan di atas, masyarakat memiliki posisi yang boleh dibilang cukup ‘kuat’ dalam hal berhadapan dengan negara atau Bupati Ferry. Padahal jika dikaitkan dengan persoalan penguasaan sumber daya agraria atau kaitan dengan sejahtera dan tidak sejahtera, memang terjadi ketimpangan di Bima. Namun ini tidak serta membuat masyarakat tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Apalagi jumlah keluarga miskin di Lambu mencapai 5.745 jiwa dari 8.546 KK yang terdaftar. Ini berarti di Kecamatan Lambu dihuni oleh 67,22% penduduk miskin. Hal ini berbeda dengan Kecamatan Parado yang memiliki warga miskin sejumlah 1.678 dari 2.483 KK yang terdaftar atau sekitar 67,58%. Dibanding dengan Kecamatan Lambu, Kecamatan Parado Septi Satriani (Ed), Dinamika Peran Elit Lokal pada Pemilu Bima 2010, (Yogyakarta, CV Andi Offset, 2015). 54
55
Ibid.
Hubungan Negara-Warga dan Demokrasi ... | Septi Satriani | 45
relatif lebih ‘sejahtera’ dibanding Kecamatan Lambu. Namun persoalan kontrol terhadap negara (Bupati Ferry), masyarakat Lambu jauh lebih memiliki posisi tawar dibanding dengan masyarakat Parado. Padahal kedua wilayah ini sama-sama menjadi ‘korban’ terbitnya SK Nomor 188/45/357/004/2010. Jika mengacu pada tabel kronologis di atas intensitas masyarakat Kecamatan Lambu untuk melakukan dialog dengan negara jauh lebih banyak (delapan kali) dibanding masyarakat Parado yang hanya sekali meski juga berujung bentrok.
Sementara itu Charles Tilly menawarkan untuk mengukur praktek demokrasi dengan melihat hubungan antara negara dalam hal ini Bupati Ferry dengan warga Lambu. Dalam derajat tertentu praktek demokrasi menurut Charles Tilly bisa dilihat pada sejauh mana kapasitas negara mampu membuka sekat diantara negara dengan warganya dalam hal kesetaraan hak, perlindungan dan penghargaan terhadap warga yang tercermin dalam pelibatan warga dalam pembuatan kebijakan. Selain itu, kapasitas disini yaitu dalam hal penggunaan kekerasan oleh negara sehingga derajat demokratis tidaknya ada kaitan dengan masif tidaknya penggunaan kekerasan dalam merespon tuntutan warga.57
Tabel 4. Jumlah Keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I, II, III dan III+ Dirinci Menurut Kecamatan Hasil 56 Menurut Kecamatan Hasil I, II, III dan III+ 2009 Dirinci Pendataan tahun Pendataan tahun 200956 No
Kecamatan
Pra Sejahtera
Sejahtera I
Sejahtera II
Sejahtera III
Sejahtera III+
Jumlah Kel Miskin (Prasejahtera + Sejahtera I)
Jumlah KK Yang Terdaftar
Prosentase dalam %
1
Tambora
1392
384
211
15
1776
2202
80,65
2
Sanggar
1033
645
610
710
1678
3026
55,45
3
Madapangga
3710
1957
2439
1230
5667
7747
73,15
4
Bolo
3710
3378
2678
1693
7088
11471
61,79
5
Donggo
1873
1541
643
3414
4059
84,11
6
Belo
1767
1531
1623
1924
3298
6845
48,18
7
Monta
4009
2188
1758
1124
32
6197
9111
68,02
8
Woha
1303
3932
5566
418
7
5235
11226
46,63
9
Sape
4118
2838
2599
3814
3
6956
13372
52,02
10
Lambu
3508
2237
1910
843
48
5745
8546
67,22
11
Wawo
995
1036
1808
461
2031
4300
47,23
12
Langgudu
3839
1616
876
715
5455
7046
77,41
13
Wera
1689
2838
2466
450
4527
7637
59,28
14
Ambalawi
1934
3032
1328
248
4966
6542
75,09
15
Soromandi
1341
1517
763
90
2858
3911
73,07
16
Parado
1055
623
572
233
1678
2483
67,58
17
Palibelo
1012
2079
2596
105
3091
6692
46,19
18
Lambitu
204
545
300
39
749
1288
58,15
38492
33917
30746
12188
12
2026
Sumber: Kabupaten Bima Dalam Angka 2010 56
Ibid, hlm. 57.
57
Tilly, op.cit., hlm. 21-22.
46 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 33–49
Dalam perspektif Chales Tilly hubungan negara atau Bupati Ferry dengan warga Lambu jika diturunkan dalam indikator atau parameter yang ada adalah sebagai berikut:
1. Keluasan Charles Tilly mengatakan untuk melihat persoalan keluasan dapat dilihat sampai sejauh mana orang yang berada di bawah yuridiksi negara mampu menikmati hak-hak secara luas. Dalam kasus Lambu hak bersuara, berpendapat dan mengemukakan pendapat yang dilindungi dan diakui oleh konstitusi tidak sepenuhnya dimiliki oleh warga Lambu. Meski dalam derajat tertentu mereka bisa bersuara lantang menolak kasus Lambu namun respon yang dikemukakan oleh negara tidak menggambarkan adanya keluasan hak tersebut. Masyarakat merasa takut dan tertekan karena hak mereka untuk melindungi wilayahnya harus dihadapkan pada perbedaan kepentingan dan pemaknaan dari negara. Warga masyarakat Lambu perlu memperjuangkan penolakan usaha tambang di wilayahnya mengingat luas lokasi yang begitu besar dan ancaman bahaya lingkungan yang tidak sebanding dengan jaminan kesejahteraan atas proses penambangan yang akan terjadi di Kecamatan lambu. Namun sikap represif negara yang justru datang merespons tuntutan warga.
2. Kesetaraan Charles Tilly berpendapat bahwa kesetaraan dapat dilihat dari ketiadaannya ketimpangan besar di antara dan di dalam kategori warga dimana perbedaan etnis tidak memiliki hubungan signifikan dengan hak atau kewajiban politik dan sebagian besar hak sama berlaku antara warga kelahiran asli dan naturalisasi. Khusus parameter ini memang tidak berlaku dalam hubungan dengan persoalan etnisitas atau antara warga asli dan pendatang karena mayoritas penduduk di Kabupaten bahkan Kota Bima termasuk Lambu didominasi oleh warga beretnis Mbojo. Hanya sedikit yang berasal dari Bugis. Namun dalam persoalan konflik Lambu kesetaraan tidak ditemui dalam derajat hubungan antara negara dengan warga. Disini seolah-olah negara berhadapan dengan warga dalam posisi yang subordinat. Kekuasaan yang dimiliki
negara dalam monopoli kekerasan digunakan untuk menjawab tuntutan warga. Dalam dasardasar ilmu politik yang dikemukakan oleh Miriam Budiardjo,58 Negara adalah institusi yang memonopoli penggunaan kekerasan. Namun dalam pandangan penulis, penggunaan kekerasan oleh negara dalam kasus Lambu lebih disebabkan oleh apa yang disebut Charles Tilly sebagai keterbatasan kapasitas. Ketika negara kurang mampu merespon tuntutan warga maka kekerasan menjadi salah satu solusi yang tersedia. Usaha persuasif hingga represif tetap tidak mampu merubah tuntutan warga hingga negara atau Bupati Ferry mencabut sementara Surat Keputusan Ijin Usaha Pertambangan Nomor 188/45/357/004/2010.
3. Perlindungan Seperti dijelaskan oleh Charles Tilly perlindungan ini mengacu pada luas tidaknya perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang negara. Tindakan kesewenang-wenangan ini tidak saja menyangkut tindakan kekerasan tetapi menyangkut berbagai tindakan yang berdampak pada kehidupan warga. Dalam kasus Lambu, pemerintah secara sepihak menyetujui dan mengeluarkan ijin usaha penambangan di wilayah yang berdampak pada masa depan masyarakat yang ada di sekitar ijin tambang tersebut diberikan. Dengan perspektif Charles Tilly, negara gagal memberi perlindungan kepada warga malah dalam kasus ini negara justru melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap warga dengan merespon tuntutan warga justru melalui senjata dan kekerasan lainnya.
4. Konsultasi saling mengikat Dari konsep yang dikemukakan Charles Tilly, kasus Lambu ini menggambarkan adanya konsultasi yang tidak mengikat dan atau sangat asimetris. Selain tidak melewati konsultasi dengan warga, Surat Keputusan ini dianggap menyalahi prosedur. Surat Keputusan Bupati Bima, Ferry Zulkarnain, ST yang bernomor 188/45/375/004/2010, diduga cacat hukum karena bertentangan dengan aturan dalam Peraturan Daerah Provinsi NTB nomor 3 Tahun Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Grasindo Media Utama). 58
Hubungan Negara-Warga dan Demokrasi ... | Septi Satriani | 47
2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nusa Tenggara Barat. Apalagi informasi yang dihimpun Suara NTB, SK 188/45/375/004/2010 tersebut ternyata dikeluarkan pada tanggal 28 April 2010 sehingga SK ini harus mendasarkan pada UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral Batubara (Minerba). Berdasarkan peraturan tersebut seharusnya ijin usaha tambang untuk eksplorasi harus melalui proses lelang tetapi dalam kenyataannya proses tersebut tidak dilalui. PT Sumber Mineral Nusantara adalah perusahaan asal Australia yang ternyata pemiliknya adalah George Tahija. Di Australia sosok almarhum Julius Tahija yang merupakan ayah George Tahija sangat dihormati warga negeri Kangguru itu karena peristiwa heroik pada masa Perang Dunia II. Bahkan Julius Tahija mendapat penghargaan tertinggi Pemerintah Belanda yaitu Ridders der Militaire Willems Orde yang merupakan penghargaan setingkat Victoria Cross di Inggris atau Congressional Medal of Honor Amerika Serikat. Julius Tahija juga merupakan salah satu pendiri PT Freeport Indonesia (PTFI) sehingga mendapat posisi komisaris kehormatan di salah perusahaan tambang emas besar di dunia itu. Saat ini George Tahija tercatat sebagai salah satu komisaris PTFI. Pada awal berdirinya PTFI, segala kebutuhan barang dan jasa terkait operasional perusahaan lebih banyak diambil dari Australia ketimbang membeli dari Surabaya atau Jakarta. Di sini peran Julius Tahija sangat penting dalam memberikan akses pejabat pemerintah Australia kepada PTFI untuk berbagai kebutuhan dan fasilitas perusahaan. 59 Konsultasi yang asimetris terutama dengan warga menyebabkan warga merasa tidak terikat dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh negara atau Bupati Ferry ini. Mungkin akan berbeda jika kebijakan tentang ijin usaha tambang ini melewati prosedur yang benar dengan melibatkan konsultasi terhadap warga. Selain itu tidak dilibatkannya warga dalam keluarnya keputusan ijin usaha pertambangan kepada PT SMN ini adalah gambaran minimnya kapasitas negara dalam kaitannya dengan kuatnya otonomi Bupati Ferry yang lebih mengedepankan kepentingan orang-orang yang memiliki kedekatan dengannya. http://petapolitik.com/news/gurita-bisnis-georgetahija-menyorot-pt-sumber-mineral-nusantara-2/. 59
Dalam temuan dan laporan yang dikeluarkan oleh LIPI,60 kasus di Kabupaten Bima, pengusaha dan penguasa menjalin hubungan yang saling menguntungkan. Dari data yang dihimpun dalam beberapa wawancara dikatakan bahwa ada sejumlah nama pengusaha yang berada di belakang keberhasilan Bupati Ferry untuk berhasil menjadi orang nomor satu di Kabupaten Bima. 61 Orang-orang inilah yang nantinya mendapatkan keuntungan atas kemenangan incumbent menjadi Bupati Bima.
Penutup Dari paparan yang telah penulis uraikan di atas dan dengan mendasarkan pada perspektif yang dikemukakan oleh Charles Tilly maka tingkat hubungan politik antara negara atau Bupati Ferry dengan warga dalam konflik di Lambu dalam posisi yang terbatas atau tidak luas, terbatas dalam hal aman terlindungi dan pada posisi konsultasi yang tidak saling mengikat. Jika mendasarkan pada parameter-parameter milik Charles Tilly ini derajat demokrasi di Bima dalam kasus konflik Lambu masuk dalam kategori perpotongan antara kapasitas rendah demokratis dan kapasitas rendah tidak demokratis. Dalam kategori kapasitas rendah demokratis ditandai oleh adanya perjuangan kekerasan yang intensitasnya sering. Meski tidak termasuk dalam kategori perang sipil, namun konflik yang melibatkan ribuan warga dalam beberapa kali bentrokan antara negara dengan warga bisa masuk dalam kategori ini. Sementara itu, dalam kategori kapasitas rendah tidak demokratis yang digambarkan Charles Tilly gerakan sosial memang terjadi dengan intensitas sering, kegiatan kelompok kepentingan dan mobilisasi partai politik ditambah konsultasi formal (termasuk pemilihan kompetitif) juga sangat tinggi meskipun pemantauan keadaan kurang efektif, keterlibatan yang lebih tinggi dari pelaku legal dan setengah ilegal dalam politik lebih tinggi.
Septi Satriani (Ed), Dinamika Peran Elit Lokal pada Pemilu Bima 2010, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2015). 60
Wawancara dengan salah satu anggota DPRD Kabupaten Bima dan Pimpinan Redaksi sebuah Media Cetak di Kabupaten Bima, 26 April 2011. 61
48 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 33–49
Hal inilah yang menjadi catatan kritis penulis atas perspektif yang ditawarkan oleh Charles Tilly. Perspektif milik Charles Tilly cenderung terlalu kuantitatif. Sementara realitas lapangan menyangkut demokrasi yang sifatnya kualitatif karena menyangkut fenomena sosial tidak selamanya bisa diukur menggunakan ukuran kuantitatif. Selain itu, parameter yang ditentukan oleh Charles Tilly tidak selamanya bisa diterapkan secara kaku karena seperti kasus konflik Lambu di atas ada beberapa parameter yang ternyata saling bersinggungan dan menyulitkan bagi penulis untuk memasukkan fenomena ini ke dalam kategori yang mana.
Daftar Pustaka Buku Dwipayana, Ari. 2004. Bangsawan dan Kuasa: Kembalinya Para Ningrat di Dua Kota. Yogyakarta: IRE Press. Gaffar, Affan. 1999. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Thohari, Amin. 2012. Struktur Penguasaan Sumber Agraria dan Demokrasi Lokal. Thesis Pasca Sarjana Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM. Tilly, Charles. 2007. Democracy. New York: Cambridge University Press. Aspinall, Edward dan Gerry van Klinken (Ed). 2011. The State and Illegality in Indonesia. Jakarta: KITLV Press. O’Donnell, Guillermo dan Philippe C. Schmitter, Laurence Whitehead. 1993. Transisi Menuju Demokrasi, Tinjauan Berbagai Perspektif . LP3ES: Jakarta. Schulte Nordholt, Henk dan Gerry Van Klinken (Ed). 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: KITLV-YOI. Henley, Davidson, Moniaga (Eds.). 2010. Adat dalam Politik Indonesia. Jakarta: KITLV. Nusa Bhakti, Ikrar. 2000. Pers dalam Revolusi Mei: Runtuhnya Sebuah Hegemony. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hiraswari Gayatri, Irine (Ed). 2009. Dinamika Peran Toan Guru Pasca Orde Baru di Lombok Timur. Jakarta: LIPI Press. AC Vel, Jacqueline. 2008. Uma Politics: An Ethnography or Democratization of West Sumba Indonesia 1986-2006. Leiden: KITLV. Budiardjo, Miriam. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo Media Utama.
Zulfan Tadjoeddin, Mohammad. 2011. Electoral Conflict and The Maturity of Local Democracy in Indonesia: Testing the Modernisation Hypothesis. University of Social Sciences. Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo Media Utama. Satriani, Septi (Ed). 2015. Dinamika Peran Elit Lokal pada Pemilu Bima 2010. Yogyakarta: CV Andi Offset. R Hadiz, Vedi. 2010. Localising Power at Post Authoritarian in Indonesia: A Southeeast Perspective. California: Standford University Press. R Brock, Willian. 1998. Welfare, Democracy, and The New Deal. New York: Cambridge University Press. Twikromo, Y Argo. 2008. The Local Elit and The Appropriation of Modernity: A Case in East Sumba Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Jurnal Fattah, Abdoel. 2008. “Konflik Pasca Pilkada: Kasus Depok.” Jurnal Politik 1 (1).
Surat Kabar dan Website http://kahaba.net/berita-bima/13880/bupati-bimadipanggil-sang-khalik.html. http://petapolitik.com/news/gurita-bisnis-georget a h i j a - m e n y o r o t - p t - s u m b e r- m i n e r a l nusantara-2/. h t t p : / / w w w. b e r d i k a r i o n l i n e . c o m / k a b a r rakyat/20110226/perlawanan-rakyat-paradomenolak-tambang-emas.html. http://www.rimanews.com/read/20110214/16560/ lokasi-tambang-emas-dirusak-massa. http://www.suaramerdeka.com/harian/0508/09/nas16. htm. http://www.walhi.or.id/index.php/id/ruang-media/ kumpulan-kronologis-kasus-sda/1860kronologis-penolakan-tambang-emas-di-keclambu-kab-bima-ntb.html.
Hubungan Negara-Warga dan Demokrasi ... | Septi Satriani | 49
50 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 33–49
FENOMENA ‘BOSISME LOKAL’ DI ERA DESENTRALISASI: STUDI HEGEMONI POLITIK NUR ALAM DI SULAWESI TENGGARA THE PHENOMENON OF ‘LOCAL BOSSISM’ IN THE DECENTRALIZATION ORDER: THE STUDY OF NUR ALAM POLITICAL HEGEMONY IN SOUTHEAST SULAWESI Eka Suaib dan La Husen Zuada Dosen Universitas Halu Oleo, Kendari E-mail:
[email protected],
[email protected] Diterima: 29 Juli 2015; direvisi: 19 September 2015; disetujui: 11 Desember 2015 Abstract This article discusses the emergence of Nur Alam as local bossism in Southeast Sulawesi. He started his career as an entrepreneur in the New Order era. Reform era and decentralization brought Nur Alam in political world by becoming the declarator of Amanat National Party (PAN) in Southeast Sulawesi, then lead the party and elected as a governor. After Nur Alam lead PAN in Southeast Sulawesi, this party has significant vote in the legislative elections in 2004, 2009 and 2014; was able to win the governor election in 2007 and 2012; and won 10 of 12 local election which took place in 2010 to 2013. During his leadership in Southeast Sulawesi, the economic growth was increased, the poverty rate was decreased, even the quality of physical infrastructure. His position as the leader of PAN as well as the governor in Southeast Sulawesi makes Nur Alam has big influence. He becomes stronger economically and more powerful politically because of his success in conquering his political opposition as well as his ability to collaborate with other local political elites. He also began to utilize the weakness of decentralization regulation by preparing his family as heir to the throne of his power. Keywords: local bossism, decentralization, Southeast Sulawesi. Abstrak Artikel ini membahas tentang kemunculan Nur Alam sebagai bossisme lokal di Sulawesi Tenggara. Ia mengawali karir sebagai pengusaha di zaman Orde Baru. Reformasi dan desentralisasi membawa Nur Alam masuk dunia politik dengan menjadi deklarator Partai Amanat Nasional, lalu kemudian memimpin PAN Sultra dan terpilih sebagai Gubernur. Pasca dipimpin Nur Alam, PAN Sulawesi Tenggara mengalami peningkatan suara dan kursi pada Pemilu Legislatif 2004, 2009 dan 2014; mampu memenangkan pemilihan Gubernur 2007 dan 2012; serta memenangkan 10 dari 12 Pemilukada Kabupaten/Kota yang berlangsung tahun 2010 sampai 2013. Saat dipimpin Nur Alam, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tenggara meningkat, angka kemiskinan menurun dan kualitas infrastruktur fisik semakin baik. Posisi Nur Alam sebagai ketua PAN sekaligus sebagai Gubernur menjadikannya sangat berpengaruh di Sulawesi Tenggara. Nur Alam semakin kuat secara ekonomi dan semakin berkuasa secara politik, berkat keberhasilannya menaklukkan lawan politiknya serta kemampuan menjalin kerja sama dengan para elit politik lokal lainnya. Ia juga mulai memanfaatkan kelonggaran pengaturan desentralisasi dengan mempersiapkan keluarganya sebagai pewaris tahta kekuasaannya. Kata Kunci: bosisme lokal, desentralisasi, Sulawesi Tenggara.
Fenomena “Bosisme Lokal” di Era Desentralisasi ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 51
Pendahuluan Reformasi politik pasca jatuhnya rezim Soeharto tidak otomatis mendorong lahirnya demokratisasi. Pergeseran kekuasaan dari sentralisme ke desentralisasi justru memunculkan ‘banyak Soeharto’ kecil di Indonesia, khususnya dalam arena politik lokal.1 Situasi politik era reformasi ini menyerupai situasi perbanditan seperti istilah yang disebut oleh Mancur Oslon 2, dimana penguasaan politik dan ekonomi beralih dari bandit besar (strationaly bandits) menuju bandit kecil (roving bandits). Fenomena seperti itu oleh John T. Sidel dinamai local bossism (bos lokal) atau dalam istilah Migdal dan Vedi Hadiz disebut sebagai local strongmen (orang kuat lokal) dan predator.3
Desentralisasi digunakan oleh sebagian elit politik lokal untuk membangun oligarki politik dan ekonomi, sehingga memunculkan orangorang kuat di tingkat lokal. Para bos lokal melakukan berbagai strategi untuk bisa bertahan hidup—memperluas dan mempertahankan kekuasaan—dengan membentuk aliansi segitiga akomodasi, bersama aparat birokrasi negara dan politisi di tingkat lokal. 6 Selain menggunakan partai politik, “orang kuat lokal” di beberapa daerah juga melakukan mobilisasi dengan mengeksploitasi politik etnis dan agama7, sebagaimana tampak pada Pemilukada Kabupaten Sumba Timur8 dan kemenangan Ahmad Dahlan9 dalam pemilihan Walikota Batam.
Kemunculan ‘bos lokal’, ‘orang kuat lokal’ dan ‘predatoris’ di Indonesia menjadi fenomena yang mewabah di era reformasi. 4 Sosok bos lokal berkembang seiring dengan penyerahan kewenangan pemerintahan kepada daerah (desentralisasi), dimana fenomena ini jarang ditemukan di era sentralisasi karena pemerintahan dikelola secara terpusat. 5
Sosok orang kuat lokal ditemukan pula pada keluarga Syahrul Yasin Limpo10 di Sulawesi Selatan, Murman Efendi11 di Seluma Bengkulu, Zulkifli Nurdin12 di Jambi dan TB Chasan13 di
Pada zaman Orde Baru, Soeharto dipandang sebagai sosok yang memiliki hegemoni, otoriter dan mampu melakukan kontrol sosial dalam menjalankan kekuasaan. Soeharto berhasil mempertahankan kekuasaan selama 32 tahun dengan memadukan tiga kekuatan besar yaitu ABRI/militer, Birokrasi dan Golkar (ABG). Baca Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012).
7
1
Lihat Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff, “Pilkada dan Pemekaran Daerah dalam Demokrasi Lokal di Indonesia: Local Strongmen dan Roving Bandits”, Malaysian Journal of History, Politics, & Strategic Studies, Vol. 37 (Jebat: 2010), 86 – 104. 2
Sidel Migdal dan Vedi Hadiz adalah ilmuwan yang melahirkan istilah yang berbeda ketika mengamati kemunculan orang kuat di tingkat lokal. Uraian perbandingan ketiganya, lihat Melvin P. Hutabarat, “Fenomena “Orang Kuat” Di Indonesia Era Desentralisasi: Studi Kasus Tentang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin di Jambi”, Tesis, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2012), hlm. 28-30. 3
Dalam artikel ini penyebutan/penggunaan istilah Local Bossisme (Bos Lokal), Local Strongman (Orang Kuat Lokal) dan Predator akan sering dipertukarkan satu sama lain. Penukaran ini bukan berarti menyamakan ketiganya, namun atas pertimbangan praktis (keringkasan) dalam penulisan. 4
Peran atau pengaruh elit lokal di era sentralisasi tetap ada, namun demikian keberadaan elit lokal tidak melakukan monopoli, ia harus bekerja sama dengan elit pusat untuk menguasai sumber daya (power resource). Lihat Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff, “Politik Lokal di Indonesia: Dari Otokratik ke Reformasi Politik”, Jurnal Ilmu Politik, edisi 21, 5
2010, hlm. 5. Joel S. Migdal, State in Society, (Cambridge : Cambridge University Press, 2004), hlm. 88-93. 6
Antonius Made Tony Supriatma, “Menguatnya Kartel Politik Para Bos“, Jurnal Prisma, Vol. 28, No. 2, Oktober 2009. Dua kandidat Bupati yaitu Umbu Mehang Kunda dan Lukas Kaborang menggunakan simbol-simbol kultural dan keagamaan dalam memobilisasi dukungan rakyat untuk menjadi Bupati Sumba Timur tahun 2005. Lihat Jacqueline Vel, “Pilkada in East Sumba: An Old Rivalry in A New Democratic Setting”, Indonesia, No. 80, Oktober 2005, hlm. 94. 8
Ahmad Dahlan, putra asli melayu, berhasil menjadi pemenang dalam pemilihan Walikota Batam. Keberhasilan Ahmad Dahlan ditentukan oleh kemampuannya menggunakan Laskar Hulubalang Putih, sebuah milisi etnis melayu dengan anggota sekitar 10.000 orang dalam memengaruhi rakyat Batam. Lihat Nankyung Choi, “Indonesia’s Direct Local Elections: Background and Institutional Framework”, Rajaratnam School of International Studies Singapore Working Paper, 2007. 9
Michael Buehler dan Paige Tan, “Party-Candidate Relationships in Indonesian Local Politics : a Case Study of the 2005 Regional Elections in Gowa, South Sulawesi Province”, Indonesia, No. 84, Oktober, 2007. 10
Lihat Reko Adriadi, “Pemekaran Daerah dan “Bossisme Lokal”: Studi Kasus Praktik Kekuasaan Bupati Murman Effendi dalam Perkembangan Kabupaten Selama Periode 2005-2011,” Tesis, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2013). 11
12
Melvin P. Hutabarat, op.cit, hlm. 7-11.
Lili Romli, “Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Provinsi Banten (2001-2006)”, Disertasi Doktor, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2007). 13
52 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 51–69
Banten. Para orang kuat lokal ini menguasai perpolitikan di daerahnya melalui pemilu kompetitif era desentralisasi, yang dilangsungkan dengan cara tidak fair, penggunaan kekerasan, politik uang, politisasi birokrasi dan politik kekerabatan. Di Sulawesi Tenggara, sosok ‘bos lokal’ tampak pada Nur Alam, Gubernur dua periode (2007-2012 dan 2012-2017). Sebelum menjadi politisi, Nur Alam adalah seorang pengusaha yang merintis usaha sejak zaman Orde Baru dan menjadikannya terpilih sebagai ketua Gapensi dan Kadinda Sultra. Pada zaman Orde Baru, Nur Alam menjadi sekretaris Kosgoro Sulawesi Tenggara, organisasi pendukung Golkar. Di era reformasi, Nur Alam menjadi anggota Komite Persiapan Pembentukan Wilayah (KPW) sebagai embrio berdirinya PAN di Sulawesi Tenggara. Kenggotaan Nur Alam di KPW menghantarkannya terpilih menjadi sekretaris DPW PAN Sultra, dan dua tahun berselang ia terpilih menjadi ketua DPW PAN Sultra. Sejak dipimpin Nur Alam, pencapaian PAN sangat positif terutama dalam Pemilu legislatif dan Pemilukada. Selama tiga periode Pemilu Legislatif—2004, 2009, 2014—PAN berhasil menambah jumlah kursinya secara signifikan. Kesuksesan PAN dalam Pemilu legislatif terjadi pula di ajang Pemilukada, dimana pada tahun 2008 dan 2013 PAN memenangkan Pemilihan Gubernur. Selanjutnya, pada tahun 2010-2013, PAN Sultra berhasil memenangkan 10 dari 12 Kabupaten/Kota yang melangsungkan Pemilukada. Pada tahun 2008, Nur Alam terpilih sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara. Posisi Gubernur dan Ketua DPW PAN Sultra yang dijabat oleh Nur Alam dimanfaatkan untuk memperluas jejaring politik. Di tingkatan elit ia memberikan dukungan politik kepada para elit yang ingin mencalonkan diri sebagai Bupati dan Walikota. Sementara di tingkatan massa, Nur Alam merawat voters dengan berperan layaknya ‘dewa penolong’ melalui bantuan dan program politik populis bernama Bahteramas. Sulawesi Tenggara saat dipimpin Nur Alam semakin maju dengan pertumbuhan ekonomi di atas 10 % pada tahun 2012, penurunan angka pengangguran dan kondisi infrastruktur fisik yang
kian membaik. Meskipun dipandang berhasil, Gubernur Nur Alam mendapat tantangan dari para aktivis dan pemerhati Sultra atas berbagai dugaan kasus skandal korupsi rekening gendut14, dugaan perzinahan15, pembangunan jembatan Bahteramas serta tindakan kekerasan dan kriminalisasi pada pihak yang kritis kepadanya. Namun demikian, Nur Alam tampak sangat lihai meredam pemberitaan media lokal, suara kritis aktivis dan LSM Sultra. Menjelang Pemilukada Serentak 2015, Nur Alam berupaya memperluas pengaruh politiknya dengan memanfaatkan posisinya sebagai gubernur dan ketua DPW PAN Sultra. Sebagai Gubernur, ia memiliki kewenangan untuk mengusulkan nama Pj. Bupati yang akan melangsungkan Pemilukada. Selanjutnya, sebagai ketua DPW PAN, Nur Alam memiliki pengaruh untuk menentukan Calon Kepala Daerah yang didukung oleh PAN. Di Konawe Selatan ia mendukung kakak kandungnya sebagai calon Bupati Konawe Selatan Periode 2015-2020 dan mulai mempersiapkan istrinya, Asnawati Hasan (saat ini anggota DPR RI Dapil Sultra) untuk maju dalam pemilihan gubernur Sultra 2018. Berdasarkan fenomena yang diuraikan di atas, maka artikel ini mencoba membahas pengaruh politik yang dimiliki oleh Nur Alam dengan berusaha menjawab: Bagaimana proses Nur Alam menjadi “bos lokal” di Sulawesi Tenggara? Apa kelebihan-kelebihan yang dimiliki Nur Alam? Bagaimana pengaruh Nur Alam terhadap politik lokal di Sulawesi Tenggara?
Bos Lokal dan Desentralisasi Istilah bos lokal merujuk kepada broker-broker lokal yang menikmati posisi monopolistik atas cara kekerasan dan sumber ekonomi dalam Detiknews. “Ini Kekayaan Gubernur Sulawesi Tenggara yang Disebut Berekening Gendut”, 17 Desember 2014, http://news. detik.com/berita/2780376/ini-kekayaan-gubernur-sulawesitenggara-yang-disebut-berekening-gendut, diakses pada tanggal 11 April 2015. 14
Seruu.com, “Tersandung Skandal Seks,Gubernur Sultra Didesak Bertanggung Jawab”, 7 oktober 2013, http://utama. seruu.com/read/2013/10/07/186164/tersandung-skandalseksgubernur-sultra-didesak-bertanggung-jawab, diakses pada tanggal 18 April 2015. 15
Fenomena “Bosisme Lokal” di Era Desentralisasi ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 53
wilayah kekuasaan mereka masing-masing, seperti posisi wali kota yang menjalankan daerahnya layaknya daerah kekuasaan pribadi mereka sendiri, atau kalangan kongres dan gubernur yang membangun mesin politik dan kerajaan bisnis yang merentang di seluruh distrik atau provinsi.16 Para “bosisme lokal” muncul melalui mekanisme pemilu yang kompetitif dan berkala serta diikuti partisipasi politik yang tinggi. Mereka menggunakan berbagai strategi dari pembelian suara, manipulasi hingga intimidasi dengan penggunaan kekerasan. 17 Bosisme beroperasi dalam bayangan rezim otonomi daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman.18 Para “bosisme lokal” menggunakan aparatus negara untuk menggerakkan masyarakat agar mengikuti kehendaknya. Bosisme lokal ada di setiap level, ada bos yang menguasai distrik (kabupaten/kota), ada bos yang menguasai provinsi dan ada bos yang menguasai pusat. Jejaring patron-klien para “bosisme lokal’ tidak statis dan permanen, melainkan dinamis dan sangat cair. Mereka bisa berpindah-pindah patron di tingkat pusat, berpindah-pindah klien di tingkat lokal dan berpindah-pindah afiliasi partai politik nasional. Para “bosisme lokal” melakukan pertukaran (transaksional) suara pemilih dengan bantuan ekonomi, bibit, irigasi, pelunasan hutang dan alat tukar lainnya. Mereka sangat mengerti dengan memberikan bantuan kesehatan, memberikan bantuan pekerjaan, memberikan bantuan hukum, maka kemudian ketika hari H pemilihan umum, mereka mengubah bantuan-bantuan yang mereka berikan menjadi suara dan dukungan politik.19 Berbagai strategi dilakukan “bosisme lokal” untuk mempertahankan dominasi ekonomi dan politiknya. Strategi tersebut diantaranya: (1) Menempatkan kerabat dan kroni sebagai walikota, wakil walikota dan anggota legislatif Nur Iman Subono, “Raja Lokal, Bos Lokal dan Chao Pho”, 1 Desember 2006. http://demosindonesia.org/2006/12/raja-lokalbos-lokal-dan-chao-pho/, diakses pada tanggal 18 April 2015. 16
John T. Sidel, Capital, Coercion and Crime : Bossism in the Philippines, (Stanford : Stanford University Press, 1999), hlm. 1-22. 17
daerah; (2) Membentuk mesin politik sebagai broker suara; (3) Mengatur penempatan pejabat daerah; (4) Mengatur proyek pemerintah dan dana aspirasi; (5) Mengatur peraturan daerah; (6) Mengatur keringanan pajak; (7) Mengatur pinjaman dari Bank Pembangunan Daerah; (8) Memberikan konsesi dan kontrak pertambangan, kehutanan dan perkebunan; (9) Intimidasi dan kekerasan politik; (10) Menerapkan kebijakan tangan besi untuk mengatasi konflik tanah dan melemahkan serikat buruh. Para bos lokal selain melakukan pengumpulan uang terhadap sumber daya negara juga melakukan aktivitas ekonomi ilegal seperti judi, penyelundupan, penebangan liar dan lain-lain.20 Fenomena “bosisme lokal” yang mempertahankan relasi sisa feodalisme di zaman kapitalisme dan demokrasi muncul akibat dari kebutuhan ekonomi yang konkrit dan langsung dibutuhkan, ketimpangan sosial yang sangat tinggi dan kelangkaan akses terhadap barang kebutuhan pokok. Penyebab yang lain adalah kegagalan kekerabatan masyarakat bekerja dan meningkatnya individualisme masyarakat, kegagalan aparat desa, aparat kota, aparat provinsi dan aparat pemerintah lainnya untuk menjamin kebutuhan subsistem (bertahan hidup) rakyat. Jadi ini bukan persoalan budaya politik tetapi lebih tepatnya sangat struktural.21 John Sidel memberikan catatan kritis mengenai teori “orang kuat lokal” Joel Migdal. Pertama, sifat dasar negara dan sifat dasar masyarakat yang menyebabkan “orang kuat lokal” tumbuh dan berkembang. Kedua, kebangkitan ”orang kuat lokal” dari dalam negara dan dari dalam masyarakat. Ketiga, struktur negara yang menciptakan kondisi bagi bangkit, bertahan dan berhasilnya “orang kuat lokal”. Keempat, budaya politik dan tuntutan penduduk lokal yang partikular menyebabkan munculnya “orang kuat lokal”. Kelima, persediaan (supply) dari “orang kuat lokal” tidak selalu mencerminkan permintaan (demand) dari masyarakat. Keenam, “orang kuat lokal” tidak menghambat perkembangan kapitalisme dan justru memfasilitasi dan mengambil manfaat
18
John T. Sidel, op.cit, hlm. 72.
20
Ibid.
19
John T. Sidel, op.cit, hlm.1-22.
21
Ibid.
54 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 51–69
pertumbuhan industri dan perluasan pasar di daerah kekuasaan mereka. 22
Kemunculan Nur Alam Sebagai Bos Lokal di Sulawesi Tenggara
John Sidel memperingatkan bahwa “orangorang kuat lokal” (local strongmen) yang justru menguasai lembaga-lembaga demokrasi seperti partai politik, parlemen dan pemilihan umum ketika terjadi desentralisasi dan demokratisasi pasca pemerintahan otoritarianisme. Di Indonesia “orang kuat lokal” dihambat kemunculannya selama Orde Baru dan dihambat juga ketika sistem pemilihan tidak langsung. Namun, apabila dilakukan perubahan sistem pemilihan menjadi pemilihan langsung maka “orang kuat lokal” dapat muncul dan berkembang di Indonesia.23
1. Nur Alam dan Struktur Sosial Masyarakat Sultra
Reformasi melahirkan cabang-cabang kekuasaan baru di tingkat pusat maupun daerah, seperti partai politik baru dan penyelenggara pemerintah daerah (desentralisasi). Lahirnya partai politik secara otomatis melahirkan ketua partai politik di tingkat pusat maupun daerah. Demikian halnya dengan desentralisasi yang memberikan kewenangan yang luas kepada Gubernur, Bupati dan Walikota untuk mengatur daerahnya sendiri. Desentralisasi mendorong lahirnya pemimpin daerah melalui rekruitmen politik secara inklusif. Namun demikian, pemberian desentralisasi tidak otomatis melahirkan demokratisasi, justru sebaliknya memunculkan praktek korupsi, korupsi, kekerasan politik, yang dahulu menjadi kebiasaan rezim Orde Baru. Nordholt, Klinken, dan Hogeenboom mengutarakan hal ini, bahwa desentralisasi tidak otomatis membuahkan demokratisasi, good governance, dan penguatan masyarakat sipil di tingkat daerah. Sebaliknya, seringkali kita menyaksikan desentralisasi korupsi, kolusi dan tindak kekerasan politis yang di masa lampau menjadi bagian dari rezim sentral Orde Baru, dan yang sekarang dibangun dilembagakan ke dalam pola-pola patrimonial yang sudah ada di tingkat daerah.24
Nur Alam lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya pegawai kehutanan golongan rendahan, ibunya seorang ibu rumah tangga biasa. Nur Alam merupakan anak ke-11 dari 12 bersaudara. 25 Masa kecil26 dan SD Nur Alam ia lewati di tanah kelahirannya, Konda. Nur Alam menamatkan SMP dan SMA di Kendari. Ketika SMA Nur Alam mulai merintis usaha. Setamat SMA, Nur Alam melanjutkan studi di fakultas ekonomi UHO. Saat mahasiswa, semangat bisnis Nur Alam semakin tumbuh, selain kuliah ia menjadi kontraktor di PT. Pertiwi Agung, lalu pindah kerja di PT. Timbel Mas. Berbekal pengalaman kerja pada dua perusahan kontraktor, Nur Alam mencoba mandiri dengan mendirikan PT. Tamalakindo Puri Perkasa, perusahaan yang dikemudian hari sukses menjadikannya pengusaha handal. Pada tahun 1993, Nur Alam meraih gelar Sarjana Ekonomi dan sejak itu ia semakin fokus membangun usahanya. Ia mulai mulai gencar melakukan lobi-lobi ke berbagai instansi pemerintah. Secara perlahan PT. Tamalakindo Puri Perkasa mulai dipercaya mengerjakan proyek-proyek kontraktual milik pemerintah. Profesi yang digeluti oleh Nur Alam membawanya ia tergabung dalam organisasi profesi, seperti Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Gabungan Pengusaha Konstruksi Indonesia (Gapensi) dan Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda). Pada dua organisasi Gapensi dan Kadinda, Nur Alam dipercaya menjadi ketua. Pada tahun 1994, Nur Alam menikah dengan istrinya, Asnawati Hasan27. Tina Nur Alam sapaan Asnawati Hasan adalah anak mantan Wakil Ketua DPRD Sultra tahun 1966-1970, H. Abdul Hamid Yamin Indas, “Memacu Diri Hingga Mencapai Puncak”, 27 Juni 2013, http://yaminindas.com/?p=520, diakses pada tanggal 17 April 2015. 25
Butonsultra.com, “Profil H. Nur Alam SE M.Si Gubernur Ke 9 Sultra 2008-2018”, 2013. http://infoduniaraya.blogspot. co.id/2014/08/profil-h-nur-alam-se-msi-gubernur-ke-9.html diakses pada tanggal 17 April 2015. 26
22
John T. Sidel, op.cit, hlm. 53-57.
23
Ibid.
Henk Schulte Nordholt, Gerry Van Klinken dan Ireen KarangHogeenboom, Politik Lokal di Indonesia, (Jakarta: YOI, 2007), hlm. 24-25. 24
Yamin Indas, “Selamat Berulang Tahun Gubernur Nur Alam”, 8 Juli 2015. http://yaminindas.com/?p=1272 , diakses pada tanggal 17 April 2015. 27
Fenomena “Bosisme Lokal” di Era Desentralisasi ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 55
Hasan, yang juga salah satu tokoh pendiri Sultra. Ibunda Tina Nur Alam adalah saudara kandung mantan Bupati Kendari (kini Konawe), Drs H. Andrey Jufri periode 1977-1988.28 Pernikahan dengan anak mantan pejabat dan keluarga pejabat menghadirkan trah kepemimpinan dalam keluarga Nur Alam yaitu Tina Nur Alam, bukan pada sosok Nur Alam29, yang belakangan terpilih menjadi gubernur Sulawesi Tenggara. Sulawesi Tenggara adalah sebuah provinsi yang terbagi atas daratan dan kepulauan. Wilayah daratan Sulawesi Tenggara dikategorikan lebih maju dibanding wilayah kepulauan. 30 Wilayah daratan banyak dihuni oleh orang Tolaki (penduduk asli Kendari) yang memiliki kebiasaan bertani. Sementara wilayah kepulauan dihuni oleh suku Muna, Buton dan suku kecil lainya yang memiliki kebiasaan bertani, nelayan (pelaut) serta berdagang. Selain orang daratan dan kepulauan, Sulawesi Tenggara juga dihuni oleh orang-orang pendatang dari berbagai daerah, seperti Bugis, Makassar, Jawa, Bali dan lainnya. Berdasarkan kenyataan itu, maka masyarakat Sulawesi Tenggara termasuk dalam tipe masyarakat multi etnis. Hasil sensus penduduk BPS tahun 2000 memperlihatkan, kelompok etnis Buton merupakan yang paling banyak yaitu sebesar Yamin Indas, “Memacu Diri Hingga Mencapai Puncak”, 27 Juni 2013. http://yaminindas.com/?p=520 diakses pada tanggal 17 April 2015. 28
Nur Alam berasal dari kalangan rakyat biasa, ia bukan berasal dari keluarga Raja di kalangan orang Tolaki sebagaimana ada pada Inea Sinumo, Sabandara, Sapati pewaris tahta Raja Konawe. Nur Alam juga tidak berasal dari marga besar dan keluarga turunan pejabat di Kendari seperti ada pada Abunawas, Silondae, Konggoasa dan lainnya. Pengaruh trah/turunan penguasa dalam budaya politik tradisional Indonesia khususnya Jawa sangat diyakini. Turunan seorang Raja atau penguasa dikemudian hari kelak akan menjadi penguasa pula (pewaris). Hal ini diyakini pula oleh sebagian masyarakat Indonesia lainnya, tidak terkecuali di Sulawesi Tenggara. Uraian tentang kekuasaan dan keturunan baca Benedict. O.R. Anderson, Kuasa-Kata. Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia, (Yogyakarta, Mata Bangsa, 1990), hlm. 82-86. 29
Lihat The World Bank, Pemda Sultra, Lembaga Penelitian Universitas Haluoleo (LEMLIT UNHALU), CIDA dan AusAID, Kinerja Pelayanan Publik dan Tantangan Pembangunan di Bumi Haluoleo, (Jakarta: The World Bank, 2011), hlm. 18. Lihat juga Ira Irawati, dkk, “Pengukuran Tingkat Daya Saing Daerah Berdasarkan Variabel Perekonomian Daerah, Variabel Infrastruktur dan Sumber Daya Alam, Serta Variabel Sumber Daya Manusia di Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara,” Jurnal Teknik Industri, (Semarang: Undip, 2008). 30
414.530 (23,34%), Bugis 341.742 (19,24%), Tolaki 289.220 (16,28%), Muna 267.722 (15,07 %), Jawa 124.686 (7,02 %), Bali 41.886 (2,35%), Wajo 37.540 (2,11%), Makassar 33.938 (1,91%), Toraja 31.000 (1,74 %), Sunda 20.112 (1,13 %).31 Wilayah kepulauan dan daratan merupakan batas alamiah yang menggambarkan sebuah fenomena geografi. Dalam perkembangannya, istilah daratan dan kepulauan tidak hanya menjadi batas geografi, namun berubah menjadi kekuatan politik ketika adanya dikotomi orang daratan dan kepulauan dalam pembentukan Kabupaten Sulawesi Timur (Sulawesi Tenggara), serta persaingan kedua kelompok memperebutkan Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara.32 Persaingan daratan dan kepulauan mengemuka kembali saat Pemilukada langsung yang mengadopsi sistem Pemilu one man, one person, one value, one vote (OPOVOV). Sistem OPOVOV menjadikan suara rakyat semakin berharga, sehingga kehadiran kelompok masyarakat semakin penting. Identitas kesukuan dan kelompok dimanfaatkan sebagai modal membentuk solidaritas memenangkan pertarungan politik di Sulawei Tenggara.33 Hal ini tampak menjelang Pemilukada tahun 2008, dimana orang daratan mulai menampakkan diri (bangkit) dengan mengorganisir kelompoknya untuk menjadi orang nomor satu di Sulawesi Tenggara, setelah sebelumnya mereka hanya menjadi wakil dan satu orang menjadi gubernur.34 Lihat Riwanto Tirtosudarmo, Desentralisasi dan Good Governance di Sulawesi Tenggara: Peran Akademisi dan Intelektual dalam Proses Pemekaran Wilayah, (Jakarta: LIPI, 2006), hlm. 56-57. Lihat pula Sumedy Andono Mulyo et.al, Data dan Informasi Dalam Rangka Penyusunan Rancangan RPJMN 2010-2014 Berdimensi Ruang dan Wilayah Sulawesi, (Jakarta: Bappenas, 2009), hlm. 25-26. 31
Baca Said D, Pembentukan Provinsi Sulawesi Tenggara 19501978: Studi Konflik dan Integrasi, Tesis Program Studi Ilmu Sejarah Pascasarjana Universitas Indonesia, (Jakarta: UI, 1997) 32
Lihat Riwanto Tirtosudarmo, Mencari Indonesia 2: BatasBatas Rekayasa Sosial, (Jakarta: LIPI Press, 2010), hlm. 55. Lihat juga Eka Suaib, Etnisitas Kebijakan Publik (Studi Pemanfaatan Etnis Dalam Arena Politik Lokal di Kota Kendari), Disertasi, (Surabaya: Universitas Airlangga, 2005). Lihat juga La Husen Zuada, Desentralisasi dan Gerakan Sosial: Studi Polarisasi Gerakan Advokasi Kebijakan Pedagang Kaki Lima di Kendari Tahun 2008, Tesis, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2013), hlm. 157-161. 33
34
Orang daratan secara kuantitas merupakan etnis terbesar
56 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 51–69
Hal yang sama terjadi pula pada orang-orang kepulauan (Muna-Buton).35 Fenomena semacam ini menujukkan budaya politik masyarakat Sulawesi Tenggara masih bersandar pada kekuatan primordial untuk memenangkan sebuah pertarungan. Penduduk Sulawesi Tenggara setiap tahun mengalami peningkatan. Hasil survei BPS tahun 2013 mencatat penduduk Sulawesi Tenggara berjumlah 2.318.600 jiwa. Lebih dari 13 % (301.710 jiwa) jumlah penduduk dalam kategori miskin dengan persentase terbesar berada di wilayah pedesaan. Kondisi ini semakin pelik yang dalam hal ini, 50.669 penduduk angkatan kerja, tidak memiliki pekerjaan pada tahun 2012. Jumlah pengangguran ini mengalami peningkatan, jika dibanding dengan tahun 2011.36 Salah satu faktor peningkatan pengangguran diakibatkan semakin menurunnya serapan pekerjaan di sektor pertanian. Tren penurunan sektor yang menjadi profesi mayoritas masyarakat Sultra ini terjadi sejak tahun 2008. Sebaliknya, di sektor pertambangan, penggalian, perdagangan, hotel dan restoran dan jasa-jasa mengalami peningkatan. Meskipun sektor perdagangan mengalami peningkatan, namun masyarakat Sulawesi Tenggara tidak memiliki kebiasaan berdagang (pengusaha). Kalaupun ada yang memilih menjadi pengusaha, profesi ini masih terpantau kecil jumlahnya dan biasanya hanya ada pada suku-suku pendatang (Bugis-Makassar) dan Buton. Sebaliknya, sebagian besar orang asli Sulawesi Tenggara lebih memilih menjadi pegawai negeri sipil. Kondisi ini menjadikan masyarakat Sulawesi Tenggara sangat tergantung pada pemerintah (Nur Alam) untuk mendapatkan pekerjaan atau meningkatkan perekonomian mereka. ketiga di Sulawesi Tenggara, namun secara politik mereka tidak dominan. Sejak Sulawesi Tenggara berdiri tahun 1964 sampai tahun 2007, orang daratan hanya 4 orang yang berhasil duduk sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Posisi Gubernur dijabat oleh Abdullah Silondae (1978-1982) dan Wakil Gubernur dijabat oleh Jacob Silondae (1965-1966), Hoesein Efendi (1992-2003) dan Yusran Silondae (2003-2007). Lihat Henny Warsilah (Ed), Sikap Anarkitis dan Tindak Kekerasan Masyarakat Dalam Iklim Demokrasi, (Jakarta: LIPI, 2006), h, 120. Lihat Riwanto Tirtosudarmo, op.cit. 35
BAPPEDA Sultra, Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2014, hlm. 84-87. 36
2. Nur Alam Dalam Pusaran Politik Sultra Aktivitas politik Nur Alam dimulai sejak 1992, ketika itu ia bersama sejumlah tokoh senior mendirikan Badan Musyawarah Antar Tokoh Masyarakat (BMATM) Sultra. Organisasi ini sering memberikan kritik terhadap kepemimpinan Gubernur Sultra saat itu La Ode Kaimoeddin. Selain itu, Nur Alam juga aktif dalam Kosgoro Sultra dengan menjabat sekretaris. Kosgoro sendiri merupakan sebuah organisasi pendukung Golkar di zaman Orde Baru. Di era reformasi, Nur Alam menjadi anggota Komite Persiapan Pembentukan Wilayah (KPW), embrio pembentukan PAN Sultra. Anggota KPW berasal dari berbagai latar belakang, diantaranya pensiunan PNS, politisi, akademisi dan tokoh masyarakat. Beberapa tokoh yang terlibat dalam KPW seperti La Imu (Tokoh Muhammadiyah/ Tokoh Masyarakat), Habil Marati (Tokoh Masyarakat), La Aouwu (Tokoh Masyarakat), Arbab Poebka (Akademisi/pengacara), Nur Alam (Politisi), Andrey Jufri (Politisi). Tugas dari KPW yakni menyelenggarakan Muswil dan deklarasi PAN Sultra. Muswil I PAN Sultra berhasil memilih Andre Jufri sebagai ketua dan menempatkan Nur Alam sebagai sekretaris. Kepemimpinan Andrey Jufri sebagai ketua DPW PAN Sultra hanya berlangsung dua tahun, selanjutnya pada Muswil II yang digelar pada tanggal 27 Juli Tahun 2000, Nur Alam terpilih sebagai ketua DPW PAN. Terpilihnya Nur Alam menjadi ketua tidak mengagetkan, karena sejak awal terbentuk ia sudah menjadi sekretaris PAN. Latar belakang pengusaha yang digeluti oleh Nur Alam menjadi salah satu faktor keterpilihannya untuk memperkuat basis pendanaan partai. Aktivitas politik dan jabatan ketua DPW PAN Sultra yang dipegang oleh Nur Alam menjadikannya akrab dengan para elit politik nasional, khususnya petinggi PAN, seperti Amin Rais, Hatta Rajasa, Bambang Soedibyo, Yahya Muhaimin, Malik Fajar dan sejumlah petinggi PAN lainnya di era presiden Gus Dur hingga SBY. Dari sini, ia mulai merambah proyekproyek besar berskala nasional di beberapa daerah di Indonesia. Di bawah kepemimpinan Nur Alam, PAN Sultra secara perlahan mengalami peningkatan
Fenomena “Bosisme Lokal” di Era Desentralisasi ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 57
suara dan kursi di legislatif yang sangat signifikan. Tiga periode Pemilu digelar—2004, 2009, 2014—perolehan suara dan kursi PAN terus mengalami peningkatan. Penambahan kursi terlihat di level DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota se Sulawesi Tenggara (Lihat Tabel 1). Pencapaian PAN dalam tiga Pemilu ini terbilang fantastis karena pada Pemilu 1999, PAN hanya mendudukkan 1 anggota DPRD Provinsi. Raihan suara signifikan mengantarkan Nur Alam menjadi Wakil Ketua DPRD Provinsi dan beberapa saat kemudian ia terpilih sebagai Ketua KONI Sultra. Kesibukan Nur Alam di DPRD dan mengelola bisnis mulai terbagi dengan keinginannya untuk maju menjadi Calon Gubernur Sultra Periode 2008-2013. Cita-cita ini telah dipersiapkan Nur Alam sejak tahun 2003, ketika itu diawali polemik terpilihnya Ali Mazi (suku Buton) sebagai Gubernur Sultra yang menurutnya tidak memiliki kontribusi politik di Sulawesi Tenggara, meskipun berasal dari Sultra. Saat itu, Nur Alam tidak setuju dengan munculnya Ali Mazi, sehingga ia mengorganisir sejumlah unjuk rasa menolak Ali Mazi. Namun demikian, usaha Nur Alam mengalami kegagalan setelah mayoritas DPRD yang dikuasai oleh Golkar memilih Ali Mazi. Atas peristiwa kekalahan ini, Nur Alam mengikrarkan diri untuk melawan Ali Mazi pada pemilihan gubernur 5 tahun kemudian (2008). Demi mencapai cita-citanya, Nur Alam mulai mencetak baliho yang bertuliskan “Nur Alam – Gubernur Sulawesi Tenggara Periode 2008-2013”. Selain itu, Nur Alam juga meminta dukungan dari keluarga hingga para politisi nasional. Salah satu tokoh yang dimintai pendapat oleh Nur Alam adalah Andrey Jufri (Mantan Bupati Konawe/Ketua DPW PAN I) yang juga paman istrinya. Nur Alam juga melakukan diskusi dengan rekan-rekannya di PAN Sultra, termasuk dengan Arbab Paproeka, Sukarman A.K, H. Rahman Saleh, Umar Samiun, Nur Amin dan lain-lain. Selanjutnya Nur Alam menemui Hatta Rajasa, saat itu ia diperkenalkan dengan salah satu konsultan politik Jaringan Survey Indonesia (JSI), Widdi Aswindi37 yang belakangan menjadi Direktur
PT Billy Indonesia, sebuah perusahan tambang yang beroperasi di Kabupaten Konawe Selatan dan Kabupaten Bombana. Melalui Widdi, Nur Alam mendapatkan masukan-masukan teknis, terkait bagaimana memulai dan memenangkan pertarungan. Setelah berkonsultasi dengan JSI, Nur Alam mulai mencetak berbagai alat peraga kampanye. Nur Alam juga mulai membangun modal sosial38 kepada pemilih dengan melakukan kunjungan dan pertemuan dengan beberapa kelompok masyarakat seperti ibu-ibu pengajian dan kelompok paguyuban Taman Pemuda dan Mahasiswa Tolaki (Tamalaki)39 yang tersebar di Sulawesi Tenggara. Kedekatan Nur Alam dengan kelompok etnis Tamalaki dikisahkan oleh salah satu narasumber dalam penelitian yang dilakukan oleh Aryuni. “Saya sering melihat N.A datang ke Markas Tamalaki. Waktu itu beliau masih belum menjadi gubernur, masih dalam proses pencalonan. Dari cerita-cerita anak kos, N.A sering memberi bantuan dana pada kelompok Tamalaki”.40
Pada Pemilihan Gubernur 2008, paguyuban Tamalaki menjadi salah satu pendukung setia Nur Alam. Dalam perjalanannya, Tamalaki tidak hanya menjadi tim sukses Nur Alam, namun juga menjadi pengawal berbagai kebijakan pemerintahannya. Bagi mereka yang mengganggu Nur Alam, maka akan berhadapan dengan kelompok Tamalaki, karena Nur Alam dipandang sebagai representasi orang Tolaki. Pengorganisasian kelompok etnis ini tampak relevan dengan penyelenggaraan Pemilukada secara langsung, dimana suara rakyat menjadi semakin penting, terlebih lagi Etnis Tolaki merupakan etnis terbesar ketiga di Sulawesi Tenggara setelah Buton dan Bugis. Menurut Bourideu dan Wacquant, modal sosial adalah jumlah sumber daya, aktual atau maya, yang berkumpul pada seorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak terinstituonalisasikan. Lihat John Field, Modal Sosial, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2010), hlm. 23. 38
Tamalaki sesuai dengan namanya adalah paguyuban yang mewakili etnis Tolaki. Lihat, La Husen Zuada, op.cit, hlm. 83. 39
Lihat Aryuni Salpiana Jabar, Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007 (Kasus: Kubu Nusa Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007), Tesis, (Bogor: IPB, 2009), hlm. 74. 40
Syarlin Syamsudin, “Nur Alam Selayang Pandang”, 23 September 2012 http://brigadenuralam.blogspot.co.id/, diakses pada tanggal 17 April 2015. 37
58 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 51–69
Pada tanggal 18 Agustus 2007, DPRD Sultra mengeluarkan surat pemberitahuan kepada KPUD tentang berakhirnya masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Sultra. Selanjutnya tahapan Pemilukada dimulai dengan penetapan jadwal Pemilukada. Bersamaan dengan itu, sejumlah figur calon Gubernur dan Wakil Gubernur mulai bermunculan, salah satunya Nur Alam-Saleh Lasata (NUSA). Pasangan NUSA merupakan perpaduan antara dua latar belakang profesi maupun etnis. Nur Alam berlatar belakang sebagai pengusaha dan berasal dari etnis Tolaki (daratan), sementara Saleh Lasata berlatar belakang militer/Bupati Muna (1995-1997)/ Ketua DPRD Sultra (19971999) yang berasal dari etnis Muna (Kepulauan). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Aryuni Salpiana Jabar menyebut latar belakang profesi dan etnis pasangan NUSA menjadi karakteristik pembeda dengan calon lain.41 Strategi cross cutting power42 (silang menyilang kekuatan) pasangan NUSA membuahkan hasil. Pilkada langsung yang digelar pada tahun 2007 berhasil dimenangkannya dengan perolehan suara 421.361 (42,78 %), sekaligus mengalahkan petahana saat itu Ali Mazi. Faktor penentu kemengan pasangan NUSA adalah kuatnya solidaritas sesama etnis, khususnya Tolaki.43 Pada tanggal tanggal 18 Februari 2008, Nur Alam-Saleh Lasata dilantik sebagai gubenur dan wakil gubernur. Saat ditetapkan menjadi Gubernur, Nur Alam membangun citra sebagai sosok yang jauh dari kesan serakah terhadap jatah fasilitas pemerintahan dengan mengembalikan aset daerah yang dipakainya saat menjabat Wakil Ketua DPRD periode 2004-2009 kepada Lihat Aryuni Salpiana Jabar, op.cit, hlm. 39-43; Riwanto Tirtosudarmo, op.cit, hlm. 68; Sutoro Eko, Benih Perubahan Di Atas Fondasi Politik Yang Rapuh (Studi Tentang Politik Anggaran Daerah Kota Kendari, Sulawesi Tenggara), (Yogyakarta: IRE, 2008). 41
Cross cutting power adalah perpaduan dua kekuatan dalam ajang pemilihan (Pemilu Presiden dan Pemilukada). Istilah ini pertama kali diutarakan oleh M. Dahrim Laode dalam disertasi penelitiannya pada program Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia. Lihat M.D Laode, Etnis Cina Indonesia Dalam Politik di Era Reformasi: Studi Kasus Keterlibatan Kelompok Etnis Cina Indonesia Dalam Politik di Kota Pontianak dan Kota Singkawang Kalimantan Barat 1998-2008, Disertasi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2011). 42
43
Ibid, hlm. 39-43.
