Jurnal Penelitian
Politik Vol. 11, No. 1, Juni 2014
DAFTAR ISI Catatan Redaksi iii Artikel • “Menerobos Batas” Nelayan Indonesia di Perairan Australia: Permasalahan dan Prospek Ganewati Wuryandari 1–20 • Kesepakatan Batas Darat RI-Timor Leste: Sebuah Kajian Diplomasi Perbatasan RI Mutti Anggitta 21–38 • Meninjau Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perbatasan di ASEAN Awani Irewati 39–58 • Masalah Krusial di Kabupaten Kepulauan Terluar Rote Ndao Poltak Partogi Nainggolan 59–77 • Krisis Ukraina dan Dampaknya Terhadap Tatanan Politik Global dan Regional Frassminggi Kamasa 79–108 Resume Penelitian • Potret Rasa Kebangsaan di Wilayah Perbatasan Indonesia-Malaysia: Kasus Desa Long Nawang Malinau dan Krayan Nunukan, Kalimantan Utara Syafuan Rozi 109–130 • Tinjauan Kritis Reformasi Kultural Polri (1999-2012) Sarah Nuraini Siregar 131–148 • Fisibilitas Sistem Pemilu Campuran: Upaya Memperkuat Sistem Presidensial di Indonesia Moch. Nurhasim 149–166 Review Buku • Memahami Perspektif Tiongkok dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan Faudzan Farhana 167–180 Tentang Penulis Indeks Pedoman Penulisan
181–182 183–184 185–189
| i
ii | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013
CATATAN REDAKSI
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki kawasan perbatasan terbanyak, baik perbatasan darat maupun perbatasan laut. Secara darat, Indonesia berbatasan dengan Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Sementara itu, wilayah laut Indonesia berbatasan paling tidak dengan 10 negara yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini. Berdasarkan fakta di atas, maka kawasan perbatasan menduduki posisi yang strategis dan berperan penting dalam menjaga keamanan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, kawasan perbatasan Indonesia masih mengandung sejumlah problematika, baik dalam hal pengelolaan batas wilayah Indonesia dengan sejumlah negara, juga dalam pengelolaan dan pembangunan di kawasan perbatasan. Persoalan di atas menyebabkan masih terjadinya beberapa sengketa perbatasan antara Indonesia dengan negara-negara tetangga dan kondisi kawasan perbatasan yang tertinggal, terisolir dan miskin. Oleh karena pentingnya posisi kawasan perbatasan, maka pada edisi kali ini Jurnal Penelitian Politik mengangkat tema “Problematika Kawasan Perbatasan” dalam sejumlah artikelnya pada terbitan Vol. 11, Edisi 1, tahun 2014. Terdapat sembilan artikel yang dimuat dalam Jurnal Penelitian Politik ini, yang terdiri dari lima artikel lepas sesuai tema, tiga artikel ringkasan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti di Pusat Penelitian Politik, dan satu artikel book review. Artikel pertama yang ditulis oleh Ganewati Wuryandari berjudul “’Menerobos Batas’ Nelayan Indonesia Di Perairan Australia: Permasalahan dan Prospek” mengkaji isu nelayan tradisional Indonesia di perairan Australia yang menimbulkan persoalan dalam hubungan bilateral Indonesia-Australia. Dengan menggunakan perspektif Indonesia, tulisan ini dimaksudkan untuk memahami
persoalan tersebut sebagai bahan pijakan untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut, dalam rangka memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan nelayan-nelayan tradisional Indonesia. Artikel berikutnya berisi deskripsi proses pelaksanaan diplomasi perbatasan oleh Republik Indonesia (RI) kepada Timor Leste di tiga level dalam mencapai Provisional Agreement between the Government of Republic of Indonesia and the Government of Republic Democratic Timor Leste on the Land Boundary pada tahun 20022005 untuk menyelesaikan masalah perbatasan kedua negara. Artikel berjudul “Kesepakatan Batas Darat RI-Timor Leste: Sebuah Kajian Diplomasi Perbatasan RI” tersebut ditulis oleh Mutti Anggitta, seorang dosen jurusan Hubungan Internasional di Universitas Bina Nusantara. Pengalaman tiga sengketa perbatasan di antara negara-negara ASEAN yaitu ThailandKamboja, Thailand-Laos, dan MalaysiaIndonesia merupakan studi kasus yang diangkat oleh Awani Irewati dalam artikelnya berjudul “Meninjau Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perbatasan di ASEAN.” Menurut penulis, ketiga sengketa tersebut memiliki keunikan latar belakang dan masing-masing menempuh mekanisme penyelesaian sengketa di level bilateral, regional, dan multilteral. Sengketa batas wilayah masih menjadi isu di antara negara anggota ASEAN karena masih belum tuntasnya penentuan garis-garis batas darat sebagai penanda fisik tegaknya kedaulatan suatu negara. Selain persoalan bilateral antar negara, isu perbatasan juga terkait dengan pengelolaan kawasan perbatasan. Hal inilah yang menjadi fokus dari artikel yang ditulis oleh Poltak Partogi Nainggolan, peneliti di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI. Dengan
Catatan Redaksi | iii
mengambil studi kasus salah satu kawasan perbatasan Indonesia, yaitu Kabupaten Rote Ndao di Provinsi Nusa Tenggara Timur, artikel ini berargumen bahwa kawasan yang menjadi beranda depan Indonesia tersebut belum diperhatikan kondisinya. Artikel berjudul “Masalah Krusial Di Kabupaten Kepulauan Terluar Rote Ndao” yang didasari oleh penelitian yang dilakukan pada tahun 2012 tersebut, selain mendeskripsikan kondisi kawasan tersebut, juga mengungkapkan persoalan-persoalan yang kerap terjadi di kawasan perbatasan, diantaranya pelanggaran wilayah perairan oleh negara lain dan ancaman pengelolaan potensi kawasan oleh pihak asing. Sebagai salah satu isu internasional yang tengah hangat, krisis Ukraina menjadi fokus pembahasan Fransminggi Kamasa dalam artikelnya berjudul “Krisis Ukraina dan Dampaknya terhadap Tatanan Politik Global dan Regional”. Sejumlah isu yang dibahas dalam artikel ini antara lain analisis makro dan mikro atas aktor, isu dan dimensi konflik krisis politik di Ukraina. Dalam artikel tersebut, penulis mempertanyakan sejauh mana hak untuk menentukan nasib sendiri berupa referendum dapat digunakan untuk menyelesaikan krisis, sementara di sisi lain kedaulatan negara merupakan hal yang penting yang harus dijaga. Dengan melihat situasi referendum di Krimea, penulis juga berupaya untuk menarik pelajaran yang dapat dipetik Indonesia. Artikel berikutnya merupakan ringkasan hasil penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI dengan koordinator tim Syafuan Rozi ini berjudul “Potret Rasa Kebangsaan Di Wilayah Perbatasan Indonesia-Malaysia: Kasus Desa Long Nawang Malinau dan Krayan Nunukan, Kalimantan Utara”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anggapan rasa nasionalisme pada masyarakat perbatasan itu rapuh tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Banyak faktor yang menyebabkan rasa nasionalisme masyarakat perbatasan menjadi kuat atau rapuh. Negara memiliki peran penting dalam menumbuhkan dan memelihara rasa kebangsaan masyarakat di seluruh nusantara, khususnya di wilayah
perbatasan. Selain menyajikan potret rasa kebangsaan dalam pemahaman dan keseharian masyarakat perbatasan di wilayah penelitian di atas, penelitian ini berupaya memberikan sebuah rekomendasi atas pendekatan untuk menumbuhkan dan memelihara rasa kebangsaan masyarakat di kawasan perbatasan. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai salah satu institusi negara telah berupaya memenuhi tuntutan gerakan reformasi, salah satunya dalam bentuk reformasi kultural. Hal inilah yang dikaji oleh tim peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI dalam artikel ringkasan penelitiannya yang berjudul “Tinjauan Kritis Reformasi Kultural Polri (19992012)”. Tim yang dikoordinatori oleh Sarah Nuraini Siregar ini berargumen bahwa dalam aspek reformasi kultural, Polri tampak belum berhasil menjadi ‘polisi sipil’ yang berwajah humanis serta demokratis. Padahal, peran Polri sebagai penegak hukum dan fungsinya yang berhubungan dengan masyarakat melekat satu dengan yang lainnya. Fungsinya sebagai pelindung, pengayom, pelayan, dan penegakaan hukum merupakan satu kesatuan universal yang melekat pada identitas Polri sendiri. Artikel berisi ringkasan hasil penelitian berjudul “Fisibilitas Sistem Pemilu Campuran: Upaya Memperkuat Sistem Presidensial Di Indonesia” yang ditulis oleh Moch. Nurhasim ini merupakan serangkaian upaya untuk mencari solusi dalam membenahi watak rapuh dan kelemahan utama sistem proporsional yang telah beberapa kali diterapkan di Indonesia. Tulisan ini berupaya untuk membandingkan tingkat kecocokan penerapan varian-varian sistem pemilu bagi Indonesia dengan tujuan untuk menemukan sebuah formulasi sistem pemilu yang dapat memunculkan pemenang pemilu mayoritas minimal di parlemen (DPR) dalam rangka mengurangi jumlah partai. Hal ini dilakukan mengingat proses pencarian sistem pemilu yang cocok bagi Indonesia merupakan peluang sekaligus tantangan bagi kalangan intelektual. Bagian akhir dari jurnal edisi ini merupakan artikel berupa Book Review atas buku berjudul “Solving Disputes for Regional Cooperation and Development in the South China Sea:
iv | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014
A Chinese Perspective” dengan penulisnya Wu Sichun. Artikel yang ditulis oleh Faudzan Farhana dengan judul artikel “Memahami Perspektif Tiongkok Dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Laut Cina Selatan” mengulas tentang isi buku mengenai sudut pandang Tiongkok terhadap perkembangan isu sengketa kewilayahan di Laut Cina Selatan. Sebagai salah satu aktor kunci dalam sengketa ini, penulis berargumen bahwa buku ini penting dalam upaya memahami pandangan Tiongkok agar dapat memprediksi kebijakan politiknya terkait dengan upaya penyelesaian sengketa secara damai dan pengembangan kerja sama di kawasan.
Pada akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang telah berkontribusi dalam penerbitan Jurnal Penelitian Politik, mulai dari penulis, mitra bestari dan pengelola jurnal. Kami berharap semoga kehadiran jurnal ini dapat bermanfaat dalam memperkaya khasanah keilmuan dan praktis terkait dengan problematika kawasan perbatasan, khususnya di Indonesia. Selamat membaca.
Redaksi
Catatan Redaksi | v
vi | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013
Jurnal Penelitian
Politik Vol. 11, No. 1, Juni 2014
__________________________________________
DDC: 320.12 Ganewati Wuryandari “MENEROBOS BATAS” NELAYAN INDONESIA DI PERAIRAN AUSTRALIA: PERMASALAHAN DAN PROSPEK Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 1, Juni 2014, Hlm. 1-20 Tulisan ini mengkaji isu nelayan tradisional Indonesia di perairan Australia yang telah berulangkali menimbulkan persoalan dalam hubungan bilateral kedua negara. Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) dan nota kesepakatan IndonesiaAustralia atau MoU Box 1974 sesungguhnya telah memberikan jaminan hukum atas hak penangkapan ikan tradisional oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia di perairan Australia yang telah mereka lakukan secara turun menurun sejak sekitar abad 17. Namun fakta empiris memperlihatkan adanya praksis berbeda. Nelayan-nelayan tradisional Indonesia tersebut masih menghadapi hambatan dalam melaksanakan hak perikanan tradisionalnya akibat perbedaan penafsiran hak penangkapan ikan tradisional dan perubahan kawasan area yang disepakati dalam MoU Box oleh pihak Australia. Dengan menggunakan perspektif dari Indonesia, kajian ini dimaksudkan untuk memahami persoalan tersebut sebagai bahan pijakan untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut. Persoalan ini perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Tidak saja untuk kepentingan menjaga hubungan bilateral Indonesia-Australia, tetapi yang jauh lebih penting adalah untuk memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan nelayan-nelayan tradisional kita.
Kata Kunci: Indonesia, Australia, UNCLOS, MoU Box, nelayan tradisional. __________________________________________
DDC:320.12 Mutti Anggitta KESEPAKATAN BATAS DARAT RITIMOR LESTE: SEBUAH KAJIAN DIPLOMASI PERBATASAN RI Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 1, Juni 2014, Hlm. 21-38 Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan proses pelaksanaan diplomasi perbatasan oleh Republik Indonesia (RI) dalam mencapai Provisional Agreement between the Government of Republic of Indonesia and the Government of Republic Democratic Timor Leste on the Land Boundary pada tahun 2002-2005. Dalam mencapai kesepakatan tersebut, diplomasi perbatasan dilaksanakan oleh berbagai aktor (kementerian, institusi pemerintah nonkementerian, dan akademisi) pada tiga level, yaitu level Joint Ministerial Commission (JMC) yang fokus pada penyelesaian masalah-masalah residual antara RI dan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL), Joint Border Committee (JBC) yang fokus pada pengelolaan perbatasan RI-RDTL, dan Technical Sub-Committee on Border Demarcation and Regulation (TSC-BDR) yang fokus pada hal-hal teknis delimitasi batas darat RI-RDTL. Kata Kunci : diplomasi perbatasan, kesepakatan batas darat, RI, RDTL
Abstrak | vii
__________________________________________
DDC: 327.59 Awani Irewati MENINJAU MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERBATASAN DI ASEAN Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 1, Juni 2014, Hlm. 39-58 Sengketa perbatasan antarnegara di ASEAN secara mendasar dipicu oleh belum tuntasnya penentuan garis-garis batas darat. Garis-garis batas sebagai penanda fisik tegaknya kedaulatan suatu negara adalah hal yang sensitif diASEAN. Pengalaman tiga sengketa Thailand–Kamboja, Thailand–Laos, Malaysia–Indonesia merupakan contoh sengketa di ASEAN yang masing-masing memiliki keunikan latar belakang. Beberapa mekanisme menjadi pilihan mereka mengatasi sengketa, yaitu bilateral, regional, dan multilateral. Tiga pilihan ini tercantum dalam klausul TAC (1976) dan ASEAN Charter (2007). Proses friendly negotiation sebagai cara perundingan bilateral menjadi mekanisme solusi yang selalu dianjurkan dalam ASEAN. Setelah melewati proses bilateral yang panjang, dua kasus sengketa (Thailand-Kamboja, Malaysia-Indonesia) akhirnya dibawa ke ranah penyelesaian hukum tingkat multilateral (International Court of Justice), sebagai upaya terakhir. Sedangkan antara Thailand dan Laos diputuskan untuk gencatan senjata/ status quo (1988) sebelum Laos bergabung ke ASEAN (1997), dan mengembangkan kerja sama ekonomi perbatasan sebagai gantinya. Tulisan ini mengangkat tinjauan atas pengalaman mekanisme penyelesaian sengketa terhadap 3 kasus sengketa itu dengan proses penyelesaian yang variatif. Proses friendly negotiation yang berlangsung relatif lama telah membangun ikatan antarpihak, sehingga sengketa tidak mencabik ASEAN. Kata Kunci: Mekanisme Penyelesaian Sengketa, Perbatasan, TAC, Piagam ASEAN, Sengketa Thailand-Kamboja, Sengketa Thailand-Laos, Sengketa Malaysia-Indonesia. __________________________________________
DDC: 320.59868 Poltak Partogi Nainggolan MASALAH KRUSIAL DI KABUPATEN KEPULAUAN TERLUAR ROTE NDAO
Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 1, Juni 2014, Hlm. 59-77 Pulau-pulau terluar adalah beranda Indonesia yang penting, yang belum banyak diperhatikan kondisinya. Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, bagian paling selatan Indonesia yang berbatasan dengan perairan Australia, adalah pulau terluar yang seharusnya penting secara geopolitik dan geostrategis, tetapi posisinya rawan dari gangguan asing. Untuk melindungi eksistensinya, beberapa permasalahan krusial yang dihadapi di Rote Ndao harus dapat dipetakan secara komprehensif dan segera dicarikan solusinya. Kajian ini mendiskusikan Rote Ndao dari kondisi infrastruktur, kelangkaan penduduk, pengelolaan ilegal, dan keamanan, baik tradisional maupun non-tradisional, dan kaitannya dengan transmigrasi sebagai solusi untuk melindungi wilayah itu. Pengumpulan data dilakukan dengan kunjungan lapangan dan wawancara dengan para pejabat dinas terkait dan aparat keamanan, pada tahun 2012, selain penggunaan data sekunder, yang diperoleh dari studi kepustakaan. Analisis dilakukan dengan pendekatan kualitatif, yang temuan pentingnya antara lain mengungkap pelanggaran wilayah perairan yang dilakukan oleh Angkatan Laut Australia belakangan ini dan munculnya ancaman pengelolaan secara ilegal oleh orang asing, serta para pelaku non-negara lainnya. Kata Kunci: pulau terluar, kabupaten kepulauan terluar, Rote Ndao, Provinsi NTT, ancaman keamanan, migran ilegal, perdagangan manusia. __________________________________________
DDC: 327.477 Frassminggi Kamasa KRISIS UKRAINA DAN DAMPAKNYA TERHADAP TATANAN POLITIK GLOBAL DAN REGIONAL Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 1, Juni 2014, Hlm. 79-108 Krisis politik di Ukraina adalah isu internasional aktual yang terjadi saat ini. Artikel ini akan membahas krisis Ukraina dan dampaknya terhadap tatanan politik global dan regional. Secara khusus, artikel ini akan fokus menganalisa secara makro dan mikro aktor, isu, dan dimensi konflik krisis politik di Ukraina. Berbeda dengan studi lainnya, artikel ini membahas bahwa krisis Ukraina membawa pada suatu perubahan lingkungan strategis yang baru di
viii | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014
Eropa dan usaha untuk mempertahankan tatanan global yang ada saat ini dari ancaman antisistemik. Sebagai tambahan, artikel ini akan membahas sejauh mana hak untuk menentukan nasib sendiri berupa referendum dapat digunakan untuk menyelesaikan krisis, sementara di sisi lain kedaulatan negara merupakan hal yang penting yang harus dijaga. Selanjutnya artikel ini juga membahas pelajaran referendum Krimea bagi Indonesia. Terakhir, artikel ini menemukan bahwa hasil krisis Ukraina tidak hanya berpengaruh bagi masa depan Ukraina tetapi juga awal/dasar pada perimbangan baru dalam tatanan politik global dan regional. Implikasinya, hal itu menimbulkan dua kemungkinan apakah Barat dan Rusia menahan diri untuk tidak saling mengganggu atau sebaliknya. Kata Kunci: krisis Ukraina, tatanan politik global dan regional, geopolitik, sistem/masyarakat internasional, referendum, hak untuk menentukan nasib sendiri. __________________________________________
DDC: 320.54 Syafuan Rozi POTRET RASA KEBANGSAAN DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA-MALAYSIA: KASUS DESA LONG NAWANG MALINAU DAN KRAYAN NUNUKAN, KALIMANTAN UTARA Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 1, Juni 2014, Hlm. 109-130 Anggapan bahwa rasa nasionalisme pada masyarakat perbatasan itu rapuh tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Banyak faktor yang menyebabkan rasa nasionalisme masyarakat perbatasan menjadi kuat atau sebaliknya, rapuh. Negara memiliki peran penting dalam menumbuhkan dan memelihara rasa kebangsaan masyarakat di seluruh nusantara, khususnya di wilayah perbatasan. Tulisan ini menyajikan potret rasa kebangsaan dalam pemahaman dan keseharian masyarakat perbatasan. Pada akhirnya, tulisan ini ingin memberikan sebuah rekomendasi kepada pemerintah dan pemangku kepentingan terkait, bahwa pendekatan untuk menumbuhkan dan memelihara rasa kebangsaan masyarakat perbatasan haruslah lebih inovatif dan humanis serta beradab.
Kata Kunci: kebangsaan, wilayah perbatasan, peran pemerintah. __________________________________________
DDC: 363.23 Sarah Nuraini Siregar TINJAUAN KRITIS REFORMASI KULTURAL POLRI 1999-2012 Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 1, Juni 2014, Hlm. 131-148 Selama 14 tahun terakhir, Polri telah berusaha memenuhi tuntutan gerakan reformasi meski belum berhasil seluruhnya. Khusus reformasi kultural, menurut klaim Polri, telah ada beberapa upaya yang dilakukan oleh Polri, seperti perubahan doktrin, perumusan pedoman tata perilaku anggota Polri, dan sebagainya. Namun dalam perkembangannya, khusus untuk aspek kultural selaku muara dari reformasi, Polri tampak belum berhasil menjadi ‘polisi sipil’ yang berwajah humanis serta demokratis. Padahal peran Polri sebagai penegak hukum dan fungsinya yang berhubungan dengan masyarakat melekat satu dengan yang lainnya. Fungsinya sebagai pelindung, pengayom, pelayan, dan penegakkan hukum merupakan satu kesatuan universal yang melekat pada identitas Polri sendiri. Kualitas dari implementasi fungsi tersebut yang akan mencerminkan bagaimana perilaku Polri sesungguhnya di dalam masyarakat. Oleh karena itu, berbicara mengenai reformasi kultural Polri, turut menganalisis pula seluruh fungsi-fungsi tersebut dijalankan oleh anggota Polri. Kata Kunci : Polri, polisi, reformasi, budaya, kultural, sipil, humanis. __________________________________________
DDC: 324.6 Moch. Nurhasim FISIBILITAS SISTEM PEMILU CAMPURAN: UPAYA MEMPERKUAT SISTEM PRESIDENSIIL DI INDONESIA Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 1, Juni 2014, Hlm. 149-166
Abstrak | ix
Proses pencarian sistem pemilu yang cocok bagi Indonesia merupakan peluang sekaligus tantangan bagi kalangan intelektual. Dalam proses pencarian itu, tim pemilu P2P LIPI telah melakukan serangkaian upaya untuk mencari solusi dalam membenahi watak rapuh dan kelemahan utama sistem proporsional yang telah beberapa kali diterapkan di Indonesia. Kajian P2P LIPI mengenai Fisilibilitas Sistem Pemilu Campuran: Upaya Memperkuat Sistem Pemilu Presidensial di Indonesia adalah sebuah kajian yang membandingkan tingkat kecocokan penerapan varian-varian sistem pemilu bagi Indonesia. Tujuannya adalah untuk menemukan sebuah formulasi sistem pemilu yang dapat memunculkan pemenang pemilu mayoritas minimal di parlemen (DPR) dalam rangka mengurangi jumlah partai. Kata Kunci: Sistem Presidensial, Sistem Pemilu, Sistem Pemilu Campuran __________________________________________
DDC: 320.12 Faudzan Farhana
agar dapat memprediksi kebijakan politiknya terkait dengan upaya penyelesaian sengketa secara damai dan pengembangan kerja sama di kawasan. Tiongkok mengklaim kedaulatannya atas keempat grup kepulauan di LCS dan lautan di sekelilingnya berdasarkan tiga hal: (1) hak-hak historis yang mencakup penemuan, penamaan, penggunaan nama yang berkelanjutan, dan tindakan protes dan perlawanan terhadap invasi asing, (2) penyelenggaraan kekuasaan administratif yang berkelanjutan, serta (3) adanya pengakuan atas kedaulatan Tiongkok dari komunitas internasional dan bahkan juga dari beberapa negara pengklaim lainnya. Sementara itu, dalam upaya penyelesaian sengketa ini disarankan agar seluruh pihak dapat bekerjasama dalam menemukan resolusi damai berdasarkan empat prinsip: (1) pengelolaan laut secara damai, (2) upaya selangkah-demi-selangkah, (3) pembagian keuntungan yang adil dan seimbang, serta (4) pengeksplorasian yang ramah lingkungan. Kata Kunci: perspektif Tiongkok, Laut Cina Selatan, sengketa wilayah, kerja sama regional.
MEMAHAMI PERSPEKTIF TIONGKOK DALAM UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA LAUT CINA SELATAN Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 1, Juni 2014, Hlm. 167-180 Ulasan buku ini adalah tentang sudut pandang Tiongkok terhadap perkembangan isu sengketa kewilayahan di Laut Cina Selatan (LCS). Sebagai salah satu aktor kunci dalam sengketa ini, sangatlah penting untuk memahami pandangan Tiongkok
x | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014
Jurnal Penelitian
Politik Vol. 11, No. 1, Juni 2014
__________________________________________
__________________________________________
DDC: 320.12 Ganewati Wuryandari
DDC:320.12 Mutti Anggitta
CROSSING BORDER: INDONESIAN TRADITIONAL FISHERMEN IN AUSTRALIAN WATERS
THE AGREEMENT ON THE LAND BOUNDARY BETWEEN RI AND TIMOR LESTE: A STUDY OF INDONESIAN BORDER DIPLOMACY
Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 1, June 2014, Page 1-20 This paper examines the issue of Indonesian traditional fishermen in Australian waters that have repeatedly caused serious problems in their bilateral relations. Convention on the Law of the Sea (UNCLOS ) and the Memorandum of Understanding between Indonesia and Australia in 1974 or MoU Box certainly grant legal assurance for the rights of traditional fishing by traditional Indonesian fishermen in Australian waters which have been carried out since the 17th century. However, their implementations have demonstrated that Indonesian traditional fishermen still confront obstacles in performing their traditional fishing rights due to the different interpretations of traditional fishing rights and the changes made by Australia on the area of traditional fishing ground. This study, which based on Indonesian perspective, aims to understand this problem and strive to find its solution. This issue indeed needs government serious attention. Not just for the sake of maintaining Indonesia-Australia bilateral relations, but far more important is to guarantee security and welfare of our traditional fishermen.
Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 1, June 2014, Page 21-38 The purpose of this article is to describe the practice of border diplomacy by the Republic of Indonesia (RI) in attaining of the Provisional Agreement between the Government of Republic of Indonesia and the Government of Republic Democratic Timor Leste on the Land Boundary since 2002 until 2005. Border diplomacy was conducted by various actors (ministerial, non-ministerial government institutions, and academicians) in three levels: Joint Ministerial Commission (JMC) level which focused on the settlement of residual problems between RI and RDTL, Joint Border Committee (JBC) level which focused on border management, Technical Sub-Committee on Border Demarcation and Regulation (TSC-BDR) level which focused on the delimitation of the land boundary between RI and RDTL. Keywords: Border Diplomacy, agreement on the land boundary, RI, RDTL.
Keywords: Indonesia, Australia, UNCLOS, MoU Box, traditional fishermen.
Abstract | xi
__________________________________________
DDC: 327.59 Awani Irewati REVIEWING THE MECHANISM OF BORDER DISPUTES SETTLEMENT IN ASEAN Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 1, Juni 2014, Page 39-58 It has been a common picture within ASEAN that the border disputes remain highly sensitive problems among states. As long as it deals with the territory sovereignty issue of a state, the procedure of negotiations chosen by the disputed states were often under prolonged process, even without final solution such as Thailand–Laos case. Several mechanisms from bilateral, regional and multilateral forum were stages of negotiations in which the disputed states can entrust on. These stages have been listed within both the TAC (1976) and the ASEAN Charter (2007). The bilateral stage, namely ‘friendly negotiation’ should be prioritized first in any dispute resolution before any other way be taken. Despite having a long term of ‘friendly negotiation’, the two cases, Thailand–Kamboja, and Malaysia–Indonesia were finally decided to be taken to the International Court of Justice. As with the two cases above, the Thailand–Laos case has been decided to be temporary a ceasefire. Both agreed to expand the border economic development instead. This paper analyses the mechanism of border dispute settlement of the three cases, respectively. The way the disputed states took negotiations gives the significant lessons in which the border disputes can be overcome without disturbing the ASEAN existence as a whole. Keywords: dispute settlement mechanism, border, TAC, ASEAN Charter, ICJ,Thailand-Cambodia dispute, Thailand-Laos dispute, Malaysia-Indonesia dispute. __________________________________________
DDC: 320.59868 Poltak Partogi Nainggolan CRUCIAL PROBLEMS IN THE OUTMOST ARCHIPELAGIC MUNICIPALITY ROTE NDAO Jurnal Penelitian Politik
Vol. 11, No. 1, Juni 2014, Page 59-77 Outmost islands are Indonesia’s important frontiers which have not yet properly handled. Rote Ndao, an archipelagic municipality in the most southern part of Indonesia, whose islands located near Australian water territory, which supposedly have important position geopolitically and geostrategically, is still vulnerable from various forms of foreign threats. To protect the archipelago, crucial problems confronting there should be able to be comprehensively explained in order to find their solutions. This essay discloses situation in Rote Ndao concerning with problems of infrastructure, rare population, illegal practices of governance, and other security threats, traditional and non-traditionally, and their connections with transmigration policy as a solution to guarantee the prospect of the región. Data gathering was conducted with field observation and in-depth interviews with state apparatus and security officers during 2012, in addition to the secondary data gained from library studies. Its analysis applies a qualitative method, whose findings, among other, reveal violations of Indonesia’s waters, recently conducted by Australian navy, and the rising of threats coming from illegal businesses conducted by foreign nationalities and other non-state actors. Keywords: outmost islands, outmost archipelagic municipality, Rote Ndao, NTT Province, security threats, illegal migrants, human trafficking. __________________________________________
DDC: 327.477 Frassminggi Kamasa UKRAINE’S CRISIS AND ITS IMPACT TOWARDS GLOBAL AND REGIONAL POLITICAL SYSTEM Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 1, Juni 2014, Page 79-108 Political crisis in Ukraine is a recent international issue. This article is going to discuss Ukraine’s crisis and its impact towards global and regional political system. Its focus is on analyzing macro and micro actors, issues, and conflict dimensions in Ukraine’s political crisis. Different from other articles, this article reviews that the Ukrainian crisis demonstrated a new strategic environment in Europe and an effort to maintain global system from an anti-systemic threat. In addition, this article also discusses whether right to
xii | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014
self-determination in form of referendum can be used or not to solve the crisis in Ukraine whereas in other hand, the state sovereignity is an important thing to be held. Furthermore, this article explains the lessons point for Indonesia from Krimea referendum. Lastly, this article finds that the result of Ukraine’s crisis not only gives the impact to Ukraine’s future but also as the starting point to the parity towards global and regional political system. The implication from what has been mentioned above is whether the West and Russia restraint to interfere or vice versa. Keywords : Ukraine’s crisis, global and regional political system, geopolitics, international society/ system, referendum, right to self-determination. __________________________________________
DDC: 320.54 Syafuan Rozi NATIONHOOD IN BORDER AREA OF INDONESIA-MALAYSIA: CASES OF LONG NAWANG MALINAU AND KRAYAN NUNUKAN VILLAGE IN NORTH KALIMANTAN
REFORM OF INDONESIAN POLICE (1999-2012) Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 1, Juni 2014, Page 131-148 Over the past 14 years, Polri have tried to fullfill the demands of the reform movement, although not yet entirely succeeded. Especially for cultural reform, according to Polri’s claims, there have been some efforts made by them, such as doctrine transformation, the formulation of behaviour guidelines for Polri’s members and so on. But in reality, especially for the cultural aspect as the springhead of the reform, Polri seemed to have not managed as ‘civilian police’ which should be humanist and democratic. Whereas the role of the police as law enforcement and community-related functions attached to one another. Their function as protector, steward, and law enforcement is an integral universal and attached to their identity. The quality of the implementations of these functions will reflect how the actual Polri’s behavior in society. Therefore, study about Polri’s cultural reform also analyze the whole of these functions are obtain by Polri’s members.
Jurnal Penelitian Politik
Keywords: Polri, police, reform, culture, cultural, civil, humanist.
Vol. 11, No. 1, Juni 2014, Page 109-130
________________________________________
The presumption that a sense of nationalism in border communities is fragile is not entirely wrong, but also not entirely correct. Many factors that cause a sense of nationalism border communities strong or otherwise, weak. The state has an important role in growing and maintaining a sense of nationality communities across the country, especially in border areas. This paper presents a portrait of a sense of nationhood in the comprehension and daily life of border communities. At the end, this paper is trying to give some recommendation to the government and another stakholders, about how to crate a good approach to build nationhood in a border communities which more civilized and humanist. Keywords: Nationhood/nationalism, Border Land, Government Role. __________________________________________
DDC: 363.23 Sarah Nuraini Siregar CRITICAL REVIEW ON CULTURAL
DDC: 324.6 Moch. Nurhasim FEASIBILITY OF MIXED ELECTORAL SYSTEM: EFFORTS TO STRENGTHEN PRESIDENTIAL SYSTEM IN INDONESIA Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 1, Juni 2014, Page 149-166 The process of finding a suitable electoral system for Indonesia poses not only opportunities but also challenges for intellectual circles. In the search process, P2P LIPI election team has made a series of attempts to find a solution to fix the fragile character and the main disadvantage proportional system which had several times applied in Indonesia. The study about Feasibility of Electoral Mixed System: Efforts to Strengthen Presidential System in Indonesia tries to compare the level of suitability in the application of variants of electoral systems to
Abstract | xiii
Indonesia. Its goal is to find the formulation of an electoral system that can bring the minimal majority of winner in parliament (DPR) in order to reduce the number of parties. Keywords: Presidential System, Electoral System, Mixed Electoral System __________________________________________
DDC: 320.12 Faudzan Farhana UNDERSTANDING THE CHINESE PERSPECTIVE ON SOLVING DISPUTES IN THE SOUTH CHINA SEA
of cooperation in the region. From this book we can concluded that China claims its sovereignty over four group of islands in SCS and sea around it based on three reason: (1) historical rights that consist of discovery, naming, continuous act of using the name, and protest and fight towards foreign invasion, (2) continuous application of administrative authority, and (3) recognition of China’s sovereignty from international community and even from some of the claimant states. Further more in the efforts of disputes settlement, China adviced that all of the parties should work together towards a peaceful resolution based on four principles: (1) peaceful uses of the sea, (2) step-by-step efforts, (3) equal sharing of benefits, and (4) environmentally friendly exploration. Keywords: Chinese perspective, South China Sea, territorial disputes, regional cooperation.
Jurnal Penelitian Politik Vol. 11, No. 1, Juni 2014, Page 167-180 This review is about a Chinese perspective towards development of territorial disputes in the South China Sea (SCS). As one of the key actor in the disputes, it is very important to understand China’s perspective in order to predict its policies, regarding to the effort of disputes settlement and development
xiv | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014
“MENEROBOS BATAS” NELAYAN INDONESIA DI PERAIRAN AUSTRALIA: PERMASALAHAN DAN PROSPEK CROSSING BORDER: INDONESIAN TRADITIONAL FISHERMEN IN AUSTRALIAN WATERS Ganewati Wuryandari Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 15 Januari 2014; direvisi: 15 Mei 2014; disetujui: 27 Juni 2014 Abstract This paper examines the issue of Indonesian traditional fishermen in Australian waters that have repeatedly caused serious problems in their bilateral relations. Convention on the Law of the Sea (UNCLOS ) and the Memorandum of Understanding between Indonesia and Australia in 1974 or MoU Box certainly grant legal assurance for the rights of traditional fishing by traditional Indonesian fishermen in Australian waters which have been carried out since the 17th century. However, their implementations have demonstrated that Indonesian traditional fishermen still confront obstacles in performing their traditional fishing rights due to the different interpretations of traditional fishing rights and the changes made by Australia on the area of traditional fishing ground. This study, which based on Indonesian perspective, aims to understand this problem and strive to find its solution. This issue indeed needs government serious attention. Not just for the sake of maintaining IndonesiaAustralia bilateral relations, but far more important is to guarantee security and welfare of our traditional fishermen. Keywords: Indonesia, Australia, UNCLOS, MoU Box, traditional fishermen. Abstrak Tulisan ini mengkaji isu nelayan tradisional Indonesia di perairan Australia yang telah berulangkali menimbulkan persoalan dalam hubungan bilateral kedua negara. Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) dan nota kesepakatan Indonesia-Australia atau MoU Box 1974 sesungguhnya telah memberikan jaminan hukum atas hak penangkapan ikan tradisional oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia di perairan Australia yang telah mereka lakukan secara turun menurun sejak sekitar abad 17. Namun fakta empiris memperlihatkan adanya praksis berbeda. Nelayan-nelayan tradisional Indonesia tersebut masih menghadapi hambatan dalam melaksanakan hak perikanan tradisionalnya akibat perbedaan penafsiran hak penangkapan ikan tradisional dan perubahan kawasan area yang disepakati dalam MoU Box oleh pihak Australia. Dengan menggunakan perspektif dari Indonesia, kajian ini dimaksudkan untuk memahami persoalan tersebut sebagai bahan pijakan untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut. Persoalan ini perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Tidak saja untuk kepentingan menjaga hubungan bilateral Indonesia-Australia, tetapi yang jauh lebih penting adalah untuk memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan nelayan-nelayan tradisional kita. Kata Kunci: Indonesia, Australia, UNCLOS, MoU Box, nelayan tradisional.
Menerobos Batas Nelayan Indonesia di Perairan Australia | Ganewati Wuryandari | 1
Pendahuluan Penangkapan dan penahanan nelayan tradisional Indonesia di wilayah perairan Australia dalam beberapa tahun terakhir ini telah berkembang menjadi isu yang semakin penting dalam hubungan bilateral kedua negara. Hal ini terlihat dari tiga indikasi utama. Pertama, isu ini telah menjadi salah satu agenda pembahasan dalam berbagai kesempatan pertemuan bilateral kedua negara, kesepakatan perjanjian, dan kerjasama baik di bidang perikanan/kelautan dan keamanan. 1 Kedua, keseriusan masalah nelayan tradisional dalam hubungan kedua negara ini ditunjukkan oleh fakta penangkapan nelayan tradisional Indonesia di Australia masih terus berlangsung dan dengan kecenderungan semakin sering terjadi.2 Ketiga, kasus-kasus penangkapan, penahanan dan pembakaran kapal nelayan Indonesia di negara kangguru tidak jarang menimbulkan komplikasi dalam hubungan kedua negara.3 Ditilik dari catatan sejarah, nelayan-nelayan Indonesia, terutama yang berasal dari Indonesia Timur seperti nelayan dari Pulau Rote, Flores, Alor, Buton, Sabu, Madura, Timor, Sulawesi, dan Maluku sudah turun menurun sejak abad 17 (sebelum adanya negara Australia) telah melaut dan melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan antara Republik Indonesia-Australia. Mereka melaut hingga sekitar perairan selatan Nusa Tenggara Timur dengan Australia.4 Lihat salah satunya Rote Online, “Bahas Nasib Nelayan, Bupati Rote Ndao, KKP dan Australia Gelar MoU Box, 7 November 2013, http://news.roteonline.com/bupati-rote-ndaokkp-dan-australia-gelar-MoU-box.php, diakses pada tanggal 6 Mei 2014; Defence News, “Australia and Indonesia Combine Forces To Tackle Illegal Fishing”, 19 September 2013, http:// www.defence.gov.au/defencenews/stories/2013/sep/0920.htm, diakses pada tanggal 6 Mei 2014. 1
Lihat Warta Terkini, September 2006, “Makin Banyak Nelayan Indonesia Ditangkap Australia”, http://www.wartaterkini. com/78/11/44/makin-banyak-nelayan-indonesia-ditangkapaustralia.htm, diakses pada tanggal 6 Mei 2014. 2
Lihat antara lain Antaranews, “Nelayan Indonesia menang di pengadilan Australia”, 20 Maret 2014, http://www.antaranews. menang-di-pengadilan-australia, diakses pada tanggal 6 Mei 2014. 3
Menurut penuturan nelayan Pulau Rote, mereka sudah melakukan penangkapan ikan di sekitar perairan tersebut sejak abad 17. Lihat Radio Australia, “Pokok dan Sosok”, 11 Januari 1997, http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/09/17/0011. html, diakses pada tanggal 6 Mei 2014. 4
Dalam konteks kekinian, pelaksanaan “hak penangkapan ikan tradisional“ termasuk yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia di atas, dijamin oleh hukum internasional, melalui Pasal 51 dan Pasal 62 Ayat 3 UNCLOS. Pemerintah Indonesia dan Australia juga telah mengakomodasikan kepentingan nelayan-nelayan tradisional tersebut dalam sebuah nota kesepakatan, yaitu Memorandum of Understanding between the Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia Regarding of operation of Indonesian Traditional Fisherment in area of the Australian Exclusive Fishing zone and Continental Shelf pada tahun 1974. MoU ini populer juga disebut MoU Box. Sekalipun keberadaan Konvensi Hukum Laut dan MoU di atas memberikan jaminan hukum atas hak penangkapan ikan tradisional RIAustralia, tetapi fakta empiris memperlihatkan adanya praksis berbeda. Salah satu sumbu masalahnya terletak pada perbedaan penafsiran hak penangkapan ikan tradisional. Realitas ini, sebagaimana dikatakan Irawati dan Oentoeng Wahjoe (2011), menyebabkan persoalan “traditional fishing right” dan “illegal fishing”, bagaikan “pepatah” yang mengatakan madu di tangan kanannya dan racun ditangan kirinya”. Mereka yang sudah turun menurun dan terus menerus melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah perairan MoU Box tidak lagi terjamin hak-haknya, karena tidak ada kepastian hukum.5 Perbedaan penafsiran atas hak penangkapan ikan tradisional tersebut dalam praktiknya sering kali telah menyebabkan persoalan bagi nelayan Indonesia. Mereka yang telah biasa secara turun menurun melaut dan menangkap ikan di wilayah perairan MoU Box ditangkap. Tidak jarang pula mereka ditahan dan kapalnya dibakar oleh pihak Australia. Mereka yang dituduh melanggar batas wilayah teritorial dan melakukan kegiatan penangkapan ikan secara ilegal diperkirakan jumlahnya sudah mencapai ribuan sejak MoU Box ditandatangani sampai sekarang. Irawati dan Oentoeng Wahjoe, “Tanggung Jawab Negara dalam Melindungi Hak Nelayan Tradisional Indonesia di Perairan Australia”, Mimbar, Vol. XXVII, No. 1, Juni 2011, hlm. 19. 5
2 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 1–20
Tulisan ini mengkaji isu nelayan tradisional Indonesia di perairan Australia yang telah menjadi persoalan serius yang mengganjal hubungan bilateral Indonesia-Australia. Dengan menggunakan perspektif dari Indonesia, kajian ini dimaksudkan untuk memahami persoalan tersebut sebagai bahan pijakan untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut. Masalah ini harus memperoleh perhatian yang serius dan dicari jalan keluar pemecahannya, tidak hanya untuk kepentingan hubungan bilateral Indonesia-Australia, tetapi yang jauh lebih penting adalah untuk memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan nelayan-nelayan tradisional kita.
Menyusuri Jejak Sejarah Penjelajahan Samudara Nelayan Indonesia Ke Australia Mendiskusikan sejarah nelayan tradisional Indonesia di perairan Australia tidak bisa dilepaskan dari sejarah perburuan teripang. Dari berbagai catatan sejarah yang dikumpulkan jelas menunjukkan bahwa pertautan antara nelayan nusantara dan Australia telah berlangsung lebih dari tiga ratus tahun lalu. Pertautan mereka kurang lebih dimulai sejak abad ke-17, yaitu ketika para nelayan nusantara mengkayuh perahu kayu mereka mengarungi Samudra Hindia dan Laut Timor hingga sampai ke perairan Australia utara dan barat daya. Mereka memiliki tujuan yang sama yaitu berburu teripang yang juga dikenal dengan sebutan timun laut (sea cucumber). Permintaan besar pasar Asia, khususnya Tiongkok akan teripang menjadi salah satu faktor pendorong kuat nelayan nusantara, khususnya dari Sulawesi untuk berlayar hingga ke perairan Australia.6 Salah satu masyarakat nelayan Sulawesi yang sudah sejak lama dikenal ikut dalam Lihat buku klasik studi tentang penangkapan teripang di Australia Utara oleh C.C.Macknight, The Voyage to Marege: Macassan trepangers in northern Australia, (Melbourne: Melbourne University Press, 1976); James J.Fox dan Sevaly Sen, A Study of Socio-Economic Issues Facing Traditional Indonesian Fisheries who access the MOU Box, A Report for Environment Australia, Research School of Pacific and Asian Studies, The Australian National University dan FERM, Canberra, Oktober 2002, hlm.14; Pradina Purwati, “Teripang Indonesia: Komposisi Jenis dan Sejarah Perikanan”, Oseana, Vol. XXX, No. 2, 2005, hlm. 3. 6
perburuan teripang adalah Bajau atau Bajau Laut. Nenek moyang suku Bajau ini berasal dari Filipina Selatan yang kemudian bermigrasi hingga ada sebagian dari mereka sampai ke Indonesia pada abad 15. Suku Bajau saat ini mendiami daerah pesisir di sekitar wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara. Sejarah Bajau tidak bisa dilepaskan dengan aktivitas nelayannya sebagai pemburu teripang. Salah satu bukti sejarah yang mendukung hal tersebut adalah sebuah surat yang ditulis oleh seorang pejabat Dutch East India Company di Kupang pada tanggal 14 Mei 1728 yang melaporkan kepada Gubernur Jenderal Batavia bahwa 40 perahu kecil Bajau terlihat di sekitar perairan pulau Rote dan melaut ke arah selatan (Australia) untuk mencari dan menangkap teripang.7 Menurut studi yang dilakukan oleh James Fox dan Sevaly Sen tahun 2002, suku Bajau ini juga diyakini oleh sebagian besar penduduk pulau Rote sebagai penemu pulau Ashmore Reef.8 Pada tahun 1729, dalam pelayaran yang dipimpin oleh seorang raja bernama Foe Mpura, perahu yang seharusnya berlayar menuju ke Batavia terseret ke arah selatan hingga mencapai suatu pulau kecil yang berada sekitar 120 km dari Pulau Rote yang kemudian disebut sebagai Nusa Solo Kaek (Pulau Pasir Panas). Namun demikian, Pulau Pasir ini sekarang berada dalam jurisdiksi wilayah Australia dan dinamakan Ashmore Reef. Nama ini diberikan oleh pihak Australia sesuai dengan penemunya, yaitu Samuel Ashmore yang berlayar mencapai daerah tersebut pada tahun 1811.9 Salah satu catatan sejarah penting lainnya akan awal kontak hubungan antara nelayan Indonesia dan Australia juga dapat ditelusuri melalui catatan Flinder dan Pobasso (1803). Menurut Flinders dan Pobasso, nelayan Makasar sudah berlayar mencari teripang hingga ke pulau-pulau di sekitar Jawa sampai ke daerah kering yang terletak di selatan Pulau Rote dan 7
Fox dan Sen, op.cit., hlm. 13.
Ibid. Pandangan yang hampir sama dikemukakan oleh Tom Therik, seorang akademisi dari Rote. Therik menyatakan bahwa cerita turun temurun menyatakan bahwa seorang Raja dari Rote menemukan Nusak Solok Kae (Sandy Beach) - nama sebutan Ashmore Reef oleh orang Rote – sejak berabad-abad lampau. Lihat The Age, “Caught in the Net”, 26 September 2003. 8
Purwati, op.cit., hlm. 13; Lihat juga Kompas, “Nelayan Timor dan Laut”, 28 Mei 2005. 9
Menerobos Batas Nelayan Indonesia di Perairan Australia | Ganewati Wuryandari | 3
Pantai Kimberly (Australia Barat) sekitar dua puluh tahun sebelum mereka menulis catatan mereka tahun 1803.10 Bukti pelayaran orang Makasar ke pantai Australia barat laut dan utara ini juga telah terdokumentasi dengan baik dalam bentuk lukisan-lukisan yang dibuat oleh bangsa asli Australia, Aborigin di dinding-dinding goa. Peninggalan sejarah lainnya adalah model kano (canoe) dan penggunaan kosa kata oleh orang-orang Aborigin seperti ‘balanda’ untuk menunjuk orang kulit putih. Selain itu, bukti yang cukup signifikan lainnya adalah diketemukannya dokumen yang menyangkut peraturan pajak dan perizinan tahun 1882 untuk nelayan Makasar yang mengambil teripang di perairan Northern Territory Australia.11 Dari berbagai catatan sejarah tersebut terlihat jelas bahwa adanya jejak ratusan tahun nelayan-nelayan tradisional Indonesia melaut hingga ke perairan Australia. Mereka mengarungi laut untuk mencari teripang di wilayah perairan tersebut bahkan sebelum negara Australia terbentuk tahun 1901. Tradisi melaut di perairan Australia tersebut masih terus dipertahankan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia sampai saat ini. Mereka pada umumnya berasal dari Indonesia Timur, yaitu Bajo, Makasar, Bugis, Rote, Buton dan Madura. Ada tiga faktor utama yang mendorong nelayan-nelayan Indonesia untuk terus melaut mencari ikan hingga perairan Australia. Pertama adalah faktor tradisi. Perburuan ikan oleh nelayan Indonesia di perairan Australia sebagaimana yang terus berlanjut hingga sekarang ini merupakan aktivitas yang sebetulnya telah dilakukan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka sejak tiga ratus tahun lalu. Kedua adalah dorongan faktor ekonomi. Para nelayan tersebut melaut hingga ke perairan Australia dengan tujuan utama yaitu mencari teripang, sirip ikan hiu dan kerang lola (trochus shell). Aktivitas mereka ini tidak saja hanya semata untuk memenuhi keperluan mereka sendiri, tetapi juga untuk kebutuhan komersial yaitu hasil tangkapan laut mereka jual karena 10
Purwati, op.cit., hlm. 13.
11
Ibid.
memiliki nilai ekonomis tinggi. Sirip ikap hiu, misalnya, yang biasa diolah sebagai bahan sup yang lezat harga per kilogramnya berkisar Rp.250.000–Rp.300.000.12 Sedangkan teripang yang dikenal untuk bahan makanan dan obat harganya di pasar lokal sekitar Rp.30.000 – Rp. 150.000 per kilogramnya.13 Nilai harga jual yang cukup tinggi dari teripang tersebut telah memicu para nelayan Indonesia untuk mencoba mencari teripang dimanapun berada. Perburuan mereka bahkan sampai di perairan laut Australia. Ketiga adalah faktor relatif masih berlimpahnya perairan Australia yang berbatasan dengan Indonesia, Samudra Hindia dan Laut Timor akan sumber hayati laut seperti sirip ikan hiu, teripang dan kerang lola. Hasil penelitian yang dilakukan selama enam tahun oleh tim Australia yang bekerjasama dengan Indonesia, misalnya, menggarisbawahi temuan tersebut. Dari 140 jenis ikan hiu yang diketemukan di perairan kedua negara, penelitian tersebut menyatakan bahwa sebagian besar ikan hiu tersebut berada di perairan Australia dengan populasi jumlah yang diperkirakan sangat banyak.14 Melimpahnya sumber hayati laut, termasuk ikan hiu di perairan Australia tidak terlepas dari ketatnya perlindungan atas ekosistem lautnya. Munculnya tuntutan hidup baru, kondisi ekonomi sebagian besar nelayan Indonesia yang relatif buruk dan semakin langkanya sumber hayati di perairan Indonesia juga semakin mendorong para nelayan Indonesia melaut hingga ke perairan Australia. Namun demikian, tradisi melaut nelayan Indonesia di perairan Australia yang sesungguhnya diakomodasi pemerintah Australia dengan MoU Box tahun 1974 dalam realitas pelaksanaannya tidak sama pada masa lalu dan saat ini. Pada masa lalu nelayan Indonesia bisa memasuki zona 12
Kompas, “Nelayan Timor dan Laut”, 28 Mei 2005.
Departemen Kelautan dan Perikanan, “Teripang Geliat Potensi dari Laut”, Informasi Teknologi, 28 September 2006, http://www.dkp.go.id/content.php?c=3367, diakses pada tanggal 23 Mei 2007. 13
Lihat Freddy Numberi, Menteri Kelautan dan Perikanan ketika menjelaskan hasil kunjungan kerjanya ke Australia 15-19 November 2006 kepada wartawan di Jakarta tanggal 25 November 2006 di Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kementerian Keuangan RI, “Australia Beri dana Hibah Rp. 651 milyar”, http://www.perbendaharaan.go.id/modul/terkini/index. php?id=1859, diakses pada tanggal 5 Mei 2007. 14
4 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 1–20
perairan yang disepakati dalam MoU tersebut secara bebas, namun tidak demikian halnya pada masa kini. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Juhdar Asenong, seorang nelayan asal Papela, Pulau Rote dalam wawancaranya dengan harian umum Sinar Harapan sebagai berikut: “Pada masa lalu, tidak ada masalah kalau ke Pulau Pasir, tapi sejak 1990-an sama sekali tidak dibolehkan Australia. Kami dulu sering istirahat di Pulau Pasir tidak ada masalah, sekarang tidak boleh.”15 Mereka yang mencari ikan di perairan Australia tersebut bahkan ditangkap dan digiring ke penjara oleh pihak otoritas Australia. Ada beberapa faktor yang bisa menjelaskan inkonsistensi Australia dalam melaksanakan nota kesepakatan MoU Box. Pertama, ada perubahan pandangan otoritas Australia. Pada awalnya nelayan tradisional Indonesia dapat mencari ikan di zona perairan yang disepakati bersama melalui MoU Box. Namun, saat ini nelayan-nelayan tersebut dianggap telah menyalahi peraturan hukum laut internasional, khususnya mengenai batas wilayah negara. Mereka dituduh menerobos batas wilayah negara Australia secara ilegal. Menurut Ferdi Tanoni, Ketua Pokja Celah Timor dan Pulau Pasir, sebagian kalangan di Australia bahkan mencap mereka sebagai bagian dari “sindikat kejahatan internasional”.16 Dengan adanya pandangan tersebut, nelayan tradisional Indonesia yang mencari ikan di perairan Australia menghadapi persoalan. Patroli laut Australia akan mengusir dan atau menangkapnya. Mereka juga harus menghadapi resiko berat lainnya yaitu dipenjara. Pihak berwenang akan menuntut nelayan-nelayan tersebut untuk membayar denda hukuman mereka sebesar $3,000-$5,000 jika mereka terbukti bersalah melanggar batas wilayah perairan Australia di pengadilan. Seandainya tidak mampu membayarnya, otoritas Australia tidak segan memberlakukan mereka secara tidak manusiawi.
Daniel Tagukawi, “Pulau Rote, Keindahan Khas dari Selatan”, Sinar Harapan, 16 Nopember 2013, http://sinarharapan.co/ news/read/28120/pulau-rote-keindahan-khas-dari-selatan, diakses pada tanggal 13 Mei 2014. 15
Suara Merdeka Cyber News, “RI-Australia Didesak Tuntaskan Batas Laut”, 5 Mei 2007, http://www.suaramerdeka. com/cybernews/harian/0705/05/nas5.htm, diakses pada tanggal 7 Mei 2007. 16
Perahu mereka dibakar termasuk semua peralatan di dalamnya.17 Pembakaran kapal mereka mengakibatkan nelayan-nelayan tersebut menanggung kerugian sosial ekonomi yang sangat besar. Kehilangan alat sumber kehidupan ekonomi menyebabkan mereka kehilangan sumber nafkah utama. Ketiadaan pendapatan nafkah utama dan pengangguran menyebabkan mereka selanjutnya jatuh dalam lilitan utang, padahal kapal-kapal yang dibakar di atas dibeli seharga Rp 50 juta – Rp 100 juta dan pada umumnya masih dalam status kredit dengan sesama nelayan dan atau perbankan.18 Meskipun Australia bersikap tegas terhadap nelayan-nelayan tradisional Indonesia yang memasuki wilayah perairannya, tetapi penangkapan terhadap mereka masih terus terjadi hingga kini. Ironinya mereka nampak tidak jera dan bahkan menunjukkan kecenderungan semakin meningkat. Fakta ini terlihat dalam pernyataan Menteri Luar Negeri Australia, Alexander Downer bahwa “[p]enangkapan ikan illegal di perairan Australia bagian utara meningkat secara dramatis dalam tempo lima tahun terakhir”.19 Beberapa dari sejumlah kasus penangkapan yang terjadi di Australia adalah sebagai berikut. Pada April 2005, misalnya, dalam upaya memerangi maraknya praktek Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing, Australia menggelar Clear Water Operation yang berujung pada penahanan 240 nelayan Indonesia karena terlibat praktek tersebut.20 Pada tahun berikutnya, jumlah kapal yang ditangkap mengalami lonjakan kenaikan signifikan. Pada November 2006, pihak berwenang Australia menangkap 341 kapal dan 17
The Age, “Caught in the net”, 26 September 2003.
Lihat pernyataan Ketua Himpunan Masyarakat Pesisir Selatan NTT, Hamzah Ali, di “Batas Laut RI-Australia Membingungkan Nelayan”, 21 Agustus 2013, http://www.batasnegeri.com/ batas-laut-ri-australia-membingungkan-nelayan/, diakses pada tanggal 6 Mei 2014. 18
Lihat Alexander Downer dalam siaran pers-nya dirilis pada 10 Desember 2005 di Tempo Interaktif, “Australia-Indonesia Perangi Ilegal Fishing”, 10 Desember 2005, hhtp://www. tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/12/10/brk,2005121070424,id,html, diakses pada tanggal 23 Maret 2007. 19
M. Zulficar Mochtar, “Silang Persepsi Bertumbal Nelayan”, Inovasi Online, Vol. 6, No. XVIII, Maret 2006. 20
Menerobos Batas Nelayan Indonesia di Perairan Australia | Ganewati Wuryandari | 5
793 nelayan yang secara ilegal mencari ikan di perairan wilayahnya. Sebagian besar diantaranya berasal dari Indonesia.21 K e b i j a k a n S o v e re i g n B o rd e r y a n g diluncurkan oleh Tony Abbot sejak ia terpilih sebagai Perdana Menteri Australia tahun 2013 untuk memproteksi wilayah perbatasannya pada kenyataannya juga tidak mampu secara efektif menghentikan nelayan-nelayan Indonesia yang melaut memasuki perairan negara tersebut. Pada 16 Mei 2014, misalnya, pihak berwewenang Australia kembali menahan 49 nelayan Indonesia karena dituduh mencuri ikan di perairan utara
Untuk lebih jelasnya mengenai jumlah kapal dan nelayan Indonesia yang dituduh secara ilegal memasuki perairan Australia, antara lain dapat dilihat pada tabel berikut ini.
wilayahnya.22 Tabel 1. Kapal dan Nelayan Ilegal Indonesia di Perairan Australia No Waktu 1 Sejak tahun 198823
Kapal dan nelayan Kurang lebih 140 nelayan
Daerah Asal Tempat Kejadian Papela, Perairan utara Australia Sulawesi Pulau Maginti, Masaloka, Kadatua, di Sulawesi Tenggara Makasar
Broome
Hirbinia Reef, 300 km barat daya Australia
Perahu mereka dibakar
Papela, Rote Timur
Broome, Australia Barat
Ditangkap. Rombongan dipimpin Sadli H. Ardhani. Ditahan Ditangkap. Rombongan dipimpin Sadli H. Ardhani. Ditangkap. Rombongan dipimpin Dahlan Karabi Ditangkap. Rombongan dipimpin Dahlan Karabi
2
Sejak tahun 1988
Kurang lebih 400 nelayan
3
Mid 1994
Beberapa nelayan
4 5
199424 Juli 199825
134 perahu Rombongan nelayan
6 7
1998-199926 Sept 200027
50 perahu Rombongan nelayan
8
200028
5 ABK
9
200329
4 ABK
Papela, Rote Timur Papela, Rote Timur Papela, Rote Timur
Northern AFZ Broome, Australia Barat
Broome, Australia Barat Broome, Australia Barat
Keterangan Tenggelam ketika mencari kerang dan sirip ikan hiu karena faktor cuaca/angin Dipenjara. Bila di-gabung dengan nelayan remaja yang dipenjara, angkanya mencapai 2000 orang.
10 Jan- Sept 2003 80 perahu
Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kementerian Keuangan RI, “Australia Beri dana Hibah Rp. 651 milyar”, http://www. perbendaharaan.go.id/modul/terkini/index.php?id=1859, diakses pada tanggal 5 Mei 2007. 21
Antara, “Konsulat Darwin Gali Informasi Penangkapan 49 Nelayan”, 21 Mei 2007, http://www.antara.co.id/arc/2007/5/21/ konsulat-ri-darwin-gali-informasi-penangkapan-49-n, diakses pada tanggal 22 Mei 2007. 22
23
Ibid.
24
The Age, “Caught in the net”, 26 September 2003.
25
Kompas, “Nelayan Timor dan Laut”, 28 Mei 2005.
Andrew Forbes, “Protecting the National Interest: Naval Constabulary Operations in Australia’s Exclusive Zone”, Working Paper No. 11, Royal Australian Navy, Sea Power Centre, April 2002, hlm. 21. 26
27
Kompas, “Nelayan Timor dan Laut”, 28 Mei 2005.
28
Ibid.
29
Ibid.
6 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 1–20
No Waktu 11 Mei 200430
Kapal dan nelayan 2 kapal
12 16 Mei 200531 49 nelayan
13 12-21 April 200532 14 200533
240 nelayan tradisional 250 kapal asing
15 1 Jan – 31 Juli 200634
243 kapal asing
16 Januari 200635 25 nelayan kapal Devi Jaya 17 200636 4 nelayan 18 Nov 200637 19 Jan-Mei 2007
Daerah Asal
Tempat Kejadian Perairan Australia Utara
Desa Deka, Ndao, Kab. Rote
Ditahan
Kimberley, Australia Barat
793 nelayan dan 341 kapal Kurang lebih 78 nelayan Perairan dekat Taman Laut Ashmore
21 25 Agust 200739
Perairan kepulauan karang Ashmore.
3 perahu nelayan dengan 29 orang ABK 201 nelayan
Perairan utara Australia
23 15 Jan 200841 9 nelayan 24 16 Mei 201442 49 nelayan 25 26 Mei 201443 5 nelayan
Perairan laut Australia Perairan utara Australia Sinjai, Sulsel
Lindsay Murdoch, “Indonesia deplores hard line on fishing”, The Sydney Morning Herald, 18 Juni 2004. 30
31
Irawati dan Wahjoe, op.cit., hlm. 12.
32
Mochtar, op.cit.
ABC News Online, “Australia, Indonesia to probe illegal fishing”, 19 Desember 2005, http://www/abc.net.au/news/ newsitems/200512/s1534450.htm, diakses pada tanggal 7 Mei 2007. 33
Kedutaan Besar Australia Indonesia, “Kunjungan Bersama Indonesia dan Australia ke Rote Untuk Menentang Penangkapan Ikan Ilegal”, Siaran Pers, 21 September 2006, http://www. austembjak.or.id/jaktindonesian/SM06_043.html, diakses pada tanggal 22 Mei 2007. 34
Departement of Fisheries, Western Australia, “26 Indonesians to face illegal fishing charges”, 8 Januari 2006, http://www.fish. wa.gov.au/docs/media/index.php?0000&mr=307, diakses pada tanggal 5 Mei 2007. 36 Mochtar, op.cit. 35
Ditangkap dan lebih dari 1000 nelayan, kebanyakan asal Indonesia ditahan Ditangkap. Jumlah ini lebih dari 2 x lipat dari jumlah kapal asing yang ditangkap pada periode sama tahun 2005, kebanyakan kapal tersebut berasal dari Indonesia. Ditangkap dan diadili karena menangkap secara ilegal kerang lola.
Papela (Rote, NTT)
20 16 Mei 200738 49 nelayan
22 Nov 200740
Keterangan Dilaporkan ditembak dan ditenggelamkan Ditangkap
Perairan wilayah sengketa perbatasan RI-Aust
650 nelayan diantaranya sudah dipulangkan ke Indonesia Dideportasi Australia melalui bandara El-Tari karena memasuki perairannya ilegal. Ditangkap, ditahan di Darwin. Enam kapal mereka terancam dibakar jika terbukti bersalah memasuki perairan Australia secara illegal. Ditangkap
Ditahan di Darwin, Northern Territory, atas tuduhan secara ilegal penangkapan ikan. Ditangkap Ditangkap, ditahan dengan tuduhan mencuri ikan Ditangkap
Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kementerian Keuangan RI, “Australia Beri dana Hibah Rp. 651 milyar”, http://www. perbendaharaan.go.id/modul/terkini/index.php?id=1859, diakses pada tanggal 5 Mei 2007. 37
Antara, “Konsulat Darwin Gali Informasi Penangkapan 49 Nelayan”, 21 Mei 2007, http://www.antara.co.id/arc/2007/5/21/ konsulat-ri-darwin-gali-informasi-penangkapan-49-n, diakses pada tanggal 22 Mei 2007. 38
39
Irawati dan Wahjoe, op.cit., hlm. 12.
40
Ibid.
41
Ibid.
Antara, “Konsulat Darwin Gali Informasi Penangkapan Nelayan”, 21 Mei 2007, http://www.antara.co.id/ arc/2007/5/21/konsulat-ri-darwin-gali-informasipenangkapan-49-n, diakses pada tanggal 22 Mei 2007. 42
43
Lihat Metro TV, 26 Mei 2014, jam 11.53 WIT.
Menerobos Batas Nelayan Indonesia di Perairan Australia | Ganewati Wuryandari | 7
Nelayan Tradisional, Kerangka Hukum Laut Internasional, Nota Kesepakatan Dan Permasalahannya Nelayan-nelayan tradisional Indonesia yang telah turun menurun melakukan penangkapan ikan di perairan Australia sejatinya memiliki hak yang keberadaannya secara kuat dilindungi oleh hukum internasional dan nota kesepakatan bilateral dua negara Indonesia-Australia. Namun demikian, peraturan hukum tersebut dalam implementasinya belum dilaksanakan secara tegas yang menyebabkan sejumlah permasalahan yang berdampak terhadap hubungan bilateral Indonesia-Australia dan secara khusus terhadap nelayan tradisional Indonesia. Permasalahan ini dikaji lebih dalam berikut ini.
1. Pengaturan Hak Penangkapan Ikan Tradisional dalam Rezim Hukum Laut Internasional Berdasarkan ketentuan hukum kebiasaan internasional yang berlaku, semua negara memiliki hak tradisional (traditional right to fish) untuk melakukan penangkapan ikan di laut lepas. 44 Konsep ini didasarkan kepada kebebasan menangkap ikan di laut lepas. Sejalan dengan dinamika perubahan yang terjadi khususnya setelah Perang Dunia II, seperti munculnya negara-negara baru, kemajuan teknologi dan ketergantungan masyarakat internasional atas sumber daya alam laut, hukum internasional tetap mengakui hak tradisional atas penangkapan ikan. Namun, hak tersebut diberikan dengan pembatasan-pembatasan tertentu utamanya untuk mengakomodasikan perubahan yang terjadi pasca Perang Dunia II tersebut dengan adanya perkembangan dan perubahan kepentingan dan kebutuhan masyarakat internasional. 23
Hukum laut internasional yang saat ini berlaku adalah United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), yang juga dikenal dengan sebutan the Law of Sea Convention (selanjutnya disebut Konvensi Hukum Laut atau KHL). KHL yang ditandatangani tahun 1982 ini juga semakin berkembang pesat. Dewasa ini di dalam KHL ada dua rezim hukum baru yang mengatur mengenai hak penangkapan ikan 44
Hasyim Djalal dikutip Irawati dan Wahjoe, op.cit., hlm. 14.
tradisional, yaitu rezim hukum negara kepulauan dan rezim Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). 45 24
Terkait dengan hukum laut di atas, Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara kepulauan, yaitu negara yang seluruhnya terdiri atas satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau- pulau lainnya. Kedaulatan suatu negara kepulauan ini meliputi perairan yang ditutup oleh atau terletak di sebelah dalam dari suatu garis pangkal lurus kepulauan, yang disebut sebagai perairan kepulauan. Penetapan garis pangkal lurus kepulauan ini menimbulkan adanya perubahan status hukum perairan, yaitu dari laut lepas yang berada di luar kedaulatan atau yurisdiksi negara pantai menjadi perairan kepulauan yang tunduk kepada kedaulatan atau yurisdiksi negara pantai. Konteks ini terjadi di Indonesia, yaitu sebelum ditetapkannya sebagai negara kepulauan melalui konsepsi Nusantara yang diusung dengan Deklarasi Juanda 1957, perairan di antara pulau-pulau Indonesia merupakan kantung-kantung laut lepas.46 Rezim hukum negara kepulauan yang diakui dalam rezim hukum laut internasional (KHL1982) tersebut di atas diikuti dengan berbagai kompromi-kompromi yang mengakomodasikan kepentingan masyarakat internasional, seperti hak lintas bagi kapal asing dan hak penangkapan ikan tradisional. Di dalam rezim negara kepulauan, hak penangkapan ikan tradisional diakomodasikan di perairan kepulauan. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 51 Konvensi Hukum Laut 1982 sebagai berikut: State must recognise tradisional fishing rights and other legitimate activities of the immediately adjacent neighbouring States in certain areas falling within archipelagic waters. The term and conditions for the exercise of such right and activities, including the nature, the extent and the areas to which they apply, shall, at the request of any of the States concerned, be regulated by bilateral agreements between them ... 47 25
Pasal di atas secara tegas mengatur bahwa negara kepulauan berkewajiban untuk menghormati hak penangkapan ikan tradisional 45
Irawati dan Wahjoe, op.cit., hlm. 15.
47
Lihat Pasal 51 Konvensi Hukum Laut 1982.
8 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 1–20
dan juga kegiatan-kegiatan lain yang sah dari negara tetangga yang langsung berdekatan di bagian bagian tertentu dari perairan kepulauan. Namun demikian, kewajiban negara kepulauan untuk menghormati hak penangkapan ikan tradisional negara tetangga yang langsung berdekatan tersebut tidak dapat dilaksanakan secara otomatis. Negara yang nelayan tradisionalnya telah terbiasa melakukan penangkapan ikan di area perairan kepulauan, menurut Hasyim Djalal (1996:163) harus mengajukan hak tersebut. Hak tersebut dapat diberikan melalui perjanjian bilateral negara yang bersangkutan, yang didalamnya memuat hal-hal yang berkenaan antara lain dengan persyaratan, bentuk, dan area penangkapan ikan.48 Selain mendapatkan pengakuan di bawah rezim hukum negara kepulauan, hak penangkapan ikan tradisional secara tegas juga diakui keberadaannya di dalam rezim hukum ZEE. Pasal 55 KHL 1982 tentang ZEE menyatakan:
untuk menangkap ikan, berubah menjadi laut yang berada dalam yurisdiksi negara pantai. Selain memberikan hak berdaulat negara pantai atas sumber daya alam laut di atas, KHL 1982 juga menegaskan negara pantai memiliki kewajiban mengakomodasi hakhak negara lain yang sah menurut hukum internasional, diantaranya hak penangkapan ikan tradisional. Ketentuan ini sebegaimana diatur dalam Konvensi Pasal 51 di atas, dan juga Pasal 62 ayat (2). Dalam hal ini, negara pantai memiliki kewajiban di ZEE, yaitu apabila ada surplus perikanan negara tersebut harus memberikan hak akses kepada negara lain untuk dapat memanfaatkan surplus tersebut. Hak akses ini terutama harus diberikan kepada negara tak berpantai dan negara yang secara geografis tidak beruntung yang berada pada kawasan yang sama. Ketentuan ini ditegaskan Pasal 62, ayat (2) sebagai berikut: The coastal State shall determine its capacity to harvest the living resources of the EEZ. Where the coastal State does not have the capacity to harvest the entire allowable catch, it shall, through agreement or other arrangements and pursuant to the terms, conditions, laws and regulations referred to in paragraph 4, give other States access, to the surplus of the allowable catch, having particular to the provisions of articles 69 and 70, especially in relations to the develoving States mentioned therein. 50
The exclusive economic zone is an area beyond and adjacent to the territorial sea, subject to the specific legal regime established in this part, under which the rights and jurisdiction of the coastal state and the right and freedom of other States are governed by the relevant provisions of this convention. 49 26
Terkait dengan ketentuan tersebut, Pasal 57 KHL 1982 menegaskan bahwa negara pantai memiliki hak untuk menetapkan ZEE dengan tidak melebihi jarak 200 mil diukur dari garis pangkal. Negara pantai ini memiliki hak berdaulat untuk mengaksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam baik hayati maupun nonhayati (Pasal 56 KHL 1982). Dengan ditetapkannya ZEE ini akan terjadi perubahan status hukum dari laut, yang tadinya merupakan laut lepas yang mana masyarakat internasional memiliki kebebasan laut lepas, diantaranya kebebasan
Lihat Ahmad Porwo Edi Atmaja, “Sengkarut Nelayan dan Hak Perikanan Tradisional Mereka Dalam Negara Kepulauan”, Makalah kuliah Hukum Laut Internasional, Fakultas Hukum, UNDIP, 2010, http://www.academia.edu/1366006/Sengkarut_ Nelayan_dan_Hak_Perikanan_Tradisional_Mereka_dalam_ Negara_Kepulauan, diakses pada tanggal 13 Mei 2014. 48
49
Lihat Pasal 55 Konvensi Hukum Laut 1982.
27
Dalam pemberian hak akses atas surplus perikanan kepada negara lain, pasal di atas menegaskan hak tersebut tidak secara otomatis dapat dinikmati oleh nelayan-nelayan asing tersebut. Hak tersebut dapat diberikan melalui kesepakatan atau perjanjian antarnegara yang bersangkutan untuk mengatur mengenai persyaratan dan pengaturan tertentu. Dalam pelaksanaan pemberian hak surplus perikanan kepada negara lain, KHL 1982 juga menegaskan bahwa negara pantai juga berkewajiban memperhatikan kebutuhan untuk mengurangi dislokasi ekonomi di negara yang warga negaranya sudah biasa menangkap ikan di zona tersebut. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 62 ayat (3) sebagai berikut: 50
Lihat Pasal 62, ayat (2) Konvensi Hukum Laut 1982.
Menerobos Batas Nelayan Indonesia di Perairan Australia | Ganewati Wuryandari | 9
In giving access to other States to its EEZ under this article, the coastal State shall take into account all relevant factors, including, inter alia, the significance of the living resources of the area to the economy of the coastal State concerned and its other national interests, the provisions of the article 69 and 70, the requirements of developing States in the subregion or region in harvesting part of the surplus and the need to minimize economic dislocation in States whose nationals have habitually fished in the zone or which have made substansial efforts in research and identification of stocks. 51 28
Ketentuan pasal tersebut secara jelas menegaskan bahwa konvensi memberikan perlindungan terhadap nelayan-nelayan dari suatu negara yang telah terbiasa menangkap ikan. Ditegaskan secara jelas bahwa dalam rangka pemberian akses kepada negara lain untuk memanfaatkan sumber daya hayatinya, negara pantai harus menghormati hak nelayan–nelayan yang telah terbiasa melakukan penangkapan ikan. Berdasarkan uraian rezim hukum laut negara kepulauan dan ZEE di atas, dua rezim hukum laut tersebut secara tegas mengakui keberadaan hak nelayan-nelayan yang telah terbiasa secara turun menurun yang diistilahkan oleh David Josef Attard sebagai historic fishing rights, untuk melakukan penangkapan ikan di perairan negara pantai. 52 Namun demikian, hak ini tidak dapat 29
dilaksanakan secara otomatis, melainkan hanya dapat diberikan melalui perjanjian antar negara yang bersangkutan.
Kesepakatan yang ditandatangani pada 7 November 1974 ini adalah Memorandum of Understanding between the Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia Regarding the Operations of Indonesian Traditional Fishermen in Areas of the Australian Exclusive Fishing Zone and Continental Shelf, yang populer disebut dengan MoU Box. MoU ini berlaku secara efektif pada Februari 1975. Melalui nota kesepahaman ini, Indonesia dan Australia menyetujui kawasan yang disepakati kedua negara yang dapat dimanfaatkan para nelayan tradisional Indonesia itu adalah seluas 50.000 kilometer persegi yang berada di dalam wilayah Australian Exclusive Economic Zone (Zona Ekonomi Eksklusif, ZEE). Di wilayah ZEE tersebut, ada lima daerah operasi perikanan yang disepakati untuk nelayan-nelayan tradisional Indonesia di perairan Australia, yaitu Ashmore Reef (Pulau Pasir), Browse (Pulau Burselan), Pulau Cartier (Pulau Baru), Pulau Scott, dan Pulau Seringapatam. 53 Di antara lima gugusan pulau karang tersebut, Ashmore Reef merupakan gugusan pulau yang terbesar. Pulau ini terletak di ujung paling utara dan kira-kira berada sekitar 120 kilometer ke arah selatan dari pulau Rote, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Untuk lebih jelasnya lima daerah operasi perikanan tersebut dapat dilihat di Gambar di bawah. 30
2. Pengaturan Hak Penangkapan Ikan Tradisional Antara RI-Australia Untuk mengakomodasi kepentingan nelayannelayan Indonesia yang secara turun menurun sejak ratusan tahun telah melaut hingga perairan Australia dan untuk melaksanakan ketentuanketentuan hukum laut internasional di atas, pemerintah Republik Indonesia dan Australia berhasil menetapkan kesepakatan pengaturan hak penangkapan ikan tradisional nelayan Indonesia dalam sebuah Nota Kesepakatan atau Memorandum of Understanding (MoU). Rote Online, “Bahas Nasib Nelayan, Bupati Rote Ndao, KKP dan Australia Gelar MoU Box, http://news.roteonline. com/bupati-rote-ndao-kkp-dan-australia-gelar-MoU-box.php, diakses pada tanggal 6 Mei 2014. 53
51
Lihat Pasal 62 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982.
52
Dikutip dari Irawati dan Oentoeng Wahjoe, op.cit., hlm. 16.
10 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 1–20
Sumber: Dedi Supriadi Adhuri, “Traditional and ‘modern’ trepang fisheries on the border of the Indonesian and Australian fishing zones” dalam Marshall Clark, Sally K. May, Macassan History and Heritage, ANU Press, http://press.anu.edu.au/apps/bookworm/view/Macassan+History+and+Heritage/10541/ch11.xhtml Gambar 1. Peta Lokasi Operasi Perikanan Nelayan Tradisional di Mou Box
Selain mengatur mengenai wilayah perairan Australia yang boleh dimasuki oleh nelayan tradisional Indonesia, MoU Box yang terdiri dari tiga lembar halaman dokumen ditambah peta ini juga mengatur mengenai sumber hayati laut yang boleh ditangkap. Sumber hayati tersebut antara lain kerang lola, teripang, abalone, siput hijau, dan juga semua jenis kerang-kerangan yang ada di lima area operasi penangkapan di atas. Kedua negara dalam MoU tersebut juga sepakat bahwa nelayan tradisional Indonesia diijinkan untuk mengambil air tawar pada dua lokasi yang sudah ditentukan di Ashmore Reef. Australia juga mengijinkan para nelayan beristirahat bersama dengan kapal-kapal mereka di wilayah perairan tersebut. 54 31
Dilihat dari isi kesepahaman di atas, MoU Box 1974 secara jelas memberikan pengakuan atas hak penangkapan ikan terbatas dan juga kerangka hukum bagi nelayan tradisional 54
Indonesia untuk beroperasi mencari ikan di dalam wilayah perairan tertentu yang sudah disepakati di Australia. Nota kesepahaman tersebut merupakan wujud nyata komitmen pemerintah dua negara untuk mengakomodir para nelayan tradisional Indonesia yang telah beratusan tahun melakukan penangkapan ikan di perairan Australia.
3. Permasalahan Yang Dihadapi Sebagai sebuah negara kepulauan, perairan laut Indonesia sangatlah luas sekitar 5,8 juta kilometer persegi dengan garis pantai terpanjang di dunia sebesar 81,000 km. Perairan laut Indonesia ini diperkirakan memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang melimpah. Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (2013), potensi produksi perikanan di perairan
Fox dan Sen, op.cit. hlm. 8-9.
