INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014
Daftar Isi
infokop VOL. 24 NO. 2 - DESEMBER 2014
Daftar Isi............................................................................................................ i Kata Pengantar................................................................................................... iii Editorial.............................................................................................................. iv 1.
Memperkuat Posisi Koperasi Dan UKM Dalam Rantai Pasok Global Untuk Komoditi Serat Sabut Kelapa Akhmad Junaidi....................................................................................
1-12
2.
Pengembangan Industri Hijau UKM Hasan Jauhari......................................................................................
13-27
3.
Membangun Kemandirian Ekonomi Indonesia Berbasis Koperasi Dan UMKM Johnny W. Situmorang..........................................................................
28-43
4.
Kapasitas Badan Hukum Koperasi Dalam Melakukan Kegiatan Korporasi: Telaah Yuridis-Konstitusional Akhmad Junaidi dan Muhammad Joni ................................................
44-53
5.
The ASEAN SME Policy Index 2014 : Key Findings and Ways Forward For Indonesia Anita Richter dan Anders Jonsson, .....................................................
54-64
6.
Kemungkinan Dampak Pengurangan Subsidi Harga Premium November 2014 Terhadap UMKM Tulus T.H. Tambunan............................................................................
65-81
7.
Pengembangan Penyuluhan Perkoperasian Achmad H. Gopar.................................................................................
82-101
8.
Promosi Ekonomi Anggota Dalam Organisasi Koperasi Heira Hardiyanti...................................................................................
102-115
9.
Pengembangan Ekonomi Produktif Pedesaan Melalui Koperasi Berbasis PLTMH Victoria PAP Br. Simanungkalit............................................................
116-130
Indeks Isi............................................................................................................ 131 Indeks Penulis.................................................................................................... 137 Indeks Mitra Bestari........................................................................................... 138 Pedoman Penulisan INFOKOP 2014................................................................. 140 i
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
ii
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Petunjuk-Nya, sehingga Infokop Volume 24 Nomor 2 dapat terbit pada bulan Desember 2014. Infokop adalah Media Ilmiah yang menginformasikan berbagai hasil kajian, analisis, gagasan, dan hasil diskusi yang berkaitan dengan upaya pengembangan koperasi dan UKM. Infokop telah diterbitkan sejak tahun 2002 dan terdaftar pada Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII) LIPI dengan nomor ISSN 0216-813X. Infokop diterbitkan untuk mensosialisasikan berbagai hasil kajian, analisis, dan hasil dokumentasi lain terkait dengan pemberdayaan koperasi dan UKM. Dalam edisi ini kami menetapkan tema utama “Pengembangan Koperasi di Sektor Riil” dan tema lain yang terkait dengan pemberdayaan koperasi dan UKM. Kami mengharapkan, melalui Infokop, berbagai hasil kajian, analisis, gagasan, dan diskusi yang sangat berguna tersebut dapat dimanfaatkan oleh seluruh pihak yang berkepentingan, baik dari akademisi, pemerintahan, pelaku usaha, maupun masyarakat umum. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada para Penulis dan Mitrabestari serta pihak-pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan Infokop Volume 24 Nomor 2. Semoga Infokop Volume 24 Nomor 2 dapat bermanfaat dalam mendukung pemberdayaan koperasi dan UKM. Jakarta, Desember 2014 Penanggung Jawab
Ir. Asep Kamaruddin, M.P.
iii
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014
EDITORIAL Perkembangan Koperasi di ranah sektor riel harus diakui tidak secepat kinerja Koperasi yang berbisnis di lingkup keuangan atau moneter. Peluangnya ternyata cukup tersedia meski sentuhan kebijakan dan program belum segencar dengungan slogan yang diperdengarkan. Melalui sembilan artikel, INFOKOP edisi kali ini mencoba mengurai sejumlah peluang yang sementara ini belum sepenuhmya dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat melalui organisasi ekonomi yang berbadan hukum yang dikenal dengan nama Koperasi. Mengembangkan dan memanfaatkan Koperasi untuk kepentingan ekonomi anggota dan masyarakat memang tidak dapat diharapkan dirasakan secara langsung atau instant, sebab membutuhkan waktu dan proses. Berbeda halnya apabila misalnya membangun infrastruktur seperti jembatan, jalan, dlsbnya yang secara fisik prosesnya dapat diamati secara visual atau kasat mata. Namun, juga disadari bahwa perbaikan kesejahteraan masyarakat di bidang sosial ekonomi juga tidak bisa disepelekan atau ditangguhkan berlama–lama sebab berpotensi munculnya social unrest. Hal ini tentunya akan berakibat lebih buruk dan bisa lebih sulit untuk menata kembali pada jalur yang benar. Pemerintah sebenarnya menyadari hal ini, meski beberapa kalangan beranggapan seringkali terkesan lambat merespons, but better late than never. Oleh karena itu, ditempuhlah kebijakan dan program terobosan untuk mendorong pertumbuhan Koperasi di sektor riel. Salah satunya melalui Program Bantuan Sosial (Bansos) melalui Kementerian Koperasi dan UKM dengan berbagai wujud kegiatan yang diantaranya adalah fasiltasi bantuan permodalan secara tunai dan/atau kredit, sarana dan prasarana produksi, perangkat lunak, dlsbnya. Semuanya tetap mempunyai karakter yang sama yaitu dibutuhkan waktu tertentu guna merasakan secara langsung atau tidak langsung kemanfaatannya. Artikel pertama, menguraikan tentang Program Bansos yang berwujud kegiatan iv
pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) untuk dikelola melalui Koperasi di daerah pedesaan terisolir dan tertinggal. Bantuan PLTMH melalui Koperasi pada tahun 2013 dialokasikan kepada 10 lokasi. Di kedua remote areas ini belum tersedia sumber enerji untuk menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat di sekitar wilayah yang terjangkau oleh aliran listrik PLTMH. Dari sudut pandang sosiologis, keberadaan penerangan listrik secara nyata dirasakan oleh rumah tangga penduduk seperti kegiatan belajar anak–anak usia sekolah dan penerangan fasilitas sosial (masjid, mushola, gereja, sekolah, puskesmas, kantor desa, jalan desa dan bahkan kantor koperasi itu sendiri). Dampak tidak langsung yang diharapkan muncul dari Program Bansos PLTMH tersebut diantaranya adalah bertumbuhnya industri rumah tangga (pengolahan makanan dan minuman lokal, kerajinan anyaman dan kain tenun, kesenian, perdagangan eceran, dll.) yang pada akhirnya menjadi embrio terbentuknya capacity building (seperti semangat wirausaha), profesionalitas, serta kesadaran berkegiatan yang ramah lingkungan (green business or economy), sebab enerji PLTMH umumnya berasal dari aliran air sungai. Dampak langsung dapat bermuculan dari kegiatan ekonomi produktif dalam bentuk, pertukangan mebel, las, dll. pengolahan produk–produk pertanian, usaha penggilingan padi (huller), perdagangan umum/eceran usaha jasa fotocopy, dll. yang pada gilirannya dapat menjadi embrio pusat–pusat pertumbuhan ekonomi wilayah pedesaan di masa yang akan datang. Sejalan dengan program ini, upaya pemberdayaan tetap diselenggarakan melalui pendampingan teknologi, kewirausahaan dan supervisi sehingga bisnis koperasi tumbuh dengan berdaya saing dalam rangka menyejahterakan masyarakat pedesaan secara berkesinambungan. Koperasi dalam kaitan ini berfungsi sebagai mesin penggerak ekonomi produktif pedesaan secara lebih revolusioner yang diharapkan berdampak makro melalui
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014
penanggulangan kemiskinan dan menekan ketimpangan perkotaan dengan pedesaan. Penulis berpendapat bahwa sudah saatnya dilahirkan Kebijakan Skim Insentif Subsidi bagi Koperasi seperti halnya subsidi ke PT. PLN (Persero) yang sudah berlangsung puluhan tahun. Hanya dengan kebijakan pemihakan demikian bisa mendorong Koperasi mampu mendukung program pemerintah untuk mengatasi stagnasi ekonomi pedesaan, perangkap kemiskinan pedesaan, ketimpangan pendapatan, jeratan subsidi enerji fosil pada APBN, serta isu–isu lingkungan akibat emisi gas rumah kaca dan perubahan iklim. Pertanyaan mendasar yang seringkali muncul kepermukaan dan belum banyak disentuh adalah mengapa tujuan mensejahterakan anggota, melalui Koperasi Indonesia seringkali kehilangan arah ? Salah satu unsur yang ditengarai menjadi penyebabnya adalah pengelola Koperasi yang tidak komprehensif menguasai kondisi anggota secara utuh, baik itu rumah tangga anggotanya ataupun perusahaan yang dimiliki oleh anggota. Oleh sebab itu sudah semestinya koperasi memiliki database profil anggota yang informatif dan dapat dijadikan sebagai landasan awal pengembangan dan pelayanan koperasi. Bertitik tolak dari informasi dan basis data anggota dari berbagai aspek, dapatlah dibentuk dan dikembangkan unit– unit pelayanan koperasi untuk menjawab segala kebutuhan dan upaya mempromosikan ekonomi anggotanya secara terukur dan kapasitas anggota. Selanjutnya, berdasarkan analisis kebutuhan anggota tersebut, rencana strategis pengembangan organisasi dan perusahaan Koperasi dapat disusun. Misalnya, membentuk unit pelayanan Koperasi yang berkaitan langsung dengan kepentingan ekonomi anggotanya. Koperasi dari sudut pandang sosio ekonomi mencerminkan adanya dua perusahaan (double enterprises) dengan dua sifat (double nature) yang inherent dan berbeda. Sebagai perusahaan, Koperasi dimiliki secara kolektif sedangkan Koperasi sebagai perusahaan atau rumah tangga anggota, Koperasi dimiliki
oleh masing–masing anggota secara individu. Perusahaan anggota menjadi anggota pada Koperasi Produsen (yang menyediakan jasa pemasaran dan pengadaan input) sedangkan rumah tangga konsumsi menjadi anggota pada Koperasi Konsumen (yang menjamin kebutuhan konsumtif anggotanya). Sejak pendiriannya, Koperasi dibangun semata– mata untuk kesejahteraan anggotanya dengan cara mempromosikan ekonomi anggota melalui pelayanan Koperasi yang dimanfaatkan anggotanya dan harus dapat dihitung (terukur) dalam satuan rupiah. Dari sinilah dampak ekonomi berkoperasi dapat diukur melalui manfaat ekonomi langsung dan manfaat ekonomi tidak langsung. Namun, manfaat–manfaat ini belum disadari oleh anggota karena tidak terdokumentasikan dengan baik. Salah satu cara mengatasi hal ini adalah dengan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas anggotanya melalui program pendidikan dan pelatihan (Diklat) yang sesuai dengan kebutuhannya guna menunjang perekonomian rumah tangga anggotanya sehingga tercapai promosi ekonomi anggota. Peran anggota sebagai pemilik Koperasi dapat lebih dioptimalkan melalui proses Diklat dan peran aktif dalam kegiatan pengawasan. Mengevaluasi kinerja Pengurus merupakan kewajiban anggota sebagai fungsi pengendalian dalam manajemen. Hal ini berkaitan dengan membangun organisasi koperasi yang kuat, sehat dan mandiri (good cooperative governance) melalui penilaian kinerja yang disebut sebagai akuntabilitas koperasi. Artikel ketiga membahas tentang dampak pengurangan subsidi harga enerji (bahan bakar minyak /BBM) pada bulan November 2014 terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang sementara ini diasumsikan menjadi anggota Koperasi. Studi deskriptif ini disusun berdasarkan analisis data sekunder dan literartur mengenai pengalaman UMKM sebelumnya ketika harga BBM naik. Secara umum, temuan studi diuraikan dalam dua dampak yakni dampak tidak langsung dan dampak langsung.
v
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014
Kegiatan UMKM sebagian besar tidak bersifat padat–energi sebagaimana Usaha Besar (UB) sehingga kenaikan harga energi/ BBM tidak berdampak keuangan secara langsung, namun kemampuan UMKM untuk menghadapi setiap dampak negatif kemungkinan jauh lebih rendah dan lebih serius. Akan tetapi, dampak tidak langsung berupa inflasi menurunkan pendapatan riel (daya beli) sehingga menurunkan permintaan pasar dari rumah tangga berpendapatan rendah. Kondisi UMKM pun amat beragam dan data yang tersedia masih belum memadai untuk memprediksi secara rinci. Konsekwensinya, belum dapat diukur dampak penentuan harga enerji pada berbagai sektor atau kelompok industri. termasuk sifat proses produksi, struktur biaya, marjin keuntungan, keamanan keuangan, permintaan pasar, dan kapasitas UMKM menyesuaikan diri dengan kenaikan harga.
enerji dan memodernisasi sistem produksi UMKM. Mendorong penggunaan enerji alternatif oleh UMKM menggunakan energi, termasuk pengembangan kelembagaan, informasi, kemitraan dan pembangunan jaringan (networking), penelitian dan pengembangan kolaboratif, hak atas kekayaan intelektual, pembiayaan dan infrastruktur. Mencari solusi jangka panjang dengan penggunaan enerji alternatif atau mengembangkan enerji terbarukan bekerja sama dengan para aktor masyarakat lokal seperti universitas ataupun organisasi non–pemerintah untuk pembangkit kecil atau terbarukan seperti angin, matahari, sistem mikro–hidro maupun biofuel yang dapat bertahan lama (sustainable). Di banyak tempat, elektrifikasi dari enerji biomassa telah terbukti membantu pengembangan UMKM seperti penguapan gabah/beras pra–tanak (rice parboiling), atap rumah (roofing tiles) dan pengawetan tembakau (curing tobacco).
Dampak langsung kenaikan harga BBM pada bulan November 2014 diprediksi relatif kecil terhadap UMKM melalui biaya transportasi, pembelian bahan mentah dan penyediaan modal, sebab secara umum kegiatan UMKM tidak intensif bahan bakar. Bagaimana mereduksi dampak negatif ini ?
Sejalan dengan pemikiran tersebut, pengembangan industri hijau di kalangan UKM Indonesia sudah saatnya mendapatkan perhatian walau sebenarnya relatif masih baru. Meski demikian, sebagaimana halnya pelaku usaha lainnya, pelaku UKM berpotensi strategis dalam pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan melalui industri hijau. Dalam kerangka ini, sangat dibutuhkan kebijakan afirmatif untuk membantu UKM untuk menjadi pelaku bisnis yang ramah lingkungan agar memudahkan UKM menjadi pengguna teknologi dan produk ramah lingkungan, serta mengembangkan dan memasarkan teknologi dan produk yang juga ramah lingkungan. Selain itu, kerjasama internasional bisa menjadi salah satu cara untuk mempercepat upaya dalam pemberdayaan industri hijau UKM di Indonesia. Oleh karena itu, pemahaman terhadap konsepsi pengembangan industri hijau UKM yang benar akan memudahkan bagi Indonesia untuk menyusun kebijakan dan program pemberdayaan. Terdapat dua pendekatan pengembangan industri hijau UKM yang dapat diadopsi, misalnya dari sisi permintaan (demand side), UKM didorong untuk menggunakan sumberdaya dan faktor produksi yang ramah lingkungan sementara
Beberapa alternatif kebijakan yang diusulkan antara lain adalah meningkatkan akses pembiayaan bank untuk UMKM yang layak bisnis dan berpotensi besar berkontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) dan ekspor di masa mendatang. Menghilangkan prosedur birokratis yang tidak perlu untuk mengurangi waktu yang dihabiskan dan mahalnya biaya terkait pengurusan perizinan bagi UMKM, termasuk izin impor bahan mentah dan mengekspor barang atau jasa. Merealokasikan sejumlah dana yang dihasilkan dari reformasi subsidi untuk mengembangkan infrastruktur dan fasilitas transportasi publik, khususnya di wilayah pedesaan di mana sebagian besar UMKM berada. Investasi di pendidikan untuk meningkatkan ketersediaan tenaga kerja terampil yang mencakup pengembangan SDM, kewirausahaan dan pembiayaan. Mengefisienkan penggunaan vi
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014
dari sisi penawaran (supply side), UKM didorong dan difasilitasi untuk memiliki kemampuan memproduksi barang dan jasa yang ramah lingkungan. Secara konseptual, partisipasi UKM dalam industri hijau (greener SMEs) relatif lebih sederhana sebab meliputi kemauan dan kemampuan UKM untuk menggunakan atau menghasilkan produk dengan fungsi yang sama tetapi lebih ringan, lebih kecil, dapat dipakai secara berulang kali, dapat di daur ulang limbahnya serta menggunakan enerji dengan lebih efisien baik dalam proses pembuatannya maupun dalam distribusi dan penggunaannya oleh konsumen. Secara keseluruhan, UKM dituntut untuk mempertimbangkan dampak negatif terhadap lingkungan baik dalam mengekplorasi bahan baku, menggunakan bahan penolong, proses produksi, pencemaran lingkungan akibat limbah serta dampak negatif terhadap lingkungan setelah produk dipakai atau dikonsumsi oleh konsumen. Upaya strategis yang patut dilakukan untuk mendorong peranserta UKM dalam industri ramah lingkungan adalah memberikan edukasi kepada baik produsen maupun konsumen untuk menumbuhkan kesadaran dan pengetahuan terkait pentingnya memproduksi dan mengkonsumsi produk ramah lingkungan, memberikan akses yang mudah bagi UKM produsen dalam penggunakan dan atau melakukan inovasi pengembangan teknologi ramah lingkungan, menyediakan sumberdaya produktif seperti pendanaan untuk memberikan insentif bagi UKM dalam pengembangan industri hijau di kalangan UKM serta mempromosikan kepada masyarakat luas tentang penggunakan produk UKM yang ramah lingkungan. Mengapa green business atau green industry menjadi isu penting ? hal ini tentunya karena pelaku UKM juga memiliki tanggung jawab sosial terhadap sustainable development baik secara individual maupun secara kolektif termasuk manakala bergabung dalam organisasi Koperasi. Kajian ASEAN SME Policy Index menemukan bahwa Indonesia relatif telah memiliki kerangka kerja sektor keuangan yang
utuh, kebijakan dan program yang berorientasi kedepan serta dilengkapi dengan tersedianya sejumlah dukungan fasilitas bagi para pengusaha. Meski demikian, pelaku UMKM di Indonesia yang mampu melakukan ekspor tercatat tidak lebih dari 16 persen dari jumlah sekitar 99 persen dari populasi usahawan. Kondisi ini mengindikasikan keperluan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing UMKM Indonesia agar dapat sejajar dengan pelaku usaha yang sama di negara–negara maju. Terkait dengan hal ini, dibutuhkan penyempurnaan dalam hal penyebaran kredit program dan jasa pelayanan usaha. Naskah ini menyajikan dua tema terobosan yang selayaknya menjadi fokus pembenahan kebijakan yakni koordinasi kebijakan yang lebih sempurna termasuk ketidaktergantungan (terhadap faktor eksternal), dan implementasi fungsi pengendalian manajemen misalnya dengan penyediaan data aktivitas pemantauan dan evaluasi (monev) dengan sasaran yang jelas serta kesejajaran kebijakan dan program untuk keperluan restrukturisasi sektor swasta dan rencana sasaran jangka panjang. Lebih lanjut, kebijakan dan program ini selayaknya saling terkait dengan kebutuhan usaha UMKM dan tujuan restrukturisasi ekonomi jangka panjang. Hasil studi tentang Indeks Kebijakan ini mengetengahkan kekuatan dan kelemahan Indonesia dalam hal penyusunan dan penerapan kebijakan umum untuk UMKM, serta sejumlah rekomendasi perbaikan. Bisnis serat atau sabut kelapa (Cocofibre) sebenarnya bukan merupakan hal baru terutama bagi pelaku usaha swasta yang inovatif, namun belum menjadi andalan usaha oleh Koperasi ataupun anggota Koperasi. Padahal, lokasi usaha Koperasi Indonesia tersebar di berbagai tempat dimana terdapat tanaman kelapa yang dikelola secara tradisional maupun melalui format perkebunan kelapa terluas di dunia. Data empiris menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara penghasil buah kelapa terbanyak di dunia. Hampir seluruh bagian dari tanaman kelapa dapat dimanfaatkan untuk keperluan peralatan rumah tangga dan untuk dikonsumsi atau bahkan di ekspor, seperti daging buah kelapa setelah diproses menjadi Kopra. Bagian vii
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014
lain dari tanaman dan buah kelapa yaitu sabut kelapa di sejumlah tempat masih dianggap sebagai limbah dan dibuang begitu saja. Sabut kelapa ini dapat diolah menjadi Cocofibre dan Cocopeat yang memiliki permintaan pasar dunia yang cukup menjanjikan. Pemanfaatan Cocofibre selama ini dikenal sebagai bahan mentah pembuat tali sedangkan di dunia industri modern merupakan bahan baku utama bagi industri matras/kasur dan jok mobil mewah. Selain Cocofibre, produk andalan yang dikenal sebagai Coconet dan Cocomesh sangat banyak digunakan untuk mereklamasi lahan–lahan pertambangan. Sedangkan Cocopeat dimanfaatkan sebagai media tanam pengganti tanah untuk mendukung kelestarian lingkungan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kegiatan pengolahan sabut kelapa terbukti dapat meningkatkan nilai tambah, membuka lapangan kerja baru dan perbaikan pendapatan masyarakat petani serta berpotensi menghasilkan devisa dari hasil ekspor. Bertitik tolak kepada fakta empiris ini, Koperasi sudah saatnya meraih peluang usaha yang masih terbuka luas, sebab terdapat prospek yang menguntungkan bila diperdagangkan secara komersial. Satu hal yang tidak kalah penting adalah bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam jumlah luas area, produksi kelapa dan sabut kelapa yang menjadi bagian penting dari rantai pasok serabut kelapa dunia. Oleh karena itu, Pemerintah perlu menyiapkan program pemberdayaan KUKM dalam bentuk pendampingan, meningkatkan akses pembiayaan serta memberikan dukungan ketersediaan listrik, jalan dan pelabuhan. Kemandirian Ekonomi merupakan isu krusial dalam memperkokoh pilar pembangunan ekonomi Indonesia untuk menghapuskan kemiskinan di tengah arus globalisasi. Struktur perekonomian Indonesia dewasa ini masih dinilai sangat rentan sebab dalam mewujudkan stabilitas perekonomian makro juga masih terjadi dilema antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan ekonomi atau pembangunan. Disinyalir terjadi ketimpangan ekonomi antar individu, antar kelompok, dan
viii
antar wilayah karena KUMKM belum dijadikan basis perekonomian meskipun KUMKM telah mewarnai struktur perekonomian Indonesia dengan jumlah pelaku usaha yang banyak, penyerapan tenaga kerja yang besar, kontribusi ekdalam pembentukan PDB, dan penyebaran meluas sampai dari perkotaan ke perdesaan. Kondisi inilah yang menjadi pokok pemikiran bahwa kemandirian ekonomi Indonesia semestinya berbasis pada pembangunan KUMKM. Oleh karena itu, peran pemerintah melalui Kementerian KUKM, dinilai sangat strategis untuk menjadikan KUMKM sebagai basis kemandirian ekonomi Indonesia. Sejalan dengan perubahan lingkungan strategis, reformasi birokrasi adalah kunci sukses kemandirian ekonomi melalui pembangunan KUMKM. Kementerian KUKM melaksanakan amanah sebagai lembaga pelayanan yang fokus pada sinkronisasi dan koordinasi pembangunan dan pemerintahan daerah sebagai pelaksana perencanaan strategis pembangunan KUMKM. Artikel ini menyajikan analisis kebutuhan pembangunan dan pengorganisasian pembangunan KUMKM sebagai refleksi teoritis dan praktek pembangunan KUMKM yang selama ini belum signifikan menghapuskan kemiskinan dan ketimpangan. Pemikiran ini bila diterapkan akan mampu menjawab masalah pembangunan kemandirian ekonomi. Konsekuensi positif struktur perekonomian yang kokoh, mandiri dan berbasis KUMKM sangat luas ditinjau dari berbagai aspek. Antara lain, partisipasi rakyat semakin luas dalam proses “memetik dan menikmati hasil pembangunan” sehingga menguatkan struktur perekonomian Indonesia dalam globalisasi yang semakin kompetitif terutama memasuki era Asean Economic Community (AEC) yang dimulai Desember 2015. Reformasi birokrasi menjadi prasyarat utama untuk membangun KUMKM sejalan dengan reorientasi pemerintahan ke pelayanan dan otonomi daerah. Di samping itu, sumber pembiayaan pembangunan akan meningkat tajam manakala kemampuan KUMKM membayar pajak tumbuh signifikan. Secara
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014
politis, pemberdayaan KUMKM sebagai ekonomi rakyat yang melibatkan puluhan juta orang anggota Koperasi akan secara nyata meningkatkan popular vote untuk mewujudkan demokrasi yang bermartabat dan cerdas dengan terpenuhinya kesejahteraan rakyat. Dalam kerangka AEC, dari sudut pandang potensi dan ketersediaan sumberdaya manusia dan alam, Indonesia patut menjadi leader dalam perekonomian kawasan. Demikian pula, dalam kerangka WTO, Indonesia akan semakin berperan dan dapat berperan aktif untuk merumuskan kesepakatan yang dengan perdagangan bebas yang adil. Strategi pembangunan ekonomi mandiri melalui pembangunan KUMKM akan berhasil bila didukung oleh pembiayaan yang sepadan. Oleh karena itu, Pemerintah perlu mempertimbangkan secara serius dalam mengalokasikan dana, setidaknya 10% dari APBN, untuk pembiayaan program pembangunan KUMKM. Diharapkan, secara nasional tujuan menjadikan “Indonesia Hebat”, sejalan dengan Trisakti Pembangunan dapat terwujud. Dalam Undang–Undang Dasar 1945, posisi Koperasi mendapatkan posisi dan fungsi strategis untuk menjalankan berbagai lapangan usaha. Selanjutnya, Undang–Undang tentang Perkoperasian Nomor 25 Tahun 1992 juga menempatkan Koperasi sebagai badan hukum yang berkedudukan sejajar dengan badan hukum lain. Namun fakta di lapangan menunjukkan adanya ketentuan perundang– undangan dan Peraturan Menteri teknis yang membatasi atau bahkan melarang aktivitas Koperasi di sektor perbankan, dan tenaga kerja, bahkan diprediksi masih akan muncul ketentuan yang menghambat kegiatan Koperasi di sektor keuangan. Ketentuan perundang– undangan dan kebijakan selanjutnya secara nyata telah meminggirkan Koperasi sebagai badan hukum yang pada gilirannya akan merugikan koperasi, dan berpotensi melanggar konstitusi. Pada posisi, Pemerintah diharapkan mengadvokasi kesadaran hukum lembaga Koperasi agar memperoleh keadilan dalam
menjalankan usaha yang sejajar dengan badan hukum lainnya. Keberadaan badan hukum koperasi sebagai entitas ekonomi diakui dalam hukum koperasi dan peraturan perundangan mengenai perkoperasian. Sangat beralasan memperkuat badan hukum koperasi yang mencakup kelembagaan, permodalan/harta kekayaan terpisah, kemampuan melakukan perbuatan hukum, mempunyai legal standing di dalam/luar pengadilan. Praktik dan regulasi internasional, mengakui dan mendukung badan hukum koperasi melakukan usaha termasuk di sektor keuangan. UU Perkoperasian telah memperkuat badan hukum koperasi sehingga dapat diharmonisasikan ke dalam RUU Perbankan, RUU Usaha Perasuransian, dengan memasukkan koperasi sebagai bentuk badan hukum usaha perbankan dan usaha perasuransian. Kajian tentang penyuluhan perkoperasian ini dilaksanakan di lima provinsi; Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Fokus kajian diarahkan kepada tiga hal pokok yaitu program dan kegiatan, metode dan materi penyuluhan, dan organisasi penyuluhan. Konklusi yang dihasilkan antara lain : pertama, perlu adanya upaya berkelanjutan untuk mengintroduksikan pentingnya kegiatan penyuluhan perkoperasian kepada anggota koperasi; kedua, perlu adanya program penyuluhan perkoperasian yang disusun secara komprehensif. Program penyuluhan perkoperasian, harus tetap menjadi bagian yang mandiri dengan berfokus pada materi penyuluhan perkoperasian yang memuat kandungan spesifik dan lokal. Pengorganisasian kegiatan penyuluhan perkoperasian perlu lebih dikembangkan untuk mendorong lembaga lain menjadi lembaga pelaksana kegiatan penyuluhan perkoperasian. Perguruan tinggi atau universitas merupakan lembaga yang sangat potensial untuk didorong menjadi lembaga pelaksana kegiatan penyuluhan perkoperasian. Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan inisiatif untuk memanfaatkan LSM
ix
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014
dan lembaga sosial untuk melakukan kegiatan penyuluhan perkoperasian. Adapun metode kegiatan penyuluhan perkoperasian hendaknya tidak terbatas pada metode dalam kelas/ruangan dan kegiatan penyuluhan lapangan. Salah satu media yang dapat dimanfaatkan adalah media sosial via internet. Melalui media sosial ini jangkauan dan sasaran penyuluhan menjadi sangat luas, dan dalam waktu yang sangat singkat. Oleh karena itu kegiatan penyuluhan perkoperasian membutuhkan rekrutmen baru tenaga penyuluh perkoperasian melalui proses seleksi yang lebih baik agar diperoleh tenaga penyuluh perkoperasian yang berkompeten. Contoh empiris dapat dengan menduplikasi proses rekrutisasi dengan penekanan kepada kriteria kompetensi dasar bagi seorang tenaga penyuluh, sebagaimana diterapkan Cooperative Extension System di Amerika Serikat. Sebenarnya, banyak kalangan terdidik dan
penggiat bisnis yang sarat dengan pengalaman berbisnis dan bersedia menjadi sukarelawan untuk berbagi keahlian dan pengalamannya dengan masyarakat, khususnya dengan gerakan koperasi. Untuk itulah, maka langkah– langkah inisiatif dari pihak Pemerintah sangat dianjurkan untuk berkomunikasi dengan semua pihak yang berkompeten dalam bidang penyuluhan. Keseluruhan artikel yang dimuat dalam edisi INFOKOP saat ini diharapkan menjadi bagian dari sumber inspirasi untuk memperkuat dan mengembangkan peran Koperasi di sektor riel, meski belum sepenuhnya berfokus kepada pengembangan usaha di sektor riel. Bagaimanapun Koperasi memiliki peluang dan potensi yang sama untuk berkegiatan di berbagai sektor sesuai dengan kapasitas yang dimiliki oleh setiap Koperasi.
Jakarta,
Desember 2014
Dewan Redaksi Ketua,
Dr. Burhanuddin R., M.A
x
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
xi
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
xii
MEMPERKUAT POSISI KOPERASI DAN UKM DALAM RANTAI PASOK GLOBAL UNTUK KOMODITI SERAT SABUT KELAPA (Akhmad Junaidi)
MEMPERKUAT POSISI KOPERASI DAN UKM DALAM RANTAI PASOK GLOBAL UNTUK KOMODITI SERAT SABUT KELAPA STRENGTHENING THE POSITION OF COOPERATIVES AND SMEs IN THE GLOBAL SUPPLY CHAIN OF COCOFIBRE COMMODITIES Akhmad Junaidi Peneliti Madya Manajemen Koperasi dan UKM Kementerian Koperasi dan UKM Jalan H.R. Rasuna Said Kav. 3-4 Jakarta Selatan Email:
[email protected] Diterima 21 November 2014; diedit 24 November 2014; disetujui 1 Desember 2014 Abstrak Indonesia merupakan Negara beriklim tropis, memiliki pantai terpanjang keempat di dunia dan memiliki perkebunan kelapa terluas di dunia. Indonesia adalah Negara penghasil buah kelapa terbanyak di dunia. Sayangnya, bagian lain dari buah kelapa, yaitu sabut kelapa masih dianggap sebagai limbah dan dibuang begitu saja. Padahal sabut kelapa jika diolah menjadi cocofibre dan cocopeat akan menjadi produk yang mudah diperdagangkan di pasar dunia. Cocofibre ini merupakan bahan baku industri matras untuk kasur, jok mobil mewah. Selain itu cocofibre menjadi bahan baku pembuat tali, coconet dan cocomesh yang digunakan untuk mereklamasi eks. lahan pertambangan. Sedangkan cocopeat dimanfaatkan sebagai media tanam pengganti tanah untuk mendukung kelestarian lingkungan. Hasil pengamatan terhadap KUKM menunjukkan bahwa kegiatan pengolahan sabut kelapa terbukti dapat menciptakan nilai tambah nilai tambah, lapangan kerja dan pendapatan serta menghasilkan devisa. Sejumlah bank telah membiayai usaha ini kepada KUKM dengan kinerja angsuran kredit lancar. Bahkan ada satu perusahaan modal asing yang telah memasuki bisnis ini di Indonesia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kegiatan usaha ini memkiliki prospek dan menguntungkan diperdagangkan secara komersial. Pemerintah perlu menyiapkan program pemberdayaan KUKM dalam bentuk pendampingan, meningkatkan akses pembiayaan serta memberikan dukungan ketersediaan listrik, jalan dan pelabuhan. Semoga kita memiliki cara pandang yang sama bahwa kita tidak akan membiarkan kekuatan asing akan memanfaatkan peluang usaha ini, sebaliknya kita harus mendorong agar pemain lokal tidak menjadi penonton kelak. kata kunci: rantai pasok dunia, cocofibre, cocopeat, serat sabut kelapa, KUKM. Abstract Indonesia is a tropical country, has the fourth longest coastline in the world and has the largest coconut plantation in the world. Indonesia is a country that produces the most widely coconuts in the world. Unfortunately, other parts of coconuts, the coconut husks still considered as waste and thrown away. If coconut fiber that has been processed into cocofibre and cocopeat will be a product that is easily traded in the world market. Cocofibre is the raw material for the mattress industry mattress. Additionally cocofibre become raw material for making coco rope, coconet and cocomesh used to reclaim the former mining land. While cocopeat be used as a substitute for soil growing media to support environmental sustainability. According to observation of Cooperatives and SMEs (KUKM) shows that coconut coir processing activities are proven to create value-added, job creation and generating dollars. A number of banks have financed this business to Cooperative and SMEs with the performance of well performancd loan. In fact there is 1
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 1-12
a foreign capital company which has entered this business in Indonesia. This indicates that these business activities have prospects and profitable in terms of commercial. The government needs to prepare Cooperatives and SMEs empowerment program in the form of mentoring, improving access to finance and support the availability of electricity, roads and ports. May we have the same perspective that we will not allow foreign powers would take advantage of this business opportunity, otherwise we should encourage local players do not be a spectator in the future. keywords: world supply chain, cocofibre, cocopeat, cooperatives and SMEs.
I.
Pendahuluan
Perkebunan kelapa di Indonesia adalah yang terluas di dunia. Tanaman kelapa tumbuh dengan baik pada semua tempat di Indonesia. Pohon kelapa memiliki bentuk pohon yang menjulang tinggi ke angkasa dengan ketinggian tiga sampai lima meter. Pohon kelapa tumbuh subur di sekitar pesisir pantai serta daerah yang beriklim tropis. Oleh karena itulah, pohon kelapa mudah kita temukan di Indonesia. Buah kelapa memiliki banyak manfaat unntuk menunjang kehidupan seluruh umat manusia. Semua bagian pohon kelapa dapat dimanfaatkan untuk kehidupan kita sehari-hari. Daun kelapa dapat digunakan untuk membuat ketupat. Lidi dapat dibuat sapu dan tusuk sate serta kerajinan piring. Pelepah dan batangnya untuk kayu bakar. Air kelapa selain dapat diminum langsung, juga dapat diolah menjadi produk minuman seperti nata de coco. Daging kelapa dapat dibuat untuk santan dan minyak goreng. Sabut kelapa merupakan bagian yang terbesar dari buah kelapa. Sekitar 35 persen dari bobot buah kelapa merupakan sabut kelapa. Sabut kelapa memiliki pasar yang baik. Tetapi masih banyak orang memperlakukan sabut kelapa sebagai hasil samping, dan seringkali dibuang, ditelantarkan atau digunakan sebagai bahan bakar memasak, membakar bata. Kebanyakan masyarakat Indonesia belum mengetahui potensi pasar dan bagaimana cara mengolahnya, atau memperdagangkannya. Padahal jika dilihat dari pertumbuhan pasar serat sabut kelapa dunia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di beberapa Negara maju, justru serat sabut kelapa sangat 2
diminati masyarakat. Karena serat sabut kelapa dinlai memiliki keunggulan sebagai serat alami. Dari sabut kelapa dapat dihasilkan dua jenis produk, yaitu serat sabut kelapa (cocofibre) dan gabus kecil-kecil (cocopeat). Kedua jenis produk tersebut sudah dapat diproduksi Koperasi dan UKM. Serat sabut kelapa memiliki potensi pasar di luar negeri yang sangat tinggi, terutama potensi pasar di China. Menurut data Asosiasi Industri Sabut Kelapa Indonesia (AISKI) permintaan serat sabut kelapa di China mencapai 2.000 ton per hari. Sementara cocopeat sangat dibutuhkan sebagai media tanam sebagai alternatif pengganti tanah yang tidak subur dan rusak misalnya karena eksplorasi pertambangan. Di Korea dan Jepang coocopeat dibutuhkan untuk media tanam dan bedding animal. Belum lagi kita memperhitungkan permintaan cocopeat di sejumlah Negara-negara Eropa yang saat ini memiliki prospek pasar yang sangat bagus. Potensi Indonesia untuk berpartisipasi dalam perdagangan serat sabut kelapa dunia sangat terbuka. Pada saat ini pasokan serat sabut kelapa kelapa dunia dikuasai India dan Srilangka. Padahal kedua Negara tersebut memiliki luas area dan produksi lebih sedikit dibanding Indonesia (lihat tabel 1). Hubungan perdagangan yang sangat baik dengan China membuka jalan Indonesia mengekspor serat sabut kelapa ke China. China memiliki pasar yang menjanjikan, terutama untuk pasar serat sabut kelapa yang digunakan untuk memenuhi industri matras berbahan baku serat sabut kelapa. Jika peluang ekspor ini dapat direalisasikan menjadi kesempatan
MEMPERKUAT POSISI KOPERASI DAN UKM DALAM RANTAI PASOK GLOBAL UNTUK KOMODITI SERAT SABUT KELAPA (Akhmad Junaidi)
berusaha bagi UKM, maka UKM Indonesia akan memiliki kontribusi dalam ekspor sekaligus mengurangi defisit perdagangan Indonesia dengan China. Transaksi perdagangan luar negeri Indonesia dengan China sudah mengalami defisit sejak tahun 2012. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 1 Agustus 2014, menunjukkan untuk non-migas, China merupakan penyumbang defisit terbesar. Impor dari China pada JanuariJuni sebesar 14,4 miliar dollar AS (negara asal impor Indonesia terbesar), sedangkan ekspor Indonesia ke China pada kurun waktu yang sama sebesar 10,1 miliar dollar AS (negara tujuan ekspor Indonesia terbesar). Dengan demikian Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan China sebesar 4,3 miliar dollar AS1. UKM Indonesia boleh dikatakan berhasil menguasai teknologi yang dapat menghasilkan produk yang diterima pasar di China. Menurut laporan AISKI (Asosiasi Industri Sabut Kelapa Indonesia), pada saat ini ada 100 pabrik skala UKM serat sabut kelapa telah mengekspor serat sabut kelapa ke China. Jenis mesin dan peralatan yang dibutuhkan untuk menggerakkan industri ini relatif sederhana. Mesin dan peralatan produksi bisa dihasilkan oleh anak bangsa. Mesin dan peralatan ini dapat dibeli di Indonesia. Sehingga jika semua dapat didayagunakan, maka industri serat sabut kelapa akan berada pada posisi serasa menjadi tuan di negeri sendiri. Beberapa bank terutama bank pelaksana KUR telah mulai berani membiayai usaha ini. Dengan adanya keberanian bank membiayai usaha ini berarti telah ada model pembiayaan dan track record UKM yang mengelola usaha ini. Dengan demikian, ke depan usaha ini dapat dibiayai oleh bank secara komersial. Pemerintah perlu memberikan dukungan dan perhatian terhadap perkembangan industri
serat sabut kelapa. Usaha ini dapat dijalankan dengan skala UKM, modal relatif kecil dan dapat menciptakan ratusan ribu lapangan pekerjaan di wilayah pesisir. Usaha ini jika dikembangkan akan menciptakan sumber pendapatan baru bagi masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir. Usaha ini jika dikembangkan dapat menciptakan multiplier effect yang sangat tinggi. Usaha ini telah memiliki good practices dilihat dari sisi pasar, teknologi dan pembiyaan serta menjadi salah satu model pemberdayaan UKM di wilayah pesisir. II. Potensi Sabut Kelapa di Indonesia Indonesia adalah Negara Kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 17.508 2. Indonesia merupakan negara berpantai terpanjang keempat di dunia setelah Amerika Serikat (AS), Kanada dan Rusia. Panjang garis pantai Indonesia tercatat sebesar 95.181 km3. Indonesia memiliki wilayah pesisir yang sangat luas. Wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk provinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu (kewenangan provinsi) untuk kabupaten/kota dan ke arah darat batas administrasi kabupaten/kota4. Di wilayah pesisir menyimpan tanaman kelapa yang ada di sepanjang pesisir pantai. Indonesia merupakan negara penghasil kelapa terbesar di dunia. Pemanfaatan buah kelapa oleh manusia adalah sebagian besar untuk menghasilkan minyak kelapa. Indonesia memiliki potensi strategis menjadi pemain utama dalam rantai pasok serabut kelapa dunia. Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai Negara penghasil utama kelapa dunia. Hal ini dimungkinkan karena secara alami, wilayah Indonesia memiliki posisi geografis di daerah tropis dengan kondisi agroklimat yang
1
Faisal Basri, Defisit Perdagangan Indonesia-China Terus Membengkak, Jakarta, 2014
2
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_pulau_di_Indonesia, 2014
3
http://id.wikipedia.org/wiki/Pantai,2014,
4
Kementerian KKP, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomoar: KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, 2014
3
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 1-12
mendukung tumbuh suburnya tanaman kelapa. Luas area kebun kelapa di Indonesia merupakan 1,4% dari luas area kebun kelapa 5 negara penghasil buah kelapa dunia. Dilihat dari luas area dan jumlah produksi kelapa, posisi Indonesia lebih memiliki daya saing komparatif sebagai pemasok bahan baku sabut kelapa di dunia dibandingkan dengan Philippina, India, Srilangka dan Thailand. Produksi kelapa mencapai sebanyak 12,91 milyar butir kelapa per tahun atau 24,4 % kelapa dihasilkan oleh Indonesia. Menurut AISKI (2014) produksi kelapa di Indonesia bisa mencapai 15 milyar buah kelapa setiap tahun. Produksi kelapa di Indonesia dikontribusikan oleh petani petani kecil. Sekitar 95 % kebun kelapa di Indonesia merupakan perkebunan rakyat. Dengan demikian, jumlah pelaku usaha budidaya kelapa sebagian besar merupakan petani skala UKM5.
Dengan asumsi setiap butir kelapa ratarata mengandung mesokarp (selimut) kelapa sebanyak 35 % serat kasar atau sabut kelapa. Maka jika potensi ini dihitung, Indonesia memiliki dapat menghasilkan sabut kelapa sebanyak 4,5 juta ton sampai dengan 5,25 juta ton setiap tahun. Namun sebaliknya dilihat pemanfaatan sabut kelapa yang diolah menjadi cocofibre yang dihasilkan atau setara dengan mengolah 480.000 000 butir kelapa. Indonesia baru mampu mengolah cocofibre sekitar 0,6 %. Namun data terakhir, menurut AISKI Indonesia saat ini baru bisa mengolah serat kelapa sebesar 3, 2 % dari potensi bahan baku yang tersedia di Indonesia. Sementara Srilangka dan India bisa mengolah cocofibre masing-masing sebanyak 50,3 % dan 44,7 %. Dengan demikian jika dibandingkan dengan Negara penghasil kelapa lainnya, Indonesia kalah jauh terutama jika dibandingkan dengan India dan Srilangka.
Tabel 1. Luas Area, Produksi Buah Kelapa dan Coofibre Menurut Negara Penghasil Kelapa
Sumber : Asosiasi Industrri Sabut Kelapa Indonesia, 2014
5
4
AISKI, 2014, Pemanfaatan Produk Unggulan Sabut Kelapa Dan Akses Pemasaran Bagi Pengembangan Usaha KUMKM, Biltar
MEMPERKUAT POSISI KOPERASI DAN UKM DALAM RANTAI PASOK GLOBAL UNTUK KOMODITI SERAT SABUT KELAPA (Akhmad Junaidi)
Tanaman kelapa menyebar di semua provinsi di Indonesia, kecuali Provinsi DKI Jakarta. Tingkat kepadatan tanaman kelapa di setiap provinsi berbeda-beda. Namun dipastikan setiap provinsi dapat membangun pabrik serat sabut kelapa skala UKM. Untuk melihat seberapa besar UKM sabut kelapa yang bisa dibangun di setiap provinsi, maka kita dapat melihat luas tanaman kelapa menurut provinsi. Kita bisa melihat Diagram 1. Provinsi Riau memiliki luas area sebesar 539.850 Ha. Dengan demikian di Provinsi Riau ini banyak sangat berpotensi dibangun industri sabut kelapa. Provinsi memiliki luas area dan bahan baku paling banyak diantara daerah ini. Selanjutnya provinsi yang memiliki luas area diatas 200.000 Ha adalah Provinsi Jawa Timur, Sulut, Jateng, dan Maluku Utara. Selanjutnya terdapat 9 Provinsi yang memiliki luas area diatas 100.000 Ha sampai dengan 200.000 Ha. Berikutnya terdapat 9 Provinsi yang memiliki luas area diatas 50.000 Ha s/d 100.000 Ha. Sisanya adalah provinsi yang memiliki luas area dibawah 50.000. Luasan area ini bisa menjadi petunjuk bagi Pemerintah dan dunia usaha untuk menentukan provinsi apa yang paling memilki potensi sebagai pemasok bahan baku serat sabut kelapa. Luas tanaman dan jumlah tanaman sangat mempengaruhi tumbuhnya industri serat sabut kelapa. Namun perlu diingat juga faktor ketersediaan infrastruktur pelabuhan, jalan dan listrik berpengaruh terhadap minat industri. Dengan demikian suatu daerah yang semakin banyak luas tanaman dan jumlah pohon kelapa, dan memiliki dukungan infrastrruktur yang baik, maka semakin cenderung tumbuh industri di wilayah tersebut. Berdasarkan data AISKI tahun 2013, jumlah industri pengolahan sabut kelapa di Indonesia sebanyak 100 unit yang tersebar di Lampung sebanyak 34 pabrik, Riau 12 pabrik, Jawa Timur 12 pabrik, Jawa
Tengah 8 pabrik, Jawa Barat 6 pabrik, Banten 3 pabrik, Yogyakarta 2 pabrik, Sumatera Selatan 3 pabrik, Jambi 3 pabrik, Sumatera Barat 1 pabrik, Sumatera Utara 4 pabrik, Aceh 1 pabrik, Bengkulu 1 pabrik, Kalimantan Timur 1 pabrik, Kalimantan Barat 1 pabrik, Sulawesi Utara 5 pabrik, Sulawesi Tengah 1 pabrik, Sulawesi Barat 1 pabrik, dan Maluku Utara 1 pabrik. Jika diperhatikan jumlah pabrik di setiap provinsi provinsi diatas memiliki korelasi positif dengan ketersediaan bahan baku dan infrastruktur. Demikian juga melihat lebih detail, keberadaan lokasi industri sabut kelapa juga ada korelasinya dengan kepadatan tanaman di setiap kabupaten. Kepadatan tanaman kelapa ini dapat mempengaruhi efisien biaya pengumpulan sabut kelapa. Semakin tinggi tingkat kepadatan tanaman kelapa di suatu lokasi, maka semakin terbuka peluang untuk mendirikan pabrik sabut kelapa. Menurut AISKI, sebanyak 61 kabupaten di Indonesia memiliki luasan area > 15.000 ha, sebanyak 39 kabupaten dengan luasan antara 15.000 > x >10.000 ha, sebanyak 54 kabupaten dengan luasan antara 10.000 > x > 5.000 ha dan sisanya bawah 5.000 ha. Dengan melihat ketersediaan bahan baku sabut kelapa yang melimpah dan menyebar di setiap daerah, maka sebenarnya Indonesia memiliki potensi untuk menumbuhkan banayak industri pengolahan berbasis sabut kelapa di sentra-sentra penghasil kelapa. Dengan asumsi setiap satu industri sabut kelapa skala UKM dengan kapasitas produksi cocofibre 2 ton sehari membutuhkan 16.000 butir sabut kelapa setiap hari atau setara dengan luasan kebun kalapa sebesar 10 Ha, maka jika seluruh sumber bahan baku digunakan, Indonesia memiliki kapasitas membangun 380.000 unit industri sabut kelapa.
5
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 1-12
Diagram 1: Luas Area Kebun Kelapa Indonesia Menurut Propinsi (Ha) 2013
III. Pasar Serat Cocopeat
Sabut
Kelapa
dan
Betapa terkejutnya penulis menyaksikan keberadaan pabrik serabut sabut berbentuk Perusahaan Modal Asing (PMA). PMA 6
ini berlokasi di Panjang Tanjung Karang Lampung. Perusahaan Modal Asing (PMA) milik orang India. PMA ini memproduksi mengolah sabut kelapa menjadi cocofibre dan selanjutnya diolah menjadi coir rope
MEMPERKUAT POSISI KOPERASI DAN UKM DALAM RANTAI PASOK GLOBAL UNTUK KOMODITI SERAT SABUT KELAPA (Akhmad Junaidi)
(tali sabut kelapa). PMA ini memanfaatkan bahan baku sabut kelapa yang melimpah di Lampung, dan mengolahnya menjadi tali sabut kelapa dan selanjutnya diekspor di USA dalam bentuk coir rope gulungan. Keberadaan PMA di Lampung di satu sisi menimbulkan kekhawatiran bagi pemain lokal, tetapi di sisi lain, jika UKM lokal tidak diperhatikan, maka bukan tidak mungkin akan ada PMA-PMA lain yang akan memanfaatkan kekayaan sumber daya Indonesia. Menurut AISKI, China merupakan pasar tujuan ekspor potensial yang menjanjikan. Industri matras di China berkembang sangat pesat. Menurut hasil wawancara dengan beberapa eksportir, pada saat ini Indonesia baru bisa memasok sangat sedikit dari total kontrak pembelian yang dibutuhkan China. Pasar serat sabut kelapa juga terbuka untuk memasok kebutuhan industri jok mobil dan jok kursi, kasur berbahan baku cocofibre dan latek. Beberapa perusahaan mobil yang sudah menggunakan bahan tersebut diantaranya adalah Mercedes Benz, Volkswagen Porche, dan Opel6. Kemampuan Indonesia mengekspor serat sabut kelapa sebesar 72.000 ton per tahun (AISKI, 2014). Dari total ekspor sabut kelapa tersebut, 60.000 ton diekspor ke China dalam bentuk raw material yang dihasilkan 100 pabrik sabut kelapa di seluruh Indonesia. Sisanya sebanyak 10.000 ton diekspor dalam bentuk coconet, cocomesh, tali, dan aneka kerajinan sabut kelapa. Rata-rata skala industri pengolah sabut kelapa berkapasitas produksi sebesar 2 ton per hari. Dari 100 pabrik tersebut, penulis mengunjungi dua pabrik di Lampung dan Padang Pariaman. Kedua pabrik yang penulis kunjungi memiliki kapasitas produsksi setiap hari 2 ton serat sabut kelapa, kecuali dalam keadaan hujan, pabrik tidak bisa beroperasi secara optimal karena terkendala pengeringan.
6
http://sabutkelapaberkaret.wordpress.com/
7
http://sabutkelapaalami.blogspot.com
Di China kasur berbahan baku serabut sabut kelapa dan karet sangat diminati oleh masyarakat yang senang berhubungan dengan kesehatan dan bersifat alami. Menggunakan kasur berbahan serat sabut kelapa dan karet memiliki banyak kelebihan antara lain produk ini memiliki rongga yang memungkinkan sirkulasi udara lancar dan memberi kesejukan pada pemakainya pada saat cuaca panas. Kelebihan lainnya yaitu kasur berbahan serabut kelapa dapat menahan hawa panas sehingga akan terasa hangat saat cuaca dingin. Kasur berbahan baku serabut kelapa dicampur dengan karet, dengan tujuan untuk meningkatkan elastisitas dan keawetan sehingga kasur tersebut tidak mudah rusak dan mengempis7. Serat sabut kelapa dapat juga digunakan untuk membuat coconet sebagai alas media tanam, maka akar tanaman akan sangat kuat mencekram di tanah karena terikat dengan lembaran coconet yang ikut tertanam di tanah. Sehingga tanaman yang ditanam di media tanam dengan alas coconet, pohon menjadi tidak gampang tumbang. Dunia internasional mengakui bahwa penggunaan coconet untuk mereklamsi tanah eks. tambang sangat efektif untuk melakukan penghijauan. Coconet memiliki kelebihan antara lain seratnya yang natural mampu mengikat akar tumbuhan dengan baik sebagai media tanam. Selain itu coconet memiliki fungsi dapat menahan tanah dari erosi, bahkan untuk lahan yang miring. Beberapa contoh perusahaan tambang yang mengunakan coconet untuk keperluan reklamasi bekas tambang antara lain Chevron Geothermal (Garut), Freeport (Papua), Martabe Access Road (Sumut), Berau CoaL (Kaltim). Coconet juga dapat digunakan untuk menumbuhkan tanaman baru. Coconet yang diikatkan di tepian pantai, akan memicu tumbuhnya tanaman baru pada seratnya. Sifat coconet yang baik sebagai media tanam di darat, dapat pula digunakan sebagai media
7
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 1-12
tanam di air. Penanaman rumput laut adalah salah satu contohnya. Jaring yang ditebarkan di tepi laut, kemudian ditanami rumput laut mampu tumbuh dan berkembang dengan baik8. Sabut kelapa selain dapat menghasilkan cocofibre juga cocopeat. Setiap 1 sabut kelapa dapat menghasilkan 35 % berupa cocofibre dan 65 % adalah cocopeat (serbuk sabut kelapa). Menurut berbagai sumber, cocopeat mengandung unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan tanaman. Unsur hara tersebut adalah kalium, fosfor, calsium, magnesium. Kandungan sabut kelapa yang paling dominan adalah unsur Kalium. Unsur kalium ini plus fosfor sangat diperlukan oleh tanaman terutama sewaktu tanaman tersebut sedang mengalami pembungaan dan pembuahan. Selain itu, unsur kalium memberikan “rasa” pada buah. Bila buah itu pedas seperti cabe, maka dengan tersedianya unsur kalium akan memberikan “rasa” pedas yang mantap. Kalau buah tersebut memberikan rasa manis maka dengan tersedianya unsur ini, akan memberikan “rasa” manis pula “ Demikian pula, bila buah tersebut berasa pahit seperti pare maka “rasa” pahitnya semakin kuat” Kalau untuk tanaman padi, unsur kalium ini akan memberikan “rasa” yang bernas. Artinya isi/bobot padi akan semakin mantap. Selian itu, “rasa” nasi akan lebih enak Selain itu, unsur Kalium ini akan mengokohkan akar sehingga tidak mudah rebah. Dan masih banyak lain fungsi yang lain9. Penggunaan coconet tidak hanya berlaku dengan baik di darat, tetapi juga sangat istimewa digunakan di media air, khususnya di air laut, sehingga penggunaannya sangat pas jika difungsikan untk bahan reklamasi pantai. Sebuah UKM di Provinsi Riau pernah menerima order cocopeat dari Italia. Untuk tahap awal, Italia butuh supply cocopeat sekitar 300 kontainer. Selain untuk media tanam dan bahan baku pupuk organik, Italia juga butuh cocopeat untuk bedding animal. Cocopeat
yang dijadikan tempat tidur hewan ternak, mampu menyerap kotoran ternak, sehingga kandang selalu bersih, kering dan tidak bau. Selain menyepakati kerja sama pengembangan cocopeat sebagai media tanam, pupuk organik dan bedding animal, Vincenzo, pengusaha asal Italia tersebut, juga tertarik untuk menggarap sabut kelapa Indonesia menjadi briket bahan bakar sebagai energi alternatif 10. IV. Kebutuhan Pembiayaan 1 Unit Usaha Pengolahan Serat Sabut Kelapa Pemerintah Indonesia dan lembaga keuangan perlu memberikan dukungan pembiayaan membangun industri serat sabut kelapa. Dari beberapa sampel yang dikunjungi penulis, investasi industri serat sabut kelapa merupakan usaha berskala UKM dan menyerap tenaga kerja. Tingkat investasi ini dibiayai kredit, maka perkiraan pengembalian investasi ini sekitar 3 tahun. Ada dua jenis pembiayaan yang bisa didekati oleh perbankan. Pertama, pembiayaan untuk tujuan meningkatkan kapasitas dari usaha yang sudah ada. Kedua, pembiayaan digunakan untuk membiayai usaha baru dengan catatan usaha baru ini mendapatkan pendampingan dari “Bapak Angkat” dan memiliki pasar dan pembayaran yang dijamin “Bapak Angkat”. Kedua jenis pembiayaan tersebut sudah dilakukan oleh perbankan, terutama bank pelaksana KUR. Sebagai gambaran untuk menghitung estimasi kebutuhan pembiayaan 1 unit usaha pengolahan serat sabut kelapa penulis melakukan wawancara dengan UKM di Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat, koperasi di Pesisir Barat Lampung, dan 1 UKM di Padang serta pengurus asosiasi Industri Sabut Kelapa Indonesia (AISKI). Pada dasarnya kebutuhan pembiayaan untuk membangun 1 unit usaha pengolahan serat sabut kelapa (diluar tanah dan modal kerja) sekitar Rp 500.000.000 dan kebutuhan modal kerja Rp 150.000.000. Dari dua sampel yang
8
http://produkkelapa.wordpress.com/tag/reklamasi-tambang/
9
http://sains.kompas.com/read/2012/09/04/18591538/Sabut.Kelapa.untuk. Reklamasi. Bekas
10 Adi, AISKI, 2014
8
MEMPERKUAT POSISI KOPERASI DAN UKM DALAM RANTAI PASOK GLOBAL UNTUK KOMODITI SERAT SABUT KELAPA (Akhmad Junaidi)
diteliti memperoleh Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp 500.000.000, jangka waktu 3 tahun dan bunga sesuai ketentuan bank pelaksana KUR. Satu sampel di Lampung, yaitu koperasi menerima bansos dari Kementerian Koperasi dan UKM sebesar Rp 100 juta, dan mendapatkan tambahan KUR dari Bank Jabar Banten sebesar Rp 350 Juta. Sampel lainnya di Lampung yaitu UKM menerima KUR sebesar Rp 500 Juta sudah mengangsur 2 tahun dengan kondisi angsuran lancar, Sedangkan 1 UKM sampel di Padang Pariaman membiayai usaha dengan modal sendiri. 1 UKM di Padang Pariaman ini mendapatkan KUR sebesar Rp Rp 325 Juta mendapatkan KUR dari BNI, sudah diangsur 2 tahun dalam kondisi lancar.
i.
j. k.
l.
