Jurnal Penelitian
Politik Vol. 11, No. 2, Desember 2014
DAFTAR ISI Catatan Redaksi iii Artikel • Pemilihan Langsung Kepala Daerah di Indonesia: Beberapa Catatan Kritis Untuk Partai Politik Ridho Imawan Hanafi 1–16 • Globalisasi dan Kemiskinan Desa: Analisa Struktur Ekonomi Politik Pedesaan Wasisto Raharjo Jati 17–26 • Aneksasi Rusia di Krimea dan Konsekuensi Bagi Ukraina Indriana Kartini 27–41 • Impian Tiongkok: Nasionalisme Tiongkok Melintas Batas Dalam Pembangunan Tiongkok Hayati Nufus 43–54 • Peran Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa Laut Tiongkok Selatan Sandy Nur Ikfal Raharjo 55–70 Resume Penelitian • Politik Luar Negeri Indonesia dalam Menghadapi Isu Terorisme Internasional Ganewati Wuryandari 71–83 • Agama dan Demokrasi: Munculnya Kekuatan Politik Islam Tunisia, Mesir dan Libya Muhammad Fakhry Ghafur 85–100 • Pemilu dan Relasi Eksekutif dan Legislatf Nina Andriana 101–128 Review Buku • Dari Representasi Politik Formal ke Representasi Politik Non-Elektoral Esty Ekawati 129–136 Tentang Penulis 137–138 Indeks 139–140 Pedoman Penulisan 143–145
| i
ii | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013
CATATAN REDAKSI Tahun 2014 adalah tahun politik bagi bangsa Indonesia. Di tahun ini akan terjadi pergantian pemimpin bangsa dan unsur pimpinan legislatif pada setiap tingkat pemerintahan. Mulai dari tingkat nasional hingga Kabupaten/Kota. Hal yang paling mendasar dari Pemilu di Tahun 2014 ini adalah hadirnya sosok pemimpin baru bangsa, dikarenakan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden saat ini, tidak lagi dapat mencalonkan diri sebagai Presiden. Dengan demikian diprediksikan bahwa peta perpolitikan di tingkat nasional akan sangat jauh berubah. Ketergantungan daerah terhadap perpolitikan di tingkat pusat selama ini tak ayal membuat daerah atau lokal juga turut mengalami dampak dari berbagai dinamika politik di tingkat nasional. Kekuatan-kekuatan politik baru akan berpeluang untuk muncul atau justru sebaliknya, kekuatan politik lama di tingkat lokal akan tetap bertahan meskipun terjadi perubahan pada peta kekuatan politik di tingkat nasional. Tentunya hal yang amat menarik untuk mengulas dinamika politik lokal setelah SBY dan koalisinya tidak lagi menjadi penguasa politik di level nasional. Atas dasar pemikiran inilah Jurnal Penelitian Politik mengangkat tema “Dinamika Politik Lokal Pasca-SBY” untuk menggali berbagai persoalan politik lokal pasca berakhirnya pemerintahan SBY dan isu-isu lain yang berkaitan dengannya. Edisi kali ini memuat sembilan artikel yang terdiri dari lima artikel lepas, tiga resume penelitian oleh Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI dan satu artikel Book Review. Artikel pertama yang berjudul “Pemilihan Langsung Kepala Daerah Di Indonesia: Beberapa Catatan Kritis Untuk Partai Politik” membahas mengenai beberapa persoalan terkait dengan peran partai politik di pemilihan langsung kepala daerah dalam upaya menghadirkan caloncalon pemimpin daerah. Penulis, Ridho Imawan Hanafi, berargumen bahwa sejauh ini perilaku partai politik masih jauh dari harapan, seperti masih adanya proses pengusungan kandidat yang
elitis dan rekrutmen calon yang buruk. Parpol juga dinilai hanya sebatas sebagai kendaraan atau pemberi tiket. Selanjutnya, parpol dianggap abai terhadap persoalan yang menyangkut politik kekerabatan dan korupsi di daerah. Dalam artikel selanjutnya yang mengangkat judul “Globalisasi & Kemiskinan Desa: Analisa Struktur Ekonomi Politik Pedesaan”, Wasisto Raharjo Jati berupaya untuk melakukan analisis atas relasi politik antara desa dengan globalisasi. Analisa dititikberatkan pada struktur ekonomi politik untuk melihat relasinya khususnya posisi desa dalam globalisasi. Menurut penulis, pengaruh desa dalam globalisasi dapat dibedakan menjadi dua paradigma yakni positif dan negatif. Dalam perspektif positif, desa sendiri mengafirmasi berbagai strategi global dalam upaya membangun ekonomi mereka. Sedangkan dalam pengertian negatif, desa telah menjadi termarjinalkan dan tertekan dalam sistem kapitalis. Perkembangan politik internasional terkini coba dikaji oleh Indriana Kartini dalam tulisannya berjudul “Aneksasi Rusia Di Krimea Dan Konsekuensi Bagi Ukraina”. Tulisan ini memfokuskan pada aksi aneksasi Rusia di Krimea dengan menganalisis kepentingan strategis Rusia di wilayah Krimea yang mendorong aksi aneksasi; termasuk menganalisis posisi Ukraina, Krimea, dan Rusia pasca runtuhnya Uni Soviet; serta konsekuensi lepasnya Krimea dari Ukraina yang merubah konstelasi politik domestik, sosial, dan ekonomi, serta batas wilayah UkrainaKrimea-Rusia. Isu internasional berikutnya yang tidak kalah relevan terkait dengan perkembangan Tiongkok diulas dalam artikel berjudul “Impian Tiongkok: Nasionalisme Tiongkok Melintas Batas Dalam Pembangunan Tiongkok”. Menurut Hayati Nufus selaku penulis, Impian Tiongkok dengan kata kunci kebangkitan nasional bangsa Tionghoa telah menjadi slogan Presiden Xi Jinping dalam
Catatan Redaksi | iii
memerintah saat ini. Slogan tersebut selain digunakan untuk membangkitkan kembali kejayaan masa lalu yang pernah dimiliki Tiongkok dan membangkitkan rasa nasionalisme rakyat, juga untuk memperkuat legitimasi Xi Jinping dan Partai Komunis Tiongkok di dalam politik dalam negerinya. Lebih lanjut, jika dikaitkan dengan pembangunan Satu Sabuk, Satu Jalur, kebangkitan Tiongkok juga merupakan upaya untuk melegitimasi posisi Tiongkok sebagai negara besar di kancah politik internasional. Sementara itu, Sandy Nur Ikfal Raharjo memfokuskan pada Laut Tiongkok Selatan dalam tulisannya berjudul “Peran Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa Laut Tiongkok Selatan”. Sengketa ini merupakan tantangan bagi stabilitas kawasan, termasuk Indonesia, yang sedang menyongsong Abad Asia. Sengketa ini menjadi ancaman bagi pertahanan Indonesia karena lokasi yang diperebutkan berada di dekat perbatasan Indonesia. Selain itu, sengketa ini juga menjadi salah satu isu politik yang menjadi ganjalan di ASEAN. Oleh karena itu, penulis berargumen bahwa Indonesia dapat mengambil peran dalam penyeleseaian sengketa tersebut. Namun, dalam menjalankan peran yang masih pada tingkat pengelolaan konflik tersebut, Indonesia masih mengalami sejumlah hambatan baik dalam bentuk masih lemahnya posisi tawar Indonesia, juga adanya perbedaan pendekatan penyelesaian serta keterlibatan pihak-pihak asing yang turut memperkeruh dinamika sengketa. Berkaitan dengan peran Indonesia di kancah internasional, secara lebih khusus, dalam tulisan berjudul “Politik Luar Negeri Indonesia Dalam Menghadapi Isu Terorisme Internasional”, Ganewati Wuryandari menyoroti kebijakan luar negeri Indonesia dalam isu tersebut. Meskipun terorisme bukan isu baru tetapi menjadi salah satu isu yang semakin penting dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Tulisan yang merupakan ringkasan penelitian dengan judul yang sama tersebut berargumen bahwa keterlibatan Indonesia dalam perang melawan terorisme ini tidak hanya untuk memenuhi kewajibannya sebagai bagian masyarakat internasional untuk secara bersamasama memerangi terorisme, melainkan juga demi memenuhi kepentingan nasionalnya. Kebijakan luar negeri Indonesia dalam penanganan isu
ini sangat mengedepankan kerja sama dengan negara-negara lain baik bilateral, regional dan multilateral. Namun demikian, kerja sama internasional yang terkait dengan penanganan isu terorisme internasional harus dicermati karena sangat diwarnai oleh perspektif pihak-pihak yang berkepentingan. Koordinator penelitian sekaligus penulis artikel berjudul “Agama Dan Demokrasi: Munculnya Kekuatan Politik Islam di Tunisia, Mesir dan Libya” , yaitu Muhammad Fakhry Ghafur, menemukan ternyata politik Islam memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam pasang surut pergolakan politik di Tunisia, Mesir dan Libya terutama pasca fenomena Arab Spring yang berawal di Tunisia dan berdampak luas terhadap konstelasi politik di sejumlah negara Timur Tengah. Di Tunisia, misalnya, menguatnya pengaruh politik Islam tidak muncul dalam tataran elite politik saja tetapi juga dalam tataran grass roots dengan bermunculannya gerakan politik berbasis massa Islam. Sementara itu, Mesir adalah negara tempat tumbuh dan berkembangnya berbagai gerakan dan organisasi Islam transnasional. Sementara di Libya, pasca tewasnya Qaddafi, gerakan Islam memainkan peran penting dalam dinamika politik Libya, terutama setelah pemerintahan sementara mendeklarasikan hukum Islam di Libya. Artikel ringkasan penelitian selanjutnya yang berjudul “Pemilu dan Relasi Eksekutif Dan Legislatif” yang ditulis oleh Nina Andriana ini berargumen bahwa perlu ada peninjauan kembali format sistem perwakilan, skema penyelenggaraan dan sistem pemilu, serta sistem kepartaian dalam rangka menyempurnakan presidensialisme. Menurut hasil penelitian ini, sistem pilpres yang diterapkan oleh Indonesia saat ini bukan hanya tidak menjanjikan munculnya kandidat presiden yang memiliki kompetensi dan kapabilitas, tetapi juga cenderung mendistorsikan obsesi penguatan presidensialisme sebagai sistem pemerintahan yang telah diamanatkan oleh konstitusi hasil amandemen. Untuk itu, penataan relasi eksekutif-legislatif dalam hal ini juga amat penting. Akhirnya, jurnal kali ini ditutup oleh artikel Book Review berjudul “Dari Representasi Politik Formal Ke Representasi Politik
iv | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014
Non-Elektoral” yang ditulis oleh Esty Ekawati. Dengan mengulas buku berjudul “Representasi Politik: Perkembangan dari Ajektiva ke Teori”, penulis menganalisis bahwa menurut buku tersebut, praktek demokrasi dewasa ini selalu dikaitkan dengan representasi karena pada dasarnya perkembangan demokrasi perwakilan adalah prinsip yang harus ditegakkan di dunia modern. Namun, lanjutnya, hal ini menimbulkan keraguan dari para ahli dan dalam perkembangannya mencoba menajamkan konsep ini menjadi sebuah teori. Isu-isu kontemporer mengenai representasi politik dalam kerangka demokrasi perwakilan yang mengarusutamakan pemilu, tidak serta merta mampu menjawab persoalan di masyarakat seperti keterwakilan kelompok minoritas, perempuan dan fenomena representasi non-elektoral yang juga menjadi persoalan penting untuk dikaji.
Pada akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang telah berkontribusi dalam penerbitan Jurnal Penelitian Politik, mulai dari penulis, mitra bestari dan pengelola jurnal. Kami berharap semoga kehadiran jurnal ini dapat bermanfaat dalam memperkaya khasanah keilmuan dan praktis terkait dinamika politik lokal pasca-SBY. Selamat membaca. Redaksi
Catatan Redaksi | v
vi | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013
Jurnal Penelitian
Politik Vol. 11, No. 2, Desember 2014
DDC: 324.2 Ridho Imawan Hanafi PEMILIHAN LANGSUNG KEPALA DAERAH DI INDONESIA: BEBERAPA CATATAN KRITIS UNTUK PARTAI POLITIK Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 2, Desember 2014, Hlm. 1-16 Tulisan ini membahas mengenai beberapa persoalan terkait dengan peran partai politik di pemilihan langsung kepala daerah dalam upaya menghadirkan calon-calon pemimpin daerah. Sebagai salah satu institusi yang menjadi pintu masuk bagi calon pemimpin daerah diharapkan partai politik dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Persoalannya, sejauh ini dalam praktiknya partai politik masih jauh dari harapan tersebut, seperti melakukan proses pengusungan kandidat yang elitis, rekrutmen calon yang buruk, partai politik dinilai hanya sebatas sebagai kendaraan atau pemberi tiket, sampai abainya partai politik pada suara kritis publik terhadap persoalan yang menyangkut politik kekerabatan dan korupsi di daerah. Kata Kunci: pilkada langsung, partai politik, rekrutmen politik, calon kepala daerah.
DDC: 307.72 Wasisto Raharjo Jati GLOBALISASI & KEMISKINAN DESA: ANALISA STRUKTUR EKONOMI POLITIK PEDESAAN
Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 2, Desember 2014, Hlm. 17-26 Artikel ini bertujuan menganalisis relasi politik antara desa dengan globalisasi. Analisa dalam artikel ini kemudian dititikberatkan pada struktur ekonomi politik untuk melihat relasinya khususnya posisi desa dalam globalisasi. Hasil paper menunjukkan bahwa secara historis, analisa terhadap pengaruh desa dalam globalisasi sendiri dapat dibedakan menjadi dua paradigma yakni positif dan negatif. Dalam perspektif positif, desa sendiri mengafirmasi berbagai strategi global dalam upaya membangun ekonomi mereka. Sedangkan dalam pengertian negatif, desa telah menjadi termarjinalkan dan tertekan dalam sistem kapitalis. Kata Kunci : desa, globalisasi, ekonomi politik, desa global.
DDC: 320.859 Indriana Kartini ANEKSASI RUSIA DI KRIMEA DAN KONSEKUENSI BAGI UKRAINA Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 2, Desember 2014, Hlm. 27-41 Aneksasi wilayah Krimea oleh Rusia terjadi menyusul jatuhnya Presiden Ukraina Viktor Yanukovych yang dianggap pro Rusia oleh kelompok oposisi. Referendum yang dilakukan rakyat Krimea pasca aneksasi menegaskan kembali tuntutan kemerdekaan Krimea dari Ukraina dan pilihan untuk bergabung dengan Rusia. Meski referendum tersebut dianggap tidak sah oleh Kiev, secara de facto Krimea kini berada di bawah penguasaan Kremlin. Tulisan
Abstrak | vii
ini memfokuskan pada aksi aneksasi Rusia di Krimea dengan menganalisis kepentingan strategis Rusia di wilayah Krimea yang mendorong aksi aneksasi; termasuk menganalisis posisi Ukraina, Krimea, dan Rusia pasca runtuhnya Uni Soviet; serta konsekuensi lepasnya Krimea dari Ukraina yang merubah konstelasi politik domestik, sosial, dan ekonomi, serta batas wilayah Ukraina-Krimea-Rusia. Kata Kunci : aneksasi, Rusia, Krimea, Ukraina.
DDC: 327.2 Hayati Nufus IMPIAN TIONGKOK: NASIONALISME TIONGKOK MELINTAS BATAS DALAM PEMBANGUNAN TIONGKOK Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 2, Desember 2014, Hlm. 43-54 Impian Tiongkok dengan kata kunci kebangkitan nasional bangsa Tionghoa merupakan slogan Presiden Xi Jinping dalam memerintah saat ini. Tulisan ini menganalisis upaya kebangkitan Tiongkok melalui slogan tersebut. Tujuan digunakannya slogan tersebut adalah untuk membangkitkan kembali kejayaan masa lalu yang pernah dimiliki Tiongkok dan membangkitkan rasa nasionalisme rakyat. Selain itu, gagasan ini juga memiliki tujuan untuk memperkuat legitimasi Xi Jinping dan Partai Komunis Tiongkok di dalam politik dalam negerinya. Salah satu program yang dilakukan oleh Tiongkok untuk mewujudkan cita-citanya adalah dengan membangun kembali Jalur Sutra melalui gagasan Satu Sabuk, Satu Jalur. Bila dikaitkan dengan pembangunan Satu Sabuk, Satu Jalur, kebangkitan Tiongkok juga merupakan upaya untuk melegitimasi posisi Tiongkok sebagai negara besar di kancah politik internasional. Kata kunci: Impian Tiongkok, Kebangkitan Tiongkok, Jalur Sutra, Diplomasi Tiongkok.
DDC:327.598 Sandy Nur Ikfal Raharjo PERAN INDONESIA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA LAUT TIONGKOK SELATAN
Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 2, Desember 2014, Hlm. 55-70 Sengketa Laut Tiongkok Selatan merupakan tantangan bagi stabilitas kawasan, termasuk Indonesia, yang sedang menyongsong Abad Asia. Sengketa ini menjadi ancaman bagi pertahanan Indonesia karena lokasi yang diperebutkan berada di dekat perbatasan Indonesia. Selain itu, sengketa ini juga menjadi salah satu isu politik yang menjadi ganjalan di ASEAN. Oleh karena itu, Indonesia, baik dalam posisi sebagai negara yang memperjuangkan kepentingannya maupun sebagai pemimpin alami ASEAN, berupaya menyelesaikan sengketa tersebut melalui jalan damai. Tulisan ini berfokus pada dua hal, yaitu bagaimana gambaran umum dari sengketa Laut Tiongkok Selatan sehingga menjadi potensi ancaman bagi kepentingan nasional Indonesia dan bagaimana peran Indonesia dalam upaya penyelesaian sengketa tersebut. Melalui metode studi pustaka, tulisan ini menemukan bahwa sengketa ini secara umum berada dalam tahap polarisasi, bahkan untuk hubungan Tiongkok-Vietnam sudah masuk tahap segregasi. Kemudian, peran Indonesia masih dalam tingkat pengelolaan konflik. Hal ini disebabkan oleh hambatan internal berupa posisi tawar Indonesia yang relatif lebih lemah dibanding negara yang bersengketa maupun hambatan eksternal berupa perbedaan pendekatan penyelesaian dan keterlibatan pihak-pihak asing yang turut memperkeruh dinamika sengketa. Kata Kunci: ASEAN, Laut Tiongkok Selatan, peran Indonesia, penyelesaian secara damai.
DDC: 327.1 Ganewati Wuryandari POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DALAM MENGHADAPI ISU TERORISME INTERNASIONAL Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 2, Desember 2014, Hlm. 71-83 Terorisme bukan isu baru namun menjadi salah satu isu yang semakin penting dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Perang global melawan terorisme memperoleh legitimasi dan dukungan yang semakin meluas dari masyarakat internasional terutama setelah terjadi tragedi 11 September 2001 di New York. Keterlibatan Indonesia dalam perang melawan terorisme ini tidak hanya untuk memenuhi kewajibannya sebagai bagian
viii | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014
masyarakat internasional untuk secara bersamasama memerangi terorisme, melainkan juga demi memenuhi kepentingan nasionalnya. Kebijakan luar negeri Indonesia dalam penanganan isu ini sangat mengedepankan kerja sama dengan negara-negara lain baik bilateral, regional dan multilateral. Namun demikian, kerja sama internasional yang terkait dengan penanganan isu terorisme internasional harus dicermati karena sangat diwarnai oleh perspektif pihak-pihak yang berkepentingan. Tulisan ini menganalisis kebijakan luar negeri Indonesia dalam forum bilateral, regional dan multilateral mengenai isu terorisme internasional. Kata Kunci: kebijakan luar negeri, terorisme internasional, kerja sama internasional.
DDC: 297.272 Muhammad Fakhry Ghafur AGAMA DAN DEMOKRASI : MUNCULNYA KEKUATAN POLITIK ISLAM DI TUNISIA, MESIR DAN LIBYA Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 2, Desember 2014, Hlm. 85100 Politik Islam memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam pasang surut pergolakan politik di Tunisia, Mesir dan Libya terutama pasca fenomena Arab Spring yang berawal di Tunisia dan berdampak luas terhadap konstelasi politik di sejumlah negara Timur Tengah. Di Tunisia, menguatnya pengaruh politik Islam tidak muncul dalam tataran elite politik saja tetapi juga dalam tataran grass roots dengan bermunculannya gerakan politik berbasis massa Islam. Sementara itu, Mesir adalah negara tempat tumbuh dan berkembangnya berbagai gerakan dan organisasi Islam transnasional. Tumbangnya Husni Mubarok membawa angin segar bagi kelompok Islam seperti Ikhwanul Muslimin dan Salafi untuk berperan lebih dalam kancah politik praktis. Sementara di Libya, pasca tewasnya Qaddafi, gerakan Islam memainkan peran penting dalam dinamika politik Libya, terutama setelah pemerintahan sementara mendeklarasikan hukum Islam di Libya. Kata Kunci: Timur Tengah, Politik Islam, Tunisia, Mesir, Libya.
DDC: 324.6 Nina Andriana PEMILU DAN RELASI EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 2, Desember 2014, Hlm. 101128 Penyempurnaan presidensialisme memerlukan peninjauan kembali format sistem perwakilan, skema penyelenggaraan dan sistem pemilu, serta sistem kepartaian. Dalam konteks skema penyelenggaraan dan sistem pemilu, penataan tak hanya terkait urgensi penyelenggaraan secara simultan antara pemilu legislatif dan pemilu presiden, melainkan juga penataan kembali format pilpres itu sendiri. Sistem pilpres yang diterapkan oleh Indonesia saat ini bukan hanya tidak menjanjikan munculnya kandidat presiden yang memiliki kompetensi dan kapabilitas, tetapi juga cenderung mendistorsikan obsesi penguatan presidensialisme sebagai sistem pemerintahan yang telah diamanatkan oleh konstitusi hasil amandemen. Penataan relasi eksekutiflegislatif dalam hal ini juga amat penting. Koalisi yang lazimnya ditemukan pada pemerintahan parlementer, namun dengan sistem multipartai dalam presidensial hal ini menjadi sesuatu yang tidak bisa diabaikan. Mekanisme checks and balances internal DPR maupun antara DPR dan Presiden pun harus dibenahi. Kata Kunci: Pemilu, sistem presidensialisme, partai politik.
Pemilu,
DDC: 321.8 Esty Ekawati DARI REPRESENTASI POLITIK FORMAL KE REPRESENTASI POLITIK NON-ELEKTORAL Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 2, Desember 2014, Hlm. 129136 Demokrasi dewasa ini selalu dikaitkan dengan representasi karena pada dasarnya perkembangan demokrasi perwakilan adalah prinsip yang harus ditegakkan di dunia modern. Konsep representasi secara sederhana dapat diartikan sebagai “menghadirkan yang tidak hadir”. Namun arti ini
Abstrak | ix
menimbulkan keraguan dari para ahli dan dalam perkembangannya mencoba menajamkan konsep ini menjadi sebuah teori. Isu-isu kontemporer mengenai representasi politik dalam kerangka demokrasi perwakilan yang mengarusutamakan pemilu, tidak serta merta mampu menjawab persoalan di masyarakat seperti keterwakilan kelompok minoritas, perempuan dan fenomena representasi non-elektoral yang juga menjadi persoalan penting untuk dikaji. Kata Kunci: Demokrasi, Representasi Formal, Representasi non-elektoral.
x | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014
Jurnal Penelitian
Politik Vol. 11, No. 2, Desember 2014
DDC: 324.2 Ridho Imawan Hanafi DIRECT ELECTION FOR LOCAL LEADERS IN INDONESIA: SOME CRITICAL NOTES FOR POLITICAL PARTIES Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 2, December 2014, Page 1-16 This paper discusses about several issues related to the role of political parties in the direct election for local leaders as an attempt to provide candidates of local leader. As one of the institutions that became the entry point for local leaders, political parties should be able to function properly. However, so far the practice of political parties still show the elitism in the the process of proposing candidates and pragmatism in the candidate recruitment process. Political parties are also judged only as a ”vehicle”. They are not concerned on public criticisms that relate to political kinship in local politcs and corruption in the region. Keywords: direct election, political parties, political recruitment, candidates.
DDC: 307.72 Wasisto Raharjo Jati GLOBALIZATION & VILLAGE POVERTY: AN ANALYSIS OF ECONOMIC-POLITICS IN RURAL AREA
Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 2, December 2014, Page 17-26 This article aims to analyze political linkage between village and globalization. The analysis emphasizes the economic-political structure in order to asses its relations, especially village standing position toward globalization,. The result shows that historically, the influence of globalization can be asseed into positive and negative perspectives. In positive paradigm realm, village have embraced global strategies in order to enhance their economic effort. Meanwhile, negatively, village has been marginalized and suppressed by capitalist system. Keywords: village, globalization, economic-politic, global village.
DDC: 320.859 Indriana Kartini THE RUSSIA’S ANNEXATION OF CRIMEA AND ITS CONSEQUENCES FOR UKRAINE
Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 2, December 2014, Page 27-41 The annexation of Crimea by the Russian Federation was launched after the downfall of Ukraine President Viktor Yanukovych who has been alleged by the opposition as pro-Russian. The referendum which has been conducted by Crimean people in post-annexation has reinforced the Crimean demand for independence from Ukraine and its choice to unify with Russia. Although the referendum has been viewed as illegal by Ukraine authority, in fact, Crimea is now under Russia’s authority. This article focuses on the Russia’s annexation of Crimea
Abstract | xi
by analysing Russia’s strategic interests as a driving force for the annexation; analysing the position of Ukraine, Russia, and Crimea after the demise of the USSR; and the consequences of the loss of Crimea for Ukraine that has changed the constellation of domestic politics, society, and economics, and also the land border between Ukraine-Crimea-Russia. Keywords : Annexation, Russia, Crimea, Ukraine.
DDC: 327.2 Hayati Nufus CHINA DREAM: CHINESE NATIONALISM ACROSS BORDERS IN CHINA DEVELOPMENT Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 2, December 2014, Page 43-54 China Dream, of which its core meaning is national rejuvenation of the Chinese nation, is the President Xi Jinping’s slogan for governing China today. This paper analyzes the efforts of China’s rejuvenation through the China Dream slogan. Through this slogan, China wants to revive the past glory that once belonged to China and to evoke a sense of nationalism within its society. Moreover, this idea also aims to strengthen the legitimacy of Xi Jinping and the Chinese Communist Party in its domestic politics. One of the programs conducted by China to realize its goal is to rebuild the Silk Road (by land and sea) through the idea of One Belt, One Road. Relating to this, the revival of China is also an attempt to legitimize China’s position as a major power in international politics. Keywords: China Dream, the rejuvenation of China, Silk Road, China Diplomacy.
DDC:327.598 Sandy Nur Ikfal Raharjo INDONESIA’S ROLE IN THE SOUTH CHINA SEA DISPUTE RESOLUTION Jurnal Penelitian Politik
Vol. 11, No. 2, December 2014, Page 55-70 South China Sea dispute becomes a major challenge to the regional stability for ASEAN member countries, including Indonesia. The dispute was assumed threatening Indonesia’s defense because the contested location is next to the Natuna sea border. The dispute also becomes a strategic political issue discussed in ASEAN forum. Therefore, Indonesia, both as the state that pursue its national interest and as the ASEAN natural leader, is trying to resolve the dispute through peaceful way. This paper focuses on two things, namely how the general figure of the South China Sea dispute as a potential threat towards Indonesia and how Indonesia play a role in the resolution process. By literature review method, this paper finds that the dispute is generally on the polarization stage, while for Tiongkok-Vietnam relations is on segregation stage. Furthermore, this paper also concludes that Indonesia still play role in the conflict management level. This is due to relatively weak bargaining position of Indonesia compared to the disputed parties as the internal factor, as well as differences in resolution approach and third actors involvement that worsen the situation as the external factors. Key Words: ASEAN, Indonesia’s role, South China Sea dispute, peaceful resolution.
DDC: 327.1 Ganewati Wuryandari INDONESIAN FOREIGN POLICY IN DEALING WITH INTERNATIONAL TERRORISM ISSUE Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 2, December 2014, Page 71-83 Terrorism is not a new issue, however it has become one of the most important issues of Indonesian foreign policy. The global fight against terrorism has increasingly gained legitimacy and supports among international community especially after the September 11, 2001 attacks in New York. Indonesia considers that the fight against terrorism is not merely to be its international obligation to support the global movement to ameliorate the menace, it is also to serve its national interest. To combat terrorism, Indonesian foreign policy closely cooperates with other nations-states in terms of
xii | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014
bilateral, regional and multilateral. However, these international cooperations are often dictated by the perspective of the parties concerned. This paper provides an analysis of Indonesian foreign policy responses to international terrorism. The work assesses its role in various bilateral, regional and multilateral cooperation in combating international terrorism. Keywords: Indonesian foreign policy, international terrorism, international cooperation.
DDC: 297.272 Muhammad Fakhry Ghafur RELIGION AND DEMOCRACY : THE EMERGENCE OF THE POWER OF POLITICAL ISLAM IN TUNISIA, EGYPT AND LIBYA Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 2, December 2014, Page 85100 Political Islam has a significant influence in the political dynamics in Tunisia, Egypt and Libya, especially after the Arab Spring phenomenon that began in Tunisia and broad impact on the political constellation in some Middle Eastern countries. In Tunisia, the effect of political Islam does not only appear at the elite, but also at the grass roots level with the emergence of mass-based Islamic political movement. While Egypt is a country where the growth of a variety of movements and transnational Islamic organizations. The post of Hosni Mubarok era bring to Islamic groups like the Muslim Brotherhood and the Salafis to participate more in the political arena. While in Libya, after the death of Qaddafi, the Islamic movements play an important role in the dynamics of Libyan politics, especially after the interim government declared Islamic law in Libya. Keywords: Middle East, Islamic Politics, Tunisia, Egypt, Libya.
GENERAL ELECTION AND EXECUTIVE-LEGISLATIVE RELATIONS Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 2, December 2014, Page 101128 Completion of presidentialism requires reconsideration format representation system, the implementation of the scheme and the electoral system along the party system. In the context of the implementation of the scheme and the electoral system, the arrangement is not only related to the urgency of the simultaneous implementation of the legislative and presidential elections, but also realignment election format itself. Election system adopted by Indonesia at the moment doesn’t push not only the emergence of presidential candidates who have the competence and capability, but also tends to distort obsession strengthening of presidentialism as a system of government that has been mandated by constitutional amendments. Structuring executivelegislative relations is also very important. Coalition is typically found in parliamentary government, but the multi-party system in presidentialism can not be ignored. Internal checks and balances mechanism in the House of Representatives and between the House of Representatives and the President must be addressed. Keywords: general election, electoral system, presidentialism, political party.
DDC: 321.8 Esty Ekawati FROM FORMAL POLITICAL REPRESENTATION TO NONELECTORAL POLITICAL REPRESENTATION Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 2, December 2014, Page 129136
DDC: 324.6 Nina Andriana
Nowadays democracy is always associated with representation because basically the progress of democratic representation is a principle that must be enforced in modern politics. The concept
Abstract | xiii
of representation simply defined as “absent but present” has made doubt for political scientist to build theories. Contemporary issues about political representation in democratic representation’s framework that mainstreaming the election can not answer the problems of society about minority representation, woman under-representation in politics and phenomenon of non-electoral representation. Keywords: democracy, political representation, nonelectoral political representation.
xiv | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014
PEMILIHAN LANGSUNG KEPALA DAERAH DI INDONESIA: BEBERAPA CATATAN KRITIS UNTUK PARTAI POLITIK DIRECT ELECTION FOR LOCAL LEADERS IN INDONESIA: SOME CRITICAL NOTES FOR POLITICAL PARTIES Ridho Imawan Hanafi Alumnus Pascasarjana Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia E-mail:
[email protected] Diterima: 22 Juli 2014; direvisi: 3 September 2014; disetujui: 25 Oktober 2014 Abstract This paper discusses about several issues related to the role of political parties in the direct election for local leaders as an attempt to provide candidates of local leader. As one of the institutions that became the entry point for local leaders, political parties should be able to function properly. However, so far the practice of political parties still show the elitism in the the process of proposing candidates and pragmatism in the candidate recruitment process. Political parties are also judged only as a ”vehicle”. They are not concerned on public criticisms that relate to political kinship in local politcs and corruption in the region. Keywords: direct election, political parties, political recruitment, candidates. Abstrak Tulisan ini membahas mengenai beberapa persoalan terkait dengan peran partai politik di pemilihan langsung kepala daerah dalam upaya menghadirkan calon-calon pemimpin daerah. Sebagai salah satu institusi yang menjadi pintu masuk bagi calon pemimpin daerah diharapkan partai politik dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Persoalannya, sejauh ini dalam praktiknya partai politik masih jauh dari harapan tersebut, seperti melakukan proses pengusungan kandidat yang elitis, rekrutmen calon yang buruk, partai politik dinilai hanya sebatas sebagai kendaraan atau pemberi tiket, sampai abainya partai politik pada suara kritis publik terhadap persoalan yang menyangkut politik kekerabatan dan korupsi di daerah. Kata Kunci: pilkada langsung, partai politik, rekrutmen politik, calon kepala daerah.
Pendahuluan Pemilihan langsung kepala daerah (pilkada langsung) merupakan kerangka kelembagaan baru dalam rangka mewujudkan proses demokratisasi di daerah. Proses ini diharapkan bisa mereduksi secara luas adanya pembajakan kekuasaan yang dilakukan oleh partai politik yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Selain itu, pilkada secara langsung juga diharapkan bisa menghasilkan kepala daerah yang memiliki akuntabilitas lebih tinggi kepada
rakyat.1 Meskipun makna langsung di sini lebih berfokus pada hak rakyat untuk memilih kepala daerah, para calon kepala daerah lebih banyak ditentukan oleh partai politik. Belakangan calon perseorangan memang dimungkinkan dalam pilkada, namun hal tersebut tidak begitu saja
Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 183. 1
Pemilihan Langsung Kepala Daerah ... | Ridho Imawan Hanafi | 1
mampu mengesampingkan posisi dan peran partai politik di dalam pilkada langsung.2 Pilkada langsung di Indonesia sendiri dilaksanakan sejak Juni 2005. Pelaksanaan pilkada langsung tersebut sebelumnya didahului keberhasilan pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun 2004. Penyelenggaraan pilkada langsung diintrodusir di dalam UndangUndang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan UU hasil revisi atas UU No. 22 Tahun 1999 mengenai substansi yang sama.3 Semangat yang muncul dari pelaksanaan pilkada langsung di antaranya adalah untuk mengembalikan hak-hak politik rakyat yang selama ini dilakukan hanya melalui perwakilan mereka di DPRD. Pelaksanaan pilkada secara langsung juga sebagai upaya untuk memperbaiki kehidupan demokrasi setelah terjadi pergantian rezim Orde Baru ke reformasi. Dalam rangka itu, pilkada langsung juga sebagai ajang bagi daerah untuk menemukan calon-calon pemimpin daerah yang berintegritas dan bisa mengemban amanat rakyat. Pilkada langsung berpeluang mendorong majunya calon kepala daerah yang kredibel dan akseptabel di mata masyarakat daerah sekaligus menguatkan derajat legitimasinya. Dengan demikian, pilkada langsung dapat memperluas akses masyarakat lokal untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka. Artinya, masyarakat berkesempatan untuk terlibat mempengaruhi pembuatan kebijakan publik yang dilakukan kepala daerah sebagaimana janjinya saat kampanye dan ikut pula mengawasi kepala daerah jika menyalahgunakan kekuasaan sehingga proses ini dapat memaksa kepala daerah untuk tetap memperhatikan aspirasi rakyat.4 Untuk mendekatkan harapan tersebut, salah satu pintu masuknya adalah dengan cara melihat bagaimana proses yang dilakukan oleh partai 2
Ibid.
Syamsuddin Haris, “Kebijakan dan Strategi Pilkada Peluang dan Tantangan Menuju Konsolidasi Demokrasi”, dalam Djohermansyah Djohan dan Made Suwandi (Ed), Pilkada Langsung: Pemikiran dan Peraturan, (Jakarta: IIP Press, 2005), hlm. 57. 3
Djohermansyah Djohan, “Masalah Krusial Pilkada”, dalam dalam Djohermansyah Djohan dan Made Suwandi (Ed), Pilkada Langsung: Pemikiran dan Peraturan, (Jakarta: IIP Press, 2005), hlm. 36-37. 4
politik dalam mengajukan calon-calon pemimpin daerah yang akan mereka usung. Partai politik sebagaimana yang tersebut dalam UU No. 32 Tahun 2004 kemudian direvisi menjadi UU No 12 Tahun 2008 merupakan salah satu institusi yang bisa mengajukan calon kepala daerah dalam pilkada langsung. Dalam konteks ini, proses politik yang terjadi di internal partai politik ikut mempengaruhi bagaimana kualitas calon kepala daerah. Dengan demikian, partai politik memiliki posisi dan peran yang siginifikan dalam menghadirkan individu-individu berintegritas untuk memimpin sebuah daerah. Namun demikian, pada praktiknya kuasa partai politik tersebut kerap menuai kritik publik. Di antaranya, proses pengusungan kandidat kerap terlihat elitis5, rekrutmen calon yang buruk, semaraknya isu mengenai keharusan menyediakan uang “perahu” atau “mahar” politik oleh kandidat agar memperoleh tiket pencalonan dari partai politik, abainya partai politik pada suara publik terhadap persoalan yang menyangkut politik kekerabatan di daerah, sampai mengenai bagaimana partai politik bisa bekerja dalam mengawal pengusungan kandidat sebagai sebuah mesin politik yang efektif agar tidak sekadar menjadi pemberi tiket. Tulisan ini mencoba untuk mengurai sejumlah persoalan terkait partai politik sebagai salah satu pintu masuk dalam upaya untuk menghadirkan pemimpin daerah di pilkada langsung dan sekaligus mencoba memberi sejumlah usulan pembaruan bagi partai politik dalam pergulatannya di pilkada langsung agar kualitas demokrasi lokal semakin baik.
Pilkada Langsung: Daulat Rakyat Pilkada langsung merupakan terobosan politik yang signifikan dan berimplikasi cukup luas terhadap daerah dan masyarakatnya untuk mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal. Karena itu, pilkada langsung merupakan proses penguatan dan pendalaman demokrasi (deepening democracy) serta upaya untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan efektif. Pada Yang dimaksud elitis di sini adalah para calon lebih banyak ditentukan oleh elite partai atau perlunya sebuah persetujuan dari petinggi partai politik untuk bisa menjadi calon partai yang bersangkutan. 5
2 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 1–16
dasarnya, pilkada langsung merupakan daulat rakyat sebagai salah satu realisasi prinsip-prinsip demokrasi yang meliputi jaminan atas prinsipprinsip kebebasan individu dan persamaan, khususnya dalam hak politik. 6 Pendalaman demokrasi seperti diungkap Reuschmeyer (1992) adalah suatu upaya untuk mengatasi kelemahan praktik demokrasi substantif, khususnya dalam merespon tuntutan-tuntutan masyarakat lokal.7 Pendalaman demokrasi menurut Fung dan Olin-Wright (2003) juga diperlukan untuk memenuhi gagasan sentral mengenai demokrasi politik yang meliputi beberapa hal penting, seperti pemberian fasilitas kepada masyarakat agar mereka terlibat dalam politik: mendorong terjadinya konsensus politik melalui dialog, merealisasikan kebijakan publik yang dapat menciptakan efektivitas ekonomi dan masyarakat yang sehat, dan memberikan proteksi agar warga negara juga menikmati kekayaan negara.8 Dengan demikian akan memungkinkan banyak orang terlibat dalam proses kebijakan di pemerintahan lokal. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa dalam pemerintahan lokal potensi warga tidak hanya dalam keterlibatan di pemilu lokal atau duduknya di parlemen, lebih jauh adalah keterlibatan aktif warganya secara lebih luas.9
daerah merupakan bagian dari pemerintah yang langsung berinteraksi dengan masyarakat ketika proses demokratisasi berlangsung.10 Tidak hanya itu, pemerintah daerah seperti dikatakan Larry Diamond (1999), memiliki peran yang cukup penting dalam mempercepat vitalitas demokrasi. Diamond memberikan sejumlah alasan bahwa pemerintah daerah dapat membantu mengembangkan nilai-nilai dan keterampilan berdemokrasi di kalangan warganya. Pemerintah daerah juga dapat meningkatkan akuntabilitas dan pertanggungjawaban kepada berbagai kepentingan yang ada di daerah. Selain itu, pemerintah daerah dapat menyediakan saluran dan akses tambahan terhadap kelompokkelompok yang secara historis termarginalisasi. Ketika hal ini terpenuhi, terdapat kecenderungan adanya tingkat keterwakilan demokrasi yang lebih baik. Ujungnya, pemerintah daerah bisa mendorong terwujudnya checks and balances di dalam kekuasaan.11
Munculnya perhatian terhadap transisi demokrasi di daerah itu menurut Brian C Smith (1998) berangkat dari suatu keyakinan bahwa demokrasi di daerah merupakan prasyarat bagi munculnya demokrasi di tingkat nasional. Asumsi ini berangkat bahwa ketika terdapat perbaikan kualitas demokrasi di daerah, secara otomatis bisa diartikan sebagai adanya perbaikan kualitas demokrasi di tingkat nasional. Beberapa alasannya antara lain, demokrasi pemerintahan di daerah merupakan suatu ajang pendidikan politik yang relevan bagi warga negara di dalam suatu masyarakat yang demokratis. Artinya, terdapat unsur proximity bahwa pemerintah
Merujuk Diamond dalam Developing Democracy Toward Consolidation (2003), seperti dicatat Sahdan, pilkada lebih jauh dilihat sebagai ruang bagi developing democrary. Pembangunan demokrasi di sini mencakup penguatan masyarakat publik (political society), penguatan masyarakat ekonomi (economic society) dan penguatan masyarakat budaya (cultural society). Pembangunan demokrasi juga mencakup penguatan dan engagement masyarakat sipil (voice, access and control), birokrasi yang netral, provisional dan usable, penguatan rule of law, serta institusionlasasi ekonomi dan politik.12 Goran Hayden dalam Governance and Politics in Africa (1992) juga melihat pilkada sebagai arena untuk menciptakan local good goovernance. Penciptaan tatanan pemerintahan lokal yang baik ini kemudian mencakup tiga dimensi dari governance, yaitu dimensi aktor, struktur, dan dimensi empiris.
R. Siti Zuhro, dkk, Model Demokrasi Lokal, (Jakarta: PT. THC Mandiri, 2011), hlm. 23-24.
10
Kacung Marijan, op. cit., hlm. 170. Ibid, hlm. 171.
6
7
Ibid.
11
8
Ibid.
12
John Stewart, “Democracy and Local Goverment”, dalam Paul Hirst and Sunil Khilnani (Eds.), Reinventing Democracy, (Cambridge, MA: Blackwell Publishers, 1996), hlm. 39. 9
Gregorius Sahdan, “Pilkada dan Problem Demokrasi Lokal”, dalam Gregorius Sahdan (et al), Politik Pilkada: Tantangan Merawat Demokrasi, (Yogyakarta: The Indonesian Power for Democracy (IPD), 2008), hlm.155-157.
Pemilihan Langsung Kepala Daerah ... | Ridho Imawan Hanafi | 3
Pada dimensi aktor, pilkada hendak menekankan pentingnya kekuasaan, kewenangan, resiprositas antara rakyat dan pemimpin serta pergantian kekuasaan. Dengan pilkada maka tidak ada lagi kekuasaan yang terpusat dan tersentral di tangan segelintir orang dan kekuasaan yang diperoleh memiliki legitimasi yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan. Sementara dimensi struktur, menekankan pentingnya sikap kesukarelaan (compliance), kepercayaan (trust), akuntabilitas (accountability) dan inovasi (innovation). Struktur dan lingkungan politik lokal, menurut Hayden seperti dijelaskan Sahdan, harus mampu memberikan akses dan kesempatan yang sama kepada semua orang untuk menjadi pemimpin. Sedangkan dimensi empirik menekankan pentingnya peran warga negara, kepemimpinan yang responsif dan bertanggungjawab, serta resiprositas sosial. Untuk mengukur peran warga dapat dilihat dari tingkat partisipasi politik, pemahaman terhadap agregasi kepentingan, dan pertanggungjawaban publik. Sementara untuk mengukur kepemimpinan responsif dapat dilihat dari tingkat pemahaman terhadap arena publik (public realm), tingkat keterbukaan kebijakan publik, dan tingkat ketaatan terhadap hukum. Sedangkan resiprositas sosial dapat diukur dengan menggunakan instrumen tingkat persamaan politik (political equality), tingkat toleransi antar kelompok dan tingkat keterbukaan organisasi sosial politik di masyarakat.13 Dalam konteks tersebut, pilkada langsung memiliki urgensi terhadap upaya memperbaiki kualitas kehidupan demokrasi. Alasannya, seperti diungkapkan Haris pertama, pilkada langsung diperlukan untuk memutus mata rantai oligarki partai yang harus diakui cenderung mewarnai kehidupan partai di DPRD. Artinya pilkada langsung diperlukan untuk memutus mata rantai politisasi atas aspirasi publik yang cenderung dilakukan partai-partai dan para politisi partai. Kedua, pilkada langsung diperlukan untuk meningkatkan kualitas akuntabilitas para elite politik lokal, termasuk kepala daerah. Sebelum pilkada langsung, kepala daerah cenderung menciptakan ketergantungan terhadap DPRD,
sehingga ia lebih bertanggung jawab kepada DPRD daripada kepada rakyat.14 Ketiga, pilkada lagsung diperlukan untuk menciptakan stabilitas politik dan pemerintahan di tingkat lokal. Pemberhentian atau pencopotan di tengah masa jabatan kerap berdampak pada munculnya gejolak politik lokal. Diharapkan dengan pilkada langsung mereka yang terpilih bisa menjabat selama lima tahun. Keempat, pilkada langsung kepala daerah akan memperkuat dan meningkatkan kualitas seleksi kepemimpinan nasional karena makin terbuka peluang munculnya pemimpin nasional yang muncul dari bawah atau daerah. Kelima, pilkada secara langsung bisa lebih meningkatkan kualitas keterwakilan (representativeness) karena masyarakat dapat menentukan siapa yang akan menjadi pemimpinnya di tingkat lokal.15
Menelaah Fungsi Partai Politik Partai politik seperti dikemukakan Hague dan Harrop memiliki sejumlah fungsi. Di antaranya adalah artikulasi dan agregasi kepentingan, komunikasi politik, sosialisasi politik, dan rekrutmen politik. Artikulasi dan agregasi kepentingan merupakan fungsi untuk merumuskan kepentingan dan sekaligus dari beragam kepentingan yang terdapat dalam kelompokkelompok yang memiliki kesamaan tersebut digabung menjadi satu. Fungsi komunikasi politik diarahkan untuk menjembatani antara pemerintah dengan masyarakat. Di negara yang demokratis, proses komunikasi yang dilakukan partai politik mengalirkan arus informasi yang sifatnya dua arah: dari atas ke bawah dan sebaliknya dari bawah ke atas. Hal yang berbeda jika dilakukan di negara komunis, aliran komunikasi bersifat satu arah dari atas ke bawah.16
Syamsuddin Haris, “Mencari Model Pemilihan Langsung Kepala Daerah Bagi Indonesia”, dalam Agung Djojosoekarto dan Rudi Hauter (Ed), Pemilihan Langung Kepala Daerah: Transformasi Menuju Demokrasi Lokal, (Jakarta: Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia dan Konrad Adenauer Stiftung, 2003), hlm. 106-107. 14
15
Ibid.
Rod Hague and Martin Harrop, Comparative Government and Politics: an Introduction, (Palgrave: Hampshire, 2001), hlm.167-169. 16
13
Ibid.
4 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 1–16
Sementara fungsi sosialisasi politik, diarahkan untuk proses di mana seseorang mendapatkan pandangan maupun orientasinya akan nilai-nilai maupun norma-norma di masyarakat. Anggota masyarakat melalui proses sosialisasi seperti itu akan mendapatkan orientasi terhadap kehidupan politik yang berkembang di masyarakat. Sedangkan rekrutmen politik merupakan cara partai untuk mencari atau mendapatkan anggota baru dengan mengajaknya terutama orang yang memiliki kemampuan dalam politik dan kepemimpinan untuk berpartisipasi dalam politik. Dalam proses rekrutmen tujuannya adalah terjaganya kontinuitas eksistensi partai sekaligus dapat menyeleksi calon kepemimpinan.17 Dalam proses rekrutmen, Pippa Norris menyatakan bahwa inilah fungsi klasik partai politik di mana sebagai penjaga gerbang dalam pencalonan untuk semua jabatan di semua tingkatan pemerintahan. Rekrutmen politik, bagi Norris, bukan hanya soal pencalonan wakil-wakil terpilih di tingkat lokal, regional, nasional, tetapi juga pengisian berbagai jabatan publik. Proses perekrutan ke jabatan yang dipilih dan diangkat secara luas ini dianggap sebagai salah satu fungsi residual terpenting bagi partai politik dengan konsekuensi munculnya potensi konflik di intrapartai, komposisi parlemen dan pemerintah, serta akuntabilitas dari para anggota yang terpilih.18 Sedangkan Diamond dan Gunter mencatat setidaknya ada tujuh fungsi partai politik yang penting terkait dengan demokrasi elektoral. Pertama, candidate nomination. Di mana para kontestan yang mewakili masing-masing partai dalam pemilihan intra partai ditunjuk. Kedua, electoral mobilization, partai dalam hal ini memberikan motivasi bagi masing-masing klientelis mereka untuk mendukung calon mereka dan juga memfasilitasi partisipasi aktif mereka dalam pemilihan. Ketiga, issue structuring, pada titik ini bagaimana partai mengelola strategi mobilisasi terkait dalam penekanan akan fokus pada kepentingan yang lebih tahan lama dari berbagai kelompok sosial atau menata berbagai 17
Ibid.
alternatif pilihan dalam berbagai dimensi isu yang berbeda.19 Keempat, represent various social groups, either symbolically or in advancing specific interests. Fungsi representasi sosial ini dapat dilakukan pada kompetisi pemilu, sebagai upaya partai untuk mendukung berbagai kelompok. Kelima, interest aggregation, kesuksesan partai dalam menjalankan fungsi ini akan memiliki implikasi penting bagi munculnya koherensi berbagai kebijakan publik, juga untuk stabilitas kebijakan itu sendiri. Keenam, forming and sustaining governments, fungsi ini merupakan tantangan bagi partai politik karena merupakan dimensi kinerja utama mereka. Ketujuh, social integration, partai politik memainkan peran integrasi sosial yang penting, karena akan memungkinkan warga untuk berpartisipasi secara efektif dalam proses-proses politik.20
Pilkada dan Kuasa Partai Politik Pilkada langsung yang penyelenggaraannya dimulai tahun 2005 menggunakan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam catatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dasar hukum penyelenggaraan pilkada periode 2005-2008 menggunakan undang-undang tersebut yang kemudian mengalami dua kali perubahan: pertama, melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menjadi Undang-Undang (UU No 8/2005); dan, kedua, melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.21 Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tertuang sejumlah ayat yang menyatakan bahwa partai politik merupakan satu-satunya institusi yang Larry Diamond and Richard Gunter, Political Parties and Democracy, (Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 2001), hlm. 7-8. 19
20
Pippa Noris, “Recruitment”, dalam Richard S Katz. And William Crotty (Eds.), Handbook of Party Politics, (London: Sage Publications, 2006), hlm. 90. 18
Ibid.
Didik Supriyanto (Ed), Kajian Kodifikasi Undang-Undang Pemilu, (Jakarta: Yayasan Perludem, 2014), hlm. 1. 21
Pemilihan Langsung Kepala Daerah ... | Ridho Imawan Hanafi | 5
bisa mengajukan pasangan calon peserta pemilihan kepala daerah. Sejumlah ayat tersebut memperlihatkan bahwa arena pilkada langsung pada periode 2005-2008 sebelum terjadinya perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004 merupakan arena kuasa istimewa partai politik. Dengan kata lain, partai politik memiliki keistimewaan dalam hal pengajuan pasangan calon peserta pilkada dibandingkan dengan institusi lain, seperti kelompok-kelompok kepentingan. Hanya melalui pintu partai politik seseorang atau kandidat bisa memiliki kesempatan untuk berkompetisi menjadi calon pemimpin di daerah. Sejumlah ayat menyangkut keistimewaan partai politik tersebut tertuang dalam Pasal 59 UU No. 32 Tahun 2004. Ayat (1) menyatakan peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik. (2) Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. (3) Partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan. (4) Dalam proses penetapan pasangan calon partai politik atau gabungan partai politik memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat.22 Sebelumnya, pada awal perumusan UU No 32 Tahun 2004 sempat muncul perdebatan seputar pencalonan dan siapa yang berhak mencalonkan pasangan calon. Pada tahap awal perdebatan ketika itu muncul tiga opsi dalam proses pencalonan. Pertama, semua kandidat adalah kandidat independen yang diusulkan dari kalangan nonpartai politik. Kedua, sebagian kandidat bisa dicalonkan dari jalur independen dan sebagian lagi adalah calon yang diusulkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 22
oleh partai politik. Ketiga, semua kandidat harus diusulkan oleh partai politik yang memperoleh suara minimal tertentu pada pemilihan anggota legislatif. Opsi pertama memang tidak populer, sehingga pilihan ada pada opsi kedua atau opsi ketiga. Namun, pada kenyataannya berbagai opsi tersebut ujungnya ditolak di DPR.23 Dengan demikian, ayat-ayat dalam Pasal 59 UU No. 32 Tahun 2004 memperlihatkan betapa dominannya partai politik dalam proses pencalonan pilkada. Calon yang berasal dari perseorangan tidak mendapat tempat. Dengan calon yang lebih banyak ditentukan oleh partai politik itu, kerangka kelembagaan dalam pilkada bisa dikatakan menggunakan “party system”. Dikatakan “party system” karena semua orang yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah harus melalui partai politik.24 Padahal pada ayat 3, sebenarnya dimungkinkan munculnya calon dari perseorangan, namun dalam praktiknya, sejauh ini tidak ada prosedur yang jelas bagaimana yang dilakukan oleh partai politik untuk membuka kesempatan bagi masyarakat untuk menjadi calon kepala daerah dari partainya.25 Dengan arti lain, bahwa hampir semua proses pencalonan pilkada yang telah berlangsung di partai politik selama ini seperti dijelaskan oleh Syamsuddin Haris mengabaikan urgensi akses publik. Karena pada umumnya masyarakat di daerah pemilihan tidak mengetahui bagaimana sesungguhnya proses seleksi calon oleh partai atau gabungan partai politik. Dalam catatannya, sejumlah tokoh masyarakat di sejumlah daerah bahkan sama sekali tidak tahu, mengapa suatu partai tertentu memilih untuk mencalonkan tokoh tertentu sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Maka tidak jauh berbeda dari kecenderungan yang terjadi dalam pemilu legislatif 2004, partai politik atau gabungan partai politik telah melakukan fait acompli kepada Pratikno, “Calon Independen, Kualitas Pilkada dan Pelembagaan Parpol”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 10, Nomor 3, Maret 2007, hlm. 415-438. 23
24
Kacung Marijan, op. cit., hlm. 185.
Muhtar Haboddin, “Kontribusi Partai Politik dalam Pilkada”, dalam Gregorius Sahdan (et al), Rekayasa Politik dari Pemilu ke Pilkada, (Yogyakarta: The Indonesian Power for Democracy (IPD), 2008), hlm. 118. 25
6 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 1–16
masyarakat dalam proses pencalonan pasangan kandidat dalam pilkada.26 Oleh karena itu, meskipun pilkada langsung telah menggeser kekuasaan DPRD menjadi kekuasaan rakyat dalam memilih calon pemimpin daerah, pada praktiknya banyak ditemukan kekecewaan atas kualitas proses elektoral pilkada langsung. Pilkada langsung yang diharapkan dapat meminimalisir money politics, misalnya, ternyata dalam skala yang besar dan masif justru tidak terhindarkan dalam pilkada langsung. Rakyat yang diharapkan mempunyai otonomi yang lebih besar dalam mencalonkan dan memilih calon pemimpin daerah yang diinginkan ternyata otonomi yang besar itu berada di tangan para elite partai politik. Para elite partai dan sponsor politik yang lebih mengendalikan seluruh proses elektoral sehingga peran masyarakat luas selaku pemilih menjadi sangat marjinal.27 Maka, atas pertimbangan banyak pihak baik masyarakat luas dan aktivis masyarakat sipil muapun politisi lokal yang tidak berada dalam jajaran elite partai politik mendesak agar calon independen diberi kesempatan untuk berkompetisi dalam pilkada. Calon independen yang dimaksud di sini adalah pasangan calon kepala daerah baik gubernur, bupati, walikota maupun wakilnya, yang proses pencalonannya tidak melalui partai politik sebagaimana yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004.28 Upaya yang bertujuan mengurangi monopoli partai politik tersebut kemudian menghasilkan perubahan atas UU No 32 Tahun 2004 menjadi UU No. 12 Tahun 2008, di mana memberikan partisipasi bagi kandidat yang maju melalui jalur independen atau jalur perseorangan untuk bersaing dalam pemilihan langsung di level gubernur, kabupaten atau kota. Upaya ini seperti dicatat Buehler, merupakan sebuah inovasi politik yang kecenderungannya menuju pemilihan kepala daerah yang lebih kompetitif dan inklusif. 29 Syamsuddin Haris, “Kecenderungan Pencalonan dan Koalisi dalam Pilkada”, tanpa tahun, http://www.komunitasdemokrasi. or.id/id/pusat-pengetahuan/artikel/268-kecenderunganpencalonan-dan-koalisi-partai-dalam-pilkada, diakses pada tanggal 3 Mei 2014. 26
Dibukanya kran calon kepala daerah dari luar partai politik menerbitkan implikasi dalam peran partai politik di pilkada. Mengacu UU No 32 Tahun 2004, menurut Pratikno, dibukanya calon independen akan membuat partai politik memperoleh pesaing. Para politisi yang ingin berkompetisi dalam pilkada mempunyai pilihan apakah akan melalui jalur partai atau melalui jalur independen. Artinya, dibukanya jalur calon independen ini membuat adanya persaingan antara calon yang diajukan oleh partai politik dengan calon independen.30 Jika selama ini pintu masuk jabatan kepala daerah harus melalui partai politik, peran ini tidak lagi menjadi dominasi partai politik. Dengan demikian, partai politik dituntut untuk mencalonkan figur terbaik untuk bisa bersaing dengan lainnya.
Parpol sebagai “Perahu”? Salah satu hal yang menjadi sorotan publik atas posisi partai politik dalam pilkada langsung adalah bagaimana mengaktifkan peran politiknya sejauh ini. Dalam studi Muhamad Nur sebagaimana dikutip oleh Pratikno, dalam banyak kasus partai politik tidak dalam posisi yang mencalonkan pasangan calon. Peran partai politik dalam pilkada langsung ini lebih pada posisi menyediakan legitimasi pencalonan, yang biasanya ditransaksikan dengan pihak-pihak yang ingin dicalonkan atau ingin mencalonkan seseorang menjadi calon kepala daerah. Proses ini kerap dipresentasikan dengan istilah “beli perahu” yang artinya membeli formalitas partai politik atau istilah “beli tiket” yang artinya memberi tiket pencalonan. Proses pencalonan ini dimanfaatkan oleh sebagian elite partai politik sebagai ajang bisnis dengan memasang tarif tertentu bagi kandidat yang akan memakai partainya untuk maju dalam proses pencalonan.31 Fenomena seperti itu, dikatakan Haris hampir menjadi rahasia umum bahwa para kandidat harus menyetor sejumlah uang ke partai in Indonesia: The Marginalisation of The Public Sphere”, dalam Edward Aspinall dan Marcus Mietzner (eds), Problem of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society, (Singapore: ISEAS Publishing, Institute of Southeast Asian Studies, 2010), hlm. 271.
27
Ibid.
28
Pratikno, op. cit.
30
Pratikno, op. cit.
29
Michael Buehler, “Decentralisation and Local Democracy
31
Ibid.
Pemilihan Langsung Kepala Daerah ... | Ridho Imawan Hanafi | 7
atau gabungan partai yang bersedia menjadi “perahu” dalam pencalonan pilkada. Nilai uang diperkirakan ratusan juta hingga miliaran rupiah, tergantung hasil negosiasi dan kesepakatan antara para kandidat dan partai atau gabungan partai, serta juga wilayah pilkada, apakah merupakan daerah potensial secara ekonomi atau daerah minus.32 Di sejumlah daerah seperti Kalimantan Selatan, Jambi, dan Bengkulu, misalnya, proses pilkada cenderung diwarnai praktik persekongkolan politik dan bisnis di antara para elite partai dan birokrasi di satu pihak dan elite pengusaha atau bisnis di pihak lain. Dalam kaitan ini, seorang kandidat yang gagal dalam pilkada di Kabupaten Bima, NTB, daerah yang relatif minus secara ekonomi misalnya, mengaku mengeluarkan biaya sekitar Rp 4 miliar untuk berbagai jenis pengeluaran, mulai dari “setoran” ke gabungan partai pengusung, biaya kampanye, dan biaya operasional lainnya.33 Dalam bahasa Saldi Isra, partai politik telah menjadi semacam “pukat Harimau”. Artinya partai politik bisa menjadi mesin uang. Begitu proses pencalonan selesai, partai politik bisa meraup uang dari mereka yang berminat. Mirip dengan pukat Harimau, jumlah uang yang diraup juga bervariasi, mulai dari ratusan juta rupiah sampai dengan tawaran ratusan miliar. Seperti testimoni dari Slamet Kirbiyantoro yang memberikan Rp. 1,5 miliar dan Djasri Marin memberikan Rp. 2 miliar kepada PDIP.34 Contoh lain, dengan mengutip pemberitaan Kompas, Haboddin mencatat, bahwa seorang fungsionaris partai politik besar pernah menceritakan bagaimana untuk menjalin koalisi antar partai politik saja diperlukan “mahar” miliaran rupiah. Seorang fungsionaris partai politik besar lainnya juga pernah diminta melupakan keinginan menjadi gubernur jika “hanya” membawa Rp. 3 miliar. Pernyataan sang fungsionaris ini patut dicatat sebagai penilaian betapa leluasanya elite dan pengurus partai politik menjaring uang setoran supaya partainya bisa digunakan sebagai
“perahu” sang calon untuk maju dalam pilkada langsung.35 Mereka yang berminat menjadi calon kepala daerah tetapi tidak memiliki afiliasi dengan partai politik, seperti ditulis Wardani mereka bisa melakukan “sewa perahu”. Syaratnya, orang tersebut memiliki daya pikat yang menarik bagi partai berupa modal yang cukup besar. Maka yang perlu dilakukan adalah mencari partai politik sebagai kendaraan untuk pencalonannya. Inilah yang disebut dengan “sewa perahu”. Persoalan ini menurut Wardani, menunjukkan betapa arena pilkada langsung menjadi kesempatan untuk berkuasa, dengan segala cara, tanpa memiliki visi dan misi yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan untuk rakyat di daerahnya. Praktik kekuasaan dengan demikian akan dikuasai oleh orang-orang yang bermodal. Praktik ini akan berbahaya jika alasan masuk ke dunia politik untuk mengamankan bisnisnya dengan mengeluarkan kebijakan yang lebih menguntungkan pribadinya.36 Melihat beberapa catatan tersebut, setidaknya dalam proses pencalonan, bisa dikatakan bahwa inisiatif tampaknya sebagian besar datang dari para kandidat yang berminat, merasa mempunyai kapabilitas, dan juga memiliki dana ataupun dukungan finansial yang cukup ketimbang sebagai suatu inisiatif partai.37 Gejala bahwa partai atau gabungan partai lebih memposisikan diri sebagai “perahu” daripada pengambil inisiatif, tampak dalam berbagai kasus pilkada di sebagian besar daerah. Kekecualian hanya berlaku bagi partai yang benar-benar memiliki kader yang telah “siap” bertarung.38 Dari sini terlihat bahwa dalam pilkada langsung partai politik memiliki pekerjaan yang tidak mudah untuk merevitalisasi peran substansial mereka agar tidak sekadar menjadi “perahu”.
35
Ibid.
Sri Budi Eko Wardani, “Pilkada Langsung: Pertaruhan Demokrasi dan Mitos Good Governance” dalam Pheni Chalid (Ed.), Pilkada Langsung: Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance, (Jakarta: Partnership for Governance Reform in Indonesia dengan Pusat Kajian Politik, Departemen Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2005), hlm. 25. 36
32
Syamsuddin Haris, op. cit.
33
Ibid.
37
Syamsuddin Haris, op. cit.
34
Muhtar Haboddin, op. cit., hlm. 120.
38
Ibid.
8 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 1–16
Tidak cukup itu, mengembalikan revitalisasi peran substansinya menjadi penting mengingat hasil pencapaian perolehan suara dalam pilkada langsung juga memperlihatkan bahwa partai politik tidak dalam posisi yang cukup menentukan dalam hal mobilisasi dukungan terhadap pasangan calon kepala daerah yang diusungnya. Tidak ada jaminan bahwa dukungan pemilih terhadap suatu partai politik dalam pemilu legislatif akan bisa dipertahankan dalam pilkada langsung. Bahkan angka swinging voters dan split voters cenderung tinggi. Afiliasi pemilih kerap menunjukkan inkonsistensi pilihan antara pemilu legislatif dan pilkada. Hal ini bisa dilihat dari rendahnya dukungan yang diterima pasangan calon yang diusung partai besar. Pasangan calon kepala daerah yang diusung oleh partai-partai besar kerap mengalami kekalahan dalam pilkada. Atau sebaliknya, koalisi antar partai politik kecil bisa unggul.39 Gejala tersebut juga terekam dari kajian yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) bahwa kemenangan calon yang diusung oleh bukan partai politik pemenangan pemilu legislatif kemungkinan menunjukkan gejala split ticket voting dalam perilaku pemilih di Indonesia. Kajian LSI ini menunjukkan bahwa dari fakta-fakta pelaksanaan beberapa pilkada, kemenangan partai bahkan kemenangan yang dominan sekalipun dalam pemilihan legislatif tidak menjamin kemenangan dalam pilkada langsung. Terdapat sejumlah penjelasan yang bisa dikemukakan berkaitan dengan gejala ini, salah satunya adalah karakteristik dalam pilkada berbeda dengan pemilihan legislatif. Dalam pemilu legislatif, pemilih memilih partai politik, sementara dalam pilkada memilih orang atau kandidat. Dalam pilkada, kandidat yang mempunyai ketokohan tinggi akan lebih dipilih, tidak peduli dari partai politik manapun.40
Problem Rekrutmen Calon Kecenderungan partai politik dalam melakukan penjaringan atau rekrutmen calon-calon kepala daerah dalam pilkada langsung juga berlangsung 39
Pratikno, op. cit.
Eriyanto, “Pilkada dan Penguasaan Partai Politik”, Kajian Bulanan Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Edisi 03, Juli 2007, hlm.1-16. 40
pragmatis dan tidak jarang menimbulkan potensi perpecahan internal di partai politik. Sebagaimana yang sudah-sudah, kecenderungan penonjolan peran figur juga dibaca partai politik dalam cara melakukan penjaringan nama-nama yang memiliki potensi menang besar. Figur yang memiliki potensi ini tidak harus berasal dari mereka yang memiliki latar belakang sebagai kader interal partai politik itu sendiri, tetapi juga dari kalangan eksternal partai. Dalam hal ini, proses seleksi yang dilakukan partai politik bisa dilakukan dengan melalui mekanisme terbuka atau dengan tertutup. Rahat dan Hazan (2006), sebagaimana dirujuk Mahadi, menyatakan setidaknya terdapat dua pola sistem seleksi kandidat. Pertama, inklusif (terbuka) bagi siapapun dapat mencalokan melalui partai politik dengan memenuhi syarat ringan (eligible). Di sini, tidak ada semacam keharusan untuk menjadi anggota partai politik terkait, ataupun memiliki kesamaan ideologi. Pola kedua adalah eksklusif (tertutup), di mana pada pola ini terdapat sejumlah syarat yang membatasi hak pemilih untuk ikut serta dalam seleksi kandidat. Semakin inklusif proses seleksi kandidat, maka semakin demokratis. Sebaliknya, semakin eksklusif seleksi kandidat semakin tidak demokratis seleksinya, karena tidak transparan dan hanya internal elite saja sebagai penyeleksi ataupun penentu kandidat.41 Lebih lanjut Rahat dan Hazan menyatakan bahwa terkait dengan perekrutan kandidat secara inklusif, ada dua faktor yang cukup menentukan terekrutnya anggota dari luar ini. Pertama, syarat keterjaminan terpilihnya kandidat tersebut (tingkat elektabilitas). Dalam kerangka politik lokal, proses seleksi kandidat terletak pada rekam jejak seorang figur. Rekam jejak dan popularitas ini sangat menentukan dapat diterimanya seseorang oleh masyarakat. Elektabilitas ini bisa menjangkau lintas-kelompok, etnis, agama, dan seterusnya, karena hal-hal yang bersifat konsep dan ideologis telah diabaikan melalui kompromi. Kedua, pada syarat biaya. Bahwa pertimbangan penentu dalam proses perekrutan kandidat dari orang luar adalah dari segi biaya. Hal ini karena Helmi Mahadi, “Pragmatisme Politik: Studi Kasus Proses Rekrutmen Politik PDIP Pada Pilkada Sleman”, Jurnal Studi Pemerintahan, Volume 2, Nomor 1, Tahun 2011. 41
Pemilihan Langsung Kepala Daerah ... | Ridho Imawan Hanafi | 9
keikutsertaan dalam pilkada membutuhkan biaya tidak sedikit. Kebutuhan dana menjadi inheren dalam pilkada.42 Selain hal itu, yang perlu dicermati adalah partai politik juga memiliki mekanisme terkait dengan apakah akan memberikan kewenangan besar kepada daerah dalam memilih calon atau menciptakan sistem sentralistik di mana kewenangan memilih dan menentukan calon berada di tangan pengurus pusat. Kedua pilihan itu menyimpan dampak bagi partai politik. Jika pilihan pertama yang diambil, pengurus partai pusat tidak bisa mengontrol proses mekanisme pemilihan calon kepala daerah dan akibatnya bisa jadi nama yang dipilih bukanlah nama yang potensial menang. Tetapi jika pilihan kedua yang diambil, dampak buruknya adalah pada proses pengkaderan dan pendewasaan struktur partai politik di daerah. Partai politik lebih berkepentingan memilih nama yang punya potensi menang. Ada kecenderungan rekrutmen calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik dalam pilkada lebih ditentukan oleh kepentingan pengurus partai di pusat.43 Penentuan yang sentralistik dan elitis bisa memantik konflik. Seperti dituangkan dalam kajian LSI, konflik bisa muncul salah satunya karena ketegangan yang disebabkan belum adanya titik temu antara pilihan kandidat versi pengurus pusat dengan pengurus di level daerah atau cabang. Artinya, kandidat yang diusung oleh daerah atau cabang suatu partai berbeda dengan kandidat pilihan dari pusat. Perbedaan ini memang kerap bisa dihasilkan lewat mekanisme internal, namun tidak jarang perbedaan ini berujung konflik antara pengurus partai di pusat dan pengurus di bawah. Hal ini, antara lain, dapat dilihat dari aksi yang dilakukan oleh puluhan orang yang menamakan Barisan Penyelamat Partai Persatuan Pembangunan, yang merusak sekaligus menyegel Kantor Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PPP Kabupaten Sukabumi. Mereka kecewa karena calon yang didukung PPP kalah telak.44 42
Ibid.
Ahmad Nyarwi, “Siasat Partai Politik dan Strategi Pencalonan”, Kajian Bulanan Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Edisi 03, Juli 2007, hlm.17-27. 43
44
Ibid.
Dalam pemilihan umum legislatif 2004, PPP di daerah ini menduduki urutan kedua dengan perolehan sekitar 18 persen suara. Mereka menduga hasil itu tak lepas dari intervensi dari Dewan Pimpinan Pusat PPP yang mengalihkan dukungan kepada calon lain. Kasus lainnya juga dapat disimak dari aksi massa Partai Demokrat mendatangi Komisi Pemilihan Umum Salatiga. Mereka menuntut KPU memperhatikan ketentuan perundang-undangan, serta anggaran dasar/ anggaran rumah tangga PD dalam menyikapi “konflik” internal partai tersebut. Surat yang ditandatangani Ketua DPD PD Jateng Sukawi Sutarip dan Sekretaris DPD PD Jateng Dani Sriyanto tersebut menyatakan bahwa DPP dan DPD PD merekomendasikan Totok Mintarto dan John M Manoppo sebagai calon. Realitasnya, DPC PD Salatiga mengusung nama Warsa Susilo-M Haris dalam pendaftaran calon. Pasalnya, pencalonan pasangan tersebut sudah melalui mekanisme penjaringan bakal calon, sesuai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis DPD PD Jawa Tengah.45 Sejumlah catatan tersebut memperlihatkan betapa yang dilakukan oleh partai politik dalam proses rekrutmen calon kepala daerah di pilkada langsung lebih berorientasi memperoleh sebuah jabatan atau kekuasaan di tingkat lokal. Target mereka tidak lagi memperjuangkan apa yang dinamakan perjuangan ideologi, isu atau program yang diharapkan akan berdampak pada perubahan pada kondisi di daerah, melainkan lebih mengejar kemenangan untuk mendapatkan kursi kekuasaan di tingkat lokal. Kecenderungan rekrutmen dengan disertai munculnya beragam potensi konflik internal juga membuat proses pelembagaan partai politik terhambat. Hal ini yang kemudian berujung pada upaya partai melakukan kaderisasi di internal mereka mengalami kemacetan. Partai kemudian mengalami krisis kader. Karena tiadanya kader yang bisa diandalkan, partai politik terpaksa harus mencari figur-figur lain. Benderangnya kekhawatiran seperti itu bisa terlihat, misalnya, dalam kasus yang pernah terjadi di pemilihan gubenur DKI Jakarta pada tahun 2007 di mana partai politik lebih memilih untuk mendorong figur lain untuk 45
Ibid.
10 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 1–16
menjadi kandidat gubernur dibandingkan harus menyodorkan figur dari kalangan internal. Dari tiga partai politik yang memiliki kesempatan mengajukan calon sendiri, yakni PDIP, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Demokrat (PD), pilkada DKI Jakarta hanya diikuti dua pasangan calon. Fauzi Bowo-Prijanto dari koalisi 19 partai politik, serta Adang Daradjatun-Dani Anwar yang berasal dari PKS. Dari keempatnya, hanya Dani yang tercatat sebagai kader partai. Fenomena ini dilihat oleh sejumlah analis politik, salah satunya Saiful Mujani, sebagai cermin macetnya kaderisasi di internal partai politik. Tidak ada kader yang memiliki popularitas, kepercayaan publik, kompetensi yang memadai. Jika memiliki kader yang populer dan mengakar di masyarakat, serta mempunyai integritas, dan kompetensi, partai politik di Jakarta tidak perlu repot berkoalisi untuk memenangi lima puluh persen plus satu suara.46 Analisis lain menyatakan bahwa macetnya proses kaderisasi sejak di tingkat paling bawah terjadi karena partai politik dikuasai oleh segelintir elite partai yang mengutamakan kepentingan sempit, seperti materi dan jabatan. Proses kaderisasi jangka panjang dan pemberian kesempatan bagi kader untuk maju justru diabaikan. Para elite partai politik yang bersifat oportunis dan pragmatis ini menjual kesempatan bagi kadernya untuk maju dan memperjuangkan idealisme sebagai gubernur kepada para tokoh di luar partai yang dinilai mampu memenangi pilkada. Sebagai balasannya, mereka meminta imbalan materi atau jabatan tertentu jika tokoh itu menang.47 Kondisi ini tidak hanya terjadi di Jakarta, melainkan juga di banyak daerah lain. Koalisi belasan partai politik untuk mendukung calon merupakan indikator mudahnya partai politik dijadikan kendaraan politik seorang tokoh, bukan lagi menjadi tempat penyaluran aspirasi kader. Tidak adanya kader salah satu partai politik yang dapat menyatukan semua partai poitik saat itu, membuat Fauzi Bowo sebagai penguasa
Budiman Tanuredjo (Ed.), Jakarta Memilih: Pilkada dan Pembelajaran Demokrasi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), hlm. 57-59.
yang memiliki jaringan dan pendanaan kuat lebih mudah untuk mengkordinasikan partai-partai.48 Di Pilkada Sleman 2010, misalnya, seperti dicatat dalam penelitian Mahadi, juga terlihat bagaimana rekrutmen yang dilakukan oleh PDIP dalam melakukan penjaringan calon lebih menempuh upaya pragmatis. PDIP lebih memiih untuk mencalonkan figur luar yang dinilai potensial untuk menang yakni Sri Purnomo, yang merupakan inkumben. Proses penjaringannya meskipun sempat diwarnai konflik internal tetapi partai ingin memastikan bahwa mereka akan menang jika mencalonkan Purnomo yang dinilai memiliki modal kuat sekaligus jaringan luas untuk memobilisasi suara. Dalam studinya ini, Mahadi menyatakan bahwa proses rekrutmen kandidat ditandai hilangnya peran anggota partai. Artinya, kedaulatan kader untuk terlibat dalam seleksi kandidat semakin merosot. Sebaliknya, terlihat adanya sikap pragmatisme partai yang mengedepankan pola transaksional untuk memperebutkan kekuasaan.49 Kegagalan partai dalam memunculkan kader-kader potensial juga terlihat di Jawa Barat, dalam Pilkada 2013. Partai-partai politik kesulitan dalam menghasilkan kader yang berkuallitas dan memadai untuk dipasangkan dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat. Yang terjadi, para calon gubernur dan wakil gubernur menunggu hingga momentum-momentum kritis di akhir masa pendaftaran calon untuk menemukan pasangan mereka melalui sejumlah kesepakatan politik yang mengabaikan ideologi dan mementingkan kursi kekuasaan. Pemasangan calon gubernur dan wakilnya menunggu injury time karena partai politik tidak punya pola rekrutmen kader yang jelas. Akibatnya persoalan mendasar seperti ideologi serta keselarasan visi-misi dan tujuan antara pasangan calon tidak lagi dipentingkan.50 Pilgub Jabar sendiri pada akhirnya diikuti oleh lima pasangan calon, yakni Dikdik Mulyana Arief Mansur-Cecep Nana Suryana Toyib dari independen, Irianto 48
Ibid.
49
Mahadi, op. cit.
46
47
Ibid.