Menerobos Batas Nelayan Indonesia di Perairan Australia | Ganewati Wuryandari | 11
laut Indonesia terbesar di dunia yaitu sekitar 65 juta ton per tahun. 55 Indonesia juga merupakan negara dengan potensi tuna tertinggi di dunia. Tercatat, total produksi tuna mencapai 613.575 ton per tahun dengan nilai sebesar 6,3 triliun rupiah per tahun. 56 32
33
Dengan didukung wilayah geografis yang mencakup dua samudera yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, Indonesia seharusnya menjadi negara penting bagi perikanan global baik dari sisi sumberdaya, habitat dan juga perdagangan. Namun, sungguh merupakan suatu ironi bahwa perairan laut Indonesia yang luas dan kaya dengan sumberdaya perikanan laut tersebut secara signifikan belum dimanfaatkan secara optimal. Menurut Rokhmin Dhanuri, potensi perikanan Indonesia baru dimanfaatkan sebesar 20 persen. Kontribusi sektor ekonomi kelautan akibatnya kecil terhadap PDB yakni sekitar 25 persen dan angka ini jauh lebih kecil ketimbang negara-negara yang wilayah lautnya lebih sempit dari pada Indonesia seperti Thailand, Jepang, Korea Selatan, Tiongkok Selandia, dan Norwegia, yaitu antara 30-60 persen. Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan sektor-sektor kelautan hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia yang terlibat dalam berbagai kegiatan ekonomi kelautan modern, sementara mayoritas penduduk pesisir lokal masih berada dalam kemiskinan. 57 Realitas ini secara jelas memperlihatkan kinerja pembangunan kelautan Indonesia yang masih jauh dari optimal dan belum memberikan kesejahteraan terhadap masyarakat nelayan pesisir. 34
Dalam rangka memperbaiki tingkat kehidupan sosial ekonomi mereka, nelayannelayan Indonesia terus melaut untuk mencari ikan. Namun, hal tersebut tidak jarang menimbulkan persoalan bagi mereka dan dalam konteks hubungan bilateral Indonesia dengan negara tetangga, seperti misalnya Australia. Nelayan-nelayan tersebut tidak jarang dituduh secara ilegal telah memasuki wilayah perairan negara Kangguru, sehingga mereka ditangkap, ditahan dan kapalnya disita untuk dimusnahkan. Realitas persoalan yang ditimbulkan oleh kegiatan nelayan-nelayan Indonesia di perairan Australia di atas pada kenyataannya telah mempengaruhi hubungan bilateral kedua negara. Hal ini tercermin jelas dari pernyataan Freddy Numberi, Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (2006), bahwa “[k]egiatan para nelayan [Indonesia] tersebut sering mengakibatkan hubungan kedua negara terganggu”. 58 35
Sebagian kalangan di Australia, baik dari kelompok akademisi, pemerintah dan pencinta lingkungan menganggap bahwa penangkapan ikan oleh para nelayan Indonesia di perairan Australia menyebabkan dampak buruk terhadap kerusakan lingkungan laut, ekonomi, kesehatan dan keamanan nasional Australia. 59 Keprihatinan Australia ini dikemukakan oleh Menteri Perikanan, Eric Abetz dalam kunjungannya di Darwin pada 16 Mei 2006, misalnya, bahwa perahu-perahu nelayan ilegal Indonesia bisa membawa berbagai macam penyakit, seperti flu burung, rabies, atau penyakit kuku dan mulut yang bisa menimbulkan kerugian bernilai milyaran dollar pada perekonomian Australia. 60 36
37
Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kementerian Keuangan RI, “Australia Beri dana Hibah Rp. 651 milyar”, http://www. perbendaharaan.go.id/modul/terkini/index.php?id=1859, diakses pada tanggal 5 Mei 2007. 58
Kementerian Kelautan dan Perikanan, “Potensi Perikanan Indonesia Terbesar di Dunia”, 24 Oktober 2013, http:// www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/10088/Potensi-PerikananIndonesia-Terbesar-di-Dunia/?category_id=58, diakses pada tanggal 13 Mei 2014. 55
Siaran Pers KKP No. 14/PDSI/HM.310/II/2014, “Potensi Tuna Indonesia Tertinggi Di Dunia”, 15 Februari 2014, http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/10421/Potensi-TunaIndonesia-Tertinggi-Di-Dunia/?category_id=34, diakses pada tanggal 13 Mei 2014. 56
Kementerian Kelautan dan Perikanan, “Potensi Perikanan Indonesia Terbesar di Dunia”, 24 Oktober 2013, http:// www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/10088/Potensi-PerikananIndonesia-Terbesar-di-Dunia/?category_id=58, diakses pada tanggal 13 Mei 2014. 57
Alexander Downer dalam siaran pers-nya pada 10 Desember 2005 menyatakan bahwa pencurian ikan menghabiskan potensi ikan dan menimbulkan kerusakan lingkungan, karantina dan resiko keamanan bagi Australia. Lihat Tempo Interaktif, “Australia-Indonesia Perangi Ilegal ……”. Lihat juga pernyataan Mike Yates, pejabat senior di Australian Fisheries Management Authority (AFMA), “the fragile marine ecosystem, especially among the sharks populations, has been damaged by unsustainable and illegal fishing practice”, di The Age, “Caught in the net”, 26 September 2003. 59
Siaran Radio Australia Bahasa Indonesia, “Perahu illegal Indonesia bias bawa penyakit”, 16 Mei 2006, http://www.abc. 60
12 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 1–20
Australia juga menaruh perhatian besar terhadap kelangsungan ketersediaan ikan di perairan mereka utamanya setelah adanya penurunan fish stocks. 61
pada akhirnya telah memunculkan berbagai persoalan-persoalan baru yang tidak diinginkan atau yang oleh James Fox dan Sevaly Sen disebut “unintended consequences”. 64
Kekhawatiran-kekhawatiran di atas menjadi salah satu latar belakang alasan pihak berwenang Australia untuk melakukan langkah-langkah monitoring, pengawasan dan pengintaian atas keamanan maritim mereka terutama di perairanan sekitar Australia utara dan kepulauan sub-Antartic. 62 Dalam rangka menjalankan operasi tersebut itulah banyak nelayan-nelayan tradisional Indonesia yang tertangkap. Mereka diusir, ditangkap dan juga digiring ke penjara karena dianggap secara ilegal memasuki wilayah dan menangkap ikan di perairan Australia. Hanya saja, perlakuan tidak manusiawi oleh Australia terhadap para nelayan Indonesia, misalnya dengan cara memusnakan perahu mereka dengan cara dibakar memunculkan persepsi buruk publik Indonesia terhadap Australia. Tindakan represif Australia tersebut tidak jarang menyebabkan berbagai macam protes dan kecaman dari Jakarta. 63
Permasalahan utama terkait dengan MoU Box 1974 yang menimbulkan munculnya persoalan berlarut-larut mengenai penangkapan ikan oleh nelayan Indonesia di perairan Australia dapat diindentifikasi pada dua hal. Pertama adalah ketidakjelasan mengenai konsep nelayan tradisional. Di dalam MoU Box, “Indonesian traditional fishermen” dipahami sebagai “fishermen who have traditionally taken fish and sedentary organisms in Australian waters by methods which have been the tradition over decades of time”. Pengertian ini pada kenyataannya ini masih kabur, karena tidak secara langsung memberikan referensi mengenai mode of production. 65
38
39
40
Rezim hukum internasional mengenai hak nelayan tradisional dan kesepakatan pemerintah Indonesia-Australia yang sesungguhnya juga telah memberikan pengakuan hak nelayan tradisional Indonesia untuk menangkap ikan di wilayah tertentu di Australia yang dituangkan dalam nota sepahaman MoU Box 1974 di atas pada kenyataannya mengalami kesulitan didalam implementasinya. MoU yang awalnya dilatarbelakangi dengan niatan baik kedua negara untuk menyelesaikan persoalan nelayan tradisional Indonesia di perairan Australia, tetapi net.au/ra/indon/news/stories/s1639383, diakses pada tanggal 22 Mei 2007. Sam Bateman, “Securing Australia’s maritime approaches”, Security Challenges, Vol. 3, No. 3, Agustus 2007, hlm. 120. 61
62
42
Oleh karena itu, pada tahun 1989 kedua negara kemudian menyepakati amandemen MoU 1974 yang memberikan referensi lebih tegas mengenai kapal dan teknologi perikanan yang diperbolehkan untuk digunakan nelayan tradisional Indonesia ketika mencari ikan di perairan Australia. Berdasarkan amandemen 1989 ini, akses ke wilayah perairan dalam MoU BOX hanya dibatasi untuk: “Indonesian traditional fishermen using traditional methods and traditional vessels consistent with the tradition over decades of times, which does not include fishing methods or vessels utilising motors or engines. 66 43
Berdasarkan ketentuan amandemen tersebut, pemahaman tentang nelayan tradisional mengalami transformasi substansial dari hak-hak tradisional menjadi bergeser lebih mengacu pada alat atau cara penangkapan dan kapal yang digunakan oleh nelayan Indonesia, yaitu tradisional. Artinya, cara dan kapal yang dipakai 64
Ibid.
Lihat, misalnya pendapat yang disampaikan oleh Muhammad Hatta, anggota Komisi I DPR-RI kepada ANTARA News di Canberra dalam kunjungan delegasi Grup Kerjasama Bilateral (GKSB) DPR-RI di Canberra dengan kalangan Parlemen dan Pemerintah Australia. “Konsistensi Australia diperlukan Bagi Hak Nelayan Tradisional RI”, di http://www.cybermq.com/ index.php?risalahmq/detail/1/5912/risalahmq-5912.html, diakses pada tanggal 7 Mei 2007. Lihat juga pernyataan Ferdi Tanoni, Ketua Pokja Celah Timor dan Pulau Pasir di Suara Merdeka Cyber News, “RI-Australia Didesak .....”. 63
41
Fox dan Sen, op.cit., hlm. 3.
Natasha Stacey, “Crossing Borders: Implications of the Memorandum of Understanding on Bajo fishing activity in northern Australian waters”, makalah disampaikan pada Understanding the Cultural and Natural Heritage Values and Management Challenges of the Ashmore Region, 4 - 6 April 2001, Darwin, hlm. 6. 65
66
Ibid, hlm. 7.
Menerobos Batas Nelayan Indonesia di Perairan Australia | Ganewati Wuryandari | 13
untuk menangkap ikan oleh para nelayan tersebut adalah sesuatu yang secara turun temurun sudah mereka pakai (“over decades of times”). Dengan demikian, nelayan Indonesia yang menggunakan cara dan kapal-kapal mesin modern dengan menggunakan mesin tidak diperbolehkan beroperasi di wilayah perairan yang disepakati di MoU Box. Pemahaman ini secara tersirat merefleksikan adanya pandangan yang melihat masyarakat sebagai sesuatu hal statis tidak berkembang dinamis meski dalam periode yang lama. Dengan demikian, kebijakan MoU 1974 beserta amandemennya tersebut secara efektif berhasil mengunci realitas budaya melaut nelayan tradisional Indonesia yang telah dilakukan sejak masa lampau dan mengabaikan perkembangan teknologi (a technological freeze). 67 Oleh karena pengertian tradisional dalam MoU tersebut hanya merujuk pada perlengkapan dan peralatan menangkap ikan. Sementara hak-hak tradisional nelayan Indonesia yang memiliki sejarah panjang mencari sumber penghidupan dengan mencari ikan di Australian Fishing Zone yang sebenarnya menjadi landasan dasar dari MoU 1974 terabaikan. 44
Masalah lainnya adalah MoU tersebut juga tidak secara khusus mengidentifikasi siapa saja yang bisa mendapatkan akses masuk di dalam area yang diijinkan MoU Box. Akses ditentukan tidak oleh sejarah hak pakai dari kelompokkelompok masyarakat tertentu yang telah beraktivitas jauh berabad-abad lampau di wilayah sebelum terjadinya perluasan wilayah maritim Australia, tetapi lebih bertumpu pada penggunaan teknologi yang digunakan, yaitu setiap nelayan “tradisional” Indonesia yang menggunakan perahu tanpa motor (“traditional” methods and vessels) yang hanya diperbolehkan menangkap ikan di wilayah yang sudah ditentukan. Dengan demikian MoU ini tidak melakukan rujukan khusus terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang sudah turun temurun memiliki akses di Australian Fishing Zone (AFZ), sehingga
efektivitas dan maksud awal disusunnya MOU menjadi tidak tercapai optimal. 68 45
Sebagai konsekuensi pembatasan teknologi yaitu dengan tidak diperbolehkannya menggunakan perahu motor, nelayan harus benar-benar harus menggantungkan diri pada kekuatan angin untuk melaju/berlayar. Namun demikian, perahu yang hanya menggandalkan pada kekuatan angin semata pada kenyataannya tidak akan sekokoh perahu dengan kekuatan mesin ketika harus berhadapan dengan angin, cuaca buruk atau ombak besar. Dalam kondisi demikian apalagi dengan perubahan iklim dimana memicu perubahan cuaca yang tidak menentu, nelayan-nelayan tradisional Indonesia seringkali sulit untuk menjaga arah perahu pada tujuannya. Kapal-kapal mereka tidak jarang terseret keluar wilayah perairan MoU dan jika diketahui pihak berwenang Australia, mereka ditangkap dan ditahan. Hal lain yang menimbulkan masalah adalah batas penangkapan ikan yang diijinkan di dalam perairan sebagaimana diatur di MoU Box di atas tidak ditandai dengan tanda-tanda khusus. 69 Batas dalam wilayah perairan MoU hanya sebagai bentuk garis dalam peta, tidak ada satu tanda ciri khusus dalam geografi. Padahal sistem navigasi nelayan-nelayan tradisional Indonesia hanya diijinkan dengan cara dan metode tradisional, yaitu didasarkan pada pengetahuan turun temurun yang diwariskan oleh leluhur mereka, seperti mengenai arah angin, bintang dan hewan-hewan laut. Seorang navigator profesionalpun akan mengalami kesulitan bila tidak dibantu alat khusus untuk menentukan secara tepat wilayah perairan MoU Box sebagaimana yang digariskan dalam peta. 46
Fakta ini merupakan sebuah ironi. Pada satu sisi, MoU Box hanya memperbolehkan nelayan Indonesia menggunakan “traditional methods”, sementara pada sisi lain pihak Australia mengharapkan mereka akan “high-tech accuracy” terkait dengan batas-batas wilayah perairan di Australia yang diijinkan untuk 68
Campbell, B. and B. V. E. Wilson, The Politics of Exclusion: Indonesian fishing in the Australian Fishing Zone, (Perth: Indian Ocean Centre for Peace Studies & the Australian Centre for International Agricultural Research, 1993), hlm. 185. 67
Stacey, op.cit., hlm. 8.
Lihat batasnegeri.com, “Batas Laut RI-Australia Membingungkan Nelayan”, 21 Agustus 2013, http://www. batasnegeri.com/batas-laut-ri-australia-membingungkannelayan/, diakses pada tanggal 6 Mei 2014. 69
14 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 1–20
nelayan tradisional Indonesia. 70 Nelayan-nelayan tersebut diharuskan untuk mengetahui batas wilayah perairan tangkap mereka yang diijinkan dalam MoU Box, namun sisi lain sesuai dengan ketentuan di MoU mereka tidak diperbolehkan menggunakan alat-alat modern untuk membantu navigasi mereka. Sehingga jika nelayan-nelayan tradisional tersebut melewati batas MOU, Australia menjerat mereka dengan menggunakan aplikasi peraturan modern. Artinya, para nelayan tersebut akan diperlakukan sama seperti nelayan asing ilegal lainnya dan didakwa dengan menggunakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Australian Fisheries Management Act 1991. 47
Kedua, kebijakan agresif pemerintah Australia terhadap wilayah perairannya. Serangkaian perluasan wilayah maritim Australia telah menyebabkan semakin hilangnya akses penangkapan ikan yang sebelumnya secara turun temurun sudah menjadi wilayah tangkapan nelayan Indonesia. Dari tahun ke tahun, Australia secara sistematis dan bertahap terus melakukan upaya pembatasan wilayah penangkapan ikan bagi nelayan Indonesia. Pengurangan wilayah tangkapan ikan bagi nelayan Indonesia di atas bahkan telah dimulai sejak awal abad ke-20. Proses penolakan nelayan Indonesia untuk akses ke wilayah perairan tradisional mereka di Australia dimulai tahun 1906. Pemerintah Australia melarang mereka untuk mengambil teripang di perairannya. 71 48
Upaya pemerintah Australia untuk mengatur aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan Indonesia di perairan utara Australia pun semakin intensif pada tahun 1968. Wilayah tangkapan tradisional mereka semakin sempit dengan perluasan kawasan Australian Fishing Zone (AFZ) dari 3 menjadi 12 mil. Pemerintah Australia hanya mengijinkan penangkapan ikan oleh nelayan Indonesia pada area 12 mil laut yang berdekatan dengan pulau Ashmore, Cartier, Seringapatam Reef, Scott Reef, Browse Island dan Adele Island. 72 49
70
Stacey, op.cit., hlm. 10.
Jill Elliot, “Fishing in Australian Waters”, Inside Indonesia, No. 46, Maret 1996, http://www.serve.com/inside/edit46/elliot. htm, diakses pada tanggal 12 April 2007.
71
72
Stacey, op.cit., hlm. 4.
Konsesi secara terbatas diberikan pada tahun 1974 melalui MoU Box, mereka diperbolehkan untuk mencari ikan dengan secara tradisional pada wilayah perairan tertentu dalam AFZ. Namun, secara berangsur kenyataannya akses mereka semakin dipersempit lagi. Pada tahun 1979, kawasan AFZ diperluas dari 12 mil menjadi 200 mil. Pemerintah Australia juga mengubah status kawasan Ashmore Reef dan Cartier Island yang merupakan bagian dari kesepakatan MoU Box menjadi kawasan konservasi dan tertutup bagi aktivitas nelayan tradisional Indonesia. 73 Penerapan kebijakan ini tentunya mengurangi hak nelayan tradisional Indonesia dalam menjalankan mata pencahariannya, yang sudah dijamin oleh ketentuan UNCLOS 1982 dan MoU Box 1974 yang merupakan landasan hukum traditional fishing rights antara RI-Australia yang menetapkan lima daerah operasi perikanan tradisional tersebut di atas. 50
Dalam penetapan status baru dua gugusan pulau karang tersebut, Australia jelas tidak mengindahkan kesepakatan bersama dengan pemerintah Indonesia yang dituangkan dalam MoU Box yang secara jelas dua gugusan pulau tersebut termasuk dalam dua diantara lima wilayah perairan yang disepakati untuk para nelayan tradisional Indonesia. Pemerintah Australia seharusnya memberikan penghormatan kepada pemerintah Indonesia atas kesepakatan yang mereka tandatangani bersama dengan tidak melakukan tindakan sepihak atas perubahan status dua gugusan pulau karang tersebut. Berbagai permasalahan yang terkait dengan MoU Box dan kebijakan ketat Australia atas perairan wilayahnya di atas pada gilirannya menimbulkan masalah baru terhadap nelayan Indonesia secara sosial dan ekonomi. Di tengah lilitan utang sebagai akibat dari status pengangguran setelah kapal mereka disita dan dibakar pihak otoritas Australia serta kebijakan ketat Australia telah mendorong nelayan-nelayan tradisional Indonesia yang pada awalnya mencari ikan di perairan Australia, seperti nelayan tradisional di Pulau Rote, untuk selanjutnya beralih Elliott, op.cit. Lihat juga Sausan Afifah Muti, “Penetapan Daerah MoU Box 1974 Sebagai Marine Protected Area (MPA) Menurut Hukum Internasional dan Implikasinya Terhadap Hak Nelayan Tradisional Indonesia”, Jurnal Hukum, 27 November 2013, hlm. 1. 73
Menerobos Batas Nelayan Indonesia di Perairan Australia | Ganewati Wuryandari | 15
profesi dalam kegiatan penyelundupan manusia ke Australia. 74 Kebijakan ketat pembatasan, penangkapan dan bahkan pembakaran kapal nelayan Indonesia yang merupakan kebijakan penangkal dari Australia terbukti tidak efektif karena gagal menahan arus kegiatan nelayan tradisional tersebut. Dengan resiko yang sama besarnya mereka terima jika memasuki perairan Australia dan adanya kesulitan sosial ekonomi yang diakibatkan oleh ketatnya kebijakan Australia di atas, mereka pada akhirnya terdorong untuk mencoba bisnis penyelundupan manusia yang “lebih menjanjikan” . 51
4. Upaya Penyelesaian dan Prospeknya Hukum internasional yang tertuang dalam Pasalpasal UNCLOS 1982 dan nota kesepahaman RI-Australia (MoU Box) 1974 telah memberikan jaminan hukum terhadap nelayan-nelayan tradisional Indonesia menangkap ikan di perairan Australia. Namun, realitasnya penangkapan, penahanan dan pembakaran kapal serta alat tangkap mereka oleh aparat Australia terhadap nelayan Indonesia terus saja terjadi hingga saat ini. Nelayan tradisional tersebut masih menghadapi hambatan dalam melaksanakan hak perikanan tradisional mereka secara optimal sebagai akibat adanya perkembangan yang terjadi baik pada kondisi mereka dalam hal penangkapan ikan dan juga pada ketentuan di kawasan MoU Box oleh pihak Australia. Terkait dengan tindakan Australia terhadap nelayan-nelayan tradisional di atas, pemerintah Indonesia sejauh ini telah mengupayakan ragam cara untuk memberikan perlindungan terhadap mereka. Salah satunya adalah membangun kerjasama bilateral dengan Australia. Dalam hal ini, pemerintah kedua negara telah menyepakati berbagai kerjasama yang sifatnya praksis. Salah satunya adalah pada tanggal 7 November 2013, misalnya, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan dan pemerintah Kabupaten Rote Ndao serta pemerintah Australia sepakat melaksanakan kegiatan yang dinamakan “MoU Box – Vessel Kate Evans, “Nelayan Pulau Rote Alih Profesi jadi Penyelundup Manusia”, Radio Australia, 14 November 2013, http://www. radioaustralia.net.au/indonesian/2013-11-14/nelayan-pulaurote-alih-profesi-jadi-penyelundup-manusia/1219570, diakses pada tanggal 27 Mei 2013. 74
and Fisher Identification Activity”. Kegiatan ini bertujuan untuk mengembangkan suatu skema khusus untuk mengatasi persoalan nelayan tradisional Indonesia di Australia. Skema yang dikembangkan meliputi empat komponen utama: (1) identifikasi kapal dan nelayan yang melakukan penangkapan ikan; (2) pencatatan hasil ikan tangkap dan hasil yang didaratkan; (3) penggunaan alat keselamatan di laut; dan (4) pembentukan kerangka kerja kelembagaan. Kegiatan berlangsung mulai Juli 2013 – Juni 2014. Langkah awal yang dilakukan kegiatan ini adalah dengan meluncurkan program kartu nelayan yang melibatkan 50 perahu dan 400 nelayan dari Kabupaten Rote Ndao. 75 Identifikasi dan registrasi ini penting dilakukan sebagai bagian upaya untuk menghindari penyalahgunaan oleh pihak lain yang sesungguhnya tidak memiliki hak untuk menangkap ikan di wilayah MoU Box. Untuk melaksanakan pengawasan atas hal tersebut, pemerintah Indonesia juga bekerjasama dengan Australia untuk melakukan koordinasi patroli, pertukaran informasi, pendidikan dan pelatihan, serta pengawasan dan monitoring bersama. 76 52
53
Meskipun ada niatan pemerintah untuk penyelesaian masalah nelayan tradisional tersebut di atas, pemerintah Indonesia sejauh ini dapat dikatakan belum memperlihatkan upaya maksimalnya di dalam memberikan perlindungan terhadap mereka. Hal ini antara lain terlihat dari indikasi perhatian pemerintah terhadap perlindungan warga negara, khususnya nelayan tradisional yang belum memadai. Pemerintah, misalnya, memang sesungguhnya telah mengeluarkan sejumlah regulasi terkait dengan perikanan seperti Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per 05/Men/2008, Peraturan mengenai Pengelolaan Perikanan No. Kementerian Kelautan dan Perikanan, “Bahas Nasib Nelayan, Bupati Rote Ndao, KKP dan Australia Gelar MoU Box, 7 November 2013, http://news.roteonline.com/bupati-rote-ndaokkp-dan-australia-gelar-mou-box.php, diakses pada tanggal 6 Mei 2014. 75
Kementerian Kelautan dan Perikanan, “Kebijakan Pembangunan Sektor Kelautan Harus Indonesia-Australia Sepakat Tingkatkan Kerjasama Hadapi IUU Fishing”, Siaran Pers No. 70/PDSI/XI/2008, 14 November 2008, http://www.kkp. go.id/index.php/mobile/arsip/c/677/kebijakan-pembangunansektor-kelautan-harus-indonesia-australia-sepakat-tingkatkankerjasama-hadapi-iuu-fishing/?category_id=34, diakses pada tanggal 13 Mei 2014. 76
16 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 1–20
31 Tahun 2004, dan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009. Namun demikian, tidak ada satu pasal pun dalam peraturan perundangan tersebut yang mengatur mengenai nelayan tradisional. 77 54
Kurangnya perhatian pemerintah terhadap masalah ini juga nampak dari kurang kuatnya diplomasi Indonesia. Pemerintah, misalnya, belum pernah secara resmi mengajukan pertanggungjawaban Australia, baik terhadap upaya penghalangan pelaksanaan hak tradisional nelayan Indonesia oleh Australia maupun perlakuan berupa tindakan fisik baik terhadap diri manusia maupun harta bendanya. Upaya tuntutan pertanggung jawaban Indonesia terhadap Australia seharusnya dapat dilakukan melalui lembaga penyelesaian sengketa internasional. 78 55
Politik luar negeri Indonesia seharusnya bersikap asertif dalam merespon tindakan perlakuan Australia terhadap nelayan tradisional di atas. Apalagi dipahami bahwa tindakan kekerasan di tengah laut dalam upaya penegakan hukum seperti pembakaran kapal nelayan Indonesia oleh pihak otoritas Australia di atas seharusnya tidak boleh terjadi. Kalau pembakaran perahu tersebut merupakan bentuk sanksi hukum, seharusnya melalui proses peradilan dan vonis pengadilan. Tindakan kekerasan di luar prosedur hukum tersebut bertentangan dengan prinsip hukum internasional dan juga dapat menimbulkan persoalan hukum internasional lainnya, yaitu masalah tanggung jawab negara untuk memberlakukan warga negara asing di wilayah negaranya. Masih minimnya kehadiran negara dalam persoalan nelayan tradisional di perairan Australia di atas pada akhirnya telah mendorong munculnya kecenderungan baru di kalangan nelayan tradisional Indonesia. Mereka berusaha melakukan upaya hukum sendiri guna melindungi hak tradisional nelayan yang dilanggar oleh Australia. Apa yang dilakukan oleh Sahring, seorang nelayan asal Oesapa Kupang, Nusa Tenggara Timur yang menggugat pemerintah federal Australia yang membakar perahunya di ZEE Indonesia pada 2008 merupakan salah satu ilustrasi menarik. Sahring menuntut Australia, 77
78
Irawati dan Wahjoe, op.cit., hlm. 18-19. Ibid.
karena dalam penilaiannya kapal nelayannya “sedang memancing di daerah yang telah umum atau biasa digunakan oleh nelayan lainnya dari Indonesia. Tetapi, kami kemudian digiring oleh patroli AL Australia ke wilayah perairan Australia dan kapal-kapal kami dibakar”. Gugatan Sahring ini pada akhirnya dimenangkan oleh pengadilan federal Australia di Darwin dan diberikan kompensasi sebesar Aus$44.000. 79 56
Persoalan nelayan tradisional tersebut dengan demikian perlu memperoleh terobosan baru dalam penanganannya. Pemerintah kedua negara perlu untuk segera melakukan pembahasan dan peninjauan kembali atas perangkat hukum yang telah ada mengenai nelayan tradisional tersebut berdasarkan perkembangan dan kebutuhan-kebutuhan baru. Salah satunya adalah pertimbangan akan adanya perubahan iklim yang menyebabkan terjadinya gangguan cuaca ekstrim. Cuaca yang tidak menentu menyebabkan perubahan penampilan dari para nelayan tradisional Indonesia dalam sarana alat tangkap dan kapal mereka sebagai bagian adaptasi menghadapi cuaca tersebut. Kapal nelayan tradisional yang awalnya hanya mengandalkan pada kekuatan angin nampaknya tidak lagi mencukupi untuk menjaga keselamatan mereka dalam menghadapi cuaca dan gelombang ekstrim di laut. Perubahan ini diharapkan dapat disampaikan oleh Indonesia kepada Australia, karena sejauh ini perbedaan persepsi tentang hak nelayan tradisional menjadi salah satu sumber permasalahan kedua negara terkait soal implementasi hak tradisional nelayan. Yang dipahami sebagai hak tradisional nelayan tersebut selama ini adalah suatu kegiatan penangkapan ikan yang memenuhi kualifikasi sebagai berikut, yaitu praktik yang berlangsung lama, dilaksanakan secara terus menerus, nelayan-nelayan tersebut secara turun temurun melakukan penangkapan ikan di wilayah tertentu, serta kapal dan alat penangkap ikan yang digunakan haruslah yang masih tradisional. 80 57
Laurensius Molan, “Nelayan Indonesia menang di pengadilan Australia”, Antara, 20 Maret 2014, http://www.antaranews. com/berita/425086/nelayan-indonesia-menang-di-pengadilanaustralia, diakses pada tanggal 6 Mei 2014. 79
Hasjim Djalal dikutip Akhmad Poerwo Edi Atmadja, “Sengkarut Nelayan dan Hak…..”, hlm. 6. 80
Menerobos Batas Nelayan Indonesia di Perairan Australia | Ganewati Wuryandari | 17
Jika peninjauan MoU 1974 dan amandemennya tidak dilakukan, dapat dipastikan bahwa persoalan nelayan tradisional Indonesia akan terus berulang di perairan Australia. Tekanan sosial ekonomi yang antara lain berwujud kemiskinan pada hampir sebagian besar nelayan tradisional Indonesia mendorong mereka untuk terus melaut mencari nafkah. Mereka pun sudah diduga akan kemudian ditangkap dan ditahan serta kapalnya dibakar oleh pihak Australia, karena dianggap secara ilegal memasuki perairan wilayahnya. Keberpihakan pemerintah Indonesia terhadap nelayan seharusnya mutlak dengan berpijak pada fakta geografi Indonesia sebagai negara maritim. Keberpihakan ini sesungguhnya juga sudah dicoba upayakan oleh pemerintah antara lain tercermin sepintas dengan dikeluarkannya UndangUndang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang di dalamnya memuat pemberdayaan terhadap nelayan kecil. Namun, UU ini belum memperlihatkan secara khusus perlindungan terhadap nelayan kecil dan tradisional. 81 UU ini belum menyentuh perlindungan terhadap mereka dalam menghadapi persoalan, seperti terbatasnya akses pemanfaatan sumberdaya ikan, menghadapi persaingan dengan pengusaha perikanan, mengatasi irama musim yang tidak menentu, dan lain sebagainya. 58
Oleh karena itu, masalah nelayan tradisional Indonesia di perairan Australia hanya mungkin akan dapat diselesaikan secara komprehensif dengan melakukan perundingan ulang eksternal dengan pihak Australia dan internal dengan pembenahan pengelolaan perikanan di dalam negeri. Sebagai negara kepulauan yang memiliki potensi kekayaan sumber daya laut yang luar biasa besar bila dipelihara dan dikelola secara bijak, maka niscaya negara dapat memberikan rakyatnya terutama masyarakat nelayan dan pesisir untuk dapat hidup makmur tanpa perlu menjelajah samudera hingga di perairan laut Australia.
81
Daftar Pustaka Buku B., Campbell and B. V. E. Wilson. 1993. The Politics of Exclusion: Indonesian fishing in the Australian Fishing Zone. Perth: Indian Ocean Centre for Peace Studies & the Australian Centre for International Agricultural Research. Fox, James J. dan Sen, Sevaly. 2002. A Study of SocioEconomic Issues Facing Traditional Indonesian Fisheries who access the MOU Box. A Report for Environment Australia, Research School of Pacific and Asian Studies. Canberra: The Australian National University dan FERM. Macknight, C.C. 1976. The Voyage to Marege: Macassan Trepangers in Northern Australia. Melbourne: Melbourne University Press.
Jurnal Bateman, Sam. 2007. “Securing Australia’s maritime approaches”. Security Challenges 3 (3). Irawati dan Oentoeng Wahjoe. 2011. “Tanggung Jawab Negara dalam Melindungi Hak Nelayan Tradisional Indonesia di Perairan Australia”. Mimbar XXVII (1). Mochtar, M.Zulficar. 2006. “Silang Persepsi Bertumbal Nelayan”. Inovasi Online 6 (XVIII). Muti, Sausan Afifah. 2013. “Penetapan Daerah MoU Box 1974 Sebagai Marine Protected Area (MPA) Menurut Hukum Internasional dan Implikasinya Terhadap Hak Nelayan Tradisional Indonesia”. Jurnal Hukum. Purwati, Pradina. 2005. “Teripang Indonesia: Komposisi Jenis dan Sejarah Perikanan”. Oseana XXX (2).
Laporan dan Makalah Forbes, Andrew. 2002. “Protecting the National Interest: Naval Constabulary Operations in Australia’s Exclusive Zone”. Royal Australian Navy, Sea Power Centre, Working Paper (11). Natasha, Stacey. 4-6 April 2001. “Crossing Borders: Implications of the Memorandum of Understanding on Bajo fishing activity in northern Australian waters”. Makalah disampaikan pada Understanding the Cultural and Natural Heritage Values and Management Challenges of the Ashmore Region. Darwin.
Akhmad Poerwo Edi Atmadja, op.cit., hlm. 7.
18 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 1–20
Surat Kabar dan Website Kompas. 2005, 28 Mei 2005. “Nelayan Timor dan Laut”. Metro TV. 26 Mei 2014 jam 11.53 WIT. Murdoch, Lindsay. 18 Juni 2004. “Indonesia deplores hard line on fishing. The Sydney Morning Herald. The Age. 26 September 2003. “Caught in the Net”. ABC News Online. 19 Desember 2005. “Australia, Indonesia to probe illegal fishing”. http://www/ abc.net.au/news/newsitems/200512/s1534450. htm. Anonim (n.d). “Bahas Nasib Nelayan, Bupati Rote Ndao, KKP dan Australia Gelar MoU Box. http://news.roteonline.com/bupati-rote-ndaokkp-dan-australia-gelar-MoU-box.php. ----------. “Australia and Indonesia Combine Forces To Tackle Illegal Fishing”. http://www.defence. gov.au/defencenews/stories/2013/sep/0920. htm. -----------.“Makin Banyak Nelayan Indonesia Ditangkap Australia”. http://www.wartaterkini. com/78/11/44/makin-banyak-nelayanindonesia-ditangkap-australia.htm. - - - - - - - - - h t t p : / / w w w. l i b r a r y. o h i o u . e d u / indopubs/1997/09/17/0011.html. ----------. 21 Agustus 2013. “Batas Laut RI-Australia Membingungkan Nelayan”, http://www. batasnegeri.com/batas-laut-ri-australiamembingungkan-nelayan/. Antara. 21 Mei 2007. “Konsulat RI Darwin Gali Informasi Penangkapan 49 Nelayan”, http:// www.antara.co.id/arc/2007/5/21/konsulat-ridarwin-gali-informasi-penangkapan-49-n. -----------. 20 Mei 2014. “Nelayan Indonesia menang di pengadilan Australia”, http://www.antaranews. menang-di-pengadilan-australia. Atmaja, Ahmad Porwo Edi. 2010. “Sengkarut Nelayan Dan Hak Perikanan Tradisional Mereka Dalam Negara Kepulauan”. Makalah kuliah Hukum Laut Internasional, Fakultas Hukum, UNDIP, http://www.academia.edu/1366006/Sengkarut_ Nelayan_dan_Hak_Perikanan_Tradisional_ Mereka_dalam_Negara_Kepulauan. Batasnegeri.com. 21 Agustus 2013. “Batas Laut RIAustralia Membingungkan Nelayan”, http:// www.batasnegeri.com/batas-laut-ri-australiamembingungkan-nelayan/. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kementerian Keuangan RI (n.d). “Australia Beri dana Hibah Rp. 651 milyar”. http://www.perbendaharaan. go.id/modul/terkini/index.php?id=1859.
Department of Fisheries, Western Australia. 8 Januari 2006. “26 Indonesians to face illegal fishing charges”, http://www.fish.wa.gov.au/docs/ media/index.php?0000&mr=307. Elliot, Jill. Maret 1996. “Fishing in Australian Waters”. Inside Indonesia (46), http://www. serve.com/inside/edit46/elliot.htm. Evans, Kate. 14 November 2013. “Nelayan Pulau Rote Alih Profesi jadi Penyelundup Manusia”. Radio Australia. http://www.radioaustralia. net.au/indonesian/2013-11-14/nelayanpulau-rote-alih-profesi-jadi-penyelundupmanusia/1219570. Informasi Teknologi, Departemen Kelautan dan Perikanan. 28 September 2006. “Teripang Geliat Potensi dari Laut”. http://www.dkp. go.id/content.php?c=3367. Kedutaan Besar Australia Indonesia. 21 September 2006. “Kunjungan Bersama Indonesia dan Australia ke Rote Untuk Menentang Penangkapan Ikan Ilegal”. Siaran Pers. http://www.austembjak.or.id/jaktindonesian/ SM06_043.html. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 14 November 2008. “Kebijakan Pembangunan Sektor Kelautan Harus Indonesia-Australia Sepakat Tingkatkan Kerjasama Hadapi IUU Fishing”. Siaran Pers No. 70/PDSI/XI/2008. http:// www.kkp.go.id/index.php/mobile/arsip/c/677/ kebijakan-pembangunan-sektor-kelautanharus-indonesia-australia-sepakat-tingkatkankerjasama-hadapi-iuu-fishing/?category_id=34. ----------.2013. “Bahas Nasib Nelayan, Bupati Rote Ndao, KKP dan Australia Gelar MoU Box”. http://news.roteonline.com/bupati-rote-ndaokkp-dan-australia-gelar-mou-box.php. -----------.24 Oktober 2013. “Potensi Perikanan Indonesia Terbesar di Dunia”. http:// www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/10088/ Potensi-Perikanan-Indonesia-Terbesar-diDunia/?category_id=58. “Konsistensi Australia diperlukan Bagi Hak Nelayan Tradisional RI”. http://www.cybermq. com/index.php?risalahmq/detail/1/5912/ risalahmq-5912.html. Molan, Laurensius. 20 Mei 2014. “Nelayan Indonesia menang di pengadilan Australia”. Antara. http://www.antaranews.com/berita/425086/ nelayan-indonesia-menang-di-pengadilanaustralia.
Menerobos Batas Nelayan Indonesia di Perairan Australia | Ganewati Wuryandari | 19
Siaran Pers KKP No. 14/PDSI/HM.310/II/2014. 15 Februari 2014. “Potensi Tuna Indonesia Tertinggi Di Dunia”. http://www.kkp.go.id/ index.php/arsip/c/10421/Potensi-TunaIndonesia-Tertinggi-Di-Dunia/?category_ id=34. Siaran Radio Australia Bahasa Indonesia. 16 Mei 2006. “Perahu illegal Indonesia bisa bawa penyakit”. http://www.abc.net.au/ra/indon/ news/stories/s1639383. Suara Merdeka Cyber News. 5 Mei 2007. “RIAustralia Didesak Tuntaskan Batas Laut”. http://www.suaramerdeka.com/cybernews/ harian/0705/05/nas5.htm.
Rote Online (n.d). “Bahas Nasib Nelayan, Bupati Rote Ndao, KKP dan Australia Gelar MoU Box”. http://news.roteonline.com/bupati-rote-ndaokkp-dan-australia-gelar-MoU-box.php. Tagukawi, Daniel. 16 Nopember 2013. “Pulau Rote, Keindahan Khas dari Selatan”. Sinar Harapan. http://sinarharapan.co/news/read/28120/pulaurote-keindahan-khas-dari-selatan. Tempo Interaktif. 10 Desember 2005. “AustraliaIndonesia Perangi Ilegal Fishing”. http://www. tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/12/10/ brk,20051210-70424,id.
20 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 1–20
KESEPAKATAN BATAS DARAT RI-TIMOR LESTE: SEBUAH KAJIAN DIPLOMASI PERBATASAN RI THE AGREEMENT ON THE LAND BOUNDARY BETWEEN RI AND TIMOR LESTE: A STUDY OF INDONESIAN BORDER DIPLOMACY Mutti Anggitta Wakil Ketua Jurusan Departemen Hubungan Internasional, Universitas Bina Nusantara Gardenia Boulevard Resort Apartment, Tower A, Unit A1215 Jalan Warung Jati Barat No. 12 Jakarta Selatan E-mail:
[email protected] Diterima: 1 Februari 2014; direvisi: 10 Mei 2014; disetujui: 20 Juni 2014 Abstract The purpose of this article is to describe the practice of border diplomacy by the Republic of Indonesia (RI) in attaining of the Provisional Agreement between the Government of Republic of Indonesia and the Government of Republic Democratic Timor Leste on the Land Boundary since 2002 until 2005. Border diplomacy was conducted by various actors (ministerial, non-ministerial government institutions, and academicians) in three levels: Joint Ministerial Commission (JMC) level which focused on the settlement of residual problems between RI and RDTL, Joint Border Committee (JBC) level which focused on border management, Technical Sub-Committee on Border Demarcation and Regulation (TSC-BDR) level which focused on the delimitation of the land boundary between RI and RDTL. Keywords: Border Diplomacy, agreement on the land boundary, RI, RDTL. Abstrak Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan proses pelaksanaan diplomasi perbatasan oleh Republik Indonesia (RI) dalam mencapai Provisional Agreement between the Government of Republic of Indonesia and the Government of Republic Democratic Timor Leste on the Land Boundary pada tahun 2002-2005. Dalam mencapai kesepakatan tersebut, diplomasi perbatasan dilaksanakan oleh berbagai aktor (kementerian, institusi pemerintah nonkementerian, dan akademisi) pada tiga level, yaitu level Joint Ministerial Commission (JMC) yang fokus pada penyelesaian masalah-masalah residual antara RI dan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL), Joint Border Committee (JBC) yang fokus pada pengelolaan perbatasan RI-RDTL, dan Technical Sub-Committee on Border Demarcation and Regulation (TSC-BDR) yang fokus pada hal-hal teknis delimitasi batas darat RI-RDTL. Kata Kunci : diplomasi perbatasan, kesepakatan batas darat, RI, RDTL.
Pendahuluan Perbatasan merupakan sebuah konsep yang sangat penting dalam hubungan antarnegara. Dari sudut pandang perdamaian, tanpa hubungan lintas batas yang saling dapat diterima, hubungan baik di antara negara yang bertetangga hampir
tidak mungkin tercapai.1 Dari sudut pandang keamanan, negara yang gagal mengontrol wilayah perbatasannya, maka negara tersebut secara tidak Alan K. Henrikson, “Facing across Borders: The Diplomacy of Bon Voisinage”, International Political Science Review, Vol. 21, No. 2, April 2000, hlm. 121-147. 1
Kesepakatan Batas Darat RI-Timor Leste | Mutti Anggita | 21
langsung ‘mengundang’ teroris masuk.2 Dari sudut pandang konflik internasional, sengketa wilayah perbatasan sering kali tereskalasi menjadi konflik bersenjata (perang).3 Perbatasan internasional juga merupakan faktor penting dalam upaya identifikasi dan pelestarian kedaulatan nasional.4 Setiap negara perlu mengetahui secara pasti lokasi perbatasan wilayahnya guna menegakkan hukum dan peraturan masing-masing negara. Oleh karena itu, penetapan perbatasan antarnegara secara jelas tidak hanya dapat mengurangi resiko timbulnya konflik perbatasan di kemudian hari, tetapi juga dapat menjamin pelaksanaan hukum di masing-masing sisi perbatasan. International Boundaries Research Unit di Universitas Durham mengidentifikasi bahwa masih terdapat berpuluh-puluh perbatasan darat dan laut serta klaim kedaulatan atas sejumlah pulau yang secara aktif dipersengketakan. 5 Banyak di antara pertentangan yang terjadi hanya berlangsung di tataran diplomasi, tetapi tidak tertutup kemungkinan akan memburuk dan tereskalasi menjadi konflik atau perang. Dengan demikian, masalah perbatasan antarnegara adalah suatu ancaman yang konstan bagi perdamaian dan keamanan internasional. Hal ini karena menyangkut kedaulatan yang sering kali sifatnya nonnegotiable. Sejarah membuktikan bahwa perang antarnegara banyak yang dilatarbelakangi oleh persoalan teritorial. Sebagai contoh adalah Perang Dunia I dan II, sengketa Kepulauan Falkland/Malvinas, Dataran Tinggi Golan, Kashmir, dan konflik Balkan. Dalam perihal penyelesaian sengketa wilayah, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada pasal 1, 2, dan 33 melarang penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan, sebaliknya mewajibkan semua negara anggotanya untuk menggunakan
cara-cara damai dalam menyelesaikan konflik internasional. Kewajiban penyelesaian sengketa secara damai ini dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 33 Piagam PBB, yang berbunyi:6 “The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance of international peace and security, shall, first of all, seek a solution be negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice.”
Indonesia masih mempunyai masalah perbatasan wilayah (baik darat, maupun laut) dengan negara-negara tetangganya. Untuk menghindari terjadinya sengketa atau klaim tumpang tindih dengan negara tetangga, maka penetapan batas wilayah adalah sangat penting. Untuk itu, setiap negara mempunyai kewenangan menentukan batas wilayah yurisdiksinya masing-masing. Akan tetapi, karena batas terluar wilayah suatu negara berbatasan dengan wilayah kedaulatan negara lain, maka penetapan tersebut harus memperhatikan kewenangan otoritas negara lain melalui suatu kerjasama dan perjanjian.7 Sejak tahun 2001, pemerintah RI melaksanakan diplomasi perbatasan dengan konsep baru. Konsep baru di sini dalam artian bahwa terjadi perpindahan paradigma mengenai wilayah perbatasan yang awalnya dipandang sebagai halaman belakang, berubah menjadi halaman depan.8 Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan status keberadaan batas darat dan batas laut antara RI dan negara-negara tetangganya.
Anak Agung Banyu Perwita, “Manajemen Perbatasan dan Keamanan Nasional”, dalam Beni Sukadis (Ed.), Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2007, Cetakan Kedua, (Jakarta: LESPERSSI dan DCAF, 2008), hlm. 192. 2
Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse, “International Conflict” dalam Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse (Eds), International Relations, 7 th Edition, (US: Pearson Longman, 2006), hlm. 174-177. 3
Ali M. Sungkar, “Peran Strategis Kementerian Luar Negeri dalam Menjaga Keutuhan NKRI”, http://ditpolkom.bappenas. go.id/index.php?page=news&id=39. 4
5
Ibid.
United Nations, “Charter of the United Nations”, http://www. un.org/en/documents/charter/. 6
Rizal Darmaputra, “Manajemen Perbatasan dan Reformasi Sektor Keamanan”, se2.dcaf.ch/serviceengine/Files/.../17_ Border_Management.pdf. 7
8
Ibid.
22 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 21–38
Tabel 1. Status Keberadaan Batas Darat dan Batas Laut antara RI dan Negara-Negara Tetangganya.9 Negara Tetangga
Penetapan Batas Laut
Penetapan Batas Darat
LT
ZEE
LK
Australia
Tidak Ada
Tidak Ada
Ada
Ada
Filipina
Tidak Ada
Tidak Ada
Ada
Ada
India
Tidak Ada
Tidak Ada
Ada
Ada
Malaysia
Ada
Ada
Ada
Ada
Palau
Tidak Ada
Tidak Ada
Ada
Ada
Papua Nugini
Ada
Ada
Ada
Ada
Singapura
Tidak Ada
Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Thailand
Tidak Ada
Tidak Ada
Ada
Ada
RDTL
Ada
Ada
Ada
Ada
Vietnam
Tidak Ada
Tidak Ada
Ada
Ada
Sumber: Decentralisation Support Facilities (DCF), Maret 2011, “Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara & Kawasan Perbatasan Tahun 2011-2014”, http://www-wds.worldbank.org/.
Sejak kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 hingga Mei 2014 kini, pemerintah RI belum berhasil menyelesaikan atau belum mencapai seluruh kesepakatan penetapan batas wilayah (baik darat, maupun laut) dengan kesepuluh negara tetangganya. Berikut ini adalah tabel yang berisi penetapan batas laut dan darat yang telah dicapai oleh pemerintah RI melalui kerjasama dan perjanjian. Tabel 2. Penetapan Batas Wilayah Darat dan Laut RI Penetapan Batas Darat
Penetapan Batas Laut
RI-Malaysia (sebagian besar batas darat)
RI-Malaysia (sebagian segmen batas LT & LK)
RI-Papua Nugini (seluruh batas darat)
RI-Australia (LK & ZEE)
RI- RDTL (sebagian besar batas darat)
RI-Singapura (sebagian segmen batas laut wilayah) RI-Thailand (LK) RI-Vietnam (LK) RI-India (LK) RI-Papua Nugini (LK)
Hal yang menarik adalah dari berbagai kesepakatan yang telah dicapai oleh RI dengan negara-negara tetangganya seperti yang tercantum pada tabel di atas, Provisional Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Democratic Republic of Timor Leste on the Land Boundary yang ditandatangani pada 8 April 2005 merupakan perjanjian pertama yang dicapai oleh RI berkat pelaksanaan diplomasi perbatasannya sejak tahun 2001.10 Dengan dicapainya kesepakatan tersebut, dapat dipastikan kejelasan wilayah kedua negara dan kepastian hukum yang tentunya akan berdampak kepada meningkatnya keamanan di sekitar perbatasan kedua negara. Peningkatan interaksi di antara masyarakat yang tinggal di sekitar perbatasan, tentunya juga akan berdampak kepada peningkatan perekonomian khususnya dengan dibukanya pasar-pasar di sekitar perbatasan yang pada akhirnya diharapkan dapat mengurangi penyelundupan yang ditengarai sering terjadi di daerah perbatasan.11 Oleh karena
RI-Palau (ZEE)
Sumber: Decentralisation Support Facilities (DCF), Maret 2011, “Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara & Kawasan Perbatasan Tahun 2011-2014”, http://www-wds.worldbank.org/.
Hasil wawancara dengan Ibnu Wahyutomo, Kementerian Luar Negeri Indonesia, Direktorat Hukum dan Perjanjian Internasional, 2010. 10
Sobar Sutisna dan Sri Handoyo, “Delineation and Demarcation Surveys of the Land Border in Timor: Indonesian 11
9
Keterangan: Laut Teritorial (LT), Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan Landas Kontinen (LK).
Kesepakatan Batas Darat RI-Timor Leste | Mutti Anggita | 23
itu, pertanyaan penelitian ini, yaitu “Bagaimana proses pelaksanaan diplomasi perbatasan RI dalam mencapai Provisional Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Democratic Republic of Timor Leste on the Land Boundary pada Tahun 2002-2005? Ada dua alasan spesifik mengapa studi kasus kesepakatan penetapan batas darat antara RI dengan RDTL penting untuk dibahas. Pertama, penetapan batas laut RI dan RDTL hanya dapat dilaksanakan jika penetapan batas darat sudah selesai. Hal ini karena batas laut pada dasarnya adalah kelanjutan dari batas darat. 12 Kedua, hukum internasional tidak mengenal adanya aturan khusus yang berlaku dalam rangka pengaturan penetapan wilayah perbatasan darat antarnegara13 (tidak seperti perbatasan laut yang dapat mengacu pada United Nations Convention on the Law of the Sea-UNCLOS) sehingga proses penetapan batas darat benar-benar hanya bergantung pada diplomasi perbatasan negaranegara yang terlibat.
dan UNTAET sepakat untuk membentuk suatu lembaga Joint Border Committee (JBC) dan Border Liaison Committee (BLC) dalam rangka membahas pengelolaan kerjasama perbatasan antara RI dan RDTL. Alasan dibentuknya badan ini adalah untuk melakukan akselerasi penyelesaian penetapan batas negara di antara kedua negara dan untuk membangun langkahlangkah yang lebih konkret dalam upaya mempererat kerjasama, terutama dalam bidang kesejahteraan dan ekonomi dalam rangka membangun sebuah perbatasan yang aman dan layak bagi kemanusiaan.14 Secara geografis, dapat dikatakan bahwa wilayah perbatasan antara RI dan RDTL adalah unik. Berikut ini adalah peta wilayah perbatasan antara RI dan RDTL.
Urgensi Penetapan Batas Darat RI-RDTL Dimulainya perundingan batas darat antara RI dan RDTL ditandai dengan dicapainya Arrangement between the Government of the Republic of Indonesia and the United Nations Transitional Administration in East Timor on the Establishment of a Joint Border Committee yang ditandatangani oleh Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono (selaku Menteri Luar Negeri RI ad interim) dan Administrator United Nations Transitional Administration in East Timor (UNTAET) Sergio Vieira De Mello pada 14 September 2000 di Denpasar, Indonesia. Di dalam arrangement tersebut pemerintah RI Perspective”, http://www.bakosurtanal.go.id/upl_document / Paper%20IBRU%20Bangkok.pdf . I Made Andi Arsana, Batas Maritim Antarnegara: Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis, (Yogyakarta: UGM Press, 2007), hlm. 151. 12
Donnilo Anwar, “Potensi dan Nilai Strategis Batas Antarnegara Ditinjau dari Aspek Hukum Perjanjian Internasional”, dalam Sobar Sutisna (Ed.), Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia, (Cibinong: Bakosurtanal, 2004), hlm. 30. 13
Naskah Arrangement between the Government of the Republic of Indonesia and the United Nations Transitional Administration in East Timor on the Establishment of a Joint Border Committee, diperoleh dari Kementerian Luar Negeri Indonesia. 14
24 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 21–38
Sumber: http://www.etan.org/timor/1whitepg.htm Gambar 1. Peta Perbatasan RI-RDTL
Dari peta di atas, dapat dilihat bahwa keunikan secara geografis wilayah perbatasan RI dan RDTL ini seperti yang juga dikatakan oleh Hasjim Djalal adalah karena wilayah perbatasan darat kedua negara dipisahkan oleh dua alur wilayah, yaitu:15
1. Perbatasan di sekitar Oeccussi, yaitu
suatu enclave (daerah kantong) yang merupakan bagian wilayah kedaulatan RDTL yang berada di Timor Barat (yang merupakan bagian wilayah RI di Provinsi Nusa Tenggara Timur) dan terpisah sekitar 60 km dari wilayah induknya. 2. Perbatasan sepanjang 149,1 km yang membelah Pulau Timor menjadi Timor Barat di bagian barat dan RDTL di bagian timur.
Hasjim Djalal, “Indonesia-Australia-East Timor Maritime Boundaries and Border Issues: Indonesian Perspective”, The Indonesian Quarterly, Vol. XXX, No. 4, 4th Quarter, 2002, hlm. 344. 15
Diplomasi Perbatasan RI dalam Mencapai Kesepakatan Batas Darat dengan RDTL Diplomasi perbatasan yang dilaksanakan oleh RI dalam penetapan batas darat dengan RDTL pada periode tahun 2002-2005 dilaksanakan pada tiga level, yaitu pada level Joint Ministerial Commission (JMC), level Joint Border Committee (JBC), dan level Technical Sub-Committee on Border Demarcation and Regulation (TSCBDR).
1. Diplomasi Perbatasan RI pada Level JMC
Fakta bahwa Timor Timur berdiri menjadi sebuah negara merdeka pada 20 Mei 2002 dengan nama ’Republik Demokratik Timor Leste’ (RDTL) memberikan konsekuensi kepada RI untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Hal ini karena RDTL berubah menjadi salah satu negara tetangganya dan berbatasan darat langsung dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Pemerintah RI harus menyelesaikan berbagai
Kesepakatan Batas Darat RI-Timor Leste | Mutti Anggita | 25
masalah residual yang terjadi antara RI dan RDTL. Untuk menyelesaikan permasalahan residual, termasuk dalam penetapan batas darat dengan RDTL, pemerintah RI melaksanakan diplomasi perbatasan dengan membentuk sebuah komisi bernama Joint Ministerial Commission (JMC). Kelahiran JMC tersebut didasari dengan disepakatinya nota kesepahaman pertama oleh pemerintah RI dan pemerintah RDTL, yaitu Memorandum of Understanding between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Democratic Republic of East Timor on the Establishment of A Joint Commission for Bilateral Cooperation. Nota kesepahaman tersebut ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda dan Menteri Luar Negeri RDTL Jose Ramos Horta pada 2 Juli 2002 di Jakarta, Indonesia. Selain karena ingin menyelesaikan masalahmasalah residual yang terjadi di antara keduanya, latar belakang dicapainya nota kesepahaman tersebut adalah kedua negara sama-sama berkeinginan untuk mempererat hubungan baik antarnegara serta untuk meningkatkan kerjasama yang efektif dan saling menguntungkan. Pada artikel I nota kesepahaman tersebut, kedua negara sepakat untuk membentuk sebuah komisi bersama pada level kementerian. Komisi tersebut lah yang kemudian disebut dengan Joint Ministerial Commission (JMC).16 Terdapat lima belas institusi pemerintahan pada level kementerian yang berperan sebagai aktor diplomasi perbatasan pada level JMC17, yaitu Kementerian Luar Negeri RI; Kementerian Sosial RI; Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) RI; Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI; Kementerian Keuangan RI; Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI; Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI; Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Naskah Memorandum of Understanding between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Democratic Republic of East Timor on the Establishment of A Joint Commission for Bilateral Cooperation, diperoleh dari kementerian Luar Negeri Indonesia. 16
Disarikan oleh penulis dari Record of Discussion of The First Meeting of Joint Ministerial Commission between the Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor Leste, diperoleh dari Direktorat Topografi TNI AD. 17
RI; Kementerian Pertahanan RI; Kementerian Dalam Negeri RI; Kementerian Perindustrian dan Perdagangan RI; Kementerian Kesehatan RI; Kementerian Pertanian RI; Kementerian Kelautan dan Perikanan RI; Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. Kelima belas kementerian di atas menempatkan wakilnya masing-masing di dalam tim perunding RI. Kelima belas kementerian tersebut dilibatkan karena mempunyai wewenang, tugas pokok, dan fungsi yang terkait dengan isu-isu yang perlu diselesaikan oleh pemerintah RI dan pemerintah RDTL. Ketua delegasi tim perundingan RI pada level JMC adalah Menteri Luar Negeri. Peran Kementerian Luar Negeri RI sebagai ketua delegasi tim perundingan RI adalah tepat karena persoalan mengenai wilayah perbatasan mempunyai dimensi internasional sehingga penanganannya tidak dapat dilepaskan dari kerangka politik luar negeri. Perundinganperundingan yang membahas materi teknis, koordinasinya diserahkan kepada sembilan lembaga nonkementerian yang berwenang untuk menangani, yaitu18: Arsip Nasional RI; Kepolisian Negara RI; Kantor Perwakilan RI untuk RDTL; Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional; Tentara Nasional Indonesia (TNI); PT. TASPEN (Persero); Kamar Dagang dan Industri Indonesia; Bank Ekspor Indonesia (Persero); dan Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kesembilan institusi nonkementerian tersebut dilibatkan dalam tim perunding RI di level JMC karena juga mempunyai wewenang, tugas pokok, dan fungsi yang terkait dengan isu-isu yang perlu diselesaikan oleh pemerintah RI dan pemerintah RDTL, terutama yang terkait dengan permasalahan yang terjadi di perbatasan kedua negara. Jadi, jika digabungkan antara jumlah lembaga kementerian dan lembaga nonkementerian yang terlibat dalam tim perunding RI pada level JMC, keseluruhannya mencapai dua puluh empat lembaga. Di lain pihak, tim perunding RDTL dipimpin oleh Menteri Luar Negeri RDTL Jose Ramos Horta. Institusi-institusi pemerintahan yang menjadi bagian dari tim perunding RDTL di JMC yaitu19: 18
Ibid.
Disarikan oleh penulis dari Record of Discussion of The First Meeting of Joint Ministerial Commission between the Republic 19
26 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 21–38
Ministry of Foreign Affairs and Cooperation; Ministry of Justice; Ministry of Finance; Ministry of Environment and Development; Ministry of Transport, Communication, and Public Affairs; Ministry of Internal Administration; Ministry of Agriculture, Fisheries, and Forestry; Ministry of Education, Culture, Youth, and Sport; Ministry of Health; Secretary of State for Defense; Secretary of State for Labor and Solidarity; Secretary of State for Commerce and Industry; Banking Payments Authority; The United Nations Mission of Support to East Timor (UNMISET); UN Police. Tidak berbeda dari tim perunding RI, lembaga-lembaga kementerian dan nonkementerian RDTL di atas dilibatkan karena mempunyai wewenang, tugas pokok, dan fungsi yang terkait dengan isu-isu yang perlu diselesaikan oleh pemerintah RDTL dan pemerintah RI. Keberadaan UNMISET dan Polisi PBB dalam perundingan tersebut adalah sebagai observer tidak lebih dari itu. Keduanya tidak mempunyai wewenang untuk mencampuri dinamika perundingan secara langsung.20 Selama periode tahun 2002 hingga ditandatanganinya Provisional Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Democratic Republic of Timor Leste on the Land Boundary pada 8 April 2005, pemerintah RI melaksanakan dua kali pertemuan dengan pemerintah RDTL pada level JMC. Pertemuan pertama dilaksanakan pada 7-8 Oktober 2002 di Jakarta, sedangkan pertemuan kedua dilaksanakan pada 4-6 September 2003 di Dili. Untuk lebih memahami apa yang menjadi fokus perhatian dan aktivitas diplomasi perbatasan pada level JMC, berikut ini adalah hasil kedua pertemuan JMC tersebut:21 of Indonesia and the Democratic Republic of Timor Leste, diperoleh dari Direktorat Topografi TNI AD. Hasil wawancara dengan Kolonel CTP. Juni Suburi, Kementerian Pertahanan RI, Kepala Subdinas Batas Wilayah Direktorat Strategi Pertahanan, 2010. 20
Disarikan oleh penulis dari “Joint Statement of the First Meeting of the Indonesia-Timor Leste Joint Ministerial Commission for Bilateral Cooperation”, diperoleh dari Direktorat Topografi TNI AD, dan “Joint Statement Second Meeting of the Indonesia-Timor Leste Joint Ministerial Commission for Bilateral Cooperation”, http://www.mfac.gov. tp/media/mr030912e. html. 21
1. Kedua tim perunding sepakat untuk
membentuk lima kelompok kerja yang terdiri dari:
a. Kelompok kerja isu-isu perbatasan.
b. Kelompok kerja keuangan dan perdagangan.
c. Kelompok kerja masalahmasalah hukum.
d. Kelompok kerja pendidikan dan sosial budaya.
e. Kelompok kerja transportasi dan telekomunikasi.
2. Kedua tim perunding sepakat bahwa
keberlanjutan studi siswa-siswa RDTL di berbagai universitas di RI adalah penting untuk pengembangan tenaga kerja RDTL, sekaligus meningkatkan hubungan people to people antara RI dan RDTL. Sehubungan dengan hal tersebut, kedua tim perunding menyambut dukungan dari negaranegara donor dan institusi-institusi untuk memberikan beasiswa kepada siswa-siswa RDTL hingga Agustus 2003, setelah berakhirnya beasiswa dari pemerintah RI pada Desember 2002.
3. Tim perunding RI menolak usul tim
perunding RDTL untuk memindahkan pemakaman Pahlawan Seroja dan meminta pemerintah RDTL untuk memelihara pemakaman tersebut dan memberikan akses ke pemakaman tersebut kepada keluarga yang dimakamkan.
4. Tim perunding RDTL menyambut baik keinginan tim perunding RI untuk mempercepat proses rekonsiliasi anakanak (baik rakyat RI, maupun rakyat RDTL) yang terpisah dari orang tuanya.
5. Kedua tim perunding sepakat untuk
memberikan dukungan penuh untuk meningkatkan kerjasama ekonomi dan perdagangan di antara RI dan RDTL. Tim perunding RI setuju untuk menyediakan bantuan teknis dalam urusan layanan perbankan kepada tim perunding RDTL. Tim perunding RI juga setuju
Kesepakatan Batas Darat RI-Timor Leste | Mutti Anggita | 27
untuk menyediakan kebutuhan medis dan akan mempertimbangkan untuk berinvestasi di bidang medis di RDTL.
6. Kedua
tim perunding sepakat untuk menyusun mekanisme aturan transportasi dan telekomunikasi, terutama untuk daerah kantong Oeccussi. Untuk alasan keamanan, mekanisme tersebut harus bersesuaian dengan aturan RI. Kedua tim perunding juga setuju untuk melihat kembali persetujuan bilateral yang dicapai oleh pemerintah RI dan UNTAET dalam hal kerjasama dalam bidang transportasi dan telekomunikasi.
7. Kedua tim perunding sepakat untuk
menyelesaikan implementasi dari the Arrangement between the Republic of Indonesia and UNTAET on the Implementation of Payments of Pensions during the Transitional Period to Eligible Former Civil Servants and Members of POLRI and TNI yang ditandatangani pada 10 Juli 2001.
8. Kedua tim perunding sepakat untuk
melanjutkan Joint Border Committee (JBC) antara pemerintah RI dan UNTAET yang dibentuk pada 14 September 2000 di Bali, menjadi JBC antara pemerintah RI dan pemerintah RDTL.
9. Tim perunding RDTL menyampaikan
kepuasannya atas telah ditunjuknya duta besar pertama RDTL untuk RI, serta menyampaikan harapannya agar pemerintah RI juga akan segera menunjuk seorang duta besar untuk RDTL.
10. Kedua
tim perunding mengakui bahwa delineasi batas darat sudah hampir selesai dan menghargai bahwa permasalahan yang terjadi (khususnya di daerah kantong Oeccussi) dapat diselesaikan dengan baik.
11. Kedua tim perunding mengesahkan
kesepakatan pendahuluan yang dicapai oleh Technical Sub-Committee on Border Demarcation and Regulation
(TSC-BDR). Kedua tim perunding juga meminta JBC untuk segera memfinalisasi perjanjian perbatasan darat antara RI dan RDTL yang berpedoman pada Traktat tahun 1904 dan Arbitrasi (Permanent Court of Arbitration, PCA) tahun 1914.
12. Kedua tim perunding mendiskusikan
perihal pengadaan zona perdagangan bebas yang mencakup di dua sisi perbatasan dan perihal kerjasama trilateral yang melibatkan RI, RDTL, dan Australia (khususnya pada sektor perekonomian, perdagangan, pariwisata, olahraga, dan pertukaran budaya).
13. Kedua tim perunding sepakat untuk
membicarakan perihal penetapan perbatasan laut setelah perjanjian batas darat di antara kedua negara dicapai.
14. Kedua tim perunding menyambut
baik atas akan ditanda-tanganinya Communications Arrangement between the National Police of the Republic of Indonesia and the National Police of the Democratic Republic of Timor-Leste oleh pejabat tinggi polisi kedua negara pada waktu yang telah disepakati.
15. Kedua
tim perundingan sepakat untuk menandatangani versi baru Provisional Technical Arrangement on the Coordination of the Measure to Facilitate the Movement of People and Their Personal Effects between the Enclave of Oeccussi and Other Parts of East Timor pada pertemuan JBC yang akan datang.
Dilihat dari kelima belas poin yang dihasilkan dari kedua pertemuan JMC tersebut, penulis berpendapat bahwa aktivitas dan isu yang menjadi fokus pelaksanaan diplomasi perbatasan RI pada level JMC adalah sesuai dengan tujuan dibentuknya JMC itu sendiri, yakni menyelesaikan masalah-masalah residual yang terjadi pascajajak pendapat tahun 1999, sebagai konsekuensi berpisahnya Timor Timur dari RI dan berdirinya RDTL sebagai sebuah negara merdeka sekaligus sebagai negara tetangga RI yang berbatasan darat langsung
28 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 21–38
dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Jadi, pada perundingan di level JMC tersebut, pelaksanaan diplomasi perbatasan oleh RI tidak hanya mendiskusikan isu penetapan batas darat saja, tetapi juga berusaha menyelesaikan permasalahan dalam semua dimensi kehidupan yang terjadi di perbatasan antara RI dan RDTL. Penulis berpendapat bahwa kompleks dan luasnya cakupan isu yang didiskusikan oleh kedua tim perundingan pada level JMC tersebut dapat dilihat juga sebagai upaya untuk memfasilitasi konsultasi dan kerjasama dalam segala bidang antara RI dan RDTL. Walaupun tidak fokus sepenuhnya pada persoalan penetapan batas darat, peran diplomasi perbatasan pada level JMC tersebut sangat penting karena seperti yang dikatakan oleh Henrikson bahwa tanpa border relationship yang baik dan saling dapat diterima oleh negara yang bertetangga, hubungan diplomatik dan kerjasama yang memuaskan di antara negara yang bertetangga tersebut hampir tidak mungkin tercapai.22 Terdapat empat dari kelima belas poin hasil pelaksanaan diplomasi perbatasan RI pada level JMC yang berkontribusi langsung secara teknis terhadap upaya penetapan batas darat antara RI dan RDTL, yaitu:
1. Kedua tim perunding sepakat untuk
membentuk Kelompok Kerja Isu-Isu Perbatasan.
2. Kedua tim perunding sepakat untuk
melanjutkan Joint Border Committee (JBC) yang sebelum kemerdekaan RDTL dilaksanakan oleh pemerintah RI dan UNTAET, menjadi JBC antara pemerintah RI dan pemerintah RDTL.
3. Kedua
tim perunding mengakui bahwa delineasi batas darat sudah hampir selesai dan menghargai bahwa permasalahan yang terjadi (khususnya di daerah kantong Oeccussi) dapat diselesaikan dengan baik.
4. Kedua tim perunding meminta JBC
untuk segera memfinalisasi perjanjian perbatasan darat antara RI dan RDTL pada 30 November 2003.
22
Hubungan koordinasi antara kedua forum pada poin satu dan dua di atas adalah JBC menyampaikan laporan hasil pertemuanpertemuannya, termasuk jika ada permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dalam pertemuan JBC, kepada Kelompok Kerja Isu-Isu Perbatasan. Kelompok Kerja Isu-Isu Perbatasan akan mendiskusikan isi laporan hasil pertemuanpertemuan JBC, lalu menyampaikan pokok-pokok hasil pertemuannya kepada tim perundingan RI dan tim perundingan RDTL pada pertemuan JMC. Pada pertemuan JMC inilah diputuskan permasalahan yang tidak dapat diselesaikan pada pertemuan JBC ataupun pada pertemuan Kelompok Kerja Isu-Isu Perbatasan. Melihat poin tiga dan empat di atas, dapat disimpulkan bahwa kontribusi pelaksanaan diplomasi perbatasan oleh RI pada level JMC terhadap dicapainya Provisional Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Democratic Republic of Timor Leste on the Land Boundary adalah berupa keberhasilan membangun fondasi hubungan baik antara RI dan RDTL sejak keduanya resmi menjadi negara bertetangga pada tahun 2002. Fondasi hubungan baik tersebut dibangun oleh pemerintah RI dan pemerintah RDTL dengan berusaha menyelesaikan masalahmasalah residual yang terjadi di antara kedua negara pascajajak pendapat tahun 1999 secara bersama-sama pada forum JMC. Cukup kuatnya fondasi tersebut menciptakan atmosfer positif atau suasana yang bersahabat di antara kedua negara. Lalu, atmosfer positif atau suasana yang bersahabat tersebut mengantarkan kedua negara pada beberapa kesepakatan untuk menjalin kerjasama dalam berbagai bidang. Salah satu kesepakatan yang dicapai oleh kedua negara pada level JMC adalah kesepakatan untuk bekerja sama menentukan penetapan batas darat. Pada level JMC juga, keputusan diambil oleh kedua negara atas hal-hal atau permasalahan yang tidak dapat diputuskan atau diselesaikan pada pelaksanaan diplomasi perbatasan di level bawah, yaitu di level JBC dan level TSC-BDR.
Henrikson, op.cit.
Kesepakatan Batas Darat RI-Timor Leste | Mutti Anggita | 29
2. Diplomasi Perbatasan RI pada Level JBC
Oleh karena permasalahan di perbatasan mencakup beberapa hal yang cukup kompleks, upaya menangani permasalahan di perbatasan tidak hanya didiskusikan dan dirundingkan pada level JMC, tetapi juga pada sebuah level di bawahnya, yakni level Joint Border Committee (JBC). JBC adalah forum yang khusus dibentuk dengan tujuan untuk mengelola perbatasan RI dan RDTL. Sesuai dengan kesepakatan antara pemerintah RI dan pemerintah RDTL yang dicapai pada pertemuan pertama JMC, forum JBC yang sebelum kemerdekaan RDTL dilaksanakan oleh pemerintah RI dan UNTAET akan dilanjutkan menjadi JBC antara pemerintah RI dan pemerintah RDTL. Pada level JBC, fokus diplomasi perbatasan yang dilaksanakan oleh tim perunding RI adalah pada upaya penyelesaian permasalahan yang timbul khusus di wilayah perbatasan, yaitu:23 masalah lintas batas, baik manusia, maupun barang; masalah keamanan di perbatasan; masalah ketertiban di perbatasan; masalah manajemen sungai di perbatasan; masalah delimitasi dan demarkasi garis batas darat. Terdapat sembilan kementerian yang berperan sebagai aktor diplomasi perbatasan pada level JBC, yaitu24: Kementerian Dalam Negeri RI; Kementerian Luar Negeri RI; Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI; Kementerian Pertanian RI; Kementerian Pertahanan RI; Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI; Kementerian Hukum dan HAM RI; Kementerian Perindustrian dan Perdagangan RI; Kementerian Perhubungan RI. Selain itu, terdapat delapan institusi pemerintahan nonkementerian yang juga berperan sebagai aktor diplomasi perbatasan pada level JBC, yakni25: Pemerintah Daerah Provinsi NTT; Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL); Badan SAR Nasional; Kantor Perwakilan RI di RDTL; Disarikan oleh penulis dari Record of Discussion of The First Meeting of Joint Border Committee between the Republic of Indonesia and East Timor/UNTAET, diperoleh dari Direktorat Topografi TNI AD. 23
Direktorat Topografi TNI AD; Markas Besar TNI; Badan Intelijen Negara (BIN); Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI). Kedelapan institusi tersebut dilibatkan karena mempunyai wewenang, tugas pokok, dan fungsi yang terkait dengan penyelesaian isu-isu di perbatasan yang bersifat teknis. Ketua delegasi tim perundingan RI pada level JBC adalah Direktur Jenderal Pemerintahan Umum, Kementerian Dalam Negeri RI. Negosiator untuk perundingan penetapan batas darat adalah Direktur Politik, Keamanan, dan Kewilayahan, Kementerian Luar Negeri RI yang dibantu oleh Kepala Pusat Pemetaan Batas, BAKOSURTANAL.26 Di lain pihak, tim perundingan RDTL pada level JBC dipimpin oleh Wakil Menteri Luar Negeri RDTL Olimpio Branco. Kesembilan belas anggota delegasi tersebut mewakili sepuluh institusi pemerintahan yang menjadi bagian dari tim perundingan RDTL di JBC:27Ministry of Foreign Affairs and Cooperation; Ministry of Agriculture, Fisheries, and Forestry; Ministry of Transport, Communication, and Public Affairs; Ministry of Justice; Custom Service; Ministry of Defense; Ministry of Commerce and Industry; Immigration and Border Control; Police; District Administrator. Tidak ditemukan adanya peran dan aktivitas NGO atau aktor non-negara lainnya dalam bentuk apapun yang berhubungan dengan persoalan penetapan batas darat antara RI dan RDTL, sejak RDTL merdeka pada 20 Mei 2002 hingga 8 April 2005 ketika Provisional Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Democratic Republic of Timor Leste on the Land Boundary ditandatangani oleh kedua negara. Dalam perundingan-perundingan antarkedua tim, jelas tidak ada pihak di luar institusi pemerintahan (baik dari pihak RI, maupun pihak RDTL) yang terlibat atau ikut serta dalam perundingan-perundingan tersebut. Pemerintah RI melaksanakan hanya satu kali pertemuan dengan pemerintah RDTL pada level JBC, yaitu pada 18-19 Desember 2002 di Jakarta. Berikut ini adalah hasil pertemuan JBC tersebut:28 26
Ibid.
24
Ibid.
27
Ibid.
25
Ibid.
28
Ibid.
30 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 21–38
1. Kedua tim perunding mendiskusikan
dan menyelesaikan draf laporan gabungan yang mencakup laporan mengenai berbagai aktivitas teknis yang telah dilaksanakan oleh kedua tim perundingan sejak November 2001 hingga Desember 2002.
2. Kedua tim perunding sepakat untuk
masing-masing negara membentuk lima subkomite yang mempunyai tugas pokok melakukan kerjasama dan perundingan, terutama mengenai halhal yang terkait dengan permasalahan yang timbul di wilayah perbatasan, seperti masalah delimitasi, demarkasi, pos lintas batas, dan lain sebagainya. Subkomite yang dibentuk di bawah forum JBC adalah sebagai berikut:29
a. Technical Sub-Committee on Border
Movement of Person and Goods, TSC-BMPG (SubKomite Teknis Lalu Lintas Orang dan Barang) berada di bawah pengawasan dan pelaksanaan Kementerian Hukum dan Perundang-undangan serta Kementerian Perindustrian dan Perdagangan.
b. Technical Sub-Committee on Border
Security, TSC-BS (SubKomite Teknis Keamanan Perbatasan) berada di bawah pengawasan dan pelaksanaan Kementerian Pertahanan dan Panglima TNI.
dan Regulasi Perbatasan) berada di bawah pengawasan dan pelaksanaan BAKOSURTANAL dan TNI.
Dilihat dari kelima subkomite yang dibentuk untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut, diplomasi perbatasan oleh RI pada level JBC tersebut adalah bukan berusaha menyelesaikan masalah-masalah residual yang terjadi di antara RI dan RDTL, seperti yang dilakukan oleh kedua tim perunding pada pertemuan-pertemuan di level JMC, melainkan untuk menciptakan suasana yang kondusif di wilayah perbatasan kedua negara, dengan melakukan pengelolaan perbatasan, yakni membentuk kelima subkomite tersebut. Fungsi diplomasi perbatasan pada level JBC untuk mengelola perbatasan adalah hal yang sangat penting. Walaupun letak perbatasan jauh dari pusat pemerintahan, hal ini sama sekali tidak mengurangi nilai perbatasan itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Jean-Marc F. Blanchard dalam tulisannya yang berjudul Linking Border Disputes and War: An Institutional-Statist Theory bahwa perbatasan adalah sebuah unit legal-politis yang mempunyai berbagai fungsi unik dan strategis bagi suatu negara. Bagi setiap negara berdaulat, perbatasan mempunyai tujuh fungsi, yaitu:30
1. Memenuhi kebutuhan militer-strategis
negara, terutama pembangunan sistem pertahanan laut, darat, dan udara untuk menjaga diri dari ancaman eksternal.
2. Penetapan wilayah tertentu di mana
c. Technical Sub-Committee on Police
negara dapat melakukan kontrol terhadap arus modal, perdagangan antarnegara, dan investasi asing. Selain itu, perbatasan memberikan patokan bagi negara untuk melakukan eksplorasi sumber-sumber alam secara legal pada wilayah tertentu.
Cooperation, TSC-PC (SubKomite Teknis Kerjasama Polisi) berada di bawah pengawasan dan pelaksanaan POLRI.
d. Technical
Sub-Committee on River Management, TSC-RM (SubKomite Teknis Manajemen Sungai) berada di bawah pengawasan dan pelaksanaan Kementerian Pekerjaan Umum.
3. Menetapkan posisi konstitutif negara
di dalam komunitas internasional. Negara memiliki kedaulatan penuh atas wilayah yang merupakan teritorinya
e. Technical Sub-Committee on Border
Demarcation and Regulation, TSCBDR (SubKomite Teknis Demarkasi
29
Ibid.
Jean-Marc F. Blanchard, “Linking Border Disputes and War: An Institutional-Statist Theory”, Geopolitics, No. 10, 2005, hlm. 691. 30
Kesepakatan Batas Darat RI-Timor Leste | Mutti Anggita | 31
sebagaimana ditetapkan oleh perbatasan yang ada.
4. Sebagai pembawa identitas nasional,
vertikal, JBC mengikutsertakan pemerintah daerah di dalamnya. Dalam konteks horizontal, dapat dilihat dari elemen-elemen berbagai institusi terkait yang dilibatkan dan tugas-tugas spesifik yang menjadi tanggung jawabnya.
5. Melalui pembentukan identitas nasional,
3. Diplomasi Perbatasan RI pada Level TSC-BDR
perbatasan memiliki fungsi pengikat secara emosional terhadap komunitas yang ada dalam teritori tertentu. perbatasan turut menjaga persatuan nasional. Untuk menjaga persatuan dan kesatuan nasional, para pemimpin negara biasanya mengkombinasikan simbol dan jargon dengan konsep teritori dan perbatasan.
6. Membantu dalam pembangunan dan
pengembangan negara-bangsa karena memberikan kekuatan bagi negara untuk menentukan bagaimana sejarah bangsa dibentuk, menentukan simbolsimbol apa yang dapat diterima secara luas, dan menentukan identitas bersama secara normatif dan kultural.
7. Memberikan batas geografis bagi upaya
negara untuk mencapai kepentingan nasional di bidang politik, sosial, ekonomi, pendidikan, pembangunan infrastruktur, konservasi energi, dan lain-lain.
Dilihat dari perspektif kelembagaan pada kelima subkomite yang dibentuk, pengelolaan keamanan di perbatasan darat RI dan RDTL melibatkan berbagai institusi. Penulis melihat bahwa keberadaan JBC beserta kelima subkomite tersebut merupakan sebuah kebutuhan bagi penciptaan sebuah perbatasan yang mengakomodasi kepentingan-kepentingan RI dan RDTL. Dalam konteks mencapai kesepakatan penetapan batas darat antara RI dan RDTL, JBC serta dengan dibentuknya kelima subkomite tersebut memberikan kontribusi dalam hal pengelolaan pengaturan perbatasan RI dan RDTL. Tentunya kondisi perbatasan yang kondusif dan terkelola secara teratur dapat mendukung jalannya proses pelaksanaan diplomasi perbatasan dalam mencapai penetapan batas darat antara RI dan RDTL. Secara substansial, JBC dan kelima subkomite tersebut menekankan pada semangat pendekatan komprehensif, baik dalam konteks vertikal, maupun horizontal. Dalam konteks
Persoalan mengenai perbatasan RI dan RDTL memang didiskusikan pada level JMC dan JBC, akan tetapi pembicaraan mengenai hal-hal yang lebih spesifik dan hal-hal yang lebih teknis sangat dibutuhkan oleh RI dan RDTL dalam rangka menetapkan batas darat kedua negara. Oleh karena itu, kedua negara sepakat untuk fokus membahas dan mendiskusikan perihal penetapan batas wilayah darat pada level di bawah JBC, yakni level Technical Sub-Committee on Border Demarcation and Regulation (TSC-BDR). Pada level TSC-BDR, hal-hal yang didiskusikan adalah hal-hal yang sangat bersifat teknis untuk melakukan delimitasi, yang terdiri dari beberapa tahap yaitu, definisi (menyepakati titik-titik, syarat-syarat, definisi-definisi tertentu sebagai dasar untuk menentukan perbatasan), delineasi (penarikan garis batas), dan demarkasi (penegasan batas wilayah di lapangan). Seperti halnya forum JBC, TSC-BDR antara RI dan RDTL merupakan kelanjutan dari TSC-BDR yang dilaksanakan oleh pemerintah RI dan UNTAET pada tahun 2001. TSCBDR dibentuk dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan penetapan batas darat antara kedua negara. Penulis menemukan bahwa hanya terdapat tiga kementerian yang berperan sebagai aktor diplomasi perbatasan pada level TSC-BDR, yakni31: Kementerian Luar Negeri RI; Kementerian Dalam Negeri RI; Kementerian Pertahanan RI. Lebih sedikitnya jumlah kementerian yang terlibat dalam diplomasi perbatasan pada forum TSC-BDR dibandingkan pada forum JMC ataupun JBC adalah karena memang isu yang menjadi fokus perundingan pada TSC-BDR adalah hal-hal yang bersifat lebih teknis dibandingkan dengan isu-isu yang Disarikan dari Record of Discussion of The Meetings of Technical Sub-Committee on Border Demarcation and Regulation between the Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor Leste, diperoleh dari Direktorat Topografi TNI AD. 31
32 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 21–38
menjadi fokus perundingan pada level JMC dan JBC. Oleh karena itu, terdapat lima institusi nonkementerian yang juga terlibat dalam TSCBDR untuk menangani hal-hal yang bersifat lebih teknis sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas masing-masing institusi tersebut, yaitu32: Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL); Direktorat Topografi TNI AD; Border Liaison Committee (BLC) Provinsi NTT; Badan Intelijen Negara (BIN); Universitas Gadjah Mada (UGM). Perwakilan BIN diikutsertakan dalam tim perunding RI dalam pelaksanaan diplomasi perbatasan pada level TSC-BDR karena persoalan penetapan batas darat tersebut tidak terlepas dari salah satu tugas dan fungsi BIN, yaitu mengumpulkan data kegiatan kerjasama antara RI dan RDTL untuk bahan analisa intelijen. Peran perwakilan UGM dalam pelaksanaan diplomasi perbatasan pada level TSC-BDR adalah sebagai tenaga pengkaji isi naskah Traktat tahun 1904, Arbitrasi (PCA) tahun 1914, dan dokumen terkait lainnya, serta sebagai tenaga teknis survei geodesi kerangka pengukuran delineasi, demarkasi, dan pemetaan garis batas darat. Dalam hal ini, perwakilan dari UGM adalah Prof. Ir. Djawahir, M.Sc, dari Jurusan Teknik Geodesi, Fakultas Teknik.33 Tim perundingan RI pada level TSC-BDR dipimpin oleh BAKOSURTANAL. Di lain pihak, tim perundingan RDTL pada level TSC-BDR dipimpin oleh Direktorat Hubungan Bilateral Kementerian Luar Negeri RDTL. Tim perundingan RDTL pada level TSC-BDR terdiri dari sembilan institusi, yaitu34: Ministry of Foreign Affairs and Cooperation; Secretary State of Defense; Ministry of Justice; Ministry of Interior; Ministry of State Administration; National Institute of Geodesy of East Timor; UNMISET; UN Peace Keeping Force (PKF); Grupo de Estudos de Reconstrução(Kelompok Peneliti untuk Rekonstruksi Timor Leste). 32
Seperti halnya tim perundingan RI, tim perundingan RDTL juga melibatkan pihak akademisi dalam perundingan-perundingan TSC-BDR, yakni Grupo de Estudos de Reconstrução(Kelompok Peneliti untuk Rekonstruksi Timor Leste). Sama halnya juga dengan pelaksanaan diplomasi perbatasan pada level JMC, pihak PBB hadir dalam perundinganperundingan TSC-BDR sebagai pengamat, kali ini yaitu UNMISET dan PKF. Pemerintah RI melaksanakan delapan kali pertemuan dengan pemerintah RDTL pada level TSC-BDR sejak tahun 2002-2005, baik bertempat di RI (Jakarta, Bogor, Yogyakarta, dan Bali), maupun di RDTL (Dili). Mekipun jauh dari wilayah perbatasan kedua negara, kota-kota tersebut dipilih dengan alasan demi kemudahan akomodasi, kelancaran transportasi, dan keamanan. Berikut ini adalah hasil ke-delapan pertemuan TSC-BDR tersebut:35
1. Kedua
tim perunding melakukan tinjauan atas spesifikasi teknis untuk delineasi batas antara RI dan RDTL.