Secara ringkas skema pembiayaan 1 unit usaha pengolahan serat sabut kelapa sebagai good practices dapat digambarkan sebagai berikut: 1.
Skema Pembiayaan a. Spesifikasi produk: warna kuning emas, size 5 cm s/d 15 cm, kadar air < 15 %, dust < 5 %, impurity < 5 %. b. Luas area kebun kelapa untuk mendukung industri serat sabut kelapa 10 Ha c. Kebutuhan bahan baku sabut kelapa: 16.000 butir setiap hari. d. Luas tanah pabrik 1 Ha (untuk pengolahan dan penjemuran, gudang) e. Pasokan energi: PLN atau genset sendiri. f. Infrastruktur jalan baik (bisa masuk kontainer) g. Akses ke pelabuhan atau ke gudang eksportir baik, h. Jumlah tenaga kerja 22 s/d 25 orang
m.
n.
o. p. 2.
Ketrampilan minimal untuk mengola usaha operator mesin, tenaga pembukuan, dan buruh untuk mengumpulkan hasil, mengayak, menjemur, mengepress dan memasukkan dalam truk container. Memiliki kontrak dengan eksportir atau buyer. Memiliki modal kerja minimal Rp 150 juta untuk menalangi pembayaran bahan baku setiap hari, membayar buruh untuk 1 bulan, dan membayar biaya operasional perusahaan misalnya makan buruh, membeli solar, dan membiayai kerusakan mesin, Memiliki gudang, tempat penjemuran. Memiliki perijinan usaha : Surat keterangan domisili, ijin HO, NPWP, SIUP, Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Mesin giling penguraai, genset, mesin press, mesin ayakan, gerobak kerja, peralatan kerja. Instalasi dan ;pelatihan Biaya pengiriman
Contoh Skema Pembiayaan11 a. Estinasi Biaya Investasi Berikut ini disajikan estimasi biaya investasi untuk membangun 1 unit pabrik pengolahan serat sabut kelapa dengan kapasitas per hari 2 ton. b. Estimasi Hasil Usaha Serat Sabut Kelapa Berikut ini disajikan estimasi hasil usaha pengolahan serat sabut kelapa. Estimasi hasil penghitungan harga jual, Harga Pokok Penjualan dan margin keuntungan per kg dan setiap hari sebagai berikut:
11 Effli Ramli, AISKI, 2014
9
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 1-12
Tabel 2
Estimasi Biaya Investasi Usaha Pengolahan Serat Sabut Kelapa
Tabel 3
Estimasi Hasil Usaha Pengolahan Serat Sabut Kelapa
10
MEMPERKUAT POSISI KOPERASI DAN UKM DALAM RANTAI PASOK GLOBAL UNTUK KOMODITI SERAT SABUT KELAPA (Akhmad Junaidi)
d. Perlu Dukungan Pembiayaan Industri serat sabut kelapa memiliki prospek yang baik. Sebagian besar usaha dibangun dengan kekuatan modal sendiri. Satu atau dua bank sudah mulai melihat proses bisnis, menyalurkan pembiayaan dan memiliki track record membiayai usaha ini. Beberapa tahun terakhir ini, pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM turut menyalurkan bansos kepada koperasi dengan maksud menciptakan stimulan agar koperasi bersedia menggali pembiayaan sendiri dalam skala yang lebih besar. UKM ini karena memiliki prospek ekspor, seharusnya didukung oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Namun menurut wawancara dengan pengurus AISKI, sejumlah UKM yang mengajukan fasilitas pembiayaan kepada LPEI belum ada yang dikabulkan. UKM ini sebetulnya dapat meminta bantuan pembiayaan dari LPDB, namun seringkali persyaratan untuk mendapatkan pembiayaan dari LPDB terkendala karena UKM yang bersangkutan harus memiliki track record minimal dua tahun dan memiliki laporan keuangan positip. Banyak UKM yang potensial baik yang baru mulai usaha dengan bimbingan “Bapak Angkat” namun tidak bisa mengakses fasilitas LPDB karena terkendala umur perusahaan. Kendala ini perlu dipecahkan, oleh lembaga keuangan. Lembaga keuangan harus realistis melihat keadaan UMKM dan peluang usaha yang momentumnya jarang terjadi. Menurut penulis, tidak banyak UKM yang memiliki peluang sebagus ini, pasar sudah dijamin, model bisnis telah approven (terbukti sukses), teknologi telah dikuasi dan bahan baku melimpah.
V. Penutup 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Indonesia memiliki keunggulan dalam jumlah luas area dan produksi kelapa serta menghasilkan sabut kelapa dan berpeluang menjadi bagian penting dari rantai pasok serabut kelapa dunia. Pemanfaatan sabut kelapa untuk menghasilkan serat sabut kelapa untuk diekspor dan/atau mengolahnya lebih lanjut menjadi tali, coconet, cocomesh, cocomesh dan kerajinan lainnya dapat menciptakan sumber pendapatan, lapangan kerja, nilai tambah dan memiliki multiplier effect yang sangat besar bagi masyarakat wilayah pesisir. Pengolahan serat sabut kelapa bisa dikelola oleh satu unit industri skala UKM, modal investasi Rp 500 juta dan modal kerja Rp 150 juta, dan menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 22 orang. Model penyaluran KUR untuk membiayai UKM Industri Pengolahan Serat Sabut Kelapa dapat menjadi rujukan bagi Bank pelaksana KUR lainnya untuk membiayai bidang usaha yang sejenis. Sebagian besar UKM industri serat sabut kelapa terutama yang baru mulai meskipun ada jaminan pembayaran dari “Bapak Angkat” mengalami kendala dalam mengakses pembiayaan ke Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, dan Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB). Pemerintah perlu memberikan dukungan dan fasilitasi bagi UKM yang akan mengakses pembiayaan, infrastruktur dan menciptakan kebijakan yang mendukung berkembangnya UKM yang berada di wilayah pesisir dan berorientasi ekspor. Keberadaan PMA yang berusaha di bidang pengolahan serat kelapa di Indonesia selain menunjukkan bidang usaha menjanjikan tetapi juga merupakan tantangan serius bagi Indonesia untuk memajukan UKM di Indonesia.
11
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 1-12
Daftar Pustaka Badan Penelitian Dan Pengembangan Pu, 2010, Pemanfaatan Serat Sabut Kelapa Sebagai Bahan Tambahan Untuk Mengurangi Retak Susut Beton Semen, Setjen Departemen Pu, Jakata Josua Tambun, 2012, Keterampilan Mengolah Sabut Kelapa Menjadi Papan Partikel, Mitra, Jakarta Faisal Basri, Defisit Perdagangan IndonesiaChinaTerus Membengkak, http://Ekonomi. Kompasiana.Com/Bisnis/2013/08/02/ Defisit-Perdagangan-Indonesia-ChinaTe r u s - M e m b e n g k a k - 5 8 1 5 6 1 . H t m l , Diakses Tanggal 23 November 2014 Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Daftar_Pulau_ Di_Indonesia, Diakses 15 November 2014
12
Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Pantai, Diakses 15 November 2014 Kementerian KKP, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/ MEN/2002 Tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, Diakses 15 November 2014 Efli Ramli, AISKI, 2014, Pemanfaatan Produk Unggulan Sabut Kelapa Dan Akses Pemasaran Bagi Pengembangan Usaha KUMKM, Bahan Presentasi, TTG, Biltar Adi, Laporan AISKI,2014, Jakarta http://sains.kompas.com/ read/2012/09/04/18591538/Sabut. Kelapa.untuk. Reklamasi.Bekas.
PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM (Hasan Jauhari)
PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM PROMOTING SMEs GREEN INDUSTRIES Hasan Jauhari Staf Ahli Menteri Koperasi dan UKM Bidang Pengembangan Iklim Usaha dan Kemitraan Jalan H.R. Rasuna Said Kav. 3-5 Jakarta Email:
[email protected] Dikirim 21 November 2014, diedit 25 November 2014, disetujui 1 Desember 2014 Abstrak Tulisan ini menggali konsep industri hijau UKM dan upaya yang perlu dilakukan untuk mengembangkannya. UKM memiliki peran penting untuk mengambil bagian dalam pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan dengan terlibat dalam industri hijau. Mengingat ukuran UKM secara alami sangat kecil, tidak ada kebijakan pengembangan industri hijau akan berhasil kecuali UKM aktif dan bersedia berpartisipasi dalam program industri hijau. Selanjutnya, banyak teknologi dan program dukungan yang diperlukan untuk mengembangkan keterlibatan bisnis UKM dalam industri hijau. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk kebijakan afirmatif untuk membantu UKM untuk menjadi pelaku bisnis yang ramah lingkungan. Kebijakan ini meliputi kebijakan dari sisi permintaan yang akan memudahkan UKM menjadi pengguna teknologi dan produk ramah lingkungan, serta kebijakan dari sisi penawaran yang akan membantu UKM mengembangkan dan memasarkan teknologi dan produk ramah lingkungan. Selain itu, kerjasama internasional bisa menjadi salah satu cara untuk mempercepat upaya dalam pemberdayaan industri hijau UKM di Indonesia. kata kunci: industri hijau, kebijakan pendukung, dan kerjasama internasional. Abstract This article explores the concept and the relevant initiative necessary to foster Gren SMEs. SMEs have an important role to take part in green growth by engaging in green industry. Since the size of SME by nature is so small, no green policies will be successful unless SMEs actively and willingly participate in green programs. Further, many of the technologies and support programs are necessary to successfully transform SMEs business engagement into green industries. Therefore, there is a need for affirmative policies to assist SMEs in becoming green. These policies include demand-side policies which will facilitate SMEs becoming users of green technologies and products, as well as supply-side policies which will assist SMEs develop and market green technologies and products. Furthermore,international cooperation could be one way of accelerating on the fostering of green SMEs industries in Indonesia. keywords: green industry, affirmative policies, and international cooperation. Pendahuluan Industri hijau adalah industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan, sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan
kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberi manfaat bagi masyarakat (Kementerian Perindustrian, 2014). Pengembangan
industri
hijau
pada
13
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 13-27
dasarnya baik langsung atau tidak langsung terkait dengan upaya pelestarian lingkungan hidup. Urgensi pengembangan industri ramah lingkungan tidak terlepas dari fakta bahwa kerusakan lingkungan di Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya akibat kegiatan manusia cukup mengkhawatirkan. Keseriusan Indonesia untuk menyelamatkan lingkungan hidup tercermin dari besarnya sanksi bagi perbuatan yang merusak lingkungan sebagimana tertuang dalam pasal 98 UU nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup yang memberikan sanksi pidana kepada setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, di pidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banya Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) (Kementerian Lingkungan Hidup, 2009). Laju deforestasi di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar/tahun yang mengakibatkan 21% dari 133 juta hektar hutan Indonesia hilang. Hilangnya hutan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan, meningkatkan peristiwa bencana alam, dan terancamnya kelestarian flora dan fauna. Di lautan, 30% dari 2,5 juta hektar terumbu karang di Indonesia mengalami kerusakan. Kerusakan terumbu karang meningkatkan resiko bencana terhadap daerah pesisir, mengancam keanekaragaman hayati laut, dan menurunkan produksi perikanan laut. Akibat degradasi lingkungan telah menghadapkan umat manusia pada risiko bencana alam dengan dampak kerugian yang sangat besar yang disebabkannya. Sebagai ilustrasi badai Sandy yang menerpa Amerika Serikat sebagai negara yang super siaga terhadap bencana musiman, telah menyebabkan kerugian sebesar 75 miliar dolar (Kim, 2013). Apabila konsep pertumbuhan ekonomi negara berkembang seperti Indonesia
14
mengikuti konsep pertumbuhan ekonomi yang dilaksanakan negara maju, maka total emisi gas rumah kaca (GRK) diyakini akan meningkat cukup drastis dan cepat. Kekhawatiran ini cukup beralasan dengan makin meningkatnya kapasitas dan kontribusi negara berkembang pada perekonomian global pada beberapa tahun terakhir. Dampak sosial dan ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan merupakan tantangan serius yang dihadapi negara berkembang mengingat ketergantungan mereka pada sumber daya alam untuk pertumbuhan ekonomi dan kerentanan terhadap energi, makanan, air bersih, perubahan iklim dan risiko cuaca ekstrim. Perubahan iklim yang terjadi sejak beberapa dekade yang lalu, sangat mungkin disebabkan oleh aktivitas manusia (Ramadhan, 2011). Menyadari kerusakan lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini, maka pertumbuhan ekonomi berbasis industri yang ramah lingkungan saat ini mendapat memontem di seluruh dunia, sebagai solusi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial melalui upaya mencegah degradasi lingkungan, hilangnya keanekaragaman hayati dan pemanfaatan sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan menyiratkan perlunya sinergitas pengembangan industri yang menjamin kinerja ekonomi dan kelestarian lingkungan. Upaya bersama antar negara semakin kuat untuk merubah orientasi kebijakan pembangunan kearah yang lebih ramah terhadap lingkungan. Berbagai kesepakatan baik yang bersifat sukarela maupun mengikat telah dilakukan oleh banyak negara. Upaya untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan menuntut pelibatan semua sektor termasuk yang tradisional untuk mendukung dan terlibat dalam transisi untuk merubah kesadaran, orientasi, kemampuan, kebijakan dan ketersediaan sumberdaya mendukung pembangunan berwawasan lingkungan, baik produsen maupun konsumen, untuk mengambil bagian
PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM (Hasan Jauhari)
terhadap praktek-praktek dalam kehidupan yang berorientasi pada upaya menjamin berkelanjutan. Namun, dalam pengembangan industri hijau selalu ada tarik menarik (trade-off) antara kepentingan ekonomi jangka pendek dengan upaya pelestarian lingkungan yang berdampak jangka panjang. Para pelaku bisnis mungkin akan melakukan upaya berebut peluang antara menikmati manfaat ekonomi jangka pendek yang barangkali tidak akan tersedia di masa datang atau untuk mengorbankan sumberdaya untuk pengembangan industri hijau, membangun kompetensi baru, peningkatan keterampilan baru, mentransformasi industri dengan teknologi dan cara yang baru dengan risiko keberhasilan yang belum pasti. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa industri hijau membutuhkan upaya mengadopsi teknologi baru dan model bisnis yang baru melibatkan masyarakat dan konsumen, pengembangan produk baru serta menciptakan pola baru dalam permintaan pasar, dimana konsumen perlu diberikan edukasi. Pengembangan industri hijau dengan demikian akan menuntut perubahan paradigma dalam pengembangan industri, perubahan struktural yang terkait dengan kebijakan dan yang tidak kalah pentingnya perubahan mekanisme pengalokasian sumberdaya produktif termasuk pendanaan bagi industri hijau. Manfaat penerapan industri hijau di semua sektor, termasuk oleh UKM akan membawa manfaat seperti: a) meningkatkan profitabilitas (keuntungan) melalui peningkatan efisiensi sehingga dapat mengurangi biaya operasi, b) pengurangan biaya pengelolaan limbah dan tambahan pendapatan dari produk hasil samping, c) meningkatkan image perusahaan, d) meningkatkan kinerja perusahaan, e) mempermudah akses pendanaan, f) flexsibilitas dalam regulasi, g) terbukanya peluang pasar baru, h) menjaga kelestarian fungsi lingkungan (Kementerian Perindustrian, 2012). Industri hijau di kalangan UKM tentu akan berhasil dikembangkan secara berhasil
guna manakala tercipta kebijakan yang kondusif, baik dalam bentuk pengaturan maupun pemberdayaan, partisipasi sektor industri termasuk UKM, kesadaran dan kemauan konsumen untuk merubah orientasi konsumsinya. Industri hijau sebagai bagian dari upaya pelestarian lingkungan adalah bersifat global, karena sesungguhnya isu lingkungan tidak mengenal batas negara, maka menjadi tangggungjawab semua untuk mengambil bagian sesuai dengan kapasitasnya. Dalam kaitan ini kerjasama internasional dalam pengembangan industri hijau sudah menjadi sebuah keniscayaan. Konsepsi Industri Hijau UKM Usaha berskala kecil memiliki karakter yang unik dari beberapa aspek seperti padat karya, jumlahnya yang sangat besar tersebar di banyak sektor, teknologi produksi sederhana, sebahagian besar beroperasi dengan cara mengeksplorasi sumberdaya alam dengan keterampilan yang turun temurun (inovasi terbatas) serta banyak karakter lain yang membedakannya dengan usaha berskala besar. Karakter usaha berskala kecil ini menjadi pertimbangan dalam upaya mendorong UKM bergerak dalam industri hijau. Menuntut UKM untuk melakukan perubahan secara mendasar dalam usahanya menjadikan usahanya menjadi industri hijau dipandang tidak bijaksana karena bisa berakibat kegagalan karena berbagai keterbatasan yang dimiliki serta keterbatasan yang melekat pada karakter usahanya. Oleh karena itu konsepsi pengembangan industri hijau UKM diorientasikan pada upaya mendorong dan memfasilitasi UKM untuk menggunakan dan atau memproduksi produk yang lebih hijau inilah yang dikenal dengan konsep Greener SMEs. Dengan demikian karakter industri UKM yang lebih hijau (Greener SMEs) tersebut (Jauhari, 2014), direfleksikan oleh kemauan dan kemampuan untuk: 1. Menggunakan atau menghasilkan produk yang lebih kecil dan atau lebih ringan dalam rangka menghemat baik sumberdaya dalam memproduksinya, 15
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 13-27
mengangkutnya dan menggunakannya (smaller and lighter).
aman bagi lingkungan (zero dangerous waste and pollution).
2.
Menggunakan atau menghasilkan produk yang dapat didaur ulang termasuk didalamnya katagori produk yang bisa dipakai ulang baik untuk fungsi yang sama atau fungsi lain (recycle and reuse).
3.
Menggunakan atau menghasilkan produk yang komponennya dapat diisi ulang (refill and recharge) .
Pengembangann industri hijau UKM dengan pendekatan konsepsi seperti diuraikan diatas, diharapkan UKM mampu melakukan adaptasi dengan mudah dan dilakukan secara bertahap mempertimbangkan kemampuan dan kapasitas yang dimiliki oleh UKM.
4.
Menggunakan atau menghasilkan produk yang menggunakan energi lebih efisien (energy efficient).
5.
Menggunakan atau menghasilkan produk dengan produk samping dan limbah yang
Hambatan Pengembangan Industri Hijau UKM Meskipun upaya pengembangan industri hijau di kalangan UKM konsepsinya lebih sederhana dan dilakukan dengan pendekatan dalam lingkup kemampuan dan kapasitas UKM untuk melakukan adaptasi, namun dalam implementasinya tetap saja dihadapkan pada
Gambar 1. Alur Konsepsi Pengembangan Industri Hijau UKM
Sumber: Hasan Jauhari. 2014. Kerjasama Internasional dalam Pengembangan Industri Hijau UKM. Paper disampaikan pada Sosialisasi Green Technology Networking bagi UKM di kawasan APEC. Solo, 23 Oktober 2014.
16
PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM (Hasan Jauhari)
berbagai kendala. Kendala pengembangan industri hijau di kalangan UKM perlu dipahami sebagai pertimbangan untuk mengembangkan kebijakan pemberdayaan bagi UKM. Menurut Jauhari (2014), sumber kendala, penyebab hambatan dalam pengembangan industri hijau UKM diantaranya adalah: 1.
Rendahnya kesadaran pelaku UKM akan pentingnya melakukan upaya adaptasi dalam usahanya agar lebih ramah lingkungan. Kurangnya kesadaran ini sebagai konsekuensi kurangnya sosialisasi dan edukasi. Pencemaran lingkungan sering terjadi secara kumulatif, sehingga sulit untuk diketahui dan membuktikannya terkait sumber pencemaran, terutama yang sifatnya kimiawi (Helmi, 2012).
2. Harga produk ramah lingkungan relatif mahal untuk fungsi dan fitur yang sama sebagai konsekuensi mahalnya biaya riset dan penggunaan teknologi ramah lingkungan dan terbatasnya input produksi, sehingga biaya produksinya lebih mahal dan akibatnya daya saingnya lebih rendah. 3. Teknologi untuk industri hijau umumnya belum tersedia secara luas di pasar sehingga memerlukan inovasi yang harus dilakukan sendiri oleh perusahaan UKM. Biaya untuk melakukan inovasi seringkali juga tidak murah sehingga tidak layak dilakukan pada skala UKM. 4. Perilaku konsumen yang belum sepenuhnya menggemari produk ramah lingkungan karena pengetahuan dan kesadaran yang masih kurang. Produk ramah lingkungan di mata konsumen sering kali juga kalah menarik dibandingkan dengan produk pada umumnya. 5. Perilaku produsen yang kurang tanggap terhadap upaya adaptasi ke arah pengembangan industri hijau sebagai akibat dari situasi dimana mereka menghadapi persaingan usaha yang
ketat, berorientasi untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek dalam rangka menjadi cash flow usahanya, sehingga seringkali juga mengabaikan upaya pelestarian lingkungan. Hambatan yang dialami UKM dalam mengembangkan industri hijau sudah barang tentu sulit untuk dipecahkan melalui mekanisme pasar, apalagi harus dipecahkan sendiri masalahnya oleh UKM. Pendekatan secara kelembagaan dalam memberdayakan UKM mengembangkan industri hijau menjadi hal yang perlu dilakukan. Kelembagaan yang dimaksud mencakup aturan main pengembangan industri hijau UKM, mulai dari perangkat pengaturan, kebijakan pemberdayaan, instansi yang bertanggungjawab, wadah pengembangan, perencanaan program dan alokasi sumberdaya. Kasus UKM yang bergerak di industri tahu rumahan merupakan ilustrasi bagaimana pencemaran limbah pabrik tahu mengakibatkan rusaknya kualitas lingkungan perairan. Rusaknya lingkungan akibat limbah pabrik tahu yang berdampak buruk terhadap kehidupan ekosistem sangat merugikan kualitas mutu air serta manfaatnya. Limbah tahu membawa akibat bagi lingkungan, karena mempunyai bahan–bahan berbahaya yang dibuang ke perairan seperti limbah berbahaya dan beracun. Jika pencemaran limbah tahu dibiarkan terus menerus, maka kelangsungan hidup ekosistem diperairan pun semakin terancam (Jessy, 2013). Upaya mengatasi akibat buruk dari industri rumahan seperti ini tentu tidak sederhana, karena diperlukan bukan saja aturan tetapi upaya pemberdayaan. Alasan Melibatkan UKM dalam Industri Hijau Terkait dengan pengembangan industri hijau oleh pelaku usaha, ada tiga faktor yang menjadi pendorongnya yaitu, a) adanya kesadaran akan pentingnya secara sukarela bagi pelaku industri mengembangkan industri yang ramah lingkungan, b) adanya
17
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 13-27
insentif ekonomi yang cukup besar karena tumbuhnya permintaan akan produk yang ramah lingkungan dan c) adanya aturan tentang pelestarian lingkungan yang boleh jadi membatasi industri untuk melakukan usaha yang merusak lingkungan dan harus menggantinya dengan industri yang ramah lingkungan (Jauhari, 2014). Bagi pengusaha berskala besar relatif mudah bagi mereka untuk melakukan penyesuaian terhadap tuntutan pengembangan industri hijau baik karena tumbuhnya kesadaran, kemampuan melihat peluang maupun kemampuan untuk mentaati peraturan perundangan yang mengharuskan perusahaan melakukan penyesuaian diri terhadap tuntutan pelestarian lingkungan. Bagi perusahaan berskala besar cukup mudah untuk menyisihkan sebahagian keuntungannya untuk mengembangkan program CSR yang kerap diimplementasikan sebagai bagian dari kepedulian perusahaan besar melibatkan masyarakat melestarikan lingkungan. Pemanfaatan CSR dalam pelestarian lingkungan hidup bisa dilakukan dalam berbagai hal seperti pembiayaan pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat dalam pelestarian lingkungan hidup, pengelolaan sampah dan lain sebagainya (Kementerian Lingkungan Hidup, 2012). Bagi usaha berskala kecil keterlibatannya dalam pengembangan industri hijau lebih mendesak karena usaha berskala kecil secara umum selain memberikan tekanan lebih besar terhadap lingkungan juga karena jumlah pelakunya yang sangat banyak. Mengabaikan keterlibatan usaha bersakal kecil dalam program pelestarian lingkungan berisiko lebih besar terhadap proses degradasi lingkungan. Secara lebih rinci alasan perlunya keterlibatan usaha berskala kecil dalam pengembangan industri hijau didasarkan pada alasan yang bersifat universal sebagai berikut (Jauhari,2014): 1. Usaha berskala kecil banyak yang bergerak di sektor yang mengeksplorasi sumber daya alam dengan cara-cara 18
berproduksi yang kurang peduli terhadap kelestarian lingkungan. Dengan demikian usaha berskala kecil memberi tekanan berat kepada lingkungan baik melalui eksplorasi sumber daya yang berlebihan, pembuangan limbah, penggunaan bahan pengawet berbahaya dan lain-lain. 2. Usaha berskala kecil umumnya lambat beradaptasi terhadap upaya pelestarian lingkungan boleh jadi karena tidak tersedianya sumber daya dan teknologi yang bisa diakses oleh usaha berskala kecil. 3.
Usaha berskala kecil kurang sadar akibat buruk yang ditanggung oleh lingkungan. Karena memang dampak perusahaan terhadap lingkungan acapkali bersifat jangka panjang.
4. Menggunakan teknologi yang ramah lingkungan relatif mahal dan memerlukan penelitian dan inovasi. Usaha berskala kecil memiliki kemampuan yang terbatas untuk mengembangkan teknologi ramah lingkungan. 5. Keuntungan jangka pendek seringkali menjadi pertimbangan bisnis usaha berskala kecil. Melakukan adaptasi ke dalam industri hijau yang belum tentu memiliki prospek yang bagus, membuat usaha berskala kecil terkonsentrasi menggeluti bisnis yang sudah biasa mereka lakukan. 6. Produk ramah lingkungan secara umum tidak lebih menarik dimata konsumen dibandingkan dengan produk pada umumnya, baik dari segi fungsi, bentuk maupun rasanya. Oleh karena itu prospek bisnis industri hijau sangat tergantung kepada kesadaran konsumen akan pentingnya menggunakan dan mengkonsumsi produk ramah lingkungan. Dalam kaitan ini edukasi memegang peran penting untuk mempengaruhi konsumen untuk mau menggunakan produk ramah lingkungan. Upaya mengedukasi konsumen selayaknya juga diikuti oleh
PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM (Hasan Jauhari)
kemauan semua sektor usaha untuk menghasilkan produk ramah lingkungan.
Strategi Dasar Pengembangan Industri Hijau UKM
7. Kesepakatan internasional dalam penyelamatan lingkungan sebagai konsekuensi dari ketiadaan batas negara terkait dengan bencana yang timbul akibat kerusakan lingkungan. Banyak negara sepakat untuk menggalang usaha bersama dalam pelestarian lingkungan termasuk memberdayakan UKM agar mampu melakukan adaptasi. Kerjasama Eropa dan Asia yang tergabung dalam Asia and Europe Meeting (ASEM) dan AsiaPasific Economic Cooperation (APEC), dimana Indonesia sebagai anggotanya aktif mengembangkan kerjasama untuk mengembangkan Green SMEs.
Mempertimbangkan karakteristik, keterbatasan, kelemahan serta hambatan UKM dalam mengembangkan industri hijau, maka pendekatan yang perlu dilakukan untuk melibatkan UKM dalam industri hijau adalah dengan pendekatan strategi dasar sebagai berikut:
Usaha kecil Indonesia yang sebagian bergerak di sektor berbasis sumberdaya alam seperti di sektor pertanian memiliki pengaruh yang besar terhadap kelestarian lingkungan, demikian juga pada sektor industri pengolahan. Pengembangan industri UKM melalui pengembangan kesadaran dan pengaturan boleh jadi masih sulit, oleh karena itu pemberdayaan dan insentif ekonomis boleh jadi lebih mudah untuk menarik partisipasi UKM dalam mengembangkan industri hijau. Beberapa contoh industri hijau UKM yang memiliki prospek ekonomi seperti kopi organik, produk hortikultura organik, batik dengan pewarna alam serta banyak lagi produk yang menggunakan bahan limbah industri. Secara umum UKM memiliki peluang ekonomis untuk bergerak dalam industri hijau melalui berbagai cara seperti terlibat dalam industri hijau dengan melakukan efisiensi yang didukung oleh kegiatan inovasi atau menghasilkan komponen industri hijau yang dibutuhkan oleh perusahaan multi nasional. Bila mana tidak mampu melakukan proses produksi produk ramah lingkungan, UKM dapat bergerak dalam bisnis produk-produk ramah lingkungan sebagai distributor, agen atau pengecer (Koo,2010).
1. UKM diarahkan untuk menghasilkan produk ramah lingkungan yang memiliki pasar yang potensial. Hal ini dilakukan agar menjamin kelangsungan usaha UKM. Dengan pendekatan ini orientasi pasar menjadi pertimbangan utama. Bilamana pasar belum berkembang, maka pemerintah dan pihak-pihak lain dihimbau untuk melakukan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menggunakan produk yang ramah lingkungan. 2. Pengembangan industri hijau diprioritaskan dalam kapasitas UKM. Pengembangan industri hijau UKM dimulai dari tahapan yang mudah dilakukan oleh UKM seperti melakukan proses produksi bersih. Bila mana UKM memiliki kemampuan yang memadai, maka mereka didorong untuk melakukan inovasi. 3. Ketersediaan sumber daya, menjadi pertimbangan dalam mendorong industri hijau UKM dengan pertimbangan kesinambungan usaha, akses terhadap sumberdaya lokal. Pengembangan industri hijau di sektor pertanian organik dengan konsep zero waste adalah contoh industri yang berbasisi sumberdaya lokal. Sumberdaya produktif yang juga tidak kalah pentingnya adalah sumber pembiayaan bagi pengembangan teknologi ramah lingkungan. Malaysia sebagai contoh pada tahun 2010 mengalokasikan dana sebesar 1,5 miliar ringgit untuk Green Financing Sheme (Williams, 2011).
19
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 13-27
4. Transfer teknologi merupakan cara cepat bagi UKM untuk dapat mengimplementasikan teknologi ramah lingkungan. Pengembangan teknologi ramah lingkungan relatif sulit dilakukan pada skala UKM, oleh karenanya dinegara maju sekalipun pemerintah menyediakan insentif yang sangat besar dalam pengembangan teknologi ramah lingkungan. Transfer teknologi dari negara maju ke negara sedang berkembang seperti Indonesia sangat dimungkinkan untuik dipakai oleh UKM. Pembangkit tenaga listrik bertenaga surya, air dan angin sudah banyak dikembangkan di banyak negata maju. Melalui transfer teknologi UKM Indonesia memiliki kesempatan yang besar untuk memanfatkan teknologi ramah lingkungan. Perlu diketahui bahwa salah satu agenda kerjasama internasional di bidang UKM adalah dalam hal transfer teknologi yang perlu dimanfaatkan oleh Indonesia. APEC telah memprakarsai pembentukan APEC Green Tecknology Network Platform sebagai uapaya mengembangkan jejaring untuk mengembangkan teknologi hijau antar UKM di kawaqsan APEC. 5. Kemitraan (business partnership) adalah cara lain untuk memastikan bahwa industri hijau UKM dapat berkembang dengan cara mengembangkan kolaborasi antar pelaku usaha dengan kelebihan masing-masing seperti sumberdaya alam, modal, teknologi, manajemen dalam bentuk kerjasama bisnis yang saling menguntungkan. Istilah demand-side policy dalam pengembangan industri hijau UKM dimaksudkan agar pemerintah memberikan kemudahan dan insentif bagi UKM yang bersedia menggunakan teknologi dan bahanbahan kebutuhan produksi yang diproduksi dengan konsep ramah lingkungan. Penggunaan mesin-mesin dengan efisiensi penggunaan energi atau menggunakan energi terbarukan
20
adalah contoh dari kebijakan dari segi demand–side. Dalam konteks ini meskipun UKM belum mampu memproduksi barang yang ramah lingkungan (eco-product), paling tidak secara bertahap UKM sudah diarahkan untuk mengunakan faktor produksi yang ramah lingkungan. Sementara istilah supply-side policy dimaksudkan agar UKM didukung dengan kebijakan dan program agar mampu melakukan keseluruhan bisnisnya dengan konsep ramah lingkungan mulai dari pemanfaatan bahan baku, penggunaan teknologi, cara berproses menghasilkan produk, pengemasan, transportasi, berpromosi sampai kepada bagaimana produk dikonsumsi atau dipakai oleh konsumen. Dalam supply side ini, upaya melakukan edukasi kepada konsumen terhadap kesadarannya mengkonsumsi atau memakai produk ramah lingkungan menjadi faktor penting sebagai bagian dari sistem dalam industri hijau UKM. Satu hal yang sangat penting dipahami bahwa penyelamatan bumi dari degradasi hanya akan berhasil bila dilakukan secara bersama oleh semua komponen masyarakat tanpa ada batas negara dan profesi, karena memang isu lingkungan tanpa batas. Jaminan keberlangsungan usaha UKM dalam industri hijau menjadi pertimbangan penting dalam mendorong UKM beradaptasi dan berpartisipasi dalam pengembangan industri hijau dengan berbagai kompleksitasnya. Beberapa contoh produk dari industri UKM antara lain: Industri makanan olahan berbasis produk organik seperti kopi organik. Peralatan rumah tangga dari berbahan tanah dan kayu seperti periuk tanah, sendok kayu. Produk interior berbahan kayu dan gerabah. Produk kecantikan-herbal dan jamu, produk dari serat alam, pewarna alam, tas pandan dan bahan limbah daur ulang. Produk mainan kayu, mainan kertas dan bahan daur ulang. Produk bangunan seperti floating brick, dan desain rumah tropis minimalis hemat energi. Energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga air.
PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM (Hasan Jauhari)
Khusus untuk produk pertanian ramah lingkungan, Kementerian Pertanian merekomendasikan beberapa komoditas yang memiliki prospek pasar dan menjadi bagian dari program pemerintah seperti untuk tanaman pangan adalah padi organis sementara untuk sayuran organik adalah brokoli, kubis merah, petsai, caisin, bayam daun, labu siyam, cho putih, kubis tunas, oyong dan baligo. Produk buah organis nangka, durian, salak, mangga, jeruk dan manggis. Untuk perkebunan kelapa, pala, jambu mete, cengkeh, lada, vanili dan kopi. Untuk rempah-rempah dan obat adalah jahe, kunyit, temu lawak dan temuan-temuan lainnya. Sedang untuk produk peternakan adalah susu, telur dan daging. Kerjasama Internasional Pengembangan Industri Hijau UKM Tidak dapat dipungkiri bahwa semua negara mengakui posisi penting dari UKM dalam hal memberikan kontribusi dalam kesempatan kerja, pengentasan masyarakat dari kemiskinan, memicu pertumbuhan ekonomi serta termasuk dalam ikut melestarikan lingkungan. Oleh karena itu adanya pengakuan atas posisi penting UKM ini telah menjadikannya sebagai salah satu aspek penting dalam pengembangan kerjasama internasional. Saat ini terdapat enam forum kerjasama internasional di bidang UKM dimana Indonesia aktif sebagai anggotanya yaitu forum APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation), ASEM (ASIA and Europe Meeting), ASEAN, BIMP-EAGA serta dua forum untuk koperasi masing-masing dalam ICA (International Cooperative Alliances) dan ACEDAC (ASEAN Center for the Development of Agriculture Cooperative). Kerjasama internasional di bidang pengembangan UKM meliputi aspek pengakuan bersama atas pentingnya UKM, pertukaran informasi dan kebijakan, pertukaran kunjungan personil dan dalam sektor tertentu dikembangkan kerjasama perdagangan dan aliansi strategis. Dalam pengembangan industri hijau
UKM, maka bagi Indonesia, keikutsertaan dalam forum kerjasama internasional tetap penting dan bermanfaat, karena melalui kerjasama dalam berbagai forum dapat dilakukan pertukaran informasi, kebijakan, pengalaman, pandangan dan gagasan serta berbagai kemungkinan dukungan dalam pembangunan kebijakan dan program industri hijau UKM di Indonesia. Kerjasama internasional dalam pengembangan industri hijau UKM yang diakomodasi oleh berbagai forum dimana Indonesia aktif sebagai anggotanya dapat ditelusuri dari berbagai aktivitas di masingmasing forum kerjasama internasional sebagai berikut: 1. Dalam forum ASEM, kerjasama pengembangan industri hijau UKM dimulai saat dilaksanakannya ASEM Forum on Green Growth and SME yang dilaksanakan di Korea Selatan pada tahun 2010. Forum ini selanjutnya merekomendasikan didirikannya ASEM Eco-Innovation Center (ASEIC) yang juga terletak di Korea Selatan. Selanjutnya pada tahun 2012 sebangai anggota ASEM, Indonesia dan Korea bekerjasama mendirikan GBC (Green Business Center) berlokasi di SME Tower Jakarta. Tujuan GBC tidak lain sebagai inkubator bagi UKM Indonesia dan Korea Selatan dalam pengembangan industri yang ramah lingkungan. 2. Dalam forum APEC, kerjasama pengembangan industri hijau UKM dimulai setelah selesainya Deagu Initiative bagian pertama yang berfokus pada kerjasama pengembangan UKM inovatif. Kerjasama pengembangan industri hijau UKM dalam forum APEC ditandai sebagai Deagu Initiative 2nd Round. 3.
Dalam forum ASEAN isu pengembangan industri hijau bagi UKM tidak terlepas sebagai konsekuensi dari keanggotaannya dalam forum ASEM dan APEC. Khusus
21
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 13-27
pada forum BIMP-EAGA pengembangan industri hijau melekat pada agenda pengembangan plagship project (proyek kerjasama antar negara). Kerjasama internasional dalam pengembangan industri hijau UKM belakangan cukup mendapat perhatian dalam berbagai agenda mulai dari pernyataan dari para pemimpin negara, kesepakan pada tingkat menteri sampai pada bentuk proyek bersama antar negara. Keterlibatan Indonesia dalam kerjasama internasional dalam pengembangan industri hijau di tanah air akan memberikan manfaat dalam hal memahami konsep pengembangan industri hijau UKM, penyususnan kebijakan pendukung serta kerjasama dalam alih teknologi ramah lingkungan bagi UKM serta membuka peluang
pasar bagi produk-produk ramah lingkungan di pasar internasional. Dalam pengembangan industri hijau melalui kerjasama internasional, maka pendekatan co-incubation melibatkan lebih dari satu negara (ekonomi) merupakan usulan yang diajukan oleh Indonesia dalam forum APEC. Program co-incubation ini dimaksudkan agar dapat dilakukan kegiatan berbagi pengalaman, transfer teknologi, kemitraan usaha antar UKM serta membuka peluang investasi di sektor industri hijau UKM (APEC Secretariat, 2014). Kerangka kelembagaan co-incubators dalam kerjasama internasional yang diusulkan dalam forum APEC oleh Indonesia memiliki beberapa komponen yaitu adanya tim internasional yang terdiri dari para ahli dari lingkungan anggota ekonomi APEC
Tabel 1. Inisiatif Kerjasama Internasional dalam Pengembangan Industri Hijau UKM
Sumber: Hasan Jauhari. 2014. Kerjasama Internasional dalam Pengembangan Industri Hijau UKM. Paper disampaikan pada Sosialisasi Green Technology Networking bagi UKM di kawasan APEC. Solo, 23 Oktober 2014. 22
PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM (Hasan Jauhari)
Gambar 2. Gagasan Kerangka Kerjasama APEC dalam pengembangan co-incubation.
Sumber: APEC Secretariat. 2014. Promoting Innovative Economy Through APEC Co-Incubation Initiative. Paper presented at The 39th APEC-SMEWG Meeting, Nanjing September 2014. dengan komposisi pengarah, pelaksana dan penasehat. Sementara pada tingkat nasional di masing-masing anggota ekonomi dibentuk tim tingkat nasional yang juga mengandung unsur pengarah, pelaksana dan penasehat. Pada tingkat operasional dikembangkan coincubator yang dioperasikan lebih dari satu institusi dan terbuka untuk partisipasi dari negara lain.
GBC (Green Business Center; Co-Incubator) Sebagai wujud komitmen Indonesia dan Korea Selatan menindaklanjuti kerjasama pengembangan industri hijau dalam forum ASEM, pada tahun 2011 dibentuk Green Business Center (GBC) yang berlokasi di SME Tower, Jakarta. Pembentukan GBC ini dibiayai secara bersama oleh Indonesia dan
Gambar 3. Gagasan Kerangka Kelembagaan Pengembangan co-incubation
Sumber: APEC Secretariat. 2014. Promoting Innovative Economy Through APEC Co-Incubation Initiative. Paper presented at The 39th APEC-SMEWG Meeting, Nanjing September 2014. 23
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 13-27
Korea Selatan baik untuk keperluan sarana, manajemen maupun operasionalisasinya. Fungsi utama GBC pada dasarnya melakukan proses inkubasi bagi UKM yang menjadi tenantnya dalam hal pengembangan teknologi ramah lingkungan, akses pembiayaan, akses pemasaran serta layanan dalam aspek legal baik berupa mendapatkan sertifikasi untuk produk ramah lingkungan maupun terkait perizinan usaha. Melalui pemberian layanan kepada UKM Indonesia dan Korea Selatan dalam satu atap, juga diharapkan akan berkembangnya kerjasama usaha antara UKM Indonesia dangan UKM Korea Selatan. Proses seleksi bagi UKM dilakukan di Indonesia untuk calon tenant UKM Indonesia dan di Korea Selatan untuk UKM calon tenant UKM Korea Selatan. Calon tenant UKM diharuskan memaparkan pengembangan
industri hijaunya di depan anggota steering committee untuk dievaluasi dengan kriteria utama pada aspek sejauhmana industri yang diajukan memiliki konsep yang ramah lingkungan. Proposal yang memenuhi syarat akan menjadi tenant GBC selama 3 tahun dan mendapatkan pelayanan sesuai dengan program yang telah dirancang oleh GBC. Dalam memberikan layanan inkubasi kepada UKM, GBC mengembangkan kerjasama dengan pusat-pusat penelitian da inkubator yang relevan dengan pengembangan industri ramah lingkungan UKM. Pada saat ini dari target sebanyak 10 tenant dari Korea Selatan dan 3 dari UKM Indonesia, jumlah tenant dari Korea Selatan baru ada 5 UKM tenant sementara dari Indonesia ada 2 UKM tenant seperti terlihat dalam tabel berikut. Tenant Korea Selatan umumnya bergerak pada bidang usaha dengan
Gambar 4. Alur Proses Inkubasi bagai UKM Indonesia dan UKM Korea Selatan dalam GBC.
Sumber: Hasan Jauhari. 2014. Kerjasama Internasional dalam Pengembangan Industri Hijau UKM. Paper disampaikan pada Sosialisasi Green Technology Networking bagi UKM di kawasan APEC. Solo, 23 Oktober 2014. 24
PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM (Hasan Jauhari)
basis inovasi teknologi sementara tenant dari Indonesia satu berbasis inovasi teknologi dan satu lagi berbasis sumberdaya alam. Meskipun penulis belum memperoleh data terkait dengan informasi kerjasama UKM dengan pelaku lain baik di dalam maupun dengan pengusaha di luar negeri, akan tetapi prospek kerjasama UKM dengan pelaku secara umum diperkirakan akan semakin besar dimasa yang akan datang sejalan dengan tumbuhnya kesadaran konsumen untuk menggunakan produk ramah lingkungan. Contoh kerjasama UKM dengan usaha lain dalam pengembangan produk pertanian organik adalah antara UKM dengan pelaku usaha dari Korea dan Taiwan yang dikembangkan melalui program OVOP di Indonesia yang dikembangkan dibawah koordinasi Deputi Pengkajian KUMKM, Kementerian Koperasi dan UKM.
Kesimpulan dan Saran Pengembangan industri hijau di kalangan UKM Indonesia relatif masih baru. Dengan demikian memahami konsepsi pengembangan industri hijau UKM dengan benar akan memudahkan bagi Indonesia untuk menyusun kebijakan dan program pemberdayaan. Ada dua pendekatan pengembangan industri hijau UKM yang dilakukan oleh banyak negara dan pendekatan ini banyak diadopsi dalam berbagai forum kerjasama internasional di bidang UKM yaitu dari sisi permintaan (demand side), UKM didorong untuk menggunakan sumberdaya dan faktor produksi yang ramah lingkungan sementara dari sisi supply, UKM didorong dan difasilitasi untuk memiliki kemampuan memproduksi barang dan jasa yang ramah lingkungan. Secara konsepsi partisipasi UKM dalam industri hijau relatif lebih sederhana
Tabel 2. Daftar Tenant GBC Berdasarkan Bidang Usaha pada tahun 2014
Sumber: Hasan Jauhari. 2014. Kerjasama Internasional dalam Pengembangan Industri Hijau UKM. Paper disampaikan pada Sosialisasi Green Technology Networking bagi UKM di kawasan APEC. Solo, 23 Oktober 2014.
25
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 13-27
yang dikenal dengan istilah greener SMEs. Menggunakan faktor produksi yang ramah lingkungan saja sudah termasuk kategori greener SME. Secara bertahap UKM tentu harus didorong dan difasilitasi dalam usahanya beradaptasi menghasilkan produk yang ramah lingkungan. Konsep Greener SMEs meliputi kemauan dan kemampuan UKM untuk menggunakan atau menghasilkan produk dengan fungsi yang sama tetapi lebih ringan, lebih kecil, dapat dipakai secara berulang kali, dapat didaur ulang limbahnya serta menggunakan energi dengan lebih efisien baik dalam proses pembuatannya maupun dalam distribusi dan penggunaannya oleh konsumen. Secara keseluruhan, UKM dituntut untuk mempertimbangkan dampak negatif terhadap lingkungan baik dalam mengeksplorasi bahan baku, menggunakan bahan penolong, proses produksi, pencemaran lingkungan akibat limbah serta dampak negatif terhadap lingkungan setelah produk dipakai atau dikonsumsi oleh konsumen. Upaya yang perlu dilakukan dalam rangka mendorong UKM untuk menerapkan industri ramah lingkungan dalam usahanya
26
meliputi upaya untuk memberikan edukasi kepada baik produsen maupun konsumen untuk menumbuhkan kesadaran dan pengetahuan terkait pentingnya memproduksi dan mengkonsumsi produk ramah lingkungan, memberikan akses yang mudah bagi UKM produsen dalam penggunaan dan atau melakukan inovasi pengembangan teknologi ramah lingkungan, menyediakan sumberdaya produktif seperti pendanaan untuk memberikan insentif bagi UKM dalam pengembangan industri hijau dikalangan UKM serta mempromosikan kepada masyarakat luas tentang penggunaan produk UKM ramah lingkungan. Pengembangan kebijakan dan program pemberdayaan yang melembaga baik dalam bentuk tersedianya aturan pengembangan industri hijau UKM, maupun alokasi pendanaan terutama dari sumber APBN baik pusat maupun daerah, pengembangan wadah yang kompeten seperti pusat penelitian dan pengembangan industri hijau UKM, penumbuhan asosiasi UKM di sektor industri hijau, menjadi agenda yang perlu untuk dipersiapkan secara terencana melibatkan partisipasi pemangku kepentingan.
PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM (Hasan Jauhari)
Daftar Pustaka APEC Secretaeriat. 2014. Promoting Innovative Economy Through APEC CoIncubation Initiative. Paper presented at The 39th APEC-SMEWG Meeting, Nanjing September 2014. Helmi. 2012. Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Jakarta : Sinar Grafik. Hasan Jauhari. 2014. Kerjasama Internasional dalam Pengembangan Industri Hijau UKM. Paper disampaikan pada Sosialisasi Green Technology Networking bagi UKM di kawasan APEC. Solo, 23 Oktober 2014. Jessy, Adack. 2013. Dampak Pencemaran Limbah Pabrik Tahu Terhadap Lingkungan Hidup. Lex Administratum, Vol.1/No.3/Jul-Sept/2013. Kementerian Lingkungan Hidup. 2009. UU R.I No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta : CV. Tamita Utama. Kementerian Lingkungan Hidup. 2012. Petunjuk Pelaksanaan CSR Bidang Lingkungan.
Kementerian Perindustrian. 2012. Kebijakan Pengembangan Industri Hijau. Makalah disampaikan pada Workshop Efisiensi Energi di IKM. Jakarta, 27 Maret 2012. Kementerian Perindustrian. 2014. UU Nomor 3 tahun 2014 tentang Perindustrian. Kim, Jiseok. 2013. Emergence of Carbon Labeling: Why all the Troble? Paper presented at the APEC Carbon Labeling Workshop. Seoul. 3rd Desember 2-13. Koo, Jay. 2010. Opportunities for SMEs in Green Growth. Paper presented at the ASEM Forum 2010 on Green Growth and SMEs. Korea. 7-8 May 2010. Ramadhan, Harisman. 2011. Indonesia’s Green Growth Strategy For Global Initiatives: Developing A Simple Model And Indicators Of Green Fiscal Policy In Indonesia. Badan Kebijakan Fiskal. Williams, Geoffrey. 2011. Best Practices from Eco-Innovation; Examples from Malaysia. Paper presented at the ASIEC Global Forum on Eco-Innovation. Seoul. 18th November 2011.
27
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 28-43
MEMBANGUN KEMANDIRIAN EKONOMI INDONESIA BERBASIS KOPERASI DAN UMKM DEVELOPING INDEPENDENCE OF INDONESIA ECONOMY BASE ON COOPERATIVE AND SMEs Johnny W. Situmorang Peneliti Utama Kementerian KUKM & Pengajar ABFII Perbanas Jl. HR. Rasuna Said Kav. 3-4 Jakarta Selatan Email:
[email protected] Diterima 21 November 2014; diedit 24 November 2014; disetujui 1 Desember 2014 Abstrak Kemandirian ekonomi adalah pilar pembangunan ekonomi Indonesia untuk menghapuskan kemiskinan di dalam menghadapi globalisasi. Struktur perekonomian Indonesia dewasa ini sangat rentan dimana stabilitas perekonomian makro tidak disertai dengan pemerataan ekonomi. Terjadi ketimpangan ekonomi antar individu, antar kelompok, dan antar wilayah karena KUMKM belum dijadikan basis perekonomian meskipun KUMKM telah mewarnai struktur perekonomian Indonesia dengan jumlah pelaku usahanya yang banyak, penyerapan tenaga kerja yang besar dan penyebaran meluas sampai dari perkotaan ke perdesaan. Oleh karena itu, kemandirian ekonomi Indonesia semestinya berbasis pada pembangunan KUMKM. Peran pemerintah, terutama Kementerian KUKM, adalah sangat penting untuk menjadikan KUMKM sebagai basis kemandirian ekonomi Indonesia. Sejalan dengan perubahan lingkungan strategis, reformasi birokrasi adalah kunci sukses kemandirian ekonomi melalui pembangunan KUMKM. Kementerian KUKM melaksanakan amanah sebagai lembaga pelayanan yang fokus pada sinkronisasi dan koordinasi pembangunan dan pemerintahan daerah sebagai pelaksana perencanaan strategis pembangunan KUMKM. kata kunci: kemandirian ekonomi, KUMKM, reformasi birokrasi, manajemen pembangunan.
Abstract Economic independence is an essential foundation to eradicate the poverty in facing the globalization. The structure of Indonesia economy today is very vulnerable, while the macro economy stability does not go in parallel with the economic parity. The economic disparity between individuals, groups, and regions occur because CSMEs has not taken its role as the foundation of economy though it has involved a large number of players, absorbed a lot of workforce and covered a wide range of geographic scope from urban to rural. Therefore, economic independence has to put CSMSEs at the first base. The government role, particularly the presence of The Ministry of Cooperative and SMEs is very critical to increase CSMEs contribution to the economy. In line with the changes in strategic environment, bureaucratic reform is a key success to accelerate economic independence through CSMEs development. The Ministry of Cooperative and SMEs carries out the mandate as the service agency that focus on synchronization and coordination of development with the support of local government as the executor of CSMEs development strategic planning. keywords: economic independence, CSMSEs, bureaucracy reform, development management
28
MEMBANGUN KEMANDIRIAN EKONOMI INDONESIA BERBASIS KOPERASI DAN UMKM (Johnny W. Situmorang)
Pendahuluan Penghapusan kemiskinan (poverty alleviation) sesungguhnya merupakan sasaran pembangunan ekonomi semua bangsa dan negara. Manakala negara-negara maju mampu menghapuskan kemiskinan struktural di negara masing-masing, sementara tingkat kemiskinan di Indonesia masih sangat tinggi. Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang menjadi anggota G-20. Antara negara-negara maju G-20 dan Indonesia terdapat perbedaan yang signifikan. Misalnya, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Jepang berbeda jauh dengan Indonesia. Tingkat pendapatan per kapita Indonesia jauh lebih rendah daripada negara maju G-20, distribusi pendapatan timpang, dan tingkat kemiskinan tinggi. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi dan kecenderungan peningkatan pendapatan per kapita, Indonesia masih belum mampu menghilangkan kemiskinan dan ketimpangan kesejahteraan. Kondisi perekonomian Indonesia semakin lemah karena ketimpangan tidak hanya antar individu, juga antar daerah dan ketergantungan (dependensi) Indonesia terhadap ekonomi internasional yang tinggi. Sementara perubahan tatanan perekonomian global mengarah pada hubungan inter-dependensi (saling ketergantungan). Dengan kata lain kemandirian ekonomi Indonesia lemah yang terlihat dari struktur perekonomian yang tidak kuat, terutama integrasi mikro dan makro ekonomi. Kemandirian ekonomi Indonesia adalah arah yang harus dicapai dalam pembangunan ekonomi Indonesia di masa datang. Kemandirian ekonomi yang terpadu dengan kedaulatan politik dan kepribadian budaya maka Indonesia akan mampu menjadi bangsa dan negara yang hebat (Indonesia Hebat) dalam percaturan global. Kemandirian ekonomi berbasis pada keterlibatan rakyat secara langsung dalam proses pembangunan dan menikmati hasil pembangunan. Kemandirian akan dapat terwujud apabila Koperasi dan Usaha-usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (KUMKM) menjadi pemain utama dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Dalam proses pembangunan ekonomi selama Indonesia merdeka, pembangunan KUMKM telah menjadi agenda pembangunan. Bahkan pemerintah membentuk kementerian khusus yang mengurusi pembangunan KUMKM. Demikian juga pada tingkat daerah (provinsi, kabupaten, kota), pemerintah membentuk dinas yang khusus mengurus pembangunan KUMKM. Namun sampai saat ini, KUMKM, walaupun menjadi tumpuan rakyat dalam penciptaan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat, belum sepenuhnya sebagai “tulang punggung” perekonomian dalam membangun struktur perekonomian yang kokoh. Dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah harus lebih memperhatikan keberadaan KUMKM agar mampu menjadi tulang-punggung kemandirian perekonomian Indonesia menuju “Indonesia Hebat”. Keterlibatan pemerintah secara langsung dan tidak langsung didukung oleh “institutional arrangement” melalui UU 25/1992 tentang Perkoperasian, UU 20/2008 tentang UMKM, dan UU 39/2008 tentang Kementerian Negara. Ketiga UU tersebut menyatakan bahwa pemerintah wajib memberdayakan KUMKM untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, kemandirian ekonomi, dan kemakmuran rakyat. Tulisan ini merupakan pemikiran pembangunan KUMKM sebagai basis kemandirian ekonomi untuk sebagaimana visi dan misi Presiden RI, Joko Widodo, masa bakti 2014-2019 menyangkut “Trisakti Pembangunan” dan “Nawacita”, Kabinet Kerjanya, dan reformasi birokrasi. Pembangunan Ekonomi Indonesia: Pertumbuhan Dengan Ketimpangan Selama ini pembangunan ekonomi Indonesia dianggap oleh rejim yang berkuasa telah berhasil membawa Indonesia dari krisis ekonomi menjadi negara yang stabil perekonomiannya. Hal itu ditunjukkan oleh performa perekonomian makro yang kuat
29
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 28-43
yang ditandai oleh beberapa indikator eknomi makro yang tinggi dan stabil. Pada tabel 1 terlihat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi dan cenderung naik selama 2004 – 2008. Dengan pertumbuhan ekonomi antara 5.03% sampai 6.01% maka PDB Indonesia diperkirakan mencapai Rp9,083.97 triliun pada tahun 2013. Realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2013 ternyata meleset, yaitu 5.3% yang merupakan sumbangan terbesar dari pengeluaran konsumsi masyarakat. Dari sisi sektoral, tiga besar penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi adalah sektor sektor pengangkutan dan komunikasi (10.2%), sektor keuangan, persewaan, dan jasa usaha (7.6%), dan konstruksi (6.6%). Sedangkan sektor pertanian hanya menyumbang pertumbuhan ekonomi sebesar 5.8%. Dengan pertumbuhan ekonomi di atas 6% maka Pemerintah mengharapkan PDB menjadi Rp10,000.00 triliun pada tahun 2014 dengan target pertumbuhan ekonomi 5.8%, sejalan dengan selesainya masa bakti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Anonim, 2014). Pencapaian tingkat PDB ini menjadikan pendapatan per kapita rakyat Indonesia meningkat dan mencapai Rp37.54 juta pada tahun 2013 atau US $3,413. Disamping itu, pertumbuhan ekonomi itu juga mengantarkan Indonesia sebagai anggota G-20, yaitu negaranegara yang berpendapatan tertinggi di dunia, bersama dengan Amerika Serikat dan beberapa negara maju (Situmorang, 2014). Namun, perkembangan perekonomian tersebut tidak disertai dengan perbaikan perekonomian nasional yang akhirnya tidak memperkuat struktur perekonomian. Transformasi struktural hampir tidak terjadi karena kontribusi sektor pertanian terhadap PDB relatif sama, bahkan kontribusi sektor manufaktur cenderung turun. Ini mendukung pendapat yang menyatakan terjadinya de-industrialisasi Indonesia di tengah pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kualitas sumberdaya manusia memang cenderung naik, namun masih rendah, yakni dengan IPM 73.29 pada tahun 2013. Jumlah orang miskin
30
masih banyak, 28.07 juta orang, dengan tingkat kemiskinan masih tinggi, yaitu 11.37%. Sejalan dengan MDGs, Indonesia akan gagal memenuhi perjanjian yang mengikat karena dipersyaratkan penurunan tingkat kemiskinan sebesar 50% pada tahun 2014 dari tahun 2008. Struktur dunia usaha Indonesia menunjukkan dominansi UMKM sebanyak 99.99% dan usaha skala besar (UB) hanya 0.01%. Jumlah badan usaha koperasi sangat banyak dan meningkat sepanjang tahun 2004-2013. Kalau pada tahun 2004 sebanyak 27.52 ribu unit maka pada tahun 2008 dan 2013 masing-masing menjadi 154.96 ribu unit dan 200.81 ribu unit. Perkembangan perekonomiam makro tidak sejalan dengan peningkatan kualitas pembangunan itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi Indonesia disertai dengan multiketimpangan (disparitas). Pada tabel 2 terlihat bagaimana ketimpangan itu terjadi. NTP (Nilai Tukar Petani) naik menjadi 101.96 naik sangat rendah. Artinya, kesejahteraan petani hanya naik 3%. Ini didukung oleh upah buruh tani harian hanya Rp27,017.00 dan upah buruh industri kecil Rp590.80 ribu sebulan. Indeks Gini meningkat, menjadi 0.413 pada tahun 2013 dari 0.363 dan 0.35 pada tahun 2004 dan 2008. Indeks Gini (IG) menunjukkan pemerataan pendapatan dimana semakin tinggi IG semakin tak merata distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat miskin dan kaya. Ketimpangan kesejahteraan rakyat juga terlihat dimana kemiskinan di perdesaan jauh lebih tinggi daripada perkotaan. Pada tahun 2013 masih terdapat 14.32% rakyat miskin atau rata-rata 17.79% per tahun sedangkan di perkotaan 8.39% atau rata-rata 10.72%. Ketimpangan pendapatan secara regional juga masih menandai perekonomian Indonesia. Pada tahun 2013, rakyat di wilayah P. Jawa menikmati lebih besar PDB, sebesar 55.94% atau rata-rata 57.75% per tahun, sedangkan pada tahun 2013 rakyat wilayah luar P. Jawa menikmati PDB sebesar 44.06% atau ratarata 42.25%. Arus urbanisasi (desa ke kota) dan regionalisasi (luar Jawa ke Jawa) akan semakin besar dan membebani kota dan Jawa.