Kompas.com, “Parpol Mandul dalam Pilgub Jabar”, 1 November 2012, http://regional.kompas.com/ read/2012/11/01/19175340/Parpol.Mandul.dalam.Pilgub.Jabar, diakses pada 4 Mei 2014. 50
Pemilihan Langsung Kepala Daerah ... | Ridho Imawan Hanafi | 11
MS Syafiuddin-Tatang Farhanul (Golkar), Dede Yusuf-Lex Laksamana (PD, PAN, PKB), Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar (PKS, PPP, Hanura), Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki (PDIP).51 Kecenderungan pragmatisme partai politik dalam usahanya merengkuh kekuasaan salah satunya juga terlihat bagaimana sebagian partai politik bersedia menerima posisi si calon jabatan pada level lebih bawah, sementara potensi mereka untuk mendapatkan pada level atas tersedia. Misalnya, bahwa terdapat fenomena partai politik yang memenangkan Pemilu Legislatif (menguasai kursi di DPRD) tetapi bersedia hanya menempati posisi sebagai wakil kepala daerah. Misalnya di Provinsi Jambi. Pada Pemilu 2004 lalu, Partai Golkar menang dengan perolehan suara sebanyak 24.71%. Kursi di DPRD Provinsi Jambi juga dikuasai, dari total 45 kursi di DPRD Jambi, sebanyak 11 kursi (24%) direbut oleh Golkar. Tetapi kemenangan dalam pemilu legislatif ini tidak membuat Golkar percaya diri dengan mencalonkan kadernya sebagai kepala daerah. Dalam Pilkada Provinsi Jambi, kader Golkar (Anthoni Zeidra Abidin) menempati posisi sebagai wakil kepala daerah, mendampingi calon dari Partai Amanat Nasional (Zulkifli Nurdin).52 Hal yang sama juga terjadi di Provinsi Banten. Di provinsi ini, Partai Golkar juga memenangkan Pemilu Legislatif 2004 lalu dengan perolehan suara 21%. Di Legislatif (DPRD) Banten, kursi Partai Golkar juga mayoritas. Dari 75 kursi yang ada di DPRD Banten, sebanyak 16 kursi (21.33%) dikuasai oleh Partai Golkar. Tetapi dalam Pilkada Provinsi Banten, Partai Golkar berposisi sebagai wakil kepala daerah (Muhammad Masduki), mendampingi calon dari Partai PDIP (Ratut Atut Chosiyah). Gejala ini tidak hanya terjadi di partai besar (seperti Partai Golkar dan PDIP), tetapi juga partai lain. Di Batam misalnya, PKS berhasil menjadi peraih suara terbesar dengan 13.42% suara dalam dalam Pemilu Legislatif 2004. Namun, PKS hanya mengantarkan calonnya sebagai wakil walikota
(Ria Saptarika). Sementara calon walikota berasal dari Partai Golkar (Ahmad Dahlan) dalam Pilkada Kota Batam.53 Persoalan lain, rekrutmen yang dilakukan partai politik dalam pilkada juga mudah mengakomodasi politik kekerabatan. Meminjam Harjanto, bahwa untuk memenangi political offices, selain menyandarkan pada tokoh-tokoh pesohor atau yang memiliki uang besar parpol, juga semakin tergiring untuk mendukung kandidat-kandidat yang diajukan oleh para petahana (incumbent) yang masih memiliki banyak political resources dan otoritas formal atau yang sudah tidak mungkin lagi maju berkompetisi karena aturan pembatasan masa jabatan. Dalam hal ini, maka ikatan kekerabatan dengan para incumbent atau tokoh sentral parpol jelas saja membuat nepotisme dan favoritisme semakin menonjol. Inilah yang membuat partai politik tidak bergeming atas berbagai kritik publik, ketika misalnya, di Kabupaten Kediri mendorong istri pertama dan isteri muda bertarung dalam pilkada.54 Bagi partai politik, mereka yang memiliki sumber daya politik, seperti kekuasaan, dana, ataupun jaringan dilihat sebagai potensi keunggulan untuk berkompetisi. Tidak heran jika kemudian partai politik akan mudah jatuh untuk mendukung siapapun yang dinominasikan oleh para petahana bahkan jika kandidat tersebut adalah isteri muda, anak, ibu tiri, atau kerabat lainnya. Pengaruh petahana ini besar, bahkan ketika misalnya mereka memiliki persoalan kasus hukum. Pada 2010, seorang petahana (incumbent) yang statusnya sudah tersangka, dapat memenangi pilkada Kota Tomohon, atau anak dari terpidana kasus korupsi besar di Kutai Kertanegara dapat memenangkan pilkada bupati di tengah berbagai isu maupun skandal yang membelitnya.55 Praktik politik kekerabatan kini hampir menyebar di seluruh daerah. Catatan Bathoro memperlihatkan praktik politik kekerabatan di 53
Kompas.com, “Inilah Nomor Urut Pasangan Cagub Jabar”, 18 Desember 2012, http://regional.kompas.com/ read/2012/12/18/21311363/Inilah.Nomor.Urut.Pasangan. Cagub.Jabar, diakses pada 4 Mei 2014. 51
52
Ahmad Nyarwi, op. cit.
Ibid.
Nico Harjanto, “Politik Kekerabatan dan Institusionalisasi Partai Politik di Indonesia”, Analisis CSIS, Volume 40, No.2, Tahun 2011, hlm. 138-159. 54
55
Ibid.
12 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 1–16
politik lokal terjadi seperti di Provinsi Kepulauan Riau, misalnya, kemunculan Maya Suryanti anak Walikota Suryatati A Manan dalam bursa Calon Walikota Tanjungpinang dan Aida Ismeth dalam pilkada Kepulauan Riau tahun 2010 adalah bukti fenomena politik kekerabatan. Di daerah lain seperti Provinsi Banten, jejaknya lebih terlihat. Ratu Atut Choisyah Gubernur Banten 2007-2012 misalnya, keluarga besarnya memiliki setidaknya sembilan orang yang memimpin di masingmasing wilayah. Dirinya sendiri memimpin Banten, lalu suami menjadi anggota DPR, anak menjadi anggota DPD, menantu menjadi anggota DPRD Kota Serang, adik menjadi anggota DPRD Banten, Adik tiri mejadi wakil wali kota Serang, ibu tiri menjadi anggota DPRD Kabupaten Pandeglang, Ibu tirinya yang satu lagi menjadi anggota DPRD kota Serang, dan adik iparnya Airin menjadi Walikota Tangerang Selatan.56 Di Banten ini, seperti dijelaskan dalam studi Agustino dan Yussof, bahwa politik kekerabatan telah menempatkan beberapa sanak keluarga dan kroni mereka di banyak posisi, baik pemerintahan maupun dunia bisnis. Sehingga dalam kasus Banten tersebut tidak terlihat tumbuhnya sistem demokrasi yang moderen, melainkan terjebak dalam politik kekerabatan.57 Dengan pola-pola rekrutmen politik yang cenderung pragmatis seperti di atas, pilkada juga kemudian rawan menghasilkan berbagai penyimpangan, salah satunya yang mencolok adalah masifnya praktik tindak pidana korupsi. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat hingga Januari 2014 sebanyak 318 orang dari total 524 kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Sebelumnya, data Kemendagri sejak 2004 hingga Februari 2013, sedikitnya 291 kepala daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota terlibat dalam kasus korupsi. Jumlah itu terdiri dari keterlibatan gubernur sebanyak 21 orang, wakil gubernur tujuh orang, bupati 156 orang, wakil bupati 46 orang, wali kota 41 orang, dan wakil Alim Bathoro, Perangkap Dinasti Politik dalam Konsolidasi Demokrasi, Jurnal FISIP UMRAH, Volume. 2, No. 2, Tahun 2011 , hlm. 115 – 125. 56
Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff, Politik Lokal di Indonesia: Dari Otokratik ke Reformasi Politik, Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010. 57
wali kota 20 orang.58 Dalam kenyataan ini, tidak bisa diabaikan bagaimana kontribusi partai politik yang dalam proses rekrutmen calon kepala daerah tidak jarang terlihat diwarnai oleh praktik-praktik buruk seperti politik uang.
Mendorong Pembaruan Parpol Sebagai salah satu pintu masuk untuk jabatan publik seperti kepala daerah, partai politik dituntut untuk melakukan fungsinya dengan baik. Ajang untuk melaksanakan hal tersebut adalah melalui pilkada langsung. Sejauh ini, pelaksanaan pilkada langsung dari sisi partai politik sering memperlihatkan kecenderungan praktik-praktik yang dapat mencederai demokrasi itu sendiri. Berbagai praktik tersebut seolah menggambarkan betapa karakteristik partai politik di Indonesia dalam pelaksanaan pilkada langsung hanya berorientasi mengejar kekuasaan. Orientasi tersebut kemudian menjadikan partai politik bersikap pragmatis dalam proses rekrutmen calon kepala daerah. Padahal, pilkada langsung sebagai perwujudan daulat rakyat ditujukan untuk menumbuhkan pemimpin-pemimpin daerah berintegritas yang mampu menyejahterakan rakyat. Untuk itu, sejumlah upaya mendorong perbaikan kualitas pilkada perlu dilakukan baik dari sisi internal partai politik maupun eksternal seperti peran aktif masyarakat dalam mendorong pembaruan parpol. Sejumlah agenda pembaruan untuk partai politik di antaranya, pertama, selama ini proses penjaringan atau rekrutmen calon kepala daerah yang dilakukan oleh partai politik cenderung elitis, prosesnya lebih banyak ditentukan oleh mereka yang memiliki posisi pimpinan partai. Akibatnya, hanya mereka yang memiliki akses kepada pimpinan partai yang berpeluang bisa dicalonkan melalui partai politik. Partai politik seharusnya memberikan akses yang lebih terbuka bagi publik untuk bisa masuk dalam proses ini. Hanya dengan akses terbuka, kesempatan publik untuk mengetahui lebih jauh mengenai calon-calon kepala daerah yang akan dipilihnya nanti bisa dimulai dilakukan dengan JPNN.com, “318 Kepala Daerah Terjerat Korupsi”, S a b t u , 1 5 F e b r u a r i 2 0 1 4 , h t t p : / / w w w. j p n n . c o m / read/2014/02/15/216728/318-Kepala-Daerah-TerjeratKorupsi-, diakses pada tanggal 3 Mei 2014. 58
Pemilihan Langsung Kepala Daerah ... | Ridho Imawan Hanafi | 13
proses rekrutmen yang dilakukan oleh partai politik.
partai politik memiliki ketersediaan kader untuk mengisi pos sebagai pemimpin di banyak daerah.
Sementara peran masyarakat dalam upaya pembaruan partai politik yang bisa dilakukan pada konteks tersebut adalah mengawasi setiap proses penjaringan kandidat oleh partai politik di atas agar kandidat yang akan diusung memiliki kualitas yang sesuai diharapkan rakyat. Selain itu, publik juga bisa menghukum partai politik dengan cara tidak memilih kandidat yang diusung partai politik bersangkutan apabila diindikasikan partai politik melakukan proses pengusungan yang tidak sesuai dengan kewajaran. Sehingga dalam pilkada berikutnya tidak terulang. Upaya publik seperti ini setidaknya bisa mendorong perbaikan kualitas pilkada.
Ketiga, proses penjaringan calon kepala daerah sering memunculkan dugaan akan adanya mahar politik yang diberikan calon kepada partai politik agar bisa mendapatkan tiket pencalonan. Mahar politik merupakan praktik buruk yang mengakibatkan partai politik bekerja berdasarkan insentif material tertentu. Praktik buruk ini bisa mencegah munculnya figur-figur dengan potensi yang berintegritas. Figur seperti itu akan mudah dikalahkan oleh mereka yang memiliki cukup modal untuk bisa mendapatkan tiket dari partai politik. Sepanjang partai politik permisif terhadap praktik buruk ini, maka besaran mahar politik nantinya bisa menjadi ukuran yang menentukan kepada siapa tiket pencalonan dari partai politik diputuskan. Praktik buruk ini yang juga ikut mendorong proses pilkada langsung menjadi berbiaya mahal. Selain itu, praktik buruk ini memberikan kesempatan bagi tumbuh suburnya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah. Oleh karena itu, partai politik perlu didorong untuk melakukan reformasi internal mereka dengan tidak memberikan celah apapun bagi masuknya praktik buruk tersebut. Praktik demokrasi yang berbasis meritokrasi seharusnya menjadi pijakan bagi partai politik untuk melakukan perekrutan calon kepala daerah tanpa mempertimbangkan keharusan menyediakan mahar politik.
Kedua, seringkali partai politik tidak cukup memberikan kesempatan kepada kader mereka sendiri untuk maju dalam pilkada langsung. Dalam hal ini, yang dipertimbangkan oleh partai politik adalah bagaimana mereka bisa memenangkan pilkada langsung. Karena dengan menang di pilkada langsung, mereka bisa berharap akan dapat menguasai sumber kekuasaan di daerah. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka mereka akan cenderung mencari figur yang memiliki potensi menang tinggi, meskipun itu tidak mereka dapatkan di dalam partai. Implikasinya, partai akan mengajukan calon dari luar yang sebelumnya bisa tidak memiliki kaitan dengan partai. Hal ini yang kemudian membuat figur tersebut tidak harus memegang nilai-nilai partai politik yang mencalonkannya. Maka, cukup sulit jika kemudian mengharapkan figur yang diusung akan memandu daerahnya sesuai dengan platform atau kebijakan partai. Implikasi lain adalah proses kaderisasi dengan demikian menjadi macet karena partai tidak cukup memberikan ruang bagi kader internal untuk bisa tampil bersaing. Tidak heran, jika kemudian kerap terjadi konflik internal di partai politik dan kader yang dinilai memiliki potensi tersebut justru maju melalui partai politik lain karena partainya sendiri menutup kesempatan. Dalam konteks itulah, seharusnya partai politik juga memberikan ruang yang cukup bagi kader mereka sendiri sambil melakukan proses kaderisasi jangka panjang agar
Keempat, partai politik masih rentan untuk mengakomodasi politik kekerabatan di pilkada langsung. Seperti diketahui, di sejumlah daerah terdapat keluarga yang mendominasi pimpinan daerah. Ketika pemimpin daerah, bupati atau walikota yang sudah masa habis jabatannya, bisa digantikan oleh kerabat dekatnya, seperti suami atau istri, maupun anak. Dalam konteks ini partai politik memiliki peran besar dalam mendorong suburnya politik kekerabatan karena partai politik memberi ruang terbuka mereka untuk dicalonkan melalui partai politik. Perlu kiranya partai politik melakukan pengetatan mekanisme seleksi agar kemunculan politik kekerabatan tidak sampai merusak tatanan demokrasi. Selama partai politik memberi ruang bagi munculnya politik kekerabatan, maka demokrasi di Indonesia,
14 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 1–16
khususnya di level lokal akan diwarnai dengan lingkaran kekerabatan tersebut.
Daftar Pustaka
Kelima, beragam persoalan di atas juga terkait dengan keengganan partai politik untuk mendengarkan suara publik. Selama ini partai politik seperti berada dalam ruang tertutup yang kedap akan suara kritis publik. Akibatnya partai politik tidak memperhatikan keprihatinan publik dalam persoalan-persoalan politik di tingkat lokal. Padahal, partai politik seringkali dianggap sebagai jembatan penghubung antara pihak pemerintah dan rakyat. Ke depan, ketidakpedulian partai politik akan suara kritis publik ini bisa membuat partai politik melakukan praktik-praktik penyimpangan seperti politik kekerabatan, mencalonkan figur yang tidak memiliki integritas memadai, atau figur yang sudah pernah menjadi narapidana di pilkada langsung. Karena jika ini terjadi yang paling depan dirugikan tidak lain adalah rakyat di daerah.
Buku
Penutup Partai politik memainkan peran signifikan dalam upaya menghasilkan calon-calon pemimpin daerah yang berintegritas dan bisa mengemban amanat rakyat melalui pilkada langsung. Dalam rangka itu proses yang dilakukan oleh partai politik untuk menghasilkan calon pemimpin daerah sangat menentukan, apakah dilakukan dengan baik atau sebaliknya. Sejauh ini, praktik yang dilakukan oleh partai politik dalam upaya tersebut masih terlihat buruk seperti proses pengusungan kandidat elitis, rekrutmen calon yang buruk, pencalonan diduga menggunakan uang “mahar”, dan politik kekerabatan di daerah. Praktik seperti itu dapat mencederai substansi pilkada sebagai ajang demokrasi untuk menghasilkan calon kepala daerah yang kredibel dan akseptabel di mata masyarakat daerah. Oleh karena itu, perlu pembaruan bagi partai politik agar calon yang diusung dan didukung rakyat nantinya bisa memenuhi harapan rakyat.
Buehler, Michael. 2010. “Decentralisation and Local Democracy in Indonesia: The Marginalisation of The Public Sphere”, dalam Edward Aspinall dan Marcus Mietzner (eds), Problem of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society, Singapore: ISEAS Publishing, Institute of Southeast Asian Studies. Diamond, Larry and Richard Gunter. 2001. Political Parties and Democracy, Baltimore: The Johns Hopkins University Press. Djohan, Djohermansyah. 2005. “Masalah Krusial Pilkada”, dalam Djohermansyah Djohan dan Made Suwandi (Ed), Pilkada Langsung: Pemikiran dan Peraturan, Jakarta: IIP Press. Haboddin, Muhtar. 2008. “Kontribusi Partai Politik dalam Pilkada”, dalam Gregorius Sahdan (et al), Rekayasa Politik dari Pemilu ke Pilkada, Yogyakarta: The Indonesian Power for Democracy (IPD). Hague, Rod and Martin Harrop. 2001. Comparative Government and Politics: an Introduction, Palgrave: Hampshire. Haris, Syamsuddin. 2003. “Mencari Model Pemilihan Langsung Kepala Daerah Bagi Indonesia”, dalam Agung Djojosoekarto dan Rudi Hauter (Ed), Pemilihan Langung Kepala Daerah: Transformasi Menuju Demokrasi Lokal, Jakarta: Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia dan Konrad Adenauer Stiftung. Haris, Syamsuddin. 2005. “Kebijakan dan Strategi Pilkada Peluang dan Tantangan Menuju Konsolidasi Demokrasi”, dalam Djohermansyah Djohan dan Made Suwandi (Ed.), Pilkada Langsung: Pemikiran dan Peraturan, Jakarta: IIP Press. Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Noris, Pippa. 2006. “Recruitment”, dalam Richard S Katz. And William Crotty (Eds.), Handbook of Party Politics, London: Sage Publications. Sahdan, Gregorius. 2008. “Pilkada dan Problem Demokrasi Lokal”, dalam Gregorius Sahdan (et al), Politik Pilkada: Tantangan Merawat Demokrasi, Yogyakarta: The Indonesian Power for Democracy (IPD). Stewart, John. 1996. “Democracy and Local Goverment”, dalam Paul Hirst and Sunil Khilnani (Eds.), Reinventing Democracy, Cambridge, MA: Blackwell Publishers.
Pemilihan Langsung Kepala Daerah ... | Ridho Imawan Hanafi | 15
Supriyanto, Didik. (Ed.). 2014. Kajian Kodifikasi Undang-Undang Pemilu, Jakarta: Yayasan Perludem. Tanuredjo, Budiman. (Ed.). 2007. Jakarta Memilih: Pilkada dan Pembelajaran Demokrasi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Wardani, Sri Budi Eko. 2005. “Pilkada Langsung: Pertaruhan Demokrasi dan Mitos Good Governance” dalam Pheni Chalid (Ed.), Pilkada Langsung: Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance, Jakarta: Partnership for Governance Reform in Indonesia dengan Pusat Kajian Politik, Departemen Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Zuhro, R. Siti, dkk,. 2011. Model Demokrasi Lokal. Jakarta: PT. THC Mandiri.
Surat Kabar dan Website Haris, Syamsuddin. “Kecenderungan Pencalonan dan Koalisi dalam Pilkada”, tanpa tahun, http:// www.komunitasdemokrasi.or.id/id/pusatpengetahuan/artikel/268-kecenderunganpencalonan-dan-koalisi-partai-dalam-pilkada. JPNN.com. 2014. “318 Kepala Daerah Terjerat Korupsi”. http://www.jpnn.com/ read/2014/02/15/216728/318-Kepala-DaerahTerjerat-Korupsi-. Kompas.com. 2012. “Parpol Mandul dalam Pilgub Jabar”. http://regional.kompas.com/ read/2012/11/01/19175340/Parpol.Mandul. dalam.Pilg b.Jabar. Kompas.com. 2012. “Inilah Nomor Urut Pasangan Cagub Jabar”. http://regional.kompas.com/ read/2012/12/18/21311363/Inilah.Nomor.Urut. Pasangan.Cagub.Jabar.
Jurnal Agustino, Leo dan Mohammad Agus Yusoff. 2010. Politik Lokal di Indonesia: Dari Otokratik ke Reformasi Politik, Jurnal Ilmu Politik, 21. Bathoro, Alim. 2011. Perangkap Dinasti Politik dalam Konsolidasi Demokrasi, Jurnal FISIP UMRAH, 2 (2). Harjanto, Nico. 2011. “Politik Kekerabatan dan Institusionalisasi Partai Politik di Indonesia”, Analisis CSIS, 40 (2): 138-159. Mahadi, Helmi. 2011. “Pragmatisme Politik: Studi Kasus Proses Rekrutmen Politik PDIP Pada Pilkada Sleman”, Jurnal Studi Pemerintahan, 2 (1). Pratikno. 2007. “Calon Independen, Kualitas Pilkada dan Pelembagaan Parpol”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 10 (3): 415-438.
Laporan dan Makalah Eriyanto, 2007. “Pilkada dan Penguasaan Partai Politik”, Kajian Bulanan Lingkaran Survei Indonesia (LSI), 03: 1-16. Nyarwi, Ahmad. 2007. “Siasat Partai Politik dan Strategi Pencalonan”, Kajian Bulanan Lingkaran Survei Indonesia (LSI), 03: 17-27.
16 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 1–16
GLOBALISASI DAN KEMISKINAN DESA: ANALISA STRUKTUR EKONOMI POLITIK PEDESAAN GLOBALIZATION & VILLAGE POVERTY: AN ANALYSIS OF ECONOMIC-POLITICS IN RURAL AREA. Wasisto Raharjo Jati Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 6 Agustus 2014; direvisi: 11 September 2014; disetujui: 20 Oktober 2014 Abstract This article aims to analyze political linkage between village and globalization. The analysis emphasizes the economic-political structure in order to asses its relations, especially village standing position toward globalization,. The result shows that historically, the influence of globalization can be asseed into positive and negative perspectives. In positive paradigm realm, village have embraced global strategies in order to enhance their economic effort. Meanwhile, negatively, village has been marginalized and suppressed by capitalist system. Keywords: village, globalization, economic-politic, global village. Abstrak Artikel ini bertujuan menganalisis relasi politik antara desa dengan globalisasi. Analisa dalam artikel ini kemudian dititikberatkan pada struktur ekonomi politik untuk melihat relasinya khususnya posisi desa dalam globalisasi. Hasil paper menunjukkan bahwa secara historis, analisa terhadap pengaruh desa dalam globalisasi sendiri dapat dibedakan menjadi dua paradigma yakni positif dan negatif. Dalam perspektif positif, desa sendiri mengafirmasi berbagai strategi global dalam upaya membangun ekonomi mereka. Sedangkan dalam pengertian negatif, desa telah menjadi termarjinalkan dan tertekan dalam sistem kapitalis. Kata Kunci : desa, globalisasi, ekonomi politik, desa global.
Pendahuluan Perbincangan mengenai diskursus perekonomian di pedesaan sendiri sangatlah kompleks dan dinamis. Secara umum, bangunan perekonomian pedesaan sendiri masih bersifat subsisten dan berbasis mikro ekonomi yang berasal dari usaha ekstraktif pertanian. Namun demikian, premis tersebut juga tidak bisa dijadikan generalisasi dalam melihat pedesaan. Ada desa yang berhasil untuk mereformasi struktur perekonomian yang dulunya bersifat subsisten menjadi konsisten dengan memanfaatkan jaringan eksternal. Namun, ada pula desa yang masih terjerembab
dalam perekonomian subsisten sehingga tidak bisa berkembang sama sekali. Adanya kondisi dikotomis tersebut sebenarnya terletak pada kondisi eksternalitas yang mempengaruhi kondisi perekonomian di desa tersebut. Kondisi eksternalitas yang dimaksudkan adalah fenomena globalisasi yang menginflitrasi segala lini kehidupan. Hal itulah yang kemudian mendorong desa sendiri perlu untuk siap membangun survivalitas dan durabilitas dalam menghadapi adanya pengaruh luar tersebut. Diktum globalisasi yang mewacanakan adanya “glokalisasi” yakni mempertautkan
Globalisasi dan Kemiskinan Desa ...| Wasisto Raharjo Jati | 17
adanya pertemuan global dan lokal dalam satu arena sama memang memberikan arena deliberasi yang kompetitif untuk masing-masing aktor tersebut. Tesis yang selalu digemakan dalam konsepsi tersebut adalah trickle-down effect yakni adanya redistribusi kue ekonomi yang dihimpun dalam sebuah cawan yang besar secara setara dan seimbang yang merembes dari atas ke bawah. Pertanyaan skeptis yang perlu diajukan dalam menganalisa glokalisasi tersebut adalah bagaimana implikasi ekonomi-politik yang didapatkan dari pola sirkulasi trickle-down effect tersebut. Premis mengenai trickle-down effect sendiri setidaknya mengalami perdebatan teoritis dalam berbagai mazhab teori pembangunan. Poin pertama, apakah redistribusi kue perekonomian itu sendiri berjalan seimbang dan setara?. Poin kedua adalah, apakah terjadi keseimbangan yang setara antara desa dengan kota. Kasus globalisasi di pedesaan sendiri menjadi menarik terjadi untuk melihat bagaimana pengaruhnya terhadap perubahan struktur ekonomi politik di pedesaan. Studi-studi awal mengenai kondisi ekonomi politik mayoritas mendudukkan desa sebagai bagian dari subordinasi dari negara. Hal itulah yang menjadikan otonomisasi ekonomi dari sebuah desa sendiri menjadi sangat relatif. Terlebih apalagi hal tersebut dikaitkan dengan konteks kebijakan publik. Maka desa menjadi subjek pasif dari sebuah produk kebijakan publik represif tersebut. Hal itu pula yang tercermin dalam berbagai macam produk legal hukum yang mengatur perundangan desa semenjak UU No. 5 Tahun 1979 hingga yang terbarukan sekarang ini. Adapun UU Desa yang baru yakni UU No. 5 Tahun 2014 banyak memberikan independensi maupun bentuk liberalisasi lainnya seperti halnya pembentukan Badan Usaha Desa, maupun adanya penyaluran uang (monetisasi) yang begitu masif melalui anggaran desa yang banyak. Tulisan ini akan mengelaborasi secara lebih lanjut mengenai dampak globalisasi yang akan berlangsung di pedesaan terutama bagaimana bentuk pengaruh globalisasi terhadap struktur ekonomi politik di Indonesia yang kemudian berimplikasi pada kemiskinan yang berada di pedesaan?. Tulisan ini akan menginisiasi pembahasan mengenai permasalahan kemiskinan
dari kajian-kajian terdahulu bagaimana konstelasi ekonomi politik desa.
Struktur Ekonomi-Politik Pedesaan: Hadirnya Negara ke Desa Memperbincangkan mengenai ekonomi politik pedesaan di Indonesia memang tidaklah terlepas dari lingkup kebijakan publik di suatu negara. Adanya pengaruh negara ke desa yang dilakukan secara legal formal inilah berimplikasi banyak pada perubahan besar terkait dengan independensi desa dalam mengatur perekonomiannya sendiri. Secara garis besar, desa merupakan entitas sosio ekonomi yang merdeka dan terbebas sama sekali dari pengaturan negara. Adapun pelbagai macam studi antropologis yang mengkaji tentang desa seperti yang dilakukan oleh Duto Sosialismanto pada tahun 2006 berjudul Hegemoni Negara, Ekonomi Politik Pedesaan Jawa, sendiri melihat proses ekonomi politik yang berlangsung di pedesaan sendiri bernuansa kapitalisme periferi.1 Hal itu dikarenakan moda dan alat produksi dalam melakukan aktivitas kegiatan perekonomian di pedesaan sendiri masih bercorak ekstraktif dan subsisten. Adapun nilai lebih yang dihasilkan dari proses produksi sedemikian tersebut hanyalah bersifat mikro material. Oleh karena itulah, adanya upaya improvisasi terhadap peningkatan faktor produksi maupun moda produksi sendiri masih sangatlah minim. Ada beberapa poin yang bisa dipetik yakni: 1) Proses redistribusi material ekonomi sendiri berjalan secara seimbang dan setara dengan memanfaatkan modal sosial antar sesama warga Negara; 2) Penyaluran dana di pedesaan yang masih mikro menjadikan ketimpangan ekonomi sendiri sangatlah minim terjadi. Hal itulah yang bisa kita simak dari perkembangan kearifan lokal dalam pengaturan redistribusi perekonomian di desa seperti halnya lumbung, banjar, dan lain sebagainya. Artinya, dengan adanya kearifan lokal tersebut, perekonomian diatur oleh pedesaan secara adil dan seimbang. Adapun potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh desa sendiri sejatinya memiliki potensi sumber daya ekonomi besar dalam bentuk pengusahaan ulayat. Duto Sosialismanto, Hegemoni Negara, Ekonomi Politik Pedesaan Jawa, (Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2006), hlm. 37. 1
18 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 17–26
Dalam rezim pengaturan sumber daya ekonomi di tingkat pedesaan sendiri dikenal sebagai istilah common pool resources. Istilah ini sendiri diartikan sebagai bentuk pengelolaan bersama yang dilakukan oleh setiap anggota komunitas masyarakat. Dalam mekanisme pengelolaan bersama tersebut, setiap anggota masyarakat sendiri memiliki cara untuk memastikan bahwa sumber daya alam sendiri terbagi secara merata.2
kemudian tergerus oleh pengaruh negara. Setidaknya hal tersebut dapat diindikasikan dengan pola penetrasi yang dilakukan oleh negara untuk mensubordinasikannya sebagai objek pengaturan negara. Tentunya praktik hegemoni negara yang demikian bukanlah barang baru dalam relasi negara dengan desa. Hal itu sebenarnya dapat dilihat mundur ke belakang pada masa kolonialisme Belanda.
Peran aktif yang ditunjukkan oleh masyarakat dalam menjamin ketersediaan masyarakat tersebut merupakan cara efektif dalam mengamankan sumber daya ekonomi berjalan seimbang. Common Pool Resources tersebut sejatinya merupakan bagian dari ketiga rezim pengaturan sumber daya ekonomi seperti halnya state way maupun market way. Adapun state way sendiri lebih mengedepankan adanya pengaturan negara dalam pengaturan redistribusi tersebut.3 Pengaturan oleh negara sendiri lebih bisa fleksibel dan dilakukan secara simultan dan gradual. Hal inilah yang menjadi karakteristik khas dari sebuah negara untuk melakukan monopoli tunggal atas pelayanan publik tersebut. Artinya negara menisbikan adanya peran negara sendiri dalam melakukan pengaturan tersebut. Hal itulah yang menjadikan peran masyarakat sendiri kemudian dikucilkan dalam arena tersebut karena ekonomi sendiri masuk dalam domain negara secara penuh dan absolut. Masyarakat tidak lagi memiliki pilihan lain selain memilih pengaturan sumber daya yang dikuasai negara. Pasar sebagai aktor kedua dalam pengaturan sumber daya ekonomi memang memberikan banyak pilihan bagi masyarakat untuk bisa memilih, namun juga disesuaikan dengan rasionalitas harga yang sedemikian tinggi pula.
Adapun transformasi perekonomian desa semasa negara kolonial dimulai dari diundangkannya Agrarische Wet maupun Suiker Wet pada tahun 1870 dimana pola industrialisasi yang digencarkan terutama pada sektor agroindustri seperti halnya perkebunan maupun pertanian secara gradual telah mulai menancapkan taringnya ke dalam hubungan sosio ekonomi desa pada waktu itu. Ditengarai bahwa pola feodalisme maupun merkantilisme menjadi fondasi awal prakapitalis yang berkembang di pedesaan hingga menjelang fase kemerdekaan. Dalam implementasinya, negara kolonial menjadikan desa sebagai basis ekonomi industri kolonial yang kemudian membawa berbagai macam implikasi yang hadir dalam konteks pedesaan.
Adanya kepemilikan sumber daya yang masif dan besar dimiliki oleh desa itulah yang menjadi polemik. Dominasi negara sudah berjalan di desa sebelum menginjak pada globalisasi pada abad ke-21 sekarang ini. Otonomisasi dan independensi desa sebagai entitas yang merdeka Garret Hardin, “Tragedy of the Commons”, Science New Series, Vol. 162, No. 3859, 1968, hlm. 1250. 2
Ellinoir Ostrom, Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action, (Cambridge: Cambridge, University Press, 1990). 3
Adapun berbagai macam implikasi tersebut paling utama adalah restrukturisasi agraria sebagai sumber daya dasar berdirinya industrialisasi perkebunan maupun pertanian di pedesaan. Dalam hal ini, progam restrukturisasi tanah yang dilakukan secara permisif akan mengancam kedudukan tanah sebagai sumber daya desa seperti halnya kepemilikan hak ulayat, hak apanage, dan lain sebagainya. Adapun efek domino dari restrukturisasi tanah tersebut kemudian membawa isme-isme lain yang dibawa negara kolonial kepada desa seperti halnya monetisasi, komoditisasi, modernisasi, dan lain sebagainya yang kemudian mengakibatkan kapitalisme lanjutan terus mereduksi otonomi desa sebagai entitas ekonomi. Kemudian hal itu menimbulkan involusi pertanian dimana terjadi pengurangan lahan pertanian besar-besaran untuk pendirian pabrik maupun infrastruktur lainnya serta transformasi warga desa yang dulunya petani tulen kini beralih menjadi buruh pabrik dikarenakan semakin menyempitnya lahan pertanian di Jawa
Globalisasi dan Kemiskinan Desa ...| Wasisto Raharjo Jati | 19
seiring dengan adanya kapitalisasi pertanian dan ledakan penduduk yang naik secara gradual. Pada dasarnya, tujuan involusi pertanian sendiri baik yakni mendorong adanya ekspor hasil pedesaan sendiri ke dalam ranah global. Namun perlu juga mencermati untuk mengelaborasi lebih lanjut mengenai pembahasan tesis Clifford Geertz pada tahun 1976 mengenai “Involusi Pertanian” sendiri menarik untuk dikaji. Geertz menilai dampak kapitalisme global banyak memberikan andil terhadap perubahan struktur perekonomian global. 4 Pertama, hadirnya monetisasi dan kapitalisasi desa sendiri tidaklah ikut merubah tatanan ekonomi desa tersebut. Kapital sendiri hanya berjalan pada proses produksi hingga konsumsi. Hal inilah yang kemudian menciptakan adanya dualisme ekonomi yakni pada satu sisi, kapitalisasi telah merombak sector produksi dan industrialisasi agraria, namun di satu sisi tetap mempertahankan adanya perekonomian berbasis subsisten. Kedua, adanya bentuk upaya subsistenisasi terhadap petani tersebut merupakan upaya untuk mempertahankan secara konservatif kelas petani yang miskin. Implikasinya kemudian adalah menciptakan adanya dua kelas petani yang berbeda yakni peasant maupun farmer. Adapun kelas farmer sendiri memiliki alat dan moda produksi yang masif sedangkan peasant sendiri adalah kelas petani yang subsisten dengan mengandalkan pada faktor produksi yang sedikit. Hal itulah menjadikan kelas peasant sendiri kemudian menjadi sulit berkembang Adanya konteks nilai lebih (added value) inilah yang menjadi diferensiasi atas kedua kelas. Kelas farmer dibentuk atas kapitalisasi instan yang kemudian mengukuhkan adanya kelas-kelas tuan tanah menjadi kelas kapitalis. Dampak dari dibentuknya kedua kelas tersebut adalah munculnya guremisasi di masyarakat. Kelompok petani desa gurem inilah yang menjadi titik-titik awal involusi pertanian di desa5. Ketiga, adanya guremisasi itulah yang menjadikan sektor pendapatan di desa sendiri Clifford Geertz, Involusi Pertanian, (Jakarta: Bharata Aksara, 1976), hlm. 34. 4
Riza Sihbudi & Moch. Nurhashim (eds.), Kerusuhan sosial di Indonesia : Studi Kasus Kupang, Mataram, dan Sambas, (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm. 28. 5
kurang berkembang dan stagnan sehingga tidak ada sama sekali improvisasi dalam kehidupan. Hal paling kentara yang penting untuk dicermati adalah transisi nilai-nilai budaya dalam internal desa itu sendiri. Perekonomian desa yang sebelumnya bersifat komunalistik dan kooperatif lantas kemudian diubah menjadi kelas-kelas yang individualistik dan liberal. Pola redistribusi perekonomian yang dulunya dilakukan secara seimbang dan setara mulai bergeser pada rasionalitas uang. Bahwa uang sendiri mejadi kunci atas pola pembagian tersebut. Akar untuk memahami globalisasi dalam tingkat pedesaan adalah bagaimana kita juga melihat konteks di masa lalu bahwa globalisasi sekarang ini merupakan bentuk kolonialisme di masa lalu. Maka penting juga untuk disimak untuk melihat konteks keterbelakangan (underdevelopment) yang terjadi di ranah pedesaan saat era zaman kolonialisme. Desa adalah entitas ekonomi mikro sedangkan negara kolonial adalah entitas kapitalisme makro. Keduanya bersinergi dalam relasi simbiosis parasitisme. Negara hadir sebagai parasit atas tatanan perekonomian desa yang kian involutif. Namun demikian, mencermati fondasi dasar atas perkembangan ekonomi di desa sendiri juga perlu melihat adanya karakteristik dari negara kolonial itu sendiri. Dalam hal ini, dibalik alasan neoklasik yang menjadi paradigma ekonomi negara kolonial bukanlah menjadi kapitalisme sungguhan (real capitalism) akan tetapi lebih menuju kepada ekonomi pinggiran dikarenakan karakter negara kolonial yang mengejar keuntungan dalam jangka pendek dengan cara mendisplinkan warganya terutama pedesaan yang mengakibatkan proletarisasi dan marjinalisasi warga desa karena praktik trickle up effect yang dilakukan negara kolonial sehingga pedesaan di Jawa umumnya mengalami keterbelakangan secara ekonomi (underdevelopment). Kondisi underdevelopment yang berlangsung dalam pedesaan dikarenakan adanya ketimpangan pembangunan yang terjadi di pedesaan akibat pola kebijakan yang eksploitatif. Secara makro, konteks pengaruh negara di desa yang termanifestasikan dalam pola desa dilihat sebagai self governing community dikarenakan memiliki hak asal usul dan
20 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 17–26
bawaan sebelum negara hadir sehingga “desa” dipahami republik mini. Sekarang kemudian berubah menjadi desa” dilihat sebagai local state government. Hal ini dikarenakan adanya konsepsi eigendom & property atas tanah yakni penghapusan hak ulayat desa diganti dengan landrent. Selain itu, kepala “desa” ditempatkan sebagai kepanjangan pemerintah untuk memungut pajak natura tanah desa sekaligus menjalankan fungsinya sebagai administrator perekonomian kolonialisme. Pola patronase yang sedemikian kental kemudian mempengaruhi strategi kuasa yang cenderung hierarkis. Dalam hal ini, pamong desa melalui Revenue Constitution tahun 1814 bertindak sebagai agensi pemerintah kolonial dalam pemungutan pajak tanah dan upeti hasil pertanian lainnya dalam level administratif6. Sementara pada level politik, terdapat pola rent seeking yang dilakukan pamong desa yaitu memungut renterente yang tidak disetorkan kepada pemerintah Belanda sehingga pamong desa kemudian menjadi kelas terkaya dalam masyarakat “desa”. Pada level pemerintahan pun, pamong desa juga memiliki tanah bengkok dan tanah pengarem – arem yang jumlahnya berhektar-hektar dan hal itu pun dapat disewakan kepada kelompok petani garapan (peasant society) maupun dijual kepada petani hak milik (farmer society) sehingga kian mengukuhkan posisi pamong desa dalam strateginya mempertahankan kuasa. Adapun pada masa kolonialisme Belanda, “desa” dilihat sebagai local self-government & self-governing community dimana pemerintah Belanda mulai mengakui “desa” sebagai persekutuan wilayah dihuni penduduk yang memiliki tanah yang dibuka pertama kali oleh komunitas tersebut. Dalam hal ini, pemerintah tidak berhak mengambil kuasa atas tanah tersebut sepanjang tanah tersebut tidak digunakan untuk kepentingan umum, bukan perekonomian/ komersialisasi tanah. Artinya dalam hal ini, pemerintah Belanda mengakui hak ulayat “desa” atas kepemilikan tanah. Oleh karena itu, kemudian desa maupun persekutuan masyarakat lainnya terpecah menjadi dua Soetandyo Wignjosoebroto, Pasang Surut Otonomi Daerah: Sketsa Perjalanan 100 Tahun, (Jakarta: Yayasan TIFA, 2005), hlm. 448.
yakni Zelfbestuurlandschappen (swapraja) & Volksgemeenschappen (non swapraja).7 Pola feodalistik masih mewarnai corak desa dalam dua daerah tersebut. Hal itu bisa terlihat di tataran Volksgemeenschappen, dimana para tuan tanah yang sejatinya merupakan minoritas dalam masyarakat “desa” menjadi kelas penguasa yang dominan dimana dengan praktik komunalisasi tanah yang mereka lakukan mengkreasi adanya hubungan patrimonial yang kuat dengan masyarakat desa yakni adanya hak praktik sewa lahan dan hak pakai yang diberlakukan tuan tanah kepada masyarakat desa untuk menggarap lahannya. Sementara pada tataran Zelfbestuurlandschappen, kerajaan menjadi aktor dominan dalam “desa” melalui agen “bekel” dimana bekel sendiri memiliki posisi terhormat disamping sebagai utusan raja juga karena memiliki ilmu “kanuragan” yang membuat bekel ini disegani masyarakat “desa”. Bekel sendiri diberi tugas untuk memungut pajak/upeti warga “desa” kepada kerajaan, selain itu, dalam cara mempertahankan kekuasaan feodalistik, bekel sendiri diberi tanah perdikan dari kerajaan atas jasa–jasa pengabdiannya dimana tanah itu merupakan cikal bakal berdirinya “desa” sehingga kian mengukuhkan posisi bekel sebagai patron. Munculnya berbagai macam institusi seperti halnya “balai desa”, “sekolah desa”, “kas desa”, “dewan desa”, dan lain sebagainya dirasa sebagai wujud kepedulian pemerintah kolonial Belanda untuk menghidupkan kembali unsur-unsur asli “desa”. Akan tetapi, disisi lainnya sangat jelas terlihat adanya pola pemaksaan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial yakni memperkenalkan unsur baru ke dalam “desa” yang belum tentu sesuai dengan keadaan “desa”. Selain itu, pembentukan “desa” di berbagai daerah yang dilakukan oleh pemerintah kolonial dengan cara regrouping beberapa persekutuan wilayah menjadi “desa” sendiri juga menemui polemik yakni tercerabutnya akar sosial budaya dari “desa” sehingga menimbulkan krisis identitas. Dalam hal ini, cara yang dilakukan pemerintah kolonial mengenai pengaturan “desa” lebih didasarkan pada keterpaksaan untuk menuruti
6
Mashuri Maschab, Politik Pemerintahan Desa di Indonesia, (Yogyakarta: PolGov Press, 2013). 7
Globalisasi dan Kemiskinan Desa ...| Wasisto Raharjo Jati | 21
politik etis yang salah satu tujuannya adalah menyejahterakan masyarakat kolonial sehingga menyebabkan pemerintah kolonial “asal-asalan” dalam mengatur “desa”. Adapun pengaturan pengaruh negara tersebut juga berlanjut pada era republik, dimana negara masih memosisikan desa sebagai domain negara. Hal terpenting dalam menganalisa desa dalam konteks ini adalah kuatnya arus politisasi yang sedemikian kental di sana. Politisasi tersebut sangatlah erat kaitannya dengan upaya membangun nation character building di tingkat pedesaan. Hal yang terpenting adalah masuknya berbagai macam kekuatan politik ke akar rumput. Basis afiliasi kerja ekonomi menjadi dalil atas terbentuknya politik aliran tersebut. Kondisi tersebut kemudian menjadikan ekonomi menjadi pembentuk politik aliran di pedesaan. Pola liberalisasi “desa” kemudian menjadikan “desa” bukan lagi entitas sosial namun menjurus ke arah politik. Hal itu bisa ditunjukkan dengan adanya strategi pembentukan organisasi underbouw partai politik untuk menjaring pemilih “desa” seperti persatuan pamong desa (PNI), aliansi buruh tani (PKI), ulama (NU), dan serikat dagang (Masyumi) sehingga mengakibatkan pola cleavages antar penduduk “desa”. Kedua strategi pendekatan kepada kepala “desa” sehingga posisi kepala “desa” sendiri tidak netral dan malahan membawa pada kontestasi sosial politik yang ada. Adapun strategi penerapan prinsip otonomi murni kepada desa sendiri lebih diartikan ketidaksiapan kapasitas negara dalam mengatur “desa” karena masih dalam konteks perang kemerdekaan sehingga dengan menempatkan kembali desa sebagai “republik mini”, maka desa akan mudah untuk mengatur dirinya dan mengorganisir diri sebelum kemudian “diatur” negara. Oleh karena itu, cara instrumentasi yang digunakan untuk mengikat loyalitas “desa” kepada negara. Maka negara kemudian memaksakan prinsip selain Nasionalisme, Agama, Komunis yakni Manifesto Politik kepada perangkat “desa” untuk dijabarkan dalam pola perilaku pemerintahan “desa”. Kemudian selain itu pula, semua perangkat “desa” adalah birokrat yang ditunjuk dan diangkat dari lembaga supra desa di atasnya, sehingga mereka hanya menjalankan mandat dari lembaga supra desa
untuk menyelenggarakan rumah tangga “desa”dan menyebarkan ajaran Nasionalisme, Agama, Komunisme ke masyarakat “desa”. Melalui strategi administrasi dan institusionalisme, negara mulai hadir dengan wajah baru dalam pengaturan desa seperti munculnya Lembaga Pembinaan Masyarakat Desa sebagai ganti Lembaga Masyarakat Desa, Dewan Perwakilan Desa (Bandes), pengaktifan Babinsa dalam rangka menjaga teritorial, dan menempatkan sekdes sebagai birokrat sekaligus agen spionase negara. Akan tetapi, “desa” juga tidak mau kalah dengan mengaktifkan kembali berbagai macam institusi desa untuk mengimbangi negara. Sehingga seringkali muncul dualisme dalam desa seperti halnya pengakuan hukum adat dan positif nasional, komunalisasi tanah dan privatisasi tanah, dan lain sebagainya. Adapun berbagai macam strategi dilakukan seperti halnya floating mass yakni untuk progam depolitisasi menjauhkan “desa” dari kontestasi politik yang ada dan menghindari politik praktis agar lebih memikirkan pembangunan. Progam revolusi hijau dan biru, penegakan panca usaha tani, dan kelompencapir ditujukan untuk memaksimalkan perekonomian agraris “desa” dan penerjunan Babinsa dan AMD (ABRI Manunggal Desa) adalah untuk memastikan tidak adanya gangguan keamanan selama progam pembangunan dijalankan serta berfungsi agensi pemerintah untuk memperlancar proses pembangunan. Cara intervensionisme negara yang lain ditunjukkan dengan penyerahan urusan kepada “desa” sebanyak 31 macam dalam rangka memenuhi tugas desentralisasi. Padahal, hal itu belum tentu dengan kapasitas “desa” dan juga akan memberatkan beban desa dikarenakan desa mengalami beban ganda antara pemberdayaan masyarakat dan pemenuhan tugas “negara”. Selain itu, dalam PP 72 tahun 2005 mengatakan bahwa “desa” merupakan entitas subsistem pembangunan dimana “pola pembangunan desa” sendiri merupakan kepanjangan dari RJPMD sehingga desa tidak memiliki otonomi dalam merumuskan pembangunannya. Walaupun demikian, “desa” diberikan desentralisasi fiskal sebagai wujud perimbangan keuangan antara desa dan negara.
22 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 17–26
Jika kita bisa menelaah secara lebih dalam, bahwa pengaturan desa di Indonesia mengalami fluktuasi yang berbeda–beda dalam setiap periodisasi rezim pemerintah. Fluktuasi tersebut lebih dikarenakan karena suasana politik Indonesia yang sepenuhnya stabil seperti sekarang ini sehingga cara-cara lama pengaturan desa di masa kolonial “sedikit” diulangi dalam produk legislasi yang dibuat pemerintah. Oleh karena itu, desa di masa pascakemerdekaan menjadi kelinci percobaan penerapan kebijakan publik yang sifatnya top down sehingga warga desa sendiri tidak pernah mengenyam otonomi dalam arti sebenarnya, walaupun hanya sebentar pada awal-awal kemerdekaan. Pemaknaan desa sebagai local state government menjadi legitimasi pemerintah untuk menunjukkan eksistensinya sebagai negara, namun bagi masyarakat desa hal itu tak ubahnya sebagai bentuk aksi represif dan koersif pemerintah kepada masyarakat desa. Pola repetisi tersebut menunjukkan bahwa negara sedikit memahami makna otonomi sebenar-benarnya karena masalah otonomi maupun kedaulatan merupakan milik negara bukan desa sebagai entitas lokal yang terlebih dulu memiliki otonomi sebelum lahirnya negara. Sehingga diibaratkan kehadiran negara dengan produk legislasinya merupakan bentuk “penjajahan” baru negara terhadap desa. Dalam era sekarang, kita bisa melihat dimensi desa sebagai local state government sendiri mulai tereduksi. Terlebih lagi selama dalam masa penerapan otonomi daerah dalam konteks kekinian. Kita bisa melihat bahwa adanya revitalisasi atas bangkitnya unsur-unsur lokal untuk diafirmasi dan direkognisi. Penguatan itu dilakukan dengan cara memberikan penguatan pada entitas kultural lokal setempat seperti halnya “Gampong” di Aceh, “Banjar” di kawasan Kalimantan Barat, dan juga “Nagari”. Adanya upaya penguatan berbagai kelembagaan lokal tersebut merupakan upaya untuk mereduksi atas pengaruh uniformisasi desa yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru selama berkuasa.
Global Meet Local: Pengaruh Globalisasi di Pedesaan Pertautan antara unsur global dengan unsur lokal sendiri acap kali disebut sebagai glokalisasi.
Glokalisasi diandaikan sebagai arena besar yang memberikan deliberasi dan ruang partisipatoris besar bagi setiap komunitas lokal untuk bisa eksis di dunia global. Hal terpenting dalam mengelaborasi mengenai glokalisasi tersebut adalah rekognisi dan ruang afirmasi besar. Unsur lokal ingin mendapatkan rekognisi sekaligus representasi dalam ruang global tersebut. Namun di satu sisi, kita melihat bahwa kekuatan global sebagai kekuatan suprematif sendiri memiliki kekuatan besar untuk menekan unsur lokal melalui serangkaian bentuk inflitrasi pengaruh terhadap unsur lokal tersebut. Adapun pedesaan sendiri merupakan entitas terkecil dari kekuatan lokal tersebut sehingga menjadikan desa sendiri menjadi rawan untuk menjadi area pengaruh tersebut. Desa akan menjadi pemain penting bilamana menjadi aktor mampu mengendalikan percaturan global tersebut. Namun demikian, desa juga berperan menjadi loser dalam arena global tersebut apabila gagal dalam memanfaatkan momentum tersebut. Sekali lagi, konteks menang atau kalah bukanlah menjadi lokus utama dalam membahas hal tersebut, namun yang menjadi penting adalah kebijakan. Desa adalah urutan terbawah dari akar rumput yang akan terkena dampak langsung dari kebijakan-kebijakan hasil kreasi baik global maupun lokal. Asumsi adanya global villages seperti yang dikatakan oleh Robertson bahwa globalisasi sebenarnya adalah manifestasi dari sebuah proses interdepedensi untuk menyatukan semua entitas lokal dalam kesatuan global8. Namun demikian, global villages sendiri tidak akan berjalan maksimal jika kapital yang masuk justru mengabsorbsi sumber daya ekonomi desa sehingga menjadikan desa sendiri kemudian termarjinalkan. Maka membincangkan permasalahan implikasi globalisasi terhadap konteks pedesaan sendiri terletak pada pengaruhnya dalam memberikan dampak struktur ekonomi politik desa. Dewasa ini, kearifan lokal yang selama ini menjadi modal sosial yang berkembang di desa perlahan mulai menipis dikarenakan westernisasi dan liberalisasi sosial budaya yang R Roland Robertson (Eds.), Global Modernities, (London: Sage Publication, 1997), hlm. 70. 8
Globalisasi dan Kemiskinan Desa ...| Wasisto Raharjo Jati | 23
sedemikian akut di kawasan desa. Desa secara perlahan mengalami urbanisasi dikarenakan aglomerasi ekonomi yang sedemikian cepat dan berkembang sehingga menjadikan involusi ekonomi basis tradisional di pedesaan. Secara perlahan, ekonomi desa mulai bergeser dari ekonomi padat karya menjadi padat modal yakni beralihnya lahan pertanian menjadi lahan industrialisasi global. Temuan penting dalam menganalisa dampak globalisasi di pedesaan adalah kapitalisasi oleh pemodal yang kemudian menimbulkan adanya berbagai macam resistensi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lokal di sana. Hal terpenting dalam menganalisa resistensi tersebut adalah bagian dari respons pembangunan ekonomi yang tidak memihak. Tesis trickle down effect yang sejatinya menempatkan unsur kapital global itu nantinya akan merembes hingga bawah, pada akhirnya justru yang terjadi adalah trickle up effect yakni kapital desa justru diangkut dalam konstelasi global, sehingga menimbulkan dampak yang kaya makin kaya, sedangkan yang miskin makin miskin. Konteks resistensi di sini adalah perlawanan oleh kaum desa yang biasanya dilakukan petani dalam mempertahankan kepemilikan sumber daya ekonomi yang mereka punyai. Sejarah mencatat bahwa perlawanan terhadap rezim global di tingkat desa sendiri banyak terjadi di berbagai tempat dunia yang tergantung pada konteks ideologis apa yang mereka artikulasikan. Secara mayoritas, resistensi sendiri dilakukan banyak terjadi di kasus negara Dunia Ketiga dengan major issue yang dikedepankan adalah isu ekologis dan developmentalisme. Ekologis sendiri terkait dengan adanya kerusakan lingkungan yang diakibatkan pola eksplorasi maupun eksploitasi secara masif oleh para pemodal terhadap kegiatan mereka di sana. Implikasinya adalah kerusakan permanen terhadap jumlah sumber daya ekonomi lokal yang selama ini menjadi penyokong kegiatan perekonomian ekstraktif warga. Berbagai kasus yang mengatasnamakan resistensi masyarakat petani di desa sendiri diinisasi oleh gerakan NBA (Narmada Bachao Andalan) yang terjadi di kawasan India yang saat itu menentang adanya pembangunan dam yang
intinya akan mengubah pembangunan sawah di sana. Masih di kawasan yang sama, resistensi melawan kapital global juga dialamatkan pada kasus perusakan hutan di kawasan Chipko, India.9 Hal itu kemudian menghasilkan adanya gerakangerakan memeluk pohon yang dialamatkan oleh kelompok masyarakat petani di sana sebagai bentuk perlawanan petani sebagai jalan akhir menghalangi eskavator menghancurkan lahan pertanian di sana. Kasus lain yang menarik untuk dikaji adalah sejarah perlawanan yang dilakukan oleh kelompok Zapatista yang berada di kawasan Amerika Latin. Zapatista adalah gerakan petani yang menolak keras adanya privatisasi lahan pertanian publik desa untuk kemudian dikonversikan dengan lahan pertanian korporasi. Adanya alih fungsi lahan yang dilakukan sepihak itulah yang menimbulkan adanya perlawanan keras dari petani yang kemudian menimbulkan perlawanan masif dengan koalisi pemerintah bersama korporat.
Desa di Indonesia dalam Konstelasi Global Adapun dalam kasus Indonesia sendiri, pengaruh globalisasi sendiri dapat dikategorisasikan menjadi dua bagian yakni antara soft influence maupun juga hard influence. Dikotomi tersebut mengindikasikan adanya pengaruh globalisasi dalam desa sendiri tidak selalu berada dalam sisi antagonisme. Pemaknaan mengenai soft influence sendiri dapat diartikan sebagai bentuk afirmasi desa terhadap pengaruh global yang ditunjukkan dengan strategi desa dalam merangkul pengaruh global guna mengukuhkan eksistensi maupun survivalitasnya. Sedangkan yang dimaksudkan dengan hard influence sendiri lebih dimaknai adanya intervensi yang terlalu menekan terhadap kehidupan desa sehingga menjadikan desa sendiri berada dalam posisi rentan. Perbincangan mengenai pemaknaan desa dari segi soft influences lebih dimaknai dalam bentuk kerjasama yang dilakukan oleh desa untuk memperkenalkan potensi desanya agar lebih dikenal di dunia luar. Model pengembangan Wasisto Raharjo Jati, Pengantar Kajian Globalisasi, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013), hlm.155. 9
24 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 17–26
desa yang sedemikian diaktualisasikan dalam bentuk kerjasama pariwisata maupun kerjasama ekonomi. Adapun dalam klausul kerjasama ekonomi yang diajukan sebenarnya lebih banyak pada proses ekonomi kreatif dan mandiri. Sedangkan dalam bentuk hard influences sendiri lebih mengarahkan kepada bentuk eksploitasi terhadap perekonomian desa baik itu berupa alih fungsi kepemilikan sumber daya ekonomi maupun lain sebagainya. Perbincangan mengani soft influences sendiri terkait dengan upaya memperbaiki karakter ekonomi pedesaan dengan cara mengaplikasikan teknologi dan pembangunan kreatif lewat industri pariwisata. Hal inilah yang kemudian mendorong terciptanya berbagai macam program desa wisata yang digulirkan di berbagai daerah Indonesia. Penguatan menjadi desa wisata ini pada dasarnya merupakan bentuk revitalisasi ekonomi desa agar tidak hanya hidup subsisten dengan ekonomi agraris semata. Revitalisasi maupun transformasi desa agraris menjadi desa wisata pada dasarnya menguatkan faktor komplementer dari ekonomi agraris yakni suasana alam yang belum dioptimalkan secara penuh menjadi potensi motivator ekonomi. Komoditisasi adanya alam rural yang masih perawan inilah yang kemudian mendorong kreativitas dalam menggali internet untuk menjadi ajang promosi. Adanya infiltrasi global melalui internet inilah yang kemudian menjadikan promosi desa wisata menjadi cepat tersebar. Disamping pula, peran aktif pemerintah daerah setempat dalam mendorong setiap potensi ekonomi penduduknya tersebut. Adapun mekanisme inisiasi dalam mempertautkan unsur global ke dalam kultur pedesaan yakni dengan menguatkan adanya peran community development baik itu melalui forum PNPM Pariwisata maupun juga Musrenbang melalui hubungan tripartit antara pemerintah dengan pelaku sektor pariwisata. Namun juga bisa melalui cara pembangunan secara partisipatoris melalui hubungan bipartit dengan pelaku wisata. Dalam kasus desa wisata maupun desa cyber ini banyak diaplikasikan melalui pengembangan desa-desa baik di Jawa maupun luar Jawa. Hanya saja dalam pengembangan desa wisata perlu juga diperhatikan mengenai konteks kesesuaian
dengan potensi wisata alam yang perlu dijual. Artinya di sini diperlukan adanya penguatan kerjasama yang dilakukan hubungan tripartit antara pelaku pariwisata, pelaku lokal, dengan pemerintah itu sendiri. Sedangkan pengaruh globalisasi ke dalam ranah desa yang berupa pengaruh berat (hard influences) lebih banyak menyoal pada perilaku eksploitasi maupun eksplorasi yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta dalam sumber daya ekonomi desa. Dalam taraf ini, posisi desa bukanlah dimaknai sebagai mitra strategis dalam pengembangan ekonomi global. Namun justru diposisikan sebagai satelit perekonomian bagi negara maupun kapitalis swasta dalam pembangunan ekonominya. Tidak jarang kemudian adanya pola represif yang dilakukan aparatus negara sendiri berujung konflik dengan para pemuka desa yang tetap ingin mempertahankan adanya ekologi wilayahnya. Konflik yang mengemuka antara desa vis a vis negara maupun swasta sendiri berujung pada kerusuhan komunal di berbagai tempat baik itu memakan korban jiwa ataukah tidak. Dalam berbagai macam konstelasi politik yang menyangkut konflik sumber daya alam selalu melibatkan adanya gerakan perlawanan yang melibatkan para petani maupun kelompok pedesaan. Berbagai bentuk resistensi tersebut hadir dan termanifestasikan dalam berbagai macam bentuk pola dan demonstrasi tersebut. Secara makro, globalisasi memang memberikan implikasi dikotomis terhadap perkembangan desa antara positif dengan negatif. Semuanya itu tergantung pada pemaknaan desa dalam konstelasi global sekarang ini, apakah globalisasi itu dihadirkan sebagai peluang ataukah tantangan. Semuanya itu nanti berpulang pada pemangku dan pembuat kebijakan mengenai desa dan globalisasi terkait dengan usaha survivalitas dan durablitas desa dalam memanfaatkan sebagai globalisasi.
Penutup Perbincangan mengenai pengaruh global dalam pedesaan sendiri perlu dimaknai secara mendalam terkait pengaruhnya kepada kehidupan masyarakat. Secara dikotomis, pengaruh globalisasi terhadap desa sendiri dimaknai
Globalisasi dan Kemiskinan Desa ...| Wasisto Raharjo Jati | 25
dalam dua perspektif yakni positif dan negatif. Jika merunut pada dramaturgi historis, masuknya globalisme ke dalam pedesaan sendiri dimaknai sebagai entitas yang negatif. Hal ini dikarenakan kuatnya mazhab developmentalisme yang berkembang sehingga menjadikan desa sebagai subordinasi dari sebuah rezim ekonomi. Oleh karena itulah, sejarah globalisme di pedesaan sendiri didominasi oleh sejarah resistensi yang dilakukan oleh kalangan petani maupun kalangan marjinal lainnya. Adapun dalam zaman global sekarang ini, adanya terminologi desa wisata maupun desa cyber sendiri pada dasarnya merupakan bentuk revitalisasi desa dengan memberdayakan unsur alamnya maupun unsur ekstratif lainnya. Hal inilah yang menjadi modal dan motivasi penting dalam menjadikan desa bukan sebagai objek yang diabsorbsi secara ekonomis. Namun justru menjadi mitra dimana desa adalah mitra sekaligus subjek penting dalam pembangunan ekonomi.
Robertson, Roland (Eds.). 1997. Global Modernities. London: Sage Publication. Sihbudi, Riza & Nurhashim, Moch, (Eds.). 2001. Kerusuhan Sosial di Indonesia : Studi Kasus Kupang, Mataram, dan Sambas. Jakarta: Grasindo. Sosialismanto, Duto. 2006. Hegemoni Negara: Ekonomi Politik Pedesaan Jawa. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama. Wignjosoebroto, Soetandyo. 2005. Pasang Surut Otonomi Daerah: Sketsa Perjalanan 100 Tahun. Jakarta: Yayasan TIFA.
Jurnal Hardin, Garret. 1968. “Tragedy of The Commons”. Science New Series 162 (3859).
Daftar Pustaka Buku Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian. Jakarta: Bharata Aksara. Jati, Wasisto Raharjo. 2013. Pengantar Kajian Globalisasi. Jakarta: Mitra Wacana Media. Maschab, Mashuri. 2013. Politik Pemerintahan Desa di Indonesia. Yogyakarta: PolGov Press. Ostrom, Ellinoir. 1990. Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action. Cambridge: Cambridge University Press.
26 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 17–26
ANEKSASI RUSIA DI KRIMEA DAN KONSEKUENSI BAGI UKRAINA THE RUSSIA’S ANNEXATION OF CRIMEA AND ITS CONSEQUENCES FOR UKRAINE Indriana Kartini Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 6 Agustus 2014; direvisi: 2 September 2014; disetujui: 10 Desember 2014 Abstract The annexation of Crimea by the Russian Federation was launched after the downfall of Ukraine President Viktor Yanukovych who has been alleged by the opposition as pro-Russian. The referendum which has been conducted by Crimean people in post-annexation has reinforced the Crimean demand for independence from Ukraine and its choice to unify with Russia. Although the referendum has been viewed as illegal by Ukraine authority, in fact, Crimea is now under Russia’s authority. This article focuses on the Russia’s annexation of Crimea by analysing Russia’s strategic interests as a driving force for the annexation; analysing the position of Ukraine, Russia, and Crimea after the demise of the USSR; and the consequences of the loss of Crimea for Ukraine that has changed the constellation of domestic politics, society, and economics, and also the land border between Ukraine-Crimea-Russia. Keywords : annexation, Russia, Crimea, Ukraine. Abstrak Aneksasi wilayah Krimea oleh Rusia terjadi menyusul jatuhnya Presiden Ukraina Viktor Yanukovych yang dianggap pro Rusia oleh kelompok oposisi. Referendum yang dilakukan rakyat Krimea pasca aneksasi menegaskan kembali tuntutan kemerdekaan Krimea dari Ukraina dan pilihan untuk bergabung dengan Rusia. Meski referendum tersebut dianggap tidak sah oleh Kiev, secara de facto Krimea kini berada di bawah penguasaan Kremlin. Tulisan ini memfokuskan pada aksi aneksasi Rusia di Krimea dengan menganalisis kepentingan strategis Rusia di wilayah Krimea yang mendorong aksi aneksasi; termasuk menganalisis posisi Ukraina, Krimea, dan Rusia pasca runtuhnya Uni Soviet; serta konsekuensi lepasnya Krimea dari Ukraina yang merubah konstelasi politik domestik, sosial, dan ekonomi, serta batas wilayah Ukraina-Krimea-Rusia. Kata Kunci : aneksasi, Rusia, Krimea, Ukraina.
Pendahuluan Aksi aneksasi yang dilakukan Rusia di semenanjung Krimea – wilayah Ukraina yang terdiri dari Republik Otonom Krimea dan kota Sevastopol – pada Februari 2014, mengejutkan komunitas internasional. Krisis internasional ini melibatkan Rusia dan Ukraina, dimana Ukraina kehilangan kontrol atas wilayah tersebut. Akibat aneksasi itu, secara de facto semenanjung Krimea berada di bawah penguasaan pemerintah Federasi Rusia meski belum diakui oleh PBB.
Krisis di Krimea terjadi setelah adanya gerakan Euromaidan atau “Eurosquare”, yakni gelombang demonstrasi di Ukraina pada 21 November 2013 yang menginginkan Ukraina melakukan integrasi dengan Eropa. Aksi protes tersebut meluas menjadi seruan untuk memberhentikan Presiden Viktor Yanukovych dan pemerintahannya yang pro Rusia. Aksi protes juga memfokuskan pada isu ideologi dan geopolitik yang membagi negara ke dalam dua bagian, yakni “Eropa vs Rusia” atau “forward
Aneksasi Rusia di Krimea dan Konsekuensi bagi Ukraina | Indriana Kartini | 27
to the West vs. back to the USSR”.1 Aksi protes mencapai puncaknya pada pertengahan Februari 2014 ketika aparat kepolisian merespon aksi protes pro Uni Eropa dengan cara konfrontatif yang justru membuat gelombang protes semakin besar. Sebagai konsekuensinya, pada 21 Februari 2014 Presiden Viktor Yanukovych meninggalkan ibukota negara, Kiev. Parlemen Ukraina kemudian memberhentikan Yanukovych dan menunjuk presiden sementara, Arseniy Yatsenyuk dan membentuk pemerintahan sementara. Pemerintahan baru itu mendapat pengakuan dari PBB dan Uni Eropa. Namun, Rusia memandang pemerintahan Yatsenyuk sebagai ilegal dan merupakan bentuk kudeta. Rusia bahkan menuduh Amerika Serikat dan Uni Eropa mendanai dan mengarahkan “revolusi Ukraina” dan memandang bahwa Yanukovych diberhentikan secara ilegal dan tetap menganggap Yanukovych sebagai presiden Ukraina. Pada 26 Februari 2014, pasukan proRusia mulai menguasai semenanjung Krimea. Banyak yang mempercayai bahwa pasukan tersebut merupakan personel militer Rusia. Pada saat orang-orang bersenjata menguasai gedung parlemen Krimea, anggota parlemen Krimea melakukan pemungutan suara untuk memberhentikan pemerintahan Krimea, mengganti perdana menteri dan menyerukan referendum mengenai otonomi Krimea. Tak lama kemudian, pada 16 Maret 2014, dilaksanakan referendum mengenai sikap politik Krimea untuk bergabung dengan pemerintah Federasi Rusia dengan perolehan suara 96,77% (Krimea) dan 95,6% (Sevastopol).2 Referendum ini ditentang oleh Uni Eropa, AS, Ukraina dan warga Tatar Krimea karena dipandang bertentangan dengan hukum internasional. Pada 17 Maret 2014, parlemen Krimea mendeklarasikan kemerdekaan Krimea dari Ukraina dan memutuskan untuk bergabung dengan Federasi Rusia. Pada 18 Maret 2014, Rusia dan Krimea menandatangani perjanjian Anastasiya Ryabchuk, “Right Revolution? Hopes and Perils of the Euromaidan Protests in Ukraine”, Debatte: Journal of Contemporary Central and Eastern Europe, 3 Februari 2014. 1
VoA News, “Crimea Applies to join Russia”, http:// www.voanews.com/content/voting-under-way-in-crimeareferendum-to-join-russia/1872380.html, 17 Maret 2014, diakses pada tanggal 19 Mei 2014. 2
penggabungan Republik Krimea dan Sevastopol ke dalam Federasi Rusia. Pada 27 Maret 2014, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 68/262 yang menyatakan bahwa referendum Krimea tidak valid dan penggabungan Krimea ke dalam Rusia adalah ilegal. Pada 15 April 2014, parlemen Ukraina mendeklarasikan Krimea sebagai wilayah yang sementara ini dianeksasi oleh Rusia. Untuk mengatasi kekisruhan politik, pada 25 Mei 2014, pemilu presiden digelar di Ukraina yang akhirnya dimenangkan oleh Petro Poroshenko, dengan suara mencapai 55,9 % mengalahkan mantan PM Yulia Tymoshenko, yang memperoleh suara sekitar 12 %.3 Berdasarkan latar belakang tersebut, tulisan ini akan memfokuskan pada aksi aneksasi Rusia di wilayah Krimea yang dilandasi oleh faktor historis serta faktor kedekatan kultural dan geografis. Tulisan ini dibagi ke dalam lima bagian. Bagian pertama menganalisis posisi Ukraina pasca runtuhnya Uni Soviet. Bagian kedua menganalisis latar belakang historis dari penggabungan Krimea ke dalam Ukraina. Bagian ketiga menganalisis tuntutan otonomi Krimea terhadap Ukraina. Bagian keempat menganalisis kepentingan strategis Rusia di Krimea dan keputusan Rusia menganeksasi Krimea. Bagian kelima menganalisis konsekuensi lepasnya Krimea bagi Ukraina. Bagian keenam membahas sikap Barat atas kasus Krimea.
Ukraina Pasca Runtuhnya Uni Soviet Runtuhnya Uni Soviet membawa perubahan besar bagi negara-negara pecahan Soviet dan Eropa Timur. Tatkala rezim sosialis runtuh dan pemerintahan terpusat mengalami perpecahan, kategorisasi sosial berdasarkan model ideologi menjadi tidak relevan lagi. Dalam hal ini, kebanyakan identitas nasional di negara-negara post-Uni Soviet bersifat politis dan didefinisikan oleh negara. Perubahan dari totalitarianisme menjadi pluralisme politik berhubungan dengan konstruksi negara dan pembentukan kembali identitas nasional. Masalah formasi dan implementasi strategi nasional, definisi yang Liputan6, “Petro Poroshenko Umumkan Kemenangan pada Pilpres Ukraina”, 26 Mei 2014, http://m.liputan6.com/news/ read/2054588/petro-poroshenko-umumkan-kemenangan-padapilpres-ukraina, diakses pada tanggal 10 Juni 2014. 3
28 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 27–41
tepat dari prioritas geopolitik dan kepentingan nasional yang vital telah menjadi faktor yang menentukan dalam sejarah dan masa depan politik Ukraina.4 Perkembangan Ukraina sebagai negara independen menghasilkan perubahan penting dalam identitas nasional. Terdapat perdebatan panjang mengenai bagaimana Ukraina menempatkan dirinya dalam lingkungan keamanan Eropa yang baru, apakah berintegrasi dengan Rusia dan terikat dengan struktur militer Commonwealth of Independent States (CIS) ataukah (seperti halnya Polandia dan negaranegara Eropa Tengah) berintegrasi dengan Barat, meningkatkan hubungan dengan NATO, Uni Eropa, AS dan negara-negara Eropa Barat? A. Lieven dalam bukunya “Ukraine and Russia: A Fraternal Rivalry”, mengungkapkan bahwa Rusia dan Ukraina secara historis sangat dekat dan keterikatan kedua negara terlalu kompleks untuk dipisahkan. Lieven melihat bahwa masa depan Ukraina sebagai sebuah negara independen adalah dengan bekerja sama erat dengan Rusia. Sementara, Yaroslav Bilinsky dalam bukunya “Endgame in NATO’s Enlargement: The Baltic States and Ukraine”, menyerukan percepatan proses ekspansi NATO dengan memasukkan empat negara yang berada di perbatasan Rusia sebelah Barat (Latvia, Livonia, Estonia, dan Ukraina) dengan argumen bahwa tindakan ini akan menciptakan lingkungan keamanan yang lebih aman dan akan memperkuat stabilitas di Eropa Timur dan Tengah.5 Pemerintah Ukraina sendiri telah mengeluarkan pernyataan-pernyataan ambivalen seperti memperkuat kerja sama dengan Rusia di satu sisi, sementara di sisi lain mempererat hubungan dengan NATO secara simultan. Dalam pandangan Moskow, Ukraina adalah bagian integral dari “lingkungan” Rusia, dan status independen Ukraina seringkali dipandang sebagai fenomena temporer. Sementara itu, terdapat ketidakjelasan kepentingan dalam masalah Ukraina di Barat, dimana hal ini menyulitkan Ukraina untuk menciptakan Carina Korostelina, “The Multiethnic State-building Dilemma: National and Ethnic Minorities’ Identities in the Crimea”, National Identities, Vol. 5, No.2, 2013, hlm. 142.
orientasi yang pro-Barat. Pada 1993, misalnya, Ukraina berupaya menciptakan zona stabilitas di Eropa Timur, tetapi ide ini gagal karena kurangnya dukungan dari negara-negara Eropa Barat dan Eropa Tengah. Sementara itu, Presiden Leonid Kravchuk menggunakan nasionalisme untuk mengalihkan perhatian dari kegagalan reformasi ekonomi. Kravchuk mengembangkan politik luar negeri yang menyeimbangkan Rusia dengan Barat namun dilandasi oleh nasionalisme Ukraina yang justru memperburuk hubungan dengan Rusia. Kravchuk justru menggambarkan Rusia sebagai sumber utama ketidakstabilan dan ketidakamanan Ukraina. Leonid Kuchma, yang menggantikan Kravchuk pada 1997, tidak banyak mengubah politik luar negeri Ukraina. Meski Kuchma dituduh lebih pro-Rusia, namun dirinya tetap berpegang pada politik luar negeri yang dilandasi nasionalisme Ukraina.6 Oleh karena itu, konsep “nation” di Ukraina masih belum terdefinisikan dengan jelas. Beberapa politisi memandang bahwa Ukraina dapat menemukan identitas nasional yang riil dengan membedakan dirinya dari kultur dan ideologi Rusia dan dengan mendorong nasionalisme etnis di Ukraina. Yaroslav Bilinsky mengungkapkan bahwa “to build Ukraine as a non-ethnic-based civil society has not worked out”. Namun, pendekatan ini mendapat kritikan dari Andrew Wilson dan Alexander Motyl yang menegaskan bahwa nasionalisme etnis tidak mesti dipersepsikan sebagai kepentingan vital sebuah bangsa. Ukraina seringkali dipandang sebagai sebuah masyarakat terbelah dengan komunitas pro-Rusia yang kuat terdiri dari minoritas Rusia dan warga Ukraina yang berbahasa Rusia. Sekitar 55% populasi Ukraina lebih memilih menggunakan bahasa Rusia untuk berkomunikasi di rumah. Bahkan, dua pertiga dari seluruh populasi Ukraina menyatakan bahwa Rusia sebagai bahasa pertama mereka.7 Wilayah Krimea saat ini mencerminkan situasi seperti digambarkan di atas, yang merefleksikan perubahan politik, sosial dan ekonomi terkini yang terjadi di Ukraina. Sejak tahun 1920, Krimea merupakan bagian dari
4
5
Ibid.
6
Ibid., hlm. 143.
7
Ibid.
Aneksasi Rusia di Krimea dan Konsekuensi bagi Ukraina | Indriana Kartini | 29
Federasi Rusia, namun pada 1954 ditransfer ke Republik Sosialis Soviet Ukraina, dan terakhir dimasukkan ke dalam negara independen Ukraina pada tahun 1991. Populasi Krimea sekitar hampir 2,5 juta jiwa. Etnis Rusia meliputi 64% populasi; 23% adalah etnis Ukraina; 10% etnis Muslim Tatar Krimea; dan 3% terdiri atas etnis Belarusia, Armenia, Yunani, Jerman, Yahudi dan etnis lainnya.8 Pada 18 Mei 1944, sejumlah 250.000 warga Tatar Krimea yang dituduh berkolaborasi dengan Jerman selama okupasi, dideportasi dari Krimea. Sejumlah 40% dari mereka meninggal, baik pada saat dideportasi maupun selama tahun pertama dari dua tahun penempatan di “zona khusus” di Uzbekistan. Selama sepuluh tahun terakhir, diperkirakan setengah dari populasi etnis Tatar yang dideportasi telah kembali ke tanah kelahiran mereka. Namun kenyataannya, etnis Tatar yang telah kembali ke Krimea, tidak mendapatkan akses pendidikan, pekerjaan dan perumahan. Sebagai akibatnya, hubungan antara etnis Slavia Krimea dengan Tatar Krimea mengalami ketegangan. Salah satu problem utamanya adalah sejumlah 98.800 warga Tatar yang telah kembali ke Krimea tidak memiliki kewarganegaraan Ukraina, dan mayoritas (sekitar 64.100) tetap mempertahankan paspor Uzbekistan. Sementara, hukum Ukraina melarang warganya memegang dua status kewarganegaraan. Berdasarkan hukum Ukraina, calon warga negara dari etnis Tatar harus meninggalkan kewarganegaraan Uzbekistan. Sebagai protes atas kebijakan itu, sejumlah 20.000 warga Tatar melakukan demonstrasi di Simferopol pada bulan Mei 1999. Sementara itu, etnis Rusia yang tinggal di Krimea, menyimpan impian dari Alexander Solzenitsyn, 9 bahwa suatu saat nanti Ukraina, Belarusia, dan etnis Slavia di utara Kazakhstan akan bergabung dalam Rusia Raya, yang dipersatukan oleh ikatan darah, sejarah, dan keyakinan Kristen Orthodoks Rusia.10 Pada 26 Agustus 1991, parlemen Ukraina melakukan pemungutan suara dengan hasil 346 8
Ibid.