pemerintah daerah. Aset yang diserahkan tersebut yakni dua unit mobil Ford Everest dan Kijang Krista. Di era pemerintahannya, Nur Alam meluncurkan program pembangunan bernama BAHTERAMAS akronim dari Membangun Kesejahteraan Masyarakat Sulawesi Tenggara. Program utama BAHTERAMAS meliputi tiga sasaran yaitu: 1). Pembebasan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) berlandaskan pada Peraturan Gubernur No 24 tahun 2008 tentang Pembebasan BOP Pendidikan dasar dan Menengah; 2). Pembebasan Biaya Pengobatan (PBP) berdasarkan Peratuan Gubernur Sulawesi Tenggara Nomor 41 tahun 2009; dan 3). Bantuan Keuangan (Block Grant) kepada Desa, Kelurahan dan Kecamatan yang mengacu pada Peraturan Gubernur Sulawesi Tenggara Nomor 25a Tahun 2008. Sekilas program BAHTERAMAS ini serupa dengan yang diutarakan oleh Sidel di awal, dimana para bos lokal melakukan pertukaran (transaksional) suara pemilih dengan bantuan ekonomi, bibit, irigasi, pelunasan hutang dan alat tukar lainnya. Hal yang membedakan adalah wujud dari BAHTERAMAS berupa pendidikan gratis, kesehatan gratis dan bantuan anggaran untuk desa. Dalam istilah Aspinal44 program BAHTERAMAS termasuk jenis programmatic goods, karena penyaluran bantuan sifatnya fisik dan pelayanan sosial. Bagi masyarakat yang menerimanya, hal itu dianggap sebagai hadiah (gift) dan tentu saja ia perlu membalasnya. Setiap kunjungan kerja ke daerah, Nur Alam mampu menjawab aspirasi dan tuntutan masyarakat dengan langsung menjawab saat itu juga, tidak memberi janji tapi memberi solusi. Desa yang butuh traktor dibelikan traktor, jika ada yang minta dibangunkan masjid langsung diberi dana bantuan saat itu juga. Melalui program BAHTERAMAS Nur Alam mampu menjaga kepatuhan pemilih untuk memberikan suara kepadanya karena telah menerima hadiah dan pelayanan.45 Simbol yang ditampilkan adalah Edward Aspinal, “When Brokers Betray: Clientalism, Social Networks, and Electoral Politics in Indonesia”, Critical Asian Studies 46, 2014. 44
Eka Suaib, “Institusionalisasi Partai Politik (Studi Kasus Hegemoni PAN Di Sulawesi Tenggara)”, Makalah disampaikan 45
Fenomena “Bosisme Lokal” di Era Desentralisasi ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 59
simbol membantu masyarakat miskin dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan bantuan uang tunai. Nur Alam seakan-akan tampil seperti ‘sinterklas’ yang membagi-bagikan hadiah untuk anak-anak. Pola patron-klien yang dilandasi prinsip utilitarianisme telah tercipta dalam hubungan Gubernur dan masyarakat Sultra. Masyarakat umum yang telah terbiasa dengan bantuanbantuan dari sang Gubernur secara tidak langsung telah menjadi client yang siap memberi dukungan kepadanya karena telah memberi “manfaat” bagi mereka. Personalitas Nur Alam sebagai pengusaha terkenal yang memiliki solidaritas sosial tinggi, menjadi daya tarik tersendiri. Dengan tingginya rasa solidaritas sosial, telah membentuk citra Nur Alam sebagai seorang altruis, seorang pemimpin yang lebih mementingkan kepentingan orang banyak daripada kepentingan dirinya sendiri. Program BAHTERAMAS masuk dalam salah satu tipologi money politic46. Jonathan Hopkin 47 menyebut program semacam BAHTERAMAS sebagai klientilisme, yaitu bentuk pertukaran dydadic dan personal yang biasanya ditandai dengan perasaan berkewajiban, dan sering juga oleh keseimbangan kekuasaan yang tidak setara antara mereka yang terlibat. Lebih lanjut, model pertukaran ini termasuk dalam klientalisme lama yaitu bentuk pertukaran sosial dan politik, dimana ia melibatkan prinsip bahwa satu orang memberikan perlakuan khusus pada orang lain dengan harapan akan ada imbalan di masa depan. Klientalisme politik ini sangat mempengaruhi pemilih pada masyarakat yang miskin. Program BAHTERAMAS yang digagas Nur Alam menjadikan dirinya sangat populis di kalangan masyarakat Sultra. Melalui program
BAHTERAMAS, Nur Alam berhasil menekan angka pengangguran dan kemiskinan serta menaikkan angka partisipasi sekolah (posisi ke-2 tertinggi di Sulawesi). Secara perlahan Nur Alam muncul sebagai sosok politisi yang memiliki pengaruh kuat di Sultra. Hal ini bisa terlihat dalam penyelenggaraan Pemilu 2009 dan 2014. Tabel. 1. Perolehan Kursi PAN Pada Pemilu 2004,2009, 2014 No
Tingkatan
1 1 2
DPR DPRD Provinsi DPRD Kabupaten/Kota
Perolehan Kursi Periode Pemilu 2004 2009 2014 1 1 1 6 7 9 45 48 75
Sumber: KPU Sultra (diolah kembali oleh Eka Suaib).
Pengaruh kuat Nur Alam tampak pula dalam Pilkada Kabupaten/Kota maupun Provinsi di Sulawesi Tenggara. Nur Alam bersama Saleh Lasata terpilih kembali sebagai gubernur periode 2013-2018 setelah menyisihkan dua pesaingnya, Buhari Matta/Amirul Tamim dan Ridwan Bae/ Khaerul Saleh. Di tingkat Kabupaten/Kota, PAN Sultra memenangkan sepuluh (10) dari dua belas (12) Pilkada yang diselenggarakan selama tahun 2010-2013. Capaian positif PAN dalam Pemilukada tidak terlepas dari peran Nur Alam sebagai ketua DPW PAN dan Gubernur Sultra yang memiliki sumber daya politik dan akses terhadap birokrasi. Peran Nur Alam juga terlihat atas keberhasilannya ‘mem-PAN-kan’48 para Bupati/Walikota termasuk Wakil Gubernur, Saleh Lasata yang diangkat menjadi ketua majelis pertimbangan Partai Amanat Nasional DPW Sultra. Untuk lebih lengkapnya lihat Tabel 2. berikut:
dalam seminar nasional Pilkada Serentak yang diselenggarakan FISIP Unhas, DKPP, Bawaslu RI, KPU RI, Universitas Hasanuddin, 2015, hlm. 11. Lihat La Husen Zuada, “Menciptakan Pemilihan Umum Kepala Daerah Berintegritas, Dalam Rangka Mewujudkan Demokrasi Subtansial”, Makalah disampaikan dalam Sosialisasi Indeks Kerawanan Pemilu yang diselenggarakan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Sulawesi Tenggara. Hotel Clarion Kendari, Sabtu 12 Agustus 2015, hlm. 3-7. 46
Lihat Jonathan Hopkin, Klientalisme dan Partai Politik dalam buku Handbook Partai Politik, (Jakarta: Nusa Media: 2014), hlm. 670. 47
Di era Nur Alam, para Bupati/Walikota banyak diangkat menjadi pengurus DPW PAN Provinsi hingga Ketua DPD PAN Kabupaten/Kota. 48
60 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 51–69
Tabel. 2 Calon Bupati/Walikota dari PAN, Pemenang Pilkada se-Sultra dan Peran Nur Alam No
Kabupaten/ Kota Kabupaten Konawe Selatan Kabupaten Muna
Calon Bupati/Walikota PAN dan Koalisinya Imran/ Sutoarjo Pondiu
Imran/Sutoarjo Pondiu
2010
L.M Baharuddin/ Malik Ditu
L.M Baharuddin/ Malik Ditu
2010
3
Buton Utara
Ridwan Zakaria/ Harmin Hari
Ridwan Zakaria/Harmin Hari
2010
4
Konawe Utara Wakatobi Bombana
Aswad Sulaiman/Ruksamin Hugua/Arhawi Tafdil/Mashyura
2011
5 6
2011 2011
Mendukung Mendukung
7
Kota Kendari
Aswad Sulaiman/ Ruksamin Hugua/Arhawi Tafdil (kader PAN)/ Mashyura Asrun/ Musadar Mappasomba
Mendukung dan Mem-PANkan Baharuddin Mendukung dan Mem-PANkan Ridwan Zakaria Mendukung
Asrun/Musadar Mappasomba
2012
8
Samsu Umar Samiun (kader PAN)/ La Bakry Anton/H.Abbas
2012
-
10
Kota Bau-Bau
Tamrin/ Wa Ode Masra Manarfa
Samsu Umar Samiun/La Bakry Rusda Mahmud/Bobby Alimuddin Tamrin/ Wa Ode Masra Manarfa
2012
9*
Kabupaten Buton Kolaka Utara
Mendukung dan Mem-PANkan Asrun Mendukung
2013
11
Konawe Kolaka
KerryKonggoasa/Pasinri ngi Ahmad Safei/ Fachruddin Rahim
2013
12*
Kerry Konggoasa (kader PAN)/ Pasinringi Amir Sahaka/ Rais Galu
Mendukung dan Mem-PANkan Tamrin Mendukung
2013
-
1 2
Pemenang Pilkada
Tahun
Peran Nur Alam Mendukung
Sumber: KPU Sultra (dimodifikasi Eka Suaib). Keterangan: * (Kabupaten yang tidak dimenangkan oleh PAN dan koalisinya)
Meskipun sangat hegemoni, sosok Nur Alam dapat dikatakan sebagai pemimpin yang berhasil membangun Sultra. Hegemoni politik Nur Alam tidak serta menimbulkan efek negatif bagi kelangsungan negara. Dalam arti, negara tidaklah menjadi lemah perannya, justru semakin membaik. Hal ini ditunjukkan dengan capaian perekonomi Sultra selama 4 tahun dipimpin Nur Alam (2008-2012) terus mengalami kenaikan. Ini diperlihatkan dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 8,42 persen dan kenaikan rata-rata mencapai 0,79 persen setiap tahunnya. Sementara angka kemiskinan Sulawesi Tenggara terus
mengalami penurununan dari 19,53 persen tahun 2008 menjadi 12,83 persen tahun 2013.49 Di era Nur Alam, infrastruktur fisik semakin membaik, seperti peningkatan kualitas ruas jalan dan jembatan—Poros Konda, Poros Kolaka-Kendari, Poros Buton Utara-Bau Bau, jalan dalam Kota Kendari. Kualitas transportasi laut antar pulau juga terus mengalami penambahan seperti: penambahan jumlah kapal penyeberangan Torobulu-Tampo, pembangunan pelabuhan Bungkutoko (Kota Kendari), Pelabuhan Molengo (Buton Utara-Konawe Selatan), pembangunan Pelabuhan Tondasi BAPPEDA Sultra, Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2014, hlm. 83. 49
Fenomena “Bosisme Lokal” di Era Desentralisasi ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 61
(Muna-Makassar), penyeberangan WawoniiKendari dan lainnya. Perhubungan udara semasa Nur Alam juga tampak semakin membaik seperti peningkatan kualitas infrastruktur Bandara Halu Oleo, berfungsinya bandara Mataohara (Wakatobi), Betoambari (Bau-Bau), Sugi Manuru (Muna), Sangia Nibandera (Kolaka). 3. Dominasi Kekuasaan Nur Alam dan Para Penentangnya Sebagai gubernur, Nur Alam memiliki misi mengejar keteringgalan Sulawesi Tenggara dari daerah lain. Misi itu diupayakan oleh Nur Alam dengan mengundang investor untuk berinvestasi di Sulawesi Tenggara. Salah satu pengusaha yang tertarik dengan ajakan Nur Alam adalah James Riady, pemilik Lippo Grup, yang menanam investasi di bidang pasar modern (Lippo Hypermart). Pembangunan Lippo Hypermart sempat menjadi pro kontra di kalangan aktivis Sultra, karena di lokasi/lahan pembangunan, telah berdiri gedung Pramuka dan KNPI. Namun pada akhirnya upaya para aktivis kalah kuat, pembangunan Lippo Hypermart tetap dilanjutkan dengan menghancurkan gedung Pramuka dan KNPI. Kekayaan alam dimiliki Sultra diminati oleh investor dari dalam dan luar negeri. Salah satunya usaha pertambangan yang menggeliat sejak tahun 2008. Potensi ini menjadi alasan Nur Alam mengusulkan Sultra sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) tambang pada pemerintah pusat, sebagaimana tertuang dalam UU No. 39 Tahun 2009 tentang KEK. Usulan KEK Tambang ini mendapatkan tantangan dari elemen masyarakat yang tergabung dalam Forum Tata Ruang Wilayah (FTRW) Sultra50 (gabungan LSM dan Pemerhati Sultra), Walhi Sultra, KPI Sultra, mahasiswa Universitas Halu Oleo51, serta politisi PAN asal Sulawesi Tenggara Waode Nur Hayati52. Antara Sulsel, “FTRW Tolak Sultra Jadi Kawasan Pertambangan Nasional”, 25 Januari 2011, http://www. antarasulsel.com/berita/24029/ftrw-tolak-sultra-jadi-kawasanpertambangan-nasional diakses pada tanggal 18 April 2015. 50
Berita Lingkungan, “Mahasiswa Kendari Tolak Kawasan Ekonomi Khusus”, 24 Maret 2011. http://www.beritalingkungan. com/2011/03/mahasiswa-kendari-tolak-kawasan-ekonomi. html, diakses pada tanggal 21 September 2015. 51
JPPN.com, “Pemprov Sultra Diminta Jujur soal KEK Pertambangan”, 26 Januari 2011 http://www.jpnn.com/ 52
Para penentang beralasan, tambang lebih banyak mendatangkan masalah bagi masyarakat dan tidak cocok dengan karakteristik Sulawesi Tenggara sebagai daerah pertanian dan perikanan. Namun demikian, penentangan yang dilakukan oleh FTRW, mahasiswa dan politisi mendapat hambatan, setelah Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI, Kamaruddin sebagai anggota DPD RI dan Laode Djeni Hasmar sebagai Ketua Kerukunan Sulawesi Tenggara (KKST) mendukung usulan Gubernur Sultra tersebut.53 Pada satu sisi, kelompok penentang semakin melemah. Pelemahan terjadi pada gerakan mahasiswa di Universitas Halu Oleo (UHO) akibat adanya aksi teror psikologis (SMS ancaman pembunuhan) maupun fisik (pemukulan aktivis) oleh kelompok preman saat berdemonstrasi menolak KEK. Di sisi lain, Waode Nur Hayati yang berbeda pandangan dengan Nur Alam, semakin tidak mendapat dukungan seiring dengan isu yang menjerat dirinya dalam kasus permainan anggaran di DPR. Keterlibatan Waode ini tidak memiliki kaitan dengan sikap kontra dengan Nur Alam, namun demikian peristiwa ini secara tidak langsung memberi pesan kepada lawan-lawan politik Nur Alam agar tidak berbeda pandangan dengannya. Sejak Sulawesi Tenggara dicanangkan sebagai KEK tambang, telah memicu pertumbuhan masif izin usaha pertambangan (IUP) di Sulawesi Tenggara. Hingga tahun 2012, jumlah izin usaha pertambangan (IUP) di Sulawesi Tenggara mencapai 341 (tiga ratus empat puluh satu).54 Dahulu sebagian lokasi izin usaha pertambangan ini tidak dibolehkan karena masuk dalam wilayah hutan lindung, namun ini berhasil diterobos atas sokongan perlakuan khusus yang tertuang dalam UU KEK. read/2011/01/26/82898/Pemprov-Sultra-Diminta-Jujur-soalKEK-Pertambangan- diakses pada tanggal 19 September 2015. JPPN.com, “KEK di Sultra Direspon Positif”, 24 Januari 2011 http://www.jpnn.com/read/2011/01/24/82703/KEK-di-SultraDirespon-Positif diakses pada tanggal 19 September 2015. 53
Asman Sahaludin, “341 IUP Pertambangan di Sulawesi Tenggara; Rahmat atau Petaka”, 4 Agustus 2012, http:// www.kompasiana.com/asman_sahaluddin/341-iuppertambangan-di-sulawesi-tenggara-rahmat-ataupetaka_5512dddca33311dd67ba7df3 , diakses pada tanggal 19 November 2013. 54
62 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 51–69
Penetapan Sultra sebagai KEK tambang dimanfaatkan oleh sejumlah pejabat lokal di Sultra (Gubernur dan Bupati) untuk memainkan pengaruhnya melalui pemberian izin usaha pertambangan, hal inilah yang tampak pada Nur Alam. Berkat sokongan aturan negara—UU No. 4 Tahun 2009 dan PP Nomor 23 Tahun 2010— gubernur Nur Alam memiliki peran strategis memberikan izin usaha pertambangan di wilayah perbatasan Kabupaten. Dugaan permainan dalam izin usaha tambang ini kemudian menjadikan Nur Alam masuk dalam pantauan PPATK atas kepemilikan ‘rekening gendut’ sebesar US$ 4,5 juta.55 Investigasi majalah Tempo menyebut ‘rekening gendut’ Nur Alam diduga berasal dari Mr. Chen, seorang pengusaha tambang asal Taiwan yang memiliki hubungan bisnis dengan PT. Billy Indonesia, perusahaan tambang yang beroperasi di Sultra. Belakangan PT. Billy Indonesia diketahui milik Widdi, pimpinan Jaringan Suara Indonesia, konsultan politik Nur Alam ketika mencalonkan diri sebagai Gubernur tahun 2007 dan 2012.56 Sumber Tempo menyebut, siklus aliran uang yang diterima oleh Nur Alam tidak dikirim langsung oleh Mr. Chen, namun melalui Richcorp International Limited, perusahaan yang berbasis di Hongkong. Richcorp International Limited pada medio September-november 2010 melakukan empat kali transfer uang dengan nilai total US$ 4,5 juta. Transfer uang sebesar itu dilakukan melalui Chinatrust—sebuah Bank Comercial Hong Kong—ditujukan ke PT. AXA Mandiri yang ditempatkan dalam 3 polis asuransi atas nama Nur Alam. Anehnya setelah dilakukan pengecekan, Richcorp ternyata sudah tutup buku sejak 24 Oktober 1997.57 Pasca majalah Tempo merilis rekening gendut, kalangan aktivis Sultra merespons Tempo.co, “Kasus Rekening Gendut, Nur Alam Tunjuk Para Bupati”, 24 Desember 2014 http://nasional.tempo.co/read/ news/2014/12/24/063630803/kasus-rekening-gendut-nur-alamtunjuk-para-bupati, diakses pada tanggal 17 September 2015. 55
Syarlin Syamsudin, “Nur Alam Selayang Pandang”, 23 September 2012 http://brigadenuralam.blogspot.co.id/, diakses pada tanggal 17 Oktober 2015. 56
Majalah TEMPO, “Putar-Putar Duit Nikel dan Politik Bisnis Sang Gubernur” edisi 8-14 September 2014. 57
dengan berbagai aksi demonstrasi. Demonstrasi dilakukan oleh Solidaritas Pekerja Tambang Nasional (Spartan) dan Aliansi Mahasiswa Sulawesi Tenggara (AMST) yang meminta pihak berwenang mengusut kasus rekening gendut Gubernur.58 Aksi demonstrasi AMST dan Spartan berakhir dengan anti klimaks setelah sekelompok preman bersenjata yang membawa sound system membubarkan paksa para demonstran dan menyuarakan pembelaannya terhadap Nur Alam.59 Buntut dari pemberitaan Tempo, Nur Alam menjadi semakin sensitif terhadap media. Tindakan kekerasan dan pelecehan dilakukan pada wartawan Tempo, saat ingin melakukan wawancara dengan gubernur Nur Alam terkait rekening gendut. Kasus kekerasan terhadap wartawan Tempo dilaporkan ke polisi, meskipun sampai saat ini status laporan itu tidak memiliki kejelasan.60 Sebelumnya, ketidakharmonisan antara wartawan dan gubernur yang berujung pada somasi, pernah terjadi ketika Nur Alam mengeluarkan pernyataan bernada melecehkan terhadap wartawan. 61 Belakangan persoalan hukum antara wartawan dan gubernur dianggap selesai, setelah gubernur melakukan pertemuan dengan para pimpinan redaksi media. 62 Para jurnalis yang bernaung di bawah AJI menyayangkan cara penyelesaian yang dilakukan oleh gubernur. Menurut mereka, gubernur harusnya mengundang wartawan bukan para pemimpin redaksi. Gatranews, “Spartan: Tangkap Ribuan Preman Pembubar Aksi Demo”, 20 Februrari 2014, http://www.gatra.com/ nusantara-1/sulawesi-1/47573-spartan-tangkap-ribuan-premanpembubar-aksi-demo.html , diakses pada tanggal 18 Mei 2015. 58
Tindakan premanisme dan intimidasi terhadap para aktivis yang mengkritik penguasa di Sulawesi Tenggara merupakan peristiwa yang lazim ditemukan. Uraian lebih lengkap lihat tulisan Henny Warsilah, Perjalanan Demokrasi Provinsi Sulawesi Tenggara vs Premanisme Ala Orde Baru, (Jakarta: LIPI, 2006). Lihat pula, La Husen Zuada, Desentralisasi dan Gerakan Sosial, op. cit. 59
Wawancara dengan Q, salah satu jurnalis yang bernaung di AJI, pukul 09.00 WITA tanggal 20 Oktober 2010. 60
Nur Alam mengeluarkan pernyataan “kalau saya, tinggal saya tidak cebok (membersihkan pantat) media”. Oleh para wartawan pernyataan gubernur ini melecehkan dan bisa memunculkan anggapan bahwa media di Sultra sudah dibeli oleh Gubernur. 61
Wawancara dengan X, salah satu jurnalis yang bernaung di AJI, pukul 09.00 WITA tanggal 20 Oktober 2010. 62
Fenomena “Bosisme Lokal” di Era Desentralisasi ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 63
Upaya pengusutan dugaan rekening gendut Gubernur Sultra telah berlangsung sejak adanya rilis PPATK tahun 2011, namun demikian, sampai hari ini tidak mendapat kejelasan dari Kejaksaan Agung, KPK atau Polri, sebagai lembaga penegak hukum yang berwenang melakukan penyelidikan. Fenomena ini menunjukkan Nur Alam sangat kebal terhadap pengusutan dugaan kasus hukum yang menjeratnya. Dikalangan politisi Sultra, Nur Alam juga tampak sangat disayangi sebagaimana pengakuan Laode Ida, Mantan Wakil Ketua DPD RI. Laode diminta oleh para koleganya untuk tidak berkomentar soal Nur Alam, karena berasal dari satu daerah, pernah sama-sama di PAN dan mendukung Nur Alam saat Pilgub 2012.63 Meskipun, pada akhirnya Laode enggan mengikuti permintaan para koleganya dan meminta dugaan rekening gendut Nur Alam diusut tuntas oleh pihak berwenang. Di era pemerintahnnya, Nur Alam ingin mewujudkan pembangunan jembatan Bahteramas yang menghubungkan wilayah Bungkutoko dan Kota Lama. Upaya Nur Alam kembali mendapatkan tantangan dari sejumlah aktivis mahasiswa, aktivis lingkungan hingga sejarawan Universitas Halu Oleo Basrin Melamba. 64 Menurut para penentang, keberadaan Jembatan Bahteramas akan menimbulkan kerusakan lingkungan, penggusuran warga dan hilangnya situs-situs sejarah yang dimiliki oleh Kota Kendari.65 Penentang kebijakan Nur Alam di Sulawesi Tenggara terus mengalami pelemahan. Pelemahan diakibatkan oleh ancaman dari kelompok preman dan tindakan kriminalisasi yang dilakukan oleh oknum aparat hukum. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh preman menjadi rutinitas yang JPPN.com, “La Ode Ngaku Dilarang Komentari Rekening Gendut Nur Alam”, 27 Desember 2014, http://www.jpnn. com/read/2014/12/27/277913/La-Ode-Ngaku-DilarangKomentari-Rekening-Gendut-Nur-Alam, diakses pada tanggal 17 September 2015. 63
dihadapi oleh para aktivis mahasiswa dan LSM Sulawesi Tenggara.66 Tindakan kriminalisasi pernah dialami oleh Titin Saranani,67 salah satu aktivis perempuan Sulawesi Tenggara yang sangat kritis terhadap berbagai kebijakan Nur Alam. Kasus yang dialami Titin Saranani tidak memiliki kaitan dengan kebijakan Nur Alam, namun demikian banyak pihak menyebut bahwa penjemputan paksa oleh Polda Sultra memiliki keterkaitan dengan sikap kritisnya kepada Nur Alam. Hal ini diyakini pula oleh salah satu aktivis perempuan yang mengikuti kasus Titin Sarani.68 Ancaman juga dialami oleh para penyelenggara Pemilu yang tidak menguntungkan Nur Alam. Peristiwa ini pernah dialami oleh salah satu penyelenggara Pemilukada Tahun 2013, ketika itu rumahnya diserang oleh kelompok bermotor setelah memutuskan suatu perkara yang dinilai merugikan Nur Alam.69 Selain mampu mengorganisir kekerasan dan mengendalikan penegak hukum, Nur Alam juga berupaya mempengaruhi rekrutmen penyelenggara Pemilu dengan menitipkan orang-orangnya kepada pejabat Pusat.70 Meskipun pada akhirnya, titipan itu ada yang berhasil dan tidak, namun demikian persentase keberhasilan lebih banyak dibanding kegagalannya. Dalam arti, setiap anggota penyelenggara Pemilu di Sulawesi Tenggara pernah dititip dan memiliki kedekatan dengan Nur Alam. Pemuda Bergerak, “Penyerangan Aktivis Mahasiswa bentuk kepanikan Gubernur Sultra”, 21 Desember 2013, https:// pemudabergerak.wordpress.com/2013/12/21/penyeranganaktivis-mahasiswa-bentuk-kepanikan-gubernur-sultra/, diakses pada tanggal 19 September 2015. 66
Kompas. com, “Sebut Anggota Panwaslu “Gigolo” di Facebook, Wanita Ini Ditangkap”, 22 Oktober 2014, http:// regional.kompas.com/read/2014/10/22/22360761/Sebut. Anggota.Panwaslu.Gigolo.di.Facebook.Wanita.Ini.Ditangkap, diakses 19 November 2014. 67
Wawancara dengan Miss D, aktivis perempuan Sultra 19 November 2015. 68
Korban mendunga kuat, penyerang rumahnya adalah orangorang suruhan yang tidak puas dengan keputusan yang tidak menguntungkan salah satu pasangan Pemilukada Gubernur Sultra. Wawancara dengan Miss Y, mantan penyelenggara Pemilu Sultra 17 November 2015.
64
CENDANA NEWS, “Kota Lama Kendari, Warisan yang Terampas Ambisi Pembangunan Jembatan”, 11 Februari 2015, http://www.cendananews.com/2015/02/kota-lama-kendariwarisan-yang-terampas.html , diakses pada tanggal 18 Mei 2015.
69
ANTARA SULTRA.com, “FMSB Minta Hentikan Proyek Jembatan `Bahteramas`”, 10 Desember 2011, http://antarasultra. com/print/262827/fmsb-minta-hentikan-proyek-jembatanbahteramas, diakses pada tanggal 18 Mei 2015.
70
65
Saat penetapan komisioner penyelenggara Pemilu orangorang dekat atau titipan Nur Alam berhasil mengisi satu posisi di struktur penyelenggara Pemilu. Wawancara dengan G, tanggal 20 November 2015.
64 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 51–69
Di kalangan elit Sultra lainnya, Nur Alam juga mendapatkan tantangan yang keras, seperti perseteruannya dengan mantan Bupati Kolaka Buhari Matta pada tahun 2011.71 Selain Buhari Matta, Nur Alam juga mendapatkan saingan dari etnis Tolaki lainya, yaitu Imran (Bupati Konawe Selatan periode 2005-2015) dan Lukman Abunawas (Bupati Konawe 2003-2013). Namun demikian, pengaruh Imran meredup setelah ia tidak terpilih kembali menjadi ketua DPD Demokrat Sulawesi Tenggara, sedangkan Lukman Abu Nawas meredup seiring dengan berakhirnya masa jabatan sebagai Bupati Konawe 2013. Politisi asal kepulauan juga menjadi saingan kuat Nur Alam di Sulawesi Tenggara, seperti Ridwan BAE (Mantan Bupati Muna/Ketua DPD Golkar Sultra) dan Amirul Tamin (mantan Walikota Bau-Bau/politisi PPP).72 Namun pada akhirnya, Ridwan maupun Amirul harus mengakui ketangguhan Nur Alam setelah kalah dalam pertarungan pemilihan Gubernur Sultra 2013. Keberhasilan Nur Alam memenangkan Pemilukada 2013, tidak terlepas dari kemampuannya merangkul lawan politiknya seperti Imran, Lukman Abu Nawas dan Laode Ida, politisi yang sebelumnya kerap berbeda pandangan dengannya. Setelah berhasil menaklukkan lawan-lawan politiknya, Nur Alam memperkuat kekuasaannya melalui kerja sama dengan sebagian saingan politik sebelumnya, seperti penujukkan Lukman Abunawas73 sebagai Sekdaprov. Nur Alam juga merangkul elit berpengaruh di jajaran elit politik dan birokrasi, seperti dukungan terhadap Kerry Saiful Konggoasa74 dalam Pemilukada Konawe,
dukungan terhadap dr. L.M. Baharuddin75 di Muna. Promosi dan pengangkatan Pj Bupati dari kalangan elit birokrasi seperti: Tony Herbiansyah76 sebagai Pj. Bupati Kolaka Timur, Nur Sinapoy 77 sebagai Pj. Bupati Konawe Kepulauan, Irawan Laliasa78 sebagai Plt. Bupati Konawe Selatan, Zayat Qaimuddin79 sebagai Plt. Bupati Muna. Para pejabat yang dirangkul oleh Nur Alam merupakan orang-orang yang memiliki pengaruh secara politik di Sulawesi Tenggara. Akomodasi politik ini menjadikan para elit merasa nyaman dan memilih bekerja sama dengan Nur Alam. Nur Alam juga sangat populer dikalangan elit tradisional setelah ia dinobatkan sebagai Mokole Konawe (Raja Konawe) oleh Lembaga Adat Tolaki.80 Selain merangkul para elit, Nur Alam juga menyiapkan keluarganya sebagai calon penerusnya di politik lokal Sultra. Nur Alam mendukung kakaknya Asnawi Syukur sebagai salah satu Calon Bupati Konawe Selatan yang diusung oleh PAN. Nur Alam juga tampak mulai mempersiapkan istrinya sebagai penggantinya pasca Tina Nur Alam Konggoasa. Kerry merupakan adik Bachrun Konggoasa, politisi Golkar dan mantan Ketua DPRD Kota Kendari. Dalam diri Kerry mengalir darah Golkar yang kental, namun hal ini tidak serta merta sejalan dengan pilihan politiknya. Kerry memilih berseberangan dengan kakaknya sebagai politisi Golkar, ia memilih menjadi politisi PAN dan terpilih menjadi Bupati Konawe Periode 2013-2018. Konggoasa dianggap sebagai keluarga besar dan disegani di kalangan etnis Tolaki. dr. Baharuddin adalah mantan kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Muna, anak Raja Muna terakhir, ipar dari Ridwan Bae (Anggota DPR RI, mantan Bupati Muna/Ketua DPD Golkar Sultra). 75
Tony Herbiansyah adalah anak mantan Bupati Kendari Andrey Jufri (Ketua DPW PAN pertama Sultra), sepupu Tina Nur Alam. Tony juga pernah menjadi Wakil Bupati Konawe saat Lukman Abunawas menjadi Bupati. Tommy juga pernah mencalonkan diri menjadi Bupati Konawe meskipun gagal. 76
Yamin Indas, “Gubernur Nur Alam Memilih Dia”, 12 September 2011. https://yaminindas.wordpress.com/2011/09/12/gubernurnur-alam-memilih-diam/, diakses pada tanggal 18 April 2015. 71
Yusran Taridala, “Enam Jawara Politik di Sultra”, 29 Juni 2011. https://yusrantaridala2010.wordpress.com/2010/06/29/ enam-jawara-politik-di-sultra/ , diakses pada tanggal 18 April 2015. 72
Lukman Abunawas adalah mantan Bupati Konawe (dulu Kendari) dua periode, mantan Ketua DPD II Golkar Konawe. Ia anak mantan Bupati Kendari tahun 1970-an. Lukman Abunawas bersaudara dengan Mansur Masie Abunawas (mantan Walikota Kendari). Pengalaman jabatan dan sejarah yang dicapai oleh keluarga Abunawas, menjadikannya/diklaim sebagai marga besar di Kendari yang memiliki pengaruh dan dihormati oleh etnis Tolaki. 73
74
Kerry Saiful Konggoasa adalah anak Bupati Pertama Kendari,
Nur Sinapoy adalah birokrat di Pemprov Sultra. Dikalangan masyarakat Tolaki, marga Sinapoy termasuk dalam keluarga pejabat. 77
Irawan Laliasa adalah seorang Birokrat yang pernah bertarung dalam pemilihan kepala daerah Konawe Selatan. 78
Zayat Kaiumuddin berlatar belakang Birokrat. Ia juga merupakan anak mantan Gubernur Sultra Laode Kaimuddin. 79
Sinar Harapan.com, “Nur Alam Dinobatkan jadi “Apuno Mokoleno Tolaki””, 18 Mei 2015. http://www.sinarharapan. co/news/read/140422028/Nur-Alam-Dinobatkan-jadi-ApunoMokoleno-Tolaki- , diakses pada tanggal 18 November 2015. 80
Fenomena “Bosisme Lokal” di Era Desentralisasi ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 65
terpilih sebagai anggota DPR RI mewakili PAN, setelah berhasil mengalahkan Laode Ida pada Pemilu 2014 lalu. Saat ini, Tina Nur Alam mulai mempersiapkan diri menggantikan suaminya sebagai Gubernur Sultra.
Penutup Di era desentralisasi, Nur Alam muncul sebagai seorang bos lokal di Sulawesi Tenggara. Bos lokal muncul di Sulawesi Tenggara sama dengan berkembangnya “bos lokal” di Indonesia pada umumnya yaitu muncul pasca Orde Baru berakhir. Hal tersebut mengkonfirmasi pendapat John Sidel yaitu “bos lokal” dihambat kemunculannya di Indonesia selama Orde Baru dan dihambat juga ketika sistem pemilihan tidak langsung. Bos lokal di Sulawesi Tenggara muncul setelah membangun fondasi kekuatan lokalnya sejak zaman Orde Baru dengan memperkuat basis ekonomi dan di era reformasi terpilih menjadi ketua Partai Politik, anggota DPRD dan Gubernur. Bos lokal di Sulawesi Tenggara melakukan akumulasi kekayaan dengan mengerjakan proyekproyek negara. Hal tersebut mengkonfirmasi pendapat John Sidel yang melihat bahwa para bos lokal memperoleh kekuasaan dan kekayaan bukanlah dari kepemilikan tanah pribadi tetapi dari sumber-sumber negara dan perdagangan. Bos lokal di Sulawesi Tenggara melakukan kontrol terhadap pejabat publik, yaitu dengan menempatkan pejabat Bupati dari orang-orang kepercayaanya, menitipkan orang-orangnya sebagai penyelenggara Pemilu. Hal tersebut mengkonfirmasi pendapat John Sidel, dimana para bos lokal melakukan kontrol terhadap pejabat terpilih untuk mendapatkan akses dan monopoli atas pengaturan sumber dan hak-hak istimewa negara. Bos lokal di Sulawesi Tenggara berhasil menjadi Gubernur melalui dukungan kelompok sesama etnis (Pemilukada 2008), pertukaran suara dengan kebijakan pendidikan gratis, kesehatan gratis, pembangunan pedesaan, pembangunan sarana transportasi dan infrastruktur fisik lainnya (Pemilukada 2013). Hal tersebut mengkonfirmasi teori John Sidel, “bos lokal” memobilisasi masyarakat dengan mengeksploitasi politik etnis, melakukan pertukaran (transaksional) suara
pemilih dengan bantuan ekonomi, bibit, irigasi, pelunasan hutang dan alat tukar lainnya. Keberadan bos lokal di Sulawesi Tenggara mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Hal tersebut mengkonfirmasi teori John Sidel yaitu bahwa keberadaan “bos lokal” yang sering diremehkan sebagai musuh pembangunan, namun pada kenyataannya lebih tampak sebagai agen terdepan perkembangan kapitalis. Bos lokal di Sulawesi Tenggara menggunakan intimidasi kekerasan (premanisme dan kriminalisasi) dan kerja sama dalam memperoleh dukungan politik. Hal ini sejalan dengan pendapat John Sidel, bahwa “bossisme lokal” di Indonesia dibangun melalui persaingan dan kerja sama dengan elit politik, birokrat dan penegak hukum untuk mendapatkan dan melanggengkan kekuasaan. Bos lokal di Sulawesi Tenggara mempunyai kekuasaan monopolistis dengan menempatkan orang-orangnya dan keluarganya sebagai penerus kekuasaannya. Hal ini sejalan dengan pendapat John Sidel bahwa para “bos lokal” mewariskan daerah kekuasaannya kepada generasi penerus dengan model dinasti. Bos lokal yang muncul di Sulawesi Tenggara atas keberhasilannya mengalahkan dan kerja sama dengan rival “bos lokal” yang lain. Hal tersebut sejalan dengan pendapat John Sidel dan Takeshi Kawanaka bahwa kekuasaan “bos lokal” selalu dibangun dari dinamika kompetisi dan kompromi diantara “bos-bos lokal” lainya beserta keluarga politik dan mesin politik mereka. Namun demikian, bos lokal yang muncul di Sultra tidak berpindah afiliasi partai yaitu hanya menguasai PAN. Hal tersebut membantah teori John Sidel. Nur Alam sebagai bos lokal menjadi patron tertinggi bagi orang Tolaki, dimana kliennya adalah masyarakat sesama etnis Tolaki. Setelah menjadi gubernur, Nur Alam dipandang sebagai patron tertinggi masyarakat Sulawesi Tenggara. Sebagai patron orang Tolaki dan patron masyarakat Sultra, Nur Alam dipandang bisa mendatangkan kesejahteraan dan mengatur rekruitmen pejabat publik yang bisa menguntungkan kelompoknya (klien). Dengan demikian, relasi patronase di Sulawesi Tenggara tidak hanya tumbuh dan berkembang karena perubahan struktur pemerintahan dan
66 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 51–69
ketimpangan ekonomi masyarakat, namun ditopang pula oleh ikatan primordialisme yang kuat. Hal ini menolak tesis Sidel bahwa bos lokal muncul akibat kegagalan kekerabatan masyarakat. Bos lokal Sultra berkembang di lingkungan yang masih kuat ikatan kekerabatannya.
Daftar Pustaka Buku Mulyo, Sumedy Andono et.al. 2009. Data dan Informasi Dalam Rangka Penyusunan Rancangan RPJMN 2010-2014 Berdimensi Ruang dan Wilayah Sulawesi. Jakarta: Bappenas. Nordholt, Henk Schulte, Gerry Van Klinken dan Ireen Karang-Hogeenboom. 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: YOI. Robison, Richard. 2012. Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia. Komunitas Bambu: Jakarta. Sidel, John T. 1999. Capital, Coercion and Crime : Bossism in the Philippines. Stanford : Stanford University Press. Sidel, John T. 2005. “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand dan Indonesia, Menuju Kerangka Analisis Baru Tentang “Orang Kuat Lokal”, dalam Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru. Jakarta: Demos. Tirtosudarmo, Riwanto. 2010. Mencari Indonesia 2: Batas-Batas Rekayasa Sosial. Jakarta: LIPI Press. ----------. 2006. Desentralisasi dan Good Governance di Sulawesi Tenggara: Peran Akademisi dan Intelektual dalam Proses Pemekaran Wilayah. LIPI: Jakarta. Warsilah, Henny. 2006. Perjalanan Demokrasi Provinsi Sulawesi Tenggara vs Premanisme Ala Orde Baru. Jakarta: LIPI.
Jurnal Agustino, Leo dan Mohammad Agus Yusoff. 2010. “Pilkada Dan Pemekaran Daerah Dalam Demokrasi Lokal Di Indonesia: Local Strongmen dan Roving Bandits”. Jebat: Malaysian Journal of History, Politics, & Strategic Studies Vol. 37. Agustino, Leo dan Mohammad Agus Yusoff. 2010. “Politik Lokal di Indonesia: Dari Otokratik ke Reformasi Politik”. Jurnal Ilmu Politik. Edisi 21.
Aspinal, Edward. “When Brokers Betray: Clientalism, Social Networks, and Electoral Politics in Indonesia”. Critical Asian Studies 46, 2014. Buehler, Michael dan Paige Tan. 2007. “PartyCandidate Relationships in Indonesian Local Politics : A Case Study of the 2005 Regional Elections in Gowa, South Sulawesi Province”. Indonesia. No. 84. Irawati, Ira. dkk. 2008. “Pengukuran Tingkat Daya Saing Daerah Berdasarkan Variabel Perekonomian Daerah, Variabel Infrastruktur Dan Sumber Daya Alam, Serta Variabel Sumber Daya Manusia Di Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara”. Jurnal Teknik Industri. Undip: Semarang. Supriatma, Antonius Made Tony. 2009. “Menguatnya Kartel Politik Para Bos“. Jurnal Prisma. Vol. 28. No. 2. Oktober. Vel, Jacqueline. 2005. “Pilkada in East Sumba : An Old Rivalry in A New Democratic Setting”. Indonesia. No. 80.
Laporan dan Makalah Adriadi, Reko. 2013. Pemekaran Daerah Dan “Bossisme Lokal”: Studi Kasus Praktek Kekuasaan Bupati Murman Effendi Dalam Perkembangan Kabupaten Seluma Periode 2005-2011. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia. BAPPEDA Sultra. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2014. Choi, Nankyung. 2007. “Indonesia’s Direct Local Elections : Background and Institusional Framework”. Rajaratnam School of International Studies Singapore Working Paper. Eko, Sutoro. Benih Perubahan Di Atas Fondasi Politik Yang Rapuh (Studi Tentang Politik Anggaran Daerah Kota Kendari, Sulawesi Tenggara). IRE: Yogyakarta. IRE’S Insight Working Paper/ Eko/I/February/ 2008. Hutabarat, Melvin P. “Fenomena “Orang Kuat” Di Indonesia Era Desentralisasi Studi Kasus Tentang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin Di Jambi”, Tesis: Universitas Indonesia, 2012. Jabar, Aryuni Salpiana. 2009. Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007 (Kasus: Kubu Nusa Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007). Tesis. Bogor: IPB. Laode, M.D. 2011. Etnis Cina Indonesia dalam Politik di Era Reformasi: Studi Kasus Keterlibatan Kelompok Etnis Cina Indonesia Dalam Politik
Fenomena “Bosisme Lokal” di Era Desentralisasi ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 67
di Kota Pontianak dan Kota Singkawang Kalimantan Barat 1998-2008. Disertasi. Jakarta: UI. Romli, Lili. 2007. Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Provinsi Banten (2001-2006). Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia. Said D. 1997. Pembentukan Provinsi Sulawesi Tenggara 1950-1978: Studi Konflik dan Integrasi. Tesis. Program Studi Ilmu Sejarah Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta: UI. Suaib, Eka. 2005. Etnisitas Kebijakan Publik (Studi Pemanfaatan Etnis Dalam Arena Politik Lokal di Kota Kendari). Disertasi: Universitas Airlangga. Suaib, Eka. 2015. Institusionalisasi Partai Politik (Studi Kasus Hegemoni PAN Di Sulawesi Tenggara). Makalah Seminar Nasional Menyongsong Pilkada Serentak di Universitas Hasanuddin. Zuada, La Husen. 2013. Desentralisasi dan Gerakan Sosial: Studi Polarisasi Gerakan Advokasi Kebijakan Pedagang Kaki Lima di Kendari Tahun 2008. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia. The World Bank, Pemda Sultra, Lembaga Penelitian Universitas Haluoleo (LEMLIT UNHALU), CIDA dan AusAID. 2011. Kinerja Pelayanan Publik dan Tantangan Pembangunan di Bumi Haluoleo. Jakarta: The World Bank. Zuada, La Husen. 2015. Menciptakan Pemilihan Umum Kepala Daerah Berintegritas, Dalam Rangka Mewujudkan Demokrasi Subtansial. Makalah: disampaikan dalam Sosialisasi Indeks Kerawanan Pemilu yang diselenggarakan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Sulawesi Tenggara. Hotel Clarion Kendari. Sabtu 12 Agustus. Wawancara dengan G, salah satu jurnalis yang bernaung di AJI, pukul 09.00 WITA tanggal 20 Oktober 2015. Wawancara dengan D, aktivis perempuan Sultra, pukul 10.47 WITA tanggal 19 November 2015. Wawancara dengan Y, Mantan penyelenggara Pemilu Sultra, Pukul 13.19 WITA tanggal 17 November 2015. Wawancara dengan G, Akademisi UHO, Pukul 12.30 WITA tanggal 20 November 2015.