2. Kedua tim perunding membandingkan
garis batas yang didelineasi di atas peta topografi (buatan tim perunding RI) dan batas yang didelineasi di atas peta Ikonos imagery (buatan tim perunding RDTL) secara umum.
3. Kedua
tim perunding menyetujui sebuah workplan bersama dengan tujuan mencapai delineasi garis batas pada 30 juni 2003 dengan titik koordinat definitif jika memungkinkan. Delineasi dimaksudkan untuk mengidentifikasi dan untuk menyelesaikan ketidaksesuaian dalam interpretasi Traktat tahun 1904 dan Arbitrasi (PCA) tahun 1914 serta aturan hukum lainnya.
4. Kedua tim perunding sepakat untuk
saling mendukung kelengkapan data, peta, dan lain sebagainya yang dapat mempercepat penyelesaian delineasi garis batas.
Ibid.
Hasil wawancara dengan Kolonel CTP. Juni Suburi, Kementerian Pertahanan RI, Kepala Subdinas Batas Wilayah Direktorat Strategi Pertahanan, 2010. 33
Disarikan dari Record of Discussion of The Meetings of Technical Sub-Committee on Border Demarcation and Regulation between the Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor Leste, diperoleh dari Direktorat Topografi TNI AD.
5. Kedua tim perunding mendiskusikan tentang perjanjian perbatasan yang akan dibuat oleh kedua tim perunding.
34
35
Ibid.
Kesepakatan Batas Darat RI-Timor Leste | Mutti Anggita | 33
6. Kedua tim perunding mendiskusikan
lokasi-lokasi yang bermasalah atau masih ambigu (terdapat interpretasi yang berbeda antara tim perunding RI dan tim perunding RDTL). Kedua tim perunding mempertahankan posisi dan interpretasi mereka masing-masing atas Traktat tahun 1904 dan Arbitrasi (PCA) tahun 1914.
7. Kedua tim perunding sepakat untuk membentuk tiga kelompok kerja, yaitu:
a. Kelompok Kerja I fokus pada
pertukaran data dan diskusi tentang data processing untuk Common Border Datum Reference Frame (CBDRF) RI dan RDTL.
b. Kelompok Kerja II fokus pada
kerjasama bidang keamanan dan logistik.
c. Kelompok Kerja III fokus pada
penyelesaian panduan teknis metodologi kerja lapangan untuk delineasi garis batas.
8. Kedua tim perunding sepakat untuk
melengkapi Joint Interim Report of the Joint Border Delineation Survey. Laporan bersama tersebut yang akan menempatkan sebuah garis batas sementara dan akan memspesifikasi segmen-segmen yang belum selesai untuk didiskusikan pada level JBC dan JMC.
9. Kedua
tim perunding me-review hasil kerjasama mereka, yang mereka pandang cukup kooperatif dan friendly sehingga telah disepakati delineasi untuk hampir 90% dari total panjang garis perbatasan darat. Akan tetapi, beberapa segmen yang bermasalah masih tetap belum dapat disepakati.
10. Kedua tim perunding sepakat bahwa
demarkasi garis perbatasan (dalam artian menempatkan patok atau tanda batas yang permanen) dapat dilaksanakan sesegera mungkin setelah garis perbatasan (yang terbaru yang telah ditentukan oleh titik-titik koordinat) telah dievaluasi oleh kedua
tim perunding pada level JBC dan telah disetujui oleh kedua negara sebagai garis perbatasan yang tegas dan tepat.
11. Kedua tim perunding mencapai saling
kesepahaman untuk penetapan batas pada lima segmen, yaitu Mota Tiborok, Kalan Fehan-Tahi Fehu, Uas Lulik, Fatu Rocon, dan Subina. Akan tetapi, hingga akhir pertemuan tersebut, kedua tim perunding masih belum sepakat atas tiga segmen, yaitu Dilumil/Memo, Bijael Sunan/Oben, dan Noel Besi/Citrana.
12. Kedua tim perunding sepakat untuk
menyelenggarakan sebuah kelompok kerja kecil untuk membicarakan lebih jauh mengenai draf spesifikasi teknis untuk survei demarkasi.
Dari kedua belas poin di atas, terlihat bahwa aktivitas yang dilaksanakan oleh pemerintah RI pada level TSC-BDR adalah aktivitas yang bersifat sangat teknis dan sesuai dengan tujuan dibentuknya TSC-BDR, yakni melakukan delimitasi darat antara RI dan RDTL. Pada level TSC-BDR, aktivitas diplomasi perbatasan yang dilaksanakan oleh tim perunding RI terhadap tim perundingan RDTL adalah meliputi berbagai aktivitas (baik dilaksanakan secara bersama, maupun secara unilateral) sebagai berikut: pengkajian dan pembahasan bersama naskah Traktat tahun 1904, naskah Arbitrasi (PCA) tahun 1914, peta-peta, dan dokumen terkait lainnya; perencanaan kerja bersama beserta penjadwalannya; lacakan bersama dalam Joint Reconnaissance Survey (survei rekonesen bersama); survei delineasi bersama; survei demarkasi bersama; pelaksanaan pemetaan serta pendokumentasian data dan informasi terkait. Berdasarkan pelaksanaan diplomasi perbatasan di level TSC-BDR yang sangat bersifat teknis inilah, terlihat bahwa ditandatanganinya Provisional Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Democratic Republic of Timor Leste on the Land Boundary pada 8 April 2005 mendapat kontribusi paling besar dalam hal teknis dari pelaksanaan diplomasi perbatasan yang dilaksanakan pada level TSC-BDR. Di lain pihak, pelaksanaan diplomasi perbatasan
34 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 21–38
pada level JMC berkontribusi pada peningkatan hubungan diplomatik dan kerjasama bilateral yang baik antara RI dan RDTL, sedangkan pelaksanaan diplomasi perbatasan pada level JBC berkontribusi pada pengelolaan wilayah perbatasan dan menciptakan atmosfer serta kondisi yang kondusif di wilayah perbatasan. Berikut adalah tabel kronologi pelaksanaan diplomasi perbatasan oleh RI pada ketiga level tersebut hingga ditandatanganinya Provisional Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Democratic Republic of Timor Leste on the Land Boundary pada 8 April 2005.
Penandatanganan persetujuan tersebut merupakan suatu hasil konkret dari upaya diplomasi perbatasan sebagai alat pelaksanaan kebijakan luar negeri RI untuk menyelesaikan isu-isu perbatasan melalui perundingan antara RI dan negara-negara tetangganya. Persetujuan tersebut memuat hal-hal yang telah disepakati dalam perundingan batas darat kedua negara, yaitu 907 titik-titik koordinat yang menjadi titik-titik koordinat dari garis batas darat kedua negara. Ditandatanganinya provisional agreement tersebut, dapat dipastikan kejelasan wilayah kedua negara dan kepastian hukum, yang seharusnya akan berdampak kepada meningkatnya
Tabel 3. Kronologi Pelaksanaan Diplomasi Perbatasan oleh RI pada Ketiga Level Tahun
Pelaksanaan Diplomasi Perbatasan oleh RI terhadap RDTL
2001
Dicapai kesepakatan antara RI dan UNTAET untuk menetapkan batas darat RI dan RDTL. Dilanjutkan dengan menyepakati dan mengkaji secara bersama-sama dasar hukum keberadaan batas darat RIRDTL, yaitu Traktat tahun 1904 dan Arbitrasi (PCA) tahun 1914.
2002
Tim perundingan RI dan RDTL melaksanakan survei rekonesen bersama di lapangan berdasarkan hasil kajian dasar hukum Traktat tahun 1904 dan Arbitrasi (PCA) tahun 1914 tersebut. Tujuan dilaksanakannya survei rekonesen bersama ini adalah untuk menelusuri di lapangan semua uraian teks dan peta yang terdapat di dalam Traktat tahun 1904 dan Arbitrasi (PCA) tahun 1914 tersebut.
2003
Tim perundingan RI dan RDTL melaksanakan survei delineasi bersama di lapangan untuk menetapkan lokasi titik-titik koordinat batas darat di lapangan.
2004
Tim perundingan RI dan RDTL melanjutkan survei delineasi bersama di lapangan hingga mencapai sekitar 96% dari keseluruhan garis batas. Lalu, kedua tim perundingan secara bersama membuat Joint Interim Report sebagai laporan sementara hasil-hasil survei bersama.
2005
Tim perundingan RI dan RDTL melaksanakan survei demarkasi bersama dan memasang lima puluh buah tugu batas. Pada 8 April 2005 ditandatangani Provisional Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Democratic Republic of Timor Leste on the Land Boundary.
Sumber: Disarikan oleh penulis dari berbagai sumber.
Pada 8 April 2005 di Dili, Timor Leste, Menteri Luar Negeri RI dan Menteri Luar Negeri RDTL atas nama pemerintah masing-masing menandatangani Persetujuan Sementara antara Pemerintah RI dan Pemerintah RDTL tentang Perbatasan Darat (Provisional Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Democratic Republic of Timor-Leste on the Land Boundary).
keamanan di sekitar perbatasan kedua negara. Meningkatnya keamanan di perbatasan idealnya juga akan mendorong peningkatan interaksi di antara masyarakat yang tinggal di sekitar perbatasan. Peningkatan interaksi masyarakat perbatasan tentunya juga akan berdampak kepada peningkatan perekonomian dan diharapkan tingkat penyelundupan yang ditengarai sering terjadi di daerah perbatasan dapat menurun.
Kesepakatan Batas Darat RI-Timor Leste | Mutti Anggita | 35
Ditandatanganinya kesepakatan batas darat tersebut selain karena kerja keras seluruh anggota tim perunding RI, juga didukung oleh sikap dan respon UNTAET dan pemerintah RDTL yang cukup kooperatif dan bersahabat, dengan niat yang baik segera menyelesaikan penetapan dan penegasan batas darat.
Penutup Pelaksanaan diplomasi perbatasan RI sejak tahun 2001, dalam mencapai Provisional Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Democratic Republic of Timor Leste on the Land Boundary adalah murni government to government atau G-to-G (antarpemerintah). Diplomasi perbatasan yang digaungkan mempunyai perspektif baru dalam memandang wilayah perbatasan (yang pada awalnya dipandang sebagai halaman belakang, berubah menjadi halaman depan) sehingga pelaksanaannya pun dilakukan dengan total diplomacy. Hal ini dalam artian pelaksanaan diplomasi perbatasan melibatkan peran serta seluruh elemen bangsa, termasuk masyarakat yang mendiami daerah perbatasan. Akan tetapi, pada praktiknya, pemerintah adalah aktor utama dan satu-satunya pelaksana diplomasi perbatasan, tidak ditemukan keterlibatan peran atau aktivitas aktor nonnegara (baik NGO lokal dan internasional, kelompok pemuda, kelompok gereja, ketua adat, atau tokoh masyarakat di kedua negara) sedikit pun dan dalam bentuk apapun. Pelaksanaan diplomasi perbatasan yang bersifat murni G-to-G dalam mencapai Provisional Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Democratic Republic of Timor Leste on the Land Boundary terbukti dari proses pelaksanaan diplomasi perbatasan RI sejak tahun 2002 hingga ditandatanganinya kesepakatan tersebut pada 8 April 2005 yang dilaksanakan dengan ‘Three-Tier Diplomacy’. Three-Tier Diplomacy adalah istilah yang penulis berikan untuk model atau konsep diplomasi perbatasan RI dalam mencapai kesepakatan batas darat tersebut yang dilaksanakan secara bertingkat, yang terdiri dari tiga level, yaitu JMC, JBC, dan TSC-BDR.
Pada level JMC, aktor diplomasi perbatasan adalah berbagai lembaga kementerian dan non-kementerian yang mempunyai tugas pokok dan fungsi yang berkaitan dengan penyelesaian masalah-masalah residual antara RI dan RDTL. Diplomasi perbatasan RI pada level ini ditujukan untuk menyelesaikan masalahmasalah residual yang terjadi pascajajak pendapat tahun 1999, yaitu masalah aset pemerintah RI dan WNI yang tertinggal di RDTL, penyelesaian hak PNS, hak TNI eks-Timor Timur, hak POLRI eks-Timor Timur, masalah anak pengungsi eksTimor Timur, masalah yang terjadi di perbatasan (seperti pelintas batas ilegal, penyelundupan barang dagangan, dan kegiatan ekonomi ilegal lainnya), serta masalah penetapan batas wilayah darat dan laut. Pada level JBC, aktor diplomasi perbatasan adalah berbagai lembaga kementerian dan nonkementerian yang mempunyai tugas pokok dan fungsi yang berkaitan dengan pengelolaan perbatasan. Diplomasi perbatasan RI pada level ini ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul khusus di wilayah perbatasan, yaitu masalah lintas batas (baik manusia, maupun barang), masalah keamanan di perbatasan, masalah ketertiban di perbatasan, masalah manajemen sungai di perbatasan, serta masalah delimitasi dan demarkasi garis batas darat. Pada level TSC-BDR, aktor diplomasi perbatasan adalah berbagai lembaga kementerian dan nonkementerian yang mempunyai tugas pokok dan fungsi yang berkaitan dengan kerja teknis penetapan batas darat. Diplomasi perbatasan RI pada level ini ditujukan untuk melakukan pengkajian dan pembahasan bersama naskah Traktat tahun 1904, naskah Arbitrasi (PCA) tahun 1914, peta-peta, dan dokumen terkait lainnya; perencanaan kerja bersama beserta penjadwalannya; pelacakan bersama dalam survei rekonesen bersama; survei delineasi bersama; survei demarkasi bersama; pelaksanaan pemetaan; serta pendokumentasian data dan informasi terkait. Walaupun diplomasi perbatasan pada ketiga level tersebut mempunyai tujuan masing-masing, koordinasi antartim perunding RI pada ketiga level tersebut tetap terjalin. Koordinasi tersebut dalam hal jika tim perunding RI pada level
36 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 21–38
TSC-BDR tidak dapat mengambil keputusan atau menyelesaikan masalah, urusan tersebut disampaikan kepada level JBC. Jika pada level JBC ada hal yang tidak dapat diputuskan juga, persoalan tersebut lalu disampaikan kepada level JMC. Terjalinnya koordinasi pada ketiga level tersebut mendukung tercapainya keberhasilan pelaksanaan diplomasi perbatasan RI dengan Three-Tier Diplomacy, yaitu level JMC berhasil membangun fondasi hubungan baik antara RI dan RDTL sejak keduanya resmi menjadi negara
bertetangga pada tahun 2002; level JBC berhasil menciptakan kondisi perbatasan yang kondusif dan terkelola secara teratur; dan level TSC-BDR berhasil melakukan delimitasi (penetapan batas wilayah) darat antara RI dan RDTL, yang terdiri dari tahap perencanaan (persiapan), delineasi, dan demarkasi. Di bawah ini adalah flowchart untuk melihat lebih jelas dan menyeluruh mengenai pelaksanaan diplomasi perbatasan RI dalam penetapan batas darat dengan RDTL.
BORDER DIPLOMACY RI DALAM PENETAPAN BATAS DARAT DENGAN RDTL
Masalah residual antara RI dan RDTL
Permasalahan
Mengkaji dasar
yang terjadi pasca-
yang timbul
hukum serta
jajak pendapat
khusus di wilayah
melakukan survei
tahun 1999.
perbatasan.
dan pemetaan. ThreeTier
JMC
DiploJBC
macy TSC-BDR
Menjalin hubungan
Mengelola &
Melakukan
diplomatik yang
menciptakan
delimitasi batas
baik antara RI dan
kondisi kondusif
darat antara RI
RDTL
di perbatasan.
dan RDTL.
Provisional Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Democratic Republic of Timor Leste on the Land Boundary
Gambar 3. Flowchart temuan penelitian.
Kesepakatan Batas Darat RI-Timor Leste | Mutti Anggita | 37
Daftar Pustaka Buku Andi Arsana, I Made. 2007. Batas Maritim Antarnegara: Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis. Yogyakarta: UGM Press. Goldstein, Joshua S. and Jon C. Pevehouse. 2006. International Relations, 7thEdition. US: Pearson Longman. Sutisna, Sobar (Ed.). 2004. Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia. Cibinong: BAKOSURTANAL.
Jurnal Blanchard, Jean-Marc F. 2005. “Linking Border Disputes and War: An Institutional-Statist Theory”. Geopolitics, No. 10. Djalal, Hasjim. 2002. “Indonesia-Australia-East Timor Maritime Boundaries and Border Issues: Indonesian Perspective”. The Indonesian Quarterly 30 (4). Henrikson, Alan K. 2000. “Facing across Borders: The Diplomacy of Bon Voisinage”, International Political Science Review, 21 (2): 121-147.
Laporan dan Makalah
Joint Statement Second Meeting of the IndonesiaTimor Leste Joint Ministerial Commission for Bilateral Cooperation. Memorandum of Understanding between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Democratic Republic of East Timor on the Establishment of A Joint Commission for Bilateral Cooperation. Provisional Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Democratic Republic of Timor Leste on the Land Boundary. Record of Discussion of the First Meeting of Joint Border Committee between the Republic of Indonesia and East Timor/UNTAET.
Surat Kabar dan Website Darmaputra, Rizal. “Manajemen Perbatasan dan Reformasi Sektor Keamanan”, se2.dcaf.ch/serviceengine/Files/.../17_Border_Management. pdf. Sungkar, Ali M. “Peran Strategis Kementerian Luar Negeri dalam Menjaga Keutuhan NKRI”, http://ditpolkom.bappenas.go.id/index. php?page=news&id=39. United Nations, “Charter of the United Nations”, http://www.un.org/en/documents/charter/.
Arrangement between the Government of the Republic of Indonesia and the United Nations Transitional Administration in East Timor on the Establishment of a Joint Border Committee. Joint Statement of the First Meeting of the IndonesiaTimor Leste Joint Ministerial Commission for Bilateral Cooperation.
38 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 21–38
MENINJAU MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERBATASAN DI ASEAN REVIEWING THE MECHANISM OF BORDER DISPUTES SETTLEMENT IN ASEAN Awani Irewati Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 16 Januari 2014; direvisi: 14 Mei 2014; disetujui: 24 Juni 2014 Abstract It has been a common picture within ASEAN that the border disputes remain highly sensitive problems among states. As long as it deals with the territory sovereignty issue of a state, the procedure of negotiations chosen by the disputed states were often under prolonged process, even without final solution such as Thailand–Laos case. Several mechanisms from bilateral, regional and multilateral forum were stages of negotiations in which the disputed states can entrust on. These stages have been listed within both the TAC (1976) and the ASEAN Charter (2007). The bilateral stage, namely ‘friendly negotiation’ should be prioritized first in any dispute resolution before any other way be taken. Despite having a long term of ‘friendly negotiation’, the two cases, Thailand–Kamboja, and Malaysia–Indonesia were finally decided to be taken to the International Court of Justice. As with the two cases above, the Thailand–Laos case has been decided to be temporary a ceasefire. Both agreed to expand the border economic development instead. This paper analyses the mechanism of border dispute settlement of the three cases, respectively. The way the disputed states took negotiations gives the significant lessons in which the border disputes can be overcome without disturbing the ASEAN existence as a whole. Keywords: dispute settlement mechanism, border, TAC, ASEAN Charter, ICJ,Thailand-Cambodia dispute, ThailandLaos dispute, Malaysia-Indonesia dispute. Abstrak Sengketa perbatasan antarnegara di ASEAN secara mendasar dipicu oleh belum tuntasnya penentuan garis-garis batas darat. Garis-garis batas sebagai penanda fisik tegaknya kedaulatan suatu negara adalah hal yang sensitif di ASEAN. Pengalaman tiga sengketa Thailand–Kamboja, Thailand–Laos, Malaysia–Indonesia merupakan contoh sengketa di ASEAN yang masing-masing memiliki keunikan latar belakang. Beberapa mekanisme menjadi pilihan mereka mengatasi sengketa, yaitu bilateral, regional, dan multilateral. Tiga pilihan ini tercantum dalam klausul TAC (1976) dan ASEAN Charter (2007). Proses friendly negotiation sebagai cara perundingan bilateral menjadi mekanisme solusi yang selalu dianjurkan dalam ASEAN. Setelah melewati proses bilateral yang panjang, dua kasus sengketa (Thailand-Kamboja, Malaysia-Indonesia) akhirnya dibawa ke ranah penyelesaian hukum tingkat multilateral (International Court of Justice), sebagai upaya terakhir. Sedangkan antara Thailand dan Laos diputuskan untuk gencatan senjata/ status quo (1988) sebelum Laos bergabung ke ASEAN (1997), dan mengembangkan kerja sama ekonomi perbatasan sebagai gantinya. Tulisan ini mengangkat tinjauan atas pengalaman mekanisme penyelesaian sengketa terhadap 3 kasus sengketa itu dengan proses penyelesaian yang variatif. Proses friendly negotiation yang berlangsung relatif lama telah membangun ikatan antarpihak, sehingga sengketa tidak mencabik ASEAN. Kata Kunci: Mekanisme Penyelesaian Sengketa, Perbatasan, TAC, Piagam ASEAN, Sengketa Thailand-Kamboja, Sengketa Thailand – Laos, Sengketa Malaysia – Indonesia.
Meninjau Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perbatasan di ASEAN | Awani Irewati | 39
Pendahuluan Meski era Komunitas ASEAN mulai berlaku resmi pada Desember 2015, ASEAN masih menghadapi beberapa masalah sengketa antarnegara, terutama yang terkait dengan kedaulatan negara, seperti perbatasan antarnegara. Secara nyata, tidaklah mudah dan cepat untuk menuntaskan sengketa yang terkait dengan kedaulatan wilayah negara. Meski demikian, ada beberapa sengketa yang sudah diselesaikan sesuai dengan kesepakatan antarnegara yang bersengketa. Sejauh ini, 1 sengketa wilayah perbatasan di ASEAN mampu diakomodasi dan diselesaikan, baik di tingkat bilateral maupun di tingkat internasional. Kendati proses pencapaian kesepakatan bersama seringkali memakan waktu yang lama, tarikmenarik dalam memperjuangkan kepentingan nasional dari masing-masing negara yang bersengketa bisa dihadapi tanpa menimbulkan perpecahan di dalam tubuh ASEAN itu sendiri. Bahkan proses panjang dalam menyelesaikan atau menyikapi suatu sengketa wilayah perbatasan menjadi episode tersendiri dalam perjalanan ASEAN tanpa melahirkan perang besar antarnegara.2 Meski beberapa sengketa perbatasan ASEAN pada situasi tertentu mencapai titik kritis, sengketa yang berlangsung tidak sampai memicu terjadinya perang terbuka. Persoalan bisa “dikendalikan” dan dibicarakan bersama. Sebagai contoh, konflik perbatasan antara Thailand dengan Kamboja (tentang Candi Preah Vihear), sengketa antara Indonesia– Malaysia (tentang Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan), disepakati secara bersama melalui proses bilateral dan akhirnya disetujui bersama pula untuk dibawa ke tingkat Internasional (International Court of Justice). Terhitung sejak keanggotaan ASEAN menjadi 10 negara, didirikan pada 8 Agustus 1967 oleh 5 negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, diikuti Brunei (7 Januari 1984), Vietnam (28 Juli 1995), Myanmar (23 Juli 1997), Laos (23 Juli 1997), Kamboja (16 Desember 1998). 1
Bisa dilihat lebih jauh pada hasil-hasil penelitian dari Tim Perbatasan P2P sejak tahun 2010-2014 yang mengangkat masalah perbatasan antarnegara di ASEAN. Sekalipun sengketa perbatasan yang paling kompleks dan menegangkan yang pernah terjadi yaitu sengketa tentang Candi Preah Vihear dan wilayah sekitarnya seluas 4,6 km², yang proses penyelesaian melalui beberapa tahap bilateral, regional, dan internasional, tidak sampai menimbulkan sebuah situasi yang disebut perang antarnegara. 2
Tiga persoalan perbatasan ASEAN yang diangkat dalam tulisan ini ialah sengketa perbatasan antara Indonesia dan Malaysia (dua Pulau Sipadan dan Ligitan), antara Thailand dan Kamboja (Candi Preah Vihear), antara Thailand dan Laos (segmen wilayah perbatasan yang diperebutkan). Pilihan atas tiga sengketa ini didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: 1) Ragam objek sengketa berupa kepemilikan atas pulau-pulau, bangunan bersejarah, dan wilayah di perbatasan; 2) Ragam mekanisme penyelesaian yang diambil yaitu, a. Melalui proses bilateral lalu berdasar kesepakatan bersama dilanjutkan ke tingkat internasional (bilateralà internasional). b. Melalui proses bilateralà ke internasional (DK-PBB) à (kembali ke) bilateral à lanjut ke ASEAN sebagai fasilitatorà dan ke internasional (ICJ). c. Melalui proses bilateralàke Internasional (PBB)à bilateral dengan kondisi status quo . Mekanisme penyelesaian yang diambil antara pihak-pihak yang bersengketa memberi sajian atas diutamakannya proses bilateral dalam mekanisme ASEAN yang dikenal dengan istilah friendly negotiation. Meski dari dua kasus yang disajikan, pada akhirnya diserahkan penyelesaiannya ke tingkat internasional, ini tidak mengurangi makna penting dari prosesproses bilateral yang berlangsung dalam kurun waktu cukup lama. Mekanisme penyelesaian dari tiga kasus sengketa yang diangkat pada tulisan ini tentu memiliki kelebihan maupun kelemahan, dan itu bergantung pada case by case, bukan atas dasar generalisasi dari macam sengketa yang terjadi. Kekuatan yang bisa dipelajari adalah tahap friendly negotiation antarpihak yang bersengketa menjadi keunikan dan keutamaan yang selalu ditegaskan dalam ASEAN ketika terdapat negara-negara yang sedang bersengketa. Hingga kini sengketa antara Thailand dan Laos yang mengambil proses negosiasi bilateral sesungguhnya belum berakhir, dan masih bersifat
40 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 39–58
status quo. Namun, keduanya sepakat untuk lebih mengutamakan membangun hubungan kerja sama ekonomi demi pembangunan wilayah perbatasan mereka. Sedangkan pada kasus antara Malaysia dan Indonesia disepakati untuk dibawa ke mahkamah internasional. Begitupun antara Thailand dan Kamboja melalui proses yang kompleks, baik bilateral maupun internasional, pada akhirnya diajukan kembali oleh Kamboja ke mahkamah internasional.
sengketa atas kepemilikan pulau-pulau, sebagai akibat dari belum ditetapkannya garis-garis batas oleh penguasa asing3 mereka dimasa lampau.
Fokus penyajian pada analisis mekanisme pengelolaan dan penyelesaian sengketa perbatasan antarnegara ASEAN, secara bilateral, regional, maupun internasional. Mekanisme penyelesaian sengketa semacam inilah yang diambil oleh negara-negara ASEAN ketika mereka dihadapkan pada kondisi saling menuntut satu sama lain atas kepemilikan pulau, peninggalan sejarah maupun sebuah wilayah sebagai hak kedaulatan mereka. Tahapan analisisnya mengikuti beberapa bagian sebagai berikut: 1) Peta sengketa perbatasan ASEAN; 2) Mekanisme penyelesaian sengketa perbatasan ASEAN; 3) Kasus sengketa perbatasan dan solusinya.
Peta Sengketa Perbatasan ASEAN Dengan sepuluh negara ASEAN, betapa luas cakupan wilayah ASEAN. Menyatukan dan mengikat sepuluh negara dalam ikatan ASEAN merupakan perjalanan panjang ASEAN. Tentu saja itu tidak mudah pula bagi ASEAN untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul, terutama dalam menjaga dan mengatasi keutuhan ASEAN. Namun, sebelum masuk ke alur terjadinya sengketa perbatasan di tiga negara (Thailand–Kamboja, Thailand–Laos, Malaysia– Indonesia), penjelasan singkat atas penggunaan istilah sengketa penting dikemukakan. Gambar 1 memperlihatkan objek sengketa yang diperebutkan oleh Thailand–Kamboja terkait kepemilikan Candi Preah Vihear, sengketa antara Thailand–Laos terkait wilayah desa, yang diklaim Thailand masuk ke distrik Chat Trakan, Provinsi Phitsanulok, juga diklaim oleh Laos masuk ke Distrik Laotian Boten, Provinsi Xaignabouri, dan sengketa antara Indonesia–Malaysia terkait dua Pulau, Sipadan dan Ligitan. Sengketa-sengketa yang terjadi ini adalah termasuk sengketa perbatasan darat dan
Sumber: Seth Mydans, “Thailand and Cambodia Clash Again in Border Dispute”, 24 April, 2011, http://www.nytimes.com/2011/04/25/world/ asia/25temples.html?_r=0 diakses pada tanggal 10 Mei 2014; Lihat “The ISAAN- Life in a Thai-Lao Village”, http://the-isaan.blogspot.com/2012/11/ Untuk kasus Candi Preah Vihear yang diperebutkan antara Thailand dan Kamboja itu juga sebagai akibat dari perbedaan interpretasi dari masing-masing pihak atas garis perbatasan yang sesungguhnya tidak tegas dinyatakan oleh penguasa Perancis di Kamboja saat itu. Wilayah seluas 4,6 km² disekitar candi memang belum ditentukan pada masa itu (Lihat Awani Irewati (Ed), Sengketa Wilayah Perbatasan Thailand–Kamboja, (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2014)). Demikian pula wilayah desa yang diperebutkan antara Thailand dan Laos memang belum ditetapkan oleh penguasa Perancis di Laos saat itu. Wilayah desa diperebutkan antara Laos sebagai bagian dari Distrik Laotian Boten, Provinsi Xaignabouri, dan Thailand sebagai bagian dari Distrik Chat Trakan, Provinsi Phitsanulok (Lihat Rosita Dewi & Awani Irewati (Eds.), Masalah Perbatasan Thailand–Laos, dalam proses penerbitan). Untuk sengketa dua Pulau, Sipadan dan Ligitan, juga terjadi perbedaan interpretasi dari masing-masing pihak, sebagai konsekuensi dari belum ditetapkannya garis batas laut antara penguasa Inggeris (di Malaysia) dan penguasa Belanda (di Indonesia) saat itu (Lihat Awani Irewati (Ed.), Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia–Malaysia di Laut Sulawesi, (Jakarta: LIPI Press, 2006)). 3
Meninjau Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perbatasan di ASEAN | Awani Irewati | 41
love-shack-ii.html, diakses pada tanggal 20 Februari 2015; Renate Haller-Trost, “The Territorial Dispute between Indonesia and Malaysia over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan in the Celebes Sea: a Study in International Law”, https://www.dur.ac.uk/ibru/ publications/view/?id=209 diakses pada tanggal 20 Februari 2015. Gambar 1. Peta Area Sengketa Thailand-Kamboja (Candi Preah Vihear), Thailand-Laos (wilayah desa antara Laotian Boten District dan Chat Trakan District), Malaysia-Indonesia (Sipadan-Ligitan di Laut Sulawesi) Tabel 1. Panjang Perbatasan Darat Antarnegara ASEAN (Thailand–Kamboja dan Laos; Indonesia– Malaysia) No. 1. 2.
Perbatasan Darat Antarnegara Kamboja Thailand Laos Indonesia – Malaysia
Panjang-Km 803 1.754 ±2.000
Sumber: Ramses Amer, “Border Conflicts between Cambodia and Vietnam”, IBRU Boundary and Security Bulletin Summer 1997, https://www.dur.ac.uk/ resources/ibru/publications/full/bsb5-2_amer.pdf, diakses pada tanggal 10 Mei 2014. Angka angka tersebut bisa berbeda tipis antara satu sumber dengan sumber lainnya.
Untuk masing-masing perbatasan darat memiliki keunikan berbeda, baik dari sisi fisik perbatasan, maupun dari sisi faktor yang mendasarinya. Perbatasan antarnegara secara fisik bisa dibedakan dalam 3 tipe, yaitu 1) perbatasan alam (gunung, sungai, hutan); 2) perbatasan artifisial (patok, tembok, pagar kawat); 3) perbatasan berdasarkan pada penentuan titik koordinat. Batas pemisah wilayah perbatasan antara Thailand dan Kamboja didominasi oleh perbatasan alam yaitu Pegunungan Dong Rek Range. Sedangkan antara Thailand dan Laos dipisah oleh aliran Sungai Mekong yang juga merupakan perbatasan alam. Namun, untuk pemisah wilayah perbatasan antara Malaysia dan Indonesia ditandai dengan bangunan patokpatok sepanjang perbatasan, yang garis-garis batas daratnya berhenti hingga Pulau Sebatik. Kelanjutannya ke arah timur dari Pulau Sebatik ditentukan dengan garis batas laut, yang hingga kini masih dalam status perundingan antar dua negara.
Akan tetapi yang diangkat dalam tulisan ini bukanlah garis batas laut (Zona Ekonomi Eksklusif/ZEE) Malaysia–Indonesia di Laut Sulawesi yang sampai sekarang sedang dalam proses perundingan bilateral, melainkan pola sengketa atas kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antarnegara ini. Perlu dipahami bahwa sengketa kepemilikan dua pulau ini tidak menyertakan tentang garis batas lautnya (sesuai dengan hasil perundingan di tingkat International Court of Justice/ICJ), tetapi sekali lagi hanya tentang kepemilikan atas dua pulau ini yang berada di Laut Sulawesi.
1. Istilah ‘Sengketa’ Perbatasan4
Penting untuk mengetahui pengertian istilah ‘sengketa’ dari dua istilah lain, ketegangan (tension) dan konflik (conflict). Identifikasi ini mutlak diperlukan dalam menganalisis apakah suatu kasus tertentu masuk dalam kategori ‘ketegangan’, ‘sengketa’, atau ‘konflik’. Untuk kasus yang terjadi antara ThailandKamboja, Thailand-Laos dan Malaysia-Indonesia merupakan dispute about territorial sovereignty. Ilmu Hubungan Internasional menyebutnya dengan istilah territorial dispute atau dikenal dengan arti sengketa wilayah. Apabila meninjau makna yang disajikan Permanent Court of International Justice 1924, istilah sengketa dimaknai sebagai “a disagreement on a point of law or fact, a conflict of legal views or interests between two persons” 5. Pengertian sengketa antarnegara, atau dikenal dengan istilah international dispute, dimaknai sebagai sosok negara menjadi subjek dalam hukum internasional, yang nota bene berperan sebagai aktor dalam kasus sengketa ini.6
Penjelasan istilah ‘sengketa’ di sini lihat Awani Irewati (Ed), Sengketa Wilayah Perbatasan Thailand–Kamboja, (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2015). 4
Lihat pada Sandy Nur Ikfal Raharjo dan Awani Irewati, “Gambaran Umum Sengketa Wilayah Perbatasan ThailandKamboja” dalam Awani Irewati (Ed), Sengketa Wilayah Perbatasan Thailand–Kamboja, (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2015), hlm. 10, yang didalamnya mengutip dan mencantumkan pandangan dari Mavrommatis Palestine Concessions Case (1924) PCIJ Ser.A.No.2, hlm. 11. 5
Ibid., yang juga mengutip pandangan dari Anne Peters, “International Dispute Settlement: A Network of Cooperational Duties”, EJIL, Vol. 14 No.1, 2003, hlm. 3. 6
42 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 39–58
Hal serupa juga dikemukakan oleh Paul K. Huth yang mendefinisikan sengketa wilayah sebagai perselisihan antarnegara, yang didalamnya terjadi saling menentang antarnegara atas hak kedaulatan atas tanah air atau batas-batas wilayah peninggalan penguasa di masa lalu.7 Menurutnya ada tiga faktor utama penyebab suatu wilayah menjadi saling diperebutkan satu sama lain, yaitu karena nilai sumber daya alamnya, peninggalan sejarah yang bernilai tinggi (termasuk budaya dan populasi), dan letak geografi yang strategis secara militer. Menurut Niklas L.P. Swanstrom dan Mikael S. Weissmann, ada beberapa tahap dari sengketa menjadi perang.8 Tahapannya dijelaskan dengan menggunakan model “the conflict cycle” 9adalah sengketa bisa mengarah naik menjadi konflik apabila kondisi kedua belah pihak yang semula stable peace mengarah pada ketegangan yang sudah meningkat (unstable peace), sehingga tidak ada lagi jaminan atas kedamaian. Tahap berikutnya adalah kondisi konflik terbuka, yaitu ketika kedua belah pihak sudah bersiap segala kekuatan menghadapi kemungkinan buruk yang bisa dihadapinya. Tahap selanjutnya ialah kondisi krisis apabila penggunaan kekuatan militer sudah menjadi pilihan walaupun ini masih bersifat sporadic. Tahap yang paling tinggi intensitas konfliknya adalah perang, yaitu ketika kekerasan bersenjata terjadi dalam tempat yang bisa meluas dan waktu yang tak terbatas. Pada tiga kasus yang terjadi di ASEAN, istilah ’sengketa’ dipakai dalam tulisan ini untuk menjelaskan situasi yang terjadi. Sebagaimana dituliskan di atas tentang tahapan dari ‘sengketa’ hingga menjadi ‘perang’ melewati ‘konflik’ (unstable peace) lalu ‘konflik terbuka’ menuju ‘krisis’ dan ‘perang’. Apabila ditulis secara berurutan, tahapannya akan berupa: sengketa à Penjelasan Paul K Huth, Standing Your Ground: Territorial Disputes and International Conflict, (Michigan: University of Michigan, 1998), hlm. 19-23, yang juga dikutip dalam buku Sengketa Wilayah Perbatasan Thailand-Kamboja, ibid., hlm. 11. 7
Lihat pada Niklas L.P. Swanstrom dan Mikael S. Weissmann, “Conflict, Conflict Prevention and Conflict Management and Beyond: A Conseptual Exploration”, Concept Paper, Summer 2005, Uppsala: the Central Asia-Caucasus Institute & Silk Road Studies, 2005, hlm. 9-11, http://www.mikaelweissmann.com/ wp-content/uploads/2014/12/051107_concept-paper_final.pdf, 8
9
Ibid., hlm. 11.
konflik à konflik terbuka à krisis à perang. Untuk kasus-kasus yang diangkat dalam tulisan ini, proses masalah antara Thailand dan Kamboja yang memperebutkan candi Preah Vihear maupun wilayah seluas 4,6 km² melewati tahap sengketa, lalu meningkat ke konflik, kemudian sempat mencapai tahap konflik terbuka, dan tahap krisis dimana penggelaran dan kontak senjata di wilayah perbatasan sempat dilakukan, meski tidak berlangsung lama. Kehadiran ASEAN sebagai fasilitator dengan memanfaatkan Ketua ASEAN 2011, tingkatan kasus menurun ke tahap sengketa. Saat ini, sengketa Thailand–Kamboja telah berakhir dengan keluarnya keputusan mahkamah internasional yang memenangkan Kamboja sebagai pemilik candi dan wilayah sekitarnya. Pada kasus antara Thailand dan Laos tentang perebutan wilayah antara Provinsi Xaignabouri, Laos dan Provinsi Phitsanulok di Thailand, sempat mengalami tahapan yang sama dengan Thailand dan Kamboja di tahun 1987-1988, bahkan ada juga yang menyebut situasi saat itu sudah memasuki situasi perang. Akan tetapi, kedua negara yang berkasus itu tiba pada satu keputusan dengan kondisi status quo, dimana tahap sengketa masih belum dituntaskan. Pasca 1988 keduanya lebih memilih jalan seperti itu demi peningkatan hubungan kerja sama ekonomi yang diyakini lebih menguntungkan. Pengembangan ekonomi perbatasan gencar dilakukan, sementara perundingan wilayah perbatasan nampaknya kurang mengalami kemajuan. Dengan kata lain, istilah ‘sengketa’ perbatasan Thailand–Laos hingga kini masih disandingkan ke mereka dalam kondisi status quo, karena belum ada penyelesaiannya. Dua pulau, Sipadan dan Ligitan merupakan dua pulau yang kepemilikannya diperebutkan oleh Malaysia dan Indonesia. Meski sempat mengalami ketegangan dalam hubungan bilateral, kasus kedua negara tidak sampai menyentuh konflik terbuka, apalagi krisis dan perang. Denyut kasus lebih banyak berkisar antara ‘sengketa’ dan ‘konflik’ (unstable peace), dan akhirnya berkisar di tahap ‘sengketa’. Proses penyelesaian bilateral sangat lama yaitu 8 tahun (terhitung tahun 1989 dimulainya pembahasan sengketa di tingkat kepala negara hingga 1997 ketika disepakati resmi
Meninjau Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perbatasan di ASEAN | Awani Irewati | 43
oleh kedua negara untuk membawa sengketa ke tingkat mahkamah internasional). Tahun 2002 mahkamah internasional mengeluarkan hasil pengajuan sengketa dua pulau, Sipadan– Ligitan, dimana Malaysia adalah sebagai pihak yang berhak atas kepemilikan dua pulau itu. Dengan demikian, sengketa antara Malaysia dan Indonesia atas dua Pulau, Sipadan – Ligitan telah berakhir. Tentang tipe penyelesaian sengketa, dua akademisi James McCall dan Jonas Tallberg, mengajukan dua tipe ideal, yaitu melalui interstate dispute settlement dan supranational dispute settlement.10 Sedangkan Keohane kurang lebih sama dalam memaknai penyelesaian sengketa seperti dua akademisi di atas. Esensinya, mereka sependapat bahwa pilihan terhadap penggunaan tipe penyelesaian sengketa, baik melalui perundingan bilateral atau melalui lembaga supranasional, sangat bergantung pada kemauan dan kepentingan negara yang bertikai untuk memilih penyelesaian mana yang dianggap paling menguntungkan negaranya.
2. Kedaulatan dan Non-Interference Principle dalam ASEAN Secara umum, 10 negara ASEAN yang saling berbatasan secara darat dan laut memiliki masalah perbatasan satu sama lain. Kedekatan geografis ini sering menimbulkan permasalahan kompleks, baik pelanggaran di wilayah perbatasan/kedaulatan maupun kegiatankegiatan ilegal di perbatasan. Belum tuntasnya perundingan tentang kesepakatan garis batas wilayah antarnegara bisa menimbulkan masalah saling klaim wilayah. Bahkan kesepakatan garis batas wilayah antarnegara yang sudah dicapaipun seringkali masih juga menimbulkan masalah. Sebagai contoh, Indonesia yang berbatasan darat maupun laut dengan 10 negara tetangganya juga tak luput dari masalah seputar perbatasan (garis batasnya) maupun masalah di perbatasan Diambil dari penjelasan yang dikemukakan dalam Awani Irewati (Ed), Sengketa Wilayah Perbatasan Thailand–Kamboja, (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2015), yang didalamnya mengutip pemjelasan dari James McCall Smith dan Jonas Tallberg, 16 Oktober 2008, “Dispute Settlement in World Politics: State, Supranational Prosecutors, and Compliance”, makalah pada Covington and Burling LLPand Stockholm University, hlm. 1-48. 10
(kegiatan ilegal). Indonesia dengan Malaysia seringkali timbul gesekan-gesekan perbatasan yang bersifat fluktuatif. Demikian pula Thailand menghadapi masalah serupa dengan negaranegara tetangganya (Myanmar, Malaysia, Kamboja, Laos). Ini semua adalah tantangan yang tak mudah untuk diselesaikan maupun dikelola agar sekecil apapun masalahnya harus disikapi dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi, karena terkait dengan kedaulatan11 suatu negara. Tentang kedaulatan dan non-interference principle yang dianut ASEAN selalu menjadi stressing points bagi para kritikus atas eksistensi ASEAN, sehingga tak jarang memandang sceptical pada ASEAN dalam mencapai sebuah komunitas. Menlu Ali Alatas pernah menyatakan bahwa adanya globalisasi dan kemajuan teknologi telah membuat negara tidak bisa menutup diri dari dunia luar.12 Artinya, semua masalah domestik suatu negara menjadi terbuka dan dengan mudah dan cepat bisa diketahui oleh dunia. Karena itu, prinsip tak boleh turut campur masalah domestik negara, kemudian harus dilonggarkan dalam ASEAN. Dalam perkembangannya, ASEAN sebenarnya tidak sekeras makna prinsip itu secara harafiah. Masalah demokrasi dan pelanggaran HAM di Myanmar, pencemaran lingkungan seperti efek kebakaran hutan di Indonesia tidak lepas dari perhatian dan sikap kritis negaranegara ASEAN. Bantuan teknis diberikan untuk mengatasi haze akibat kebakaran hutan di Sumatera, serta fasilitas ASEAN dimanfaatkan dalam melakukan pendekatan ke Myanmar. Kembali mengutip apa yang dikatakan oleh Menlu Ali Alatas (saat itu) yang mengambil contoh dari integrasi EU “They don’t lose their sovereignty, but pool it to achieve bigger objectives.”13 Maksudnya adalah kedaulatan Masalah kedaulatan di ASEAN masih menjadi hal yang penting dan sensitif, meski Komunitas ASEAN sudah terbentuk. Bagi ASEAN menjadi satu komunitas tidak berarti perihal politik dan hukum terkait kedaulatan negara bangsa, kemudian menjadi “diperlemah”. Masalah kedaulatan/sovereignty dan non-interference principle adalah dua hal yang sensitif bagi ASEAN dan sering dipandang sebagai kendala didalam mencapai sebuah integrasi kelompok. 11
Abdul Khalik, “Sovereignty, non-Interference should not hinder ASEAN Integration”, The Jakarta Post, 16 Maret 2007. 12
13
Ibid.
44 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 39–58
dimaknai tidak akan hilang selama itu demi tujuan dan keutuhan bersama dalam ikatan integrasi. Hal senada juga dikemukakan oleh Menhan Juwono Sudarsono bahwa tidak ada satu negarapun yang bisa memiliki kedaulatan absolut, dan tak ada negara yang bisa melindungi perbatasannya secara absolut. 14 Karena itu, negara harus “mengurangi” kedaulatannya demi mutual interest. Sementara yang dikemukakan oleh mantan Sekjen ASEAN, Rodolfo C. Severino: ..that non-interference is not a doctrine that is adhered to and applied on dogmatic or ideological ground. It springs from a practical need to prevent external pressure from being exerted against the perceived national interest – or the interest of the regime. Essentially arising from pragmatic considerations, ASEAN’s practice of non interference has not been absolute.15
Jelas statement mantan Sekjen ini menegaskan bahwa prinsip tidak turut campur/ non-interference bukanlah sebuah doktrin yang mutlak sebagaimana sebuah ideologi maupun dogmatis. Prinsip ini diterapkan atas dasar kepentingan praktis untuk mencegah adanya tekanan luar terhadap kepentingan nasional. Pertimbangan pragmatis menjadi esensi dari apa yang ditegaskan oleh Severino. Beberapa pandangan tentang penerapan prinsip tidak turut campur dalam masalah domestik suatu negara di ASEAN, pada dasarnya bukan ‘harga mati’. Namun, pada kasus tertentu bisa saja masalah kedaulatan itu menjadi ‘harga mati’. Pada tingkatan tertentu ketika sejengkal wilayah darat/tanah dan laut suatu negara diklaim ataupun ‘digoyang’ oleh negara lain sebagai miliknya, keadaan ini bisa menimbulkan masalah yang sangat sensitif. Pada kasus semacam 14
Ibid.
Lee Jones, “ASEAN’s Unchanged Melody? The Theory and Practice of ‘Non Interference’ in Southeast Asia”, yang mengutip dari Rodolfo C. Severino, Southeast Asia in Search of an ASEAN Community: Insights from the Former ASEAN Secretary General, (Singapore: ISEAS, 2006), hlm. 94. Untuk memahami lebih jauh tentang penerapan prinsip noninterference ini di ASEAN bisa dibaca pada makalah yang ditulis oleh Lee Jone. Dalam tulisannya diketengahkan tentang kajian teori dan praktek dalam memandang non-interference ini dengan menyinggung pandangan dari “constructivists” versus “realists”. 15
ini sudah banyak terjadi di dalam ASEAN maupun di sekelilingnya. Kasus-kasus sengketa yang diangkat dalam tulisan ini, yaitu antara Thailand dengan Kamboja; antara Indonesia dengan Malaysia; antara Thailand dengan Laos merupakan contoh-contoh kasus yang sudah selesai dan belum selesai alias status quo (Thailand–Laos), yang sangat mengedepankan ‘harga mati’ itu dalam memperjuangkan ‘sejengkal’ perbatasan sebagai hak kedaulatan.
3. Garis Batas Darat: Delimitasi dan Demarkasi Dari sejumlah perbatasan darat antarnegara yang ada, belum semua kesepakatan dan penetapan tentang garis perbatasan dicapai secara bersama. Meski penentuan garis perbatasan darat antarnegara masih ada yang sedang dalam perundingan bahkan ada sisi perbatasan tertentu yang belum dicapai kesepakatan (dalam kondisi status quo), pada umumnya hubungan antarnegara (khususnya antar masyarakat berbatasan) relatif tetap bisa berjalan normal. Ini terutama didorong oleh adanya hubungan ekonomi terutama hubungan perdagangan. Di bawah kondisi yang demikian ini, wilayah perbatasan semacam ini sangat rentan atas terjadinya masalah-masalah yang berkategori ilegal. Jangankan wilayah perbatasan dengan garis perbatasan yang belum selesai ditetapkan dan disepakati bersama antarnegara, wilayah perbatasan dengan garis-garis batasnya yang sudah resmipun seringkali masih memunculkan masalah. Faktanya, garis batas antarnegara yang sudah jelas dan sah ketentuan garisnya pun seperti perbatasan antara Thailand Selatan dan Malaysia Utara yaitu antara Sadao dan Bukit Hitam tak lepas dari kegiatan ilegal, atau di wilayah perbatasan lainnya sepanjang Sungai Kolok yang memisahkan antara kedua negara itu bisa menjadi ‘akses’ bagi gerakan separatisme ataupun penyelundupan.16 Contoh lain, bisa disaksikan apa yang kerap terjadi di perbatasan darat antara Berdasarkan hasil penelitian lapangan di perbatasan antara Thailand Selatan – Malaysia Utara yang dilakukan penulis dengan tim Perbatasan P2P-LIPI pada bulan Mei tahun 2012 yang berjudul Kerja Sama Perbatasan Thailand – Malaysia Dalam Mengatasi Illegal Border Crossing (sedang dalam proses penerbitan). 16
Meninjau Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perbatasan di ASEAN | Awani Irewati | 45
Malaysia dan Indonesia. Geser menggeser patok perbatasan seringkali memunculkan masalah tersendiri dalam hubungan keduanya. Pada kenyataannya memang tidak mudah bagi negara yang saling berbatasan untuk melakukan perundingan tentang garis-garis batas wilayah. Proses perundingan melalui perhitungan teknis di lapangan yang tidak mudah di masing-masing negara memakan waktu yang relatif lama. Tahap perundingan yang dilakukan oleh pemerintah dari kedua belah pihak untuk mencapai satu kesepakatan bersama tidak bisa hanya dilakukan dalam waktu singkat. Selanjutnya, ketika kesepakatan antarnegara (pemerintah) dalam delimitasi perbatasan sudah dicapai, proses selanjutnya akan ditindaklanjuti oleh instansi pemerintah yang terkait langsung dengan pelaksanaan teknis demarkasi di lapangan – perbatasan .
hendak ditentukan garis-garis batasnya, lengkap dengan dokumen-dokumen resmi sebagai dasar pendukung argumentasi dalam meja perundingan antarnegara. Ada banyak definisi yang bisa kita temui dalam buku-buku perbatasan tentang pengertian istilah delimitation dan demarcation. Salah satunya definisi yang dikemukakan oleh McMahon (1897): “...Delimitation covers...all the preliminary processes and procedure involved before a boundary is laid down on the ground...Having done all that, you then come to work on the ground, and then the process ceases to be delimitation and becomes demarcation.” 18
Curson (1907) juga memberi batasan pada kedua istilah itu yaitu: “I use the word intentionally as applying to the final stage and the marking out of the boundary on the spot. Diplomatic agents and documents habitually confound the meaning of the two words ‘delimitation’ and ‘demarcation’, using them as if they were interchangeable terms. This is not the case. Delimitation signifies all the earlier processes for determining a boundary, down to and including its embodiment in a Treaty or Convention. But when the local Commissioners get to work, it is not delimitation but demarcation on which they are engaged.”19
Dalam tahap inipun, instansi-instansi teknis yang melakukan demarkasi juga akan melakukan secara bersama dengan instansi-instansi teknis dari negara yang berbatasan. Tugas instansi yang melakukan demarkasi ini sangat berat karena secara teknis tentu kendala di lapangan seperti kondisi topografi, rintangan alam termasuk pula perbedaan persepsi penarikan dan penentuan garis-garis batas dari masing-masing pihak bisa terjadi. Dalam makalahnya, Adler menuliskan bahwa ada dua kelompok ahli di dalam proses pembuatan perbatasan maupun manajemen perbatasan, yaitu boundary architects dan boundary engineer.17 Yang pertama itu mencakup negarawan, politisi, diplomat, lawyer yang berlatar belakang ilmu hubungan internasional, hukum, sejarah, ilmu politik dan ekonomi. Sedangkan yang terakhir meliputi surveyors and mappers, yang berlatar belakang geografi, geodesi, kartografi, dan ilmu komputer. Bisa dibayangkan betapa tidak mudahnya untuk mencapai satu titik kesepakatan bersama tentang garis-garis perbatasan antarnegara. Pada titik awal sangat dibutuhkan kajian-kajian mendalam tentang sejarah suatu perbatasan wilayah yang Ron Adler, “Surveyors Role in Delineation and Demarcation of International Land Boundaries”, JS20 International Borders, FIG XXII International Congress, Washington, DC, USA, 19-26 April 2002, https://www.fig.net/pub/fig_2002/Js20/JS20_adler. pdf, diakses pada tanggal 9 Mei 2014. 17
Dengan kemajuan teknologi peralatan pengukuran yang semakin canggih diharapkan bisa semakin meningkatkan proses pelaksanaan delimitation, khususnya demarcation, sehingga masalah garis perbatasan antarnegara yang belum Dikutip dalam Dennis Rushworth, “Mapping in Support of Frontier Arbitration: Delimitation and Demarcation”, IBRU Boundary and Security Bulletin Spring 1997, https://www.dur. ac.uk/resources/ibru/publications/full/bsb5-1_rushworthlm.pdf, diakses pada tanggal 9 Mei 2014. 18
Ibid. Menurut Vocabulary.com dituliskan “A demarcation is a line, boundary, or other conceptual separation between things. Geographically, a demarcation might be the border that separates two countries or the river that divides two regions.” Dijelaskan lebih jauh bahwa istilah ‘demarcation’ berasal dari kata German yang berarti tanda (mark).Selain digunakan untuk menunjuk batas geografi maupun perbatasan, kata ini sering pula digunakan untuk menggambarkan garis antara kategori atau kelompok. Sebagai contoh “a definite demarcation exists between people who love the Boston Red Sox and those who love the New York Yankees”, http://www.vocabulary.com/ dictionary/demarcation#word=demarcation%20line diakses pada tanggal 9 Mei 2014. 19
46 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 39–58
seluruhnya selesai akan semakin dipercepat pelaksanaannya. Kedua negara yang sedang melakukan proses itu bergerak dibawah komisi perbatasan yang dibentuk bersama, dan komisi ini terus berunding tentang garis-garis perbatasan.
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perbatasan ASEAN Ketika ASEAN terbentuk melalui Deklarasi Bangkok (Bangkok Declaration) pada tahun 1967, belum ada ketentuan didalamnya tentang pentingnya sebuah mekanisme penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa di dalam ASEAN. Yang tertera dalam Deklarasi Bangkok ditujukan: “To promote regional peace and stability through abiding respect for justice and the rule of law in the relationship among countries of the region and adherence to the principles of the United Nations Charter.”20
Pada saat itu, apabila terjadi sengketa antarnegara ASEAN akan diselesaikan di bawah kondisi dan kesepakatan bersama berdasarkan aturan hukum dan mengacu pada prinsip-prinsip piagam PBB. Namun setelah itu, seiring dengan perjalanan dan perkembangan organisasi ASEAN, sudah dimiliki tiga mekanisme penyelesaian sengketa yang dikembangkan ASEAN, yaitu mekanisme versi TAC (1976 dengan Deklarasi Bali Concord I); Protokol Mekanisme Penyelesaian Sengketa (Protocol on Dispute Settlement Mechanism) dibentuk 1996 khusus menangani perselisihan ekonomi; Piagam ASEAN (2007). Untuk penyelesaian sengketa perbatasan, mekanisme pertama dan ketiga menjadi dasar analisis penulisan ini.
1. Mekanisme Dalam TAC (Treaty of Amity and Cooperation) Kesepakatan dalam TAC dengan Deklarasi Bali 1976 menyatakan “Member states, in the spirit of ASEAN solidarity, shall rely exclusively on peaceful processes in the settlement of intraWalter Woon SC, “Dispute Settlement The ASEAN Way”, http://cil.nus.edu.sg/wp/wp-content/uploads/2010/01/ WalterWoon-Dispute-Settlement-the-ASEAN-Way-2012.pdf, diakses pada tanggal 9 Mei 2014. 20
regional differences.” Deklarasi ini menyodorkan poin-poin penting yang tercantum dalam Bab IV TAC (Treaty of Amity and Cooperation) yang harus dihormati dan dijalankan oleh negaranegara ASEAN. Ada 3 tahap yang harus dilalui apabila terjadi sengketa, yaitu: 1. Pencegahan meningkatnya sengketa serta upaya penyelesaian melalui negosiasi langsung antarpihak yang bertikai. Hal itu ditegaskan dalam pasal 10 yang berbunyi: “Each High Contracting Party shall not in any manner or form participate in any activity which shall constitute a threat to the political and economic stability, sovereignty, or territorial integrity of another High Contracting Party.”
2. Pasal 13 menekankan bahwa “the High Contracting Party” diwajibkan menahan diri dari hal-hal yang bisa memicu terjadinya sebuah ancaman ataupun penggunaan kekuatan serta harus memprioritaskan penyelesaian sengketa melalui negosiasi damai (“the High Contracting Parties shall have the determination and good faith to prevent disputes from arising. In case of disputes on matters directly affecting them, they shall refrain from the threat or use of force and shall at all times settle such disputes among themselves through friendly negotiations”). 3. Pasal 14 dari TAC berisikan mekanisme penyelesaian sengketa selanjutnya melalui pengawasan High Council yang terdiri dari satu perwakilan tingkat menteri dari masingmasing negara anggota yang berjumlah 10 negara anggota bersama dengan negara-negara nonASEAN yang terlibat langsung dalam sengketa. Apabila cara friendly negotiation yang dilakukan tidak mendatangkan hasil positif, High Council dapat merekomendasikan kepada pihak yang bersengketa sebuah penyelesaian melalui jasa baik (good offices), mediasi, inquiry or conciliation (Pasal 15). 4. Pasal 16 menyatakan bahwa apabila melalui friendly negotiation tidak berhasil, mereka bisa menyerahkan sengketa ke High Council untuk dibicarakan didalamnya, yang
Meninjau Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perbatasan di ASEAN | Awani Irewati | 47
memungkinkan untuk menyertakan negara nonASEAN yang terikat pada TAC namun tidak terlibat dalam sengketa terkait. 5. Pasal 17 menyatakan bahwa para pihak yang bersengketa setelah melalui tahapan perundingan di atas bisa merujuk pada pasal 33 ayat 1 Piagam PBB, yaitu menyerahkan penyelesaian sengketa menurut cara yang diatur dalam Piagam PBB.
2. Mekanisme dalam Piagam ASEAN (ASEAN Charter) Dengan adanya Piagam ASEAN (2007), mekanisme penyelesaian sengketa sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah dirintis dalam TAC. Terwujudnya mekanisme penyelesaian sengketa ala Piagam ASEAN dimaksudkan untuk mendorong sebuah organisasi ini, terutama bagi terbentuknya Komunitas ASEAN, untuk memiliki pijakan kerangka hukum yang jelas dan mengikat bagi negara ASEAN. Prosedur penyelesaian sengketa berdasarkan Piagam ASEAN yang termaktub dalam Bab VIII pasal 22 – 28 (lihat bagan 1) berisikan sebagai berikut:
“The Secretary-General of ASEAN, assisted by the ASEAN Secretariat or any other designated ASEAN body, shall monitor the compliance with the findings, recommendations or decisions resulting from an ASEAN dispute settlement mechanism, and submit a report to the ASEAN Summit. “
5. Selanjutnya, para pihak yang bersengketa bisa memutuskan secara bersama untuk melanjutkan penyelesaian sengketa ke tingkat yang lebih tinggi yaitu menggunakan mekanisme yang tertera dalam Piagam PBB Bab IV pasal 33 ayat1. Ketentuan itu berbunyi: “The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance of international peace and security, shall, first of all, seek a solution by negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice (ayat 1), The Security Council shall, when it deems necessary, call upon the parties to settle their dispute by such means. “ (ayat 2).
1. Pasal 22 menyatakan perlunya upaya negosiasi, dialog dan konsultasi disertai dengan (wajib) menahan diri untuk tidak menggunakan cara kekerasan. 2. Apabila cara di atas kurang berhasil, pihak yang bersengketa bisa merujuk pada pasal 23. Isi dari pasal 23 menyatakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui jasa-jasa baik (good offices), mediasi, konsiliasi. 3. Mekanisme melalui arbitrase bisa dipakai oleh pihak yang bersengketa apabila mekanisme sebelumnya tidak berhasil. Hal ini termaktub dalam pasal 25. 4. Pasal 27 menegaskan mekanisme penyelesaian sengketa dibawa ke KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) ASEAN sebagaimana tertera dalam ayat 1 yang berbunyi:
48 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 39–58
Negara anggota ASEAN
Bilateral
Sengketa
INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE (ICJ)
ASEAN
Negara anggota ASEAN
PIAGAM ASEAN (2007) BAB 8 PASAL 22-28
TAC (1976) BAB IV PASAL 13-17
Pasal 13 Tahap I (Friendly Negotiation) 1. Negosiasi 2. Dialog 3. Konsultasi (Menahan diri (wajib) tidak menggunakan kekerasan
Pasal 14 Tahap II (Pacific settlement of Disputes) The High Council 1. Mediasi 2. Penyelidikan 3. Konsiliasi
Pasal 17 Tahap III TAC mengatur mekanisme damai yang terdapat dalam Pasal 33 (1) Piagam PBB
1. 2. 3.
Pasal 22 Mekanisme I Negosiasi Dialog Konsultasi (Menahan diri (wajib) tidak menggunakan kekerasan
Pasal 23 Mekanisme melalui Jasa-jasa baik: mediasi, konsiliasi
Pasal 25 Mekanisme Arbitrase
Pasal 27 Mekanisme KTT
Pasal 28 Mekanisme Piagam PBB Pasal 33 ayat 1
Sumber: Disusun oleh Tim Perbatasan P2P-LIPI, 2014. Gambar 2. Bagan Mekanisme Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Perbatasan di Negara Anggota ASEAN
Dari uraian mekanisme di atas (Gambar 2) bisa disimpulkan bahwa langkah pertama (dan ini penting dalam ASEAN) yang harus diupayakan oleh pihak-pihak yang bersengketa adalah upaya negosiasi, dialog dan konsultasi untuk mencapai satu titik pemahaman atas munculnya sengketa. Upaya ini dijabarkan baik di dalam TAC maupun di Piagam ASEAN. Tahap awal inilah yang selalu ditekankan oleh ASEAN sebagai langkah meredam sengketa agar tidak semakin meluas.
Penegasan inilah yang digambarkan dalam Bagan 1 yang berkisar pada level bilateral, sebagaimana dicantumkan di TAC (pasal 13) maupun Piagam ASEAN (pasal 22) sebagai upaya awal di dalam ASEAN. Dalam Gambar 2 itu juga digambarkan adanya prosedur penyelesaian di tingkat International Court of Justice (ICJ). Dalam hal ini, tidak tertutup kemungkinan sengketa yang tidak bisa diselesaikan di dalam ASEAN,
Meninjau Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perbatasan di ASEAN | Awani Irewati | 49
diteruskan ke ICJ berdasarkan kesepakatan bersama. Lalu mekanisme seperti apa yang sudah dilalui oleh negara-negara yang bersengketa untuk menyelesaikan maupun meredam sengketa itu?
Kasus Sengketa dan Solusi yang diambil oleh Negara-Negara ASEAN 1. Sengketa Malaysia – Indonesia Sengketa antara Malaysia dan Indonesia 21 ditemukan ketika perundingan tahun 1969 oleh kedua negara tidak mencapai kesepakatan dalam upaya delimitasi landas kontinen di Laut Sulawesi di mana Pulau Sipadan dan Ligitan berada, meski keduanya berhasil melakukan delimitasi Landas Kontinen di Selat Malaka, Selat Singapura, dan Laut China Selatan pada 22 September 1969.22 Berkaitan dengan hal tersebut, kedua negara menyetujui sebuah treaty pada 27 Oktober 1969, dan saling bertukar ratifikasi pada 7 November 1969. Selang 10 tahun kemudian, Malaysia secara sepihak mengeluarkan sebuah peta baru yang menyertakan di dalamnya Sipadan-Ligitan dan Batu Puteh tahun 1979. Hal ini menimbulkan tindakan protes dari Indonesia dan Singapura. Indonesia dibawah Presiden Suharto melontarkan penolakan formal atas terbitnya peta Malaysia yang ditujukan ke Perdana Menteri Datuk Hussein Onn, dan mendiskusikannya pada 26 Maret 1980.23 Berikutnya, Presiden Suharto, melakukan pertemuan berturut-turut dengan Perdana Menteri Malaysia yang baru, Mahathir Muhamad pada tahun 1992, 1993, 1994. Instruksi untuk penyelesaian masalah bilateral intensif ditingkatkan melalui pertemuan tingkat teknis seperti Senior Official, Joint Commision, dan
Ulasan tentang Sengketa antara Malaysia-Indonesia ini diambil dari hasil penelitian Tim Perbatasan P2P-LIPI tentang Mekanisme Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Perbatasan ASEAN, tahun 2014 (sedang dalam proses penerbitan). 21
Asri Salleh, Che Hamdan Che Mohd Razali and Kamaruzaman Jusoff, “Malaysia’s policy towards its 1963 - 2008 territorial Disputes”, Journal of Law and Conflict Resolution, Vol. 1(5), Oktober, 2009, hlm. 107-116.
Joint Working Group (JWG).24 Tidak hanya sampai di sini, masing-masing Kepala Negara juga menunjuk wakil-wakil khusus/introlocutor untuk melakukan penjajagan adanya peluang untuk penyelesaian sengketa. Namun, upaya keras JWG ataupun wakil-wakil khususnya tidak menghasilkan apapun. Atas usulan Malaysia, akhirnya pada 14 September 1994, kasus sengketa diusulkan untuk diajukan ke tingkat internasional, yaitu Mahkamah Internasional (ICJ). Indonesia, melalui Mochtar Kusumaatmadja sebenarnya kurang menyetujui adanya pelibatan pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa di ASEAN. Meskipun keanggotaan ASEAN saat itu masih berjumlah 5 negara, Mochtar Kusumaatmadja lebih memilih permasalahan di ASEAN diselesaikan lewat Dewan Tinggi (High Council) sebagaimana tercantum dalam TAC 1979 ASEAN. Bulan Oktober 1996 kedua pimpinan negara, akhirnya, menyetujui sengketa dibawa ke ICJ. Pada 2 November 1998, kedua pihak menyerahkan berkas-berkas ke ICJ, dan 4 tahun kemudian tepatnya 17 Desember 2002, ICJ mengumumkan sengketa dimenangkan oleh pihak Malaysia dengan 16 suara banding 1 suara.
Solusi Secara umum ada tiga tipe penyelesaian sengketa antarnegara ASEAN. Pertama, penyelesaian sengketa perbatasan melalui tahap bilateral untuk selanjutnya diputuskan bersama ke tahap multilateral /internasional (ICJ). Kedua, penyelesaian sengketa secara bilateral, kemudian berlanjut ke tingkat internasional (ICJ) yang diajukan sepihak, tetapi dari tingkat ini dikembalikan langsung ke tingkat regional/ ASEAN. Ketiga, melalui tahap bilateral, ke tingkat internasional dan kembali ke bilateral untuk kemudian diputuskan dibawah kondisi status quo, yang disikapi kedua belah pihak dengan sebuah kerja sama persahabatan. Yang terakhir ini sesungguhnya menunjukkan tipe pengelolaan sengketa perbatasan, karena sengketanya itu sendiri belum diselesaikan.
22
Ibid., hlm. 110.
23
24
Pailah, Op cit., hlm. 40.
50 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 39–58
Malaysia Bilateral Indonesia
ASEAN High Council
Multilateral/ ICJ
Sumber: Bagan sengketa antarnegara ini dimodifikasi oleh penulis, yang diinspirasi dari bagan besar milik Tim Perbatasan P2P-LIPI (2011-2013). Gambar 3. Bagan Alur Penyelesaian Sengketa Sipadan-Ligitan
Gambar 3 di atas memaparkan alur penyelesaian sengketa dari tingkat bilateral menuju multilateral-ICJ. Penyelesaian sengketa dua Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan satu contoh penyelesaian sengketa kepemilikan pulau berdasarkan argumentasi historis dari masing-masing pihak yang relatif tanpa gejolak sengit25 sebelum diajukan ke International Court of Justice (ICJ). Tahap penjelasan alur solusi sengketa disajikan pada uraian sebagai berikut: Alur 1àBilateral Alur sengketa antara Malaysia–Indonesia didahului dengan perundingan bilateral, yang kalau diikuti prosesnya mencerminkan tahapan yang cukup variatif. Perundingan itu dimulai tahun 1969 dengan keputusan Indonesia mendaulat kedua pulau itu berdasarkan Konvensi 1891.26 Setelah terhenti lama, perundingan dimulai kembali tahun 1991 dengan pembentukan Komite Bersama Indonesia–Malaysia
(Indonesia–Malaysia Joint Committee). 27 Sehubungan perundingan di tingkat ini juga tidak menghasilkan kemajuan, pada akhirnya masingmasing pimpinan negara menunjuk perwakilan pribadi, dengan harapan kedekatan pribadi bisa lebih mudah memberi hasil perundingan yang lebih jelas. Presiden Indonesia Soeharto dan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mendisposisikan perundingan sengketa ini masing-masing kepada Menteri/Sekretaris Negara Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim. Namun, dalam rentang waktu yang begitu lama, hasil perundingan di tingkat inipun tidak menunjukkan kemajuan signifikan. Akhirnya upaya pendekatan diserahkan kembali kepada masing-masing pimpinan negara. Kedua pimpinan negara ini, akhirnya sepakat mengusulkan masalah ini untuk dibawa ke mahkamah internasional. Jika melihat proses dan waktu penyelesaian secara bilateral, kedua negara sudah mengikuti tahapan yang dianjurkan dalam Pasal 13 Bab IV yang tercantum dalam TAC (Treaty of Amity and Cooperation) 1976, yaitu tahap friendly negotiation yang mencakup negosiasi, dialog, dan konsultasi dengan menahan diri tidak menggunakan kekerasan. Selanjutnya, di tahap II pada Pasal 14 perihal Pacific Settlement of Disputes yang mencakup proses mediasi, penyelidikan, dan konsiliasi sudah dilalui oleh Malaysia dan Indonesia berdasarkan kesepakatan bersama. Di tahap ini, keduanya tidak menyentuh /memberi kesempatan sedikitpun ke mekanisme the High Council dalam TAC (1976) untuk bekerja. Alur 2à Ke Tingkat Internasional
Sengketa Sipadan-Ligitan antara Malaysia dan Indonesia ini memang tidak diawali dengan satu perseteruan fisik (dalam arti kontak senjata) sebagaimana yang terjadi pada persengketaan perbatasan antara Thailand dan Laos maupun antara Thailand dan Kamboja. Hubungan Malaysia–Indonesia menjadi tegang bahkan bergejolak di tingkat masyarakatnya setelah keputusan ICJ tentang kepemilikan Sipadan– Ligitan menetapkan Malaysia sebagai pihak yang berhak atas kedua pulau itu. 25
CPF Luhulima, “Kasus Sipadan–Ligitan Sebagai Satu Pembelajaran Bagi Penyelesaian Sengketa di Laut Sulawesi”, dalam Awani Irewati (Ed.) Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia-Malaysia di Laut Sulawesi, (Jakarta: P2P-LIPI, 2006), hlm. 113. 26
Pada akhirnya, kedua pimpinan negara sepakat untuk mengajukan persengketaan SipadanLigitan ke tingkat internasional tanpa adanya aksi ‘buying time’ dari kedua belah pihak pada 2 November 1998. Mengapa langsung diajukan ke tingkat internasional?. Bukankah sengketa ini bisa diajukan terlebih dulu ke tingkat regional, yaitu ASEAN High Council dalam TAC (1976)?. Alasan mendasar bagi Malaysia ialah apabila 27
Ibid., hlm. 114.
Meninjau Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perbatasan di ASEAN | Awani Irewati | 51
sengketa ini diajukan ke High Council, maka dewan juri yang duduk dalam dewan itu tidak lain adalah negara-negara ASEAN yang mana hampir semuanya memiliki masalah perbatasan dengan Malaysia. Faktor subyektivitas dalam keputusan yang dihasilkan dikhawatirkan (oleh Malaysia) bisa terjadi. Sementara Indonesia, berdasarkan faktor kedekatan Soeharto dengan Mahathir menyetujui sengketa ini dibawa langsung ke Mahkamah Internasional.28 Keyakinan Indonesia atas dua pulau ini didasarkan pada Konvensi 1891, utamanya pada pembukaan konvensi “…of defining the boundaries between the Netherlands possessions in the Island of Borneo and the States in that Island which are under British protection”. 29 Itu dipertegas dengan ketentuan penting Konvensi yang tercantum pada Pasal IV konvensi yang berbunyi:30
Internasional tidak mendasarkan pengambilan keputusannya atas dasar isi pasal Konvensi 1891 ini. Mahkamah menetapkan keputusannya berdasarkan azas effectivités, yaitu apa yang sudah dilakukan oleh pihak Indonesia (sejak ketika masih dikuasai Hindia Belanda) dan apa pula yang sudah dilakukan oleh Malaysia (termasuk ketika masih dikuasai Inggris). Pada akhirnya Mahkamah Internasional (ICJ) mengeluarkan keputusan tentang kepemilikan Sipadan-Ligitan kepada Malaysia pada 17 Desember 2002. Sampai di sini, kedua negara mengikuti tahap III dari Pasal 17 TAC (1976) yang mana mengatur mekanisme damai untuk lanjut ke mekanisme berikutnya, yaitu tahap yang lebih tinggi sesuai dengan bunyi Pasal 33 (1) Piagam PBB. Pada Chapter 6 Pacific Settlement of Disputes Pasal 33 Piagam PBB ini berbunyi:32 Ayat 1: The parties to any dispute whose continuance is likely to endanger the maintenance of international peace and security shall, first of all, seek a solution by negotiation, inquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice.
From 4° 10’ north latitude on the east coast the boundary-line shall be continued eastward along that parallel, across the island of Sebitik: that portion of the island situated to the north of that parallel shall belong unreservedly to the British North Borneo Company, and the portion south of the parallel to the Netherlands.
Isi Pasal IV yang mencantum kata “across” (dalam versi bahasa Inggris) dan “over” (dalam versi bahasa Belanda), menurut interpretasi dewan juri di ICJ mengandung dua pengertian yang berbeda. Dalam tulisan Luhulima dijelaskan lebih mendalam tentang makna ganda atas kedua kata ini.31 Namun faktanya, Mahkamah Sebagaimana diceritakan secara langsung oleh CPF Luhulima kepada penulis. Tentang ini bisa lihat lebih jauh pada tulisan CPF Luhulima, “Kasus Sipadan – Ligitan Sebagai Satu Pembelajaran Bagi Penyelesaian Sengketa di Laut Sulawesi,” dalam Awani Irewati (Ed.), Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia – Malaysia di Laut Sulawesi, (Jakarta: P2P-LIPI, 2006). 28
Merrils, JG, “Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia v Malaysia), Merits, Judgement of 17 December 2002, The International and Comparative Law Quarterly, Vol. 52 Issue. 3, Juli 2003, hlm. 798. 29
Ibid. Hal yang sama juga dikutip dalam CPF Luhulima, “Kasus Sipadan – Ligitan Sebagai Satu Pembelajaran Bagi Penyelesaian Sengketa di Laut Sulawesi”, dalam Awani Irewati (Ed.), Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia-Malaysia di Laut Sulawesi, (Jakarta: P2P-LIPI, 2006), hlm. 120. 30
Artikel IV Konvensi 1891 yang dipakai sebagai dukungan klaim atas Sipadan dan Ligitan oleh Indonesia memiliki 31
Ayat 2: The Security Council shall, when it deems necessary, call upon the parties to settle their dispute by such means.
Kandungan Ayat 1 itu sangat menganjurkan tahap 1 (friendly negotiation) hingga tahaptahap yang bersifat nonkekerasan terlebih dulu diupayakan oleh pihak-pihak yang bersengketa sebagai cara penyelesaiannya sesuai dengan kesepakatan bersama. interpretasi berbeda ketika dinarasikan dalam 2 bahasa. “From 4°10’ north latitude on the east coast the boundary line shall be continued eastward along the parallel, across the island of Sebitik:....” (versi bahasa Inggris). “Van 4°10’ noorder breedte ter oostkust zal de grenslijn oostwaarts vervolgd worden langs die parallel over het eiland Sebitik;..” (versi bahasa Belanda). Mahkamah Internasional melihat kedua versi ini memiliki interpretasi yang berbeda. Kata “across” bisa bermakna “melintasi” suatu pulau (yaitu Sebitik) atau berhenti pada ujung pantai pulau dimaksud. Sedangkan “over” bermakna berlanjut melampaui pulau dimaksud hingga terus ke arah timur. Ibid., hlm.120-121. The United Nations Charter, Treaties and Alliances of the World, (London: John Harper Publishing, 2007). 32
52 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 39–58
Dari penjabaran tentang alur penyelesaian sengketa dua Pulau Sipadan dan Ligitan bisa disimpulkan bahwa kedekatan pribadi antara pimpinan negara Indonesia Soeharto dan Malaysia Mahathir Mohamad saat itu mampu menyelesaikan sengketa perbatasan, tanpa memunculkan kontak senjata (berbeda dari sengketa perbatasan antara Thailand dan Kamboja dan sengketa antara Thailand dan Laos). Tidak dipakainya mekanisme penyelesaian sengketa melalui ASEAN High Council, sesungguhnya ini melemahkan fungsi High Council menghadapi sengketa internal. Media penyelesaian sengketanya lantas dipilih media yang berada di luar zona internal, yaitu ICJ meski ini masih masuk dalam tahap akhir yang dicakup dalam Pasal 17 TAC. Kesepakatan tanpa menggunakan High Council merupakan keputusan politik antara Malaysia dan Indonesia, sedangkan keputusan ICJ atas sengketa ini merupakan keputusan hukum (2002).
2. Sengketa Thailand–Kamboja Melihat alur sengketa antara Thailand dan Kamboja,33 proses penyelesaian sengketa ini mengalami tahap penyelesaian yang beragam. Di samping itu, keputusan tentang penyelesaian sengketa di tingkat Mahkamah Internasional (International Court of Justice) tentang kepemilikan Candi Preah Vihear telah diterima oleh kedua belah pihak di tahun 1962. Kenyataan Kamboja adalah pemilik sah Candi Preah Vihear berdasarkan keputusan ICJ tidak disangkal oleh Thailand.
2& 5 Thailand
1 ASEAN
Bilateral
DK-PBB Multilateral/ICJ
Kamboja
4 3
Sumber: Bagan sengketa antarnegara ini dimodifikasi oleh penulis, yang diinspirasi dari skema besar milik Tim Perbatasan P2P-LIPI (2011-2013). Gambar 4. Bagan Alur Penyelesaian Sengketa Thailand-Kamboja
Namun, selang 46 tahun kemudian, ketika UNESCO menetapkan Candi Preah Vihear sebagai warisan situs dunia (World Heritage Site) pada tahun 2008, Thailand memperlihatkan sikap protes besar terhadap UNESCO apalagi terhadap Kamboja. Meski sebelumnya Kamboja telah melakukan pemberitahuan resmi ke Thailand tentang rencana pengajuan candi ini ke UNESCO (Maret 2008), tetapi akhirnya Thailand merasa masalah ini bisa melebar hingga ke wilayah 4,6 km² yang masih dalam status sengketa dengan Kamboja. Thailand khawatir terjadi pemanfaatan atau pencaplokan sebagian kecil wilayah dari wilayah sengketa seluas 4,6 km² yang berbatasan dengan Candi Preah Vihear,34 akan dilakukan Kamboja.
Solusi Tahap penjelasan alur penyelesaian sengketa (Gambar 4) disajikan pada uraian sebagai berikut: Alur 1àPenyelesaian Bilateral Kedua belah pihak telah melakukan sejumlah pertemuan bilateral, baik di tingkat kementerian Dalam bagian ini tidak menjelaskan secara rinci argumentasi masing-masing pihak terhadap sengketa perbatasan, mengingat fluktuasi sengketa ini lebih diwarnai oleh masalah politik dalam negeri Thailand. Mengenai penjelasan lebih lanjut tentang Candi Preah Vihear dan wilayah seluas 4,6 km² lihat Sandy Nur Ikhfal Raharjo, “Kronologi Sengketa Wilayah Perbatasan Thailand – Kamboja 2008 – 2011” dalam Awani Irewati (Ed.), Sengketa Wilayah Perbatasan Thailand – Kamboja, (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2015), hlm. 57-65. Penelitian ini juga mengutip penjelasan dari The Council of Ministers (Ed.), Kingdom of Cambodia, the Temple of Preah Vihear, Proposed for the inscription on the World Heritage List, Phnom Penh, Juni 2008. 34
Sengketa yang terjadi antara Thailand dan Kamboja adalah perebutan wilayah seluas 4,6 km² yang hingga kini belum ada penyelesaian. Penyelesaian sengketa yang diputuskan oleh ICJ tahun 1962 adalah keputusan tentang kepemilikan Candi Preah Vihear yang ditetapkan menjadi milik Kamboja. Keputusan ICJ itu tidak menetapkan garis perbatasan maupun kepemilikan wilayah sengketa seluas 4,6 km² bagi kedua negara. 33
Meninjau Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perbatasan di ASEAN | Awani Irewati | 53
pertahanan maupun kementerian luar negeri, guna mencari solusi peredaan sengketa. Ketika di tingkat bilateral tidak dapat dicapai suatu jalan keluar yang kondusif, ASEAN (22 Juli 2008) menawarkan suatu bantuan penyelesaian sebagai mediator untuk meredakan sengketa itu. Tawaran ini sayangnya ditolak oleh Thailand dengan alasan masalah sengketa perbatasan yang terjadi antara dirinya dengan Kamboja merupakan masalah bilateral. Dalam konteks mekanisme penyelesaian sengketa ASEAN, upaya pertemuan bilateral yang dilaksanakan antara Thailand dan Kamboja sesungguhnya sudah mengikuti tahap yang dianjurkan dalam mekanisme itu yaitu proses friendly negotiation (sesuai dengan TAC 1976 Bab IV pasal 13). Ketika sengketa semakin mencapai titik kritis, yang mana kedua pasukan bersenjata dari masing-masing pihak sudah saling melakukan kontak senjata di perbatasan (sehingga sengketa melaju menjadi ‘krisis’), pertemuan bilateral diadakan kembali pada 18-19 Agustus 2008 untuk menyepakati dibentuknya Joint Border Committee (JBC) yang bisa memayungi suatu bentuk kerja sama ekonomi, budaya dan pariwisata. Namun, selang waktu setelah itu terjadi kontak senjata lagi di perbatasan. Hingga pada 25–26 Januari 2009 dilaksanakan pertemuan Kemenlu antarnegara guna menyepakati penarikan pasukan. Sesudahnya, kontak senjata terus terjadi tanpa ada keinginan untuk mengakhirinya. Sampai sejauh ini, kedua negara tidak berhasil menggiring krisis ke tahap-tahap penyelesaian sebagaimana yang dianjurkan TAC Bab IV Pasal 13 maupun Pasal 14 yaitu melalui friendly negotiation dan pacific settlement of disputes (lihat Bagan 1). Alur 2à Pengajuan Sepihak ke DK-PBB Tahap penyelesaian sengketa mulai merambah ke tingkat internasional ketika pihak Kamboja melaporkan Thailand ke pihak internasional yaitu DK PBB pada 8 Agustus 2010. Thailand menimpalinya dengan laporan berbeda ke PBB. Intinya Kamboja melaporkan sekaligus mengharap PBB bertindak tegas atas sengketanya dengan Thailand. Sebaliknya, Thailand menolak turut campurnya pihak PBB atas sengketa
perbatasannya dengan Kamboja. Di tahap ini, Thailand jelas sekali menolak atas campur tangan pihak internasional (pihak ketiga) dalam proses penyelesaian sengketa perbatasan. Alur 3àPengajuan Sepihak ke Tingkat ASEAN Pada 24 Agustus 2010 Kamboja sempat meminta bantuan ASEAN untuk mengatasi masalah sengketa dengan Thailand. Di tahap ini terlihat betapa Kamboja sesungguhnya sudah bisa melihat ke depan bahwa masalah sengketa yang dihadapinya ini tidak akan bisa selesai hanya di tingkat bilateral. Namun, ASEAN menanggapinya untuk diselesaikan di tingkat bilateral. Lagi pula, pengajuan Kamboja itu dilakukan sepihak, tanpa diikuti dengan pengajuan serupa dari pihak Thailand. Alur 4à Tingkat Bilateral Pada 24 September 2010 Thailand dan Kamboja kembali sempat menyisihkan waktu di sela the 2nd ASEAN-US Summit yang berlangsung di New York, AS untuk melakukan pertemuan informal bilateral. Kedua negara menghasilkan kesepakatan untuk tidak menambah tentara di masing-masing pihak di perbatasan. Selanjutnya, kedua negara telah beberapa kali mengupayakan kembali ke meja perundingan, yang difasilitasi oleh ketua ASEAN (yang saat itu diketuai Indonesia), seperti pertemuan JBC (Joint Border Committee) pada 7-8 April 2011 di Bogor. Pertemuan itu gagal karena Thailand tidak hadir. Alur 5à Kamboja Penyelesaian Hukum
Mengajukan ke ICJ,
Pada 28 April 2011 Kamboja mengajukan sengketanya dengan Thailand ke tingkat Mahkamah Internasional di Belanda dalam hal interpretasi kembali atas keputusan ICJ 1962 (yang saat itu dimenangkan pihak Kamboja sebagai pemilik Candi Preah Vihear). Kamboja meminta ICJ untuk membuat aturan penarikan militer Thailand dari perbatasan dekat Preah Vihear. Keputusan sela ICJ menetapkan masing masing pihak menarik mundur pasukan bersenjata dari wilayah sengketa, serta meminta ASEAN untuk segera mengirim tim pemantau di zona demiliterisasi. Tahun 2013 (bulan November) telah keluar hasil ICJ bahwa militer Thailand
54 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 39–58
harus keluar dari wilayah sengketa (candi Preah Vihear), dan Kamboja memenangkan hasil dari keputusan ICJ. Thailand bisa menerima keputusan ICJ ini.
3. Sengketa Thailand–Laos Pada kasus sengketa antara Thailand dan Laos, penentuan garis perbatasan belum selesai hingga kini. Kalau ditelusuri sebelumnya, kedua negara sebenarnya telah berupaya melakukan pertemuan formal guna menemukan ruang negosiasi. Bagi Thailand, klaim garis perbatasan yang disodorkan Laos sesungguhnya adalah garis perbatasan yang dibuat oleh Perancis di masa lalu yaitu ketika Laos masih menjadi bagian dari Indochina. Pada tahun 1946 antara Thailand dan Perancis sudah sepakat untuk menggunakan perjanjian 1893, 1904, 1907 dan 1926 sebagai dasar penentuan batas antara Thailand dan Laos.35 Penting untuk dipahami bahwa sejumlah perjanjian itu hanya mencantumkan pembagian wilayah saja, dan tidak menetapkan tentang garis-garis batas antarnegara. Kondisi demikian juga dialami oleh Kamboja dan negara lainnya yang di masa lampau berada di bawah kekuasaan negaranegara Eropa, sehingga ini menimbulkan masalah di wilayah perbatasan. Dua sisi kepentingan yang berbeda antara Thailand dan Kamboja International Boundary Studies,”Laos–Thailand Boundaries”, The Geographer No. 20, Department of States, United States of America, 18 September 1962, yang dikutip juga dalam penelitian Masalah Perbatasan Thailand–Laos, P2P-LIPI, 2013 (dalam proses). Beberapa perjanjian yang diambil antara Siam (nama Thailand saat itu) dan Perancis ini berisikan kesepakatan peta perbatasan yang membagi wilayah otoritas antara wilayah jajahan Perancis (Indochina yaitu Kamboja, Laos, Vietnam)) dan wilayah otoritas Siam. Konvensi 1904, perjanjian 1907 penentuan wilayah.Perjanjian 23 Maret 1907 ditandatangani di Bangkok oleh Victor Collin de Plancy (Perancis) dan Prince Devawongse (Siam). “….Siam ceded the province of Battambang, Sisophon and Siem Reap (art.1) and received the port of Kratt and the Territory of Dan-Sai (art.2)” dikutip dari Lawrence Palmer Briggs, “The Treaty of March 23, 1907 Between France and Siam and the Return of Battambang and Angkor to Cambodia”, The Far Eastern Quarterly, Vol. 5, Issue 4, hlm. 452. Ronald Bruce St. John menuliskan “In August 1926, representatives of France and Siam concluded an agreement in which the former agreed to make the thalweg of the Mekong River the riverine borderline except where there were islands in the river…..In spite of French concessions, the Siamese government was dissatisfied with the terms of the 1926 convention because it failed to resolve two longstanding issues.” Lihat Ronald Bruce St John, “The Land Boundaries of Indochin: Cambodia, Laos and Vietnam”, Boundary and Territory Briefing Vol. 2, No. 6, 1998, hlm. 18.
maupun Laos, yang mana Thailand melihat bahwa penentuan garis batas harus dirundingkan kembali mengingat kedua negara tetangganya ini sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan Eropa (yaitu Perancis). Sementara Kamboja dan Laos melihat bahwa apa yang sudah diputuskan dalam perjanjian di masa lampau antara Perancis dan Siam (sebutan Thailand saat itu) tetap menjadi ketentuan final yang tidak bisa digugat. Ketika Laos mendapat kemerdekaan dari Perancis tahun 1949, sikap politis Thailand tidak mau mengakui batas-batas yang sudah disepakati sebelumnya. Karena itu, Thailand bersikeras untuk mengajukan kembali ketetapan garis batas itu ke meja perundingan bilateral. Ini adalah yang menjadi latar belakang mengapa sengketa wilayah perbatasan antara Thailand (di Provinsi Phitsanulok) dan Laos (di Provinsi Xaignabouri) yang memperebutkan sebuah wilayah darat terjadi pada tahun 1970 an dan 1987–1988. Sengketa tersulut hingga mencapai titik ‘krisis’. Namun, krisis perbatasan yang dihadapi bisa diredam berdasarkan kesepakatan bersama untuk lebih memajukan hubungan ekonomi perbatasan di antara mereka. Hingga kini, sudah dibangun 4 ‘jembatan persahabatan’ (Friendship Bridge) di beberapa lokasi Sungai Mekong, yang memisahkan kedua negara ini. 3
35
Thailand
1 Bilateral
DK-PBB
Laos
2
Sumber: Bagan sengketa antarnegara ini dimodifikasi oleh penulis, yang diinspirasi dari skema besar milik Tim Perbatasan P2P-LIPI (2011-2013) Gambar 5. Bagan Alur Penyelesaian Sengketa Thailand – Laos
Solusi Alur penyelesaian sengketa perbatasan bisa dilihat pada proses berikut (sesuai dengan Gambar 5):
Meninjau Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perbatasan di ASEAN | Awani Irewati | 55
Alur 1 à Bilateral Pada tanggal 16-23 April 1970 kedua negara sempat duduk dalam satu meja perundingan. Namun, ini tidak menghasilkan kesepakatan baru, sebagaimana yang diinginkan Thailand, karena Laos nampaknya lebih tertarik pada keinginan dibangunnya kerja sama perdagangan. Akibatnya, hubungan keduanya semakin memburuk, sehingga ketegangan di perbatasan semakin memuncak. Pada akhir 1975 terjadi ‘konflik terbuka’ di perbatasan Sungai Mekong. Upaya perdamaian dilakukan Thailand dengan mengadakan komunike bersama (joint communiqué) tahun 1976 dan 1979. Di tahap ini keduanya menganggap pentingnya kesepakatan untuk menghormati kedaulatan, terutama yang terkait dengan keberadaan Sungai Mekong sebagai “river of true peace and friendship”. Tahun 1984 ketegangan memuncak kembali dengan peristiwa kontak senjata yang kali ini tidak terkait dengan Sungai Mekong. Pusat sengketa ada pada wilayah pedesaan (Ban Mai, Ban Kang, dan Ban Savang) yang belum jelas garis perbatasannya. Tiga desa yang menjadi sengketa ini berlokasi di wilayah yang memang belum jelas garis batasnya yaitu antara Provinsi Xaignabouri di Laos dan Provinsi Utaradit di Thailand. Alur 2à Laos Ajukan ke PBB Hingga akhirnya, Laos mengajukan sengketa ini ke Dewan Keamanan PBB pada 9 Oktober 1984. Akan tetapi, PBB tidak mengindahkan pengajuan Laos ini. Alur 3à Ke Bilateral Akhirnya Thailand bersedia kembali ke meja perundingan bilateral untuk membicarakan kejelasan garis batas. Meski tahun-tahun berikutnya antara Thailand dan Laos masih diwarnai beberapa kali kontak senjata, perebutan wilayah perbatasan akhirnya diakhiri dengan dibuatnya persetujuan gencatan senjata pada 19 Februari 1988, yang berlanjut pada ditariknya pasukan bersenjata dari masing-masing pihak. Garis putus-putus pada alur 3 di Bagan 5 dimaksudkan sebagai kondisi gencatan senjata atau status quo hingga kini.
Sementara masalah garis batas belum tuntas, kedua negara ini sudah melangkah lebih jauh menuju suatu bentuk kerja sama persahabatan yang didasarkan pada kebutuhan saling menunjang. Di sepanjang Sungai Mekong telah dibangun empat jembatan persahabatan (friendship bridges) dari lima jembatan yang direncanakan guna mewadahi kepentingan ekonomi dan perdagangan melalui sungai. Jadi dalam konteks sengketa perbatasan yang terjadi antara Thailand dan Laos sejatinya merupakan perjuangan kepentingan atas garisgaris batas sebagai penanda fisik kedaulatan negara. Garis kedaulatan ini masih dalam keadaan status quo, belum ada penyelesaian secara tuntas. Kalau melihat pada perkembangan kerja sama persahabatan yang semakin pesat, kedua pihak secara implisit menjalankan politik ‘buying time’ atas penyelesaian perbatasan di bawah payung kerja sama ekonomi yang semakin menguntungkan. Secara logika, apabila jembatan persahabatan (friendship bridge) yang dibangun itu kurang menguntungkan bagi keduanya, kalkulasi di atas kertas sudah pasti akan memperlihatkan perlunya pembatasan proyek pembangunan jembatan persahabatan yang mungkin hanya berjumlah satu atau dua saja.36 Sementara masalah garis batas antara Thailand dan Laos belum seluruhnya selesai, perundingan dan pengelolaan melalui Joint Commission for Bilateral Relation (JCBR) tahun 1991, General Border Committee (GBC) 1994, Joint Border Commission (JBC) 1996, Joint Cabinet Meeting (JCM) 2013 tetap dijalankan dan diintensifkan untuk meredam sengketa. Yang patut dijaga oleh kedua negara adalah terpenuhinya tuntutan ekonomi di wilayah yang dipersengketakan agar tidak memunculkan sengketa kembali. Pada kenyataannya Jembatan Persahabatan (Friendship Bridge) yang dibangun di beberapa lokasi di Sungai Mekong mendukung kelancaran transportasi kegiatan ekonomi antara Laos – Thailand. Dari segi ekonomi jelas pembangunan infrastruktur ini menjadi akses utama dalam kegiatan perdagangan dan investasi. Dari segi politik, jembatan-jembatan ini merupakan mediasi dan penghubung Thailand menuju Vietnam, dan bagi Laos dengan kondisi ‘land-locked state’ bisa memainkan peran penghubung antara Thailand dan Vietnam itu sembari membangun hubungan baik di perbatasan. Dari segi sosial bisa semakin mendekatkan hubungan kekerabatan antarmasyarakat perbatasan. 36
56 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 39–58
Penutup Di dalam ASEAN diatur tentang mekanisme penyelesaian sengketa perbatasan antarnegara yang tahap-tahapnya ditulis jelas dalam Treaty of Amity and Cooperation (TAC) dan ASEAN Charter. Klausul-klausul yang dikandung dalam TAC maupun ASEAN Charter, dalam implementasinya lebih merupakan suatu instrumen untuk meredakan sengketa agar tidak meningkat menjadi konflik terbuka, apalagi perang. Ada tiga tahap yang direkomendasikan dalam TAC maupun ASEAN Charter, yaitu bilateral, regional, multilateral. Pada tiga kasus sengketa, Thailand-Kamboja, Malaysia-Indonesia, Thailand-Laos, sama-sama mengikuti tahap bilateral (negosiasi, dialog, konsultasi), sebagaimana dicantumkan dalam TAC dan ASEAN Charter. Namun, lamanya proses bilateral ini berbeda satu sama lain tergantung pada latar sengketa masing-masing pihak. Untuk kasus sengketa antara Thailand dan Kamboja, yang mana klaim kepemilikan sebuah candi (Preah Vihear Temple) dan wilayah 4,6 km² di sekitar candi dipermasalahkan oleh keduanya membuat proses penyelesaiannya begitu kompleks. Secara historis, keputusan ICJ tentang kepemilikan candi ini sudah ditetapkan menjadi milik Kamboja tahun 1962. Namun, tahun 2000an Thailand kembali mempermasalahkan itu, apalagi tentang keberadaan wilayah darat seluas 4,6 km² memang tidak ditentukan dalam keputusan 1962. Dari proses bilateral (‘friendly negotiation’), lalu ke proses DK-PBB, kembali ke ASEAN dengan fasilitatornya adalah Ketua ASEAN, selanjutnya kembali ke bilateral, dan pada akhirnya dilontarkan ke multilateral, yaitu ICJ. Tahun 2013 keluar keputusan ICJ yang memenangkan kembali Kamboja dengan kepemilikan wilayah 4,6 km². Meski kasus sengketa Malaysia-Indonesia berakhir sama yaitu di tingkat multilateral/ICJ, perjalanan prosesnya tidak sekompleks sengketa Thailand-Kamboja. Proses bilateral memang berlangsung lama, meski keduanya akhirnya tidak mencapai kata sepakat di tingkat bilateral, tetapi keduanya sepakat untuk membawa sengketa ini ke tingkat multilateral yaitu ICJ.
Kedua pihak sepakat atas konsekuensi dari keputusan ICJ merupakan keputusan hukum. Sedangkan penyelesaian sengketa ThailandLaos (1987-1988) merupakan sengketa yang relatif lebih singkat daripada lainnya, dan keduanya sepakat mengadakan gencatan senjata (1988) untuk menghentikan pergesekan senjata di wilayah perbatasan yang diperebutkan oleh kedua pihak. Proses penyelesaiannya melalui proses bilateral, dan diajukan sepihak oleh Laos ke multilateral (DK PBB), tetapi tidak mendapat respon, lalu kembali ke cara bilateral. Disinilah sengketa perbatasan kedua pihak disepakati untuk “ditahan” untuk waktu yang belum ditentukan, sehingga status sengketanya menjadi status quo. Kedua negara, kemudian melihat hal lain yang lebih signifikan yaitu pengembangan kerja sama ekonomi perbatasan. Kerja sama ini disambut positif oleh kedua negara dan berlangsung pesat hingga saat ini, disamping perundingan tentang garis perbatasan masih berlangsung terus. Melihat ketiga kasus yang disajikan tidak bisa disebutkan mekanisme apa yang terbaik bagi penyelesaian mereka. Proses penyelesaian yang ditempuh oleh masing-masing kasus sengketa tergantung pada latar kepentingan domestik dan sejarah hubungan. Pada dasarnya, Thailand lebih menginginkan adanya perundingan baru tentang penentuan garis-garis batas wilayah perbatasannya dengan Kamboja dan Laos, yang sesungguhnya memperoleh warisan wilayah dari kekuatan penguasa (Perancis) di masa lalu. Setelah mereka lepas dari kekuasaan Perancis, ketetapan batas wilayah itu dipandang (Thailand) tidak berlaku lagi. Kalau antara Malaysia dan Indonesia sama-sama merupakan “pendiri” ASEAN, dan karenanya keduanya harus menyelesaikan kasus sengketa yang terjadi dengan tanpa memberi dampak menggoyahkan keutuhan ASEAN. Intinya pengutamaan tahap bilateral, yang dikenal dengan ‘friendly negotiation’ menjadi prioritas utama yang selalu ditekankan dan dianjurkan oleh ASEAN bagi setiap negara ASEAN yang sedang menghadapi suatu masalah, terlebih sengketa perbatasan. Dengan cara inilah keutuhan ASEAN tetap terjaga. Meski begitu, tahap kedua yaitu penyelesaian sengketa via regional (ASEAN), khususnya ASEAN High
Meninjau Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perbatasan di ASEAN | Awani Irewati | 57
Council, belum pernah difungsikan sehubungan pihak-pihak yang bersengketa seperti Malaysia, maupun Thailand masih menghadapi masalah perbatasan dengan negara-negara tetangganya. Dengan demikian, apabila sebuah Dewan Tinggi ASEAN dibentuk untuk merundingkan suatu sengketa, yang dewan jurinya adalah negaranegara ASEAN, dikhawatirkan tidak mampu mengambil sikap obyektif, dan adil. Inilah sebuah kekurangan dari mekanisme penyelesaian sengketa yang ditawarkan di ASEAN. Sekali lagi ini merupakan yang ‘terbaik’ yang ditempuh oleh mereka yang bersengketa, demi menjaga keutuhan ASEAN.
Daftar Pustaka
Surat Kabar dan Website Haller-Trost, Renate. (tanpa tahun). “The Territorial Dispute between Indonesia and Malaysia over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan in the Celebes Sea: a Study in International Law”. https://www.dur.ac.uk/ibru/publications/ view/?id=209. Adler, Ron. 2002. “Surveyors Role in Delineation and Demarcation of International Land Boundaries”, JS20 International Borders, FIG XXII International Congress, Washington, DC, USA, 19-26 April 2002. https://www.fig.net/ pub/fig_2002/Js20/JS20_adler.pdf. Rushworth, Dennis. 1997. “Mapping in Support of Frontier Arbitration: Delimitation and Demarcation”. IBRU Boundary and Security Bulletin Spring 1997. https://www.dur.ac.uk/ resources/ibru/publications/full/bsb5-1_ rushworth.pdf.
Buku International Boundary Studies. 1962.”Laos– Thailand Boundaries”, The Geographer No. 20, Department of States, United States of America, 18 September. Irewati, Awani (Ed.). 2015. Sengketa Wilayah Perbatasan Thailand-Kamboja. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Irewati, Awani (Ed.). 2006. Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia-Malaysia di Laut Sulawesi. Jakarta: P2P-LIPI. The United Nations Charter. 2007. Treaties and Alliances of the World, London, John Harper Publishing. The Council of Ministers (Ed.). 2008. “Kingdom of Cambodia, the Temple of Preah Vihear”, Proposed for the inscription on the World Heritage List, Phnom Penh, Juni.
Jurnal JG, Merrils. 2003. “Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia v Malaysia), Merits, Judgement of 17 December 2002.” The International and Comparative Law Quarterly, 52 (3). Palmer Briggs , Lawrence. “The Treaty of March 23, 1907 Between France and Siam and the Return of Battambang and Angkor to Cambodia.” The Far Eastern Quarterly, 5 (4). Ronald Bruce St John, Ronald. 1998. “The Land Boundaries of Indochina: Cambodia, Laos and Vietnam.” Boundary and Territory Briefing 2 (6).
58 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 39–58
MASALAH KRUSIAL DI KABUPATEN KEPULAUAN TERLUAR ROTE NDAO CRUCIAL PROBLEMS IN THE OUTMOST ARCHIPELAGIC MUNICIPALITY ROTE NDAO Poltak Partogi Nainggolan Peneliti Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI E-mail:
[email protected] Diterima: 27 Februari 2014; direvisi: 12 Mei 2014; disetujui: 16 Juni 2014 Abstract Outmost islands are Indonesia’s important frontiers which have not yet properly handled. Rote Ndao, an archipelagic municipality in the most southern part of Indonesia, whose islands located near Australian water territory, which supposedly have important position geopolitically and geostrategically, is still vulnerable from various forms of foreign threats. To protect the archipelago, crucial problems confronting there should be able to be comprehensively explained in order to find their solutions. This essay discloses situation in Rote Ndao concerning with problems of infrastructure, rare population, illegal practices of governance, and other security threats, traditional and non-traditionally, and their connections with transmigration policy as a solution to guarantee the prospect of the región. Data gathering was conducted with field observation and in-depth interviews with state apparatus and security officers during 2012, in addition to the secondary data gained from library studies. Its analysis applies a qualitative method, whose findings, among other, reveal violations of Indonesia’s waters, recently conducted by Australian navy, and the rising of threats coming from illegal businesses conducted by foreign nationalities and other non-state actors. Keywords: outmost islands, outmost archipelagic municipality, Rote Ndao, NTT Province, security threats, illegal migrants, human trafficking. Abstrak Pulau-pulau terluar adalah beranda Indonesia yang penting, yang belum banyak diperhatikan kondisinya. Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, bagian paling selatan Indonesia yang berbatasan dengan perairan Australia, adalah pulau terluar yang seharusnya penting secara geopolitik dan geostrategis, tetapi posisinya rawan dari gangguan asing. Untuk melindungi eksistensinya, beberapa permasalahan krusial yang dihadapi di Rote Ndao harus dapat dipetakan secara komprehensif dan segera dicarikan solusinya. Kajian ini mendiskusikan Rote Ndao dari kondisi infrastruktur, kelangkaan penduduk, pengelolaan ilegal, dan keamanan, baik tradisional maupun nontradisional, dan kaitannya dengan transmigrasi sebagai solusi untuk melindungi wilayah itu. Pengumpulan data dilakukan dengan kunjungan lapangan dan wawancara dengan para pejabat dinas terkait dan aparat keamanan, pada tahun 2012, selain penggunaan data sekunder, yang diperoleh dari studi kepustakaan. Analisis dilakukan dengan pendekatan kualitatif, yang temuan pentingnya antara lain mengungkap pelanggaran wilayah perairan yang dilakukan oleh Angkatan Laut Australia belakangan ini dan munculnya ancaman pengelolaan secara ilegal oleh orang asing, serta para pelaku non-negara lainnya. Kata Kunci: pulau terluar, kabupaten kepulauan terluar, Rote Ndao, Provinsi NTT, ancaman keamanan, migran ilegal, perdagangan manusia.
Masalah Krusial di Kabupaten Terluar Rote Ndao | Poltak Partogi Nainggolan | 59
Pendahuluan Kabupaten Kepulauan Rote Ndao merupakan salah satu dari 92 pulau pesisir terluar Indonesia, yang terletak di perbatasan laut dengan negara tetangga, dengan kondisi tertinggal, khususnya infrastruktur. Kabupaten Kepulauan Rote Ndao adalah bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang turut membentengi perairan provinsi tersebut, seluas 200.000 km2, dengan panjang garis pantai 5.700 km dari negara Timor Leste dan Australia.1 Adapun Timor Leste, sebelum referendum tahun 1999, masih merupakan bagian dari Indonesia, yang kemudian selama 15 tahun ini menjadi salah satu tetangga terdekat Kabupaten Kepulauan Rote Ndao. Sedangkan, Australia merupakan tetangga terdekat di bagian Tenggara, dengan posisi geografis Rote Ndao tampak lebih dekat ke benua kangguru itu. Dengan letak geografisnya di selatan Samudera Hindia, Rote Ndao menjadi strategis dan penting artinya karena merupakan salah satu kabupaten kepulauan terluar, yang berbatasan langsung dengan perairan Australia. Sementara itu, di sebelah utara dan barat, seluruh wilayah Kabupaten Kepulauan Rote Ndao dibatasi Laut Sawu, yang merupakan wilayah konservasi alam yang luas di wilayah Indonesia Timur, khususnya Provinsi NTT, yang kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA), terutama, minyak dan mineral, serta flora dan fauna, yang menjadi warisan dunia (world heritage). Adapun Taman Nasional Laut Sawu, yang statusnya menjadi Taman Nasional Perairan, dari luas 3,55 juta ha, sekitar 2,95 juta ha berada di wilayah perairan Timor NTT, Rote Ndao, Sabu Raijua, dan Batek. Adalah logis, jika kepentingan negara asing terhadap kawasan ini sangat tinggi, yang ditandai dengan tingginya nilai bantuan mereka, dan banyaknya LSM asing dan lokal yang bekerja sama dalam berbagai proyek konservasi alam. Kemudian, sebelah timur wilayah perairan Rote Ndao yang dibatasi Laut Banda, yang merupakan salah satu perairan terdalam di dunia, menandai betapa tingginya manfaat kabupaten kepulauan itu, karena kawasan perairannya kaya dengan sumber daya ikan, khususnya tuna.
Kondisi Rote Ndao secara keseluruhannya masih terisolasi dan terbelakang, termasuk dari akses darat dan laut. Kabupaten kepulauan itu masih sangat bergantung pada eksistensi armada feri atau jenis kapal yang tetap mampu beroperasi selama musim angin barat. Waktu tempuh langsung melalui transportasi laut antara Rote Ndao-Kupang, ibukota Provinsi NTT, mencapai 5 jam, termasuk untuk rute pelayaran jarak pendek. Bandingkan dengan rute Kupang ke wilayah lainnya yang hingga rata-rata 10 sampai 25 jam. Akibatnya, Kabupaten Kepulauan Rote Ndao menjadi wilayah NTT yang terisolasi, apalagi selama musim angin barat. Terbatasnya armada feri yang berjumlah enam kapal untuk melayani seluruh perairan kepulauan di Provinsi NTT tidak mampu beroperasi selama musim barat, sehingga baik mobilitas warga, barang, maupun jasa benar-benar terhambat selama musim itu.2 Karena posisi geografis dan kondisi konektivitas yang lemah, Pulau Ndana di Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, yang merupakan empat pulau terluar di Provinsi NTT, bersama Ndana Sabu dan Mengudu di Sumba Timur, serta Pulau Batek, rentan penyusupan pihak asing. Kondisi Pulau Batek dikhawatirkan masyarakat menjadi milik Timor Leste.3 Alasannya, selain karena klaim Timor Leste, juga letaknya berdampingan dengan batas darat Timor Leste di Oekusi, dan beberapa pelanggaran seperti oleh pembangunan dua kantor pemerintah Timor Leste. Selain itu, Kabupaten Kepulauan Rote Ndao tidak luput dari ancaman pelanggaran wilayah perairan oleh Angkatan Laut Australia, dalam upaya mengusir imigran gelap yang masuk ke wilayahnya, dan memulangkannya ke wilayah perairan Indonesia.4 Seperti dilaporkan, setiap tahunnya, imigran gelap asal mancanegara yang masuk ke Provinsi NTT mencapai 500-1.000 orang.5 Mereka yang Lihat, Frans Sarong,”Beranda Depan yang Harus Didandani, Kompas, 8 Maret 2014. 2
“4 Pulau di NTT Rawan Dicaplok Negara Lain,” Media Indonesia, 25 Februari 2014. Lihat juga, Yohanes Seo dan Ali Akhmad,”Pulau Batek Terancam Jadi Milik Timor Leste,” Koran Tempo, 26 Oktober 2013. 3
Natalia Santi,”Australia Akui Langgar Perairan Indonesia,” Koran Tempo, 18 Januari 2014. 4
Lihat posisi penting Rote Ndao di jalur ALKI III, dalam Kresno Buntoro, Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI): Prospek dan Kendala, (Jakarta: Seskoal, 2012), hlm. 106. 1
Lihat Poltak Partogi Nainggolan, Masalah Penyelundupan dan Perdagangan Orang, (Jakarta: P3DI Setjen DPR, 2009). 5
60 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 59–77
masuk secara ilegal, ditangkap, terdampar, atau dipulangkan dari Australia menimbulkan berbagai persoalan bagi Indonesia dan Australia, sebab akan memunculkan persoalan kedaulatan, wibawa hukum, dan juga kemanusiaan.6
kebijakan pemerintah dalam mengembangkan kawasan Indonesia Timur ke depan, untuk menjaga integritas teritorial negara secara efektif.
Kabupaten Kepulauan Rote Ndao termasuk salah satu dari 92 pulau terluar Indonesia, dan juga salah satu yang memiliki pulau tanpa penghuni, yang berbatasan wilayah perairannya dengan negara tetangga.7 Kondisi realitanya memperlihatkan banyak pulau di kabupaten itu yang belum mendapat sentuhan kebijakan pusat, melalui pengembangan infrastruktur yang memadai. Padahal, tanpa kehadiran negara (pemerintah pusat) yang bisa dirasakan oleh masyarakat di sana, keutuhan negara bisa terancam, karena masyarakat di sana tidak akan berdaya menjaga integrasi wilayahnya dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan kata lain, masalah integritas teritorial, kedaulatan nasional, dan keutuhan bangsa menjadi hal yang asing buat penduduk di sana. Karena itulah, hal tersebut perlu diatasi dengan memberikan perhatian pada aspek keterasingan dan keterbelakangan penduduk.
Sesuai dengan letak geografisnya, penduduk Kabupaten Kepulauan Rote Ndao menghadapi tantangan kondisi alam yang berat, selain ancaman kemarau panjang, yang sering melanda sebagian besar wilayah Provinsi NTT. Di musim basah, nelayan di perairan selatan Provinsi NTT menghadapi cuaca yang tidak bersahabat dan kondisi ombak yang tinggi. Di banyak wilayah, tinggi gelombang relatif lebih tinggi dibanding dengan di wilayah perairan provinsi Indonesia lainnya.8 Cuaca buruk yang sering melanda bukan bagi penduduk setempat, tetapi juga maskapai dan petugas penerbangan Provinsi NTT. Di provinsi ini, dan terutama Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, penundaan pelayaran dan penerbangan merupakan hal yang lumrah terjadi, tetapi merugikan buat banyak pihak, termasuk penduduk setempat. Oleh karena itu, menjadi suatu hal yang logis, petugas Angkutan, Sungai, Danau dan Penyeberangan (ASDP) dan penerbangan harus sering-sering memantau perkembangan cuaca dan menjadwal ulang keberangkatan.
Kondisi terisolasi dan lemahnya konektivitas wilayah harus dapat diatasi dengan mengenal dan membahas lebih jauh masalah dan ancaman yang dihadapinya, di samping membuka akses darat, laut, dan juga udara, dengan membangun dan menyediakan moda dan fasilitas transportasi di ketiga mandala itu. Untuk tujuan tersebut, kajian ini berupaya membahas masalah-masalah krusial apa yang dihadapi Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, sebagai salah satu wilayah dengan pulau terluar dan terbelakangnya di Indonesia. Posisinya yang perlu mendapat perhatian setelah mencuatnya perselisihan dengan negara tetangga Australia akibat masalah imigran gelap, membuat kajian ini penting dilakukan. Selanjutnya, analisis dari beberapa perspektif, mencakup ancaman keamanan tradisional maupun nontradisional, perlu dilakukan, agar dapat diperoleh informasi yang realistis dan mendalam tentang keadaan di sana. Kajian diharapkan dapat menyumbangkan masukan atau pemikiran yang produktif bagi 6 7
“Imigran Gelap akan Dilokalisasi,” Kompas, 12 Februari 2014. “Pulau Terluar Masih Tertinggal,” Kompas, 19 Agustus 2013.
Kendala Konektivitas
Di wilayah perairan, gelombang laut yang tinggi telah menyebabkan terganggu dan terhentinya operasi armada feri, yang menjadi kunci penghubung beberapa kabupaten kepulauan di Provinsi NTT, termasuk Rote Ndao. Sebagai akibatnya, pasokan bahan kebutuhan pokok sering terganggu, menipis dan terhenti. Selama ini, dalam musim hujan, Rote Ndao, bersama dengan Sabu Raijua, menjadi dua kabupaten di Provinsi NTT yang bergantung pada suplai bahan pokok dari ibukota provinsi, Kupang. Kedua kabupaten kepulauan tersebut merupakan wilayah yang paling sulit memperoleh suplai bahan pokok dalam musim hujan. Sedangkan kabupaten-kabupaten lainnya di Provinsi NTT, jika menghadapi hambatan cuaca, masih bisa memperoleh atau mendatangkan suplai alternatif dari wilayah lain di luar Kupang, seperti Makassar dan Flores. “ASDP Mewaspadai Perairan Selatan NTT,” Kompas, 19 Februari 2014. 8
Masalah Krusial di Kabupaten Terluar Rote Ndao | Poltak Partogi Nainggolan | 61
Dalam kondisi perubahan cuaca ekstrim yang sering berlangsung belakangan dan melanda wilayah-wilayah di Indonesia, cuaca buruk terus mendera banyak wilayah di perairan Provinsi NTT, terutama wilayah selatan. Hal ini dapat dipahami, mengingat perairan di wilayah selatan ini berhadapan langsung dengan Samudera Hindia dan Laut Australia, dengan ketinggian gelombang berkisar antara 4 sampai 7 meter, dan kecepatan angin mencapai 50 km per jam. Sebagai konsekuensinya, tiga tujuan pelayaran kapal feri yang harus melewati kawasan perairan selatan, yaitu Rote Ndao, Sabu Raijua, dan Waingapau, harus menghadapi risiko dihadang gelombang yang berbahaya. Untuk menghindari bahaya, seringkali pelayaran harus dihentikan untuk sementara, termasuk pasokan bahan pangan dan kebutuhan pokok lain sehari-hari. Padahal, persediaan kebutuhan pokok harus tetap tersedia, termasuk pada hari-hari dengan cuaca tidak memungkinkan. Demikian juga, dengan kondisi serupa, tidak memungkinkan penggunaan angkutan logistik melalui jalur udara, atau yang memanfaatkan jalur penerbangan. Dalam kondisi ombak tinggi, sekitar 50 truk pengangkut barang kebutuhan pokok, bahan bangunan, dan dagangan lain, yang sebagian besar bertujuan ke wilayah Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, hanya bisa menunggu di dermaga feri di pelabuhan Bolok Kupang.9 Kondisi ini telah menyebabkan naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok di daerah tujuan, Rote Ndao. Ketersediaan bensin susah diperoleh hingga dua minggu lamanya, dan harganya lebih mahal dibandingkan dengan harga normal, tanpa gangguan alam dan masalah transportasi. Selain itu, akibat cuaca yang buruk dan gelombang laut yang tinggi, sering terjadi kecelakaan kapal di laut. Sebagai contoh, kapal motor “Bukit Siam”, yang mengakut 75 drum bahan bakar minyak pada 26 Januari 2014 tenggelam di Selat Pukuafu, setelah berlayar menggunakan jalur perairan pelabuhan rakyat Namosaen Kupang menuju Rote Ndao.10 Sebagaimana kondisi wilayah Indonesia Timur lainnya, Kabupaten Kepulauan Rote “Bahan Pokok Menipis: Sudah Tiga Minggu Pasokan Barang ke Kepulauan Terhenti,” Kompas, 28 Januari 2014. 9
10
Ibid.
Ndao pun ditandai dengan kelangkaan fasilitas infrastruktur. Padahal, di saat musim hujan dengan ombak yang tinggi, tidak dimungkinkan untuk dilayari dengan fasilitas angkutan laut yang tidak memadai seperti kondisi sekarang ini. Provinsi NTT dan Kabupaten Kepulauan Rote Ndao membutuhkan kapal-kapal laut (besar) yang mampu berlayar selama musim hujan, untuk melayani dan menyuplai kebutuhan masyarakat yang berdiam di pulau-pulau terpencil. Keberadaan kapal-kapal feri yang ada sudah tidak memadai, karena hanya mampu beroperasi selama empat jam perjalanan, sementara, perjalanan kapal-kapal feri di Provinsi NTT lebih dari empat jam. Untuk jalur udara, dalam menghadapi kondisi cuaca buruk, fasilitas transportasinya tidak jauh lebih baik. Keberangkatan maskapai Susi Air, yang menghubungkan bandara Kupang-Rote Ndao, dengan kapasitas penumpang 12 orang, seringkali harus dibatalkan, akibat masalah cuaca yang tidak mendukung. Sedangkan maskapai lain, Trans Nusa, dengan armada Fokker 50, sekalipun ingin tetap beroperasi, harus mengalami beberapa jam penundaan. Sebagai implikasinya, karena tidak menguntungkan dari sisi finansial, penerbangan bandara Kupang-Rote Ndao pulang-pergi ini, seringkali ditutup atau tidak dilanjutkan lagi. Terhambatnya jalur transportasi darat, laut, dan udara akibat masalah alam ini menjadi masalah besar buat Provinsi NTT dan Kabupaten Kepulauan Rote Ndao. Karena itu, keterpencilan dan ketertinggalan sejak dini harus diatasi dengan membuka akses wilayah tersebut seluas-luasnya bagi kunjungan banyak orang, dengan memberikan berbagai pilihan bagi berbagai macam moda transportasi. Ini belum lagi melihat permasalahan kondisi dan dukungan infrastruktur lain, yang dihadapi wilayah bagian timur Indonesia di posisi paling selatan tersebut, seperti kondisi pelabuhan udara dan laut, jalan raya, angkutan darat, dan pasokan listrik, hotel, dan sebagainya.
Kelangkaan Penduduk Dengan tujuh pulau besar, dan beberapa pulau-pulau kecil lainnya, wilayah Kabupaten Kepulauan Rote Ndao masih banyak yang kosong, tidak diokupasi secara de facto, atau
62 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 59–77
tidak berpenghuni, apalagi di bagian yang terluar. Sangat mengejutkan memang, dari 107 pulau-pulau besar dan kecil, dekat dan terpencil dari ibukota Provinsi Kupang, di Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, ternyata hanya 8 yang berpenghuni, dan selebihnya, 99 pulau tidak berpenduduk, tidak diokupasi.11 Sebaran pulau yang cukup jauh jaraknya satu dengan lain, menyulitkan untuk pengawasan keamanan dan upaya mempertahankannya dari ancaman asing oleh aparat Kepolisian dan aparat TNI dari berbagai matra, darat, laut, maupun udara. Begitu pula, luas wilayah darat dan perairan pulau-pulau yang bervariasi besar dan kecilnya, serta sebaran penduduknya, menyulitkan aparat pemerintahan kabupaten (pemkab) dalam menetapkan, mengatur, dan mengelola administrasi pemerintahannya. Itulah sebabnya, jumlah desa dan kelurahan yang ada amat bervariasi. Di satu sisi, terdapat wilayah yang cukup banyak jumlah desa dan kelurahannya, di sisi lain terdapat wilayah yang memiliki sedikit jumlah desa dan kelurahannya. Wilayah yang memiliki desa terbanyak adalah Rote Barat Daya Batu Tua dengan 14 desa, sedangkan Rote Selatan Daleholu hanya terdiri dari 5 desa. Secara keseluruhan, Kabupaten Kepulauan Rote Ndao terdiri dari 82 desa, dan 7 kelurahan.12 Sedangkan dusun, rukun kampung, dan rukun tetangga terbanyak terdapat di wilayah Kecamatan Rote Barat Laut, dan yang paling sedikit di wilayah Kecamatan Rote Selatan, masing-masing dengan rincian 88 dusun, 145 rukun kampung, dan 266 rukun tetangga, serta 25 dusun, 37 rukun kampung, dan 70 rukun tetangga.13 Keberadaan pulau-pulau tidak berpenghuni ini menyebabkan tidak ada pemerintahan daerah setempat dan aparatnya yang bekerja menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Sementara, tanpa pengawasan rutin aparat keamanan dan pertahanan, baik kepolisian (air) Brosur No. 30 Tahun 1979, Direktorat Agraria Propinsi Dati l NT; SK Bupati Rote Ndao No 97/KEP/HK/2010 Tanggal 6 Mei 2010 tentang Penetapan Nama-nama Pulau di Kabupaten Kepulauan Rote Ndao Tahun 2010. 11
BPS Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, Registrasi Penduduk 2011, (Kupang: BPS Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, 2012); BPS Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, Rote Ndao dalam Angka, (Kupang: BPS Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, 2012). 12
13
Ibid.
dan TNI (semua matra, yakni darat, laut dan udara), khususnya terhadap tata letak patok-patok perbatasan yang terpancang di bagian wilayah terluar, wilayah-wilayah tidak berpenghuni itu akan merawankan kedaulatan NKRI. Kehadiran aparat keamanan Indonesia, walaupun sementara, tetapi jika rutin dilakukan, dapat menunjukkan kepada negara tetangga dan berbagai pihak dari negara lain yang lalu lalang di sekitar perairan wilayah Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, bahwa wilayah itu ada pemiliknya. Lebih jelas lagi, faktor kehadiran dapat menunjukkan bahwa tidak benar teritori yang kosong tersebut tidak dikontrol dan dikuasai, apalagi tidak dimiliki secara sah dan de facto oleh pemerintah Indonesia, khususnya pemerintah provinsi dan kabupaten dalam lingkup yang lebih kecil. Oleh karena itu, kehadiran instansi dan aparat pemerintah provinsi dan kabupaten, sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat, dalam bentuk kantor-kantor dinas, sangat membantu dalam mengontrol kedaulatan NKRI di lapangan. Eksistensi kantor Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pertanian. Perkebunan dan Kehutanan, serta Dinas Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Kependidikan dan Catatan Sipil, serta badan-badan seperti Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, Badan Penanaman Modal Daerah, Badan Lingkungan Hidup, dan Badan Ketahanan Pangan dan P3K dan lain-lain sangat membantu menjaga kelangsungan hidup dan masa depan bagianbagian terluar wilayah NKRI tersebut.14 Selain persentase pulau kosong mencapai 90%, tampak juga sebaran dan densitas penduduk di Kabupaten Kepulauan Rote Ndao sangat rendah, seperti tampak dalam Tabel 1. Dapat dikatakan, semakin jauh letak dan koneksinya dari pusat ibukota kabupaten dan provinsi, dan semakin sedikit sumber daya alam (SDA) yang dimilikinya, semakin jarang ditemui penduduk yang tinggal di wilayah tersebut. Begitu pula, semakin terbatas infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) yang dimilikinya. Mengingat Lihat data dan tabel Jumlah Pegawai dan Komposisinya menurut dinas-dinas dan badan-badan yang ada dari Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, 2011; BPS Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, 2012. 14
Masalah Krusial di Kabupaten Terluar Rote Ndao | Poltak Partogi Nainggolan | 63
terbatasnya fasilitas pendidikan dan kualitas guru-guru yang mengajar, itulah sebabnya Kabupaten Kepulauan Rote Ndao menjadi salah satu penerima program sosial bantuan guru mengajar se-Indonesia (“Indonesia Mengajar”) yang telah dicanangkan Anies Baswedan dari Universitas Paramadina dengan Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar. Dari bantuan senilai 6,67 miliar Rupiah, 46 guru SD di enam kabupaten, Rote Ndao menjadi penerimanya.15 Tabel 1. Jumlah Penduduk, Luas Daerah, dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten Kepulauan Rote Ndao menurut Kecamatan, 2011 Kecamatan Rote Barat Rote Barat Daya
Jumlah Penduduk (orang) 11.237 20.102
Luas Wilayah Km Persegi 128,37 114,57
Densitas Penduduk Per Km Persegi 88 175
22.789 25.590 8.193 5.444 13.217 16.836 123.408
172,43 145,71 162,51 75,34 176,18 304,94 1.278,05
132 176 50 74 75 55 97
Rote Barat laut Lobalain Rote Tengah Rote Selatan Panatai Baru Rote Timur Kabupaten Kepulauan Rote Ndao (total)
Sumber:“Registrasi Penduduk 2011”, Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, 2012.
BPS
Selanjutnya, tabel di bawah ini menggambarkan sejauh mana kondisi dan perkembangan kualitas SDM penduduk Kabupaten Kepulauan Rote Ndao dewasa ini: Tabel 2. Jumlah Guru menurut Jenjang, 2011 Jenjang Sekolah TK Negeri Swasta SD Negeri Swasta SMP Negeri Swasta SMA Negeri Swasta SMK Negeri Swasta
Jumlah Guru (PNS dan Honor) 18 27
Gambaran ini semakin jelas, dengan melihat jumlah peserta ujian SD dan mereka yang lulus, untuk Sekolah Dasar (SD) Negeri/Inpres dan swasta di wilayah kecamatan di Kabupaten Kepulauan Rote Ndao pada tahun 2011. Dalam data yang diperoleh, tampak bahwa di semua kecamatan di kabupaten tersebut, kecuali di Kecamatan Rote Barat Daya dan Rote Selatan yang tidak ada datanya, seluruh peserta ujian SD berhasil lulus dengan tingkat mencapai 100%.16 Sedangkan untuk tingkat SMP, angka kelulusan menyeluruh mencapai 99,43%, atau jauh lebih baik daripada Kabupaten Kupang dan Kota Kupang, yang masing-masing hanya memiliki tingkat kelulusan total 97,28% dan 97,79%, padahal fasilitas pendidikannya jauh lebih maju.17 Demikian pula, tingkat kelulusan total murid untuk jenjang SMA yang mencapai 99, 89%, jauh mengungguli Kabupaten Kupang dan Kota Kupang, yang masing-masing hanya mencapai angka 80,95% dan 97,64%.18 Demikian pula, jika dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia – IPM (Human Development Index) seluruh kabupaten/kota Provinsi NTT dalam rentang waktu 2009-2011, tampak bahwa IPM penduduk Kabupaten Kepulauan Rote Ndao tidaklah lebih buruk dibandingkan dengan kondisi kabupatenkabupaten lainnya, kecuali jika dibandingkan dengan Kota Kupang, yang sudah jauh lebih maju. IPM penduduk Kabupaten Kepulauan Rote Ndao pada tahun 2011 mencapai angka 66,57 meningkat sedikit dari tahun 2011 dan 2010, yang masing-masing mencapai 65,80 dan 66,18. Sementara itu, di Kabupaten Sabu Raijua, hanya mencapai 56,16, dan di tahun sebelumnya masing-masing hanya 54,53 dan 55,54, atau Terkonfirmasi dalam wawancara dengan Bagian Program Data dan Evaluasi Dinas Pendidikan Provinsi NTT Flora Triana dan Goris Babo, 5 November 2012; BPS Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, 2012. 16
1.253 172 545 54
Dinas Pendidikan Provinsi NTT, Data Kelulusan SMP/MTs 2011-2012, (Kupang: BPS Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, 2012); BPS Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, Rote Ndao dalam Angka, (Kupang: BPS Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, 2012). 17
237 29 126 68
Dinas Pendidikan Provinsi NTT, Data Perbandingan Persentase Kelulusan SMA/MA, SMK dan SMP/MTS (2010/2012 dan 2011 /2012), (Kupang: BPS Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, 2012); Hasil wawancara dengan Bagian Program Data dan Evaluasi Dinas Pendidikan Provinsi NTT, Flora Triana dan Goris Babo, 5 November 2012. 18
Sumber: Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olah Raga, BPS Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, 2012. “Bantuan Pendidikan BNI,” Koran Jakarta, 3 November 2012. 15
64 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 59–77
sebagai yang terendah di seluruh Provinsi NTT. Padahal, capaian rata-rata untuk Provinsi NTT mencapai 67,62, dan di tahun 2011 dan 2010, masing-masing mencapai 66,60 dan 67,26.19 Dari sisi kondisi ekonomi dewasa ini, angka persentase penduduk miskin di Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, termasuk yang tertinggi di seluruh kabupaten/kota di Provinsi NTT. Menurut data tahun 2010, tercatat 32,81% angka kemiskinan di Rote Ndao. Sementara, angka kemiskinan di Kabupaten Flores Timur hanya 9,61% dan Sabu Raijua mencapai 41,16%, atau yang tertinggi di Provinsi NTT. Sedangkan Kota Kupang, yang sudah jauh lebih baik kondisi ekonominya secara menyeluruh, mempunyai angka kemiskinan 10,57%. Angka kemiskinan di seluruh wilayah Provinsi NTT secara menyeluruh menggambarkan kondisi yang masih tinggi dan sekaligus memprihatinkan, yang pada umumnya mencapai dua digit, kecuali di Kabupaten Flores Timur. Angka kemiskinan rata-rata untuk keseluruhan Provinsi NTT mencapai 21,77%.20 Dari data jumlah perusahaan yang melakukan kegiatan dan berkembang di Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, sepanjang 2009-2011, tampak kegiatan ekonomi belum berjalan dan berkembang secara dinamis. Sektor tradisional pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan kurang berkembang dalam tiga tahun terakhir ini. Selain jumlah perusahaan sangat sedikit, terjadi penurunan pula dalam jumlah perusahaan yang beroperasi dari tiga perusahaan di tahun 2009 menjadi hanya satu di tahun 2010, dan dua di tahun 2011. Penurunan kehadiran yang drastis juga tampak dalam kehadiran perusahaan bangunan di sana, dari semula 33 perusahaan di tahun 2009, menjadi empat di tahun 2010, dan berikutnya delapan di tahun 2011.21 Sementara itu, perusahaan angkutan, pergudangan, dan komunikasi, dari semula tiga perusahaan di tahun 2009, menjadi hanya dua di tahun 2010, dan benar-benar tidak ada (nihil) di tahun 2011. Ini memberi makna, selama rentang waktu yang ada, sektor bisnis angkutan, pergudangan, dan
komunikasi tidak bisa berkembang di sana, sehingga perusahaan yang ada harus menutup usahanya di wilayah kabupaten tersebut. Kehadiran perusahaan sektor pertambangan dan galian belum ada, padahal diketahui, wilayah Kabupaten Kepulauan Rote Ndao kaya dengan hasil tambang mangan, batu hias, batu gamping, dan juga memiliki SDA besi, kalsit, barit, sirtu, gypsum, dan lempung. Demikian pula, di wilayah kabupaten itu belum ada kegiatan usaha (kehadiran perusahaan) di sektor listrik, gas, dan air minum. Sedangkan kegiatan usaha industri pengolahan tampaknya mulai menarik. Itulah sebabnya, pada tahun 2011, sudah ada satu perusahaan yang tercatat melakukan kegiatan usaha di sektor tersebut. Kegiatan usaha yang mulai tumbuh dan tampaknya menjanjikan adalah sektor keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah, dan jasa perusahaan. Sebab, dari semula tidak ada sama sekali di tahun 2009, muncul satu perusahaan di tahun 2010, dan berkembang menjadi 10 perusahaan dalam setahun berikutnya (2011).22
Ancaman Aktivitas Ilegal Pulau-pulau tidak berpenghuni, terutama yang potensial dalam kepemilikan SDA dan pariwisatanya, amat rawan dari ancaman penyalahgunaan, baik oleh pihak-pihak dari dalam negeri maupun asing, dari kalangan pribadi, swasta atau pengusaha, dan negara.23 Ancaman dari kalangan domestik berupa penyewaan, dan bahkan, penjualan pulau kepada investor dalam dan luar negeri, swasta dan pemerintah, yang mudah terjadi akibat pemekaran wilayah dan kebijakan desentralisasi kewenangan daerah yang semakin besar belakangan ini.24 Pihak asing yang mengelolanya, mudah menyalahgunakannya, karena sulitnya pemerintah pusat untuk melakukan kontrol di era reformasi yang penuh dengan tuntutan kebebasan, persamaan hak, keadilan, kesejahteraan, dan devolusi kekuasaan.
22 19
BPS Provinsi NTT, 2012.
20
Ibid..
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Rote Ndao, BPS Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, 2012. 21
Ibid.
Wawancara dengan Kepala Bidang Kemitraan Dinas Pariwisata Provinsi NTT, Johny Rohi, 5 November 2012. 23
Wawancara dengan Kepala Bidang Promosi Dinas Pariwisata Provinsi NTT, Bonaventura Rumat, 5 November 2012. 24
Masalah Krusial di Kabupaten Terluar Rote Ndao | Poltak Partogi Nainggolan | 65
Kasus-kasus yang rawan pelanggaran hukum dalam bentuk sewa dan jual-beli pulau, yang dapat berdampak luas pada ancaman kedaulatan teritorial nasional, telah terjadi di pulau-pulau kecil yang sangat potensial dan strategis di wilayah Papua, Bali, NTB, dan juga NTT lainnya. Pulau Batek, misalnya, salah satu pulau terluar dari 4 pulau terluar di Provinsi NTT yang dijaga Tentara Nasional Indonesia (TNI), terancam kepemilikannya oleh negara tetangga baru Indonesia, yaitu Timor Leste. 25 Selain penduduknya terbatas, Pulau Batek bersama dengan Pulau Ndana Rote merupakan pulau terluar, yang menjadi semakin rawan posisinya, jika ada masalah perbatasan dengan negara tetangga Indonesia yang belum terselesaikan dengan baik. Begitu pula, tidak dapat dipungkiri, godaan penyalahgunaan hukum oleh aparat pemerintah daerah semakin besar, jika kebutuhan untuk mengisi kas daerah dan pribadi begitu tinggi, sebagai konsekuensi dari pemberian otonomi daerah dan kemampuan tata kelola yang buruk, serta pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) yang berbiaya tinggi dan korup. Ancaman atas eksistensi dan kedaulatan wilayah semakin lengkap, jika kondisi di perbatasan dan wilayah negara tetangga jauh lebih baik dari sisi infrastruktur dan peluang ekonomi yang tersedia. Rote Ndao merupakan Daerah Tujuan Wisata (DTW) alternatif di luar Bali, Lombok, dan Flores yang sudah ramai dan sesak oleh turis domestik dan manca negara, serta jenuh pemesanan jasa wisata. Daerah ini menjadi sangat potensial untuk dikembangkan, karena banyak yang belum dikelola dan ditawarkan, apalagi dikembangkan secara maksimal. Kabupaten Kepulauan Rote Ndao merupakan pulau atau batas paling selatan dari jajaran Kepulauan Indonesia, yang pulau-pulaunya ada yang berbatasan dengan Samudera Hindia (Indian Ocean), sebelum masuk ke wilayah perairan Australia. Letaknya yang semakin dekat dengan negara tetangga Australia, yang penduduknya adalah pengunjung mayoritas Bali, Lombok, dan Flores, membuat prospek perkembangannya amat menjanjikan. “Pulau Batek Terancam Diklaim Timor Leste”, Lintas NTT, 26 Oktober 2013, http://www.lintasntt.com/pulau-batek-terancamdiklaim-timor-leste/, diakses pada tanggal 10 Mei 2014. 25
Beberapa pantai di Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, anatara lain, Nemberala dan Boa, telah menjadi perhatian internasional, tidak hanya turis perorangan, namun lembaga riset dan konservasi yang mendunia, seperti The Nature Conservancy (TNC), selain Dewan Konservasi Perairan Provinsi NTT. Ini belum termasuk pantai-pantai di gugusan pulaupulau kecil seperti Ndo’o, Nuse, Ndao, dan Ndana, yang terletak di koridor perairan Laut Sawu dan Samudera Hindia. Laporan yang disampaikan media massa dan catatan perjalanan turis lokal dan mancanegara menggambarkan potensi besar itu. Kondisi Nemberala yang telah berkembang pesat membuatnya sangat berbeda dengan kondisi daratan Rote lainnya. Ketidakseimbangan pembangunan yang telah berlangsung di Nemberala ini tampak dari adanya enam resor dan beberapa rumah megah dengan halaman luas, yang dimiliki orang asing. Sedangkan akses jalan dari Rote Tengah ke Nemberala, yang panjangnya sekitar 2 km, kondisinya rusak. Fasilitas jaringan telepon, internet, dan jalan membutuhkan perbaikan, untuk bisa mendukung pengembangan Pulau Rote Ndao secara komprehensif dan maksimal. Mereka yang datang ke Nemberala dan Boa mempunyai tujuan khusus untuk berolahraga selancar (surfing) dan selam (diving). Seorang asal Belanda diketahui telah mendirikan sekolah selam di sana. Turis-turis Australia diketahui telah berkali-kali mengunjungi DTW pantaipantai di Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, terutama Nemberala dan Boa. Kehadiran mereka yang semakin meningkat di kemudian hari bisa bermakna ganda, yakni akan semakin meningkatkan kepedulian terhadap konservasi ekosistem pulau-pulau di sana, tetapi bisa juga berdampak destruktif terhadap ekosistem serta adat istiadat dan budaya lokal. Kedua hal ini telah berlangsung di berbagai DTW utama Indonesia, termasuk Bali dan Lombok. Sebagai konsekuensinya, kerusakan lingkungan kawasan pantai dan pesisir menjadi ancaman serius di sana, terutama jika akses DTW di sana dibuka secara luas dan dikembangkan tanpa kontrol. Sampah, yang dibuang sembarangan dan tidak terkelola baik, akan menjadi masalah besar di masa depan, seperti yang pernah dialami di Bali sebelumnya.
66 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 59–77
Kekurangpekaan terhadap pentingnya menjaga kebersihan di kalangan penduduk lokal dan turis domestik akan menyebabkan kondisi pantai terancam kotor, termasuk akibat eksploitasi SDA, seperti rumput laut, yang tidak terkelola dengan baik. Sementara, ruang publik berpeluang untuk dimanfaatkan berlebihan untuk kepentingan bisnis atau upaya mencari keuntungan pribadi warga domestik 26 dan asal mancanegara yang memiliki modal dan akses kewenangan (kesempatan) tidak terbatas. Sebaliknya, orang kebanyakan (penduduk lokal) akan dibatasi akses mereka untuk dapat menikmati kekayaan alam dan ekosistem Rote Ndao yang sebagian besar masih baik. Hak publik untuk mengontrol melalui jaringan masyarakat sipil mereka dapat terganggu, jika para investor dan pengusaha bisnis pariwisata tersebut melakukan kolaborasi yang melanggar hukum (kolusi) dengan aparat pemerintah kabupaten. Kasus-kasus ini telah terjadi di La Petite Kepa (Kabupaten Alor, Provinsi NTT, yang nama barunya tersebut berbau Prancis, negeri asal si pengelolanya), Kabupaten Kepulauan Wakatobi, Kabupaten Kepulauan Raja Ampat, dan bahkan, Kabupaten Kepulauan Morotai, yang jauh sekali jaraknya dari pusat pemerintahan Indonesia, Jakarta. Dalam kasus Morotai, terjadi tarik-menarik kepentingan antara pemerintah kabupaten dan investor yang mengelola industri perikanan kerapu berskala internasional yang diekspor langsung ke konsumennya di berbagai restoran kelas atas di Hong-Kong. Masa depan keberadaan Nemberala tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu dan statusnya, yang masih digantung sebagai TNP oleh pemerintah pusat. Sebab, penetapan statusnya akan berimplikasi pada pengelolaan, dan sekaligus, perlindungan yang benar sebagai wilayah konservasi, dengan penetapan zonasi yang jelas, yang membedakannya dari zona perairan dan pesisir untuk perikanan, pemanfaatan Salah satu investor dalam negeri (nasional) yang dikatakan masyarakat disana potensial adalah cucu Soeharto, yang sedang membangun Pulau Ndo’o. Lihat, Rini Kustiasih, “Ombak Tinggi Rote di Ujung Selatan Negeri,” Kompas, 24 Desember 2013. 26
umum dan wisata bahari.27 Penetapan TNP Laut Sawu juga akan membantu upaya peningkatan kesejahteraan penduduk Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, seperti juga terhadap budidaya pohon lontar, yang tumbuh alami di tanah Rote, dan yang menjadi tumpuan kehidupan penduduk lokal di sana.28 Eksploitasi akan menjadi penentu dan penjamin masa depan kelestarian ekosistem Kabupaten Kepulauan Rote Ndao. Upaya mencegah pengelolaan secara ilegal atau melanggar hukum terhadap potensi SDA Kabupaten Kepulauan Rote Ndao dapat dilakukan dengan kehadiran undang-undang yang mengatur pengelolaan secara baik dan tepat, yang sekaligus melindungi masa depannya. Yang ada selama ini belum dapat mengakomodasikan kepentingan dan prospek Rote Ndao dalam jangka panjang. 29 Kebijakan semacam ini juga bisa mengatur ulang investasi dari pihak asing, yang sudah memperoleh hak pengaturan eksklusif pengelolaan pulau, sebagaimana yang telah berlangsung di wilayah-wilayah pulaupulau pesisir Provinsi NTT lain, khususnya yang bermasalah, yang telah dikuatirkan banyak pihak, terutama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), selama ini.30 Dengan hadirnya UU ini, pemberlakuan akses khusus atau eksklusif ke wilayah-wilayah potensial yang tertutup bagi masyarakat awam lokal, dapat dihindari, ataupun diakhiri, jika telah dilakukan secara terang-terangan. Sebaliknya, masyarakat adat setempat, dapat menetapkan mana yang masih 27
Ibid.
Lihat James J. Fox, Harvest of the Palm, Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia Ecological Change in Eastern Indonesia, (Harvard: Harvard University Press, 1977). 28
Lihat Dewan Kelautan Indonesia, Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Kelautan, (Jakarta: Dewan Kelautan Indonesia, 2009). 29
Contoh kasus lain adalah di Pulau Peperu, Maluku Tengah, dengan keberadaan investor asal Swiss mendapat hak-hak eksklusif mulai di daratan pulau sampai ke perairannya. Padahal, sebenarnya mereka hanya memperoleh izin mengelola kawasan untuk melakukan kegiatan selam (diving side). Hal ini bisa dilakukan dengan dukungan aparat pemkab dan keamanan setempat, terutama militer, sehingga masyarakat lokal tidak memiliki akses masuk ke wilayah yang mereka telah melakukan kegiatan di sana, sebelumnya. Sementara, pihak asing itu memperlakukan wilayah tersebut seolah-olah miliknya. Lihat “Hak Eksklusif Pengelolaan Pulau: Atur Investasi Asing Lewat UU Pesisir,” Neraca, 8 Januari 2014. 30
Masalah Krusial di Kabupaten Terluar Rote Ndao | Poltak Partogi Nainggolan | 67
merupakan wilayah adat, yang dapat mereka olah, dan mana yang boleh dikelola secara bersama, tanpa ada wilayah yang tertutup sama sekali aksesnya bagi mereka.31 Inisiatif, usulan, dan keputusan masyarakat adat perlu mendapat perhatian serius, agar dampak negatif pembukaan wilayah-wilayah yang potensial di Kabupaten Kepulauan Rote Ndao bagi pengelolaan dengan kerja sama dengan investor dan tenaga asing, dapat dicegah dan dikoreksi. Selanjutnya, perlu mendapat perhatian seksama, setiap pembangunan fasilitas pariwisata, harus memiliki atau disusun analisis dampak lingkungan (amdal) yang akurat. 32 Sebab, kehadiran berbagai hotel, resor, dan akomodasi dan fasilitas pendukung kegiatan pariwisata dan turis lainnya, serta penetapan kawasan menyelam dan sebagainya, akan memiliki implikasi yang serius terhadap lingkungan hidup, apalagi jika tidak diantisipasi dan disiapkan pencegahannya sejak dini. Pembangunan dan pengembangan konsep minawisata sekalipun, dengan dukungan investasi dan tenaga ahli asing, harus dicermati, karena tidak luput dari berbagai dampak lingkungan yang menyertainya,33 termasuk di Kabupaten Kepulauan Rote Ndao.
Ancaman Keamanan Ancaman keamanan adalah juga masalah yang rawan dihadapi di sana, baik yang bersifat konvensional maupun nonkonvensional. Untuk yang disebutkan pertama, ancaman berasal dari faktor militer, yakni kekuatan angkatan laut negara tetangga di kawasan sekitarnya dan negara-negara besar di luar kawasan. Dalam konteks ini, ancaman berasal dari kapal-kapal asing, termasuk kapal-kapal selam yang tidak kelihatan, ke wilayah Kabupaten Kepulauan Rote Ndao untuk tujuan yang dijelaskan dan tidak dijelaskan. Contohnya, kapal-kapal selam Cina, yang telah memperoleh konsesi bagi pemanfaatan pelabuhan laut di Timor Leste dan melintas secara damai melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II (selat Lombok dan seterusnya), perlu diwaspadai. Sedangkan kapal-kapal besar AS serta kapal-kapal patroli dan penjaga pantai Australia dan Selandia Baru turut berpotensi memberikan ancaman, dengan segala konsekuensinya, termasuk polusi dan dampak kerusakan ekologi, yang dihasilkannya.
Diperkuat oleh keterangan yang diperoleh dalam wawancara dengan Kepala Bidang Kemitraan Dinas Pariwisata Provinsi NTT, Johny Rohi, 5 November 2012.
Sementara itu, ancaman nonkonvensional berasal dari faktor non-militer, dengan aktor nonnegara, yakni seperti masuk dan kembalinya para pendatang gelap atau imigran ilegal, yang sebagian besar datang dari negeri-negeri yang dilanda konflik sektarianisme, malfungsi demokrasi, dan meluasnya kemiskinan di Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Selatan, serta Asia Tenggara. Para aktor nonnegara dari berbagai latar belakang kewarganegaraan banyak terlibat aktivitas di wilayah perairan ini, apakah itu para imigran gelap yang ingin tinggal dan hidup di Australia, ABK kapal domestik dan lintas nasional yang melakukan kegiatan penyelundupan manusia, para awak kapal penjaga pantai Australia, Selandia Baru, serta personil Angkatan Laut AS, Cina, dan sebagainya.35 Sedangkan berbagai jenis kegiatan yang memberikan ancaman nontradisional dalam hal ini adalah human trafficking, pencemaran lingkungan perairan, illegal mining, illegal logging, serta illegal fishing, sebab kekayaan alam Provinsi NTT sangat potensial, khususnya
Lihat “Hak Ekslusif Pengelolaan Pulau: Atur Investasi Asing Lewat UU Pesisir.” Neraca, 8 Januari 2013.
“Keamanan Maritim di Kawasan,” pada 2 April 2014 di Kupang, Provinsi NTT.
Sementara, upaya penetapan cagar alam di Pulau Pasir, Ashmore Reef, menurut Australia, sejak tahun 1996-1997, yang tidak mengundang protes resmi pihak Indonesia (Kementerian Luar Negeri --Kemlu), harus disadari, memberi implikasi buruk. Sebab, ini mengartikan seolaholah pemerintah Indonesia mengakui penguasaan, yang berarti kedaulatan Australia, atas pulau yang disengketakan itu. Oleh karena itu, sikap aparat keamanan laut dan pertahanan Indonesia, dan juga para nelayan tradisional asal Rote Ndao, yang terus-menerus mempertahankan kehidupan di wilayah nenek moyang mereka di sana, menjadi sia-sia, seperti kontraproduktif dengan sikap Kementerian Luar Negeri dan respons pemerintah Indonesia.34 31
Ibid.
32
33
34
FGD P3DI dengan Universitas Nusa Cendana mengenai
35
Nainggolan, op.cit., hlm. 67-68, 73-76., 79, 87, 94-96.
68 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 59–77
yang terdapat di kawasan perairan Taman Laut Nasional Sawu, yang sangat luas, dan berbagai ikan. Dalam beberapa tahun terakhir, setelah gelombang migran ilegal mengalir deras dari berbagai wilayah di luar kawasan, setelah maraknya konflik-konflik sektarianisme, terdapat kecenderungan wilayah Kabupaten Kepulauan Rote Ndao menjadi salah satu wilayah perairan yang tidak luput dari lintasan aktivitas penyelundupan manusia. Berdasarkan catatan, dalam kasus yang terjadi pada 6 Januari 2014 terdapat tiga kapal perang dan enam kapal cepat AL Australia36 telah masuk jauh hingga 7 mil ke wilayah perairan Rote Ndao. Akibatnya, 45 imigran gelap37 yang telah dipulangkan oleh AL Australia itu telah menjadi beban Pemerintah Indonesia, terutama pemerintah lokal Rote Ndao. Pemerintah Australia telah mengakui kesalahan pelanggaran batas wilayah yang dilakukan secara sengaja ini, tetapi sikap pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tidak kooperatif, kecuali panglima TNI-nya,38 menjadi sasaran kesalahan. Adapun kesalahan-kesalahan pihak Indonesia lainnya adalah terlalu beriba pada imigran gelap atau pengungsi (boat people) yang satu latar belakang agama, membiarkan praktek permainan uang, kegiatan suap dan bisnis di kalangan aparat keamanan dan pelabuhan setempat yang meloloskan mereka, dan lain-lain.39 Terkait dengan pelanggaran teritorial, Menteri Imigrasi dan Perlindungan Perbatasan Australia, Scott Morrison, telah melakukan konferensi pers bersama Letjen Angus Campbell dari Departemen Pertahanan Australia, yang isinya mengakui bahwa Komando Perlindungan Perbatasan dalam operasinya telah memasuki wilayah perairan Indonesia. Namun, janggalnya,
Morrison, juga mengatakan, bahwa kejadian pelanggaran tersebut tidak disengaja dan tanpa sepengetahuan Pemerintah Australia. Walaupun kemudian, Pemerintah Australia menegaskan bahwa pelanggaran-pelanggaran wilayah perairan Indonesia seperti itu tidak akan terulang, tetapi tidak ada kepastian semuanya akan dipatuhi begitu saja di lapangan. Sebab, pelanggaran wilayah yang telah dilakukan AL Australia pada saat mereka mendorong kapal kayu para pencari suaka asal Afrika dan Timur Tengah yang menuju Australia kembali ke perairan Indonesia, sebenarnya telah terjadi pula pada 19 Desember 2013, atau dua kali, dalam waktu yang sangat berdekatan.40 Yang lebih jelas lagi, dari sumber yang berbeda, 3 kapal, termasuk jenis freegat, dengan diperlengkapi persenjataan penuh, HMAS Stuart, dan 1 kapal lainnya, telah melanggar batas 12 mil laut, sekitar 22 kilometer, sebanyak 5 kali, sejak 13 Desember 2013.41 Pelanggaran wilayah perbatasan laut Indonesia di sekitar Kabupaten Kepulauan Rote Ndao rawan terjadi karena perbatasan teritorial laut Indonesia dengan Australia belum diselesaikan.42 Kasus-kasus pelanggaran terjadi tidak hanya dalam kasus “boat people,” namun juga seringnya tudingan atas masuknya nelayan-nelayan tradisional Indonesia, terutama asal Rote Ndao, ke wilayah perairan Australia. Ketidakjelasan atau ketidakbakuan batas wilayah laut kedua negara yang dapat dijadikan pegangan, selalu menjadi pangkal persoalan, yang melibatkan AL Australia, nelayan tradisional asal Rote Ndao, dan para imigran gelap asal mancanegara, khususnya Timur Tengah.43 Selama ini masalah belum berhasil diselesaikan, karena belum dicapainya kesepakatan atas Pulau Pasir (Ashmore Reef).44 Natalia Santi,”Australia Akui Langgar Perairan Indonesia,” Koran Tempo, 18 Januari 2014. 40
“Panglima TNI Fasilitasi Kapal Perang Australia,” Media Indonesia, 9 Januari 2014. 36
37
Ibid.
Ibid.
Lihat Poltak Partogi Nainggolan, Batas Wilayah dan Situasi Perbatasan Indonesia: Ancaman terhadap Integritas Teritorial, (Jakarta: Tiga Utama, 2004). 42
Panglima TNI, Jend. Moeldoko, menolak dikatakan mendukung kebijakan militer Australia, melainkan apa yang ia lakukan sudah sesuai dengan standar operasi. Lihat, Ina Parlina and Margareth S. Aritonang,”TNI chief denies backing Oz policy,” The Jakarta Post, 10 Januari 2014. 38
“On Australia’s boat people’s policy,” The Jakarta Post, 10 Januari 2014; Lihat Nainggolan, op.cit. 39
41
Wawancara dengan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT, Aba Maulaka, 22 April 2014. 43
Wawancara dengan Sekretaris Badan Pengelola Perbatasan Provinsi NTT, I Gusti Lanang Ardika, 22 April 2014. 44
Masalah Krusial di Kabupaten Terluar Rote Ndao | Poltak Partogi Nainggolan | 69
Kian meningkatnya ancaman keamanan yang datang dari aktivitas penyelundupan dan perdagangan manusia, secara realistis, membutuhkan kehadiran kapal-kapal TNI-AL untuk melakukan patroli laut sesering dan sejauh mungkin, sebagai upaya pencegahan untuk dapat menangkap para pelaku, termasuk mereka yang mengorganisasi dan memperoleh keuntungan dari kegiatan tersebut. Terlebih lagi, dengan terjadinya berulangkali tindakan pelanggaran wilayah secara sengaja oleh AL Australia, untuk dalih apapun, TNI-AL telah diminta untuk menempatkan kapal-kapal perangnya di perairan Provinsi NTT. Kapal-kapal ini perlu menjalankan operasinya di Laut Timor sampai perairan selatan Pulau Rote dan Sumba. Kehadiran TNI-AL secara nyata dan sering di lapangan akan bermanfaat pula untuk melindungi kekayaan laut Indonesia dari ancaman pencurian para nelayan asing. Selama ini, TNI-AL tidak menempatkan kapal-kapal perangnya secara permanen di Pangkalan TNI-AL VII (Lantamal) Kupang.45 Padahal, pelanggaran wilayah laut banyak terjadi di sekitar wilayah perairan tersebut, termasuk pencurian ikan secara besar-besaran oleh para nelayan asing.46 Dalam kasus tiga kapal perang asal Australia, kapal-kapal itu diketahui telah memasuki perairan Indonesia di Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, tanpa kehadiran aparat TNI-AL. Ini wajar saja, karena di sana hanya ada Lanal yang terbilang kecil, dengan peralatan sangat terbatas, sehingga menyulitkan kemampuan aparat keamanan dan pertahanan Indonesia di lapangan, seperti yang terdapat di Rote Ndao, dan juga untuk Rote Ndana.47 Kedatangan tiga kapal perang tersebut diketahui setelah aparat Polres Rote Ndao berhasil mengamankan lagi 45 imigran gelap yang terdampar di Dusun Kakaek, Desa Lenupetu, Kecamatan Pantai Baru, Wawancara dengan Danlantamal VII, Laksmana Pertama (Pelaut) Deddy Muhibah Pribadi,S.E.,MPA, Wadanlantamal Kol. Laut (Pelaut) Lukman H, dan Asisten Operasi, Kol. Sunarno Adi, 25 April 2014, di Kupang, Provinsi NTT. 45
“Perairan NTT Butuh Kapal Perang,” Media Indonesia, 13 Januari 2014. 46
Wawancara dengan Danlantamal VII, Laksmana Pertama (Pelaut) Deddy Muhibah Pribadi,S.E.,MPA, Wadanlantamal Kol. Laut (Pelaut) Lukman H, dan Asisten Operasi, Kol. Sunarno Adi, 25 April 2014, di Kupang, Provinsi NTT. 47
Rote Ndao, pada 6 Januari 2014. Salah seorang pelaku, imigran gelap, mengaku bahwa mereka digiring anggota AL Australia menggunakan 3 kapal perang dan 6 speed boat sampai memasuki perairan Rote Ndao, sekitar 7 mil dari daratan Pulau Rote. Para imigran gelap tersebut sempat bertahan selama 1,5 hari, dengan pengawasan ketat tentara AL (marinir) Australia. Adapun, sebagaimana diungkapkan Kapolres Rote Ndao, AKBP Hidayat, para imigran gelap tersebut berangkat dari Pulau Kendari pada 21 Desember 2013, dan tiba di Australia pada 1 Januari 2014.48 Selanjutnya, kapal mereka dihadang dan digiring ke luar dengan kapal perang oleh AL Australia sampai ke perairan Rote Ndao, tanpa ijin memasuki perairan Indonesia.49 Aparat Polres Rote Ndao, yang menemukan para imigran, langsung mengamankan dan menampung mereka di Mapolres Rote Ndao. Ke-45 imigran gelap itu terdiri dari 39 orang laki-laki dan 9 orang perempuan, berasal dari Somalia (28 orang), Sudan (9 orang), Mesir (3 orang), Nigeria (2 orang), Yaman (1 orang), Ghana (1 orang) , dan Lebanon (1 orang).50 Kasus terbaru terjadi pada 5 Mei 2014, setelah AL Australia memulangkan para pencari suaka dari India (16 orang), Nepal (2 orang), dan Albania (2 orang), yang telah berlayar menyewa perahu nelayan dari Pulau Rote menuju Australia. Ketika akan memasuki perairan Australia, perahu mereka langsung digiring kembali ke perairan Indonesia, sedangkan 1 perahu lagi ditenggelamkan oleh penjaga pantai Australia. Para pendatang gelap itu diserahkan ke Polres Rote Ndao di Pulau Rote, dan dievakuasi menggunakan kapal patroli polisi ke Kupang. Polres Rote Ndao sendiri telah menahan 2 tersangka, yaitu nakhoda dan 1 anak buah kapal, dengan barang bukti perahu yang disewa itu.51 “Kapal Australia Giring Imigran di Perairan Indonesia Tanpa Izin, Suara Pembaruan, 7 Januari 2014. 48
Dika Dania Kardi,”Australia kembali Lecehkan RI,” Media Indonesia, 8 Januari 2014; Wawancara dengan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT, Aba Maulaka, 22 April 2014. 49
“Kapal Giring Imigran di Perairan Indonesia Tanpa Izin”, Suara Pembaruan, 7 Januari 2014. 50
“Äustralia Usir 20 Pencari Suaka”, Media Indonesia, 7 Mei 2014. 51
70 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 59–77
Kegiatan penyelundupan dan perdagangan manusia lintas-negara rawan sekali terjadi di Provinsi NTT, termasuk yang melintasi Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, selain didukung keterlibatan aparat keamanan lokal. Para pelaku sudah sering dilaporkan kepada penegak hukum, tetapi tidak pernah diproses dan ditindak secara hukum. Laporan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan media massa belakangan menengarai keterlibatan oknum perwira di jajaran Kepolisian Daerah (Polda) Provinsi NTT.52 Bahkan, lebih jauh lagi, ditengarai adanya keterlibatan langsung oknum polisi dalam jaringan penyelundupan orang. Kasus perdagangan manusia lintas negara melibatkan pula pelaku asal Rote, yang sudah dilaporkan berulang kali ke Polda NTT, tetapi tidak ditindaklanjuti dengan proses hukum. Untuk itu, fakta di lapangan memperlihatkan bahwa pelanggaran hukum transnasional rawan pula terjadi di Kabupaten Kepulauan Rote Ndao. Dilaporkan, lemahnya tindak lanjut penanganan terkait pula dengan keterbatasan aparat lokal dalam menangani TKI dan imigran gelap yang bermasalah. Dalam sebulan terakhir, Pemerintah Australia telah mengusir 93 imigran gelap asal Timur Tengah dan Afrika ke wilayah perairan Provinsi NTT, termasuk yang melalui Kabupaten Kepulauan Rote Ndao.53 Tempattempat penampungan di rumah detensi imigrasi (rudenim) di Kupang saja dewasa ini sudah menampung sebanyak 171 imigran gelap, jauh melebihi kapasitas yang hanya 100 orang. Pada tahun 2013 dilaporkan, aparat keamanan dan imigrasi Provinsi NTT telah mengamankan paling sedikit 1.614 imigran gelap, dengan sejumlah 127 orang sudah dideportasi ke negara asal masing-masing.54 Sisanya direlokasi ke rudenim lain, sehingga masih terdapat 171 orang di rudenim Kupang.
Pencemaran Lingkungan Dari perspektif ancaman keamanan nonkonvensional, sebagaimana wilayah Provinsi “Perdagangan Manusia: Oknum Perwira Polda NTT Diduga Terlibat,” Suara Pembaruan, 6 Maret 2014. 52
“NTT Kewalahan Tangani Imigran,” Koran Tempo, 10 Februari 2014, hlm. 11.
53
54
Ibid.
NTT lainnya, yang sebagian besar terdiri dari wilayah perairan Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, tidak luput dari ancaman pencemaran. Dalam kasus Montara, ledakan sumur minyak (21 Agustus 2009) di Blok West Atlas, yang merupakan konsesi Australia, tumpahan minyaknya sudah mencemari perairan di Celah Timor. Akibat kasus pencemaran minyak di laut terbesar di Asia Pasifik ini, environmental security Rote Ndao turut terancam. Tumpahan minyak mentah dari sumur yang dioperasikan PTTEP Australasia membawa ancaman kerusakan bagi tiga negara, yakni Indonesia, Timor Leste, dan Australia. Bencana yang belum teratasi, termasuk persoalan ganti ruginya, dirasakan juga oleh penduduk pesisir selatan Pulau Timor dan pulau-pulau sekitar Provinsi NTT, termasuk di Kabupaten Kepulauan Rote Ndao. Dengan tumpahan minyak total mencapai 40 juta liter minyak mentah, wilayah perairan yang tercemar di seluruh Provinsi NTT mencapai 90.000 km².55 Kasus Montara ini jauh lebih besar dari kasus tumpahan minyak kapal tanker Exxon Valdez di Teluk Alaska tahun 1989 dan meledaknya anjungan minyak Deepwater Horizon di Teluk Meksiko, tahun 2010. Bencana Montara tidak hanya telah merusak biota laut, tetapi juga berdampak pada ribuan warga pesisir, khususnya para nelayan di selatan Timor, seluruh pesisir Pulau Rote, Sabu dan selatan Alor, sempat berbulan-bulan tidak bisa melaut. Bencana serius telah menghancurkan budidaya rumput laut dan keramba apung. Mengenai pencemaran minyak Montara ini, Bupati Rote Ndao, Leonard Haning, mengatakan bahwa masyarakat Rote Ndao tengah menangisi hidup mereka karena tumpahan minyak Montara, yang telah membunuh mata pencaharian mereka. Sebagai konsekuensinya, penghasilan petani rumput laut telah berkurang sampai 80 persen.56 Demikian halnya dengan nelayan, yang terhalang melaut dan kehilangan sumber ikan mereka di perairan. Yang ironis, walaupun sedemikian besar dampaknya, sejauh ini belum ada perhatian, apalagi upaya ganti rugi yang disampaikan, dan “Pencemaran Lingkungan: Petaka Montara, di mana Kepedulian Negara?,” Kompas, 6 April 2014. 55
56
Ibid.
Masalah Krusial di Kabupaten Terluar Rote Ndao | Poltak Partogi Nainggolan | 71
juga upaya alternatif yang telah diperjuangkan pemerintah. Bencana tumpahan ladang minyak Montara yang telah mencemari Laut Timor telah dinilai sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dan harus diproses sampai tuntas dengan meminta pertanggungjawaban, baik dari pihak negara maupun swasta di Indonesia dan Australia.57 Namun sayangnya, sekalipun seperti dikatakan Bupati Rote Ndao, Leonard Haning, masyarakat nelayan di wilayah perairan paling selatan Indonesia yang berbatasan dengan Australia itu telah menderita kerugian besar, yang hingga kini tuntutan ganti kerugian belum ada penyelesaiannya, baik secara ekonomi, maupun sosial. Sementara itu, Pemerintah Rote Ndao telah menghitung nilai kerugian atas bencana tumpahan minyak yang telah menimpa penduduknya di perairan tersebut, yang diperkirakan mencapai Rp. 7,5 trilyun, dengan rincian, jumlah kerugian langsung sebesar Rp. 4,7 trilyun, sedangkan dampak tidak langsung mencapai Rp. 671 miliar.58 Sebagaimana dijelaskan Dinas Kelautan dan Perikanan, selain dari pemboran minyak di tengah laut, seperti di Laut Timor dengan kasus Montara-nya, ancaman pencemaran perairan Rote Ndao juga datang dari pembuangan limbah rutin dari kapal-kapal yang dibersihkan di tengah laut, terutama kapal-kapal asing berukuran besar dari Australia.59 Hal ini terjadi karena pengawasan dan tindakan pencegahan dari aparat yang berwenang cenderung lemah. Selain itu, kelestarian perairan Rote Ndao menjadi terancam akibat penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan. SDA Rote Ndao terancam, terutama rumput laut serta berbagai jenis ikan. Untuk budidaya rumput laut, areal yang terancam mencapai 5.342 hektar, walaupun yang baru dimanfaatkan 2.995,7 hektar, dengan produksi mencapai 1.048.762,72 ton basah, sebagai bagian dari Klaster II bersamasama dengan Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, “Pencemaran Laut Timor: Pemerintah agar Dukung Langkah Masyarkat,” Suara Pembaruan, 26 Februari 2014. 57
“Australia Harus Bayar ganti Rugi Dampak Pencemaran Montara,” Suara Pembaruan, 19 Februari 2014. 58
Wawancara dengan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT, Aba Maulaka, 22 April 2014. 59
dan lain-lain.60 Karena itu, lemahnya dukungan Pemerintahan Presiden SBY61 dalam menyerap dan mewujudkan tuntutan rakyat Provinsi NTT, yang wilayah perairannya tercemar tumpahan minyak Montara dan mengalami kerugian besar ini, sangat disayangkan.
Sumber: “Bahasa dan Budaya Rote-Ndao,” http:// bbronda.blogspot.com/2012/12/normal-0-falsefalse-false-en-us-x-none.html Gambar 1. Peta Wilayah Kabupaten Kepulauan Rote Ndao
Transmigrasi sebagai Solusi Kebijakan transmigrasi bagi Pemerintah Provinsi NTT dan Kabupaten Kepulauan Rote Ndao adalah salah satu solusi yang dinilai efektif untuk mengatasi kekosongan dan ketidakmerataan penyebaran penduduk di banyak pulau di NTT, khususnya Kabupaten Kepulauan Rote Ndao. Kebijakan yang sebenarnya telah dimulai lebih dari 5 tahun lalu dilakukan tidak dengan memindahkan penduduk yang padat dari luar Provinsi NTT dan Pulau Jawa, tetapi dari wilayah kecamatan di sekitar ibukota Kabupaten Kepulauan Rote Ndao yang padat penduduknya. Lokasi yang dijadikan sasaran kebijakan transmigrasi di Rote Ndao adalah Oeteas (2005), 60
Ibid.
FGD P3DI dengan Universitas Nusa Cendana mengenai “Keamanan Maritim di Kawasan,” pada 2 April 2014 di Kupang, Provinsi NTT. 61
72 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 59–77
Paal (2006), Oengggaut (2008), dan Istua (2011), dengan masing-masing warga binaan sebanyak 100 KK.62 Strategi transmigrasi ini membutuhkan biaya yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan harus mendatangkan para transmigran dari luar kabupaten dan provinsi, apalagi dari Pulau Jawa. Di samping itu, dari perspektif antropologis (lihat Gambar 1.), para transmigran lokal ini tidak memiliki perbedaan primordial (agama, kesukuan, bahasa dan lain-lain) dan latar belakang yang signifikan antara pendatang dengan penduduk lokal dan wilayah baru mereka, sehingga lebih mudah membaur.63 Kesamaan latar belakang juga dibantu oleh persiapan dan kerja sama yang baik antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten dalam menyiapkan prasarana dan sarana yang dibutuhkan para transmigran, seperti kawasan pemukiman dan perumahan yang layak, kawasan pertanian dan perkebunan untuk diolah, fasilitas kesehatan (puskesmas, posyandu), air bersih (sumur, pipa dan sebagainya), fasilitas pendidikan, dan sebagainya. Dalam perjalanannya kemudian, kerja sama ketiga unsur pemerintah tersebut terus memperhatikan kondisi dan kebutuhan para transmigran di tempat kehidupan mereka yang baru, seperti apakah mereka membutuhkan pembangunan sekolah TK, SD dan sebagainya dan sudah sesuai dengan pertumbuhan keluarga dan anak-anak mereka, serta meletakkan pembinaan dalam bercocok tanam dan sebagainya.64 Dengan kondisi demikian, kebijakan pemerataan sebaran dan ‘pengiriman’ penduduk ke wilayah-wilayah yang masih jarang ataupun kosong penduduknya dapat mencapai sasarannya, untuk pengamanan wilayah secara de facto, melalui langkah okupasi. Sebagai contoh, sejumlah 400 KK warga yang ditransmigrasikan ke wilayah-wilayah baru yang jarang atau kosong penduduknya di Kabupaten Kepulauan Rote Ndao itu telah menempati
wilayah baru seluas 180 ha, sebuah wilayah yang tidak kecil.65 Proyek transmigrasi di wilayah-wilayah pulau terluar dan strategis adalah salah satu jalan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk Kabupaten Kepulauan Rote Ndao yang telah dimekarkan, selain untuk tujuan dasar menciptakan desa, kelurahan dan kecamatan baru, khususnya di berbagai lokasi yang masih kosong. Melalui proyek transmigrasi, upaya meningkatkan dan mempercepat pembangunan daerah, meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), serta peningkatan peran penduduk dalam pembangunan dan penyerapan tenaga kerja, wilayah perbatasan di pulau-pulau terluar yang menjadi beranda Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dapat dilakukan. Jalan ini untuk memperkecil tingkat kesenjangan penduduk perbatasan yang tinggal di wilayah Indonesia dari negara tetangga terdekat, sehingga mereka tidak perlu tertarik untuk keluar, bermigrasi dan tinggal di negara lain, tetangga terdekat, baik secara legal maupun ilegal. Proyek transmigrasi di pulau-pulau terluar di wilayah perbatasan adalah tindak lanjut dari keinginan mewujudkan wilayah tersebut sebagai halaman depan. Kebijakan ini bukan diarahkan sebaliknya, yaitu membuat pulaupulau terluar sebagai halaman belakang, sehingga tetap terbelakang, karena kurang perhatian pemerintah. Melalui proyek transmigrasi dengan tujuan khusus ini, keutuhan wilayah dan kedaulatan teritorial dapat dijaga, dengan melakukan pembangunan yang lebih berkeadilan dan relatif merata secara nasional. 66 Proyek transmigrasi khusus di Kabupaten Kepulauan Rote Ndao akan membantu pengembangan wilayah itu sebagai sabuk pengaman (security belt) NKRI dari ancaman luar, terutama tetangga terdekat.67 Terciptanya kesejahteraan melalui 65
Dinas Transmigrasi Provinsi NTT, op.cit.
“Transmigrasi Percepat Pembangunan di Perbatasan,” Suara Pembaruan, 10 Desember 2013. 66
Dinas Transmigrasi Provinsi NTT, Data Bulanan P2K Trans Agustus 2012, (Kupang: Dinas Transmigrasi Provinsi NTT, 2012). 62
Wawancara dengan Kepala Bidang Pemberdayaan Kawasan Transmigrasi Provinsi NTT, Fransiskus Gabi Tola, 5 November 2012. 63
64
Ibid.
Lihat khususnya PP No. 62/2010 tentang Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil Terluar, yaitu pemanfaatan pertahanan dan keamanan, kesejahteraan masyarakat, dan pelestarian lingkungan. Contoh kasus yang pernah terjadi adalah Sipadan dan Ligitan, lihat kembali, “Hak Eksklusif Pengelolaan Pulau: Atur Investasi Asing Lewat UU Pesisir.” Neraca, 8 Januari 2013. 67
Masalah Krusial di Kabupaten Terluar Rote Ndao | Poltak Partogi Nainggolan | 73
proyek transmigrasi ini, jika dijalankan dengan tepat dan mencapai hasil optimal, termasuk di Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, yang merupakan batas paling selatan NKRI dan berbatasan dengan negara tetangga Australia, akan mendukung pendekatan keamanan atau teritorial (security approach), yang selama ini dijalankan aparat pertahanan-keamanan, dengan kekuatan utamanya Tentara Nasional Indonesia (TNI).68 Sebaliknya, absennya proyek semacam ini, atau jika gagal dalam implementasinya akan menyimpan bom waktu, berupa konflik-konflik horizontal dan vertikal di kemudian hari, seperti di Papua. Dengan kebijakan mengisi pulau-pulau tidak berpenduduk dengan penduduk Provinsi NTT dari pulau-pulau yang padat penduduknya melalui kebijakan transmigrasi diharapkan konflik-konflik lokal di masa depan akibat perbedaan etnik, agama, dan bahasa dapat dihindari. Belajar dari pengalaman di masa lalu dari kebijakan transmigrasi yang dilakukan di Kalimantan, Aceh dan Papua, pemindahan penduduk dari wilayah-wilayah sekitar Kabupaten Kepulauan Rote Ndao jauh lebih kondusif dan mendukung, selain dari sisi ekonomi bisa efisien (lihat Gambar 1.). Melalui proyek transmigrasi yang inovatif semacam ini, konflik-konflik kesukuan (tribalisme) dan agama (sektarianisme) yang selama ini sering terjadi di banyak tempat daerah tujuan transmigrasi di pulau-pulau yang kosong di Indonesia, dapat dicegah. Oleh karena itu, kebijakan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Rote Ndao sudah tepat, tetapi tetap perlu diamati dengan seksama arus kedatangan dan perpindahan manusia yang besar dari pulau-pulau, apalagi jika bersifat permanen, berkelanjutan, dan jangka panjang. Karena, akibat perbedaan kepentingan dan latar belakang, gesekan antara penduduk setempat (lokal) dengan pendatang mudah muncul, terutama jika proses asimilasi sulit dan tidak berlangsung secara alamiah. Demikian pula, jika wilayah-wilayah di Kabupaten Kepulauan Rote Ndao itu dimekarkan di kemudian hari, ancaman bentrokan antarwarga di perbatasan kecamatan, kelurahan dan desa di masa depan bisa saja Wawancara dengan Kepala Bidang Pemberdayaan Kawasan Transmigrasi Provinsi NTT, Fransiskus Gabi Tola, 5 November 2012.
terjadi setelah tingkat kepadatan penduduknya bertambah dan memperoleh kemajuan yang pesat, karena perebutan kekuasaan di antara mereka. Belakangan, muncul inisiatif Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Amir Syamsudin, yang melontarkan gagasan mengirimkan para narapidana dan memberdayakan mereka sebagai transmigran ke pulau-pulau terluar Indonesia, yang belum berpenghuni sama sekali.69 Gagasan ini sangat baik, karena para narapidana itu akan dikirim ke daerah yang terisolasi dan akan dipaksa untuk bekerja dan menyumbangkan tenaga dan pikiran mereka secara produktif. Sementara, di wilayah-wilayah yang masih kosong penduduknya, kehadiran mereka akan sangat dibutuhkan, dan jauh dari mengganggu kehidupan penduduk asli. Sehingga, aksi pendudukan atau lintas batas secara ilegal oleh aparat negara asing, dan klaim ilegal kepemilikan di wilayah terpencil dari (pengelolaan) pusat, dapat dicegah. Begitu pula, berbagai aksi pengelolaan secara ilegal atau pencurian sumber daya alam oleh pihak asing dapat segera diketahui, jika telah ada para transmigran yang tinggal dan hidup di wilayah-wilayah yang jauh dari kontrol pemerintah pusat dan lokal tersebut. Para narapidana itu akan berperan turut mengawal NKRI dari ancaman dan gangguan pihak asing.
Penutup Dari pengungkapan data-data di atas tampak bahwa Kabupaten Kepulauan Rote Ndao adalah pulau pesisir terluar Indonesia dengan kondisi yang sangat tertinggal. Infrastruktur menjadi masalah terbesar bagi kabupaten kepulauan yang sangat membatasi keterhubungan pulau tersebut dengan wilayah lainnya, terutama pemerintah Provinsi NTT. Janji pemerintah pusat untuk melakukan pengembangan pulau-pulau pesisir kecil dan terluar setiap tahun harus ditagih kemajuan pelaksanaannya. Oleh karena itu, pada tahun 2014, diharapkan sudah dapat dilihat, hasil pembangunan dari salah satu pulau pesisir terluar untuk Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, sebagai
68
Irfan Fitrat dan Gilang Akbar Prambadi,”Napi Diberdayakan di Pulau Terluar,” Republika, 26 Februari 2014. 69
74 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 59–77
bagian dari 92 pulau yang telah direncanakan selama ini. Adapun kelangkaan jumlah penduduk di pulau pesisir terluar di bagian paling selatan Indonesia yang berbatasan dengan Australia itu meningkatkan ancaman terhadap eksistensi dan masa depan Rote Ndao. Tidak heran, kehadiran dan aktivitas orang asing semakin menimbulkan ancaman terhadap kehidupan penduduk asli dan kedaulatan pengelolaan dan wilayah kabupaten kepulauan yang baru dimekarkan dan telah menjadi wilayah yang semakin terbuka itu. Sehingga logis, berbagai jenis ancaman keamanan, yang bersifat tradisional dan nontradisional, serta lintas batas, rentan dihadapi wilayah dan penduduknya, termasuk yang berdampak dari pengelolaan wilayah sekitarnya yang legal, tetapi telah menimbulkan dampak pencemaran atas lingkungan perairan Rote Ndao dewasa ini. Sebagai konsekuensinya, pembuatan UU pesisir yang mengatur soal pengelolaan pulau-pulau pesisir, terutama di wilayah terluar, oleh investasi dan tangan asing, baik secara individual maupun korporasi, perlu didukung, untuk dipercepat penyusunannya. Transmigrasi sebagai salah satu solusi yang tepat untuk mengisi pulau-pulau yang sampai sekarang masih kosong, tanpa penghuni, di kabupaten kepulauan pesisir terluar di Provinsi NTT tersebut, yang salah satunya dengan mendatangkan para narapidana untuk mendiami dan mengolah bagian-bagian pulau yang sangat terisolasi. Oleh karena itu, gagasan proyek transmigrasi khusus yang dimunculkan Menkumham Amir Syamsudin, di samping dengan pemindahan penduduk dari wilayah sekitar pulau di provinsi yang sama, yang padat penduduknya, perlu didukung, demi mempertahankan keutuhan atau integritas wilayah NKRI. Selanjutnya, kebijakan untuk meningkatkan pengadaan kapal-kapal patroli dan aktivitas patroli laut perlu didukung. Ini penting untuk segara dapat dapat direalisasikan, agar dapat merespons kian meningkatnya ancaman keamanan langsung, khususnya yang datang dari aparat keamanan laut asing, terutama negara tetangga, terhadap Kabupaten Kepulauan Rote Ndao. Upaya ini harus menjadi bagian dari
belanja atau perwujudan kekuatan esensial minimum (minimum essential forces) pertahanan dan keamanan nasional. Demikian pula dengan sikap para diplomat Kemlu Indonesia. Mereka diharapkan dapat lebih proaktif merespons perkembangan di lapangan, dengan melakukan kunjungan langsung ke pulaupulau terluar. Sehingga diharapkan, mereka lebih memiliki pengetahuan di lapangan, yang akan menjadi modal penting dalam berhadapan dengan negara tetangga Australia. Mereka tidak perlu menjadi inferior dan cepat mengalah. Hal ini penting demi peningkatan kapabalitas aparat pengawal negara dalam memperjuangkan kepentingan dan mempertahankan eksistensi Kabupaten Kepulauan Rote Ndao. Penduduk Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, terutama para nelayan tradisionalnya, diharapkan tetap dapat menjaga garis perbatasan laut Indonesia di wilayahnya di pulau terluar, yakni Pulau Pasir (Ashmore Reef), dengan peninggalan kuburan nenek moyang mereka dan kekayaan ikan di sekitar perairannya di sana, yang belakangan telah diklaim oleh Australia. Dalam kasus tumpahan minyak Montara yang telah mencemari perairan Kabupaten Kepulauan Rote Ndao dan merugikan para nelayan di sana, Pemerintah Indonesia (Jakarta) seharusnya mendukung gugatan rakyat Provinsi NTT terhadap Montara, perusahaan asal Australia, untuk mendapatkan ganti kerugian yang layak. Tanpa ini, kewenangan dan kedaulatan wilayah Indonesia atas Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, atau integritas wilayah NKRI secara utuh, dianggap tidak ada, karena tidak dihormati secara realistis di lapangan oleh pihak asing.
Daftar Pustaka Buku Buntoro, Kresno. 2012. Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI): Prospek dan Kendala. Jakarta: Seskoal. Fox, James J. 1977. Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia Ecological Change in Eastern Indonesia. Harvard: Harvard University Press.
Masalah Krusial di Kabupaten Terluar Rote Ndao | Poltak Partogi Nainggolan | 75
Dewan Kelautan Indonesia. 2009. Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Kelautan. Jakarta: Dewan Kelautan Indonesia. Nainggolan, Poltak Partogi. 2009. Masalah Penyelundupan dan Perdagangan Orang. Jakarta: P3DI Setjen DPR. __________.2004. Batas Wilayah dan Situasi Perbatasan Indonesia: Ancaman terhadap Integritas Teritorial. Jakarta: Tiga Utama. BPS Kabupaten Kepulauan Rote Ndao. 2012. Rote Ndao dalam Angka. 2012. Kupang: BPS Kabupaten Kepulauan Rote Ndao. Samantho, Ahmad Y, Oman Abdurahman et. al. 2011. Peradaban Atlantis Nusantara. Jakarta: Ufuk Press.
Wawancara dengan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT, Aba Maulaka, 22 April 2014. Wawancara dengan Sekretaris Badan Pengelola Perbatasan Provinsi NTT, I Gusti Lanang Ardika, 22 April 2014. Wawancara dengan Danlantamal VII Laksmana Pertama (Pelaut) Deddy Muhibah Pribadi, S.E., MPA, Wadanlantamal Kol. Laut (Pelaut) Lukman H, dan Asisten Operasi, Kol. Sunarno Adi, 25 April 2014, di Kupang, Provinsi NTT. FGD P3DI dengan Universitas Nusa Cendana mengenai “Keamanan Maritim di Kawasan,” 26 April 2014, di Kupang, Provinsi NTT.
Surat Kabar dan Website Laporan dan Makalah Brosur No. 30 Tahun 1979, Direktorat Agraria Propinsi Dati l NT; SK Bupati Rote Ndao No. 97/KEP/HK/2010 Tanggal 6 Mei 2010 tentang Penetapan Nama-nama Pulau di Kabupaten Kepulauan Rote Ndao Tahun 2010. Dinas Transmigrasi Provinsi NTT. 2012. Data Bulanan P2K Trans Agustus 2012. Kupang: Dinas Transmigrasi Provinsi NTT. Dinas Pendidikan Provinsi NTT. 2012. Data Kelulusan SMP/MTs 2012. Kupang: Dinas Pendidikan Provinsi NTT. Dinas Pendidikan Provinsi NTT. 2012. Data Perbandingan Persentase Kelulusan SMA/ MA, SMK dan SMP/MTS 2010/2012. Kupang: Dinas Pendidikan Provinsi NTT. BPS Kabupaten Kepulauan Rote Ndao. 2012. Registrasi Penduduk 2011. Kupang: BPS Kabupaten Kepulauan Rote Ndao. Wawancara dengan Danlantamal VII, Laksmana Pertama (Pelaut) Deddy Muhibah Pribadi,S.E.,MPA,Wadanlantamal Kol. Laut (Pelaut) Lukman H, dan Asisten Operasi, Kol. Sunarno Adi, 25 April 2014, di Kupang, Provinsi NTT. Wawancara dengan Bagian Program Data dan Evaluasi Dinas Pendidikan Provinsi NTT, Flora Triana dan Goris Babo, 5 November 2012. Wawancara dengan Kepala Bidang Kemitraan Dinas Pariwisata Provinsi NTT, Johny Rohi, 5 November 2012. Wawancara dengan Kepala Bidang Promosi Dinas Pariwisata Provinsi NTT, Bonaventura Rumat, 5 November 2012. Wawancara dengan Kepala Bidang Pemberdayaan Kawasan Transmigrasi Provinsi NTT, Fransiskus Gabi Tola, 5 November 2012.
“ASDP Mewaspadai Perairan Selatan NTT,” Kompas, 19 Pebruari 2014. “Australia Harus Bayar ganti Rugi Dampak Pencemaran Montara,” Suara Pembaruan, 19 Februari 2014. “Australia Usir 20 Pencari Suaka,”Media Indonesia, 7 Mei 2014. “Bahan Pokok Menipis: Sudah Tiga Minggu Pasokan Barang ke Kepulauan Terhenti,” Kompas, 28 Januari 2014. “Bantuan Pendidikan BNI,” Koran Jakarta, 3 November 2012. Dika Dania Kardi,”Australia kembali Lecehkan RI,” Media Indonesia, 8 Januari 2014. “Empat Pulau di NTT Rawan Dicaplok Negara Lain,” Media Indonesia, 25 Februari 2014. Fitrat, Irfan dan Gilang Akbar Prambadi,”Napi Diberdayakan di Pulau Terluar,” Republika, 26 Februari 2014. “Hak Eksklusif Pengelolaan Pulau: Atur Investasi Asing Lewat UU Pesisir.” Neraca, 8 Januari 2013. “Imigran Gelap akan Dilokalisasi,” Kompas, 12 Februari 2014. “Kapal Australia Giring Imigran di Perairan Indonesia Tanpa Izin, Suara Pembaruan, 7 Januari 2014. Kustiasih, Rini.”Ombak Tinggi Rote di Ujung Selatan Negeri,” Kompas, 24 Desember 2013. “NTT Kewalahan Tangani Imigran,” Koran Tempo, 10 Februari 2014. “On Australia’s boat people’s policy,” The Jakarta Post, January 10, 2014. “Pulau Terluar Masih Tertinggal,” Kompas, 19 Agustus 2013. “Panglima TNI Fasilitasi Kapal Perang Australia,” Media Indonesia, 9 Januari 2014.
76 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 59–77
Parlina, Ina & Margareth S. Aritonang,”TNI chief denies backing Oz policy,” The Jakarta Post, 10 Januari 2014.“Pencemaran Laut Timor: Pemerintah agar Dukung Langkah Masyarakat,” Suara Pembaruan, 26 Februari 2014. “Pencemaran Lingkungan: Petaka Montara, di mana Kepedulian Negara, Kompas, 6 April 2014. “Perairan NTT Butuh Kapal Perang,” Media Indonesia, 13 Januari 2014. “Pulau Batek Terancam Diklaim Timor Leste”. Lintas NTT. 26 Oktober 2013. http://www.lintasntt. com/pulau-batek-terancam-diklaim-timorleste/.
Santi, Natalia, ”Australia Akui Langgar Perairan Indonesia,” Koran Tempo, 18 Januari 2014. Seo Yohanes, dan Ali Akhmad,”Pulau Batek Terancam Jadi Milik Timor Leste,” Koran Tempo, 26 Oktober 2013. Sarong, Frans,”Beranda Depan yang Härus Didandani, Kompas, 8 Maret 2014. “Transmigrasi Percepat Pembangunan di Perbätasan,”Suara Pembaruan, 10 Desember 2013.
.
Masalah Krusial di Kabupaten Terluar Rote Ndao | Poltak Partogi Nainggolan | 77
78 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 79–108
KRISIS UKRAINA DAN DAMPAKNYA TERHADAP TATANAN POLITIK GLOBAL DAN REGIONAL UKRAINE’S CRISIS AND ITS IMPACT TOWARDS GLOBAL AND REGIONAL POLITICAL SYSTEM Frassminggi Kamasa1 Staf Direktorat Jenderal Amerika dan Eropa, Kementerian Luar Negeri RI Jalan Pejambon No. 6, Jakarta Pusat, 10110 E-mail:
[email protected] Diterima: 20 Februari 2014; direvisi: 25 Mei 2014; disetujui: 25 Juni 2014 Abstract Political crisis in Ukraine is a recent international issue. This article is going to discuss Ukraine’s crisis and its impact towards global and regional political system. Its focus is on analyzing macro and micro actors, issues, and conflict dimensions in Ukraine’s political crisis. Different from other articles, this article reviews that the Ukrainian crisis demonstrated a new strategic environment in Europe and an effort to maintain global system from an antisystemic threat. In addition, this article also discusses whether right to self-determination in form of referendum can be used or not to solve the crisis in Ukraine whereas in other hand, the state sovereignity is an important thing to be held. Furthermore, this article explains the lessons point for Indonesia from Krimea referendum. Lastly, this article finds that the result of Ukraine’s crisis not only gives the impact to Ukraine’s future but also as the starting point to the parity towards global and regional political system. The implication from what has been mentioned above is whether the West and Russia restraint to interfere or vice versa. Keywords : Ukraine’s crisis, global and regional political system, geopolitics, international society/system, referendum, right to self-determination. Abstrak Krisis politik di Ukraina adalah isu internasional aktual yang terjadi saat ini. Artikel ini akan membahas krisis Ukraina dan dampaknya terhadap tatanan politik global dan regional. Secara khusus, artikel ini akan fokus menganalisa secara makro dan mikro aktor, isu, dan dimensi konflik krisis politik di Ukraina. Berbeda dengan studi lainnya, artikel ini membahas bahwa krisis Ukraina membawa pada suatu perubahan lingkungan strategis yang baru di Eropa dan usaha untuk mempertahankan tatanan global yang ada saat ini dari ancaman antisistemik. Sebagai tambahan, artikel ini akan membahas sejauh mana hak untuk menentukan nasib sendiri berupa referendum dapat digunakan untuk menyelesaikan krisis, sementara di sisi lain kedaulatan negara merupakan hal yang penting yang harus dijaga. Selanjutnya artikel ini juga membahas pelajaran referendum Krimea bagi Indonesia. Terakhir, artikel ini menemukan bahwa hasil krisis Ukraina tidak hanya berpengaruh bagi masa depan Ukraina tetapi juga awal/ dasar pada perimbangan baru dalam tatanan politik global dan regional. Implikasinya, hal itu menimbulkan dua kemungkinan apakah Barat dan Rusia menahan diri untuk tidak saling mengganggu atau sebaliknya. Kata Kunci: krisis Ukraina, tatanan politik global dan regional, geopolitik, sistem/masyarakat internasional, referendum, hak untuk menentukan nasib sendiri.
Artikel ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan posisi institusi di mana penulis bekerja (this article only represents the author’s personal opinions). 1
Krisis Ukraina dan Dampaknya ... | Frassminggi Kamasa | 79
Pendahuluan Ukraina saat ini sedang berada dalam keadaan transisi, keadaan yang membingungkan baik bagi rakyat Ukraina yang pro-Barat, yang pro-Rusia, maupun yang netral. Mau dibawa ke mana rakyat Ukraina dengan perubahan politik yang terjadi saat ini?. Rakyat Ukraina yang pro-Barat mempercayai bahwa ‘takdir’ Ukraina adalah dengan Barat dan untuk itu seharusnya Ukraina bergabung total dalam hal aliansi politik, ekonomi, dan militer dengan negara-negara Barat yang umumnya tergabung dalam Uni Eropa (UE), Amerika Serikat (AS), dan Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Rakyat Ukraina yang pro-Rusia berbeda. Mereka memiliki pandangan bahwa Ukraina adalah bagian dari Rusia karena ikatan agama, persaudaraan, dan historis. Rakyat Ukraina yang pertengahan ingin agar Ukraina memiliki hubungan baik dengan Barat dan Rusia dalam keadaan yang sejajar dan saling menguntungkan. Dengan krisis yang terjadi hingga saat ini, akankah rakyat Ukraina dapat bersatu padu untuk melawan kekuatan-kekuatan yang memecah belah mereka menjadi seperti sekarang?. Krisis politik di Ukraina adalah cerminan realitas hubungan internasional saat ini. Artikel ini berupaya untuk memahami cermin itu dan arah pergerakan sejarah saat ini untuk dapat menembus realitas yang ada. Artikel ini akan menyajikan dimensi geopolitik dan sistem/ masyarakat internasional dalam krisis politik di Ukraina dan dampaknya terhadap tatanan politik global dan regional. Pertanyaan dari artikel ini adalah: bagaimana krisis politik di Ukraina terjadi dan apa dampaknya terhadap tatanan politik global dan regional?. Apakah krisis politik di Ukraina yang pada realitasnya adalah ‘revolusi berwarna’,2 Istilah revolusi berwarna diasosiasikan dari rangkaian gerakan politk di tahun 1990-an dan 2000-an yang terjadi di beberapa negara Eropa Timur dan eks Republik Soviet. Revolusi berwarna dikenal juga sebagai perang proksi atau perang asimetris. Gerakan ini menggunakan ciri/label sebuah benda atau mengenakan tanda/simbol khas yang berwarna, seperti misalnya pita oranye yang digunakan di Ukraina tahun 2004. Gerakan ini bercirikan timbulnya kebangkitan (uprisings) masyarakat luas secara damai maupun dengan kekerasan untuk menjatuhkan rezim anti-sistemik yang berkuasa dan menggantikannya dengan rezim yang seolah-olah populis dan pro-demokrasi. Di permukaan, hal itu tampaknya merupakan kejadian atau gerakan politik yang asli. Realitasnya, hal itu 2
seperti yang terjadi di beberapa negara Arab, Asia, dan Amerika Latin, menjadi sebuah program masyarakat/sistem internasional yang harus terjadi untuk menyongsong kedatangan satu tatanan global yang baru?. Dapatkah suatu masyarakat internasional membatalkan produk kebijakan yang ditempuh secara demokratis oleh suatu negara?. Andaikan atas tekanan dan bantuan AS, Rusia, NATO, dan UE Pemerintah Ukraina harus bergabung dengan UE, NATO atau Rusia, apakah AS, Rusia, NATO, dan UE bertanggung jawab atas kerusuhan sosial dan politik yang timbul akibat kebijakan tersebut?. Sejauh mana hak untuk menentukan nasib sendiri berupa referendum dapat digunakan untuk menyelesaikan krisis sementara di sisi lain kedaulatan negara merupakan hal penting yang harus dijaga?. Pertanyaan-pertanyaan di atas sesungguhnya menggugat urgensi demokrasi dalam tatanan politik dan ekonomi global saat ini. Adalah suatu ironi besar tatkala apa yang dipercaya sebagai prinsip-prinsip liberal yang dianut oleh masyarakat internasional dan mendominasi diskursus politik dan ekonomi internasional justru menghasilkan dan melestarikan sistem dan rezim yang tidak demokratis, seperti yang terlihat dalam revolusi Maidan di Ukraina. Hal itu karena terdapat pertarungan geostrategi antara kekuatan-kekuatan besar dunia (major powers) di Ukraina yang dimungkinkan dengan adanya berbagai permasalahan di dalam dan di luar Ukraina. Pertarungan geostrategi antar major powers di Ukraina sebenarnya dimulai di luar Ukraina adalah revolusi di suatu negara yang didalangi oleh pihak asing atau negara lain di mana revolusi itu tampak dilakukan oleh rakyat di negara itu sendiri. Teknik ini diperkenalkan oleh RAND Corporations, lembaga think-thank militer strategis berpengaruh AS, sebagai swarming (berkerumun) karena massa terlihat terpencar tetapi sesungguhnya saling terhubung satu sama lain, seperti swarm of bees (segerombolan lebah). Teknik ini lahir sebagai strategi promosi demokrasi yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintah yang melawan hegemoni Judeo-Anglo-American. Lihat di John Arquilla & David Ronfeldt, Swarming & The Future of Conflict, (California: RAND, 2000), hlm. 2-7, 43-55; John Arquilla & David Ronfeldt, Cyberwar is Coming!, (California: RAND, 1993), hlm. 23; Bureau of Political-Military Affairs, U.S. Government Counterinsurgency Guide, (Washington: Bureau of Political Military Affairs, 2009), hlm. 7; F. William Engdahl, Full Spectrum of Dominance, (Wiesbaden: edition.engdahl, 2009), hlm. 31.
80 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 79–108
sejak AS, NATO, dan UE mendorong perubahan rezim melalui revolusi berwarna di Georgia, Azerbaijan, dan beberapa negara di kawasan Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS).3 Sebagai eks wilayah Uni Soviet, Rusia memandang kawasan Asia Tengah dan Kaukasus sebagai strategic objective dan inti dari kebijakan luar negerinya.4
of influence) yang tumpah tindih, pengaruh hegemoni yang tidak sama, hierarki yang bervariasi, adanya interaksi antara komponen (internal) nasional dan pengaruh transnasional, interdependensi, dan self-containment. Di sini negara di kawasan memainkan peran yang berbeda menurut interaksi ruang dan ekonomi dengan major powers dan tetangganya.
Dalam rangka memaparkan subjek dimensi geopolitik dalam krisis politik di Ukraina dan dampaknya terhadap tatanan politik-ekonomi global dan regional sekaligus menjawab beberapa pertanyaan tersebut di atas, artikel ini akan menggunakan teori geopolitik dan sistem/ masyarakat internasional.
Sistem geopolitik terdiri dari (kategori) ruang yang strukturnya hierarkis, yaitu lingkup geostrategis maritim dan kontinental. Lingkup merupakan arena tempat dan gerakan strategis. Di bawah lingkup adalah wilayah-wilayah geopolitik. Wilayah dibentuk oleh persentuhan dan interaksi politis, budaya, militer, dan ekonomi. Wilayah tingkat kedua ini merupakan suatu sabuk pemisah (shatterbelt) yang menjadi wilayah persaingan kedua lingkup. Dengan kata lain, shatterbelt adalah kawasan strategis yang secara politis terfragmentasi menjadi wilayah persaingan antara lingkup maritim dan kontinental.6
Konsep I: Geopolitik Geopolitik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara faktor-faktor geografi, strategi, dan politik suatu negara.5 Konsep geopolitik juga menjelaskan permasalahan strategis dalam konteks pertarungan kekuatan (struggle for power) dalam struktur sistem internasional. Geopolitik kekinian berupaya meningkatkan pemahaman sifat holistik dan dinamis proses geopolitik di mana pola ruang tidak lagi dibatasi dalam batas nasional tetapi juga strategi yang mengikutinya di bidang politik, ekonomi, dan pertahanan dan keamanan. Geostrategi merupakan cabang dari geopolitik yang berurusan dengan strategi. Geostrategi adalah perumusan strategi nasional dengan memperhitungkan kondisi dan konstelasi geografi sebagai faktor utamanya serta mempertimbangkan kondisi budaya, penduduk, Sumber Daya Alam (SDA), lingkungan regional maupun internasional.
Ukraina sebagai shatterbelt atau juga diacu sebagai crush zone merupakan wilayah potensi instabilitas dalam pertentangan antara major powers yang bertarung di Ukraina saat ini. Dalam definisi operasional, Ukraina sebagai shatterbelt adalah kawasan strategis yang secara politis terfragmentasi menjadi wilayah persaingan antara AS, UE dan NATO berhadapan dengan Rusia. Dan masih berlanjutnya konflik di Ukraina timur saat ini menyiratkan adanya tingkat konflik dan fragmentasi yang tinggi di wilayah tersebut.
Sistem dunia yang makin rumit dan terbuka mengakibatkan lingkungan pengaruh (sphere Anthony Cordesman, Russia and the “Color Revolution”. (Washington: CSIS), hlm. 13-19, hlm. 25-27; Jeanne Wilson, Colour Revolutions: The View From Moscow and Beijing, (Cambridge: Centre for East European Language Based on Area Studies, 2014), hlm. 1-3. 3
Vladimir Putin, “Russia in a Changing World: Stable Priorities and New Opportunities”, President of Russia Official Web Portal, http://eng.kremlin.ru/news/4145, diakses pada tanggal 8 Mei 2014. 4
Yulius Hermawan (Ed), Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hlm. 185. 5
6
Ibid., hlm. 186.
Krisis Ukraina dan Dampaknya ... | Frassminggi Kamasa | 81
Sumber: http://si.wsj.net/public/resources/images/P1-BP367A_ UKRAI_G_20140306181829.jpg, diakses pada tanggal 8 Mei 2014. Gambar 1. Fragmentasi Barat dan Timur Ukraina (populasi etnik Rusia di Ukraina menurut sensus 2001)
Selain wilayah yang berpotensi mempunyai konflik yang penuh akibat pertentangan antara major powers, Ukraina juga merupakan playing field yang seimbang dalam kerangka akses pada dua atau lebih kekuatan yang bersaing dan beroperasi dari lingkup geostrategis yang berbeda. Ukraina barat ditempati oleh masyarakat pro-Barat sementara Ukraina timur ditempati oleh masyarakat pro-Rusia seperti terlihat pada Gambar 1. Dalam wilayah yang secara internal terfragmentasi ini, kekuatan besar eksternal (Barat) menjadi suatu intrusive power, sementara kekuatan besar regional (Rusia) menjadi kekuatan penyeimbang dalam (hubungan) perimbangan kekuatan.
Konsep II: Sistem/Masyarakat Internasional Bull mendefinisikan sistem internasional terbentuk “ketika dua atau lebih negara mempunyai kontak yang cukup di antara mereka dan mempu-
nyai dampak yang cukup di antara mereka dalam berbagai keputusan yang menyebabkan mereka berperilaku sebagai bagian dari keseluruhan.”7 Dalam pengertian tersebut, Barat adalah sebuah sistem internasional karena terdapat kontak yang cukup di antara mereka yang berdampak satu dengan yang lainnya sehingga menyebabkan mereka berperilaku sistemik sebagai bagian dari keseluruhan. Eksistensi interaksi sistemik yang signifikan antara negara-negara Barat diperlihatkan dalam organisasi regional dan multilateral utama yaitu UE, NATO, Konsensus Washington, dan G7. Menurut Bull, masyarakat internasional terwujud “ketika kelompok negara-negara, sadar akan beberapa kepentingan-kepentingan bersama dan nilai-nilai bersama, membentuk masyarakat dalam pengertian bahwa mereka sadar untuk terikat dalam seperangkat aturan-aturan bersama Hedley Bull, The Anarchical Society. A Study of Order in World Politics, (New York: Columbia University Press, 1977), hlm. 9-10. 7
82 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 79–108
dalam hubungan mereka satu dengan yang lainnya dan berbagi dalam mengerjakan institusi-institusi bersama.” 8 Integrasi dalam kerangka teori demekian kemudian dapat diterjemahkan sebagai kemampuan negara-negara untuk mengakui dan taat pada aturan-aturan umum dalam berinteraksi dan berbagi tanggung jawab demi terlaksananya institusi-institusi yang mereka bangun secara bersama-sama. Dengan demikian, tindakan Rusia yang menganeksasi Krimea, menurut Barat, atau mereunifikasi Krimea menurut Rusia, merupakan aksi anti-sistemik terhadap sistem/masyarakat internasional. Aksi anti-sistemik adalah reaksi terhadap kekuatan-kekuatan pro-sistemik di bawah hegemoni AS atau reaksi terhadap korupsi, arogansi, dan penindasan yang dilakukan oleh Barat.9 Untuk itu, Rusia harus diisolasi, diberikan sanksi, dikeluarkan dari kelompok G8, dan dianggap sebagai musuh bersama kekuatankekuatan pro-sistemik. 10 Sementara untuk Ukraina, sistem/masyarakat internasional segera bekerja sama untuk membantu Ukraina keluar dari pengaruh Rusia dengan skema Konsensus Washington. Konsensus Washington adalah model sistem/masyarakat internasional yang pilar utamanya terdiri dari Bank Dunia, IMF, dan Kementerian Keuangan AS. Menurut Hadar, dalam Konsensus Washington, IMF dan Bank Dunia gencar mempromosikan pengurangan peran pemerintah, mendorong liberalisasi pasar, penghapusan subsidi, dan penjualan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang menurut banyak pihak telah turut menjerumuskan perekonomian global ke dalam ketimpangan, yang berujung pada krisis yang sulit diatasi.11 8
Ibid, hlm. 13.
Giovanni Arrighi, “Hegemony and Anti-Systemic Movements”, Makalah dalam International Seminar REGGEN (Global Economic Network and Sustainable Development) 2003, Globalization Constraints and Regionalization Processes, Rio de Janeiro, 18-22 Agustus 2003, hlm. 1-3. 9
Robert Burns, “NATO official: Russia now an adversary”, http://news.yahoo.com/nato-official-russia-now-adversary150211090--politics.html, diakses pada tanggal 2 Mei 2014. 10
Ivan Hadar, “Warisan Utang 2014”, Koran Sindo, http:// nasional.sindonews.com/read/866412/18/warisan-utang-2014, diakses pada tanggal 24 Mei 2014. 11
Untuk mengatasi krisis Ukraina, sistem/ masyarakat internasional mengguyur Ukraina dengan pinjaman bersarat tanpa mempertimbangkan akar penyebab krisis dan solusi damai bagi krisis yang masih berlangsung hingga tulisan ini selesai dibuat (pada semester kedua tahun 2014). Menurut Yudiatmaja, “secara teoritik, negara yang stabil pembiayaan pembangunannya sebagian besar bersumber dari sumber daya dalam negeri, bukan dari bantuan asing. Dari perspektif ekonomi, pembiayaan pembangunan yang bertumpu pada pinjaman atau luar negeri memiliki nilai positif karena tidak membebani masyarakat dengan pajak. Akan tetapi, jika tidak dilakukan dengan hati-hati, bisa menjadi bumerang bagi negara pengutang.”12 Sebagaimana diketahui bersama, kreditor internasional mempunyai track record yang buruk dalam menangani ketimpangan global, termasuk dalam jebakan utang bagi negara-negara berkembang dan miskin. Per Februari 2014, Ukraina adalah negara termiskin kedua di Eropa dengan utang sebesar $73 milyar atau sekitar 41,47% dari PDB-nya.13 Per Maret 2014, utang Ukraina telah mencapai $140 milyar dengan hutang sebesar $16 milyar akan jatuh tempo pada akhir tahun 2015. Di akhir tahun 2014, rasio utang Ukraina terhadap PDB telah mencapai 71,21%, inflasi sebesar 28,5%, mata uang Ukraina susut sebesar 50%, dan ekonominya berkontraksi sebesar 7,5%. Setelah rezim Yanukovych jatuh, kreditor internasional kemudian berdatangan untuk membantu Ukraina. Hingga Juli 2014, komitmen sistem/masyarakat internasional berupa bantuan ekonomi terhadap Ukraina datang dari IMF sebesar $18 milyar, UE sebesar $15 milyar, Bank Eropa untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (EBRD) sebesar $6,9 milyar, Bank Dunia sebesar $3 milyar, Jepang sebesar $1,1 milyar, AS sebesar $1 milyar, dan Kanada sebesar $220 juta. Dengan bantuan yang berjumlah total sekitar $72 milyar tersebut maka Ukraina diharapkan dapat membangkitkan Wahyu Eko Yudiatmaja, “Jebakan Utang Luar Negeri Bagi Beban Perekonomian dan Pembanguan Indonesia”, Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol. 3, No.1, Januari-Juni 2012, hlm. 453. 12
Nidhi Sinha, “Ukraine seeks way between EU and Russia,” http://www.globaltimes.cn/content/842988.shtml, diakses pada tanggal 20 Mei 2014. 13
Krisis Ukraina dan Dampaknya ... | Frassminggi Kamasa | 83
ekonominya. Tetapi banyak studi menemukan bahwa utang dalam sistem ekonomi kapitalis pasar saat ini menyebabkan ketidakmandirian, hilangnya kemerdekaan, dan memperdalam krisis yang ada.14
Analisa Makro Sebagaimana diketahui pascaruntuhnya Komunisme di Eropa Tengah dan Timur (ETT) serta likuidasi Uni Soviet di tahun 1990 maka kawasan ETT dan eks-Republik Soviet mengalami transformasi menuju demokrasi liberal. Banyak negara yang mengalami transformasi secara cepat, banyak yang lambat, dan ada yang harus ditekan sedemikian rupa untuk menempuh transformasi (demokratisasi) tersebut. Dalam studi kajian wilayah ETT kontemporer, isu Ukraina, Kosovo, demokratisasi dan perluasan UE serta NATO merupakan isu kontemporer yang menonjol. Selain itu, pergolakan etnonasionalisme pascalikuidasi Soviet dan terpecahnya dua kubu (pro-Barat dan pro-Rusia) di dalam Negara-negara Persemakmuran Independen (CIS), dan negaranegara eks-Pakta Warsawa merupakan isu kontemporer yang juga mengemuka. Perluasan tandem UE-NATO dan intervensi Konsensus Washington ke ETT dapat dipahami sebagai sebuah program transformasi untuk menyongsong kedatangan satu tatanan global yang baru.15 Sebuah tatanan global yang baru karena transformasi tersebut sebagian mencerminkan realisasi dari impian supranasionalisme dan dari sini kemudian UE dan NATO, sebagai sebuah komunitas nilai lahir. Sebagian lain mencerminkan dijunjungnya prinsip globalisme tebal yang mengaburkan batas kedaulatan suatu negara. Keduanya bersumber pada dominasi sistem/masyarakat internasional Trans-Atlantik Frassminggi Kamasa, “Global Governance in a Globalizing World: Do Globalization and Global Governance Erode National Sovereignty?”, Opinio Juris, Vol. 14, 2014, hlm. 71; Jeffrey Frieden, Global Capitalism: Its Falls and Rise in the Twentieth Century, (New York: W.W Norton & Company, 2006), hlm. 469; John Perkins, Hoodwinked, (New York: Broadway Books, 2009), hlm. 101, 134; John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man, (San Fransisco: BerrettKoehler, 2004), hlm. 35. 14
Pavel Kubicek, “The European Union and democratization in Ukraine”, Communist and Post-Communist Studies 38, 2005, hlm. 272-274. 15
(Barat atau lebih tepatnya aliansi Judeo-AngloAmerica) saat ini dalam struktur unipolar dengan kemampuan strategis ekonomi dan militer yang dapat diproyeksikan ke seluruh dunia. 16 Jika memang demikian siapa yang ingin memerintah dunia sebagai pemimpin dari satu pemerintahan global tersebut?. Adalah hal misterius, membingungkan, dan sulit untuk dijelaskan secara rasional mengenai hubungan antara Inggris dan AS, Inggris dengan Israel, dan AS dengan Israel. Ketiganya merupakan aktor (negara) utama yang menggerakkan sistem/masyarakat internasional saat ini. Inggris membina AS dan Israel, AS kemudian menggantikan Inggris dalam menjadi negara adikuasa, lalu AS membantu dan mengamankan Israel tanpa reserve untuk menjadi negara adikuasa dan kini Israel bersiap menggantikan AS sebagai negara adikuasa.17 Persis seperti Pax Americana menggantikan Pax Britanica, kini tampaknya Pax Judaica hendak menggantikan Pax Americana. Menurut teori transisi kekuasaan dari A.F.K. Organski, Pax Judaica merupakan salah satu kandidat kuat pengganti Pax Americana.18 Hal itu karena Israel mempunyai ekonomi yang kuat, keunggulan teknologi, kekuatan militer, dan hubungan yang kuat dengan AS.19 Tetapi sebelum hal itu terwujud terdapat ancaman geopolitik dari Rusia. Rezim Zionis Israel mengetahui bahwa ancaman baginya Zbigniew Brzezinski, The Grand Chessboard: American Primacy and Its Geostrategic Imperatives, (Washington DC: Basic Books, 1997), hlm. 49; William Engdahl, AngloAmerican Oil Politics and the New World Order, (London: Pluto Press, 2004), hlm. 135-137; Michel Chossudovsky, War and Globalisation, (Global Outlook: Ottawa, 2002), hlm. 117. 16
John Mearsheimer & Stephen Walt, Dahsyatnya Lobi Israel, (Jakarta: Gramedia, 2010), hlm. 31-40. 17
A.F.K. Organski & Jack Kugler, The War Ledger, (Chicago: the University of Chicago Press, 1980), hlm. 23; Ronald L. Tammen, dkk, Power Transitions: Strategies for the 21st Century, (New York: Chatham House Publishers, 2000), hlm. 68, 80. 18
Di tahun 2010, menurut Anthony Cordesman, Israel mempunyai 375-500 alat peledak nuklir canggih. Lihat Anthony Cordesman, dkk, The Arab Israeli Military Balance, Conventional Realities and Assymetric Challanges, (Washington: CSIS), hlm. 52; Fareed Zakaria, “Israel has become Mideast superpower,” Toronto Star, http://www.thestar. com/opinion/editorialopinion/2012/11/22/israel_has_become_ mideast_superpower.html, diakses pada tanggal 20 Mei 2014. 19
84 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 79–108
di masa depan akan datang dari Rusia karena Rusia atau Pax Ortodoksica (Kristen Ortodoks) bukanlah bagian dari aliansi Judeo-AngloAmerica.20 Oleh karena itu, Krimea, tempat ditambatkannya Armada Laut Hitam Rusia yang bertenaga nuklir berada, tidak boleh jatuh ke tangan Rusia. Hal itu karena Krimea merupakan satu-satunya akses Angkatan Laut (AL) Rusia ke Laut Mediterania. Inilah salah satu alasan mengapa Ukraina, khususnya Krimea yang terletak di Laut Hitam dan mempunyai garis lurus dengan Selat Bosphorus harus dijauhkan dari pengaruh Rusia.
memperbaiki struktur politik-ekonomi global yang timpang, menciptakan tatanan dunia yang multipolar, dan melawan hegemoni AS. Kelima negara ini mempunyai kapasitas ekonomi yang kuat untuk menciptakan alternatif dari sistem moneter petro-dollar.21 Dan sejak krisis Ukraina muncul, Rusia terlihat aktif memimpin inisiatif itu. Apabila hal itu berhasil maka konsekuensi logisnya hal itu akan mengancam dominasi Barat atas tatanan politik-ekonomi internasional saat ini. Dengan demikian, provokasi Barat di Ukraina dapat dilihat sebagai cara untuk mempertahankan sistem moneter petro-dollar.
Sumber: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/5/52/Black_Sea_map.png, diakses pada tanggal 20 Mei 2014. Gambar 2. Posisi Strategis Krimea dan Laut Hitam
Sebagai tambahan dari masalah armada laut Rusia di Krimea, terdapat ancaman baru yang datang dari BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) yang mencoba untuk Manfred Gerstenfeld, “Why Israel should monitor the Ukraine conflict closely” The Jerusalem Post. http://www.jpost.com/ Opinion/Op-Ed-Contributors/Why-Israel-should-monitorthe-Ukraine-conflict-closely-352559, diakses pada tanggal 20 Mei 2014; 20
Lucy Westcott, “BRICS Conference Plots a Challange to Western Economic Domination” Newsweek, http://www. newsweek.com/brics-conference-plots-challenge-westerneconomic-domination-259093, diakses pada tanggal 25 September 2014. Sistem moneter petro-dollar intinya adalah suplai minyak hanya dapat dibeli dengan dollar AS. Untuk penjelasan lebih lanjut dapat dibaca pada Frassminggi Kamasa, “Dari Bretton Woods ke Petro-Dollar: Analisis dan Evaluasi Kritis Sistem Moneter Internasional”, Jurnal Global Strategis, Vol. 8, No. 2, September 2014, hlm. 233-254. 21
Krisis Ukraina dan Dampaknya ... | Frassminggi Kamasa | 85
Sementara bagi Rusia, munculnya rezim anti-Rusia di Kyiv membahayakan kepentingan strategisnya di Ukraina, khususnya di Krimea dan Ukraina Timur, kerawanan di sekitar perbatasan, dan ancaman bagi etnis Rusia yang ada di Ukraina. Dan apabila Ukraina bergabung ke UE dan NATO maka itu merupakan ancaman strategis utama bagi ketahanan nasional (eksistensi) Rusia, khususnya kompleks industri militer Rusia di sepanjang perbatasan Ukraina sebagai faktor penghalau TAHG (tantangan, ancaman, hambatan, dan ganguan) yang mungkin timbul. Selain tujuan geopolitik dan ekonomi strategis tersebut, Barat juga mempunyai tujuan ekonomi praktis yaitu: memutus integrasi Ukraina dengan Uni Pabean Eurasia (Eurasian Customs Union) dan Masyarakat Ekonomi Eurasia (Eurasian Economic Community); menghambat hubungan komersial Ukraina dengan Rusia selaku mitra dagang utamanya; membuka akses pasar bagi produk Eropa; memperkuat peran Eropa menghadapi diplomasi energi Rusia; dan mendapatkan akses Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) Ukraina. Tujuan tersebut terwujud, secara eksplisit dan implisit, dalam agenda rezim transisi Kyiv dan pemerintahan pascapemilu 25 Mei 2014. Hal itu membuat Ukraina nampaknya menjadi pelaku sekaligus korban konsekuensi geopolitik Barat dengan Rusia. Dan dengan bergabungnya Krimea dan Kota Sevastopol ke dalam Federasi Rusia, maka tatanan politik global dan regional mengalami perimbangan baru yang hingga tulisan ini selesai dibuat belum jelas arahnya apakah major powers tidak saling ganggu atau justru sebaliknya.
Analisa Mikro Krisis politik di Ukraina berawal ketika Presiden Ukraina Viktor Yanukovych memutuskan untuk tidak menandatangani Perjanjian Stabilisasi dan Asosiasi (PSA) dengan UE di Vilinus, Lithuania, pada 28-29 November 2013. Incumbent lebih menerima dana talangan dari Rusia dalam bentuk pembelian obligasi pemerintah Ukraina senilai $15 milyar serta diskon gas dari Rusia sebesar $280 per 1.000 m³.
Keputusan tersebut menghasilkan demonstrasi pro-integrasi dengan Eropa di alunalun (Maidan) Kyiv dan diadakannya pemungutan suara di parlemen Ukraina (Verkhovna Rada) untuk mengajukan mosi tidak percaya terhadap pemerintah. Demonstrasi yang awalnya berlangsung damai dan menuntut agar Ukraina bergabung dengan UE kemudian menjadi anarkis dan berubah isu menjadi pergantian rezim. Hal itu dipicu oleh diterbitkannya UU Anti Protes dan munculnya kaum radikal Spilna Sprava (Sektor Kanan) yang beraliran fasis dan Partai Svoboda (beraliran neo-Nazi) dalam demonstrasi massa. Bentrokan pecah pada 19 dan 22 Januari yang mengakibatkan 80 orang tewas dan sekitar 700 orang lainnya luka-luka. Selain itu, 108 polisi ditembak, beberapa meninggal, dan 63 dalam keadaan kritis.22 Kantor Jaksa Agung Ukraina menjelaskan bahwa Berkut (polisi anti huru-hara Ukraina) tidak menembak para demonstran. Kementerian Dalam Negeri Ukraina mengatakan bahwa polisi hanya menggunakan peluru karet untuk membubarkan demonstran dan tidak mengetahui siapa yang menggunakan peluru tajam untuk menembaki demonstran. Barat menuduh Rusia berada dibalik aksi penembakan tersebut sementara Rusia balik menuding bahwa Barat membiayai dan mempersenjatai aktivis Euromaidan yang digunakan sebagai pion untuk menggoyang Ukraina dan menembaki massa. Tindakan penembakan oleh orang tidak dikenal dan adanya indikasi campur tangan major powers dalam suasana demikian membuat jelas kompetisi geopolitik antara Barat dengan Rusia di Ukraina adalah pertarungan yang sengit, berdarah, dan panjang. 23 William Engdahl dalam artikelnya di Global Research, Ukraine Protests Carefully Orchestrated: The Role of CANVAS, USFinanced “Color Revolution Training Group, mengungkap keterlibatan Center for Applied RT, “Kiev allows police to use firearms, demands armed rioters lay down weapons”, http://rt.com/news/ukraine-kievfirearms-weapons-police-934/, diakses pada tanggal 22 Februari 2014. 22
Michael Hudson, “The New Cold War ’s Ukraine Gambit”, Strategic Culture, http://www.strategic-culture.org/ news/2014/05/21/the-new-cold-war-ukraine-gambit.html, diakses pada tanggal 23 Mei 2014. 23
86 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 79–108
Non-violent Action and Strategies (CANVAS), organisasi yang diciptakan untuk membina oposisi di berbagai negara, dalam memicu krisis politik di Ukraina. CANVAS mendapat pendanaan dari Freedom House, International Republican Institute, Institute for Open Society (George Soros), USAID dan American Institute for Peace. CANVAS terlibat dalam mengobarkan revolusi berwarna untuk menggulingkan Slobodan Milosevic di Yugoslavia. CANVAS juga bekerjasama dengan oposisi Venezuela untuk menggulingkan Chavez.24 Pada bulan Desember 2013, Wakil Menteri Luar Negeri AS, Victoria Nuland, mengingatkan para pemimpin bisnis AS untuk membantu Ukraina mencapai aspirasi Eropanya. Ia juga memberitahukan bahwa AS telah menginvestasikan $5 milyar untuk membantu Ukraina mencapai “masa depan yang layak.”25 Selain itu, tanggal 28 Januari 2014, melalui pembicaraan telepon dengan Dubes AS untuk Ukraina, Geoffrey Pyatt, Nuland berbicara tentang solusi atas Ukraina dengan pemerintahan baru. Dalam percakapan yang juga dipublikasi di Youtube itu, Nuland cenderung memilih Arseniy Yatsenyuk sebagai Perdana Menteri (PM) Ukraina baru. Sementara Vitali Klitschko, di mata Nuland, “masih kurang berpengalaman.”26 Tidak hanya itu, salah satu kelompok demonstran di lapangan Maidan, yakni Ukrainian National Self Defence Organization (Ukrainska Narodna Sambooborunu, UNSO), pernah mendapat
pelatihan militer di kamp teroris NATO di Estonia tahun 2006.27 Lalu, pada 25 Februari 2014, sebuah percakapan telepon antara Kepala Kebijakan Luar Negeri UE, Catherine Aston dengan Menteri Luar Negeri Estonia, Urmas Paet mengungkap, bahwa kelompok oposisi bertanggung jawab atas eskalasi kekerasan selama demonstrasi di Kyiv. Menurut Menlu Estonia, seseorang dari kelompok oposisi yang kini memegang kekuasaan di Ukraina berada di balik aksi penembakan terhadap demonstran dan koalisi yang baru tidak ingin menyelidiki hal tersebut.28 Keaslian pembicaraan yang bocor ke media tersebut dibenarkan oleh Pemerintah Estonia.29 Tanggal 28 Februari 2014, Pando Daily menurunkan laporan terkait keterlibatan AS, terutama melalui US Agency for International Development (USAID) dan National Endowment for Democracy (NED), dalam mendanai kelompok oposisi di Ukraina. USAID menyediakan 54% dana Centre UA, sebuah LSM yang aktif berkampanye membongkar korupsi rezim Yanukovych. Situs itu juga menyebut keterlibatan Pierre Omidyar, pengusaha AS pendiri situs lelang Ebay dan pemilik Omidyar Network, dalam mendanai kaum oposisi Ukraina.30 Pada awal Maret 2014, mantan kepala Dinas Keamanan Ukraina Aleksandr Yakimenko mengungkap bahwa para penembak jitu yang menewaskan puluhan orang selama demonstrasi Maidan dioperasikan dari sebuah bangunan yang Jonathan Marcus, “Ukraine Crisis: Transcript of leaked Nuland-Pyatt Call” BBC, http://www.bbc.com/news/worldeurope-26079957, diakses pada tanggal 8 Februari 2014. Saat dikonfirmasi keaslian rekaman, Asisten Menlu AS mengatakan bahwa itu adalah tradecraft yang mengesankan. Tradecraft adalah istilah yang kerap dipakai di kalangan mata-mata, terkait pengumpulan data intelijen. 27
William Engdahl, “Ukraine Protests Carefully Orchestrated: The Role of CANVAS, US-Financed “Color Revolution Training Group” Global Research, http://www.globalresearch. ca/ukraine-protests-carefully-orchestrated-the-role-of-canvasus-financed-color-revolution-training-group/5369906, diakses pada tanggal 8 Januari 2014. 24
“American Conquest by Subversion: Victoria Nuland’s Admits Washington Has Spent $5 Billion to “Subvert Ukraine”, Global Research News, http://www.globalresearch. ca/american-conquest-by-subversion-victoria-nulands-admitswashington-has-spent-5-billion-to-subvert-ukraine/5367782, diakses pada tanggal 7 Februari 2014.; “US Providing Ukraine with financial, technical and non-lethal aid before presidential elections-Nuland”, Interfax-Ukrain, http://en.interfax.com.ua/ news/general/204163.html, diakses pada tanggal 12 Mei 2014. 25
Raymond Samuel, “Kegelapan’ Menghantui Ukraina” Berdikari Online, http://www.berdikarionline.com/duniabergerak/20140302/kegelapan-menghantui-ukraina. html#ixzz36rMZ59hc, diakses pada tanggal 2 Maret 2014. 26
Press TV, “Kiev snipers hired by Maidan coalition: Leaked call”, http://www.presstv.com/detail/2014/03/07/353636/ maidan-coalition-hired-kiev-snipers/, diakses pada tanggal 26 April 2014. 28
John Hall, “Estonian Foreign Ministry confirms authenticity of leaked phone call discussing how Kiev snipers who shot protesters were possibly hired by Ukraine’s new leaders” Daily Mail, 27 September 2014. 29
Mark Ames, “Pierre Omidyar co-founded Ukraine revolution grops with US government, document show” Pando Daily. http://pando.com/2014/02/28/pierre-omidyar-co-fundedukraine-revolution-groups-with-us-government-documentsshow/, diakses pada tanggal 1 Maret 2014. 30
Krisis Ukraina dan Dampaknya ... | Frassminggi Kamasa | 87
dikendalikan oleh oposisi dan khususnya oleh komandan Maidan, Andrey Parubiy, yang telah melakukan kontak dengan pasukan khusus AS.31 Ia juga mengungkap bahwa para penembak jitu bertindak di bawah perintah AS dan Polandia.32 Dalam suasana yang kritis tersebut, pada 25 Januari 2014, incumbent menawarkan jabatan strategis di dalam kabinet kepada kubu oposisi untuk menerapkan perubahan UUD yang akan mengurangi kekuasaan presiden. Proposal ini ditolak oleh para pemimpin oposisi yang kemudian terus melanjutkan demonstrasi hingga agenda yang diklaim sebagai tuntutan rakyat Ukraina terpenuhi, antara lain: Ukraina bergabung dengan UE, memajukan jadwal pilpres, dan pergantian pimpinan nasional (parlemen, presiden, PM, dan Kabinet Menteri). Keadaan berkembang dengan cepat ketika berbagai konsesi yang ditawarkan incumbent dalam bentuk pembatalan UU Anti Protes, pengunduran diri PM, dan pengesahan UU pemberian amnesti bagi demonstran yang ditahan, tidak membuat kekacauan menjadi mereda. Bahkan sebaliknya, bentrokan kembali pecah pada 18-19 Februari 2014 yang mengakibatkan 82 orang tewas dan ratusan orang luka-luka. Untuk mencegah keadaan menjadi semakin memburuk, para pihak yang bertikai kemudian sepakat untuk duduk bersama guna mengakhiri krisis politik berdarah yang terjadi sejak November 2013. Pada 21 Februari 2014, kesepakatan damai tercapai antara incumbent dengan oposisi. Namun, kesepakatan ini berumur pendek karena kekerasan kembali pecah ketika kelompok Spilna Sprava dan Partai Svoboda mengambil alih gedung parlemen Ukraina dan berhadap-hadapan dengan Berkut. Dengan gagalnya kesepakatan 21 Februari tersebut maka proses transisi politik di Ukraina secara damai mengalami jalan buntu. Keadaan berubah sedemikian cepat ketika parlemen di akhir pekan (22-23 Februari 2014) RT, “Kiev Snipers shooting from bldg. controlled by Maidan forces-Ex Ukraine security chief”, http://rt.com/news/ukrainesnipers-security-chief-438/, diakses pada tanggal 5 April 2014
melakukan sidang istimewa secara maraton untuk membentuk pemerintahan masa transisi termasuk memakzulkan incumbent, menunjuk Oleksandr Turchynov sebagai Presiden sementara dan menetapkan pilpres pada 25 Mei 2014 (dari jadwal seharusnya pada 29 Maret 2015). Empat hari kemudian, parlemen menyetujui pilihan Presiden Turchynov atas Arseniy Yatsenyuk sebagai PM sementara dan kemudian juga menyetujui pembentukan kabinet yang menyingkirkan elemen pro-Yanukovych dan menggantinya dengan elemen pro-Barat, radikal dan ultra-nasionalis. Kekacauan di bidang politik kemudian merembet ke bidang ekonomi. Setelah incumbent dimakzulkan, harga diskon gas Rusia sebesar $280 per 1.000 m³ merangkak naik menjadi $485 per 1.000 m³. Kenaikan 173% harga gas Rusia merupakan sebuah pukulan berat bagi ekonomi Ukraina. Di tengah upaya pembentukan pemerintahan yang baru di Ukraina untuk mengakhiri krisis politik dan penyelamatan perekonomian Ukraina, nilai mata uang Ukraina Hryvna (Hrv) semakin melemah terhadap mata uang dolar AS yang pada penutupan pasar uang antarbank tanggal 25 Februari 2014 mencapai Hrv 9,68 – 9,78 per 1 dolar AS yang hampir mendekati nilai terendah yang pernah terjadi pada tahun 2008 ($1,- = Hrv10,-). Selain itu, cadangan devisa Ukraina selama bulan Februari 2014 juga menyusut sekitar $2,8 milyar dan telah masuk tahapan kritis dengan jumlah sekitar $15 milyar. Diperkirakan PDB Ukraina di awal tahun 2014 tinggal $200 milyar. Dan semenjak terjadinya krisis politik di Ukraina (21 November 2013), nilai mata uang Hryvna telah mengalami penurunan sebesar 28%. Di sisi lain, defisit anggaran pada tahun 2013 mencapai 9% dari PDB yang merupakan defisit anggaran tertinggi dibandingkan negara-negara di kawasannya.33 Kekacauan di bidang politik dan merembet di bidang ekonomi tersebut membuat partai pendukung Yanukovych, Partai Region, kemudian
31
Christopher Harress, “Poland and Lithuania Wary of Kaliningrad Being Base of Next Move From Russia” International Business Times, http://www.ibtimes.com/ poland-lithuania-wary-kaliningrad-being-base-next-moverussia-1561963, diakses pada tanggal 19 Maret 2014. 32
Olga Pogarska & Edilberto Segura, “Ukraine-Economic Situation-April 2014” Unian Information Agency, http:// www.unian.info/politics/908836-ukraine-economic-situationapril-2014.html, diakses pada tanggal 18 April 2014; Kenneth Rapoza, “Ukraine Welcomes IMF Austerity Regime,” Forbes, http://www.forbes.com/sites/kenrapoza/2014/03/28/ ukraine-welcomes-imf-austerity-regime/, diakses pada tanggal 29 Maret 2014. 33
88 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 79–108
berbalik dengan menjadi oposisi. Sementara itu, Yanukovych yang telah melarikan diri dari Kyiv dan meminta suaka di Rusia mengatakan bahwa ia menolak pemecatannya dan mengatakan bahwa pemerintahannya yang sah terpilih lewat pemilu yang demokratis telah dikudeta. Ia mengatakan lebih lanjut bahwa pemerintahan interim di Kyiv sebagai kelompok fasis yang dibantu oleh Barat.34 Senada dengan Yanukovych, Rusia menyatakan masih menganggap Yanukovych sebagai presiden Ukraina yang sah dan mempertanyakan legitimasi pemerintahan Ukraina yang baru. Meski pada akhirnya Rusia melunak paska terpilihnya Petro Poroshenko sebagai presiden baru Ukraina dalam pilpres 25 Mei 2014.35 Menurut Rusia, pemerintahan interim Ukraina berada di bawah pengaruh para kaum ultra-nasionalis serta fasis yang mengancam keamanan dan eksistensi etnis Rusia di Ukraina dan warga negara Rusia yang tinggal di Ukraina.
Geostrategi Revolusi Berwarna Baik Barat dan Rusia saling tuding sebagai biang keladi yang menciptakan krisis Ukraina yang merupakan revolusi berwarna jilid II di Ukraina (yang pertama di tahun 2004). Perspektif yang luas dan berimbang penting untuk melihat akar permasalahan krisis politik di Ukraina. Minimal terdapat empat faktor yang terlibat dalam sebuah konflik, yaitu triggers (pemicu), pivotal (akar), mobilizing (peran pemimpin), dan aggravating (faktor yang memperburuk situasi krisis/ konflik).36 Keempat faktor ini umumnya berjalin berkelindan dalam sebuah krisis/konflik. Kathy Lally, “Ousted Ukraine president warns of civil war, criticizes U.S. for aiding current government” Washington Post, http://www.washingtonpost.com/world/ousted-ukrainepresident-warns-of-civil-war-criticizes-us-for-aidingcurrent-government/2014/03/11/13fd0482-a907-11e3-b61e8051b8b52d06_story.html, diakses pada tanggal 12 Maret 2014. “Yanukovych blames fascists, West for Ukraine Chaos” The Times of Israel, http://www.timesofisrael.com/yanukovychblames-fascists-west-for-ukraine-chaos/, diakses pada tanggal 2 Maret 2014. 34
Alexey Lossan, “Putin: Rusia Siap Akui Pemilu Ukraina” RBTH Indonesia, http://indonesia.rbthlm.com/politics/2014/05/28/ putin_rusia_siap_akui_pemilu_ukraina_23923.html, diakses pada tanggal 31 Mei 2014. 35
Sholihan,“Memahami Konflik,” dalam Mukhsin Jamil (Ed), Mengelola Konflik Membangun Damai, (Semarang: Wali Songo Media Center, 2007), hlm. 5. 36
Artikel ini melihat pemicu krisis adalah pilihan incumbent yang tidak menandatangani PSA dengan UE yang menimbulkan demonstrasi Euromaidan yang dilakukan secara proksi untuk mengganti rezim pro-Rusia dengan rezim anti-Rusia. Akarnya adalah aksi antisistemik yang dilakukan Rusia sejak era Putin yang bertentangan dengan masyarakat/sistem internasional. Mobilizing factor-nya adalah para pemimpin oposisi yang menggerakkan Euromaidan berkat dukungan Barat. Dan terakhir aggravating factor-nya adalah rezim Yanukovych yang korup dan tidak berdaya menghadapi bentrokan berdarah yang dilakukan oleh kelompok ultranasionalis beraliran fasis dan neo-nazi. Analisa tersebut sejalan dengan strategi dan pendapat di Washington dan Moskwa. Dalam dengar pendapat di Senat AS pada 15 Januari 2014 dibahas perlu adanya kesatuan aksi hingga sanksi bagi Ukraina untuk menghadapi krisis yang berlangsung. Menurut penasehat keamanan nasional AS periode 1977-1981, Zbigniew Brzezinski, Ukraina harus dibebaskan dari pengaruh Rusia dan untuk itu disarankan agar AS berdialog dengan oligarki yang memiliki pengaruh dengan incumbent dan tidak ingin didominasi oleh Rusia. Lebih lanjut ia menyampaikan agar aksi Euromaidan dapat dijadikan alat politik yang efektif dan menyarankan untuk membentuk komite nasional dengan tujuan utama bergabung menjadi negara UE.37 Rencana unilateral ini adalah bentuk thrust kekuatan utama masyarakat/ sistem internasional yang menginginkan agar dengan terjadinya revolusi berwarna ini maka Ukraina akan menjadi negara UE. Apabila tidak, Ukraina akan disanksi dan gelombang revolusi berwarna selanjutnya akan muncul untuk mengganti rezim delinkuen tersebut. Dalam sebuah memorandum berjudul “Selamatkan Ukraina“ yang dipublikasikan tanggal 12 Februari 2014 dalam majalah Rusia, Zavtra, dikemukakan bahwa kudeta di Ukraina yang menggunakan metode fasis dan Nazi merupakan strategi Barat untuk mengancam United States Committee on Foreign Relations, “Business Meeting and Implications of the Crisis in Ukraine Hearing”, http://www.foreign.senate.gov/hearings/business-meeting-andimplications-of-the-crisis-in-ukraine-hearing, diakses pada tanggal 17 Januari 2014. 37
Krisis Ukraina dan Dampaknya ... | Frassminggi Kamasa | 89
Federasi Rusia.38 Memorandum itu ditulis oleh kelompok ahli Izborsk, kelompok intelektual berpengaruh dalam lingkaran think-thank Presiden Rusia. Memorandum itu secara detail juga memprediksi konsekuensi dari pergantian rezim di Kyiv terhadap kepentingan strategis Rusia dan bencana besar bagi masa depan Rusia. Selain itu, memorandum tersebut menyatakan bahwa AS dan UE bertanggung jawab terhadap proyek pergantian rezim di Ukraina. Memorandum itu kemudian merekomendasikan agar Rusia bersama dengan AS untuk berkonsultasi menghindari krisis di bawah Memorandum Budapest atas Kedaulatan Ukraina tahun 1994. Dalam Memorandum tersebut disebutkan bahwa AS, Rusia, Prancis, Inggris, dan Cina menyepakati akan menahan diri untuk menggunakan ancaman terhadap integritas wilayah atau kebebasan politik Ukraina apabila Ukraina melucuti senjata nuklirnya.
Memperebutkan Ukraina Posisi Ukraina sebagai shatterbelt Barat dan Rusia membuat keduanya berusaha untuk memasukkan Ukraina ke dalam lingkup pengaruhnya. Di sisi lain, seperti halnya negara eks-Soviet yang melakukan demokratisasi, setiap rezim yang berkuasa di Kyiv senantiasa dihadapkan pada pilihan untuk bergabung dengan Barat, Rusia, atau netral. Meskipun banyak yang menganggap Presiden Yanukovych pro-Rusia, namun sesungguhnya ia tidak membiarkan Ukraina berada dalam pengaruh Rusia. Meski dinilai sebagai rezim yang korup dan gagal mengembangkan ekonomi Ukraina, ia kukuh melindungi kepentingan ekonomi dan politik Ukraina yang independen. Ketegasan dan independensi Yanukovych terlihat ketika pemerintahannya memberikan tantangan kepada Rusia dalam hubungan perdagangan kedua negara di 2013. Sepanjang tahun 2013, keinginan Ukraina untuk berintegrasi dengan UE membuat Ukraina mengurangi produk impor Rusia di pasar Ukraina. Hal ini dibalas Rusia dengan perang dagang, hambatan ekspor produk
Ukraina ke Rusia, dan menyetop pasokan gas ke Ukraina sebagai hukuman atas hubungan dekat Ukraina dengan UE. Di tahun 2013, tekanan Rusia dalam bentuk pengawasan transportasi barang dari Ukraina ke Rusia menyebabkan kerugian bagi Ukraina hingga $2,5 milyar. Di tengah ancaman Ukraina untuk bergabung dengan UE, Rusia kemudian akhirnya mengambil langkah yang lebih bersahabat dengan memberikan diskon gas kepada Ukraina dari harga biasanya $410 menjadi $260 per 1.000 m³. Ukraina menerima hal itu dengan senang hati karena faktor ekonomi yang mendesak. Hal itu karena dari segi ekonomi, 25% tujuan ekspor Ukraina adalah ke Rusia dan pada tahun 2013, impor gas Ukraina dari Rusia mencapai lebih dari 92%. Perdagangan Ukraina-Rusia di tahun 2013 tumbuh lebih dari 18% dan perdagangan Ukraina dengan negara-negara Uni Pabean meningkat 34% di tahun 2011, 11% di tahun 2012, dan 2-3% di tahun 2013.39 Dengan tumbangnya rezim Yanukovych dan keadaan yang tidak menentu di bidang politik dan ekonomi, maka Ukraina pun semakin terbuka untuk diperebutkan oleh major powers untuk mencapai kepentingan masing-masing.
Krimea Melawan Kyiv Konflik berdarah di Kyiv ternyata tidak usai setelah tergulingnya Yanukovych. Perseteruan kepentingan Barat, Ukraina, dan Rusia menjalar hingga wilayah Krimea dan Ukraina bagian timur yang menuntut diadakannya referendum untuk otonomi yang lebih luas atau bahkan pemisahan diri dari Ukraina. Khusus di Krimea, perseteruan tersebut telah mencapai titik nadir. Berdasarkan sensus penduduk Ukraina pada 2001, populasi Krimea terdiri dari 2,4 juta jiwa. Menurut catatan Dinas Statistik Ukraina, hingga 1 November 2013, penduduk Republik Otonom Krimea berjumlah 1,9 juta jiwa dengan komposisi lebih dari 50% merupakan orang Rusia, 24% orang Ukraina dan sekitar 12% orang Rika Dragneva-Lewers & Katryna Wolczuk, “Russia, the Eurasian Customs Union and the EU: Cooperation, Stagnationor Rivalry?” National Security & Defence, 2013, No.4-5, hlm. 108; Information-Analytical Bulletin of the Cabinet of Ministers of Ukraine, “Ukraine wants global free trade”, 25 Oktober 2013. 39
“Russia’s “Save Ukraine” Memorandum: Prevent the Ukraine from Going Fascist,” Global Research News, http://www. globalresearch.ca/russias-save-ukraine-memorandum-preventthe-ukraine-from-going-fascist/5368608, diakses pada tanggal 15 Februari 2014. 38
90 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 79–108
Tatar Krimea. Terkait penggunaan bahasa, hukum Republik Otonom Krimea tidak membahas gagasan bahasa ‘negara’ atau bahasa ‘resmi’ untuk penduduknya. Oleh karena itu, baik bahasa Rusia maupun bahasa Ukraina digunakan sebagai bahasa resmi di Krimea. Menurut survei yang dilakukan oleh Institut Internasional Sosiologi di Kyiv pada 2004, bahasa Rusia digunakan sebagai alat komunikasi oleh 97% penduduk Krimea. Meski de jure adalah daerah otonomi di bawah pemerintahan Ukraina, secara de facto Krimea ‘milik’ Rusia. Krimea adalah satusatunya daerah di Ukraina dengan penduduk keturunan Rusia mencapai sekitar 60%. Selain lokasi, banyaknya warga keturunan Rusia di Krimea disebabkan faktor sejarah. Sebelum 1954, Krimea adalah oblast (provinsi) di bawah administrasi Rusia. Namun, pemimpin Uni Soviet saat itu, Nikita Khrushchev, memberikan Krimea ke Ukraina. Ada dua alasan yang diungkapkan. Pertama, latar belakang Khrushchev yang merupakan etnis Ukraina. Kedua, sebagai ‘hadiah’ perayaan 300 tahun bergabungnya Ukraina ke Rusia. Selain itu, Krimea juga menjadi lokasi strategis tempat ditambatkannya Armada Laut Hitam Rusia. Militer Rusia masih berada di Sevastopol karena di bawah Traktat Persahabatan, Kerja Sama dan Kemitraan Kyiv-Moskwa tahun 1997, Rusia mengakui status kepemilikan Sevastopol dan kedaulatan Ukraina. Sebagai balasannya, Ukraina memberikan Rusia hak untuk terus menggunakan pelabuhan Sevastopol bagi armada laut Rusia hingga tahun 2017. Perjanjian awal izin Armada Laut Hitam di Sevastopol berlangsung untuk 20 tahun. Perjanjian ini otomatis diperpanjang lima tahun kecuali salah satu pihak membatalkannya. Perjanjian kedua, ditandatangani di Kharkiv tahun 2010, memperpanjang penggunaan pelabuhan Sevastopol untuk armada Rusia hingga 2042. Rusia membayar Ukraina $98 juta per tahun untuk menyewa pangkalan laut di Krimea. Selain itu, berdasarkan perjanjian Kharkiv, Rusia akan memberikan potongan harga gas $100 per ton.
Sumber:http://news.bbcimg.co.uk/media/ images/73286000/gif/_73286672_Krimea_black_ sea_fleet_624.gif, diakses pada tanggal 20 September 2014 Gambar 3. Krimea dan Kekuatan Armada Laut Hitam Rusia
Rusia menggunakan pelabuhan Sevastopol karena tidak ada pelabuhan di Rusia yang mampu menampung Armada Laut Hitam. Pelabuhan Rusia di Novorossiysk tidak cukup dalam dan kurang infrastrukturnya. Armada Laut Hitam Rusia terdiri dari 388 kapal perang Rusia, termasuk 14 kapal selam diesel. Selain itu, terdapat 161 jet tempur di pangkalan udara yang disewa Rusia di Gvardeyskaya dan Sevastopol. Total terdapat 25.000 personel militer Rusia di Krimea, belum termasuk staf sipil. Selain faktor geostrategis, juga terdapat pertimbangan ekonomi menyangkut Krimea. Pertama, Ukraina merupakan jalur transit pipa migas Rusia, apabila jalur tersebut bermasalah maka Rusia dapat mengalihkannya ke arah selatan (Laut Hitam) tempat Krimea berada. Kedua, Ukraina adalah salah satu produsen jagung dan gandum terbesar di dunia, sebagian besar terdapat di wilayah Krimea. Berdasarkan data pemerintah Ukraina, lebih dari 50% ekonomi Krimea dikhususkan untuk industri pangan dan distribusi.40 Ketiga, Krimea dapat menjadi choke point dalam alternatif jalur pipa energi hidrokarbon dari Rusia.
Garry Adrian, “Ukraina Memanas; Beli Dollar atau Emas?”, IM Trader, Vol. 5, Maret-April 2014, hlm. 4. 40
Krisis Ukraina dan Dampaknya ... | Frassminggi Kamasa | 91
Mengetahui arti strategis Krimea tersebut maka Rusia bergerak cepat. Pada 1 Maret 2014, parlemen Rusia menyetujui permohonan Presiden Rusia untuk penggunaan militer di Ukraina. Putin mengatakan bahwa etnis Rusia dan Armada Laut Hitam Rusia di Krimea terancam oleh situasi di Ukraina. Hal itu ditambah dengan permintaan formal presiden terguling Ukraina kepada Moskwa agar mengirim pasukannya untuk menegakkan hukum di Ukraina.41 Krimea berhasil dikuasai secara cepat oleh demonstran pro-Rusia tanpa adanya pertumpahan darah. Selain karena faktor pemerintah pusat di Kyiv yang masih sangat rapuh pasca tergulingnya Yanukovych, Rusia memiliki barak militer di Sevastopol dan mayoritas penduduk Ukraina di Krimea beretnis Rusia cenderung mendukung demonstran. Dengan dukungan tersebut referendum pun dilakukan untuk menentukan masa depan Krimea apakah akan tetap berada dalam Ukraina dengan otonomi yang lebih luas atau menjadi negara yang berdaulat.
Referendum Krimea Pada 16 Maret 2014, masyarakat Krimea melaksanakan referendum dengan hasil sekitar 96% pemilih memutuskan untuk bergabung dengan Rusia. Di tengah krisis politik domestik yang belum menemukan penyelesaian, referendum ini memperumit kondisi krisis di Ukraina apalagi Barat menganggap referendum ini ilegal. Referendum ini kemudian mempertajam perseteruan antara Barat dengan Rusia. Dari segi hukum, penilaian apakah referendum dilaksanakan secara legal atau ilegal memerlukan studi khusus yang mendalam dan memerlukan pemahaman mengenai ketentuanketentuan hukum internasional, UUD Ukraina, dan instrumen hukum lainnya yang mengatur hubungan Krimea dengan Ukraina. Yang paling sulit adalah mendapatkan fakta-fakta yang akurat terkait dengan referendum tersebut. Banyak media massa yang membeberkan berbagai informasi seputar referendum itu seperti tuduhan adanya intervensi dan tekanan Rusia atas proses Nick Bryant, “Ukraine’s Yanukovych asked for troops, Russia tells UN” BBC, http://www.bbc.com/news/worldeurope-26427848, diakses pada tanggal 5 Maret 2014. 41
itu. Namun, fakta-fakta tersebut masih perlu pendalaman lebih lanjut. Artikel ini secara sederhana mencoba melihat secara berimbang rationale pihak yang anti dan pro-referendum, debat yang terjadi dalam tataran multilateral, penilaian akan hak penentuan nasib, dan pelajarannya bagi Indonesia. Tetapi sebelum membahas hal tersebut, terlebih dahulu akan dibahas implikasi perkembangan situasi pasca Krimea dan gejolak di Ukraina bagian timur.
Pasca Krimea Respons anti-sistemik yang dilakukan Rusia di Krimea membuat Barat menjatuhkan sanksi ekonomi dan politik kepada Rusia berupa pembekuan aset dan tidak lagi melibatkan Rusia pada G-8 karena Rusia dianggap telah melanggar hukum internasional. Namun demikian, Eropa terlihat menjatuhkan sanksi secara terbatas untuk menghukum Rusia karena tidak ingin mengganggu hubungan dagang dengan Rusia dan beberapa negara Eropa secara ekonomi bergantung kepada Rusia dalam hal suplai gas. Barat dan Rusia mempunyai potensi kerugian di bidang ekonomi apabila ketegangan di antara mereka terus berlanjut. Keduanya merupakan mitra dagang yang saling membutuhkan. Ekspor gas Rusia ke wilayah Eropa melalui jalur pipa Nord Stream dan Yamal mencapai 185 juta m³ per hari42 dan yang melewati Ukraina mencapai 16 juta m³ per hari. Adapun ekspor Rusia ke UE pada tahun 2013 mencapai 50% dari total ekspornya, sedangkan ekspor UE ke Rusia mencapai 7% dari total ekspornya.43
ITAR-TASS News Agency, “Russia stops gas supplies to Ukraine, transit to EU totals 185 million cu m daily-Prodan”, http://en.itar-tass.com/economy/736286, 15 Juni 2014. 42
RT, “Who will threatened sanctions hit most? US-EU Russia trade in numbers”, http://rt.com/business/us-eu-russiasanctions-590/, diakses pada tanggal 8 April 2014. 43
92 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 79–108
Sumber:http://indonesia.rbthlm.com/multimedia/infographics/2014/03/07/jalur_ pipa_gas_rusia_ke_uni_eropa_23359.html, diakses pada tanggal 20 September 2014. Gambar 4. Jalur Pipa Gas Rusia via Ukraina.
Setidaknya terdapat tiga alasan mengapa Ukraina pasca Krimea menjadi ajang perebutan pengaruh antara Rusia dengan Barat. Pertama, faktor pipa gas Ukraina-Rusia-Turkmenistan. Hingga pecahnya Uni Soviet, jaringan pipa itu merupakan jaringan domestik. Saat ini, perdagangan gas antara Turkmenistan, Rusia dan Ukraina tidak hanya menjadi proposisi komersial, tetapi sebuah ilustrasi dependensi segitiga dari ketiga negara. Isu-isu kunci dalam hal transit ekspor gas ke Turkmenistan di luar Asia Tengah melewati Rusia, yang akhirnya dikendalikan secara penuh dari sekitar tiga perempat ekspor Turkmenistan. Dan posisi Rusia berhadapan dengan Ukraina sangat rentan karena sekitar 66% ekspor gas Rusia ke Eropa melewati Ukraina (lihat Gambar 4 dan 5).
Dengan demikian, Ukraina adalah titik transit serta titik penghambat bagi ekspor gas Rusia. Hal ini juga menjadi titik bocornya pengiriman. Pada awal 1990-an, terjadi gangguan serius ketika Ukraina melanggar kontrak gas dengan Rusia. Sejak saat itu pengiriman gas telah menjadi isu penting dalam hubungan politik dan keamanan antara Rusia dan Ukraina. Kedua, Semenanjung Krimea menjadi markas bagi AL Rusia yang masa sewanya diperpanjang selama 25 tahun pada tahun 2010 dengan perjanjian khusus antara Presiden D. Medvedev dan V. Yanukovych, meskipun masih terdapat sengketa gas yang belum terselesaikan. Fasilitas ini menyediakan Moskwa dengan kemampuan militer strategis di daerah yang dianggap penting oleh Rusia bagi keamanan perbatasan barat daya dan pengaruh geopolitis dekat ‘laut hangat’ yang dapat mengancam Pax
Krisis Ukraina dan Dampaknya ... | Frassminggi Kamasa | 93
Judaeca. Sebagai imbalan untuk perpanjangan sewa, Rusia setuju untuk penurunan 30% dalam harga gas alam yang dijual ke Ukraina. Ketiga, kepentingan Barat dan Rusia di Ukraina bisa jadi bahwa yang terakhir merupakan pasar yang menjanjikan dari 45 juta konsumen potensial, dalam konteks di mana keduanya berusaha untuk mendiversifikasi ekonomi dan tujuan ekspornya.
Gejolak di Timur Ukraina Implikasi dari perkembangan situasi di Krimea mengakibatkan timbulnya pergerakan massa pro-Rusia yang semakin intensif khususnya di berbagai kota di wilayah timur Ukraina seperti: Kharkiv, Donetsk, Luhansk, Sloviansk, Odessa, Zaporizhzhia, dan Mykolayiv. Sebagian diantaranya menuntut diadakannya referendum
untuk penerapan negara federal Ukraina atau menggabungkan diri dengan Rusia. Pada 11 Mei 2014, separatis pro-Rusia di bagian timur Ukraina mengadakan referendum kemerdekaan meski pemerintah Ukraina di Kyiv tidak mengakui referendum tersebut. Para pemilih di kawasan Donetsk dan Luhansk, yang penduduknya sektiar 15% dari populasi Ukraina, memberikan suara dengan hasil sekitar 90% warga di kedua wilayah tersebut memilih untuk melepaskan diri dari Ukraina. Kyiv membalas aksi separatisme tersebut dengan melancarkan operasi anti-teroris skala besar menghadapi separatis pro-Rusia bersenjata yang menimbulkan korban di kedua belah pihak. Menurut PBB, hingga September 2014, korban tewas dalam konflik Ukraina timur
Sumber: https://pbs.twimg.com/media/BhvkmhHIUAAWc3Q.jpg:large, diakses pada tanggal 20 Mei 2014. Gambar 5. Ukraina dalam Pusaran Fragmentasi dan Konflik Kepentingan
94 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 79–108
mencapai 3.543 jiwa, termasuk 298 korban pada kecelakaan pesawat Malaysia Airlines.44 Badan Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) menyatakan pada 27 Juni 2014 sekitar 110.000 orang telah melarikan diri dari Ukraina ke Rusia dan sekitar 54.400 warga Ukraina lainnya terpaksa mengungsi di dalam negeri Ukraina.45 Sementara data per September 2014, menyatakan jumlah pengungsi sudah mencapai lebih dari 275.000 orang.
dan Luhansk. Pada 16 September 2014, Parlemen Ukraina menetapkan undang undang otonomi luas untuk kawasan Donetsk dan Luhansk. Undang-undang baru ini adalah bagian dari kompromi dengan kelompok separatis pro-Rusia. Selain itu, kawasan timur diberikan hak untuk menyelenggarakan pemilu regional sendiri dan mendirikan pasukan keamanan di daerah-daerah otonomi. Para anggota separatis yang selama ini
Sumber: http://www.bbc.com/news/world-europe-27308526, diakses pada tanggal 21 Mei 2014. Gambar 6. Peta Ukraina Timur
Pada tahun 2014 ini, pihak Ukraina dan separatis pro-Rusia telah menandatangani kesepakatan gencatan senjata di Minsk, Belarus. Pertemuan difasilitasi oleh Pemerintah Belarus dan dihadiri oleh perwakilan Rusia dan OSCE. Parlemen Ukraina juga menetapkan undang undang otonomi luas untuk kawasan Donetsk “Death toll of Ukraine conflilct exceeds 3,500-UN”, InterfaxUkraine, http://en.interfax.com.ua/news/general/225196.html diakses pada tanggal 27 September 2014. 44
UNHCR, “Sharp Rise in Ukrainian displacement, with more than 50,000 internally displaced”, http://www.unhcr. org/53ad57099.html, diakses pada tanggal 27 Juni 2014. 45
berperang melawan pasukan pemerintah akan mendapat amnesti, kecuali mereka yang terlibat dalam kejahatan besar. Quid pro quo dari UU tersebut, separatis pro-Rusia harus mencabut tuntutan untuk merdeka dari Ukraina. Meski terdapat gencatan senjata dan pembaharuan gencatan senjata secara penuh pada 20 September, kontak senjata masih terjadi dan menimbulkan korban sipil.46 “NATO: Gencatan Senjata di Ukraina Baru Sebatas Teori,” The Global Review, http://www.theglobal-review.com/content_ detail.php?lang=id&id=16304&type=103#.VCoiYVfuyso, diakses pada tanggal 25 September. 46
Krisis Ukraina dan Dampaknya ... | Frassminggi Kamasa | 95
Perkembangan tersebut cukup memprihatinkan karena pada dasarnya Ukraina dan Rusia adalah negara bersaudara yang saling membutuhkan. Dari data yang ada, etnis Rusia terbesar di negara eks-Soviet berada di Ukraina (sekitar 29,6% etnis Rusia dari total penduduk Ukraina berdasarkan sensus tahun 2001). Sedangkan warga Ukraina terbesar di luar Ukraina berada di Rusia (lebih dari 2 juta orang).47 Ketika masih bergabung dengan Uni Soviet, Ukraina menjadi negara termakmur keempat di dalam Soviet. Setelah Soviet runtuh, hal tersebut tidak hanya memberikan kesempatan pada Ukraina untuk meraih kemerdekaannya tetapi juga membuka kotak pandora dari konflik etnis antara barat dan timur Ukraina. Revolusi Oranye di tahun 2004 dan Euromaidan di tahun 2013 membingkai suramnya skenario Ukraina yang terfragmentasi antara wilayah proBarat dan pro-Rusia. Fragmentasi ini semakin lebar sejak aksi Euromaidan karena sistem demokrasi konstitusional nampaknya tidak cukup meyakinkan para demonstrator sebagai rules of the game di Ukraina. Bahkan, The Global Times, koran berpengaruh yang diterbitkan Harian Rakyat milik Partai Komunis Cina, menilai bahwa Ukraina saat ini didominasi oleh politik jalanan dengan parlemen hanya sebagai alat politik tambahan semata.48 Setelah melalui banyak perubahan kondisi, ekonomi Ukraina pernah turun dengan pendapatan perkapita berkisar $3.200, lebih rendah sedikit dari Indonesia, setengahnya Cina, dan seperempatnya Rusia. Ukraina yang dilanda kerusuhan sejak November 2013 mendapatkan perhatian yang luas dari dunia karena pertentangan Barat dengan Rusia. Barat yang dengan simpatinya yang luar biasa terhadap krisis Ukraina acapkali mengganggu urusan internal Ukraina dengan menghasut partai/kelompok oposisi dengan melawan rezim incumbent. Di sisi lain, Rusia yang tak Ministry of Foreign Affairs of Ukraine, ”Comparative Data on Protection of Russian Ethnic Minority’s Right in Ukraine and Ukrainian Ethnic Minority’s Rights in Russia”, 14 Maret 2014. 47
”West-Russia rivalry bleeds Ukraine dry” Global Times, http://backup.globaltimes.cn/NEWS/tabid/99/ID/843608/WestRussia-rivalry-bleeds-Ukraine-dry.aspx, diakses pada tanggal 21 Februari 2014.
kalah simpatinya dengan saudaranya tersebut menginginkan agar Ukraina tidak bergabung dengan UE/NATO atau setidak-tidaknya berada dalam status quo. Dengan kondisi demikian, terdapat kemungkinan Ukraina terbelah dua. Apabila memang demikian, populasi Ukraina yang di tahun 2014 berjumlah sekitar 50 juta penduduk akan tergenggam kembali oleh kesengsaraan yang tak terbayangkan. Pemisahan antara barat dan timur Ukraina sulit didefinisikan dan nampaknya tidak ada yang dapat mengendalikan perang saudara yang terjadi saat ini. Dan oleh karena itu Kyiv berusaha sekuat tenaga agar wilayahnya di bagian timur tidak menjadi seperti Krimea, yang menurut Kyiv, dianeksasi oleh Rusia lewat referendum yang tidak sah.
Posisi Ukraina terkait Referendum Krimea Ukraina tidak menerima referendum yang digelar di Krimea. Kyiv meminta agar semua negara, lembaga-lembaga internasional, dan badan-badan khusus agar tidak mengakui pergantian status Krimea berdasarkan referendum. Pada tanggal 16 Maret 2014, Parlemen Ukraina menyatakan bahwa pelaksanaan referendum di Krimea pada 16 Maret 2014 adalah tidak sah karena bertentangan dengan UUD Ukraina. Pasal 73 UUD Ukraina menyebutkan issues of altering the territory of Ukraine are resolved exclusively by an All-Ukrainian referendum. Selanjutnya pasal 134 UUD Ukraina menyebutkan the Autonomous Republic of Krimea is an inseparable constituent part of Ukraine and decides on the issues to its competence within the limits of authority determined by the Constitution of Ukraine.49 Sedangkan berdasarkan pasal 7 (2) UU Republik Otonomi Krimea (yang telah disahkan dalam UUD Ukraina No. 350-XIV tanggal 23 Desember 1998) pada intinya menyebutkan bahwa referendum republik (lokal) diperbolehkan dalam hal melakukan perubahan atas wilayah Republik Otonomi Krimea sepanjang tidak bertentangan dengan UUD Ukraina. Selain itu, Ukraina berpendapat bahwa Rusia jelas telah
48
Lihat Constitution of Ukraine. Chapter III, Article 73 & Chapter X, Article 134. 49
96 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 79–108
melanggar Memorandum Budapest tahun 1994 yang menghormati kedaulatan Ukraina. Selanjutnya, dalam pertemuan khusus Grup Asia Pasifik di New York pada 19 Maret 2014, Perwakilan Tetap Ukraina di PBB menyampaikan uraian resmi pemerintah Ukraina mengenai referendum Krimea sebagai berikut (Journal of the United Nations, No. 2014/51): • Proses peralihan otoritas maupun penyelenggaraan referendum mengenai pemisahan Krimea dari Ukraina berlangsung secara ilegal. • Penduduk Krimea berjumlah sekitar 2,5 juta, dimana 1,5 juta merupakan keturunan Rusia dan 1 juta penduduk terdiri atas keturunan Krimea Tatar, Bulgaria dan lain-lain. • Penduduk Krimea di luar keturunan Rusia telah memboikot rencana penyelenggaraan referendum. Dengan demikian, hasil referendum di mana 90% dinyatakan mendukung pemisahan Krimea dari Rusia, tidak mencerminkan realitas di lapangan. • Deklarasi kemerdekaan Krimea serta permintaan untuk menjadikan Krimea sebagai wilayah Rusia oleh parlemen Krimea adalah ilegal. • Ditegaskan bahwa penting bagi PBB untuk menyampaikan proses yang tidak sah akan referendum Krimea dan permohonan kepada negaranegara anggota untuk tidak mengakui referendum maupun kemerdekaan Krimea. • Ditegaskan pula bahwa peristiwa Krimea merupakan tantangan terhadap sistem PBB dan kiranya merupakan pelajaran mengenai bagaimana menggunakan piagam PBB dalam cara yang layak untuk menjamin integritas wilayah.
Posisi Rusia terkait Referendum Krimea Rusia berpendapat bahwa referendum di Krimea adalah keinginan rakyat Krimea. Lebih dari 90% rakyat Krimea memilih untuk bergabung dengan Rusia. Dengan demikian, referendum berjalan
dengan sah, demokratis, sesuai dengan hukum internasional, berjalan baik dan aman karena tidak ada pertumpahan darah. Rusia berpendapat bahwa referendum diatur dalam hukum internasional, antara lain, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yaitu all peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social, and cultural development. Rusia menganggap situasi di Krimea merupakan analogi mutlak dari pengakuan kemerdekaan Kosovo oleh Barat. Secara khusus Rusia mengutip keputusan Mahkamah Internasional pada 2010 yang memutuskan Kosovo memiliki hak untuk mendeklarasikan kemerdekaan unilateralnya dari Serbia. Keputusan itu mengakui bahwa deklarasi kemerdekaan dapat melanggar peraturan negara, tetapi itu tidak berarti melanggar hukum internasional. Keputusan Mahkamah Internasional mengatakan bahwa ”Tidak ada larangan apapun terhadap deklarasi kemerdekaan sepihak, bahkan oleh Dewan Keamanan (DK) PBB. Tidak ada larangan yang berlaku terhadap deklarasi kemerdekaan sepihak dalam Jus Cogens (prinsip dasar hukum Internasional).”50 Saat itu, keputusan Mahkamah Internasional memicu reaksi keras para pemimpin dunia, termasuk Rusia. Kremlin menganggap kemerdekaan Kosovo mengancam dan merusak tatanan hukum internasional. Untuk itu, saat ini Rusia mempertanyakan mengapa Barat menerapkan standar ganda dengan menyetujui kemerdekaan Kosovo tetapi tidak mengakui Krimea. Terkait dengan Memorandum Budapest tahun 1994, Rusia mengganggap tidak melanggar kewajibannya dalam Memorandum tersebut. Rusia berpendapat hilangnya keutuhan wilayah Ukraina di Krimea menjadi akibat dari berbagai proses internal yang rumit dan tidak ada sangkut pautnya dengan Rusia dan kewajibannya sesuai dengan Memorandum Budapest. Hal itu karena Pemerintah Kyiv mendapatkan kekuasaannya melalui kudeta inkonstitusional Oleg Fornichev, “Putin: Kami Tidak Ingin Memecah Ukraina” RBTH Indonesia, http://indonesia.rbth.com/politics/2014/03/19/ putin_kami_tidak_ingin_memecah_ukraina_23425.html, diakses pada tanggal 20 Maret 2014. 50
Krisis Ukraina dan Dampaknya ... | Frassminggi Kamasa | 97
dan kebijakannya, khususnya mengenai etnis minoritas, telah merobek kesatuan Ukraina dan mengancam daerah yang tidak sejalan dengan Kyiv.51 Hal ini karena Gerakan Maidan yang sukses merebut kekuasaan dari incumbent sebagian besar terdiri dari perwakilan bagian barat. Ideologi mereka ialah tidak menghendaki adanya konsensus publik dengan perwakilan bagian timur, seperti ideologi nasionalisme Ukraina yang tunggal dan solid. Nasionalisme Ukraina muncul sebagai ideologi pada awal abad ke-20 dan memiliki sifat yang sama dengan Nazisme Jerman dan ideologi-ideologi sayap kanan pada waktu itu.52 Hal itu menjelaskan intoleransi ekstrim, kecenderungan tindakan politik frontal, kekerasan, dan pengingkaran hak kaum minoritas dalam nasionalisme Ukraina. Nasionalis Ukraina menilai “tangan besi” dibutuhkan untuk membangun negara dan menindas elemenelemen non-Ukraina di masyarakat. Masalahnya, elemen non-Ukraina di Ukraina jumlahnya sangat banyak. Pemikiran itulah yang mendasari semua ideologi nasionalisme Ukraina, yakni musuh utama bangsa Ukraina adalah “Moskal” (sebutan untuk orang Rusia) yang tidak menghargai nasionalisme Ukraina. Bukan hanya orang Rusia saja, tetapi juga orang Polandia dan Yahudi. Menurut para sejarawan Polandia, sekitar 150.000 warga Polandia terbunuh dalam pogrom (tindakan kekerasan besar-besaran) terhadap bangsa Yahudi di Ukraina barat, dan juga dalam peristiwa pembunuhan massal Volhynian 19431944.53
The Ministry of Foreign Affairs of the Russian Federation, 2014, “Statement by the Russian Ministry of Foreign Affairs regarding accusations of Russia’s violation of its obligation under the Budapest Memorandum of 5 December 1994”, 1 April 2014. 51
Frassminggi Kamasa, “Dinamika Kawasan Eropa Tengah dan Timur dan Kepentingan Indonesia”, Makalah disampaikan pada acara Workshop Perdamaian dan Hubungan Internasional di Amerika dan Eropa, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 5 September 2014, hlm. 5. 52
Vyacheslav Charskiy, “Gerakan Maidan: Nasionalis, atau Pemberontak Ukraina?” RBTH Indonesia, http://indonesia. rbth.com/politics/2014/05/05/gerakan_maidan_nasionalis_ atau_pemberontak_ukraina_23731.html, diakses pada tanggal 20 Mei 2014. 53
Pembahasan Ukraina di PBB Setidaknya PBB telah melakukan 23 sesi yang membahas krisis Ukraina dari FebruariSeptember 2014 (RBTH, 2014). Artikel ini memaparkan tujuh dari 23 pertemuan mengenai situasi di Ukraina dan Krimea tersebut. Pertama, pada 28 Februari 2014 atas permintaan perwakilan tetap Ukraina di PBB agar DK menyelenggarakan pertemuan darurat sesuai Pasal 34 dan 35 Piagam PBB mengingat situasi di daerah otonom Krimea merupakan ancaman terhadap integritas wilayah Ukraina. Kedua, pada 15 Maret 2014 DK PBB telah melakukan pungut suara terhadap rancangan resolusi (ranres) yang disusun AS yang pada intinya menegaskan bahwa referendum di Krimea tidak sah dan tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk mengubah status Krimea. AS menegaskan bahwa masyarakat internasional tidak akan pernah mengakui hasil referendum tersebut. Mayoritas anggota DK mendukung ranres karena memuat prinsip-prinsip piagam PBB, khususnya terkait keperluan untuk menghormati kedaulatan dan integritas wilayah suatu negara. Selain itu, ranres menekankan keperluan untuk mencari penyelesaian secara damai melalui dialog politik langsung dan penurunan ketegangan. Ranres gagal karena diveto oleh Rusia. Sebelum ranres dipungutsuarakan, dalam penjelasan sebelum pemungutan suara, Rusia menyampaikan alasan pihaknya menolak karena tidak menyetujui asumsi dasar referendum di Krimea adalah ilegal. Dijelaskan bahwa referendum dilakukan oleh rakyat Krimea akibat keadaan luar biasa yang menyebabkan kehidupan berdampingan secara damai tidak memungkinkan dilakukan di Krimea. Satu-satunya anggota DK PBB yang abstain dalam ranres ini adalah Cina. Cina memilih abstain dengan alasan bahwa pengajuan ranres tidak tepat waktunya dan akan membuat situasi lebih rumit walaupun penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas wilayah serta prinsip non-intervensi merupakan dasar kebijakan luar negeri Cina. Ketiga, konsultasi tertutup DK PBB mengenai situasi Ukraina pada 28 Maret 2014 sebagai good offices Sekjen PBB ke
98 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 79–108
Moskwa dan Kyiv untuk bertemu dengan kedua pemimpin negara tersebut guna menenangkan situasi dan mencari solusi politik terhadap krisis di Ukraina. Dalam konsultasi tersebut, negara-negara anggota DK dari kelompok Barat menyampaikan (1) keprihatinan mereka atas military build-up di perbatasan timur Ukraina yang dinilai provokatif; (2) aneksasi Rusia atas Krimea tidak sah; (3) Rusia harus segara menarik pasukannya dari Krimea dan segera memulai dialog dengan Ukraina untuk mengatasi krisis; (4) Tim pemantau PBB maupun OSCE harus diberikan akses masuk ke Krimea untuk dapat memantau situasi HAM di daerah tersebut. Rusia menanggapi hal tersebut dengan menyatakan bahwa misi pemantauan OSCE tidak diperbolehkan masuk ke Krimea karena sudah menjadi wilayah Rusia. Untuk mengakhiri krisis di Ukraina yang dibutuhkan adalah penerapan secara penuh perjanjian 21 Februari 2014, termasuk reformasi UUD. Dan mengingat bahwa terdapat elemen-elemen radikal pada pemerintahan Ukraina, maka Rusia menilai bahwa para pemimpin Ukraina tidak kredibel.
oleh Kyiv di wilayah tenggara Ukraina, di mana dalam aksi tersebut digunakan helikopter militer dan pemukulan terhadap demonstran yang telah mengakibatkan korban jiwa. Rusia menegaskan, jika aksi-aksi kriminal Kyiv tidak dihentikan maka konsekuensinya tidak akan dapat dihindari. Ditekankan bahwa aksi-aksi tersebut menunjukkan ketidakmauan Kyiv untuk mematuhi Kesepakatan Jenewa pada 17 April 2014. Rusia juga menyerukan kepada AS untuk menghentikan praktek standar gandanya dan mencampuri urusan Ukraina, di mana dukungan AS dan UE kepada pihak yang melakukan kudeta di Ukraina dinilai memberangus jalan menuju solusi yang damai. Kesepakatan Jenewa adalah pertemuan empat pihak Ukraina, Rusia, AS, dan UE membahas krisis Ukraina. Pertemuan tersebut menghasilkan dokumen mengenai kesepakatan untuk meredakan ketegangan di Ukraina. Beberapa poin penting yang disepakati antara lain:54
Keempat, pada 23 Maret 2014 Majelis Umum PBB telah melakukan pungut suara terhadap ranres The Territorial Integrity of Ukraine yang pada intinya memuat komitmen pada kedaulatan dan keutuhan wilayah Ukraina, menyerukan agar para pihak mencari cara-cara damai dalam menyelesaikan masalah, dan menggarisbawahi tidak sahnya hasil referendum Krimea. Hasil pemungutan suara terhadap ranres tersebut adalah 100 negara mendukung, 11 negara menolak, 58 negara abstain, dan 24 negara absen/tidak berpartisipasi. Hasil ini dapat dikatakan cukup berimbang yang menunjukkan di satu sisi separuh dari anggota PBB mendukung resolusi dan di sisi lain menunjukkan hampir separuh dari anggota PBB, dalam bentuk satu dan lain hal, tidak mendukung resolusi yang dimotori oleh negara-negara Barat dengan tujuan, yang menurut Rusia, untuk mengisolasi Rusia. Kelima, pada 2 Mei 2014 atas permintaan Rusia, DK PBB telah mengadakan pertemuan darurat untuk membahas situasi di Ukraina. Rusia menjelaskan bahwa alasan pihaknya meminta DK melakukan pertemuan disebabkan oleh operasi punitive yang terus dilakukan
•
Mengecam tindakan ekstrimisme, rasisme, dan intoleransi, serta menyerukan agar semua pihak menahan diri dari segala tindakan kekerasan dan provokatif.
•
Agar seluruh pihak bersenjata meletakkan senjata dan membebaskan serta mengosongkan tempat-tempat yang dikuasai secara ilegal.
•
Pemberian amnesti kepada pihak yang meninggalkan gedung dan meletakkan senjata, kecuali bagi yang dianggap melakukan kesalahan besar.
•
Misi pengamat OSCE akan berperan membantu otoritas Ukraina dan komunitas lokal dalam de-eskalasi situasi.
•
Proses reformasi konstitusional akan dilakukan secara inklusif dan akuntabel.
Keenam, pada 25 Mei 2014, usai pertemuan mengenai masalah HAM di Ukraina, Rusia meminta PBB untuk menyelidiki insiden kebakaran di kota Odessa pada 2 Mei 2014 yang European Union External Action, “Joint Statement Geneva Statement on Ukraine,” Geneva, 17 April 2014. 54
Krisis Ukraina dan Dampaknya ... | Frassminggi Kamasa | 99
mengakibatkan korban jiwa lebih dari 40 orang. Rusia mengungkapkan bahwa penyelidikan telah dilakukan dengan hasil adanya bukti penggunaan bahan kimia sebagai penyebab kebakaran tersebut. Ketujuh, pada 17 September 2014, atas inisiatif Rusia telah dibahas mengenai aspek kemanusiaan dan pengiriman bantuan kemanusiaan serta kebutuhan umum untuk memulai upaya penyelesaian konflik secara politis di Ukraina. Barat tidak mendukung hal itu. Dan permintaan Rusia untuk memfokuskan upaya masyarakat internasional mengakhiri pertumpahan darah dan memulai dialog politik antara pihak-pihak yang terlibat konflik juga mengalami jalan buntu. Baik pertemuan di PBB dan Kesepakatan Jenewa ternyata belum dapat menyelesaikan dan menemukan solusi damai bagi krisis Ukraina. Hal itu memperlihatkan delapan hal yang penting untuk dicermati. Pertama, adanya perpecahan sikap, posisi, dan perbedaan pandangan negara-negara anggota PBB terhadap prinsip-prinsip PBB, khususnya penghormatan terhadap kedaulatan, hak untuk menentukan nasib sendiri, dan integritas wilayah suatu negara, serta keperluan untuk menyelesaikan perselisihan secara damai. Dari sini terlihat bahwa konsep kedaulatan bersifat nisbi tergantung dari perspektif kekuatan yang memutuskannya. Kedua, walapun isi ranres memuat prinsipprinsip Piagam PBB, khususnya penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas wilayah suatu negara, namun belum menyentuh akar permasalahan krisis dan hal itu membuat penggunaannya terlihat bias dan memihak. Hal itu mengindikasikan pula adanya muatan politis Barat dibalik pengajuan ranres terkait krisis politik di Ukraina. Ketiga, pengajuan ranres mengenai krisis politik Ukraina juga dapat dinilai bukan sematamata hanya sebatas substansi ranres, yakni prinsip penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas wilayah suatu negara, namun juga tidak konsistennya negara-negara Barat dalam mengedepankan isu terkait prinsip tersebut, di mana pada kasus Kosovo, AS dan UE justru mendukung pemisahan Kosovo dari Serbia.
Keempat, beberapa negara yang belum secara lugas menyampaikan posisi nasionalnya dapat dilihat sebagai bentuk dilema prioritas dalam hubungan bilateral mereka dengan major powers yang terlibat dalam krisis Ukraina sehingga menyulitkan posisi mereka untuk mengambil sikap. Kelima, konsekuensi logisnya masalah keamanan dan perdamaian dunia, seperti krisis politik di Ukraina, didominasi oleh major powers yang bersikap tidak demokratis dan mengancam perdamaian dunia. Negara-negara berkembang kemudian hanya menjadi pemain pinggiran bukan mitra yang sejajar, pemain kunci, apalagi aktor utama yang dapat mengambil sikap politik secara independen atau mengarusutamakan suatu kebijakan politik. Keenam, resolusi PBB dapat dimainkan bukan sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah tetapi sebagai propaganda major powers dalam bentuk pemerasan politik dan ancaman ekonomi untuk menekan anggota PBB untuk menyetujui resolusi yang ditawarkan. Ketujuh, dengan demikian resolusi tersebut belum mencerminkan hubungan berdasarkan persamaan hak, saling menghormati, dan saling mempertimbangkan kepentingan di antara negara-negara yang berdaulat. Kedelapan, dalam perspektif yang lebih luas terdapat kecenderungan major powers saling bersaing untuk mendikte aturannya di negara lain, mengatur semuanya, dan memberlakukan aturan secara seragam atas perilaku dan kehidupan masyarakat dunia.
Standar Ganda Hak Penentuan Nasib Referendum merupakan bentuk hak untuk menentukan nasib sendiri yang diakui dalam hukum internasional. Menurut Sujatmoko, hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan suatu prinsip hukum internasional yang secara normatif telah diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional, antara lain, yaitu: Pasal 1 ayat (2) Piagam PBB; Pasal 1 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights; Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1514 (XV) 14 Desember 1960 tentang
100 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 79–108
Deklarasi Pemberian Kemerdekaan kepada Bangsa dan Negara Terjajah; Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2625 (XXV) 24 Oktober 1970 mengenai Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional tentang Kerja Sama dan Hubungan Bersahabat di antara Negara-negara dan Hubungan Bersahabat sesuai dengan Piagam PBB.55 Menurut perspektif tersebut, dengan demikian referendum di Krimea merupakan bentuk pelaksanaan hak untuk menentukan nasib sendiri, meskipun menimbulkan permasalahan internasional. Inti permasalahan tersebut adalah pada sah tidaknya penggabungan Krimea ke Rusia. Barat menganggap pelaksanaan referendum di Krimea merupakan cara Rusia untuk melakukan aneksasi terhadap Krimea. Aneksasi dalam hukum internasional merupakan perolehan wilayah secara tidak sah. Rusia tidak melihatnya demikian. Menurut Juwana, situasi penggabungan Krimea ke Rusia di bawah ancaman penggunaan kekerasan oleh militer Ukraina mirip ketika Timor Timur bergabung ke Indonesia tahun 1976. Negara-negara Barat, Eropa dan AS, menganggap proses formal tidak cukup. Beda antara Indonesia dan Rusia saat ini adalah Indonesia ketika itu dianggap tidak mempunyai kekuatan yang memadai ketika berhadapan dengan negara-negara Barat. Tentu tidak demikian bagi Rusia. Rusia sangat mampu untuk menghadapi negara-negara Barat, baik dalam proses damai maupun tidak damai. Dalam proses damai, Rusia memiliki hak veto di DK PBB. Rusia akan mudah memveto apa pun resolusi DK PBB yang tidak menguntungkan mereka.56 Dengan demikian, terlihat adanya standar ganda Barat mengenai hak untuk menentukan nasib sendiri. Sistem/masyarakat internasional masih menerapkan inkonsistensi yang diterapkannya terkait isu referendum, kedaulatan, dan hak penentuan nasib. Di masa lalu, Barat tidak Andrey Sujatmoko, “Kemerdekaan Sebagai Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri (Right to Self-Determination) dalam Perspektif Hukum Internasional (Studi Kasus terhadap Kemerdekaan Kosovo)”, hlm. 3-5. 55
Hikmahanto Juwana, “Krimea: Menjaga agar Tak Jadi Perang Panas,” Koran Sindo, http://law.ui.ac.id/v2/buletin/media/50Krimea-menjaga-agar-tak-jadi-perang-panas, diakses pada tanggal 10 April 2014.
menghiraukan negara-negara yang melakukan referendum seperti di Transnistria pada 2006, Ossetia Selatan pada 2006, Catalonia pada 2013 dan pada beberapa kasus bahkan turut aktif mendukungnya seperti di Timor Timur pada 1976 dan 1999, Kosovo pada 2008, Sudan Selatan pada 2011, dan Kepulauan Falkland/Malvinas pada 2013, dan rencana referendum Skotlandia pada 2014.57 Bahkan hingga saat ini Barat tanpa reserve mendukung okupasi Israel di Palestina dan pemisahan Taiwan dari Cina. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya tidak terdapat prinsip-prinsip hukum internasional yang riil yang mengatur dan melindungi kedaulatan suatu bangsa dalam hubungan internasional saat ini. Hal itu tergantung daripada kepentingan, kekuatan, daya tawar dan kriteria dari masing-masing pihak yang mengingingkan satu hal dan menolak hal yang lain. Keadaan semacam ini apabila dibiarkan terus terjadi akan menciptakan anarki yang akan menerapkan hukum rimba. Konsekuensinya, kekerasan dalam hubungan antar negara adalah hal yang lumrah dan bahkan kekerasan merupakan fitur endemik sistem/masyarakat internasional yang anarki serta kontrol kekerasan atau konflik tersebut dilakukan melalui hukum internasional yang ditentukan oleh power politics.
Belajar dari Krimea Dengan memperhatikan aspek-aspek politik dan hukum di atas, Indonesia perlu berhati-hati dalam menentukan sikap atas keabsahan referendum Krimea dan mencermati implikasinya bagi penanganan kasus separatisme di tanah air. Kejadian semacam Krimea dapat menimbulkan preseden yang berbahaya bukan saja bagi perkembangan dan kelangsungan hidup bangsa dan negara, tetapi juga kemerdekaan, kedaulatan, dan keutuhan wilayah suatu bangsa dan negara. Menyatakan hasil referendum Krimea tidak sah secara terbuka akan membenturkan Indonesia dengan Rusia. Di sisi lain, Indonesia tidak dapat menyatakan referendum sah karena dapat berdampak terhadap sikap negara-negara yang menentang referendum
56
57 RT, “5 Referendums that the West has not taken issue with”, http://rt.com/news/referendums-ukraine-west-relations-782/, diakses pada tanggal 15 Maret 2014.
Krisis Ukraina dan Dampaknya ... | Frassminggi Kamasa | 101
Krimea. Dan hal itu kemudian akan dapat memberikan peluang bagi gerakan-gerakan separatisme domestik. Mempertimbangkan hal tersebut, Indonesia menghindari memberikan pernyataan mengenai keabsahan referendum Krimea hingga tiba waktu dan kesempatan yang tepat. Indonesia memberikan posisinya secara umum terkait krisis politik di Ukraina pada 4 Maret 2014 sebagai berikut: • RI prihatin atas semakin memburuknya kondisi di Ukraina, yang semula menyangkut ketidakstabilan politik di dalam negeri negara, kini berkembang menjadi suatu krisis internasional yang tidak saja mengancam kedaulatan serta keutuhan wilayah negara Ukraina, melainkan juga beresiko meningkatkan ketegangan hubungan antara negaranegara terkait; • Indonesia menegaskan posisi prinsipnya selama ini dalam menghadapi berbagai permasalahan internasional yang senantiasa menjunjung tinggi penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas wilayah sebagai prinsip dasar hubungan antar negara; • Indonesia mendorong semua pihak yang terkait untuk menahan diri, mengelola krisis (crisis management) dan mengutamakan penyelesaian damai situasi di Ukraina dan senantiasa menghormati hukum internasional; • Indonesia juga menyerukan kepada DK PBB, termasuk negara-negara anggota tetap DK PBB, agar memikul tanggung jawabnya sesuai Piagam PBB dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional menyangkut krisis di Ukraina, termasuk kemungkinan melalui pengiriman utusan khusus Sekjen PBB ke kawasan terkait.58 Dan baru setelah pembahasan referendum di Krimea dibahas di PBB pada 15 Maret 2014 maka Kementerian Luar Negeri RI, “Indonesia Serukan Sikap Menahan Diri dan Penyelesaian Damai Krisis Ukraina”, http:// kemlu.go.id/Pages/News.aspx?IDP=6832&l=id, diakses pada tanggal 4 Maret 2014. 58
Indonesia kemudian memformulasikan posisinya terhadap referendum Krimea. Pada 21 Maret 2014, Menteri Luar Negeri RI menyampaikan posisi RI terkait referendum Krimea sebagai berikut (Kementerian Luar Negeri RI, 2014): • Indonesia konsisten mendukung integritas teritorial suatu negara dan inviolability of borders, serta tidak bisa menerima langkah apapun yang melanggar kedaulatan dan keutuhan wilayah suatu negara. Terkait hal ini, di satu sisi Indonesia dapat mendukung pemisahan suatu wilayah dari suatu negara jika disetujui negara induknya, contoh: pemisahan Montenegro dari Serbia, serta Sudan Selatan dari Sudan. Di sisi lain, Indonesia menolak pemisahan suatu wilayah dari suatu negara yang dilakukan secara sepihak, sebagaimana kasus Kosovo dari Serbia, serta Abkhazia dan Ossetia Selatan dari Georgia tersebut. Dalam isu Krimea, Indonesia juga mengedepankan dan memegang teguh posisi prinsip tersebut. Dengan demikian, Indonesia tidak mendukung pemisahan Krimea dari Ukraina, karena tidak melalui persetujuan negara induknya; • Indonesia juga senantiasa menghormati proses konstitusional dan penegakan prinsip-prinsip demokrasi. Merujuk gejolak politik di Ukraina sebelumnya, Indonesia tidak ingin melihat perubahan sebuah pemerintahan yang sebenarnya terpilih secara sah dilakukan melalui aksi yang tidak konstitusional; • Indonesia menekankan penyelesaian politik secara damai melalui dialog nasional yang inklusif melibatkan semua pihak, serta; • Mendukung upaya-upaya menurunkan ketegangan dan promosi penyelesaian sengketa secara damai. Dari pernyataan tersebut Indonesia telah bersikap jelas bahwa kedaulatan negara adalah hal prinsipil yang tidak dapat diganggu gugat. Dalam kasus Ukraina, Indonesia secara implisit
102 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 79–108
memahami bahwa revolusi berwarna di Kyiv adalah kudeta yang menimbulkan eskalasi krisis politik di Ukraina. Oleh karena itu, karena tidak menginginkan hal itu terjadi di tanah air, Indonesia menekankan pentingnya penghormatan terhadap integritas wilayah dan tidak ikut campur dalam negeri negara lain. Untuk itu, Indonesia meminta agar semua pihak yang berkonflik menahan diri dan mengedepankan penangangan krisis dengan jalan damai serta menghormati hukum internasional. Dengan demikian, posisi Indonesia terlihat cukup seimbang, konsisten, dan impersonal. Indonesia tidak mengaitkan dengan hubungan Utara-Selatan atau Timur Barat tetapi berdasarkan prinsip-prinsip nasional. Posisi Indonesia cukup konsisten karena dalam menghadapi berbagai situasi serupa di berbagai kawasan, Indonesia berprinsip penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas wilayah sebagai dasar hubungan antar bangsa. Hal itu terefleksikan pada pandangan RI dalam kasus Kosovo, Abkhazia, dan Ossetia Selatan yang berbeda dengan kasus Sudan Selatan dan Montenegro yang mendapat persetujuan dari pemerintah pusat. Meski harus diberikan catatan bahwa posisi tersebut terlihat canggung karena secara faktual tidak ada pemerintah yang ingin melepaskan wilayahnya secara genuine dan damai. Oleh karena itu, artikel ini berpendapat untuk amannya, selanjutnya dalam fora internasional, Indonesia dapat untuk tidak memihak namun tetap menyuarakan posisi prinsipilnya. Tidak memihak, secara realistis, adalah hal yang terbaik yang dapat dilakukan Indonesia untuk memagari kedaulatan NKRI. Dan upaya memagari kedaulatan NKRI setidaknya dapat dilakukan melalui sinergi kebijakan dalam dan luar negeri Indonesia. Dalam kebijakan dalam negeri, Indonesia perlu mengatasi sumber konflik daerah bergejolak di tanah air. Secara umum sumber konflik daerah bergejolak di Indonesia, misalnya di Papua, adalah karena adanya pelanggaran HAM dan kekerasan, eksploitasi SDA, pembangunan ekonomi yang lambat, marginalisasi masyarakat, dan sejarah integrasi. Selain itu, Indonesia perlu menyeimbangkan antara pendekatan kebebasan dan keamanan dalam mengatasi
potensi disintegrasi nasional. Pendekatan otoriter yang tidak menyerap aspirasi rakyat justru membuat konflik semakin dalam dan lebar. Meski demikian, tindakan tegas perlu dilakukan terhadap intervensi asing dalam kasus separatisme di Indonesia. Terkait dengan intervensi asing dalam kasus separatisme di Indonesia, Chomsky (2013) berpendapat bahwa AS dan Australia sebagai aktor utama di balik kasus Timor Timur karena kepentingan untuk membendung efek domino Komunisme di Asia Tenggara. Indonesia hanyalah negara yang didukung oleh AS untuk menjalankan skandal tersebut. Hal yang sama, menurut Chomsky, juga terjadi pada kasus Papua.59 Oleh karena itu, selain fokus untuk mengatasi tekanan internal dengan pendekatan kesejahteraan, kebebasan, dan keamanan yang berimbang, Indonesia juga perlu fokus dan waspada akan intervensi asing dan jalinan komprador dalam negeri melalui revolusi berwarna. Berbagai skema bantuan melalui isu demokratisasi, penyebaran HAM, dan penguatan kapasitas untuk good governance di seluruh daerah Indonesia pada umumnya, dan daerah rawan separatisme pada khususnya, perlu dicermati dan dikelola dengan mengedepankan aspek wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Hal itu karena, seperti yang terlihat pada krisis Ukraina, dalam hubungan internasional saat ini berbagai manuver tersebut telah dilakukan oleh sistem/masyarakat internasional untuk mendestabilisasi, menjatuhkan rezim, atau bahkan mem-balkanisasi suatu negara yang tidak sejalan dengan agenda dan kepentingannya. Dalam kebijakan luar negeri, upaya memagari kedaulatan bangsa/negara dapat dilakukan pada tingkat bilateral, regional, dan multilateral. Dalam upaya bilateral perlu dilakukan pendekatan kepada individu dan kelompok gerakan separatis di Indonesia, menangkal diseminasi informasi terkait kondisi Victor Mambor, “Noam Chomsky: Kasus Papua Barat itu “Major Scandal” Papua Post, http://papuapost.com/2013/12/ noam-chomsky-kasus-papua-barat-itu-major-scandal/, diakses pada tanggal 3 Juli 2014. “There have been efforts to move to an independent Asia. Noam Chomsky interviewed by Prodita Sabarini” The Jakarta Post, http://www.thejakartapost.com/ news/2014/03/19/there-have-been-efforts-move-independentasia.html, diakses pada tanggal 3 April 2014. 59
Krisis Ukraina dan Dampaknya ... | Frassminggi Kamasa | 103
daerah separatis atau proses integrasi ke dalam NKRI, pengembangan otonomi khusus yang bertanggung jawab, pelaksanaan repatriasi, dan lobi intensif kepada pemerintah negara akreditasi untuk memperoleh dukungan atas integritas wilayah RI. Dalam upaya regional, Indonesia dapat berpartisipasi sebagai mitra dialog dalam berbagai forum di mana aktor intelektual gerakan separatis bermain. Dalam upaya multilateral, Indonesia dapat melakukan lobi, penggalangan dalam berbagai forum internasional seperti DK PBB, dan mencegah internasionalisasi masalah separatisme di Indonesia. Selain itu, dalam fora internasional, Indonesia harus konsisten untuk menyuarakan bahwa self-determination hanya dapat diaplikasikan pada negara dan tidak kepada masyarakat, tidak bertentangan dengan integritas wilayah, dan mengusung prinsip non-intervensi dalam domestik masalah negara tersebut. Indonesia tidak dapat menerima segala macam manuver politik-ekonomi dengan mengajukan ancaman untuk merdeka apabila suatu kepentingan tertentu tidak diluluskan atau pemisahan sebagai suatu alat tawar dan bahkan pemerasan politik atau sanksi. Strategi politik demikian adalah pelanggaran prinsip demokrasi konstitusionalisme dan hubungan antara negara-negara yang beradab. Jalinan perpaduan antara kebijakan dalam dan luar negeri tersebut kemudian harus disinkronkan dengan posisi Indonesia dalam penerimaan hukum internasional ke dalam hukum nasional. Indonesia tidak perlu terjebak dalam dikotomi penerapan hukum internasional secara dualisme atau monisme. Indonesia dapat mempunyai jalan tengahnya sendiri dengan mengedepankan primat hukum nasional di atas hukum internasional, bukan sebaliknya. Hal ini karena lima hal: Pertama, hukum internasional dalam berbagai kasus hanya menjadi alat sistem/ masyarakat internasional untuk menggapai tujuannya dengan mengorbankan hak/ kepentingan pihak lain. Kedua, Penerapan hukum internasional sering inkonsisten tergantung oleh siapa yang menentukan, apa isunya, dan bagaimana dampaknya terhadap sistem/ masyarakat internasional. Ketiga, apabila primat hukum internasional bersifat universal di atas
hukum nasional maka akan terjadi benturan dengan local wisdom yakni keunikan, kekhasan, dan ciri suatu bangsa yang berbeda dengan bangsa lain. Akibatnya harmoni dan kemajuan bangsa dan suku bangsa terancam punah. Keempat, selain itu, bukan tidak mungkin setiap tindakan pemerintah nasional dalam mengatasi daerah separatis, yang dibenarkan dalam UU nasional, dinilai bertentangan dengan hukum internasional dan kemudian dihukum dengan berbagai cara. Yang paling aktual adalah melalui intervensi dengan alasan kemanusiaan (Responsibility to Protect-R2P). Kelima, Kesemuanya itu pada gilirannya akan mengancam kedaulatan dan berpotensi memecah NKRI. Melihat cermin dunia internasional yang terjadi di Ukraina saat ini, Indonesia harus mendukung tatanan dunia yang multipolar yang menghargai perbedaan cara pandang dalam menjalankan pemerintahan/negara, kemajemukan dalam mencapai proyeksi kepentingan nasional, dan tidak menginginkan adanya agresivitas, eksepsionalisme, dan unilateralisme masyarakat/ sistem internasional saat ini. Dengan itu Indonesia dapat menjaga keselamatan bangsa, kedaulatan negara, integritas wilayah, dan marwah bangsa. Pelajaran dari Ukraina membuat Indonesia harus lebih cermat dan waspada melihat dinamika hubungan internasional aktual terhadap kepentingan nasionalnya. Sebelum mengeluarkan suatu kebijakan, dalam dan luar negeri, Indonesia harus melihat berbagai aspek poleksosbudhankam secara komprehensif untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Untuk itu, mutlak diperlukan lintas koordinasi dan sinergi antar para pemangku kepentingan. Dengan demikian diharapkan dengan koordinasi dan sinergi dalam berbagai aspek tersebut Indonesia dapat memagari kedaulatan bangsa/negara dan menangkal TAHG internal dan eksternal.
Penutup Krisis di Ukraina adalah revolusi berwarna yang dilakukan oleh sistem/masyarakat internasional untuk menggulingkan pemerintahan yang sah terpilih lewat pemilu dan menggantinya dengan pemerintahan yang pro-Barat. Krisis di Ukraina berdampak pada tatanan politik global dalam dua hal. Pertama, kekuatan politik internasi-
104 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 79–108
onal menuju sebuah perimbangan baru yang sebelumnya didominasi oleh Barat. Kedua, konsekuensinya, tatanan politik global multipolar kini mulai menemukan bentuknya. Hal itu karena Rusia yang sebelumnya terlihat terpojok dan lemah, kini atas respons anti-sistemiknya di Rusia tampak lebih asertif menghadapi Barat. Sebaliknya bagi Barat, hal itu membuat mereka bersatu padu untuk menghukum Rusia dengan memberikan sanksi atau eskalasinya di saat yang tepat. Mengingat peran Rusia sebagai pemain global yang semakin diperhitungkan dan aliansi strategisnya dengan negara-negara Brasil, Rusia, India, Cina, Afrika Selatan (BRICS), situasi ini dapat memunculkan awal/dasar pada perimbangan baru dalam tatanan politikekonomi global dan regional. Implikasinya, hal itu menimbulkan dua kemungkinan apakah Barat dan Rusia menahan diri untuk tidak saling mengganggu atau sebaliknya. Apabila yang terakhir dipilih maka hal itu dapat membawa konsekuensi global berupa tantangan serius terhdap sistem petro-dollar, ambruknya dollar AS, perang konvensional, atau bahkan bencana nuklir di Eropa Timur. Terkait dengan legitimasi krisis politik di Ukraina, tidak dibenarkan dalam hubungan bangsa-bangsa yang beradab siapapun untuk mengganti rezim atau membatalkan produk kebijakan yang ditempuh secara demokratis dalam suatu negara. Tindakan tersebut yang apabila kemudian diikuti dengan kebijakan konstitusional tidak membenarkan tindakan inkonstitusional tersebut. Dengan demkian, pihak yang melakukan tekanan atau bantuan dalam tindakan inkonstitusional tersebut harus bertanggung jawab atas kerusuhan sosial dan politik yang timbul darinya. Sehubungan dengan hak untuk menentukan nasib sendiri dalam bentuk referendum, terlihat adanya power politics Barat dalam melihat permasalahan tersebut. Hal itu memberikan pelajaran bagi Indonesia yang secara konsisten harus mengusung prinsip non-intervensi dan menyuarakan bahwa self-determination hanya dapat diaplikasikan pada negara dan tidak kepada masyarakat, dan tidak bertentangan dengan integritas wilayah. Selain itu, segala
macam manuver politik-ekonomi (domestik dan global) dengan mengajukan ancaman untuk merdeka apabila suatu kepentingan tertentu tidak diluluskan atau pemisahan sebagai suatu alat tawar dan bahkan pemerasan politik atau sanksi tidak dapat diterima. Strategi politik demikian adalah pelanggaran prinsip demokrasi konstitusionalisme dan hubungan bangsa-bangsa yang beradab. Sebagai negara kekuatan menengah, Indonesia harus lebih jeli membaca berbagai dinamika internasional saat ini menjadi kesatuan yang utuh sehingga dapat menjadi panduan dalam menentukan kebijakan nasionalnya. Dengan itu pula Indonesia dapat menjaga kedaulatan bangsa/ negara, mengantisipasi TAHG, dan mengukur kemampuannya secara objektif dan rasional.
Daftar Pustaka Buku Arquilla, John & David Ronfeldt. 2000. Swarming & The Future of Conflict. California: RAND. Arquilla, John & David Ronfeldt. 1993. Cyberwar is Coming!. California: RAND. Brzezinski, Zbigniew. 1997. The Grand Chessboard: American Primacy and Its Geostrategic Imperatives. Washington DC: Basic Books. Bull, Hedley. 1977. The Anarchical Society. A Study of Order in World Politics. New York: Columbia University Press. Bureau of Political-Military Affairs. 2009. U.S. Government Counterinsurgency Guide. Washington: Bureauf of Political Military Affairs. Chossudovsky, Michel. 2002. War and Globalisation. Ottawa: Global Outlook. Cordesman, Anthony. 2014. Russia and the “Color Revolution”. Washington: CSIS. Cordesman, Anthony (et.al). 2010. The Arab Israeli Military Balance, Conventional Realities and Assymetric Challanges. Washington: CSIS. Engdahl, F. William. 2009. Full Spectrum of Dominance, Totalitarian Democracy in the New World Order. Wiesbaden: edition.engdahl. -----------. 2014. Anglo-American Oil Politics and the New World Order. London: Pluto Press. Frieden, Jeffrey. 2006. Global Capitalism: Its Falls and Rise in the Twentieth Century. New York: W.W Norton & Company.
Krisis Ukraina dan Dampaknya ... | Frassminggi Kamasa | 105
Hermawan, Yulius (Ed). 2007. Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi. Yogyakarta: Graha Ilmu. Jamil, Mukhsin (Ed). 2007. Memahami Konflik. Semarang: Wali Songo Media Center. Mearsheimer, John & Stephen Walt. 2010. Dahsyatnya Lobi Israel. Jakarta: Gramedia. Organski, A.F.K. & Jack Kugler. 1980. The War Ledger. Chicago. Perkins, John. 2009. Hoodwinked. New York: Broadway Books. ----------. 2004. Confessions of an Economic Hit Man. San Fransisco: Berrett-Koehler Publishers, Inc. Sujatmoko, Andrey. Tanpa Tahun. Kemerdekaan Sebagai Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri (Right to Self-Determination) dalam Persepektif Hukum Internasional (Studi Kasus terhadap Kemerdekaan Kosovo). Tammen, Ronald, dkk. 2000. Power Transitions: Strategies for the 21st Century. New York: Chatham House Publishers. Wilson, Jeanne. 2014. Colour Revolutions: The View From Moscow and Beijing. Cambridge: Centre for East European Language Based on Area Studies.
Jurnal Adrian, Garry. 2014. “Ukraina Memanas; Beli Dollar atau Emas?.” IM Trader, Vol. 5, Maret-April. Dragneva-Lewers, Rika & Katryna Wolczuk. 2013. “Russia, the Eurasian Customs Union and the EU: Cooperation, Stagnationor Rivalry?” National Security & Defence, No.4-5. Information-Analytical Bulletin of the Cabinet of Ministers of Ukraine. 2013. “Ukraine wants global free trade”, 25 Oktober. Kamasa, Frassminggi. 2014. “Global Governance in a Globalizing World: Do Globalization and Global Governance Erode National Sovereignty?”, Opinio Juris 14. ----------. 2014. “Dari Bretton Woods ke Petro-Dollar: Analisis dan Evaluasi Kritis Sistem Moneter Internasional”, Jurnal Global Strategis, 8(2): 233-254. Kubicek, Pavel. 2005. “The European Union and democratization in Ukraine”, Communist and Post-Communist Studies 38: 272-274. Journal of the United Nations. “Asia-Pasific Group (on the latest developments in Ukraine),” 2014/51, 19 Maret 2014. Yudiatmaja, Wahyu Eko. 2012. “Jebakan Utang Luar Negeri Bagi Beban Perekonomian dan
Pembangunan Indonesia.” Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan I 3(1).
Laporan dan Makalah Arrighi, Giovanni. 2003. “Hegemony and AntiSystemic Movements”, Paper Prepared for the International Seminar REGGEN (Global Economic Network and Sustainable Development) 2003, Globalization Constraints and Regionalization Processes, Rio de Janeiro. 18-22 Agustus. Constitution of Ukraine. Chapter III, Article 73 & Chapter X, Article 134. European Union External Action. 2014. “Joint Statement Geneva Statement on Ukraine.” Geneva, 17 April. Kamasa, Frassminggi. 2014. “Dinamika Kawasan Eropa Tengah dan Timur dan Kepentingan Indonesia.” Workshop Perdamaian dan Hubungan Internasional di Amerika dan Eropa. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 5 September. Ministry of Foreign Affairs of Ukraine. 2014. ”Comparative Data on Protection of Russian Ethnic Minority’s Right in Ukraine and Ukrainian Ethnic Minority’s Rights in Russia.” 14 Maret. The Ministry of Foreign Affairs of the Russian Federation. 2014. “Statement by the Russian Ministry of Foreign Affairs regarding accusations of Russia’s violation of its obligation under the Budapest Memorandum of 5 December 1994.” 1 April.
Surat Kabar dan Website Ames, Mark. 2014. “Pierre Omidyar co-founded Ukraine revolution grops with US government, document show.” Pando Daily. http:// pando.com/2014/02/28/pierre-omidyar-cofunded-ukraine-revolution-groups-with-usgovernment-documents-show/. Bryant, Nick. 2014. “Ukraine’s Yanukovych asked for troops, Russia tells UN.” BBC. http://www.bbc. com/news/world-europe-26427848. Burns, Robert. “NATO official: Russia now an adversary”. http://news.yahoo.com/natoofficial-russia-now-adversary-150211090-politics.html. Charskiy, Vyacheslav. 2014. “Gerakan Maidan: Nasionalis, atau Pemberontak Ukraina?” RBTH Indonesia, http://indonesia.rbth. com/politics/2014/05/05/gerakan_maidan_ nasionalis_atau_pemberontak_ukraina_23731. html.
106 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 79–108
China Daily. “Ukraine detains 12 former riot police in deaths of protesters”, http://www.chinadaily. com.cn/world/2014-04/04/content_17405888. htm. Engdahl, William. 2014. “Ukraine Protests Carefully Orchestrated: The Role of CANVAS, USFinanced “Color Revolution Training Group.” Global Research. http://www.globalresearch. ca/ukraine-protests-carefully-orchestrated-therole-of-canvas-us-financed-color-revolutiontraining-group/5369906. Faruqi, Shad Saleem. 2014. “Double Standards on Krimea.” The Star, http://www.thestar.com.my/ Opinion/Columnists/Reflecting-On-The-Law/ Profile/Articles/2014/04/03/Double-standardson-Krimea/. Fornichev, Oleg. 2014. “Putin: Kami Tidak Ingin Memecah Ukraina.” RBTH Indonesia, http:// indonesia.rbth.com/politics/2014/03/19/putin_ kami_tidak_ingin_memecah_ukraina_23425. html. Global Research News. 2014. “American Conquest by Subversion: Victoria Nuland’s Admits Washington Has Spent $5 Billion to “Subvert Ukraine.” http://www.globalresearch.ca/ american-conquest-by-subversion-victorianulands-admits-washington-has-spent-5billion-to-subvert-ukraine/5367782. Global Times. “West-Russia rivalry bleeds Ukraine dry.” http://backup.globaltimes.cn/NEWS/ tabid/99/ID/843608/West-Russia-rivalrybleeds-Ukraine-dry.aspx. Gerstenfeld, Manfred. 2014. “Why Israel should monitor the Ukraine conflict closely.” The Jerusalem Post. http://www.jpost.com/Opinion/ Op-Ed-Contributors/Why-Israel-shouldmonitor-the-Ukraine-conflict-closely-352559. Hadar, Ivan. “Warisan Utang 2014.” Koran Sindo. http://nasional.sindonews.com/ read/866412/18/warisan-utang-2014. Hall, John. 2014. “Estonian Foreign Ministry confirms authenticity of leaked phone call discussing how Kiev snipers who shot protesters were possibly hired by Ukraine’s new leaders.” Daily Mail. Harress, Christopher. 2014. “Poland and Lithuania Wary of Kaliningrad Being Base of Next Move From Russia.” International Business Times. http://www.ibtimes.com/poland-lithuaniawary-kaliningrad-being-base-next-moverussia-1561963. Hudson, Michael. 2014. “The New Cold War’s Ukraine Gambit”, Strategic Culture, http:// www.strategic-culture.org/news/2014/05/21/ the-new-cold-war-ukraine-gambit.html.
Interfax-Ukraine. 2014.“US Providing Ukraine with financial, technical and non-lethal aid before presidential elections-Nuland.” http:// en.interfax.com.ua/news/general/204163.html. -----------. 2014. “Death toll of Ukraine conflilct exceeds 3,500-UN.” http://en.interfax.com.ua/ news/general/225196.html. ITAR-TASS News Agency. 2014. “Russia stops gas supplies to Ukraine, transit to EU totals 185 million cu m daily-Prodan.” http://en.itar-tass. com/economy/736286. Juwana, Hikmahanto. 2014. “Krimea, Menjaga agar Tak Jadi Perang Panas.” Koran Sindo. http:// law.ui.ac.id/v2/buletin/media/50-Krimeamenjaga-agar-tak-jadi-perang-panas. Kementerian Luar Negeri RI. 2014. “Indonesia Serukan Sikap Menahan Diri dan Penyelesaian Damai Krisis Ukraina”, http://kemlu.go.id/ Pages/News.aspx?IDP=6832&l=id. Lally, Kathy. 2014. “Ousted Ukraine president warns of civil war, criticizes U.S. for aiding current government.” Washington Post. http://www.washingtonpost.com/ world/ousted-ukraine-president-warns-ofcivil-war-criticizes-us-for-aiding-currentgovernment/2014/03/11/13fd0482-a907-11e3b61e-8051b8b52d06_story.html. Liphshiz, Cnaan. 2014. “In Kiev, an Israeli army vet led a street-fighting unit” JTA, http://www.jta. org/2014/02/28/news-opinion/world/in-kievan-israeli-militia-commander-fights-in-thestreets-and-saves-lives#ixzz2uvYcMBEl. Lossan, Alexey. 2014. “Putin: Rusia Siap Akui Pemilu Ukraina” RBTH Indonesia, http://indonesia. rbth.com/politics/2014/05/28/putin_rusia_ siap_akui_pemilu_ukraina_23923.html. Macdonald, Alastair. 2014. “Putin aide warns U . S . o n U k r ai n e, s ay s R u s s i a co u ld act.” Reuters. http://www.reuters.com/ article/2014/02/06/us-ukraine-russia-glazyevidUSBREA150X720140206. Mambor, Victor. 2014. “Noam Chomsky: Kasus Papua Barat itu “Major Scandal.” Papua Post. http:// papuapost.com/2013/12/noam-chomsky-kasuspapua-barat-itu-major-scandal/. Marcus, Jonathan. 2014. “Ukraine Crisis: Transcript of leaked Nuland-Pyatt Call.” BBC, http://www. bbc.com/news/world-europe-26079957. Pogarska, Olga & Edilberto Segura. 2014. “UkraineEconomic Situation-April 2014.” Unian Information Agency. http://www.unian.info/ politics/908836-ukraine-economic-situationapril-2014.html.
Krisis Ukraina dan Dampaknya ... | Frassminggi Kamasa | 107
Press TV. “Kiev snipers hired by Maidan coalition: Leaked call.” http://www.presstv.com/ detail/2014/03/07/353636/maidan-coalitionhired-kiev-snipers/. Putin, Vladimir. 2014. “Russia in a Changing World: Stable Priorities and New Opportunities.” http://eng.kremlin.ru/news/4145. Rapoza, Kenneth. 2014.“Ukraine Welcomes I M F Austerity Regime.” Forbes. http://www.forbes. com/sites/kenrapoza/2014/03/28/ukrainewelcomes-imf-austerity-regime/. RT. “Kiev allows police to use firearms, demands armed rioters lay down weapons”. http:// rt.com/news/ukraine-kiev-firearms-weaponspolice-934/. ----------.“5 Referendums that the West has not taken issue with.” http://rt.com/news/referendumsukraine-west-relations-782/. ----------.“Who will threatened sanctions hit most? US-EU Russia trade in numbers.” http://rt.com/ business/us-eu-russia-sanctions-590/. Samuel, Raymond. 2014. “Kegelapan’ Menghantui Ukraina.” Berdikari Online. http://www. berdikarionline.com/dunia-bergerak/20140302/ kegelapan-menghantui-ukraina. html#ixzz36rMZ59hc. Sinha, Nidhi. 2014. “Ukraine seeks way between EU and Russia.” Global Times. http://www. globaltimes.cn/content/842988.shtml. The Associated Press & Reuters. 2014. ”Everything you need to know about Krimea” Haaretz. http://www.haaretz.com/news/world/1.577286. The Jakarta Post. “There have been efforts to move to an independent Asia. Noam Chomsky
interviewed by Prodita Sabarini.” http://www. thejakartapost.com/news/2014/03/19/therehave-been-efforts-move-independent-asia. html. The Times of Israel. “Yanukovych blames fascists, West for Ukraine Chaos.” http://www.timesofisrael. com/yanukovych-blames-fascists-west-forukraine-chaos/. UNHCR. 2014. “Sharp Rise in Ukrainian displacement, with more than 50,000 internally displaced.” http://www.unhcr.org/53ad57099.html. United States Committee on Foreign Relations 2014. “Business Meeting and Implications of the Crisis in Ukraine Hearing.” http://www.foreign. senate.gov/hearings/business-meeting-andimplications-of-the-crisis-in-ukraine-hearing. The Global Review. “NATO: Gencatan Senjata di Ukraina Baru Sebatas Teori.” http:// www.theglobal-review.com/content_detail. php?lang=id&id=16304&type=103#. VCoiYVfuyso. Westcott, Lucy. 2014. “BRICS Conference Plots a Challange to Western Economic Domination.” Newsweek. http://www.newsweek.com/bricsconference-plots-challenge-western-economicdomination-259093. Zakaria, Fareed. 2012. “Israel has become Mideast superpower.” Toronto Star. 25 September.
108 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 79–108
POTRET RASA KEBANGSAAN DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA-MALAYSIA: KASUS DESA LONG NAWANG MALINAU DAN KRAYAN NUNUKAN, KALIMANTAN UTARA1 NATIONHOOD IN BORDER AREA OF INDONESIA-MALAYSIA: CASES OF LONG NAWANG MALINAU AND KRAYAN NUNUKAN VILLAGE IN NORTH KALIMANTAN Syafuan Rozi Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected],
[email protected] Diterima: 4 Maret 2014; direvisi: 23 Mei 2014; disetujui: 27 Juni 2014 Abstract The presumption that a sense of nationalism in border communities is fragile is not entirely wrong, but also not entirely correct. Many factors that cause a sense of nationalism border communities strong or otherwise, weak. The state has an important role in growing and maintaining a sense of nationality communities across the country, especially in border areas. This paper presents a portrait of a sense of nationhood in the comprehension and daily life of border communities. At the end, this paper is trying to give some recommendation to the government and another stakholders, about how to crate a good approach to build nationhood in a border communities which more civilized and humanist. Keywords: Nationhood/nationalism, Border Land, Government Role. Abstrak Anggapan bahwa rasa nasionalisme pada masyarakat perbatasan itu rapuh tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Banyak faktor yang menyebabkan rasa nasionalisme masyarakat perbatasan menjadi kuat atau sebaliknya, rapuh. Negara memiliki peran penting dalam menumbuhkan dan memelihara rasa kebangsaan masyarakat di seluruh nusantara, khususnya di wilayah perbatasan. Tulisan ini menyajikan potret rasa kebangsaan dalam pemahaman dan keseharian masyarakat perbatasan. Pada akhirnya, tulisan ini ingin memberikan sebuah rekomendasi kepada pemerintah dan pemangku kepentingan terkait, bahwa pendekatan untuk menumbuhkan dan memelihara rasa kebangsaan masyarakat perbatasan haruslah lebih inovatif dan humanis serta beradab. Kata Kunci: kebangsaan, wilayah perbatasan, peran pemerintah.
Artikel ini merupakan summary yang ditulis oleh Syafuan Rozi dari hasil penelitian Tim Nasionalisme P2P LIPI tahun 2013 dengan tema besar Eksistensi Kebangsaan dan Keindonesiaan di Wilayah Perbatasan Darat Indonesia-Malaysia: Kasus Kalimantan Utara dengan tim peneliti terdiri dari: Firman Noor (koordinator), Syafuan Rozi, Nina Andriana, Asvi Warman Adam, Mochtar Pabottingi dan (Alm.) Muridan S Widjojo. Ucapan terima kasih kepada semua pihak dan narasumber yang menjadi inspirasi dan sumber data dari tulisan ini. 1
Potret Rasa Kebangsaan di Wilayah Perbatasan ... | Syafuan Rozi | 109
“Jika dalam waktu 5 tahun tidak ada perbaikan jalan ke Krayan, Jangan salahkan kami jika patok batas berpindah ke Malaysia”. (Pernyataan Ketua Adat Besar Dayak Lundayeh Krayan, Long Bawan, Nunukan 2013)
Pendahuluan Bukanlah hal yang mudah untuk tidak menggunakan emosi dalam menggambarkan apa dan bagaimana terjadinya pasang surut dan krisis rasa kebangsaan warga Indonesia di perbatasan. Fakta bahwa kondisi warga “kita” di perbatasan Indonesia yang masih jauh tertinggal kondisi infrastruktur dan pelayanan publiknya,2 dibandingkan dengan Sabah Serawak. Sementara itu, warga perbatasan Malaysia, tampak kian maju dalam derap pembangunan fisik dan pelayanan publik serta perekonomiannya. Ketimpangan itu telah menggerus rasa kebangsaan warga kita menjadi tipis seperti lapisan ari kulit bawang. Sementara itu, pihak kerajaan Malaysia terus berpacu dalam Politik Unifikasi, Satu Malaysia, membangun daerah ‘sempadannya’ di Serawak dengan bantuan kredit bank untuk pengolahan perkebunan, skema bantuan pendidikan dan subsidi barang kebutuhan pokok (Gas, BBM, gula, dan sebagainya). Namun di perbatasan kita, masih dalam pembentukan ‘Badan Pengelola Perbatasan’, pulangnya dokter PTT, perpustakaan tanpa buku, penerbangan oleh misionaris dan swasta. Upacara bendera dan pengajaran semangat kebangsaan di sekolah untuk menghidupkan wacana NKRI Harga Mati dan ‘bersatu itu indah’. Mata uang yang lebih banyak digunakan adalah Ringgit daripada Rupiah. Ada rasa rasa sedih dan kecewa ketika bertanya adakah kehadiran negara dan bangsa di perbatasan Long Nawang, Kabupaten Malinau, dan di Krayan, Kabupaten Nunukan di perbatasan antara Kalimantan Utara (Kaltara) dan Malaysia kepada Pastor Frans Uksolteja, Lah Bilong, Wilson Ului, dan Kueng Jalung. Empat pejabat Kondisi infrastruktur di perbatasan yang mesti dikembangkan adalah menjadikan perbatasan Long Nawang dan Krayan sebagai etalase pembangunan. Etalase itu antara lain terbangunnya pasar modern, jalan yang bagus, listrik dan air bersih, rumah sakit terbaik, bandara yang bisa didarati oleh pesawat berukuran menengah. 2
pemerintah desa di Long Betaoh dan Long Nawang ini tetap cinta dan optimis berada di dalam Rumah Kebangsaan kita walaupun dengan kondisi sangat terbatas dengan harga barang yang serba mahal. Betapa perlu adanya rasa empati negara dan bangsa Indonesia kepada Ketua Adat Besar Krayan, berinisial YB dan warganya di Long Bawan, Nunukan Darat, yang memberikan peringatan dini tentang kemungkinan berpindahnya patok-patok perbatasan Long Bawan menjadi bagian Malaysia. Ketika terabaikan, berpuluh tahun berkubang dalam lumpur keterisoliran dari “Indonesia” karena buruknya konektivitas ke batas negeri kita tersebut. Juga kepada narasumber berinisial “BTM” yang mengancam akan mengusir seluruh transmigran dari wilayahnya. Selain itu, terhadap kerabat Kerajaan Bulungan yang hingga kini masih terus hidup bersama “noda hitam” yang masih terus melekat dari masa “Konfrontasi” di bawah Demokrasi Terpimpin, tanpa upaya rekonsiliasi dan rehabilitasi. Juga salut kepada Awang Dampit, tokoh masyarakat Dayak yang mengambil inisiatif membangun jalan (dengan alat-alat berat berat yang didatangkannya sendiri) sejak dari Long Midang di Kabupaten Nunukan menuju Ba’ Kelalan di wilayah Malaysia. Warga lokal lebih hadir di perbatasan, ketimbang sosok negara menjadi agen pembangunan. Hubungan benci tapi rindu terasa hadir dalam opini narasumber kepada kami peneliti nasionalisme di perbatasan. Sebagian warga di tapal batas menyatakan walaupun mereka hidup terbatas tetap saja mereka cinta kepada Indonesia. Ada ungkapan ‘Garuda’ (kebangsaan Indonesia) di dada ku, walaupun harimau (ekonomi Malaysia) di perutku. Negeri para leluhurnya, sebelum Indonesia atau Malaysia itu ada. Namun, sebagian lagi sikap nasionalismenya cenderung menipis untuk pindah warga negara dan sebagian lagi hidup bersandiwara dengan dua identitas warga negara sesuai keperluan pragmatis dalam kehidupan. Pernyataan keras akan berpindahnya tapal batas dan hadirnya bendera, tampaknya bukan sikap separatis yang radikal karena tidak membangun kekuatan bersenjata. Ekspresi itu
110 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 109–130
lahir agar negara dan bangsa Indonesia memberi perhatian kepada warga kita di perbatasan.
Potret Perbatasan yang ‘Serba Terbatas” Wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan mencakup garis batas yang demikian panjang. Dalam konteks perbatasan darat, panjang garis perbatasan antara kedua negara berkisar 2.004 km atau 970 mil. Saat ini, berdasarkan UU yang telah ditetapkan ada tiga provinsi di Kalimantan yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia (Serawak dan Sabah), yakni Kalimantan Barat (Kalbar), Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Utara (Kaltara). Dari ketiga wilayah itu terdapat 8 Kabupaten (Sambas, Sanggau, Bengkayang, Sintang, Kapuas Hulu, Kutai Barat, Malinau dan Nunukan), dan 23 kecamatan yang berbatasan dengan Malaysia. Hal yang paling terasa di perbatasan adalah jalan yang rusak, lebih mudah ke akses ke negara tetangga, ketimbang ke ibukota provinsi. Wilayah kita masih sulit dibangun karena perbedaan konsep tata ruang hijau, konservasi atau produktif, sehingga sangat terbatas yang bisa dibangun di perbatasan kita. Kecenderungan tingkat kemakmuran yang lebih tinggi, peluang hidup yang lebih layak, dan berbagai kemudahan dan “kepedulian” yang kerap ditunjukan oleh Malaysia dalam kurun waktu yang lama diyakini beberapa kalangan telah cukup menarik hati warga di sekitar perbatasan. Kondisi ini cukup memberikan “beban tersendiri” bagi penumbuhan dan pemeliharaan rasa kebangsaan. Penelitian LIPI mengenai perbatasan Indonesia-Malaysia, hampir 20 tahun yang lalu, mengindikasikan bahwa masyarakat di perbatasan memiliki persepsi positif terhadap Malaysia, dalam makna bahwa mereka memandang negara jiran itu jauh lebih makmur dan sejahtera dan belum sebaliknya terhadap Nusantara.3
1. Kondisi Long Nawang Malinau Desa Long Nawang adalah bagian dari Kecamatan Kayan Hulu di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Desa ini terletak hanya sekitar 40 km dari perbatasan Indonesia-Malaysia. Desa yang termasuk wilayah yang kerap disebut sebagai Jantungnya Kalimantan (the Heart of Borneo), bukanlah tempat yang mudah untuk dituju. Tidak ada jalur darat yang memadai dan efisien menuju desa ini. Dipagari oleh alam, terutama rapatnya belantara hutan, Desa Long Nawang menjadi semacam ghetto yang tidak mudah ditembus melalui jalur darat. Jalur melalui sungai pun kerap memiliki kendala tersendiri. Seperti di wilayah Kalimantan lainnya, kendala itu terutama adalah ketidakpastian kondisi sungai. Jika kondisi sungai sedang ramah, yang menyebabkan ketinting (perahu kecil bermotor) dapat melaju di atas air, perjalanan ke pedalaman termasuk perbatasan dapat mudah dilakukan. Namun, saat air dangkal ataupun sebaliknya arus terlalu deras, perjalanan kerap harus ditunda atau dilanjutkan dengan amat tersendat. Di beberapa kasus, sebagian orang harus menunggu beberapa hari hingga kondisi sungai benar-benar kondusif untuk dapat dilalui. Dengan pelbagai kondisi tersebut, jalur udara menjadi sebuah pilihan alternatif yang relatif mampu mengatasi halangan hutan dan ketidakpastian arus sungai. Namun, jalur udara itu sesungguhnya juga tidak mudah. Tingkat kepastian ketersediaan penerbangan masih relatif belum memadai mengingat terbatasnya jumlah armada pesawat. Hal ini ditambah dengan minimnya kapasitas penumpang yang dapat diangkut, dimana tidak lebih dari 10 orang saja yang dapat dilayani dalam sekali penerbangan. Belum lagi persoalan cuaca yang kerap kurang bersahabat yang mengganggu jadwal penerbangan.
Lihat Ratna Indrawasih, Asfar Marzuki, Soewarsono, Sukri Abdurrachman, Dinamika Sosial Budaya Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia-Malaysia: Studi Kasus Desa EntikongKalimantan Barat dan Pulau Nunukan-Kalimantan Timur (Jakarta: PMB-LIPI, 1996), hlm. 92. 3
Potret Rasa Kebangsaan di Wilayah Perbatasan ... | Syafuan Rozi | 111
Sumber: Dokumentasi Pribadi. Gambar 1. Tugu Peringatan kemerdekaan Desa Long Nawang, Malinau
Untuk mencapai wilayah Desa Long Nawang melalui jalur udara, penumpang dapat langsung menuju bandara kecil atau perintis di Long Nawang– atau dapat pula melalui bandara kecil di Desa Long Ampung – yang kemudian dilanjutkan dengan menggunakan mobil selama kurang lebih satu jam atau sepeda motor selama kurang lebih dua jam. Jalan menuju perbatasan yang masih belum beraspal, dan di beberapa tempat masih rusak, dengan medan yang naik turun (kadang cukup curam), menyebabkan pengemudi kendaraan harus ekstra hati-hati jika akan menuju ke sana. Desa Long Nawang memiliki cerita yang cukup panjang. Desa ini dipercaya telah ada sebelum republik ini lahir. Wilayah Long Nawang yang masuk dalam daerah yang dikenal sebagai Apau Kayan, bahkan diyakini telah menjadi salah satu titik penting dari pola hidup berpindah masyarakat Dayak Kenyah sejak tahun 1600an.4 Jauh sebelum kemerdekaan, Desa Long Nawang adalah pusat dari masyarakat Dayak, terutama Dayak Kenyah, setidaknya untuk wilayah Kalimantan Utara. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kuburan-kuburan tua, tempat bersemayamnya tokoh-tokoh Dayak Kenyah Lihat Edi Sedyawati, dkk., Konsep Tata Ruang Suku Bangsa Dayak Kenyah di Kalimantan Timur, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1995), hlm.19. 4
di masa lalu. Salah satunya adalah kuburan dari tokoh Dayak bernama Lancau Ingan, yang terletak di kompleks Bandara Long Nawang. Lancau Ingan diyakini oleh warga setempat sebagai raja besar yang merupakan keturunan raja-raja Dayak. Wilayah kekuasaannya demikian luas mencakup wilayah yang saat ini berada di Indonesia dan Malaysia. Saat ini keturunan Lancau Ingan sebagian masih ada di desa Long Nawang, sebagiannya lagi telah migrasi ke banyak daerah, termasuk ke Malaysia.
2. Kondisi Krayan Nunukan Daratan Krayan merupakan sebuah kecamatan perbatasan yang masuk wilayah Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Kecamatan ini terletak wilayah perbatasan darat Indonesia-Malaysia. Batas itu ada di Desa Long Midang dan tetangganya Ba’ Kelalan, wilayah Serawak Malyasia Timur. Kecamatan Krayan mempunyai luas wilayah sekitar 1.837,54 km2 dengan penduduk tahun 2010, sebanyak 2.077 Kepala Keluarga (KK), terdiri dari 4.271 perempuan dan 3.685 laki-laki.5 Menurut Ketua Adat Dayak Lundayeh Krayan Yagung Bangau, wilayah Krayan mencakup 65 desa. Dahulu jumlah penduduknya sekitar 16.000 Lihat Badan Pusat Statistik Kabupaten Nunukan, Kabupaten Nunukan dalam Angka, (Nunukan: Badan Pusat Statistik Kabupaten Nunukan, 2010). 5
112 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 109–130
jiwa. Dalam perkembangannya sebanyak 8.438 jiwa yang tetap bertahan, selebihnya “merantau” ke Kuching, Miri, Kota Kinabalu, dan lain-lain. Sebagian dari mereka juga akhirnya memiliki IC (Identity card) Malaysia.6 Krayan hanya dapat dijangkau dengan pesawat udara berbadan kecil, yang kondisi angkutnya sangat terbatas. Belum ada jalan tembus darat yang nyaman untuk sampai ke sana. Untuk sampai ke ibukota kecamatan Krayan, Long Bawan, sarana transportasi udara sangat terbatas (maksimal 12 penumpang) dan mengantri tiket jauh sebulan sebelumnya karena menyangkut subsidi Pemda Nunukan. Pesawat yang ada pun seperti Susi Air dan MAF7, kerap lebih mengutamakan warga yang sakit keras dan kunjungan misionaris. Pesawat-pesawat itu pun tidak beroperasi setiap hari. Secara umum, berbeda dengan wilayah Kalimantan yang dapat dilalui oleh sungai atau jalan raya, posisi Krayan yang di pegunungan tidak dapat di tempuh dengan cara lazimnya dengan perahu. Sebagian masyarakat merasa tidak memiliki keterkaitan yang sungguh erat terhadap Indonesia. Bagi mereka Indonesia bukanlah segala-galanya, dalam makna fleksibilitas keberpihakan kebangsaan masih mungkin terjadi. Sikap ini tercermin, misalnya, salah satunya dapat dilihat dari produk topi Adat Dayak Lundayeh yang dibuat oleh Warga Krayan.
Sumber: Koleksi Mitchell Lawa Bungan Danil, Rong & Tayen, 2010. Gambar 2. Topi Adat Dayak Lundayeh, Krayan, Nunukan Daratan
Warna topi adat ini memang berwarna Merah Putih. Namun, selembar atau sehelai kain yang membentang di atas topi-topi tersebut justru bertuliskan “I Love Ba’Kelalan”. Ba’Kelalan, adalah kota terdekat dengan Krayan yang merupakan wilayah Serawak, Malaysia Timur. Keberadaan topi ini seolah menunjukkan adanya dualisme identitas diri pada penduduk Krayan. Kecintaan mereka pada Indonesia tampak sama beratnya dengan kecintaan mereka pada Ba’ Kelalan, yang notabene merupakan bagian dari Malaysia.
Wawancara dengan Ketua Adat Krayan, berinisial YB, di Krayan, 29 Juni 2013.
Untuk pulang kampung ke Krayan, mereka yang tidak dapat memperoleh tiket pesawat terpaksa kerap harus masuk ke wilayah Tawau, Malaysia terlebih dahulu, kemudian baru naik bus melalui jalan darat menuju Miri (perbatasan Malaysia-Brunei Darussalam). Dari sana kemudian melanjutkan perjalanan darat ke Ba’Kelalan Serawak, dengan bus atau jeep, lalu menyambung lagi dengan ojek atau jeep empat gardan melalui Long Midang atau Long Luyu untuk sampai ke kampungnya, Krayan. Ungkapan, pergi ke luar negeri dulu, baru pulang kampung, benar-benar terjadi di sini.
Pesawat MAF (Missionary Aviation Fellowship) hampir semuanya dikemudikan oleh pilot asing seperti Amerika Serikat, Inggris atau Kanada yang bekerja sebagai semacam volunteer. Tanpa adanya pesawat MAF atau Susi Air itu maka dapat dikatakan tidak ada angkutan ke wilayah NKRI di perbatasan Krayan dan daerah ini akan selamanya terpencil.
Penduduk asli Krayan adalah suku Dayak Lundayeh, umumnya beragama Kristen Katolik, Protestan dan Kaharingan. Di wilayah itu juga terdapat pendatang yang berasal dari berbagai suku seperti, Jawa, Toraja, Batak, Kawanua,
6
7
Potret Rasa Kebangsaan di Wilayah Perbatasan ... | Syafuan Rozi | 113
Bugis-Makasar, atau Wajo. Profesi atau pekerjaan sebagian besar penduduk Krayan adalah petani, pengrajin garam, peternak, peramu hasil hutan, guru, rohaniwan, sopir, tukang ojek dan pedagang sembako.8 Penduduk Indonesia di dataran tinggi Krayan terdiri dari Suku Dayak Lundayeh. Kalau kita baru hadir seminggu di sana, secara selintas seolah tidak ada yang kurang dari kehidupan penduduknya. Rumahnya kebanyakan berbentuk rumah panggung seperti di Sumatera, berdiri kokoh dan megah dari bahan kayu dan beratap seng yang bermanfaat menahan panas di cuaca dingin. Beberapa rumah memiliki alat parabola di halaman depannya. Seolah-olah memamerkan, inilah rumah kami yang ada alat telekomunikasinya untuk menonton tayangan televisi Indonesia atau Malaysia.
Gaduh Kebangsaan di wilayah Perbatasan Darat Indonesia Malaysia Beberapa pertanyaan mendasar dalam kajian kami adalah: seberapa besar pemahaman masyarakat di perbatasan akan kebangsaan, dan seberapa besar nilai-nilai keindonesiaan itu hadir dalam keseharian kehidupan masyarakat di sana. Penelitian ini juga menelaah lebih dalam mengenai bagaimanakah upaya-upaya pemerintah dalam menghadirkan eksistensi nasion, dengan program-program kebangsaan, dan respons masyarakat atas upaya-upaya itu. Salah satu temuannya adalah terjadi semacam ‘gaduh kebangsaan’ di Krayan, Nunukan yang mengekspresikan kemungkinan berpindahnya tapal batas dan kewarganegaraan. Namun terjadi semacam ‘teduh kebangsaan’ di Long Nawang, Malinau. Meminta perhatian pusat dengan cara ‘berkata keras’, agar diperhatikan dan dimengerti. Dalam pada itu, Provinsi Kalimantan Utara itu sendiri merupakan wilayah kajian yang penting, mengingat pula ada dua kabupaten (Nunukan dan Malinau) yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Atas dasar ini, Kaltara jelas merupakan wilayah penelitian yang nampak tidak dapat dihindari manakala kita mengkaji pelbagai persoalan yang terkait Pendapat Ketua Adat Krayan, berinisial YB, di Krayan, 29 Juni 2013. 8
dengan perbatasan, termasuk yang terkait dengan masalah kebangsaan.
1. Eksistensi “Teduh Kebangsaan” di Long Nawang Persepsi masyarakat Long Nawang terhadap Indonesia dan kebangsaan tidak dapat dikatakan sederhana karena terpaksa bersikap mendua untuk bertahan hidup. Mengakui Indonesia, tapi tidak segan memiliki ID (KTP) Malaysia. Dalam konteks yang paling permukaan, Indonesia dipandang oleh masyarakat layaknya sebuah rumah atau bahkan jati diri. Dikatakan sebagai rumah, tak lain karena di wilayah itulah masyarakat Long Nawang melihatnya sebagai tempat bernaung, menjalani kehidupan hingga akhir hayat9. Dalam makna kejatidirian terbersit sebuah isyarat sebagai wilayah yang harus dipertahankan. Sehubungan dengan itu, perangkat desa meyakini bahwa persoalan kebangsaan dalam makna kecintaan terhadap tanah air masyarakat perbatasan tidak perlu diragukan. Seorang pastor yang juga aparatur pemerintah di Desa Long Betaoh, desa paling dekat dengan Malaysia, misalnya, menyatakan bahwa tidak ada persoalan sama sekali dalam hal nasionalisme di wilayahnya.10 Pandangan itu dikonfirmasi oleh Kepala Desa Long Betaoh Lah Bilong–yang meskipun amat kritis terhadap pemerintah sehubungan dengan masih minimnya kepedulian pemerintah pusat atas daerah yang dipimpinnya – menyatakan bahwa rasa kebangsaan masyarakat perbatasan di wilayah Desa Betaoh masih tetap dapat diandalkan11. Pandangan nasionalisme mendua seperti lapis kulit bawang. Ada semangat keindonesiaan namun juga menyaru menjadi berkebangsaan Malaysia. Lagi pula, kedayakan atau keborneoan mereka lebih dulu hadir ketimbang nation-state Republik Indonesia atau Kerajaan Malaysia. Hal demikian itu disampaikan oleh Wilson Ului, Disarikan dari sejumlah hasil wawancara dengan beberapa responden di Desa Long Nawang, Malinau. 9
Wawancara dengan Frans Uktolseja, Pastor merangkap Kepala Urusan Pemerintahan Desa Long Betaoh, di Desa Long Betaoh, 5 Juni 2013. 10
Wawancara dengan Lah Bilong, Kepala Desa Long Betaoh, di Desa Long Betaoh, 5 Juni 2013. 11
114 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 109–130
Camat Kayan Hulu. Meski merupakan sosok baru di lingkungan pemerintahan Kayan Hulu, Wilson meyakini bahwa rasa kebangsaan seperti lapis bawang itu menjadi ciri khas di wilayah perbatasan. Dia merujuk, misalnya, pada masih tetap maraknya pelaksanaan Peringatan Hari Kemerdekaan di wilayah yang dipimpinnya. Kesemarakan itu melibatkan semua unsur pemerintah dan masyarakat tanpa sebuah rekayasa. Dia menambahkan bahwa semua perwakilan dari setiap generasi hadir dalam upacara itu, tidak terkecuali mereka yang sudah berusia lanjut. Namun, beberapa warga untuk kemudahan pelayanan kesehatan, akses pendidikan juga memiliki ID Card Malaysia.12 Di tengah himpitan kemiskinan dan serba terbatas, masyarakat Desa Long Nawang memang tetap berupaya menyelenggarakan Peringatan Hari Kemerdekaan dengan semeriah mungkin. Kemeriahannya bahkan banyak dikatakan mengalahkan kemeriahan penyelenggaraan acara-acara keagamaan, termasuk Hari Natal. Menurut Kueng Jalung, saat memperingati Hari Kemerdekaan semua masyarakat berhenti berladang. 13 Momen acara peringatan kemerdekaan menjadi agenda tahunan masyarakat desa yang cukup dinanti, dan biasanya dirayakan hingga satu minggu lamanya. Acara-acara disiapkan oleh seluruh masyarakat dan menelan angggaran yang cukup banyak untuk ukuran masyarakat desa. Pada saat perayaan itu, Bendera Merah Putih berkibar di seluruh pelosok desa, menandai semacam rasa memiliki bangsa yang kuat. Simbol bendera negara, Sang Merah Putih, tidak saja ada pada saat momen-momen perayaan hari-hari besar kenegaraan, namun pula pada hampir di setiap penyelenggaraan acara-acara desa, termasuk pesta rakyat. Bendera seolah telah menjadi bagian penting dari acara-acara tersebut. Bendera Merah Putih kerap ditemui pada saat acara-acara yang diselenggarakan oleh partai dan organisasi kepemudaan, termasuk pada banner atau spanduk yang menandai adanya kegiatan yang dilakukan organisasi tersebut di
Long Nawang. Simbol Merah Putih juga dapat ditemui di banyak bangunan, mulai di tempat musyawarah adat, bangunan-bangunan sederhana tempat masyarakat berkumpul lainnya, hingga bangunan reot di tempat-tempat terpencil. Dalam bentuk yang lain, nasionalisme diekspresikan dengan adanya loyalitas. Terkait dengan itu, keberadaan negara tetangga yang jauh lebih makmur tidak mudah memicu terjadinya migrasi. Memang ada beberapa penduduk Long Nawang yang mencari nafkah di Malaysia tidak kembali lagi ke desanya. Dari awal tahun 1980-an hingga kini, sekitar 82 orang yang melakukan migrasi ke Malaysia menetap di sana dan dikabarkan telah menjadi warga negara Malaysia.14 Namun demikian, jumlah mereka yang melakukan migrasi pertahun dari waktu ke waktu semakin mengecil. Menurut Kepala Desa Long Nawang dapat dikatakan saat ini sudah tidak pernah terjadi lagi peristiwa orang yang tidak kembali, apalagi sebuah eksodus. Menurut Kepala Desa, mereka yang beraktivitas dan mencari nafkah di Malaysia cenderung untuk kembali lagi ke tanah air15. Sebagai perbandingan, di Desa Long Betaoh juga terbetik kisah yang cukup menarik. Pasca terjadinya konfik Indonesia-Malaysia di tahun 1962, ratusan KK warga desa pindah ke wilayah Malaysia meninggalkan sepertiga penduduk desa yang berjumlah puluhan.16 Alasan yang dikemukakan oleh banyak kalangan adalah karena kemiskinan, kelaparan dan pendidikan yang buruk. Namun demikian, situasi tersebut sudah jarang terjadi dan saat ini dapat dikatakan tidak lagi terjadi. Fenomena WNI dari Desa Long Nawang yang mengikuti pemilu pada saat Pemilihan Raya di Malaysia juga sudah hampir tidak pernah terjadi lagi saat ini.17 Hal tersebut seiring dengan semakin ketatnya pihak Malaysia dalam mengontrol masyarakat pendatang dan semakin dipersulitnya proses untuk mendapatkan kartu 14
Ibid.
15
Ibid.
12
Wawancara dengan Wilson Ului, Camat Kayan Hulu, di Desa Long Nawang, 4 Juni 2013.
16
Wawancara dengan Kueng Jalung, Kepala Desa Long Nawang, di Desa Long Nawang, 4 Juni 2013.
17
13
Wawancara dengan Lah Bilong, Kepala Desa Long Betaoh, di Desa Long Betaoh, 5 Juni 2013. Wawancara dengan Kueng Jalung, Kepala Desa Long Nawang, di Desa Long Nawang, 4 Juni 2013.
Potret Rasa Kebangsaan di Wilayah Perbatasan ... | Syafuan Rozi | 115
identitas (identity card/IC) Malaysia. Sementara hanya mereka yang memiliki IC saja yang dapat memilih dalam pemilu. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan masih ada sebagian kecil warga RI di perbatasan, terutama yang bekerja di Malaysia, yang turut aktif berkampanye untuk partai-partai tertentu. Keaktifan itu bisa dimotivasi oleh rasa simpati atau memang dimobilisir oleh partai tertentu untuk mendapat imbalan uang.18 Hal yang pasti, menurut pengakuan beberapa kalangan untuk mengurus IC memang tidak semudah dulu. Jika dulu saat mendapat IC itu mudah, fenomena kewarganegaraan ganda amat jarang ditemui, apalagi saat ini yang jauh lebih sulit untuk bisa mendapat IC Malaysia. Minim atau tiadanya kewarganegaraan ganda merupakan “prestasi” lain bagi sebuah wilayah terpencil di perbatasan. Hal ini terutama mengingat bawah fenomena kewarganegaraan ganda seolah menjadi hal yang biasa di perbatasan IndonesiaMalaysia, termasuk misalnya di wilayah Krayan dan Nunukan. Beberapa peristiwa di atas nampak mencerminkan situasi yang positif terhadap eksistensi rasa kebangsaan atau nasionalisme. Namun demikian, kajian lebih dalam akan menunjukkan beberapa hal menarik, yang menunjukkan bahwa adanya alasan-alasan praktis yang mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat dalam masalah seputar kebangsaan. Pembahasan di bawah ini akan menunjukkan sisi lain dari persoalan kebangsaan di wilayah perbatasan. Wilayah Apau Kayan sempat pula menjadi bagian dari basis pergerakan separatis. Terkait dengan celah dalam soal kebangsaan tersebut, hal ini terutama berkenaan dengan pertanyaan bagaimanakah sebenarnya pemahaman atau wawasan masyarakat tentang Indonesia, yang kemudian terkait dengan persoalan persepsi mengenai Indonesia yang ada di benak masyarakat. Kenyataannya adalah bahwa wawasan mengenai eksistensi atau makna keindonesiaan masih demikian terbatas. Hasil wawancara mengenai persepsi masyarakat di sana mengenai Indonesia cukup menarik. Salah seorang 18
Ibid.
responden yakni siswa SDN 01 Long Nawang peringkat 1 di kelas 5 berinsial KWN, alias Nicke, menyatakan diri bangga menjadi warga Negara Indonesia. Dalam benaknya, Indonesia adalah negara yang bagus dan indah. Saat ditanya apakah dirinya akan pindah ke Malaysia, jika sudah besar nanti, dia dengan tegas menyatakan tidak19. Dalam konteks pemahaman geografis, dia mampu menjawab letak desanya. Namun, demikian, yang menarik adalah manakala Nicke ditanya di pulau manakah letak desanya dia tidak mampu menjawabnya. Meski dia mengatakan dirinya tinggal di Kalimantan, tidak tampak sebuah keyakinan bahwa ada sebuah pulau yang disebut sebagai Kalimantan di wilayah tanah airnya. Hal ini terkonfirmasi dengan jawaban Nicke bahwa hanya ada dua pulau besar di Indonesia yakni Pulau Jawa dan Pulau Bali, ketika diminta untuk menjawab ada berapakah pulau terbesar di Indonesia. Saat diminta menunjukkan letak Jakarta (Ibu Kota Negara) pada peta buta sederhana, dia meletakan jarinya di bagian selatan Pulau Sumatera. Respons Nicke tersebut nampak menunjukkan sebuah keterasingan, tidak saja akan letak Jakarta, namun juga pulau-pulau yang ada pada peta tersebut.20 Jawaban-jawaban Nicke tersebut secara hipotesis mengarahkan pada kemungkinan kesederhanaan jawabannya atas pertanyaan mengenai seberapa kaya bahasa dan suku bangsa yang dimiliki oleh Indonesia, berapa banyak jumlah pulau yang dimiliki oleh negaranya, termasuk seberapa luas wilayah yang dimiliki oleh negara kepulauan ini. Terbukti kemudian pada soal suku bangsa dia menyebutkan hanya ada 12 (dua belas) suku bangsa di Indonesia. Dalam konteks pemahaman sejarah, Nicke memiliki pemahaman yang cukup baik mengenai sosok Bung Karno, meski dia harus dibantu dengan penyebutan nama panjang tokoh proklamator berikut gelar kesarjanannnya (Ir. Soekarno). Dia dengan percaya diri mengatakan bahwa Bung Karno adalah tokoh proklamator dan presiden pertama RI. Namun yang unik adalah dia Wawancara dengan Nicke, seorang pelajar Sekolah Dasar, di Desa Long Nawang, 5 Juni 2013. 19
20
Ibid.
116 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 109–130
tidak mengenal sama sekali sosok Bung Hatta. Nama tokoh kedua proklamator itu nampak demikian asing baginya.21 Nicke menggelengkan kepala ketika nama Wakil Presiden pertama RI itu ditanyakan. Kondisi ini cukup memberikan kejutan, mengingat ke-dwitunggal-an tokoh ini menurut pemahaman rata-rata orang Indonesia. Bisa jadi momen detik-detik proklamasi yang dipahami atau sempat terekam dalam benak Nicke berbeda cukup jauh dari pemahaman yang coba ditularkan dari buku pelajaran sejarah standar. Apa pun alasan dibalik kenyataan ini, jawaban Nicke kembali membawa pada sebuah hipotesis mengenai keterbatasan jawaban dirinya atas pelbagai pertanyaan seputar nama-nama tokoh pahlawan sekaligus momen-momen bersejarah bangsa ini. Dapat dibayangkan bahwa untuk anak sekolahan dengan peringkat terbaik di kelasnya saja berbagai pertanyaan mendasar itu demikian sulit untuk dijawab, apa lagi dengan mereka yang berada di peringkat jauh dibawahnya. Situasi bisa jadi semakin buruk pada mereka yang sama sekali tidak bersekolah. Padahal secara umum persentase mereka yang tidak bersekolah atau lulus SD di Long Nawang cukup tinggi. Di seluruh Kabupaten Malinau jumlah mereka termasuk dalam kategori ini memang cukup tinggi yakni 42,15% dari total jumlah penduduk22. Lepas dari persentase mereka yang tidak bersekolah, masyarakat Long Nawang nampak yakin bahwa mereka yang bersekolah mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar wawasan kebangsaan. Persepsi masyarakat sedemikian terkonfirmasi saat penulis berupaya mendapatkan jawaban dari seorang pemuda seputar wawasan kebangsaan. Pemuda tersebut dengan bersikeras mengatakan janganlah dirinya ditanyakan hal-hal semacam itu, karena dia tidak memahami sama sekali pertanyaan apalagi jawabannya.23 Pertanyaan-pertanyaan seputar 21
Ibid.
Bappeda Kabupaten Malinau dan BPS Kabupaten Malinau, Survei Sosial Ekonomi Daerah Kabupaten Malinau 2012, (Malinau: Bappeda Kabupaten Malinau dan BPS Kabupaten Malinau, 2012), hlm. 21. 22
Wawancara dengan Ngah, Warga Desa Long Nawang, di Desa Long Nawang, 5 Juni 2013 dan wawancara dengan Rum, Pemuda Desa Long Betaoh, di Long Betaoh, 5 Juni 2013. 23
nama tokoh pahlawan ataupun momen bersejarah hingga letak geografis dianggap cukup berat oleh pemuda itu yang mengaku tidak sempat bersekolah. Beberapa pemuda dengan latar belakang pendidikan yang sama hanya melemparkan senyum untuk kemudian mengatakan “tidak tahu”, atas pertanyaan seputar kebangsaan yang diajukan. Secara umum dapat dikatakan bahwa jawaban atau respons yang diberikan atas pertanyaan seputar wawasan kebangsaan cukup memperlihatkan adanya jarak antara mereka yang bersekolah atau tidak. Juga secara umum memperlihatkan pula adanya jarak pemahaman antara mereka yang hidup di perbatasan dengan hakikat jati diri dan sejarah bangsanya. Situasi yang ada pada Nicke dan beberapa pemuda yang sempat ditemui saat penelitian ini berlangsung tentu saja tidak dapat digeneralisir. Kesimpulan bahwa akan demikianlah jawaban seluruh anak seusianya atau masyarakat perbatasan pada umumnya manakala ditanyakan soal-soal wawasan kebangsaan jelas terburuburu. Tetap saja terbuka kemungkinan kondisi anomali, yang menunjukkan sisi lain yang berlawanan dengan hasil penelitian sederhana yang dilakukan oleh tim ini. Di samping itu, bagi sebagian kalangan, fenomena rendahnya wawasan kebangsaan itu sebetulnya tidak khas perbatasan, dan dalam praktiknya tidak juga dapat dijadikan barometer untuk mengukur rasa kebangsaan. Meski bersepakat dengan pandanganpandangan tersebut, penulis melihat bahwa temuan lapangan ini tetap tidak dapat diabaikan. Temuan itu tetap dapat menjadi semacam rujukan, meski sederhana, mengenai kondisi wawasan kebangsaan di perbatasan. Lebih dari itu, kondisi ini walau bagaimana pun adalah peringatan, yang harusnya dapat memunculkan sense of emergency terkait dengan pemeliharaan persepsi dan rasa kebangsaan. Karena bisa jadi saat ini memang diperlukan upaya yang lebih keras lagi dalam membangunnya. Dengan persepsi warga perbatasan yang demikian terbatas mengenai tanah airnya, tentu tidak mudah untuk membentuk sebuah bangunan kebangsaan yang tumbuh dengan subur dan kuat di wilayah itu.
Potret Rasa Kebangsaan di Wilayah Perbatasan ... | Syafuan Rozi | 117
2. “Gaduh Kebangsaan” Tanpa Kekerasan di Krayan Nunukan Ada pernyataan Ketua Adat Besar Krayan, YB, di Long Bawan di pertengahan tahun 2013 yang menyatakan “Jika dalam waktu 5 tahun tidak ada perbaikan jalan ke Krayan, Jangan salahkan kami jika patok batas berpindah ke Malaysia”. Hal itu menggambarkan betapa kondisi nasionalisme di Krayan layaknya sebuah lukisan yang indah, jika dilihat dari maraknya perayaan 17 Agustusan, namun tak beraturan ketika dilihat lebih dekat terkait keterisolirannya dari Indonesia. Perlawanan warga perbatasan, bagaikan bara dalam sekam. Dalam hasil penelusuran yang dilakukan, ditemukan adanya kecenderungan kondisi yang saling bertentangan. Ketika sebagian penduduk perbatasan di Krayan mendukung bangun keindonesiaan, namun disaat yang sama, sebagiannya lagi memilih meninggalkan identitas mereka sebagai bangsa Indonesia dengan memilih Malaysia menjadi tempat mereka bernaung. Cukup banyaknya warga Krayan yang memilih Malaysia menjadi sebuah kenyataan pahit bagi politik identitas Indonesia. Nasion cenderung belum berhasil secara optimal mempertahankan ikatan kebangsaan bagi warga negaranya, dan tentunya ini bukanlah hal yang membanggakan dalam sejarah bangsa ini. Kenyataan pahit tidak hanya berhenti hingga di situ. Ancaman bernada separatis kerap dilontarkan oleh elit ataupun masyarakat biasa di Krayan. Sepertinya saat ini ancaman seperti inilah yang mereka anggap mampu menyentuh ”pendengaran” dan ”hati” para elit di tingkat pusat ataupun daerah. Mengingat NKRI adalah harga mati, yang tentunya tidak menolerir tindakan separatis apapun. Lalu seperti apa sesungguhnya rasa keindonesiaan itu hadir dalam benak dan keseharian masyarakat di Krayan?. Bagi sebagian orang Krayan, tanah yang mereka tinggali adalah berkah dari Tuhan yang merupakan tanah air mereka, Indonesia, yang tak kan tergantikan. Ada ungkapan Garuda di dadaku, walaupun harimau di perutku. Indonesia tetap kebangsaanku walaupun Malaysia tempat bergantungnya kehidupanku. Krayan yang berhawa sejuk dan subur, letaknya seperti “Kuali” di dataran tinggi, menampung humus
dari gunung. Lahan yang subur itu menyebabkan areal persawahan menjadi cukup produktif. Sawah-sawah Krayan menghasilkan limpahan beras, terutama Beras Adan, yang demikian sehat dan nikmat. Kenikmatannya menyebabkan beras ini menjadi salah satu makanan favorit Sultan Brunei.24 Karena kesuburan dan keindahannya itu masyarakat mengatakan bahwa Krayan adalah 1 persen miniatur surga di bumi Tuhan di Kalimantan. Meski subur, kehidupan masyarakat tidak beranjak naik secara signifikan. Kenyataannya produk-produk pertanian Krayan tetap sulit dipasarkan ke tanah air. Hal ini terutama karena sulitnya transportasi untuk membawa berbagai produk itu ke luar Krayan. Produk-produk Krayan, dalam kenyataannya, lebih banyak dipasarkan di Malaysia. Namun permainan harga oleh pihak Malaysia menyebabkan kemakmuran masyarakat tidak kunjung mewujud. Mengenai perilaku warga Malaysia ini simak penuturan warga Krayan berikut ini: ”Warga Malaysia melakukan diskriminasi pada kami warga Krayan bila berniaga ke Ba’ Kelalan. Harga kebutuhan pokok mereka jual sangat tinggi kepada kami, sementara mereka membeli produk kami begitu rendah. Kemudian upah kerja kami juga sangat murah dan dibedakan dengan warga asli Malaysia.”25
Pelbagai kondisi di atas menunjukan adanya sebuah keterisoliran serius dan dalam perkembangannya telah menimbulkan banyak dampak terhadap cara pandang dan perilaku kewarganegaraan ganda beberapa warga di perbatasan. Dalam nuansa serba terbatas, ketidakadilan dan kemiskinan relatif menjadi potret buram perbatasan. Untuk melihat ekspresi kebangsaan dapat dilihat dari pengetahuan warga perbatasan soal simbol kebangsaan yang mereka ketahui dan gunakan sebagai orientasi politik identitas mereka. Bagian ekspresi dan persepsi kebangsaan ini dapat diketahui mulai dari tindakan, sikap, pandangan hingga sesuatu yang bersifat simbolis seperti bangunan, perayaan ataupun kegiatan upacara atau perayaan yang 24
Nunukan. 25
Informasi bersumber dari Tipa S. Padan, di Krayan, Informasi bersumber dari Damus Singa, di Nunukan.
118 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 109–130
menandakan hadirnya semangat kebangsaan. Walaupun bagi sebagian ilmuwan sosial hal itu tidak menunjukan kenyataan yang sesungguhnya, namun sebagai sebuah kenyataan, dianggap penting dalam memotret nasionalisme dan politik identitas suatu komunitas penduduk di perbatasan darat Indonesia Malaysia di Krayan. Menurut anggota DPRD Nunukan, Damus Singa, eksistensi nasionalisme masyarakat Krayan dapat terlihat dari khidmatnya upacara bendera pada saat terutama perayaan Hari Kemerdekaan. Perayaan itu biasanya diikuti oleh berbagai kalangan dan dihadiri oleh penduduk dari berbagai usia di lapangan Berian Baru, Krayan. Kekhidmatan itu menurut Damus, yang Lahir di Long Bawan, Krayan, menyiratkan makna keindonesiaan yang cukup dihayati. Baginya momen 17 Agustus merupakan momen yang spesial.26 Tidak hanya berhenti pada pelaksanaan upacara yang khidmat tersebut. Wujud penghayatan keindonesiaan yang mendalam tersebut juga diwujudkan dengan kegiatankegiatan perayaan kemerdekaan yang meriah. Damus Singa mengatakan selain kekhidmatan perayaan Hari Kemerdekaan RI di Krayan pada setiap tahunnya juga diwarnai dengan kemeriahannya. Dia menggambarkan bahwa perayaan kemerdekaan itu layaknya sebuah pesta rakyat, yang diadakan selama sebulan penuh dan diisi oleh berbagai kegiatan seperti seni, olah raga dan perlombaan. Kegiatan itu dilakukan nyaris tanpa henti, siang dan malam hari. Demikian marak perayaan hari kemerdekaan itu hingga diyakini oleh beberapa kalangan bahwa Perayaan 17 Agustus di Kecamatan Krayan lebih ramai jika dibanding dengan perayaan Hari Natal, atau hari besar agama Kristen lainnya.27 Belum lama ini, ekspresi kebangsaan masyarakat Krayan itu juga ditunjukan dengan membuat sebuah prestasi besar demi menunjukkan eksistensinya sebagai bagian dari bangsa ini. Pada tahun 2010, sebagai rangkaian dari perayaan Hari Kemerdekaan digelar acara pencapaian rekor MURI untuk gelar makan 26
Ibid,- Damus Singa.
Wawancara dengan Damus Singa, MA, Anggota DPRD Nunukan Dapil Krayan, di Nunukan, 25 Juni 2013. 27
kuliner tradisional Luba laya terbesar dan terbanyak khas Dayak Lundayeh Krayan.28 Simak petikan ajakan dari ketua adat Dayak Lundayeh Krayan di bawah ini. “..Ayo mahasiswa dan orang Krayan yang sudah lama ndak pulang-pulang ke Krayan- tengok Krayan bah... pas 17 Agustus neh..... dalam rangka HUT RI tahun 2010. Kita di Krayan ada ide atau misi untuk memecahkan rekor MURI terkait makanan tradisional. Selama ini rekor tersebut dipegang oleh Kab. Malinau. dengan jumlah jenis makanan 170 lebih jenis makanan tradisional dengan panjang susunannya lebih dari 1,5 km. Nah...kami undang pulang semua orang Krayan agar pencapaian misi itu berhasil kita laksanakan.…”.29
Joe Albert Christian warga Krayan yang lain menilai ide membuat rekor MURI Kuliner tradisonal terbanyak dan terpanjang dalam rangka perayaan 17 Agustusan di Krayan merupakan sebuah hal menarik dan tepat waktu karena dilaksanakan pada hari kemerdekaan RI di Krayan. Dengan membuat rekor MURI yang baru, mengalahkan rekor kabupaten tetangga Malinau, tentu akan memberikan kebanggaan bagi masyarakatnya. Dalam konteks ini, tampak ada upaya menumbuhkan politik identitas Krayan sebagai bagian Indonesia, dengan mengambil momentum perayaan Hari Kemerdekaan. Tentunya tidak meninggalkan identitas budaya asli mereka. Indikator kebangsaan yang lain adalah mengenal simbol negara. Jika hal itu diujikan kepada penduduk Krayan yang telah bersekolah pengetahuan mereka tentang simbol-simbol keIndonesiaan tidaklah mengecewakan. Saat ditanyakan apa lagu kebangsaan Indonesia kepada beberapa pelajar SD 10 Krayan, jawabannya persis sama dengan jawaban pelajar SD di Long Nawang, Malinau, mereka lancar menjawabnya ”Indonesia Raya” dan bisa menyanyikannya Dalam bahasa Dayak, luba’ berarti nasi, dan laya’ berarti empuk atau lembek. Nasinya terus-menerus diaduk selama proses memasak, sehingga hasilnya adalah setengah bubur setengah nasi. Bubur padat yang masih panas ini kemudian dibungkus dengan daun pisang, sehingga aroma daun membuat nasinya harum. Lihat “Budaya Dayak”, Bondan Winarno, Kompas, Rabu, 27 Agustus 2008. 28
Wawancara dengan Tipa S. Padan seorang tokoh masyarakat, di Krayan, 28 Juni 2013. 29
Potret Rasa Kebangsaan di Wilayah Perbatasan ... | Syafuan Rozi | 119
dengan lancar. Juga pertanyaan tentang apa Bendera Negara Indonesia, jawabannya Merah Putih. Siapa pahlawan nasional Indonesia, para pelajar umumnya mengenal dari guru di kelas dan bahan bacaan minimal yang ada di sekolah mereka. Patut diketahui bahwa di Krayan sudah ada SMAK dan sekolah Teologia pertama di Borneo atau pulau Kalimantan, yang letaknya di Berian Baru.
tokoh nasional adalah sebuah ironis yang mencerminkan sebuah keterisoliran yang akut. Jika tokoh-tokoh seperti presiden saat ini saja demikian asing, bisa jadi figur-figur pemimpin nasional sebelumnya sama asingnya di benak masyarakat. Keironisan ini menjadi bertambah dengan kenyataan bahwa di sebagian masyarakat, figur-figur pimpinan negara Malaysia lebih mereka ketahui.
Sepintas lalu, masalah kebangsaan di Krayan tidak menunjukan sebuah persoalan yang berarti. Namun, di balik gegap gempita Perayaan 17 Austus setiap tahunnya, ada arus besar yang berulang datang melawan arus nasionalisme yang tampak baik di permukaan. Sehingga dapat dikatakan kemeriahan Perayaan Hari Kemerdekaan cenderung hanya bersifat simbolis bukan yang substansial.
Hal yang juga menarik diketahui terkait kadar nasionalisme di perbatasan adalah bahwa di wilayah ini semangat yang bernuansakan pemisahan diri juga ada. Semangat ini bukanlah hal yang baru di wilayah Kalimantan pada umumnya dan wilayah Kalimantan Utara pada khususnya. Kondisi orientasi politik kewargaan wilayah Kalimantan Utara, terutama di pertengahan tahun 1960-an menjadi salah satu basis kelompok separatis di Indonesia, khususnya di Kalimantan. Dalam konteks kekinian, di beberapa wilayah Apo Kayan saat ini kerap terlontar lagi pernyataan-pernyataan yang bernuansakan disintegratif. Menurut narasumber Dr. Soni Sumarsono, pejabat di Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan, bisa jadi ada fenomena “tidak ada hari tanpa pernyataan merdeka di perbatasan”.30
Namun disisi lain, lewat wawancara dengan penduduk akan terasa gejala alienasi atau keterasingan terhadap Indonesia yang nampak dari pemahaman atau pengetahuan masyarakat pada figur-figur pemimpin RI. Ketika pelajar SD 10 Krayan, misalnya, ditanyakan siapa presiden mereka, mereka lama terdiam. Begitu juga saat ditanya siapakah Gubernur Kalimantan Timur. Akhirnya terungkap bahwa mereka tak kenal siapa pasangan Presiden SBY-Budiono atau Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek pun tak begitu dikenal. Uniknya mereka justru lebih mengenal Awang Dampit, seorang tokoh keturunan Krayan yang berhasil di Miri (perbatasan Serawak dan Brunei Darusalam). Dia lah tokoh fenomenal asal Krayan, yang pulang kampung membawa alat-alat berat (bulldozer, eskavator) untuk membuka jalan darat dari Long Midang menuju Ba’ Kelalan. Nama Awang Dampit demikian harum karena apa yang dilakukannya itu memungkinkan warga Krayan untuk dapat lebih mudah membeli barangbarang kebutuhan pokok (sembako, minyak) dan memasarkan produk Krayan (beras Adan, garam gunung, kerbau, gaharu, hasil hutan) di Ba’ Kelalan. Meski kondisi tersebut tidak dapat dianggap mewakili situasi yang ada di perbatasan Indonesia-Malaysia, namun realitas di atas patut pula diperhatikan dan tidak dinafikan. Kenyataan bahwa masyarakat di sana lebih mengenal tokoh lokal dan asing sama sekali terhadap
Dalam konteks itulah tidak mengherankan jika hingga saat ini pernyataan-pernyataan bernuansakan separatis itu masih kerap terdengar. Hal itu terlontar misalnya dari seorang narasumber ini berinisial BTM yang menyatakan sebagai berikut: “Jika kalian (Presiden dan Pemerintah Pusat) tidak memperlakukan kami dengan layak seperti orang-orang transmigran yang kalian taruh di Tanah kami, Kami berhak mengusir orangorang kalian untuk pulang ke pulau mereka masing masing! Kami tidak rasis, Tapi kami realistis. Kami sudah cukup bersabar!...”31.
Dualisme kondisi di atas menunjukkan bahwa soliditas nasionalisme di Krayan tidaklah pada sebuah posisi yang kokoh. Meski sampai saat ini belum sampai pada titik yang benarPendapat ini dikemukakan pada saat seminar hasil penelitian DIPA, 2013 di P2P LIPI, Jakarta. 30
Wawancara dengan nara sumber yang tidak ingin diungkap identitasnya di Krayan, 28 Juni, 2013. 31
120 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 109–130
benar mengkhawatirkan ataupun berbahaya, namun bukan tidak mungkin ketidakkokohan ini dikemudian hari semakin memburuk. Apalagi jika situasi dan kondisi keterpurukan yang ada –sebagaimana yang akan dibahas pada bagian selanjutnya– tidak kunjung mendapatkan jawaban yang komprehensif. Hal yang pasti, kondisi di Krayan menunjukan sebuah dukungan pada anggapan bahwa eksistensi nasionalisme pada akhirnya perlu selalu didukung oleh upaya pemeliharaan yang intensif dan sungguhsungguh, agar dapat berkembang dan menguat sebagaimana yang diharapkan. Dualisme politik identitas dan posisi melemahnya rasa kebangsaan yang ada di Krayan tidak tumbuh dalam suasana vakum. Terdapat berbagai hal yang melatarbelakanginya. Penelitian ini meyakini bahwa banyak faktor yang terlibat di dalamnya. Diantara banyak faktor itu terdapat dua faktor yang tidak dapat diabaikan dalam mengkaji dualisme masyarakat di Krayan yakni, (1) keberlanjutan keterasingan akibat, terutama disebabkan oleh belum maksimalnya kepedulian pemerintah, yang menyebabkan ada perasaan disingkirkan, (2) ketidakberdayaan untuk selalu tergantung pada jiran yang pada akhirnya menyebabkan kebanggaan sebagai bagian dari Republik Indonesia menjadi tereduksi.
Dam ini mestinya dibuat dihulu untuk menampung air kemudian menjadi bagian irigasi di persawahan. Ada satu hal yang ironis dan paradoks, karena dana yang tersedia untuk Krayan kecil, maka yang mampu dibangun hanya dam, dan sengaja dibuat di hilir sebagai bentuk protes sosial. Krayan berdasarkan wawancara dengan berbagai narasumber lebih membutuhkan pembangunan jalan darat dalam jangka menengah dan menginginkan perbaikan sarana trasportasi udara dalam jangka pendek. Namun, apa yang dapat dibuat dengan alokasi APBD yang kurang dari 1 miliyar dan dibagi untuk 5 kecamatan perbatasan lainnya. Hasilnya dibangunlah dam irigasi Krayan di tempat yang salah. Bukan di hulu untuk menampung air, tapi di hilir, sebagai “proyek asal jadi”. Selain soal alokasi pembangunan untuk daerah Krayan yang masih sangat timpang, nara sumber juga menambahkan posisi politik orang Lundayeh, Krayan yang masih marginal. Masyarakat Krayan menurutnya masih sulit masuk dalam dunia politik, birokrasi, pendidikan, tentara atau polisi di Kalimantan Timur, yang sekarang di mekarkan menjadi Kalimantan Utara. Ia juga menyinggung soal politik anggaran yang belum berpihak kepada pembangunan perbatasan wilayah darat dengan Malaysia. Dia mengatakan:
Perhatikan bangunan irigasi di bawah ini. Keberadaanya merupakan ekspresi perlawanan tanpa kekerasan terhadap politik anggaran perbatasan yang timpang dialokasikan ke wilayah perbatasan darat Indonesia-Malaysia. Hal ini menjadi keluhan utama dari wakil rakyat asal Krayan, Damus Singa, yang mewakili warganya di DPRD Nunukan.
“..Krayan merupakan salah satu kecamatan yang tercatat sebagai kecamatan tertinggal dan saya menyatakan pemerintah daerah Kab.Nunukan tidak becus mengurus daerahnya.....bukan hanya Krayan saja, masih terdapat 3 kecamatan yang tertinggal infastruktur pembangunan itu, dikarenakan APBD bukan untuk rakyat melainkan membangun sebuah dinasti. Buktinya Lun Dayeh sendiri hampir tidak ada yang mendapat posisi di kabupaten Nunukan. Bahkan guru yang di tempatkan di Krayan “non lundayeh” itu sampai hari ini belum muncul batang hidungnya di Krayan! Apakah ini merupakan suatu kepedulian dari wakil rakyat dan pemimpin daerah di kabupaten Nunukan.....Jangan membangun dinasti kekuasaan saja!..”32.
Politik anggaran yang sama sekali tidak didasari oleh prinsip keadilan dan persamaan hak terjadi nyata terjadi di Krayan. Meskipun Pemerintahan Presiden SBY telah mencanangkan
Sumber: Dokumentasi Pribadi. Gambar 3. Bangunan Dam di Desa Krayan
Wawancara dengan Damus Singa, MA, Anggota DPRD Nunukan Dapil Krayan, 25 Juni 2013. 32
Potret Rasa Kebangsaan di Wilayah Perbatasan ... | Syafuan Rozi | 121
sebuah program percepatan pembangunan, semisal, Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), namun tetap saja tidak mampu mengoreksi politik anggaran yang timpang untuk wilayah perbatasan. Masyarakat tetap melihat bahwa APBD yang ada justru diupayakan untuk memperkaya diri jajaran pemerintahan daerah (kabupaten Nunukan). Bahkan mereka menuding kabupaten induknya sedang membangun dinasti politik demi melanggengkan kekuasaan yang mereka pegang saat ini. Pemerintah Kabupaten Nunukan yang sudah diberikan amanah sebagai pengelola pembangunan daerahnya melalui konstitusi (UUD 1945 pasal 18), harusnya mampu mengelola pendapatan asli daerah yang mereka miliki untuk kebutuhan masyarakat di perbatasan. Ada usulan agar TNI di perbatasan bukan hanya bertugas menjaga perbatasan, namun juga sebagai ‘prajurit pembangunan’ infrastruktur perbatasan. Komisi I DPR RI dan Kementerian Pertahanan RI perlu duduk satu meja memberikan regulasi kebijakan payung hukum bagi TNI AD bagian Zeni untuk mendapatkan penugasan khusus pada masa damai membangun ruas jalan darat yang mulus sepanjang perbatasan; penugasan khusus bagi TNI AU untuk membangun bandara perintis militer dan sipil; di beberapa titik strategis desa ujung perbatasan untuk akses jembatan udara yang cepat dan efisien; dan mendampingi Pemda di kabupaten perbatasan membuat perencanaan jangka panjang memiliki Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau penyertaan modal penerbangan. Akibatnya, akses untuk masuknya barang dan orang dalam konteks pariwisata dan perdagangan akan memakmurkan wilayah perbatasan. Selain itu, untuk merawat kebangsaan di halaman depan Indonesia ini, pihak eksekutif di Jakarta perlu mendukung dan meneruskan pembuatan program televisi dan radio yang memuat acara khusus bagaimana perhatian semua pihak di Indonesia untuk memajukan halaman depan negara. Acara semacam ‘suara dari tapal batas’, iklan layanan masyarakat, sinetron dan film, menjadi penting untuk merawat kebangsaan. Stasiun pemancar ulang yang menayangkan program-program nasional wajib ditambah di Long Nawang dan Krayan.
Selain itu, perlu adanya tugas khusus TNI sebagai tentara pembangunan infrastruktur, penugasan Zeni untuk pembangunan jalan darat, AU untuk bandar udara Militer-Sipil yang lebih besar di Long Nawang dan Krayan, dan penugasan Kementerian Ekonomi dan Industri Kreatif juga kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi , untuk mengubah paradigma perbatasan yang serba terbatas menjadi ‘halaman depan Indonesia’ yang maju dan melimpah dengan membangun infrastruktur perdagangan dan pariwisata yang terbengkalai. Hal tersebut sangat penting bagi warga Indonesia di perbatasan untuk merawat kebangsaan warga Long Nawang dan Krayan di Kalimantan Utara, agar bangga menjadi orang Indonesia dan juga Bank Indonesia untuk wajib menjaga agar mata uang rupiah menjadi alat tukar resmi yang berdaulat di halaman depan negara. Kemampuan mengelola pembangunan daerah perbatasan ini juga sebaiknya diikuti kemampuan untuk melihat potensi-potensi apa yang belum dan sudah dimiliki wilayah perbatasan, sehingga optimalisasi terhadap pemanfaatan potensi kehutanan, keindahan alam, dan buah-buahan tersebut akan memberikan dampak yang signifikan bagi perbaikan kehidupan masyarakat di sana. Selain salah urus pengelolaan pembangunan, ketergantungan yang cukup besar terhadap Malaysia, ini juga dapat dilihat sebagai akibat dari keterisoliran yang dijelaskan sebelumnya, ketergantungan yang cukup kuat terhadap Malaysia memberikan pengaruh terhadap kedekatan masyarakat perbatasan dengan keindonesiaan, seperti yang dijelaskan di bawah ini. Ada kecenderungan bahwa hampir 90 persen kebutuhan pokok warga Krayan Indonesia, didatangkan dari Ba’ Kelalan, Malaysia. Sebut saja komoditas bensin dalam drum dan gas dalam tabung bermerk Petronas, gula pasir dalam kantung plastik berlogo One Malaysia, makanan cemilan seperti kue-kue, permen dan coklat bermerk Milo, Malaysia. Kendaraan operasional empat gardan yang beredar di jalan berlumpur dan motor roda dua tanpa plat nomor polisi, didatangkan dari Malaysia. Seorang narasumber asal Krayan, Hengki Lalung Basar, secara emosional menyampaikan
122 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 109–130
keluh-kesahnya soal nasionalisme Indonesia dan aksi ganyang Malaysia, karena berbagai persoalan hubungan kedua negara. Namun pesan tersiratnya, jika memang orang dan tokoh di Indonesia mempunyai nasionalisme yang tinggi, tentu merekalah yang perlu membangun secara nyata wilayah perbatasan. Mereka yang tidak mau membangun Krayan lah yang tidak nasionalis, jangan salahkan mereka jika bergantung dengan negara sebelah. Berikut penuturan nara sumber : “…Dimana-mana ada teriakan orang-orang di Jawa dan tempat lain-lain berupa aksi ganyang Malaysia......sikat habisi....apakah kita sebagai anak bangsa tidak melihat daerah-daerah perbatasan, seperti kami di Krayan, yang hidupnya hampir 80% masih numpang dengan negara sebelah, yang saat ini isu yang kurang enak didengar dan dibaca, di media TV dan Majalah ‘Koran’ Nasional, maupun Lokal, mereka yang katanya sebangsa dengan kami, bisanya cuma asal bicara saja. Ada yang mengatakan salut bagi daerah perbatasan yang selalu sabar menanti... kapan? Siapa yang akan mengubah nasib orangorang yang tinggal di perbatasan?. Siapa yang lebih tidak nasionalis, kami atau mereka?...”.33
Walaupun kampung Long Bawan berada di wilayah Indonesia namun jangan tanya produk buatan negeri sendiri di kios-kios tersebut. Semua yang dijual adalah buatan Malaysia, mulai dari gula, kopi, snack, permen, roti biskuit, sabun, batu baterai, jala, alat pancing hingga bahan bakar. Lebih mudah memperoleh barang-barang tersebut dari Malaysia daripada Indonesia.
pilihan mengingat keterbatasan yang ada. Namun, di kalangan anak-anak usia sekolah, keakraban ini justru telah menjadi suatu prestise kondisi ekonomi. Sesuatu yang membanggakan bagi mereka jika pada peralatan sekolah yang mereka gunakan terdapat logo yang bernuansakan Malaysia, baik itu bendera Malaysia ataupun logo menara kembar petronas. Salah satu indikator seseorang memiliki rasa kebangsaan yang tinggi dalam penjelasan sebelumnya adalah adanya rasa bangga dan bahagia ketika menjadi bagian sebuah bangsa. Lalu bagaimana ceritanya jika rasa kebangsaan (keindonesiaan) itu diekspresikan oleh anakanak usia sekolah di perbatasan yang justru bangga dengan kemalaysiaannya? Tentunya hal ini menjadi sebuah fakta yang cukup mengkhawatirkan bagi pemeliharaan rasa kebangsaan bagi generasi penerus bangsa. Peringatan dini atas rasa keindonesiaan yang semu rasanya layak untuk menjadi catatan penting bagi siapapun yang menjadi pemimpin di Indonesia ke depan.
Upaya Menghadirkan Keindonesiaan: Penawar yang Masih Hambar?
Dapat terlihat di sini, kebutuhan paling mendasar masyarakat justru hanya mampu dipenuhi dengan membeli mahal dari kota terdekat di negeri jiran. Keakraban di lidah dan di perut terhadap produk makanan Malaysia pada akhirnya bisa saja menciptakan persepsi bahwa yang menopang kebutuhan hidup paling mendasar adalah Malaysia. Indonesia sama sekali tidak pernah hadir atau belum, “di dalam lidah maupun perutnya” orang Krayan. Lalu, bagaimana Indonesia akan mampu hadir di dalam benak mereka, pertanyaan kritisnya.
Untuk kasus Long Nawang, ada upaya pemerintahan di era reformasi, tepatnya pada masa Pemerintahan SBY telah berupaya untuk menghadirkan peran negara yang memiliki perhatian lebih pada wilayah perbatasan dengan membentuk Kementerian Daerah Tertinggal. Posisi negara saat itu mulai kian positif untuk membangun kadar nasionalisme di perbatasan bahwa perbatasan bukan lagi halaman belakang, namun sebagai “beranda negara”. Sebuah perhatian yang kemudian diterjemahkan dengan mengombinasikan tiga pendekatan sekaligus, yakni pendekatan keamanan, kesejahteraan dan lingkungan.34 Pendekatan ini telah melahirkan beberapa pandangan, misi dan program yang cukup atraktif meski dalam kenyataannya, layaknya sebuah permulaan, amat membutuhkan sebuah akselerasi yang kuat.
Keakraban dalam mengonsumsi produkproduk Malaysia di perbatasan saat ini ditemukan oleh peneliti tidak lagi dalam kondisi tidak ada
Sebagai bentuk komitmen dan perhatian pusat, misalnya, para pejabat saat ini sudah tidak segan untuk masuk ke wilayah perbatasan. Para Narasumber Soni Soemarsono dalam Focus Group Discussion, di P2P LIPI, di Jakarta, 1 Oktober 2013. 34
33
Wawancara dengan Hengky Lalung Basar, Krayan, Juni 2013.
Potret Rasa Kebangsaan di Wilayah Perbatasan ... | Syafuan Rozi | 123
pejabat mulai dari Presiden hingga pejabat teras berbagai eselon ataupun anggota DPR telah menyempatkan hadir ke perbatasan. Meski tentu saja belum meliputi seluruh wilayah perbatasan, namun masyarakat nampak telah mulai terbiasa dan merasa hambar dengan kehadiran pejabat publik level nasional itu. Demikian cukup banyak dan seringnya frekuensi kehadirannya, hingga ada ungkapan di masyarakat perbatasan yakni bahwa “hanya tinggal malaikat saja yang belum datang”.35
kaki memanggul barang di kepala atau naik ojek yang melewati jalan tikus yang ketika musim hujan berubah menjadi anak sungai yang begitu berat untuk dilewati. Jerry Semion, seorang warga Krayan bercerita betapa banyak warga Krayan di perantauan yang cinta akan daerah kelahirannya, namun terkendala dengan sarana transportasi yang kondisinya sangat buruk dan terbatas, sebagai berikut: “…Kalau mau menjawab soal keindonesiaan orang Krayan dan krisis kebangsaaan yang terjadi. Jawabannya sederhana lihatlah kondisi jalan dan biaya transportasi ke sini. Jalan darat ke Malinau jangan ditanya, satu-satunya jalan ya di atas awan, tapi ketersediaannya terbatas. Mau pulang ke Krayan saat libur Natal atau 17 Agustusan tidak mudah pesawat penuh alias full...harus... tunggu lagi tahun depan..... rindu dengan daerah Krayan yg dingin... nggak perlu pakai kipas angin... nggak perlu pakai AC.... udah beku.... walau memakai selimut yang tebal seinci... ditutupi pakai tikar lagi, untuk mencari panas. Kalau pun mau pulang juga, harus memutar dari Tarakan, naik speed atau pesawat ke Tawau, lalu naik bus Miri, dari Miri lanjut ke Bakelalan Serawak, baru lah naik ojek atau four wheel, ke Krayan. Coba bayangkan untuk pulang ke Krayan, dari Kaltim atau Kaltara, harus memutar lewat Malaysia....”.37
Adanya paradigma baru pemerintah pusat yang mulai memandang penting wilayah perbatasan telah cukup mendorong pemerintah daerah dan jajarannya di kecamatan untuk lebih intens lagi berhubungan atau membuka komunikasi dengan masyarakat perbatasan. Dengan dorongan ini telah muncul sebuah kepedulian yang lebih baik untuk membangun perbatasan. Tema-tema “membangun desa”, misalnya, menjadi sesuatu yang menggejala, termasuk di Pemerintahan Malinau. Bupati Malinau Yansen TP, misalnya, memiliki program kerja untuk membangun desa yang disebutnya sebagai “Gerakan Desa Membangun” (Gerdema), termasuk di wilayah perbatasan. Gerdema saat ini telah cukup terasa di banyak pedesaaan di Kabupaten Malinau.36 Tidak mengherankan jika kemudian di Desa Long Nawang, pada beberapa kesempatan pesan-pesan pemerintah tentang membangun dari desa itu terlihat demikian semarak. Termasuk, misalnya, saat dilakukannya pagelaran pertemuan masyarakat Dayak Kenyah, dimana spanduk dan umbul-umbul bertuliskan Gerdema demikian masif terlihat, terutama di tempat akan dilangsungkannya acara tersebut. Untuk kasus Krayan, bagaimana menjelaskan upaya negara kita untuk menghadirkan perannya di perbatasan. Sebagai ilustrasi, untuk mendatangkan sembako ke Krayan sungguh penuh perjuangan. Warga Krayan harus berjalan Pernyataan yang lebih sarkastik adalah “hanya tinggal setan saja yang belum datang”. Pernyataan-pernyataan semacam ini kerap terlontar dalam setiap wawancara dan diskusi terutama dengan kalangan tokoh masyarakat, aparat pemerintah di level bawah atau cendekiawan. 35
http://www.radartarakan.co.id/index.php/kategori/detail/ Malinau/43915, diakses pada tanggal 17 Juni 2013. 36
Berkaitan dengan sulitnya transportasi ke Krayan, Ir. Faridil Murad Kepala Badan Pengelola Perbatasan Kabupaten Nunukan menjelaskan dalam jangka panjang akan diperkeras jalan tembus dari Malinau menuju Krayan. Sementara inovasi yang akan dilakukan untuk memperbaiki mahalnya harga barang di Krayan adalah dengan memberikan alokasi anggaran subsidi untuk pesawat angkut udara, yang selama ini hanya subsidi penumpang. Selain itu, patut dicoba untuk mendatangkan kuda ke Krayan, selain untuk mengangkut orang dan barang, kuda makannya rumput dan daun yang melimpah di Krayan. Sehingga tidak perlu memakai bensin atau solar yang mahal karena dibeli dari Petronas dengan ringgit.38 Kepala Badan Pengelola Perbatasan Kabupaten Nunukan, Ir. Faridil Murad menegaskan 37
Wawancara dengan Damus Singa, di Nunukan, Juni 2013.
Wawancara dengan Faridil Murad, Kepala Badan Pengelola Perbatasan, di Nunukan, Juni 2013. 38
124 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 109–130
bahwa pembangunan kawasan perbatasan merupakan tanggungjawab pemerintah pusat, terkait dengan perubahan paradigma perbatasan yang tadinya berupa wilayah sempadan, sekarang dan ke depan akan menjadi halaman depan Indonesia. Seharusnya, kata dia, APBD Nunukan tidak perlu lagi dibebankan anggaran untuk pembangunan kawasan perbatasan. Sebab masih banyak program lainnya yang perlu dibiayai daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya terutama mereka yang berada di kawasan pedalaman. Ia menyayangkan karena pemerintah pusat di Jakarta tidak atau belum mempunyai masterplan untuk pengembangan kawasan perbatasan. Padahal masterplan menjadi dasar untuk pembangunan di daerah ini. Kepala Badan Pengelola Perbatasan Kabupaten Nunukan, Faridil Murad memberikan keterangan sebagai berikut: “…Masterplan pengelolaan daerah perbatasan untuk Nunukan, termasuk Krayan dan 4 kecamatan perbatasan darat lainnya, belum ada. Masterplan potensi daerah yang harus digali apa-apa, juga tidak ada... Bagaimana rakyatnya mau sejahtera kalau infrastrukturnya minim? Padahal penduduk perbatasan itu ibarat pagar bangsa di sana. Ini juga tidak mendapatkan perhatian. Uang Pemda itu untuk membantu rakyatnya yang ada di pedalaman. Kalau bapak ke pedalaman melihat infrastruktur di sana sangat menyedihkan dan terisolir, untung saja masyarakat pedalaman Long Nawang tidak terlalu banyak tuntutan, karena sudah terbiasa begitu. Masyarakat Krayan, lewat ketua adatnya sudah membuat pernyataan, tetapi ini jangan dijadikan pembiaran. ….”.39
Atas usul itu, Bupati Nunukan Basri, telah menyetujui untuk pembuatan masterplan pembangunan infrastruktur wilayah perbatasan dan masterplan penggalian potensi daerah perbatasan, untuk mengetahui potensi yang perlu digali untuk percepatan pembangunan daerah perbatasan. Faridil juga mengatakan, jika penanganan kawasan perbatasan menggunakan APBD berarti Pemkab Nunukan dibebankan tanggungjawab untuk hal itu. Padahal, kawasan perbatasan merupakan masalah nasional yang mestinya menjadi tanggungjawab pemerintah pusat. 39
Ibid.
Menurutnya, tidak maksimalnya pembangunan di kawasan perbatasan selama ini disebabkan karena pemerintah pusat dan Pemprov Kaltim tidak merespons usulan program pembangunan perbatasan yang diajukan Pemkab dan DPRD Nunukan. Hal ini juga dijelaskan oleh Damus Singa, yang setiap ada pertemuan dengan anggota DPR RI pusat dan acara yang dibuat oleh Harian Kompas soal Tapal Batas, mengungkapkan perhatian pihak pusat soal anggaran yang tepat sasaran untuk membangun daerah perbatasan dapat dikatakan ‘masih jauh panggang dari api’.40 Terisolirnya Krayan dari Kabupaten induknya, Nunukan, juga menjadikan mereka semakin tidak mengenal baik Indonesia. Akses transportasi baik darat ataupun udara tidak memungkinkan mereka untuk lebih sering melakukan kontak dan bersosialisasi dengan dunia luar. Menurut Lewi Gala, hanya kendaraan ojek motor yang masih berani lewat. Namun dengan harga yang “gila-gilaan” mencapai Rp 500.000, belum termasuk barang bawaan. Waktu tempuh ojek motor bisa 5 jam hingga 2 hari tergantung kondisi alam, hujan atau kering. Hal yang membuat mahalnya biaya kendaraan darat adalah sarana fisik jalan yang sangat buruk karena hanya terbuat dari tanah dan batu tanpa pengerasan aspal atau semen. Selain itu, harga bahan bakar seperti bensin sangat melambung tinggi, dibanding harga resmi subsidinya di Indonesia, Rp. 6.500, karena didatangkan dari Malaysia. Harganya di Krayan bisa mencapai Rp. 25.000/liter. Betapa biaya hidup yang mahal, membuat mereka sukar untuk bangga menjadi orang Indonesia di perbatasan. Lewi Gala lebih lanjut menjelaskan adanya upaya membantu warga perbatasan dalam bentuk affirmative action, ada alokasi subsidi naik pesawat perintis dari APBD Nunukan, biaya dengan pesawat Susi Air dari Long Bawan ke Long Layu berkisar Rp. 250.000 dengan waktu tempuh hanya 10 menit. Namun, jika tidak dapat tiket subsidi, dengan pesawat MAF sekitar Rp. 500.000. Itupun harus singgah dulu di Long Bawan, bermalam dan keesokan harinya lanjut ke Long Layu menggunakan 40
Wawancara dengan Damus Singa, di Nunukan, Juni 2013.
Potret Rasa Kebangsaan di Wilayah Perbatasan ... | Syafuan Rozi | 125
penerbangan Kura-Kura Aviation. Kebetulan saja kalau ada penerbangan, kalau tidak harus menyewa ojek motor yang melelahkan ke Long Layu. Lewi Gala mengungkapkan perasaan nasionalismenya terhadap Indonesia yang “layu” akibat terisolirnya mereka untuk bergerak dan memasarkan hasil pertaniannya, sebagai berikut: “….Keadaan sulitnya transportasi inilah yang membuat warga Long Layu di Krayan Hulu, terbelakang dan terkucil. Warga Long Layu memendam ‘benci tapi rindu’ kepada pemerintah Indonesia. Kami merasa seperti belum merdeka, kami masyarakat Long Layu merasa terjepit, karena ditekan Malaysia dan tidak diperhatikan pemerintah Indonesia....Kami warga Long Bawan dan Krayan hanya bisa membawa dan menjual hasil bumi ke perbatasan di kawasan Ba’Kelalan, bukan ke Malinau atau Kecamatan Nunukan yang lain. Kurang apa kesetiaan warga Krayan kepada Indonesia. Dulu ketika konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia pecah tahun 1963, masyarakat Krayan membantu kebutuhan logistik tentara Indonesia, selama 3 tahun lamanya. Sekarang kami merasa dilupakan. Namun demikian, mau apa lagi…sebenci-bencinya kami pada pemerintah Indonesia, kami tetap cinta Indonesia, tidak terbersit sedikit pun untuk ikut Malaysia. Kami tidak minta banyak kepada pemerintah Indonesia, kami hanya minta pemerintah membuka akses jalan dari Long Layu ke perbatasan dengan kota Miri di Sarawak, Malaysia yang jaraknya hanya 30 km. Sehingga ada pasar untuk semua hasil bumi masyarakat di Krayan….”41
Satu-satunya alat komunikasi yang bisa digunakan adalah radio di kantor lapangan terbang perintis di tiap kampung dan wartel satelit dengan tarif tinggi mencekik leher yang per menitnya mencapai Rp.6.000. Wilayah Krayan Hulu berlimpah dengan beras dan sayuran, namun kebutuhan pokok lainnya sangat sulit didapat. Hanya ada beberapa kios yang menjual kebutuhan sehari-hari, namun isinya sangat sedikit dan tidak lengkap. Sikap tidak peduli pemerintah juga menyebabkan kondisi pembangunan perbatasan dinilai masih setengah hati dan asal ada saja. Keluhan Lewi Gala yang lain adalah anggota dewan yang mereka pilih pada pemilu yang lalu (2009) cenderung malas untuk datang ke pedalaman Krayan Hulu. Lewi Gala mengisahkan, ia pernah bertemu dengan salah seorang anggota dewan dari DPRD Nunukan di Long Bawan yang didampingi wartawan Radar Tarakan dari Malinau, saat tengah melakukan kunjungan kerja (reses) di wilayah Kecamatan Krayan. Kepada Lewi Gala dia memastikan akan datang berkunjung, namun sampai hari ini tidak ada batang hidungnya. Menurut Lewi ”Apa yang akan dia laporkan kalau dia tidak lihat dan datang sendiri ke Long Layu”? Padahal ada yang
Lewi Gala ingin laporkan soal proyek yang dibangun di tempatnya yang terbengkalai. Wakil rakyat ada yang belum merakyat.
”…Coba lihat proyek pembangunan parit yang terbengkalai ini, begitu saja ditinggalkan pemborongnya. Sepanjang tepian kampung bertumpuk bebatuan yang berserakan. Seluruhnya hampir ditutupi rerumputan. Adukan pasir juga berserakan dimana-mana. Sungguh pemandangan yang tidak sedap di kampung kami. Long Layu dan kampung lain di Krayan Hulu sudah lama jadi obyek permainan para pemborong yang menang tender proyek untuk mengeruk keuntungan besar, tanpa ada tanggungjawab. Semua proyek pemerintah yang diorder kepada pemborong sama sekali tanpa pengawasan pemerintah setempat. Bahkan pejabat yang melakukan kunjungan kerja ke Krayan enggan masuk ke kampung-kampung di pedalaman. Mereka hanya sampai di Long Bawan kemudian segera kembali ke Nunukan….”.42
Walaupun demikian, suasana kehidupan yang penuh dengan keterbatasan dapat terlihat dan dirasakan. Keluhan mereka soal energi menjadi indikatornya. Tidak ada jaringan listrik sama sekali di Krayan Hulu. Untuk penerangan, warga mengandalkan generator dan beberapa rumah membeli perangkat solar sel dari Malaysia dengan harga yang sangat mahal. Ketersediaan listrik darurat dengan genset ini hanya mampu untuk dinikmati untuk beberapa jam saja di malam hari. Listrik mulai dinyalakan pada pukul 18.00 hingga pukul 22.00 karena harga bahan bakar yang mahal. Sulitnya sarana komunikasi melengkapi kondisi keterpencilan dataran tinggi Krayan. Wawancara dengan Lewi Gala, petani asal Krayan Hulu, di Krayan, 29 Juni 2013. 41
42
Ibid.
126 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 109–130
Selain itu terdapat fakta menyedihkan ketika berbicara tentang sarana transportasi di Krayan. Tiga bangkai pesawat yang mengalami kecelakaan di lapangan terbang perintis Long Kayu, Krayan Hulu telah menjadi hiasan dan saksi bisu tidak pedulinya pemerintah terhadap dunia transportasi Krayan selama ini. Hingga tulisan dari laporan penelitian ini dibuat, belum ada usaha dari pihak terkait untuk sekedar memperbaiki pesawat-pesawat tersebut.
Catatan Penutup: Peringatan Dini dan Solusi Kebangsaan Catatan pertama, untuk masyarakat perbatasan di desa Long Nawang, Malinau, dalam kesehariannya, sebagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya, disibukkan oleh pemenuhan kebutuhan harian. Keterasingan akibat lokasi yang sulit dijangkau memunculkan pelbagai keterbatasan. Akses yang terbatas bagi mobilitas barang-barang atau produk dari tanah air, baik dari Pulau Jawa, wilayah Kalimantan yang lainnya, ataupun Ibu Kota Provinsi menyebabkan keterbatasan pilihan barang-barang pemenuhan kebutuhan hidup. “Jembatan udara” melalui pesawat-pesawat yang demikian kecil dalam prakteknya tidak banyak membantu. Dengan kapasitas angkut pesawat yang demikian minim ditambah dengan harga tiket yang mahal, tentu saja jumlah dan ragam barang menjadi terbatas dan berharga mahal. Secara umum, upaya pemenuhan kebutuhan itu, pada akhirnya, memunculkan semacam “fenomena ketergantungan” atas barang-barang dari negeri jiran. Terkait dengan kondisi perdagangan itu, masyarakat di Desa Long Nawang pun akrab dengan mata uang Ringgit Malaysia. Konon keakraban itu telah tumbuh sejak Malaysia itu berdiri, bahkan jauh sebelumnya.43 Hal ini tidak mengherankan mengingat keterisoliran dari sentra-sentra perdagangan di tanah air telah memaksa penduduk untuk terus menerus membuka kontak dagang dengan sentrasentra perdagangan yang ada di wilayah Malaysia yang memang lebih terjangkau jaraknya. Dalam proses jual beli itulah penduduk perbatasan tidak punya pilihan lain selain menggunakan Ringgit. Informasi dari Dave Lumenta dalam FGD, di Pusat Penelitian Politik-LIPI, di Jakarta, 1 Oktober 2013. 43
Situasi semacam ini relatif tidak banyak berubah hingga saat ini. Hal ini terlihat, misalnya, dengan masih dapat digunakannya Ringgit dalam setiap transaksi perdagangan di Desa Long Nawang. Bahkan di daerah-daerah tertentu Ringgit cenderung lebih disukai, karena nilai tukarnya yang lebih tinggi ketimbang Rupiah.44 Meski demikian, seiring dengan perbaikan infrastruktur terutama jalan raya yang terus dikembangkan oleh pemerintah, saat ini sudah mulai masuk barang-barang produksi dalam negeri ke desa ini. Dari sisi proporsi, jumlah barang dari tanah air memang belumlah banyak, dan tetap beberapa kebutuhan pokok seperti gula dan telur didatangkan dari Malaysia. Namun secara umum, proporsi produk dalam negeri, setidaknya terlihat dari toko-toko kelontong di sekitar masyarakat, jumlahnya terus merambat naik. Menurut Ingkong Ala, salah seorang usahawan di Desa Long Nawang, jika dulu hampir 100% barang-barang yang dikonsumsi di desanya berasal dari Malaysia, maka saat ini jumlahnya sudah hampir sekitar 75-80% saja45. Menurutnya, adanya akses darat –yang meskipun masih sangat menyedihkan kondisinya— yang menghubungkan wilayah Desa Long Nawang dengan Long Bagun di daerah Kutai Barat, telah memungkinkan lebih banyak lagi barang-barang dari Indonesia yang dapat masuk ke desanya.46 Namun demikian, secara umum, kondisi perekonomian di Desa Long Nawang belum seutuhnya terlepas dari ketergantungan terhadap Malaysia. Keterisoliran ekonomi inilah nantinya menjadi salah satu persoalan pelik yang belum terpecahkan, yang belakangan sulit untuk tidak mengatakan tidak berpengaruh pada persoalan kemunculan dualisme yang tercermin dari pernyataan yang umum disuarakan masyarakat perbatasan yakni, “Garuda di dadaku, Malaysia di perutku”.47 Wawancara dengan Kueng Jalung, Kepala Desa Long Nawang, di Long Nawang, 4 Juni 2013. 44
Wawancara dengan Ingkong Ala, pedagang dan tokoh masyarakat Desa Long Nawang, di Long Nawang, 6 Juni 2013. 45
46
Ibid.
Pernyataan tersebut berulangkali didengar oleh Tim Peneliti dengar hampir di setiap wawancara atau diskusi dengan masyarakat perbatasan yang terkait dengan persoalan ekonomi atau situasi interaksi mereka dengan pihak Malaysia. 47
Potret Rasa Kebangsaan di Wilayah Perbatasan ... | Syafuan Rozi | 127
Selain dalam konteks ekonomi atau perdagangan, ketergantungan juga terlihat dari mobilitas masyarakat di antara dua negara. Jika mayoritas WNI yang pergi ke Malaysia adalah mereka yang membutuhkan pekerjaan, atau dengan kata lain menyambung hidup, maka warga Malaysia yang berkunjung ke Indonesia sebagian besar adalah berkategori turis, yang datang sekadar beranjangsana dengan saudara-saudara mereka atau melakukan napak tilas eksistensi nenek moyang mereka di masa lampau. Dengan kata lain, setidaknya hingga kini, jika masyarakat Indonesia di perbatasan cenderung melihat jiran sebagai sarana pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat primer, maka warga Malaysia melihat Indonesia sebagai wilayah pemenuhan kebutuhan sekunder atau bahkan tertier saja. Dalam posisi ini tentu saja akan dapat dengan jelas terlihat makna ketergantungan itu. Posisi asimetris atau ketergantungan sedemikian tentu saja menimbulkan banyak efek. Bagi sebagian kalangan, termasuk para pengamat sosial, ketergantungan pada jiran itu menimbulkan masalah kebangsaan. Prof. Adri Patton, misalnya, mengatakan bahwa dalam batas-batas tertentu, kondisi tersebut telah cukup lama berkontribusi atas terjadi proses pemudaran rasa kebangsaan.48 Masyarakat melihat pemerintah Indonesia tidak cukup memberikan perhatian terhadap kondisi wilayah dan kehidupan perbatasan, sementara Malaysia nampak memberikan prioritas untuk pembangunan di wilayah perbatasan. Akibatnya, kejomplangan kesejahteraan dan kondisi infrastruktur demikian kentara. Keterdesakan hidup ini menyebabkan meredupnya rasa kebanggaan apa lagi rasa nasib sepenanggungan dengan anak bangsa lainnya. Sebaliknya, timbul semacam perasaan membanggakan jiran. Menurut Adri, ”mereka (masyarakat perbatasan, pen) bangga dengan semua yang berbau Malaysia. Sedang yang berbau Indonesia dijelek-jelekan oleh bangsa sendiri”.49 Bahkan bukan hal aneh jika warga di perbatasan ada yang tidak tahu siapa Presiden RI, lagu kebangsaan Indonesia Raya sampai mata uang. Adri juga mengatakan, ”Kalau 48
Wawancara dengan narasumber Adri Patton, Mei 2013.
http://www.bongkar.co.id/news/politik/664-kok-perbatasandiurutan-10.html, diakses pada tanggal 24 Mei 2013. 49
ditanya soal uang, yang mereka tahu itu Ringgit Malaysia. Kenapa, karena memang di kampung mereka mata uang itu laku dibelanjakan”.50 Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi Bank Indonesia untuk mengawal kedaulatan rupiah sebagai alat tukar resmi Negara di halaman depan Indonesia. Catatan kedua, Nasionalisme Indonesia di perbatasan Krayan, Nunukan, sedang dalam pertaruhan. Perlu peringatan dini untuk disampaikan bahwa telah terjadi kecenderungan krisis politik identitas di sebagian besar masyarakat dan elit lokal Krayan. Indikasinya, sebagian warga Krayan telah melakukan diaspora ke Serawak, Sabah dan Brunei Darussalam. Mereka yang keturunan Lun Dayeh atau Lub Bawan atau Orang Ulu Sungai ini telah memiliki Identitiy Card (IC) Malaysia dan sebagian telah menjadi pemilih dalam Pilihan Raya (Pemilu). Dengan situasi yang telah digambarkan di atas adalah logis kalau dikatakan bahwa jika Krayan tidak dikelola dengan baik oleh pihak pusat dan pemerintah daerah maka risiko politik yakni, Krayan akan menjadi bagian Serawak Malaysia sangat tinggi. Apalagi kenyataan menunjukan ada gejala dimana hampir separuh populasi Dayak Lun Dayeh, Krayan sudah bermigrasi ke wilayah Malaysia Timur, karena terbuka akses jalan darat ke sana, ketimbang ke wilayah Indonesia. Problem transportasi, untuk itu mau tidak mau harus dituntaskan. Kondisi dimana masyarakat terus terisolir karena persoalan minimnya transportasi ini harus segera di atasi. Upaya-upaya itu harus mendapat jawaban. Jangan sampai terus terulang, misalnya, kegagalan upaya masyarakat Krayan melalui anggota DPRD Nunukan untuk dapat mendaratkan kapal berbadan sedang atau besar di bandara Krayan, Yupep Semaring. Saat ini, walaupun secara fisik bandara tersebut telah diperkeras dan telah diperpanjang landasannya dari 600 meter, menjadi 1600 meter, sehingga layak untuk didarati pesawat Foker, Cassa dan sejenisnya. Sampai dengan saat ini, dapat disimpulkan bahwa kendalanya terkait dengan birokrasi perizinan yang tidak jelas dan berbagai pihak tidak mendukung dan menutup mata saja terhadap persolan transportasi di Perbatasan. Ada gagasan dari warga agar Pemda di provinsi perbatasan membuat Perda 50
Ibid.
128 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 109–130
Penyertaan modal atau lebih baik lagi kalau membentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) penerbangan, daripada terus menerus menyewa atau memberikan subsidi penerbangan yang hasilnya kuantitas dan kualitas penerbangan dari Krayan ke wilayah Indonesia yang lain sangat terbatas dan jelek. Terkait dengan hal itu, perlu terobosan dan keberanian Pemda Nunukan dan dukungan pemerintah pusat agar Krayan dijadikan tujuan wisata unggulan, sehingga armada udara semacam Air Asia, Citilink, Lion Air, secara alamiah dan hukum pasar membuka rute penerbangan ke Krayan. Hal itu bukanlah tanpa peluang, mengingat potensi alam dan komoditas lokal Krayan, sangat potensial untuk pengembangan pariwisata dan penerbangan, kuncinya di transportasi udara dalam jangka pendek dan transportasi darat dalam jangka menengah dan panjang. Hingga kini terasa sekali adanya perbedaan yang besar antara armada penerbangan di Krayan (RI) dan Ba’kelalan (Malaysia). Di Krayan kebutuhan transportasi udara dilayani oleh penerbangan swasta dan volunteer, pesawat berbadan kecil, sementara jirannya dilayani penerbangan publik Malaysia yang daya angkutnya lebih besar. Dalam hal ini, negara kita kalah dalam memberi pelayanan transportasi kepada bangsa sendiri. Selain persolan jalur udara, pembenahan dalam pelayanan jalur daratpun jelas tidak dapat dibaikan. Keduanya berkelindan dan akan saling menguatkan. Meskipun disadari oleh banyak kalangan bahwa pembangunan infrastuktur darat di jantung Kalimantan ini penuh tantangan, namun keberadaannya diyakini akan banyak memberikan manfaat dalam berbagai sendi kehidupan. Hal yang pada akhirnya akan mengakhiri keterisoliran masyarakat dan pada gilirannya dapat mengokohkan rasa keindonesiaan yang kian tergerus. Secara praktis dapat dikatakan, jika jalan darat terbuka, maka ketergantungan perdagangan dengan Malaysia perlahan akan beralih juga ke Indonesia. Masalah Krayan sebagai wilayah hutan lindung Kayan Mentarang, sudah tegas dijawab oleh ketua Adat Krayan, Yagun Bangau, bukan termasuk wilayah tanah adat Krayan. Sehingga tidak ada alasan hambatan birokrasi perizinan dalam membangun jalan tembus Krayan Malinau.
Selain persoalan transportasi, yang terkait erat dengan situasi keterisoliran, masalah ketergantungan pada jiran dan pemiskinan yang berkelanjutan juga hal pokok lain yang harus segera dijawab. Dengan kata lain, peningkatan dan pemerataan kesejahteraan harus menjadi prioritas. Hal ini telah menjadi rumusan umum. Soni Sumarsono bahkan menyimpulkan bahwa pada akhirnya persoalan kebangsaan akan selalu terkait dengan persoalan kesejahteraan.51 Kegagalan menciptakan kesejahteraan adalah pintu masuk bagi luruhnya rasa kebangsaan. Dengan kata lain, jika kesejahteraan tak kunjung hadir, maka nasionalisme di perbatasan darat akan jadi pertaruhan politik di halaman depan Indonesia. Sebagai catatan tambahan, saat ini keberadaan Indonesia di perbatasan yang antara lain menjadi kewenangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di perbatasan perlu dikembangkan bukan hanya penjaga tapi juga pembangun. Kehadiran TNI sebagai penjaga perbatasan di tanah air Indonesia patut disyukuri dan dibanggakan. Kehadiran mereka menandakan Krayan adalah tanah bertuan dan dijaga dengan baik. Ada usulan agar program TNI Manunggal Masuk Desa (TMMD) perlu dihidupkan menjadi TNI Membangun Perbatasan (TMP), pasukan Korps Zipur perlu diberdayakan untuk membangun infrastuktur jalan yang menghubungkan Malinau ke Krayan. Bukan tanpa alasan dan juga bukan merupakan pemikiran atau saran yang terburuburu jika peneliti disini melihat bahwa TNI memiliki peran sangat penting dalam menjaga dan membangun nasionalisme di perbatasan dengan fungsi selain kombatan (perang). Membangun perbatasan dengan medan geografis (alam) yang amat berat tentunya tidaklah mudah. Perlu pengalaman dan daya dukung peralatan untuk menembus hutan-hutan lebat di jantung Kalimantan tersebut. TNI dengan pengalaman pelatihannya yang sangat dekat dengan alam seperti di perbatasan dan didukung oleh peralatan yang memang dirancang untuk efektif di medan yang sulit, tentunya diharapkan mampu mendukung upaya pembangunan tersebut. Hal ini terutama dalam hal membuka keterisoliran perbatasan dengan pembangunan jalan darat. Narasumber Soni Soemarsono dalam Focus Group Discussion, di P2P LIPI, di Jakarta, 1 Oktober 2013. 51
Potret Rasa Kebangsaan di Wilayah Perbatasan ... | Syafuan Rozi | 129
Meskipun saran ini terkesan hendak memasukkan kembali TNI dalam persoalanpersoalan pembangunan yang harusnya dikerjakan sipil, namun tidak ada salahnya pengalaman yang dimiliki TNI dijadikan pendukung, tetapi bukan sebagai motor utama dalam upaya pembangunan di perbatasan tersebut misalnya lewat payung hukum Perpres/Inpres (Peraturan Presiden/Instruksi Presiden). Proposal membangun jalan Patroli Perbatasan dari ujung Kalbar hingga ujung Kaltara, dengan posisi 50 meter paralel dengan batas sempadan. Selain itu perlunya penugasan khusus untuk Kementerian Ekonomi, Pariwisata dan Industri Kreatif juga Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, untuk mengubah paradigma perbatasan yang serba terbatas menjadi ‘halaman depan Indonesia’ yang maju dan melimpah, sangat penting bagi warga kita di perbatasan, untuk merawat kebangsaan warga Long Nawang dan Krayan di Kalimantan Utara, agar bangga menjadi orang Indonesia dan juga Bank Indonesia untuk wajib menjaga agar mata uang rupiah menjadi alat tukar resmi yang berdaulat di halaman depan negara. Hal ini akan merupakan upaya nyata bagi Negara dalam membangun nasionalisme di halaman depan Indonesia di Long Nawang dan Krayan, Kalimantan Utara.
Daftar Pustaka Buku Indrawasih, Ratna Asfar Marzuki, Soewarsono, Sukri Abdurrachman. 1996. Dinamika Sosial Budaya Masyarakat di Daerah Perbatasan IndonesiaMalaysia: Studi Kasus Desa EntikongKalimantan Barat dan Pulau NunukanKalimantan Timur. Jakarta: PMB-LIPI. Badan Pusat Statistik Kabupaten Nunukan. 2010. Kabupaten Nunukan dalam Angka. Nunukan: Badan Pusat Statistik Kabupaten Nunukan. Sedyawati, Edi dkk. 1995. Konsep Tata Ruang Suku Bangsa Dayak Kenyah di Kalimantan Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Bappeda Kabupaten Malinau dan BPS Kabupaten Malinau. 2012. Survei Sosial Ekonomi Daerah Kabupaten Malinau 2012. Malinau: Bappeda Kabupaten Malinau dan BPS Kabupaten Malinau.
Laporan dan Makalah Wawancara dengan Ketua Adat Krayan, berinisial YB, di Krayan, 29 Juni 2013. Wawancara dengan TSP, di Krayan, 27 Juni 2013. Wawancara dengan Frans Uktolseja, Pastor merangkap Kepala Urusan Pemerintahan Desa Long Betaoh, di Desa Long Betaoh, 5 Juni 2013. Wawancara dengan Lah Bilong, Kepala Desa Long Betaoh, di Desa Long Betaoh, 5 Juni 2013. Wawancara dengan Wilson Ului, Camat Kayan Hulu, di Desa Long Nawang, 4 Juni 2013. Wawancara dengan Kueng Jalung, Kepala Desa Long Nawang, di Desa Long Nawang, 4 Juni 2013. Wawancara dengan Nicke, seorang pelajar Sekolah Dasar, di Desa Long Nawang, 5 Juni 2013. Wawancara dengan Ngah, Warga Desa Long Nawang, di Desa Long Nawang, 5 Juni 2013. wawancara dengan Rum, Pemuda Desa Long Betaoh, di Long Betaoh, 5 Juni 2013. Wawancara dengan Tipa S. Padan, di Krayan, 27 Juni 2013. Wawancara dengan Damus Singa, MA, Anggota DPRD Nunukan Dapil Krayan, di Nunukan, 25 Juni 2013. Wawancara dengan nara sumber yang tidak ingin diungkap identitasnya di Krayan, 28 Juni 2013. Wawancara dengan Hengky Lalung Basar, Krayan, Juni 2013. Wawancara dengan Ir. Faridil Murad, tokoh masyarakat, di Nunukan, Juni, 2013. Wawancara dengan Lewi Gala, petani asal Krayan Hulu, di Krayan, 29 Juni 2013. Wawancara dengan Ingkong Ala, pedagang dan tokoh masyarakat Desa Long Nawang, di Long Nawang, 6 Juni 2013. Informasi Soni Soemarsono dalam Focus Group Discussion, di P2P LIPI, di Jakarta, 1 Oktober 2013. Informasi Dave Lumenta dalam FGD, di Pusat Penelitian Politik-LIPI, di Jakarta, 1 Oktober 2013.
Surat Kabar dan Website “Budaya Dayak”, Bondan Winarno, Kompas, Rabu, 27 Agustus 2008. http://www.bongkar.co.id/news/politik/664-kokperbatasan-diurutan-10.html. http://www.radartarakan.co.id/index.php/kategori/ detail/Malinau/43915.
130 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 109–130
TINJAUAN KRITIS REFORMASI KULTURAL POLRI (1999-2012)1 CRITICAL REVIEW ON CULTURAL REFORM OF INDONESIAN POLICE (1999-2012) Sarah Nuraini Siregar Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 18 Maret 2014; direvisi: 13 Mei 2014; disetujui: 19 Juni 2014
Abstract Over the past 14 years, Polri have tried to fullfill the demands of the reform movement, although not yet entirely succeeded. Especially for cultural reform, according to Polri’s claims, there have been some efforts made by them, such as doctrine transformation, the formulation of behaviour guidelines for Polri’s members and so on. But in reality, especially for the cultural aspect as the springhead of the reform, Polri seemed to have not managed as ‘civilian police’ which should be humanist and democratic. Whereas the role of the police as law enforcement and community-related functions attached to one another. Their function as protector, steward, and law enforcement is an integral universal and attached to their identity. The quality of the implementations of these functions will reflect how the actual Polri’s behavior in society. Therefore, study about Polri’s cultural reform also analyze the whole of these functions are obtain by Polri’s members. Keywords: Polri, Indonesian police, reform, culture, cultural, civil, humanist. Abstrak Selama 14 tahun terakhir, Polri telah berusaha memenuhi tuntutan gerakan reformasi meski belum berhasil seluruhnya. Khusus reformasi kultural, menurut klaim Polri, telah ada beberapa upaya yang dilakukan oleh Polri, seperti perubahan doktrin, perumusan pedoman tata perilaku anggota Polri, dan sebagainya. Namun dalam perkembangannya, khusus untuk aspek kultural selaku muara dari reformasi, Polri tampak belum berhasil menjadi ‘polisi sipil’ yang berwajah humanis serta demokratis. Padahal peran Polri sebagai penegak hukum dan fungsinya yang berhubungan dengan masyarakat melekat satu dengan yang lainnya. Fungsinya sebagai pelindung, pengayom, pelayan, dan penegakan hukum merupakan satu kesatuan universal yang melekat pada identitas Polri sendiri. Kualitas dari implementasi fungsi tersebut yang akan mencerminkan bagaimana perilaku Polri sesungguhnya di dalam masyarakat. Oleh karena itu, berbicara mengenai reformasi kultural Polri, turut menganalisis pula seluruh fungsi-fungsi tersebut dijalankan oleh anggota Polri. Kata Kunci : Polri, polisi, reformasi, budaya, kultural, sipil, humanis.
Pendahuluan Sesuai dengan semangat demokrasi melalui reformasi 1998, Kepolisian Negara Republik
1
Indonesia (Polri) sebagai salah satu institusi keamanan juga didorong menjadi institusi polisi yang demokratis. Secara institusional perlu didorong sistem pemolisian demokratik, sehingga
Tim peneliti terdiri dari: Sarah Nuraini Siregar (koordinator); Indria Samego; Ikrar Nusa Bhakti; Sri Yanuarti; dan Muh. Haripin.
Tinjauan Kritis Reformasi Kultural Polri (1999-2012) | Sarah Nuraini Siregar | 131
dalam perjalanannya, Polri dapat mandiri, tidak lagi menjadi perpanjangan tangan penguasa dan melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap masyarakat. Sebaliknya, Polri lebih berperan sebagai penegak hukum serta pelindung masyarakat dari berbagai gangguan kejahatan. Implementasi nyata peran ini dalam konteks sistem pemolisian demokratik adalah seluruh anggota Polri dapat menghargai hak-hak sipil dengan mengedepankan etika dan sopan santun, bersahabat dalam berinteraksi dengan masyarakat, bertanggungjawab, jujur, terpercaya, adil, dan membela kepentingan masyarakat. Selain itu, Polri tunduk dan patuh pada prinsip supremasi hukum, menghormati HAM, menghargai partisipasi publik, serta menganut asas akuntabilitas. Polri lantas mencanangkan reformasi internal pada tiga aspek, yaitu struktural, instrumental, dan kultural; yang kemudian dikenal dengan “Reformasi Polri.2 Ini direalisasikan melalui dikeluarkannya Buku Biru Reformasi Polri tahun 1999 oleh Polri. Tekadnya adalah menciptakan Polri yang profesional dan mandiri, menjadi alat negara yang efektif, serta tidak mengabaikan kepentingan masyarakat. Reformasi Polri diharapkan mampu mewujudkan Polri sebagai alat penegak hukum yang sesuai dengan prinsipprinsip civil society yang bercirikan supremasi hukum dan menjunjung tinggi HAM.3 Reformasi Polri di aspek struktural bermakna perubahan kelembagaan kepolisian dalam ketatanegaraan, organisasi, susunan dan kedudukan. Aspek instrumental meliputi reformasi filosofi (visi, misi, dan tujuan), doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi, dan ilmu pengetahuan serta teknologi. Terakhir, aspek kultural merupakan muara atas reformasi struktual dan instrumental. Reformasi kultural menjadi ujung tombak dari reformasi Polri yang bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, terutama melalui pembenahan sistem rekrutmen, sistem pendidikan, sistem material fasilitas dan jasa, sistem anggaran, serta sistem operasional.
2
Lihat situs resmi Polri, http://www.polri.go.id.
Indria Samego, “Polri di Era Demokrasi,” dalam Sarah Nuraini Siregar (Ed), Polri di Era Demokrasi: Dinamika Pemikiran Internal, (Jakarta: P2P LIPI, 2010), hlm. 37. 3
Selama 14 tahun terakhir, Polri telah berusaha memenuhi tuntutan gerakan reformasi meski bukan berarti berhasil seluruhnya. Khusus reformasi kultural, menurut klaim Polri, telah ada beberapa upaya yang dilakukan oleh Polri, seperti yang terlihat pada tabel berikut ini. Tabel 1. Upaya Reformasi Kultural Polri 1. Perubahan doktrin dan pedoman induk dari Doktrin Catur Darma Eka Karma sebagai pedoman induk di masa Orba dan Doktrin Sad Daya Dwi Bhakti sebagai doktrin pelaksanaan menjadi Doktin Tri Brata sebagai doktrin induk, dan Doktri Catur Prasetya sebagai pedoman hidup anggota. 2. Perumusan pedoman perilaku polisi dalam melaksanakan tugasnya yaitu postur Polri yang profesional, bermoral, dan modern sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat yang terpercaya dalam melindungi masyarakat dan menegakkan hukum. 3. Pemberdayaan bintara dan tamtama Polri dalam upaya community policing. Dalam hal ini, polisi tidak lagi menempatkan diri secara vertikal, tetapi horizontal di dalam masyarakat.
Sumber : “Langkah-langkah Reformasi Internal Polri,” dalam IDSPS, AJI, dan FES, Newsletter, (Edisi VII/10/2008).
Namun dalam perkembangannya, Reformasi Polri masih memiliki kekurangan pada aspek struktural maupun instrumental.4 Khusus untuk aspek kultural, Polri tampak belum berhasil menjadi ‘polisi sipil’ yang berwajah humanis serta demokratis. Kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polri terhadap masyarakat masih banyak terjadi. Laporan KontraS mengenai evaluasi kinerja Polri 2010-2011, khususnya yang berkaitan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia menjelaskan bahwa banyak anggota Polri melakukan tindakan kekerasan berupa penyiksaan, penganiayaan, penembakan, pelecehan seksual, intimidasi, serta penangkapan sewenang-wenang.5 Bagaimanapun, penyebab terjadinya tindakan kekerasan anggota Polri terhadap Analisis kritis mengenai tema ini dapat dibaca dalam laporan penelitian Pusat Penelitian Politik – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P – LIPI) tentang Dinamika Pemikiran Internal Reformasi Polri (2010), Reformasi Struktural Polri (2011), serta Reformasi Instrumental Polri (2012). 4
KontraS, “Catatan Evaluasi Kinerja Polri 2010-2011. Hari Bhayangkara ke-65. Mempertanyakan Bukti Nyata Komitmen Polri,” http://www.kontras.org/data/Evaluasi%20Polri%20 2011.pdf, diakses pada tanggal 6 Februari 2012. 5
132 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 131–148
masyarakat memiliki banyak dimensi dan tidak dapat sepenuhnya dilekatkan kepada kegagalan reformasi kultural Polri. Mengapa demikian? Sebab, segala yang dilakukan Polri, baik itu pada tataran legal-normatif maupun praksis, berhubungan dengan tiga aspek reformasi yang diupayakan Polri. Namun, sebagai muara reformasi, reformasi kultural berada pada posisi yang krusial dalam hubungan antara polisi dan masyarakat. Reformasi kultural adalah perubahan yang mendasar bagi kinerja dan citra Polri di mata masyarakat. Keberhasilan reformasi kultural dapat menjadi wahana pencitraan bagi Polri agar bisa diterima serta dipercaya oleh publik. Oleh karena itu, reformasi yang dilakukan Polri di tingkat instrumental dan struktural tidak ada artinya jika reformasi kultural tidak berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Hasil penelitian ini melihat sejauhmana reformasi kultural dilakukan secara mendasar, bertahap, dan berkesinambungan, dikaitkan dengan reformasi instrumental dan struktural yang berjalan selama ini. Beberapa poin yang dianalisis antara lain; (1) hakikat dari Reformasi Kultural Polri; (2) Upaya reformasi kultural Polri dilaksanakan selama ini; baik di tataran instrumen dan kelembagaan; (3) Perjalanan reformasi kultural Polri dikaitkan dengan dinamika lingkungan eksternal Polri.
Kerangka Konseptual Untuk melakukan analisis kajian ini, digunakan beberapa konsep untuk menganalisis permasalahan. Konsep-konsep yang digunakan antara lain Kultur Individu dan Organisasi Kepolisian, Paradigma Polisi Sipil, Polisi Dalam Sistem Negara Demokrasi, dan Reformasi Sektor Keamanan. Berikut adalah uraian secara singkat dari masing-masing konsep tersebut. Pengertian kultur jika dikaitkan dengan polisi adalah berhubungan dengan sikap dan perilaku polisi, norma, nilai, perspektif dan aturan-aturan teknis yang berhubungan dengan kepolisian yang ditampilkan oleh setiap anggotanya pada saat berhubungan dengan masyarakat.6 Terdapat dua macam kultur kepolisian, yaitu pertama, normatif yang ada dalam UU serta aturan yang A. Kadarmanta, Membangun Kultur Kepolisian, (Jakarta: Forum Media Utama, 2007), hlm. 35.
diajarkan dalam pendidikan, dan kedua, praktik di lapangan. Secara kausitis, yang terjadi di kepolisian Indonesia bahwa kultur Polri terbentuk melalui perilaku dan sikap yang ditampilkan oleh anggotanya secara turun temurun dalam menjalankan tugasnya. Analisis mengenai kultur perilaku anggota kepolisian tentu tidak terlepas dari kultur organisasi yang melingkupinya, yaitu organisasi kepolisian. Kultur organisasi pada umumnya merupakan pernyataan filosofis dan dapat berfungsi sebagai tuntutan yang mengikat para anggotanya karena dapat diformulasikan secara formal dalam berbagai kebijakan dan peraturan yang berlaku.7 Makna “polisi yang berwatak sipil” secara sederhana sebagai suatu cara perpolisian yang tidak boleh menyebabkan warga masyarakat kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Oleh karena itu, dimensi moral dalam pekerjaan polisi menjadi sangat penting. Polisi yang menjalankan tugasnya tidak dengan menggunakan cara yang pendek dan mudah, seperti memaksa dan menggunakan kekerasan, melainkan bersedia mendengarkan dan mencari tahu penyebab masalahnya. Kemampuan polisi untuk tampil dalam watak sipil juga perlu didukung oleh arsitektur dan organisasi polisi sebab organisasi yang berat akan menjadi hambatan untuk menciptakan karakter sipil dalam polisi.8 Polisi yang berwatak sipil harus dapat banyak berkomunikasi dan berdialog dengan lingkungannya, karena masyarakat yang menjadi poin utama dalam perpolisian sipil. Salah satu cara untuk mendekatkan polisi dengan masyarakat yang menjadi lingkungannya adalah dengan membuatnya bertanggung jawab terhadap lingkungannya, dan sewaktu-waktu dapat diminta pertanggungjawaban tersebut. Dalam konteks inilah, polisi didorong untuk mengenali masyarakat dan lingkungannya dengan baik. Polisi juga dapat menjadi referensi apabila orang ingin mengetahui keadaan suatu masyarakat. Watak “sipil” dalam kepolisian juga sejalan dengan prinsip demokrasi. Ini dapat dilihat bagaimana polisi menjalankan fungsi penegakan hukum (law enforcement) di dalam masyarakat. 7
Ibid., hlm. 41.
8
Ibid. hlm. 64.
6
Tinjauan Kritis Reformasi Kultural Polri (1999-2012) | Sarah Nuraini Siregar | 133
Penegakan hukum bertujuan agar tercipta negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Terkait dengan prinsip ini, maka peran polisi menjadi penting dalam menjaga konsistensi penegakan hukum diiringi dengan tindakan persuasif kepada masyarakat agar saling bekerjasama dalam mencegah terjadinya tindak kejahatan. Disini akan terlihat watak “sipil” kepolisian saat menjalankan fungsinya. Semua hal tersebut tidak lain demi terciptanya ketertiban hukum, keamanan, dan ketentraman masyarakat. Dalam masyarakat yang menganut sistem demokrasi, polisi dipandang sebagai institusi yang memiliki tanggungjawab utama menjamin keamanan masyarakat. Pandangan ini mengandung pengertian bahwa penegakan hukum dalam masyarakat yang demokratis adalah solusi yang diharapkan masyarakat kepada polisi, karena polisi dapat membuat rusaknya suatu tatanan masyarakat, dan sebaliknya juga dapat menciptakan suasana keadilan dalam tatanan masyarakat.9 Konsep terakhir adalah Reformasi Sektor Keamanan. Implementasi reformasi sektor keamanan secara khusus memberikan kerangka penyelesaian menyeluruh bagi masalahmasalah keamanan, seperti penegakan hukum, perlindungan hak-hak sipil dengan kebutuhan melakukan reformasi institusional dan internal di tubuh TNI, Polri, lembaga intelijen, dan institusi sipil yang bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap lembaga-lembaga keamanan tersebut.10 Sektor keamanan meliputi TNI, Polri, lembaga-lembaga intelijen, sistem peradilan, Departemen Pertahanan, dan DPR (parlemen).
Analisis Perjalanan Reformasi Kultural Polri 1. Reformasi Kultural Polri: Konsep dan Wacana Reformasi Birokrasi Polri Ada pandangan yang mengatakan bahwa inti dari budaya adalah bahasa, sejarah dan tradisi. Dengan demikian, budaya menyangkut berbagai aspek, mulai dari yang terlihat dan bersifat 9
Ibid., hlm. 17.
Andi Widjajanto (Ed), Reformasi Sektor Keamanan Indonesia, (Jakarta: ProPatria, 2004), hlm. 12-13. 10
material (karya) sampai bentuk yang tak terlihat atau immaterial (karsa). Maka tidak heran jika ada pandangan yang menganggap budaya adalah sistem makna. Di dalam makna itu terdapat berbagai sub-sistem yang di satu saat bisa berdiri secara otonom, namun di saat yang lain dapat saling berkomplementer dan menunjukkan fungsi sebagai satu kesatuan. Di tataran konsep, Reformasi Kultural memang terasa lebih mendasar dan bersifat kualitatif sifatnya. Reformasi Kultural, idealnya menjadikan budaya (Culture) sebagai inti perubahannya. Keinginan untuk melakukan perubahan itu didasarkan pada kebudayaan. Namun, harus diakui bahwa sampai saat ini tidak mudah untuk mendapatkan sebuah pemahaman tunggal tentang konsep tersebut. Dalam kaitannya dengan Reformasi Kultural Polri dan Reformasi Birokrasi Polri, keduanya merupakan sebuah sistem gagasan yang perlu ditindaklanjuti. Artinya, sistem gagasan merupakan sesuatu yang inheren dalam pengembangan budaya, namun langkah penerapannya, juga menjadi hal yang lain. Wacana Reformasi Birokrasi pada prinsipnya mengikuti amanat dari Kementerian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara RI agar tiap instansi pemerintah melakukan reformasi ini sebagai bagian dari upaya meningkatkan kinerja instansinya. Sebagaimana pernah disampaikan oleh Koentjaraningrat, bahwa budaya merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri sendiri dengan belajar.11 Dengan kata lain, bagaimana budaya Polri dimunculkan dan siapa yang memiliki otoritas dalam memproduksi budaya Polri tersebut. Lewat budaya sebagai social forms, pemahaman mengenai budaya dan reformasinya akan semakin mendekati hakikat budaya yang dimaksud. Bila merujuk pada sumber nilai budaya Polri sendiri, sebetulnya sudah ada sejumlah prinsip sebelum Polri masuk menjadi bagian dari ABRI. Tata tentrem kerta raharja, merupakan salah satu doktrin yang menjadi dasar dari lahir dan berkembangnya Polri sebelum bergabung Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Aksara Baru, 1986), hlm.180. 11
134 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 131–148
menjadi bagian dari ABRI yang lebih menekankan Catur Dharma Eka Karma (Cadek). Kemudian, Tri Brata dan Catur Karya, juga mencerminkan bagaimana Polri harus berkembang sesuai dengaan prinsip-prinsip Pancasila.12 Para pimpinan Polri sejak awal mengakui bahwa untuk mewujudkan tugas pokok dan fungsi Polri yang baru pascareformasi mustahil dilakukan bila tidak disertai dengan adanya reformasi kultural. Bila kedua tahap reformasi Polri terdahulu lebih menekankan pada aspek legal dan struktur organisasi, maka reformasi kultural sangat menggantungkan pada sistem nilai dan perilaku seluruh anggota Polri, mulai dari jajaran pimpinan tertinggi sampai ke tataran terendah dalam organisasi Polri. Dalam perspektif praksis, reformasi kultural dapat dilihat pada kinerja empirik (reality) dari para anggota Polri yang mengemban filosofi Tribrata serta Catur Prasetya. Filosofi yang disebut terdahulu, merupakan “sumber moralitas pada tataran sistem nilai dan norma, sedangkan yang dikatakan kemudian adalah “pedoman pada tataran sistem perilaku”. Di masing-masing era pimpinan Polri, sebenarnya telah ada semangat untuk mengubah Polri menjadi ke arah yang lebih baik. Pada era Roesmanhadi, dapat disimpulkan telah terjadi Demokratisasi Polri yang lebih terbuka, obyektif, netral dan responsif, tajam dan efektif.13 Era Da’I Bachtiar, tuntutan publik di era demokrasi kepada Polri adalah agar institusi ini mampu berkinerja lebih “jujur, bersih, makin tanggap dan terbuka, khususnya menyangkut korupsi dan eksploitasi birokrasi”.14 Sementara era Sutanto, Polri baru adalah polisi sipil, menjunjung tinggi HAM, berada di bawah otoritas pemerintahan sipil yang demokratis”15 Polri yang profesional di era globalisasi dan demokratisasi ditandai oleh perubahan struktural, instrumental dan kultural. Artinya, setiap anggota Polri mesti
Prof. Adlow dari Boston University sebagaimana dikutip Nurinwa dkk dalam Polri Mengisi Republik, (Jakarta: PTIK, 2010). 12
13
Ibid., hlm.73
14
Ibid., hlm.77
15
Ibid., hlm.80.
melakukan perubahan “tata laku, etika, dan budaya pelayanan Polri”16 Oleh karena itu, yang diperlukan Polri bukan sekedar melakukan reposisi dan reorganisasi, melainkan juga re-evaluasi, reorientasi dan redefinisi peran, dengan senantiasa menempatkan otoritas hukum serta keamanan masyarakat yang dilayani dan dilindungi, sebagai utamanya. Dengan demikian, profesi menjadi polisi bukanlah semata pekerjaan transaksional untuk mendapatkan upah. Menjadi polisi merupakan jalan hidup, suatu panggilan hidup untuk pengabdian” 17 Tidak hanya secara akademis, reformasi kultural juga patut dibahas secara kritis, dan secara empiris, serta perlu diuji dari waktu ke waktu. Apalagi Polri di era reformasi sekarang menghadapi berbagai tuntutan dan rencana tindakan akan pentingnya perubahan. Tuntutan masyarakat sangat jelas bahwa setelah berpisah dari ABRI, Polri harus mampu membuktikan dirinya sebagai alat negara di bidang keamanan. Institusi ini mesti bekerja keras untuk dapat menghapus citra lama yang tak bisa dilepaskan dari watak militeristik. Sebagai lembaga penegak hukum, Polri harus menjadikan hukum sebagai aspek utamanya. Sementara rencana tindakan (action plan) Polri harus diorientasikan pada langkah konkrit, bukan sekedar cita-cita, agar masyarakat dapat memantau seberapa jauh agenda tersebut dapat dijalankan.
2. Reformasi Kultural Polri Dalam Perspektif Regulasi dan Kebijakan Salah satu langkah yang dilakukan Polri untuk melakukan perubahan adalah membuat kebijakan, regulasi, dan aturan-aturan internal. Ini yang kemudian disebut dengan reformasi instrumental Polri. Secara teoritik, reformasi instrumental mengarah pada perubahan atau upaya pembaruan di tingkat regulasi; dari mulai regulasi tertinggi (konstitusi) sampai kepada peraturan-peraturan pada tingkatan terendah. Maka yang lebih harus dilihat adalah reformasi instrumental bukan Sutanto, Polri Menuju Era Baru Pacu Kinerja Tingkatkan Citra terhadap Polri, (Jakarta: Cipta Manunggal, 2006), hlm. 2. 16
17
Nurinwa dkk, op.cit., hlm. 80.
Tinjauan Kritis Reformasi Kultural Polri (1999-2012) | Sarah Nuraini Siregar | 135
hanya dianggap sebagai perubahan di tataran kebijakan, melainkan juga melihat apakah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan memang linear dengan tujuan utama Reformasi Polri, yakni membangun institusi Polri yang berwatak sipil dan profesional. UUD 1945 hasil amandemen mengamanatkan Polri sebagai institusi yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Amanat konstitusi ini memberikan konsekuensi logis bahwa Polri adalah aktor keamanan yang selalu berhubungan dengan masyarakat. Relasi ini yang mau tidak mau membuat Polri harus menata sedemikian rupa institusinya agar sejalan dengan kebutuhan masyarakat. Penataan inilah yang kemudian melahirkan paradigma besar sebagai bagian dari perubahan instrumental Polri, yaitu Polisi Sipil (Civilian Police). Jika melihat di tataran instrumen, dapat dilihat pada Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam UU disebutkan bahwa peran utama polisi adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa fungsi utama kepolisian meliputi tiga hal, yaitu fungsi pre-emptif, preventif, dan represif.18 Fungsi pre-emptif merupakan tugas pembinaan masyarakat yang hanya meliputi 205 dari tugas pokok Polri. Dalam konteks ini, dikenal istilah Community Policing (Perpolisian Masyarakat). Fungsi preventif merupakan fungsi memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan perlindungan, dan mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Sedangkan fungsi represif adalah fungsi penyelidikan dan penyidikan atas sebuah kejahatan. Untuk pengaturan operasionalisasi fungsi pre-emptif Polri, dikeluarkan beberapa regulasi untuk merealisasikan program Perpolisian Masyarakat. Dasar hukum Perpolisian Masyarakat adalah UUD 1945 perubahan kedua Bab XII Pasal 30; UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri pada Pertimbangan huruf b tentang Pemeliharaan Keamanan Dalam Negeri dan Pasal 3, serta Surat Jend. Pol (Purn) Prof. Dr. Awaloedin Djamin, MPA., Kedudukan Kepolisian RI dalam Sistem Ketatanegaraan : Dulu, Kini, dan Esok, (Jakarta : PTIK Press, 2007), hlm. 54-55.
Keputusan (Skep) Kapolri No. Pol. 737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Pemolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.19 Instrumeninstrumen diharapkan agar program Pemolisian Masyarakat (Polmas) dapat diterapkan dalam masyarakat dalam konteks membangun kemitraan dengan masyarakat. Program ini bertujuan agar polisi dapat melakukan kemitraan dengan masyarakat dalam rangka mengurangi kejahatan dan meningkatkan keamanan. Berbagai instrumen Polri sebenarnya sudah menunjukkan bahwa perubahan kultur Polri adalah sebuah keharusan, sebab semua instrumen telah mengamanatkan ke arah tersebut. Apalagi perubahan kultur menjadi titik awal bagi capaian perubahan Polri agar menjadi institusi polisi yang humanis, berwatak sipil, dekat dengan masyarakat, dan tidak diragukan integritasnya (profesional). Oleh karena itu, salah satu program unggulan yang diimplementasikan Polri dalam rangka membangun institusi polisi yang berwatak polisi sipil adalah melalui Polmas. Di dalam Polri sendiri, langkah-langkah menuju perubahan kultur dan mindset memang telah dilakukan oleh beberapa kesatuan, seperti Polda dan Polres. Salah satunya Polda Metro Jaya. Dalam rangka perubahan kultur tersebut, kebijakan di tingkat Polda ini diprioritaskan pada tugas operasional dan pembinaan para anggotanya maupun pembinaan dari personel Polri kepada masyarakat. Strategi preventif dilakukan dengan menggelar pasukan dan anggota polisi sebanyakbanyaknya di lapangan dengan dibantu oleh TNI, Dinas Perhubungan, Satpol PP dan para pemangku kepentingan lainnya untuk menjaga dan mengatur lalu lintas pada pagi, siang, dan malam hari dengan harapan agar dapat memberikan rasa aman bagi masyarakat. Tidak hanya upaya preventif; upaya preemptif terus digalakkan karena jika ini berjalan dengan baik, maka tugas penegakan hukum bisa menjadi lebih ringan. Oleh karena itu, instruksi Kapolda maupun imbauan terus dilakukan agar anggota Polri terus melakukan koordinasi dengan Babinsa. Tidak hanya itu, program optimalisasi
18
“Relasi Polisi-Masyarakat,” dalam IDSPS, AJI, dan FES, Newsletter, (Edisi VII/10/2008), hlm. 2. 19
136 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 131–148
Babinkambtibmas juga terus digalakkan dengan melakukan prinsip “sambang” atau “door to door system.” Implementasi prinsip upaya pre-emptif dicerminkan melalui instruksi Kapolda agar para anggotanya melaksanakan tugas seperti: memperkenalkan dirinya kepada masyarakat. Ini dilakukan dengan cara kewajiban anggota Polri dalam unit Pembinaan Masyarakat (Binmas) di semua kesatuan untuk melakukan kunjungan ke rumah-rumah penduduk minimal 5 (lima) kepala keluarga dalam satu hari. Mereka juga wajib menyampaikan pesan-pesan yang berhubungan dengan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penyuluhan hukum, dan sebagainya. Tugas lainnya juga melakukan deteksi dini potensi-potensi kejahatan melalui informasi yang didapatkan langsung dari masyarakat.20 Program ini dinilai oleh Polri sendiri cukup efektif dan signifikan. Bahkan program ini sudah diajukan ke Gubernur DKI Jakarta agar dapat mendukung dari segi pendanaan. Selain “door to door system”, terdapat pula program-program unggulan yang dinilai oleh Polri sebagai langkah awal yang dapat mengubah persepsi masyarakat mengenai institusi ini. Di antaranya adalah “polisi peduli pendidikan.” Cara yang mereka lakukan adalah bekerjasama dengan pengusaha-pengusaha di Jakarta dalam pemanfaatan dana CSR, lalu dana tersebut disalurkan dalam bentuk bantuan fasilitas pendidikan ke sekolah-sekolah yang membutuhkan. Kemudian ada “polisi peduli pengangguran.” Ini menjadi program yang cukup penting bagi Polri, sebab masalah pengangguran membuka potensi terjadinya kriminalitas dalam masyarakat. Sama dengan program pendidikan, dana yang dimanfaatkan juga berasal dari dana CSR para pengusaha. Hasilnya menurut klaim mereka, telah banyak pengangguran yang bekerja kembali namun tetap dijadikan binaan oleh Polri. Program lainnya adalah ”polisi siswa.” Program ini juga dinilai oleh Polri sebagai program yang dapat mencegah terjadinya kejahatan tawuran yang selama ini meresahkan dan merugikan masyarakat. Sedangkan dari sisi siswanya, program ini juga Hasil wawancara dan diskusi dengan jajaran Polda Metro Jaya (April, 2013). 20
untuk mencegah bentrokan yang terjadi antara masyarakat dengan para siswa (pelajar) akibat dari tawauran tersebut. Lalu terdapat program “polisi cilik.” Program ini dinilai efektif memikat masyarakat karena yang dilibatkan adalah anak-anak. Beberapa kegiatan dalam program ini seperti pelatihan baris berbaris anak-anak, tari, marching band, karnaval seragam Polri, dan sebagainya. Kemudian terdapat program Polmas yang (sudah) diatur dalam kebijakan Polri. Untuk mencapai keberhasilan implementasi Polmas, tentu memerlukan tolak ukur yaitu paradigma Polri yang harus mengarah pada konsep Polisi Sipil. Operasionalisasi paradigma ini sebenarnya dapat dilihat di Polresta Bekasi yang mendapatkan program bantuan kepolisian Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). Paradigma Polisi Sipil di Polresta Bekasi dilakukan dengan jalan melakukan perubahan perilaku polisi dalam pelayanan, yang dimulai di bidang identifikasi kriminal dan bidang manajemen tingkat dasar. JICA sendiri memandang program Polmas adalah strategi yang cukup baik dalam mengubah wajah polisi Indonesia. Apalagi program ini sangat didukung oleh JICA, sebab pemerintah sendiri yang meminta JICA untuk melakukan pembinaan atas program Polmas kepada Polri. Jadi, program Polmas di Indonesia dipastikan sudah sesuai karena sebelum mereka memberikan bantuan, sudah dilakukan diskusi secara intensif dengan pihak Polri. Sampai penelitian ini dilakukan, program Polmas masih berada dalam tahap pengembangan. JICA sendiri menegaskan bahwa fokus program Polmas di Indonesia tetap dalam pengembangan menuju perubahan Polri menjadi polisi sipil. Poinnya adalah bagaimana cara yang dapat dilakukan agar polisi meraih kepercayaan dari masyarakat. Dengan demikian, maka perlu identifikasi kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan untuk meraih kepercayaan masyarakat dan bagaimana bentuk kerjasama yang ideal antara polisi dengan masyarakat. Salah satu model kegiatan kerjasama antara polisi dengan masyarakat yang dilakukan adalah dengan model Chusaizou. Model ini menggambarkan seorang polisi yang tinggal di
Tinjauan Kritis Reformasi Kultural Polri (1999-2012) | Sarah Nuraini Siregar | 137
wilayahnya dan melakukan kegiatan pelayanan untuk wilayah itu. Jika polisi tersebut tidak berada di tempat, maka salah satu anggota keluarganya (misal Istri) dapat menggantikan sementara untuk memberikan pelayanan. Segala permasalahan keamanan yang terjadi di wilayah itu diselesaikan juga di tempat tersebut. Disinilah peran Babinkambtibmas menjadi sangat signifikan oleh JICA. Oleh karena itu, salah satu prioritas bantuan Polmas khusus di Kabupaten Bekasi adalah pembinaan Babinkambtibas dengan menanamkan kesadaran akan tugas polisi di dalam masyarakat. Menurut JICA, dari pengalamannya menjadi tenaga ahli dan mengevaluasi program ini, petugaspetugas kepolisian di Bekasi, khususnya Babinkambtibmas memiliki kemauan untuk melaksanakan Polmas.21 Evaluasi yang dilakukan juga bersifat independen. Evaluasi ditujukan untuk menilai tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja polisi yang dilakukan secara objektif dan dilaksanakan oleh pihak luar. Strategi yang dikembangkan oleh Polda Metro Jaya melalui “door to door system” dan program Polmas sebenarnya dapat menjadi peluang yang baik dalam upaya reformasi kultural Polri. Walaupun di sisi lain, upaya melakukan reformasi kultural tidak hanya bisa diandalkan melalui instrumen saja, tetapi juga implementasi yang konsisten dan didukung oleh semua pihak. Sayangnya, program yang berjalan ini baru bisa dilembagakan di tingkat Polda, belum menjadi kebijakan nasional. Sehingga yang terjadi adalah program ini baru bisa berjalan dengan baik apabila ada dorongan dari pimpinan kepada anak buahnya.Tentu saja ini kembali lagi pada inisiatif masing-masing pimpinan polisi di tingkat daerah. Penjelasan mengenai instrumen di atas telah menunjukkan bahwa terdapat “ruang” yang luas kepada Polri untuk melaksanakan fungsinya. Dengan fungsi diskresi, semestinya Polri dapat mengemban tugas untuk memelihara keamanan, ketertiban, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Lewat program dan strategi ini, masyarakat dihadapkan pada polisi 21
Ibid.
yang ramah dalam pelayanan serta tegas dalam penegakan hukum. Namun, walau program-program di atas telah berjalan, citra Polri di mata masyarakat pada tahun 2014 diperkirakan belum beranjak membaik. Hal ini disebabkan kinerja Polri masih jauh dari harapan masyarakat. Walau dalam berbagai momentum dan strategi kambtibmas Polri meraih banyak keberhasilan, tetapi di dalam banyak hal masih terdapat kelemahan-kelemahan Polri, sehingga berdampak pada citra mereka.22 Misalnya, sejumlah kasus yang ditangani seperti kasus korupsi memperlihatkan masih kuat dugaan keterlibatan para perwira tingginya. Kemudian perilaku polisi lalu lintas di jalan juga masih belum berubah. Terkadang kata-kata kasar masih dilontarkan oleh petugas di lapangan. Sejumlah penanganan kriminal lainnya seperti penebangan kayu ilegal, pencurian ikan legal, kasus perdagangan manusia, perjudian juga masih banyak yang tidak tuntas. Semua ini dapat berimplikasi terhadap makin merosotnya wibawa Polri di mata masyarakat. Kasus yang cukup menarik perhatian publik adalah korupsi. Harus disadari oleh Polri bahwa kasus korupsi sangat berpengaruh pada performa mereka di mata masyarakat. Ini dikarenakan hampir semua kasus korupsi terpublikasi di media dan korupsi telah menjadi sesuatu stigma yang sangat dibenci oleh masyarakat. Dalam banyak hal, Polri kerapkali masih banyak diragukan masyarakat dalam penanganan kasus tersebut. Polri, dalam penilaian masyarakat, lebih senang menangani kasus kecil yang tidak berdampak besar terhadap kebijakan Polri. Bahkan ada anggapan bila kasus-kasus korupsi yang ditangani Polri ada yang mengarah ke pejabat tinggi, maka kasusnya kerap “dipinggirkan” karena tidak mau berbenturan dengan pemegang kekuasaan.23
3. Reformasi Kultural Polri Dalam Perspektif Kelembagaan Sejak bergulirnya gerakan reformasi pada pertengahan 1998, format kelembagaan Polri Brigjen Pol (Purn) Drs. Syafriadi Cut Ali, “Mencari Kapolri yang Melayani,” Jurnal Suara Komisi Kepolisian Nasional, Juni 2013, hlm. 14. 22
23
Ibid., hlm. 15.
138 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 131–148
mengalami perubahan drastis. Perubahan tersebut memiliki dampak luas bagi pranata internal kepolisian dalam menjalankan tugasnya di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Polri mendapat wewenang, baik bersumber dari peraturan hukum (legal-formal) maupun legitimasi politik, untuk menjaga keamanan serta ketertiban dalam negeri. Reformasi kelembagaan Polri pertama kali terjadi pada tahun 1999. Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1999 dimana posisi Polri yang semula di bawah Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadi di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam). 24 Pelaksanaan Inpres tersebut ditandai upacara serah terima panji Polri pada tanggal 1 April 1999 di Mabes ABRI di Cilangkap, Jakarta, dari Kepala Staf Umum Letjen TNI Sugiyono kepada Sekjen Dephankam Letjen TNI Fahrul Rozi. Panji Polri tersebut kemudian diserahkan kepada Kapolri Jenderal Polisi Roesmanhadi.25 Presiden Abdurrahman Wahid melanjutkan reformasi dengan memisahkan Polri dari Dephankam.26 Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 89 Tahun 2000, presiden menyatakan bahwa Polri berkedudukan langsung di bawah Presiden, dan Polri dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggungjawab langsung kepada Presiden.27 Pada tanggal yang sama (1 Juli 2000), Kapolri mengeluarkan Surat Keputusan 801/VI/2000 Presiden menginstruksikan Menhankam/Pangab untuk “… secara bertahap mulai mengambil langkah-langkah seperlunya dalam rangka reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan menempatkan sistem dan penyelenggaraan pembinaan kekuatan dan operasional Kepolisian Negara Republik Indonesia pada Departemen Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia.” Lihat Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Langkah-langkah Kebijakan Dalam Rangka Pemisahan Kepolisian Negara Republik Indonesia Dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. 24
Jenderal Polisi (P) Prof. Dr. Awalloedin Djamin, MPA, dkk, Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia. Dari Zaman Kuno Sampai Sekarang (Jakarta: Yayasan Brata Bhakti POLRI, 2007), hlm. 471. 25
26
Ibid., hlm. 474-475.
Lihat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Keppres ini juga memuat ketentuan bahwa susunan, sebutan dan tanda pangkat Polri akan diubah serta ditetapkan oleh Keputusan Kapolri. 27
tentang perubahan nama pangkat bagi perwira tinggi, perwira menengah, perwira pertama, bintara tinggi, dan tamtama, sedangkan pangkat bintara tetap dengan istilah militer.28 Inpres, Keppres, dan Tap MPR pada periode awal reformasi adalah rangkaian regulasi yang bertujuan mengarahkan kelembagaan Polri agar memiliki kultur sipil yang kuat. Namun demikian, sejak awal timbul kekhawatiran baru mengenai posisi Polri yang berada langsung di bawah Presiden. Dalam situasi transisi demokrasi, di mana ‘pertarungan politik’, baik politik intra-parlementer maupun ekstra-parlementer menguasai diskursus nasional, posisi Polri dan Kapolri rawan dijadikan instrumen kepentingan politik oleh presiden maupun rezim kekuasaan tertentu. Kekhawatiran tersebut terbukti beralasan dalam peristiwa pemberhentian Rusdihardjo dan pengangkatan kontroversial Surojo Bimantoro secara sepihak oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Namun, perubahan-perubahan struktur dan kelembagaan tetap dilakukan dalam rangka membangun karakter Polri yang lebih “sipil.” Dengan terkikisnya kepangkatan ala militer, Polri juga sebisa mungkin sebenarnya tengah menjaga jarak dan membedakan dirinya dengan militer (ABRI, TNI). Upaya-upaya ini yang sebenarnya diharapkan dapat menciptakan secara perlahan watak “sipil” di masing-masing personalianya. Ini yang kemudian menjadi titik tolak perubahan kelembagaan Polri dalam konteks reformasi kultural. Salah satu upaya reformasi kultural dalam konteks penataan kelembagaan Polri adalah penambahan jumlah personel. Kebijakan ini awalnya dimaksudkan untuk mengakselerasi reformasi Polri, namun dalam praktiknya di lapangan justru tidak jarang menimbulkan masalah baru. Selain itu, penambahan personel tidak dapat diasumsikan menjadi solusi dan jawaban atas kompleksitas tugas serta fungsi Polri di dalam masyarakat. Penambahan personel Polri dilakukan dalam situasi di mana reformasi struktural serta instrumental Polri yang belum tuntas, padahal –seperti dinyatakan sendiri oleh Polri- reformasi kultural merupakan muara 28
Awalloedin Djamin, op.cit., hlm. 473-474.
Tinjauan Kritis Reformasi Kultural Polri (1999-2012) | Sarah Nuraini Siregar | 139
dari perubahan pada aspek struktural serta instrumental Polri.29 Realitas yang terjadi adalah personel bertambah namun tanpa memiliki kultur demokratis (sipil dan menghormati HAM) dan kemampuan persuasif untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Pada saat polisi lulusan baru Akademi Kepolisian yang berusia muda dan minim pengalaman turun ke lapangan berhadapan dengan barisan demonstran yang provokatif, kemungkinan besar para anak muda tersebut akan membalas provokasi serta dorongan fisik para pengunjuk rasa dengan siksaan dalam tahanan, serta memukul atau menembak langsung para pengunjuk rasa di jalan.30 Alih-alih menyelesaikan masalah, penambahan personel polisi namun tanpa kultur demokrasi yang kuat malah menghasilkan problem baru bagi Polri sendiri maupun masyarakat.31 Penambahan personel juga tidak berbanding lurus pada penurunan angka kejahatan dalam masyarakat. Berdasarkan data dari Polri sendiri, angka kejahatan dalam level nasional selama sepuluh tahun terakhir mengalami peningkatan. Ini terlihat pada Gambar 1. 400000 350000
299168
300000 250000 200000 150000 100000
330354 326752
256543 187244 184360 196931
220886 180752
120982 103831 103040 110653
210538 208824
344942
332490
223282 165314
146263
50000 0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Lapor Selesai
Sumber: Deputi Bidang SDM Mabes Polri; seperti yang disampaikan oleh Farouk Muhammad (Bahan Reformasi kultural sebagai muara dari reformasi struktural serta instrumental, lihat situs resmi Polri, http://www.polri. go.id.
Kuliah Umum Mahasiswa/Sivitas Akademika Departemen Kriminologi FISIP UI dan STIK, 21 Februari 2011). Gambar 1. Grafik Tren Angka Kejahatan Dalam Masyarakat
Pola kejahatan yang telah berkembang sebagaimana terlihat pada gambar di atas, maka perlu strategi lain agar kejahatan tidak terus meningkat dan upaya preventif dapat dikedepankan. Polmas dapat menjadi strategi pemolisian yang baik untuk tujuan tersebut. Tindakan polisi, wewenang diskresi, dan kebijakan institusional Polri sebisa mungkin lebih diarahkan kepada pencegahan terjadinya kejahatan (preventif), dibandingkan merespon setelah terjadi (reaksioner), yaitu dengan cara membangun kemitraan dengan masyarakat sehingga Polri dapat mendeteksi serta mengetahui dengan pasti potensi atau dugaan lokasi/peristiwa kejahatan, dan masalah-masalah sosial dalam masyarakat. Reformasi kultural Polri dalam konteks penataan kelembagaan juga terkait erat dengan faktor kepemimpinan. Dalam berbagai diskusi,32 tidak hanya satu kali muncul pendapat bahwa naik-turunnya kinerja aparat keamanan di lapangan maupun citra Polri secara umum di mata masyarakat tergantung kepada pemimpin yang in-charge di Polri pada saat itu (Kapolri). Seorang mantan petinggi Polri bahkan menyatakan bahwa reformasi Polri berhenti pada era kepemimpinan Jenderal Pol. Sutanto.33 Polri pada era Bambang Hendarso Danuri dan Timur Pradopo dinilai mengalami kemunduran karena mencuatnya berbagai kasus pelanggaran hukum –maupun dugaan pelanggaran hukum- yang melibatkan aparat kepolisian, baik yang dilakukan perorangan maupun berkelompok (perkelahian dengan anggota militer, pemuda setempat, dan lain-
29
Narasi tentang konflik polisi dan masyarakat, lihat ICG, “Indonesia: The Deadly Cost of Poor Policing,” Asia Report, No. 218 – 16 Februari 2012, hlm. 8-16. 30
Pendapat seorang narasumber berlatar belakang pensiunan polisi (mantan perwira tinggi) dalam FGD Pusat Penelitian Politik LIPI tentang Reformasi Kultural Polri, pada tanggal 11 September 2013 di Jakarta. 31
Satu format diskusi yang dapat disebut di antaranya adalah rangkaian focus group discussion tim riset P2P LIPI tentang Reformasi Polri dengan personel aktif maupun pensiunan Polri serta kalangan masyarakat sipil di Jakarta dan Bekasi pada tahun 2013. 32
Pendapat seorang narasumber berlatar belakang pensiunan polisi (mantan perwira tinggi) dalam focus group discussion Pusat Penelitian Politik LIPI tentang Reformasi Kultural Polri, pada tanggal 11 September 2013 di Jakarta. 33
140 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 131–148
lain).34 Berbagai kasus yang menyita perhatian publik dan dinilai benar-benar merusak usaha Polri dalam membangun citranya adalah pada periode Bambang Danuri dalam kasus konflik “cicak versus buaya” (silang pendapat antara Susno Duadji dari Polri dan KPK) serta “kasus rekening gendut” (kepemilikan rekening perwira tinggi Polri dalam jumlah besar). Fokus kepada kepemimpinan pada dasarnya berpegang pada asumsi bahwa pendekatan top-down memegang peran lebih signifikan dalam sebuah perubahan, atau dalam hal ini adalah reformasi kultural Polri. Pendekatan kepemimpinan memang berguna untuk memahami dinamika reformasi Polri pada level makro. Namun, pendekatan tersebut berpotensi meminggirkan potensi perubahan yang lebih bersifat bottom-up. Padahal dalam institusi Polri, perubahan yang berasal dari bawah ke atas juga memiliki peran penting karena dua hal. Pertama, dengan adanya falsafah Polmas membuka peluang besar bagi aparat di daerah, bahkan personel yang sehari-hari bertugas di lapangan serta berinteraksi di lapangan, untuk menciptakan sebuah terobosan kreatif dalam memperbaiki citra buruk Polri, memaparkan hal-hal baik atau pencapaian yang telah dicapai Polri. Kedua, wewenang diskresi yang diberikan oleh UU No. 2 Tahun 2002 juga menjadi instrumen untuk menentukan keputusan terbaik yang dapat diambil oleh seorang personel ketika berada di lapangan serta berhadapan dengan suatu masalah.35 Tepat pada wewenang diskresi tersebut, potensi ataupun upaya konkret reformasi kultural Polri yang bersifat bottom-up patut mendapat perhatian.
Saat laporan ini ditulis Kapolri Jenderal Pol. Sutarman, pengganti Timur Pradopo, baru saja dilantik. 34
Poin reformasi kultural dan diskresi ini dikutip dari G. Ambar Wulan, “Penguatan Corpsgeest Polisi: Fundamen bagi Pelaksanaan Reformasi Polri,” Makalah yang disampaikan dalam focus group discussion dengan tema “Reformasi Polri: Menuju Polri yang Profesional dalam Melayani Masyarakat”, diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Politik LIPI dan Sekretariat Wakil Presiden RI, pada tanggal 30 April 2012 di Jakarta, hlm. 3. 35
4. Dinamika Lingkungan Eksternal Polri: Tantangan dan Hambatan Reformasi Kultural Reformasi kultural Polri akan sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor, baik internal maupun eksternal. Secara internal, reformasi di lingkungan Polri dipengaruhi oleh bentuk relasi dan kompetisi internal dari aparat yang ada, kapasitas SDM dan ketersediaan infrastruktur organisasi baik yang berupa regulasi maupun kebijakan. Sedangkan faktor eksternal lebih ditentukan bagaimana lingkungan Polri mendukung atau justru mengabaikan proses reformasi kultural yang sedang berjalan. Ini akan terlihat bagaimana relasi Polri dengan Pemerintah, DPR, Organisasi Masyarakat Sipil, serta Media Massa. Di level pemerintah, gejala kemandegan reformasi Polri sudah ditunjukkan oleh elit pemerintahan sejak masa Presiden Megawati dan Presiden SBY. Kebijakan-kebijakan reformasi sektor keamanan terkesan tidak lagi bersemangat mengambil inisiatif untuk melanjutkan prosesproses yang telah dirintis oleh pendahulunya. Sejak masa kampanye sampai dengan terpilih menjadi Presiden pada Pemilu 2004, SBY sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa ia tidak menganggap penting reformasi struktur dan postur TNI, Polri dan BIN. Isu-isu penempatan institusi keamanan di bawah kontrol otoritas politik sipil seperti Departemen Pertahanan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Hukum dan HAM, bahkan kontrol parlemen nyaris tidak menjadi concern kampanye politiknya. SBY lebih memilih untuk membangun loyalitas TNI, Polri dan BIN kepada dirinya ketimbang menciptakan struktur kontrol yang demokratis. Ia berhasil meningkatkan pengaruh dan menjadi sentral legitimasi dari kepentingan-kepentingan institusi-institusi tersebut, menciptakan fragmentasi ketundukan politik para elit aktor keamanan hanya kepada pemerintahan sipil yang memiliki cara pandang yang sama dengan mereka, dan perlahan-lahan kembali memberi kesempatan ‘berpolitik praktis’ pada institusi Polri. Politisasi yang dilakukan oleh Polri juga terjadi saat kasus pemalsuan DPT yang berujung pada pemilihan ulang dalam Pilkada Jawa Timur; Sampang dan Bangkalan, Madura. Kasus
Tinjauan Kritis Reformasi Kultural Polri (1999-2012) | Sarah Nuraini Siregar | 141
lainnya juga menunjukkan bahwa dalam internal kepolisian sendiri ada kecenderungan Polri lebih menuruti kehendak Presiden ketimbang upaya untuk melaksanakan fungsinya secara profesional. Kasus represi yang dilakukan oleh Polri dalam aksi unjuk rasa kenaikan BBM yang terjadi pada tahun 2013 serta berbagai tindak penanganan yang terkait konflik agraria dipandang oleh Kontras sebagai indikator dari Polri lebih menuruti kehendak Presiden. Parlemen juga memainkan peran penting dalam reformasi sektor keamanan. Sebagai wakil kepentingan warga negara, anggota parlemen memainkan peran legislatif dan pengawasan yang sangat penting, yang meminta pertanggungjawaban lembaga eksekutif. Parlemen menyetujui anggaran, mengkaji dan melaksanakan perundang-undangan yang berkaitan dengan sektor keamanan, dan menjalankan fungsi perantara antara pemerintah dan warga negara dalam menentukan dialog nasional mengenai keamanan. Idealnya, isu keamanan memang seharusnya ditangani oleh orang yang punya kemampuan untuk itu. Atau, setidaknya didukung oleh staf ahli yang memadai guna memberikan amunisi tambahan bagi anggota DPR saat melakukan rapat kerja. Anggota Komisi III DPR, mengakui bahwa faktor kualitas DPR juga mempengaruhi kualitas pengawasan. Ia bisa mengerti jika petinggi kepolisian enggan bisa lebih terbuka dengan anggota Dewan karena seringkali dasarnya bukan untuk menggali informasi, tapi lebih seperti mencari sensasi. Persoalan yang lebih serius adalah di lingkungan parlemen sendiri mendefinisikan peran parlemen (parliamentary oversight) sebagai peran di bidang legislasi, pengawasan dan anggaran tanpa secara spesifik mengaitkan apakah fungsi-fungsi seperti itu akan dilakukan pada tingkat pengambilan keputusan, perumusan kebijakan, atau pelaksanaan kebijakan. Parlemen tidak membedakan secara khusus bahwa peran mereka adalah peran kontrol dalam kerangka checks and balances dengan menggunakan anggaran dan legislasi sebagai instrumen. Salah satu konsekuensi serius dari kerancuan ini adalah ketidakjelasan tentang sejauhmana parlemen dapat mempersoalkan kebijakan
pemerintah (Presiden) dan Kapolri sebagai pembuat kebijakan di institusi tersebut dan bagaimana harus mempersoalkannya. Hal ini diperparah dengan kian sibuknya anggota parlemen dengan urusan kepentingan politik kelompok dan partai ketimbang mendorong, mengevaluasi, mengawasi dan mengambil sikap terhadap mandegnya pelbagai agenda reformasi Polri. Akibatnya, wacana reformasi keamanan yang dikembangkan DPR cenderung menjauh dari substansi reformasi yang sesungguhnya. Reformasi formal dan simbolik memang terjadi di tangan mereka, namun sangat sarat problematika Relasi Polri dengan Organisasi Masyarakat Sipil juga menjadi salah satu titik tolak bagi perubahan Polri yang bisa lebih terbuka. Pengakuan akan pentingnya peranan civil society juga ditunjukkan oleh pihak kepolisian dengan memberikan ruang kepada mereka untuk terlibat dalam isu-isu strategis dan sensitif. Sebagai contoh adalah inisiatif kepolisian untuk mengundang salah satu perguruan tinggi untuk melakukan kajian tentang anggaran kepolisian dan kemudian mendiskusikan secara terbuka temuan-temuan tersebut, termasuk diantaranya terkait dengan sumber penerimaan ilegal yang diterimanya. Demikian pula dengan keterbukaan Polri untuk bekerjasama dengan aktor-aktor civil society lainnya untuk memperkuat kapasitas polisi dalam menangani isu-isu spesifik, seperti hak asasi manusia, pemolisian masyarakat, reformasi pendidikan kepolisian, gender, manajemen kepolisian, rekrutmen sumber daya manusia, terorisme, dan isu-isu penting lainnya. Meskipun perjalanan reformasi Polri masih diwarnai dengan berbagai ambivalensi dan menghadapi berbagai kendala, namun hal ini telah memberikan sinyal tentang kesadaran bahwa Polri tidak dapat menjalankan proses reformasi kelembagaannya sendiri, namun membutuhkan kerjasama dan kemitraan dengan masyarakat serta institusi negara lainnya. Ini ditunjukkan sepanjang tahun 1999-2007 bermunculan advokasi-advokasi strategis terkait dengan rancangan legislasi, perumusan kebijakan dan pencabutan legislasi dan kebijakan yang bertentangan dengan demokrasi, nilai-nilai HAM dan good governance yang dikeluarkan kalangan Masyarakat Sipil. Selain itu, juga berkembang
142 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 131–148
corak advokasi sektor keamanan yang elegan, melalui rekomendasi, usulan RUU dan kebijakan, audiensi dengan DPR, Departemen Pertahanan, Markas Besar TNI dan Polri, gugatan class action atau judicial review atas satu kebijakan yang dianggap mengancam demokrasi, sampai dengan debat publik tentang konsep dan persepsi keamanan kalangan masyarakat sipil vis a vis pemerintah dan aktor keamanan.
b. Masyarakat Sipil dan Profesionalisme: Beberapa kelompok masayarakat yang bekerja di ranah advokasi reformasi kepolisian hanya mengerti masalah mikro alias kurang menguasai aspek makro. Ketika melakukan advokasi, ditemukan pula data, argumentasi dan substansi gugatan lemah. Di sisi lain, belum terbentuk koalisi kuat yang melibatkan unsur-unsur NGO, media, universitas dan Ormas sekaligus.
Harus diakui bahwa advokasi masyarakat sipil terkait dengan sektor keamanan pada umumnya dan reformasi Polri pada khususnya berlangsung lebih baik. Jika pada masa lalu mereka lebih mengedepankan pendekatan parlemen jalanan, maka kritik-kritik yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat saat ini lebih terorganisir. Dalam lima tahun terakhir misalnya, lembaga seperti KontraS, Imparsial, AJI, serta Komnas HAM, IPW (Indonesia Police Watch) secara rutin melakukan evalusi tahunan terhadap kinerja kepolisian. Evaluasi yang dilakukan tidak semata-mata didasarkan data media massa saja, melainkan penelitian yang dilakukan secara langsung di beberapa daerah.
c. Masyarakat Sipil dan Jaringan: Organisasi Masyarakat Sipil di daerah tidak merasa terintegrasi, tersosialisasi dan kurang mengetahui perkembangan isu maupun advokasi di level nasional. Perlu ada kerjasama dengan Organisasi daerah yang bergerak di luar isu RSK. d. Masyarakat Sipil dan Pencitraan: DPR-RI memandang Masyarakat Sipil masih sebagai “penggembira” dalam prosedur penyusunan legislasi dan kebijakan serta sekadar dilibatkan pada aktivitas-aktivitas formal ketimbang menjadikannya sebagai representasi kepentingan publik. Sementara pemerintah masih menempatkan Masyarakat Sipil sebagai ancaman reintegrasi dalam analisis ancaman karena pengaruh persepsi tuntutan penegakan HAM dan penegakan hukum terhadap aparat Polri, dinilai sebagai ‘pesanan’ barat untuk memecah belah persatuan. Sebagai reaksi atas pencitraan ini, masyarakat Sipil terutama Ornop HAM bersikap resisten terhadap setiap tindakan negara yang dianggap mengancam eksitensi kerja mereka.
Namun demikian, sejauh ini advokasi reformasi kepolisian yang dilakukan masyarakat sipil menghadapi dua tantangan utama, yaitu: 1) Persoalan dan hambatan berasal dari resistensi dan respons pengambil kebijakan dan aktor keamanan; serta 2) Persoalan dan hambatan dari dalam komunitas Masyarakat Sipil sendiri. Beberapa manifestasi resistensi pemerintah dan aktor keamanan ini juga muncul dalam persoalan dan hambatan yang berasal dari internal kelompok atau organisasi masyarakat sipil (OMS) sendiri, yaitu: a. Masyarakat Sipil dan Konsolidasi Internal: Aliansi dan koalisi masyarakat sipil yang ada masih bersifat tentatif, belum solid dalam merumuskan dan mengawal satu isu strategis dalam reformasi kepolisian, sebagai impact dari aktivitas berbasis program/isu, sehingga kemampuan untuk melakukan follow up dan pengembangan sangat tergantung pada ketersediaan kapasitas dan sumber daya.
Beberapa kecenderungan tersebut pada akhirnya mendorong banyak advokasi reformasi kalangan organisasi masyarakat mengedepankan pilihan agenda dan strategi yang lebih realistis sesuai dengan kapasitas dan arah kepentingan masing-masing organisasi. Misalnya pada kebijakan dan kasus tertentu ketimbang berkonsolidasi dan secara bersamasama mengawal isu-isu reformasi kepolisian di
Tinjauan Kritis Reformasi Kultural Polri (1999-2012) | Sarah Nuraini Siregar | 143
tataran pengembangan sikap dan kemauan politik Negara untuk melakukan perubahan total. Media massa juga berperan banyak. Media berperan sebagai pilar demokrasi, yakni sebagai perpanjangan mata publik melakukan pengawasan pada pelaksana tugas pemerintahan. Sebagai pilar demokrasi media massa juga berperan sebagai rujukan pengetahuan. Oleh karena itu, media massa memiliki peran besar dalam mempengaruhi, membentuk dan mengubah cara pandang masyarakat. Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 memberikan perlindungan kepada jurnalis dan media dalam menjalankan profesinya lebih baik. UU tersebut juga turut membantu media massa mendapatkan kemudahan informasi pada institusi-institusi strategis seperti TNI dan Polri yang dulu sangat tertutup. Namun demikian, menurut seorang narasumber, informasi tentang reformasi Polri yang mulai terbuka tersebut lebih banyak pada soal-soal yang sifatnya kebijakan umum. Untuk informasi yang lebih strategis, masih tak mudah mengaksesnya. Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti berpendapat, informasi soal reformasi sektor keamanan ini hanya pada regulasi umum seperti UU, yang itu sebenarnya bisa dicari melalui internet. Tapi informasi yang lebih detail dari UU, misalnya peraturan pemerintah atau keputusan menteri, tetap tak mudah mengaksesnya.36 Hal yang menonjol secara negatif dalam setahun belakang ini adalah dominannya Polri dalam pemberitaan di seluruh media massa (cetak dan elektronik) terkait dugaan praktik korupsi, rekayasa kasus, dan mafia peradilan. Pemberitaan ini jelas telah berimbas pada capaian grand strategy reformasi internalnya (2005-2010), yaitu pembentukan kepercayaan (trust building) publik terhadap Polri. Periode ini memiliki nilai strategis dan sekaligus juga masa kritis dalam rangka memantapkan organisasi Polri yang kuat dan mampu melaksanakan tugasnya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat serta sekaligus sebagai penegak hukum yang dipercaya oleh rakyat. Harus diakui akses media yang diberikan oleh Polri sangatlah mudah. Hal ini juga FGD Penelitian “Tinjauan Kritis Reformasi Kultural Polri”, September 2013. 36
diperkuat dengan fungsi Humas Polri yang lebih terbuka dengan media massa sebagaimana telah diuaraikan dalam bagian sebelumnya. Namun demikian, bukan berarti kekerasan media yang dilakukan oleh Polisi terhadap jurnalis menurun. Aliansi Jurnalis Independen dalam Catatan Akhir Tahun 2012 AJI Indonesia justru meningkat. Jika tahun 2011 jumlah kekerasan pada wartawan hanya 49 kasus, maka pada tahun 2012 meningkat menjadi 56 kasus nasional dan 12 di Papua. Pada kasus nasional pelaku kekerasan sebanyak 30% dilakukan oleh aparat kepolisian. Sedangkan di Papua dari 12 kasus kekerasan pada jurnalis, hampir separuhnya dilakukan oleh pihak kepolisian.37 Yang menarik dalam kaitan antara media dan reformasi Polri adalah munculnya gejala media framing dalam soal peliputan terorisme. Media dan terorisme menjadi dua tema sentral yang menarik perhatian karena memiliki benang merah pada beberapa aspek. Ross misalnya, memandang bahwa media massa merupakan lahan kampanye yang penting serta menjadi ruang terbuka bagi diskusi dan perdebatan tentang berbagai hal termasuk terorisme. Sementara Sharma melihat bahwa titik temu dari dua tema tersebut terletak pada fungsi dasar media massa sebagai aktor penyalur informasi, mendidik khalayak dan menghibur masyarakat dengan keinginan dari kelompok teroris untuk diperhatikan publik.38 Selain itu, benang merah antara media dan terorisme tidak terlepas dari aspek komersialisasi berita. Pada posisi ini, terorisme merupakan sebuah fakta sosial yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan peningkatan konsumsi berita di media massa. Secara jelas, relasi antara media massa dan terorisme dapat dideskripsikan melalui relasi simbiosis mutualisme dimana kedua belah pihak memerlukan satu sama lain dalam sebuah hubungan yang saling menguntungkan. Dalam kaitannya dengan reformasi Polri, keberhasilan melakukan penanganan terorisme Catatan Akhir Tahun 2012 AJI Indonesia, http://ajiindonesia. or.id/read/article/press-release/168/catatan-akhir-tahun-2012aji-indonesia.html), diakses pada tanggal 8 September 2013. 37
Frank E. Dardis (et.al)., Media Framing Running Head: Media Framing of Capital Punishment and Its Impact on Individuals Cognitive Responses, Manuscript in Mass Comummunication and Society, (Pennsylvania State University, Desember, 2006), hlm. 15-17. 38
144 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 131–148
yang dimulai dengan penyingkapan kasus Bom Bali pada tahun 2000, mendapat liputan besar di kalangan media. Bahkan tidak sedikit media saat itu memberikan apresiasi yang besar dalam berbagai tajuk redaksional mereka. Penggunaan embedded journalism pada kasus penangkapan terorisme hingga pada tahun 2007 menjadi tontonan yang sangat menarik bagi kalangan masyarakat, sekaligus promosi bagi Polri dalam program penanganan terorisme. Sambutan positif media dalam kasus penanganan terorisme menjadikan banyak negara asing memberikan bantuan kepada Polri baik dalam kaitan program/ kegiatan penanganan terorisme maupuan kegiatan lainnya seperti Polmas, dan sebagainya. Namun demikian, keharmonisan media massa dengan polisi nampaknya harus berakhir. Penanganan dan peliputan terorisme tidak ditulis atau disiarkan atas fakta semata, melainkan mereka analisis dengan peristiwa-peristiwa yang hangat kala itu. Hasilnya adalah, media kerap menuding bahwa Polri memanfaatkan berita penangkapan masalah terorisme sebagai langkah pengalihan isu-isu politik yang lebih besar.
Penutup: Problem dan Prospek Reformasi Kultural Polri Reformasi kultural mengandung dua hal yang amat mendasar, yaitu perubahan pola pikir (mind set) dari individu anggota Polri dan juga pola budaya (cultural set) dari organisasi Polri. Reformasi kultural Polri bukanlah sesuatu yang terjadi dalam situasi yang vakum. Faktor-faktor budaya individu, budaya organisasi dan perubahan lingkungan Polri ikut mempengaruhi reformasi kultural Polri. Dari sisi individu, menjadikan Polri yang kuat, berkualitas, profesional dan proporsional harus ditopang oleh moralitas, sikap mental dan perilaku jujur anggotanya. Di sisi lain, perubahan pola pikir dan pola tindak anggota Polri juga amat ditentukan oleh perubahan budaya organisasi Polri serta lingkungan luarnya. Bila ditilik ke belakang, Polri sudah beberapa kali mengalami reformasi budaya. Ketika era kemerdekaan, Polri juga harus mengubah sikap mental dan perilakunya dari yang dulu menjadi bagian dari aparat keamanan kolonial, menjadi bagian dari suatu pemerintahan nasional yang sudah merdeka. Persepsi dan perlakuan anggota
polisi terhadap masyarakat tentunya juga berubah dari yang dulu dilatarbelakangi oleh kepentingan kolonial menjadi melihat dan memperlakukan manusia Indonesia sebagai bagian dari bangsanya sendiri. Persoalan yang muncul kemudian adalah: Pertama, bagaimana anggota Polri dan institusi Polri secara filosofis mengubah pola pikir dan pola tindaknya dari polisi yang berbau militer menjadi polisi yang bermartabat sipil (Civil Police). Kedua, bagaimana Polri secara administratif tetap menerapkan sistem terintegrasi (integrated system) di satu pihak, tetapi aplikasi kerjanya lebih mengedepankan sistem terdesentralisasi yang didasarkan pada kebutuhan dan kekhasan wilayah atau masyarakat setempat. Ketiga, bagaimana Polri meletakkan masyarakat dan bukan penguasa politik sebagai titik sentral pengabdiannya pada negara. Keempat, bagaimana individu anggota dan organisasi Polri dapat memahami Pasal 5 Ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi “Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri” sebagai sesuatu yang bersifat terintegrasi. Dengan kata lain, bagaimana Polri dapat berfungsi dalam penegakan hukum, pemeliharaan ketertiban dan sekaligus pembasmi kejahatan demi melindungi kepentingan publik. Kelima, secara operasional, bagaimana Polri dapat menumbuhkembangkan kultur yang kuat dalam bentuk kekompakan atau solidaritas korps, kesetiaan pada tugas serta memiliki kedisiplinan dan keberanian untuk menghadapi tugas dan risiko pekerjaan. Ini bukan berarti bahwa demi solidaritas korps Polri lalu lebih mengedepankan budaya yang sinis kepada publik, saling menutupi kesalahan rekan, pemujaan pada mitos yang sudah terinternalisasi di kalangan kepolisian dan mengembangkan pola komunikasi yang hanya dipahami oleh kalangan kepolisian saja. Keenam, pemberian penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) secara adil; apakah
Tinjauan Kritis Reformasi Kultural Polri (1999-2012) | Sarah Nuraini Siregar | 145
sudah menjadi bagian inheren dari reformasi kultural Polri. Ketujuh, apakah sistem rekrutmen sudah benar-benar bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Apakah sistem pendidikan dari tamtama/bintara, akademi, sekolah pimpinan Polri segalanya sudah memasukkan unsur-unsur terkait dengan perubahan kultur Polri. Selain itu, apakah kenaikan pangkat dan jabatan benar-benar sudah menerapkan sistem merit yang ditopang oleh analisis matriks psikologis atas semua perwira pertama, menengah dan tinggi Polri sesuai dengan tingkat jabatannya. Kedelapan, bagaimana pula lingkungan di luar Polri mempengaruhi pola pikir, pola budaya dan pola tindak dari anggota dan organisasi Polri. Kesembilan, apa sikap dan tindakan atasan terhadap publik atau bawahan sungguh-sungguh sudah memberikan contoh yang baik sesuai dengan reformasi kultural Polri. Kesepuluh, adakah kesinambungan penerapan strategi, kebijakan dan tahapan reformasi kultural Polri. Persoalan ini muncul karena setiap pergantian Kapolri tidak jarang diikuti oleh perubahan strategi, penekanan atau bahkan tahapan dari reformasi instrumental, struktural dan kultural Polri. Ketidaksinambungan ini antara lain disebabkan setiap Kapolri ingin meninggalkan warisan kebijakan sendiri mengenai reformasi Polri tersebut. Berbagai kajian LIPI tentang Reformasi Polri menunjukkan bahwa Polri memang masih terus melakukan reformasi instrumental, reformasi struktural dan reformasi kulturalnya. Dari sisi pelayanan masyarakat misalnya, sudah banyak perubahan mendasar pada jajaran Polri dalam melayani masyarakat seperti pembuatan dan perpanjangan Surat Ijin Mengemudi (SIM) dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), laporan kehilangan barang, atau laporan terkait adanya tindakan kriminal dalam masyarakat. Namun, ini hanya terjadi di Jakarta dan kota-kota besar di pulau Jawa serta kota-kota lainnya dan belum menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Dalam kaitannya dengan perlindungan terhadap masyarakat dan penegakan hukum, keberhasilan Polri lebih pada bagaimana Polri, dalam hal ini Densus 88, cepat tanggap dalam
menangani masalah terorisme dan belum menyeluruh pada tindakan kriminal lainnya. Dalam beberapa kasus, aparat Polri juga lebih banyak melindungi pemilik modal atau kekuasaan ketimbang masyarakat, khususnya terkait dengan persoalan pertanahan dan atau perburuhan. Terkait juga dengan demonstrasi mahasiswa anti pemerintah atau perusakan barang milik pemerintah, disini ada kebimbangan pada aparat Polri apakah akan bersikap tegas sesuai dengan jalur hukum atau bersikap lembut dan mengedepankan pendekatan persuasif. Kasus demo mahasiswa bersifat anarkis yang sering terjadi di Sulawesi Selatan atau amarah salah satu kelompok massa pendukung salah satu pasangan cagub/cawagub pilkada Maluku yang tuntutannya tidak dipenuhi Mahkamah Konstitusi (MK) pada 14 Oktober 2013, adalah contoh betapa sulitnya Polri untuk memilih cara-cara yang tegas atau cara-cara lain. Bila ditinjau dari sisi pembuatan regulasi dan kebijakan (instrumental), tidak sedikit aturan atau pun kebijakan yang dibuat oleh pimpinan Polri yang pada akhirnya juga terkait dengan reformasi kultural Polri. Namun, pada pelaksanaannya, tampak jelas betapa masih kental aplikasi kebijakan yang lebih dipengaruhi oleh budaya pimpinan atau budaya organisasi yang sudah usang, seperti dalam hal penentuan jabatan-jabatan tinggi di Polri yang disinyalir masih menekankan faktor kedekatan dan loyalitas ketimbang sistem merit. Pilihan antara mengabdi kepada atasan atau negara dan rakyat juga merupakan pilihan yang amat sulit. Budaya organisasi dan anggota Polri pada era Orde Baru yang lebih “melindungi dan melayani pimpinan” daripada “melindungi dan melayani masyarakat” masih tetap berjalan hingga saat ini. Dalam persoalan pemberian penghargaan ( re w a rd ) m a s i h d i d a s a r i p a d a b e r a p a banyak seorang anggota Polri menangkap dan menjebloskan ke penjara para pelanggar hukum; bukan pada bagaimana ia mampu membangun kerjasama dengan masyarakat dalam pemeliharaan keamanan lingkungan atau bagaimana ia mampu mencegah terjadinya kekerasan atau pelanggaran hukum. Faktor kemanusiaan atau jaringan kerja Polri dan
146 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 131–148
masyarakat melalui Polmas belum menjadi ukuran keberhasilan kerja seorang anggota Polri. Hukuman (punishment) terhadap anggota Polri juga lebih menekankan pada aspek hukuman seperti memenjarakan atau memecat anggota Polri yang melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum ketimbang mendekatinya dari aspek psikologis seorang anggota dan pembinaan yang lebih manusiawi. Oleh karena itu, jangan heran bila Polri lebih mengekspos jumlah anggota Polri yang dipenjarakan atau dipecat ketimbang jumlah mereka yang disadarkan dan diaktifkan kembali jabatannya sebagai anggota Polri.
masyarakat dan menegakkan hukum. Kedua, Polri melayani masyarakat secara baik, sopan dan tanpa pamrih ekonomi; ketiga, Polri yang profesional dan proporsional ditopang oleh peralatan dan dukungan kecukupan ekonomi yang diberikan oleh negara; keempat, paradigma baru Polri mengedepankan reformasi pada sistem keorganisasian dan budaya individu yang didasari oleh filosofi dan doktrin Polri dan bukan budaya yang lebih bergantung pada atasan; kelima, reformasi kultural Polri tidak mungkin berhasil tanpa adanya perubahan sikap mental pimpinan Polri, masyarakat dan pimpinan negara.
Reformasi kultural Polri tidak mungkin berhasil jika tidak diikuti oleh perubahan paradigmatik individu atau kelompok masyarakat atau institusi di luar Polri. Kebiasaan masyarakat untuk memilih “jalur cepat” untuk menyelesaikan pelanggaran lalu lintas atau kriminalitas yang dilakukannya, menyebabkan budaya korupsi masih merajalela di lingkungan Polri. Budaya kelompok masyarakat berpunya yang mencari perlindungan atau pun dukungan Polri dalam aktivitas bisnisnya tidak jarang menempatkan Polri berhadap-hadapan dengan masyarakat dan sulit menjadi penengah yang adil atau pemelihara keamanan yang independen. Karena itulah, menjadi tepat tesis bahwa karakter kepolisian suatu negara juga ditentukan oleh karakter masyarakatnya.
Perubahan sistem politik menuju sistem demokrasi yang lebih mapan, penegakan hukum yang bersifat imparsial dan perubahan paradigmatik masyarakat mengenai hukum dan keamanan menjadi tonggak yang kuat yang menopang reformasi kultural Polri. Upaya menggeser citra Polri yang dulunya militeristik ke arah polisi sipil yang demokratik, profesional, akuntabel, dan independen masih menjadi tantangan Polri di masa mendatang. Oleh karena itu, “pekerjaan rumah” utama Polri dalam membangun citra positif dan dukungan masyarakat adalah dengan kembali pada kemampuan mewujudkan polisi yang profesional. Beberapa indikatornya antara lain: Polri yang ahli dan memiliki pengetahuan tentang kepolisian, tunduk pada ketentuan hukum dan sumpah jabatan, independen, tidak berpolitik dan berbisnis, serta akuntabel.39 Upaya-upaya ini tentu saja membutuhkan waktu serta kebijakan dan program yang jelas dari pemerintah, DPR, internal Polri, dan dukungan masyarakat.
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) memiliki andil yang amat besar dalam menjadikan Polri sebagai institusi yang reformis sesuai dengan alam demokrasi, atau membiarkan apa yang sudah menjadi mitos buruk Polri tetap berjalan seperti sediakala. Kompolnas belum terlihat mampu melakukan peran dan fungsinya secara baik. Ini disebabkan oleh kelemahan struktural kompolnas itu sendiri yang menempatkan Menko Polhukam sebagai pimpinan ex-officio tertinggi di kompolnas dan juga kultur pimpinan Polri yang enggan untuk menjadikan kompolnas sebagai institusi yang benar-benar mampu memberikan sumbangsihnya pada reformasi Polri. Polri berusaha agar reformasi instrumental, struktural dan kultural yang dilakukannya selama ini menjadi suatu keniscayaan. Dengan kata lain, Polri harus: pertama, Polri berada pada barisan terdepan dalam melindungi
Daftar Pustaka Buku Dardis, Frank E.(et.al). 2006. Media Framing Running Head: Media Framing of Capital Punishment and Its Impact on Individuals Cognitive Responses, Manuscript in Mass Comummunication and Society, Pennsylvania State University. Djamin, Jend. Pol (Purn) Prof. Dr. Awaloedin, MPA. 2007. Kedudukan Kepolisian RI dalam Sistem Dorongan Masyarakat Sipil Atas Reformasi Polri,” dalam IDSPS, AJI, dan FES, Newsletter…Op.Cit., hal. 2 39
Tinjauan Kritis Reformasi Kultural Polri (1999-2012) | Sarah Nuraini Siregar | 147
Ketatanegaraan : Dulu, Kini, dan Esok. Jakarta: PTIK Press. Djamin, Jenderal Polisi (P) Prof. Dr. Awalloedin, MPA, dkk, 2007. Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia. Dari Zaman Kuno Sampai Sekarang. Jakarta: Yayasan Brata Bhakti Polri. Kadarmanta, A. 2007. Membangun Kultur Kepolisian. Jakarta: Forum Media Utama. Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Aksara Baru. Nurinwa dkk. 2010. Polri Mengisi Republik. Jakarta: PTIK. Siregar, Sarah Nuraini (Ed). 2010. Polri di Era Demokrasi: Dinamika Pemikiran Internal. Jakarta: P2P LIPI. Sutanto. 2006. Polri Menuju Era Baru Pacu Kinerja Tingkatkan Citra terhadap Polri. Jakarta: Cipta Manunggal. Widjajanto, Andi (Ed). 2004. Reformasi Sektor Keamanan Indonesia. Jakarta: ProPatria.
Jurnal Asia Report, No. 218 – 16 Februari 2012. IDSPS, AJI, dan FES, 2008., Newsletter, Edisi VII Nomor 10. Jurnal Suara Komisi Kepolisian Nasional, Edisi Juni 2013.
Hasil diskusi terbatas dengan narasumber mantan perwira tinggi Polri dalam FGD P2P LIPI tentang Reformasi Kultural Polri, Jakarta 11 September 2013. Hasil wawancara dan diskusi dengan jajaran Polda Metro Jaya, April, 2013. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Langkah-langkah Kebijakan Dalam Rangka Pemisahan Kepolisian Negara Republik Indonesia Dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Surat Kabar dan Website “Catatan Akhir Tahun 2012 AJI Indonesia.” http://ajiindonesia.or.id/read/article/pressrelease/168/catatan-akhir-tahun-2012-ajiindonesia.html). http://www.polri.go.id. KontraS, “Catatan Evaluasi Kinerja Polri 2010-2011. Hari Bhayangkara ke-65. Mempertanyakan Bukti Nyata Komitmen Polri.” http://www. kontras.org/data/Evaluasi%20Polri%202011. pdf.
Laporan dan Makalah Wulan, G. Ambar (makalah), “Penguatan Corpsgeest Polisi: Fundamen bagi Pelaksanaan Reformasi Polri,” disampaikan dalam Diskusi Terbatas “Reformasi Polri: Menuju Polri yang Profesional dalam Melayani Masyarakat”, Jakarta, Pusat Penelitian Politik LIPI dan Sekretariat Wakil Presiden RI, 30 April 2012.
148 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 131–148
FISIBILITAS SISTEM PEMILU CAMPURAN: UPAYA MEMPERKUAT SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA1 FEASIBILITY OF MIXED ELECTORAL SYSTEM: EFFORTS TO STRENGTHEN PRESIDENTIAL SYSTEM IN INDONESIA
Moch. Nurhasim Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 30 Januari 2014; direvisi: 12 Mei 2014.; disetujui: 15 Juni 2014 Abstract
The process of finding a suitable electoral system for Indonesia poses not only opportunities but also challenges for intellectual circles. In the search process, P2P LIPI election team has made a series of attempts to find a solution to fix the fragile character and the main disadvantage proportional system which had several times applied in Indonesia. The study about Feasibility of Electoral Mixed System: Efforts to Strengthen Presidential System in Indonesia tries to compare the level of suitability in the application of variants of electoral systems to Indonesia. Its goal is to find the formulation of an electoral system that can bring the minimal majority of winner in parliament (DPR) in order to reduce the number of parties. Keywords: Presidential System, Electoral System, Mixed Electoral System. Abstrak Proses pencarian sistem pemilu yang cocok bagi Indonesia merupakan peluang sekaligus tantangan bagi kalangan intelektual. Dalam proses pencarian itu, tim pemilu P2P LIPI telah melakukan serangkaian upaya untuk mencari solusi dalam membenahi watak rapuh dan kelemahan utama sistem proporsional yang telah beberapa kali diterapkan di Indonesia. Kajian P2P LIPI mengenai Fisilibilitas Sistem Pemilu Campuran: Upaya Memperkuat Sistem Pemilu Presidensial di Indonesia adalah sebuah kajian yang membandingkan tingkat kecocokan penerapan varian-varian sistem pemilu bagi Indonesia. Tujuannya adalah untuk menemukan sebuah formulasi sistem pemilu yang dapat memunculkan pemenang pemilu mayoritas minimal di parlemen (DPR) dalam rangka mengurangi jumlah partai. Kata Kunci: Sistem Presidensial, Sistem Pemilu, Sistem Pemilu Campuran.
Pendahuluan Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu instrumen demokrasi yang mendasar. Melalui pemilu, kedaulatan rakyat sebagai pemilik suara akan ditransformasikan menjadi kekuasaan politik di parlemen dan eksekutif. Dalam merancang sistem pemilu selain memperhatikan asas-asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, rancangan tersebut juga berkaitan secara langsung dengan kualitas legislatif yang dihasilkan, penataan sistem kepartaian dan efektivitas sistem presidensial yang berlaku. Sejarah pemilu-pemilu di Indonesia, sejak Pemilu 1955, pemilu di masa Orde Baru (Orba),
Tim peneliti terdiri dari: Moch. Nurhasim, Sri Yanuarti, Lili Romli, Syafuan Rozi, Mardyanto Wahyu Tryatmoko, Sarah Nuraini Siregar, Luky Sandra Amalia. 1
Fisibilitas Sistem Pemilu Campuran ... | Moch. Nurhasim | 149
dan era reformasi masih dipengaruhi oleh kuatnya pengaruh sistem pemilu proporsional (PR). Pemilu proporsional seakan-akan dianggap “satu-satunya” sistem pemilu yang paling cocok bagi Indonesia. