Vol.10, No.2, Desember 2013
DAFTAR ISI • Sosok Presiden Ideal dan Tantangan Isu-Isu Global: Menimbang Aspek Kepemimpinan Capres pada Pilpres 2014 Siswanto • Politik Persuasif Media: Peran Media dalam Pemilu Presiden Indonesia 2001-2009 Wasisto Raharjo Jati • Tantangan Presiden Indonesia Mendatang, dan Relevansi ‘Multiplication Authorities’ Singapura Zainuddin Djafar • Prakondisi untuk Mengukuhkan Legitimasi Pemerintahan Devi Darmawan • Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya pada Penguatan Kelembagaan Sistem Presidensial di Indonesia Asrinaldi A • Media Siber Sebagai Alternatif Jembatan Komunikasi Antara Rakyat dan Pemimpinnya Nina Andriana Resume Penelitian • Mencari Sistem Pemilu dan Kepartaian yang Memperkuat Sistem Presidensial Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim • Hubungan Perbatasan Antara Thailand dan Malaysia: Kerjasama Perbatasan dan Lintas Batas Ilegal Agus R. Rahman • Pencapaian Reformasi Instrumental Polri 1999-2011 Sarah Nuraini Siregar • Evaluasi Sistem Kepartaian di Era Reformasi Luky Sandra Amalia Review Buku • Pemilu Presiden Amerika Serikat Aisah Putri Budiatri Daftar Isi Catatan Redaksi Artikel
Tentang Penulis Indeks Pedoman Penulisan
i–ii iii–vi 1–14 15–30 31–46 47–62 63–78 79–94
95–112 113–128 129–144 145–162
163–176 177–180 181–182 183–188
CATATAN REDAKSI Pada April 2014 mendatang rakyat Indonesia akan memilih 19.699 dari 200 ribu caleg lebih untuk mewakili mereka di lembaga perwakilan rakyat, baik di tingkat nasional maupun daerah. Tiga bulan setelahnya, di lebih dari setengah juta tempat pemungutan suara mereka juga akan memilih presiden secara langsung. Pertarungan dalam pemilu presiden mendatang diprediksi akan berlangsung lebih keras dibandingkan Pilpres 2009, terutama karena tidak adanya calon petahana (incumbent) yang akan turun gelanggang. Konstitusi pascaamandemen memang tidak memungkinkan Susilo Bambang Yudhoyono yang akan menyelesaikan masa jabatan keduanya untuk dicalonkan kembali. Hal ini tampak dari munculnya banyak nama yang disebut-sebut sebagai bakal calon presiden mendatang. Beberapa lembaga bahkan secara rutin telah memetakan peluang elektoral mereka dengan menyigi tingkat pengetahuan dan preferensi calon pemilih terhadap namanama tersebut. Beberapa nama lama yang telah pernah bertarung di dua pilpres sebelumnya masih masuk dalam timbangan calon pemilih, meskipun pada tahun 2013 ini beberapa nama baru sudah mulai tampil dimana beberapa di antaranya menunjukkan potensi untuk menjadi unggulan. Nama mantan walikota Solo Joko Widodo yang dapat dikatakan pendatang baru di politik tingkat nasional, contohnya, menunjukkan tren menanjak sejak ia terpilih sebagai gubernur DKI Jakarta. Jurnal Penelitian Politik nomor ini menyajikan enam artikel yang membahas topiktopik yang terkait dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden di Indonesia. Artikel pertama yang ditulis oleh Siswanto, ”Sosok Presiden Ideal dan Tantangan Isu-isu Global”, membahas aspek kepemimpinan calon presiden yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan global ke depan. Dengan mendiskusikan berbagai tantangan riil globalisasi yang dihadapi Indonesia, penulis memberikan penekanan terhadap pentingnya pemilih untuk mempertimbangkan kapasitas para calon presiden dalam politik internasional. Artikel berikutnya, “Politik Persuasif
Media: Peran Media dalam Pemilu Presiden Indonesia 2001-2009”. Artikel yang ditulis oleh Wasisto Raharjo Jati ini membahas peran media dalam pertarungan politik dalam dua pemilihan presiden langsung sebelumnya. Ada dilema yang dihadapi media antara mendukung dan mendorong demokratisasi di satu sisi dan merapat pada kekuasaan di sisi yang lain. Dilema tersebut terkait dengan kepemilikan media yang pada akhirnya bermuara pada persoalan independensi media selama transisi demokrasi di Indonesia. Sementara itu, artikel “Tantangan Presiden Indonesia Mendatang, dan Relevansi ‘Multiplication Authorities’ Singapura” yang ditulis oleh Zainuddin Djafar menawarkan diskusi mengenai model kepemimpinan ke depan. Penulis memberikan penekanan terhadap penyelesaian kasus korupsi yang menjadi salah satu agenda paling penting dan mendesak bagi Indonesia. Dalam konteks ini, penulis berpendapat bahwa presiden terpilih dapat belajar dari apa yang dilakukan pemimpin di Singapura. Secara khusus, artikel ini menawarkan relevansi prinsip “multiplication of authorities” yang dianggap penulis telah terbukti. Dampak pembentukan koalisi terhadap sistem kepresidenan dibahas dalam artikel “Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya Pada Penguatan Kelembagaan Sistem Presidensial di Indonesia” yang ditulis oleh Asrinaldi A. Penulis menjelaskan dampak yang muncul dari model koalisi yang biasanya ditemukan dalam sistem parlementer namun diterapkan dalam sistem presidensial. Praktik ini membawa konsekuensi berupa cairnya posisi partai-partai dimana dalam perdebatan berbagai isu atau kebijakan pemerintahan partai-partai pendukung pemerintah dan partaipartai oposisi atau yang tidak menempatkan kadernya di kabinet dapat bertukar tempat dengan mudahnya. Penulis menyimpulkan, penerapan model koalisi semacam ini telah menghambat penguatan sistem pemerintahan presidensial dan, di sekaligus meminggirkan kepentingan publik. Catatan Redaksi | iii
Persoalan partisipasi rakyat dalam nominasi kandidat capres dibahas oleh Devi Darmawan dalam artikel ”Prakondisi untuk Mengukuhkan Legitimasi Pemerintahan”. Pencalonan kandidat dalam pemilu presiden selama ini sepenuhnya menjadi otoritas partai politik tidak memberikan ruang bagi partisipasi pemilih sehingga akibatnya muncul dikotomi antara partai dan rakyat. Oleh karena itu, desain mekanisme pencalonan harus diperbaiki untuk memungkinkan keterlibatan pemilih dalam menominasikan kandidat. Artikel terakhir membahas tentang cyberspace dan ruang bagi keterlibatan publik dalam demokrasi deliberatif di Indonesia dibahas oleh Nina Andriana dalam artikel “Media Siber Sebagai Alternatif Jembatan Komunikasi Antara Rakyat dan Pemimpinnya”. Artikel ini menjelaskan bahwa demokrasi deliberatif seharusnya melengkapi demokrasi prosedural yang sejauh ini relatif lebih menonjol. Namun, demokrasi deliberatif membutuhkan ruang publik yang bebas dari tekanan politik dan media yang independen. Di saat media justru cenderung dikuasai oleh segelintir orang, internet dapat menjadi ruang politik bagi publik untuk berkomunikasi dua arah secara langsung. Dalam konteks Indonesia, interaksi antara pemimpin terpilih dan konstituen yang memilih melalui penggunaan internet ini berpeluang mendorong penguatan presidensialisme. Selain keenam artikel terkait pemilu dan pilpres di atas, nomor ini juga menghadirkan empat ringkasan hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI. Artikel pertama ditulis oleh Agus R. Rahman, “Hubungan Perbatasan antara Thailand dan Malaysia: Kerjasama Perbatasan dan Lintas Batas Ilegal”. Tulisan ini menganalisis berbagai upaya kedua negara yang dilakukan baik secara bilateral maupun multilateral dalam konteks ASEAN untuk menegakkan fungsi perbatasannya dalam mengatasi aktivitas lalu lintas perbatasan ilegal. Artikel kedua, “Pencapaian Reformasi Instrumental Polri, 1999-2011”, ditulis oleh Sarah Nuraini Siregar. Artikel ini membahas salah satu aspek dalam reformasi kepolisian pascapemisahan institusi ini dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), yaitu aspek instrumental. Ada banyak instrumen yang telah dibuat, namun dalam praktiknya belum dapat
diterapkan secara efektif, terutama disebabkan belum jelasnya kewenangan Polri dan koordinasi dengan institusi lain, seperti dengan TNI dalam pengelolaan keamanan di daerah konflik. Pengaturan mengenai kewenangan dan fungsi kepolitian dalam berbagai instrumen yang ada, termasuk UU No. 2 Tahun 2002 secara umum masih kurang terperinci dan jelas. Artikel berikutnya, “Evaluasi Sistem Kepartaian di Era Reformasi”, ditulis oleh Luky Sandra Amalia. Dalam artikel ini penulis menjelaskan temuan tim peneliti mengenai persoalan sistem kepartaian di Era Reformasi yang ditandai bukan hanya oleh tingginya fragmentasi internal partai sehingga jumlah partai tetap banyak, tetapi juga oleh kecenderungan untuk semakin lebarnya jarak antara partai dengan rakyat. Beberapa upaya penyederhanaan sudah dilakukan, tinggal dibutuhkan konsistensi untuk menyempurnakannya, antara lain dengan perubahan ukuran daerah pemilihan menjadi lebih kecil, pelembagaan koalisi partai sehingga lebih permanen, penyederhanaan kelompok fraksi di parlemen menjadi fraksi pemerintah, oposisi atau independen, dan pemberlakukan ambang batas parlemen di tingkat lokal. Tulisan ini juga membahas problematika partai lokal di Aceh dalam konteks sistem kepartaian selama ini. Artikel ringkasan hasil penelitian terakhir terakhir, “Mencari Sistem Pemilu dan Kepartaian yang Memperkuat Sistem Presidensial”, ditulis oleh Moch Nurhasim dan Sri Yanuarti. Penulis menempatkan perbaikan sistem pemilu dan sistem kepartaian sebagai syarat bagi efektivitas demokrasi presidensiil. Penulis merekomendasikan bahwa perbaikan sistem pemilu perlu diarahkan pada terjadinya terbentuknya sistem multipartai dengan tingkat fragmentasi partai yang relatif rendah di parlemen memungkinkan proses pengambilan keputusan yang tidak berlaru-larut. Untuk mendorong penyederhanaan jumlah partai politik yang memungkinkan adanya partai pemenang pemilu minimal di parlemen, penulis menawarkan perubahan sistem pemilu, yaitu penerapan sistem campuran, dalam hal ini Mixed Member Majoritarian (MMM) yang secara teoretik dan berdasarkan pengalaman negaranegara lain dianggap telah terbukti berhasil. Pada penerbitan kali ini kami juga menghadirkan review buku karya Nelson
iv | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
W. Polsby, dkk., Presidential Elections: Strategies and Structures of American Politics. Review yang ditulis Aisah Putri Budiatri ini menyajikan pembahasan buku ini dengan judul “Pemilu Presiden Amerika Serikat” mengenai dinamika pemilu presiden di AS dengan berbagai perubahan aturan dan sistem di dalamnya. Polsby, dkk. memberikan gambaran rinci mengenai pemilu presiden di era yang berbeda-beda dengan berfokus pada beberapa isu penting, seperti perilaku pemilih, kelompok kepentingan, aturan tentang dana kampanye, proses nominasi, dan sebagainya. Ucapan terima kasih secara khusus kami sampaikan kepada para mitra bestari yang telah memberikan komentar atas semua naskah artikel yang masuk untuk penerbitan nomor ini. Redaksi berharap hadirnya Jurnal Penelitian Politik nomor ini dapat memberikan manfaat baik bagi diskusi dan kajian mengenai pemilihan presiden di Indonesia. Selamat membaca. Redaksi
Catatan Redaksi | v
vi | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Vol.10, No.2, Desember 2013 DDC: 324.9598 Siswanto SOSOK PRESIDEN IDEAL DAN TANTANGAN ISU-ISU GLOBAL: MENIMBANG ASPEK KEPEMIMPINAN CAPRES PADA PILPRES 2014 Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No. 2, Desember 2013, Hlm. 1-22 Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 sudah dekat, tetapi belum nampak calon presiden (capres) yang tepat yaitu punya kepribadian kuat, cerdas, dan menjunjung tinggi etika sehingga mampu memimpin dengan efektif dan menjawab tantangan global. Tulisan ini dimaksudkan ingin berkontribusi dalam diskursus tentang Pilpres 2014 dalam kaitannya dengan tekanan arus globalisasi yang melanda Indonesia. Upaya ini mengajak masyarakat ikut menentukan masa depan Indonesia dengan cara memilih capres secara benar yaitu sesuai dengan kriteria di atas pada Pilpres 2014 mendatang. Fokus tulisan ini adalah masalah momentum Pilpres 2014 yang berlangsung di tengah krisis ketersediaan kader kepemimpinan nasional yang relevan dengan tantangan global. Akhirnya, tulisan ini berpegang pada hukum bahwa peristiwa sejarah tidak berulang, tetapi polanya bisa berulang. Presiden-Presiden Indonesia di masa lalu telah memberi kontribusi kepada permasalahan dunia, maka Presiden Indonesia di masa depan seharusnya juga mampu menjawab tantangan global agar juga punya kontribusi kepada dunia. Kata Kunci: kepemimpinan, globalisasi, Pemilu Presiden
DDC: 324.2598 Wasisto Raharjo Jati
POLITIK PERSUASIF MEDIA: PERAN MEDIA DALAM PEMILU PRESIDEN INDONESIA 2001-2009 Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No. 2, Desember 2013, Hlm. 23-38 Tulisan ini bertujuan menganalisis tentang peran media dalam konstelasi pemilu presiden Indonesia selama 2001-2009. Pada masa reformasi, media sendiri telah menunjukkan posisi dilematis dalam mendukung demokrasi, bahkan berupaya mengidentifikasi sebagai aktor politik. Dalam beragam cara, media menampilkan adanya relasi ketergantungan kuat dengan patronase ekonomi politik. Hadirnya jurnalisme politik sendiri kemudian berwujud dalam mesin propaganda yang bertujuan menyampaikan pesan politik kepada publik. Tulisan ini akan mengelaborasi lebih lanjut mengani dilema media dalam proses transisi demokrasi di Indonesia. Kata Kunci: persuasif media, konglomerasi media, kampanye polittik, dan jurnalisme politik
DDC: 324.2598 Zainuddin Djafar TANTANGAN PRESIDEN INDONESIA MENDATANG, DAN RELEVANSI ‘MULTIPLICATION AUTHORITIES’ SINGAPURA Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No. 2, Desember 2013, Hlm. 39-54 Penulisan ini bertujuan untuk melakukan observasi pada hal-hal terkait dengan tantangan yang significan bagi calon presiden Indonesia mendatang (pasca 2014). Dalam hal itu observasi sudah dilakukan, dan pandangan pada hal-hal yang terkait dengan kekuatan Abstrak | vii
maupun kelebihan kepemimpinan seseorang tampak tidak cukup. Kepemimpinan bagi presiden Indonesia mendatang juga harus memperhitungkan perannya untuk dapat mengatasi masalah besar bangsa khususnya dalam hal makin kronisnya problema korupsi. Singapura dengan manajemen suksesnya telah berhasil mengatasi soal korupsi yang juga demikian kronik di negaranya. Perdana Menteri Singapura telah memberi berbagai pelajaran yang berharga, termasuk berbagai strategi yang perlu dipertimbangkan yaitu dengan memperhatikan relevansi prinsip “Multiplication of Authorities’, yang telah terbukti validitasnya, dan tentunya hal tersebut perlu mendapat perhatian bagi kepemimpinan Presiden Indonesia mendatang. Kata Kunci: Presiden Indonesia mendatang, dan Multiplikasi Otoritas Singapura
DDC: 324.2598 Devi Darmawan PRAKONDISI UNTUK MENGUKUHKAN LEGITIMASI PEMERINTAHAN Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No. 2, Desember 2013, Hlm. 55-78 Keterlibatan elite politik selaku penyelenggara negara dalam praktik korupsi berdampak pada delegitimasi pemerintahan hasil pemilu karena mengindikasikan kegagalan pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan secara bertanggung jawab. Di sisi lain, problem delegitimasi ini mencerminkan kegagalan partai politik dalam melakukan fungsi rekrutmen sehingga tidak dapat menghasilkan calon-calon kandidat yang berkualitas untuk mengikuti pemilu. Oleh sebab itu, partai politik harus dipaksa untuk melakukan seleksi internal bakal calon kandidat secara transparan dalam membuat daftar calon kandidat yang akan dicalonkan untuk mengikuti pemilu. Hal ini diperlukan agar kualitas kandidat peserta pemilu dapat berkontribusi positif dalam menghasilkan keterpilihan penyelenggara negara yang kredibel, kapabel, dan akuntabel untuk mengelola pemerintahan ke depan. Kata kunci: Legitimasi Pemerintahan, Pencalonan Kandidat Peserta Pemilu
DDC: 320.014 Asrinaldi A KOALISI MODEL PARLEMENTER DAN DAMPAKNYA PADA PENGUATAN KELEMBAGAAN SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No. 2, Desember 2013, Hlm. 79-114 Penerapan model koalisi sistem parlementer dalam pelaksanaan sistem presidensial di Indonesia mendatangkan masalah di lembaga legislatif. Artikel ini menjelaskan dampak yang muncul dari model koalisi sistem parlementer yang diterapkan dalam sistem presidensial. Akibatnya, perdebatan program pemerintah di lembaga legislatif tidak lagi dalam rangka pemenuhan kepentingan masyarakat, akan tetapi sekedar menunjukan sikap berseberangan dengan pemerintah. Menariknya, partai pemerintah berkuasa justru melibatkan partai oposisi untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk menghindari ketegangan yang terjadi di lembaga legislatif. Pembentukan koalisi pemerintahan seperti ini justru tidak mencerminkan konsistensi dalam melaksanakan undang-undang dasar. Bahkan koalisi yang terbentuk justru hanya mengutamakan kepentingan politik ketimbang memperkuat ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Artikel ini menjelaskan lebih mendalam dampak praktik koalisi model parlementer ini terhadap penguatan kelembagaan politik dalam sistem presidensial. Kata kunci: Sistem Presidensial dan Penguatan Kelembagaan
DDC: 320.014 Nina Andriana MEDIA SIBER SEBAGAI ALTERNATIF JEMBATAN KOMUNIKASI ANTARA RAKYAT DAN PEMIMPINNYA Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No. 2, Desember 2013, Hlm. 115-136 Demokrasi deliberatif, yaitu terbukanya peluang bagi masyarakat untuk secara
viii | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
kontinu berkomunikasi dengan pemimpinnya, membutuhkan ruang publik yang bebas dari tekanan politik dan penguasa pasar media. Ruang Publik di media massa konvensional yang telah mengarah pada ketiadaan keberagamaan kepemilikan dan keberagaman substansi informasi menjadi titik balik hadirnya ruang publik pada bentuk media lain, yaitu media siber. Pemanfaatan media siber oleh lembaga dan aktor politik, dan khususnya oleh masyarakat di Indonesia masih belum maksimal, meskipun media siber memberikan peluang menjanjikan sebagai saluran komunikasi yang “inklusif, egaliter dan bebas tekanan”. Prinsip komunikasi dua arah yang disediakan oleh media siber diharapkan mampu menjadi alternatif jembatan komunikasi yang lebih interaktif antara rakyat dan pemimpinnya, yang hal ini sulit didapatkan pada media konvensional. Melalui ruang publik demokrasi deliberatif rakyat dapat dididik untuk berdiskusi secara rasional dan terbuka untuk membicarakan persoalan-persoalan kebijakan publik.
tidak berlaru-larut. Dalam konteks itu, sistem pemilu perlu dibangun secara sungguh-sungguh dan idel agar mampu menciptakan partai politik yang moderat (5-7 partai) secara alamiah dan mendorong lahirnya partai pemenang pemilu minimal di parlemen. Untuk kebutuhan itu diperlukan rekayasa perubahan sistem pemilu dari sistem proporsional ke sistem yang lain. Kajian ini sedang menjajaki tingkat fisibilitas sistem pemilu campuran, sejauhmana tingkat kecocokannya bagi Indoenesia. Dari kesimpulan awal, perbaikian sistem pemilu dapat dilakukan melalui pemberian ruang penggunaan sistem campuran, melalui penerapan Mixed Member Majoritarian (MMM) yang secara teoretik dan pengalaman negara-negara lain telah terbukti dapat menciptakan munculnya partai mayoritas di parlemen.
Kata kunci : Demokrasi deliberatif, Ruang Public, Media Siber.
DDC: 352.14 Agus R. Rahman
DDC: 352.14 Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim
HUBUNGAN PERBATASAN ANTARA THAILAND DAN MALAYSIA: KERJASAMA PERBATASAN DAN LINTAS BATAS ILEGAL
MENCARI SISTEM PEMILU DAN KEPARTAIAN YANG MEMPERKUAT SISTEM PRESIDENSIIL Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No. 2, Desember 2013, Hlm. 137-154 Upaya untuk mencari dan membenahi sistem pemilu dan partai politik yang efektif bagi demokrasi presidensiil, membutuhkan proses koreksi dari sistem pemilu dan kepartaian yang saat ini dianut. Proses perbaikan itu dimaksudkan agar terjadi perbaikan dan penataan sistem pemilu, sistem kepartaian yang memperkuat sistem presidensiil. Kajian ini merekomendasikan bahwa perbaikan sistem pemilu perlu diarahkan pada terjadinya praktik sistem multipartai yang mampu menghasilkan tingkat fragmentasi partai yang relatif rendah di parlemen. Rendahnya tingkat fragmentasi partai di parlemen pada gilirannya dapat mengkondisikan terciptanya proses pengambilan keputusan yang relatif cepat dan
Kata kunci: Sistem pemilu, sistem kepartaian, sistem presidensial dan fisibilitas sistem pemilu campuran
Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No. 2, Desember 2013, Hlm. 155-172 Penelitian yang berjudul “Kerjasama Perbatasan Thailand-Malaysia dalam Mengatasi Ilegal Border Crossing,” mencoba untuk menganalisis upaya-upaya kedua negara yang berbatasan ini untuk menegakkan fungsi perbatasannya dalam mengatasi aktivitas lalu lintas perbatasan yang ilegal. Fungsi perbatasan antara Thailand dan Malaysia bersifat distintegratif yang diwarnai oleh pada satu sisi konflik internal antara pemerintah Thailand dengan empat provinsi Muslim di Thailand Selatan, dan pada sisi yang lain, kedekatan masyarakat Muslim di sepanjang perbatasan Thailand-Malaysia. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa kerjasama perbatasan kedua negara dilakukan baik secara bilateral dan multilateral dalam konteks ASEAN. Kerjasama bilateral tampaknya belum maksimal untuk mengatasi aktivitas lintas batas yang ilegal,
Abstrak | ix
sedangkan kedua negara mendukung kerjasama multilateral dalam konteks ASEAN dalam hal masalah kejahatan transnasional. Baik Thailand maupun Malaysia tidak bermaksud untuk membawa masalah-masalah perbatasan yang lain di luar konteks bilateral kedua negara. Kata kunci: Hubungan Perbatasan, Kerjasama Perbatasan, Lintas Perbatasan Ilegal.
DDC: 341.48 Sarah Nuraini Siregar PENCAPAIAN REFORMASI INSTRUMENTAL POLRI 1999-2011 Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No. 2, Desember 2013, Hlm. 173-196 Sejak pemisahan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dari ABRI pada tahun 1999, Polri memiliki banyak instrumen (kebijakan) yang menjadi dasar bagi Polri untuk melakukan fungsi dan kewenangannya. Namun, instrumen ini belum sepenuhnya diatur dengan kewenangan yang jelas kepada Polri, terutama dalam hal koordinasi, hubungannya dengan TNI pada saat melakukan pengelolaan keamanan di daerah konflik, mekanisme pengawasan, dan akuntabilitas dalam hal kinerja, fungsi, dan kewenangan Polri. Oleh karena itu, upaya Reformasi Instrumental Polri yang masih memiliki kendala perlu dievaluasi kembali. Kehadiran UU No. 2 Tahun 2002 dan juga perangkat peraturan lainnya masih menimbulkan masalah baru, seperti pengawasan, mekanisme kontrol, hubungan dengan aktor-aktor keamanan lainnya, terutama pada saat menjalankan pengelolaan keamanan, dan sebagainya. Kata kunci: Reformasi, Instrumental, Instrumen, Keamanan, Polisi, Peraturan.
DDC: 320.962 Luky Sandra Amalia EVALUASI SISTEM DI ERA REFORMASI
KEPARTAIAN
Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No. 2, Desember 2013, Hlm. 197-212
Tulisan ini memfokuskan kajian pada evaluasi sistem kepartaian era reformasi, yaitu mengenai realitas sistem kepartaian yang berkembang selama era reformasi; problematika sistem kepartaian yang ada; dan faktor-faktor yang melatarbelakangi realitas dan problematika tersebut. Dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan tujuan deskriptif-eksplanatif, diperoleh dua cara untuk menyederhanakan sistem kepartaian, yakni mengubah sistem pemilu atau melalui rekayasa institusi. Pilihan pertama diharapkan bisa menghasilkan sistem multipartai dengan dua parpol dominan di DPR, sedangkan pilihan kedua menghasilkan sistem multipartai sederhana dengan dua koalisi besar yang bersifat permanen di parlemen. Namun demikian, tak kalah pentingnya adalah reformasi karakter parpol, dari parpol pragmatis dan berorientasi jangka pendek menjadi parpol yang memiliki platform politik dan visi kebangsaan yang jelas. Kata Kunci: sistem kepartaian
DDC: 321.5 Aisah Putri Budiatri PEMILU PRESIDEN AMERIKA SERIKAT Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No. 2, Desember 2013, Hlm. 213-220 Amerika Serikat (AS) telah menjalankan pemilihan umum (pemilu) presiden selama lebih dari satu abad. Pemilu demokratis yang telah dijalankan oleh AS merupakan sebuah proses yang dinamis dengan banyak perubahan aturan dan sistem di dalamnya. Nelson W. Polsby, Aaron Wildavsky, Steven E. Schier, dan David A. Hopkins mencoba untuk menjelaskan secara mendalam evolusi (perubahan) pelaksanaan pemilu presiden di dalam buku “Presidential Elections: Strategies and Structures of American Politics”. Di dalam buku ini, penulis memberikan gambaran rinci mengenai pemilu presiden di era yang berbeda-beda dengan berfokus pada beberapa isu diantaranya pemilih pemilu, kelompok kepentingan, aturan dan sumber daya, proses nominasi, dan kampanye. Selain itu, buku ini mencoba menanyakan juga bagaimana pemilu presiden mampu mendukung tujuan demokrasi di AS. Kata kunci: pemilu presiden, Amerika Serikat, demokrasi.
x | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Vol.10, No.2, Desember 2013 DDC: 324.9598 Siswanto
Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No. 2, December 2013, Page 23-38
FIGURE OF IDEAL PRESIDENT AND GLOBAL ISSUES CHALLENGE: CONSIDERING OF LEADERSHIP ASPECTS IN PRESIDENTIAL ELECTION 2014
This article aims to analyze the role of media in the constellation of presidential elections in Indonesia during 2001-2009. Media in the post- reform era itself have been showed the dilemma between supporting democracy, even though on the other side trying to identify them on political power. In many ways, the media showed a strong dependency relationship with the patronage of political economy. The emergence of political journalism has been manifested in propaganda machine to convey the message as well as a political message to the public. This article will elaborate media dilemma in the transition to democracy in Indonesia.
Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No. 2, December 2013, Page 1-22 The 2014 Presidential Election is near, but not yet seen the right candidate to lead Indonesia in the future. This paper is intended to contribute to the discourse about the 2014 presidential election in relation to the pressures of globalization. This effort to invite the community in determining the future of Indonesia by way of selecting the right candidate in the 2014 presidential election. The focus of this paper is the problem of momentum 2014 presidential election that took place in the midst of a crisis of national leadership, while the challenges of globalization increasingly heavy and diverse. Finally, the conclusions of this paper that the Indonesian Presidents in the past have shown a real contribution to the world and the corresponding challenges of each era, then what is the future President was also able to give a real contribution to the global issues of today. Keywords: Leadership, Globalization, the Presidential election.
DDC: 324.2598 Wasisto Raharjo Jati MEDIA AND POLITICAL PERSUASION: THE ROLE OF MEDIA IN INDONESIA PRESIDENTIAL CAMPAIGN 2001-2009
Keywords: media persuasion, media conglomerate, political campaign, & political journalism
DDC: 324.2598 Zainuddin Djafar CHALLENGES FOR THE NEXT PRESIDENT OF INDONESIAN AND THE RELEVANCE OF SINGAPORE “MULIPLICATION AUTHORITIES” Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No. 2, December 2013, Page 39-54 This writing is going to observe the significant challenge for the next of Indonesian President (after 2014). Some observations have been done, and some important views on individual strength leadership seem not enough. The leadership of next Indonesian president should also reconsider its role in order to cope with the major of Indonesian national problem especially with the issue of corruption. Abstrak | xi
Singapore has shown of its management of success in handling its cronic problem of corruption. The Singaporean Prime Minister leadership has given substantial lesson learned, and indirectly the concept of Multiplication Authorities has shown its validity including several strategies that should also be regarded as the main mission for the next Indonesian president. Keywords: Indonesian next president, Singaporean Multiplication Authorities.
DDC: 324.2598 Devi Darmawan PRE-CONDITIONS FOR ENHANCING THE LEGITIMACY OF GOVERNANCE Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No. 2, December 2013, Page 55-78 The political elite involvement’s as the state administrators in corrupt practices have impact to decrease degree of government legitimacy (delegitimation) because it’s indicates the government’s failure to govern responsibly. On the other hand, the problem of delegitimation reflects a failure of political parties to conduct the politic recruitment and therefore can not produce proper candidates to contest the elections. Therefore, political parties should be forced to conduct an internal selection to elect the prospective candidates in a transparent manner in making a list of candidates who will be nominated to contest the elections. It’s necessary for make the quality of electoral candidates could contribute positively to the election process to produce elected state administrators which are credible and capable for managing government responsibly. Keywords: Goverment Legitimacy, Nomination Process of Election Participants.
DDC: 320.014 Asrinaldi A PARLIAMENTARY-STYLE COALITIONS AND ITS IMPACT ON STRENGTHENING THE INSTITUTIONAL PRESIDENTIAL SYSTEM IN INDONESIA
Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No. 2, December 2013, Page 79-114 Implementation coalition of parliamentary system in the presidential system model in Indonesia cause problems in the legislature. This article describes the effects that arise from that coalition of parliamentary system model was applied in a presidential system. Consequently, polemic over government programs in legislature no longer related to public interest, but simply to show an attitude that opposite to government. Interestingly, the ruling government party seek to involve the opposition party in government to avoid conflicting in government programming. As a result, the formation of coalition of parlimentary model does not reflect consistency in implementing the constitution. Even the coalition that formed it just put the political interests as a goal rather than strengthen the political ideology as the way of the nation. This article explains more in depth what the impact of coalition of parliamentary syatem model to strengthening of political institutions in a presidential system. Keywords: Presidentialism system model and institutional strengthening.
DDC: 320.014 Nina Andriana CYBER MEDIA AS AN ALTERNATIVE COMMUNICATION BRIDGE BETWEEN THE PEOPLE AND THE LEADER Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No. 2, December 2013, Page 115-136 Deliberative democracy, is an opportunity for people to dialogue with their leaders continuous, needs a free public sphere that independent from political pressure. The public sphere in conventional media which lack owners and content diversity become the turning point another media attendance, that is cyber media. The utilization of cyber media by actor and political institution, and especially by the Indonesian people still not maximum, even cyber media give an opportunity for as communication media which “inclusive, egalitarian and liberal”. Two way communication that provided by the cyber media is more interactive among
xii | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
the people and the leader. Through public sphere deliberative democracy on cyber media, public could be educated for rational and open dialogue to discuss about public policy. Keywords: Deliberative Sphere, Cyber Media.
Democracy,
Public
DDC: 352.14 Agus R. Rahman THAILAND-MALAYSIA BORDER RELATIONS: BORDER COOPERATION AND ILLEGAL BORDER CROSSING
DDC: 352.14 Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim
Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No. 2, December 2013, Page 155-172
THE SEEKING OF ELECTION AND PARTY SYSTEM TO STRENGHTHENING PRESIDENTIAL SYSTEM
Research on “Thailand-Malaysia Border Cooperation in Overcoming Illegal Border Crossing,” aims to analyse both countries’ bilateral attempts to implement border function in tackling illegal border crossing activities. Border between Thailand and Malaysia reflect disintegrative function which is influenced by internal conflict of Thailand government and four Muslim provinces in Southern Thailand. Result shows that this border bilateral cooperation conducted through bilateral and multilateral cooperation in the ASEAN context. The bilateral cooperation is not optimum to handle illegal border crossing activities, and both countries confirm to multilateral cooperation in ASEAN context especially in transnational crime. Both Thailand and Malaysia have no commitment to bring their border problem out of their bilateral context.
Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No. 2, December 2013, Page 137-154 Attempts to find and improve the effectiveness of the electoral system and political parties for the presidential democracy require a correction process of current electoral and the political party system. The improvement process is intended to repair and arrange the electoral system, the party system which strengthen the presidential system. This study recommends that the improvement should be directed to the practice of multi-party system that is able to produce a relatively low fragmentation of the parties in parliament. Low fragmentation of the parties in parliament, in turn, can condition the establishment of effective decision-making process. In this context, the electoral system should be ideal and thougtfully constructed to be able to create moderate political parties (5-7 parties) naturally and encouraged the emergence of the general election winner party in parliament. Therefore, it is necessary to engineer electoralsystem change, fromproportional system to another system. This study is exploring the feasibility of the mixed electoral system, to what extent it will be suitable for Indonesia. From the preliminary conclusion, the improvement of the electoral system can be done by giving space to the practice of mixed system, through the implementation of Mixed Member Majoritarian (MMM) which has been proven, theoretically and practically by country experiences to create the emergence of majority party of parliament. Keywords: election system, party system, presidential system and feasibility of a mixed electoral system.
Keywords: Border Relations, Border Cooperation, Illegal Border Crossing.
DDC: 341.48 Sarah Nuraini Siregar ACHIEVEMENT OF THE INSTRUMENTAL INDONESIAN NATIONAL POLICE REFORM Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No. 2, December 2013, Page 173-196 Since the separation of Indonesian National Police (Polri) from Indonesian Army Forces (TNI) in 1999 until present, Polri has many instruments that become their priorities to perform its functions and authority. However, these instruments have not been fully set up with clear authority to the national police, especially in terms of coordination, relations with the Indonesian Army at the time of the Abstrak | xiii
management of security in conflict areas supervisory mechanisms, and accountable for the performance of functions and authority of the national police. Therefore, reform efforts were instrumental to the Police which still have different constraints and needs to be reevaluated over the implementation of these reform efforts. The presence of The Law No. 2, 2002 and also other regulatory devices that turn out to be not rigid and clear regulation concerning powers and functions of the national police, has caused new problems, such as the question of supervision, control mechanisms, the relationship with other security actors at the time of security management, and so on. Keywords : Reform, Instrumental, Instruments, Security, Police, Regulation.
DDC: 320.962 Luky Sandra Amalia
Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No. 2, December 2013, Page 213-220 The United States of America has run presidential elections for more than a century. Democratic elections are a dinamyc process with many changes in the rules and the systems. Nelson W. Polsby, Aaron Wildavsky, Steven E. Schier, and David A. Hopkins try to explain deeply about the evolution of American presidential election in their book: “Presidential Elections: Strategies and Structures of American Politics”. In this book, the writers give details about presidential election from different eras that focus on several issues, namely voters, interest groups, rules and resources, the nomination process, and the campaign. Besides, the book attempt to ask about how presidential elections serve the purposes of democracy in the U.S. Keywords: presidential election, the U. S., America, democracy.
EVALUATION OF PARTY SYSTEM IN THE REFORMATION ERA Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No. 2, December 2013, Page 197-212 This research report is about evaluation of party system in the reformation era, including the problem of party system dan the factors that contribute to them. Using descriptiveexplanative approach, this research found two options to simplify the party system, namely by changing the election system or by institution engineering. The first choice might produce multiparty system with two dominant parties in parliament whereas the second one may deliver moderate multiparty system with two big permanent coalitions in parliament. Besides that, reformation of parties’ character, from pragmatic parties into ones which have clear platform and vision, is also important to do. Keywords: party system.
DDC: 321.5 Aisah Putri Budiatri PRESIDENTIAL ELECTIONS UNITED STATES
IN
THE
xiv | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
SOSOK PRESIDEN IDEAL DAN TANTANGAN ISU-ISU GLOBAL: MENIMBANG ASPEK KEPEMIMPINAN CAPRES PADA PILPRES 2014 FIGURE OF IDEAL PRESIDENT AND GLOBAL ISSUES CHALLENGE: CONSIDERING OF LEADERSHIP ASPECTS IN PRESIDENTIAL ELECTION 2014 Siswanto Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 10 Juli 2013; direvisi: 3 September 2013; disetujui: 2 Desember 2013 Abstract The 2014 Presidential Election is near, but not yet seen the right candidate to lead Indonesia in the future. This paper is intended to contribute to the discourse about the 2014 presidential election in relation to the pressures of globalization. This effort to invite the community in determining the future of Indonesia by way of selecting the right candidate in the 2014 presidential election. The focus of this paper is the problem of momentum 2014 presidential election that took place in the midst of a crisis of national leadership, while the challenges of globalization increasingly heavy and diverse. Finally, the conclusions of this paper that the Indonesian Presidents in the past have shown a real contribution to the world and the corresponding challenges of each era, then what is the future President was also able to give a real contribution to the global issues of today. Keywords: Leadership, Globalization, the Presidential election Abstrak Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 sudah dekat, tetapi belum nampak calon presiden (capres) yang tepat yaitu punya kepribadian kuat, cerdas, dan menjunjung tinggi etika sehingga mampu memimpin dengan efektif dan menjawab tantangan global. Tulisan ini dimaksudkan ingin berkontribusi dalam diskursus tentang Pilpres 2014 dalam kaitannya dengan tekanan arus globalisasi yang melanda Indonesia. Upaya ini mengajak masyarakat ikut menentukan masa depan Indonesia dengan cara memilih capres secara benar yaitu sesuai dengan kriteria di atas pada Pilpres 2014 mendatang. Fokus tulisan ini adalah masalah momentum Pilpres 2014 yang berlangsung di tengah krisis ketersediaan kader kepemimpinan nasional yang relevan dengan tantangan global. Akhirnya, tulisan ini berpegang pada hukum bahwa peristiwa sejarah tidak berulang, tetapi polanya bisa berulang. Presiden-Presiden Indonesia di masa lalu telah memberi kontribusi kepada permasalahan dunia, maka Presiden Indonesia di masa depan seharusnya juga mampu menjawab tantangan global agar juga punya kontribusi kepada dunia. Kata kunci: kepemimpinan, globalisasi, Pemilu Presiden
Pendahuluan Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 sudah diambang pintu, tetapi belum nampak calon presiden (capres) yang dinilai tepat untuk memimpin Indonesia ke depan. Yang dimaksud Presiden yang tepat di sini adalah capres yang punya kaliber kepemimpinan di tingkat nasional dan
internasional, punya sifat kepemimpinan yang kuat, demokratis, dan mampu berperan penting dalam isu-isu global. Lebih jauh, Presiden Indonesia ke depan diharapkan juga mampu memperjuangkan kepentingan nasional dengan baik di tengah tekanan globalisasi yang kuat. Dalam hal ini, kepentingan nasional yang dimaksud berdimensi ekonomi, politik dan Sosok Presiden Ideal ... | Siswanto | 1
budaya. Oleh karena itu, upaya ini termasuk di dalamnya memperjuangkan investasi, perdagangan, pertahanan, keamanan, stabilitas, kebebasan, kebhinekaan, kebangsaan, adat dan kebudayaan. Jadi, capres dengan kualifikasi di atas dianggap sebagai capres yang tepat dan ditunggu-ditunggu oleh rakyat Indonesia. Gagalnya kaderisasi kepemimpinan di partai politik adalah salah satu faktor langkanya capres berkualitas. Partai-partai di Indonesia gagal menyiapkan pemimpin nasional yang tangguh. Pemimpin nasional Indonesia sekarang umumnya perilaku politiknya sulit dikatakan baik oleh rakyatnya yaitu dengan ukuran-ukuran etika politik, idealisme, dan keberpihakannya kepada rakyat. Boleh dibilang, Indonesia pascaReformasi mengalami krisis kepemimpinan. Dalam level nasional tidak dijumpai pemimpin yang mampu memberi suri tauladan dan punya ciri seorang negarawan. Apalagi, undang-undang memberi monopoli kekuasan kepada partai politik dalam soal Pilpres sehingga menutup pintu bagi calon independen, padahal ini penting untuk munculnya calon presiden yang bebas dari “utang budi politik” kepada partai. Masyarakat sudah mengetahui bahwa partai bisa digunakan menjadi kendaraan politik untuk Pilpres, tetapi dengan konsekuensi menyetor “fee” tertentu. Kalau fenomena “kendaraan politik” ini adalah bagian dari kehidupan politik Indonesia maka sulit mencari pemimpin yang punya ciri seorang negarawan. “Satrio Piningit” mungkin bisa menjadi capres alternatif diantara capres-capres yang ada, tetapi hal ini tidak membuat masyarakat optimis. Konsep “Satrio Piningit” sebenarnya hidup dalam mitologi Jawa. Dalam mitos-mitos Jawa kuno “Satrio Piningit” dipahami sebagai pemimpin alternatif yang pada awalnya tidak muncul dalam bursa calon pemimpin yang diunggulkan. “Satrio Piningit” bisa menjadi harapan (optimis) jika berkoalisi dengan partai yang punya etika politik dan idealisme, tetapi seandainya tidak malah sebaliknya karena akan terkooptasi oleh kepentingan partai politik yang mengusungnya. Tulisan ini mempunyai beberapa tujuan sehubungan dengan Pilpres 2014 mendatang. Pertama, tulisan ini ingin berkontribusi dalam diskursus tentang Pilpres 2014 dalam kaitannya dengan arus globalisasi yang
semakin “deras.” Upaya ini sebagai langkah mengajak masyarakat untuk ikut menentukan masa depan Indonesia dengan cara memilih kandidat secara benar pada Pilpres 2014. Saat kampanye para capres biasanya menyampaikan janji-janji yang seringkali terlupakan ketika sudah menjadi Presiden. Jelang Pilpres 2014 tim sukses dari kandidat presiden tertentu bukan mustahil memberi iming-iming agar memilih kandidat yang diusungnya. Kedua, tulisan ini juga ingin menggugah kesadaran masyarakat soal pentingnya Indonesia berperan dalam isu-isu global. Isu-isu global ke depan berkembang semakin kompleks sehingga setiap negara semakin sengit dalam memperjuangkan kepentingannya. Dalam konteks ini lah, kandidat presiden yang memiliki kepedulian dan kapabilitas dalam mengelola kepentingan nasional dan isu-isu global dipandang memiliki nilai tambah dalam Pilpres 2014 jadi patut memperoleh dukungan. Fokus tulisan ini adalah masalah momentum Pilpres 2014 yang berlangsung di tengah krisis kepemimpinan nasional, sementara itu tantangan globalisme makin berat dan kompleks. Pilpres 2014 merupakan momen yang sulit bagi masyarakat Indonesia untuk menentukan pilihanya karena tidak banyak pilihan capres yang potensial untuk menjawab tantangan globalisasi. Capres yang akan tampil diragukan kemampuan untuk mengelola kekuatan nasional menjadi jawaban atas isu-isu global. Pengalaman Pilpres sebelumnya tidak banyak capres yang punya kapabilitas untuk bisa berkiprah pada forum global maupun regional, di lain pihak tantangan global ke depan semakin berat dan kompleks bahkan bisa mengancam eksistensi Indonesia jika tidak memperoleh penanganan secara benar.
Konsep Kepemimpinan “Barat” Dan “Timur” Dalam mazhab Realis, masalah kepemimpinan dilihat sebagai salah satu dari elemen kekuatan nasional (element of national power) yang keberadaannya dipandang strategis. Kualitas kepemimpinan nasional dipandang punya korelasi dengan kekuatan nasional suatu negara. Kemampuan seorang pemimpin dalam melakukan inovasi teknologi dan mengembangkan strategi, khususnya strategi
2 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
militer sangat menentukan kekuatan nasional suatu negara. Seorang pemimpin yang punya keunggulan dalam kedua aspek tersebut punya peluang lebih besar untuk memainkan peran melalui negaranya dalam pentas internasional, sebaliknya seorang pemimpin yang tidak punya kedua ciri atau kepribadian di atas tidak bisa diharapkan banyak untuk dapat berkiprah dalam pentas internasional yang penuh ketidakpastian dan terkadang anarkis. Realisme politik memformulasikan prinsip kepemimpinan bahwa seorang pemimpin yang ideal itu memiliki kombinasi dua sifat yakni berkarakter kuat dan cerdik. Pandangan ini merujuk pada buah pikiran Machiavelli yang mengembangkan ajarannya bahwa seorang pemimpin itu hendaknya punya kombinasi antara sifat-sifat singa dan serigala sehinga negaranya disegani oleh kawan dan ditakuti oleh lawan. Dalam sejarah Eropa, Prusia di bawah pimpinan Frederick yang Agung merupakan negara adidaya yang mengimbangi negara adidaya lainya, seperti: Prancis, Inggris, dan Rusia. Kepemimpinan ini dipandang ideal oleh kaum Realis karena negara mencerminkan kekuatan dan kecerdasan. Negara ini mampu mengembangkan kemampuan tempur pasukannya dan teknologi militer. Dalam sejarah kepemimpinan Indonesia, Sukarno dan Suharto juga cukup disegani dan ditakuti di Asia Tenggara karena keduanya punya karakter seperti yang diisyaratkan oleh Realisme politik yaitu kuat dan cerdas. Jadi, pesan yang bisa diambil sebuah negara jika ingin punya kontribusi penting dalam politik global perlu dipimpin oleh seorang Presiden yang punya watak kuat dan cerdas. Disamping itu, Ki Hajar Dewantara menyampaikan pandangannya tentang kepemimpinan. Beliau membagi tiga kemampuan yang perlu di miliki seorang pemimpin, yaitu: Ing ngarsa sung tuladha (mampu memberi contoh yang baik), Ing madya mangun karsa (mampu memberi motivasi guna mencapai tujuan), dan Tut wuri handayani (mampu memberi arahan kepada bawahan).1 Konsep kepemimpinan Ki Hajar Dewantara mengandung beberapa butir gagasan. Dalam hal ini, gagasan tentang ketauladanan atau moral, motivasi, dan kontrol. Ketiga butir pemikiran
beliau sangat mendasar, sederhana, tetapi cukup mewadahi aspek-aspek penting dari manajemen kepemimpinan. Bahkan, gagasan ini disampaikan sudah beberapa dasawarsa yang lalu, tetapi tidak kalah dengan ide-ide kepemimpinan atau manajemen modern yang disampaikan oleh pakar-pakar dari “Barat.” Konsep tersebut masih relevan untuk menjawab masalah-masalah yang terkait dengan aspek kepemimpinan dari organisasi modern karena pada hakekatnya pemikiran Ki Hajar Dewantara merupakan inti dari manajemen kepemimpinan dalam sebuah organisasi. Konsep kepemimpinan Ki Hajar Dewantara dipandang sebagai konsep yang melengkapi model kepemimpinan “Barat.” Konsep kepemimpinan disampaikan oleh Realisme Politik mengutamakan kekuatan dan kecerdasan, ciri ini sesuai dengan nilai-nilai yang memang dianut oleh ilmuwan “Barat”. Konsep ini dikombinasikan dengan konsep kepemimpinan Ki Hajar Dewantara yang lebih mengedepankan moral dan ketauladanan dan berasal dari “Timur.” Pada dasarnya ketiga butir kepemimpinan di atas merupakan aspek kunci dalam manajemen kepemimpinan. Seorang pemimpin yang baik harus punya moral dalam arti memberi contoh perbuatan yang baik dan menjaga perilakunya agar selaras dengan moral dan etika. Seorang pemimpin juga harus memotivasi bawahannya agar bertindak sesuai dengan fungsi-fungsi yang diembannya. Dalam memberi motivasi juga memperhatikan moral atau etika sehingga bisa diterima dengan baik oleh bawahannya. Akhirnya seorang pemimpin juga harus mengawasi seluruh fungsi-fungsi organisasi yang berada di bawah tanggungjawabnya. Pengawasan ini dilakukan agar fungsi-fungsi organisasi yang dilakukan oleh bawahan dipastikan berjalan dengan baik atau sesuai dengan kaedah-kaedah organisasi. Yang juga perlu diperhatikan bahwa dalam melakukan kontrol juga memperhatikan etika atau moral yang berlaku agar fungsi pengawasan dapat diterima dengan baik oleh bawahan dan dilaksanakan dengan rasa penuh tanggungjawab dan rasa hormat kepada pimpinannya.
Aulia Rachma, Kepemimpinan Ideal menurut Ki Hajar Dewantara, www.kompasiana.com, 2012, diakses pada tanggal 7 Mei 2013. 1
Sosok Presiden Ideal ... | Siswanto | 3
Kepemimpinan Presiden-Presiden Indonesia di Tengah Tantangan Global Berikut ini dipaparkan catatan tentang PresidenPresiden Indonesia di tengah tantangan global. Dalam konteks tantangan global ini tentu saja isunya berbeda dari Presiden yang satu dengan yang lainnya. Setiap Presiden punya tantangan yang harus yang dihadapi sesuai dengan jamannya.
1. Sukarno di Era Orde Lama Sukarno menghadapi tantangan global pada jamannya sendiri. Saat itu Sukarno berusaha menghindari untuk tidak terjebak ke dalam konflik global antara blok “Barat” melawan blok “Timur” atau menegakkan prinsip bebas aktif. Sukarno berusaha menegakkan prinsip bebas aktif di tengah-tengah tarikan pengaruh global Soviet dan Amerika Serikat (AS). Oleh karena itu, Sukarno bergabung dengan gerakan Non-Blok. Sebuah perkumpulan negara-negara berkembang yang ingin punya posisi politik sendiri di luar Blok “Barat” dan Blok “Timur.” Dengan kata lain, ini suatu gabungan negaranegara yang tidak ingin terlibat dalam konflik global yang sedang terjadi saat itu. Tambahan lagi, Indonesia punya posisi geo-politik strategis. Indonesia berada di antara benua Australia dan Asia, serta terbentang antara Samudra Pasifik dan Hindia. Konsekuensinya posisi geografis Indonesia menjadi jalur transportasi lalu lintas dunia yang punya nilai strategis bagi negaranegara besar seperti Soviet dan AS. Sukarno punya peran membangun solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika. Sukarno menggunakan solidaritas ini untuk perjuangan dekolonisasi. Seperti diketahui, saat itu masih ada sejumlah negara di Asia dan Afrika yang punya masalah dengan kolonialisme, termasuk Indonesia yang sedang memperjuangkan pembebasan Irian Barat yang dipandang oleh Sukarno sebagai upaya melawan sisa-sisa kolonialisme Belanda di Indonesia. Sukarno diterima sebagai pemimpin di kedua kawasan ini. Beberapa negara di Afrika mengabadikan nama Sukarno untuk berbagai hal, sebagai rasa simpatik rakyat negara tersebut kepada Sukarno. Salah satu peristiwa penting yang dilakukan Indonesia saat itu adalah diselenggarakannya Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun
1955. Acara ini dihadiri oleh sejumlah Kepala Negara dari kedua kawasan itu. Boleh dikatakan ini sebagai puncak dari keberhasilan Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Ali Satroamidjojo membangun solidaritas negara-negara AsiaAfrika yang bermuara kepada lahirnya gerakan Non-Blok. Kepentingan nasional Indonesia yang diperjuangkan oleh Sukarno di tengah sengitnya konflik global saat itu adalah mengembalikan Irian Barat. Diplomasi panjang Presiden Sukarno, Menteri Luar Negeri Subandrio dan sejumlah diplomat ulung akhirnya berhasil mengembalikan Irian Barat dari kekuasaan Belanda. Belanda mengulur-ulur perundingan Irian Barat. Belanda-Indonesia melakukan perundingan Irian Barat sejak tahun 1950, tetapi selalu gagal di tengah jalan. Sengketa ini dengan keterlibatan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan AS dapat diselesaikan melalui Perjanjian New York tahun 1962 yang dilanjutkan dengan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) atau referendum tahun 1969. Sukarno tidak terseret oleh arus konflik global “Barat” melawan “Timur”, tetapi justru berhasil memanfaatkan konflik global itu untuk kepentingan nasional Indonesia yaitu mengembalikan Irian Barat. Dalam hal ini, Sukarno mendatangi AS maupun Soviet untuk menggalang dukungan politik dan militer melawan Belanda dalam sengketa Irian Barat.
2. Suharto di Era Orde Baru Tantangan yang dihadapi Suharto adalah mewujudkan pembangunan nasional. Suharto ingin fokus melakukan pembangunan ekonomi. Upaya ini berkaitan dengan situasi dimana Suharto tampil menjadi presiden di saat ekonomi Indonesia berantakan. Oleh karena itu, Indonesia mengundang modal asing sebanyakbanyaknya untuk masuk ke Indonesia guna menjadi “motor” penggerak perekonomian nasional. Hal ini membuahkan hasil yaitu terbentuknya Inter Governmental Group in Indonesia (IGGI), suatu kelompok negaranegara pemberi pinjaman kepada Indonesia, akhirnya forum ini dibubarkan sendiri oleh dan diganti menjadi Consultation Group in Indonesia (CGI) karena saat itu pihak Belanda sebagai negara koordinator dinilai oleh Suharto terlalu intervensi soal dalam negeri Indonesia. Pembangunan nasional memerlukan lingkungan
4 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
regional yang kondusif. Indonesia dapat melakukan pembangunan nasional dengan baik jika didukung lingkungan tetangga yang stabil dan damai sehingga Suharto aktif membentuk perhimpunan negara-negara Asia Tenggara yaitu ASEAN tahun 1967. Suharto dinilai punya andil besar dalam terbentuknya ASEAN. Suharto seperti dikatakan di atas berkepentingan kawasan Asia Tengara yang damai dan stabil. Seperti diketahui bahwa pada masa itu Asia Tenggara diganggu oleh konflik Indocina. Sebenarnya, upaya ini tidak lepas dari skenario AS, ASEAN dibangun untuk membendung meluasnya pengaruh komunisme dari Indocina. Ide ASEAN disampaikan oleh Kennedy untuk mengimbangi komunisme di Indocina jadi Suharto dalam hal ini hanya melaksanakan gagasan Kennedy yang kebetulan cocok dengan keinginannya. Untuk mendapatkan dukungan negara tentangga atas keinginannya itu, Suharto mengakhiri konflik Indonesia dengan Malaysia. Mengingat di masa Sukarno Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia yang ditandai dengan slogan Sukarno yang terkenal “ganyang Malaysia” (serbu Malaysia). Suharto mengirim pembantu dekatnya seperti Amir Mahmud untuk mempersiapkan perdamaian dengan Malaysia. dan disambut baik oleh pemimpin negara tersebut. Kepentingan nasional Indonesia di era Suharto adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dalam konteks Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Pembangunan di sini dibedakan menjadi pembangunan material yang dicapai melalui program kerja sama dengan negara maju di bidang: perdagangan, investasi, dan pengembangan industri, berikutnya pembangunan spiritual yang meliputi upaya membangun dan mempertahankan; kemandirian, kedaulatan, kemerdekaan, budaya nasional dan nilai-nilai tradisional.2 Dalam hal ini, pembangunan nasional diformulasikan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Haluan negara ini berfungsi memberi arah kepada kebijakan nasional selama lima tahun3, agar kebijakan nasional yang dipilih dan dilakukan sejalan dengan arah pembangunan Gordon Hein, “Basic Principal of Indonesia Foreign Policy,” dalam Soeharto’s Foreign Policy: SecondGeneration Nationalism in Indonesia, (Berkeley: Department of Political Science, University of California, 1986), hlm. 4. 3 Ibid., hlm. 8. 2
nasional yang dimaksud.
3. B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono di Era Orde Reformasi Adapun tantangan global yang dihadapi PresidenPresiden Indonesia di era reformasi adalah melawan radikalisme atau terorisme. Sejumlah umat Islam Indonesia sengaja pergi ke daerah konflik seperti: Afganistan, Mindanao (Filipina Selatan), Palestina, Pakistan. Kepergian mereka ada yang bermotif politik/militer dan adapula yang bermotif kemanusiaan. Setelah pulang ke Indonesia, sebagian dari mereka memanfaatkan pengalamannya militernya di luar negeri sesuai dengan kepentingannya. Kondisi sosial politik, sosial ekonomi, dan sosial budaya, di tanah air dalam pemahaman mereka merugikan umat Islam. Pengalaman batin selama di daerah konflik mendorong sikap anti AS karena dinilai bertanggungjawab atas kesengsaraan umat Islam, sebaliknya timbul empati kepada umat Islam di daerah konflik. Situasi kejiwaan yang tidak puas dan marah ini memperoleh dukungan dari luar negeri misalnya dari ahli perancang bom Malaysia yaitu Dr. Azhari dan dan ahli indoktrinasi bernama Nurdin M. Top. Akibatnya, terjadi aksi teror di Indonesia dengan kuantitas dan kualitas daya hancur yang tinggi yaitu mulai dari aksi bom Bali sampai dengan aksi-aksi bom di Jakarta. Pemerintah merespon aksi teror ini dengan mendirikan Densus 88 anti terror. Densus 88 dibentuk untuk mengkonter aksi teror dan mendeteksi sel-sel terorisme di masyarakat. Dengan kelebihan dan kekurangannya, Densus 88 cukup berhasil melakukan misinya karena bisa melumpuhkan Dr. Azhari dan Nurdin M. Top, walaupun ini bukan sama sekali menghilangkan teror di Indonesia. Pemerintah Indonesia juga memberi hukuman berat bagi pelaku teror yaitu hukuman mati dikenakan bagi Imam Samudra dan Amrozi. Sayangnya langkah-langkah tegas Pemerintah Indonesia berhasil mengurangi aksi teror di Indonesia, tetapi tidak menghilangkan akar persoalan sama sekali karena masih ada aksi-aksi teror oleh jaringan teror baru. Kepentingan nasional Indonesia di era reformasi ini adalah pemulihan ekonomi nasional dan mengamankan serta melindungi Sosok Presiden Ideal ... | Siswanto | 5
masyarakat dari terorisme. Presiden Habibie mencoba mengembangkan kerja sama ekonomi dengan Eropa khususnya dengan Jerman. Habibie menghidupkan kembali forum kerja sama ekonomi Indonesia-Jerman (ECONID) yang sebenarnya sudah ada sejak era kolonial. Upaya ini mendorong ECONID cukup marak kegiatannya karena Presiden pertama di era reformasi ini punya nama yang harum di Eropa khususnya di Jerman. Dia seorang ahli konstruksi pesawat terbang cukup menonjol di Eropa khususnya di Jerman. Habibie berhasil mendekatkan hubungan Indonesia-Jerman, sayangnya hal ini tidak berlanjut terus setelah beliau turun dari jabatan Presiden Indonesia. Sedangkan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur masa kepemimpinannya banyak dilakukan untuk melakukan diplomasi global untuk perbaikan ekonomi. Ini sebagai upaya memberi informasi kepada dunia tentang keadaan sosial ekonomi dan politik Indonesia yang terbaru karena reformasi di Indonesia banyak mendapat sorotan masyarakat internasional. Langkah Gus Dur ini juga untuk menarik investor dan kerja sama ekonomi dengan negara lain. Indonesia sebagai negara yang sedang melakukan pemulihan ekonomi memerlukan investor asing sebanyak mungkin. Kecenderungan ini akhirnya membuat para investor memang banyak yang menanamkan modalnya di Indonesia walaupun iklim investasi disini sebenarnya tidak begitu menguntungkan, karena masih ada kesan birokrasi dan regulasi di Indonesia belum siap untuk memikat investor asing agar menanamkan modalnya disini. Untuk mengimbangi kondisi yang demikian atau kondisi yang tidak menarik bagi investor, dibuatlah kebijakan liberalisme ekonomi. Kebijakan ini berdampak kepada lahirnya kelonggaran-kelonggaran kepada investor asing sehingga menimbulkan kritik di masyarakat bahwa Indonesia sekarang sudah terjebak pada rejim Neo-Liberalisme, yang lebih banyak menguntungkan investor asing. Pada tahun 2003 Presiden Megawati dan Presiden Bush menandatangani perjanjian kerjasama anti teror di Bali. Dalam pandangan AS, Indonesia adalah negara yang rawan dengan aksi terorisme karena beberapa ledakan bom terjadi di Indonesia misalnya Bom Bali tahun 20024 dan peristiwa bom lainnya di Hermawan Sulistyo, Bom Bali: Buku Putih tidak resmi Investigasi Teror Bom Bali, (Jakarta: 4
Jakarta maupun tempat-tempat lain. Pemerintah Indonesia dan AS punya kesamaan kepentingan untuk bekerja sama mengeliminir terorisme di Indonesia dan di dunia. Terorisme telah mengancam kelangsungan hidup masyarakat internasional sehingga perlu diatasi dengan segera dan bersama-sama. AS menetapkan Doktrin Bush sebagai rujukan untuk menghadapi terorisme. Yang salah satu butirnya adalah melumpuhkan lawan (teroris) terlebih dahulu sebelum mereka sempat menyerang, ini diterapkan ke Irak karena dicurigai negara ini punya kerja sama dengan jaringan teroris,5 tetapi pada periode kedua kepemimpinan Presiden Bush terjadi perubahan kebijakan counter of terror dari represif menjadi persuasif. Pemerintah AS-Indonesia melakukan kerja sama karena keduanya punya kepentingan yang sama dalam soal terorisme. AS punya kebijakan menanggulangi teroris, demikian pula Indonesia. Akhirnya, keduanya membangun kerja sama penanggulangan teroris yang dilakukan dalam bentuk saling tukar informasi dan pengalaman. Sedangkan, Presiden SBY berupaya meningkatkan hubungan bilateral Indonesia-AS yang ditandai oleh penandatanganan perjanjian Kemitraan Komprehensif (Comprehensive Partnership) tahun 2011. Perjanjian ini berisi sejumlah prinsip yang mengatur kerja sama di bidang perdagangan, investasi, lingkungan hidup, pendidikan, ilmu pengetahuan, keamanan, energi, dan politik. Perjanjian ini sangat luas cakupannya sesuai dengan “Payung Kerjasama” yang melingkupinya, tetapi bidang yang sudah mulai digarap adalah pendidikan, lingkungan hidup, keamanan, dan politik. Hal ini bisa dilihat dari kunjungan kapal perang AS ke Surabaya yang diisi dengan bantuan medis oleh awak kapal perang AS tersebut kepada masyarakat kurang mampu. Perjanjian ini mendorong Indonesia dan AS untuk sama-sama membangun stabilitas, keamanan, dan politik di Asia-Pasifik. Baik AS maupun Indonesia punya kepentingan yang sama untuk mewujudkan hal di atas. Bagi Indonesia kawasan yang aman penting bagi terlaksananya pembangunan nasional yang berkelanjutan, sedangkan bagi Pensil-324, 2002), hlm. 58. 5 “The Bush Doctrine: The Iraq War may only be the Beginning of One an Ambition American strategy to confront dangerous rejimes and expand Democracy in the world,” http://www.crf-usa.org/war-in-iraq/ bush-doctrine.html, diakses pada tanggal 11 Juni 2013.
6 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
AS kawasan yang aman penting untuk menjaga kepentingan jalur transportasi lautnya dan kepentingan ekonominya. Langkah-langkah ini bisa dilihat dari diselenggarakannya Jakarta Open Forum sejak tahun 2012 baik di Jakarta maupun di Washington DC. Acara ini semacam seri diskusi yang dihadiri pejabat dari AS dan masyarakat Indonesia untuk mendiskusikan berbagai isu strategis khususnya yang berada dalam tema payung Kemitraan Komprehensif.
Demokrasi dan Kepemimpinan Nasional Bursa Capres untuk Pilpres pada 9 Juli 2014 pada awalnya banyak dan dari beragam profesi, tetapi akhirnya hanya dua pasang calon Presiden dan Wakil Presiden yang berhasil lolos ikut Pilpres. Dua pasang capres dan cawapres itu adalah Prabowo Subianto/Hatta Rajasa dan Joko Widodo/Jusuf Kalla.
1. Capres dan Demokrasi Indonesia membuka kesempatan bagi semua warga negara untuk menjadi pemimpin nasional sejauh memenuhi ketentuan. Oleh karena, itu pada awalnya begitu banyak tokoh yang dicalonkan menjadi capres. P2P-LIPI melakukan survei pada bulan Mei 2013 untuk mengetahui potensi para capres tersebut. Hasil survei menunjukan dalam kategori tokoh popular, Rhoma Irama berada diurutan ke-3 dengan perolehan suara 89,2% dari yang tertinggi 93,2% yaitu Ketua Umum PDI-P Megawati, tetapi begitu masuk kategori elektabilitas tokoh, Rhoma Irama hanya mencapai urutan ke-6 dengan angka capaian 3.5 dari yang tertinggi 22.6 yaitu kader PDI-P Joko Widodo. Setelah mengerucut hanya ada dua capres/ cawapres, banyak tokoh dan partai politik melakukan perubahan strategi; semula partai itu mengusung kadernya sendiri, tetapi akhirnya mendukung tokoh dari partai lain. PKS, PAN, dan Golkar pada awalnya mencalonkan kadernya sendiri menjadi Presiden, tetapi akhirnya hanya mendukung Prabowo. PAN berhasil mengantar kadernya, Hatta Rajasa, menjadi cawapres mendampingi Prabowo. PPP sejak awal tidak mencalonkan kadernya menjadi Presiden, sempat mengalami konflik internal, tetapi akhirnya mendukung Prabowo.
Sejak awal, Partai Nasdem tidak terlalu jelas posisinya dalam bursa Pilpres 2014, dalam hal mencalonkan kadernya atau tidak, sedangkan di PKB berkembang isu mencalonkan Rhoma Irama, Mahmud MD dan Jusuf Kalla. Akhirnya Partai Nasdem mengusung Jusuf Kalla menjadi cawapres mendampingi Joko Widodo. Menjelang Pemilu, Presidential Threshold (PT) atau syarat minimum pencalonan Presiden menjadi polemik. PT menurut UU Pilpres yang berlaku adalah 20% dari komposisi kursi di DPR atau 25% suara sah nasional. PT ditolak oleh partai-partai kecil seperti Partai Hanura, PKS, Gerindra, PPP, dan PBB. Mereka sepakat mendukung revisi UU Pilpres, sebaliknya partai-partai besar menolak UU Pilpres seperti: PDI-P, Golkar, PAN, PKB, dan Demokrat.6 Bagi partai kecil, keberadan PT merupakan kebijakan inkonstitusional karena bertentangan dengan pasal 6 a UUD 1945 yang menyatakan bahwa partai politik peserta pemilu berhak mengajukan Presiden dan calon presiden. Dalam upaya hukum, Partai Bulan Bintang melalui Yusril Ihza Mahendra mengajukan judicial review terhadap pasal 3, 9, 14, 112 UU No. 42/2008 tentang Pilpres,7 tetapi pada 20 Maret 2014 MK melalui diktumnya menolak upaya hukum tersebut. Dengan demikian, PT tetap berlaku seperti semula. (Lihat Tabel 1). Pada Pileg 9 April 2014 tidak ada satu partai pun yang mencapai angka Presidential Threshold. PDI-P sebagai partai yang berhasil meraih suara terbanyak berkoalisi dengan partai-partai lain guna menyukseskan capres/ cawapresnya yaitu Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Sedangkan, Golkar partai yang memperoleh suara terbanyak kedua bergabung dengan Gerindra untuk mendukung capres/ cawapres dari partai ini yaitu Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.
2. Kriteria Kepemimpinan Masyarakat perlu menyandingkan capres Pilpres Jamal Wiwoho, “Presidential Threshold: ya atau tolak, http://www.koran-sindo.com/node/333149, diakses pada tanggal 13 Juni 2013. 7 Desk Informasi, “Tolak Batalkan Presidential Threshold, Ketua MK: Diktum Gugatan Yusril tidak tepat”, http://www.setkab.go.id/berita-12511-tolakbatalkan-presidential-threshold-ketua-mk-diktumgugatan-yusril-tidak-tepat.html, diakses pada tanggal 13 Juni 2013. 6
Sosok Presiden Ideal ... | Siswanto | 7
Tabel 1. Rekapitulasi Jumlah Perolehan Suara Parpol dan Kursi di DPR dalam Pemilu Legislatif 20148
Sumber: Keputusan KPU No. 411/Kpts/KPU/2014
2014 dengan konsep kepemimpinan yang ada pada bagian sebelumnya. Jika Indonesia ingin mampu menjawab tantangan global, capres yang dipilih sebaiknya punya watak dan nilainilai yang mencerminkan seorang pemimpin yang kuat dan cerdas seperti yang terkandung dalam paham pemikiran yang dianut oleh kaum Realis. Pada waktu yang bersamaan capres yang bersangkutan juga mampu memberi ketauladanan yang baik atau memperhatikan aspek-aspek norma dan etika yang berlaku di masyarakat, seperti yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara. Selain dari itu, dia juga mampu memberi motivasi kepada bawahannya bahkan memberi motivasi kepada rakyat Indonesia maupun masyarakat internasional.8 Capres yang relevan tampil berdasarkan kriteria di atas adalah capres yang mampu memimpin dengan efektif sehingga punya dukungan luas secara nasional. Kepemimpinan demikian bisa terlaksana jika ada watak yang tegas, kuat, berwibawa, dan punya rekam jejak yang baik, artinya tidak pernah melanggar hukum maupun norma. Terkesan kriteria ini hanya menjaring capres yang terlalu ideal, tetapi capres yang demikian memang yang paling tepat untuk memimpin Indonesia ke Keputusan KPU No. 411/Kpts/KPU/2014 tentang Rekapitulasi Hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD tk. I, DPRD tk II dalam Pemilu 2014, http:// www.kpu.go.id/koleksigambar/952014_Penetapan_ Hasil_Pileg.pdf, diakses pada tanggal 12 Juni 2013. 8
depan. Partai politik seharusnya memberi jalan kepada tokoh-tokoh yang punya kriteria demikian. Bahkan partai-partai politik seharusnya berupaya mencari tokoh-tohoh yang punya kriteria demikian untuk diusung menjadi capresnya. Sayangnya tokoh-tokoh yang punya criteria demikian justru tidak terpanggil untuk terjun ke bursa capres dalam Pilpres mendatang. Jika tampil capres yang punya kepemimpinan efektif maka capres bersangkutan jika terpilih mampu memimpin kawasan yang melingkupi Indonesia atau kawasan terdekat. Capres tersebut jika menjadi Presiden Indonesia mampu memimpin negara-negara di kawasan terdekat khususnya ASEAN karena Indonesia secara tradisional menjadi pemimpin dari organisasi regional yang sudah berdiri sejak tahun 1967 ini. Konsekuensinya, capres itu juga punya kemampuan memimpin di tingkat global, walaupun ini tidak mudah karena masih perlu memperhitungkan kekuatan nasional. Indonesia saat ini sudah menjadi bagian dari organisasi di tingkat global seperti G-20, Gerakan Non Blok, PBB dengan sejumlah sub organisasi yang berada di bawahnya yaitu: WHO (World Health Organization), ILO (International Labour Organization), FAO (Food and Agriculture Organization), UNESCO (United Nations Education Scientific and Cultural Organization), IMF (International Monetary Fund), WFP
8 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
(World Food Programme), WHO (World Health Organization), IMO (International Maritime Oranization), dan IAEA (International Atomic Energy Organization).9
Pemimpin yang Mampu Menjawab Tantangan Global Capres dalam Pilpres 2014 punya tantangan di tingkat regional maupun global. Kemampuan diplomasi sangat penting untuk menjawab tantangan tersebut. Oleh karena itu, kemampuan diplomasi ini ada baiknya menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukan pilihan dalam Pilpres tersebut.
1. Diplomasi Global dan Regional Di era globalisasi, kepala negara yang punya kemampuan diplomasi menguntungkan negara tersebut dalam interaksinya di dalam sistem internasional. Posisi seorang kepala negara adalah strategis. Kepala negara lebih berkuasa, dibandingkan Menteri Luar Negeri atau para diplomat. Komunikasi langsung yang dilakukan kepala negara lebih efektif mempengaruhi arah kebijakan luar negeri. Sejumlah forum jadi ajang diplomasi. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) merupakan ajang perjuangan kepentingan nasional suatu negara, misalnya saja KTT ASEAN, KTT G-20, KTT APEC, KTT NonBlok. Kecakapan diplomasi kepala negara di forum internasional sangat menentukan upaya memperjuangkan kepentingan nasionalnya atau menjadi ukuran pengaruh negara yang bersangkutan. Jika Indonesia ingin punya kontribusi atas tantangan global, kemampuan diplomasi seorang Presiden sangat diperlukan. Sehubungan dengan hal itu, capres Pilpres 2014 idealnya punya kemampuan diplomasi di forum global. Bagaimana mungkin Indonesia bisa menjawab tantangan global jika pemimpinnya tidak punya kemampuan diplomasi yang memadai. Oleh karena itu, capres dalam Pilpres 2014 mendatang hendaknya punya kemampuan bernegosiasi dengan pihak lain. Memang sesuatu yang tidak mudah untuk mengukur dan mengetahui calon yang punya kemampuan di bidang itu. Oleh Structure and Organization UNO”, http://www. un.org/en/aboutun/structure/index.shtml, diakses pada tanggal 13 Juni 2013. 9
karena itu, masyarakat perlu menyuarakan hal ini sejak jauh-jauh hari sebelum Pilpres 2014 agar capres yang tampil kelak punya kriteria yang diharapkan seperti tersebut di atas. Capres tersebut juga diisyaratkan punya pengalaman dalam masalah-masalah atau tantangan global. Dengan pengalaman, capres yang bersangkutan jika kelak terpilih menjadi Presiden Indonesia dan berada di tengah-tengah forum internasional sudah tidak canggung lagi, bahkan sudah lebih mudah untuk ikut menyelesaikan masalahmasalah global, khususnya yang menyangkut kepentingan nasional Indonesia. Jadi, Presiden terpilih bisa memberi kontribusi nyata kepada tantangan global dan regional.
2. Kepentingan Nasional Versus Kepentingan Global Banyak negara di dunia punya kepentingan di Indonesia dan sekitarnya. Kategori kepentingan itu bisa dalam kategori kepentingan politik, keamanan, ekonomi dan lainnya. Dari segi ekonomi, Indonesia negara yang kaya dengan sumberdaya alam sehingga negara lain punya kepentingan di Indonesia. Negara, seperti Jepang dan Cina, sangat berkepentingan untuk membeli gas alam cair dari Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia yang padat membuat Cina mendekati Indonesia karena punya kepentingan pasar untuk produk-produk industrinya. Selanjutnya, AS punya kepentingan keamanan di wilayah Indonesia dan sekitarnya. AS perlu akses untuk dapat melewati wilayah perairan Indonesia bagi jalur transportasi kapal-kapal perangnya yang melakukan perjalanan antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Selat Lombok dan Selat Karimata merupakan jalur pelayaran yang kerap digunakan oleh kapal-kapal AS. Sebaliknya, Indonesia juga punya kepentingan nasional yang perlu dikawal dan diperjuangkan di forum internasional. Di bidang ekonomi, Indonesia berkepentingan menjaga pasar bagi produk industri dalam negerinya agar tidak gulung tikar karena tak mampu bersaing dengan produk-produk Cina. Namun demikian, Indonesia sebagai anggota ASEAN sudah menandatangani kesepakatan perdagangan bebas dengan Cina atau CAFTA (CinaASEAN Free Trade Area). Penandatanganan ini dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan tidak dilakukan kajian yang mendalam dan mendengar pendapat dari industri kecil Sosok Presiden Ideal ... | Siswanto | 9
dan menengah terlebih dahulu. Produk Cina membanjiri pasar Indonesia yang terdiri dari beragam produk: ikat pinggang, alat tulis kantor, senter, perkakas rumah tangga, kosmetik, obatobatan, mie instan, sampai dengan mainan anak-anak. Hal ini membuat industri yang menghasilkan produk serupa di Indonesia tak mampu bersaing karena produk Cina harganya lebih murah. Industri kecil di Cina bisa menekan ongkos produksinya karena adanya dukungan signifikan dari pemerintahnya di sektor permodalan maupun pemasaran, sedangkan pemerintah Indonesia bersikap sebaliknya yaitu tidak memberi dukungan yang signifikan kepada industri kecil dan menengah, baik dari segi permodalan maupun pemasaran. Sikap Cina memproteksi industri kecil dan implisit menutup impor sudah jadi rahasia umum. AS sering memprotes kebijakan pemerintah Cina ini karena membuat neraca perdagangannya rugi, sedangkan pemerintah Indonesia diam saja, seolah-olah memberi kesempatan kepada produk Cina untuk menguasai pasar Indonesia dan menonton industri kecilnya bangkrut satu persatu. Ini dilakukan agar terkesan Indonesia adalah negara yang konsisten dengan perdagangan bebas, sebaliknya tidak perduli dengan nasib industri kecilnya yang “menjerit”. Fenomena di atas menggambarkan bahwa industri kecil menjadi korban dari konflik kepentingan ekonomi. Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden SBY sebagai puncak pimpinan nasional tidak berusaha melindungi industri kecil dan menengah di dalam negeri dengan sungguh-sungguh. Kesulitan yang dialami industri kecil dan menengah tidak terjadi jika pemerintah dalam hal ini Presiden bersikap tegas melalui Kemenperindag Indonesia. Pemerintah melindungi pengusaha kecil dan menengah tertent dan memang layak diberi proteksi, karena ini memang dimungkinkan dalam ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA). Sikap tidak tegas dan ingin mendapat pencitraan di dunia internasional merugikan industri kecil dan menengah dalam negeri Indonesia, sebaliknya menguntungkan pihak asing (Cina). Pertanyaan kritisnya, mengapa harus mentolerir pihak asing dan mengorbankan rakyat sendiri?, bukankah, filosofinya pemimpin itu melindungi rakyatnya?.
3. Manajemen Keseimbangan Kepentingan Tantangan yang dihadapi oleh Presiden Indonesia di masa depan adalah mengelola konflik dan menjaga keseimbangan antara kepentingan nasional dan kepentingan global. Seorang Presiden perlu menyadari bahwa kepentingan nasional tetap prioritas, tetapi tetap menghormati kepentingan pihak lain. Kesadaran semacam ini diperlukan di saat Indonesia dihadapkan pada perbedaan kepentingan atau konflik kepentingan dengan kepentingan global. Faktanya, saat ini pemerintah Indonesia seringkali bersikap lemah jika dihadapkan pada desakan kepentingan global atau regional. Lihat saja sikap Indonesia dalam isu perdagangan bebas dan hak paten di WTO dan pasar bebas ASEAN-Cina (ACFTA). Sebagai pembanding, Cina adalah negara yang cerdik, di forum WTO negara ini tidak mau patuh begitu saja atas isu hak paten dan perdagangan bebas karena ingin melindungi kepentingan industrinya, tetapi di forum ACFTA negara ini mampu mendorong Indonesia dan negara ASEAN lainnya patuh pada isu perdagangan bebas. Akibatnya, produk-produknya leluasa membanjiri pasar Indonesia maupun ASEAN dan pengusaha nasional Indonesia satu-persatu bangkrut. Kesimpulannya pemerintah Cina berani melindungi industrinya, walaupun harus dikecam masyarakat internasional. Pemerintah Indonesia tidak berani melindungi rakyatnya, tetapi diberi “tepuk tangan” oleh masyarakat internasional. Di samping itu, Presiden Indonesia di masa mendatang harus mampu melindungi kepentingan nasional dari aspek ipoleksosbud. Dari aspek ideologi dan politik, Presiden mendatang idealnya seorang yang mampu mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara. Pancasila memiliki fungsi sebagai pandangan hidup dan dasar negara, tetapi bukan sebagai alat kepentingan Pemerintah seperti di jaman Orde Baru. Pancasila sebagai pandangan hidup maka multikulturalisme adalah suatu keniscayaan. Pancasila berpegang pada Bhinneka Tunggal Ika yang memberi ruang kepada nilai-nilai pluralisme. Masyarakat Indonesia hidup berdampingan secara damai dan saling menghormati. Dalam konteks politik, Pancasila menjadi sesuatu etika politik yang mendasari perilaku para politisi. Pancasila diperjuangkan agar menjadi sumber hukum dari produk-produk hukum baik yang dihasilkan
10 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
oleh lembaga legislatif maupun eksekutif. Produk hukum diera reformasi belum merujuk pada Pancasila sebagai landasan filosofis bangsa Indonesia. Artinya, Pancasila sebagai elemen dasar perumusan segala produk hukum dan etika di Indnesia. Karena mengabaikan hal tersebut, banyak undang-undang yang diuji materi dan dibatalkan oleh MK. Selanjutnya secara politik, ideologi Pancasila diharapkan menjadi pelindung masuknya pengaruh nilai-nilai politik asing yang tidak sejalan dengan kepribadian Indonesia. Misalnya saja sistem pemerintahan yang dianut Indonesia pada era reformasi adalah sistem presidensial, tetapi pada kenyataan kehidupan politiknya lebih bercorak sistem parlementer khususnya demokrasi liberal. Kehidupan politik diwarnai oleh koalisi partai-partai berkuasa, partai oposisi, dominasi parlemen, transaksi/ kompromi politik. Di lain pihak, demokrasi Pancasila yang bercirikan gotong royong dan kekeluargaan dalam proses politik sebenarnya lebih relevan dengan kultur bangsa Indonesia. Ironisnya tatanan politik ini malah diabaikan oleh para politisi sekarang karena dianggap identik dengan Orde Baru. Sesungguhnya, politisi perlu memberi tafsir baru terhadap Pancasila yang lebih relevan dengan masa kini. Yang perlu diperjuangkan oleh Presiden terpilih pada Pilpres 2014 dalam konteks menghadapi globalisasi adalah menjadikan Pancasila sebagai rujukan perilaku politisi dan sistem politik nasional. Dalam konteks ekonomi, perdagangan bebas tentu saja bisa diakomodir sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Sikap komitmen kepada perdagangan bebas adalah baik, tetapi jika tidak disertai kesiapan yang serius oleh negara justru akan mematikan industri kecil dan menengah, khususnya jika banyak produk yang sejenis dengan produk dalam negeri masuk ke pasaran domestik. Hal ini menimbulkan konflik kepentingan antara berkomitmen kepada perdagangan bebas atau melindungi produk dalam negeri. Jika terjadi konflik kepentingan seperti ini, seorang Presiden diharapkan jelas keberpihakannya kepada siapa. Presiden bisa melakukan langkah strategis dengan meminta menteri-menteri terkait untuk melakukan negosiasi ulang dengan negara lain yang produk-produknya membanjiri pasar domestik.
Setidaknya, upaya mengkompromikan kepentingan nasional dan kepentingan global merupakan upaya bertanggungjawab seorang pemimpin yang bijak. Kepentingan nasional tercermin dari aspirasi pengusaha kecil dan menegah yang produknya tersaingi oleh produk negara asing. Kepentingan global tercermin dari isu perdagagan bebas yang ingin menguasai pasar Indonesia. Hal yang hakiki dari seorang kepala negara adalah menjaga keseimbangan antara kepentingan nasional dan kepentingan global. Indonesia kedepan sebaiknya dipimpin oleh seorang kepala negara yang bersedia menegosiasikan kepentingan negara yang sudah disepakati dan menolak kepentingan negara lain jika dipandang merugikan kepentingan nasional. Namun, renegosiasi dan penolakan kepentingan negara lain ini didasarkan pada semangat menghormati dan menjaga hubungan baik dengan negara lain, bukan penolakan yang semena-mena. Negara yang mengklaim tatanan politiknya demokrasi, kepentingan nasional atau kepentingan rakyat seharusnya diutamakan. Azas demokrasi adalah kekuasan di tangan rakyat karena dalam kampanye seorang kandidat Presiden minta kepada rakyat agar mendukung dirinya. Oleh karena itu, ketika kandidat Presiden tadi sudah menang atau sudah menjadi Presiden giliran rakyat yang meminta perhatian. Disini, hak-hak dasar rakyat dan kepentingannya harus dipenuhi, dijaga dan diperjuangkan. Kalau ada negara yang mengklaim sistem politiknya demokrasi, tetapi Presidennya tidak memperjuangkan hakhak dasar dan kepentingan rakyatnya, maka perlu dipertanyakan apakah negara itu memang demokrasi dalam arti yang sesungguhnya atau hanya demokrasi semu. Dengan kata lain, kepentingan nasional merupakan refleksi kepentingan rakyat. Memperjuangan kepentingan nasional berarti memperjuangan kepentingan rakyat. Prinsip di atas berpijak pada pemahaman bahwa eksistensi suatu negara harus ada tiga komponen yaitu rakyat, wilayah, dan kedaulatan. Dengan demikian, keberadaan rakyat sifatnya strategis atau mutlak. Karena sifatnya strategis, maka logis jika kepentingannya mendapat perhatian khusus di dalam suatu negara. Disini yang dimaksud kepentingan rakyat adalah
Sosok Presiden Ideal ... | Siswanto | 11
kepentingan mayoritas penduduk negeri, bukan kepentingan elit saja. Dalam hal ini, sikap elit justru memfasilitasi kepentingan rakyat tersebut, karena rakyat berdaulat atas arah kebijakan yang ditempuh oleh para elit khususnya elit politik. Tidak boleh sebaliknya, elit politik justru memanfaatkan rakyat untuk kepentingannya sendiri, elit memperkaya dirinya sendiri dan mengabaikan rakyat yang telah memilihnya atau mengantarkannya kepada panggung politik.
Penutup Sejarah kepemimpinan nasional Indonesia telah menunjukan bahwa Presiden-Presidennya di masa lalu telah menunjukan kontribusi pada dunia sesuai tantangan dan jamannya masing-masing. Dimulai dari Era Orde Lama, kepemimpinan nasional didominasi oleh Presiden Sukarno sehingga kebijakan luar negeri Indonesia yang berciri high profile tidak lepas dari pengaruh Sukarno. Era Orde Baru kepemimpinan nasional didominasi oleh Presiden Suharto karena itu kebijakan luar negeri Indonesia yang low profile10 juga tidak lepas dari pengaruh Suharto. Era Orde Reformasi kekuasaan dari pemimpin nasional didistribusi kepada pemimpin lembaga tinggi negara dan demokrasi dikawal ketat oleh rakyat sehingga seorang Presiden tidak lagi terlalu dominan dalam kehidupan politik. Di antara Presiden-Presiden di era ini adalah Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati, dan SBY. Setiap Presiden tersebut di atas memberi kontribusinya sesuai dengan tantantan dan zamannya. Sukarno memberi kontribusi kepada terciptanya solidaritas negara-negara AsiaAfrika atau negara-negara berkembang. Suharto memberi kontribusi kepada tercipta stabilitas dan keamanan Asia Tenggara khususnya melalui ASEAN. Presiden-Presiden di Era Reformasi Low profile sering digunakan untuk menggambarkan kebijakan Indonesia di era Soeharto yang cenderung hanya sibuk memberi perhatian pada persoalan domestik ( inward looking). Soeharto pada waktu itu lebih fokus melakukan penataan Indonesia di dalam negeri atau melakukan pembangunan nasional.Hal ini bisa dipadankan dengan kebijkan AS yang disebut kebijakan introversi. Kebijakan introversi AS terjadi pada era Presiden Clinton yang focus melakukan recoveri ekonomi yaitu menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri. 10
memberi kontribusi kepada dunia dengan cara membantu terwujudnya keamanan global melalui kerjasama pemberantasan terorisme dan mendorong terciptanya perdagangan internasional yang bebas dan meminimalisir hambatan-hambatan yang ada dalam sistem perdagangan internasional, terlepas dari kenyataan bahwa hal ini membawa ekses yang tidak menguntungkan kepada industri kecil di dalam negeri. Oleh karena itu, rakyat Indonesia melalui Pilpres 2014 diharapkan memilih seorang capres yang mampu berkontribusi terhadap tantangan regional maupun global. Dalam hal ini, pemimpin yang mampu berkontribusi adalah pemimpin yang sesuai dengan kriteria yang disampaikan pada bagian sebelumnya. Kriteria yang dimaksud adalah 1). Berkepribadian kuat dalam arti seorang yang bersifat teguh dalam pendirian, punya prinsip dan keyakinan yang dipegang dengan erat, namun tetap terbuka bagi kebenaran yang datang dari luar 2). Punya tingkat kecerdasan di atas rata-rata sehingga mampu mengidentifikasi, merumuskan, menyimpulkan dan menyelesaikan masalah secara tepat dan akurat. 3). Menjunjung moral dan etika, termasuk di dalamnya mampu memberi ketauladanan yang baik dan mampu memotivasi serta mengontrol organisasi secara efektif. Sejalan dengan hal itu, rakyat Indonesia melalui Pilpres 2014 diharapkan memilih seorang capres yang mampu menyeimbangkan kepentingan global dan kepentingan nasional. Globalisasi merupakan sesuatu keniscayaan yang melanda dunia termasuk Indonesia sehingga kehadirannya perlu diantisipasi. Yang perlu digarisbawahi, kehadiran globalisasi jangan sampai menjadi masalah yang tidak terpecahkan dengan baik, oleh karena itu sebaiknya pimpinan Indonesia di masa datang mampu mengubah masalah globalisasi menjadi tantangan yang mampu dipecahkan dengan baik. Indonesia jangan sampai berada dalam cengkraman globalisasi atau hanya menjadi ajang target kepentingan negara-negara lain, tetapi Indonesia jangan pula anti globalisasi karena dengan demikian Indonesia berarti anti terhadap masyarakat internasional dan mengisolir diri dari pergaulan internasional. Kepentingan nasional merupakan pijakan seorang Presiden Indonesia dalam menyikapi
12 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
perkembangan globalisasi. Prinsip ini diperlukan agar perkembangan globalisasi tidak sampai merugikan kepentingan nasional Indonesia atau merugikan kepentingan rakyatnya. Seorang Presiden Indonesia idealnya mampu memanfaatkan perkembangan globalisasi untuk kepentingan nasionalnya sedemikian rupa agar globalisasi justru menguntungkan Indonesia atau memberi manfaat kepada rakyat. Hal itu bisa dilakukan jika Presiden Indonesia punya pengaruh untuk mendorong para pihak di forum internasional agar mengambil keputusan sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia.
Daftar Pustaka Buku Gordon Hein. 1986. “Basic Principal of Indonesia Foreign Policy” dalam Soeharto’s Foreign Policy: Second-Generation Nationalism in Indonesia. Berkeley: Department of Political Science, University of California. Hermawan Sulistyo. 2002. Bom Bali: Buku Putih tidak resmi Investigasi Teror Bom Bali. Jakarta: Pensil-324. Huntington, Samuel P. 2002. The Clash of Civilization. London: The Free Press. Ide Anak Agung Gde Agung. 1973. Twenty Years Indonesian Foreign Policy 1945-1965. Paris: Mouton & Co. Morgentahu J. Hans. 1978. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. New York: Alfred A. Knpf. ---------------- “The Structure and Process of Foreign Policy Making.”Soehartos Foreign Policy: Second-Generation Nationalism in Indonesia.Department of Political Science. University of Califirnia, Berkely.
Surat Kabar dan Website Aulia Rachma. 2012. “Kepemimpinan Ideal menurut Ki Hajar Dewantara”. http: kompasiana.com. Desk Informasi. 2013. “Tolak Batalkan Presidential Threshold, Ketua MK: Diktum Gugatan Yusril tidak tepat”. http://www. setkab.go.id/berita-12511-tolak-batalkanpresidential-threshold-ketua-mk-diktumgugatan-yusril-tidak-tepat.html. Keputusan KPU No. 411/Kpts/KPU/2014 tentang Rekapitulasi Hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD, tgk I DPRD tk II dalam Pemilu 2014. http://www.kpu.go.id/ koleksigambar/952014_Penetapan_Hasil_ Pileg.pdf. “Marzuki Usulkan Syarat Usung Capres Diturunkan Jadi 15 persen”. http://www. aktual.co/politik/190718marzuki-usulkansyarat-usung-capres-diturunkan-jadi-15perse. Structure and Organization UNO. http://www. un.org/en/aboutun/structure/index.shtml. The Bush Doctrine: The Iraq War may only be the Beginning of One an Ambition American strategy to confront dangerous rejimes and expand Democracyin the world. http://www.crf-usa.org/war-in-iraq/bushdoctrine. “Oma Irama Capres”.2013. Majalah Tempo, Edisi April. “Sapi Berjanggut.” 2013. Majalah Tempo, Edisi April.
Jurnal Athiqah Nur Alami. 2011. “Profil dan Orientasi Kebijakan Luar Negeri Indonesia Pasca Orde Baru.” Jurnal Penelitian Politik 8(2). Novotny, Daniel. 2004. “Indonesia Foreign Policy’s: in Quest for the Balance of Threat.” Faculty of Art and Social Science. University of New South Wales.
Sosok Presiden Ideal ... | Siswanto | 13
14 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
POLITIK PERSUASIF MEDIA: PERAN MEDIA DALAM PEMILU PRESIDEN INDONESIA 2001-2009 MEDIA AND POLITICAL PERSUASION: THE ROLE OF MEDIA IN INDONESIA PRESIDENTIAL CAMPAIGN 2001-2009 Wasisto Raharjo Jati Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 15 Juli 2013; direvisi: 28 Agustus 2013; disetujui: 4 Desember 2013 Abstract This article aims to analyze the role of media in the constellation of presidential elections in Indonesia during 2001-2009. Media in the post- reform era itself have been showed the dilemma between supporting democracy, even though on the other side trying to identify them on political power. In many ways, the media showed a strong dependency relationship with the patronage of political economy. The emergence of political journalism has been manifested in propaganda machine to convey the message as well as a political message to the public. This article will elaborate media dilemma in the transition to democracy in Indonesia. Keywords: media persuasion, media conglomerate, political campaign, & political journalism Abstrak Tulisan ini bertujuan menganalisis tentang peran media dalam konstelasi pemilu presiden Indonesia selama 2001-2009. Pada masa reformasi, media sendiri telah menunjukkan posisi dilematis dalam mendukung demokrasi, bahkan berupaya mengidentifikasi sebagai aktor politik. Dalam beragam cara, media menampilkan adanya relasi ketergantungan kuat dengan patronase ekonomi politik. Hadirnya jurnalisme politik sendiri kemudian berwujud dalam mesin propaganda yang bertujuan menyampaikan pesan politik kepada publik. Tulisan ini akan mengelaborasi lebih lanjut mengani dilema media dalam proses transisi demokrasi di Indonesia. Kata Kunci: persuasif media, konglomerasi media, kampanye polittik, dan jurnalisme politik
Pendahuluan Membincangkan relasi antara media dengan ranah politik adalah relasi yang dilematis. Hal ini dikarenakan sikap pemberitaan media yang tidak sepenuhnya netral dari intervensi politik maupun patronase kapital1. Tentunya ini sesuatu yang paradoksal mengingat media merupakan pilar keempat dalam demokrasi setelah lembaga triaspolitika. Media seharusnya berperan sebagai anjing pengawas (watchdog) dalam kekuasaan sehingga terciptalah check and balances dalam negara dan masyarakat. Pengawasan media
tersebut terkait dengan fungsi sentralnya sebagai korelasi sosial (social correlations) memandu publik dalam menerjemahkan berbagai realitas hiruk-pikuk kehidupan berbangsa dan bernegara ke dalam konsumsi informasi baik cetak dan elektronik. Maka, media di sini berkuasa atas pengetahuan publik melalui framing teks dan gambar sehingga menjadi rujukan utama publik dalam membentuk opini mereka terhadap jalannya pemerintahan. Informasi menjadi kata kunci yang menautkan relasi media dengan politik melalui pembentukan opini publik atas pemberitaan tersebut.