MEMBANGUN KEMANDIRIAN EKONOMI INDONESIA BERBASIS KOPERASI DAN UMKM (Johnny W. Situmorang)
Tabel 1. Perkembangan Perekonomian Indonesia Berdasarkan Indikator Terpilih 2004 – 2013
Sumber: BPS (2014) dan Kemen KUKM (2014) , Situmorang (2014) *Kecuali pertumbuhan ekonomi, semua angka sangat sementara; **Tahun 2012 Walaupun jumlah penduduk lebih banyak di P. Jawa daripada luar P. Jawa, ketimpangan ini sangat berbahaya dari sisi nasionalisme dan NKRI. Transformasi struktural yang tak terjadi secara signifikan lebih membahayakan perekonomian Indonesia ketika ketimpangan terjadi antar-sektoral. Penyerapan tenaga kerja sektor pertanian turun 43.33% pada tahun 2004 menjadi 41.33% dan turun lagi menjadi 34.36% pada tahun 2013 atau rata-rata 39.67% per tahun. Sedangkan penyerapan tenaga kerja sektor industri (manufaktur) naik dari 11.81% menjadi 12.55% pada tahun 2008 dan naik lagi menjadi 13.43% pada tahun 2013 atau ratarata 12.60% per tahun. Bila dikaitkan dengan kontribusi sektoral terhadap PDB yang hampir tidak berubah maka tenaga kerja yang keluar sektor pertanian tidak sepenuhnya terserap
sektor industri manufaktur. Tenaga kerja yang tidak terdidik dari sektor pertanian adalah “push-out” dan menjadi tenaga kerja sektor informal di perkotaan. Ini merupakan ancaman di perkotaan dalam hal kependudukan, pemukiman, dan kesejahteraan atau ekonomi dan sosial bahkan juga terhadap budaya dan keamanan serta politik. Ketimpangan juga terjadi antar dunia usaha. Dengan jumlah UMKM sebanyak 99.99% unit, sumbangannya terhadap PDB rata-rata hanya 56.71%. Sedangkan Usaha Besar (UB) dengan jumlah hanya 0.01% menyumbang rata-rata 45.29% selama 2004 – 2012. Artinya, produktifitas UMKM sangat rendah dibandingkan UB dan yang lebih menikmati pembangunan adalah perusahaan skala besar. Porsi UMKM dalam ekspor masih rendah, yakni 15%. Pembiayaan
31
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 28-43
Tabel 2. Ketimpangan Di Bawah Rejim Pertumbuhan Ekonomi Tinggi, Tahun 2004 - 2013
Sumber: Situmorang (2014), BPS (2014); *Angka sangat sementara; **Tahun 2012 perdagangan (ekspor) salah satu yang penting untuk meningkatkan peran KUMKM dalam perdagangan internasional. Pembiayaan ekspor juga salah satu topik pembahasan dalam forum APEC terkait peran UMKM. Disparitas itu semakin terasa bila membandingkan penyerapan tenaga kerja UMKM dan UB. Beban UMKM dalam lapangan kerja adalah rata-rata 96.85% sedangkan UB hanya 3.15% selama tahun 2004 – 2012. Tidak terjadi 32
perubahan struktural dalam lapangan kerja selama masa tersebut. Disparitas kesejahteraan semakin terlihat dengan memperhatikan pengangguran terdidik (lulusan akademi dan universitas) di Indonesia selama tahun 2004 – 2013. Jumlah pengganggur terdidik masih sangat banyak. Pada tahun 2004 adalah sebanyak 586.36 ribu orang atau 5.71% dari seluruh penggangguran terbuka dan pada tahun 2013 adalah sebanyak 626.11 ribu
MEMBANGUN KEMANDIRIAN EKONOMI INDONESIA BERBASIS KOPERASI DAN UMKM (Johnny W. Situmorang)
orang atau 8.50% dari pengangguran terbuka. Dengan kontribusi yang timpang terhadap PDB, struktur penyerapan lapangan kerja, dan pengangguran terdidik tersebut adalah petunjuk kemiskinan pada masyarakat dan peran KUMKM yang masih lemah. Padahal dalam kerangka pemberantasan kemiskinan, KUKM termasuk kategori klaster III yang dikenal sebagai Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Usaha Ekonomi Mikro dan Kecil sesuai Perpres nomor 15 tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang mengamanatkan percepatan penurunan angka kemiskinan hingga 8-10 % pada akhir tahun 2014 (www.tnp2k). Pengangguran terdidik adalah suatu ironi pembangunan ekonomi. Ini merupakan permasalahan serius bagi Indonesia. Semestinya, rakyat yang telah menempuh pendidikan tinggi (terdidik) yang kenyataannya membayar mahal adalah untuk tidak menganggur. Faktanya, setelah memperoleh ijazah mereka menganggur. Karena ketimpangan regional, pada umumnya penganggur terdidik berasal dari perguruan tinggi di daerah luar P. Jawa dan daerah tertentu di P. Jawa, tidak mampu bersaing dengan lulusan universitas ternama di P. Jawa. Sehingga mereka terpaksa menganggur dan urbanisasi ke P. Jawa dan menjadi kelompok orang miskin yang terpaksa (involuntary poverty). KUMKM dapat menjadi solusi bagi mereka yang secara akademik tidak sepantasnya menganggur dengan merekrut tenaga terdidik sebagai tenaga pendamping di koperasi atau UMKM. Perbandingan dengan negara lain di dunia juga menunjukkan rendahnya posisi Indonesia dalam percaturan global. Posisi Indonesia berdasarkan GNI selama tahun 2004 – 2013 tidak lebih baik. Peringkat Indonesia pada tahun 2004 adalah 121 dari 180 negara, tahun 2008 adalah 121 dari 179 negara, dan tahun 2013 adalah 102 dari 161 negara. The World Economic Forum (2014) menerbitkan Global Competitiveness Index (GCI) negara-negara
dimana daya kompetisi Indonesia pada posisi ke-38 dari 148 negara, di bawah Singapore (2), Hong Kong (7), Taiwan (12), Malaysia (24), Korea Selatan (25), Brunei Darusalam (26), China (29), dan Thailand (37). Dalam kawasan ASEAN saja yang akan masuk dalam AEC, posisi Indonesia semakin melemah dibandingkan anggota ASEAN, seperti Malaysia, Thailand, dan Viet Nam, terlihat dari ekspor Indonesia yang turun sehingga ekspor neto negatif. Secara kualitas, peringkat ini menunjukkan posisi yang semakin melemah padahal total PDB ASEAN-10 mencapai US $2,327.6 miliar (Situmorang, 2013). Majalah “Tempo” (2014) menyatakan bahwa Indonesia gamang menjelang 2015, peluang terbuka tapi hambatan menyebar di seantero nusantara. Peringkat wisata Indonesia adalah ke-70, di bawah Singapura (10), Malaysia (34), dan Thailand (43). Biaya logistik dan infrastruktur Indonesia juga tinggi, yakni biaya logistik 27% dari PDB, sehingga sulit menjadi basis produksi industri otomotif, kalah dengan Singapura (8%), Malaysia (13%), Thailand (20%), dan Viet Nam (25%). Produktifitas perkebunan karet Indonesia (0.6 ton/ha), kalah jauh dari Viet Nam (1.72 ton/ha), Thailand (1.7 ton/ ha), dan Malaysia (1.4 ton/ha). Bisnis produk kayu Indonesia dengan ekspor US $1.4 miliar, tertinggal dari China (US $40 miliar), Viet Nam (US $4.0 miliar) dan Malaysia (US $2.4 miliar), padahal sumber kayu Indonesia mencapai 40 juta hektar. Ekspor produk kayu Indonesia pada tahun 2013 turun menjadi US $1,750.0 miliar dibandingkan tahun 2012, sebesar US $1,760.0 miliar. Pada tahun 2013, ekspor non-migas Indonesia ke negaranegara ASEAN defisit US $0.2 miliar, total ekspor US $30.1 miliar dan impor US $30.3 miliar. Defisit neraca perdagangan terbesar adalah terhadap Thailand, sebesar US $5.4 miliar dan bahkan dengan Viet Nam juga defisit, sebesar US $0.3 miliar. Data tersebut menggambarkan bahwa daya saing Indonesia masih rendah dibandingkan negara-negara lainnya (Situmorang, 2014).
33
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 28-43
KUMKM Dalam Pemerataan Kesejahteraan dan Menghapuskan Kemiskinan di Indonesia Kondisi kesejahteraan yang tidak merata di Indonesia bersifat struktural. Ini menyebabkan “asymetry information” dan iklim usaha yang tidak kondusif. Aksesibilitas rakyat rendah terhadap sumberdaya apalagi didukung oleh infrastruktur yang tidak memadai sampai ke perdesaan. Investasi nasional lebih dominan usaha skala besar daripada KUMKM. Insentif investasi (pajak dan bea) dan kemudahan lain lebih dinikmati usaha skala besar, baik asing maupun domestik. Sementara sistem industri dengan kemitraan yang semestinya melibatkan KUMKM dalam model industri pendukung (supporting industrial) tidak nyata terwujud. Kritik terhadap model pembangunan dengan pengarus-utamaan pertumbuhan ekonomi sudah sering terlontarkan baik oleh para penganut ekonomi kelembagaan dan ekonom penerima Nobel Ilmu Ekonomi dari negara maju. Gustav Papanek, ekonom terkemuka dunia dan Presiden Boston Institute for Developing Economies (BIDE), menyatakan bahwa Indonesia adalah negara dengan biaya ekonomi tinggi (high cost economy) dimana infrastruktur dan korupsi menjadi penyebab high cost economy tersebut . Mereka menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi itu memang perlu (necessary) tapi tidak cukup memajukan suatu bangsa dan negara. Dibutuhkan syarat kecukupun (sufficient condition), yaitu kelembagaan yang kuat agar pemerataan terjadi bersamaan dengan peningkatan kesejahteraan. Hal ini dapat merujuk pada posisi KUMKM di Indonesia yang semestinya menjadi fondasi perekonomian Indonesia. Keberadaan koperasi sebagai solusi masalah kemiskinan masih belum nyata. Dengan jumlah anggota koperasi yang terus meningkat, pada tahun 2013 mencapai 34.69 juta orang, semestinya kesejahteraan rakyat sudah tinggi karena koperasi hadir untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Semestinya, keberadaan koperasi dengan
34
jumlah lembaga ratusan ribu unit dan jumlah anggota puluhan juta orang akan dapat menghapuskan kemiskinan di Indonesia. Namun ternyata menurut data pada Tabel 1, jumlah orang miskin pada tahun 2013 masih tinggi, yaitu 28.07 juta orang. Kalau orang miskin ini merupakan bagian dari anggota koperasi maka pembangunan koperasi tidak berhasil. Kalau jumlah orang miskin di luar (on top) anggota koperasi maka sesungguhnya jumlah orang miskin di Indonesia masih sangat banyak, melebihi 28.07 juta. Studi korelasi koperasi dengan penghapusan kemiskinan masih langka. Salah satunya adalah diungkapkan oleh Situmorang dan Sijabat (2011) bahwa probabilitas koperasi mengatasi kemiskinan di Indonesia sekitar 15%. Ini menunjukkan ada sesuatu yang perlu diperbaharui secara nyata dalam kerangka membangun koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat padahal lembaga kementerian untuk pembangunan KUKM telah ada, tetapi belum sepenuhnya mampu menjadikan koperasi sebagai instrumen mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan sampai saat ini. Sementara koperasi di negara lain telah mampu menjadi korporasi yang mempercepat globalisasi yang ditunjukkan oleh performa 300 koperasi global dengan omzet triliunan rupiah (Situmorang, 2013). Perubahan Lingkungan Strategis Dewasa ini perubahan tatanan perekonomian dunia terus menerus terjadi yang ditandai oleh globalisasi. Perubahan tersebut cenderung mengubah pola relasi antar negara yang sebelumnya lebih pada unilateral yang bersifat dependensi menjadi pola hubungan bilateral, multilateral, dan regional yang bersifat inter-dependensi. Hubungan tersebut membentuk kesepakatan yang mengikat dalam dalam hal perdagangan dan investasi bebas (free trade and investment), seperti AFTA, CAFTA, dan WTO, dan kawasan pertumbuhan (regional), serta kesepakatan tak mengikat, seperti APEC dan G-20, sampai pada unionisasi regional, seperti Uni Eropa dan kemudian akan menyusul di kemudian
MEMBANGUN KEMANDIRIAN EKONOMI INDONESIA BERBASIS KOPERASI DAN UMKM (Johnny W. Situmorang)
hari Uni Asean. Bagi negara berkembang, termasuk Indonesia, menjadi pertanyaan besar sejauhmana Indonesia memperoleh manfaat (trade creation) dari perubahan pola hubungan tersebut untuk mengatasi masalah kemiskinan. Perubahan lingkungan strategis eksternal akan dihadapi oleh Indonesia di kawasan ASEAN, berupa Asean Economic Community (AEC), Asean Poltical Community (APC), dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC). Dalam waktu dekat, pada tahun 2015, AEC atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah perubahan lingkungan ekonomi yang secara nyata dan langsung akan dihadapi oleh Indonesia. Secara teoritis, AEC akan membuka peluang dalam memajukan ekonomi sepanjang bangsa dan negara yang dapat memperkuat diri. Salah satu agenda utama MEA adalah mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkeadilan (equity economic development) antar negara anggota MEA melalui peran UMKM. Sebagai contoh, Viet Nam dewasa ini telah berhasil memanfaatkan perubahan lingkungan tersebut sehingga mengalahkan Indonesia dalam ekspor TPT (textile and product textile) dengan keterlibatannya sebagai anggota TPP (Trans Pacific Partnership) suatu perjanjian ekonomi yang mengikat dipimpin oleh Amerika Serikat dan anggota Asean lainnya yang terlibat adalah Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusalam. Indonesia hanya ikut dalam CREP (Comprehensive Regional Economic Partnership) yang dipimpin oleh China. KUMKM Indonesia akan dapat menjadi kekuatan ekonomi menghadapi MEA bila terjadi perubahan “mindset”, kepemimpinan, dan manajemen atau teknologi (Wibowo dan Artati, 2012; Situmorang, 2012; Suarja A.R, 2012). Perubahan lingkungan strategis internal juga menonjol di Indonesia. Itu ditandai oleh otonomisasi daerah, demokratisasi, dan penerapan hak azasi manusia universal. Otonomi daerah memberikan kekuasaan besar pada pemerintah daerah untuk mengurus pemerintahan dan sumberdaya lokal. Kekuasaan kepala daerah menurut undang-
undang RI sangat tinggi untuk mengatur sumberdaya daerah. Apapun yang terjadi dengan perubahan lingkungan eksternal, sepanjang kepala daerah tidak mempunyai kapasitas maka hal itu tidak akan mampu mengubah daerah menjadi hebat dan rakyatnya sejahtera. Demokratisasi memberikan akses besar rakyat dalam proses politik dan kebijakan dan juga penerapan HAM universal. Perubahan ini memaksa model pembangunan yang membolehkan pemerintah campurtangan melalui pemberdayaan ekonomi rakyat harus menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan eksternal dan internal. Pemberdayaan pemerintahan daerah yang terintegrasi dengan pemerintah pusat merupakan salah satu sasaran untuk mewujudkan kemandirian ekonomi Indonesia berbasis KUMKM agar KUMKM juga mampu berperan dalam globalisasi (Situmorang dan Subandi, 2012; Hasan, 2013, Situmorang, 2013; Tambunan, 2013,). Arah Pembangunan KUMKM Mewujudkan Kemandirian Ekonomi Sejalan dengan kondisi dan kecenderungan perubahan lingkungan strategis, mewujudkan kemandirian ekonomi adalah suatu keharusan. Indonesia tetap membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk meningkatkan kapasitas ekonomi nasional. Perkembangan sisi permintaan (demand side) yang merupakan ukuran perkembangan prospek pasar Indonesia secara domestik dan internasional maka manajemen suplai (supply side) harus sejalan dengan demand side. Perkembangan sisi suplai ini dapat membawa Indonesia sebagai negara maju dan besar serta mandiri dalam perekonomian di kemudian hari. Kemandirian ekonomi ditunjukkan oleh struktur perekonomian yang kuat dan efisien yang didukung oleh iklim usaha yang kondusif. Kemandirian ekonomi juga harus terkait dengan perekonomian internasional yang dicirikan oleh efisiensi dan dayasaing yang tinggi. Oleh karena itu, kemandirian ekonomi Indonesia bersama
35
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 28-43
dengan kedaulatan politik dan berkepribadian budaya akan mewujudkan prinsip “Trisakti Pembangunan”. Kemandirian ekonomi Indonesia dapat terwujud bila perekonomian rakyat sebagai basis struktur perekonomian Indonesia. Struktur perekonomian Indonesia yang kuat berbasis pada KUMKM. Lingkungan internal KUMKM yang menonjol terlihat pada kualitas sumberdaya manusia yang rendah, khususnya menyangkut pendidikan, keterampilan, dan kewirausahaan. Bentuk usaha UMKM, khususnya usaha-usaha mikro dan kecil, pada umumnya informal, tidak memiliki legalitas usaha. Kelemahan ini menyebabkan aksesibilitas KUMKM terhadap teknologi, pasar, dan pembiayaan sangat lemah. Lembaga-lembaga formal yang semestinya mendukung dan mitra usaha KUMKM tidak terjangkau oleh KUMKM. Sistem industri pendukung (supporting industry) dan kemitraan bisnis antara KUMKM dan usaha besar sebagaimana terjadi di negara maju, tidak terwujud. Fasilitas penanaman modal lebih banyak dinikmati oleh perusahaan asing dan dalam negeri yang pada umumnya adalah usaha skala besar. Kontribusi UMKM dalam perdagangan internasional Indonesia masih sangat rendah, sekitar 15% dan alokasi pinjaman perbankan juga rendah, sekitar 18%. Sejalan dengan visi, misi, dan analisis lingkungan strategis internal dan eksternal maka arah pembangunan KUMKM Indonesia ke depan adalah mewujudkan kemandirian ekonomi Indonesia dengan memperkuat struktur perekonomian nasional yang menjamin pemerataan, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan, serta daya saing internasional Indonesia. Strategi dasar pembangunan KUMKM adalah mencakup lingkungan internal, yaitu penguatan kelembagaan dan usaha KUMKM dan lingkungan eksternal KUMKM, mencakup peningkatan kualitas iklim usaha, infrastruktur, dan energi. Faktor eksternal tidak berdiri sendiri tetapi terkait dengan lingkungan lebih luas. Penguatan sektor perdesaan dan sektor pembangunan, seperti pertanian, pertambangan, industri, dan
36
perdagangan harus paralel dengan lingkungan KUMKM. Strategi tersebut mencakup: 1. Peningkatan kualitas manusia KUMKM
sumberdaya
Sumberdaya manusia adalah titik sentra kekuatan KUMKM dalam menentukan dayasaing ekonomi Indonesia. Dengan jumlah anggota koperasi lebih dari 34 juta orang dan pengusaha UMKM lebih dari 54 juta orang dayasaing Indonesia masih rendah. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia menjadi sasaran utama pembangunan KUMKM dalam rangka membangun wawasan (mindset) internasionalisasi (the word class), inovasi, dan kreatif.. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia KUMKM mencakup kewirausahaan, kepemimpinan, dan keterampilan. Indonesia membutuhkan sedikitnya 5.5 juta wirausaha untuk memajukan bisnis atau sedikitnya 2% dari jumlah penduduk mengacu pada tesis McClelend, dewasa ini rasionya baru 1.5%. Pengembangan secara menyeluruh inkubator bisnis dan pelatihan adalah program yang tepat meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia KUMKM. 2.
Penguatan kelembagaan KUMKM.
Penguatan kelembagaan mencakup lembaga, organisasi, dan manajemen. Dengan jumlah koperasi lebih dari 200 ribu unit maka mewujudkan setidaknya 25% koperasi yang kuat dan mengakar akan mampu memperkuat kelembagaan perekonomian “akar rumput” yang memiliki daya saing internasional sebagaimana koperasi di negara maju yang telah berkelas dunia (the world class cooperatives). Dengan jumlah anggota koperasi sebanyak 34.69 juta orang yang pada umumnya adalah pelaku UMKM maka setidaknya terdapat 8.67 juta UMKM yang akan mampu menjadi entitas bisnis yang berdayasing tinggi dan orientasi ekspor. Penguatan kelembagaan ini sekaligus menguatkan ekonomi perdesaan. Penguatan kelembagaan ekonomi rakyat tersebut dilakukan dengan peningkatan kapasitas
MEMBANGUN KEMANDIRIAN EKONOMI INDONESIA BERBASIS KOPERASI DAN UMKM (Johnny W. Situmorang)
lembaga koperasi dan formalisasi bentuk usaha UMKM. 3. Penguatan usaha KUMKM Kemampuan koperasi dalam bisnis pada tahun 2013 masih rendah, yaitu Rp119.18 triliun. Transaksi bisnis setiap koperasi dan terkait anggota sangat rendah, yakni Rp593.50 juta per koperasi dan Rp3.44 juta per anggota. Setiap bulan rata-rata transaksi bisnis hanya Rp49.46 juta per koperasi dan Rp286.30 ribu per anggota. Nilai transaksi bisnis koperasi harus ditingkatkan, setidaknya 25 kali atau total Rp2,979.50 triliun. Koperasi telah menunjukkan performa sebagai badan usaha yang dapat berskala besar (Anonim, 2013). Dengan jumlah 99.99% unit usaha, nilai output UMKM ditingkatkan setidaknya 70% dari PDB yang pada gilirannya meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan pekerja. Penyediaan lembaga pembiayaan dan penjaminan khusus merupakan salah satu tugas penting pemerintah untuk mendukung pembangunan KUMKM. Pada saat ini yang telah ada adalah sumber pembiayaan khusus dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU) LPDB-KUMKM. Lembaga ini hanya bergerak dalam kerangka pembiayaan modal kerja KUMKM. Sementara lembaga penjaminan khusus belum tersedia untuk melengkapi sistem finansial KUMKM. Salah satu strategi mengatasi pengangguran tenaga kerja terdidik (intelek) adalah dengan program konsulensi (pendampingan) koperasi. Tenaga kerja terdidik setiap tahun 150,000 orang direkrut untuk menjadi pendamping koperasi dalam rangka mewujudkan koperasi berkelas dunia. Sehingga selama lima tahun (jangka menengah), pengangguran terdidik akan teratasi dan mereka akan menjadi wirausaha tangguh yang berbasis sumberdaya primer dan perdesaan. Mereka akan menjadi pemicu pengembangan usaha KUMKM dan program ini akan dapat serta mengatasi urbanisasi.
4.
Penciptaan iklim usaha dan investasi.
Salah satu penyebab rendahnya daya saing KUMKM dan aksesibilitas KUMKM terhadap teknologi, pembiayaan, dan pasar rendah adalah iklim usaha atau investasi yang tidak kondusif. Regulasi dan birokratisasi menjadi sumber high cost economy Indonesia dan memperburuk infrastruktur. Pemerintah (pusat dan daerah) mengembangkan iklim usaha dengan prinsip deregulasi dan debirokratisasi serta pelayanan publik yang prima dan mendorong ekspor serta iklim usaha yang kondusif di perdesaan. Pelayanan publik dalam rangka legalitas dan perizinan KUMKM diselenggarakan oleh pemerintah dengan sistem “front office”. 5.
Pengembangan infrastruktur
Ketersediaan infrastruktur memengaruhi dayasaing KUMKM. Kuantitas dan kualitas infrastruktur untuk meningkatkan peran KUMKM masih belum memadai sehingga dayasaing KUMKM juga rendah. Infrastruktur mencakup terutama jalan, pelabuhan, dan pemasaran hasil sampai ke perdesaan. Tempat pasar (market place) di perdesaan salah satu yang paling mendukung keberhasilan KUMKM meningkatkan pendapatan rakyat dimana koperasi sebagai pengelola pasar tradisional. Salah satu faktor keberhasilan negara maju dalam ekonomi perdesaan adalah penerapan sistem lelang. Produsen sektor pertanian memperoleh jaminan harga dan pendapatan yang tinggi. Pengembangan sistem lelang komoditas pertanian di Indonesia menjadi pilihan yang tepat menjamin kestabilan harga tingkat petani. Pemerintah daerah diarahkan menerbitkan Peraturan Daerah tentang sistem lelang pemasaran hasil pertanian. 6. Penyediaan energi murah dan ramah lingkungan Energi berupa listrik dan bahan bakar minyak dan gas sangat dibutuhkan
37
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 28-43
oleh KUMKM sebagai input produksi. Ketersediaan energi yang murah dan ramah lingkungan adalah upaya untuk meningkatkan dayasaing KUMKM. Program energi baru dan terbarukan merupakan upaya yang tepat untuk mendukung dayasaing KUMKM menuju kelas dunia. 7. Pengembangan kerjasama bangunan KUMKM
pem-
Relasi antar negara dan antar perusahaan yang berubah menjadi inter-dependensi menuntut kerjasama (kemitraan) baik antar negara maupun antar perusahaan. Indonesia menjadi anggota berbagai forum dunia dan aktif dalam kegiatan forum bilateral, multilateral, dan regional. Kerjasama harus dimanfaatkan untuk memperkuat kemandirian ekonomi dan KUMKM. Salah satu sistem yang membuat Jepang, Korea Selatan, China, dan Taiwan mampu menjadi negara industri dan maju adalah terbangunnya sistem kemitraan yang saling ketergantungan antara usaha besar dan UMKM dalam format “supporting industrial”. Oleh karena itu pengembangan kerjasama (kemitraan) dalam format supporting industrial dan kerjasama internasional baik antar pemerintah maupun antar swasta merupakan strategi yang tepat untuk membangun kemandirian ekonomi Indonesia. Dalam kerangka integrasi program maka semua kementerian dan lembaga teknis serta Pemerintah Daerah (provinsi, kabupaten, kota) yang terlibat dalam pembangunan KUMKM menuju kemandirian ekonomi akan terkoordinasi di bawah lembaga pemerintah pusat yang membidangi khusus pembangunan KUMKM. Pengorganisasian Pembangunan KUMKM Untuk mencapai maksud tersebut di atas maka pengorganisasian pembangunan KUMKM mutlak diperlukan. Di semua negara maju, peran pemerintah sebagai pengemban tugas pembangunan sangat menonjol meskipun tidak harus berbentuk lembaga kementerian. Misalnya, di Amerika Serikat dalam bentuk 38
SBA (Small Business Administration) dan di Jepang di bawah Ministry of Internasional Trade and Industry (MITI). Di negara-negara Asean, pada umumnya pembangunan KUMKM di bawah kementerian tertentu. Misalnya, di Filipina di bawah DTI (Department of Trade and Industry), di Malaysia di bawah Kementerian yang membidangi ekonomi dan ilmu pengetahuan. Di Korea Selatan di bawah kementerian yang membidangi ekonomi dan industri. Negara-negara tersebut membentuk lembaga khusus pengembangan UMKM sebagai eksektor kebijakan pembangunan UKM. Pengorganisasian pembangunan KUMKM di Indonesia diwakili oleh Kementerian KUKM dan pengembangan strateginya sangat tergantung pada visi dan misi Presiden RI terpilih, Joko Widodo. Namun secara tata negara, peraturan perundang-undangan memberikan justifikasi kepada Presiden RI untuk membentuk lembaga kementerian yang khusus mengurus pemerintahan dan pembangunan KUMKM. UU nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU 39/2008) telah menjadi dasar pembentukan lembaga Kementerian Negara. Sesuai dengan UU 39/2008, Kementerian Negara yang selanjutnya disebut kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan (Pasal 1 ayat 1) dan pembentukan Kementerian berdasarkan tiga alasan. Kementerian yang mengurus pembangunan KUMKM merupakan Kementerian di kelompok ketiga, yaitu urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah (pasal 4 ayat 2, huruf C), berkaitan dengan urusan pemerintahan bidang koperasi, usaha kecil dan menengah (pasal 5 ayat 3). Kementerian yang melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (3) menyelenggarakan fungsi a. Perumusan dan penetapan kebijakan di bidangnya; b. Koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidangnya; c, Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; dan d. pengawasan atas
MEMBANGUN KEMANDIRIAN EKONOMI INDONESIA BERBASIS KOPERASI DAN UMKM (Johnny W. Situmorang)
pelaksanaan tugas di bidangnya. Visi dan misi Presiden RI. Joko Widodo, pada periode 20142019 adalah mensyaratkan perubahan birokrasi dari birokratisasi ke pelayanan. Meskipun UU 39/2008 tidak menyebut secara eksplisit Kementerian Koperasi dan UMKM sebagai kementerian yang menjalankan program dan kegiatan secara operasional, namun terdapat peraturan perundang-undangan yang membolehkan Kementerian KUKM untuk melaksanakan program dan kegiatan secara langsung. Ruang lingkup penugasan yang berkaitan erat dengan bidang KUMKM, terutama termaktub dalam UU nomor 25/1992 tentang Perkoperasian (UU 25/1992) dan UU nomor 20/2008 tentang usaha mikro, kecil dan menengah (UU 20/2008). Sejalan dengan otonomi daerah, UU nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) dan perubahannya mengamanatkan urusan pemerintahan di bidang KUMKM adalah urusan yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Artinya, ujung tombak operasionalisasi pembangunan KUMKM ada pada pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, dan kota). Konkordansi semua UU tersebut di atas menyatakan dengan tegas upaya pemberdayaan KUMKM dalam perspektif pembangunan ekonomi Indonesia yang mandiri. Mengacu pada Trisakti Pembangunan, pemerintah harus berperan dalam pemberdayaan KUMKM sebagai dasar bangunan kemandirian ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, pengorganisasian pembangunan KUMKM dapat berdiri sendiri di bawah Kementerian KUKM yang fokus pada sinkronisasi dan koordinasi pembangunan KUMKM. Pengorganisasian pembangunan KUMKM harus efisien, efektif, dan berkualitas dunia dengan orientasi pelayanan prima. Oleh karena itu, reformasi birokrasi menjadi sangat penting untuk mendukung kemandirian ekonomi berbasis KUMKM. Reformasi birokrasi juga telah diamanahkan dan sesuatu yang wajib menurut peraturan perundangundangan. Menurut Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi bahwa reformasi birokrasi
merupakan pertaruhan besar bagi bangsa Indonesia menyongsong abad 21 (Situmorang, 2014). Sebagai “benchmarking” reformasi birokrasi adalah Kementerian Keuangan dimana dalam satu dekade terakhir telah berhasil meningkatkan pelayanan lembaga kepada masyarakat dengan tingkat kepuasan layanan yang cukup tinggi (Anonim, 2013). Gambaran pengorganisasian pembangunan KUMKM mengacu pada proses manajemen pembangunan nasional di bidang KUMKM, yaitu sebagai berikut: 1. Proses manajemen pembangunan KUMKM yang terdiri dari perencanaan pembangunan, implementasi perencanaan pembangunan, dan pengendalian implementasi perencanaan pembangunan menjadi tugas pokok Pemerintah RI yang terpadu secara nasional. 2.
Pemerintah Pusat (Kementerian) bertugas untuk mengurus secara langsung perencanaan strategi pembangunan nasional dan pengendalian implementasi perencanaan pembangunan KUMKM.
3. Pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) bertugas untuk mengurus secara langsung implementasi perencanaan pembangunan KUMKM. Fungsi dan tugas ini untuk menjamin pencapaian visi dan misi Presiden RI dalam masa bakti kepemimpinannnya dan keterpaduan pemerintahan dari lokal (kabupaten dan kota), regional (provinsi), sampai nasional dan internasional (pemerintah pusat). Dari format itu maka pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian KUKM, akan memenuhi tugas pokoknya sesuai peraturan perundang-undangan, yaitu, sinkronisasi, koordinasi, dan fokus (pasal 5 ayat 3 UU 39/2008). Semua regulasi dan kebijakan Kementerian KUKM harus menjadi acuan implementasi perencanaan dan pengendalian implementasi perencanaan pembangunan KUMKM. Konsekuensi dari format seperti itu adalah organisasi yang ramping dengan personal yang berkualitas dunia.
39
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 28-43
Dengan memperhatikan lingkungan strategis internal dan eksternal, khususnya visi dan misi Presiden Joko Widodo, struktur organisasi Kementerian KUKM yang ramping cukup dengan 5 (lima) jabatan setingkat Pimpinan Tinggi Madya (PTM) yang setara Eselon 1, yaitu: Pertama, PTM yang membidangi Kesekretariatan. Kesekretariatan merupakan elemen internal untuk memperkuat posisi dari sisi lingkungan internal kementerian. Kedua, PTM yang membidangi Riset, Perencanaan Strategis, Data & Informasi, Perumusan Kebijakan, dan Kerjasama pembangunan KUMKM. Kelima fungsi tersebut sangat penting dalam pembangunan KUMKM dalam kerangka sinkronisasi, koordinasi, dan hubungan antar lembaga. Misalnya, perumusan kebijakan dalam rangka pengembangan iklim kondusif dan kerjasama dalam rangka memenuhi kerjasama nasional dan internasional dalam bisnis (kemitraan) dan kerjasama bilateral, multilateral, regional, dan lainnya. Demikian juga menyangkut pembiayaan pembangunan KUMKM yang terpadu lintas lembaga dan lintas pemerintahan daerah akan menjadi bagian tugas dari PTM ini. Ketiga, PTM yang membidangi Pengembangan Sumberdaya Manusia Pembangunan KUMKM menyangkut pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan. Hal ini untuk mempercepat peningkatan kapasitas pelaku KUMKM yang berwawasan global dan dayasaing ekonom Indonesia dalam persaingan regional, khususnya MEA, dan global Keempat, PTM yang membidangi Pelayanan Kelembagaan dan Usaha KUMKM. Menurut peraturan perundang-undangan, KUMKM wajib memenuhi asas legalitas dan berbagai administratif dan perizinan. Bidang ini menyangkut pelayanan Badan Hukum (BH) koperasi, perijinan operasional dan pengawasan simpan-pinjam serta formalisasi bentuk usaha UMKM untuk memperkuat posisi KUMKM sesuai peraturan perundang-undangan
40
Kelima, PTM yang membidangi Pengendalian Pelaksanaan Perencanaan Pembangunan KUMKM. Bidang ini menyangkut pengawasan internal dan menjamin tercapainya sasaran strategi pembangunan nasional yang integratif sebagaimana visi dan misi Presiden RI menjadikan KUMKM membentuk kemandirian ekonomi Indonesia. Penutup Tulisan ini merupakan analisis kebutuhan pembangunan dan pengorganisasian pembangunan KUMKM. Tentunya belum sempurna namun setidaknya merupakan refleksi teori dan praktek pembangunan KUMKM yang selama ini belum signifikan menghapuskan kemiskinan dan ketimpangan. Pemikiran ini bila diterapkan akan mampu menjawab masalah pembangunan kemandirian ekonomi. Konsekuensi positif memperkuat struktur perekonomian yang mandiri dan berbasis KUMKM sangat luas ditinjau dari berbagai aspek. Konsekuensinya adalah, antara lain, partisipasi rakyat yang luas dalam proses “memetik dan menikmati hasil pembangunan” sehingga menguatkan struktur perekonomian Indonesia dalam globalisasi yang kompetitif terutama memasuki era ASEAN Economic Community (AEC) yang dimulai Desember 2015. Reformasi birokrasi menjadi prasyarat utama untuk membangun KUMKM sejalan dengan reorientasi pemerintahan ke pelayanan dan otonomi daerah. Di samping itu, sumber pembiayaan pembangunan akan meningkat tajam sejalan dengan peningkatan kemampuan KUMKM membayar pajak. Secara politik, pemberdayaan KUMKM sebagai ekonomi rakyat yang melibatkan puluhan juta orang anggota koperasi akan secara nyata meningkatkan “popular vote” untuk mewujudkan demokrasi yang bermartabat dan cerdas karena kesejahteraan rakyat terpenuhi. Partai politik yang memerintah tidak akan sulit mendapatkan simpati rakyat sepanjang tercipta kesempatan kerja, pendapatan, dan
MEMBANGUN KEMANDIRIAN EKONOMI INDONESIA BERBASIS KOPERASI DAN UMKM (Johnny W. Situmorang)
kesejahteraan sosial akibat campur tangan yang tulus dari pemerintah dalam pembangunan ekonomi rakyat ini. Dalam kerangka AEC, Indonesia dari sisi potensi, dengan ketersediaan sumberdaya manusia dan alam, harus dapat memimpin perekonomian kawasan. Indonesia tidak boleh dipandang lagi sebagai negara “kecil” yang hanya tergantung pada sistem perdagangan bebas melainkan pemain utama yang dapat memengaruhi perdagangan bebas dan pembangunan ekonomi yang berkeadilan. Demikian juga dalam kerangka WTO, Indonesia akan semakin berperan dan dapat berperan aktif untuk merumuskan kesepakatan yang dengan perdagangan bebas yang adil. Partisipasi Indonesia dalam forum internasional lainnya, seperti APEC, kawasan regional, dan lainnya akan semakin signifikan untuk membangun hubungan yang simetris
antar negara. Strategi pembangunan ekonomi mandiri melalui pembangunan KUMKM akan berhasil bila didukung oleh pembiayaan yang sesuai. Oleh karena itu, pemerintah pusat harus menyediakan dana untuk pembiayaan program secara menyeluruh yang tidak kalah dengan anggaran sektor pendidikan. Setidaknya 10% dana dalam APBN dialokasikan untuk pembiayaan pembangunan KUMKM secara nasional yang akan mampu membangun perekonomian Indonesia yang mandiri dan menjadikan “Indonesia Hebat”, sejalan dengan Trisakti Pembangunan. Reformasi birokrasi Kementerian KUKM akan menghemat dana pembangunan dan dengan organisasi Kementerian KUKM yang ramping cukup mempekerjakan 300 – 500 personal dengan kualifikasi tinggi, profesional, dan orientasi pelayanan prima.
41
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 28-43
Daftar Pustaka Anonim. 2013. Kinerja Koperasi Peserta Program Koperasi Skala Besar. Laporan Akhir. Sekretariat Kementerian KUKM, Biro Umum kerjasama dengan Tim Koordinasi Penyelenggaraan Penelitian KUMKM (TKPP-KUMKM) Kementerian KUKM, Jakarta. ................... 2013. Survei Opini Stakeholders Kementerian Keuangan RI. Kerjasama Kementerian Keuangan Republik Indonesia dengan Institut Pertanian Bogor. ................... 2014. Melanjutkan Reformasi Bagi Percepatan Pembangunan Ekonomi Yang Berkeadilan. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrembangnas) Tahun 2014. Dalam rangka penyusunan Rencana Kerja Pemerintah(RKP) Tahun 2015. Kementerian PPN/Bappenas Jakarta, April. Hasan, Sjarifuddin. 2013. Mewujudkan Koperasi Kelas Dunia. INFOKOP. Media Pengkajian KUKM, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Kementerian KUKM, Jakarta. ISSN: 0216-813X, Vol 23 nomor 1 Tahun 2013, hal 1-8. Situmorang, Johnny W dan Saudin Sijabat. 2011. Studi Relasi Koperasi Dan Penanggulangan Kemiskinan Di Indonesia. Tinjauan Probabilitas Tingkat Anggota Koperasi Dan Tingkat Kemiskinan Propinsi”. JURNAL. Pengkajian KUKM, volume 6 September 2011, hal 43-69, ISSN 1978-2896. Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Kementerian KUKM, Jakarta.
42
Situmorang, Johnny W dan Slamet Subandi. 2012. Reforma Birokrasi Dalam Rangka Revitalisasi Koperasi. Belajar Dari Model Birokrasi Jepang Dalam Pembangunan UKM. INFOKOP. Media Pengkajian KUKM, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Kementerian KUKM, Jakarta. ISSN: 0216-813X, Vol 20 Juni 2013, hal 31-35. Situmorang, Johnny W. 2012. Menilik Performa Koperasi Kelas Dunia: Pelajaran Pengembangan Koperasi Indonesia Menyambut Asean Economy Community. INFOKOP. Media Pengkajian KUKM, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Kementerian KUKM, Jakarta. ISSN: 0216-813X, Vol 21 Oktober 2012, hal 53-71. ................... 2013. Toward Asean Economic Community: Challange or Opportunity? Studium General Civitas Academica Universitas Simalungun Indonesia (USI), P. Siantar, Monday, 27 Mei ................... 2013. Uang, Koperasi, dan Moneterisasi Perekonomian “Akar Rumput”. INFOKOP. Media Pengkajian KUKM, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Kementerian KUKM, Jakarta. ISSN: 0216-813X, Vol 23 nomor 1 Tahun 2013, hal 97-113. ................... 2014. Ukuran Dayasaing. Diskusi “Identifikasi Dayasaing KUMKM dan Upaya Peningkatannya”. Staf Ahli Menteri Hubungan Antar Lembaga Kementerian KUKM, Jakarta. Hotel Salak, Bogor, 18 Agustus.
MEMBANGUN KEMANDIRIAN EKONOMI INDONESIA BERBASIS KOPERASI DAN UMKM (Johnny W. Situmorang)
................... 2014. Reformasi Birokrasi Pembangunan KUMKM. Focus Group Discussion Isyu-isyu Strategis Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK Kementerian KUKM Jakarta, Kamis 18 September. ................... 2014. Karakteristik Koperasi Sebagai Lembaga Finansial Inklusif. INFOKOP. Media Pengkajian KUKM, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Kementerian KUKM, Jakarta. Vol 24 nomor 1 Oktober 2014, hal 1-17. Suarja A. R, Wayan. 2012. Analisis Kebutuhan Teknologi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Dalam Mengahadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). INFOKOP. Media Pengkajian KUKM, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Kementerian KUKM, Jakarta. ISSN: 0216-813X, Vol 21 Oktober 2012, hal 72-93.
Tambunan, Tulus. 2013. Identifikasi Rintangan Utama Bagi Koperasi Indonesia Menuju Koperasi Global. INFOKOP. Media Pengkajian KUKM, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Kementerian KUKM, Jakarta. ISSN: 0216-813X, Vol 23 nomor 1 Tahun 2013, hal 9-23. Website www.weforum.org/gcr. The Global Competitiveness Index 2013-2014 rankings. © 2013 World Economic Forum. Diunduh pada 5 Mei 2014. http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/ Survey%20Opini%20Stakeholders%20 2013.pdf. Diunduh pada 1 Desember 2014, pukul 15.50. http://www.tnp2k.go.id/id/program/sekilas/. Diunduh pada 1 Desember 2014, pukul 16.05. http://bisnis.news.viva.co.id/news/ read/458428-2014--wirausaha-mudadi-indonesia-tembus-4-7-juta. Diunduh pada 2 Desember 2014, pukul 14.40.
43
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 44-53
KAPASITAS BADAN HUKUM KOPERASI DALAM MELAKUKAN KEGIATAN KORPORASI: TELAAH YURIDIS-KONSTITUSIONAL COOPERATIVES LEGAL CAPACITY IN IMPLEMENTING CORPORATE ACTIVITIES : JURIDICAL-CONSTITUTIONAL REVIEW Akhmad Junaidi Peneliti Madya Kementerian Koperasi dan UKM Email :
[email protected] Muhammad Joni Advokat, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) Email:
[email protected] Diterima 24 November 2014; diredit 3 Desember 2014; disetujui 5 Desember 2014
Abstrak Undang-Undang Dasar 1945 memberi posisi penting koperasi untuk menjalankan berbagai lapangan usaha. Demikian pula Undang-Undang tentang Perkoperasian juga menempatkan koperasi sebagai badan hukum sejajar dengan badan hukum lain. Namun fakta menunjukkan bahwa masih ada Undang-Undang dan Peraturan Menteri teknis yang melarang koperasi untuk menjalankan usaha antara lain sektor perbankan, tenaga kerja dan kemungkinan masih ada larangan koperasi untuk menjalankan kegiatan di sektor keuangan lainnya pada tahun mendatang. Undang-Undang dan kebijakan tersebut secara nyata telah meminggirkan koperasi sebagai badan hukum. Tentu saja Undang-Undang tersebut dapat merugikan koperasi, dan tindakan tersebut memiliki potensi melanggar konstitusi. Pada posisi ini menciptakan peluang koperasi untuk meminta keadilan kepada Mahkamah Konstitusi. Pemerintah harus mengadvokasi kesadaran hukum bagi koperasi agar memperoleh keadilan dalam menjalankan usaha sejajar dengan badan hukum lainnya. kata kunci: koperasi, badan hukum, Mahkamah Konstitusi. Abstract The Law of 1945 Republic of Indonesia gave an important position cooperatives to run in a variety of business fields. Similarly, the Law on Cooperatives also put the cooperative as a legal entity aligned primarily to other legal entities. But the facts show that there is the Act and the Government Regulation prohibits cooperative to run the business, among others, the banking sector, labor, and there is still the possibility of a ban to cooperatives to carry out other activities in the financial sector in the coming years. The Act and policy has indeed marginalize cooperative as a legal entity. Of course, the Constitution Act can be detrimental to the cooperative, and these actions have the potential to violate the constitution. In this position creates change for cooperative to appeal to the Constitutional Court. In the future, the government should advocate to cooperatives on awareness of legal to obtain justice in the operations in parallel with other legal entities. keywords: cooperative, legal entity, Constitutional Court.
44
I.
KAPASITAS BADAN HUKUM KOPERASI DALAM MELAKUKAN KEGIATAN KORPORASI: TELAAH YURIDIS-KONSTITUSIONAL (Akhmad Junaidi dan Muhammad Joni)
Pendahuluan
Disengaja atau tidak, masih banyak tindakan yang meminggirkan koperasi sebagai badan hukum dalam menjalankan kegiatan korporasi. Peminggiran ini tentu saja mengabaikan arti penting koperasi sebagai soko guru ekonomi nasional. Secara yuridis formal, peminggiran terhadap badan hukum koperasi juga masih terjadi, dan dianggap seakan-akan badan hukum “kelas dua” dalam kapasitas menjalankan usaha. Dalam usaha perbankan syariah, badan hukum koperasi tidak diberi tempat sama sekali. Lihat saja bagaimana pasal 7 UU nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang berbunyi “Bentuk badan hukum Bank Syariah adalah perseroan terbatas”. Peminggiran koperasi juga terjadi di sektor tenaga kerja. Bahkan ini sudah dalam bentuk larangan bagi koperasi untuk menjadi perusahaan penerima pemborongan dan juga larangan/tertutup bagi koperasi untuk menjadi perusahaan penyedia jasa pekerja/ buruh. Larangan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor 19 tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain. Dalam pasal 1 butir 3 menyatakan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas (PT) yang memenuhi syarat untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang perusahaan pemberi pekerjaan. Dalam pasal 24 huruf a, menyatakan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus memenuhi persyaratan berbentuk badan hukum perseroan terbatas (PT) yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Peminggiran juga seakan konsisten dalam sektor perbankan, hal mana dikembangkan dalam draft RUU Perbankan yang hanya menyebut badan hukum perseroan terbatas
(PT). Peminggiran juga pernah dialami badan hukum koperasi dalam draft RUU Usaha Perasuransian yang hanya menyebut badan hukum perseroan terbatas. Peminggiran ini tentu menjadi kesan adanya diskriminasi dan penghambatan peran dan kiprah koperasi dalam perekonomian nasional. Apakah pikiran yang berkembang yang menghambat badan hukum koperasi dalam usaha tertentu. Apakah yang keliru dalam pemahanan mengenai koperasi. Secara konseptual, semestinya pembuat kebijakan dan regulasi tidak boleh gagal membedakan antara dua hal, yakni gagasan perkoperasian dengan institusi koperasi sebagai entitas usaha. Merujuk Suwandi1, dalam menelaah penguatan kelembagaan atau badan hukum Koperasi, mesti lebih dahulu mamahami dan membedakan antara Cooperative Society (kelompok koperasi) dengan Cooperative Enterprise (perusahaan koperasi). Menurut Suwandi, konsepsi badan hukum koperasi adalah koperasi sebagai entitas usaha atau Cooperative Enterprise. Karena itu, badan hukum koperasi tidak serupa dengan paguyuban, arisan, kelompok usaha tani yang masih merupakan Cooperative Society. Calvert dalam “The Law and Principles of Co-operation” mengemukakan gagasan dasar koperasi yakni prinsip koperasi adalah menolong diri sendiri, kerjasama pribadi, kesetaraan antar anggota, perkumpulan bersifat sukarela, memajukan kepentingan bersama2. Berbeda dengan badan hukum lain, koperasi dimulai dengan watak koperasi sebagai wadah usaha bersama. Karenanya perlu ditegaskan bahwa koperasi tidak hanya instrumen ekonomi untuk mengakumulasi keuntungan dengan mengakumulasi modal (kapital), namun untuk memenuhi memenuhi aspirasi dan kebutuhan ekonomi anggota.
1
Suwandi, 2012, Paparan saat sebagai saksi ahli pada Mahkamah Konstitusi.
2
Hans-H Munkner, “Membangun UU Koperasi Berdasarkan Prinsip-prinsip Koperasi”, 2012, Rekadesa, Jakarta, hal.6.
45
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 44-53
Karenanya, hal penting dalam koperasi adanya nilai-nilai yang berkembang dan dikembangkan dalam kegiatan koperasi, yakni kekeluargaan, menolong diri sendiri, bertanggungjawab, demokrasi, persamaan, keadilan, dan kemandirian. Sehingga anggota koperasi bercirikan kejujuran, keterbukaan, tanggungjawab, dan kepedulian terhadap orang lain. Dalam wujud kelembagaan koperasi, hal itu tertuang dengan prinsip kedaulatan anggota dengan instrumen rapat anggota sebagai kekuasaan tertinggi koperasi merupakan salah satu wujud konkrit daripada partisipasi anggota dalam mengambil keputusan, yang mana partisipasi anggota merupakan roh organisasi3. II.
Aturan Main Badan Hukum Koperasi
Dalam dunia hukum, subyek hukum terdiri atas manusia pribadi (natuurlijk persoon) dan badan hukum (rechtpeprsoon). Manusia sudah menjadi subyek hukum secara alami, sejak ia dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Disebut subyek hukum oleh karena orang dan badan hukum menyandang hak dan kewajiban hukum. Sebagai subyek hukum, badan hukum juga memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana subyek hukum orang atau individu. Tetapi karena bentuk badan hukum yang merupakan himpunan dari orang-orang, maka dalam pelaksanaan perbuatan hukum tersebut, suatu badan hukum diwakili oleh pengurusnya. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia. Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai pembawa hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberi hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.
Chidir Ali mendefinisikan badan hukum: “Segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat yang demikian itu oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri, melainkan harus dengan perantaraan organnya yang bertindak atas nama badan hukum. Otto Von Gierke mengemukakan suatu teori yang dinamakan teori organ, bahwa badan hukum itu adalah suatu realitas sesungguhnya sama seperti sifat kepribadian alam manusia dalam pergaulan hukum4. Badan hukum diartikan sebagai organisasi atau perkumpulan yang didirikan dengan akta yang otentik dan dalam hukum diperlakukan sebagai orang yang memiliki hak dan kewajiban atau disebut juga dengan subyek hukum Menurut penggolongan hukum, badan hukum dapat dibedakan menjadi badan hukum publik dan badan hukum privat. Badan hukum publik adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik atau orang banyak atau menyangkut kepentingan negara. Sedangkan badan hukum privat adalah badan hukum yang didirikan atas dasar hukum perdata atau hukum sipil yang menyangkut kepentingan orang atau individu-individu yang termasuk dalam badan hukum tersebut. Badan hukum dengan konstruksi keperdataan didirikan atas kehendak dari orang-perorangan yang mengadakan kerja sama (membentuk badan usaha) dan merupakan satu kesatuan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum. Dilihat dari segi wujudnya, badan hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu korporasi dan yayasan. Korporasi (corporatie) adalah gabungan/ kumpulan orang-orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersamasama sebagai suatu subjek hukum tersendiri. Karena itu korporasi ini merupakan badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai
3
Suwandi, 2011, “Roh Koperasi”, Jakarta, hal.1.
4
Ali Rido, 1981, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum, Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan Wakaf, Penerbit Alumni Bandung, hal 16.
46
KAPASITAS BADAN HUKUM KOPERASI DALAM MELAKUKAN KEGIATAN KORPORASI: TELAAH YURIDIS-KONSTITUSIONAL (Akhmad Junaidi dan Muhammad Joni)
hak-hak dan kewajiban-kewajiban tersendiri yang terpisah dari hak-hak dan kewajibankewajiban para anggotanya. Contoh korporasi adalah perseroan terbatas dan koperasi. Status koperasi sebagai badan hukum jelas sekali dinyatakan dalam UU nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, dalam pasal 9 menyatakan koperasi memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh pemerintah. Dengan demikian, koperasi sebagai badan hukum dapat menjadi pembawa hak dan kewajiban hukum. Koperasi sebagai badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri, melainkan harus dengan perantaraan manusia atas nama badan hukum, sehingga koperasi memerlukan perangkat organisasi (organ) dalam kegiatannya. Alat kelengkapan organisasi koperasi sesuai pasal 21 UU nomor 25 tahun 1992 Perkoperasian, terdiri atas Rapat Anggota, Pengurus dan Pengawas. Dalam pasal 22 UU nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian menyatakan bahwa Rapat Anggota sebagai pemegang kekuasan tertinggi dalam koperasi. Rapat Anggota sebagai pemegang kekuasaan tertinggi harus memenuhi persyaratan tertentu, sehingga Rapat Anggota tidak bisa dijalankan secara sembarang. Dalam UU Perkoperasian menyatakan Rapat Anggota dihadiri oleh anggota yang pelaksanaannya diatur dalam Anggaran Dasar. Pasal 23 UU nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian menyatakan Rapat Anggota menetapkan: 1) Anggaran Dasar. 2) Kebijaksanaan umum dibidang organisasi manajemen, dan usaha koperasi. 3) Pemilihan, pengangkatan, pemberhentian Pengurus dan Pengawas. 4) Rencana kerja, rencana anggaran pendapatan dan belanja koperasi, serta pengesahan laporan keuangan. 5) Pengesahan pertanggungjawaban Pengurus dalam pelaksanaan tugasnya; 6) Pembagian sisa hasil usaha.
7)
Penggabungan, peleburan, pembagian, dan pembubaran koperasi.
Pengurus koperasi merupakan pemegang kuasa Rapat Anggota. Pengurus mengemban amanat dan keputusan rapat anggota untuk mengelola organisasi dan usaha koperasi. Tugas dan kewenangan pengurus koperasi sesuai pasal 30 ayat (2) UU nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian sebagai berikut: 1)
Pengurus bertugas a) mengelola koperasi dan usahanya; b) mengajukan rancangan rencana kerja serta rancangan rencana anggaran pendapatan dan belanja koperasi; menyelenggarakan Rapat Anggota; c) mengajukan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas; d) menyelenggarakan pembukuan keuangan dan inventaris secara tertib; e) memelihara daftar buku anggota dan pengurus.