Alexander Solzenitsyn adalah salah satu penulis roman Rusia besar abad ke-20 yang meraih penghargaan Nobel dalam Sastra pada 1970. 9
��
Korostelina, op.cit, hlm. 143.
suara mendukung kemerdekaan Ukraina. Pada 1 Desember 1991, warga Ukraina melakukan pemungutan suara untuk mendukung kemerdekaan Ukraina. Bahkan, warga etnis Ukraina yang minoritas di Krimea turut memberikan suara. Besarnya suara yang mendukung kemerdekaan di Ukraina mengecewakan Rusia. Hal ini mengingat survei yang dilakukan sebelum Agustus 1991 di Moskow menyebutkan hanya 9% warga Krimea mendukung kemerdekaan Ukraina.11 Pertanyaannya kemudian, mengapa mayoritas warga Krimea (hampir 85 %) mendukung kemerdekaan pada 1 Desember 1991? Hal ini menurut Korostelina berkaitan dengan pengaruh opini popular bahwa Ukraina dapat mengelola ekonomi secara mandiri dan perdebatan mengenai kedaulatan yang telah diawali oleh negara-negara Balkan pada 1990-1991. Persepsi popular yang berkembang pada saat itu adalah Ukraina lebih bekerja keras dan lebih terorganisir ketimbang Rusia. Terlebih lagi, kedaulatan dan kemerdekaan di Krimea tidak bergantung pada etnis, budaya dan nasionalisme linguistik dari elit kultural di Kiev dan Ukraina Barat, melainkan didasarkan pada faktor ekonomi. Hal ini menjadi argumen teritorial untuk penentuan nasib sendiri, yang mempengaruhi etnis Rusia dan etnis Ukraina berbahasa Rusia di Krimea pada saat pemungutan suara pada 1991.12
Posisi Strategis Krimea di antara Ukraina dan Rusia Ukraina menempati wilayah strategis di antara Uni Eropa, Federasi Rusia, dan wilayah Laut Hitam Turki. Dalam sejarah, Ukraina merupakan “battle ground” bagi kekuatan dunia kala itu13, yakni Grand Duchy Lithuania, Kekaisaran Ottoman, the Polish-Lithuanian Commonwealth, Crimean Tatar Khanate dan Muscovy. Di masa modern, wilayah ini merupakan persinggungan antara wilayah kekuasaan Rusia, Habsburg, dan Ottoman. Dalam batas kontemporer, Ukraina 11
Ibid.
12
Ibid.
Gwendolyn Sasse, the Crimea Question: Identity, Transition and Conflict, (Cambridge: Harvard University Press, 2007), hlm. 1. 13
30 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 27–41
muncul pertama kali dalam sejarah sebagai negara independen. Semenanjung Krimea terletak di sebelah selatan Ukraina, memisahkan Laut Azov dari Laut Hitam yang membuat kekuatan dunia menginginkan kontrol atas wilayah maritim (lihat Peta Krimea). Lokasinya yang strategis itu menjadi rebutan bagi Kekaisaran Ottoman dan Rusia dan kedua kekuatan dunia tersebut meninggalkan jejak yang kuat di semenanjung Krimea.14
menarik adalah, Majelis Nasional Tatar Krimea (Kurultay) yang pertama kali memunculkan nama “Krimea” (Qirim) merujuk pada Revolusi Oktober. 15 Dalam sejarahnya, etnis Tatar Krimea berasal dari anggota Golden Horde Turki yang didirikan oleh Batu Khan di awal abad ke-13. Menyusul penaklukan Krimea oleh Golden Horde pada pertengahan abad ke-13, kelompok etnis Turki ini didorong untuk menetap disana,
Sumber: BBC.com, http://www.bbc.com/news/world-europe-26595776, diakses pada tanggal 19 Mei 2014. Gambar 1. Peta Krimea
Selama dua abad, semenanjung Krimea berada di bawah kekuasaan Kekaisaran (Turki dan Rusia) dan di bawah pemerintahan Komunis Rusia, dan ini merupakan kekuasaan ‘asing’ terakhir yang berkuasa di Krimea. Krimea dikuasai Rusia setelah serangkaian serangan militer melawan Kekaisaran Ottoman pada 1783. Historiografi di masa Tsar Rusia dan Uni Soviet tidak pernah menampilkan Krimea sebagai teritori dari satu kelompok nasional. Yang Elena Mizrokhi, “Russian ‘separatism’ in Crimea and NATO: Ukraine’s Big Hope, Russia’s Grand Gamble”, Chaire de recherche du Canada, 2009, hlm 2, http://www.psi.ulaval.ca/ fileadmin/psi/documents/Documents/Travaux_et_recherches/ Crimee.pdf, diakses pada tanggal 4 Mei 2014.
menggantikan populasi etnis Slavia. Wilayah tersebut dipimpin oleh sejumlah gubernur yang ditunjuk oleh Tatar Khan yang berbasis di kota Saray di bawah wilayah Volga. Hingga akhir abad ke-14, Krimea dan ibukotanya, Solhat, digunakan oleh Tatar Khan sebagai wilayah semi-netral dalam hubungan diplomatik dengan dinasti Mamluk Turki di Mesir.16 Di bawah slogan “Crimea for Crimeans” (Krimea untuk rakyat Krimea), Kurultay dan
14
15
Sasse, op.cit., hlm. 44.
David R. Marples & David F. Duke, “Ukraine, Russia, and the Question of Crimea”, Nationalities Papers, Vol. 23, No. 2, 1995, hlm. 262. 16
Aneksasi Rusia di Krimea dan Konsekuensi bagi Ukraina | Indriana Kartini | 31
Partai Nasional (Milli Firqa) mengajukan multietnis Krimea sebagai unit otonom dalam Federasi Rusia. Permintaan ini tidak diterima oleh pemerintah pusat Soviet dan justru merespon dengan membungkam para cendekiawan Tatar. Pada 1930an – periode represi dan pemaksaan kolektivisasi di Uni Soviet – hasilnya 35 hingga 40 ribu warga Tatar Krimea, dari total populasi 200 ribu, dideportasi ke Siberia. Sejumlah besar warga Tatar yang belum tersentuh tidak bisa menghindar dari deportasi masal di akhir Perang Dunia II yang kemudian dikirim ke Republik Asia Tengah Soviet seperti Uzbekistan, Kazakhstan, Tajikistan dan beberapa wilayah lainnya di Uni Soviet. Sebagai gantinya, Soviet mengirim penduduk etnis Slavia/Rusia ke Krimea pada 1930an di bawah kebijakan pembangunan regional Soviet. 17 Perubahan demografis ini mempengaruhi keseimbangan etnis di wilayah itu. Setelah Perang Dunia II, karakter Krimea lebih ditekankan pada etnis Slavia/Rusia. Dalam konsepsi historis yang baru, etnis Tatar Krimea muncul sebagai warga asing sehingga keterikatan historis mereka dengan teritori Krimea diabaikan. Pendekatan revisionis ini merupakan bagian dari kebijakan Stalin pada masa deportasi 1944, untuk menghilangkan keberadaan etnis Tatar Krimea yang telah lama hadir dan memperkaya khazanah budaya di semenanjung Krimea.18 Wilayah Krimea ditransfer dari Rusia ke Ukraina pada 1954. Hal ini terjadi dalam rangka merayakan ulang tahun ke-300 Perjanjian Perevaslav yang ditandatangani antara Hetman Bohdan Khmelnytsky dari Ukraina dan Tsar Rusia Aleksei Mikhailovich. Pada Februari 1954, pemerintah Rusia mengeluarkan petisi kepada pemerintah Soviet untuk menyetujui transfer tersebut. Pada 19 Februari 1954, seluruh pihak yang berkepentingan di Rusia, Ukraina dan Krimea memperdebatkan isu tersebut, termasuk ketua dewan kota Simferopol dan Sevastopol, dan P. Lyalin, Deputi Pertama Dewan Provinsi Krimea.19 Transfer wilayah Krimea kemudian dibenarkan dengan beberapa kriteria antara 17
Ibid., hlm. 94.
18
Ibid., hlm. 118.
Oblast adalah sebuah pembagian administratif yang dipakai oleh negara-negara Slavia, sebuah istilah dari bahasa Rusia yang artinya adalah “daerah”, “wilayah” atau “provinsi”. 19
lain: sistem ekonomi yang sama dan kedekatan teritorial; kedekatan ekonomi dan hubungan kultural antara Provinsi Krimea dan Ukraina. Dekrit tersebut disetujui secara hukum pada 26 April 1954 dan disetujui oleh Kruschev.20 Transfer Krimea ke Ukraina ini terjadi pada periode deStalinisasi setelah kematiannya. Yang terjadi kemudian, setelah Krimea diberikan kepada Ukraina, konstitusi etnis dan linguistiknya telah mengalami transformasi sebagai akibat kebijakan deportasi Soviet atas populasi Tatar. Elena Mizrokhi mengungkapkan bahwa terdapat tiga pandangan dalam sejarah Krimea yang muncul dari tiga kelompok etnis yang ada di wilayah itu. Etnis Tatar memandang bahwa keberadaan kelompok etnis Tatar sejak abad ke-15 hingga ke-18 menjadi bukti bahwa mereka satu-satunya penduduk asli Krimea sehingga Krimea merupakan satu-satunya tanah air mereka. Sedangkan dalam pandangan Rusia, Krimea secara alamiah merupakan bagian dari Rusia, sementara Tatar merupakan bagian dari invasi dan kolaborator asing. Krimea dipandang sebagai bukti kejayaan Catherine Agung dan Kekaisaran Tsar Rusia. Sementara bagi Ukraina, Krimea selalu terkait dengan Ukraina berdasarkan geografi, budaya, dan etnisitas, termasuk di masa Ukraina masih menjadi bagian Rusia. Ketiga narasi yang berkompetisi ini menjadi faktor penyebab problematika di Krimea. Ketiganya juga menjelaskan mengapa terjadi ketegangan etnis di Krimea dan mengapa problematika itu menimbulkan respon panas dari ketiga komunitas di semenanjung Krimea, dari pemerintah pusat Ukraina, dan dari pihak ketiga, Federasi Rusia.21 Orientasi pro-Rusia di Krimea merupakan hasil kesadaran nasional populasi Rusia di semenanjung Krimea, sekaligus menimbulkan resiko separatisme di Krimea. Namun, gerakan nasionalis ini cenderung tidak berkelanjutan karena ketidakjelasan identitas Rusia dan Soviet. Kenyataannya, Krimea masih bersifat konfliktual bagi masa depan semenanjung itu. Pertama, tidak semua warga menginginkan Krimea pisah dari Ukraina. Sementara itu, etnis mayoritas di Krimea menyuarakan aspirasi untuk bergabung Marples dan Duke, op.cit., hlm. 271-272.
���
Elena Mizrokhi, op.cit., hlm 3.
��
32 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 27–41
dengan Rusia. Dalam situasi ini, muncul gagasan dwi-kewarganegaraan, yang mengilustrasikan aspirasi warga di Ukraina Timur dan Barat, dalam rangka memperoleh status baru yang mengakomodir aspirasi komponen Rusia di wilayah Ukraina. Sikap warga Ukraina juga bersifat ambivalen dimana para penduduk tertarik kepada Rusia dan Ukraina, tetapi tidak pernah benar-benar berhubungan secara intens satu sama lainnya. Penting untuk diperhatikan bahwa meski Rusia merupakan etnis mayoritas di Krimea, namun bukan hanya mereka satu-satunya yang menginginkan kebijakan yang lebih pro-Rusia di wilayah Krimea, dan Ukraina secara keseluruhan. Oleh karena itu, bisa diungkapkan bahwa iklim politik di wilayah itu merupakan “mirrorimage” dari iklim etnis yang tidak sepenuhnya pro-Ukraina ataupun pro-Rusia, tetapi berkisar di antara keduanya. 22 Semenanjung Krimea, dimana mayoritas warga etnis Rusia-nya tidak sepenuhnya beraliansi dengan Rusia (seperti kasus Abkhazia dan Ossetia Selatan), menjadi simbol ambisi kekuasaan Rusia di semenanjung tersebut.
Tuntutan Otonomi Krimea Munculnya “separatisme Rusia” di Krimea mewarnai iklim politik di era 90an. Potensi konflik di Krimea muncul pada pertengahan 1990 yang disebabkan oleh dua faktor. Pertama, minoritas Muslim Tatar23 yang mengalami sejarah pembersihan etnis dan yang terkini mengalami diskriminasi sosio-ekonomi dan politik di bawah Ukraina. Faktor kedua yang mengancam keseimbangan di semenanjung adalah kehadiran sejumlah besar minoritas Rusia 24 dimana setelah runtuhnya Uni Soviet merasa “asing” di dalam negara merdeka Ukraina. Kenyataannya, “separatisme” Krimea, pada awalnya tidak diusung oleh etnis Rusia Krimea, melainkan oleh etnis Tatar dan kelompok Komunis yang sangat
Ibid, hlm. 4.
���
Berdasarkan hasil Sensus Ukraina 2001, populasi Tatar Krimea di wilayah Republik Otonom Krimea adalah 243.400 jiwa (12%) dari total populasi 2.024.000 jiwa. ���
Berdasarkan hasil Sensus Ukraina 2001, populasi etnis Rusia di wilayah Republik Otonom Krimea adalah 1.180.400 jiwa (58,3%) dari total populasi 2.024.000 jiwa. ���
aktif dalam arena politik. Koalisi “Rusia” sendiri baru terbentuk pada tahun 1993.25 Di era reformasi Gorbachev (19841991) beberapa gerakan politik (pro-Ukraina, komunis, dan pro-Rusia) tumbuh di Krimea dan bertransformasi ke dalam partai politik. Partaipartai ini mulai dengan tuntutan restorasi otonomi Krimea, dengan mengedepankan status khusus Krimea pada 1989, dan kemudian menuntut dilakukannya referendum regional mengenai status semenanjung untuk bergabung dengan referendum nasional mengenai masa depan Ukraina pada 1 Desember 1991. Inilah untuk pertama kalinya Partai Komunis Krimea mulai memobilisir opini publik untuk mendukung “penentuan nasib sendiri” (self-determination) Krimea. Pemilu lokal pada Maret 1990, mengonfirmasi peran Partai Komunis dalam pemerintahan regional, dan perdebatan mengenai otonomi semakin intensif.26 Langkah nyata untuk merestorasi otonomi diambil oleh Provinsi Soviet Krimea pada September 1990, yang mengadopsi pernyataan yang disampaikan ke Uni Soviet dan parlemen tertinggi Republik Sosialis Federasi Soviet Rusia berkaitan dengan keinginan untuk menghapus keputusan yang dibuat pada 1945-46 dalam hal perubahan status otonom Republik Soviet Sosialis menjadi oblast, yakni unit administratif yang secara hierarki berada di bawah republik. Gerakan ini dipimpin oleh Nikolai Bagrov, ketua parlemen Krimea. Tuntutan yang berkaitan dengan status Krimea mendapatkan momentum setelah deklarasi Ukraina sebagai negara berdaulat pada Juli 1990. Gerakan separatis yang ada sejak awal 1990, dimana kelompok Rusia merepresentasikan gelombang terakhir, harus dipandang dalam konteks dan reaksi atas nasionalisme Ukraina.27 Dorongan untuk kemerdekaan di semenanjung Krimea terus berlangsung. Parlemen tertinggi Soviet Krimea mengeluarkan deklarasi mengenai status hukum dan kenegaraan Krimea dengan menyatakan bahwa penghapusan status otonomi Krimea adalah inkonstitusional dan Mizrokhi, op.cit., hlm. 5.
��
Sasse, op.cit., hlm. 135.
��
Ibid., hlm. 20.
��
Aneksasi Rusia di Krimea dan Konsekuensi bagi Ukraina | Indriana Kartini | 33
mempertahankan status Krimea dalam bentuk Republik Soviet Sosialis Otonom Krimea. Di saat yang sama, para deputi sepakat mengadakan referendum mengenai status kemerdekaan Krimea pada 20 Januari 1991. Referendum yang diikuti oleh 81,4% pemilik suara, menghasilkan 93,3% mendukung pembentukan Republik Soviet Sosialis Otonom Krimea. Namun, mayoritas etnis Tatar memboikot referendum dan menegaskan bahwa mereka juga berhak menentukan nasib Krimea. Pembentukan Republik Soviet Sosialis Otonom Krimea pada 1991 merupakan restorasi Republik Soviet Sosialis Otonom pertama dan terakhir kalinya yang didukung rakyat.28 Partai-partai lokal yang mendukung kemerdekaan berupaya menggunakan momentum suksesnya referendum pertama. Referendum lokal lainnya mengenai kemerdekaan Republik Krimea dilakukan di awal 1992 dan dalam beberapa bulan Gerakan Republik Krimea 29 berhasil mengumpulkan 180.000 tanda tangan sebagai syarat hukum untuk melaksanakan referendum yang juga menjadi simbol konfrontasi langsung dengan Ukraina. Tak lama kemudian, sebelum penentuan jadwal referendum diputuskan parlemen Krimea, Presiden Ukraina Leonid Kravchuk, mengeluarkan pernyataan keras menentang referendum dan menegaskan bahwa referendum diorganisir oleh separatis yang menginginkan situasi destabilisasi di antara rakyat Krimea, juga dalam hubungan UkrainaKrimea, serta hubungan Ukraina-Rusia. Dalam situasi ini, baik pihak Ukraina maupun Krimea tidak siap untuk berkompromi.30 Di saat pemimpin Krimea memfokuskan diri dengan ambisi separatis, pemerintah pusat Ukraina menginisiasi langkah awal menuju negara federalis sebagai solusi atas ketegangan di semenanjung. Parlemen Ukraina mengeluarkan draft UU Pembagian Kekuasaan antara Ukraina dan Republik Krimea. Dokumen yang disetujui Ibid., hlm. 138.
kedua belah pihak, mendefinisikan Krimea sebagai bagian otonom dari Ukraina. Namun, versi final dari perjanjian itu berbeda dengan versi awal. Hal ini dipandang oleh otoritas Krimea dan Muslim Tatar sebagai pengkhianatan. Majelis Tatar menentang perjanjian pembagian kekuasaan antara Ukraina dan Krimea karena dilakukan tanpa persetujuan rakyat Tatar Krimea. Mismanagement yang dilakukan Ukraina dalam perjanjian pembagian kekuasaan menjadi katalis bagi seruan otonomi Krimea sehingga insiden ini meluas menjadi karakter separatis.31 Ketegangan memuncak pada 5 Mei 1992, tatkala Crimean Verkhovna Rada (Parlemen Krimea), yang dimotori oleh Yuri Meshkov, pemimpin Partai Republik Krimea mengadopsi UU Kemerdekaan Krimea dan konstitusi baru. Parlemen juga melaksanakan referendum mengenai kemerdekaan pada 2 Agustus 1992. Konstitusi Krimea yang baru sangat ambigu karena menyatakan Republik sebagai sebuah negara, namun juga menegaskan posisinya di dalam Ukraina. Dengan mengadopsi konstitusi dan mengancam referendum kemerdekaan, Nikolai Bargov menginginkan Kiev untuk membuat konsesi dan bernegosiasi dengan tawaran yang lebih baik. Menanggapi hal ini, parlemen Ukraina melakukan intervensi. Pada 13 Mei 1992, Parlemen Ukraina menolak UU Kemerdekaan Krimea dan menyatakan sebagai inkonstitusional dan memerintahkan Parlemen Krimea membatalkannya dalam waktu dua minggu. Presiden Kravchuk dan pemimpin Krimea, Barghov, melakukan kompromi yang menyangkut tuntutan bahwa parlemen Krimea membatalkan referendum. Kedua pihak kemudian menyetujui status Krimea sebagai bagian konstituen dari Ukraina yang kemudian dideklarasikan oleh Parlemen Krimea setelah Juni 1992. Setting politik di semenanjung ini kemudian menjadi penyebab munculnya gerakan yang lebih radikal.32
���
The Republican Movement for Crimea didirikan oleh Yuri Meshkov pada 19 November 1992. Kemudian pada 24 Oktober 1992 berubah menjadi the Republican Party of Crimea. Partai ini adalah partai politik separatis regional yang memperjuangkan pemisahan diri Krimea dari Ukraina dan bergabung dengan Rusia. ���
30
Mizrokhi, op.cit., hlm 6.
Kepentingan Strategis Rusia di Krimea Keterlibatan Rusia dalam politik Krimea, khususnya yang berkaitan dengan kemerdekaan 31
Ibid.
32
Ibid., hlm. 7.
34 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 27–41
di semenanjung tersebut, merupakan akibat dari perasaan residual di antara politisi Rusia bahwa Krimea adalah bagian dari sejarah dan wilayah integral Rusia. Federasi Rusia sulit menerima kemerdekaan Ukraina setelah pecahnya Uni Soviet. Persepsi ini diyakini oleh kelompok komunis dan nasionalis radikal Rusia. Deputi Komunis Duma (Majelis Rusia) dan Deputi Komite Duma untuk geopolitik, Yuri Nikiforenko memberikan penjelasan mengenai reunifikasi Rusia dan Ukraina dalam debat pada bulan Maret 1998 mengenai ratifikasi Perjanjian Persahabatan Rusia-Ukraina. Nikiforenko menegaskan bahwa Rusia tidak menginginkan separuh Ukraina, melainkan seluruh Ukraina termasuk rakyatnya agar mendukung reunifikasi tersebut.33 Walikota St. Petersburg, Anatoly Sobchak, berargumen bahwa Krimea tidak pernah menjadi bagian Ukraina dan tidak ada dasar hukum atau moral bagi Ukraina untuk mengklaim Krimea. 34 Opini publik tampaknya juga setuju dengan pandangan nasionalistik ini. Dalam polling yang diadakan pada 1992, 51% responden berpandangan Rusia dan Ukraina seharusnya tergabung dalam satu negara, dan 31% berpandangan kedua negara tetap terpisah tapi dengan perbatasan terbuka. Hanya 8% yang berpandangan bahwa kedua negara harus mengembangkan hubungan yang normal seperti dengan negara lain (kontrol perbatasan, peraturan visa, pajak, dan lain-lain).35 Retorika nasionalis yang kuat dari lingkungan tertentu politik Rusia diikuti oleh resolusi legislatif. Pada pertengahan 1992, Komite Hubungan Luar Negeri dan Hubungan Ekonomi Eksternal diketuai oleh Vladimir Lukin, salah satu pendiri partai liberal demokratik Rusia, Yabloko, mendistribusikan mosi nya kepada para penegak hukum Rusia bahwa keputusan yang dibuat parlemen tertinggi Soviet Rusia tahun 1954 adalah invalid dan tidak memiliki kekuatan hukum. Sebagai konsekuensinya, parlemen Rusia melakukan pemungutan suara untuk mengadopsi resolusi yang menginstruksikan dua komitenya meninjau kembali konstitusionalitas 33
dari keputusan 1954. Selama kurun waktu 19921993, parlemen Rusia meningkatkan tuntutannya atas Krimea dan Sevastopol. Akhirnya pada 23 Januari 1992, Duma dan Kementerian Luar Negeri menentang transfer Krimea ke Ukraina, yang menimbulkan protes keras dari Ukraina. Hubungan Rusia-Ukraina memburuk setelah deklarasi ini. Wakil Presiden Rusia Alexander Rutskoi mengunjungi Krimea pada 1992 dan menyerukan pemisahan wilayah dari Ukraina dan sebulan kemudian parlemen Rusia mengeluarkan resolusi mendeklarasikan bahwa transfer Krimea ke Ukraina pada 1954 adalah ilegal. 36 Aktifnya seruan Duma bagi kemerdekaan Krimea dan/atau reunifikasi dengan Rusia muncul setelah Meschkov memegang kekuasaaan di Krimea. Kerja sama antara Krimea dan Rusia ini memberikan tekanan ganda kepada Kiev. Namun, politisi mainstream Rusia tidak tertarik untuk mengusung persoalan status Krimea dalam Ukraina, dan lebih mengutamakan status stasiun Armada Laut Hitam Rusia di Sevastopol. Dalam hal ini, Presiden Rusia Boris Yeltsin, menjaga jarak dari resolusi parlemen. Kenyataannya, anggota elit politik Rusia yang mendukung gerakan separatis Rusia di Krimea merupakan pengritik pemerintahan Yeltsin. Sementara pemerintah Rusia menerapkan kebijakan moderat dalam persoalan di semenanjung Krimea, namun Yeltsin, melalui Dubes Rusia di Ukraina, berpandangan bahwa Sevastopol, stasiun Armada Laut Hitam harus disewakan kepada Rusia. Dalam beberapa kesempatan, Yeltsin menegaskan bahwa persoalan Krimea merupakan masalah internal Ukraina. Namun, kebijakan aktual Kremlin, seringkali kontradiktif dengan posisi resmi pemerintah dalam persoalan Krimea. Misalnya, pada Mei 1992, perjanjian pembagian kekuasaan akhirnya tercapai antara delegasi parlemen Krimea dan Ukraina. Untuk merespons hal ini, Yeltsin, mengutus Rutskoi ke Krimea, sebagai ketua delegasi. Di Sevastopol, Rutskoi, menegaskan kembali klaim Rusia atas Krimea, bahwa pandangan umum menyatakan bahwa semenanjung Krimea merupakan bagian dari Rusia. Dalam hal ini, netralitas Yeltsin
Ibid., hlm. 8.
34
Sasse, op.cit., hlm. 15.
35
Mizrokhi, op.cit., hlm. 8.
36
Ibid.
Aneksasi Rusia di Krimea dan Konsekuensi bagi Ukraina | Indriana Kartini | 35
dipertanyakan dengan melihat pernyataan utusannya sendiri.37 Tahun 1993 menandai perubahan dalam politik luar negeri Rusia, menjauhi, apa yang disebut Andrei Kozyrev, orientasi atlantisis pro-Barat, menjadi lebih nasionalistik, yang mencerminkan dukungan terhadap separatis Krimea. Pada pertengahan Juli 1993, ketika parlemen Rusia mengeluarkan instruksi untuk mempersiapkan draft UU “untuk mengabadikan status federal dari kota Sevastopol dalam Konstitusi Federasi Rusia”, terdapat 166 suara mendukung, dan 1 suara menolak. Perubahan ini terjadi setelah kemenangan partai Komunis dan nasionalis ekstrim pada pemilu Duma Rusia, Desember 1993. Tentu saja, retorika Rusia atas isu Krimea ditujukan untuk “konsumsi” domestik di Rusia, khususnya untuk kemenangan pemilu. Persepsi patriot Rusia bahwa Armada Laut Hitam dan persoalan Krimea saling berkaitan, menguat, salah satunya dipengaruhi oleh publikasi kutipan surat yang dikirim oleh Lukin kepada Ruslan Khasbulatov, ketua Parlemen Tertinggi Soviet Rusia yang merekomendasikan Krimea sebagai kartu tawar dalam perselisihan mengenai armada. Dalam konteks ini, elit puncak Rusia pasca runtuhnya Uni Soviet, ingin memberi tekanan kepada Ukraina melalui ancaman konflik sosial di Krimea (dan keterlibatan militer Rusia di dalamnya) dalam rangka mengamankan aksesnya ke Sevastopol.38 Pada April 2010, dilakukan perjanjian antara pemerintah Ukraina dengan Rusia yang dikenal dengan nama “Fleet for gas” sebagai barter untuk perpanjangan masa penyewaan Armada Laut Hitam Rusia di Sevastopol dimana Ukraina memperoleh diskon harga 30% untuk impor gas dari Rusia. Perjanjian yang ditandatangani pada 21 April 2010 antara Presiden Yanukovych dengan Presiden Medvedev memutuskan bahwa Rusia mendapat konsesi perpanjangan masa sewa hingga 25 tahun setelah 2017 dengan tambahan 5 tahun masa sewa (dari 2042-2047).39 Perjanjian ini dianggap kontroversial di Ukraina. 37
Ibid., hlm. 9.
38
Ibid., hlm 9-10.
Ivan Watson & Maxim Tkachenko, “Rusia, Ukraine Agree on Naval Base-for-Gas Deal”, http://edition.cnn.com/2010/ WORLD/europe/04/21/russia.ukraine/index.html?hpt=T2, 21 39
Aneksasi Rusia di Krimea Aneksasi Rusia di Semenanjung Krimea pada Februari dan Maret 2014, telah membawa Eropa ke dalam krisis sejak berakhirnya Perang Dingin. Invasi Rusia di wilayah Ukraina ini merupakan eskalasi taktik yang telah digunakan Kremlin selama dua dekade terakhir dalam mempertahankan pengaruhnya di bekas wilayah Uni Soviet. Sejak 1990an, Rusia telah mendukung secara langsung maupun berkontribusi dalam pecahnya empat wilayah etnis di Eurasia, seperti Transnitria, sebuah negara di Moldova yang mendeklarasikan kemerdekaan, yang terletak di antara Sungai Dniester dan Ukraina; Abkhazia, di pantai Laut Hitam Georgia; Ossetia Selatan, di utara Georgia; dan Nagorno-Kharabakh, wilayah pegunungan di barat daya Azerbaijan yang mendeklarasikan kemerdekaannya di bawah perlindungan Armenia, menyusul terjadinya perang sipil yang brutal. Dalam kasus ini, Moskow, telah menciptakan, apa yang disebut dengan “frozen conflict” di negara-negara ini, dimana wilayah yang memisahkan diri berada di luar kontrol pemerintah pusat, sementara otoritas de facto lokal, menikmati proteksi dan pengaruh Rusia.40 Hingga Rusia menganeksasi Krimea, situasi di semenanjung berjalan sesuai dengan skenario yang telah dikenal. Moskow menggunakan ketegangan etnis dan menggelar kekuatan militer terbatas ketika terjadi kekisruhan politik, sebelum mendorong revisi teritorial yang mengijinkan Moskow menginjakkan kakinya di wilayah yang bertikai. Dalam kasus aneksasi Krimea, Rusia telah meninggalkan taktik lama dan berani meningkatkan resiko. Keberanian Rusia bertindak jauh di Krimea, dibandingkan dengan kasus-kasus sebelumnya, didorong oleh faktor strategis Ukraina bagi Rusia dan keinginan kuat Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menunjukkan konfrontasinya dengan Barat, yang dipandang elit Rusia sebagai hipokrit dan antagonistis terhadap kepentingan Rusia. Dengan melihat intervensi Rusia di beberapa bekas wilayah Soviet, dapat diasumsikan bahwa April 2010, diakses pada tanggal 5 Oktober 2014. Jeffrey Mankoff, “Russia’s Latest Land Grab: How Putin Won Crimea and Lost Ukraine”, Foreign Affairs, Vol. 93, No. 3, Mei/Juni 2014. 40
36 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 27–41
strategi yang dijalankan Rusia berhasil di masa lalu. Namun, apabila diamati lebih jauh, setiap kali Rusia mengancam integritas negara tetangga dalam upaya mempertahankan pengaruhnya, hasilnya justru kontra produktif bagi Rusia. Dukungan Moskow kepada gerakan separatis dalam perbatasan mereka, telah membuat negara-negara seperti Azerbaijan, Georgia, dan Moldova, menghentikan ketergantungan mereka terhadap Rusia dan memulai kerja sama dengan Barat. Dalam konteks ini, Jeffrey Mankoff mengungkapkan bahwa Ukraina kemungkinan akan mengikuti pola yang sama. Dengan menganeksasi Krimea dan mengancam intervensi militer di wilayah timur Ukraina (Donetsk dan Luhansk), Rusia hanya akan mendorong nasionalisme Ukraina dan mendorong Kiev mendekatkan diri dengan Eropa.41 Dalam beberapa kasus di atas, Rusia melakukan intervensi ketika pengaruhnya terancam. Dalam beberapa kesempatan, Rusia secara konsisten mengklaim bahwa negaranya bertindak dalam kerangka tanggung jawab untuk melindungi (responsibility to protect) kelompok minoritas yang terancam. Namun, dalam kenyataannya, Rusia lebih mengedepankan keuntungan strategis dibandingkan dengan pertimbangan humanitarian dan etnonasional. Komitmen untuk melindungi etnis Rusia yang terancam dan populasi minoritas lainnya di luar Rusia mungkin berhasil utuk konsumsi domestik, namun keinginan pemerintah Azerbaijan, Georgia, dan Moldova untuk keluar dari orbit geopolitik Rusia-lah yang menyebabkan Moskow melakukan intervensi. Pada saat terjadi aneksasi Krimea, Putin dan pemerintahannya secara hatihati berbicara mengenai perlindungan terhadap “warga Rusia” (orang-orang yang mendapatkan paspor Moskow) dan “warga berbahasa Rusia” (termasuk mayoritas warga Ukraina) ketimbang merujuk secara langsung pada “etnis Rusia”.42 Penting untuk dicatat bahwa meski Rusia merasa bebas melakukan intervensi politik dan militer di semua kasus (kecuali di Krimea), Rusia tidak pernah secara formal melakukan aneksasi wilayah atau mengganti pemerintah lokal.
Sebaliknya, Rusia menuntut perubahan politik luar negeri di Azerbaijan, Georgia, dan Moldova, dengan berupaya menahan aspirasi Georgia untuk bergabung dengan NATO. Melebihi konflik di awal 1990an dan di Georgia pada 2008, Kremlin menganggap aneksasi di Krimea sebagai serangan langsung terhadap Barat, termasuk juga Ukraina. Putin meyakini bahwa dirinya dan Rusia memperoleh hasil lebih, dari konfrontasi dengan AS dan Eropa, yakni konsolidasi posisi politiknya di Rusia dan meningkatkan status internasional Moskow, ketimbang bekerja sama dengan Barat.43 Meski terdapat perbedaan aksi dalam kasus Krimea, namun yang tidak berubah dalam taktik Kremlin sejak masa Uni Soviet adalah pandangan paternalistik Rusia terhadap negara-negara tetangga pasca Soviet. Rusia terus menganggap mereka sebagai wilayah pengaruhnya, dimana Moskow memiliki “kepentingan khusus”, seperti yang diungkapkan oleh PM Rusia Dmitry Medvedev. Di awal 1990an, pejabat Rusia menggambarkan negara-negara pecahan Soviet sebagai tetangga terdekat Rusia. Terminologi itu sekarang sudah tidak popular, tetapi dalam benak elit Rusia masih berpandangan bahwa negara-negara bekas Soviet di Eropa Timur dan Eurasia tidak berdaulat penuh dan Moskow tetap memiliki hak spesial atas negara-negara tersebut. Dengan mempertahankan pengaruh Rusia di negara-negara bekas Uni Soviet, membantu pemimpin Rusia mempertahankan image kebesaran Rusia. Di bawah Putin, Rusia berupaya untuk mengembangkan pengaruhnya dengan mendorong integrasi ekonomi dan politik dengan negara-negara post-Soviet, melalui pembentukan Uni bea cukai dengan Belarusia dan Kazakhstan. Rusia juga berupaya membentuk Uni Eurasia, blok supranasional baru yang diklaim Putin mengikuti model Uni Eropa yang akan dilucurkan pada tahun 2015, dimana Belarusia dan Kazakhstan telah menandatangani, sementara Armenia, Kyrgyzstan, dan Tajikistan telah menunjukkan ketertarikannya44. Putin berupaya mengubah blok Eurasia menjadi blok alternatif kultural dan geopolitik
41
Ibid.
43
Ibid.
42
Ibid.
44
Ibid.
Aneksasi Rusia di Krimea dan Konsekuensi bagi Ukraina | Indriana Kartini | 37
bagi Barat dan Putin menegaskan bahwa blok ini tidak akan berarti tanpa keikutsertaan Ukraina di dalamnya. Impian Eurasia ini – dimana prospek perjanjian kerja sama antara Ukraina dan Uni Eropa pada November 2013 menjadikan Ukraina tidak masuk dalam Uni Eurasia – menjadi perhatian besar Putin dan mendorongnya untuk memberikan konsesi kepada Presiden Viktor Yanukovych berupa jaminan pinjaman kepada Ukraina, dengan harapan Kiev menolak tawaran dari Brussel. Namun, perkembangan di Ukraina tidak sesuai dengan harapan Rusia. Tindakan Yanukovych menolak menandatangani perjanjian dengan Uni Eropa telah mengakibatkan protes yang berujung dengan digulingkannya Yanukovych dari kursi presiden. Ditambah lagi, pada 21 Maret 2014, pemerintahan sementara Ukraina akhirnya menandatangani perjanjian dengan Uni Eropa. Meski Moskow memiliki berbagai cara yang dapat digunakan untuk meluaskan pengaruh regionalnya, seperti ekspor energi dan ikatan perdagangan, tetapi dukungan terhadap gerakan separatis merupakan senjata kuat. Negara-negara yang bergantung pada perlindungan Rusia, seperti Abkhazia, Ossetia Selatan, Transnitria, dan sekarang Krimea, berperan sebagai wilayah untuk memproyeksikan pengaruh politik dan ekonomi Rusia. Moskow tidak membantu NagornoKarabakh secara langsung, namun membantu Armenia. Abkhazia, Ossetia Selatan, Transnitria mengizinkan Rusia untuk menempatkan pasukan di wilayah mereka, begitu pula dengan Armenia. Dalam hal ini, Abkhazia dan Ossetia Selatan menjadi tempat bernaung sekitar 3.500 pasukan Rusia, serta sekitar 1.500 personel Federal Security Service; Transnitria memiliki 1.500 tentara Rusia di wilayahnya; dan Armenia memiliki sekitar 5.000 pasukan Rusia. Salah satu alasan penting mengapa Moskow menganeksasi Krimea adalah nilai strategis semenanjung itu yang juga menjadi stasiun Armada Laut Hitam Rusia.45
Konsekuensi Lepasnya Krimea bagi Ukraina Bagi Ukraina, lepasnya Krimea menimbulkan beberapa konsekuensi, baik perubahan konstelasi 45
Ibid.
politik internal, geopolitik, maupun ekonomi dalam bentuk hilangnya properti negara di semenanjung, termasuk sektor energi dan pertambangan serta infrastruktur pelabuhan yang signifikan bagi eksportir Ukraina. Selain itu, muncul pula permasalahan demarkasi. Secara de facto, perbatasan darat antara Ukraina dan Krimea berada di antara wilayah Republik Otonom Krimea dan wilayah Kherson Ukraina, sepanjang 20 km. Rusia kemungkinan akan berupaya mengambil alih sebagian wilayah Arabat Spit yang merupakan bagian dari wilayah Kherson untuk mengontrol stasiun kompresor pipa gas yang menyuplai Krimea. Negosiasi awal mengenai batas perairan di Laut Azov tidak lagi relevan mengingat titik awal pembagian wilayah perairan berubah secara fundamental. Yang penting dilakukan adalah menentukan demarkasi wilayah perairan dan batas benua di barat Krimea, dimana terdapat ikan, minyak, dan gas alam; dan untuk menentukan rute pelayaran ke pelabuhan Odessa, Belgorod, Nikolayev dan Kherson. Ukraina tidak mau menunda perundingan dalam persoalan ini karena jika hal itu dilakukan maka dapat diartikan sebagai pengakuan atas perubahan teritorial. Dalam hal ini, pemerintah Ukraina akan terus mempercepat demarkasi batas wilayah darat Ukraina/Rusia di luar Krimea, meski Moskow akan menghalangi upaya tersebut.46 Sementara itu, dari perspektif ekonomi, efek hilangnya Krimea bagi Ukraina hanya berpengaruh pada makro ekonomi dalam lingkup terbatas (Krimea menyumbangkan 3,6% bagi GDP Ukraina tahun 2013). Namun, hal ini akan mengakibatkan efek serius bagi sektor ekonomi tertentu yang disebabkan oleh pengambilalihan properti Ukraina yang terletak di semenanjung oleh pemerintahan Krimea. Hilangnya sektor energi lokal dan aset pertambangan merupakan harga mahal yang harus dibayar Ukraina, termasuk perusahaan Chomomornaftohaz. Perusahaan ini merupakan salah satu dari tiga perusahaan tambang negara yang dimiliki oleh NAK Naftogaz Ukraina dan salah satu perusahaan Tadeusz A. Olszanski, Agata Wierzbowska-Miazga, “The consequences of the Annexation of Crimea,” http://www.osw. waw.pl/en/publikacje/analyses/2014-03-19/consequencesannexation-crimea, 19 Maret 2014, diakses pada tanggal 3 Oktober 2014. 46
38 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 27–41
yang memproduksi gas dalam waktu cepat di tahun 2014.47 Namun demikian, kerugian Ukraina akibat lepasnya produksi Chomomornaftohaz tidak merubah keseimbangan gas Ukraina secara fundamental. Lepasnya Krimea juga dikaitkan dengan berkurangnya zona ekonomi eksklusif Ukraina di Laut Hitam dan Laut Azov. Dalam prakteknya, hal ini meniadakan kesempatan bagi Ukraina untuk mengimplementasikan proyek ekstraksi hidrokarbon dari Laut Hitam yang telah direncanakan untuk dilakukan bersama dengan perusahaan Barat. Misalnya, di akhir 2013 Ukraina telah menandatangani perjanjian dengan ENI dan EdF untuk ekstraksi gas alam dari bats benua di Selat Kerch; dan pada 19 Maret 2013, perusahaan British Shell menarik diri dari negosiasi untuk penandatanganan kontrak dalam proyek ekstraksi hidrokarbon dari batas wilayah Skifski di Laut Hitam.48 Konsekuensi ekonomi yang signifikan lainnya adalah perubahan kepemilikan perusahaan swasta yang beroperasi di Krimea. Kemungkinan terbesar adalah ekspansi bisnis Rusia dalam skala besar yang tidak hanya berkaitan dengan otoritas lokal. Dalam konteks ini, terdapat ketidakpastian mengenai status aset Krimea di masa depan yang masih dimiliki kelompok bisnis besar Ukraina. Pengusaha Ukraina seperti Rinat Akhmetov, Dmytro Firtash dan Andriy Klyuyev masih memiliki bisnis di Krimea. Meskipun otoritas Krimea menegaskan bahwa mereka tidak akan mengambil alih bisnis swasta, tetapi dalam kasus energi lokal, terdapat tanda-tanda kemungkinan nasionalisasi seluruh fasilitas listrik. Ditambah lagi, banyak pengusaha Ukraina yang memiliki perumahan mewah di Krimea dan menyewakan pantai dengan luas ribuan hektar di wilayah pantai selatan Krimea.49 Dari perspektif politik domestik, konsekuensi lepasnya Krimea adalah bahwa persoalan tersebut akan menjadi tema utama dalam perdebatan politik Ukraina, termasuk dalam kampanye Pada 2013 perusahaan ini meningkatkan produksinya menjadi 1,65 billion cubic metres (bcm), dimana dalam jangka pendek dapat memenuhi kebutuhan gas di semenanjung, yang berkisar antara 1,7 dan 2 bcm. 47
48
Ibid.
49
Ibid.
presiden dan pemilu parlemen. Sebelumya, Krimea dan Sevastopol memiliki 13 kursi di parlemen Ukraina. Hilangnya kursi anggota parlemen dari Krimea dan Sevastopol akan memperlemah kubu pro-Rusia di parlemen. Namun, hilangnya sejumlah 13 kursi di parlemen tersebut tidak akan mengancam jumlah kuorum di parlemen. Jika perwakilan Krimea yang terpilih mengundurkan diri, maka hal ini tidak mempengaruhi fungsi parlemen, mengingat kursi mereka secara otomatis akan diisi oleh kandidat lainnya dari partai lain. Lebih lanjut, lepasnya Krimea akan mendorong perdebatan mengenai masa depan negara Ukraina. Status Krimea akan menjadi permasalahan dalam diskusi tentang konstitusi baru Ukraina, mengingat mustahil mempertahankan UU lama yang berkaitan dengan otonomi Krimea.50
Sikap Barat atas Kasus Krimea Setelah Krimea mendeklarasikan kemerdekaan dari Ukraina, Rusia langsung bergerak cepat. Presiden Rusia Vladimir Putin meminta parlemen untuk meratifikasi perjanjian pada 18 Maret 2014 untuk mengadopsi dua wilayah baru, Republik Krimea dan kota Sevastopol, ke dalam teritori Rusia. Dua hari kemudian, diadakan referendum di Krimea dimana 96,77% pemilih Rusia mendukung penggabungan Krimea dengan Rusia. Li Zhiguo, peneliti studi Rusia dari China Institute of International Studies (CIIS) mengungkapkan bahwa kepentingan Barat di Ukraina tidak secara serius menggelar perang. Namun bagi Rusia, Krimea sangat penting untuk direbut meski dengan resiko perang.51 Dalam konteks ini, negara-negara Eropa yang bergantung pada gas alam dari Rusia, tidak akan mengambil upaya ekstrim melawan Rusia. Dalam pidato pada 19 Maret 2014, Putin mengungkapkan bahwa dia akan menghormati keinginan rakyat Krimea, dengan menekankan bahwa keputusan Krimea sejalan dengan hukum internasional, khususnya Artikel 1 Piagam PBB yang menetapkan prinsip persamaan dan 50
Ibid.
Ding Ying, “Compromising Over Crimea - Moscow’s Absorption of Crimea may Trigger a New “cool war” between Russia and the West”, Beijing Review, 27 Maret 2014. 51
Aneksasi Rusia di Krimea dan Konsekuensi bagi Ukraina | Indriana Kartini | 39
penentuan nasib sendiri (self-determination).52 Namun demikian, Li Zhiguo mengungkapkan bahwa situasi akan berbeda jika Barat berhenti menekan Rusia setelah Presiden Ukraina terguling, Viktor Yanukovych, mengumumkan diadakannya pemilu presiden lebih dini sebagai salah satu cara mengakhiri krisis politik pada 21 Februari 2014.53 Sementara itu, kekuatan politik di wilayah barat Ukraina berniat untuk membersihkan kekuatan pro-Rusia yang ada di wilayah timur Ukraina, dan meningkatkan krisis politik di Kiev yang membuat marah Rusia. Saat ini Putin ingin memberikan pelajaran kepada Barat yang telah mendukung “Revolusi Oranye” di Ukraina pada 2004.54 Dalam pidatonya, Putin terus menyerang sikap hipokrit dan standar ganda yang dijalankan AS. Dengan direbutnya Krimea yang dianggap Rusia sebagai “wilayahnya yang hilang”, reputasi personal Putin sebagai pemimpin kuat dan tangguh semakin tinggi. Dalam hubungan antara Barat dan Rusia, diprediksikan akan memasuki tahap “cool war”, dimana pertentangan kedua pihak lebih lemah ketimbang masa Cold War. Jika semua pihak tetap berkomitmen untuk mendapat solusi politik, masih ada harapan bagi stabilitas regional. Sementara itu, komunitas internasional khawatir bahwa referendum di Semenanjung Krimea akan memicu efek domino di timur Ukraina, dimana kota-kota yang pro-Rusia (Donetsk dan Luhansk) akan mengikuti jejak Krimea dan mencoba bergabung dengan Rusia.55 Kekhawatiran dunia internasional akan efek domino masih terbuka, dengan melihat hasil pemilu presiden Ukraina yang diadakan pada 25 Mei 2014 lalu. Dalam pemilu tersebut, keluar sebagai pemenang adalah Petro Poroshenko, 52
Ibid.
53
Ibid.
Revolusi Oranye adalah serangkaian protes dan persitiwa politik yang terjadi di Ukraina pada akhir November 2004 hingga Januari 2005, setelah pemungutan suara dalam pemilu presiden Ukraina 2014 yang dipandang diwarnai oleh korupsi, intimidasi terhadap pemilih. Revolusi ini sebagai respon terhadap terjadinya kecurangan pemilu dengan tuntutan konkrit untuk menolak hasil pemilu dan menuntut dilakukannya pemilu ulang dengan pengawas independen. 54
55
Ding Ying, op.cit.
seorang pebisnis dengan pengalaman panjang dalam pemerintahan, yang jauh mengungguli mantan PM Yulia Tymoshenko. Poroshenko yang pro-Barat menjanjikan ikatan ekonomi dan politik yang lebih erat dengan negara-negara Barat. Namun, mengingat Rusia menyuplai sebagian besar kebutuhan gas alam dan menjadi pasar terbesar Ukraina, maka Presiden Ukraina yang baru terpilih harus pula memperbaiki hubungan dengan Rusia. Dalam konteks wilayah timur Ukraina yang ingin mengikuti jejak Krimea, jika wilayah timur Ukraina dapat berbagi dalam proses politik Ukraina pasca pemilu, dimana Rusia masih memiliki suara dalam urusan domestik Ukraina, maka Rusia tidak akan mengintervensi lebih jauh dalam urusan politik domestik Ukraina. Namun, jika kekuatan pro-Rusia tidak dilibatkan dalam pemilu, maka Moskow akan terus mendukung keinginan wilayah timur Ukraina untuk bergabung dengan Rusia. Mengingat Barat tidak memiliki banyak kepentingan di Ukraina, maka kecil kemungkinan terjadi konflik militer di Ukraina dalam kasus Krimea. Apalagi tanpa bantuan Barat, Ukraina tidak memiliki kemampuan untuk mengkonfrontir kekuatan besar seperti Rusia. Sebagai reaksi atas krisis Krimea, Presiden AS Barack Obama mengungkapkan bahwa AS tidak akan mengambil tindakan militer di Ukraina melawan Rusia. Obama juga menegaskan bahwa AS mendorong hubungan terbuka antara Ukraina, Rusia, dan Barat. Pada 5 Maret 2014, Obama menegaskan bahwa masih terbuka ruang bagi Ukraina untuk menjadi kawan bagi Barat maupun Rusia. Obama juga mengingatkan Rusia untuk tidak ikut campur dalam urusan domestik Ukraina, meski mengakui bahwa Rusia memiliki kepentingan yang “legitimate” di negara tersebut.56
Penutup Untuk meredakan krisis di Krimea, pada 17 April 2014, ditandatangani perjanjian antara Rusia, Ukraina, AS, dan Uni Eropa di Jenewa. Perjanjian ini tampaknya tidak akan sepenuhnya mengakhiri konflik di Ukraina, tetapi setidaknya 56
Ibid.
40 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 27–41
menunjukkan bahwa Kremlin dan White House berupaya menghindari memburuknya situasi regional. Perjanjian ini menuntut semua pihak untuk menghindari penggunaan kekerasan, intimidasi atau aksi provokasi. Di samping itu, perjanjian ini memberikan amnesti kepada pemrotes yang menguasai gedung-gedung pemerintah dan menyerahkan senjata mereka. Pemerintah Ukraina menyetujui untuk melakukan amandemen konstitusi dan melindungi hak-hak minoritas serta melakukan dialog nasional setelah pemilu presiden 25 Mei 2014. Namun sayangnya, perjanjian ini tidak menjelaskan perlucutan senjata dan amandemen konstitusi secara lebih detail.57 Dibalik kelemahannya, perjanjian ini merefleksikan kesamaan tujuan masing-masing pihak untuk menormalkan kembali situasi. Dalam hal ini, Putin menyadari bahwa Barat tidak akan menolerir separasi selanjutnya di Ukraina karena akan mengeliminir “buffer zone” antara Rusia dan Eropa. Sementara itu, secara politik dan diplomatik, AS dan Uni Eropa tidak akan mengeluarkan keputusan PBB dengan efek hukum, mengingat Rusia memiliki hak veto permanen sebagai anggota Dewan Keamanan PBB.
Daftar Pustaka Buku Sasse, Gwendolyn. 2007. The Crimea Question: Identity, Transition and Conflict. Cambridge: Harvard University Press.
sia’s Grand Gamble”. Chaire de recherche du Canada. Marples, David R. & David F. Duke. 1995. “Ukraine, Russia, and the Question of Crimea”, Nationalities Papers 23(2). Mankoff, Jeffrey 2014. “Russia’s Latest Land Grab: How Putin Won Crimea and Lost Ukraine”. Foreign Affairs 93(3).
Surat Kabar dan Website VoA News. “Crimea Applies to Join Russia”. 17 Maret 2014 http://www.voanews.com/content/votingunder-way-in-Crimea-referendum-to-join-russia/1872380.html. Olszanski Tadeusz A., Agata Wierzbowska-Miazga. “The consequences of the Annexation of Crimea”. 19 Maret 2014. http://www.osw.waw. pl/en/publikacje/analyses/2014-03-19/consequences-annexation-Crimea. Liputan6. “Petro Poroshenko Umumkan Kemenangan pada Pilpres Ukraina”. 26 Mei 2014. http://m. liputan6.com/news/read/2054588/petro-poroshenko-umumkan-kemenangan-pada-pilpresukraina. Watson, Ivan & Maxim Tkachenko. “Rusia, Ukraine Agree on Naval Base-for-Gas Deal”. 21 April 2010. http://edition.cnn.com/2010/ WORLD/europe/04/21/russia.ukraine/index. html?hpt=T2. Ying, Ding. 27 Maret 2014. “Compromising Over Crimea - Moscow’s Absorption of Crimea May Trigger a New “cool war” between Russia and the West”. Beijing Review. ------, 1 Mei 2014. “A Fragile Foursome - The Ukrainian Crisis will Persist, but a Recent Four-Way Agreement May Not”. Beijing Review.
Jurnal Ryabchuk, Anastasiya. 2014. “Right Revolution? Hopes and Perils of the Euromaidan Protests in Ukraine”. Debatte: Journal of Contemporary Central and Eastern Europe. Korostelina, Carina. 2013. “The Multiethnic Statebuilding Dilemma: National and Ethnic Minorities’ Identities in the Crimea”, National Identities 5(2). Mizrokhi, Elena. 2009. “Russian ‘separatism’ in Crimea and NATO: Ukraine’s Big Hope, RusDing Ying, “A Fragile Foursome - The Ukrainian Crisis will Persist, but a Recent Four-Way Agreement May Not”, Beijing Review, 1 Mei 2014. 57
Aneksasi Rusia di Krimea dan Konsekuensi bagi Ukraina | Indriana Kartini | 41
42 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 43–54
IMPIAN TIONGKOK: NASIONALISME TIONGKOK MELINTAS BATAS DALAM PEMBANGUNAN TIONGKOK CHINA DREAM: CHINESE NATIONALISM ACROSS BORDERS IN CHINA DEVELOPMENT Hayati Nufus Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 29 Juli 2014; direvisi: 19 September 2014; disetujui: 3 Desember 2014 Abstract China Dream, of which its core meaning is national rejuvenation of the Chinese nation, is the President Xi Jinping’s slogan for governing China today. This paper analyzes the efforts of China's rejuvenation through the China Dream slogan. Through this slogan, China wants to revive the past glory that once belonged to China and to evoke a sense of nationalism within its society. Moreover, this idea also aims to strengthen the legitimacy of Xi Jinping and the Chinese Communist Party in its domestic politics. One of the programs conducted by China to realize its goal is to rebuild the Silk Road (by land and sea) through the idea of One Belt, One Road. Relating to this, the revival of China is also an attempt to legitimize China’s position as a major power in international politics. Keywords: China Dream, the rejuvenation of China, Silk Road, China Diplomacy. Abstrak Impian Tiongkok dengan kata kunci kebangkitan nasional bangsa Tionghoa merupakan slogan Presiden Xi Jinping dalam memerintah saat ini. Tulisan ini menganalisis upaya kebangkitan Tiongkok melalui slogan tersebut. Tujuan digunakannya slogan tersebut adalah untuk membangkitkan kembali kejayaan masa lalu yang pernah dimiliki Tiongkok dan membangkitkan rasa nasionalisme rakyat. Selain itu, gagasan ini juga memiliki tujuan untuk memperkuat legitimasi Xi Jinping dan Partai Komunis Tiongkok di dalam politik dalam negerinya. Salah satu program yang dilakukan oleh Tiongkok untuk mewujudkan cita-citanya adalah dengan membangun kembali Jalur Sutra melalui gagasan Satu Sabuk, Satu Jalur. Bila dikaitkan dengan pembangunan Satu Sabuk, Satu Jalur, kebangkitan Tiongkok juga merupakan upaya untuk melegitimasi posisi Tiongkok sebagai negara besar di kancah politik internasional. Kata Kunci: Impian Tiongkok, Kebangkitan Tiongkok, Jalur Sutra, Diplomasi Tiongkok.
Pendahuluan Secara konseptual, slogan sebagai salah satu simbol bahasa dapat dimanfaatkan sebagai alat politik untuk mempertahankan kekuasaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Gorys Keraf (1990)1 yang menyatakan bahwa bahasa tidak 1
Gorys Keraf, Linguistik Bandingan Tipologis, (Jakarta: PT
hanya berfungsi sebagai pengungkap ide atau pikiran, tetapi juga dapat digunakan sebagai alat penggerak atau menimbulkan dampak emosi pada orang lain. Penggunaan slogan sebagai visi dalam pemerintahan juga menjadi tradisi turun-temurun yang masih terus dilakukan oleh Gramedia Pustaka Utama, 1990), hlm. 136.
Impian Tiongkok: Nasionalisme Tiongkok Melintas Batas ... | Hayati Nufus | 43
para pemimpin Tiongkok hingga saat ini. Sloganslogan yang dipilih oleh pemimpin Tiongkok digunakan untuk menarik perhatian rakyat dan juga sebagai alat untuk membangkitkan semangat di hati masyarakat Tiongkok. Selain itu, slogan yang dipilih juga dijadikan sebagai visi yang menunjukkan arah kebijakan-kebijakan politik yang akan diambil oleh Tiongkok. Presiden Tiongkok generasi kelima, Xi Jinping, tidak luput dari tradisi penggunaan slogan sebagai visi pemerintahannya. Xi Jinping memilih slogan yang dikenal dengan : 中国梦 zhōngguó mèng (Impian Tiongkok). Gagasan mengenai中 国 梦 zhōngguó mèng (Impian Tiongkok) pertama kali disampaikan oleh Xi pada saat menghadiri sebuah pameran bertema Jalan Kebangkitan yang dilaksanakan pada tanggal 29 November 2012 di Museum Nasional Tiongkok. Xi Jinping memberikan penjelasan lebih lanjut tentang gagasan tersebut dalam pidatonya pada acara penutupan Sidang Pertama Kongres Rakyat Nasional Tiongkok yang ke-12 di Beijing. Semenjak saat itu, istilah中国梦 zhōngguó mèng (Impian Tiongkok) menjadi sebuah istilah yang sering muncul di televisi, media massa, maupun di papan-papan iklan pinggir jalan-jalan Tiongkok. 2 Bahkan, pada bulan Desember 2012 media massa Tiongkok menyebutkan bahwa karakter 梦 mèng (mimpi) menjadi karakter yang paling banyak digunakan sepanjang akhir tahun 2012.3 Secara garis besar, perwujudan Impian Tiongkok menurut Xi Jinping terdapat dalam kata kunci: kebangkitan besar bangsa Tionghoa. Xi Jinping menyatakan: “….我以为,实现中 华民族伟大复兴,就是中华民族近代以来最 伟大的梦想....” “…Menurut saya, mewujudkan kebangkitan besar bangsa Tionghoa merupakan impian terbesar bangsa Tionghoa pada abad ini….”.4Dalam rangka mewujudkan kebangkitan bangsa Tionghoa tersebut, harus dibangun sebuah Joyce Lee, “Expressing the Chinese Dream”, The Diplomat, 28 Maret 2014, http://thediplomat.com/2014/03/expressingthe-chinese-dream/?img=1#postImage , diakses pada tanggal 27 Juni 2014. 2
3
“Chasing the Chinese Dream”,. The Economist, 4 Mei 2013.
Sambutan Xi Jinping pada saat menghadiri pameran “Jalan Kebenaran”, Zhongguo Gongchandang Xinwen Wang 30 November 2012, http://cpc.people.com.cn/n/2012/1130/ c64094-19746088.html , diakses pada tanggal 25 Juni 2014. 4
negara yang kuat, bangsa yang sejahtera, dan masyarakat yang bahagia. Xi juga menyatakan bahwa Impian Tiongkok bukan hanya milik bangsa Tionghoa saja. Kesejahteraan yang ingin dicapai melalui Impian Tiongkok diharapkan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat di dunia. Inilah yang menjadikan Impian Tiongkok berbeda dengan Impian Amerika (American Dream). 5 Kebangkitan Tiongkok dilakukan dengan damai, dengan cita-cita agar dapat membawa keuntungan bagi negara-negara berkembang lainnya yang ada di sekitar Tiongkok. Salah satu program yang dilakukan oleh Tiongkok demi mewujudkan cita-cita tersebut adalah dengan pembangunan 一 带 一 路 yidai yilu (Satu Sabuk, Satu Jalur). Gagasan tersebut mengandung dua agenda besar yaitu pembangunan Sabuk Ekonomi Jalur Sutra dan Jalur Sutra Maritim Abad 21.6 Jalur Sutra di masa lampau merupakan jalur perdagangan yang sangat penting bagi pengembangan ekonomi Tiongkok sejak zaman dinasti. Berkaca dari sejarah pentingnya eksistensi Jalur Sutra sejak di masa lampau ini, pemerintah Tiongkok memiliki keinginan untuk membangun dan menghidupkan kembali Jalur Sutra, sesuai dengan tujuan kebangkitan dalam Impian Tiongkok. Presiden Xi Jinping menggunakan gagasan pembangunan kembali “Sabuk” dan “Jalan” Sutra abad 21 sebagai cara untuk menghubungkan Tiongkok masa lalu dengan masa kini.7 Tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah telah mencatat Jalur Sutra sebagai simbol kekuatan dan keberhasilan Tiongkok di masa lampau. Presiden Xi mencoba mengingatkan kembali dunia internasional akan kejayaan yang pernah dimiliki oleh Tiongkok tersebut.
Li Yu, “Yu Wujin: “Zhongguo Meng” Ji zaofu Zhongguo ye zaofu shijie”, CSS Today, 29 Maret 2013, http://www.csstoday. net/Item/58148.aspx , diakses pada tanggal 20 Mei 2014. 5
Sun Dan, “Wei he Yi Dai Yi Lu?”, Economic Daily, 27 September 2014, http://www.ce.cn/ztpd/xwzt/guonei/2014/ ydyl/wjzl/201409/27/t20140927_3610622.shtml , diakses pada tanggal 29 September 2014. 6
Sun Dan, “Wei he Yi Dai Yi Lu?”, Economic Daily, 27 September 2014, http://www.ce.cn/ztpd/xwzt/guonei/2014/ ydyl/wjzl/201409/27/t20140927_3610622.shtml , diakses pada tanggal 29 September 2014. 7
44 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 43–54
Rancangan pembangunan Sabuk Ekonomi Jalur Sutra dan Jalur Sutra Maritim Abad 21 ini nantinya akan melewati banyak negara, baik di Eropa maupun di Asia. Indonesia merupakan salah satu negara yang perairannya akan dilalui oleh Jalur Sutra Maritim Abad 21. Jalur Sutra Maritim tersebut akan melewati Selat Sunda dan Selat Malaka. Gagasan Jalur Sutra Maritim ini bersinggungan dengan visi Presiden Jokowi untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Peluang kerja sama pembangunan maritim terbuka lebar bagi Indonesia dan Tiongkok. Meskipun demikian, masih terdapat perdebatan di dalam negeri kita apakah peluang kerja sama pembangunan maritim tersebut akan menguntungkan Indonesia, atau justru akan mengganggu kepentingan nasional kita sendiri. Sementara dari sisi Tiongkok, untuk dapat mewujudkan rencana pembangunan Satu Sabuk, Satu Jalur, kepentingan negara-negara lain yang akan dilalui oleh jalur tersebut tentu tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Gagasan pembangunan dua Jalur Sutra ini mau tidak mau akan membuat Tiongkok lebih aktif dalam mengusahakan kerja sama agar negara-negara yang dilalui dapat mendukung kelancaran pembangunan Jalur Sutra darat dan maritim. Kita perlu memahami makna kebangkitan yang ingin dicapai oleh Tiongkok melalui Impian Tiongkok dan pembangunan Satu Sabuk, Satu Jalur tersebut. Dengan demikian, diharapkan kita dapat lebih memahami maksud dan tujuan Tiongkok, dan dapat memaknai kebangkitan Tiongkok sebagai sebuah peluang yang menguntungkan. Berdasarkan latar belakang seperti yang telah dipaparkan di atas, tulisan ini bertujuan untuk menganalisis upaya kebangkitan Tiongkok melalui Impian Tiongkok dalam pembangunan Satu Sabuk, Satu Jalur.
Makna中国梦 Zhongguo Meng (Impian Tiongkok) bagi Xi Jinping dan Partai Komunis Tiongkok Pemilihan slogan 中 国 梦 zhōngguó mèng (Impian Tiongkok) sebagai visi Tiongkok oleh Xi Jinping agak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para pendahulunya. Slogan-slogan seperti 开 革 开 放 Kaige kaifang (Reformasi dan
Keterbukaan), 三个代表 Sange daibiao (Tiga Perwakilan), dan 科学发展观 Kexue fazhan guan (Konsep P embangunan I lmiah) di masa lampau lebih bersifat teknis dan arahan praktis. Sementara, konsep 中国梦 zhōngguó mèng (Impian Tiongkok) yang digagas oleh Presiden Xi terlihat seperti ditujukan untuk menginspirasi dan membangkitkan kembali semangat rakyat Tiongkok. Hal yang menarik dari penggunaan sloganslogan oleh para pemimpin Tiongkok adalah bahwa slogan tersebut juga memiliki fungsi yang cukup penting bagi Partai Komunis Tiongkok (PKT). Presiden Tiongkok yang sekaligus menjabat sebagai Sekretaris Umum PKT menggunakan slogan untuk melegitimasi kekuasaannya, dan untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Seperti pada masa kepemimpinan Presiden Hu Jintao yang lalu (2002-2012), di tengah mulai munculnya desakan serta tuntutan masyarakat Tiongkok atas keadilan sosial, PKT meresponnya dengan mengeluarkan slogan-slogan seperti: 执 政 为 民 Zhizheng wei min “memerintah untuk rakyat”, 和谐社会 Hexie shehui “masyarakat harmonis”, dan 科学发展观 Kexue fazhan guan “konsep pengembangan ilmiah”. 8Penggunaan slogan-slogan tersebut pada kenyataannya dapat meredam tuntutan masyarakat yang muncul pada saat itu. Dasar ideologi-ideologi “harmoni” yang berasal dari ide konfusianisme yang mengakar di tengah masyarakat dicoba untuk ditumbuhkan kembali melalui slogan-slogan yang ada. Dengan menggunakan nilai-nilai yang dekat dengan kehidupan masyarakat, partai dapat dengan mudah menarik kembali kepercayaan rakyatnya. Gagasan mengenai中国梦zhōngguó mèng (Impian Tiongkok) yang dicetuskan oleh Xi Jinping tidak hanya semata-mata menggambarkan visi Tiongkok di bawah pemerintahannya. Lebih jauh lagi, kita bisa melihat adanya usaha Xi Jinping untuk menggunakannya sebagai alat politik yang menguntungkan baginya dan bagi PKT. Min Xinpei, “China’s rule by slogan is faltering”, Taipei Times, 19April 2013, http://www.taipeitimes.com/News/editorials/ archives/2013/04/19/200356008/2, diakses pada tanggal 18 Juni 2014. 8
Impian Tiongkok: Nasionalisme Tiongkok Melintas Batas ... | Hayati Nufus | 45
Penggunaan Impian Tiongkok berkaitan erat dengan tujuan Xi untuk menguatkan dukungan rakyat atas posisinya sebagai pemimpin. Latar belakang keluarga Xi, terutama ayahnya yang pernah mendapatkan “hukuman” atas tuduhan mengkhianati partai dapat menjadi bumerang yang sewaktu-waktu menyerangnya. Tuduhan atas ayahnya tersebut menempatkan posisi Xi menjadi sulit untuk dapat diterima oleh PKT sejak masa mudanya. Xi bahkan harus melewati 10 kali pendaftaran dengan 9 kali ditolak untuk menjadi anggota PKT. Dengan posisinya sebagai pemimpin Tiongkok saat ini, Xi harus menunjukkan citra bahwa ia adalah tokoh yang mengabdi dan bisa melebur dengan rakyat. Untuk itu melalui Impian Tiongkok, Xi Jinping menghubungkan takdir negara dengan nasib masing-masing rakyatnya. Di samping untuk melegitimasi posisinya sebagai pemimpin Tiongkok, konsep Impian Tiongkok juga membawa pengaruh dalam melegitimasi kekuatan PKT. Di tengah dinamika politik dan munculnya berbagai permasalahan di dalam negeri Tiongkok, terutama permasalahan kesenjangan sosial dan kemiskinan yang tak kunjung usai, harapan kebangkitan dan kesejahteraan melalui slogan yang dihidupkan Xi Jinping ini menjadi sebuah angin segar. Dengan penekanan bahwa Impian Tiongkok adalah mimpi seluruh rakyat Tionghoa, lebih mudah bagi Xi Jinping untuk mengasosiasikan mimpi masingmasing rakyat dengan mimpi negara. Rakyat pun akan menggantungkan impiannya pada partai sebagai pemegang kekuasaan di negara. Hal ini membuat posisi PKT dan negara menjadi sangat penting bagi rakyat. Selain itu, Xi juga menggunakan slogan Impian Tiongkok untuk membangkitkan rasa nasionalisme dan perasaan cinta tanah air di hati masyarakat Tionghoa. Tujuan utama dalam slogan tersebut adalah实现中华民族伟大复兴 (mewujudkan kebangkitan nasional bangsa Tionghoa). 9 Bukan tanpa alasan Xi Jinping menggunakan momen pameran Jalan Kebangkitan untuk mengutarakan konsep kebangkitan nasional yang dimilikinya. Xi mencoba mengingatkan
kembali peran partai dalam perkembangan Tiongkok hingga saat ini. Sejarah mencatat bahwa Tiongkok pernah menjadi sebuah bangsa yang besar sejak masa dinasti hingga abad ke-18. Baru pada saat imperialisme Barat mulai masuk melalui Perang Candu pada tahun 1840 dan memaksa Tiongkok untuk membuka pintu perdagangannya, kekuasaan Tiongkok perlahan mulai mundur. Setelah Perang Candu, Tiongkok mulai memasuki abad yang disebut dengan “abad penghinaan”. Wilayah yang semula berada di bawah kedaulatan Tiongkok menjadi terpecah-pecah dan terjajah. Di tengah desakan dan ancaman imperialisme Barat itulah rakyat Tiongkok kemudian mulai bangkit dan melakukan perlawanan. Pembentukan Partai Komunis Tiongkok dan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok di bawah pimpinan Mao Zedong dianggap sebagai titik terbukanya jalan Tiongkok untuk kembali mendapatkan apa yang menjadi haknya. Wilayah-wilayah yang semula diduduki oleh pemerintah kolonial berhasil dimiliki kembali. Dalam acara pameran Jalan Kebangkitan yang dilaksanakan pada 29 November 201210 dipaparkan gambaran mengenai penderitaan yang dialami oleh masyarakat Tionghoa di bawah kolonialisme asing yang kemudian berhasil “diselamatkan” oleh Partai Komunis Tiongkok. Sebagaimana yang disampaikan oleh Xi: “每一个中国人想起那段历史都会感到 心痛”(Setiap warga Tiongkok yang teringat akan masa sejarah (yang memilukan) itu akan merasa sakit hati).11 Ada dua sisi emosi yang coba dibangkitkan oleh Xi Jinping melalui momen di atas. Pertama adalah perasaan sakit hati rakyat Tiongkok yang coba diingatkan kembali dengan memperlihatkan “abad penghinaan” yang menjadi bagian dari sejarah Tiongkok. Kedua adalah perasaan bangga atas berdirinya PKT yang menjadi penyelamat bagi mereka dan kesadaran bahwa mereka pernah menjadi bangsa yang besar. Kedua Ren Xiaosi, The Chinese Dream: What It Means for China and the Rest of the World”, (Beijing: New World Press, 2013), hlm. 5. 10
Leng, Rong, “Shenme Shi Zhongguo Meng, Zenme Lijie Zhongguo Meng”, 27 Juni 2014, http://paper.people.com.cn/ rmrb/html/2014-06/27/nbs.D110000renmrb_01.htm , diakses pada tanggal 28 Juni 2014. 11
“What does Xi Jinping’s China Dream mean?”, BBC, 6 Juni 2013, http://www.bbc.com/news/world-asia-china-22726375 , diakses pada tanggal 25 Juni 2014. 9
46 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 43–54
perasaan tersebut menjadi sebuah kekuatan spiritual tersendiri yang mampu membangkitkan semangat nasionalisme di antara masyarakat Tiongkok. Dengan kepercayaan rakyat kepada PKT, ditambah dengan jiwa nasionalisme yang semakin menguat di hati rakyat, Xi Jinping melalui gagasan Impian Tiongkok mencoba menjadikan peran negara menjadi sangat penting bagi rakyatnya untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang kuat, rakyat yang sejahtera, dan masyarakat yang bahagia.
Kebangkitan Nasional Tiongkok : Dari Sun Yatsen hingga Xi Jinping Gagasan mengenai kebangkitan bangsa Tionghoa sebagaimana yang terkandung dalam Impian Tiongkok sebenarnya bukan merupakan hal baru.12 Semangat kebangkitan bangsa selalu mewarnai pemerintahan Tiongkok dari masa ke masa. Hampir semua presiden Tiongkok menggunakan landasan kebangkitan nasional Tiongkok pada masa pemerintahannya, hanya saja konteks yang digunakan berbeda-beda. Hanya pada masa Mao Zedong saja yang tidak menggunakan konsep kebangkitan bangsa Tionghoa di dalam pemerintahannya. Gagasan mengenai kebangkitan nasional bangsa Tionghoa pertama kali digagas oleh Sun Yatsen sebelum terbentuknya Republik Rakyat Tiongkok. Sementara di era modern, konsep kebangkitan nasional bangsa Tionghoa baru digunakan kembali pada awal tahun 1980an. Seruan mengenai kebangkitan nasional tersebut menempatkan PKT sebagai pemegang tugas utama dalam mengembalikan posisi kejayaan Tiongkok.13 Sun Yatsen, tokoh nasionalis Tiongkok, pada masa perjuangan menuju Revolusi Tiongkok 1911 pernah mengungkapkan seruan berupa : 振兴中华 Zhenxing Zhonghua “Kebangkitan Bangsa Tionghoa”. Jika dicermati sekilas memang gagasan yang diungkapkan oleh Xi Jinping tentang Impian Tiongkok sama persis dengan milik Sun Yatsen. Akan tetapi, perbedaan yang mendasar adalah pada pemilihan kata Leng, Rong, “Shenme Shi Zhongguo Meng, Zenme Lijie Zhongguo Meng”, 27 Juni 2014, http://paper.people.com.cn/ rmrb/html/2014-06/27/nbs.D110000renmrb_01.htm , diakses pada tanggal 28 Juni 2014. 12
13
Ibid.
untuk menunjukkan “kebangkitan” dalam Bahasa Mandarin yang digunakan oleh Xi dan Sun. Xi memilih menggunakan kata: 复 兴 fuxing, sedangkan Sun menggunakan kata 振兴 zhanxing. Kedua kata tersebut memang memiliki arti yang mirip, yaitu kebangkitan. Perbedaannya adalah, kata 复 兴fuxing merujuk pada makna “memulihkan atau mengembalikan pada kondisi kejayaan dan kemakmuran yang sudah ada sebelumnya”, sedangkan kata 振 兴 zhenxing bermakna “membentuk atau menghasilkan kondisi jaya dan makmur yang belum pernah ada sebelumya”.14 Melalui pemilihan kata yang digunakan oleh Xi ini dapat dipahami bahwa kebangkitan nasional yang diinginkan oleh Impian Tiongkok adalah dengan mengembalikan kejayaan dan kemakmuran yang pernah dimiliki oleh Tiongkok sebelumnya. Pada masa pemerintahan Deng Xiaoping, fokus dari kebangkitan Tiongkok diejawantahkan melalui seruan untuk “penyegaran kembali Tiongkok” yang digaungkan pada awal tahun 1980an. 15 Hal yang ditekankan oleh Deng pada saat itu adalah bagaimana membuat Tiongkok menjadi lebih kuat dan sejahtera. Maka dari itulah Deng menggagas konsep revolusi dan keterbukaan Tiongkok. Selain itu, upaya penyegaran Tiongkok juga lebih difokuskan pada pembaruan yang dilakukan Tiongkok pasca kerugian yang dialami Tiongkok atas adanya Revolusi Kebudayaan16 dan kejahatan yang dilakukan oleh Gang of fours.17 Tim Perkamusan Indonesia-Tionghoa, Kamus Praktis Indonesia-Tionghoa, Tionghoa-Indonesia. (Jakarta: Dian Rakyat, 2008) 14
15
Zheng, op.cit.
Revolusi Kebudayaan atau yang disebut dengan 文化大革 命 (Wenhua Dageming) adalah pergolakan sosial besar-besaran yang terjadi pada tahun 1966 sampai dengan tahun 1976. Masa Revolusi Kebudayaan ini sering dianggap sebagai salah satu masa suram dalam perkembangan Tiongkok, karena pada masa ini terjadi “pembersihan” secara besar-besaran terhadap orang-orang atau aparatur negara yang dianggap sebagai “antek kapitalis”. Banyak terjadi kekacauan dan kekerasan, banyak korban berjatuhan, dan warisan karya seni Tiongkok yang dianggap tidak sesuai dengan ruh komunisme juga dihancurkan. Tiongkok mengalami kerugian yang besar akibat adanya Revolusi Kebudayaan ini. Tokoh-tokoh yang dianggap bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi pada masa ini adalah Kelompok Empat (Gang of Fours) yang terdiri dari Jiang Qing (Istri Mao Zedong), Zhang Chunqiao, Yao Wenyuan, dan Wang Hongwen. 16
17
Zheng, op.cit.