Surat Kabar dan Website Majalah TEMPO, Edisi 8-14 September 2014. Antara Sulsel. “FTRW Tolak Sultra Jadi Kawasan Pertambangan Nasional”. 25 Januari 2011. http://www.antarasulsel.com/berita/24029/
ftrw-tolak-sultra-jadi-kawasan-pertambangannasional. ANTARA SULTRA.com. “FMSB Minta Hentikan Proyek Jembatan `Bahteramas`”. 10 Desember 2011. http://antarasultra.com/print/262827/ fmsb-minta-hentikan-proyek-jembatanbahteramas. Asman Sahaludin. “341 IUP Pertambangan di Sulawesi Tenggara; Rahmat atau Petaka”. 4 Agustus 2012. http://www.kompasiana.com/ asman_sahaluddin/341-iup-pertambangan-disulawesi-tenggara-rahmat-atau-petaka_5512d ddca33311dd67ba7df3. Berita Lingkungan. “Mahasiswa Kendari Tolak Kawasan Ekonomi Khusus”. 24 Maret 2011. http://www.beritalingkungan.com/2011/03/ mahasiswa-kendari-tolak-kawasan-ekonomi. html. Butonsultra.com. “Profil H. Nur Alam SE M.Si Gubernur Ke 9 Sultra 2008-2018”. 2013. http:// infoduniaraya.blogspot.co.id/2014/08/profil-hnur-alam-se-msi-gubernur-ke-9.html. CENDANA NEWS. “Kota Lama Kendari, Warisan yang Terampas Ambisi Pembangunan Jembatan”. 11 Februari 2015. http://www. cendananews.com/2015/02/kota-lama-kendariwarisan-yang-terampas.html. Detiknews. “Ini Kekayaan Gubernur Sulawesi Tenggara yang Disebut Berekening Gendut”. 17 Desember 2014. http://news.detik.com/ berita/2780376/ini-kekayaan-gubernursulawesi-tenggara-yang-disebut-berekeninggendut. Gatranews. “Spartan: Tangkap Ribuan Preman Pembubar Aksi Demo” 20 Februrari 2014. http://www.gatra.com/nusantara-1/sulawesi1/47573-spartan-tangkap-ribuan-premanpembubar-aksi-demo.html. JPPN.com. “Pemprov Sultra Diminta Jujur soal KEK Pertambangan”. 26 Januari 2011. http:// www.jpnn.com/read/2011/01/26/82898/ Pemprov-Sultra-Diminta-Jujur-soal-KEKPertambangan-. JPPN.com. “KEK di Sultra Direspon Positif”. 24 Januari 2011. http://www.jpnn.com/ read/2011/01/24/82703/KEK-di-SultraDirespon-Positif. JPPN.com. “La Ode Ngaku Dilarang Komentari Rekening Gendut Nur Alam”. 27 Desember 2014. http://www.jpnn.com/read/2014/12/27/277913/ La-Ode-Ngaku-Dilarang-Komentari-RekeningGendut-Nur-Alam. Kompas. Com. “Sebut Anggota Panwaslu “Gigolo” di Facebook, Wanita Ini Ditangkap”. 22
68 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 51–69
Oktober 2014. http://regional.kompas.com/ read/2014/10/22/22360761/Sebut.Anggota. Panwaslu.Gigolo.di.Facebook.Wanita.Ini. Ditangkap. Nur Iman Subono. “Raja Lokal, Bos Lokal dan Chao Pho”. 1 Desember 2006. http://demosindonesia. org/2006/12/raja-lokal-bos-lokal-dan-chaopho/. Pemuda Bergerak. “Penyerangan Aktivis Mahasiswa bentuk kepanikan Gubernur Sultra”. 21 Desember 2013. https://pemudabergerak. wordpress.com/2013/12/21/penyeranganaktivis-mahasiswa-bentuk-kepanikangubernur-sultra/. Sinar Harapan.com. “Nur Alam Dinobatkan jadi “Apuno Mokoleno Tolaki””. 22 April 2014. http://www.sinarharapan.co/news/ read/140422028/Nur-Alam-Dinobatkan-jadiApuno-Mokoleno-Tolaki-. Serru.com. “Tersandung Skandal Seks, Gubernur Sultra Didesak Bertanggung Jawab”. 7 oktober 2013. http://utama.seruu.com/ read/2013/10/07/186164/tersandung-skandalseksgubernur-sultra-didesak-bertanggungjawab. Syarlin Syamsudin. “Nur Alam Selayang Pandang”. 23 September 2012. http://brigadenuralam. blogspot.co.id/.
Tempo.com. “Kasus Rekening Gendut, Nur Alam Tunjuk Para Bupati”. 24 Desember 2014. http://nasional.tempo.co/read/ news/2014/12/24/063630803/kasus-rekeninggendut-nur-alam-tunjuk-para-bupati. Yamin Indas. “Selamat Berulang Tahun Gubernur Nur Alam”. 8 Juli 2015. http://yaminindas. com/?p=1272. Yamin Indas. “Memacu Diri Hingga Mencapai Puncak”. 27 Juni 2013. http://yaminindas. com/?p=520. Yamin Indas. “Gubernur Nur Alam Memilih Dia”. 12 September 2011. https://yaminindas.wordpress. com/2011/09/12/gubernur-nur-alam-memilihdiam/. Yusran Taridala. “Enam Jawara Politik di Sultra”. 29 Juni 2011. https://yusrantaridala2010. wordpress.com/2010/06/29/enam-jawarapolitik-di-sultra/.
Fenomena “Bosisme Lokal” di Era Desentralisasi ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 69
70 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 51–69
NILAI STRATEGIS ALIANSI INDONESIA DENGAN AMERIKA SERIKAT DALAM PENGAMANAN BLOK LAUT AMBALAT STRATEGIC VALUE OF ALLIANCE BETWEEN INDONESIA AND THE UNITED STATES OF AMERICA IN DEFENDING AMBALAT SEA BLOCK Yanyan M. Yani1 dan Ian Montratama2 Dosen Universitas Padjadjaran dan Institute for Defense and Strategic Research Kampus Pascasarjana Fisip Unpad, Jl. Bukit Dago Utara No. 25, Bandung Gedung Bank Panin Pusat Lt. 3, Jl. Sudirman Kav. 1, Jakarta E-mail:
[email protected],
[email protected] Diterima: 3 Agustus 2015; direvisi: 15 September 2015; disetujui: 2 Desember 2015 Abstract In globalization era, great powers pose more intense and wider influence toward other lesser states in the globe. Theoritically, Walt argues that medium and lesser states tend to align toward greater powers to have protection against threat. However, in practice, Indonesia keeps standing to become a neutral state that does not ally to any power blocks. This paper will examine the benefit for Indonesia to ally with the United States OF America in a case of securing the trouble water in Ambalat Sea Bloc. Keywords: globalization, great power, medium state, quasi-alliance, Ambalat Sea Bloc. Abstrak Dalam era globalisasi, kekuatan besar semakin memiliki pengaruh yang lebih intens dan luas ke negara-negara lain yang lebih lemah di dunia. Secara teoritis, Walt berpendapat bahwa negara-negara sedang dan lemah terpaksa mendekati negara yang lebih kuat untuk mendapatkan perlindungan dari ancaman. Namun dalam prakteknya, Indonesia tetap teguh untuk menjadi negara netral yang tidak beraliansi ke pihak manapun. Paper ini akan mengkaji manfaat bagi Indonesia untuk beraliansi dengan Amerika Serikat dalam kasus pengamanan perairan bermasalah di Blok Laut Ambalat. Kata Kunci: globalisasi, kekuatan besar, negara sedang, kuasi-aliansi, Blok Laut Ambalat.
Prof. Drs. Yanyan M. Yani, MAIR, Ph.D adalah Guru Besar di Universitas Padjadjaran dengan kepakaran bidang defense and security studies dan foreign policy analysis, dimana saat ini juga menjabat sebagai Kepala Prodi Pascasarjana HI Universitas Padjadjaran. 1
Ian Montratama, S.E., M.E.B., M.Si. (Han) adalah mahasiswa program doktoral HI Universitas Padjadjaran tahun 2014 yang aktif sebagai peneliti di IDSR dengan fokus kajian di bidang foederologi dan komparasi alutsista. 2
Nilai Strategis Aliansi Indonesia ... | Yanyan M. Yani dan Ian Montratama | 71
Pendahuluan Dalam penelitian Saputra di Unila,3 tercatat jumlah pelanggaran wilayah di Blok Laut Ambalat (BLA) oleh aparat Kerajaan Malaysia sebagai berikut: di tahun 2005 ada 38 kali pelanggaran, di tahun 2006 ada 62 kali pelanggaran, di tahun 2007 ada 143 kali pelanggaran, di tahun 2008 ada 104 kali pelanggaran, di tahun 2009 ada 25 kali pelanggaran, di tahun 2010 ada 44 kali pelanggaran, di tahun 2011 ada 24 kali pelanggaran, dan tahun 2012 ada 35 kali pelanggaran. Jika merujuk pada Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008, 4 tindakan pelanggaran seperti itu dapat dianggap sebagai ancaman militer. Ancaman militer yang dimaksudkan adalah ancaman dari kekuatan bersenjata dan terorganisir yang mempunyai kemampuan membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Maka tidaklah mengherankan jika dari bidang pertahanan, Mabes TNI telah membentuk Satuan Tugas Pengamanan Ambalat TNI yang dipimpin oleh Panglima Armada Timur TNI AL sejak tahun 2014. Bagi kaum realis, pelanggaran wilayah yang dilakukan aparat Malaysia di Blok Laut Ambalat (BLA) itu juga suatu masalah yang sangat serius. Kaum realis ofensif5 dengan tokohnya John Mearsheimer berpendapat bahwa dua negara dapat terlibat dalam perang, walau keduanya hanya ingin bertahan hidup (survive) – dan bukan karena alasan ekspansif atau agresif. Dalam konteks Ambalat, akses dan kendali atas sumber minyak di bawah dasar laut BLA bagi Indonesia dan Malaysia dapat merupakan suatu bentuk pertahanan hidup untuk mengatasi krisis energi domestik. Cadangan minyak kedua negara semakin menipis. Keduanya sudah menjadi negara importir minyak. Potensi minyak di BLA akan dapat memenuhi kebutuhan masing-masing negara untuk energi minyak selama mimimal 30 Muhammad Aden Saputra, Sengketa Batas Wilayah IndonesiaMalaysia di Perairan Ambalat, Skripsi, (Bandar Lampung: Fisip Universitas Lampung, 2014), hlm. 80. 3
“Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008”, http://www.kemhan. go.id/kemhan/files/04f92fd80ee3d01c8e5c5dc3f56b34e3.pdf, diakses pada tanggal 10 Juni 2015, hlm. 28. 4
R. Harrison Wagner, War and the State: the Theory of International Politics, (Ann Arbor: The University of Michigan Press, 2010), hlm. 13. 5
tahun ke depan.6 Namun, penyelesaian sengketa dengan cara damai akan semakin menantang. Kedua negara telah memberikan konsesi penambangan minyak ke pihak asing. Indonesia telah memberikan konsesi pada ENI, Unocal dan Pertamina. Sedangkan Malaysia memberikan kepada Shell dan Petronas. Sejarah telah mencatat beberapa perang modern yang diakibatkan perebutan kendali dan/atau akses ke sumber minyak. Walaupun lembaga internasional seperti PBB dan komunitas keamanan dalam ASEAN Political and Security Community (APSC) dijadwalkan berjalan pada akhir tahun 2015, namun tidak ada jaminan jika sengketa Ambalat dapat diselesaikan dengan cara damai. Jika kita menggunakan adagium kaum realis ci vis pacem parabellum, maka untuk kita menginginkan penyelesaian sengketa Ambalat dengan cara damai, kita harus menyiapkan diri dalam menyelesaikan sengketa Ambalat dengan cara kekerasan (violence). Kekuatan militer Indonesia yang besar tentunya akan membuat upaya penyelesaian dengan cara diplomasi akan semakin efektif. Jika militer Indonesia lebih kuat, Malaysia tentu akan menghendaki perundingan sengketa selalu difokuskan dengan cara damai. Opsi melalui kekerasan (baca: perang) tidak akan menarik bagi Malaysia. Namun sebaliknya, jika kekuatan militer Indonesia lemah, maka penyelesaian dengan cara kekerasan akan tetap selalu menjadi pertimbangan (yang mungkin memiliki probabilitas yang relatif besar bagi) Malaysia. Ketegangan-ketegangan yang muncul di perairan BLA antara aparat Indonesia dan Malaysia dapat muncul karena adanya perbedaanperbedaan persepsi. Kedua pihak merasa sedang melakukan pengamanan atas perairan ZEE-nya. Eskalasi dari ketegangan menjadi konflik pun bisa kapan saja terjadi. Paper ini akan mengkaji perspektif teori realis dengan perspektif praktis atas kebijakan politik luar negeri Indonesia dalam menghadapi sengketa Ambalat dengan memanfaatkan jalinan hubungan erat dengan Anggi Kusumadewi, “Sejarah Panjang Kemelut RI-Malaysia di Ambalat”, CNN Indonesia, http://www.cnnindonesia.com/ nasional/20150617140454-20-60584/sejarah-panjang-kemelutri-malaysia-di-ambalat/, 17 Juli 2015, diakses pada tanggal 25 September 2015. 6
72 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 71–86
Sumber: Muhammad Aden Saputra, Sengketa Batas Wilayah Indonesia-Malaysia di Perairan Ambalat, Skripsi, (Lampung: Universitas Lampung, 2014), hlm. 67. Gambar 1. Peta Blok Laut Ambalat
Amerika Serikat (yang hingga saat ini masih menjadi satu-satunya negara superpower setelah berakhirnya perang dingin di tahun 1991).
Sengketa Ambalat dan FPDA Menurut Saputra,7 masalah sengketa perbatasan di Ambalat ditengarai oleh perebutan daerah cadangan minyak di Blok Ambalat dan Ambalat Timur (menurut penamaan versi Indonesia) atau Blok XYZ (versi Malaysia). Pada tanggal 16 Februari 2005, Petronas (perusahaan minyak Malaysia) memberikan konsesi atas Blok ND-6 dan ND-7 kepada Petronas Carigali yang bermitra dengan Royal Dutch/Shell Group. Blok yang menjadi subjek konsesi Malaysia ini tumpang tindih dengan Blok Ambalat dan Ambalat Timur yang dikonsesikan oleh Indonesia kepada ENI (perusahaan minyak Italia) dan Unocal (perusahaan multinasional Amerika) pada tanggal 12 Desember 2004. Tumpang tindih Muhammad Aden Saputra, Sengketa Batas Wilayah IndonesiaMalaysia di Perairan Ambalat, Skripsi, (Lampung: Universitas Lampung, 2014), hlm. 4 7
klaim ZEE (overlapping claim areas) tersebut yang menjadi pemicu sengketa di Blok Ambalat. Klaim Indonesia atas BLA didasarkan pada: (1) konvensi antara Kerajaan Britania dan Kerajaan Belanda di tahun 1891; dan (2) kesepakatan United Nations Convention on the Law of the Seas (UNCLOS) pada tahun 1982, dimana Blok Ambalat secara resmi masuk ke dalam wilayah teritori dan kedaulatan Indonesia. Pasal 4 UNCLOS mengakui bahwa wilayah teritori mencakup 200 mil dari garis batas, di mana Blok Ambalat sepenuhnya masuk ke dalam wilayah Indonesia. Kemudian pada pasal 13 UNCLOS8 menetapkan Indonesia berhak menarik garis batas laut dari Karang Unarang dan Indonesia memiliki kedaulatan atas Blok Laut Ambalat karena berada di ZEE Indonesia (dari penarikan garis batas dari Karang Unarang).9 Bunyi pasal ini: “…area of land which is surrounded by and above water at low tide but submerged at high tide. Where a lowtide elevation is situated wholly or partially at a distance not exceeding the breadth of the territorial sea from the mainland or an island, the low-water line on that elevation may be used as the baseline for measuring the breadth of the territorial sea.” 8
9
Indro Dwi Haryono, 2007, Perspektif Malaysia tentang
Nilai Strategis Aliansi Indonesia ... | Yanyan M. Yani dan Ian Montratama | 73
Sementara menurut Hasjim Djalal, 10 Malaysia menuntut batas laut Indonesia-Malaysia dihitung dari garis tengah antara pulau Sipadan dan pulau Ligitan dengan pulau-pulau Indonesia di Kalimantan Timur. Klaim Malaysia atas BLA didasarkan pada dua alasan, yaitu: (1) pada peta wilayah kedaulatan Malaysia yang dilansir pada tahun 1979; dan (2) pada hasil keputusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yang memenangkan Malaysia atas kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di tahun 2002. Blok Laut Ambalat (BLA) menjadi daerah yang bernilai strategis kerena memiliki kandungan minyak bumi dan gas alam yang sangat melimpah.11 Dari sumber CNN Indonesia disebutkan bahwa ada satu titik tambang di Ambalat yang menyimpan cadangan potensial 764 juta barel minyak dan 1,4 triliun kaki kubik gas. Itu baru sebagian kecil, sebab Ambalat memiliki titik tambang tak kurang dari sembilan. Kandungan minyak dan gas di sana disebut dapat dimanfaatkan hingga 30 tahun – suatu keuntungan besar bagi negara manapun yang menguasai Ambalat.12 Indonesia dan Malaysia tentu memiliki kepentingan yang besar atas penguasaan BLA (karena keduanya sedang mengalami krisis energi minyak).13 Dengan ditemukannya kekayaan alam di bawah BLA, perundingan masalah sengketa
Sengketa Ambalat, https://indronet.files.wordpress. com/2007/09/ambalat.pdf, diakses pada tanggal 15 Oktober 2015. Hasjim Djalal, “Perundingan Blok Ambalat Akan Berjalan Alot”, Tabloid Diplomasi, http://www.tabloiddiplomasi.org/ previous-isuue/43-desember-2008/249-perundingan-blok -ambalat-akan-berjalan-alot-.html, Desember 2008, diakses pada tanggal 25 September 2015 10
Menurut Indro Dwi Haryono, 2007, “Perspektif Malaysia tentang Sengketa Ambalat”, https://indronet.files.wordpress. com/2007/09/ambalat.pdf, diakses pada tanggal 15 Oktober 2015, hlm.1, kandungan minyak bumi di BLA senilai Rp. 4.200 trilyun.
perbatasan menjadi lebih alot. 14 Situasi ketegangan di Ambalat pun sudah sering kali memanas. Berulangkali kapal perang dan pesawat Malaysia melakukan sejumlah pelanggaran wilayah dari tahun 2002 hingga saat ini. Perilaku aparat Malaysia dinilai arogan dan provokatif oleh aparat Indonesia. Kesan umum yang berkembang di Indonesia adalah perilaku Malaysia telah menginjak wibawa Indonesia dan hal tersebut memancing sentimen keras dari berbagai kalangan di Indonesia.15 Perilaku provokatif yang diinisiasi negara inferior (baca: Malaysia) ke negara lain yang superior (baca: Indonesia) terkesan tidak logis. Tidak mungkin negara inferior akan menang perang jika sengketa yang diprovokasi berubah menjadi konflik bersenjata. Tentu ada faktor eksternal (seperti aliansi) yang diharapkan akan membantu Malaysia jika Malaysia terlibat konflik dengan Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Benson (et al.)16 menyimpulkan bahwa negara anggota aliansi cenderung berperilaku membahayakan (moral hazard). Hal tersebut dikarenakan ekspektasi bantuan eksternal dari negara anggota aliansi lainnya yang relatif tinggi. Ekspektasi bantuan eksternal ini menumbuhkan persepsi bahwa akumulasi kekuatan negara-negara aliansi lebih kuat dari negara ancaman. Persepsi kekuatan relatif yang superior ini dapat memicu perilaku agresif dan/atau provokatif dalam menghadapi situasi sengketa. Negara aliansi tersebut berasumsi, manakala situasi sengketa tereskalasi menjadi konflik bersenjata, kemenangan pasti berada di pihak kekuatan aliansi. Pendapat Benson ini dapat menjadi salah satu teori dalam menjelaskan perilaku agresif Malaysia di Blok Laut Ambalat.
11
12
Kusumadewi, op.cit.
Menurut Index Mundi, yaitu suatu portal internet yang memberikan layanan informasi statisik ekonomi dunia yang di-update secara berkala, http://www.indexmundi.com/, pada tahun 2011 selisih produksi dan konsumsi minyak Indonesia adalah -201.080 barel/hari, sedangkan Malaysia sebesar -33.280 barel/hari diunduh pada 25 September 2015 13
Hasjim Djalal berpendapat, jika tidak diketemukan kekayaan alam di BLA, perundingan sengketa perbatasan akan lebih cepat dituntaskan. Namun di Blok Ambalat telah diketahui bahwa di wilayah itu terdapat cukup banyak kekayaan alam, terutama migas. Hal ini tentu akan membuat situasi menjadi lebih rumit. 14
15
Muhammad Aden Saputra, op.cit.
16 B.V. Benson, P.R. Bentley, J.L. Ray, “Ally Provocateur: Why Allies Do Not Always Behave”, Journal of Peace Research, Januari 2013, Vol. 50, No.1, hlm. 47-58.
74 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 71–86
militer Indonesia yang dominan di Asia Tenggara masih membuat Singapura dan Malaysia merasa perlu mendapat bantuan perimbangan kekuatan eksternal via FPDA, terutama dari aspek bantuan sistem pertahanan udara.
Sumber:https://panjicero.files.wordpress. com/2011/12/tu16-badger-russia.jpg; dan http:// beritapopulis.files.wordpress.com/2008/12/kriirian-2.jpg. Gambar 2. KRI Irian dan Pembom Strategis Tu16KS Badger dengan Rudal AS-1 Kennel
Malaysia adalah anggota aliansi dalam Five Powers Defense Arrangement (FPDA)17 sejak tahun 1971. FPDA dibentuk terkait situasi politik di tahun 1960-an dimana antara Indonesia dan Malaysia pernah terlibat konflik (yang dikenal dengan Konfrontasi pada tahun 1963-1966). Kala itu, Malaysia dan Singapura memiliki kekuatan pertahanan udara yang lemah dan berhadapan dengan Indonesia yang memiliki kekuatan militer terkuat di kawasan Asia Tenggara. Sementara Indonesia memiliki hubungan politik yang sangat baik dengan Uni Soviet. Indonesia mampu mengimpor berbagai alat utama sistem senjata (alutsista) unggulan, seperti pesawat pembom strategis Tu-16 Badger yang dilengkapi dengan stand-off anti-ship missile AS-1 Kennel, kapal perang penjelajah kelas KRI Irian, kapal selam kelas Whisky, rudal anti pesawat jarak menengah SA-2, dan lain sebagainya. Walau Indonesia, Singapura dan Malaysia sudah tergabung dalam ASEAN sejak tahun 1967, namun kekuatan
Namun di era rezim Soeharto, Indonesia mengubah politik luar negerinya dengan menghentikan konfrontasi dengan Malaysia dan Singapura serta lebih mendekatkan diri ke Blok Barat (Amerika Serikat dan sekutunya).18 Walau politik Indonesia telah semakin liberal dan demokratis, namun (anehnya) keberadaan FPDA masih dipertahankan.19 Thayer20 justru berpendapat bahwa sejak didirikan pada tahun 1971, FPDA telah berevolusi dari kerja sama pertahanan udara di Semenanjung Malaysia dan Singapura menjadi aliansi pertahanan. Pada awalnya, FPDA bukanlah aliansi, melainkan hanya forum konsultatif. Namun saat ini, FPDA telah menjadi aliansi pertahanan yang tidak kentara (unobtrusive alliance). Dalam terminologi militer konvensional, FPDA berperan sebagai penangkal psikologis untuk semua penyerang (tidak terkecuali juga Indonesia), walau potensi perang rendah. Penyerangan terhadap Malaysia atau Singapura akan direspons oleh Australia, Selandia Baru dan Inggris, sesuai kesepakatan dalam FPDA. Sementara jika Australia, Selandia Baru dan Inggris terlibat perang, maka Amerika Serikat juga berpotensi untuk terlibat perang. Hal ini karena Amerika Serikat memiliki traktat aliansi dengan Inggris, Australia dan Selandia Baru yang harus ditegakkan. Dalam komunike pendirian FPDA (16 April 1971) telah disepakati bahwa21: “terkait Situs Resmi Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri RI. 2015. Politik Luar Negeri Indonesia dari Masa ke Masa yang disadur dari Sumber Harian Kompas yang terbit pada tanggal 15 Januari 2014, http://www.otda.kemendagri. go.id/index.php/berita-210/1434-politik-luar-negeri-indonesiadari-masa-ke-masa pada tanggal 22 November 2015. Hal senada juga terbit di Harian Kompas pada tanggal 15 Januari 2015 dengan judul Blok Timur Pernah Bikin Indonesia Disegani (http://nasional.kompas.com/read/2010/11/18/03341689/ twitter.com, 14 Oktober 2015). 18
Kebijakan Konfrontasi yang sudah ditinggalkan rezim Soeharto di era Orba serta adanya ASEAN, tidak serta merta membuat FPDA dibubarkan. 19
20
Carlyle A. Thayer, “The Five Power Defence Arrangements: The Quiet Achiever”, Security Challenges, Vol. 3, No.1, February 2007, hlm. 79 - 96. 17
Carlyle A. Thayer, op.cit., hlm. 79-96.
Ibid., hlm. 1. Disebutkan bahwa dalam naskah komunike pendirian FPDA tercantum: “in relation to the external defense 21
Nilai Strategis Aliansi Indonesia ... | Yanyan M. Yani dan Ian Montratama | 75
pertahanan eksternal Malaysia dan Singapura, manakala terjadi serangan bersenjata terorganisir atau terdukung, atau ancaman serangan tersebut terhadap Malaysia atau Singapura, pemerintah negara tersebut akan segera mengkonsultasikan bersama, tujuan dari keputusan yang seharusnya diambil atau sebagian diambil sehubungan dengan serangan atau ancaman tersebut.” Komunike ini menunjukkan suatu komitmen Inggris, Australia dan Selandia Baru dalam mendukung Malaysia dan Singapura, jika kedua negara menghadapi ancaman serius. Hingga saat ini, intensitas dan ekstensitas latihan militer kelima anggota FPDA sudah berkembang ke berbagai simulasi pertempuran. Markas tetap FPDA dengan pos komandonya masih ditetapkan di Butterworth, Malaysia dengan perwira tinggi dari Australia yang selalu menjadi komandannya. Kekuatan militer FPDA sudah dibangun sedemikian rupa untuk mampu melakukan misi koalisi secara cepat dan responsif. Keberadaan FPDA tentunya sudah tidak relevan lagi jika Malaysia dan Singapura tidak menganggap Indonesia sebagai ancaman. Dengan adanya ASEAN Political and Security Community (APSC), seluruh negara ASEAN telah sepakat untuk membentuk suatu pakta pertahanan bersama. Dalam hal ini, isu konflik antar negara anggota ASEAN harusnya sudah hilang dan pakta pertahanan di luar APSC bagi negara-negara anggota ASEAN harusnya sudah ditinggalkan (termasuk tentunya FPDA). Namun FPDA justru semakin kuat hingga saat ini. Kalau FPDA memang bukan ditujukan untuk mengimbangi Indonesia (sebagai salah satu ancaman), sudah seharusnya FPDA juga harus dapat menerima Indonesia sebagai negara anggotanya. Namun hal tersebut sepertinya tidak mungkin terjadi. Brunei Darussalam yang juga negara persemakmuran Inggris pun belum dapat diterima dalam keanggotaan FPDA.
of Malaysia and Singapore, that in the event of any form of armed attack externally organized or supported, or the threat of such attack against Malaysia or Singapore , their governments would immediately consult together for the purpose of deciding what measures should be taken or separately in relation to such an attack or threat”.
Persoalan yang Dihadapi Indonesia Menghadapi perilaku agresif Malaysia di perairan sengketa Ambalat, Indonesia selalu mengedepankan jalur diplomasi damai (softpower), demi memelihara perdamaian di kawasan.22 Sementara kekuatan angkatan laut tetap melakukan tugas pokoknya mengamankan wilayah sengketa dari pelanggaran kapal asing. Tanpa didukung kekuatan militer yang kuat (hardpower), upaya diplomasi tidak akan efektif. Hal ini karena postur militer Indonesia saat ini (dan 20 tahun ke depan) yang kurang memiliki daya tangkal terhadap Malaysia dan kekuatan FPDA, kurang mampu menyumbangkan ‘tekanan’ untuk mendukung diplomasi atas konflik di Ambalat. Ketidakmampuan Indonesia menang perang dengan Malaysia di front Ambalat bukan dikarenakan kekuatan militer Indonesia lebih lemah dari Malaysia. Melainkan karena superioritas kekuatan relatif Malaysia dalam aliansi FPDA terhadap kekuatan Indonesia. Terlebih lagi Inggris, Australia dan Selandia Baru merupakan sekutu Amerika Serikat. Jika FPDA terlibat konflik, bukan tidak mungkin akan melibatkan Amerika Serikat. Sebagian analis merasa Amerika Serikat tidak akan mau terlibat konflik dengan Indonesia, untuk menjaga kepentingannya terhadap Indonesia. Namun yang perlu dipahami adalah bisa saja terjadi mispersepsi yang dapat menyulut konflik antara Indonesia dan Amerika Serikat. Munculnya kebijakan Poros Maritim Dunia di tahun 2014, dapat dianggap AS sebagai bentuk kebijakan Indonesia yang mengakomodir kebijakan Jalan Sutra Maritim Abad ke-21 Tiongkok. Persepsi demikian dapat membuat AS memandang Indonesia sebagai ancaman atau bagian dari ancaman atas kepentingan nasionalnya. Terkait dengan geostrategi di Blok Laut Ambalat, media geografisnya adalah laut. Tidak ada pulau yang diperebutkan di BLA, sehingga tidak mungkin diterapkan perang berlarut (war of attrition) di laut. Padahal perang berlarut adalah kunci kemenangan Vietnam Utara dalam melawan AS dalam Perang Vietnam. Tidak ada “Sengketa Ambalat, SBY Pilih Upaya Diplomasi”, Majalah Online Tempo.com, 1 Juni 2009, http://www.tempo.co/read/ news/2009/06/01/063179075/Sengketa-Ambalat-SBY-PilihUpaya-Diplomasi, diakses pada tanggal 29 April 2015. 22
76 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 71–86
pihak manapun yang tertarik untuk berperang dalam kondisi perang berlarut yang memakan korban dan waktu yang lama. Jika terjadi perang di front Ambalat, yang terjadi adalah perang yang hanya melibatkan (dan mengandalkan) alutsista matra udara dan laut. Padahal alutsista matra udara dan laut Indonesia secara relatif inferior jika dibandingkan dengan alutsista gabungan kekuatan FPDA dan Amerika Serikat (bahkan dengan kekuatan militer Singapura sekalipun). Berikut ini perbandingan jumlah pesawat tempur, pesawat airborne early warning and control (AEW&C), kapal perang sekelas fregat, serta kapal selam antara Indonesia dan 5 (negara) anggota FPDA ditambah Amerika Serikat (AS) :
Masalah nyata atas ketidakseimbangan kekuatan di atas perlu disikapi oleh pemerintah Indonesia secara bijak. Perlu adanya masukan berupa perspektif teoritis versi akademisi untuk dapat dibandingkan dengan kebijakan yang telah diambil pemerintah (yang dilandasi perspektif praktis). Berikut ini akan disajikan kajian dari kedua perspektif dalam menyikapi sengketa Ambalat.
Tabel 1. Perbandingan Kekuatan Tempur Udara dan Laut Indonesia, FPDA, dan AS Negara
Indonesia
Malaysia
Singapura
Australia
Inggris
Selandia Baru
Amerika Serikat
Alutsista
Jumlah
Pesawat Tempur
20+24
Pesawat AEW&C Kapal jenis Fregat Kapal Selam Pesawat Tempur Pesawat AEW&C Kapal jenis Fregat Kapal Selam Pesawat Tempur Pesawat AEW&C Kapal jenis Fregat Kapal Selam Pesawat Tempur Pesawat AEW&C Kapal jenis Fregat Kapal Selam Pesawat Tempur Pesawat AEW&C
11 2+3 26 10 2 84 4 6 5 95 6 12 6 230 6
Kapal jenis Fregat
13
Kapal Selam Pesawat Tempur Pesawat AEW&C Kapal jenis Fregat Kapal Selam
11 2 -
Pesawat Tempur
2365
Pesawat AEW&C
98
Kapal jenis Fregat
17
Kapal Selam
72
Keterangan Terdiri dari Su-27 SKM, Su-30MK2, F-16A/B/C/D (24 adalah pesawat F-16 52ID yang baru mendukung kekuatan TNI AU Belum memiliki (baru ada pesawat patroli maritim) Kelas Ahmad Yani (7) dan Diponegoro (4) Kelas Nanggala yang akan ditambah 3 kelas Chang Bogo Terdiri dari Su-30MKM dan F-18D Hornet Belum memiliki Kelas Lekiu (2), Kasturi (2), dan Kedah (6) Kelas Scorpene Terdiri dari F-15SG, F-16 C/D dan akan ditambah F-35A Gulfstream G550-AEW dengan sistem intai dari Israel Kelas Formidable Terdiri dari kelas Challenger (4) dan Archer (1) Terdiri dari F-18A/B/F dan akan ditambah F-35A Boeing B-737 Wedgetail Kelas Adelaide (4) dan Anzac (8) Kelas Collins Terdiri dari Typhoon, Tornado dan akan ditambah F-35C E-3D Sentry Kelas Norfolk; belum termasuk kapal induk, cruiser, dan 5 (lima) destroyer Terdiri dari kelas Vanguard (4), Trafalgar (5), Astute (1) Belum ada Belum ada Kelas Anzac Belum ada Terdiri dari F-22A, F-35A/B/C, F-15C/D/E, F-18C/D/E/F, F-16 C/D, belum termasuk B-52, B-2, UCAV, dan lain sebagainya Terdiri dari E-2C/D, E-3B/C Kelas Freedom, Independence, dan Oliver Hazard Perry; belum termasuk 11 kapal induk, 22 cruiser, 62 destroyer Terdiri dari kapal selam nuklir kelas Ohio (18), Los Angeles (42), Virginia (9) dan Seawolf (3); belum termasuk kapal selam diesel
Sumber : Diolah penulis dari informasi yang berasal dari The International Institute for Strategic Studies, The Military Balance 2013, (London: Routledge, 2013).
Nilai Strategis Aliansi Indonesia ... | Yanyan M. Yani dan Ian Montratama | 77
Perspektif Teoritis Konsep sengketa perbatasan dalam level teoritis adalah perebutan hak atas wilayah teritori yang saling tumpang tindih antara dua atau lebih negara. Sengketa ini umumnya ditampilkan di arena politik internasional. Sengketa muncul mana kala ada negara yang menghendaki perubahan wilayah dari yang ada dalam status quo.23 Gyo Koo berpendapat bahwa penyebab dari perubahan wilayah tersebut dapat disebabkan oleh munculnya kemerdekaan post-kolonial, harga minyak yang meroket, efek dari UNCLOS, perang dingin, pemilihan umum, dan aktivitas ultranasionalis.24 Sementara nilai ekonomis dari wilayah yang disengketakan serta bangkitnya semangat nasionalisme di daerah sengketa juga dapat meningkatkan eskalasi konflik. Respons terhadap sengketa tersebut pada akhirnya akan tergantung pada ketergantungan ekonomi dari pihak-pihak yang bersengketa, kondisi geopolitik (termasuk didalamnya adanya aliansi dan perimbangan kekuatan), dinamika kekuatan domestik, dan rejim hukum internasional (lihat diagram di bawah ini). Tabel 2. Diagram Inisiasi Sengketa
Sumber: Min Gyo Koo, Island Disputes and Maritime Regime Building in East Asia: Between a Rock and a Hard Place, (London: Springer, 2010), hlm. 22.
Setelah sengketa terinisiasi, maka jika pihak-pihak yang bersengketa sepakat untuk menyelesaikan sengketa dengan cara damai, maka sengketa akan masuk ke babak negosiasi. Namun jika satu pihak menekan pihak yang lain dengan keras dan pihak yang lain merespons dengan kekuatan militer, maka sengketa akan tereskalasi menjadi konflik bersenjata. Tekanan satu pihak ke pihak yang lain merupakan bagian dari negosiasi. Bahkan perang sekalipun menurut Clausewitz merupakan penggunaan kekuatan militer untuk mencapai tujuan politik.25 Sehingga daya tangkal yang dimiliki kekuatan militer suatu negara yang bersengketa, tentu memiliki pengaruh dalam proses dan negosiasi sengketa itu sendiri. Sengketa yang tidak dapat diselesaikan dengan cara damai, cenderung akan mengarah pada konflik bersenjata. Pada situasi konflik bersenjata tersebut, maka yang menentukan adalah kekuatan militer masing-masing negara sengketa dan kekuatan militer eksternal dari negara yang beraliansi dengan negara yang bersengketa. Masalahnya, kekuatan militer negaranegara yang bersengketa selalu berada dalam ketidakseimbangan. Terlebih lagi jika ditambahkan faktor kekuatan eksternal dari aliansi negara yang bersengketa. Stephen Walt26 dengan teori Balance of Threat (BOT)-nya berpendapat bahwa ketika terjadi ketidakseimbangan ancaman/imbalanced threat (dari negara atau koalisi negara lain), maka suatu negara akan membangun aliansi atau meningkatkan kemampuan internal untuk mengurangi kerawanannya (vulnerability). Gabungan kekuatan eksternal dalam aliansi akan mengatasi kelemahan negara tersebut dalam menghadapi ancaman dari negara atau koalisi negara lain. Dalam konteks aliansi, Benson, Bentley dan Ray dari Universitas Vanderbilt27 berpendapat ada dua jenis aliansi, yaitu: conditional deterrent alliance dan unconditional deterrent alliance. Pada conditional alliance, dukungan negara anggota aliansi terhadap negara anggota lain Carl von Clausewitz, On War, (London: Wordsworth, 1997), hlm. 13, 263-265. 25
Min Gyo Koo, Island Disputes and Maritime Regime Building in East Asia: Between a Rock and a Hard Place, (London: Springer, 2010), hlm. 21. 23
24
Ibid., hlm. 21.
Stephen Walt, The Origin of Alliances, (Ithaca: Cornell University Press, 1987), hlm. 5. 26
27
B.V. Benson, P.R. Bentley, J.L. Ray, op.cit., hlm. 47-58.
78 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 71–86
tidaklah mutlak. Ada alasan bagi anggota aliansi untuk menolak membantu negara anggota lain yang sedang menghadapi ancaman eksternal. Sedang pada unconditional deterrent alliance, negara anggota akan selalu mendapat dukungan militer dari negara anggota aliansi lainnya saat terlibat konflik dengan negara lain (tidak peduli penyebab konflik tersebut adalah sesuatu yang bersifat unjust atau secara moral salah). Sementara Snyder28 berpendapat bahwa ikatan aliansi yang bersifat unconditional dapat membuat hambatan atas peningkatan ekskalasi konflik semakin rendah. Hal ini dikarenakan ancaman dari negara lain harus dianggap sebagai ancaman bagi seluruh negara anggota aliansi (yang harus dihadapi bersama). Karena jika tidak segera dilakukan tindakan, kredibilitas aliansi sebagai psychological deterrent (kepada potensi lawan) menjadi tidak efektif. Zagare dan Kilgour29 (yang juga didukung pendapat Jervis)30 berpendapat bahwa strategi deteren yang efektif adalah yang mampu menunjukkan kekuatan (capability) dan kemauan (willlingness)-nya untuk berperang. Sedangkan menurut Montratama,31 jika musuh mempersepsikan kekuatan suatu negara lemah, walaupun kekuatan negara itu kuat, maka musuh tidak segan untuk berkonflik. Demikian juga jika musuh mempersepsikan kemauan suatu negara untuk berperang lemah, walaupun kekuatan negara itu kuat, maka musuh juga tidak segan untuk berkonflik. Sehingga strategi harus dibangun dengan menyiapkan kekuatan yang decisive (menentukan), disertai dengan penyiapan kemampuan menggunakan kekuatan tersebut, penggelaran kekuatan (military forces deployment) dan komunikasi yang efektif pada potensi lawan, bahwa negara tersebut memiliki kemampuan dan kemauan untuk menggunakan kekuatannya jika diperlukan. Glenn H. Snyder, Alliance Politics, (Ithaca: Cornell University Press, 1997), hlm. 61 28
F.C. Zagare & D.M. Kilgour, Perfect Deterrence, (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), hlm. 289. 29
Robert Jervis, Perception and Misperception in International Politics, (Princeton: Princeton University Press, 1976), hlm. 90-91. 30
Ian Montratama, Analisis “Deterrence Perception” atas Kemampuan Alat Utama Sistem Senjata Malaysia Dihadapkan dengan Indonesia Dalam Konteks Pengendalian Blok Laut Ambalat (2010-2014), Tesis, (Jakarta: Unhan, 2014), hlm. 19. 31
Dari pendapat akademisi realis di atas dapat disimpulkan bahwa kekuatan aliansi akan membuat suatu negara memiliki kekuatan relatif yang besar. Kekuatan relatif itu dapat diproyeksikan untuk mengamankan kepentingan nasionalnya, walaupun dalam wujud perilaku yang agresif. Sehingga kunci untuk melemahkan aliansi berada pada perimbangan kekuatan (balancing). Namun bagi negara yang kekuatan internalnya inferior, perimbangan kekuatan harus dibangun dari kekuatan eksternal. Penambahan kekuatan dari luar inilah yang merupakan esensi dari aliansi. Sementara Walt 32 berpendapat bahwa aliansi dapat melemah, yang disebabkan oleh tiga alasan, yaitu: (1) perubahan persepsi atas ancaman. Aliansi dibangun untuk merespons suatu ancaman yang dipersepsikan bersama oleh sekelompok negara dalam aliansi. Manakala persepsi (dari satu atau lebih negara anggota aliansi) atas ancaman tersebut berubah, maka keberadaan aliansi menjadi tidak relevan lagi. Tidak ada lagi musuh yang dijadikan alasan pembentukan aliansi (setidaknya bagi satu atau lebih negara anggota aliansi). Sehingga aliansi dapat saja bubar sama sekali atau terbentuk aliansi baru yang terdiri dari negara-negara yang masih menganggap adanya musuh bersama; (2) menurunnya kredibilitas aliansi. Aliansi juga dibangun untuk menjadi psychological deterrent bagi potensi musuh. Namun jika aliansi sama sekali tidak memberi ancaman signifikan bagi potensi musuh, maka eksistensi aliansi tersebut juga menjadi tidak relevan lagi. Atau jika satu atau lebih negara anggota terlibat konflik dengan musuh bersama, namun negara-negara anggota aliansi lainnya memilih untuk tidak terlibat dalam konflik tersebut, maka kredibilitas aliansi akan runtuh; (3) perubahan politik domestik negara anggota aliansi. Perilaku suatu negara juga sangat dipengaruhi oleh elit birokrasi di negara tersebut. Manakala terjadi perubahan rezim kekuasaan politik di satu negara anggota aliansi dan rezim yang baru memiliki persepsi ancaman yang sama sekali berbeda atas negara lain (yang selama ini dianggap sebagai negara potensi lawan), maka eksistensi aliansi juga menjadi tidak relevan S.M. Walt, “Why Alliance Endure or Collapse”, Survival, Vol. 39. No. 1, Spring 1997, hlm. 156-179. 32
Nilai Strategis Aliansi Indonesia ... | Yanyan M. Yani dan Ian Montratama | 79
lagi. Rezim baru tersebut dapat saja memutuskan untuk menarik keanggotaan negaranya dari aliansi tersebut.
Perspektif Praktis Dalam perspektif praktis, sengketa Ambalat antara Indonesia dengan Malaysia merupakan sengketa yang terutama disebabkan oleh faktor sumber daya alam, terutama minyak bumi dan gas alam yang terkandung di bawah dasar laut perairan Ambalat. Kedua pemerintahan telah menginisiasi babak negosiasi, namun sejak tahun 2005, aparat Malaysia telah mulai melakukan sejumlah tindakan pelanggaran batas secara provokatif. Perilaku provokatif Malaysia ini dapat merupakan suatu tanda bahwa Malaysia memiliki persepsi bahwa akumulasi kekuatan internal dan eksternal (yang didapat dari aliansi FPDA) telah membuat situasi ketidakseimbangan ancaman (balance of threat) antara kedua kekuatan. Indonesia berada pada posisi yang inferior yang kekuatan militernya kurang memiliki daya tangkal. Situasi ketidakseimbangan ancaman ini yang harus ditanggapi dari level praktis. Pemerintah Indonesia harus mengimbangi hal tersebut dengan cara meningkatkan kekuatan internal dan menambah kekuatan dari luar, dalam bentuk aliansi. Namun aliansi dalam tataran kebijakan formal di Indonesia sepertinya dianggap sesuatu yang tabu. Pemerintah Indonesia sangat menjunjung politik bebas aktif. Drs. Mohammad Hatta 33 dalam pidatonya yang berjudul “Mendayung di Antara Dua Karang” pada tahun 1948 di muka sidang Badan Pekerdja Komite Nasional Pusat (BPKNP) mengamanatkan: “Pemerintah berpendapat bahwa pendirian jang harus kita ambil ialah supaja kita djangan mendjadi objek dalam pertarungan politik internasional, melainkan kita harus tetap mendjadi subjek jang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperdjoangkan tudjuan kita sendiri, jaitu Indonesia Merdeka seluruhnja.” Pidato ini Mohammad Hatta, Mendajung antara Dua Karang, naskah pidato Mohammad Hatta di depan Sidang BPKNP pada tanggal 2 September 1948 di Yogyakarta. Naskah pidato dapat dilihat di https://serbasejarah.files.wordpress.com/2012/05/mendajungantara-dua-karang.pdf, diakses pada tanggal 23 Desember 2014. 33
yang mempengaruhi bentuk politik luar negeri Indonesia yang bersifat bebas aktif. Sejak zaman Orde Lama, politik bebas aktif terus dipertahankan. Politik bebas aktif diartikan sebagai bebas dari aliansi (tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sebagaimana dicerminkan dalam Pancasila).34 Namun sejak era Sukarno hingga sekarang politik bebas aktif Indonesia tidak dijalankan dengan konsisten. Di era Sukarno, Indonesia pernah terlibat dalam poros Jakarta-Peking-Pyongyang-Moskow. Indonesia menerima banyak bantuan dan tawaran persahabatan dari Tiongkok, Korea Utara dan Rusia.35 Di era Reformasi, tepatnya pada bulan November 2010, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Amerika Serikat meratifikasi Comprehensive Partnership Arrangement (CPA). 36 Khusus untuk bidang pertahanan, kedua negara telah meratifikasi Framework Arrangement on Cooperative Activities in the Field of Defense atau Defense Framework Arrangement (DFA) pada bulan Juni 201037 antara Menteri Pertahanan Republik Indonesia (Menhan RI) dan Menteri Pertahanan Amerika Serikat (Menhan AS). Keinginan AS untuk bermitra dengan Indonesia tidak bisa lepas dari kebijakan pemerintahan Obama sejak tahun 2011 untuk lebih memberi perhatian kepada Asia-Pasifik yang dikenal dengan nama kebijakan Pivot to the Pacific atau Rebalancing toward Asia.38 Kebijakan ini dinilai sebagai respons atas kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan besar di Asia Pasifik. Wujud dari kebijakan ini adalah memprioritaskan kawasan Asia Pasifik dalam Mochtar Kusumaatmadja, Politik Luar Negeri Indonesia dan Pelaksanaannya Dewasa Ini, (Bandung : Penerbit Alumni, 1983), hlm. 7 34
Ramadhian Fadillah. Mengenang Poros Jakarta-PekingMoscow yang buat gemetar AS & Barat yang diterbitkan di harian online Merdeka.com, http://www.merdeka.com/ peristiwa/mengenang-poros-jakarta-peking-moscow-yangbuat-gemetar-as-barat.html, 24 April 2015, diakses pada tanggal 25 September 2015. 35
Hiebert M et al, A US-Indonesia Partnership for 2020, (Lanham: Rowman & Littlefield), hlm. 8. 36
37
Ibid.