2)
Pengurus berwenang a) mewakili koperasi di dalam dan di luar pengadilan. b) memutuskan penerimaan dan penolakan anggota baru serta pemberhentian anggota sesuai dengan ketentuan dalam Anggaran Dasar. c) melakukan tindakan dan upaya bagi kepentingan dan kemanfaatan koperasi sesuai dengan tanggung jawabnya dan keputusan Rapat Anggota.
Kedudukan pengawas koperasi sebagai lembaga kontrol dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab serta kewajiban hukum sebagai mana diatur dalam peraturan undangundang. Istilah pengawas dalam organisasi koperasi adalah baku dan normatif, yang dapat disejajarkan dengan dewan komisaris pada perseroan terbatas. Pengawas koperasi adalah salah satu perangkat organisasi koperasi. Pengawas mengemban amanat anggota
47
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 44-53
untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijaksanaan dan pengelolaan koperasi, keputusan pengurus dan peraturan lainnya yang ditetapkan dan berlaku dalam koperasi. Fungsi utama pengawas adalah mengamankan keputusan rapat anggota, ketentuan anggaran dasar / anggaran rumah tangga koperasi, keputusan pengurus dan peraturan lainnya yang berlaku dalam koperasi yang bersangkutan. Disamping itu, juga melindungi kepentingan anggota dan koperasi dari kesewenangan dan penyimpangan yang dilakukan oleh pengurus dan atau pengelola. Dalam pasal 39 UU nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian menyatakan bahwa:
Perdata) yaitu dalam buku II tentang perikatan. Pasal 1234 KUH Perdata menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Perbuatan memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu dinamakan prestasi. Dalam ketentuan Perkoperasian, perikatan yang dilakukan oleh para anggota koperasi tersebut dituangkan ke dalam anggaran dasar koperasi sebagai dasar formal bagi persetujuan atau kesepakatan para anggota untuk bekerjasama yang merupakan fondasi bagi koperasi5. Persetujuan tersebut sah apabila syarat dalam Pasal 1320 KUH Perdata telah terpenuhi, yaitu :
1)
Pengawas bertugas: a) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijaksanaan dan pengelolaan koperasi; b) membuat laporan tertulis tentang hasil pengawasannya.
1)
Pengawas berwenang: a) meneliti catatan yang ada pada Koperasi; b) mendapatkan segala keterangan yang diperlukan; c) Pengawas harus merahasiakan hasil pengawasannya terhadap pihak ketiga.
Persetujuan yang telah dibuat tersebut sah berlaku menjadi undang-undang bagi para anggota dan semua unsur koperasi yang telah membuatnya, dan tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan sepakat oleh kedua belah pihak, serta harus didasarkan pada itikad baik, sesuai dengan pasal 1338 KUH Perdata. Persetujuan di dalam sebuah anggaran dasar membuat hak dan kewajiban masing-masing organ koperasi jelas serta sebagai tata tertib ke dalam koperasi yang mengikat semua organ koperasi.
2)
Keberadaan koperasi terjadi ditentukan oleh jumlah anggota. Koperasi terdiri atas dua bentuk seperti yang termuat dalam pasal 6 UU Perkoperasian, yaitu koperasi primer dan koperasi sekunder. Koperasi primer, baru dapat didirikan apabila ada minimal 20 (dua puluh) orang yang secara bersama-sama mempunyai tujuan untuk mendirikan suatu koperasi, sehingga hubungan antara berbagai perangkat dalam badan hukum koperasi tersebut menimbulkan suatu hubungan hukum yang akan terus terjadi selama ada interaksi internal maupun eksternal. Pengaturan mengenai hubungan hukum tersebut. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH 5
48
2) 3) 4)
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Suatu hal tertentu Suatu sebab yang halal
III. Dari Nilai Kepada Kelembagaan Gagasan dan prinsip serta watak koperasi yang merupakan nilai-nilai dan prinsip koperasi yang oleh Suwandi disebut sebagai Cooperative Society, mesti dibedakan dan dikembangkan sebagai bentuk kelembagaan koperasi yang kuat, dengan konstruksi badan hukum yang aplikatif dalam usaha koperasi. Dengan nilai dan prinsip serta watak koperasi tersebut menjadi substansi dalam penguatan kelembagaan koperasi sehingga menjadi badan
R.T. Sutanya Rahardja Hadhikusuma, Hukum Koperasi Indonesia, Raja Grafindo Persada Jakarta, hlm 6, diakses dari http://nathaniaolinda.blogspot.com/2013/01/koperasi-sebagai-badan-hukum.html 11 November 2014
KAPASITAS BADAN HUKUM KOPERASI DALAM MELAKUKAN KEGIATAN KORPORASI: TELAAH YURIDIS-KONSTITUSIONAL (Akhmad Junaidi dan Muhammad Joni)
hukum yang otentik dalam mengemban aspirasi ekonomi anggotanya. Dengan kelembagaan yang kuat dan karena itu sebagai badan hukum, maka entitas koperasi secara juridis formal sudah dapat menjalankan kegiatan usahanya. Jika ditelaah secara obyektif, badan hukum koperasi memiliki kapasitas dan anasir sebagai badan hukum. Dengan menguliti anasir yang terkandung dalam suatu badan hukum maka pada entitas/kelembagaan koperasi terkandung anasir yang esensial yang dapat menjalankan usaha koperasi, termasuk perbankan. Mari menelaah anasir suatu badan hukum dalam teori badan hukum. Menurut Chidir Ali, suatu badan hukum memiliki anasir berupa perkumpulan orang (organisasi), yang dapat melakukan perbuatan hukum (rechtsbetrekking), mempunyai harta kekayaan tersendiri atau terpisah, mempunyai pengurus, mempunyai hak dan kewajiban, dan memiliki kapasitas digugat dan menggugat di Pengadilan (legal standing)6. Senada denga anasir badan hukum yang dikemukakan Chidir Ali, ciri suatu korporasi dikemukan James D. Cox, F.Hodge O’Neal, Thomas Lee Hazen seperti berikut ini. “To speak of a corporation as “a legal person” is a convenient figure of speech used to describe the corporation as a legal unit, a separate concern with a capacity, like a person’s, to hold property and make contracts, to sue and be sued, and to continue exit notwithstanding changes of its shareholders or members”7. IV. Kapasitas Koperasi dan Usaha Sektor Keuangan: Telusur Paradigmatik Sebagai entitas yang berkembang secara universal, maka tidak semestinya menghambat dan mengesampingkan koperasi dalam bidang usaha tertentu, termasuk usaha sektor keuangan.
Dalam berbagai negara, dapat dikomparasi betapa koperasi mampu menjadi entitas usaha yang kuat dan besar, termasuk dalam sektor keuangan. Jika mengumpulkan data dan informasi karakter koperasi besar di luar negeri, diperoleh data bahwa koperasi-koperasi kelas dunia seperti di Malaysia, Singapore, Jepang, Belanda, sudah eksis dan signifikan dalam melakukan kegiatan usaha jasa keuangan, misalnya Bank Kerjasama Rakyat (Malaysia), NTUC Income (Singapore), Norinchukin (Jepang), Rabobank Group (Belanda)8. Dengan data dan fakta itu maka secara kelembagaan badan hukum koperasi layak, lazim, dan absah melakukan usaha dalam sektor keuangan. Oleh karena itu, sebagai entitas yang diakui dalam kegiatan ekonomi, dan diakui kedudukannya dalam regulasi bahkan konstitusi negara. Dengan kata lain, pembedaan badan hukum koperasi untuk menjalankan usaha tertentu seperti usaha jasa keuangan adalah pembedaan yang merugikan hak-hak konstitusional dalam ekonomi, dan hak kelompok koperasi secara kolektif memperjuangkan nilai-nilai, prinsip-prinsip dan watak koperasi sebagai Cooperative Society yang mesti terwujud dalam kelembagaan koperasi atau Cooperative Enterprise. Lihatlah ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara”. Dengan demikian, maka telah dijamin hak konstitusional untuk memajukan dan memperjuangkan nilai-nilai, prinsipprinsip, dan watak ekonomi koperasi yang dikembangkan dalam usaha koperasi oleh badan hukum koperasi sebagai Cooperative Enterprise.
6
Chidir Ali, “Badan Hukum”, Alumni, Bandung, 2011, h.21
7
The Corporate Entity, dalam James D. Cox, F.Hodge O’Neal, Thomas Lee Hazen, “Corporations”, Aspen Law & Business, New York, 1997, p.107-108.
8
Kementerian Koperasi dan UKM, “Koperasi-Koperasi Kelas Dunia”, hal. 48-97, 2012.
49
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 44-53
Landasan yuridis konstitusional pengakuan koperasi secara eksplisit dikemukakan dalam pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas dasar kekeluargaan”. Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Penting dikemukakan bahwa pasal 33 ayat (1) UUD 1945 merupakan pengakuan hak konstitusional atas Cooperative Society dan Cooperatice Enterprise. Demikian pula pasal 33 ayat (4) UUD 1945, merupakan pengakuan demokrasi ekonomi yang dituangkan dalam konsideran dan ketentuan UU Perkoperasian. Penguatan badan hukum koperasi dan pengakuan koperasi sebagai bentuk badan hukum dalam usaha sektor keuangan adalah konstitusional dan mempunyai dasar yuridiskonstitusional. Pengakuan dan penerimaan badan hukum koperasi dalam usaha ekonomi termasuk usaha jasa keuangan merupakan pengakjuan atas hak konstitusional warga negara untuk memajukan diri atas “aspirasi dan kebutuhan ekonomi, hak konstitusional membentuk wadah Usaha Bersama, hak konstitusional memperjuangkan hak atas kebutuhan ekonomi dan wadah Usaha Bersama secara kolektif, dan hak konstitusional untuk memajukan badan hukum koperasi sebagai entitas korporasi. Demokrasi ekonomi adalah idemditto kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Demokrasi ekonomi itu untuk mencegah pembiaran hak untuk memperoleh kesejahtera9
an dengan kegiatan ekonomi dari kegiatan politik. Ideologi nasional dan konstitusi negara dalam UUD 1945 mengakui bahwa tidak sah dan tidak relevan jika memisahkan konsep politik atau imperium dengan konsepsi ekonomi atau versus dominium, yang diceraikan secara diametral. Imperium adalah konsep mengenai “rule over all individuals by the prince”. Sedangkan dominium adalah konsep mengenai “rule over things by individuals”9. Pemikiran yang membedakan antara politik dengan ekonomi ini bermula dari pandangan Montesquieu yang mengemukakan bahwa dengan hukum publik (political law) kita memperoleh kebebasan, dengan hukum perdata kita memperoleh hak milik (property). Akibatnya, terjadi pemisahan kekuasan dengan kesejahteraan. Sehingga bagi rakyat dipahami hanya berdaulat dalam bidang politik. Nasib rakyat dalam bidang ekonomi diserahkan kepada keuletan dan kemauan masing-masing pribadi serta kompetisi dengan sesamanya dalam mekanisme pasar bebas10. Menurut pemikiran proklamator Muhammad Hatta, pembedaan konsep kedaulatan polik dengan kedaulatan ekonomi (Imperium versus Dominium), disebabkan oleh karena produk sejarah yang “tidak senonoh”11. Senada dengan Mohammad Hatta, proklamator Bung Karno mengemukakan hal paradigmatik yang sama bahwa: Demokrasi Politik + Demokrasi Ekonomi = Demokrasi Sosial. Oleh karena itu, sangat mudah dipahami mengapa “the founding fathers” kita merumuskan Pembukaan UUD 1945 dan Bab XIV tentang Kesejahteraan Sosial, yang kemudian dirumuskan pula dalam Perubahan Keempat: Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Dengan demikian, demokrasi ekonomi dengan menitikberatkan pada
Baron de Montesquieu, L’Esprit dos, dalam Morris R. Cohen, Law and Social Order: Essays In Legal Philosophy, dalam Jimly Asshiddiqie, “Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia”, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal.121-123
10 Jimly Asshiddiqie, “Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia”, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal.121-124 11 Tabloid Pergerakan Daoelat Ra’yat, Tahun I, 1931, Nomor 1, hal.2, dalam Jimly Asshiddiqie, “Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia”, Sinar Grafika,Jakarta, 2011, hal.123
50
KAPASITAS BADAN HUKUM KOPERASI DALAM MELAKUKAN KEGIATAN KORPORASI: TELAAH YURIDIS-KONSTITUSIONAL (Akhmad Junaidi dan Muhammad Joni)
asas kekeluargaan merupakan cara untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi bangsa Indonesia. Pandangan yang mendasar jauh ke dapan itu sesuai pula dengan paradigma modern, bahwa hak ekonomi rakyat menurut paham modern, adalah rakyat yang berdaulat di lapangan politik dan perekonomian12. V.
Orientasi Kesejahteraan Rakyat: Catatan dalam Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi.
Kesejahteraan rakyat sebagai hak konstitusi dan ciri negara modern, terendus kuat dalam berbagai putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Pendapat dan putusan MK yang sedemikian mengonfirmasi bahwa kesejahteraan rakyat dengan mendudukkan demokrasi ekonomi sebagai hak konstitusional rakyat adalah landasan yang otentik dalam disain hukum ekonomi dan disain ekonomi nasional, dengan mendudukan koperasi sebagai badan hukum yang sah menjalankan usaha perkoperasian dalam bidang apapun seperti halnya badan usaha lain, sepetti perseroan terbatas (PT). Berikut ini beberapa putusan MK yang mengonfirmasi kesejahtreraan rakyat sebagai orientasi hukum yang diakui dan dianut dalam hukum konstitusi. (1) Putusan MK nomor 30/PUU-VII/2010: “Frasa ‘dengan cara lelang’ dalam pasal 51, pasal 60 dan pasal 75 ayat (4) UU Minerba bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai lelang dilakukan dengan cara menyamakan antar peserta lelang WIUP dan WIUPK dalam hal kemampuan administratif/manajemen, teknis, lingkungan, dan finansial yang berbeda terhadap objek yang akan dilelang” (2) Putusan MK Nomor nomor 14/PUUXII/2012 : Hak bertempat tinggal sebagai HAM dan hak konstitusional setiap orang
[pasal 28H ayat (1) UUD 1945], adalah untuk merealisasikan tujuan negara “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia”. Melarang membangun rumah tunggal atau rumah deret yang ukuran lantainya kurang dari ukuran 36 meter persegi, berarti menutup peluang masyarakat yang daya belinya kurang atau tidak mampu. Mencabut pasal 22 ayat (3) UU 1/2011. (3) Putusan MK atas pasal 4 ayat (1) UU nomor 3 tahun 1992 tentang Jamsostek dan pasal 13 ayat (1) UU nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Kedua pasal tersebut menyatakan bahwa kepesertaan jaminan sosial itu berdasarkan inisiatif perusahaan. Mahkamah menilai kedua ketentuan itu tidak secara tegas memberikan jaminan hak-hak pekerja atas jaminan sosial karena meniadakan hak pekerja mendaftarkan diri, sebagai peserta jaminas sosial atas tanggungan perusahaan. Apabila perusahaan nyatanyata tidak mendaftarkan pekerjanya pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. MK berpendapat kedua pasal tersebut bertentangan dengan pasal 28 H ayat (3) dan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Fakta pembedaan kesempatan berusaha kepada koperasi sebagai badan hukum masih ditemukan di dalam regulasi di sektor keuangan dan tenaga kerja di Indonesia. Pembuatan norma hukun dalam suatu Undang-Undang yang menyingkirkan kesempatan koperasi sebagai badan hukum dalam melakukan kegiatan usaha, merupakan bentuk pembedaan yang destruktif bagi badan hukum koperasi, hal mana dalam terminologi hukum disebut sebagai diskriminasi. Larangan diskriminasi merupakan asas yang dianut dalam hukum nasional maupun internasional.
12 Jimly Asshiddiqie, “Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia”, Sinar Grafika,Jakarta, 2011, hal.122-123
51
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 44-53
Asas non dikriminasi merupakan asas yang senantiasa muncul dan dihargai dalam konvensi internasional dan diharmonisasi ke dalam hukum nasional. Bahkan dalam pendapat Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak berkenan atas norma hukum yang tidak konsisten. Dalam yurisprudensi dan pendapat Mahkamah Konstitusi (MK), membuat kaidah hukum bahwa norma hukum dalam UU yang tidak konsisten adalah inkonstitusional. Berikut ini diturunkan pendapat hukum MK: “Mahkamah sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya, tidak akan membiarkan adanya norma dalam undang-undang yang tidak konsisten dan tidak sesuai dengan amanat perlindungan konstitusional yang dikonstruksikan oleh Mahkamah”13. Sesuai dengan itu, pembedaan terhadap badan hukum koperasi merupakan indikasi menganggap Koperasi kurang dalam kapasitas dan kemampuan melakukan usaha tertentu. Pentingnya menjaga konsistensi hukum adalah karena hukum sebagai sebuah sistem yang berorientasi pada tujuan, dan karenanya salah satu sifat utama dari sistem hukum adalah konsistensi. Konsistensi antar subsistem hukum muncul jika sistem tersebut memiliki sifat wholism (a whole)14. VI. Penutup (1) Keberadaan badan hukum sebagai entitas ekonomi
koperasi diakui
dalam hukum koperasi dan peraturan perundangan mengenai koperas perkoperasian. Sangat beralasan memperkuat badan hukum koperasi, mencakup kelembagaan (organisasi/ entity), permodalan/harta kekayaan terpisah, kemampun melakukan perbuatan hukum, mempunyai organ, mempunyai hak dan kewajiban, mempunyai legal standing di dalam/luar pengadilan. (2) Koperasi sebagai badan hukum, layak, lazim dan absah melakukan kegiatan usaha koperasi, termasuk sektor keuangan. (3) Praktik dan regulasi internasional, mengakui dan mendukung badan hukum koperasi melakukan usaha sektor keuangan, bahkan menjadi koperasi yang signifikan dalam jumlah modal maupun anggotanya. (4) UU Perkoperasian telah memperkuat badan hukum koperasi sehingga dapat diharmonisasikan ke dalam RUU Perbankan, RUU Usaha Perasuransian, dengan memasukkan koperasi sebagai bentuk badan hukum usaha perbankan dan usaha perasuransian. (5) Mendorong gerakan koperasi melakukan advokasi terhadap RUU Perbankan, RUU Usaha Perasuransian dan rancangan Undang-Undang lainnya agar agar memasukkan badan hukum koperasi sebagai entitas dalam sektor usaha ekonomi di Indonesia.
13 vide Putusan MK Nomor 1/PUU-VIII/2010, hal.153. 14 Dr. Martinah, M.Hum, “Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positive Legislature”, Konstitusi Press, Jakarta, hal. 5-6.
52
KAPASITAS BADAN HUKUM KOPERASI DALAM MELAKUKAN KEGIATAN KORPORASI: TELAAH YURIDIS-KONSTITUSIONAL (Akhmad Junaidi dan Muhammad Joni)
Daftar Pustaka Ali Rido, 1981, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum, Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan Wakaf, Penerbit Alumni Bandung. Baron de Montesquieu, L’Esprit dos, 2011, dalam Morris R. Cohen, Law and Social Order: Essays In Legal Philosophy, dalam Jimly Asshiddiqie, “Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia”, Sinar Grafika, Jakarta. Chidir Ali, 2011, “Badan Hukum”, Alumni, Bandung. Hans-H Munkner, 2011,“Membangun UU Koperasi Berdasarkan Prinsip-prinsip Koperasi”, Rekadesa, Jakarta. Jimly Asshiddiqie, 2011, “Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia”, Sinar Grafika, Jakarta. hal.121-124 Kementerian Koperasi dan UKM, 2012, “Koperasi-Koperasi Kelas Dunia”, Jakarta. Martinah, “Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positive Legislature”, Konstitusi Press, Jakarta.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, 2012, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jakarta. R.T Sutanya Rahardja Hadhikusuma, Hukum Koperasi Indonesia, RajaGrafindo Persada Jakarta, hlm 6, diakses dari http:// nathaniaolinda.blogspot.com/2013/01/ koperasi-sebagai-badan-hukum.html. Diunduh: 11 November 2014. Suwandi, 2011, “Roh Koperasi”, Jakarta, hal.1 Tabloid Pergerakan Daoelat Ra’yat, Tahun I, 1931, Nomor1, hal.2, 2011. dalam Jimly Asshiddiqie, “Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia”, Sinar Grafika,Jakarta, 2011, hal.123 The Corporate Entity, 1997, dalam James D. Cox, F.Hodge O’Neal, Thomas Lee Hazen, “Corporations”, Aspen Law & Business, New York.
53
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 54-64
THE ASEAN SME POLICY INDEX 2014: KEY FINDINGS AND WAYS FORWARD FOR INDONESIA INDEKS KEBIJAKAN UKM ASEAN TAHUN 2014 TEMUAN INTI DAN LANGKAH KE DEPAN UNTUK INDONESIA Anita Richter SME Policy Analyst, OECD Southeast Asia Regional Programme; Email:
[email protected] Anders Jönsson Economist, OECD Southeast Asia Regional Programme Email:
[email protected] Diterima 21 November 2014; diedit 25 November 2014; disetujui 1 Desember 2014
Abstract Making up more than 99% of enterprises but only around 16% of exports, SMEs in Indonesia, while essential to the economy, need to increase their productivity and overall competitiveness to contribute to the aspiration to join the ranks of developed nations. The ASEAN SME Policy Index finds that Indonesia has a relatively solid framework in place, with a vibrant financial sector, ambitious policies and institutions, and a range of support services available to entrepreneurs. Apart from a range of smaller improvements, such as expanding credit registries and improving business services, this paper highlights two cross-cutting themes that should be central to overarching policy reform: better policy co-ordination, including independent, data-driven monitoring and evaluation with clear ex ante objectives, and better alignment of policies and institutions with the needs of the private sector and the long-term economic restructuring goals of the country. keywords: ASEAN, Policy Index, SMEs Abstrak Lebih dari 99 % dari jumlah pelaku usaha, tetapi hanya berkontribusi sekitar 16 % terhadap ekspor, UKM di Indonesia, meskipun memiliki peran penting bagi perekonomian, namun perlu meningkatkan produktivitas dan daya saing secara keseluruhan untuk berkontribusi terhadap keinginan bergabung pada kelompok negara-negara maju . Indeks Kebijakan UKM ASEAN berkesimpulan bahwa Indonesia telah memiliki kerangka yang relatif kuat (solid), dengan sektor keuangan yang dinamis, kebijakan dan institusi yang ambisius, dan berbagai layanan pendukung yang tersedia bagi pengusaha. Terlepas dari berbagai perbaikan kecil, seperti memperluas pendaftar kredit dan meningkatkan layanan bisnis, makalah ini menyoroti dua tema lintas sektoral yang harus menjadi pusat reformasi kebijakan menyeluruh: koordinasi kebijakan yang lebih baik, termasuk berbasis data pemantauan dan evaluasi yang independen dengan dasar tujuan yang jelas, dan keselarasan yang lebih baik atas kebijakan dan institusi dengan kebutuhan sektor swasta dan tujuan restrukturisasi ekonomi negara jangka panjang. kata kunci: ASEAN, Indeks Kebijakan, UKM
54
INDEKS KEBIJAKAN UKM ASEAN TAHUN : KUNCI DAN LANGKAH KE DEPAN UNTUK INDONESIA (Anita Richter dan Anders Jönsson)
Introduction: SMEs in Indonesia Small and Medium-Sized Enterprises (SMEs) play a vital role in Southeast Asian economies in general and in Indonesia in particular. In Indonesia, SMEs make up over 99% of all enterprises and employ a large majority of the working population. Their contribution to GDP, however, stands at a modest 58%, due, inter alia, to low productivity, lack of advanced technologies and skilled employees, and concentration in certain sectors, such as retail, characterised by strong competition and low productivity. Primary industry such as agriculture, forestry, and fisheries accounts for around 50% of MSMEs, followed by wholesale and retail trade and the hotel and restaurant sector (28.8% combined in 2011). Similarly, their share in total exports at 16.4% is small, expected to increase both as a total figure and as a share of overall exports as the proposed ASEAN economic community integrates further over the next decade. The potential to increase productivity and export-readiness is large – even matching SME productivity with average productivity in the economy would bring substantial benefits to the economy. Recognising the potential of SMEs in Indonesia’s effort to move towards developed country status, the Government
of Indonesia (GoI) has ramped up efforts to promote the development of the sector. 2. Overview of ASEAN SME Policy Index findings The ASEAN SME Policy Index 2014: Towards Competitive and Innovative ASEAN SMEs assesses SME development policies in ASEAN countries - including Indonesia and helps identify strengths and weaknesses in policy design and implementation. It provides a framework to measure SME policy developments at the national level, allowing governments to identify gaps in both policy making and implementation, and to compare experiences and performance regionally. As such, the index is a useful complement to a range of international comparative studies, which tend to focus on policy outcomes (Global Competitiveness Index) or selected, quantifiable portions of business regulations (Doing Business). In comparison with its ASEAN peers, Indonesia’s SME policy framework is fairly well-developed; in fact, its performance puts it above the ASEAN average (fig. 1). There is a system of short-, medium- and long-term planning in place, with the 2010-
This paper summarises the findings of the ASEAN SME Policy Index 2014 for Indonesia. It highlights the main strengths and weaknesses, and makes a series of recommendations for the Government of Indonesia to implement over the medium-term. 1 The framework is based on the ASEAN SME Blueprint 2004-2014 and the Strategic Action Plan for ASEAN SME Development 2010-2015. The ASEAN SME Policy Index 2014 is the result of the joint effort between the Economic Research Institute for ASEAN and East Asia and the Organisation for Economic Cooperation and Development, supported by the ASEAN Secretariat and the members of the ASEAN SME Working Group.
55
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 54-64
Figure 1. ASEAN SME Policy Index - By Country
Figure 2. Indonesia’s performance in the ASEAN SME Policy Index 2014
2014 SME development strategy at the end of the implementation cycle and multilateral reviews taking place regularly. With the exception of equity market regulation, there is already a uniform SME definition in government programmes and policies. At the same time, more needs to be done in the areas of technology and technology transfers, and effective representation of SMEs’ interest. Government policies and programmes do not have the scale to reach SMEs in all parts of the country. Entrepreneurial education is set to grow in importance. And the potential for linkages between business and universities remains largely untapped. Indonesia needs a clear monitoring and evaluation framework to track and align SME policies and programmes, making sure they address urgent issues. Responsibilities for policy development, implementation, financing, and monitoring should be clearer, possibly given to different agencies to ensure accountability and independence. 56
On the ASEAN level, the index finds a substantial disparity in the level of design and implementation of SME policies at the national level between the CLMV and the ASEAN-6 countries, with Singapore and Malaysia exhibiting a strong policy framework matching those of developed economies and serving as examples for the SEA region. ASEAN-6 countries have made headway into regulatory simplification, building strong institutions, and ensuring access to finance, compared to Cambodia, Laos, Myanmar and Vietnam (CLMV). Viet Nam, however, does have a comparatively solid framework for SME policy making, whereas Brunei has yet to make SME development a policy priority. As seen in Figure 3, there are big gaps across the eight policy dimensions between the ASEAN average, ASEAN-6 and the CLMV countries, with the most significant gaps found in five policy dimensions, namely: (5) Technology and Technology Transfer, (4) Access to finance, (2) Access to support
INDEKS KEBIJAKAN UKM ASEAN TAHUN : KUNCI DAN LANGKAH KE DEPAN UNTUK INDONESIA (Anita Richter dan Anders Jönsson)
Figure 3. ASEAN SME Policy Index - By Group of Countries and Policy Dimension
services, (7) Promotion of entrepreneurial education, and (3) Cheaper, faster start-up and better regulations. While ASEAN should co-ordinate responses to common challenges, most efforts will address the specific economic, structural, and institutional issues at the national level. 3. Key findings of the Indonesia’s performance in the ASEAN SME Policy Index 2014 and recommendations for Indonesia I) Institutional Framework Overview SME policy formulation and coordination falls under the Ministry of Cooperatives and SMEs (MoCSME). The SME policy planning instruments in Indonesia have been incorporated into the National Medium Development Plan (RPJM 2010-2014). The MoCSME and theNational Development Planning Agency (BAPPENAS), review and evaluate the strategy twice a year. All in all, there is a relatively clear planning framework in place. At the same time, the alignment and unity of at times disparate Recommendations Further coordination between MoCSME and the other 16 ministries and sub-national institutions involved in SME-related measures is needed. The GoI should strengthen and unify their framework for monitoring and
evaluationto keep track of disparate SMErelated measures in different government departments and agencies. Any audit mechanism should enjoy independence and oversight. This will allow interventions to be more precisely targeted and schemes to be modified or terminated once the objectives have not been achieved. Finally, the overall economic development narrative of the country and the role for SMEs could be clarified. Given the low productivity of SMEs in the economy, for example, it may make sense clearly to target SMEs with the potential for high growth and radical productivity increases, for example by introducing technologies new to the country. A cursory review of policies in place show that many instruments are not clearly targeted, often serving social or regional development aims as much as economic development. II) Access to Support Services Overview The policy framework for supporting services is in place, but implementation is lagging. The SME action plan provides for business incubators and business development services across all regions.The government has a network of business development centers across the nation, with customised services for SMEs.Several e-government services are in place, including the National Single Window (NSW), a national integrated electronic system 57
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 54-64
of 18 government institutions fortrade-related services, E-procurement system, and tax registration. There are several online portals for SMEs, but they are not updated regularly nor used vigorously. Recommendations The GoI could expand and deepen e-government services to make government portals useful for a variety of transactions. Existing SME-related portals could be consolidated and upgraded based on the needs of potential customers. Business support services could be improved, both in terms of quality and quantity. To strengthen the nascent business incubator programme, the GoI could put in place a solid legal framework and put in place a solid monitoring system, looking into both user satisfaction and impact on the economy. Incubators producing services already well-established in the economy, such as software customisation and network architecture, are not making a contribution to structural change: incubators should focus on the kind of innovation unlikely to take place without the direct and indirect support such institutions provide. III) Cheaper and Faster Start-up and Better Legislation and Regulation Overview Despite improvements, the business registration and start-up process in Indonesia remains cumbersome and costly. Doing Business 20132 ranks the country 114th in the world, with thee topics starting a business (155th), paying taxes (160th), and enforcing contracts (172nd) faring particularly poorly. The index shows that company registration requires 48 working days, 10 administrative steps and 20.5 % of per capita GDP. In particular, efforts should focus on the reduction of administrative procedures, and streamlining and simplification of regulations at the national
and regional levels. This can be done, for example, by combining trade business license (SIUP) and company registration certificate (TDP) in a single document or consolidating labour and social insurance registration with SIUP / (TDP). Around a third of Indonesia’s 500 districts have one-stop-shops (OSS), but the registration service they offer varies as local governments were free to define their own structure. While there is no single piece of legislation governing OSS and they vary widely in terms of authority, service level, and efficiency, very few OSS have the authority to issue licences; many only act as dropping off points for paperwork. Recommendations To function properly, OSS should gradually receive the authority to grant licenses, register companies, and issue permits. A recently announced initiative will streamline the government permit process by combining ministry licenses into the one-stop show service of the Investment Board . Offering the same services to local companies should be easy, but execution will be challenging: one-stop shop permitting requires very strong co-ordination and substantial delegation of authority. Monitoring OSS performance is an essential element in these efforts. The Asia Foundation has, fortunately, elaborated an OSS Performance Index, which ranks different OSS based on structure, operations, licensing process, volume of activity and customer perceptions . Regulatory impact analysis (RIA) adoption has been slow. Since 2002 the Ministry of Home Affairs has evaluated 15,000 local government regulations, abolishing 3460 of them. GoI should strive to institutionalise and expand the RIA process, complemented by Perda, a process to eliminate complexity at the local level, by, inter alia, setting clear
2 See: http://www.doingbusiness.org/data/exploreeconomies/indonesia 3 See:http://www.bloomberg.com/news/2014-11-04/indonesia-plans-one-stop-shop-for-permits-to-cut-red-tape.html 4 See: http://asiafoundation.org/resources/pdfs/IDmeasuringOSSeng.pdf
58
INDEKS KEBIJAKAN UKM ASEAN TAHUN : KUNCI DAN LANGKAH KE DEPAN UNTUK INDONESIA (Anita Richter dan Anders Jönsson)
quantitative targets and monitoring these regularly. IV) Access to finance Overview MSME loans outstanding accounted for 18.9% of total loans in 2013, equivalent to 6.4% of 2012 GDP – relatively modest compared to other ASEAN countries, but by and large in line with other countries at similar levels of economic development. This ratio has remained constant through the financial crisis, supported by government measures such as the KUR (Kredit Usaha Rakyat) credit guarantee scheme. Over half the loans went to trading companies, with another 14% going to services. Working capital financing is the main reason for SME fund raising, accounting for 73% of MSME loans outstanding in August 2013. The GoI needs concerted efforts to increase both SME financing as a share of GDP, and the share of that financing going to investment rather than working capital to prepare its private sector for the next stages of economic development. The financial sector in Indonesia is quite sound and well diversified, with access to finance for SMEs widened in the country. A cadastre system is in place, allowing firms to use real estate as collateral for bank financing, but the land ownership has not been entirely documented. There is also flexible collateral definition (movable assets) and/or flexible provisioning requirements for loans under certain amounts. Credit guarantee facilities are in place, but coverage is limited to certain geographic locations and types of business. A credit bureau exists, but covers only information from the banking sector. The Indonesian stock market has good levels of capitalisation (≥ 45% GDP) and liquidity compared to countries at a similar stage of development. But, despite efforts to loosen regulations to allow for SME listings, only 10 SMEs went through the IPO process
between 2000 and 2013 – and most of those SMEs would be considered large firms under the SME law (equity market regulations define SMEs differently). To attract more high-end SMEs to the capital market, OJK, taking over supervisory functions from BAPEPAM-LJ, has concessional listing rules for SMEs, removing, inter alia, the obligation to publish a summary prospectus and disclose at least two years of financial statements. Recommendations GoI should further strengthen the rule of law and the judicial system – prerequisites for market entry and improving access to finance. Legal uncertainties and unreliable courts create unnecessary risks for lenders. More specifically, the credit information bureaus should record all credit information and publish lists of negative creditors. The GoI could look into expanding the credit guarantee schemes, such as the KRU. Their operations are relatively limited. As highlighted in the discussion of institutions, as credit guarantees and other concessional mechanisms are capital-intensive, independent audit and clear socio-economic impact targets are essential: it makes little sense to offer credit guarantees to established sectors or for trade and working capital purposes. The goal should not be to expand credit guarantees for its own sake, but to ensure that high-potential, catalyst projects obtain finance and to help create private mechanisms for ensuring credit. On the side of non-debt financing, the GoI may consider reawakening the idea of a dedicated stock exchange for SMEs, based on several successful examples around the world. The regulations and supervisions of the leasing, factoring, and risk capital sector are already enacted, showing significant leasing activities but the activity of factoring and venture capital is still limited. To foment the development of venture capital, the GoI could look into different models of state-backed venture capital in countries like Russia, several
5 Data from Asia SME Finance Monitor, p. 72ff.
59
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 54-64
oil-exporting MENA countries, and South Africa. These programmes, often set up with private capital participation and mechanisms to ensure truly independent decision-making under a clear public mandate (such as to support new technologies or new sectors), can be very effective and at times create completely new, thriving sectors in the economy, but they also present the clear risk for capture that governments should be careful to avoid. V) Technology and Technology Transfer Overview The GoI has measures in place to promote technology dissemination, but programming remains uncoordinated with multiple action plans. A presidential regulation to co-ordinate and align existing measures is underway. The effectiveness of various support schemes, such as R&D grants, remains unclear. Information is available, but split between the websites of different agencies (a consolidated web site is in planning). Six science parks and a number of incubators are still in their infancy. Measures to strengthen their links to universities and research centres appear ineffective so far. A solid standards certification system is in place, with a National Accreditation Committee (KAN). Assistance programmes support SMEs in preparing for certification. Intellectual Property Right legislationis in place, and the Ministry of Law and Human Rights raises awareness through a network of IPR support centres. Recommendations As noted in the introduction, Indonesian SMEs are plentiful but suffer from low productivity. While SMEs, with notable exceptions, are not likely to work at the technological frontier, adoption of foreign technology can bring considerable progress towards upgrading companies. Given the importance of technology, the presidential
regulation to co-ordinate innovation support measures is welcome and should be implemented carefully. In particular, clear objectives with links to the Master Plan help avoid spending government resources inefficiently and target support to projects with patent spill-over effects. Efforts to further develop the database on information about innovation support services providers are needed since business support infrastructure is still immature and the National Innovation System (Sinas) incomplete and underdeveloped. It is also important to further promote, expand, and strengthen the incubators and the one-stop support centres on IPRs to reach out to more SMEs, universities and research institutes. Moreover, the Indonesian government should strengthen the existing network of incubators and enhance its support for incubators so that they can expand their services on more high-quality services which add more value and innovation support for new and science-based firms. Furthermore, more efforts should be given to improve and expand the broadband infrastructure and increase the funding schemes for innovation projects. It is also necessary to further strengthen the link between the science/ techno-park with universities and other innovation and technology research centres. VI) International Market Expansion Overview With 14.1% of total exports in 2012, some Indonesian SMEs have established themselves well – including small-scale manufacturers (handicrafts, wooden furniture industries). MSME exports are highly volatile, sensitive to the business cycle and broadening and deepening SME exports should be part and parcel of medium-term economic development efforts. The policy framework for increasing international market access for Indonesian
6 Peter B. Evans, States and Industrial Transformation. See: http://www.jstor.org/stable/2393814
60
INDEKS KEBIJAKAN UKM ASEAN TAHUN : KUNCI DAN LANGKAH KE DEPAN UNTUK INDONESIA (Anita Richter dan Anders Jönsson)
products, including those produced by SMEs, is fairly well-developed. The government, through various agencies, has also provided information about specific export markets, including product features, price, buyers, distributors, relevant standards and specifications, international best practices, and related legal requirements and procedures. As for SMEs in particular, the government also offered various export capacity building programs, albeit with limited coverage. Furthermore, the government has also given financial assistance for SMEs to export while at the same time easing the custom clearance procedures and costs.
assess their performance, which is particular important for capital-intensive measures, such as export subsidies and incentives.
Indonesia has a fairly well-developed custom clearance system. The length of custom clearance in Indonesia depends on the lane the container goes through. If the goods are not suspicious at all, then they go through the green lane, which usually takes 3 hours for custom clearance. If it is rather suspicious, then the process through the yellow lane usually takes 3 to 24 hours. As for the red lane, the length of custom clearance process varies on a case by case basis. Regarding the custom clearance costs, legally it is free but as to whether there are illegal payments, no one responds to this question.
VII) Promotion of Entrepreneurial Education
Recommendations Given the range, extent and richness of export promotion programmes by different ministries and agencies, considerable value could be generated by improving and strengthening the coordination among the export promotion programs. Furthermore, efforts should also be given to increasing the capacity of agencies that provide business or specific market information such as Indonesia’s Trade Promotion Centers (ITPC), trade attaches and Division of Market Development and Information, and the Directorate of National Export Development of the Ministry of Trade, to improve the quantity and quality of their services on specific market information. Further attention should be given to the monitoring of policy implementation to
While there are clearly good efforts to support the export capacity building programmes, as exemplified by the establishment of the BBPEI and P3ED, a better tracking system is necessary to determine exactly the extent of training given to SMEs. Furthermore, the extension of the coverage areas and the connections between the practitioners as well as the various parts of the training system is also important to increase the effectiveness of programs.
Overview The Indonesian government promotes Entrepreneurial Learning through its Medium Development Plan 2010-2014 (RPJM 20102014) of the Ministry of Education and Culture (MoEC), in which it has articulated the linkages between EL policy and its policy documents in other sectors, including SME, industry, employment, and innovation. The EL has also been integrated in secondary school teaching materials and supported with staffs that have knowledge and skills for teaching entrepreneurship. Recommendations In the area of human capital development, the government needs to further strengthen and extend the promotion of entrepreneurship across all levels of education. This should include supporting EL teaching materials and staff with knowledge and skills for teaching entrepreneurship-related subjects and establishing the national standards for ELrelated subjects. In parallel, GoI could further collaboration between business and. The Ministry of Education and Culture (MoEC) could play a leading role in these efforts. VIII) More effective representation of SMEs’ interests Overview 61
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 54-64
The public sector is not omniscient; indeed, they typically have even less information than the private sector about the location and nature of constraints and market failures that block business development. As a result, policy setting and monitoring requires a process where officials can elicit information from businesses on an on-going basis about constraints and opportunities. The political scientist Peter Evans sees economic policy making as embedded within a network of linkages with private groups . Such a process often reveals that problems lie in unexpected areas – a quirk in the tax code, a piece of otherwise innocuous legislation – that policy design based on ex ante reasoning would surely overlook. While Indonesia does not have a national SME association, SMEs can engage through a range of sector associations. Some associations are locally based while others are nationwide. Two major national business associations, the Indonesian Chamber of Commerce and Industry (Kadin-Indonesia) and the Indonesian Employers’ Association (APINDO) have divisions for SME-related concerns. While business associations may be able to influence SME-related policies, their involvement in the policy formulation process is often poorly coordinated – most tend to focus on narrow, sector-specific issues. Survey respondents gripe that influencing policy is a “hard job”. This lacking engagement makes it difficult for the GoI to monitor policies, adapting them to respond to obstacles and opportunities in the market place – rather, the focus on sector-specific issues may encourage capture and entrench certain privileges that stymie competition and diversification. Recommendations To address this issue, the GoI could, using good practice examples from the region and from OECD countries, institutionalise different policy dialogue mechanism to channel, in a structured fashion, private sector input into policy design and monitoring. An example could be a national SME policy 62
consultative committee, meeting regularly tomonitor developments and contribute to the policy process in a transparent fashion. As a complement, the GoI could help strengthen the technical and research capacity of the SME associations, allowing them to assemble wellresearched input. Formalising private sector input into policy design and monitoring is essential not only to develop good policies, but also to ensure that Government-led action is fully in tune with the particular constraints and opportunities in the market – these change every day, and even a thoroughly researched five-year-plan is sure to oversee many opportunities. At the same time, the Government needs to retain a good measure of autonomy: businesses will jump at opportunities to secure and retain specific privileges. Indeed, Harvard economist Dani Rodrik goes so far as to say that getting the balance right between embeddedness with the private sector and autonomy is so important that it overshadows all other elements of policy design . The format of co-ordination and deliberation councils is the most commonly used. These are private-public bodies, such as the Philippine National Competitiveness Council, going beyond policy makers and the best organised business associations. Through this mechanism, businesses could communicate requests for Government intervention, and Governments could encourage new investment efforts. In several cases, such councils also serve an important role in economic policy co-ordination. They could also commission research to put figures behind the true cost of certain pieces of legislation, for example. Typically, once institutionalised, these councils will have a secretariat. 4. Conclusion Moving forward in developing the vibrant Indonesian SME sector the government should concentrate its effort in fostering a sound policy framework and conducive business environment to allow a level playing field
INDEKS KEBIJAKAN UKM ASEAN TAHUN : KUNCI DAN LANGKAH KE DEPAN UNTUK INDONESIA (Anita Richter dan Anders Jönsson)
for small firms. In particular, policies and measures increasing the productivity and overall competitiveness of SMEsshould be in the center of future policy making. Building upon the existing achievements, including institutions and support services available to entrepreneurs nation-wide, the government should further emphasis on better policy co-ordination and harmonisation. This
includes regular monitoring and evaluation of policies with clear ex ante objectives, using reliable data and independent assessment mechanisms to address specific challenges and market failures. Moreover, policies and institutions should be better aligned with needs of small businesses and the long-term economic restructuring goals of the country.
Box. ASEAN SME Policy Index The ASEAN SME Policy Index builds upon the five pillars of the ASEAN Policy Blueprint for SME Development (APBSD) 2004-2014: (i) Human resource development and capacity building; (ii) Enhancement of SME marketing capabilities; (iii) Access to financing; (iv) Access to technology; and (v) Creation of a conducive policy environment. The SME Policy Index is a benchmarking tool for emerging economies that share a common policy platform. It allows monitoring and evaluating progress in policies that support small and medium-sized enterprises. It identifies gaps in policy design and implementation at the national level. It is further an instrument for facilitating policy dialogue and, program coordination and exchange of good practices. The SME Policy Index was developed by the OECD, European Commission, European Bank for Reconstruction and Development and European Training Foundation in 2006. It has been applied to several regions in South East Europe (Albania, Bosnia and Herzegovina, Croatia, Kosovo, the Former Yugoslav Republic of Macedonia, Montenegro, Serbia and Turkey), Eastern Europe (Armenia, Azerbaijan, Belarus, Georgia, Moldova and Ukraine) and North-Africa and the Middle East (Algeria, Egypt, Israel, Jordan, Lebanon, Morocco, Palestinian Authority and Tunisia). The OECD SME Policy Index was further adapted to the ASEAN specific context aiming to achieve the following main objectives: •
• • •
•
Structured evaluation: - evaluate progress in SME policy reform in the Western Balkans and Turkey on a comparative basis; - assess economies’ performance on a scale of 1 to 5 (weaker to stronger), corresponding to the various dimensions of reform. Targeted support for improvement: - prioritise regional and national-level policy priorities and support needs. Regional collaboration and peer review: - encourage more effective peer review through a common evaluation framework. Public and private sector involvement: - offer a simple and transparent communication tool for potential entrepreneurs or investors; - establish a measurement process that encourages public-private consultation. Planning and resource allocation: - facilitate medium-term planning, particularly for dimensions that require multiyear programmes; - provide a tool for resource mobilisation and allocation, following the identification of strong points and areas for improvement.
63
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 54-64
References Asian Development Bank (ADB) (2013). Asia SME Finance Monitor. p. 72ff. ADB. http://www.adb.org/publications/asiasmall-and-medium-sized-enterprise-smefinance-monitor-2013 Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) & Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) (2014). ASEAN SME Policy Index 2014: Towards competitive and innovative ASEAN SMEs. ERIA. Evans, Peter B. (1997).Embedded Autonomy: States and Industrial Transformation. Administrative Science Quarterly, Vol. 42, No. 1 (Mar., 1997), pp. 187-189. Sage Publications, Inc. on behalf of the Johnson Graduate School of Management, Cornell University. http://www.jstor.org/ stable/2393814 Rahadiana, Rieka. (2014), Indonesia plans one-stop-shop for permits to cut red tape. Bloomberg L.P. http://www.bloomberg. com/news/2014-11-04/indonesia-plansone-stop-shop-for-permits-to-cut-redtape.html
64
Rodrik, Dani. (2004). Industrial policy for the twenty-first century. John F. Kennedy School of Government, Harvard University. http://www.hks.harvard. edu/fs/drodrik/Research %20papers/ UNIDOSep.pdf The Asia Foundation (2007). Measuring one stop shop performance in Indonesia: Building an OSS performance index and data collection system for government and development organizations. The Asia Foundation. http://asiafoundation.org/ resources/pdfs/ IDmeasuringOSSeng.pdf World Bank (2014). Doing Business: Ease of doing business in Indonesia. World Bank. http://www.doingbusiness.org/data/ exploreeconomies/indonesia
KEMUNGKINAN DAMPAK PENGURANGAN SUBSIDI HARGA PREMIUM NOVEMBER 2014 TERHADAP UMKM (Tulus T.H. Tambunan)
KEMUNGKINAN DAMPAK PENGURANGAN SUBSIDI HARGA PREMIUM NOVEMBER 2014 TERHADAP UMKM THE POSSIBILTY IMPACT OF REDUCING SUBSIDY ON FUEL PRICE, NOVEMBER 2014 Tulus T.H. Tambunan Pusat Studi Industri, UKM dan Persaingan Usaha (USAKTI) Jalan Kyai Tapa (Grogol) Jakarta Barat Email:
[email protected] Diterima 21 November 2014; diedit 25 November 2014; disetujui 1 Desember 2014
Abstrak Sejak pertama kali pemerintah Indonesia mulai mengurangi subsidi harga energi pada akhir krisis keuangan Asia 1997/98, reformasi subsidi harga energi telah menjadi sebuah isu politik yang sangat sensitif di dalam negeri. Di antara pertanyaan-pertanyaan penting yang selalu muncul setiap kali pemerintah memutuskan untuk memotong subsidi harga energi adalah mengenai dampaknya terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Tujuan dari studi ini terkait dengan pertanyaan tersebut. Lebih spesifik, studi ini fokus pada dua isu yang terkait: kemungkinan dampak dari kenaikan harga premium pada bulan November 2014 dan respons mereka. Ini adalah sebuah studi deskriptif berdasarkan analisa data sekunder dan liteartur mengenai pengalaman UMKM sebelumnya dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Penemuan dari studi ini memberikan dua kesimpulan utama. Pertama, dampak tidak langsungnya kemungkinan akan lebih signifikan daripada dampak langsungnya. Kedua, walaupun UMKM kurang intensif dalam pemakaian energi dibandingkan usaha besar (UB), mereka lebih rentan terhadap sebuah kenaikan harga energi. kata kunci: UMKM, energi, dampak
Abstract Since the first time that the Indonesian government started to reduce energy price subsidy at the end of the 1997/98 Asian financial crisis, energy price subsidy reform has become a highly political sensitive issue in the country. Among important questions which always occurs everty time the government decides to cut energy price subsidy is about its impact on micro, small and medium enterprises (MSMEs). The aim of this study links to this question. More specifically, it focus on the following two related issues: the likely impact of the price increases of gasoline (premium) in November 2014 on MSMEs, and their likely reponses. This is a descriptive study based on secondary data analysis and literature on MSMEs past experiences with fuel price increases. Finding from this study gives two main conclusions. First, its indirect impact is likely to be more significant than its direct impact. Second, although MSMEs are less energy intensive than large enterprises (LEs), they are more vulnerable to an increase of energy price. Keywords: MSMEs, energy, impact
65
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 65-81
Pendahuluan Di Indonesia, subsidi energi khususnya subsidi bahan bakar minyak (BBM) secara tradisional memainkan peranan penting dalam menentukan biaya hidup dan biaya menjalankan usaha. Namun sejumlah faktor seperti meningkatnya harga minyak dunia (walaupun belakangan ini cenderung menurun) seiring dengan terus meningkatnya permintaan BBM di dalam negeri; semakin membengkaknya anggaran pemerintah untuk pembiayaan subsidi harga BBM sementara ketersediaan anggaran untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan perlindungan sosial sangat terbatas; dan semakin jelas bahwa subsidi BBM atau premium selama ini lebih banyak dinikmati oleh kelompok berpenghasilan menengah ke atas, telah membuat subsidi harga BBM tidak lagi tepat untuk diteruskan dan oleh karena itu perlu dilakukannya sejumlah reformasi mendasar. Meskipun hal ini diperlukan karena alasan-alasan tersebut di atas, Indonesia memiliki populasi rumah tangga berpendapatan rendah yang cukup signifikan, dan oleh karena itu subsidi harga BBM menjadi lebih dari sekadar isu ekonomi, namun juga menjadi inti perdebatan sosial dan politik kontroversial. Baru-baru ini, tepatnya pada bulan November 2014 Presiden Joko Widodo membuat sebuah keputusan pengurangan subsidi harga premium. Walaupun dibanyak sektor atau kelompok industri, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) tidak akan terkena dampak langsungnya karena tidak menggunakan premium sebagai bahan bakar penggerak produksi mereka, namun dampak tidak langsungnya bisa sangat besar. UMKM merupakan bagian besar dari usaha yang ada di Indonesia dan berkontribusi amat signifikan terhadap penciptaan lapangan kerja secara total. UMKM juga amat penting dalam pengurangan kemiskinan. Oleh karenanya, dampak langsung atau tidak langsung dari kenaikkan harga premium terhadap UMKM akan berperan amat signifikan dalam menentukan kondisi umum kesejahteraan sosial dan ekonomi.
66
Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan apakah kenaikan harga premium yang terjadi pada bulan November 2014 (atau reformasi subsidi energi pada umumnya) akan berdampak berarti bagi UMKM, dan langkahlangkah penyiasatan apa yang mungkin akan diambil oleh kelompok usaha tersebut? Peran UMKM di dalam Perekonomian Indonesia: Latar Belakang Sebagaimana di banyak negara berkembang, terdapat setidaknya tiga alasan utama mengapa usaha kecil (termasuk mikro) dan menengah amat penting di Indonesia. Alasan pertama adalah dari segi jumlah. Jumlah UMKM amat banyak, menurut data dari Kementerian Koperasi dan UKM, ada sekitar 56,5 juta UMKM di Indonesia pada 2012. UMKM juga merupakan unit usaha padat karya yang utamanya menggunakan tenaga kerja berpendidikan rendah. Oleh karena itu, UMKM memainkan peranan penting dalam penciptaan lapangan kerja dan pada gilirannya turut mengurangi kemiskinan. Kedua, UMKM dan khususnya usaha mikro dan kecil (UMK) tersebar luas di banyak wilayah pedesaan. Ini berarti UMK memiliki arti penting bagi perekonomian pedesaan. UMK berkontribusi signifikan terhadap pembangunan ekonomi daerah, serta mengurangi kesenjangan pembangunan antara wilayah pedesaan dan perkotaan. Ketiga, UMKM memiliki potensi ekonomi yang luar biasa, yang tidak terbatas pada peningkatan produk domestik bruto (PDB) Indonesia saja. UMKM juga membantu mendiversifikasi ekonomi Indonesia dan menciptakan sektor ekspor bernilai selain sektor migas. Hal ini khususnya diwakili oleh produk-produk seperti furnitur, garmen, alas kaki, serta berbagai produk kreatif dan kerajinan tangan lainnya (Tambunan, 2012, 2013a, 2014a). Namun UMKM di Indonesia dan di banyak negara berkembang lainnya berbeda dengan UMKM di negara-negara maju. Sekitar 99 persen UMKM di Indonesia merupakan
KEMUNGKINAN DAMPAK PENGURANGAN SUBSIDI HARGA PREMIUM NOVEMBER 2014 TERHADAP UMKM (Tulus T.H. Tambunan)
perusahaan amat kecil atau mikro yang memiliki ciri-ciri berikut: (i) tidak terdaftar dan beroperasi di sektor informal, (ii) mayoritas berada di wilayah pedesaan, (iii) tidak mengadopsi sistem organisasi, manajemen dan pembukuan konvensional/modern, dan (iv) menggunakan terutama pekerja berbayar berpendidikan rendah dan anggota keluarga yang tidak dibayar (BPS, 2013; Tambunan, 2012,2013a). Disebabkan ciri-ciri ini, tidak mengherankan jika kebanyakan perusahaan tersebut berkinerja buruk (misalnya: produktivitas rendah dan memproduksi barang berkualitas rendah) serta mengalami kesulitan mengakses berbagai prasyarat yang diperlukan, termasuk modal, tenaga kerja berkualitas, teknologi dan informasi, serta akses kepada pasar domestik dan ekspor. Permasalahan Energi yang dihadapi UKM Selama Ini UMKM Indonesia (khususnya usaha kecil) seringkali menghadapi berbagai kendala yang membatasi kemampuan mereka untuk bertahan atau tumbuh, termasuk hambatan yang bersifat kelembagaan. Berbagai hambatan yang ada dapat berbeda di setiap daerah, atau antara wilayah pedesaan dan perkotaan, antara sektor dengan subsektor dan antara setiap perusahaan di dalam suatu sektor atau subsektor atau daerah. Namun ada sejumlah hambatan yang umum ditemukan di semua UMKM, termasuk: (i) kurangnya dana untuk mendanai operasional dan investasi modal, (ii) kurangnya sumber daya manusia berketerampilan tinggi, (iii) kurangnya akses kepada teknologi canggih, (iv) kurangnya informasi terbaru (up-todate) dan komprehensif, (v) kesulitan dalam pengadaan bahan mentah dan prasyarat (input) lainnya, (vi) kesulitan dalam pemasaran dan distribusi, (vii) biaya transportasi yang tinggi, (viii) prosedur birokrasi yang rumit dan mahal, khususnya dalam mendapatkan perizinan, dan (ix) kebijakan dan regulasi yang menyebabkan distorsi pasar (BPS, 2013; Tambunan, 2012, 2013a, 2014a).
Tabel 1 merupakan ringkasan data survei dari Badan Pusat Statistik (BPS) tentang halhal yang dilaporkan oleh UMK di industri pengolahan di Indonesia tentang hambatan paling signifikan yang dihadapi pada tahun 2010 and 2013. Harga dan pasokan energi dilaporkan menjadi masalah yang signifikan, walaupun juga merupakan yang paling jarang disebut sebagai hambatan utama yang penting di antara tujuh hal yang diajukan dalam survei, dan responden yang menjawab hal tersebut sebagai masalah serius berkurang jumlahnya di tahun 2010 dibandingkan dengan 2005. Data juga menunjukkan bahwa proporsi UMK yang mengungkapkan harga atau pasokan energi sebagai masalah paling utama yang mereka hadapi berbeda-beda, bergantung pada kelompok industri. Hal ini kemungkinan terkait dengan perbedaan cara beroperasi mereka, seperti sifat proses produksinya. Gambar 1 menunjukkan bahwa jika dilihat dari persentase UMK manufaktur secara total, energi merupakan poin yang paling sering disebut sebagai masalah paling utama bagi usaha-usaha kecil di bidang pengolahan tembakau, disusul dengan usaha reparasi dan pemasangan mesin dan peralatan. Komponen Energi di Dalam Struktur Biaya UMKM Meskipun umum diketahui bahwa UMKM, khususnya UMK, bukan usaha padat energi seperti perusahaan besar (UB), biaya energi masih signifikan yang berkisar dari 10% hingga lebih dari 65% total biaya produksi (United States Agency for International Development (USAID), 2008). Untuk UMK, tidak terdapat data nasional terkait struktur biaya atau komposisi input yang digunakan. Namun terdapat sejumlah penelitian yang didasarkan pada survei lapangan yang menunjukkan bahwa biaya energi bukan merupakan komponen terbesar biaya produksi total untuk usaha kecil di Indonesia, meskipun persentasenya bervariasi berdasarkan kelompok industri.