Impian Tiongkok: Nasionalisme Tiongkok Melintas Batas ... | Hayati Nufus | 47
Sementara itu, setelah kepemimpinan Deng Xiaoping, konsep kebangkitan juga masih digunakan oleh Jiang Zemin dan Hu Jintao. Presiden ketiga dan keempat Tiongkok ini menitikberatkan tujuan kebangkitan pada kekuatan Tiongkok di tingkat nasional dan standar hidup yang lebih baik bagi masyarakat Tiongkok pada tingkat individual. Konsep ini dapat dilihat sebagai kelanjutan dari ide “penyegaran kembali Tiongkok” yang dicanangkan oleh Deng. Namun, penekanan kebangkitan Tiongkok bukan lagi dilihat dari jatuhnya Tiongkok akibat Revolusi Kebudayaan, tetapi mundur hingga fase sejarah yang lebih terbelakang lagi, yaitu dengan melihat bagaimana kekuatan Barat pada masa kolonial menyebabkan keterbelakangan dan jatuhnya kejayaan Tiongkok. Konsep kebangkitan berlandaskan nilai-nilai sejarah tersebutlah yang kemudian dilanjutkan oleh Xi Jinping dalam gagasan Impian Tiongkok. Gagasan ini mengandung nilai sejarah yang tinggi. Semangat kebangkitan sudah dimiliki oleh bangsa Tionghoa bahkan sejak mereka dihadapkan pada Perang Candu ataupun perang melawan Jepang. Harapan akan Tiongkok yang lebih baik, harapan akan kebahagian hidup generasi-generasi selanjutnya, membentuk kekuatan dan semangat dalam diri masingmasing rakyat Tiongkok untuk mengusahakan kebangkitan Tiongkok. Oleh karena itu, gagasan tentang Impian Tiongkok ini merupakan mimpi yang penuh dengan harapan.18 Sebagai panduan dalam mewujudkan Impian Tiongkok, Xi memberikan prinsip 三 个必须 San ge bixu “3 keharusan” yang harus dipatuhi, yaitu: 1. 必 须 走 中 国 道 路 Bixu zou Zhongguo daolu Harus menempuh jalan Tiongkok. 2 . 必 须 弘 扬 中 国 精 神 Bixu siyang Zhongguo jingshen Harus dengan memelihara semangat Tiongkok. 3. 必须凝聚中国力量 Bixu ningju Zhongguo liliang Harus menghimpun kekuatan Tiongkok. Sambutan Xi Jinping pada saat menghadiri pameran “Jalan Kebenaran”, Zhongguo Gongchandang Xinwen Wang, 30 November 2012, http://cpc.people.com.cn/n/2012/1130/ c64094-19746088.html , diakses pada 25 Juni 2014. 18
Adapun yang dimaksud dengan jalan Tiongkok adalah jalan yang sesuai dengan karakteristik Tiongkok. Satu-satunya jalan yang dianggap sesuai dengan karakteristik Tiongkok, menurut Xi adalah dengan menggunakan sosialisme yang berkepribadian Tiongkok. Sementara yang dimaksud dengan semangat Tiongkok pada poin keharusan yang kedua adalah semangat mencintai tanah air. Dengan adanya semangat cinta tanah air yang terus dikembangkan di tengah-tengah masyarakat, maka seluruh rakyat Tionghoa dapat bersatu. Setelah seluruh masyarakat Tionghoa dapat bersatu, maka kekuatan Tiongkok pun dapat terhimpun. Kekuatan yang terbentuk dari seluruh himpunan masyarakat Tiongkok inilah yang menjadi kekuatan utama dalam perwujudan kebangkitan bangsa Tionghoa.19 Dalam perwujudannya, Impian Tiongkok harus sejalan dan disesuaikan dengan cita-cita partai dalam rancangan “dua abad” atau dua kali 100 tahun. Rencana “dua kali 100 tahun” yang dimaksud yaitu cita-cita Tiongkok untuk mewujudkan “masyarakat kelas menengah” pada tahun 2021 (100 tahun berdirinya PKT), serta mewujudkan “negara sosialis modern yang kaya, kuat, demokratis, beradab, dan harmonis” pada tahun 2049 (100 tahun berdirinya Republik Rakyat Tiongkok).20 Apa yang ingin dicapai oleh Impian Tiongkok bukan hanya semata-mata membawa keuntungan bagi rakyat Tiongkok saja. Xi mengungkapkan bahwa Impian Tiongkok merupakan impian seluruh masyarakat Tionghoa yang sejalan dengan impian seluruh masyarakat di dunia.21 Bahwa mewujudkan sebuah bangsa yang sejahtera dan rakyat yang bahagia adalah cita-cita seluruh negara yang ada di dunia. Dalam mewujudkan cita-cita Impian Tiongkok Zhang Li, “San Ge Bixu: Shixian Zhongguo Meng de Bi Sheng Fabao”, Renmin Wang Lilun, 11 April 2013, http:// theory.people.com.cn/n/2013/0411/c40537-21102009.html , diakses pada tanggal 25 Juni 2014. 19
Leng Rong, “Shenme Shi Zhongguo Meng, Zenme Lijie Zhongguo Meng”, Renmin Wang, 27 Juni 2014, http://paper. people.com.cn/rmrb/html/2014-06/27/nbs.D110000renmrb_01. htm , diakses pada tanggal 24 Juli 2014. 20
“Zhongguo Zhu Meng Zhi Lu Yu Shijie Tonghang”, Xinhua Net, 19 Agustus 2013, http://www.xinhuanet.com/world/ jrch/20130819.htm , diakses pada tanggal 22 Februari 2014. 21
48 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 43–54
ini, pada saat yang bersamaan Tiongkok juga akan berusaha mendorong dan membantu perkembangan negara-negara lain di dunia, khususnya negara-negara berkembang yang ada di sekitarnya. Tiongkok akan berbagi kesempatan untuk berkembang dengan negara-negara lain. Dengan demikian hal tersebut akan membantu negara lain untuk mewujudkan impian mereka masing-masing.
Diplomasi Tiongkok dalam pembangunan Satu Sabuk, Satu Jalur Rencana pembangunan Satu Sabuk, Satu Jalur merupakan program yang sangat mendukung terwujudnya cita-cita Tiongkok di atas. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Impian Tiongkok membawa nilai-nilai sejarah yang besar. Pembangunan Satu Sabuk, Satu Jalur juga tidak dapat dilepaskan dari fase sejarah yang pernah dilalui oleh Tiongkok. Program rancangan pembangunan Satu Sabuk, Satu Jalur tersebut merupakan perwujudan paling nyata dalam pencapaian tujuan kebangkitan bangsa Tionghoa. Tiongkok ingin membangkitkan kembali kebanggaan dan kejayaan yang pernah dicapai melalui adanya Jalur Sutra. Keinginan untuk membangun dan menghidupkan kembali Jalur Sutra pertama kali diungkapkan oleh Xi Jinping pada saat mengadakan kunjungan kenegaraan di Kazakhstan pada bulan September 2013. Xi lalu menegaskan lagi inisiatifnya untuk kembali membangun Jalur Sutra pada saat berkunjung ke Indonesia pada bulan Oktober 2013.22 Bukan tanpa alasan jika Xi memilih menyampaikan gagasan pembangunan Satu Sabuk, Satu Jalur ini di Kazakhstan dan Indonesia. Dua negara ini adalah dua negara yang memiliki potensi yang besar bagi Tiongkok. Kazakhstan menjadi penghubung Tiongkok dengan negara Asia Tengah yang lain seperti Iran, dan Turkmenistan hingga Teluk Persia. Sumber daya alam yang dimiliki negara-negara tersebut juga cukup besar. Sementara, letak geografis Indonesia berada pada jalur strategis perairan internasional. Perairan Indonesia merupakan salah satu perairan internasional dengan arus Li Yu, “Yu Wujin: “Zhongguo Meng” Ji zaofu Zhongguo ye zaofu shijie”, CSS Today, 29 Maret 2013, http://www.csstoday. net/Item/58148.aspx , diakses pada tanggal 20 Mei 2014. 22
lalu lintas yang padat. Tiongkok melihat potensi besar di wilayah perairan Indonesia tersebut untuk mendukung rencana pembangunan Jalur Sutra Maritimnya. Gagasan Satu Sabuk, Satu Jalur yang ingin dibangun oleh Tiongkok mengacu pada Jalur Sutra yang sudah ada sejak dulu. Sabuk Ekonomi Jalur Sutra akan dibangun sesuai dengan Jalur Sutra darat, sementara Jalur Sutra Maritim Abad 21 akan dibangun berdasarkan Jalur Sutra yang melalui laut. Jalur Sutra sendiri bukanlah hal yang baru bagi Tiongkok. Jalur ini sudah dibuka sebagai jalur penghubung ekonomi Tiongkok sejak masa pemerintahan dinasti Han pada abad ke-3 SM. Akan tetapi, nama Jalur Sutra baru dikenal setelah pada abad ke-18 Masehi disebut sebagai Jalur Sutra (The Silk Road) oleh seorang peneliti bernama Von Richtoven yang berasal dari Jerman.23 Jalur ini memiliki kontribusi besar sebagai jantung perekonomian Tiongkok di masa lampau. Selain itu, Jalur Sutra juga menjadi penghubung antara Tiongkok dengan dunia luar, membuka jalan bagi terjadinya hubungan dan penyebaran kebudayaan dari Timur ke Barat, atau sebaliknya. Jalur Sutra pada masa lampau terdiri dari dua jalur besar, yaitu melalui darat dan laut. Jalur darat pun masih terbagi-bagi menjadi beberapa jalur, melalui Tiongkok bagian utara, tengah, dan selatan. Jalur utara menghubungkan Tiongkok dengan Eropa sampai Laut Mati, jalur tengah menghubungkan Tiongkok dengan Eropa hingga tepian Laut Mediterania, sedangkan jalur selatan menghubungkan Tiongkok dengan Afghanistan, Iran, dan India. Sementara itu, Jalur Sutra yang dilalui oleh kapal-kapal pelayaran melalui jalur laut dimulai dari kota Guangzhou yang terletak di Tiongkok bagian selatan menuju ke Selat Malaka, Srilanka, India, terus hingga ke pantai timur Afrika.24 Berikut Gambar 1. Adalah Peta Jalur Sutra kuno yang dimiliki oleh Tiongkok.
Heri Ruslan, “Menelusuri Jalur Sutra”, Republika Online, 3 November 2013, http://www.republika.co.id/berita/duniaislam/khazanah/13/11/03/mvova0-menelusuri-jalur-sutra, diakses pada tanggal 14 Februari 2014. 23
“Jalan Sutra”, CRI Online, 1 Mei 2014, http://indonesian. cri.cn/chinaabc/chapter14/chapter140501.htm , diakses pada tanggal 14 Juni 2014. 24
Impian Tiongkok: Nasionalisme Tiongkok Melintas Batas ... | Hayati Nufus | 49
Sumber : http://images.takungpao.com/2014/0407/20140407023229164.jpg diakses pada tanggal 22 Juni 2014. Gambar. 1. Peta Jalur Sutra Kuno Tiongkok
Dapat dilihat pada peta di atas bahwa jalur yang dilalui oleh Jalur Sutra bukan hanya mencakup negara-negara di Asia saja, tetapi juga melewati negara-negara di Eropa. Jalur ini tentu menjadi bukti keberhasilan Tiongkok yang pada saat itu sudah dapat menjangkau wilayah-wilayah yang jauh darinya. Selain itu, jalur tersebut memberikan banyak keuntungan ekonomi bagi Tiongkok melalui perdagangan yang dilakukan dengan negara-negara yang dilewati. Konsep rancangan Satu Sabuk, Satu Jalur yang akan dibangun oleh Tiongkok tidak berbeda jauh dengan Jalur Sutra yang sudah ada. Untuk lebih jelas, rancangan pembangunan Sabuk Ekonomi Jalur Sutra dan Jalur Sutra Maritim Abad 21 dapat dilihat pada Gambar 2. Pada Gambar 2, garis putus-putus merah menunjukkan jalur yang akan dibangun oleh Tiongkok melalui Jalur Sutra Darat atau Sabuk Ekonomi Jalur Sutra. Jalur ekonomi tersebut membentang dari Xi’an, Tiongkok hingga ke Venesia, Italia. Jalur Sutra darat ini akan menghubungkan Tiongkok dengan Asia
Tengah dan Eropa. Sementara, Jalur Sutra Maritim rencananya akan menghubungkan jalur perdagangan melalui pelayaran sebagaimana yang ditunjukkan oleh garis biru putus-putus pada gambar. Jalur tersebut akan menghubungkan pelabuhan-pelabuhan yang ada di Tiongkok dengan Samudra Hindia, Teluk Persia, Laut Merah, hingga ke Teluk Aden.25 Jika dibandingkan antara Gambar 1 dan Gambar 2, dapat dilihat bahwa cakupan wilayah yang nantinya akan dilalui oleh Jalur Sutra yang baru lebih banyak dari pada Jalur Sutra kuno Tiongkok. Ada keterhubungan antara Sabuk Ekonomi Jalur Sutra dan Jalur Sutra Maritim Abad 21. Ini artinya, lebih banyak negara-negara yang akan dirangkul dalam kerja sama oleh Tiongkok. Hubungan antara Tiongkok dengan negara-negara di Asia ataupun negara berkembang lain yang dilalui oleh jalur tersebut akan membawa pengaruh yang cukup penting dalam memfasilitasi Tiongkok untuk 25
Ruslan, op.cit.
50 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 43–54
Sumber : http://www.xinhuanet.com/world/newsilkway/ diakses pada tanggal 22 Juni 2014. Gambar. 2. Rancangan Pembangunan “Sabuk Ekonomi Jalur Sutra” dan “Jalur Sutra Maritim Abad 21”
mewujudkan kebangkitannya sesuai dengan cita-cita Impian Tiongkok. Inisiatif pembangunan kembali Jalur Sutra darat dan laut menurut Xi Jinping adalah gagasan yang sesuai dengan keinginan mempercepat pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Tiongkok ataupun masyarakat di negara-negara yang akan dilalui jalur tersebut. Pembangunan Sabuk Ekonomi Jalur Sutra dan Jalur Sutra Maritim Abad 21 diharapkan dapat menyediakan platform yang besar untuk pengembangan kerja sama secara inklusif, yang dilandasi oleh adanya kesamaan budaya dan ikatan sejarah yang mendalam.26 Bagi Tiongkok, kerja sama dalam kerangka Satu Sabuk, Satu Jalur ini merupakan kunci penting yang akan mendorong perkembangan secara global, bukan hanya bagi Tiongkok saja.27 Huang Rui, “Xi Jinping: Jiakuai Tuijin Sichou Zhi Lu Jingji Dai he 21 Shiji Haishang Sichou Zhi Lu Jianshe”, Xinhua Net, 6 November 2014, http://news.xinhuanet.com/politics/201411/06/c_1113146840.htm , diakses pada tanggal 5 Oktober 2014. 26
Muhammad Zamir, “Chinese ‘Silk Road’ Initiative for Wider Connectivity”, The Daily Star, 1 Oktober 2014 http:// www.thedailystar.net/chinese-silk-road-initiative-for-wider27
Sehubungan dengan upaya mewujudkan kebangkitan nasional Tiongkok melalui pembangunan Satu Sabuk, Satu Jalur, Tiongkok melakukan perubahan yang cukup signifikan dalam arah diplomasi dan politik luar negerinya. Dalam tulisannya mengenai lima keberhasilan diplomasi Tiongkok pada tahun 2014, Dingding Chen 28 menyatakan salah satu keberhasilan diplomasi Tiongkok adalah terbentuknya strategi besar diplomasi Tiongkok yang baru. Strategi besar diplomasi Tiongkok yang baru tentunya dilandasi oleh visi Impian Tiongkok. Gagasan kebangkitan Tiongkok membuat diplomasi Tiongkok menjadi lebih terbuka. Tiongkok menjadi lebih percaya diri dan lebih aktif dalam diplomasinya. Hal ini berbeda dengan diplomasi Tiongkok pada masa Mao Zedong dan Deng Xiaoping yang cenderung “keeping the low profile”.29 connectivity-44022 , diakses pada tanggal 5 Oktober 2014. Chen Dingding, “The Top 5 Achievements of Chinese Diplomacy in 2014”, The Diplomat, 31 Desember 2014, http:// thediplomat.com/2014/12/the-top-5-achievements-of-chinesediplomacy-in-2014/ , diakses pada tanggal 5 Oktober 2014. 28
29
Muhammad Zamir, “Chinese ‘Silk Road’ Initiative for
Impian Tiongkok: Nasionalisme Tiongkok Melintas Batas ... | Hayati Nufus | 51
Diplomasi Tiongkok yang lebih aktif ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Xi Jinping dalam Konferensi yang diadakan oleh PKT dalam rangka membahas tentang perkembangan politik luar negeri Tiongkok pada tanggal 28-29 November 2014 di Beijing.30Xi menyampaikan bahwa interaksi Tiongkok dengan komunitas-komunitas internasional menjadi lebih dekat apabila dibandingkan dengan tahuntahun sebelumnya. Menurut Xi, Tiongkok saat ini sedang berada pada tingkatan yang sangat krusial dalam era perkembangannya. Maka dari itu, Tiongkok harus mampu menyejajarkan diri dalam perkembangan global untuk dapat mempertahankan atau bahkan meningkatkan perkembangan negaranya sendiri. 31Namun demikian, Xi berpesan bahwa dalam memandang perkembangan global, Tiongkok tidak boleh mengesampingkan pandangan-pandangan dan nilai-nilai yang menjadi karakteristik Tiongkok. Dalam menentukan arah pembangunannya, Tiongkok juga harus menimbang masalah kepentingan domestik dan internasional, dan harus tetap menjunjung prinsip perkembangan secara damai. Selain mengutamakan perkembangan secara damai, dalam diplomasi barunya ini Tiongkok juga mengembangkan konsep kerja sama “winwin cooperation” dalam berhubungan dengan negara-negara di sekitarnya.32Konsep kerja sama tersebut dilakukan dengan berlandaskan pada persahabatan, ketulusan, keuntungan bersama, dan inklusifitas. Kerja sama tersebut juga harus dilandaskan pada prinsip menjunjung tinggi hukum, menghargai prinsip nonintervensi dalam urusan internal negara lain, serta menghargai pilihan independen negara lain. Tiongkok juga harus mengutamakan penyelesaian secara damai Wider Connectivity”, The Daily Star, 1 Oktober 2014 http:// www.thedailystar.net/chinese-silk-road-initiative-for-widerconnectivity-44022 , diakses pada tanggal 5 Oktober 2014. “The Central Conference on Work Relating to Foreign Affairs was Held in Beijing”, 29 November 2014, http://www.fmprc. gov.cn/mfa_eng/zxxx_662805/t1215680.shtml , diakses pada tanggal 1 Oktober 2014. 30
Chen Dingding, “The Top 5 Achievements of Chinese Diplomacy in 2014”, The Diplomat, 31 Desember 2014, http:// thediplomat.com/2014/12/the-top-5-achievements-of-chinesediplomacy-in-2014/ , diakses pada tanggal 1 Oktober 2014. 31
32
Ibid.
dalam menghadapi perselisihan dengan negara lain. Jika terjadi sengketa dalam kerja sama, Tiongkok harus mengutamakan penyelesaian konflik dengan jalan dialog atau konsultasi.33 Hal penting lain yang menjadi prioritas Tiongkok dalam diplomasinya adalah menjalin hubungan yang baik dengan negara-negara berkembang, terutama negara-negara yang berbatasan langsung dengan Tiongkok. Prioritas ini tentu bisa dipahami terkait dengan program pembangunan Satu Sabuk, Satu Jalur Tiongkok. Asia Timur dan Asia Tenggara adalah negaranegara yang paling dekat dengan Tiongkok. Tiongkok menyadari bahwa kekuatan wilayah regional juga berperan penting bagi Tiongkok. Wakil Menteri Luar Negeri Tiongkok menyatakan bahwa pada tahun 2013 jumlah perdagangan Tiongkok dengan negara di Asia Timur dan Asia Tenggara mencapai 1,14 juta USD. 34 Angka tersebut melampaui angka perdagangan Tiongkok dengan Amerika ataupun dengan Uni Eropa. Tiongkok sadar bahwa negara-negara di kawasan Asia-Pasifik merupakan kawasan yang memiliki potensi besar untuk mendukung perkembangannya dari segi ekonomi. Pembangunan Satu Sabuk, Satu Jalur salah satunya tentu bertujuan untuk memanfaatkan potensi di kawasan Asia Pasifik tersebut. Selain itu, Tiongkok juga mengeluarkan inisiatif pembangunan Bank Investasi Infrastruktur Asia. Inisiatif-inisiatif yang mengarah pada kerja sama ini dapat dipahami mengingat Tiongkok memiliki ketergantungan kepada negaranegara disekitarnya dalam hal pemenuhan kebutuhannya akan bahan produksi mentah, pasar, investasi, dan teknologi. Kedamaian dan kestabilan di kawasan tersebut perlu dijaga untuk mempertahankan keberlangsungan pembangunan Tiongkok. Salah satu cara menjaga kedamaian tersebut dilakukan dengan mengikat negara-negara di sekitar Tiongkok dalam kerangka kerja sama ekonomi. Selama Tiongkok masih memiliki kebutuhan tersebut, 33
Ibid.
Liu Zhenmin, “Wei Yazhou de Wending yu Fanrong Gongxian Zhongguo Liliang”, Renmin Wang, 28 April 2014., http:// politics.people.com.cn/n/2014/0428/c1001-24948393.html , diakses pada tanggal 22 Mei 2014. 34
52 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 43–54
maka arah diplomasi dan kerja sama Tiongkok pun tentunya masih akan mengutamakan prinsip pembangunan secara damai dan win-win cooperation. Namun, melihat kecenderungan Tiongkok, sepertinya terdapat ambivalensi jika dikaitkan dengan sikapnya yang cenderung asertif jika menyangkut persoalan kedaulatan dan kepentingan nasionalnya. Contohnya di dalam kasus sengketa yang terjadi di Laut Tiongkok Timur dan Laut Tiongkok Selatan yang sampai saat ini belum menemukan penyelesaian. Ideologi mengenai kebangkitan kembali Tiongkok menjadi cukup mengkhawatirkan bagi negaranegara sekitarnya. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, konsep kebangkitan Tiongkok yang ingin dicapai yaitu mengembalikan kejayaan atau keberhasilan yang sebelumnya pernah dimiliki oleh Tiongkok. Sembilan garis putus-putus yang dijadikan klaim kepemilikan Tiongkok di perairan Laut Tiongkok Selatan menggunakan dasar sejarah bahwa Tiongkok sudah memiliki wilayah tersebut sejak masa lampau. Jika Tiongkok tidak bisa menyelesaikan sengketa Laut Tiongkok Timur dan Selatan, suatu saat permasalahan tersebut akan menjadi bumerang dan mengganggu program Satu Sabuk, Satu Jalur yang dibangun atas dasar kerja sama dengan beberapa negara yang juga terlibat dalam kasus sengketa itu. Untuk dapat memperlancar program pembangunan Sabuk Ekonomi Jalur Sutra dan Jalur Sutra Maritim Abad 21, Tiongkok harus mampu meyakinkan negara-negara di sekitarnya bahwa kebangkitan Tiongkok tidak akan membawa malapetaka bagi negara-negara lain di dunia.
Penutup Secara konseptual, slogan dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan politis tertentu. Xi Jinping memformulasikan kembali konsep kebangkitan nasional Tiongkok yang telah ada untuk mencapai tujuan-tujuan politisnya dan memperkuat posisinya sebagai pemimpin baru Tiongkok. Formulasi kebangkitan nasional bangsa Tionghoa disarikan Xi Jinping dalam bentuk slogan Impian Tiongkok. Tujuan yang ingin dicapai oleh Xi melalui slogan tersebut
dapat dilihat dari segi politik dalam negeri dan politik luar negeri Tiongkok. Xi Jinping menggunakan Impian Tiongkok untuk mendapatkan dukungan rakyat dan melegitimasi posisinya sebagai pemimpin. Tujuan tersebut dicapai dengan cara membangkitkan rasa cinta tanah air dan nasionalisme di hati rakyat. Xi sangat memerlukan dukungan dan legitimasi yang kuat mengingat adanya catatan kelam dalam sejarah latar belakang ayah Xi Jinping yang pernah dituduh menjadi “pengkhianat partai”. Selain menjadi legitimasi bagi dirinya sendiri, dari segi politik domestik Tiongkok, gagasan ini juga dimanfaatkan oleh Xi untuk memperkuat legitimasi PKT. Di tengah munculnya berbagai desakan dari rakyat terkait tuntutan demokrasi, rule of law, pengentasan kemiskinan, dan lain sebagainya, Xi Jinping ingin mengingatkan rakyat Tiongkok pada peran besar PKT dalam menyelamatkan Tiongkok dari kesengsaraan di masa “abad penghinaan”. Xi menggunakan perasaan nasionalisme dan cinta tanah air rakyat Tiongkok untuk mendapatkan kembali kepercayaan mereka terhadap PKT sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan Tiongkok. Dengan adanya harapan yang dibawa oleh Impian Tiongkok, Xi mencoba meredam gejolak yang ada di dalam negerinya. Dalam konteks politik internasional, upaya pembangunan Satu Sabuk, Satu Jalur merupakan manifestasi paling nyata dari gagasan kebangkitan Tiongkok. Upaya pembangunan tersebut bisa dilihat sebagai upaya Tiongkok untuk melegitimasi langkahnya dalam menguasai perekonomian dunia. Pembangunan Satu Sabuk, Satu Jalur menjadi alat ekonomi yang digunakan oleh Tiongkok untuk memanfaatkan sebesar-besarnya potensi yang ada di kawasan di sekitarnya. Selain itu. Satu Sabuk, Satu Jalur dalam konteks Impian Tiongkok juga digunakan sebagai alat politik luar negeri Tiongkok untuk menjalin hubungan di tingkat internasional.
Daftar Pustaka Buku Keraf, Gorys. 1990. Linguistik Bandingan Tipologis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Impian Tiongkok: Nasionalisme Tiongkok Melintas Batas ... | Hayati Nufus | 53
Ren, Xiaosi. 2013. The Chinese Dream: What It Means for China and the Rest of the World”. Beijing: New World Press. Tim Perkamusan Indonesia-Tionghoa. 2008. Kamus Praktis Indonesia-Tionghoa, Tionghoa-Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.
Jurnal Wang, Zheng. 2014. “The Chinese Dream: Concept and Context”. Journal of Chinese Political Science, 19: 1-13.
Surat Kabar dan Website Chen, Dingding. “The Top 5 Achievements of Chinese Diplomacy in 2014”. The Diplomat, http:// thediplomat.com/2014/12/the-top-5-achievements-of-chinese-diplomacy-in-2014/ . Huang, Rui, “Xi Jinping: Jiakuai Tuijin Sichou Zhi Lu Jingji Dai he 21 Shiji Haishang Sichou Zhi Lu Jianshe”. Xinhua Net, http://news.xinhuanet. com/politics/2014-11/06/c_1113146840.htm . “Jalan Sutra”, CRI Online, http://indonesian.cri.cn/ chinaabc/chapter14/chapter140501.htm. Lee, Joyce. “Expressing the Chinese Dream”. The Diplomat. http://thediplomat.com/2014/03/expressing-the-chinese-dream/?img=1#postImage. Leng, Rong. “Shenme Shi Zhongguo Meng, Zenme Lijie Zhongguo Meng”. Renmin Wang. http:// paper.people.com.cn/rmrb/html/2014-06/27/ nbs.D110000renmrb_01.htm . Li, Yu. “Yu Wujin: “Zhongguo Meng” Ji zaofu Zhongguo ye zaofu shijie”. CSS Today. http://www. csstoday.net/Item/58148.aspx. Liu, Zhenmin. “Wei Yazhou de Wending yu Fanrong Gongxian Zhongguo Liliang”. Renmin Wang. http://politics.people.com.cn/n/2014/0428/ c1001-24948393.html.
Min, Xinpei. “China’s rule by slogan is faltering”. Taipei Times. http://www.taipeitimes.com/News/ editorials/archives/2013/04/19/200356008/2. Ruslan, Heri. “Menelusuri Jalur Sutra”. Republika Online. http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/11/03/mvova0-menelusuri-jalur-sutra. “Sambutan Xi Jinping pada saat menghadiri pameran ‘Jalan Kebenaran’”. Zhongguo Gongchandang Xinwen Wang. http://cpc.people.com. cn/n/2012/1130/c64094-19746088.html. Sun, Dan. “Wei he Yi Dai Yi Lu?”. Economic Daily, http://www.ce.cn/ztpd/xwzt/guonei/2014/ydyl/ wjzl/201409/27/t20140927_3610622.shtml. The Economist. 2013. “Chasing the Chinese Dream”. 4 Mei. “The Central Conference on Work Relating to Foreign Affairs was Held in Beijing”. http://www.fmprc. gov.cn/mfa_eng/zxxx_662805/t1215680.shtml. “What does Xi Jinping’s China Dream mean?”. BBC. http://www.bbc.com/news/world-asia-china-22726375. Zamir, Muhammad. “Chinese ‘Silk Road’ Initiative for Wider Connectivity”. The Daily Star. http:// www.thedailystar.net/chinese-silk-road-initiative-for-wider-connectivity-44022. Zhang, Li. “San Ge Bixu: Shixian Zhongguo Meng de Bi Sheng Fabao”. Renmin Wang Lilun, http:// theory.people.com.cn/n/2013/0411/c4053721102009.html. “Zhongguo Zhu Meng Zhi Lu Yu Shijie Tonghang”. http://www.xinhuanet.com/world/ jrch/20130819.htm.
54 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 43–54
PERAN INDONESIA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA LAUT TIONGKOK SELATAN INDONESIA’S ROLE IN THE SOUTH CHINA SEA DISPUTE RESOLUTION Sandy Nur Ikfal Raharjo Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 2 Agustus 2014; direvisi: 15 September 2014; disetujui: 2 Desember 2014 Abstract South China Sea dispute becomes a major challenge to the regional stability for ASEAN member countries, including Indonesia. The dispute was assumed threatening Indonesia’s defense because the contested location is next to the Natuna sea border. The dispute also becomes a strategic political issue discussed in ASEAN forum. Therefore, Indonesia, both as the state that pursue its national interest and as the ASEAN natural leader, is trying to resolve the dispute through peaceful way. This paper focuses on two things, namely how the general figure of the South China Sea dispute as a potential threat towards Indonesia and how Indonesia play a role in the resolution process. By literature review method, this paper finds that the dispute is generally on the polarization stage, while for Tiongkok-Vietnam relations is on segregation stage. Furthermore, this paper also concludes that Indonesia still play role in the conflict management level. This is due to relatively weak bargaining position of Indonesia compared to the disputed parties as the internal factor, as well as differences in resolution approach and third actors involvement that worsen the situation as the external factors. Keywords: ASEAN, Indonesia's role, South China Sea dispute, peaceful resolution. Abstrak Sengketa Laut Tiongkok Selatan merupakan tantangan bagi stabilitas kawasan, termasuk Indonesia, yang sedang menyongsong Abad Asia. Sengketa ini menjadi ancaman bagi pertahanan Indonesia karena lokasi yang diperebutkan berada di dekat perbatasan Indonesia. Selain itu, sengketa ini juga menjadi salah satu isu politik yang menjadi ganjalan di ASEAN. Oleh karena itu, Indonesia, baik dalam posisi sebagai negara yang memperjuangkan kepentingannya maupun sebagai pemimpin alami ASEAN, berupaya menyelesaikan sengketa tersebut melalui jalan damai. Tulisan ini berfokus pada dua hal, yaitu bagaimana gambaran umum dari sengketa Laut Tiongkok Selatan sehingga menjadi potensi ancaman bagi kepentingan nasional Indonesia dan bagaimana peran Indonesia dalam upaya penyelesaian sengketa tersebut. Melalui metode studi pustaka, tulisan ini menemukan bahwa sengketa ini secara umum berada dalam tahap polarisasi, bahkan untuk hubungan Tiongkok-Vietnam sudah masuk tahap segregasi. Kemudian, peran Indonesia masih dalam tingkat pengelolaan konflik. Hal ini disebabkan oleh hambatan internal berupa posisi tawar Indonesia yang relatif lebih lemah dibanding negara yang bersengketa maupun hambatan eksternal berupa perbedaan pendekatan penyelesaian dan keterlibatan pihak-pihak asing yang turut memperkeruh dinamika sengketa. Kata Kunci: ASEAN, Laut Tiongkok Selatan, peran Indonesia, penyelesaian secara damai.
Peran Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa ... | Sandy Nur Ikfal Raharjo | 55
Pendahuluan Di abad ke-21, konstelasi dunia diprediksi akan berubah. Kekuatan ekonomi dan politik mulai bergeser dari Eropa dan Amerika ke wilayah Asia. Dalam laporan tahun 2011 berjudul Asia 2050: Realizing the Asian Century, Bank Pembangunan Asia mengkalkulasi bahwa pada tahun 2050 separuh ekonomi dunia ada di tangan kawasan ini. Selain itu, pendapatan perkapita akan naik 6 kali lipat menjadi sekitar 38.600 dolar, menjadikan rakyat Asia semakmur orang-orang Eropa sekarang. Peningkatan ekonomi yang pesat ini akan dimotori oleh Tiongkok, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan Thailand.1 Untuk dapat mewujudkan abad Asia tersebut, salah satu syarat yang perlu dipenuhi adalah stabilitas kawasan untuk mendukung kondisi yang ideal bagi pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, berbagai sengketa dan konflik perbatasan di kawasan berpotensi mengancam stabilitas kawasan Asia tersebut. Salah satu ancaman yang cukup besar pengaruhnya adalah sengketa Laut Tiongkok Selatan. Wilayah Laut Tiongkok Selatan sendiri merupakan jalur penting bagi perdagangan dunia dan jalur pemasok suplai minyak bumi ke Asia Timur. Sengketa ini melibatkan banyak negara, baik secara langsung sebagai aktor yang mengklaim kepemilikan wilayah tersebut, maupun secara tidak langsung sebagai aktor yang kepentingannya terganggu. Pada tahun 2014, sengketa Laut Tiongkok Selatan semakin tereskalasi dengan peningkatan ketegangan hubungan, terutama antara Tiongkok dan Vietnam. Aksi pengeboran minyak oleh Tiongkok di dekat Kepulauan Paracel telah memicu tubrukan antarkapal dua negara tersebut. Aksi demo dan pengusiran warga negara Tiongkok juga terjadi di berbagai wilayah di Vietnam. Hal ini semakin mempersulit proses penyelesaian sengketa yang selama ini berjalan alot. Indonesia sendiri bukan merupakan salah satu negara yang mengklaim kepemilikan wilayah tersebut, tetapi turut terpengaruh oleh dinamika sengketa. Hal ini dikarenakan kedekatan geografis Indonesia dengan wilayah Asian Development Bank. Asia 2050: Realizing the Asian Century. (Singapore: ADB, 2011), h. 10. 1
sengketa. Laut Tiongkok Selatan sendiri berbatasan langsung dengan perairan Indonesia di Kabupaten Natuna. Selain itu, dinamika sengketa juga mengganggu kinerja ASEAN. Ada empat negara anggota ASEAN yang terlibat sebagai pengklaim, yaitu Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Filipina. Oleh karena itu, isu ini sering dibawa dalam agenda-agenda rapat ASEAN, seperti yang terjadi di KTT ASEAN di Bali pada tahun 2011.2 Dengan berbagai dampak dinamika sengketa di atas, Indonesia kemudian mengambil inisiatif untuk ikut membantu usaha penyelesaian sengketa Laut Tiongkok Selatan. Selain dorongan kepentingan nasional dalam rangka sistem pertahanan negara, usaha Indonesia tersebut juga didorong oleh motivasi moral sebagai pemimpin alami (natural leader) ASEAN. Usaha Indonesia ini merupakan satu-satunya usaha multilateral yang dilakukan, di saat negara-negara yang bersengketa, terutama Tiongkok, hanya mau menggunakan pendekatan bilateral. Apalagi, Indonesia juga mempunyai catatan yang baik dalam penyelesaian berbagai kasus di kawasan seperti konflik internal Kamboja pada dekade 80-an hingga awal 90-an, konflik perbatasan Thailand-Kamboja, dan terakhir demokratisasi Myanmar. Pengalaman ini dapat dijadikan acuan bagi peran Indonesia agar penyelesaian sengketa Laut Tiongkok Selatan dapat dilakukan secara damai dan efektif. Berdasarkan latar belakang di atas, tulisan ini akan mengeksplorasi dua bahasan utama. Pertama, bagaimana sebenarnya gambaran umum dari sengketa Laut Tiongkok Selatan sehingga menjadi ancaman bagi kepentingan nasional Indonesia. Kedua, bagaimana peran Indonesia dalam upaya penyelesaian sengketa tersebut.
Intervensi Pihak Ketiga sebagai Cara Penyelesaian Konflik: Tinjauan Konseptual Keterlibatan Indonesia yang bukan negara pengklaim dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan secara teoritik dapat dikategorikan sebagai bentuk intervensi pihak ketiga. Intervensi ASEAN, “Chair’s Statement of the 18th ASEAN Summit, 7-8 May 2011”, http://cil.nus.edu.sg/2011/2011-chairs-statementof-the-18th-asean-summit/, diakses pada tanggal 19 Desember 2013. 2
56 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 55–70
ini merupakan salah satu metode yang dipakai dalam proses penyelesaian sengketa dan konflik. Sebelum menjelaskan secara lebih detail mengenai konsep intervensi pihak ketiga, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai definisi sengketa dan konflik. Paul K. Huth mendeskripsikan sengketa (wilayah) sebagai perselisihan antarnegara, atau bisa juga satu negara menentang hak negara lain untuk melaksanakan kedaulatannya, atas tanah air atau batas-batas wilayah kolonial mereka. Ada tiga faktor kenapa suatu wilayah menjadi berharga untuk disengketakan, yaitu karena kandungan sumber daya alamnya, komposisi agama dan etnis dalam populasinya, dan lokasinya yang strategis secara militer.3 Adapun konflik didefinisikan oleh Wallensteen sebagai situasi dimana dua atau lebih aktor berjuang untuk mendapatkan sumber langka dalam waktu yang sama4. Sementara menurut Swanström Weissmann, konflik terjadi ketika aktor-aktor tersebut mempunyai posisi yang dipersepsikan dan diyakini berlawanan dalam satu waktu yang sama.5 Dahrendorf menambahkan bahwa konflik sering diasosiasikan dengan ketegangan terkait dengan pilihan-pilihan dalam membuat keputusan, terkadang diwujudkan dalam bentuk konfrontasi antara kekuatan atau kelompok sosial yang ada. Dari definisi di atas, dapat dilihat bahwa ada beberapa pendapat yang menganggap sengketa dan konflik itu sama. Namun, ada pula yang membedakannya. Perbedaan itu terletak pada dua hal. Pertama, jika sengketa melibatkan unsur perebutan sumber langka yang sama, biasanya berupa wilayah, maka konflik tidak harus melibatkan unsur tersebut asalkan kedua Paul K. Huth. “Territory: Why Are Territorial Disputes Between States a Central Cause of International Conflict?”, dalam John A. Vasquez (Ed.), What Do We Know about War, (Maryland: Rowman and Litttlefield Publisher, 2000). 3
Peter Wallensteen, Understanding Conflict Resolution War, Peace and The Global System, (London: Sage Publishing, 2002). 4
Niklas L.P. Swanström dan Mikael S. Weissmann, Conflict, Conflict Prevention and Conflict Management and Beyond: A Conceptual Exploration, (Uppsala: the Central Asia-Caucasus Institute & Silk Road Studies Program, 2005). Definisi konflik dari Wallensteen dan Swanström dikutip dari Awani Irewati, dkk. 2011. Sengketa Wilayah Perbatasan Thailand-Kamboja, Jakarta: P2P LIPI. 5
pihak mempunyai persepsi bahwa mereka saling berlawanan. Kedua, sengketa masih dalam tahap perselisihan, sementara konflik sudah melibatkan konfrontasi atau aksi kekerasan secara fisik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konflik merupakan kelanjutan dari sengketa yang tereskalasi. Berdasarkan pengertian ini, maka dapat dikatakan bahwa sengketa Laut Tiongkok Selatan sebenarnya telah tereskalasi menjadi konflik karena aksi konfrontasi telah beberapa kali terjadi, walaupun dinamikanya bersifat fluktuatif. Dalam penyelesaikan konflik, dikenal istilah resolusi konflik dan manajemen/pengelolaan konflik. Resolusi konflik secara umum dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik secara konstruktif dengan cara mencari kesepakatan antara para pihak yang terlibat dalam konflik.6 Menurut Vestergaard, resolusi konflik mencakup dua hal utama, yaitu isu dan relasi (hubungan antaraktor).7 Sementara itu, pengelolaan konflik adalah pembatasan, peredaan, atau pembendungan konflik tanpa harus menyelesaikannya.8 Menurut Wallensteen dan Swanström, pengelolaan konflik harus melaksanakan perubahan bentuk interaksi dari destruktif menjadi kontruktif.9 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengelolaan konflik lebih berfokus pada relasi antaraktor, bukan isu konflik itu sendiri. Baik resolusi maupun pengelolaan konflik dapat menggunakan metode negosiasi yang hanya melibatkan aktor-aktor konflik maupun metode intervensi pihak ketiga. Intervensi pihak ketiga adalah cara yang umum dipakai untuk menanggapi konflik yang bersifat merusak dan berlangsung terus-menerus. Menurut Kelman, peran pihak ketiga ini merupakan salah satu cara untuk membangun kepercayaan (trust-building) Christopher E. Miller, A Glossary of Terms And Concepts in Peace And Conflict Studies (2nd Edition), (Costa Rica: University For Peace, 2005). 6
Bjarne Vestergaard, Erik Helvard, dan Aase Rieck Sørensen, Conflict Resolution – Working with Conflicts, (Kopenhagen: Danish Centre for Conflict Resolution, 2011). 7
Fred Tanner. “Conflict Prevention and Conflict Resolution: Limits of Multilateralism”. International Review of the Red Cross, September 2000. 8
9
Swanström dan Weissmann, op.cit., hlm. 23.
Peran Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa ... | Sandy Nur Ikfal Raharjo | 57
di antara para pihak yang berkonflik. Dalam situasi konflik, pihak yang berkonflik sulit untuk mempercayai pihak lawannya, sehingga proses komunikasi langsung sulit terjadi. Pihak ketiga ini menciptakan suatu situasi yang membuat para aktor konflik tersebut merasa aman dari eksploitasi dan serangan pihak lain. Hal ini tidak berarti bahwa pihak ketiga harus netral atau bebas kepentingan dalam berbagai aspek. Bahkan, pihak ketiga dimungkinkan untuk melakukan pemberdayaan terhadap salah satu pihak ketika terjadi defisiensi kekuatan. Hal yang penting harus dimiliki oleh pihak ketiga adalah komitmen terhadap integritas proses penyelesaian. Pihak ketiga diharapkan dapat menjembatani ketidakpercayaan antarpihak dan membuat mereka mampu memasuki proses komunikasi langsung. Pada akhirnya, proses komunikasi langsung tersebut diharapkan dapat membangun kepercayaan antarpihak yang bermusuhan, sehingga mereka mampu menyelesaikan akar konflik secara damai.10 Menurut Ronald J. Fisher, setidaknya ada enam jenis intervensi yang biasanya digunakan dalam konflik level internasional. Pertama, konsiliasi, yaitu proses intervensi di mana pihak ketiga yang dipercayai menyediakan sambungan komunikasi informal kepada aktor-aktor konflik dalam rangka mengidentifikasi isu, menurunkan ketegangan, dan mendorong interkasi langsung, biasanya dalam bentuk negosiasi. Kedua, konsultasi, di mana pihak ketiga memfasilitasi penyelesaian masalah secara kreatif melalui komunikasi dan analisis, menggunakan kemampuan hubungan antarmanusia dan pemahaman sosial-ilmiah tentang etiologi dan dinamika konflik. Ketiga, mediasi murni, di mana pihak ketiga memfasilitasi penyelesaian isu-isu substantif melalui penggunaan penalaran, bujukan, kontrol informasi yang efektif, dan saran pilihan-pilihan penyelesaian. Keempat, mediasi kekuatan, yaitu mediasi yang melibatkan penggunaan paksaan melalui mekanisme imbalan dan hukuman, di mana pihak ketiga dapat pula menjadi pemantau dan penjamin kesepakatan. Kelima, arbitrasi, yaitu pihak ketiga
membuatkan keputusan yang mengikat yang dianggap adil bagi aktor-aktor yang berkonflik. Biasanya arbitrasi dalam sengketa wilayah diselesaikan melalui Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Keenam, penjagaan perdamaian (peacekeeping), di mana pihak ketiga menyediakan personil militer untuk mengawasi genjatan senjata atau pelaksanaan kesepakatan, dapat pula termasuk kegiatan kemanusiaan dan pemulihan pemerintahan sipil.11 Penentuan jenis intervensi pihak ketiga yang digunakan bergantung pada isu sengketa/ konflik dan sudah sampai tahap mana konflik itu terjadi. Ada beberapa model analisis tahap konflik dan intervensi yang paling sesuai, salah satu yang paling sering dipakai adalah Model 9 Tahap Eskalasi Konflik dari Friedrich Glasl. Kesembilan tahap tersebut meliputi 1)hardening, 2) debates and polemics, 3)actions not words, 4)images and coalitions,5)loss of face, 6) strategies of threats, 7)limited destructive blows, 8)fragmentation of the enemy, dan 9)together into the abyss. Pada tahap 1-3, penyelesaian konflik cukup dilakukan oleh pihak-pihak yang berkonflik sendiri. Pada tahap 3-5, intervensi pihak ketiga sudah diperlukan melalui fasilitasi. Pada tahap 5-7, intervensi sudah harus meningkat menjadi mediasi. Pada tahap 6-8, konflik perlu diselesaikan dengan arbitrasi. Jika konflik sudah pada tahap 7-10, maka intervensi kekuatan (power intervention) yang diperlukan.12 Model lain yang lebih sederhana dikembangkan Ronald Fisher. Ia hanya membagi eksalasi menjadi empat tahap. Pertama, tahap diskusi, di mana pihak-pihak yang berkonflik biasanya masih menjaga hubungan baik tetapi ragu-ragu untuk melakukan negosiasi. Dalam tahap ini, pihak ketiga dapat melakukan konsiliasi untuk mengajak pihak-pihak yang berkonflik duduk bersama dalam negosiasi. Kedua, tahap polarisasi, yaitu hubungan pihak yang berkonflik Ronald J. Fisher, Berghof Handbook for Conflict Transformation: Methods of Third-Party Intervention, (Berlin: Berghof Research Center for Constructive Conflict Management, 2001), hlm. 11. 11
Friedrich Glasl, Confronting Conflict, (Bristol: Hawthorn Press, 1999). Lihat juga dalam Thomas Jordan, “F. Glasl: Konfliktmanagement. Ein Handbuch für Führungskräfte, Beraterinnen und Berater” (resensi buku), International Journal of Conflict Management, Vol 8:2, 1997, hlm. 170-174. 12
Herbert C. Kelman, “Building Trust among Enemies: The Central Challenge for International Conflict Resolution,” International Journal of Intercultural Relations (29), 2005, hlm. 639-650. 10
58 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 55–70
mulai memburuk, persepsi dan emosi negatif mulai muncul. Intervensi yang cocok untuk tahap ini adalah konsultasi untuk menghilangkan mispersepsi dan emosi negatif kedua pihak. Tahap ketiga adalah segregasi, di mana pihak yang berkonflik sudah tidak saling percaya dan saling menghargai, komunikasi langsung sangat terbatas, serta ancaman terhadap musuh mulai dilakukan. Pada tahap ini, mediasi kekuatan atau arbitrasi dapat dilakukan untuk mengendalikan permusuhan. Tahap keempat adalah penghancuran, di mana masing-masing pihak tidak memandang pihak lain secara manusiawi lagi. Pada tahap ini, kekerasan berupa pembunuhan, bahkan genosida dapat terjadi. Untuk mengatasinya, gabungan intervensi berupa penjagaan perdamaian dan konsultasi mendalam perlu dilakukan untuk mengendalikan kekerasan untuk kemudian mengajak mereka kembali berunding dan mendorong rekonsiliasi.13 Kerangka konseptual di atas diharapkan dapat membantu menganalisis sudah sampai tahap mana sengketa Laut China Selatan dan jenis intervensi apa yang seharusnya dilakukan oleh Indonesia agar proses penyelesaian berjalan efektif.
Sengketa Laut Tiongkok Selatan sebagai Potensi Ancaman bagi Indonesia Laut Tiongkok Selatan adalah perairan yang terletak di kawasan Asia Tenggara. Perairan ini dikelilingi oleh banyak negara, yaitu Tiongkok, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Indonesia, Brunei, dan Filipina. Selain berbentuk perairan yang luas, di wilayah ini juga terdapat kepulauankepulauan kecil seperti Paracel, Scarborough, dan Spratly. Dari fitur-fitur geografi yang ada di Laut Tiongkok Selatan, Kepulauan Spratly menjadi inti perebutan sebagian besar negara-negara yang bersengketa. Kepulauan ini merupakan kumpulan pulau-pulau karang yang luas daratannya kurang dari 4 km², tetapi melingkupi lautan seluas 250.000 km². Pulau-pulau yang terdapat di area tersebut tidak berpenghuni dan relatif tidak ada aktivitas ekonomi di daratannya. Kepulauan Spartly terdiri atas 230 pulau kecil, karang,
gundukan pasir, dan fitur lain yang terletak di bagian selatan dari Laut Tiongkok Selatan.14 1. Kronologi Sengketa Sengketa ini dimulai pada tahun 1946 ketika Tiongkok mengklaim bahwa Kepulauan Spratly adalah bagian dari Provinsi Guangdong. Padahal, kepulauan-kepulauan di Wilayah Laut Tiongkok Selatan pada waktu itu sudah diklaim dan dikuasai oleh Jepang saat Perang Dunia II. Pada tahun 1951, Perjanjian San Fransisco membatalkan semua klaim Jepang tersebut, tetapi belum dicapai resolusi mengenai status kepemilikannya. Pada tahun 1974, Tiongkok memperluas klaimnya dengan merebut Kepulauan Paracel dari pasukan Vietnam Selatan. Ketegangan antarnegara semakin memanas pada tahun 1988 dengan terjadinya pertempuran antara angkatan laut Tiongkok dengan Vietnam dalam memperebutkan karang Johnson yang menewaskan 70 tentara Vietnam. Pada tahun 1991, untuk memformalkan klaim terhadap Spratly dan Paracel, Tiongkok mengeluarkan Law on the Territorial Sea and the Contiguous Zone of the Republic of Tiongkok. Lalu empat tahun kemudian, instalasi militer Filipina di Karang Mischief, Kepulauan Spratly direbut Tiongkok. Pada Mei 2000, giliran Filipina yang melakukan tindakan dengan menembak mati 1 nelayan dan menangkap 7 nelayan Tiongkok yang melewati perairan Filipina di dekat Pulau Palawan. Pada tahun 2011, sengketa semakin rumit saat Senat Amerika Serikat mengeluarkan resolusi yang menyerukan agar sengketa diselesaikan secara internasional.15 Pada Juli 2012, Tiongkok membentuk wilayah administratif Sansha yang meliputi Kepulauan Paracel dan Spratly. Tiongkok juga mengeluarkan edisi paspor baru yang di dalamnya terdapat peta yang menggambarkan bahwa area sengketa di Laut Tiongkok Selatan merupakan bagian dari wilayah Tiongkok. Aksi sepihak Tiongkok tersebut membangkitkan The Adelphi Papers, Southeast Asia, (Oxon: Routledge, 2006), hlm. 33. 14
Anup Kaphle dan Benjamin Gottlieb, “Timeline: Disputes in the South China Sea”, 2013, http://www.washingtonpost.com/ wp-srv/world/special/south-Tiongkok-sea-timeline/, diakses pada tanggal 19 Desember 2013. 15
13
Fisher, op.cit., hlm. 13.
Peran Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa ... | Sandy Nur Ikfal Raharjo | 59
sikap protes dari Vietnam dan Filipina. Bahkan di Vietnam, terjadi demonstrasi anti-Tiongkok secara massal di jalan-jalan kota Hanoi dan Ho Chi Minh pada akhir 2012.16 Pada tahun 2013, Filipina akhirnya mengambil jalan hukum dengan mengadukan Tiongkok kepada pengadilan PBB di bawah kerangka UNCLOS terkait klaim sepihak Tiongkok terhadap Laut Tiongkok Selatan. Walaupun demikian, ketegangan tetap berlanjut. Bahkan pada Mei 2014, saling tabrak kapal milik Tiongkok dengan Vietnam terjadi sebagai dampak penempatan peralatan pengeboran Tiongkok di dekat kepulauan Paracel. Insiden ini juga memicu aksi protes masyarakat Vietnam dengan mengusir orang-orang berkewarganegaraan Tiongkok dari negara mereka. Berdasarkan kronologi di atas, maka dapat dianalisis bahwa sengketa Laut Tiongkok Selatan sebenarnya berada di tahap polarisasi, yaitu hubungan pihak yang berkonflik mulai memburuk, persepsi dan emosi negatif mulai muncul, sehingga perlu dilakukan konsultasi. Bahkan untuk hubungan Tiongkok dengan Vietnam, dapat dikatakan bahwa mereka sudah memasuki tahap segregasi, di mana pihak yang berkonflik sudah tidak saling percaya dan saling menghargai, komunikasi langsung sangat terbatas, serta ancaman terhadap musuh mulai dilakukan. Pada tahap ini, seharusnya mediasi kekuatan atau arbitrasi lah yang perlu dilakukan untuk mengendalikan permusuhan. 2. Isu Sengketa Setidaknya ada tiga hal yang membuat Laut Tiongkok Selatan dan kepulauan yang ada di dalamnya strategis. Pertama, penguasaan terhadap pulau-pulau tersebut akan sangat menentukan garis batas negara yang menguasainya. Dengan demikian, laut teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusifnya pun akan semakin luas, terutama untuk negara-negara kepulauan seperti yang diatur dalam UNCLOS 1982. Penguasaan wilayah ini akan memberikan keuntungan geostrategis bagi negara, karena menjadi akses yang menghubungkan Samudra Hindia melalui BBC, “Q&A: South China Sea Dispute”, 2014, http://www. bbc.com/news/world-asia-pacific-13748349, diakses pada tanggal 26 Mei 2014. 16
Selat Malaka di sebelah barat daya dan Samudra Pasifik di sebelah timur. Kedua, wilayah ini merupakan bagian dari jalur laut internasional, baik untuk kapal dagang dan kadang kapal militer. Jalur ini dikenal juga sebagai maritime superhighway karena menjadi salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia. Jumlah kapal tanker yang melewati Laut Tiongkok Selatan tiga kali lebih banyak dibanding Terusan Suez, dan lima kali lipat dibanding Terusan Panama. Diperkirakan 50% perdagangan dunia melintas perairan ini. Selain itu, pasokan impor minyak bumi negara-negara Asia Timur seperti Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang dari kawasan Timur Tengah dan Afrika juga sebagian besar melewati perairan ini. Selain minyak bumi, jalur ini juga banyak dilalui kapal yang mengangkut gas alam cair (LNG), batu bara, dan bijih besi.17 Berbagai komoditas tersebut sangat vital sebagai penggerak industri negara-negara Asia Timur. Ketiga, lautan di wilayah sekitar kepulauan ini diduga mengandung cadangan minyak dan gas alam yang besar. Walaupun belum ada penelitian yang berhasil mengkalkulasi berapa jumlahnya, tetapi sedimentasi dari lembah laut yang ada di wilayah tersebut menunjukkan tanda-tanda kandungan minyak dan gas. Bahkan, diperkirakan cadangan minyak dan gas tersebut merupakan yang terbesar keempat di dunia.18 Untuk keseluruhan Laut Tiongkok Selatan, salah satu kalkulasi menyebutkan bahwa cadangan minyaknya mencapai 213 miliar barel, sementara untuk Kepulauan Paracel dan Spratly sekitar 105 miliar barel. Selain minyak bumi, kawasan ini juga diperkirakan mengandung sumberdaya hidrokarbon yang melimpah. Survei Geologi Amerika Serikat (United States Geological Survey) menaksir bahwa 60-70% hidrokarbon tersebut berupa gas alam.19 Dengan demikian, penguasaan terhadap wilayah Laut Tiongkok Selatan setidaknya memberikan tiga keuntungan bagi negara tersebut, Muhamad Simela Victor, “Kepentingan Tiongkok dan Posisi ASEAN dalam Sengketa Laut Tiongkok Selatan,” Info Singkat Hubungan Internasional Vol. IV, No. 08/II/P3DI, 2012. 17
18
Kaphle dan Gottlieb, op.cit.
19
Muhamad dan Simela Victor, op.cit.
60 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 55–70
yaitu pertahanan militer, keamanan energi, dan ekonomi ekstraktif. Tidak mengherankan jika negara-negara pengklaim gigih dalam memperjuangkannya. Bahkan, hal ini sering dijadikan alat politik bagi pemerintahan yang berkuasa saat itu untuk mendapatkan dukungan publik di negaranya masing-masing. 3. Aktor Sengketa Sengketa Laut Tiongkok Selatan melibatkan dua kategori aktor. Pertama, aktor langsung, yaitu negara-negara yang mengklaim kepemilikan sebagian atau seluruh wilayah Laut Tiongkok Selatan. Dari enam negara yang terlibat sengketa atas Kepulauan Spratly, dua pihak mengklaim seluruh wilayah, yaitu Tiongkok dan Taiwan; sementara empat negara lainnya hanya mengklaim sebagian, yaitu Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei.20
Republik Rakyat Tiongkok merupakan salah satu aktor utama dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan yang mengklaim seluruh wilayah tersebut. Klaim Tiongkok ini didasarkan pada latar belakang sejarah Tiongkok kuno tentang wilayah kekuasaan kerajaannya. Menurut Tiongkok, Dinasti Han lah yang menemukan wilayah ini pada abad ke-2 masehi. Pada abad ke-12, Dinasti Yuan kemudian memasukkan Laut Tiongkok Selatan ke dalam peta wilayahnya, yang kemudian kembali diperkuat oleh Dinasti Ming dan Dinasti Qing pada abad ke-13.21 Pada tahun 1947, Tiongkok membuat peta wilayah yang memuat 9 garis putus-putus (nine-dashed lines) yang membentuk huruf U, yang melingkupi seluruh Laut Tiongkok Selatan. Semua wilayah yang berada di dalam garis putus-putus tersebut diklaim Tiongkok sebagai wilayahnya. Hingga akhir 2013, klaim Tiongkok tersebut masih belum berubah.22
Sumber: BBC. 2014. “Q&A: South China Sea Dispute”, http://www.bbc.co.uk/news/world-asiapacific-13748349 diakses pada 26 Mei 2014. Gambar 1. Peta Klaim Wilayah Laut Tiongkok Selatan Pernegara Sandy Nur Ikfal Raharjo, “Sengketa Kepulauan Spartly: Tantangan Bagi Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2011”, 2011, http://politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/politikinternasional/472-sengketa-kepulauan-spratly-tantangan-bagiindonesia-sebagai-ketua-asean-2011, diakses pada tanggal 19 Desember 2013. 20
Karmin Suharna, “Konflik dan Solusi Laut Tiongkok Selatan dan Dampaknya bagi Ketahanan Nasional,” Majalah Ketahanan Nasional Edisi 94, 2012, hlm. 33-41. 21
22
Ibid.
Peran Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa ... | Sandy Nur Ikfal Raharjo | 61
Klaim Tiongkok tidak hanya diwujudkan dalam bentuk sikap politik, tetapi juga dalam bentuk lain. Di bidang militer, Tiongkok sering melakukan aksi patroli di perairan tersebut yang kadang memicu bentrok dengan kapal dari negara pengklaim lain seperti Vietnam dan Filipina. Di bidang eksplorasi, Tiongkok juga menempatkan peralatan pengeboran di beberapa titik di Laut Tiongkok Selatan.23 Pihak kedua yang mengklaim kepemilikan seluruh wilayah Laut Tiongkok Selatan adalah Taiwan. Sebagai entitas yang pernah mewakili negara Tiongkok secara resmi di Dewan Keamanan PBB, klaim Taiwan juga didasari oleh latar belakang sejarah seperti yang dikemukakan oleh Republik Rakyat Tiongkok. Saat ini, Taiwan menguasai Pulau Aba/Taiping Dao yang merupakan pulau terbesar di Kepulauan Spratly.24 Pihak ketiga yang menjadi aktor langsung adalah Vietnam. Negara ini mendasarkan klaimnya pada dua hal. Pertama, warisan kolonial dari Perancis yang dulu menguasai Kepulauan Paracel dan Spratly pada awal abad ke-20. Kedua, argumentasi landas kontinen, di mana Kepulauan Spratly merupakan daerah lepas pantai dari Provinsi Khanh Hoa. Banyak sekali klaim wilayah Vietnam di Laut Tiongkok Selatan yang tumpang tindih dengan klaim Tiongkok.25 Tidak mengherankan jika kedua negara ini sering terlibat dalam ketegangan politik dan militer akibat berbagai insiden di Laut Tiongkok Selatan. Aktor langsung keempat adalah Filipina. Klaim wilayah negara ini didasarkan pada prinsip landas kontinen yang mencakup kepulauan Spratly. Ada delapan pulau di Spratly yang menurut Filipina menjadi bagian dari Provinsi Palawan. Filipina juga mempunyai istilah sendiri untuk menyebut bagian dari Laut Tiongkok Selatan yang diklaim, yaitu Laut Filipina Barat.26 Negara pengklaim kelima adalah Malaysia yang menyatakan bahwa sebagian wilayah Kepulauan Spartly adalah miliknya berdasarkan landas kontinen. Ada tiga pulau yang sudah
ditempati oleh Malaysia di kepulauan tersebut. Klaim wilayahnya ini tumpang tindih dengan klaim Tiongkok dan Filipina. 27 Selama ini, Malaysia tidak terlalu aktif dalam ketegangan dan aksi saling membalas antara Tiongkok dengan Vietnam dan Filipina. Negara keenam yang menjadi aktor langsung dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan adalah Brunei Darussalam. Brunei sendiri tidak mengklaim pulau-pulau yang ada di wilayah Laut Tiongkok Selatan, tetapi hanya mengklaim bahwa landas kontinen dan ZEE-nya meliputi Louisa Reef dan perairan di sekitar Kepulauan Spratly.28 Sama seperti Malaysia, Brunei juga kurang terlibat dalam aksi provokatif negaranegara lainnya yang dapat mengeskalasi konflik.
Tiong Keterangan: Filipina
Taiwan
= hubungan konfliktual = hubungan permusuhan/ penolakan (hostility)
Brunei
Vietnam
Malaysia
Gambar 2. Hubungan Antaraktor dalam Sengketa Laut Tiongkok Selatan
Selain keenam aktor langsung di atas, terdapat pula aktor tidak langsung yang tidak menjadi pengklaim kepemilikan wilayah tetapi ikut terlibat dalam dinamika sengketa, baik atas kemauan sendiri maupun atas permintaan negara pengklaim. Setidaknya ada dua negara yang termasuk kategori ini. Pertama, Amerika Serikat yang diminta Filipina untuk memberikan bantuan dalam rangka menghadapi Tiongkok. Hal ini terkait dengan komitmen Amerika Serikat terhadap perjanjian pertahanannya dengan Filipina. 29 Bahkan pada pertemuan
23
Ibid
27
Ibid
24
Ibid
28
Ibid
25
Ibid
29
26
Ibid
Kate McGeown, “US’ stands by Philippines’amid South China Sea Tension”, 2011, http://www.bbc.com/news/worldasia-pacific-13899465, diakses pada tanggal 2 Januari 2012.
62 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 55–70
ASEAN Regional Forum ke-17 tahun 2010, Hillary Clinton selaku menteri luar negeri berani menyatakan kepentingan nasional Amerika Serikat terhadap Laut Tiongkok Selatan, yaitu kebebasan navigasi, keterbukaan akses terhadap sumber daya maritim Asia, dan penghormatan terhadap hukum internasional.30 Aktor tidak langsung kedua adalah Indonesia yang sejak awal 1990-an aktif berupaya mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa. 4. Posisi Indonesia dalam Sengketa Laut Tiongkok Selatan Secara formal, Indonesia menyatakan diri bukan sebagai negara pengklaim dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan. Akan tetapi, banyak analis yang mengatakan bahwa Indonesia seharusnya juga dianggap sebagai negara pengklaim. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sebagian wilayah ZEE Indonesia di Perairan Natuna juga termasuk dalam wilayah yang diklaim oleh Tiongkok. Dengan demikian, ada tumpang tindih wilayah antara Tiongkok dengan Indonesia (lihat kembali gambar di atas). Jika dilihat kembali berdasarkan perspektif hukum internasional, pendapat bahwa Indonesia seharusnya menjadi negara pengklaim tidak dapat dibenarkan. Hal ini dikarenakan klaim Tiongkok dengan 9 garis putus-putusnya tidak berdasarkan pada hukum internasional yang sah, tetapi hanya berupa klaim sejarah. Padahal dalam hukum internasional seperti UNCLOS, laut teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif dihitung dari garis pangkal daratan. Jika daratan terdekat adalah pulau-pulau di Spratly, maka baik laut teritorial maupun ZEE negara pengklaim tidak akan bersinggungan dengan laut teritorial dan ZEE Indonesia.31 Dengan posisi seperti ini, Indonesia membuka peluang dirinya untuk dapat berperan menjadi pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa Laut Tiongkok Selatan. Peluang ini tidak akan diperoleh jika Indonesia menyatakan
dirinya sebagai negara pengklaim, yang berarti juga menjadi aktor langsung dalam sengketa tersebut. 5. Potensi Ancaman Sengketa bagi Indonesia Ada banyak kepentingan vital Indonesia yang berpotensi terancam oleh sengketa tersebut. Pertama, dari sisi kedaulatan, sebenarnya sebagian wilayah ZEE Indonesia masuk dalam klaim wilayah Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan yang berbatasan dengan perairan Kabupaten Natuna. Kedua, dari sisi keamanan, jika sengketa tersebut tereskalasi menjadi perang, sangat besar kemungkinan perang tersebut akan meluas hingga ke wilayah Indonesia, sehingga menjadi ancaman militer yang serius. Ketiga, dari sisi kepentingan ekonomi, perairan Indonesia di dekat Laut Tiongkok Selatan merupakan wilayah dengan potensi perikanan terbesar secara nasional. Pecahnya perang di kawasan ini dapat merusak ekosistem laut sehingga menurunkan jumlah produksi ikan. Selain itu, potensi pariwisata bahari Indonesia juga terganggu jika terjadi perang di Laut Tiongkok Selatan. Kemudian dari sisi ancaman sosial budaya, pecahnya perang di Laut Tiongkok Selatan berpotensi menimbulkan arus pengungsi dari berbagai wilayah perang ke Indonesia. Hal ini pernah terjadi sebelumnya ketika terjadi Perang Vietnam, sejumlah besar arus pengungsi berdatangan ke Pulau Galang. Dengan berbagai dimensi ancaman dari sengketa tersebut, sudah sepatutnya Indonesia mengambil peran dalam proses penyelesaiannya. Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa Indonesia sendiri memiliki kepentingan terkait dengan Laut Tiongkok Selatan. Namun demikian, hal ini tidak lantas menutup peluang Indonesia untuk menjadi pihak ketika dalam proses penyelesaian sengketa. Seperti apa yang dikatakan oleh Kelman bahwa pihak ketiga tidak harus bebas kepentingan atau netral sama sekali, asalkan dia mempunyai komitmen terhadap integritas proses penyelesaian sengketa/konflik.32
Mark Lender, “Offering to Aid Talks, U.S. Challenges China on Disputed Islands,” 2010, http://www.nytimes. com/2010/07/24/world/asia/24diplo.html?_r=0, diakses pada tanggal 2 Januari 2012. 30
Oegroseno, Arif Havas, “Indonesia, South China Sea and the 9-dashed lines”, The Jakarta Post, 9 April 2014. 31
32
Kelman, op.cit.
Peran Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa ... | Sandy Nur Ikfal Raharjo | 63
Peran Indonesia dalam Upaya Penyelesaikan Sengketa 1. Landasan Peran Indonesia dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Peran Indonesia dalam penyelesaian sengketa Laut Tiongkok Selatan setidaknya dapat didasarkan pada dua hal. Pertama, untuk mengantisipasi potensi ancaman ketika sengketa Laut Tiongkok Selatan tereskalasi menjadi konflik yang masif. Dalam rangka menghadapi potensi ancaman tersebut, maka Indonesia harus dapat menerapkan pertahanan negara. Pertahanan negara pada hakikatnya merupakan segala upaya pertahanan bersifat semesta, yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran akan hak dan kewajiban seluruh warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri untuk mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Pertahanan negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman.33 Ancaman yang dihadapi sistem pertahanan negara terdiri atas dua jenis, yaitu ancaman militer dan nirmiliter. Ancaman militer adalah ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata dan terorganisasi yang dinilai mempunyai kemampuan membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Dalam konteks Laut Tiongkok Selatan, ancaman militer ini dapat berupa perluasan konflik dan perang hingga mencapai wilayah Indonesia. Sementara itu, ancaman nirmiliter merupakan ancaman yang menggunakan faktor-faktor nirmiliter yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman nirmiliter dapat berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan informasi, serta keselamatan umum.34 Dalam konteks Laut Tiongkok Selatan, konflik tersebut setidaknya berpotensi menimbulkan masalah pengungsi dan kerusakan lingkungan laut. Departemen Pertahanan Indonesia, Buku Putih Pertahanan Indonesia, (Jakarta: Departemen Pertahanan, 2008), hlm. 43-44. 33
34
Ibid., hlm. 27-31.
Untuk menghadapi ancaman tersebut, sistem pertahanan mempunyai tiga fungsi, yakni fungsi penangkalan, fungsi penindakan, dan fungsi pemulihan. Tulisan ini akan difokuskan pada fungsi yang pertama, yaitu penangkalan mengingat konflik terbuka yang bersifat masif masih belum terjadi. Fungsi penangkalan merupakan keterpaduan usaha pertahanan untuk mencegah atau meniadakan niat dari pihak tertentu yang ingin menyerang Indonesia. Fungsi ini dilaksanakan dengan strategi yang bertumpu pada instrumen penangkalan berupa instrumen politik, ekonomi, psikologi, teknologi, dan militer.35 Dasar kedua dari keterlibatan Indonesia dalam proses pengelolaan/penyelesaian sengketa Laut Tiongkok Selatan adalah sebagai salah satu wujud cita-cita nasional seperti yang termaktubkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam Doktrin Pertahanan Negara Indonesia 2007, pencapaian sasaran pertahanan dalam mewujudkan perdamaian dunia dan stabilitas regional adalah bagian dari misi pertahanan negara yang sepanjang waktu diperjuangkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional yang berada dalam pengaruh global dan regional. Perwujudan perdamaian dunia dan stabilitas regional merupakan kepentingan nasional yang harus diperjuangkan dan ditegakkan. Dalam konteks tersebut, kerja sama pertahanan akan dikembangkan sebagai salah satu instrumen dalam mewujudkan rasa saling percaya di antara bangsa-bangsa di dunia melalui bidang pertahanan. Sejalan dengan itu, diplomasi pertahanan akan lebih diefektifkan melalui langkah-langkah yang lebih konkret dan bermartabat. Kerja sama pertahanan dilaksanakan dalam lingkup kerja sama bilateral, regional, dan internasional. Pada lingkup regional, kerja sama pertahanan diarahkan bagi terwujudnya kawasan regional yang stabil melalui upaya bersama antarnegara di kawasan. Prioritas kerja sama pertahanan adalah dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk menciptakan 35
Ibid., hlm. 46-47.
64 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 55–70
kawasan regional yang stabil,36 seperti yang tersirat dalam cetak biru Pilar Politik-Keamanan ASEAN. Sebagai negara yang secara geografis dekat tetapi tidak terlibat langsung dalam sengketa tersebut, Indonesia diharapkan dapat berperan efektif dalam mendudukkan para negara pengklaim untuk mencari solusi yang menguntungkan bagi semua pihak. Hal ini penting untuk dilakukan karena stabilitas kawasan Asia Tenggara berikut Laut Tiongkok Selatan merupakan modal utama dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, bukan hanya bagi negaranegara anggota ASEAN, tetapi juga bagi mitra ASEAN seperti Jepang, Korea, dan Tiongkok, mengingat Laut Tiongkok Selatan merupakan jalur laut utama bagi lalu lintas perdagangan Asia Timur.37 2. Upaya yang Sudah Dilakukan Dalam sejarah penyelesaian sengketa Laut Tiongkok Selatan, usaha Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak akhir 1980-an. Pascainsiden perebutan Karang Johnson antara Tiongkok dengan Vietnam pada tahun 1988, Indonesia berusaha menggunakan jalur diplomasi jalur II (track II diplomacy) untuk bisa mendudukkan para pihak terkait dalam suatu meja. Kala itu, Indonesia menggandeng sponsor dari Kanada melalui Canadian International Development Agency (CIDA) dan Universitas British Columbia dengan mengadakan lokakarya yang disebut the Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea. Pertemuan pertama diadakan pada tahun 1990 dengan menghadirkan semua negara pengklaim kepulauan Spratly, termasuk Tiongkok. Untuk menghindari kekhawatiran pihak Tiongkok terhadap persekutuan negaranegara anggota ASEAN, Indonesia menjelaskan bahwa pertemuan tersebut bersifat informal. Selain itu, Taiwan juga bersedia hadir karena dianggap sebagai pihak tersendiri. Pertemuan ini bersifat multilateral, diadakan satu tahun sekali dan pada perkembangannya dihadiri oleh seluruh negara anggota ASEAN dalam upaya Departemen Pertahanan Republik Indonesia, Doktrin Pertahanan Negara, (Jakarta: Departemen Pertahanan RI, 2007), hlm. 97-98. 36
37
Raharjo, op.cit.
memberi sumbangsih saran dan pandangan teknis mengenai proses negosiasi. Banyak yang mengira bahwa lokakarya tersebut merupakan bentuk mediasi Indonesia. Padahal, lokakarya tersebut lebih merupakan fasilitasi Indonesia untuk meningkatkan pemahaman dan rasa saling percaya di antara para negara pengklaim.38 Dalam konsep mengenai intervensi pihak ketiga, langkah Indonesia tersebut dapat diklasifikasikan sebagai konsiliasi. Indonesia sebagai pihak yang dipercayai oleh pihak-pihak yang terlibat sengketa Laut Tiongkok Selatan menyediakan sambungan komunikasi informal kepada aktor-aktor konflik dalam rangka mengidentifikasi isu, menurunkan ketegangan, dan mendorong interaksi langsung dalam bentuk lokakarya. Setelah sepuluh tahun, kesepakatan sponsor dengan pihak Kanada berakhir. Posisi sponsor kemudian digantikan oleh Tiongkok dan Taiwan. Perubahan sponsor membawa implikasi besar, yaitu perundingan yang bersifat multilateral diubah menjadi bilateral. Akibatnya, negaranegara yang tidak bersengketa langsung, termasuk Indonesia, tidak bisa terlalu jauh terlibat dalam setiap proses perundingan. Namun demikian, salah satu hasil dari upaya pengelolaan sengketa Laut Tiongkok Selatan adalah tercapainya kesepakatan berupa Declaration of the Conduct of the Parties in South China Sea pada tahun 2002. Harapan selanjutnya adalah tercapainya Code of Conduct antara pihak-pihak yang bersengketa yang memuat mekanisme hukuman dan ganjaran. Setelah 20 tahun pertemuan rutin diadakan dan hampir tidak pernah terjadi konfrontasi lagi, capaian tersebut terganggu dengan tindakan balas-membalas yang provokatif antara Tiongkok, Vietnam, dan Filipina pada tahun 2011. Untuk meredakan ketegangan yang terjadi berdekatan dengan ASEAN Summit 2011 ini, Indonesia mengadakan ASEAN Senior Official Meeting di Surabaya pada tanggal 7-11 Juni 2011. Pertemuan tersebut dihadiri oleh pejabat tinggi negara-negara ASEAN dan negara mitra dialog. Pembahasan utama pertemuan tersebut adalah mengenai garis acuan Declaration On the 38
Oegroseno, op.cit.
Peran Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa ... | Sandy Nur Ikfal Raharjo | 65
Conduct of Parties (DOC). Garis acuan tersebut meminta Vietnam, Tiongkok, dan negara-negara lain yang bersengketa untuk berpegang pada DOC yang disepakati pada tahun 2002 lalu agar menggunakan jalan damai.39 Pertemuan di Bali di atas juga memunculkan wacana untuk memperluas ASEAN Maritime Forum (AMF) sehingga dapat memasukkan Tiongkok dan negara-negara lain dalam forum diskusi. Setahun kemudian, wacana tersebut diwujudkan dengan diadakannya The 1 st Expanded ASEAN Maritime Forum (EAMF) yang diadakan di Manila, Filipina pada Oktober 2012. Selain negara-negara anggota ASEAN dan Tiongkok, forum tersebut juga dihadiri oleh perwakilan dari Australia, India, Jepang, Selandia Baru, Korea Selatan, Rusia, dan Amerika Serikat. 40 Salah satu tujuan forum tersebut adalah agar dapat berkontribusi pada upaya menuju Confidence Building Measures (CBM) dan diplomasi preventif di antara negara-negara partisipan, yang dilakukan melalui pendekatan non-security centric.41 Dalam level internasional, upaya aktif Indonesia juga ditunjukkan dalam the 21st Meeting of States Parties to the 1982 UN Convention on the Law of the Sea. Indonesia bersama-sama dengan Filipina, Vietnam, Malaysia, Thailand, Laos, dan Singapura mencapai sebuah konsensus bahwa penyelesaian sengketa atas Laut Tiongkok Selatan harus melalui resolusi damai dan berdasarkan pada UNCLOS.42 3. Tantangan yang Dihadapi Wa l a u p u n I n d o n e s i a s u d a h b e r u p a y a mendudukkan pihak-pihak yang berkonflik dalam Senior Official Meeting dan membuat konsensus dalam pertemuan UNCLOS, insidenASEAN, Guidelines on the implementation of the DOC, Juli 2011. 39
“Chairman’s Statement, 1st Expanded ASEAN Maritime Forum Manila”, 2012, http://www.asean.org/news/aseanstatement-communiques/item/1st-expanded-asean-maritimeforum-manila, diakses pada tanggal 9 September 2014. 40
“Konsep Pembentukan ASEAN Maritime Forum,” Tabloid Diplomasi, Agustus 2010, http://www.tabloiddiplomasi.org/ previous-isuue/104-agustus-2010/902-konsep-pembentukanasean-maritime-forum.html, diakses pada tanggal 9 September 2014. 41
42
Raharjo, op.cit.
insiden terutama antara Tiongkok dengan Vietnam tetap saja terjadi. Ada tiga faktor yang menurut penulis menjadi tantangan bagi usaha kepemimpinan Indonesia tersebut, yaitu perbedaan pendekatan penyelesaian, lemahnya kekuatan Indonesia di mata para aktor sengketa, serta keterlibatan pihak asing. Pada faktor pertama, terjadi perbedaan pendekatan penyelesaian dari negara-negara yang terlibat sengketa. Di satu sisi, Tiongkok menghendaki penyelesaian sengketa melalui jalur bilateral. Tiongkok memilih untuk menghadapi negara-negara pengklaim satu-persatu. Hal ini ditengarai sebagai taktik Tiongkok untuk menghindari bersatunya suara negara-negara anggota ASEAN untuk melawan Tiongkok jika perundingan dilakukan secara multilateral. Sementara itu, Malaysia menghendaki agar sengketa ini diselesaikan berdasarkan konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982). Pendekatan yang serupa juga diajukan oleh Filipina. Indonesia sendiri melalui ASEAN berusaha mengajukan pendekatan multilateral di tingkat regional dalam mencari solusi yang bisa menguntungkan semua pihak. Perbedaan pendekatan yang diajukan oleh pihakpihak terkait ini kemudian menyulitkan proses penyelesaian sengketa. Jika masing-masing negara tetap bersikukuh terhadap pendekatan yang diajukannya, sengketa Laut Tiongkok Selatan ini akan terus rentan, di mana konflik dalam pengertian aksi militer bisa terjadi kapan saja. Salah satu contoh dampak dari faktor perbedaan pendekatan di atas dapat dilihat pada kasus gagalnya pencapaian kesepakatan bersama dalam ASEAN Ministrial Meeting (AMM) ke-45 di Kamboja. Kegagalan tersebut merupakan yang pertama dalam 45 tahun penyelenggaraannya sejak 1967.43 Hal ini terjadi karena beberapa negara seperti Vietnam dan Filipina meminta agar isu sengketa Laut Tiongkok Selatan dimasukkan dalam draf kesepakatan bersama (joint communique). Sementara itu, Kamboja selaku tuan rumah, yang juga dikenal dekat Prak Chan Thul dan Stuart Grudgings, “SE Asia meeting in disarray over sea dispute with China”, 2012, http:// www.reuters.com/article/2012/07/13/us-asean-summitidUSBRE86C0BD20120713, diakses pada tanggal 9 September 2014. 43
66 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 55–70
dengan Tiongkok, bersikukuh untuk tidak memasukkan isu sengketa tersebut. Menurut Kamboja, pertemuan antarmenteri luar negeri ASEAN tersebut bukanlah pengadilan yang dapat memutuskan sengketa (secara hukum).44 Alasan Kamboja ini didasari pada preferensi bahwa pihak luar seharusnya tidak ikut campur tangan dalam masalah penyelesaian Sengketa Laut China Selatan, yang juga menjadi pendekatan yang ditekankan oleh Tiongkok.45 Faktor kedua, yaitu kekuatan Indonesia yang lebih lemah dibandingkan dengan pihak yang bersengketa, terutama Tiongkok, menjadi faktor yang determinan. Dari segi ekonomi, data Bank Dunia menunjukkan bahwa pada tahun 2012 Tiongkok merupakan negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, sementara Indonesia berada di urutan kelima belas. 46 Dari segi militer, anggaran maupun alutsista Indonesia juga kalah jauh jika dibandingkan dengan Tiongkok. Power dan bargaining position Indonesia yang lebih lemah terhadap Tiongkok mungkin menyebabkan tidak terlalu diindahkannya konsiliasi Indonesia. Hal ini kemudian berimplikasi pada ketidakberdayaan Indonesia untuk melawan pendapat Tiongkok yang bersikukuh menggunakan jalur bilateral dibanding menggunakan jalur multilateral.47 Ketika Indonesia hendak memperjuangkan kesepakatan Code of Conduct, maka metode intervensi pihak ketiga yang harus dilakukan adalah mediasi kekuatan (power mediation). Dalam metode ini, Indonesia harus dapat berperan sebagai mediator yang melibatkan penggunaan paksaan melalui mekanisme imbalan dan hukuman. Namun demikian, lemahnya posisi tawar Indonesia di hadapan negara yang berkonflik, terutama Tiongkok, menjadikan model mediasi ini sulit dilakukan. Dengan demikian, Code of Conduct sebagai produk yang diharapkan pun masih sulit dicapai. ”Asean nations fail to reach agreement on South China Sea,” 2012, http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-18825148, diakses pada tanggal 9 September 2014. 44
45
Thul dan Grudgings, op.cit.
Bank Dunia, Gross Domestic Product 2012, 2013, http:// databank.worldbank.org/data/download/GDP.xls, diakses pada tanggal 19 Desember 2013.
46
47
Raharjo, op.cit.
Faktor ketiga, yaitu keterlibatan pihak-pihak asing yang turut memperumit dinamika. Sengketa Laut Tiongkok Selatan bukanlah semata-mata sengketa antarnegara dalam memperebutkan suatu wilayah, tetapi juga menjadi ajang bagi perebutan pengaruh dua kekuatan besar di Asia Timur, yaitu Tiongkok dan Amerika Serikat. Tiongkok yang kini berhasil menyusul negaranegara established economic power dengan menduduki peringkat dua besar ekonomi dunia juga terlihat mulai tertarik untuk memperkuat militernya. Di sisi lain, Amerika Serikat juga tidak mau kawasan Asia Timur yang sedang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dunia ini terlepas dari pengaruhnya. Menurut Taylor Fravel, setidaknya ada dua kepentingan utama Amerika Serikat terhadap Laut Tiongkok Selatan.48 Pertama, Amerika Serikat berkepentingan agar aksesnya terhadap Laut Tiongkok Selatan tetap terbuka. Dari sekitar 5 triliun dolar nilai perdagangan yang melalui Laut Tiongkok Selatan, 1 triliun diantaranya adalah milik Amerika Serikat. Selain itu, Amerika Serikat juga membutuhkan akses bagi militernya yang kini fokus pada kawasan Asia Pasifik dengan bertumpu pada U.S. Pacific Command (USPACOM). Kepentingan kedua, Amerika Serikat membutuhkan kestabilan wilayah ini. Apalagi, beberapa negara sekutu Amerika seperti Filipina berada di kawasan tersebut. Penempatan 2500 angkatan laut AS di Darwin, Australia pada November 2011 dianggap sebagai upaya Amerika Serikat untuk menjamin kawasan tersebut tetap stabil. Walaupun pihak Gedung Putih mengaku bahwa penempatan tersebut untuk memfasilitasi latihan militer bersama dengan Australia, tetapi sangat dimungkinkan tentara-tentara tersebut dikirim ke Laut Tiongkok Selatan jika konflik atau perang terjadi. Selain Amerika Serikat, India juga disinyalir turut bermain dan memperumit dinamika hubungan antar para pihak di Laut Tiongkok M. Taylor Fravel, “The United States in the South China Sea Disputes,” dalam 6th Berlin Conference on Asian Security: The U.S. and Tiongkok in Regional Security, Implications for Asia and Europe, 2012; M. Taylor Fravel, “Maritime Security in the South China Sea and the Competition over Maritime Rights”, dalam Patrick Cronin dan William Rogers (Eds.), Cooperation from Strength: The United States, Tiongkok and the South China Sea, (Washington, DC: Center for New American Security, 2012). 48
Peran Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa ... | Sandy Nur Ikfal Raharjo | 67
Selatan. Kedekatan hubungan India dengan Vietnam menjadi satu hal yang penting. Hubungan Vietnam dengan Tiongkok dalam sengketa ini bersifat konfliktual. Dukungan India terhadap Vietnam menjadi signifikan dan ancaman bagi Tiongkok karena India memiliki kapasitas ekonomi dan militer yang cukup besar. Pada Juli 2011, Kapal Laut India, INS Airavat, yang bergerak ke Nha Trang di selatan Vietnam diperingatkan oleh Tiongkok agar menjauh dari perairan Tiongkok. India sendiri menanggapinya dengan mengatakan bahwa India mendukung kebebasan pelayaran di perairan internasional, termasuk di Laut Tiongkok Selatan, sehingga ia punya hak untuk melewati perairan internasional di Laut Tiongkok Selatan tersebut.49 Selain aktor negara, aktor nonnegara berupa perusahaan-perusahaan minyak juga turut terlibat dalam sengketa ini. Philex Mining Corp, Tiongkok National Offshore Oil Corp., dan Vietnam Oil & Gas Group (Petrovietnam) saling bersaing untuk melakukan survei dan mengebor wilayah-wilayah di Laut Tiongkok Selatan yang masih disengketakan.50 Dengan berbagai tantangan tersebut, kepemimpinan Indonesia dalam menyelesaikan konflik ini diuji kualitasnya. Hingga saat ini prosesnya memang belum selesai sehingga dibutuhkan waktu lagi untuk menentukan apakah kepemimpinan itu berhasil atau tidak. Namun, belum selesainya proses justru menjadi peluang bagi Indonesia untuk memperbaiki strategistrategi yang digunakan agar penyelesaian sengketa secara damai dapat berjalan efektif.
Penutup Sengketa Laut Tiongkok Selatan merupakan salah satu ancaman yang berpotensi menimbulkan dampak negatif yang besar, tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi stabilitas kawasan di Asia Tenggara. Hingga saat ini, secara umum sengketa tersebut berada dalam tahap segregasi, Leszek Buszynski, “The South China Sea: Oil, Maritime Claims, and U.S.—Tiongkok Strategic Rivalry.” The Washington Quarterly 35:2, 2012, hlm. 139-156. 49
Patrick Barta dan Cris Larano, “Drilling Plans Raise Stakes in Disputed Seas”, Tanpa Tahun, http://online.wsj.com/news/ articles/SB1000142405311190429250457648407325020564, diakses pada tanggal 19 Desember 2013. 50
bahkan untuk hubungan Vietnam dengan Tiongkok sudah masuk tahap polarisasi. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, Indonesia muncul sebagai penggagas upaya-upaya perundingan secara damai dengan mengajak negara-negara yang bersengketa agar mau duduk bersama dalam satu forum multilateral. Namun, peran Indonesia tersebut masih menghadapi tantangan-tantangan, baik berasal dari dalam diri Indonesia sendiri berupa relatif lemahnya posisi tawar terhadap Tiongkok dan negaranegara pengklaim lainnya, maupun berasal dari luar Indonesia berupa perbedaan pendekatan dan keterlibatan pihak-pihak asing yang turut memperkeruh sengketa. Akibatnya, Indonesia kesulitan untuk melakukan intervensi lebih jauh dan masih berkutat pada level intervensi yang rendah berupa konsiliasi. Padahal, dalam tahap konflik yang sudah masuk polarisasi, Indonesia perlu melakukan mediasi kekuatan. Dengan kata lain, upaya yang dilakukan Indonesia masih sebatas pengelolaan, belum pada penyelesaian konflik. Namun demikian, Indonesia harus tetap optimis bahwa sengketa ini dapat diselesaikan dalam koridor perundingan yang damai. Secara militer, Indonesia dan empat negara anggota ASEAN yang terlibat sengketa memang tidak bisa menyaingi kekuatan militer Tiongkok. Akan tetapi secara ekonomi, kelima negara tersebut merupakan mitra dagang yang sangat penting bagi Tiongkok, terutama dalam kerangka ACFTA. Apalagi, resiko kerugian yang akan dialami jika Laut Tiongkok Selatan menjadi ajang pertempuran militer sangatlah besar, mengingat jalur ini digunakan untuk lalu lintas energi dan perdagangan negara-negara di sekitar kawasan. Dua faktor ini diharapkan menjadi media bagi pembangunan kepercayaan (trust building) yang dapat digunakan Indonesia untuk melanjutkan proses penyelesaian sengketa. Kini, target yang perlu dicapai Indonesia hanya satu, yaitu mewujudkan aturan main (Code of Conduct) di Laut Tiongkok Selatan. Jika aturan main tersebut disepakati, Indonesia akan mendapat dua keuntungan sekaligus. Pertama, ancaman sengketa tersebut terhadap pertahanan negara menjadi hilang. Kedua, peran Indonesia akan diakui secara khusus di tingkat regional ASEAN dan
68 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 55–70
secara umum di tingkat Internasional, sehingga akan menaikkan posisi tawar Indonesia sebagai modal untuk memperjuangkan kepentingan nasional selanjutnya.
Daftar Pustaka Buku Asian Development Bank. 2011. Asia 2050: Realizing the Asian Century. Singapore: ADB. Departemen Pertahanan Republik Indonesia. 2007. Doktrin Pertahanan Negara. Jakarta: Departemen Pertahanan RI. Departemen Pertahanan Republik Indonesia. 2008. Buku Putih Pertahanan Indonesia. Jakarta: Departemen Pertahanan RI. Fisher, Ronald J. 2001. Berghof Handbook for Conflict Transformation: Methods of Third-Party Intervention. Berlin: Berghof Research Center for Constructive Conflict Management. Fravel, M. Taylor. 2012. Maritime Security in the South China Sea and the Competition over Maritime Rights” dalam Patrick Cronin and William Rogers, eds., Cooperation from Strength: The United States, Tiongkok and the South China Sea. Center for New American Security: Washington, DC. Fravel, M. Taylor. 2012. The United States in the South China Sea Disputes, dalam 6th Berlin Conference on Asian Security: The U.S. and Tiongkok in Regional Security, Implications for Asia and Europe. Glasl, Friedrich. 1999. Confronting Conflict. Bristol: Hawthorn Press. Huth, Paul K. 2000. “Territory: Why Are Territorial Disputes Between States a Central Cause of International Conflict?”, dalam John A. Vasquez (Ed.), What Do We Know about War? Maryland: Rowman and Litttlefield Publisher. Irewati, Awani, dkk. 2011. Sengketa Wilayah Perbatasan Thailand-Kamboja, Jakarta: P2P LIPI. Miller, Christopher E. 2005. A Glossary of Terms And Concepts in Peace And Conflict Studies (2nd Edition). Costa Rica: University For Peace. Swanström, Niklas L.P. dan Mikael S. Weissmann. 2005. Conflict, Conflict Prevention and Conflict Management and Beyond: A Conceptual Exploration. Uppsala: the Central AsiaCaucasus Institute & Silk Road Studies Program.
Tanner, Fred. 2000. “Conflict Prevention and Conflict Resolution: Limits of Multilateralism”. International Review of the Red Cross, September. The Adelphi Papers. 2006. Southeast Asia. Oxon: Routledge. Vestergaard, Bjarne, Erik Helvard, dan Aase Rieck Sørensen. 2011. Conflict Resolution – Working with Conflicts. Kopenhagen: Danish Centre for Conflict Resolution. Wallensteen, Peter. 2002. Understanding Conflict Resolution War, Peace and The Global System. London: Sage Publishing.
Jurnal Buszynski, Leszek. 2012. “The South China Sea: Oil, Maritime Claims, and U.S.—Tiongkok Strategic Rivalry.” The Washington Quarterly 35(2): 139-156. Kelman, Herbert C. 2005. “Building Trust among Enemies: The Central Challenge for International Conflict Resolution.” International Journal of Intercultural Relations (29): 639-650. Suharna, Karmin. 2012. “Konflik dan Solusi Laut Tiongkok Selatan dan Dampaknya bagi Ketahanan Nasional.” Majalah Ketahanan Nasional Edisi 94: 33-41. Thomas Jordan. 1997. “F. Glasl: Konfliktmanagement. Ein Handbuch für Führungskräfte, Beraterinnen und Berater” (resensi buku). International Journal of Conflict Management, 8(2): 170-174. Victor, Muhamad Simela. 2012. Kepentingan Tiongkok dan Posisi ASEAN dalam Sengketa Laut Tiongkok Selatan. Info Singkat Hubungan Internasional Vol. IV, No. 08/II/P3DI.
Surat Kabar dan Website ASEAN. 2011. “Chair’s Statement of the 18th ASEAN Summit, 7-8 May 2011”. http://cil.nus.edu. sg/2011/2011-chairs-statement-of-the-18thasean-summit/. Bank Dunia. 2013. “Gross Domestic Product 2012.” http://databank.worldbank.org/data/download/ GDP.xls. Barta, Patrick dan Cris Larano. Tanpa Tahun. “Drilling Plans Raise Stakes in Disputed Seas.” http:// online.wsj.com/news/articles/SB10001424053 111904292504576484073250205648. BBC. 2014. “Q&A: South China Sea Dispute.” http://www.bbc.com/news/world-asia-pacific-13748349.
Peran Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa ... | Sandy Nur Ikfal Raharjo | 69
Kaphle, Anup dan Benjamin Gottlieb. 2013. “Timeline: Disputes in the South China Sea”. http:// www.washingtonpost.com/wp-srv/world/special/south-Tiongkok-sea-timeline/. Lender, Mark. 2010. “Offering to Aid Talks, U.S. Challenges China on Disputed Islands.” http://www.nytimes.com/2010/07/24/world/ asia/24diplo.html?_r=0. McGeown, Kate. 2011. “US’ stands by Philippines’amid South China Sea Tension.” http://www.bbc. com/news/world-asia-pacific-13899465. Oegroseno, Arif Havas. 2014. “Indonesia, South China Sea and the 9-dashed lines”. The Jakarta Post, 9 April 2014. Raharjo, Sandy Nur Ikfal. 2011. “Sengketa Kepulauan Spartly: Tantangan Bagi Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2011.” http://politik.lipi.go.id/ index.php/in/kolom/politik-internasional/472sengketa-kepulauan-spratly-tantangan-bagiindonesia-sebagai-ketua-asean-2011. Thul, Prak Chan dan Stuart Grudgings. 2012. “SE Asia meeting in disarray over sea dis-
pute with China”. http://www.reuters.com/ article/2012/07/13/us-asean-summit-idUSBRE86C0BD20120713. ”Asean nations fail to reach agreement on South China Sea”. 2012. http://www.bbc.co.uk/news/worldasia-18825148. “Chairman’s Statement, 1st Expanded ASEAN Maritime Forum Manila”. 2012. http://www.asean.org/news/asean-statement-communiques/ item/1st-expanded-asean-maritime-forummanila. “Konsep Pembentukan ASEAN Maritime Forum”. 2010. Tabloid Diplomasi. Agustus 2010. http:// www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/104agustus-2010/902-konsep-pembentukan-asean-maritime-forum.html.
70 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 55–70
POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DALAM MENGHADAPI ISU TERORISME INTERNASIONAL1 INDONESIAN FOREIGN POLICY IN DEALING WITH INTERNATIONAL TERRORISM ISSUE Ganewati Wuryandari Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 30 Juli 2014; direvisi: 5 September 2014; disetujui: 22 Oktober 2014 Abstract Terrorism is not a new issue, however it has become one of the most important issues of Indonesian foreign policy. The global fight against terrorism has increasingly gained legitimacy and supports among international community especially after the September 11, 2001 attacks in New York. Indonesia considers that the fight against terrorism is not merely to be its international obligation to support the global movement to ameliorate the menace, it is also to serve its national interest. To combat terrorism, Indonesian foreign policy closely cooperates with other nations-states in terms of bilateral, regional and multilateral. However, these international cooperations are often dictated by the perspective of the parties concerned. This paper provides an analysis of Indonesian foreign policy responses to international terrorism. The work assesses its role in various bilateral, regional and multilateral cooperation in combating international terrorism. Keywords: Indonesian foreign policy, international terrorism, international cooperation. Abstrak Terorisme bukan isu baru namun menjadi salah satu isu yang semakin penting dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Perang global melawan terorisme memperoleh legitimasi dan dukungan yang semakin meluas dari masyarakat internasional terutama setelah terjadi tragedi 11 September 2001 di New York. Keterlibatan Indonesia dalam perang melawan terorisme ini tidak hanya untuk memenuhi kewajibannya sebagai bagian masyarakat internasional untuk secara bersama-sama memerangi terorisme, melainkan juga demi memenuhi kepentingan nasionalnya. Kebijakan luar negeri Indonesia dalam penanganan isu ini sangat mengedepankan kerja sama dengan negara-negara lain baik bilateral, regional dan multilateral. Namun demikian, kerja sama internasional yang terkait dengan penanganan isu terorisme internasional harus dicermati karena sangat diwarnai oleh perspektif pihak-pihak yang berkepentingan. Tulisan ini menganalisis kebijakan luar negeri Indonesia dalam forum bilateral, regional dan multilateral mengenai isu terorisme internasional. Kata Kunci: kebijakan luar negeri, terorisme internasional, kerja sama internasional.
1
Tim Peneliti terdiri dari: Ganewati Wuryandari (Koordinator), RR. Emilia Yustiningrum, Nanto Sriyanto, Athiqah Nur Alami.
Politik Luar Negeri Indonesia dalam Menghadapi ... | Ganewati Wuryandari | 71
Pendahuluan Terorisme bukanlah isu baru namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa serangan terhadap gedung World Trade Centre (WTC) di New York, Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2001. Tragedi ini mendorong munculnya pemahaman baru tentang terorisme.2 Terorisme tidak lagi hanya dipahami sebagai aksi kejahatan luar biasa yang bersifat nasionalistik dan teritorial, melainkan aksi tersebut juga memiliki karakter ideologis yang berkorelasi dengan agama dan bersifat lintas negara. Peristiwa 9/11 di atas juga telah memiliki dampak terhadap perubahan konstelasi politik internasional dengan kecenderungan semakin eksisnya hegemoni AS. Tragedi ini berkembang sebagai isu global sebagai akibat dari kebijakan yang dilancarkan untuk memerangi terorisme yang dikenal dengan Global War against Terrorism. Dalam implementasinya, AS menuntut dukungan dari komunitas internasional untuk bekerja sama memerangi terorisme. Deklarasi “either you are with us or against us” yang dinyatakan oleh Presiden AS George W. Bush tidak memberikan pilihan lain bagi negara-negara di dunia selain hanya untuk bersikap mendukung atau tidak ikut dalam aliansi AS dalam perang melawan teroris. Menanggapi tragedi tersebut, Indonesia bersikap responsif. Tidak lama setelah peristiwa tersebut, Presiden RI Megawati Soekarnoputri mengirimkan surat kepada Presiden Bush berisi ekspresi duka cita dan kecaman Indonesia yang mengutuk serangan tersebut sebagai tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Hal yang sama diulangi kembali oleh Megawati ketika berkunjung ke Washington pada 19 September 2001. Pernyataan tersebut dilandasi sikap Indonesia yang menentang segala bentuk kekerasan sebagai cara untuk mencapai suatu tujuan politik, sebagaimana dinyatakan oleh Presiden Megawati bahwa, “Indonesia has always been against violence. Anything that relates to violence, including acts of terrorism, we will definitely be against it.”3 Matthew J. Morgan, “The Origins of the New Terrorism”, Parameters, 2004, hlm. 29. 2
3
Office of the Press Secretary, the U.S. Government, “President
Dilihat dari pernyataan tersebut, dapat dikatakan Indonesia sesungguhnya belum menentukan sikap tegasnya dalam kaitannya dengan kebijakan global AS untuk memerangi terorisme. Namun, hal ini tidak berarti Indonesia bersikap pasif dalam merespons persoalan terorisme. Lima belas hari setelah tragedi 9/11, Indonesia menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Pencegahan Sumber Finansial Terorisme (International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism 1999).4 Selain untuk memperkuat payung hukum isu terorisme di level internasional, penandatangan tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan sikap Indonesia yang menghormati dan mengedepankan mekanisme multilateral dalam memerangi terorisme daripada aksi unilateral AS. Sikap kritis Indonesia tersebut digarisbawahi oleh pernyataan Megawati yang mengecam tindakan unilateral tersebut sebagai “an act of aggression, which is in contravention of international law”.5 Kebijakan Indonesia di atas dilandasi oleh persepsi pemerintah yang saat itu masih menganggap terorisme bukan menjadi ancaman utama bagi keamanan nasional. Maraknya gejolak politik domestik, diantaranya tuntutan merdeka dari sejumlah wilayah seperti Papua dan Aceh, menjadikan persoalan separatisme lebih krusial bagi Indonesia. Hal ini sebagaimana diakui oleh pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang menyatakan bahwa separatisme merupakan “the most pressing security threat, not terrorism”.6 Keengganan Indonesia untuk turut serta dalam Building Worldwide Campaign Against Terrorism: Remarks by President Bush and President Megawati of Indonesia”, 19 September 2001. Fabiola Desy Unidjaja, “Indonesia Signs UN Convention on Terrorism”, The Jakarta Post, 26 September 2001, http:// www.thejakartapost.com/news/2001/09/26/indonesia-signs-unconvention-terrorism.html, diakses pada tanggal 12 November 2013. 4
Gary LaMoshi, “Indonesia Doth Protest War Too Little”, Asia Times, 29 Maret 2003, http://www.atimes.com/atimes/ Southeast_Asia/EC29Ae02.html, diakses pada tanggal 12 November 2013. 5
Pernyataan pejabat tinggi pemerintah Indonesia di Jakarta pada 20 Juni 2008 dalam Senia Febrica, “Securitizing Terrorism in Southeast Asia: Accounting for the Varying Responses of Singapore and Indonesia”, Asian Survey, Vol. 50, No. 3, 2001, hlm. 582. 6
72 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 71–83
perang gobal melawan terorisme juga diperkuat oleh pernyataan Wakil Presiden Hamzah Haz yang pada awalnya menyangkal adanya jaringan terorisme di Indonesia.7 Dengan kata lain, pada saat itu terorisme belum dilihat sebagai ancaman sehingga belum terjadi proses sekuritisasi dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Sikap kritis Indonesia dalam koalisi global melawan terorisme di atas ternyata tidak berlangsung lama. Berbagai rentetan aksi terorisme yang terjadi di Indonesia terutama sejak Bom Bali I pada 2002 telah menyentakkan Indonesia bahwa aksi terorisme seolah sebagai bom waktu yang setiap saat bisa terjadi. Rentetan peristiwa berikutnya seperti Bom Hotel J.W. Marriot (2003), Bom Kedubes Australia (2004), Bom Bali II (2005) dan Bom J.W.Marriot-Ritz Carlton (2009) semakin menguatkan kesadaran bahwa terorisme menjadi ancaman nyata bagi keamanan nasional Indonesia. Perkembangan isu terorisme di tingkat internasional dan domestik tersebut pada akhirnya menjadi titik tolak perubahan orientasi kebijakan anti-terorisme Indonesia. Komitmen baru untuk penanggulangan terorisme tersebut dapat dilihat pada lingkup domestik dan internasional. Pada lingkup domestik, komitmen Indonesia tersebut tercermin pada tataran legal-formal, kelembagaan dan praksis. Secara yuridis, Indonesia mengeluarkan sejumlah peraturan perundangan terkait penanganan terorisme, yaitu seperti Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 pada peristiwa Bom Bali I, Inpres No. 4 Tahun 2002, dan Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan No. Kep-26/Menko/Polkam/11/2002 tentang Pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT). Disamping DKPT, pemerintah juga membangun kelembagaan baru yang dirancang sebagai unit antiteroris. Salah satunya adalah Foreign Correspondent, “Hamzah Haz Interview Transcript”, 23 Oktober 2002, http://www.abc.net.au/foreign/stories/ s710402.htm, diakses pada tanggal 12 November 2013. 7
Detasemen Khusus 88 atau yang dikenal dengan Densus 88 pada tahun 2004 dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang terbentuk pada pada 2010.8 Selain melalui upaya legal dan kelembagaan, Indonesia juga melakukan upaya penegakan hukum melalui aksi-aksi penangkapan para tersangka teroris, mengadili dan memenjarakan mereka bila terbukti bersalah di dalam proses pengadilan. Menurut Ansyad Mbay, Kepala BNPT, sampai dengan saat ini BNPT telah berhasil menangkap sekitar 810 orang teroris dan membawa 500 orang teroris ke pengadilan.9 Sedangkan pada lingkup internasional, komitmen Indonesia untuk penanggulangan terorisme terwujud dalam politik luar negeri yang terus menggunakan berbagai upaya bilateral, regional dan global untuk mengatasi ancaman ini. Secara bilateral, Indonesia menggalang kerja sama dengan berbagai negara, antara lain AS dan Australia. Sementara dalam konteks regional, Indonesia menempatkan ASEAN sebagai bagian penting dalam kerja sama penanganan terorisme. Hal ini dikarenakan terorisme di Indonesia diyakini memiliki jaringan internasional, termasuk di beberapa negara ASEAN. Peristiwa Bom Bali I yang melibatkan jaringan teroris dari Malaysia memperkuat keyakinan tersebut.10 Pentingnya kerja sama antar negara ASEAN disampaikan dalam pidato Presiden RI Megawati pada ulang tahun ASEAN ke-36 di Jakarta pada 2003:
Regional plans of action to tackle such problems had long been established as part and parcel of ASEAN’s functional cooperation, but suddenly these appeared to be inadequate in the face of the cataclysms like terrorist attacks in the United States and in Bali. These two tragedies roused the entire civilized world to the immense danger of international terrorism Densus 88 ini adalah salah satu dari unit antiteror di Indonesia, disamping Detasemen C Gegana Brimob, Detasemen Penanggulangan Teror (Dengultor) TNI AD alias Grup 5 Anti Teor, Detasemen 81 Kopasus, Detasemen Jalamangkara Korps Marinir TNI AL dan Detasemen Bravo (Denbravo) TNI AU. 8
Ansyaad Mbai, “Kebijakan Penanggulangan Terorisme”, Presentasi disampaikan pada Focus Group Discussion Tim Polugri P2P LIPI, Jakarta, 14 Mei 2013. 9
Irfa Puspitasari, “Indonesia’s New Foreign Policy-‘Thousand Friends Zero Enemy’”, IDSA Issue Brief, No. 23, Agustus 2010, hlm. 4. 10
Politik Luar Negeri Indonesia dalam Menghadapi ... | Ganewati Wuryandari | 73
and other transnational crimes. It became clear that no single country or group of countries could overcome this threat alone. In Indonesia’s view, which is shared by the rest of the ASEAN members, it would take a global coalition involving all nations, all societies, religions and cultures to defeat this threat.11
Dalam lingkup kerja sama multilateral, Indonesia mendukung langkah-langkah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berperan aktif dalam berbagai bentuk kerja sama dengan lembaga-lembaga internasional khususnya dalam rangka penegakan hukum, dan berbagai langkah pencegahan, penumpasan, pemberantasan terorisme serta keamanan internasional. Salah satu wujud dukungan itu antara lain dalam Counter-Terrorism Committee (CTC) yang dibentuk berdasarkan Resolusi DK PBB No. 1373 Tahun 2001. Dalam rangka menindaklajuti pemenuhan kewajibannya sebagai bagian dari CTC, pemerintah Indonesia membuat laporan capaian upaya penanggulangan terorisme setiap tahunnya. Selain itu, Indonesia telah meratifikasi 7 dari 16 konvensi internasional dan protokol dalam isu terorisme. Di dalam upaya penanggulangan terorisme di atas, kebijakan luar negeri Indonesia dilandaskan pada beberapa pilar strategi. Sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa di Symposium on International Counter-Terrorism Cooperation yang diselenggarakan oleh Sekretaris Jenderal PBB di New York pada 19 September 2011, pilar-pilar strategi tersebut adalah sebagai berikut: pertama, upaya nasional dan regional harus sejalan dengan upaya global; kedua, perang melawan terorisme harus diarahkan pada akar terorisme itu sendiri; ketiga, demi mencapai upaya jangka panjang, penggunaan soft power menjadi sangat esensial; dan keempat, upaya
Megawati Soekarnoputri, “ASEAN Today: Challenges and Responses, Remarks by the President of the Republic of Indonesia on the Occasion of the 36th Anniversary of the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), Jakarta, 8 Agustus 2003, http://www.asean.org/news/ asean-statement-communiques/item/asean-today-challengesand-responses-remarks-by-the-president-of-the-republic-ofindonesia-on-the-occasion-of-the-36th-anniversary-of-theassociation-of-southeast-asian-nations-asean-jakarta, diakses pada tanggal 12 November 2013. 11
untuk menanggulangi terorisme harus sesuai dengan prinsip demokrasi.12 Berdasarkan uraian di atas terlihat terorisme masih menjadi ancaman yang perlu diwaspadai. Gerakan dan penyebaran terorisme di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks regional dan internasional, oleh karena itu, upaya untuk mengatasinya juga harus melibatkan banyak pihak termasuk negara-negara lain. Hanya saja kerja sama penanggulangan terorisme melalui bilateral, regional dan multilateral tidak terlepas dari perbedaan kepentingan antar negara yang terlibat. Karakter transnasional yang terdapat pada aksi terorisme dewasa ini telah menjadi salah satu justifikasi bagi tindakan pelanggaran norma dasar hubungan internasional, yaitu kedaulatan nasional. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas aktif, yaitu penentuan kebijakan luar negeri yang seimbang diantara tekanan internasional dan sensitivitas domestik tanpa mengorbankan kepentingan nasional. Terkait dengan permasalahan tersebut ada dua pertanyaan utama perlu diajukan, yaitu: pertama, bagaimana signifikansi isu terorisme dalam kebijakan luar negeri Indonesia; dan kedua, bagaimana kebijakan luar negeri Indonesia di tingkat bilateral, regional dan multilateral dalam isu terorisme internasional?
Terorisme dalam Perspektif Teoritik Hubungan Internasional Terorisme dapat dipahami dari berbagai disiplin ilmu seperti kriminologi, politik, hubungan internasional, keamanan (war and peace studies), komunikasi dan agama. Kondisi ini menyebabkan tidak ada definisi terorisme yang baku dan berlaku universal, sehingga menjadi salah satu masalah yang mengganjal bagi kajian terorisme. Berdasarkan sudut pandang multidisipliner tersebut di atas, tindakan terorisme sendiri dapat didefinisikan dari berbagai segi, yaitu antara lain sebagai kriminalitas, sebagai kekerasan politik Permanent Mission of The Republic of Indonesia to The United Nations, “Statement by H.E. DR. R.M. Marty M. Natalegawa Minister of Foreign Affairs of Republic of Indonesia at The Secretary-General’s Symposium on International Counter-Terrorism Cooperation”, New York, 19 September 2011. 12
74 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 71–83
(political violence), sebagai bentuk strategi perang, sebagai bentuk komunikasi, dan sebagai perang suci berlandaskan agama.13 Sedangkan berdasarkan peristilahannya (etimologi), teror sendiri berasal dari bahasa Latin “terrere” yang berarti “menakut-nakuti” yang diserap ke dalam bahasa Prancis dan selanjutnya digunakan pertama kali dalam bahasa Inggris pada tahun 1528. Terorisme sendiri memiliki konotasi politis saat digunakan oleh salah satu faksi dalam Revolusi Perancis. Pada saat itu, untuk menanggulangi ancaman kubu monarkis, Maximilien Robespierre memerintahkan eksekusi massal 17.000 tahanan untuk memberikan efek jera kepada lawan politiknya. Dalam pandangan Robespierre (1794) , teror dipahami sebagai, “nothing else than immediate justice, severe, inflexible; it is therefore an outflow of virtue, it is not so much a specific principle than a consequence of the general principle of democracy applied to the most pressing needs of the motherland.“14 Pemerintahan gaya Robespierre ini yang kemudian dikenal dengan “rejim teror”. Penggunaan istilah teror kemudian berkembang dengan dilekatkan pada kelompok nonnegara pada saat kelompok anarkis Perancis dan Rusia melakukan hal serupa dalam melawan pemerintah yang berkuasa.15 Serapan ini menjadi acuan banyak kajian terorisme dari sudut pandang ilmu politik yang melihat terorisme sebagai bagian dari kekerasan guna mencapai tujuan politik (political violence). Perkembangan yang lebih kekinian menunjukkan penggunaan teror sebagai alat perlawanan dalam perang kolonial oleh kelompok gerilya kemerdekaan pada era antikolonialisme yang merebak pascaPerang Dunia II. Sampai dengan tahun 1980-an, peristiwa penyanderaan dan pembajakan pesawat terbang banyak Alex P. Schmid, “Introduction”, dalam Alex P. Schmid (Ed.), The Routledge Handbook of Terrorism Research, (New York: Routledge, 2011), hlm. 1-2. 13
dikaitkan dengan terorisme yang terkait dengan isu nasionalisme tersebut. Namun, perkembangan pasca Perang Dingin di tahun 1990-an hingga kini menunjukan perubahan dari permulaan sejarah istilah terorisme ini sendiri. Pada terorisme yang berkembang di tahun 1990-an, keterkaitan dengan ideologi dan nasionalisme tidak lagi menjadi faktor utama. Saat ini, isu terorisme seringkali dikaitkan dengan keyakinan agama sebagai motif politik di belakangnya.16 Seperti dinyatakan oleh Hoffman bahwa “the religious imperative for terrorism is the most important characteristic of terrorist activity today.”17 Karakteristik lainnya dari terorisme saat ini terkait erat dengan globalisasi. Sebagai fenomena internasional yang tidak bisa dihindari, globalisasi diyakini tidak hanya menjadi motivasi bagi tindakan terorisme, tapi juga memfasilitasi metode untuk melakukannya. Seperti pernyataan berikut, “In today’s globalizing world, terrorists can reach their targets more easily, their targets are exposed in more places, and news and ideas that inflame people to resort to terrorism spread more widely and rapidly than in the past.”18 Selain kemudahan dalam akses dalam informasi dan teknologi, fenomena globalisasi identik dengan penyebaran nilai-nilai Barat yang liberal. Masuknya nilai-nilai Barat dan institusi ke dunia Islam melalui proses globalisasi dan pasar bebas menjadi penjelasan lain dari latar belakang tumbuhnya terorisme. Proses globalisasi yang melintasi batas-batas negara dan membawa konsekuensi politik dan ekonomi telah mendorong munculnya budaya pasar yang berorientasi pada kepentingan dan keuntungan pribadi yang koruptif sehingga meminggirkan komunitas-komunitas tradisional.19 Sementara itu, dalam hal akar penyebab aksi terorisme saat ini relatif beragam. Hal ini tercermin antara lain dalam persidangan Majelis Umum PBB pada bulan Oktober 2001. Perwakilan
Joseph J. Easson dan Alex P. Schmid, “Appendix 2.1 250-plus Academic, Governmental and Intergovernmental Definitions of Terrorism”, dalam Schmid (Ed.), The Routledge Handbook of Terrorism Research, (New York: Routledge, 2011), hlm. 99.
16
Reuven Young, “Defining Terrorism: The Evolution of Terrorism as a Legal Concept in International Law and Its Influence on Definitions in Domestic Legislation”, Boston College International and Comparative Law Review, Vol. 29, Issue 1, Article 3, 12-1-200, hlm. 27-28.
18
14
15
Ibid., hlm. 29.
Lihat Bruce Hoffman, Inside Terrorism, (New York: Columbia University Press, 1998). 17
Paul R. Pillar, “Terrorism Goes Global: Extremist Group Extend their Reach Worldwide,” The Brookings Review, 19 (Fall 2001), hlm. 34-37. 19
Morgan, op.cit., hlm. 37.
Politik Luar Negeri Indonesia dalam Menghadapi ... | Ganewati Wuryandari | 75
negara-negara anggota PBB memberikan berbagai penyebab timbulnya serangan terorisme nonnegara yang menghancurkan menara WTC. Armenia, misalnya, menyatakan penyebab terorisme adalah kemiskinan. Sementara negara lain Benin, Kosta Rika, Republik Dominina, Finlandia, Malaysia, Palestina dan Namibia menyatakan bahwa terorisme muncul karena adanya ketimpangan sosial, marjinalisasi, penindasan, pelanggaran hak dasar, ketidakadilan, kesengsaraan, kelaparan, narkoba, prasangka sosial, alienasi kaum muda di tengah situasi keterpurukan ekonomi dan instabilitas politik, penolakan terhadap Barat dengan segala aspek budayanya, ketakutan, dan keputusasaan.20 Sementara pendapat dari Benjamin Barber terkait dengan persoalan keyakinan agama yang menjadi pendorong terorisme, dianggap merupakan persoalan keterasingan identitas yang berujung pada radikalisme. Amartya Sen berpendapat lain atas persoalan identitas tersebut dengan melihat problem kemiskinan dan mobilitas sosial sebagai akar radikalisme yang berkembang menjadi terorisme.21 Cornelia Beyer yang mengusung pendapat Johan Galtung tentang kekerasan sturuktural, menilai bahwa kekerasan struktural yang hadir dalam bentuk baru seperti “invasi” kultural dan interaksi yang tidak simetris dengan adanya intervensi politik yang tidak menghormati norma kedaulatan internasional menjadi sebab terorisme menjadi solusi bagi pelaku tindak teror.22 Selain berbagai faktor di atas, pengamat lain menyatakan bahwa kemunculan aksi terorisme di satu negara dapat dikaitkan dengan kiprah politik luar negeri negara tersebut. Menurut Savun dan Phillips, negara yang memiliki perilaku politik luar negeri tertentu lebih mudah menarik terorisme lintas negara (transnational terrorism). Negara-negara yang lebih aktif terlibat dalam politik internasional lebih mungkin Alex P. Schmid, “Introduction”, dalam Schmid (Ed.), op.cit., hlm. 13-14. 20
Lihat Amartya Sen, “Violence, Identity, and Poverty”, Journal of Peace Research, Vol. 45, No. 1, 2008, hlm. 9; Benjamin Barber, Jihad vs. McWorld, (New York: Times Books, 1995).
menjadi target terorisme transnasional. Negara demokratis lebih mungkin menjadi target teroris internasional tidak hanya karena tipe rezimnya semata tapi juga karena tipe kebijakan luar negeri yang negara tersebut tunjukkan.23 Savun dan Philips lebih lanjut menyatakan bahwa “a more active foreign policy should lead to more transnational terrorism. 24 Untuk mencapai kesimpulan itu, variabel yang digunakan untuk mengukur kiprah politik luar negeri suatu negara meliputi keterlibatan dalam krisis politik luar negeri dengan negara lain, hubungan aliansi dengan AS dan frekuensi intervensi di perang sipil.25 Jika dilandaskan pada argumen ini, maka penyebab Indonesia rentan terhadap serangan terorisme lintas negara mungkin salah satunya bersumber dari kiprah politik luar negeri Indonesia yang asertif. Penanganan terorisme internasional saat ini menunjukkan kebaruannya dengan mempertimbangkan adanya perubahan karakter konflik yang asimetris. Aktor yang saling berkonflik dalam konteks kekinian tidak selalu negara yang menjadi aktor utama seperti paradigma Realisme dalam studi Hubungan Internasional, namun juga melibatkan aktor non-negara, yaitu seperti teroris yang dalam versi AS adalah jaringan Al Qaeda. Hanya saja dalam penanggulangan yang dikedepankan oleh AS, metode yang diajukan masih merupakan preskripsi kebijakan yang kental nuansa paradigma Realismenya. Doktrin Pre-emptive Strike dan aksi invasi yang menjadi sendi utama dalam perang melawan terorisme justru menempatkan negara dan kedaulatan wilayah dalam ranah yang dipertanyakan. Tindakan AS dengan menyerang Afganistan di bawah Taliban yang dianggap memberi “perlindungan” (safe haven) kepada Al Qaeda justru menjadikan konflik yang semula dipicu oleh aktor non-negara menjadi konflik yang mau tidak mau membawa negara lain untuk bertanggung jawab. Hal inilah yang menjadikan salah satu karakter isu terorisme saat ini bercorak “terrorist-sponsored state”,
21
Cornelia Beyer, “Understanding and Explaining International Terrorism: On the Interrelation between Human and Global Security”, Human Security Journal, Vol. 7, Summer 2008, hlm. 63-67. 22
Burcu Savun dan Brian J. Phillips, “Democray, Foreign Policy and Terrorism”, Journal of Conflict Resolution, Vol. 20, No. 10, 2009, hlm. 2. 23
24
Ibid., hlm. 12.
25
Ibid.
76 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 71–83
yaitu teroris yang disponsori negara, misalnya Afghanistan yang dikuasai Taliban. Sementara itu, dalam sudut pandang akademik dan norma hubungan internasional, isu terorisme mencuatkan kembali pertanyaan atas norma mendasar hubungan antara negara, yaitu kedaulatan. Bila pada dasawarsa 1990an, kedaulatan versi Westphalia yang sangat menekankan pada integritas wilayah sempat dipertanyakan dengan adanya konflik internal akibat dari gagal hadirnya negara dalam penyelesaian konflik internal yang berimbas pada stabilitas internasional. Diskursus itu memunculkan konsep human security yang meletakkan kedaulatan negara dengan kewajiban negara/pemerintah untuk melindungi hak-hak dasar warga negaranya. Selain itu, perkembangan isu terorisme internasional mutakhir membuka isu masih lemahnya rejim internasional dalam isu ini.26 Hal ini dapat dicermati dari kesulitan yang terjadi saat negara-negara yang secara normatif mengutuk aksi teroris untuk dapat bekerja sama secara multilateral. Hal itu dapat dilihat dari kesulitan upaya definisi hukum atas terorisme yang dapat dijadikan rujukan bersama oleh banyak negara. Bukan saja definisi akademik yang beragam dikarenakan perbedaan sudut pandang kajian, definisi hukum atas terorisme oleh banyak negara juga cukup beragam dan menjadi kendala tersendiri dalam upaya kerja sama global. Definisi hukum itu yang menjadi landasan normatif dan landasan strategis dalam menanggulangi ancaman terorisme dan akar yang menjadi penyebab bangkitnya militansi dengan latar “ideologis” yang terbilang baru ini. Berdasarkan paradigma Neo-Liberal Institutionalis, 27 kelembagaan yang sedang dibangun dalam penanganan isu terorisme Menurut Stephen D. Krasner, rezim internasional adalah “principles, norms, rules, and decision making procedures around which actor expectations converge in a given issuearea.” Lihat diskusinya dalam Stephen D. Krasner (Ed.), International Regimes, (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1983). 26
Lihat Robert O. Keohane, After Hegemony, (Princeton: NJ, Princeton University Press, 1984). Keohane mengusung ide pembentukan norma dalam hubungan internasional yang juga sangat ditentukan oleh keberadaan hegemon meski tidak sepenuhnya bergantung pada hegemon pasca-keberlangsungan norma/rezim internasional tersebut. 27
secara multilateral masih membutuhkan peranan dari negara hegemon yang dapat menegakkan norma yang dapat diacu bersama. Namun, dengan posisi AS yang lebih mengedepankan aksi unilateral, acuan dari kebanyakan negaranegara yang mendukung kebijakan multilateral adalah norma lain yang mengacu pada upaya penanggulangan terorisme yang sudah mapan. Meski tentunya harus mendapatkan modifikasi dalam pengembangan norma yang akan dipergunakan mengingat karakter terorisme yang jauh berbeda dari generasi teroris sebelumnya. Dalam hal ini, pandangan mengenai hubungan internasional sebagai sebuah interaksi komunitas internasional menjadi rujukan untuk menilik model yang akan berkembang atau melihat pada sisi idealita yang dapat menjadi titik temu dalam upaya bersama tersebut.28
Isu Terorisme Global: Kebijakan Luar Negeri, Implementasi dan Kendala Isu terorisme telah menjadi tantangan kebijakan luar negeri Indonesia terutama sejak muncul pertama kali menjadi isu global, yaitu setelah adanya tragedi penyerangan terhadap menara kembar World Trade Center dan gedung Pentagon di Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2001. Tantangan utamanya terletak pada penentuan pilihan dan pelaksanaan kebijakan luar negeri yang seimbang di antara tekanan domestik dan internasional terkait isu terorisme internasional tanpa mengorbankankan kepentingan nasional. Adagium “foreign policy begins at home” memang sebuah keniscayaan dalam kebijakan luar negeri, namun demikian Indonesia juga sangat memperhitungkan dinamika lingkungan eksternalnya. Tragedi 9/11 terbukti telah memberikan dampak luas pada tataran internasional. Tidak saja mengubah perspektif global tentang ancaman terorisme dari era Perang Dingin, peristiwa tersebut juga menandai lahirnya tatanan politik dunia yang bercirikan dengan meningkatnya ancaman keamanan nontradisional yaitu terorisme. Selain itu, peristiwa tersebut mengubah instrumen yang dibutuhkan untuk mencegahnya, Kedua pandangan terakhir di atas mengacu pada Paradigma English School dan Konstruktivisme dalam Hubungan Internasional. 28
Politik Luar Negeri Indonesia dalam Menghadapi ... | Ganewati Wuryandari | 77
sekalipun telah ada institusi-institusi regional dan multilateral yang mengaturnya. Tragedi di atas juga terbukti memiliki dampak yang signifikan terhadap perubahan situasi dan percaturan politik dengan kecenderungan semakin eksisnya hegemoni AS. Dengan kebijakan “Global War Against Terrorism”, negara adidaya ini mampu mengubah isu terorisme menjadi isu global dengan menyeret negara-negara di dunia untuk bergabung dalam koalisi internasional melawan terorisme. Tragedi 9/11 dan serangan bom di tanah air, khususnya setelah peristiwa Bom Bali 2002 telah menjadi titik balik perspektif pemerintah Indonesia akan sekuritisasi isu terorisme yang sebelumnya terabaikan. Maraknya aksiaksi terorisme yang terjadi di dalam negeri menegaskan akan realitas nyata ancaman terorisme bagi kepentingan nasional. Peristiwa tersebut terbukti memiliki dampak yang luas terhadap seluruh aspek kehidupan nasional. Tidak saja mengancam stabilitas sosial ekonomi dan politik keamanan dalam negeri, tetapi juga mempengaruhi hubungan Indonesia dengan negara-negara lain. Isu terorisme dalam realitasnya telah menimbulkan citra negatif tentang Indonesia di mancanegara, yaitu antara lain Indonesia dipandang sebagai negara tidak aman dan dicap sebagai negara “sarang teroris”. Implikasi-implikasi meluasnya pandangan tersebut tercermin melalui kebijakan beberapa negara, seperti antara lain Amerika Serikat, Australia dan Jepang, yang mengeluarkan travel warning dan travel advisory yang ditujukan kepada warganegaranya yang akan berkunjung ke Indonesia. Citra negatif ini tentu merugikan kepentingan nasional Indonesia yang saat itu tengah berjuang untuk mendapatkan dukungan internasional atas upaya pemulihan ekonomi akibat imbas krisis moneter tahun 1997. Oleh karena itu, Indonesia memiliki kepentingan yang sangat besar untuk menanggulangi ancaman terorisme. Apalagi maraknya serangan bom teroris di dalam negeri pasca Bom Bali 2002 terbukti memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap pembangunan ekonomi yang salah satu diantaranya diindikasikan melalui penurunan
minat investor luar negeri dan pariwisata di dalam negeri, terutama di Bali. Realitas perubahan lingkungan internasional dan domestik di atas pada gilirannya telah memunculkan perspektif baru dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Isu terorisme yang sebelumnya tidak menjadi fokus dalam kebijakan luar negeri, pada akhirnya sejak peristiwa Bom Bali I 2002 menjadi salah satu agenda penting dalam hubungan luar negeri Indonesia. Komitmen ini diwujudkan dalam pelaksanaan politik luar negerinya dengan terus menggunakan berbagai upaya kerja sama dengan negara-negara lain secara bilateral, regional dan multilateral untuk mengatasi ancaman terorisme. Untuk memperkuat diplomasi anti terorisme tersebut, pemerintah Indonesia juga melakukan upaya-upaya penanggulangan terorisme di dalam negeri, yaitu dengan penguatan legal formal, institusional, dan praksis. Secara legal formal, Indonesia telah berupaya memperkuat regulasi nasional dengan membuat berbagai peraturan perundangan baru dan meratifikasi 7 (tujuh) dari 16 (enam belas) konvenan internasional terkait terorisme. Sedangkan secara kelembagaan, Indonesia membentuk badan khusus untuk menanggulangi terorisme, yaitu antara lain Densus 88 dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Selain itu, Indonesia melakukan langkah-langkah praksis untuk melawan terorisme, yaitu melalui upaya penegakan hukum secara efektif terhadap para pelaku terorisme di dalam negeri. Mereka ditangkap, diproses di pengadilan dan dipenjarakan. . Dengan kombinasi sinergis berbagai upaya internasional dan domestik tersebut, kebijakan luar negeri Indonesia mengenai terorisme diharapkan dapat efektif sehingga mampu mencapai kepentingan nasional, yaitu pemulihan kembali citra dan kredibilitas internasional Indonesia. Citra dan kredibilitas Indonesia yang lebih baik pada gilirannya diharapkan dapat memberikan kemanfaatan baik untuk kepentingan ekonomi dan politik yang lebih luas kepada Indonesia. Kerja sama Indonesia dengan negaranegara lain dalam pemberantasan terorisme dipandang sangat penting. Karakteristik lintas
78 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 71–83
batas dan bahkan global dari isu terorisme saat ini mengingatkan bahwa solusi hanya dapat diupayakan melalui kerja sama internasional. Bahkan, negara adidaya pun tidak akan mampu menangani berbagai tantangan tersebut sendiri, mengingat karakter tantangan yang tidak dilandaskan pada batas negara. Dalam konteks ini, Indonesia secara bilateral melakukan kerja sama kontraterorisme dengan banyak negara dan salah satu diantaranya adalah dengan AS dan Australia. Meskipun kerja sama bilateral Indonesia dengan AS dan Australia ini tidak bisa dipisahkan keterkaitannya dengan kepentingan nasional masing-masing negara, namun kerja sama tersebut dapat dikatakan cukup unik dibandingkan dengan kerja sama bilateral lainnya yang digalang Indonesia dalam pemberantasan terorisme. Hal ini karena Indonesia, AS dan Australia merupakan ketiga negara yang samasama pernah menjadi korban aksi-aksi terorisme. Dalam perspektif Indonesia, kerja sama bilateral terutama dengan AS dan Australia dilihat sebagai instrumen penting dalam diplomasi untuk mencapai pemenuhan sasaran kepentingan politik dan ekonomi nasional. Sedangkan, AS dan Australia juga memandang penting kerja sama bilateral mereka dengan Indonesia dalam upaya memerangi terorisme. Ini antara lain terkait dengan fakta bahwa aksi-aksi terorisme saat ini melibatkan jaringan global melalui sel-sel yang diduga juga beroperasi di Indonesia. Dalam rangka kerja sama bilateral dengan AS dan Australia di atas, Indonesia sering kali secara keras berhadapan pada tekanan domestik dan internasional yang mempengaruhi kebijakan luar negeri-nya. Hanya saja, tekanan domestik ini terlihat lebih terasa pada masa pemerintahan Presiden Republik Indonesia (RI) Megawati Soekarnoputri dibandingkan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Koalisi antara partai nasionalis dan partai Islam yang lemah secara ideologis dalam mendukung pemerintahan Megawati dan Hamzah Haz merupakan salah satu faktor yang menyulitkan sikap pemerintah terhadap tekanan isu terorisme internasional. Ini tercermin melalui sikap pemerintah yang awalnya memberikan dukungan moral terhadap AS dalam kebijakannya melawan terorisme,
namun tekanan domestik yang kuat pada akhirnya membuat pemerintahannya mengkritik tindakan unilateral AS dalam perang Afghanistan atas nama kebijakan perang melawan terorisme. Tekanan domestik tersebut nampak lebih kuat pengaruhnya dalam hubungan bilateral Indonesia dengan AS dibandingkan dengan hubungan bilateral Indonesia-Australia. Berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, semasa kepemimpinan SBY tidak terlihat tekanan domestik yang signifikan yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia dalam penanganan terorisme. Kebijakan perang melawan terorisme yang tidak hanya menyasar para pelaku terorisme tetapi juga negara-negara yang memfasilitasi aksi tersebut telah memberikan tekanan pada pemerintahan Megawati dan SBY. Namun, kedua pemerintahan tersebut nampak mengambil respons yang berbeda terhadap AS. Pada periode kepemimpinan Megawati, respons terhadap AS telah mendorong Indonesia mengambil kebijakan luar negeri yang berorientasi pada strategic hedging yaitu Indonesia mendukung AS dalam war against terrorism, tetapi dukungan Indonesia tetap mempertimbangkan kepentingan nasional yang menentang aksi sepihak kekuatan negara-negara besar dalam penanganan terorisme global. Dukungan itu tetap memberi ruang gerak kepada Indonesia untuk bersikap otonom dalam mengambil langkah-langkah taktis-strategis melawan terorisme termasuk dalam menentukan sikapnya atas kebijakan terorisme AS. Kondisi demikian nampak berbeda ketika SBY berkuasa dimana kebijakan luar negerinya nampak selalu menunjukkan komitmen yang konsisten dalam mendukung kebijakan AS. Berbagai bentuk kerja sama bilateral Indonesia dengan Australia dan AS dalam memerangi terorisme pada gilirannya menumbuhkan rasa saling percaya dan meningkatkan intensitas hubungan mereka. Kedua negara tersebut semakin menaruh perhatian kepada Indonesia dalam upayanya melawan terorisme. Ini terlihat dari kebijakan kedua negara untuk memberi bantuan-bantuan yang sifatnya teknis, seperti kerja sama di bidang pertukaran informasi dan intelijen, di bidang pendidikan dan pelatihan, dan kerja sama di bidang pembangunan kapasitas kelembagaan.
Politik Luar Negeri Indonesia dalam Menghadapi ... | Ganewati Wuryandari | 79
Hubungan yang terjalin semakin kuat melalui kerja sama bilateral tersebut pada akhirnya dapat dimanfaatkan Indonesia, untuk mencapai kepentingan nasionalnya yang lebih luas, yaitu menormalisasi hubungan militer dengan negara adidaya ini. Upaya diplomasi panjang yang diupayakan oleh pemerintah Indonesia terutama di kalangan Kongres AS pada akhirnya membuahkan hasil pada tahun 2005 yaitu dengan dicabutnya embargo suku cadang dan alutsista Tentara Nasional Indonesia (TNI) oleh AS, termasuk pemulihan keikutsertaan Indonesia dalam program IMET (International Military Education and Training). Berbeda dengan kebijakan luar negeri Indonesia terhadap AS dalam soal kontraterorisme di atas, tekanan internal dan eksternal dalam kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Australia terkait dengan kontra terorisme tidak begitu kuat. Yang terjadi adalah Australia yang dianggap sebagai sekutu kuat AS justru menjadi sasaran dalam berbagai serangan bom di tanah air. Kerja sama antara Indonesia dan Australia dilakukan baik pada masa Megawati dan SBY. Hanya saja, dalam beberapa kerja sama yang dilakukan oleh kedua negara mengindikasikan kurang terwujudnya kesetaraan antar keduanya. Ketergantungan Indonesia atas bantuan dana dari Australia untuk program-program terkait dalam upayanya melawan terorisme, salah satunya melalui JCLEC, telah menyebabkan munculnya efek psikologis yang tidak kondusif, terutama ketika Indonesia bekerja sama dengan pihak negara donor, Australia. Dalam kondisi demikian, dapat dipahami jika kerja sama bilateral RIAustralia dalam perang melawan terorisme tidak dapat memberikan keuntungan optimal untuk kepentingan nasional Indonesia. Dalam konteks kerja sama regional, pemerintah Indonesia telah menempatkan ASEAN sebagai bagian penting dalam upaya penanggulangannya terhadap ancaman terorisme. Karakteristik transnasional dari terorisme menyebabkan ancaman terorisme di Indonesia diyakini tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki keterkaitan dengan jaringan terorisme internasional, termasuk jaringan terorisme yang ada di beberapa negara yang tergabung dalam
wadah ASEAN, seperti di Thailand, Filipina dan Malaysia. Terorisme sebenarnya bukan merupakan isu baru di kawasan Asia Tenggara. Persoalan ini pada awalnya hanya dianggap sebagai salah satu bentuk kejahatan transnasional, seperti halnya penyelundupan obat-obatan dan penjualan senjata ilegal. Namun, dua isu yang terakhir tersebut selama ini dipandang sebagai persoalan yang lebih krusial bagi negara-negara di Asia Tenggara dibandingkan isu terorisme. Pandangan tersebut pada akhirnya berubah total sejak tragedi 9/11 dan Bom Bom I 2002, dimana isu terorisme ini mulai menjadi perhatian negara-negara di kawasan. Sejak peristiwa tersebut, negara-negara ASEAN memiliki kepentingan besar dalam persoalan terorisme, mengingat sejumlah negara anggota ASEAN memiliki akar gerakan terorisme domestik dan diyakini merupakan negara asal para pelaku terorisme yang berafiliasi dengan jaringan terorisme internasional. Pentingnya isu teorisme bagi ASEAN ditandai dengan mulai adanya pembahasan secara tersendiri soal terorisme dalam sejumlah forum ASEAN. ASEAN juga mengeluarkan Deklarasi Bersama terkait isu tersebut pada November 2001. Sementara usaha yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menanggulangi terorisme di lingkup regional antara lain melalui forum ASEAN Chiefs of National Police. Untuk lebih memperkuat dalam upayanya memerangi terorisme, ASEAN juga mengembangkan pola kerja sama dengan menjalin kerja sama kontraterorisme dengan negara-negara mitra dialog seperti AS, Australia, Cina, dan Rusia. Dalam konteks ini, Polri juga menjalin kerja sama internasional di berbagai forum ASEAN, seperti ARF dan AMMTC (ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime). Selain itu, kerja sama intraanggota ASEAN dalam penanggulangan terorisme juga dilakukan, misalnya antara Indonesia-Thailand atau Indonesia-Filipina yang berada dalam payung ASEAN. Sekalipun ada komitmen bersama di ASEAN untuk menanggulangi terorisme melalui kerja sama regional, faktanya ASEAN masih memiliki sejumlah kendala dalam pelaksanaan kerja sama tersebut. Salah satunya adalah ketiadaan
80 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 71–83
definisi yang disepakati bersama mengenai terorisme. Setiap negara anggota ASEAN memiliki perspektif masing-masing terhadap terorisme. Kondisi ini mungkin sebagai akibat dari perbedaan latar belakang pengalaman yang mempengaruhi cara pandang masingmasing negara anggota dalam memahami terorisme. Meskipun demikian, sensitivitas domestik atas kiprah Indonesia dalam kerja sama regional dengan ASEAN dalam penanggulangan terorisme tidak terlalu mengemuka dibandingkan ketika Indonesia melakukan kerja sama bilateral terutama dengan AS. Rendahnya sensitivitas ini terlihat dengan relatif rendahnya gejolak di dalam negeri dalam merespons kebijakan luar negeri Indonesia di tingkat ASEAN. Sikap ini kemungkinan dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah realitas masih eratnya hubungan serumpun antar beberapa negara anggota ASEAN, keinginan untuk menghindari perpecahan di internal ASEAN, dan implementasi prinsip ASEAN non-intervention. Kendala lain dalam kerja sama regional ASEAN untuk penanggulangan terorisme terletak pada belum efektifnya mekanisme Komunitas Politik Keamanan ASEAN sebagai bagian dari pembentukan Komunitas ASEAN 2015. Hal ini terlihat dari ketidakmampuan ASEAN dalam merespons penangkapan tersangka teroris Hambali oleh AS. ASEAN seakan tidak berdaya ketika AS langsung membawa Hambali ke Guantanamo, kendati Hambali merupakan warga negara Indonesia yang tinggal di Malaysia dan ditangkap di Thailand. Selain itu, kendala dalam kerja sama regional ASEAN untuk penanggulangan terorisme terletak pada karakteristik kerja sama regional yang lebih bersifat teknis dan fungsional serta bukan norm-setting. Prinsip-prinsip dan substansi yang digunakan dalam kerja sama regional ASEAN dalam penanggulangan terorisme ini harus selalu mengacu pada kesepakatan di tingkat internasional. Ini yang menjadi salah satu faktor pembentukan norm-setting di level regional sulit terwujud, tiap-tiap negara anggota harus mencari kombinasi sinergis antara norm-setting internasional yang sudah ada dengan kepentingan regional serta nasional mereka masing-masing.
Dalam lingkup kerja sama multilateral, kebijakan luar negeri Indonesia dalam penanggulangan terorisme tidak lepas dari dinamika yang terjadi akibat diadopsinya Resolusi 1269 (1999) dan Resolusi 1373 (2001) yang menggerakkan banyak negara untuk menjadi penandatangan. Resolusi tersebut turut mendorong Indonesia untuk meningkatkan kapabilitas nasional dalam menghadapi terorisme. Namun, peningkatan kapabilitas tersebut, selain didorong oleh resolusi DK PBB tersebut juga didorong oleh peristiwa terorisme yang merebak di Indonesia sejak tahun 2002. Indonesia terus mendukung langkahlangkah PBB dan berperan aktif dalam berbagai bentuk kerja sama dengan lembaga-lembaga internasional khususnya dalam rangka pencegahan, penumpasan, dan pemberantasan terorisme. Salah satu wujud dukungan itu antara lain keanggotaan Indonesia dalam Komite Kontra Terorisme (Counter Terrorism Committee/CTC) yang dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373 Tahun 2001. Dalam rangka menindaklanjuti komitmen dan memenuhi kewajiban sebagai bagian dari CTC tersebut, pemerintah Indonesia setiap tahunnya telah menyusun dan menyerahkan Laporan Tertulis kepada komite tersebut mengenai perkembangan-perkembangan yang dicapai dan tengah dilakukan dalam penanggulangan terorisme. Indonesia juga ikut mendukung berbagai produk hukum internasional dalam penanggulangan terorisme, antara lain Resolusi DK PBB dan Resolusi MU PBB, seperti Resolusi tentang Measures to Eliminate International Terrorism, Resolusi UN Global Counter Terrorism Strategy). Kesungguhan Indonesia memerangi terorisme dalam segala bentuknya merupakan salah satu bentuk tanggung jawab sebagai anggota PBB, khususnya dalam melaksanakan resolusi DK-PBB No. 1267 (1999), 1333 (2000) dan 1390 (2002). Untuk itu, pada 23 Oktober 2002 pemerintah RI juga telah mengirimkan surat kepada Ketua Komite Sanksi PBB yang pada intinya berisi dukungan pemerintah untuk memasukkan Jemaah Islamiyah (JI) ke dalam New Consolidated List Pursuant to Security Council Resolutions 1267 (1999), 1333 (2000) and 1390 (2002).
Politik Luar Negeri Indonesia dalam Menghadapi ... | Ganewati Wuryandari | 81
Hal lain yang penting untuk dicatat dalam kerja sama multilateral di atas, Indonesia mendukung penuh peran Majelis Umum (MU) yang secara kelembagaan merupakan normsetting PBB. Ini terutama terkait ketika MU mendapatkan momentum untuk menyuarakan persoalan-persoalan yang lebih mendasar di dalam penanganan terorisme yang sebelumnya lebih menekankan pada faktor kekuatan militer. Pasca tragedi 9/11 DK PBB sempat memimpin langkah penanggulangan terorisme dengan resolusi-resolusinya yang sekalipun banyak mengubah norma dasar internasional, namun harus mendapat dukungan legitimasi dari mayoritas anggota PBB. Peran norm-setting yang berhasil diraih kembali oleh MU- PBB dengan adanya Global Counter Terrorism Strategy (GCTS) 2006 membuat diskusi mendasar kembali ke permukaan untuk melengkapi dan mengimbangi langkah DK PBB sebelumnya. Di Majelis Umum, Indonesia dapat lebih leluasa merumuskan kebijakan yang sesuai dengan identitas Indonesia sebagai negara demokrasi dengan mayoritas berpenduduk muslim melalui pendekatan soft power.
Penutup Kiprah kebijakan luar negeri Indonesia dalam isu terorisme telah menorehkan sejumlah catatan keberhasilan. Sekalipun masih ada sejumlah kendala di dalam pelaksanaan kerja sama bilateral, regional dan multilateral, namun kesungguhan dan kerja keras pemerintah dalam upaya mengatasi ancaman dan bahaya terorisme telah membuahkan hasil yang positif. Hal ini ditandai dengan adanya apresiasi tinggi dari masyarakat internasional terhadap Indonesia, yang antara lain ditunjang oleh pihak keamanan Indonesia, misalnya, yang dalam waktu relatif singkat berhasil menangkap tokoh-tokoh kunci dibalik berbagai serangan bom tanah air dan mengungkap jaringan terorisme yang berkembang di Indonesia. Keberhasilan Indonesia dalam kiprahnya menangani terorisme tersebut mampu memperkuat postur politik luar negeri Republik Indonesia. Penguatan postur tersebut digunakan Indonesia untuk didalam meningkatkan daya tawar dalam hubungannya dengan negara lain untuk memenuhi kepentingan nasionalnya. Ini
sebagaimana diindikasikan dengan keberhasilan diplomasi Indonesia untuk menormalisasi hubungan militer dengan AS pada tahun 2004. Keberhasilan Indonesia dalam penanganan terorisme ini juga sering dipergunakan sebagai benchmark oleh negara-negara lain. Selain itu, kiprah aktif Indonesia membuktikan bahwa mekanisme kerja sama bilateral, regional dan multilateral yang telah ditata sebelumnya melalui proses diplomasi ternyata telah mendatangkan manfaat yang besar . Oleh karena itu, kerja sama antar negara melalui mekanisme tersebut tetap terus perlu dilakukan. Hanya saja, kerja sama tersebut sebaiknya tidak hanya terfokus pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya bantuan teknis dan fungsional, melainkan juga harus diarahkan pada tindakan penumpasan teroris dengan lebih memperhatikan akar permasalahan munculnya terorisme itu sendiri. Sebagaimana dipahami formulasi kebijakan dalam menangani terorisme tidak terlepas dari aspek ekonomi dan ideologi. Oleh karena itu, belakangan ini muncul pemikiran agar terorisme dapat dihadapi secara lebih humanis. Kebijakan luar negeri Indonesia dalam kontraterorisme pun lebih diarahkan pada soft power. Upaya penanggulangan terorisme secara efektif dapat dilakukan melalui penciptaan kesejahteraan, pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih baik dan perwujudan dialog umat beragama yang lebih konstruktif. Hal-hal tersebut sudah seharusnya menjadi kebijakan di dalam politik luar negeri Indonesia terutama ketika menjalin kerja sama penanggulangan terorisme baik secara bilateral, regional dan multilateral.
Daftar Pustaka Buku Barber, Benjamin. 1995. “Jihad vs. McWorld”. New York: Times Books. Easson, Joseph J. dan Alex P. Schmid. 2011. “Appendix 2.1 250-plus Academic, Governmental and Intergovernmental Definitions of Terrorism”, dalam Schmid (Ed.), The Routledge Handbook of Terrorism Research. New York: Routledge. Hoffman, Bruce. 1998. “Inside Terrorism”. New York: Columbia University Press.
82 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 71–83
Krasner, Stephen D. (Ed.). 1983. International Regimes. Ithaca, NY: Cornell University Press. Keohane, Robert O. 1984. After Hegemony. Princeton: NJ, Princeton University Press. Schmid, Alex P. 2011. “Introduction”, dalam Alex P. Schmid (Ed.). The Routledge Handbook of Terrorism Research. New York: Routledge.
Jurnal Beyer, Cornelia. 2008. “Understanding and Explaining International Terrorism: On the Interrelation between Human and Global Security”. Human Security Journal. Vol. 7. Febrica, Senia. 2001. “Securitizing Terrorism in Southeast Asia: Accounting for the Varying Responses of Singapore and Indonesia”, Asian Survey 50(3). Morgan, Matthew J. 2004. “The Origins of the New Terrorism”, Parameters. Pillar, Paul R. 2001. “Terrorism Goes Global: Extremist Group Extend their Reach Worldwide”. The Brookings Review 19 (Fall). Puspitasari, Irfa. 2010. “Indonesia’s New Foreign Policy-‘Thousand Friends Zero Enemy’”. IDSA Issue Brief No. 23. Savun, Burcu dan Brian J. Phillips. 2009. “Democray, Foreign Policy and Terrorism”. Journal of Conflict Resolution 20 (10). Sen, Amartya. 2008. “Violence, Identity, and Poverty”. Journal of Peace Research 45 (1). Young, Reuven. 2000. “Defining Terrorism: The Evolution of Terrorism as a Legal Concept in International Law and Its Influence on Definitions in Domestic Legislation”, Boston College International and Comparative Law Review 29 (1), 3.
Surat Kabar dan Website “ASEAN Today: Challenges and Responses”. Remarks by the President of the Republic of Indonesia on the Occasion of the 36th Anniversary of the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Jakarta. 8 Agustus 2003. http://www.asean.org/news/asean-statement-communiques/ item/asean-today-challenges-and-responsesremarks-by-the-president-of-the-republic-ofindonesia-on-the-occasion-of-the-36th-anniversary-of-the-association-of-southeast-asiannations-asean-jakarta. Foreign Correspondent. “Hamzah Haz Interview Transcript”. 23 Oktober 2002. http://www.abc.net. au/foreign/stories/s710402.htm. LaMoshi, Gary. “Indonesia Doth Protest War Too Little”. Asia Times, 29 Maret 2003, http://www. atimes.com/atimes/Southeast_Asia/EC29Ae02. html. Office of the Press Secretary, the U.S. Government. “President Building Worldwide Campaign Against Terrorism: Remarks by President Bush and President Megawati of Indonesia”. 19 September 2001. Unidjaja, Fabiola Desy. “Indonesia Signs UN Convention on Terrorism”. The Jakarta Post. 26 September 2001. http://www.thejakartapost.com/ news/2001/09/26/indonesia-signs-un-convention-terrorism.html.
Laporan dan Makalah Ansyaad Mbai. “Kebijakan Penanggulangan Terorisme”. Presentasi disampaikan pada Focus Group Discussion Tim Polugri P2P LIPI. Jakarta. 14 Mei 2013. Permanent Mission of The Republic of Indonesia to The United Nations. “Statement by H.E. DR. R.M. Marty M. Natalegawa Minister of Foreign Affairs of Republic of Indonesia at The Secretary-General’s Symposium on International Counter-Terrorism Cooperation”. New York. 19 September 2011.
Politik Luar Negeri Indonesia dalam Menghadapi ... | Ganewati Wuryandari | 83
84 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 43–54
AGAMA DAN DEMOKRASI : MUNCULNYA KEKUATAN POLITIK ISLAM DI TUNISIA, MESIR DAN LIBYA1 RELIGION AND DEMOCRACY : THE EMERGENCE OF THE POWER OF POLITICAL ISLAM IN TUNISIA, EGYPT AND LIBYA Muhammad Fakhry Ghafur Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 2 Agustus 2014; direvisi: 6 September 2014; disetujui: 25 Oktober 2014 Abstract Political Islam has a significant influence in the political dynamics in Tunisia, Egypt and Libya, especially after the Arab Spring phenomenon that began in Tunisia and broad impact on the political constellation in some Middle Eastern countries. In Tunisia, the effect of political Islam does not only appear at the elite, but also at the grass roots level with the emergence of mass-based Islamic political movement. While Egypt is a country where the growth of a variety of movements and transnational Islamic organizations. The post of Hosni Mubarok era bring to Islamic groups like the Muslim Brotherhood and the Salafis to participate more in the political arena. While in Libya, after the death of Qaddafi, the Islamic movements play an important role in the dynamics of Libyan politics, especially after the interim government declared Islamic law in Libya. Keywords: Middle East, Islamic Politics, Tunisia, Egypt, Libya. Abstrak Politik Islam memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam pasang surut pergolakan politik di Tunisia, Mesir dan Libya terutama pasca fenomena Arab Spring yang berawal di Tunisia dan berdampak luas terhadap konstelasi politik di sejumlah negara Timur Tengah. Di Tunisia, menguatnya pengaruh politik Islam tidak muncul dalam tataran elite politik saja tetapi juga dalam tataran grass roots dengan bermunculannya gerakan politik berbasis massa Islam. Sementara itu, Mesir adalah negara tempat tumbuh dan berkembangnya berbagai gerakan dan organisasi Islam transnasional. Tumbangnya Husni Mubarok membawa angin segar bagi kelompok Islam seperti Ikhwanul Muslimin dan Salafi untuk berperan lebih dalam kancah politik praktis. Sementara di Libya, pasca tewasnya Qaddafi, gerakan Islam memainkan peran penting dalam dinamika politik Libya, terutama setelah pemerintahan sementara mendeklarasikan hukum Islam di Libya. Kata Kunci: Timur Tengah, Politik Islam, Tunisia, Mesir, Libya.
1
Tim Peneliti terdiri dari: Muhammad Fakhry Ghofur, M. Hamdan Basyar, Dhuroruddin Mashad, Indriana Kartini, Zainuddin Djafar.
Agama dan Demokrasi ... | Muhammad Fakhry Ghafur | 85
Pendahuluan Gerakan protes yang terjadi di sejumlah negara Timur Tengah atau yang lebih dikenal dengan Arab Spring pada dasarnya merupakan panggilan untuk tegaknya demokrasi dan kebebasan.2 Otoritarianisme dan ketidakadilan yang merebak luas telah mendorong gelombang protes di berbagai negara. Tunisia merupakan negara yang menjadi pelopor lahirnya gerakan protes yang menentang otoritarianisme dan ketidakadilan. Arab Spring di Tunisia bermula pada Desember 2010, ketika seorang pedagang buah bernama Boazizi melakukan aksi bakar diri sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan rezim yang berkuasa. Aksi protes yang dilakukan Boazizi pada akhirnya memicu amarah rakyat di seluruh santereo negeri yang kemudian menjelma menjadi gerakan revolusi menuntut mundurnya rezim Zainal Abidin Ben Ali. Lebih dari itu, aksi yang dilakukan Boazizi menginspirasi gerakan protes serupa di negara-negara lain di kawasan Timur Tengah. Memang, pada masa pemerintahan Zainal Abidin Ben Ali, sistem Pemilu multipartai sudah berlangsung di Tunisia, namun politik otoritarianisme tetap mencolok dalam setiap kebijakan rezim yang mendeskriditkan lawan politiknya. Misalnya pada tahun 1991, Ben Ali pernah melarang partai An-Nahdhah dan menangkap 265 anggotanya atas tuduhan kudeta. Pasca tumbangnya Ben Ali, pemerintahan transisi yang dipimpin Perdana Menteri Caid Essebsi, berhasil melakukan berbagai program reformasi politik seperti pembebasan tahanan politik , mengadili mantan pejabat partai dan keluarga Ben Ali yang terlibat kasus korupsi serta menyelenggarakan Pemilu. Pada Pemilu 2011 partai An-Nahdah yang merupakan representatif dari Ikhwanul Muslimin berhasil mendominasi perolehan suara. Beberapa bulan pasca pergolakan politik di Tunisia, protes rakyat serupa juga terjadi di Mesir. Pada 25 Januari 2011 terjadi demonstrasi massa yang berpusat di Tahrir Squere. Protes rakyat yang terjadi tidak lepas dari kepemimpinan otoriter Husni Mubarok dalam menjalankan pemerintahan. Pada masanya, hak-hak politik Nazeer Ahmad, “The 2011 Arab Revolution”, www. thehistoryofislam.com, diakses pada tanggal 28 Januari 2013. 2
rakyat dan kebebasan pers dibatasi, partai politik dan kelompok oposisi diberangus. Selama beberapa dekade, gerakan Ikhwanul Muslimin kerap mendapatkan tekanan dan intimidasi dari pemerintahan Mubarok. Sistem otoritarianisme yang berlangsung di Mesir pada akhirnya mendorong aksi protes rakyat yang memaksa presiden Husni Mubarok turun dari jabatannya. P as ca l en g s ern y a Hu s n i M u b aro k , pemerintah transisi dikendalikan oleh Supreme Council of The Armed Forces (SCAF). Berbagai kebijakan politik telah dilakukan pemerintah transisi, diantaranya melaksanakan Pemilu parlemen dalam tiga tahap yang dilaksanakan pada November 2011 sampai awal Januari 2012. Pada Pemilu Parlemen, partai-partai Islam memperoleh suara mayoritas mengungguli partai nasionalis-sekuler. Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) berhasil memperoleh 235 kursi atau 47,18 persen. Partai An-Nur dari kelompok Salafi memperoleh 121 kursi. Sedangkan partai Al-Wafd yang berhaluan nasionalis-sekular memperoleh 38 kursi. Sementara partai aliansi Mesir meraih 34 kursi. 3 Pada Juni 2012 pemerintah transisi menyelenggarakan Pemilu Presiden. Mohamad Mursi dari FJP berhasil memenangkan Pilpres yang diselenggarakan dalam dua putaran tersebut. Transisi demokrasi yang tengah berlangsung ditandai dengan kudeta militer yang memaksa presiden Mursi turun dari jabatannya. Gelombang demokratisasi yang berlangsung di Tunisia dan Mesir berdampak pada perubahan iklim politik di beberapa negara termasuk Libya. Gerakan perlawanan yang berbasis di Benghazi berhasil menguasai asset pemerintahan penting dan memaksa pasukan milisi pro Qaddafi keluar dari Tripoli. Pada 21 Oktober 2011 pasukan oposisi yang didukung NATO dapat melumpuhkan Qaddafi di Sirte. Tewasnya Qaddafi membawa perubahan signifikan dalam dinamika politik. Di bawah Dewan Transisi Nasional (NTC), Libya memasuki era baru dengan membentuk konstitusi baru dan mengadakan Pemilu Parlemen. Pada Juli 2012, diselenggarakan Pemilu Parlemen Maria Cristina Paciello, “Egypt : Changes and Challenges of Political Transition,” Medpro Technical Paper, Social Science Research Network, Rochester, New York, No. 4, Mei 2011. 3
86 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 85–100
pertama dengan jumlah partai peserta Pemilu sebanyak 160 partai. Diantara partai yang lahir pasca Qaddafi adalah partai National Forces Alliances (NFA) yang dipimpin Mahmoud Jibril. Sementara partai-partai Islam diwakili Justice and Development Party (JDP) yang merupakan representasi dari gerakan Ikhwanul Muslimin Libya yang didirikan pada tahun 19424 dan partai Al Wathan pimpinan Abdul Hakim Belhaj. Dalam Pemilu 2012, partai NFA berhasil memperoleh suara mayoritas dengan 39 kursi disusul Justice and Development Party (JDP) dengan 17 kursi dan National Front Party dengan 2 kursi. Keberhasilan pelaksanaan Pemilu di Libya kemudian diikuti oleh Pemilihan Presiden Libya. Majelis Umum Nasional telah memilih dua orang Presiden, antara lain, Mustafa Abu Shagur yang kemudian dicopot karena gagal dalam menentukan kabinet, dan Ali Zaidan yang juga dirundung berbagai persolan ekonomi, politik dan keamanan di Libya. Pada November 2012, Majelis Umum Nasional menetapkan kabinet yang dibentuk Ali Zaidan. Kendati demikian, pemerintahan baru tidak lepas dari berbagai persoalan domestik karena adanya penolakan dan serangan dari milisi bersenjata dan kabilah. Berdasarkan pengalaman yang terjadi di tiga negara kasus, dapat dijelaskan bahwa proses transisi demokrasi di masing-masing negara berbeda satu dengan lainnya. Tunisia merupakan negara yang dengan mudah dapat melalui proses transisi, sementara Mesir dan Libya meskipun proses transisi telah berlangsung, tetapi masih terdapat persoalan yang terjadi dengan munculnya berbagai konflik antar kekuatan politik. Sepanjang sejarahnya, Tunisia, Mesir dan Libya telah bereksperimen dengan sistem politik dan ekonomi masing-masing. Di bawah kepemimpinan para rezim, ketiga negara menjalankan kebijakan politik dan ekonomi masing-masing. Namun, krisis finansial yang melanda seiring semakin meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran serta kegagalan elite dalam membentuk identitas nasionalis rakyat telah menciptakan krisis politik yang berdampak luas.
Tabel 1. Kinerja Pemerintah di Sejumlah Negara Timur Tengah Region, Country or Country Grouping
Civil Liberties 1 (most) to 10
Political Right 1 (strongest) to 10
Middle East Arab League Iran Turkey Africa Union
5.1 5.4 6.0 3.0 4.1
5.6 6.1 6.0 3.0 4.2
Corruption Perception 1 to 10 (least corrupt) 2.9 2.8 1.8 4.4 2.6
Rule of Law -2.5 to 2.5 (best)
Human Development Index
-0.3 -0.6 -0.8 0.1 -0.8
0.73 0.70 0.78 0.81 0.49
Sumber: Freedom House, “Freedom in the World Report”, 2008, http://freedomhouse.org.
Tabel 1. memberikan gambaran akan tingkat kinerja pemerintahan di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara sebelum terjadinya Arab Spring. Berdasarkan hasil survei Freedom House yang dirilis pada tahun 2008, menunjukkan bahwa telah terjadi kemunduran terhadap hak-hak politik dan kebebasan sipil di sejumlah kawasan yang tercermin dalam seperlima negara-negara di dunia, dimana paling menonjol adalah di negara jajahan bekas Uni Soviet, Timur Tengah dan Afrika Utara. Dalam survei tersebut sejumlah negara mengalami penurunan dalam kebebasan termasuk Mesir. Menurut Freedom House, Mesir adalah salah satu contoh negara yang mengimplementasikan konsolidasi demokrasi dengan cara kekerasan terhadap kelompok oposisi, masyarakat sipil, dan media independen.5 Fenomena lain yang berkembang pasca Arab Spring adalah munculnya kekuatan politik Islam di beberapa negara Timur Tengah. Bagi sebagian kalangan, politik Islam sering dipandang sebagai penggabungan antara “agama dan politik”, atau dalam terminologi Islam modern disebut sebagai kolaborasi antara din wa daulah (agama dan negara).6 Dalam beberapa literatur baik yang ditulis oleh ilmuwan Muslim maupun nonMuslim, bahwa politik Islam merupakan cara pandang Islam secara universal dalam urusan berbangsa dan bernegara. Dr. Schacht, bahwa Islam lebih dari sekedar agama, tetapi juga mencerminkan terori perundang-undangan dan politik. Singkatnya bahwa Islam merupakan
Lihat, Freedom in the World Report 2008, https://freedomhouse. org, diakses pada tanggal Februari 2013. 5
Ibid, www.iai.it/pdf/mediterraneo/.../MedPro-technicalpaper_04.pdf, diakses pada tanggal 2 Januari 2013. 4
Sayyid Qutb, Ma’alim fi Ath Thariq, (Kairo: Daar Asy Syaruq, 1973). 6
Agama dan Demokrasi ... | Muhammad Fakhry Ghafur | 87
sebuah sistem yang mencakup agama dan negara secara bersamaan. 7 Sementara itu, menurut Taqiyuddin An-Nabhani, Politik dipandang sebagai pengaturan urusan umat di dalam dan di luar negeri yang dilaksanakan oleh negara dan umat (rakyat), negara secara langsung mengatur urusan kenegaraan, sedangkan umat mengawasi negara.8 Dewasa ini, semangat untuk membumikan ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara semakin marak seiring dengan berlangsungnya demokratisasi pasca tergulingnya rezim otoritarianisme di beberapa negara Timur Tengah. Kebangkitan politik Islam atau revivalisme politik Islam dalam pandangan Bubalo memiliki beberapa bentuk diantaranya adalah kesadaran masyarakat untuk bertindak sesuai dengan ajaran Islam dalam kehidupan sosial-politik. Sementara Dekmeijan memandang bahwa revivalisme politik Islam ditandai dengan menguatnya aktivitas keagamaan yang meliputi munculnya partai-partai politik, kelompokkelompok pergerakan dalam masyarakat Islam. Para pemikir Islam seperti Hasan Al-Banna, AlMaududi, Sayyid Qutb, Khomeini, Muhammad Baqi Sadr, Said Hawa dan lainnya banyak memberikan landasan ideologi pemikiran politik Islam kontemporer. Olivier Roy memandang bahwa politik Islam adalah gaya baru dari sebuah gerakan Islam yang modern yang memiliki tujuan spesifik untuk menciptakan prototipe masyarakat Islam yang sebenarnya.9 Senada dengan Roy, Mohammed Ayoob memandang bahwa Islam bukan sekedar agama tetapi juga sebagai sebuah ideologi politik yang menjadi alat untuk mencapai tujuan politik yang terefleksi dari penggunaan simbol dan konsep Islamis di ranah publik.10 Penggunaan konsep politik Islam pada akhirnya sering dikaitkan dengan C.E. Bosworth, Van Donzel, W.P. Heinrichs, G. Lecomte (Eds.), Encyclopedia of Islam Vol. IV, (Leiden: Brill,1997), hlm. 350. 7
Taqiyuddin An-Nabhani, Ad-Daulah Al-Islamiyyah, (Beirut: Daar al-Ummah, 2002), hlm. 11-13. 8
Olivier Roy, The Failure of Political Islam, (Massacusset: Harvard University Press, 1994), hlm. vii-xi. 9
Mohammed Ayoob, The Many Faces of Political Islam, Religion and Politics in the Muslim World, (Ann Arbor: The Univesity of Michigan Press, 2008), hlm. 2.
Islamisme yang menganggap bahwa Islam bukan sekedar agama tetapi juga ideologi, nilai, dan doktrin yang memberikan pondasi bagi gerakan sosial. Karenanya, menurut Denoux politik Islam merupakan hasil dari instrumentalisasi ideologi, nilai dan doktrin Islam dalam sebuah organisasi gerakan Islam untuk mencapai tujuan politik sebagai respons terhadap tantangan dan persoalan dalam kehidupan sosial masyarakat Islam.11 Dalam realitas politik Timur Tengah saat ini, politik Islam seolah menjadi kekuatan baru yang tidak terbantahkan lagi terutama pasca terjadinya Arab Spring. Menguatnya pengaruh politik Islam di Timur Tengah khususnya di tiga negara kasus menjadi permasalahan yang penting untuk dikaji terutama ditengah menguatnya tuntutan terhadap demokrasi itu sendiri. Tulisan ini akan mengkaji sejauh mana politik Islam dapat menjadi sebuah kekuatan baru dalam realitas politik di tiga negara kasus, faktor apa saja yang paling berpengaruh terhadap munculnya kekuatan politik Islam di tiga negara kasus dan bagaimana korelasinya dengan perkembangan demokrasi di Timur Tengah.
Dinamika Politik Di Tunisia, Mesir dan Libya Pra Arab Spring Peristiwa yang terjadi di beberapa negara Timur Tengah pada penghujung tahun 2010 telah membuka lembaran baru dalam dinamika politik di kawasan tersebut. Gejolak politik yang dimulai di Tunisia kemudian menyebar ke berbagai negara lainnya seperti Libya, Mesir dan Suriah yang saat ini masih bergejolak. Otoritarianisme dan perilaku korupsi yang menggejala di berbagai lini telah memicu terjadinya gerakan protes yang dimotori oleh kaum muda. Selain itu, pasca runtuhnya Uni Soviet, negara-negara pro-demokrasi di Timur Tengah, seperti AS dan negara-negara Uni Eropa berusaha untuk memperkuat cengkramannya di seluruh kawasan Timur Tengah yang kaya minyak melalui slogan “demokratisasi”. Peristiwa di sejumlah negara Timur Tengah dengan latar belakang Arab Spring pun dipandang oleh dunia internasional sebagai titik tolak gerakan kebangkitan demokrasi di negara-negara Arab.
��
Guilain Denoeux, “The Forgotten Swamp : Navigating Political Islam”, Middle East Policy, Vol. IX, No. 2, 2002. ��
88 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 85–100
Gerakan perubahan yang dimotori oleh kaum muda tersebut sejatinya tidak hanya terjadi di Tunisia, tetapi menjalar ke negara-negara lainnya. Di Mesir, gerakan perubahan disebut sebagian kalangan sebagai “Revolusi Tahrir” yaitu sebuah gerakan yang menghendaki perubahan dan menolak sistem otoriter, korup dan diskriminatif terhadap suatu golongan atau disebut juga sebagai “Facebook Revolution” dimana seorang pemuda bernama Wael Ghanim melalui media sosial dapat menjadi inspiratif bagi para demonstrans yang menuntut terjadinya perubahan di Mesir.12 Kendati demikian, revolusi kaum muda tersebut pada akhirnya harus berhadapan dengan kekuatan-kekuatan politik yang sudah lebih dahulu eksis, seperti partaipartai maupun kelompok pergerakan Islam. Di Libya misalnya, gerakan perubahan tidak mampu menandingi ideologi sosialisme yang dibangun Muammar Qaddafi dan peran partai National Forces Alliance (NFA). Sepanjang dinamika sejarah politik di Timur Tengah, gerakan-gerakan oposisi kerap mendapat tekanan dari rezim yang berkuasa sehingga hanya menjadi gerakan underground sampai terjadinya gerakan perubahan yang terjadi di Tunisia.
Dinamika Politik Tunisia Pra Arab Spring Sebelum terjadinya Arab Spring, Tunisia merupakan negara sekuler yang menganut sistem demokrasi electoral, dimana presiden dipilih melalui mekanisme Pemilu dengan masa jabatan selama 5 tahun. Dalam setiap penyelenggaraan Pemilu, Zainal Abidin Ben Ali kerap terpilih sebagai presiden. Hal tersebut tidak lepas dari dukungan partai Constitutional Democratic Party yang menguasai lebih dari 80% kursi di Parlemen. Sepanjang masa pemerintahannya, Ben Ali kerap bersikap represif tehadap lawan politiknya. Meskipun gerakan dan aktivitas kelompok oposisi dapat berkembang, namun mendapat pengawasan ketat dari pemerintahan rezim. Hal ini mengakibatkan lemahnya partisipasi publik dalam dinamika sosial-politik di Tunisia. Kemudian setelah terjadinya demokratisasi, beberapa partai politik mulai bermunculan. Apriadi Tambukara, “Revolusi Timur Tengah: Keruntuhan Para Penguasa Otoriter”, (Yogyakarta: Narasi, 2011). ����
Terdapat sedikitnya empat partai yang mendominasi peta politik, diantaranya, AnNahdhah, The Congress for the Republic, Ettakatol dan Modernist Democratic Pole and Democratic Progressive Party. Partai An-Nahdhah menjadi partai popular dan mendominasi mayoritas suara. Congress for the Republic Party (CPR) berada pada posisi kedua dengan 30 kursi. Kemudian An-Nahdhah, CPR dan Ettakatol membangun koalisi dengan masing-masing jabatan tertinggi dalam pemerintahan. Mustafa Ben Jafar dari Ettakatol menjadi Ketua Badan Legislatif, pemimpin CPR menjadi Presiden Interim dan Hamadi Jebali menjadi Perdana Menteri. 13 Dominasi An-Nahdhah dalam Pemilu di Tunisia tidak lepas dari peran tokoh-tokohnya yang diangap dapat membawa perubahan. Disamping itu, rakyat sudah jenuh dengan kebijakan politik rezim yang sangat otoriter dan mengedepankan tindakan kekerasan. Kuatnya pemerintahan Ben Ali, tidak dapat dipisahkan dari peran militer dalam menjaga kekuasaan selama dua dekade. Sebelum terjadinya Arab Spring gerakan demonstrasi kerap berhadapan dengan militer Tunisia yang menggunakan kekerasan. Dari sini kita dapat melihat bahwa militer berperan penting dalam menjaga kekuasaan dari perlawanan kelompok oposisi.
Dinamika Politik Mesir Pra Arab Spring Sama halnya dengan Tunisia, rezim yang berkuasa di Mesir pada umumnya mendapat dukungan dari militer dan didukung negaranegara Barat, terutama Amerika Serikat (AS) yang sangat berkepentingan dengan eksistensi kepemimpinan Mesir dibawah kendali militer. Dengan dominasi militer diharapkan dapat melanggengkan kepentingan AS dan negaranegara Barat baik sosial-politik dan ekonomi di Timur Tengah. Sejarah berkuasanya rezim militer di Mesir bermula pada tahun 1952, ketika Gamal Abdel Nasser berhasil mengambil alih kekuasaan dari Raja Farouk. Sejak saat itu, peta kekuatan politik Mesir kerap dikuasai oleh kalangan Alexis Arieff, “Political Transition in Tunisia”, www.crs.gov RS21666, 16 Desember 2011. ��
Agama dan Demokrasi ... | Muhammad Fakhry Ghafur | 89
militer. Di bawah kendali militer, Mesir menjadi negara sekuler. Kendati demikian, kebijakan pemerintahan Mesir memiliki corak yang berbeda dari satu pemimpin dengan pemimpin lainnya. Pada masa pemirintahan Gamal Abdel Nasser, Mesir menerapkan sistem politik sosialis yang lebih cenderung ke “kiri”. Sementara di bawah pemerintahan Anwar Sadat, Mesir tetap didominasi militer dengan kebijakan pemerintahan sekuler yang cenderung “kanan”. Pasca tewasnya Anwar Sadat pada tahun 1981, Mesir dipimpin oleh Hosni Mubarok, seorang mantan Komandan Angkatan Udara. Hosni Mubarok dikenal sebagai seorang pemimpin otoriter yang keras terhadap lawan politiknya. Banyak para aktivis dari gerakan Islam dan kelompok oposisi yang ditahan dan dibunuh. Pada masa Mubarok, militer mempunyai kedudukan khusus dalam pemerintahan. Partai Nasional Demokrat menjadi partai yang berkuasa sejak Mubarok memimpin. Hal itu tidak lepas dari peran militer yang selalu mendukung kebijakan Mubarok. Dewan Agung Militer (Supreme Council of the Armed Forces – SCAF) didirikan dan memiliki keistimewaan dalam kancah politik Mesir. Selain militer, unsur lain yang berpengaruh dalam politik Mesir adalah kelompok sekular-liberal. Gerakan “Tamarrud” yang menentang pemerintahan presiden Mursi pada 30 Juni 2013 merupakan gerakan yang dimotori oleh kelompok tersebut. Selain itu, di Mesir terdapat juga kelompok Islam yang mulai tampak pada masa pemerintahan Anwar Sadat. Pasca lengsernya Husni Mubarok, kelompok Islam mulai terjun dalam kancah politik praktis, seperti Ikhwanul Muslimin yang membentuk Freedom and Justice Party (FJP) dan kelompok Salafi yang mendirikan partai An-Nur. Dinamika politik Islam di Mesir mulai nampak, ketika terjadi liberalisasi politik dan ekonomi pada tahun 1970, banyak diantara para aktivis yang menggunakan simbol-simbol keislaman sebagai sarana dalam kegiatan mereka. Sejak saat itu Islamisasi mulai tumbuh dengan berbagai bentuknya baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam ranah sosial. Disamping itu, pendidikan agama juga tumbuh pesat dalam empat dekade terakhir, Universitas Al-Azhar merupakan salah satu universitas Islam terbesar
dengan jumlah 400.000 mahasiswa yang tersebar di berbagai jurusan. Dalam dinamika politik, Mesir bermunculan sejumlah gerakan politik yang menggunakan simbol-simbol dan agenda politik Islam. Salah satu gerakan yang kerap menyerukan penerapan hukum Islam di Mesir adalah Ikhwanul Muslimin. Sejak didirikan pada tahun 1928, IM berubah menjadi gerakan Islam terbesar di Mesir dengan basis pendukung kelas menengah perkotaan terdidik. Kuatnya IM tidak lepas dari lima prinsip yang menjadi landasan ideologi gerakan, seperti Al-Urubah (Arabisme), Wathaniyyah (Patriotisme), Qaumiyyah (Nasionalisme) dan Alamiyyah (internasionalisme).14
Dinamika Politik Libya Pra Arab Spring Sejarah dinamika politik Libya kontemporer dapat dirunut sejak masa Muammar Qaddafi (1969-2011). Sejak saat itu peran dan sepak terjang Qaddafi telah mengubah iklim politik Libya secara signifikan. Pasca kudeta terhadap raja Idris pada 1 September 1969, Qaddafi membentuk sistem politiknya sendiri. Misalnya, Uni Sosialis Arab dan konsep negara “AlJamahiriyyah Al-Arabiyyah ASy-Sya’biyyah Al-Libiyyah Al-Isytirakiyyah Al-Uzhma”. Untuk mempertahankan kekuasaannya dibentuk Dewan Komando Revolusi yang dipimpin Qaddafi dengan sebagian besar anggotanya adalah militer. Selain itu, dalam menjalankan roda pemerintahannya, Qaddafi membentuk dewan menteri yang diangkat dan diberhentikan langsung oleh Pemimpin Revolusi. Pada Januari 1970, Qaddafi menghapus konstitusi 1951 dan menggantinya dengan konstitusi yang terdapat dalam Kitab Akhdar (Kitab Hijau). Dalam kitab Akhdar disebutkan bahwa Al-Qaid dalam hal ini Qaddafi adalah Pemimpin Besar Revolusi dan menjadikan Islam sebagai sumber hukum “Al-Islam Huwa Syariatul Mujtama’”.15 Dari sini dapat dilihat bahwa militer melalui Dewan Hasan Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, (Solo: Era Intermedia, 2012). 14
Muammar Qaddafi, Kitabul Akhdhar, (Tripoli: Al-Markaz Al-‘Alami Li Abhats Wa Ad-Dirasat Kitab Al-Akhdhar, 1977). ��
90 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 85–100
Komando Revolusi berperan penting dalam penyusunan kebijakan dan konstitusi negara. Selama hampir empat dekade, aktivitas politik yang dibentuk mampu berfungsi dan berjalan dengan baik, terlebih dengan dukungan dana hasil penjualan minyak. Meski demikian, kondisi politik dan ekonomi Libya sempat menurun seiring dengan meningkatnya tekanan politik global dan memburuknya hubungan Libya dengan Amerika Serikat dan negaranegara Barat. Kekacauan politik dan ekonomi di Libya memuncak pasca terjadinya aksi demonstrasi Massa di Benghazi pada awal 2011 yang menuntut mundurnya Muammar Qaddafi. Gerakan protes yang dimotori oleh kelompok Islam pada akhirnya berhasil memaksa Qaddafi keluar dari persembunyiannya sampai akhirnya tewas di tangan kelompok oposisi pada Oktober 2012. Pasca tewasnya Qaddafi, aktivitas politik publik mulai berjalan dengan berdirinya partaipartai politik baik sekular-liberal, nasionalis maupun Islam. National Forces Alliance (NFA) yang berhaluan nasionalis-liberal menjadi pemenang Pemilu pertama pasca Qaddafi disusul Justice and Development Party yang merupakan representasi dari kelompok Ikhwanul Muslimin Libya. Tidak seperti halnya di Tunisia dan Mesir, partai Islam tidak menjadi kekuatan popular, meskipun selama beberapa dekade kelompok Islam menjadi kelompok yang menentang rezim Qaddafi. Terdapat perbedaan mendasar antara partai Islam di Tunisa maupun Mesir dengan partai Islam di Libya. Perbedaan tersebut didasarkan pada tingkat institusional dan interaksi dengan masyarakat. Selama masa kepemimpinan Qaddafi, kelompok Islam tidak dapat membangun dukungan lokal karena tidak dapat mengembangkan struktur organisasi dan institusinya disamping sangat ketatnya konstitusi yang diberlakukan terhadap partai Islam. Selain itu, tidak adanya koalisi yang menyatukan partai-partai Islam sehingga partai-partai Islam yang muncul dalam Pemilu adalah partai-partai kecil yang memiliki tujuan dan agenda politik masing-masing. Sebagian rakyat Libya masih memandang bahwa kelompok Islam memiliki masa lalu yang erat dengan peristiwa kekerasan
dan terror, seperti pada tahun 1990 antara kelompok milisi bersenjata dengan pasukan Qaddafi. Disamping kekurangan secara substantif dari kelompok Islam, kekalahan partai Islam disebabkan oleh kuatnya pengaruh politik kelompok liberal. Hal tersebut dikarenakan figur kelompok liberal yang memiliki kredibilitas dibanding tokoh lainnya. Mahmoud Jibril adalah salah satu tokoh National Forces Alliance yang memiliki pengaruh yang kuat dalam kancah politik Libya terutama pasca era Qaddafi. Karenanya tidak mengherankan jika pada Pemilu 2012, Jibril berhasil merangkul berbagai kalangan termasuk kelompok minoritas dan para aktivis lembaga swadaya masyarakat yang pro terhadap demokratisasi di Libya. Berdasarkan pengalaman sejarah dinamika politik di tiga negara, yakni Tunisia, Mesir dan Libya dapat disimpulkan bahwa kendati berbagai lapisan masyarakat mulai dari tingkat grassroot sampai elite dapat menikmati aktivitas politik masing-masing, namun militer dan rezim otoriter yang berkuasa tetap mempunyai peran yang signifikan dalam kancah politik. Dominasi militer dan kuatnya pengaruh rezim, masih mewarnai dinamika politik dan menjadi ciri utama dari sejarah di tiga negara tersebut sebelum terjadinya Arab Spring. Hal ini juga berpengaruh terhadap eksistensi kelompok Islam yang turut serta dalam pertarungan politik namun tidak demikian dominan pada suatu sistem politik di tiga negara tersebut bahkan terjadi perpecahan serta behadapan dengan berbagai pihak yang mempunyai pengaruh dalam pandangannya terhadap kelompok Islam.
Demokrasi dan Kebangkitan Politik Islam di Tunisia Musim semi bagi demokratisasi di Timur Tengah atau yang lebih dikenal dengan Arab Spring berawal di Tunisia pada Desember 2010. Pergolakan politik di Tunisia dilatarbelakangi oleh aksi bakar diri seorang pedagang buah, Mohamed Bouazizi sebagai aksi protes terhadap sikap represif dan ketidakadilan rezim Zainal Abidin Ben Ali. Siapapun tidak akan menyangka bahwa aksi tersebut memicu terjadinya gerakan protes serupa di negara-negara lainnya di Timur
Agama dan Demokrasi ... | Muhammad Fakhry Ghafur | 91
Tengah. Tekanan sosial, politik dan ekonomi yang dirasakan rakyat Tunisia selama tiga dekade lebih telah mendorong lahirnya “Revolusi Jasmine”. Tunisia merupakan negara sekuler yang dipimpin oleh rezim otoriter melalui kebijakan yang melarang berdirinya partai oposisi dan gerakan Islam dengan dasar pemisahan agama dan politik. Pada masa pemerintahan Ben Ali, para aktivis kerap mendapat tekanan dari tentara rezim, bahkan sebagian diantaranya diasingkan seperti Rashid Al Gannushi, salah seorang pemimpin terkemuka partai An-Nahdhah. Sementara pada sektor ekonomi, meskipun selama satu dekade terakhir dapat meningkat, tetapi kesenjangan sosial menjadi pemandangan umum di Tunisia, bahkan angka pengangguran di tahun 2011 semakin meningkat. Ketidakstabilan sistem ekonomi di Tunisia tidak lepas dari korupsi dan penyalahgunaan wewenang pejabat dan keluarga rezim. Puncak dari ketidakstabilan sosial, politik dan ekonomi di Tunisia terjadi pada akhir tahun 2010 ketika terjadi gerakan protes yang menuntut mundurnya rezim Ben Ali dari kursi kekuasaannya. Pada 14 Januari 2011, Ben Ali semakin kehilangan dukuangan dari pejabat, rakyat dan militer sehingga mendorongnya untuk mengasingkan diri ke Saudi Arabia. Pengasingan tersebut menandai berakhirnya kekuasaan Ben Ali yang telah memerintah selama 23 tahun. Pasca mundurnya Ben Ali, Tunisia memasuki babak baru dalam dinamika politik. Pemerintah transisi membentuk Dewan Transisi untuk menyusun regulasi penyelenggaraan Pemilu. Penyelenggaraan Pemilu tersebut merupakan langkah awal dalam demokratisasi Tunisia. Hal tersebut dikarenakan banyak dari civil society dan perwakilan partai yang turut serta dalam Pemilu. Pada era transisi, Ben Achour Commission, suatu badan pembentuk konsensus di Tunisia dibentuk. Komisi ini bertujuan untuk membangun konsolidasi demokrasi serta menyusun konstitusi Pemilu. Pada Oktober 2012, diselenggarakan Pemilu legislatif untuk memilih 217 anggota parlemen yang bertugas membentuk konstitusi dan pemerintahan baru. Hasil akhir Pemilu menunjukkan partai An-Nahdhah memperoleh 89 kursi diikuti oleh Congress for the Republic (CPR) dengan 29 kursi. Di parlemen, partai
pemenang Pemilu, An-Nahdhah berkoalisi dengan partai CPR dan Ettakatol. Beberapa petinggi partai koalisi berhasil menempati posisi penting dalam pemerintahan. Hamadi Jebali dari partai An-Nahdhah menjadi Perdana Menteri, Moncef Marzouki pemimpin CPR menjadi presiden dan Mustapha Ben Jafar sebagai Ketua Badan Legislatif. 16 Pasca Pemilu, Majelis Konstituante Nasional mulai menyusun draf konstitusi, dimana salah satu poin yang diusulkan adalah pemberlakuan syariat Islam di Tunisia. Perjuangan An-Nahdhah dalam mengusung syariat Islam mengisyaratkan bahwa konsep yang diusung An-Nahdhah tidak jauh berbeda dengan Justice and Development Party (AKP) di Turki. Namun, peran An-Nahdhah dalam membentuk negara tidak seluruhnya berjalan mulus. Hal tersebut dikarenakan An-Nahdhah berkoalisi dengan dua partai lain yakni CPR dan Ettakatol yang tidak mengusung syariat Islam. Kemenangan partai Islam An-Nahdhah di Tunisia tidak lepas dari beberapa faktor, diantaranya bahwa konsep yang dibawa AnNahdah berlawanan dengan rezim Ben Ali. Para anggotanya merupakan bagian dari kelompok oposisi yang tidak pernah terlibat dalam struktur pemerintahan rezim Ben Ali. Selain itu AnNahdhah tidak hanya mempromosikan nilainilai Islam semata tetapi juga mengusung identitas nasional dan prinsip-prinsip demokrasi. Disamping itu, basis dukungan An-Nahdhah adalah masyarakat kelas menengah yang tersebar di berbagai daerah di Tunisia. Kemenangan partai An-Nahdhah di Tunisia tersebut menjadi perhatian tidak hanya dari kalangan Islam tetapi juga bagi kalangan sekular-nasionalis. Bagi kalangan Islam, kemenangan An-Nahdhah merupakan fenomena baru sepanjang sejarah politik Tunisia, karena kelompok Islam dapat memimpin sekaligus berkoalisi dengan partai lainnya di parlemen. Sementara kalangan sekuler memandang dengan penuh kekhawatiran dengan kebangkitan partai Islam di Tunisia. Kekhawatiran sebagian kalangan terhadap kebangkitan politik Islam di Tunisia mulai muncul pasca Pemilu. Pada 28 September 2014, pemerintah pimpinan koalisi An-Nahdhah menyatakan akan mundur akibat kekacauan 16
Arieff, op.cit.
92 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 85–100
politik yang terjadi. Tuntutan peralihan kekuasaan tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang dianggap terlalu toleran terhadap gerakan Islam radikal. Terbunuhnya dua orang tokoh oposisi menandakan semakin maraknya radikalisme di Tunisia dalam dua tahun terakhir pasca Pemilu. Selain itu, pemerintah dianggap telah gagal dalam mengawal transisi demokrasi di Tunisia. Belajar dari pengalaman Ikhwanul Muslimin di Mesir, pada akhir September 2013, An-Nahdhah menyatakan bersedia untuk mundur dari pemerintahan. Mundurnya An-Nahdhah dari pemerintahan setelah pihak AS, pejabat pemerintahan Tunisia serta kelompok oposisi melakukan pertemuan untuk membahas jalan tengah dari pergolakan politik yang terjadi. Memang, dinamika politik yang terjadi di Tunisia tidak lepas dari berbagai kekuatan politik, termasuk AS sebagai upaya untuk mempertahankan kepentingannya di Tunisia. Bagi kelompok neo konservatif AS misalnya, kebijakan AS dalam mendukung rezim di Timur Tengah adalah sebagai bagian untuk menekan kelompok Islam dalam mendirikan negara fundamentalis yang dapat mengancam kepentingan Barat dan keamanan internasional.
Demokrasi dan Kekuatan Politik Islam di Mesir Mesir merupakan salah satu negara yang terkena dampak fenomena Arab Spring. Sejak gerakan protes muncul menentang rezim Husni Mubarok, politik Mesir mengalami perubahan yang cukup signifikan. Pada Februari 2011, Husni Mubarok yang telah memerintah selama tiga dekade mundur dari jabatannya. Mundurnya Husni Mubarok membuka lembaran baru dalam kehidupan sosial-politik Mesir. Pada masa Husni Mubarok, berbagai macam gerakan dan partai politik bermunculan di Mesir. Diantara kekuatan politik yang memiliki peran dalam perpolitikan Mesir adalah Militer. Pada masa Husni Mubarok, dibentuk Dewan Agung Militer (Supreme Council of The Armed Forces – SCAF). SCAF mempunyai kedudukan yang cukup istimewa dalam pemerintahan. Selain itu, terdapat kelompok liberal-sekular yang mempunyai basis kalangan menengah atas dan terpelajar. Kelompok ini mempunyai
pengaruh yang cukup signifikan dalam dinamika politik Mesir. Beberapa tokoh kelompok ini menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Sebagai negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, Mesir merupakan tempat berkembangnya berbagai gerakan dan organisasi Islam. Pasca tumbangnya Husni Mubarok, kelompok Islam mulai berperan dalam kancah politik praktis, Ikhwanul Muslin misalnya, mendirikan Justice and Development Party (JDP) dan mendapat suara yang cukup signifikan dalam Pemilu Parlemen, Sementara kelompok Salafi mendirikan partai An-Nur serta Al-Azhar sebuah institusi yang sangat sentral dalam hubungan agama dan negara.17 Kekuatan politik Islam mulai muncul sekitar tahun 1970 pada masa kekuasaan Presiden Anwar Sadat. Liberalisasi politik dan ekonomi yang berkembang menyebabkan semakin dinamisnya wacana Islam dalam kehidupan rakyat Mesir. Terdapat beberapa kelompok yang berusaha untuk menerapakan syariah Islam baik dalam individu maupun dalam kehidupan sosial-politik dan ekonomi. Meskipun demikian, kelompok Islam memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyikapi berbagai isu seperti masalah kewarganegaraan, hak asasi manusia dan masalah-masalah sosial. Bangkitnya kekuatan politik Islam di Mesir memicu kekhawatiran di kalangan liberal-sekuler. Kalangan ini memandang, bahwa kebangkitan Islam akan membatasi kebebasan dalam kehidupan rakyat Mesir yang sudah tertera dalam konstitusi Mesir. Kekuatan Islam di Mesir mulai muncul pada masa pemerintahan Anwar Sadat. Liberalisasi politik dan ekonomi telah mendorong munculnya berbagai gerakan dan organisasi keagamaan. Islamisasi di Mesir sendiri, tidak terbatas pada sosial-politik semata, tetapi juga dalam lingkungan aparatur negara. Hal itu dapat dilihat dari sikap pemerintah yang lebih menekankan hukum, bahasa dan simbol keagamaan sebagai cara untuk melegitimasi kewenangannnya. Presiden Anwar Sadat merupakan pemimpin yang kerap mendorong munculnya gerakan dan organisasi keagamaan. Pada tahun 1980, Nathan J. Brown, Islam and Politics in the New Egypt, (Washington DC: Carnegie Endowment for International Peace, April 2013). ��
Agama dan Demokrasi ... | Muhammad Fakhry Ghafur | 93
Anwar Sadat menetapkan hukum Islam sebagai sumber konstitusi Mesir. Islamisasi negara dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan semakin kuat pada masa pemerintahan Husni Mubarok. Pada masa kepemimpinan Husni Mubarok, simbol-simbol keagamaan kerap digunakan untuk mempertahankan legitimasi kekuasaannya. Islamisasi aparatur negara pun terjadi dalam ranah peradilan agama Mesir. Perkembangan Islamisasi dalam beberapa dekade terakhir memunculkan kekhawatiran pada kalangan liberal-sekular yang menganggap kebangkitan Islam sebagai ancaman terhadap prinsip-prinsip kebebasan dan kewarganegaraan yang tertera dalam konstitusi Mesir. Kekuatan politik Islam, seperti Ikhwanul Muslimin dan Salafi yang mendominasi kancah politik Mesir dianggap sebagai ancaman bagi keberlangsungan demokrasi Mesir. Alhasil, dinamika politik Mesir kerap diwarnai oleh perebutan pengaruh dan persaingan terbuka antara kalangan Islam dengan sekular-liberal yang semakin mengerucut dalam beberapa dekade terakhir. Pasca Husni Mubarok, kelompok Islam mulai berpartisipasi dalam kancah politik. Kelompok ini mulai menggunakan kekuatan politik untuk membangun masyarakat yang lebih religius. Pada Pemilu Parlemen 2012, Ikhwanul Muslimin melalui Justice and Development Party berhasil mendominasi perolehan suara, disusul oleh partai An-Nur yang merupakan representasi dari kelompok Salafiyah. Selain itu, institusi yang berperan dalam politik Mesir adalah Al Azhar. Institusi ini memiliki peran penting dalam kehidupan rakyat Mesir, terutama dalam menetapkan hukum syariah di tengah masyarakat Mesir. Dengan demikian, kelompok Islam di Mesir tidaklah homogen, tetapi memiliki sikap dan pandangan yang berbeda terutama dalam menyikapi berbagai isu, seperti kewarganegaraan, hak asasi manusia, masalah sosial dan jender. Kalangan konservatif menolak isu-isu kontemporer tersebut karena bertentangan dengan nilai-nilai Islam, sementara kalangan lain, seperti Al-Azhar dan Ikhwanul Muslimin memandang bahwa nilai-nilai demokrasi penting untuk ditegakkan sepanjang tetap berpegang pada prinsip-prinsip Islam. Sedangkan kalangan
post-Islamis yang terdiri dari para intelektual independen menganggap bahwa prinsip-prinsip demokrasi sangat sesuai dengan nilai-nilai Islam. Demikian juga dengan pandangan terkait korelasi antara agama, politik dan ekonomi kalangan Islam saling berbeda pendapat antara satu dengan lainnya. Berkaca dari dinamika yang terjadi dalam realitas politik Mesir, aktor Islam dapat dibagi dalam beberapa kelompok, diantaranya, aktor Islam resmi, aktor sosial, aktor politik dan aktor intelektual. Aktor Islam resmi merupakan bagian dari aparatur negara atau kelompok yang diminta pendapatnya untuk kemaslahatan bersama, seperti Al-Azhar, Kementerian Wakaf, Daarul Ifta’, serta Komite Agama, Sosial dan Wakaf di Parlemen. Aktor sosial mencakup kelompok atau organisasi yang banyak melakukan aktivitas sosial dan keagamaan, termasuk pengajian, penerbitan dan penyediaan layanan sosial. Aktor politik merupakan aktor yang berpartisipasi langsung dalam politik praktis, termasuk dalam kelompok ini adalah Ikhwanul Muslimin, partai Al-Wasat dan beberapa organisasi militant seperti Al-Jama’ah Al-Islamiyyah dan gerakan Al-Jihad. Sedangkan aktor intelektual lebih pada upaya memberikan kontribusi bagi dunia pemikiran dan isu-sisu kontemporer dengan merujuk pada sumber ajaran Islam.18 Pergulatan antar aktor dan kekuatan politik di Mesir terlihat pasca tumbangnya presiden Husni Mubarok dengan munculnya kelompok Islam sebagai pemenang Pemilu 2012. Pada 3 Juli 2013 militer berhasil melakukan kudeta terhadap presiden Mohammad Mursi, atas dukungan militer kelompok sekuler dapat mengalahkan kelompok Islam dan menguasai pemerintahan. Hal tersebut menunjukkan bahwa tumbangnya rezim Husni Mubarok tidak serta merta mengakhiri kekuatan militer, bahkan semakin kuat setelah Dewan Agung Militer (Supreme Council of The Armed Forces/SCAF) berhasil melakukan beberapa kali amandemen pada konstitusi Mesir. Kendati demikian, atas desakan internasional, militer dengan terpaksa memberikan peluang kepada elite politik Mesir Netherlands-Flemish Institute in Cairo dan Al-Ahram Centre for Political and Strategic Studies, Mapping Islamic Actors in Egypt, (Cairo: Netherlands-Flemish Institute dan Al-Ahram Centre for Political and Strategic Studies, 2012). ���
94 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 85–100
untuk bersaing dalam kancah politik. Terdapat beberapa kali Pemilu yang diselenggarakan, antara lain, Pemilu Parlemen yang dilanjutkan dengan Pemilu Presiden. Pada Pemilu Parlemen yang diselenggarakan dalam tiga tahap untuk memilih 498 anggota Parlemen, Aliansi Demokratik untuk Mesir yang dipimpin oleh Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) berhasil mendominasi kursi di Parlemen dengan 225 kursi, sementara aliansi partai Islam yang dipimpin partai An-Nur memperoleh 125 kursi.19 Kemenangan kelompok Islam dalam Pemilu Parlemen memicu kekhawatiran dari kalangan militer dan sekular-liberal, sehingga mereka berusaha untuk mencari peluang untuk merebut kekuasaan yang telah dikuasai oleh kelompok Islam. Hal itu dapat dilihat setelah militer melalui SCAF membubarkan parlemen yang telah disahkan oleh Mahkamah Konstitusi. Tidak sampai disitu, SCAF mengeluarkan dekrit pada 17 Juni 2012 yang memberikan kekuasaan kepada militer. Melalui dekrit tersebut SCAF dapat mengangkat Dewan Konstituante baru yang sesuai dengan kepentingan mereka. Pembubaran parlemen melalui Dekrit tersebut mendorong presiden Mohammad Mursi mengeluarkan dekrit untuk memulihkan anggota parlemen yang kemudian ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Pada 12 Agustus 2012, presiden Mursi mengeluarkan dekrit untuk membatalkan kekuasaan legislative SCAF. Kemudian pada 22 November 2012, Mursi kembali mengeluarkan dekrit untuk mempertahankan Dewan Konstituante dan memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada presiden Mursi. Dekrit yang dikeluarkan terakhir ini pada akhirnya mendorong terjadinya demonstrasi massa yang menuntut dicabutnya dekrit. Untuk mempertahankan draf konstitusi yang telah ditetapkan oleh Dewan Konstituante, presiden Mursi memutuskan untuk mengadaan referendum terhadap draf konstitusi tersebut yang pada akhirnya rakyat Mesir mendukung draf konstitusi tersebut. Referendum yang telah dilaksanakan secara sah tidak serta merta menyurutkan kelompok oposisi untuk melakukan protes, bahkan gerakan
protes semakin meningkat yang mendorong pihak militer mengeluarkan ultimatum yang ditolak presiden Mursi. Sampai akhirnya, militer mengambil alih kekuasaan melalui kudeta pada 3 Juli 2013. Pasca kudeta militer, kondisi politik semakin tidak stabil. Militer berusaha untuk mendeskriditkan Ikhwanul Muslimin dari kancah politik Mesir yang berakibat semakin meningkatnya perseteruan antara kubu yang bersengketa. Banyak dari kalangan para tokoh dan aktivis Ikhwanul Muslimin ditangkap dan dibunuh dengan tuduhan telah melakukan provokasi terhadap rakyat untuk melawan pemerintah. Di pemerintahan, umat Islam tidak memperoleh kursi dalam komite 50 yang dibentuk pemerintahan Adliy Mansour untuk mengubah paksa konstitusi Mesir hasil referendum 2012. Rentetan peristiwa tersebut pada akhirnya semakin menyudutkan kalangan umat Islam dalam kancah politik Mesir. Melihat situasi yang tidak menentu, Presiden Amerika Serikat, Barack Obama menuntut rezim Husni Mubarok yang berkuasa untuk melakukan langkah-langkah perubahan guna mempercepat transisi politik di Mesir. Bahkan AS telah mengutus Menteri Luar Negeri, Hillary Clinton sebagai upaya mendukung proses transisi politik di Mesir. Hal itu berbeda ketika terjadi kudeta militer, AS tidak langsung mengecam peralihan kekuasaan tersebut yang mengakibatkan kekecewaan dari masyarakat Mesir sendiri. Dari sini dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan terkait orientasi politik AS di Mesir dan Libya. Di Mesir, AS akan terus mendukung rezim penguasa baik sipil maupun militer selama tidak menghambat kepentingannya di Timur Tengah. Siapa pun yang berkuasa di Mesir baik melalui kudeta maupun dengan cara demokratis, AS akan mendukung termasuk dengan kudeta yang dilakukan Abdul Fattah As-Sisi terhadap presiden terpilih Mohammad Mursi. Hal ini dapat dilihat juga dengan yang terjadi di Libya ketika terjadi pemberontakan rakyat terhadap rezim Qaddafi, AS dan negara-negara Barat langsung menjadi pendukung utama dalam operasi militer untuk menjatuhkan rezim Qaddafi.
“Egypt Elections 2011”, http://www.elections2011.eg/index. php/results, diakses pada tanggal 2 Februari 2013.
���
Agama dan Demokrasi ... | Muhammad Fakhry Ghafur | 95
Demokratisasi dan Kebangkitan Politik Islam di Libya Libya merupakan salah satu negara di Afrika Utara yang terimbas badai Arab Spring. Seperti halnya yang terjadi di Mesir maupun Tunisia, rezim yang telah berkuasa selama kurang lebih 42 tahun harus menerima berbagai perlawanan dari pasukan pro-perubahan. Munculnya perlawanan dari rakyat tidak lepas dari beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Sistem politik otoriter dan tidak adanya regenerasi kepemimpinannya selama lebih dari empat dekade telah memicu semakin meluasnya gerakan protes rakyat. Pada masa pemerintahan Qaddafi, sistem politik dibentuk untuk mempertahankan kekuasaan. Melalui Kitab Akhdar, Qaddafi menetapkan kekuasaan yang hampir tak terbatas. Partai politik, gerakan oposisi dan media massa diberangus keberadaannya. Banyak diantara para aktivis dan tokoh oposisi ditangkap dan dibunuh. Gerakan protes yang terjadi di negara-negara Timur Tengah mendorong gerakan protes serupa di Libya menuntut perubahan kepemimpinan. Gerakan protes yang terjadi di berbagai santero negeri pada akhirnya memaksa rezim Qaddafi mengakhiri kekuasaannya di tempat kelahirannya di Sirte pada 20 Oktober 2011. Runtuhnya rezim Qaddafi tidak lepas dari intervensi asing di Libya. Sejak awal20 meletusnya konflik, PBB membentuk United Nation Support Mission in Libya (UNSMIL) yang bertugas mempercepat penyelesaian konflik di Libya. Sementara itu, NATO melakukan berbagai serangan militer untuk melemahkan basis kekuatan Qaddafi. Tewasnya Qaddafi membuka lembaran baru dalam dinamika politik Libya. National Transition Council (NTC) yang didukung PBB mempercepat proses transisi politik dengan melaksanakan Pemilu dan pembentukan konstitusi baru. Pada tanggal 7 Juli 2012, NTC menyelenggarakan Pemilu sekaligus momentum penyerahan kekuasaan dari NTC ke General People Congress (GNC). Terbentuknya GNC menjadi langkah awal dalam proses transisi di Libya sekaligus menjadi ajang pertarungan berbagai kekuatan politik dalam memperebutkan pengaruhnya. Terdapat beberapa kekuatan partai politik yang bersaing dalam pemilu Parlemen. 20
Tambukara, op.cit.
Pertama, partai Islam yang diwakili dua partai besar yaitu Justice and Development Party (JDP) yang merupakan representasi dari gerakan Ikhwanul Muslimin Libya serta partai AL-Wathan yang didirikan oleh mantan komandan The Libya Islamic Fighting Group (LIFG) serta mendapat dukungan dari kelompok Salafi. Sementara partai politik berhaluan nasionalis-sekular terdiri dari partai National Forces Alliance (NFA) yang dipimpin Mahmoud Jibril, National Centrist Party didirikan oleh Ali Tarhouni serta partai National Front Party yang didirikan Muhammad Yusuf Al Magharif seorang mantan duta besar India pada era Qaddafi. Pada Pemilu parlemen 2012, partai National Forces Alliance (NFA) berhasil memperoleh suara mayoritas dengan 39 kursi mengungguli partai Islam seperti JDP yang memperoleh 17 kursi, sedangkan partai Al-Wathan yang didukung Salafi hanya memperoleh 3,45 persen suara.21 Pasca Pemilu 2012, GNC terbentuk di bawah pimpinan Mohammed Al-Magharif. Kemudian pada tanggal 12 September 2013, GNC menyelenggarakan pemilihan Perdana Menteri. Mustafa Abu Shagur yang merupakan calon kuat dari koalisi partai Islam berhasil memperoleh 96 suara mengungguli kandidat dari NFA yang memperoleh 94 suara. Namun, pada Oktober 2012, Abu Shagur mengundurkan diri setelah mendapat mosi tidak percaya dari mayoritas anggota Parlemen dan digantikan Ali Zaidan. Pengangkatan Ali Zaidan sebagai Perdana Menteri membawa harapan bru bagi demokratisasi di Libya ditengah konflik akut yang melanda Libya pasca runtuhnya kekuasaan rezim Qaddafi.
Kebangkitan Politik Islam di Libya Pasca penyelenggaraan Pemilu 2012, semangat untuk menegakkan syariah Islam muncul dalam kehidupan politik di Libya. Dalam beberapa kesempatan tokoh gerakan reformasi Libya, Mahmoud Jibril kerap menekankan dukungannya terhadap penerapan syariat Islam. Bersama dengan tokoh lainnya seperti Mustafa Abdul Jalil, Jibril mendeklarasikan syariat Islam sebagai sumber hukum di Libya, sebagaimana “Libya Election 2012”, www.hnec.ly, diakses pada tanggal 4 Januari 2013. ���
96 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 85–100
yang tertera dalam konstitusi baru, bahwa Libya merupakan negara yang berdaulat, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Agama resmi negara adalah Islam dengan syariat Islam sebagai sumber hukum negara. Bahasa Arab adalah bahasa nasional Libya.22 Penetapan syariat Islam sebagai sumber hukum di Libya menunjukkan akan semangat mengembalikan Islam dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi Libya. Sementara itu, koalisi partai Islam di Parlemen semakin kuat dibawah pimpinan Justice and Development Party (JDP). JDP mampu merangkul kelompok lainnya yang terdiri dari para ulama, perwakilan kabilah, pengusaha, akademisi dan masyarakat kelas menengah. Kursi dari kalangan nonpartai merupakan suara yang diperhitungkan, berhubung sekitar 80% kursi merupakan tokoh Islam melalui jalur independen. Dengan kata lain, kelompok Islam di parlemen telah menguasai 80% suara mengungguli partai NFA yang memperoleh 70% suara. Karenanya, tidak mengherankan jika kelompok Islam dapat berperan penting dalam menyuarakan aspirasinya terutama yang berkaitan dengan undang-undang yang berlandaskan syariat Islam. Sebagai contoh misalnya penetapan sistem perbankan Syariah dan Ahwal Asy-Syakhsiyyah yang keduanya menjadi dasar tegaknya komunitas Islam di Libya. Disamping berperan di parlemen, kelompok Islam juga berperan penting dalam perjuangan melawan rezim Qaddafi melalui berbagai gerakan. Gerakan Islam seperti Ikhwanul Muslimin dan Al Qaeda adalah gerakan Islam yang memiliki basis dukungan besar di beberapa kota seperti Sabha dan Benghazi. Dalam konteks politik Libya, gerakan Islam terdiri dari beberapa kelompok, diantaranya Ikhwanul Muslimin Libya yang didirikan pada tahun 1949 oleh sekelompok alumni mahasiswa universitas Al-Azhar, Mesir.23 Karenanya tidak mengherankan jika IM Libya mampu menggerakkan kaum pelajar dalam “Draft Constitutional Charter for the Transitional Stage”, http://www.al-bab.com/arab/docs/libya/Libya-DraftConstitutional-Charter-for-the-transitional-stage.pdf, diakses pada tanggal 5 Januari 2013. ���
Umar ‘Asyur, “Daurul Islam fi Bina Daulah ma Ba’da Tsaurah”, www.rcssmideast.org/reviews/, diakses pada tanggal 10 Juli 2013.
gerakan perlawanan melawan rezim Qaddafi sebagaimana yang terjadi di Mesir. Sejak berkuasanya Qaddafi, IM Libya kerap mendapatkan intimidasi dari tentara rezim. Banyak dari tokoh dan aktivisnya yang dipenjara dan dibunuh. Pada tahun 1976 gerakan ini resmi dilarang di Libya, tetapi pada 1986 muncul kembali dalam melakukan serangan terhadap rezim. Kemudian seiring dengan fenomena Arab Spring yang menerjang negara-negara Timur Tengah, gerakan ini membentuk Justice and Development Party sebagai alat untuk mewujudkan cita-cita politiknya. Gerakan lain yang juga berpengaruh adalah Libya Islamic Fighting Group (LIFG) yang didirikan pada tahun 1990 oleh sekelompok pejuang Al Qaeda Libya. Tujuan utama gerakan ini adalah menjatuhkan pemerintahan Qaddafi dan mereformasi sistem politik di Libya. Untuk lebih berperan dalam kancah politik praktis, pasca Qaddafi, gerakan ini berubah nama menjadi Al Harakah Al Islamiyyah Al Libiyyah min Ajli Taghyir (The Libyan Islamic Movement for Change).24 Terakhir adalah gerakan Salafiyyah yang mempunyai latar belakang dan sejarah yang cukup lama di Libya. Gerakan ini mulai muncul dalam dinamika politik Libya pada tahun 1960 yang mempunyai visi menegakkan ajaran Islam terdahulu. Dalam perjalanannya kelompok Salafiyyah mulai terjun dalam politik praktis dengan bergabung dalam berbagai partai politik Islam di Libya. Bangkitnya kelompok Islam dalam kancah politik Libya pasca Qaddafi menimbulkan kekhawatiran dari kubu nasionalis-sekular dan kelompok milisi bersenjata pro Qaddafi yang masih eksis di beberapa wilayah. Oleh karena itu, tidak heran jika pasca Qaddafi berbagai kelompok dan kekuatan politik saling serang memperebutkan kekuasaan. Konflik antara kubu Islamis yang mendominasi GNC dan militer serta gerakan milisi bersenjata di berbagai daerah. Militer yang dipimpin Khalifa Haftar bermaksud membubarkan GNC dan membentuk pemerintahan sementara yang bertugas menyelenggarakan Pemilu.
���
Ibid.
���
Agama dan Demokrasi ... | Muhammad Fakhry Ghafur | 97
Militer menganggap GNC telah gagal dalam menjalankan pemerintahan dan mencederai revolusi, sementara kelompok Islam yang dipimpin Anshar Asy-Syariah menganggap militer an akan melakukan kudeta. Perseteruan antara militer dan GNC serta terjadinya perang sipil antar etnis di beberapa wilayah menunjukkan semakin kompleksnya konflik Libya ditengah menggeliatnya aktivitas politik Islam.
Penutup Arab Spring yang terjadi di sejumlah negara Timur Tengah dinilai sebagai panggilan bagi tegaknya kebebasan di Timur Tengah dengan munculnya beberapa fenomena penting yang saling terkait satu dengan yang lain, diantaranya, demokratisasi, runtuhnya rezim otoriter dan munculnya kekuatan politik Islam. Demokratisasi yang terjadi di sejumlah negara telah mengakibatkan tumbangnya sebagian rezim otoriter seperti Zainal Abidin Ben Ali di Tunisia, Husni Mubarok di Mesir dan Muammar Qaddafi di Libya. Perstiwa tumbangnya rezim di kawasan sebenarnya bukan kali pertama terjadi, jauh sebelum terjadinya Arab Spring, pada tahun 1979 kaum Mullah dibawah pimpinan Ayatullah Khomaeni berhasil menumbangkan penguasa Iran, Reza Pahlevi. Kemudian pada tahun 2003, rezim Saddam Hussein berhasil ditumbangkan melalui intervensi militer AS di Iraq. Runtuhnya para rezim otoriter di sejumah negara Timur Tengah tidak lepas dari sistem politik yang berkembang di negara-negara itu. Demokrasi yang berkembang di dunia saat ini saja misalnya tidak bisa begitu saja diimplementasikan dengan mudah di berbagai negara. Demokrasi kerap berbenturan dengan struktur sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama yang berkembang di suatu negara. Dalam kasus Tunisia, rezim Ben Ali secara formal menerapkan sistem politik multi partai, tetapi secara substansi mendukung partai Rassemblement Constituonnel Democratique (RCD). Terbukti selama tiga kali pemilu (1994, 1999 dan 2004) RCD mendominasi perolehan suara, bahkan dalam Pemilu 2004 RCD unggul dengan 94,48 persen. Disamping itu, berbagai kekuatan politik yang mengancam kekuasaan rezim dilarang. Pada tahun 1994 Ben Ali
melarang partai An Nahdhah dan menangkap para tokoh dan aktivisnya. Ketidakstabilan sosial, politik dan ekonomi di Tunisia memuncak pada akhir 2010, ketika seorang pedagang buah bernama Mohamed Bouazizi melakukan aksi bakar diri menentang pemerintahan rezim yang disusul gerakan protes besar-besaran di seluruh wilayah Tunisia. Di Mesir, gelombang protes terjadi menentang pemerintahan rezim Husni Mubarok yang dinilai lamban menangani berbagai persoalan ekonomi negara. Sistem otoriter yang dibangun sejak 1981 telah menyebabkan semakin meningkatnya gerakan protes rakyat. Pada saat itu National Democratic Party (NDP) menjadi kendaraan politik untuk mempertankan kekuasaan. Alhasil, selama beberapa kali penyelenggaraan Pilpres (1993, 1999 dan 2005) Mubarok selalu memperoleh suara mayoritas. Hal itu tidak lepas dari pembatasan terhadap aktivitas partai dan gerakan oposisi seperti partai Ghad, Kifayyah, Ikhwanul Muslimin dan Salafiyyah. Penentangan terhadap rezim semakin memuncak seiring dengan gerakan protes yang terjadi di Tunisia. Pasca gerakan protes yang berpusat di Tahrir Square, Husni Mubarok yang telah berkuasa selama 23 tahun akhirnya tumbang. Sementara di Libya, rezim Muammar Qaddafi yang tengah berkuasa selama kurang lebih 42 tahun harus menerima perlawanan dari rakyatnya akibat sistem politik otoriter yang dikembangkannya. Berbagai gerakan perlawanan berbasis massa Islam, seperti IM Libya, LIFG dan Anshar Asy Syariah menjadi pelopor dalam pertempuran melawan militer loyalis Qaddafi. Sampai pada akhirnya Qaddafi tewas di kampong halamannya di Sirte pada 21 Oktober 2011. Tewasnya Qaddafi tersebut tidak lepas dari intervensi militer NATO selama konflik melawan Qaddafi berlangsung. Tewasnya Qaddafi menandakan dimulainya era baru Libya. Sejalan dengan tuntutan demokratisasi dan runtuhnya rezim otoriter, muncul fenomena menarik lainnya yang terjadi dalam dinamika politik Timur Tengah saat ini yaitu kemenangan politik Islam. Di tiga negara kasus, kelompok Islam senantiasa mendapat intimidasi dan tindakan
98 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 85–100
kekerasan dari rezim penguasa. Di Mesir misalnya, meskipun Ikhwanul Muslimin dapat bermain dalam kancah politik melalui jalur independen, tetapi gerakan ini dianggap sebagai organisasi illegal. Kendati demikian, para tokohnya senantiasa menggelorakan semangat juang sehingga IM senantiasa mendapat simpati rakyat. Runtuhnya Husni Mubarok memberikan angin segara terhadap IM untuk tampil mendominasi kancah politik Mesir. Melalui Partai Keadilan dan Kebebasan (FJP), IM berhasil menguasai Parlemen dan berhasil mengusung tokohnya Mohammad Mursi sebagai presiden terpilih. Kendati pada akhirnya demokrasi yang tengah berlangsung dengan aman dan damai tersebut harus dikotori oleh peristiwa kudeta militer yang dipimpin Jenderal Abdul Fattah As-Sisi. Sementara di Tunisia, politik Islam dapat bangkit setelah selama beberapa dekade mendapat perlakukan diskriminasi dari rezim Zainal Abidin Ben Ali. Hal itu tidak lepas dari keterbukaan yang tengah bergelora di Tunisia. Pasca runtuhnya Ben Ali, Tunisia berusaha untuk menerapkan prinsipprinsip negara demokrasi. Salah satu langkah penting adalah membentuk pemerintahan demokratis, representatif dan akuntabel melalui mekanisme Pemilu. Momen penting itu ternyata berhasil mendongkrak elektabilitas partai Islam. Partai An-Nahdhah yang berbasis massa Islam berhasil memperoleh suara terbanyak dengan 89 kursi dari 217 kursi parlemen. Berbeda dengan Tunisia dan Mesir, partai Islam di Libya tampil sebagai kekuatan kedua di bawah partai nasionalis-liberal. Kekuatan politik nasionalis-liberal diwakili oleh tiga kekuatan. Pertama, National Forces Alliance (NFA) yang dipimpin Mahmoud Jibril dan mendapat dukungan dari organisasi massa, LSM, dan para tokoh nasional Libya. Kedua, National Centris Party (NCP) yang didirikan oleh Ali Tarhouni seorang mantan perdana menteri pada era Mahmoud Jibril. Ketiga, National Front Party (NFP) yang didirikan oleh Al Magharif mantan duta besar pada masa Qaddafi. Dalam Pemilu yang diselenggarakan pada bulan Juli 2012, NFA memperoleh suara mayoritas dengan 39 kursi melebihi partai Islam JDP yang hanya memperoleh 17 kursi diikuti oleh NFP dengan 2 kursi. Hasil pemilu tersebut memperlihatkan
bahwa kekuatan nasionalis-liberal melampaui kekuatan Islam hampir tiga kali lipat. Meskipun demikian, munculnya partai JDP sebagai partai politik berbasis massa Islam mempresentasikan kekuatan politik Islam yang luar biasa sejak masa era Qaddafi. Pengalaman munculnya kekuatan politik Islam dalam transisi demokrasi di Tunisia, Mesir, dan Libya dengan segala plus minusnya telah terbukti menjadi inspirasi bagi lahirnya gerakan serupa di sejumlah negara Timur Tengah, seperti Suriah, Yaman, dan Bahrain. Hal ini menunjukkan bahwa demokratisasi telah memberikan ruang bagi kekuatan politik Islam untuk menunjukkan eksistensinya sebagai kekuatan utama, sehingga wajar kiranya The Economist (April 2011) memandang bahwa Islam menjadi pendorong kebangkitan di dunia Arab.
Daftar Pustaka Buku Al-Banna, Hasan. 2012. ����������������������� Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin. Solo: Era Intermedia. An-Nabhani, Taqiyuddin. 2002. Ad-Daulah Al-Islamiyyah. Beirut: Daar al-Ummah. Ayoob, Mohammed. 2008. The Many Faces of Political Islam, Religion and Politics in the Muslim World. Ann Arbor: The Univesity of Michigan Press. Brown, Nathan J. 2013. Islam and Politics in the New Egypt. Washington DC: Carnegie Endowment for International Peace. Qutb, Sayyid. 1973. Ma’alim fi Ath Thariq. Kairo: Daar Asy Syaruq. Qaddafi, Muammar. 1976. Kitabul Akhdhar. Tripoli: Al-Markaz Al-‘Alami Li Abhats Wa Ad-Dirasat Kitab Al-Akhdhar. Roy, Olivier. 1994. The Failure of Political Islam. Massachussets: Harvard University Press. Tambukara, Apriadi. 2011. Revolusi Timur Tengah, Keruntuhan Para Penguasa Otoriter. Yogyakarta: Narasi.
Jurnal Denoeux, Guilain. 2002. “The Forgotten Swamp: Navigating Political Islam”. Middle East Policy IX(2).
Agama dan Demokrasi ... | Muhammad Fakhry Ghafur | 99
Paciello, Maria Cristina. 2011. “Tunisia, : Changes and Challenges of Political Transition”. Medro Technical Report No. 3.
Surat Kabar dan Website Arieff, Alexis. 2011. “Political Transition in Tunisia”. www.crs.gov RS21666. ‘Asyur, Umar. 2013. “Daurul Islam fi Bina Daulah ma Ba’da Tsaurah,” www.rcssmideast.org/reviews. Netherlands-Flemish Institute in Cairo dan Al-Ahram Centre for Political and Strategic Studies. 2012. “Mapping Islamic Actors in Egypt”. http:// www.elections2011.eg/index.php/results
http://www.iai.it/pdf/mediterraneo/medpro/medprotechnical-paper_03.pdf. ----------- 2011. “Egypt : Changes and Challenges of Political Transition”. www.iai.it/pdf/ mediterraneo/.../MedPro-technical-paper_04. pd.
100 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 85–100
PEMILU DAN RELASI EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF1 GENERAL ELECTION AND EXECUTIVE-LEGISLATIVE RELATIONS Nina Andriana Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 19 Agustus 2014, direvisi: 26 September 2014; disetujui: 9 Desember 2014 Abstract Completion of presidentialism requires reconsideration format representation system, the implementation of the scheme and the electoral system along the party system. In the context of the implementation of the scheme and the electoral system, the arrangement is not only related to the urgency of the simultaneous implementation of the legislative and presidential elections, but also realignment election format itself. Election system adopted by Indonesia at the moment doesn’t push not only the emergence of presidential candidates who have the competence and capability, but also tends to distort obsession strengthening of presidentialism as a system of government that has been mandated by constitutional amendments. Structuring executive-legislative relations is also very important. Coalition is typically found in parliamentary government, but the multi-party system in presidentialism can not be ignored. Internal checks and balances mechanism in the House of Representatives and between the House of Representatives and the President must be addressed. Keywords: general election, electoral system, presidentialism, political party. Abstrak Penyempurnaan presidensialisme memerlukan peninjauan kembali format sistem perwakilan, skema penyelenggaraan dan sistem pemilu, serta sistem kepartaian. Dalam konteks skema penyelenggaraan dan sistem pemilu, penataan tak hanya terkait urgensi penyelenggaraan secara simultan antara pemilu legislatif dan pemilu presiden, melainkan juga penataan kembali format pilpres itu sendiri. Sistem pilpres yang diterapkan oleh Indonesia saat ini bukan hanya tidak menjanjikan munculnya kandidat presiden yang memiliki kompetensi dan kapabilitas, tetapi juga cenderung mendistorsikan obsesi penguatan presidensialisme sebagai sistem pemerintahan yang telah diamanatkan oleh konstitusi hasil amandemen. Penataan relasi eksekutif-legislatif dalam hal ini juga amat penting. Koalisi yang lazimnya ditemukan pada pemerintahan parlementer, namun dengan sistem multipartai dalam presidensial hal ini menjadi sesuatu yang tidak bisa diabaikan. Mekanisme checks and balances internal DPR maupun antara DPR dan Presiden pun harus dibenahi. Kata Kunci: Pemilu, sistem Pemilu, presidensialisme, partai politik.
Pendahuluan Sejarah politik Indonesia modern antara lain ditandai oleh pasang-surut pilihan sistem pemerintahan dalam konteks relasi eksekutiflegislatif. Pendulum relasi yang sarat legislatif (legislative heavy) pada era parlementer, berubah
total menjadi sarat eksekutif (executive heavy) ketika UUD 1945 kembali berlaku selama dua periode sistem otoriter, Demokrasi Terpimpin Soekarno (1959-1965) dan Orde Baru Soeharto (1966-1998). Pengalaman pahit dan traumatis atas dominasi Presiden selama sekitar 30 tahun
Tim Peneliti terdiri atas Prof (Ris). Dr. Syamsuddin Haris (Koordinator), Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti, Prof. Dr. R. Siti Zuhro, Dr. Firman Noor, Irine Hiraswari Gayatri, MA., Muh. Haripin, M.Han., Nina Andriana, S.IP, M.Si. 1
Pemilu dan Relasi Eksekutif dan Legislatif | Nina Andriana | 101
Orde Baru tersebut tampaknya melatarbelakangi pula nuansa sarat parlementer pada tahun-tahun pertama transisi demokrasi pascaSoeharto. Tidak mengherankan jika kemudian, pidato pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie ditolak MPR (1999), dan bahkan lebih jauh lagi Presiden Abdurrahman Wahid yang dipilih secara demokratis oleh MPR akhirnya dipecat oleh Majelis yang sama (2001)2. Meskipun pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputeri (2001-2004) lahir dari kekecewaan DPR terhadap Presiden Wahid, hal itu cenderung tidak mengubah pola relasi Presiden-DPR. Sebagai ketua umum partai pemenang Pemilu 1999 dengan jumlah kursi terbesar di DPR, Presiden Megawati tidak sepenuhnya dapat mengendalikan DPR karena kekuatan PDI Perjuangan hanya sekitar sepertiga (153 kursi) dari keseluruhan anggota Dewan (500 kursi). Selama sekitar tiga tahun tiga bulan masa pemerintahannya, kebijakan Presiden Megawati beberapa kali dicoba digugat oleh DPR melalui usul penggunaan hak interpelasi, antara lain dalam kasus lenyapnya kepemilikan Indonesia atas pulau Sipadan dan Ligitan, dan kasus dana bantuan asrama bagi TNI/Polri. Namun pengalaman traumatik pada era Presiden Wahid membuat partai-partai politik di DPR menahan diri sehingga Presiden Megawati bisa bertahan sampai akhir masa jabatannya hingga 20 Oktober 2004. Pengalaman pemerintahan yang sarat eksekutif selama sekitar 30 tahun Orde Baru, DPR yang mandul pada era yang sama, serta juga trauma pemberhentian atas Presiden Wahid pada 2001, tampaknya turut melatarbelakangi semangat penataan kembali pola relasi Presiden-DPR ketika dilakukan perubahan atas UUD 1945. Selain itu, melalui amandemen konstitusi, MPR juga mencabut kekuasaannya sendiri dalam memilih presiden serta membatasi kekuasaan presiden selama maksimal dua periode. Singkatnya, UUD 1945 hasil amandemen tidak hanya menata ulang format relasi Presiden-DPR, melainkan juga memperkuat skema demokrasi Presidensial sebagai pilihan politik bagi Indonesia pascarezim otoriter Orde Baru. Syamsuddin Haris, Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007). 2
Meskipun format relasi eksekutif-legislatif telah ditata ulang dan skema presidensialisme semakin diperkuat, pengalaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hasil Pemilu 2004 dan 2009 memperlihatkan belum seimbangnya relasi Presiden-DPR. Sebagai presiden pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat dengan masa jabatan yang bersifat tetap, posisi politik Presiden SBY seringkali tampak ”rentan” dalam berhadapan dengan DPR. Walaupun didukung koalisi politik yang mencakup sekitar 70 persen kekuatan partai politik di DPR, selama periode Kabinet Indonesia Bersatu I (2004-2009) Presiden SBY harus melayani sekurang-kurangnya 14 usul hak interpelasi dan delapan usul hak angket partaipartai politik di DPR terkait berbagai kebijakan pemerintah. Sebagian usul hak interpelasi dan hak angket itu justru digulirkan dan didukung oleh partai-partai politik yang turut berkoalisi dengan Presiden SBY3. Dinamika relasi PresidenDPR relatif tidak banyak berubah pada periode kedua pemerintahan SBY (2009-2014) kendati intensitas usul hak interpelasi dan hak angket tidak sebanyak periode pertama.
Permasalahan dan Pertanyaan Penelitian Paling kurang ada empat pengalaman fenomenal yang pernah dialami Indonesia sejak Proklamasi terkait relasi Presiden-DPR. Pertama, ketika Presiden Sukarno selaku kepala negara membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, pemilu demokratis pertama sejak Indonesia merdeka4. Kedua, tatkala Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang-sidangnya selama periode 1966-1967 menolak pidato pertanggungjawaban Presiden Sukarno berkaitan dengan Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Pidato Bung Karno itu dikenal sebagai Selanjutnya lihat, Syamsuddin Haris, “Format Baru Relasi Presiden-DPR dalam Demokrasi Presidensial di Indonesia Pasca-Amandemen Konstitusi (2004-2008)”, Disertasi Doktor pada FISIP UI, 2008. 3
Tentang pembubaran DPR hasil Pemilu 1955 lihat di antaranya, Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, (Ithaca New York: Cornell University Press, 1962); Adnan Buyung Nasution, The Aspiration of Contitutional Government in Indonesia: A Socio-Legal Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992). 4
102 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 101–128
Nawaksara dan naskah jawaban susulan terhadap pertanyaan MPRS yang disebut Pelengkap Nawaksara. Ketiga, saat MPR hasil Pemilu 1999 menolak pidato pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie pada periode transisi dari rejim otoriter Orde Baru ke era pemerintahan yang lebih demokratis5. Dan keempat, ketika DPR hasil Pemilu 1999 memprakarsai Sidang Istimewa MPR pada 2001 dan akhirnya memecat Presiden Abdurrahman Wahid6. Empat pengalaman historis yang fenomenal tersebut mendorong berbagai elemen bangsa, termasuk partai-partai politik hasil Pemilu 1999, melakukan penataan ulang atas format relasi Presiden-DPR agar tidak hanya lebih seimbang, melainkan juga melembagakan pemerintahan hasil pemilu yang stabil dan efektif. Namun, pengalaman pemerintahan Presiden SBY pascaamandemen konstitusi memperlihatkan masih kuatnya potensi konflik dan ketegangan politik dalam relasi Presiden-DPR. Koalisi politik besar pada masa KIB II yang mencakup sekitar 75 persen kekuatan partai politik di DPR yang diharapkan dapat menyangga kekuasaan Presiden ternyata lebih merupakan “beban” ketimbang solusi bagi produktifitas dan efektifitas pemerintahan hasil Pemilu 2009. Presiden SBY adalah presiden pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan bekerja atas dasar konstitusi hasil amandemen yang berorientasi pelembagaan format baru relasi Presiden-DPR di satu pihak, dan penguatan skema demokrasi presidensial di lain pihak. Begitu pula DPR hasil Pemilu 2004 adalah parlemen pertama yang bekerja berdasarkan UUD Negara RI 1945, penyebutan resmi UUD 1945 hasil amandemen. Namun demikian, pemerintahan hasil pemilu tampaknya tidak bekerja sesuai harapan, yakni terbangunnya relasi Presiden-DPR yang relatif seimbang dan terbangunnya pemerintahan skema presidensial yang benar-benar efektif (governable). Tentang penolakan pidato pertanggungjawaban BJ Habibie, lihat antara lain, Marcus Mietzner, “Sidang Umum MPR 1999: Wahid, Megawati, dan Pergulatan Perebutan Kursi Kepresidenan”, dalam Chris Manning dan Peter van Diermen (Eds.), Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-aspek Sosial Reformasi dan Krisis, (Yogyakarta: LKIS, 2000).
Dalam kaitan ini ada beberapa pertanyaan relevan yang hendak dijawab dan dirumuskan solusinya dalam kajian ini: 1. Apa yang salah dengan format pemilu, sistem perwakilan, dan model koalisi parpol yang berlaku dewasa ini, sehingga relatif gagal melembagakan pola relasi Presiden-DPR yang seimbang untuk kebutuhan skema demokrasi presidensial yang stabil dan efektif. 2. Bagaimana desain pemilu, khususnya pemilu presiden, sistem perwakilan, dan model koalisi parpol yang lebih tepat untuk melembagakan pola relasi Presiden-DPR yang dapat meningkatkan efektifitas presidensialisme di Indonesia?
Perspektif Teoritis Secara umum dapat dibedakan tiga sistem pemerintahan demokrasi, yakni sistem presidensial (presidential systems), sistem parlementer (parliamentary systems), dan sistem semi-presidensial (semipresidential systems)7. Sistem presidensial berlaku di Amerika Serikat, sebagian besar negara-negara Amerika Latin, dan juga Filipina di Asia Tenggara serta Korea Selatan di Asia Timur. Sistem parlementer berlaku di Inggeris dan pada umumnya negara-negara jajahan Inggris seperti Australia dan India. Sedangkan kasus spesifik sistem semipresidensial, yang juga disebut sebagai “sistem campuran” atau sistem hibrida, terutama berlaku di Perancis. Selain pembedaan klasik dan standar tersebut, dalam studinya terhadap 36 negara demokrasi pada periode 1945-1996, Arend Lijphart mengelompokkan sistem demokrasi atas dua kategori besar, yakni pemerintahan demokrasi mayoritarian dengan contoh tipikal model Westminster Kerajaan Inggris, dan demokrasi konsensual dengan contoh tipikal Swiss atau Belgia8. Ciri-ciri demokrasi mayoritarian di
5
6
Haris, 2007, op.cit.
Richard Gunther, “Membuka Dialog Mengenai Pilihan Institusional di Indonesia: Sistem Presidensial, Parlementer, dan Semi-Presidensial”, dalam Ikrar Nusa Bhakti dan Riza Sihbudi (Eds.), Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, (Bandung: MizanLIPI-Ford Foundation, 2001). 7
8
Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms
Pemilu dan Relasi Eksekutif dan Legislatif | Nina Andriana | 103
antaranya adalah penggunaan sistem pemilu mayoritas-FPTP (first-past-the-post), memiliki dua partai politik utama, kabinet satu partai, sistem perwakilan satu kamar, dan dalam konteks negara kesatuan dengan pemerintahan tersentralisasi. Sedangkan demokrasi konsensual memiliki ciri antara lain, penggunaan sistem pemilu proporsional dengan distrik berwakil banyak, sistem multipartai, kabinet yang bersifat koalisi, sistem perwakilan dua-kamar, dan dalam konteks negara federal dengan pemerintahan terdesentralisasi. Pengelompokkan yang dilakukan Lijphart ini tidak sepenuhnya sama dengan pembedaan sistem presidensial dan parlementer. Karena itu pula Lijphart tidak mengklasifikasikan model demokrasi Amerika Serikat sebagai salah satu kategori mayoritarian ataupun konsensual, sehingga ia menyebutnya sebagai model campuran –a mixed majoritarianconsensual type of democracy.9 Sistem presidensial yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sistem pemerintahan yang menempatkan Presiden sebagai pusat kekuasaan eksekutif sekaligus pusat kekuasaan negara. Ini berarti bahwa Presiden adalah kepala pemerintahan dan juga kepala negara. Selain itu, sistem presidensial dicirikan oleh pemilihan kepala eksekutif secara langsung oleh rakyat, bukan dipilih oleh parlemen seperti berlaku dalam sistem parlementer; Presiden bukan bagian dari parlemen dan tidak bisa diberhentikan oleh parlemen kecuali melalui proses pemakzulan (impeachment); dan Presiden tidak dapat membubarkan parlemen sebagaimana halnya sistem parlementer yang memberi hak kepada kepala negara untuk membubarkan parlemen. Ciri lain dari presidensialisme adalah kedudukan lembaga parlemen yang tidak hanya terpisah dari eksekutif melainkan juga independen terhadapnya; serta menteri-menteri yang diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada presiden. Dari berbagai ciri tersebut, menurut Arend Lijphart, sebenarnya hanya tiga ciri yang menjadi and Performance in Thirty-Six Countries, (New Haven and London: Yale University Press, 1999); Buku Lijphart ini merupakan hasil studi lanjutan dari buku sebelumnya, Lijphart, Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One Countries, (Yale: Yale University, 1984). 9
Ibid, hlm. 36.
elemen esensial dari sistem presidensial, yakni (1) presiden atau kepala pemerintahan dipilih untuk masa jabatan yang bersifat tetap (fixed term); (2) presiden dipilih secara langsung oleh rakyat ataupun melalui dewan pemilih (electoral college) seperti di Amerika Serikat; dan (3) presiden merupakan kepala eksekutif yang bersifat tunggal10. Karena itu perlu segera dicatat bahwa desain institusi dan praktik sistem presidensial di berbagai negara sebenarnya tidak pernah seragam, terdapat variasi-variasi yang signifikan, termasuk di negara-negara Amerika Latin di mana presidensialisme menjadi pilihan popular ketimbang parlementarianisme. Akan tetapi terlepas dari berbagai varian presidensialisme, hampir semua negara yang menganut sistem presidensial cenderung menjadikan praktik presidensialisme di Amerika Serikat sebagai inspirasi sekaligus model terbaik. Para ahli perbandingan politik sebenarnya sudah menyadari berbagai problematik institusional yang melekat pada sistem presidensial sebagaimana dipraktikkan di Amerika Serikat dan diadopsi di negara-negara Amerika Latin. Stabilitas eksekutif yang disebabkan oleh masa jabatan presiden yang bersifat tetap, legitimasi dan mandat politik presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat, dan pemisahan kekuasaan yang relatif tegas di antara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan –terutama eksekutif-legislatif—adalah tiga di antara sejumlah kelebihan utama sistem presidensial. Namun demikian di samping kelebihankelebihannya dibandingkan sistem parlementer, sistem presidensial memiliki tiga kelemahan pokok, yakni pertama, kemungkinan munculnya kelumpuhan ataupun jalan buntu politik (deadlock) akibat konflik eksekutif-legislatif. Potensi jalan buntu politik itu semakin besar lagi apabila sistem presidensial dikombinasikan dengan sistem multipartai seperti dikhawatirkan Mainwaring11. Kedua, kekakuan sistemik yang Arend Lijphart, “Presidentialism and Majoritarian Democracy: Theoritical Observations”, dalam Linz dan Valenzuela (Eds.), The Failure of Presidential Democracy, Vol. I, hlm 91-105. 10
Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination”, Comparative Political Studies, Vol. 26, No. 2, 1993, hlm. 198-228. 11
104 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 101–128
melekat pada presidensialisme akibat masa jabatan eksekutif yang bersifat tetap, sehingga tidak ada peluang mengganti presiden di tengah jalan jika kinerjanya tidak memuaskan publik . Ketiga, prinsip “pemenang mengambil semua” (the winner takes all) yang inheren di dalam sistem presidensial yang menggunakan sistem mayoritas-dua-putaran pemilihan presiden, sehingga memberi peluang bagi presiden untuk mengklaim pilihan-pilihan kebijakannya atas nama rakyat, dibandingkan lembaga parlemen yang didominasi kepentingan partisan dari partai-partai politik. Juan Linz bahkan mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan antara lembaga eksekutif dan legislatif di dalam sistem presidensial cenderung menimbulkan polarisasi dan instabilitas politik, sehingga dianggap tidak begitu cocok diadopsi di negara-negara demokrasi baru12.
pihak lain juga membuka peluang terbentuknya “pemerintahan yang terbelah” (divided government), di mana presiden dan parlemen dikuasai atau dikontrol oleh partai yang berbeda. Pengalaman demokrasi presidensial di AS memperlihatkan, lembaga kepresidenan dan Kongres–sidang gabungan DPR (House of Representative) dan Senat—sering pula dikontrol oleh dua partai yang berbeda, Partai Republik dan Partai Demokrat14.
Terlepas dari posisi teoritis Linz selaku penganjur dan pendukung sistem parlementer, pengalaman negara-negara Amerika Latin sendiri memperlihatkan bahwa praktik sistem presidensial pun bervariasi begitu pula institusi pendukungnya, sehingga ia bukanlah suatu sistem pemerintahan yang homogen. Berbagai variasi institusi dan praktik sistem presidensial itu di antaranya ditentukan oleh format presidensialisme –apakah “murni” sebagaimana dipraktikkan di AS, cakupan kekuasaan legislatif yang dimiliki presiden, sistem kepartaian dan fragmentasinya, serta disiplin partai di parlemen. Oleh karena itu, desain institusional berkenaan dengan kekuasaan presiden dan lembaga legislatif, sistem kepartaian, dan kemampuan presiden mengimplementasikan agenda-agendanya menjadi faktor-faktor penting yang turut menentukan stabilitas demokrasi presidensial13.
Konsep hubungan eksekutif-legislatif mengacu kepada pola relasi, baik yang dibangun melalui desain institusional maupun terbangun dalam realitas politik, antara lembaga eksekutif di satu pihak dan parlemen di pihak lain. Berbeda dengan sistem parlementer di mana lembaga eksekutif dan legislatif pada dasarnya merupakan satu kesatuan, maka di dalam sistem presidensial, eksekutif dan legislatif terpisah satu sama lain. Secara umum, desain institusi dan realitas relasi eksekutif-legislatif dalam konteks sistem demokrasi diwarnai oleh dua kecenderungan utama, yakni pertama, pola relasi yang bersifat dominasi satu lembaga atas yang lain, baik dominasi eksekutif atas legislatif maupun sebaliknya. Kedua, pola relasi yang didasarkan pada keseimbangan kekuasaan di antara eksekutif dan legislatif. Sejauhmana kecenderungan pola relasi antara eksekutif dan legislatif di dalam realitas sistem presidensial, apakah pola pertama, pola kedua, atau fluktuatif di antara kedua pola tersebut, tidak hanya ditentukan oleh desain institusi yang dibangun dan dilembagakan, melainkan juga varabel-variabel lain yang bersifat kondisional suatu negara demokrasi15. Bagaimana sesungguhnya pola relasi kekuasaan antara eksekutif dan legislatif ini menjadi salah satu faktor penting terbentuknya pemerintahan yang efektif.
Pemisahan kekuasaan antara lembaga eksekutif dan legislatif misalnya, di satu pihak dipandang sebagai kelebihan presidensialisme dibandingkan parlementarianisme, namun di
Sementara itu, konsep koalisi lazimnya menunjuk pada persekutuan dua partai atau lebih yang didasarkan pada kepentingan politik yang sama. Pemerintahan koalisi (coalition
Juan J. Linz, “Presidential or Parliamentary Democracy: Does it Make a Difference”, dalam Linz dan Valenzuela, The Failure of Presidential Democracy: Comparative Perspectives, (Baltimore: John Hopkins University Press, 1994). 12
Richard Gunther, Ibid.; Linz dan Valenzuela (Eds.), The Failure of Presidential Democracy: Comparative Perspectives, (Baltimore and London: John Hopkins University Press, 1994). 13
Tentang sistem presidensial AS lihat Kantor Program Informasi Internasional Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat, tanpa tahun. 14
Lijphart, 1984, op.cit., hlm. 67-89; Lijphart, 1999, op.cit., hlm. 116-142. 15
Pemilu dan Relasi Eksekutif dan Legislatif | Nina Andriana | 105
government) adalah suatu pemerintahan yang dibentuk oleh lebih dari satu partai politik16. Pemerintahan koalisi lazimnya adalah pemerintahan gabungan partai-partai di dalam sistem parlementer yang berbasis multipartai. Sedangkan konsep koalisi pemerintahan (government coalition) yang dipergunakan dalam studi ini menunjuk pada pemerintahan yang didukung oleh lebih dari satu partai di dalam konteks sistem presidensial. Secara teoritik, model koalisi dapat dibedakan atas tiga kategori, yaitu minimal winning coalition, minority coalition, dan oversized coalition17. Kategori pertama, “koalisi pemenang minimal”, menunjuk pada pemerintahan yang mendapatkan dukungan mayoritas sederhana di parlemen. Kategori kedua, “koalisi minoritas”, koalisi pemerintahan dari partai-partai kecil dan karena itu tidak mendapat dukungan mayoritas sederhana di parlemen. Sementara itu kategori ketiga, “koalisi besar”, menunjuk pada koalisi pemerintahan yang didukung oleh mayoritas mutlak partai politik di parlemen. Format koalisi yang terbentuk lazimnya mempengaruhi kecenderungan relasi kekuasaan antara lembaga eksekutif dan legislatif. Problematika skema presidensial berbasis multipartai di Indonesia khususnya sejak 2004 bisa jadi tidak semata-mata terkait realitas politik yang cenderung ”sarat DPR” sehingga koalisi politik pendukung SBY tidak optimal, melainkan juga fakta bahwa mekanisme Pemilu Presiden yang dianut UU Pilpres tidak menjamin lahirnya Presiden yang bebas dari pengaruh parpol di DPR. Skema pemilu legislatif yang mendahului pemilu presiden dan berlakunya prasyarat ambang batas perolehan suara dan atau kursi DPR dalam pencalonan presiden, berdampak pada terpilihnya seorang presiden yang sejak awal sudah terpenjara oleh kekuatan parpol di DPR.
Asumsi Studi ini didasarkan pada asumsi bahwa pengelolaan relasi Presiden dan DPR merupakan faktor yang sangat menentukan efektifitas Frank Bealey, Dictionary of Political Science, (Oxford UK: Blackwell Publisher Ltd, 2000), hlm. 64. 16
17
sistem pemerintahan presidensial di Indonesia pascaSoeharto. Format relasi Presiden-DPR sendiri dipengaruhi terutama oleh: (1) format institusi yang mewadahi pola relasi PresidenDPR; (2) skema pemilu –dalam arti apakah desain pemilu benar-benar mendukung terbangunnya format relasi kemitraan yang seimbang di antara keduanya; (3) kualitas pelembagaan parpol, sistem kepartaian, dan format koalisi parpol; dan (4) kualitas checks and balances dalam sistem perwakilan. Gabungan keempat faktor tersebut diasumsikan tidak hanya mempengaruhi pola relasi Presiden dan DPR, tetapi juga berdampak pada kualitas stabilitas dan efektifitas pemerintahan yang dihasilkannya. Konsep pemerintahan yang efektif (governability) menunjuk pada situasi di mana lembaga eksekutif dapat mewujudkan kebijakan yang berorientasi aspirasi dan kepentingan rakyat tanpa hambatan berarti dari lembaga legislatif. Singkatnya, pemerintahan efektif adalah “pemerintahan yang bisa memerintah”. Sistem presidensial secara teoritis memungkinkan terwujudnya pemerintahan yang efektif karena lembaga presiden memiliki legitimasi dan mandat yang kuat lantaran dipilih secara langsung oleh rakyat. Selain itu, prinsip sistem presidensial yang memisahkan kekuasaan eksekutif dan legislatif memberi peluang bagi Presiden untuk melaksanakan kebijakan pemerintahan tanpa harus terganggu oleh dinamika lembaga legislatif. Asumsinya, semakin minim distorsi dan interupsi proses pembentukan dan pelaksanaan kebijakan akan membuat pemerintahan lebih efektif, sehingga pencapaian tujuan bernegara dan berbangsa menjadi lebih nyata. Hanya saja sejauh mana efektifitas pemerintahan di dalam konteks sistem presidensial tampaknya sangat tergantung pada pola relasi antara eksekutif dan legislatif di satu pihak, dan sistem kepartaian yang berlaku di pihak lain. Persoalannya, sistem presidensial cenderung akan menghasilkan pemerintahan yang efektif apabila presiden didukung oleh mayoritas sederhana kekuatan parlemen melalui minimal winning coalition. Sebaliknya, jika Presiden hanya didukung kekuatan minoritas parlemen cenderung membuka peluang pemakzulan bagi Presiden, dan bila Presiden didukung kekuatan
Lijphart, 1999, op.cit., hlm. 134-138.
106 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 101–128
mayoritas mutlak parlemen maka yang cenderung terjadi adalah pemerintahan yang kolutif18. Studi ini berpandangan bahwa secara umum sistem pemerintahan presidensial yang dihasilkan Pemilu Presiden 2004 relatif stabil, namun belum dapat dikatakan efektif (governable), bukan hanya karena kebijakan-kebijakan Presiden seringkali terpenjara oleh DPR, melainkan juga lantaran tingkat produktifitas pemerintah dan DPR sendiri relatif rendah. Masih rendahnya produktifitas pemerintah antara lain dapat dilihat dari belum adanya strategi kebijakan yang dapat diandalkan untuk mengatasi krisis pangan dan energi, sehingga sebagian besar bahan pangan misalnya, amat tergantung pada impor. Sedangkan kinerja parlemen yang masih buruk tampak dari kuantitas dan kualitas produk legislasi yang juga relatif rendah seperti tampak pada persentase jumlah RUU yang bisa diselesaikan DPR dibandingkan target tahunan prolegnas yang hampir selalu di bawah 40 persen, serta begitu banyaknya UU yang akhirnya digugat melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Konstitusi.
Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif-eksplanatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan dua teknik, yaitu studi kepustakaan dan studi lapangan. Untuk studi lapangan dilakukan melalui wawancara mendalam dan FGD (Focus Group Discusssion). Wawancara mendalam dilakukan terhadap beberapa narasumber dengan memperhatikan pengetahuan dan pemahaman narasumber terkait dengan topik penelitian. Dengan demikian, para narasumber mencakup baik akademisi maupun praktisi di daerah penelitian. Selain wawancara mendalam, di daerah penelitian yang sama dilakukan juga FGD dengan sebagian narasumber yang sama ditambah narasumber lain dengan kualifikasi serupa. Daerah-daerah dan atau kota yang dipilih secara sengaja sebagai lokasi penelitian adalah DKI Jakarta, Surabaya (Jawa Timur), dan Makassar (Sulawesi Selatan). Tanpa mengecualikan daerah dan atau kota lainnya, di Denny Indrayana, “Mendesaian Presidensial yang Efektif: Bukan Presiden ‘Sial’ atawa Presiden ‘Sialan’”, Makalah seminar yang diselenggarakan oleh Partai Demokrat, Forum Komunikasi Parpol dan Politisi serta FNS, 13 Desember 2006. 18
tiga daerah dan atau kota tersebut diharapkan dapat diperoleh para narasumber wawancara mendalam dan FGD yang memahami dan mendalami topik penelitian.
Hasil Penelitian Penelitian ini difokuskan pada dua pertanyaan penelitian utama, yaitu (1) Apa yang salah dengan format pemilu, sistem perwakilan, dan model koalisi parpol yang berlaku dewasa ini, sehingga relatif gagal melembagakan pola relasi PresidenDPR yang seimbang untuk kebutuhan skema demokrasi presidensial yang stabil dan efektif. (2) Bagaimana desain pemilu, khususnya pemilu presiden, sistem perwakilan, dan model koalisi parpol yang lebih tepat untuk melembagakan pola relasi Presiden-DPR yang dapat meningkatkan efektifitas presidensialisme di Indonesia? Menjawab pertanyaan pertama, apa yang salah?. Berdasarkan diskusi yang dilakukan oleh tim penelitian dengan beberapa ahli di tiga kota(Yogyakarta, Padang dan DKI Jakarta) yang menjadi lokasi penelitian terdapat persoalan mendasar yang memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap persoalan pola relasi Presiden-DPR di Indonesia pascabergulirnya reformasi. Suasana amandemen konstitusi (UUD 1945) yang berlangsung pada masa awal reformasi disebut dalam suasana yang sarat dengan kepentingan politik. 1. Amandemen UUD 1945 : Inkonsistensi Agenda Reformasi Politik Jarak waktu yang ditempuh Badan Pekerja MPR (BP MPR) dalam empat kali amandemen dapat dikatakan tidaklah singkat. Masa kerja BP MPR ditetapkan berdasarkan dua kali Ketetapan MPR, yaitu Tap MPR No. IX/MPR/1999 dan Tap MPR No. IX/MPR/2000. Lahirnya Tap MPR kedua dengan substansi yang sama, tidak lain disebabkan oleh kinerja MPR yang tidak mampu menyelesaikan pekerjaannya untuk melakukan amandemen UUD 1945 dalam kurun waktu 1 tahun. Sehingga masa kerja BP MPR (Panitia Ad Hoc I BP MPR) yang tadinya hanya 1 tahun (1999-2000) diperpanjang hingga tahun 2002. Dalam kurun waktu empat tahun (1999-2002) tersebut, perubahan-perubahan yang cukup
Pemilu dan Relasi Eksekutif dan Legislatif | Nina Andriana | 107
mendasar dalam tata kelola pemerintahan dan negara telah dihasilkan. Berdasarkan naskah UUD 1945 hasil amandemen, ditemukan perubahan besar terkait dengan pemilu. Jika sebelum diamandemen, hal-hal yang berhubungan dengan pemilu tersebar dalam berbagai pasal. Baik pasal mengenai pemerintahan, kekuasaan legislatif dan sebagainya. Namun, saat ini prinsip-prinsip dasar tentang pemilu telah diletakkan dalam satu bab khusus yang diberi nama “Pemilihan Umum”. Hasil yang positif ini menunjukkan para wakil rakyat kala itu menganggap ”cukup” pentingnya Pemilu untuk dituangkan secara tegas dalam konstitusi tertinggi dinegara ini. Dasar pemikiran yang tersirat dalam percakapan atau catatan rapat untuk menjadikan pasal-pasal tentang Pemilu menjadi satu Bab khusus, adalah untuk mengembalikan kedaulatan rakyat, yang benarbenar sepenuhnya ditangan rakyat. Mengingat pemilu adalah salah satu saluran terbesar bagi rakyat menyampaikan aspirasinya dan turut serta secara nyata dalam membentuk format pemerintahan lima tahun ke depan. Salah satu wujud kedaulatan rakyat yang benar-benar dari rakyat dan sejalan dengan prinsip pembentukan sistem pemerintahan presidensial adalah pemilihan presiden yang dilakukan secara langsung. Di samping hendak menjalankan salah satu dari prinsip pemerintahan presidensial, argumentasi yang juga berkembang kala itu adalah dengan adanya pemilihan langsung presiden dan wakil presiden ini diharapkan rekayasa politik dari MPR yang berlangsung pada masa Orde Baru dan pada Pemilu 1999, dapat diminimalisir. Argumentasi lainnya adalah dengan adanya pemilihan langsung presiden diharapkan pula pilihan rakyat tidak tersandera oleh kepentingan-kepentingan partai politik. Sebelum mendiskusikan bagaimana perdebatan argumentasi dan substansi berlangsung dalam tiap rapat PAH, penulis mencatat hal menarik yang dikemukakan oleh F-PBB berkenaan teknis atau tata cara pelaksanaan amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh PAH BP MPR RI. Melalui wakilnya H. M. Zubair Bakry, fraksi ini memberikan koreksi bahwa cara tim PAH mengamendemen UUD 1945 selama tiga kali perubahan tidak dilakukan secara
berurutan.19 Sebagai contoh, pada perubahan pertama (Amandemen I) pasal 7 berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam masa jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
Dalam pasal ini tampak bahwa pembatasan periode masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden telah dirumuskan beserta ketentuan untuk dapat menjabat pada jabatan yang sama hanya dalam waktu dua kali masa jabatan. Harusnya PAH I merumuskan terlebih dahulu format pemilihan presiden itu sendiri seperti apa. Karena hal ini sangat berkaitan dengan sistem pemerintahan yang akan dijalankan nantinya. Tentunya ketika membicarakan pemilihan umum, ada unsur kedaulatan rakyat yang harus diperhatikan. Tetapi justru perubahan pasal tentang kedaulatan rakyat dan perumusan tentang pemilihan presiden dilakukan pada perubahan keempat. Sebuah proses amandemen yang tidak serius telah terjadi di sini, dimana PAH I BP MPR lebih memilih perubahan dilakukan demi menutup saluran kekuasaan yang terlalu besar dari eksekutif, tetapi mengabaikan prinsip-prinsip dasar demokrasi dalam hal partisipasi masyarakat sipil. Selanjutnya dari sisi substansi, argumentasi yang dikemukakan dalam pembahasan perubahan pasal tentang pemilu yang dilakukan oleh PAH I BP MPR RI terlihat tidak didasari oleh pertimbangan-pertimbangan yang bersifat menjunjung terlaksananya pemerintahan yang lebih demokratis. Meskipun penyebutanpenyebutan dasar sistem presidensial sebagai dasar dalam perubahan format pemilu dikemukakan, namun tetap saja partai politik dalam hal ini parlemen berusaha meletakkan kepentingan mereka di atas prinsip dasar tersebut. Perubahan yang dilakukan seringkali lebih bersifat teknis. Usulan-usulan yang dilontarkan oleh anggota PAH pun lebih bernuansa kepentingan politis ketimbang nilai filosofis dari sistem presidensial itu sendiri. Hal ini dapat terlihat pada Rapat Sinkronisasi Ke-3 PAH BP MPR pada 28 Juni Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Rapat Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja MPR RI Ke-1 s.d 10. Masa Sidang Tahunan MPR RI, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2002), hlm. 213. 19
108 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 101–128
2002. Salah satu wakil dari F-PG, Andi Matalatta, menyebut bahwa jika Pemilihan Presiden dilaksanakan sebelum Pemilihan DPR dan DPD, maka kampanye Presiden nantinya akan meneggelamkan kampanye dari calon anggota DPR dan DPD.20 Sebuah pertimbangan yang sebenarnya memperlihatkan ketakutan partai politik sejak awal akan legitimasi absolut yang mungkin saja diperoleh presiden terpilih. Apalagi jika sang presiden tidak berasal dari partai mereka sendiri.
tersendiri yang juga ditambahkan tentang partai politik dan yang kedua tentang pemilu dibiarkan tersebar diberbagai bab dan pasal dalam UUD 1945. Ketiga, semua sepakat dimanapun tempatnya supaya mencakup pokokpokoknya saja termasuk prinsip luber dan jurdil. 2. Lalu berkenaan tentang untuk apa pemilu dilaksanakan. Dengan alternatif dua pola, untuk semua (DPR, DPD, DPRD, Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota), atau pemilu di sini hanya untuk lembaga perwakilan rakyat.
Hal ini sangat berbeda dengan apa yang disampaikan oleh F-KKI (Kesatuan Kebangsaan Indonesia), bahwa dengan sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia, maka idealnya adalah pemilihan Presiden mendahului pemilihan legislatif.21 Pada akhirnya usulan yang dikemukakan oleh fraksi ini mentah. Realitas ini tampak dari tidak ditemukannya lagi gagasan tersebut pada risalah rapat-rapat setelahnya. Pada saat pasal-pasal dalam Bab Pemilu dirumuskan, peserta rapat hanya fokus pada prinsip-prinsip pemilu itu sendiri. Tidak menemukan adanya usulan dari sistem presidensial yang mengutamakan pemilihan presiden kemudian dilanjutkan dengan pemilihan legislatif. Pada saat rapat ke-39 Panitia Ad Hoc BP MPR tanggal 6 Juni 2000, dengan materi acara pembahasan tentang Pemilu, masing-masing fraksi menyampaikan usulannya mengenai isi pasal untuk bab yang diberi judul Pemilihan Umum. Beragam usulan muncul dalam rapat tersebut, seperti yang terangkum di bawah ini.22 1. Bahwa hampir seluruh fraksi bersepakat untuk ketentuan mengenai pemilu masuk ke dalam UUD 1945 yang sudah diamandemen nanti. Dengan alternatif dua bentuk, yang pertama dalam bab Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Tahun Sidang 2002, Buku Tiga (Edisi Revisi), (Jakarta: Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2010), hlm. 540. 20
21
Ibid., hlm. 536.
Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Hasil Rumusan Seminar Panitia Ad hoc I (Sidang Tahunan 2000), Buku kedua Jilid 3C, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2000), hlm. 395. 22
3. Semua anggota rapat sepakat bahwa pelaksanaan pemilu adalah lima tahun sekali. 4. Penyebutan pelaksana atau penyelenggara pemilu, serta lembaga yang mengesahkan pemilu. Pada naskah Amandemen UUD 1945 pasal 6A ayat (1) telah dinyatakan dengan tegas bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat23, isi pasal ini menunjukkan nuansa “setengah hati” dari anggota PAH I BP MPR untuk benar-benar secara murni menerapkan sistem presidensial. Ketentuan pemilihan presiden dalam sistem presidensial hanya dimaknai sebatas pemilihan langsung oleh rakyat. Penyanderaan pemilihan presiden oleh kepentingan partai politik tampak disengaja adanya. Mengingat, jika skema pilpres didahului oleh pileg, maka akan ada kecenderungan parpol memiliki peran besar dalam menentukan peta pencalonan dan pertarungan dalam pilpres. Tetapi tentunya hal ini tidak akan ditemukan secara eksplisit dalam naskah risalah rapat PAH I MPR RI. Justru alasan yang sering dimunculkan adalah kekhawatiran akan kembalinya executive heavy di masa Orde Baru jika popularitas calon presiden lebih mendominasi. Kekhawatiran legislatif ini nyata mereka wujudkan dengan merumuskan beberapa pasal yang mengurangi Sekretariat Jenderal MPR RI. Bunyi Pasal 6A ayat (1): ”Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 2012, hlm. 121. 23
Pemilu dan Relasi Eksekutif dan Legislatif | Nina Andriana | 109
dengan signifikan hak-hak presiden, dan bahkan hak prerogatif presiden pun telah dicampuri oleh legislatif. Selanjutnya pada pasal yang sama, tepatnya ayat (2), ditemukan makna yang ambigu dari isi pasal 6A ayat (2) tersebut. Berikut adalah bunyi pasal: ”Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”24
Kata ”pemilihan umum”: yang disebut dalam ayat ini pada akhirnya menimbulkan tafsir yang ambigu. Tidak ada penjelasan apakah pemilihan umum yang dimaksud di sini adalah pemilihan umum untuk DPR, DPRD dan DPD atau pemilihan umum untuk Presiden dan Wakil Presiden. Pada akhirnya partai politik yang berada di DPR RI mengartikan pemilihan umum di sini sebagai pemilihan presiden, sehingga muncullah syarat perolehan kursi dari partai politik peserta pemilu untuk dapat mengusulkan calon presiden dan wakil presiden. Di sini juga terlihat tidak tegasnya pembedaan antara partai politik peserta pemilu dengan partai politik pemenang pemilu dan hal ini menyebabkan partai politik besar mempunyai kesempatan lebih leluasa mengusulkan calonnya tanpa dipusingkan dengan agenda koalisi dengan parpol lain. Perlu juga dicatat, seperti yang disampaikan oleh Ramlan Surbakti, bahwa dalam hal pemilihan presiden ini, partai politik tidak memiliki peran didalamnya. Peran mereka justru sangat besar pada Pemilihan DPR, DPD dan DPRD. Namun lewat Pilpres 2004 dan 2009, kita dapat melihat bahwa Pilpres justru sangat dipengaruhi oleh kepentingan partai politik. Kondisi ini semakin dipertegas dengan keterangan yang terdapat pada Pasal 1 ayat 3 UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Pemilu yang menyebutkan bahwa: ”pemilihan umum presiden dilaksanakan setelah pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPRD dan DPD”
Sekretariat Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 2012, hlm. 121. 24
Pelaksanaan pemilu legislatif yang mendahului pemilihan presiden seperti ini menunjukkan bahwa keinginan untuk mengedepankan sistem presidensial dan kedaulatan rakyat telah dicederai dengan pertimbangan-pertimbangan politis dan teknis yang dibawa oleh parpol di dalam DPR. Melalui penelusuran naskah risalah rapatrapat PAH Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan, fakta bahwa agenda rapat dengan topik yang khusus membahas pemilu berikut format nya yang bernafaskan prinsip presidensial dapat dikatakan hanya sedikit. Indikasi ini pun sudah terlihat sejak awal perumusan amandemen UUD 1945 dilaksanakan. Bahkan PAH I BP MPR pada saat itu melakukan dua hal yang saling bertolak belakang. Yaitu pada saat yang sama berusaha melembagakan demokrasi presidensial dengan pemilihan langsung, namun pada saat itu pula PAH I BP MPR RI memangkas kewenangan dan bahkan hak preogratif presiden. Hal ini semakin menjadi ketika mereka tetap bersikukuh agar pelaksanaan pileg mendahului pilpres. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa tidak ada alasan filosofis 25 ketika menetapkan pileg mendahului pilpres, hanya persoalan-persoalan teknis seperti persoalan economic cost, politics and social cost yang disampaikan. Alasan lainnya adalah belum cerdas untuk mengantisipasi perubahan sistem pemilu sering pula dikemukakan. Rakyat acapkali dianggap sebagai objek dalam bernegara, bukan subjek yang menentukan masa depan negara dan bangsa. Meskipun PAH I BP MPR RI berisikan anggota selain partai politik, namun dominannya anggota parpol dalam hal ini membuat suasana pembasahan pasal tentang Pemilu sarat dengan kepentingan. Mengingat pembahasan tentang pemilu sangat mempengaruhi masa depan mereka, tentunya “pengawalan ketat” dilakukan dalam pembahasan amandemen agar kepentingan mereka dimasa depan tetap terakomodasi dengan baik. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Bambang Widjajanto. Ia menulis bahwa amandemen UUD 1945 dilakukan oleh lembaga yang sarat dengan vested-interest. 25
Pertimbangan filosofis utama dalam penyelenggaraan pemilu
110 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 101–128
Karena punya kepentingan langsung terhadap produk politik yang dihasilkannya.26 Untuk menciptakan sistem pemerintahan presidensial yang efektif dan efisien, perubahan besar dalam hal pelaksanaan (waktu penyelenggaraan) pemilu menjadi sebuah keharusan yang tidak dapat dihindari. Seperti yang diusulkan oleh Partnership Governance Reform, bahwa salah satu instrumen untuk menciptakan pemerintahan sistem presidensial yang efektif adalah dengan penataan penyelenggaraan pemilu. Melalui policy paper -nya tersebut diusulkan agar pelaksanaan pemilu tidak lagi menggunakan sistem seperti yang telah dilaksanakan pada Pemilu 2004 dan 2009. Jika sebelumnya pemilu DPR, DPD dan DPRD dilaksanakan bersamaan sedangkan Pilpres setelahnya, maka kedepannya pemilu diadakan dengan format pemilu DPR, DPD dan Presiden dilaksanakan secara serentak. Sedangkan DPRD dan Pemilihan Kepala Daerah juga serentak setelah dilaksanakannya Pemilihan Nasional. Jadi nantinya akan ada pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah. 27 Lembaga ini juga menyebutkan bahwa akibat dari penyamaan waktu pelaksanaan pemilu nasional dengan pemilu lokal menyebabkan kedaulatan pemilih masih terbatas (sekali dalam lima tahun) dan partai politik peserta pemilu tidak “takut” kepada konstituennya. Selain itu, dengan penyamaan waktu pelaksanaan tersebut, diharapkan koalisi yang berlangsung antar parpol peserta pemilu lebih bersifat ideologis bukan transaksional semata.28 Skema pemilu yang dihasilkan oleh amandemen I-IV UUD 1945 memberikan dampak yang amat besar bagi keberlangsungan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia. Terlihat dari proses Pemilu 1999 hingga 2004 sistem pemilu dalam pilpres di Indonesia mempunyai relasi yang dekat, tidak hanya dilihat sebagai basis kekuasaan dan legitimasi Bambang Widjajanto, Perubahan Konstitusi Setengah Hati, dalam Bambang Widjajanto, Saldi Isra dan Marwan Mas (Eds), Konstitusi Baru melalui Komisi Konstitusi Independen, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), hlm. 52. 26
Partnership, “Membangun Pemerintahan Presidensial yang Efektif Melalui Desain Sistem Pemilihan Umum”, Policy Paper No. /2011, hlm. 18. 27
28
Ibid., hlm. 13.
presiden tapi juga sebagai dasar yang lebih luas bagi konstituen dan bagaimana ini dapat menjadi daya tarik bagi pemilih, dan harapan mereka terhadap akuntabilitas dari “presidential institutions”. Bagaimana suatu sistem pemilihan didesain untuk mendorong dan mempromosikan dan bagaimana hal ini akan bekerja barangkali tidak terlepas dari sejumlah keterbatasan yang harus diatasi. Contohnya adalah keterbatasan sistem pemilu dalam hal membantu menciptakan relasi yang kuat antara wakil terpilih dengan para pemilih yang mereka wakili. Secara konseptual sistem untuk memilih kepala eksekutif terletak di dua kategori yang luas: pemilu langsung dan pemilu tidak langsung melalui suatu badan perwakilan dari elektorat. Pemilu langsung seringkali dipercaya untuk mendorong kandidat mencari dukungan dari konstituen yang lebih luas dan mempromosikan keterlibatan konstituen dengan akuntabilitas publik dari pemimpin terpilih mereka, sementara pemilu tidak langsung termasuk contohnya pilpres oleh suatu badan perwakilan, majelis pemilihan, atau institusi lain yang keanggotaannya bisa berasal dari pemilihan atau penunjukan. 29 Pendukung sistem pemilu langsung dan tidak langsung mempunyai dasar argument yang valid di samping kritik pada masing-masing sistem, keduanya juga menghadapi resiko yang serupa, dan tidak ada yang sama sekali aman dari resiko dengan berlakunya masing-masing sistem. Setiap pemerintahan yang terbentuk dari masing-masing sistem pemilu mempunyai kecenderungan klaim legitimasi yang berdasarkan pada sistem pemilihan. Hal ini tidak berarti bahwa pemilihan tidak langsung atau sistem campuran adalah sistem yang derajat keabsahannya lebih rendah, itu adalah salah satu pilihan untuk memastikan representasi yang adil dari berbagai konstituen dengan beragam dan aspirasi yang mungkin saling tumpang tindih. Dari sudut pandang representasi, pemilihan langsung lebih mungkin untuk memberikan kesempatan pemilihan bebas dan adil dari beberapa pilihan: yang mereka lihat sebagai kandidat yang paling Contohnya adalah di Yunani, Botswana, Guyana, Suriname, Micronesia, Kiribati, China, Vietnam, sebelum 2004 di Indonesia. 29
Pemilu dan Relasi Eksekutif dan Legislatif | Nina Andriana | 111
cocok untuk mewakili dan menyalurkan aspirasi mereka ke pemerintah, yang menawarkan pilihan yang berbeda dari partai-partai politik yang mereka pilih untuk pemilihan parlemen. Apakah itu akan menjadi aspirasi berdasarkan pada setting atau konteks demokrasi yang mencerminkan pluralisme dan keberagaman, perkembangan politik dan sosial etnis, agenda regional, kesetaraan gender, hak-hak kelompok minoritas dan representasi, setiap pemilih akan dapat memutuskan pilihan mereka terhadap pemimpin pemerintahan berdasarkan preferensi dan prioritas masalah mereka sendiri. Mungkin akan penting menekankan apa keterbatasan desain sistem pemilu yang mempengaruhi politik pemilihan, dan demokrasi itu sendiri. Sistem pemilu sendiri merupakan proses administrasi rekrutmen politik , karena itu tidak dapat diharapkan langsung akan membawa perubahan yang diharapkan dari sebuah kepemimpinan: pemimpin dan konstituen lah yang mampu mempengaruhi perubahan tersebut. Sistem pemilu merupakan alat utama dari proses formal demokrasi perwakilan, namun seperti dalam proses di sistem apapun, sistem pemilihan umum juga harus didukung sepenuhnya oleh representasi (demokrasi) atau ‘ demos ‘ itu sendiri. 2. Pelembagaan Partai Politik dan Model Koalisi dalam Skema Sistem Pemilu Presidensial Kontemporer Skema pemilu yang telah disepakati lewat amandemen I-IV mestinya didukung dengan pelembagaan parpol dan model koalisi yang pada akhirnya dapat menghasilkan sistem pemerintahan yang efisien dan efektif dalam skema presidensial. Pelembagaan Partai Politik Persoalan lain yang juga relevan adalah pelembagaan partai. Berbagai makna pelembagaan partai politik telah disampaikan oleh berbagai kalangan dengan berbagai pespektif dan dimensinya. Karya Maurice Duverger 30 dianggap sebagai salah satu pelopor terhadap kajian pelembagaan ini. Dari beragai definisi, Maurice Duverger, Political Parties: Their Organization and Activity in the Modern State, (London: Methuen, 1964). 30
pengertian ataupun aspek-aspek pelembagaan, setidaknya pelembagaan adalah keadaan partai yang ditandai oleh tiga kondisi.31 Pertama adalah aspek internal yang ditandai oleh sebuah situasi di mana partai mampu mempertahankan derajat kesisteman dengan memadai, yakni sanggup menjalankan konstitusi dan aturan main partai secara konsisten. Segenap kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh partai merupakan hasil kesepakatan yang tegak di atas rambu-rambu partai. Berbagai fungsi dan kewenangan serta aktivitas dijalankan sesuai dengan prosedur dan cita-cita awal yang telah ditetapkan. Peran figur atau kekuatan dominan yang ada di dalam partai tidak dapat melampaui aturan main partai tersebut. Lebih dari itu, partai menjadi media yang menempa disiplin dan ketangguhan prosedural. Kader-kader partai akan dilatih dan ditempa untuk menempatkan aturan main dan konstitusi partai di atas segala-galanya. Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh partai adalah produk kolektif –dan bukan elitis— yang disetujui oleh mayoritas kader dan ditopang secara kokoh oleh aturan main. Secara umum, kebijakan-kebjakan partai, dengan demikian, ditetapkan dengan semangat konstitusionalisme yang tinggi, yang akhirnya Robert Michels, Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy, (New York: The Free Press, 1966); Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Society, (New Haven: Yale University Press, 1968); Angelo Panebianco, Political Parties: Organization and Power, (Cambridge: Cambridge University Press, 1988); Vicky Randall and Lars Svasand, “Party Institutionalization in New Democracies”, Party Politics, Vol. 8 January/1/2002; Mathias Basedau dan Alexander Stroh, “Measuring Party Institutionalization in Developing Countries: A New Research Instrument Applied to 28 African Political Parties”, GIGA Working Papers, (Hamburg: GIGA Research Program, 2008); Mose Maor, Political Parties and Party Systems, Comparative Approaches and The British Experience, (London: Routledge, 1997); Muchlis, E. (Ed.), Reformasi Kelembagaan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2007); Firman Noor. Institutionalizing Islamic Political Parties in Indonesia: A Study of Internal Fragmentation and Cohesion in the Post-Soeharto Era (1998-2008), Doctoral Thesis, (Exeter: University of Exeter, 2012; Smita Notosusanto, “Analisa AD/ ART Partai Politik”, http://forum-politisi.org/downloads/ Analisa_AD_ART_Parpol_-_Smita.pdf, 2006; Lili Romli (Ed.), Pelembagaan Partai Politik Pasca-Orde Baru: Studi Kasus Partai Golkar, PKB, PBB, PBR dan PDS, (Jakarta: Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2008); Philip Selznick, Leadership in Administration. A Sociological Interpretation, (New York: Row, Peterson and Company, 1957); Ramlan Surbakti, “Tingkat Pelembagaan Partai Politik”, Kompas, 6 January 2003. 31
112 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 101–128
berpotensi besar meminimalkan semangat elitisme dalam nuansa oligarki. Produk-produk kebijakan, termasuk yang terkait dengan strategi politik, dalam nuansa pelembagaan ini, akan melalui proses yang penuh pertimbangan dan rasionalitas yang matang karena melibatkan lebih banyak elemen-elemen partai. Tidak itu saja, sebagai konsekuensinya, kebijakan partai pada akhirnya juga akan mendapat sokongan yang solid dan meluas dari seluruh elemen partai. Sehubungan dengan aspek internal ini, kaderisasi menjadi sebuah hal yang penting di dalamnya. Dalam sebuah partai yang terlembaga, kaderisasi dijalankan sesuai dengan prosedur yang telah disepakati dan berlangsung secara kontinum. Kaderisasi tidak menjadi suatu kegiatan yang dapat dikompromikan dan berlangsung secara serampangan. Pada sebuah partai yang terlembaga, kaderisasi memainkan peran yang strategis yakni, menjadi patokan dalam melakukan rekrutmen jabatan dalam partai maupun jabatan publik dan menjadi ajang internalisasi atas ideologi, visi dan norma-norma yang dianut dan dijunjung oleh partai. Dalam sebuah partai yang terlembaga, dengan demikian, ada sebuah keseragaman cara berfikir, bertingkah laku dan kecenderungan politik yang dianut oleh seluruh kader partai. Dalam nuansa sedemikian, maka pola strategi politik, termasuk koalisi, yang dikembangkan oleh kader-kader partai akan mengalami sebuah kontinuitas atau pemolaan, di mana ideologi, visi dan norma partai akan menjadi panduannya. Dalam kecenderungan ini, tentu saja pada gilirannya, sebuah koalisi yang dibentuk oleh semangat oportunistik akan ditinggalkan. Kedua, aspek eksternal yang terkait dengan situasi dimana partai memiliki independensi dan keadaptasian yang tinggi.32 Makna independensi adalah bahwa partai tidak mudah diintervensi oleh kepentingan atau agenda asing dari manapun, terutama dalam soal pengelolaan kepengurusan dan kebijakannya. Sedangkan dalam makna keadaptasian adalah partai mampu beradaptasi dengan situasi lingkungan politiknya dengan memadai, sehingga setidaknya bukan merupakan sebuah lembaga yang tumbuh untuk Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Society, (New Haven: Yale University Press, 1968). 32
kemudian tenggelam tanpa makna. Partai mampu memberikan kontribusi positif seiring dengan usianya. Dengan kata lain, partai mampu terus eksis dengan memadai dan memberikan pengaruh terhadap masyarakat dan negara. Terkait dengan independensi, maka partai yang terlembaga akan mampu melindungi dirinya dari segenap intervensi yang dapat mempengaruhi dalam menentukan kehidupan organisasi partai ataupun pilihan kebijakan. Dalam situasi seperti ini, segenap hubungan yang terbangun dengan berbagai tokoh, institusi atau organisasi –baik yang mewakili penguasa (state), ormas-ormas pendukung (civil society) atau penyandang dana (economic society)– tidak menyebabkan partai menjadi alat kepentingan mereka. Partai dapat saja mempertimbangkan masukan atau saran yang dianggap baik dari berbagai pihak, namun keputusan apakah itu kemudian menjadi kebijakan partai sepenuh menjadi hak partai dan harus melalui proses yang telah ditetapkan. Sebaliknya partai yang tidak terlembaga cenderung ringkih dari pengaruh atau intervensi kepentingan pihak-pihak di luar partai. Tidak jarang mereka justru dimanfaatkan atau dikendalikan (terkooptasi) oleh pihak-pihak tersebut di atas. Ketiga, aspek substansial atau kejatidirian, di mana partai mampu menumbuhkan rasa ketergantungan kader terhadap partainya beredasarkan ideologi atau nilai-nilai yang diyakini bersama.33 Dengan memiliki karakteristik di atas, partai akan lebih sekadar menjadi sebuah mesin pencari kekuasaan (power-seeking machinery). Partai bukan pula sebuah expandable tool atau alat yang dapat dipertukarkan dengan mudah. Sebaliknya partai menjadi sesuatu yang tidak tergantikan oleh para pendukungnya. Sehubungan dengan keyakinan atau ideologi yang dianutnya, partai menjelma menjadi sebuah kumpulan ideologis yang menyebabkan pula adanya rasa ketergantungan secara emosi ataupun rasional antara kader dengan partainya. Partai yang terlembaga, dengan demikian, akan menjelmakan diri menjadi apa yang James W. McGuire, Peronism without Peron. Unions, Parties and Democracy in Argentina, (Stanford: Stanford University Press, 1997), hlm. 8. Philip Selznick, Leadership in Administration: A Sociological Interpretation, (New York: Row, Peterson and Company, 1957), hlm. 17. 33
Pemilu dan Relasi Eksekutif dan Legislatif | Nina Andriana | 113
disebut oleh Selznick sebagai “the ’receptacle’ of group idealism” (wadah dari berkumpulnya orang-orang dengan keyakinan yang sama atau).34 Partai menjadi media pengejawantahan ideologi, di mana segenap kebijakan maupun strategi atau perhitungan politik harus memiliki kaitan dengan ideologi yang diyakini. Kerja-kerja ideologis menjadi sebuah kebiasaan, dengan target utama mewujudkan kepentingan idealisme dan bukan kepentingan individual. Elite hanya merupakan mereka yang paling utama karena pemahaman dan kinerja, yang ditunjuk sebagai mata rantai kepentingan kolektif yang terpenting. Elite bekerja atas dasar kepentingan ideologis dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan merupakan hasil penafsiran ideologi yang diabdikan sebagai bagian dari upaya mewujudkan kepentingan ideologi yang lebih besar. Koalisi dalam Sistem Presidensial Dalam sistem presidensial, persoalan koalisi pemerintah dengan dukungan kekuatan minoritas dapat saja tidak berdampak pada jatuhnya pemerintahan. Dalam sistem ini, mungkin saja seorang presiden didukung oleh koalisi yang merupakan gabungan partai minoritas di parlemen. Bagi sebagian kalangan, potensi masalah yang utama dalam sistem presidensial adalah terciptanya deadlock berkepanjangan antara pihak eksekutif dengan legislatif. Hal ini karena kedua lembaga itu berdiri secara terpisah dan memiliki legitimasi langsung dari rakyat, yang memungkinkan keduanya merasa sah untuk memprioritaskan apa yang dianggapnya sebagai aspirasi rakyat. Kekhawatiran atas kelemahan mendasar ini telah disampaikan, misalnya, oleh Linz dengan mengambil contoh pemerintahan presidensial di Amerikan Latin.35 Sejalan dengan pandangan Linz, beberapa kalangan kemudian menilai bahwa kombinasi antara sistem multipartai dengan presidensial adalah kombinasi yang tidak menguntungkan. Hal ini karena dampak yang kerap dihasilkan dari kombinasi tersebut adalah pemerintahan tanpa kompromi yang dapat mengabaikan 34
Selznick, ibid., hlm. 22.
Juan Linz, “The Perils of Presidensialism”, Journal of Democracy 1: 51-69, 1990. 35
masukan parlemen atau sebuah pemerintahan demokrasi yang tidak efektif, di mana masingmasing cabang trias politica bersikap saling meniadakan (zero sum game). Dalam stuasi ini, koalisi pendukung presiden yang terbentuk akan tidak banyak bermanfaat, karena pada akhirnya akan berujung pada dua hal yakni menopang sebuah pemerintahan oligarkis atau mengalami ketidakberdayaan (disfunctional) untuk dapat menghidari tekanan legislatif.36 Namun demikian, belakangan kekhawatiran Linz dan beberapa ahli politik itu dijawab oleh Cheibub. 37 Dari penelitiannya di sejumlah negara pengguna sistem presidensial di pelbagai belahan dunia, Cheibub membuktikan bahwa deadlock merupakan sebuah fenomena yang mungkin, namun dalam prakteknya justru amat jarang terjadi. Pemerintahan dengan dukungan minoritas dalam parlemen kenyataannya banyak yang mampu bertahan (survive) dan menjalankan pemerintahan dengan baik. Sikap kompromi justru lebih menggejala ketimbang saling memaksakan diri. Akibatnya, Cheibub melihat tidak ada korelasi yang kuat antara presidensialisme, multipartai dan koalisi pemerintahan yang pasti menemui kegagalan. Cheibub bahkan berkeyakinan bahwa situasi dalam sistem presidensial, terkait dengan masalah koalisi, sesungguhnya tidaklah jauh berbeda dengan sistem parlementer, di mana keduanya memiliki potensi yang sama untuk berhasil ataupun gagal. Penelitian Cheibub ini merupakan angin segar bagi negara-negara penganut sistem presidensial dengan mutli-partai, termasuk Indonesia. Untuk itu sebetulnya kekhawatiran bahwa deadlock dengan sendirinya akan terjadi pada pemerintahan presidensial yang didukung oleh kekuatan minoritas di parlemen, tidak perlu dirisaukan. Justru kajian Cheibub seharusnya mendorong sebuah koalisi yang ramping namun efektif dan aspiratif. Scott Mainwarring, “Presidentialism, Multipartism and Democracy: The Difficult Combination”, Comparative Political Studies, 26 (2): 198-228, 1993. Masalah klasik sistem presidensial ini telah di kaji oleh beberapa kalangan, termasuk misalnya oleh beberapa sarjana dalam Scott Mainwarring and Timothy R. S. (Eds.). Building Democratic Institutions: Party Systems in Latin America, (Stanford: Stanford University Press, 1995). 36
Jose A Cheibub, Presidentialism, Parliamentarism and Democracy, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007). 37
114 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 101–128
Persoalan lain yang juga tidak dapat diabaikan saat menelaah eksistensi koalisi dalam sistem presidensial adalah waktu pembentukan koalisi, yakni apakah sebelum pemilu presiden dilakukan atau sesudahnya. Persoalan ini terutama sekali terkait dengan soal membangun kesamaan visi dan komiten di antara sesama peserta koalisi. Dalam prakteknya, setidaknya dalam kasus Indonesia, koalisi yang dibangun setelah Pileg (dengan gambaran konstelasi politik di parlemen sebagai hasilnya) atau setelah Pilpres berlangsung cenderung menumbuhkan praktek dagang sapi yang berefek merugikan bagi tumbuhnya pemerintahan yang solid dan berkomitmen tinggi. Terlepas dari persoalan teoritis bahwa konsep koalisi lazimnya merupakan skema sistem demokrasi parlementer, paling kurang ada empat faktor problematik di balik desain koalisi yang dibentuk pada pemerintahan dua periode Presiden Yudhoyono, yakni problematik basis koalisi, sifat kesepakatan dan kontrak politik, cakupan materi kesepakatan, dan problematik mekanisme internal koalisi. Pertama, problematik basis koalisi. Sudah menjadi pengetahuan umum koalisi politik pendukung pemerintah yang dibentuk oleh Presiden Yudhoyono lebih berbasiskan kepentingan mengamankan kelangsungan pemerintahan hasil pemilu ketimbang faktor kesamaan ideologi dan haluan politik tentang arah reformasi dan penataan bangsa ke depan dari parpol-parpol yang tergabung di dalamnya. Sebagai kompensasi dukungan politik parpol terhadap pemerintah, Presiden Yudhoyono membagikan kursi menteri kabinet kepada parpol pendukung secara proporsional, yakni sesuai perolehan suara setiap parpol dalam pemilu legislatif. Skema basis koalisi seperti ini dibangun Presiden Yudhoyono, baik ketika membentuk KIB I (2004-2009) maupun KIB II (2009-2014), sehingga hampir sekitar separoh anggota KIB I berasal dari parpol dan meningkat menjadi lebih dari separoh pada KIB II. Konsekuensi logis dari skema koalisi berbasis kepentingan jangka pendek seperti ini adalah lemahnya ikatan dan soliditas koalisi, sehingga dukungan parpol terhadap pemerintah acapkali ditentukan oleh ”mood politik” para
politisi parpol anggota koalisi, apakah tengah kecewa dengan Presiden atau sebaliknya sedang berbulan madu dengan Yudhoyono. Tak mengherankan jika Golkar dan PKS misalnya, seolah-olah tak memiliki beban untuk sewaktuwaktu berbeda sikap politik dengan parpol koalisi lainnya, PD, PAN, PPP dan PKB, seperti tampak dalam penggunaan hak angket dalam skandal Bank Century dan upaya pengusulan hak angket pajak yang akhirnya kandas di DPR. Implikasi lain dari koalisi yang bersifat pragmatis seperti ini adalah tidak munculnya kompetisi antarpartai di parlemen, sehingga tidak tampak perjuangan ideologis parpol dalam mempengaruhi, mengubah, ataupun membentuk kebijakan. Kedua, problematik sifat kesepakatan dan kontrak politik. Seperti dilansir berbagai media, koalisi yang dibentuk oleh Presiden Yudhoyono didasarkan pada sejumlah kesepakatan politik yang ditandatangani oleh pimpinan parpol anggota koalisi. Selain kesepakatan pada tingkat pimpinan parpol tersebut, Yudhoyono juga mengikat para menteri dari parpol anggota koalisi dengan kontrak politik yang bersifat individual selain dokumen pakta integritas yang harus ditandatangani sebagaimana lazimnya kewajiban yang dibebankan bagi setiap pejabat publik. Problem mendasar dari sifat kesepakatan politik tersebut adalah bahwa komitmen koalisi lebih merupakan keputusan personal pimpinan parpol di tingkat pusat ketimbang suatu komitmen parpol secara institusi yang disosialisasikan dan dilembagakan secara internal parpol masingmasing. Di sisi lain, kontrak politik yang bersifat individual antara Yudhoyono dan para menteri dari parpol pada dasarnya tidak bisa mengikat parpol secara institusi, karena sesuai UUD 1945 hasil amandemen, otoritas pengangkatan dan pemberhentian para menteri kabinet sepenuhnya berada di tangan Presiden. Realitas ini tak hanya membatasi ruang gerak parpol dalam mengontrol kader parpol dalam kabinet, melainkan juga tidak bisa memberi garansi apa pun bagi Presiden Yudhoyono untuk mengontrol sikap politik parpol di DPR. Ketiga, problematik cakupan materi kesepakatan koalisi. Apa saja cakupan atau ruang lingkup materi yang disepakati oleh parpol koalisi
Pemilu dan Relasi Eksekutif dan Legislatif | Nina Andriana | 115
pendukung Presiden Yudhoyono sebenarnya tak pernah jelas bagi publik. Masyarakat hanya menduga-duga cakupan materi kesepakatan tanpa memperoleh konfirmasi yang jelas, baik dari Presiden Yudhoyono maupun parpol anggota koalisi, mengenai isi kesepakatan yang telah ditandatangani oleh pimpinan parpol koalisi pada 15 Oktober 2009 yang lalu. Secara umum publik hanya tahu bahwa parpol koalisi bersepakat mendukung dan mempertahankan pemerintahan Yudhoyono hingga Pemilu 2014 dengan kompensasi pembagian kursi menteri sesuai dengan proporsi kekuatan parpol di DPR. Keempat, problematik mekanisme internal koalisi. Meskipun Presiden Yudhoyono menata ulang format koalisi pasca-Skandal Century dengan membentuk Setgab, menarik bahwa parpol anggota koalisi lebih suka memperdebatkan persoalan koalisi secara publik melalui media ketimbang mendiskusikannya secara internal melalui forum rapat Setgab. Sejatinya Setgab diciptakan sebagai forum pendahuluan bagi parpol koalisi untuk menyepakati atau tidak menyepakati suatu isu kebijakan strategis tertentu sebelum rapat-rapat formal DPR, tetapi dalam realitasnya para politisi parpol anggota koalisi lebih sering memperdebatkan isu-isu kebijakan secara publik melalui media ketimbang mendiskusikannya dalam rapat-rapat internal Setgab. Akibatnya, berbagai perbedaan pendapat dan sikap politik parpol koalisi menjadi santapan seksi bagi kalangan media, sehingga polemik antarpolitisi parpol koalisi seringkali berkembang menjadi ”debat kusir” yang tidak bermanfaat, menyita energi, dan belum tentu bermanfaat bagi kepentingan bangsa. Dari uraian di atas tampak bahwa di luar faktor kerancuan koalisi seperti dikemukakan di atas, paling kurang ada dua faktor utama lain yang menyebabkan terbangunnya format koalisi semu dan cenderung oportunistik seperti itu. Pertama, skema pemilu yang didahului oleh pemilu legislatif, sehingga proses pemilu presiden yang berdampak pada pembentukan koalisi pengusung capres-cawapres yang “didikte” oleh hasil pemilu legislatif. Kedua, rendahnya kualitas pelembagaan parpol dan sistem kepartaian dalam rangka memperkuat skema presidensialisme. Termasuk di dalamnya, minimnya komitmen
parpol dalam melembagakan demokrasi presidensial yang efektif, rendahnya komitmen bekerjasama dalam koalisi, masih mengentalnya oligarki pimpinan parpol, dan melembaga serta tumbuh-suburnya oportunisme para elite atau petinggi parpol. 3. Urgensi Checks And Balances dalam Sistem Perwakilan dalam Konteks Sistem Presidensial Inkonsistensi pelembagaan demokrasi presidensial tidak hanya tampak dalam skema pemilu dan juga format Pilpres yang terpenjara hasil Pileg, melainkan juga terlihat dalam desain sistem perwakilan dan atau keparlemenen yang cenderung rancu, dalam arti apakah bersifat monocameral, bicameral, atau bahkan tricameral. Dampak dari konstruksi sistem perwakilan yang cenderung tidak jelas dan rancu itu adalah tidak melembaganya sistem checks and balances yang diperlukan dalam konteks skema sistem presidensial. Oleh karena itu, penataan kembali sistem perwakilan dan atau keparlemenan perlu lebih jelas arahnya, yakni menuju kebutuhan sistem perwakilan dua-kamar yang memungkinkan terbangunnya sistem checks and balances eksekutif-legislatif secara lebih “clear”. Perubahan UUD 1945 menegaskan adanya keseimbangan dan kesejajaran antara lembagalembaga tinggi negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Reformasi konstitusi juga menghasilkan perubahan yang cukup mendasar dalam sistem ketatanegaraan kita yaitu dengan pengaturan kembali lembaga-lembaga yang mengemban amanat konstitusi termasuk pembentukan lembaga-lembaga konstitusional baru.38 Dalam sejarah ketatanegaraan RI, lembaga-lembaga negara yang memegang ketiga kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif) pernah disebut sebagai lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara, yaitu ketika diatur dalam Ketetapan MPR RI No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara Dengan/Atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara. Dalam TAP MPR tersebut, Presiden, DPR, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Dewan Pertimbangan Presiden (DPA) disebut dengan lembaga tinggi negara. Ada satu lembaga tertinggi negara, yaitu MPR. Setelah mengalami amandemen UUD 1945, istilah tersebut tidak dikenal lagi. Indonesia hanya mengenal lembaga negara, baik lembaga negara yang bersifat utama (main state organ, seperti Presiden, DPR, dan MA), maupun lembaga negara tambahan atau pendukung (auxiliary state organ, seperti 38
116 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 101–128
Setelah amandemen UUD 1945 sistem yang digunakan dalam hubungan antar lembaga negara adalah pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances. Dalam sistem checks and balances lembaga-lembaga negara ini diakui sederajat atau setara.39 Tidak ada lembaga negara yang sifatnya superior sebagaimana kedudukan MPR dulu. Lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA dan MK memiliki kedudukan yang sederajat, tidak ada yang berkedudukan lebih tinggi dari yang lain. Namun, pada prinsipnya lembaga-lembaga negara saling mengawasi dan mengendalikan satu sama lain. Inilah inti ajaran checks and balances. Dalam pandangan Pabottingi (2001) perubahan konstitusional tersebut merupakan bentuk terjemahan rasionalitas politik tertinggi.40 Namun, penerjemahan rasionalitas politik di tataran perubahan konstitusional saja tidak akan cukup bila tidak disertai dengan perubahan lembaga-lembaga pemerintahan.41 Perubahan konstitusi dan UU selama era reformasi dilakukan dengan harapan bahwa kepentingan-kepentingan politik sempit dan
DPD, Komisi Yudisial, BPK). Ciri yang menonjol dari praktek ketatanegaraan pada saat itu adalah kuatnya eksekutif atau dominasi eksekutif (executive heavy), baik dalam hubungannya dengan lembaga legislatif, maupun dengan lembaga yudikatif. Lembaga negara yang kedudukan dan kewenangannya setara menurut UUD 1945 adalah (1) Presiden dan Wakil Presiden, (2) DPR, (3) DPD, (4). MPR, (5) BPK, (6) MA, (7) KY, (8) MK. 39
Dalam tataran teoretis, rasionalitas politik diartikan sebagai sebuah cara pandang atau metode berpikir tentang pemerintahan yang tujuannya untuk menciptakan keamanan politik dan kemakmuran bagi negara. Rasionalitas politik adalah sebuah “pemikiran” yang berasumsi bahwa “pemikiran” memainkan peranan penting dalam struktur dan evaluasi kekuasaan di masyarakat modern. Ilmuwan politik seperti Focoults, misalnya, menyebut rasionalitas politik sebagai “governmentality”. Rasionalitas politik mengarahkan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah dan menyediakan bahasa yang sama antar alat kelengkapan pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan. Rasionalitas politik memiliki definisi yang lebih luas dibandingkan dengan doktrin politik atau filosofi politik karena pemerintahan adalah sesuatu yang kompleks dan oleh karenanya penggunaan doktrin atau filosofi semata dianggap tidak cukup. Sebaliknya, rasionalitas politik dipandang sebagai sebuah kesatuan political expendiency, kebijakan, respon terhadap opini publik, doktrin ekonomi dan pengakuan terhadap hak asasi manusia. Lihat Mochtar Pabottinggi, Lima Palang Demokrasi, Satu Solusi: Otosentrisitas dan Rasionalitas dari Sisi Historis Politik Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar “Indonesia Menapak Abad Ke-21” yang diselenggarakan LIPI, 2001. 40
41
individualistik serta bervisi pendek dapat diminimalkan. Salah satu contoh dari perubahan itu adalah dihidupkannya kembali mekanisme checks and balances antara eksekutif dan legislatif. Mekanisme ini diharapkan dapat mengurangi segi destruktif yang mungkin muncul dari sistem tatanan baru sehingga benturan kepentingan antara eksekutif dan legislatif dapat diminimalkan dan tidak destruktif. Dengan demikian, diharapkan akan terjadi rasionalitas politik di Indonesia di mana eksekutif dan legislatif dapat bersinergi untuk menciptakan demokrasi. Dalam konteks demokratisasi, check and balance secara teoretis mengarah pada terciptanya demokrasi yang sehat. Indikasinya, antara lain, yaitu adanya dinamika politik yang berproses secara simultan. Di satu sisi di internal badan legislatif mekanisme checks and balances dilaksanakan secara efektif, di sisi lain tugas pokok fungsi parlemen juga dilakukan maksimal. Proses yang berlangsung simultan tersebut membuat DPR dan DPD memiliki kesetaraan dalam menjalankan tugasnya, baik sebagai pengawas kebijakan pemerintah maupun dalam melaksanakan fungsi legislasi. Tabel 1. menunjukkan pola relasi antara DPR dan DPD. Terciptanya pola-pola hubungan sebagaimana digambarkan dalam tabel tersebut dapat memengaruhi posisi DPR dan DPD sebagai lembaga legislatif. Posisi kedua lembaga yang tidak setara tersebut akan berpengaruh pula terhadap pola relasi legislatif dan eksekutif. Hal ini karena pola relasi yang terbangun akan memunculkan format baru hubungan antara DPR, Presiden dan DPD. Partai politik dan perseorangan adalah sarana sekaligus elemen utama dalam pembentukan legislatif. Terbentuknya konfigurasi baru antara DPR dan DPD dalam legislatif dan latar belakang eksekutif berpengaruh terhadap pola hubungan eksekutif dan legislatif. Dengan konfigurasi kekuatan baru tersebut, eksekutif bisa memainkan perimbangan kekuatan antara DPR dan DPD, yang sebelumnya didominasi oleh DPR saja. Meskipun pola relasi antara ketiga lembaga tinggi negara ini dinamis dan tak tertutup kemungkinan terjadinya deadlock, sekurang-kurangnya ketiganya bisa
Ibid.
Pemilu dan Relasi Eksekutif dan Legislatif | Nina Andriana | 117
saling berperan setara dan tak ada yang digdaya seperti gambaran yang terjadi selama ini. Uraian di atas menegaskan bahwa tegaknya sistem checks and balances dimaksudkan sebagai upaya untuk mengelola kekuasaan negara agar digunakan untuk kepentingan negara. Adalah jelas bahwa penggunaan sistem checks and balances dalam kerangka negara demokrasi ditujukan untuk mengatur penggunaan kekuasaan. Dalam hal ini, kekuasaan negara diserahkan pada tiga lembaga yang berbeda yang masing-masing memiliki kewajiban dan tanggung jawabnya sendiri. Kekuasaan suatu lembaga dibatasi oleh kekuatan lembaga yang lain. Oleh karena itu, makna tanggung jawab dari satu lembaga negara berarti bersedia dan mau dikontrol oleh lembaga lainnya. Keberhasilan mekanisme kontrol ini akan menciptakan akuntabilitas lembaga negara secara keseluruhan karena penggunaan kekuasaan berjalan sebagaimana mestinya.42
Di tataran demokrasi, keberhasilan penciptaan akuntabilitas ini pada mulanya hanya sebatas pada tataran intra-government accountability. Pada tahap selanjutnya, akuntabilitas legislatif akan dipersepsikan dan diakui oleh masyartakat luas, yang notabene pemberi mandat. Akuntabilitas legislatif ini dapat dilihat dari kinerjanya dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran (budgeting) dan pengawasan. Tolok ukurnya, khususnya dapat dilihat dari produk legislasi (berapa banyak UU yang dihasilkan), kontribusinya dalam perencanaan anggaran, dan efektivitas pengawasan terhadap pemerintah sehingga kebijakan-kebijakan/ program-program pemerintah betul-betul sesuai dengan kebutuhan rakyat.
Tabel 1. Pola Relasi DPR-DPD DPR RI
Lemah
DPD RI Kuat
Lemah 1. Kolusi tersembunyi dan konflik tersembunyi. 2. Tidak efektif. 1. DPD memiliki kewenangan dalam pembahasan dan persetujuan yang relatif seimbang. 2. Legislasi terkait daerah cenderung mengedepan atau diutamakan.
Kuat Legislatif dikomando DPR. Legislasi usulan DPD diabaikan dan atau tidak diloloskan. 1. Saling mengimbangi dan saling mengawasi. RUU usulan DPD dipertimbangkan. 2. Proses legislasi dan pengawasan terhadap kinerja pemerintah dijalankan seimbang, meskipun tak tertutup kemungkinan munculnya kompetisi di antara DPR dan DPD untuk berebut peran.
1. 2.
Karl W. Deutch, Politics and Government: How People Decide Their Fate, (Boston: Houghton Miffin Company, 1970), hlm. 187. 42
118 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 101–128
Praktek Sistem Perwakilan yang Rancu Sebagai konsekuensi logis dipraktekkannya sistem dua kamar (DPR dan DPD), diperlukan nama bagi badan perwakilan yang mencerminkan dua unsur perwakilan ini. Sebagai contoh, di Amerika Serikat dikenal dengan nama Congress yang merepresentasikan nama badan perwakilan yang terdiri dari Senate dan House of Representatives. Di kerajaan Belanda wadah badan perwakilan tersebut dikenal dengan nama “Staten General” yang terdiri dari de Earste Kamer (Perwakilan dari Daerah) dan De Tweede Kamer (Perwakilan Seluruh Rakyat). Sedangkan di Inggris badan perwakilan itu disebut Parliament yang terdiri dari House of Lords (Perwakilan Golongan) dan House of Commons (Perwakilan Seluruh Rakyat). Praktik sistem bikameral di beberapa negara tersebut menggambarkan kekhasan masing-masing negara dalam menjalankan sistem ini tanpa menimbulkan kerancuan wewenang yang dimilikinya sehingga memunculkan konflik kelembagaan di internal institusi legislatif.43 Tampaknya nama yang diinginkan untuk badan perwakilan dua kamar di Indonesia adalah tetap menggunakan nama “Majelis Permusyawaratan Rakyat” (MPR). Oleh karena itu, konsekuensinya MPR tidak lagi menjadi suatu lingkungan jabatan tersendiri yang mempunyai wewenang sendiri. Karena wewenang MPR yang baru sudah melekat pada wewenang DPR dan DPD. Akan tetapi kalau melihat ketentuan Pasal 2 (1) dan pasal 3 (1,2,3) UUD 1945 sebelum amandemen, hanya ada dua badan perwakilan tingkat pusat yang terpisah. Sekarang dengan hadirnya DPD, ada tiga badan perwakilan. Menurut Asshidiqie (2002), meskipun ada beberapa perubahan terhadap MPR, lembaga ini secara original mempunyai wewenangnya sendiri di luar wewenang DPR dan DPD. Oleh karena itu, menurutnya MPR masih tetap dapat mempertahankan namanya untuk menyebut nama rumah bagi parlemen yang terdiri dari dua kamar tersebut.44 Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 baru, (Yogyakarta: FH U I I Press, 2003), hlm. 54.
43
Jimly Asshidiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, (Jakarta: Pusat Studi HTN Fakultas Hukum UI, 2002), hlm. 162. 44
Sistem parlemen bikameral di Indonesia dikategorikan sebagai medium strength bicameralism dengan konstruksi asimetris dan incongruent. Asimetris dalam hal ini bisa dibaca bahwa DPD mempunyai kekuasaan yang subordinat dari kamar pertama (pasal 22D Konstitusi hasil amandemen). Disebut incongruent karena kamar pertama berbeda dengan kamar kedua. Kamar pertama merupakan perwakilan dari partai politik, sedangkan kamar kedua merupakan perwakilan teritorial untuk memilih DPD.45
Praktek sistem parlemen bikameral di Indonesia bisa dikategorikan sebagai sistem bikameral lunak (soft bicameral). Karena, dalam hal ini kamar kedua (DPD) hanya mempunyai hak untuk mengajukan rancangan undang-undang, tetapi tidak mempunyai hak untuk memveto atau menolak RUU tersebut. Kasus Indonesia menunjukkan kasus yang aneh. Lembaga perwakilan dirancang menjadi sistem bikameral (dua kamar), namun tidak mencerminkan sistem dua kamar dalam konsep perwakilan. MPR mempunyai anggota dan lingkungan wewenang sendiri, demikian pula DPD dan DPR. Pengaturan sistem semacam ini bukanlah sistem dua kamar, tetapi lebih mengarah pada sistem tiga kamar karena adanya perwakilan yang mandiri (DPR, DPD, MPR). Dengan jumlah keanggotaan, kewenangan dan kedudukan yang tidak setara antara DPR dan DPD, hal ini dapat dikatakan bahwa sistem yang dianut adalah sistem bikameral lunak atau (soft bicameral). Sebaliknya, bila kedudukan legislasi antara kedua lembaga tersebut setara disebut strong bicameral. Kerancuan sistem parlemen yang dipraktekkan di Indonesia Juga bisa dilihat dari UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3 yang cenderung ambigu. Di satu sisi hendak mempraktekkan sistem bikameral dengan ditopang oleh DPR dan DPD, sedangkan di sisi lain masih melanggengkan MPR sebagai lembaga yang permanen dengan kepemimpinan yang permanen pula. Hal tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa Indonesia masih gamang dengan reformasi sistem parlemen yang berlangsung di 45
Lijphart, 1999, op.cit.
Pemilu dan Relasi Eksekutif dan Legislatif | Nina Andriana | 119
era reformasi sekarang ini. Masalahnya adalah konsep atau desain ketatanegaraan seperti apa yang akan diaplikasikan sehingga format, arah dan tujuan yang ingin dicapai melalui amandemen konstitusi menjadi lebih jelas. Sebab, kegagalan dalam melakukan hal tersebut akan berdampak negatif terhadap efisiensi dan efektivitas parlemen dan memunculkan kerancuan sistem perwakilan di Indonesia. Masalah kerancuan posisi dan peran MPR tersebut dalam ketatanegaraan RI harus dibenahi dengan menekankan beberapa hal seperti, pertama, bagaimana membenahi rangkap jabatan permanen sebagai anggota DPR dan sekaligus anggota MPR, atau anggota DPD dan sekaligus anggota MPR. Kedua, sifat permanen MPR yang diperkuat dengan eksisnya sekretariat jenderal tersendiri karena MPR merupakan institusi ketiga dalam struktur parlemen, selain DPR dan DPD. Adalah jelas bahwa dalam sistem pemerintahan yang demokratis, diperlukan mekanisme checks and balances antara lembaga eksekutif dan legislatif. Sistem bikameral yang dianut sejak 2004 dinilai tepat. Namun, perlu ada penguatan fungsi dan peran DPD. Ini dimaksudkan agar MPR bisa berfungsi sebagai majelis nasional yang anggotanya berasal dari DPR dan DPD. Keberadaan model ini bisa memperkuat efektivitas sistem pemerintahan presidensial. Sebagai konsekuensinya pimpinan MPR tidak bersifat permanen tapi adhoc karena dibentuk untuk memimpin sidang gabungan antara DPR dan DPD. Untuk menjaga agar kedua lembaga tersebut relatif berimbang (balance), jabatan pimpinan MPR dipegang secara bergiliran antara pimpinan DPR dan pimpinan DPD dalam setiap masa sidang. Dalam kaitan ini, posisi MPR lebih sebagai joint session antara kedua lembaga tersebut untuk melaksanakan beberapa tugas utama seperti: (a) membahas dan mengubah UUD; (b) melantik presiden dan wakil presiden; (c) memberhentikan presiden dan wakil presiden sesuai pasal 7B UUD NRI 1945; (d) memilih presiden dan wakil presiden untuk menggantikan presiden dan wakil presiden yang berhalangan tetap; dan (d) mendengarkan pidato kenegaraan tahunan presiden pada setiap tanggal 16 Agustus,
termasuk penyampaian nota keuangan dan RAPBN. Untuk mengatasi isu efisiensi dan efektivitas kinerja parlemen dan mewujudkan sistem bikameral, perlu dilakukan penggabungan sekretariat jenderal MPR, DPR dan DPD. Selain itu, agar MPR bisa melaksanakan tugasnya dengan baik dalam amandemen konstitusi, lembaga ini perlu dibantu Komisi Konstitusi.
4. Relasi Eksekutif-Legislatif Salah satu hasil Amandemen UUD 1945 lainnya adalah perbaikan dalam format relasi hubungan Presiden-DPR. Dalam menata demokrasi di Indonesia, kita tentunya tidak dapat begitu saja menggunakan kerangka yang ada di negara Barat sepenuhnya. Dengan kata lain, demokrasi Indonesia tidak dapat dirajut melalui cara berpikir Barat. Sebagai contoh, meski sebagian besar negara demokrasi di dunia memilih menerapkan sistem parlementer, Indonesia, karena pengalaman penerapan demokrasi parlementer dengan sistem multipartai pada era 1940an-1950an yang marak dengan ketidakstabilan politik, tetap memilih untuk menggunakan sistem presidensial dengan multipartai. Dalam kasus di Indonesia, sistem presidensial lebih menghasilkan pemerintahan yang stabil ketimbang sistem parlementer. Format Relasi Hubungan Presiden-DPR Hasil Amandemen UUD 1945 Namun, berbekal pengalaman menerapkan sistem presidensial berbasis UUD 1945 asli yang melahirkan pemerintahan yang sarat eksekutif menjurus pada sistem otoriter pada era Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, tidaklah mengherankan jika para anggota DPR hasil Pemilu 1999 berupaya untuk mengubah UUD 1945 agar sesuai dengan format politik baru di era reformasi. Kesepakatan utama yang dipegang oleh para anggota MPR (DPR hasil Pemilu 1999 ditambah dengan utusan golongan non-ABRI, Utusan TNI/Polri, Utusan Daerah) ialah Negara Kesatuan tetap dipertahankan, Pembukaan UUD 1945 tidak diubah, perubahan pasal hanya bersifat adendum (tambahan pasal) dan bukan amandemen (perubahan menyeluruh). Namun, ternyata perubahan UUD 1945 dalam
120 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 101–128
tiga kali masa sidang bukanlah adendum melainkan amandemen yang kemudian dikenal sebagai Amandemen Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat. Format relasi yang tadinya hanya ingin membangun checks and balances antara eksekutif dan legislatif, ternyata malah membangun format baru relasi presiden-DPR yang sarat legislatif (legislative heavy). Formula di dalam UUD 1945 sendiri sesungguhnya mengandung kelemahan karena amendemen dilakukan oleh MPR RI sendiri tanpa mengikutsertakan Presiden dan juga rakyat melalui referendum. Seperti termaktub di dalam Pasal 37 UUD 1945, referendum dapat dilakukan oleh MPR jika Sidang Paripurna MPR dihadiri oleh paling sedikit dua pertiga anggota MPR dan disetujui oleh paling sedikit dua pertiga dari yang hadir tersebut. Formula bahwa hanya MPR yang dapat mengubah pasal-pasal di dalam konstitusi tanpa mengikutsertakan Presiden dan rakyat tetap ada di dalam Pasal 37 hasil referendum ke-empat, walaupun persyaratannya lebih dipermudah. 46 Ini berarti MPR yang sudah memberikan mandat kepada kelompok kerja untuk mengamandemen konstitusi tidak menggunakan Draf Amandemen Konstitusi yang sudah dipersiapkan kelompok kerja ini pada 1999-2000 yang antara lain membuat formula amandemen konstitusi yang harus disetujui tiga perempat anggota MPR dan dalam hal yang terkait dengan integrasi nasional Indonesia harus disetujui oleh sedikitnya lima puluh persen rakyat melalui referendum.47 Tidaklah Lihat Pasal 37 UUD 1945. Pada pasal 37 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 amandemen konstitusi juga tidak mengikutsertakan Presiden dan tidak juga memerlukan referendum. Pasal 37 UUDNRI 1945 hasil amandemen keempat hanya menyebutkan pada ayat (1) perubahan pasal diajukan oleh sekurang-kurangnya sepertiga anggota MPR; perubahan pasal diajukan secara tertulis, bagian pasal mana yang akan diubah berikut alasannya (ayat 2); untuk mengubah pasal-pasal tersebut harus melalui Sidang MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota MPR (ayat 3); putusan untuk mengubah harus disetujui oleh sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu dari selurih anggota MPR (ayat 4); Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan (ayat 5). 46
Lihat, Gary F. Bell, “Division of Powers between the Executive and Parliament: Comparative Perspectives”. Report of a conference on Continuing Dialogues towards Constitutional Reform in Indonesia International IDEA, (Jakarta: International IDEA, Oktober 2001), hlm. 75; TAP/ MPR-RI/IX/2000 tentang pemberian mandat kepada kelompok
mengherankan jika anggota MPR RI hasil Pemilu 1999 ditambah dengan mereka yang tidak dipilih melainkan diangkat yaitu Utusan Golongan (termasuk Fraksi TNI dan Polri) dan Utusan Daerah mengamandemen konstitusi atas dasar pertarungan kekuasaan di dalam MPR sendiri yang menginginkan ditambahnya kekuasaan legislatif dan dikuranginya kekuasaan presiden. Amandemen pertama yang disetujui MPR RI pada 19 Oktober 1999 terkait dengan pengurangan peran legislatif presiden untuk hanya mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk dibahas bersama DPR dan tidak lagi membahas RUU tersebut.48 Hasil pembahasan di DPR atas RUU yang sudah menjadi Undangundang memang memerlukan pengesahan Presiden. Amandemen pertama juga membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden selama lima tahun dan setelah itu hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.49 Pengurangan otoritas Presiden juga terjadi pada pengangkatan duta dan konsul dan dalam menerima penempatan duta negara lain yang harus memerhatikan pertimbangan DPR 50. Dalam bidang hukum kewenangan presiden juga dikurangi yaitu pemberian grasi dan rehabilitasi yang harus memerhatikan pertimbangan Mahkamah Agung51, sedangkan dalam memberikan amnesti dan abolisi perlu memerhatikan pertimbangan DPR52. Presiden juga harus mengikuti aturan UU dalam memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan53. Jika kewenangan presiden dikurang, sebaliknya kewenangan DPR semakin bertambah. Pasal 20 dan pasal 21 adalah penambahan atas hak legislasi DPR dalam pembuatan UU. Pasal kerja amandemen konstitusi yang dikeluarkan pada 18 Agustus 2000. Mengenai Draf Amandemen, lihat Materi Rancangan Perubahan Undang-Undang Dasar Hasil Badan Pekerja MPR Tahun 1999-2000 dalam Drs. Marsono, UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen, (Jakarta: Djambatan), hlm. 83. 48
Pasal 5 ayat (1)
49
Pasal 7.
50
Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3)
51
Pasal 14 ayat (1).
52
Pasal 14 ayat (2).
53
Pasal 15.