M.E. Manyin et al. 2012, Pivot to the Pacific? The Obama Administration’s “Rebalancing” Toward Asia, (Washington D.C.: Congressional Research Sevice, 28 Maret 2012), hlm. 2. 38
80 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 71–86
perencanaan militer AS, kebijakan luar negeri, dan kebijakan ekonomi. Lima tahun sebelumnya, Pemerintah Indonesia juga telah melakukan alignment dengan Pemerintah Tiongkok melalui kerangka Strategic Comprehensive Partnership (SCP).39 Pernyataan Bersama ditandatangani kedua kepala negara pada tanggal 25 April 2005 dan Rencana Aksi tahun 2010-2015 ditandatangani pada tanggal 22 Januari 2010. Kemitraan ini meliputi bidang: (1) politik, keamanan dan pertahanan; (2) kerja sama ekonomi dan pembangunan; (3) maritim, penerbangan, ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) kerja sama sosial dan budaya; (5) kerja sama regional dan internasional. Khusus untuk masalah pertahanan, kedua kepala negara (Presiden Yudhoyono dan Presiden Xi Jinping) sepakat untuk melakukan kerja sama pertahanan bilateral dan meningkatkan kepercayaan kedua belah pihak melalui konsultasi pertahanan dan keamanan dan meningkatkan kerja sama pada bidang latihan militer bersama, keamanan maritim, industri pertahanan, serta keamanan non-tradisional. Dengan melakukan alignment (dalam wujud kemitraan strategis) dengan kekuatan besar dunia (Amerika Serikat dan Tiongkok), praktis Indonesia bukan lagi negara non-aligned. Namun yang sangat disayangkan, kemitraan strategis Indonesia dan Amerika Serikat sejak tahun 2010 dan dengan Tiongkok sejak tahun 2005 seakan tidak memiliki nilai berarti jika dikaitkan dengan sengketa Ambalat dengan Malaysia. Pelanggaran wilayah terus terjadi dari 2002 hingga kini. Implementasi peta jalan (road map) dari kedua kemitraan tersebut dapat saja tidak sesuai dari yang telah disepakati kedua belah pihak. Masih terdapat tantangan berat dari elemen politik domestik sendiri. Masih banyak pihak di Indonesia yang berpendapat bahwa politik bebas aktif harus diartikan bebas dari segala bentuk alignment (non alignment policy) tanpa reserve. Alignment dengan dua negara besar dunia tanpa memberi daya tangkal bagi Indonesia
tersebut merupakan suatu bentuk kesia-siaan. Dalam hal ini, kemitraan strategis antara Indonesia dan Amerika Serikat serta Tiongkok, belum mampu memiliki dampak berarti untuk memproyeksikan kekuatan eksternal Indonesia atas Malaysia dengan FPDA-nya. Kedekatan hubungan bilateral RI-Tiongkok dan RI-AS tidak mengalami kemajuan yang signifikan setelah diratifikasinya kedua kemitraan strategis tersebut. Bahkan program peningkatan kemampuan instansi pertahanan yang ditawarkan kepada Indonesia (dan juga kepada negara mitra strategis AS lainnya) dipandang sebagai bentuk intervensi AS terhadap pemerintahan Indonesia. Hal tersebut salah satunya tercermin dari tekanan sejumlah pihak yang mengkritisi usulan program Minimum Essential Forces (MEF) versi Defense Institution Reform Initiative (instansi pemerintah AS) untuk TNI. 40 Di satu sisi, Pemerintah AS ingin menunjukkan keseriusannya untuk membantu negara mitranya dalam membangun sistem pertahanan yang lebih baik. Namun di sisi yang lain, pemerintah AS dianggap terlampau mencampuri urusan dalam negeri negara mitranya. Namun terlepas dari mispersepsi tersebut, perlu adanya reintepretasi dari alignment yang dibangun Indonesia dengan Amerika Serikat dan Tiongkok, untuk dimanfaatkan bagi kepentingan nasional Indonesia, terutama dalam konteks mengamankan status quo di perairan Ambalat. Dalam politik internasional, terdapat sejumlah fenomena di luar kewajaran. Misalnya, AS yang berkompetisi dengan Tiongkok secara politik (bahkan menerapkan strategi containment) namun dalam bidang ekonomi merupakan mitra perdagangan utama Tingkok. Sementara Tiongkok pun menjadi negara pembeli surat hutang pemerintah AS terbesar. Sehingga dalam bidang politik berkompetisi, namun dalam bidang ekonomi saling bergantung. Di bidang politik dan keamanan, tidak ada alternatif lain untuk kemitraan strategis bagi Indonesia sebaik dengan AS. Tiongkok yang Situs resmi Kemenhan RI (Defense Media Center), Action Plan 2015: Pedoman Kerja sama Peningkatan Sistem dan Manajemen Pertahanan, 7 Januari 2015, http://dmc.kemhan. go.id/post-action-plan-2015-pedoman-kerja sama-peningkatansistem-dan-manajemen-pertahanan.html, diakses pada tanggal 1 Mei 2015. 40
K e m e n l u R I , D i re c t i o n O f I n d o n e s i a - C h i n a Comprehensive Strategic Partnership , 2 Oktober 2013, http://kemlu.go.id/Documents/RI-RRT/Joint%20Statement%20 Comprehensive%20Strategic%20Partnership.pdf, diakses pada tanggal 10 Oktober 2015. 39
Nilai Strategis Aliansi Indonesia ... | Yanyan M. Yani dan Ian Montratama | 81
ekonomi dan kekuatan militernya tengah bangkit, tetap saja kekuatannya masih jauh di bawah kekuatan hegemoni AS. Selain itu, Tiongkok tengah terkepung secara politik oleh kekuatan AS dan pendukungnya, yaitu: Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Filipina, Australia, Selandia Baru, Singapura, Thailand, dan (mungkin) Vietnam. Jika Indonesia memilih bermitra secara politik dan keamanan dengan Tiongkok, maka Indonesia harus berseberangan dengan sembilan negara tersebut di atas (plus dengan AS). Pembentukan kemitraan strategis dengan Amerika Serikat membutuhkan komunikasi strategis yang efektif terhadap elemen masyarakat Indonesia sendiri, terutama kelompok ultranasionalis dan kelompok religius yang resisten terhadap hubungan pertahanan dengan Amerika Serikat. Kemitraan strategis Indonesia dan AS cenderung telah disikapi sebagian masyarakat secara sentimentil. Isu embargo persenjataan dari tahun 1999 hingga 2005 serta dukungan AS terhadap aksi zionis Israel di bumi Palestina telah menjadi stigma yang menghambat kemajuan hubungan bilateral RI-AS. Rasionalitas dan sikap pragmatis yang diserukan Bung Hatta masih belum dapat dipahami sebagian masyarakat. Jika dipelajari pidato Drs. Mohammad Hatta41 pada tahun 1948 di muka sidang BPKNP, beliau mengamanatkan Indonesia untuk menjadi subjek dan bukan objek dari persaingan politik dunia. Perilaku menjadi subjek pun harus realistik dan bukan sentimentil. Artinya alignment tidak diharamkan. Seperti yang beliau sebutkan dalam pidatonya, Soviet Rusia pun pada tahun 1939 pernah melakukan alignment dengan Nazi Jerman (yang merupakan potensi musuh) karena hendak melakukan konsolidasi kekuatan pertahanannya dahulu. Dengan alignment tersebut, Soviet Rusia dapat terhindar untuk sementara waktu (selama 18 bulan) dari konflik dengan Nazi Jerman. Yang pada akhirnya di Perang Dunia ke-2, kedua kekuatan tersebut akhirnya bertempur juga,
Mohammad Hatta, Mendajung antara Dua Karang, naskah pidato Mohammad Hatta di depan Sidang BPKNP pada tanggal 2 September 1948 di Yogyakarta. Naskah pidato dapat dilihat di https://serbasejarah.files.wordpress.com/2012/05/mendajungantara-dua-karang.pdf, diakses pada tanggal 23 Desember 2014. 41
namun dalam kondisi dimana kekuatan Soviet Rusia sudah semakin kuat.42 Dengan modal kemitraan strategis dengan Amerika Serikat dan Tiongkok, Indonesia seharusnya mampu memanfaatkannya sedemikian rupa untuk keamanan dan kesejahteraan bangsanya. Dalam situasi yang cenderung masih unipolar saat ini, Indonesia akan mendapat manfaat politik jika dapat memiliki kemitraan strategis dengan hegemon di bidang politik dan militer. Hubungan itu dibangun sedemikian rupa sehingga Indonesia masih memiliki kebebasan dalam menjalin hubungan baik dengan negara besar lain yang bersaing pengaruh dengan Amerika Serikat seperti Tiongkok dan Rusia. Hubungan yang dimaksud adalah seperti apa yang diperankan oleh negara Thailand dan Pakistan. Sebagai negara sekutu AS, Thailand dan Pakistan ternyata telah mampu menjalin kerja sama industri pertahanan yang sangat erat dengan industri pertahanan Tiongkok. Pakistan mengembangkan pesawat tempur generasi 4 bersama Tiongkok (yang dinamakan JF-17 Thunder atau FC-1 Xiaolong). Sementara Ibid., petikan pidato terkait: “Ini tidak berarti bahwa kita tidak akan mengambil keuntungan daripada pergolakan politik internasional. Memang tiap-tiap politik untuk mentjapai kedudukan negara jang kuat ialah mempergunakan pertentangan internasional jang ada itu untuk mentjapai tudjuan nasional sendiri. Belanda berbuat begitu, ja segala bangsa sebenarnja berbuat sematjam itu, apa sebab kita tidak akan melakukannja? Tiap-tiap orang diantara kita tentu ada mempunjai simpati terhadap golongan ini atau golongan itu, akan tetapi perdjoangan bangsa tidak bisa dipetjah dengan menuruti simpati sadja, tetapi hendaknja didasarkan pada realitet, kepada kepentingan negara kita setiap waktu. Sovjet Russia sendiri memberi tjontoh kepada kita, bahwa politik internasional tidak bisa dihadapi dengan sentimen belaka, tetapi dengan realitet dan dengan logika jang rasionil. Dalam tahun 1935, tatkala Sovjet Russia menghadapi arus fascis, ia merobah haluannja jang radikal jang menentang negara-negara demokrasi Barat, dan mengandjurkan kepada kaum komunis di luar Russia untuk memberhentikan serangannja kepada pemerintahpemerintah kapitalis dan beserta dengan mereka mengadakan suatu volksfront-politik untuk menentang fascis. Malahan kepada bangsa-bangsa jang terdjajah di waktu itu diandjurkan supaja mengurangkan perdjoangannja jang tadjam menentang imperialisme kolonial, melepaskan sementara waktu tjita-tjita kemerdekaan, dan membantu memperkuat voksfront jang diandjurkan tadi. Dalam tahun 1939 Sovjet Russia mengadakan perdjandjian non-agresi dengan Nazi-Djerman, dan dengan perdjandjian itu Russia selama 18 bulan terpelihara daripada serangan dari Hitler; sementara itu ia dapat memperkuat alat pertahanannja. Timbangan jang rasionil memaksa Sovjet Russia mengadakan perdjandjian dengan musuhnja. Dan apabila politik hanja didasarkan kepada sentimen, jang sedemikian itu tentu tidak mungkin terdjadi.” 42
82 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 71–86
Thailand telah mampu memproduksi MultiLaunchers Rocket Systems (MLRS) lisensi Tiongkok (dengan nama DTI-1 (lisensi teknologi WS-1B) dan DTI-1G (dengan teknologi WS-32) yang terus dikembangkan lebih lanjut). Fenomena di atas menunjukkan bahwa bagi negara aliansi, masih terdapat peluang kebebasan berhubungan diplomatik dengan rival mitra aliansinya. Untuk dapat seperti itu tentunya dituntut kemampuan dan ketrampilan diplomasi yang sangat tinggi.
Rekomendasi untuk Pemerintah Kemitraan strategis antara Indonesia dan Amerika Serikat merupakan suatu pengimbang aliansi FPDA yang efektif. Hal ini dikarenakan hampir semua negara aliansi FPDA merupakan mitra dekat Amerika Serikat. Inggris, Australia, dan Selandia Baru adalah aliansi AS. Singapura adalah mitra strategis AS. Malaysia pun juga menjadi mitra dekat AS. Jika Indonesia ingin memiliki kekuatan relatif yang lebih baik dari Malaysia, maka Indonesia harus membangun hubungan yang lebih erat dengan AS, dibandingkan hubungan AS dengan Malaysia. Kemitraan strategis yang lebih erat perlu dibangun menyerupai kuasi-aliansi (dimana serangan atas Indonesia merupakan serangan bagi Amerika Serikat, demikian pula sebaliknya). Kuasi aliansi adalah suatu penamaan atas kemitraan strategis yang sangat erat yang menyerupai aliansi.43 Hal ini ditunjukkan oleh kemitraan Singapura dengan Amerika Serikat. Kemitraan kedua negara dinamakan dengan Strategic Framework Agreement (SFA) dan Singapura secara formal bukanlah sekutu Amerika Serikat.44 Namun perlakuan Amerika Serikat terhadap Singapura menyerupai perlakuan ke sekutunya (dan bahkan lebih baik lagi). Terbukti dengan disetujuinya Singapura membeli pesawat tempur generasi ke-5 (F-35)45 dan penempatan 4 (empat) John Garnaut, “Australia-Japan military ties are a ‘quasialliance’, say officials”, The Sydney Morning Herald, 26 Oktober 2014, http://www.smh.com.au/national/australiajapanmilitary-ties-are-a-quasialliance-say-officials-2014102611c4bi.html, diakses pada tanggal 29 Agustus 2015. 43
Kemenlu AS, Joint Statement on the Third United StatesSingapore Strategic Partnership Dialogue, 13 Februari 2015, http://www.state.gov/r/pa/prs/ps/2015/02/237495.htm, diakses pada tanggal 29 Agustus 2015. 44
45
Carl A. Thayer, “Why Singapore Wants the F-35”, The
Litorral Combat Ship (LCS) Angkatan Laut AS di Singapura pada tahun 201846 untuk tujuan strategic forward defense kekuatan militer AS di kawasan Asia Tenggara. Defense Framework Arrangement (DFA) RI-AS merupakan pintu gerbang ke arah terwujudnya alignment dan/atau kuasi-aliansi atau aliansi antara Indonesia dan Amerika Serikat yang lebih erat. Amerika Serikat telah memiliki kemitraan strategis dengan 63 negara di luar Indonesia.47 Dalam kemitraan strategis, AS tidak hanya memberikan dukungan politis, namun juga berupaya untuk membantu meningkatkan kapasitas pertahanan negara mitranya. Bentuk bantuan itu dapat berupa bantuan program secara hibah, bantuan pelatihan, dan latihan bersama. Selain itu, AS juga memberi akses lebih luas kepada negara mitra strategisnya untuk mengimpor sarana pertahanan dari AS melalui mekanisme Foreign Military Sales (FMS) dan Foreign Military Financing (FMF). Instansi yang mengelola kemitraan ini adalah Defense Security Cooperation Agency (DCSA). Instansi ini juga membantu memberikan kajian untuk membangun institusi pertahanan di negara mitra yang dikenal dengan program Defense Institution Building (DIB).48 Salah satu sub instansi dibawah DCSA yang melaksanakan program DIB adalah Defense Institution Reform Initiative (DIRI).49 DIRI melakukan kajian untuk memajukan sistem birokrasi dan perencanaan strategis negara mitra. Kajian ini bersifat tidak diminta (unsolicited) dan tanpa paksaan untuk dilaksanakan. Untuk Indonesia, DIRI telah berkunjung secara formal Diplomat, 24 Maret 2014, http://thediplomat.com/2014/03/ why-singapore-wants-the-f-35/, diakses pada tanggal 29 Agustus 2015. Franz-Stefan Gady, “4 US Littoral Combat Ships to Operate out of Singapore by 2018”, The Diplomat, 19 Februari 2015, http://thediplomat.com/2015/02/4-us-littoral-combat-shipsto-operate-out-of-singapore-by-2018/, diakses pada tanggal 29 Agustus 2015. 46
Daniel S. Hamilton, “The American Way of Partnership”, ESPO Working Paper, No.6, Juni 2014, hlm. 22-23. (lihat lampiran). 47
DSCA, Defense Institution Building, http://dsca.mil/ programs/institutional-programs, diakses pada tanggal 1 Mei 2015. 48
Inspector General of U.S. Department of Defense, “Defense Institution Reform Initiative Program: Elements Need to Be Defined”, Report No. DODIG-2013-019, 9 November 2012. 49
Nilai Strategis Aliansi Indonesia ... | Yanyan M. Yani dan Ian Montratama | 83
sebanyak delapan kali ke Indonesia sejak tahun 2010.50 Salah satu kajian yang dihasilkan adalah tentang usulan program Minimum Essential Forces (MEF) versi DIRI untuk TNI.51 Kegiatan tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah AS untuk membantu negara mitranya dalam membangun sistem pertahanan yang lebih baik.
maka diharapkan daya tangkal Indonesia menjadi semakin besar dan status quo di Blok Laut Ambalat diharapkan dapat dipertahankan oleh Indonesia.
Keinginan AS untuk bermitra dengan Indonesia tidak bisa lepas dari kebijakan pemerintahan AS sejak tahun 2011 untuk lebih memberi perhatian kepada Asia-Pasifik yang dikenal dengan nama kebijakan Pivot to the Pacific atau Rebalancing toward Asia.52 Wujud dari kebijakan ini adalah memprioritaskan kawasan Asia Pasifik dalam perencanaan militer AS, kebijakan luar negeri, dan kebijakan ekonomi. 53 Rebalance dimaksudkan dengan penarikan pasukan AS di Irak dan juga di Afghanistan, serta menambah perhatian ke Asia Pasifik untuk mengantisipasi tantangan dan peluang di masa depan. Pada bulan November 2011, Presiden Obama menyampaikan pidato di depan parlemen Australia bahwa Amerika Serikat akan memainkan peran yang lebih besar dan untuk jangka panjang di Asia Pasifik.54 Tujuan utamanya adalah turut membentuk norma dan aturan di Asia Pasifik agar hukum dan norma internasional ditegakkan, freedom of navigation tidak terganggu, kekuatan-kekuatan besar membangun kepercayaan dengan negara-negara tetangganya dan persengketaan diselesaikan secara damai tanpa menggunakan kekerasan.
untuk meningkatkan kekuatan relatif bagi Indonesia yang sekaligus akan menurunkan k ek u at an al i an s i F P DA. Hal i n i aka n menyeimbangkan ancaman yang semenjak tahun 1971 lebih menguntungkan pihak Malaysia. Pihak Malaysia pun sejak tahun 2005 hingga saat ini melakukan tindakan provokatif yang jika menggunakan pendapat Benson et.al 55 dikarenakan Malaysia merasa memiliki kekuatan yang lebih besar di dalam aliansi FPDA dibanding Indonesia. Jika kemitraan strategis RI dan AS dibangun mendekati aliansi (kuasi aliansi), maka diharapkan Malaysia akan merubah perilaku menjadi lebih bersahabat dengan Indonesia.
Jika pemerintahan Presiden Joko Widodo mampu memanfaatkan momentum di atas, maka bukanlah tidak mungkin jika Indonesia mampu membangun kemitraan strategis yang seerat hubungan bilateral AS dengan Singapura. Dengan kemitraan yang bersifat kuasi aliansi, 50
Kemenhan, 2015, op.cit.
51
Ibid.
52
M.E. Manyin et al, 2012, op.cit.
53
Ibid.
“Remarks By President Obama to the Australian Parliament”, https://m.whitehouse.gov/the-presss-office/2011/11/17/ remarks-president-obama-australian-parliament, diakses pada tanggal 1 Mei 2015; atau https://www.whitehouse.gov/thepress-office/2011/11/17/remarks-president-obama-australianparliament, 17 November 2011, diakses pada tanggal 22 November 2015. 54
Penutup Kemitraan strategis RI dan AS membuka jalan
Pidato Bung Hatta tahun 1948 56 yang berjudul “Mendayung di Antara Dua Karang” perlu dipahami lebih seksama. Pemahaman penulis, Bung Hatta justru menganjurkan kita untuk mempertimbangkan alignment jika diperlukan demi kepentingan negara. Jika belajar dari Thailand dan Pakistan, aliansi dengan AS tidak menutup kemungkinan untuk membangun kemitraan strategis dengan Tiongkok.57 Oleh karena itu, kemitraan strategis yang sudah ada dengan AS sudah seharusnya dioptimalkan untuk dapat meningkatkan daya tangkal Indonesia kepada negara potensi ancaman. Kemitraan 55
Benson, B.V., Bentley, P.R., Ray, J.L, 2013, op.cit. hlm. 1.
Moh. Hatta, Mendajung Antara Dua Karang. Pidato Keterangan Pemerintah di muka Sidang B.P.K.N.P Di Jogja, (Jakarta: Kementerian Penerangan Republik Indonesia, 1948), https://serbasejarah.files.wordpress.com/2012/05/mendajungantara-dua-karang.pdf, diakses pada tanggal 23 Desember 2014. 56
Zhou Fangye, “The Development of Sino-Thai Relations: Status, Impetus, and New Strategic Opportunities”, http:// www.nrct.go.th/th/Portals/0/data/%E0%B8%A0%E0%B8%9 5/2555/10/1stThai-Chinese_doc/Chinese-Presenters/Zhou%20 Fangye%20_English_.pdf, diakses pada tanggal 30 April 2015; yang juga diperkuat dengan artikel dari situs Kemenlu Tiongkok, 2013, “Press Statement for the First China-Thailand Strategic Dialogue”, 19 Agustus 2013, http://www.fmprc.gov. cn/mfa_eng/wjb_663304/zzjg_663340/yzs_663350/gjlb_6633 54/2787_663568/2789_663572/t1067514.shtml, diakses pada tanggal 22 September 2015. 57
84 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 71–86
dengan AS amatlah penting terutama untuk bidang politik dan keamanan. Namun demikian, kemitraan strategis di bidang ekonomi dengan Tiongkok pun tidak mustahil dibangun secara paralel asalkan tidak berbenturan dengan kepentingan AS. Kemitraan dengan Tiongkok amatlah diperlukan bagi Indonesia terutama dalam mendorong investasi Tiongkok dalam pembangunan prasarana transportasi laut dan prasarana transportasi darat (jalan tol dan jalur kereta api) di luar Jawa. Bukanlah suatu kebetulan jika konsep Jalur Sutra Maritim abad ke-21 memiliki kemiripan dengan Poros Maritim Dunia,58 dan Indonesia harus dapat memanfaatkan momentum intensi Tiongkok untuk mengembangkan prasarana transportasi laut di jalur sutra maritim yang melewati wilayah perairan Indonesia. Sementara kemitraan strategis dengan AS dalam Defense Framework Agreement (DFA)59 harus diupayakan untuk menyerupai kuasi-aliansi, seperti yang terjadi pada kemitraan strategis antara Singapura dan Amerika Serikat. Sudah selayaknya bagi Indonesia yang memiliki kekuatan nasional yang besar memiliki daya tawar yang lebih baik dibandingkan Singapura kepada AS. Perlu suatu kajian yang komprehensif untuk mencapai titik temu dalam mengelola kepentingan AS dan kekuatan besar di Asia Pasifik yang memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa Indonesia. Kepentingan AS dan negara besar tersebut umumnya adalah untuk mengamankan : (1) rute pelayaran; (2) akses ke pasar; (3) dan akses ke sumber daya di kawasan Asia-Pasifik, dan lokasi geografis Indonesia tepat berada di tengah-tengah AsiaPasifik yang harus dapat dimanfaatkan sebaikbaiknya demi kepentingan nasional Indonesia.
Clint Richards, “Indonesia’s South China Sea Options”, South China Sea Monitor Vol. III, 3Maret 2014, http://www. observerindia.com/cms/export/orfonline/modules/southchina/ attachments/marchissue_1393842580014.pdf, diakses pada tanggal 30 April 2015. 58
Murray Hiebert, A U.S.–Indonesia Partnership for 2020: Recommendations for Forging a 21st Century Relationship, (Washington D.C.: CSIS, 2013), http://csis.org/ files/publication/130917_Hiebert_USIndonesiaPartnership_ WEB.pdf, diakses pada tanggal 30 April 2015.
Daftar Pustaka Buku Clausewitz, Carl von. 1997. On War. London: Wordsworth Editions. Hiebert, Murray et al. 2013. A US – Indonesia Pertnership for 2020. Lanham: Rowman & Littlefield. Jervis, Robert. 1976. Perception and Misperception in International Politics. Princeton: Princeton University Press. Kusumaatmadja, Mochtar. 1983. Politik Luar Negeri Indonesia dan Pelaksanaannya Dewasa Ini, Bandung : Penerbit Alumni. Koo, Min Gyo. 2010. Island Disputes and Maritime Regime Building in East Asia: Between a Rock and a Hard Place. London: Springer. Manyin, M.E. et al. 2012. Pivot to the Pacific? The Obama Administration’s “Rebalancing” Toward Asia. Washington D.C.: Congressional Research Sevice. Snyder, Glenn H. 1997. Alliance Politics. Ithaca: Cornell University Press. Wagner, R. Harrison. 2010. War and the State: the Theory of International Politics. Ann Arbor: The University of Michigan Press. Walt, Stephen. 1987. The Origin of Alliances. Ithaca: Cornell University Press. Zagare, F.C. & D.M. Kilgour. 2004. Perfect Deterrence. Cambridge: Cambridge University Press.
Jurnal Benson, B.V., P.R. Bentley, J.L. Ray. 2013. “Ally Provocateur: Why Allies Do Not Always Behave”. Journal of Peace Research. Vol. 50. No.1. Hamilton, Daniel S. 2014.”The American Way of Partnership”. ESPO Working Paper. No.6. Richards, Clint. 2014. “Indonesia’s South China Sea Options.” South China Sea Monitor Vol. III. http://www.observerindia.com/cms/export/ orfonline/modules/southchina/attachments/ marchissue_1393842580014.pdf. Thayer, Carlyle A. 2007. “The Five Power Defence Arrangements: The Quiet Achiever”. Security Challenges 3(1). Walt, Stephen .M. 1997. “Why Alliance Endure or Collapse”. Survival 39(1).
59
Laporan dan Makalah Inspector General of U.S. Department of Defense. 2012. “Defense Institution Reform Initiative
Nilai Strategis Aliansi Indonesia ... | Yanyan M. Yani dan Ian Montratama | 85
Program: Elements Need to Be Defined”. Report No. DODIG-2013-019. 9 November.
Surat Kabar dan Website “Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008”. http://www. kemhan.go.id/kemhan/files/04f92fd80ee3d01c 8e5c5dc3f56b34e3.pdf. DSCA. 2015. Defense Institution Building. http://dsca. mil/programs/institutional-programs. Fadillah, Ramadhian. 2015. “Mengenang Poros Jakarta-Peking-Moscow yang Buat Gemetar AS & Barat”. Merdeka.com. 24 April. http:// www.merdeka.com/peristiwa/mengenangporos-jakarta-peking-moscow-yang-buatgemetar-as-barat.html. Fangye, Zhou. 2013. The Development of SinoThai Relations: Status, Impetus, and New Strategic Opportunities. http://www.nrct.go.th/ th/Portals/0/data/%E0%B8%A0%E0%B8% 95/2555/10/1stThai-Chinese_doc/ChinesePresenters/Zhou%20Fangye%20_English_. pdf. “Press Statement for the First China-Thailand Strategic Dialogue”. 19 Agustus 2013. http:// www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/wjb_663304/ zzjg_663340/yzs_663350/gjlb_663354/2787_ 663568/2789_663572/t1067514.shtml. Gady, Franz-Stefan. 2015. “4 US Littoral Combat Ships to Operate out of Singapore by 2018”. The Diplomat. 19 Februari. http://thediplomat. com/2015/02/4-us-littoral-combat-ships-tooperate-out-of-singapore-by-2018/. Garnaut, John. 2014. “Australia-Japan military ties are a ‘quasi-alliance’, say officials”. The Sydney Morning Herald. 26 Oktober. http://www.smh. com.au/national/australiajapan-military-tiesare-a-quasialliance-say-officials-2014102611c4bi.html. Haryono, I.D. 2007. “Perspektif Malaysia tentang Sengketa Ambalat”. https://indronet.files. wordpress.com/2007/09/ambalat.pdf. Hasjim Djalal. 2008. “Perundingan Blok Ambalat Akan Berjalan Alot.” Tabloid Diplomasi Edisi Desember 2008. http://www.tabloiddiplomasi. org/previous-isuue/43-desember-2008/249perundingan-blok-ambalat-akan-berjalan-alot-. html. Hiebert. Murray. September 2013. A U.S.–Indonesia Partnership for 2020: Recommendations for Forging a 21st Century Relationship. Washington D.C.: CSIS. http://csis.org/ files/publication/130917_Hiebert_ USIndonesiaPartnership_WEB.pdf.
Kemenlu AS. 2015. “Joint Statement on the Third United States-Singapore Strategic Partnership Dialogue.” 13 Februari. http://www.state.gov/r/ pa/prs/ps/2015/02/237495.htm. Kemenlu RI. 2013. “Direction Of Indonesia - China Comprehensive Strategic Partnership.” 2 Oktober. http://kemlu.go.id/Documents/ R I - R RT / J o i n t % 2 0 S t a t e m e n t % 2 0 Comprehensive%20Strategic%20Partnership. pdf. Kusumadewi, Anggi. 2015. “Sejarah Panjang Kemelut RI-Malaysia di Ambalat”. CNN Indonesia. 17 Juli. http://www.cnnindonesia. com/nasional/20150617140454-20-60584/ sejarah-panjang-kemelut-ri-malaysia-diambalat/. Hatta, Mohammad. 1948. Mendajung Antara Dua Karang. Pidato Keterangan Pemerintah di muka Sidang B.P.K.N.P Di Jogja . Jakarta: Kementerian Penerangan Republik Indonesia. https://serbasejarah.files.wordpress. com/2012/05/mendajung-antara-dua-karang. pdf. Montratama, Ian. 2014. Analisis “Deterrence Perception” atas Kemampuan Alat Utama Sistem Senjata Malaysia Dihadapkan dengan Indonesia Dalam Konteks Pengendalian Blok Laut Ambalat (2010-2014). Tesis. Jakarta: Unhan. “Sengketa Ambalat, SBY Pilih Upaya Diplomasi”. Tempo.com. 1Juni 2009. http://www.tempo.co/ read/news/2009/06/01/063179075/SengketaAmbalat-SBY-Pilih-Upaya-Diplomasi. “Remarks By President Obama to the Australian Parliament”. https://m.whitehouse.gov/thepresss-office/2011/11/17/remarks-presidentobama-australian-parliament; https://www. whitehouse.gov/the-press-office/2011/11/17/ remarks-president-obama-australianparliament. 17 November 2011. Situs resmi Kemenhan RI (Defense Media Center). 2015. “Action Plan 2015 Pedoman Kerja sama Peningkatan Sistem dan Manajemen Pertahanan”. 7 Januari. http://dmc.kemhan. go.id/post-action-plan-2015-pedoman-kerja sama-peningkatan-sistem-dan-manajemenpertahanan.html. Thayer, Carl. A. 2014. “Why Singapore Wants the F-35”. The Diplomat. 24 Maret. http:// thediplomat.com/2014/03/why-singaporewants-the-f-35/.
86 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 71–86
POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DAN ISU KEAMANAN NON-TRADISIONAL1 INDONESIAN FOREIGN POLICY AND NON-TRADITIONAL SECURITY ISSUES Athiqah Nur Alami Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 29 Juli 2015; direvisi: 11 September 2015; disetujui: 30 Oktober 2015 Abstract Non-traditional security issues have become Indonesian foreign policy agenda since the last two decades. It is influenced by the Cold War and the growing strength of non traditional security threats that are transnational and endanger the life of people. The non traditional security threats include climate change and environmental destruction, energy security, international migration, and international terrorism. As part of international community, Indonesia is also unavoidable from non-traditional security threats that require the handling of not only domestic policy but also foreign policy. To that end, this paper will examine the importance of non-traditional security issues in Indonesian foreign policy. Keywords: Indonesian foreign policy, non traditional security. Abstrak Isu keamanan non-tradisional telah menjadi agenda politik luar negeri Indonesia sejak dua dasawarsa terakhir. Hal tersebut dipengaruhi oleh berakhirnya Perang Dingin dan semakin menguatnya ancaman keamanan nontradisional yang sifatnya lintas negara yang membahayakan sendi-sendi kehidupan warga negaranya. Ancaman keamanan non-tradisional tersebut antara lain isu mengenai perubahan iklim dan kerusakan lingkungan hidup, keamanan energi, migrasi internasional, dan juga terorisme internasional.Sebagai bagian dari komunitas internasional, Indonesia juga tidak dapat terhindarkan dari ancaman keamanan non-tradisional yang memerlukan penanganan tidak hanya kebijakan domestik tapi juga kebijakan luar negeri. Untuk itu, tulisan ini akan mengkaji urgensi isu keamanan non-tradisional dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Kata kunci: politik luar negeri Indonesia, keamanan non-tradisional.
Pendahuluan Tulisan ini merupakan resume dari penelitian mengenai Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu Keamanan Non-tradisional. Penelitian ini merupakan assessment terhadap pola dan tren pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia dalam empat isu keamanan non-tradisional yaitu
lingkungan hidup, keamanan energi, migrasi internasional dan terorisme internasional. Kajian atas empat isu yang telah dilakukan pada penelitian tahun 2010-2013 tersebut berupaya menganalisis perkembangan dan pengaruh isu-isu keamanan non-tradisional yang strategis bagi politik luar negeri Indonesia.
Tim Peneliti terdiri dari Athiqah Nur Alami, S.IP, MA; Dr. Ganewati Wuryandari; Dr. Siswanto; RR. Emilia Yustiningrum, S.IP, MA; Rizka Fiani Prabaningtyas, S.IP, Mario Surya Ramadhan, S.Sos. 1
Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu Keamanan ... | Athiqah Nur Alami | 87
Dinamika hubungan antar negara telah mengalami perubahan cepat dan kompleks. Berakhirnya Perang Dingin, pesatnya kemajuan teknologi informasi dan globalisasi tidak saja telah mendorong perubahan tatanan internasional, melainkan juga melahirkan tantangan, agenda, aktor dan ancaman baru dalam hubungan internasional. Sekalipun ancaman keamanan tradisional yang berwujud perang masih membayangi stabilitas dan perdamaian dunia hingga saat ini, tetapi dalam beberapa dekade terakhir keamanan non-tradisional juga telah menjadi realitas ancaman yang semakin menguat.2 Ancaman keamanan non-tradisional akhir-akhir ini semakin mendapatkan perhatian serius dari negara-negara di dunia. Kondisi ini didorong oleh kekhawatiran mendalam akan dampak yang dapat ditimbulkan dari ancaman tersebut yang tidak mengenal batas kedaulatan wilayah negara. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional memiliki tanggung jawab moral untuk ikut andil di dalam upaya global mengatasi ancaman keamanan non-tradisional tersebut. Terlebih lagi, Indonesia sejatinya juga menghadapi sejumlah persoalan nyata ancaman keamanan ini, seperti permasalahan lingkungan hidup, keamanan energi, migrasi internasional, dan terorisme internasional. Hasil kajian menunjukkan bahwa isu-isu tersebut merupakan bagian dari kepentingan nasional Indonesia dan pemerintah Indonesia memiliki berbagai kebijakan, termasuk di level kebijakan luar negeri dan diplomasi. Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya, masih terdapat sejumlah kendala yang dihadapi, khususnya oleh pemerintah Indonesia. Untuk itu, terdapat sejumlah strategi diplomasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi persoalan ancaman keamanan non tradisonal. Hal-hal tersebut di atas akan menjadi pembahasan tulisan ini.
Fokus Kajian Berangkat dari latar belakang diatas, tulisan ini menganalisis isu keamanan non-tradisional Susan L. Graig, “China Perception of Traditional and NonTraditional Security Threat”, The Strategic Studies Institute, Maret 2007, http://www.StrategicStudiesInstitute.army.mil/, diakses pada tanggal 16 Agustus 2014, hlm. 101. 2
dalam pembahasan persoalan politik luar negeri dan isu keamanan non-tradisional dengan lima karakteristik, yaitu sifat persoalan, aktor dan kepentingan, faktor yang mempengaruhi, pendekatan dan bentuk sekuritisasi. Kelima karakteristik inilah yang menjadi fokus dari buku ini (lihat Gambar 1.)
Sumber: Diolah oleh tim. Gambar 1. Karakteristik Isu Keamanan nonTradisional
Pertama, jika dilihat dari sifat persoalan, keempat isu tersebut bersifat multidimensi dan transnasional. Dalam isu lingkungan hidup, misalnya, perubahan iklim yang kian tidak menentu menimbulkan efek berganda antara lain berupa banjir, kekeringan, munculnya virus-virus penyakit baru dan punahnya beberapa jenis spesies di muka bumi.3 Kegiatan ekonomi masyarakat, lalu lintas transportasi, pertanian dan aspek-aspek lainnya secara langsung dan tidak langsung juga akan terpengaruh dengan adanya fenomena global tersebut. Dampak negatif yang ditimbulkannya pun tidak mengenal mengenal batas wilayah kedaulatan negara (transboundary), dimana negara kaya atau miskin, ataupun bangsa kulit putih atau kulit berwarna akan terkena dampak dari pemanasan global dan perubahan iklim. Kalangan ilmuwan memperkirakan seperempat dari seluruh species yang ada di planet bumi akan punah pada lima puluh tahun mendatang. Hampir tujuh belas macam species hilang setiap harinya. Kepunahan mereka dipercepat adanya kebakaran, polusi, diversifikasi penggunaan lahan dan berkurangnya cakupan hutan. Setiap tahunnya, dunia kehilangan hutan seluas sekitar empat kali negara Swiss. 3
88 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 87–103
Kedua, terkait dengan aktor-aktor yang terlibat dalam keempat isu-isu keamanan non-tradisional tersebut tidak hanya terdiri dari negara, tapi juga non negara. Karakteristik ini terlihat jelas salah satunya dalam isu migrasi internasional, khususnya dalam konteks pekerja migran. Keterlibatan masyarakat sipil dalam mendorong implementasi kesepakatan Deklarasi ASEAN Migrant Workers sangat signifikan. Sejumlah koalisi masyarakat sipil seperti The Southeast Asia National Human Rights Institutions Forum (SEANF) dan Kaukus Perempuan Asia Tenggara di ASEAN telah mengirimkan rekomendasi kepada ASEAN terkait dengan substansi Instrumen ASEAN agar mentaati traktat HAM internasional dan konsisten dengan sejumlah konvensi ILO. Selain itu, komponen masyarakat sipil lainnya, sebagai amanat Deklarasi Cebu yang dihasilkan dalam KTT ASEAN ke-12 pada tahun 2007 di Cebu, Filipina berperan dalam mengoperasionalisasikan dan mendorong pemajuan akan hak-hak pekerja migran.
negara sama-sama menjadi korban dari sejumlah aksi terorisme, seperti Bom Bali I dan II serta Bom Kedubes Australia. Namun memang, selama ini, kerja sama yang dilakukan masih lebih banyak bersifat teknis, diantaranya berupa bantuan fisik dan pelatihan. Kompleksitas persoalan dalam isu terorisme yang sifatnya multidimensi juga menghendaki berbagai aktor nasional untuk saling bekerja sama. Dalam konteks ini, maka koordinasi antar instansi terkait mutlak diperlukan dalam mencari penyelesaian persoalan secara holistik.
Ketiga, faktor-faktor yang mempengaruhi keempat isu keamanan non-tradisional tersebut tidak dapat dilepaskan dari dinamika lingkungan domestik dan internasional. Dalam isu keamanan energi, misalnya, sangat dipengaruhi oleh kepentingan nasional serta kondisi domestik dan internasional. Kepentingan ekonomi nasional dan permintaan pasar domestik menjadi dorongan setiap negara untuk memenuhi kebutuhannya baik dari sumber domestik maupun eksplorasi atau mengimpor energi dari mancanegara. Sebaliknya, gejolak keamanan energi di negara lain akan mempengaruhi sikap negara dalam mendefinisikan keamanan energinya. Oleh karena itu, isu keamanan energi memperlihatkan posisi negara berdasarkan konteks domestik dan internasional.
Karakteristik kelima yang terlihat dalam isu-isu keamanan non-tradisional adalah adanya sekuritisasi dimana isu tersebut mulai dianggap sebagai ancaman bagi keamanan nasional. Bagi Indonesia, bentuk dari sekuritisasi terlihat dari adanya proses institusionalisasi sebagai respons atas karakteristik isu yang multidimensi. Dalam isu lingkungan hidup, misalnya, kompleksitas persoalan lingkungan hidup direspons dengan pembentukan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Upaya yang sama juga terlihat dalam sejumlah isu lainnya seperti pembentukan Dewan Energi Nasional (DEN) dalam isu keamanan energi, BNP2TKI pada persoalan migrasi internasional, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk mengatasi persoalan terorisme. Upaya institusionalisasi juga terjadi di Kementerian Luar Negeri RI sebagai bagian dari kebijakan restrukturisasi. Untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup dan migrasi, Kemlu RI sebagai ujung tombak diplomasi Indonesia, telah memiliki direktorat khusus yang menanganinya, yaitu Direktorat Pembangunan, Ekonomi dan Lingkungan Hidup dan Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia. Namun, langkah yang sama belum terlihat dalam isu keamanan energi dan terorisme internasional.
Keempat, isu-isu keamanan non-tradisional tersebut memiliki pendekatan yang sama baik di level nasional maupun internasional. Dalam isu terorisme internasional, misalnya, persoalan yang multidimensi dan transnasional ini meniscayakan adanya kerja sama internasional, baik di level bilateral, regional maupun mutilateral. Kerja sama bilateral Indonesia dengan Australia, misalnya, menjadi intens dijalin sejak kedua
Namun demikian, proses sekuritisasi terhadap suatu isu perlu dilihat secara lebih kritis, apakah isu tersebut berdampak langsung atau tidak langsung bagi keamanan nasional atau internasional. Dalam konteks ini, kita perlu secara jeli melihat hubungan atau persinggungan antara suatu isu dengan keamanan nasional. Dalam isu migrasi internasional, misalnya, menurut Aniol, migrasi internasional akan berdampak pada
Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu Keamanan ... | Athiqah Nur Alami | 89
keamanan internasional jika terjadi dalam tiga bentuk. Pertama, migrasi internasional terjadi sebagai konsekuensi dari ancaman keamanan lainnya, seperti pelanggaran HAM, konflik etnis dan konflik internal. Bentuk kedua adalah migrasi internasional dapat dianggap sebagai ancaman bagi keamanan internasional ketika itu terjadi secara masif dan tidak terkontrol. Ketiga, jika migrasi internasional berdampak pada ancaman keamanan lainnya seperti kekerasan rasial dan xenophobia, maka dapat dianggap sebagai ancaman bagi keamanan nasional.4 Untuk itu, dalam konteks Indonesia, apakah migrasi internasional, khususnya yang dilakukan oleh pekerja migran, memiliki karakteristik ketiga bentuk di atas, sehingga dapat dikategorikan sebagai ancaman keamanan, perlu menjadi perhatian. Berdasarkan lima karakteristik di atas, permasalahan mendasar dalam politik luar negeri Indonesia dalam isu keamanan non-tradisional, yaitu isu-isu keamanan non-tradisional masih menjadi tantangan kebijakan luar negeri Indonesia yang perlu diimplementasikan secara nyata. Upaya tersebut belum sepenuhnya efektif dan optimal dalam menyelesaikan persoalan, sehingga pemerintah Indonesia masih menghadapi sejumlah kendala baik di dalam negeri maupun internasional. Salah satu kendala utama yang terjadi di dalam negeri adalah persoalan lemahnya koordinasi. Karakter isu-isu keamanan non-tradisional yang multidimensi dan multistakeholder tersebut menjadikan pentingnya koordinasi antar pemangku kepentingan, baik intra negara maupun antara aktor negara dan non negara. Pembentukan berbagai institusi baru untuk menangani isu-isu tersebut memang dapat menjadi solusi, tetapi perlu ditingkatkan kapasitas dan efektivitasnya. Untuk itu, menjalin hubungan baik dengan aktor non negara, seperti LSM, organisasi internasional, media, dan sebagainya menjadi suatu keniscayaan. Dengan melihat perkembangan isu-isu tersebut di masa mendatang dan respons Indonesia terhadap isu-isu tersebut maka penting untuk mengetahui bagaimana kebijakan luar Aniol W, International Migration and European Security, Warsawa, Instytut Studiów Politycznych Polskiej Akademii Nauk, 1992, hlm. 17. 4
negeri ke depan dalam merespons isu tersebut. Dalam kajian empat tahun sebelumnya (20102013), penulis telah mengkaji empat isu-isu keamanan non-tradisional yaitu lingkungan hidup, keamanan energi, migrasi internasional, dan terorisme internasional. Untuk itu, pada tahun kelima, sebagai bagian dari upaya akademis, buku ini mengkaji perkembangan dan pengaruh isu-isu keamanan non-tradisional yang strategis bagi politik luar negeri Indonesia. Buku yang mengambil timeframe pemerintahan Indonesia di era reformasi ini bertujuan untuk melakukan assessment terhadap pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia, dengan mengidentifikasi pola dan trend yang terjadi dalam keempat isu tersebut. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian kualititatif dengan metode pencarian data berupa studi literatur dan focus group discussion di Jakarta, Bandung dan Surabaya. Narasumber dalam diskusi tersebut diantaranya adalah akademisi, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat dan aktor pemerintah seperti Kementerian Luar Negeri RI.
Hasil Penelitian
1. Isu Keamanan Non-tradisional dan Kepentingan Nasional Indonesia Konsep keamanan non-tradisional terus mengalami perkembangan dan telah mempengaruhi agenda kebijakan luar negeri (foreign policy) 5 berbagai negara termasuk Indonesia. Sebagai salah satu negara yang menghadapi sejumlah ancaman keamanan nontradisional, Indonesia juga memiliki kepentingan nasional untuk mengatasi persoalan tersebut melalui kebijakan luar negerinya. Indonesia, paling tidak menghadapi empat persoalan keamanan non-tradisional, yaitu lingkungan hidup, keamanan energi, migrasi internasional, dan terorisme internasional, yang strategis bagi politik luar negeri Indonesia. Dalam isu lingkungan hidup, misalnya, sebagai negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau, Indonesia sangat berkepentingan untuk menjaga keutuhan wilayah teritorialnya. Namun, fenomena perubahan iklim dan pemanasan global Tulisan ini menggunakan istilah “kebijakan luar negeri” dan “politik luar negeri” secara bergantian dan mengacu pada makna yang sama. 5
90 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 87–103
saat ini semakin mengancam hal tersebut. Hal ini terbukti dengan kenaikan permukaan air laut Indonesia sebesar rata-rata 5-10 milimeter per tahun yang telah mengakibatkan hilangnya luas daratan setiap tahunnya mencapai 4.759 hektar.6 Peningkatan permukaan laut tersebut juga berdampak pada banyak hal, antara lain mempengaruhi ekosistem pantai termasuk kerusakan terumbu karang, vegetasi mangrove, kehilangan jenis-jenis kehidupan laut lainnya dan produksi perikanan. Kondisi ini penting menjadi perhatian juga karena sekitar 25% dari GDP Indonesia berasal dari aktivitas ekonomi yang dilakukan di daerah pesisir Indonesia.7 Keamanan energi juga menjadi isu strategis yang terkait erat dengan kepentingan nasional. Indonesia sebagai negara berkembang masih memerlukan pasokan energi yang besar untuk menunjang pembangunan. Namun, Indonesia sejak 2004 sudah sepenuhnya menjadi importir minyak bumi. Bahkan, menurut mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan, produksi minyak yang merupakan penyokong utama kebutuhan energi nasional telah jatuh cukup jauh di bawah produksi puncaknya 1,6 juta barel per hari menjadi sekitar 861.000 barel perhari pada 2012.8 Selain itu, krisis pasokan batubara dari Kalimantan ke sejumlah pembangkit listrik di pulau Jawa berdampak pada tidak stabilnya pasokan listrik yang sangat dibutuhkan oleh industri, yang juga dipengaruhi oleh perubahan cuaca. Berbagai situasi di atas menjadi persoalan bagi Indonesia mengingat sektor energi Indonesia masih sangat mengandalkan minyak bumi sebagai sumber energi utama. Konsumsi energi primer Indonesia telah meningkat sebesar 50% dalam satu dekade terakhir. Hal ini menunjukkan masih besarnya peranan sumber energi fosil
“Kenaikan Muka Laut 10 Milimeter”, Kompas, 17 Februari 2009.
sebagai sumber energi tradisional Indonesia daripada sumber energi terbarukan. Persoalan keamanan non-tradisional lainnya yang terkait erat dengan kepentingan nasional Indonesia adalah migrasi internasional. Pertumbuhan aktivitas migrasi internasional, khususnya pekerja migran di Asia, termasuk Indonesia, semakin signifikan dalam satu dekade terakhir ini. Indonesia merupakan salah satu negara pengirim tenaga kerja migran (TKI) terbesar di dunia. Menurut BNP2TKI, sampai dengan tahun 2013, jumlah TKI mencapai sekitar 6,5 juta yang tersebar di 160 negara di dunia, terutama Malaysia, Taiwan, Arab Saudi, UEA dan Hongkong.9 Persoalannya, proses pengiriman dan penempatan TKI seringkali tidak sesuai prosedur, sehingga terjadi berbagai kasus perdagangan manusia (trafficking) yang menjadi isu keamanan nasional. Kondisi tersebut menjadi ironi ketika pemerintah seringkali menyebut mereka sebagai pahlawan devisa karena tingginya tingkat remitansi. Berdasarkan catatan di Bank Indonesia, jumlah remitansi atau uang kiriman TKI dari luar negeri yang masuk ke tanah air, mencapai 81 trilyun pada JanuariNovember 2013.10 Selain itu, isu terorisme internasional menjadi kepentingan nasional Indonesia karena terkait dengan stabilitas ekonomi politik dan keamanan nasional. Sejumlah aksi terorisme yang terjadi di Indonesia, khususnya sejak bom Bali I tahun 2002, telah mengancam keamanan nasional dan berdampak pada sendi-sendi kehidupan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung. Salah satu dampaknya terlihat pada sektor pariwisata. Aksi terorisme di Bali pada 2002 telah berdampak pada perekonomian provinsi Bali, yang merupakan salah satu tujuan utama wisatawan internasional. 11 Ancaman “Malaysia Masih Menjadi Negara Pengguna TKI terbanyak di 2013,” Liputan6, 7 Januari 2014, http://bisnis.liputan6. com/read/794211/malaysia-masih-jadi-negara-pengguna-tkiterbanyak-di-2013, diakses pada tanggal 16 Februari 2014.
6
9
“Indonesia in 2028: Permanent and Irreversible Climate Change”, The Jakarta Globe, 18 Oktober 2013, http://www. thejakartaglobe.com/news/indonesia-in-2028-permanent-andirreversible-climate-change/, diakses pada tanggal 17 Februari 2014.
10
7
“Indonesia Mulai Kurangi Ketergantungan Minyak,” Neraca, 29 Januari 2014, http://www.neraca.co.id/article/37748/ Indonesia-Mulai-Kurangi-Ketergantungan-Minyak, diakses pada tanggal 17 Februari 2014. 8
“Remitansi TKI tahun 2013 Capai Rp 81,34 Triliun,” Suara Pembaharuan, 27 Desember 2013, http://www. suarapembaruan.com/ekonomidanbisnis/remitansi-tki-tahun2013-capai-rp-8134-triliun/47110, diakses pada tanggal 16 Februari 2014. Kontribusi sektor pariwisata pada GDP provinsi Bali mengalami penurunan dari 59,95% (2000) menjadi 47,42% 11
Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu Keamanan ... | Athiqah Nur Alami | 91
terorisme ini pun akhir-akhir ini semakin kompleks dengan fakta adanya hubungan jaringan antara terorisme di Indonesia dengan jaringan teroris internasional, seperti Al Qaeda dan ancaman baru berupa kemunculan beberapa kelompok masyarakat yang mendukung Negara Islam di Irak dan Syiria (ISIS/ISIL/IS-Islamic State of Iraq and Syria/Islamic State of Iraq and Leviant/Islamic State). Aksi-aksi kekerasan yang dilancarkan oleh kelompok teroris di atas dipandang sebagai ancaman serius oleh Indonesia. Terorisme ini tidak hanya berdampak terhadap tataran kehidupan domestik, yaitu mengancam kemantapan stabilitas politik keamanan dan sosial ekonomi dalam negeri, melainkan juga mempengaruhi hubungan Indonesia dengan negara-negara lain. Mengacu pada permasalahan-permasalahan kompleks yang masih dihadapi Indonesia dalam isu-isu keamanan non-tradisional di atas dapat dikatakan bahwa isu-isu tersebut signifikan bagi kepentingan nasional dan tantangan serius bagi politik luar negeri Indonesia. Signifikansi isu-isu keamanan non-tradisional bagi kepentingan nasional telah diakui oleh pemerintah Indonesia. Dalam isu lingkungan hidup dan keamanan energi, misalnya, Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-63 pada 19 Agustus 2008 menyampaikan bahwa Indonesia memiliki kepentingan nasional yang sangat besar untuk memberikan perhatian terhadap tiga krisis global yang dihadapi dewasa ini, yaitu energi, pangan, dan perubahan iklim. Pengabaian ketiga krisis tersebut secara jelas akan mengancam kepentingan nasional,12 termasuk kepentingan yang akan dicapai melalui kebijakan luar negeri dan instrumen diplomasi.