67
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 65-81
Tabel 1. Hambatan Utama bagi UMK di Bidang Manufaktur dalam Menjalankan Usaha, 2010 & 2013
Sumber: Tambunan (2008); Badan Pusat Statistik (BPS) (2010a, 2013). Data survei dari BI & PS-IUKMPU (2010) yang disajikan secara ringkas pada Tabel 2 menunjukkan bahwa biaya operasi hanya merupakan komponen kecil biaya produksi total untuk UMK di bidang pengolahan kayu, makanan dan minuman, serta industri tekstil dan alas kaki di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Sumatera Barat, Jawa Barat dan Jawa Timur. Biaya operasi mencakup biaya energi, meskipun energi belum tentu menjadi komponen dominan dalam biaya operasi. Misalnya, dalam industri pengolahan kayu, biaya energi membentuk sekitar 13,55% dari total biaya operasi. Di industri lain proporsinya lebih tinggi, seperti industri makanan dan minuman, di mana biaya bahan bakar merupakan 42,4% dari biaya operasional. UKM di industri makanan dan minuman menggunakan boiler sebagai sumber uap untuk proses produksinya. Batu bara, solar dan minyak adalah bahan bakar yang umum digunakan untuk mengoperasikan boiler, yang akhirnya menyebabkan biaya produksi 68
yang tinggi. Misalnya, seorang pemilik usaha catering di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, mengatakan bahwa selama ini biaya pekerja bisa 10-12% dari harga jual per paket makanan katering. Sedangkan bahan bakar elpiji biasanya 10-11%, bahan baku makanan mentah sekitar 30-40%, dan tenaga pengiriman sekitar 5% (Kompas, Metropolitan, Senin, 6 Januari 2014, halaman 25). Sedangkan data nasional untuk usaha menengah (UM) terkait dengan industri manufaktur dapat ditemukan di statistik industri menengah dan besar yang dikeluarkan BPS setiap tahunnya. Sebagaimana diperlihatkan pada gambar 2, data-data ini menunjukkan bahwa energi bukan merupakan komponen terbesar biaya produksi total usaha menengah, namun hal ini bervariasi bergantung pada kelompok industri, dan antara lain ditentukan oleh sifat proses produksi dan upaya efisiensi energi yang dijalankan oleh masing-masing perusahaan di industri tersebut.
KEMUNGKINAN DAMPAK PENGURANGAN SUBSIDI HARGA PREMIUM NOVEMBER 2014 TERHADAP UMKM (Tulus T.H. Tambunan)
Gambar 1. Proporsi UMK Manufaktur yang Memandang Energi sebagai Hambatan Utama Berdasarkan Kelompok Industri, 2013
Sumber: BPS (2013). Keterangan: Industri Makanan (1),Industri Minuman (2),Industri Pengolahan Tembakau (3),Industri Tekstil (4),Industri Pakaian Jadi (5),Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki (6),Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus (tidak termasuk furnitur), dan Barang Anyaman dari Rotan, Bambu dan sejenisnya (7), Industri Kertas dan Barang dari Kertas (8),Industri Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman (9),Industri Bahan Kimia dan Barang dari Bahan Kimia (10),Industri Farmasi, Produk Obat Kimia dan Obat Tradisional (11),Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik (12),Industri Barang Galian Bukan Logam (13),Industri Logam Dasar (14),Industri Barang Logam bukan Mesin dan Peralatannya (15),Industri Komputer, Barang Elektronik dan Optik (16),Industri Peralatan Listrik (17),Industri Mesin dan Perlengkapan YTDL (18),Industri Kendaraan Bermotor, Trailer dan Semi Trailer (19),Industri Alat Angkut Lainnya,(20) Industri Furnitur (21),Industri Pengolahan Lainnya (22), dan Jasa Reparasi dan Pemasangan Mesin dan Peralatan (23)
69
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 65-81
Tabel 2. Struktur Biaya UMK di Sejumlah Kelompok Industri Tertentu
Sumber: BI & PS-IUKMPU (2010). Gambar 2. Struktur Biaya UM di Industri Manufaktur
Sumber: BPS (2010b). Dampak terhadap UMKM Bahkan jika energi merupakan persentase kecil dari biaya produksi UMKM sebagaimana diperlihatkan di atas, peningkatan biaya energi tetap dapat berdampak serius terhadap UMKM, khususnya UMK. Secara umum, pengalaman menunjukkan bahwa dampak peningkatan harga bahan bakar terhadap UMKM terjadi melalui saluran langsung dan tidak langsung (lihat gambar 3). Dampak langsung meningkatkan biaya operasional total UMKM karena mereka harus membayar energi lebih besar. Tingkat kenaikan akan bervariasi berdasarkan kelompok industri, sesuai jumlah energi dan jenis energi yang mereka konsumsi. Misalnya, UMKM yang memproduksi roti akan sangat bergantung pada gas untuk menyalakan oven, sehingga biaya energi membentuk 7%-8% dari total
70
biaya produksi roti. Setiap hari, toko-toko roti mengkonsumsi rata-rata tiga tabung LPG 12 kg. Ketika pemerintah mengumumkan rencana untuk meningkatkan harga gas LPG 12 kg pada awal Maret 2013 dari Rp. 70.200 menjadi Rp.95.600 – berarti total naik sebesar Rp. 25.400 (atau 35%) – Asosiasi Pengusaha Roti Indonesia menyatakan kebijakan itu akan meningkatkan biaya produksi roti sebesar 2%. Jika menghitung peningkatan biaya listrik barubaru ini, maka total biaya energi keseluruhan meningkat sebesar 10% (Citra Indonesia, 2013). Peningkatan biaya operasional total yang disebabkan kenaikan harga bahan bakar juga bergantung pada jenis mesin yang digunakan, dan mungkin lebih penting lagi, upaya penyesuaian yang diambil oleh produsen dalam menghadapi perubahan harga, yang akan menentukan efisiensi penggunaan bahan bakar. Di sisi lain, dampak tidak langsung muncul melalui efek sekunder yang disebabkan kenaikan harga energi terhadap aspek lain dari UMKM, seperti misalnya peningkatan biaya input lain atau penurunan pendapatan riil konsumen, yang mengakibatkan penurunan permintaan, atau kenaikan biaya transportasi sebagaimana digambarkan pada Gambar 3. Dampak tidak langsung terhadap UMKM umumnya diperkirakan lebih signifikan daripada dampak langsungnya. Bank Indonesia memprediksi inflasi tahunan di 2013 dapat mencapai 7,9%, melampaui perkiraan pemerintah yang sebesar 7,2%, sebagai
KEMUNGKINAN DAMPAK PENGURANGAN SUBSIDI HARGA PREMIUM NOVEMBER 2014 TERHADAP UMKM (Tulus T.H. Tambunan)
Gambar 3. Saluran Langsung Dampak Peningkatan Harga Bahan Bakar terhadap UMKM
akibat peningkatan biaya bahan bakar minyak bersubsidi. Dampak inflasi langsung dan tidak langsung dari reformasi harga pada Juni 2013 diperkirakan sebesar 2,45%, yang terdiri dari sub-komponen berikut: dampak tidak langsung terhadap biaya transportasi publik dan komoditas (makanan dan barang pokok lainnya) berkontribusi masing-masing sebesar 0,82% dan 0,40%; serta dampak langsung berkontribusi sebesar 1,23%. Menurut Bank Indonesia, dampak ini akan bertahan selama tiga bulan, khususnya dalam biaya transportasi publik (Tambunan, 2013b, 2014b). Dampak tidak langsung terhadap UMKM lewat kenaikan biaya transportasi bisa serius, tergantung pada jenis dan sifat dari produk yang dibuat UMKM. Dalam kata lain, dampak lewat kenaikan biaya angkutan, khususnya darat bisa bervariasi menurut kelompok industri. Namun dari sisi transportasi, kenaikan harga BBM sangat berpengaruh pada sektor tersebut. Misalnya menurut data 2010 mengenai komposisi realisasi BBM bersubsidi per sektor, transportasi darat mencapai 89% atau sekitar 32,49 juta kiloliter (kl) (yang terdiri dari: angkutan umum 3% atau 0,75 juta kl; mobil barang 4% atau 1 juta kl; sepeda motor 40% atau 10,04 juta kl; dan mobil pribadi 53% atau 13,30 juta kl ), disusul kemudian oleh rumah tangga (RT) 6% (2,19 juta kl), perikanan 3%
(1,10 juta kl), dan transportasi air 2% (0,73 juta kl) (Kompas, B&K, Rabu, 15 Desember 2010, halaman 17). Dampak tidak langsung terhadap kredit juga dapat bersifat serius. Sebagai tanggapan terhadap kenaikan inflasi dan terus terdepresiasinya rupiah, otoritas moneter Indonesia memutuskan untuk menaikkan tingkat suku bunga Bank Indonesia dari 5,75 persen pada bulan Mei 2013 menjadi 6,0 persen pada bulan Juni dan kembali naik hingga 6,5 persen di bulan Juli (Bank Indonesia, 2013). Kenaikan biaya kredit ini membuat UMKM yang bergantung pada pinjaman bank menjadi kesulitan, meskipun jenis UKM seperti ini relatif minoritas. Lebih lanjut, hal ini akan berdampak pada usaha lebih besar yang bergantung pada kredit dan memiliki hubungan dengan UMKM (mis. perusahaan dagang dan produsen mobil besar). Jika perusahaanperusahaan tersebut mengalami masalah keuangan yang disebabkan tingkat suku bunga yang tinggi, dan karenanya harus mengurangi produksi atau bahkan tutup, maka UMKM subkontraktor atau yang terkait dengan usaha tersebut juga akan merasakan akibatnya. Kemungkinan dampak tidak langsung paling serius terhadap UMKM adalah penurunan daya beli di kalangan kelompok berpendapatan rendah. Meskipun data 71
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 65-81
tentang jumlah pembeli barang dan jasa UMKM berdasarkan tingkat pendapatan belum tersedia, para pelanggan utama UKM berasal dari rumah tangga berpendapatan rendah, mengingat sebagian besar UMKM di Indonesia (sebagaimana di kebanyakan negara berkembang) menghasilkan barang dan jasa murah. Bahkan jika rumah tangga berpendapatan rendah tersebut tidak mengeluarkan pendapatan mereka untuk bahan bakar secara langsung, mereka diperkirakan akan tetap terdampak serius oleh reformasi subsidi, mengingat harga barang dan jasa termasuk ongkos transportasi juga meningkat akibat kenaikan harga bahan bakar. Hingga saat ini, belum begitu banyak penelitian mendetil yang diterbitkan mengenai dampak reformasi harga bensin dan solar, misalnya yang terjadi pada Juni 2013, terhadap UMKM. Akan tetapi, laporan anekdot dari berbagai surat kabar dan makalah (hasil penelitian) menunjukkan dampaknya tampak cukup signifikan. Berikut ini beberapa berita menurut periode:
menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM berdampak signifikan terhadap biaya produksi dan pendapatan. Survei ini melibatkan 37.950 UMKM di 33 provinsi yang menggunakan minyak tanah, minyak solar dan bensin di berbagai jenis usaha, termasuk industri pengolahan makanan, penggilingan padi, perikanan, warung makan, batik, industri yang memproduksi materi bangunan sederhana seperti lantai dan batu bata, serta transportasi kota. Survei tersebut menunjukkan bahwa biaya produksi meningkat rata-rata 28,1% (pada usaha mikro (UMI) sebesar 34%; di UK 24,6% persen, dan di UM 29,6%), dan pendapatan bersih turun sebesar 18,37%. Terkait dengan strategi untuk menghadapinya, survei tersebut menunjukkan bahwa sekitar 76,8% dari total UMKM yang disurvei menaikkan harga jual mereka; 45,4% mengurangi ukuran dan kuantitas produk; 63,6% menurunkan kualitas produk; 39,7% mengurangi marjin keuntungan; 39,7% meningkatkan efisiensi biaya produksi; dan 6,11% menggunakan strategi lain selain di atas.
2005 -
Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan bahwa setelah reformasi subsidi BBM tahun 2005, di mana harga BBM naik sebesar 30 persen, jumlah total masyarakat miskin meningkat dari 35,1 juta (16,0 persen) pada Februari 2005 menjadi 39,05 (17,75 persen) pada Maret 2006, yang berarti kenaikan sebesar 4 juta orang (Bappenas, 2006). Namun fluktuasi dalam jumlah masyarakat miskin sepanjang 2005 dan 2006 disebabkan oleh berbagai faktor dan tidak hanya oleh kenaikan 30 persen harga BBM, serta tren jangka menengah di Indonesia telah menunjukkan penurunan signifikan masyarakat miskin, dengan jumlah masyarakat miskin sebesar 10,5 persen pada 2012.
2006 - Hasil survei yang dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UMKM pada tahun 2006 (dikutip oleh Sinaga, 2013), 72
2007 -
Studi kasus di Sumatra Utara pada 2007 menunjukkan bahwa kinerja UMKM lokal tidak terdampak signifikan oleh kenaikan harga BBM pada 2005 (Rizal, 2007).
2008 -
Majalah Tempo mengumumkan bahwa kenaikan harga BBM pada akhir Mei mengakibatkan tutupnya ribuan UMKM di kabupaten Tangerang, Provinsi Banten (Asia Pacific Solidarity Network [APSN], 2008). Sekitar 50% dari 17.353 UMKM di wilayah ini telah gulung tikar karena bangkrut, termasuk warung makan, industri kerajinan tangan dan industri rumah tangga (cottage), khususnya yang memproduksi kerupuk, tempe
KEMUNGKINAN DAMPAK PENGURANGAN SUBSIDI HARGA PREMIUM NOVEMBER 2014 TERHADAP UMKM (Tulus T.H. Tambunan)
dan tahu. Banyak UMKM yang tutup karena kenaikan harga bahan dasar, biaya transportasi publik dan biaya produksi, sementara yang tidak tutup masih berjuang keras untuk bertahan dengan masa depan yang suram (APSN, 2008).
dan siap dengan harga BBM industri). Jika harga BBM naik, akan banyak nelayan kecil yang berhenti melaut dan berarti jumlahnya akan berkurang (Pada tahun 2005 jumlah nelayan merosot 1,3 juta orang setelah kenaikan harga BBM). Dampaknya akan semakin parah melihat pengalaman tahun 2005 bahwa kompensasi pemerintah waktu itu (yakni bantuan langsung sementara masyarakat Rp 150 ribu per rumah tangga per bulan untuk 9 bulan, penambahan subsidi bagi siswa miskin mulai April 2012 dan penambahan cakupan siswa mulai tahun ajaran baru Juli 2012, penambahan jumlah penyaluran beras bagi rakyat miskin (raskin) untuk dua bulan (dengan harga jual Rp 1.600/kg., HPP Rp 6.600/ kg.) mulai Juli 2012 , dan subsidi bagi pengelola angkutan umum perkotaan kelas ekonomi penumpang dan barang) tidak bermanfaat kepada para nelayan kecil (Kompas, Ekonomi, Rabu, 7 Maret 2012, halaman 17; Kompas, Fokus Kenaikan Harga BBM, Jumat, 30 Maret 2012, halaman 37).
2012 - Kenaikan harga BBM (khususnya solar) akan berdampak buruk pada para nelayan kecil, karena mereka memiliki ketergantungan tinggi terhadap BBM. Hasil penelitian dari Aslan (2012) menunjukkan bahwa kontribusi komponen biaya BBM terhadap total biaya operasi penangkapan ikan sekali melaut berkisar antara 50%-70% untuk kelompok nelayan skala kecil (yang rata-rata memakai kapasitas kapal kurang dari 10 ton bruto (GT)/bobot mati dan 35%-50% untuk kelompok nelayan skala menengah ke atas. Dampak dari setiap kenaikan harga BBM terhadap nelayan, khususnya dari skala kecil akan sangat serius melihat dua kenyataan penting: (i) nilai tukar nelayan (NTN) per tahun semakin menurun (rata-rata per September 2011 tercatat hanya mencapai 103,80 dibandingkan 105,05 pada tahun 2009), dan (ii) rata-rata pendapatan nelayan kecil berkisar antara Rp 450.000-Rp 500.000 per kepala keluarga per bulan. -
Per 2012, total nelayan di Indonesia mencapai 2,7 juta jiwa dengan jumlah kapal 590 ribu unit. Sebanyak 99,4% atau 586 ribu kapal berbobot mati di bawah 30 GT (jumlah nelayan dengan kapal berbobot mati di atas 30 GT hanya 0,6%). Menurut Arif Satria, Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB, kelompok nelayan dengan kapal berbobot mati 5 GT hingga 60 GT paling rentan terhadap kenaikan harga BBM. Kelompok nelayan ini mempekerjakan nelayan buruh dengan pola bagi hasil (sedangkan kelompok nelayan dengan kapal berbobot mati di atas 60 GT sudah menerapkan sistem upah
-
Seorang nelayan ikan tuna di Kampung Kwawi, Monokwari, merinci pembelian bensin para nelayan akan naik 20% akibat kenaikan harga bensin dan solar. Dalam satu hari, satu kapal menghabiskan 60 liter bensin seharga Rp 300.000. Jika harga bensin naik Rp 1.000 per liter, ongkos bahan bakar bisa mencapai Rp400.000. Kapal berbobot mati 5 ton yang sebelumnya hanya membutuhkan bekal BBM Rp 150.000 sekali melaut, bisa naik menjadi Rp 200.000 sekali melaut (Kompas, Selasa, 13 Maret 2012, halaman 1).
- Dipicu kenaikan harga BBM, Ketua Departemen Moda Angkutan Barang dari Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda) Andre Silalahi di Jakarta Selasa 6 Maret 2012 mengatakan tarif angkutan barang akan naik sekitar 25-30% (porsi BBM sebesar
73
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 65-81
35%- 45%) (Kompas, Ekonomi, Rabu, 7 Maret 2012, halaman 17). - Menurut Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi kenaikan harga BBM sebesar 30% (2012) akan berdampak pada kenaikan harga di tingkat ritel maksimal 10%. Menurutnya, komponen BBM hanya menyedot 2% dari komponen harga. Kenaikan tertinggi terjadi pada kelompok makanan dan minuman. Untuk beras, kenaikan di tingkat ritel berkisar Rp 100-Rp 200 per kg. Untuk komoditas ini, kenaikan harga BBM berpengaruh pada transportasi, penggilingan, dan traktor. Mesin penggiling padi sudah memakai BBM komersial. Sewa traktor pengaruhnya lebih oleh faktor harga gabah-/berasnya. Kalau harga BBM naik 30% dan semuanya ditransfer ke biaya angkut, akan menambah biaya Rp 100 per kg (Kompas, Senin, 26 Maret 2012, halaman 18). Sementara sayuran berkisar 5%. Untuk sayuran, harga rata-rata Senin 20 Maret 2012 berkisar Rp6.000 per kg. Dari perhitungan pedagang, biaya transportasi sekitar Rp 100 per kg. Jika harga BBM naik 33 persen, harga sayur naik menjadi Rp 6.300 per kg (Kompas, Ekonomi, Rabu, 21 Maret 2012, halaman 18). - Direktur Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian Dedi Mulyadi berdasarkan hasil kajian dari departemennya mengenai dampak kenaikan harga BBM bagi industri mengatakan bahwa jika harga BBM naik sebesar Rp 1500 atau sebesar 33 persen, itu akan menurunkan output sektor industri pengolahan non-migas sekitar 0,12%. Namun, jika naik Rp2000 atau 44%, penurunan output sekitar 0,14% (Kompas, Ekonomi, Rabu, 21 Maret 2012, halaman 18). -
74
Dalam dua minggu terakhir menjelang rencana kenaikan harga BBM harga dari sejumlah bahan pokok di pasar-pasar tradisional di Kabupaten Magelang,
Jawa Tengah, sudah naik. Ancaman kenaikan tarif juga diajukan sejumlah nelayan pemilik kapal untuk angkutan laut dan sopir angkutan kota Manokwari, Papua Barat. Juga di banyak daerah lain harga-harga dari kebutuhan pokok sudah naik walaupun harga BBM belum naik. Misalnya di Mojokerto, Jawa Timur, harga minyak goreng curah sudah naik dari Rp 10.500 per kg. menjadi Rp 11.000 per kg., harga kecap naik Rp 500 sampai Rp 1.000 per botol, dan banyak lagi (Kompas, Selasa, 13 Maret 2012, halaman 1). - Kenaikan harga minyak mengancam 500 petani pembudidayaan ikan air tawar keramba jaring apung di Waduk Ir. H. Djuanda (Jatiluhur) di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Dampak langsung memang tidak ada karena mereka menggunakan pembangkit berbahan bakar solar untuk penerangan kolam. Dampaknya ke upah buruh, biaya transportasi, harga benih (yang sekitar 20% dari total biaya), dan biaya pakan ikan (sekitar 70% dari total biaya). Kenaikan harga BBM juga mempengaruhi ongkos produksi petani padi/gabah mulai dari pratanam hingga pascapanen, lewat kenaikan upah buruh tani karena biasanya buruh menuntut kenaikan upah setiap terjadi kenaikan harga BBM, dan kenaikan tarif/biaya transportasi yang sangat penting bagi petani gabah (Kompas, Fokus Kenaikan Harga BBM, Jumat, 30 Maret 2012, halaman 36). - Peternak ayam di Kabupaten Ciamis mengeluhkan kesenjangan antara harga pakan dan ayam berusia sehari dengan ayam siap jual akan semakin besar dengan kenaikan harga BBM. Dampak dari kenaikan harga BBM terutama pada biaya pengiriman ayam lewat darat (Kompas, Nusantara, Jumat, 30 Maret 2012, halaman 21). -
Perajin tahu dan tempe di Kabupaten Banyumas dan Kebumen, Jawa Tengah terancam bangkrut akibat kenaikan
KEMUNGKINAN DAMPAK PENGURANGAN SUBSIDI HARGA PREMIUM NOVEMBER 2014 TERHADAP UMKM (Tulus T.H. Tambunan)
harga BBM. Dampaknya lewat kenaikan harga kedelai impor sebagai bahan baku utamanya. Seorang perajin di sentra industri tahu-tempe di Desa Kalisari, Kecamatan Cilongok, Banyumas mengatakan bahwa harga kedelai impor naik dari Rp 5.600 per kg. menjadi Rp6.400 per kg, dan menurut pemasoknya kenaikan tersebut akibat naiknya biaya transportasi dari pelabuhan di Jakarta. Sehari perajin tersebut membutuhkan sekitar 80 kg. kedelai, yang berarti untuk bahan baku dia harus menambah biaya Rp 64.000 per kg. (Kompas, Nusantara, Jumat, 30 Maret 2012, halaman 21). 2013 - Surat kabar Republika mengabarkan bahwa banyak UMKM di Sukabumi, Jawa Barat, harus gulung tikar karena kebijakan reformasi subsidi bahan bakar (Republika Online, 2013a). - Kenaikan biaya produksi membuat perusahaan sulit berekspansi, dan dinyatakan pula bahwa perubahan harga dirasakan oleh banyak UMKM di Jawa Timur, dan bahkan telah mengancam sejumlah usaha bangkrut. Di Kota Malang, Provinsi Jawa Timur, setidaknya 10.000 UMKM lokal menghadapi risiko kebangkrutan karena kenaikan biaya operasional yang tajam (khususnya biaya transportasi) yang menyusul perubahan harga bahan bakar (Antara News, 2013b). -
Kementerian Koperasi dan UKM dan BPS telah memperkirakan bahwa dampak reformasi harga bahan bakar telah mengakibatkan masalah keuangan bagi banyak UMKM di Indonesia (Purwanto, 2013). Menurut penelitian tersebut, meskipun peningkatan biaya produksi tidak separah tahun 2005, ketika biaya bahan bakar pertama kali dinaikkan, hal ini masih mengakibatkan masalah signifikan bagi banyak UMKM (Antaranews.com, 2013a, 2013b).
- Menyusul kenaikan harga BBM Juni 2013, Kementerian Perdagangan memperkirakan bahwa harga barang pokok dan jasa akan meningkat minimal 5% dan maksimal 10%, atau rata-rata sekitar 8,2% (Setiawan, Laoli, Prayogo, Werdiningsih, & Himawan, 2013). Namun dalam kenyataannya, dampak riilnya dapat lebih buruk, khususnya lewat kenaikan biaya transportasi (Setiawan et al., 2013). - Menurut Ketua Umum Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara, kelangsungan hidup sektor ini sangat tergantung pada daya beli masyarakat. Oleh karena itu industri perunggasan nasional akan sangat rentan terhadap kenaikan harga bensin dan solar lewat penurunan daya beli masyarakat. Harga produk unggas seperti daging ayam dan telur, diperkirakan akan turun sebesar 15%-20% akibat penurunan permintaan karena kanaikan harga BBM (2012). Selama Januari-Maret 2012 harga per kg. ayam di kandang peternak tercatat Rp 11.000. Padahal titik impasnya adalah Rp 13.800-Rp 14.000 (Kompas, Senin, 26 Maret 2012, halaman 18). -
Menurut BAPPENAS, perubahan harga terakhir akan meningkatkan tingkat kemiskinan dari 10,5% pada 2012 menjadi 12,1 persen pada 2013, yang berarti terdapat kenaikan sebesar 1,6% meskipun pemerintah sudah menyediakan dana kompensasi. Ini akan meningkatkan jumlah total masyarakat miskin dari 26,3 juta orang menjadi sekitar 30,3 juta (Purwanto, 2013).
- Kementerian Keuangan melaporkan bahwa elastisitas inflasi garis kemiskinan adalah sebesar 1,3%. Dengan kata lain, jika harga naik sebesar 10%, garis kemiskinan akan naik sebesar 13% untuk mencerminkan naiknya pengeluaran untuk jumlah konsumsi minimal (Deli, 2013). -
Hasil penelitian dari LPEM Universitas
75
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 65-81
Indonesia menunjukkan bahwa dalam 10 skenario kenaikan harga dan skema sasaran yang ada, di mana kenaikan paling ekstrem adalah 56 persen untuk seluruh konsumen, goncangan tersebut akan meningkatkan tingkat kemiskinan sebesar 0,86%- 2,04% (Wikarya, 2013). 2014 -
Seorang pengusaha celana jins anakanak, yang termasuk di dalam sentra industri konfeksi rumahan di Kelurahan Sukabumi Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, mengaku bahwa kenaikan tarif listrik membebani usaha konfeksinya yang sangat berganntung pada listrik. Dengan daya 3.500 volt ampere, dia sekarang membayar biaya pemakaian listrik Rp 1,2 juta per bulan, dibandingkan Rp 850.000 hingga Rp 900.000 per bulan sebelum tarif listrik (Kompas, Senin, 15 September 2014, halaman 18).
-
Para pengrajin keramik di Kota Malang, Jawa Timur, mengeluhkan kenaikan harga elpiji 12 kg. yang selama ini dipakai untuk bahan bakar pembakaran keramik karena setiap unit usaha di industri ini membutuhkan 10 hingga 12 tabung elpiji 12 kg per minggu (Kompas, Ekonomi, Senin 15 September 2014, halaman 18).
-
76
Kenaikan harga elpiji ukuran 12 kg hingga 68% akan mendongkrak biaya produksi UMKM. Biaya produksi usaha seperti bisnis catering, binatu, dan warung makan bisa naik hingga 10%, atau bahkan lebih, karena selain elpiji, harga bahan produk lain juga telah naik tinggi. Seorang pedagang mi instan di daerah Sukabumi Selatan, Jakarta Barat, mengatakan bahwa harga elpiji 3 kg. (yang dia habiskan satu tabung per hari) naik dari Rp 14.000 ke Rp 16.000. Akibatnya, ongkos produksi (memasak mi instan) dan beberapa menu lainnya ikut naik. Seorang pemilik binatu di jalan Panjang, Sukabumi, yang selalu menggunakan elpiji 12 kg. Untuk bahan
bakar mesin pengering pakaian mengaku bahwa kenaikan harga elpiji 12 kg. akan sangat memberatkannya (Kompas, Metropolitan, Senin, 6 Januari 2014, halaman 25). Strategi Penyesuaian/penyiasatan Kerentanan UMKM terhadap peningkatan harga energi hingga skala tertentu ditentukan oleh kemampuan usaha tersebut menghadapi perubahan: apakah mereka dapat membebankan biaya tambahan kepada konsumen mereka, atau apakah mereka yang harus menanggung kerugiannya. Kemampuan suatu usaha untuk membebankan biaya sepenuhnya atau sebagian kepada konsumen akan bergantung pada jenis barang yang diproduksi serta jenis pasar yang mereka layani. UMK yang memproduksi barangbarang kebutuhan pokok seperti warung makan kecil yang menjadi andalan kelompok berpendapatan rendah harus menghadapi permintaan konsumen yang relatif tidak elastis. UMK yang menjual barang-barang yang bukan kebutuhan pokok dengan permintaan yang elastis seperti furnitur, mainan, atau pakaian, akan relatif lebih sulit membebankan biaya ekstra kepada konsumen. Tidak banyak berita atau penelitian yang detil mengenai strategi yang diterapkan oleh pemilik UMKM dalam menghadapi kenaikan harga energi selama ini. Namun sejumlah berita di media massa bisa memberikan suatu gambaran mengenai langkah-langkah konkrit yang dilakukan oleh UMKM menanggapi kenaikan harga energi. Salah satunya adalah yang diberitakan oleh Harian Kompas mengenai seorang pemilik warung makan tegal yang sebelumnya menggunakan elpiji 12 kg. untuk memasak. Namun, dengan naiknya harga elpiji ukuran tersebut, kini pemiliknya menggunakan tabung elpiji 3 kg. Tabung elpiji 12 kg disimpan sebagai cadangan. Harga elpiji 12 kg dia beli seharga Rp 123.000 per tabung sedangkan harga elpiji 3 kg Rp17.000. Dengan demikian, dalam sehari dia menghabiskan biaya Rp 85.000 untuk lima (5) tabung elpiji
KEMUNGKINAN DAMPAK PENGURANGAN SUBSIDI HARGA PREMIUM NOVEMBER 2014 TERHADAP UMKM (Tulus T.H. Tambunan)
ukuran 3 kg. Kasus ini menunjukkan bahwa strategi yang diterapkan oleh pemilik warung makan tegal tersebut adalah penyesuaian dalam biaya produksi. Para perajin tahu tempe juga terkena dampak negatif dari kenaikan harga BBM lewat kenaikan harga kedelai impor akibat bertambahnya biaya transportasi di pelabuhan Jakarta. Namun mereka tidak bisa menaikkan harga jual tahu-tempe yang mereka buat. Harga jual tahu maupun tempe bervariasi menurut ukuran. Misalnya, harga jual tahu mulai dari Rp 700 per 10 biji untuk ukuran kecil, Rp 900 per 10 biji untuk ukuran sedang, dan untuk ukuran besar Rp 5.000 per 10 biji. Menurut salah satu perajin, jika ingin impas, semestinya ada kenaikan Rp 100 hingga Rp 200 untuk tahu ukuran kecil dan sedang dan Rp 500 untuk ukuran besar. Namun jika strategi itu dilakukan mereka pasti akan kehilangan pembeli. Alternatifnya untuk menyiasati beban biaya produksi yang naik akibat kenaikan harga BBM, para perajin mengurangi ukuran tahu. Selain itu sebagian dari mereka juga mencampur kedelai kualitas bagus (impor) dengan sedikit kedelai yang kualitasnya tidak terlalu bagus (lokal) yang harganya sekitar Rp 5000 per kg. Penutup Dari uraian di atas tersebut, sebagai penutup, tulisan ini memiliki tiga pesan kunci: 1. Secara umum, UMKM tidak bersifat padat-energi sebagaimana UB, namun UMKM juga lebih rentan. Ini berarti dampak keuangan langsung dari kenaikan harga energi/BBM pada UMKM tidak akan seserius dampaknya terhadap UB; namun kemampuan UMKM untuk menghadapi setiap dampak negatif kemungkinan jauh lebih rendah. Dampak negatif kecil sekalipun dapat berdampak jauh lebih serius bagi UMKM. 2. UMKM amat beragam dan data yang ada saat ini masih jauh dari cukup untuk memprediksi secara mendetil
bagaimana penentuan harga energi akan berdampak pada berbagai sektor atau kelompok industri. UMKM amat beragam dalam berbagai segi, termasuk sifat proses produksi, struktur biaya, marjin keuntungan, keamanan keuangan, permintaan pasar, dan kapasitas mereka untuk menyesuaikan diri dengan kenaikan harga. Saat ini tidak ada data untuk membantu memprediksi jenis UMKM apa yang akan terdampak paling serius oleh perubahan harga energi. Jenis bisnis seperti apa yang akan paling terdampak oleh kenaikan harga bensin, solar, LPG atau listrik? Untuk saat ini, bukti anekdot menunjukkan bahwa secara historis, reformasi atas subsidi bensin paling berdampak serius terhadap UMKM yang terkait dengan industri pengolahan makanan, penggilingan padi, perikanan, warung makan, bahan bangunan (seperti lantai dan batu bata), dan transportasi kota. Tampak jelas pula bahwa tantangan ini khususnya dihadapi di Indonesia Timur, di mana harga energi tinggi karena transportasi bahan bakar yang jauh dan kurang memadainya infrastruktur setempat (mis. jalan dari pelabuhan ke pusat kegiatan ekonomi lokal/UMKM). Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk dapat meneliti isu ini lebih mendetil dan untuk mengajukan mekanisme tertarget untuk mendukung UMKM yang rentan selama reformasi harga. 3. Dampak tidak langsung kenaikan harga energi atau misalnya BBM pada bulan November 2014 dapat berdampak paling serius terhadap UMKM khususnya melalui biaya transportasi, bahan mentah dan modal. Hal ini disebabkan tiga alasan. Pertama, UMKM secara umum tidak sepadat energi perusahaan besar (artinya juga tidak intensif bahan bakar), sehingga dampak langsungnya relatif kecil. Kedua, semua perusahaan sebesar apapun bergantung pada setidaknya transportasi darat, yang merupakan fokus utama reformasi subsidi bahan bakar fosil 77
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 65-81
di Indonesia. Ketiga, UMKM Indonesia, khususnya usaha kecil, amat bergantung pada rumah tangga berpendapatan rendah sebagai pembeli utama mereka, dan kelompok ini khususnya adalah yang paling terdampak serius oleh kenaikan harga bahan bakar dan inflasi yang terkait dengannya, yang menurunkan pendapatan mereka dan menyebabkan penurunan permintaan pasar. Tentunya tidak lagi perlu memperdebatkan mengapa pemerintah memutuskan memotong subsidi bahan bakar, karena hal itu disebabkan skala pengeluaran subsidi yang tidak dapat dipertahankan, serta karena subsidi bahan bakar yang sejatinya untuk membantu kelompok berpendapatan rendah ternyata tidak tepat sasaran. Akan lebih baik jika pemerintah dan UMKM mengambil tindakan-tindakan berikut untuk mengkompensasi masalah-masalah yang dapat disebabkan oleh reformasi subsidi bahan bakar fosil. Dari sisi pemerintah: 1. Meningkatkan akses kepada pembiayaan bank untuk UMKM yang layak bisnis, khususnya yang berpotensi besar berkontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) dan ekspor di masa mendatang. Misalnya, ini dapat mencakup UMKM yang terkait dengan tekstil dan garmen, makanan dan minuman, produk kulit, produk kayu (khususnya furnitur), barang kreatif dan kerajinan tangan. 2. Menghilangkan prosedur birokratis yang tidak perlu untuk mengurangi waktu yang dihabiskan dan mahalnya biaya terkait pengurusan perizinan bagi UMKM. Ini dapat mencakup izin mengimpor bahan mentah dan mengekspor barang dan jasa. 3. Merealokasikan sejumlah dana yang dihasilkan dari reformasi subsidi untuk mengembangkan infrastruktur dan fasilitas transportasi publik, khususnya di wilayah pedesaan di mana sebagian besar UMKM berada. Infrastruktur dan
78
fasilitas transportasi publik yang baik akan membantu UMKM membeli bahan mentah dan memasarkan produknya. Dana tersebut juga dapat digunakan untuk mengatasi masalah utama UMKM lainnya, misalnya untuk berinvestasi di pendidikan untuk meningkatkan ketersediaan tenaga kerja terampil untuk jangka menengah yang dibutuhkan UMKM untuk tumbuh dan berekspansi. Dana ini dapat direalokasikan secara lebih umum untuk membantu melaksanakan kebijakan pemerintah yang telah ada selama ini dalam mendukung UMKM, yang mencakup pengembangan SDM, kewirausahaan dan pembiayaan. 4. Mendukung UMKM memperbaiki efisiensi mereka dalam menggunakan energi. Misalnya, UMKM dapat diberikan bantuan teknis dan keuangan untuk mengidentifikasi peluang untuk memperbaiki efisiensi dan memodernisasi sistem produksi mereka. 5. Membantu UMKM menggunakan energi alternatif. Secara umum, UMKM memerlukan teknologi yang tidak mereka miliki. Karenanya amat penting untuk mendukung transfer teknologi dengan berbagai mitra seperti universitas, perusahaan besar, organisasi nonpemerintah serta lembaga pemerintah. Banyak isu yang harus diselesaikan agar dapat menjalankan transfer dan pengembangan teknologi yang efektif untuk mengembangkan energi alternatif, termasuk pengembangan kelembagaan, informasi, kemitraan dan pembangunan jaringan (networking), penelitian dan pengembangan kolaboratif, hak atas kekayaan intelektual, pembiayaan dan infrastruktur. UMKM juga bertanggung jawab mengambil tindakan persiapan dengan menerapkan setidaknya dua hal berikut: 1. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk beradaptasi dengan
KEMUNGKINAN DAMPAK PENGURANGAN SUBSIDI HARGA PREMIUM NOVEMBER 2014 TERHADAP UMKM (Tulus T.H. Tambunan)
kenaikan harga energi dengan meningkatkan efisiensi energi. Misalnya, dengan menggunakan metode yang lebih efisien untuk memanaskan atau mengolah makanan. 2. Mencari solusi jangka panjang untuk kenaikan biaya energi. Hal ini dapat mencakup penggunaan energi alternatif atau mengembangkan energi terbarukan. Demi efisiensi dan dengan mempertimbangkan kapasitas banyak UMKM, tindakan ini harus dijalankan dengan kerja sama antar UMKM atau dengan para aktor masyarakat lokal
seperti universitas atau pun organisasi non-pemerintah. Salah satu tindakan yang mungkin dilakukan adalah UMKM dapat menghasilkan listrik sendiri dengan pembangkit kecil atau terbarukan seperti angin, matahari, sistem mikro-hidro maupun biofuel yang dapat bertahan lama (sustainable). Di banyak tempat, elektrifikasi dari energi biomassa telah terbukti membantu pengembangan UMKM di wilayah seperti penguapan gabah/beras pra-tanak (rice parboiling), atap rumah (roofing tiles) dan pengawetan tembakau (curing tobacco).
79
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 65-81
Daftar Pustaka Antara News. (2013a). Dampak Kenaikan BBM Mulai Dirasakan UKM (http:// www.antaranews.com/print/31582/% 20 dampak-kenaikan-bbm-mulai-dirasakanukm)
Berita 2 Bahasa. (2013, June 24). Bank Indonesia: Inflasi 2013 Diperkirakan Capai 7,9%, (http://berita2bahasa.com/ berita/ 01/1862406-bank-indonesiainflasi-2013-diperkirakan-capai-7-9#).
Antara News, (2013b). Pendapatan UMKM Turun 4,16% Akibat Kenaikan BBM (http://www.antaranews.com/ print/103873 /).
Citra Indonesia. (2013, February 21). Harga Gas 12kg Naik, SMEs Bread Objection. (http:// citraindonesia.com/harga-gas-12kgnaik-ukm-roti-keberatan/?lang=en).
Asia Pacific Solidarity Network (APSN). (2008, June 4). 50 percent of SMEs in Tangerang collapse following fuel price hikes (http://www.asia-pacific-solidarity. net/southeastasia/ indonesia/indoleft/ 2008/tempo_ 50percentsmescollapse _050608.htm).
Deli,
Aslan, Laoke M. (2012), “BBM Sayang, Nelayan Malang”, SI, opini, Jumat, 30 Maret 2012, halaman 8. BPS (2010a). Profil Industri Mikro dan Kecil 2010, Jakarta: Badan Pusat Statistik. BPS (2010b), Statistik Industri Besar dan Sedang, Jakarta: Badan Pusat Statistik.
A. (2013). Menghitung Dampak Kenaikkan Harga BBM, Serambi Indonesia, (http:// aceh.tribunnews. com / 2013 / 06/25/menghitung-dampakkenaikan-harga-bbm).
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia, (2013). Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2011-2012 (http://www.depkop.go.id/ index.php? option = com _ phocadown load&view=file&id=335:data-usahamikro-kecil-menengah-umkm-dan-usahabesar-ub-tahun-2011-2012& Itemid=93).
BPS (2013), Profil Industri Mikro dan Kecil 2013, Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Purwanto, D. (2013), Harga BBM Naik, Jumlah Orang Miskin Naik Jadi 30 Juta (http://bisniskeuangan. kompas. com/ read / 2013/05/27/22064348).
Bank Indonesia & Pusat Studi Industri, UKM dan Persaingan Usaha. (2010). Struktur Biaya Produksi Usaha Mikro dan Kecil, Laporan Penelitian, Tim Peneliti, Desember, Jakarta.
Republika Online. (2013a). BBM Naik, UKM Sukabumi Terancam Terpuruk. (http:// www.republika.co.id/berita/ekonomi/ mikro/13/06/20/mool0w-bbm-naik-ukmsukabumi-terancam-terpuruk).
Bank Indonesia. (2013, July 11). BI-rate raised by 50 bps to 6.50%, (http://www.bi.go.id/ web/en/Ruang+ Media/ Siaran + Pers/ sp_151413_dkom.htm).
Republika Online. (2013b). Organda Palu Segera Bahas Kenaikan Tarif Angkot. (http://www.republika.co.id / berita / nasional/daerah/13/06/18/mol8bkorganda-palu-segera-bahas-kenaikantarif-angkot).
Bappenas. (2006). Bab 1 Kondisi Ekonomi Makro Tahun 2006. (http://www. bappenas.go.id/files/4113/5228/3386/ bab__ 20081122141425__775__2.pdf).
80
KEMUNGKINAN DAMPAK PENGURANGAN SUBSIDI HARGA PREMIUM NOVEMBER 2014 TERHADAP UMKM (Tulus T.H. Tambunan)
Rizal, M. (2007). Analisis Dampak Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Terhadap Tingkat Inflasi dan Kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara (Studi Empiris Pada Perusahaan Kecil dan Menengah), Lembaga Riset Publik. (http://www.larispa.or.id/publikasi/ artikel/138-penelitian-analisis-dampakkenaikan-harga-bahan-bakar-minyakbbm-tingkat-inflasi-dan-kemiskinan-dipropinsi-sumatera-utara-studi-empirispada-perusahaan-kecil-dan-menengah-. html). Setiawan, Dikky, Noverius Laoli, Oginawa R. Prayogo, RR Putri Werdiningsih, and Adhitya Himawan (2003). Harga BBM naik,rakyat kian tercekik, 18 June,Focus, Kontan online. (http://fokus.kontan. co.id/news/harga-bbm-naik-rakyat-kiantercekik). Sinaga, P. (2013). Harga BBM dan UKM [BBM price and SMEs]. Koran Jakarta, Kolom, Gagasan, (http://m.koran-jakarta. com/index.php?id=122522&mode_ beritadetail=1) Tambunan, Tulus. (2008), “Development of SME in ASEAN with Reference to Indonesia and Thailand”. Journal of Economics 20(1), 53–83. Tambunan, Tulus (2012), Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Indonesia. Isu-isu Penting, Jakarta: LP3ES
Tambunan, Tulus (2013a), UMKM Indonesia. Rangkuman Hasil Sejumlah Penelitian, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta Tambunan, Tulus (2013b), “Fossil-Fuel Subsidy Reform and Small and MediumSized Enterprises (SMEs): The impacts and possible responses”, Briefing Note, November, Global Subsidies Initiative (GIS) and International Insitute for Sustainable Development (IISD), www. iisd.org/gsi; Tambunan, Tulus (2014a), The Readiness of MSMEs in Facing ASEAN Economic Community 2015, New York: Nova Science Publixher, Inc. Tambunan, Tulus (2014b), “Small and Medium-Sized Enterprises (SMEs): A Key Group to Consider for the Welfare Impacts of Fossil-Fuel Subsidy Reform”, Part Two: Guest Analysis, Indonesia Energy Subsidy Review, A Biannual Survey of Energy Subsidy Policies, Issue 1 Volume 1, March, 2014 Global Subsidies Initiative (GSI) and International Institute for Sustainable Development (IISD). United States Agency for International Development (USAID). (2008). Energy and small and medium enterprises, (http:// www.energyandsecurity.com/images/3._ Small_and_Medium_Enterprise.pdf). Wikarya, U. (2013). Dampak Ekonomi Kebijakan BBM Bersubsidi (Powerpoint slides].
81
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 82-101
PENGEMBANGAN PENYULUHAN PERKOPERASIAN DEVELOPMENT OF COOPERATIVES EXTENSION Achmad H Gopar Peneliti di Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK Kementerian Koperasi dan UKM Jalan MT Haryono Kav. 52-53 Jakarta Selatan Email :
[email protected] Diterima 2 Oktober 2014; diedit 25 November 2014; disetujui 1 Desember 2014 Abstrak Kajian ini dilaksanakan di lima provinsi; Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Metode yang digunakan adalah statistik deskriptif sederhana (simple descriptive statistics). Responden terdiri dari aparatur (dinas koperasi provinsi dan dinas koperasi kabupaten/kota) dan responden anggota koperasi (pengurus dan anggota koperasi). Fokus kajian terhadap tiga hal pokok; program dan kegiatan, metode dan materi penyuluhan, dan organisasi penyuluhan. Hasil kajian menunjukkan bahwa ada dua yang perlu dilakukan; pertama, perlu adanya upaya untuk terus mengintroduksikan betapa pentingnya kegiatan penyuluhan perkoperasian untuk anggota koperasi; dan kedua, perlu adanya program penyuluhan perkoperasian yang disusun secara komprehensif. Program penyuluhan perkoperasian, walaupun menjadi bagian program lain yang lebih besar, harus tetap menjadi bagian yang mandiri dengan berfokus pada materi penyuluhan perkoperasian yang memuat kandungan spesifik dan lokal. Perguruan tinggi atau universitas merupakan lembaga yang sangat potensial untuk didorong menjadi lembaga pelaksana kegiatan penyuluhan perkoperasian. Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan inisiatif untuk memanfaatkan LSM dan lembaga sosial untuk melakukan kegiatan penyuluhan perkoperasian. Media sosial via internet merupakan pilihan yang tepat untuk membantu menyebarkan informasi koperasi yang jangkauannya sangat luas dalam waktu yang singkat. Begitu pula dibutuhkan rekrutmen baru tenaga penyuluh perkoperasian. kata kunci: metode dan materi penyuluhan, organisasi penyuluhan, universitas, media sosial. Abstract This study was conducted in five provinces; West Kalimantan, South Sumatra, West Java, East Kalimantan, and South Sulawesi. The method used is simple descriptive statistics. Respondents consisted of apparatus (Provincial and District / City Cooperative Offices) and respondent cooperative members (administrators and members of the cooperative). The focus of the study on three main points; programs and activities, methods of extension materials, and extension organizations. The study resulted there are at least two that need to be done; First, there needs to be an effort to continue to introduce the importance of cooperative extension activities for members of the cooperative; and second, the need for cooperative extension programs compiled in a comprehensive manner. Cooperative extension program, despite being part of other larger programs, must remain a part of the self by focusing on cooperative extension materials containing specific content and local. College or university is an institution that is very potential to be the implementing agency driven cooperative extension activities. In addition, the government also needs to take the initiative to utilize NGOs and social institutions to conduct cooperative extension activities. Social media via the Internet can be utilized as extension media targeted to
82
PENGEMBANGAN PENYULUHAN PERKOPERASIAN Achmad H Gopar
be very broad, and in a very short time. To implement cooperative extension activities are more impressive again needed a new recruitment extension workers. keyword: methods and materials of extension, extension organizations, universities, social media.
I. PENDAHULUAN Sejak lama disadari, bahwa sesungguhnya koperasi menjadi tempat bagi masyarakat untuk menggantungkan kehidupan ekonominya. Kondisi itu menunjukkan bahwa Koperasi merupakan instrumen penting, sebagai pelaku ekonomi yang berperan mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat, sekaligus sebagai agen pemerataan pembangunan ekonomi nasional.
Indonesia telah memiliki pengalaman panjang dalam membangun koperasi. Di masa lalu, keinginan untuk segera melihat koperasi berkembang dan memainkan peran strategis sebagai soko guru perekonomian nasional, telah melahirkan berbagai kebijakan serta program pemerintah, yang menempatkan koperasi sebagai bagian dalam proses pembangunan ekonomi nasional.
Seperti yang kita ketahui, koperasi merupakan soko guru perekonomian Indonesia. Ibaratkan bangunan sebuah rumah, maka peran koperasi tonggak utama berdirinya suatu bangunan perekonomian yang kuat dalam suatu bangsa. Peran koperasi dan UMKM dalam menyokong perekonomian nasional sangat dominan dalam pembangunan bangsa. Sejarah telah mencatat, krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia pada tahun 1998 banyak perusahaan-perusahaan besar yang gulung tikar, tetapi tidak demikian halnya dengan UMKM. Mereka mampu bertahan ditengah badai krisis yang menimpa negeri ini, hal ini juga tidak lepas dari peran koperasi dalam membantu mengatasi kendala-kendala yang dialami UKM pada saat itu. Banyaknya gerakan koperasi yang bermunculan pada saat ini, tentunya harus diimbangi dengan pendampingan yang kuat oleh pemerintah dalam upaya penguatan soko guru perekonomian tersebut. Dengan soko/tiang yang kuat maka sebuah bangunan akan sulit untuk dirobohkan walaupun badai dan angin menerjang.
Proses pembangunan koperasi, yang berlangsung dari tahun ke tahun dan dari periode ke periode, merupakan perjuangan bangsa untuk mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Demikian pula dalam pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu juga memberikan perhatian yang besar dan serius, bagi proses pembangunan ekonomi rakyat itu secara sebenar-benarnya.
Berdasarkan kenyataan itu, pemberdayaan dan keberpihakan terhadap koperasi sebagai wahana ekonomi rakyat sesungguhnya merupakan tuntutan yang realistis. Meski begitu, keberpihakan tersebut tentunya perlu dilandasi dengan pemahaman yang mendalam terhadap upaya untuk membangun koperasi.
Sejauh ini pemerintah melalui berbagai kebijakan maupun program strategis telah berupaya untuk memberdayakan koperasi agar mampu tumbuh dan berkembang secara benar. Meskipun di tengah masyarakat masih dihadapkan pada kenyataan ada image serta citra koperasi yang kurang menggembirakan, namun tidak dapat dipungkiri banyak koperasi yang tumbuh dan berkembang dengan baik yang patut dibanggakan dan dapat menjadi contoh. Meski begitu, harus disadari bahwa masih ada hal-hal yang membutuhkan perhatian, kerja keras, dan penanganan yang lebih serius terhadap persoalan perkoperasian di Indonesia. Koperasi harus mampu berkembang pada nilai dan identitas koperasi yang benar. Tanpa mengenal identitas koperasi secara benar, praktik perkoperasian cenderung menyimpang. Seiring dengan meningkatnya keinginan masyarakat untuk berkoperasi, tentu harus diikuti dengan adanya pemahaman yang 83
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 82-101
benar oleh masyarakat mengenai seluk beluk berkoperasi sesuai dengan prinsipprinsip koperasi. Namun pada kenyataannya, pemahaman mengenai koperasi yang benar masih jauh dari harapan. Gerakan sadar koperasi harus dibangun secara sistematis, dalam rangka meningkatkan kualitas kelembagaan koperasi. Salah satu langkah strategis untuk mewujudkan hal tersebut adalah pentingnya menggalakkan kembali penyuluhan perkoperasian secara intensif dan berkelanjutan. Penyuluhan perkoperasian telah lama terlupakan dan seolah ditinggalkan dalam pembinaan koperasi, terutama sejak tidak adanya lagi Direktorat Penyuluhan seperti pada era Departemen Koperasi di tahun 80-an. Sementara itu, justru Departeman Pertanian sampai saat ini masih memiliki tenaga-tenaga penyuluh pertanian yang tersebar diseluruh pelosok Tanah Air. Demikian pula BKKBN yang pernah membawa Indonesia di forum internasional dinilai berhasil dalam bidang keluarga berencana, tidak lain adalah karena keberhasilan dalam menyelenggarakan penyuluhan. Melalui penyuluhan secara intensif didukung dengan perangkat serta program penyuluhan yang memadai, sehingga mampu mengubah “mind-set” masyarakat Indonesia sehingga program keluarga berencana dapat dipahami masyarakat dan dilaksanakan dengan baik. Belajar dari pengalaman itu, tentu keinginan untuk membangun kesadaran berkoperasi perlu menjadikan penyuluhan perkoperasian sebagai salah satu prioritas dalam pengembangan koperasi. Untuk itu diperlukan tenaga-tenaga yang memilki kompetensi sebagai penyuluh perkoperasian di setiap daerah baik tingkat provinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Persoalan yang dihadapi di daerah dalam pembinaan perkoperasian pada saat ini, terutama adalah tidak adanya tenaga pembina yang dapat secara berkelanjutan dan permanen mempunyai tugas pada Dinas yang membidangi koperasi. Karena itu Kementerian Negara Koperasi berupaya untuk dapat 84
mengembangkan program Jabatan Fungsional Penyuluh Perkoperasian, sehingga di setiap daerah tersedia tenaga-tenaga penyuluh perkoperasian yang permanen dan tidak terpengaruh dengan mutasi pegawai di daerah. Langkah untuk mewujudkan program ini mulai dirintis melalui koordinasi dengan Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara dan Badan Kepegawaian Negara, dan diharapkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tentang Pengembangan Jabatan Fungsional Penyuluh Perkoperasian ini sudah dapat diterbitkan pada awal 2010. Setidaknya pada setiap kabupaten, kota maupun provinsi masing-masing terdapat tenaga penyuluh yang berstatus PNS sebanyak sekitar lima orang, sehingga diperkirakan terdapat tenaga penyuluh perkoperasian tidak kurang dari 2.600 orang. Sejauh ini di lapangan terdapat tenaga pemandu koperasi sekitar 2.000 orang berstatus bukan PNS yang direkrut dan dibina melalui Lapenkop, yang diharapkan pengembangan tenaga penyuluh perkoperasian antara lain juga dapat direkrut dari tenaga-tenaga pemandu tersebut. Demikian pula tenaga yang berasal dari program Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan yang diprakarsai oleh Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga diharapkan juga dapat ditingkatkan kapasitas dan statusnya menjadi Penyuluh Perkoperasian. Kebijakan untuk mengembangkan jabatan Penyuluh Perkoperasian perlu disusun secara cermat, termasuk mempersiapkan perangkat peraturan maupun ketentuan-ketentuan yang dibutuhkan dalam penyelenggaraannya. Demikian pula hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan karier penyuluh perkoperasian. Menggerakkan penyuluhan dalam rangka membangun kesadaran berkoperasi ini tentu akan semakin mudah mendapat respon dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat, bila diiringi dengan publikasi dan kampanye secara besar-besaran tentang koperasi kepada masyarakat. Sehingga ke depan upaya ini selain dapat menanamkan pemahaman serta kesadaran masyarakat akan perlunya
PENGEMBANGAN PENYULUHAN PERKOPERASIAN Achmad H Gopar
berkoperasi, diharapkan dapat menjaga jalannya koperasi agar tetap sebagai koperasi yang menerapkan nilai serta prinsip dasar perkoperasian yang benar. Peran Petugas Penyuluh Koperasi Lapangan (PPKL) yang berada langsung di lapangan dalam membantu pendampingan koperasi dirasa sangat vital peranannya. Pembentukan gerakan koperasi yang kuat dan kokoh terletak di beban mereka. Merekalah yang langsung terjun di lapangan menganalisa, memecahkan masalah serta memberikan solusi bagi koperasi-koperasi untuk dapat lebih berkembang dan maju. Di pundak merekalah ekonomi kerakyatan yang sesungguhnya di bebankan. Kuat dan tidaknya gerakan koperasi tergantung darimana PPKL membina dan mendampingi UMKM, yang tentunya pendampingan dan pembinaan tersebut tidak lepas koordinasinya dengan dinas instansi terkait di daerah. II. KERANGKA PEMIKIRAN Penyuluhan merupakan suatu istilah yang secara bebas digunakan untuk menunjukkan adanya suatu aktivitas pendidikan yang ditujukan kepada masyarakat yang melibatkan diri dalam berbagai kegiatan di sektor produksi pertanian. Istilah penyuluhan atau extension telah digunakan secara meluas di Amerika Serikat. Edison H Maunder (Amri Jahi, 1983) menekankan bahwa extension merupakan suatu kegiatan untuk memperluas ataupun memperpanjang jangkauan manfaat suatu sistem ataupun jasa pendidikan kepada orang–orang yang karena satu dan lain hal tidak berkesempatan untuk memenuhi pengembangan pengetahuan mereka. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan adanya korelasi sistematik antara lembaga pendidikan dan lembaga riset dengan sektor–sektor produktif. Terbinanya hubungan ini akan menjamin adanya kelangsungan informasi ilmiah ataupun pengetahuan spesifik yang dapat diaplikasikan oleh komunitas masyarakat yang berkegiatan di sektor tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan ekonominya.
Penyuluhan sebenarnya adalah bagian integral dari program pendidikan luar sekolah yang bertujuan memberdayakan sasaran, meningkatkan kesejahteraan sasaran secara mandiri dan membangun masyarakat secara mandiri. Penyuluhan merupakan suatu sistem yang berfungsi secara berkelanjutan, tidak boleh bersifat ad hoc. Materi penyuluhan mengandung unsur pemberdayaan sasaran, meningkatkan kesejahteraan sasaran secara mandiri dan membangun masyarakat mandiri. Oleh karena itu, penyuluhan akan menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan sasaran yang menguntungkan sasaran dan masyarakat (Slamet, 2000). Di sektor pertanian misalnya, bagi petani dan peternak, penyuluhan merupakan bagian dari proses pendidikan dalam bentuk praktis agar terdapat perluasan pemahaman dalam mengaplikasikan informasi–informasi ilmiah yang berbentuk pengetahuan praktis tentang prosedur, teknik pertanian maupun peternakan untuk meningkatkan produksi. Jadi segala bentuk kegiatan penyuluhan merupakan wujud praktis kegiatan pendidikan bagi petani dan peternak atau masyarakat secara luas. Sejarah perkembangan penyuluhan di berbagai negara menunjukkan bahwa penyuluhan telah berkembang sebagai satu– satunya cara yang logis, ilmiah dan mampu memberikan kontribusi pada pembangunan ekonomi. Penyuluhan ternyata berperan dan berhasil mempercepat pembangunan seperti di Amerika Serikat, Kuba dan Timur Tengah. Kemajuan yang lebih cepat terjadi di Korea Selatan, Taiwan dan Israel. Contoh keberhasilan di berbagai negara tersebut, patut direpilkasikan di Indonesia dengan cara membangun wadah kebersamaan, koordinasi dan konsultasi yang memuat unsur ilmu dan pengetahuan (Gibson, 2001). Di Indonesia, perkembangan penyuluhan mulai tercatat bersamaan dengan berdirinya Departemen Pertanian pada tahun 1950. Sampai tahun 1993, penyuluhan telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan produksi bahan makanan pokok rakyat Indonesia. Perubahan ternyata
85
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 82-101
memberikan arah kepada adanya tantangan yang semakin kompleks, bukan hanya kebutuhan meningkatkan produksi pertanian, tetapi diperlukan cara–cara untuk menghasilkan produk–produk pertanian secara efisien pada tingkat tertentu (bahan baku, olahan, atau hasil industri) yang memungkinkan petani memperoleh pendapatan yang memadai. Uraian sebelum ini menunjukkan bahwa penyuluhan merupakan suatu sistem pendidikan informal, bertujuan membantu petani, peternak, dsbnya yang sebagian besar diantaranya adalah anggota koperasi agar dapat berusaha dengan lebih baik dan menikmati kehidupan dengan lebih baik dan memuaskan. Koperasi, sebagai suatu komunitas pelaku ekonomi, merupakan kelompok sasaran (target group) bagi kegiatan penyuluhan. Proses penyuluhan mencakup kegiatan mendidik masyarakat anggota koperasi untuk mengetahui secara akurat masalah yang dihadapi, kemudian membantu mereka mempelajari pengetahuan yang berguna untuk memecahkan masalah tersebut. Melalui kegiatan penyuluhan diharapkan terjadi pengalihan pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat anggota koperasi untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan manajerial mereka untuk mengembangkan kegiatan ekonomi anggota dan koperasi menjadi lebih baik lagi. Berkenaan dengan hal ini penyuluhan bagi anggota koperasi dan penggiat koperasi sangat perlu dilakukan sesuai dengan perkembangan kemajuan. Dalam kaitannya dengan pengembangan Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (KUKM), penyuluhan berperan penting untuk mempercepat perubahan yang berorientasi kepada peningkatan peran dan kontribusi KUKM dalam pertumbuhan ekonomi nasional. 1. Alasan Kegiatan Dilaksanakan Kegiatan penyuluhan bagi anggota koperasi dan pelaku UKM sebenarnya telah pernah dilaksanakan sejak tahun anggaran (TA) 1989/1990, kegiatan ini merupakan bagian kegiatan Badan Pelatihan Koperasi (Balatkop)
86
Departemen Koperasi. Pada tahun 1990/1991 dikembangkan menjadi proyek perintis peningkatan kegiatan penyuluhan dengan nama Program Pembinaan dan Pengembangan Petugas Konsultasi Koperasi Lapangan (PKKL). Ketika itu telah direkrut sebanyak 1.583 orang PKKL dan diantaranya dilatih 396 orang PKKL yang diharapkan menjadi tenaga spesialis untuk menangani (1) akuntansi; (2) manajemen organisasi (kelembagaan), dan (3) usaha. Petugas PKKL tersebut adalah pegawai negeri sipil (PNS) Departemen Koperasi yang diangkat/ditunjuk berkedudukan di kabupaten dan/atau kecamatan, serta diberikan tugas untuk melakukan bimbingan dan konsultasi di bidang organisasi dan manajemen, usaha, serta pembukuan/keuangan terhadap Koperasi/KUD terutama pada calon KUD Mandiri. Tujuan kegiatan penyuluhan PKKL adalah: (1) mempercepat terwujudnya Koperasi/KUD yang makin mandiri, (2) mempertahankan atau menjaga kelangsungan KUD yang telah mandiri melalui konsultasi yang intensif dan berkesinambungan. Sasaran kegiatan penyuluhan antara lain adalah: (a) mewujudkan sebanyak 2.000 KUD Mandiri dari total populasi 4.000.000 unit KUD, (b) mewujudkan 8.000 KUD Klas A pada akhir TA. 1990/1991 untuk dijadikan sasaran KUD Mandiri TA. 1991/1992. Setelah pergantian kabinet, kegiatan penyuluhan KUKM ini dapat dikatakan tidak berkembang (stagnant) karena ada perubahan kebijakan pembinaan KUKM. Menurut hasil penelitian penyebab kegiatan penyuluhan tidak berlanjut adalah: (1) perubahan fokus kebijakan kabinet yang berdampak kepada pola pembinaan KUKM. Artinya tidak ada kesinambungan dan konsistensi kebijakan pembinaan; (2) komitmen pembinaan sangat lemah; dan (3) arah kebijakan otonomi daerah yang kurang memperhatikan kesinambungan pembinaan KUKM. Akibatnya PKKL yang sudah dibina beralih tugas kedalam kegiatan struktural yang tidak terkait dengan aktivitas penyuluhan di SKPD (Satuan Kerja Perangkat
PENGEMBANGAN PENYULUHAN PERKOPERASIAN Achmad H Gopar
Daerah) tingkat provinsi dan/atau kabupaten yang membidangi pembinaan KUKM. Bahkan banyak PKL yang pindah tugas ke SKPD non KUKM. Mobilitas karyawan di SKPD tingkat provinsi dan/atau kabupaten/kota yang sangat dinamis menyebabkan pembinaan KUKM tidak berkesinambungan ditambah tidak adanya arah kebijakan kepada aktivitas penyuluhan di semua tingkatan. Keadaan ini menambah kerumitan pembenahan koperasi sehingga banyak koperasi yang tidak jelas keberadaannya, ada yang hidup namun kurang mengindahkan jati dirinya sebagai koperasi dan ada yang setengah hidup tidak jelas arahnya dan bahkan terdapat koperasi yang hanya papan nama. Jika saat ini terdapat rencana untuk memfungsikan kembali kegiatan penyuluh koperasi, ini adalah salah satu langkah strategis untuk membangun kembali kehidupan perkoperasian di Indonesia dan memfungsikan kembali salah satu tugas pokok Kementerian Koperasi dan UKM sebagai pembina kegiatan penyuluhan perkoperasian (dan UKM). Hal ini sesuai pasal 112, Undang– Undang Perkoperasian nomor 17 tahun 2012. Membangun dan membina koperasi merupakan aktivitas menanamkan motivasi dan merubah perilaku individu (anggota koperasi) agar mampu melakukan pengembangan diri dan kesejahteraan mereka melalui koperasi. Ini adalah tugas mulia karena koperasi sebagai organisasi masyarakat terdapat kegiatan pembelajaran (pendidikan) yaitu tolong
menolong antar anggota, interaksi antar individu anggota, solidaritas, pembelajaran demokrasi menuju kemandirian untuk menolong diri sendiri. Kegiatan penyuluhan untuk anggota koperasi merupakan suatu kegiatan yang sangat penting untuk dilakukan. Oleh karena itu perlu kiranya dilakukan suatu pengkajian untuk mengembangkan kembali kegiatan penyuluhan untuk koperasi dan anggotanya. 2. Penerima Manfaat Kegiatan ini diharapkan akan memberikan manfaat optimal kepada anggota koperasi (dan pelaku UKM sebagai anggota koperasi), pengelola dan penggiat koperasi serta semua pemangku kepentingan (stakeholders) yaitu, gerakan koperasi, pemerintah sebagai pembina koperasi (dan UKM) dan perekonomian nasional secara umum. III. METODOLOGI 1.
Metode Kajian
Metode kajian yang akan digunakan dalam kajian ini adalah statistik deskiptif sederhana (simple descriptive statistic) yang akan mengukur nilai rataan, nilai tengah, nilai kumulatif, dan besaran nilai lainnya yang bisa mendiskripsikan situasi dan kondisi data lapangan sehingga bisa dilakukan analisis untuk menghasilkan temuan dan kesimpulan (Draper & Smith, 1981). Untuk ringkasnya, pemilihan responden dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut:
87
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 82-101
Tabel 1. Jumlah Responden Terpilih untuk Setiap Provinsi
Tabel 2. Kepesertaan Responden Pendidikan dan Pelatihan.
2.
Maksud dan Tujuan Kegiatan
a. Maksud Kegiatan Kegiatan ini dirancang untuk menghimpun masukan konstruktif dalam koridor ketentuan yang berlaku untuk pemberdayaan koperasi dan UKM melalui kegiatan penyuluhan. b. Tujuan Kegiatan Merumuskan suatu konsep/model untuk mengaktifkan kembali kegiatan penyuluhan perkoperasian dalam kerangka pembinaan KUKM yang bersifat implementatif dan berkesinambungan.
88
IV. HASIL KAJIAN 1. Responden Responden terpilih adalah orang yang mewakili lembaga atau mewakili diri sendiri jika dia merupakan anggota koperasi. Responden berasal dari latar belakang yang beragam. Oleh karena itu ada perlunya, walaupun sedikit, untuk mengetahui latar belakang responden, sehingga pada kasuskasus tertentu bisa dianalisis secara spesifik jawaban atas wawancara dengan responden. Pada kajian ini diambil data mengenai kepesertaan responden dalam pendidikan dan latihan tentang perkoperasian dan penyuluhan, sebagaimana terlihat pada tabel 2.
PENGEMBANGAN PENYULUHAN PERKOPERASIAN Achmad H Gopar
Dari tabel 2 tersebut terlihat ada perbedaan yang besar antara responden aparatur dan responden anggota koperasi. Sebagian besar responden aparatur pernah mengikuti pendidikan atau pelatihan tentang penyuluhan, sedangkan responden anggota koperasi tidak ada yang pernah mendapatkan pendidikan atau pelatihan tentang penyuluhan. Data ini mengindikasikan jika penyuluhan perkoperasian pada tataran koperasi kepada anggotanya belum menjadi hal yang penting untuk dilakukan, sehingga pendidikan dan latihan tentang penyuluhan perkoperasian untuk pengurus dan manajemen belum menjadi sesuatu yang prioritas. Selain itu data tersebut mengindikasikan agar analisis terhadap jawaban responden anggota koperasi tentang penyuluhan harus dilakukan lebih mendalam dan hati-hati. 2. Program dan Kegiatan Hasil wawancara dengan kuisioner tentang program dan kegiatan ditampilkan pada tabel 3. Data pada tabel 3 tersebut mengindikasikan beberapa hal. Tentang program penyuluhan, semua responden aparatur menyatakan kantor mereka mempunyai program penyuluhan perkoperasian, atau setidaknya pernah mempunyai program penyuluhan perkoperasian. Diduga hanya pernah mempunyai program penyuluhan perkoperasian, karena hanya sebagian kecil (20% dan 10%) responden aparatur yang mengetahui nama program penyuluhan perkoperasian tersebut, sehingga bisa diduga jika program tersebut adalah program dimasa lalu, bukan program yang sedang berjalan. Di lain pihak, hanya sebagian responden anggota koperasi yang merasa pernah ada program penyuluhan perkoperasian (64% dan 40%), dan tidak ada responden anggota koperasi yang ingat tentang nama suatu program penyuluhan perkoperasian yang pernah mereka terima. Respon terhadap nama program penyuluhan yang minimal, mengindikasikan jika program penyuluhan perkoperasian (jika ada?), tidak memakai nama “penyuluhan
perkoperasian”. Hal ini bisa saja terjadi karena kegiatan penyuluhan perkoperasian ada di dalam program lain atau dengan nama program yang berbeda, namun mempunyai kegiatan penyuluhan perkoperasian. Data tersebut bisa saja dipertanyakan jika dikaitkan dengan data pada tabel sebelumnya yang mengindikasikan tidak ada seorangpun responden anggota koperasi yang pernah mengenyam pendidikan dan pelatihan tentang penyuluhan. Penelusuran lebih lanjut mengenai ketersediaan anggaran untuk program penyuluhan perkoperasian. Penelusuran ini dilakukan dengan asumsi bahwa penyuluhan perkoperasian dapat dilakukan setidaknya dalam dua tataran, yaitu tataran pemerintah/ perguruan tinggi/LSM kepada koperasi dan tataran koperasi kepada anggota koperasi. Hasil wawancara dan pengisian kuesioner menunjukkan bahwa semua responden aparatur menyatakan ada anggaran untuk penyuluhan perkoperasian, sedangkan responden anggota koperasi tidak ada yang menyatakan jika koperasi mereka mempunyai anggaran untuk penyuluhan perkoperasian. Data mengenai anggaran untuk penyuluhan perkoperasian ini mengindikasikan bahwa pemerintahan daerah, atau setidaknya Dinas Koperasi, mengganggap penyuluhan perkoperasian masih merupakan sesuatu yang penting untuk dilakukan. Hal ini berbeda dengan kalangan koperasi yang masih menganggap bahwa penyuluhan tentang koperasi masih merupakan kewajiban pemerintah, bukan merupakan tanggung jawab koperasi kepada anggota. Indikasi ini merupakan petunjuk jika gerakan koperasi belum menginternalisasikan prinsip koperasi, bahwa pendidikan anggota merupakan pedoman penyelenggaraan kegiatan koperasi. Indikasi positif yang terlihat pada tabel 3 adalah data yang menunjukkan semua responden menganggap bahwa penyuluhan perkoperasian masih perlu dilakukan. Semua responden aparatur mengganggap program penyuluhan perkoperasian ini merupakan program yang penting untuk dilaksanakan. 89
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 82-101
Begitu juga responden anggota koperasi menyatakan mereka masih membutuhkan program penyuluhan perkoperasian ini. Siapa yang sebaiknya menjadi pelaksana penyuluhan tersebut? Dari wawancara lapangan dengan responden mengenai siapa yang selayaknya menjadi pelaksana penyuluhan perkoperasian, mengerucut pada empat besar pelaksana penyuluhan perkoperasian, yaitu Kementerian KUKM, dinas koperasi provinsi, dinas koperasi kabupaten/kota, dan universitas/ perguruan tinggi, sebagaimana terlihat pada tabel 4 berikut: Data pada tabel 4 tersebut menunjukkan bahwa semua responden aparatur dan hampir semua responden anggota koperasi, sepakat jika pelaksana kegiatan penyuluhan perkoperasian dilaksanakan oleh Dinas Koperasi Tk II (kabupaten/kota). Alasan terbesar mereka memilih pelaksana tersebut dikarenakan mereka menilai instansi yang bersinggungan langsung dan sering berhubungan dengan mereka adalah dinas koperasi kabupaten/ kota. Sebagian besar responden, baik aparatur maupun anggota, memilih Kementerian KUKM sebagai pelaksana penyuluhan
90
perkoperasian karena mereka menganggap semua kebijakan pembangunan koperasi berasal dari instansi ini, sehingga pelaksanaan penyuluhan perkoperasian diharapkan mereka akan diiringi pula dengan program perbantuan/ perkuatan yang akan diterima responden. Perguruan tinggi atau universitas hanya dipilih sebagian kecil responden saja. Banyak dari responden ketika diwawancarai merasa agak aneh mengenai keterlibatan universitas pada program penyuluhan perkoperasian. Hal ini tentunya agak berbeda dengan yang terjadi di negara maju, sebut saja Amerika Serikat misalnya, dimana peran universitas dalam penyuluhan masyarakat sangatlah besar. Di Amerika Serikat, universitas berada di garda terdepan program penyuluhan masyarakat, sehingga masyarakat menjadi lebih maju dalam pemahaman tentang ilmu pengetahuan, terutama inovasi baru baik yang berupa teknologi maupun sosio-ekonomi. Sebagian besar responden beralasan karena mereka menganggap apa yang ada di perguruan tinggi atau universitas adalah yang menyangkut keilmuan yang agak sulit mereka mengerti dan diterapkan di lapangan kerja. Mereka menganggap masih ada kesenjangan antara teori dan praktek.
PENGEMBANGAN PENYULUHAN PERKOPERASIAN Achmad H Gopar
Tabel 3. Program dan Kegiatan Penyuluhan perkoperasian
Tabel 4. Pelaksana Program Penyuluhan perkoperasian
Alasan tersebut selaras dengan jawaban atas pertanyaan berikutnya mengenai bentuk kegiatan. Sebanyak 29% responden menghendaki kegiatan penyuluhan perkoperasian merupakan kegiatan lapangan, hanya 2% saja responden (aparatur) yang menghendaki kegiatan kelas. Alasan responden aparatur menghendaki kegiatan penyuluhan perkoperasian merupakan kegiatan kelas karena akan memudahkan pertanggungjawaban administrasi keuangan. Sebagian besar (69%) menghendaki kombinasi keduanya (kelas dan lapangan), karena akan lebih komprehensif. 3. Materi Penyuluhan Pada waktu uji coba kuesioner diajukan beberapa hal yang patut menjadi materi
penyuluhan. Pada pengambilan data lapangan materi penyuluhan yang terkumpul tersebut diajukan lagi dengan model pilihan ganda. Data yang terkumpul ditampilkan pada tabel 5. Dari tabel 5 tersebut terlihat jika UU Perkoperasian yang baru, yaitu UU no. 17 tahun 2012, merupakan materi pilihan untuk semua responden (100%). Walaupun lebih operasional, tidak semua responden anggota koperasi memilih Peraturan Pemerintah untuk perkoperasian sebagai materi penyuluhan, hanya 89,75% responden saja yang memilihnya. Materi kebijakan dan program pemerintah menjadi materi penyuluhan yang paling sedikit dipilih oleh responden, baik oleh responden aparatur maupun responden anggota koperasi. Hanya sebanyak 59,75% saja responden yang
91
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 82-101
Tabel 5. Materi Penyuluhan
Tabel 6. Organisasi Penyuluhan perkoperasian.
memilih materi ini. Ada hal yang menarik dibalik pemilihan materi ini oleh sebagian responden anggota koperasi sebagai materi penyuluhan perkoperasian; mereka memilihnya karena berkepentingan untuk mengetahui apa yang bisa mereka manfaatkan dari kebijakan dan program pemerintah, terutama yang berkaitan dengan program bantuan dan perkuatan dari pemerintah.
dan keseharian koperasi mereka, karena kedua materi tersebut menjadi panduan bergeraknya koperasi mereka. Banyak sekali responden menginginkan koperasi mereka beroperasi secara baik dan benar sesuai dengan prinsipprinsip koperasi dan sistem manajemen modern.
Materi organisasi koperasi dan materi manajemen koperasi menjadi pilihan sebagian besar responden, masing-masing sebesar 90,75% dan 90,25%. Hal ini dapat dimengerti jika melihat alasan dibalik pemilihan materi tersebut. Responden yang memilih kedua materi tersebut berpendapat jika kedua materi tersebut sangat berkaitan dengan kehidupan
Kegiatan penyuluhan perkoperasian ini bisa terlaksana dan berjalan dengan baik jika dikelola dan diorganisasikan dengan baik pula. Organisasi penyuluhan dibedakan dengan pelaksana kegiatan penyuluhan, organisasi penyuluhan dimaksudkan sebagai lembaga yang memiliki program penyuluhan perkoperasian.
92
4. Organisasi Penyuluhan
PENGEMBANGAN PENYULUHAN PERKOPERASIAN Achmad H Gopar
Pada tabel 5 ditampilkan tanggapan responden mengenai pelaksana kegiatan penyuluhan perkoperasian. Data pada tabel 5 tersebut menunjukkan jika responden menginginkan pelaksana kegiatan penyuluhan perkoperasian adalah dinas koperasi kabupaten/ kota (terbesar), disusul oleh kementerian KUKM dan dinas koperasi provinsi, sedangkan universitas hanya dipilih oleh sedikit responden. Indikasi ini menunjukkan jika responden menginginkan pelaksana kegiatan penyuluhan perkoperasian adalah lembaga pemerintah yang mengurusi perkoperasian, yang secara linier mulai dari dinas koperasi kabupaten/kota, dinas koperasi provinsi, dan kementerian KUKM. Sejalan dengan itu, untuk organisasi ataupun pengelola program penyuluhan perkoperasian pilihan responden ditampilkan pada tabel 6. Data pada tabel 6 mengindikasikan jika sebagian besar responden (94,75%) menghendaki organisasi atau lembaga yang memiliki program penyuluhan perkoperasian ini adalah dinas koperasi kabupaten/kota, disusul oleh Kementerian KUKM (79,25%)
dan dinas koperasi provinsi. Data ini menunjukkan jika pilihan responden tersebut sejalan dengan pilihannya yang ditampilkan pada tabel 4, dimana mereka memilih dinas koperasi kabupaten/kota sebagai pelaksana kegiatan penyuluhan perkoperasian. Dengan demikian responden menginginkan dinas koperasi kabupaten/kota menjadi garda terdepan kegiatan penyuluhan perkoperasian yang menjadi pemilik program penyuluhan sekaligus sebagai pelaksana kegiatan penyuluhan perkoperasian. Indikasi lain yang menarik dari data yang ditampilkan pada tabel 6 adalah perbedaan pilihan antara responden aparatur dan responden anggota koperasi. Dapat kita lihat jika sebagian besar responden anggota koperasi lebih menginginkan dinas koperasi kabupaten/kota sebagai pemilik program penyuluhan perkoperasian, sedangkan semua responden aparatur menginginkan agar semua lini lembaga pemerintah yang mengurusi koperasi, mulai dari Kementerian KUKM, dinas koperasi provinsi, hingga dinas koperasi kabupaten/kota, memiliki program penyuluhan perkoperasian.
93
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 82-101
Tabel 7. Rekrutmen Penyuluh
Tabel 8. Organisasi Penyuluhan Bergerak.
Mengenai rekrutmen tenaga penyuluh untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga penyuluh yang ada saat ini, nampaknya responden aparatur dan responden anggota koperasi sepakat. Sebagaimana tergambar pada tabel 7, semua responden menyatakan perlu untuk melakukan rekrutmen baru untuk tenaga penyuluh. Rekrutmen tenaga penyuluh yang tidak menjadi pegawai negeri sipil, yang sifatnya non-reguler atau sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan, disetujui oleh semua responden aparatur, namun hanya sebagian responden anggota koperasi yang sepakat tentang itu, sebagian lainnya menganggapnya sebagai pemborosan. Ada wacana untuk melakukan rekrutmen tenaga penyuluh yang berasal dari kalangan penggiat bisnis professional. Wacana ini ternyata mendapat tanggapan positif dari responden, ada sebanyak 89% responden setuju adanya rekrutmen penggiat bisnis profesional sebagai tenaga penyuluh koperasi. Rekrutmen
94
penggiat bisnis profesional, jika dilihat dari penggajian mereka, tentunya sangat mahal. Oleh karena itu, jika hasil yang diperoleh lebih baik dibandingkan dengan ongkos yang dikeluarkan, sudah selayaknya jika dicarikan jalan keluarnya. Dari wawancara pada tahapan pengujian kuisioner muncul wacana tentang kebutuhan untuk membentuk satuan tenaga penyuluh koperasi yang tidak menetap di suatu tempat, namun bergerak dari satu daerah ke daerah lain sesuai dengan kebutuhan daerah. Sebagai pembanding, POLRI mempunyai Brimob yang bisa diterjunkan di daerah tertentu sesuai dengan kebutuhan. Satuan tenaga penyuluh koperasi bergerak ini merupakan merupakan satuan yang bersifat komplementer, yang melengkapi satuan tenaga penyuluh koperasi yang sudah ada. Pertanyaaan mengenai hal ini disetujui oleh lebih dari 96% responden, yaitu 100% responden aparatur dan 92,50% responden anggota koperasi.
PENGEMBANGAN PENYULUHAN PERKOPERASIAN Achmad H Gopar
Pertanyaan mengenai dimana satuan tenaga penyuluh koperasi bergerak ini sebaiknya berdomisili ditampilkan pada tabel 8. Dari data pada tabel 8 tersebut terlihat semua responden sepakat jika satuan tersebut berada di Kementerian KUKM, sebanyak 76% responden setuju jika dinas koperasi provinsi mempunyai satuan tersebut, dan hanya segelintir responden (28,75%) yang menghendaki dinas koperasi kabupaten/kota mempunyai satuan tersebut. V. PEMBAHASAN Latar belakang responden hanya sebagian saja yang pernah mendapatkan pendidikan dan latihan tentang perkoperasian dan hanya segelintir saja yang pernah mendapatkan pendidikan dan latihan tentang penyuluhan tentunya akan mempengaruhi persepsi mereka tentang penyuluhan perkoperasian. Hal ini selaras dengan indikasi tidak adanya program penyuluhan yang dilakukan koperasi untuk anggotanya, padahal kegiatan pendidikan untuk anggota, tentunya termasuk penyuluhan, merupakan salah satu prinsip yang menjadi pedoman beroperasinya sebuah koperasi. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk terus mengintroduksikan betapa pentingnya kegiatan penyuluhan perkoperasian untuk anggota koperasi. Upaya ini dapat dilakukan oleh oleh siapa saja, terutama oleh aparatur pembina koperasi yang mempunyai potensi untuk melakukan hal itu, baik dari segi anggaran maupun dari segi kemampuan. Kegiatan penyuluhan perkoperasian merupakan kegiatan untuk saling “berbagi pengalaman”. Kegiatan ini adalah proses dua arah. Arah dari bagian atas atau dari para penyuluh tidaklah cukup, karena prosesnya haruslah partisipatif dan harus ditangani secara sistematis. Harus ada interaksi aktif dan berkelanjutan antara para penyuluh dan yang disuluh. Penyuluh adalah media yang mempromosikan interaksi seperti itu (Prakash, 2005). Adanya indikasi bahwa ada anggaran untuk kegiatan penyuluhan perkoperasian tetapi
tidak ada program penyuluhan perkoperasian mengindikasikan jika kegiatan penyuluhan perkoperasian hanya menjadi bagian dari program pembinaan koperasi yang lain. Hal ini akan menyulitkan penyuluh dalam menyusun materi kegiatan penyuluhan perkoperasian agar bisa fokus terhadap permasalahan yang dihadapi oleh koperasi dan anggotanya, terutama permasalahan yang bersifat spesifik dan banyak mengandung muatan internal ataupun lokal. Untuk itu perlu disusun suatu program yang memang khusus untuk kegiatan penyuluhan perkoperasian, atau setidaknya, walaupun menjadi bagian dari program yang lain, bisa bersifat mandiri dalam penyusunan materi kegiatan penyuluhan perkoperasian yang mungkin banyak mengandung muatan lokal-spesifik. Walaupun responden lebih menghendaki pelaksana kegiatan penyuluhan perkoperasian ini adalah dinas koperasi kabupaten/kota, namun data lapangan juga mengindikasikan jika mereka menginginkan Kementerian KUKM dan dinas koperasi provinsi menjadi pelaksana kegiatan penyuluhan. Dengan demikian, kegiatan penyuluhan perkoperasian bisa dilaksanakan secara organisasi-linier, dimana pada setiap lini pembinaan koperasi disusun program penyuluhan perkoperasian sesuai dengan tataran kebijakan publik yang memungkinkan untuk itu. Secara intrinsik ini menyiratkan jika program pada setiap lini, walaupun mempunyai fokus yang sama, namun mempunyai muatan (content) yang berbeda. Misalnya, dinas koperasi kabupaten/ kota muatan programnya lebih berat pada aspek lokal spesifik, dinas koperasi provinsi pada aspek keselarasan/integratif program, dan Kementerian KUKM pada kebijakan dan peraturan-perundangan. Peranan perguruan tinggi atau universitas hendaknya tidak boleh diabaikan, walaupun hanya dipilih oleh segelintir responden. Di luar negeri, di negara maju seperti Amerika Serikat, perguruan tinggi atau universitas menjadi pemeran utama dalam penyuluhan kepada masyarakat. Setiap universitas negeri (land-
95
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 82-101
grant) di Amerika Serikat mempunyai satuan atau unit pelayanan penyuluhan (Extention Service/Center), karena mempunyai beragam program dari disiplin ilmu yang berbeda ditujukan untuk kebutuhan masyarakat yang heterogen. Adanya pendapat responden yang tidak memilih universitas sebagai pelaksana penyuluhan karena keilmuan yang dikembangkan di universitas tidak siap pakai, sebenarnya bisa dijembatani dengan keberadaan lembaga atau pusat penyuluhan ini. Melalui pusat inilah semua aspek keilmuan dapat ditransformasikan menjadi pengetahuan yang bermanfaat. Sekaligus pihak universitas bisa mendapatkan umpan balik dalam melakukan riset tepat guna ataupun riset terapan siap pakai. Keterlibatan universitas negeri dalam pengembangan KUKM yang lebih intensif lagi ditunjukkan dengan keberadaan SME center. Salah satu fungsi lembaga ini adalah sebagai inkubator bisnis. Di dalam negeri sebenarnya sudah ada beberapa perguruan tinggi negeri yang mempunyai lembaga inkubator bisnis, namun saat ini eksistensinya sepertinya terlupakan jika merujuk pada Peraturan Presiden nomor 27 tahun 2013 tentang Pengembangan Inkubator Wirausaha yang lebih menekankan peranan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah sebagai penyelenggara inkubator wirausaha. Selain perguruan tinggi, jangan lupa, banyak sekali lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengabdi untuk kepentingan masyarakat bisa menjadi ujung tombak pelaksana kegiatan penyuluhan perkoperasian. Di luar negeri ada banyak lembaga sosial yang didirikan oleh perusahaan besar bahkan perusahaan multinasional yang mengabdikan organisasinya untuk kepentingan masyarakat melalui kegiatan penyuluhan. Pemerintah perlu melakukan komunikasi dan berinteraksi dengan mereka untuk melakukan kegiatan penyuluhan perkoperasian. Pemilihan materi penyuluhan oleh responden selayaknya disikapi dengan baik dalam penyusunan program penyuluhan perkoperasian. Penyusunan program di 96
setiap lini disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan setiap instansi di lini masingmasing. Penekanan suatu materi pada setiap lini mungkin saja diperlukan. Kementerian KUKM menyusun program penyuluhan yang lebih menekankan pada materi perundangan dan kebijakan, dinas koperasi kabupaten/kota menyusun program dengan lebih menekankan pada materi kelembagaan dan manajemen koperasi. Bentuk atau metode pelaksanaan kegiatan penyuluhan perkoperasian sebenarnya tidak hanya berupa kegiatan dalam kelas dan kegiatan lapangan. Ada banyak media komunikasi tersedia yang bisa dijadikan media penyuluhan dan akan mengubah metode pelaksanaan penyuluhan saat ini, antara lain radio, papan reklame, kaset/CD, dan media sosial via internet. Ketersediaan luas dan akses ke internet yang semakin mudah telah menyebabkan semakin berkembangnya bentuk-bentuk baru metode komunikasi. Secara kolektif disebut “media sosial,” alat-alat komunikasi baru ini telah menciptakan lebih luas lagi peluang bagi para penggiat penyuluhan dalam cara mereka melakukan pekerjaan mereka dan bagaimana mereka berinteraksi dengan konsumen. Sebuah tim pendidik penyuluhan di Penn State telah menggunakan media sosial dan menggunakan alat yang tersedia dalam berbagai cara, selain hanya digunakan untuk mempromosikan peralatan pertanian oleh pemilik bisnis pertanian (Cornelisse, et al, 2011). Media sosial terdiri dari seperangkat alat komunikasi online yang dinamis. Berbagai alat yang tersedia menyediakan berbagai pilihan peralatan untuk individu yang dapat digunakan, tergantung pada pemirsa, tujuan, atau preferensi pribadi. Alat ini mudah diakses dan sering gratis. Mereka telah menjadi sumber berita, peristiwa, pasar, dan percakapan. Dengan perkembangan “aplikasi” yang semakin maju, alat ini telah menjadi populer untuk digunakan pada jaringan bergerak (mobile), memungkinkan komunikasi dan penyebaran dan penerimaan informasi hampir di mana saja. Oleh karena itu, pendidik/
PENGEMBANGAN PENYULUHAN PERKOPERASIAN Achmad H Gopar
Tabel 9 . Beberapa Media Sosial Populer
Sumber: Gunther & Swan, 2011. penyuluh memiliki banyak fleksibilitas untuk memilih alat berdasarkan audiens mereka, preferensi pribadi, dan tujuan penggunaannya. Ada beragam alat media social yang bisa mengakomodasi segala sesuatu mulai dari sebuah deskripsi mendalam atau penjelasan isu tertentu hingga berbagi foto atau ”link” pendek untuk sumber “online”. Aksesibilitas alat media sosial dan kemampuan untuk berbagi menciptakan lingkungan yang prima untuk pendistribusian
secara cepat dan meluas berbagai informasi. Hal ini menghasilkan semacam efek bola salju dimana satu posting secara teoritis dapat menyebar di seluruh dunia dan dilihat oleh jutaan dalam hitungan menit bahkan detik. Untuk penyuluhan, ini sangat berharga karena pekerjaan kita, peristiwa, dan sumber daya bisa dengan cara sederhana, mudah, dan cepat berbagi dengan masyarakat walaupun kita tidak memiliki hubungan tradisional dengan mereka.
97
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 82-101
Alat-alat teknologi elektronik, termasuk media sosial, telah menjadi sangat popular, sehingga kebanyakan orang, walaupun tidak menggunakannya, mengetahui tentang apa dan kegunaannya (Guenthner & Swan, 2011). Ada beberapa media sosial yang sangat popular saat ini yang dapat digunakan sebagai media penyuluhan seperti terlihat pada tabel 10 di atas. Rekrutmen untuk tenaga penyuluhan yang baru memang sudah mendesak untuk dilakukan. Namun rekrutmen tersebut haruslah sesuai dengan kebutuhan, tidak hanya untuk menjalankan kegiatan proyek saja. Kualifikasi tenaga penyuluh yang baru harus memenuhi kompetensi dasar untuk seorang penyuluh. Di Amerika Serikat profesi penyuluh adalah profesi terhormat setara dengan para ilmuwan, karena mereka umumnya berasal dari kampus. Banyak dari mereka berprofesi ganda sebagai dosen atau peneliti dari perguruan tinggi disamping sebagai penyuluh. Oleh karena itu tidak selayaknya jika tenaga penyuluh ini hanya dianggap sebagai profesi pelengkap saja. Petugas penyuluhan harus memiliki kompetensi yang diperlukan untuk mengantisipasi dan memberikan program pendidikan yang berkualitas yang relevan dan penting bagi publik (PODC, Cooperative Extension System, AS). Kompetensi dasar didefinisikan sebagai pengetahuan dasar, sikap, keterampilan, dan perilaku yang berkontribusi untuk keunggulan dalam program pendidikan penyuluhan. Banyak sistem Penyuluhan mengidentifikasi dan mendefinisikan kompetensi dasar tertentu. Wisconsin Cooperative Extension menyatakan kompetensi adalah “tataran yang cukup untuk pengetahuan, keterampilan dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas atau tujuan tertentu.” Missouri Cooperative Extension menetapkan bahwa setiap profesional penyuluhan harus memiliki “kekuatan pribadi, kemampuan sebagai seorang pendidik, kemampuan di bidang teknologi informasi, dan keahlian dalam spesialisasi akademik mereka”. Penyuluh adalah aset yang paling berharga 98
dari sistem penyuluhan. Untuk meningkatkan efektivitas tenaga penyuluhan dan untuk meningkatkan nilai profesionalitas penyuluhan itu, disarankan setiap upaya pengembangan dan pelatihan penyuluhan fokus pada bidang yang berkaitan dengan kompetensi dasar. Dengan demikian, tenaga penyuluhan akan meningkatkan kemampuannya agar lebih baik melayani pelanggan dan akan lebih efektif lagi dalam menentukan kebutuhan penyuluhan, dalam mengembangkan dan memberikan program pendidikan yang membahas kebutuhan tersebut, dan dalam menciptakan individu dan kelompok yang sukses berprestasi. Setelah mengkaji dan membahas materi ini berulang kali, Komisi Pengembangan Organisasi dan Personalia (PODC), Cooperative Extension System, Amerika Serikat mengidentifikasi sebelas set kompetensi dasar yang dipercaya sesuai untuk para profesional penyuluhan di seluruh Sistem. Hal ini tidak dimaksudkan untuk menjadi daftar lengkap. Kompetensi lainnya mungkin penting untuk meraih keunggulan dalam penyuluhan. Sangatlah penting untuk mengidentifikasi isuisu lokal yang mendukung dan mendorong harapan individu. Dengan mengintegrasikan kompetensi dasar dan strategi efektif sebagai metode standar dalam penyusunan program penyuluhan diyakini akan dicapai hasil yang maksimal. Jangan dilupakan jika diluar sana banyak orang terdidik dan penggiat bisnis professional mau menjadi sukarelawan untuk berbagi ilmu dan pengalamannya kepada penggiat koperasi. Ada banyak sekali mantan pemimpin perusahaan besar yang sarat dengan pengalaman berbisnis mau berbagi keahlian dan pengalamannya secara sukarela. Rekrutmen tenaga penyuluh sukarelawan dari segmen ini merupakan cara yang sangat efektif untuk mengatasi permasalahan anggaran dan sumberdaya manusia yang sangat terbatas. Penyuluh sukarelawan yang berasal dari bisnis professional akan memberikan pengetahuan yang dapat meningkatkan kemampuan, keahlian, pengetahuan, kepemimpinan dan
PENGEMBANGAN PENYULUHAN PERKOPERASIAN Achmad H Gopar
sumberdaya kepada program penyuluhan. Kesempatan bagi sukarelawan professional untuk memuaskan keinginannya berbagi ilmu dan pengalamannya namun tetap sesuai dengan tujuan penyuluhan membutuhkan komunikasi yang efektif dengan mereka dan korporasinya. Untuk melakukan rekrutmen penggiat bisnis professional sebagai tenaga penyuluh sukarela, penyusun program penyuluhan perlu mengidentifikasi tujuan bersama, membangun kolaborasi, dan berkomunikasi secara efektif dengan mereka tentang bagaimana mencapai tujuan bersama (Kelley dan Culp III, 2013). Tenaga sukarelawan ini mungkin bisa disatukan dalam satu unit penyuluhan bergerak (mobile) yang dikelola oleh Kementerian KUKM untuk diterjunkan ke daerah, provinsi ataupun kabupaten/kota, sehingga para penggiat koperasi di daerah bisa mendapatkan pengetahuan dan pengalaman sangat berharga dari mereka yang mungkin saja sangat langka untuk diperoleh di daerah. Melalui komunikasi yang efektif dengan mereka, bisa jadi yang dibutuhkan mereka hanya akomodasi di daerah. VI. PENUTUP Kegiatan penyuluhan perkoperasian merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting dalam proses pembinaan dan pengembangan perkoperasian. Disarankan, setidaknya ada dua yang perlu dilakukan; pertama, perlu adanya upaya untuk terus mengintroduksikan betapa pentingnya kegiatan penyuluhan perkoperasian untuk anggota koperasi; dan kedua, perlu adanya program penyuluhan perkoperasian yang disusun secara komprehensif. Program penyuluhan perkoperasian, walaupun menjadi bagian program lain yang lebih besar, harus tetap menjadi bagian yang mandiri dengan berfokus pada materi penyuluhan perkoperasian yang memuat kandungan spesifik dan lokal. Pengorganisasian kegiatan penyuluhan perkoperasian pada saat ini masih dilaksanakan secara linier oleh instansi pembina perkoperasian, yaitu; Kementerian Koperasi dan UKM, dinas koperasi provinsi, dan
dinas koperasi kabupaten/kota. Oleh karena itu, pemerintah, dalam hal ini Kementerian KUKM perlu kiranya memprakarsai inisiatif untuk mendorong lembaga lain untuk menjadi lembaga pelaksana kegiatan penyuluhan perkoperasian. Perguruan tinggi atau universitas merupakan lembaga yang sangat potensial untuk didorong menjadi lembaga pelaksana kegiatan penyuluhan perkoperasian. Merujuk kepada Tri Dharma perguruan tinggi; pendidikan, riset, dan pengabdian pada masyarakat, maka sangatlah layak jika perguruan tinggi melaksanakan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat, khususnya kepada gerakan koperasi. Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan inisiatif untuk memanfaatkan LSM dan lembaga sosial untuk melakukan kegiatan penyuluhan perkoperasian. Metode pelaksanaan kegiatan penyuluhan perkoperasian hendaknya tidak terbatas pada metode dalam kelas/ruangan dan kegiatan penyuluhan lapangan. Ada banyak media yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan penyuluhan perkoperasian. Salah satu media yang dapat dimanfaatkan adalah media sosial via internet. Melalui media sosial ini jangkauan dan sasaran penyuluhan menjadi sangat luas, dan dalam waktu yang sangat singkat. Kapasitas materi penyuluhan yang dapat disampaikan melalui media sosial ini mungkin terbatas, namun dengan komunikasi yang intensif hal tersebut bisa diatasi. Adanya media blogging, twitter, facebook, youtube, google, dan lain sebagainya, hendaknya dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menyusun program penyuluhan perkoperasian menggunakan media sosial tersebut. Untuk melaksanakan kegiatan penyuluhan perkoperasian yang lebih impresif lagi dibutuhkan rekrutmen baru tenaga penyuluh perkoperasian. Perlu dilakukan seleksi yang lebih baik lagi untuk mendapatkan tenaga penyuluh perkoperasian yang berkompeten. Untuk itu proses rekrutman harus menyusun kriteria yang menggunakan kompetensi dasar bagi seorang tenaga penyuluh, sebagaimana
99
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 82-101
dicontohkan oleh Cooperative Extension System di Amerika Serikat yang menyusun sebelas kompetensi dasar untuk penyuluh. Banyak orang terdidik dan penggiat bisnis yang sarat dengan pengalaman berbisnis mau dijadikan sukarelawan untuk berbagi keahlian dan pengalamannya dengan masyarakat,
100
khususnya dengan gerakan koperasi. Untuk itu pemerintah perlu mengambil langkah-langkah inisiatif untuk berkomunikasi dengan mereka dilanjutkan dengan penyusunan program spesifik yang bisa dilaksanakan mereka. Pengalamn mereka menjalankan roda usaha sangat berguna terutama bagi pengusaha pemula.
PENGEMBANGAN PENYULUHAN PERKOPERASIAN Achmad H Gopar
Daftar Pustaka Cornelisse, S., Hyde, J. dan Raines, C. (2011). Entrepreneurial Extension Conducted via Social Media. Journal of Extension (online). 49(1) Artikel no: 6TOT1. http://www.joe. org. December 2011. Draper, N .R. and H. Smith, Applied Regresion Analysis, New York: John Wiley & Sons, 1981. Gibson, T.L. Cooperative Extension Program Planning in Wisconsin. University of Wisconsin-Extension. Madison, WI. December 2001. Guenthner, J., dan Swan, B. (2011). Extension learners’ use of electronic technology. Journal of Extension [Online], 49 (1) Artikel no: 1FEA2. http:// www.joe.org, February 2011.
Jahi, A., (1983). Penyuluhan Peternakan. Institut Pertanian Bogor. B o g o r. 1983. Kelley, D.T. dan Culp III, Ken (2013). Affecting Community Change: Involving Pro Bono P r o f e s s i o n a l as Extension Volunteers. Journal of Extension (online). 51(5). Artikel no: 5FEA7. http://www.joe.org. October 2013. Prakash, D. (2005). Agricultural Extension Services Provided by Coperatives. Paper, IFFCO Foundation. http://www.icaap.coop/sites/default/files /articles_8.pdf, December 2005. Slamet, M. (1989). Strategi Penyuluhan Perkoperasian Sebagai Upaya dalam Pengembangan Perkoperasian. Paper. Disajikan pada Panel Diskusi di Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Koperasi. Jakarta. 1989.
101
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 102-115
PROMOSI EKONOMI ANGGOTA DALAM ORGANISASI KOPERASI COOPERATIVE MEMBER’S PROMOTION Heira Hardiyanti Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I) Email:
[email protected] Diterima 24 Oktober 2014; diedit 25 November 2014; disetujui 1 Desember 2014
Abstrak Kelemahan mendasar dari koperasi Indonesia dalam proses perjalanannya untuk mewujudkan tujuan mensejahterakan anggota seringkali menjadi hilang arah, karena pada umumnya banyak yang tidak mengetahui kondisi anggota secara utuh baik itu rumah tangga anggotanya ataupun perusahaan yang dimiliki oleh anggota. Oleh sebab itu sudah semestinya koperasi memiliki database profil anggota yang informatif yang dapat dijadikan landasan awal pengembangan pelayanan koperasi. Dengan begitu, pengembangan unit-unit pelayanan koperasi pun dapat menjawab segala kebutuhan dan keinginan para anggotanya. Di lain pihak keberhasilan koperasi dalam mempromosikan ekonomi anggota dapat tercapai dan terukur. kata kunci: promosi ekonomi anggota, profil anggota, pengembangan koperasi.
Abstract The Indonesian coop’s weakness is unavailable or undocumented member’s profile. That is why cooperatives development seems losing its way on member’s needs and wants. Availability of member’s profile will figure them out of needs and wants and also their economic and social condition. Cooperatives should have member’s profile as a tool to identify member’s needs and wants for developing cooperative’s business units. At the end in the range of time member’s promotion will be achieved. keyword: member’s promotion, member’s profile, cooperative development.
PENDAHULUAN Koperasi dalam tataran perekonomian global tengah menancapkan posisi strategisnya, dengan lahirnya cetak biru dekade koperasi 2020 menunjukkan bahwa koperasi harus siap melakukan perubahan dalam pola pikir dan pola tindak untuk menghadapi berbagai kemungkinan tantangan yang timbul dalam menghadapi pasar global dengan mengerahkan seluruh kekuatannya termasuk menjajaki kerjasama koperasi secara internasional. Di Negara-negara ASEAN sendiri tengah bersiap menyambut pasar bebas ASEAN yang dikenal dikenal dengan masyarakat ekonomi ASEAN 102
(MEA) yang akan tiba hanya dalam kedipan mata. Sungguh suatu kondisi yang seharusnya telah dipersiapkan secara matang, sehingga masyarakat Indonesia terutama gerakan koperasi siap dengan perubahan yang akan datang tersebut. Dimanakah posisi koperasi Indonesia dalam kancah perekonomian ASEAN? Mari kita jujur pada diri sendiri, sebelum jauh ke pasar ASEAN bagaimana posisi koperasi di pasar dalam negeri. Benarkah sudah menjadi pilar ekonomi bagi Negara? Lebih jujur lagi sudahkah koperasi menjadi pilar ekonomi
PROMOSI EKONOMI ANGGOTA DALAM ORGANISASI KOPERASI KOPERASI SIMPAN PINJAM (Heira Hardiyanti)
anggotanya? sehingga keberadaan koperasi mampu meningkatkan kehidupan anggotanya tidak hanya secara ekonomi tetapi meliputi seluruh aspek kehidupannya yaitu sosial dan budaya yang dibentuk dari kehidupan berkoperasi. Undang-undang nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian mendefinisikan koperasi sebagai badan usaha yang beranggotakan orangseorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Dari definisi ini dapat kita simpulkan bahwa koperasi merupakan organisasi yang bercirikan anggota (member based organization). Dalam UU Perkoperasian ini, anggota koperasi didefinisikan sebagai pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi. Oleh karena itu pelayanan kepada anggota menjadi prioritas utama bagi sebuah koperasi. Hal ini sejalan dengan fungsi dan peran koperasi sebagaimana yang tercantum pada pasal 4 UU Perkoperasian no. 25/1992 yaitu: a Membangun dan mengembangkan potensi serta kemampuan ekonomi anggota khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi sosial. b
pengelolaan koperasi yang baik dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan anggotanya secara mikro serta masyarakat dan Negara dalam tataran makro. Secara universal dalam menjalankan kerjanya koperasi juga menganut tujuh prinsip yang diadopsi untuk mendukung lancarnya koperasi yakni, (1) keanggotaan sukarela dan terbuka, (2) Kontrol oleh anggota secara demokratis, (3) partisipasi ekonomi anggota, (4) kemandirian dan otonomi, (5) pendidikan, pelatihan dan informasi, (6) kerjasama antar koperasi, dan (7) kepedulian terhadap lingkungan. Untuk menjalankan prinsip tersebut koperasi memiliki dasar nilai yang menjamin tersedianya indikator-indikator pengelolaan koperasi yang baik dan tetap terjaga. Inilah yang dimaksudkan dengan jatidiri koperasi, tanpa itu semua itu bukanlah koperasi. Sebuah penelitian yang dirilis International Labour Organization (ILO) pada tahun 2009 menjelaskan bagaimana koperasi bisa survive saat terjadi tekanan krisis pada tahun 2008. Penelitian yang berjudul ”Resilience of the Cooperative Business Model in Time of Crisis” menyimpulkan beberapa hal: 1.
Dalam situasi krisis, kepercayaan terhadap lembaga usaha yang berbasiskan modal seperti bank-bank korporasi menjadi merosot sedangkan kepercayaan terhadap koperasi yang melakukan transaksitransaksi riil sesuai aspirasi anggota semakin baik sehingga meningkatkan jumlah deposito/simpanan pada koperasi.
2.
Koperasi menjalankan kegiatan usahanya dengan konsisten untuk melayani kebutuhan dan aspirasi anggotanya sehingga loyalitas anggota sebagai pengguna jasa koperasi tetap terjaga dan hal ini menjamin keberlangsungan hidup koperasi.
3.
Di saat krisis memberikan tekanan kepada usaha-usaha yang ada, koperasi berhasil tumbuh dengan kepercayaan tinggi anggotanya dan berhasil menciptakan lapangan kerja yang layak.
Berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat.
c Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai soko guru. d Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi Hubungan yang saling membangun antara koperasi dengan anggota yang ditunjukkan melalui peran aktif anggota terhadap koperasinya akan menjadi prasyarat
103
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 102-115
4. Koperasi sebagai badan usaha yang dimiliki oleh anggota secara organisasi sangat responsif terhadap aspirasi anggota sehingga peka dan antisipatif atas perubahan. Keempat kesimpulan tersebut menunjukkan keterkaitan erat koperasi dengan anggota-anggotanya. Koperasi yang secara konsisten dan mengakar kuat dalam melayani anggotanya telah berhasil mempertahankan eksistensi bahkan berhasil tumbuh di saat krisis ekonomi terjadi. Keberhasilan koperasi memberikan nilai tambah kepada anggotanya telah menjadi faktor penentu yang dominan dalam keberlangsungan usaha koperasi. Data terakhir yang dilansir oleh kementerian Koperasi dan UKM RI menunjukkan bahwa jumlah koperasi pada 30 juni 2014 (walaupun data masih sangat sementara) sebanyak 206.288 dengan jumlah yang tidak aktif mencapai 30% dengan jumlah anggota koperasi yang tercatat sebanyak 35.237.990 orang, sedangkan pada akhir tahun 2013 terdapat 203.701 unit koperasi dengan jumlah anggota sebanyak 35.258.176 orang. Dari data tersebut diketahui bahwa terjadi peningkatan jumlah koperasi sebanyak 2.587 unit, sementara jumlah anggota mengalami penurunan sebanyak 20.186 orang. Peningkatan jumlah koperasi yang tidak pararel dengan peningkatan jumlah anggota secara umum menunjukkan koperasi di Indonesia mengalami kendala dalam hal konsentrasi dan konsistensi pelayanan terhadap anggota. Kemanfaatan atas keberadaan usaha koperasi dirasakan masih belum optimal sehingga anggota-anggota koperasi beralih pada pemanfaatan usaha di luar koperasi. Faktor lain yang menyebabkan penurunan jumlah keanggotaan ini adalah Pendidikan dan promosi anggota yang kurang diperhatikan oleh koperasi. Padahal pendidikan adalah kunci membangun koperasi yang kuat dan mandiri. Koperasi memiliki adagium lahir lewat pendidikan, tumbuh lewat pendidikan dan diawasi melalui pendidikan, karena
104
dengan pendidikan peningkatan kapasitas dan kemampuan anggota bisa dilakukan. Kepemilikan dan pengendalian oleh anggota adalah faktor penting bagi keberlangsungan hidup koperasi, dan lebih mendasar adalah untuk menentukan kesehatan koperasi. Untuk itu upaya-upaya untuk tetap menjadikan kepemilikan dan pengendalian anggota ini agar tetap terjaga adalah dengan memperhatikan faktor-faktor seperti nilai-nilai dan ideologi, pendidikan anggota, rasa adanya tujuan bersama diantara anggota, struktur koperasi yang efektif, ukuran dan sifat kegiatan koperasi dan corak manajemen kepengurusan yang ada. Lebih lanjut, untuk menjaga rasa kepemilikan dan pengendalian anggota ini, koperasi perlu melihat perangkat-perangkat hubungan koperasi sebagai jaringan kerja. Artinya perlu ada pemahaman bahwa koperasi adalah perangkat hubungan-hubungan yang memperlihatkan koperasi adalah bagian dari lingkungannya, dan oleh karena itu koperasi dipengaruhi dan mempengaruhi suatu lingkungan yang lebih besar baik menyangkut lingkungan ekonomi, sosial politik dan budaya. Hubungan-hubungan kunci ini adalah menyangkut hubungan-hubungan diantara anggota-anggota, hubungan diantara kegiatan-kegiatan yang dilakukan koperasi, dan hubungan antara anggota-anggota dan kegiatan-kegiatan koperasi. Kekuatan dan vitalitas koperasi terletak dan ditentukan oleh tingkat kualitas integrasi hubungan-hubungan tersebut. Disisi lain, hubungan-hubungan tersebut dapat berubah karena tekanan-tekanan eksternal, sehingga koperasi harus terus menyesuaikan perubahan yang terjadi dengan melakukan reproduksi hubungan dengan anggota dan preservasi (pengawetan) dengan tetap memegang nilainilai jatidirinya. Disinilah relasi dan interaksi antar manusia dan masyarakat seharusnya dibangun tidak sekadar hanya memelihara niat untuk mendukung nilai-nilai yang mereka percayai tapi juga melakukan penyesuaian
PROMOSI EKONOMI ANGGOTA DALAM ORGANISASI KOPERASI KOPERASI SIMPAN PINJAM (Heira Hardiyanti)
terhadap berubah.
tantangan
jaman
yang
selalu
Kegiatan yang dapat diwujudkan dalam mengembangkan kapasitas anggota koperasi antara lain dengan menumbuhkan partisipasi aktif anggota dalam kegiatan usaha dan permodalan, pengembangan kaderisasi anggota koperasi dan partisipasi aktif anggota dalam pengelolaan koperasi yang ditunjukkan dalam setiap pelaksanaan RAT. Selain itu koperasi juga harus mampu melakukan suatu program promosi usaha bagi anggotanya. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan kemampuan anggota koperasi dalam mengelola usaha perorangan dan pemberian fasilitasi serta bimbingan/pendampingan pengelolaan usaha yang lebih baik dan profesional. Persoalan keanggotaan koperasi menjadi sentral karena kegiatan bisnis atau pelayanan usaha koperasi terkait erat dengan kualitas sumber daya manusia anggotanya. Hal ini akan membawa implikasi secara lebih luas terhadap praktek-praktek berkoperasi sampai pada operasionalisasi teknis. Hanya saja orientasi bisnis koperasi terkadang dihadapkan pada berbagai persoalan seperti kurang pahamnya pengurus dan pengelola koperasi terhadap hubungan kebutuhan dan usaha anggota, orientasi bisnis jangka pendek atau mementingkan kepentingan sendiri di atas kepentingan kolektif termasuk orientasi usaha yang hanya mengejar profit koperasi dan mengabaikan pemberian nilai tambah terhadap anggota, dan minimnya pembentukan koperasi yang didasari oleh potensi sumber daya anggota sehingga kesadaran pembangunan koperasi tidak berpijak pada potensi lokal anggotanya. Sayangnya masih banyak koperasi yang tidak memiliki data profil anggota mereka, selama ini yang tercantum hanya informasi yang bersifat umum saja seperti nama dan alamat sementara hal-hal lain yang semestinya diketahui oleh koperasi sebagai landasan acuan program koperasi belum sepenuhnya tersentuh. Sudah selayaknya koperasi yang dimiliki
oleh anggota (bahkan mungkin dijalankan atau dikelola) dan dikendalikan atau diawasi oleh anggota membangun hubungan yang lebih erat dengan saling menyelami kebutuhan dan keinginan dari masing-masing anggota. Penyusunan database profil anggota dirasa menjadi sangat penting untuk menuju kesejahteraan yang diinginkan bersama serta menjadi sebuah indikator apakah koperasi telah berhasil mempromosikan anggotanya atau malah mendegradasikan mereka. Promosi Ekonomi Anggota Tujuan utama koperasi adalah mensejahterakan anggotanya, secara global gerakan koperasi dunia menyebutnya dengan member’s welfare dan atau disebut juga member’s promotion. Mengapa disebut promosi? Seringkali kata promosi diasumsikan sebagai mengenalkan suatu produk agar laku terjual. Dari sisi pengertian promosi atau dalam bahasa Inggris disebut dengan promotion yang diartikan sebagai pengembangan atau kenaikan pangkat. Kaitan antara promosi ekonomi anggota dengan koperasi dilihat dari fungsi koperasi sebagai alat perjuangan ekonomi bersama bisa diartikan sebagai ”kenaikan pangkat” anggota dari sisi ekonomi dan tentu saja berpengaruh pada kehidupan sosial mereka. Dengan menjadi anggota koperasi perekonomian mereka terpromosikan menjadi jauh lebih baik dibandingkan sebelum mereka menjadi anggota koperasi. Dikarenakan tujuan dari pembentukan koperasi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan para anggotanya, maka sebagai salah satu indikator keberhasilannya yaitu adanya peningkatan kehidupan ekonomi, apakah dari sisi pendapatan, peningkatan daya beli, kemampuan untuk menyimpan (menabung), penambahan aset, investasi dan lain-lain. Dalam hal kesejahteraan anggota tentu saja sangat relatif, tidak ada batasan yang resmi apa dan bagaimana itu kesejahteraan anggota, sehingga definisi kesejahteraan anggota perlu 105
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 102-115
dijabarkan secara terperinci dari kualitatif menjadi kuantitatif. Dengan kata lain perlu ditentukan standar-standar yang baku apa yang disebut kesejahteraan anggota, sehingga tujuan koperasi untuk mensejahterakan anggotanya dapat terukur dengan jelas sudah tercapai ataukah belum, apakah dengan menjadi anggota koperasi mereka sudah merasa sejahtera ataukah tidak ada perubahan atau bahkan merugikan mereka. Sebuah koperasi dapat disebut “koperasi” jika mempunyai ciri-ciri sebagai berikut, yaitu : a. Adanya sekelompok orang yang kepentingan ekonomis yang sama. b. Memiliki dan membangun satu usaha bersama. c. Memiliki motivasi kuat untuk dapat berdikari sebagai kekuatan utama dari kelompok. d. Kepentingan bersama yang merupakan cerminan dari kepentingan individu atau anggota adalah tujuan utama usaha bersama mereka. Ciri-ciri tersebutlah yang seharusnya menjadi dasar pemilihan bentuk koperasi yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan anggota. Anggota koperasi terdiri atas dua jenis yang pertama adalah anggota yang memiliki usaha atau perusahaan yang kemudian menjadi anggota koperasi produsen atau koperasi pemasaran dan bisa pula menjadi anggota koperasi simpan pinjam (disebut pula sebagai rumah tangga produksi). Kedua adalah anggota yang tidak memiliki usaha, biasanya mereka adalah karyawan atau pekerja dan menjadi anggota dari koperasi konsumsi dan koperasi simpan pinjam (disebut pula rumah tangga konsumsi). Dilihat dari kedudukan masing-masing tentu saja kebutuhan dan keinginannyapun berbeda. Anggota yang memiliki usaha kebutuhannya berkisar pada mudah dan murahnya mendapat bahan baku, terjaminnya rantai pasok, mendapatkan
106
pelayanan pemenuhan kebutuhan sarana produksi sampai pada pemasaran hasil produksi. Sedangkan untuk anggota yang tidak memiliki usaha kebutuhannya berkisar pada kebutuhan konsumsi yang didapat dengan harga murah, mudah dan dengan kualitas yang baik. Sebenarnya ada jenis yang ketiga yang belum diakomodasi dari kedua jenis tersebut, mereka adalah orang-orang yang memiliki keahlian (skill) tetapi belum memiliki usaha sendiri dan belum juga bekerja. Mereka ini adalah calon anggota potensial yang seharusnya bisa bergabung dalam sebuah wadah koperasi produksi atau koperasi pekerja. Sayangnya bentuk koperasi produksi atau pekerja ini belum berkembang di Indonesia. Pada akhirnya dengan memiliki data profil anggota yang lengkap pengurus (pengelola) koperasi akan lebih mudah untuk membuat program kerja yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan anggotanya. Selain itu tidak hanya dari sisi ekonominya saja, tetapi dari kebutuhan pendidikan apa yang bisa diberikan oleh koperasi untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas para anggotanya. Peningkatan kapasitas dan kapabiltas anggota koperasi akan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi anggota sehingga dengan tingginya partisipasi anggota maka perusahaan koperasipun akan memberikan banyak manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung. Prasetyo Budi S. Dalam Andang K.Ar (2010) mengatakan bahwa apabila dalam koperasi telah terjadi situasi dimana anggota merasakan tidak adanya manfaat yang dapat diterima ataupun hanya sedikit saja anggota yang merasakan manfaat dengan bergabung di koperasi, maka pengurus harus segera melakukan reorientasi kegiatan usaha yang dijalankan agar sesuai dengan harapan anggota dapat meningkatkan kesejahteraan anggota yang pada ujungnya dapat mempromosikan ekonomi anggotanya. Untuk dapat menyediakan barang/jasa yang dibutuhkan oleh ekonomi para anggotanya, maka perusahaan koperasi harus melaksanakan fungsi-fungsi yang mencerminkan adanya ”manfaat usaha
PROMOSI EKONOMI ANGGOTA DALAM ORGANISASI KOPERASI KOPERASI SIMPAN PINJAM (Heira Hardiyanti)
bersama” sehingga menghasilkan ”potensi pelayanan yang memajukan ekonomi anggota” yang cukup. Keuntungan atau manfaat dari kerjasama melalui usaha bersama (perusahaan koperasi) ini terutama berkaitan dengan: 1. Manfaat ekonomi skala luas (economic of large scale) dengan dicapainya biaya pelayanan yang minimum. 2. Perbaikan kedudukan pasar yang disebabkan oleh agregasi atau akumulasi permintaan dan/atau penawaran anggota akan barang/jasa yang diselenggarakan oleh koperasi.