47
Pemilu dan Relasi Eksekutif dan Legislatif | Nina Andriana | 121
20A merupakan peningkatan fungsi-fungsi DPR dalam fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Pada Amandemen II peran legislasi Presiden juga dikurangi melalui pasal 20 ayat (5) UUD NRI 1945, yaitu apabila dalam 30 hari UU yang sudah dibahas di DPR tidak disahkan Presiden, UU tersebut secara otomatis berlaku. Ini berarti menghilangkan hak veto presiden atas UU hasil bahasan DPR seperti yang berlaku di Amerika Serikat. Amandemen II juga memberikan hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat bagi DPR. 54 Hak presiden untuk, dalam kegentingan yang memaksa, menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti UU juga dibatasi melalui Pasal 22A yaitu ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan UU diatur dengan UU. Satu sisi yang menarik, pada Amandemen III dan IV, MPR mengurangi kewenangannya sendiri yang dulu sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang menjalankan kedaulatan rakyat, kini kedaulatan rakyat dilaksanakan sesuai dengan UU (Pasal 2). MPR tidak lagi memiliki wewenang untuk membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara dan memilih presiden seperti masa lalu, melainkan hanya mengubah dan menetapkan UUD (Pasal 3 ayat (1)), melantik presiden dan wakil presiden berdasarkan hasil pemilihan umum dalam sidang paripurna MPR (ayat 2), memberhentikan presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya menurut UUD (ayat 3); memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di dalam Sidang Paripurna MPR; Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya; memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari; memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua 54
paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya, sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari. Pada Amandemen III ini terjadi suatu titik krusial yang menentukan perjalanan bangsa ke depan di mana Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR melainkan langsung oleh rakyat (Pasal 6A), dihilangkannya persyaratan Indonesia asli untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden (Pasal 6 ayat (1)) dan adanya pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 7). Satu sisi yang menarik, seorang presiden/wakil presiden juga dapat diberhentikan oleh MPR walaupun persyaratan untuk itu tidak mudah melainkan melalui proses yang panjang di DPR, Mahkamah Konstitusi dan MPR (Pasal 7A dan 7B dengan ayat-ayatnya). Pasal 8 juga memberikan aturan peralihan wewenang jika presiden mangkat atau diberhentikan, terdapat kekosongan wakil presiden, dan apabila presiden dan wakil presiden mangkat, berhenti atau diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam waktu yang bersamaan. Hal yang penting lainnya, dalam relasi Presiden-DPR, Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR (Pasal 7C). Amandemen III juga terkait dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Kekuasaan Kehakiman. Pada Bab VIIA Badan Pemeriksa Keuangan, Pasal 23E ayat (1) menyebutkan “untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.” BPK yang bebas dan mandiri itu untuk mengurangi atau meniadakan intervensi politik baik oleh Presiden maupun DPR dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara. Hasil pemeriksaannya harus diserahkan kepada DPR, DPRD dan DPD (ayat 2) dan ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/ atau badan sesuai dengan undang-undang (ayat 3). Pemilihan anggota BPK dilakukan oleh DPR dengan memerhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh presiden. Ini berarti Presiden
Pasal 20A ayat (2).
122 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 101–128
hanya mengesahkan hasil pilihan DPR yang sudah dipertimbangkan DPR tersebut.55 Pada kekuasaan kehakiman bukan hanya mengatur mengenai Mahkamah Agung semata (Pasal 24 dan Pasal 24A), melainkan juga Komisi Yudisial (Pasal 23B) dan Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C). Dibentuknya Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi adalah upaya agar keadilan di negeri ini dapat berjalan secara independen, tanpa kompromi atas dasar integritas para hakim agung dan hakim konstitusi. Pengaturan ini bukan saja untuk membangun sistem baru check and balances antara eksekutif dan yudikatif, melainkan juga sebagai wahana membangun sistem peradilan yang mampu menopang berjalannya demokrasi substansial di negeri ini. Melalui amandemen UUD 1945 menjadi UUD NRI 1945 kini terdapat 6 lembaga tinggi negara yaitu MPR, Presiden, DPR, DPD, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Praktik Relasi Presiden-DPR PascaAmandemen Konstitusi Pada format politik menurut UUD 1945 tampak jelas betapa para pendiri bangsa kita ingin membangun suatu sistem politik yang khas Indonesia dengan menempatkan MPR bagai lembaga tertinggi negara pemegang kedaulatan rakyat, pembentuk GBHN dan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Format ini berubah total setelah dilakukannya empat kali amandemen konstitusi atas UUD 1945 menjadi UUD NRI 1945 sejak 1999 sampai dengan 2002. Perubahan mendasar lainnya, jika pada UUD 1945 sistem presidensial amat syarat eksekutif, pada perubahan format baru tampak jelas betapa sistem politik amat syarat legislatif dan terjadinya checks and balances bukan hanya antara eksekutif dan legislatif, melainkan juga antara eksekutif dan yudikatif. Amandemen UUD 1945 dilakukan agar berjalannya sistem presidensial tidak lagi dimonopoli oleh seorang Presiden seperti pada era Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. DPR memiliki fungsi dan peran legislasi, keuangan, dan pengawasan yang lebih besar pada era reformasi dibandingkan dengan 55
Pasal 23F ayat (1).
format politik lama. Kekuasaan kehakiman presiden juga dikurangi dengan diperlukannya pertimbangan DPR dan Mahkamah Agung serta dibentuknya Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Hal penting lainnya, seorang presiden tidak memiliki hak untuk membekukan atau membubarkan parlemen seperti yang terjadi pada era demokrasi parlementer atau pun era presidensial sebelumnya. Hal lain yang penting, jika pada format lama MPR adalah lembaga tunggal yang berhak melakukan amandemen konstitusi seperti termaktub pada Pasal 37 UUD 1945, pada format yang baru, walaupun persyaratan untuk itu sudah mengalami perubahan, MPR tetap tidak memberikan ruang kepada presiden dan rakyat untuk ikut serta aktif dalam proses amandemen pasal-pasal dalam konstitusi negara. Seperti dikemukakan di atas, format sistem presidensial yang dipadu dengan sistem multipartai memang menimbulkan persoalan tersendiri dalam praktik relasi Presiden-DPR. Tidak seperti pada sistem parlementer di mana semua anggota kabinet adalah juga anggota DPR dan penentuan koalisi ditentukan setelah pemilu berlangsung, pada sistem presidensial anggota kabinet bukan anggota DPR. Penentuan koalisi juga dilakukan sebelum pemilu presiden dilakukan. Jika pada sistem parlementer baik partai maupun anggota DPR terikat pada aturan koalisi yang mengharuskan anggota koalisi (partai atau individu) wajib mendukung kebijakan apa pun yang dibuat pemerintahan koalisi, pada sistem presidensial anggota DPR tidak merasa memiliki kewajiban untuk mendukung kebijakan pemerintah karena yang berkoalisi adalah calon presiden dan partai-partai pembentuk koalisi, bukan antara semua anggota partai dengan capres. Tidaklah mengherankan jika pada sistem presidensial di Indonesia pun seringkali terjadi riak gelombang konflik antara presiden dan DPR, khususnya antara Presiden dan anggota partai koalisinya sendiri. Namun satu sisi yang menarik, berdasar atas pengalaman diberhentikannya Presiden Abdurahman Wahid oleh MPR pada Juli 2001, MPR dalam amandemen III membuat aturan melalui Pasal 7A dan terlebih lagi Pasal 7B yang mempersulit diberhentikannya seorang presiden
Pemilu dan Relasi Eksekutif dan Legislatif | Nina Andriana | 123
oleh MPR. Presiden Abdurahman Wahid terpilih menjadi presiden pada 1999 melalui Sidang Paripurna MPR dan belum dipilih langsung oleh rakyat. Ia didukung oleh kelompok Poros Tengah gabungan partai-partai Islam dan Golkar ditambah dengan Utusan Golongan dan Fraksi TNI/Polri. Adalah Poros Tengah plus pula yang kemudian menggulingkan Presiden Abdurahman Wahid karena terjadinya konflik yang amat tajam antara Presiden dan DPR mengenai berbagai soal dari soal kebijakan mengenai Papua, soal pemberhentian Panglima ABRI, Kisruh dalam penentuan jabatan Kapolri, dan juga dugaan bahwa presiden akan membubarkan parlemen.
TNI, Kapolri atau Gubernur Bank Indonesia agar tidak terjadi lagi penolakan lagi oleh DPR seperti kasus-kasus sebelumnya. Selain itu, ada beberapa orang calon duta besar RI yang hasil uji kelayakannya oleh DPR mengalami masa sulit akhirnya dilantik menjadi Dubes oleh Presiden SBY adalah contoh lain dari kekisruhan ini.
Format baru relasi Presiden-DPR yang syarat legislatif bukan hanya ditopang oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik 1945, melainkan juga oleh berbagai undang-undang yang mensyaratkan DPR untuk memberi pertimbangan dan/atau mengusulkan namanama pejabat negara yang akan dilantik oleh Presiden. Contohnya, calon-calon Panglima TNI, Kapolri, anggota Komnas HAM, Hakim Agung, Hakim Konstitusi, Gubernur Bank Indonesia, Duta Besar RI, Deputi Senior Bank Indonesia, Badan Pemeriksa Keuangan harus melalui uji kelayakan di DPR-RI. Ini menegaskan betapa peran eksekutif DPR semakin besar pada era reformasi ini. Dalam beberapa kasus ini menimbulkan konflik dengan Presiden, seperti yang terjadi pada penentuan Panglima TNI, Duta Besar RI, dan Gubernur Bank Indonesia. Kasus diajukannya Jenderal Ryamizard Ryacudu sebagai panglima TNI pengganti Jenderal Endiartono Sutanto pada era peralihan dari Presiden Megawati Soekarnoputri ke era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah contoh kekisruhan dalam penentuan jabatan Panglima TNI56. Kasus ditolaknya Agus Martowardoyo dan Raden Pardede sebagai calon gubernur Bank Indonesia usulan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono oleh DPR pada pertengahan Februari 2008 adalah contoh lain dari konflik antara Presiden dan DPR57. Tidaklah mengherankan jika pada kesempatan berikutnya Presiden SBY hanya mengajukan satu nama calon Panglima
Dalam hal proses legislasi di DPR-RI, konflik antara eksekutif dan legislatif biasanya terjadi pada proses pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU) sebelum RUU tersebut dibahas bersama antara Presiden dan DPR. Contoh kecil dari RUU yang dikembalikan DPR antara lain ialah RUU Rahasia Negara yang dianggap dapat memberangus demokrasi, penegakan HAM dan pemberdayaan masyarakat serta berpotensi mengancam penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel58. RUU Keamanan Negara dan RUU Komponen Cadangan yang diajukan oleh pemerintah ke DPR juga dikembalikan oleh DPR kepada pemerintah untuk diperbaiki. Namun, RUU Keamanan Negara sampai kini belum jelas karena belum dikembalikan pemerintah kepada DPR, sedangkan RUU Komponen Cadangan masih dalam taraf perbaikan di Kementerian Pertahanan. DPR juga pernah menolak meratifikasi perjanjian kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement) antara RI-Singapura yang sudah ditandatangani Presiden SBY dan PM Lee Sien Loong. Alasan DPR, DCA merugikan Indonesia dan tidak ada itikat baik Singapura untuk menerapkan Perjanjian Ekstradisi IndonesiaSingapura sebagai syarat penerapan DCA Indonesia-Singapura. Pemerintah akhirnya sepakat dengan DPR soal tersebut.
“Presiden tak Izinkan Ryamizard ke DPR,” Kompas, 5 November 2004. 56
57
“DPR Tolak Agus dan Pardede,” Kompas, 13 Maret 2008.
Adanya pertimbangan DPR dalam pengajuan calon Panglima TNI, Kapolri atau Gubernur Bank Indonesia pada awalnya ditujukan agar presiden tidak lagi menjadi penentu tunggal jabatan-jabatan penting tersebut. Namun, dalam praktiknya, politisasi di DPR-RI menjadi penyebab dari pencalonan tunggal oleh presiden.
Dari sisi hak pengawasan oleh Dewan, tidak sedikit usulan penggunaan hak interpelasi diajukan oleh anggota DPR. Namun, pada periode pertama pemerintahan Susilo Bambang “DPR Kembalikan RUU Rahasia Negara,” Kompas, 29 Mei 2008. 58
124 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 101–128
Yudhoyono, dari 14 usulan interpelasi hanya empat usulan yang lolos di Sidang Paripurna DPR yaitu interpelasi busung lapar dan penyakit polio (2005), interpelasi terhadap kebijakan pemerintah mendukung Resolusi Dewan Keamanan PBB tentang kasus nuklir Iran (2007), interpelasi atas penyelesaian kasus KLBI/BLBI (2007), dan interpelasi terhadap kebijakan antisipatif pemerintah akibat kenaikan harga BBM (2008). Dari empat interpelasi tersebut, hanya interpelasi mengenai kenaikan harga BBM yang berjalan mulus tanpa hingar bingar di DPR, walau Presiden SBY hanya mengirim Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai wakil pemerintah yang memberikan penjelasan kepada DPR. Tiga lainnya, walau pun menimbulkan kegaduhan di DPR pada sidang-sidangnya, akhirnya menguap karena adanya kasus-kasus baru yang menimbulkan pengusulan hak interpelasi atau hak angket yang baru pula, seperti persoalan semburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Pada pemerintahan Presiden SBY kedua (2009-2014) hiruk pikuk di DPR terkait dua hal, pertama kasus bailout Bank Century yang muncul pada 2008 dan mulai diramaikan DPR sejak 2009 dan kasus masalah Pajak. Pada kasus pertama, DPR akhirnya sampai pada hak interpelasi bahkan membentuk Tim Pengawas DPR soal Bailout Bank Century, sedangkan kasus pajak menguap di persidangan. Suatu hal yang menarik, kasus Bank Century hingga kini belum selesai baik pada tataran hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun pada tataran politik di DPR. DPR hingga tulisan ini dibuat, Desember 2013, masih berupaya untuk mendapatkan penjelasan dari Wakil Presiden Boediono yang pada saat kasus Bank Century terjadi menduduki jabatan sebagai Gubernur Bank Indonesia. KPK sendiri sudah melakukan wawancara terhadap Menteri Keuangan saat itu Sri Mulyani Indrawati di Washington D.C dan terhadap Wakil Presiden Boediono di Kantor Wakil Presiden akhir November 2013. Selain hak interpelasi, usulan hak angket juga pernah dilakukan DPR dalam kasus-kasus kebijakan impor beras, dan kebijakan pengelolaan Blok Cepu yang menunjuk ExxonMobil sebagai operator utama pengelolaan sumber minyak bumi
dasar laut di Blok Cepu. Dua usulan itu kandas di DPR dan tidak lolos di dalam Sidang Paripurna DPR. Usulan Hak Angket dan Hak Interpelasi DPR soal kenaikan harga BBM pada 2005 dan 2008, akhirnya hanya Hak Angket yang lolos dan didukung oleh 233 orang mendukung, dan 127 anggota lainnya menolak. Menariknya, mereka yang mendukung bukan hanya dari kalangan oposisi (PDI-P, Gerindra dan Hanura) melainkan juga berasal dari partai pendukung pemerintah seperti PKS, PPP, PAN dan PKB sementara PD dan PG menolak. Dari gambaran di atas tampak jelas betapa para anggota partai koalisi pendukung pemerintah mengambil jalannya sendiri dan tidak memiliki rasa memiliki atau senasib sepenanggungan terhadap pemerintahan tempat mereka berkoalisi. Itu sebabnya mengapa tidak ada jaminan bahwa partai anggota koalisi pendukung pemerintah akan senantiasa mendukung kebijakan atau posisi pemerintah di parlemen. Ini berbeda dengan sistem parlementer yang anggota parlemen dari partai koalisi akan selalu mendukung kebijakan pemerintah, kecuali bila mereka mendapatkan tawaran lebih baik dalam koalisi yang baru sehingga mereka mendukung kelompok oposisi yang melakukan mosi tidak percaya terhadap perdana menteri yang sedang berkuasa.
Penutup: Penataan ke Depan Penyempurnaan presidensialisme memerlukan peninjauan kembali format sistem perwakilan, skema penyelenggaraan dan sistem pemilu, serta sistem kepartaian. Dalam konteks skema penyelenggaraan dan sistem pemilu, penataan tak hanya terkait urgensi penyelenggaraan secara simultan antara pemilu legislatif dan pemilu presiden, melainkan juga penataan kembali format pilpres itu sendiri. Seperti dikemukakan di muka, sistem pilpres dewasa ini bukan hanya tidak menjanjikan munculnya kandidat presiden yang memiliki kompetensi dan kapabilitas, tetapi juga cenderung mendistorsikan obsesi penguatan presidensialisme sebagai diamanatkan oleh konstitusi hasil amandemen. Dalam konteks UU Pilpres, perlu ditata ulang mekanisme dan persyaratan pasangan calon presiden/wakil presiden. Format pilpres yang berlaku dewasa ini cenderung menihilkan urgensi
Pemilu dan Relasi Eksekutif dan Legislatif | Nina Andriana | 125
kompetisi internal parpol dalam seleksi capres atas dasar kompetensi dan kapabilitas calon yang akhirnya berdampak pada relatif rendahnya kualitas kandidat yang dapat disediakan oleh parpol menjelang pilpres. Dalam kaitan ini, UU Pilpres mestinya tidak sekadar memfasilitasi para pimpinan/ketua umum parpol menjadi capres, tapi juga hendaknya membuka peluang sebesarbesarnya bagi tokoh terbaik dari luar parpol. Jika tidak, maka yang berlangsung akhirnya tak lebih dari pergantian kekuasaan presiden secara lima tahunan tanpa perbaikan signifikan bagi kehidupan bangsa kita. Dalam kaitan ini, perlu dilembagakan mekanisme pemilihan pendahuluan internal parpol bagi pasangan calon presiden/wakil presiden. Untuk meminimalkan potensi munculnya pasangan presiden/wakil presiden yang semata-mata populer secara publik namun belum tentu capable, perlu dilembagakan mekanisme pemilihan pendahuluan -semacam konvensi atau sejenisnya- bagi pasangan kandidat yang diajukan oleh parpol atau gabungan parpol. Mekanisme pemilihan pendahuluan diwajibkan bagi setiap parpol/gabungan parpol dan diatur dalam UU Pilpres agar setiap parpol melakukan seleksi capres secara sungguh-sungguh dan berorientasi kepada kepentingan dan masa depan bangsa kita. Pelembagaan koalisi atas dasar platform politik yang bersifat permanen adalah agenda berikut yang tak kalah penting. Meskipun koalisi hanya lazim dikenal dalam konteks demokrasi parlementer, namun dalam skema sistem presidensial berbasis multipartai koalisi merupakan kebutuhan yang tak terelakkan karena hampir selalu muncul potensi terpilihnya “presiden minoritas”, yakni presiden dengan basis politik minoritas di parlemen. Kendati demikian, koalisi politik tersebut semestinya bukan koalisi semu dengan kontrak politik longgar dalam rangka pembagian kekuasaan (khususnya kabinet) belaka, melainkan diperlukan koalisi permanen melalui kontrak politik yang bersifat publik (melalui KPU) dan bersifat notariat agar parpol koalisi mendukung presiden terpilih untuk jangka waktu lima tahun masa jabatannya. Format koalisi ideal yang bersifat permanen tentu tidak terbentuk dengan sendirinya. Selain memerlukan berlangsungnya pelembagaan
parpol dan sistem kepartaian, koalisi permanen meniscayakan perubahan skema pemilu. Dalam konteks parpol, pelembagaan tidak hanya terkait kebutuhan akan seleksi kepemimpinan secara sistemik dan institusional, melainkan penegakan prinsip-prinsip demokrasi internal parpol itu sendiri. Di sisi lain, penataan sistem kepartaian semestinya mengarah pada terbentuknya sistem multipartai sederhana, dalam arti terbatas secara jumlah, dan kompetitif secara ideologis. Apabila perubahan sistem pemilu yang mengarah pada model campuran menjadi pilihan ke depan (mengambil unsur-unsur positif sistem proporporsional dan sistem pluralitas-mayoritas atau distrik)59, maka penyederhanaan sistem kepartaian yang menjadi tuntutan dan kebutuhan skema presidensial menjadi lebih mudah. Sementara itu, dalam konteks pemilu, selain urgensi penyempurnaan format Pilpres seperti dikemukakan sebelumnya, diperlukan penataan kembali skema penyelenggaraan pemilu menuju model penyelenggaraan pemilu secara simultan/serentak antara pemilu presiden dan pemilu legislatif, khususnya legislatif nasional. Penataan tersebut mengarah pada dua skema pemilu, yakni pemilu nasional (untuk memilih Presiden/Wapres, DPR dan DPD) dan pemilu lokal/daerah (untuk memilih anggota DPRD dan kepala-kepala daerah, baik kabupaten/kota maupun provinsi) dengan jeda waktu 2,5 tahun didahului pemilu nasional. Sekurang-kurangnya keserentakan pemilu perlu dilakukan dalam penyelenggaraan pemilu presiden/wapres dan pemilu legislatif, agar pencalonan presiden tidak harus terpenjara hasil pemilu DPR, karena dalam skema presidensial, Presiden dan DPR adalah dua institusi terpisah yang tidak dapat meniadakan satu sama lain. Penyempurnaan sistem pemilu menuju suatu formula sistem campuran yang memungkinkan aspek representatif di satu pihak, dan aspek akuntabilitas di pihak lain, terpenuhi. Eksperimen sistem perwakilan proporsional dengan daftar semi-terbuka (2004) dan sepenuhnya terbuka (2009), ternyata gagal meningkatkan aspek kualitas akuntabilitas wakil. Itu artinya, di masa depan perlu dipertimbangkan pemberlakuan sistem perwakilan proporsional dengan daftar tertutup yang dikombinasikan dengan sistem pluralitas-mayoritas khususnya varian first past the post (FPTP) dengan Dapil berwakil tunggal. Proporsionalitas kombinasi atau percampurannya tentu bisa didiskusikan. Studi tentang ini dilakukan juga oleh Pusat Penelitian Politik LIPI sebagai bagian tak terpisah dari kajian ini. 59
126 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 101–128
Sejumlah agenda penataan kembali yang dikemukakan di atas barangkali belum lengkap jika tidak diikuti pelembagaan sistem checks and balances yang kuat, baik yang bersifat internal parlemen maupun antara lembaga parlemen dan institusi kepresidenan. Secara internal parlemen, perlu dibangun sistem perwakilan dua-kamar di tingkat nasional. Itu artinya, DPD ke depan harus memiliki otoritas legislasi kendati tidak harus seluas DPR, dan skema MPR perlu ditata ulang menjadi wadah bagi sidang gabungan DPR dan DPD. Di sisi lain, perlu peninjauan kembali ruang lingkup otoritas DPR yang kini meluas ke fungsi pengangkatan pejabat publik yang seharusnya menjadi otoritas Presiden dalam skema presidensial.
Daftar Pustaka Buku Asshidiqie, Jimly. 2002. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat. Jakarta: Pusat Studi HTN Fakultas Hukum UI. Bealey, Frank. 2000. Dictionary of Political Science. Oxford UK: Blackwell Publisher Ltd. C h e i b u b , J o s e A . 2 0 0 7 . P re s i d e n t i a l i s m , Parliamentarism and Democracy. Cambridge: Cambridge University Press. Deutch, Karl W. 1970. Politics and Government: How People Decide Their Fate. Boston: Houghton Miffin Company. Duverger, Maurice. 1964. Political Parties: Their Organization and Activity in the Modern State. London: Methuen. Feith, Herbert. 1962. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ithaca New York: Cornell University Press. Gunther, Richard. 2001. “Membuka Dialog Mengenai Pilihan Institusional di Indonesia: Sistem Presidensial, Parlementer, dan SemiPresidensial”, dalam Ikrar Nusa Bhakti dan Riza Sihbudi (Eds.), Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat. Bandung: Mizan-LIPI-Ford Foundation. Haris, Syamsuddin. 2007. Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Huntington, Samuel P. 1968. Political Order in Changing Society. New Haven: Yale University Press.
Kanpp, Andrew and Vincent Wright. 2006. The Government and Politics of France. London: Routledge. Lijphart, Arend. 1999. Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in ThirtySix Countries. New Haven and London: Yale University Press. Lijphart, Arend. 1994. “Presidentialism and Majoritarian Democracy: Theoritical Observations”, dalam Linz dan Valenzuela, ed., The Failure of Presidential Democracy, Volume I. Linz, Juan J. 1994. “Presidential or Parliamentary Democracy: Does it Make a Difference”, dalam Linz dan Valenzuela, The Failure of Presidential Democracy: Comparative Perspectives, Baltimore: John Hopkins University Press. Back, Hanna. 2009. “Intra Party politics and Local Coalition Formation”, dalam Daniela Giannetti dan Knneth Benoit (Eds.), Intra-Party Politics and Coalition Governments, London: Routledge/EPCR Studies in European Political Science. Manan, Bagir. 2003. DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 baru. Yogyakarta: FH U I I Press. Maor, Mose. 1997. Political Parties and Party Systems Comparative Approaches and The British Experience. London: Routledge. McGuire, James W. 1997. Peronism without Peron. Unions, Parties and Democracy in Argentina. Stanford: Stanford University Press. Michels, Robert. 1966. Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy. New York: The Free Press. Mietzner, Marcus. 2000. “Sidang Umum MPR 1999: Wahid, Megawati, dan Pergulatan Perebutan Kursi Kepresidenan”, dalam Chris Manning dan Peter van Diermen (Ed.), Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-aspek Sosial Reformasi dan Krisis. Yogyakarta: LKIS. Moury, Catherine. 2013. Coalition Government and Party Mandate, How Coalition Agreements Constrain Ministerial Action. London: Routledge. Muchlis, E. (Ed.). 2007. Reformasi Kelembagaan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Indonesia. Jakarta: LIPI Press. Nasution, Adnan Buyung. 1992. The Aspiration of Contitutional Government in Indonesia: A Socio-Legal Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Pemilu dan Relasi Eksekutif dan Legislatif | Nina Andriana | 127
Panebianco, Angelo. 1988. Political Parties: Organization and Power. Cambridge: Cambridge University Press. Romli, Romli (Ed.). 2008. Pelembagaan Partai Politik Pasca-Orde Baru: Studi Kasus Partai Golkar, PKB, PBB, PBR dan PDS. Jakarta: Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Selznick, Philip. 1957. Leadership in Administration. A Sociological Interpretation. New York: Row, Peterson and Company. Widjajanto, Bambang. 2002. Perubahan Konstitusi Setengah Hati, dalam Bambang Widjajanto, Saldi Isra dan Marwan Mas (Ed), Konstitusi Baru melalui Komisi Konstitusi Independen. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Jurnal Linz, Juan. 1990. “The Perils of Presidensialism”. Journal of Democracy 1. Mainwaring, Scott. 1993. “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination”. Comparative Political Studies 26(2). Randall, Vicky and Lars Svasand. 2002. “Party Institutionalization in New Democracies”. Party Politics, Vol. 8 January/1/2002.
Laporan dan Makalah Basedau, Mathias dan Alexander Stroh. 2008. “Measuring Party Institutionalization in Developing Countries: A New Research Instrument Applied to 28 African Political Parties”. GIGA Working Papers. Hamburg: GIGA Research Program. Gary F. Bell. 2001. “Division of Powers between the Executive and Parliament: Comparative Perspectives,” Report of a conference on Continuing Dialogues towards Constitutional Reform in Indonesia International IDEA, (Jakarta: International IDEA, Oktober 2001). Haris, Syamsuddin. 2008. “Format Baru Relasi Presiden-DPR dalam Demokrasi Presidensial di Indonesia Pasca-Amandemen Konstitusi (2004-2008)”. Disertasi Doktor pada FISIP UI. Indrayana, Denny. 2006. “Mendesaian Presidensial yang Efektif: Bukan Presiden ‘Sial’ atawa Presiden ‘Sialan’”. Makalah seminar yang diselenggarakan oleh Partai Demokrat, Forum Komunikasi Parpol dan Politisi serta FNS. 13 Desember 2006.
Noor, Firman. 2012. “Institutionalizing Islamic Political Parties in Indonesia: A Study of Internal Fragmentation and Cohesion in the Post-Soeharto Era (1998-2008)”. Doctoral Thesis. Exeter: University of Exeter. Notosusanto, Smita. 2006. “Analisa AD/ART Partai Politik”. http://forum-politisi.org/downloads/ Analisa_AD_ART_Parpol_-_Smita.pdf. Partnership. 2011. “Membangun Pemerintahan Presidensial yang Efektif Melalui Desain Sistem Pemilihan Umum.” Policy Paper No. /2011. Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. 2002. Risalah Rapat Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja MPR RI Ke-1 s.d 10. Masa Sidang Tahunan MPR RI. Jakarta: Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. 2010. Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Tahun Sidang 2002, Buku Tiga (Edisi Revisi). Jakarta: Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. 2000. Hasil Rumusan Seminar Panitia Ad hoc I (Sidang Tahunan 2000), Buku kedua Jilid 3C. Jakarta: Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2000. Sekretariat Jenderal MPR RI. 2012. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Surat Kabar dan Website “Presiden tak Izinkan Ryamizard ke DPR.” Kompas. 5 November 2004. “DPR Tolak Agus dan Pardede.” Kompas. 13 Maret 2008. “DPR Kembalikan RUU Rahasia Negara.” Kompas. 29 Mei 2008. Surbakti, Ramlan. “Tingkat Pelembagaan Partai Politik”. Kompas. 6 Januari 2003.
128 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 101–128
DARI REPRESENTASI POLITIK FORMAL KE REPRESENTASI POLITIK NON-ELEKTORAL FROM FORMAL POLITICAL REPRESENTATION TO NON-ELECTORAL POLITICAL REPRESENTATION Esty Ekawati Alumnus Pascasarjana Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia E-mail:
[email protected] Diterima: 30 Juli 2014; direvisi: 3 Oktober 2014; disetujui: 21 November 2014 Judul Buku Pengarang Penerbit Tahun Terbit Tebal
: : : : :
Representasi Politik: Perkembangan dari Ajektiva ke Teori Nuri Suseno Puskapol FISIP UI 2013 148 + xxii Abstract
Nowadays democracy is always associated with representation because basically the progress of democratic representation is a principle that must be enforced in modern politics. The concept of representation simply defined as “absent but present” has made doubt for political scientist to build theories. Contemporary issues about political representation in democratic representation’s framework that mainstreaming the election can not answer the problems of society about minority representation, woman under-representation in politics and phenomenon of non-electoral representation. Keywords: democracy, political representation, non-electoral political representation. Abstrak Demokrasi dewasa ini selalu dikaitkan dengan representasi karena pada dasarnya perkembangan demokrasi perwakilan adalah prinsip yang harus ditegakkan di dunia modern. Konsep representasi secara sederhana dapat diartikan sebagai “menghadirkan yang tidak hadir”. Namun arti ini menimbulkan keraguan dari para ahli dan dalam perkembangannya mencoba menajamkan konsep ini menjadi sebuah teori. Isu-isu kontemporer mengenai representasi politik dalam kerangka demokrasi perwakilan yang mengarusutamakan pemilu, tidak serta merta mampu menjawab persoalan di masyarakat seperti keterwakilan kelompok minoritas, perempuan dan fenomena representasi non-elektoral yang juga menjadi persoalan penting untuk dikaji. Kata Kunci: Demokrasi, Representasi Formal, Representasi non-elektoral.
Pendahuluan Berbicara mengenai representasi dalam perkembangan politik modern tentu tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah. Nuri Suseno sebagai penulis buku ini mencoba untuk menyajikan perkembangan asal usul konsep
representasi dan perkembangannya hingga bisa tampil menjadi teori politik representasi, serta keterkaitan konsep representasi dengan demokrasi. Uraian mengenai konsep representasi dimulai pada era Romawi Kuno dan kemudian
Dari Representasi Politik Formal ... | Esty Ekawati | 129
digunakan juga oleh para teolog gereja. Perubahan konsep representasi berkembang mengikuti berbagai perubahan perpolitikan yang terjadi di dunia baik secara teoritis maupun dalam tataran praktis. Nuri Suseno mencatat berbagai perkembangan konsep tersebut dari sejumlah akademisi diantaranya Hannah F. Pitkin, Monica Brito Viera dan David Runciman, Bernard Manin, Carl Schmitt, Mark Warren dan Dario Castiglione, Nadia Urbinati, Laura Montanaro dan Michael Saward. Selain itu, Nuri Suseno juga mengemukakan perkembangan konsep dan teori representasi khususnya mengenai klaim-klaim representasi/representasi non-elektoral yang berupaya untuk menjawab persoalan representasi tanpa melalui politik formal (pemilu). Nuri Suseno mengawali uraiannya mengenai representasi dalam konteks sejarah dimana pada masa-masa terdahulu istilah representasi tidak dalam konteks politik namun digunakan dalam dunia seni teater yang menggambarkan sebuah karakter yang diperankan oleh seorang artis. Pada masa Romawi kuno, gagasan representasi ini dipahami sebagai “acting for” atau “bertindak untuk”.1 Istilah ini kemudian berkembang dan digunakan oleh para teolog dalam mendiskusikan konsep trinitas dan otoritas penguasa tertinggi gereja. Pemimpin tertinggi gereja seperti Paus, merepresentasikan kekuasaan Tuhan di dunia. Konsep representasi mendapat makna yang lebih luas dengan kehadiran agama Kristen, dimana pada masa ini representasi dimaknai sebagai hubungan diantara “entities” (makhluk) yang tidak harus sama/serupa tetapi dapat mengambil alih peran masing-masing. Dalam konteks saat itu, gereja merupakan badan yang terdiri dari komunitas penganutnya, raja, kaisar, dan Paus adalah pimpinan tertingginya dianggap sebagai representasi dari umatnya. Akan tetapi, Marsilius, seorang Aristotelian tidak sependapat dengan para teolog gereja yang menyatakan bahwa otoritas yang diperoleh penguasa tertinggi gereja berasal dari Tuhan. Menurutnya, otoritas politik harus didapatkan dari persetujuan rakyat dan
semua pemerintahan yang absah didasarkan pada otoritas mutlak seluruh rakyat.2
Representasi Politik versus Demokrasi Nuri Suseno menuliskan bahwa perubahan konsep representasi berkembang mengikuti berbagai perubahan perpolitikan yang terjadi di dunia baik secara teoritis maupun dalam tataran praktis. Representasi secara sederhana bisa diartikan sebagai menghadirkan yang tidak hadir. Jika melihat konsep representasi yang diuraikan oleh Hanna F. Pitkin melalui bukunya The Concept of Representation, ia menuangkan gagasan/teori representasi politik yang melibatkan “election’ atau pemilihan sebagai lembaga yang utama di dalam pemerintahan perwakilan. Hal ini berbeda dengan Suzzane Dovi yang mengungkapkan bahwa representasi politik kini bukan lagi sebuah konsep terbatas yang hanya berbicara tentang pejabat-pejabat yang dipilih (atau ditunjuk) dalam sebuah negara nasional.3 Sedangkan menurut Vieira dan Runciman, ketika berbicara mengenai representasi maka ada tiga konsep yang mengikutinya, pertama, pictorial representation, mereka yang dipilih untuk mewakili harus menyerupai yang diwakilinya. Kedua, theatrical representation, wakil yang terpilih harus menafsirkan, berbicara dan bertindak untuk pihak yang diwakilinya. Ketiga, juridical representation, wakil yang terpilih harus bertindak atas nama yang diwakilinya dengan persetujuan demi kepentingan bersama.4. Perdebatan yang kemudian muncul adalah tentang demokrasi versus representasi. Pitkin dalam bukunya menulis bahwa sepanjang sejarahnya baik konsep maupun praktik, representasi hampir tidak ada hubungannya dengan demokrasi - pemerintahan oleh rakyat.5 2
Ibid., hlm. 7-9.
Suzzane Dovi, “Political Representation, dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, (Stanford University Press, 2011), hlm. 6. 3
4
Nuri Suseno, op.cit. hlm. 6.
Viera dan Runciman menjelaskan sikap para ilmuwan politik dengan menjelaskan perbedaan makna kata demokrasi dan representasi. Pemaknaan representasi sebagai “hadir’ sekaligus “tidak hadir’ dipandang sebagai sebuah ketidakpastian dan ketidak-konsistenan. Sementara demokrasi merupakan konsep yang secara jelas menunjukkan pemerintahan oleh rakyat. 5
Nuri Suseno, Representasi Politik : Perkembangan dari Ajektiva ke Teori, (Depok : Puskapol FISIP UI, 2013), hlm. 6. 1
130 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 129–136
Ketidakadaan hubungan diantara representasi dengan demokrasi dituliskan oleh Pitkin: “Keterwakilan tidak harus berarti pemerintahan perwakilan. Seorang raja dapat mewakili sebuah bangsa, demikian juga seorang duta besar. Seorang pejabat publik kadang-kadang dapat mewakili Negara, dengan demikian institusiinstitusi dan praktik-praktik yang merupakan perwujudan keterwakilan diperlukan didalam sebuah masyarakat besar dan yang terartikulasikan dan tidak harus terkait dengan pemerintahan oleh rakyat”.6
Hal yang sama juga diuraikan oleh Bernard Manin bahwa pemerintahan perwakilan tidak sama dengan demokrasi. Pada saat ini umumnya orang berpendapat bahwa demokrasi perwakilan adalah sebuah tipe dari demokrasi, tetapi jika diteliti lebih lanjut, menurut Manin ini tidak tampak.7 Konsep representasi dan demokrasi merupakan hal yang berbeda karena keduanya tidak lahir dalam satu periode yang sama. Demokrasi representasi yang kita kenal saat ini merupakan sebuah institusi politik yang muncul di zaman modern, hasil ‘perkawinan’ gagasan demokrasi sebagaimana dikenal dalam tradisi Yunani dan gagasan representasi yang berkembang dalam agama Kristen dan tradisi monarki di Inggris. Demokrasi representasi tidak dikenal pada masa Yunani Kuno (yang menggunakan sistem direct democracy). Pertemuan kedua gagasan ini diungkapkan oleh Pitkin bahwa demokrasi berasal dari Yunani Kuno dan naik lewat perjuangan dari bawah. Demokrasi Yunani adalah demokrasi partisipatori dan tidak berhubungan dengan representasi. Sebagai konsep dan praktik politik, representasi berasal dari zaman pertengahan, ketika ia dipaksakan sebagai sebuah kewajiban oleh monarki. Hanya dalam Perang Sipil di Inggris dan kemudian revolusi demokratis di abad ke-18 kedua konsep tersebut akhirnya menjadi terkait.
Monica Brito Vieira dan David Runciman, “Representation” dalam Nuri Suseno, op.cit.,hlm. 6.
Hanna F. Pitkin, The Concept Of Representation, (California: University Of California Press, 1967), hlm. 2.
Dalam perkembangannya, demokrasi representasi menjadi sebuah keharusan dalam negara modern dengan jumlah penduduk yang sangat besar dengan segala kompleksitasnya. Nuri Suseno menuliskan seperti yang diuraikan oleh Sarah Child dan Joni Lovenduski bahwa representasi politik membantu memecahkan permasalahan negara modern melalui pendelegasian atau dengan mempercayakan sejumlah kecil orang anggota majelis permusyawaratan untuk mengangkat kepentingan-kepentingan mereka dan membuat keputusan-keputusan (wakil terpilih yang membuat keputusan).8 Berbicara tentang demokrasi ataupun representasi tidak akan terlepas dari pembicaraan tentang pemilihan (election). Untuk membedakan mengenai representasi dan demokrasi maka dimensi aristokrasi dan pemilihan perlu mendapat perhatian khusus. Dengan adanya dimensi aristokratis ini maka akan selalu ada perbedaan diantara para wakil terpilih dan para pemilihnya. Di dalam sistem pemilihan juga semua warga negara memiliki hak untuk memilih, tetapi tidak semua warga negara memiliki kesempatan untuk dipilih. Oleh sebab itu, menurut Manin, pemilihan memiliki wajah ganda: egaliter dan tidak egaliter sekaligus aristokratis dan demokratis; dan dimensi-dimensi tersebut hadir secara simultan dan tidak terpisahkan. Wajah ganda pemilihan tersebut juga mendapat dukungan dari Carl Schmitt yang berpendapat bahwa pemilihan merupakan metode aristokrasi namun lebih demokratis jika dibandingkan dengan penunjukkan atau suksesi berdasarkan keturunan. Pemilihan memiliki sisi aristokrasi karena mengangkat yang superior dan para pemimpin, tetapi juga demokratis karena menunjuk agen, atau pembantu yang bisa menjadi subordinat (bawahan) tapi juga bisa jadi superior (atasan). Sehingga Schmitt mengatakan bahwa – pemilihan memenuhi prinsip representasi sekaligus prinsip identitas. Prinsip identitas inilah yang membedakan antara representasi dengan demokrasi.9
6
7
Nuri Suseno, op.cit., hlm. 17-18.
8
Ibid., hlm. 52-56.
9
Ibid., hlm. 66-67.
Dari Representasi Politik Formal ... | Esty Ekawati | 131
Bagi Schmitt, identitas adalah unsur yang tidak dapat dipisahkan dari demokrasi karena identitas merupakan basis dari pembentukan demokrasi. Kesamaan dalam satu dan lain hal diantara sekelompok individu merupakan unsur yang diperlukan untuk membentuk identitas. Kesamaan identitas akan menghilangkan perbedaan diantara para wakil yang dipilih atau orang yang memerintah (the ruled) dengan para pemilih atau orang yang mematuhi perintah. Oleh karena itu, menurut Schmitt, “dalam bentuknya yang paling murni, demokrasi tidak sesuai dengan representasi.” Meskipun demikian, menurut Manin tidak berarti bahwa dalam konsep Schmitt perbedaan tidak diakui sama sekali. Perbedaan bagi Schmitt tetap ada diantara yang memerintah dan yang diperintah, tetapi perbedaan yang dimaksudkan disini adalah dalam artian ‘fungsi’. Manin mengkritisi pemikiran Schmitt dalam hal demokrasi, representasi dan pemilihan. Baginya, pemilihan (election) memiliki unsur demokratis karena memberi warga negara kesempatan yang sama untuk bersuara dalam mengangkat atau mengganti para wakilnya. Pemilihan juga memiliki sifat aristokrasi karena wakil yang dipilih tidak dapat sama dengan konstituennya karena memang ada individu atau kelompok yang memang memiliki kelebihan tertentu.10
Representasi Politik dan Demokrasi Deliberatif Dalam perpolitikan kontemporer, perkembangan teori representasi politik merupakan perwujudan dari keinginan para teoritisi untuk mendemokratiskan representasi. Nuri Suseno menguraikan ada tiga ciri penting perwakilan yang demokratis menurut Castiglione dan Warren; 1). Perwakilan berbentuk hubungan principal-agent yang berbasis teritorial dan bersifat formal. Ini menjadi dasar pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan rakyatnya. 2) Perwakilan berada di wilayah kekuasaan politik yang bertanggung jawab dan akuntabel dengan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk dapat memengaruhi dan melakukan kontrol. 3). Hak untuk memilih para wakil sebagai bentuk persamaan politik.11 10
Ibid., hlm. 69-70.
11
Mark Warren dan Dario Castiglione, “The Transformation
Pitkin juga menguraikan formulasi tentang representasi dan menyimpulkan bahwa perwakilan disini berarti tindakan untuk memenuhi kepentingan yang diwakili dalam upaya merespons kepentingan mereka. Perwakilan sifatnya haruslah independen; tindakannya harus melibatkan penilaian, dia harus menjadi satu-satunya yang bertindak. Yang diwakili pun juga harus mampu bertindak secara independen dan tidak hanya diam saja.12 Perkembangan teori-teori representasi politik dari masa ke masa juga diikuti perkembangan konsep-konsep demokrasi yang mana telah menghasilkan rumusan mengenai demokrasi deliberasi yang didalamnya terdapat upaya untuk memperjuangkan representasi kelompok-kelompok yang tertindas maupun yang termarjinalkan. Sejumlah teoritisi dalam kelompok ini diantaranya Anne Phillips dan Iris Marion Young. Young memberikan konsepsi bahwa demokrasi adalah sistem yang dapat meminimalisir dominasi dan menciptakan keadilan dan partisipasi politik yang luas. Menurutnya, demokrasi deliberatif memiliki nilai-nilai inklusif dan kesetaraan politik dimana ketika nilai-nilai ini diimplementasikan maka proses pembuatan kebijakan akan menciptakan keadilan, “hanya dalam sistem politik demokrasi seluruh anggota masyarakat pada prinsipnya memiliki kesempatan untuk mempengaruhi kebijakan publik untuk menyalurkan atau menjaga kepentingannya. Kita percaya bahwa proses demokrasi adalah media terbaik untuk mengubah kondisi yang tidak adil dan mewujudkan keadilan.”13 Menurut Iris Young, inklusi diperlukan untuk mendemokratisasikan representasi karena pertama, inklusi meningkatkan legitimasi institusi-institusi demokrasi. Kedua, inklusi merupakan antidote (tindakan untuk mengoreksi) kesalahan masa lalu. Oleh karena itu, konsepsi ini memberikan peluang bagi kelompok-kelompok yang termarginalkan/terabaikan (oleh konsep of Democratic Representation” dalam Nuri Suseno, op.cit., hlm. 73. 12
Pitkin, op.cit., hlm. 209.
Iris Marion Young, Inclusion and Democracy, (Oxford: Oxford University Press, 2000), hlm. 6. 13
132 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 129–136
representasi liberal) mendapatkan tempat pembahasan.14 Hal ini dikritisi oleh Suzzane Dovi, yang menurutnya perspektif eksklusi lebih tepat dalam mengangkat kepentingan kelompokkelompok minoritas dan termarginalkan. Alasannya pertama, eksklusi merupakan bagian dari proses representasi yang tidak dapat ditolak. Kedua, eksklusi bisa memperbaiki representasi dan fungsi lembaga demokrasi.15 Nadia Urbinati menggunakan konsep representasi sebagai advokasi untuk menjelaskan pentingnya deliberasi dalam demokrasi representasi. Menurutnya, demokrasi representasi membutuhkan konsep representasi yang memberikan konstituen kekuasaan untuk berpartisipasi dalam pemilihan wakil-wakil mereka tetapi masih memberikan kemerdekaan bagi para wakil tersebut dari konstituennya. Maksudnya disini adalah konstituen dapat memilih wakil-wakil yang mereka anggap dapat mengadvokasi isu yang merupakan keprihatinan/ menjadi kepentingan konstituen. Akan tetapi, dalam hal ini, para wakil yang dipilih masih memiliki pilihan untuk memutuskan isu-isu mana saja yang bisa diperjuangkan.16
Persoalan Representasi Politik : Munculnya Representasi non-Elektoral Teori representasi politik berkembang mengikuti perkembangan politik saat ini. Konsep representasi formal yang memfokuskan pada prinsip pemilihan umum, kini dianggap tidak cukup untuk menjawab fenomena representasi politik saat ini. Menurut Michael Saward, konsep representasi Pitkin juga terlalu fokus pada sang wakil (representative) bukan pada pihak yang diwakili (represented),17 Padahal banyak persoalan yang terjadi di pihak yang Young, “Inclusion and Democracy” dalam Nuri Suseno, op.cit., hlm. 80. 14
Yang dimaksud Dovi dengan pendekatan eksklusi dalam representasi adalah mengambil kekuasan dan pengaruh dari kelompok-kelompok yang mendominasi lembaga demokrasi dari kelompok yang secara historis tidak beruntung. Lihat: Nuri Suseno, op.cit., hlm. 80. 15
Nadia Urbinati, “Representative Democracy: Principles and Geneallogy”, dalam Nuri Suseno., op.cit., hlm. 85. 16
Michel Saward, “The Representative Claim”, dalam Nuri Suseno, op.cit., hlm. 100.
diwakili. Jika konsepsi representasi Pitkin tidak mampu lagi menjelaskan berbagai fenomena saat ini dan konsep representasi baru muncul sebagai konsekuensi dari perubahan perpolitikan dunia, maka muncul pertanyaan adakah konsepsi atau teori representasi baru yang lebih mampu menjelaskan fenomena tersebut, dan apakah representasi tersebut dapat dikatakan demokratis?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Nuri Suseno menguraikan konsep representrasi non-elektoral yang dikemukakan oleh Michael Saward. Representasi yang dikemukakan oleh Saward adalah representasi berdasarkan klaim. Dalam hal ini rakyat tidak hanya berfungsi sekedar pemilih dalam pemilu, bukan hanya yang diwakili (represented) namun rakyat juga menjadi pihak yang penting dan mendapat perhatian khusus karena rakyat juga berperan aktif dalam membentuk dan menciptakan representasi.18 Munculnya gerakan-gerakan sosial baru melalui peningkatan peran masyarakat sipil dan arus globalisasi memunculkan aktor-aktor baru – diluar partai politik- yang mengangkat isu-isu penting di dunia, dengan mengklaim bahwa mereka mewakili berbagai kelompok orang (etnis, penduduk, bangsa) atau kepentingan umum (perubahan iklim, degradasi lingkungan, punahnya warisan budaya bangsa dan lain-lain) yang sifatnya transnasional. Inilah yang disebut sebagai representasi informal (karena tidak dihasilkan lewat pemilihan umum). Dalam buku ini, Nuri Suseno memberikan contoh kelompok representasi informal atau representasi non-elektoral misalnya; Organisasi Amnesti Internasional yang berbicara mewakili orang-orang yang diperlakukan tidak adil (ditangkap atau ditahan tanpa diadili, bahkan dibunuh karena pandangan politik mereka) oleh penguasa politik di berbagai negara. Contoh lainnya adalah Greenpeace yang merepresentasikan isu lingkungan dan generasi di masa mendatang. Selain itu, ada juga individu di masa modern saat ini, Bono, vokalis band rock U2 serta aktivis politik Irlandia yang mengatasnamakan rakyat Afrika mendesak negara-negara maju untuk menghapuskan utang negara-negara miskin. Penghapusan utang ini
17
18
Ibid., hlm.113.
Dari Representasi Politik Formal ... | Esty Ekawati | 133
seharusnya dapat dialihkan untuk menyediakan sarana pendidikan gratis bagi rakyat dan dana pembelian obat murah untuk pengobatan penderita HIV/AIDS di Afrika. 19 Individu atau kelompok-kelompok tersebut oleh Laura Montanaro digunakan untuk mengembangkan teorinya dengan menggunakan intuisi normatif mendasar yang ada di jantung demokrasi: “Mereka yang berpotensi dipengaruhi oleh sebuah keputusan kolektif haruslah mempunyai kapasitas untuk mempengaruhi keputusan tersebut”.20 Gerakan perempuan dan teori politik feminis telah memberikan peran terhadap perubahan yang terjadi dalam representasi. Gagasan tentang representasi dari kelompokkelompok minoritas yang tersingkirkan dari perpolitikan dan pengambilan keputusan yang dikemukakan oleh teoritisi feminis seperti Anne Phillips dan Iris Marion Young telah membantu mencairkan kekakuan. Jika dalam paham kekirian, konsep kelas adalah komponen utama dalam pembentukan identitas, maka masa sekarang etnisitas, agama, gaya hidup, kebudayaan telah berkembang menjadi basis persaingan bagi identitas politik.21 Persoalan yang sering diangkat dalam representasi informal (nonelektoral) adalah terkait dengan isu legitimasi. Dalam bukunya, Nuri Suseno menguraikan bahwa dalam representasi berdasarkan pemilihan maka legitimasi dikukuhkan dan diukur melalui pemilihan yang dilakukan secara berkala. Jika seorang wakil yang telah dipilih berdasarkan mekanisme perundang-undangan yang berlaku maka dia telah mendapat legitimasi formal dan representasinya dianggap demokratis karena melalui pemilihan. Namun, dalam representasi non-elektoral, tidak ada pemilu yang dapat digunakan untuk mengukur keabsahan atau demokratis tidaknya seseorang yang membuat klaim politik. Michael Saward, memecahkan persoalan keabsahan representasi non-elektoral melalui pengakuan dari konstituensi. Pengakuan haruslah 19
Nuri Suseno, op.cit.,hlm. 90.
Laura Montanaro, “The Democratic Legitimacy of “Self Appointed” Representatives” dalam Nuri Suseno., op.cit., hlm. 22. 20
21
Nuri Suseno, op.cit.,hlm. 109-110.
diberikan oleh konstituensi yang layak, yang terdiri dari konstituensi yang dituju (intended) dan konstituensi yang aktual (actual). Konstituen yang dituju adalah kelompok yang dibicarakan oleh pembuat klaim, sedangkan konstituensi yang aktual adalah kelompok yang mengakui kepentingannya terimplikasi oleh klaim yang dibuat dan yang menentukan apakah sebuah klaim adalah benar untuk atau tentang mereka.22 Jika mengambil contoh tentang upaya yang dilakukan oleh Bono U2 dalam klaimnya menyuarakan kepentingan rakyat Afrika maka dapat disimpulkan bahwa rakyat negara-negara miskin di Afrika yang tidak mampu membayar utang kepada negara maju adalah konstituensi yang aktual dan negara-negara maju yang memberikan utang kepada negara-negara miskin di dunia (khususnya Afrika) adalah konstituensi yang dituju yaitu kelompok yang mendengar, membaca, menerima klaim yang dibuat oleh Bono U2 dan memberikan respons terhadap klaim tersebut. Perdebatan representasi non-elektoral memungkinkan pengkajian peranan aktor-aktor nonformal serta perluasan arena perpolitikan yang demokratis keluar batas negara. Menurut Nuri Suseno, kita tidak bisa mengabaikan globalisasi dan peranan aktor-aktor nonpemerintah di tingkat nasional maupun internasional untuk menjelaskan isu-isu terkait pengambilan keputusan kolektif yang berpengaruh terhadap kehidupan kelompok masyarakat di suatu wilayah. Namun harus dirumuskan, siapa yang memiliki otoritas merepresentasikan kelompok yang termarjinalkan, kelompok yang terabaikan, atau menyuarakan isu-isu lingkungan, penyakit menular seperti flu burung dan HIV/AIDS, bencana alam, isu pemanasan global dan isu lainnya. Salah satu definisi dari demokrasi menunjukkan suatu aturan mayoritas sederhana yang didasarkan pada prinsip “one person, one vote”. Jon Elster mengaitkan hubungan antara konstitusionalisme dengan demokrasi. Elster mengkonstruksikan bahwa bangsa yang demokratis adalah bangsa yang melibatkan selain mayoritas, maka minoritas atau kelompok terabaikan seperti buruh, warga negara asing, 22
Ibid.,hlm. 125.
134 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 129–136
perempuan, tuna wisma atau minoritas lainnya terlibat dalam sistem pemilihan. 23 Namun yang cukup berguna dalam mendefinisikan istilah tersebut adalah dari Democratic Audit UK, yang mengidentifikasi kontrol rakyat dan kesetaraan politik sebagai dua kunci dari prinsip demokrasi dan menggunakannya untuk mengevaluasi demokrasi kontemporer. Kontrol rakyat merupakan inti dari demokrasi. Suatu sistem tidak bisa mengatakan bahwa dia demokratis hanya berdasarkan klaim bahwa ia telah memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakatnya, namun yang menjadi inti dari demokrasi adalah bagaimana rakyat bisa terlibat/ambil bagian dari penentuan penyusunan kebijakan politik. Dalam hal ini perlu diingat bahwa kebijakan adalah sesuatu yang bukan tidak bisa dipertanyakan atau dianggap sebagai kebenaran absolut dan milik dari sebuah tirani. Kontrol rakyat merupakan ukuran nilai independen yang menghubungkan prinsip demokrasi kedua yaitu kesetaraan politik.24 Dalam kasus tertentu, kesetaraan politik berimbas pada partisipasi politik. Jika masih ada perbedaan kelas, gender atau etnis dalam masyarakat maka ini merupakan bukti bahwa ada ketidaksetaraan politik (inequality). Kesetaraan politik tidak secara spesifik menunjukkan jenis perlakuan, ini dapat berarti bahwa setiap orang itu seharusnya sama dalam kekuasannya mempengaruhi kebijakan dan setiap warga negara seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk memilih/memenangkan kandidat tertentu dalam suatu pemilu. Menurut Beitz, warga negara harus diperlakukan setara sebagai partisipan dalam proses politik dan juga harus diperlakukan secara adil sebagai subjek dari kebijakan publik.25
Penutup Buku karya Nuri Suseno ini telah menguraikan banyak teori mengenai representasi politik dari masa ke masa dan perkembangannya. Bahkan Jon Elster, “Introduction” to J. Elster dan R. Slagstad (Eds), “Constitutionalisme and Democracy” dalam Anne Phillips, The Politic of Presence, (Oxford: Clarendon Press, 1995), hlm. 27. 23
24
Phillips, ibid., hlm. 27-28.
25
Charles Beitz, “Political Equality” dalam ibid., hlm. 38.
teori-teori representasi politik yang baru seperti representasi non-elektoral (representasi informal karena tidak merupakan hasil pemilu) telah memberikan warna baru bagi perkembangan dunia representasi dan perpolitikan. Akan tetapi, terkait dengan teori representasi non-elektoral yang menjelaskan tentang kelompok-kelompok termarjinalkan kurang dibahas mengenai posisi perempuan dalam politik atau keterwakilan politik perempuan. Perempuan di seluruh dunia pada tingkat sosial kurang terwakili suara dan kepentingannya di parlemen dan jauh dari keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan-keputusan politik yang menyangkut kepentingan publik pada umunya dan kepentingan perempuan khususnya. Padahal gerakan perempuan dan teori politik feminis telah memberikan peran terhadap perubahan yang terjadi. Rendahnya angka keterwakilan perempuan dalam struktur partai politik dan parlemen, bukanlah akibat keterbatasan aspek ekonomi dan tingkat pendidikan perempuan saja. Namun, rendahnya angka keterwakilan perempuan dalam politik sebenarnya dipengaruhi oleh begitu banyak faktor baik itu faktor budaya patriarki, ekonomi, dan sosial politik. Di Indonesia, kecenderungan memahami representasi politik untuk meningkatkan keterwakilan perempuan masih terbatas pada kehadiran perempuan dalam politik formal saja. Upaya tersebut dilakukan dengan adanya kebijakan afirmasi melalui kuota untuk memenuhi jumlah keterwakilan perempuan di partai politik maupun parlemen. Jika patokan keterwakilan hanya itu, maka masih terjadi ketidaksetaraan politik. Pemberlakuan sistem kuota untuk perempuan dalam rangka peningkatan angka keterwakilan politik perempuan baik di partai politik maupun parlemen masih menjadi paradoks. Disatu sisi, kebijakan kuota memang memberikan ruang bagi perempuan untuk bisa terlibat dalam proses politik, dan diharapkan mampu membawa kepentingan perempuan dan kelompok-nya. Namun, di sisi lain, perempuanperempuan yang masuk dalam dunia politik tidak saja mengalami hambatan dari segi ekonomi dan sosial tapi juga persoalan ideologi, mekanisme
Dari Representasi Politik Formal ... | Esty Ekawati | 135
dan budaya patriarki masih menjadi persoalan yang cukup terjal bagi perempuan. Oleh karena itu, yang terlihat, pemberlakuan sistem kuota bagi perempuan hanya untuk memenuhi daftar caleg ataupun patuh terhadap undang-undang yang mengharuskan angka 30%. Padahal persoalan keterwakilan yang penting adalah bagaimana perempuan-perempuan terpilih ini bisa mewakili kepentingan kelompok-kelompoknya. Skeptisme bahkan muncul untuk mempertanyakan akankah perempuan-perempuan terpilih yang duduk di parlemen benar-benar menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan perempuan, atau justru terjebak dalam dominasi maskulinitas tanpa bisa melawan. Dalam segi representasi formal yang ada payung hukumnya pun perempuan masih mengalami under-representation, apalagi representasi non-elektoral yang notabene belum memiliki kerangka hukum formal yang mengaturnya. Terkait dengan representasi informal (nonelektoral) persoalan klaim yang diuraikan dalam buku ini masih meninggalkan pertanyaan besar. Apakah jika memang ada kelompok atau individu yang mengklaim bahwa mereka mewakili kepentingan kelompok tertentu, itu dibenarkan oleh kelompok-kelompok yang diwakili?. Misalnya, Serikat Petani mengklaim mewakili dan menyuarakan kepentingan para petani dan buruh di daerah tertentu, seperti memperjuangkan pembaruan agraria, melindungi hak asasi petani, mewujudkan kedaulatan pangan, dan melawan neoliberalisme. Tapi sebenarnya para buruh tani ini tidak merasa memberikan mandat atau menyuarakan kepentingannya lewat organisasi tersebut, bahkan mungkin saja menurut buruh tani ini mereka tidak mengalami permasalahan yang harus diperjuangkan. Atau sebaliknya, keberadaan serikat petani tersebut justru untuk melakukan represi/penundukan terhadap petani agar tidak bersuara. Selain itu, bisa juga kepentingan organisasi terkait persoalan pendanaan dan kepentingan ekonomi politik lainnya yang mengatas-namakan petani dan buruh tani.
untuk benar-benar bisa meluruskan paradoks representasi yang terjadi saat ini. Hal ini juga menjadi pekerjaan rumah bagi partai politik untuk benar-benar memberikan porsi keterwakilan politik perempuan tanpa diskriminasi. Mewujudkan representasi politik kelompok minoritas maupun kelompok terpinggirkan bukanlah hal mudah untuk diwujudkan karena membutuhkan political will dari elit-elit politik dan pemangku kepentingan.
Daftar Pustaka Buku
Dovi, Suzzane. 2011. “Political Representation” dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy. Stanford: Stanford University Press. Phillips, Anne. 1995. The Politic of Presence. Oxford: Clarendon Press. Pitkin, Hanna F. 1967. The Concept Of Representation. California: University Of California Press. Suseno, Nuri. 2013. Representasi Politik : Perkembangan dari Ajektiva ke Teori. Depok : Puskapol FISIP UI. Young, Iris Marion. 2000. Inclusion and Democracy. Oxford: Oxford University Press.
Hal itulah yang kemudian menjadi pekerjaan rumah besar bagi para organisasi-organisasi yang mengklaim mewakili kelompok minoritas, kelompok tertindas dan kelompok lainnya
136 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 129–136
TENTANG PENULIS
Ridho Imawan Hanafi Penulis menyelesaikan pendidikan S1 Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Dr. Soetomo, Surabaya. Melanjutkan S2 di Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia. Pada 2008-2014 penulis sebagai peneliti di Soegeng Sarjadi Syndicate, Jakarta. Kajian yang diminati adalah partai politik dan demokrasi. Penulis dapat dihubungi melalui email: ridhoimawan@gmail. com.
Hayati Nufus Penulis adalah kandidat peneliti pada Pusat Penelitian Politik. Gelar Sarjana Humaniora diperolehnya dari Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia pada tahun 2013. Ia mulai bergabung di LIPI dan berkecimpung di dunia penelitian sejak tahun 2014. Fokus perhatiannya selama ini berkisar pada perkembangan politik, sosial, dan budaya Tiongkok. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected].
Wasisto Raharjo Jati Penulis adalah peneliti Perkembangan Politik Nasional Pusat Penelitian Politik (P2P), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pada tahun 2012, menamatkaan kuliah (S-1) di Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Aktif menulis di berbagai jurnal ilmiah nasional terakreditasi dan kolom opini di berbagai media massa, baik lokal maupun nasional. Bidang kajian yang kini tengah digeluti adalah globalisasi, politik lokal, ekonomi-politik internasional serta politik budaya. Penulis dapat dihubungi melalui email: wasisto.raharjo.jati@ gmail.com.
Sandy Nur Ikfal Raharjo Penulis adalah peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI. Latar belakang pendidikannya adalah Ilmu Hubungan Internasional untuk S1 dan Resolusi Konflik untuk S2. Ia menekuni studi-studi pembangunan wilayah perbatasan, sengketa dan konflik perbatasan, serta isu-isu stabilitas keamanan regional. Penulis dapat dihubungi melalui email: sandy.raharjo@gmail. com.
Indriana Kartini Penulis adalah peneliti pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI sejak 2003 hingga saat ini. Menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran pada tahun 2002. Penulis melanjutkan studi S2 di University of Melbourne, Australia, dan memperoleh gelar Master of International Politics pada tahun 2008. Penulis juga aktif dalam Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES). Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected].
Ganewati Wuryandari Saat ini tercatat sebagai Ahli Peneliti Utama di Pusat Penelitian Politik (P2P LIPI). Mendapatkan gelar Dra. Dari Fisipol, UGM tahun 1987, MA. Dalam bidang International Relations, di Department of Politics, Monash University tahun 1994, dan PhD Discipline of Asian Studies, the University of Western Australia, tahun 2006. Ia juga aktif sebagai mitra bestari di Jurnal Politica dan Anggota Pengurus Pusat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Fokus kajiannya adalah Asia Pasifik, Australia-Indonesia, Timor Leste, Perbatasan, Politik Luar Negeri Indonesia, dan isu-isu kontemporer dalam hubungan internasional. Penulis dapat dihubungi melalui email: ndari_
[email protected].
Tentang Penulis | 137
Muhammad Fakhry Ghafur Penulis adalah peneliti pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI sejak 2010 hingga sekarang. Memperoleh gelar sarjana sastra Arab dan Studi Islam dari The Faculty of Islamic Call Tripoli-Libya pada tahun 2006. Magister Ilmu Al-Qur’an dan Studi Islam diperoleh dari Institut PTIQ Jakarta tahun 2009. Penulis dapat dihubungi melalui email: fachryghafur@gmail. com.
Esty Ekawati Lulus Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia pada 2013. Pernah mengajar di FISIP Universitas Bung Karno, Jakarta dan FISIP Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta. Minat kajian yang ditekuni saat ini adalah tentang perkembangan partai politik dan representasi perempuan dalam politik. Penulis bisa dihubungi melalui e-mail:
[email protected].
Nina Andriana Peneliti Perkembangan Politik nasional Pusat Penelitian Politik (P2P), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini adalah alumnus S2 dari Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Indonesia. Minat kajian adalah: Pemikiran Politik, Komunikasi Politik dan Politik Kebijakan Tata Kelola Kebencanaan. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected].
138 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 137–138
INDEKS
Indeks Kata Kunci Aneksasi i, iii, vii, 27, 36 ASEAN iv, viii, xii, 55, 56, 60, 61, 63, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 73, 74, 80, 81, 83 Demokrasi a, i, iv, ix, x, 1, 2, 3, 4, 5, 8, 11, 13, 15, 16, 91, 93, 98, 101, 102, 103, 117, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 143 Desa i, iii, 18, 20, 21, 22, 23, 24, 26 desa global vii, 17 Diplomasi viii, 43, 49, 52, 66, 70 Ekonomi Politik a, iii, 18, 26 Globalisasi i, iii, 23, 24, 26 Impian Tiongkok i, iii, viii, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 51, 53 Indonesia i, iii, iv, viii, ix, xi, xii, xiii, 1, 2, 4, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 20, 21, 23, 24, 25, 26, 27, 43, 45, 47, 49, 54, 55, 56, 59, 61, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 85, 101, 102, 103, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 114, 115, 116, 117, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 127, 128, 129, 135, 137, 138, 141, 142, 144, 145 Jalur Sutra viii, 43, 44, 45, 49, 50, 51, 53, 54 kebijakan luar negeri iv, viii, ix, 71, 73, 74, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82 Kepala Daerah i, iii, 1, 4, 13, 15, 16, 111 Krimea i, iii, vii, viii, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40 Laut Tiongkok Selatan i, iv, viii, 53, 55, 56, 57, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69 Libya i, iv, ix, xiii, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 95, 96, 97, 98, 99, 138 Mesir i, iv, ix, 31, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99 Partai Politik i, iii, 1, 4, 5, 6, 9, 10, 12, 15, 16, 110, 112, 127, 128, 143 Pemilu a, i, iii, iv, ix, 5, 6, 12, 15, 16, 33, 86, 87, 89, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 101, 102, 103, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 116, 120, 121, 143 pilkada langsung vii, 1, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 14, 15 Politik Islam a, i, iv, ix, 85, 91, 93, 96
presidensialisme iv, ix, 101, 102, 103, 104, 105, 107, 114, 116, 125 rekrutmen politik vii, 1, 4, 5, 13, 112 Representasi Formal x, 129 representasi non-elektoral v, x, 129, 130, 133, 134, 135, 136 Rusia i, iii, vii, viii, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 66, 75, 80 sistem pemilu iv, ix, 101, 104, 110, 111, 112, 125, 126 Terorisme i, iv, viii, 71, 72, 73, 74, 75, 77, 78, 80, 81, 83 Timur Tengah a, iv, ix, 60, 85, 86, 87, 88, 89, 91, 93, 95, 96, 97, 98, 99 Tunisia i, iv, ix, xiii, 85, 86, 87, 88, 89, 91, 92, 93, 96, 98, 99, 100 Ukraina i, iii, vii, viii, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41 Key Words Index annexation ASEAN iv, viii, xii, 55, 56, 60, 61, 63, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 73, 74, 80, 81, 83 CHINA DREAM xii, 43 DEMOCRACY xiii, 85 Diplomacy xii, 43, 51, 52, 54 Direct Election xi, 1 Egypt xiii, 85 foreign policy xii, 71 general election xiii, 101 global village xi, 17 globalization xi, 17 Indonesia i, iii, iv, viii, ix, xi, xii, xiii, 1, 2, 4, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 20, 21, 23, 24, 25, 26, 27, 43, 45, 47, 49, 54, 55, 56, 59, 61, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 85, 101, 102, 103, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 114, 115, 116, 117, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 127, 128, 129, 135, 137, 138, 141, 142, 144, 145 Islamic Politics xiii, 85
Indeks | 139
Libya i, iv, ix, xiii, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 95, 96, 97, 98, 99, 138 Middle East xiii, 85, 88, 99, 137 non-electoral representation xiv, 129 political party xiii, 101 political recruitment xi, 1 presidentialism xiii, 101 russia xi, 27 Silk Road xii, 43, 49, 51, 52, 54, 57, 69
South China Sea xii, 55, 59, 60, 61, 62, 63, 65, 67, 68, 69, 70 terrorism xii, 71 Tunisia i, iv, ix, xiii, 85, 86, 87, 88, 89, 91, 92, 93, 96, 98, 99, 100 ukraine xi, 27 village xi, 17
140 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014
PEDOMAN PENULISAN 1. Tulisan yang dimuat harus merupakan kajian ilmiah atas isu dan peristiwa yang berkaitan dengan politik dalam negeri dan internasional, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. 2. Tulisan merupakan karya sendiri, bukan saduran atau terjemahan dan belum pernah dipublikasikan dalam bentuk dan bahasa apa pun. 3. Tulisan mengandung data atau pemikiran yang baru dan orisinal. 4. Tulisan yang dimuat sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi penulis yang bersangkutan. 5. Panjang naskah untuk artikel, 20–25 halaman A4, spasi 1,5; book review, 10–15 halaman A4, spasi 1,5. 6. Sistematika artikel hasil pemikiran/telaahan adalah judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi; alamat e-mail penulis; riwayat naskah; abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 25 kata dalam bahasa Indonesia); kata kunci (4–5 kata kunci); pendahuluan; pembahasan (terbagi dalam beberapa subjudul); penutup; daftar pustaka. JUDUL Penulis Nama Instansi Alamat lengkap instansi penulis Email penulis Riwayat naskah Abstract: Abstract in English (max. 150 words) Keywords: 4–5 words/ phrase Abstrak: Abstrak dalam bahasan Indonesia (maks. 250 kata) Kata Kunci: 4–5 kata/ frasa Pendahuluan Pembahasan Penutup Daftar Pustaka 7. Sistematika artikel review buku (book review) adalah judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi; alamat e-mail penulis; riwayat naskah; judul buku; pengarang; penerbit; cetakan; tebal; abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 25 kata dalam bahasa Indonesia); kata kunci (4–5 kata kunci); pendahuluan; pembahasan (terbagi dalam beberapa subjudul); penutup; daftar pustaka.
Pedoman Penulisan | 141
JUDUL Penulis Nama Instansi Alamat lengkap instansi penulis Email penulis Riwayat naskah Judul buku Pengarang Penerbit Tahun Terbit Tebal Abstract: Abstract in English (max. 150 words) Keywords: 4–5 words/ phrase Abstrak: Abstrak dalam bahasan Indonesia (maks. 250 kata) Kata Kunci: 4–5 kata/ frasa Pendahuluan Pembahasan Penutup Daftar Pustaka 1. Tabel dan gambar, untuk tabel dan gambar (grafik) di dalam naskah harus diberi nomor urut. a. Tabel atau gambar harus disertai judul. Judul tabel diletakkan di atas tabel, sedangkan judul gambar diletakkan di bawah gambar. b. Sumber acuan tabel atau gambar dicantumkan di bawah tabel atau gambar. c. Garis tabel yang dimunculkan hanya pada bagian header dan garis paling bawah tabel, sedangkan untuk garis vertikal pemisah kolom tidak dimunculkan. Contoh penyajian Tabel: Tabel 1. Agenda-agenda Besar Konsolidasi Domain Internal
Eksternal
Vertikal Pemantapan kepengurusan partai hingga level terendah Sosialisasi agenda politik
Horizontal Pemantapan soliditas elite partai pada level DPP Pemantapan agenda politik menyambut pemilu Pembangunan, pemeliharaan dan peman- Penjajagan koalisi dengan partai-partai tapan dukungan masyarakat lain dan kalangan institusi-institusi nonpolitik
142 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014
Contoh penyajian Gambar/Grafik: 100 90
93.3 84.9 79.76
80
70.99
70
DPR Presiden
60 50 1999
2004
2009
Sumber: Komisi Pemilihan Umum (KPU) Grafik 2. Tren Partisipasi dalam Pemilu
9. Perujukan sumber acuan menggunakan footnotes, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Format rujukan dari buku: nama penulis, judul buku (italic), kurung buka, kota penerbitan, titik dua, nama penerbit, tahun terbit, kurung tutup, nomor halaman, titik. Contoh: Denny J.A., Partai Politik Pun Berguguran, (Yogyakarta: LKIS, 2006), hlm. v. b. Format rujukan dari buku (bunga rampai): nama penulis artikel, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik”, dalam, nama editor buku, judul buku (italic), kurung buka, kota penerbitan, titik dua, nama penerbit, tahun terbit, kurung tutup, nomor halaman, titik. Contoh: Leonardo Morlino, “Political Parties and Democratic Consolidation in Southern Europe,” dalam Richard Gunther, P. Nikiforos Diamandouros dan Hans Jurgen Puhle (eds.), The Politics of Democratic Consolidation: Southern Europe in Comparative Perspective, (Baltimore MD: Johns Hopkins University Press, 1995), hlm. 315−388. c. Format rujukan dari jurnal: nama penulis, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik,” sumber artikel (italic), nomor atau edisi, tahun, h., nomor halaman, titik. Contoh: Lili Romli, “Peta Kekuatan Politik Setelah Reformasi dan Kecenderungan Koalisi Parpol,” Jurnal Demokrasi dan HAM, 2000, hlm. 124-125. d. Format rujukan dari makalah seminar/konferensi: nama penulis, “judul makalah ditulis tegak dalam dua tanda petik,” makalah, nama/tema seminar, tempat pelaksanaan seminar, waktu, nomor halaman, titik. Contoh: Andrea Ceron dan Alessandra Caterina Cremonesi, “Politicians Go Social: Estimating IntraParty Heterogeneity (and its Effect) through the Analysis of Social Media,” makalah disampaikan pada NYU La Pietra Dialogues on Social Media and Political Participation, Florence, 10-11 Mei 2013, hlm. 3.
Pedoman Penulisan | 143
e. Format rujukan dari media online: nama penulis, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik,” nama situs, tanggal akses situs. Contoh: Berita8, “Media Sosial bisa Perkuat Fungsi Partai Politik”, 18 April 2013, http://www.berita8. com/berita/2013/04/MediaSosial-bisa-perkuat-fungsi-partai-politik, diakses pada tanggal 18 Juni 2013. f. Format rujukan dari media massa: nama penulis, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik,” sumber media (italic), tanggal terbit, nomor halaman, titik. Contoh: Degung Santikarma, “Monumen, Dokumen dan Kekerasan Massal,” Kompas, 1 Agustus 2003, hlm. 12. 10. Penulisan sumber Daftar Pustaka dibedakan menjadi: buku; jurnal; laporan dan makalah; surat kabar dan website. Daftar Pustaka dituliskan dengan urutan abjad nama belakang (family name). Format penulisan sebagai berikut: a. Format rujukan dari buku Buku dengan satu pengarang: nama penulis; tahun terbit; judul buku; tempat terbit; nama penerbit. Contoh: Caplan, Bryan. 2007. The Myth of the Rational Voter: Why Democracies Choose Bad Policies. New Jersey: Princeton University Press.
Buku dengan dua pengarang: nama penulis (dua orang); tahun terbit; judul buku; tempat terbit; nama penerbit. Contoh: Aspinall, E. dan M. Mietzner. 2010. Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society. Singapore: ISEAS Publishing. Buku dengan lebih dari dua pengarang: nama penulis (et al.); tahun terbit; judul buku; tempat terbit; nama penerbit. Contoh: Ananta, Aris et al. 2004. Indonesian Electoral Behaviour: A Statistical Perspective. Singapore: ISEAS Publishing. Artikel/tulisan dalam buku: nama penulis; tahun terbit; judul tulisan; dalam nama editor; judul buku; tahun terbit; tempat penerbit; nama penerbit. Contoh: Qodari, M. 2010. “The Professionalisation of Politics: The Growing Role of Polling Organisation and Political Consultants”, dalam Aspinall, E. dan M. Mietzner (eds.). Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society. Singapore: ISEAS Publishing.
b. Format rujukan dari jurnal: nama penulis; tahun; judul artikel; nama jurnal; volume jurnal; nomor jurnal; nomor halaman. Contoh: Ufen, A. 2008. “From Aliran to Dealignment: Political Parties in post-Suharto Indonesia”. South East Asia Research, 16 (1): 5–41. c. Format rujukan dari laporan dan makalah: Laporan penelitian: nama penulis; tahun terbit; judul laporan; tempat penerbit; nama penerbit. Contoh:
144 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014
Mainwaring, Scott, 1998. “Rethinking Party Systems Theory in The Third Wave of Democratization: The Importance of Party System Institutionalization.” Working Paper #260 - October 1998, Kellogg Institute.
Makalah seminar: nama penulis; tahun terbit; judul makalah; nama kegiatan seminar; waktu pelaksanaan kegiatan seminar; tempat penerbit; nama penerbit. Contoh: Ceron, Andrea dan Alessandra Caterina Cremonesi. 2013. “Politicians Go Social: Estimating IntraParty Heterogeneity (and its Effect) through the Analysis of Social Media”. Paper disampaikan pada NYU La Pietra Dialogues on Social Media and Political Participation, Florence, 10–11 Mei 2013.
a. Format rujukan dari surat kabar dan website Artikel media massa: nama penulis; tahun terbit; judul artikel; nama media massa; tanggal terbit; nomor halaman. Contoh: Wahid, Sholahuddin. 1998. “Di Balik Berdirinya Partai-Partai di Kalangan NU”, Republika, 3 Oktober.
Artikel online: nama penulis/institusi; tahun terbit; judul artikel, alamat websites; waktu unduh. Contoh:
Aspinall, Edward, “The Taming of Ethnic Conflict in Indonesia”, http://www.eastasiaforum. org/2010/08/05/the-taming-of-ethnic-conflict. 11. Pengiriman Artikel: »» Naskah dikirim dalam bentuk printout sebanyak 2 eksemplar beserta softcopy ke alamat redaksi atau dapat dikirimkan melalui email redaksi (
[email protected]). »» Redaksi memberikan honorarium untuk setiap artikel yang dimuat. »» Artikel yang diterima setelah deadline akan dipertimbangkan untuk dimuat pada edisi berikutnya. 12. Alamat Jurnal Penelitian Politik: P2P-LIPI, Widya Graha LIPI, Lantai III & XI Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10 Jakarta Selatan 12710 Telp/Faks. (021) 520 7118 13. Langganan: Harga pengganti ongkos cetak Rp. 75.000,- per eksemplar sudah termasuk ongkos kirim biasa. Untuk berlangganan dan surat-menyurat langsung hubungi bagian sirkulasi Redaksi Jurnal Penelitian Politik.
Pedoman Penulisan | 145