(2002). Lihat I Nyoman Darma Putra dan Michael Hitchock, “Terrorism and Touridm in Bali and Southeast Asia”, dalam Michael Hitchcock, Victor T. King dan Michael Parnwell (Eds), Tourism in Southeast Asia: Challenges and New Directions, Copenhagen, NIAS Press, 2008, hlm. 86. Rizal Sukma, “Insight: Climate change poses security threat to Indonesia”, Jakarta Post, 27 Agustus 2008, http://www. thejakartapost.com/news/2008/08/27/insight-climate-changeposes-security-threat-indonesia.html, diakses pada tanggal 11 Maret 2010. 12
Selain itu, dalam pernyataan pers tahunan 2014, mantan Menlu RI Marty Natalegawa menyatakan bahwa diplomasi akan tetap dikedepankan dalam penanganan berbagai isu yang memerlukan kerja sama internasional, seperti keamanan pangan, keamanan energi, keberlanjutan lingkungan dan bencana alam, serta kejahatan transnasional seperti terorisme dan perdagangan manusia.13 Untuk itu, terkait dengan isu-isu keamanan non-tradisional tersebut, Indonesia telah melakukan sejumlah langkah penting baik berupa kebijakan domestik maupun luar negeri. 2. Kebijakan Domestik dan Luar Negeri: Yuridis Formal, Institusional dan Praksis Berbagai persoalan yang dihadapi Indonesia dalam isu lingkungan hidup, keamanan energi, migrasi internasional dan terorisme internasional di atas secara jelas menggarisbawahi bahwa isu-isu tersebut telah menjadi ancaman nyata bagi keamanan di Indonesia. Pembiaran terhadap berbagai persoalan tersebut akan berdampak sangat serius terhadap pembangunan berkelanjutan, kelestarian lingkungan, keamanan, dan kesejahteraan masyarakat serta individu. Untuk itu, pemerintah Indonesia memiliki kepentingan nasional yang kuat untuk mengambil sejumlah langkah kebijakan guna mengatasi masalah-masalah tersebut. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat dikategorisasikan dalam tiga aspek utama, yaitu aspek normatif, aspek institusional dan aspek praktis. Pada tataran normatif, pemerintah Indonesia telah melakukan upaya di dalam negeri dengan membuat sejumlah regulasi nasional terkait dengan isu-isu lingkungan hidup, pekerja migran, energi dan terorisme. Pada isu lingkungan hidup, misalnya, kebijakan lingkungan hidup domestik diawali dengan dikeluarkannya berbagai peraturan terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup. Salah satunya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang ini mengatur tentang Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia RM. Marty M. Natalegawa tahun 2014, Jakarta, 7 Januari 2014. 13
92 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 87–103
pengelolaan secara terpadu dalam pemanfaatan, pemulihan dan pengembangan lingkungan hidup. Tujuan dikeluarkannya UU ini dilatarbelakangi oleh kenyataan telah terjadinya eksplorasi dan eksploitasi oleh manusia terhadap sumberdaya alam yang mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Sama halnya dengan isu lingkungan hidup, pemerintah juga mengeluarkan sejumlah kebijakan yang tertuang dalam berbagai peraturan yang pada intinya sebagai dasar hukum untuk mengelola energi di Indonesia. Ada tiga dasar hukum yang dipergunakan sebagai landasan dalam pengelolaan energi nasional, yaitu konstitusi, kebijakan nasional, dan operasional. Landasan konstitusional adalah UUD 1945 pasal 33 ayat 2. Sementara landasan kebijakan nasional adalah UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, dan landasan operasionalnya selanjutnya tertuang dalam UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi yang kemudian ditindaklanjuti dengan berbagai UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri dan lain sebagainya. Pemerintah juga membuat regulasi mengenai pekerja migran Indonesia. Salah satunya adalah UU Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Regulasi yang lahir dalam semangat perlindungan pekerja migran ini merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengamanatkan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri dalam sebuah UU. Dalam menanggulangi persoalan terorisme, pemerintah juga melakukan upaya sama di dalam negeri dengan membuat sejumlah kebijakan yang tertuang dalam berbagai peraturan perundangan. Hal ini dapat dilihat antara lain dari disahkannya UU No 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme dan Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. UU ini menjadi dasar hukum yang kuat bagi aparat keamanan yang dipimpin oleh Polri untuk melakukan proses hukum terhadap tersangka teroris dan juga menutup rekening bank tersangka teroris jika terbukti memiliki aliran dana yang digunakan untuk mendukung
aksi-aksi tersebut. Secara khusus, pemerintah juga mengesahkan UU No 16 Tahun 2003 untuk mengadili dan menghukum tersangka teroris pelaku Bom Bali I. Selain melakukan upaya-upaya di dalam negeri melalui regulasi di atas, pemerintah Indonesia juga berkepentingan dalam memainkan peran aktif di level global untuk mengatasi ancaman keamanan dari isu lingkungan hidup, keamanan energi, pekerja migran dan terorisme. Meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional merupakan salah satu bentuk kebijakan pemerintah untuk penanganan isu-isu tersebut. Di isu lingkungan hidup, misalnya, Indonesia telah meratifikasi naskah United Nations Framework Convention On Climate Change (UNFCCC, Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) melalui UU No 6 Tahun 1994. Sepuluh tahun kemudian Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto melalui UU No. 17 Tahun 2004. Protokol ini merupakan kesepakatan penting yang mengatur dan mengikat para pihak negara industri secara hukum untuk melaksanakan upaya penurunan emisi Gas Ruang Kaca (GRK) yang dapat dilakukan secara individu atau bersama-sama. Tujuan Protokol ini adalah untuk menjaga konsentrasi GRK di atmosfir agar berada pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim bumi. Untuk mencapai tujuan itu, Protokol mengatur pelaksanaan penurunan emisi oleh negara industri sebesar 5% di bawah tingkat emisi tahun 1990 dalam periode 2008-2012 melalui mekanisme Implementasi Bersama (Joint Implementation), Perdagangan Emisi (Emission Trading), dan Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism). Dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan hidup Indonesia juga ikut dalam berbagai perjanjian internasional terkait, termasuk Biodiversitas, Perubahan Iklim, Desertifikasi, Spesies yang Terancam, Sampah Berbahaya, Hukum Laut, Larangan Ujicoba Nuklir, Perlindungan Lapisan Ozon, Polusi Kapal, Perkayuan Tropis, dan lain sebagainya. Komitmen Indonesia dalam menanggani persoalan ancaman non-tradisional di tingkat global juga terlihat jelas dalam isu-isu lainnya, seperti terorisme dan migrasi internasional. Indonesia merupakan salah satu negara yang
Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu Keamanan ... | Athiqah Nur Alami | 93
cukup aktif meratifikasi konvenan terkait terorisme, yaitu sebanyak 7 (tujuh) dari 16 (enam belas) konvenan yang ada. Selain itu, meratifikasi konvenan internasional mengenai perlindungan pekerja migran juga dilakukan pemerintah melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Pengesahan International Convention On The Protection Of The Rights Of All Migrant Workers And Members Of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya). Adanya berbagai regulasi di dalam negeri dan diratifikasinya sejumlah konvensi terkait dengan isu-isu lingkungan hidup, energi, pekerja migran dan terorisme memang tidak secara otomatis menyelesaikan seluruh masalah terkait dengan kepentingan nasional Indonesia dalam isu-isu tersebut. Namun demikian, langkahlangkah tersebut menunjukkan secara jelas komitmen pemerintah Indonesia dan memberikan legitimasi bagi pemerintah Indonesia dalam arena diplomasi atas isu-isu tersebut. Dengan diratifikasinya perlindungan pekerja migran, misalnya, pemerintah Indonesia memiliki “senjata” untuk mendesak negara-negara tujuan para pekerja migran Indonesia, seperti Arab Saudi dan Malaysia, untuk juga meratifikasi konvensi tersebut dengan seluruh kewajiban yang mengikatnya, termasuk memberikan perlindungan terhadap pekerja migran dan keluarganya. Selain hal-hal tersebut di atas, hal menonjol lain yang dapat dicatat dari upaya pemerintah Indonesia untuk menangani permasalahan ancaman keamanan non-tradisional baik di tingkat domestik dan internasional adalah melalui pendekatan kelembagaan (institusional). Di dalam negeri, pemerintah di era reformasi membentuk institusi baru yang bersifat ad hoc untuk mengoordinasikan urusan-urusan yang terkait lingkungan hidup, energi, pekerja migran dan terorisme. Sementara pada tataran internasional, pemerintah Indonesia ikut menjadi anggota berbagai lembaga internasional yang fokus kegiatannya pada masalah-masalah tersebut.
Untuk isu lingkungan hidup, Presiden Republik Indonesia (RI) mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2008 tentang pembentukan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Dewan yang dipimpin langsung oleh Presiden dengan wakil ketuanya Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Koordinator Ekonomi serta anggotanya diisi oleh 16 menteri kabinet sekaligus Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geophisik ini memiliki tanggung jawab untuk merumuskan dan sekaligus mengkoordinasikan implementasi kebijakan, strategi dan program nasional mengenai perubahan iklim. Sementara itu, di dalam Kementerian Luar Negeri isu lingkungan hidup berada di bawah Direktorat Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup, Direktorat Jenderal Multilateral. Kecenderungan pemerintah untuk membentuk institusi baru juga dapat dilihat di bidang energi. Pemahaman akan pentingnya peranan energi bagi kegiatan ekonomi dan ketahanan nasional telah mendorong pemerintah untuk membentuk Dewan Energi Nasional (DEN) berdasarkan Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2008. Melalui Dewan ini diharapkan penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaan energi dapat dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, rasional, optimal, dan terpadu. DEN diketuai Presiden dengan Ketua Harian Menteri Energi, Sumber Daya Alam dan Mineral (ESDM) dan anggotanya terdiri dari dua unsur, yaitu unsur pemerintah (Menteri Perindustrian, Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri Pertanian, Menteri Negara Riset dan Teknologi, serta Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (Kepala BAPPENAS)) dan Unsur Pihak Yang Berkepentingan (8 orang). Sementara itu dalam struktur Kemlu RI, tidak ada direktorat khusus yang menangani isu energi. Tantangan kompleks yang dihadapi dalam soal pekerja migran di luar negeri juga diatasi pemerintah dengan membentuk sebuah lembaga yaitu Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI). Lembaga yang diamanatkan oleh UU Nomor 39 Tahun 2004 ini dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2006. Dengan adanya
94 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 87–103
institusi ini diharapkan bahwa perlindungan TKI di luar negeri dapat lebih terjamin dan persoalan penempatan TKI di luar negeri dapat dilaksanakan lebih sinergis. Sekalipun sudah ada BNP2TKI, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) juga memberikan perhatiannya terhadap persoalan terkait perlindungan warga negara Indonesia yang berada di luar negeri, termasuk TKI. Dalam rangka penguatan fungsi diplomasi Indonesia dalam urusan tersebut dan sejalan proses benah diri internal Kemlu, Kementerian ini membentuk Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI) pada tahun 2002. Direktorat ini menjadi bagian dari Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler. Untuk lebih memperkuat fungsi perlindungan WNI dan BHI tersebut, sejak tahun 2006 Kemlu kemudian meluncurkan Pelayanan Warga (Citizenship Service). Hingga tahun 2009, Citizenship Service ini sudah tercatat berada di 24 Perwakilan RI. Pemerintah juga melakukan pola kebijakan yang sama dalam menanggapi ancaman keamanan terorisme dengan membentuk institusi baru non-kementerian untuk penanganan terorisme yaitu Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 ini memiliki tugas untuk menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme. Untuk memperkuat penanganan terorisme khususnya pasca Bom Bali, pemerintahan Presiden Megawati membentuk satu unit khusus anti terorisme, yaitu Desk Penanggulangan Terorisme. Desk ini dibentuk berdasarkan Inpres Nomor 4 Tahun 2002 dan berada di bawah koordinasi Menteri Koordinasi Bidang Politik, Hukum, dan Pertahanan Keamanan. Dengan adanya desk khusus ini diharapkan bahwa koordinasi antar pemangku kepentingan dalam penanggulangan terorisme, seperti Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Tentara Nasional Indonesia (TNI), badan intelijen nasional, dan aparat pemerintah yang lain dapat berjalan lebih efektif.14 Pada tahun 2004, pemerintah Leonard Sebastian, “The Indonesian Dillema: How to Participate in the War on Terror Without Becoming a National 14
membentuk satu satuan khusus di Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dikenal dengan sebutan Detasemen Khusus (Densus) 88. Selain itu, masing-masing angkatan dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI) membentuk satuan khusus penanganan terorisme yang sebenarnya sudah ada sebelum peristiwa Bom Bali, yaitu Den Gultor (AD), Den Jaka (AL), dan Den Bravo (AU). Di luar pembentukan kelembagaan formal di atas, pemerintah juga berusaha mengimbanginya melalui diplomasi publik dengan aktor-aktor non negara. Demokratisasi yang bergulir semakin menguat di era reformasi dan situasi eksternal yang berubah cepat dengan globalisasi telah menimbulkan situasi di mana keterlibatan sebanyak mungkin aktor, termasuk aktor negara, dalam kebijakan luar negeri Indonesia menjadi semakin tidak terhindarkan. Diplomasi publik ini merupakan bagian penting dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. Diplomasi ini merupakan instrumen untuk mencari jaringan sebanyak-banyaknya dan membangun hubungan dengan aktor-aktor non pemerintah. Tujuannya adalah memperoleh masukan substansi mengenai strategi dan upaya meningkatkan kapasitas Indonesia dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan terkait dengan isu-isu lingkungan hidup, migrasi dan pembangunan, energi dan terorisme. Satu bentuk nyata kelembagaan informal yang dibangun dengan pelibatan aktor non pemerintah adalah “Morning Breakfast” yang digagas oleh mantan Menlu Hasan Wirayudha. Selain itu, Kemlu juga menjalin hubungan kerja sama dengan para pembuat kebijakan, akademisi, pengkaji, praktisi dan pemerhati dari berbagai lembaga untuk melakukan berbagai kegiatan seperti kajian, diskusi/seminar/workshop mengenai masalah tersebut. Kemlu, misalnya, pada tahun 1996/1997 bekerja sama dengan Universitas Indonesia membuat penelitian mengenai Kebijakan Politik Luar Negeri Republik Indonesia Menghadapi Kritik Barat di Bidang Lingkungan Hidup dan Tantangannya Security State”, dalam Kumar Ramakhrisna and See Seng Tan (Eds.), After Bali: The Threat of Terrorism in Southeast Asia, (Singapore: Institute of Defence and Strategic Studies, 2003), hlm. 381.
Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu Keamanan ... | Athiqah Nur Alami | 95
Bagi Indonesia.15 Kementerian ini, khususnya Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK), Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan pada Organisasi Internasional (Pusat P2K-OI) juga menyelenggarakan Forum Kajian Kebijakan Luar Negeri (FKKLN) dengan tema ”Migrasi dan Pembangunan: Kondisi Global serta Peluang dan Tantangannya bagi Kebijakan Luar Negeri”. FKKLN yang diikuti para pemangku kepentingan diselenggarakan di Bandung pada tanggal 3 Desember 2012. 16 Pendampingan yang dilakukan oleh LSM/tenaga ahli/mantan kombatan kepada Polri untuk membantu penanganan terorisme adalah contoh lain atas keterlibatan aktor non pemerintah dalam isu keamanan non-tradisional.17 Selain upaya-upaya yuridis formal dan institusional di atas, pemerintah Indonesia juga melaksanakan kebijakan yang sifatnya praksis untuk mengatasi persoalan-persoalan terkait isu lingkungan hidup, energi, pekerja migran dan terorisme. Langkah praksis diwujudkan dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia dengan terus menggunakan berbagai upaya, yaitu antara lain dengan menjalin kerja sama dengan negara-negara lain secara bilateral, regional dan multilateral. Dalam beberapa tahun terakhir, langkah-langkah strategis telah diambil untuk mempererat kerja sama di bidang-bidang tersebut. Secara bilateral, Indonesia telah menjalin berbagai mekanisme hubungan dengan banyak negara baik pada tataran pejabat negara, kementerian dan Presiden. Untuk isu terorisme, misalnya, Indonesia bekerja sama dengan Amerika Serikat dan Australia dalam hal capacity building aparat keamanan dan penegak hukum. Dalam isu migrasi, Indonesia berusaha menjalin Zainuddin Djaffar, “Kebijakan Politik Luar Negeri Republik Indonesia Menghadapi Kritik Barat di Bidang Lingkungan Hidup dan Tantangannya Bagi Indonesia”, (Depok: FISIP UI, 1996/1997). 15
Siaran Pers Kemlu No 080/PR/XI/2012/54, “Kemlu Kaji Migrasi dan Pembangunan, Pengaruhnya Polugri”, 28 November 2012, http://www.kemlu.go.id/Pages/PressRelease. aspx?IDP=1372&l=id, diakses pada tanggal 20 September 2014. 16
Andrew Wiguna Mantong, “NTS and the Problem of State Policy”, Presentasi disampaikan pada FGD Tim Polugri di Jakarta, 27 Agustus 2014. 17
hubungan erat dengan negara-negara yang menjadi tujuan utama TKI, antara lain dengan menandatangani MoU dengan Arab Saudi dan Malaysia. Sementara dalam isu lingkungan hidup, Indonesia berupaya untuk memperoleh dukungan negara-negara lain untuk pemenuhan komitmen pengurangan emisi karbon. Salah satunya dengan membentuk komisi bersama untuk kerja sama bilateral dengan Norwegia tentang REDD+.18 Sedangkan dalam isu energi, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan sejumlah negara seperti Jepang, Belanda, Tiongkok, dan Korea dalam bentuk Indonesia – Japan Energy Roundtable (IJERT), Indonesia – the Netherlands Joint Energy Working Group, Indonesia China Energy Forum (ICEF), dan Indonesia – Korea Energy Forum (IKEF). Berbeda dengan kerja sama bilateral yang nampak lebih terbuka pelibatannya dengan banyak negara, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia dalam kerja sama regional sejauh ini terlihat tidak terlalu banyak ragamnya. Meskipun ini tidak berarti Indonesia menghilangkan kesempatan kerja sama dengan kelompokkelompok regional lainnya, namun politik luar negeri Indonesia cenderung lebih banyak menempatkan ASEAN dan APEC sebagai bagian penting dalam upaya penanggulangan masalah keamanan non-tradisional di atas. Indonesia ikut dalam berbagai pertemuan dan kesepakatan ASEAN untuk bersama-sama mengatasi masalah lingkungan, migrasi, energi, terorisme, antara lain Informal Ministerial Meeting on Environment (IAMME), ASEAN Power Grid, ASEAN Convention on Counter Terrorism (ACCT), dan ASEAN Declaration on The Protection and Promotion of The Rights of Migrant Workers. Selain itu, Indonesia aktif terlibat dalam forum regional di APEC untuk penanganan isu-isu keamanan non-tradisional, diantaranya working group, Senior Officials Meeting (SOM), dan pertemuan rutin tingkat menteri APEC yang membahas mengenai isu lingkungan hidup, terorisme, energi, dan pekerja migran. REDD+ berbeda dengan REDD. Dua ketetapan awal REDD mencakup mengurangi emisi dari deforestasi dan mengurangi emisi dari degradasi hutan. Beberapa strategi yang ditambahkan dalam REDD+ adalah peranan konservasi, pengelolaan hutan secara lestari, dan peningkatan cadangan karbon hutan. 18
96 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 87–103
Kondisi ini sedikit berbeda dengan politik luar negeri Indonesia dalam isu-isu keamanan non-tradisional pada level multilateral. Dalam konteks ini, Indonesia terlihat cukup aktif menjalin beragam kerja sama multilateral dengan berbagai organisasi dan forum internasional tergantung pada lingkup dan agenda yang menjadi kepentingan nasionalnya pada isu-isu tersebut. Sebagai ilustrasi dalam isu migrasi, Indonesia, misalnya, berperan aktif dalam Global Forum on Migration and Development (GFMD) untuk membahas mengenai implikasi global dari migrasi internasional dan interaksi yang saling menguntungkan antara migrasi dan pembangunan. Bahkan pemerintah menginisiasi pertemuan Bali Process sebagai forum diskusi atas isu irregular migration, utamanya dalam kaitan perlindungan atas perdagangan dan penyelundupan manusia. Dalam isu lingkungan hidup, Indonesia terlibat forum Conference of the Parties (COP) dalam UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Selain itu, Indonesia juga aktif dalam forum – forum di bawah kerangka PBB yang membahas kerja sama mengenai kontra-terorisme seperti Global Counter-Terrorism Forum (GCTF) dan UN Counter-Terrorism Center (UNCTC). Indonesia juga berkomitmen untuk menangani isu energi global dengan keikutsertaannya dalam diskusi keenergian internasional khususnya minyak dan gas bumi, yaitu di International Energy Forum (IEF). Komitmen untuk mendukung pemanfaatan global energi terbarukan dibuktikan Indonesia dengan menjadi anggota International Renewable Energy Agency (IRENA) sejak tahun 2014. Kerja sama-kerja sama internasional di atas menjadi suatu pilihan strategis kebijakan politik luar negeri Indonesia. Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari realitas soal keterbatasan internal yang dimiliki pemerintah dalam hal sumber daya manusia, teknologi, infrastruktur dan anggaran untuk penanganan isu-isu tersebut. Begitu pula, pemahaman karakteristik transnasional dari isu-isu tersebut menyebabkan upaya untuk mengatasinya juga harus melibatkan banyak pihak termasuk negara-negara lain. Selain itu, pemerintah juga menempuh penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi dalam keamanan
non-tradisional melalui jalur penegakan hukum. Penegakan hukum merupakan upaya praksis untuk menjamin agar peraturan perundangan atau regulasi-regulasi terkait dengan isu-isu di atas dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku. 3. Kendala dan Hambatan yang Masih Menghadang Upaya-upaya yuridis formal, institusional dan praksis di atas ternyata telah membuahkan keberhasilan dalam politik luar negeri Indonesia. Kesungguhan dan kerja keras dari pemerintah, khususnya Kementerian Luar Negeri RI sebagai ujung tombak diplomasi Indonesia di luar negeri pun pada akhirnya telah mendapatkan apresiasi tinggi dari masyarakat internasional terhadap Indonesia. Di antaranya Avatar Home Tree Award pada tahun 2010 atas program penanaman 1 miliar pohon19 dan Indonesia menjadi benchmark oleh negara-negara lain dalam penanganan terorisme.20 Kendatipun demikian, capaian pelaksanaan politik luar negeri Indonesia tersebut dapat dikatakan belum optimal. Indonesia hingga dewasa ini masih dihadapkan pada fakta berbagai persoalan terkait lingkungan, energi, pekerja Indonesia di luar negeri dan terorisme. Target penurunan emisi gas rumah kaca dengan kekuatan sendiri sebesar 26 persen pada 2020 yang dijanjikan Presiden SBY pada September 2009 di Pittsburgh, Amerika Serikat, misalnya, hingga saat ini tidak terlihat jelas adanya peta jalan untuk pencapaiannya. Ketiadaan peta jalan tersebut dikhawatirkan menjadikan target capaian yang dijanjikan tidak dapat terpenuhi. Di samping itu, Indonesia juga masih tetap dihadapkan pada persoalan serius ketersediaan energi fosil yang diindikasikan dengan kelangkaan dan penjatahan penggunaan BBM bersubsidi di berbagai wilayah tanah air. Sementara itu, kasus-kasus terkait TKI juga masih terus terjadi di sejumlah negara penempatan, terutama di Malaysia dan Arab Saudi. Di samping itu, terorisme juga masih terus Bencana Ekologis, “Papua, Avatar dan SBY”, 29 April 2010, http://bencanaekologis.blogspot.com/2010/04/avatar-papuadan-sby.html, diakses pada tanggal 9 Agustus 2010. 19
JCLEC (Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation) yang merupakan pusat pelatihan penanganan terorisme yang didirikan atas kerja sama Indonesia-Australia di Semarang banyak juga diikuti oleh peserta negara-negara lain. 20
Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu Keamanan ... | Athiqah Nur Alami | 97
menjadi ancaman nyata di Indonesia. Keberadaan peraturan dan lembaga yang secara khusus menangani masalah tersebut terbukti belum sepenuhnya menyelesaikan masalah terorisme. Permasalahan-permasalahan ini masih menjadi tantangan bagi politik luar negeri Indonesia ke depan.
Indonesia, misalnya belum mempunyai road map yang jelas mengenai pengelolaan atas kekayaan dan keanekaragaman hayatinya. Hal ini menjadi ironi jika Indonesia yang memiliki kekayaan hayati sangat besar belum memiliki perhatian yang cukup terkait perlindungan tumbuhan langka dan spesies binatang.
Berbagai permasalahan keamanan nontradisional yang masih terus dihadapi politik luar negeri Indonesia di atas tentu tidak bisa semata diletakkan akar persoalannya pada faktor kegagalan Kemlu sebagai ujung tombak diplomasi. Politik luar negeri suatu negara selalu bergerak dinamis dan tidak berada dalam ruangan hampa karena adanya berbagai faktor yang mempengaruhinya. Diplomasi yang dilaksanakan Kemlu baik melalui track one, track two dan multitrack akan berhasil dengan baik jika secara internal mendapatkan dukungan para pemangku kepentingan lainnya. Adagium “foreign policy begins at home” nampaknya menjadi penjelasan rasional. Artinya, rencana strategis politik luar negeri terhadap isu-isu keamanan non-tradisional di atas hanya mungkin dapat dijalankan secara efektif apabila mendapatkan dukungan kondusif kondisi di dalam negeri.
Kondisi ini menyulitkan diplomasi dalam CITES (Conference in International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Hal ini karena Amerika Serikat dan Inggris yang kekayaan hayatinya jauh lebih sedikit dibandingkan Indonesia memiliki perhatian yang jauh besar terhadap perdagangan liar flora dan fauna.21 Oleh karena itu, keberadaan peta jalan ini sangat penting dapat membantu pemangku kepentingan untuk menyusun langkah-langkah strategis yang lebih spesifik sesuai tantangan dan kesempatan yang berkembang pada kurun waktu yang dicakupinya. Peta jalan tersebut juga akan memberikan arah dan legitimitasi yang kuat bagi diplomat-diplomat Indonesia dalam menjalankan kebijakan politik luar negeri di fora internasional.
Sejauh ini, Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan dan kendala domestik yang pada akhirnya mempengaruhi capaian pelaksanaan politik luar negeri dalam isu-isu keamanan non-tradisional. Beberapa hambatan dan kendala yang dapat diidentifikasi antara lain adalah sebagai berikut. Pertama adalah Indonesia belum memiliki peta jalan politik luar negeri yang jelas, khususnya mengenai isu-isu keamanan non-tradisional. Indonesia sudah memiliki strategi dan kebijakan nasional yang harus menjadi pedoman dan dijalankan oleh para diplomat dan jajaran pemerintahan dalam politik luar negeri, yaitu sebagaimana tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2010-2014 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (20052025). Kendati demikian strategi dan kebijakan tersebut belum sampai turunan bagaimana membuat suatu peta jalan agar tujuan diplomasi, yaitu kepentingan nasional akan atas isu-isu lingkungan hidup, energi, perlindungan TKI dan terorisme, di forum-forum internasional tercapai.
Ketiadaan peta jalan yang terstruktur dengan baik ditambah lagi dengan kurangnya kapasitas sumber daya manusia dan anggaran pendukung yang memadai menyebabkan kemampuan pemangku kepentingan untuk mengatasi isu-isu keamanan non-tradisional yang selalu berkembang dan muncul kemudian isu-isu baru keamanan non-tradisional lainnya menjadi kurang optimal. Dengan adanya keterbatasan ini, pemerintah sangat sulit untuk mengenali dan mengatasi ancaman keamanan non-tradisional terutama dengan merujuk pada kompleksitas persoalan-persoalanya. Kedua adalah persoalan kelembagaan yaitu masih kurangnya koordinasi dan sinergitas di dalam menangani isu-isu keamanan nontradisional. Sebagaimana dipahami Kementerian Luar Negeri RI hanyalah merupakan salah satu dari rantai komunikasi dan koordinasi dalam soal penanganan isu-isu tersebut yang sejatinya melibatkan banyak aktor, baik dari pihak pemerintah, swasta dan organisasi non Carolina Tinangon, Direktorat Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri RI, “Diplomasi Lingkungan Hidup”, Presentasi disampaikan pada FGD Tim Polugri di Jakarta, 18 Maret 2014. 21
98 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 87–103
pemerintah. Dari pihak pemerintah sendiri, selain sejumlah kementerian dan institusi yang bertanggungjawab langsung terhadap persoalan lingkungan hidup, tenaga kerja, energi, tenaga kerja dan terorisme, saat ini telah berkembang pula lembaga-lembaga baru yang sifatnya ad hoc dan menangani isu-isu yang sama di atas, seperti DNPI, DEN, BNP2TKI dan BNPT. Walaupun setiap institusi di atas membuka peluang untuk saling menopang satu dengan lainnya, sebuah pengorganisasi dari masing-masing isu keamanan non-tradisional tersebut yang terintegrasi belumlah terlihat secara efektif. Persoalan ini timbul selain sebagai akibat lanjut dari ketiadaan peta jalan yang tegas dan implementatif dari isu-isu keamanan non-tradisional di atas, juga dikarenakan masing-masing institusi di atas memiliki pemahaman dan program masing-masing yang beragam. Akibatnya praktek pengelolaan kebijakan masing-masing instusi itu cenderung otonom dan tidak jarang saling tumpang tindih. Kenyataan itu menunjukan bahwa pengelolaan kebijakan terhadap isu-isu tersebut masih parsial, belum integratif dan kurang koordinasi. Sementara lembaga-lembaga ad hoc tersebutlah yang diharapkan dapat mendorong penanganan masalah keamanan non-tradisional agar lebih efektif dengan fungsi koordinatif baik dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan yang melekat pada masing-masing lembaga tersebut. Faktanya fungsi yang dimilikinya tersebut tidak jarang telah membatasi kiprahnya. Institusiinstitusi itu tidak memiliki kewenangan otoritatif untuk mengimplementasikan kebijakannya terkait dengan isu-isu NTS. Kondisi di atas pun semakin kompleks dalam era otonomi daerah dewasa ini. Dengan diimplementasikannya desentralisasi yang berarti pelimpahan kewenangan ke pemerintah daerah, hal ini telah menyebabkan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah berbeda pada era sebelumnya. Pemerintah daerah saat ini memiliki kewenangan-kewenangan yang tidak dimiliki sebelumnya. Kebijakan kehutanan misalnya, telah menempatkan pemerintah daerah sebagai pihak yang dapat mengeluarkan izin pembukaan pertambangan dan izin pengelolaan hutan dengan area konsesi yang lebih kecil dibandingkan konsesi
HPH pada era sebelumnya. Hal ini membuka peluang bagi konflik antara pihak kehutanan yang tengah berupaya menyeimbangkan desentralisasi dan pemaknaannya di tingkat lokal dalam pengelolaan kehutanan dengan meminimalisir dampak dari penebangan liar dengan pihak ESDM yang tengah berupaya menjalankan kebijakan diversifikasi energi. Kendala yang berkaitan dengan persoalan ego sektoral yang berupa koordinasi dan pembagian wewenang juga terlihat antar aparat keamanan dalam penanganan terorisme. Pada satu sisi, Polri melalui Densus 88 merupakan institusi utama yang menangkap pelaku teroris dan menanggulangi terorisme di Indonesia. Namun, pada sisi lain, UU No 34 Tahun 2004 menempatkan TNI sebagai lembaga yang menangani terorisme. Padahal kewenangan TNI seharusnya mengatasi jaringan terorisme internasional yang bekerja sama dengan jaringan teroris domestik yang dapat mengancam keamanan, integritas, dan kedaulatan nasional. Namun, yang yang berkembang di Indonesia adalah jaringan teroris domestik, yang walaupun memiliki keterkaitan dengan jaringan teroris transnasional, penanggulangannya bukan menjadi tanggung jawab TNI. Bahkan TNI juga bertugas menjadi kekuatan non-konvensional dalam penanggulangan terorisme melalui Operasi Militer Selain Perang, dimana hal ini bertentangan dengan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, yang menyatakan bahwa Polri dapat meminta bantuan kepada TNI dalam menghadapi masalah keamanan yang diatur melalui Dekrit Presiden. Artinya TNI dapat terlibat dalam penanggulangan terorisme, jika Polri memerlukan bantuan dari TNI. Ilustrasi lain yang secara jelas terpapar dalam persoalan koordinasi kelembagaan adalah dalam hal perlindungan TKI di luar negeri. Perlindungan TKI di luar negeri juga tidak mungkin berhasil dilaksanakan dengan baik oleh Kemlu RI jika dalam menjalankan fungsinya tersebut tanpa adanya dukungan dari pemangku kepentingan lainnya. Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa persoalan TKI tidak hanya terjadi saat mereka berada di negara tujuan, melainkan sejak dari masa perekrutan, penampungan dan pemberangkatan. Pendidikan
Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu Keamanan ... | Athiqah Nur Alami | 99
yang sebenarnya dapat menjadi bekal pekerja migran untuk bekerja di luar negeri, misalnya, sering tidak dilaksanakan secara maksimal oleh Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Dengan demikian, koordinasi dalam perlindungan pekerja migran ini tidak hanya melibatkan instistusi negara, namun juga pihak swasta, dan organisasi non pemerintah. Sinergi antar pemangku kepentingan ini pada waktu sebelum berangkat ke luar negeri, ketika berada di luar negeri, dan pada saat kembali ke tanah air, akan membantu mewujudkan perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri secara menyeluruh. Persoalan ketiga adalah keberadaan kebijakan yang dalam implementasinya menjadi kontra-produktif bagi diplomasi Indonesia atas soal lingkungan hidup, TKI, energi dan terorisme. Indonesia merupakan salah satu negara yang sejak tahun 1970an telah aktif terlibat dalam berbagai forum internasional yang membahas mengenai isu lingkungan dan keberlanjutan pembangunan. Namun, pada sisi lain pemerintah memperlihatkan inkonsistensi atas komitmen global akan isu lingkungan hidup dengan perilaku di dalam negeri yang mengeluarkan berbagai peraturan yang dalam praktik di lapangan memberikan kemudahan atas terjadinya pengerusakan lingkungan. Salah satunya adalah Permentan No.14 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Pemanfaatan Budidaya Kelapa Sawit. Peraturan ini memberikan ijin pembukaan lahan gambut untuk dibuka untuk ditanami kelapa sawit. Perijinan ini sejalan dengan tujuan pemerintah yang menargetkan 10% kebutuhan bahan bakar dalam negeri akan dipasok dari bahan nabati dan 70% sumbernya dari kelapa sawit pada tahun 2010, dan target pemerintah untuk terus meningkatkan produksi CPO sebesar 40 juta ton pada tahun 2020. Meskipun demikian, kebijakan ini tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah lainnya yaitu pengurangan emisi karbon sebesar 26 persen sebagaimana yang dijanjikan Presiden RI SBY di Pittsburgh. Oleh karena, setiap satu ton CPO akan menghasilkan dua ton CO, dan penggunaan pupuk nitrogen di perkebunan sawit menyumbang emisi 301 kali lebih besar dibandingkan dengan emisi CO2.
Di samping masalah kebijakan domestik yang saling berlawanan dengan komitmen global di atas, penegakan hukum atas peraturan yang ada terkait dengan lingkungan hidup, TKI, energi dan terorisme yang juga belum berjalan sebagaimana mestinya yang pada akhirnya mempersulit diplomat Indonesia di dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya di luar negeri. Penegakan peraturan hukum yang belum kokoh pada praktik di lapangan telah membuka peluang atas terjadinya pelanggaran hukum. Salah satu contoh adalah soal perijinan tambang yang pada akhirnya mengancam kelestarian lingkungan hidup. Kawasan hutan lindung yang seharusnya tidak boleh untuk dipergunakan untuk kepentingan komersial, dalam praktiknya terus terjadi alih fungsi. Seperti dinyatakan oleh Ketua Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur, Merah Johansyah, “Mereka [mafia tambang] bisa mengakses kawasan yang seharusnya tidak boleh. Di kawasan konservasi Tahura (Taman Hutan Rakyat) Bukit Soe, ada 42 izin tambang.22 Persoalan keempat, politik luar negeri Indonesia seringkali berada dalam posisi tawar yang lemah ketika berhadapan dengan kepentingan asing. Padahal Indonesia memiliki aset yang dapat menjadi instrumen diplomasi untuk memperkuat posisi tawar Indonesia. Hal ini dikarenakan masih kurangnya kapabilitas nasional baik di bidang ekonomi dan militer. Kondisi ini menyebabkan posisi dilematis politik luar negeri Indonesia. Sebagai contoh dalam isu terorisme, pada satu sisi Indonesia harus menanggung dampak dari tekanan internasional, terutama dengan adanya kebijakan luar negeri dan keamanan nasional AS yang menjadikan isu perang melawan terorisme (Global War Against Terrorism) sebagai agenda utama kebijakannya. Pada sisi lain, Indonesia yang masih menghadapi masalah sosial ekonomi seperti kemiskinan, penggangguran dan pendidikan, menjadi semakin rumit ketika pemerintah harus memilih prioritas antara penanganan masalah sosial ekonomi atau terorisme. Apalagi Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama muslim juga menghadapi stigma sebagai negara teroris sehingga merugikan
“Harga Batubara Tidak Murah”, Kompas, 3 September 2014, hlm. 1. 22
100 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 87–103
citra Indonesia di luar negeri dan mempengaruhi perekonomian Indonesia. Contoh lain adalah kasus penjualan gas alam yang murah ke Tiongkok. Indonesia mengalami kalah diplomasi soal LNG Tangguh sehingga negosiasi ulang atas harga penjualan LNG Tangguh tertunda-tunda. Menurut MOU perdagangan LNG Tangguh yang disepakati Indonesia-Cina, setiap empat tahun ada ruang untuk negosiasi ulang atas harga. Tahun 2009 dilakukan kesepakatan perjanjian eksport LNG ke Fujian (Cina) sehingga jatuh tempo negosiasi ulang harga LNG tahun 2012. Pada tahun itu Indonesia berhak mengajukan negosiasi ulang kenaikan harga, tetapi Cina meminta Indonesia menunda usulan kenaikan harga dan Indonesia mengabulkannya. Kedua negara sepakat merencanakan negosiasi ulang harga LNG akan dilaksanakan tahun 2013. Jadi, Pemerintahan SBY menunda negosiasi kenaikan harga LNG selama setahun yaitu 2012 s.d. 2013. Penundaan negosiasi harga menunjukkan pemerintah Indonesia sepakat dengan harga lama yang berarti akan semakin merugikan Indonesia.
Penutup: Rekomendasi Tantangan dan Strategi Diplomasi Indonesia Ke Depan Mengacu pada permasalahan-permasalahan kompleks yang masih dihadapi Indonesia dalam isu-isu keamanan non-tradisional di atas dapat dikatakan bahwa isu-isu tersebut masih akan menjadi tantangan serius dalam politik luar negeri Indonesia ke depan. Isu-isu keamanan non-tradisional semakin kompleks sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan dalam jangka waktu dua puluh tahun mendatang akan menjadikannya sebagai kekuatan ekonomi nomor lima di dunia. Kondisikondisi ini akan memberikan tekanan terhadap lingkungan pendukungnya. Jika hal tersebut tidak terkelola dengan baik dapat berakibat fatal terjadinya berbagai macam ancaman seperti bencana ekologis yang meliputi perubahan iklim, pemanasan global, banjir, kekeringan, penyakit dan lain sebagainya. Ancaman lainnya yang mungkin muncul adalah soal tenaga kerja (pengangguran, migrasi internasional dan lain sebagainya), energi (ketahanan energi,
ketercukupan ketersediaan energi dan lain sebagainya). Sementara kemudahan yang ditawarkan globalisasi dengan adanya kemajuan teknologi informasi juga justru semakin memfasilitasi kegiatan ilegal yang terjadi dengan melintasi batas-batas yurisdiksi negara, diantaranya adalah migrasi ilegal, perdagangan manusia dan obat terlarang, serta terorisme. Politik luar negeri Indonesia ke depannya juga perlu untuk memberikan perhatian akan kemungkinan munculnya krisis dan konflik yang tidak terduga serta sulit untuk diatasi dari munculnya ancaman baru isu keamanan non-tradisional. Terkait ancaman keamanan non-tradisional ini, garis batas antara internal dan eksternal ancaman isu ini sangatlah kabur. Artinya, ada isu yang mungkin dipandang sebagai isu eksternal oleh Indonesia tetapi isu tersebut pada kenyataannya dapat menimbulkan krisis di dalam negeri, atau sebaliknya. Kasus wabah penyakit Ebola adalah salah satu contoh nyata bahwa wabah yang semula menyebar di Afrika Barat tersebut telah menarik perhatian besar dunia. Dampak virus yang mematikan terhadap kelangsungan hidup manusia ini pada akhirnya juga menjadi isu domestik seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Akibat lanjut dari kabur batas isu internal dan eksternal tersebut di atas dan kemungkinan yang akan terjadi ke depan adalah potensi terjadinya krisis yang tidak diharapkan atau diprediksi menjadi sebuah kemungkinan yang nyata terjadi. Apalagi dengan mempertimbangkan faktor kesiapan dalam negeri yang masih jauh dari cukup untuk menghadapi hal tersebut. Hal ini karena adanya berbagai kendala yang dihadapi politik luar negeri Indonesia mulai dari ketiadaan peta jalan, kelembagaan, inkonsistensi kebijakan, kualitas sumberdaya manusia hingga keterbatasan anggaran. Isu keamanan non-tradisional akan semakin kompleks dan beragam yang menjadikan tantangan semakin berat bagi politik luar negeri Indonesia. Untuk itu ke depannya, Indonesia harus mengembangkan strategi diplomasi yang relevan dengan ancaman tersebut di masa depan. Pertama, karena karakteristik isu yang lintas batas maka penanganan harus melalui kerja sama, khususnya dalam bidang yang
Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu Keamanan ... | Athiqah Nur Alami | 101
kita merasa kuat, sehingga kita dapat berperan lebih menonjol. Kita juga dapat memanfaatkan keahlian negara atau pihak lain yang menjadi mitra kerja sama. Indonesia juga perlu berperan aktif dalam membantu menyelesaikan persoalan NTS di negara lain. Karakteristik lintas batas isu keamanan non-tradisional memungkinkan Indonesia dapat terkena dampak dari ancaman tersebut yang dialami negara lain. Sekalipun demikian, kebijakan luar negeri Indonesia tetap harus cerdas dalam menetapkan prioritas dan mempertimbangkan kapasitas ketika menentukan arena diplomasi yang relevan bagi kepentingan nasional. Kedua, dalam kerja sama itu Indonesia perlu berperan secara pro aktif, antisipatif, terutama menghadapi permasalahan yang dapat diantisipasi membawa dampak bagi Indonesia. Kerja sama internasional yang telah disepakati juga perlu ditindaklanjuti dengan kegiatan operasional yang nyata. Indonesia juga perlu menjalin kerja sama internasional dengan aktor non negara internasional melalui perwakilan Indonesia terkait di luar negeri. Ketiga, isu keamanan non-tradisional harus ditangani dengan diplomasi inklusif yang melibatkan aktor negara dan non negara. Keterbatasan kapasitas pemerintah dalam menangani persoalan NTS menjadikan peran aktor non negara seperti LSM, media, akademisi, masyarakat lokal, dan pelaku bisnis semakin signifikan. Pelibatan ini dapat dimaksimalkan untuk menjangkau aktor-aktor non negara dengan membuka ruang dialog antara pemerintah dengan aktor-aktor tersebut melalui diplomasi publik. Selain itu, perlu adanya kebijakan antar sektor di internal pemerintah (interdepth, intercamp) termasuk keikutsertaan kementerian luar negeri dalam rapat-rapat koordinasi di kemenkokemenko yang membahas masalah keamanan non-tradisional. Keempat, Indonesia harus meningkatkan kapasitas nasional yang dapat menunjang efektivitas diplomasi. Salah satunya adalah dengan cara melakukan reformasi internal di masing-masing pemangku kepentingan (aspek kelembagaan, sumber daya manusia, penguatan teknologi dan informasi, koordinasi lintas sektor) dan membangun hubungan
koordinatif yang baik antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan memahami permasalahan setiap isu keamanan non-tradisional yang berbeda karakteristiknya, maka penangangannya tidak bisa dilakukan secara generik. Untuk itu, dalam setiap perumusan dan pelaksanaan kebijakan isu tersebut, Kemlu RI harus didukung oleh sumberdaya manusia yang piawai serta dukungan informasi/data yang akurat dan cepat yang berbasis teknologi. SDM yang dimaksud mencakup kualitas diplomat dan tenaga-tenaga ahli pendukung yang menguasai substansi isu keamanan non-tradisional. Selain itu, upaya kedalam yang bisa dilakukan adalah membuat peta jalan mengenai isu-isu keamanan nontradisional yang terkait soal lingkungan hidup, energi, migrasi internasional dan terorisme. Hal ini dikarenakan kemunculan dan perkembangan isu keamanan non-tradisional sebenarnya dapat diprediksi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat. Pada akhirnya, keberhasilan politik luar negeri ke depan akan sangat ditentukan salah satunya melalui pembenahan-pembenahan kondisi di lingkup domestik sehingga bisa menjadi faktor pendukung diplomasi yang efektif. Peta jalan dengan turunannya yang implementatif mengenai isu keamanan non-tradisional, dukungan kelembagaan yang memadai dalam konsteks sinergitas, sumberdaya manusia dan anggaran, serta konsistensi pelaksanaan kebijakan menjadi pekerjaan rumah yang harus dibenahi ke depannya agar politik luar negeri Indonesia dapat merespons ancaman keamanan non-tradisional yang semakin kompleks ke depannya.
Daftar Pustaka Buku Acharya, Amitav. 2006. “Securitization in Asia: Functional and Normative Applications”, dalam Mely Caballero-Anthony, Ralf Emmers, Amitav Acharya (Eds), Non-Traditional Security in Asia: Dilemmas in Securitization. Hampshire: Asghate Publishing. Caballero-Anthony, Mely dan Alistair D.B. Cook (Eds). 2013. Non-traditional Security in Asia: Issues, Challenges and Framework for Action. Singapore: ISEAS Publishing.
102 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 87–103
Djaffar, Zainuddin. 1996/1997. “Kebijakan Politik Luar Negeri Republik Indonesia Menghadapi Kritik Barat di Bidang Lingkungan Hidup dan Tantangannya Bagi Indonesia”. Depok: FISIP UI. Hadiwinata, Bob Sugeng. 2011. “Human Security in Europe and Asia: Between Rhetoric and Reality”. dalam Seidelmann, Reimund et al. (Eds.). States, Regions and the Global System: Northern Asia-Pacific, Europe and Today’s Globalization. Baden-Baden: Nomos Verlag, S. Sebastian, Leonard. 2003. “The Indonesian Dillema: How to Participate in the War on Terror Without Becoming a National Security State”, dalam Kumar Ramakhrisna and See Seng Tan (Eds.), After Bali: The Threat of Terrorism in Southeast Asia. Singapore: Institute of Defence and Strategic Studies.
Tinangon, Carolina, Direktorat Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri RI. 2014. “Diplomasi Lingkungan Hidup”. Presentasi disampaikan pada FGD Tim Polugri di Jakarta, 18 Maret.
Surat Kabar dan Website Bencana Ekologis. “Papua, Avatar dan SBY”. 29 April 2010, http://bencanaekologis.blogspot. com/2010/04/avatar-papua-dan-sby.html. “Harga Batubara Tidak Murah”. Kompas. 3 September 2014. Siaran Pers Kemlu No 080/PR/XI/2012/54. “Kemlu Kaji Migrasi dan Pembangunan, Pengaruhnya Polugri”. 28 November 2012. http://www.kemlu.go.id/Pages/PressRelease. aspx?IDP=1372&l=id.
Laporan dan Makalah Caballero-Anthony, Mely. 2010. “Non-Traditional Security Challenges, Regional Governance, and the ASEAN Political-Security Community (APSC)”. Asia Security Initiative Policy Series, Working Paper No. 7, September. Mantong, Andrew Wiguna. 2014. “NTS and the Problem of State Policy”. Presentasi disampaikan pada FGD Tim Polugri di Jakarta, 27 Agustus.
Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu Keamanan ... | Athiqah Nur Alami | 103
104 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 87–103
MENATA ULANG PEMILUKADA MENUJU TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH DEMOKRATIS, AKUNTABEL, DAN BERKELANJUTAN1 REFORMULATING DIRECT LOCAL ELECTIONS TO ACHIEVE A DEMOCRATIC, ACCOUNTABLE AND SUSTAINABLE LOCAL GOVERNANCE Kurniawati Hastuti Dewi Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 30 Juli 2015; direvisi: 26 September 2015; disetujui: 30 Oktober 2015 Abstract This research formulated a better model of direct local elections for Indonesia. Based on the depth findings of three series of researches (2012, 2013, 2014) on direct local elections under Law No. 32/2004, this research recommended the “asymmetrical” direct local elections model in which direct local elections shall be varied in level depends on the quality of human development index and regional budget capacity. This research also suggested regulative and technical interventions to achieve democratic, accountable and sustainable direct local elections. Keywords: direct local elections, assymmetrical, local government. Abstrak Penelitian ini merumuskan model penataan ulang Pemilukada yang tepat bagi Indonesia. Atas dasar berbagai temuan empiris evaluasi format Pemilukada dibawah UU No. 32/2004 selama tiga tahun berturut-turut (2012, 2013, 2014) penelitian ini merekomendasikan Pemilukada “asimetris” dimana Pemilukada dilaksanakan bervariasi levelnya tergantung kemampuan sumber daya manusia dan kemampuan keuangan daerah. Selain itu, penelitian ini merekomendasikan berbagai intervensi regulative dan teknis untuk menata ulang Pemilukada yang demokratis, akuntabel, berkelanjutan. Kata Kunci: pemilihan langsung kepala daerah (pemilukada), asimetris, pemerintahan daerah.
Pendahuluan Pasal 56 UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah memperkenalkan mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung (selanjutnya disingkat Pemilukada) di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Melalui Pemilukada, masyarakat lokal memilih sendiri kepala
daerahnya tanpa melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagaimana ditetapkan UU No. 22/1999. Pemilukada diharapkan akan meningkatkan partisipasi masyarakat, supaya menghasilkan kepala daerah yang aspiratif dan memiliki komitmen kuat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Tim Peneliti terdiri dari: Dr. Kurniawati Hastuti Dewi (koordinator), Prof. Dr. Indria Samego, Dra. Sri Nuryanti, MA., Drs. Afadlal, MA., Pandu Yusina Adaba S.Ip., Nyimas Latifah Letty Aziz, SE, MSc. 1
Menata Ulang Pemilukada ... | Kurniawati Hastuti Dewi | 105
Sebagai perwujudan dari amanat UndangUndang di atas, sejak 1 Juni 2005 hingga 6 Agustus 2013, telah berlangsung 954 Pemilukada di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.2 Kini setelah lebih kurang sembilan tahun implementasi Pemilukada, memang berbagai dampak positif dirasakan. Sebagai contoh, Kementerian Dalam Negeri memberikan Innovation Government Award (IGA) atau Penghargaan Pemerintah Daerah Inovatif untuk Pemerintah Daerah khususnya kabupaten/kota yang melakukan inovasi dalam rangka memajukan daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. 3 Hal yang serupa juga diberikan lembaga nonpemerintah misalnya, The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) menganugerahkan Otonomi Award setiap tahun bagi kabupaten/ kota yang berprestasi.4 Meskipun menunjukkan keberhasilan, Pemilukada belum dapat dikatakan sepenuhnya sukses. Menurut data Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, sampai dengan tahun 2013, terdapat 954 pasangan kepala daerah baik di provinsi maupuan kabupaten/kota yang terpilih, namun kemudian terjerat permasalahan hukum.5 Pada tataran legislatif, sekitar 2000 anggota DPRD harus berurusan dengan hukum.6 Dalam perkembangannya, Pemilukada menjadi polemik yang mengerucut pada pro dan kontra. Para akademisi7 dan Lembaga Swadaya Prof. Dr. H. Djohermansyah Djohan, MA, Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, “Dinamika Dan Ekses Pilkada Langsung,” Makalah disampaikan dalam FGD tim Pemilukada, 26 Agustus 2013 di LIPI Jakarta, tanpa hlm. 2
Kemendari, University Network for Governance Innovation, “Innovation Government Award,” http://igi.fisipol.ugm.ac.id/ index.php/id/innovation-government-award, diakses pada tanggal 24 Januari 2014. 3
The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP), University Network for Governance Innovation, http://igi.fisipol.ugm. ac.id/index.php/id/jpip-otonomi-awards, diakses pada tanggal 24 Januari 2014. 4
Prof. Dr. H. Djohermansyah Djohan, MA., Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, “Dinamika Dan Ekses Pilkada Langsung,” tanpa hlm. 5
Robert Endi Jaweng, “Korupsi dan Revisi UU Pemda,” Media Indonesia, 24 Januari 2014, http://www.kppod.org/index.php/ en/berita/berita-media/261-korupsi-dan-revisi-uu-pemdac, diakses pada tanggal 27 Januari 2014. 6
7
Sebagai contoh Hasyim Asy’ari, “Mempertahankan Pilkada
Masyarakat seperti Perludem, 8 mendukung Pemilukada karena pemilihan kepala daerah secara langsung di provinsi maupun kabupaten/ kota selaras dengan sistem presidensial. Sementara itu, pemerintah memiliki pendapat berbeda bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung tidak bisa disebut sebagai satu-satunya format pemilihan yang “demokratis”. Karena jika kata “demokratis” dalam Perubahan II UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasal 18 ayat (4) hanya dimaknai sebagai pemilihan secara langsung semata, bertentangan dengan konstitusi karena pasal 18B ayat 1 UUD 1945 menghormati keragaman, kekhususan, dan keistimewaan daerah-daerah di Indonesia dalam bingkai negara kesatuan, yang melahirkan desain pemilihan kepala daerah sebagai pilkada “asimetris” sebagaimana terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Istimewa Aceh, dan Provinsi Papua Barat.9 Di antara pro dan kontra mengenai Pemilukada di provinsi maupun kabupaten/ kota, tim kajian Pemilukada Pusat Penelitian Politik LIPI memposisikan untuk mendukung pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung (Pemilukada) baik di provinsi maupun kabupaten/kota. Posisi ini didasari oleh hasil kajian empiris selama dua tahun berturut-turut. Kajian tahun pertama (2012) fokus pada evaluasi format Pemilukada di tingkat kabupaten/kota, yang menghasilkan indikasi perlunya Pemilukada asimetris di tingkat kabupaten/kota dengan memperhatikan aspek sosial budaya masyarakat Langsung,“ Makalah disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD), “Evaluasi Format Pilkada”, diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Politik (P2P), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, 4 April 2013; Reza Syawawi dan Khoirunnisa Nur Agustyati, “Membunuh Demokrasi Lokal: Mengembalikan Pemilihan Gubernur Kepada DPRD Provinsi,” hlm. 16. Titi Anggraini dkk, Menata Kembali Pengaturan Pemilukada (Jakarta: Perludem, 2011), hlm. 24. Posisi Perludem didasarkan argumen Jimly Asshiddiqie bahwa ketentuan pasal dalam konstitusi harus dimaknai sejalan dan tidak boleh bertentangan, maka kata “demokratis” dalam pasal 18 ayat (4), harus sejalan dengan amandemen III UUD 1945 pasal 6A ayat (1) yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. 8
Pendapat Prof. Dr. H. Djohermansyah Djohan, MA., Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, “Dinamika Dan Ekses Pilkada Langsung,” tanpa hlm. 9
106 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 105–118
setempat.10 Kajian tahun kedua (2013) fokus pada evaluasi format Pemilukada di tingkat provinsi, yang salah satunya menemukan permasalahan mendasar mengenai desain institusional Pemilukada di dalam UU No. 32/2004 yang menggunakan model simetris yaitu menyeragamkan kebijakan Pemilukada untuk semua provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Padahal kondisi setiap daerah dari segi kemampuan sumber daya manusia dan keuangan daerah tidak merata, sehingga mengakibatkan pelaksanaan dan hasil Pemilukada diliputi berbagai masalah.11 Salah satu hasil kajian tahun kedua (2013) adalah memetakan kesiapan provinsi dalam melaksanakan Pemilukada berdasarkan kemampuan sumber daya manusia (Indeks Pembangunan Manusia) dan kemampuan keuangan daerah dari Level I s/d Level VI,12 kemudian merekomendasikan model Pemilukada asimetris di tingkat provinsi.13 Melalui dua tahun kajian berturut-turut ini, tim berpendapat bahwa menelaah Pemilukada tidak cukup menggunakan pendekatan politik semata, tetapi perlu pendekatan menyeluruh mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat. Persoalannya adalah, dalam UU No.32/2004, aspek sosial, ekonomi, budaya sebagai fakta keragaman daerah ini tidak Tim Penelitian Pemilukada Pusat Penelitian Politik LIPI (Prof. Dr. Indria Samego, Dra. Sri Nuryanti, MA., Dr. Tri Ratnawati, Drs. Afadlal, MA, Pandu Yusina Adaba S.Ip., Dini Suryani S.Ip), “Evaluasi Praktik Pemilukada Langsung di Kabupaten/ Kota dan Beberapa Usulan Penyempurnaan ke Depan,” Executive Summary, Jakarta, 2012. 10
Tim Penelitian Pemilukada Pusat Penelitian Politik LIPI (Dr. Kurniawati Hastuti Dewi, Prof. Dr. Indria Samego, Dra. Sri Nuryanti, MA., Drs. Afadlal, MA., Pandu Yusina Adaba S.Ip., Dini Suryani, S.Ip), Evaluasi Format Pemilukada Menuju Pemerintahan Daerah yang Baik dan Efektif di tingkat Provinsi, Policy Paper, Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta, 2013, belum diterbitkan. 11
Lihat Kurniawati Hastuti Dewi, “Pemilihan Kepala Daerah Provinsi: Perubahan, Kesinambungan dan Pemetaan Kesiapan Daerah,” dalam Kurniawati Hastuti Dewi (Ed.), Evaluasi Format Pemilukada Menuju Pemerintahan Daerah yang Baik dan Efektif di tingkat Provinsi, Laporan penelitian tim Pemilukada, Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta, 2013, tanpa hlm (belum diterbitkan). 12
Kurniawati Hastuti Dewi, dkk, “Kesimpulan dan Rekomendasi,” dalam Kurniawati Hastuti Dewi (Ed.), Evaluasi Format Pemilukada Menuju Pemerintahan Daerah yang Baik dan Efektif di tingkat Provinsi, Laporan penelitian tim Penelitian Pemilukada, Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta, 2013, tanpa hlm. (belum diterbitkan). 13
dipertimbangkan di dalam menyusun desain Pemilukada. Hal inilah yang menjadi fokus kajian tahun ketiga ini, di mana tim berusaha menata dan merekomendasikan model Pemilukada di kabupaten/kota dan provinsi yang tepat untuk Indonesia.
Filosofi Pemilukada Logika sederhana dibalik pengenalan mekanisme Pemilukada adalah bahwa, mekanisme Pemilukada diharapkan akan meningkatkan partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses politik di daerah yang demokratis dalam menentukan kepala daerahnya supaya menghasilkan pemerintah daerah yang aspiratif dan memiliki komitmen kuat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ada harapan akan adanya timbal balik positif antara peningkatan partisipasi politik masyarakat melalui Pemilukada dengan perubahan kinerja pemerintah daerah yang lebih baik.14 Jadi, secara ideal Pemilukada dilihat sebagai mekanisme yang memungkinkan tercapainya kesejahteraan masyarakat secara efektif dan cepat, dibandingkan misalnya mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Amandemen III UUD 1945 pasal 6 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”, menggantikan UUD 1945 sebelum amandemen yang memberikan kewenangan pada MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden. Dari sini, nampak jelas adanya konsistensi tiap pasal dalam UUD 1945 hasil amandeman III, untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Dalam kerangka itulah, upaya penataan Pemilukada yang akan dilakukan oleh tim peneliti berpijak pada memperkuat sistim pemerintahan presidensial. Oleh karena pemilihan presiden telah diserahkan langsung kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi, maka jabatan-jabatan dibawahnya termasuk kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai kepala daerah otonom, yang memperoleh kewenengan oleh konstitusi, sebaiknya dipilih langsung oleh rakyat. Vedi R. Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective (Stanford California: Stanford University Press, 2010), hlm. 121. 14
Menata Ulang Pemilukada ... | Kurniawati Hastuti Dewi | 107
Jadi, filosofi pemilihan kepala daerah secara langsung di kabupaten/kota dan provinsi adalah untuk mendudukkan satuan pemerintah daerah pada posisi yang kuat sebagai salah satu bagian struktur ketatanegaraan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memperoleh legitimasi dari konstitusi (bukan pemberian dari pemerintah pusat), supaya dapat menghasilkan gubernur, bupati, dan walikota yang bekerja sepenuhnya bagi kesejahteraan rakyat. Selain menjaga dan memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Bagian berikutnya akan memaparkan dan menegaskan konsep mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung dengan model ‘asimetris’ yang digagas oleh tim peneliti Pemilukada LIPI. Asimetri ideal menurut Tarlton dalam sistem federal merupakan kondisi unit politik yang memiliki perbedaan perhatian, karakter, yang eksis dan meliputi komunitas secara keseluruhan. 15 Pengertian tentang desentralisasi asimetris lainnya dikemukakan oleh Jennie Litvack, Junaid Ahmad, Richard Bird dari the World Bank yang mengatakan bahwa perbedaan ekonomi, demografi, dan kondisi sosial dalam daerah-daerah tertentu mengakibatkan kebijakan politik atau desentralisasi yang “satu ukuran untuk semua” (one size fits all) tidak mungkin diterapkan. Oleh karena itu ,untuk mengakomodasi kebutuhan yang berbeda-beda itu diperlukan kebijakan, khususnya dalam hal desentralisasi dengan prinsip desentralisasi asimetris yaitu yang memperlakukan unit yang berbeda (kondisinya) secara berbeda pula untuk mencapai tujuan yang sama.16 Kajian dari Jurusan Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebutkan setidaknya lima model yang menjadi basis asimetrisme yang dipraktikkan di Indonesia. Pertama, model asimetrisme yang didasarkan pada kekhasan daerah karena faktor politik terkait sejarah konflik yang panjang misalnya Charles D. Tarlton, “Symmetry and Assymetry as Element of Federalism: A Theoretical Speculation”, the Journal of Politics, Vol. 27 (1965): 869. 15
Jennie Litvack, Junaid Ahmad, Richard Bird, “Rethinking Decentralization in Developing Countries”, The World Bank Sector Studies Series, September 1998, http:// internationalbudget.org/wp-content/uploads/RethinkingDecentralization-in-Developing-Countries.pdf, diakses pada tanggal 10 April 2014, hlm. 23. 16
di Aceh dan Papua. Kedua, model asimetrisme yang didasarkan pada kekhasan daerah berbasis sosio-kultural seperti di Daerah Istimewa Yogyakarta. Ketiga, model asimetrisme yang didasarkan kekhasan daerah berbasis geografisstrategis misalnya di daerah perbatasan seperti di Kalimantan Barat, Papua, Kepulauan Riau. Keempat, model asimetrisme yang didasarkan pada kekhasan daerah berbasis potensi dan pertumbuhan ekonomi seperti di Papua, Aceh, Kalimantan Barat, Batam, Jakarta. Kelima, model asimetrisme berbasis tingkat akselerasi pembangunan dan kapasitas governability seperti di Papua. 17 Asimetrisme yang diusulkan tim peneliti Pemilukada LIPI adalah menyangkut desain pemilihan kepala daerah secara langsung. Asimetris yang dimaksud di sini bukan atas dasar konstitusi (de jure) seperti pasal 18B ayat 1 UUD 1945 yang menghormati keragaman, kekhususan, dan keistimewaan daerah-daerah di Indonesia dalam bingkai NKRI, sehingga memberikan keistimewaan dalam mekanisme Pemilukada Langsung di Daerah Istimewa Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Papua Barat, dan DKI Jakarta. Pemilihan kepala daerah secara langsung dengan model asimetris, usulan tim peneliti Pemilukada LIPI, didasarkan pada fakta kondisi daerah (de facto) yang dapat dilihat dari aspek sosial berupa kemampuan sumber daya manusia daerah yang tercermin dari Indeks Pembangunan Manusia (angka harapan hidup, angka melek huruf, pendikan), ekonomi yang tercermin dari kemampuan keuangan daerah, dan memperhatikan aspek budaya. Kajian tim peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI mengenai evaluasi format Pemilukada di kabupaten/kota dan provinsi selama dua tahun berturut-turut tersebut memiliki benang merah yang sama yaitu: bahwa setiap daerah memiliki kekhasan baik dari segi sosial budaya, sumber daya manusia, maupun kemampuan keuangan daerah yang harus dipertimbangkan masakmasak dalam membuat desain Pemilukada yang paling tepat dengan keragaman kondisi Indonesia. Maka, pemilihan kepala daerah Tim Peneliti Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM, Laporan Akhir Desentralisasi Asimetris Yang Menyejahterakan: Aceh dan Papua (Yogyakarta: Jurusan Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, 2012), hlm. 9-10. 17
108 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 105–118
secara langsung dengan model asimetris, usulan tim peneliti Pemilukada LIPI, didasarkan pada fakta kondisi daerah (de facto) yang dapat dilihat dari aspek sosial berupa kemampuan sumber daya manusia daerah yang tecermin dari Indeks Pembangunan Manusia (angka harapan hidup, angka melek huruf, pendikan), ekonomi yang tecermin dari kemampuan keuangan daerah, dan memperhatikan aspek budaya. Hal ini karena kualitas demokrasi langsung seperti halnya pemilihan kepala daerah, tidak saja ditentukan oleh kualitas politik (“quality of politics”) tetapi juga oleh kualitas masyarakat (“quality of society”) sebagaimana ditegaskan oleh David F.J. Campbell.18 O’Donnel (2004) menegaskan pandangannya, bahwa salah satu komponen penting bahkan sangat dasar dari demokrasi, yang selama ini kerap diabaikan orang adalah, manusia dalam hal ini warga negara sebagai agen (agency); dimana O’Donnel percaya ada hubungan erat antara demokrasi, pembangunan manusia (Human Development), dan hak asasi manusia (Human Rights).19 O’Donnel menegaskan bahwa dalam sebuah sistim demokrasi, penguasa harus dapat memenuhi tiga macam akuntabilitas. Pertama, akuntabilitas keterpilihan vertikal (“vertical electoral accountability”) dihasilkan dari pemilihan umum yang jujur dan institusional dimana warga negara dapat berpindah partai politik dan memilih pejabat pemerintah. Kedua, akuntabilitas masyarakat (“societal accountability”) dimana warga negara atau kelompok warga negara dapat menempuh jalur hukum untuk mendesak negara agar mampu mencegah, mengatasi dan menghukum pejabat publik yang melanggar hukum. Ketiga, akuntabilitas horizontal (“horizontal accountability”) dimana terdapat lembaga negara yang memiliki kewenangan mencegah, mengatasi, dan menindak pejabat atau lembaga
negara yang melanggar hukum. 20 Menurut O’Donnel, jika akuntabilitas keterpilihan vertikal mutlak ada dalam sebuah sistim demokrasi, maka akuntabilitas masyarakat dan akuntabilitas horizontal sangat beragam kondisi dan kefektifitasannya, misalnya satu masyarakat bisa saja tidak memiliki karakter yang kritis dibarengi dengan kondisi kelembagaan negara yang lemah, sehingga dapat dikategorikan sebagai demokrasi dengan mutu rendah (“lowquality democracy”).21 Jadi, menurut tim peneliti LIPI Pemilukada harus dilaksanakan dengan memperhatikan kualitas sumber daya manusia di daerah yang tercermin dari Indeks Pembangunan Manusia yang merupakan indeks komposit kombinasi dari tiga komponen yaitu: Angka Harapan Hidup, Pengetahuan yang diukur melalui Angka Melek Huruf dan Rata-Rata Sekolah, serta pendapat atau Standar Hidup Layak yang diukur dari Pengeluaran Perkapita. Untuk mengukur kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dari ‘rasio ketergantungan daerah’ yang ditunjukkan oleh rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total pendapatan dan rasio dana transfer terhadap total pendapatan: semakin besar angka rasio PAD terhadap total pendapatan, maka ketergantungan daerah semakin kecil; dan semakin besar angka rasio dana transfer terhadap total pendapatan maka semakin besar tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal.22 Tabel 1. memperlihatkan hasil simulasi level kesiapan provinsi dalam melaksanakan Pemilukada berdasarkan IPM dan kemampuan keuangan daerah.
Guillermo A. O’Donnell, “Why the Rule of Law,” Journal of Democracy, Vol. 15, No. 4, Oktober 2004, hlm. 37, http:// muse.jhu.edu/journals/jod/summary/v015/15.4odonnell.html, diakses pada tanggal 14 Oktober 2013. 20
David F.J. Campbell, 29 September 2008, http://www. democracyranking.org/downloads/basic_concept_democracy_ ranking_2008_A4.pdf, diakses pada tanggal 11 Oktober 2013), hlm. 35. 18
Guillermo O’Donnell, “Human Development, Human Rights, and Democracy,” dalam Guillermo O’Donnell, Jorge Vargas Cullell, Osvaldo M. Iazzetta (Eds.), The Quality of Democracy Theory and Applications, (USA: University of Notre Dame Press, 2004), hlm. 9-10.
21
19
Ibid.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Deskripsi dan Analisis APBD 2013 (Jakarta: Kementerian Keungan Republik Indonesia, 2013), hlm. 35. 22
Menata Ulang Pemilukada ... | Kurniawati Hastuti Dewi | 109
Tabel 1. Peta Kesiapan Provinsi dalam Melaksanakan Pemilukada
Kategori IPM TINGGI Kemampuan Keuangan KUAT
IPM TINGGI Kemampuan Keuangan LEMAH IPM SEDANG Kemampuan Keuangan KUAT IPM SEDANG Kemampuan Keuangan LEMAH IPM RENDAH Kemampuan Keuangan LEMAH
Provinsi DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Kalimantan Timur, Bali. Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung, Jambi, Bengkulu Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Banten Aceh, Papua Barat, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah Maluku Utara, Papu, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat
Kesiapan LEVEL I Bisa dilakukan Pemilukada
LEVEL II Bisa dilakukan Pemilukada LEVEL III Bisa dilakukan Pemilukada LEVEL IV Bisa dilakukan Pemilukada tetapi kemungkinan banyak masalah muncul LEVEL V Bisa dilakukan Pemilukada tetapi perlu asistensi teknis di beberapa aspek dari pemerintah pusat
Sumber: dibuat oleh tim peneliti dengan mengolah data dasar Peta Kemampuan Sumber Daya Manusia Provinsi dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (2012), dan Grafik Rasio Ketergantungan Pemerintah Provinsi (2013), yang sudah disajikan lebih dahulu.
Menata Sistem Pemilukada Untuk mengatasi pelbagai permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilukada langsung, maka yang diperlukan adalah adanya intervensi atas sistem penyelenggaraan pemilukada yang selama ini dilaksanakan. Oleh karena itu, diperlukan intervensi yang sifatnya regulatif dan sifatnya teknis. Intervensi regulatif diperlukan untuk memberikan masukan dan/atau perubahan atas klausul di dalam UU dan/atau pengaturan lainnya agar proses penyelenggaraan pemilukada langsung dapat terselenggara dengan demokratis, akuntabel dalam prosesnya dan berkelanjutan dalam hal programatik dari hasil pemilukadanya. Sedangkan intervensi teknis merupakan dokumen penunjang dan teknis penyelenggaraan yang akan menghasilkan Kepala Daerah yang tidak tersangkut masalah hukum, mempunyai kapabilitas untuk menjadi pemimpin daerah dan mempunyai integritas yang tinggi.
Proses Pemilukada Secara teoritik, Pemilukada merupakan kompetisi politik di tengah masyarakat. Persaingan partai atau gabungan partai memperebutkan posisi kepala daerah tentu harus mencerminkan interaksi kelompok sosial. Politik kepartaian tentu dengan sendirinya mencerminkan perbedaan orientasi basis sosial pendukung. Sesuai prinsip keterwakilan masyarakat di dalam organisasinya, kelompok sosial jelas harus mendukung politik kepartaian tertentu. Hubungan partai dan basis sosial tidak harus permanen. Sebagai suatu pengelompokan warga negara, partai mewakili perilaku politik masyarakat. Di satu pihak, partai memiliki identitas organisasional yang mewakili cita-cita dan aspirasi masyarakat. Di pihak lain, masyarakat memiliki identifikasi kuat dengan organisasinya. Hubungan timbal balik yang cenderung bersifat saling memperkuat ini terjadi ketika partai mulai berhasil melakukan institusionalisasi organisasi di masyarakat.
110 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 105–118
Tabel 2. Intervensi Regulatif No 1
Tahapan Pra Tahapan: Masa Akhir Jabatan Kepala Daerah
Permasalahan Kadang terjadi politisasi karena tergantung dengan DPRD.
2
Anggaran Pemilukada sebaiknya dari APBN
Tarik ulur dengan Pemda terkait penyediaan anggaran Pemilukada.
3
Pembentukan badan pelaksana Pemilukada Pembuatan Daftar Pemilih pada Pemilukada
Menunggu anggaran/belum disetujuinya anggaran/belum ada hibah. Bermasalah apabila tidak ada kerjasama dan sinkronisasi data dari berbagai sumber. Susah mendapatkan data yang mutakhir, komprehensif dan akurat. Dukungan ganda, status legal formal partai politik, konflik kepemimpinan pada partai politik atau pemenuhan dukungan perseorangan.
4
5
Tahap Pencalonan: Pemenuhan syarat pencalonan
6
Tahap Pencalonan: Pemenuhan Syarat Calon
Pemenuhan syarat pendidikan minimal setingkat SMA; soal ketentuan tidak pernah dijatuhi pidana dengan ancaman pidana minimal 5 tahun; terkait verifikasi atas persyaratan bahwa calon mengenal daerahnya dan dikenal masyarakat; terkait penyerahan daftar kekayaan pribadi dan bersedia diumumkan; dengan posisi incumbent .
7
Kampanye
Penggunaan fasilitas negara dan pengerahan birokrasi.
8
Pemungutan dan Penghitungan Suara Penyelesaian sengketa pemilukada
Menjajagi kemungkinan digunakannya e voting dan atau e counting technology. Jalur sengketa tidak satu pintu.
9
Solusi KPU tidak dibebani keharusan untuk menunggu terlaksananya sidang DPRD. Agar tidak menjadi lahan politisasi dan tarik ulur antara Pemda dengan KPU. Anggaran diambilkan dari APBN, tidak perlu hibah. Pemutakhiran terus menerus dan penyandingan data dari sumber lain.
Ketentuan Undang-undang tentang partai politik yang boleh mencalonkan adalah partai politik yang mempunyai kedudukan hukum yang sah dari Kemenkumham. Pendidikan menjadi minimal setingkat sarjana dan mempunyai ketrampilan di bidang tatakelola atau manajemen yang dibuktikan dengan sertifikat atau keterangan lain. Calon yang sedang berperkara hukum, tidak diperbolehkan mencalon menyampaikan naskah akademis dan naskah usulan program RPJMD. Pelaporan kekayaan, dilampiri dengan ditandatanganinya pakta integritas dan pernyataan siap diaudit apabila diperlukan untuk pengawasan penggunaan anggaran negara. Adanya mekanisme untuk tidak dimanfaatkannya birokrasi dan fasilitas negara untuk keperluan itu. Penegasan mengenai mekanisme yang tidak memberi peluang penggunaan fasilitasi daerah/negara oleh incumbent yang mengatur tentang batas frekuensi maksimal yaitu sekali saja. Ketentuan UU tentang penggunaan TI. Ketentuan final dan mengikat, keputusan lembaga hukum lain, tidak berpengaruh terhadap keputusan.
Sumber: dirumuskan oleh tim peneliti.
Menata Ulang Pemilukada ... | Kurniawati Hastuti Dewi | 111
Tetapi, Pemilukada telah menampilkan politik kepartaian menurut versinya sendiri. Partai belum berhasil menggerakkan “auto activiteit, rakyat menentukan nasibnya sendiri, memperbaiki nasibnya sendiri.” 23 Kesadaran masyarakat tentang pembentukan pemerintahan daerah dan pengawasannya masih belum kuat. Partai berjalan sendiri dan masyarakat masih menenggangnya. Calon kepala daerah berkampanye dengan memanfaatkan tokoh kharismatik. Partai yang berafiliasi kepadanya akan membangkitkan semangat massa untuk memenangkan calon, sambil melakukan konsolidasi organisasi. Meskipun tidak banyak memuji tokoh tersebut, calon berharap mendapatkan dukungan suara pemilih yang mengaguminya. Partai mengaktualisasikan cita-citanya dan calon berjanji mewarisi kebajikannya. Selain itu, mobilisasi massa berjalan dengan membangkitkan aliran politik. Untuk mendapatkan basis sosial, calon bisa memobilisasi satu atau dua aliran politik, abangan dan santri. Penggabungan kedua aliran terjadi ketika calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah masing-masing mewakili aliran yang berbeda. Secara umum dapat dikatakan bahwa kampanye yang melibatkan partai-partai nasionalis dan religius tidak jarang memobilisasi massa dengan semangat aliran. Dalam kaitan membujuk pemilih, kampanye menyediakan panggung perdebatan para calon mengenai isu pemerintahan daerah. Massa mungkin menilai penampilan dan kecerdasan calon. Pendukung bersorak kalau calonnya dapat memainkan strategi menjatuhkan lawan debat. Secara umum perdebatan calon masih dipandang sebagai sebuah pertandingan, bukan penajaman perbedaan program. Calon kepala daerah tampak mengalami kesulitan menegakkan keadilan dalam penyelenggaraan kampanye. Pembatasan biaya pencalonan banyak dilanggar karena kuatnya pengaruh politik uang. Dapat dipahami, kampanye meliputi pula pemberian uang kepada para pemilih agar seorang calon dapat unggul dalam kompetisi. Hal ini terjadi
terutama di daerah miskin. Masyarakat terpaksa menjual suara politik untuk keuntungan sesaat. Tidak dapat diketahui secara pasti apakah Pemilukada yang melibatkan masyarakat dalam pemilihan kepala daerah secara langsung telah membangun kesadaran tentang penggunaan hak pilih secara rasional. Hal ini karena pemilih sering masih dipengaruhi oleh pertimbangan primordialisme dan parokhialisme. Penggunaan hak pilih tentu harus menegakkan moralitas damai. Tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa Pemilukada masih melibatkan sumber kekerasan, yaitu ikatan primordial. 24
Hasil Pemilukada: Kelebihan dan Kekurangan Pemilukada Meskipun sudah hampir sepuluh tahun berjalan, Pemilukada yang diharapkan sebagai perwujudan demokrasi dirasakan masih sangat jauh karena masih tingginya aksi kekerasan massa yang jauh dari nilai demokrasi, buruknya pengelolaan pemerintahan dan lembaga politik, rendahnya partisipasi publik, dan masih jauhnya kebebasan sipil dalam berpendapat dan berserikat. Selain persoalan tersebut, sistim rekrutmen yang kurang transparan dan tidak demokratis juga menjadi alat monopoli partai politik. Tidak hanya itu saja, dengan adanya kecurangan-kecurangan money politics, black campaign, penggelembungan suara, pemanfaatan struktur birokrasi, dan masih kuatnya politik identitas pada akhirnya menghasilkan pemimpin-pemimpin yang korup. Akibatnya, berdampak pada menurunnya kualitas pelayanan publik sehingga berpengaruh pula pada pelaksanaan tata kelola pemerintahan daerah. Berdasarkan pada laporan tim Pemilukada tahun 2012 dan 2013, kepala daerah terpilih (gubernur, bupati/walikota) hasil Pemilukada belumlah tentu menunjukkan kinerja yang baik dan akuntabel. Hal ini dikarenakan banyaknya kasus-kasus korupsi yang terjadi yang melibatkan para eksekutif dan legislatif sehingga mereka terjebak di dalamnya. Sementara masyarakat memiliki harapan terhadap kepala daerah Kalangan politisi yang menolak pemilukada dan menggantikannya dengan pemilihan kepala daerah oleh DPRD menganggap ancaman kekerasan sosial dan politik masih manifest, paling tidak tetap laten. 24
Terminologi berasal dari Mohammad Hatta, dan penggunaannya dikaitkan dengan pertumbuhan institusi politik lokal otonom. 23
112 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 105–118
terpilih melalui pemilukada sebagai perwujudan demokrasi untuk menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Masih banyak wilayah-wilayah yang dianggap belum melaksanakan kebebasan demokrasi dalam bidang pemerintahan dan birokrasi. Hal ini terjadi dikarenakan masih belum adanya transparansi pemerintah terhadap dokumen-dokumen publik menyangkut APBD dan Perda. Meskipun pemerintah daerah memiliki website resmi, namun masyarakat masih kesulitan untuk mengakses data/informasi publik yang dibutuhkan meskipun fitur yang ditampilkan tersedia. Selain persoalan keterbukaan informasi publik, lemahnya pengawasan publik dan partisipasi masyarakat terjadi karena peran DPRD yang dirasakan masih sangat kurang. Contohnya masih kurangnya kualitas public hearing dan pengaduan masyarakat di DPRD. Partisipasi masyarakat di birokrasi pemerintahan juga masih rendah sehubungan dengan pelayanan dasar di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Hal ini terjadi
dikarenakan kurangnya inisiatif birokrasi dalam membentuk forum reguler antara pemerintah dengan masyarakat. Salah satu contohnya terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur dimana saluran pengaduan untuk masyarakat belum tersedia terkait dengan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan kemiskinan. Perlu dipahami bahwa kinerja pemerintahan daerah yang buruk terjadi tidak hanya bergantung pada kondisi sosial geografis suatu daerah tetapi juga ditentukan oleh kemampuan pemimpinnya. Pemimpin (kepala daerah) terpilih diharapkan mampu untuk melakukan inovasi-inovasi dengan memanfaatkan sumber daya yang ada (sumber daya alam, sumber daya manusia, dan kemampuan fiskal daerah). Dengan demikian kepala daerah terpilih sebagai hasil pemilukada diharapkan mampu menciptakan pemerintahan yang akuntabel. Berikut ini kelebihan dan kekurangan hasil Pemilukada ditinjau dari aspek demokrasi, akuntabilitas, dan berkelanjutan:
Tabel 3. Kelebihan dan Kekurangan Hasil Pemilukada ditinjau dari Aspek Demokrasi, Akuntabilitas, dan Berkelanjutan Aspek Demokrasi
Akuntabilitas
Kelebihan Masyarakat memiliki ruang demokrasi yang luas untuk memilih kepala daerahnya sehingga kepala daerah terpilih memiliki legitimasi yang kuat dan bertanggung jawab penuh kepada masyarakat.
Kekurangan Saran Proses pemilihan memakan Adanya koreksi dari biaya tidak sedikit sehingga masyarakat terhadap dikhawatirkan kepala birokrasi pemerintah daerah terpilih akan terutama yang terkait menyalahgunakan dengan penggunaan kewenangan anggaran anggaran (APBD), salah (APBD) untuk menutupi satunya melalui kemudahan ongkos politik yang sudah dalam mengakses dokumendikeluarkan selama masa dokumen publik. kampanye. Apabila konstituen tepat Apabila konstituen keliru Masyarakat harus memilih kepala daerah memilih kepala daerah melakukan check and maka program maka program balances dengan adanya pembangunan akan berjalan pembangunan tidak akan transparansi dan partisipasi sesuai dengan platform visi berjalan karena masyarakat dalam dan misi kepala daerah yang kepala daerah terpilih tidak merencanakan dan terlibat dituangkan dalam RPJMD memiliki kemampuan langsung dalam programmanajerial yang baik. program pembangunan. Kepala daerah terpilih Kualitas pelayanan publik, Perlunya kontrol atau memiliki akuntabilitas kesehatan, pendidikan dan pengawasan publik yang dalam pelayanan publik, perekonomian berkurang ketat dari masyarakat, LSM, kesehatan, pendidikan dan karena kepala daerah media, dan DPRD baik perekonomian. terpilih cenderung melalui akses keterbukaan memenuhi target-target informasi publik maupun politik tertentu dan melalui laporan terbukanya peluang korupsi pertanggungjawaban kepala| 113 Menata Ulang Pemilukada ... | Kurniawati Hastuti Dewi melalui APBD. daerah. Kepala daerah terpilih Kepala daerah terpilih tidak Memilih kepala daerah yang mampu menciptakan proses mampu menciptakan proses memiliki kemampuan kerja yang baik, seimbang, kerja yang baik, seimbang, manajerial dan memiliki
maka program pembangunan akan berjalan sesuai dengan platform visi dan misi kepala daerah yang dituangkan dalam RPJMD Akuntabilitas
Berkelanjutan
Kepala daerah terpilih memiliki akuntabilitas dalam pelayanan publik, kesehatan, pendidikan dan perekonomian.
Kepala daerah terpilih mampu menciptakan proses kerja yang baik, seimbang, dan profesional sehingga mampu memberikan pelayanan publik yang maksimal. Kepala daerah terpilih memberikan ruang bagi aspirasi dan partisipasi masyarakat untuk turut serta dalam program pembangunan. Kepala daerah terpilih mampu melakukan inovasiinovasi dan membuka ruang investasi bagi masyarakat.
maka program pembangunan tidak akan berjalan karena kepala daerah terpilih tidak memiliki kemampuan manajerial yang baik. Kualitas pelayanan publik, kesehatan, pendidikan dan perekonomian berkurang karena kepala daerah terpilih cenderung memenuhi target-target politik tertentu dan terbukanya peluang korupsi melalui APBD. Kepala daerah terpilih tidak mampu menciptakan proses kerja yang baik, seimbang, dan profesional sehingga pelayanan publik berkurang.
balances dengan adanya transparansi dan partisipasi masyarakat dalam merencanakan dan terlibat langsung dalam programprogram pembangunan. Perlunya kontrol atau pengawasan publik yang ketat dari masyarakat, LSM, media, dan DPRD baik melalui akses keterbukaan informasi publik maupun melalui laporan pertanggungjawaban kepala daerah. Memilih kepala daerah yang memiliki kemampuan manajerial dan memiliki platform visi dan misi yang selaras dengan RPJMD dan RPJPD
Tidak ada jaminan aspirasi dan partisipasi masyarakat akan menjadi dasar bagi program pemerintah.
Perlu adanya perbaikan mekanisme musrembang (misalnya: e-musrembang).
Terpilihnya kepala daerah menguntungkan kelompok pemodal tertentu untuk menguasai perekonomian.
Perlu dibuat sistem atau regulasi investasi yang memihak kepada seluruh lapisan masyarakat.
Sumber: dibuat oleh tim peneliti. Model Pemilukada Kabupaten/Kota Beberapa poin kesimpulan pada penelitian tahun 2013 yang dilakukan oleh tim memperlihatkan bahwa: Pemilih yang rasional dan otonom di Indonesia dalam konteks Pemilukada masih sangat sedikit. Hal ini karena kondisi sosialekonomi (yang tercermin dari IPM), kelembagaan daerah yang tercermin dalam kemampuan keuangan daerah dan, mempertimbangkan kondisi sosial-budaya masyarakat yang beragam mengakibatkan derajat dan wujud partisipasi politik masyarakat dalam Pemilukada provinsi yang bervariasi.25 Selanjutnya, masih dari hasil penelitian tim sebelumnya (2012-2013), terdapat kesimpulan bahwa pemilukada harus tetap dilanjutkan dengan beberapa catatan perbaikan.
Pada Tahun 2013 Tim P2P LIPI (Kurniawati Hastuti Dewi dkk) Mengadakan penelitian mengenai pemilukada di tingkat Provinsi dengan judul: “Evaluasi Format Pemilukada Menuju Pemerintahan Daerah Yang Baik dan Efektif Di Tingkat Provinsi”, masih dalam proses cetak. 25
Dari dua kesimpulan sebelumnya kita dapat melihat ada dua tawaran yang bisa diajukan. Pertama, ada daerah-daerah yang tetap melaksanakan pemilukada langsung seperti saat ini, tentunya dengan catatan-catatan perbaikan. Kedua, ada daerah-daerah yang untuk sementara perlu pendampingan khusus dalam melaksanakan pemilukada langsung karena peringkat IPM, kondisi sosiokultural dan kemampuan kelembagaanya belum mencukupi untuk itu. Bagi daerah-daerah yang mendapat pendampingan khusus, periode ini dipandang sebagai masa transisi menuju Pemilukada langsung dengan harapan bahwa selama masa transisi tersebut terjadi kenaikan IPM dan kemampuan keuangan daerah. Pada tahun 2012, tim menelaah beberapa aspek dalam pemilukada yang menjadi sumber permasalahan. Pertama, tim menyoroti segi aturan Pemilukada yang mencakup beberapa faktor yaitu: syarat pencalonan, syarat calon, dan dukungan anggaran. Kedua, tim menyoroti
114 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 105–118
masalah penyelenggara dimana hal itu terkait erat dengan faktor independensi penyelenggara. Ketiga, tim menyoroti penyelenggaraan yang mencakup masalah ketidaknetralan birokrasi, penyusunan daftar pemilih tetap, pencalonan, kampanye, pemungutan suara, distribusi logistik, penetapan dan pelantikan calon terpilih, serta penyelesaian sengketa. Riset pada tahun 2012 ini belum nenemukan bentuk ideal yang bisa dijadikan model usulan Pemilukada di tingkat kabupaten/kota. Capaian kesimpulan riset pada tahun 2012 adalah: Perbaikan atas format
pemilukada akan berangsur-angsur dirumuskan, setelah dilakukan penelitian lanjutan tentang praktik pemilukada di tingkat provinsi. Namun demikian, hal-hal temuan dalam penelitian praktik pemilukada kabupaten/kota ini menjadi hal yang perlu dibaca kecenderungannya.26 Adapun usulan perbaikan terkait dengan masalah yang didapati secara empiris dan dikaitkan dengan tujuan yang dingin dicapai. Apabila dinarasikan dalam bentuk tabel adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Usulan Perbaikan atas Permasalahan Empiris Yang Dihadapi Masalah Awal Ketidaknetralan penyelenggara pemilukada (KPU Kabupaten-Kota)
Fakta Objektif Sudah melalui serangkaian proses seleksi yang ketat dan uji kelayakan meliputi aspek administratif, tes tertulis, tes psikologi, tes kesehatan, tes wawancara.
Terjadinya Politik Uang
Sudah ada regulasi dan instrumen yang melarang dilakukannya politik uang
Partai Politik Menarik Uang “Sewa Perahu”
Tidak ada jaminan kader asli juga tidak ditarik “uang sewa perahu” oleh partai pengusungnya.
Terjadinya politik dinasti yang melakukan penyalahgunaan kekuasaan.
Sudah ada berbagai regulasi yang mengatur sanksi terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
Analisis Terjadi ketidakberesan dalam proses seleksi dan uji kelayakan. Ketidaknetralan juga disebabkan oleh tersanderanya jalur pendanaan operasional KPU kabupaten/kota oleh eksekutif Penegakan hukum pada pelaku politik uang kurang maksimal, mekanisme pengawasan secara operasional kurang maksimal. Kewenangan Panwas hanya sebatas menerima laporan. Partai kurang mempunyai pendekatan ideologis dalam memilih kandidat.
Proses penegakan hukumnya yang terlalu lemah jika berhadapan dengan penguasa.
Saran Penegakan hukum yang lebih tegas dan memindahkan beban pembiayaan Pemilukada dari tanggungan pemerintah daerah ke Pemerintah Pusat Calon kepala daerah diaudit kekayaannya oleh PPATK dan KPK.
Partai harus didorong mengumumkan calon kepala daerah yang akan diusung sejak 2 tahun sebelum didaftarkan. Selama 2 tahun tersebut partai dapat meningkatkan kapasitas calon kepala daerah yang akan diusungnya Perlu penguatan aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, KPK)
Sumber: dibuat oleh tim peneliti.
Muridan Widjojo dkk, Evaluasi Praktik Pemilukada di Tingkat Kabupaten/Kota, Naskah Executive Summary P2P LIPI, 2012. 26
Menata Ulang Pemilukada ... | Kurniawati Hastuti Dewi | 115
Dari pemaparan analisis sebelumnya kita dapat menyusun model perbaikan dari pelaksanaan Pemilukada sebelumnya. Model ini dirancang dengan membagi periodesasi dari masing-masing proses tahapan. Tabel 5. Model Perbaikan dari Pelaksanaan Pemilukada Aspek Rekrutmen Pantitia Seleksi Penyelenggara
Saran
Tujuan
Pansel harus dipilih dari orang-orang yang benar-benar berintegritas. Pemilihan Pansel sedapat mungkin melibatkan unsur-unsur masyarakat secara representatif.
Terciptanya Panitia Seleksi penyelenggara Pemilukada yang netral dan berintegritas
Rekrutmen Penyelenggara
Dari regulasi yang ada sebelumnya secara legal formal sudah cukup bagus hanya saja kurang dalam hal penegakan hukum. Pelaksanaan kurang sinkron dengan regulasinya.
Terciptanya Penyelenggara Pemilukada yang netral dan berintegritas
Pendaftaran dan Verifikasi calon
Verifikasi fisik dokumen syarat administratif harus diperketat. Transparansi dokumen syarat administratif calon : dalam konteks ini supaya masyarakat umum bisa juga melakukan verifikasi dan segera memberikan laporan bila ada kejanggalan.
Calon-calon yang bersaing dalam pemilukada merupakan calon-calon kepala daerah yang baik.
Transparansi sumbangan: penyumbang dan besaran sumbangan harus dilaporkan. Pembatasan biaya kampanye dalam konteks besaran sumbangan maksimal dari tiap penyumbang.
Tidak terjadi politik uang.
Kampanye
Pemungutan Suara
Untuk daerah-daerah rawan intimidasi, manipulasi dan politik uang, perlu ditambah jumlah Panwas.
Proses Pemungutan suara berjalan lancar dan aman
Penghitungan Suara
Form C1 sebagai basis penghitungan awal di masing-masing TPS di-upload di web resmi KPU. Pengalaman dari pilpres 2014 menunjukkan mekanisme ini cukup efektif untuk melawan tindak manipulasi dan penggelembungan suara.
Tidak ada manipulasi dalam proses penghitungan suara.
Penetapan Calon Terpilih
Selang waktu antara penghitungan suara dengan penetapan calon terpilih terlalu pendek untuk antisipasi terjadinya kasus sengketa perolehan suara maupun pidana terkait pemilu. Terkait dengan hal tersebut, harus dibuatkan aturan yang mengatur mengenai pembatalan calon terpilih apabila terbukti secara hukum melakukan tidak pidana pemilu. Perlu diteliti juga mengenai klausa: pembatalan calon yang telah dilantik.
Meminimalisir potensi sengketa/gugatan pasca calon terpilih dilantik sebagai kepala daerah definitif.
Sumber: dibuat oleh tim peneliti.
116 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 105–118
Model Pemilukada Provinsi Berangkat dari pertimbangan pemikiran sebagaimana diuraikan sebelumnya, penelitian ini mengajukan dua skenario Pilkada gubernur sebagai berikut: 1. Skenario Optimis. Apabila semua unsur yang diperlukan untuk melaksanakan pilkada secara langsung memang sudah tersedia dengan baik, maka tak ada salahnya bagi kita untuk segera memberlakukan Pilkada langsung Gubernur secara nasional. Dalam hal ini, tak perlu diperhitungkan betul untuk menyelenggarakan pilkada secara asimetris. Jika semua daerah sudah dipandang memiliki kesiapan yang sama, maka tidak ada alasan untuk menunda penyelenggaraan pilkada secara langsung di seluruh daerah. Untuk itu, baik aturan penyelenggaraannya maupun lembaga penyelenggara pilkada mesti dirumuskan kembali. Tentunya dengan mengingat sejumlah perbaikan sebagaimana diuraikan sebelumnya. Bahkan, pilkada gubernur tersebut dapat diselenggarakan secara serempak bersamaan dengan penyelenggaraan pilkada bupati walikota, serta Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Yang diperlukan di sana tinggal melakukan berbagai penyesuaian yang bersifat teknis. Misalnya, mengatur agar praktik pilkada yang dimaksud tidak merugikan periode pengabdian masing-masing kepala daerah. Mulai kapan pilkada serempak itu hendak diadakan?. Dengan cara ini, maka, mulai dari aturan pelaksanaan, persiapan partai dan para calon, pendanaan kampanye, proses pemilihan serta penentuan hasil pemilihan dapat dilaksanakan pula secara efektif dan efisien, tanpa mencederai demokrasi. 2. Skenario Realistis. Skenario realistis dilakukan untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang menghambat pelaksanaan Pilkada Gubernur. Misalnya, kesiapan pemerintah pusat dan daerah, pembentukan aturan pelaksanaan, kesiapan masing-masing
parpol dan calon kepala daerah yang hendak diusung, serta proses dan penentuan hasil Pilkada. Menyadari karena beragamnya kondisi daerah dan masyarakatnya, bukan mustahil bila kesiapan yang dimaksud tidak dapat diwujudkan oleh semua daerah. Untuk itu, langkah yang mesti dilakukan adalah menyelenggarakan pilkada gubernur secara asimetris. Penyelenggaraan model ini, akan sangat memperhitungkan kondisi sosial-ekonomi, sosial-budaya dan sosial politik dari masyarakat di daerah bersangkutan.
Penutup Dalam konteks Indonesia mutakhir, nampaknya, model Pilkada “asimetris” usulan tim peneliti LIPI itulah yang paling bijaksana. Banyak daerah yang sudah mampu melaksanakan Pilkada secara normal, namun, ada juga yang masih perlu perlakuan khusus. Sebagaimana diusulkan oleh penelitian ini pada Laporan penelitian 2013 yang lalu, karena berbagai keragaman daerah, maka nuansa dan praktik Pilkada dari satu daerah ke daerah yang lain bisa berbeda proses dan hasilnya. Ada provinsi yang tidak memiliki persoalan sama sekali, namun tak sedikit pula yang masih perlu diperlakukan secara khusus. Pertimbangan kesiapan sosial politik dan sosial ekonomi, terutama, bisa dijadikan ukurannya. Secara politik, masyarakat di daerah bersangkutan, telah menganggap bahwa Pilkada Gubernur adalah sebuah agenda politik biasa yang harus diperlakukan biasa pula. Memang, saat pilkada terjadi kesibukan politik tersendiri di daerah bersangkutan. Namun begitu sudah terpilih gubernur dan wakilnya yang baru, usai sudah kegiatan politiknya. Dari sisi finansial, juga ada provinsi yang memiliki kesiapan memadai. Terutama dalam kaitannya dengan kemampuan PAD untuk mendukung kegiatan politik serta melaksanakan pembangunan manusianya. Apabila tingkat Indeks Pembangunan Manusianya (IPM) dari sebuah propinsi kurang mendukung, maka sudah barang tentu, perlu dipikirkan pula dampaknya terhadap pelaksanaan pilkada. Untuk itulah,
Menata Ulang Pemilukada ... | Kurniawati Hastuti Dewi | 117
penelitian ini mengusulkan adanya pilkada asimetris di berbagai wilayah Indonesia.
Daftar Pustaka Buku Anggraini, Titi dkk. 2011. Menata Kembali Pengaturan Pemilukada. Jakarta: Perludem. Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2013. Deskripsi dan Analisis APBD 2013. Jakarta: Kementerian Keungan Republik Indonesia. O’Donnell, Guillermo. 2004. “Human Development, Human Rights, and Democracy,” dalam Guillermo O’Donnell, Jorge Vargas Cullell, Osvaldo M. Iazzetta (Eds.), The Quality of Democracy Theory and Applications. USA: University of Notre Dame Press.
Jurnal O’Donnell, Guillermo A. 2004. “Why the Rule of Law”. Journal of Democracy 15(4). http://muse.jhu.edu/journals/jod/summary/ v015/15.4odonnell.html. Tarlton, Charles D. 1965. “Symmetry and Assymetry as Element of Federalism: A Theoretical Speculation”. The Journal of Politics, Vol. 27: 861.
Laporan dan Makalah Djohan, Djohermansyah. “Dinamika Dan Ekses Pilkada Langsung.” Makalah disampaikan dalam FGD tim Pemilukada, 26 Agustus 2013 di LIPI Jakarta. Kurniawati Hastuti Dewi, dkk. 2013. “Kesimpulan dan Rekomendasi,” dalam Kurniawati Hastuti Dewi (Ed.). Evaluasi Format Pemilukada Menuju Pemerintahan Daerah yang Baik dan Efektif di tingkat Provinsi. Laporan penelitian tim Penelitian Pemilukada. Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI. Tim Peneliti Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM. 2012. Laporan Akhir Desentralisasi Asimetris Yang Menyejahterakan: Aceh dan Papua. Yogyakarta: Jurusan Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada.
Tim Penelitian Pemilukada Pusat Penelitian Politik LIPI (Dr. Kurniawati Hastuti Dewi, Prof. Dr. Indria Samego, Dra. Sri Nuryanti, MA., Drs. Afadlal, MA., Pandu Yusina Adaba S.Ip., Dini Suryani, S.Ip). 2013. “Evaluasi Format Pemilukada Menuju Pemerintahan Daerah yang Baik dan Efektif di tingkat Provinsi”. Policy Paper. Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI. Tim Penelitian Pemilukada Pusat Penelitian Politik LIPI (Prof. Dr. Indria Samego, Dr. Muridan Satrio Widjojo, Dra. Sri Nuryanti, MA., Dr. Tri Ratnawati, Drs. Afadlal, MA, Septi Satriani, S.Ip, Pandu Yusina Adaba S.Ip., Dini Suryani S.Ip). 2012. “Evaluasi Praktik Pemilukada Kabupaten/Kota.” Executive Summary. Jakarta. Tim Penelitian Pemilukada Pusat Penelitian Politik LIPI (Prof. Dr. Indria Samego, Dra. Sri Nuryanti, MA., Dr. Tri Ratnawati, Drs. Afadlal, MA., Pandu Yusina Adaba S.Ip., Dini Suryani S.Ip). 2012. “ Evaluasi Praktik Pemilukada Langsung di Kabupaten/Kota dan Beberapa Usulan Penyempurnaan ke Depan.” Executive Summary. Jakarta. Surat Kabar dan Website Campbell, David F.J. 29 September 2008. http:// www.democracyranking.org/downloads/basic_ concept_democracy_ranking_2008_A4.pdf . Jaweng, Robert Endi. 2014. “Korupsi dan Revisi UU Pemda.” Media Indonesia. 24 Januari. http:// www.kppod.org/index.php/en/berita/beritamedia/261-korupsi-dan-revisi-uu-pemdac. Kemendari, University Network for Governance Innovation. “Innovation Government Award.” http://igi.fisipol.ugm.ac.id/index.php/id/ innovation-government-award. Litvack, Jennie., and Junaid Ahmad, Richard Bird. 1998. “Rethinking Decentralization in Developing Countries”. The World Bank Sector Studies Series. http://internationalbudget. o rg / w p - c o n t e n t / u p l o a d s / R e t h i n k i n g Decentralization-in-Developing-Countries.pdf. The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP), University Network for Governance Innovation. http://igi.fisipol.ugm.ac.id/index.php/id/jpipotonomi-awards.
118 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 105–118
PROBLEMATIKA KEKUATAN POLITIK ISLAM DI YAMAN, SURIAH, DAN ALJAZAIR1 PROBLEMS OF THE POWER OF POLITICAL ISLAM IN YEMEN, SYRIA AND ALGERIA Muhammad Fakhry Ghafur Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 28 Juli 2015; direvisi: 10 September 2015; disetujui: 25 Oktober 2015 Abstract The wave of democratization in the Middle East today has changed the political map of the region with the emergence of the power of political Islam, in the mean of political activity based on the principles of Islam both from the point of departure, the program, agenda and objectives. Nevertheless, in some countries there is still an attitude phobia against Islam. This shows the regime’s efforts to return to authoritarianism or “backward bending prosses” as an example in Tunisia, Egypt, and Libya, where the military regime can return to political power. Similarly in Yemen, Ali Abdullah Saleh’s regime was replaced by his deputy military, Abd Rabbuh Mansur Hadi, who must be driven by the separatist movement Al-Houti. Whereas in Syria the Islamic political forces are always under attack from the regime of Bashar Al-Assad which is still in power. As for the Algerian Islamic movements like the Muslim Brotherhood and Salafiyyah, they form alliances and achieve a significant voice in the parliamentary elections in 2012 although the military regime may dominate the political life of the country. The phenomenon of the power of political Islam in Yemen, Syria, and Algeria will be the focus of this study. Keywords: Political Islam, Yemen, Syria, Algeria. Abstrak Gelombang revolusi atau yang lebih dikenal dengan Arab Spring yang melanda Timur Tengah dewasa ini telah mengubah peta politik di kawasan tersebut dengan munculnya kekuatan politik Islam, dalam arti aktivitas politik yang didasari oleh prinsip-prinsip Islam baik dari titik tolak, program, agenda maupun tujuannya. Kendati demikian, di sejumlah negara masih saja ada sikap phobia terhadap Islam. Hal ini mengindikasikan adanya upaya pembalikan kembali ke rezim otoritarianisme atau “backward bending prosses” seperti yang terjadi di Tunisia, Mesir, dan Libya, dimana rezim militer dapat berkuasa kembali. Demikian juga di Yaman, rezim Ali Abdullah Saleh digantikan oleh wakilnya yang berhaluan militer, Abd Rabbuh Manshur Hadi, sampai akhirnya harus terusir oleh gerakan separatis Al-Houti. Sedangkan di Suriah kekuatan politik Islam kerap mendapat serangan dari rezim Bashar Al-Assad yang sampai saat ini masih berkuasa. Adapun di Aljazair –meskipun tidak melebihi gejolak politik seperti yang terjadi di Yaman dan Suriah- gerakan Islam yang terdiri dari Ikhwanul Muslimin dan kelompok Salafiyyah membentuk aliansi dan meraih suara signifikan dalam pemilu parlemen 2012 meskipun pada akhirnya rezim militer dapat mendominasi kehidupan politik negara. Fenomena kekuatan politik Islam di Yaman, Suriah, dan Aljazair akan menjadi fokus kajian ini. Kata Kunci: Politik Islam, Yaman, Suriah, Aljazair. Tim Peneliti terdiri dari: Muhammad Fakhry Ghafur (Koordinator), Hamdan Basyar, Dhurorudin Mashad, Indriana Kartini, dan Nostalgiawan Wahyudhi. 1
Problematika Kekuatan Politik Islam ... | Muhammad Fakhry Ghafur | 119
Pendahuluan Demokratisasi dan kebangkitan politik Islam merupakan dua fenomena yang layak untuk dikaji secara lebih mendalam dalam lingkup kajian Timur Tengah saat ini. Politik Islam dimaknai sebagai aktivitas politik kaum muslimin yang hendak menjadikan Islam sebagai sumber hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini, Islam dijadikan acuan dalam setiap aktivitas sosial-politik yang mempunyai implikasi langsung terhadap kehidupan mayoritas penganutnya. Dalam konteks pasca Arab Spring, keinginan untuk membangun sebuah tatanan yang lebih demokratis dan Islamis tampaknya sulit untuk dielakkan. Di Yaman, gerakan Islam seperti Ikhwanul Muslimin, Salafiyyah, Anshar Syariah yang merupakan representasi dari partai Islah dan Al-Qaeda in Arabian Peninsula (AQAP), serta Anshar Allah dari kalangan Syi’ah Al-Houti menjadi pemain kunci dalam pertarungan politik yang berkepanjangan. Disamping itu, terbentuk kekuatan politik sebagai wadah aspirasi umat Islam melalui Joint Meeting Parties (JMP) yang merupakan koalisi antara partai Islam dengan partai Sosialis. Gerakan politik Islam di Suriah yang diwakili Ikhwanul Muslimin, Salafiyyah, dan Jabhat An-Nushrah (Al-Qaeda) dan Islamic State in Iraq and Syiria (ISIS) menjadi motor dalam perlawanan terhadap rezim despotikmiliter yang didukung oleh kelompok Syi’ah Alawiyyah. Sementara di Aljazair, Al-Qiyam Al-Islamiyyah berperan cukup signifikan dalam membangun kultur Islamis dalam pemerintahan. Disamping itu, sikap represif rezim militer telah mendorong munculnya kekuatan politik Islam lainnya, seperti Tentara Islam Aljazair (MAIA) dan Front Penyelamat Islam (FIS) yang didirikan oleh sejumlah tokoh Ikhwanul Muslimin. Pengalaman politik Islam di beberapa negara kasus menunjukkan bahwa kelompok Islam dapat berperan dalam setiap proses politik yang terjadi, sebagai upaya untuk membentuk pemerintahan yang demokratis pasca otoritarianisme. Meskipun demikian, gejolak politik yang diwarnai dengan kekerasan politik masih terus berlangsung dalam skala luas dan upaya mengembalikan kejayaan rezim despotik masih terus berlangsung sebagaimana halnya rezim
Assad yang tidak kunjung terguling. Bahkan, di Aljazair, upaya “pendongkelan” rezim despotik oleh kekuatan demokrasi yang bergejolak sejak 1991, sampai kini masih belum memperlihatkan hasilnya. Lebih tragis lagi, pemimpin baru di Yaman, Abd Rabbuh Manshur Al-Hadi justru terusir oleh kekuatan pendukung rezim lama, sehingga upaya menuju Yaman yang demokratis masih sulit untuk terwujud. Realitas yang terjadi di tiga negara kasus ini mengindikasikan adanya upaya yang disebut “backward bending process” (proses pembalikan kembali) ke rezim otoritarian. Tulisan ini mengkaji secara lebih mendalam seputar politik Islam di tiga negara kasus, yaitu Yaman, Suriah, dan Aljazair dengan berbagai dinamika dan problematikanya ditengah proses demokratisasi yang sedang berlangsung. Tulisan ini dibagi dalam lima bagian. Pertama, membahas dinamika kultural dan politik di tiga negara kasus. Kedua, mengkaji problematika kekuatan politik Islam di Yaman. Ketiga, mengkaji problematika kekuatan politik Islam di Suriah. Keempat, mengkaji problematika kekuatan politik Islam di Aljazair. Terakhir, penutup dengan menyimpulkan dinamika demokrasi dan politik Islam di tiga negara kasus.