5. Memberikan imbalan bagi modal (penyertaan) anggota yang berorientasi pada kondisi pasar. 6. Membangun hubungan-hubungan pasar yang lebih efisien dibandingkan dengan para pesaingnya. 7. Menyediakan barang dan atau jasa yang berorientasi pada kebutuhan anggota secara lebih efisien, yakni harga, mutu, dan syarat-syarat penyerahan yang lebih baik sebanding dengan yang ditawarkan oleh para pesaingnya.
3. Peningkatan fungsi komunikasi dan kelancaran arus informasi dari perusahaan koperasi kepada para anggota dan sebaliknya.
Sedangkan Hanel A. (1989) mengemukakan mengenai karakteristik maupun intensitas pelayanan barang dan jasa yang dikehendaki oleh anggota adalah yang dapat:
4. Pelaksanaan berbagai inovasi sebagai upaya untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan pasar yang berubah.
1. memenuhi kebutuhan yang dirasakan secara subyektif oleh masing-masing anggota;
Dalam melaksanakan fungsinya tersebut, maka perusahaan koperasi bertujuan antara lain:
2.
1. Mempertahankan dan meningkatkan bagian pasar barang dan atau jasa yang dihasilkan oleh koperasi tersebut. 2. Menurunkan biaya produksi sehingga mencapai tingkat efisiensi ekonomi relatif dan meningkatkan daya saing. 3. Mempertahankan nilai aktiva riilnya secara kualitatif. 4.
Mengamankan likuiditasnya.
5.
Menciptakan inovasi.
Pencapaian tujuan diatas diikuti dengan serangkaian sub tujuan, antara lain: 1.
Mempertahankan investasi yang mengarah pada penurunan biaya produksi.
2.
Melakukan investasi yang ditujukan bagi pertumbuhan perusahaan koperasi.
3. Menciptakan modal dasar sendiri yang kuat. 4.
Membentuk cadangan modal
sama sekali tidak tersedia di pasar;
3. disediakan dengan harga, mutu dan syarat-syarat yang lebih menguntungkan dari yang ditawarkan dipasar. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Roepke J. (1985) bahwa, economic advantage koperasi harus lebih besar dibandingkan dengan insentif ekonomi (insentif economis) yang diberikan perusahaan lain. Dalam makalahnya Andang K.ar (2010) menyatakan bahwa kebijakan koperasi dan strategi pelayanan koperasi kepada anggota jika terdapat kelebihan kapasitas dapat melakukan bisnis dengan pasar non anggota, hasilnya akan menentukan jumlah dan variasi manfaat ekonomi bagi anggota, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap partisipasi anggota. Efektiitas partisipasi anggota ditentukan oleh kualitas dan hasil pelayanan koperasi terhadap anggotanya, khususnya dalam bentuk promosi ekonomi yang terukur dalam satuan uang. Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah disebutkan di atas, maka untuk meningkatkan atau mempertahankan loyalitas anggota koperasi dapat dilakukan melalui 107
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 102-115
serangkaian, langkah-langkah kerja yang selaras dengan visi-misi-tujuan koperasi yang dibentuk. Langkah-langkah kerja yang dapat dilakukan diantaranya : 1.
Kegiatan usaha koperasi yang dijalankan harus selaras dengan kebutuhan para anggotanya, artinya segala gerak langkah koperasi harus selalu ditujukan dalam upaya memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan anggotanya;
2.
Usaha yang dilakukan harus memberikan manfaat baik secara langsung maupun manfaat tidak langsung kepada anggotanya;
3. Koperasi harus dapat meningkatkan posisi tawar para anggotanya maupun meningkatkan skala ekonomi usaha anggota; 4. Komunikasi antara koperasi dengan para anggotanya harus dijaga agar tetap harmonis sehingga dapat meredam segala bentuk ketidaktahuan dan kecurigaan anggota yang biasanya memicu kesalahpahaman dan perselisihan, artinya koperasi harus dikelola dengan manajemen profesional open management. 5. Para pengelola koperasi harus mampu menciptakan inovasi dalam pengelolaan koperasi untuk memberikan pelayanan yang berorientasi kepada para anggota. 6. Para pengelola koperasi harus mampu menjaga dan mengamankan kekayaan para anggotanya yang sudah tertanam dalam koperasi, sehingga kepercayaan anggota akan terbentuk dan pada akhirnya anggota akan bersedia menanamkan modalnya lebih besar lagi. 7. Koperasi harus mampu menciptakan hubungan pasar yang efisien dengan perusahaan lain atau para penggunana jasa lainya, guna meningkatkan kesejahteraan anggota. 8. Pendidikan keanggotaan harus terus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran
108
dan pemahaman anggota terhadap peran dan fungsinya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan sebuah koperasi yang peran dan fungsinya berjalan dengan baik, sesuai dengan apa yang digariskan oleh organisasi dipimpin oleh pengurus yang memiliki jiwa kewirakoperasian yang tinggi serta dikelola oleh manajemen yang profesional maka koperasi sebagai wadah promosi ekonomi anggota dapat terwujud. Prasetyo Budi S. (1988) menyimpulkan bahwa dari segi keanggotaan koperasi secara perorangan kunci keberhasilan koperasi terletak pada: (1) Kemampuan minimum anggota dari segi ekonomis maupun finansial untuk dapat memberikan kontribusi permodalan dan melakukan transaksi dalam memanfaatkan pelayanan yang diselenggarakan oleh perusahaan koperasi. (2) Kebebasan relatif ekonomi anggota untuk dapat mengikatkan diri para perusahaan koperasi. (3) Kemampuan minimum anggota dari segi pengetahuan dan informasi (tingkat pendidikan dalam arti luas) agar mampu turut serta dalam pengambilan keputusan dan pengendalian jalannnya koperasi. Ramudi Arifin (1997) mengatakan bahwa komponen-komponen yang ada dalam organisasi koperasi berinteraksi satu sama lain membentuk sistem untuk mencapai tujuan koperasi. Tujuan koperasi akan tercapai apabila koperasi berhasil menjalankan fungsifungsinya sedemikian rupa dan melahirkan manfaat-manfaat ekonomis yang nyata bagi para anggotanya. Manfaat-manfaat ekonomis itulah yang pada akhirnya akan menciptakan peningkatan kesejahteraan anggota melalui peningkatan pendapatan. Dengan meningkatnya kesejahteraan dan tingkat pendapatan anggota hal ini akan mendorong anggota untuk berpartisipasi.
PROMOSI EKONOMI ANGGOTA DALAM ORGANISASI KOPERASI KOPERASI SIMPAN PINJAM (Heira Hardiyanti)
Sedangkan Hanel A. (1989) mengatakan bahwa dampak koperasi (cooperative effect) dapat dibagi kedalam dua bagian, yaitu: 1) Dampak Makro: Sebagai dari efisiensi perusahaan koperasi dan efisiensi rumah tangga perusahaan/ rumah tangga konsumen anggota. 2) Dampak Mikro: a. Dampak langsung, sebagai akibat kegiatan koperasi dan anggotanya memanfaatkannya serta hanya dirasakan langsung oleh anggotanya. b.
Dampak tidak langsung, sebagai akibat dari kegiatan koperasi yang dirasakan oleh anggota dan non anggota. Dan sebenarnya anggota juga dapat memperolehnya dari kegiatan perusahaan non koperasi.
Dampak yang ditimbulkan oleh koperasi yang bergerak dalam suatu sektor, daerah atau negara tertentu ada dua macam, yaitu: 1) dampak yang bersifat langsung terhadap rumah tangga dan perusahaan para anggota, yang timbul dari pelayanan barang dan jasa perusahaan koperasi; 2)
dampak yang bersifat tidak langsung yang timbul dari eksistensi menjadi anggota dan dari kegiatan-kegiatan koperasi melalui perpaduan usaha terhadap lingkungan.
Untuk dapat memberikan manfaat bagi anggotanya maka perlu adanya keselarasan antara kepentingan organisasi koperasi dan kepentingan para anggota, sehingga anggota merasakan manfaat dengan menggabungkan diri pada koperasi. Hal ini akan memberikan motivasi bagi anggota untuk turut berpartisipasi aktif dalam mengembangkan jalannya kegiatan yang dilaksanakan oleh koperasi. Dalam rumusan resmi perundangundangan koperasi disebutkan mengenai jenis koperasi terdiri atas 5 (lima) jenis yakni: koperasi produsen, koperasi konsumen, koperasi simpan pinjam, koperasi pemasaran,
dan koperasi jasa. Rumusan ini dalam perkembangannya tidak selalu berjalan dengan baku dan kaku. Hal ini terjadi karena keragaman jenis koperasi juga tidak semata berdasarkan pada jenis usahanya tetapi juga berdasarkan jenis keanggotaanya. Model-model koperasi pun kemudian ada yang dikenal berdasarkan jenis keanggotaannya seperti koperasikoperasi fungsional diantaranya adalah koperasi pegawai, koperasi karyawan, koperasi angkatan, dan koperasi mahasiswa. Model koperasi-koperasi fungsional inilah yang lebih dikembangkan secara luas di Indonesia. Pada perkembangannya keragaman koperasi berdasarkan jenis usahanya pun memiliki variasi yang lebih progresif. Seperti konsep koperasi yang juga menawarkan produksi jasa lapangan kerja kepada para anggota atau dikenal sebagai koperasi pekerja muncul lalu dimasukkan sebagai jenis koperasi produksi. Untuk koperasi simpan pinjam ada yang memasukkannya ke dalam jenis koperasi jasa keuangan. Koperasi produksi sendiri bisa terkait pada persoalan pelayanan bisnis dalam proses produksi (supply) dan manajemen pemasaran produk anggotanya. Karena itu ada yang berpendapat, koperasi yang mengurusi sector pemasaran hasil-hasil produk anggota koperasi adalah termasuk koperasi di sector produksi. Penjenisan usaha koperasi pada awalnya untuk menekankan pendekatan terfokus pada satu jenis usaha (single purpose) koperasi. Pendekatan pada usaha sektoral diharapkan dapat menggerakkan pertumbuhan usaha koperasi pada masing-masing sektor. Namun pendekatan pembangunan koperasi yang juga menggunakan penjenisan atas kelompok anggota sehingga berkembanglah koperasikoperasi fungsional seperti telah diurai diatas, pendekatan tunggal usaha mulai tergeser dengan pendekatan beragam usaha (multipurpose). Hampir semua koperasi fungsional dalam prakteknya menjalankan beragam usaha yang kemudian secara istilah dikenal dengan nama Koperasi Serba Usaha (KSU).
109
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 102-115
a.
Koperasi Produsen
Koperasi produsen, adalah salah satu jenis Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perkoperasian nomor 25 Tahun 1992, yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi yang memiliki kesamaan aktivitas, kepentingan dan kebutuhan ekonomi di dalam proses produksi sesuatu barang atau produk. Tujuannya adalah memberikan keuntungan ataupun manfaat yang sebesar-besarnya bagi anggota dengan cara menekan biaya produksi serendah mungkin dan menjual produk dengan harga setinggi-tingginya. Kepentingan koperasi produsen adalah bagaimana memberikan nilai tambah kepada para anggota koperasi dengan jalan memanfaatkan produk-produk yang dihasilkan oleh anggota.
110
Koperasi produsen merupakan koperasi dengan jenis usaha tunggal. Yakni mengelola produk-produk yang dihasilkan koperasi. Pelayanan usaha yang dilakukan oleh koperasi produsen terletak pada proses bisnis dalam melayani kepentingan anggota di sektor produksi. Beberapa model pelayanan yang diberikan oleh koperasi misalnya dalam hal pengadaan bahan baku dan sarana produksi. Koperasi menyediakan bahan baku dalam jumlah yang cukup, murah, dan dengan kualitas tinggi. Hal ini bisa dilakukan, antara lain karena pembeliannya dalam jumlah besar secara bersama-sama melalui koperasi. Koperasi juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga kualitas bahan baku sehingga produksi bisa dijamin kualitas dan kuantitasnya secara baik. Selain berperan pada bisnis proses di sektor produksi, koperasi produsen juga dapat berperan dalam memasarkan produk anggota. Anggota secara bersama-sama melalui koperasi menjual produk yang dihasilkan anggota ke pasar. Dengan cara ini, koperasi diharapkan dapat menjual produk anggota ke pasar pada tingkat
harga yang lebih tinggi. Kepentingan fungsi fasilitasi sektor produksi yang diberikan koperasi produsen adalah untuk memberikan nilai tambah yang optimal bagi anggota dengan menerapkan prinsip efisiensi dan efektifitas dalam pemasaran, menjaga dan meningkatkan (up-grade) kualitas produksi anggota, membuka dan menjaga jalur distribusi atau pemasaran sehingga produk koperasi terjamin keberlangsungan usahanya secara jangka panjang.
Dalam pemahaman koperasi produsen semacam itu, hubungan kuat antara koperasi dan anggota menjadi kunci seberapa besar potensi yang dapat dikembangkan koperasi secara berkelanjutan. Pelayanan yang diberikan koperasi pada sektor produksi yang dihasilkan anggota, baik dalam bisnis proses produksi maupun bisnis pemasarannya, kemudian dirasakan kemanfaatannya secara langsung oleh anggota melalui peningkatan pendapatan dan benefit lainnya adalah inti dari kegiatan koperasi produsen. Dalam proses interaksi hubungan koperasi dan anggota inilah pendidikan berperan sebagai fasilitator dan katalisator di koperasi. Pendidikan menyatukan, menyelaraskan dan menyeimbangkan kebutuhankebutuhan bersama di koperasi, dan pendidikan pula yang merumuskan dan memutuskan langkah-langkah yang harus dilakukan koperasi dalam pelayanan usahanya.
b.
Koperasi Konsumen
Koperasi konsumen merupakan koperasi yang beranggotakan orang-orang yang melakukan kegiatan konsumsi (termasuk konsumsi oleh produsen). Barang dan jasa yang dikonsumsi anggota merupakan kebutuhan yang ketersediaan dari barang tersebut ada di pasar. Dengan demikian persoalannya adalah bagaimana mempertinggi daya beli, sehingga pendapatan riil anggota menjadi
PROMOSI EKONOMI ANGGOTA DALAM ORGANISASI KOPERASI KOPERASI SIMPAN PINJAM (Heira Hardiyanti)
meningkat. Fungsi atau tugas suatu koperasi konsumen dengan demikian berupaya meningkatkan daya beli anggotanya. Tujuannya adalah memberikan manfaat nyata yang sebesar-besarnya bagi anggota dengan cara mengadakan barang atau jasa yang harganya bersaing, berkualitas, dan mudah didapat.
Dalam kaitan itu, dimensi pelayanan koperasi konsumen diwujudkan bermula dari kedudukan anggota sebagai pengguna (user) dan cara anggota membeli barang konsumsi dari koperasinya. Bentuk pelayanan yang diberikan pada anggota dapat dilakukan dalam beberapa aspek seperti:
kemasan (misalnya kemasan dari pilihan banyak warna menjadi hanya satu warna). 3. Mudah didapat. Koperasi dapat meningkatkan pelayanannya dengan cara mendekatkan tempat pelayanan ke lokasi tempat mukim anggota. Sejauh layak secara ekonomi, koperasi dapat menerapkan sistem pemngantaran barang dengan kendaraan pelayanan keliling.
Dimensi pelayanan tersebut, menempatkan adanya karakteristik penting dari koperasi konsumen ialah tugas pokoknya untuk menyelenggarakan fungsi pengadaan atau fungsi pembelian dalam upaya menyediakan barang kebutuhan anggota dan masyarakat. Karakteristik ini sekaligus menjadi pembeda antara koperasi konsumen dengan koperasi pemasaran ataupun dengan koperasi produsen. koperasi pemasaran tugasnya adalah memasarkan barang atau jasa yang dihasilkan oleh anggota agar usaha anggota dapat berkembang menjadi lebih baik, dimana kedudukan anggota adalah sebagai pemasok barang atau jasa kepada koperasinya.
c.
Koperasi Jasa Keuangan
Koperasi Simpan Pinjam/Unit Usaha Simpan Pinjam Koperasi (KSP/USP) diyakini sebagai motor penggerak perkoperasian di berbagai daerah. Keberadaannya saat ini, khususnya bagi anggota dan masyarakat pengguna jasa KSP/USP Koperasi dirasakan dapat menolong dari himpitan keuangan. Sementara dari sisi KSP/USP Koperasi mampu memberikan kontribusi positif bagi penciptaan volume bisnis dan SHU Koperasi. Demikian pula dilihat dari sisi kontribusi secara makro ekonomi KSP/ USP Koperasi turut memberi andil dalam penciptaan alternatif sumber pendanaan usaha bagi anggota dan masyarakat kecil, baik di desa maupun di kota.
1. Harga bersaing. Hal ini bisa dilakukan karena koperasi dapat membeli barang dalam partai besar, sehingga biaya per unit barang bisa menjadi lebih rendah dan dapat memilih pemasok. Pembelian bersama (join buying) yang memiliki aspek efisiensi dalam mengurangi ongkos atau biaya angkut. 2. Kualitas. Anggota sebagai pasar pasti (captive market) maka posisi tawar koperasi menjadi lebih tinggi. Dampaknya pemasok barang yang berminat manjadi mitra pemasok Koperasi konsumen semakin banyak. Dalam kondisi demikian, koperasi dapat melakukan seleksi pemasok, kualitas dan harga barang yang ditawarkan secara cukup ketat. Bahkan, terbuka kemungkinan, koperasi memproduksi sendiri atas sejumlah barang yang diperlukan anggota atau menghimpun produk anggota. Hal seperti ini bisa dilakukan, Koperasi dapat menekan ongkos produksi dengan cara: meniadakan biaya promosi (pasarnya pasti yaitu anggota) dan menghemat biaya
111
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 102-115
Usaha simpan pinjam seiring perjalanan waktu telah mengalami pasang surut dalam membawa perekonomian Indonesia. Usaha simpan pinjam periode setelah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1995 tentang usaha simpan pinjam melalui koperasi berkembang dalam dua bentuk ialah Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan Usaha Simpan Pinjam (USP) Koperasi.
Bilamana digunakan beberapa indikator untuk menilai arah perkembangan KSP/USP Koperasi yaitu: jumlah lembaga, anggota, modal dan bagaimana gambaran kinerja KSP/ USP Koperasi. sisi KSP/USP Koperasi yang diharapkan berkembang sebagai Lembaga Keuangan kuasi bank yang melayani anggota dan calon anggota Koperasi. Berbagai bentuk pengaturan tersebut diantaranya mengenai : 1) Penilaian Kesehatan Koperasi 2) Sistem Pengendalian Internal Koperasi 3) Sistem Operasional Prosedur (SOP) 4) Sistem Operasional Manajemen (SOM) 5) Pengembangan Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) Dalam kepentingan untuk pengembangan koperasi simpan pinjam inilah partisipasi keanggotaan baik secara langsung dengan kontribusi permodalan dan pemanfaatan transaksi di koperasi. Kebutuhan ini menuntut tidak saja keterbukaan akses bagi kepemilikan koperasi, tetapi juga proses edukasi dan internalisasi kinerja koperasi dalam pengembangan bisnisnya. Orientasi ke anggota akan memperkuat pembangunan koperasi secara lebih berakar. Dengan latar belakang proses penjenisan koperasi seperti disebutkan di atas yang secara garis besar hanya menentukan Koperasi Serba Usaha (KSU) dan koperasi simpan pinjam sebagai koperasi tunggal usaha, maka diperlukan ketentuan yang lebih jelas mengenai kriteria sesuatu koperasi, apakah masuk jenis koperasi simpan pinjam, konsumen, produsen,
112
pemasaran dan jasa seperti yang dikehendaki oleh pasal 16 UU No. 25/1992. Pada umumnya kelemahan yang terjadi adalah koperasi tidak memiliki data base anggota yang dapat digunakan untuk ”menghitung besaran promosi anggota” yang telah diberikan oleh koperasi. Rentang waktu keanggotaan koperasi dan benefit (manfaat) yang diberikan koperasi tidak terdokumentasikan dengan baik sehingga perlu diperhatikan bahwa Inilah pentingnya penilaian keanggotaan atau survey keanggotaan Sudah saatnya koperasi memiliki data anggota yang lengkap dan terinci sehingga keberhasilan koperasi dalam meningkatkan perekonomian anggotanya dapat terukur dengan jelas. Jadi, melalui data base anggota yang dimiliki dapat dilihat sebelum dan setelah menjadi anggota, apakah terjadi peningkatan asset, peningkatan pendapatan ataukah peningkatan standar kehidupan yang tentu saja ditetapkan dengan ukuran-ukuran yang standar. Bentuk-bentuk promosi ekonomi anggota yang terukur bagi tiap jenis koperasi dapat ditetapkan seperti misalnya; bagi koperasi produsen dan koperasi pemasaran berapa asset anggota sebelum dan sesudah menjadi anggota koperasi dalam kurun waktu tertentu, apakah terjadi peningkatan omset, apakah terjadi penambahan sarana produksi, jumlah karyawan, area pemasaran, diversifikasi produk dan lain-lain. Untuk koperasi simpan pinjam dapat dilihat dari besaran simpanan anggota, investasi ataupun aset keluarga yang dimiliki baik bergerak maupun tidak bergerak. Bagi koperasi konsumen dapat dilihat dari berapa pengeluaran yang dapat disimpan sebagai tabungan (atau investasi) jika anggota membeli kebutuhan konsumsinya di koperasi sebagai selisih yang mereka dapatkan jika bertransaksi di luar koperasi, dan lain sebagainya. Survey keanggotaan ini dapat dilakukan oleh pengurus pada awal kepengurusan atau selama periodisasi kepengurusan sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu indikator keberhasilan pengurus dalam mengelola
PROMOSI EKONOMI ANGGOTA DALAM ORGANISASI KOPERASI KOPERASI SIMPAN PINJAM (Heira Hardiyanti)
koperasi selama periode tertentu. Sudahkah ada koperasi yang melakukan ini? sejauh yang penulis pernah kunjungi belum ada koperasi yang memiliki daftar anggota seperti itu. PENUTUP KESIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal antara lain: 1.
Di dalam organisasi koperasi secara sosio ekonomi mencerminkan adanya dua perusahaan (double enterprises) yang memiliki dua sifat (double nature) yang berbeda. Perusahaan yang dimaksud adalah perusahaan koperasi yang dimiliki secara kolektif perusahaan anggota atau rumah tangga milik masing-masing anggota secara individu. Perusahaan anggota menjadi anggota koperasi produsen (pemasaran dan pengadaan input) sedangkan rumah tangga konsumsi menjadi anggota pada koperasi konsumen.
2. Koperasi dibangun semata-mata untuk kesejahteraan anggotanya. Dalam hal ini tujuannya untuk mempromosikan ekonomi anggota melalui manfaatmanfaat yang diterima oleh anggota yang memanfaatkan pelayanan koperasi dan dapat dihitung dalam satuan rupiah. 3.
Koperasi dalam kaitannya dengan dampak ekonomi yang ditimbulkan terdiri atas dua yaitu; manfaat ekonomi langsung dan manfaat ekonomi tidak langsung. Manfaat-manfaat inilah yang kadang tidak disadari oleh anggota karena tidak terdokumentasikan dengan baik.
4. Unit pelayanan koperasi harus memiliki kaitan kepentingan ekonomi yang sama dengan anggotanya. Sehingga manfaat-manfaat tersebut dapat secara langsung dirasakan oleh anggota. Untuk itulah analisis kebutuhan anggota patut dilakukan sebagai dasar pembuat keputusan yang strategis bagi pengembangan ekonomi anggota
yang berdampak pada pengembangan organisasi dan perusahaan koperasi. 5. Peran koperasi untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas anggotanya melalui program pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan mereka guna menunjang perekonomian rumah tangga anggotanya sehingga tercapai promosi ekonomi anggota. 6. Kendala yang dihadapi koperasi pada umumnya teridir atas tiga bidang yaitu; di bidang kelembagaan, sumber daya manusia dan permodalan. Ketiga kendala tersebut dapat diselesaikan melalui program-program yang kreatif, inovatif dan tentu saja komunikatif antara koperasi dengan anggotanya. SARAN Saran dan rekomendasi yang dapat diberikan dalam promosi ekonomi anggota sebagai berikut: 1. Penataan koperasi yang dimulai dengan pembenahan dokumentasi keanggotaan, penyiapan data base profil anggota yang informatif dan program kerja yang jelas dalam mendukung peningkatan pengembangan kapasitas anggota, dan promosi usaha anggota koperasi. 2.
Perlu dilakukan identifikasi kebutuhan anggota yang diawali dengan menyusun form kebutuhan anggota sebagai informasi awal apa saja yang dibutuhkan oleh anggota dan dapat dipenuhi oleh koperasi sesaui dengan kapasitas yang dimilikinya. Dalam proses ini dapat digali pula informasi loyalitas anggota terhadap koperasi melalui seberapa besar kontribusi yang dapat diberikan oleh anggota dalam memenuhi kebutuhan koperasi dan kebutuhannya.
3. Peningkatan dan pengembangan kapasitas anggota dilakukan melalui program pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Hal
113
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 102-115
ini diawali dengan proses identifikasi kebutuhan pendidikan dan pelatihan, penyusunan kurikulum pendidikan dan pelatihan, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan serta evaluasi program pendidikan dan pelatihan baik secara parsial (per kegiatan) maupun secara umum. 4. Peran anggota sebagai pemilik koperasi seharusnya lebih dioptimalkan dengan
114
melibatkan mereka dalam kegiatan pengawasan. Mengevaluasi kinerja pengurus merupakan kewajiban mereka sebagai fungsi pengendalian dalam manajemen. Hal ini berkaitan dengan membangun organisasi koperasi yang kuat, sehat dan mandiri (good cooperative government) melalui penilaian kinerja yang disebut dengan akuntabilitas koperasi.
PROMOSI EKONOMI ANGGOTA DALAM ORGANISASI KOPERASI KOPERASI SIMPAN PINJAM (Heira Hardiyanti)
Daftar Pustaka Ardiwidjaja, Andang K. (2008). Organisasi dan Tata Laksana Koperasi. Bandung: Balatkop Arifin, Ramudi (1997). Ekonomi Koperasi. Bandung Ikopin Book, Sven Ake. 1994. Nilai-Nilai Koperasi dalam Era Globalisasi, Terj. Djabarudin Djohan. Jakarta: KJAN Davis, Peter. (2010). Mengelola Keunggulan Koperasi.Terj. Djabaruddin Djohan. Jakarta: LSP2I
Ikopin, Tim (2001). Penjiwaan Koperasi. IKOPIN. Jatinangor International Labour Organization (ILO), (2009). Resilience of the Cooperative Business Model in Time of Crisis Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian Wojowasito, S dan WJS Poerwadarminta (1991) Kamus Lengkap Inggris – Indonesia, Indonesia- Inggris,. Hasta. Bandung
Hanel, Alfred. (1989). Organisasi Koperasi – Pokok-pokok Pikiran Mengenai Organisasi Koperasi dan Kebijakan Pengembangannya di Negara-negara Berkembang. Universitas Padjajaran. Bandung.
115
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 116-130
PENGEMBANGAN EKONOMI PRODUKTIF PEDESAAN MELALUI KOPERASI BERBASIS PLTMH DEVELOPING RURAL PRODUCTIVE ECONOMIC BASED ON COOPERATIVE MICROHIDRO ELECTRICAL POWER PLANT Victoria PAP Br. Simanungkalit Asdep Kelistrikan dan Aneka Usaha Kementerian Koperasi dan UKM Jl.HR Rasuna Said Kav.3-4 Jakarta Selatan E-mail:
[email protected] Diterima 9 September 2014; diedit 25 November 2014; disetujui 1 Desember 2014 Abstrak Bantuan Sosial (Bansos) Kementerian Koperasi dan UKM yang salah satunya untuk memfasilitasi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) melalui Koperasi merupakan sarana efektif menggerakkan ekonomi produktif masyarakat di wilayah pedesaan terisolir dan tertinggal. Di samping itu program ini juga menyediakan penerangan listrik bagi rumah tangga penduduk serta fasilitas sosial lainnya (masjid, mushola, gereja, sekolah, puskesmas, kantor desa, kantor koperasi) yang telah sangat lama diimpikan sejak negeri ini merdeka 69 tahun yang lalu. Bantuan PLTMH kepada Koperasi tahun 2013 pada 10 lokasi telah mendorong bertumbuhnya industri rumah tangga pada berbagai bidang antara lain: pengolahan produkproduk pertanian, kerajinan anyaman, pertukangan, perdagangan umum, dll yang kesemuanya memberikan dampak dengan tren positif dan signifikan bagi Koperasi dan anggota/masyarakat baik secara sosial (capacity building), ekonomi (nilai tambah/pendapatan dan kesempatan kerja) maupun lingkungan (green economy). Kegiatan ekonomi produktif ini menjadi embrio pusat-pusat pertumbuhan ekonomi wilayah pedesaan di masa yang akan datang. Dalam konteks demikian, upaya pemberdayaan melalui pendampingan teknologi dan kewirausahaan dari intansi pembina lintas sektor pada berbagai jenjang merupakan tuntutan yang seyogyanya mendapat perhatian serius demi berkembangnya bisnis koperasi yang berdaya saing dalam rangka menyejahterakan masyarakat pedesaan secara berkesinambungan. kata kunci: industri rumah tangga, ekonomi produktif, dampak, pemberdayaan. Abstract “Bansos APBN” from Ministry of Cooperatives and SMEs through facilitating of Microhydro Power Plant Development (PLTMH) to cooperatives institution at village level is an effective means to encourage the productive economic in isolated rural areas with marginal economy condition. It is also provides electricity for domestic electricity and other social facilities such as: mosque, church, and school, etc. Development of PLTMH in 2013 at 10 locations has encouraged the growth of household industries in various fields, among others: processing of agricultural products, handicraft, carpentry, trade, etc, and has provided a significant positive impact on the cooperatives development viewed from social, economic, and environmental aspects. These productive economic activities could become an embryo for the development of new economic growth centers in rural areas. In that context, empowerment through technology touching and entrepreneurship of Cooperatives officials from cross-sectoral institutions related should be taken seriously to accelerate the Cooperatives business development for realizing rural welfare. keywords: household industries, productive economic, impact, empowerment. 116
PENGEMBANGAN EKONOMI PRODUKTIF PEDESAAN MELALUI KOPERASI BERBASIS PLTMH (Victoria PAP Br. Simanungkalit)
1. Pendahuluan Kehidupan ditandai oleh hadirnya energi, sehingga tanpa energi manusia dan makhluk lainnya tak akan bisa hidup. Dalam konteks kemanusiaan, memperoleh energi merupakan salah satu hak azasi manusia yang hakiki agar semua insan dapat mengekspresikan aspirasinya yang paling humanistik dalam menjalani kehidupannya. Oleh karena itu, penyediaan energi untuk bisa hidup melalui perolehan pendapatan dan penerangan listrik rumah tangga agar menjadi lebih beradab termasuk di wilayah-wilayah pedesaan terpencil, perbatasan yang ekonominya tertinggal dan marjinal, merupakan hak azasi yang seyogyanya dipenuhi pemerintah. Namun setelah 69 tahun Indonesia merdeka, tingkat elektrifikasi secara nasional baru mencapai 80 persen. Artinya, sebanyak 20 persen penduduk belum mengecap penerangan listrik. Persoalannya, PT. PLN (Persero) sebagai institusi BUMN yang menangani penyediaan penerangan listrik di Nusantara ini belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan terutama di wilayah-wilayah desa pedalaman. Fenomena tersebut dapat dipahami, karena PT.PLN (Persero) dalam proses produksinya untuk menghasilkan listrik amat bergantung kepada sumber energi fosil (BBM atau solar) yang ketersediaanya semakin langka yang harganya relatif mahal menyebabkan pelayanan ke lokasi terisolir secara bisnis tidak memenuhi nilai ke-ekonomiannya. Memang, pemanfaatan energi nasional masih terus terbuai dengan mengandalkan sumber energi fosil (non-renewable resources), yaitu 50 persen berupa BBM dan 45 persen batu bara dan gas. Sementara energi baru dan terbarukan/EBT (renewable resources) berupa: energi yang bersumber dari air, angin, bioenergi, dan matahari yang jumlahnya melimpah hanya diperlakukan sebagai alternatif dengan porsi 5 pesen. Artinya ada paradoks, dengan kurang memanfaatkan sumberdaya alam yang melimpah tak habis-habisnya. Dikhawatirkan ketergantungan pembangunan yang terus bertumpu kepada sumber energi fosil akan
mengakibatkan ketahanan energi nasional menuju kerapuhan. Sebenarnya untuk bisa keluar dari kemiskinan penduduk dan ketidak-merataan pembangunan khususnya di wilayah pedesaan, sangatlah efektif menggunakan sumber energi EBT sebagai trigger guna menggerakkan ekonomi desa yang memiliki limpahan sumber daya air. Ini sejalan dengan kebijakan energi nasional 2030 yang telah dicanangkan Kementerian ESDM pada tahun 2011 yang lalu. Dari sisi penawaran (supply side) arah kebijakan diversifikasi energi nasional adalah meningkatkan pangsa energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional memenuhi EBT 25 persen, sementara untuk batubara 32 persen, gas bumi 23 persen dan minyak bumi 20 persen pada 2025. Pembangkit Tenaga Listrik Mikro Hidro (PLTMH) merupakan salah satu teknologi yang menggunakan EBT berbasis energi air. Salah satu keunggulan EBT ini adalah ramah lingkungan (pro environment) dan mampu menggerakkan dan menumbuhkan industri-industri kecil/rumah tangga beserta wirausaha-wirausaha baru. Ini akan membuka peluang kesempatan kerja (pro job) yang akan berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan (pro poor) dan peningkatan ekonomi daerah (pro growth). Bahkan sekaligus menjawab isu lingkungan global yang menuntut diturunkannya emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan mendorong permintaan produk energi yang ramah lingkungan. Dalam konteks tersebut energi baru terbarukan (EBTK) merupakan alternatif sumber energi sebagai substitusi terhadap energi berbasis sumberdaya fosil (BBM) sejalan dengan upaya penyelamatan lingkungan global. Apalagi Indonesia terikat dengan kesepakatan global melalui komitmen Indonesia pada G-20 Pittsburgh dan COP15 tentang isu lingkungan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen (internal) dan 41 persen (upaya sendiri dan dengan dukungan internasional) pada tahun 2020. Dalam kerangka tersebut, Kementerian Koperasi dan UKM melalui Deputi Produksi 117
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 116-130
telah dan sedang melaksanakan berbagai program peningkatan peran koperasi di bidang energi untuk membangun kesejahteraan rakyat. Secara filosofis PLTMH yang difasilitasi oleh Kementerian Koperasi dan UKM melalui koperasi adalah “menggerakkan ekonomi produktif rakyat” berbasis sumber daya alam pedesaan sebagai tujuan/misi utama, dan tujuan tersebut sekaligus mengaliri listrik rumah tangga guna menghantarkan kehidupan masyarakat desa ke tingkat yang lebih layak dan lebih beradab. Dengan demikian PLTMH tidak lagi dipandang hanya sebatas sumber energi untuk melistriki rumah tangga, akan tetapi terutama sebagai penggerak sumber ekonomi produktif yang menghasilkan nilai tambah dan pendapatan menuju kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat di pedesaan. 2. Peran Strategis Kementerian Koperasi Dan UKM Dalam Pembangunan PLTMH Undang-Undang no.3/2007 tentang Energi mewajibkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk meningkatkan penyediaan dan pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan. Selain itu UU no.30/2009 tentang Ketenagalistrikan mengamanatkan bahwa selain memberikan kesempatan melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik kepada BUMN dan BUMD, juga kesempatan tersebut diberikan kepada koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan swadaya masyarakat. Bahkan kelebihan tenaga listrik dari PLTMH yang dihasilkan oleh Koperasi dan UMKM dapat dijual dijual ke PLN yang diatur melalui PerMen ESDM no.04/2012 tentang Harga Pembelian Tenaga Listrik oleh PT.PLN (Persero) dari PLTMH yang menggunakan energi terbarukan skala kecil dan menengah. Kementerian Koperasi dan UKM mendukung dalam merealisasikan kebijakan transformasi dari pengelolaan energi yang bertumpu kepada energi fosil (non renewable resources) ke maksimalisasi pemanfaatan EBT tersebut. Salah satu langkah terobosan untuk
118
meningkatkan harkat kehidupan penduduk di wilayah ini adalah dengan membangun PLTMH sebagai sumber energi penggerak mengingat sumber daya air cukup tersedia. Pertimbangan lainnya adalah bahwa teknologi pembangkitnya sudah ada yang diproduksi di dalam negeri serta mudah dioperasikan oleh masyarakat. Atas dasar itulah Kementerian Koperasi dan UKM memfasilitasi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) melalui koperasi dengan tujuan mendorong pengembangan usaha koperasi di bidang EBTK untuk menggerakkan kegiatan industri dan perekonomian pedesaan. Pemanfaatan energi PLTMH tersebut merupakan langkah awal untuk mendorong usaha-usaha koperasi dan masyarakat yang berwawasan lingkungan (green bussiness). Asisten Deputi Urusan Ketenagalistrikan dan Aneka Usaha di bawah Deputi Produksi Kementerian Koperasi dan UKM melaksanakan program ini dengan berorientasi menggerakkan ekonomi produktif pedesaan berbasis kebutuhan rakyat, bersinergi dengan unit kerja serta lintas kementerian terkait dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di daerah melalui pendekatan partisipatif dari seluruh stakeholder. Untuk itu, nilai-nilai organisasi dijadikan sebagai dasar pola pikir dan gerak langkah unit kerja dalam menjalankan misi dan pencapaian tujuan, yaitu: berfikir visioner ke depan berwawasan jangka panjang, menumbuhkan kegiatan inovatif, memberdayakan kelompok sasaran dan staf pembina, membangun kerjasama dan jaringan kerja serta meningkatkan nilai tambah (value added) bagi kelompok sasaran. Program Kementerian Koperasi dan UKM dalam memfasilitasi koperasi untuk membangun dan mengelola PLTMH didasarkan pada pertimbangan: (a) Wilayah dimana koperasi berada memiliki sumber daya air yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kebijakan pengembangan energi baru terbarukan (PLTMH). Indonesia memiliki potensi tenaga air yang sangat besar, yakni sekitar 75.760 MW yang tersebar
PENGEMBANGAN EKONOMI PRODUKTIF PEDESAAN MELALUI KOPERASI BERBASIS PLTMH (Victoria PAP Br. Simanungkalit)
di 1.315 lokasi. Sampai saat ini sumber air yang sudah dimanfaatkan dalam bentuk PLTA, PLTMH baru sekitar 5.705 MW atau 7,54% (Sumber: Kementerian ESDM Tahun 2012). (b) Pengembangan PLTMH dapat menjangkau daerah-daerah terpencil yang diperkirakan 10-20 tahun ke depan belum dapat dijangkau oleh PT.PLN (Persero), biaya pemeliharaan lebih rendah, bermanfaat untuk pengembangan usaha ekonomi produktif, mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, penyediaan lapangan kerja baru dan meningkatkan pendapatan masyarakat. (c) Teknologi pemanfaatan energi PLTMH dapat dikuasai masyarakat pedesaan dan teknologinya sudah diproduksi oleh industri dalam negeri. 2.1. Landasan Bantuan
Pemikiran
Pemberian
Indonesia mempunyai lebih dari 80.000 desa dimana sebagian dari desa tersebut tertinggal dan miskin, termasuk desa transmigrasi, desa pesisir, desa pulau kecil dan desa daerah perbatasan yang ekonominya stagnant karena tidak memiliki akses terhadap energi yang menggerakkan kegiatan industri rumah tangga dan ekonomi pedesaan. PT.PLN (Persero) sebagai perusahaan bisnis enggan masuk ke daerah-daerah tersebut karena dianggap tidak ekonomis, sekalipun
potensi sumberdaya energi terbarukan seperti air, angin, matahari cukup tersedia dalam jumlah melimpah. Sumber-sumber energi terbarukan di pedesaan diyakini bisa dikelola untuk mendorong berbagai kegiatan ekonomi produktif pada skala koperasi dan usaha kecil menengah dan rumah tangga untuk menghasilkan produk bernilai tambah tinggi dalam rangka peningkatan pendapatan dan kesejahteraan keluarga masyarakat pedesaan. Pendekatan ini akan mampu menjawab isu klasik pengurangan ketimpangan ekonomi perkotaan dan pedesaan yang selama ini tak kunjung tuntas terpecahkan. Dalam pelaksanaan pengembangan usaha/ekonomi produktif berbasis PLTMH, partisipasi semua stakeholders (Kementerian ESDM, dinas provinsi dan kabupaten/kota) dan koordinasi lintas sektor yang bersifat sinergis menjadi prasyarat keberhasilan. Untuk itu mutlak perlu adanya perubahan paradigma lama yang bercirikan dari atas ke bawah (topdown), sentralistik dan sektoral sentries yang berorientasi kepada pencapaian output proyek jangka pendek menuju paradigma baru yang bersifat dari bawah ke atas (bottom-up), bekerja dengan melibatkan partisipasi masyarakat serta jejaring (networking) yang sinergis dan berorientasi kepada pencapaian output program yang bersifat jangka menengahpanjang. Secara umum kerangka logis bantuan program Asdep Kelistrikan dan Aneka Usaha disajikan pada gambar 1.
119
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 116-130
Gambar 1.
Kerangka Logis Pengembangan Ekonomi Koperasi dan UKM Berbasis PLTMH
Sumber: Laporan Asdep Urusan Ketenagalistrikan dan Aneka Usaha, 2014. Dari gambar 1 terlihat bahwa fasilitasi teknologi produksi melalui pembangunan PLTMH terutama untuk menggerakkan ekonomi pedesaan melalui penyediaan energi yang diperlukan dalam proses pengolahan berbagai industri rumah tangga, disamping menyediakan listrik bagi rumah tangga. Kegiatan ekonomi produktif tersebut akan menghasilkan pendapatan untuk menyejahterakan penduduk sekaligus meningkatkan kemampuan koperasi untuk memelihara secara mandiri aset PLTMH koperasi secara berkelanjutan guna mendorong usaha/industri yang memanfaatkan energi PLTMH tersebut. Melalui sentuhan teknologi produksi tersebut diharapkan perekonomian desa-desa mampu berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi wilayah (economic growth centers). Harus diakui, fasilitasi yang diberikan kepada koperasi sifatnya hanyalah stimulan, yaitu sebagai faktor pengungkit pengembangan ekonomi pedesaan. Oleh karena itu dibutuhkan sinergitas kegiatan dengan pemangku
120
kepentingan dari sektor atau institusi terkait lainnya agar pembinaan usaha koperasi dapat dilakukan secara utuh, komprehensif agar koperasi mampu berkembang secara berkelanjutan. Pada gilirannya fasilitasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan daya saing serta mendorong pengembangan usaha koperasi dan anggotanya di kancah global. Pengembangan usaha koperasi dan anggota koperasi tentu akan mendorong peningkatan penyerapan kerja, peningkatan pendapatan koperasi dan anggotanya serta masyarakat lainnya. Melalui efek multiplier ke depan dan ke belakang (forward and backward linkages) baik secara langsung maupun tak langsung akan menumbuhkan usaha/bisnis baru lainnya baik di hulu maupun di hilirnya seperti guliran bola salju (snow ball). Dengan perkataan lain, secara keseluruhan proses kegiatan ekonomi koperasi berbasis PLTMH tersebut akan mampu menggerakkan sektor-sektor ekonomi pedesaan ke segala arah sekaligus memberikan dampak positif bagi terciptanya lapangan
PENGEMBANGAN EKONOMI PRODUKTIF PEDESAAN MELALUI KOPERASI BERBASIS PLTMH (Victoria PAP Br. Simanungkalit)
kerja baru, pendapatan, yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan (sustainable development process). 2.2 Perencanaan Kegiatan Pengembangan Ekonomi Koperasi Berbasis PLTMH Keberhasilan dan keberlanjutan suatu pembangunan PLTMH sangat ditentukan oleh perencanaan yang baik. Tidak sedikit investasi pemerintah di berbagai sektor yang telah dibangun dan setelah diserahkan kepada masyarakat tidak mampu beroperasi secara berkesinambungan. Untuk itu studi kelayakan untuk pembangunan mikrohidro hendaknya tidak hanya memperhatikan aspek teknis saja, akan tetapi juga aspek non teknis seperti sosial dan ekonomi. Keberadaan ekonomi dan budaya masyarakat setempat sangat menentukan dalam keberhasilan pembangunan dan keberlanjutan mikrohidro. Perencanaan atau penyusunan rancangan kegiatan koperasi merupakan aspek kritikal yang sangat menentukan tingkat keberhasilan atau kegagalan pemberian bantuan serta keberlanjutan usaha yang akan dibangun dan dikembangkan. Hal yang perlu diperhatikan dalam fase perencanaan, antara lain: (a) Rancangan seyogyanya bersifat (i) konprehensif dan holistik sesuai kebutuhan target group dilapangan, (ii) terintegrasi lintas program sektor/ subsektor/Kementerian. Artinya paket bantuan yang akan diberikan haruslah sedemikian rupa sehingga memungkinkan usaha untuk berkembang secara mandiri dan berkelanjutan yang didukung oleh sektor-sektor terkait mulai dari tingkat pusat, provinsi hingga kabupaten. (b) Bantuan untuk usaha diberikan kepada (i) Koperasi yang secara lokasional memiliki potensi sumber daya alam atau buatan yang memadai untuk mendukung usaha yang akan dikembangkan; (ii) secara kelembagaan koperasi yang bersangkutan layak dan potensial untuk
berkembang, dengan berkemandirian secara berkelanjutan. Untuk itu koperasi penerima bantuan harus memenuhi kriteria standar yang berkaitan dengan SDM dengan kewirausahaan memadai (diuji dari business plan-nya), pengurus koperasi memiliki visi bisnis dengan rasa tanggungjawab serta komitmen yang tinggi. (c) Mendapatkan dukungan penuh dari dinas koperasi kabupaten dan propinsi serta pimpinan daerah berupa cost sharing atau lainnya sebagai indikator dukungan bagi pengembangan usaha koperasi dan usaha kecil menengah di wilayahnya. (d) Ada monitoring dan evaluasi sekaligus pengendalian terhadap pengembangan usaha koperasi yang memperoleh bantuan sekurang-kurangnya pada tahap awal (1-3 tahun), melakukan diagnosis dan terapi pengembangannya menjadi bisnis yang sehat untuk berkembang. Dengan sistem perencanaan tersebut diharapkan akan menghasilkan perencanaan yang lebih akurat dan berkualitas sekaligus realisasi pelaksanaan pemberian bantuan dapat dilaksanakan lebih dini di tahun anggaran yang bersangkutan. 2.3. Penetapan Bantuan
Koperasi
Penerima
Prasyarat yang tidak dapat ditawartawar adalah kelayakan potensi sumberdaya alam daerah dan kelayakan calon koperasi penerima bantuan yang dinilai berdasarkan business plan yang dipresentasikan oleh pengurus koperasi yang bersangkutan, direkomendasikan SKPD yang membidangi pembinaan koperasi kabupaten dan provinsi serta dukungan Bupati Kepala Daerah. Ketiga butir tersebut menjadi kunci keberhasilan bantuan program. Penetapan calon koperasi dan kabupaten penerima bantuan dari keAsdepan Ketenagalistrikan dan Aneka Usaha dipengaruhi oleh seberapa kuat dukungan dari pemda khususnya Bupati dalam bentuk 121
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 116-130
kebijakan untuk pengembangan wilayah di lokasi penerima bantuan, penyediaan dana pendampingan bantuan peralatan/mesin pengolahan untuk kegiatan ekonomi produktif, sarana infrastruktur seperti lahan dan jalan serta perizinan yang dibutuhkan. Keputusan penetapan koperasi yang telah memenuhi syarat administratif mengacu kepada PerMenKop dan UKM no:02/PER/M. KUKM/II/2011 dan Perdep no: 01/Per/Dep.2/ III/2011), sesuai usulan dan rekomendasi SKPD kabupaten dan didukung oleh SKPD propinsi akan ditandatangani Deputi atas nama Menteri Koperasi dan UKM. Secara umum penetapan koperasi penerima bantuan program dapat dilihat pada gambar 2. Gambar 2. Proses Penetapan Penerima Bantuan
Koperasi
Gambar 3. Mekanisme Penyampaian Dana Bantuan ke Koperasi
SKPD KABUPATEN Pengajuan
Seleksi, veri kasi, dan evaluasi serta menilai kelayakan usulan
Rekomendasi -
Bimbingan Pengawasan Pembinaan Monev
Tembusan
Tembusan
KOPERASI MENYUSUN PROPOSAL DISERTAI DENGAN : DETAIL DESIGN/FEASIBILITY STUDY BUSSINES PLAN BADAN HUKUM AD/ART NPWP KTP PENGURUS/PENGAWAS YANG BERLAKU
Transfer Dana
Tembusan
SKPD PROPINSI Tembusan
Evaluasi kelayakan dan Persyaratan Administrasi
Tembusan
Dukungan
Sumber: Laporan Asdep Urusan Ketenagalistrikan dan Aneka Usaha, 2014.
2.5. Konsep Pengembangan
Sumber: Laporan Asdep Urusan Ketenaga listrikan dan Aneka Usaha, 2014. Bappenas pada akhir tahun 2012 telah menetapkan pengembangan PLTMH melalui koperasi sebagai salah satu program nasional/ new initiatives dari Kementerian Koperasi dan UKM dalam rangka penanggulangan kemiskinan di daerah terpencil, tertinggal dan miskin. 2.4. Penyampaian Dana Bantuan Penyampaian dana bantuan kepada koperasi seperti disajikan pada gambar 3. Pada prinsipnya dana dari Kementerian ditransfer langsung ke rekening koperasi dan pengelolaannya diawasi oleh SKPD provinsi dan kabupaten. 122
Dengan keterbatasan energi di pedesaan, banyak potensi sumberdaya alam desa hanya dijual dalam bentuk komoditi tanpa diproses sehingga harganya rendah karena tidak dapat diolah menjadi produk akhir (final product) dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Untuk mengatasinya, PLTMH berperan sebagai sarana untuk menggerakkan proses industri pengolahan sekaligus penyediaan listrik, untuk mendorong tumbuhnya produk-produk olahan bernilai tambah lebih tinggi serta mendorong wirausahawan desa. Paradigma pembangunan PLTMH pada Kementerian Koperasi dan UKM tidak lagi semata untuk memberikan energi listrik rumah tangga yang bersifat konsumtif, akan tetapi lebih kepada menggerakkan ekonomi produktif yang kompetitif untuk meningkatkan pendapatan yang bermuara kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan begitu ada jaminan bagi pemeliharaan aset PLTMH dengan meningkatnya kapasitas ekonomi koperasi dan masyarakat (capacity to pay) sehingga dapat terus berkembang secara mandiri dan berkelanjutan.
PENGEMBANGAN EKONOMI PRODUKTIF PEDESAAN MELALUI KOPERASI BERBASIS PLTMH (Victoria PAP Br. Simanungkalit)
Ini merupakan langkah strategis untuk melepaskan masyarakat pedesaan dari perangkap lingkaran kemiskinannya (the low level equilibrium trap). Dalam program ini Kementerian Koperasi dan UKM sesuai amanat konstitusi menjadi lembaga/institusi penggeraknya yang mengorganisasikan potensi SDM dan sumberdaya alam di wilayah pedesaan. Dengan demikian peranan lembaga Koperasi berikut kualitas SDM pengurusnya sangatlah menentukan keberhasilan pencapaian tujuan. Dalam konteks tersebut pemberdayaan koperasi untuk meningkatkan capacity building pengurus yang berwawasan bisnis profesional maupun akses kepada modal, teknologi, pasar dan informasi sangat diperlukan untuk bisa berkembang dan menjamin keberlanjutan usaha dalam persaingan bisnis global yang semakin ketat terutama menghadapi serbuan arus Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai akhir Tahun 2015 mendatang. Konsep pengembangan ekonomi koperasi berbasis PLTMH disajikan pada Gambar 4. Gambar 4. Konsep Pengembangan Ekonomi Koperasi Berbasis PLTMH
Sumber: Laporan Asdep Urusan Ketenagalistrikan dan Aneka Usaha, 2014. Sudah saatnya pemerintah menetapkan kebijakan skim “insentif subsidi” kepada koperasi berbasis EBTK/PLTMH seperti halnya subsidi kepada PT. PLN (Persero) yang sudah puluhan tahun. Pendekatan ini akan mengakselerasi gerakan ekonomi produktif secara lebih cepat dan meluas ke wilayah-
wilayah pedesaan terisolir yang ekonominya marjinal dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Hanya dengan kebijakan pemihakan demikian bisa mendorong koperasi yang mengelola EBT mampu berkembang secara revolusioner dan berkelanjutan sekaligus membantu Pemerintah untuk menjawab isu kemiskinan dan ketimpangan pembangunan perkotaan dan pedesaan. 3. Permasalahan Realitas di Lapangan Koperasi menghadapi berbagai permasalahan di lapangan, antara lain: Pertama, jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) pengurus koperasi berbasis PLTMH dalam menjalankan dan mengembangkan usaha bisnisnya belum seprofesional yang diharapkan. Demikian pula para petugas pembina dari dinas atau pemda masih perlu perkuatan visi bisnis yang kompetitif. Kemampuan mengorganisasikan serta memobilisasikan potensi sumber daya yang dimiliki relatif masih perlu ditingkatkan, termasuk dalam membangun jejaring bisnis, serta mengantisipasi signal pasar domestik dan internasional. Banyak pelaku bisnis menjual ke pasar “apa yang diproduksikannya”, bukannya “memproduksi apa yang diinginkan pasar” untuk dijual. Kedua, besaran usaha koperasi pada umumnya belum memenuhi skala ekonomi (economies of scale) sehingga kurang memungkinkan untuk bisa berkembang cepat. Dukungan konkrit kepada koperasi dan usaha kecil menengah terhadap akses modal ke LPDB yang berada di bawah pengelolaan Kementerian mutlak diperlukan untuk reinvestasi guna memperbesar peluang keberhasilan usaha koperasi/usaha kecil menengah dalam jangka menengah-panjang. Demikian juga kapasitas PLTMH bantuan masih sangat terbatas jangkauannya kepada masyarakat. Ketiga, sistem pemberdayaan koperasi/usaha kecil menengah belum optimal terutama untuk memecahkan persoalanpersoalan konkrit dilapangan dalam rangka pengembangan usaha bisnisnya. Keempat, dukungan infrastruktur jalan, transportasi,
123
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 116-130
serta komunikasi masih sangat rendah, bahkan di sebagian besar lokasi belum ada. Kelima, koordinasi dan sinergitas di dalam dan antar sektor terkait belum seperti harapan sehingga mutlak perlu terus dikembangkan. 4. Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan Dampak Bantuan PLTMH
Usaha Rakyat 0, jangka waktu ketentuan bank Lampung, yaitu ari Kementerian Rp 100 juta, dan dari Bank Jabar ampel lainnya di ma KUR sebesar 2 tahun dengan angkan 1 UKM membiayai usaha KM di Padang UR sebesar Rp KUR dari BNI, kondisi lancar.
mbiayaan 1 unit kelapa sebagai barkan sebagai
warna kuning 15 cm, kadar air impurity < 5 %. kelapa untuk ri serat sabut
ku sabut kelapa: ari. 1 Ha (untuk penjemuran,
Secara umum pelaksanaan pembangunan sarana PLTMH dari kementerian cukup lancar sesuai jadwal, kecuali di beberapa lokasi yang mengalami keterlambatan karena masalah administrasi atau gangguan iklim (hujan terus menerus) yang menghambat pembangunan fisiknya. Sebaran lokasi pelaksanaan i. Ketrampilan minimal pembangunan PLTMH serta untuk koperasi mengola usaha operator mesin, pengelola pada 10 lokasi dapat dilihat seperti tenaga pembukuan, dan buruh untuk pada Gambar 5. mengumpulkan hasil, mengayak, menjemur, mengepress dan Gambar memasukkan 5. Lokasi Bantuan PLTMH 2013 dalam truk container. j. Memiliki kontrak dengan eksportir atau buyer. k. Memiliki modal kerja minimal Rp 150 juta untuk menalangi pembayaran bahan baku setiap hari, membayar buruh untuk 1 bulan, dan membayar biaya operasional perusahaan misalnya makan buruh, membeli solar, dan membiayai kerusakan mesin, Memiliki gudang, tempat l. penjemuran. m. Memiliki perijinan usaha : Surat keterangan domisili, ijin HO, NPWP, SIUP, Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Sumber: Diolahgiling dari Laporan Asdep Urusan n. Mesin penguraai, genset, Ketenagalistrikan dan Aneka Usaha, mesin press, mesin ayakan, gerobak 2014. kerja, peralatan kerja. o. Instalasi dan ;pelatihan p. Biaya pengiriman Untuk tahun 2013 sebaran bantuan pada 10 lokasi di 8 provinsi, yaitu 1.Sumut (2 2. Contoh Skema Pembiayaan11 lokasi); 2. NAD; 3. Sumbar; 4. NTB; 5. NTT a. Estinasi Biaya Investasi (2 lokasi); 6.Kalbar; 7.Sulbar; dan 8.Sulsel. Berikut ini disajikan estimasi biaya Adapun pelaksanaan danmembangun dampaknya 1disajikan investasi untuk unit sebagai berikut: pabrik pengolahan serat sabut kelapa
LN atau genset b.
aik (bisa masuk
124 atau ke gudang
ja
22 s/d 25
dengan kapasitas per hari 2 ton. Estimasi Hasil Usaha Serat Sabut Kelapa Berikut ini disajikan estimasi hasil usaha pengolahan serat sabut kelapa. Estimasi hasil penghitungan harga jual, Harga Pokok Penjualan dan margin keuntungan per kg dan setiap
4.1. PLTMH Sabana (KSU Puncak Ngengas), Desa Tepal, Kab Sumbawa, NTB
Pembangunan PLTMH Sabana menghasilkan listrik sebesar 40 KW, dan telah melistriki 81 Rumah Tangga, 3 sekolah, 1 masjid dan 1 mushola. Ini berdampak kepada meningkatnya peradaban masyarakat desa dan mudahnya akses informasi untuk kemajuan. Rapat anggota koperasi menetapkan iuran listrik per rumah tangga berkisar Rp20.000Rp30.000. Tabel 2 Estimasi Biaya Investasi Usaha Pengolahan Serat Sabu Gambar 6. Rumah Turbin dan Produk Kopi
Sumber: Hasil Kunjungan Lapang 2013 Tersedianya energi listrik PLTMH Tabel 3 meningkatkan Estimasi Hasilnilai Usaha Pengolahan berdampak tambah secaraSerat Sabut Kelapa signifikan. Harga kopi yang dalam bentuk basah Rp21.000/kg, setelah diolah hingga bentuk kemasan menjadi: Kopi Arabika Specialty Rp40.000/250 gram; Kopi Jahe Rp35.000/250 gram; Kopi Arabika Lokal Rp27.500/100 gram; Kopi Robusta Rp20.000/200 gram; Kopi Luwak Rp105.000/200 gram. Mengingat kopi dari Desa Tepal ini merupakan kopi organik dan diolah lebih lanjut dengan menggunakan EBT, seharusnya perlu upaya branding produk Kopi Organik Tepal yang ramah lingkungan yang menyasar pasar premium dengan harga premium. Tenaga kerja yang terserap juga meningkat mencapai 20 orang dengan upah sebesar Rp1,52juta/bulan. Produk kopi yang sudah dalam kemasan, mendorong sistem pendistribusian menjadi lebih mudah dan murah. Pemasaran
PENGEMBANGAN EKONOMI PRODUKTIF PEDESAAN MELALUI KOPERASI BERBASIS PLTMH (Victoria PAP Br. Simanungkalit)
kopi mencapai Sumbawa Besar, Bima, Dompu, Mataram, Denpasar dan Surabaya.
4.4. PLTMH Liki, Kabupaten Solok Selatan, Provinsi Sumatera Barat
Selain itu, dengan adanya PLTMH ini, telah muncul kegiatan ekonomi lainnya seperti bengkel las sebanyak 2 unit, bengkel motor sebanyak 2 unit dan usaha kayu profil sebanyak 4 unit yang semuanya memanfaatkan energi listrik PLTMH Sabana.
Pembangunan masih dalam tahap penyelesaian. Total listrik terbangkit sebesar 51 KW yang rencananya akan Melistriki Sebanyak 180 Rumah, Masjid 1 Unit, Mushola 2 Unit, Puskesmas 1 Unit, Sd 1 Unit, Kantor Desa 1 Unit, Kantor Koperasi 1 unit dengan masing-masing daya terpasang 1 A (200 watt).
4.2. PLTMH Gampoeng Pucuk, Kabupaten Pidie, Provinsi Nangroe Aceh Darusalam
Gambar 7. Rumah Turbin dan Pemasangan Distribusi Jaringan Listrik
PLTMH Gampoeng Pucuk dikelola oleh KSU Pakat Mandum dengan kapasitas 35 KW, dan saat ini sudah melistriki 114 rumah dengan daya masing-masing 0,5A atau 100 watt dengan tarif per bulan Rp10.000 sebagaimana yang telah disepakati bersama anggota koperasi. Adapun kegiatan ekonomi produktif baru dalam tahan persiapan. 4.3. PLTMH Betteng, Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan.
Sumber: Hasil Kunjungan Lapang, 2013
PLTMH Betteng yang dikelola oleh Koperasi Wai Tuo dengan daya terbangkit 40 kW, telah melistriki 115 rumah dengan rincian: 35 rumah terpasang dengan daya masingmasing 1 ampere (200 watt) dan tarif Rp15.000/ bulan; 75 rumah dengan daya masing-masing 2 ampere (400 watt) dan tarif Rp30.000/bulan; termasuk sarana umum seperti Masjid 2 unit, Puskesmas Pembantu 1 unit, Kantor Desa 1 unit dan SD 1 unit. Tenaga kerja langsung yang terserap sebanyak 2 orang sebagai operator dengan honor Rp. 200.000/orang/bln dan 1 orang tenaga administrasi dengan honor Rp. 150.000 per bulan.
4.5. PLTMH Peppana, Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat
PLTMH menggerakkan 2 unit mesin kopi untuk pengupas kulit basah dan pengupas kulit ari. Sebelumnya, kopi dari desa ini dijual dalam bentuk kopi basah ke Makasar memakai branding kopi Toraja dengan harga Rp10.000/ kg. Kini kopi dijual dalam bentuk kopi beras dengan branding kopi Betteng Enrekang seharga Rp40.000/kg dan dipasarkan ke Tana Toraja dan Makasar.
PLTMH Peppana dikelola oleh koperasi Indokakao dan saat ini masih dalam tahap penyelesaian. pemerintah Kabupaten Mamasa telah memberikan bantuan berupa mesin pengupas kulit rotan dan mesin penggiling beras yang saat ini sudah berada dilokasi. Daya terbangkit sebesar 30 KW akan melistriki 120 rumah dengan daya masing-masing rumah 1 Ampere (200 watt). 4.6. PLTMH Napajoring, Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara PLTMH Napajoring yang dikelola oleh KSU Mitra Keluarga. Pemda Kabupaten Tobasa memberikan workshop sebagai sarana pengembangan industri kayu yang dilengkapi dengan dua paket peralatan pertukangan. PLTMH telah melistriki 100 rumah-tangga, sarana ibadah/gereja 2 unit, Puskesmas pembantu 1 unit, Sekolah Dasar 125
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 116-130
2 unit dan kantor workshop 1 unit. Kegiatan pengembangan industri kayu baru akan mulai berjalan. 4.7. PLTMH Apui, Kabupaten Provinsi Nusa Tenggara Timur
Alor,
Pembangunan PLTMH Apui yang dikelola oleh KUD Beringin dengan kapasitas daya terbangkit sebesar 62 kw mampu melistriki 282 rumah dengan rincian: 132 rumah terpasang daya masing-masing 1 ampere (200 watt) dengan tarif Rp40.000/bulan; 150 rumah dengan daya 0,5 ampere (100 watt) dan tarif Rp20.000/bulan. Tenaga kerja langsung yang terserap adalah tenaga operator 2 orang dengan honor Rp250.000/orang/bln dan 1 tenaga administrasi dengan honor Rp150.000/ bulan. Sarana usaha produktif yang disediakan oleh Pemda Alor untuk memanfaatkan energi PLTMH adalah penggilingan kopi dengan kapasitas 100 kg/jam. 4.8. PLTMH Rondowoing, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi NTT PLTMH Rondowoing dikelola oleh KUD Borong Jaya. Listrik sudah didistribusikan kepada anggota masyarakat/koperasi sebanyak 137 rumah dan fasilitas umum berupa gereja 1 unit, SD 1 unit, dan puskesmas 1 unit. Setiap rumah terpasang daya 1 ampere (200 watt) dengan tarif sudah disepakati Rp35.000/ bln. Kegiatan usaha produktif yang akan dikelola oleh kopersi berupa pengolahan kopi menggunakan mesin pengupas kulit kopi yang saat ini sudah ada dilokasi.
126
Gambar 8. Rumah Turbin dan Ruang Sekolah Yang Dilistriki
4.9. PLTMH Bungus, Kab Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara PLTMH Bungus dikelola oleh KSU Marsiurupan dengan daya 10,14 kw dimanfaatkan untuk melistriki rumah-tangga. Kegiatan ekonomi produktif koperasi adalah mengembangkan kegiatan penyimpanan hasil tangkapan ikan Jurung dengan menggunakan freezer (0,7 kw). Selama ini ikan ini dijual oleh masyarakat satu kali dalam seminggu dalam kondisi sudah dimasak. Dengan adanya freezer, ikan dapat dijual dalam keadaan segar sampai di konsumen. Disamping itu, kegiatan usaha lainnya yang akan dikembangkan adalah kegiatan pertukangan kayu, dimana sudah tersedia peralatan pertukangan bentuk portable dengan menggunakan daya listrik sampai dengan 750 watt, seperti alat ketam, mesin bor kayu dan mesin gerinda.
PENGEMBANGAN EKONOMI PRODUKTIF PEDESAAN MELALUI KOPERASI BERBASIS PLTMH (Victoria PAP Br. Simanungkalit)
4.10. PLTMH Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat PLTMH Sintang dikelola oleh Koperasi Apang Semangai. Dengan kapasitas terbangkit sebesar 50 kw diharapkan dapat melistriki 305 KK di Desa Tampang Menua. Ketersediaan listrik memberikan dampak pada peningkatan produktivitas dan intensitas penyediaan informasi melalui internet serta peningkatan kegiatan pengembangan usaha ibu-ibu terutama anyaman dan produksi rumahan lainnya.
Secara keseluruhan kemajuan pembangunan PLTMH dan kapasitasnya, koperasi pengelola serta dampak pada masingmasing lokasi disajikan pada Tabel 1. Memang masih ada pembangunan PLTMH di lokasi tertentu yang belum selesai seratus persen seperti: PLTMH Liki (KSU Sinar Mas) Kab Solok Selatan, dan PLTMH Peppana (Kopersi Indobanua) Kabupaten Mamasa – Sul-Bar, sehingga belum bisa menggerakkan ekonomi produktif di wilayahnya. Diperkirakan dalam waktu dekat sudah akan selesai sesuai yang direncanakan.
Tabel 1. Koperasi Penerima, Kapasitas, Jenis Usaha Produktif Program Bantuan PLTMH,Tahun 2013
127
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 116-130
Sumber: Laporan Asdep Urusan Ketenagalistrikan dan Aneka Usaha, 2014.
5. Kesimpulan Dan Saran Program Bansos PLTMH Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2013 yang sudah terpasang telah menggerakkan berbagai kegiatan ekonomi produktif rumah tangga, antara lain: pengolahan makanan dan minuman, menggerakkan mesin penggilingan padi (huller), menggerakkan peralatan industri mebel (las, dll); menggerakkan usaha umum: usaha kios/toko, fotocopy. Kesemuanya memberikan dampak manfaat dengan tren positif kepada masyarakat dan koperasi pengelola, baik secara sosial, ekonomi, maupun 128
lingkungan, yang diindikasikan dengan meningkatnya capacity building, pendapatan, penyerapan tenaga kerja. Disamping itu energi dari PLTMH juga menghasilkan listrik untuk penerangan rumah tangga, sekolah, mushola, masjid, gereja, puskesmas, kantor desa, kantor koperasi, dll. Guliran dampak tersebut cenderung terus bertumbuh melalui baik ke hulu maupun ke hilir. Adapun tantangan ke depan berkaitan dengan upaya peningkatan profesionalisme koperasi (social capital) dalam mengelola dan mengembangkan usaha bisnisnya yang berdaya
PENGEMBANGAN EKONOMI PRODUKTIF PEDESAAN MELALUI KOPERASI BERBASIS PLTMH (Victoria PAP Br. Simanungkalit)
saing dan mandiri secara berkelanjutan. Untuk itu faktor pemberdayaan melalui pendampingan profesional, bimtek, dan supervisi lapangan dari para pembina kepada Koperasi pengelola dan anggotanya adalah mutlak perlu yang mencakup sentuhan teknologi, packaging dan branding sampai tercapai tingkat kemandirian secara holistik. Dalam konteks itulah dituntut peran aktif dari dinas koperasi kabupaten dan provinsi untuk mengarahkan, mengawasi, membina pengembangan usaha bisnis koperasi serta meningkatkan kapasitas kewirausahaan pengurus koperasi dan usaha kecil menengah mulai dari perencanaan bisnisnya, strategi produksinya, pemasarannya serta akses-akses yang diperlukan untuk pengembangannya. Demikian pula dukungan sinergis dari unitunit kerja tingkat pusat (intra dan lintas sektor) mutlak diperlukan untuk lebih mendorong skala usaha unit-unit PLTMH yang telah dibangun agar mampu berkembang secara berkelanjutan serta memiliki daya saing yang kuat. Pada gilirannya, derap ekonomi
tersebut diharapkan melahirkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru wilayah pedesaan yang mampu menciptakan kesejahteraan rakyat yang telah amat lama dimimpikan. Untuk menggulirkan gerakan ekonomi produktif pedesaan secara lebih revolusioner melalui koperasi berbasis EBTK/PLTMH berwawasan lingkungan (green bussiness) guna penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan perkotaan dengan pedesaan, sudah saatnya dilahirkan “Kebijakan Skim Insentif Subsidi” kepada Koperasi seperti halnya subsidi ke PT.PLN (Persero) yang sudah puluhan tahun. Hanya dengan kebijakan pemihakkan demikianlah bisa mendorong koperasi yang mengelola EBT/PLTMH mampu mendukung pemerintah secara lebih signifikan untuk menjawab isu-isu klasik yang tak pernah tertuntaskan selama ini seperti stagnasi ekonomi pedesaan, perangkap kemiskinan pedesaan, ketimpangan pendapatan, jeratan subsidi energi fosil pada APBN, serta isu-isu lingkungan dengan emisi gas rumah kaca dan perubahan iklim.
129
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 116-130
Daftar Pustaka Anonymous.2014. Pelaksanaan Program Dan Kegiatan Asdep Urusan Ketenagalistrikan Dan Aneka Usaha Tahun 2013. Laporan Akhir,Februari 2014.
Yoichi K and K.Yokobori. 1997. Environment, Energy, and Education: Strategies for Sustainability. United Nations University Press. Tokyo.
Neil C, and M.Tykkylainen.1998. Local Economic Development: A Geographical Comparison Of Rural Community Restructuring. United Nations University. Press. Tokyo.
TanWee L.2002.The Dynamic of Entrepreneurship: Growth and Strategy. Pearson Education Asia Pte Limited. Singapore.
130
Indeks infokop Media Pengkajian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah ISSN 0216-813X Terbit: Desember 2014
INDEKS ISI INFOKOP MEDIA PENGKAJIAN KOPERASI USAHA KECIL DAN MENENGAH ISSN 0216-813X
Terbit: Desember 2014
Akhmad Junaidi (Peneliti Madya Manajemen Koperasi dan UKM) MEMPERKUAT POSISI KOPERASI DAN UKM DALAM RANTAI PASOK GLOBAL UNTUK KOMODITI SERAT SABUT KELAPA INFOKOP Des. 2014
Vol.24 No.2
h. 1-12
Indonesia merupakan Negara beriklim tropis, memiliki pantai terpanjang keempat di dunia dan memiliki perkebunan kelapa terluas di dunia. Indonesia adalah Negara penghasil buah kelapa terbanyak di dunia. Sayangnya, bagian lain dari buah kelapa, yaitu sabut kelapa masih dianggap sebagai limbah dan dibuang begitu saja. Padahal sabut kelapa jika diolah menjadi cocofibre dan cocopeat akan menjadi produk yang mudah diperdagangkan di pasar dunia. Cocofibre ini merupakan bahan baku industri matras untuk kasur, jok mobil mewah. Selain itu cocofibre menjadi bahan baku pembuat tali, coconet dan cocomesh yang digunakan untuk mereklamasi eks. Lahan pertambangan. Sedangkan cocopeat dimanfaatkan sebagai media tanam pengganti tanah untuk mendukung kelestarian lingkungan. Hasil pengamatan terhadap KUKM menunjukkan bahwa kegiatan pengolahan sabut kelapa terbukti dapat menciptakan nilai tambah nilai tambah, lapangan kerja dan pendapatan serta menghasilkan devisa. Sejumlah bank telah membiayai usaha ini kepada KUKM dengan kinerja angsuran kredit lancar. Bahkan ada satu Perusahaan Modal Asing yang telah memasuki bisnis ini di Indonesia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kegiatan usaha ini memkiliki prospek dan menguntungkan diperdagangkan secara komersial. Pemerintah perlu menyiapkan program pemberdayaan KUKM dalam bentuk pendampingan, meningkatkan akses pembiayaan serta memberikan dukungan ketersediaan listrik, jalan dan pelabuhan. Semoga kita memiliki cara pandang yang sama bahwa kita tidak akan membiarkan kekuatan asing akan memanfaatkan peluang usaha ini, sebaliknya kita harus mendorong agar pemain lokal tidak menjadi penonton kelak. kata kunci: rantai pasok dunia, cocofibre, cocopeat, serat sabut kelapa, KUKM.
Hasan Jauhari (Staf Ahli Menteri Koperasi dan UKM Bidang Pengembangan Iklim Usaha dan Kemitraan) PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM INFOKOP Des 2014
Vol.24 No.2
h. 13-27
Tulisan ini menggali konsep industri hijau UKM dan upaya yang perlu dilakukan untuk mengembangkannya. UKM memiliki peran penting untuk mengambil bagian dalam pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan
dengan terlibat dalam industri hijau. Mengingat ukuran UKM secara alami sangat kecil, tidak ada kebijakan pengembangan industri hijau akan berhasil kecuali UKM aktif dan bersedia berpartisipasi dalam program industri hijau. Selanjutnya, banyak teknologi dan program dukungan yang diperlukan untuk mengembangkasn keterlibatan bisnis UKM dalam industri hijau. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk kebijakan afirmatif untuk membantu UKM untuk menjadi pelaku bisnis yang ramah lingkungan. Kebijakan ini meliputi kebijakan dari sisi permintaan yang akan memudahkan UKM menjadi pengguna teknologi dan produk ramah kingkungan, serta kebijakan dari sisi penawaran yang akan membantu UKM mengembangkan dan memasarkan teknologi dan produk ramah lingkungan. Selain itu, kerjasama internasional bisa menjadi salah satu cara untuk mempercepat upaya dalam pemberdayaan industri hijau UKM di Indonesia. kata kunci: industri hijau, kebijakan pendukung, dan kerjasama internasional.
Johnny W. Situmorang (Peneliti Utama Kementerian KUKM & Pengajar ABFII Perbanas) MEMBANGUN KEMANDIRIAN EKONOMI INDONESIA BERBASIS KOPERASI DAN UMKM INFOKOP Des 2014
Vol.24 No.2
h. 28-43
Kemandirian ekonomi adalah pilar pembangunan ekonomi Indonesia untuk menghapuskan kemiskinan di dalam menghadapi globalisasi. Struktur perekonomian Indonesia dewasa ini sangat rentan dimana stabilitas perekonomian makro tidak disertai dengan pemerataan ekonomi. Terjadi ketimpangan ekonomi antar individu, antar kelompok, dan antar wilayah karena KUMKM belum dijadikan basis perekonomian meskipun KUMKM telah mewarnai struktur perekonomian Indonesia dengan jumlah pelaku usahanya yang banyak, penyerapan tenagakerja yang besar dan penyebaran meluas sampai dari perkotaan ke perdesaan. Oleh karena itu, kemandirian ekonomi Indonesia semestinya berbasis pada pembangunan KUMKM. Peran pemerintah, terutama Kementerian KUKM, adalah sangat penting untuk menjadikan KUMKM sebagai basis kemandirian ekonomi Indonesia. Sejalan dengan perubahan lingkungan strategis, reformasi birokrasi adalah kunci sukses kemandirian ekonomi melalui pembangunan KUMKM. Kementerian KUKM melaksanakan amanah sebagai lembaga pelayanan yang fokus pada sinkronisasi dan koordinasi pembangunan dan pemerintahan daerah sebagai pelaksana perencanaan strategis pembangunan KUMKM. kata kunci: kemandirian ekonomi, KUMKM, reformasi birokrasi, manajemen pembangunan.
131
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 130-142
INDEKS ISI INFOKOP MEDIA PENGKAJIAN KOPERASI USAHA KECIL DAN MENENGAH ISSN 0216-813X
Terbit: Desember 2014
Akhmad Junaidi (Peneliti Madya Kementerian Koperasi dan UKM)
dan tujuan restrukturisasi ekonomi negara jangka panjang. kata kunci: ASEAN, Indeks Kebijakan, UKM
Muhammad Joni (Advokat) KAPASITAS BADAN HUKUM KOPERASI DALAM MELAKUKAN KEGIATAN KORPORASI: TELAAH YURIDIS-KONSTITUSIONAL INFOKOP Des 2014
Vol.24 No.2
h. 44-53
Undang-Undang Dasar 1945 memberi posisi penting koperasi untuk menjalankan berbagai lapangan usaha. Demikian pula Undang-Undang tentang Perkoperasian juga menempatkan koperasi sebagai badan hukum sejajar dengan badan hukum lain. Namun fakta menunjukkan bahwa masih ada Undang-Undang dan Peraturan Menteri teknis yang melarang koperasi untuk menjalankan usaha antara lain sektor perbankan, tenaga kerja dan kemungkinan masih ada larangan koperasi untuk menjalankan kegiatan di sektor keuangan lainnya pada tahun mendatang. Undang-Undang dan kebijakan tersebut secara nyata telah meminggirkan Koperasi sebagai badan hukum. Tentu saja Undang-Undang tersebut dapat merugikan koperasi, dan tindakan tersebut memiliki potensi melanggar konstitusi. Pada posisi ini menciptakan peluang koperasi untuk meminta keadilan kepada Mahkamah Konstitusi. Pemerintah harus mengadvokasi kesadaran hukum bagi koperasi agar memperoleh keadilan dalam menjalankan usaha sejajar dengan badan hukum lainnya. kata kunci: koperasi, badan hukum, Mahkamah Konstitusi.
Anita Richter dan Anders Jönsson (Ahli Ekonomi OECD) INDEKS KEBIJAKAN UKM ASEAN TAHUN : KUNCI DAN LANGKAH KE DEPAN UNTUK INDONESIA INFOKOP
Des 2014
Vol.24 No.2
KEMUNGKINAN DAMPAK PENGURANGAN SUBSIDI HARGA PREMIUM NOVEMBER 2014 TERHADAP UMKM INFOKOP Des 2014
Vol.24 No.2
h. 65-81
Sejak pertama kali pemerintah Indonesia mulai mengurangi subsidi harga energi pada akhir krisis keuangan Asia 1997/98,reformasi subsidi harga energi telah menjadi sebuah isu politik yang sangat sensitive di dalam negeri. Diantara pertanyaan-pertanyaan penting yang selalu muncul setiap kali pemerintah memutuskan untuk memotong subsidi harga energi adalah mengenai dampaknya terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Tujuan dari studi ini terkait dengan pertanyaan tersebut. Lebih spesifik, studi ini fokus pada dua isu yang terkait: kemungkinan dampak dari kenaikan harga premium pada bulan November 2014 dan respons mereka. Ini adalah sebuah studi deskriptif berdasarkan analisa data sekunder dan liteartur mengenai pengalaman UMKM sebelumnya dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Penemuan dari studi ini memberikan dua kesimpulan utama. Pertama,dampak tidak langsungnya kemungkinan akan lebih signifikan daripada dampak langsungnya. Kedua, walaupun UMKM kurang intensif dalam pemakaian energi dibandingkan usaha besar (UB), mereka lebih rentan terhadap sebuah kenaikan harga energi. kata kunci: UMKM, energi, dampak
h. 54-64
Lebih dari 99 % dari jumlah pelaku usaha, tetapi hanya berkontribusi sekitar 16 % terhadap ekspor, UKM di Indonesia, meskipun memiliki peran penting bagi perekonomian, namun perlu meningkatkan produktivitas dan daya saing secara keseluruhan untuk berkontribusi terhadap keinginan bergabung pada kelompok negaranegara maju . Indeks Kebijakan UKM ASEAN berkesimpulan bahwa Indonesia telah memiliki kerangka yang relatif kuat (solid), dengan sektor keuangan yang dinamis, kebijakan dan institusi yang ambisius, dan berbagai layanan pendukung yang tersedia bagi pengusaha. Terlepas dari berbagai perbaikan kecil, seperti memperluas pendaftar kredit dan meningkatkan layanan bisnis, makalah ini menyoroti dua tema lintas sektoral yang harus menjadi pusat reformasi kebijakan menyeluruh: koordinasi kebijakan yang lebih baik, termasuk berbasis data pemantauan dan evaluasi yang independen dengan dasar tujuan yang jelas, dan keselarasan yang lebih baik atas kebijakan dan institusi dengan kebutuhan sektor swasta
132
Tulus T.H. Tambunan (Pusat Studi Industri, UKM dan Persaingan Usaha (USAKTI))
Achmad H Gopar (Peneliti Kementerian KUKM) PENGEMBANGAN PENYULUHAN PERKOPERASIAN INFOKOP Des 2014
Vol.24 No.2
h. 82-101
Kajian ini dilaksanakan di lima provinsi; Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Metode yang digunakan adalah statistik deskriptif sederhana (simple descriptive statistics). Responden terdiri dari aparatur (dinas koperasi provinsi dan dinas koperasi kabupaten/ kota) dan responden anggota koperasi (pengurus dan anggota koperasi). Fokus kajian terhadap tiga hal pokok; program dan kegiatan, metode dan materi penyuluhan, dan organisasi penyuluhan. Hasil kajian menunjukkan bahwa ada dua yang perlu dilakukan; pertama, perlu adanya upaya untuk terus mengintroduksikan betapa pentingnya kegiatan
Indeks infokop Media Pengkajian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah ISSN 0216-813X Terbit: Desember 2014
INDEKS ISI INFOKOP MEDIA PENGKAJIAN KOPERASI USAHA KECIL DAN MENENGAH ISSN 0216-813X
Terbit: Desember 2014
penyuluhan perkoperasian untuk anggota koperasi; dan kedua, perlu adanya program penyuluhan perkoperasian yang disusun secara komprehensif. Program penyuluhan perkoperasian, walaupun menjadi bagian program lain yang lebih besar, harus tetap menjadi bagian yang mandiri dengan berfokus pada materi penyuluhan perkoperasian yang memuat kandungan spesifik dan lokal. Perguruan tinggi atau universitas merupakan lembaga yang sangat potensial untuk didorong menjadi lembaga pelaksana kegiatan penyuluhan perkoperasian. Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan inisiatif untuk memanfaatkan LSM dan lembaga sosial untuk melakukan kegiatan penyuluhan perkoperasian. Media sosial via internet merupakan pilihan yang tepat untuk membantu menyebarkan informasi koperasi yang jangkauannya sangat luas dalam waktu yang singkat. Begitu pula dibutuhkan rekrutmen baru tenaga penyuluh perkoperasian. kata kunci: metode dan materi penyuluhan, organisasi penyuluhan, universitas, media sosial.
Heira Hardiyanti (Lembaga Studi Perkoperasian Indonesia (LSP2I)) PROMOSI EKONOMI ORGANISASI KOPERASI INFOKOP Des 2014
Pengembangan
ANGGOTA
Vol.24 No.2
DALAM
h. 102-115
Kelemahan mendasar dari koperasi Indonesia dalam proses perjalanannya untuk mewujudkan tujuan mensejahterakan anggota seringkali menjadi hilang arah, karena pada umumnya banyak yang tidak mengetahui kondisi anggota secara utuh baik itu rumah tangga anggotanya ataupun perusahaan yang dimiliki oleh anggota. Oleh sebab itu sudah semestinya koperasi memiliki database profil anggota yang informatif yang dapat dijadikan landasan awal pengembangan pelayanan koperasi. Dengan begitu, pengembangan unit-unit pelayanan koperasi pun dapat menjawab segala kebutuhan dan keinginan para anggotanya. Di lain pihak keberhasilan koperasi dalam mempromosikan ekonomi anggota dapat tercapai dan terukur.
kata kunci: promosi ekonomi anggota, profil anggota, pengembangan koperasi. Victoria PAP Br. Simanungkalit (Asdep Kelistrikan dan Aneka Usaha Kementerian Koperasi dan UKM) PENGEMBANGAN EKONOMI PRODUKTIF PEDESAAN MELALUI KOPERASI BERBASIS PLTMH INFOKOP Des 2014
Vol.24 No.2
h. 116-130
Bantuan Sosial (Bansos) Kementerian Koperasi dan UKM yang salah satunya untuk memfasilitasi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) melalui Koperasi merupakan sarana efektif menggerakkan ekonomi produktif masyarakat di wilayah pedesaan terisolir dan tertinggal. Di samping itu program ini juga menyediakan penerangan listrik bagi rumah tangga penduduk serta fasilitas sosial lainnya (masjid, mushola, gereja, sekolah, puskesmas, kantor desa, kantor koperasi) yang telah sangat lama diimpikan sejak negeri ini merdeka 69 tahun yang lalu. Bantuan PLTMH kepada Koperasi tahun 2013 pada 10 lokasi telah mendorong bertumbuhnya industri rumah tangga pada berbagai bidang antara lain: pengolahan produk-produk pertanian, kerajinan anyaman, pertukangan, perdagangan umum, dll yang kesemuanya memberikan dampak dengan tren positif dan signifikan bagi Koperasi dan anggota/ masyarakat baik secara sosial (capacity building), ekonomi (nilai tambah/pendapatan dan kesempatan kerja) maupun lingkungan (green economy). Kegiatan ekonomi produktif ini menjadi embrio pusat-pusat pertumbuhan ekonomi wilayah pedesaan di masa yang akan datang. Dalam konteks demikian, upaya pemberdayaan melalui pendampingan teknologi dan kewirausahaan dari intansi pembina lintas sektor pada berbagai jenjang merupakan tuntutan yang seyogyanya mendapat perhatian serius demi berkembangnya bisnis koperasi yang berdaya saing dalam rangka menyejahterakan masyarakat pedesaan secara berkesinambungan. kata kunci: industri rumah tangga, ekonomi produktif, dampak, pemberdayaan.
133
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 130-142
CURRENT CONTENT INFOKOP MEDIA OF RESEARCH IN COOPERATIVES AND SMALL MEDIUM ENTERPRISES ISSN 0216-813X
Published: December 2014
Akhmad Junaidi (Researcher at Ministry of Cooperative and SME) STRENGTHENING THE POSITION OF COOPERATIVES AND SMEs IN THE GLOBAL SUPPLY CHAIN OF COCOFIBRE COMMODITIES INFOKOP Dec 2014
Vol.24 No.2
p. 1-12
Indonesia is a tropical country, has the fourth longest coastline in the world and has the largest coconut plantation in the world. Indonesia is a country that produces the most widely coconuts in the world. Unfortunately, other parts of coconuts, the coconut husks still considered as waste and thrown away. If coconut fiber that has been processed into cocofibre and cocopeat will be a product that is easily traded in the world market. Cocofibre is the raw material for the mattress industry mattress. Additionally cocofibre become raw material for making coco rope, coconet and cocomesh used to reclaim the former mining land. While cocopeat be used as a substitute for soil growing media to support environmental sustainability. According to observation of Cooperatives and SMEs (KUKM) shows that coconut coir processing activities are proven to create value-added, job creation and generating dollars. A number of banks have financed this business to Cooperative and SMEs with the performance of well performancd loan. In fact there is a foreign capital company which has entered this business in Indonesia. This indicates that these business activities have prospects and profitable in terms of commercial. The government needs to prepare Cooperatives and SMEs empowerment program in the form of mentoring, improving access to finance and support the availability of electricity, roads and ports. May we have the same perspective that we will not allow foreign powers would take advantage of this business opportunity, otherwise we should encourage local players do not be a spectator in the future. keywords: world supply chain, cocofibre, cocopeat, cooperatives and SMEs.
and products, as well as supply-side policies which will assist SMEs develop and market green technologies and products. Furthermore,international cooperation could be one way of accelerating on the fostering of green SMEs industries in Indonesia. keywords: green industry, affirmative policies, and international cooperation.
Johnny W. Situmorang (Researcher at Ministry of Cooperative and SME, Lecture at ABFII Perbanas) DEVELOPING INDEPENDENCE OF INDONESIA ECONOMY BASE ON COOPERATIVE AND SMEs INFOKOP Dec 2014
Vol.24 No.2
p. 28-43
Economic independence is an essential foundation to eradicate the poverty in facing the globalization. The structure of Indonesia economy today is very vulnerable, while the macro economy stability does not go in parallel with the economic parity. The economic disparity between individuals, groups, and regions occur because CSMEs has not taken its role as the foundation of economy though it has involved a large number of players, absorbed a lot of workforce and covered a wide range of geographic scope from urban to rural. Therefore, economic independence has to put CSMSEs at the first base. The government role, particularly the presence of The Ministry of Cooperative and SMEs is very critical to increase CSMEs contribution to the economy. In line with the changes in strategic environment, bureaucratic reform is a key success to accelerate economic independence through CSMEs development. The Ministry of Cooperative and SMEs carries out the mandate as the service agency that focus on synchronization and coordination of development with the support of local government as the executor of CSMEs development strategic planning. keywords: economic independence, CSMSEs, bureaucracy reform, development management
Hasan Jauhari (Expert Staff for Minister of Cooperative and SME) PROMOTING SMEs GREEN INDUSTRIES
Akhmad Junaidi (Researcher at Ministry of Cooperative and SME) Muhammad Joni (Advokat)
INFOKOP Dec 2014
Vol.24 No.2
p. 13-27
This article explores the concept and the relevant initiative necessary to foster Gren SMEs. SMEs have an important role to take part in green growth by engaging in green industry. Since the size of SME by nature is so small, no green policies will be successful unless SMEs actively and willingly participate in green programs. Further, many of the technologies and support programs are necessary to successfully transform SMEs business engagement into green industries. Therefore, there is a need for affirmative policies to assist SMEs in becoming green. These policies include demand-side policies which will facilitate SMEs becoming users of green technologies
134
COOPERATIVES LEGAL CAPACITY IN IMPLEMENTING CORPORATE ACTIVITIES: JURIDICAL-CONSTITUTIONAL REVIEN INFOKOP Dec2014
Vol.24 No.2
P. 44-53
The Law of 1945 Republic of Indonesia gave an important position cooperatives to run in a variety of business fields. Similarly, the Law on Cooperatives also put the cooperative as a legal entity aligned primarily to other legal entities. But the facts show that there is the Act and the Government Regulation prohibits cooperative to run the business, among others, the banking sector, labor,
Indeks infokop Media Pengkajian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah ISSN 0216-813X Terbit: Desember 2014
CURRENT CONTENT INFOKOP MEDIA OF RESEARCH IN COOPERATIVES AND SMALL MEDIUM ENTERPRISES ISSN 0216-813X
Published: December 2014
and there is still the possibility of a ban to cooperatives to carry out other activities in the financial sector in the coming years. The Act and policy has indeed marginalize cooperative as a legal entity. Of course, the Constitution Act can be detrimental to the cooperative, and these actions have the potential to violate the constitution. In this position creates change for cooperative to appeal to the Constitutional Court. In the future, the government should advocate to cooperatives on awareness of legal to obtain justice in the operations in parallel with other legal entities. keywords: cooperative, legal entity, Constitutional Court.
Anita Richter (SME Policy Analyst, OECD Southeast Asia Regional Programme) Anders Jönsson (Economist, OECD Southeast Asia Regional Programme) THE ASEAN SME POLICY INDEX 2014: KEY FINDINGS AND WAYS FORWARD FOR INDONESIA INFOKOP Dec 2014
Vol.24 No.2
programs and activities, methods of extension materials, and extension organizations. The study resulted there are at least two that need to be done; First, there needs to be an effort to continue to introduce the importance of cooperative extension activities for members of the cooperative; and second, the need for cooperative extension programs compiled in a comprehensive manner. Cooperative extension program, despite being part of other larger programs, must remain a part of the self by focusing on cooperative extension materials containing specific content and local. College or university is an institution that is very potential to be the implementing agency driven cooperative extension activities. In addition, the government also needs to take the initiative to utilize NGOs and social institutions to conduct cooperative extension activities. Social media via the Internet can be utilized as extension media targeted to be very broad, and in a very short time. To implement cooperative extension activities are more impressive again needed a new recruitment extension workers. keyword: methods and materials of extension, extension organizations, universities, social media.
p. 54-64
Making up more than 99% of enterprises but only around 16% of exports, SMEs in Indonesia, while essential to the economy, need to increase their productivity and overall competitiveness to contribute to the aspiration to join the ranks of developed nations. The ASEAN SME Policy Index finds that Indonesia has a relatively solid framework in place, with a vibrant financial sector, ambitious policies and institutions, and a range of support services available to entrepreneurs. Apart from a range of smaller improvements, such as expanding credit registries and improving business services, this paper highlights two cross-cutting themes that should be central to overarching policy reform: better policy co-ordination, including independent, data-driven monitoring and evaluation with clear ex ante objectives, and better alignment of policies and institutions with the needs of the private sector and the long-term economic restructuring goals of the country. keywords: ASEAN, Policy Index, SMEs
Achmad H Gopar (Researcher at Ministry of Cooperative and SME)
Heira Hardiyanti (Center of Indonesian Cooperative Development (LSP2I)) COOPERATIVE MEMBER’S PROMOTION INFOKOP Dec 2014
Vol.24 No.2
p 102-115
The Indonesian coop’s weakness is unavailable or undocumented member’s profile. That is why cooperatives development seems losing its way on member’s needs and wants. Availability of member’s profile will figure them out of needs and wants and also their economic and social condition. Cooperatives should have member’s profile as a tool to identify member’s needs and wants for developing cooperative’s business units. At the end in the range of time member’s promotion will be achieved. keyword: member’s promotion, cooperative development.
member’s
profile,
Victoria PAP Br. Simanungkalit (Deputy Assistant of Electricity and Multy Business, Ministry of Cooperative and SME)
DEVELOPMENT OF COOPERATIVES EXTENSION INFOKOP Dec 2014
Vol.24 No.2
p. 82-101
This study was conducted in five provinces; West Kalimantan, South Sumatra, West Java, East Kalimantan, and South Sulawesi. The method used is simple descriptive statistics. Respondents consisted of apparatus (Provincial and District / City Cooperative Offices) and respondent cooperative members (administrators and members of the cooperative). The focus of the study on three main points;
DEVELOPING RURAL PRODUCTIVE ECONOMIC BASED ON COOPERATIVE MICROHYDRO ELECTRICAL POWER PLANT INFOKOP Dec 2014
Vol.24 No.2
p 116-130
“Bansos APBN” from Ministry of Cooperatives and SMEs through facilitating of Microhydro Power Plant Development (PLTMH) to cooperatives institution at village level is an effective means to encourage the
135
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 130-142
CURRENT CONTENT INFOKOP MEDIA OF RESEARCH IN COOPERATIVES AND SMALL MEDIUM ENTERPRISES ISSN 0216-813X
productive economic in isolated rural areas with marginal economy condition. It is also provides electricity for domestic electricity and other social facilities such as: mosque, church, and school, etc. Development of PLTMH in 2013 at 10 locations has encouraged the growth of household industries in various fields, among others: processing of agricultural products, handicraft, carpentry, trade, etc, and has provided a significant positive impact on the cooperatives development viewed from social, economic, and environmental aspects. These productive
136
Published: December 2014
economic activities could become an embryo for the development of new economic growth centers in rural areas. In that context, empowerment through technology touching and entrepreneurship of Cooperatives officials from cross-sectoral institutions related should be taken seriously to accelerate the Cooperatives business development for realizing rural welfare. keywords: household industries, productive economic, impact, empowerment.
Indeks infokop Media Pengkajian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah ISSN 0216-813X Terbit: Desember 2014
Indeks Penulis/Author Index A
J
A.H. Gopar, “ Penyuluhan Perkoperasian”, INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014 H. 82-101
Jhonny W. Situmorang, “Membangun Kemandirian Ekonomi Indonesia Berbasis Koperasi Dan UMKM”, INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014 H, 28-43
Akhmad Junaidi, “Memperkuat Posisi Koperasi Dan UKM Dalam Rantai Pasok Global Untuk Komoditi Serat Sabut Kelapa”, INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014 H. 1-12 Akhmad Junaidi, “Kapasitas Badan Hukum Koperasi Dalam Melakukan Kegiatan Korporasi: Telaah Yuridis-Konstitusional”, INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014 H. 44-53 Anders Jönsson, “The ASEAN SME Policy Index 2014: Key findings and Ways forward for Indonesia”, INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014 Hal. 54-64 Anita Richter, “The ASEAN SME Policy Index 2014: Key findings and Ways forward for Indonesia”, INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014 Hal. 54-64
H Hasan Jauhari, “Pengembangan Industri Hijau UKM”, INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014 H. 13-27
M Muhammad Joni, “Kapasitas Badan Hukum Koperasi Dalam Melakukan Kegiatan Korporasi: Telaah Yuridis-Konstitusional”, INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014 H. 44-53 T Tulus. T.H. Tambunan, “Kemungkinan Dampak Pengurangan Subsidi Harga Premium November 2014 Terhadap UMKM”, INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014 H. 65-81 V Victoria P.A.P. Br. Simanungkalit, “Pengembangan Ekonomi Produktif Pedesaan Melalui Koperasi Berbasis PLTMH”, INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014 H. 116-130
Heira Hardiyanti, “Promosi Ekonomi Anggota Dalam Organisasi Koperasi”, INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014 H. 102-115
137
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 130-142
Indeks Mitrabestari/Peer Review Index Prof. Dr. Ir. Suhendar Sulaeman, M.S. (Ekonomi, Ekonomi Koperasi & UKM) •
•
•
•
•
•
•
•
•
138
Pengembangan Ekonomi Produktif Pedesaan Melalui Koperasi Berbasis PLTMH (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014) Promosi Ekonomi Anggota Dalam Organisasi Koperasi (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014) Kemungkinan Dampak Pengurangan Subsidi Harga Premium Desember 2014 Terhadap UMKM (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014) Pengembangan Industri Hijau UKM (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014) The ASEAN SME Policy Index 2014: Key findings and Ways forward for Indonesia (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014) Memperkuat Posisi Koperasi Dan UKM Dalam Rantai Pasok Global Untuk Komoditi Serat Sabut Kelapa (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014) Membangun Kemandirian Ekonomi Indonesia Berbasis Koperasi Dan UMKM (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014) Kapasitas Badan Hukum Koperasi Dalam Melakukan Kegiatan Korporasi: Telaah Yuridis-Konstitusional (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014) Pengembangan Penyuluhan Perkoperasian (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
Dr. Ir. H. Wawan Lulus Setiawan, MSc. AD (Manajemen, Koperasi dan Sosial Ekonomi Pertanian) •
Pengembangan Ekonomi Produktif Pedesaan Melalui Koperasi Berbasis PLTMH (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
•
Promosi Ekonomi Anggota Dalam Organisasi Koperasi (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
•
Kemungkinan Dampak Pengurangan Subsidi Harga Premium Desember 2014 Terhadap UMKM (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
•
Pengembangan Industri Hijau UKM (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
•
The ASEAN SME Policy Index 2014: Key findings and Ways forward for Indonesia (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
•
Memperkuat Posisi Koperasi Dan UKM Dalam Rantai Pasok Global Untuk Komoditi Serat Sabut Kelapa (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
•
Membangun Kemandirian Ekonomi Indonesia Berbasis Koperasi Dan UMKM (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
•
Kapasitas Badan Hukum Koperasi Dalam Melakukan Kegiatan Korporasi: Telaah Yuridis-Konstitusional (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
•
Pengembangan Penyuluhan Perkoperasian (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
Indeks infokop Media Pengkajian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah ISSN 0216-813X Terbit: Desember 2014
Ir. Nurhayat Indra, M.Sc (Pembangunan Pertanian/Pedesaan)
Joko Suyanto, SE, MM (Dinamika Sosial/ Kebijakan Publik)
•
Pengembangan Ekonomi Produktif Pedesaan Melalui Koperasi Berbasis PLTMH (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
•
Pengembangan Ekonomi Produktif Pedesaan Melalui Koperasi Berbasis PLTMH (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
•
Promosi Ekonomi Anggota Dalam Organisasi Koperasi (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
•
Promosi Ekonomi Anggota Dalam Organisasi Koperasi (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
•
Kemungkinan Dampak Pengurangan Subsidi Harga Premium Desember 2014 Terhadap UMKM (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
•
Kemungkinan Dampak Pengurangan Subsidi Harga Premium Desember 2014 Terhadap UMKM (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
•
Pengembangan Industri Hijau UKM (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
•
Pengembangan Industri Hijau UKM (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
•
The ASEAN SME Policy Index 2014: Key findings and Ways forward for Indonesia (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
•
The ASEAN SME Policy Index 2014: Key findings and Ways forward for Indonesia (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
•
Memperkuat Posisi Koperasi Dan UKM Dalam Rantai Pasok Global Untuk Komoditi Serat Sabut Kelapa (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
•
Memperkuat Posisi Koperasi Dan UKM Dalam Rantai Pasok Global Untuk Komoditi Serat Sabut Kelapa (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
•
Membangun Kemandirian Ekonomi Indonesia Berbasis Koperasi Dan UMKM (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
•
Membangun Kemandirian Ekonomi Indonesia Berbasis Koperasi Dan UMKM (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
•
Kapasitas Badan Hukum Koperasi Dalam Melakukan Kegiatan Korporasi: Telaah Yuridis-Konstitusional (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
•
Kapasitas Badan Hukum Koperasi Dalam Melakukan Kegiatan Korporasi: Telaah Yuridis-Konstitusional (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
•
Pengembangan Penyuluhan Perkoperasian (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
•
Pengembangan Penyuluhan Perkoperasian (INFOKOP Vol. 24 No.2 – Desember 2014)
139
INFOKOP VOLUME 24 NO. 1 - Oktober 2014 : 154-157
Pedoman Penulisan Infokop Tahun 2014
1.
Pengertian Infokop
Infokop (Info Koperasi) adalah media ilmiah berisi gagasan/pemikiran yang berkaitan dengan pengembangan Koperasi dan UKM di Indonesia.
2. Ketentuan penulisan a. Artikel terbuka untuk umum; b. Arlikel disertai abstrak dan kata kunci. Abstrak ditulis dalam Bahasa Inggris sedangkan kata kunci dalam Bahasa Indonesia. Artikel dengan panjang 10-25 halaman ditulis dalam kertas A4, jarak ketikan 1.0 spasi, jenis huruf Times New Roman (font size 12) dengan garis tepi 3.5 Cm. Naskah diketik dalam MS Word dalam bentuk siap cetak ke printer laser; c. Penyerahan artikel sebanyak 2 (dua) rangkap dengan disertai flash disk dikirim langsung ke alamat Tata Usaha Infokop dan Jumal Asdep Urusan Pengembangan Perkaderan UKM, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK Kementerian Negara Koperasi dan UKM Jl. MT. Haryono Kav. 52-53 Jakarta Selatan atan melalui email: publik_
[email protected]; d. Artikel hendaknya disertai dengan biodata lengkap dan foto copy NPWP penulis. Penulis merupakan pakar, peneliti maupun khalayak umum yang kompeten dalam bidang pemberdayaan koperasi dan UKM; e. Sesuai dengan sistematika penulisan dan komponen artikel yang standar. f. Tulisan arlikel yang diterima adalah yang sesuai dengan Pedoman Penulisan lnfokop Tahun 2011; g. Isi artikel merupakan tanggung jawab penulis yang bersangkutan. 3.
140
Sistematika dan Komponen Artikel a. Sistematika Sistematika artikel yaitu: Judul; Nama Penulis; Abstrak; Kata Kunci; Pendahuluan; Pembahasan dapat dilengkapi dengan label, grafik; Kesimpulan dan Daftar Pustaka. b. Tema Pada setiap edisi media disajikan tema bahasan mengenai issue pemberdayaan koperasi dan UKM yang sedang aktual atau strategis. c. Artikel Isi artikel mengacu kepada tema yang dipilih. d. Editorial Editorial merupakan intisari tulisan ulasan mengenai tema. Di bawah editorial dicantumkan nama penulisnya, jika penulisnya lebih dari satu dituliskan nama-nama yang bersangkutan. e. Judul artikel. Judul ditulis singkat, jelas, dan informatif, serta mencerminkan inti tulisan maksimum 11 kata. Ditulis dengan huruf kapital tebal (bold) pada halaman pertama. f. Nama penulis. Nama penulis artikel ditulis dibawah judul tanpa gelar, diawali dengan huruf kapital, huruf simetris, dan tidak diawali dengan kata “oleh”, semua nama dicantumkan secara lengkap. Diakhir nama penulis diberi tanda asteriks *) mengenai alamat/asal penulis, yang penjelasannya dicantumkan pada catatan kaki,
Pedoman Penulisan infokop Media Pengkajian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah ISSN 0216-813X Terbit: Oktober 2014
g. Abstrak. Setiap artikel didahului dengan abstrak. Abstrak menerangkan secara ringkas isi artikel yang menjelaskan semua inti permasalahan, cara pemecahannya, dari hasil yang diperoleh dan memuat tidak lebih dari 100 kata (tidak melebihi 3/4% halaman buku Infokop), diketik miring (italic) dengan jarak 1 spasi dengan garis tepi 3,5 Cm dan font size 12) maksimal 150 kata. Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris. h. Kata kunci. Kata kunci terdiri dari dua hingga lima perkataan, yang diletakan setelah abstrak dengan posisi ditengah (center align). Kata kunci diketik miring (italic) dan font srze 12. Kata kunci dibuat dengan tujuan memudahkan pencarian makna artikel. i. Tabel, Grafik dan Gambar Tabel, grafik dan gambar diberi nomor urut angka arab disertai judul dan sumber data. m. Daftar Pustaka Daftar pustaka yang ditulis penamaannya harus sesuai dengan rujukan penulisan isi artikel. Penulisan daftar pustaka disusun berdasarkan nomor urut pustaka yang dikutip, yaitu: (l). Bila pustaka yang dirujuk terdapat dalam jurnal seperti contoh: Rochman, Nurul Taufiq. 2005. Rekayasa Kuningan Tahan Karat ttntuk peralatan Pensupply air. Widyariset 8(l): l-9. (2). Bila pustaka yang dirujuk bempa buktt, seperti contoh: Sukmadinata, Syaodih. 2004. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Remaja Rasdakarya, Bandung. (3). Bila pustaka yang dirujuk berupa bunga rampai, seperti contoh: Iniron, Bashori. 2005. Pola Komunikasi Kepemimpinan Taufik Abdullah. Dalam Muhammad Hisyam dkk. (Ed.). Sejarah dan Dialog Peradaban. LIPI Press, Jakarta.: l9l -200. (4). Bila pustaka yang dirujuk terdapat dalam presiding, seperti contoh: Adisoemarto, S. 1989. Merentang gagasan mengenai serangga sebagai pakan walet. Prosiding Seminar Nasional Burung Walel, Semarang, 7 Januari. Assosiasi Penangkar Burung indonesia.:..-.... (5). Bila pustaka yang dirujuk berupa media massa, seperti contoh: Fattah, Eep Saifullah. 2004. Pesona Figur Besar. Koran Tempo 26 April: 5. (6). Bila pustaka yang dirujuk berupa website. seperti contoh: Collier, P. dan A. Hoeffler. 2002. Aid, Policy and Growth in Post conflict Societies, www.worldbank.org., diakses tanggal........ (7). Bila pustaka yang dirujuk berupa lembaga, seperti contoh: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2005. Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Peneliti dan Angka Kreditnya. LIPI, Jakarta. (8). Bila pustaka yang dirujuk berupa makalah dalam pertemuan ilmiah, dalam kongres, symposium atau seminar yang belum diterbitkan, seperti contoh: Adisoemarto, S. 1994. Biosafety in Indonesia and its Possible Development: an Extended Thought on Biosafety Measures. ISAAA Asia Biosafety, Workshop. Bogor 22 - 24 April. (9). Bila pustaka yang dirujuk berupa skripsi/tesis/disertasi, sepelti contoh: Zahroh, Iroh Siti. 2000. Turnover Purnakaryasiswa di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Depok.
141
INFOKOP VOLUME 24 NO. 1 - Oktober 2014 : 154-157
(10). Bila pustaka yang dirujuk berupa dokumen paten, seperti contoh: Sukawati, T.R. 1995. Landasan putar bebas hambatan. Paten Indonesia No. ID/0000114. (11). Bila pustaka yang dirujuk berupa laporan penelitian, seperli contoh: Pandanwangi, A.S. Hadijah dan H. Artuti. 1995. Studi Pengaruh Trichoderma viride Pada Berbagai Limbah Organik untuk Bahan starter dan Kontpos Media Persemaian: Laporan penelitian. Fakultas Pertanian, Univ. Tanjungpura, Pontianak. n. Pengutipan dalam naskah: (l) Dalam naskah diberikan tanda superscript pustaka yang digunakan, contoh:..... 1. Nomor yang ditulis sesuai dengan urutan dalarn daftar pustaka, (2) Bila nama pengarang harus ditulis maka menulisnya sebagai berikut: Menurut Adisoemarto 1 ........ Nomor yang ditulis sesuai dengan urutan dalam daftar pustaka. 4.
Kriteria kelayakan artikel. a. Kesesuaian dengan topik; b. Orisinalitas; c. Kedalaman teori; d. Ketajaman analisis: e. Ketepatan metodologi; f. Inovasi.
5. Metode penilaian artikel. a. Blind Reader b. Peer Review Setiap artikel akan ditelaah oleh paling sedikit 2 (dua) orang dari Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK serta oleh 2 (dua) orang penyunting ahli/tamu/mitrabestari. Artikel yang diterima dapat disunting atau dipersingkat dan penulis akan dihubungi untuk dibuat pembetulannya. Artikel yang tidak memenuhi ketentuan dan tidak dapat diperbaiki oleh redaksi akan dikembalikan kepada penulis.
142