1 Daniel Dhakidae, the State, the Rise of Capital and the fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry (Madison: University of Wisconsin-Madison Press, 1992). 1
Politik Persuasif Media ... | Wasisto Raharjo Jati | 15
Preferensi pemilih dalam pemilu bukanlah ditentukan oleh seberapa besar kampanye dilakukan oleh partai atau kandidasi yang bersangkutan, tetapi seberapa besar informasi yang mereka dapatkan. Dalam hal ini, media melakukan politik persuasif terhadap pemilih melalui pendekatan daily politics yakni menginformasikan berita politik sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat secara efektif dan efisien. Masyarakat pada dasarnya tidak menyukai pemberitaan yang panjang, tetapi cukup menerima secara instan informasi yang publik dapatkan sehingga menjadi nilai dalam pola pikir bersama. Maka melalui sosialisasi yang dilakukan secara kontinu oleh media akan membentuk nilai-nilai afinitas dan afeksitas pemilih terhadap kandidat maupun partai dalam event pemilu. Nilai-nilai yang diterima pemilih dari media tersebut merupakan bentuk by product dan by design yang dikonstruksikan media. Artinya terjadi proses transfer nilai dari media kepada pemilih melalui sosialisasi tersebut. Adapun pembentukan nilai-nilai itulah yang sejatinya rawan dipolitisasi pihak tertentu. Besarnya pengaruh persuasif media tersebut yang justru menempatkan media dalam posisi rentan ketika dihadapkan pada nalar politik. Dalam hal ini ada dua hal yang membuat media rentan terhadap politik sekaligus menjadi distorsi media sebagai watchdog tersebut. Pertama, eksistensi media sangatlah tergantung dengan kucuran modal yang masuk khususnya pendapatan iklan maupun investasi pemilik media. Kondisi tersebut bepengaruh pada pembiayaan media dalam mencari berita dan mengemasnya menjadi sebuah informasi berita yang diterima masyarakat. Harus diakui sangatlah mahal biayanya untuk mendirikan sebuah biro media baik itu media cetak maupun elektronik. Adapun biaya mendirikan televisi sendiri membutuhkan dana mencapai 600 milyar rupiah meliputi biaya siaran studio serta operasional di lapangan mencapai 40 juta rupiah per siaran, biaya sewa satelit USD 300 ribu, dan biaya menggaji karyawan sendiri mencapai USD 1,62 juta per tahun. Sementara biaya mendirikan penerbitan koran sendiri mencapai 100 milyar untuk 1000 tiras yang sudah meliputi biaya cetak maupun biaya redistribusinya di tingkat agen maupun pengecer. Besarnya biaya operasional tersebut merupakan bentuk entry to barrier terhadap berkembangnya pemain lainnya karena sifatnya yang padat modal
sehingga persaingan di tingkat bisnis media tidaklah terlalu kompetitif2. Meskipun biaya operasionalnya tinggi, sharing profit untuk mendapatkan pendapatan iklan sangatlah besar yakni mencapai 16 triliun. Secara lebih lengkap dari data Media Scene, porsi iklan nasional yang terserap untuk TV pada 1995, 49,1% (dari total Rp 3,33 triliun); 1996, 53,2% (dari Rp 4,14 triliun); 1997, 52,6% (dari Rp 5,09 triliun); 1998, 58,9% (dari Rp 3,76 triliun); 1999, 61,4% (dari Rp 5,61 triliun); 2000, 62,31% (dari Rp 7,88 triliun); 2001, 61,7% (dari Rp 9,71 triliun); 2002, 60,3% (dari Rp 13,41 triliun). Sampai Mei 2013 lalu, billing iklan TV mencapai Rp 3,75 triliun. Diproyeksikan, tahun 2014 ini sekitar Rp 10 triliun akan menggelontori iklan TV. Besarnya porsi iklan yang diserap media layar kaca inilah yang membuat para pemilik modal terpincut. Apalagi, iklan TV diprediksi terus meningkat. Pasalnya, masyarakat lebih memilih TV sebagai sumber informasi termurah dibanding media lain. Penelitian menyebutkan, hampir 8 dari 10 orang dewasa di kota-kota besar menonton TV setiap hari. Maka semakin besarnya dana iklan yang masuk ke dalam media maka akan semakin pula berpengaruh kepada pemberitaan kepada pemirsa yang mengikuti alur agenda setting pengiklan tersebut. Adapun penyebab kedua yang membuat media begitu rentan terhadap intervensi politik adalah konflik kepentingan dengan pemilik media. Menurut Chomsky, politisasi media terjadi ketika pemilik media merambah ke dalam ranah politik praktis3. Dalam taraf inilah media yang sebenarnya berperan sebagai pencerah menjadi mesin propaganda yang efektif dalam merekonstruksi pengetahuan publik. Media hanyalah menjadi hasil rekonstruksi dan olahan para pekerja redaksi. Walaupun mereka telah bekerja dengan menerapkan teknikteknik jurnalistik yang presisi, pembingkaian atas pemberitaan tetap dilakukan dengan tujuan melindungi, mempopulerkan, bahkan mencitrakan politis pemilik media tersebut. Misalnya kasus penyebutan dikotomi lumpur Lapindo yang dilakukan oleh kelompok berita Eriyanto, “Konsentrasi Kepernilikan Media dan Ancaman Ruang Publik”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 12 No. 2, 2008, hlm. 130. 3 Noam Chomsky, Media Control: The Spectacular Achievement of Propaganda (Toronto: Open Media Books, 2011). 2
16 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Vivanews adalah bagian dari hal tersebut, bagaimana media dengan latah berusaha menjinakkan kritisisme publik dengan melempar wacana tandingan supaya posisi pemilik media tidak menjadi tersangka dalam ranah publik. Pembacaan atas relasi media dan pemilihan umum presiden di Indonesia sebenarnya tidak lepas dari narasi besar tersebut dimana posisi media yang tidak netral dalam politik. Kandidasi Pemilu Presiden pada tahun 2014 nanti akan lebih menarik dibandingkan pada pemilupemilu sebelumnya. Pertama, panggung Pilpres 2014 adalah panggung terbuka bagi semua kalangan karena secara konstitusional petahana kini absen sehingga berbeda kondisinya dengan 2004 ketika Megawati tampil sebagai petahana dan SBY tampil di Pemilu Presiden 2009 sebagai petahana. Kedua, Pemilu Presiden pada 2014 bisa dikatakan sebagai Pemilu Presiden yang krusial. Hal ini mengingat apakah estafet kepemimpinan Indonesia sendiri tetap berada di kalangan patronase kaum tua ataukah terjadi kepemimpinan kepada kaum muda dan calon alternatif lainnya. Maka pemberitaan akan terjadinya re-gerontokrasi (kembalinya kepemimpinan kaum muda) ataukah degerontokrasi (mengendurnya pengaruh kaum tua) tentu akan menjadi cawan media dalam mengkonstruksikannya. Apalagi sajian fakta yang menarik dalam Pemilu Presiden Indonesia pada 2014 mendatang adalah munculnya konglomerasi media yang kebetulan pemiliknya adalah figur-figur yang dikenal dalam survey presiden 2014 seperti Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Chairul Tanjung, Harry Tanoesoedibjo dan lain sebagainya. Adanya konglomerasi media dalam kancah pemilu presiden 2014 sekaligus titik krusial dalam memaknai media apakah stabil berperan sebagai anjing pengawas (watchdog) ataukah menjadi anjing penjaga (guard dog) yang berperan sebagai kompetitor atas calon lainnya dalam ruang pengetahuan publik melalui rekayasa politik (political crafting)4. Tentunya, sangatlah menarik mengelaborasi lebih lanjut mengenai relasi media dalam pemilu presiden di Indonesia. Terkait dengan hal tersebut, maka rumusan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian I Gusti Ngurah Putra, “Ketika Watchdog Dikuasai Para Juragan: Kontrol Penguasaha terhadap Media Massa”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 12 No. 2, 2008, hlm. 130. 4
ini adalah bagaimana konstruksi media dalam Pemilu Presiden dalam wujud konglomerasi media ?. Pertanyaan tersebut menjadi penting untuk dibicarakan dalam mengurai lebih lanjut media sebagai kampanye terselubung (hidden campaign) yang dikemas secara jurnalistik sebagai informasi sugestif kepada masyarakat.
Posisi Media dalam Politik dan Pemilu Dalam memberitakan sebuah informasi politik, terdapat tiga kecenderungan ideologis yang dimiliki media yakni 1) sikap konservatif atau pro status quo, sikap ini terlihat pada peliputan atau pemberitaan tentang liputan yang mengedepankan kisah kesuksesan rezim petahana atau kisah mantan pejabat selama menduduki tampuk kekuasaan yang ingin maju dalam pemilu, tetapi tidak diimbangi dengan kritikan atas segala kekurangannya. 2) sikap progresif, pemberitaan media diarahkan kepada perubahan rezim atau melakukan reformasi dan restorasi terhadap rezim sekarang dengan menampilkan sosok transformatif yang dinilai bisa memimpin rezim perubahan tersebut. 3) sikap skeptis dan apatis, sikap ini menunjukkan pemilu dan politik adalah entitas yang jauh dari nuansa populis, tetapi hanya diisi kepentingan elitis semata sehingga pemberitaan politik dan pemilu sendiri lebih banyak wacana korupsi, konflik pemilu, maupun praktik penyalahgunaan wewenang semata5. Ketiga model tersebut sebenarnya mencerminkan relasi media dalam sistem demokrasi yang sifatnya masih transisional. Dalam nuansa demokrasi transisi tersebut, media memang akan menampilkan dirinya sebagai agregator terhadap euforia demokrasi yang berkembang dalam masyarakat maupun sebagai resistor karena ingin mengangkat romantisme rezim terdahulu. Posisi media dalam model pembangunan demokrasi memang menjadi penting karena media menjadi tolok ukur kesuksesan transisi dari otoritarian menuju demokrasi. Media yang bebas dan kritis akan dinilai sebagai bagian kesuksesan demokrasi, sedangkan media apatis justru dianggap sebagai bayangan rezim ototritarian yang belum runtuh sepenuhnya. Oleh karena itulah, beragamnya Masduki, “Jurnalisme Politik:Keberpihakan Media dalam Pemilu 2004”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 8 No. 1, 2004, hlm. 76. 5
Politik Persuasif Media ... | Wasisto Raharjo Jati | 17
Tabel 1. Relasi Media dalam Politik dan Pemilu6
Sumber: (Wahyuni, 2007:12).
relasi sikap media dalam pemilu maupun demokrasi dapat ditelisik dari tabulasi berikut ini. (Lihat Tabel 1)6 Jika melihat tabulasi tersebut, kita bisa menyimak bahwa relasi media dalam politik dan pemilu di Indonesia sebenarnya masih dalam persimpangan jalan. Secara ideologis, wajah media sebenarnya ingin menuju model demokratik-liberal yang menjamin kebebasan pers seluas-luasnya. Namun, secara regulatif, media sendiri masih dalam nuansa penguasaan negara dalam bentuk surat izin operasional. Maka sejatinya peran media dalam politik transaksional terlebih dalam membaca realitas pemilu sebagai instrumentasi demokrasi terletak dalam dua bentuk yaitu media sebagai medium dan media sebagai faktor pendorong. Media sebagai medium dimaknai media berperan sebagai alat diseminasi ide dan gagasan demokrasi kepada masyarakat sehingga sosialisasi politik terjadi secara merata di masyarakat. Sedangkan media sebagai faktor pendorong dimaknai media sebagai stimulus berkembangnya demokratisasi di aras masyarakat bawah. Namun demikian, dalam demokrasi transaksional pula turut berkembang reorganisasi elite dari rezim terdahulu untuk tetap bisa eksis di dalam demokrasi. Pertumbuhan media yang luar biasa selama masa transisi dan belum meratanya kapital ekonomi politik menyebabkan adanya oligarki media dan politik. Kongsi tersebut terjadi sebagai manifestasi adanya kepentingan politis Wahyuni, “Politik Media dalam Transisi Politik: Dari Kontrol Negara Menuju Self-Regulation Mechanism”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 4 No. 1, 2007, hlm. 12. 6
dibalik berkembangnya media dalam ranah masyarakat. Fungsi media sebagai intermediari antara negara dan masyarakat sangatlah strategis dan vital dalam upaya menyebarkan nilai-nilai tersebut. Beragamnya tiga ideologis dominan yang dimainkankan media dalam politik tersebut mengindikasikan adanya peranan media dalam tiga ranah yakni ranah ruang publik, ranah bisnis, maupun ranah kekuasaan. Media sebagai ranah ruang publik (public sphere) merupakan fungsi utama media dalam menyuarakan aspirasi publik sesuai dengan kapasitasnya sebagai fourth estate dalam sistem demokrasi. Media sebagai ranah bisnis (market oriented) tentu akan bertindak sebagai badan usaha yang memasarkan ide maupun berita sebagai komoditas utama7. Namun, pemaknaan berita sebagai komoditas perlu untuk ditelisik lebih lanjut. Dalam paradigma jurnalistik seringkali berlaku idiom bad news is good news artinya media cenderung menampilkan berita-berita negatif yang disukai oleh pembaca dan pemirsa. Media berperan sebagai kreator yang bisa merekayasa segala pemberitaan terkait politik maupun pemilu sebagai objek pasif yang dimanipulatif. Ada proses yang dinamakan framing untuk membentuk konstruksi berita menjadi bad news yang kemudian berkembang menjadi trend pembicaraan. Pembaca secara tidak langsung akan teradiktif terdorong untuk membeli media tersebut demi terus menggali pemberitaan negatif itu. Yang terjadi kemudian adalah efek adiktif bagi masyarakat sehingga mengubah pola pikir masyarakat dari semula Masduki, Regulasi Penyiaran: Dari Otoriter ke Liberal (Yogyakarta: LKiS, 2007). 7
18 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
open minded menjadi close ended. Selain itu pula, media sebagai market oriented juga dimaknai adanya ketergantungan media terhadap pendapatan iklan. Biasanya yang terjadi kemudian adalah pemasang iklan sendiri secara tidak langsung memiliki pengaruh terhadap substansi konten media yang akan disesuaikan dengan iklan yang dipasang. Masalahnya yang timbul kemudian, terjadi friksi internal dalam media itu sendiri antara divisi pemasaran dengan redaktur. Divisi pemasaran tentu akan mengejar pendapatan berlebih untuk operasionalisasi media sehingga untuk menarik dana yang lebih besar akan membuat berita yang afirmatif dengan pemasang iklan. Namun hal tersebut tentunya bertentangan dengan pendirian bagian redaksi sebagai filter dari segalan konten berita agar tetap menjaga independensi dan ideologi dalam pemberitaan media8. Konflik tersebut tidak jarang kemudian dimenangkan oleh divisi pemasaran yang tetap mengejar nilai objek jual dari media tersebut Adapun media sebagai power sphere sendiri mengindikasikan adanya eksistensi media yang ditopang oleh rezim yang berkuasa. Hal inilah yang menjadikan media sendiri bukan lagi bertindak sebagai juru bicara masyarakat, tetapi juru bicara rezim. Pemberitaan media sangatlah erat dengan keseharian rezim memerintah sehingga media dirasa perlu menjaga perasaan dengan rezim dengan melakukan pemberitaan yang konfirmatif dengan rezim. Adanya bentrokan media dalam ketiga fungsi tersebit menjadikan kerangka SelfRegulatory Mechanism sebagai upaya fortifikasi media terhadap politik menjadi tereduksi. Kerangka tersebut mengajarkan bahwa media diharuskan untuk menjadi sebuah solusi ideal khususnya pada kebanyakan kelompok pro demokrasi. Namun demikian, solusi ini dalam prakteknya tidaklah mudah. Konsep selfregulation memiliki beberapa hambatan yang mendasar dalam realisasinya. Selain karena semangat pembebasan yang sangat kental, selfregulation juga membutuhkan kematangan profesionalitas dari masing-masing aktor yang terlibat dalam proses besar produksi media. Adapun profesionalitas tersebut dapat dipupuk melalui pembinaan nilai-nilai sekuritas, persamaan, maupun kebebasan. Dari ketiga nilai tersebut, seringkali ditemui Dennis Macquail, Media Policy: Convergence, Concentration & Commerce (London: Sage, 2003). 8
ketidakharmonisan dalam implementasi nilainilai tersebut. Masalah yang sering muncul adalah independensi berita itu sendiri. Dalam realitanya di lapangan, praktik jurnalisme sendiri sangatlah tergantung pada informan sehingga praktik jurnalistik yang berkembang hanya ingin mendapatkan berita saja daripada bagaimana proses mendapatkannya. Artinya proses triangulasi sendiri dengan melalukan jurnalisme investigasi menjadi tidak berjalan karena politik tenggang rasa tersebut. Hal inilah yang menjadikan media ingin menjaga hubungan baik dengan informan. Implikasi yang timbul kemudian adalah munculnya fenomena wartawan bayaran maupun wartawan amplop yang menulis berita sesuai dengan pesanan informan. Self Regulatory dalam media berkembang menjadi sinisme publik. Praktik jurnalisme yang memihak kepada informan sendiri dirasa mencederai kepentingan masyarakat yang lebih luas terhadap informasi yang transparan dan akuntabel. Tentunya hal ini menjadi ironi, ketika jurnalisme sendiri bersikap mendua antara memihak kepentingan modal dan politik dengan kepentingan masyarakat luas. Informasi yang tidak berimbang mengakibatkan adanya fragmentasi informasi dalam masyarakat sesuai dengan informasi yang mereka dapatkan dari media. Adanya beragamnya informasi memang bagus untuk penguatan ruang-ruang diskursi publik di level akar rumput. Namun, yang menjadi ironi adalah ketika informasi tersebut didapatkan secara hierarkis tentu yang amat disayangkan. Sebagai aktor intermediari, media belum membuka ruang masyarakat untuk masuk ke dalam ruang dapur redaksi. Meskipun sudah diwadahi dalam bentuk jurnalisme publik (citizen journalism) sebagai bentuk jurnalisme afirmasi terhadap publik. Hal itu tidak lebih dari sekedar jurnalisme seremonial belaka yang tidak memuat gagasan kritis dari masyarakat. Adanya kondisi media yang masih labil terhadap politik sendiri menjadikan jurnalisme massa menjadi tidak berkembang, malah justru yang terjadi adalah jurnalisme politik yakni jurnalisme yang membela kepentingan elite saja.
Media Sebagai Jurnalisme Politik Secara leksikal, jurnalisme politik sendiri dimaknai sebagai praktik jurnalisme yang menempatkan kepentingan pemerintah Politik Persuasif Media ... | Wasisto Raharjo Jati | 19
untuk berkorelasi dan bertanggung jawab kepada kepentingan publik (to hold powerful interests accountable to the public interest), dan menjelaskan pada pemilih bagaimana mengaitkan harapan ketika menunaikan hak sebagai warga negara dengan apa yang harus dikerjakan oleh pemerintahnya (to explain to voters how to connect how they vote with their government should do).9 Adapun dimensi hakiki dari jurnalisme politik tersebut dapat digambarkan dalam relasi berikut ini. (Lihat Tabel 2)10
Jurnalisme politik dalam kerangka oligarkis dimaknai sebagai bentuk praktek jurnalisme pragmatis yang mewadahi kepentingan dominan yang pada umumnya dikontrol oleh uang dan kekuasaan pejabat negara. Jurnalisme model ini biasanya sangatlah dominan dalam kondisi pemilu yang masih elitis. Masyarakat hanya dimaknai komoditas suara yang perlu diinformasikan mengenai preferensi politik yang tepat. Meskipun dalil utama dibentuknya media adalah membangun kebenaran dan pencerahan
Tabel 2. Jurnalisme Politik dalam Pemilu10
Jika dilihat dari tabulasi di atas, kita bisa melihat bahwa media dalam praktik jurnalisme poltik berfungsi ganda antara sumber depedensi dan sumber korelasi. Sebagai sumber depedensi, media secara nyata memainkan perannya sebagai korelasi sosial bagi masyarakat dengan menyajikan berbagai informasi yang terkait dengan pemilu dan kandidasi. Sedangkan sumber depdensi, terkait ketergantungan penyelenggara formal dalam pemilu untuk memberikan sosialisasi secara meluas kepada masyarakat dengan memanfaatkan jejaring media di akar rumput. Meskipun dalam nalar positif, jurnalisme politik menempatkan media sebagai ruang deliberasi yang nyata bagi penyelenggara formal dan masyarakat untuk bisa mengawal pemilu secara berkesinambungan. Namun, dalam level praksisnya, jurnalisme politik malah justru dianggap sebagai bagian dari strategi kampanye. Hal inilah yang kemudian menjadi distorsi dalam memahami jurnalisme politik. Pertarungan wacana antara jurnalisme politik sebagai fungsi korelasi dengan jurnalisme politik sebagai kampanye sepertinya lebih dominan jurnalisme sebagai kampanye. Indikasinya adalah korelasi sosial dengan publik kini lebih dimaknai sebagai korelasi dengan calon pemilih dan informasi berita tidak lebih dari fungsi propaganda kampanye semata. Bill Kovack, 9 Element of Journalism (London: The River Press, 2001) 10 Masduki, Op.Cit, hlm 80 9
masyarakat, tetapi dalam praktiknya media ternyata membela agenda ekonomi, sosial, dan politik dari kelompok pemodal selaku privilege groups yang mendominasi masyarakat lokal, negara dan global. Fungsi media yang tadinya sebagai korelasi sosial berubah menjadi fungsi propaganda dan fungsi bisnis. Jurnalisme politik pada akhirnya menempatkan masyarakat sebagai penonton politik (public as political spectactors) yang menjadi komunikan pasif saja. Model jurnalisme politik yang bertipe propagandist seperti ini biasanya muncul dalam event pemilihan umum yang dapat dilihat dari berbagai aspek. Pertama, munculnya konglomerasi media dalam kepemilikan media. Konglomerasi muncul dikarenakan adanya redistribusi kepemilikan media yang belum sepenuhnya seimbang sehingga arena bisnis media sebenarnya adalah arena bisnis yang konstan. Kedua, media bergantung pada legitimasi kuasa (dari kalangan korporat & pemerintah) untuk mengisi materi media. Media digambarkan memiliki hubungan mutualisme dengan sumber-sumber informasi penting itu dengan kebutuhan ekonomi dan kepentingan yang timbal balik diantara keduanya. Ketiga, media lebih sering menyajikan berita-berita yang sifatnya spekulatif daripada mengedepankan hasil investigasi yang dalam sehingga sajian konten tidak sekedar asumsi-asumsi belaka11. Wisnu Prasetyo Utomo, “Mewaspadai Ancaman Konglomerasi Media”, Majalah Kongres, Mei 2013, hlm. 10. 11
20 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Adapun fungsi media sebagai bisnis tentu erat kaitannya dengan mencari pendapatan yang tinggi. Musim kampanye pemilu bisa dikatakan sebagai musimnya menjadikan pemilu sebagai mesin pendapatan utama (primary sources) sehingga media pun dikorbankan menjadi iklan kampanye. Bahkan tidak mungkin, media justru menjadi bagian pemenangan kandidasi maupun partai politik. Oleh karena itulah, sebenarnya praktik jurnalisme politik dalam pemilu berasal dari kondisi pers yang masih labil di saat demokrasi belum memiliki pijakan yang mendasar. Maka dalam kondisi yang serba labil tersebut, ketidakkonsisten sering terjadi dalam relasi media dan politik dimana terjadi hubungan resiprokal kuat di antara mereka.
Politisasi Media dalam Pemilihan Presiden Indonesia Secara konseptual makro, perbincangan atas konteks media dalam ranah politik terlebih dalam penyelenggaraan pemilu tidak terlepas dari dua hal yakni posisi media terhadap ranah politik yang masih labil terkait dengan sumber informasi dan pendanaan serta posisi media yang terjebak kepada konflik kepentingan antara mempertahankan etika jurnalistik dengan kepentingan bisnis. Labilnya media dalam mengawal ranah politik sebagai pengawas kekuasaan kini sudah merambah sebagai agen kekuasaan (agent of power) bagi kandidasi maupun partai politik tertentu. Impotensi media dalam pemilu dapat terindikasi dari empat faktor yakni menguatnya persaingan politik pencitraan (politics of image) di tingkatan elite maupun partai politik, menurunnya fungsi partai politik dalam sosialisasi politik sehingga memunculkan media sebagai aktor tunggal, menguatnya kecenderungan penonjolan figur dalam pentas politik dan pemilu daripada institusi partai politik, dan adanya pemanfaatan multimedia sebagai agen propaganda aktif dalam menyampaikan pesan politis kepada masyarakat. Transformasi media dalam era demokrasi elektoral juga turut mempengaruhi mengubah paradigma media dalam bentuk agitator politik yang baik bagi partai dan kandidat dan fungsi pasar bebas yakni adanya komoditisasi maupun komersialisasi dalam agenda seting media supaya orientasi media diarahkan untuk mendukung kekuatan politik tertentu.
Adapun dalam kontekstualisasinya dalam pemilu Indonesia, perilaku media dan jurnalistik lainnya sebenarnya juga mengikuti alur tersebut dimana politik figur maupun politik pencitraan menjadi komoditas media dalam ranah politik. Namun, dalam konteks pemilu 1999 sebelum dilangsungkannya Pemilu Presiden 2004 terdapat sajian menarik mengenai jurnalisme media yang berdiri dalam dua kaki. Kaki pertama, media berada dalam model relasi demokratik-liberal dimana media mengalami pertumbuhan luar biasa paska Orde Baru runtuh pada tahun 1999. Adanya media-media baru turut terbawa idealisme reformasi yang terkembang dalam arena politik baru tersebut. Hal inilah yang menjadikan antara politisi maupun pelaku jurnalistik sendiri konsisten menjaga dimensi substantif maupun otentik dari relasi keduanya untuk saling mengawasi dan mengingatkan. Liberalisme politik yang berimplikasi liberalisasi media inilah yang kemudian membawa media secara benar dan nyata mengemban fungsi sebagai watchdog atas sistem demokrasi yang ingin diterapkan dalam era reformasi. Adanya liberalisasi tersebut juga mengarahkan perilaku media menjadi lebih berideologis yang memiliki kecenderungan memihak salah satu partai. Misalnya saja, Republika yang dekat dengan partai-partai islam, KOMPAS yang “berafiliasi informal” dengan partai-partai kristen, Media Indonesia dan Suara Karya yang pro terhadap partai nasionalis-sekuler seperti Golkar dan PDIP. Tendensi politik media terhadap partai politik tentu tidak hanya dikaitkan adanya rasa afeksi dan afinitas dari media saja, tetapi juga didasari pangsa pasar media untuk menyasar konstituen para partai politik tersebut12. Maka jurnalisme politik yang berkembang pada Pemilu 1999 sendiri masih berada dalam lingkup jurnalisme massa yang berperan sebagai fungsi sosial (social correlation) dan afiliasi informal dengan institusionalisasi politik. Maka secara garis besarnya, relasi media dalam ranah politik praktis di Pemilu 1999 bisa dilihat dalam bagan berikut ini. (Lihat Tabel 3)13 David Hill, The Press in New Order Indonesia (New York: Equinox Publshing, 2007). 13 Hamad, “Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa”, Makara Sosial Humaniora, Vol. 8, No. 1, 2004, hlm. 21-22. 12
Politik Persuasif Media ... | Wasisto Raharjo Jati | 21
Tabel 3. Relasi Media dan Politik dalam Produksi Berita13
Sumber: (Hamad 2004: 21-22).
Afiliasi Informal Media dengan Politik pada 2001-2003 Dalam praktik jurnalisme politik dalam Pemilu 1999, reproduksi teks menjadi bagian penting dalam menerangkan tendensi informal media pada partai politik tertentu. Framming menjadi strategi dominan yang dipakai oleh media untuk mengemas pesan politik dalam sebuah berita dengan menekankan informasi pada bagaian tertentu. Informasi tersebut bisa bersumber pada sikap partai, skandal, kampanye, maupun lain sebagainya yang digunakan untuk mengapresiasi figurisasi partai dalam demokrasi ataukah mendepresiasi figurisasi partai14. Hal inilah yang kemudian menjadikan citra partai sendiri sangatlah beragam di media. Sebagai contoh dalam Pemilu 1999, Golkar mendapatkan serangan bertubi-tubi dari segala media terkait posisinya sebagai partainya Orde Baru, penyebab kehancuran bangsa, antek Soeharto, pro rezim otoriter, dan beragam konstruksi sinis lainnya. Adapun Media Indonesia, Suara Karya, dan Suara Pembaruan yang kesemuanya “koran kuning” karena pemilik berbagai media tersebut adalah petinggi Golkar membela dengan wacana tandingan bahwa Golkar adalah partai yang tegar, meskipun dicerca banyak orang. Adapun dalam kasus partai-partai islam maupun nasionalis mendapatkan apresiasi positif dari mayoritas media kala itu dengan Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana (Yogyakarta: LKiS, 2001). 14
menampilkan duet nasionalis-agama akan membawa perubahan besar sesuai dengan citacita reformasi. Terkhususnya dalam suksesi kekuasaan presidensial yang ketika itu belum terdapat mekanisme pemilihan langsung seperti pada Pemilu 2004. Posisi media dalam mengafirmasi politik masih sebatas politik institusional maupun politik komunal. Penekanan informasi politik media sendiri menitikberatkan pada pembentukan poros tengah sebagai lokus sentral dalam suksesi presidensial ketika itu. Hal yang menarik adalah pemberitaan Sidang Paripurna 2001 adalah ketika majunya Gus Dur sebagai perwakilan poros tengah pada Sidang Paripurna 2001 maupun ketika pengangkatan Megawati sebagai Presiden pada tahun 2002. Perihal pengangkatan Gus Dur sebagai presiden, media berada dalam posisi pro dan kontra. Jawa Pos, koran nasional yang berbasis di Jawa tentu mendukung Gus Dur dengan memberitakan Gus Dur sebagai presiden yang reformis yang didukung pada tokoh NU maupun tokoh reformis lainnya. Adapun KOMPAS sendiri memberitakan Gus Dur sebagai presiden yang peduli dengan HAM dan demokrasi sebagaimana yang dia lakukan ketika membentuk Forum Demokrasi pada tahun 1992. Media islami seperti halnya Republika melihat keterpilihan Gus Dur dari segi “keberuntungan” karena mundurnya Yusril Ihza Mahendra sebagai calon presiden dari partai islam.
22 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Adapun koran-koran plat kuning seperti halnya Suara Karya, Media Indonesia, maupun Suara Pembaruan menanggapi terpilihnya Gus Dur dengan nada skeptis bahwa kepemimpinan Gus Dur dibayangi isu-isu pemakzulan yang dilakukan oleh beberapa pihak dari poros tengah yang kurang berkenan dengan terpilihnya Gus Dur. Hal ini sangatlah kentara manakala Gus Dur sendiri dilengserkan pada pertengahan 2002 dan digantikan oleh wakilnya. Pemberitaan koran Jawa Pos misalnya menunjukkan gejala “matinya demokrasi” karena Gus Dur dinilai sebagai presiden yang memberi pijakan atas multikulturalisme dengan memberikan kebijakan afirmasi kepada etnis Tionghoa maupun mengembalikan nama “Papua”. Adapun KOMPAS sendiri melihat lengsernya Gus Dur sendiri bagian dari dinamika demokrasi yang masih labil yang harusnya tidak berujung pada aksi pemakzulan presiden. Sementara koran-koran “kuning” seperti halnya Media Indonesia, Suara Karya, maupun Suara Pembaruan lebih menangkap kaitan Gus Dur dengan Brunei Gate maupun Bulog Gate maupun hobi Gus Dur yang suka jalan-jalan ke luar negeri sehingga menurunkan dukungan kepadanya. Sorotan media-media kuning tersebut mengarah pada sikap Amien Rais sebagai pendukung pemakzulan tersebut yang menilai Gus Dur gagal mengarahkan pada orientasi reformasi pada jalur yang benar. Sementara itu, koran Republika sendiri menilai lengsernya Gus Dur sebagai jalan bagi kekuatan politik islam berbasis dakwah untuk melanjutkan perjuangan Gus Dur. Maka jikalau melihat, pemetaan sikap media dalam suksesi kepresidenan pada 2001-2003 mengindikasikan bahwa konstruksi media terhadap pemilu presiden sendiri sangatlah erat dengan tendensi ideologis. Media berusaha mengidentifikasikan posisinya sebagai “pendukung” kekuatan politik tertentu. Perimbangan antara jumlah tiras koran yang akan dijual dengan target konsumen tentu menjadi bagian tak terpisahkan bagi media yang juga mengemban fungsi sebagai institusi bisnis. Pemberitaan akan disesuaikan dengan target konsumen dan prakiraan tiras koran yang akan dicetak dan dijual. Hal ini yang kemudian menandai bulan madu media dan politik dalam penyelenggaraan pemilu presiden selanjutnya dimana media masuk dalam abad komersialisasi (age of commercialization) dimana terjadi proses komoditisasi atas konten berita dengan penyisipan pesan politik terentu
dan mulai diberlakukannya framing atas tajuk rencana media untuk mengarahkan publik pada opini tertentu. Tentunya opini publik maupun komersialisasi berita merupakan bentuk dari politik persuasif yang dilakukan oleh media dalam mengarahkan dan membentuk preferensi politik publik atas partai dan kandidasi tertentu. Adapun konteks Pemilu 2004 sebagai pemilu langsung yang diterapkan dalam sistem demokrasi telah meminggirkan fungsi institusionalisasi partai yang sebelumnya mendominasi dalam Pemilu 1999 maupun suksesi presidensialisme pada 2001 hingga 2004. Adanya perubahan sistem pemilu yang sebelumnya menganut sistem proporsional terbuka menggantikan sistem proporsional tertutup lebih mendekatkan pemilih kepada figur daripada partai pengusungnya15. Oleh karena itulah, sorotan media terhadap partai politik perlahan mulai dikurangi dengan menyoroti figur elite-elite politik yang dianggap merepresentasikan partai politik tersebut. Komoditisasi atas figure tersebut merefleksikan sikap media yang ingin memberikan pesan preferensi politik maupun fungsi korelasi sosial kepada masyarakat. Politik pencitraan (politics of image) adalah manifestasi terbarukan dalam menganalisis figur dan politik dalam ranah media. Hal ini turut didorong dengan belanja iklan yang besar untuk mempopulerkan figur tersebut untuk dipublikasikan ke media. Besarnya uang iklan politik yang masuk ke dalam kantong media secara tidak langsung turut berdampak editorial media massa tersebut yang berada dalam kisaran 100-300 juta rupiah.
Jurnalisme Politik “Pencitraan” dalam Pemilu 2004 Menguatnya gejala politik pencitraan dalam Pemilu Presiden 2004 menggambarkan adanya gejala “Amerikanisasi” maupun “Clintonisasi” dalam manajemen kampanye politik di media. Amerikanisasi dapat disebut sebagai bentuk kampanye dengan menitikberatkan pada penggunaan media secara masif dalam mengkonstruksi figur. Adapun Amerikanisasi sebagai bentuk pola baru dalam jurnalisme politik di Indonesia dapat dianalisis dalam tiga sebab. Pertama, demokrasi meletakkan Ahmad Danial, Iklan Politik TV: Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru (Yogyakarta: LKiS, 2009). 15
Politik Persuasif Media ... | Wasisto Raharjo Jati | 23
kekuasaan di tangan rakyat dan bukan di tangan elite. Maka untuk mendapatkan kekuasaan, kandidat maupun partai politik harus menemui masyarakat. Oleh karena itulah, dengan semakin banyaknya rakyat yang harus dijangkau dan ditemui akan berimplikasi pada semakin membengkaknya biaya sosialiasi media. Kedua, media sudah berkembang dengan sedemikian rupa dan sudah menjangkaui semua lapisan masyarakat sehingga pemasangan iklan politik di media baik cetak maupun eletronik dinilai sebagai sarana efektif dan efisien dalam mempengaruhi preferensi politik masyarakat luas. Ketiga, dalam demokrasi tidaklah diizinkan untuk melakukan politik intimidasi kepada masyarakat, yang ada hanyalah politik persuasif tentang bagaimana mendekati masyarakat secara afektif guna mendapatkan simpati yang kemudian dikonversi menjadi suara16. Maka pada intinya, Pemilu Presiden 2004 sendiri mengindikasikan adanya transformasi dari kampanye berbasis partai (party centered-campaign) menuju kampanye berbasis kandidat (candidate centered campaign) menuju kampanye berbais modal (capital centered campaign). Hal inilah yang kemudian menjadi Pemilu 2004 sendiri layak dimaknai sebagai kapitalisasi demokrasi dimana persoalan citra dan kehidupan personal merupakan persoalan penting untuk diketahui masyarakat. Segala seluk beluk pribadi kandidat kemudian diangkat dan ditampilkan kepada publik untuk mengetahui kesehariannya. Terbukanya ruang privasi untuk dikonsumsi publik tentu akan memudahkan publik untuk memberikan penilaian pribadi terhadap kandidat tersebut. Kapitalisasi dalam tubuh media menjadikan media juga berkembang menjadi aktor signifikan dalam menyampaikan pesan politis kandidat kepada masyarakat. Informasi yang berasal dari media sering kali dijadikan sumber preferensi politik yang penting bagi pemilih. Dalam hal ini berlakulah hukum jurnalisme psikologis, bahwa semakin sering suatu kandidasi maupun partai dipublikasikan atau diberitakan media, maka semakin besar pula tingkat keterpilihannya dalam pemilu. Hal tersebut bisa ditengarai bahwa masyarakat memiliki tendensi memilih berdasarkan informasi yang diberikan secara berulang-ulang sehingga terjadi proses brainstorming secara tidak langsung. Tendesi lainnya adalah melalui Denny J.A, Jejak-jejak Pemilu 2004 (Yogyakarta: LKiS, 2006). 16
kekuatan preferensi publik yang disebar dari mulut ke mulut bahwa pemilih akan memilih berdasarkan preferensi politik dari pihak lain sudah terkena efek preferensi politik media. Adanya dua tendensi tersebut yang menjadikan media melakukan pemberitan besar-besaran terhadap kandidat baik itu seputar isu maupun kampanye sehingga akan memudahkan sosialisasi berantai kepada publik. Besarnya kapital yang masuk ke dalam media secara tidak langsung membuat media melakukan konstruksi atas kandidasi tersebut baik dalam lingkup jurnalisme yang baik (good journalism) ataukah jurnalisme buruk (bad journalism). Jurnalisme baik tersebut biasanya mengangkat sisi positif kandidat dan sebaliknya jurnalisme jelek akan memberitakan skandal-skandal yang pernah dilakukan kandidat. Namun demikian, pilihan antara kedua jenis kandidat tersebut kembali lagi ke dalam aktivitas politik yang dilakukan kandidat. Media berperan sebagai hakim politik (political judge) yang menilai kadar kelayakan bagi suatu kandidat untuk dipilih masyarakat menengah. Persoalan kandidat menjadi sangat penting dalam Pemilu Presiden 2004 untuk meraih simpati masyarakat. Dalam hal ini ada dua hal yang bisa menjadi sumber utama media melakukan konstruksi atas kandidat yakni 1) personalitas (personality), publik masih melihat dari segi kharismatik kandidat untuk layak dijadikan pemimpin negara. Adapun kharismatik sendiri dapat bersumber dari segi fisik, intelektualitas, maupun performa di depan publik. 2) pencitraan sebagai pemimpin (presidential looking), masyarakat akan menilai suatu kandidasi dari segi wibawa untuk dilihat sinerginya dengan perilaku seharisehari seperti halnya perilaku kebapakan atau memiliki pemikiran yang visioner. 3) figurisasi, masyarakat condong pada figur yang selama ini bisa mengadaptasikan dirinya sebagai anggota masyarakat biasa dalam kehidupan sehari-hari yang terlepas dari sosoknya sebagai pejabat atau petinggi negara. Ketiga parameter tersebut itulah yang kemudian menjadi objek komoditas media untuk mempopulerkan calon presiden dalam pemilu presiden 200417. Kecenderungan masyarakat atas ketiga indikator tersebut didasarkan atas faktor sosial kultural yang berkembang bahwa pemimpin harus gagah, KPU, Pemilihan Presiden secara Langsung 2004: Dokumentasi, Analisis, dan Kritik (Jakarta: KPU Press, 2006). 17
24 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
berwibawa, dan segala atribut fisik dan nilai moral yang menyertainya. Oleh karena itulah, konstruksi media atas politik tubuh juga menjadi bagian tidak terpisahkan tentang cara media menarasikan dan mendisplinkan kandidat untuk mendekati kriteria yang diinginkan masyarakat. Terkait dengan pendisplinan tubuh para kandidat presiden pada pemilu 2004 ada berbagai cara salah satunya adalah dramatisasi yang dilakukan media untuk membangkitkan rasa afeksi dan solidaritas masyarakat terhadap calon melalui pembesaran isu yang gunanya mendongkrak popularitas calon tersebut. Dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden 2004, pasangan kandidat yang maju dalam kontestasi kursi RI-1 sendiri diikuti oleh lima pasang calon yakni SBY-JK, Mega-Hasyim, Wiranto-Salahuddin Wahid, Amien RaisSiswono Yudohusudo, maupun Hamzah HazAgum Gumelar. Diantara kelima pasangan calon tersebut, persaingan paling sengit terjadi antara SBY-JK dengan Mega-Hasyim yang dinilai sebagai klimaks dari Pemilu Presiden 2004 ini. Pemilu presiden yang dilangsungkan selama dua putaran tersebut pada akhirnya dimenangkan oleh pasangan SBY-JK dengan perolehan suara 60.82 persen suara mengalahkan kompetitornya yakni Mega-Hasyim yang memperoleh suara 39 persen suara pemilih. Kemenangan SBY-JK dalam Pemilu Presiden 2004 juga bisa dikatakan kemenangan media. Hal ini dikarenakan media sukses meroketkan nama SBY melalui dramatisasi kariernya yang “dipinggirkan” selama pemerintahan Megawati Soekarno Putri. Media sendiri memiliki strategi hiperbolik ketika SBY mengundurkan diri sebagai Menkompolhukam karena ketidakcocokannya dengan Megawati. Apalagi ketika SBY disebut sebagai “jenderal cengeng” oleh Taufik Kiemas yang notabene menjabat sebagai fungsionaris PDIP karena mengadu kepada media perihal pengunduran dirinya tersebut karena sering tidak diundang rapat kabinet. Presiden Megawari rupanya sudah mengikuti lebih lanjut gelagat pembantunya ini untuk maju sebagai calon presiden sekaligus kompetitornya nanti dengan mendirikan Partai Demokrat pada tahun 2001. Hal inilah yang membuat Megawati Soekarno Putri untuk “meminggirkan” SBY dalam pemerintahannya, tetapi justru menjadi strategi presiden petahana tersebut yang berbuah blunder18. 18 Deddy Mulyana, “Menimbang Iklan Politik di Media Massa Menjelang Pemilihan Presiden 2004”,
Media mengemas “kisah SBY” tersebut dalam sebuah dramatisasi politik yang dirancang untuk melawan rezim Megawati tersebut. Beberapa media memberitakan berita SBY tersebut dalam tajuk rencana, halaman headlines, bahkan diulas mendalam dengan menghadirkan para pengamat. Media koran kuning seperti Media Indonesia maupun Suara Karya sendiri lebih menekankan kepada pencalonan Jusuf Kalla dari partai lainnya yang dianggap sebagai “pengkhianat Golkar” karena tidak seia sekata dengan garis kebijakan partai yang mendukung pencalonan Wiranto. Adapun koran Republika sendiri menyoroti majunya perempuan sebagai pemimpin di negara mayoritas muslim “belum diperkenankan” karena sebaiknya lelaki yang diperbolehkan memimpin suatu negara. Konstruksi media tersebut untuk menggambarkan majunya Megawati sebagai presiden untuk kedua kalinya. Menariknya dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden 2004 ini, media sendiri mengalami pembelahan dalam pengkonstruksian preferensi politik yakni media partisan maupun media non partisan. Adapun yang dimaksudkan dengan media partisan sendiri adalah media yang digunakan oleh partai politik untuk mendukung sosialisasi kandidasi ke tangan pemilih, sedangkan media non partisan adalah media yang tidak terafiliasi dengan kekuatan politik tertentu, tetapi berusaha untuk mengidentifikasi pemberitaan kandidasi yang dianggap potensial guna mendongkrak rating pemirsa. Adanya perbedaan frekuensi publikasi calon yang dilakukan oleh media memang menunjukkan seberapa besar kapital politik yang dimiliki suatu kandidasi calon. Besarnya atensi media terhadap kandidasi yang diusung oleh Partai Golkar maupun PDIP mengindikasikan hal tersebut dengan kekuatan belanja iklan kandidasi berkorelasi kuat “mampu” membeli kekuatan siaran media. Namun demikian dalam konteks Pemilu 2014, kekuatan modal bukanlah salah satunya faktor penentu kemenangan calon dalam memenangkan media dan menentukan preferensi politik pemilih. Akan tetapi kembali lagi kepada faktor personalitas kandidasi dikarenakan pemberitaan media sangatlah tergantung calon19. Artinya dinamika politik yang berkembang dalam kandidasi juga menjadi Mediator, Vol. 5 No. 1, 2004, hlm. 77. 19 David Hill, Politics and the Media in Twenty-First Century Indonesia: Decade of Democracy (London: Routledge,2011).
Politik Persuasif Media ... | Wasisto Raharjo Jati | 25
pertimbangan lainnya politik pencitraan tersebut dibentuk dan dikonstruksi. Pasangan calon Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla sangatlah diuntungkan dengan adanya faktor personalitas maupun dinamika politik yang berkembang sehingga membuat media berpihak kepada pasangan ini. Tentunya umpatan “jenderal cengeng” menjadi sumber pemantik media untuk membuat efek hiperbolik terhadap pemberitaan SBY-JK. Media mainstream seperti KOMPAS maupun TEMPO memberitakan hal tersebut sebagai isu menarik dalam pemanasan kandidasi presidensial. Posisi SBY-JK yang ditempatkan sebagai posisi underdog dibandingkan dengan calon lainnya membuat media iba dan berbalik mendukung pasangan ini. SBY sendiri juga pandai dalam memanfaatkan situasi tersebut dengan memainkan drama politik melankolis dimana dia dan Jusuf Kalla disingkirkan dari kabinet Gotong Royong karena ketidakcocokan dengan presiden Megawati. Pasangan ini berhasil menempatkan dirinya sebagai “orang yang teraniaya” dalam. Tentu ini menjadi sajian menarik dalam jurnalisme politik di Indonesia, manakala media harusnya menjadi penilaian politik atas pasangan calon, kini menjadi pendukung atas pasangan ini. Media justru bertindak pasif dan malah justru pasangan ini yang aktif mempopulerkan dirinya. Artinya prinsip “mengikuti popularitas” menjadi tren jurnalisme politik media ketika itu bahwa popularitas SBY-JK membesar karena strategi tersebut yang kemudian dibesarkan oleh media. Media dengan lihai memanfaatkan situasi afirmitas publik kepada SBY-JK dengan keberhasilan pasangan ini dalam mendamaikan Maluku, Aceh, dan Poso melalui Perjanjian Malino II dan kesepakatan jalan damai perdamaian dengan GAM di Jenewa. Hal itu masih ditambah dengan konsepsi Jawa-Luar Jawa maupun figur sipil dan militer yang dikonstruksi publik sebagai pasangan ideal memimpin Indonesia seperti yang ada dalam pasangan SBY dari Jawa dan Jusuf Kalla dari Makassar sehingga perimbangan Indonesia Barat dan Timur menjadi seimbang Harus diakui ada beberapa media yang tidak terkena efek melankolis SBY tersebut yang mempertanyakan latar belakang militer maupun keterlibatannya dalam penertiban massa pada insiden Mei 1998 dimana SBY menjabat sebagai sosok akademisi berbaju militer yang dinilai dapat menghadirkan rezim militerisme kembali ke kekuasaan
presidensial. Namun semuanya tersebut justru dibantah media “melankolis” bahwa SBY dan JK adalah figur demokrasi yang sekarang ini dibutuhkan publik Indonesia. Pasangan ini diibaratkan sebagai “semut dikelilingi gajah” karena ketiadaan popularitas maupun sumber daya ekonomi lainnya. Selain halnya SBY-JK, keempat pasangan lainnya didukung oleh partai politik besar yang kesemuanya melambangkan kekuatan politik mapan dengan sumber daya yang besar pula. Adanya perimbangan kekuatan politik tersebut berimplikasi kepada iklan media maupun pemberitaan media pula. Dalam episode iklan politik di media dalam Pemilu 2004, ada dua jenis iklan politik yang berkembang yakni iklan elitis maupun pluralis. Iklan elitis sendiri condong pada pembentukan kata-kata sloganistik seperti halnya “pilihlah saya”, “percaya”, “jujur dan cerdas”, dan “bersih dari korupsi” yang ditujukan untuk pengumpulan massa. Media yang menampilkan iklan elitis seperti ini biasanya adalah media yang mengabdikan dirinya sebagai institusi bisnis yang kemudian menjual slot pemberitaannya kepada kandidasi. Selain halnya berbentuk sloganistik, iklan elitis sendiri juga berwujud pada pengumpulan testimonial yang dilakukan oleh berbagai aktivis maupun kaum universitas yang memberikan kesan positif terhadap kandidasi yang diusung. Sementara itu, substansi yang diangkat iklan populis di media sendiri mengangkat tema cinema verite yakni mengangkat popularitas calon dengan cara mendekatkan mereka dengan kondisi riil yang dihadapi oleh masyarakat seperti makan bersama, bernyanyi di sawah, maupun bercengkrama dengan masyarakat bawah. Kesan yang ingin ditimbulkan dalam iklan luar ruangan tersebut adalah pemimpin itu haruslah dekat dengan masyarakat seperti dalam kesehariannya. Hal inilah yang mendapat simpati dan empati masyarakat dalam menilai kandidasi tersebut sehingga bersedia memilihnya pada pemilu nanti. Terhadap dua iklan media yang satu bersifat populis sementera yang lainnya elitis, tentunya pencitraan akan berbeda jauh. Adapun pencitraan yang terdapat dalam iklan elitis lebih mengarah kepada pembentukan opini dilakukan secara top down. Artinya proses konstruksi sendiri dilakukan oleh para elite kepada masyarakat agar masyarakat tersugesti memilih kandidasi yang dimaksudkan. Adapun
26 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
penyugestian masyarakat terhadap hal tersebut tentu menjadi aksi pembodohan publik dimana publik seakan-akan dicekoki oleh informasi yang tidak berimbang dengan hati nurani masyarakat. Ada nuansa represif dan koersif jurnalistik ketika media menampilkan iklan tersebut kepada publik agar memilih kandidasi tersebut. Publik jelas kurang begitu menyukai model iklan media konvensional seperti ini ketika publik kini telah ditetapkan sebagai pemegang mandat suara tertinggi. Publik jelas ingin didekati bukan ditekan melalui iklan media tersebut. Sementara itu, iklan populis lebih disukai publik karena pembentukan opini terhadap kandidasi tersebut dilakukan oleh publik tersebut. Terlepas dari rasa suka maupun tidak suka, publik diberi keleluasaan untuk menilai terhadap cara kampanye yang dilakukan kandidasi dengan menyambangi mereka melalui kesahajaan penampilan dan mimik merakyat. Iklan populis sendiri yang menekankan kebersamaan dengan masyarakat menjadi modal penting keberhasilan politik persuasif. Dalam konstelasi Pemilu Presiden 2004, antara pertarungan iklan elitis dan populis secara jelas bertarung dalam arena politik persuasif tersebut. Adapun pasangan MegaHasyim sendiri mengandalkan iklan elitis tersebut dengan menampilkan pencapaian pemerintahan Mega selama 3 tahun terakhir. Dalam iklannya di media, citra kemegahan dan kebesaran kekuasaan tampak menjadi tema sentral dalam eksekusi kreatif iklaniklan politik pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi. Sentralisasi tersebut bertujuan untuk mengkultuskan Megawati sebagai puteri Bung Karno yang merupakan pemimpin terbaik bagi Indonesia dalam lima tahun ke depan. Peran Hasyim sebagai pemimpin NU sendiri sangatlah strategis untuk menggaet massa Islam. Selain halnya Mega-Hasyim, pasangan Wiranto juga menggunakan pendekatan elitis dengan menampilkan dirinya sebagai panglima TNI yang sanggup menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat. Amien Rais dengan penciptaan dirinya sebagai tokoh reformis yang pro demokrasi. Iklan populis sendiri dilakukan Siswono Yudohusudo yang menampilkan dirinya sebagai ketua HKTI bersama petani tengah panen raya dan SBY yang bernyanyi bersama masyarakat miskin. Hal inilah yang kemudian berdampak pada pesan kampanye
yang diusung. SBY-JK mengusung semboyan “bersama kita bisa” maupun koalisi kerakyatan yang dipimpin oleh partai-partai kecil melawan Mega-Hasyim melalui koalisi kebangsaan yang berisikan partai-partai politik besar. Media pun melakukan framing atas koalisi tersebut dengan menekankan kerakyatan maupun kebangsaan. Kebangsaan sendiri dikonstruksi sebagai bagian dari koalisi besar yang berisikan pada tokohtokoh bangsa sedangkan kerakyatan dimaknai sebagai kebersamaan pemimpin bersama rakyat dalam memimpin. Adanya dua pemaknaan yang berbeda inilah yang membuat masyarakat kemudian memilih SBY sebagai pemimpin. Mengusung konsep komunikasi “brand building”, figur SBY langsung diangkat sebagai komoditas politik dengan mempertajam kekuatan personalitasnya. Postur tubuh SBY yang tinggi besar, wajahnya yang ganteng, penampilan yang santun dan mengayomi, tutur kata yang sistematis dan ilmiah, tingkat intelektualitasnya yang tinggi (meraih doktor dalam bidang Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor, berpengalaman dalam birokrasi sebagai mantan Menteri Pertambangan dan Energi serta Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, dan tidak boleh dilupakan sebagai mantan militer berpangkat Jenderal) dianggap publik mampu memberikan jaminan stabilitas politik dan keamanan nasional yang sangat labil pada masa reformasi dewasa ini. SBY mampu menarik perhatian publik melalui publikasi dirinya di media maupun ekspose media secara besarbesaran. Adapun citra yang ditampilkan oleh Megawati sendiri kurang begitu diterima publik. Publik merasa terdeprivasi relatif mengingat janji Megawati dengan pemerintahannya sendiri tidak berjalan sinkronisasi. Sorotan media terhadap banyaknya aset BUMN yang dijual selama pemerintahan Mega membuat semboyan “wong cilik” dan “pro masyarakat miskin” menjadi tidak ikonik lagi di mata masyarakat. Hal inilah yang menjadikan karakter Megawati sendiri menjadi “terbunuh” oleh kongsi jurnalisme politik dan massa yang memihak kepada SBY.
Munculnya Kongsi Politik dan Media di Pemilu 2009 Posisi media dalam Pemilu Presiden 2004 belum bisa menjalankan fungsinya sebagai Politik Persuasif Media ... | Wasisto Raharjo Jati | 27
penilaian politik yang sahih dalam menilai dan mengadili kelayakan kandidat menjadi calon presiden yang mumpuni karena masih “mengikuti arus pemberitaan” (follow mainstream news). SBY-JK adalah episentrum pemberitaan media pada kurun waktu 20032004 melalui sikap dan personalitasnya. Gencarnya ekspose media masa baik cetak maupun televisi ketika SBY disingkirkan secara halus sebagai Menkopolhukam dalam kabinet Gotong Royong dan menjadi keputusan pengunduran dirinya merupakan momentum penting. Perseteruannya dengan Taufik Kiemas suami presiden Megawati, menjadi semacam pertunjukan kesewenang-wenangan kekuasaan. Ucapan Taufik Kiemas yang menghina pribadi SBY sebagai “Jenderal yang cengeng”, menjadi kotak pandora yang semakin melambungkan pamornya sebagai ikon ketertindasan yang banyak menangguk simpati publik. Artinya media berhasil menciptakan adanya hiperrealitas terhadap sosok SBY yang dianggap pemimpin alternatif yang dianggap mampu memenuhi ekspektasi masyarakat terhadap janji reformasi yang belum dilaksanakan sepenuhnya oleh tokoh-tokoh reformis. Media juga melakukan publikasi masif atas politik melankolis SBY sebagai pendulang suara signifikan dalam Pemilu Presiden 2004 yang merasa dizalimi oleh Presiden Megawati. Maka kemenangan SBY dalam Pemilu 2004 sendiri bisa bisa dikatakan sebagai kemenangan citra yang dikonstruksi media secara besar-besaran sehingga mengangkat figur SBY dari bukan siapa-siapa menjadi figur penting. Perlahan tapi pasti, media menjelma menjadi penilaian politik yang sesungguhnya dalam Pemilu 2009 yang diwakili oleh kontestasi dua grup media besar yakni Media Group maupun Viva Group, selain halnya kelompok media independen yang tidak berafiliasi dengan kekuatan politik tertentu. Adanya persaingan dua kelompok tersebut menginisiasi terbentuknya konglomerasi media dalam lanskap politik Indonesia. Artinya proses konstruksi kandidasi sendiri dilakukan oleh kelompok media partisan dan non partisan dalam menmberikan fungsi korelasi sosial kepada masyarakat. Terkait dengan beragamnya jumlah media yang meliput dan melakukan konstruksi atas isu maupun kandidasi calon pada Pemilu 2009, ada empat jenis karakteristik jurnalisme media yang berkembang pada
2009 yakni (empat) pandangan yang saling berlawanan, yaitu: pertama media sebagai penonton (spectator); kedua, sebagai penjaga (watchdog); ketiga, sebagai pelayan (servant); dan keempat, sebagai penipu (trickster)20. Konteks kontestasi Media Group maupun Viva Group sendiri dikategorisakan sebagai servant. Hal ini terkait pembelaan media terhadap masing-masing kandidasi yang mereka usung. Viva News Group sendiri merupakan kelompok bisnis media yang dikuasai oleh Aburizal Bakrie dan Media Group sendiri berafilisasi dengan Surya Paloh. Meskipun kedua media ini mengidentifikasikan sebagai media koran kuning, intensitas warna kuning yang terdapat dalam pemberitaan media tersebut sangatlah kontras sekali. Surya Paloh melalui Media Group sendiri memiliki kedekatan hubungan dengan Jusuf Kalla yang kali ini maju sebagai calon presiden dari Partai Golkar bersama dengan Wiranto, sementara Aburizal Bakrie sendiri memiliki hubungan erat dengan pihak istana sehingga condong mendukung SBYBoediono. Adanya peletakan basis dukungan yang berbeda itulah yang menjadikan pemberitaan kedua kandidasi tersebut layaknya rivalitas sengit. Media Group sendiri dengan gencar memberitakan skandal yang terjadi di masa pemerintahan SBY seperti skandal bailout Bank Century 6,7 trilyun sebagai anti tesis terhadap keberhasilan SBY selama empat tahun terakhir ini. Media Group melalui Metro TV maupun Media Indonesia mengkonstruksi Jusuf Kalla sebagai the real president ketimbang SBY yang dinilai lamban dan tidak tegas dalam mengambil keputusan. Adapun Viva News sendiri menangkis pemberitaaan negatif SBY melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi semenjak masa reformasi maupun pemberian kebijakan populis seperti penurunan harga BBM, angka 20 % persen anggaran buat pendidikan, maupun BLT. Adapun media sebagai spectator dan watchdog sendiri dijalankan media yang dikuasai oleh MNC Group maupun Para Group seperti Trans TV dan RCTI yang belum sepenuhnya memiliki afiliasi dengan kekuatan rezim.. SBY memenangkan Pemilu 2009 berkat popularitasnya yang masih menjulang dan berkat adanya tangkisan media-media partisan yang masih mengakui kekuasaan SBY sebagai presiden yang sangat efektif dalam memimpin pemerintahan. Duncan McCargo, Media and Politics in Pacific Asia (New York: Routledge, 2006). 20
28 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Konglomerasi Media dalam Arena Elektoral Presidensial 2014 Menjelang Pemilu Presiden 2014 mendatang, transformasi jurnalisme politik dalam tubuh media menjadi “anjing penjaga” maupun konglomerasi media akan menjadi bagian integralistik politisasi media pada 2014 mendatang. Corak konglomerasi media kini semakin kentara dengan adanya MNC Group yang berafiliasi dengan Hanura melawan hegemoni Nasional Demokrat melalui Media Group dan Golkar melalui Viva News. Hal ini belum ditambah munculnya kelompok media lainnya yang akan melalukan hal sama jika terdapat kandidasi potensial yang diorbitkan sebagai presiden. Tentunya dengan adanya gejala politik media yang begitu kuat dalam wajah jurnalisme politik dikhawatirkan akan membuat saluran informasi media menjadi saluran indoktrinasi yang begitu kuat. Konteks kekhawatiran tersebut dapat dianalis dalam berbagai alasan. Pertama, ketiadaan keberagaman kepemilikan dalam tubuh media menjadikan keberagaman substansi media menjadi sangat monolitik. Masyarakat tidak menikmati adanya informasi yang pluralistik, tetapi dipenjara secara visual dengan indoktrinasi pesan-pesan politik pemilik media yang bersangkutan. Kedua, tergadaikannya agenda publik atas informasi dengan kepentingan pemilik sehingga mematikan konsensus deliberatif yang berlangsung di ranah publik. Ketiga, terjadinya perubahan status publik sebagai spectator menjadi voter pasif dalam media karena terjadi proses brainstorming tidak langsung dalam pemberiaan. Keempat, menurunnya standar jurnalisme media massa karena arah pemberitaan menjadi tidak independen dan mulai merambah kepada pemasaran kandidat21. Maka dengan melihat gejala konglomerasi media yang kian kuat akan berimplikasi pada banalitas pada demokrasi itu sendiri. Ketika media semakin berkuasa atas politik persuasif publik, maka semakin rendah pula kecerdesan independen yang dimiliki publik dalam menilai kepantasan calon sebagai presiden. Namun demikian, di tengah mengejalanya politik pencitraan maupun konglomerasi media sebagai sajian utama pembahasan media dalam Yanuar Nugroho, Mapping The Landscape of The Media Industry in Contemporary Indonesia ( Jakarta: Centre for Innovation Policy and Governance, 2012). 21
Pemilu Presiden 2014. Sekarang ini muncul media melakukan pembongkaran pencitraan secara langsung seperti melangsungkan acara parodi politik sebagai anti tesis kedua gejala tersebut. Adapun parodi sendiri ditampilkan untuk memenuhi hasrat publik untuk menikmati tontonan informasi politik yang berimbang dengan gejala konglomerasi media tersebut. Hal inilah yang sering kali mejadi distorsi dalam jurnalisme politik ketika “yang palsu kelihatan nyata” (when fake is more real) dengan adanya bayangan utopia presiden yang merakyat. Indosiar, KOMPAS TV, maupun SCTV mulai menggerakkan medianya menuju politik parodi ini demi mengejar pangsa pasar ini dengan memanfaatkan kebosanan publik. Tentunya dengan adanya pemberitaan yang berimbang, publik berharap bahawa saluran informasi dalam Pemilu Presiden 2014 sendiri tidaklah menjadi monolitik, namun pluralis dengan beragamnya akses informasi yang didapat.
Penutup Konstelasi media dengan politik praktis bisa dikatakan saling terdependensi satu sama lainnya. Politik memerlukan publikasi untuk mendiseminasikan ideologinya kepada publik secara meluas dan media memerlukan figur politisi untuk mendongkrak citra komersialisasi media di ranah publik. Secara konseptual, kebebasan media memang diposisikan sebagai fourth estate dimana media adalah pilar demokrasi setelah lembaga trias politika yang berperan mengawasi dan jalannya pemerintahan. Namun secara realita, batas antara politik dan media sangatlah tipis bahkan imajiner karena kedua ranah ini berperan besar dalam melakukan politisasi satu sama lain. Dalam konteks demokrasi transaksional seperti yang terjadi kasus elektoral presidensial di Indonesia, media belum sepenuhnya independen dalam pemberitaan karena condong pada kekuasaan tertentu. Hal itulah yang dapat dideskripsikan dalam konstelasi media dalam pemilu presiden dalam kurun waktu 2001-2009, konteks media sebagai konglomerasi masih ada dalam demokrasi. Pemberitaan media yang secara ekonomi-politik terpatronase dengan penguasa belumlah lekang sama sekali. Indikasinya dalam suksesi presidensial 2001-2003 terlihat bagaimana media masih terafiliasi informal Politik Persuasif Media ... | Wasisto Raharjo Jati | 29
dengan kekuatan partai penguasa untuk memudahkan pemasaran media tersebut. Adanya politik konstruksi maupun politik framing dalam kurun waktu dua tahun tersebut masih dirasa lemah untuk menampilkan citra media sebagai watchdog. Konteks Pemilu Presiden 2004, media mendapatkan posisi untuk melakukan konstruksi ketika personalitas menjadi fokus penting kampanye caleg. Dalam pemilu ini, media di Indonesia mulai matang dalam pemberitaan Pemilu Presiden melalui konstruksi calon maupun framing pemberitaan. Namun demikian menjadi mundur ketika Pemilu 2009, ketika oligarki media-politik bertansformasi menjadi konglomerasi media yang berperan besar mengarahkan media sebagai alat kampanye politik yang efektif dan efisien. Oleh karena itulah kita mengharap semoga media secara benar dan nyata mampu menjalankan perannya sebagai pilar demokrasi keempat dengan nyata dan benar agar informasi politik yang didapat publik menjadi seimbang.
Daftar Pustaka Buku Chomsky, Noam.,2011, Media Control: The Spectacular Achievement of Propaganda, Toronto: Open Media Books. Danial, Ahmad., Iklan Politik TV: Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru, Yogyakarta: LKiS, 2009. Hill, David.,2007, The Press in New Order Indonesia, New York: Equinox Publshing. Hill, David.,2011, Politics and the Media in Twenty-First Century Indonesia: Decade of Democracy, London: Routledge. J.A, Denny.,2006. Jejak-jejak Pemilu 2004, Yogyakarta: LKiS. KPU., 2006, Pemilihan Presiden secara Langsung 2004: Dokumentasi, Analisis, dan Kritik, Jakarta: KPU Press. McCargo, Duncan., 2006, Media and Politics in Pacific Asia, New York: Routledge. Macquail, Dennis.,2003, Media Policy: Convergence, Concentration & Commerce, London: Sage. Masduki.,2007, Regulasi Penyiaran: Dari Otoriter ke Liberal, Yogyakarta: LKiS. Nugroho, Yanuar.,2012, Mapping The Landscape of The Media Industry in Contemporary
Indonesia, Jakarta: Centre for Innovation Policy and Governance. Sudibyo, Agus., 2001, Politik Media dan Pertarungan Wacana ,Yogyakarta: LKiS.
Jurnal Dhakidae, Daniel., 1992. The State, The Rise of Capital and The Fall of Political Journalism : Political Economy of Indonesian News Industry, Madison: University of Wisconsin Press. Eriyanto., Konsentrasi Kepernilikan Media dan Ancaman Ruang Publik, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol.12, No.2 / Juli 2008. Hamad,Ibnu., 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, dalam Makara Sosial Humaniora, Vo.8,No.1/April 2004. Kovack, Bill. 2001. 9 Element of Journalism, London: The River Press. Masduki., Jurnalisme Politik:Keberpihakan Media dalam Pemilu 2004, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol.8 No.1/2004. Mulyana, Deddy., Menimbang Iklan Politik di Media Massa Menjelang Pemilihan Presiden 2004”, dalam Mediator, Vol.5, No.1/2004. Putra, Gusti Ngurah., Ketika Watchdog Dikuasai Para Juragan: Kontrol Penguasaha terhadap Media Massa, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol 12, No.2/2008. Wahyuni, Hermin Indah., Politik Media dalam Transisi Politik: Dari Kontrol Negara Menuju Self-Regulation Mechanism, dalam Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol.4, No.1/ Juni 2007.
Surat Kabar dan Website Utomo, Wisnu Prasetyo., Mewaspadai Ancaman Konglomerasi Media, dalam Majalah Kongres, Mei/2013.
30 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
TANTANGAN PRESIDEN INDONESIA MENDATANG, DAN RELEVANSI ‘MULTIPLICATION AUTHORITIES’ SINGAPURA CHALLENGES FOR THE NEXT PRESIDENT OF INDONESIAN AND THE RELEVANCE OF SINGAPORE “MULIPLICATION AUTHORITIES” Zainuddin Djafar Guru besar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Jalan prof. Dr. Surjono D Pusponegoro, Kampus UI Depok 16424 E-mail:
[email protected] Diterima: 26 Juli 2013; direvisi: 21 Agustus 2013; disetujui: 28 November 2013 Abstract This writing is going to observe the significant challenge for the next of Indonesian President (after 2014). Some observations have been done, and some important views on individual strength leadership seem not enough. The leadership of next Indonesian president should also reconsider its role in order to cope with the major of Indonesian national problem especially with the issue of corruption. Singapore has shown of its management of success in handling its cronic problem of corruption. The Singaporean Prime Minister leadership has given substantial lesson learned, and indirectly the concept of Multiplication Authorities has shown its validity including several strategies that should also be regarded as the main mission for the next Indonesian president. Keywords: Indonesian next president, Singaporean Multiplication Authorities
Abstrak Penulisan ini bertujuan untuk melakukan observasi pada hal-hal terkait dengan tantangan yang significan bagi calon presiden Indonesia mendatang (pasca 2014). Dalam hal itu observasi sudah dilakukan, dan pandangan pada hal-hal yang terkait dengan kekuatan maupun kelebihan kepemimpinan seseorang tampak tidak cukup. Kepemimpinan bagi presiden Indonesia mendatang juga harus memperhitungkan perannya untuk dapat mengatasi masalah besar bangsa khususnya dalam hal makin kronisnya problema korupsi. Singapura dengan manajemen suksesnya telah berhasil mengatasi soal korupsi yang juga demikian kronik di negaranya. Perdana Menteri Singapura telah memberi berbagai pelajaran yang berharga, termasuk berbagai strategi yang perlu dipertimbangkan yaitu dengan memperhatikan relevansi prinsip “Multiplication of Authorities’, yang telah terbukti validitasnya, dan tentunya hal tersebut perlu mendapat perhatian bagi kepemimpinan Presiden Indonesia mendatang. Kata kunci: Presiden Indonesia mendatang, dan Multiplikasi Otoritas Singapura
Pendahuluan Konteks”Multiplication of Authorities” (MA) sebagai suatu konsep menjadi perhatian dan sorotan utama dari penulisan ini. Intinya, banyak negara yang berhasil dalam merealisir berbagai kebijakan domestiknya dalam mengatasi persoalan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan kronis sifatnya, dan cenderung menerapkan konsep MA secara
optimal, konkrit, dan strategis. Konsep MA yang menjadi penekanan James N. Rosenau melihat bahwa realisasi suatu order (aturan kebijakan) yang sudah disepakati oleh suatu pemerintahan di suatu negara tidak luput dari berbagai fragmentasi (perbedaan).1 Perbedaan antara aturan suatu kebijakan dan fragmentasi James N. Rosenau, The Study of World Politics (Vol.2), Globalization and Governance, (London: Routledge, London, 2006), hlm. 13-18. 1
Tantangan Presiden Indonesia Mendatang ... | Zainuddin Djafar | 31
tersebut tidak dapat dan tidak mudah untuk dapat diatasi begitu saja atau bersifat otomatis, tanpa suatu upaya yang kuat dan serius untuk menuju suatu keberhasilan. Rosenau pada dasarnya menekankan bahwa order dan fragmentation penuh dengan tatanan nilai, dan tidak otomatis suatu order akan menjadi suatu order yang dipatuhi oleh semua pemutus dan pelaksana suatu kebijakan.2 Karena itu suatu order dapat menjadi disorder bagi pembuat keputusan maupun pihak lainnya, jika suatu konteks kebijakan tidak dipahami secara tepat oleh pihak-pihak lainnya di berbagai lembaga di tingkat eksekutif misalnya. Hal ini menurut Rosenau makin terasa penting di suatu pemerintahan yang mendeklarasikan sebagai suatu negara demokrasi, dan tentunya suatu kebijakan (order) tetap harus mengutamakan prinsip dan azas demokrasi yang tidak bersifat tirani maupun impurity (semau-maunya) yang justru dapat menimbulkan chaos.3 Prinsip demokrasi juga harus mengutamakan centralized democracy atas kebijakan-kebijakannya yang tentunya konteks Multiplication of Authorities (MA) makin penting dan relevan dalam menghadapi problema kompleksnya korupsi di Indonesia. Prinsip kebijakan MA yang berlapis dan menjadi suatu kekuatan bersama antar lembaga-lembaga pemerintah, dalam melakukan pemberantasan korupsi maupun KKN di Indonesia menjadi kunci penting di masa mendatang. Singapura dengan berbagai lembaga anti korupsinya Prevention of Corruption Ordinance (POCO) dan Corrupt Practice Investigation Bureau (CPIB) yang sekaligus bersinergi dan multiplikatif sifatnya dengan pihak-pihak terkait lainnya (Perdana Menteri, Parlemen, Kepolisian, Pengadilan, dan aparat hukum lainnya), menjadi bukti penting bagi keberhasilan negara tersebut sebagai negara yang masuk kategori “clean government” dari korupsi di Asia Tenggara saat ini. Sampai kini isu dan problema korupsi (KKN) di Indonesia makin kompleks dan makin banyak keinginan dari berbagai pihak agar presiden mendatang pasca 2014, tidak hanya berjanji untuk mengatakan tidak pada korupsi atau menjadi pemimpin terdepan dalam hal pemberantasan korupsi, tetapi diperlukan suatu leadership dan kebijakan yang jelas, berani dan tegas. Intinya perlu diciptakan kebersamaan Ibid. 3 Ibid. 2
tujuan dan tindakan semua otoritas di tingkat eksekutif yang berlapis sifatnya (termasuk lembaga-lembaga terkait), dan minimal “kasus Singapura” perlu menjadi perhatian. Dengan demikian, relevansi MA tersebut tampak makin signifikan. Lebih jauh, muncul berbagai berita utama di media cetak, dan salah satu tema yang cukup signifikan yaitu ‘Dicari Pemimpin Mau Urus Rakyat’, lebih jauh ditegaskan bahwa kepemimpinan seorang presiden pada pasca pemilu 2014, diharapkan agar Indonesia dapat dipimpin oleh sosok pemimpin yang bersih, tegas, dan berintegritas.4 Sosok presiden tersebut juga diharapkan bersifat pluralis, berani mengambil resiko, serta dekat dan mampu menggerakkan rakyat pada umumnya.5 Keinginan akan sosok kepemimpinan presiden yang demikian tersebut di atas, tampak tidak terlalu berlebihan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal; pertama, konteks kepemimpinan yang diperankan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama 10 tahun terakhir ini terkesan ‘tidak pada format kepemimpinan yang tegas’ khususnya menghadapi permasalahan korupsi, yang sudah demikian menggurita, dan mengakar pada seluruh elemen bangsa Indonesia. Hal tersebut makin menjadi masalah karena pasca era reformasi dan 15 tahun kemudian (2013), sesuai dengan realitas indikator yang ada, korupsi di republik ini dan khususnya di kalangan birokrasi pemerintahan makin menjadi-jadi, dan jauh lebih buruk kondisinya dibandingkan pada era sebelum reformasi yaitu di masa Orde Baru. Persoalan korupsi maupun KKN sangat sulit diberantas dan dituntaskan kalau para pemimpin di berbagai lembaga pemerintahan, dan termasuk presiden sendiri masih mempunyai “kepentingan”, dan tidak benar-benar tuntas menghadapi serta berani mengakhiri kondisi bangsa yang carut marut dengan problema korupsi tersebut. Kedua, pengalaman Singapura menunjukkan dengan tegas bahwa seorang presiden ataupun kepala pemerintahan tidak boleh terlibat maupun ikut campur dengan hal-hal yang dilakukan oleh semacam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nya Singapura, yaitu POCO maupun CPIB yang merupakan ‘Anti-Corruption Agency’. Ketiga, ‘Dicari Pemimpin Mau Urus Rakyat’, Harian Kompas, 31 Mei 2013, hlm. 1-5, Jakarta. 5 Ibid. 4
32 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
sebagaimana diketahui Singapura pada tahun 1958 adalah termasuk negara terkorup di Asia dan kronis sifatnya. Namun, karena kegigihan para pemimpinnya bahwa tumbuh suburnya korupsi di negara pulau tersebut semata-mata dapat menjadi bencana yang berkepanjangan, dan Singapura tidak akan mampu menjadi ‘welfare state country’, dengan ‘Management of Success’-nya di hampir semua bidang kehidupan.6 Karena itu Singapura harus bersih dari korupsi, dan pemerintahaan yang bersih itulah yang harus diperkenalkan dan menjadi daya penarik tersendiri pada dunia internasional, sehingga Singapura dengan amat terbatas bahkan tidak mempunyai sumber daya alam yang patut dibanggakan (kecuali pelabuhan dengan air terdalam di dunia – deep seaport), tetap dapat eksis dan menjadi pusat kegiatan ekonomi, bisnis, transaksi terbesar jual beli saham dan keuangan di Asia dan dunia umumnya yang diakui kredibilitasnya. Keempat, kasus Singapura dengan indeks bebas korupsi tertinggi di dunia perlu mendapat perhatian serius. Lebih dari itu, keberhasilan Singapura harus dilihat juga sebagai ‘bestpractices’ yang valid dan terjadi di lingkungan ASEAN, serta di depan mata bangsa dan negara Indonesia. Sebagaimana diketahui, China sendiri pada tahun 1978 khususnya Perdana Menteri Deng Xiao Ping beserta rombongan delegasinya sejumlah 400 orang yang merupakan seluruh walikota, dan bupati, serta aparat birokrat pemerintahannya berkunjung ke Singapura, dan untuk mengetahui langsung mengapa Singapura hanya sekitar 20 tahun kemudian (1978), sudah menjadi negara dengan tingkat prestasi indeks anti korupsinya yang paling terbaik di dunia.7 Deng Xiao Ping lebih jauh bertanya pada dirinya, mengapa China tidak dapat meniru cerita sukses Singapura dalam hal pemberantasan korupsi tersebut?. Hal-hal apa atau ‘magic-factor’ apa yang perlu disimak dari kasus Singapura tersebut?. Akhirnya, China dalam 5-10 tahun terakhir berhasil mengikuti jejak Singapura, dan kini dikenal sebagai negara yang juga amat tegas untuk melakukan ‘pembersihan’ para Terence Chong (Ed.), Management of Success, Singapore Revisited, (Singapore: ISEAS, 2010), hlm. 1-17. 7 Jon S.T. Quah, Public Administration Singapore Style, (Singapore: Emerald Group Publishing, 2010), hlm. 230. 6
koruptor dan langsung dihukum mati, kalau memang terbukti melakukan tindakan korup baik terhadap negara, dan masyarakat China umumnya. Banyak pihak selalu meremehkan bahwa pada suatu negara yang demikian besar jumlah penduduknya, maka akan sulit untuk dilakukan suatu pemberantasan korupsi, bahkan tidak mungkin terjadi. Hal ini dikarenakan korupsi sudah demikian kronis, dan menggurita seperti lingkaran setan, serta sulit membedakan konteks sebab-akibatnya. Indonesia juga harus menyimak pada kasus-kasus korupsi yang terjadi pada China, kalau dilihat dan diperbandingkan penduduk Indonesia (240 juta) dan China (1,3 milyar), maka kondisi dan konteks China jauh lebih rumit, dan lebih sulit kalau memang soal pemerintahan yang bersih tersebut mau ditegakkan. Jadi di sini persoalan kepemimpinan politik atau siapa yang menjadi presiden di suatu negara menjadi kunci penting atas berhasil atau tidaknya negara tersebut dalam melakukan pemberantasan korupsi. Dengan demikian, tantangan utama bagi presiden Indonesia mendatang tidak hanya sekedar bersih, tegas, dan berbagai identitas lainnya. Tapi yang paling penting negara dan bangsa ini harus dapat bebas dari virus KKN yang sudah demikian kronis sifatnya, dan terjadi selama puluhan tahun.
Berbagai Upaya Pemberantasan Korupsi Di tahun 2011-12 penulis bersama tim kecil telah melakukan penelitian yang dikelola oleh DRPM UI, khsusnya penelitian tersebut merupakan Riset Unggulan Universitas Indonesia (RUUI); terutama menyangkut tema, “Lemahnya Pemberantasan Korupsi, dan Inefisiensi Birokrasi, Serta Implikasinya Terhadap Daya Saing Indonesia dengan ASEAN 3 (Singapura, Malaysia, dan Thailand)”. Salah satu temuan utama dari penelitian tersebut dan merupakan hasil beberapa Focus Group Discussion (FGD) di Singapura, Malaysia, dan Thailand, serta studi literatur dan berbagai in-depth interview yang dilakukan di keempat negara (termasuk Indonesia) tersebut, maka tingkat inefisiensi birokrasi dan lemahnya pemberantasan korupsi dengan jumlah total prosentasenya khusus untuk Indonesia cukup tinggi (32, 2%), dan menjadi beban bagi biaya produksi suatu produk barang baik yang akan diekspor, maupun realisasi
Tantangan Presiden Indonesia Mendatang ... | Zainuddin Djafar | 33
produk yang menjadi konsumsi di dalam negeri.8 Konstelasi beban biaya dalam dua hal tersebut bagi Indonesia jauh melebihi dengan apa yang terjadi di Singapura (0%), Malaysia, dan Thailand, masing-masing hanya berkisar 10%. Dengan angka maupun indikator prosentase tersebut di atas, menunjukkan bahwa inti maupun klimaks dari pemberantasan korupsi yang dilakukan di era Presiden SBY belum memberikan hasil-hasil yang dapat mengakhiri berbagai pungutan, maupun biaya ilegal yang masih tampak demikian tinggi, baik di tingkat aparat birokrasi pemerintahan umumnya, dan di kantor urusan pajak khususnya. Kendatipun sejak awal Presiden SBY dalam kampanye politik untuk pemilu dan di era pemerintahannya pada 2009-2014, selalu menekankan bahwa ‘Saya (presiden) akan selalu berada di posisi paling depan’ untuk tetap melakukan pemberantasan korupsi. Namun, Indonesia dalam prakteknya tetap saja kedodoran dan masih berada pada posisi negara yang paling korup di dunia, maupun di Asia khususnya. Lebih jauh lagi, setelah mengamati investigasi yang dilakukan oleh Michael E. Portillo (Profesor dari MIT, Harvard University, Amerika Serikat), bahwa konteks korupsi yang masih demikian besar problematiknya dan pengaruhnya di beberapa negara di Asia, ternyata tidak hanya terbatas pada dua indikator tersebut di atas.9 Karena argumentasi Portillo tersebut lebih jauh lagi melihat secara komprehensif ada 17-19 indikator yang bersifat non-ekonomi dan bersifat makro-ekonomi yang menyebabkan dua indikator utama (lemahnya pemberantasan korupsi, dan inefisiensi birokrasi), tampak tumbuh subur, dan menjadi amat sulit diatasi atau dihentikan oleh hanya peran seorang presiden yang berstatus sebagai kepala pemerintahan maupun kepala negara di suatu negara di lingkungan ASEAN khususnya. Laporan Penelitian Zainuddin Djafar dan Tim, “Lemahnya Pemberantasan Korupsi, dan Inefisiensi Birokrasi, Serta Implikasinya Terhadap Daya Saing Indonesia dengan ASEAN 3 (Singapura, Malaysia, dan Thailand)’, (Jakarta: RUT UI, DRPM UI, 20112012). 9 Michael E. Portillo, Marn-Heong Wong, Rakhi Shankar, Ruby Toh, and Christian Ketels, ASEAN Competitiveness Report, (Singapore: Asia Competitiveness Institute, National University Singapore, 2010), hlm. III. 8
Konklusi sementara tersebut tampak relevan dalam melihat kasus Indonesia terutama pada empat tahun terakhir ini. Hal-hal yang terlihat, terutama dari kepemimpinan SBY yang masih menitikberatkan dan berorientasi pada penanganan KKN atas kasus-kasus yang tidak membahayakan dirinya dan ‘orang-orang’ terdekatnya, tetapi pada berbagai masalah besar (Century, Hambalang, dan LAPINDO) tampak semakin tidak jelas arahnya, dan demikian lamban eksekusinya. Diketahui oleh masyarakat umumnya, bahwa keterlibatan tokoh-tokoh penting dari Partai Demokrat terhadap kasus Hambalang tampak tidak atau belum mampu disentuh sampai akhir Juni 2013 ini. Padahal penanganan terhadap kasus-kasus KKN yang muncul di permukaan tersebut belum dapat diandalkan untuk menghentikan korupsikorupsi lainnya.
Problema Indonesia Salah satu konsekuensi dari perkembangan KKN di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, menunjukkan bahwa Indonesia memerlukan seorang pemimpin baru pasca 2014 yang lebih baik dari era sebelumnya, dan lebih tegas serta berbagai konotasi penting lainnya yang menjadi harapan masyarakat umumnya agar salah satu masalah atau problema besar Indonesia dalam soal korupsi maupun KKN dapat diselesaikan secara tuntas.10 Jelas tidak tepat kalau Indonesia dalam 5 tahun mendatang (pasca 2014), masih terus menghadapi berbagai soal korupsi yang tiada habisnya. Hal tersebut bukan saja menghambat, tapi juga secara sistimatis akhirnya dapat menghancurkan efektifitas peran dan fungsi pemerintahan yang ‘normal’ sifatnya. Situasi Indonesia yang terus-menerus dilanda kasus-kasus korupsi baru, dan diikuti dengan berbagai penahanan dan tersangka baru terhadap para gubernur, bupati, dan walikota di seluruh Indonesia, serta sampai kini ditandai dengan tingkat kebocoran pada keuangan negara yang masih cukup besar yaitu berkisar 34,6%. Hal tersebut sudah lama digambarkan dan dibenarkan oleh pengamat asing bahwa Indonesia memang sejak masa Orde baru telah mengalami problema KKN yang demikian akut, dan Indonesia disebut sebagai ‘Fragile State’ (negara yang lemah, dan sewaktu-waktu Zainuddin Djafar, Rethinking The Indonesian Crisis, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 2006). 10
34 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
dapat pecah/bubar).11 Kesadaran akan perlunya Indonesia keluar dari konstelasi ‘fragile-state’ tersebut, seharusnya menjadi inspirasi bagi semua pimpinan tertinggi di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan seluruh jajarannya di seluruh pemerintahan daerah di 33 provinsi. Namun, kesadaran tersebut dapat dikatakan belum tumbuh dengan kuat sampai dengan 15 tahun kemudian sejak era reformasi (1997/98). Memang masih ada kesadaran agar Indonesia dapat keluar dari kemelut korupsi maupun KKN yang akut tersebut, tapi sifatnya masih terbatas pada pihak-pihak yang umumnya berada di luar pemerintahan. Mereka umumnya adalah para pengamat hukum, akademisi, tokoh masyarakat, dan mahasiswa, serta orangorang muda yang dapat dikatakan ‘kalah kuat’ untuk menghentikan korupsi maupun KKN dalam 15 tahun terakhir ini. Seharusnya pihak pemerintah dan birokrasinya secara konsekuen dan sistimatis, tampil dan muncul serta berani membersihkan dirinya sendiri. Karena dalam kasus ‘good-governance’-nya Singapura, kepemimpinan politik dari penguasa tertinggi (perdana menteri maupun presiden) yang demikian kuat harus hadir terlebih dulu eksistensinya, yang sekaligus menjadi motor dalam menghentikan berbagai kemelut korupsi yang demikian dahsyat masalahnya. Indonesia dengan problema korupsi dan KKN-nya yang sudah demikian akut, dan menjadi gejala di seluruh lini kehidupan pemerintahan, dan masyarakat, serta masih menjadi perihal sulit diberantas dalam 15 tahun terakhir ini (pasca reformasi 1997/98), adalah realitas yang tidak dapat dianggap remeh. Berbagai semboyan maupun kampanye politik yang dilakukan oleh pemerintahan SBY dalam dua periode kepemimpinannya (sejak 2004), tampak hanya berhasil sebagai teriakan-teriakan yang bersifat gertakan-gertakan saja baik terhadap pihak lain, maupun terhadap dirinya sendiri dan koleganya di Partai Demokrat. Teriakan-teriakan tersebut hanya bersifat retorika, dan ternyata mereka yang berteriak dan diiklankan di media tayang, kini maupun dalam beberapa tahun terakhir (sebelum 2013) masuk dalam orang-orang yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Michael R. J. Vatikiotis, Indonesian Politics Under Soeharto, The Rise and Fall of The New Order, (London & New York: Routledge, 1998), hlm. 204217. 11
Pada prakteknya hal-hal yang terkait dengan pemberantasan korupsi tantangannya makin hebat, masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan berbagai kampanye yang justru dilakukan oleh Presiden SBY dan orangorang dekatnya. Apalagi mereka yang terlibat dan ditetapkan sebagai tersangka adalah orang-orang muda di Partai Demokrat. Ini menunjukkan bahwa tantangan bagi eksistensi presiden di masa mendatang, dan terkait dengan persoalan korupsi dan KKN makin sulit, dan tidak mudah lagi untuk dapat menarik kepercayaan umumnya dari rakyat Indonesia. Kuatnya dukungan dan kepercayaan rakyat umumnya terhadap persoalan korupsi dan KKN adalah modal penting yang tidak dapat ditawartawar lagi, dan menjadi legitimasi politik yang seharusnya dipertahankan dan diperhitungkan oleh siapapun yang menjadi presiden Indonesia di masa mendatang. Namun, hanya mengandalkan pada satu orang pemimpin saja atau seorang presiden saja, jelas tidak cukup karena permasalahan yang menyangkut isu korupsi dan KKN sudah demikian dahsyat masalah dan implikasinya. Bahkan hampir-hampir banyak pihak sudah demikian pesimis, dan tidak mungkin kalau Indonesia hanya mengandalkan pada seorang pemimpin saja, kendatipun pemimpin tersebut tampak demikian hebat konotasi pujian kredibiltas dan keberaniannya. Kekhawatiran terhadap soal kepemimpinan presiden Indonesia di masa mendatang tampak cukup beralasan. Pertama, rakyat Indonesia umumnya tidak mau lagi salah dalam memilih pemimpinnya, terutama presidennya yang sudah dipilih langsung sejak 2004. Kedua, bobot pada kredibilitas atas calon presiden di masa mendatang demikian tinggi tuntutannya. Ketiga, biaya untuk pemilihan presiden tersebut tidak mungkin terlaksana dengan dukungan uang rakyat yang kecil dan terbatas. Ketiga hal tersebut cukup beralasan karena tingkat peradaban demokrasi Indonesia masih berada di bawah standar, sehingga Pilihan presiden 2014 menjadi sangat krusial dan penting.12 Ahmad Syafii Maarif lebih jauh menekankan bahwa jika sosok presiden yang terpilih punya potensi menjadi negarawan, maka masih ada harapan demokrasi di Indonesia akan meninggalkan corak yang Ahmad Syafii Maarif, “Presiden 2014”, Kompas, 15 Maret 2013, hlm. 6. 12
Tantangan Presiden Indonesia Mendatang ... | Zainuddin Djafar | 35
serba ritual dan prosedural menuju terciptanya sebuah demokrasi substansial yang sepenuhnya berpihak pada kepentingan rakyat banyak.13 Pernyataan tersebut amat tepat karena selama ini kelemahan kepemimpinan dari seorang presiden dapat dikatakan kurang dan bahkan lemah untuk melakukan eksekusi-eksekusi yang berpihak pada rakyat. Intinya, kepemimpinan seorang presiden di masa mendatang haruslah berpegang teguh dan mengutamakan visi dan misinya yang melahirkan regulasi-regulasi baru yang berpihak pada rakyat banyak.
pembangunan nasional yang lebih baik, dan kalau perlu dapat terwujud suatu situasi ‘pembalikan’ yang drastis dan lebih baik sifatnya. Pandangan tersebut tampak tidak komprehensif sifatnya, karena kekuatan kekayaan alam Indonesia yang demikian hebat selama ini gagal untuk diangkat dan didayagunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Hal tersebut sebagai akibat terjadinya penyalahgunaan wewenang, salah urus, mismanajemen, serta membuat kesenjangan atas kondisi ekonomi rakyat dan elit penguasa masih demikian lebar.
Ditambahkan pula, bahwa isu-isu keadilan dan kesejahteraan yang selama ini masih tergantung di awan tinggi, di bawah pimpinan para negarawan dari pucuk tertinggi sampai ke akar yang paling bawah, secara berangsur dan pasti akan menjadi kenyataan dalam formatnya yang konkret.14 Hal tersebut akan menjadi masalah serius, jika ternyata pada 2014 pemimpin atau presiden yang muncul justru miskin visi dan tuna moral, ini berarti bahwa corak masa depan Indonesia kian rontok dan terjadi tuna martabat, dan sunyi dari keadilan.15 Kepemimpinan yang kuat dan mengerti akan peta ekonomi, serta kekayaan alam Indonesia harus dapat membalik situasi saat ini menjadi kondisi yang membuat Indonesia makin berdaulat secara ekonomi dan politik. Berdasarkan peta Indonesia yang kaya akan minyak, gas, dan sumber daya alam lainnya – presiden 2014 diharapkan mampu membuat strategi pembangunan nasional yang berpihak kepada rakyat banyak.16 Tumpuan dan harapan pada kepemimpinan seorang presiden 2014 demikian besar, dan tidak tepat kalau seolaholah segenap permasalahan bangsa akan dapat diselesaikan oleh hanya ‘kapasitas leadership’ yang dimiliki oleh seorang presiden.
Kuncinya dalam hal tersebut, Indonesia masih memerlukan visi maupun komitmen dari seorang presiden yang tidak bekerja ‘sendirian’, tapi harus mampu sekaligus melakukan penggerakan berbagai kekuatan yang ada di dalam masyarakat. Intinya, berbagai kekuatan yang ada di dalam masyarakat tidak hanya sebatas digerakkan saja, tapi kekuatan gerakan masyarakat tersebut juga harus dapat diisi dengan hal-hal yang menjadi prioritas bagi keberlangsungan kehidupan bangsa ini secara menyeluruh. Perlu dilakukan inventarisasi masalah-masalah bangsa dan negara yaitu; halhal besar apa saja yang harus menjadi prioritas dan perhatian dari seorang presiden 2014 mendatang?