Sejarah Singkat Yaman, Suriah, dan Aljazair Yaman merupakan salah satu negara di Jazirah Arab dengan peradaban tertua di dunia. Zaman dahulu Yaman wilayah kerajaan Saba’ yang sangat tersohor dengan kekayaan alamnya. Namun, karena penguasaan dan eksplorasi bangsa lain yang melampaui batas, kini Yaman menjadi negara termiskin dengan rata-rata perkapita pertahun sebesar 800 dollar AS.2 Islam masuk ke Yaman pada tahun 630 ketika Nabi Muhammad Saw mengutus Ali bin Abi Thalib untuk menyampaikan ajaran Islam di Sana’a.3 Pada saat itu, Yaman merupakan wilayah yang paling maju di Jazirah Arab. Sarah Phillips, Yemen’s Democracy Experiment in Regional Perspective: Patronage and Pluralized Authoritarianism (New York: Palgrave Macmillan, 2008), hlm. 39. 2
“Menelusuri Sejarah Islam di Yaman,” Republika, http:// www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/15/04/30/ nnmjwf-menelusuri-sejarah-islam-di-negeri-yaman-1, diakses pada tanggal 1 Mei 2015. 3
120 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 119–135
Pada abad ke-16, Yaman dikuasai oleh Dinasti Usmaniyyah yang kemudian ditaklukkan oleh kelompok Syi’ah Zaidiyyah dibawah pimpinan Yahya Muhammad Hamiduddin. Sejak saat itu, kelompok Syi’ah Zaidiyyah menjadikan Yaman Utara sebagai pusat pemerintahannya. Sepanjang sejarahnya, Yaman Utara dan Yaman Selatan kerap terlibat konflik. Yaman Utara mendapat dukungan dari Arab Saudi dan Yaman Selatan mendapat suplai senjata dari Uni Soviet. Pada tahun 1990, Yaman Utara dan Yaman Selatan menyepakati penyatuan yang pada akhirnya disetujui oleh referendum pada Mei 1990. Presiden Ali Abdullah Saleh terpilih menjadi presiden pertama “Yaman Bersatu”. Kendati telah bersatu, kedua negara masih terus terlibat konflik. Hal tersebut juga tidak lepas krisis ekonomi di Yaman yang terjadi pada tahun 1991. Secara politik, terdapat upaya untuk menyatukan partai politik. Pada Mei 1993, dua partai yang berkuasa GPC dan YSP bersatu untuk membentuk partai tunggal, sehingga pada pemilu legislatif terdapat partai dengan suara mayoritas di parlemen. Pada tahun 1993, wakil presiden Al-Bayadh melakukan pemberontakan dan menyatakan membentuk Republik Demokratik Yaman baru yang berpusat di Aden. Akibatnya terjadi perang sipil antara Yaman Utara dan Yaman Selatan. Namun, pada 7 Juli 1994 pasukan Ali Abdullah Saleh berhasil menguasai Aden dan mengakhiri konflik. Untuk memperkuat posisinya, Presiden Saleh melarang keanggotaan partai politik dalam angkatan bersenjata dan melakukan amandemen konstitusi untuk menghapus Dewan Presiden. Sementara itu, Suriah merupakan salah satu negara dengan peradaban paling tua di dunia. Kerajaan Semit pernah berkuasa di wilayah ini. Selain itu, Suriah dikenal sebagai jalur perdagangan, budaya, dan militer global, karenanya tidak heran jika Ferdinand Von Richtofen menyebut Suriah sebagai “Jalur Sutera”. Pada masa kolonialisme Perancis, rakyat Suriah banyak mengalami penindasan. Aktivitas politik rakyat dibatasi dan diberlakukan secara diskriminatif. Pasca-Perang Dunia II pada tahun 1946, Suriah memperoleh kemerdekaannya. Suriah pun berusaha untuk menumbuhkan rasa kesadaran nasionalismenya melalui
berdirinya partai Baath oleh Michael Aflaq dan Salahuddin Al-Bitar. Dengan prinsip Al-Huriyyah (kemerdekaan), Al-Ittihadiyah (Persatuan), dan Al-Isytirakiyyah (Sosialisme) mereka berusaha untuk mewujudkan kemerdekaan dan persatuan di dunia Arab. Dibawah kekuasaan partai Baath yang didukung militer, Al-Bitar berhasil menarik dukungan kelompok Syi’ah Alawiyyah melalui kebijakan-kebijakan yang menguntungkan kelompok minoritas. Sejak saat itu, Syi’ah Alawiyah menjadi kelompok minoritas yang berhasil menguasai institusi dan lembaga pemerintahan. Konflik dan kudeta pun kerap mewarnai panggung politik Suriah selama beberapa dekade, pada tahun 1966, Al-Bitar dikudeta oleh Salah Jadid. Akibat ketidakstabilan politik dan ekonomi telah mendorong kelompok lain untuk melakukan kudeta. Pada November 1970, salah seorang pimpinan partai Baath, Hafiz Al-Assad melakukan kudeta militer tak berdarah. Hafiz Al-Assad kemudian disetujui sebagai presiden melalui referendum yang dilaksanakan pada Maret 1971. Di bawah tiga institusi yakni legislatif, eksekutif dan militer, Hafiz Al-Assad berhasil mengukuhkan kekuasaannya di Suriah.4 Kendati demikian, sikap diskriminatif terhadap kelompok lain dan lebih mengedepankan sekte Alawiyyah telah mendorong lahirnya perlawanan dari kelompok lainnya, termasuk dari Ikhwanul Muslimin. Sebagai akibatnya, kekuatan politik Islam diberangus pada masa pemerintahannya. Pasca Hafiz Al-Assad tongkat kepemimpinan beralih ketangan putranya Bashar Al-Assad. Banyak kalangan memandang bahwa Bashar Al-Assad dapat melakukan reformasi politik dan ekonomi di Suriah. Hal tersebut ditunjukan dengan ditandatanganinya “manifesto 99” oleh 99 tokoh terkemuka. Namun, dukungan tersebut berbuntut perlawanan setelah banyak para aktivis pro-reformasi dibunuh dan dipenjarakan. Pada Oktober 2005 terjadi gerakan oposisi terhadap pemerintahan Al-Assad yang menuntut dilakukannya reformasi secara total di Suriah. Puncaknya pada tahun 2011, seiring dengan fenomena “Arab Spring” yang menerjang Raymond A. Hinnebusch, “Syria,” dalam Shereen C. Hunter (Ed.), The Politics of Islamic Revivalism Diversity and Unity, (Indiana University Press, 2001). 4
Problematika Kekuatan Politik Islam ... | Muhammad Fakhry Ghafur | 121
sejumlah negara di Timur Tengah. Para aktivis pro-demokrasi menuntut mundurnya presiden Bashar Al-Assad dari kekuasaannya. Sama halnya dengan Suriah, Aljazair adalah negara yang pernah dikuasai bangsa asing diantaranya adalah Perancis. Penyerangan Perancis berhasil merebut kota Algeir pada tahun 1830 dan menjadikan Aljazair sebagai bagian dari wilayah kekuasaannya. Bercokolnya sindrom budaya Perancis di Aljazair memunculkan kekhawatiran dari kalangan muslim. Mereka khawatir budaya dan tradisi muslim di Aljazair akan rusak oleh budaya Perancis. Karenanya, umat Islam menjadikan Islam sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam perjuangan melawan kolonialisme Perancis. Pada akhirnya semangat perlawanan anti kolonialisme dari kelompok Islam di Aljazair mengakibatkan munculnya disintegrasi antara umat Islam di satu sisi dan pemerintah kolonialisme pada sisi lain.5 Pada masa kemerdekaan, pemerintah mengontrol kegiatan keagamaan dengan alasan untuk tujuan konsolidasi nasional dan kontrol politik. Dalam konstitusi disebutkan bahwa Islam adalah sumber hukum, tidak diperkenankan adanya aturan lain yang bertentangan dengan ajaran Islam. Banyak aktivitas keagamaan yang dikontrol oleh pemerintah pusat. Akan tetapi kebijakan tersebut tidak serta merta meredakan ketegangan antara umat Islam dan pemerintah rezim militer. Bahkan, gerakan perlawanan Islam semakin bermunculan. Pada tahun 1964, berdiri gerakan Islam Al-Qiyam yang menyerukan peran dominan Islam dalam segenap kehidupan. Al-Qiyam pun menolak segala bentuk praktik Barat dalam kehidupan sosisal dan politik di Al-Jazair, sehingga memicu terjadinya konflik antara Islam militan dengan pemerintah militer. Intensitas konflik semakin meningkat sepanjang tahun 1980 sampai awal 1990-an. Kelompok Islamis di Aljazair semakin berkembang setelah berdirinya Front Penyelamat Islam (Front Islamique du Salut – FIS) yang berhasil memenangkan suara terbanyak dalam Pemilu 1991. Tetapi, karena tidak dikehendaki, militer membatalkan hasil Pemilu dan memberangus FIS yang dianggap sebagai Aziz Enhaili and Oumelkheir Adda, “State and Islamism in the Maghreb,” Meria Journal 7:1, 2003, hlm. 66-76. 5
gerakan teroris. Dari sini dapat dilihat bahwa rezim otoriter-militer adalah musuh atau ancaman yang sesungguhnya bagi pertumbuhan demokrasi di negara-negara Timur Tengah.
Dinamika Kultural dan Politik di Tiga Negara Kasus Dari segi religio-historis, mayoritas penduduk di tiga negara kasus menganut agama Islam dengan beragam sekte yang berkembang di masing-masing negara. Sebagai wilayah tempat lahir dan berkembangnya, Islam dapat dengan mudah menyebar ke seluruh pelosok Jazirah Arabiyyah. Karenanya, Islam menjadi agama utama yang dianut mayoritas penduduknya di seluruh negara Jazirah Arabiyyah. Di Yaman, sekitar 99,7 % penduduknya memeluk Islam, selain itu juga terdapat ajaran lainnya seperti Ismailiyyah (0,3%), Kristen (<0,1 %), Hindu (<0,1%), dan Yahudi (<0,1 %). Dari seluruh mayoritas penduduk yang beragama Islam sekitar 53% penganut Muslim Sunni dan 47% penganut Muslim Syiah Zaidiyyah.6 Sementara di Suriah, mayoritas penduduknya 87% adalah Muslim dengan presentasi sebesar 74% muslim Sunni dan 13%, Syi’ah. Sedangkan Kristen sekitar 9% dan Druz berjumlah 3%. Seperti halnya Suriah dan Yaman, mayoritas penduduk Aljazair 99% adalah muslim Sunni, sedangkan sisanya sebanyak 1 % adalah penganut Kristen dan Yahudi. Sementara itu, secara etnis mayoritas penduduk di tiga negara adalah etnis Arab. Selain ajaran Islam yang menonjol, etnis menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam dinamika kehidupan politik di tiga negara kasus. Di Yaman, etnisitas menjadi faktor yang menentukan kehidupan politik nasional Yaman. Dominasi suku terefleksikan dalam kehidupan masyarakat Yaman, diantara suku-suku itu, pertama, adalah Hashid yang merupakan kabilah paling berpengaruh di Yaman. Yang termasuk suku Hashid adalah Al-Osaimat, Othar, Kharef, Bani Suraim, Hamdan dan Sanhan. Ali Abdullah Saleh berasal dari kabilah Hashid ini. Kedua, Bakil yang mempunyai populasi terbesar. Pemimpin suku ini berasal dari Lahoum dan Nihm yang terkonsentrasi di wilayah utara Sana’a. Yang termasuk dari konfederasi suku ini adalah 6
Lihat http://looklex.com/e.o/yemen.religions.htm.
122 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 119–135
Khawlan, Arhab, Al-Hada, Al-Jidaan, Anis, Dihm, Bani Mata, dan Al-Haimatyeen. Terakhir adalah Madhaj yang terkonsentrasi di bagian tengah wilayah Yaman. Yang termasuk dalam kabilah ini adalah Ans, Az-Zaraniq, Al-Awaliq, Kaifah, Al-Bakzm, Al-Sabyha, Al-Abadil, AlHasani dan Al-Fadhli. Ketiga konfederasi suku dengan berbagai kelompoknya menunjukkan bahwa Yaman sangat identik dengan kesukuan/ kabilah. Bahkan, diantara mereka ada yang berkonflik dalam memperebutkan sumber daya alam yang menyangkut perbedaan pendapat, distribusi sumber daya yang tidak merata dan manfaat dari proyek-proyek pembangunan. Akar politik Islam di Yaman dapat dirunut pada tahun 1960-an yang ditandai dengan kelahiran Ikhwanul Muslimin (IM). Kemudian muncul gerakan sosial Islam pada tahun 1970, ketika Yaman masih terpecah. Saat itu, para ulama khawatir akan dominasi sosialis dan atheis yang didukung Uni Soviet. Karenanya, Syaikh Abdul Majid Az-Zindani membentuk sistem pendidikan di Yaman Utara untuk membendung gerakan anti-Islam di Yaman Selatan. Untuk menjalankan partai Al-Islah, Ali Abdullah Saleh yang merupakan pemimpin partai menggandeng Syaikh Abdul Majid Az-Zindani dan Syaikh Abdullah Al-Ahmar. Dengan bergabungnya dua Syaikh, maka ada kekuatan sosial-politik yang mendukung kekuasaan Saleh melalui partai AlIslah. Belakangan IM bergabung dengan partai Al-Islah untuk mengekspresikan sikap politiknya. Dengan demikian, selain suku, para ulama (syaikh), IM turut berperan dalam membesarkan partai Al-Islah. Sementara itu, Suriah adalah negara dengan masyarakat “mosaik”, terdiri dari beragam agama dan mazhab. Mayoritas adalah muslim Sunni dengan jumlah populasi sebesar 74% yang terdiri dari beragam mazhab, seperti Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Beberapa diantaranya juga menganut aliran tarekat termasuk Naqsabandiyyah dan Qadariyyah. Sementara Muslim lainnya beraliran Syiah Alawiyah, Nusairiyyah, Ismailiyyah, dan Yazidi. Sisanya sekitar 13% adalah komunitas minoritas yang terdiri dari Kristen sebesar 10% dan Druze sekitar 3%.7 Sheeren T. Hunter, Politik Kebangkitan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana Jogja, 2001).
7
Selama berabad-abad umat Islam berperan penting dalam dinamika sosial, politik, dan ekonomi di Suriah serta berkontribusi besar dalam menetapkan nilai-nilai dasar negara. Islam hadir di Suriah sejak abad ke-6 pasca Khalid bin Walid berhasil menaklukan wilayah Asy-Syam. Sejak saat itu Islam berkembang dan menjadi bagian dari kekhalifahan Turki. Pada masa kolonialisme Perancis, hukum Islam pernah dijadikan hukum negara sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan rezim. Sejak lama, umat Islam Suriah kerap menyerukan penetapan Islam sebagai sumber hukum negara, namun selalu mendapat penolakan dari rezim penguasa. Barulah ketika Syiah Alawiyyah berhasil mendominasi pemerintahan, Islam dijadikan sumber hukum dan undang-undang negara. Sejak tahun 1973, Suriah menetapkan dua sistem pengadilan yang berdasarkan Syariah bagi umat Islam dan pengadilan masing-masing agama dengan menggunakan hukum masingmasing agama. Kendati demikian, umat Islam dari kalangan Sunni kerap mengalami diskriminasi dan tindakan kekerasan. Pemerintah menetapkan hukum Islam tidak lain untuk membela kepentingan kelompok Syiah Alawiyyah sehingga memicu penolakan dari kalangan muslim Sunni. Selain itu, dominasi kelompok minoritas Syiah atas partai Baath dan institusi militer telah berhasil menguasai kehidupan politik Suriah yang mayoritas penduduknya beraliran Sunni. Perseteruan kerap terjadi dalam skala luas antara muslim Syiah yang mendukung pemerintah dengan muslim Sunni yang mendukung kelompok oposisi Suriah, antara kelompok Islam Sunni yang tergabung dalam Ikhwanul Muslimin (IM), Salafiyyah, dan Al-Qaeda. Di samping itu, meruncingnya perbedaan sekte menjadikan pemicu semakin meluasnya konflik di Suriah. Sebagai contoh, konflik antara gerakan yang ingin menegakkan syariat Islam di Suriah dengan etnis Kurdi di Kobane serta konflik antara rezim militer Assad dengan milisi Kurdi di Utara Suriah yang telah berlangsung lama. Adapun di Aljazair, Islam sejak lama menjadi pengobar semangat anti kolonialisme, terutama sejak dibawah kekuasaan Perancis.
Problematika Kekuatan Politik Islam ... | Muhammad Fakhry Ghafur | 123
Front Kemerdekaan Nasional (Front de Liberation Nationale – FLN) kerap menggunakan kekuatan pemersatu Islam untuk memperkuat barisan nasional dalam melawan penjajah. Pasca kemerdekaan, pemerintah berusaha mempersatukan kelompok Islam, meskipun tidak sepenuhnya dapat berhasil dilakukan. Hal ini, dapat dilihat dari banyaknya gerakan Islam independen yang melahirkan partai oposisi sekitar tahun 1980-an dan awal 1990-an. Munculnya Front Penyelamat Islam (Front Islamique du Salut – FIS) pada 16 September 1989, menunjukkan bahwa rezim penguasa tidak dapat mengontrol tumbuh suburnya gerakan politik Islam yang dapat bersaing dengan FLN. Sampai akhirnya, FIS dapat menjadi partai alternatif dengan basis massa yang cukup besar karena program politiknya yang menawarkan solusi sosial, politik dan ekonomi serta keagamaan. Karenanya, pada saat krisis ekonomi menerjang Aljazair, disaat pemerintah tidak dapat mengatasinya, kelompok Islam dapat muncul dengan berkomitmen neningkatkan kesejahteraan sosial dari masyarakat umum. Komitmen politik semacam ini justru menguntungkan aspirasi politik gerakan Islam. Pemimpin FIS adalah Syaikh Abbasi Madani, seorang profesor berpendidikan Barat yang moderat dari Universitas Aljazair. Sementara wakilnya adalah Ali Belhadz yang terkenal dengan retorikanya tentang gagasan radikal tentang peran Islam politik. Pada awal berdirinya FIS program politiknya lebih bersifat pluralis dan moderat yang banyak didukung oleh kelompok kelas atas, namun pasca dibubarkan oleh militer muncul radikalisasi dalam kelompok ini. Sebenarnya, radikalisasi ini muncul akibat sikap represif rezim militer sehingga menimbulkan perlawanan dari kelompok Islam. Sehingga, sampai saat ini FIS dianggap sebagai gerakan radikal yang dilarang keberadaannya di Aljazair. Berdasarkan spektrum pengalaman sejarah dinamika sosial, politik, dan kultural dari tiga negara kasus diatas, pembahasan pada bab selanjutnya akan difokuskan pada beberapa hal, pertama, problematika kekuatan politik Islam di Yaman. Kedua, kekuatan politik Islam di tengah konflik sektarianisme di Suriah. Ketiga,
politik Islam, otoritarianisme-militer dan krisis legitimasi di Aljazair.
Problematika Kekuatan Politik Islam di Yaman Yaman adalah salah satu negara di Timur Tengah yang diterpa Arab Spring 2011. Gerakan protes di Yaman, diawali dengan tuntutan reformasi politik dan ekonomi yang meliputi perbaikan kondisi ekonomi, pemberantasan korupsi dan pengangguran. Kondisi perekonomian Yaman dalam beberapa tahun terakhir sangat memprihatinkan. Penduduknya hidup dalam kemiskinan dimana hampir setengah populasi di Yaman berpenghasilan kurang dari 2 dolar perhari dan sepertiga penduduknya menderita kelaparan. Dengan kondisi seperti ini, Yaman berada pada peringkat keempat negara terendah dalam Human Development Index setelah Sudan, Djiboti, dan Mauritania. 8 Yaman pun terancam menjadi negara gagal (failed states) yang berdasarkan The Failed States Index menempati posisi kedelapan.9 Puncak dari tuntutan para demonstran di Yaman adalah mundurnya presiden Ali Abdullah Saleh. Pada 23 November 2011, akhirnya Ali Abdullah Saleh menandatangani perjanjian yang diprakarsai oleh Dewan Kerjasama Teluk (the Gulf Cooperation Council – GCC). Dalam perjanjian tersebut dinyatakan bahwa Saleh akan melakukan transfer kekuasaan kepada wakilnya Abdurrabu Manshur Al-Hadi. Perjanjian tersebut juga menghasilkan kesepakatan dengan pembentukan national unity government yang terdiri dari koalisi antara General People’s Congress (GPC) dan Joint Meeting Party (JMP) yang terdiri dari partai Al-Islah dan partai Sosialis Yaman (Yemen Sosialist Party-YSP). Transfer kekuasaan ini menambah daftar panjang pergantian rezim di Timur Tengah setelah Ben Ali di Tunisia, Muammar Qaddafi di Libya, dan Husni Mubarok di Mesir. Berbagai kalangan mengutuk sikap represif rezim tersebut dan menyerukan presiden Ali “Human Development Index and Its Components”, http://hdr. undp.org/en/media/HDR_2010_EN_Table1_reprint.pdf 8
“The Failed States Index 2012,” http://www.foreignpolicy. com/failed_states_index_2012_interactive. 9
124 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 119–135
Abdullah Saleh mundur dari kursi presiden. Seorang pemuda bernama Tawakul Karman menjadi motor gerakan pemuda dalam menentang kebijakan represif rezim sampai akhirnya presiden Saleh tertekan dan menyetujui transfer kekuasaan kepada Abdurrabu Manshur Al-Hadi.10 Pada awalnya, protes kelompok pemuda berjalan dengan damai namun sikap represif militer terhadap para demonstran telah menyebabkan aksi damai berubah menjadi konflik bersenjata. Salah seorang jenderal pengikut Saleh membelot mendukung para demonstran sehingga menambah kompleks konflik antara para demonstran dengan militer rezim. Semakin kompleksnya konflik di Yaman disebabkan tidak seragamnya gerakan protes rakyat. Ada dua pihak militer yang ikut terlibat. Pertama, adalah kelompok pendukung rezim Saleh, kedua, pendukung demonstran. Situasi semakin memanas ketika diantara kubu militer didukung oleh kekuatan suku yang telah terlibat konflik sejak lama dan menguasai persenjataan yang mengakibatkan konflik di Yaman semakin kompleks. Hal ini dapat dilihat dari konflik antara rezim militer Saleh dengan pimpinan suku Hashid, Syaikh Sadeq Al-Ahmar sehingga memicu serangan dari para milisi pendukung Syaikh Sadeq. Dalam pertempuran tersebut menyebabkan tewasnya ratusan orang dan menyebabkan semakin meningkatnya konflik senjata di Yaman. 1. Dinamika Politik di Yaman Selain kaum muda, partai politik yang muncul pasca unifikasi memiliki peran yang cukup signifikan dalam dinamika politik Yaman. Namun demikian, menganalisis politik terkini di Yaman tidak bisa hanya dilihat melalui kepentingan partai politik yang berkembang di Yaman baik partai pemerintah (GPC) maupun oposisi (JMP), karena baik GPC maupun JMP tidak mempresentasikan pembagian kekuasaan politik secara utuh. Partai penguasa saat ini yang terdiri dari partai koalisi merupakan oposisi bagi rezim Saleh, sementara di sisi lain Saleh mendapat dukuangan dari berbagai faksi yang loyal mendukung pemerintahannya. Disamping
itu, kesukuan (tribalisme) yang mendominasi politik Yaman menjadikan pertarungan politik di Yaman semakin kompleks terutama dengan hadirnya kelompok Syi’ah Al-Houti yang sejak lama melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Pada awalnya, kelompok Al-Houti melakukan perlawanan di provinsi Sa’adah pada 2004 tatkala demonstrasi anti-pemerintah dilakukan oleh gerakan Shabab Al-Mu’min yang mengkritik kerjasama pemerintah dengan AS dalam kontraterorisme. Akibatnya pemerintah berusaha menamgkap pemimpin Al-Houti, Hussein Badr Ad-Din Al-Houti yang mengakibatkan pertempuran yang panjang sampai saat ini. Sebagaimana yang telah disinggung diatas, sebagai partai penguasa GPC, merupakan partai politik yang didirikan pada 1982 untuk menggalang dukungan terhadap Ali Abdullah Saleh untuk menjadi presiden Republik Arab Yaman. Penyelenggara partai terdiri dari berbagai kalangan baik kaum elite sosial seperti syaikh, pemimpin intelektual, para pebisnis yang kesemuanya mempresentasikan berbagai kekuatan baik moderat, tradisional dan suku. Meski demikian, kelompok yang paling kuat adalah yang memiliki kedekatan personal dengan presiden. Sementara anggotanya terdiri dari berbagai kelompok termasuk kelompok Islam, sosialis, pemimpin suku, tokoh agama moderat sampai konservatif.11 Sementara itu, kubu oposisi di Yaman dikenal dengan the Joint Meeting Party (JMP) yang merupakan koalisi berbagai partai oposisi terutama partai Islam Al-Islah dan partai Sosialis Yaman (Yemen Sosialist Party-YSP) yang berkuasa pada era the People’s Democratic Republic of Yemen (PDRY). Aliansi partai koalisi ini terus bertahan sampai tahun 2002. Partai Al-Islah adalah partai Islam terbesar di Yaman yang tergabung dalam koalisi JMP. Meski demikian, JMP adalah partai yang plural dengan beragam kelompok di dalamnya. Partai ini dibentuk pada September 1990 oleh mantan anggota GPC sebagai rumah baru bagi kelompok A.A.H. Al-Yemeni, The Dynamics of Democratization: Political Parties in Yemen, (Bonn: Freidrich Ebert Stiftung, 2003), hlm. 26. 11
Apriadi Tambukara, Revolusi Timur Tengah, (Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2011). 10
Problematika Kekuatan Politik Islam ... | Muhammad Fakhry Ghafur | 125
Islamis untuk memarginalkan partai Sosialis Yaman. Sejak tahun 1990 sampai 1997, Islah memelihara hubungan dekat dengan partai berkuasa GPC dan tergabung dalam kabinat yang dibentuk pemerintah. Partai Islam terdiri dari koalisi beberapa kekuatan. Pada masa awal terdiri dari kekuatan suku, Ikhwanul Muslimin moderat dan radikal. Kelompok radikal diwakili oleh Abdulmajid Az-Zindani. Meskipun ideologi dan mayoritas anggotanya mewakili IM, namun komponen suku sangat berperan dalam pembentukan partai dan memiliki ikatan kuat dengan GPC. Karenanya, kelompok Islam di Yaman pun tidak bisa lepas dari bayang-bayang kesukuan. Pemimpin keagamaan atau ulama kerap memiliki ikatan emosional dengan kelompok suku asalnya, seperti halnya syaikh Abdullah Al-Ahmar yang merupakan pemimpin partai Islah yang mempunyai hubungan dengan suku Hashid dan pemimpin suku Sanhan yang merupakan suku asal presiden Saleh. Selain itu, dalam tubuh Al-Islah terdapat kelompok Salafiyyah yang tidak mendukung Az-Zindani, termasuk kelompok Zaidiyyah yang memprotes upaya elit partai menghalangi partai dari kubu Syiah menempati posisi penting dalam partai. Sedangkan partai lainnya adalah The Yemen Sosialist Party (YSP) meskipun terdapat perbedaan pendapat antar anggotanya, partai ini sangat ideologis terutama dalam menciptakan perubahan dalam tubuh partai dari Marxist menjadi sosialis. YSP berkembang melalui gerakan komunis yang berkembang menjadi gerakan anti kolonial pada akhir tahun 1960-an. Selanjutnya YSP mulai mengalami perubahan setelah Sekjen partai, Jarallah Omar mengedepankan wajah pluralistik partai. Kendati demikian pasca unifikasi, YSP menegaskan kembali sebagai partai sosialis dan pada Pemilu 1993 menyatakan sebagai partai sosialis demokrat.
2. Kekuatan Politik Islam dan Intervensi Asing Kelompok Islam di Yaman terbagi dalam beberapa kekuatan utama, diantaranya Ikhwanul Muslimin yang diwakili partai Al-Islah, Salafiyyah, Anshar Syariah yang merupakan representasi dari Al-
Qaeda in the Arabian Peninsula (AQAP), dan Anshar Allah yang diwakili kelompok Al-Houti.12 Ikhwanul Muslimin adalah gerakan Islam yang kuat diantara kelompok Islam lainnya, khususnya dalam sosial, politik, ekonomi, media dan diplomatik. IM memiliki basis dukungan massa yang banyak meliputi suku, pebisnis, militer dan politisi. Ulama yang juga dari IM adalah Syaikh Ali Abdullah Ahmar dan anaknya, Sinnan Abu Lahhum, komandan militer Ali Muhsin Al-Ahmar yang didukung setengah pasukan Yaman. Partai Islah adalah representasi dari kelompok Ikhwanul Muslimin yang juga merupakan koalisi dari beragam pemimpin suku konservatif. Islah adalah partai utama di JMP, sehingga banyak kebijakannya yang mendukung langkah-langkah pergerakan IM. Pasca runtuhnya Saleh, Islah mulai mengambil peran dalam posisi sentral dalam proses politik. Hal ini menjadikan partai Islam memiliki peran yang signifikan dalam membangun politik pada masa transisi, bahkan banyak dari kelompok IM yang menjadi penggerak dalam revolusi Yaman. Selain IM, Salafiyyah adalah gerakan Islam yang sejak lama berkembang di Yaman. Sebagaimana namanya, gerakan ini menyerukan untuk kembali kepada ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad dan ulama Salaf Ash-Shalih. Kelompok ini diwakili oleh Salafi Jihadi anti pemerintah, tradisionalis yang pro-pemerintah. Disamping itu, berdasarkan aktivitasnya, Salafi dibagi dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok mainstream yang dekat dengan pendiri Salafi radikal, Syaikh Muqbil Al-Wadi’i, kedua, The Wisdom Society Movement yang dipengaruhi oleh Syaikh Abdul Rahman Abdul Rahman Abdul Khaliq dari Mesir. Ketiga, The Ihsan Society yang dipengaruhi oleh salah seorang Syaikh dari Suriah. Selain itu, terdapat juga Salafi non-radikal yang dipimpin Yahya Al-Hajuri dari Institut Daarul Hadits di Dammaj. Gerakan Salafi ini berusaha untuk menstigmatisasi revolusi kaum muda termasuk Ikhwanul Muslimin. Kelompok Salafi politik ini memandang proses revolusi Mouna Succarieh, diterjemahkan oleh Rani Geha, “Rise of Radical Islam in Yemen Altering Its Tribalism”, http://www. al-monitor.com/pulse/politics/2012/09/weekenda-detailedlook-at-islamism-in-yemen.html#. 12
126 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 119–135
Yaman sebagai kesempatan baru untuk ikut terlibat dalam ruang politik. Melalui revolusi Yaman, anggota asosiasi Hikma dan Ihsan, terinspirasi oleh keberhasilan partai An-Nour di Mesir, mengumumkan proyek untuk membentuk partai Islam dan berpartisipasi dalam pemilu. Sementara itu, Al-Qaeda adalah gerakan Islam yang pertama kali muncul di Yaman sebagai cabang dari Al-Qaeda Arab Saudi pada tahun 2003 yang fokus dalam jihad terhadap musuh Islam dan keluarga Sa’ud. Al-Qaeda di Yaman muncul pada awal 1990-an, ketika para kolega Osama bin Laden kembali dari Afganistan. Kelompok ini banyak melakukan aksi kekerasan terutama pada fasilitas militer asing, termasuk pemboman kapal USS Cole di Aden pada tahun 2000. Sampai pada tahun 2006, Al-Qaeda di Yaman tidak menjadikan pemerintah Yaman sebagai target utama. Namun, faktor tekanan asing terutama AS, masalah ekonomi dan kebutuhan akan bantuan mengakibatkan semakin meningkatnya perlawanan pemerintah terhadap para pejuang Al-Qaeda. Pada tahun 2009, Al-Qaeda mengumumkan bahwa operasi jihad di Saudi dan Yaman digabungkan menjadi AQAP dibawah komando Nasir Al-Wuhayshi. Adapun kelompok Syiah diwakili oleh kelompok Al-Houti yang kerap melakukan konfrontasi dengan pasukan pemerintah. Keluarga dan pengikut Al-Houti dituduh melakukan makar untuk mengganti negara republik menjadi negara yang berdasarkan sistem keimaman. Tuduhan ini disangkal oleh Al-Houthi yang mengkritik rezim Presiden Saleh yang dianggap korup, terlalu dekat dengan AS, dan lebih dekat dengan kelompok Wahabi-Salafisme melawan komunitas lokal dan tradisional. Pada tahun 2009, kelompok AlHouti memperluas basis perlawanan sampai ke wilayah Saudi dengan alasan bahwa Saudi telah mendorong pasukan Yaman untuk melakukan serangan ke basis Al-Houti di perbatasan. Ada indikasi bahwa Saudi menggunakan wilayah perbatasannya untuk membantu pasukan Yaman berperang melawan militan Al-Houti. Secara historis kebijakan Arab Saudi di Yaman didorong oleh beberapa faktor, antara lain wilayah perbatasan sepanjang 1800 km yang kerap menimbulkan permasalahan. Garis tegas perbatasan menjadi faktor permasalahan
pada akhirnya didemarkasi pada Juni 2000 ketika Yaman menerima kedaulatan Saudi atas beberapa wilayah seperti Asir, Najran, dan Jizan. Sementara itu, Arab Saudi tetap memperkuat basis militernya di perbatasan, karena khawatir terhadap masalah penyelundupan narkoba, migran ilegal untuk mencari kerja di Arab Saudi. Selain itu, Saudi juga waspada terhadap semakin berkembangnya kekuatan Al-Houti dan mencurigai adanya keterkaitan antara Al-Houti, Iran, dan Al-Qaeda yang dianggap menjadi ancaman regional. Kendati demikian, banyak pihak yang meragukan keterlibatan Iran dalam konflik terbuka di Yaman, karena belum adanya bukti keterlibatan Iran dalam membantu milisi Al-Houti. Seperti yang diungkapkan oleh Ginni Hill dan Gerd Nonneman, dalam “Yemen, Saudi Arabia and the Gulf States : Elite Politics, Street Protests and Regional Diplomacy”, menyatakan bahwa Saudi mengakui kepada pihak AS bahwa pemerintahannya membesar-besarkan keterlibatan Iran.13 Kepedulian Saudi tersebut mendorong keterlibatan cukup signifikan dalam persoalan Yaman sejak beberapa dekade. Sementara itu, GCC adalah organisasi antar negara yang terdiri dari negara-negara Teluk, seperti Arab Saudi, Oman, Uni Emirat Arab, Bahrain, Qatar, dan Kuwait. Meski organisasi ini tidak besar, namun GCC menunjukkan kekuatan kolektifnya terutama dalam negosiasi dengan Uni Eropa terkait bantuan ekonomi dan politik bagi Yaman. Mundurnya presiden Saleh dari kursi presiden tidak lepas dari peran GCC yang memaksa Saleh untuk melakukan transfer kekuasaan. AS merupakan salah satu negara yang fokus pada masalah ancaman keamanan kawasan, menyusul banyaknya serangan yang dilakukan Al-Qaeda terhadap fasilitas militernya. Kepedulian AS terhadap Yaman mulai meningkat terutama pasca peristiwa 11 September 2001. Kendati demikian, hubungan antara kedua negara tidak berjalan mulus seiring dengan sikap ragu pemerintah Yaman dalam memberantas Ginni Hill & Gerd Nonneman, “Yemen, Saudi Arabia and the Gulf States: Elite Politics, Street Protests and Regional Diplomacy”, Chatham House Middle East and North Africa Programme Briefing Paper No. 2011/01, Mei 2011, http:// www.chathamhouse.org/sites/default/files/19237_0511 yemen_ gulfbp.pdf, diakses pada tanggal 17 Oktober 2014. 13
Problematika Kekuatan Politik Islam ... | Muhammad Fakhry Ghafur | 127
kelompok Al-Qaeda. Meningkatnya serangan AlQaeda di Yaman pada tahun 2009, mendorong AS untuk menetapkan beberapa strategi, diantaranya adalah komitmen untuk memberantas AQAP dalam jangka pendek, meningkatkan bantuan pembangunan jangka panjang dan menggalang dukungan internasional untuk menstabilisasi keamanan negara. Bantuan pembangunan dan keamanan AS pun berangsur meningkat yang pada tahun 2008 sebesar 17,2 juta dolar menjadi 40,3 juta dolar pada tahun 2009. Meskipun demikian, beberapa studi yang dilakukan menunjukkan bahwa jumlah kelompok militan di Yaman berkisar antara 300-500 hingga beberapa ribu orang saja yang menunjukkan masih belum kuatnya kekuatan Al-Qaeda di Yaman. Kelompok ini pun belum memiliki afiliasi dengan partai politik, faksi militer maupun organisasi masyarakat sipil yang memfasilitasi AQAP untuk bekerjasama dengan kelompok suku. Berbeda denga Al-Qaeda, kelompok separatis Al-Houti justru semakin menunjukkan kekuatannya. Pada 21 September 2014, kelompok ini berhasil menguasai kota Sana’a sekaligus berhasil mengusir presiden Abdurrabu Manshur Al-Hadi dari istana kepresidenan dan melemahkan pengaruh elit politik rezim Saleh. Tidak hanya itu, kelompok Al-Houti juga menuntut digantinya PM Mohammed Salem Basindwa yang dianggap tidak mampu menjalankan roda pemerintahan. Keberhasilan kelompok Al-Houti tidak lepas dari melemahnya kekuatan politik keluarga Al-Ahmar sebagai pendukung utama pemerintah. Lemahnya posisi keluarga Al-Ahmar berpengaruh bagi partai Islah yang menguasai beberapa pos kementerian. Selain itu, dengan melemahnya kekuatan Islam juga berpengaruh pada posisi Ikhwanul Muslimin sebagai basis pendukung utama partai Islah terlebih upaya Arab Saudi untuk membendung menyebarnya pengaruh IM di kawasan.
Problematika Kekuatan Politik Islam di Suriah Sebagai negara yang berlandaskan nasionalisme, kebebasan, dan sosialisme, para pemimpin di Suriah telah berusaha untuk mendorong terjadinya perubahan dalam kehidupan sosialpolitik dan ekonomi. Di bidang politik, ideologi
tersebut telah menjadikan partai Ba’ath menjadi kekuatan utama dalam mempertahankan kekuasaan rezim. Pada masa Hafiz Al-Assad Partai Ba’ath dan institusi militer mendapat posisi strategis dalam pemerintahan.14 Relasi antara rezim, Partai Ba’ath dan institusi militer memicu terjadinya gerakan perlawanan dari kelompok oposisi. Tradisi kepemimpinan kemudian dilanjutkan oleh putranya Bashar Al-Assad. Pada masanya kolaborasi antara Partai Ba’ath dan militer semakin kuat terlebih pemerinthan Assad dapat mensinergiskan empat pilar, antara lain, mempersatukan kelompok mioritas, mengontrol secara penuh aparatur militer-intelejen, memonopoli kepemimpinan Partai Ba’ath serta meneguhkan kembali undangundang darurat yang ditetapkan pada tahun 1962. Undang-undang tersebut telah memberikan kekuasaan yang hampir tanpa batas pada Partai Baath. UU inilah yang kemudian ditentang oleh berbagai kelompok pro-reformasi termasuk dari kalangan Islam-Sunni. Aksi protes tersebut tersebut dibalas dengan serangan besar-besaran militer rezim ke basis kelompok oposisi yang mengakibatkan tewasnya ratusan ribu warga sipil. Sistem politik otoriter rezim Al-Assad menjadi penyebab munculnya perlawanan dari kelompok politik Islam di Suriah. 1. Kekuatan Politik Islam di Suriah Kelompok Islam adalah penentang utama rezim Al-Assad, seperti Ikhwanul Muslimin dan organisasi yang tergabung dalam gerakan sayap militernya, Salafiyyah, Al-Qaeda, dan kelompok Sufi serta para ulama yang juga turut berperan dalam kehidupan sosial-politik di Suriah. Ikhwanul Muslimin (IM) adalah gerakan Islam yang paling getol menentang politik diskriminasi rezim Al-Assad. IM sudah sejak lama eksis dalam dinamika politik dan konflik di Suriah. Bahkan dalam kajian The Arab Centre for Research and Policy Studies IM disebut sebagai pemain kunci dalam pergolakan politik di Suriah pada saat ini. Hal itu tidak lepas dari pengaruh IM sebagai gerakan Islam yang mempunyai akar yang cukup kuat dengan keanggotaannya yang luas hingga mampu berafiliasi dengan gerakan Amos Perlmutter, The Roles of Military and Rules Politis, (London: Frank Cass and Company Limited, 1981). 14
128 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 119–135
Islam lainnya, seperti Anshar Asy-Syariah dan Jabhat An-Nushra. Selain itu, para ulama besar mempunyai ikatan yang kuat degan gerakan ini, sebut saja misalnya Musthafa Ash-Shiba’i, Syaikh Al-Bayouni dan Syaikh Said Hawa seorang ulama yang kerap menentang konstitusi sekuler di Suriah. Karya-karya Said Hawa menjadi referensi para aktivis IM di seluruh dunia. Selama beberapa dekade, gerakan IM Suriah memiliki strategi yang berbeda dari masa ke masa. Pada tahun 1950, IM mulai aktif dalam politik praktis dengan masuknya sejumlah aktivis dalam institusi dan badan pemerintahan. Namun, munculnya dominasi Partai Baath dalam pemerintahan dan menguatnya nasionalisme Arab membuka lembaran baru dalam konfrontasi antara IM dengan rezim militer yang kemudian menciptakan kesenjangan dan konflik yang berkelanjutan. Salafiyyah menjadi gerakan yang juga berperan dalam politik di Suriah. Pada awal terjadinya gejolak politik di Suriah pada 2011, kehadiran Salafi di Suriah mengambil bentuk yang beragam dengan munculnya faksi-faksi Salafiyyah. Diantara tokoh Salafi yang muncul di Suriah adalah Jamal Al-Qasimi, Muhammad Rasyid Ridha yang pindah dari Mesir ke Suriah, dengan karyanya yang monumental yakni tafsir Al-Manar yang memberikan inspirasi bagi kelompok Islam di dunia, serta Muhammad Nassiruddin Al-Albani yang merupakan tokoh Salafi yang berpengaruh di Suriah.15 Namun karena konfrontasi antara rezim militer dengan kelompok oposisi banyak ulama yang mengasingkan diri ke luar Suriah. Pada November 2011, gerakan Salafiyyah menyatakan akan melakukan perlawanan terhadap rezim. Diantara faksi Salafi, Islamic Front adalah gerakan yang paling menonjol dan paling luas basis dukungannya. Syria Islamic Front, didirikan pada Juli 2012 yang terdiri dari sebelas sayap militer, antara lain Harakah Ahrar Ash-Sham, Harakah Al-Fajr Al-Islamiyyah, Liwa Al-Haq, serta Jama’ah At-Taliah Al-Islamiyyah.16 Tujuan Abdurrahman Al-Haj, Ad-Da’wah wal Jama’ah, AtTathallu’at lil Jama’at Ad-Diniyyah fi Suria, (Al-Markaz AtTawasul wa Abhats As-Stratijiyyah, 2012). 15
16
Mohammad Abu Rumman, Islamists, Religion, and The
dari gerakan-gerakan ini adalah melengserkan rezim Al-Assad dan membangun masyarakat Suriah yang dilandasi nilai-nilai Islam. Dari sini dapat dilihat bahwa, Islamic Front memiliki tujuan dan ideologi yang berbeda dengan AlQaeda maupun ISIS. Faksi Islamic Front yang terkemuka adalah Ahrar Ash-Sham dibawah komandan Hassan Abu Abdullah. Kelompok ini memiliki basis kekuatan di Aleppo, Edlib dan wilayah utara. Sementara faksi Salafi lainnya, Liwa At-Tauhid fokus pada resolusi konflik dan misi kemanusiaan di beberapa daerah. Selain itu, ISIS merupakan salah satu dari faksi Salafi Jihadis yang paling terkemuka di Suriah. Kehadiran ISIS mendorong sejumlah eksponen radikal di tubuh sejumlah gerakan Islam lainnya untuk bergabung. Diantara gerakan Islam terbesar di Suriah yang bergabung dengan ISIS adalah Jabhat An-Nushra. Sebelum ISIS muncul, Jabhat An-Nushra adalah salah satu gerakan Islam terbesar di Suriah. Bahkan, dalam perlawanan terhadap rezim, gerakan ini mempunyai peran yang signifikan di Suriah dibandingkan dengan Free Syrian Army (FSA) yang hanya memiliki basis di Aleppo, sementara An-Nushra mempunyai basis dukungan yang luas meliputi Damaskus, Hama, Hams, dan Ar-Raqqah. Kesamaan ideologi antara An-Nushra dan ISIS mendorong para anggota An-Nushra untuk bergabung dengan ISIS dalam melawan AS dan sekutunya di Irak dan Suriah. Meskipun pada akhirnya banyak diantara para pejuang An-Nushra yang memilih keluar dari ISIS dikarenakan sepak terjang ISIS cenderung keluar dari batasan syariat Islam. Munculnya berbagai faksi dalam tubuh Salafiyah, baik yang jihadis, politis maupun tradisional menunjukkan perbedaan pandangan kelompok Salafiyyah dalam pergolakan politik di Suriah. Hal tersebut tidak lepas dari berbagai kepentingan yang melatarbelakangi berdirinya sejumlah faksi di tubuh Salafi. Persamaan mendasar antar seluruh faksi tersebut adalah sikapnya dalam membela Islam dan anti-Barat. Pemikiran-pemikiran gerakan Salafiyyah dapat ditelusuri dalam sejumlah karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Sedangkan Salafi reformis dengan tokohnya Jamaluddin Al-Qasimi dekat dengan kelompok Islam Moderat yang Revolution in Syiria, (Jordania: FES Jordan Published, 2013).
Problematika Kekuatan Politik Islam ... | Muhammad Fakhry Ghafur | 129
mendirikan NCSR dan dekat dengan Ikhwanul Muslimin. Gerakan Islam lain yang juga berperan aktif dalam konflik adalah Al-Qaeda. Sejak awal revolusi Suriah, Al-Qaeda menjadi salah satu bagian aktor internal dalam konflik Suriah. Revolusi Suriah yang diawali dengan aksi damai pada awalnya tidak menghendaki lahirnya berbagai gerakan militer. Gerakan protes lebih didasari oleh perasaan untuk tegaknya kebebasan, keadilan dan demokrasi. Namun, sikap represif rezim memicu munculnya aksi kekerasan di Suriah. Kekerasan tersebut juga memicu transformasi berbagai gerakan dalam kelompok milisi bersenjata, seperti Al-Qaeda dan Salafi Jihadis. Kekacauan politik di Suriah pun telah mendorong lahirnya gerakan Islam lainnya yang lebih radikal. Pada April 2013, muncul gerakan Negara Islam di Iraq dan Suriah atau Da’isy, sebagai upaya dari pimpinan Daulah Islamiyyah fi Al-Iraq, Abu Bakar Al-Baghdadi untuk menggabungkan gerakannya dengan Jabhat An-Nushra di Suriah yang diklaim sebagai bagian dari gerakannya. Sejak saat itu Daulah Islamiyyah fi Al-Iraq berubah nama menjadi Da’isy atau yang lebih dikenal oleh AS dan Barat sebagai ISIS. Disamping itu, keterlibatan aktor regional dan internasional dalam konflik serta dibukanya perbatasan Turki, Lebanon dan Irak mendorong masuknya gerakan milisi bersenjata secara besar-besaran yang mengakibatkan konflik Suriah semakin kompleks. 2. Kepentingan Asing di Balik Konflik Suriah Semakin meningkatnya konflik antara rezim Al-Assad dan kelompok oposisi terutama kelompok Islam tidak lepas dari intervensi asing yang memiliki kepentingan di Suriah. Bagi AS, kekacauan politik di Suriah dianggap sebagai salah satu ganjalan kepentingan AS di Timur Tengah. Sejak partai Ba’ath berkuasa rezim Al-Assad lebih cenderung untuk bekerjasama dengan negara-negara “Merah” seperti Rusia dan Cina. Suriah pun menjadi ancaman besar bagi Israel selain nuklir Iran. Nasionalisme Arab yang dikumandangkan rezim militer Suriah sejak tahun 1967 menjadi ganjalan bagi Israel dalam menancapkan hegemoninya.
Sementara itu, dukungan Iran terhadap rezim Al-Assad pun semakin terlihat dalam setiap kebijakan luar negerinya. Pemerintah Bashar Al-Assad yang dibangun melalui kekuatan politik partai Baath dengan dominasi kelompok Syiah Alawiyyah telah mendorong kekuatan Syiah lainnya untuk berkonfrontasi di Suriah, termasuk Hizbullah. Disamping itu, dukungan Iran terhadap keberlangsungan rezim Al-Assad tidak lepas dari posisi Suriah sebagai aliansi strategis Iran dalam menghadapi Israel. Suriah melalui ideologi Nasionalisme Arab, bersama Mesir dan Yordania pernah melakukan perlawanan menentang penjajahan Israel di Palestina pada tahun 1967. Suriah pun menjadi kepanjangan tangan Iran dalam menyokong milisi Hizbullah di Lebanon Selatan sejak tahun 1975. Turki, Arab Saudi dan Qatar adalah negaranegara yang kerap menekankan pentingnya pergantian rezim di Suriah. Kendati tidak bersinggungan secara langsung, Turki menjadi penyokong utama kelompok oposisi di Suriah. Di samping itu, Turki mempunyai kepentingan dengan kelompok Islam di Suriah dalam memberantas milisi Kurdi di daerah perbatasan. Demikian halnya dengan Arab Saudi dan Qatar yang menjadi pendukung kelompok oposisi Islam. Kedua negara tersebut menjadi aktor penting dalam sejumlah konferensi perdamaian antara rezim Assad dengan kelompok oposisi. Dibekukannya keanggotaan Suriah dalam Liga Arab pada 2012 tidak lepas dari peran Arab Saudi dan Qatar. Selain memberikan sumbangan dana besar bagi oposisi, Saudi Arabia dan Qatar menjadi pemasok utama senjata kelompok oposisi untuk melawan rezim Al-Assad yang didukung Syiah Alawiyyah. Konflik yang terjadi pun dimanfaatkan oleh sejumlah pihak untuk menyulut api permusuhan antar kekuatan politik Islam Sunni dengan kekuatan politik Syiah.
Politik Islam, Otoritarianisme-Militer dan Krisis Legitimasi di Aljazair Aljazair adalah negara di Afrika Utara yang memiliki dinamika politik Islam yang menarik. Sejarah konflik antara rezim militer dan gerakan Islam dimulai sejak era kemerdekaan dan semakin memuncak pada liberalisasi politik pada tahun 1990-an. Peran militer sangat
130 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 119–135
diuntungkan sebagai penguasa negara dengan sistem pemerintahan tunggal dimana seluruh aktivitas kenegaraan dikendalikan oleh rezim militer. Munculnya kekuatan politik Islam di Aljazair memberikan sinyal positif bagi perkembangan demokrasi di Aljazair yang semakin meningkat seiring terjadinya Arab Spring di sejumlah negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Berbagai strategi dilakukan rezim militer untuk meredakan meluasnya protes rakyat dan perlawanan dari gerakan Islam, antara lain dengan memotong bea pajak, menurunkan harga kebutuhan pokok, dan melakukan langkah reformasi politik dengan merombak kabinet pada 2011. Namun, reformasi yang dilakukan tersebut tidak menyentuh peran militer yang dianggap penting dalam perubahan politik di Aljazair. Kebijakan reformasi politik sulit dilakukan karena beberapa hal, antara lain, pertama, Abdelaziz Bouteflika, presiden Aljazair, melakukan respons cepat dengan kebijakan-kebijakan populis untuk meredakan gejolak rakyat termasuk stimulus untuk meredakan krisis ekonomi. Kedua, publik Aljazair telah trauma dengan konflik politik yang berkepanjangan sepanjang tahun 1992-1998 yang banyak memakan korban hingga 200.000 jiwa. Perubahan kabinet dan kebijakan yang responsif yang dilakukan Bouteflika dirasakan cukup untuk memperlihatkan itikad baik Bouteflika bagi publik Aljazair. Setidaknya pada pemilu legislatif 2012, suara partai utama pengusung Bouteflika, FLN, naik 72 kursi dari Pemilu Legislatif 2007 yang hanya memperoleh 136 kursi, sementara suara partai Islam semakin menurun. Meningkatnya suara FLN tidak menunjukkan keberhasilan Bouteflika, tetapi lebih disebabkan oleh menurunnya partisipasi politik yang mencapai 43.14% (9.34 Juta) dari total 21.65 juta rakyat Aljazair yang memiliki hak pilih. Selain itu, manipulasi sistem politik rezim dengan menetapkan parliamentary threshold sampai 5% di setiap distrik sangat menyulitkan partai-partai baru untuk bersaing. Hasil akhir perolehan suara menunjukkan masih dominannya partai-partai lama dimana partai FLN memperoleh 208 kursi, RND 68 kursi, GAA 49 kursi, FFS 27 kurs) dan Partai Buruh 24
kursi.17 Dengan demikian, komposisi parlemen Aljazair masih dikuasai oleh kekuatan politik lama yang semakin mengukuhkan pengaruh politik Bounteflika. Berbeda dengan Pemilu Legislatif, tingkat partisipasi publik dalam Pemilu Presiden (Pilpres) sedikit lebih tinggi dan selalu diatas 50% sebagaimana pada Pilpres 1995 dengan tingkat partisipasi sebesar 74.90% sampai berangsur mengalami penurunan pada setiap penyelenggaraan Pilpres. Pilpres 2014 merupakan yang terendah dalam sejarah Pilpres Aljazair dengan tingkat partisipasi sebesar 51.7%. Pada Pilpres 2014, Abdel Aziz Bouteflika unggal dalam perolehan suara dengan 81.53% suara. Penurunan tingkat partisipasi politik publik tersebut menunjukkan tengah menurunnya dukungan rakyat Aljazair terhadap kepemimpinan Bouteflika. Rendahnya partisipasi politik publik tidak lepas dari kegagalan Bouteflika yang gagal melaksanakan janji reformasi pasca Arab Spring dan ketidakpercayaan publik akan kemampuan Bouteflika untuk melanjutkan roda pemerintahan karena faktor usia dan kondisi kesehatan. Selain faktor manipulasi sistem Pemilu dalam Pilpres, kemenangan Bouteflika tidak dapat dilepaskan dari kuatnya relasi antara politik dan militer sehingga dinamika politik di Aljazair kerap dimonopoli oleh kekuasaan tunggal FLN-ALN serta berpotensi menciptakan sistem pemerintahan oligarkis yang mengeliminasi munculnya kekuatan-kekuatan politik alternatif di Aljazair sehingga menyebabkan terbentuknya negara dengan sistem partai tunggal. 1. Kekuatan Politik Islam di Aljazair Seperti halnya Yaman, faktor Islam tidak dapat dikesampingkan dalam kehidupan sosial-politik di Aljazair dimana sejak lama Islam merupakan akar terbentuknya sosial-budaya masyarakat Aljazair yang kerap dijadikan alat untuk mencari legitimasi politik sepanjang pemerintahan Ahmed Ben Bella sampai Mohamed Boudiaf. Hubungan antar pemerintah dengan kelompok Islam di Aljazair kerap mengalami pasang surut. Pada masa pemerintihan Ahmad “Algeria Avoids Arab Spring”, http://carnegie-mec. org/2012/05/31/algeria-avoids-arab-spring. 17
Problematika Kekuatan Politik Islam ... | Muhammad Fakhry Ghafur | 131
Ben Bella (1962-1965), hubungan negara dan kelompok Islam cukup harmonis. Berdirinya Al-Qiyam Al-Islamiyya dibawah pimpinan Hashemi Tidjani yang merupakan penerus Abd Al-Hamid ben Bedis, An-Nahdhah, memiliki hubungan dekat dengan Ben Bella yang berhaluan sosialis.18 Meski demikian, Hashemi berhasil mempengaruhi Ben Bella untuk mengeluarkan kebijakan penerapan kurikulum agama Islam di sekolah umum. Pada masa Hourari Boumedinne (1965-1979) hubungan antara pemerintah rezim militer dengan kelompok Islam justru berlangsung tidak harmonis, akibat sikap tegas Hourari terhadap gerakan Islam. Penentangan rakyat terhadap pemerintah yang korup telah menumbuhkan benih perlawanan kelompok Islam dibawah pimpinan Abbasi Madani yang berpengaruh dan menjadi simbol perlawanan gerakan Islam terhadap rezim militer. Perlawan lebih ekstrim bahkan muncul melalui berdirinya Mouvement Algerian Islamique ArmeMAIA yang eksis sampai tahun 1987. Untuk meredakan gejolak anti pemerintah dari kelompok Islamis, Chadli Benjedid menetapkan kebijakan populis yang menunjukkan keberpihakannya terhadap Islam. Namun, politisasi Islam tersebut justru mendapat penolakan dari kalangan Islam sehingga menyebabkan gagalnya proyek Islamisasi Benjedid serta menyuburkan bangkitnya kekuatan politik Islam. Menguatnya politik Islam di Aljazair mendorong rezim untuk melakukan transformasi dan perubahan sosial yang memicu lahirnya liberalisasi politik yang cukup signifikan pada masa Benjedid. Puncak dari liberalisasi politik dan kebangkitan politik Islam di Aljazair terjadi pada akhir tahun 1980-an yang ditandai dengan lahirnya Islamic Salvation Front (FIS). Dibawah pimpinan Abbasi Madani dan Ali Belhaj, FIS kemudian menjadi partai politik yang berkontestasi dalam Pemilu Aljazair. Kemenangan FIS dalam Pemilu Legislatif 1991 tidak lepas dari dukungan yang kuat dari kalangan Islam di Aljazair. Sebelum berdiri, FIS sudah mempunyai basis massa terorganisi dalam sebuah wadah bernama Liga Dakwah atau
Rabitat Ad-Da’wah yang merupakan konsolidasi nasional kelompok dan organisasi Islam di Aljazair. Karenanya tidak mengherankan sejak awal berdiri sampai pemilu dukungan terhadap FIS semakin meningkat dengan jumlah massa pendukung hingga mencapai 600.000 sampai 800.000 partisan.19 Pada Pemilu lokal 1990, FIS memenangi 54.3% suara parlemen di 1.541 (Asemblee Populaire Communale- APC), di tingkat kabupaten memperoleh 5.987 kursi, sementara ditingkat provinsi memperoleh 57.4% suara atau 1.031 kursi. Hal tersebut tidak lepas dari dukungan masyarakat urban di perkotaan hingga FIS mampu mendulang suara hingga mencapai 90%.20 Selain itu, kemenangan FIS juga disebabkan oleh fondasi organisasi FIS yang kuat dan identitas keislaman yang kental di negara tersebut bahkan berperan penting dalam gerakan kemerdekaan. Disamping itu, sekularisme yang berkembang serta buruknya ekonomi negara akibat ketidakmampuan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan hidup menjadikan FIS sebagai partai Islam yang populer.21 Kemengan FIS pada Pemilu 1991, mendorong mundurnya presiden Chadli Benjedid pada 11 Januari 1992 diikuti dengan pembubaran parlemen oleh Perdana Menteri Sid Ahmed Ghazali. Kekacauan politik pasca Pemilu 1991 berujung pada penangkapan puluhan ribu anggota FIS termasuk Abbasi Madani dan Ali Belhaj sampai pada akhirnya FIS dibubarkan dan dianggap ilegal oleh rezim militer pada tahun 1992. Pada tahun 1992 banyak bermunculan organisasi sayap militer yang anti-pemerintah seperti group Muhammed Allal dan group Ahmed Al-Wad. Namun, Allal terbunuh kemudian digantikan oleh Abdel Haq Layada dan membentuk organisasi sayap militer baru bernama Goupements Islamiques Armes (GIA). Pada perkembangannya GIA memiliki orientasi politik yang berbeda dengan FIS yang Frédéric Volpi, Islam and Democracy: The Failure of Dialogue in Algeria, (London: Pluto Press, 2003), hlm. 43. 19
Salwa Ismail, Rethinking Islamist Politics: Culture, the State and Islamism (New York: I.B. Tauris, 2003), hlm. 188. 20
Ray Takeyh, “Islamism in Algeria: A Struggle between Hope and Agony,” Middle East Policy Vol. 10, Issue 2, 2003, hlm. 62-75. 18
Riza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah (Bandung : Mizan, 2007). 21
132 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 119–135
lebih memilih berjuang melalui konfrontasi senjata. Perbedaan ideologi politik inilah yang mengakibatkan GIA dan FIS pada akhirnya sulit untuk disatukan sehingga mendorong FIS untuk mendirikan organisasi sayap militer lainnya, yaitu Tentara Pembebasan Islam atau AIS, Armee Islamique du Salut pada Juli 1994. Hadirnya AIS sebagai gerakan militer kedua memperburuk faksionalisasi politik dan melemahkan politik Islam di Aljazair. Konflik dan kontak senjata antara AIS dan GIA sering terjadi sepanjang 1994 hingga 1997.22 Sementara itu, wajah-wajah politik Islam moderat juga hadir di Aljazair. Pada tahun 1995, muncul Mahfoud Nahnah yang merupakan satu-satunya calon presiden dari kelompok politik Islam melalui partai Harakat Mujtama’ As-Silmi (MSP). Pembubaran FIS pada tahun 1992 menyebabkan semakin menguatnya perolehan suara MSP dan An-Nahdhah. Pada Pemilu Legislatif 1997, MSP dan An-Nahdhah masingmasing memperoleh 69 kursi dan 34 kursi di parlemen. Sementara pada Pemilu Legislatif tahun 2002 perolehan suara masing-masing 38 kursi dan 43 kursi (MRN), pada Pemilu Legislatif 2007 MSP naik kembali menjadi 52 kursi namun MRN kehilangan 40 kursi. Sedangkan Al-Nahdah setelah ditinggalkan oleh Jaballah hanya mendapat 1 kursi pada Pemilu Legislatif 2002 dan 5 kursi pada 2007. Salah satu sebab naik turunnya suara partai Islam lebih disebabkan oleh peraturan rezim yang melarang penggunaan identitas Islam dalam undang-undang Partai Politik 1997. Disamping itu, adanya friksi internal partai antara MRN dan An-Nahdhah berdampak pada perolehan suara MRN yang semakin meningkat dalam pemilu Aljazair. Meningkatnya suara MRN pun tidak lepas dari pengaruh sosok ahmad Jaballah sebagai pendiri MRN. Kuatnya pengaruh Jaballah juga berpengaruh terhadap Pemilu Aljazair secara signifikan. Sistem pemilu internal di MRN membuat Jaballah harus meletakkan mandat sebagai presiden partai di tahun 2004 dan menyerahkanya pada Mohamed Boulahya pada 2007 sehingga menghambat Jaballah untuk Lihat Mohamed M. Hafez, “Armed Islamist Movements and Political Violence in Algeria,” Middle East Journal, Vol. 4, 2000, hlm. 572-591. 22
bermanuver pada Pemilu Legislatif 2007 dan menggugurkan peluangnya untuk berkontestasi pada pemilihan presiden 2009. Hal ini membuat Jaballah keluar dari partai yang didirikannya sendiri dan memboikot Pemilu Legislatif 2007 serta menyatakan akan kembali ke kancah politik dengan partai baru pada pemilu berikutnya, JDP (Justice and Development Party). Friksi antar kekuatan politik Islam inilah yang pada akhirnya menyebabkan tidak bersatunya partai-partai Islam di Aljazair. Fenomena Arab Spring 2011, dijadikan oleh kelompok dan partai Islam sebagai momentum untuk menggalang persatuan . Pada Pemilu 2012 terjadi koalisi yang penting bagi perkembangan politik Islam di Aljazair dimana islah politik antara MSP, MRN, dan An-Nahdhah melahirkan kekuatan koalisi Islam yakni Green Algerian Alliance (GAA) pada 7 Maret 2012, sementara Abdallah Jaballah memilih untuk tetap pada Justice and Development Party. Koalisi ini didasarkan pada kesadaran politik Bouguerra Soultono yang telah gagal membangun koalisi Islam yang kuat pada masa Bouteflika.23 Namun, reunifikasi ini dianggap hanya formalitas karena tidak disertai dengan penyatuan seluruh anggota fanatik dari masing-masing partai. Akibatnya, pada Pemilu Legislatif 2012 tidak menunjukkan tren yang positif dari suara GAA yang turun 11 kursi jika dibandingkan koalisi MSP, MRN, dan An-Nahdhah pada 2007 yang mencapai 60 kursi. Sementara itu, pengaruh gerakan Ikhwanul Muslimin juga sangat kuat dalam dinamika politik di Aljazair. Kebijakan Islamisasi politik pada masa Ben Bela turut menyuburkan berkembangnya Ikhwanul Muslimin di Aljazair, dimana banyak sekolah-sekolah Aljazair yang menerapkan sistem pendidikan Islam dan merekrut guru-guru dari Mesir yang sebagian besar adalah pendukung IM. Guru-guru tersebut secara tidak langsung menjadi penghubung antar pemikiran dan ideologi IM di Mesir dengan Aljazair. Ideologi FIS yang dibangun berdasarkan hubungan solidaritas persaudaraan yang berbasis masjid merupakan hasil dari pengaruh kuat ideologi IM. Demikian juga dengan MSP, MRN “Algeria, Islamist, Parties Seek Political Alliance”, http:// www.al-monitor.com/pulse/originals/2013/04/algeria-islamistparties-seek-political-alliance.html#. 23
Problematika Kekuatan Politik Islam ... | Muhammad Fakhry Ghafur | 133
dan An-Nahdhah yang memiliki sistem kaderisasi dan rekrutmen yang sama dengan IM. Adapun pengaruh radikalisasi yang muncul dalam tubuh MIA, GIA, AIS, GSPC dan LIDD tidak lepas dari pengaruh semangat juang para pejuang eks Perang Afganistan. Meskipun jumlah mereka sedikit namun, dapat memberikan semangat dalam mengorganisir melalui AlMuwahhidun. Jaringan ini juga menyebabkan munculnya konsolidasi antara gerakan Islam di Aljazair dengan gerakan Islam garis keras seperti Al-Qaeda. Pada perkembangannya Al-Qaeda memiliki afiliasi yang kuat dengan para elite GIA, MIA maupun AIS. Relasi antara Al-Qaeda dan gerakan radikal di Aljazair pada akhirnya berdampak pada terbentuknya ketidakpercayaan masyarakat internasional terhadap masa depan demokrasi di Aljazair, khususnya AS dan Eropa yang memandang AQIM sebagai ancaman bagi keamanan regional.
Penutup Munculnya kekuatan politik Islam seiring dengan berlangsungnya upaya demokratisasi dan liberalisasi politik seperti terjadi di beberapa negara kasus, antara lain, Yaman Suriah, dan Aljazair adalah beberapa fenomena menarik yang terjadi dalam dinamika politik Timur Tengah saat ini. Valentine Columbo, pakar dan pengamat dari European Foundation for Democracyyang juga guru besar geopolitik dunia Islam Universitas Eropa di Roma bahkan sampai secara ekstrim menyatakan bahwa kekuatan politik Islam, seperti Ikhwanul Muslimin telah mengambil alih kekuasaan di kawasan Timur Tengah. Meskipun demokrasi dipandang sebagai sistem yang ideal dalam konstelasi politik bernegara, namun tidak begitu saja dengan mudah dapat diaplikasikan dalam kehidupan bernegara di berbagai negara, termasuk di Yaman, Suriah, dan Aljazair. Demokrasi kerap berbenturan dengan persoalan lokal baik ekonomi, struktur sosial, tafsir agama dan budaya, maupun proses politik yang terjadi dalam suatu negara. Ditambah lagi dengan pengaruh eksternal yang tampaknya juga berpengaruh bagi berhasil dan atau gagalnya sebuah negara dalam mengimplementasikan sistem demokrasi.
Dalam konteks Timur Tengah, demokrasi oleh sebagian masyarakat di kawasan dipandang sulit untuk bersanding dengan ideologi Islam dengan alasan bahwa dalam demokrasi berdirinya negara bangsa (nation state) merupakan keharusan, sementara dalam pandangan Islam gagasan persatuan umat merupakan kewajiban untuk mencegah terjadinya polarisasi umat.24 Namun, bagi kelompok Islam hal itu tidak senantiasa berseberangan dengan spirit demokrasi. Sebab pelibatan masyarakat (sebagai esensi demokrasi) dalam Islam sebenarnya bisa ditampung dalam prinsip-prinsip syuro serta bisa diakomodasi dalam tradisi ijtihad baik melalui proses ijma’ maupun qiyas. Konsep ijma’ (konsensus) secara umum memang diputuskan berdasar pada berbagai pertimbangan dan pandangan dari berbagai elemen umat Islam dan dengan berbagai latar belakang. Prinsip ini dinilai satu lini dengan corak dan semangat demokrasi. Dari sini dapat ditarik sebuah benang merah bahwa konsepsi Islam sebenarnya memiliki prinsip-prinsip yang sama dalam demokrasi, namun pada saat yang sama ada pula prinsip yang berbeda di antara keduanya.25 Dua spektrum pandangan inilah yang pada akhirnya melahirkan multi interpretasi di kalangan Islam dalam konteks keduanya, bahkan acapkali melahirkan pergesekan antara dua pendapat, serta acapkali dijadikan komoditi politik untuk memperjuangkan kekuasaan atau sebaliknya untuk menjatuhkan sebuah kekuasaan. Meskipun tren kekuatan politik Islam dalam realitas politik modern mulai bisa eksis bersama mekanisme demokrasi, namun masih banyak kekuatan politik yang masih phobia terhadap politik Islam. Realitas itu telah terbukti sejak awal 1990an dan masih bertahan hingga sekarang. Pada tahun 1991 misalnya, kekuatan politik Islam melalui FIS di Aljazair yang menang dalam pemilu demokratis telah diberangus oleh militer. Begitu juga kelompok Islam di Suriah yang dilarang melalui undang-undang pelarangan gerakan Islam yang mengakibatkan pembantaian banyak terjadi di wilayah dengan Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, (New York : Free Press, 1992). 24
John L. Esposito dan James P. Piscatori, “Democratization and Islam”, Middle East Journal Vol. 45, No. 3, 1991. 25
134 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 119–135
basis kelompok oposisi Islam. Demikian di Yaman, dimana presiden dari kalangan militer Abdurrabu Manshur Hadi berhasil menang dalam Pemilu dengan calon tunggal, kendati pada akhirnya harus terusir oleh kelompok separatis Syiah Al-Houti. Realitas ini mengindikasikan adanya apa yang disebut “backward bending process” (proses pembalikan kembali) ke arah rejim otoritarian. Jika dicermati fenomena tersebut tampaknya bukan semata-mata faktor internal, melainkan juga faktor eksternal yang ikut melegitimasinya, yang terjadi bukan saja dalam kasus (Tunisia, Mesir, dan Libya) tetapi masih tetap terjadi pada kasus di negara lainnya, dimana dunia seolah bungkam terhadap kentalnya peran faktor eksternal, seperti dalam kasus Yaman (terkait sektarianisme) dengan adanya keterlibatan Arab Saudi, AS, dan GCC yang berpengaruh dalam dinamika politik Yaman, sementara di Suriah, selain konflik sektarianisme dan ISIS, peran negara-negara seperti AS, Rusia, Iran, dan negara-negara Teluk menjadikan konflik semakin terinternasionalisasikan. Begitu juga di Aljazair, dimana sindrom budaya Perancis masih berpengaruh kuat dalam kehidupan sosial-politik rakyatnya. Dari sini tampaknya sulit untuk membantah betapa faktor eksternal ikut menghambat proses tumbuhnya demokrasi di negara-negara tersebut.
Daftar Pustaka
Ismail, Salwa. 2003. Rethinking Islamist Politics: Culture, the State and Islamism. New York: I.B. Tauris. Perlmutter, Amos. 1981. The Roles of Military and Rules Politis. London: Frank Cass and Company Limited. Phillips, Sarah. 2008. Yemen’s Democracy Experiment in Regional Perspective: Patronage and Pluralized Authoritarianism. New York: Palgrave Macmillan. Rumman, Mohammad Abu. 2013. Islamists, Religion, and the Revolution in Syiria. Jordania: FES Jordan Published. Sihbudi, Riza. 2007. Menyandera Timur Tengah. Bandung: Mizan. Tambukara, Apriadi. 2011. Revolusi Timur Tengah. Yogyakarta: Penerbit Narasi Volpi, Frédéric. 2003. Islam and Democracy: The Failure of Dialogue in Algeria. London: Pluto Press.
Jurnal Enhaili, Aziz and Adda Oumelkheir. 2003. “State and Islamism in the Maghreb.” Meria Journal. Esposito, John L. dan Piscatori, James P. 1991. “Democratization and Islam”. Middle East Journal Vol 45, No 3. M. Hafez, Mohamed. 2000. “Armed Islamist Movements and Political Violence in Algeria.” Middle East Journal Vol. 4. Takeyh, Ray. 2003. “Islamism in Algeria: A Struggle between Hope and Agony.” Middle East Policy 10 (2).
Surat Kabar dan Website
Buku Al-Haj, Abdurrahman 2012. Ad-Da’wah wal Jama’ah, At-Tathallu’at lil Jama’at Ad-Diniyyah fi Suria. Suriah: Al-Markaz At-Tawasul wa Abhats AsStratijiyyah. Al-Yemeni, A. A. H. 2003. The Dynamics of Democratization: Political Parties in Yemen. Bonn: Freidrich Ebert Stiftung. Fukuyama, Francis. 1992. The End of History and the Last Man. New York: Free Press. Hinnebusch, Raymond A. 2001. “Syria,” dalam Shereen C. Hunter (Ed.). The Politics of Islamic Revivalism Diversity and Unity. Indiana University Press. Hunter, Sheeren T. 2001. Politik Kebangkitan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana Jogja.
Campbell, Leslie. “Yemen The Tribal Islamists”. http://www.wilsoncenter.org/islamists/yementhe-tribal-islamists. “Human Development Index and Its Components”. http://hdr.undp.org/en/media/HDR_2010_EN_ Table1_reprint.pdf Succarieh, Mouna. “Rise of Radical Islam in Yemen Altering Its Tribalism”. Diterjemahkan oleh Rani Geha. http://www.al-monitor.com/pulse/ politics/2012/09/weekenda-detailed-look-atislamism-in-yemen.html#. “The Failed States Index 2012”. http://www. foreignpolicy.com/failed_states_index_2012_ interactive.
Problematika Kekuatan Politik Islam ... | Muhammad Fakhry Ghafur | 135
136 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015
INDONESIA – TAIWAN ECA : A NEED OF STRONG POLICY ACTIONS KERJA SAMA EKONOMI INDONESIA-TAIWAN: PERLUNYA KEBIJAKAN YANG KUAT René L Pattiradjawane Wartawan Senior Kompas Jl. Palmerah Selatan No. 22-28, Jakarta 10270 E-mail:
[email protected] Diterima: 10 Agustus 2015; direvisi: 30 September 2015; disetujui: 21 Oktober 2015 Title Editors: Publisher Year of Publicaion Length
: Indonesia – Taiwan Economic Cooperation Arrangement: Is It Feasible? : Adriana Elisabeth & Chaw-Hsia Tu : Yayasan Pustaka Obor Indonesia : October, 2014 : xx + 262 pages Abstrak
Ulasan buku ini membahas tentang kemungkinan diadakannya perjanjian kerja sama ekonomi antara Indonesia dan Taiwan. Meskipun Indonesia dan Taiwan tidak memiliki hubungan diplomatik, akan tetapi dengan melihat berkembangnya investasi dan perdagangan di antara kedua negara, Taiwan dapat dilihat sebagai salah satu mitra penting bagi Indonesia di dalam konteks kerja sama ekonomi. Studi ini memaparkan bahwa pembentukan perjanjian kerja sama ekonomi antara Indonesia dan Taiwan akan memperkuat aliran investasi, dan akan meningkatkan hubungan ekonomi antara Indonesia-Taiwan. Selain itu, perjanjian kerja sama ekonomi dapat dipertimbangkan sebagai sebuah kebijakan yang mungkin dilakukan oleh kedua negara. Permasalahan dalam mendorong lebih jauh kerja sama di antara kedua negara ini adalah adanya kebijakan “Satu China”. Dengan adanya perubahan geopolitik di kawasan Asia Timur, Indonesia perlu mempertimbangkan adanya peluang untuk merumuskan ulang pemahaman Indonesia tentang kebijakan “Satu China”, dan membuat sebuah kebijakan yang kuat untuk mengatur hubungannya dengan Taiwan. Kata Kunci: perjanjian kerja sama ekonomi, hubungan Indonesia-Taiwan, kebijakan Satu China. Abstract This review discuss about the feasibility of economic cooperation agrrement between Indonesia and Taiwan (Republic of China). Although Indonesia do not have yet diplomatic relation with Taiwan, but in the economic context, Taiwan is one of important economic partner for Indonesia, since investment activity and trade between two countries are flourishing. This study promotes that the establishment of Economic Cooperation Agreement (ECA) between Indonesia and Taiwan will strengthen investment flows and enhance Indonesia-Taiwan economic relations. Besides, ECA will be considered as a fesible policy for both sides. The problem in enhancing further bilateral cooperation is the One China Policy. Because of the changing of geopolitical conditions in East Asia, Indonesia needs to consider the opportunity to reformulate the “One China Policy” and takes strong policy action in their relations. Keywords: Economic Cooperation Agrrement, Indonesia-Taiwan Relation, One China Policy.
Indonesia-Taiwan ECA ... | René L Pattiradjawane | 137
Introduction Indonesia relations with Taiwan (or Republic of China as they like to be acknowledged) is getting more important in the wake of changing geopolitical environment in East Asia. In the absence of diplomatic relation between JakartaTaipei the two side maintain a sustainable economic and social relations. This book entitled “Indonesia-Taiwan Economic Cooperation Arrangement: Is It Feasible?” as a combine research on economic cooperation done by The Centre for Political Studies, Indonesian Institute of Sciences (P2P LIPI) and the Chung Hua Institute for Economic Research (CIER) was just the right timing in the midst of ASEAN Economic Community 2015 to integrate the Southeast Asian nations into one single entity.
Indonesia-Taiwan Economic Relations Indonesia-Taiwan economic relations found investment activity and trade was flourishing (Taiwan is Indonesia’s top 10 investors), at the time socio-cultural ties bonded within Indonesian migrant workers and Indonesian students living and working in Taiwan. This existence, described by the book the importance of Taiwan as an economic partner for Indonesia (page xiii). With the Economic Cooperation Agreement (ECA) we can hope that Taiwan can join other bilateral and multilateral Free Trade Arrangements (FTAs) as an aspiration with their major trading partners. By enhancing IndonesiaTaiwan relations through the establishment of the ECA will strengthen investment flows, as bilateral investment treaties will be considered as a feasible policy option for both sides. Since Indonesia is a net importer of capital is-à-vis Taiwan, so the modern investment agreements covering market access and liberalization will strengthen investor confidence and Indonesia can expect to benefit from the profits as a result from the agreement (page 102). Taiwan can join other bilateral and multilateral Free Trade Arrangements (FTAs) as an aspiration with their major trading partners. By enhancing Indonesia-Taiwan relations through the establishment of the ECA will strengthen
investment flows, as bilateral investment treaties will be considered as a feasible policy option for both sides.
Issue of One China Policy The only stumbling block to enhance further bilateral Indonesia-Taiwan cooperation is the One China Policy due to lack of understanding the changing nature of the geopolitical situation in the East Asia region, also the effective integration of interdependent economies to maintain the sustainability’s of economic and trade growth among Asian nations (page 169-195). Indonesian government officials at all level missed the perspective, seeing Taiwan as an economic entity with a strong comparative advantage linking the world great power of the United States, China, and Japan. Meanwhile the Taipei-Beijing relations in the past two years did change dramatically through exchange of visits of high level officials including ministers level. The so called WangZhang meeting on February 2014 between the Minister Wang Yu-chi Mainland Affairs Council (MAC) and Zhang Zhiyun Director of Taiwan Affairs Office is an important step both parties to attempt reunification of changing geopolitical conditions for establishing and implementing the so-called “One China” as stipulated in the 1992 consensus between Beijing and Taipei. The 1992 Consensus stressed on the terminology “One China” by stating “Both sides of the Taiwan Strait agree that there is only one China.” So we need also reconsidered that whatever the opinion on both sides of the strait about the “One China” must be regarded as an internal matter issue “problem of China.” What we perceived is that the Wang-Zhang Meeting in Nanjing last year should be viewed as an important political gesture from both sides of the Taiwan Strait to upgrade the relations among them, but on the other hand, there is an opportunity for other nations in the region to reformulate the “One China Policy” without encountering any sovereignty issues that attached to that meaning, including de jure jurisdiction of territorial claims among Beijing and Taipei.
138 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 137–139
The perspective of reformulating on the “One China Policy” in the context of the study of this book, would be a good solution for Indonesia to solve the complex problem of Indonesian migrant workers in Taiwan (page 191). By reformulating the “One China Policy” there would be an ample of choices for every country in Asia, especially ASEAN, too engaged with Taiwan more extensive in the form of multilateral cooperation except in the form of political and security issues. In the dynamic environment of Asia region, we agreed that there is a necessity to create more new models of free-trade area (page 177), especially related to the Indonesia-Taiwan relations. This would be justified for two reasons, first, it should be understood that the interdependence and enhancing connectivity in the era of a free trade mechanism and cooperation, ASEAN and its members would always deal with China as the second largest economies in the world after the US. This would also mean that ASEAN-China cooperations would be hand-in-hand playing an important role in the global market. In this globalized market of trade and services it would be a mistake for ASEAN not to include Taiwan in the game since the two sides already produced strong indications to abandon antagonizing each other politically. Second, the alignment between BeijingTaipei through ECFA (Economic Cooperation Framework Agreement) that already happen, would give plenty opportunities for both sides that will play a crucial role in the economic development especially in the service industry that boost the service sector of Taiwan by several fold. Meanwhile, the study of Indonesia-Taiwan ECA showed (see page 238), there is a significant increasing of both sides in the service sector of a total around 20 per cent in Taiwan and around 27 per cent in Indonesia respectively.
counterparts. With China, Taiwan of course enjoys the benefit of having similar culture and language that assimilate the two sides where political sovereignty dispute among them was overshadowed by heavily dependent toward trade and investment with China. Since the rapprochement between Washington-Beijing and the creating of the Taiwan Relations Act 1978 as a consequence of the One China Policy, the two sides maintain strong ally relationship in terms of economic and security interests. At the same time there are lots of politicians, intellectual elites and businessmen in Taiwan finish their education in the US, where they will always consider Washington is an important core of their daily life.
Conclusion As indicated in this book, there is a need for Indonesia and Taiwan to adjust relations, recognizing that trading blocs across the Taiwan Strait will have a strong impact on the shift of power in East Asia. Global response to this development not only involves economic integration in the region, but also a shift of power in international politics. For Indonesia, the question would be does we recognize Taiwan’s growth in the region and overcome pressures from Beijing by having Taiwan in the bilateral and also regional trading arrangements? Does China influence due to the size and scale of their economic achievement will hamper the Indonesia-Taiwan ECA building trading arrangements integrating our economic necessities? Indonesia needs to take strong policy action by establishing new terms of connectivity in the era of ASEAN Community 2015 by recalculating Taiwan as a potential strategic partnership.
As an economic entity, Taiwan has a strong comparative advantage linking three major economic countries of the world, namely the United States, China, and Japan. With Japan, due to the colonial legacy, the ties between TaiwanJapan relations resulted strong technological ties with several high-tech Taiwanese companies establishing strategic partnership with their
Indonesia-Taiwan ECA ... | René L Pattiradjawane | 139
140 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015
TENTANG PENULIS Athiqah Nur Alami Penulis adalah peneliti pada Bidang Perkembangan Politik Internasional, Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI. Menamatkan pendidikan S1 jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan S2 dari Graduate Studies of International Affairs, Australian National University, Canberra, Australia. Fokus Kajian penelitiannya adalah Politik Luar Negeri Indonesia, Hubungan Indonesia-Australia, Gender dalam Hubungan Internasional dan Isu-Isu Kontemporer dalam Hubungan Internasional. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]. Eka Suaib Menyelesaikan S3 di jurusan Ilmu Sosial konsentrasi Ilmu Politik di Universitas Airlangga, Surabaya dengan judul disertasi “Etnisitas Kebijakan Publik (Studi Kompetisi Etnis Dalam Politik Lokal Kota Kendari). Saat ini bekerja sebagai Dosen FISIP Universitas Halu Oleo, Kendari. Pada tahun 2008-2013 menjabat sebagai komisioner KPU Sulawesi Tenggara. Penulis juga pernah menjabat sebagai Ketua HMI cabang Kendari. Telah menghasilkan tulisan-tulisan yang dimuat di media lokal, jurnal nasional dan internasional hingga diterbitkan dalam bentuk buku. Salah satu artikel dalam jurnal Internasional terbarunya berjudul: Pengaruh Vote Buying Terhadap Perilaku Pemilih dalam Pemilu Legislatif di Kota Kendari dan Pemilukada Kabupaten Konawe Selatan”. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]. Eko Noer Kristiyanto Saat ini bekerja sebagai peneliti di Kementerian Hukum dan HAM RI. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung pada 2008, dan lulus S2 program
magister hukum di universitas yang sama pada 2012. Sebelum menjadi pegawai negeri sipil, pernah menjadi jurnalis televisi di STV Bandung (KOMPAS TV Jabar sekarang), media officer PT. PERSIB Bandung Bermartabat, dan penyiar radio. Selain melakukan penelitian hukum ketatanegaraan, penulis pun sedang menekuni kajian hukum olahraga/sports law. Penulis dapat dihubungi melalui twitter: @ ekomaung, email:
[email protected]. Firman Noor Penulis merupakan peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI di bidang Perkembangan Politik Nasional dengan fokus kajian pada persoalan Kepartaian, Sistem Perwakilan dan Pemikiran Politik. Firman Noor telah menyelesaian program Doktoral di Arab and Islamic Studies, University of Exeter, Inggris pada tahun 2012. Disertasinya kemudian dibukukan oleh LIPI Press pada akhir tahun 2015 dengan judul “Perpecahan dan Soliditas Partai Islam di Indonesia: Kasus PKB dan PKS di Dekade Awal Reformasi”. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]. Ian Montratama Penulis merupakan peneliti di Insitute for Defense and Strategic Research (IDSR), Jakarta, Indonesia dengan spesialisasi bidang foederologi dan komparasi alutsista. Menyelesaiakan pendidkan S2 pada Program Studi Strategi Perang Semesta (SPS), UNHAN dan saat ini sedang menempuh S3 di Program Studi Hubungan Internasional, UNPAD. ttPernah mengikuti Program Eksekutif tentang Pengambilan Keputusan Pertahanan, Naval Postgraduate School di Monterey, California, AS sebagai KKLN Universitas Pertahanan. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]
Tentang Penulis | 141
Kurniawati Hastuti Dewi Menjadi peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI sejak tahun 2000. Menyelesaikan pendidikan S2 di Australian National University dan S3 di Kyoto University, Jepang. Disertasinya kemudian dibukukan dengan judul “Indonesian Women and Local Politics: Islam, Gender and Networks in Post-Soeharto Indonesia”. Penulis memiliki minat kajian tentang Politik Lokal, Gender dan Politik. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]. La Husen Zuada Alumni Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia ini adalah Dosen Ilmu Politik di FISIP Universitas Halu Oleo, Kendari. Penulis juga aktif menulis di harian lokal yang mengangkat isu tentang partai politik, pemilu, dan desentralisasi. Sering juga diundang menjadi narasumber diskusi publik tingkat lokal di Sulawesi Tenggara tentang Kepemiluan. Bersama Eka Suaib berkolaborasi menyampaikan makalah berjudul “Institusional Partai Politik (Studi Hegemoni PAN di Sultra) pada Seminar nasional yang diadakan oleh Universitas Hasanuddin pada November 2015. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]. Muhammad Fakhry Ghafur Penulis adalah peneliti pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI sejak 2010 hingga sekarang. Memperoleh gelar sarjana sastra Arab dan Studi Islam dari The Faculty of Islamic Call Tripoli-Libya pada tahun 2006. Magister Ilmu Al-Qur’an dan Studi Islam diperoleh dari Institut PTIQ Jakarta tahun 2009. Penulis dapat dihubungi melalui email: fachryghafur@gmail. com. Rene L. Pattirajawane Penulis merupakan wartawan senior Kompas yang banyak mengulas isu-isu luar negeri dan kawasan seperti ASEAN dan politik atau kebijakan negara-negara Asia. Penulis juga adalah Ketua dari Center of Chinese Studies, Indonesia. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]
Septi Satriani Memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dari Universitas Gadjah Mada tahun 1999 dan gelar master pada Ilmu Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada pada tahun 2015. Sejak tahun 2005 bekerja sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan telah melakukan beberapa penelitian antara lain “Hubungan Negara dan Masyarakat dalam Resolusi Konflik: Kasus Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah” (LIPI Press, 2005), “Konflik Komunal di Indonesia” (Pustaka Pelajar, 2006), “Hubungan Negara dan Masyarakat dalam Resolusi Konflik: Kasus Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah”, (LIPI Press, 2006); “Dinamika Kelembagaan Gampong di Era Otonomi Khusus Aceh” (Pustaka Pelajar, 2007); “Dinamika Kelembagaan Mukim di Era Otonomi Khusus Aceh” (LIPI Press, 2008); “Dinamika Peran Elite Lokal Pasca Orde Baru: Studi Kasus Pergeseran Peran Tuan Guru di Lombok Timur” (Jakarta: LIPI Press, 2009); “Lokal Elite di Sumbawa Pasca Orde Baru” (LIPI Press, 2010, akan terbit). Penulis juga telah melakukan tiga penelitian mengenai gender, perempuan, dan politik yang dibiayai oleh Kementrian Pendidikan Tinggi bekerjasama dengan LIPI pada tahun 2009, 2010, dan 2011. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]. Yanyan Mochamad Yani Penulis merupakan Guru Besar dalam Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran dan Ketua Program Doktor dan Magister Hubungan Internasional, Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran. Selain itu, penulis pernah menjadi Tenaga Ahli Pengkaji Ad-Hoc Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (LEMHANNAS RI) dari tahun 2008 sampai dengan 2014. Penulis menyelesaikan pendidikan S-3, Philosophical Doctor (Ph.D.) in Political Studies, Majoring in International Relations, Department of Political Studies, The University of Auckland, New Zealand. Untuk keperluan korespondensi bisa melalui email :
[email protected].
142 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015 | 141–142
INDEKS
Index Kata Kunci Aljazair iv, ix, 119, 120, 122, 123, 124, 130, 131, 132, 133, 134, 135 Blok Laut Ambalat iv, viii, 71, 72, 73, 74, 75, 77, 79, 85 Dekonsentrasi vii, 21, 23, 25, 26, 28, 29, 30 Demokrasi Lokal iv, viii, 33, 38, 49, 52, 67, 106 Globalisasi viii, 71, 88, 95, 101 Hubungan iv, viii, 5, 26, 33, 45, 83, 110, 131, 141, 142
Sulawesi Tenggara iv, viii, 51, 53, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 141, 142 Suriah iv, ix, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 126, 128, 129, 130, 134, 135 Warga iv, viii, 33, 34, 36, 37, 47, 95 Yaman iv, ix, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 131, 134, 135 Keywords Index
Keamanan Non-Tradisional iv
Aljazair iv, ix, 119, 120, 122, 123, 124, 130, 131, 132, 133, 134, 135
kebijakan luar negeri Indonesia iv, ix, 87, 90, 95, 102
Citizen xii, 33 Decentralization xi, xii, 21, 51
Kepala daerah vii, ix, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 65, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 112, 113, 117
Deconcentration xi, 21
Kekuatan besar viii, 52, 71, 81, 85, 86
Great power xii, 71, 138
Kuasi-aliansi viii, 71, 83, 84, 86 Negara iv, v, viii, ix, x, 7, 16, 17, 22, 23, 25, 26, 27, 28, 29, 33, 34, 36, 37, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 52, 54, 61, 62, 66, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 106, 109, 110, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 127, 128, 130, 131, 132, 134, 135, 137, 142 Negara sedang viii, 71 Pemerintahan Daerah iv, 22, 24, 25, 26, 28, 29, 31, 107, 114, 118 Politik Islam iv, ix, 3, 7, 19, 119, 120, 124, 126, 128, 130, 131
District head xi, 21 Globalization xii, 71 Indonesian Foreign Policy xii, 87 Local bossism xii, 51, 52 Local government xi, xiii, 21, 105 Medium state xii, 71 Non-Traditional Security xii Political Islam xiii, 119 Quasi-alliance xii, 71, 84 Southeast Sulawesi xii, 51 State xii, 33 Suriah iv, ix, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 126, 128, 129, 130, 134, 135 Yaman iv, ix, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 131, 134, 135
Indeks | 143
144 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015
PEDOMAN PENULISAN 1. Tulisan yang dimuat harus merupakan kajian ilmiah atas isu dan peristiwa yang berkaitan dengan politik dalam negeri dan internasional, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. 2. Tulisan merupakan karya sendiri, bukan saduran atau terjemahan dan belum pernah dipublikasikan dalam bentuk dan bahasa apa pun. 3. Tulisan mengandung data atau pemikiran yang baru dan orisinal. 4. Tulisan yang dimuat sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi penulis yang bersangkutan. 5. Panjang naskah untuk artikel, 20–25 halaman A4, spasi 1,5; book review, 10–15 halaman A4, spasi 1,5. 6. Sistematika artikel hasil pemikiran/telaahan adalah judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi; alamat e-mail penulis; riwayat naskah; abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 25 kata dalam bahasa Indonesia); kata kunci (4–5 kata kunci); pendahuluan; pembahasan (terbagi dalam beberapa subjudul); penutup; daftar pustaka. JUDUL Penulis Nama Instansi Alamat lengkap instansi penulis Email penulis Riwayat naskah Abstract: Abstract in English (max. 150 words) Keywords: 4–5 words/ phrase Abstrak: Abstrak dalam bahasan Indonesia (maks. 250 kata) Kata Kunci: 4–5 kata/ frasa Pendahuluan Pembahasan Penutup Daftar Pustaka 7. Sistematika artikel review buku (book review) adalah judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi; alamat e-mail penulis; riwayat naskah; judul buku; pengarang; penerbit; cetakan; tebal; abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 25 kata dalam bahasa Indonesia); kata kunci (4–5 kata kunci); pendahuluan; pembahasan (terbagi dalam beberapa subjudul); penutup; daftar pustaka.
Pedoman Penulisan | 145
JUDUL Penulis Nama Instansi Alamat lengkap instansi penulis Email penulis Riwayat naskah Judul buku Pengarang Penerbit Tahun Terbit Tebal Abstract: Abstract in English (max. 150 words) Keywords: 4–5 words/ phrase Abstrak: Abstrak dalam bahasan Indonesia (maks. 250 kata) Kata Kunci: 4–5 kata/ frasa Pendahuluan Pembahasan Penutup Daftar Pustaka 1. Tabel dan gambar, untuk tabel dan gambar (grafik) di dalam naskah harus diberi nomor urut. a. Tabel atau gambar harus disertai judul. Judul tabel diletakkan di atas tabel, sedangkan judul gambar diletakkan di bawah gambar. b. Sumber acuan tabel atau gambar dicantumkan di bawah tabel atau gambar. c. Garis tabel yang dimunculkan hanya pada bagian header dan garis paling bawah tabel, sedangkan untuk garis vertikal pemisah kolom tidak dimunculkan. Contoh penyajian Tabel: Tabel 1. Agenda-agenda Besar Konsolidasi Domain Internal
Eksternal
Vertikal Pemantapan kepengurusan partai hingga level terendah Sosialisasi agenda politik
Horizontal Pemantapan soliditas elite partai pada level DPP Pemantapan agenda politik menyambut pemilu Pembangunan, pemeliharaan dan peman- Penjajagan koalisi dengan partai-partai tapan dukungan masyarakat lain dan kalangan institusi-institusi nonpolitik
146 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015
Contoh penyajian Gambar/Grafik: 100 90
93.3 84.9 79.76
80
70.99
70
DPR Presiden
60 50 1999
2004
2009
Sumber: Komisi Pemilihan Umum (KPU) Grafik 2. Tren Partisipasi dalam Pemilu
9. Perujukan sumber acuan menggunakan footnotes, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Format rujukan dari buku: nama penulis, judul buku (italic), kurung buka, kota penerbitan, titik dua, nama penerbit, tahun terbit, kurung tutup, nomor halaman, titik. Contoh: Denny J.A., Partai Politik Pun Berguguran, (Yogyakarta: LKIS, 2006), hlm. v. b. Format rujukan dari buku (bunga rampai): nama penulis artikel, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik”, dalam, nama editor buku, judul buku (italic), kurung buka, kota penerbitan, titik dua, nama penerbit, tahun terbit, kurung tutup, nomor halaman, titik. Contoh: Leonardo Morlino, “Political Parties and Democratic Consolidation in Southern Europe,” dalam Richard Gunther, P. Nikiforos Diamandouros dan Hans Jurgen Puhle (eds.), The Politics of Democratic Consolidation: Southern Europe in Comparative Perspective, (Baltimore MD: Johns Hopkins University Press, 1995), hlm. 315−388. c. Format rujukan dari jurnal: nama penulis, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik,” sumber artikel (italic), nomor atau edisi, tahun, h., nomor halaman, titik. Contoh: Lili Romli, “Peta Kekuatan Politik Setelah Reformasi dan Kecenderungan Koalisi Parpol,” Jurnal Demokrasi dan HAM, 2000, hlm. 124-125. d. Format rujukan dari makalah seminar/konferensi: nama penulis, “judul makalah ditulis tegak dalam dua tanda petik,” makalah, nama/tema seminar, tempat pelaksanaan seminar, waktu, nomor halaman, titik. Contoh: Andrea Ceron dan Alessandra Caterina Cremonesi, “Politicians Go Social: Estimating IntraParty Heterogeneity (and its Effect) through the Analysis of Social Media,” makalah disampaikan pada NYU La Pietra Dialogues on Social Media and Political Participation, Florence, 10-11 Mei 2013, hlm. 3.
Pedoman Penulisan | 147
e. Format rujukan dari media online: nama penulis, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik,” nama situs, tanggal akses situs. Contoh: Berita8, “Media Sosial bisa Perkuat Fungsi Partai Politik”, 18 April 2013, http://www.berita8. com/berita/2013/04/MediaSosial-bisa-perkuat-fungsi-partai-politik, diakses pada tanggal 18 Juni 2013. f. Format rujukan dari media massa: nama penulis, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik,” sumber media (italic), tanggal terbit, nomor halaman, titik. Contoh: Degung Santikarma, “Monumen, Dokumen dan Kekerasan Massal,” Kompas, 1 Agustus 2003, hlm. 12. 10. Penulisan sumber Daftar Pustaka dibedakan menjadi: buku; jurnal; laporan dan makalah; surat kabar dan website. Daftar Pustaka dituliskan dengan urutan abjad nama belakang (family name). Format penulisan sebagai berikut: a. Format rujukan dari buku Buku dengan satu pengarang: nama penulis; tahun terbit; judul buku; tempat terbit; nama penerbit. Contoh: Caplan, Bryan. 2007. The Myth of the Rational Voter: Why Democracies Choose Bad Policies. New Jersey: Princeton University Press.
Buku dengan dua pengarang: nama penulis (dua orang); tahun terbit; judul buku; tempat terbit; nama penerbit. Contoh: Aspinall, E. dan M. Mietzner. 2010. Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society. Singapore: ISEAS Publishing. Buku dengan lebih dari dua pengarang: nama penulis (et al.); tahun terbit; judul buku; tempat terbit; nama penerbit. Contoh: Ananta, Aris et al. 2004. Indonesian Electoral Behaviour: A Statistical Perspective. Singapore: ISEAS Publishing. Artikel/tulisan dalam buku: nama penulis; tahun terbit; judul tulisan; dalam nama editor; judul buku; tahun terbit; tempat penerbit; nama penerbit. Contoh: Qodari, M. 2010. “The Professionalisation of Politics: The Growing Role of Polling Organisation and Political Consultants”, dalam Aspinall, E. dan M. Mietzner (eds.). Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society. Singapore: ISEAS Publishing.
b. Format rujukan dari jurnal: nama penulis; tahun; judul artikel; nama jurnal; volume jurnal; nomor jurnal; nomor halaman. Contoh: Ufen, A. 2008. “From Aliran to Dealignment: Political Parties in post-Suharto Indonesia”. South East Asia Research, 16 (1): 5–41. c. Format rujukan dari laporan dan makalah: Laporan penelitian: nama penulis; tahun terbit; judul laporan; tempat penerbit; nama penerbit. Contoh:
148 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015
Mainwaring, Scott, 1998. “Rethinking Party Systems Theory in The Third Wave of Democratization: The Importance of Party System Institutionalization.” Working Paper #260 - October 1998, Kellogg Institute.
Makalah seminar: nama penulis; tahun terbit; judul makalah; nama kegiatan seminar; waktu pelaksanaan kegiatan seminar; tempat penerbit; nama penerbit. Contoh: Ceron, Andrea dan Alessandra Caterina Cremonesi. 2013. “Politicians Go Social: Estimating IntraParty Heterogeneity (and its Effect) through the Analysis of Social Media”. Paper disampaikan pada NYU La Pietra Dialogues on Social Media and Political Participation, Florence, 10–11 Mei 2013.
a. Format rujukan dari surat kabar dan website Artikel media massa: nama penulis; tahun terbit; judul artikel; nama media massa; tanggal terbit; nomor halaman. Contoh: Wahid, Sholahuddin. 1998. “Di Balik Berdirinya Partai-Partai di Kalangan NU”, Republika, 3 Oktober.
Artikel online: nama penulis/institusi; tahun terbit; judul artikel, alamat websites; waktu unduh. Contoh:
Aspinall, Edward, “The Taming of Ethnic Conflict in Indonesia”, http://www.eastasiaforum. org/2010/08/05/the-taming-of-ethnic-conflict. 11. Pengiriman Artikel: »» Naskah dikirim dalam bentuk printout sebanyak 2 eksemplar beserta softcopy ke alamat redaksi atau dapat dikirimkan melalui email redaksi (
[email protected]). »» Redaksi memberikan honorarium untuk setiap artikel yang dimuat. »» Artikel yang diterima setelah deadline akan dipertimbangkan untuk dimuat pada edisi berikutnya. 12. Alamat Jurnal Penelitian Politik: P2P-LIPI, Widya Graha LIPI, Lantai III & XI Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10 Jakarta Selatan 12710 Telp/Faks. (021) 520 7118 13. Langganan: Harga pengganti ongkos cetak Rp. 75.000,- per eksemplar sudah termasuk ongkos kirim biasa. Untuk berlangganan dan surat-menyurat langsung hubungi bagian sirkulasi Redaksi Jurnal Penelitian Politik.
Pedoman Penulisan | 149