Namun, siapapun seharusnya banyak belajar dari kepemimpinan SBY selama 4 tahun terakhir ini, bahwa persoalan maupun tantangan bangsa ini yang demikian dahsyat tidak dapat hanya diatasi oleh seorang presiden. Kelemahan selama ini, seorang presiden tidak atau belum mampu menjadi motor dari gerakan atas semua hal yang dihadapi Indonesia. Perhatian terhadap kekayaan alam memang penting, demikian halnya juga dengan realisasi strategi Ibid. Ibid. 15 Ibid. 16 Ibid. �� 14
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pernyataannya, bahwa tantangan Indonesia ke depan juga harus terus menerus konsisten dengan ciri khas kehidupan politik bangsa ini yang sudah dibangun dan dikembangkan selama ini yaitu; terus membangun dan menghadirkan demokrasi yang lebih matang dan berkualitas.17 Lebih jauh SBY mengharapkan bahwa kalau kehadiran demokrasi yang berkualitas tersebut dapat dijaga dan dipertahankan, maka tujuan pemilu 2014 untuk menghasilkan kepemimpinan baru dapat terwujud.18 SBY yang sudah menjabat sebagai presiden dalam 2 periode dan selama 10 tahun terakhir juga amat menyadari, dan mengakui bahwa tidak mungkin citacita bangsa dapat diselesaikan oleh hanya seorang presiden.19 Masing-masing pihak atau pemimpin di tingkat apapun (lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif) mempunyai perannya sendiri, dan yang amat penting “Presiden: Sambut Pemimpin Baru 2014”, Kompas, 15 Juni 2013, hlm. 2. 18 Ibid. 19 Ibid. 17
36 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
semua jajaran pimpinan pemerintahan tersebut juga harus sadar bahwa mewujudkan impian bangsa dalam aspek apapun adalah pekerjaan yang tidak pernah putus dari satu generasi ke generasi selanjutnya.20 Kuncinya, bahwa presiden 2014 haruslah seorang pemimpin yang dapat melakukan keberlanjutan dan perubahan yang tetap dapat mempertahankan kerukunan, persatuan dan toleransi bangsa Indonesia yang demikian beragam atas suku, agama, ras, dan bahasa, serta aspek-aspek etnik lainnya. Dari hasil sejumlah survei yang dilakukan oleh berbagai pihak, menunjukkan bahwa pandangan maupun gagasan yang cemerlang dari seorang presiden di akhir tahun 2014 tidaklah cukup, demikian halnya kalau hanya tergantung pada nama-nama para calon presiden yang berkembang selama satu tahun terakhir ini. Survei menunjukkan kalau rakyat umumnya menghendaki adanya figur-figur alternatif atas calon-calon presiden mendatang, atau intinya mereka adalah muka-muka baru.21 Namun, lebih jauh Syamsuddin Haris, menekankan kalau figur alternatif juga harus diikuti oleh gagasan-gagasan yang bersifat alternatif pula, sekaligus pemimpin tersebut juga harus mampu merealisasikan gagasan-gagasan alternatifnya.22 Cukup beralasan dengan hal-hal yang menjadi penekanan dari peneliti LIPI tersebut, karena umumnya rakyat tidak menghendaki kalau kepemimpinan dari seorang presiden pasca 2014 hanya mengulang atau sebatas meneruskan berbagai kebijakan yang sudah berjalan selama ini. Hal ini jelas bukan saja mengecewakan, tapi juga dapat membahayakan bagi masa depan bangsa dan negara. Karena berarti Indonesia dengan problema korupsinya, dan lain-lain yang demikian dahsyat tersebut makin tidak punya masa depan. Sudah banyak pendapat yang mengharapkan bahwa presiden yang ideal pada akhir tahun 2014, haruslah mereka yang mampu keluar dari berbagai kemelut besar yang terjadi selama ini. Sebagaimana diketahui, kondisi kasus-kasus korupsi selama 15 tahun terakhir ini tampak lebih buruk dari pada kondisi Indonesia waktu mengalami krisis 1997/98. Di samping itu juga muncul para tersangka baru, dengan berbagai kasus-kasus korupsi baru, dan termasuk Ibid. “Rakyat Ingin Figur Alternatif”, Kompas, 30 Mei 2013, hlm. 1. �� Ibid., hal.15. 20 21
hadirnya demikian besar jumlah ‘raja-raja kecil’ (para gubernur, wakil gubernur, walikota, dan bupati) di seluruh Indonesia dengan kasus korupsinya masing-masing. Lebih jauh survei yang dilakukan Harian Kompas sampai pada akhir konklusi yang cukup mencengangkan semua pihak yaitu; ‘reformasi telah berlangsung selama 15 tahun, namun kehidupan bangsa tetap kacau balau’.23 Istilah kacau balau tersebut bukan tanpa alasan, karena problema-problema besar yang dihadapi Indonesia di era 2004-2009, tampak berlalu begitu saja. Lebih jauh, Indonesia di era 2009-2013 masih larut dengan berbagai masalah besar yang dihadapinya, dari berbagai kasus-kasus pada periode-periode sebelumnya. Karena itu, evaluasi 15 tahun setelah era reformasi (1998-1999) menunjukkan data maupun indikasi yang tidak memuaskan, dan bahkan disimpulkan kalau berbagai agenda reformasi dianggap melenceng.24 Seharusnya jatuhnya Soeharto dan agenda perlunya Indonesia melakukan reformasi (‘reformminded’) menjadi pelajaran penting, dan tidak dihiraukan begitu saja oleh mereka yang berada di tampuk pimpinan pemerintahan.25 Berbagai hal yang menunjukkan melencengnya berbagai agenda reformasi, secara tegas diindikasikan dari beberapa indikator sebagai berikut, dan didukung oleh kompilasi data sampai akhir 2012; antara lain indeks persepsi korupsi yang masih tinggi (skor 32), indeks implementasi tata pemerintahan Indonesia (peringkat ke-46 dunia), stabilitas politik dan ketiadaan kekerasan (peringkat ke24), efektifitas pemerintah (peringkat ke-47), kualitas regulasi (peringkat ke-43), penegakan hukum (peringkat ke-34), pemberantasan korupsi (peringkat ke-28), kebebasan berpolitik belum terpenuhi 19,2%, dan otonomi daerah yang seluas-luasnya belum terpenuhi disimpulkan dengan prosentase 58,2%.26 Dari hasil survei tersebut, banyak hal justru melenceng dari agenda reformasi. Fakta riil adalah penegakan hukum lemah, korupsi semakin massif, kesejahteraan rakyat “Agenda Reformasi Melenceng”, Kompas, 20 Mei 2013, hlm. 1. 24 Ibid. 25 Basuki Agus Suparno, Reformasi & Jatuhnya Soeharto, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2012), hlm. 175-219. 26 Ibid. 23
Tantangan Presiden Indonesia Mendatang ... | Zainuddin Djafar | 37
rendah, dan demokrasi kualitasnya masih rendah, dan kian pragmatis serta mahal.27 Di samping itu, terjadi politik dinasti di manamana, sehingga tidak terjadi dengan apa yang disebut ‘konsolidasi demokrasi’.28 Hal-hal yang bersifat menyimpang dalam hal praktikpraktik politik (politik uang, dsbnya), sengaja dibiarkan, dan dibuat permanen, sehingga elite pemerintahan yang berkuasa dapat turut mengambil keuntungan dari situasi tersebut.29 Demokrasi yang berjalan sampai awal 2013 ini bukan bersifat substansial, hal ini membuat biaya politik menjadi tinggi dan menyebabkan banyak orang terjerat dengan ‘korupsi baru’.30 Semua indikator tersebut makin memperkuat pendekatan komprehensif makro dan mikro ekonomi yang dilakukan oleh Michael E. Portilo, bahwa Indonesia dengan tingkat kompetisinya di ASEAN tampak masih rendah (termasuk ranking 5, setelah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam) dengan skor 79, adalah evaluasi yang tidak berdiri sendiri atau merupakan ‘isapan jempol’ dari para pengamat tersebut.31 Namun, Indonesia benarbenar berhadapan dengan berbagai indikator makro ekonominya yang cukup bermasalah, dan ditampilkan oleh survei Harian Kompas tersebut. Dengan demikian tantangan bagi presiden Indonesia mendatang cukup besar. Selanjutnya, di bidang ekonomi khususnya tidak hanya ketangguhan ekonomi Indonesia yang diuji, namun secara riel dalam 4 tahun terakhir ini indonesia terus mengalami defisit neraca pembayarannya, dan khusus untuk 2013 penerimaan negara turun 41,1 trilyun rupiah dan belanja negara membengkak menjadi 39 trilyun rupiah, sehingga defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melebar menjadi 80,1 trilyun rupiah.32 Lebih jauh, ditengah perekonomian global yang masih lesu dan kondisi politik Indonesia menjelang Pemilu 2014, perekonomian Indonesia menghadapi beragam tantangan dan peluangnya sendiri. Di luar itu semua, ketangguhan perekonomian Indonesia masih terletak pada kekuatan konsumsi domestik (sektor riil). Ibid. Ibid. 29 Ibid. 30 Ibid. 31 Michael E. Portillo et. al, op.cit. 32 “Defisit Rp. 80,4 Trilyun”, Kompas, 17 Mei 2013, hlm. 17. 27 28
Kendatipun peluang pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut masih ada. Namun perkembangannya sebatas mempertahankan stabilitas pertumbuhan ekonomi domestik, dan belum dapat diandalkan untuk mewujudkan suatu pendapatan kelas menengah yang menyakinkan dan basis bagi penopang pertumbuhan industri yang maju dan canggih. Sebagai perbandingan, arah pertumbuhan ekonomi China (sejak April 3013) menuju pada rata-rata pendapatan nasionalnya berkisar 17.000 dolar AS (kini China sudah berada di tingkat 9.000 dolar AS). Kalau hal itu terwujud dalam 3-5 tahun mendatang, maka China dapat keluar dari konstelasi ‘Middle Income Trap’-nya.33 Intinya, pertumbuhan ekonomi China sekaligus dapat menjamin tumbuh-kuatnya kelas menengahnya, dengan pendapatan hasil pajaknya sekaligus dapat diandalkan bagi pengembangan basis industri canggih yang memerlukan pendanaan yang tidak sedikit. Pola ini sudah berhasil dilakukan oleh Jepang, dan beberapa negara lainnya (AS, Jerman, Perancis, Inggris, India, Rusia, Brazil, dan AFrika Selatan).34 Namun, kondisi ekonomi ‘Indonesia 201213’ dengan konsumen pasar domestiknya yang demikian besar (240 juta penduduk), masih tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi investor global, misalnya revitalisasi industri, proses konstruksi, infrastruktur, tren urbanisasi, dan tingkat utang luar negeri yang tetap terjaga.35 Secara menyeluruh kondisi ekonomi Indonesia pada 2012 dibandingkan tahun 1997, khususnya ada kenaikan pada beberapa hal yaitu PDB (8.241,86 trilyun rupiah berbanding 627,70) dan pertumbuhan ekonomi (6,27% berbanding 4,65%), inflasi (4,3% berbanding 10,27%), dan penerimaan APBN (1,358.205.0 milyar rupiah berbanding 108.183.8), dan indikator lainnya (utang luar negeri, 126,12 juta dollar berbanding 137,42, kegiatan sektor pertanian 14,44% berbanding 16,09%, kegiatan sektor industry 23,94% berbanding 26,79%, dan suku bunga BI 5,75% berbanding 19,74%). Khusus untuk kegiatan sektor pertanian dan industri nominal harga berlaku dalam milyar rupiah.36 ‘BRICS Challenge The Western Order’, Gulf News, 28 March 2013, hlm. 2-3. 34 Ibid. 35 “Ketangguhan RI Diuji”, Kompas, 17 Mei 2013, hlm. 17. 36 “Ketimpangan Makin Lebar”, Kompas, 17 Mei 2013, hlm. 1. 33
38 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Di samping indikator ekonomi Indonesia (2012) yang membaik tersebut, namun situasi tersebut tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi ekonomi masyarakat secara komprehensif. Kenyataannya, ketimpangan ekonomi pasca 15 tahun reformasi masih terjadi dan makin melebar, serta distribusi kekayaan masih berada di tangan segelintir orang. Intinya, demokrasi ekonomi dan desentralisasi yang seharusnya menjadi instrumen untuk pemerataan belum berjalan secara optimal, dan dapat dikatakan terjadi penyalahgunaan kebijakan (regulasi yang ada belum berpihak penuh pada rakyat banyak).37 Eksesnya, pengerukan sumber daya alam makin besar, dan di sisi lain reformasi telah mengorbankan sektor pertanian yang seharusnya menjadi pilar dalam pemerataan ekonomi.38
tatanan kehidupan politik dan ekonomi bangsa di tingkat domestik. Namun lebih dari itu, secara eksternal makin lama Indonesia makin tidak dapat berbuat apa-apa dalam menghadapi soal isu kompetisi perdagangan, dan termasuk agenda besar ASEAN (Komunitas ASEAN 2015). Berbagai kondisi Indonesia tersebut tidak dapat dibiarkan, dan kepemimpinan bagi presiden terpilih pada akhir tahun 2014 nanti harus dapat keluar dari situasi yang monoton tersebut. Tampaknya berbagai masalah yang dihadapi Indonesia yang demikian komprehensif, haruslah dimulai dengan suatu kepemimpinan presiden yang siap memberikan prioritas pada penanganan pemberantasan korupsi, dan terwujudnya efisiensi kehidupan birokrasi di seluruh daerah (dari pusat sampai ke pelosok desa-desa).
Menyangkut ketimpangan yang makin melebar tersebut, terutama disebabkan asset APBN hampir 75% dikuasai oleh segelintir orang (300 orang). Di sisi lain hal ini diikuti oleh ketimpangan ekonomi di Jawa dan luar Jawa, yang terus meletupkan persoalan politik dan ekonomi, tetapi hal itu ‘dapat diatasi sementara’ karena dikelola melalui pendekatan patronase.39 Orde Reformasi berupaya melakukan koreksi agar ada persaingan berusaha yang adil dan kegiatan ekonomi lebih menyebar. Konsentrasi ekonomi pada segelintir orang berusaha dihilangkan. Namun, pemerintah memilih liberalisasi perdagangan finansial, investasi dan tenaga kerja. Di samping pemerintah melakukan perubahan tata kelola proses pemberian kewenangan untuk pemerataan pembangunan melalui desentralisasi di level mikro ekonomi.40
Salah satu konklusi penting dari berbagai problema Indonesia tersebut, juga ditegaskan oleh Presiden SBY bahwa calon presiden di masa mendatang harus benar-benar memahami berbagai masalah bangsa.41 Indonesia menghadapi berbagai persoalan dan tantangan lainnya di masa mendatang yaitu meliputi; bidang ekonomi (Indonesia berhadapan dengan kondisi ekonomi global yang belum terbebas dari resesi dunia), bidang politik (perlu direalisir konsolidasi demokrasi yang matang dan berkualitas), bidang sosial (masyarakat perlu makin rukun dan toleran), dan di bidang hubungan internasional (perlu memahami posisi Indonesia sebagai kekuatan regional dan pemain global).42
Gambaran tersebut cukup memprihatinkan, terutama soal ketimpangan ekonomi dan regulasi politik yang tidak berpihak pada rakyat banyak, ditambah lagi soal ketidakpastian penanganan korupsi dan KKN selama ini, dan semua itu akan menjadi pilar-pilar penting yang akan dihadapi oleh presiden Indonesia mendatang (pasca 2014). Masyarakat dan banyak pihak umumnya berkeinginan kuat kalau soal-soal yang dijelaskan tersebut di atas, dan khususnya korupsi dan KKN harus dapat diatasi atau dihentikan. Membiarkan berbagai permasalahan ekonomi-politik tersebut, bukan saja merusak Ibid. 38 Ibid. �� Ibid. �� Ibid. 37
Tidak ada yang salah dari penjelasan SBY tersebut, tetapi ternyata SBY tidak menyinggung soal virus korupsi di Indonesia yang sudah demikian kronis, dan masih tampak bahwa rejim SBY kurang serius, dan kurang tegas, sehingga tidak tampak momentum efek jera yang dapat menjadi pelajaran besar. Asep Salahudin justru berpandangan bahwa halhal yang menjadi perhatian SBY tidak akan banyak manfaatnya, kalau soal korupsi yang menggurita terus membuat negara makin tidak berdaya, dan kehilangan roh kemerdekaan atas rakyatnya.43 Lebih jauh ditegaskan bahwa semua problema bangsa akhirnya terpusat, “Pemimpin, SBY: Capres Harus Paham Masalah Bangsa”, Kompas, 20 Juni 2013, hlm. 2. 42 Ibid. 43 Asep Salahudin, “Politik “Sang Kyai”, Kompas, 21 Juni 2013. 41
Tantangan Presiden Indonesia Mendatang ... | Zainuddin Djafar | 39
dan dapat disebut sebagai ‘salah urus’.44 Soal korupsi dan salah urus negara selama ini sebaiknya menjadi perhatian besar dari semua calon presiden Indonesia mendatang, dan tidak ada resep ajaib atau kiat-kiat yang dapat mengatasi problema Indonesia terutama hanya dengan mengandalkan berbagai kelebihan ataupun kekuatan yang dimiliki secara personal oleh seorang pemimpin. Menyangkut soal plus-minus bagi kepemimpinan presiden mendatang diulas oleh berbagai referensi kepustakaan akhir-akhir (2012-2013), tampak umumnya para penulis masih terlalu menekankan pada pentingnya aspek-aspek yang bersifat kekuatan individu yang dimilikinya, dan terkait dengan soal bakat, mental, serta pengalaman yang dimilikinya selama ini. Berbagai nama pemimpin di Indonesia dan hidup di masa lalu seperti; Sukarno, M. Hatta, Sutan Syahrir, M. Natsir, Agus Salim, R. A. Kartini, Supomo, Panglima Besar Jenderal Sudirman, Hoegeng, dll, memang demikian hebat leadership-nya, dan mereka semua itu dianggap pemimpin yang dirindukan, serta secara khusus merefleksikan karakteristik yang paham akan keinginan rakyat, dan juga dekat dengan rakyat.45 Kelebihan dan kekuatan kepemimpinan yang bersifat personal tersebut, tidak mungkin diturunkan begitu saja kepada pihak lain atau menjadi ciri utama dari presiden Indonesia mendatang, dan secara otomatis sifatnya. Intinya, terdapat 2 hal utama yaitu; pertama, tidak ada kepemimpinan yang dimiliki oleh seorang presiden di suatu era pemerintahan dapat diturunkan secara total sama polanya terhadap pemimpin lainnya. Kedua, bagi setiap pemimpin umumnya masing-masing menghadapi situasi dan kondisi yang tidak selalu sama, karena itu karakteristik setiap pemimpin mempunyai orientasi dan kepentingannya sendiri. Been Rafanany melihat aspek kepemimpinan lebih mengutamakan kebiasaankebiasaan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh hebat dan harus ditiru, misalnya seorang pemimpin harus berani mengambil resiko yang paling besar, harus mencintai apa yang dikerjakannya, bebas rasa malas, ahli di bidangnya, jujur dalam segala hal, mengelola keuangan dengan baik, Ibid. S. B. Pramono & Dessy Harahap, Pemimpin Yang Dirindukan, Refleksi Karateristik Kerakyatan, (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2013), hlm. III. 44 45
tidak takut gagal, tidak mudah putus asa, fokus pada kekuatan yang dimilikinya, kerja keras, dan memotivasi diri dengan kompetisi, dll.46 Tidak ada yang salah ataupun yang perlu ditolak dari berbagai ciri kepemimpinan yang perlu ditiru, dan perlu dipertimbangkan bagi presiden Indonesia di masa mendatang, tetapi semua itu masih harus diuji keberhasilannya dalam menghadapi berbagai prioritas tantangan utama yang dihadapi Indonesia. Intinya, kelebihan maupun kekuatan personal seorang pemimpin tetap masih harus diuji, tidak cukup hanya ditiru dan ternyata tidak sesuai dengan tuntutan zamannya. Di luar itu fenomena Jokowi (kini Gubernur DKI Jakarta, 2013-2018) banyak mendapat tempat dan sorotan dari berbagai pengamat, misalnya saja secara khusus Been Rafanany mengulas berbagai kebiasaan Jokowi yang amat sederhana, dan mencintai semua produk maupun kebiasaan yang banyak dilakukan oleh rakyat dan bersifat lokal, misalnya lebih memilih makanan Indonesia (gudeg, dll).47 Karena itu Jokowi dianggap ideal sebagai pemimpin masa depan bagi Indonesia, ia dekat dengan rakyat, dan pasti kebijakan serta perhatiannya akan condong pada rakyat banyak. Ditambahkan oleh Charles Adi Prasodjo, memang Jokowi kini banjir dukungan, dan cukup fenomenal dengan prestasinya sebagai wali kota terbaik di dalam negeri (Wali Kota Surakarta, Solo), dan kini masuk dalam 25 besar kandidat Calon Wali Kota terbaik dunia.48 Di samping itu, konteks personal Jokowi memang tidak hanya fenomenal, namun ketulusan dan kepolosannya pada saat ini (2013) hanya Jokowi-lah yang cukup mempesona. Kepada Yon Thayrun, Jokowi dengan polos menyatakan; ‘yang paling sulit saat ini adalah mengalahkan diri sendiri’.49 Hal tersebut menimbulkan simpati tersendiri bagi kaum muda umumnya (dengan potensi sekitar 50 juta kaum muda sebagai pemilih baru, 2014). Been Rafanany, Kebiasaan-Kebiasaan Tokoh Hebat di Seluruh Jagad Yang Harus Anda Tiru, (Yogyakarta: Penerbit Araska, 2013), hlm. 5-150. 47 Ibid. 48 Charles Adi Prasodjo, Matahariku Indonesiaku!, Gebrakan Orang-Orang Indonesia Fenomeal Terkini Membasmi Kezhaliman, (Yogyakarta: Penerbit IRCiSoD, 2012), hlm. 5-6. 49 Yon Thayrun, Jokowi: Pemimpin Rakyat Berjiwa Rocker, (Penerbit NouraBooks, 2012), hlm. 236-7. 46
40 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Konteks personal kepemimpinan Jokowi mempunyai kekuatan tersendiri, dan tampaknya tidak bertentangan dengan falsafah kepemimpinan orang Jawa pada umumnya. Seorang pimpinan yang berasal dari keturunan Jawa, harus memperhatikan prinsip JawaJawi, dan merupakan khalifatullah (wakil Tuhan) yang senantiasa bersifat etis, estetis, serta berperan aktif dalam turut melakukan hame-mayu hayuning bawana (menjaga keselamatan alam beserta isinya, serta bangsa dan negaranya).50 Jelas prinsip falsafah tersebut dipahami oleh mereka (Soeharto, Sri Sultan HB IX, dan Jokowi) yang berasal dari Jawa, dan masing-masing dalam prakteknya tampil dengan penekanan ‘leadership’ di atas situasi yang berbeda antar satu dan lainnya. Dalam hal itu, Jokowi tampaknya tampil dengan corak kepemimpinannya bersifat antiklimaks dari dua nama besar lainnya tersebut. Jokowi tampak lebih manusiawi, dan lebih menjaga keselamatan alam dan lainnya secara berimbang. Namun tetap ‘leadership’ Jokowi masih harus diuji, dan masih dalam proses, dan khususnya semua masalah tidak dapat dihadapi oleh seorang pemimpin saja. Demikian pula soal kerjasama, dan terkait dengan kemampuan melakukan penggerakkan berbagai kekuatan di dalam masyarakat juga ditentukan oleh kepemimpinan seseorang yang bersifat praktis dan konkrit. Di luar fenomena Jokowi, persoalan pengujian dari ambisi kepemimpinan seorang presiden tampak menjadi perhatian M. Sabri S. Shinta yang melihat Presiden SBY tersandera dengan komitmen-komitmen politiknya, dan khususnya dalam melaksanakan pemerintahan yang lebih efektif dan stabil, sehingga kombinasi sistem presidensial dan sistem kepartaian yang dapat berjalan mulus ternyata tidak mudah.51 Sistem presidensial tampaknya harus didukung oleh sistem multi-partai yang sederhana, dan diharapkan dengan kombinasi tersebut efektifitas pemerintahan dapat terwujud. Salah satu syarat terwujudnya sistem multi-partai yang sederhana tersebut, yaitu Sri Wintala Achmad, Falsafah Kepemimpinan Jawa, Soeharto, Sri Sultan HB IX & Jokowi, (Yogyakarta: Penerbit Araska, 2013), hlm. 26. 51 M. Sabri S. Shinta, Presiden Tersandera; Melihat Dampak Kombinasi Sistem PresidensialMultipartai Terhadap Relasi Presiden– DPR di Masa Pemerintahan SBY-Boediono, (Penerbit RMBOOKS, 2012), hlm. 153. 50
melalui heterogenitas partai yang dapat bersifat kompromis, dan persepsi maupun pandangan antar partai menyangkut sistem politik Indonesia harus dapat dikendalikan, serta melahirkan proses pengambilan keputusan yang solid dan tidak parsial. Ini menjadi tantangan bagi SBY selama ini, karena ‘faktor personal’ SBY sendiri bagi partai-partai lainnya (di luar Partai Demokrat) belum cukup menyakinkan sebagai pengendali yang solid dan kharismatik. Demikian pula dengan visi anti korupsinya SBY yang dianggap merupakan fondasi penting bagi keberlangsungan sejarah bangsa dan negara Indonesia,52 tampak masih harus diuji validitasnya dan diperlukan cross-check dengan hal-hal lainnya. Misalnya seberapa jauh kasus SPT presiden dan keluarganya tersebut benarbenar valid, serta soal masuknya dana untuk Lapindo dalam APBN (apakah benar karena sementara kalangan berpendapat ada permainan di tingkat elit eksekutif dan legislatif dalam soal itu?). Tampak kalau A. Bakir Ihsan & Zaenal A. Budiyono masih demikian naïf dalam mengevaluasi sosok SBY khususnya, dan hanya bersifat sepihak saja (seolah-olah ‘faktafakta SBY dan Partai Demokrat’ tidak perlu diproses kebenarannya). Justru dengan berbagai kasus korupsi di Partai Demokrat, ternyata SBY sendiri sulit untuk melakukan manuver politiknya, bahkan SBY secara gamblang menyatakan;’meminta kesiapan mental para kader partai jika Demokrat kalah dalam pemilu mendatang (2014)’.53 Hal ini amat dimungkinkan sebagai akibat terjadinya swingvoter yang cukup potensial, dan diperkirakan oleh Burhanuddin Muhtadi kalau sisa pemilih Partai Demokrat hanya tinggal satu pertiga dari hasil pemilu 2009, dan dua pertiga pemilih Demokrat tampaknya akan pindah ke partai lainnya.54 Perlu ditambahkan, situasi tersebut terutama pada pasca digantinya Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, ternyata popularitas Partai Demokrat bukan tambah baik, dan mungkin saja lebih dari dua pertiga pemilihnya pada 2009 yang lalu akan pindah untuk memilih partai politik lainnya. A. Bakir Ihsan & Zaenal A. Budiyono, Pemimpin Dipuji & Dicaci: Realitas Demokrasi Indonesia kini, (Jakarta: Penerbit Expose, 2013), hlm. 14-5. 53 Burhanuddin Muhtadi, Perang Bintang 2014: Konstelasi dan Prediksi Pemilu dan Pilpres, (Jakarta: Penerbit Noura Books, 2013), hlm. 323. 54 Ibid. 52
Tantangan Presiden Indonesia Mendatang ... | Zainuddin Djafar | 41
Menyimak Konteks Kepemimpinan Politik di Singapura Di luar fenomena SBY maupun Jokowi yang amat populer akhir-akhir ini, dan memperhatikan perkembangan kepemimpinan politik di Singapura, bukanlah berarti pandangan pada penulisan ini akan menempatkan para pemimpin di Singapura lebih baik, maupun lebih menentukan bagi perkembangan dan soal presiden Indonesia di masa mendatang (pasca 2014). Hanya perlu digarisbawahi bahwa maju dan kuatnya perkembangan Singapura sebagai negara yang paling kompetitif di muka bumi ini termasuk ranking 1, serta skor indeks negaranya yang paling bersih melalui penerapan prinsip good governance-nya (10 besar dunia), jelas tidak lepas dari kepemimpinan dan kemauan politiknya yang demikian kuat untuk memberantas masalah korupsi yang demikian kronis sejak 54 tahun yang lalu. Berbagai konsep yang bersifat mendukung kepemimpinan politiknya selama ini terutama menghadapi soal korupsi yang demikian kronis di Singapura, dan sejak Juni 1959 tampak pemerintah People Action’s Party (PAP) Singapura secara konsisten, memberi prioritas utama atas hal tersebut.55 Pemerintah Indonesia pasca reformasi tidak dapat menutupi ataupun mengalihkan perhatian, dan seolaholah problema korupsi bukan menjadi prioritas utama. Seharusnya Indonesia bertindak lebih arif, dan secara strategis menentukan langkah-langkah apa yang perlu dilakukan dan berkesinambungan selama periode 15 tahun (1998-2013). Tidak dapat diabaikan kalau rejim Orde Baru tampak masih demikian kuat pengaruhnya, sehingga para pemimpin bangsa di era reformasi tidak dapat berbuat banyak. Sejak tahun 1959 pemerintah Singapura melakukan misi utamanya yaitu dengan meminimalisir semua bentuk korupsi, dengan melakukan perubahan atas persepsi publik atas korupsi yang harus diturunkan derajatnya seminimal mungkin dan menjadi problema yang beresiko rendah, pemberian hadiah pada aktivitas korupsi yang berdimensi dahsyat harus dilakukan, dan pada resiko yang kecil juga diberikan ganjaran yang setimpal.56 Di samping prioritas lainnya yang dilakukan oleh pemerintah Singapura yaitu memperkuat 2 55 56
Jon S.T. Quah, op.cit., hlm. 176. Ibid.
lembaga anti korupsi Singapura, yaitu POCO (Prevention of Corruption Ordinance) dan CPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau), sebagai strategi komprehensif anti korupsi di negara tersebut dan efektif berlaku sejak tahun 1960.57 Perlu dipahami bahwa pemerintahan PAP Singapura sendiri tidak tinggal diam, atau membiarkan CPIB berjalan sendiri, namun CPIB mendapat dukungan kuat dalam hal; paying competitive salaries to political leaders, and senior burauecrats, cutting red tape, and using e-government to minimize opportunities for corruption.58 Kebijakan tersebut berlanjut terus sampai April1991, dan lebih serius lagi PAP menciptakan Service Improvement Unit , hal ini dirasakan penting karena penundaan pelayanan publik yang sering terjadi dan terkait dengan istilah ‘red tape bureaucracy’ harus dapat dicegah, terutama dengan memperbaiki kualitas pelayanan publik oleh pihak birokrasi secara konsisten.59 Pemerintah PAP Singapura tampaknya memang tidak ragu-ragu dalam soal pemberantasan korupsi tersebut, dan orientasinya juga harus berdimensi pada korupsi ‘kelas kakap’, hal ini ditekankan bahwa, If the big fish (rich and famous person) are immune from prosecution for corruption, and the anticorruption agency focuses its energies on catching only ‘small fish’ (ordinary people), and as a result the anti-corruption strategy lacks credibility and is doomed to failure.60 Pandangan tersebut, terus diperkuat dan didukung oleh (1) there must be comprehensive anti-corruption legislation to prevent loopholes and periodic review of such legislation to introduce amandments whenever necessary, (2) the second indicator of a government’s political will is its provision of adequate legal powers, personnel, and budget to enable the anti corruption agency to perform its functions effectively.61 Dari kasus pemberantasan korupsi di Singapura tersebut, Jon S.T. Quah menyarankan pada negara-negara di Asia (Korea Selatan, Thailand, India, Philipines, dan Indonesia), harus mampu mendemonstrasikan kemauan politiknya melalui; ‘increasing substantially Ibid. Ibid. 59 Jon S.T. Quah, op.cit., hlm. 189. 60 Ibid., hal. 191. 61 Ibid., hal. 192. 57 58
42 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
the legal powers, personnel, and budgets of their anti-corruption agencies.62 Lebih jauh lagi, Jon S. T. Quah mengkritik dengan apa yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap pembentukan taskforce anti korupsi pada instansi lainnya di luar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2005 yang dapat menjadi pesaing dan melucuti kekuasaannya; antara lain dikatakan, ‘Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyono had unwittingly undermined its effectiveness in May 2005 when he formed an anti-corruption taskforce of prosecutors, police, and auditors to compete with the KPK.63 Strategi lain yang juga dianggap penting oleh pemerintah PAP Singapura, bahwa dalam perihal pemberantasan korupsi seorang pemimpin pemerintahan tertinggi harus dapat independen dan tidak terlibat dalam kepentingan pengawasan politik pada dua hal; pertama, pimpinan pemerintahan tidak boleh terlibat atau ikut campur dalam operasi seharihari dari lembaga yang setaraf dengan anticorruption agency, kedua, dan menjadi amat penting bahwa ‘anti-corruption agency should be able to investigate political leaders and senior civil servantswithout fearm and favor if they are accused of corruption.64 Strategi lainnya, bahwa pihak POCO dan CPIB serta para anggotanya tidak boleh terlibat korupsi, hal ini dapat mengakibatkan peran mereka tidak efektif dan hilang kredibilitasnya.65 Di samping itu, pemerintah PAP amat sadar bahwa pemberantasan korupsi tidak akan efektif jika tindakan aksinya baru dilakukan setelah suatu transaksi korupsi terjadi, dan tindakan korupsi secara komprehensif harus didukung oleh perbaikan gaji atau pendapatan atas seluruh staf maupun mereka yang bekerja di birokrasi pemerintahan dan isntansi maupun institusi pemerintahan lainnya. Karena bagaimanapun pendapatan yang rendah dari seorang pegawai, adalah cikal bakal dan awal dari motivasi terjadinya korupsi.66
Penutup Dari kasus Singapura tersebut tampa jelas, bahwa implikasinya terhadap presiden Indonesia mendatang tidak dapat hanya Ibid., hal. 193. Ibid. 64 Jon S.T. Quah, op.cit., hlm. 194. 65 Ibid. 66 Ibid., hlm. 194-8. 62 63
mengandalkan fenomena kepemimpinan yang bersifat individual. Kelebihan maupun kekuatan personal seorang pemimpin juga tergantung pada kesadarannya bahwa untuk menghadapi berbagai permasalahan bangsa yang demikian besar tidak dapat diatasi sendiri. Indonesia memang menghadapi banyak masalah, namun penulisan ini tetap melihat bahwa masalah korupsi dan KKN dalam bentuk luas harus lebih diutamakan dan menjadi prioritas paling penting. Ini telah ditunjukkan oleh Singapura bahwa sehebat apapun potensi suatu bangsa dengan kualitas sumber daya alamnya, dan sumber daya manusianya, namun tidak akan banyak berbicara baik secara internal domestik maupun eksternal kalau kualitas pembangunan di negara tersebut negatif. Untuk itu perlu disepakati dan diketahui oleh semua pihak bahwa faktor yang mempunyai daya rusak tinggi pada bangsa dan negara adalah korupsi/KKN. Singapura amat sadar akan penyakit kronis tersebut yang dapat menghancurkan kualitas bangsa dan negaranya. Karena itu harapan pada kepemimpinan presiden Indonesia di masa mendatang (pasca tahun 2014), mau tidak mau soal korupsi harus menjadi prioritas utama, dan tidak boleh dibiarkan kembali berlalu. Dari kasus Singapura tersebut, dan dibalik soal kepemimpinan seorang kepala negara maupun perdana menterinya, mereka dari waktu ke waktu secara serius membangun berbagai ‘authorities’, di mana prinsip tersebut makin diperkuat dan diperankan oleh berbagai lembaga (CPIB, POCO, legislasinya, dan lainlain). Karena itu makin lama terciptalah dengan apa yang disebut ‘multiplication of authorities’, yaitu otoritas kekuasaan negara yang berlapis, dan solid satu sama lain, serta dikontrol secara bersama-sama oleh semua pihak yang punya wewenang dan otoritas tersebut. Oleh sebab itu, suatu pandangan yang menyimpulkan bahwa gagalnya pemberantasan korupsi di Indonesia disebabkan pula oleh tidak adanya kontrol masyarakat, maka hal itu tetap sulit untuk menjadi faktor penentu suatu keberhasilan.67 Bagaimanapun berbagai mekanisme yang dibentuk untuk memberantas korupsi jelas memerlukan hadirnya kemauan politik yang kuat di tingkat pemerintahan, dan dukungan berbagai otoritas lainnya. Dari hasil observasi atas kasus Singapura tersebut, Iwan Gardono Sujatmiko, “Korupsi dan Gerakan Sosial”, Kompas, 25 Agustus 2012, hlm. 6. 67
Tantangan Presiden Indonesia Mendatang ... | Zainuddin Djafar | 43
makin jelas bahwa kemauan politik juga memerlukan taktik dan strategi yang jitu dari seorang pemimpin tertingginya, yaitu kemauan politik yang kuat dari seorang presiden juga harus diikuti dengan pembangunan berbagai kekuatan lainnya yang benar-benar dapat menjamin terealisirnya pemberantasan korupsi secara optimal dan kredibel. Singapura dengan kepemimpinan politiknya secara tidak langsung telah menerapkan konsep ‘Multiplication of Authorities’ tersebut.68 Secara tidak langsung dengan penerapan konsep tersebut, Singapura sudah terbukti berhasil, dan kemudian diikuti oleh China. Karena itu, bagi presiden Indonesia mendatang mau tidak mau harus memperhitungkan relevansi konsep tersebut, dan tidak terlena pada hanya fenomena kekuatan personal seorang calon presiden.
Daftar Pustaka Buku Ahmad, Sri Wintala. 2013. Falsafah Kepemimpinan Jawa: Soeharto, Sri Sultan HB IX & Jokowi. Yogyakarta: Penerbit Araska. Asia Competitiveness Institute. 2010. ASEAN Competitiveness Report. Singapore: National University Singapore. Chong, Terence (Ed.). 2010. Management of Success: Singapore Revisited. Singapore: ISEAS. Djafar, Zainuddin. 2006. Rethinking The Indonesian Crisis. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. Ihsan, A. Bakir, & Zaenal A. Budiyono. 2013. Pemimpin Dipuji & Dicaci: Realitas Demokrasi Indonesia Kini. Jakarta: Penerbit Expose. Muhtadi, Burhanuddin. 2013. Perang Bintang 2014: Konstelasi dan Prediksi Pemilu dan Pilpres. Jakarta: Noura Books. Portillo, Michael E., Marn-Heong Wong, Rakhi Shankar, Ruby Toh, and Christian Ketels, Pramono S. B., Dessy Harahap. 2013. Pemimpin Yang Dirindukan: Refleksi Karakteristik Kerakyatan. Yogyakarta: Grafindo Litera Media. Prasodjo, Charles Adi. 2012. Matahariku Indonesiaku!: Gebrakan Orang-Orang 68
Indonesia Fenomenal Terkini Membasmi Kezhaliman. Yogyakarta: Penerbit IRCiSoD. Quah, Jon S.T. 2010. Public Administration Singapore Style. Singapore: Emerald Group Publishing. Rafanany, Been. 2013. Kebiasaan-Kebiasaan Tokoh Hebat di Seluruh Jagad Yang Harus Anda Tiru. Yogyakarta: Penerbit Araska. Rosenau, James N, The Study of World Politics (Vol.2), Globalization and Governance, Routledge, London, UK, 2006. Shinta S, M. Sabri. 2012. Presiden Tersandera: Melihat Dampak Kombinasi Sistem Presidential Multipartai Terhadap Relasi Presiden–DPR di Masa Pemerintahan SBY-Boediono. Penerbit RMBOOKS. Suparno, Basuki Agus. 2012. Reformasi & Jatuhnya Soeharto. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. Thayrun, Yon. 2012. Jokowi, Pemimpin Rakyat Berjiwa Rocker. Jakarta: Noura Books. Vatikiotis, Michael R. J. 1998. Indonesian Politics Under Soeharto, The Rise and Fall of The New Order. London & New York: Routledge.
Laporan dan Makalah Zainudin Djafar dan Tim. 2011-2012. “Lemahnya Pemberantasan Korupsi, dan Inefisiensi Birokrasi, Serta Implikasinya Terhadap Daya Saing Indonesia dengan ASEAN 3 (Singapura, Malaysia, dan Thailand)”. Jakarta: RU UI, DRPM UI.
Surat Kabar dan Website Ahmad Syafii Maarif. 2013. “Presiden 2014”. Kompas. 15 Maret. “Agenda Reformasi Melenceng”. 2013. Kompas. 20 Mei. Asep Salahudin. “Politik ‘Sang Kyai”. 2013. Kompas. 21 Juni. “BRICS Challenge The Western Order”. 2013. Gulf News. 28 Maret. Iwan Gardono Sujatmiko. 2012. “Korupsi dan Gerakan Sosial”. Kompas. 25 Agustus. “Pemimpin, SBY: Capres Harus Paham Masalah Bangsa”. 2013. Kompas. 20 Juni. “Presiden: Sambut Pemimpin Baru 2014”. 2013. Kompas. 15 Juni.
James N. Rosenau, op.cit., hlm. 13-18.
44 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
“Rakyat Ingin Figur Alternatif”. 2013. Kompas. 30 Mei. “Defisit Rp. 80,4 Trilyun”. 2013. Kompas. 17 Mei. “Ketangguhan RI Diuji”. 2013. Kompas. 17 Mei. “Ketimpangan Makin Lebar”. 2013. Kompas. 17 Mei. “Dicari Pemimpin Mau Urus Rakyat”. 2013. Kompas. 31 Mei.
Tantangan Presiden Indonesia Mendatang ... | Zainuddin Djafar | 45
46 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
PRAKONDISI UNTUK MENGUKUHKAN LEGITIMASI PEMERINTAHAN PRE-CONDITIONS FOR ENHANCING THE LEGITIMACY OF GOVERNANCE Devi Darmawan Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 30 Juli 2013; direvisi: 29 Agustus 2013; disetujui: 3 Desember 2013 Increased governance capacity and quality are crucial elements of social development and, as such, governments are more efficient when they achieve acceptance.1
Abstract The political elite involvement’s as the state administrators in corrupt practices have impact to decrease degree of government legitimacy (delegitimation) because it’s indicates the government’s failure to govern responsibly. On the other hand, the problem of delegitimation reflects a failure of political parties to conduct the politic recruitment and therefore can not produce proper candidates to contest the elections. Therefore, political parties should be forced to conduct an internal selection to elect the prospective candidates in a transparent manner in making a list of candidates who will be nominated to contest the elections. It’s necessary for make the quality of electoral candidates could contribute positively to the election process to produce elected state administrators which are credible and capable for managing government responsibly. Keywords: Goverment Legitimacy, Nomination Process of Election Participants
Abstrak Keterlibatan elite politik selaku penyelenggara negara dalam praktik korupsi berdampak pada delegitimasi pemerintahan hasil pemilu karena mengindikasikan kegagalan pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan secara bertanggung jawab. Di sisi lain, problem delegitimasi ini mencerminkan kegagalan partai politik dalam melakukan fungsi rekrutmen sehingga tidak dapat menghasilkan calon-calon kandidat yang berkualitas untuk mengikuti pemilu. Oleh sebab itu, partai politik harus dipaksa untuk melakukan seleksi internal bakal calon kandidat secara transparan dalam membuat daftar calon kandidat yang akan dicalonkan untuk mengikuti pemilu. Hal ini diperlukan agar kualitas kandidat peserta pemilu dapat berkontribusi positif dalam menghasilkan keterpilihan penyelenggara negara yang kredibel, kapabel, dan akuntabel untuk mengelola pemerintahan ke depan. Kata kunci: Legitimasi Pemerintahan, Pencalonan Kandidat Peserta Pemilu
Margaret Levi dan Audrey Sacks, “Achieving Good Government-And, Maybe, Legitimacy”, dalam makalah disampaikan pada World Bank Conference “New Frontiers of Social Policy”, Washington, December 12-15, 2005. Hlm. 1. 1
Prakondisi Untuk Mengukuhkan Legitimasi Pemerintahan | Devi Darmawan | 47
Pendahuluan1 Kualitas hidup rakyat Indonesia bergantung pada kondisi lingkungan dan Sumber Daya Alam (SDA). Akan tetapi, praktik korupsi, misalokasi dan penyalahgunaan dana, implementasi kebijakan SDA yang tidak efektif dan efisien terus menerus menjadi penghambat bagi upaya perlindungan, konservasi, dan perbaikan lingkungan serta SDA. Ironisnya, pelaku korupsi sebagian besar berasal dari kalangan penyelenggara negara yang terdiri dari politisi dan para birokrat di berbagai tingkatan, mulai dari pejabat tinggi negara hingga ke level elite lokal.2 Dalam praktiknya, korupsi tersebut cenderung melibatkan transaksi ilegal besar dengan mengorbankan hutan, keanekaragaman hayati, udara yang bersih, air, serta berbagai kekayaan lingkungan dan SDA lainnya dalam mencapai agenda politik dan atau keuntungan ekonomi jangka pendek mereka (elite capture).3 Hal itu dilakukan oleh para elit dengan cara menjalin hubungan dengan perusahaan-perusahaan asing (yang diuntungkan oleh tindakan mereka) dan berupaya melanggengkan kekuasaan dengan segala upaya demi memaksimalkan keuntungan pribadi.4 Akibatnya, dana yang sebenarnya merupakan hak negara oleh para elite politik tidak dipergunakan untuk melindungi dan mengonservasi SDA, tidak digunakan untuk menginvestasikan pada aktivitas-aktivitas ekonomi, tetapi dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi. Praktik korupsi di sektor SDA ini merupakan salah satu contoh penyimpangan dari sekian banyak penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh para elite politik selaku penyelenggara negara. Padahal sebelum pemilu, para elite partai tidak pernah luput mencantumkan agenda pemberantasan korupsi selama masa kampanye. Keadaan yang bertolak belakang tersebut terus berlanjut seiring dengan laju demokrasi yang semakin terkonsolidasi. Hal tersebut dapat dilihat dalam periode pasca pemilu presiden tahun 2004 dan tahun 2009 dimana performance elite politik yang terpilih sebagai penyelenggara negara berbeda dengan janji kampanye yang mereka kemukakan 1
Wijayanto dan Ridwan Zachrie (Ed.), Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 274. 3 Ibid., hlm. 249. 4 Ibid., hlm. 251. 2
sebelumnya.5 Di antaranya juga terlihat dari kegagalan anggota dewan dalam melaksanakan fungsi-fungsi pokoknya, yakni fungsi anggaran, fungsi pengawasan, dan fungsi legislasi.6 Di bidang anggaran, DPR periode 2009-2014 dinilai tidak memiliki politik keberpihakan kepada rakyat. Sebagian besar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih dialokasikan untuk anggaran non pembangunan. Di bidang pengawasan, kinerja DPR justru menyimpang dari apa yang seharusnya dan malah terlibat dalam praktik korupsi. Di bidang legislasi pun, kinerja DPR masih rendah dari target yang ditetapkan oleh Prolegnas.7 Pada tahun 2010, DPR hanya menyelesaikan 18 Rancangan Undang-Undang (RUU) prioritas dari 70 RUU yang masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas). Pada tahun 2011, hanya ada 22 RUU yang berhasil diselesaikan dari target 70 RUU prioritas. Tahun 2012, dari 69 RUU yang masuk prolegnas, hanya 30 RUU yang berhasil diundangkan. Tahun 2013, target legislasi 70 RUU, terdiri dari 34 RUU yang belum selesai dan 36 RUU baru. Namun, hingga April 2013 baru satu RUU yang berhasil diselesaikan.8 Kondisi ini menunjukkan bahwa peningkatan kualitas pemilu sebagai manifestasi nilai-nilai demokrasi untuk menguatkan derajat legitimasi bagi pemerintahan hasil pemilu tidak dapat menjamin terbentuknya tata-kelola pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab. Realitas ini melahirkan pertanyaan “apa yang salah dengan proses demokrasi yang tengah berlangsung saat ini? apakah pilihan model pemilu yang diterapkan ini justru menyuburkan praktik korup yang dilakukan oleh para elit politik?” untuk menjawab pertanyaan tersebut, tulisan ini mencoba mengidentifikasi persoalan yang terkandung dalam skema pemilu Irine Hiraswari Gayatri, “Fisibilitas Pengajuan Capres Dalam Pemilu Serentak: Berkaca dari Populisme Substantif”, dalam Syamsuddin Haris (Ed.), Skema Alternatif Pemilu Presiden Untuk Efektivitas Demokrasi Presidensial, Laporan Penelitian, (Jakarta: P2P LIPI, 2014), hlm. 27. 6 Luky Sandra Amalia, “Basis Keterpilihan Calon Anggota DPR RI Pada Pemilu 2014”, dalam Luky Sandra Amalia (Ed.), Evaluasi Pemilu Legislatif 2014: Analisis Proses dan Hasil, Laporan Penelitian, (Jakarta: P2P-LIPI, 2014), hlm. 46. 7 “DPR Mendatang Sulit Diharapkan”, Kompas, 29 April 2013, hlm. 4. 8 “Memimpikan Jiwa-Jiwa Mulia”, Kompas, 17 Juni 2013, hlm. 4. 5
48 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
demokratis agar upaya perbaikan ke depan dapat berkontribusi positif bagi terbentuknya tata-kelola pemerintahan yang bertanggung jawab. Sehubungan dengan itu, tulisan ini akan disusun dengan sistematika sebagai berikut. Pertama, pendahuluan. Kedua, membahas secara singkat mengenai makna pemilu dan konsepsi legitimasi pemerintahan. Ketiga, problematika yang menghambat terbentuknya pemerintahan yang bertanggung jawab. Keempat, fisibilitas format pemilu dalam mewujudkan terbentuknya tata-kelola pemerintahan yang betanggung jawab. Kelima, Penutup.
Makna Pemilu dan Konsepsi Legitimasi Pemerintahan Secara konseptual, pemilu dilaksanakan dengan menjunjung tinggi semangat demokrasi untuk menghasilkan pemimpin yang lebih baik, berkualitas, dan mendapatkan legitimasi dari Rakyat Indonesia.9 Melalui pemilu, seluruh warga negara bersama-sama memberikan kedaulatannya memilih siapa yang paling layak untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan.10 Menurut Andrew Haywood sebagaimana dikutip oleh Sigit Pamungkas, pemilu memiliki dua fungsi, yaitu fungsi bottom-up dan fungsi top-down.11 Dalam fungsi bottop-up, pemilu difungsikan sebagai sarana rekrutmen elite politik, membentuk pemerintahan, dan sebagai sarana untuk membatasi perilaku pemerintah melalui pengalihan dukungan kepada calon yang lebih aspiratif pada pemilu berikutnya. Sementara, dalam fungsi top-down, pemilu difungsikan sebagai sarana elit politik untuk mengontrol rakyat agar dapat diperintah sehingga pemilu dijadikan ’pencetak’ legitimasi kekuasaan agar keabsahan pemerintahan yang berkuasa dapat ditegakkan, begitu juga dengan program Nur Hidayat Sardini, Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, (Yogyakarta; Fajar Media Press, 2011), hlm. 298. 10 Ibid., hal. 177. 11 Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, (Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, 2009), hlm. 6. 9
dan kebijakan yang dihasilkan.12 Meskipun secara legal-formal penyelenggaraan pemilu dimaknai sebagai mekanisme politik yang sah untuk melegitimasi elite politik yang terpilih untuk menduduki jabatan politik, pemaknaan legitimasi tidak berhenti pada pengertian “prosesi memberikan kewenangan pada kandidat terpilih untuk menduduki jabatan politiknya” semata. Dari perspektif pandangan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan, sesungguhnya legitimasi diberikan bukan melalui pemilihan umum, tetapi ketika hasil kerja kandidat terpilih dirasakan betul oleh mereka. Artinya, di mata masyarakat legitimasi merujuk pada kualitas pemerintahan bukan pada kualitas pemilihan umum yang diselenggarakan. Oleh karena itu, kandidat yang terpilih melalui pemilihan umum tidak dapat dikatakan memiliki legitimasi jika mereka tidak dapat meningkatkan kualitas pemerintahan bagi konstituennya, misalnya kemampuan menyediakan pelayanan publik di bidang pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih, dan fasilitas sanitasi, serta memberikan solusi atas persoalan publik lainnya.13 Dengan demikian, untuk dapat dikatakan memiliki legitimasi, penyelenggara negara harus dipilih melalui mekanisme pemilu demokrasi dan juga harus diakui kapabilitas kinerjanya oleh masyarakat pasca dilantik dan memperoleh kewenangan untuk menjalankan fungsi pemerintahan yang dibebankan padanya. Hal ini sebagaimana dikemukakan juga oleh Levi and Sack yang dikutip sebagai berikut:14 “Legitimacy does not signify that power will be used to promote the good of the nation or of humanity. It implies only that the populace acquiesces in the exercise of governmental power. Legitimacy beliefs come from a variety of sources, some of which may support accountable, responsive, and even democratic government, but many of which most definitely do not. To achieve legitimacy requires the rule of law and the provision of infrastructure, justice, education and other services that make Syamsuddin Haris, dkk, Pemilihan Umum di Indonesia: Telaah atas Struktur, Proses, dan Fungsi, (Jakarta: PPW-LIPI, 1997), hlm. 6-9. 13 “2014 Elections: Putting State Legitimacy into Perspective”, http://thejakartapost.com/ news/2013/03/11/2014-elections-putting-statelegitimacy-perspective.html, diakses pada tanggal 23 Januari 2014. 14 Levi dan Sacks, op.cit., hlm. 22. 12
Prakondisi Untuk Mengukuhkan Legitimasi Pemerintahan | Devi Darmawan | 49
populations better off than they would be without government. But law and services are insufficient without government commitments to procedural fairness and relative transparency. This, in turn, involves public servants with pay and other incentives to withstand corruption and to serve constituents, all constituents. And that in turn rests on a symbiotic relationship with an alert citizenry willing to make demands and hold their public servants accountable. They will do so only if they believe—and for good reason—that they are getting something in return for their compliance and active citizenship. There is a chicken and egg problem here to be sure: Without services, citizens will not find government legitimate, but funds for services can be a source of corruption rather than legitimate government.”
Oleh karena legitimasi pemerintahan masih diterjemahkan dalam bentuk perolehan suara terbanyak an sich, akibatnya prosesi pemilu yang telah dilangsungkan sejak tahun 1999 tidak berkorelasi positif dengan terbentuknya pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab. Sebaliknya, yang muncul kemudian justru terlihat dari praktik politik transaksional atas dasar kepentingan sempit dan jangka pendek yang tetap mendominasi interaksi, kerja sama, dan persaingan para elite politik hasil pemilu. Hal itu dapat dilihat dari sejumlah kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaaan yang mengemuka di harian publik di mana pelakunya sebagian berasal dari elite politik yang duduk di lembaga legislatif. Realitas ini pun diperkuat dengan laporan Transparansi Internasional Indonesia mengenai Global Corruption Barometer yang dirilis tahun 2007.15 Dari laporan tersebut diketahui bahwa parlemen dan partai politik merupakan lembaga yang paling korup di Indonesia. Hal ini pun menjawab pertanyaan tentang ketidakefektifan pemberantasan korupsi, karena dua pilar utama pemberantasan korupsi justru dipegang oleh institusi yang korup (parlemen dan partai politik).16 Korupsi yang menggejala di partai politik dan parlemen, yang merupakan produsen “kebijakan” publik dan perundangan, menyebabkan kebijakan yang dikeluarkan tidak bisa diandalkan untuk memberantas Wijayanto, “Mengukur Tingkat Korupsi”, dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie (Ed.), Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 85. 16 Ibid. 15
korupsi secara efektif.17 Kondisi ini justru memungkinkan korupsi dalam skala besar (grand corruption) tumbuh dan berkembang. 18 Meskipun praktik korupsi yang dilakukan oleh elite politik tidak sebangun dengan tatakelola pemerintahan yang buruk, realitas ini menunjukan adanya “salah-urus negara”19 yang dilakukan oleh elite politik. Perilaku korup para pemegang otoritas politik ini menjauhkan kita dari impian bangsa sebagaimana yang tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD NKRI 1945.20 Dalam kaitan ini, menurut Mark Philp sebagaimana diuraikan oleh J. Kristiyadi, realitas korupsi yang dilakukan oleh para elite politik (korupsi politik) ini tumbuh subur karena runtuhnya otoritas politik yang cenderung disebabkan oleh ketidakkompentenan negara (inkompetensi pemerintah) dalam melaksanakan fungsi-fungsi politik karena lemahnya lembaga-lembaga politik negara yang bersangkutan.21 Artinya, praktik korupsi ini dipengaruhi oleh kegagalan pemerintah dalam mewujudan makna politik sebagai ranah terbuka untuk menyelesaikan dan mengatur konflik kepentingan secara damai dan beradab dalam masyarakat atas nama kepentingan umum. Inkompetensi pemerintahan yang demikian mengakibatkan delegitimasi politik atas pemerintahan yang tengah berlangsung karena tidak mampu mengendalikan dominasi kelompok tertentu sehingga merusak tatanan politik yang ada.22 Akibatnya, prosesi demokrasi yang dilangsungkan melalui pemilu hanya dijadikan wahana oleh elite politik untuk memperoleh otoritas secara legal demi mengejar Ibid. Ibid. 19 Istilah salah-urus negara ini kerap digunakan oleh Syamsuddin Haris untuk menunjukan tata kelola pemerintahan yang berlangsung saat ini, dapat dilihat diantaranya dalam Syamsuddin Haris, Partai, Pemilu, dan Parlemen: Era Reformasi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014). 20 Syamsuddin Haris, “Skema Alternatif Pemilu Presiden Untuk Efektivitas Demokrasi Presidensial”, dalam Syamsuddin Haris (Ed.), Skema Alternatif Pemilu Presiden Untuk Efektivitas Demokrasi Presidensial, Laporan Penelitian, (Jakarta: P2P LIPI, 2014), hlm. 2. 21 J. Kristiyadi, “Demokrasi dan Korupsi Politik”, dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie (Ed.), Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 448. 22 J. Kristiyadi, op.cit., hlm. 447. 17 18
50 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
keuntungannya sendiri. Mereka menganggap sudah mendapatkan legitimasi jika sudah mengikuti prosedur dan regulasi yang mereka buat sendiri, sehingga yang terjadi kemudian adalah manipulasi demokrasi prosedural. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Syamsuddin Haris yang menyatakan bahwa:23 “Dalam gambar yang lebih besar, berlangsung “salah urus negara dan pemerintahan” yang tak kunjung berakhir. Ketika para penyelenggara negara dan pemerintahan telah dipilih melalui pemilupemilu yang semakin demokratis dan langsung, kapasitas negara mengelola pluralitas dan keberagaman yang menjadi fondasi identitas keindonesiaan kita justru cenderung menurun. Merebaknya tindak kekerasan dan anarki sektarian yang berlatar identitas asal, mengindikasikan hal ini. Meskipun konstitusi menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan, negara kerapkali tergagap sebagai penonton belaka ketika minoritas agama dan kepercayaan mengalami tindakan kekerasan dan anarki dalam menjalankan ritual ibadah mereka. Gambar besar lain memperlihatkan tidak jelasnya visi, strategi, prioritas, dan fokus dalam pengelolaan ekonomi dan sumberdaya alam, sehingga negara dan korporasi asing dengan leluasa menjadikan negeri kita sebagai sumber bancakan yang pada akhirnya memiskinkan rakyat kita. Salah urus ekonomi dan sumberdaya alam ini tampak jelas dari dominannya penguasaan asing atas kekayaan tambang dan mineral, juga terlihat mencolok dari fenomena impor hampir semua bahan pangan yang seharusnya bisa dicukupi dari sumber di dalam negeri. Di sisi lain, produktifitas dan akuntabilitas lembagalembaga legislatif nasional dan lokal yang dihasilkan pemilu juga relatif rendah. Alih-alih memanfaatkan peluang emas meningkatkan kinerja legislasi dan akuntabilitasnya, partaipartai politik yang menempatkan para wakilnya di DPR dan DPRD justru sibuk “berpolitik” dalam arti negatif, yakni mempertukarkan otoritas dan hak politik mereka dengan pencarian peluang memperebutkan kekuasaan politik di satu pihak, dan rente yang bersifat ekonomis di lain pihak.”
Berdasarkan uraian di atas, sebenarnya kita tengah menghadapi persoalan legitimasi pemerintahan (legitimacy crisis). Namun, tidak ada upaya serius untuk mengukuhkan kembali legitimasi pemerintahan pasca pemilu. Padahal, legitimasi memiliki arti penting dan wajib 23
Syamsuddin Haris, op.cit., hlm. 3.
ada dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana dikemukakan pula oleh Max Weber yang menyatakan bahwa pemerintahan yang stabil akan sulit terbentuk tanpa adanya legitimasi.24 Sebaliknya, dengan memiliki legitimasi, pemerintah dapat mengatur masyarakat secara sah tanpa harus mengeluarkan “biaya untuk memaksa” agar masyarakat patuh dan tunduk pada kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan.25
Problematika yang Menghambat Terbentuknya Pemerintahan yang Bertanggung Jawab “Pemerintahan yang bertanggung jawab” merupakan istilah yang kerap kali dihubungkan dengan konsep good governance. Secara konseptual, good governance merujuk pada tugas pelaksanaan pemerintahan atau organisasi suatu negara. Lahirnya konsep good governance ini dilatarbelakangi oleh berkembangnya sistem politik multi partai yang tidak didukung oleh sistem merit politik, tidak ada kepastian dan jaminan perlindungan hokum, serta birokrasi yang masih berorientasi pada kekuasaan, bukan pada pelayanan. Hal ini menyebabkan pengelolaan negara menjadi tidak efektif dan banyak aset potensial menjadi objek jarahan dengan motif mencari keuntungan oleh golongan tertentu.26 Penerapan prinsip good governance ini umumnya didahului oleh penerapan Azas Umum Pemerintahan yang Baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) sebagai kaidah dasar yang melingkupi serangkaian asas yang harus diperhatikan sebagai panduan tidak tertulis bagi badan atau pejabat pemerintah dalam melaksanakan tugas pemerintahan sehari-hari.27 Serangkaian azas yang dimaksud tersebut meliputi azas larangan penyalahgunaan wewenang, larangan melakukan tindakan sewenang-wenang, azas kecermatan, azas kewajiban memberi dasar pertimbangan pada Levi dan Sacks, op.cit., hlm. 2. Ibid. 26 Juanda Nawawi, “Membangun Kepercayaan dalam Mewujudkan Good Governance”, Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol. 1 No. 3 Juni, 2012, hlm. 26. 27 “Azas-azas Pemerintahan yang baik”, http:// widyawatiboediningsih.dosen.narotama.ac.id/ files/2011/04/BAB-VIII-Asas-asas-Pemerintahanyang-Baik.pdf, diakses pada tanggal 25 Januari 2013. 24 25
Prakondisi Untuk Mengukuhkan Legitimasi Pemerintahan | Devi Darmawan | 51
putusan, dan azas kepentingan umum. Penerapan good governance ini akan berpengaruh pada persoalan legitimasi pemerintahan secara politik, dan akan berpengaruh pada kompetensi pemerintah dalam mengelola sektor publik secara ekonomi,28 sebagaimana telah sempat disinggung sebelumnya. Salah satu faktor yang dapat mendorong terbentuknya pemerintahan yang bertanggung jawab ini adalah pemenuhan aparatur pemerintah atau penyelenggara negara yang profesional dan memiliki integritas yang kokoh.29 Selain melalui pembentukan peraturan perundang-undangan30 dan lembaga-lembaga
pemerintahan yang baik, hal tersebut juga diwujudkan melalui proses seleksi penyelenggara negara yang dilakukan melalui pemilihan umum yang berintegritas.32 Persoalannya, desain pemilu yang berlaku saat ini belum dapat dijadikan tumpuan untuk menghasilkan penyelenggara negara yang dapat melangsungkan tata kelola pemerintahan yang bertanggung jawab. Banyak elite politik yang terpilih pasca pemilu justru “memunggungi” tanggung jawabnya sebagai penyelenggara negara melalui rekam jejak (track record) yang buruk selama periode jabatannya.
Grafik 1. Anggota DPR RI Periode 2014-2019 yang Mempunyai Track Record Buruk
Sumber: Hasil Pemilu 2014-2019
negara31
yang
membantu
perwujudan
Nawawi, op.cit., hlm. 28. Faktor lainnya adalah Supremacy of the law (supremasi hukum) : setiap tindakan harus didasari oleh hukum bukan berdasarkan pada diskresi; Legal certainty (kepastian hukum) : menjamin suatu masalah diatur secara jelas, tegas dan tidak duplikatif; Hukum yang responsive : hukum mampu menyerap aspirasi masyarakat luas dan mengakomodasinya; Penegakan hukum yang konsisten dan nondiskriminasi; Independensi peradilan sebagai syarat penting dalam perwujudan rule of law; 30 Di antaranya UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN; UU No. 28 Th 1999 Tentang Pemerintahan yang bersih, bebas kolusi, korupsi, dan Nepotisme; UU Administrasi Pemerintahan; UU Etika Penyelenggara Negara; UU No.12 Th 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; dan tersebar dalam berbagai UU lainnya 31 Di antaranya KPK; Ombudsman; dan Komisi/ badan-badan lainnya 28 29
Hal itu dapat dilihat dalam grafik yang disajikan di bawah ini (Lihat Grafik 1). Ironisnya, para kader yang bermasalah karena terlibat korupsi dan pelanggaran lainnya serta memiliki track record buruk diusung kembali untuk mengikuti pemilu selanjutnya. Hal tersebut dapat dilihat melalui tabel berikut ini di mana petahana (incumbent) yang di antaranya memiliki track record buruk, selama periode 2009-2014, masih dicalonkan kembali pada pemilu 2014. Pola pencalonan partai politik yang seperti itu tentunya akan menghambat terbentuknya tata-kelola pemerintahan yang bertanggung jawab. Untuk mengantisipasi terpilihnya caloncalon dengan track record yang buruk, maka format pemilu perlu dikaji kembali agar benarbenar dapat menyeleksi kandidat berdasarkan kemampuan dan kapabilitasnya. 32
Ibid.
52 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Tabel 2. Caleg Petahana di Masing-masing Parpol pada Pemilu 2014
Sumber: Formappi, Daftar Calon Bermasalah, 28 April 2013.
Salah satu hal krusial dalam pemilu adalah perihal pencalonan33 atau candidacy, khususnya pada tahap rekrutmen calon kandidat yang akan dimasukan dalam daftar calon sementara (DCS). Pada tahap ini sejumlah kandidat yang layak akan dipilih untuk maju dalam pemilihan umum. Dengan kata lain, kualitas calon yang ikut serta dalam pemilu berada di bawah kendali partai politik. Namun, persoalannya muncul ketika partai politik tidak mampu menjalankan fungsinya untuk mensuplai kandidat yang layak maju dalam pemilu sebagaimana yang dapat dilihat dari fenomena rekrutmen politik pada pemilu legislatif 2014. Pada pemilu legislatif 2014, selain mengandalkan petahana (incumbent), parpol membuka kesempatan bagi masyarakat luas untuk mendaftar sebagai caleg.34 Bahkan, ada parpol yang membuka kesempatan tersebut dengan memasang iklan di media massa.35 Akibatnya, daftar calon kandidat didominasi kalangan pengusaha, artis, dan keluarga elite partai, sebagaimana pemilu sebelumnya. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh partai politik baru, tetapi partai politik lama juga mempraktekkan cara yang sama demi memperoleh suara sebanyak-banyaknya. Akibatnya, sistem kaderisasi yang memang belum berjalan sempurna, bahkan di beberapa Luky Sandra Amalia, op.cit., hlm. 41. Lihat “Demokrat Buka Pendaftaran Caleg”, http:// news.okezone.com/read/2013/03/04/339/770714/ demokrat-buka-pendaftaran-caleg, diakses pada tanggal 3 April 2013. 35 “1700 Caleg Gerindra Mendaftar Karena Iklan di Media”, http://hot.detik.com/ read/2013/03/22/153647/2201281/10/1700-caleggerindra-mendaftar-karena-iklan-di-media, diakses pada tanggal 24 April 2013. 33 34
parpol tidak berjalan, malah semakin tidak berarti sebab selain membutuhkan biaya besar, kaderisasi membutuhkan proses panjang.36 Alhasil, parpol lebih memilih merekrut kader secara instan daripada melakukan investasi mahal jangka panjang.37 Terhadap fenomena di atas, ada pendapat yang menyatakan bahwa kondisi tersebut didorong oleh sistem pemilu yang menganut prinsip proprosional terbuka dengan mekanisme suara terbanyak sehingga partai politik membutuhkan caleg yang memiliki popularitas dan kemampuan finansial tinggi.38 Hal ini tentu bertentangan dengan kehendak masyarakat yang menginginkan calon kandidat yang berkualitas dan dapat mengakar di level grass root, sehingga dapat memahami permasalahan dapil secara detail dan bukan hanya populer di mata publik.39 Di samping itu, argumen demikian juga tidak sepantasnya dijadikan acuan, karena ketentuan Pasal 57 ayat 2 UU No. 8 Tahun 2012 sebenarnya telah mengubah jangka waktu penyusunan daftar calon kandidat sehingga proses pengajuan nama bakal calon kandidat lebih panjang dari sebelumnya, yakni 12 bulan sebelum hari pemungutan suara. Namun pada praktiknya, seperti yang terjadi pada tiap-tiap pemilu, partai politik mulai bekerja untuk menyusun daftar caleg sesaat menjelang pemilu. Hal ini juga sejalan dengan yang dikemukakan oleh Luky Sandra Amalia yang menyatakan bahwa:40 Luky Sandra Amalia, op.cit., hlm. 56. Luky Sandra Amalia, op.cit., hlm. 42. 38 Luky Sandra Amalia, op.cit., hlm. 41. 39 Luky Sandra Amalia, op.cit., hlm. 41. 40 Luky Sandra Amalia, op.cit., hlm. 42. 36 37
Prakondisi Untuk Mengukuhkan Legitimasi Pemerintahan | Devi Darmawan | 53
“Kerja intensif yang seharusnya dilakukan dalam rentang waktu di antara dua pemilu tidak dilaksanakan. Akibatnya, parpol terkesan asal comot kandidat yang dinilai mampu menaikkan suara parpol dengan popularitas, elektabilitas, maupun kemampuan finansial yang dimilikinya dalam waktu singkat. Pada satu sisi, keterbukaan parpol untuk merekrut masyarakat umum di luar kader memang membuka partisipasi masyarakat yang selama ini tidak mengabdi di parpol. Di sisi lain kegiatan ini juga menunjukkan bahwa parpol tidak menjalankan fungsinya dengan baik, meskipun rekrutmen secara garis besar dapat dilakukan melalui dua sumber, yakni perekrutan dari dalam partai (internal) dan perekrutan dari luar parpol (eksternal). Jika praktek seperti ini terus dilakukan bukan tidak mungkin akan merusak tatanan demokrasi yang ada selain juga mencederai loyalitas kadernya sendiri.41”
Oleh sebab itu, untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan hasil pemilu yang dapat bekerja secara efektif, skema pemilu demokratis harus didukung dengan sistem kepartaian yang dapat melahirkan pemimpin yang bersih, bertanggung jawab, serta memiliki kemampuan untuk mengelola pemerintahan dengan baik agar menghasilkan penyelenggara negara yang dilegitimasi oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan fungsi strategis partai politik adalah sebagai aktor utama (primary actor) yang berperan sebagai mediator antara rakyat dan pemerintah sekaligus menginisiasi calon peserta pemilu, baik untuk mengisi jabatan politik di lembaga legislatif, maupun di eksekutif. Namun, hingga saat ini perbaikan pelembagaan partai politik belum diupayakan secara serius.
pernah sampai pada pertanyaan tentang sistem kepartaian seperti apa yang dianggap tepat bagi bangsa Indonesia, dalam pengertian tidak hanya koheren dengan pilihan terhadap sistem pemerintahan dan sistem perwakilan serta sistem pemilihan, melainkan juga dapat memberikan kontribusi bagi cita-cita keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat.44 Hasil yang muncul kemudian adalah lahirnya UU No. 2 Tahun 1999 dan UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang tidak visioner dan cenderung membiarkan partai-partai merumuskan dirinya sendiri.45 Dilihat dari segi substansi, UU tentang partai politik cenderung dibentuk sebagai ”perikatan terbuka” yang diberikan pemerintah kepada partai politik. Hal itu dapat dilihat dalam klausul yang tercantum dalam ketentuan Pasal 12 UU No. 2 Tahun 2011. Pada pokoknya ketentuan tersebut berisi pendelegasian kewenangan oleh UU kepada Partai politik untuk mengatur sendiri persoalan yang berkaitan dengan partai politik yang bersangkutan seluas-luasnya. Berdasarkan ketentuan itu partai politik dapat mengatur dirinya sendiri dengan membentuk peraturan internal yang disebut Anggaran Dasar (AD)/Anggaran Rumah Tangga (ART) Partai Politik. Di sinilah embrio persoalan muncul, yakni ketika kewenangan yang luas ini tidak diikuti dengan pelembagaan partai politik yang matang. Hal ini menyebabkan kewenangan luas untuk ”mengatur diri sendiri” tersebut relatif disalahgunakan secara sepihak dan malah dijadikan ’tameng’ bagi elite partai untuk kepentingan pribadi dan/atau golongan. Terkait dengan hal ini, Syamsuddin Haris pun menyatakan bahwa:46 ”Hingga saat ini, hampir tidak ada tradisi berorganisasi secara rasional, kolegial, demokratis, dan bertanggung jawab di dalam partai-partai karena tidak jarang keputusan dan pilihan politik ditentukan secara sepihak dan oligarkis oleh segelintir atau bahkan seorang pemimpin partai. Dalam konteks ideologi, para politikus partai cenderung bersifat mendua dan tidak konsisten. Di satu pihak secara formal dan verbal mendukung ideologi, baik ideologi negara maupun ideologi partai. Namun, dalam
Di samping itu, selama ini hampir tidak pernah ada perdebatan serius di kalangan elite partai-partai di DPR tentang ke mana sesungguhnya arah sistem kepartaian pascaOrde Baru kita.42 Satu-satunya diskursus tentang sistem kepartaian di Indonesia tidak lain adalah seputar diskusi mengenai pencarian jumlah partai.43 Diskursus tersebut pun tidak Firmanzah, Mengelola Partai Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011), hlm.71-72. 42 Syamsuddin Haris, Partai, Pemilu, dan Parlemen: Era Reformasi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), hlm. 52. 43 Ibid. 41
Ibid. Ibid. 46 Syamsuddin Haris, Masalah-Masalah Demokrasi dan Kebangsaan Era Reformasi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014), hlm. 32. 44 45
54 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
perilaku sering digunakan dukungan itu untuk kepentingan kekuasaan belaka. Kepentingan kelangsungan kekuasaan pribadi dan vested interest kelompok akhirnya mengalahkan komitmen mereka terhadap ideologi. Pada akhirnya, kepentingan pribadi dan kelompok itulah yang menjadi ideologi para politikus partai kita dewasa ini. Sementara itu, dalam konteks taktik dan strategi, pada umumnya partaipartai terperangkap upaya mempejuangkan jabatan-jabatan publik ketimbang perjuangan memenangkan kebijakan publik.”
Dengan kata lain, regulasi tentang partai politik yang berlaku justru menghasilkan ketidakpaduan institusionalisasi partai politik ke arah yang lebih maju dalam rangka membentuk tata-kelola pemerintahan yang baik. Hal ini dikarenakan para elite partai pada masingmasing partai cenderung menginstitusikan kepentingannya dalam tubuh partai politik tanpa dikorelasikan dengan fungsi tradisional partai untuk membangun demokrasi yang lebih baik. Salah satunya dapat dilihat dari distorsi partai politik dalam menyuplai tokoh pemimpin yang kredibel dan kapabel untuk mengelola pemerintahan ke depan. Partai politik tidak jarang hanya mengikutsertakan kader yang berasal dari golongan elite partai dalam Daftar Calon Sementara (DCS). Selain itu, fenomena perekrutan public figure untuk memenuhi DCS juga menjadi bukti kegagalan partai dalam melaksanakan fungsi kaderisasi politik. Situasi ini semakin menjauhkan langkah untuk mewujudkan pemerintahan dengan tata kelola pemerintahan yang lebih baik karena partai politik tidak bisa menjamin kapabilitas tokoh yang dicalonkannya untuk menjalankan fungsi pemerintahan pasca pemilu. Padahal, melalui proses pemilu diharapkan dapat menghasilkan pemimpin yang cakap dan lebih bertanggung jawab untuk mampu memperbaiki tatakelola pemerintahan sebelumnya. Akibatnya, legitimasi pemerintahan yang dihasilkan melalui pemilu didelegitimasi sendiri oleh kiprah kerja pemerintahan hasil pemilu yang cenderung berorientasi pada upaya-upaya yang menguntungkan golongan semata. Dari segi praktik, masing-masing parpol sebenarnya telah memiliki sistem rekrutmen caleg yang memadai, seperti Partai Golongan Karya (Golkar) dengan PDLT (pengabdian, dedikasi, loyalitas, tak tercela) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan
sistem scoring. Namun, sistem yang sudah tersusun rapi ini seringkali harus terkalahkan dengan unsur subyektifitas pimpinan parpol karena tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar partai politik di Indonesia masih bergantung pada figur ketua umum maupun ketua dewan pembina partai. Hal ini berdampak pada proses rekrutmen caleg di tubuh partai. 47 Persoalan pencalonan ini tidak hanya terjadi dalam pemilu legislatif, tetapi juga dalam pemilu presiden dan wakil presiden. Sejak pemilu presiden dilakukan secara langsung pada tahun 2004, tidak seluruh partai politik melakukan seleksi internal secara terbuka, fair, dan demokratis, kecuali partai Golkar yang melakukan seleksi calon presiden melalui mekanisme konvensi.48 Kandidat calon presiden dari partai politik lainnya muncul lebih karena posisi mereka selaku ketua umum atau tokoh sentral partai yang bersangkutan, misalnya Susilo Bambang Yudhoyono (Demokrat), Megawati (PDI Perjuangan), Amien Rais (PAN), dan Hamzah Haz (PPP). Proses pencalonan yang demikian berulang kembali pada pemilu presiden tahun 2009, yang diikuti oleh Susilo Bambang Yudhoyono selaku ketua dewan pembina Partai Demokrat, Jusuf Kalla selaku Ketua Umum Partai Golkar, dan Megawati selaku ketua umum PDI Perjuangan. Artinya, posisi sebagai ketua umum dan tokoh sentral di dalam partai sudah secara langsung menjadi prasyarat bagi yang bersangkutan untuk maju sebagai kandidat calon presiden. Selanjutnya dalam pemilu presiden 2014, format pilpres masih belum berubah dari pemilu tahun 2009 karena dasar hukum penyelenggaraannya masih berpedoman pada UU Nomor 42 Tahun 2008. Pemilu presiden 2014 masih diikuti oleh tokoh sentral partai politik, misalnya, Prabowo sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa format pemilu presiden 2014 masih belum mewadahi berlangsungnya pencalonan yang transparan dan demokratis. Kalaupun tokoh seperti Jokowi bisa mengikuti pencalonan, hal itu terjadi bukan karena difasilitasi oleh format pemilu presiden Luky Sandra Amalia, op.cit., hlm. 44. Syamsuddin Haris, Format Alternatif Pemilu Presiden Untuk Efektivitas Demokrasi Presidensial, dalam Syamsuddin Haris (Ed.), Skema Alternatif Pemilu Presiden Untuk Efektivitas Demokrasi Presidensial, Laporan Penelitian, (Jakarta: P2P LIPI, 2014), hlm. 109. 47 48
Prakondisi Untuk Mengukuhkan Legitimasi Pemerintahan | Devi Darmawan | 55
yang berlaku saat ini, melainkan karena dukungan media dan elektabilitas Jokowi yang melampaui siapa pun. Terhadap hal ini, Syamsuddin Haris berpendapat bahwa:49 “Berkaca pada pengalaman Pilpres 2014, kemunculan Jokowi yang fenomenalkarena tidak menjabat posisi ketua umum atau pimpinan parpol, tidak berasal dari lingkaran elite politik sipil, militer, ataupun keluarga serta keturunan tertentu-tak mengurangi urgensi penataan kembali format pilpres ke arah yang lebih baik, tak hanya terkait skema waktu penyelenggaraannya, melainkan juga formatnya, termasuk di dalamnya proses pencalonan.” Sama halnya dengan aturan rekrutmen kandidat calon legislatif yang diatur oleh UU No. 8 Tahun 2012, UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pun menyimpan persoalan yang serupa. Pengaturan tersebut memberikan kewenangan yang luas pada partai politik untuk mencalonkan kandidatnya tanpa campur tangan siapa pun. Pada implementasinya, model pencalonan yang demikian cenderung menutup akses dan partisipasi publik untuk mengetahui dinamika pencalonan kader yang dilakukan oleh partai politik. Berkaitan dengan hal ini, Syamsuddin Haris menyatakan bahwa:50 ”UU pilpres justru memberi “cek kosong” kepada parpol untuk menentukan capresnya masing-masing, sehingga yang berlangsung kemudian adalah penetapan capres dan mekanisme capres secara oligarkis oleh ketua umum ataupun pimpinan parpol.51 Menurutnya, hampir tidak ada kesempatan bagi publik memilih kandidat berdasarkan kapabilitas para capres. Padahal, model pemilihan presiden dan sistem kepartaian yang berada dibalik pencalonan kandidat calon presiden bukanlah semata-mata bermakna proseduralis. Model pemilu dan pencalonan nominee berpengaruh pada karakter yang akhirnya dibentuk politisi untuk dapat fit pada tokoh pemimpin yang dibutuhkan dan pada upayanya untuk berusaha memenangkan pemilihan itu sendiri. Format pemilu presiden saat ini tidak menjanjikan tampilnya presiden yang kapabel dan akuntabel. Begitu banyak tokoh dari berbagai kalangan format pilpres tidak menjanjikan tampilnya Ibid., hlm. 112. Ibid., hlm. 109. 51 Syamsuddin Haris, 2014, op.cit, hlm. 154. 49 50
presiden yang kapabel dan akuntabel. Begitu banyak tokoh dari berbagai kalangan yang berambisi menjadi presiden, tapi tidak begitu jelas visi dan agenda strategis mereka bagi masa depan bangsa kita. Hampir tidak ada perdebatan serius tentang agenda para capres bagi masa depan bangsa kita, katakanlah untuk 10, 20, atau 30 tahun kedepan. Misalnya saja, hampir tidak muncul diskusi dan perdebatan tentang arah dan strategi kebijakan seperti apa yang ditawarkan para kandidat presiden dalam pengelola sumber daya alam, strategi dalam membangun kedaulatan pangan, enegrgi, dan seterusnya. Orientasi dan arah kompetisi masih berputar disekitar upaya meraih popularitas dan elektabilias belaka.”52 Oleh karena itu, upaya merekonstruksikan model pencalonan kandidat, baik calon anggota legislatif, maupun calon presiden dan wakil presiden harus dilakukan dengan mengutamakan keterpilihan kandidat yang memiliki kapasitas dan kapabilitas. Selama ini hampir tidak ada upaya partai politik untuk melembagakan mekanisme rekrutmen calon anggota legislatif dan calon presiden secara terbuka, partisipatif, demokratis dan akuntabel. Menurut Syamsuddin Haris, Partai Golkar menjelang Pilpres 2004 memang pernah mencoba melembagakan proses seleksi capres melalui mekanisme konvensi yang akhirnya menghasilkan mantan Panglima ABRI Jenderal TNI (Purn) Wiranto sebagai calon presiden. Namun sayangnya tradisi politik yang baik ketika Golkar dipimpin oleh Akbar Tandjung tersebut tidak dilanjutkan pada akhir era kepemimpinan Jusuf Kalla menjelang Pilpres 2009. Mekanisme konvensi kemudian dihidupkan lagi oleh Partai Demokrat menjelang Pilpres 2014, tetapi tampaknya lebih sebagai upaya memulihkan kepercayaan publik akibat berbagai skandal korupsi yang diduga melibatkan sejumlah petinggi Demokrat daripada sebagai gagasan genuine untuk mencari capres terbaik. Persoalannya, format konvensi yang digagas Presiden SBY tersebut bukan hanya tidak lazim –sebagaimana tradisi konvensi parpol yang sudah melembaga dalam pilpres di Amerika Serikat misalnya—melainkan juga mengajak serta kader parpol lain dan para kandidatnya telah “disiapkan” oleh sebuah komite yang dibentuk oleh SBY selaku tokoh sentral Demokrat. Tidak mengherankan jika kemudian sejumlah kandidat seperti Mahfud MD, Jusuf Kalla, dan Rustiningsih, akhirnya 52
Ibid, hlm. 153.
56 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
mundur sebelum konvensi digelar.53 Hakikatnya, model pencalonan seperti diuraikan diatas, baik bagi pemilu legislatif maupun pemilu eksekutif, hanya akan menjadi hambatan bagi munculnya figure yang credible di pemerintahan. Terutama mengingat besarnya kadar kooptasi elite partai terhadap kandidat peserta pemilu yang akan dimajukan di dalam pemilu.54 Kondisi ini selanjutnya akan berujung pada melembaganya dominasi elite partai dalam birokrasi pemerintahan melalui pencalonan ”kandidat boneka” yang jelas tidak berorientasi sepenuhnya untuk mengelola pemerintahan untuk rakyat kecuali untuk kepentingan elite partai yang mengusung calon yang bersangkutan. Oleh sebab itu, proses pencalonan kader (candidacy mechanism) di dalam internal partai politik perlu disorot lebih tajam dengan menuntut transparansi rekrutment politik yang dilakukan masing-masing partai politik.
Fisibilitas Format Pemilu dalam Mewujudkan Terbentuknya Tata-Kelola Pemerintahan yang Bertanggung Jawab Berdasarkan problem delegitimasi sebagaimana dikemukakan sebelumnya, keberadaan partai politik saat ini lebih cenderung menjadi beban atau masalah ketimbang inisiator bagi solusi permasalahan rakyat. Secara tidak langsung ini menunjukkan kegagalan partai dalam memproduksi pilihan kader yang berkualitas. Menurut Winters, Kegagalan ini disebabkan oleh kondisi nyata sumber daya manusia yang ada dalam tubuh partai, berkaitan dengan kepribadian mereka.55 Sudah menjadi rahasia Lihat antara lain, Syamsuddin Haris, “Konvensi Setengah Hati”, Kompas, 17 Juli 2013; Syamsuddin Haris, “Konvensi dan Pertaruhan”, Kompas, 4 September 2013. 54 Hal itu dapat dilihat dalam aturan baku pengusulan bakal calon presiden dan penetapan pasangan calon presiden di mana dalam hal mendaftarkan pasangan calon, tanda tangan yang dibubuhkan berasal dari ketua umum atau sebutan lain dari pimpinan partai politik yang bersangkutan dengan menyerahkan sejumlah dokumen yang salah satunya meliputi naskah visi, misi, dan program dari bakal Pasangan Calon. 55 Harjoko Sangganagara, “Reformasi dan Kaderisasi”, http://harsablog.blogspot.com/2009/07/ reformasi-dan-kaderisasi.html, diakses pada tanggal 53
umum bahwa banyak kader partai yang menduduki jabatan-jabatan publik berperilaku tidak sesuai dengan yang diharapkan masyarakat, misalnya berjudi, bermabukmabukan, berfoya-foya, berselingkuh hingga berperilaku koruptif.56 Setelah memperoleh kursi legislatif dan eksekutif, para petinggi partai politik lebih sibuk memburu rente dengan cara mengutak-atik dana publik (APBN dan Anggaran Pendapatan dan Belanja DaerahAPBD) untuk disalahgunakan ketimbang kerja “kering” merawat dukungan konstituen di daerah pemilihan masing-masing. Berbagai kasus korupsi yang diungkap KPK yang melibatkan anggota parlemen, kepala daerah, hingga menteri telah mengindikasikan hal itu.57 Hal-hal seperti itu merupakan cerminan tindakan yang menjauhkan mereka dari tanggung jawabnya kepada masyarakat untuk mengelola pemerintahan dengan bertanggung jawab. Padahal, peran partai sangat berpengaruh bagi terbentuknya tata kelola pemerintahan yang baik karena seharusnya partai politik harus mampu melahirkan tokoh pemimpin yang kredibel, kapabel, dan akuntabel untuk mengelola pemerintahan ke depan. Untuk menangani persoalan ini, dibutuhkan instrumen yang dapat memaksa partai politik agar melakukan fungsi rekrutmen calon peserta pemilu secara profesional dan transparan karena partai politik bertanggung jawab atas terbentuknya pemerintahan hasil pemilu yang mampu mengelola pemerintahan secara baik dan berkelanjutan. Di dalam praktik politik selama ini, metode rekrutmen calon yang dipraktikan oleh masing-masing partai politik menjadi sebuah misteri yang tidak pernah diketahui oleh publik karena proses rekrutmen tidak berlangsung secara terbuka dan partisipatif.58 Hal ini diperburuk lagi oleh cara kerja partai politk dalam melakukan proses rekrutmen dengan pendekatan “asal comot” terhadap kandidat yang dipandang sebagai “mesin politik”.59 Padahal, partai politik yang 24 Januari 2013. 56 Ibid. 57 Syamsuddin Haris, “Berburu Calon Anggota Legislatif”, Kompas, 28 Januari 2013, hlm.6. 58 Syamsuddin Haris, 2014, op.cit., hlm. 29. 59 Ainur Rofiq, “Fungsi Rekrutmen Politik Pada Calon Legislatif Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 2009”, http://download.portalgaruda.org/article. php?article=19709&val=1237, diakses pada tanggal 24 Januari 2013.
Prakondisi Untuk Mengukuhkan Legitimasi Pemerintahan | Devi Darmawan | 57
ada seharusnya dapat melakukan mekanisme rekrutmen politik yang dapat menghasilkan pelaku-pelaku politik yang berkualitas. Hal ini penting dilakukan dalam pengelolaan pemerintahan, karena salah satu tugas pokok dalam rekrutmen politik adalah bagaimana partai-partai politik yang ada dapat menyediakan kader-kadernya yang berkualitas untuk duduk di parlemen atau pemerintahan.60 Berkaitan dengan rekrutment politik ini, proses yang ditempuh tiap-tiap partai politik dalam memilih calon untuk diikutsertakan dalam pemilu legislatif berbeda-beda. Namun, secara umum terdapat tiga tahapan yang ditempuh berkaitan seleksi kader untuk pencalonan ini, yaitu tahap penjaringan calon, tahap penyaringan dan seleksi calon yang telah dijaring, dan tahap penetapan calon berikut nomor urutnya.61 Dalam tahapan penjaringan calon terjadi proses interaksi antara elit partai di tingkat lokal atau ranting partai dengan elite partai di tingkat atasnya atau anak cabang.62 Tahapan tersebut lebih mengutamakan pola interaksi internal partai.63 Selanjutnya, dalam tahap penyaringan dan seleksi calon yang telah dijaring terjadi interaksi antara elite tingkat anak cabang dan elite tingkat cabang daerah.64 Terakhir, dalam penetapan calon berikut nomor urutnya, terjadi interaksi antara elit tingkat cabang daerah, terutama pengurus harian partai tingkat cabang dengan tim kecil yang dibentuk dan diberikan wewenang untuk menetapkan calon legislatif.65 Dari ketiga tahapan tersebut, dapat dilihat kekosongan ruang bagi publik untuk mengetahui proses dan dinamika pencalonan yang berlangsung di tubuh partai. Hal yang sama juga terjadi dalam pemilu presiden dan wakil presiden, tidak semua partai politik menerapkan mekanisme pemilihan internal yang transparan dan demokratis. Praktik yang umum menunjukan calon presiden berasal dari pemegang jabatan ketua umum atau Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi: Menakar Kinerja Partai Politik Era Transisi di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 1. 61 Syamsuddin Haris (Ed.), Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai: Proses Nominasi dan Seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004, (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. 8. 62 Ibid. 63 Ibid. 64 Ibid. 65 Ibid. 60
tokoh sentral di partainya tanpa memasukkan variabel lainnya sebagai penentu kelayakan tokoh yang bersangkutan untuk maju sebagai calon presiden dan atau wakil presiden. Secara normatif, hal tersebut memang tidak melanggar tertib hukum, karena Pasal 29 UU No. 2 Tahun 2011 mengatur bahwa ”Partai Politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi: a. anggota Partai Politik; b. bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; c. bakal calon Presiden dan Wakil Presiden; dan d. bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan perundang-undangan yang dilakukan dengan keputusan pengurus Partai Politik sesuai dengan AD dan ART”. Oleh sebab itu, berdasarkan aturan tersebut partai politik diperkenankan secara leluasa untuk memutuskan siapa saja yang akan dicalonkan untuk mengikuti pemilu legislatif dan/atau pemilu presiden. Namun, dari segi prinsip demokrasi elektoral, praktik tersebut tidak dapat dibenarkan karena secara tidak langsung menempatkan publik selaku pemilih pada posisi secondary. Format pemilu tersebut justru menjauhkan akses rakyat dalam mengikuti proses pemilihan calon pemimpin yang akan menduduki posisi politik di pemerintahan. Padahal, pemaknaan prinsip ”Langsung” sebagai salah satu asas pemilu demokratis seharusnya dimaknai sebagai pelibatan publik (public engagement) pada setiap tahapan pemilu, termasuk rekrutmen politik yang dilakukan partai politik. Dalam konteks ini, publik berhak mengetahui dan memperoleh informasi yang jelas tentang dinamika pencalonan yang dilakukan secara internal oleh partai politik, serta bagaimana praktik seleksi internal yang ditempuh oleh suatu partai politik dalam pemilu tersebut dilaksanakan. ”Segi pengawasan publik” inilah yang hilang dari proses pencalonan yang dilakukan oleh partai politik dalam menyeleksi kandidat terbaik yang akan dicalonkan dalam pemilu. Padahal, pengertian prinsip penyelenggaraan pemilu secara langsung bertumpu pada proses pemberian suara dari pemilih kepada kandidat secara langsung dalam proses pemilu. Artinya, pemilih seharusnya dilibatkan sejak awal di tiap tahapan pemilu, termasuk dalam tahapan pencalonan untuk ikut serta menentukan kandidat yang akan
58 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
dimasukkan dalam DCS. Hal ini pun didukung dengan pendapat Irine Hiraswari Gayatri, yang mengemukakan bahwa:66
Selain itu, dalam kaitannya dengan persoalan mekanisme pencalonan ini, 68 Syamsuddin Haris juga menyatakan bahwa:
“Secara teoretik ada dampak dari kepemimpinan politik terhadap kondisi dan situasi yang terjadi di masyarakat. Di sisi ini tidak dapat dipungkiri bahwa kepemimpinan politik merupakan hasil dari sebuah proses pemilihan politik yang melibatkan rakyat dan institusi-institusi politik, dalam konteks demokrasi elektoral. Dari sini saja sudah jelas bahwa demokrasi elektoral melalui pilpres memang membuka ruang baru untuk masyarakat terlibat langsung baik dalam arti memilih maupun mencalonkan.”
”Semestinya peraturan pemilu mengatur tentang mekanisme pemilihan pendahuluan baik secara internal parpol ataupun internal koalisi sebagai salah satu kewajiban yang harus dipenuhi parpol atau gabungan parpol sebelum mengusung pasangan capres dan cawapres, ataupun mengusulkan daftar nama yang masuk dalam DCS untuk mengikuti pemilu. Melalui mekanisme pemilihan pendahuluan tersebut diharapkan akan terseleksi kandidat capres yang tidak hanya memiliki rekam jejak yang baik dan berintegritas, tetapi juga kompeten serta mempunyai kapasitas kepemimpinan yang dibutuhkan”
Dengan demikian, Akar persoalan ini sebenarnya dapat diselesaikan melalui perbaikan mekanisme pencalonan kandidat yang akan diikutsertakan partai politik dalam pemilu dengan mendesain pelibatan publik secara terbuka. Hal ini juga dikemukakan oleh Irine Hiraswari Gayatri yang menyatakan bahwa:67 “Kaderisasi dan pelembagaan parpol akan mendukung lahirnya kandidat capres yang layak dan dapat diterima publik. Ini harus dilengkapi dengan mekanisme internal misalnya pemilihan pendahuluan di internal parpol, baik itu uji publik atau lainnya. Pencalonan dalam pilpres fokusnya terletak pada kesungguhan melembagakan pencalonan internal. Pada tahun 2014 menjelang Pilpres walaupun ada konvensi tapi tidak serius bahkan terkesan seperti main-main, hanya untuk kepentingan pencitraan. Secara idealistik pencalonan seseorang untuk maju menjadi presiden, apakah melalui parpol atau jalur independen, dapat melalui proses yang sistematis, demokratis, dan akuntabel. Parpol sebagai sebuah organisasi politik yang mempunyai disiplin internal setelah berhasil menjaring kandidat potensial dari kader-kader mereka di berbagai wilayah, laki-laki maupun perempuan, seharusnya bisa memfasilitasi seleksi awal melalui pemilihan pendahuluan secara internal, dan, dengan menerapkan serangkaian indikator yang lebih khusus dan umum, dapat menyertakan kandidatnya pada mekanisme uji publik.” 66 67
Irine Hiraswari Gayatri, op.cit., hlm. 31. Ibid., hlm. 26.
Berdasarkan uraian di atas, seleksi kader yang dilakukan secara internal partai politik ini perlu dipertimbangkan sebagai bahan revisi bagi UU pemilu presiden, UU Pemilu Legislatif, serta UU Partai Politik. Secara substansi, ketentuan baru tentang kewajiban transparansi dalam rekrutmen partai politik melalui pemilihan pendahuluan ini tidak bertentangan dengan ketentuan lainnya yang berkenaan dengan pencalonan. Agar koheren dengan tahapan pemilu yang berlaku sekarang, implementasi pemilihan pendahuluan sebagai ajang seleksi internal kader oleh partai politik ini dapat ditempatkan dalam periode pencalonan dengan jangka waktu sebagaimana yang diatur oleh UU Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Selain itu, upaya perbaikan pelembagaan partai politik untuk mendorong terwujudnya tata kelola pemerintahan yang bertanggung jawab dapat dilakukan melalui beberapa cara lainnya, sebagaimana yang pernah ditawarkan Tim LIPI yang terangkum dalam Usulan Naskah Akademik Revisi UU Bidang Politik pada tahun 2007 yang masih relevan untuk dibuka kembali.69 Pertama, mendorong pengembangan partai kader. Upaya pengembangan partai politik dari Syamsuddin Haris, 2014, “Format Alternatif..”, op.cit., hlm. 117 69 Tim LIPI, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensial yang Demokratis, Kuat, dan Efektif, Usulan Naskah Akademik Revisi UU Bidang Politik, Kerjasama Pusat Penelitian Politik LIPI & Ditjen Kesbangpol Departemen Dalam Negeri RI, (Jakarta: LIPI Press, 2007), hlm. 102-117. 68
Prakondisi Untuk Mengukuhkan Legitimasi Pemerintahan | Devi Darmawan | 59
partai massa ke partai kader memang tidak mudah dilakukan, tetapi partai bisa mulai dengan cara mengkombinasikan partai massa dan partai kader. Untuk itu, sistem keanggotaan parpol juga harus dibuat lebih ketat sehingga terbangun disiplin internal partai. Kedua, kewajiban merealisasikan fungsi parpol. Partai politik sebagai sebuah institusi demokrasi tentu memiliki fungsi yang wajib dijalankan, di antaranya fungsi rekrutmen dan pengkaderan politik; artikulasi dan agregasi kepentingan; pendidikan politik; dan fungsi komunikasi politik. Contohnya, dalam proses rekrutmen parpol semestinya tidak begitu saja merekrut orang dari luar partai yang sematamata populer, sebab hal ini menunjukkan bahwa proses kaderisasi parpol sebenarnya tidak berjalan. Parpol boleh saja merekrut orang dari luar partainya untuk dicalonkan sebagai wakil rakyat, tetapi harus memenuhi beberapa syarat yang penting, misalnya seseorang yang memiliki pemahaman mengenai seluk beluk politik, mempunyai program, dan lain sebagainya. Bukan hanya bermodal popularitas dan finansial tinggi saja. Selanjutnya, parpol mengumumkan bakal calon anggota legislatif yang akan diusung kepada masyarakat (sebagai konstituen) dan menerima masukan dari masyarakat mengenai daftar bakal calon tersebut sebelum didaftarkan ke KPU. Masyarakat perlu mengetahui siapa dan bagaimana bakal calon yang akan mewakili mereka di parlemen nantinya dan mereka berhak memberikan masukan kepada partai atas bakal calon anggota legislatif tersebut. Bahkan, jika diperlukan parpol bisa melakukan primary election. Hal yang penting adalah parpol tidak boleh menutup mata dan telinga atas masukan masyarakat. Ketiga, setelah berhasil memenangkan pemilu dan mendudukkan kader-kadernya di parlemen, hubungan parpol dengan masyarakat bukan berarti terputus, justru sebaliknya parpol harus semakin meningkatkan intensitas hubungan antara kader yang duduk di lembaga legislatif dengan konstituennya. Parpol semestinya membuat semacam mekanisme komplain terhadap kinerja anggota dewan kepada konstituen. Selanjutnya, partai mengumumkan kebijakan yang dilakukan sebagai tindak lanjut atas komplain-komplain yang diberikan oleh masyarakat tersebut. Artinya, komplain masyarakat tidak terhenti sebagai masukan belaka, melainkan terbangun sistem feedback
yang baik, di mana anggota dewan maupun parpol memberikan respon terhadap masukan dari masyarakat tersebut. Tidak hanya itu, lebih jauh partai bisa mengumumkan kinerja yang telah dilakukan oleh anggota parpol yang menjadi anggota legislatif melalui website atau ditempel pada papan pengumuman di tiap-tiap kantor kepengurusan parpol. Pengumuman itu juga harus diberikan kepada media massa. Jika diperlukan, aturan ini bisa dimasukkan ke dalam UU Parpol sehingga sifatnya wajib dan mengikat. Misalnya, parpol membuat laporan secara berkala (waktunya mengikuti mekanisme reses) tentang apa saja yang telah dilakukan oleh parpol dan anggotanya yang duduk di parlemen.
Penutup Kinerja pemerintah dalam mengelola pemerintahan secara bertanggung jawab akan mempengaruhi derajat legitimasi pemerintahan yang diperolehnya melalui pemilu. Bahkan, dalam hal pemerintahan hasil pemilu melakukan praktik korupsi, manajerial pemerintahan yang buruk dalam menyediakan public service akan mendelegitimasi kekuasaan pemerintahan secara langsung karena makna legitimasi tidak bersifat formal sebagaimana dijamin oleh pemilu. Dalam sejarah politik Indonesia, upaya delegitimasi pemerintahan pernah berujung pada reformasi menjatuhkan rezim pemerintahan Soeharto. Oleh karena legitimasi lebih dimaknai sebagai kerja konkret penyelenggara negara, maka upaya mengukuhkan kembali legitimasi pemerintahan perlu dilakukan dengan memastikan format pemilu dapat menghasilkan penyelenggara negara yang mampu menyelenggarakan fungsi pemerintahan secara bertanggung jawab. Namun, persoalannya hingga kini format pemilu masih belum dapat menghasilkan penyelenggara negara yang benar-benar dapat menyelenggarakan pemerintahan dengan tata kelola yang baik dan bertanggung jawab. Untuk itu dibutuhkan pembenahan pada format pemilu yang saat ini berlaku dengan mengidentifikasi tahap pemilu yang berpengaruh pada kualitas kandidat pemilu, yakni tahap pencalonan. Dalam tahapan pencalonan, partai politik melakukan rekrutmen politik dan menyeleksi kader yang akan diikutsertakan dalam pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu eksekutif. Proses seleksi tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan partai politik
60 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
sehingga baik buruknya kandidat menjadi tanggung jawab partai politik. Keadaan ini menimbulkan persoalan tersendiri karena praktik yang terjadi selama ini menunjukan tidak adanya transparansi dalam rekrutment kandidat untuk pencalonan oleh partai politik. Akibatnya, kandidat yang dicalonkan lebih didasarkan pada hubungan relasi dan faktor posisi kandidat yang bersangkutan di dalam suatu partai politik. Akibatnya, kandidat yang mengikuti pemilu tidak lagi diutamakan kualitas dan kapabilitasnya. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu prakondisi yang menghambat keberhasilan pemilu dalam menghasilkan penyelenggara negara yang kapabel. Dengan demikian, untuk menangani persoalan ini, praktik rekrutmen politik harus dilakukan secara transparan melalui mekanisme pemilihan pendahuluan agar publik dapat mengetahui dinamika pencalonan yang terjadi di dalam partai politik dan tidak salah dalam menjatuhkan pilihannya pada hari pemungutan suara.
Daftar Pustaka Buku Hanan, Djayadi. 2014. Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia. Bandung: Mizan. Haris, Syamsuddin. 2014. Masalah-Masalah Demokrasi dan Kebangsaan Era Reformasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Haris, Syamsuddin. 2014. Partai, Pemilu, dan Parlemen: Era Reformasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Koirudin. 2004. Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi: Menakar Kinerja Partai Politik Era Transisi di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kristiyadi, J. 2009. “Demokrasi dan Korupsi Politik”, dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie (Ed.). Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Romli, Lili, Dkk. 2009. Evaluasi Pemilu Legislatif 2009: Tinjauan atas Proses Pemilu, Strategi Kampanye, Perilaku Memilih, dan
Konstelasi Politik Hasil Pemilu. Jakarta: LIPI Press. Sigit Pamungkas. 2009. Perihal Pemilu. Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gajah Mada. Wijayanto dan Ridwan Zachrie. 2009. (Ed.), Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Yuda, Hanta. 2010. Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Jurnal Nawawi, Juanda. 2012. “Membangun Kepercayaan dalam Mewujudkan Good Governance”. Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan 1(3).
Laporan dan Makalah Amalia, Luky Sandra. 2014. “Basis Keterpilihan Calon Anggota DPR RI Pada Pemilu 2014”, dalam Luky Sandra Amalia (Ed.), Evaluasi Pemilu Legislatif 2014: Analisis Proses dan Hasil, Laporan Penelitian, Jakarta: P2P-LIPI. Gayatri, Irine Hiraswari. 2014. “Fisibilitas Pengajuan Capres Dalam Pemilu Serentak: Berkaca dari Populisme Substantif”. dalam Syamsuddin Haris (Ed.). Skema Alternatif Pemilu Presiden Untuk Efektivitas Demokrasi Presidensial. Laporan Penelitian. Jakarta: P2P LIPI. Haris, Syamsuddin. 2014. “Format Alternatif Pemilu Presiden Untuk Efektivitas Demokrasi Presidensial”. dalam Syamsuddin Haris (Ed.), Skema Alternatif Pemilu Presiden Untuk Efektivitas Demokrasi Presidensial. Laporan Penelitian. Jakarta: P2P LIPI. Levi, Margaret, Audrey Sacks. 2005. “Achieving Good Government-And, Maybe, Legitimacy”. Makalah disampaikan pada World Bank Conference “New Frontiers of Social Policy, Washington, Desember 1215. Haris, Syamsuddin. 2014. “Evaluasi Proses dan Analisis Hasil Pemilu Legislatif 2014” dalam Luky Sandra Amalia (Ed.), Evaluasi Pemilu Legislatif 2014: Analisis Proses
Prakondisi Untuk Mengukuhkan Legitimasi Pemerintahan | Devi Darmawan | 61
dan Hasil. Laporan Penelitian. Jakarta: P2P-LIPI.
Undang-Undang UUD NKRI 1945 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Partai Politik UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
62 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
KOALISI MODEL PARLEMENTER DAN DAMPAKNYA PADA PENGUATAN KELEMBAGAAN SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA PARLIAMENTARY-STYLE COALITIONS AND ITS IMPACT ON STRENGTHENING THE INSTITUTIONAL PRESIDENTIAL SYSTEM IN INDONESIA Asrinaldi A Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas Jalan Kampus Limau Manis, Padang 25163 E-mail:
[email protected] Diterima: 1 Agustus 2013; direvisi: 3 September 2013; disetujui: 10 Desember 2013 Abstract Implementation coalition of parliamentary system in the presidential system model in Indonesia cause problems in the legislature. This article describes the effects that arise from that coalition of parliamentary system model was applied in a presidential system. Consequently, polemic over government programs in legislature no longer related to public interest, but simply to show an attitude that opposite to government. Interestingly, the ruling government party seek to involve the opposition party in government to avoid conflicting in government programming. As a result, the formation of coalition of parlimentary model does not reflect consistency in implementing the constitution. Even the coalition that formed it just put the political interests as a goal rather than strengthen the political ideology as the way of the nation. This article explains more in depth what the impact of coalition of parliamentary syatem model to strengthening of political institutions in a presidential system. Keywords: Presidentialism system model and institutional strengthening
Abstrak Penerapan model koalisi sistem parlementer dalam pelaksanaan sistem presidensial di Indonesia mendatangkan masalah di lembaga legislatif. Artikel ini menjelaskan dampak yang muncul dari model koalisi sistem parlementer yang diterapkan dalam sistem presidensial. Akibatnya, perdebatan program pemerintah di lembaga legislatif tidak lagi dalam rangka pemenuhan kepentingan masyarakat, akan tetapi sekedar menunjukan sikap berseberangan dengan pemerintah. Menariknya, partai pemerintah berkuasa justru melibatkan partai oposisi untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk menghindari ketegangan yang terjadi di lembaga legislatif. Pembentukan koalisi pemerintahan seperti ini justru tidak mencerminkan konsistensi dalam melaksanakan undang-undang dasar. Bahkan koalisi yang terbentuk justru hanya mengutamakan kepentingan politik ketimbang memperkuat ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Artikel ini menjelaskan lebih mendalam dampak praktik koalisi model parlementer ini terhadap penguatan kelembagaan politik dalam sistem presidensial. Kata kunci: Sistem Presidensial dan Penguatan Kelembagaan
Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya ... | Asrinaldi A | 63
Pendahuluan Pemilu legislatif 2014 sudah selesai diselenggarakan. Walaupun, hasilnya juga mengundang sejumlah gugatan, namun partai politik sudah dapat menerimanya sebagai proses pemilihan yang demokratis. Menariknya, Pemilu kali ini menghasilkan konstelasi politik yang berubah di tingkat nasional. Pasalnya, Partai Gerindra berhasil mendapatkan suara yang cukup signifikan, yaitu sebesar 11,1 persen. Bahkan keberhasilan Partai Gerindra mendapatkan suara ini justru mengalahkan perolehan suara Partai Demokrat sebagai partai petahana yang memenangkan Pemilu tahun 2009. Hal lain yang juga menarik dalam Pemilu legislatif 2014 ini adalah perolehan suara Partai Nasdem. Sebagai partai politik baru ternyata bisa menyaingi partai-partai lain yang telah lama ikut Pemilu seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Amanat Nasional (PAN).
persen membuka peluang bagi partai ini mengajukan calon presiden, tetapi harus membangun koalisi dengan partai lain. Hal ini adalah dampak tidak tercapainya persyaratan untuk mengusung calon presiden sendiri, yaitu keharusan memenuhi perolehan 25 persen suara sah nasional menyebabkan PDIP yang mendapat kursi terbanyak di lembaga legislatif membangun koalisi. Faktanya, dari hasil pelaksanaan Pemilu legislatif tersebut memang tidak ada satu pun partai politik yang memenuhi persyaratan tersebut. Akibatnya, partai politik harus membentuk koalisi untuk memenuhi jumlah minimal suara yang diperoleh atau kursi yang didapatkan. Partai berikutnya yang juga memungkinkan untuk membangun poros koalisi adalah Partai Golongan Karya (Golkar) dengan perolehan suara sebanyak 14,75 persen. Namun, hingga penetapan calon presiden dan wakil presiden oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Partai Golkar kesulitan mendapatkan partai politik kawan koalisi.
Tabel 1. Komposisi hasil perolehan suara Pemilu legislatif 2014
Sumber: KPU RI *) tidak lolos nilai ambang batas parlemen
Dengan perolehan suara yang mencapai 6,72 persen ikut mengantarkan Partai Nasdem ke Senayan. Bahkan dengan ketentuan nilai ambang batas parlemen sebesar 3,5 persen, menyebabkan dua partai lain, yaitu Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) yang juga peserta Pemilu tahun 2009 terpental dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kedua partai tersebut hanya mampu mendapatkan suara 1,46 persen dan 0,91 persen.
Pada akhirnya Partai Golkar mendukung poros koalisi yang diinisiasi oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Koalisi yang digagas oleh Partai Gerindra ini terkait dengan perolehan suaranya yang mencapai 11,81 persen suara sah nasional. Fakta ini semakin menegaskan bahwa koalisi ini merupakan konsekuensi dari UU No.42 tahun 2009 tentang pemilu presiden yang mensyaratkan terpenuhinya 25 persen suara sah nasional atau 20 persen perolehan kursi di DPR (Lihat Tabel 1).
Keberhasilan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memperoleh suara 18,95
Koalisi dalam sistem presidensialisme dengan sistem multi partai dapat mengancam
64 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
proses demokrasi yang dilaksanakan. Kekhawatiran terhadap sistem multi partai dalam sistem presidensial yang berdampak pada kestabilan penyelenggaraan pemerintahan ini adalah implikasi terjadinya polarisasi kepentingan di lembaga legislatif. Akibatnya kebijakan yang dibuat pemerintah dapat berseberangan dengan kepentingan partai politik. Hal ini bisa terjadi karena presiden yang terpilih belum tentu dapat diterima oleh anggota legislatif yang juga dipilih oleh rakyat.1 Tidak sedikit fragmentasi terjadi di lembaga legislatif, terutama wakil-wakil partai yang berada di lembaga perwakilan ini. Satu di antara dampak yang dicemaskan adalah terjadinya tarik menarik kepentingan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Banyak negara berkembang mengalami kecenderungan seperti ini, misalnya negara-negara Amerika Latin begitu kuatnya kompetisi legitimasi di antara dua lembaga, yaitu eksekutif dan legislatif dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Persaingan ini justru berdampak pada kebuntuan politik dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.2 Fenomena ini juga yang turut mengkhawatirkan proses koalisi di Indonesia dalam pembentukan pemerintahan. Fenomena koalisi ini juga menjadi catatan penting dalam perjalanan sejarah negara Indonesia terkait dengan koalisi partai politik dalam membentuk pemerintahan ini. Koalisi yang terbentuk ini menemukan akar kesejarahannya di Indonesia sebab pada masa demokrasi liberal tahun 1950an fenomena koalisi ini juga menjadi kenicayaan dalam pembentukan pemerintahan di bahwa sistem parlementer. Bahkan jatuh bangunnya kabinet pada masa demokrasi parlementer ini adalah implikasi dari persaingan partai politik dalam mencari kekuasaan di pemerintahan. Begitu juga pada masa reformasi dengan sistem multi partai persaingan partai politik untuk Selanjutnya lihat Scott Mainwarring, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combinantion”, dalam Robert Dahl, Ian Shapiro and Jose Antonio Cheibub (Eds). The Democracy Sourcebook. (Massachusetts: Massachusetts Instititute of Technology, 2003), hlm. 68-270. 2 Howard J Wiarda and Jonathan T. Polk., “Separation of Legislative and Executive Government Power”, dalam David Scot Clark (Ed.), Comparative Law and Society (Massachuetts: Edwar Elgar Publishing, 2012), hlm.169. 1
mendapatkan kekuasaan mempengaruhi proses pembentukan pemerintahan sehingga pilihan berkoalisi menjadi keniscayaan walaupun sebenarnya agak “tidak lazim” dalam sistem presidensial.3 Partai pengusung presiden pun harus mempertimbangkan bagaimana hubungan kelembagaan antara eksekutif yang dipimpin oleh presiden dengan lembaga legislatif dengan partai politik yang tidak ikut mendukung pembentukan koalisi pemerintahan tersebut. Satu hal yang menarik dari proses membangun koalisi ini adalah pada keterlibatan elite partai yang bertindak “seolah-olah” mengatasnamakan konstituen. Padahal logika dalam Pemilu, preferensi pemilih terhadap partai politik berbeda dengan preferensinya terhadap figur. Namun, logika ini dilupakan oleh elite partai politik sehingga koalisi yang berlangsung melupakan logika masyarakat. Akibatnya, dalam proses koalisi politik ini ke depan tidak lagi berdasarkan aspirasi masyarakat. Padahal makna perwakilan politik ini tidak sekedar menyerahkan pilihannya kepada pemimpin partai politik. Tapi lebih dari itu, elite juga harus mendengarkan dan menyuarakan aspirasi masyarakat terkait dengan harapan mereka. Bahkan secara teoritis, jika hal ini dapat dilakukan oleh partai politik, maka berdampak pada penguatan sistem kepartaian itu sendiri.4 Fenomena koalisi partai dalam sistem presidensial menjadi kecenderungan baru dalam sistem politik di Indonesia, terutama pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.5 Memang sejak reformasi dilaksanakan praktik koalisi ini mewarnai dinamika pemilihan presiden dan wakil presiden. Namun, sayangnya kesan yang ditangkap masyarakat dalam proses koalisi ini adalah sebuah cara membagi kekuasaan dalam mekanisme politik formal. Fenomena koalisi partai partai pertama terlihat ketika hasil Pemilu tahun 1999 sudah Untuk lebih jelas fenomena ini dapat dirujuk Syamsuddin Haris, Masalah-masalah Demokrasi Kebangsaan di Era Reformasi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014). 4 Bingham Powell Jr. Contemporary Democracies: Participation, Stabilty and Violence, (Massachusetts: Harvard University Press, 1982), hlm. 74. 5 Penjelasan mengenai dinamika koalisi partai politik dalam penyelenggaraan pemerintahan ini dapat dilihat dalam Donald L. Horowitz, Constitutional Change and Democracy in Indonesia (Cambridge:Cambridge University Press, 2013), hlm. 279-291. 3
Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya ... | Asrinaldi A | 65
ditetapkan. PDI Perjuangan sebagai pemenang Pemilu dengan perolehan 33 persen suara kalah dalam pemilihan presiden karena munculnya kekuatan koalisi partai politik yang dikenal dengan poros tengah.6 Selanjutnya fenomena koalisi pasca Pemilu tahun 2004 yang digagas Partai Demokrat dengan beberapa partai lain berhasil mengalahkan pasangan calon presiden yang diusung oleh Partai Golkar sebagai partai pemenang Pemilu. Begitu juga, untuk mengamankan kebijakannya di lembaga legislatif, Partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu tahun 2009 berhasil menguasai lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Inilah gambaran koalisi yang terjadi dalam sistem presidensial yang mulai menampakkan bentuknya ketika era reformasi berlangsung. Pertanyaannya, akankah koalisi yang dibangun oleh Partai Gerindra sebagai poros utama koalisi dengan beberapa partai politik lain berhasil mengalahkan koalisi partai pemenang Pemilu tahun 2014, yaitu PDI Perjuangan?. Lalu, apakah koalisi ini juga membawa dampak kepada pelaksanaan sistem presidensial? Artikel ini menjelaskan kecenderungan pembentukan koalisi dalam pemilihan presiden yang sebenarnya menggunakan model koalisi partai dalam sistem parlementer. Bahkan banyak pihak menilai bahwa koalisi ini tidak lebih dari bentuk pragmatisme politik ketimbang koalisi dibangun dengan dasar ideologi kebangsaan. Memang secara teori, koalisi ini tidak lebih sebagai bentuk hitunghitungan manfaat yang didapatkan oleh elite partai untuk keuntungan ekonomi dan politik partainya dalam pemerintahan. Selain itu, artikel ini juga menyoroti dampak koalisi dengan model parlementer ini bagi penguatan sistem presidensial di Indonesia. Koalisi partai yang tergabung dalam poros tengah ini dimotori oleh Amien Rais salah seorang tokoh reformasi yang menentang kekuasaan rezim Orde Baru. Kekuatan poros tengah ini didukung oleh kekuatan partai-partai yang berideologi Islam ternyata berhasil mengalahkan PDI Perjuangan yang pada waktu itu sudah menguasai 153 kursi parlemen. Manuver politik yang dilakukan Amien Rais dari PAN yang hanya menguasai 34 kursi DPR dan PKB yang hanya memiliki 51 kursi DPR ini berhasil menempatkan Amien Rais sebagai ketua MPR dan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Selanjutnya lihat Chris Manning & Peter van Diermen (Eds.). Indonesia Di Tengah Transisi: Aspek-Aspek Sosial dari Reformasi dan Krisis. Terjemahan. (Yogyakarta: LKIS, 2000), hlm. 402. 6
Koalisi Politik Partai Dalam Sistem Presidensial: Antara Pragmatisme dan Ideologi Dalam negara yang mengamalkan demokrasi, keterlibatan partai politik menjadi penentu kualitas demokrasi yang dihasilkan. Apalagi dengan sistem perwakilan politik yang mengandalkan kader partai politik yang dipilih berdasarkan suara terbanyak. Sepanjang kader yang diusulkan partai politik berkualitas, maka perjuangan mereka sebagai wakil rakyat di lembaga legislatif akan menghasilkan kebijakan yang juga berkualitas. Namun, sayangnya banyak orang menilai kualitas anggota legislatif yang terpilih hasil Pemilu tahun 2014 ini masih jauh dari kualitas ideal. Apalagi banyak tudingan bahwa kemenangan anggota DPR dan DPRD yang terpilih sebagai anggota legislatif ada kaitannya dengan aktivitas politik uang.7 Dari segi pelaksanaan fungsi partai politik ditinjau dari aspek komunikasi, sosialisasi dan rekruitmen politik juga mempengaruhi kinerja demokrasi. Tidak sedikit masyarakat menilai kegagalan partai politik melaksanakan fungsi ini juga berdampak pada rendahnya kualitas demokrasi. Bahkan dengan kasat mata dalam proses koalisi dalam setiap Pemilu, komunikasi politik yang semestinya dilakukan dengan masyarakat justru tidak terjadi. Komunikasi politik justru yang berlangsung di antara elite partai hanya dalam rangka mengusung calon presiden sehingga koalisi yang dibangun terkesan transaksional. Singkatnya, permasalahan mendasar dalam perpolitikan di Indonesia bermula dari kegagalan partai politik melaksanakan fungsinya. Pelembagaan partai sebagai infrastruktur demokrasi belum sepenuhnya dapat dilaksanakan karena tidak jelasnya mekanisme rekruitmen kader dan kepengurusan partai. Padahal rekruitmen ini menjadi Pemberitaan tentang maraknya politik uang dalam Pemilu tahun 2014 ini menjadi sorotan media massa lokal dan nasional. Banyak laporan media cetak terkait dengan masalah ini. Misalnya, laporan Harian Republika 5 Mei 2014, http://www.republika.co.id/ berita/nasional/politik/14/05/05/n53nhg-pengamatpemilu-2014-menjijikkan-karena-penuh-perburuanrente. Laporan yang sama juga ditulis oleh kantor berita Antara, http://www.antaranews.com/ berita/431001/kalangan-dpr--pemilu-brutal-karenapolitik-uang tentang pemilu yang jauh dari logika sehat demokras, diakses pada tanggal 18 Mei 2014. 7
66 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
energi bagi partai melaksanakan fungsinya dalam sistem yang demokratis. Sayangnya, aspek ini yang diabaikan sehingga partai politik mengalami penyakit kronik dalam melaksanakan fungsinya. Begitu juga dengan permasalahan pembiayaan dalam melaksanakan aktivitas partai. Terbatasnya sumber pembiayaan untuk melaksanakan aktivitas partai dalam melaksanakan fungsinya berdampak pada cara elitenya mencari “kader baru” yang bersedia membiayai kegiatan partai politik. Tidak jarang elite partai politik ini mengabaikan mekanisme rekruitmen yang menempatkan ideologi partai sebagai nilai dasar dalam proses tersebut. Cara pikir pragmatisme di elite partai ini mendorong mereka untuk mencari pengusaha yang bersedia bergabung dan membiayai aktivitas partai politik. Tentu, bagi sebagian pengusaha yang terlibat dengan kepengurusan partai ini membuka jalan bagi mereka untuk mengembangkan bisnisnya dengan memanfaatkan kekuasaan partai politik tersebut. Karenanya tidak jarang partai politik berusaha mendapatkan bagian dari kekuasaan pemerintahan dengan cara apa pun, termasuk membangun koalisi dengan partai pemerintah. Apalagi menjelang Pemilu kebutuhan pembiayaan partai semakin meningkat sehingga tidak jarang muncul keinginan untuk melibatkan pengusaha membiayai kebutuhan partai politik.8 Sebenarnya, koalisi yang terbangun di antara partai politik lazim terjadi dalam sistem parlementer. Dalam sistem ini, partai yang berhasil mendapatkan kursi di parlemen melakukan kerjasama atau koalisi untuk membentuk pemerintahan. Kemenangan partai dalam mendapatkan kursi di parlemen mengantarkan partai-partai peserta koalisi untuk memilih satu orang perdana menteri yang sekaligus bertindak sebagai kepala pemerintahan. Tidak jarang perdana menteri mengangkat menteri-menteri di kabinetnya dari anggota parlemen yang ikut koalisi pembentukan pemerintahan. Tapi ada juga negara yang tidak Fenomena korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama yang dilakukan oleh partai berkuasa sebenarnya bermula dari terbatasnya pembiayaan terkait dengan aktivitas partai politik, terutama menjelang Pemilu. Pengusaha yang menjadi kader baru partai politik dan terlibat dalam pembiayaan ini berusaha mendapatkan proyekproyek pemerintah dengan alasan untuk membiayai aktivitas partai politik. Selanjutnya silakan rujuk Edmun Gomez, Political Business in East Asia (New York: Routledge, 2002), hlm. 18-21. 8
membenarkan mereka yang terpilih jadi menteri juga menjabat sebagai anggota legislatif. Seperti yang dijelaskan Lijphart, sistem parlementer ini memiliki supremasi atas kedudukan yang lebih tinggi dari bagian pemerintah dan majelis, tetapi mereka tidak saling menguasai. Dengan kata lain, parlemen adalah fokus kekuasaan dalam sistem politik.9 Namun, faktanya kecenderungan koalisi model parlementer ini pun ditiru dalam sistem presidensial. Koalisi yang dilakukan partai politik di Indonesia justru dilakukan menjelang pemilihan presiden dan pasca Pemilu Legislatif dilaksanakan. Hal ini terjadi karena Pemilu Legislatif tidak dilaksanakan serentak dengan Pemilu Presiden. Apalagi dengan diberlakukannya ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden sebesar 20 persen perolehan kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional menyebabkan partai politik berusaha mencapai jumlah tersebut. Memang Mahkamah Konstitusi telah membatalkan aturan yang terdapat dalam UU pemilihan presiden ini, namun pelaksanaannya harus sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi adalah pada Pemilu tahun 2019 mendatang. Koalisi yang dilakukan partai politik dalam Pemilu Presiden adalah keniscayaan karena ditetapkannya presidential threshold sesuai dengan UU No. 42 tahun 2008. Akibatnya, partai politik berusaha memenuhi persyaratan untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden tersebut. Yang menarik dari proses koalisi partai politik yang dibangun justru tidak berdasarkan pada kesamaan program masing-masing partai, akan tetapi didasarkan pada kepentingan jangka pendek untuk memenangkan pemilihan presiden tersebut. Bahkan hitung-hitungan politik koalisi yang dibangun partai di Indonesia, justru ditujukan pada seberapa banyak partai tersebut mendapatkan kursi menteri di kabinet. Pengalaman Pemilu 2009 membuktikan bahwa keikutsertaan sejumlah partai politik seperti PAN, PKS, PPP dan PKB dan setelah itu baru diikuti oleh Partai Golkar berkoalisi mengusung calon Susilo Bambang Yudhoyono dari Partai Demokrat dalam Pemilu Presiden bermuara pada pemberian kursi menteri kepada partai politik tersebut. Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Terjemahan oleh Ibrahim R, (Jakarta: Rajawali Pers), hlm. 40-41. 9
Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya ... | Asrinaldi A | 67
Menurut Moury bahwa kecenderungan koalisi yang digagas oleh elite partai politik ini sebenarnya terkait dengan pilihan rasional elite dalam memaksimalkan sumber daya politik yang mereka miliki.10 Termasuk di dalamnya perolehan hasil Pemilu Legislatif yang berhasil dimenangkan partai politik. Selain itu, koalisi dapat dilakukan oleh elite partai politik berhubungan dengan keterbatasan informasi yang mereka miliki untuk menguasai isu-isu yang nantinya menjadi perdebatan di lembaga legislatif.11 Apalagi kalau anggota legislatif dari partai politik yang baru pertama kali ikut Pemilu Legislatif. Terakhir, koalisi juga dapat terjadi karena bagian dari pilihan strategi dari aktor politik dalam partai yang berbeda-beda posisi institusionalnya yang berdampak pada sumber daya dan keterbatasan dalam memaksimalkan kepentingan masing-masing. Sejalan dengan pandangan Moury ini, Riker juga melihat kecenderungan pilihan rasional dari politisi tersebut adalah untuk memaksimalkan keuntungan yang didapatkan dari koalisi yang dibangunnya.12 Menurutnya, koalisi yang dibangun oleh elite partai cenderung kepada bentuk hitung-hitungan dari “biaya yang dikeluarkan” untuk mengontrol proses koalisi yang dibangun tersebut. Fenomena inilah yang dapat dilihat dari proses koalisi yang melibatkan partai politik pada Pemilu Presiden tahun 2014. Beberapa partai pemenang Pemilu seperti PDIP, Partai Golkar dan Gerindra menggagas untuk menjadi poros utama koalisi karena sumber daya yang mereka miliki di lembaga legislatif. Misalnya, PDIP berhasil mendapatkan 109 kursi yang jumlahnya cukup signifikan mendukung kebijakan pemerintah yang terbentuk. Begitu juga dengan Partai Golkar yang memperoleh 91 kursi dan Partai Gerindra dengan 73 kursi. Jelas, sumber daya yang dimiliki oleh partai-partai ini relevan dengan presidential threshold sebesar 112 kursi untuk mengusung calon presiden. Sementara, bagi Partai Nasdem yang notabenenya adalah partai yang baru pertama kali ikut Pemilu, perolehan kursi ini tentu harus dimaksimalkan dengan cara meningkatkan Catherine Moury, Coalition Government and Pary Mandate: How Coalition Agreement Constrain Minesterial Action, (London: Routledge, 2013), hlm. 3-5. 11 Ibid, hlm. 4. 12 William H Riker. The Theory of Political Coalition. (New Haven: Yale University Press, 1962), hlm. 323. 10
pengalaman kadernya di lembaga legislatif dan eksekutif. Pilihan Partai Nasdem berkoalisi dengan PDIP adalah pilihan yang rasional elite partai tersebut ketimbang hanya berada di luar pemerintahan. Satu hal yang juga muncul dalam proses koalisi ini adalah kepentingan dari kader partai politik yang ikut koalisi, yaitu adanya perbedaan posisi institusionalnya di masing-masing partai yang sesungguhnya dapat dijadikan posisi tawar politik untuk menjadi menteri, jika memenangkan Pemilu Presiden ini. Sebenarnya, dalam sistem pemerintahan presidensial, kebutuhan koalisi bukanlah sesuatu yang mutlak. Seperti yang dijelaskan di atas, keharusan koalisi adalah implikasi diberlakukannya presidential threshold yang ditetapkan oleh UU pemilihan presiden. Keadaan ini tentu akan berbeda, jika keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif dapat dilaksanakan serentak. Namun, rendahnya kepercayaan diri pemerintah yang berkuasa dalam menghadapi legislatif sehingga menjadi pertimbangan bagi partai pemenang Pemilu Legislatif untuk membentuk koalisi. Ini tidak lain untuk mengamankan kebijakannya di lembaga legislatif. Contoh ini sebenarnya dapat dilihat ketika Partai Demokrat berhasil memenangkan Pemilu Legislatif tahun 2009 dengan perolehan suara sebesar 20,85 persen. Akan tetapi, tetap membangun poros koalisi dengan partai lain untuk mengusung Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden. Padahal jika dirujuk UUD 1945, hubungan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif adalah sama dan tidak bisa saling menjatuhkan. Memang dalam perjalanan koalisi yang digagas Partai Demokrat ini terjadi “krisis kepercayaan” terhadap partai-partai pendukung Presiden Yudhoyono. Misalnya terkait dengan kebijakan menaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang menjadi dilema dalam pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2. Pada akhirnya, ada partai koalisi, yaitu PKS yang menolak kebijakan ini sehingga koalisi yang terbentuk terancam pecah. Fraksi PKS di DPR secara tegas menolak kenaikan harga BBM ini.13 Memang ini pilihan sulit bagi sebuah partai politik dalam koalisi, yaitu apakah harus http://www.gatra.com/politik-1/10625-kisruhbbm-tolak-kenaikan-harga-koalisi-terancam-pecah. html, diakses pada tanggal 18 Mei 2013. 13
68 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
mempertimbangkan kepentingan koalisi atau popularitas partai untuk pemilihan mendatang. Hal ini sebenarnya sudah tergambarkan seperti yang dinyatakan oleh Bingham Powell “...parties struggle for participation in and control of the policy making process, through which leaders can realize their office holding aspirations and policy objectives and can fulfill their commitments to their followers. On the other hand, even while parties engage in short-term bargaining about policy and participation, they must look ahead to the opportunities and dangers of the next election.”14 Jadi dari penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa umumnya dasar koalisi yang dibangun oleh partai politik lebih mempertimbangkan aspek keuntungan jangka pendek yang mereka peroleh. Ideologi yang diharapkan menjadi dasar platform partai politik membangun visi dan misi bersama dalam menyelenggarakan negara bukanlah menjadi pertimbangan utama. Fenomena ini memang menarik dalam konteks politik modern saat ini, baik dalam sistem presidensial maupun dalam sistem parlementer. Begitu juga dalam proses koalisi di Indonesia ada yang perlu menjadi perhatian. Visi bersama dalam membangun Indonesia justru dirumuskan setelah kemenangan dalam membentuk pemerintahan. Partai peserta koalisi berusaha menyesuaikan visinya dengan partai yang menjadi poros utama partai. Misalnya, ketika Partai Demokrat berhasil menang dalam pemilihan presiden dan membentuk pemerintahan pada tahun 2009, maka partai peserta koalisi seperti Partai Golkar, PKS, PAN, PPP dan PKB kembali menyesuaikan programnya. Ini gambaran betapa rapuhnya koalisi yang dibangun dalam sistem presidensial. Lemahnya koalisi yang dibangun di antara partai ini adalah akibat dari tidak adanya dukungan penuh dari partai peserta koalisi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Struktur koalisi yang dibuat jarang sekali ditopang oleh dasar kesamaan ideologi yang kuat. Akibatnya, ikatan yang terjadi di antara partai politik peserta koalisi hanya berdasarkan pembagian kursi menteri di kabinet. Yang menariknya pemberian kursi di kabinet ini adalah bagian dari balas jasa yang dilakukan oleh partai politik penggagas utama koalisi terhadap partai yang 14
Bingham Powell Jr, op.cit., hlm. 135.
mendukung dan memenangkan calon presiden yang diusungnya. Lalu, apa pentingnya ideologi sebagai dasar membangun koalisi dalam sistem presidensial tersebut?. Yang patut diketahui bahwa sebenarnya ada banyak bentuk koalisi yang dapat dilakukan partai untuk membentuk pemerintahan. Setiap bentuk koalisi yang dipilih memiliki implikasi bagi partai tersebut. Misalnya, ada minimum winning coalition15 yang tidak membutuhkan jumlah partai yang banyak dan koalisi dibangun sekedar untuk memenuhi syarat minimal perolehan kursi untuk membentuk pemerintahan. Ini berkebalikan dengan oversized coalition16 yang memang dirancang untuk membentuk pemerintahan dan mengamankan kebijakan di parlemen. Bentuk lain dari koalisi ini dikenal juga dengan grand coaliton, yaitu koalisi yang melibatkan dua poros utama koalisi yang dimotori oleh partai-partai pemenang Pemilu yang memiliki spektrum ideologi yang berbeda.17Selain itu, dikenal dengan connected coalition, yaitu pembentukan koalisi karena adanya kesamaan ideologi di antara partai yang berkoalisi. Namun, dalam sistem presidensial di Indonesia pilihan kepada oversized coalition menjadi pilihan setiap presiden yang terpilih. Walaupun risikonya adalah terlalu sulit untuk mengontrol perilaku setiap partai yang terlibat dalam koalisi yang dibangun.18 Sementara, menurut Hague dan Harrop, connected coalition ini lebih mencerminkan koalisi yang menyatukan pandangan yang sama tentang bagaimana aktivitas partai politik dalam membentuk pemerintahan. Kesamaan nilai-nilai politik menjadi pertimbangan dalam pembentukan kerjasama tersebut. Jadi, jika partai politik berkoalisi berdasarkan nilai-nilai Lihat Dennis C. Mueller, Public Choice III, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), hlm. 281. 16 George Tsabelis, Veto Players: How Political Institutions Work, (Princeton: Princeton University Press, 2002), hlm. 96. 17 Rod Hague and Martin Harrop, Comparative Government and Politics 5th Ed, (New York: Palgrave Macmillan, 2001), hlm. 277. 18 Koichi Kawamura, “President Restrained: Effects of Parliamentary Rule and Coalition Government on Indonesia’s Presidentialism”, dalam Yuko Kasuya (Ed). Presidents, Assemblies and Policy-Making in Asia. (New York: Palgrave Macmillan, 2013), hlm. 183-185. 15
Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya ... | Asrinaldi A | 69
yang diyakini dan memiliki kesamaan, maka dasar koalisi partai yang dibentuk menjadi lebih kuat. Ini tentu berbeda dengan koalisi yang hanya didasarkan pada kepentingan jangka pendek yang dijadikan dasar dalam pembentukan koalisi. Sayangnya, kecenderungan koalisi berdasarkan ideologi ini belum menjadi pilihan partai politik di Indonesia sehingga belum berdampak pada penguatan sistem presidensial. Lalu mengapa partai politik lebih memilih pada koalisi yang berdasarkan pada kepentingan jangka pendek dan bukan membangun koalisi atas pilihan ideologi? Lalu, apa kaitan pilihan jangka pendek ini dengan sistem presidensial? Politik, seperti yang ditegaskan Miriam Budiardjo, dalam pengertian sederhana terkait dengan distribusi nilai-nilai.19 Sementara, nilai yang ada dalam realita politik itu sangat langka dan menjadi rebutan. Salah satu nilai yang diperebutkan tersebut adalah kekuasaan yang memang menjadi tujuan dibentuknya partai politik. Koalisi yang dibentuk ini jelas lebih berorientasi pada nilai kekuasaan yang harus didapatkan dengan usaha yang seminimal mungkin dan biaya yang semurah mungkin. Da n, tidak ada cara yang lebih efektif kecuali bersama-sama memperjuangkan kekuasaan tersebut melalui mekanisme koalisi. Dengan memperhitungkan sumber daya politik yang dimiliki oleh sebuah partai seperti kursi di lembaga legislatif dan mempertimbangkan sumber daya politik partai lain, tentu lebih mudah menjalin koalisi untuk memenangkan sebuah pemilihan. Sepertinya cara pikir yang pragmatisme ini yang menjadi pertimbangan elite politik partai yang berkoalisi dengan mengutamakan kepentingan jangka pendek partai mereka. Selain itu, sikap pragmatisme ini juga terkait dengan tidak adanya mekanisme dalam menghentikan kekuasaan presiden dalam sistem presidensial, jika terjadi kemacetan politik dalam pembuatan kebijakan. Bagi partaipartai kecil, pilihan kepada oposisi di lembaga legislatif justru berdampak pada pembiayaan menghadapi Pemilu pada masa berikutnya. Jika, elite di partai-partai kecil memilih bergabung dengan partai politik yang menggagas koalisi, maka kesempatan mereka untuk mengumpulkan “biaya” menghadapi Pemilu mendatang bisa terwujud. Faktanya, kursi menteri Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi,(Jakarta: Gramedia, 2010).
19
yang menjadi kompensasi dukungan dalam pemilihan presiden dalam sistem presidensial adalah langkah strategis untuk mengumpulkan pembiayaan bagi aktivitas partai politik.
Koalisi model parlementer dan Dampaknya bagi Sistem Presidensial Koalisi dalam sistem parlementer merupakan cara praktis yang dilakukan partai politik menggabungkan kekuatannya agar bisa membentuk pemerintahan. Kecenderungan koalisi ini dilakukan karena implikasi dilaksanakannya sistem multi partai. Pelaksanaan sistem multi partai ini justru berakibat pada munculnya banyak partai yang ujungnya adalah terjadinya polarisasi dukungan masyarakat. Karenanya, partai politik yang bertanding dalam Pemilu sulit mendapatkan suara mayoritas, terutama untuk membentuk pemerintahan. Ketidakmampuan partai membentuk pemerintahan tanpa melakukan koalisi atau setidaknya membentuk koalisi minimal sulit terjadi. Pada umumnya partai berupaya membangun koalisi besar agar perjalanan pemerintahan yang diselenggarakan berjalan lancar. Selain itu, seperti yang dijelaskan di atas, keniscayaan melakukan koalisi ini adalah konsekuensi ditetapkannya presidential threshold dalam UU pemilihan presiden. Jika dipahami lebih jauh, sebenarnya koalisi yang dilakukan partai politik dalam sistem presidensial ini tidak hanya dalam konteks mengusulkan calon presiden dan pasangannya, tapi juga untuk mengharmoniskan hubungan antara eksekutif dan legislatif pasca terpilihnya presiden. Kekhawatiran terjadinya ketegangan antara badan eksekutif dan badan legislatif dalam penyelenggaraan pemerintahan telah menjadi preseden politik dalam penyelenggaraan pemerintahan di republik ini. Misalnya, ketegangan kedua lembaga ini dapat dilihat pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Seperti diketahui, gaya kepemimpinan Gus Dur dalam menjalankan pemerintahan membuat partai politik kurang simpati dan mengancam akan menarik dukungannya terhadap pemerintah yang berkuasa. Melalui penggunaan hak interpelasi dan hak angket yang dimiliki DPR ketegangan antara lembaga
70 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
legislatif dan eksekutif bermula. Namun, karena jawaban dari Gus Dur tidak memuaskan, maka DPR berencana menerbitkan memorandum kepada presiden. Oleh Presiden Abdurrahman Wahid, memorandum yang akan dikeluarkan MPR/DPR justru menyebabkan kemarahan dengan mengeluarkan dekrit presiden untuk membubarkan MPR/DPR.20 Walaupun tidak berlangsung sedramatis pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, persoalan ketegangan hubungan antara lembaga legislatif dengan eksekutif juga ditemukan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Apalagi ditambah dengan oposisi yang dilakukan PDI Perjuangan. Beberapa kebijakan pemerintahan SBY yang dianggap “kontroversi” oleh DPR berujung pada keinginan untuk mengeluarkan hak interpelasi dan hak angket. Misalnya, ada beberapa hak angket yang dikeluarkan DPR seperti untuk kasus penjualan tanker pertamina, kisruh masalah Daftar Pemilih Tetap dan transparansi pengelolaan Migas. Walaupun ujung dari hak angket ini tidak pernah tuntas, tetapi penggunaan hak angket ini membuat Presiden SBY dan menterimenterinya khawatir juga dengan tindakan lembaga legislatif ini.21 Jadi, partai politik yang berkuasa juga mempertimbangkan bahwa koalisi adalah cara praktis yang dapat mengamankan kebijakan yang dibuat jika memiliki sekutu di lembaga legislatif. Partai yang pendukung pemerintah juga harus mempertimbangkan hitunghitungan politis kebijakan yang dibuat dan hitung-hitungan matematis jumlah pendukung kebijakan tersebut di DPR. Sepanjang hitunghitungan tersebut sesuai, maka pemerintah dapat bertindak leluasa. Inilah yang menentukan hubungan pemerintah dan DPR dalam sistem politik yang dibangun pasca kejatuhan rezim Orde Baru. Sejalan dengan itu, Hanta Yudha dalam bukunya Presidensialisme Setengah Hati (2010) menyoroti fenomena pada masa kepemimpinan Presiden SBY ini. Jelasnya “pola relasi kekuasaan Presiden Yudhoyono dan DPR mengalami pasang surut. Pola relasi Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik Dan Lobi Politik Para Penguasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 226-228. 21 Syamsuddin Haris, “Membaca Hak Angket DPR”, dalam Aloysius Soni BL de Rosari (Ed). Centurygate Mengurasi Konspirasi Penguasa-Pengusaha, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 184. 20
antara pemerintah dan DPR bergantung pada konfigurasi dan ikatan koalisi partai-partai di DPR.”22 Lalu, apa dampak koalisi model parlementer yang dilakukan partai ini bagi sistem presidensial?. Apakah ke depan koalisi partai seperti ini perlu diteruskan sehingga bisa memperkuat sistem presidensial?. Koalisi partai dalam sistem presidensial pada dasarnya tidaklah diperlukan sepanjang partai yang memenangi Pemilu di Indonesia memenuhi nilai ambang batas kursi untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Karena dalam UU No. 42 tahun 2008 ditegaskan jika partai politik peserta Pemilu mendapatkan kursi 112 dari 560 kursi di DPR atau 20 persen, maka partai tersebut dapat mengusulkan calon presiden dan wakil presiden. Sepanjang ada keberanian dari partai politik tersebut mengusulkan calon presiden dan wakil presiden tentu koalisi tidak dibutuhkan. Namun, realita politiknya tidaklah demikian. Bagi partai politik pemenang Pemilu Legislatif, keinginan menguasai lembaga eksekutif dengan menjadi presiden adalah sesuatu yang penting. Namun, menciptakan pemerintahan yang efektif adalah hal penting lainnya yang juga menjadi pertimbangan Karenanya pilihan untuk membentuk koalisi dengan partai-partai lain menjadi cara efektif untuk mengamankan kedudukan presiden dalam pemerintahan. Namun, logika ini tidaklah sepenuhnya tepat dalam sistem presidensial yang dianut oleh Negara Indonesia. Sebab hubungan di antara kedua lembaga tersebut tidaklah dalam rangka saling menjatuhkan. Dalam UUD 1945 sudah ditegaskan bahwa lembaga legislatif dalam hal ini DPR tidak dapat menjatuhkan pemerintah, kecuali menyangkut hal-hal yang sudah ditentukan dalam konstitusi seperti pengkhianatan terhadap negara dan korupsi. Hal ini pun harus diputuskan terlebih dahulu oleh Mahkamah Konstitusi dengan menilai tuduhan dari lembaga legislatif. Begitu juga sebaliknya, presiden juga tidak bisa membubarkan DPR hanya karena fungsi yang dilaksanakan. Jadi hubungan kedua lembaga ini adalah dalam rangka menyeimbangkan peran dan fungsi yang dimainkan masing-masing. Dalam konteks inilah mekanisme check and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan itu dapat dilihat. Hanta Yudha, Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 175. 22
Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya ... | Asrinaldi A | 71
Sejak Pemilu masa reformasi dilaksanakan, tidak banyak partai yang dapat memenuhi ambang batas kursi dalam mengusulkan calon presiden dalam pemilihan langsung. Hanya Partai Demokrat yang berhasil memperoleh sebanyak 148 kursi pada Pemilu 2009. Sementara, PDI Perjuangan juga mendapatkan kursi sebanyak 153 pada tahun 1999. Akan tetapi, sistem pemilihan presiden masih menggunakan mekanisme tidak langsung melalui lembaga MPR. Faktanya, Partai Demokrat yang memenangkan Pemilu tahun 1999 ternyata “tidak berani” mencalonkan Susilo Bambang Yudhoyono tanpa harus melibatkan partai lain. Bagi banyak pengamat, tidak adanya keberanian ini memang mengundang dugaan banyak pihak bahwa Partai Demokrat ingin mengamankan kebijakannya di lembaga legislatif. Ini memang paradoks dengan sistem presidensial yang dilaksanakan. Ketakutan akan terjadinya kemacetan politik (political gridlock) di lembaga legislatif ketika membuat kebijakan menjadi kekhawatiran utama politisi Partai Demokrat. Pilihan koalisi dengan partai lain yang memiliki kursi di DPR menjadi pilihan strategis untuk menguasai lembaga legislatif ini. Akan tetapi, pada akhirnya apa yang dilakukan Partai Demokrat ini jelas menjadi preseden yang akan terus diikuti oleh setiap partai politik setiap Pemilu Legislatif selesai. Politisi partai pemenang Pemilu akan selalu mengkalkulasikan jumlah kursi di DPR, paling tidak memenuhi mayoritas sederhana agar kebijakan yang dibuat pemerintah yang mereka dukung bisa dilaksanakan. Menariknya, kejadian yang sama juga berulang pasca Pemilu tahun 2014. Partai Gerindra yang menjadi poros utama koalisi merah-putih mengusung Prabowo Subianto dan Muhammad Hatta Rajasa sebagai calon presiden dan wakil presiden membuat koalisi besar. Partai Gerindra yang hanya memperoleh 73 kursi di DPR membutuhkan minimal 49 kursi untuk dapat mengajukan calon presiden. Namun realitanya, Partai Gerindra membentuk koalisi besar yang melibatkan PAN dengan 49 kursi, PPP dengan 39 kursi, PKS dengan 40 kursi dan terakhir bergabungnya Partai Golkar ke dalam koalisi ini dengan membawa sebanyak 91 kursi. Jadi, total kursi yang didapatkan dari koalisi ini adalah 292 kursi atau 52,14 persen melebihi mayoritas sederhana di lembaga legislatif. Ini berbeda dengan koalisi
yang diusung oleh PDI Perjuangan yang hanya membentuk koalisi minimum. Partai ini hanya melibatkan Partai Nasdem dengan 35 kursi, PKB dengan 47 kursi, Hanura dengan 16 kursi dan PDI Perjuangan sendiri memperoleh 109 kursi. Dengan demikian, total kursi koalisi yang diperoleh adalah 207 atau 36,96 persen. Dari fakta ini, sebenarnya dapat dipahami bahwa PDI Perjuangan hanya ingin membentuk koalisi dengan suara minimum tanpa khawatir dengan kemacetan politik yang dihadapi di lembaga legislatif. Sementara, Partai Gerindra cenderung membangun koalisi besar (oversized coalition) dengan harapan dapat mengamankan kebijakannya di lembaga legislatif. Lalu, mengapa kecenderungan ini berlangsung?. Tidak terhindarkan aturan yang terdapat dalam UU yang mensyaratkan adanya nilai ambang batas pengusulan pasangan presiden dan wakil presiden ini menyebabkan model koalisi parlementer menjadi pilihan yang harus dilaksanakan dalam sistem presidensial. Ditambah lagi dengan pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden yang dipisah berdampak pada bangun koalisi yang terjadi. Akibatnya elite partai politik memilih langkah-langkah politik pragmatis agar keinginan mereka mengusai lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dapat diwujudkan. Memang ini menjadi dilema sendiri bagi partai politik. Di satu sisi, politisi partai politik ingin melaksanakan platformnya sebagaimana yang dijanjikan kepada konstituen mereka. Namun, dari segi lain, pelaksanaan platform saja tidak cukup karena harus menghadapi kompetisi politik yang sangat liberal. Tentu, praktik politik seperti ini membawa pengaruh pada upaya pemerintah menguatkan sistem presidensial. Idealnya sistem presidensial dilaksanakan dengan menegaskan fungsi masing-masing lembaga sehingga tidak ada kekuasaan yang menumpuk pada satu lembaga seperti yang terjadi pada sistem parlementer.23 Justru, koalisi yang terbangun dalam sistem presidensial membuat sistem ini menjadi lemah dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. Jadi jelas bukan karena karakteristik sistem persidensial yang lemah, tetapi karena praktik politik yang dilakukan oleh politisi yang menyebabkan kelemahan dalam sistem ini.24 Praktik politik ini 23 24
Arend Lijphart, 1995, op.cit, hlm. 40. Silakan bandingkan dengan Jose Antonio Cheibub,
72 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
tidak lain adalah karena koalisi yang dibentuk antara partai politik yang memperoleh kursi di lembaga legislatif.
fungsi masing-masing sesuai dengan konstitusi yang mengatur pelaksanaan sistem presidensial ini.
Jika ditelisik lebih jauh, ada beberapa kelemahan yang dapat dijelaskan terkait dengan koalisi model parlementer yang dilaksanakan ini. Pertama, hal yang paling mendasar akibat berlangsungnya koalisi partai politik ini adalah semakin kaburnya hakikat fungsi sistem presidensial dalam sistem politik. Kekaburan ini sebenarnya dapat dilihat dari tidak independennya presiden dalam membuat kebijakan karena harus mempertimbangkan mitra koalisinya. Padahal presiden dalam sistem presidensial tidak dipilih langsung oleh anggota legislatif. Hal ini idealnya menjadi pertimbangan bagi presiden yang terpilih. Apalagi jika presiden ini didukung oleh mayoritas suara rakyat. Artinya, presiden mendapatkan legitimasi yang kuat dibandingkan dengan anggota legislatif yang terpilih. Dengan demikian, presiden harus memikirkan tanggung jawab kepada masyarakat.
Kedua, koalisi partai politik yang terbentuk juga berdampak pada munculnya tawar menawar kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan. Fenomena ini dengan mudah terlihat, terutama setelah pemerintahan terbentuk. Presiden berusaha membagi kursi kekuasaannya melalui pembagian jatah kementerian kepada partai politik pendukungnya ketika pemilihan presiden. Memang cara seperti ini, di satu sisi, sangat efektif menghindari kemacetan politik dalam proses pembuatan kebijakan di lembaga legislatif. Ini bisa terjadi karena akumulasi suara dari partai pendukung di parlemen yang dapat memenangkan pemungutan suara kalau seandainya terjadi hambatan dalam proses pembuatan kebijakan yang dilakukan presiden bersama lembaga legislatif. Apalagi, ketua partai politik peserta koalisi dalam pembentukan pemerintahan biasanya dilibatkan dalam menjalankan fungsi pemerintahan sebagai menteri-menteri kabinet. Pengalaman ini juga berlangsung di dua periode kepemimpinan Presiden SBY 2004-2009 dan 2009-2014 yang umumnya kursi DPR diberikan kepada petinggi partai peserta koalisi.
Bentuk tanggung jawab presiden kepada masyarakat tersebut diatur sedemikian rupa ke dalam konstitusi. Jadi, konstitusi telah menegaskan apa yang menjadi hak dan kewajiban presiden dalam melaksanakan fungsinya baik sebagai kepala pemerintahan maupun kepala negara.25 Namun, faktanya koalisi telah mengubah keadaan ini. Ketakutan presiden dalam sistem presidensial adalah tidak jalannya kebijakan yang dibuat karena akan muncul ketegangan hubungan antara presiden sebagai ketua lembaga eksekutif dengan anggota legislatif. Memang dapat dimaklumi, karena tidak semua partai politik yang terlibat dalam koalisi yang dibentuk oleh partai pemerintah. Akibatnya tentu ada kebijakan presiden yang tidak sejalan dengan anggota partai politik di luar koalisi yang dibentuk. Dari sinilah bermulanya pembatasan terhadap kebijakan presiden. Dan, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengamankan keadaan agar kebijakan presiden ini dapat dilaksanakan, biasanya presiden melalui pembantunya berusaha melobi fraksi yang ada di DPR. Padahal sebenarnya ini tidak perlu terjadi, andai saja para penyelenggara negara dapat memahami dengan baik tugas dan Presidentialism, Parliamentarism, and Democracy, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), hlm. 2. 25 Arend Lijhart, 1995, op.cit, hlm.46.
Dari segi lain, kecenderungan koalisi ini juga berdampak pada tidak berjalannya mekanisme check and balances dalam sistem politik. Secara fungsional, lembaga legislatif memang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemerintahan yang diketuai oleh presiden. Namun, karena berlangsungnya pembagian kekuasaan di kabinet bentukan presiden terpilih, menghilangkan sebagian besar sikap kritis anggota lembaga legislatif. Jika keadaan ini dibiarkan berterusan, tentu membawa dampak pada terbentuknya oligarki elite baik di lembaga eksekutif maupun legislatif. Kecenderungan inilah yang dapat membahayakan kelangsungan demokrasi yang dilaksanakan saat ini. Masalah ketiga yang juga dikhawatirkan muncul akibat proses koalisi yang menggunakan model parlementer ini adalah terjadinya pergeseran fokus kekuasaan pemerintahan. Lazimnya fokus kekuasaan dalam sistem presidensial tidak terpusat pada satu lembaga saja. Dalam sistem presidensial ditegaskan adanya keseimbangan di antara lembagalembaga negara. Apalagi Negara Indonesia
Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya ... | Asrinaldi A | 73
juga mengamalkan adanya konsep trias politica dalam menyelenggarakan kekuasaan negara. Namun, koalisi di antara partai politik pengusung calon presiden ini, sadar atau tidak telah menggeser fokus kekuasaan kepada satu tangan, yaitu presiden. Lembaga kepresidenan menjadi lembaga yang dominan dalam membuat kebijakan dibantu oleh partai politik yang ikut dalam koalisi. Lambat laun, keadaan ini justru menghasilkan oligarki kekuasaan yang melibatkan segelintir elite politik. Jika ini tidak diantisipasi dengan penguatan masyarakat sipil di luar parlemen mengawasi jalannya pemerintahan, maka muara dari kemunculan kelompok oligarki ini adalah terbentuknya kartel politik. Praktik oligarki kekuasaan di Indonesia ini bukanlah hal yang baru terjadi di Indonesia. Bahkan terbentuknya oligarki kekuasaan sudah menjadi bagian dari perkembangan politik di Indonesia. Misalnya, pada masa Orde Baru oligarki kekuasaan ini adalah bagian dari upaya rezim Orde Baru mempertahankan kekuasaannya. Presiden Soeharto yang berhasil membangun loyalitas di tubuh militer dan birokrasi melalui kepemimpinannya menjadi contoh bagaimana oligarki kekuasaan itu terbentuk. Tidak hanya itu, partai pendukung pemerintah pun dikooptasi sehingga kekuasaan yang dipegang tidak sekedar dominan, tapi juga menjadi kekuatan hegemoni.26 Jika pada masa Orde Baru pembentukan oligarki kekuasaan ini melibatkan militer dan birokrasi sebagai pendukung kekuatan presiden, maka pada masa Orde Reformasi terjadi pergeseran yang jelas. Ini merupakan konsekuensi pengaturan yang dilakukan rezim di era reformasi yang membatasi aktivitas militer dan birokrasi dalam politik. Institusi militer/Polri dan birokrasi secara tegas membuat garis demarkasi dengan kekuasaan presiden. Walaupun sebagai kepala negara presiden membawahi angkatan perang ini. Dari segi lain, partai politik justru menyusun kekuatan bersama dengan presiden sehingga membentuk kelompok oligarki baru yang dapat disaksikan sekarang. Dampak yang lain juga akibat muncul praktik koalisi yang menggunakan model parlementer ini adalah tidak optimalnya fungsi Richard Robison and Vedi R Hadiz. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age Markets, (London: Routledge Curzon, 2004), hlm. 103. 26
lembaga legislatif. Kecenderungan ini dapat dilihat dari berkembangnya budaya politik yang sesungguhnya menjadi karakter masyarakat kelas bawah, tapi mengalami penyebaran sehingga menjadi budaya elite partai. Ini dapat dilihat dari terbentuknya budaya patront-client dalam sistem politik yang tidak lagi terjadi pada masyarakat di tingkat akar rumput. Budaya politik seperti ini telah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam praktik politik di tubuh partai. Seperti diketahui, bahwa elite partai yang duduk di pemerintahan hasil bentukan koalisi terdiri dari mereka yang menjadi petinggi di partai politik. Kedudukan ini tidak jarang menjadi dilema bagi anggota partai politik di lembaga legislatif. Kalau pun ada kebijakan yang dibuat dan “berseberangan” dengan cara pikir anggota partai di lembaga legislatif, maka perdebatan yang terjadi cenderung tidak akan panjang mengingat menteri-menteri yang ada di kabinet adalah para petinggi partai politik. Jadi jelas, keengganan untuk memperdebatkan rancangan kebijakan oleh anggota DPR ini menyebabkan pelaksanaan fungsi lembaga legislatif menjadi tidak optimal. Ini adalah bukti nyata bahwa budaya patront-client dalam sistem politik di Indonesia telah membungkam sikap kritis client terhadap patront-nya. Sepanjang masih menguatnya budaya ini, maka proses pendalaman demokrasi tidak akan berjalan dengan baik. Bahkan dalam konteks hubungan ini, sebenarnya yang paling diuntungkan adalah patront ketimbang client. Karena pada dasarnya “...dialah yang memiliki sumber daya yang lebih besar dan lebih kuat ketimbang client”27 sehingga dapat menggunakannya untuk kepentingan tertentu. Jelas, tidak adanya keberanian anggota partai yang duduk di lembaga legislatif mengkritik kebijakan pemerintah karena adanya ketakutan terhadap kebijakan recall yang dilakukan pimpinan partai tempat mereka bernaung. Realita inilah yang menjadi hambatan berkembangnya mekanisme check and balances dalam praktik demokrasi. Masalah terakhir yang dapat diidentifikasi terkait dengan praktik koalisi model parlementer ini adalah melemahkan sistem presidensial itu sendiri. Idealnya, sistem presidensial menempatkan posisi presiden yang Afan Gaffar. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1999), hlm. 110. 27
74 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
kuat dan otonom dalam bertindak. Kalau pun ada perdebatan di antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatifnya tidak lebih sebagai bentuk pelaksanaan mekanisme check and balances. Akan tetapi yang terjadi, presiden justru tersandera oleh misi partai politik yang ikut mendukungnya sehingga tidak otonom dalam bertindak. Bahkan sistem presidensial yang dipraktikkan di Indonesia bukanlah sistem presidensial yang sebenarnya. Masih ada pengaburan substansi terkait dengan pelaksanaan sistem presidensial ini dengan praktik koalisi model parlementer yang dilaksanakan. Karenanya perlu ada usaha yang sungguh-sungguh dari penyelenggaran negara mengembalikan hakikat sistem presidensial ini. Lalu, apa yang dapat dilakukan agar sistem presidensial ini bisa diselenggarakan sesuai dengan hakikatnya? Paling tidak ada beberapa langkah yang dapat dipraktikkan sehingga sistem presidensial ini menemukan kembali hakikatnya. Pertama, merevisi UU pemilihan presiden yang menetapkan adanya presidential threshold sebanyak 20 persen jumlah kursi di lembaga legislatif. Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa aturan dalam UU inilah salah satu yang menyebabkan koalisi model parlementer ini berlangsung. Karena semakin banyak partai yang mengikuti Pemilu, maka polarisasi pilihan masyarakat akan terjadi dalam Pemilu tersebut. Akibatnya adalah tidak munculnya partai pemenang Pemilu yang dapat melewati angka 20 persen perolehan kursi di lembaga legislatif untuk bisa mengajukan calon presiden sendiri. Memang, ada beberapa partai yang berhasil mencapai jumlah tersebut. Namun faktanya, partai politik itu pun tidak memiliki kepercayaan diri untuk mengajukan calon presidennya sendiri seperti Partai Demokrat pada Pemilu tahun 2009 yang lalu. Karena efek psikologis yang lebih dominan menghinggapi cara pikir setiap partai yang memenangkan Pemilu legislatif adalah bagaimana bisa mengusulkan calon presiden juga dibantu oleh partai pemenang lainnya. Hal ini bertujuan agar penyelenggaraan pemerintahan bisa dilaksanakan dengan lancar tanpa gangguan dari partai oposisi di lembaga legislatif. Selain itu, UU kepartaian juga perlu direvisi mengingat jumlah partai yang terlalu banyak juga mendorong terjadi koalisi model parlementer ini sehingga melemahkan sistem presidensial tersebut. Bahkan strategi politik
dengan menerapkan parliamentary threshold sebanyak 3,5 persen pada Pemilu 2014 terasa tidak efektif karena hanya bisa mengeliminasi 2 partai politik di DPR. Apalagi pada tahun 2019, keputusan Mahkamah Konstitusi telah menetapkan pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dilaksanakan serentak. Artinya, secara logika sederhana, maka setiap peserta Pemilu akan berkesempatan mengajukan calon presidennya sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan UU yang akan dibuat. Dapat dibayangkan, akan ada banyak calon presiden yang akan bertanding dalam Pemilu mendatang. Jika partai politik ini tidak diatur dengan baik, tentu jumlah partai politik yang akan muncul menjelang Pemilu tahun 2019 akan bertambah. Akibatnya juga tidak terhindarkan koalisi menjelang Pemilu legislatif dan presiden akan terjadi. Aspek berikutnya yang dapat dilakukan adalah memperbaiki sistem pemilu. Memang menggunakan sistem perwakilan berimbang sudah sesuai dengan pluralnya masyarakat Indonesia. Namun, sistem ini juga berdampak pada munculnya beragam kekuatan partai politik di lembaga legislatif. Munculnya pluralisme kekuasaan di DPR ini justru mendorong partai ini melakukan koalisi untuk memperjuangkan kepentingan politik mereka. Partai politik melakukan kerjasama untuk memaksimalkan fungsinya di lembaga legislatif, terutama ketika menghadapi badan eksekutif. Selain itu, kemacetan politik dalam pembahasan kebijakan antara badan legislatif dan badan eksekutif juga mendorong munculnya kerjasama jangka pendek di antara parta politik yang ada. Hal ini dimungkinkan karena adanya mekanisme pemungutan suara (voting) sebagai jalan keluar ketika terjadi kemacetan politik yang dihadapi kedua lembaga ini. Memang sistem perwakilan berimbang ini dianggap sistem Pemilu yang paling demokratis dan kompetitif. Bahkan sistem ini digunakan paling banyak di negara-negara yang ingin mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil.28 Namun, kelemahan dari sistem perwakilan berimbang ini justru terletak pada kelebihannya, yaitu memberi kesempatan pada partai-partai kecil mendapat kursi di lembaga legislatif. Akibatnya adalah menguatnya polarisasi kekuasaan di lembaga legislatif. Jadi sepanjang sistem Pemilu perwakilan berimbang masih tetap 28
Ibid, hlm. 258.
Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya ... | Asrinaldi A | 75
digunakan, sulit bagi pemerintah melakukan penyederhanaan sistem kepartaian dan melakukan penguatan pada sistem presidensial. Namun, ini juga menjadi dilema, kalaupun ingin mengubah sistem perwakilan berimbang ini, tentu aspek keterwakilan partai di lembaga legislatif juga harus mendapat perhatian agar substansi Pemilu tidak hilang. Memang banyak pilihan sistem Pemilu yang tersedia.Akan tetapi yang jadi persoalan sekarang, apakah sistem Pemilu yang dipilih bisa memperkuat sistem presidensial sebagaimana yang diinginkan UUD 1945?. Tentu ini memerlukan pembahasan yang lebih mendalam. Aspek ketiga yang perlu dilakukan untuk memperkuat sistem presidensial ini adalah memperkuat fungsi partai politik. Banyak pihak percaya bahwa jika fungsi partai politik ini dapat berjalan dengan baik, maka sistem presidensial ini dapat dilaksanakan sesuai dengan harapan masyarakat. Bagaimana tidak, salah satu fungsi partai tersebut adalah sarana untuk mengendalikan konflik yang terjadi dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Artinya, sepanjang anggota partai politik di lembaga legislatif menyadari fungsi ini, tentu orientasi kekuasaannya digunakan untuk mewakili kepentingan masyarakat lebih menonjol ketimbang aspek yang lain. Akan tetapi, ini sulit dilakukan karena dominannya kepentingan partai sehingga persaingan lembaga legislatif dan lembaga eksekutif tidak terhindarkan. Begitu juga dengan hakikat fungsi rekruitmen anggota baru yang dilakukan oleh partai politik. Idealnya, partai politik harus dapat mencari calon anggota yang memiliki kompetensi dan integritas oral yang baik. Selama ini, banyak pihak menyoroti masalah ini. Rekruitmen partai yang dilakukan terkesan asal jadi sehingga mengabaikan aspek kompetensi dan integritas moral. Akibatnya, partai politik hanya menawarkan kader partai yang kurang berkualitas. Munculnya kemacetan politik dalam pembuatan kebijakan publik antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif adalah dampak dari kurang berkualitasnya kader partai yang duduk di lembaga legislatif. Mereka hanya memikirkan kepentingan pribadi dan kelompoknya di partai. Jelas ini mengancam hakikat demokrasi perwakilan yang dilaksanakan. Oleh karena itu, memperkuat sistem presidensial ini tidak hanya berasal
dari lembaga eksekutif saja. Lebih jauh, penguatan ini juga membutuhkan mitra sejajar yang berkualitas agar dapat menyeimbangkan kompetensi yang dimiliki oleh lembaga eksekutif. Faktanya, dengan rendahnya kualitas anggota legislatif ini, maka penggunaan hak iniasitif mereka dalam membuat rancangan undang-undang jarang terpenuhi sesuai dengan program legislasi nasional yang ditetapkan.
Penutup
Memang terdapat sejumlah dilema dalam melaksanakan sistem presidensial ini. Pada akhirnya pilihan sistem apa yang terbaik untuk membangun demokrasi yang lebih matang terletak pada tafsir konstitusi yang sudah mengatur hal ini. Tentu ada kelebihan dan kelemahan terkait dengan sistem pemerintahan yang dipilih. Akan tetapi yang terpenting adalah bagaimana melaksanakan sistem tersebut secara konsisten dan bertanggung jawab. Sama halnya dengan keinginan bangsa ini dalam memilih sistem presidensial sebagai bentuk sistem pemerintahan yang sesuai dengan upaya mewujudkan cita-cita negara ini. Sepanjang, elite politik melaksanakan segala kelebihannya dan bersama-sama menutupi kelemahannya, maka apa yang menjadi keinginan rakyat dapat diwujudkan. Sistem presidensial yang dilaksanakan, terutama setelah rezim Orde Baru jatuh, memunculkan sejumlah preseden politik yang turut mewarnai penyelenggaraan negara ini. Praktik koalisi di antara partai yang memperoleh kursi di DPR menjadi cara baru agar dapat menyempurnakan kekuasaan partai ini baik di lembaga legislatif, maupun lembaga eksekutif. Pembentukan koalisi ini menjadi keniscayaan dalam sistem presidensial karena ketentuan yang diatur dalam UU. Apalagi dengan adanya pelaksanaan Pemilu yang terpisah antara Pemilu untuk memilih anggota legislatif dengan Pemilu untuk memilih presiden menyebabkan pilihan pada koalisi tidak terhindarkan. Banyak akibat politik yang ditimbulkan dalam proses koalisi ini, khususnya ancaman terhadap keberlangsungan sistem presidensial ini. Oleh karena itu, perlu ada upaya politik yang tegas sehingga penguatan terhadap sistem presidensial ini dapat dilakukan. Seperti yang dijelaskan dalam tulisan ini, ada beberapa cara yang dapat dilakukan seperti memperbaiki kembali
76 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
UU Pemilu, UU Kepartaian, UU susunan dan kedudukan MPR/DPD/DPR/DPR serta UU pemilihan presiden. Apalagi dengan sudah ditetapkannya penyelenggaraan Pemilu serentak untuk memilih anggota legislatif dan presiden, maka dinamika politik menjelang Pemilu tahun 2019 akan berjalan sangat dinamis. Selain itu, untuk memperkuat sistem presidensial ini agar dilaksanakan secara konsisten, maka pelaksanaan fungsi partai politik secara sunguh-sungguh harus terus diupayakan. Selama ini, pelaksanaan fungsi partai ini sedikit terabaikan sehingga berdampak pada penguatan sistem presidensial. Faktanya, fungsi ideal partai yang harusnya dapat mengendalikan konflik di antara lembaga-lembaga negara justru menjadi sumber konflik baru sehingga mengancam pelaksanaan demokrasi di republik ini. Sepanjang masalah ini tidak menjadi perhatian semua pihak, maka keinginan untuk menjadikan sistem presidensial berjalan dengan baik sulit ditemukan dalam realita politik.
Daftar Pustaka Buku Budiardjo, Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia Cheibub, Jose Antonio. 2007. Presidentialism, Parliamentarism, and Democracy. Cambridge: Cambridge University Press Gaffar, Afan, 1999. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Gomez, Edmund. 2002. Political Business in East Asia, New York: Routledge. Hague, Rod and Harrop, Martin. 2001. Comparative Government and Politics. 5th Ed. New York: Palgrave Macmillan Haris, Syamsuddin. 2010. Membaca Hak Angket DPR. Dalam Aloysius Soni BL de Rosari (ed). Centurygate Mengurasi Konspirasi Penguasa-Pengusaha. Jakarta: Kompas Haris, Syamsuddin, 2014. Masalah-masalah demokrasi kebangsaan di era Reformasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Horowitz, Donald L.,2013, Constitutional Change and Democracy in Indonesia, Cambridge: Cambrdige University Press. Kawamura, Koichi. 2013. President Restrained: Effects of Parliamentary Rule and
Coalition Government on Indonesia’s Presidentialism. Dalam Yuko Kasuya (Ed). Presidents, Assemblies and Policy-Making in Asia. New York: Palgrave Macmillan Lesmana, Tjipta. 2009. Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik Dan Lobi Politik Para Penguasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Lijphart, Arend. 1995. Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial. Terjemahan. Ibrahim R. Jakarta: Rajawali Pers Mainwarring, Scott. 2003. Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combinantion. Dalam. Robert Dahl, Ian Shapiro and Jose Antonio Cheibub (Eds). The Democracy Sourcebook. Massachusetts: Massachusetts Instititute of Technology Manning, Chris & van Diermen, Peter (Eds.). 2000.Indonesia Di Tengah Transisi: AspekAspek Sosial dari Reformasi dan Krisis. Yogyakarta: LKIS. Moury, Catherine. 2013. Coalition Government and Pary Mandate: How Coalition Agreement Constrain Minesterial Action. London: Routledge Mueller, Dennis C. 2003. Public Choice III. Cambridge: Cambridge University Press. Powell Jr, Bingham. 1982. Contemporary Democracies: Participation, Stabilty and Violence. Massachusetts: Harvard University Press Riker, William H. 1962. The Theory of Political Coalition. New Haven: Yale University Press Robison, Richard and Hadiz, Vedi R. 2004. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age Markets. London: Routledge Curzon Tsebelis, George. 2002. Veto Players: How Political Institutions Work. Princeton: Princeton University Press. Wiarda, Howard J & Polk, Jonathan T., 2012, “Separation of Legislative and Executive Government Power”, dalam David Scot Clark (ed.), Comparative Law and Society, Massachuetts: Edwar Elgar Publishing Yudha, Hanta. 2010. Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya ... | Asrinaldi A | 77
78 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
MEDIA SIBER SEBAGAI ALTERNATIF JEMBATAN KOMUNIKASI ANTARA RAKYAT DAN PEMIMPINNYA CYBER MEDIA AS AN ALTERNATIVE COMMUNICATION BRIDGE BETWEEN THE PEOPLE AND THE LEADER Nina Andriana Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 16 Juli 2013; direvisi: 22 Agustus 2013; disetujui: 29 Desember 2013 Abstract Deliberative democracy, is an opportunity for people to dialogue with their leaders continuous, needs a free public sphere that independent from political pressure. The public sphere in conventional media which lack owners and content diversity become the turning point another media attendance, that is cyber media. The utilization of cyber media by actor and political institution, and especially by the Indonesian people still not maximum, even cyber media give an opportunity for as communication media which “inclusive, egalitarian and liberal”. Two way communication that provided by the cyber media is more interactive among the people and the leader. Through public sphere deliberative democracy on cyber media, public could be educated for rational and open dialogue to discuss about public policy. Keywords: Deliberative Democracy, Public Sphere, Cyber Media.
Abstrak Demokrasi deliberatif, yaitu terbukanya peluang bagi masyarakat untuk secara kontinu berkomunikasi dengan pemimpinnya, membutuhkan ruang publik yang bebas dari tekanan politik dan penguasa pasar media. Ruang Publik di media massa konvensional yang telah mengarah pada ketiadaan keberagamaan kepemilikan dan keberagaman substansi informasi menjadi titik balik hadirnya ruang publik pada bentuk media lain, yaitu media siber. Pemanfaatan media siber oleh lembaga dan aktor politik, dan khususnya oleh masyarakat di Indonesia masih belum maksimal, meskipun media siber memberikan peluang menjanjikan sebagai saluran komunikasi yang “inklusif, egaliter dan bebas tekanan”. Prinsip komunikasi dua arah yang disediakan oleh media siber diharapkan mampu menjadi alternatif jembatan komunikasi yang lebih interaktif antara rakyat dan pemimpinnya, yang hal ini sulit didapatkan pada media konvensional. Melalui ruang publik demokrasi deliberatif rakyat dapat dididik untuk berdiskusi secara rasional dan terbuka untuk membicarakan persoalan-persoalan kebijakan publik. Kata kunci: Demokrasi deliberatif, Ruang Publik, Media Siber.
Media Siber Sebagai Alternatif Jembatan Komunikasi ... | Nina Andriana | 79
Pendahuluan Salah satu wujud nyata penting dalam melembagakan demokrasi adalah pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat. Melalui media massa, kebebasan dalam berpendapat, berdikusi dan berdialog yang mengarah pada penerapan demokrasi berkelanjutan (demokrasi deliberatif) dalam rangka kontrol terhadap penguasa, diharapkan dapat dicapai. Ciri demokrasi yang baik seyogyanya tidak hanya berhenti pada keterlibatan rakyat secara langsung pada pemilihan umum dalam rangka pergantian kekuasaan, namun juga mampu tetap memberikan jembatan atau saluran antara rakyat dengan wakil-wakil di parlemen ataupun pemimpin negara yang telah mereka pilih. Media massa (pers bebas) sebagai salah satu dari enam lembaga politik demokrasi1 – partai politik, pemilihan umum, parlemen, eksekutif, yudikatif dan pers bebas - diharapkan mampu menjawab harapan masyarakat akan hadirnya ranah publik yang bercirikan demokrasi deliberatif tersebut. Dalam kondisi ideal, partai politik seharusnya menjadi lembaga yang mengadakan hubungan yang kontinu antara masyarakat pada umumnya dan pemimpin-pemimpinnya2, namun dalam prakteknya hingga saat ini partai politik tetap cenderung lebih mengedepankan kepentingan partainya dan sering mengabaikan fungsi sebagai lembaga agregasi kepentingan masyarakat. Dengan demikian, tingkat kepercayaan masyarakat pada partai politik sebagai lembaga yang mampu menjembatani masyarakat dan pemimpinnya menjadi sangat rendah. Hal ini dapat terlihat dari Temuan Global Corruption Barometer 2013 (GCB 2013) yang menempatkan parlemen dan partai politik sebagai lembaga yang korup dalam persepsi dan pengalaman masyarakat3. Kondisi ketidakpercayaan publik terhadap parlemen Mochtar Pabottingi, Lima Palang Demokrasi Satu Solusi: Rasionalitas dan Otosentrisitas dari Sisi Historis-Politik di Indonesia. Orasi Ilmiah Pengukuhan sebagai Ahli Peneliti Utama Puslitbang Politik dan Kewilayahan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2002. 2 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 120. 3 http://www.ti.or.id/index.php/ publikation/2013/12/03/corruption-perceptionindex-2013, diakses pada tanggal 3 Desember 2013. 1
dan partai politik inilah yang menyebabkan masyarakat mencari alternatif media atau lembaga lain dalam menyuarakan pendapatnya. Seperti disampaikan sebelumnya, media massa dengan jargon kebebasan bersuaranya dianggap layak untuk memenuhi harapan masyarakat sebagai saluran komunikasi antara mereka dengan pemimpinnya. Namun, ketidakpercayaan masyarakat terhadap parlemen dan partai politik pun dalam perkembangannya juga dialami oleh media masaa. Perkembangan kepemilikan media di Indonesia yang saat ini berpusat pada pemilikpemilik modal tertentu, tampaknya masih sangat jauh dari impian menghadirkan ruang publik politis yang inklusif, egaliter dan bebas tekanan. Tidak adanya keberagaman dalam kepemilikan media (diversity of ownership) akan mengarah pada ketiadaaan keberagaman dalam isi pemberitaan media (diversity of content).4 Kondisi kepemilikan media seperti ini secara langsung atau tidak, akan membentuk atau menggiring opini masyarakat yang sesuai dengan ide dari pemilik media. Ruang kebebasan untuk mengawasi dan mengkritisi pemerintah lewat media massa juga akan terbelenggu oleh pemilik media yang notabene adalah bagian dari elit politik. Sehingga, apapun aspirasi yang bertentangan dengan kepentingan politik pemilik media, tentu tidak dapat didiskusikan atau bahkan disuarakan lewat media tersebut.
Perumusan Masalah Kondisi terhambatnya masyarakat untuk dapat mendiskusikan pendapatnya lewat media massa mainstream saat ini sebagai akibat adanya penguasaan isi media oleh si pemilik, memberikan pengaruh yang cukup besar bagi kekuatan publik yang ingin menjalankan haknya untuk mengawasi pemerintah. Harapan media massa sebagai saluran yang demokratis pun jauh dari kenyataan karena publik menganggap Yanuar Nugroho, peneliti dari The University of Manchester, mengatakan industri media massa di Indonesia menunjukkan tren pemusatan kepemilikan. MNC Group di bawah bendera Global Mediacomm, Jawa Pos Group, dan Kelompok Kompas Gramedia menempati rangking tiga terbesar kepemilikan media. “Ketiga kelompok tersebut menguasai 77 persen peta kepemilikan media di Indonesia,” http:// www.tempo.co/read/news/2014/05/22/090579547/ Industri-Media-Massa-Makin-Terkonsentrasi, diakses pada tanggal 25 September 2013. 4
80 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
media tidak membuka aksesnya kepada publik sehingga muncul ketidakpercayaan terhadap akurasi informasi dan opini yang terbentuk di media massa tersebut. Meskipun media massa, parlemen dan partai politik senyatanya ada sebagai lembaga politik demokratis yang seharusnya meng-agregasi aspirasi masyarakat, namun kondisi ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga media dan parlemen, dirasakan belum mampu mengakomodasi respon, argumentasi, dan kritik masyarakat. Kondisi inilah yang menciptakan adanya sebuah keinginan untuk mencari saluran lain atau teknologi komunikasi lain yang seyogyanya dapat memberikan ruang bagi publik untuk dapat mengawasi jalannya pemerintahan terpilih dalam kondisi yang bebas dan jauh dari tekanan. Lalu media apakah yang mempu menjembatani rakyat dan pemimpinnya, dengan mengedepankan prinsip egaliter, inklusif dan bebas tekanan tersebut? Perkembangan teknologi komunikasi menghadirkan sebuah perangkat teknologi baru dalam dunia komunikasi. Teknologi ini mampu menggabungkan tiga aspek dalam satu medium, yaitu telekomunikasi, data komunikasi dan komunikasi massa.5 Satu karekateristik penting sebagai efek munculnya media baru ini adalah media interaktif, yaitu di mana khalayak dapat dimungkinkan untuk melakukan umpan balik secara langsung terhadap informasi yang disajikan. Teknologi baru ini dalam beberapa literatur akademik memiliki penamaan yang beragam, seperti media online, digital media, media virtual, e-media, network media, media baru, media siber dan media web.6 Khusus dalam tulisan ini, istilah media siber lebih dipilih karena akan mampu memberikan cakupan pembahasan tak hanya pada media itu sendiri tetapi juga media baru sebagai lingkungan, Jan Van Dijk, The Network Society: Social Aspects of New Media, (London: Sage, 2006), hlm. 7. 6 Beberapa ahli yang mengupas tentang perbedaan karakteristik bentuk pesan, cara penyampaian pesan dan efek dari konsumsi pesan terhadap khalayak pada media baru ini diantaranya adalah Joseph Straubhaar and Robert LaRose, Media Now, Communication Media in the Information Age. (Belmont: Wadsworth, 2002); John Vivian, Teori Komunikasi Massa, (Jakarta: Penadamedia Grup, 2008); Nicholas Gane and David Beer, New Media: The Key Concepts. (Oxford&New York: Berg, 2008); David Holmes, Communication Theory: Media, Technology and Society, (London: Thousand Oaks, 2005).
budaya, politik dan ekonomi. Berbagai kelebihan yang ditawarkan oleh media baru di atas, ditambah dengan kepemilikan informasinya yang bersifat massal, dapat menjadikannya sebagai saluran alternatif kebebasan bersuara dan mengkritik pemerintah oleh publik. Hal ini dapat dilihat pada salah satu bentuk dari media siber yaitu media sosial (social media) di mana publik dengan bebas dan tanpa rasa takut atas tekanan negara atau pemilik modal mengutarakan kritiknya terhadap persoalan-persoalan kebijakan publik. Seperti apakah gambaran ruang publik yang ada di media siber Indonesia dalam menjembatani publik dan pemimpin serta elit politik demi memperkuat sistem pemerintahan presidensial yang telah disepakati oleh elit pada saat UUD 1945 diamandemen? Lalu, apakah kebebasan dalam memproduksi dan mengkonsumsi informasi di media siber dapat memberikan peluang untuk hadirnya ruang publik yang dirasakan masyarakat kurang mendapatkan tempat pada media konvensional di Indonesia? Melalui tulisan ini, akan dikaji secara singkat gambaran kondisi ruang publik demokrasi deliberatif di beberapa bentuk media siber dengan menganalisis situs (situs) milik politisi partai, lembaga legislatif dan media sosial (social media) milik pemimpin negara ini (Presiden Soesila Bambang Yudhoyono). Pemilihan bentuk media siber ini lebih pada pertimbangan agar analisis dapat berjalan seimbang. Sebelum menjawab beberapa pertanyaan di atas, sebagai pengantar analisis, akan didiskusikan terlebih dahulu beberapa konsep yang digunakan untuk dapat menjawab pertanyaan dari tulisan/kajian ini.
5
Diskusi Konsep 1. Demokrasi Deliberatif Penyediaan ruang dan kesempatan untuk berdikusi berkenaan dengan kebijakan pemerintah dalam tulisan ini dapat dibayangkan sebagai ruang diskusi terbuka untuk publik yang digambarkan dalam demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif diwujudkan dalam sebuah diskusi di ruang publik yang menghasilkan sebuah keputusan kolektif
Media Siber Sebagai Alternatif Jembatan Komunikasi ... | Nina Andriana | 81
dengan menghadirkan berbagai argumentasi yang rasional dan berimbang.7 Komunikasi dalam ruang publik dengan prinsip demokrasi deliberatif inilah yang dibayangkan oleh Jurgen Habermas sebagai salah satu saluran kontrol terhadap pemerintahan. Ruang publik adalah sebuah ranah yang “egaliter, inklusif dan bebas tekanan”. Prinsip egaliter menekankan pada kesamaan hak, kesempatan dan ruang bagi tiap masyarakat untuk mengkritisi setiap hal yang berhubungan dengan kemaslahatan hidup orang banyak.8 Terbuka bagi siapa pun dengan latar belakang apapun adalah ciri inklusif yang dikedepankan dalam ruang publik. Sifat penting lainnya adalah ruang publik harus bebas dari unsur dan kepentingan pemerintah ataupun penguasa pasar. Dengan demikian, ruang publik yang dibayangkan oleh Habermas sebagai sebuah ruang ideal bagi masyarakat untuk tidak hanya sekedar sebagai penonton atau publik yang pasif dalam kehidupan berpolitis. Konsep demokrasi deliberatif yang disampaikan Habermas berangkat dari hasil analisis yang dilakukan oleh Habermas sendiri dalam melihat perkembangan ruang publik yang hadir sebelum abad ke-20 dan setelahnya. Dari analisis tersebut disebutkan bahwa telah terjadi kemerosotan drastis prinsip “egaliter, inklusif dan bebas tekanan” yang selama ini menjadi ciri dari ruang publik. Kondisi ini dipengaruhi oleh hadirnya konsep negara kesejahteraan, di mana dalam konsep tersebut negara dan pemilik modal mengklaim memiliki hak dan kuasa untuk menjaga stabilitas politik demi terciptanya stabilitas ekonomi. Dengan demikian, kuasa ini berujung pada upaya membentuk dan mengontrol opini publik, sehingga tidak memberikan ruang dan mematikan sensitifitas publik terhadap persoalan-persoalan politik. Kondisi tersebut juga berlangsung di Indonesia selama masa Orde Baru. Jargon stabilitas ekonomi telah menutup ruang kebebasan masyarakat dalam berpendapat dan bahkan berkumpul untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah. Gejolak-gejola John Elster (Ed), Deliberative Democracy, (United Kingdom: Cambridge University Press, 1998), hlm. 8. 8 Lincoln Dahlberg, “The Internet, Deliberatif Democracy and Power: Radicalizing Publik Sphere”, International Journal of Media and Cultural Politics Vol. 3 No. 1, 2007, hlm. 49. 7
politik dalam bentuk suara-suara protes terhadap penguasa dianggap akan memberikan dampak buruk pada kestabilan Deliberatif dalam konteks demokrasi adalah upaya untuk memposisikan tatanan sosial politik agar sesuai dengan kebutuhan publik dalam menyentuh efek kebijakan yang dikeluarkan oleh negara dan karenanya baru bisa dinilai jika telah berhubungan dengan konteks.9 Beberapa ahli yang membahas terkait dengan demokrasi deliberatif sesungguhnya menyepakati unsur utama dari deliberatif itu sendiri, yakni menolak asumsi dasar bahwa demokrasi tidak lebih dari sekadar proses dalam pemilihan umum karena dalam proses pembuatan kebijakan publik setelah pemilu, harus melalui serangkaian komunikasi yang berorientasi pada kesetaraan dialog setelah dilakukannya penghitungan suara. Emannuel Grey menyebutkan bahwa dari kesemua ahli yang membahas konsep deliberatif ini juga menyepakati bahwa aspek-aspek dari demokrasi deliberatif adalah: adanya partisipasi, kebebasan dan kesetaraan, ketertarikan pada kebaikan bersama, dan keinginan untuk melakukan voting.10 Salah satu ahli yang memberikan makna komunikatif dalam penjelasan deliberatif adalah Jurgen Habermas, ia menyebut bahwa demokrasi deliberatif merupakan ruang publik11 yang memungkinkan bagi masyarakat umum untuk dapat mengemukakan pendapat dan mengkritisi kinerja pemerintah. Secara garis besar, demokrasi deliberatif merupakan teori normatif yang menawarkan sebuah mekanisme yang mana masyarakat sipil dapat memperkuat demokrasi dan mengkritik lembaga pemerintah yang berjalan ketika tidak sesuai dengan normanorma atau aturan yang ada.12 Demokrasi Muhammad Faishal, “Institusionalisasi Demokrasi Deliberatif di Indonesia: Sebuah Pencarian Teoretik”, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 11, No. 1, Juli 2007, hlm. 5. 10 David Emannuel Gray, Social Choice in Deliberatif Democracy, Tesis pada Carnegie Mellon University, Department of Philosophy, Januari 2004, revised 2005, dalam Muhammad Faishal, “Institusionalisasi Demokrasi Deliberatif di Indonesia: Sebuah Pencarian Teoretik”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 11, No. 1, Juli 2007, hlm. 5. 11 Ruang publik inilah yang menjadi titik tekan komunikasi dalam pengembangan demokrasi deliberatif yang dimaksudkan oleh Habermas. 12 Simone Chambers, “Deliberatif Democratic 9
82 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
deliberatif berpusat pada diskusi dan akuntabilitas. Melalui demokrasi deliberatif, diharapkan demokrasi diskusi-sentris menggantikan demokrasi voting-sentris. Jika demokrasi voting-sentris hanya berpusat pada pemberian suara dalam memutuskan sebuah persoalan, maka demokrasi diskusi-sentris lebih mengedepankan pada proses pembentukan opini dan argumentasi-argumentasi, yang pada akhirnya menghasilkan pilihan-pilihan dalam perumusan sebuah kebijakan. Ketika mendiskusikan demokrasi deliberatif dalam konteks sistem pemerintahan presidensial, tidak berarti mengabaikan keberadaan lembaga legislatif. Dalam menjalankan perannya, anggota legislatif justru idealnya memiliki tanggung jawab kepada konstituennya selain kepada partai politik yang mengusungnya. Dengan demikian, saluran komunikasi dalam hal pengawasan kinerja anggota dewan dari konstituennya pun harus dibangun. Meskipun proses pemberian mandat antara presiden dan anggota legislatif dalam sistem ini berbeda, namun legislatif merupakan partner sekaligus pengawas dari kinerja presiden pula. Hal ini terkait dengan fungsi legislasi yang dimiliki oleh parlemen dalam merumuskan kebijakan sebagai dasar pijakan berbagai program kerja yang disusun oleh presiden dan kabinetnya
Ruang Publik pada Media Siber Habermas mendefinisikan ruang publik sebagai, “..sebuah arena, pemerintahan yang independen (walaupun menerima dana dari negara) dan juga menikmati otonomi dari partisan-partisan ekonomi, yang didedikasikan untuk debat rasional (contohnya untuk membicarakan atau mendiskusikan sesuatu tanpa paksaan atau manipulasi) dan yang dapat dimasuki dan diperiksa oleh semua warga negara, dan di sinilah, di dalam ruang publik, opini publik dapat dibentuk.13 Pengertian ruang publik dalam konteks ini adalah sebuah ruang termpat terjadinya pertukaran bahasa, terutama bahasa politik, berbagai pihak yang terlibat di dalamnya. Theory”, http://www.chinesedemocratization.com/ materials/4Simone%20Chambers%20on%20%20 deliberatif%20democracy.pdf, hlm. 2, diakses pada tanggal 2 September 2013. 13 Dikutip dari Frank Webster, Theories of Information Society, (London: Routledge, 1995), hlm. 102.
Hal terpenting yang menjadi kunci dari ruang publik adalah informasi yang tersedia dan akses terhadap informasi tersebut. Pihak-pihak yang terlibat di dalam ruang publik tersebut memberikan argumentasinya dengan ekspilisit, menggunakan bahasa-bahasa yang rasional dan komunikatif, yang kemudian disebarkan kepada publik, yang mana memiliki akses penuh atas diskusi dan debat terhadap wacana tersebut. Komunikasi yang terbentuk dalam ruang publik tersebut menurut Habermas harus berada pada kondisi komunikasi ideal, di mana tidak ada satu pihak pun yang dibiarkan menggunakan cara-cara manipulasi, pemaksaan dan bahkan dominasi. Sebaliknya, komunikasi yang dibentuk adalah sebuah wacana yang fair, dalam upaya menciptakan konsensus bersama dalam memecahkan berbagai persoalan dan menentukan tujuan bersama melalui cara argumentasi yang rasional.14 Semakin rendahnya keinginan media konvensional untuk menyediakan ruang publik ideal dan demokratis membuat masyarakat dan warga negara pun mencari-cari format ruang publik seperti apa yang mampu menumbuhkan sikap kritis masyarakat terhadap persoalan politis dan kemudahan terhadap akes informasi yang disediakan. Pengemasan informasi politik yang mengarah pada satu frame opini – yang sesuai dengan kehendak pemilik media – seperti yang berlangsung pada media konvensional dewasa ini diharapkan dapat diimbangi dengan kehadiran media baru. Howard Rheingold mencatat dalam bukunya, bahwa aspek politik dari CMC (Compututer Mediated Communication) terletak pada kemampuannya untuk menantang media komunikasi yang telah dimonopoli oleh kekuatan ekonomi dan politik, dan kemampuannya untuk merevitalisasi kembali demokrasi yang berpusat pada rakyat.15 Kekuasaan yang berpusat pada rakyat diharapkan dapat diimplementasikan secara nyata lewat ruang publik media baru. Ruang publik demokratis yang dibayangkan oleh Habermas adalah ruang Lihat Jurgen Habermas, The Theory of Communicative Action Volume Two: Lifeworld and System: A Critique of Functionalist Reason, (a.b Thomas McCarthy), (Boston, Beacon Press, 1987). 15 Howard Rheinghold, Virtual Community: Finding Connection in Computerized World, (London: Secker & Warburg, 1994), hlm. 13. 14
Media Siber Sebagai Alternatif Jembatan Komunikasi ... | Nina Andriana | 83
publik yang tetap mengandalkan tujuan utama dari demokrasi tersebut, yaitu terbentuknya konsensus bersama dengan didasarkan aturan main yang jelas terkait diskusi dan debat yang tercipta di ruang publik dunia maya. Tingginya makna kebebasan dalam berkomunikasi lewat media baru memunculkan anggapan bahwa sifat individualis para pengguna media baru justru menjadi hambatan dari prinsip utama kebebasan dalam konteks berdemokrasi, yaitu kebebasan dengan aturan main dan bertujuan menghasilkan konsensus bersama. Menurut Timothy Leary, dalam bukunya Chaos and Cyber-culture, di media siber, kekuasaan dibangun berdasarkan orotitas pribadi seseorang. Ia juga menyatakan, makna tersirat dari media baru adalah ide tentang kemerdekaan dan kebergantungan pada diri sendiri, seseorang yang mengatur dirinya sendiri. Semboyan utama dari khalayak media baru adalah berpikirlah untuk dirimu sendiri dan pertanyakan selalu otoritas. 16 Anggapan yang dilontarkan oleh Leary tersebut sebenarnya bisa dijadikan sebagai tantangan bagi terciptanya ruang publik demokratis di media baru (media siber), bukan malah melunturkan peluang yang diberikan oleh media siber untuk terciptanya ruang publik yang demokratis. Karena pada prinsipnya, tidak ada otoritas yang hilang, namun otoritas yang seyogyanya di media konvensional berada di tangan pemerintah, partisan politik dan pemilik media, dalam ruang media siber telah berpindah ke tangan individu. Dengan demikian, media siber tetap mampu memberikan harapan untuk mengembalikan kekuatan di tangan rakyat dalam proses berdemokrasi. Untuk menganalisis ruang publik yang tersedia pada media siber (situs dan media sosial) yang digunakan oleh lembaga politik dan elit politik di Indonesia dalam tulisan ini berpegang pada pemahaman utama yang disampaikan oleh Habermas di atas. Keberlanjutan berdemokrasi pasca dilaksanakannya salah satu prinsip utama berdemokrasi, yaitu pemilihan umum untuk penggantian elit/pemerintahan, selayaknya dapat terus diupayakan dan tentunya dapat melihat berbagai media alternatif yang ditawarkan
oleh perkembangan teknologi. Tulisan ini tidak hendak melakukan penilaian - ada atau tidak ada, tepat atau tidak tepat dan benar atau salah – terhadap beberapa objek yang dijadikan bahan analisis. Seperti yang disampaikan sebelumnya, tulisan ini hendak melihat seperti apakah ruang publik demokratis yang berlangsung pada media siber (situs lembaga politik dan media sosial elit politik) di Indonesia saat ini.
Pembahasan Media Siber Dalam Dunia Politik Di Indonesia Terdapat beberapa bentuk siber media, di antaranya: (1) Situs (Web Site); (2) E-mail; (3) Forum di internet (buletin boards); (4) Blog; (5) Wiki; (6) Aplikasi pesan; (7) Internet “broadcasting” (8) Peer to peer; (9) The RSS; (10) MUDs dan (11) Media Sosial (Social Media). Dikarenakan keterbatasan waktu dan ruang, maka tulisan ini hanya mengambil dua bentuk dari beberapa media siber di atas, yaitu situs dan media sosial. Melalui analisis sederhana pada situs dan media sosial yang menjadi objek kajian dapat memberikan gambaran pemanfaatan media siber oleh elit politik dan lembaga demokrasi Indonesia serta peluang bagi terciptanya ruang publik politis yang demokratis pada kedua bentuk media siber tersebut.
1. Situs (Web Site) Seperti yang telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, bahwa lembaga legislatif merupakan salah satu dari bentuk lembaga politik demokratis, maka situs pertama yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah situs yang dimiliki oleh lembaga perwakilan di Indonesia, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (www.dpr. go.id). Melalui situs yang dimiliki oleh DPR RI tersebut, akan dilihat bagaimana gambaran atau kondisi ruang publik yang disediakan dalam laman situs tersebut. Berikut adalah cuplikan dari halaman depan (home page) dari situs DPR RI: (Lihat Gambar 1)
Reza Antonius Alexander Wattimena, “Menggagas Cyberspace Sebagai Ruang Publik Virtual yang Emansipatif,” dalam Mudji Sutrisno, In Bene dan Hendar Putranto (Ed), Cultural Studies: Tantangan bagi Teori-teori Besar Kebudayaan, (Depok: Koekoesan, 2008), hlm. 241. 16
84 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Gambar 1. Situs Dewan Perwakilan Rakyat RI (laman depan)
Laman pengaduan/aspirasi
Sumber: www.dpr.go.id. Diakses pada tanggal 7 September 2013.
Gambar 2. Situs Dewan Perwakilan Rakyat RI (laman pilihan layanan)
Sumber: www.dpr.go.id. Diakses pada tanggal 7 September 2013.
Pada halaman depan dari situs dpr.go.id tampak adanya pilihan informasi yang dapat dipilih oleh pengunjung situs tersebut, yaitu BERITA, AGENDA, UNDANG-UNDANG DAN RUU, DAFTAR ANGGOTA, ALAT KELENGKAPAN, TENTANG DPR. Seluruh pilihan informasi tersebut berisi tentang kegiatan dan perkembangan tugas dan fungsi yang dijalankan oleh anggota dewan beserta alat kelengkapannya. Sesuai dengan yang disampaikan sebelumnya, bahwa situs ini memuat informasi, maka sifat komunikasi yang berjalan pada situs ini setelah penulis telusuri
bersifat satu arah. Di mana pengelola situs sebagai pihak yang memproduksi pesan atau informasi dan khalayak yang menjadi pihak yang mengkonsumsi pesan tersebut. Tidak ditemukan ruang bagaimana publik dapat berdiskusi terkait berbagai produk yang akan dan telah dihasilkan oleh lembaga legislatif tersebut. Laman yang dapat dijadikan tempat bagi publik untuk menyampaikan aspirasinya adalah dengan membuka pilihan “layanan”, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2 (Lihat Gambar 2).
Media Siber Sebagai Alternatif Jembatan Komunikasi ... | Nina Andriana | 85
Jika pilihan “layanan” tersebut diklik, maka akan muncul empat pilihan laman informasi, yaitu LPSE, Pengaduan Masyarakat, Pengkajian dan Layanan Informasi Publik seperti yang tampak pada Gambar 2 di atas. Laman “Pengaduan Masyarakat” adalah laman yang disediakan secara resmi dalam situs ini untuk masyarakat agar dapat menyampaikan aspirasinya. Berikut adalah tampilan laman dari “Pengaduan Masyarakat”:
belum dapat dimaksimalkan pada situs milik lembaga legislatif Indonesia ini. Pada laman pengaduan sebenarnya dapat dibuat suatu ruang yang memberikan peluang konstituen untuk berdiskusi secara bersama-sama terkait RUU yang sedang dikerjakan oleh anggota legislatif. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan isu terkait suatu tema RUU saat ini sangat dinamis di tingkat masyarakat. Kebaruan informasi yang dapat langsung diakses oleh anggota dewan
Gambar 2. Situs Dewan Perwakilan Rakyat RI (laman Pengaduan)
Sumber: www.dpr.go.id. Diakses pada tanggal 7 September 2013.
Pada kutipan laman “Pengaduan Masyarakat” di atas juga tampak penjelasan alur pengelolaan aspirasi dan pengaduan melalui situs DPR RI. Pada alur tersebut tampak bahwa ruang yang diberikan pada publik terbatas pada penyampaian aspirasi satu arah kepada lembaga legislatif. Tidak ditemukan ruang untuk khalayak agar dapat mendiskusikan aspirasinya tersebut dengan khalayak lain dan bahkan dengan anggota dewan. Meskipun jalannya proses aspirasi dapat diketahui melalui kotak “lihat pengaduan”, namun hanya sebatas informasi pengecekan posisi pada tahapan mana aspirasi tersebut, masih pada bagian data base ataukah sudah masuk pada tahap pembahasan pada alat kelengkapan dewan atau pada sekjen atau pimpinan DPR. Komunikasi dua arah yang diharapkan hadir pada media siber
menjadi hal yang amat membantu ketepatan substansi dari RUU yang sedang dibahas oleh dewan. Situs sebagai bagian dari media siber memberikan jawaban atas kebaruan informasi yang terus menerus, sepanjang khalayak diberikan ruang untuk menyampaikan dan mendiskusikan informasi tersebut. Situs dalam hal ini tak hanya dimiliki atau dibuat oleh sebuah lembaga atau organisasi. Perorangan pun saat ini telah membuat situs yang menginformasikan segala sesuatu hal mengenai pemilik situs tersebut. Informasi yang disajikan adalah hal-hal yang berkaitan dengan peran dan fungsi sebuah jabatan atau pekerjaan yang ia jalankan. Penulis menemukan beberapa nama politisi yang saat ini tidak lagi hanya memanfaatkan media sosial sebagai bentuk
86 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
sumber informasi mengenai dirinya, tetapi juga mengandalkan keberadaan jenis media siber “situs”. Sebagai contoh, penulis mengambil secara acak dari sebuah situs yang dibuat oleh politisi perempuan di Indonesia. Penulis memilih politisi dari Partai PDI Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka (RDP). Pemilihan dari politisi ini didasarkan atas pertimbangan bahwa beliau merupakan salah satu dari sekian anggota legislatif perempuan di Indonesia yang sangat lantang memperjuangkan hak-hak kaum marjinal, khususnya kaum buruh dan perempuan. Perjalanan yang ia lalui juga cukup berliku. Dimulai dengan berkarir dalam dunia politik melalui Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) lalu memutuskan untuk berpindah ke PDI Perjuangan hingga saat ini. Pertarungan memperebutkan jabatan politis tak hanya ia rasakan pada tingkat legislatif, tetapi juga pada jabatan eksekutif, yaitu pada Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Jawa Barat (Gubernur) Tahun 2013. Laman situs yang dimiliki oleh Rieke dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Lihat Gambar 3).
foto-foto kegiatan yang dilakukan oleh RDP. Sebagai pejuang hak kaum perempuan dan buruh di parlemen, belum terlihat ruang diskusi yang dibuka khusus dalam satu laman di situs ini terkait isu-isu perempuan dan perburuhan yang diusung oleh RDP. Ketiadaaan laman diskusi ini memperlihatkan kondisi situs yang hanya mempertontonkan aktivitas si pemilik situs dengan ciri komunikasi satu arah seperti yang terjadi pada media konvensional. Ruang diskusi yang idealnya mampu dirancang di dalam situs ini sama sekali tidak dimaksimalkan. Pemanfaatan yang belum maksimal pada situs DPR RI dan politisi RDP di atas tentunya bukanlah sesuatu hal yang salah. Hal ini mengingat pada lembaga legislatif dikenal adanya masa reses bagi anggota dewan. Masa inilah yang menjadi kesempatan bagi anggota dewan untuk turun langsung ke wilayah pemilihannya dan berdiskusi atau menghimpun aspirasi konstituen yang ada di sana. Asprirasi yang dikumpulkan, dijanjikan akan ditindaklanjuti dan diperjuangkan oleh anggota dewan setelah ia kembali bertugas.
Gambar 3. Situs Politisi PDI Perjuangan- Rieke Diah Pitaloka (www.riekediahpitaloka.org)
Dalam situs tersebut tampak bahwa laman content yang disediakan adalah Home, Berita, Gagasan Politik, Videos Gallery, Lensa Juang, Budaya Rakyat dan Profile. Kutipan berita dari media mainstream masih mendominasi isi dari laman Berita dan Gagasan Politik. Sementara laman Videos Gallery dan Lensa Juang, memuat
Dengan adanya mekanisme reses yang masih berjalan aktif hingga saat ini, tidak mengherankan jika pemanfaatan ruang publik pada media siber kurang dimaksimalkan. Namun, ada hal yang mesti menjadi perhatian penting. Pasca masa reses, publik dan utamanya konstituen tidak dapat lagi
Media Siber Sebagai Alternatif Jembatan Komunikasi ... | Nina Andriana | 87
mengawal apakah aspirasi mereka akan dapat ditindaklanjuti oleh anggota dewan bersangkutan, dikarenakan tidak ditemukan lagi ruang untuk dapat berdiskusi secara interaktif dengan anggota dewan dan sesama konstituen dari daerah pemilihan yang sama. Keterlibatan masyarakat untuk membicarakan persoalanpersoalan kehidupan mereka dengan para pembuat kebijakan pun tidak lagi berkelanjutan. Pada titik inilah tujuan dari demokrasi deliberatif atau berkelanjutan mengalami stagnansi.
2. Media Sosial Media sosial adalah bentuk lain dari media siber yang memberikan beragam fasilitas berkomunikasi secara virtual dengan mudah dan praktis bagi penggunanya. Penggunaan media sosial yang pada awalnya hanya dijadikan sebagai bagian untuk menghibur diri, ajang “curhat”, bersosialisasi dengan tanpa tatap muka, saat ini telah berada pada level pemanfaatan yang tidak hanya mencakup beberapa hal seperti yang disebutkan penulis sebelumnya. Banyak hal bermanfaat yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas hidup seseorang berawal dari keterlibatannya dalam media sosial. Salah satu bentuk pemanfaatan yang saat ini ramai digunakan adalah penggunaan media sosial untuk keperluan berdagang atau sering disebut dengan “belanja on-line”. Di samping itu, media sosial saat ini juga acap kali digunakan untuk menggalang dukungan atas sebuah perkara/isu. Contohnya pada saat terjadi kisruh antara KPK dan Polri pada Juli 2009, di mana terjadi penahanan dua komisioner KPK oleh Mabes Polri (Bibit Samad Riyanto dan Chandra Marta Hamzah). Penahanan ini menuai aksi protes dari aktivis/ penggiat antikorupsi. Dukungan terhadap KPK pada masa itu mengalir dengan sangat deras. Dukungan nyata tidak hanya datang melalui aksi demonstrasi di beberapa gedung lembaga pemerintahan yang berhubungan dengan usaha pemberantasan korupsi (utamanya KPK), namun juga mengalir dari media sosial. Diskusi tajam yang membahas isu tersebut pun tak dapat dihindari berlangsung pada media sosial. Munculnya kode #cicakvsbuaya pada media sosial “Twitter” contohnya telah memberikan ruang bagi khalayak pengguna media sosial untuk berpendapat terkait permasalahan tersebut.
Dalam dunia politik, politisi pun melihat peluang yang cukup menjanjikan dari media sosial sebagai media komunikasinya dengan khalayak. Kita dapat menyaksikan bagaimana semarak dan sistematisnya kampanye melalui media sosial pada saat pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 2012 yang lalu. Marketing politik yang dilakukan oleh tim kampanye Obama saat itu telah mampu memberikan sumbangan yang tidak sedikit pada kemenangan Barrack Obama. Pada periode pemilihan Presiden AS Tahun 2012 tersebut, Obama bersama tim kampanyenya amat maksimal melakukan pengemasan isu dan opini masyarakat melalui media sosial. Sebuah lembaga riset jurnalis bahkan merilis hasil pembandingan penggunaan media siber di antara dua kandidat pada masa Pemilihan Presiden AS tersebut.17 Dari hasil riset yang dilakukan oleh The Pew Research Center’s Journalisme Project (PRCJP), tampak bahwa Obama lebih maksimal dalam menggunakan media siber. Baik melalui situs yang memang khusus dibuat untuk keperluan kampanye ataupun melalui media sosial. Hal menarik dalam hasil kajian PRCJP adalah situs Obama tidak memberikan ruang bagi cuplikan-cuplikan berita lewat media mainstream, content lebih banyak berisi pembahasan-pembahasan mengenai visi dan misi Obama pada aspek-aspek tertentu. Hal ini sangat jauh berbeda dengan Romney, yang hampir sebagian besar content dari situsnya berisi cuplikan berita-berita pada media mainstream, dengan cenderung memperlihatkan hal-hal positif pada Romney dan hal-hal negatif pada Obama.18 Dalam penelusuran yang dilakukan PRCJP, penggunaan media sosial juga lebih banyak digunakan oleh Obama. Hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.19 (Lihat Gambar 4).
“How the Presidential Candidates us the Web and Social Media: Obama Leads but Neither Candidate Engages in Much Dialogue With Voters”, http:// www.journalism.org/2012/08/15/how-presidentialcandidates-use-web-and-social-media/, diakses pada tanggal 15 September 2013. 18 Ibid. 19 Ibid. 17
88 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Gambar 4. Perbandingan Penggunaan Media Internet Antara Dua Calon Pada Masa Pipres Amerika Tahun 2012.
Sumber: http://www.journalism.org/2012/08/15/how-presidential-candidates-use-web-and-social-media/. Diakses pada tanggal 15 September 2013.
Dinamisnya kampanye Pilpres Amerika melalui media sosial ini sepertinya tidak terjadi pada masa kampanye pilpres terakhir yang digelar oleh bangsa Indonesia. Pada pilpres 2009 yang lalu, geliat kampanye caprescawapres belum terlihat menggejala pada media siber, khususnya media sosial. Kampanye lebih banyak dilakukan pada media mainstream dan media luar ruang (baliho, spanduk, stiker dan kampanye akbar yang melalui tatap muka). Hal ini sungguh disayangkan, mengingat hingga tahun 2009, jumlah pengguna internet di Indonesia tercatat sebanyak kurang lebih 30 jutaan.20 Jumlah pemilih yang tercatat pada DPT Pilpres 2009 adalah sebanyak 176.367.056 pemilih.21 Meskipun jumlah pengguna internet pada tahun tersebut tidak terlalu besar, artinya hanya sekitar 20% dari jumlah pemilih yang ada, namun peluang untuk menjadikan media internet dalam berkampanye sebenarnya cukup besar. Pasifnya pengguna media sosial dalam membahas persoalan pilpres memperlihatkan bahwa khalayak pengguna media sosial tidak terlalu menaruh perhatian pada isu-isu seputar Pemilu Presiden Tahun 2009. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa kondisi ini juga dipengaruhi oleh tidak gencarnya kandidat pada saat itu untuk melakukan kampanye melalui media sosial. Fenomena penggunaan media sosial pada Data berdasarkan penghitungan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), http://www.apjii.or.id/v2/index.php/read/page/ halaman-data/9/statistik.html#, diakses pada tanggal 15 September 2013. 21 http://mediacenter.kpu.go.id/berita/643-dptpilpres-176367056-orang.html, diakses pada tanggal 15 September 2013. 20
kalangan elit politik Indonesia justru mulai menanjak setelah pilpres 2009 dilaksanakan. Penggunaannya masih cenderung untuk kebutuhan pribadi, seperti bersilaturahmi dengan saudara, teman dan kerabat dengan jarak yang jauh. Memaksimalkan penggunaan media sosial untuk keperluan perannya sebagai elit politik ataupun pejabat publik masih cukup sulit ditemukan. Meskipun terdapat komunikasi dengan konstituen, komunikasi yang terbentuk lebih cenderung sekedar basa-basi, lebih banyak seruan atas sebuah persoalan yang dihadapi konstituen dalam kesehariannya, atau sebagai “papan informasi” kepada khalayak terkait kegiatan sang elit. Hal ini tentunya bukanlah hal yang salah, namun sesungguhnya dapat dikatakan sebagai kurang inovatifnya politisi memanfaatkan ruang komunikasi dua arah yang disediakan oleh media sosial. Keterbatasan ruang dan waktu antara wakil rakyat dan konstituennya sungguh dapat diatasi dengan mudah melalui komunikasi pada media sosial ini. Jika dilihat dengan seksama pada fasilitas yang ada di media sosial, komunikasi dua arah lebih memungkinkan terjadi. Terdapat ruang untuk memberikan komentar (feedback) atas status (Facebook) dan posting-an tweet (Twitter) yang dimasukkan oleh pemilik akun. Sehingga pada akhirnya pemilik akun sendiri juga akan melakukan respon balik atas feedback yang telah terlebih dahulu diberikan oleh orang lain. Kondisi yang saling memberikan respon inilah yang dimaksudkan sebagai komunikasi dua arah. Di samping tersedianya ruang untuk berkomunikasi secara intensif, kapasitas untuk membuka media sosial seperti Facebook
Media Siber Sebagai Alternatif Jembatan Komunikasi ... | Nina Andriana | 89
dan Twitter juga jauh lebih ringan, sehingga pengguna internet dapat mengaksesnya dengan mudah hanya melalui ponsel. Berbagai keunggulan yang diberikan oleh media sosial ini, masih dianggap sebagai kondisi yang sebagaimana adanya, tanpa melihat fungsi lain dari fasilitas yang disediakan untuk membentuk interaksi interpersonal yang lebih aktarktif dan dinamis.
sini. Sebagai bahan analisis, penulis mengutip status Presiden SBY yang ditulis pada Tanggal 4 Oktober 2013, terkait penangkapan Ketua MK Akil Mochtar oleh KPK. Berikut adalah cuplikan dari pernyataan beliau di linimasanya. Saya katakan kemarin, penangkapan Ketua MK oleh KPK adalah tragedi politik dan mencoreng nama negara Indonesia. Kita memiliki 2 institusi yang kuat yaitu MK dan KPK. Harapan rakyat amat tinggi. Sepatutnya kepercayaan rakyat tidak dicederai. Sesuai UUD 1945, putusan MK final. Berarti harus dijalankan oleh siapapun. Bayangkan kalau salah. Bayangkan kalau ada korupsinya. Perkara yang ditangani MK sangat penting, tentang undang-undang, sengketa lembaga negara dan sengketa pemilu, dan pembubaran parpol. Mengingat krisis kepercayaan terhadap MK, besok saya mengundang Ketua MPR, DPR, DPD, MA, KY dan BPK untuk membahas situasi ini. Saya ingin mengajak para pimpinan lembaga negara tersebut untuk memikirkan masa depan MK, yang bisa menjaga tegaknya kebenaran dan keadilan. Juga memikirkan bagaimana MK bisa kredibel di mata rakyat, karena rakyat bisa tidak percaya lagi. Meskipun kejadian itu ulah oknum. Perlu pula kita pikirkan bagaimana persyaratan dan mekanisme pemilihan Hakim Konstitusi. Kalau perlu kita atur dalam Undang-undang. Kita ingin MK menjadi benteng konstitusi dan meluruskan kehidupan bernegara yang dinilai menyimpang. Tanggung jawabnya sangat besar. Bagi saudara yang ingin memberikan rekomendasi singkat tentang masa depan MK yang kita harapkan, silahkan #SaranMK. *SBY*26
Merujuk pada judul artikel ini yang mengusung konsep presidensial, maka sudah sepatutnya jika kita menelaah bagaimana pemimpin tertinggi di negara ini melihat peluang media sosial untuk menjembatani jarak dan ruang terbatas yang ia miliki ketika hendak berkomunikasi dengan pemilih/rakyatnya. Presiden Indonesia terpilih 2009-2014, Soesilo Bambang Yudhoyono pada 2013 yang lalu merilis akun Twitter, Facebook dan fanpage miliknya di Youtube.22 Akun Twitter SBY telah terlebih dahulu dirilis pada April 2013 yang lalu, dengan nama SBYudhono.23 Nama yang sama juga beliau gunakan pada akun fecebook yang beliau miliki. Dalam keterangan terkait pengelolaan akun tersebut, pada sisi kiri dikolom “About” tertulis Fan page resmi Presiden Ke-6 RI (2004-2014) Susilo Bambang Yudhoyono. Dikelola oleh Staf Pribadi. Posting dari Susilo Bambang Yudhoyono ditandai *SBY*.24 Di sebelah nama profil SBY pun terdapat tanda centang. Apabila pointer mouse didekatkan ke lambang tersebut, akan muncul kata “Verified Page” yang menandakan bahwa halaman ini sudah dikonfirmasikan langsung oleh pihak Facebook yang juga dapat dimaknai bahwa ini sebagai situs resmi milik Presiden SBY.25 Pada akun Facebook yang dimiliki oleh Presiden SBY, penulis mencoba melihat apakah komunikasi dua arah juga tercipta di Pemberitaan terkait rilis akun media sosial yang dimiliki oleh Presiden SBY ini dapat dilihat pada http://tekno.kompas.com/read/2013/07/05/1845346/ inikah.akun.facebook.dan.youtube.presiden.sby, diakses pada tanggal 17 September 2013. 23 Dengan tautan https://twitter.com/SBYudhoyono/ with_replies, diakses pada tanggal 17 September 2013. 24 Lihat https://www.facebook.com/SBYudhoyono, diakses pada tanggal 17 September 2013. 25 Tanda konfirmasi ini diletakkan mengingat ada beberapa nama akun Facebook yang menggunakan nama yang hampir sama dengan nama Presiden SBY, meskipun akun tersebut tidak dibuat secara resmi oleh SBY. 22
Perlu dijelaskan bahwa, setiap status yang diakhiri oleh *SBY*, menandakan bahwa status tersebut ditulis langsung oleh Presiden SBY. Penelusuran dilanjutkan dengan melihat kolom comment pada status tersebut. Tercatat 9.543 orang yang memberikan komentarnya terkait kasus MK yang saat itu hangat diperbicangkan. Sebagian besar berisi tentang hukuman berat yang mestinya telah diberlakukan bagi para koruptor, bahkan sampai dengan hukuman mati. Dari kesemua komentar tersebut, tak ada satupun yang direspon oleh Presiden SBY. Tidak terlihat sebuah suasana diskusi antara Presiden SBY Dikutip dari wall akun Facebook SBYudhoyono, https://www.facebook.com/SBYudhoyono, diakses pada tanggal 17 September 2013.. 26
90 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
dengan “friends” nya untuk menemukan solusi terbaik membenahi MK yang telah tercoreng kehormatannya. Pada saat yang sama penulis juga mencoba menelusuri isu yang sama dalam akun Twitter yang dimiliki oleh sang presiden. Tanggal 4 hingga 5 Oktober 2013, SBY secara aktif mengirimkan tweet yang juga berisi tentang persoalan penangkapan Akil Mochtar oleh KPK. Namun, kondisi laman Twitter yang tidak seperti Facebook27 menyebabkan para “followers” dari akun @SBYudhoyono hanya bisa memberikan umpan balik dengan melakukan retweet, yang mana di akhir retweet memberikan tanda pagar (#) sehingga penerima retweet dapat langsung mengidentifikasi bahwa isi pesan berada pada isu atau tema yang sama. Jadi, dapat dikatakan komunikasi yang tercipta di ruang Twitter ini sendiri tidak berada pada kondisi yang sama, di mana semua pihak tidak berada pada kolom dan ruang yang sama untuk memberikan komentarnya. Setiap retweet yang diberikan oleh pengguna Twitter sebagai follower SBY akan masuk secara bergantian dan seringkali bertumpuk. Sehingga pemilik akun yang berada di dalam lingkaran tersebut tidak memiliki kesempatan untuk melihatnya satu per satu. Memperhatikan umpan balik dari status Facebook maupun tweet pada Twitter, tampak bahwa pihak-pihak yang memberikan komentar belum berada dalam perspektif mengusung secara bersama sebuah isu khusus, yang kemudian menghadirkan argumentasiargumentasi rasional, sehingga pada akhirnya akan memberikan ruang hadirnya solusi cerdas terkait persoalan yang dikomentari. Dengan demikian, peluang yang dijanjikan oleh media baru ini terkait ruang publik demokrasi deliberatif tampaknya masih belum terimplementasikan dengan baik pada contoh kasus di atas.
Pada laman Facebook, kolom untuk memberikan komentar terhadap status yang dibuat oleh pemilik akun, berada pada satu halaman yang sama dan tidak diselingi oleh status dari pemilik akun yang menjadi teman dari pihak yang memberikan komentar. Hal ini berbeda dengan apa yang ada di Twitter. Mengingat laman Twitter menampilkan satu per satu dari komentar atas kolom “what’s happening” yang dibuat oleh pemilik akun, dan kolom ini akan terus ditimpa dan diselingi oleh “what’s happening” yang dibuat oleh pemilik lain. 27
Penutup Berdasarkan pembahasan di atas tampak belum ada sebuah terobosan yang terpikirkan oleh elit ataupun lembaga demokrasi di Indonesia, ketika membuat situs pribadi atau lembaganya, akan mengarah pada ruang publik yang memberikan jaminan seluruh anggotanya untuk berdiskusi secara rasional dan terarah. Ruang publik demokrasi deliberatif yang diharapkan oleh Habermas tentu sangat jauh berbeda dengan apa yang saat ini berkembang di Indonesia. Demokrasi deliberatif dalam sebuah ruang publik di dunia maya mensyaratkan adanya keterlibatan semua pihak, dengan latar belakang apapun, sepanjang dapat memberikan argumentasi yang logis dan rasional. Kemudian juga mensyaratkan keanggotaan yang tidak cenderung eksklusif dan menjunjung tinggi peradaban manusia dalam hal kesantunan. Meskipun Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang sukses melembagakan demokrasi melalui pergantian kekuasaan melalui pemilihan umum berkala, dilindunginya hak berpendapat, terdapatnya lembaga politik (partai politik), namun mekanisme pengawasan terhadap kinerja pemerintahan dan parlemen yang bertanggung jawab pada rakyatnya masih cukup sulit untuk dilembagakan dalam citacita demokrasi yang ideal. Peran ruang publik sebagai salah satu sarana pengimplementasian demokrasi deliberatif masih belum benar-benar dimaksimalkan, khususnya dengan pemanfaatan media siber. Ruang publik membuat rakyat akan benar-benar merasakan bahwa mereka tidak hanya menjadi objek kebijakan tetapi juga menjadi salah satu aktor yang memberikan pengaruh terhadap perumusan kebijakan. Jadi, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat akan sepenuhnya dapat diwujudkan. Tentunya dengan terbukanya akses terhadap media internet bagi seluruh masyarakat, memberikan peluang yang cukup menjanjikan demi terciptanya ruang publik demokrasi deliberatif di Indonesia. Tentu saja, mewujudkan hal tersebut tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Banyak hambatan yang akan dihadapi, namun akan banyak peluang yang bisa dimaksimalkan untuk mengatasi hambatan-hambatan yang ada. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, menghadirkan ruang publik yang memiliki prinsip demokrasi deliberatif di media siber tidaklah mudah. Sebelum media internet hadir
Media Siber Sebagai Alternatif Jembatan Komunikasi ... | Nina Andriana | 91
pun, ruang publik dalam konteks tatap muka secara langsung yang ideal saat ini pun sulit diwujudkan. Namun, perlu diingat banyak faktor yang menjadi penghambat dibentuknya ruang publik di kehidupan nyata, justru dapat diatasi dengan kehadiran dunia maya. Contohnya saja persoalan jarak dan waktu, meskipun seseorang berada di ujung timur Indonesia ia tetap dapat berkomunikasi dengan saudaranya secara langsung yang berada di ujung barat Indonesia. Kemudian persoalan psikologis anggota diskusi yang dilatarbelakangi oleh usia, pendidikan dan sosial budaya dapat ditutupi oleh dunia maya. Tidak jarang, seseorang yang lebih muda usianya atau memiliki riwayat pendidikan yang tidak terlalu cemerlang, merasa rendah diri untuk berdiskusi secara langsung dengan orang-orang dengan usia yang lebih tua dan pendidikan yang lebih baik. Prinsip kesetaraan menjadi penting dalam berdiskusi di dunia media siber. Inilah sebenarnya yang dapat dilihat sebagai peluang-peluang yang bisa dimanfaatkan para penggiat demokrasi untuk memanfaatkan dunia maya. Peluang lainnya dapat penulis gambarkan dalam beberapa rumusan berikut ini. Pertama, jumlah pengguna internet di Indonesia saat ini semakin bertambah. Hingga tahun 2013 ini, pengguna internet di Indonesia berdasarkan data yang dikeluarkan oleh APJII mencapai sekitar 80 jutaan netizen. Di mana rata-rata pengguna internet ini adalah tipe netizen yang aktif di media sosial. Pembentukan grup yang fokus pada isu tertentu pada akun Facebook dapat menjadi salah satu peluang memaksimalkan media sosial untuk menciptakan ruang publik itu sendiri. Kedua, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh APJII juga, jumlah penyedia jasa internet hingga saat ini semakin bertambah. Tak hanya menjangkau masyarakat kelas menengah di wilayah perkotaan, tetapi juga masyarakat kelas bawah yang berada di pedesaan. Ketiga, semakin terjangkaunya harga perangkat elektronik penunjang akses internet. Kondisi seperti ini tentunya diharapkan akan mampu memudahkan masyarakat dari kelas ekonomi apapun untuk terlibat aktif dalam media siber. Peluang keempat, yang juga menjadi perhatian penting adalah kenyataan bahwa semakin meningkatnya tingkat melek politik di masyarakat, khususnya pembicaraan yang berlalu-lalang di dunia maya. Kondisi ini dapat dibuktikan dengan semakin tingginya perhatian pengguna internet terhadap
persoalan-persoalan yang menyangkut etika dari politisi dan lembaga pemerintahan seperti yang penulis diskusikan pada pembahasan sebelumnya. Di samping cukup banyak peluang yang dapat menunjang kehadiran ruang publik dan demokrasi deliberatif di Indonesia, tidak sedikit pula hambatan yang mampu menutupi peluangpeluang yang telah disebutkan sebelumnya. Pertama, meskipun jangkauan dari jaringan internet telah menyentuh seluruh kelas sosial yang ada di dalam maysrakat, namuan pengguna aktif dari internet sendiri di Indonesia masih pada golongan kelas menengah dan terpelajar. Khususnya yang mampu memanfaatkan peluang social network untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Kondisi ini setidaknya juga disebabkan oleh masih tingginya biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan akses internet yang memadai dan berkecepatan tinggi. Sehingga golongan menengah ke atas menjadi kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan untuk mengeluarkan biaya yang relatif tidak murah tersebut. Sehingga hanya kelompok inilah yang memiliki ruang akses yang lebih memadai untuk terlibat aktif dalam perbincangan politik yang intens di dunia maya. Kendala kedua adalah, jaringan internet yang saat ini sudah ada di Indonesia belum mampu menjangkau secara cepat dan menyeluruh ke wilayah terpencil yang justru jadi sasaran empuk manipulasi kebijakan yang mengatasnamakan kesejahteraan rakyat. Hal ketiga yang menjadi hambatan dalam memanfaatkan media siber untuk menciptakan ruang publik deliberatif adalah iklim berdemokrasi yang sehat, dalam artian tidak menghujat, masih cukup sulit untuk diimplementasikan. Masih banyak pengguna internet yang mengasosiasikan kebebasan dalam demokrasi sebagai kebebasan mutlak dalam berpendapat. Kebebasan yang terkadang mengabaikan cara-cara yang cerdas dan santun, tidak tendensius, berpendapat tidak berdasarkan data valid dan yang terpenting adalah kritik yang disampaikan tidak mengarah kepada upaya perbaikan terhadap sebuah kondisi atau seseorang yang dianggap tidak baik. Meskipun diskusi dalam ruang publik di media internet dapat dibangun sedikit demi sedikit, hal yang juga perlu diingat adalah ruang publik demokrasi deliberatif tetap memerlukan aturan-aturan main dalam berdiskusi. Pemimpin
92 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
diskusi harus tetap ada untuk mengawal berjalannya diskusi sehingga dapat mencegah munculnya pendapat-pendapat yang bernuansa saling merendahkan, menghina, mengabaikan penghormatan terhadap unsur SARA (Suku, Agama, Ras dan Golongan).
Faishal, Muhammad. 2007. “Institusionalisasi Demokrasi Deliberatif di Indonesia: Sebuah Pencarian Teoretik”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 11, No. 1.
Dari seluruh peluang maupun hambatan yang telah dijelaskan di atas, menghadirkan ruang publik demokrasi deliberatif di dunia maya bukan pekerjaan mudah. Hal terpenting yang patut menjadi perhatian adalah merubah paradigma elit dan pemimpin bangsa, bahwa rakyat adalah bagian yang tidak terpisahkan dari berdemokrasi. Demokrasi yang mendekati ideal adalah demokrasi yang tidak hanya berhenti pada demokrasi prosedural, namun berlanjut pada demokrasi substansial. Hal ini dapat dicapai dengan langkah memadukan gaya pemerintahan top-down dan bottom-up melalui media siber.
Pabottingi, Mochtar. 2002. Lima Palang Demokrasi Satu Solusi: Rasionalitas dan Otosentrisitas dari Sisi Historis-Politik di Indonesia. Orasi Ilmiah Pengukuhan sebagai Ahli Peneliti Utama Puslitbang Politik dan Kewilayahan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Daftar Pustaka Buku Bene, In dan Hendar Putranto (Ed), 2008, Cultural Studies: Tantangan bagi Teori-teori Besar Kebudayaan, Depok: Koekoesan. Budiarjo, Budiarjo, 2009, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Dijk, Jan Van, 2006, The Network Society: Social Aspects of New Media. (London: Sage). Elster, John (Ed), 1998, Deliberatif Democracy, United Kingdom: Cambridge University Press. Habermas, Jurgen, 1987, The Theory of Communicative Action Volume Two: Lifeworld and System: A Critique of Functionalist Reason, (a.b Thomas McCarthy), Boston: Beacon Press. Rheinghold, Howard, 1994, Virtual Community: Finding Connection in Computerized World, London: Secker & Warburg. Webster, Frank, 1995, Theories of Information Society, London: Routledge.
Jurnal Dahlberg, Lincoln. 2007. “The Internet, Deliberatif Democracy and Power: Radicalizing Publik Sphere”. International Journal of Media and Cultural Politics Vol. 3, No. 1.
Laporan dan Makalah
Surat Kabar dan Website Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. 2013. “Indonesia Internet Users”. http:// www.apjii.or.id/v2/index.php/read/page/ halaman-data/9/statistik.html#. Chambers, Simone. “Deliberatif Democratic Theory”. http://www. chinesedemocratization.com/ materials/4Simone%20Chambers%20 on%20%20deliberatif%20democracy.pdf. Facebook. 2013. //www.facebook.com/ SBYudhoyono. Kompas.com. 2013. “Inikah Akun Facebook dan YouTube Presiden SBY?”. http://tekno. kompas.com/read/2013/07/05/ 1845346/ inikah.akun.facebook.dan.youtube. presiden.sby. Media Center KPU. 2013. “634 DPT Pilpres”. http://mediacenter.kpu.go.id/berita/643dpt-pilpres-176367056-orang.html. Nugroho, Yanuar. “Ketiga kelompok tersebut menguasai 77 persen peta kepemilikan media di Indonesia,” katanya. http:// www.tempo.co/read/news/2014/05/22 /090579547/Industri-Media-Massa-MakinTerkonsentrasi. Pew Research Center. 2012. “How the presidential Candidates Use the Web and Social Media”. http://www.journalism. org/2012/08/15/how-presidentialcandidates-use-web-and-social-media/. Transparency Internasional. 2013. “Corruption Perception Index 2013”. http://www.ti.or. id/index.php/publication/ 2013/12/03/ corruption-perception-index-2013. Twitter. 2013. https://twitter.com/SBYudhoyono/ with_replies.
Media Siber Sebagai Alternatif Jembatan Komunikasi ... | Nina Andriana | 93
.
94 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
MENCARI SISTEM PEMILU DAN KEPARTAIAN YANG MEMPERKUAT SISTEM PRESIDENSIAL THE SEEKING OF ELECTION AND PARTY SYSTEM TO STRENGHTHENING PRESIDENTIAL SYSTEM Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected];
[email protected] Diterima: 24 Juli 2013; direvisi: 16 Agustus 2013; disetujui: 2 Desember 2013 Abstract Attempts to find and improve the effectiveness of the electoral system and political parties for the presidential democracy require a correction process of current electoral and the political party system. The improvement process is intended to repair and arrange the electoral system, the party system which strengthen the presidential system. This study recommends that the improvement should be directed to the practice of multi-party system that is able to produce a relatively low fragmentation of the parties in parliament. Low fragmentation of the parties in parliament, in turn, can condition the establishment of effective decision-making process. In this context, the electoral system should be ideal and thougtfully constructed to be able to create moderate political parties (5-7 parties) naturally and encouraged the emergence of the general election winner party in parliament. Therefore, it is necessary to engineer electoralsystem change, fromproportional system to another system. This study is exploring the feasibility of the mixed electoral system, to what extent it will be suitable for Indonesia. From the preliminary conclusion, the improvement of the electoral system can be done by giving space to the practice of mixed system, through the implementation of Mixed Member Majoritarian (MMM) which has been proven, theoretically and practically by country experiences to create the emergence of majority party of parliament. Keywords: election system, party system, presidential system and feasibility of a mixed electoral system. Abstrak Upaya untuk mencari dan membenahi sistem pemilu dan partai politik yang efektif bagi demokrasi presidensial, membutuhkan proses koreksi dari sistem pemilu dan kepartaian yang saat ini dianut. Proses perbaikan itu dimaksudkan agar terjadi perbaikan dan penataan sistem pemilu, sistem kepartaian yang memperkuat sistem presidensial. Kajian ini merekomendasikan bahwa perbaikan sistem pemilu perlu diarahkan pada terjadinya praktik sistem multipartai yang mampu menghasilkan tingkat fragmentasi partai yang relatif rendah di parlemen. Rendahnya tingkat fragmentasi partai di parlemen pada gilirannya dapat mengkondisikan terciptanya proses pengambilan keputusan yang relatif cepat dan tidak berlarut-larut. Dalam konteks itu, sistem pemilu perlu dibangun secara sungguh-sungguh dan ideal agar mampu menciptakan partai politik yang moderat (5-7 partai) secara alamiah dan mendorong lahirnya partai pemenang pemilu minimal di parlemen. Untuk kebutuhan itu diperlukan rekayasa perubahan sistem pemilu dari sistem proporsional ke sistem yang lain. Kajian ini sedang menjajaki tingkat fisibilitas sistem pemilu campuran, sejauh mana tingkat kecocokannya bagi Indoenesia. Dari kesimpulan awal, perbaikian sistem pemilu dapat dilakukan melalui pemberian ruang penggunaan sistem campuran, melalui penerapan Mixed Member Majoritarian (MMM) yang secara teoretik dan pengalaman negara-negara lain telah terbukti dapat menciptakan munculnya partai mayoritas di parlemen. Kata kunci: Sistem pemilu, sistem kepartaian, sistem presidensial dan fisibilitas sistem pemilu campuran
Mencari Sistem Pemilu dan Kepartaian ... | Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim | 95
Pendahuluan Kajian ini meletakkan sistem pemilu dan kepartaian dalam kerangka demokrasi presidensial. Ada sejumlah alasan yang mendasari kerangka demokrasi presidensial dalam mengkaji sistem pemilu dan kepartaian, antara lain: Pertama, terlepas dari kelemahan amandemen UUD 1945 pertama hingga keempat, sistem presidensial telah menjadi pilihan politik bangsa yang tidak mungkin digugat kembali. Kedua, jika dikaitkan dengan rentang geografis Indonesia yang begitu luas, sangat heterogen secara politik dan kultural, serta obsesi desentralisasi pemerintahan bagi sejumlah daerah, sistem presidensial masih merupakan pilihan yang tepat.1 Ketiga, pengalaman historis selama demokrasi parlementer yang dianggap gaduh dengan terjadinya “kegagalan” politik melalui praktik sistem parlementer yang cenderung tidak stabil pada periode 1950-an, menjadi salah satu pertimbangan mengapa sistem presidensial tetap menjadi pilihan utama sebagai sistem pemerintahan. Ketiga alasan itu sekaligus mengukuhkan bahwa sistem pemilu dan kepartaian tidak bekerja dalam ruang hampa, kedua-duanya bekerja dalam ruang sistem presidensial di era reformasi. Demokrasi presidensial yang dimaksud adalah bekerjanya institusi-institusi politik seperti partai politik, pemilu, perwakilan, dan presiden dalam sistem politik Indonesia, di mana arah kerja sistem politik secara ideal tunduk pada prinsip-prinsip dasar sistem presidensial, dengan berbagai penyesuaian yang telah diatur oleh konstitusi. Konsep demokrasi presidensial dengan demikian mengarah pada suatu bentuk pemerintahan yang tercipta melalui proses demokratis. Robert A. Dahl mengemukakan, paling kurang ada lima kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu negara-bangsa dalam proses demokrasi sehingga terbentuk pemerintahan yang bisa dikategorikan sebagai demokrasi --atau yang secara spesifik disebutnya sebagai poliarki. Kelima kriteria tersebut adalah persamaan hak pilih, partisipasi efektif, pembeberan kebenaran, kontrol terhadap agenda, dan pencakupan. Selanjutnya Dahl mengatakan ada tujuh lembaga demokrasi yang harus ada dalam rangka proses demokrasi, Tim LIPI, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensial yang Demokratis, Kuat dan Efektif, (Jakarta: Kerja sama Pusat Penelitian Politik LIPI dan Kesbangpol Depdagri RI, 2007), hlm. 10. 1
yaitu (1) para pejabat yang dipilih; (2) pemilu yang bebas dan adil; (3) hak untuk memilih yang inklusif; (4) hak dipilih atau dicalonkan dalam pemilu; (5) kebebasan menyatakan pendapat; (6) hak mendapat informasi alternatif; dan (7) kebebasan berserikat2. Secara lebih spesifik, Juan Linz mengatakan bahwa suatu sistem dapat dianggap demokratis, “jika ia memungkinkan dirumuskannya secara bebas preferensi-preferensi politik, dengan menggunakan kebebasan-kebebasan dasar, yaitu untuk berserikat, untuk mendapatkan informasi, dan untuk berkomunikasi, dengan tujuan membuka persaingan bebas di antara para pemimpin untuk mendapatkan keabsahan pada jangka waktu tertentu dengan saranasarana antikekerasan, tanpa menyingkirkan jabatan publik dari setiap peluang persaingan atau melarang anggota komunitas politik mana pun untuk menunjukkan preferensi mereka.”3 Konsekuensi dari itu semua, hubungan antara sistem pemilu, kepartaian dan demokrasi presidensial sangat erat satu sama lain. Hubungan itu antara lain terlihat dari: pertama, apakah pemilu menghasilkan kekuatan mayoritas di parlemen atau minimal menumbuhkan bentuk koalisi yang lebih stabil dalam melahirkan sistem presidensial yang kuat dan efisien. Kedua, apakah sistem pemilu—dalam ruang bikameral (DPR dan DPD) semakin memperkokoh bangunan demokrasi presidensial. Ketiga, apakah hasil pemilu melahirkan perwakilan politik yang mendorong stabilitas politik dalam upaya checks and balances antara eksekutif dan legislatif. Keempat, apakah partai sebagai salah satu pilar utama demokrasi presidensial bekerja dan berperan dalam kerangka sistem kepartaian—dalam berkompetisi dan bekerja sama—dalam ruang sistem presidensial, yang didalamnya terdapat proses intermediasi yang menghubungkan antara pembilahan sosial dan pemerintahan, masyarakat dan negara, serta dalam proses-proses distribusi kekuasaan negara. Keempat hal mendasar itu merupakan Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengritiknya, Jilid II, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hlm. 17-21. 3 Juan Linz (1975) seperti dikutip Richard Gunther, “Membuka Dialog Mengenai Pilihan Institusional di Indonesia: Sistem Presidensial, Parlementer, dan Semipresidensial”, dalam Juan Linz, et. al., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, (Bandung: Mizan-LIPIFord Foundation, 2001), hlm.125-162. 2
96 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
prinsip dan bangunan utama hubungan ketiga sistem antara sistem pemilu, sistem kepartaian dan sistem presidensial. Dari masing-masing sistem sebenarnya memiliki cara kerja sendiri. Secara teoretik, sistem presidensial selain memiliki keunggulan juga sering dipersepsikan memiliki tiga kelemahan utama, yaitu: (1) kemungkinan munculnya kelumpuhan atau jalan buntu politik akibat konflik eksekutif-legislatif—sebagai akibat independensi masing-masing lembaga; (2) kekakuan sistemik akibat masa jabatan eksekutif legislatif yang bersifat tetap; dan (3) prinsip “pemenang mengambil semua” yang inheren di dalam sistem presidensial.4 Watak rapuh itu menyiratkan suatu kebutuhan bersama dimana para perancang perubahan sistem pemilu, kepartaian dan sistem presidensial perlu menyadari hubungan ketiganya agar desain yang diciptakan menghasilkan formula solusi, bukan justru menimbulkan persoalan baru. Selain arti penting hubungan ketiga sistem yang telah dijelaskan di atas, kajian ini meletakkan perubahan sistem pemilu dan kepartaian dalam kerangka demokrasi presidensial, karena alasan-alasan tertentu, antara lain: Pertama, dibutuhkan suatu analisis tentang faktor-faktor krusial sistem pemilu dan kepartaian jika dikaitkan dengan upaya untuk membangun demokrasi presidensial yang terkonsolidasi. Kedua; perlunya kebutuhan untuk memetakan problematik format pemilu yang melatarbelakangi tidak optimalnya kinerja demokrasi presidensial dan pemerintahan yang dihasilkan, perwakilan dan keparlemenan, serta kepartaian. Ketiga; kebutuhan untuk mencari alternatif hubungan antara sistem pemilu dan kepartaian yang mendorong kuatnya praktik demokrasi presidensial dan memperbaiki jebakan sistem presidensial yang rapuh. Keempat, adanya evaluasi sistem pemilu dan kepartaian dalam rangka untuk memperkuat demokrasi presidensial yang sudah ada. Proses pencarian sistem pemilu dan kepartaian yang mendukung kerangka kerja demokrasi presidensial dianggap sebagai titik kunci atau krusial. Sebab, reformasi sistem pemilu, kepartaian dan presidensial tanpa suatu arah dan tujuan yang menopang kuatnya demokrasi presidensial, justru akan memperkuat watak rapuhnya, ketimbang menopang kuatnya fondasi demokrasi presidensial. Dengan kata lain, akan terjadi jebakan terus menerus 4
Ibid.
akibat watak rapuh sistem presidensial yang dikombinasikan dengan multipartai dan sistem pemilu proporsional. Oleh karena itu, kajian tim pemilu P2P LIPI pada tahun 2012 ini akan melakukan sebuah proses koreksi sekaligus pencarian sistem pemilu DPR yang ideal, sebagai upaya perbaikan dan penataan hubungan antarsistem yang sebelumnya telah dipraktikkan. Hal itu antara lain diakibatkan oleh belum selesaianya reformasi electoral sistem dan kepartaian sejak 1998 hingga 2009. Salah satu masalah yang masih tersisa antara lain adalah bentuk hubungan sistem pemilu dan kepartaian yang idealnya efektif, saling berkaitan satu sama lain dalam menopang demokrasi presidensial di Indonesia. Dalam praktinya, kombinasi pemilu proporsional dengan sistem multipartai yang diterapkan di Indonesia, awalnya memang diharapkan dapat mengoreksi sistem pemilu dan kepartaian di masa Orde Baru, namun dalam kenyatannya, sejumlah kelemahan sistem pemilu dan kepartaian justru memperparah hubungannya dengan memperkuat sistem presidensial.5 Perubahan yang terjadi justru memprihatinkan, karena perubahan kerangka sistem pemilu tidak sinergis dengan upaya penataan partai politik, baik dari segi kelembagaan maupun dari segi fungsionalnya. Tidak terdapat hubungan yang tegas antara prinsip-prinsip pembangunan sistem pemilu dengan penguatan kelembagaan partai politik dan fungsi-fungsi partai politik. Sistem kepartaian juga masih menyisakan sejumlah persoalan, berkaitan dengan kualitas kepengurusan, pembelahan ideologi, persoalan kaderisasi, pendanaan dan sebagainya. Padahal melalui partailah kualitas demokrasi presidensial juga ditentukan, khususnya pada bentuk dan format perwakilan politik yang akan dihasilkan di dalam pemilihan umum. Dari berbagai masalah-masalah yang tersisa di atas, kajian ini secara umum akan memfokuskan pembahasannya pada tiga masalah utama, yaitu: (1) Apa yang salah dengan desain reformasi pemilu dan kepartaian yang telah berlangsung sejak 1998, sepertinya desain pemilu dan kepartaian di Indonesia relatif kurang mampu mendorong sebuah proses perbaikan demokrasi substansial, dan demokrasi presidensial yang terkonsolidasi Di antara kajian-kajian itu secara rutin dilakukan oleh Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 5
Mencari Sistem Pemilu dan Kepartaian ... | Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim | 97
secara mapan? (2) Apakah reformasi sistem pemilu dan kepartaian sejak 1998 dirancang untuk mendukung demokrasi presidensial, dengan target utamanya adalah konsolidasi demokrasi presidensial?; dan (3) Adakah korelasi substansial perubahan sistem pemilu dan kepartaian sejak 1998 dengan demokrasi presidensial yang terkonsolidasi?
Problematika Sistem Pemilu dan Kepartaian Era Reformasi Proses pencarian sistem pemilu dan kepartaian yang mendukung kerangka kerja demokrasi presidensial dianggap sebagai titik kunci yang paling awal dalam memperbaiki hubungan ketiga sistem. Reformasi sistem pemilu dan kepartaian tanpa arah dan tujuan untuk menopang kuatnya demokrasi presidensial justru akan merapuhkan fondasi demokrasi presidensial itu sendiri. Reformasi sistem pemilu dan kepartaian sejak 1998 terjadi secara tergesa-gesa, menimbulkan efek lahirnya praktik “demokrasi kaum penjahat.”6 Partaipartai terlalu dominan, mirip era multipartai di Indonesia. Selain karena adanya residu problematika partai warisan Orba, juga karena adanya kemudahan dalam mendirikan partai politik. Menjelang Pemilu 1999 misalnya, telah berdiri hampir 200-an partai politik, dan yang menjadi kontestan pemilu sebanyak 48 partai. Kemudahan pendirian partai-partai politik dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang belum tentu segaris dengan perjuangan reformasi 1998. Pemilu 1999 akhirnya menghasilkan 48 partai yang mewakili gagasan pengelompokan partai atas dasar agama dan kebangsaan (sumbu vertikal) dan sumbu horizontal mewakili kutub partai atas dasar developmentalisme di satu pihak, dan sosialisme radikal di pihak lain.7 Penggolongan ini mirip dengan yang dilakukan Kevin Evans, khususnya dari aspek kiri-kanan (horizontal) dan atas bawah (vertikal), di mana kiri merupakan pengelompokan partai-partai sekuler dan kanan merupakan pengelompokan partai-partai Islamis (atas dasar agama). Lihat lebih jauh Juan J. Linz et al. Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan Negara-Negara Lain, (Bandung: Mizan, 2001). 7 Daniel Dhakidae, Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi, Strategi, dan Program, (Jakarta: Kompas, 1999), hlm. 36. 6
Sebaliknya, garis vertikal ke atas merupakan partai yang cenderung bersifat elitis dan garis ke bawah adalah partai yang bersifat populis.8 Tipologi partai tersebut berlanjut pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009, yang jika dibagi atas dasar vertikal dan horizontal juga mewakili penggolongan yang hampir sama. Jika dikategorikan pada perolehan suaranya terdapat tiga kelompok, yaitu partai besar, partai menengah dan partai gurem. Partaipartai atas dasar kebangsaan cenderung menjadi partai besar, sementara partai menengah dan gurem diisi oleh partai-partai bergaris agama dan sebagian berideologi kiri. Dari segi sistem, reformasi di sektor pemilu dan kepartaian, memberikan sejumlah perkembangan yang menarik. Sejak disahkannya UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dan UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, pencarian konseptual untuk membenahi sistem pemilu proporsional dan kepartaian terus dilakukan. Hasilnya, pilihan atas sistem proporsional tetap dipertahankan. Bedanya terdapat penambahan sejumlah prinsip sistem lain sebagai bagian dalam membenahi sistem proporsional. Hal itu, terlihat dari mulai diundangkannya paket UU politik tahun 1998, 2003 dan 2008 (Partai Politik, Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD, serta UU Susunan dan Kedudukan DPR, DPD, dan DPRD).9 Untuk membenahi kekurangan sistem proporsional di masa Orba, misalnya, pada Pemilu 1999 diterapkan model sistem campuran (hybrid).10 Sistem proporsional yang digunakan memang masih tertutup, namun mulai ada adopsi sebagian prinsip majoritarian dalam sistem proporsional. Lingkup daerah pemilihan untuk DPR dan DPRD provinsi adalah provinsi, sedangkan wilayah kabupaten/kota merupakan daerah pemilihan DPRD kabupaten/kota. Prinsip majoritarian yang diterapkan ialah pembagian kursi setiap daerah pemilihan kepada partai politik peserta pemilu dilakukan berdasarkan sistem proporsional, sedangkan Kevin Reymond Evans, Sejarah Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, (Jakarta: PT. Arise Consultancies, 2003), hlm. 11. 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD pada 2004. 10 Mengenai hal ini dapat dilihat pada Kevin R. Evan, “Sistem Baru, Suasana Baru Pemilu 1999 yang Dinanti,” dalam Almanak Parpol Indonesia Pemilu ‘99. 8
98 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
pembagian kursi yang diperoleh partai di suatu daerah pemilihan kepada kabupaten/kota atau kecamatan dan kepada calon tetap dilakukan mengikuti sistem majoritarian.11 Selain itu juga mulai diterapkan konsep electoral threshold, suatu ketentuan tentang jumlah kursi minimal yang harus dicapai oleh suatu partai politik perserta pemilu untuk mengikuti pemilu berikutnya. Salah satu semangat perubahan saat itu adalah untuk mendorong perubahan pemilu ke arah yang lebih demokratis, langsung, umum, bebas dan rahasia, yang tidak pernah terjadi selama pemilu-pemilu di masa Orde Baru.
Dari segi proses pemilihan, terdapat dua prinsip pemilu yang berbeda, dimana perwakilan daerah yang dimanifestasikan dalam DPD dipilih atas dasar prinsip majoritarian (distrik) berwakil banyak. Sebagai representasi dari perwakilan daerah, dengan masing-masing provinsi pada DPD diwakili oleh empat orang, sementara Dewan Perwakilan Rakyat dipilih atas dasar prinsip proporsional “setengah” terbuka, dimana ada peluang bagi pemilih untuk memilih nama orang (walau bukan menjadi sebuah prinsip utama) sebagai pemenentu konversi suara menjadi kursi.
Setelah Pemilu 1999 berakhir, khususnya pada Pemilu 2004 dan 2009, wacana untuk memperbaiki sistem pemilu dan kepartaian terus berlanjut. Salah satu isu mendasar yang tidak pernah usang adalah mencari hubungan format sistem pemilu dan kepartaian yang memiliki representasi politik yang baik, demokratis, akuntabel, dan melahirkan sosok wakil rakyat yang kompeten dan berkualitas.
Perubahan sistem Pemilu 2004 juga telah mendorong penggunaan sistem baru, walau tidak diakui secara tegas yaitu penerapan sistem proporsional terbuka,13 namun dalam praktik dan implementasinya seperti yang dianut pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD pada 2004, tidak diterapkan secara penuh. Meskipun telah ada perubahan sistem pemilu, dan mulai diterapkannya untuk pertama kalinya pemilihan presiden secara langsung, namun dari segi capaiannya masih dianggap terlalu jauh untuk dapat disebut mendekati kualitas substansial dalam proses pemilu, apalagi dapat memperkuat demokrasi presidensial.
Setelah pelaksanaan Pemilu 2004, muncul gagasan baru, perlunya penyederhanaan partai politik dalam rangka memperkuat demokrasi presidensial. Apalagi setelah adanya perubahan UUD 1945 ketiga, dimana mulai ditambah dengan adopsi sistem bikameral yang terbatas dan presiden dipilih secara langsung.12 Hasil amandemen ketiga memperkenalkan pula Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para ahli sebenarnya mengusulkan konsep DPD sebagai intitusi yang kuat, tetapi hasil kompromi politik di DPR mengarahkan pada bikameral yang terbatas, sehingga posisi DPD menjadi lemah. Panitia Pengawas Pemilu 1999, Pengawasan Pemilihan Umum 1999, (Jakarta: Panwas Pemilu 1999, 1999), hlm. 111. Dalam UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, menunjukkan UU ini mengadopsi sistem distrik, pertama: ketentuan yang mengharuskan setiap kabupaten/kota harus terwakili di DPR/DPRD sekurang-kurangnya satu kursi, dan setiap kecamatan harus terwakili sekurang-kurangnya satu kursi di DPRD (Pasal 4 ayat 1, Pasal 5 ayat 3 dan Pasal 6 ayat 3). Kedua, setiap partai politik peserta pemilu diwakili calon tetap yang ditentukannya (Pasal 41 ayat 6). Untuk itu setiap partai politik peserta pemilu harus menyusun nomor urut yang diajukan untuk mewakili setiap kabupaten/kota atau kecamatan. Ketiga, kursi yang diperoleh suatu partai diberikan kepada kabupaten/ kota atau kecamatan yang memberi suara terbesar/ terbanyak kepada partai tersebut (Pasal 68). 12 Ibid. 11
Munculnya kesadaran bahwa format kepemiluan dan kepartaian yang kompleks menyebabkan terhambatnya konsolidasi demokrasi dapat disebut sebagai sebuah kemajuan dalam memahami dan mengurai masalah kepemiluan. Hal itu misalnya dapat dilihat pada saat perbaikan paket UU politik Pemilu 2004 yang antara lain didominasi oleh upaya untuk menyederhanakan partai politik, memperbaiki performance partai politik, dan tentu diharapkan akan memperkuat performance legislatif, walaupun belum dikaitkan secara tegas dengan kokohnya bangunan demokrasi presidensial. Gagasan ini tertuang pada naskah akademik yang dirancang oleh tim ahli penyusun Undang-undang Politik. “….Agar tercapai keseimbangan antara deepening democracy dengan effective governance bisa tercapai maka harus ada langkah-langkah regulasi yang mesti dilakukan, yaitu: Pertama, melakukan penyederhanaan jumlah pelaku. Kemampuan mengelola pemerintahan secara efektif sangat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD. 13
Mencari Sistem Pemilu dan Kepartaian ... | Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim | 99
dipengaruhi kohesifitas dan interaksi antar aktor. Bila masing-masing aktor cenderung konfliktual atau koeksistensi maka dapat dipastikan akan muncul kesulitan untuk mengelola beragam kepentingan yang sangat variatif. Variasi kepentingan tersebut muncul karena aktor yang berinteraksi dalam proses kepemerintahan dan politik yang ada sangat banyak jumlahnya. Oleh karena itu kebutuhan untuk menyederhanakan jumlah aktor menjadi sangat penting. Ide tentang penyederhanaan pelaku inilah yang kemudian diangkat dalam penyusunan rancangan penyempurnaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, antara lain diwujudkan dalam penentuan batasan treshhold bagi partai politik untuk ikut serta dalam pemilihan umum. Melalui penciutan peserta pemilihan umum secara wajar dan rasional, diharapkan pula isu-isu yang diusung oleh partai politik dalam pemilihan umum nasional adalah betul-betul isu nasional yang terpilih dan berbobot untuk ditangani oleh lembaga perwakilan rakyat dan pemerintahan tingkat nasional…”14
Dari segi penyederhanaan partai, memang relatif terjadi, akan tetapi timbul persoalan lain setelah pelaksanaan pemilihan presiden secara langsung sebagai amanat amandemen ketiga UUD 1945, dimana proses pelaksanaan desain sistem pemilu, kepartaian dan pemilu presiden secara langsung, justru tidak saling berhubungan. Hubungan secara parsial yang terjadi, khususnya dalam hal tata cara pencalonan presiden, dimana partai-partai yang memperoleh suara tertentu atau gabungan partai-partai yang dapat mencalonkan calon presiden dan wakil presiden yang berhak mengajukan calon. Tidak ada jaminan bahwa presiden terpilih preferensi suaranya sama dengan perolehan suara partai di legislatif. Pengalaman Pilres 2004 justru menunjukkan calon presiden/wakil presiden yang diusung oleh partai kecil justru menjadi pemenangnya. Situasi demikian, seperti telah digambarkan dalam berbagai studi tentang sistem presidensial akan menyebabkan hubungan kurang harmonis antara presiden terpilih dengan legislatif.
Tabel 1.1. Perbedaan antara Pemilu 2004 dan Pemilu 2009.
Mengenai dokumen naskah akademik ini dapat diunduh pada www.cetro.or.id tentang Naskah Akademik RUU Pemilu inisiatif Pemerintah tertanggal 8 Mei 2007. 14
100 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Sumber: diolah oleh penulis dari berbagai sumber. *) Sistem ini berlaku setelah ada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang Perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD 1945 merubah tata cara penetapan calon legislatif pada pemilu 2009 yang sebelumnya berdasarkan nomor urut menjadi suara terbanyak.
Tidak ada jaminan koalisi pemerintahan memperoleh dukungan politik di parlemen. Bayang-bayang presidensial yang rapuh, terjadi pada periode 2004-2009, dimana presiden terpilih memiliki dukungan politik yang rendah, sehingga demokrasi presidensial tidak berjalan secara efektif. Secara garis besar, perubahan dua pemilu (2004 dan 2009)—dapat digambarkan pada tabel 1. (Lihat Tabel 1.1) Apa yang tampak dari tabel di atas, secara sederhana memotret bahwa dari segi sistem, sebenarnya perubahan menonjol terjadi pada Pemilu 2009, khususnya pada daerah pemilihan yang dipersempit, juga jumlah kursi DPR yang ditambah, serta teknik konversi suara ke kursi partai yang justru semakin rumit dan kompleks. Penggunaan sistem yang kompleks, memunculkan sederatan persoalan krusial sebagai warisan dari sistem pemilu proporsional. 15
Pada hari Kamis, 11 September 2008, KPU, Pemerintah dan Komisi II DPR melakukan rapat konsultasi tentang format surat suara dan tempat pemberian tanda yang sah pada surat suara untuk Pemilu 2009. Dari rapat konsultasi tersebut dicapai sebuah kesepakatan yang bertentangan dengan aturan perundang-undangan. Kesepakatan tersebut adalah surat suara dapat dinyatakan sah termasuk jika pemberian tanda contreng/centang pada tanda gambar partai politik. Padahal di dalam UU No 10/2008 khususnya pasal 176 ayat (1) menyatakan secara tegas bahwa suara dinyatakan sah apabila pemilih memberikan tanda satu kali pada kolom nama partai atau kolom nomor calon atau kolom nama calon anggota legislatif. Artinya pemberian tanda selain pada salah satu tiga kolom tersebut tidak memiliki landasan hukum dan harus dinyatakan tidak sah. Mengenai hal ini lihat konferensi pers CETRO pada 12 September 2008 yang dimuat di www.cetro.or.id. 15
Konstestan pemilu semakin membengkak, karena semangat penyederhanaan partai seperti yang digagas oleh Pemerintah, tidak menjadi agenda bagi DPR dalam menyusun RUU Parpol. Terlalu longgarnya persyaratan mendirikan partai politik di satu sisi, dan persyaratan partai politik yang dapat mengikuti pemilihan umum yang tidak konsisten di sisi lain turut memberikan peluang lahirnya partaipartai politik baru sebagai peserta pemilu. Padahal kehadiran partai-partai politik baru ini lebih merupakan metamorfosis partai-partai yang tidak lolos dalam pemilu sebelumnya, dan sebagian besar pengurusnya hampir relatif sama. Kemunculan partai-partai baru juga sebagai akibat dari manajemen partai politik yang rendah. Indikasi dari itu adalah lemahnya konsolidasi internal partai untuk mengelola perbedaan kepentingan. Penyakit partai politik kita adalah penyakit perpecahan. Perpecahan yang melanda partai politik umumnya sebagai dampak dari kekecewaan politik dalam mengelola partai. UU Nomor 10/2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota, juga tidak berhasil mendorong munculnya wakil-wakil rakyat yang berkualitas, mendorong perubahan kinerja parlemen, dan partai politik yang lebih baik. Justru praktik-praktik transaksi politik yang dilakukan oleh partai-partai politik yang turut dalam Pansus DPR dan sesudahnya tidak dapat dihindari.16 RUU Pemilu 2009, khususnya pasal 316, yang secara substansial bertentangan dengan kandungan isi dari pasal 315 yang mengatur aturan main partai politik yang memiliki kursi yang ditetapkan 16
Mencari Sistem Pemilu dan Kepartaian ... | Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim | 101
Inkonsisten dalam penerapan sejumlah prinsip electoral threshold menyebabkan konstestan pemilu menjadi bertambah besar dari 24 partai (Pemilu 2004) menjadi 38 partai politik. Walaupun jumlah partai kontestan pemilu lebih banyak ketimbang Pemilu 2004, kemajuannya memang terlihat dengan adanya parliamentary threshold 2,5 di mana partai yang memperoleh suara 2,5 persen yang berhak mengisi kursi DPR. Hasilnya, ada penyederhanaan jumlah partai di parlemen. Namun, persoalannya tetap saja mirip dengan praktik politik demokrasi presidensial yang terjadi pada periode 20042009, politik pemerintahan cenderung tidak stabil, bahkan partai-partai koalisi pemerintahan justru berperilaku melebihi oposisi.
Problematika Sistem Presidensial Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasca amandemen mengokohkan tentang sistem pemerintahan yang dianut bagi bangsa Indonesia, yaitu sistem pemerintahan presidensial atau demokrasi presidensial. Melalui amandemen sebagai peserta pemilu pascapemilu 2004. Pasal 315 menyebut bahwa: “Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurangkurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurangkurangnya di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/ kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004.” Sedangkan Pasal 316 berbunyi berbeda, dimana partai politik yang memiliki kursi di DPR hasil Pemilu 2004 secara otomatis menjadi peserta pemilu setelah Pemilu 2004. Pasal 316 berbunyi: (a) bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315; atau (b) bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau (c) bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau (d) memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004; atau (e) memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi Partai Politik Peserta Pemilu.ilu
konstitusi, penataan demokrasi presidensial dilakukan, antara dengan dilakukan pemilihan presiden secara langsung, pembatasan masa jabatan, pengokohan legislatif sebagai pembentuk undang-undang, dan legislatif tidak bisa dibubarkan oleh eksekutif, merupakan bagian dari bentuk purifikasi demokrasi presidensial. Namun, di sisi lain, purifikasi atas demokrasi presidensial masih menyisakan problematik. Demokrasi presidensial yang terbentuk tidak berjalan efektif. Pangkalnya, problematik yang terbentuk berpangkal pada desain konstitusi itu sendiri yang masih bersifat ambiguitas. Di satu pihak, amandemen konstitusi melakukan purifikasi demokrasi presidensial, tetapi di pihak lain, desain konstitusi yang terbangun masih bercita rasa parlementer. Hal lain yang menjadi pangkal problematik demokrasi presidensial di Indonesia adalah tidak didukung dengan sistem kepartaian yang kompatibel. Berdasarkan pengalaman negara-negara yang menerapkan demokrasi presidensial mesti didukung dengan sistem kepartaian yang kompatibel, yaitu sistem dwipartai. Di Indonesia, alih-alih kompatibel, sistem kepartaian yang terbentuk adalah sistem multi partai ekstrim: banyaknya jumlah partai di parlemen dan tidak ada partai dominan. Terbentuknya sistem multi partai ekstrim ini antara lain disebabkan dari model sistem pemilihan umum yang diberlakukan. Sementara itu dalam kaitannya dengan penerapan sistem presidensial, penggunaan sistem multi partai telah menciptakan instabilitas pemerintahan. Ini terjadi karena faktor fragmentasi kekuatan-kekuatan politik di parlemen dan “jalan buntu” bila terjadi konflik relasi eksekutif-legislatif. Tiga alasan kombinasi sistem presidensial dengan sistem multipartai bermasalah. Pertama, sistem presidensial berbasis multipartai cenderung menghasilkan kelumpuhan (immobilitas) akibat kebuntuan (deadlock) eksekutif-legislatif, kebuntuan itu akan berujung pada instabilitas demokrasi. Kedua, sistem multipartai menghasilkan polarisasi ideologis ketimbang sistem dwipartai sehingga seringkali menimbulkan problem komplikasi ketika dipadukan dengan sistem presidensial. Ketiga, kombinasi sistem presidensial dengan sistem multipartai berkomplikasi pada kesulitan membangun
102 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
koalisi antarpartai dalam demokrasi presidensial sehingga berimplikasi pada rusaknya stabilitas demokrasi.17 Selain itu, juga karena faktor Dilema Presiden Minoritas dan “Kabinet Pelangi”. Ada problem koalisi dan dilema presiden minoritas, baik pada masa Presiden Wahid, Presiden Megawati, maupun Presiden Yudhoyono adalah figur presiden dengan basis politik minoritas di DPR. Presiden Wahid, pencalonannya didukung oleh koalisi longgar diantara parpol Islam dan partai berbasis Islam ‘poros tengah’, hanya memiliki basis 51 kursi PKB di DPR. Presiden Megawati, mempunyai basis relatif besar, yakni 153 kursi PDI-P di DPR, namun bukan partai mayoritas di DPR. Sementara itu, Presiden Yudhoyono pada masa jabatan priode pertama, yang berasal dari PD bahkan hanya memiliki model 55 kursi, kendati ada dukungan partaipartai pengusungnya yakni PKS (45 kursi), PBB (11 kursi) dan PKPI (1 kursi). Faktanya kemudian, setiap presiden mengangkat “kabinet pelangi” atau kabinet koalisi dari banyak partai, yang mirip pola kabinet parlementer, untuk mengatasi problema presiden minoritas, dengan harapan eksekutif akan memperoleh dukungan yang luas di DPR, yang dalam beberapa kasus relasi presiden-DPR (hak angket, hak interpelasi, hak menyatakan pendapat) ternyata tidak terjadi. Faktor lain yang juga menjadi persoalan akut sistem presidensial adalah rapuhnya model koalisi dan rendahnya disiplin partai. Menurut formula Laakso dan Taagepera (1979),18 ada kaitan antara jumlah efektif partai di parlemen (ENPP-Effecitive Number Party in Parliament) dengan efektivitas dukungan koalisi terhadap eksekutif. Hal itu bisa diketahui dengan mengkaji ulang jumlah efektif parpol di Dewan Perwakilan Rakyat dari hasil Pemilihan Umum 2004 adalah 7,07 dengan 17 partai politik di DPR. Hasil Pemilu 2009, setelah diberlakukan ambang batas (threshold) 2,5 persen, terdapat 9 partai di DPR dengan ENPP sebesar 6,20. Artinya, semakin rendah ENPP, semakin mudah Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy; The Difficult Combination”, Comparative Political Studies, Vol. 26, No. 2, 1993, hlm. 198. 18 Lihat Laakso & Taagepera, “Effective” Number of Parties: A Measure with Application to West Europe” Comparative Political Studies, April 1979, artikel 12: 3-27. 17
membuat koalisi dan berarti stabilitas pemerintahan.
terjaminnya
Sebenarnya, hasil Pemilu 1999, menghasilkan ENPP sebesar 5 partai dengan peserta pemilu 48 partai mempunyai peluang untuk menata koalisi di parlemen yang baik. “Partai yang meraih suara di atas 20 persen saat itu, misalnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Golkar, bisa membuat komitmen koalisi jangka panjang untuk membuat pemerintahan yang kuat. Ada problematika koalisi-koalisi pemerintahan yang dibentuk pada masa Presiden Wahid, Presiden Megawati, maupun Presiden Yudhoyono, yang polanya bukan hanya bersifat longgar namun juga cenderung semu. Koalisi belum dibangun dengan platform politik bersama atau kesepakatan minimum diantara pihakpihak yang berkoalisi, dan penegasan disiplin partai untuk mendukung presidensialisme. Dampaknya, apa yang dialami oleh Presiden Wahid, Presiden Megawati, maupun Presiden Yudhoyono, pemerintahannya bukan hanya digugat oleh partai di luar pemerintahan (partai pengimbang, partai oposisi), namun juga kurang didukung oleh partai-partai koalisi pendukung pemerintah yang memiliki kursi di dalam kabinet. Hal ini tampak dalam kasus Bulog-Brunei Gate, Divestasi PT Indosat, Penjualan Blok Gas Natuna-Gate, Interpelasi Bank Century-Gate. Akibatnya, sistem politik Indonesia pascaSoeharto dirumuskan bentuk pemerintahannya sebagai “presidensialisme dengan cita rasa parlementer”, karena cenderung masuk menjadi praktik ‘informal parlementerism”. Salah satu akar persoalannya adalah lemah atau tidak adanya disiplin partai dalam sistem kepartaian yang terfragmentasi, sebagaimana tercermin dalam praktik demokrasi presidensial di Indonesia pasca-Soeharto. Sebagai ilustrasi lebih lanjut, Presiden dengan dukungan pemilih sangat tinggi,19 Presiden Yudhoyono mendapatkan dukungan besar pemilih (60,8 persen) pada Pemilu 2009, namun “tersandera” oleh tekanan parpol di parlemen dan akhirnya tidak menjadikan angka dukungan pemilih langsung itu sebagai modal membangun lembaga eksekutif yang solid. Sejak awal ketegasan SBY untuk membentuk kabinet dengan dukungan parpol koalisi kian melunak. Boleh jadi, persoalan nyali, kebijakannya tidak didukung di Parlemen yang memaksa SBY membentuk koalisi Setgab 19
Mencari Sistem Pemilu dan Kepartaian ... | Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim | 103
namun ada indikasi kabinet Indonesia Bersatu jilid II, dalam perjalannya belum atau tidak didukung oleh koalisi partai yang solid sebagai imbas dari para menteri yang ada bukan semuanya berasal dari Partai Demokrat. Faktanya walaupun ada menteri asal partai koalisi dari PKS dan Partai Golkar, kebijakan partai ini di parlemen tidak optimal mendukung kebijakan eksekutif. Adanya kelemahan kinerja dan kekurang kekompakan anggota kabinet, yang disampaikan Presiden ke ruang publik menggambarkan betapa ia sulit menunjukkan kuasa konstitusionalnya sebagai seorang presiden dalam desain sistem presidensial yang tersandera oleh koalisi partai. Presidensialisme yang kabinetnya bersumber dari partai koalisi cenderung berdampak kurang kompak atau tidak solid. Ada dugaan ini karena pembantu presiden tersebut bukan dari partai yang sama. Kabinet memang tidak diisi oleh semuanya orang presiden (not the all president man). Kabinet bukan terdiri dari semuanya “orang presiden”, diduga sebagai akar persoalan presidensialisme di masa SBY priode kedua. Persoalan terakhir yang juga penting ialah masalah pecah kongsi atau kohabitasi. Problematika presidensialisme yang menjadi sumber ketegangan politik dalam relasi presidenDPR RI yang diamati oleh Syamsudin Haris adalah gejala kohabitasi (cohabitation),20 yaitu suatu kondisi pecah kongsi akibat adanya No all president man atau adanya perbedaan basis politik antara presiden dan wapres yang mudah menimbulkan gejala ‘keretakan politik’ akibat pertarungan kepentingan dan harga diri, yang mengganggu soliditas pemerintahan berjalan.21 Pada masa Presiden Wahid (Wahid-Megawati) dan Presiden Megawati (Megawati-Hamzah Haz) juga pernah terjadi gejala kohabitasi akibat berbedanya basis politik.22 (Sekretariat gabungan), dengan dukungan partai politik Golkar, PKS, PPP, PKB yang hampir mendekati angka 80 persen wakil partai koalisi 20 persen dari Partai Demokrat sendiri. 20 Mengenai penjelasan harfiah konsep kohabitasi lihat Frank Bealey, Dictionary of Political Science (Oxford UK: Blackwell Publisher ltd., 2000), hlm. 66. 21 Perihal hubungan presiden-wapres Orde Baru, lihat Roy B.B. Janis, Wapres: Pendamping atau Pesaing? (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2008). 22 Ilustrasi tentang kekecewaan Megawati terhadap Abdurahman Wahid menjelang SU MPR 1999
Perbedaaan basis politik, Presiden Wahid dari PKB dan Wapres Megawati dari PDI-P tidak hanya menimbulkan krisis relasi di antara mereka namun juga berujung pemakzulan terhadap Wahid yang justru dimungkinkan oleh dukungan politik PDI-P yang sangat kecewa terhadap pencopotan kader PDI-P Laksamana Sukardi, selain ketidakpuasan Mega terhadap rendahnya komitmen pribadi Wahid untuk mendukung putri Bung Karno maju sebagai calon presiden menjelang SU MPR 1999. Presiden Wahid pun dianggap tidak melibatkan Wapres Mega dalam penyusunan dan perombakan kabinet. Akibatnya, wapres tidak hadir dalam pengumuman reshuffle kabinet, tidak mau hadir dalam beberapa sidang Kabinet Persatuan Nasional, dengan alasan menghindar sakit flu.23 Kohabitasi Presiden Mega (PDI-P) dan Wapres Hamzah Haz (PPP), yang semula pola relasinya akomodatif, namun ujungnya terjadi keretakan, karena rendahnya dukungan PPP di parlemen terhadap interpelasi DPR ke lembaga kepresidenan dalam kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke Malaysia. Sebelumnya Presiden Mega juga telah kecewa terhadap Wapres Hamzah karena mewacanakan tidak lazimnya kepemimpinan perempuan dalam Islam, atas dasar fatwa ulama PPP. Begitu pula kecenderungan Wapres Hamzah mendekati kelompok “Islam garis keras” seperti membesuk Panglima Laskar Jihad, Ja’far Umar Thalib di tahanan Mabes Polri, atau bersilaturahmi dengan Abu Bakar Baasyir di Pesantren Ngruki Sukoharjo, yang cukup mengecewakan bagi Presiden Megawati.24 Pada masa Presiden Yudhoyono (PD) dan Wapres Jusuf Kalla (PG), juga terjadi gejala kohabitasi. Tidak sedikit kasus disharmonisasi relasi Presiden dan Wapres yang terjadi, pasca pemilihan presiden 2004. Salah satunya adalah kasus kontroversial pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program terlihat dalam Marcus Mietzner, “Sidang Umum MPR 1999: Wahid, Megawati dan Pergulatan Perebutan Kursi Keperesidenan”, dalam Chris Manning dan Peter van Dierman, ed., Indonesia di Tengah Transisi, (Yogyakarta: LKIS, 2000), hlm. 4566; Lihat juga Syamsuddin Haris, Konflik PresidenDPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: Grafiti Press, 2007), hlm. 150-156. 23 Ibid, Marcus Mietzner dan Syamsuddin Haris; lihat Roy B.B. Janis, Ibid, hlm. 245-286. 24 Ibid, Roy B.B. Janis, hlm.245-286.
104 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
dan Reformasi (UKP3R) oleh Presiden SBY tanpa sepengetahuan Wapres JK.25 Selain itu ada keputusan Wapres JK yang dinilai menyimpang kewenangan Wapres seperti akhir Desember 2004 JK menerbitkan SK No.1/2004 tentang pembentukan Tim Penanggulangan Bencana dan Tsunami, memunculkan gejala ketegangan, meskipun keduanya membantah di depan media. Juga keberatan terhadap konsesi politik JK yang terlalu besar terhadap GAM dalam MoU Helsinki, penanganan gempa Yogya, perombakan terbatas Kabinet Indonesia Bersatu.26 Dampaknya, ada fakta SBY dan JK ketika menonton film Ayat-ayat Cinta, hadir dalam rombongan yang terpisah. Presiden PKS dan ketua MPR Hidayat Nur Wahid pernah meminta secara pribadi ke kedua pihak agar dapat memperbaiki hubungan mereka.27 Kekecewaan SBY terhadap Golkar dan JK juga tampak ketika Golkar dinilai tidak cukup maksimal memperjuangkan calon unggulan pemerintah untuk Gubernur BI, Agus Martowardoyo, Dirut Utama Bank Mandiri, saat fit and proper test Gubernur BI di Komisi XI, DPR RI.28 Syamsuddin Haris mengingatkan agar problematika kohabitasi ini memberi pelajaran dan mendorong untuk mencari solusinya agar sistem presidensial di masa mendatang mendapat penyempurnaan format relasi yaitu persyaratan agar pasangan presiden yang maju mesti berasal dari basis partai yang sama, untuk pemilu presiden Indonesia di masa yang akan datang.29 Hal tersebut dibenarkan oleh Ryaas Rasyid, yang diwawancarai Syamsuddin Haris di Jakarta, 7 Mei 2008, yang menjadi saksi konfirmasi langsung dari JK bahwa Wapres JK tidak diberitahu oleh Presiden SBY ketika membentuk UKP3R, yang diusulkan sepihak oleh para staf khusus di sekitar Presiden SBY. Termasuk Mensesneg Yusril Ihza MahendraYIM (dari partai PBB) juga tidak diberitahu. Catatan wawancara Syamsuddin Haris dengan YIM di Jakarta, 24 Juli 2008. 26 Lihat artikel”SBY-JK: Duet atau Duel, Laporan Utama Tempo, edisi 24-30 Oktober 2005. 27 Lihat “Drama satu babak Yudhoyono-Kalla”, Sinar Harapan, 19 September 2005. 28 Lihat “Calon Gubernur BI: Skor 2-0 untuk DPR”, Tempo, 30 Maret 2008. 29 Lihat Disertasi Syamsudin Haris, hlm. 200. Pandangan yang sama dikemukakan oleh Roy B.B Janis, ibid, hlm. 362; Deni Indrayana, “Mendesain Presidensial yang efektif: Bukan Presiden ‘Sial’ atawa Presiden ‘Sialan’”, Makalah Seminar, 13 25
Upaya Perbaikan yang Ditawarkan Kajian ini memandang bahwa secara ideal, sistem pemilu dan sistem kepartaian harus sejalan supaya tercipta sistem presidensial yang kokoh. Ironisnya, sistem pemilu dan sistem kepartaian di Indonesia, menurut teori, tidak cocok satu sama lain. Sistem pemilu yang digunakan adalah sistem pemilu proporsional sementara sistem kepartaiannya menganut sistem multipartai. Sebagaimana diketahui bersama, sistem pemilu proporsional, menurut para ahli, lebih cocok digandengkan dengan sistem dua partai. Sementara itu, sistem multipartai lebih pantas diterapkan bersama dengan sistem pemilu majoritarian. Akan tetapi, bukan tidak mungkin mengawinkan kedua sistem yang dianggap tidak cocok tersebut sebab ada argumen yang mengatakan bahwa kerapuhan demokrasi di negara yang menganut sistem presidensialisme bukan semata-mata karena sistemnya, melainkan karena berbagai faktor, seperti konteks perkembangan ekonomi, ukuran (size) dari suatu negara, lokasi geografis, dan sebagainya. Oleh karena itu, perlu dihitung berbagai faktor lain yang memiliki kontribusi dalam kerapuhan sistem demokrasi presidensialismemultipartai. Setidaknya ada beberapa faktor kunci yang berperan dalam memperbaiki sistem presidensialisme-multipartai. Pertama, performa partai politik dalam sistem multipartai. Salah satu cara untuk mendorong munculnya sistem multipartai yang berkualitas adalah melalui penyerderhanaan jumlah partai, dengan menaikkan ambang batas persyaratan keterwakilan partai di parlemen. Dengan menaikkan ambang batas diharapkan partai-partai mau bertindak rasional dengan memilih untuk melakukan merger (penggabungan) partai apabila ingin tetap survive. Dan akhirnya, kalau skenario merger ini tercapai maka sistem kepartaian akan bergerak ke arah moderate pluralism party sistem. Kedua, model koalisi politik. Ada beberapa perubahan desain elektoral yang perlu dikedepankan untuk mencegah munculnya koalisi politik pragmatis; (1). Pemilu presiden tidak lagi mengikuti hasil pemilu legislatif. Itu bisa dilakukan dengan membuat pemilu legislatif nasional dan pemilu presiden dilakukan secara bersamaan; (2). Proses koalisi Desember 2006.
Mencari Sistem Pemilu dan Kepartaian ... | Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim | 105
harus dilakukan sebelum pemilu legislatif dan presiden yang dibangun atas dasar kesamaan platform kebijakan; (3). Wakil presiden ditunjuk oleh presiden yang diusung oleh koalisi partai. Hal ini untuk menghindari fenomena “matahari kembar”; (4). Perlu kesepakatan mengenai sifat koalisi. Pengalaman di berbagai negara yang menganut sistem presidensialisme menunjukkan setelah presiden terpilih, model hubungan antarpartai koalisi bisa berbeda sesuai dengan kemampuan membangun soliditas kebijakan. Ketiga, kapasitas presiden untuk membangun presidensialisme yang efektif. Bisa saja kerapuhan presidensialisme-multipartai itu tidak terjadi kalau presiden memiliki kapasitas politik (personal) yang kuat untuk mentranformasi logika office-vote seeking menjadi policy seeking, dimana partai-partai dalam koalisi yang pada awalnya didorong oleh keinginan mendapatkan posisi berubah mendukung sebuah koalisi-pemerintahan dengan posisi kebijakan yang bisa dibedakan dengan koalisi penantang. Oleh sebab itu, untuk mewujudkan sistem presidensial yang efektif perlu dibuat semacam perekayasaan atas sistem pemilu maupun kepartaian. Rekayasa politik dapat dilakukan melalui peraturan perundangan. Dengan kata lain, sekiranya perlu dibuat usulan upaya perbaikan sistem kepartaian yang mendukung terwujudnya sistem presidensial yang efektif, yakni melalui penyederhanaan partai. Namun demikian, proses penyederhanaan partai harus dibuat berjalan secara alami tidak seperti yang terjadi pada rezim Demokrasi Terpimpin maupun rezim Orde Baru. Proses penyederhanaan partai dapat dilakukan melalui revisi terhadap UU Parpol, antara lain meliputi, pembentukan sistem multipartai sederhana; pelembagaan parpol yang efektif dan kredibel; dan kepemimpinan parpol yang demokratis dan akuntabel. Pembentukan sistem multipartai sederhana mutlak diperlukan dalam rangka menciptakan pemerintahan yang kuat, stabil, dan efektif. Sebab, sistem multipartai sederhana ini mampu menghasilkan tingkat fragmentasi partai yang relatif rendah di parlemen. Rendahnya tingkat fragmentasi partai di parlemen pada gilirannya dapat mengkondisikan terciptanya proses pengambilan keputusan yang relatif cepat dan tidak berlaru-larut. Pembentukan sistem
ini dapat dilakukan dengan beberapa cara: (1). Memperberat aturan pembentukan partai dengan cara meningkatkan persyaratan jumlah warga negara untuk dapat membentuk partai dan pemberlakuan larangan bagi parpol yang gagal memenuhi ambang batas pemilu (electoral threshold) untuk berganti nama sebagai partai baru; 2). Memperketat persyaratan bagi parpol peserta pemilu. Peningkatan angka ET ini harus dibuat relatif moderat sebab patokan angka ET yang tinggi akan bertentangan dengan filosofi sistem pemilu proporsional yang cenderung memberi ruang bagi partaipartai kecil. Selain itu, angka ET yang tinggi juga akan menimbulkan potensi suara hilang dalam pemilu.; (3) Adanya tenggat waktu pendirian parpol. Aturan ini perlu dibuat untuk menghindari munculnya parpol instan. Selain itu, dengan adanya tenggat waktu ini parpol baru juga memiliki waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri sehingga benar-benar siap untuk berkompetisi dalam pemilu; (4) Ketiga, adanya deposit dana bagi partai baru. Kewajiban ini diharapkan mampu mendorong lahirnya partai yang mandri sekaligus mengurangi nafsu politisi untuk membentuk partai baru. Adapun upaya perbaikan pelembagaan parpol dapat dilakukan melalui beberapa cara: (1) mendorong pengembangan partai kader; (2) Mendorong kewajiban bagi partai politik untuk merealisasikan berbagai fungsinya; (3) Kewajibkan Partai politik untuk mampu mendanai dirinya sendiri di luar subsidi yang diberikan negara. Ini dapat dilakukan dengan mendorong adanya deposit dana bagi partai baru. Kewajiban ini diharapkan mampu mendorong lahirnya partai yang mandri sekaligus mengurangi nafsu politisi untuk membentuk partai baru. Sedangkan dalam rangka menciptakan pemerintahan yang kuat, stabil, dan efektif parpol perlu memperbaiki kepemimpinannya. Upaya mendorong lahirnya kepemimpinan parpol yang demokratis dan akuntabel dapat dilakukan dengan beberapa cara: (1) Mendorong otonomi dan desentralisasi partai Otonomi dan desentralisasi pertai diperlukan untuk mengurangi sentralisasi pengambilan keputusan di tingkat pengurus pusat (DPP) dan/atau pemimpin partai. Melalaui otonomi dan desentralisasi selain dapat mengurangi munculnya figur pemimpin yang klientelistik dan kharismatik, di satu sisi juga tetapi juga
106 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
mendorong munculnya pimpinan partai yang programatik, di sisi lain.; (2) Mendorong profesionalisme pimpinan partai. Profesionalitas pimpinan partai dapat dilakukan melalui adanya larangan bagi pengurus parpol untuk merangkap jabatan sebagai pejabat publik. Upaya ini diperlukan untuk menghindari conflict of interest. Dalam upaya ini, parpol dapat menerapkan proses rekrutmen melalui dua cara. Pertama, untuk menjadi pengurus partai melalui mekanisme internal partai. Kedua, untuk menjadi calon pejabat publik yang diusung parpol boleh berasal dari mana saja. Apabila manajemen parpol ini berjalan dengan baik maka tidak akan ada lagi dinasti politik. Dalam kaitanya dengan sistem pemilihan umum, perbaikan sistem pemilu juga harus diarahkan pada dua hal, yaitu perubahan sistem dan mencari sistem alternatif, agar tidak memunculkan partai-partai politik atas dasar etnik, agar tidak tercipta replikasi etnik di parlemen.30 Karena itu, perbaikan juga diarahkan agar tercipta partai politik yang terbuka, menghindarkan pada basis kultural dan mendorong adanya kerja sama lintas batas identitas dalam membangun partai politik. Selain itu, perbaikan juga dimaksudkan agar terwujud pemerintahan yang efektif. Perbaikan ini bukan semata-mata untuk menghindari kelemahankelemahan utama praktik pemilu proporsional yang terjadi sejak 1999, 2004 dan 2009, tetapi jauh dari itu memiliki tujuan utama: efektivitas sistem presidensial, konsolidasi demokrasi menuju pada demokrasi yang dewasa (mature of democracy) serta stabilitas pemerintahan. Kajian ini dari awal melihat perlunya perbaikan sistem pemilu proporsional—melalui pencarian sistem pemilu yang didalamnya bekerja sistem pemilu proporsional yang ditopang oleh sistem yang lain, dengan sistem yang bekerja sendiri-sendiri. Walau demikian, perbaikan sistem pemilu proporsionalnya diarahkan pada berlakunya Sistem Proporsional Setengah Terbuka (SPST), karena yang terbuka akan diisi oleh sistem yang lain. Dalam konteks perubahan besar itu, SPST yang digunakan juga harus mendorong tercapainya multipartai moderat. Salah satu persoalan utama sistem proporsional adalah apakah hasil pemilu akan menciptakan sistem kepartaian yang multi partai yang banyak ataukah yang terbatas. Pengalaman tiga 30
tahun pelaksanaan pemilu di masa transisi, menunjukkan gejala multi partai yang banyak (meluas) bukan terbatas. Secara garis besar, Jean Blondel membuat tipe bahwa sistem multipartai terjadi dominasi partai (mayoritas pemenang) apabila ada partai yang menguasai 45 persen suara; sementara jika perolehannya hanya 25 persen dan di bawahnya, berarti tidak ada partai yang dominan atau mayoritas. Secara ideal, jumlah partainya pun berbeda. Saran yang dilakukan oleh Jean Blondel bahwa pada sistem dua partai akan cenderung menghasilkan sebaran kursi (55-45 persen), dan pada jumlah tiga (tiga) partai akan menghasilkan sebaran kursi (45-40-15 persen), serta pada jumlah partai (3-5) pada sistem multipartai akan menghasilkan komposisi suara (45-20-15-1010) dan pada jumlah partai 4-5 akan melahirkan sebaran komposisi suara (25-25-25-15-10), relatif mendekati kenyataan dari hasil sebaran perolehan suara partai-partai pada pemilupemilu di Indonesia. Dalam kasus Indonesia, dengan jumlah partai di atas 10 buah, seperti tampak pada tabel 1, menggambarkan bahwa komposisi kursi justru di bawah 25 persen (selama 4 kali pemilu proporsional dengan sistem multipartai) justru menunjukkan sebaran komposisi suara mengarah pada 20-18 persen (partai besar) 13-8 persen (partai menengah) dan 3-7 persen (partai kecil). Memang tidaklah mudah melakukan upaya itu, dan juga salah satu kritik yang seringkali muncul bahwa rekayasa semacam itu akan mengabaikan prinsip proporsionalitas dan keterwakilan. Dilema ini memang harus dihadapi dan harus dipilih, apakah sebuah rekayasa sistem pemilu ingin melakukan efektivitas sistem demokrasi sebagai prioritasnya ataukah untuk memadukan perimbangan proporsionalitas dengan keterwakilan politik. Walau sebagai pilihan yang sulit, sejumlah aspek proporsionalitas harus tetap menjadi pertimbangan. Artinya, rekayasa pemilu tidak semata-mata mengabaikan aspek proporsional, tetapi juga mendorong adanya ruang bagi partai kecil menjadi partai menengah dan stabilnya partai menengah sebagai perimbangan dalam penyusunan kekuasaan dan praktik politik di parlemen. Kecenderungan umum SPP, justru pemilu gagal menciptakan kekuatan mayoritas di parlemen, sementara pemenang pemilu hanya rata-rata di bawah 20 persen, dengan kekuatan partai yang terserak. Bagaimana agar pada
Ibid.
Mencari Sistem Pemilu dan Kepartaian ... | Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim | 107
pemilu di Indonesia ke depan, khususnya pada Pemilu 2019 dapat tercipta partai politik yang moderat (5-7 partai) dengan kombinasi hasil perolehan suara yang mengarah pada multiparty system with a dominant party, minimal ada tujuh perubahan mendasar yang perlu dilakukan, yaitu: 1. Mengubah besaran district magnitude (daerah pemilihan) dan kuota kursi. 2. Pengubahan formula (rumus) konversi suara ke kursi, yang tidak berbasis pada kuota murni. 3. Penetapan kursi bagi calon yang konsisten dengan SPST 4. Pemberian ruang stembuss accord 5. Menerapkan parliementary threshold yang ideal 6. Mendorong terjadinya proses koalisi permanen sebelum pemilu 7. Membatasi partai peserta pemilu Selain itu, rekayasa politik dalam perbaikan sistem pemilu dapat pula dilakukan melalui penggunaan sistem campuran. Melalui penerapan Sistem Multi Member Majority (MMM). Penggunaan MMM dan bukan MMP dimungkinkan akan tercipata majoritarian di parlemen, karena dengan tidak adanya hubungan antara proportional list dengan member of majoritarian memungkin peluang terciptanya partai mayoritas lebih terbuka ketimbang dengan menggunakan MMP. Dengan kata lain, konseptualisasi perbaikan kualitas sistem proporsional sebagaimana telah disinggung pada opsi pertama seiring dan sejalan dengan gagasan praktik MMM yang lebih berpotensi menghasilkan kekuatan mayoritas di parlemen. Dalam sistem kerjanya, terdapat perbedaan yang menonjol antara MMP dengan MMM. MMP bekerja pada aspek proporsional yang menonjol karena ada kaitan antara tingkatan daftar proporsional tertutup dengan daftar nominal (majoritarian). Seorang calon dalam MMP dapat ditempatkan pada kedua daftar oleh partai politik, atau partai politik juga tidak perlu memasang calonnya pada nominal daftar (majoritarian). Partai politik juga memperoleh kompensasi tertentu, khususnya dapat mentransfer suaranya lintas daerah pemilihan apabila memenuhi kuota tertentu. Dalam MMP seperti halnya dengan cara kerja sistem proporsional di Indonesia, pemilih
sama-sama diberikan hak untuk memilih partai dan nama calon di majoritarian sekaligus. Namun, pilihan terhadap parpol dan calon (majoritarian) tidak harus paralel, pemilih dapat memilih Partai A, tetapi tidak harus memilih calon (majoritarian) dari Partai A, tetapi dapat memilih calon (majoritarian) dari Partai B atau C. Konsekuensinya, pilihan yang tidak paralel ini justru akan menimbulkan penyebaran meluasnya kursi, ketimbang terciptanya mayoritas partai politik yang memperoleh kursi di parlemen. Atas dasar kebutuhan penyederhanaan partai dan perlunya menciptakan partai yang memiliki mayoritas di parlemen sehingga akan tercipta pluralitas yang moderat, lebih diusulkan digunakan model MMM (Mixed Member Majoritarian), dengan konsekuensi pemilih diberi kesempatan untuk memilih Partai A dan hanya dianggap sah suaranya jika pemilih juga memilih calon dari Partai A pada daftar nominal (majoritarian). Kelebihan MMM pada rigitnya penentuan daftar tertutup (daftar proporsional) yang tidak berhubungan dengan daftar nominal (majoritarian) akan memberikan kejelasan mana wakil yang mewakili partai dengan mana yang mewakili majoritarian (konstituen) sehingga akuntabilitasnya lebih baik ketimbang MMP. Pada MMM ada dua jenis suara yaitu suara dengan daftar partai versus suara nominal perseorangan (dengan daftar nama dan majoritarian).31 Selain itu, dengan tidak adanya hubungan antara kursi dan suara dan tidak adanya kompensasi bagi partai politik, akan mendorong partai-partai menyiapkan kader terbaiknya untuk bertarung pada tingkatan majoritarian. Dengan kata lain, pengunaan MMM lebih memungkinkan dalam mendorong partai untuk memilih calon-calon lokal untuk majoritarian yang potensial agar memperoleh kursi pada tingkat majoritarian. Hal itu jelas berbeda dengan sistem proporsional, yang kecenderungannya justru mekanisme pencalonan dan penentuan sangat dimonopoli oleh partai politik. Perubahan transisional sistem pemilu yang diusulkan berkaitan dengan upaya menciptakan pemerintahan yang efektif, perbaikan sistem pemilu yang mendorong munculnya kekuatan mayoritas di parlemen yang sekaligus 31
Ibid., hlm. 11.
108 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
memerintah. Juga melahirkan partai politik yang berkualitas dan terbuka. Untuk kebutuhan itu semua, desain sistem politik-demokrasi, perubahan bangunan sistem pemilihan dapat ditempuh melalui strategi, pertama, adanya konsensus nasional bahwa pemilu menghasilkan sistem multi partai terbatas; kedua, pemilu melahirkan kekuatan mayoritas melalui koalisi dan rekayasa sistem pemilu; ketiga, pembagian kekuasaan eksekutif (executive power-sharing) di kabinet secara transparan; dan keempat adalah adanya perimbangan kekuatan di luar DPR, dengan cara menerapkan bi-kameral yang proporsional.32 Dan Keempat, apakah sistem pemilihan yang digunakan mengatur bentuk koalisi pemerintahan.33 Sebagai tambahan, pertama, konsensus tersebut harus pula melahirkan kesadaran bersama bahwa partai bukanlah replikasi etnis dan kekuatan antargolongan. Dan kedua, pilihan terhadap sebuah sistem pemilu pada dasarnya adalah sebuah cara demokrasi untuk membagi kekuasaan. Oleh karena itu, perlu ada konsensus nasional yang utuh mengenai cara membagi kekuasaan ini dan batasan proporsionalitas seperti apa yang dikehendaki serta perubahan sistem pemilu yang relatif mendekati dengan kondisi bangsa dan negara. Selain strategi rekayasa mewujudkan sistem multi partai terbatas dan pemilu yang menghasilkan sistem perwakilan yang akuntabel, rekayasa selanjutnya agar demokrasi presidensial efektif adalah dengan membentuk pemerintahan koalisi.Arend Lijphart mengatakan bahwa sistem multi partai bisa menghasilkan sistem demokrasi presidensial efektif dan stabil, yaitu dengan cara mengembangkan demokrasi konsensual (demokrasi konsensus). Salah satu Arendt Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in ThirtySix Countries, (New Haven and London, Yale University, 1999), hlm. 34-41, menyebut strong bicameralims atau bi-kameral yang kuat. Dalam kasus di Indonesia, rancangan ini tidak terpenuhi, karena Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tidak menunjukkan bi-kameral yang kuat. Saya lebih setuju pada bi-kameral yang proporsional, khususnya dalam hal fungsi, bukan jumlah kursi. Fungsi DPD yang relatif lemah, melalui bi-kameral proporsional ini fungsinya diperkuat, sehingga dapat terjadi checks and balances dan menjaga kepentingan-kepentingan daerah yang diwakilinya. 33 Ibid., hlm. 15. 32
ciri demokrasi konsensual, menurut Arendt, yaitu dengan membangun koalisi pemerintahan (kabinet) di antara partai-partai politik.34 Koalisi pemerintahan bukan hanya monopoli pemerintahan parlementer, pada pemerintahan presidensial juga bisa dibangun koalisi. Studi yang dilakukan Cheibub (2007), menunjukkan bahwa pemerintahan koalisi dalam sistem parlementer terjadi di 39 persen negara, sedangkan koalisi dalam sistem presidensialisme 36,3 persen. Baik demokrasi Parlementer maupun demokrasi Presidensial, koalisi berlangsung sebesar lebih dari 50 persen ketika partai presiden tidak memiliki mayoritas di lembaga legislatif. Dengan demikian, ada tidaknya koalisi bukanlah pembeda sistem presidensialisme dan parlementer. Hanya saja dalam demokrasi presidensial, pembentukan koalisi memiliki makna yang sedikit berbeda dengan sistem Parlementer. Dalam demokrasi presidensial tujuan yang mendasari pembentukan koalisi adalah untuk menggalang dukungan partai dalam proses pencalonan dan pemenangan pemilihan Presiden dan mengamankan jalannya (stabilitas) pemerintahan. Koalisi dibentuk untuk memperoleh dukungan politik atas inisiatif dan kebijakan Presiden. Pertanyaan yang muncul, bukankah sekarang dalam membentuk pemerintahan sudah dilakukan koalisi, tetapi mengapa demokrasi presidensial tidak efektif? Persoalannya bukan terletak pada koalisinya, tetapi pada bentuk koalisi yang dibangunnya. Berdasarkan pengamatan Ari Dwipayana, model koalisi yang berkembang dalam lima tahun terakhir menunjukkan perilaku partai dalam meracik menu koalisi dipengaruhi oleh dua karakter. Pertama, upaya memburu jabatan (office seeking), dimana perilaku partai dalam membangun koalisi lebih didasarkan pada Sebagai contoh, dalam kasus di Swiss dan Belgia, Arend mengemukakan 10 ciri demokrasi konsensus di kedua negara tersebut yang dijadikan konsensus bersama, yaitu (1) Executive power-sharing in broad coalition cabinets; (2) Executive-legislative balance of power; (3) multiparty system; (4) proportional representation; (5) interest group corporation; (6) federal and decentralized government; (7) strong bicameralism; (8) constitutional rigidity; (9) judicial review; and (10) Central bank independence. Arendt Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, (New Haven and London, Yale University, 1999), hlm.34-41. 34
Mencari Sistem Pemilu dan Kepartaian ... | Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim | 109
kehendak untuk memperbesar peluang dalam memperoleh posisi di kabinet-pemerintahan yang akan terbentuk. Kedua, modus pencari suara (vote seeking), dimana elit partai politik dalam membentuk koalisi lebih didasarkan pada upaya memenangkan pemilihan. Koalisi yang tebentuk dengan dasar office seeking dan vote seeking pada dasarnya koalisi yang rapuh. Karena koalisi dibentuk atas dasar pertimbangan pragmatis-jangka pendek. Koalisi yang dipraktikkan oleh partai-partai politik kita dewasa ini cenderung bersifat instan karena lebih berdasarkan kepentingan politik jangka pendek dan belum berdasarkan platform dan program politik yang disepakati bersama. Dengan latar dan tujuan membangun koalisi seperti itu maka pemerintahan demokrasi presidensial tidak berjalan efektif. Atas dasar itu, demokrasi presidensial perlu dibangun atas dasar koalisi permanen yang menekankan kesamaan dalam preferensi kebijakan, bertujuan “policy seeking” (mewujudkan kebijakan sesuai kepentingan partai), yang diikat oleh kesamaan tujuan dan kebijakan. Dalam bahasa Syamsuddin Haris, koalisi yang diperlukan adalah koalisi berbasis kesamaan ideologi dan atau platform politik di antara partai-partai yang berkoalisi. Melalui format koalisi semacam ini diharapkan bahwa dukungan ataupun penolakan terhadap suatu kebijakan berorientasi kepentingan kolektif, bukan kepentingan jangka pendek partai-partai di parlemen. Koalisi berbasis platform juga diperlukan agar relasi Presiden-DPR tidak semata-mata menjadi arena transaksi politik antarelite pemerintah dan politisi partai-partai. Selain itu, koalisi yang dibentuk juga harus diikat dalam bentuk “kontrak politik” yang mengikat bagi pihak-pihak yang berkoalisi. Yaitu koalisi yang dibentuk berdasarkan atas kesepakatan-kesepakatan politik yang mengikat dan transparan hingga berakhir masa pemerintahan. Koalisi yang dibangun juga harus kuat, yakni mendapat dukungan lebih dari 50% suara di DPR (50 + 1). Dengan dukungan mayoritas di parlemen pada gilirannya Presiden tidak akan dipaksa melakukan tawar-menawar dengan partai-partai di luar koalisi partai pendukungnya. Upaya penataan lain yang juga memungkinkan ialah melalui penataan fraksifraksi di DPR, yang sebelumnya sebagai bentuk
pengelompokan partai politik, perlu didorong pengelompokan kekuatan politik berdasarkan blok kekuatan politik berdasarkan partai pendukung pemerintah dan kekuatan politik partai oposisi. Dengan adanya aturan seperti itu maka konfigurasi kekuatan di DPR hanya ada dua: partai pendukung pemerintah dan partai oposisi. Agar kekuasaan tidak disalahgunakan dan terwujudnya checks and balances, keberadaan oposisi merupakan suatu keniscayaan. Tanpa oposisi di parlemen maka kecenderungan terbentuknya kekuasaan otoritarian akan terbuka lebar. Kehadiran oposisi di perlemen pentingan, selain sebagai penyeimbang juga untuk melakukan kontrol efektif atas jalannya pemerintahan dan kebijakan-kebijakan yang hendak dirumuskan. Meski demikian, dalam melakukan kontrol, niat dalam melakukan kontrol tersebut bukan dalam arti unutk menjatuhkan pemerintahan, tetapi dalam konteks meluruskan arah jalannya pemerintahan agar tidak keluar dari koridor Konstitusi dan perundang-udangan lainnya. Pendek kata, oposisi yang hendak diwujudkan adalah oposisi loyal. Faktor lain yang penting, yang tidak bisa dibaikan dan harus menjadi perhatian utama partai-partai politik dan publik adalah kepemimpinan politik. Kami berpendapat, meski sistemnya sudah bagus, tetapi kepala eksekutifnya (Presiden) tidak memiliki jiwa kepemimpinan, maka pemerintahan tidak akan berjalan dengan optimal. Governability akan efektif, salah satu faktornya, ada pada kepemimpinan. Seperti dikatakan oleh Arbi Sanit, kepemimpinan teruji bukan saja terbaik dalam kualifikasinya yaitu integritas atau karakter, dan kapabilitas memimpin, serta popularitas di samping visioner akan tetapi juga berani menghadapi risiko dan mengambil tanggung jawab atas pelaksanaan tugas kenegaraan dan kemasyarakat serta kebangsaan selain dari ketahanan fisik. Untuk menghasilkan kepemimpinan model seperti itu, perlu ada rekrtumen yang baik dan demokratis. Sistem seleksi untuk menjadi presiden seperti di Amerika Serikat layak menjadi acuan, yaitu melalui mekanisme konvensi: ada pemilihan pendahuluan (Premier Election) Dengan pemilihan pendahuluan ini, ada ujian berupa persaingan atau pertarungan
110 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
terbuka dihadapan berbagai kalangan masyarakat mulai dari kaum elit dan menengah serta rakyat kebanyakan sampai berbagai golongan primordial dan usia serta status kelamin. Semua ujian tersebut hendaklah dilalui dengan nilai terbaik diantara semua kontestan yang menggunakan kesempatan. Dengan demikian, pemilu sebagai institusi harus digunakan oleh calon pemimpin, pertama kalinya mestilah sungguh-sungguh menyediakan mekanisme kompetisi dalam bentuk hanya tersedia dua opsi atau pilihan yaitu menang dan kalah atau mayoritas dan minoritas. Adapun substansi kompetisi dimaksudkan terdiri dari track record integritas dan kapabilitas serta visi disamping popularitas calon.
Daftar Pustaka Buku Dahl, Robert A. 1992. Demokrasi dan Para Pengritiknya. Jilid II. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Dhakidae, Daniel. 1999. Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi, Strategi, dan Program. Jakarta: Kompas. Evans, Kevin Reymond. 2003. Sejarah Pemilu dan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: PT. Arise Consultancies. Haris, Syamsuddin. 2007. Konflik PresidenDPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Grafiti Press. Janis, Roy B.B. 2008. Wapres: Pendamping atau Pesaing?. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. Lijphart, Arendt. 1999. Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries. New Haven and London: Yale University. Linz, Juan J. et al. 2001. Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan Negara-negara Lain. Bandung: Mizan. Manning, Chris dan Peter van Dierman (Ed.). 2000. Indonesia di Tengah Transisi. Yogyakarta: LKIS. Panitia Pengawas Pemilu 1999. 1999. Pengawasan Pemilihan Umum 1999. Jakarta: Panwas Pemilu. Sartori, Giovanni. 1976. Parties and Party Sistems: A Framework for Analysis. New
York: Cambridge University Press. Suryakusuma, Yulia I. (Eds). 1999. Almanak Parpol Indonesia Pemilu ’99. Jakarta: SMK Grafik Mardi Yuana. Taagepera, Rain. 2007. Predicting Party Sizes: The Logic of Simple Electoral Sistems. New York: Oxford University Press. Wolinetz, Steven B. 2002. “Beyond the Catch-all Party: Approaches to the Study of Parties and Party Organization in Contemporary Democracies”, dalam R.Gunther, J. Montero dan J. Linz (Ed), Political Parties: Old Concepts and New Challenges. Oxford : OUP.
Jurnal Mainwaring, Scott. 1993. “Presidentialism, Multipartism, and Democracy, The Difficult Combination”. Comparative Political Studies. Vol. 26, No. 2.
Laporan dan Makalah Indrayana, Deni. 2006. “Mendesain Presidensial yang efektif: Bukan Presiden ‘Sial’ atawa Presiden ‘Sialan’”. Makalah Seminar. 13 Desember. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD pada 2004.
Surat Kabar “Calon Gubernur BI: Skor 2-0 untuk DPR”. Tempo. 30 Maret 2008. “Drama satu babak Yudhoyono-Kalla”. Sinar Harapan. 19 September 2005. ”SBY-JK: Duet atau Duel. Laporan Utama Tempo Edisi 24-30 Oktober 2005.
Mencari Sistem Pemilu dan Kepartaian ... | Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim | 111
112 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
HUBUNGAN PERBATASAN ANTARA THAILAND DAN MALAYSIA: KERJASAMA PERBATASAN DAN LINTAS BATAS ILEGAL1 THAILAND-MALAYSIA BORDER RELATIONS: BORDER COOPERATION AND ILLEGAL BORDER CROSSING Agus R. Rahman Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 5 Agustus 2013; direvisi: 1 Oktober 2013; disetujui: 10 Desember 2013 Abstract Research on “Thailand-Malaysia Border Cooperation in Overcoming Illegal Border Crossing,” aims to analyse both countries’ bilateral attempts to implement border function in tackling illegal border crossing activities. Border between Thailand and Malaysia reflect disintegrative function which is influenced by internal conflict of Thailand government and four Muslim provinces in Southern Thailand. Result shows that this border bilateral cooperation conducted through bilateral and multilateral cooperation in the ASEAN context. The bilateral cooperation is not optimum to handle illegal border crossing activities, and both countries confirm to multilateral cooperation in ASEAN context especially in transnational crime. Both Thailand and Malaysia have no commitment to bring their border problem out of their bilateral context. Keywords: Border Relations, Border Cooperation, Illegal Border Crossing Abstrak Penelitian yang berjudul “Kerjasama Perbatasan Thailand-Malaysia dalam Mengatasi Ilegal Border Crossing,” mencoba untuk menganalisis upaya-upaya kedua negara yang berbatasan ini untuk menegakkan fungsi perbatasannya dalam mengatasi aktivitas lalu lintas perbatasan yang ilegal. Fungsi perbatasan antara Thailand dan Malaysia bersifat distintegratif yang diwarnai oleh pada satu sisi konflik internal antara pemerintah Thailand dengan empat provinsi Muslim di Thailand Selatan, dan pada sisi yang lain, kedekatan masyarakat Muslim di sepanjang perbatasan Thailand-Malaysia. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa kerjasama perbatasan kedua negara dilakukan baik secara bilateral dan multilateral dalam konteks ASEAN. Kerjasama bilateral tampaknya belum maksimal untuk mengatasi aktivitas lintas batas yang ilegal, sedangkan kedua negara mendukung kerjasama multilateral dalam konteks ASEAN dalam hal masalah kejahatan transnasional. Baik Thailand maupun Malaysia tidak bermaksud untuk membawa masalah-masalah perbatasan yang lain di luar konteks bilateral kedua negara. Kata kunci: Hubungan Perbatasan, Kerjasama Perbatasan, Lintas Perbatasan Ilegal
Tim peneliti yang terdiri dari Agus R. Rahman (Koordinator), Japanton Sitohang, Rosita Dewi, Awani Irewati, Sandi Nur Ikhfal Raharjo, dan C.P.F. Luhulima. 1
Hubungan Perbatasan Antara Thailand dan Malaysia ... | Agus R. Rahman | 113
Pendahuluan1 Walaupun dunia tempat kita tinggal sekarang ini cenderung tanpa batas karena aktivitas transnasional dalam produksi, investasi dan informasi, yang menyudutkan posisi strategis negara kebangsaan,2keberadaan negara-kebangsaan tetap dianggap penting dan terkemuka sehubungan dengan semakin signifikannya batas-batas geografis baik darat maupun laut, negara dan pemerintah dalam sistem internasional.3 Kawasan Asia Tenggara dapat memberikan pemahamanan tentang perubahan yang signifikan tentang bagaimana batas-batas negara secara geografis terutama daratan yang semula bersifat tradisional menjadi modern, sebagaimana yang dialami oleh Thailand.4 Bahkan, perbatasan darat Thailand dengan Myanmar, Laos dan Kamboja lebih terkonsentrasi pada pengendalian wilayah nasional. Sedangkan perbatasan darat Thailand dengan Malaysia tampaknya mengarah kepada isu kekuasaan relatif dari institusi negara dengan masyarakatnya.5 Bagi Thailand, politik perbatasan yang dimaksudkan sebagai pencapaian wilayah nasional itu secara tradisional justru memperlihatkan pasang surut kekuasaan melalui peperangan dan penaklukan dalam bentuk frontiers. Akan tetapi, politik perbatasannya secara modern dalam bentuk boundary telah diselesaikan dengan terpaksa melalui perundingan antara Thailand dengan dua negara kolonialis Eropa yaitu Inggris dan Prancis. Pada satu sisi, perjanjian Thailand dengan Prancis menentukan perbatasannya sebelah Timur dan 1
Posisi strategis negara-kebangsaan yang menyurut diproyeksikan oleh Kenichi Ohmae dalam bukunya yang monumental, lihat Kenichi Ohmae, The End of the Nation State: The Rise of Regional Economies (London: Harper Collins, 1995). 3 Lihat J.E. Thompson, “State Sovereignty in International Relations: Bridging the Gap between Theory and Empirical Research,” International Studies Quarterly, Vol. 39 (1995), hlm. 213-233. 4 Lihat uraian kondisionalitas perbatasan darat Thailand dalam Thongchai Winichakul, Siam Mapped: A History of the Geo-Body of a Nation, (Honolulu: University of Hawaii Press, 1994). 5 Paul Battersby, “Border Politics and Broader Politics of Thailand’s International Relations in the 1990s: from Communism to Capitalism,” Pacific Affairs, Vol. 71/4, Winter, 1998-1999, hlm. 473-488. 2
dengan Laos6 dan Kamboja.7 Sedangkan pada sisi yang lain, perjanjian Thailand dengan Inggris menentukan perbatasannya dengan Myanmar8 dan Malaysia.9 Politik perbatasan di Thailand bagian Selatan berkaitan dengan kekuasaan relatif antara pemerintah yang berkuasa di Bangkok dengan tiga provinsi Muslim di kawasan Thailand bagian Selatan yang mencoba menggugat otoritas kekuasaan di Bangkok. Kedua belah pihak ini terlibat dalam konflik yang berkepanjangan yang selanjutnya mempengaruhi fungsi-fungsi perbatasan. Sejalan dengan dinamika hubungan kekuasaan pemerintah pusat dengan ketiga provinsi Muslim di Thailand Selatan, hubungan perbatasan antara Thailand dan Malaysia di Semenanjung Malaya memperlihatkan dinamikanya yakni kerjasama kedua negara pada tingkat nasional dan regional untuk mengendalikan wilayah nasional masingmasing negara, pada satu aspek, serta mengatasi aktivitas lintas perbatasan yang bersifat ilegal baik yang didorong oleh aktivitas interaksi sosial ekonomi penduduk perbatasan maupun sebagai bagian dari arus migrasi yang mutakhir, pada aspek yang lain. Secara khusus, arus migrasi mutakhir sekarang ini meliputi aktivitas lalu lintas ilegal, dan negara-negara Asia Tenggara ini mencoba untuk mengendalikan perbatasan mereka melalui strategi perbatasan.10 Sebagai resume penelitian, tulisan ini mencoba untuk membahas hubungan perbatasan antara Thailand dan Malaysia dalam kedua konteks tersebut terutama mengapa kerjasama perbatasan menjadi kunci bagi dinamika perbatasan kedua negara. Selanjutnya, tulisan Perjanjian Siam-Perancis yang menentukan perbatasan Siam-Lao ditandatangani pada tahun 1893 dan 1904. 7 Perjanjian Siam-Perancis yang menentukan perbatasan Siam-Kamboja ditandatangani tahun 1867, 1904, dan 1907. 8 Perjanjian Inggris-Siam yang menentukan perbatasan Myanmar-Thailand meliputi Perjanjian Inggris-Siam tahun 1826, Konvensi Gubernur Jenderal India-Raja Siam tahun 1868, Persetujuan Inggris-Siam tahun 1931/1932, Persetujuan InggrisSiam tahun 1934, Persetujuan Inggris-Siam tahun 1937, Persetujuan Inggris-Siam tahun 1940. 9 Perjanjian Inggris-Siam tahun 1909. 10 Amarjit Kaur, “Labor Crossing in Southeast Asia: Lingking Historical and Contemporary Labor Migration”, New Zealand Journal of Asian Studies, Vol. 11/1, June, 2009, hlm. 276. 6
114 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
ini akan dibagi dalam 5 sub bab yakni: 1) landasan teoritis yang mencakup pengertian sejumlah konsep seperti frontiers, boundaries atau border, kerjasama perbatasan (border cooperation), serta lintas batas ilegal (ilegal border crossing); 2) perbatasan darat ThailandMalaysia; 3) kebijakan perbatasan Thailand dan Malaysia; 4) kegiatan lintas perbatasan ilegal di perbatasan Thailand-Malaysia yang disertai dengan profil aktivitas lintas perbatasan yang ilegal yang berdampak negatif; 5) upaya kedua negara dan upaya regional dalam mengatasi aktivitas lintas perbatasan yang ilegal.
Landasan Teoritis: Frontiers, Boundary, Border Cooperation dan Ilegal Border Crossing Frontiers yang dipahami dalam tulisan ini mengikuti pengertian para ahli geografi politik yang menggunakan istilah ini dalam dua pengertian yaitu pembagian politik antara dua negara atau pembagian antara kawasan yang berpenghuni dan tidak berpenghuni dalam suatu negara. Kedua pengertian ini meletakkan istilahnya sebagai suatu kawasan (zone) yang terdiri dari tiga bagian yaitu kawasan bagian hunian yang terletak di dalam wilayah negara, kawasan bagian politik yang merupakan batas pemisahan dengan negara tetangga, dan kawasan bagian pendudukan yang dikuasai.11 Sedangkan boundaries dipahami sebagai konstruksi ruang sosial yang berbeda antar kebudayaan, sedangkan border dipahami sebagai suatu garis demarkasi antar negara dalam suatu kawasan.12 Pada awalnya, raja-raja dari Thai, Khmer, Burma dan Lao di kawasan Asia Tenggara hingga abad ke-19 merupakan aktor yang saling berkompetisi untuk menegosiasikan boundaries diantara mereka. Mereka lebih mementingkan pengendalian penduduk dan kepatuhan provinsi-provinsi taklukan daripada delimitasi dan pengendalian wilayah, sehingga kekuasaan militernya terkonsentrasi pada daerah ibukota kerajaan dan semakin melemah di daerahdaerah yang jauh. Akan tetapi, kekuatan kolonial Inggris dan Prancis memaksa raja Thailand Lihat pembahasan tentang frontiers secara lebih rinci pada J.R.V. Prescott, Boundaries and Frontiers (London: Croom Helm, 1978), hlm. 33-53. 12 Lihat Henk van Houtum, “The Geopolitics of Borders and Boundaries,” Geopolitics, Vol. 10, 2005, hlm. 672-679. 11
untuk menerima konsep border yang didasarkan pada prinsip kedaulatan wilayah.13 Dengan konsep modern inilah, kedua negara baik Thailand maupun Malaysia menegakkan fungsi perbatasannya. Bahwasanya, perbatasan antar negara memperlihatkan tiga fungsi yang masing-masing fungsi ini mewakili paradigma yang bersangkutan. Paradigma realis mengusung fungsi perbatasan yang disintegratif, dan paradigma transnasionalis menegakkan fungsi fragmegratif, sedangkan paradigma globalis mengemas fungsi integratif.14 Hubungan perbatasan antara Thailand dan Malaysia berlangsung dalam konteks kerjasama perbatasan untuk mempertahankan fungsi disintegratifnya, sehubungan dengan konflik politik domestik antara pemerintah nasional di Bangkok dengan empat provinsi Muslim di Thailand Selatan. Walaupun begitu, pada satu sisi, hubungan perbatasan kedua negara ini diwarnai oleh pola interaksi sosial-ekonomi lintas perbatasan yang bersifat tradisional maupun yang bersifat ilegal. Pada sisi yang lain, kedua negara pun terlibat dalam pola hubungan perbatasan yang bersifat formal. Ilegal Border Crossing merupakan satu bentuk dari ilegal immigration,15 yang didefinisikan sebagai aktivitas memasuki wilayah negara lain secara tidak sah atau ilegal. Dalam hal ini, pelintas batas ilegal dipahami sebagai seseorang dari kebangsaan yang berbeda memasuki wilayah suatu negara lain tanpa dilengkapi dengan dokumen formal. Akibatnya, ketika seseorang memasuki wilayah suatu negara secara tidak sah atau ilegal, aktivitas ini dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap tatanan hukum, keamanan, dan ketertiban kedua negara. Aktivitas lintas perbatasan yang bersifat tradisional masih ditolerir, tetapi aktivitas lintas batas ilegal tersebut kemudian menjadi bermasalah ketika berubah menjadi kejahatan lintasnegara (transnational crime) seperti perdagangan senjata, perdagangan manusia, dan aktivitas terorisme.16 Mengingat dampak dari Paul Battersby, op.cit., hlm. 474. Lihat Anna Moraczewska, “The Changing Intepretation of Border Functions in International Relations,” Revista Romana de Geografie Politica, Vol. 12/2, (November, 2010), hlm. 333. 15 Friedrich Heckmann, “Illegal Migration: What Can We Know and What Can We Explain? The Case of Germany,” International Migration Review, Vol 38/3, Fall, 2004, hlm. 1106. 16 PBB mendefinisikan kejahatan lintas negara 13 14
Hubungan Perbatasan Antara Thailand dan Malaysia ... | Agus R. Rahman | 115
kejahatan tersebut dirasakan oleh lebih dari satu negara, maka diperlukan kerjasama antarnegara, baik dalam level bilateral maupun multilateral, untuk mengatasi kejahatan lintasnegara tersebut.
development of further joint programme; establishement of cross-border institutions to administer current and future joint programme; dan shared authority.19
Peta 1. Penetapan Perbatasan Bilateral Thailand-Malaysia di Semanjung Malaya 1909
Sumber: Ahmad Fauzi Nordin, “Land and River Boundaries Demarcation and Maintenance-Malaysia Experience”, International Symposium on Land and River Boundaries Demarcation and Maintenance in Support of Borderland Development, Bangkok: 6-11 November 2006.
Kerjasama secara konseptual menyaratkan tindakan aktor-aktornya untuk bersesuaian antara satu dengan yang lain melalui suatu proses negosiasi, yang sering disebut dengan koordinasi kebijakan.17 Ketika kerjasama terbentuk, para aktor dari kedua belah sisi perbatasan berusaha untuk mensejajarkan kebijakan dan perilakunya agar dapat membantu pihak yang lain dalam mencapai tujuan mereka, walaupun dimungkinkan adanya konflik kepentingan dalam hal-hal lain.18 Berdasarkan kajian di Irlandia Utara, kerjasama perbatasan meliputi delapan bentuk yaitu: joint meeting; joint studies; informal contacts: phone calls, letters; formulation of and agreement upon joint programme; administration of joint programme; sebagai “an offence whose inception, prevention, and/ or direct and indirect effects involve more than one country”. Selanjutnya, lihat Gerhard O. W. Mueller, “Transnational Crime: Definitions and Concepts”, Combating Transnational Crime, a Special Issue of Transnational Organized Crime, Vol. 4/3&4, Autumn/ Winter, 1998, hlm. 18. 17 Robert Keohane, After Hegemony: Co-operation and Discord in the World Political Economy, (Princeton: Princeton University Press, 1984), hlm. 51. 18 Ibid., hlm. 53.
Perbatasan Darat ThailandMalaysia Perbatasan Thailand-Malaysia mencapai 506 km atu 314 mil yang merupakan hasil perjanjian antara Inggris dan Thailand di Bangkok pada 10 Maret 1909 dan ratifikasinya dilangsungkan di London pada 9 Juli 1909. Panjang perbatasan kedua negara itu di Semenanjung Malaya terdiri dari 251 mil yang berupa perbatasan darat, dan perbatasan air yang berbentuk Sungai Golok sepanjang 59 mil, ditambah dengan 4 mil perbatasan air yang berbentuk pantai.20 Perbatasan ini pula kemudian menjadi perbatasan darat antara Thailand pada satu pihak dengan Federasi Malaya pada pihak lainnya, yang mencapai kemerdekaan pada 31 Agustus 1957, yang kemudian berubah menjadi Malaysia pada 16 September 1963.(Lihat Peta 1). Etain Tannam, Cross-Border Cooperation in the Republic of Ireland and Northern Ireland, (London: Macmillan Press, 1999), hlm. 2. 20 The Geographer, “Malaysia-Thailand Boundary”, International Boundary Study, No. 57, 15 November 1965, hlm. 6. 19
116 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Secara fisik, perbatasan darat ThailandMalaysia di Semenanjung Malaya dapat dipecah ke dalam tiga sektor yaitu Barat, Tengah, dan Timur. Sektor Barat mencakup Provinsi Satun dan Provinsi Songkhla di Thailand, dan Negara Bagian Perlis dan Kedah. Perbatasan darat sektor Barat meliputi daerah pesisir, perbukitan dan lembah Lam Yai. Sektor Tengah meliputi Provinsi Songkhla dan Provinsi Yala di Thailand dan Negara Bagian Kedah dan Perak di Malaysia. Perbatasan darat sektor Tengah ini merupakan daerah pegunungan. Sedangkan sektor Timur menjangkau Provinsi Narathiwat di Thailand dan Negara Bagian Perak dan Kelantan di Malaysia. Perbatasan sektor Timur ini merupakan perbatasan air yang mengikuti aliran Sungai Golok. Sepanjang perbatasan ini tersedia sembilan pintu perlintasan yang bersifat formal.21 Di luar perlintasan yang formal ini, bagian pegunungan di sektor Tengah dan bagian-bagian Sungai Golok yang sempit dapat dikatakan riskan keamanannya sehingga memungkinkan mudahnya aktivitas pelintas batas ilegal. Dengan kata lain, perbatasan Thailand-Malaysia memperlihatkan perbatasan yang terbuka, terpencil, dan keropos,22 yang mendukung maraknya aktivitas lintas batas ilegal. Selain sembilan pintu perlintasan yang formal tersebut, sekurang-kurangnya, sebanyak 127 pintu perlintasan ilegal tersedia di sepanjang perbatasan darat dan air Thailand-Malaysia.23 Kesembilan pintu perbatasan yang formal itu terdiri dari empat perlintasan darat, tiga perlintasan sungai, dan dua perlintasan pantai. Dari sembilan perlintasan perbatasan, tiga diantaranya merupakan rute utama, yaitu pintu perlintasan Sungai KolokRantau Panjang, Ban Khlong Phruan-Bukit Kayu Hitam, dan Ban Padang Besar-Padang Besar. Akan tetapi, berdasarkan peta tiga sektor perbatasan darat Malaysia-Thailand tersebut di atas, perlintasan perbatasan sepanjang Lembah Lam Yai tampaknya masih belum terjangkau secara legal yang memungkinkan perlintasan secara illegal. Bahkan, dua perlintasan di Provinsi Narathiwat yaitu Tak Baik-Pangkalan Kubor dan Ban Buketa-Bukit Bunga merupakan perlintasan perbatasan melalui Sungai Golok. 22 Lihat Eric Tagliacozzo, Secret Trades, Porous Border: Smuggling and States along a Southeast Asia Frontiers, 1865-1915, (Singapura: NUS Press, 2007), hlm. 1-23. 23 Wassana Nanuam, “Thai Army Seales over 100 Illegal Thai-Malaysian Border Crossing, 27 Remain Open,” Bangkok Post, 18 Oktober 2004. 21
Pada satu sisi, aktivitas lintas batas ilegal ini dapat bersifat tradisional untuk tujuan kekerabatan dan pemenuhan kebutuhan seharihari bagi penduduk asli kawasan perbatasan. Bagi Thailand, aktivitas lintas batas ilegal dalam bentuknya sebagai kejahatan transnasional menjadi ancaman bagi keamanan negara dan pola tatananan masyarakatnya. Memang, sejak dasawarsa 1980-an dan 1990-an, pekerja migran banyak masuk ke Thailand, ketika Thailand mulai bergerak dari ekonomi yang mengandalkan tenaga kerja rendah menjadi ekonomi yang mengutamakan modal. Dalam hal ini, Thailand menerima lebih dari 1 juta pekerja migran dari tiga negara tetangganya yakni Myanmar, Laos dan Kamboja. Sejalan dengan penanganan migrasi lintas batas dan pekerja migran dari ketiga negara tetangganya itu, pekerja migran itu rentan terhadap human trafficking. Bahkan, lebih banyak migran iregular ini dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional.24 Tambahan lagi, kawasan perbatasan Thailand Selatan merupakan daerah bermasalah dengan merebaknya gerakan separatis terutama pada tiga provinsi di kawasan perbatasan Thailand Selatan, yang mendorong pemerintah Thailand menerapkan kebijakan yang keras di daerah Thailand Selatan. Sedangkan bagi Malaysia, aktivitas lintas batas ilegal dalam bentuknya sebagai kejahatan transnasional pun menjadi ancaman terbesar bagi kemanan dan pola tatanan masyarakatnya. Malaysia menyatakan bahwa imigran ilegal merupakan ancaman sosial terbesar kedua, karena Malaysia telah menjadi negara tujuan yang utama bagi para imigran ilegal.25 Bahkan, Malaysia pun dinilai kurang serius menangani masalah lanjutannya dari imigran ilegal ini seperti human trafficking dan smuggling.26Menghadapi aktivitas lintas batas ilegal ini, kedua negara tidak dapat menyelesaikannya sendiri, melainkan menguatnya kebutuhan untuk bekerjasama secara bilateral dan multilateral Yongyuth Chalamwong, Jidapa Meepien, dan Khanittha Hongprayoon, “Management of Crossborder Migration: Thailand as a Case of Net Immigration,”Asian Journal of Social Science, Vol. 40/4, 2012, hlm. 447-463. 25 Sumathy Permal, “Trafficking in the Strait of Malacca,” Maritime Studies Journal, No. 156, September/October 2007. 26 Pooja Terasha Stanslas, “The Human Trafficking Problem in US-Malaysia Relations,” Asia Pacific Bulletin, No. 88, 15 Desember 2010, hlm. 1-2. 24
Hubungan Perbatasan Antara Thailand dan Malaysia ... | Agus R. Rahman | 117
baik dalam konteks regional maupun global.
Kebijakan Thailand dan Malaysia terhadap Wilayah Perbatasannya Kebijakan Thailand terhadap wilayah perbatasannya dengan Malaysia didasarkan pada Perjanjian Thailand-Inggris tahun 1909. Berdasarkan perjanjian ini, Thailand sepakat untuk menerapkan prinsip watershed dan thalweg dalam menentukan perbatasan darat dan airnya dengan Malaysia. Dalam urusan perbatasan atau integritas teritorial, raja merupakan aktor yang paling menentukan, dibandingkan perdana menteri. Akan tetapi, beberapa aktor terlibat dalam mengurusi masalah perbatasan terutama pihak militer dan polisi, selain kementerian dalam ngeri. Penduduk Thailand yang hidup di provinsiprovinsi Selatan (Pattani, Yala, Songkla, dan Narathiwat) pada umumnya beragama Islam, dan tinggal di pedesaan. Sebagian terbesar adalah petani dan kira-kira 12% saja yang tinggal di kota. Sebagai petani, masyarakat di wilayah perbatasan ini menanam padi, buahbuahan, sayur-sayuran, dan karet. Mereka mengandalkan sumber hidupnya dari hasil karet, buah-buahan, dan ikan. Disamping itu, wilayah selatan ini memiliki potensi mineral seperti timah, emas, mangan, dan gas alam.27 Pada mulanya, penduduk asli Pattani Muslim menjadi jembatan untuk kehadiran ulama-ulama Islam baik yang berasal dari Timur Tengah atau dari Melayu Muslim yang berasal dari Semenanjung Malaka dalam pengembangan agama Islam di sekitarnya. Dalam kurun waktu yang relatif lama, penduduk Melayu Muslim menjadi lebih dominan dalam jumlah di provinsi-provinsi selatan Thailand. Akan tetapi, para penguasa di Bangkok berusaha menasionalisasikan bahasa, budaya, dan agama di seluruh negeri Thailand. Kebijakan ini menjadi penyebab munculnya perlawanan dari kelompok Islam terhadap pemerintah pusat. Sebagian kalangan menyebutnya sebagai pemberontakan, sebagian lagi melihatnya sebagai keresahan, konflik, Ahmad Amir Abdullah, “Grievances of Pattani Malays in Southern Thaialnd”, dalam Mohd Azizuddin Mohd Sani, Rieke Nakamura and Shamsuddin L.Taya (Eds.), Dynamic of Ethnic Relations in Southern Thailand, (Kedah: Cambridge Scholars, 2010), hlm. 66. 27
atau kekerasan. Semua itu dimaksudkan untuk mengidentifikasikan bahwa wilayah bagian Thailand Selatan merebak kejahatan dan responnya berupa konflik antar simbol negara dan masyarakat di wilayah Thailand Selatan. Hubungan masyarakat antara penduduk Thailand Selatan dengan penduduk Malaysia di bagian Utaranya yang berbatasan dengan Thailand, berjalan baik dan sangat dekat karena kesamaan agama Islam. Bahkan, terkadang, hubungan ini dapat terjadi dalam konteks perlindungan bagi pelarian warga Tahiland ke Malaysia Utara. Oleh karena itu, pemerintah Thailand sempat melakukan protes kepada Pemerintah Malaysia bahwa Malaysia melindungi pemberontak Muslim di wilayah selatan Thailand. Di bawah pemerintahan Raja Chulalongkorn, Thailand menerapkan reorganisasi di seluruh Kesultanan Pattani. Negara-negara bagian Pattani dikelompokkan ke dalam satu pemerintahan kolektif yang disebut “Wilayah Tujuh Provinsi”. Raja memusatkan pemerintahan di Bangkok dan mencoba proses asimilasi di selatan. Pemerintah lokal Pattani yang setuju mengkompromikan hak-hak politik secara tradisional masih bertahan pada kedudukannya dan akan diganti oleh Pemerintah Thailand bila mereka meninggal. Raja menyetir pemerintahan dari kolonialisme Barat dan mengatur menuju transformasi negara ke dalam bangsa modern dan berdaulat di mata Barat. Sebaliknya, hal ini menjadi lembaran hitam dalam sejarah Kerajaan Pattani karena telah mengakhiri mengakhiri kekuasaan raja-raja Melayu. Kebijakan baru Raja Chulalongkorn adalah sebagai bagian integral dari program modernisasinya yang disebut dengan Thesaphiban (Kebijakan Integrasi Nasional) adalah suatu kebijakan asimilasi yang ketat. Kemudian tahun 1940-an, Thai Rathaniyom (Dekrit Adat Thai) dipaksakan untuk mengganti bahasa dan budaya Melayu dengan bahasa dan budaya Thai. Kebijakan ini berakibat munculnya kekerasan. Hal ini disebabkan oleh pemerintah pusat di Bangkok gagal mengakui budaya dan bahasa Melayu yaitu bahasa dan budaya Muslim utama di Pattani, Yala, dan Narathiwat. Suatu kekacauan politik yang mengganggu Thailand dalam waktu yang lebih lama dibandingkan dengan setiap gerakan politik yang menentang pemerintah pada zaman modern ini adalah yang
118 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
disebut separatisme provinsi-provinsi Melayu Muslim yang berbatasan dengan wilayah utara Malaysia. Tahun 2001 merupakan titik awal pemerintahan Thaksin, dimana perdana menteri yang baru terpilih ini berupaya untuk merevitalisasi kembali kebijakan yang bersifat top down di Thailand Selatan, dan lebih menekankan pendekatan keamanan daripada pendekatan kesejahteraan. Kebijakan ini justru menciptakan kekerasaan di sejumlah daerah di tiga provinsi Thailand Selatan. Kondisi ini dijawab dengan berbagai macam serangan terhadap pos-pos kepolisian oleh kelompok militan dari Thailand Selatan. Sedangkan untuk kebijakan Malaysia terhadap wilayah perbatasannya dengan Thailand, Malaysia pun mendasarkan diri pada Perjanjian Thailand-Inggris tahun 1909. Dalam hal penentuan batas wilayah perbatasan daratnya terutama aliran sungai, kedua negara itu menerima rejim thalweg untuk membagi batas wilayah yang dibatasi oleh sungai dengan mengandalkan bagian sungai yang terdalam.28 Sedangkan penentuan tapal batas untuk wilayah perbatasan darat ditandai dengan “border stone”. Penempatan patok batas tersebut dilakukan setelah adanya kesepakatan dengan negara yang berbatasan.29 Dalam perumusan kebijakan terkait persoalan perbatasan, Malaysia menempatkan posisi perdana menteri sebagai tokoh kunci penentu kebijakan perbatasan.30 Kebijakan Malaysia terhadap kawasan perbatasan Thailand-Malaysia dibedakan atas dasar periodisasi perdana menteri. Pertama adalah periode PM Tunku Abdul Rahman. Pada tahun 1955, Tunku Abdul Rahman selaku PM Malaysia melakukan kunjungan ke Bangkok untuk menemui Raja Bhumibol. Dalam pertemuan tersebut, beliau meminta agar diberikan kemudahan kepada warga kedua negara Barry Wain, “Latent Danger: Boundary Disputes and Border Issues in Southeast Asia”, dalam Daljit Singh dan Puspa Thambipillai (Ed.), Southeast Asia Affairs 2012 (Singapura: ISEAS, 2012), hlm. 48. 29 Malaysia National Security Council, “The Principle of Malaysia Land Boundaries”, http://www.mkn.gov. my/mkn/default/article_e.php?mod=4&fokus=9, diakses pada tanggal 25 Oktober 2012. 30 Lihat Asri Shaleh, dkk, “Malaysia Policy towards its 1963 – 2008 Teritorial Disputes”, Journal of Law and Conflict Resolution, Vol. 1/5, October, 2009, hlm. 107-116. 28
yang berada di perbatasan Malaysia – Thailand untuk keluar masuk kedua negara tersebut. Sebagai gantinya, Tunku Abdul Rachman berjanji tidak akan mencampuri persoalan antara pemerintah Bangkok dengan Thailand Selatan dan menyatakan bahwa tidak akan memberikan bantuan apapun terhadap kelompok separatis Melayu muslim dari Thailand Selatan.31 Pada level kebijakan, pemerintah Malaysia memang menetapkan kebijakan tersebut, namun di level masyarakat kebijakan tersebut tidak dapat dilaksanakan secara kaku, karena Thailand Selatan dengan Malaysia Utara, terutama di Kelantan memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat. Masyarakat Kelantan yang pada saat itu dikuasai oleh PAS menyatakan bahwa sangat mendukung Thailand Selatan dan meminta kepada Pemerintah Thailand untuk menghentikan konflik di daerah selatan melalui pemberian otonomi. Karena rivalitas yang ketat dengan PAS, maka UMNO tidak dapat menghindari untuk memberikan bantuan kepada Melayu Muslim Thailand apabila terjadi konflik antara orang-orang Muslim Thailand di selatan dengan Pemerintah Thailand.32 Kebijakan pro Muslim Melayu di daerah perbatasan ThailandMalaysia diiringi dengan kebijakan anti kelompok komunis Melayu yang bergerilya di sepanjang perbatasan Thailand-Malaysia.33 Periode kedua adalah periode PM Mahathir Mohamad yang melanjutkan kebijakan sebelumnya. Setelah Partai Komunis Malaysia dibubarkan (1989), Malaysia dihadapkan kepada kondisi perbatasan Thailand-Malaysia tegang, sehubungan dengan menguatnya militansi kelompok Muslim Melayu di tiga provinsi perbatasan Thailand Selatan. Dalam hal ini, Malaysia menyikapi positif sinyal Thailand untuk melakukan perundingan. Periode ketiga adalah periode PM Abdullah Ahmad Badawi. Pada masa Pemerintahan Abdullah Ahmad Badawi, Malaysia menerapkan kebijakan pembangunan daerah perbatasan untuk mengurangi disparitas Wawancara tim peneliti dengan Dosen College of Law, Government, and International Studies (COLGIS), Universiti Utara Malaysia, pada 25 Juni 2012, di Malaysia. 32 John Funston, “Thailand’s Southern Fires: The Malaysian Factor”, UNEAC Asia Papers No.26, 2008, hlm. 58. 33 K.S. Nathan, “Malaysia in 1989: Communists End Armed Struggle”, Asian Survey, Vol. 30/2, February, 1990, hlm. 210. 31
Hubungan Perbatasan Antara Thailand dan Malaysia ... | Agus R. Rahman | 119
atau kesenjangan ekonomi antara wilayah di Malaysia. Memang, persoalan ekonomi ini juga masih menjadi persoalan yang dihadapi oleh Malaysia bagian utara sebagai daerah yang relatif kurang maju di Malaysia. Sayangnya, Malaysia kemudian melakukan suatu tindakan yang berdampak terhadap negara tetangganya dengan memberikan dukungan penampungan bagi pengungsi Muslim Melayu asal Thailand Selatan setelah peristiwa Masjid Krue Se dan Tak Bai. Hal ini kemudian disusul oleh pelarian 131 Muslim Melayu dari Thailand Selatan ke Kelantan pada bulan Agustus 2005, dan diberikan perlindungan oleh Malaysia. Periode keempat adalah periode PM Najib Tun Razak. Pada masa pemerintahan PM Malaysia Najib Tun Razak, Malaysia mencoba mengembangkan zona ekonomi di daerah perbatasan. Secara khusus, Malaysia mendirikan zona bebas-bea di sejumlah pintu perbatasan dengan Thailand seperti Rantau Panjang dan Pangkalan Kubor.34
Aktivitas Lintas Batas Ilegal dan Profilnya di Perbatasan ThailandMalaysia Aktivitas lintas batas ilegal di perbatasan Thailand-Malaysia, tidak dapat dilepaskan dari kedekatan geografis dan kesamaan demografis. Secara geografis, wilayah perbatasan kedua negara ini membentuk suatu kawasan perbatasan yang menempati suatu ruang spasial yang sama. Selain kedekatan geografis, kawasan perbatasan Malaysia juga memiliki kesamaan demografis dengan provinsi-provinsi di Thailand Selatan, yaitu dominasi penduduk Melayu-Muslim. Dominasi etnis Melayu terlihat di Perlis (85,82%), Kedah (75,05%), Perak (52,73%), dan Kelantan (92,66%). Satu fakta menarik dari karakteristik populasi di atas adalah bahwa persentase etnis Melayu di Perlis, Kedah, dan Kelantan lebih besar dibanding rata-rata nasional. Jika populasi 4 negeri ini digabung, maka persentase etnis Melayu mencapai 71,15%, masih lebih tinggi dibanding Lihat Fauzi Hussin, Norehan Abdullah, dan Selamah Maamor, “Border Economy: Issue and Problems Faced by Traders in the Rantau Panjang Duty-Free Zone,” Journal of Sociological Research, Vol. 3/2, 2010), hlm. 46-56. 34
rata-rata nasional sebesar 67,4%.35 Sementara itu, penduduk Melayu-Muslim juga mendiami provinsi-provinsi di Selatan Thailand dengan populasi sekitar 80%. Populasi Melayu-Muslim di Thailand Selatan ini tersebar di Provinsi Narathiwat (82%), Pattani (81%), Yala (69%), Satun (68%), dan empat distrik di Provinsi Songkhla (25%).36 Kemudian, kawasan perbatasan MalaysiaThailand juga memiliki karakterisitik ekonomi yang sama. Keempat negeri perbatasan bagian Malaysia mencatatkan diri sebagai 4 negeri/ wilayah persekutuan dengan pendapatan rumah tangga bulanan terendah di Malaysia.37 Dengan kata lain, penduduk di empat negeri ini relatif lebih miskin dibandingkan penduduk Malaysia lainnya. Demikian pula dengan provinsi-provinsi perbatasan Thailand Selatan yang relatif tertinggal dibanding wilayah Thailand lainnya. Mereka masih menghadapi masalah kemiskinan, pengangguran, rendahnya tingkat pendidikan, keterbatasan infrastruktur, minimnya ketersediaan lahan dan modal, rendahnya kualitas standar hidup, dan problem ekonomi lainnya.38 Sebagai akibat dari kedekatan geografis serta kesamaan demografis dan tingkat ekonomi di kawasan perbatasan Malaysia dengan Thailand, aktivitas lintas batas antara penduduk kedua negara di sepanjang perbatasan darat dan sungai ini berlangsung intensif. Sebagai satu pintu perlintasan antarnegara yang formal, perbatasan Danok–Bukit Kayu Hitam adalah perbatasan antara wilayah Provinsi Songkhla di Thailand Selatan dengan Jabatan Perangkaan Malaysia, “Taburan Penduduk Mengikut Kawasan Pihak Berkuasa Tempatan dan Mukim, 2010”, http://www.statistics.gov.my/portal/ index.php?option=com_content&view=article&id=1354&Itemid=111 &lang=bm, diakses pada tanggal 24 September 2012. 36 Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, lihat selengkapnya John Funston, op.cit., hlm. 55-67. 37 Jabatan Perangkaan Malaysia, “Laporan Penyiasatan Pendapatan Isi Rumah dan Kemudahan Asas 2009”, http://www.statistics.gov.my/portal/ images/stories/files/LatestReleases/household/ Press_-Release_household2009_BM.pdf, diakses pada tanggal 24 September 2012. 38 Bangkok Pundit, “Economic Situation in Southern Thailand”, 24 April, 2007, yang mengulas artikel Srisompob Jitpiromsri, http://asiancorrespondent. com/20195/economic-situation-in-southernthailand/, diakses pada tanggal 3 November 2012. 35
120 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Negara Bagian Kedah di Malaysia Utara yang nampak sangat dinamis, baik untuk lintas barang maupun orang, termasuk jasa. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan arus lintas barang dan orang di perbatasan ini terlihat sangat padat. Perbatasan ini merupakan perbatasan darat dimana ramai dengan antrian kendaraankendaraan (mayoritas truk pengangkut barang), baik yang berada di sisi Malaysia hendak masuk ke Thailand, maupun arah sebaliknya. Begitu padatnya volume dan arus lintas perdagangan di perbatasan ini, sehingga sangat dibutuhkan pengembangan customs house di perbatasan. Padatnya lintasan hingga terjadi antrean panjang truk-truk yang hendak melintas, bisa memunculkan kemungkinan “kemudahan” proses pengecekan barang bawaan. Banyak jenis barang yang diselundupkan termasuk pula binatang-binatang yang dilindungi seperti penyu, serta tunas-tunas kelapa sawit menjadi barang dagangan ilegal yang bernilai tinggi. Aturan yang ditegakkan di area imigrasi dan customs house di Sadao nampaknya cukup jelas. Aturan imigrasi itu adalah sebagai berikut: 39
“Fees and Charges for entering and departing the Kingdom of Thailand collected at each immigration checkpoint are as follows: 1. an owner or controller of an automobile and train à 25 Baht 2. each passenger à5 Baht 3. an owner or controller of vehicle other than those listed in #1 à 10 Baht 4. each passenger 3 Baht On foot commuters are exempted from being charged The above mentioned fees and charges collection will be enforced during the following hours of a day only: 05.00 AM – 08.30 AM 12.00 PM – 13.00 PM 16.30 PM – 18.00 PM And only weekends and public holidays *For your own beneficial matter please ensure having receipt of all fees and charges of this office.” Diambil dari hasil dokumentasi tim peneliti atas pengumuman aturan tertulis didekat checkpoints di Sadao, Juni 2012. Pengumuman aturan tertulis itu disajikan dalam bentuk 3 bahasa, yaitu Melayu, Thailand, dan Inggris. 39
Pada aturan tersebut, khususnya untuk para pejalan kaki yang masuk dan ke luar Thailand sesungguhnya tidak selalu ‘konsisten’ dengan aturan tertulisnya. Ada kalanya secara acak, pelintas yang sedang berurusan mengecap passport di checkpoints Sadao, Thailand, diminta membayar uang sebesar RM 2 ke petugas.40 Peristiwa ini sudah tentu tidak termasuk sebagai hasil pemasukan secara resmi ke pemerintah setempat. Pendapatan ‘liar’ bagi petugaspetugas imigrasi tentu bisa dikategorikan pula sebagai pemasukan ilegal, yang berimbas langsung pada kepentingan sekelompok oknum tertentu. Sangat ironis ketika pemerintah sedang memberantas tegas aktivitas ilegal termasuk segala jenis penyelundupan, sementara oknumoknum petugas ‘bermain api’ di area steril ini. Pada pintu perbataan yang lain seperti di Sungai Kolok-Rantau Panjang, pintu perbatasan ini merupakan perbatasan sungai, bukan darat, yang berjarak kurang dari10 meter. Sungai Kolok berada di Provinsi Narathiwat, Thailand Selatan, sedangkan Rantau Panjang berada di Negara Bagian Kelantan, Malaysia. Kondisi area di perbatasan sisi Thailand ini jauh lebih baik dan luas daripada perbatasan Thailand sebelumnya yaitu di Danok, Songkhla. Arus lintas yang melewati customs house dan checkpoints cukup tinggi, meski tidak terlihat antrean yang amat panjang. Truk-truk pengangkut kayu-kayu log memasuki pos Thailand paling sedikit 5060 truk per hari. Disamping itu, beberapa komoditi dari Malaysia seperti tepung kanji/ gandum, minyak juga masuk ke Thailand. Sebaliknya, dari Thailand mengangkut lembu, udang, padi ke Malaysia. Menurut beberapa sumber di lapangan, truk-truk yang datang dari kedua negara ini, ada yang hanya uploading muatannya di dalam area negara tujuan, dan tidak keluar dari area customs house. Truk bersangkutan, kemudian, kembali lagi ke negara asal. Ini bisa disebabkan dua faktor, yaitu: 1) Pembayaran bisa dengan mata uang Ringgit Malaysia maupun Baht. Bahkan kita bisa melihat adanya fakta si penjual buah di kaki lima menjajakan pula formulir untuk melintas dengan menaruh papan bertulis “Border Pas to Malaysia”. Ini artinya “border pas forms” yang seharusnya bisa diperoleh tanpa biaya yang disediakan di customs house, menjadi ‘diperjualbelikan’ oleh pihak di luar petugas resmi. Ini jelas merupakan gambaran betapa sesungguhnya kegiatan ‘ilegal’ di depan mata petugas resmi menjadi ‘legal’ demi keuntungan pihak tertentu. 40
Hubungan Perbatasan Antara Thailand dan Malaysia ... | Agus R. Rahman | 121
untuk menghindar adanya penyelundupan; 2) menghindar dari pembayaran pajak masuk guna menekan ongkos delivery. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa area di customs house Sungai Kolok ini begitu luas dan tertata rapi mengijinkan beberapa penarik jasa (ojeg sepeda motor) dan pedagang kaki lima mengais rejeki di area ini. Hal ini berbeda dengan kondisi di Sadao, dimana mereka mengais rejeki di sisi area customs house Malaysia yaitu di Bukit Kayu Hitam, sehingga sangat rentan dengan terjadinya praktek-praktek ilegal. Namun, tidak jauh dari pintu perbatasan resmi ini, terdapat lintasan ilegal di atas perbatasan sungai ini. Perbatasan ilegal atau “haram” ini digunakan sebagai lintas barangbarang dagangan kebutuhan ekonomi bagi masyarakat lokal perbatasan. Keberadaannya sangat tidak mungkin jika tidak diketahui oleh aparat keamanan setempat.41 Selain itu, beberapa kilometer dari perbatasan Jembatan Sungai Kolok ke arah timur, terdapat beberapa ’pintu masuk’ bagi aktivitas ilegal menuju ke dan dari Thailand. Penyeberangan di perbatasan ini dilakukan dengan menggunakan perahu untuk membawa barang-barang ilegal seperti beras dan kebutuhan harian. Namun, ini tidak menutup kemungkinan terjadi praktek-praktek ilegal lainnya mengingat kondisi fisik sepanjang sungai ini merupakan perbatasan yang sangat terbuka. Sedangkan untuk pintu perlintasan di Tak Bai-Pangkalan Kubor, Wilayah perbatasan sungai ini berbeda dari perbatasan di Sungai Kolok. Perbatasan sungainya sangat lebar dan tidak dihubungkan dengan sebuah jembatan, melainkan dengan jenis transportasi umum seperti boat/perahu motor dan feri. Di pintu masuk kota Tak Bai ini dipampang foto-foto yang dianggap sebagai teroris oleh aparat keamanan yang bersiap siaga di pintu masuk. Artinya, kota Tak Bai memang sangat rentan dengan aktivitas ilegal jenis ini karena seringkali terjadi konflik ataupun peledakan bom di wilayah muslim ini. Untuk profil aktivitas lintas batas ilegal di perbatasan Thailand-Malaysia, profil aktivitas Beberapa nara sumber di perbatasan Rantau Panjang, Kelantan menjelaskan barang-barang dagangan seringkali diantar melalui pintu perbatasan “haram” ini, namun pembelinya tetap melintas di pintu perbatasan resmi. 41
ilegal ini sekurang-kurangnya meliputi lima jenis yaitu kunjungan keluarga, pekerja tidak berdokumen, penyelundupan barang, wisata seks, dan pengungsian. Kelima jenis aktivitas lintas batas ilegal berdampak negatif terhadap kedua negara yang berbatasan baik di bidang politik-keamanan, maupun sosial ekonomi. Pertama, dalam bidang politik-keamanan, sering terjadi peningkatan ketegangan hubungan antara Malaysia dengan Thailand. Ketegangan ini banyak dipicu oleh keberadaan orang-orang yang dituduh separatis oleh pemerintah Thailand di wilayah Malaysia. Misalnya pada 2005, pernyataan pemerintah Malaysia yang tidak mau mengembalikan 131 warga Thailand Muslim yang menyeberang ke Kelantan jika keselamatan dan hak mereka tidak dijamin pemerintah Thailand juga sempat meningkatkan ketegangan kedua negara.42 Beberapa ketegangan politik tersebut berujung pada insiden perbatasan. Salah satunya adalah insiden pada Desember 1991 yang melibatkan kekuatan militer dari kedua negara. Insiden lainnya adalah penembakan 2 nelayan Thailand oleh tentara angkatan laut Malaysia pada November 1995.43 Kedua, dalam bidang ekonomi, terjadi persaingan dalam mendapatkan pekerjaan antara penduduk lokal yang berpendidikan rendah seperti di daerah Rantau Panjang, Kelantan dengan pendatang dari Thailand. Para pemberi kerja lebih suka dengan pekerja Thailand karena upah yang lebih murah. Kemudian, terjadi pula persaingan dalam mendirikan tempat usaha. Menurut pemerintah Malaysia, pendatang dari Thailand ini mendominasi kepemilikan kedai-kedai di kawasan perbatasan Malaysia. Data tahun 2007 mencatat ada 157 kedai di kawasan perbatasan Malaysia yang dimiliki oleh orang Thailand, sementara kedai milik pedagang lokal Malaysia hanya 110 buah.44 Ketiga, dalam bidang sosial, terjadi peningkatan angka kriminalitas yang dilakukan oleh para pendatang, kenaikan kasus penyakit hepatitis, HIV/AIDS, dan penyakitpenyakit kelamin di Kedah dan jumlah pengguna fasilitas rumah sakit oleh pendatang dari Thailand, serta peningkatan penggunaan subsidi pendidikan oleh anak-anak pekerja dari John Funston, op.cit., hlm. 59. Andrew Tan, “Intra-ASEAN Tensions”, The Royal Institute of International Affairs Discussion Paper, No. 84, London, Chantam House, 41. 44 Abdul Rahim Anuar, “Janan Ekonomi Sempadan”, Koran Utusan Malaysia, 11 Januari 2008. 42 43
122 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Thailand (yang menduduki peringkat kedua dalam jumlah siswa pendatang asing).45
Upaya Bilateral dan Regional dalam Mengatasi Aktivitas Lintas Batas Ilegal Dalam hal upaya kedua negara dalam mengatasi aktivitas lintas batas ilegal, masing-masing pihak tampaknya berkomitmen untuk mendasarkan diri pada kerjasama perbatasan kedua negara. Kerjasama perbatasan antara Thailand dan Malaysia dalam beberapa hal tampaknya merupakan kelanjutan dari kerjasama perbatasan yang dilakukan oleh kolonialis Inggris dengan Thailand, seperti kerjasama keamanan dalam menghadapi para bandit dan pemberian pas lintas pada tahun 1940, serta angkutan kereta. Setelah kemerdekaan, Malaysia dan Thailand melanjutkannya terutama kerjasama keamanan untuk pemberantasan kelompok komunis Melayu di perbatasan Thailand-Malaysia. Oleh karena itu, isu ini menjadi perhatian baik pemerintah Malaysia maupun Thailand, sehingga Pemerintah Malaysia tetap melanjutkan kerjasama bilateral antara Malaysia dengan Thailand untuk mengatasi komunis dan kelompok separatis yang sudah ada sejak tahun 1949. Kerjasama ini berupa pertemuan rutin antara pejabat kedua negara, kerjasama militer sepanjang perbatasan dan juga kerjasama intelijen di Hat Yai. Kerjasama ini diperbarui pada tahun 1970, dimana kerjasama ini berupa pertemuan tahunan antara menteri kedua negara, semakin mengintensifkan pertemuan rutin antara pejabat kedua negara, hingga pemberian hak untuk melakukan pengejaran di sepanjang perbatasan kedua negara (meskipun bagian ini kemudian direvisi pada tahun 1977). Meskipun demikian, kecurigaan Thailand terhadap Malaysia tidak berkurang terkait dengan kelompok pemberontak dari Thailand Selatan, bahkan masih melihat bahwa markas kelompok separatis ada di Malaysia.46 Pemerintah Thailand tetap melakukan upaya pengawasan dan pemberantasan aktivitas Radziah Abdul Rahim, Siti Alida John Abdullah, dan Rohani Abdul Ghani, Implikasi Sosial Kemasukan Pendatang Asing di Kedah, (Kajian), (Sintok: Sekolah Pembangunan Sosial Universiti Utara Malaysia, 1999), hlm. 53-60. 46 John Funston, op.cit., hlm. 59. 45
lintas batas ilegal ini. Aturan tertulis yang terpampang di pintu-pintu masuk perbatasan bisa dengan jelas dipatuhi. Selain itu, adanya pemeriksaan secara ketat di pintu-pintu perbatasan sesungguhnya menandai kehatihatian pemerintah Thailand mengantisipasi aktivitas ilegal. Namun pemasangan sejumlah aturan tertulis di tiap-tiap checkpoints, seringkali tidak diikuti oleh petugas resmi. Bahkan banyak penduduk perbatasan menyediakan/ menjual jasanya dalam pelayanan pengisian formulir imigrasi yang tidak jauh dari bilikbilik checkpoints (seperti yang terjadi di Sadao). Bukankah gambaran yang demikian ini sangat mustahil tidak diketahui oleh petugas aparat di perbatasan, sementara nyata-nyata aktivitas LBI ini berada di depan mata mereka. Kondisi fisik perbatasan sungai seperti Sungai Kolok yang panjang, mudah memberi peluang terjadinya aktivitas LBI, apalagi di malam hari. Sebagaimana sudah dikemukakan sebelumnya, adanya perbatasan “haram”, yang “dilegalkan”, baik oleh pihak Malaysia maupun Thailand Selatan, bukan tidak mungkin mencerminkan adanya aturan “karet” perbatasan, demi pemenuhan kebutuhan komoditi ekonomi masyarakat perbatasan. Sedangkan bagi Malaysia, dua hal utama menjadi perhatian utama dalam mengatasi aktivitas lintas batas ilegal di perbatasannya dengan Thailand. Pertama, Malaysia membantu penyelesaian konflik di Thailand Selatan sebagai salah satu penyebab utama maraknya aktivitas lintas batas ilegal. Pada tahun 1998, Malaysia mengadakan kesepakatan kerjasama antarpolisi Malaysia-Indonesia-Thailand. Kerjasama ini mencatat sejumlah keberhasilan seperti penangkapan beberapa pemimpin gerakan separatis dan rehabilitasi lebih dari 900 mantan ”militan”. Pada tahun 2004, Malaysia dan Thailand juga menyepakati pembukaan dua pos lintas batas untuk memerangi terorisme dan penyelundupan di kawasan perbatasan dan untuk memfasilitasi perdagangan dan turisme.47 Kedua, Malaysia bekerjasama dengan Thailand untuk membangun kawasan perbatasan yang lebih baik. Dalam bidang ekonomi, kedua negara sepakat membentuk Kawasan Pembangunan Bersama Malaysia-Thailand Rita Camilleri, “Malaysia – A Tale of Two Conflicts: Non-Muslim Neighbours and Muslim Minorities”, La Trobe University Centre for Dialogue Working Paper, No. 1, 2007, hlm. 7-12. 47
Hubungan Perbatasan Antara Thailand dan Malaysia ... | Agus R. Rahman | 123
(Malaysia-Thailand Joint Development Area) untuk mengeksplorasi sumber-sumber bukan hidup dan hasilnya dibagikan sama rata antara kedua negara. Dalam bidang keamanan, kedua negara juga membentuk General Border Committee (GBC), Regional Border Committee (RBC), dan High Level Committee (HLC) yang memainkan peran penting dalam memelihara keamanan perbatasan Malaysia-Thailand, dan bertindak sebagai platform bagi kedua negara untuk memperbincangkan dan menyelesaikan masalah secara bersama dengan damai.48 Upaya kerjasama ini secara teori lebih berpotensi efektif dan menguntungkan kedua belah pihak. Pertama, kendala batas kedaulatan bisa diatasi karena masing-masing negara bergerak di wilayah kewenangan masing-masing. Kedua, potensi perdagangan yang selama ini berjalan secara ilegal bisa dilegalkan dan dioptimalkan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat perbatasan kedua negara. Selain itu, sumber daya yang digunakan juga bisa lebih murah. Malaysia akan berfokus pada faktor-faktor pendorong (push factors) aktivitas lintas batas ilegal, sementara Thailand berfokus pada faktor penariknya (pull factor). Selain menguntungkan dalam dimensi bilateral, kerjasama ini juga menguntungkan secara multilateral di mana perbatasan antarnegara ASEAN memang seharusnya dikelola dalam cara damai dan kooperatif, sehingga bisa mendukung stabilitas kawasan. Selaint itu, untuk memformalkan pelintas batas ilegal yang bersifat tradisional itu, sejak tahun 2000, pemerintah Malaysia dan Thailand memberlakukan Pas Perbatasan sebagai passpor untuk penduduk di empat provinsi Thailand Selatan, dan empat negara bagian Malaysia di Semenanjung Malaya. Para pengguna pas lintas perbatasan ini hanya diperkenankan bergerak sejauh 25 km dari perbatasan. Pada sisi yang lain, aktivitas lintas batas ilegal ini menjadi ancaman serius bagi kedua negara yang bertetangga, sehubungan dengan beberapa lintas batas ilegal ini mencakup pekerja migran ilegal (ilegal migrant worker), pembawa obat-obatan/narkotik (drug courier), teroris (terrorist), penyelundup (smuggler), trafficking, Ling Siew Ching, Ekonomi Malaysia-Thailand dari Perspektif Teori Saling Bergantung dan Kesan terhadap Keselamatan Sempadan (Academic Exercise), (Sintok: Pengkajian Antarbangsa Universiti Utara Malaysia, 2010), hlm. 18-20. 48
buronan (fugitive) dan para pelaku kriminal lainnya seperti bandit (banditary). Aktivitas lintas batas ilegal ini kemudian dikonsepsikan sebagai kejahatan transnasional. Kemudian setelah Malaysia merdeka, kedua negara mengembangkan pola joint meeting, seperti General Border Commission dan Joint Border Commission. Pihak Thailand mulai mendekati Malaysia dalam rangka untuk mengatasi persoalan militan Muslim di Thailand Selatan yang dilihat sebagai kelompok separatis oleh Bangkok. Thailand juga menyatakan bahwa adanya dual nationality menjadikan persoalan separatis di Thailand Selatan tidak pernah selesai, karena mereka dapat secara bebas keluar masuk Malaysia dan Thailand. Oleh karena itu, Malaysia dan Thailand melakukan joint cabinet meeting pada Desember 2002. Pada pertemuan tersebut, Malaysia sepakat dengan Thailand untuk membuka dua titik masuk imigrasi antara Thailand – Malaysia dalam rangka untuk memberantas terorisme dan penyelundupan di perbatasan, serta untuk meningkatkan perdagangan dan pariwisata. Selanjutnya, dari hasil pertemuan tersebut tercipta kerjasama militer baru antara Malaysia dengan Thailand.49 Hubungan keduanya semakin erat dengan ditandatanganinya kesepakatan a Joint Development Strategy (JDS). Kedua negara ini sepakat untuk melakukan kerjasama di bidang ekonomi dalam rangka untuk meningkatkan perekonomian dan mengurangi kemiskinan di daerah perbatasan. Kerjasama ini dimaksudkan untuk meningkatkan aktivitas perdagangan dan ekonomi di perbatasan Malaysia, sehingga dapat meningkatkan tingkat perekonomian masyarakat. Pada tahun 2010, telah diselenggarakan Lima Dasar Summit antara Malaysia – Thailand di Songkhla dalam rangka untuk memperkuat hubungan kedua negara melalui 5-5-5 strategy. Memang kedua negara memang lebih bersepakat untuk membuka zone ekonomi dibandingkan keamanan, karena masalah yang terkait dengan Muslim Thailand ini masih menjadi ganjalan bagi kedua belah pihak.50 Hingga saat ini Ibid. Petchanet Pratruangkrai, “Thailand, Malaysia Agree Measures for Closer Joint Border Production Tourism”, 25 September 2010, http://www. nationmultimedia.com/home/2010/09/25/business/Thailand-Malaysia-agree-measures-for-closerjoint--30138691.html, diakses pada tanggal 9 Juni 49 50
124 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
hubungan kedua negara ini cukup baik. PM Malaysia Datuk Seri Najib Tun Razak bertemu dengan PM Thailand yang baru, Yincluck Sinawatra, untuk membicarakan persoalan di daerah perbatasan sekaligus mencari solusi bersama untuk persoalan di Thailand Selatan serta kerjasama ekonomi kedua negara dalam rangka mendorong perekonomian di Thailand Selatan. Banyaknya peledakan bom dan insiden di Thailand selatan mendorong PM Malaysia untuk dapat ikut ambil bagian dalam penyelesaian persoalan di Thailand selatan. Inisiatif ini juga ditanggapi positif oleh PM Yinluck. Terkait dengan persoalan di Thailand Selatan, kedua kepala pemerintahan sepakat untuk melanjutkan kerjasama secara kontinyu melalui pertemuan tahunan tingkat Perdana Menteri dan komite perdagangan kedua negara.51 Sedangkan upaya regional yang difokuskan pada peran ASEAN, kedua negara meletakkannya pada situasi yang dapat menciptakan ketegangan diantara mereka. Apalagi, kalau mereka berdua membiarkan tetap berlangsungnya aktivitas lintas batas ilegal in sepanjang perbatasan kedua negara, aktivitas lintas batas ilegal akan dimungkinkan berubah menjadi kejahatan transnasional. Tambahan lagi, karakter kawasan perbatasan Thailand Selatan bergantung kepada kawasan perbatasan Malaysia Utara, dan kebijakan pemerintahan Thailand terhadap provinsi perbatasan Thailand Selatan cenderung sangat keras, diskriminatif, dan sepertinya tidak sederajat. Kedua negara ini “have a long history of boundary disputes but have consistently resolved them in original and innovative ways”.52 Respon Malaysia atas keadaan ini ialah bekerjasama dalam berbagai proyek pembangunan di Thailand Selatan. Malaysia 2012. 51 Abdul Ghoni Ahmad, “Bilateral Relation: Malaysia Vows To Help Thailand To find Longterm Solutionin Restive South”, 20 Februari 2012, http:// www.ntv7.com.my/7edition/local-en/bila teral_ relations_malaysia_vows_to_help_thailand_find_ long_term_solutions_in_restive_south.html, diakses pada tanggal 20 Juni 2012. 52 Captain Somapee, “Insurgency In Southern Thailand And The Four-Track Mitigation Policy”, /t.th./, http://-www.navy.mi.th/navedu/acd/data_ docu/capt_soonpuen_somapee/southern_thailand. pdf, hlm. 69, diakses pada tanggal 24 September 2012.
memang menghadapi dilema di perbatasannya dengan Thailand: bagaimana mendukung minoritas Muslim di negara lain tanpa mengusik kedaulatan negara lain itu. Kendala ini diperbesar karena Malaysia merupakan anggota ASEAN. Tetapi pada lain pihak, sebagai anggota Organisasi Konferensi Islam, Malaysia diharapkan merespon kepentingan orang-orang Muslim. Dilema ini dihadapi Malaysia pula. Sebagai anggota ASEAN, Malaysia harus berpegang kepada kebijakan tidak campur tangan dalam permasalahan dalam negeri negara anggota lain dan harus mengakui kedaulatan Thailand atas wilayah Patani, karena perbatasan antara kedua negara itu sudah ditetapkan dan diterima oleh kedua belah pihak. Tetapi keanggotaan pada OIC mengharuskan Malaysia membantu kebutuhan orang Muslim di seberang perbatasannya dengan Thailand. Thailand sendiri adalah “observer” pada OIC itu. Kesulitan yang terdapat di pihak Thailand ialah bahwa pemerintah tidak mau mengakui secara terbuka bahwa negara itu menghadapi pemberontakan yang berkepanjangan, tidak mau menghentikan “mentalitas pengingkaran” atas pemberontakan di bagian selatan negara itu. Permasalahan yang paling besar yang dihadapi Thailand ialah “policymakers are not committed to the idea of a peace process because they think they will lose face and political capital.”53 Rasa kehilangan muka dan modal politik di sebagian elit politik Thailand inilah yang menyulitkan negara itu menghadapi kenyataan dan mencari penyelesaian pemberontakan di Patani. Apabila kelompok yang menjalankan “sindrom pengingkaran” ini tidak dikelola dengan baik, maka mereka dapat menciptakan suatu krisis perbatasan yang berkepanjangan bagi Thailand. Faktor ASEAN memang memainkan peran yang penting dalam meredakan ketegangan di antara kedua negara anggotanya ini. Kendatipun demikian, Thailand maupun Malaysia tidak pernah mengajukan masalah di perbatasan di antara kedua negara ini kepada ASEAN atau KTT ASEAN untuk penyelesaiaannya. Masalah ini diusahakan untuk diselesaikan secara bilateral di dalam kerangka ASEAN, sesuai dengan tata cara penyelesaian sengketa sesuai Treaty of Amity and Cooperation dan Piagam ASEAN. “OIC visit and the state of denial over the South”, The Jakarta Post, 20 May 2012. 53
Hubungan Perbatasan Antara Thailand dan Malaysia ... | Agus R. Rahman | 125
Masalah di perbatasan di antara Thailand dan Malaysia ini tidak akan berakhir sampai penguasa Thailand mulai memahami keluhan sejati orang-orang Muslim-Melayu di wilayah Selatan itu. Akan tetapi, Malaysia harus menanggung akibat ketidakmauan elit politik Thailand mendengarkan keluhan politik warga negara Muslim Melayu di selatan dan melestarikan sindrom pengingkaran mereka.
Daftar Pustaka Buku Abdullah, Ahmad Amir. 2010. “Grievances of Patani Malays in Southern Thaialnd”. Dalam Mohd Azizuddin Mohd Sani, Rieke Nakamura and Shamsuddin L.Taya. (Ed). Dynamic of Ethnic Relations in Southern Thailand. Kedah: Cambridge Scholars. Keohane, Robert. 1984. After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy. Princeton: Princeton University Press. Ohmae, Kenichi. 1995. The End of the Nation State: The Rise of Regional Economies. London: Harper Collins. Prescott, J.R.V. 1978. Boundarie and Frontiers. London: Croom Helm. Tagliacozzo, Eric. 2007. Secret Trades, Porous Border: Smuggling and States along a Southeast Asia Frontiers, 1865-1915. Singapura: NUS Press. Tannam, Etain. 1999. Cross-Border Cooperation in the Republic of Ireland and Northern Ireland. London: Macmillan Press. Winichakul, Thongchai. 1994. Siam Mapped: A History of the Geo-Body of a Nation. Honolulu: University of Hawaii Press.
Jurnal Battersby, Paul. 1998/1999. “Border Politics and Broader Politics of Thailand’s International Relations in the 1990s: from Communism to Capitalism”. Pacific Affairs, Vol. 71(4) Chalamwong, Yongyuth, Jidapa Meepien, dan Khanittha Hongprayoon. 2012. “Management of Cross-border Migration: Thailand as a Case of Net Immigration”. Asian Journal of Social Science, Vol. 40(4). Grundy-Warr, Carl, Rita King, dan Gary Risser.
1996. “Cross-Border Migration, Trafficking, and the Sex Industry: Thailand and Its Neighbours”. IBRU Boundary and Security Bulletin. Heckmann, Friedrich. 2004. “Illegal Migration: What Can We Know and What Can We Explain? The Case of Germany”. International Migration Review, Vol 38(3). Hussin, Fauzi, Norehan Abdullah, dan Selamah Maamor. 2012. “Border Economy: Issue and Problems Faced by Traders in the Rantau Panjang Duty-Free Zone”. Journal of Sociological Research, Vol. 3(2). Kaur, Amarjit. 2009. “Labor Crossing in Southeast Asia: Lingking Historical and Contemporary Labor Migration”. New Zealand Journal of Asian Studies, Vol. 11(1). Moraczewska, Anna. 2010. “The Changing Intepretation of Border Functions in International Relations”. Revista Romana de Geografie Politica, Vol. 12(2). Mueller, Gerhard O.W. 1998. “Transnational Crime: Definitions and Concepts”. Combating Transnational Crime: a Special Issue of Transnational Organized Crime, Vol. 4(3)&(4). Nathan, K.S. 1990. “Malaysia in 1989: Communists End Armed Struggle”. Asian Survey, Vol. 30(2). Shaleh, Asri, dkk. 2009. “Malaysia Policy towards its 1963 – 2008 Teritorial Disputes”. Journal of Law and Conflict Resolution, Vol. 1(5). Stanslas, Pooja Terasha. 2010. “The Human Trafficking Problem in US-Malaysia Relations”. Asia Pacific Bulletin No. 88. The Geographer. 1965. “Malaysia-Thailand Boundary”. International Boundary Study No. 57. Thompson, J.E. 1995. “State Sovereignty in International Relations: Bridging the Gap between Theory and Empirical Research”. International Studies Quarterly, Vol. 39. Van Houtum, Henk. 2005. “The Geopolitics of Borders and Boundaries”. Geopolitics, Vol. 10.
Laporan dan Makalah Camilleri, Rita. 2007. “Malaysia- A Tale of Two Conflicts: Non-muslim Neighbours and
126 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Muslim Minorities”. La Trobe University Centre for Dialogue Working Paper No. 1. Funston, John. 2008. “Thailand’s Southern Fires: The Malaysian Factor”. UNEAC Asia Papers. No.26. Horstmann, Alexander. 2002. “Dual Ethnic Minorities and the Local Reworking of Citizenship at the Thailand-Malaysian Border”. CIBR Working Papers in Border Studies, CIBR/WP02-3. Ling, Siew Ching. 2010. Ekonomi MalaysiaThailand dari Perspektif Teori Saling Bergantung dan Kesan terhadap Keselamatan Sempadan (Academic Exercise). Sintok: Pengkajian Antarbangsa Universiti Utara Malaysia. Nordin, Ahmad Fauzi. 2006. “Land and River Boundaries Demarcation and MaintenanceMalaysia Experience”. International Symposium on Land and River Boundaries Demarcation and Maintenance in Support of Borderland Development. Bangkok: 6-11 November 2006. Permal, Sumathy. 2007. “Trafficking in the Strait of Malacca,” Maritime Studies Journal, No. 156, September/October. Rahim, Radziah Abdul, Siti Alida John Abdullah, dan Rohani Abdul Ghani. 1999. Implikasi Sosial Kemasukan Pendatang Asing di Kedah (Kajian). Sintok: Sekolah Pembangunan Sosial Universiti Utara Malaysia. Tan, Andrew. 2000. “Intra-ASEAN Tensions”. The Royal Institute of International Affairs Discussion Paper, No. 84. London: Chantam House. Wain, Barry. 2012. “Latent Danger: Boundary Disputes and Border Issues in Southeast Asia”. Dalam Daljit Singh dan Puspa Thambipillai. Ed. Southeast Asia Affairs 2012. Singapura: ISEAS, h. 38-60.
Surat Kabar dan Website
malaysia_vows_to_help_thailand_find_ long_term_solutions_in_restive_south. html. Jabatan Perangkaan Malaysia. “Laporan Penyiasatan Pendapatan Isi Rumah dan Kemudahan Asas 2009”. http://www. statistics.gov.my/portal/images/stories/ files/-LatestReleases/household/Press Release household2009_BM.pdf. Jabatan Perangkaan Malaysia. “Taburan Penduduk Mengikut Kawasan Pihak Berkuasa Tempatan dan Mukim, 2010”. http://www.statistics.gov.my/portal/index.php?option=com_content&view=article&i d=1354&Itemid=111&lang=bm. Johnson, Irving. “Movement and Identity Construction Amongst Kelantan’s Thai Community”. http://www.uni-muenster.de/ Ethnologie/South_Thai/-working paper/ Johnson_Kelantan.pdf. Malaysia National Security Council. “The Principle of Malaysia Land Boundaries”. http://www.mkn.gov.my/mkn/default/ article_e.php?mod=4&fokus=9. Nanuam, Wassana. 2004. “Thai Army Seales over 100 Ilegal Thai-Malaysian Border Crossing, 27 Remain Open”. Bangkok Post. 18 Oktober. Pratruangkrai, Petchanet. 2010. “Thailand, Malaysia Agree Measures for Closer Joint Border Production, Tourism”. 25 September. http://www.nationmulti-media. com/home/2010/09/25/business/-ThailandMalaysia-agree-measures-forcloserjoint-30138691.html. Pundit, Bangkok. 2007. “Economic Situation in Southern Thailand”. 24 April. http:// asiancorrespondent.com/20195/economicsituation-in-southern-thailand/. Somapee, Captain, /t.th./. “Insurgency in Southern Thailand and The Four-Track Mitigation Policy”, http://www.navy.mi.th/navedu/ acd/data_docu/capt_soonpu-en_somapee/-southern_thailand.pdf.
Anuar, Abdul Rahim. 2008. “Janan Ekonomi Sempadan”. Koran Utusan Malaysia. 11 Januari. Ahmad, Abdul Ghoni. 2012. “Bilateral Relation: Malaysia Vows To Help Thailand To find Longterm Solutionin Restive South”. 20 Februari. http://-www.ntv7.com. my/7edition/localen/bilateral_relations_
Hubungan Perbatasan Antara Thailand dan Malaysia ... | Agus R. Rahman | 127
128 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
PENCAPAIAN REFORMASI INSTRUMENTAL POLRI 1999-2011 ACHIEVEMENT OF THE INSTRUMENTAL INDONESIAN NATIONAL POLICE REFORM Sarah Nuraini Siregar Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 2 Agustus 2013 ; direvisi: 4 Oktober 2013; disetujui: 11 Desember 2013 Abstract Since the separation of Indonesian National Police (Polri) from Indonesian Army Forces (TNI) in 1999 until present, Polri has many instruments that become their priorities to perform its functions and authority. However, these instruments have not been fully set up with clear authority to the national police, especially in terms of coordination, relations with the Indonesian Army at the time of the management of security in conflict areas supervisory mechanisms, and accountable for the performance of functions and authority of the national police. Therefore, reform efforts were instrumental to the Police which still have different constraints and needs to be re-evaluated over the implementation of these reform efforts. The presence of The Law No. 2, 2002 and also other regulatory devices that turn out to be not rigid and clear regulation concerning powers and functions of the national police, has caused new problems, such as the question of supervision, control mechanisms, the relationship with other security actors at the time of security management, and so on. Keywords: Reform, Instrumental, Instruments, Security, Police, Regulation.
Abstrak Sejak pemisahan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dari ABRI pada tahun 1999, Polri memiliki banyak instrumen (kebijakan) yang menjadi dasar bagi Polri untuk melakukan fungsi dan kewenangannya. Namun, instrumen ini belum sepenuhnya diatur dengan kewenangan yang jelas kepada Polri, terutama dalam hal koordinasi, hubungannya dengan TNI pada saat melakukan pengelolaan keamanan di daerah konflik, mekanisme pengawasan, dan akuntabilitas dalam hal kinerja, fungsi, dan kewenangan Polri. Oleh karena itu, upaya Reformasi Instrumental Polri yang masih memiliki kendala perlu dievaluasi kembali. Kehadiran UU No. 2 Tahun 2002 dan juga perangkat peraturan lainnya masih menimbulkan masalah baru, seperti pengawasan, mekanisme kontrol, hubungan dengan aktor-aktor keamanan lainnya, terutama pada saat menjalankan pengelolaan keamanan, dan sebagainya. Kata kunci: Reformasi, Instrumental, Instrumen, Keamanan, Polisi, Peraturan.
Pendahuluan Reformasi Polri sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1998 lewat tuntutan reformasi dimana salah satu tuntutan tersebut adalah Reformasi di Bidang Keamanan (Security Sector Reform). Untuk merealisasikan hal tersebut, maka institusi Polri dipisahkan dari TNI (militer) melalui melalui Instruksi Presiden
(Inpres) No. 2 Tahun 1999 tentang LangkahLangkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan Polri dan ABRI.1 Inpres tersebut diperkuat dengan dikeluarkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. VI/MPR-RI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri. IDSPS, Reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Seri 6), Edisi No. 6 Tahun 2008, hlm. 1. 1
Pencapaian Reformasi Instrumental Polri 1999-2011 | Sarah Nuraini Siregar | 129
Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan reformasi instrumental Polri adalah kajian politik atas instrumen-instrumen yang selama ini telah dilakukan, terutama dalam hal pengaturan kewenangan dan fungsi Polri, dengan mengambil periode sejak dimulainya Reformasi Polri pada tahun 1999 sampai 2011. Untuk mengkaji hal tersebut, maka instrumeninstrumen yang dapat dilihat untuk menganalisis pencapaian dan evaluasi reformasi instrumental Polri dapat melalui dua hal, pertama perubahan paradigma Polri sebagai Civilian Police (Polisi Sipil) dan kedua, regulasi/kebijakan yang mengatur Polri pasca tahun 1998. Paradigma sebagai Polisi Sipil adalah perubahan paradigma besar Polri dari yang militeristik pada saat menjadi bagian dari ABRI di masa Orde Baru (Orba). Menjadikan Polri sebagai polisi sipil berarti mengubah identitasnya sebagai aktor keamanan yang berwatak sipil. Hal ini tentu akan berdampak pada banyak hal, mulai dari penampilan fisik sampai kepada perubahan perilaku. Ini bukan pekerjaan mudah karena identitas Polri ketika masih menjadi bagian dari ABRI tidak jauh dari watak militeristik dan sarat dengan pola tindak kekerasan. Namun demikian, usaha membangun organisasi Polri yang menuju polisi sipil dan demokratis perlu dilakukan agar fungsi Polri dapat berjalan sebagai pihak yang memberikan pelayanan keamanan dengan tujuan melindungi harkat dan martabat manusia. Instrumen kedua adalah regulasi yang mengatur Polri. Regulasi yang mengatur kewenangan Polri tertuang di dalam UndangUndang (UU) No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. UU ini menyebutkan bahwa peran utama polisi adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan pelayanan, perlindungan, dan pengayoman kepada masyarakat. Sebagaimana yang diatur dalam UU tersebut, dapat disimpulkan fungsi utama kepolisian terdiri dari tiga hal, yaitu fungsi preemptif, preventif, dan represif.2 Fungsi preemptif merupakan tugas pembinaan masyarakat yang kemudian diperkenalkan istilah Community Policing (Perpolisian Masyarakat). Fungsi preventif Jend. Pol (Purn) Prof. Dr. Awaloedin Djamin, MPA., Kedudukan Kepolisian RI dalam Sistem Ketatanegaraan : Dulu, Kini, dan Esok, (Jakarta: PTIK Press, 2007), hlm. 54-55. 2
merupakan fungsi memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan perlindungan, dan mencegah terjadinya pelanggaran hukum.Sedangkan fungsi represif adalah fungsi penyelidikan dan penyidikan atas sebuah kejahatan. Instrumen yang telah dimiliki Polri melalui perubahan paradigma dan regulasi di satu pihak, memperlihatkan ada dasar bagi Polri untuk melakukan fungsi dan kewenangannya. Bahkan dalam asumsi besar di kalangan Polri, persoalan reformasi institusinya adalah dapat “melepaskan diri” dari atribut militer, sehingga reformasi instrumental telah dianggap selesai. Namun di lain pihak, instrumen-instrumen tersebut belum sepenuhnya dapat mengatur dengan jelas kewenangan Polri, terutama mekanisme pengawasan yang akuntabel terhadap kinerja fungsi dan kewenangan Polri. Hal ini misalnya bisa dilihat dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI yang tidak memuat aturan hukum yang secara spesifik dalam mengatur legitimasi dan mekanisme pertanggungjawaban polisi secara berkala dan kelembagaan.3 Ketidakjelasan regulasi yang mengatur Polri juga terlihat dalam hal penataan bantuan TNI kepada Polri dan sebaliknya. Hal ini mengakibatkan pola relasi perbantuan TNI kepada Polri maupun sebaliknya, selalu berbeda pandangan dalam mengamankan suatu wilayah, khususnya daerah konflik atau bila terjadi gangguan keamanan dalam negeri. Persoalan lainnya mengenai reformasi instrumental Polri dapat dilihat melalui analisa dari pakar Hukum dan Kriminolog, Prof. Dr. Adrianus Meliala. Menurutnya, memang Polri adalah lembaga penegak hukum yang pertama kali mereformasi diri sejak tahun 1999. Akan tetapi, institusi ini memiliki masalah yang salah satunya adalah program reformasi Polri yang berjalan tidak sistematis, tidak tuntas dan kurang evaluasi. Ini disebabkan Polri selama ini hanya membicarakan aspek struktural, instrumental, dan kultural tanpa ada parameter keberhasilan dan frame waktu.
Pasal 11 ayat 1 dalam UU No.2/2002 menjelaskan tentang pengangkatan dan pemberhentian Kapolri yang dilakukan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Namun aturan ini tidak mengatur pertanggungjawaban secara institusional, melainkan tentang pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. 3
130 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Permasalahan Kehadiran UU No. 2 Tahun 2002 dan perangkat regulasi lainnya ternyata belum mampu mengatur secara rigid dan jelas mengenai kewenangan serta fungsi-fungsi Polri. Inilah yang perlu ditinjau pelaksanaan regulasiregulasi (instrumen) yang mengatur Polri selama ini. Oleh karena itu, terdapat empat pertanyaan penelitian: 1. Bagaimana pandangan Polri, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), dan masyarakat mengenai pengertian reformasi instrumental Polri? 2. Sejauhmana dan bagaimana pencapaian paradigma baru Polri sebagai Polisi Sipil (Civilian Police) diterjemahkan ke dalam bentuk aturan/kebijakan? 3. Bagaimana implementasi instrumental Polri?
reformasi
4. Bagaimana implikasi yang ditimbulkan dari implementasi aturan/kebijakan terhadap efektivitas kinerja Polri (sebagai penegak hukum, pelindung, pengayom, dan pelayan masyatakat)?
Metodologi Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan analisis data secara deskriptif analitis. Metode pengumpulan data dilakukan melalui: 1) penelitian lapangan; 2) pengumpulan dan analisis data sekunder; 3) Focus Group Discussion (FGD). Untuk melakukan analisa kajian ini, digunakan beberapa konsep untuk menganalisis permasalahan yang dikaji. Konsep-konsep yang digunakan antara lain Reformasi Sektor Keamanan, Reformasi Kepolisian Reformasi Instrumental Kepolisian, dan Paradigma Polisi Sipil (Civilian Police). Berikut adalah uraian secara singkat dari masing-masing konsep tersebut. Reformasi kepolisian di Indonesia adalah bagian dari agenda kerja Reformasi Sektor Keamanan (Security Sector Reform) di Indonesia. Tujuan dari reformasi sektor keamanan adalah untuk memberikan kerangka penyelesaian menyeluruh bagi masalahmasalah keamanan, seperti penegakan hukum, perlindungan hak-hak sipil dengan kebutuhan melakukan reformasi institusional dan internal
di tubuh TNI, Polri, lembaga intelejen, dan institusi sipil yang bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap lembagalembaga keamanan tersebut.4 Makna Reformasi Instrumental adalah sebagai perubahan atau upaya pembaruan di tingkat regulasi; dari mulai regulasi tertinggi (konstitusi) sampai kepada peraturan-peraturan pada tingkatan terendah seperti Perda, dan sebagainya. Tujuan dari reformasi instrumental kepolisian pada dasarnya adalah untuk membentuk institusi (kepolisian) yang kuat dan fungsional, dengan derajat pelembagaan yang rasional dan impersonal.5 Idealnya, keseluruhan regulasi maupun perundang-undangan yang dibuat oleh negara dapat mendefinisikan tujuan, struktur, dan kekuasaan serta diatur secara jelas; yang salah satunya adalah kepolisian.6 Semua peraturan serta kode-kode operasional yang mengatur kepolisian dapat digunakan untuk mengarahkan “apa” yang harus dilakukan oleh institusi ini dan “bagaimana” mereka melakukannya. Makna “polisi yang berwatak sipil” secara sederhana sebagai suatu cara perpolisian yang tidak boleh menyebabkan warga masyarakat kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Oleh karena itu, dimensi moral dalam pekerjaan polisi menjadi sangat penting. Kemampuan polisi untuk tampil dalam watak sipil juga perlu didukung oleh arsitektur dan organisasi polisi sebab organisasi yang berat akan menjadi hambatan untuk menciptakan karakter sipil dalam polisi.7
Hasil Penelitian: Beberapa Temuan Empirik 1. Dimensi Politik Reformasi Instrumental Polri Andi Widjajanto (Ed), Reformasi Sektor Keamanan Indonesia, (Jakarta: ProPatria, 2004), hlm. 12-13. 5 Jimly Asshiddiqie, “Reformasi Menuju Indonesia Baru: Agenda Restrukturisasi Organisasi Negara, Pembaruan Hukum, dan Keberdayaan Masyarakat Madani,” (artikel) dipublikasikan di http://www. thecceli.com/dok/dokumen/jurnal/jimly.j014.htm, (2002). 6 Anneke Osse, Memahami Pemolisian, (Jakarta: Rinam Antartika, 2007), hlm. 61. 7 Satjipto Rahardjo, Membangun Polisi Sipil: Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan, (Jakarta: Kompas, 2007), hlm. 64. 4
Pencapaian Reformasi Instrumental Polri 1999-2011 | Sarah Nuraini Siregar | 131
Secara politik, kebutuhan untuk melaksanakan Reformasi Polri lebih dilatarbelakangi adanya perubahan lanskap politik dan struktur baru tentang Polri agar lebih memiliki kepastian. Karena itulah diciptakan berbagai aturan perundangan atau hukum yang baru. Inilah yang kemudian dikenal sebagai Reformasi Instrumental Polri dan merupakan sebuah keniscayaan. Melalui reformasi instrumental tersebut, diharapkan akan terjadi transformasi Polri secara gradual, berkesinambungan, dan terarah menuju Polri yang mandiri dan profesional. Untuk mencapai harapan tersebut, maka diperlukan beberapa perubahan di aspek instrumental. Perubahan instrumental melibatkan perubahan filosofi, doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan iptek.8 Dengan adanya reformasi instrumental, maka dapat dijadikan dasar bagi reformasi Polri secara keseluruhan, yang dijabarkan dalam bentuk visi dan misi serta tujuan, doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek. Seperti yang dijelaskan dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa UU ini telah dijadikan dasar hukum utama Polri dalam melakukan reformasinya. Berangkat dari aturan perundangan tersebut, maka Polri selanjutnya harus menjadi sebuah organisasi yang kuat landasan hukumnya dan efektif kerjanya. Di lain pihak, sebagai bagian dari sistem keamanan, Polri juga menghadapi berbagai tantangan, terutama tantangan lingkungan, perubahan, dan tuntutan masyarakat. Harus diakui bahwa sistem keamanan Indonesia di satu sisi harus cukup efektif dalam memelihara ketertiban masyarakat, namun dalam hal keefektifan sistem keamanan, Polri harus sungguh-sungguh peka terhadap berbagai kemajemukan dan aspirasi publik yang berbeda. Oleh karena itu, reformasi instrumental Polri harus merujuk kepada dasar hukum yang jelas dan penyelenggaraan kekuasaan negara yang baik (good governance). Hal ini merupakan semangat baru dalam konteks Reformasi Polri. Selain itu, Reformasi Instrumental Polri juga diharapkan tidak menimbulkan gangguan terhadap konsolidasi demokrasi Uraian lebih lengkap mengenai Reformasi Polri ini dapat dilihat dalam Dokumen, “Reformasi Menuju Polri yang Profesional, Jakarta, Juli 1999. 8
dan kesinambungan pemerintahan. Sebab bagaimananpun juga, kedudukan Polri sebagai ujung tombak keamanan menjadi andalan utama dari reformasi di sektor keamanan sekarang. Kemudian, dalam meningkatkan akuntabilitas institusi Polri, dibentuk sebuah Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang bertanggung jawab kepada Presiden. Badan ini memiliki tugas pokok yang hanya dikenal dalam sistem yang demokratis. Diantaranya yang terpenting adalah “membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.9 Namun keberadaan Kompolnas sejauh ini belum cukup optimal mendukung reformasi Polri. Baik dari dalam Kompolnas sendiri maupun dari luar, masih menyangsikan efektivitas kinerja Kompolnas. Sebagai lembaga yang langsung berada di bawah Presiden, mestinya Kompolnas terlihat sangat aktif dalam memberikan masukan mengenai reformasi Polri. Akan tetapi, sejauh ini belum dapat diwujudkan secara optimal. Apalagi keberadaan Kompolnas belum disahkan secara resmi lewat pelantikan para anggotanya. Kesulitan lain yang dihadapi Kompolnas adalah posisi resmi sebagai pejabat tinggi negara sehingga akan menghadapi kesulitan untuk bekerja secara langsung mengumpulkan dan menganalisis data sebagai masukan kepada Presiden. Dengan demikian, sampai laporan ini disusun, pengawasan terhadap Polri belum efektif. Ini menyebabkan praktik penyalahgunaan wewenang oleh oknum-oknum Polri terus berkembang. Hal inilah yang perlu dicermati secara sungguh-sungguh oleh negara (pemerintah) maupun Polri agar pada langkahlangkah upaya reformasi selanjutnya dapat terlaksana lebih baik lagi.
2. Pandangan Internal Polri atas Capaian Reformasi Instrumental Polri Pada pertengahan tahun 1999, Polri mengeluarkan “Buku Biru” tentang reformasi polisi yang memberi perhatian pada tantangan-tantangan budaya, instrumental dan struktural. Melalui Buku Biru ini, dikenallah Pasal 38 Ayat (a) dan (b) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 9
132 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
reformasi internal Polri yang mencakup aspek instrumental, struktural, dan kultural. Pada bulan Desember tahun 2000, juga dikeluarkan sebuah tulisan pengembangan mengenai permasalahan kebutuhan tenaga polisi, struktur, manajemen personalia, dan pengamanan oleh masyarakat.10
Konsekuensi dari paradigma Polri sebagai Polisi Sipil adalah secara kelembagaan struktural—menurut Polri—telah mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan tersebut. Sejauh ini, capaian paradigma baru Polri sebagai Polisi Sipil antara lain:11
Bagi Polri sendiri, setelah reformasi 1998, instrumen ataupun kebijakan yang mengatur institusinya telah dianggap cukup memadai. Kebijakan-kebijakan yang telah ada dapat dielaborasi lagi sebab kebijakan tersebut merupakan pengejawantahan dari konstitusi tertinggi Indonesia, yakni UUD 1945. Pada pasal 30 UUD 1945 menyebutkan bahwa sistem keamanan Indonesia menganut konsep Rakyat Semesta, dimana partisipasi masyarakat juga memberikan andil dalam menjaga keamanan dalam negeri.
1. Polri sebagai Polisi Nasional memiliki tugas dan tanggung jawab yang meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia dan pada pelaksanaannya diatur secara berjenjang; 2. Kedudukan Kapolri berada di bawah Presiden; 3. Struktur Organisasi berbentuk piramida (pusat kecil, daerah besar); 4. Penempatan Polda sebagai kompartemen strategis Polri dimana seluruh permasalahan dapat ditangani Polda yang memiliki kemampuan dan kewenangan; 5. Penataan struktur kepangkatan dan kesejahteraan anggota Polri.
UUD 1945 hasil amandemen juga mengamanatkan Polri sebagai institusi yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Amanat konstitusi ini memberikan konsekuensi logis bagi Polri bahwa ia adalah aktor keamanan yang akan selalu berhubungan dengan masyarakat. Inilah yang kemudian melahirkan paradigma besar sebagai bagian dari perubahan instrumental Polri, yaitu Polisi Sipil (Civillian Police). Konsep ini pula yang kemudian menjadi payung bagi instrumeninstrumen Polri berikutnya, seperti perubahan doktrin, penataan regulasi, dan membangun kemitraan Polri dengan masyarakat.
Klaim Polri atas capaian-capaian di atas juga diperlihatkan melalui aturan atau kebijakan dari penjabaran paradigma Polri sebagai Polisi Sipil, seperti tabel di bawah ini: (Lihat Tabel 1) Selain perubahan filosofis, Polri juga melakukan perubahan doktrin. Perubahan doktrin ini kemudian ditindaklanjuti oleh Polri melalui aturan atau kebijakan mereka mengenai kode etik profesi Polri. Kode etik ini merupakan
Tabel 1. Perwujudan Polisi Sipil Dalam Bentuk Aturan/Kebijakan Polri
“Peran dan Strategi Polri Dalam Mewujudkan Supremasi Hukum dan Pemeliharaan Keamanan” (artikel), (18 Desember 2000) dalam ICG Report No. 13, Indonesia: Reformasi Kepolisian Nasional, (Jakarta, 20 Februari 2001) hlm. 14. 10
perwujudan dari kedua doktrin di atas mengenai tugas dan fungsi Polri. Dengan adanya kebijakan kode etik ini, melalui Keputusan Kapolri No. 32/ 11
Ibid.
Pencapaian Reformasi Instrumental Polri 1999-2011 | Sarah Nuraini Siregar | 133
Sumber: Divisi Hukum Mabes Polri yang disampaikan dalam Diskusi Terbatas, September 2012.
VII/2003, maka bagi Polri dapat dikatakan ini adalah satu capaian reformasi instrumentalnya.
•
Jangka pendek (2005– 2010) membangun trust building.
Penataan regulasi juga dilakukan Polri sebagai bagian dari upaya reformasi instrumental. Ini dapat dilihat melalui tahaptahap regulasi yang dibuat untuk mengatur institusi Polri. Beberapa diantaranya adalah: dikeluarkannya Tap MPR No. VI dan VII Tahun 2000; Amandemen Pasal 30 UUD 1945; UU Nomor 2 Tahun 2002; Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden; Revisi 300 Juklak/ juknis; Perubahan doktrin dan pedoman induk; Menyusun Grand Strategy (Renstra Polri 25 tahun), yang terdiri dari:
•
Jangka menengah b. (2011–2015) membangun partnership/ networking.
•
Jangka panjang (2016–c. 2025) meraih keunggulan (strive for excellence)
Sesuai dengan sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Polri juga telah menyusun beberapa strategi untuk menata Regulasi. Disusunlah Grand Strategi Polri sebagai Rencana Pembangunan Jangka Panjang periode tahun 2005–2025 dan Rencana Strategi Polri periode tahun 2004–2009 sebagai Rencana
134 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Pembangunan Jangka Menengah serta Rencana Kerja Tahunan yang dirumuskan dalam Rencana Kerja dan dukungan Anggaran sampai tingkat Satuan Kerja (Satker).12 (Lihat Tabel 2) Tabel 2. Penataan Peraturan Per Undang-Undangan Polri
tugas-tugas kepolisian.13 Kritikan lainnya adalah Polri terlihat kurang cermat dalam menyusun grand strategy (Renstra Polri 25 tahun). Pada dasarnya rencana itu tidak lepas dari sasaran lain yang harus
Sumber: www.polri.go.id, “Analisis dan Evaluasi Program 100 Hari Revitalisasi Polri” dalam Road Map Reformasi Birokrasi Polri Gelombang II Tahun 2011-2014.
Klaim Polri atas capaian reformasi instrumental ini tidak terlepas dari kritikan. Misalnya UU No. 2 Tahun 2002 perlu dikaji lebih dalam karena regulasi tersebut terlihat lebih banyak mengatur Polri sebagai organisasi, bukan fungsi. Seharusnya UU juga mengatur fungsi, jadi tidak hanya Polri akan tetapi juga fungsi-fungsi kepolisian lainnya. Secara khusus perlu dibenahi pula asas kepolisian; sistem kepolisian; fungsi, peran, lingkup tugas dan mekanisme wewenang kepolisian dalam penegakan hukum dan pembina kamtibmas; pengorganisasian dan kedudukan kepolisian; kode etik polisi; peralatan polisi; sumber pendanaan polisi; serta lembaga pengawas Lihat http://polrireformasi.blogspot.com/2012/03/ reformasi-polri.html, diakses pada tanggal 18 Oktober 2012. 12
diperhitungkan tingkat/waktu pencapaiannya. Sebagai contoh, sesuai target yang ditetapkan dalam jangka pendek 2005 - 2010 mencapai “kepercayaan masyarakat” (trust building) terhadap Polri, hal itu tampak masih jauh dari harapan. Apalagi jika dikaitkan dengan sasaran jangka menengah 2011–2015 membangun partnership/networking dan jangka panjang 2016–2025 meraih keunggulan (strive for excellence). Capaian lainnya yang dianggap Polri merupakan bagian dari upaya reformasi instrumental adalah konsep Community Policing. Konsep ini sebenarnya adalah bagian dari implementasi filosofi Polri sebagai Polisi Sipil. Terdapat beberapa regulasi yang telah Bambang Widodo Umar, Reformasi Kepolisian Republik Indonesia: Sebuah Toolkit, (Jakarta: IDSPS Press, 2009), hlm. 6. 13
Pencapaian Reformasi Instrumental Polri 1999-2011 | Sarah Nuraini Siregar | 135
dikeluarkan sebagai instrumen dasar bagi pelaksanaan Polmas, antara lain:14 1. Pasal 27 UUD 1945. 2. Tap MPR No. VI dan No. VII Tahun 2000. 3. KUHAP. Dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pada pasal 108 dan Pasal 111 ayat (1) yang terkait dengan partisipasi masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban. 4. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri pada Pasal 14 ayat (1) huruf c yang menyatakan bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri dilakukan Polri selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi HAM. 5. UU Pemerintahan Daerah No. 32 tahun 2004 Pasal 13 dan 14 menyebutkan bahwa “baik pemerintah daerah tingkat satu maupun tingkat dua (kabupaten dan kota) memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat”; dan pasal 27 ayat (c) disebutkan “kepala daerah dan wakil kepala daerah memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.” 6. Skep Kapolri No. Pol.: Skep/737/X/2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. 7. Skep Kapolri No. Pol.: Skep/431/ VIII/2006 tentang Pedoman Pembinaan Personel Pengembangan Fungsi Polmas. 8. Skep Kapolri No. Pol.: Skep/433/ VII/2006 tentang Panduan Pembentukan dan Operasionalisasi Polmas 9. Skep Kapolri No. Pol.: Skep/432/ VIII/2006 tentang Panduan Pelaksanaan Fungsi-fungsi Operasional Polri dengan Pendekatan Polmas, yaitu Intelijen dan Keamanan (Intelkam), Reserse dan Kriminal (Reskrim), Samapta, Lalu Lintas, Polisi Perairan (Polair) dan Brigade Mobil (Brimob).
Semua regulasi diatas diharapkan agar program Polmas dapat diterapkan dalam masyarakat dalam konteks membangun kemitraan dengan masyarakat. Dengan adanya program ini, diharapkan dapat tumbuh kesadaran dan kepercayaan masyarakat dalam membantu kepolisian untuk menanggulangi dan menyelesaikan masalah-masalah keamanan.
3. Implementasi Reformasi Instrumental Polri Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, berbagai kebijakan terkait dengan reformasi instrumental Polri telah dilakukan. Mulai dari perubahan visi dan misi, doktrin hingga penataan kewenangan dan kompetensi Polri. Selain itu, berbagai kebijakan terkait dengan reformasi instrumental juga dikeluarkan, dimana terdapat lima kebijakan yang terkait langsung dengan upaya mewujudkan polisi sipil (cilivian police), yaitu: (1) Kebijakan dan regulasi yang menyangkut penghormatan terhadap HAM dan demokrasi; (2) Penegakan supremasi hukum; (3) transparansi dan akuntabilitas; (4) Pelayanan Publik; serta (5) Pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam kaitannya dengan pelayanan publik, terdapat UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sejak tanggal 1 Mei 2010. Apresiasi patut diberikan kepada Polri yang memelopori pembentukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di instansi mereka. Namun, dalam kaitannya dengan penghormatan terhadap HAM dan demokrasi, komitmen Polri dalam kebijakan internal yang dikeluarkan ternyata tak berbanding lurus dengan situasi di lapangan. Setahun terakhir ini, masih terlihat tindakan aparat Polri yang melakukan berbagai dugaan pelanggaran HAM yang bersifat elementer. Hal tersebut terlihat dari catatan yang dilakukan oleh Kontras, dimana Polri juga tampak “membiarkan” terjadinya kekerasan oleh kelompok vigilante (kelompok masyarakat yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya) atau kelompok pemodal, yang kadang menggunakan jasa keamanan (baca: preman).
“Dasar Hukum dan Penerapan Polmas Dalam Fungsi Polri,” dalam Sutanto, Hermawan Sulistiyo, Tjuk Sugiarso, Polmas: Falsafah Baru Pemolisian, (Jakarta: Pensil-324, 2008), hlm. 117-122. 14
136 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Tabel 3. Tindak Kekerasan yang dilakukan Polri
Sumber: Data Kontras 2011
Dari tabel tersebut terlihat bahwa, Pertama, penyiksaan yang dilakukan oleh anggota Polri masih terjadi dengan jumlah besar, padahal kejahatan ini sudah dianggap sebagai kejahatan paling serius dan masuk sebagai pidana internasional. Kedua, selama setahun terakhir juga terlihat bagaimana aparat Polri begitu gamang bila menghadapi kelompokkelompok vigilante –yang mengatasnamakan agama- yang melakukan serangan atau ancaman terhadap berbagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara damai seperti kegiatan diskusi, seminar, atau pertunjukan seni.15 Ketiga, masih terlihat brutalitas aparat Polri bila menghadapi kelompok-kelompok masyarakat marginal, khususnya dalam konflik agraria serta minimnya penegakan hukum di wilayah rawan konflik seperti Papua dan Aceh. Selain itu, banyaknya peraturan yang dikeluarkan terkait dengan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat ternyata tidak serta merta menjadikan Polri profesional dalam mengemban fungsinya sebagai pengayom masyarakat. Hal ini terlihat dari catatan yang dilakukan oleh International Crisis Group (ICG) dimana sepanjang tahun 2010 hingga tahun 2012 setidaknya terdapat 40 kekerasan yang melibatkan Polri. Sebagian besar di antaranya justru aparat polisilah yang menjadi sasaran amuk massa. Ketiadaan mekanisme yang efektif dalam menampung keluhan atau menyelesaikan perkara berujung kepada main hakim sendiri. Kasus seperti serangan dan ancaman terhadap kegiatan diskusi atau seminar Irshad Mandji, serangan terhadap kegiatan ibadah Jemaat HKBP Filadelfia Bekasi, larangan pembangunan Gereja GKI Yasmin, meski sudah ada putusan MA dan rekomendasi lembaga negara lainnya, namun begitu ‘tidak berdayanya’ Polri dalam merespon ancaman kelompok-kelompok vigilante. 15
Dalam hal implementasi program Polmas, program ini masih terlihat belum cukup dipahami petugas di lapangan. Banyak komunitas, terutama di luar Jawa, yang tidak tahu apa itu Polmas karena implementasinya masih simpang siur. Hal yang menghalangi program ini bisa dikategorikan menjadi lima aspek, yaitu budaya, struktur, individu, finansial, dan pendidikan. Pada aspek budaya, berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Kompolnas tahun 2009, disebutkan bahwa dengan semakin bertambahnya kekuasaan para penegak hukum, sulit untuk mengubah perilaku petugas kepolisian dari yang tadinya bersikap superior menjadi mitra masyarakat. Pada aspek struktural, Polri masih mempertahankan struktur kepangkatan yang bersifat militer, dengan para jenderal bintang dua dan tiga sebagai petinggi di Mabes, bintang satu di pucuk Polda, dan kelompok elit perwira polisi yang kebanyakan lulusan Akpol di manajemen tingkat menengah.16 Polres dan Polsek juga kekurangan peralatan untuk menangani ketegangan di dalam masyarakat. Ketika situasi memanas, mereka biasanya memanggil Brimob, pasukan paramiliter milik Polri yang punya unit di setiap Polda, untuk mendukung polisi organik. Kehadiran Brimob kerap bermasalah. Mereka seringkali hanya membawa senjata yang mematikan ketika dikirim untuk menanggulangi kerusuhan massa.17 Di samping itu, pasukan Brimob tidak Sebutan kepangkatan dalam Polri telah mengalami perubahan sejak tahun 2000, tapi jumlah tingkatan maupun perbedaan tajam antara perwira dan bintara masih sama. Sebutan “jenderal” masih digunakan bagi empat pangkat paling tinggi dengan simbol bintang layaknya angkatan darat. Lihat Awaloeddin Djamin et al., Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia (Jakarta: PTIK, 2006). 17 Menjinakkan bom dan menangani pemberontak 16
Pencapaian Reformasi Instrumental Polri 1999-2011 | Sarah Nuraini Siregar | 137
banyak berinteraksi dengan masyarakat dan dilatih untuk menghentikan kerusuhan dengan menggunakan kekerasan. Pada aspek individual, ternyata loyalitas terhadap atasan mengalahkan keinginan untuk berprestasi secara profesional, sehingga membuat petugas yang berpangkat rendah kurang termotivasi.18 Dalam situasi seperti ini, terlihat hadir di upacara-upacara lebih bermanfaat bagi pengembangan karir dibandingkan meluangkan waktu bertemu dengan warga dan mendengarkan keluhan mereka. Menurut sebuah studi, frekuensi kunjungan oleh petugas Polri dalam menemui warga tergantung pada bagaimana Kapolda setempat memberi perintah untuk melakukan itu kepada anggotanya. Tanpa adanya sistem insentif dalam pelaksanaan patroli, petugas jarang melakukannya apalagi dengan berjalan kaki. Tahun 2009, Kompolnas menemukan bahwa banyak anggota Polri yang tidak memahami pentingnya untuk berpatroli jalan kaki kalau kendaraan tersedia.19 menjadi bagian dari tugas Brimob; peran layaknya sebagai pasukan bertempur membuat Brimob bertendensi melihat sasaran polisi sebagai “musuh”. Sudah dilakukan beberapa upaya untuk melatih Brimob tentang HAM dan Polmas, tapi insideninsiden penggunaan kekuatan yang berlebihan masih terus terjadi. Lihat artikel yang dipublikasikan oleh KPTPI (Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia, Mereformasi Brigade Mobil Polri: Evaluasi Pelatihan HAM & Analisis Permasalahan Utama Reformasi Brimob, (Jakarta, Juni 2004). 18 Lihat Laporan Polri dalam Program Bantuan Pelatihan Investigasi Kriminal Internasional, Polda Sulawesi Selatan: Bertindak Lokal, Berpikir Nasional dengan Perspektif Global, (Desember 2005). 19 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Universitas Indonesia untuk Polri, lebih dari 67 persen responden di Jawa Tengah mengatakan polisi jarang atau tidak pernah mengunjungi warga, sementara lebih dari 50 persen responden di Sumatera Utara merasa petugas berupaya untuk mengunjungi tokoh masyarakat secara rutin. Ternyata kemudian diketahui bahwa Kapolda Sumatera Utara saat itu telah memerintahkan para petugas Polmasnya untuk menemui paling sedikit 20 tokoh setempat dalam seminggu, di mana hal ini memperlihatkan frekuensi kunjungan lebih dipengaruhi oleh ketaatan terhadap atasan daripada alasan profesional. Lihat Kompolnas, Polri dan Pemolisian Demokratis: Hasil Penelitian di Tiga Polda (Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan Kalimantan Timur, (Jakarta: Kompolnas, 2009) hlm. 167-170.
Lalu di aspek finansial, sudah menjadi “rahasia umum” mengenai meluasnya korupsi di tubuh Polri telah memicu keluarnya iimbauan dalam Grand Strategy 2005 terhadap anggota untuk menerapkan sistem peningkatan karir yang transparan dan menekankan bahwa gaya hidup bebas-suap para atasan sangat penting untuk meningkatkan kepercayaan internal.20 Tapi praktek seperti upeti atau hadiah dari petugas junior ke atasan mereka, menurut berbagai laporan, masih terjadi. Pendapatan dari pungutan liar memang bukan hanya untuk keuntungan pribadi tapi juga demi pembiayaan tugas kepolisian. Dana-dana gelap seperti ini biasa dipakai untuk berbagai hal dari mengisi bahan bakar kendaraan patroli sampai masuk untuk “uang saku” petugas yang siang malam harus menjaga aksi unjuk rasa. Di aspek pendidikan, sistem pendidikan Polri juga telah dinodai oleh korupsi, nepotisme dan budaya “diam.” Meski sudah ada kriteria yang jelas mengenai perekrutan, dan pengawasan yang lebih baik dalam proses rekrutmen dibanding sebelumnya, panitia seleksi masih bisa memberi kemudahan ketika pelamar adalah anak dari anggota Polri. Anakanak perwira Polri berpangkat tinggi punya kesempatan lebih baik dibandingkan yang lain. Budaya survival of the fittest (yang kuat akan menang) untuk menjamin status sejak masuk Polri menanamkan nilai dalam diri petugas yang sangat bertentangan dengan prinsip Polmas. Dalam hal penegakan hukum, meski berbagai peraturan telah dikeluarkan, namun dalam implementasinya segala kebijakan yang ada tidak dibarengi dengan performa Polri yang baik. Akibatnya, toleransi terhadap pelanggaran hukum oleh anggota Polri semakin kuat. Sikap toleran ini yang merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang, khususnya yang menyangkut penanganan internal Polri terhadap dugaan terjadinya korupsi. Contoh menarik adalah kasus Susno Duadji menyulut ketegangan antara Polri dengan KPK lewat isu “buaya versus cicak”, diikuti dengan penahanan dua komisioner KPK sehingga memancing kemarahan publik. Selain itu, dalam lima tahun belakangan ini terlihat dominannya Polri dalam pemberitaan di seluruh media massa terkait dugaan praktek korupsi, rekayasa kasus, dan mafia peradilan. Pemberitaan ini jelas akan berimbas pada 20
Lihat Dokumen Grand Strategy Polri 2005-2025.
138 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
capaian grand strategy, yaitu pembentukan kepercayan publik (trust building) publik terhadap Polri. Parameter berikutnya dalam mengukur pencapaian reformasi instrumental Polri adalah akuntabilitas. Fakta menunjukkan bahwa mekanisme pengawasan internal sebagai sumber akuntabilitas internal Polri dianggap tidak optimal. Sebenarnya telah ada Kompolnas yang bisa melakukan fungsi ini. Tetapi, berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 17 Tahun 2005 Pasal 4 menyatakan bahwa “Komisi Kepolisian Nasional adalah lembaga non struktural yang berfungsi memberi saran kepada presiden mengenai arah dan kebijakan Polri serta pengangkatan dan pemberhentian Kapolri”. Bahwa Kompolnas merupakan lembaga penasehat (advisory board) bukan lembaga pengawasan (oversight board). Hal ini karena Kompolnas tidak memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi mandiri terhadap Polri.
4. Dampak, Efek, dan Deviasi Reformasi Instrumental Polri Uraian atas implementasi reformasi instrumental tersebut jelas memberikan dampak maupun efek bagi kinerja Polri. Reformasi instrumental Polri masih mengidap problem yang dalam perjalanannya mempengaruhi efektivitas kinerja Polri. Permasalahan instrumental yang muncul adalah inkonsistensi dalam menjalankan suatu regulasi yang mengakibatkan Polri gamang dalam melaksanakan tugasnya. Bagaimanapun, patut ditekankan di awal, bahwa problem instrumental tersebut pada dasarnya tidak bersumber dari internal Polri per se, melainkan turut berperan pula faktor eksternal. Seperti paradigma Polri sebagai Polisi Sipil. Di tataran empirik, masih diakui bahwa karakter Polri masih jauh dari semangat sebagai Polisi Sipil. Hal ini timbul bukan semata karena tindak-tanduk polisi di lapangan yang namun juga karena tidak adanya ukuran yang memadai tentang ‘kesipilan’ dan ‘kedemokratisan’ Polri era reformasi. Tidak adanya ukuran atau kesulitan penentuan benchmark merupakan problem dalam mengevaluasi fungsi pemolisian yang diemban Polri, terlebih lagi dalam konteks reformasi instrumental.21 Pendapat yang disampaikan oleh salah seorang narasumber dari kalangan akademisi dalam Focus 21
Kemudian, dalam melihat deviasi dalam reformasi instrumental Polri, setidaknya dapat mengarah pada dua isu, yaitu implementasi penghargaan terhadap HAM, karakter Polri di mata masyarakat, dan bagaimana kinerja Polri di masing-masing periode kepemimpinan Kapolri. Berdasarkan laporan Komnas HAM, laporan pengaduan masyarakat terhadap dugaan tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan Polri mengalami peningkatan. Pada tahun 2009, pengaduan tentang Polri adalah sebanyak 1.420, kemudian meningkat menjadi 1.503 pada tahun 2010 dan 1.839 pada tahun 2011.22 Dengan jumlah pengaduan 1.839 pada tahun 2011, Polri menjadi pihak yang paling banyak diadukan kepada Komnas HAM dibandingkan institusi lainnya, misalnya dengan TNI yang memiliki jumlah pengaduan 240, lembaga peradilan adalah 520, dan korporasi adalah 1068.23 Tabel di bawah ini memperlihatkan jumlah berkas pengaduan per bulan dan tipologi pelanggaran HAM yang dilakukan Polri untuk tahun 2011. (Lihat tabel 4) Laporan Komnas HAM tersebut merupakan catatan hitam dalam pelaksanaan fungsi dan tugas Polri. Posisi sebagai salah satu institusi negara yang paling banyak diadukan karena melakukan pelanggaran HAM, bahkan menjadi pelanggar pertama tahun 2011, tampak kontras dengan peraturan internal Polri yang dibuat untuk menghindari praktek-praktek penyelewengan kewenangan atau pelanggaran HAM tersebut. Beberapa peraturan di antaranya memang dibuat sebelum tahun 2011, namun hal tersebut tidak menjadi alasan bagi anggota Polri untuk melakukan tindakan yang melanggar HAM. Terlebih lagi, sejak tahun 2009, Kapolri mensahkan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaran Tugas Polri, dan oleh karena itu, Polri semestinya mampu melakukan antisipasi atau pembinaan internal kepada anggotanya. Merupakan suatu ironi ketika Group Discussion Reformasi Instrumental Polri, 1999-2011 yang diselenggarakan tim riset Reformasi Polri, Pusat Penelitian Politik – LIPI, pada 19 September 2012, di Jakarta. 22 Stanley Adi Prasetyo, “Polisi Masih Dikecam: Potret 10 Tahun Reformasi Polri,” Makalah dalam diskusi “Reformasi Polri: Menuju Polri yang Profesional Dalam Melayani Masyarakat” yang diselenggarakan oleh Sekretariat Wakil Presiden, 30 April 2012, di Jakarta. 23 Ibid.
Pencapaian Reformasi Instrumental Polri 1999-2011 | Sarah Nuraini Siregar | 139
Tabel 4. Tipologi Pelanggaran HAM oleh Polri
Sumber: Stanley, 2012
Perkap tentang HAM ini disahkan, jumlah berkas pengaduan pelanggaran oleh Polri yang diterima Komnas HAM justru mengalami kenaikan. Respon publik atas suatu peristiwa yang berhubungan dengan Polri juga dapat menjadi indikator dalam menilai bagaimana kualitas pencapaian reformasi instrumental Polri pada kurun waktu 14 tahun terakhir. Saat masyarakat memberikan penilaian yang rendah, terdapat dua kemungkinan sebagai sumber masalah, pertama, reformasi instrumental belum menyentuh kebutuhan masyarakat, misalnya karena belum tersedianya peraturan atau adanya tumpang-tindih peraturan yang membuat peraturan menjadi tidak berjalan di lapangan. Kedua, problem dalam pelaksanaan peraturan di lapangan yang mungkin terjadi karena misconduct yang dilakukan oleh anggota Polri. Temuan lain adalah penilaian publik terhadap Polri memiliki sifat fluktuatif. Dalam jangka satu tahun, citra positif terhadap Polri dapat meningkat atau menurun secara drastis maupun inkremental (bertahap). Perubahan pada penilaian publik tersebut dipengaruhi oleh banyak hal, namun yang paling menonjol adalah mencuatnya beberapa kasus pelanggaran hukum dan penyelewengan wewenang yang diberitakan oleh media. Tabel berikut ini merupakan tabulasi citra positif Polri (%) pada kurun waktu 2002 hingga 2012. Selanjutnya, tabel tersebut dipadukan dengan jumlah Peraturan Kapolri yang disahkan pada kurun waktu 2005 hingga 2012. (Lihat
Tabel 5) Pada era Sutanto, citra positif Polri mengalami penurunan secara berturut-turut, dari 55,2% menjadi 46,7% tahun 2008. Peristiwa terorisme, pada derajat tertentu, telah menenggelamkan gebrakan Kapolri Jend. Soetanto di awal kepemimpinannya dalam menindak kasus premanisme dan judi. Pada aras reformasi instrumental, Soetanto berupaya untuk melaksanakan program prioritas yang dicanangkan Grand Strategy Polri.24 Pada era Bambang Hendarso Danuri, citra positif mengalami kenaikan signifikan ke angka 57,1%, namun kemudian turun menjadi 49,1%. Periode ini merupakan periode turbulensi dimana relasi Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk pertama kalinya mengalami ketegangan. Publik mengenal peristiwa ini dengan sebutan ‘Cicak versus Buaya,’ di mana ‘Cicak’ merujuk kepada KPK yang berupaya menyelidiki kasus korupsi yang melibatkan petinggi Polri (Susno Duadji) dan ‘Buaya’ adalah Polri yang ingin membawa kasus tersebut ke ranah penyelidikanpenyidikan Polri sendiri. Hasil akhir ketegangan ini menempatkan Polri pada posisi yang sama sekali tidak menguntungkan. Pada era Timur Pradopo, citra positif Polri pun mengalami kenaikan (53%) dan penurunan (46,1%). Problem yang mesti dihadapi Polri pun semakin kompleks karena tindakan Wawancara dengan Kepala Sekolah Staf dan Pimpinan Polri beserta jajaran Widya Iswara, pada 17 April 2012, di Bandung. 24
140 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Tabel 5. Tren citra positif Polri (%) 2002-201225
N=811-1100 * Peraturan Kapolri dibuat setelah disahkannya UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tahun 2004. Keputusan Kapolri yang disahkan sebelum adanya UU tersebut kemudian diubah menjadi Peraturan Kapolri ** Sampai dengan 19 September 2012 Sumber: Tabulasi hasil survei harian KOMPAS (2012) yang diolah kembali
brutalitas Polri dalam menghadapi masyarakat sering diangkat ke permukaan oleh media. Kasus bentrokan antara anggota Polri dengan masyarakat di Bima dan Mesuji merupakan preseden buruk bagi Polri dalam menegakkan hukum serta menghargai HAM. Kinerja Polri pun disoroti dalam hal diskriminasi penyelesaian kasus. Selain itu, kasus dugaan korupsi di Korps Lalu Lintas Polri yang untuk kedua kalinya menghadapkan Polri dan KPK membuat profil Polri di mata publik semakin tidak bagus.25
ketika Polri dihadapkan kepada kasus yang melibatkan anggota atau petinggi, serta gengsi korps. Kalangan internal Polri, bagaimanapun, menyadari kelemahan tersebut dan oleh karena itu, sebagaimana disampaikan seorang Widya Iswara Sekolah Staf dan Pimpinan Polri, “Perkap perlu didukung oleh regulasi lain, termasuk dari instrumen yang dibuat oleh instansi lain.”26
Pada kurun waktu 2005-September 2012, Polri telah memiliki sedikitnya 177 Peraturan Kapolri (Perkap) yang sebagian besar mengandung substansi reformasi atau tata kelola internal kepolisian. Perbandingan antara fluktuasi citra positif Polri dengan jumlah Perkap memungkinkan untuk diajukannya sebuah hipotesis bahwasanya keberadaan Perkap belum berkontribusi banyak bagi konsistensi tingginya citra positif Polri di masyarakat. Dengan kata lain, reformasi instrumental Polri masih mengandung problem yang satu di antaranya mudah dideteksi, yaitu adanya bottleneck atau kemacetan di antara Perkap yang mengatur serta menghimbau agar anggota Polri untuk menghormati HAM serta terbuka, dengan realisasi Perkap tersebut di lapangan, khususnya
Dalam konteks Reformasi Polri, reformasi instrumental Polri adalah bagian integral dari reformasi menyeluruh di tubuh Polri yang mencakup reformasi struktural, reformasi instrumental dan reformasi kultural yang intinya adalah menjadikan Polri sebagai “Institusi yang bertanggung jawab di bidang keamanan negara yang profesional dan mandiri.”
Penutup
Secara khusus, reformasi instrumental memberikan payung hukum, baik dalam bentuk UU maupun berbagai Keputusan Kapolri, agar reformasi struktural dan reformasi kultural dapat berjalan di tubuh Polri secara baik. Ada beberapa butir penting yang terkandung di dalam reformasi instrumental Polri tersebut. Pertama, bagaimana Polri kembali kepada Wawancara dengan Kepala Sekolah Staf dan Pimpinan Polri beserta jajaran Widya Iswara, pada 17 April 2012, di Bandung. 26
“Jelaga Hitam di Tubuh Polri,” Kompas, Senin, 2 Juli 2012. 25
Pencapaian Reformasi Instrumental Polri 1999-2011 | Sarah Nuraini Siregar | 141
khittahnya sebagai pelindung, pengayom, pelayan dan penegak hukum di negeri ini. Karena itu, dikedepankannya kembali doktrin Tribatra dan Catur Prasetya Polri merupakan wujud dari upaya Polri untuk menjadi institusi keamanan negara yang mumpuni.27 Kedua, upaya Polri untuk mengubah wajah dan tingkah laku Polri dari yang dulu menjadi bagian dari ABRI menjadi Polri yang berwajah sipil. Karena itu, pendekatan dialogis dan preventif dalam menangani masalah perlu terus menerus dikedepankan oleh jajaran Polri, dari tingkat pusat sampai ke daerah. Langkah represif harus menjadi pilihan langkah terakhir yang dapat dilakukan aparat Polri jika pendekatan dialogis sudah tidak lagi dapat dilakukan. Ketiga, upaya Polri untuk membenahi jajaran internalnya dari tingkah laku yang koruptif dan kolusif juga merupakan langkah yang harus dipandang sebagai sesuatu yang amat berharga. Pemasangan pin di dada kanan yang bertuliskan Anti KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) setidaknya mengingatkan bahwa itu bukanlah sekedar slogan, melainkan sesuatu yang harus dekat di hati para aparat Polri Keempat, reformasi instrumental juga terkait dengan bagaimana Polri merekrut, mendidik dan menempatkan aparatnya pada jabatan atas dasar kapasitas dan rekam jejak yang baik. Ini untuk menghilangkan budaya lama di dalam tubuh Polri yang lebih mengedepankan aspek loyalitas kepada atasan sebagai penentu utama diberikannya jabatan kepada perwira pertama, menengah dan tinggi Polri. Kelima, upaya meningkatkan kapasitas anggota Polri agar dapat menjalankan fungsi diskresi di lapangan secara profesional merupakan hal yang penting untuk pelayanan masyarakat, penegakan hukum, dan terciptanya aspek keadilan di dalam masyarakat. Karena itulah cara represif dalam menangani tersangka pelanggaran hukum, harus sudah semakin ditinggalkan oleh jajaran Polri. Keenam, program Polmas masih terus dijalankan Polri agar mendekati kesempurnaan baik dalam konsep maupun pelaksanaannya. Kita juga melihat bantuan dari berbagai negara yang mencoba memberikan pengalaman mereka dalam program ini. Namun perlu disadari bahwa Lihat uraian pada Bab II, Bab III, dan Bab V laporan penelitian ini. 27
suatu konsep yang baik belum tentu cocok dengan kondisi di Indonesia. Suatu konsep yang baik untuk daerah perkotaan seperti Jakarta, belum tentu pula dapat diterapkan secara seragam di kota-kota lain, apalagi di daerah pedesaan. Karena itu sentuhan-sentuhan khusus tetap diperlukan di dalam menerapkan Polmas. Harus diakui juga bahwa tidak sedikit kemajuan yang dilakukan oleh Polri di dalam menerapkan reformasi instrumentalnya.28 Namun perlu dilihat juga masih banyak kekurangan yang harus diselesaikan Polri. Dari sisi paradigma baru Polri sebagai polisi sipil, dalam kurun waktu 12 tahun ini, Polri sekuat tenaga telah berupaya untuk memenuhi harapan masyarakat agar mengubah dirinya dari polisi yang militeristik menjadi berwajah sipil. Ini bukan berarti bahwa segala yang berbau militer itu buruk, karena biar bagaimana pun Polri harus tetap seperti militer yang memiliki jalur komando yang kuat dan tegas dari pusat sampai ke daerah. Tantangan utama adalah menjadikan Polri semakin profesional dan mandiri tidak cukup melalui berbagai perangkat instrumen aturan hukum semata, melainkan juga harus didorong oleh masyarakat dan didukung oleh kalangan Polri sendiri. Tantangan yang juga tidak kalah pentingnya adalah bagaimana negara dapat memenuhi kebutuhan hidup personel Polri dan juga kebutuhan operasional Polri yang makin hari makin membesar. Bila kita menganalisis bagaimana prospek reformasi instrumental Polri khususnya dan reformasi internal Polri secara keseluruhan, kita percaya bahwa pembentukan Polri yang profesional dan mandiri bukanlah suatu impian semusim. Karena itu, tiada jalan lain bagi Polri untuk dapat dicintai rakyat dan menjadi institusi yang mampu menciptakan keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat, yakni Polri harus menanggalkan kebiasaan-kebiasaan lama yang buruk (melanggar HAM, melakukan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), tidak cepat merespon laporan masyarakat, tidak akuntabel dan sebagainya) menjadi Polri dengan paradigma baru sebagai polisi sipil yang Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Divisi Hukum, Pencapaian Reformasi Instrumental Polri 1999-2011, disampaikan dalam rangka diskusi kegiatan penelitian DIPA Pusat Penelitian Politik LIPI tahun 2012, Jakarta, 12 September 2012. 28
142 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
profesional dan mandiri sesuai dengan kaidah demokrasi.
Daftar Pustaka Buku Djamin, Awaloeddin et al. 2006. Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia. Jakarta: PTIK. Djamin, Jend. Pol (Purn) Prof. Dr. Awaloedin, MPA. 2007. Kedudukan Kepolisian RI dalam Sistem Ketatanegaraan : Dulu, Kini, dan Esok. Jakarta: PTIK Press. Kompolnas. 2009. Polri dan Pemolisian Demokratis: Hasil Penelitian di Tiga Polda (Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan Kalimantan Timur. Jakarta: Kompolnas. KPTPI (Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia). 2004. Mereformasi Brigade Mobil Polri: Evaluasi Pelatihan HAM & Analisis Permasalahan Utama Reformasi Brimob. Jakarta. Laporan Polri dalam Program Bantuan Pelatihan Investigasi Kriminal Internasional. 2005. Polda Sulawesi Selatan: Bertindak Lokal, Berpikir Nasional dengan Perspektif Global. Osse, Anneke. 2007. Memahami Pemolisian. Jakarta: Rinam Antartika. Rahardjo, Satjipto. 2007. Membangun Polisi Sipil: Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan. Jakarta: Kompas. Sutanto, Hermawan Sulistiyo, Tjuk Sugiarso. 2008. Polmas: Falsafah Baru Pemolisian. Jakarta: Pensil-324. Umar, Bambang Widodo. 2009. Reformasi Kepolisian Republik Indonesia: Sebuah Toolkit. Jakarta: IDSPS Press. Widjajanto, Andi (Ed). 2004. Reformasi Sektor Keamanan Indonesia. Jakarta: ProPatria.
IDSPS. 2008. Reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Seri 6), Edisi No. 6. Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Divisi Hukum, 2012 (makalah) Pencapaian Reformasi Instrumental Polri 1999-2011, disampaikan pada Focus Group Discussion Pusat Penelitian Politik LIPI di Jakarta. Prasetyo, Stanley Adi. 2012. “Polisi Masih Dikecam: Potret 10 Tahun Reformasi Polri,” (makalah) dalam diskusi “Reformasi Polri: Menuju Polri yang Profesional Dalam Melayani Masyarakat, Jakarta: Sekretariat Wakil Presiden. Transkrip Wawancara dengan Kepala Sekolah Staf dan Pimpinan Polri beserta jajaran Widya Iswara, Bandung: 2012. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Surat Kabar dan Website http://www.thecceli.com/dok/dokumen/jurnal/ jimly.j014.htm Kompas, Senin, 2 Juli 2012. http://polrireformasi.blogspot.com/2012/03/ reformasi-polri.html
Laporan dan Makalah Dokumen Buku Biru Polri. 1999. Reformasi Menuju Polri yang Profesional. Jakarta. Dokumen Grand Strategy Polri 2005-2025. Focus Group Discussion Pencapaian Reformasi Instrumental Polri 1999-201, Jakarta: Pusat Penelitian Politik – LIPI 2012. ICG Report No. 13. 2001. Indonesia: Reformasi Kepolisian Nasional. Jakarta, 20 Februari.
Pencapaian Reformasi Instrumental Polri 1999-2011 | Sarah Nuraini Siregar | 143
144 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
EVALUASI SISTEM KEPARTAIAN DI ERA REFORMASI EVALUATION OF PARTY SYSTEM IN THE REFORMATION ERA1 Luky Sandra Amalia Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 24 Juli 2013; direvisi: 3 September 2013; disetujui: 4 Desember 2013 Abstract This research report is about evaluation of party system in the reformation era, including the problem of party system dan the factors that contribute to them. Using descriptive-explanative approach, this research found two options to simplify the party system, namely by changing the election system or by institution engineering. The first choice might produce multiparty system with two dominant parties in parliament whereas the second one may deliver moderate multiparty system with two big permanent coalitions in parliament. Besides that, reformation of parties’ character, from pragmatic parties into ones which have clear platform and vision, is also important to do. Keywords: party system Abstrak Tulisan ini memfokuskan kajian pada evaluasi sistem kepartaian era reformasi, yaitu mengenai realitas sistem kepartaian yang berkembang selama era reformasi; problematika sistem kepartaian yang ada; dan faktorfaktor yang melatarbelakangi realitas dan problematika tersebut. Dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan tujuan deskriptif-eksplanatif, diperoleh dua cara untuk menyederhanakan sistem kepartaian, yakni mengubah sistem pemilu atau melalui rekayasa institusi. Pilihan pertama diharapkan bisa menghasilkan sistem multipartai dengan dua parpol dominan di DPR, sedangkan pilihan kedua menghasilkan sistem multipartai sederhana dengan dua koalisi besar yang bersifat permanen di parlemen. Namun demikian, tak kalah pentingnya adalah reformasi karakter parpol, dari parpol pragmatis dan berorientasi jangka pendek menjadi parpol yang memiliki platform politik dan visi kebangsaan yang jelas. Kata kunci: sistem kepartaian
Pendahuluan Di balik penerapan sistem multipartai dalam tiga kali pemilu pasca Orde Baru banyak persoalan muncul dalam kepartaian di Indonesia. Persoalan kinerja parpol dan inkompatibilitas sistem multipartai dengan sistem pemerintahan presidensial merupakan persoalan yang banyak disinggung dalam diskusi akademis, selain keberadaan parpol lokal di Aceh yang merupakan keganjilan dalam sistem kepartaian.
Sebagai salah satu pilar demokrasi, parpol merupakan wadah perjuangan bagi masyarakat untuk mewujudkan kehidupan politik yang lebih baik. Masyarakat semestinya dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingannya melalui parpol. Namun kenyataannya, keberadaan parpol tidak berbanding lurus dengan fungsi yang diembannya. Parpol yang hadir masih dianggap sebagai masalah ketimbang solusi bagi demokratisasi di Indonesia.
Tim Peneliti terdiri dari Luky Sandra Amalia (Koordinator), Syamsuddin Haris, Lili Romli, Wawan Ichwanuddin, dan Aisah Putri Budiatri. 1
Evaluasi Sistem Kepartaian di Era Reformasi | Luky Sandra Amalia | 145
Secara umum, parpol hanya bekerja ketika menjelang pemilu saja sehingga hubungan antara masyarakat sebagai pemilih dengan parpol menjadi lemah.2 Selain itu, parpol juga cenderung untuk lebih mementingkan partai, kelompok, dan pribadi.3 Ketidakpercayaan tersebut timbul karena orientasi partai politik terhadap kepentingan rakyat cenderung dikalahkan oleh kepentingan pribadi dan golongan. Bahkan, parpol seringkali lupa memenuhi janji-janji kampanyenya kepada konstituen setelah memperoleh kekuasaan. Ketidakpercayaan masyarakat ini bukan hanya ditujukan kepada parpol lama, melainkan juga terhadap partai baru.4 1
Sistem multipartai yang ada ‘gagal’ menghasilkan mayoritas di DPR. Banyaknya parpol yang masuk ke DPR dengan perolehan kursi yang relatif menyebar cenderung memperpanjang proses pengambilan keputusan di lembaga legislatif. Proses pengambilan keputusan kerap diwarnai oleh negosiasinegosiasi politik berorientasi jangka pendek yang cenderung mengabaikan kepentingan publik. Hal ini dapat dilihat dari usul penggunaan hak interpelasi dan hak angket, serta penarikan kembali atas usulan tersebut memperlihatkan adanya negosiasi-negosiasi politik berorientasi jangka pendek tersebut. Hal ini akhirnya berdampak pada munculnya kecenderungan perilaku parlementarianisme di kalangan anggota parlemen di satu pihak dan tidak efektifnya sistem presidensial di pihak yang lain.5 Jadi, bertambahnya jumlah partai 1 2
Lili Romli (Ed.), Pelembagaan Partai Politik Pasca-Orde Baru Studi Kasus Partai Golkar, PKB, PBB, PBR, dan PDS, (Jakarta: P2P-LIPI, 2008), hlm. 2. 3 Lili Romli, “Pandangan Urang Awak terhadap Partai Politik: Kasus Sumatra Barat”, dalam Syamsuddin Haris (ed), Persepsi Masyarakat terhadap Partai Politik Peserta Pemilu 2004, Jakarta: Pusat Penelitian Politik-LIPI dan Balitbang Depdagri, 2003, hlm. 80. 4 Luky Sandra Amalia, ”DPRD Banten: Relasi Formalistik dengan Konstituen”, dalam Lili Romli dan Luky Sandra Amalia (ed.), Kecenderungan Hubungan Anggota Legislatif dan Konstituen: Studi DPRD Provinsi Banten Hasil Pemilu 2009, (Jakarta:P2P-LIPI, 2010), hlm. 91. 5 Dikutip dari “Masukan LIPI Dalam Rangka Pembahasan RUU Tentang Partai Politik dan RUU Tentang Susduk”, diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan dalam www. parlemen.net., diakses pada tanggal 10 Oktober 2012.
yang masuk parlemen tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kinerja sistem perwakilan yang ada. Selain terkait dengan persoalan kualitas partai sebagai institusi individual, persoalan ini juga tidak dapat dilepaskan dari postur sistem kepartaian yang ada yang cenderung terlalu banyak. Dalam uraian di atas telah disebutkan bahwa ada dua persoalan yang terkait parpol dan sistem kepartaian di era reformasi, yaitu buruknya kinerja parpol dan inkompatibilitas sistem multipartai dengan sistem pemerintahan presidensial yang diterapkan di Indonesia. Kedua persoalan tersebut saling berkaitan dan tidak dapat diselesaikan hanya salah satunya. Proses institusionalisasi parpol tidak mungkin optimal jika sistem kepartaian tidak memberikan dukungan yang memadai, misalnya multipartai yang ekstrim, baik karena jumlah maupun jarak ideologisnya. Demikian pula sebaliknya, penataan sistem kepartaian tidak akan memberikan kontribusi yang optimal, misalnya melalui penyederhanaan jumlah partai, jika parpol tidak bertransformasi dari sekedar organisasi menjadi institusi. Tulisan ini memfokuskan kajian pada evaluasi sistem kepartaian era reformasi, yaitu mengenai realitas sistem kepartaian yang berkembang selama era reformasi; problematika sistem kepartaian yang ada; faktor-faktor yang melatarbelakangi realitas dan problematika tersebut. Meskipun demikian, analisis mengenai realitas partai sebagai institusi individual tidak mungkin dihindari. Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan yang dijawab pada tulisan ini, yaitu: (1). Apa saja problematika sistem kepartaian di Indonesia era reformasi? (2). Faktor-faktor apa yang melatarbelakanginya? (3). Mengapa sistem kepartaian yang ada belum berkontribusi terhadap pembentukan pemerintahan yang efektif? (4). Bagaimana desain sistem kepartaian dalam konteks menganyam kembali demokrasi Indonesia ke depan?
Konsep Sistem Kepartaian 1. Sistem Kepartaian Berdasarkan Jumlah Partai Politik Pendekatan sistem kepartaian berdasarkan jumlah partai yang memperoleh kursi di parlemen, menurut Maurice Duverger (1954)
146 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
sebagaimana dikutip oleh Ramlan Surbakti, terdiri atas tiga kelompok, yaitu sistem partai tunggal, sistem dua partai (dwipartai), dan sistem multipartai.6 Pertama, sistem partai tunggal adalah sistem yang didominasi oleh satu partai di parlemen. Bentuk sistem partai tunggal antara lain partai tunggal totaliter, otoriter, dan dominan. Dalam sistem partai tunggal totaliter terdapat satu partai yang menguasai pemerintahan dan militer, bahkan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Partai tunggal totaliter biasanya merupakan partai doktriner dan diterapkan di negara-negara komunis dan fasis. Sementara itu, dalam sistem partai tunggal otoriter sebenarnya terdapat lebih dari satu partai, tetapi ada satu partai besar yang digunakan oleh penguasa untuk memobilisasi massa dan mengesahkan kekuasaannya, sedangkan partaipartai lain kurang dapat menampilkan diri karena ruang geraknya dibatasi penguasa. Dengan kata lain, partai dikuasai oleh pemerintah dan militer. Contoh partai tunggal otoriter adalah Partai Uni Nasional Afrika Tanzania (UNAT) dan Partai Aksi Rakyat Singapura. Lain halnya dengan sistem partai tunggal dominan. Dalam sistem ini, meskipun terdapat lebih dari satu partai tetapi hanya satu partai saja yang dominan (secara terus-menerus berhasil mendapatkan dukungan untuk berkuasa). Sedangkan partaipartai lain tidak mampu menyaingi partai yang dominan, walaupun terdapat kesempatan yang sama untuk mendapatkan dukungan melalui pemilihan umum. Contoh partai tunggal dominan adalah Partai Liberal Demokrat di Jepang hingga tahun 2007. Kedua, sistem dua partai, sesuai dengan namanya, merupakan sistem kepartaian yang di dalamnya terdapat dua partai utama yang bersaing dalam pemilihan umum. Partaipartai kecil hanya berpengaruh apabila dalam pemilu selisih perolehan suara kedua partai besar sangat kecil. Dalam sistem ini terdapat pembagian tugas yang jelas yakni partai yang memenangkan pemilu menjadi partai yang memerintah, sedangkan partai yang kalah dalam pemilu menjadi oposisi yang loyal terhadap kebijakan pemerintah. Pada dasarnya, tidak banyak perbedaan mengenai asas dan tujuan politik di antara kedua partai. Perbedaannya hanya pada titik berat dan cara menyelesaikan Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1998), hlm. 125.. 6
persoalan. Sistem ini biasanya menggunakan sistem pemilu distrik, yaitu satu kursi per daerah pemilihan dan yang dipilih calon bukan tanda gambar partai. Namun demikian, menurut Peter G.J. Pulzer (1967), terdapat tiga syarat supaya sistem dwipartai ini bisa berjalan baik. Pertama, jika komposisi masyarakat bersifat homogen (social homogenity). Kedua, apabila ada konsensus kuat dalam masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial politik (political consensus). Dan, ketika ada kontinuitas sejarah (historical continuity).7 Jika diterapkan dalam masyarakat yang terpolarisasi, menurut Robert A. Dahl (1966), sistem ini dapat mempertajam perbedaan pandangan antara kedua belah pihak karena tidak ada kelompok di tengah-tengah yang dapat meredakan suasana konflik.8 Contoh negara yang menerapkan sistem kepartaian dwi-partai adalah Inggris (Partai Buruh dan Partai Konservatif) dan Amerika Serikat (Partai Republik dan Partai Demokrat). Ketiga, sistem multipartai, sebagaimana namanya, merupakan sistem yang terdiri atas lebih dari dua partai politik dominan. Menurut Maurice Duverger (1954), sistem ini merupakan produk dari struktur masyarakat yang majemuk. Dalam sistem ini hampir tidak ada partai yang memenangi pemilu mutlak. Oleh karena itu, koalisi mutlak diperlukan untuk memperkuat pemerintahan. Namun demikian, dukungan koalisi bisa ditarik kembali sewaktu-waktu. Selain itu, dalam sistem ini tidak ada kejelasan posisi partai oposisi sebab sewaktu-waktu partai oposisi bisa menjadi bagian pemerintahan. Dengan kata lain, dalam sistem ini seringkali terjadi siasat yang berubah-ubah sesuai dengan kegentingan situasi yang dihadapi masingmasing partai politik. Sistem ini menggunakan sistem pemilu proporsional/perwakilan berimbang (proportional representation) yang memberi kesempatan luas bagi pertumbuhan partai-partai dan golongan-golongan baru.9 Dalam perkembangannya, sistem kepartaian berbasis jumlah partai terus mengalami modifikasi,10 diantaranya Sartori Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 417. 8 Ibid., hlm. 418. 9 Ibid., hlm. 420. 10 Dikutip dari Sigit Pamungkas, Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia, (Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism, 2011), hlm. 45-46. 7
Evaluasi Sistem Kepartaian di Era Reformasi | Luky Sandra Amalia | 147
(1976) yang berpendapat bahwa penghitungan jumlah partai tidak semata-mata pada perolehan kursi di parlemen, tetapi juga harus didasarkan pada potensi koalisi dan blackmail (parpol yang dianggap tidak layak untuk ikut dalam pemerintahan oleh parpol lain, tetapi bisa mempengaruhi arah koalisi di parlemen). Sementara itu, menurut Riswanda Imawan (1996), setidaknya ada dua faktor yang menentukan kinerja sebuah sistem kepartaian.11 Pertama, jumlah partai yang ada. Kedua, independensi partai-partai yang ada. Jumlah partai menentukan kompleksitas interaksi atau kompleksitas konflik yang ada dalam masyarakat. Bila jumlah partai terlalu banyak, bisa jadi isu-isu yang kurang penting atau kurang relevan dibicarakan pada tingkat negara masuk dalam mekanisme politik yang berlangsung. Sebaliknya, jika jumlah partai terlalu sedikit sementara masyarakatnya plural, maka bisa jadi akan terjadi simplifikasi terhadap aspirasi masyarakat berkembang. Realitas konfigurasi politik tanpa kekuatan mayoritas di DPR menyebabkan pihak eksekutif harus membangun koalisi dengan partai lain dalam membentuk kabinet. Sejak periode pemerintahan 1999 hingga 2009 tercatat setiap presiden mengakomodir hampir semua parpol untuk menduduki kursi menteri. Misalnya, Kabinet Persatuan Nasional era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendapat dukungan 437 kursi yang terdiri dari PKB (51 kursi), Partai Golkar (120 kursi), PDIP (153 kursi), PPP (58 kursi), PAN (34 kursi), PBB (13 kursi), dan Partai Keadilan (7 kursi). Kabinet Gotong Royong masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri melanjutkan pola koalisi yang telah dibentuk oleh Gus Dur namun berkurang tujuh kursi milik Partai Keadilan yang tidak lagi duduk di kabinet. Hal yang sama juga terjadi pada Kabinet Indonesia Bersatu era Presiden SBY yang berhasil meraih dukungan 403 kursi setelah membangun koalisi. KIB memperoleh dukungan 56 kursi dari Partai Demokrat sebagai partai pengusung utama SBY, 11 kursi dari PBB, 45 kursi dari PKS, 1 kursi dari PKPI, 127 kursi Partai Golkar, 58 kursi PPP, 53 kursi PAN, dan 52 kursi PKB. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hampir semua presiden di era reformasi merupakan presiden minoritas (minority president) karena partainya tidak 11
mencapai dukungan mayoritas di DPR. Di sisi lain, koalisi longgar yang dibangun oleh presiden minoritas justru bisa jadi masalah bagi pemerintahan itu sendiri. Seperti halnya yang terjadi pada masa kepemimpinan Gus Dur yang digulingkan dari kursi presiden atas inisiatif partai-partai pendukung pemerintah dan koalisi longgar partai-partai berbasis Islam yang menamakan diri Poros Tengah. Padahal, koalisi ini juga yang mengusung Gus Dur menjadi Presiden pada Sidang Umum MPR tahun 1999. Meskipun pada era pemerintahan berikutnya tidak terjadi pemakzulan terhadap presiden, kecenderungan yang sama juga terjadi pada masa pemerintahan Megawati maupun SBY melalui cara lain. Cara yang digunakan oleh DPR adalah melalui penggunaan hak interpelasi atau hak angket DPR. Sebagai contoh, pada masa pemerintahan Presiden Megawati, DPR mengajukan hak interpelasi atas lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan. Hak interpelasi DPR ini juga didukung oleh partai-partai yang kader-kadernya duduk di Kabinet Gotong Royong. Kejadian yang sama juga menimpa pemerintahan SBY. Dengan demikian, sejak Pemilu 1999 hingga 2009 tidak ada koalisi yang permanen. Pada putaran kedua Pemilu Presiden 2004, misalnya, terbangun koalisi yang cukup longgar untuk memenangkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Partai politik terbagi ke dalam dua koalisi besar yang menamakan diri dengan koalisi kebangsaan dan koalisi kerakyatan, yang ujung-ujungnya terlibat dalam pertarungan perebutan kursi pimpinan Dewan maupun kursi pimpinan alat kelengkapan DPR yang lain. Komposisi kekuatan Koalisi Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan berubah drastis seiring dengan perubahan konstelasi politik yang terjadi di internal Partai Golkar. Kemenangan Jusuf Kalla (JK) mengalahkan Akbar Tandjung dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar mengubah arah politik Partai Golkar sekaligus Fraksi Partai Golkar (FPG) sebagai perpanjangan tangan partai. Jusuf Kalla yang tengah menjabat sebagai Wakil Presiden tentu saja menarik Partai Golkar dari Koalisi Kebangsaan yang berseberangan dengan pemerintah menuju Koalisi Kerakyatan yang mendukung pemerintah. Perubahan tersebut tentu berimbas pada komposisi kekuatan Koalisi Kebangsaan yang telah menguasai 58
Ibid., hlm. 59-60.
148 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
persen (317 kursi) parlemen menjadi 35 persen (188 orang) begitu ditinggalkan FPG.12 Dengan demikian, koalisi yang terbangun di antara fraksi ini sangat rapuh dan tidak permanen. Lebih lanjut, kedua kelompok koalisi ini bubar dengan sendirinya setelah FPG menarik diri dari Koalisi Kebangsaan dan sebagian anggota fraksi, baik yang tergabung dalam Koalisi Kerakyatan maupun Koalisi Kebangsaan, duduk dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Dengan kata lain, ketidakdisiplinan partai politik anggota koalisi dalam mempertahankan koalisi merupakan persoalan dari penerapan sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem multipartai.
2. Sistem Kepartaian Berdasarkan Jarak Ideologi Sistem kepartaian berdasarkan jarak ideologi, menurut Daniel Dhakidae (1999), dapat dibedakan berdasarkan lima hal. Pertama, perbedaan atas orientasi dasar. Kedua, perbedaan pada tujuan konkret yang hendak dicapai. Ketiga, perbedaan tentang cara mencapai tujuan. Keempat, perbedaan dalam menilai kepribadian politik. Kelima, perbedaan pada komposisi partai atau fraksi, terutama basis massa dan pengumpulan kekuatan politik. Dengan demikian, semakin besar perbedaan tersebut, semakin jauh jarak ideologi antarparpol.13 Giovani Sartori (1976), secara umum membagi sistem kepartaian ke dalam tiga kelompok berdasarkan jarak ideologi.14 Pertama, sistem kepartaian pluralisme sederhana. Pada sistem ini tidak terdapat perbedaan ideologi di antara partai-partai politik yang ada meskipun jumlah partai lebih dari dua. Contoh negara yang menerapkan sistem ini adalah Amerika Serikat. Kedua, sistem pluralisme moderat. Dalam sistem ini terdapat perbedaan ideologi di antara partaipartai politik yang ada, tetapi perbedaannya tidak terlalu jauh sehingga masih memungkinkan untuk mencapai kesepakatan. Persamaan kedua sistem kepartaian di atas adalah perilaku partaipartai politiknya masih mengarah ke integrasi nasional, bukan perpecahan. Contoh negara Muhammad Qodari, “Kembalinya Tradisi Golkar”, Kompas, 21 Desember 2004, hlm. 6. 13 Daniel Dhakidae (Ed.), Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi, Strategi, dan Program, (Jakarta: Kompas, 1999), hlm. 196. 14 Ramlan Surbakti, op.cit, hlm. 127-128. 12
yang menerapkan sistem ini adalah Belanda. Ketiga, sistem pluralisme ekstrim. Dalam sistem ini terdapat perbedaan ideologi yang tajam di antara partai-partai politik yang ada. Dalam sistem ini biasanya konsensus sulit dicapai dan perilaku partai-partai politiknya mengarah ke perpecahan. Contohnya, Italia. Namun demikian, masih menurut Sartori sebagaimana dikutip Sigit Pamungkas, sistem kepartaian berdasarkan jarak ideologi juga dapat dikategorikan berdasarkan kemampuan parpol dalam berkompetisi, yakni sistem kepartaian non-kompetitif dan sistem kepartaian kompetitif. Sistem kepartaian non-kompetitif sering disebut juga dengan sistem partai negara (party-state system) sebab keberadaan parpol identik dengan kepentingan negara sehingga sulit membedakan antara parpol dengan negara. Kondisi ini biasanya dilakukan melalui pembatasan ruang gerak terhadap parpol. Contohnya, sistem partai tunggal dan sistem partai hegemonik. Sedangkan, sistem kompetitif memungkinkan adanya persaingan antarparpol dan hak-hak politik parpol untuk menjalankan fungsinya dilindungi oleh negara melalui konstitusi. Contohnya, sistem kepartaian predominan, dwipartai, pluralisme terbatas/ moderat, pluralisme ekstrim/terpolarisasi, dan atomik. Sementara itu, di Indonesia, “aliran” adalah salah satu penjelasan yang paling banyak digunakan dalam menjelaskan perbedaan ideologi di antara parpol. Istilah ini berasal dari kajian antropologis Clifford Geertz di sebuah desa di Jawa, yang menghasilkan sebuah tipologi masyarakat yang terdiri dari santri, priyayi, dan abangan. Konsep ini kemudian juga digunakan untuk menjelaskan peta ideologis parpol di Indonesia pada tahun 1950-an. Pada Pemilu 1955, basis dukungan kepemiluan dari kaum santri diarahkan pada kekuatan politik di kubu kanan (NU dan Masyumi), sedangkan dari kaum abangan dukungan diarahkan pada kekuatan politik di kubu kiri (PNI dan PKI). Masih dengan perspektif politik aliran, Herbert Feith dan Lance Castles menyatakan bahwa ideologi parpol di Indonesia pada masa itu dibentuk oleh dua pengaruh besar, yaitu pengaruh dunia Barat dan pengaruh tradisi yang bersumber pada ajaran Islam dan Hindu-Budha. Dari dua pengaruh tersebut, Feith dan Castles mengelompokkan parpol di
Evaluasi Sistem Kepartaian di Era Reformasi | Luky Sandra Amalia | 149
Indonesia ke dalam lima kelompok, yaitu Islam, Sosialisme Demokrat, Nasionalisme Radikal, Tradisionalisme Jawa, dan Komunisme. Sebagian kelompok ideologis ini berhasil mewujudkan diri dalam kekuatan parpol terbesar dalam Pemilu 1955, yaitu PNI (Nasionalisme Radikal), Masyumi (Islam), Nahdlatul Ulama (Islam), dan PKI (Komunisme).15 Sebagian akademisi masih menggunakan konsep ini untuk menjelaskan parpol pasca jatuhnya Orde Baru. Daniel Dakhidae, contohnya, melihat bahwa 48 parpol peserta pemilu 1999 dapat dikelompokkan berdasarkan menjadi enam hingga sepuluh kelompok besar. Pengelompokan dapat dilakukan berdasarkan aliran (nasionalisme radikal, sosialisme demokrat, Islam, dan tradisionalisme Jawa), kelas (berorientasi modal, dan berorientasi pekerja), komunalisme agama (inklusif dan eksklusif), dan kebangsaan (sekuler dan tak sekuler). Namun, sebagian akademisi yang lain mempertanyakan relevansi politik aliran dalam politik pasca Orde Baru. Kevin Evans, contohnya, melihat bahwa pembelahan ideologis menggunakan konsep kiri-kanan seperti di Barat sulit diterapkan di Indonesia. Di Barat kiri lebih diidentikkan dengan pihak yang mendukung peran besar pemerintah dalam tatanan ekonomi sedangkan sayap kanan yang lebih diidentikkan sebagai pendukung pasar bebas dari campur tangan pemerintah yang minim. Di Indonesia, sikap umum terhadap penataan ekonomi adalah pragmatis, yaitu sistem mana yang efekif pada saat tertentu. Pembelahan yang lebih relevan, menurut Evans, adalah terkait pandangan mengenai posisi Agama Islam dalam ranah publik. Dengan menggunakan pembelahan ini, kekuatan kepemiluan sepanjang garis kiri-kanan di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok kekuatan politik. Secara sederhana gambaran kelompok ini dapat dicatat sebagai “3B”, yaitu kelompok bantengis (kiri), kelompok bintangis (kanan) dan selama generasi terakhir kelompok ketiga yang telah muncul adalah kelompok beringinis (menengah).16 Bahkan, tidak sedikit akademisi melihat bahwa parpol sebenarnya tidak mempunyai Herbert Feith dan Lance Castles, Indonesian Political Thinking 1945-1965, (Itacha and London: Cornell University, 1970), hlm. 4. 16 Kevin Evans, “Politik “Aliran” yang Mana?”, Tempo, 31 Maret–6 April 2009. 15
ideologi yang jelas dan hanya menjadikannya untuk memobilisasi dukungan pemilih. Ini dapat dilihat dari tidak berjalannya fungsi parpol dalam hal pendidikan politik. Pertarungan ‘ideologi’ antarparpol berhenti dengan sendirinya ketika pemilu usai dan proses pembentukan pemerintahan dimulai. Berbagai perbedaan ideologi yang ada seolah-olah tidak lagi menjadi faktor penting dalam pembentukan kabinet sehingga tidak ada oposisi.17 Selain itu, parpol-parpol dalam tiga kali pemilu terakhir cenderung bertransformasi menjadi semacam catch all party yang memperluas dukungan di luar basis dukungan tradisionalnya. Hampir semua partai sekarang ini sulit dibedakan ideologinya. Batas ideologi antara satu partai dengan partai yang lain semakin tidak jelas karena parpol kesulitan membawa ideologi tertentu di era seperti sekarang ini. Masyarakat sudah rasional dalam menentukan pilihan. Dengan sistem multipartai seperti sekarang ini sulit sekali untuk mencirikan ideologi partaipartai yang ada. Misalnya, banyak sekali partaipartai yang nasionalis. Demikian halnya dengan partai religius juga bukan hanya satu partai. Hal ini terlihat, misalnya, pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai wong cilik ternyata kadernya tidak hanya ada yang pro-pasar tradisional, tetapi juga ada yang pro-pengusaha mall. Jelas ini menunjukkan betapa partai tidak berfungsi sebagai sekolah ideologis bagi kadernya. Partai hanya ’angkutan kota’ yang dibeli tiketnya untuk pemilihan kepala daerah. Kondisi ini melahirkan oportunis yang sewaktu-waktu dapat mbalelo terhadap disiplin ideologis partainya. Persoalan yang diderita PDIP ternyata juga dialami partai-partai lain. Kasus Nazaruddin, misalnya, Partai Demokrat yang mengusung agenda antikorupsi ternyata tidak dapat menjaga kebersihan etis kadernya. Hampir semua partai tersandera sindrom ’partai angkot’ yang merusak kaderisasi dan meritokrasi, bahkan partai yang konon menjunjung kebersihan dan profesionalitas. Dasar agama yang dijadikan landasan politik sebagian partai terbukti tidak dapat mencegah politik koruptif para kadernya. Dengan tujuan politik jangka pendek menyebabkan partai hanya akan berjualan tokoh dan berharap mendapatkan suara dari tokoh Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, (Jakarta: KPG, 2009), hlm. 3. 17
150 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
yang diusungnya. Ideologi urusan belakangan. Alhasil, pemimpin yang dihasilkan tidak memiliki ikatan ideologis apa pun dengan partai pengusungnya.
3. Sistem Kepartaian Berdasarkan Formasi Pemerintahan Sistem kepartaian berdasarkan formasi pemerintahan, menurut Dahl (1966) dan Rokkan (1970) sebagaimana dikutip Sigit Pamungkas, dapat dibedakan berdasarkan pola oposisi partai.18 Menurut Dahl, sistem kepartaian berdasarkan pola oposisi partai dapat diklasifikasikan ke dalam empat kelompok. Pertama, persaingan ketat (strictly competitive). Contohnya Inggris Raya. Kedua, bekerjasama dan bersaing (cooperative and competitive). Contohnya Amerika Serikat, Prancis, dan Australia. Ketiga, bergabung dan bersaing (coalescent and competitive). Contohnya Austria. Keempat, penggabungan ketat (strictly coalescent). Contohnya Kolombia. Sementara itu, Rokkan (1970) dan kemudian dilanjutkan oleh Peter Mair (2006) membagi sistem kepartaian berdasarkan pola oposisi ke dalam tiga kategori. Pertama, pola 1 vs 1+1 artinya sistem kepartaian didominasi oleh kompetisi antara dua partai utama dengan partai ketiga. Contohnya Austria dan Irlandia. Kedua, pola 1 vs 3-4 artinya satu partai besar berkonfrontasi dengan aliansi relatif formal antara tiga atau empat partai kecil secara reguler. Contohnya, Norwegia, Swedia, dan Denmark. Terakhir, pola 1 vs 1 vs 1+2-3 (pola multipartai) yaitu kompetisi didominasi oleh tiga atau lebih partai dengan besaran relatif setara. Sistem ini nampaknya yang terjadi di Indonesia. Sistem kepartaian tidak dapat dilepaskan dari sistem pemerintahan. Pendekatan ini melihat seberapa kompatibel sistem kepartaian yang dipilih dengan sistem pemerintahan yang ada di suatu negara. Sistem dua partai sering dianggap sebagai sistem kepartaian yang paling ideal sebab kompatibel untuk sistem presidensial dan sistem parlementarian, sedangkan sistem multipartai dianggap hanya sesuai dengan sistem parlementer.19 Sementara itu, kombinasi sistem presidensialisme dan multipartai seperti yang 18 19
Sigit Pamungkas, op.cit, hlm. 47. Ibid, hlm. 55.
diterapkan di Indonesia bukan hanya merupakan “kombinasi yang sulit”, melainkan juga membuka peluang terjadinya kebuntuan politik (deadlock) dalam hubungan eksekutif-legislatif yang kemudian berdampak pada instabilitas demokrasi presidensial. Pertama, menurut Scott Mainwaring, kemandekan diakibatkan oleh banyaknya jumlah partai di parlemen ditambah dengan pemilu yang berbeda untuk memilih anggota parlemen dan presiden menyebabkan terjadinya perbedaan partai yang menguasai parlemen dengan partai yang memerintah. Peluang sebuah parpol untuk menjadi mayoritas di parlemen relatif kecil.20 Kedua, kekakuan sistemik mengenai masa jabatan presiden yang bersifat tetap mengakibatkan tidak ada peluang untuk mengganti presiden di tengah jalan meskipun kinerjanya tidak memuaskan publik. Ketiga, prinsip pemenang mengambil semua memberi peluang bagi presiden untuk mengklaim pilihan-pilihan kebijakannya atas nama rakyat. Keempat, menurut Juan Linz, seperti dikutip Syamsuddin Haris, pemisahan kekuasaan antara lembaga eksekutif dan legislatif di dalam sistem presidensial cenderung menimbulkan polarisasi dan instabilitas politik, sehingga dianggap tidak cocok diterapkan di negara demokrasi baru.21 Fragmentasi kekuatan parpol di parlemen seperti ini biasanya merupakan produk dari penerapan sistem pemilu perwakilan berimbang (proportional representation). Kesulitan lain yang muncul akibat perpaduan sistem ini antara lain, pertama, sulitnya melembagakan format koalisi permanen di antara partai-partai tanpa mayoritas di parlemen. Kedua, lemahnya disiplin partaipartai dalam mempertahankan sikap dan prinsip politik dari lobi, negosiasi, dan kompromi politik. Oleh karena itu, ke depan, perlu ada semacam “kontrak politik” di antara partaipartai politik yang membentuk koalisi. Kondisi ini juga membawa keuntungan bagi masyarakat sebab masyarakat menjadi lebih mudah menagih janji-janji kampanye partai. Lebih jauh lagi, Maswadi Rauf, “Evaluasi Sistem Presidensial”, dalam Moch. Nurhasim dan Ikrar Nusa Bhakti (Ed.), Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal, Jakarta: Pustaka Pelajar dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia-AIPI, 2009, hlm. 35. 21 Syamsuddin Haris, “Dilema Presidensialisme di Indonesia Pasca-Orde Baru dan Urgensi Penataan Kembali Relasi Presiden-DPR”, dalam Moch. Nurhasim dan Ikrar Nusa Bhakti (Ed.), Ibid, hlm. 98. 20
Evaluasi Sistem Kepartaian di Era Reformasi | Luky Sandra Amalia | 151
situasi ini dapat memperkuat sistem demokrasi presidensial.22 Dalam kadar tertentu, kerumitan dari kombinasi sistem pemerintahan presidensial dengan sistem multipartai dialami Indonesia selama era reformasi. Semua presiden, baik yang dipilih secara langsung oleh rakyat maupun yang dipilih melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dihadapkan pada masalah ini. Sebagai contoh, pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono - M. Jusuf Kalla (SBY-JK), konflik dan ketegangan dalam relasi presiden-DPR cenderung meningkat tatkala presiden tidak menghadiri langsung undangan DPR untuk memberikan keterangan atas pertanyaan DPR mengenai kebijakan pemerintah melalui hak interpelasi maupun hak angket. Namun demikian, konflik dan ketegangan ini mereda dengan sendirinya setelah diadakan rapat konsultasi antara presiden dengan pimpinan DPR.23 Dengan demikian, kekhawatiran akan terjadinya kebuntuan politik dalam jangka waktu yang lama relatif tidak terjadi di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kerja pengawasan DPR kepada presiden seringkali hanya untuk menarik simpati publik dan menaikkan posisi tawar partai politik di hadapan presiden SBY dan partainya (Partai Demokrat). Sehingga, ketegangan tersebut dengan mudah dapat diredam melalui rapat konsultasi di antara presiden dengan pimpinan Dewan. Skema sistem presidensial, seperti diketahui, menempatkan presiden sebagai locus kekuasaan, dalam arti untuk memerintah (govern) dan mengeksekusi kebijakan. Karena itu, seorang presiden semestinya memperoleh derajat governability yang tinggi agar pemerintahan yang dihasilkan pemilu bisa bekerja efektif. Jumlah partai yang banyak di parlemen, memang boleh jadi mencerminkan representativeness yang tinggi. Namun, jumlah partai yang terlalu banyak secara natural juga mengurangi derajat governability presiden dalam sistem presidensial. Sebabnya sangat sederhana: too many players. Jika pada saat yang sama, koalisi politik yang dibentuk Presiden terlalu cair –seperti fenomena Indonesia di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyonomaka kemampuan eksekusi presiden pun menurun, begitu pula kemampuan legislasi Ibid, hlm. 107-108. Ibid, hlm. 97.
22 ��
parlemen cenderung melemah karena terlalu banyak kepentingan yang dinegosiasikan di antara partai-partai.24 Contoh kasus, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dibuat kesal oleh empat gubernur yang tidak menghadiri acara penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tahun 2013 di Istana Negara Jakarta pada tanggal 10 Desember 2012.25 Hal serupa juga dialami Gubernur Sulawesi Utara, Dr. Sinyo Sarundajang, yang merasa kecewa dan prihatin karena sekitar 13 bupati dan wali kota dari 15 kabupaten/kota yang ada, tidak hadir dalam penyerahan DIPA tahun 2013, senilai Rp 15,95 Triliun di Kantor Gubernur Sulut, pada 17 Desember 2012.26 Contoh lain, Wakil Walikota Solo, Hadi Rudyatmo, bergabung dengan massa di Solo untuk menolak kenaikan harga BBM.27 Demikian halnya dengan Wakil Walikota Surabaya, Bambang DH, ikut turun dalam aksi Lihat juga Philips J Vermonte, “Wacana Jumlah Partai Politik dan Pemilu”, 7 Juli 2007, http:// pjvermonte.wordpress.com/2007/07/07/wacanajumlah-partai-politik-dan-pemilu-1/, diakses pada tanggal 10 Desember 2012. 25 Empat gubernur tersebut yakni Gubernur Sumatra Selatan Alex Noerdin, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P dan Gubernur Kepulauan Riau Muhammad Sani. Khusus untuk Sani, wakilnya melaporkan bahwa dia sakit. Sementara untuk Gubernur Sulsel, ada kerabat yang meninggal dunia. Lalu, Gubernur Sumsel saat ini masih berada di Amerika Serikat. Untuk gubernur Lampung tak ada keterangan dari pihak Istana, namun staf dari Kemendagri mengabarkan ada acara pelantikan di wilayahnya. Lihat, “Empat Gubernur Absen di Istana Negara Presiden SBY Dibuat Kesal Ulah Gubernur”, dalam http://www.radaronline.co.id/berita/read/ 22354/2012/Presiden-SBY-Dibuat-Kesal-UlahGubernur, diakses pada tanggal 10 Desember 2012. 26 Dari 15 kepala daerah yang ada di Sulut, yang hadir hanya Bupati Minahasa Selatan Tetty Paruntu SE dan Wakil Walikota Bitung Drs Max Lomban SE Msi, sementara yang lainnya tidak ada kabar. Dan justru hanya mengutus bawahan, baik sekda dan asisten. Lihat, “Gubernur Sulut Kecewa, 13 Kepala Daerah Tidak Hadir Penyerahan DIPA 2013”, dalam http://www.suarapembaruan.com/nasional/ gubernur-sulut-kecewa-13-kepala-daerah-tidakhadir-penyerahan-dipa-2013/28329, diakses 18 Desember 2012. 27 ”Ikut Demo, Wakil Walikota Solo Diperingatkan Mendagri”, detiknews.com, diakses pada tanggal 26 Maret 2012. ��
152 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
penolakan kenaikan harga BBM.28 Hal di atas, tentu saja, menunjukkan bahwa pemerintahan di Indonesia belum efektif. Banyak kepala daerah tidak patuh kepada “atasannya”.
kegaitan partai. Terakhir, hubungan dengan konstituen terlihat belum intensif dan kurang efektif. Selain itu, hubungan yang tercipta juga lebih bersifat temporer dan parsial. Akibatnya, sistem kepartaian juga sangat lemah.
Fragmentasi dan Polarisasi Sistem Kepartaian Era Reformasi
Indonesia memilih sistem multipartai sebagai sistem kepartaiannya. Akibatnya, pasca reformasi jumlah partai politik semakin banyak. Partai politik yang mendaftarkan diri ke Departemen Kehakiman mencapai 184 parpol. Dari angka tersebut, 141 diantaranya berhasil mendapatkan pengesahan sebagai partai politik. Selanjutnya, parpol yang dinyatakan memenuhi syarat untuk mengikuti Pemilu 1999 berjumlah 48. Dari 48 parpol peserta Pemilu 1999, sebanyak 19 parpol berhasil memperoleh kursi di DPR.
Berbicara tentang sistem kepartaian tidak dapat dilepaskan dari kualitas partai itu sendiri. Kualitas partai politik sebagai sebuah institusi akan mempengaruhi kualitas sistem kepartaian yang terbentuk. Meskipun sistem kepartaiannya sederhana tetapi jika kualitas partai politiknya hancur, maka praktek politiknya pun juga akan hancur. Artinya, ketika sistem kepartaian sederhana terbentuk tidak mungkin dengan otomatis akan bisa memperkuat atau memperbaiki kualitas demokrasi, selama kualitas dari partai politik itu sendiri tidak dikerjakan. Sehingga, harus ada kerja bersama yang dilakukan supaya kualitas partai politik meningkat dan secara bersamaan kualitas sistem kepartaiannya juga lebih baik. Persoalannya, setelah lebih dari 10 tahun reformasi, secara kelembagaan partai-partai politik yang ada belum dapat disimpulkan menjadi partai yang solid. Partai belum mampu membentuk diri menjadi partai dewasa. Pelembagaan partai dapat dilihat berdasarkan enam aspek, pertama, ideologi/identitas parpol (platform) menunjukkan bahwa meskipun jumlah partai yang muncul di era transisi reformasi ini sangat banyak, tetapi secara garis besar ideologinya hanya terbagi atas tiga ideologi, yaitu nasionalis (Pancasila), nasionalis religius, dan Islam. Kedua, sistem keanggotaan dan kaderisasi yang dilakukan parpol pasca Orde Baru pada umumnya belum berjalan dengan baik. Ketiga, pada sebagian besar partai nampaknya demokrasi internal parpol belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Keempat, berkaitan dengan kohesivitas internal partai nampaknya parpol-parpol belum bisa mewujudkannya dengan baik. Kelima, tingkat otonomi partai relatif rendah karena masih bergantung pada pemerintah dalam membiayai “Mendagri Tegur Bupati/Walikota Ikut Demo Tolak Kenaikan BBM”, http://www. beritajatim.com/detailnews.php/6/Politik_&_ Pemerintahan/2012-04-, 09/131938/Mendagri_ Tegur_Bupati/Walikota_Ikut_Demo_Tolak_ Kenaikan_BBM, diakses pada tanggal 9 April 2012. 28
Jumlah partai politik menjelang Pemilu 2004 juga tidak jauh berbeda. Partai yang terdaftar di Depkumham tercatat sebanyak 112 partai. Dari 112 partai yang memiliki badan hukum tersebut, hanya 24 diantaranya yang berhak menjadi peserta Pemilu 2004. Jumlah ini berkurang setengah dari jumlah peserta Pemilu 1999. Dari 24 parpol peserta Pemilu 2004 terdapat 16 partai yang berhasil mendudukkan kadernya di parlemen. Jumlah parpol yang berbadan hukum berkurang drastis hingga 79 partai menjelang Pemilu 2009 dibandingkan sebelumnya. Namun, jumlah parpol peserta Pemilu 2009 justru bertambah banyak dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Jumlah parpol yang berhak mengikuti Pemilu 2009 adalah 38 partai (ditambah 6 partai lokal Aceh). Hasilnya, terdapat 9 parpol yang berhasil menduduki kursi legislatif setelah berhasil melewati ketentuan 2,5 persen ambang batas parlemen (PT). Alhasil, partai pemenang di setiap pemilu tidak sama. Pemilu 1999 berhasil dimenangkan oleh PDI Perjuangan. Pemilu 2004 dimenangkan oleh Golkar. Pemilu 2009 dimenangkan oleh Partai Demokrat. Selain itu, tidak ada pemenang mayoritas dalam setiap pemilu. PDIP sebagai partai pemenang Pemilu 1999 hanya berhasil meraih 153 dari 500 kursi DPR.29 Demikian halnya dengan hasil Pemilu 2004. Partai Golkar sebagai partai pemenang Pemilu 2004 hanya Sebastian Salang, M. Djadijono, I Made Leo Wiratma, TA. Legowo, Panduan Kinerja DPR/ DPRD Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan, (Jakarta: Forum Sahabat, 2009), hlm. 23. 29
Evaluasi Sistem Kepartaian di Era Reformasi | Luky Sandra Amalia | 153
berhasil memperoleh 127 dari 550 kursi DPR dan Partai Demokrat hanya memiliki 150 dari 560 kursi DPR. Dampak lain dari sistem multipartai adalah partai-partai politik baru terus bermunculan. Faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya partai baru, pertama, karena kecewa dengan parpol yang lama. Kedua, parpol baru terbentuk karena kecewa dengan kebijakan parpol lama. Artinya, mereka muncul karena perpecahan dari partai sebelumnya karena gagal mengelola konflik internal partai. Ketiga, parpol baru juga merupakan tempat penampungan pensiunan, job seeker, para postpower sindrom, dan semacamnya. Ditambah lagi, kemudahan yang diberikan oleh UU dalam proses pendirian parpol. Dalam perjalanannya, pendekatan sistem kepartaian dengan berbasis jumlah partai mengalami modifikasi. Penghitungan partai bukan semata-mata didasarkan pada jumlah partai yang ada di parlemen, melainkan juga perlu dilihat jarak ideologinya. Partai politik di Indonesia dapat dibagi ke dalam pembelahan sekuler-Islamis, elitis-populis, Jawa-luar Jawa, dan perkotaan-pedesaan. Selain itu, pembagian parpol juga bisa melalui pendekatan jalur kelas (developmentalisme-sosialisme radikal) dan jalur agama (Islam dan Kristen-Kebangsaan). Selanjutnya, pembelahan partai berdasarkan kekuatan Pemilu 2009 terdiri atas 3 kelompok kekuatan politik. Secara sederhana, gambaran kelompok ini dapat dicatat sebagai 3B, yaitu kelompok Bantengis (kiri), Bintangis (kanan), dan Beringinis. Namun demikian, polarisasi ideologi hanya nampak pada saat pembahasan amandemen UUD 1945 khususnya mengenai Piagam Jakarta dan pada saat debat mengenai UU Pornografi dan Pornoaksi di DPR. Di luar perdebatan tersebut, polarisasi ideologi partai politik seringkali tidak nampak. Tidak sedikit akademisi melihat bahwa parpol sebenarnya tidak mempunyai ideologi yang jelas dan hanya menjadikannya sebagai alat untuk memobilisasi dukungan pemilih. Pertarungan ‘ideologi’ antarparpol berhenti dengan sendirinya ketika pemilu usai dan proses pembentukan pemerintahan dimulai. Berbagai perbedaan ideologi yang ada seolah-olah tidak lagi menjadi faktor penting dalam pembentukan kabinet sehingga tidak ada oposisi.30 Selain itu, parpol-parpol dalam tiga kali pemilu terakhir 30
Kuskridho Ambardi, op.cit., hlm. 3.
cenderung bertransformasi menjadi semacam catch all party yang memperluas dukungan di luar basis dukungan tradisionalnya.
Presidensialisme-Multipartai dan Kartelisasi Politik Sistem kepartaian dalam tiga belas tahun terakhir ini cenderung mengokohkan kartelisasi. Dari pemilu ke pemilu, pembedaan ideologi antarpartai menjadi semakin tidak signifikan, kecuali sebatas klaim-klaim yang lebih merepresentasikan kebutuhan partai untuk melakukan pencitraan di hadapan pemilih. Ideologi juga menjadi semakin tidak relevan saat pemilu berakhir. Koalisi turah yang dibentuk menunjukkan kecenderungan untuk merangkul partai lebih dari jumlah yang dibutuhkan untuk membentuk mayoritas, termasuk partai-partai yang sebelumnya menjadi kompetitor dalam pemilu, sehingga tidak menyisakan kekuatan oposisi yang memadai. Mengutip Dan Slater, “Orang Indonesia tidak dapat mendukung oposisi karena memang tidak ada oposisi untuk didukung.”31 Selain itu, pembentukan koalisi tidak mempertimbangkan ideologi atau platform partai anggota koalisi, sehingga kabinet selalu dihadapkan pada persoalan kekompakan di antara anggotanya, bahkan dalam hal-hal mendasar yang semestinya telah disepakati sejak kabinet terbentuk. Kartelisasi partai-partai juga tampak dari kecenderungan partai-partai untuk bertindak sebagai satu kelompok, contohnya dalam menggunakan keuangan publik (negara) sebagai sumber pembiayaan partai. Berbagai kasus tindak pidana korupsi yang sudah diproses secara hukum ternyata melibatkan politisi dari berbagai partai, tak terkecuali yang berada di luar oposisi. Beberapa kasus bahkan melibatkan politisi dari partai yang berbeda sekaligus. Berbagai kasus korupsi, mulai dari kasus Buloggate I dan II, cek pelawat pemilihan Deputi Senior Gubenrnur BI, dana Departemen Kelautan dan Perikanan, hingga berbagai kasus terbaru yang kini ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan bahwa uang ternyata mengalir ke politisi dari partai berbeda. Sulit untuk dapat menerima argumen bahwa korupsi tersebut dilakukan Dan Slater, “Indonesia’s Accountability Trap: Party Cartels and Presidential Power after Democratic Transition”, Indonesia, No. 78, 2004, hlm. 72. 31
154 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
semata-mata karena inisiatif pribadi. Dengan demikian, kebutuhan penataan sistem kepartaian di Indonesia tidak dapat semata-mata dilihat dari sisi penyederhanaan jumlah partai. Jumlah partai yang lebih sedikit tentu saja memungkinkan pemilih untuk mengoptimalkan potensinya menjadi pemilih yang rasional. Pengalaman selama ini, dengan jumlah partai peserta pemilu yang banyak dan ditambah daftar nama caleg yang juga panjang, sulit mengharapkan pemilih dapat mengenali dan mempertimbangkan kualitas, baik kapabilitas maupun integritas, para caleg. Namun, sesederhana apapun jumlah partai, akan sia-sia jika persaingan yang kompetitif antarpartai hanya sebatas pada saat pemilu. Tanpa tautan elektoral di arena pemerintahan dan legislatif, partai seolah bebas melakukan apapun selama kepentingan mereka dapat tercapai. Hal ini merupakan ancaman serius bagi konsolidasi demokrasi. Sementara itu, dalam rangka penataan sistem kepartaian di Indonesia keberadaan partai lokal juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Namun demikian, keberadaan partai politik lokal dalam konteks Aceh merupakan problematik tambahan dalam membangun sistem kepartaian. Hal ini disebabkan sejak awal keberadaan partai lokal Aceh merupakan salah satu alternatif solusi penyelesaian konflik, bukan sebagai solusi penataan sistem kepartaian secara nasional.
Partai Politik Lokal Aceh dalam Konteks Sistem Kepartaian Nasional Kehadiran parpol lokal telah menjadi alat efektif untuk mentransformasi situasi konflik di Aceh menjadi sebuah perdamaian. Pergerakan kemerdekaan di Aceh telah berhasil mentransformasikan diri ke dalam gerakan politik formal yang ditandai oleh perubahan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA) yang kemudian berubah menjadi Partai Aceh (PA). Parpol lokal dengan ideologi dan basis massa yang beragam telah muncul sebagai alat bagi orang Aceh untuk mengembangkan kekuasaan politiknya dalam jangkauan pengawasan pemerintah pusat. Semua elemen di Aceh telah memiliki kesadaran
politik untuk berada di dalam kerangka politik formal yang terawasi oleh pemerintah dan tidak lagi menjadi bola liar yang bernuansa separatis. Hal ini menandakan bahwa parpol lokal berhasil menjadi alat transformasi konflik bagi Aceh. Meskipun parpol lokal berhasil menjadi peredam konflik di Aceh, namun tidak semua parpol lokal berhasil berkontestasi di dalam pemilu. Hanya PA yang sudah memiliki struktur dan modal politik kuat dari peninggalan GAM yang mampu unjuk gigi dalam pemilu legislatif maupun pemilukada di Aceh. Parpol lokal lainnya masih menemui kesulitan untuk membangun struktur politik hingga tingkat terendah di desa dan kampung-kampung, ditambah lagi parpol juga kesulitan dalam menggerakan kader untuk berkampanye di masa pemilu. Keterbatasan itu muncul karena parpol lokal memiliki jaringan kader dan modal finansial yang masih terbatas. Tentunya sulit bagi mereka untuk membangun fondasi politik yang kuat hanya dalam waktu dua tahun saja. Namun demikian, parpol lokal Aceh terbukti dapat menjadi wadah politik baru yang bekerja lebih efektif dengan struktur kerja di tingkat daerah. Segala keputusan parpol lokal yang berkaitan dengan persoalan daerah tidak lagi berlarut-larut karena harus menunggu keputusan partai di tingkat pusat. Tidak hanya itu, parpol lokal juga memiliki hubungan yang lebih dekat dan tidak berjarak dengan konstituennya. Hal ini berbeda dengan parpol nasional yang sifat kerja dan strukturnya terpusat pada Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai. Situasi ini tentu berdampak positif terhadap kerja politik parpol lokal yang lebih efektif dan cepat dibandingkan dengan parpol nasional. Tidak hanya unggul dengan basisnya di masyarakat, fragmentasi ideologi yang beragam pada parpol lokal Aceh menjadikan sumber daya kader mereka menjadi lebih beragam dibandingkan dengan kader parpol nasional. Artinya parpol lokal menjangkau lebih luas politisi baru di Aceh dan tidak menjadikan elit politik terpusat hanya di beberapa kelompok saja. Sebagai contoh, Partai Rakyat Aceh memicu lahirnya keterlibatan politisi muda dalam proses politik yang berlangsung di Aceh dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA) menjadi pendorong munculnya tokoh pejuang Aceh masa lalu di luar GAM untuk turut membangun kekuatan politik baru di NAD.
Evaluasi Sistem Kepartaian di Era Reformasi | Luky Sandra Amalia | 155
Sayangnya, keunggulan parpol lokal tersebut baru bisa dimanfaatkan oleh PA yang sudah memiliki struktur kuat di Aceh. Selain menempati lebih dari sepertiga kursi di DPRA, politisi yang berasal dari PA juga menjadi pemimpin tertinggi Pemerintahan Daerah Provinsi NAD saat ini. Hal ini menunjukan bahwa hampir seluruh elemen lembaga negara dikuasai oleh Partai Aceh. Kekuasaan politik yang cenderung dimonopoli oleh Partai Aceh ini tentu memiliki dampak positif dan negatif bagi provinsi ini ke depannya. Di satu sisi kekuasaan mayoritas PA dapat membantu pembuatan kebijakan menjadi lebih efektif karena koordinasi yang erat antara DPRD dan pemerintah daerah. Namun di sisi lain, hal ini dapat menjerumuskan Aceh ke dalam sistem politik otoritarian yang dikuasai oleh sekelompok elit politik baru, meskipun kekuasaan itu dihasilkan oleh pemilu yang demokratis. Kekhawatiran atas dampak buruk akan kekuasaan tunggal elit politik di Aceh dapat bergerak kepada dua arah yang berbeda. Pertama, kekuasaan politik yang otoriter akan terbentuk dan memusatkan seluruh proses pembangunan kepada PA sebagai penguasa DPRA dan pemda. Hal ini tentu tidak sehat bagi proses demokrasi yang berjalan di Aceh karena partisipasi politik elemen lain di luar PA akan menjadi sangat terbatas. Pembangunan di Aceh pun akan tunduk pada garis arahan PA sendiri. Kedua, kekuasaan dominan PA di Aceh akan menjadi sebuah persoalan apabila terjadi pecah kongsi di dalam tubuh internal parpol lokal tersebut. Situasi antara kubu Irawandi dan nonIrwandi di dalam struktur PA dapat menjadi pelajaran bagi Aceh, dimana pembangunan dan pembuatan qanun menjadi terhambat dengan adanya pertikaian kepentingan politik tersebut. Artinya, persoalan internal partai penguasa dapat berubah menjadi persoalan Aceh secara meluas. Kedua hal tersebut tentu saja tidak sehat bagi situasi politik di Aceh. Dampak negatif atas kekuasaan tunggal di PA dapat diatasi apabila masyarakat sipil dan politik di Aceh memiliki kesadaran yang tinggi untuk menjalankan kontrol atas fungsi kerja DPRD dan pemda dengan baik. Fungsi pengawasan tersebut seharusnya mampu diisi oleh parpol nasional dan parpol lokal. Secara khusus, parpol lokal yang tidak terlibat di dalam kursi kekuasaan seharusnya mampu secara objektif mengawasi jalannya pemerintahan.
Oleh karena itu, kerja sama yang sinergis antar parpol lokal maupun parpol lokal dengan parpol nasional harus ditingkatkan untuk membentuk sebuah oposisi politik yang solid terhadap kekuasaan PA. Dalam kerangka sistem kepartaian di Indonesia, parpol lokal di Aceh dapat memberikan pelajaran berarti sebagai tawaran alternatif baru untuk mengisi kelemahan sistem saat ini. Trend sistem kepartaian yang mengharuskan peserta pemilu di tingkat pusat dan daerah adalah partai nasional dengan kedudukan kepengurusannya di tingkat pusat dan tersebar di seluruh provinsi dinilai memiliki kelemahan. Parpol nasional kerap kali tidak cepat tanggap atas persoalan di daerah karena seluruh keputusan dan agenda kerja dipusatkan pada proses di tingkat DPP. Oleh karenanya, parpol lokal yang memiliki keunggulan dalam hal efektivitas kerja partai, kedekatan dengan konstituen, dan kedekatan dengan persoalan di daerah dapat menjadi alternatif baru yang mengisi kelemahan parpol nasional tersebut. Kehadiran parpol lokal di tingkat pusat (DPR RI) juga sangat diperlukan agar tidak ada keterputusan hubungan antara kerja politik di daerah dengan pusat. Dengan demikian, kinerja parpol lokal akan menjadi lebih sinergis dan aspirasi di tingkat lokal dapat terangkat hingga di tingkat pusat. Secara logis dengan situasi di Aceh saat ini, DPR RI akan mendapatkan kesulitan dalam membuat dan menerapkan kebijakan karena parlemen di tingkat daerah dikuasai oleh parpol lokal, dan bukan parpol nasional. Tidak hanya itu, parpol lokal dinilai perlu juga diterapkan di daerah lain di Indonesia, tidak hanya Aceh, khususnya di daerah konflik dan daerah pasca-konflik. Kemampuan parpol lokal sebagai alat transformasi konflik yang efektif di Aceh seharusnya mampu menjadi pembelajaran positif untuk mentransformasi situasi konflik di daerah lain di Indonesia. Sebagai contoh, parpol lokal dapat juga diterapkan di Provinsi Papua yang memiliki pengalaman konflik separatis seperti Aceh. Dengan pembelajaran Aceh, maka parpol lokal seharusnya juga mampu meredam konflik yang berlangsung di Papua dan juga daerah lainnya. Dengan penjelasan tersebut, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kehadiran parpol lokal telah berhasil membawa warna
156 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
baru bagi sistem kepartaian politik di Indonesia. Meskipun memiliki kelemahan dari sisi struktur dan manajemen partai, namun parpol lokal memiliki kontribusi positif terkait dengan efektivitas kerja dan fungsi partai, hubungan kerja antara eksekutif dan legislatif, dan sebagai alat efektif untuk transformasi konflik. Dengan latar belakang tersebut, maka parpol lokal dapat menjadi alternatif baru yang dapat diterapkan tidak hanya di Aceh, namun juga di daerah lain, khususnya di daerah-daerah konflik. Tidak hanya itu, parpol lokal seharusnya mampu menempatkan wakilnya tidak hanya pada lembaga legislatif di tingkat daerah saja, namun juga hingga tingkat nasional. Hal ini diperlukan untuk menjaga konsistensi kebijakan dan soliditas kerja parlemen di tingkat pusat dan daerah.
Analisis dan Penataan ke Depan: Catatan Penutup Penyederhanaan sistem kepartaian agar jumlah parpol efektif di DPR relatif sedikit dan secara ideologis lebih kompetitif, tampaknya memang suatu keniscayaan jika diasumsikan bahwa skema demokrasi presidensial menjadi pilihan bangsa kita. Persoalannya, apakah penyederhanaan sistem kepartaian tersebut hendak menempuh cara perubahan sistem pemilu, atau penyederhanaan dilakukan tanpa mengubah sistem pemilu yang berbasis proporsional seperti berlangsung sejak Pemilu 1999. Pilihan pertama diharapkan bisa menghasilkan sistem multipartai dengan dua parpol dominan di DPR, sedangkan pilihan kedua menghasilkan sistem multipartai sederhana dengan dua koalisi besar yang bersifat permanen di parlemen.
1. Pilihan Perubahan Sistem Pemilu Secara sederhana sistem pemilu dapat dibedakan atas Single-Member Constituency (pemilihan berwakil tunggal) dan Multi-Member Constituency (pemilihan berwakil banyak). Sebagaimana namanya, pada sistem pemilihan Single-Member Constituency hanya terdapat satu kursi wakil rakyat yang diperebutkan pada satu daerah pemilihan atau yang biasa disebut dengan sistem distrik di Indonesia. Pada sistem ini pemilih memilih satu wakil dalam satu wilayah kecil yang disebut distrik pemilihan.
Pemenang pemilu ditentukan berdasarkan prinsip pluralitas yaitu siapa saja kandidat yang memperoleh suara terbanyak berhak menduduki kursi parlemen, meskipun selisih suara antarkandidat atau antarpartai lain sangat kecil. Suara yang tadinya mendukung kandidat lain dianggap hilang (wasted) dan tidak dapat digunakan oleh partainya untuk menambah jumlah perolehan suara partai tersebut di distrik lain.32 Sistem ini terbagi atas First Past the Post (FPTP), Sistem Dua Putaran (Two-Round System), Alternative Vote (AV), Block Vote (BV), dan Party Block Vote (PBV).33 Sedangkan, dalam sistem pemilihan berwakil banyak (Multi-member Constituency) terdapat beberapa calon anggota parlemen yang dipilih di satu daerah pemilihan atau yang lebih dikenal dengan sistem proporsional atau sistem perwakilan berimbang. Pada sistem ini dalam satu wilayah besar atau yang biasa disebut dengan daerah pemilihan terdapat lebih dari satu wakil rakyat yang duduk di parlemen. Penentuan pemenang pemilu ditentukan berdasarkan pembagian jumlah kursi dengan jumlah suara yang diperoleh seluruh peserta pemilu secara nasional. Dengan demikian, perbedaan pokok dari kedua sistem tersebut terletak pada cara penghitungan perolehan suara yang dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi perwakilan di parlemen.34 Sistem proporsional ini memiliki beberapa variasi, diantaranya Daftar PR (Proportional Representation-List35 PR) dan Single Transferable Vote (STV). �� Dewasa ini banyak negara, termasuk negara yang demokrasinya telah mapan, seperti Israel, Italia, Jepang, New Zealand, dan Venezuela, mencoba memadukan kedua sistem pemilu tersebut dengan harapan dapat mengambil sisi positif dari kedua sistem pemilu tersebut dan meminimalkan sisi negatifnya. Pada dasarnya, sistem pemilihan campuran mencoba untuk mengombinasikan kebaikan sistem pluralitasmajoritas dengan sistem proporsional. Dengan demikian, anggota parlemen sebagian dipilih secara majoritarian, biasanya First Past the Post (FPTP), sementara sebagian anggota parlemen yang lain dipilih secara proporsional, biasanya sistem proporsional dengan daftar tertutup (closed-list). Namun demikian, penerapan Miriam Budiardjo, op.cit, hlm. 461. Sigit Pamungkas, op.cit, hlm. 27-30. 34 Miriam Budiardjo, op.cit, hlm. 462-463. 35 Sigit Pamungkas, op.cit, hlm. 30-36. 32 33
Evaluasi Sistem Kepartaian di Era Reformasi | Luky Sandra Amalia | 157
sistem pemilu campuran tidak sama persis di satu negara dengan negara yang lain. Masingmasing negara melakukan modifikasi atas sistem pemilihannya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Roberth A. Dahl bahwa sistem pemilu yang paling baik adalah sistem pemilu yang dihasilkan atas dasar kompromi terhadap tujuan yang hendak dicapai oleh suatu 36 negara. ��
diterapkan di Jerman, Selandia Baru, dan Meksiko. Lembaga Centre for Electoral Reform (Cetro) antara lain mempromosikan sistem pemilu campuran varian MMP ini38. Sistem pemilu “campuran” lainnya, yakni varian sistem parallel, yang mengadopsi unsur-unsur sistem proporsional dan sistem pluralitas, juga dipraktikkan di banyak negara seperti di Jepang, Filipina, Thailand, dan Korea Selatan.
Dalam konteks penyederhanaan sistem kepartaian, apabila pilhan cara pertama yang diambil maka melalui sistem pluralitas, varian first past the post (FPTP) dengan daerah pemilihan berwakil tunggal (single member district), jatah kursi yang diperebutkan di setiap satu daerah pemilihan hanya satu, maka hanya ada satu calon yang menang di Dapil tersebut. Calon-calon lain, dari parpol yang sama maupun yang berbeda, tidak akan memiliki kursi di DPR dari Dapil yang sama. Berdasarkan pengalaman empiris negara-negara lain, sistem pluralitas/majoritarian tersebut pada akhirnya menghasilkan dua atau tiga parpol yang memiliki kursi efektif di parlemen.37Salah satu parpol hampir pasti akan menjadi kekuatan mayoritas di DPR, sehingga menjanjikan potensi governability presiden yang tinggi dalam fungsi eksekusi dan parlemen dengan fungsi legislasi cenderung tinggi pula.
Terkait perubahan sistem pemilu, dari sistem keterwakilan proporsional ke sistem pluralitas, LIPI sebenarnya telah merekomendasikannya sejak 1995. Dalam studi yang dilakukan atas permintaan Presiden Soeharto tersebut, LIPI melihat perlunya tranformasi sistem pemilu dari proporsional yang disempurnakan (dengan unsur-unsur sistem pluralitas) menjadi “sistem distrik (pluralitas) yang disempurnakan” (dengan unsur-unsur sistem proporsional).39 Kebutuhan akan hadirnya wakil-wakil rakyat yang mengenal dan dikenal konstituen serta lebih akuntabel di satu pihak, serta keperluan akan hadirnya parpol yang mampu menghadirkan wakil yang benar-benar kompeten, memiliki integritas, dan akuntabel.
Namun demikian pilihan atas sistem pluralitas varian FPTP dengan Dapil berwakil tunggal tidak harus pula bersifat kaku dalam pengertian diadopsi seluruhnya untuk semua daerah pemilihan, ataupun untuk semua lembaga parlemen, di tingkat nasional, regional (provinsi), dan lokal (kabupaten/kota). Apalagi resistensi terhadap penggunaan sistem pluralitas masih begitu besar di Indonesia karena dianggap membatasi terpilihnya wakil-wakil kelompok golongan minoritas, kendati kekuatan argumen ini pun masih bisa diperdebatkan. Oleh karena itu, untuk mengurangi distorsi dan kelemahan yang melekat pada system pluralitas, maka sejumlah negara mengadopsi model sistem pemilu “campuran” dalam pengertian, sebagian calon wakil rakyat dipilih secara pluralitas, dan sebagian caleg lainnya dipilih secara proporsional daftar tertutup. Salah satu varian sistem campuran adalah mixed member proportional (MMP) seperti Robert A. Dahl, op.cit, hlm. 181. Lihat Saiful Mujani, “Plus Minus Penyederhanaan Partai”, Tempo, edisi 9-15 Juli 2007. �� 37
Meskipun rekomendasi LIPI pada 1995 tersebut belum tentu relevan untuk kondisi Indonesia saat ini, sekurang-kurangnya sejak awal telah disadari bahwa kebutuhan obyektif bangsa kita bukan sekadar menghasilkan wakil rakyat yang benar-benar representatif dan memenuhi prinsip proporsionalitas, melainkan juga para wakil rakyat yang akuntabel. Dalam hubungan ini maka pilihan perubahan sistem pemilu, misalnya ke arah sistem pluralitas – khususnya yang bersifat “campuran”—dalam rangka penyederhanaan sistem kepartaian bukanlah “jalan haram” seperti cenderung dikemukakan sebagian kalangan. Sebaliknya, penyederhanaan sistem kepartaian melalui perubahan sistem pemilu justru lebih “lurus” dan tidak berliku-liku serta terjal seperti mekanisme penyederhanaan sistem kepartaian tanpa mengutak-atik kemungkinan mengubah sistem pemilu.
Hadar Gumay, et. al, Laporan Kajian Undangundang Pemilu, (Jakarta: Cetro, Mei 2011). �� Lihat Laporan Penelitian Sistem Pemilu, Jakarta: LIPI, 1995. 38
158 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
2. Pilihan Mempertahankan Sistem Pemilu Sudah menjadi pemahaman elementer di dalam kajian pemilu dan kepartaian bahwa sistem perwakilan proporsional (proportional representation/PR system) cenderung menghasilkan sistem multipartai, sedangkan sistem pluralitas dengan berbagai variannya cenderung menghasilkan sistem dua partai –meski dalam realitasnya tidak selalu berjumlah dua parpol. Karena itu jika pilihan penyederhanaaan sistem kepartaian dilakukan dalam konteks sistem pemilu proporsional maka diperlukan berbagai rekayasa institusional sehingga pada akhirnya terbentuk sistem multipartai sederhana yang dianggap kompatibel dengan skema sistem presidensial seperti berlaku di Indonesia pasca-Orde Baru. Sejauh ini sejumlah rekayasa institusi telah dilakukan di antaranya adalah pemberlakukan mekanisme electoral threshold (ET) yang membatasi parpol dengan perolehan suara minimum tertentu untuk mengikuti pemilu berikutnya. Disadari kemudian, ternyata mekanisme ET yang diberlakukan untuk Pemilu 2004 dianggap tidak begitu efektif dalam mengurangi jumlah parpol efektif di parlemen, sehingga diganti dengan mekanisme parliamentary threshold (PT). Berbeda dengan ET yang membatasi parpol ikut pemilu berikutnya, mekanisme PT justru untuk membatasi jumlah parpol efektif di parlemen melalui persyaratan perolehan suara minimal secara nasional bagi semua parpol peserta Pemilu 2009. UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif menetapkan PT sebesar 2,5 persen dari perolehan suara secara nasional sebagai syarat bagi parpol untuk duduk di DPR. Di luar mekanisme ET dan PT, melalui UU Parpol dan UU Pemilu Legislatif, DPR dan Presiden selaku pembentuk UU, semakin memperketat syarat bagi parpol berbadan hukum di satu pihak, dan parpol peserta pemilu di lain pihak. Jadi, meskipun syarat untuk membentuk parpol relatif mudah, tidak semua parpol yang memenuhi syarat UU Parpol dapat disahkan sebagai badan hukum yang terdaftar pada Kementerian Hukum dan Hak-hak Asasi Manusia. Selanjutnya, tidak semua parpol berbadan hukum bisa langsung ikut sebagai parpol peserta pemilu karena persyaratannya lebih diperketat lagi.
UU Parpol terakhir misalnya, yakni UU No. 2 Tahun 2011, memberlakukan ketentuan kepemilikan kepengurusan di semua provinsi, sekurang-kurangnya 75 persen kepengurusan di kabupaten/kota dalam provinsi yang sama, serta minimal 50 persen kepengurusan kecamatan di kabupaten/kota yang sama, sebagai syarat parpol mengikuti pemilu di luar syarat-syarat administratif lainnya. Berbagai rekayasa institusi tersebut memang relatif berhasil mengurangi jumlah parpol peserta pemilu dari 48 parpol pada Pemilu 1999 menjadi 24 parpol pada Pemilu 2004, namun kemudian bertambah lagi menjadi 38 parpol peserta Pemilu 2009. Sementara itu jumlah parpol efektif di DPR berkurang dari 21 parpol (1999) menjadi 17 parpol (2004) dan 9 parpol (2009). Kendati jumlah parpol semakin berkurang, tidak berarti kinerja pemerintahan hasil pemilu menjadi lebih efektif dan produktif. Fenomena dua periode pemerintahan Presiden SBY memperlihatkan, meskipun telah dibentuk koalisi besar parpol pendukung pemerintah pada 2004 dan 2009, Presiden acapkali terpenjara oleh manuver parpol koalisi di DPR. Sadar akan urgensi agenda penyederhanaan sistem kepartaian, DPR dan Presiden akhirnya sepakat untuk meningkatkan PT menjadi 3,5 persen untuk Pemilu 2014. Jika didasarkan pada hasil Pemilu 2009, jumlah parpol efektif di DPR diharapkan berkurang menjadi sekitar 6-8 parpol. Hanya saja pertanyaannya, apakah jumlah parpol efektif yang lebih sedikit di DPR menjanjikan pemerintahan hasil pemilu, khususnya di tingkat nasional, lebih efektif (governable) dan produktif? Oleh karena itu, selain pemberlakuan ambang batas parlemen secara konsisten, skema sistem multipartai sederhana dapat diwujudkan melalui, pertama, perubahan besaran Dapil, dari 3-10 kursi anggota DPR dan 3-12 kursi anggota DPRD, menjadi masing-masing 3-5 dan 3-6 kursi anggota parlemen per satu Dapil. Kedua, melembagakan pembentukan koalisi secara permanen dalam arti suatu koalisi yang diikat secara publik dan bersifat notariat. Ketiga, penyederhanaan pengelompokan fraksi di parlemen atas fraksi pendukung pemerintah di satu pihak, dan fraksi oposisi dan atau fraksi independen di pihak lain. Keempat, pemberlakuan ambang batas parlemen bagi parpol yang hendak merebut
Evaluasi Sistem Kepartaian di Era Reformasi | Luky Sandra Amalia | 159
kursi DPRD provinsi dan kabupaten/kota agar struktur politik dan sistem kepartaian di tingkat lokal atau daerah menjadi lebih sederhana dan ramping pula. Di luar berbagai agenda rekayasa institusi seperti dikemukakan di atas, tak kalah pentingnya adalah reformasi karakter parpol, dari parpol pragmatis dan berorientasi jangka pendek menjadi parpol yang memiliki platform politik dan visi kebangsaan yang jelas.
Daftar Pustaka Buku Amalia, Luky Sandra. 2010. ”DPRD Banten: Relasi Formalistik dengan Konstituen”, dalam Lili Romli dan Luky Sandra Amalia (ed.). Kecenderungan Hubungan Anggota Legislatif dan Konstituen: Studi DPRD Provinsi Banten Hasil Pemilu 2009. Jakarta:P2P-LIPI. Ambardi, Kuskridho. 2009. Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. Jakarta: KPG. Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Dhakidae, Daniel. 1999. “Partai-Partai Politik di Indonesia Kisah Pergerakan dan Organisasi dalam Patahan-Patahan Sejarah”, dalam Tim Penelitian dan Pengembangan KOMPAS, Partai-Partai Politik Indonesia Ideologi, Strategi, dan Program. Jakarta: Kompas. Feith, Herbert dan Castles, Lance. 1970. Indonesian Political Thinking 1945-1965. Itacha and London: Cornell University. Gumay, Hadar et. al. 2011. Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu. Jakarta: Cetro. Haris, Syamsuddin. 2009. “Dilema Presidensialisme di Indonesia Pasca-Orde Baru dan Urgensi Penataan Kembali Relasi Presiden-DPR”, dalam Moch. Nurhasim dan Ikrar Nusa Bhakti (ed.) Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal. Jakarta: Pustaka Pelajar dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia. Pamungkas, Sigit. 2011. Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism. Rauf, Maswadi. 2009. “Evaluasi Sistem Presidensial”, dalam Moch. Nurhasim dan
Ikrar Nusa Bhakti (Ed.). Sistem Presidensial & Sosok Presiden Ideal. Jakarta: Pustaka Pelajar dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia. Romli, Lili. 2003. “Pandangan Urang Awak terhadap Partai Politik: Kasus Sumatra Barat”, dalam Syamsuddin Haris (ed.). Persepsi Masyarakat terhadap Partai Politik Peserta Pemilu 2004. Jakarta: Pusat Penelitian Politik-LIPI dan Balitbang Depdagri. Romli, Lili. (ed.). 2008. Pelembagaan Partai Politik Pasca-Orde Baru: Studi Kasus Partai Golkar, PKB, PBB, PBR, dan PDS. Jakarta: P2P-LIPI. Salang, Sebastian; Djadijono, M.; Wiratma, I Made Leo; Legowo, TA. 2009. Panduan Kinerja DPR/DPRD Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan. Jakarta: Forum Sahabat. Surbakti, Ramlan. 1998. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Jurnal Slater, Dan. 2004. “Indonesia’s Accountability Trap: Party Cartels and Presidential Power after Democratic Transition”. Indonesia. No. 78.
Surat Kabar dan Website “Empat Gubernur Absen di Istana Negara Presiden SBY Dibuat Kesal Ulah Gubernur”, dalam http://www.radaronline.co.id/ berita/read/22354/2012/Presiden-SBYDibuat-Kesal-Ulah-Gubernur, diakses 10 Desember 2012. Evans, Kevin, “Politik ‘Aliran’ yang Mana?”, Tempo, 5 April 2009. “Gubernur Sulut Kecewa, 13 Kepala Daerah Tidak Hadir Penyerahan DIPA 2013”, dalam http://www.suarapembaruan.com/ nasional/gubernur-sulut-kecewa-13kepala-daerah-tidak-hadir-penyerahandipa-2013/28329, diakses 18 Desember 2012. ”Ikut Demo, Wakil Walikota Solo Diperingatkan Mendagri”, dalam detiknews.com, diakses 26 Maret 2012. Masukan LIPI Dalam Rangka Pembahasan RUU Tentang Partai Politik dan RUU Tentang Susduk, diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan
160 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
dalam www.parlemen.net., diakses 10 Oktober 2012. “Mendagri Tegur Bupati/Walikota Ikut Demo Tolak Kenaikan BBM”, dalam, http://www.beritajatim. com/detailnews.php/6/Politik_&_ Pemerintahan/2012-04-09/131938/ Mendagri_Tegur_Bupati/Walikota_Ikut_ Demo_Tolak_Kenaikan_BBM, diakses 9 April 2012. Mujani, Saiful. “Plus Minus Penyederhanaan Partai”, dalam Tempo, edisi 9-15 Juli 2007. Qodari, Muhammad, “Kembalinya Tradisi Golkar”, dalam Kompas, 21 Desember 2004. Vermonte, Philips J. “Wacana Jumlah Partai Politik dan Pemilu”, artikel tertanggal 7 Juli 2007 dalam http://pjvermonte.wordpress. com/2007/07/07/wacana-jumlah-partaipolitik-dan-pemilu-1/., diakses 10 Desember 2012.
Evaluasi Sistem Kepartaian di Era Reformasi | Luky Sandra Amalia | 161
162 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
PEMILU PRESIDEN AMERIKA SERIKAT PRESIDENTIAL ELECTIONS IN THE UNITED STATES Aisah Putri Budiatri Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 5 Agustus 2013; direvisi: 20 September 2013; disetujui: 2 Desember 2013 Judul Buku : Presidential Elections: Strategies and Structures of American Politics Editor : Nelson W. Polsby, Aaron Wildavsky, Steven E. Schier, dan David A. Hopkins Penerbit : Rowman & Littlefield Publishers, Inc., Plymouth, United Kingdom, 2012. Tebal : xiv + 337 hlm. Abstract The United States of America has run presidential elections for more than a century. Democratic elections are a dinamyc process with many changes in the rules and the systems. Nelson W. Polsby, Aaron Wildavsky, Steven E. Schier, and David A. Hopkins try to explain deeply about the evolution of American presidential election in their book: “Presidential Elections: Strategies and Structures of American Politics”. In this book, the writers give details about presidential election from different eras that focus on several issues, namely voters, interest groups, rules and resources, the nomination process, and the campaign. Besides, the book attempt to ask about how presidential elections serve the purposes of democracy in the U.S. Keywords: presidential election, the U. S., America, democracy Abstrak Amerika Serikat (AS) telah menjalankan pemilihan umum (pemilu) presiden selama lebih dari satu abad. Pemilu demokratis yang telah dijalankan oleh AS merupakan sebuah proses yang dinamis dengan banyak perubahan aturan dan sistem di dalamnya. Nelson W. Polsby, Aaron Wildavsky, Steven E. Schier, dan David A. Hopkins mencoba untuk menjelaskan secara mendalam evolusi (perubahan) pelaksanaan pemilu presiden di dalam buku “Presidential Elections: Strategies and Structures of American Politics”. Di dalam buku ini, penulis memberikan gambaran rinci mengenai pemilu presiden di era yang berbeda-beda dengan berfokus pada beberapa isu diantaranya pemilih pemilu, kelompok kepentingan, aturan dan sumber daya, proses nominasi, dan kampanye. Selain itu, buku ini mencoba menanyakan juga bagaimana pemilu presiden mampu mendukung tujuan demokrasi di AS. Kata kunci: pemilu presiden, Amerika Serikat, demokrasi
Pemilu Presiden Amerika Serikat | Aisah Putri Budiatri | 163
Pendahuluan Pelaksanaan pemilu merupakan salah satu syarat penting bagi terciptanya sebuah negara yang demokratis. Amerika Serikat merupakan salah satu negara perintis demokrasi yang telah cukup lama dan berpengalaman dalam menjalankan pemilu yang adil, terbuka dan berkala. Pemilu presiden ini telah dijalankan Amerika Serikat sejak abad ke-18, saat sistem pemilu demokrasi baru saja berkembang. Jika dihitung mulai dari tahun 1928, AS telah memilih 13 presiden melalui sebuah mekanisme pemilu. Perjalanan panjang pemilu presiden AS tentu merupakan kajian yang sangat menarik sebagai pembelajaran politik atas sistem demokrasi saat ini. Terdapat banyak ilmuwan dan peneliti yang menyoroti isu pemilu di Amerika, diantaranya Anthony King, Richard W. Boyd, Raymond E. Wolfinger, dan Stanley Kelley Jr. Namun, belum banyak kajian ilmiah yang berhasil melihat pemilu presiden sebagai suatu kajian yang utuh dan komprehensif. Umumnya, kajian hanya menyoroti satu isu tertentu di dalam pemilu, misalnya mengenai pemilih, kampanye, partisipasi pemilu, dan lainnya, atau kajian hanya melihat pemilu pada suatu periode tertentu saja. Dengan demikian, terdapat kekosongan ketersediaan kajian yang membahas pelaksanaan pemilihan presiden di AS secara menyeluruh dan komprehensif. Nelson W. Polsby dan Aaron Wildavsky mengawali kajian pemilu presiden yang dilakukan secara utuh dengan menuliskan hasil analisa setiap kali pemilu sejak tahun 1964. Kajian ini kemudian disempurnakan oleh Steven E. Schier, dan David A. Hopkins hingga menghasilkan buku “Presidential Elections: Strategies and Structures of American Politics”. Buku edisi ketiga ini telah diperbaharui dengan paparan analisa yang lengkap mengenai pemilu presiden mulai abad ke-18 hingga pemilu presiden tahun 2008. Di dalam buku ini, penulis membagi 7 babak tulisan yang meliputi kajian atas pemilih pemilu, kelompok kepentingan, aturan dan sumber daya pemilu presiden, proses pencalonan, kampanye, reformasi sistem pemilu dan partai politik, serta partai dan demokrasi. Sebagian besar isi dari buku “Presidential Elections: Strategies and Structures of American Politics” memaparkan secara teknis pelaksanaan pemilu presiden, yakni mulai
dari tahap pra hingga pasca-pemilu. Penulis menjelaskan dengan rinci bagaimana Amerika Serikat menjalankan tahapan pelaksanaan pemilu, proses pencalonan presiden-wakil presiden oleh internal partai, kampanye, dan penghitungan suara. Tidak hanya itu, perbandingan pelaksanaan pemilu presiden dari masa ke masa menjadi dasar analisa buku ini untuk mengkaji kontribusi partai politik dan pemilu terhadap kehidupan berdemokrasi AS.
Perilaku Pemilih Pemilu AS Partisipasi pemilih dalam pemilu di Amerika Serikat selalu menjadi isu yang hangat dibicarakan oleh media dan pengamat politik dunia. Pembahasan ini selalu menarik karena di satu sisi, rakyat AS dikenal sebagai pemilih loyal partai, namun di sisi lain angka golongan putih (golput)-nya pun tinggi. Pada pemilu 2008 lalu, lebih dari 130 juta Rakyat Amerika memilih dalam pemilu, tetapi jutaan (mendekati 100 juta) lainnya tidak memilih.1 Mengapa mereka memilih dan mengapa yang lainnya tidak memilih? Pertanyaan ini dijawab oleh penulis dalam bab muka buku ini. Hopkins dan ketiga penulis lainnya mengutarakan beberapa argumen yang menjelaskan alasan banyak pemilih di AS tidak ikut serta dalam pemilu. Ketidakpuasan dan keterasingan terhadap sistem politik yang berjalan di AS menjadi salah satu penyebab yang seringkali disampaikan oleh para pengamat politik di Amerika. Argumen lainnya menyatakan bahwa kerumitan proses pelaksanaan pemilihan umum, khususnya pendaftaran menjadi pemilih pemilu, menjadi alasan banyak orang untuk golput.2 Bagi penulis, alasan yang paling tepat mengapa angka golput tinggi adalah kerumitan proses pemilu, terutama aturan di setiap negara bagian bahwa setiap orang harus mendaftar ulang untuk menjadi pemilih dalam setiap pemilu yang dilaksanakan. Tidak diterapkannya sistem registrasi yang otomatis disebabkan oleh mobilitas warga AS yang sangat tinggi, dimana dalam dua tahun terdapat rata-rata 30% warga Nelson W. Polsby, dkk., Presidential Elections: Strategies and Structures of American Politics, (Plymouth: Rowman & Littlefield Publishers, Inc, 2012), hlm. 3. 2 Ibid, hlm. 3-8. 1
164 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
AS pindah dari satu negara bagian ke negara bagian lainnya. Tidak hanya itu, pelaksanaan pemilu yang dilakukan di hari kerja dan bukan merupakan hari libur nasional menjadi alasan sebagai warga AS menolak ke tempat pemilihan.3 Proses pemilu yang rumit telah disadari memiliki kontribusi terhadap tingginya masyarakat yang tidak ikut serta dalam pemilu di AS. Oleh karena itu, beberapa negara bagian telah membuat kebijakan untuk meningkatkan partisipasi pemilih di dalam pemilu, diantaranya kebijakan pendaftaran pemilih pada hari pelaksanaan pemilu, kemudahan pendaftaran pemilu bagi pemilih pemilu yang memiliki mobilitas tinggi, dan melakukan pemilihan suara sebelum pelaksanaan pemilu. Kebijakan tersebut berdampak positif terhadap pelaksanaan pemilu di Amerika Serikat, dimana 30% pemilih memanfaatkan kesempatan pemungutan suara sebelum hari pelaksanaan pemilu.4 Banyak kajian telah memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa orang tidak memilih dalam pemilu AS, namun sebaliknya alasan mengapa orang memilih masih dipertanyakan hingga kini. Banyak akademisi yang mengkaji motivasi tersebut menyatakan bahwa pemilih melihat keterlibatan mereka dalam pemilu sebagai sebuah bentuk partisipasi politik warga terhadap komunitas di mana mereka tinggal. Oleh karenanya, masyarakat yang tinggal menetap di suatu tempat dalam waktu lama memiliki kesadaran politik lebih tinggi dibandingkan mereka yang seringkali berpindah. Mereka yang menetap tersebut akan memiliki keterikatan sosial yang lebih tinggi dengan komunitas tempat tinggal mereka, dan memutuskan untuk aktif dalam kegiatan politik di komunitas itu, termasuk memilih dalam pemilu.5 Ikatan keluarga, tingkat pendidikan, tempat tinggal, identifikasi kelompok politik merupakan faktor yang mempengaruhi warga untuk berpartisipasi di dalam pemilu. Warga AS yang terlibat di dalam sebuah ikatan keluarga, organisasi sipil, atau kelompok kepentingan tertentu memiliki partisipasi terhadap pemilu yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak terlibat. Ikatan-ikatan terhadap komunitas tersebut akan membentuk identitas sosial Ibid. Ibid, hlm. 7-8. 5 Ibid, hlm. 9-14. 3 4
seseorang yang pada akhirnya membentuk identitas politik, terutama identitas partai politik. Umumnya, loyalitas mereka terhadap partai politik tertentu berasal dari pengaruh interaksi sosial dalam keluarga dan masyarakat. Preferensi politik diturunkan di dalam keluarga dan ditularkan dari teman-teman di dalam komunitas sosialnya.6 Penduduk AS memutuskan untuk memilih dalam pemilu karena keterikatan hubungan yang kuat dengan komunitasnya. Saat mereka sudah berada pada satu komunitas politik tertentu, maka afiliasi politiknya pun terbentuk pada satu partai politik tertentu. Mereka pun akan menjadi pemilih loyal partai tersebut. Mereka cenderung mendengarkan argumen-argumen politik dari satu arah partai politik yang mereka pilih saja dan tidak tertarik dengan apa yang disampaikan oleh partai politik lainnya. Bahkan, mereka sudah menentukan akan memilih kandidat presiden dari sebuah partai politik meski proses kampanye pemilu belum dilakukan.7 Partai Demokrat dan Partai Republik menjadi dua partai politik yang memonopoli loyalitas pemilih pemilu presiden. Dalam sejarah AS, hanya pemilu presiden tahun 1860 dan 1912 saja yang pernah mencalonkan kandidat dari partai lain di luar Republik dan Demokrat. Dari 21 kali pemilu presiden diadakan di AS, Demokrat memenangkan 11 kali pemilu dan Republik 10 kali pemilu.8 Motivasi memilih partai politik yang didasarkan pada keterikatan atas komunitas menjadikan basis pemilih partai politik mudah untuk dipetakan. Partai Republik sukses di kota kecil dan area rural di Amerika bagian timur laut dan barat dan dalam lima puluh tahun terakhir juga sukses di daerah selatan. Sementara itu, Partai Demokrat didukung oleh pemilihnya yang berada di area urban di luar wilayah selatan, termasuk New York, Boston, Philadelphia, Chicago, Los Angeles, dan lainnya.9 Tidak hanya itu, latar belakang ekonomi, agama dan etnis juga berpengaruh terhadap peta kekuatan politik Partai Demokrat dan Republik. Pemilih Republik memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok Demokrat, mereka umumnya Ibid. Ibid, hlm. 9-11. 8 Ibid, hlm. 10. 9 Ibid, hlm. 11-12. 6 7
Pemilu Presiden Amerika Serikat | Aisah Putri Budiatri | 165
adalah manajer atau pengusaha kecil. Selain itu, pemilih Republik umumnya adalah kelompok mayoritas yang meliputi orang kulit putih (74% dari pemilih pemilu 2008), pemilih berusia paruh baya, berpendidikan dan beragama Protestan. Sebaliknya, Pemilih Demokrat umumnya merupakan kelompok minoritas yang dirugikan dan memiliki ketertarikan terhadap program politik yang spesifik. Mereka diantaranya adalah imigran baru, kaum muda, kaum miskin, kelompok yang tidak berpendidikan, dan kelompok yang tidak membaur di dalam masyarakat. Kelompok pemilih Demokrat umumnya merupakan kelompok masyarakat yang pernah merasa dirugikan, diantaranya kelompok African-American, gay, agama minoritas dan anggota perserikatan.10
Pemilu sebagai Agregasi Kelompok Kepentingan
Loyalitas pemilih terhadap partai umumnya sangat kuat dan jarang sekali berubah. Jika berubah, maka pemilih menunjukan adanya perubahan dari loyalitas partisan ke loyalitas lemah, dari loyalitas lemah ke netral, atau ke golput. Umumnya, pemilih yang seringkali mengubah pilihan politiknya berasal dari kelompok pemilih independen. Pemilih independen tersebut umumnya menilai partai yang akan dipilihnya berdasarkan ideologi dan posisi partai terhadap isu-isu spesifik. Label ideologi yang secara umum digunakan terbagi menjadi ideologi kiri dan ideologi kanan (untuk isu ekonomi dan kesejateraan sosial), serta ideologi liberal, dan ideologi konservatif (untuk isu hak asasi).11
Kelompok kepentingan di Amerika sangat berpengaruh dalam kehidupan partai politik, meskipun mereka belum tentu dapat mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Hal ini sangat terlihat di dalam pelaksanaan pemilu presiden di AS. Polsby dan kawan-kawan menuliskan bahwa setidaknya terdapat tiga peran penting kelompok kepentingan dalam pemilu presiden yakni pertama, kelompok kepentingan dapat membantu menjadi penghubung bagi anggotanya untuk menemukan kandidat yang paling tepat untuk dipilih; kedua, kelompok kepentingan menjadi basis pendukung partai yang membantu kampanye dan menjaring konstituen untuk partai; dan ketiga, kelompok kepentingan mempengaruhi pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh kandidat atas isu tertentu sebagai timbal balik dorongan kampanye dan massa yang diberikannya.14
Pemilih independen tidak dapat dikategorikan sebagai pemilih partai loyal karena orientasi politiknya yang selalu berubahubah. Namun demikian, kehadiran pemilih independen tidak dapat dipandang sebelah mata karena kelompok ini akan dapat sangat menentukan pemenangan kandidat di dalam pemilu. Sebagai contoh, dalam pemilu 2008, Obama menang dikarenakan peran pemilih independen. Meskipun di internal partai, Obama hanya meraih 89%, sementara McCain 90%, namun 44-52% pemilih independen memenangkan Obama.12
Hidup partai politik di AS ditentukan oleh tiga basis kelompok partai, yakni : (1) pekerja profesional dan staf yang bekerja di dalam partai dan merepresentasikan dirinya sebagai bagian dari partai, (2) kandidat caleg atau presiden yang melabelkan dirinya kepada partai saat pencalonan, (3) aktivis partai, yakni kelompok orang yang aktif dalam kegiatan partai meliputi kampanye, pengumpulan dana, dan lainnya, namun tidak bekerja secara formal untuk partai dan tidak mencalonkan diri dalam pemilu. Aktivis partai ini erat hubungannya dengan kelompok-kelompok kepentingan dalam sebuah komunitas masyarakat di AS.13
10
Kelompok kepentingan tidak hanya berperan sebagai pengumpul massa bagi partai politik, tetapi juga memiliki peran penting untuk menyokong kebutuhan finansial partai. Sistem politik di Amerika membuka peluang bagi kelompok kepentingan (kelompok serikat dan pebisnis) untuk memberikan sumbangan finansial kepada partai atau kandidat pemilu melalui Political Action Committee (PAC). PAC dapat menerima sumbangan dalam jumlah yang tak terbatas dan untuk kandidat yang tidak terbatas, tetapi ada keharusan bahwa satu penyumbang PAC tidak boleh memberikan lebih dari 5000 dollar. Jumlah kontributor PAC semakin meningkat dari tahun ke tahun yakni
11
13
Ibid, hlm. 25-33. Ibid, hlm. 18-21. 12 Ibid, hlm. 25.
14
Ibid, hlm. 42. Ibid, hlm. 33-34.
166 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
diawali dari hanya 89 di tahun 1974 hingga 1816 di tahun 1988. Namun, saat ini jumlahnya berkurang hingga menyentuh 1601 di tahun 2008.15 PAC merupakan bentuk perkembangan dari Committee on Political Education (COPE). COPE dibentuk oleh the new American Federation of Labor and Congress of Industrial Organizations (AFL-CIO) saat federasi buruh melebur di tahun 1955 untuk mengumpulkan dana sumbangan politik. PAC membuka ruang kepada publik untuk memberikan dana politik kepada partai, walaupun mereka bukan lah bagian dari AFL-CIO. Dengan demikian, dana politik untuk partai tidak hanya berasal dari kelompok kepentingan saja, namun terbuka menjadi lebih luas.16 Idealnya, PAC ditujukan agar partai politik menjadi lebih bertanggung jawab terhadap publik atas apa yang ditetapkannya sebagai kebijakan. Namun, hal yang terjadi justru tidak sesuai dengan tujuan awal dibentuknya PAC. PAC justru menciptakan hubungan klientisme yang kuat antara kelompok kepentingan dengan partai politik. Kelompok kepentingan, terutama kelompok pebisnis, yang memberikan sumbangan finansial akan memikirkan apa timbal balik partai terhadap mereka. Sangat penting bagi kelompok kepentingan untuk mengetahui apa yang dapat dilakukan oleh partai untuk kepentingan mereka. Dengan demikian, warga pun berbondong-bondong bergabung dengan kelompok kepentingan untuk mendorongan kepentingan mereka masing-masing.17 Alih-alih menciptakan partai yang kuat, partai politik saat ini justru semakin melemah posisinya di tengah rakyat.
Pencalonan Kandidat untuk Pemilu Presiden Amerika Serikat Pencalonan kandidat presiden merupakan langkah awal yang penting dalam setiap pelaksanaan pemilu presiden AS. Sejarahnya, nominasi presiden ditentukan oleh pimpinan dan elit partai politik yang mewakili negara-negara bagian, namun saat ini ditentukan oleh delegasi tersumpah yang dipilih juga melalui pemilihan pendahulu. Proses penentuan kandidat presiden Ibid, hlm. 39-40. Ibid, hlm. 40. 17 Ibid, hlm. 40. 15 16
AS saat ini lebih memakan waktu, memiliki proses yang kompleks dan memakan biaya tinggi. 18 Langkah pertama untuk memasuki pencalonan presiden AS dimulai dengan pelaksanaan pemilihan pendahulu (early primary election) di Iowa dan New Hampshire. Pelaksanaan pemilihan pendahulu dilakukan di kedua negara bagian tersebut pada bulan Februari, sementara pemilihan pendahulu di negara bagian lainnya baru diselenggarakan pada bulan Maret dan Juni. Pemilihan pendahulu ini memiliki pengaruh yang penting dalam proses pemilu presiden karena sangat menentukan apakah kandidat presiden akan melanjutkan kepada pemilihan di negara bagian lain yang luas wilayahnya lebih besar atau tidak. Pemilihan pendahulu ini akan menentukan seberapa besar dukungan yang akan diberikan kepada para calon kandidat presiden. Oleh karena itu, banyak calon kandidat presiden mundur dari proses pemilu setelah kalah pada pemilihan pendahulu di Iowa dan New Hampspire ini. 19 Selain pemilihan pendahulu, partai politik juga memiliki prosedur lain dalam menentukan delegasi yang akan memilih calon presiden dalam konvensi nasional, yakni melalui kaukus negara bagian dan superdelegasi. Sebagai contoh, di tahun 2008, lebih dari dua per tiga delegasi konvensi Partai Demokrat dipilih dari pemilihan pendahulu, 19% adalah superdelegasi dan 12% dipilih melalui kaukus atau konvensi negara bagian. Dua prosedur lainnya ini merupakan prosedur awal yang muncul dalam setiap proses pemilihan kandidat presiden untuk pemilu AS. 20 Kaukus negara bagian merupakan metode yang umum digunakan oleh Amerika Serikat sebelum tahun 1972 untuk memilih kandidat presiden dengan berdasarkan pada keputusan pimpinan-pimpinan partai. Melalui metode kaukus ini, pimpinan partai secara otomatis mendapatkan kursi sebagai delegasi dalam konvensi untuk menentukan kandidat presiden. Oleh karena itu, pimpinan partai memiliki kekuatan yang besar untuk mengontrol hasil dari nominasi calon presiden ini.21
Ibid, hlm. 51. Ibid, hlm. 51, 100-111. 20 Ibid, hlm. 96. 21 Ibid, hlm. 124. 18 19
Pemilu Presiden Amerika Serikat | Aisah Putri Budiatri | 167
Superdelegasi adalah cara memilih delegasi konvensi nasional yang muncul sebagai upaya reformasi atas metode kaukus. Superdelegasi menjadikan kontrol pencalonan presiden oleh partai bukan hanya oleh elit partai dalam kepengurusan di tingkat negara bagian saja, tetapi juga menjadikan senator, gubernur, mantan presiden, mantan wakil presiden, dan pimpinan kongres sebagai delegasi dalam konvensi. Seperti halnya kaukus, maka kursi dari para superdelegasi juga otomatis diberikan tanpa proses pemilihan sebelumnya.22 Setelah ketiga proses tersebut dijalankan, maka konvensi nasional siap dilaksanakan untuk memilih kandidat presiden yang akan dicalonkan oleh partai politik dalam pemilu. Tren posisi ideologi partai politik terefleksi melalui kehadiran kelompok aktivis politik yang menjadi delegasi di dalam konvensi nasional, dimana delegasi Demokrat adalah sekelompok orang liberal dan Republik dipenuhi oleh sekelompok orang konservatif. Hal ini menunjukkan bahwa konvensi nasional tidak hanya menjadi sarana untuk menentukan kandidat presiden, namun juga merefleksikan posisi partai terhadap ideologi politik dan isu politik tertentu.23
Kampanye Pemilu Presiden Amerika Serikat Kampanye merupakan proses politik yang penting di dalam proses pemilu presiden Amerika Serikat. Kampanye menjadi alat partai politik untuk meyakinkan pemilih loyalis agar tidak memilih partai politik atau kandidat lain dan untuk membujuk pemilih independen yang belum menetapkan pilihannya. Namun, kampanye tidak ditujukan untuk mengubah pilihan pemilih loyalis dari partai berbeda.24 Dalam kampanye pemilu presiden, pemilih digiring ke dalam tiga isu utama kampanye, yakni isu ekonomi, isu politik luar negeri dan isu sosial. Partai Demokrat dan Republik menggiring ketiga isu tersebut dalam kerangka yang berbeda untuk menunjukan keunggulan masing-masing partai. Pendekatan berbeda atas ketiga isu itu lah yang kemudian membentuk kelompok-kelompok loyalis partai, Ibid, hlm. 126-127. Ibid, hlm. 128-129. 24 Ibid, hlm. 147-148. 22 23
yakni mereka yang merasa kepentingannya terakomodir oleh partai.25 Dalam bidang ekonomi, Partai Demokrat dikenal sebagai partai yang membawa aspirasi kelompok pekerja dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Demokrat yang memiliki tendensi untuk mengusung pemikiran liberal membawanya pada penilaian positif masyarakat. Demokrat membawa beberapa isu diantaranya tentang upah minimum buruh, training untuk pengangguran, dan kebijakan sosial domestik lainnya. Sebaliknya, Republik lebih sering dilekatkan pada resesi dan ketidakberhasilan ekonomi. Hal ini didukung oleh peristiwaperistiwa kegagalan ekonomi pemerintah di bawah kekuasaan Partai Republik, termasuk Depresi Ekonomi tahun 1929 dan beberapa kali resesi ekonomi sejak 1970 hingga 2009. Situasi ini memberikan keuntungan bagi Partai Demokrat di dalam pemilu. Oleh karenanya, isu ekonomi menjadi isu yang diunggulkan oleh Demokrat sebagai materi kampanye.26 Isu politik luar negeri yang muncul di dalam kampanye politik partai umumnya terkait dengan persoalan militer. Kenyataan bahwa Perang Dunia I dan II, Perang Korea dan Perang Vietnam terjadi pada masa pemerintahan Demokrat telah menciptakan asumsi masyarakat bahwa Demokrat cenderung membawa AS pada peperangan. Sebaliknya, Republik lebih dikenal sebagai partai yang cinta damai dan cenderung menahan diri untuk terlibat di dalam aliansialiansi internasional. Namun, belakangan ini, Demokrat justru diasumsikan sebagai partai perdamaian karena pemerintahan George W. Bush, seorang presiden yang diusung oleh Republik, mengusung okupasi militer terhadap Irak.27 Isu sosial dipahami sebagai isu yang terkait dengan kriminalitas, hak kelompok gay, aborsi, dan kontrol penggunaan senjata api. Berbicara mengenai isu-isu tersebut, Partai Republik lebih berpikir konservatif, sementara Demokrat berpikir dalam pandangan liberal sosial. Republik mencoba untuk mempertahankan nilainilai tradisional di dalam masyarakat sehingga menentang eksistensi kelompok gay dan aborsi. Sebaliknya, Partai Demokrat berada pada sisi yang lebih progresif mendukung kelompokkelompok tersebut. Namun demikian, saat ini, Ibid, hlm. 152-158. Ibid, hlm. 153-155. 27 Ibid, hlm. 155-156. 25 26
168 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Demokrat lebih sering mengangkat isu ekonomi dibandingkan isu sosial di dalam kampanyekampanyenya.28 Selain isu dalam kampanye, pemilih pemilu juga memperhatikan latar belakang kandidat yang diusung oleh partai. Kandidat diharapkan adalah orang yang dapat dipercaya, cerdas, dewasa, bijaksana, dan juga memiliki kehidupan keluarga yang baik. Kehidupan privasi kandidat menjadi bahan kampanye yang dapat mempengaruhi persepsi pemilih. Beberapa kandidat presiden mundur dari pencalonan dalam pemilu karena terungkap persoalan kehidupan pribadinya seperti yang dialami oleh Gary Hart di tahun 1987 (Nelson W. Polsby, dkk., 2012, hal.158-159).29 Di abad ke-19, kampanye pemilu presiden umumnya hanya mengandalkan struktur organisasi partai saja. Namun dalam perkembangannya saat ini, partai politik dan kandidat presiden mengatur pelaksanaan kampanye dengan bantuan konsultan politik, penasehat kebijakan dan pollster. Konsultan politik merupakan organisasi berbayar yang diminta untuk mengatur seluruh proses kampanye dan pengumpulan dana politik. Selain konsultan politik untuk kampanye, partai politik dan kandidat juga memiliki penasehat kebijakan. Penasehat kebijakan mengatur isuisu kebijakan yang populis untuk diambil oleh kandidat presiden atau partai politik selama masa kampanye. Umumnya, penasehat kebijakan ini sudah mulai bekerja sejak dua tahun sebelum pemilu. Hal ini ditujukan untuk membangun reputasi kandidat presiden dan partai politik di hadapan publik. Kerja konsultan politik dan penasehat kebijakan dibantu oleh pollster, yakni pelaku survei publik. Survei publik sangat penting untuk membantu memetakan kekuatan politik, membangun strategi kampanye dan melihat isu strategis di masyarakat.30 Sistem pemilu AS memiliki pengaruh yang besar terhadap bentuk kampanye yang akan dijalankan oleh kandidat presiden dan partai politik. Sistem pemilu AS menghendaki presiden tidak hanya dipilih langsung berdasarkan suara terbanyak rakyat saja, namun juga terdapat “the electoral college” dimana setiap negara bagian menunjuk wakilnya untuk memilih kembali calon yang paling popular dari hasil pemilu Ibid, hlm. 156-158. Ibid, hlm. 158-159. 30 Ibid, hlm. 160-161.
pertama (kecuali Maine dan Nebraska). Dalam sistem ini, setiap negara bagian wajib diwakili oleh minimal tiga suara, bahkan oleh wilayah negara bagian yang kecil sekalipun. Dampaknya terdapat ketimpangan antara satu negara bagian dengan negara bagian lain, contohnya Wyoming memiliki rasio 1 suara mewakili 84.886 pemilih dan di Florida terdapat 1 suara untuk 311.493 pemilih. Hal ini menyebabkan kandidat umumnya lebih berfokus untuk kampanye pada negara bagian yang berpenduduk padat dibandingkan daerah yang berpenduduk sedikit. Di tahun 2008, negara bagian yang menjadi target diantaranya adalah North Carolina, Wisconsin, Ohio, Pennsylvania, Florida, Indiana, Iowa, Minnesota, Missouri, Nevada, New Hampshire, New Mexico, Virginia, and Colorado.31 Sistem pemilu presiden AS yang bertahap dengan jangkauan wilayah yang sangat luas juga mempengaruhi biaya kampanye politik partai dan kandidat menjadi sangat tinggi. Di tahun 2008, Obama membutuhkan biaya 745 juta Dollar, sementara McCain 350 juta dollar. Kandidat presiden lainnya dari Demokrat mengeluarkan biaya sekitar 311 juta dollar dan Republik 248 juta dollar. Sementara itu, untuk pencalonan anggota senat dan parlemen dibutuhkan dana lebih dari 1,4 miliar dollar.32 Dana kampanye yang besar menjadi isu pokok yang dibahas oleh media dan pakar politik selama proses pemilu berlangsung. Partai politik dituntut untuk mendapatkan dana politik yang besar agar kampanye dapat dilakukan secara maksimal dan kandidatnya pun dapat memenangkan pemilu. Partai politik melakukan beragam cara berbeda untuk memenuhi kebutuhan dana politik tersebut, diantaranya menggalang relawan untuk mencari sumbangan dana politik dari komunitas dimana mereka tinggal, memanfaatkan media online (internet) untuk menggalang dana politik, dan mendapatkan bantuan dana federal.33 Sumber kampanye terbesar di Amerika saat ini masih berasal dari sumbangan politik individu dan kelompok-kelompok kepentingan. Umumnya, sumbangan yang besar berasal dari tiga negara bagian yakni New York, Washington, dan Los Angeles. Sumbangan ini dikumpulkan oleh tim relawan yang bekerja untuk mencari Ibid, hlm. 51-52. Ibid, hlm. 53. 33 Ibid, hlm. 53-58.
28
31
29
32
Pemilu Presiden Amerika Serikat | Aisah Putri Budiatri | 169
sumbangan dana politik dari lingkungan di sekitar mereka termasuk keluarga, teman, dan komunitas dimana ia tinggal. Namun demikian, dengan perkembangan media saat ini, maka penggalangan dana juga mulai dilakukan melalui media internet. Internet bahkan terbukti efektif mengumpulkan dana politik dalam jumlah yang besar. Selain itu, kandidat di dalam pemilu juga memanfaatkan internet untuk menggalang dana politik pencalonannya. Sebagai contoh, Obama berhasil menggalang dana politik sebesar 150 juta dollar dalam waktu satu bulan saja. Jumlah dana kampanye yang Obama yang terkumpul melalui internet membuatnya memiliki dana kampanye yang jauh lebih besar dibandingkan dana kampanye John McCain, saingannya.34 Tidak hanya sumbangan individu dan kelompok saja, partai politik juga bisa memperoleh dana politik dari pemerintah. Di tahun 1974, pemerintah federal melalui Federal Election Campaign Act (FECA) memberikan dana publik (dari pajak) untuk biaya politik kandidat yang telah mengumpulkan setidaknya 5000 dollar dari sumbangan individu. Dana publik dari pemerintahan federal tersebut akan dihargai sebesar 250 dollar/individu terhitung dari jumlah individu penyumbang yang sudah mereka kumpulkan sebelumnya. Namun, sebagai timbal balik, maka kandidat perlu memenuhi dua syarat yakni kandidat dilarang mengeluarkan uang sendiri atau dari keluarganya lebih dari 50.000 dollar dan kandidat harus membatasi dana kampanye yang dikeluarkannya untuk periode pre-nominasi (dibatasi sebesar 10 juta dollar di tahun 1974, dan dibatasi sebesar 54 juta dollar di tahun 2008).35 Sumbangan dana federal yang memiliki persyaratan ketat tersebut dinilai akan membatasi dana politik partai atau kandidat pemilu. Oleh karena itu, banyak kandidat presiden akhirnya memilih untuk tidak mendapatkan bantuan dana federal karena yakin mampu mendapatkan dana lebih besar serta tidak dibatasi oleh dua aturan kompensasi tersebut. Kandidat yang memilih tidak mendapatkan dana federal tersebut diantaranya Mitt Romney, Rudy Giuliani, John McCain, Mike Huckabee, Ron Paul, Fred Thompson, Hillary Clinton, Barack Obama, dan Bill Richardson. Meskipun tidak mendapatkan sumbangan dari pemerintah, Obama memiliki Ibid, hlm. 57. 35 Ibid, hlm. 59. 34
dana kampanye sebesar $350 juta, Clinton sebesar $250 juta,dan McCain sebesar $190 million. Dana tersebut jauh di atas dana 54 juta dollar yang dibatasi oleh ketentuan dana federal.36 Sebelum dilakukan pembatasan atas jumlah sumbangan politik di tahun 1970an, pemilu presiden diasumsikan memang dipengaruhi secara tidak wajar oleh kepentingan uang. Namun, kemenangan pemilu tidak langsung dapat berkorelasi dengan jumlah dana politik yang dimilikinya. Sebagai contoh, pada pemilu tahun 1968, Partai Republik memiliki dana politik dua kali lebih besar dibandingkan Demokrat, tetapi Demokrat mampu mendapat suara 500.000 lebih banyak dibandingkan Republik. Walaupun terdapat fenomena anomali, uang kampanye yang besar terbukti berpengaruh kepada kemenangan sejumlah kandidat presiden. Sebagai contoh, Obama yang memiliki dana politik jauh lebih besar dari McCain mampu memenangkan pemilu. Tidak hanya Obama, presiden pemenang lainnya secara umum memiliki dana politik yang lebih besar dari kandidat lainnya.37 Sistem pemilu presiden yang mengharuskan para kandidat dan partai politik melakukan kampanye di setiap negara bagian membuat kampanye media menjadi alat efektif untuk memperoleh dukungan. Kampanye media digunakan oleh kandidat sebagai alat kontrol informasi di ruang publik, khususnya untuk meningkatkan popularitas kandidat presiden. Kampanye media dalam pemilu terbagi atas dua bentuk yakni, free-media, termasuk pemberitaan oleh media dan debat politik, dan media berbayar, termasuk kampanye iklan di televisi dan radio.38 Liputan media dapat sangat menguntungkan kampanye kandidat dalam pemilu, sebagai contoh, di tahun 2008, Obama mendapatkan keuntungan dari peliputan media yang sangat tertarik pada pencalonan presiden pertama seorang African-American. Meskipun demikian, kampanye media tidak menjadi satusatunya sumber yang berpengaruh bagi pemilih, pemilih juga mendapatkan pengaruh yang kuat dari lingkungan sosial di sekitar mereka termasuk keluarga, teman, organisasi kegamaan dan etnis, dan organisasi sosial lainnya. Oleh Ibid, hlm. 60. Ibid, hlm. 65. 38 Ibid, hlm. 73. 36 37
170 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
karena itu, kampanye secara langsung di setiap negara bagian, khususnya di negara bagian dengan populasi tinggi, tetap perlu dilakukan oleh kandidat presiden.39
Reformasi Sistem Partai Politik dan Pemilu di Amerika Serikat Telah disinggung sebelumnya bahwa dalam proses lebih dari satu abad Amerika Serikat menjalankan sistem politiknya, AS telah melakukan beberapa kali reformasi atas sistem pemilu dan partai politik. Reformasi ini bergulir sebagai pengaruh dari pemikir-pemikir politik abad dua puluh seperti Woodrow Wilson dan James Bryce. Mereka melakukan evaluasi atas fungi dan legitimasi partai politik, kongres, presiden, serta akomodasi kebijakan atas kepentingan publik.40 Pemikir-pemikir reformasi politik menilai bahwa untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis di Amerika, maka dibutuhkan partai politik yang berkomitmen terhadap masyarakat pemilihnya, partai yang membawa kepentingan pemilihnya, partai yang membawa kebijakan alternatif bagi pemerintahan, dan partai politik yang memberikan pilihan-pilihan kebijakan alternatif bagi konstituennya. Dengan kata lain, partai politik didefinisikan sebagai asosiasi yang membawa tujuan konstituennya yang beragam menjadi kebijakan. 41 Reformasi partai politik dilakukan agar partai politik menjadi saluran kepentingan rakyat. Partai politik tidak selalu secara serta merta mendukung satu kebijakan yang sama baik itu di tingkat lokal maupun nasional. Pemikir reformasi politik mendukung adanya perbedaan kepentingan meski dalam satu garis partai yang sama dengan asumsi anggota partai merupakan wakil dari kelompok kepentingan yang berbeda. Kebijakan nasional belum tentu sesuai dengan kepentingan di tingkat lokal, sehingga anggota partai di tingkat lokal dapat saja berbeda argumen dengan anggota partai di tingkat nasional. Hal ini menuntut dilakukannya diskusi oleh partai politik guna membahas keragaman kepentingan konstituen partai.42 Ibid, hlm. 9-14, 73. Ibid, hlm. 214 41 Ibid. 42 Ibid, hlm. 214-218. 39 40
Apa yang disampaikan oleh kelompok reformasi politik merupakan kritik terhadap konsepsi partai politik sebelumnya yang menempatkan partai politik sebagai agensi kompromi. Partai politik menjadi tempat konsensus kepentingan yang beragam untuk menghindari terjadinya konflik tajam antar kelompok kepentingan. Partai politik melakukan harmonisasi kepentingan yang beragam agar dapat menjadi satu kebijakan yang sama sebagai aturan main. Setiap kelompok kepentingan yang berbeda dituntut untuk kemudian menyesuaikan kepentingannya dengan aturan main tersebut, dan tidak lagi menyuarakan kepentingannya yang berbeda.43 Selain upaya reformasi partai politik, AS juga memiliki gerakan reformasi yang mendorong berlangsungnya demokrasi partisipatif. Reformasi menuju demokrasi partisipatif ini dinilai menjadi jawaban atas kelemahan sistem politik Amerika, dimana pemilu dinilai tidak berhasil menjamin kepentingan rakyat (pemilih mayoritas) dapat terkomodasi dalam kebijakankebijakan pemerintah. Pokok pemikiran reformasi demokrasi partisipatif ini sesuai dengan pemikiran Jurgen Habermas bahwa demokrasi yang terlegitimasi dapat dibentuk oleh yang disebutnya “an ideal speech situation” atau situasi berbicara yang ideal, dimana setiap orang aktif dan memiliki ketertarikan yang sama untuk berpartisipasi politik. Setiap orang memiliki hak, sumber daya finansial, dan informasi yang sama untuk berpartisipasi politik secara efektif.44 Reformasi menuntut perubahan sistem pemilu dan partai untuk meningkatkan kualitas demokrasi terus bergulir selama lima puluh tahun belakangan ini. Namun demikian, reformasi tidak hanya digulirkan untuk memperbaiki sistem demokrasi saja, melainkan juga untuk hal-hal spesifik seperti proses nominasi, prosedur konvensi partai dan bentuk “electoral college”. Ketiga hal tersebut menjadi isu yang dianggap perlu diubah untuk mencapai sistem pemilu presiden yang lebih efektif.45 Tuntutan perubahan proses nominasi yang dilakukan adalah diusulkannya pelaksanaan pemilihan pendahulu dan kaukus yang berlaku serentak secara nasional di setiap negara bagian. Dengan demikian, tidak akan ada Ibid, hlm. 247-248. Ibid, hlm. 223, 249. 45 Ibid, hlm. 224-237. 43 44
Pemilu Presiden Amerika Serikat | Aisah Putri Budiatri | 171
bobot yang lebih tinggi dari pelaksanaan pemilihan pendahulu seperti yang berlangsung di Iowa dan New Hamspire. Namun, ada juga usulan lain dimana waktu pelaksanan pemilu pendahulu sebaiknya diseragamkan sesuai dengan kelompok wilayah geografisnya. Pemilu pendahulu dapat dilaksanakan secara bergiliran dengan empat kali waktu pelaksanaan berbeda.46 Reformasi pelaksanaan konvensi nasional partai menuntut adanya perubahan orientasi konvensi yang sejauh ini dinilai tidak memilih calon presiden terbaik, tetapi calon yang terpopular. Calon presiden yang popular dinilai lebih penting karena pemilu presiden langsung menempatkan popularitas di mata publik menjadi faktor yang terpenting untuk memenangkan pemilu. Padahal, tujuan pelaksanaan konvensi tidak hanya untuk memilih kandidat yang menarik bagi publik, namun juga yang berkualitas baik dan memiliki kemampuan memimpin pemerintahan.47 Electoral college merupakan proses yang menarik di dalam pemilu presiden di AS. Banyak kalangan menilai bahwa pelaksanaannya harus dihapuskan untuk mendorong demokrasi murni yang didasarkan hanya pada pemilihan langsung oleh rakyat. Namun, terdapat kelompok reformis lain yang menilai bahwa electoral college tetap perlu dilaksanakan, tetapi perlu diatur perhitungan baru untuk alokasi suara yang mewakili masing-masing negara bagian. Kemungkinan lainnya adalah electoral college tetap dilaksanakan dengan penghitungan satu suara untuk setiap kemenangan di wilayah distrik dan dua suara untuk setiap kemenangan di wilayah negara bagian.48
Partai Politik dan Demokrasi di Amerika Serikat Saat ini, partai politik AS dituntut untuk menjalankan fungsinya sebagai advokat kebijakan, yakni partai yang berfungsi sebagai pembawa kebijakan yang berpihak terhadap kelompok massa pendukungnya yang beragam. Hal ini dianggap memiliki pengaruh yang penting untuk mematangkan demokrasi di Amerika Serikat. Namun, terdapat beberapa hal yang menjadi hambatan untuk mewujudkan
partai politik sebagai advokat kebijakan. Kelompok kepentingan dan kelompok minoritas di AS berjumlah sangat banyak sehingga akan sulit bagi partai politik untuk mengakomodir seluruh kepentingan tersebut. Terlebih lagi, AS hanya memiliki dua partai politik sebagai kendaraan politik utama di dalam pemilu, sehingga akan sangat sulit untuk dua partai mampu menguasai keragaman kepentingan tersebut. Situasi ini juga yang terjadi di dalam pemilu presiden, dimana dua partai besar berkompetisi untuk memenangkan kandidatnya. Kandidat presiden akan kesulitan jika harus membawa program-program spesifik berbeda sesuai kepentingan kelompok yang berbeda-beda. Untuk efektivitas pemenangan dalam pemilu, maka harapan partai politik sebagai advokat kebijakan sulit untuk dicapai. Mayoritas pemilih yang tidak ideologis juga menjadi hambatan untuk mewujudkan partai politik sebagai advokat kebijakan. Banyak pemilih AS tidak memilih partai politik atau kandidat berdasarkan program kebijakan yang mereka tawarkan, tetapi mereka memilih karena keterikatan mereka dengan komunitas loyalis partai tertentu. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemilih AS umumnya memilih karena pengaruh keluarga, organisasi sosial atau komunitas terdekatnya. Di luar itu, pemilih umumnya menentukan kandidat presiden pilihannya berdasarkan latar belakang figur dan karakter kandidat. Artinya, pemilih pemilu yang berorientasi pada program kebijakan pun masih minoritas. Dengan situasi-situasi yang telah dijelaskan tersebut, maka bentuk partai sebagai advokasi kebijakan diragukan dapat terwujud di AS. Oleh karenanya, Polsby meyakini bahwa partai intermediasi menjadi lebih tepat dilekatkan kepada partai politik di AS saat ini dibandingkan dengan partai advokasi. Partai intermediasi diartikan sebagai partai yang berkemampuan sebagai penghubung berbagai kepentingan, termasuk kelompok kepentingan dan juga para implemen kebijakan, termasuk kongres, birokrasi, pemerintah kota dan pemerintah negara bagian. Artinya, kebijakan yang nantinya disampaikan oleh partai merupakan kompromi atas berbagai kepentingan.
Ibid, hlm. 224-228. Ibid, hlm. 228-231. 48 Ibid, hlm. 231-237. 46 47
172 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Tinjauan Kritis terhadap “Presidential Elections: Strategies and Structures of American Politics” “Presidential Elections: Strategies and Structures of American Politics” merupakan sebuah buku yang sangat komperehensif dalam menjelaskan pemilu presiden AS. Hal ini terbukti dari kemampuan buku ini merangkum perkembangan pelaksanaan pemilu presiden dari beragam sisi. Buku ini tidak hanya memaparkan proses pemilu secara teknis, namun juga membahas hal substansial seperti perilaku pemilih dan perkembangan pemikiran atas sistem politik yang ideal di negeri Paman Sam ini. Poin penting yang menarik diulas dalam buku ini adalah penjelasan bahwa meskipun AS merupakan negara demokratis yang diasumsikan mapan oleh banyak pihak, nyatanya menyimpan banyak persoalan juga di dalam pelaksanaan pemilu presidennya. Persoalan pelik yang hingga kini dihadapi oleh Amerika Serikat diantaranya mengenai angka golput yang tinggi, kecenderungan partai politik memilih kandidat presiden populis dibandingkan kandidat yang terbaik kualitasnya, biaya politik tinggi, politik kompromistis antara kelompok kepentingan dengan partai, kerumitan sistem pemilu presiden dan berbagai persoalan lainnya. Halhal tersebut tentu berdampak negatif bagi kemapanan demokrasi AS saat ini. Oleh karena itu, reformasi atas sistem partai politik dan pemilu di Amerika Serikat tak henti-hentinya digulirkan hingga saat ini. Namun demikian, buku ini luput membahas secara detil kontribusi kelemahan-kelemahan pelaksanaan pemilu presiden terhadap sistem demokrasi Amerika Serikat. Penulis memang telah menjadikan pembahasan itu sebagai sebuah kajian tersendiri di dalam bab terakhir buku ini, tetapi pembahasan lebih difokuskan kepada kaitan demokrasi dengan partai politik dan bukan pemilu. Sebagai buku yang melihat pemilu presiden sebagai inti kajian, maka seharusnya penulis lebih berfokus pada pelaksaan pemilu demokrasi, sementara partai politik cukup menjadi elemen pembahasan di dalamnya. Tidak hanya itu, di dalam pembahasan bab terakhir tidak dijelaskan juga bagaimana posisi
demokrasi AS saat ini dengan adanya beragam persoalan pemilu dan partai politik. Dengan angka golput tinggi dan politik kompromistis yang kuat, apakah demokrasi di AS sudah dapat dikategorikan sebagai demokrasi substansial? Atau masih terkategori demokrasi prosedural? Atau sesuai dengan konsep demokrasi yang diangkat di dalam buku ini, apakah sudah terkategori sebagai demokrasi partisipatif atau demokrasi deliberatif? Tidak ada penjelasan lebih dari penulis untuk memberi posisi atas demokrasi AS saat ini, meskipun penulis mengkhususkan bab terakhir untuk membahas lebih dalam terkait demokrasi. Pembicaraan hubungan antara partai politik dengan demokrasi pun menjadi tidak terlalu relevan mengingat persoalan partai politik yang diangkat oleh penulis bukan lah hal spesifik yang terjadi di Amerika Serikat saja. Artinya, tidak ada yang terlalu menarik saat membahas karakter partai politik yang kompromistis karena hal ini juga terjadi pada partai politik di belahan dunia mana pun. Terkait dengan pemilu presiden AS, maka akan lebih menarik jika penulis menghubungkan demokrasi dengan dua hal yakni angka golput yang tinggi dan pelaksanaan electoral college. Hubungan demokrasi dengan kedua hal itu sempat dibahas oleh penulis namun tidak utuh dan tidak mendalam. Apakah demokrasi AS dapat tetap dikategorikan sebagai demokrasi yang partisipatif dan substansial apabila tingkat golputnya sangat tinggi dan fluktuatif dari tahun ke tahun? Pertanyaan tersebut patut untuk dipertanyakan terus menerus karena merupakan persoalan nyata AS saat ini. Demokrasi akan berjalan semu apabila partisipasi rakyat di dalam sistem politiknya rendah. Dalam hal persoalan partisipasi politik ini, AS bahkan berada di bawah Belgia, Islandia, Denmark, Australia dan negara-negara lain yang memiliki tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu lebih tinggi dari 57%. AS telah memiliki prosedur pemilu langsung, namun hampir 50% rakyatnya tidak ikut memilih dalam pemilu. Selain persoalan angka partisipasi politik yang rendah, sistem pemilu AS sendiri pun menuai persoalan bagi perjalanan demokrasi negeri Paman Sam ini. Banyak pengamat politik menilai bahwa dengan adanya penerapan electoral college selain pemilu langsung
Pemilu Presiden Amerika Serikat | Aisah Putri Budiatri | 173
menjadikan pemilu AS kurang demokratis. Bahkan hal ini pula yang menjadikan banyak politisi di Indonesia menilai bahwa pemilu presiden Indonesia lebih demokratis dibandingkan pemilu presiden AS.49 Pemilu demokratis yang utuh adalah pemilu yang didasarkan pada pemilu langsung, bukan kolaborasi antara pemilu langsung dan tidak langsung. Sementara itu, konstitusi AS membangun sistem pemilu presiden sebagai kompromi antara pemilihan melalui pemungutan suara di kongres dan pemilihan oleh suara terbanyak warga pemilih.50 Kedua persoalan tersebut merupakan isu khas yang ditemukan di AS, sehingga akan sangat menarik untuk diungkap lebih dalam keterkaitannya dengan kematangan demokrasi yang diterapkan. Meskipun dua persoalan tersebut dianggap sebagai persoalan mayor dari pemilu presiden (korelasinya dengan demokrasi) saat ini, namun ada hal lain termasuk keterbukaan proses pemilu dan intimidasi politik yang juga mencederai demokrasi AS. Kedua hal ini penting tetapi luput diperhatikan oleh penulis. Hal ini penting untuk dilihat karena bagaimana pun juga AS adalah mercusuar atas pelaksanaan demokrasi di dunia, sehingga membawa nilai penting sebagai pelajaran bagi negara-negara lainnya.51 Tidak hanya lemah dalam pemaparan pada bab terakhir, namun terdapat beberapa poin yang juga luput di dalam kajian buku ini. Beberapa hasil penelitian sumber lain memberikan penjelasan yang berbeda atas apa yang coba diangkat oleh Polsby dan kawan-kawan di dalam buku ini. Cara pandang yang berbeda ini terutama menyoroti persoalan perilaku pemilih dalam pemilu. Polsby dan ketiga penulis lainnya menekankan bahwa penyebab tingkat partisipasi pemilu yang rendah dititikberatkan pada sistem pemilu AS yang rumit. Namun, Gianfranco Baldini dan Adriano Pappalardo menekankan kepada lemahnya parpol menjalankan fungsi “Basuki: Indonesia lebih demokratis dari AS”, 13 Maret 2013, www.nasional.kompas.com, diakses pada tanggal 24 April 2013. 50 “Bagaimana Proses Pemilihan Presiden AS?”, 7 November 2012, www.gatra.com, diakses pada tanggal 14 April 2013. 51 Matthias Maass, The World Views of The US Presidential Election 2008, (New York: Palgrave Macmillan, 2009), hlm. 3. 49
organisasi politik sebagai penyebab golput.52 Pada dasarnya, penulis telah menjelaskan posisi lemah partai politik AS, termasuk misalnya ketidakmampuan mengakomodasi isu dan program, sifat partai yang kompromistis, dan hal lainnya. Namun, tidak ada penjelasan di dalam buku ini bahwa kelemahan tersebut berhubungan dengan partisipasi yang rendah dari masyarakat. Ketidakmampuan partai politik untuk memainkan fungsi organisasi menjadikan tingkat kepercayaan publik terhadap partai, pemilu dan sistem politik rendah. Hal itu juga yang menyebabkan masyarakat malas untuk ikut dalam pemilu, karena mereka tidak yakin suaranya akan dihitung dan berpengaruh terhadap kehidupan politik AS.53 Buku ini juga mengkategorikan pemilih pemilu AS secara tegas antara pemilih loyal dan pemilih independen. Keduanya dinilai oleh Polsby dan kawan-kawan sebagai kelompok yang memiliki perilaku memilih berbeda secara signifikan terutama loyalitasnya terhadap partai, dimana pemilih loyal cenderung memiliki pilihan tetap dan pemilih independen sebaliknya. Namun, Wiliam G. Mayer memiliki temuan berbeda atas hal tersebut. Menurutnya, pemilih pemilu AS tidak dapat terkategori secara ajeg karena sifatnya dapat berubah.54 Berdasarkan survei, 40-60% pemilih independen merupakan partisan partai. Artinya, meskipun mereka adalah pemilih independen, namun mereka telah memiliki kecondongan preferensi terhadap partai tertentu.55 Dalam situasi ini, maka tidak tepat jika dikatakan pemilih independen adalah kelompok nonpartisan murni, karena mereka juga sudah memiliki kecenderungan pilihan dalam pemilu. Pemilih loyalis juga bukan suatu kelompok pemilih pemilu yang kaku, karena diantara mereka juga terdapat pemilih partai yang cair. Menjadi seorang partisan partai di AS tidak berarti tidak dapat mengubah pilihannya dalam pemilu. Menurut temuan Gianfranco Baldini dan Adriano Pappalardo, Election, Electoral Systems and Volatile Voters, (New York: Palgrave Macmillan, 2009), hlm. 47. 53 Alan Marzilli, Election Reform 2010, (New York: Chelsea House Publishers, 2011), hlm. 12. 54 William G. Mayer, “The Swing Voter in American Presidential Election”, American Politics Research, Vol. 35, No. 3, 2007, Sage Publications, hlm. 366367. 55 Ibid. 52
174 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
William, angka rata-rata antara tahun 19522004, ditemukan setidaknya 19% partisan loyal Partai Demokrat beralih memilih Partai Republik di dalam pemilu, dan 10% partisan loyal Partai Republik memilih Demokrat.56 Dari angka tersebut terbukti pemilih Republik lebih loyal dibandingkan pemilih Partai Demokrat. Namun, keduanya terbukti bukanlah loyalis partai murni. Berdasarkan data dan uraian William tersebut, maka terbukti bahwa sulit untuk melakukan pengkategorian pemilih pemilu secara ketat seperti yang dilakukan oleh Polsby dan kawan-kawan. Kecenderungan perubahan orientasi pilihan partai sangat nampak bahkan oleh pemilih loyalis partai, sebaliknya pemilih independen pun tak sepenuhnya non-partisan. Paparan William tersebut tentu menunjukan sekali lagi kelemahan argumentasi di dalam buku ini.
Penutup Buku “Presidential Elections: Strategies and Structures of American Politics” layak menjadi bahan bacaan acuan untuk melihat perjalanan pelaksanaan pemilu presiden di Amerika Serikat. Buku ini telah berhasil menggambarkan kompleksitas pemilu presiden dari berbagai sudut termasuk, aturan pemilu, proses pemilu, pemilih pemilu bahkan peserta pemilu. Tidak hanya melihat keunggulan pelaksanaan pemilu presiden di Amerika Serikat, Polsby dan ketiga rekannya juga menguraikan kelemahankelemahannya. Meskipun demikian, buku ini memiliki beberapa celah kekurangan dalam pemaparan data dan analisa, khususnya dalam mengangkat pola hubungan pelaksanaan pemilu presiden dengan pelaksanaan demokrasi AS. Adapun catatan penting dari buku ini adalah bahwa pelaksanaan demokrasi merupakan sebuah proses terus-menerus yang ditandai oleh perbaikan sistem politik termasuk sistem pemilu dan partai politik, begitupun proses yang dilalui oleh Amerika Serikat. Meskipun AS dianggap sebagai negara demokratis yang mapan, hingga saat ini negeri Paman Sam ini selalu memperbaiki sistem dan aturan yang dimilikinya untuk menemukan sistem pemilu dan partai politik yang ideal. 56
Daftar Pustaka Buku Baldini, Gianfranco, dan Adriano Pappalardo. 2009. Election, Electoral Systems and Volatile Voters. New York: Palgrave Macmillan. Maass, Matthias. 2009. The World Views of The US Presidential Election 2008. New York: Palgrave Macmillan. Marzilli, Alan. 2011. Election Reform 2010. New York: Chelsea House Publishers. Nelson W. Polsby, dkk. 2012. Presidential Elections: Strategies and Structures of American Politics. Plymouth: Rowman & Littlefield Publishers, Inc.
Jurnal Mayer, William G. 2007. “The Swing Voter in American Presidential Election”. American Politics Research 35(3).
Surat Kabar dan Website “Bagaimana Proses Pemilihan Presiden AS?”. 2012, www.gatra.com. 7 November. “Basuki: Indonesia lebih demokratis dari AS”. 2013. www.nasional.kompas.com. 13 Maret.
Ibid.
Pemilu Presiden Amerika Serikat | Aisah Putri Budiatri | 175
176 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
TENTANG PENULIS Agus R. Rahman
Asrinaldi A
Penulis adalah peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta sejak tahun 1988. Bidang penelitian yang ditekuninya adalah Hubungan Internasional/Regional. Ia lulusan S1, FISIP, Universitas Gajah Mada; S2, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Fokus kajian yang sedang ditekuni dalam 3 tahun terakhir ini [20102012] adalah masalah perbatasan antarnegara di lingkungan ASEAN, yang dilakukan berturut-turut yaitu masalah Perbatasan antara Thailand-Myanmar [2010]; masalah Sengketa Wilayah Perbatasan Thailand-Kamboja [2011]; Kerjasama Perbatasan Thailand-Malaysia dalam Mengatasi Illegal Border Crossing [2012]. Sedangkan tahun 2013 sedang melakukan penelitian tentang Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Perbatasan Thailand-Laos. Selain kegiatan penelitian, ia juga aktif mengajar di Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, FISIP UPDM (Beragama). Email: gusr2lipi@ yahoo.com.
Penulis adalah salah satu staf pengajar pada Jurusan Ilmu Politik, FISIP Universitas Andalas. Menyelesaikan pendidikan Sarjana pada Jurusan Ilmu Pemerintahan, Universitas Riau. Kemudian melanjutkan pendidikan Magister di Universitas Gajah mada. Meraih gelar Doktor di Universitas Kebangsaan Malaysia. Saat ini aktif menjabat sebagai Koordinator Prodi Magister Ilmu Politik, Pasca Sarjana Universitas Andalas. Salah satu bidang konsentrasi yang ditekuni adalah kekuatan politik. Email: asrinaldi4@ yahoo.com
Aisah Putri Budiatri Penulis adalah kandidat peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI). Ia menggeluti isu gender, partai politik, parlemen, dan pemilihan umum. Ia meraih gelar kesarjanaan dari jurusan Ilmu Politik Universitas Indonesia di tahun 2008. Studi perempuan dan politik telah ia tekuni sedari 2005, dengan beberapa penelitian yang dijalankannya antara lain Kebijakan Afirmasi untuk Keterwakilan Perempuan di Parlemen, Keterwakilan Perempuan dalam Pemilu 2009, Perempuan Kepala Keluarga, serta Kinerja Anggota Legislatif Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) terhadap Produksi Undang-undang Berperspektif Gender. Email: aisahputrib@ gmail.com
Devi Darmawan Penulis dilahirkan di Jakarta, 5 September 1990. Pada Februari 2012, Devi lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan menyandang gelar Sarjana Hukum dengan judul skripsi Tinjauan Yuridis Penerapan Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali terhadap Tindak Pidana Pemilu yang Sudah Daluwarsa. Ketika kuliah, Devi sering terlibat dalam beberapa kegiatan penelitian sebagai assisten peneliti, salah satunya adalah penelitian yang diselenggarakan oleh Lembaga Independensi Peradilan (LeIP) tentang Tinjauan Yuridis Dasar Alasan Kekhilafan Hakim yang Nyata sebagai Pengajuan Peninjauan Kembali Atas Putusan MA yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap. Setelah tamat dari Fakultas Hukum UI, Devi bergabung dengan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sebagai peneliti hukum dan kemudian bekerja di Kantor Hukum Arteria Dahlan Lawyers sebagai paralegal yang fokus pada advokasi perselisihan hasil pemilu. Sekarang, Devi menekuni kajian pemilu dan demokratisasi dan bergabung dalam kelompok penelitian politik nasional Pusat Penelitian Politik-LIPI. Email: devidarmawan @rocketmail.com
Tentang Penulis | 177
Luky Sandra Amalia Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI ini adalah sarjana Ilmu Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya (2005). Bidang kajian yang diminati adalah mengenai pemilu dan gender. Di antara hasil penelitian dan tulisannya ialah “Indonesia Memilih Presidensial” (Jurnal Penelitian Politik LIPI Vol.6, No.1, 2009); “Marjinalisasi Perempuan dalam Politik Pada Pemilu 2009” (Jurnal Masyarakat Indonesia LIPI Edisi Khusus, 2009), serta “Antisipasi Perjuangan Perempuan dalam UU Pemilu” (www.politik. lipi.go.id, 2010). Email: sandra_thok@yahoo. com.
Moch. Nurhasim Peneliti Pusat Penelitian Politik-LIPI. Dia menyelesaikan studi S1 jurusan Politik di Universitas Airlangga dan S2 bidang Politik di Universitas Indonesia dengan tesis masalah perdamaian di Aceh. Penelitian yang pernah ditekuni adalah kaitannya dengan konflik di berbagai daerah, masalah pedesaan, pemilihan umum, dan masalah kemiliteran. Selain itu, dia juga aktif sebagai Pengurus Pusat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Jakarta. Penulis dapat dihubungi melalui email: hasim_nur@yahoo. com
Nina Andriana Penulis adalah peneliti bidang perkembangan politik nasional pada Pusat Penelitian Politik LIPI. Menyelesaikan pendidikan S1 Ilmu Politik dari Universitas Andalas, Padang, dan S2 Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia, Depok. Secara aktif menekuni kajian politik nasional, nasionalisme atau kebangsaan, dan demokrasi. Email:
[email protected].
Sarah Nuraini Siregar Penulis telah menyelesaikan studi di tingkat sarjana (2002) dan Pasca Sarjana (2005) pada jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Sejak tahun 2004 sampai sekarang menjadi salah satu peneliti di bidang Perkembangan Politik Nasional, Pusat penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI). Ia
juga aktif sebagai salah satu staf pengajar di jurusan Ilmu Politik FISIP UI sedari 2002 hingga sekarang. Beberapa tulisannya termuat dalam buku-buku antara lain: Problematika Pengelolaan Keamanan di Wilayah Konflik : Aceh dan Papua, Model Kaji Ulang Pertahanan Indonesia: Supremasi Sipil dan Transformasi Pertahanan, Evaluasi Penerapan Darurat Militer di Aceh (2003-2004), Hubungan SipilMiliter Era Megawati, Beranda Perdamaian: Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki, serta kontribusi tulisannya di jurnal ilmiah, seperti Evaluasi 10 Tahun Reformasi Polri (Jurnal P2P LIPI, 2008). Email:
[email protected]
Siswanto Penulis kelahiran Jakarta ini menamatkan S1 pada Fakultas Sospol jurusan Hubungan Internasional Universitas Jayabaya Jakarta, tahun 1986. Selanjutnya mengikuti Program Magister pada Program Studi Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia, dan lulus tahun 1997. Gelar doctor diraih pada Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Ilmu Sejarah, Universitas Indonesia, pada 2008. Sejak 1999 menjadi peneliti P2P-LIPI, kemudian mulai tahun 2009 diperbantukan pada PSDR LIPI untuk menjabat Kepala Bidang Perekembangan Eropa. Sebagian besar karya ilmiah dan tulisannya membahas tentang kebijakan luar negeri AS dan hubungan Indonesia-AS. Sejak tahun 2008 sampai sekarang menjadi dosen tamu pada Program Studi kajian Wilayah Amerika, Universitas Indonesia. Email: sish_jakarta@ yahoo.com.
Sri Yanuarti Penulis adalah peneliti pada Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) sejak tahun 1993. Sri Yanuarti menamatkan studi S1 pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro pada 1991. Kajian yang ia tekuni hingga kini adalah mengenai partai politik dan pemilu, pertahanan keamanan, serta konflik. Beberapa buku dan tulisan telah dihasilkannya antara lain: Model Pengelolaan Keamanan dan Pertahanan di Daerah Konflik (LIPI, 2009), Beranda Perdamaian (Pustaka Pelajar dan
178 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
LIPI, 2008), Kaji Ulang Pertahanan Nasional (LIPI, 2007), Military Politics, Ethnicity and Conflict in Indonesia (Research on Inequality, Human Security and Ethnicity, Oxford University, London, 2009), Performance and Accountability of Political Parties: Case Studies on Local Legislatives (LIPI-Nederland Institute of Multi Party Democracy /IMD, 2005). Email:
[email protected]
Wasisto Raharjo Jati Penulis adalah kandidat peneliti di Pusat Penelitian Politik – LIPI. Menyelesaikan S1 Politik dan Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan & Ilmu Politik,Universitas Gadjah Mada di tahun 2012. Minat kajian penelitian yang ditekuni adalah politik kelas menengah, gerakan politik, dan masyarakat sipil. Email:
[email protected]
Zainuddin Djafar Penulis lahir di Jakarta, sejak 1983 sampai kini bekerja sebagai staf pengajar senior pada Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI. Pada Oktober 2004 memperoleh Ph.D (Political-Economy) dari GIPIS, Department of Politics, University of Reading, the United Kingdom. Berbagai penelitian lapangan telah pernah dijalaninya di berbagai negara (Jepang, China, Korea Selatan, Malaysia, Inggris, Belanda, Jordan, Mesir, UAE, dan Nigeria). Sejak 1 Pebruari 2010 resmi menjadi Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia (Professor, SK. Mendiknas 17 Maret 2010). Alamat rumah Jl. Rawa Bambu no. 38, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Email:
[email protected]
Tentang Penulis | 179
180 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
INDEKS Indeks Kata Kunci A Amerika Serikat x, 1, 4, 34, 57, 88, 110, 147, 149, 151, 152, 163, 164, 165, 167, 168, 171, 172, 173, 175, 181 D demokrasi iii, iv, vii, ix, x, 11, 12, 15, 17, 18, 19, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 29, 30, 32, 35, 36, 38, 39, 48, 49, 51, 54, 55, 58, 59, 60, 65, 66, 67, 73, 74, 76, 77, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 88, 91, 92, 93, 95, 96, 97, 98, 99, 101, 102, 103, 105, 107, 109, 110, 132, 136, 143, 145, 146, 151, 152, 153, 155, 156, 157, 163, 164, 171, 172, 173, 174, 175, 178 demokrasi deliberatif iv, ix, 79, 80, 81, 82, 83, 88, 91, 92, 93, 173 F fisibilitas sistem pemilu campuran ix, 95 G globalisasi iii, vii, 1, 2, 9, 11, 12, 13 H Hubungan Perbatasan iv, x, 1, 113, 181 I instrumen iv, x, 39, 58, 129, 130, 131, 133, 135, 141, 142 Instrumental iv, x, xiii, xiv, 1, 129, 131, 132, 136, 139, 142, 143, 181 J jurnalisme politik vii, 15, 19, 20, 21, 22, 23, 26, 27, 29
L Legitimasi Pemerintahan viii, 1, 47, 49, 181 lintas perbatasan ilegal iv, 115 M Media Siber ix, 1, 79, 83, 84, 181 Multiplikasi Otoritas Singapura viii, 31, 181 P Pemilu Presiden iii, vii, 1, 17, 21, 23, 24, 25, 27, 28, 29, 30, 48, 50, 51, 55, 56, 60, 61, 62, 67, 68, 72, 75, 89, 148, 167, 168, 181 Pencalonan Kandidat Peserta Pemilu viii, 47, 181 Penguatan Kelembagaan iii, viii, 1, 63, 181 peraturan x, 51, 52, 54, 58, 59, 106, 129, 131, 137, 138, 139, 140 Persuasif Media 1, 181 Polisi x, 129, 130, 131, 133, 135, 136, 139, 143, 181 Presiden Indonesia Mendatang iii, 1, 181 R Reformasi iv, x, 1, 5, 12, 37, 39, 44, 50, 54, 55, 56, 57, 58, 61, 65, 66, 74, 77, 98, 105, 129, 130, 131, 132, 133, 135, 136, 138, 139, 141, 142, 143, 150, 153, 160, 171, 172, 178, 181, 187 Ruang Public ix, 181 S Sistem Kepartaian iv, 1, 146, 149, 150, 151, 153, 155, 160, 181 Sistem Pemilu iv, 1, 98, 157, 158, 159, 181 Sistem Presidensial iii, viii, 1, 41, 56, 59, 63, 66, 70, 96, 151, 160, 181
K kampanye politik 23, 30, 34, 35, 168, 169 keamanan iv, x, 2, 6, 9, 12, 27, 115, 117, 119, 122, 123, 124, 129, 130, 131, 132, 133, 136, 137, 141, 142, 178 Kepemimpinan viii, 1, 2, 3, 4, 7, 8, 13, 31, 36, 42, 181 Kerjasama Perbatasan ix, x, 1, 113, 178, 181 konglomerasi media vii, 15, 17, 20, 28, 29, 30
Indeks | 181
Keywords Index B Border Cooperation ix, x, 1, 113, 178, 181 Border Relations iv, x, 1, 113, 181 C Cyber Media ix, 1, 79, 83, 84, 181 D Deliberative Democracy iv, ix, 79, 80, 81, 82, 83, 88, 91, 92, 93, 173 Democracy iii, iv, vii, ix, x, 11, 12, 15, 17, 18, 19, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 29, 30, 32, 35, 36, 38, 39, 48, 49, 51, 54, 55, 58, 59, 60, 65, 66, 67, 73, 74, 76, 77, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 88, 91, 92, 93, 95, 96, 97, 98, 99, 101, 102, 103, 105, 107, 109, 110, 132, 136, 143, 145, 146, 151, 152, 153, 155, 156, 157, 163, 164, 171, 172, 173, 174, 175, 178 E Election System iv, 1, 98, 157, 158, 159, 181 F Feasibility of a Mixed Electoral System ix, 95 G Globalization iii, vii, 1, 2, 9, 11, 12, 13 Goverment Legitimacy viii, 1, 47, 49, 181 I Illegal Border Crossing iv, 115 Indonesian Next President iii, 1, 181 Institutional Strengthening iii, viii, 1, 63, 181 Instrumental iv, x, xiii, xiv, 1, 129, 131, 132, 136, 139, 142, 143, 181 Instruments iv, x, 39, 58, 129, 130, 131, 133, 135, 141, 142 Leadership viii, 1, 2, 3, 4, 7, 8, 13, 31, 36, 42, 181
26, 27, 29 Presidential Election iii, vii, 1, 17, 21, 23, 24, 25, 27, 28, 29, 30, 48, 50, 51, 55, 56, 60, 61, 62, 67, 68, 72, 75, 89, 148, 167, 168, 181 Presidentialism System Model iii, viii, 1, 41, 56, 59, 63, 66, 70, 96, 151, 160, 181 Public Sphere ix, 181 R Reform iv, x, 1, 5, 12, 37, 39, 44, 50, 54, 55, 56, 57, 58, 61, 65, 66, 74, 77, 98, 105, 129, 130, 131, 132, 133, 135, 136, 138, 139, 141, 142, 143, 150, 153, 160, 171, 172, 178, 181, 187 Regulation x, 51, 52, 54, 58, 59, 106, 129, 131, 137, 138, 139, 140 S Security iv, x, 2, 6, 9, 12, 27, 115, 117, 119, 122, 123, 124, 129, 130, 131, 132, 133, 136, 137, 141, 142, 178 Singaporean Multiplication Authorities viii, 31, 181 T The Presidential Election iii, vii, 1, 17, 21, 23, 24, 25, 27, 28, 29, 30, 48, 50, 51, 55, 56, 60, 61, 62, 67, 68, 72, 75, 89, 148, 167, 168, 181 The U. S,. America x, 1, 4, 34, 57, 88, 110, 147, 149, 151, 152, 163, 164, 165, 167, 168, 171, 172, 173, 175, 181
M Media Conglomerate vii, 15, 17, 20, 28, 29, 30 Media Persuasion 1, 181 N Nomination Process of Election Participants viii, 47, 181 P Party System iv, 1, 146, 149, 150, 151, 153, 155, 160, 181 Police x, 129, 130, 131, 133, 135, 136, 139, 143, 181 Political Campaign 23, 30, 34, 35, 168, 169 Political Journalism vii, 15, 19, 20, 21, 22, 23, 182 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
PEDOMAN PENULISAN 1. Tulisan yang dimuat harus merupakan kajian ilmiah atas isu dan peristiwa yang berkaitan dengan politik dalam negeri dan internasional, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. 2. Tulisan merupakan karya sendiri, bukan saduran atau terjemahan dan belum pernah dipublikasikan dalam bentuk dan bahasa apa pun. 3. Tulisan mengandung data atau pemikiran yang baru dan orisinal. 4. Tulisan yang dimuat sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi penulis yang bersangkutan. 5. Panjang naskah untuk artikel, 20-25 halaman A4, spasi 1,5; book review, 10-15 halaman A4, spasi 1,5. 6. Sistematika artikel hasil pemikiran/telaahan adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi; alamat e-mail penulis; riwayat naskah; abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 25 kata dalam bahasa Indonesia); kata kunci (4-5 kata kunci); pendahuluan; pembahasan (terbagi dalam beberapa sub-judul); penutup; daftar pustaka.
JUDUL Penulis Nama Instansi Alamat lengkap instansi penulis Email penulis Riwayat naskah Abstract: Abstract in English (max. 150 words) Keywords: 4 – 5 words/ phrase
Abstrak: Abstrak dalam bahasan Indonesia (maks. 250 kata) Kata Kunci: 4 – 5 kata/ frasa
Pendahuluan Pembahasan Penutup Daftar Pustaka
Pedoman Penulisan | 183
7. Sistematika artikel review buku (book review) adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi; alamat e-mail penulis; riwayat naskah; judul buku; pengarang; penerbit; cetakan; tebal; abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 25 kata dalam bahasa Indonesia); kata kunci (4-5 kata kunci); pendahuluan; pembahasan (terbagi dalam beberapa subjudul); penutup; daftar pustaka.
JUDUL
Penulis Nama Instansi Alamat lengkap instansi penulis Email penulis Riwayat naskah Judul buku Pengarang Penerbit Tebal Abstract: Abstract in English (max. 150 words) Keywords: 4 – 5 words/ phrase Abstrak: Abstrak dalam bahasan Indonesia (maks. 250 kata) Kata Kunci: 4 – 5 kata/ frasa
Pendahuluan Pembahasan Penutup Daftar Pustaka 8. Tabel dan gambar, untuk tabel dan gambar (grafik) di dalam naskah harus diberi nomor urut. a. Tabel atau gambar harus disertai judul. Judul tabel diletakkan di atas tabel sedangkan judul gambar diletakkan di bawah gambar. b. Sumber acuan tabel atau gambar dicantumkan di bawah tabel atau gambar. c. Garis tabel yang dimunculkan hanya pada bagian header dan garis paling bawah tabel. Sedangkan untuk garis vertikal pemisah kolom tidak dimunculkan.
184 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Contoh penyajian Tabel: Tabel 1. Agenda-agenda Besar Konsolidasi
Contoh penyajian Gambar/Grafik:
Sumber: Komisi Pemilihan Umum (KPU) Grafik 2. Tren Partisipasi dalam Pemilu
9.
Perujukan sumber acuan menggunakan footnotes, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Format rujukan dari buku: nama penulis, judul buku (italic), kurung buka, kota penerbitan, titik dua, nama penerbit, tahun terbit, kurung tutup, nomor halaman, titik. Contoh: Denny J.A., Partai Politik Pun Berguguran, (Yogyakarta: LKIS, 2006), hlm. v. b. Format rujukan dari buku (bunga rampai): nama penulis artikel, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik”, dalam, nama editor buku, judul buku (italic), kurung buka, kota penerbitan, titik dua, nama penerbit, tahun terbit, kurung tutup, h., nomor halaman, titik. Contoh: Leonardo Morlino, “Political Parties and Democratic Consolidation in Southern Europe,” dalam Richard Gunther, P. Nikiforos Diamandouros dan Hans Jurgen Puhle (eds.), The Politics of Democratic Consolidation: Southern Europe in Comparative Perspective, (Baltimore MD: Johns Hopkins University Press, 1995), h. 315−388. c. Format rujukan dari jurnal: nama penulis, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik,” sumber artikel (italic), nomor atau edisi, tahun, h., nomor halaman, titik. Contoh: Lili Romli, “Peta Kekuatan Politik Setelah Reformasi dan Kecenderungan Koalisi Parpol,” Jurnal Demokrasi dan HAM, 2000, h. 124-125. Pedoman Penulisan | 185
d. Format rujukan dari makalah seminar/konferensi: nama penulis, “judul makalah ditulis tegak dalam dua tanda petik,” makalah, nama/tema seminar, tempat pelaksanaan seminar, waktu, h., nonor halaman, titik. Contoh: Andrea Ceron dan Alessandra Caterina Cremonesi, “Politicians Go Social: Estimating Intra-Party Heterogeneity (and its Effect) through the Analysis of Social Media,” makalah disampaikan pada NYU La Pietra Dialogues on Social Media and Political Participation, Florence, 10-11 Mei 2013, h 3. e. Format rujukan dari media online: nama penulis, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik,” nama situs, tanggal akses situs. Contoh: Berita8, “Media Sosial bisa Perkuat Fungsi Partai Politik”, 18 April 2013, http://www. berita8.com/berita/2013/04/MediaSosial-bisa-perkuat-fungsi-partai-politik, diakses pada tanggal 18 Juni 2013. f. Format rujukan dari media massa: nama penulis, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik,” sumber media (italic), tanggal terbit, nomor halaman, titik. Contoh: Degung Santikarma, “Monumen, Dokumen dan Kekerasan Massal,” Kompas, 1 Agustus 2003, h. 12. 10. Penulisan sumber Daftar Pustaka dibedakan menjadi: buku; jurnal; laporan dan makalah; surat kabar dan website. Daftar Pustaka dituliskan dengan urutan abjad nama belakang (family name). Format penulisan sebagai berikut: a. Format rujukan dari buku: Buku dengan satu pengarang: nama penulis; tahun terbit; judul buku; tempat terbit; nama penerbit. Contoh: Caplan, Bryan.2007. The Myth of the Rational Voter: Why Democracies Choose Bad Policies. New Jersey: Princeton University Press. Buku dengan dua pengarang: nama penulis (dua orang); tahun terbit; judul buku; tempat terbit; nama penerbit. Contoh: Aspinall, E. dan M.Mietzner. 2010. Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society. Singapore: ISEAS Publishing. Buku dengan lebih dari dua pengarang: nama penulis (et al); tahun terbit; judul buku; tempat terbit; nama penerbit. Contoh: Ananta, Aris, et al., 2004. Indonesian Electoral Behaviour: A Statistical Perspective. Singapore: ISEAS Publishing. Artikel/tulisan dalam buku: nama penulis; tahun terbit; judul tulisan; dalam nama editor; judul buku; tahun terbit; tempat penerbit; nama penerbit. Contoh: Qodari, M. 2010. “The Professionalisation of Politics: The Growing Role of Polling Organisation and Political Consultants”, dalam Aspinall, E. dan M. Mietzner (eds.). Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society. Singapore: ISEAS Publishing. b. Format rujukan dari jurnal: nama penulis; tahun; judul artikel; nama jurnal; volume jurnal; nomor jurnal; nomor halaman. Contoh: 186 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Ufen, A. 2008. “From Aliran to Dealignment: Political Parties in post-Suharto Indonesia”. South East Asia Research, 16 (1): 5-41. c. Format rujukan dari laporan dan makalah: Laporan penelitian: nama penulis; tahun terbit; judul laporan; tempat penerbit; nama penerbit. Contoh: Mainwaring, Scott, 1998. “Rethinking Party Systems Theory In The Third Wave Of Democratization: The Importance of Party System Institutionalization.” Working Paper #260 - October 1998, Kellogg Institue. Makalah seminar: nama penulis; tahun terbit; judul makalah; nama kegiatan seminar; waktu pelaksanaan kegiatan seminar; tempat penerbit; nama penerbit. Contoh: Ceron, Andrea dan Alessandra Caterina Cremonesi. 2013. “Politicians Go Social: Estimating Intra-Party Heterogeneity (and its Effect) through the Analysis of Social Media”. Paper disampaikan pada NYU La Pietra Dialogues on Social Media and Political Participation, Florence, 10-11 Mei 2013. d. Format rujukan dari surat kabar dan website Artikel media massa: nama penulis; tahun terbit; judul artikel; nama media massa; tanggal terbit; nomor halaman. Contoh: Wahid, Sholahuddin. 1998. “Di Balik Berdirinya Partai-Partai di Kalangan NU,” Republika, 3 Oktober. Artikel online: nama penulis/institusi; tahun terbit; judul artikel, alamat websites; waktu unduh. Contoh: Aspinall, Edward, “The Taming of Ethnic Conflict in Indonesia”, dalam http://www. eastasiaforum.org/2010/08/05/the-taming-of-ethnic-conflict, diunduh pada 28 November 2013.
11. Pengiriman Artikel: Naskah dikirim dalam bentuk printout sebanyak 2 eksemplar beserta softcopy ke alamat redaksi atau dapat dikirimkan melalui email redaksi (
[email protected]). Redaksi memberikan honorarium untuk setiap artikel yang dimuat. Artikel yang diterima setelah deadline akan dipertimbangkan untuk dimuat pada edisi berikutnya. 12. Alamat Jurnal Penelitian Politik: P2P-LIPI, Widya Graha LIPI, Lantai XI Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10 Jakarta 12710 Telp. (021) 5251542 Ext. 2069/2315 Telp/Fax. (021) 520 7118 13. Langganan: Harga Pengganti ongkos cetak Rp.50.000,- per eksemplar sudah termasuk ongkos kirim biasa. Untuk berlangganan dan surat menyurat langsung hubungi bagian sirkulasi Redaksi Jurnal Penelitian Politik.
Pedoman Penulisan | 187
188 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013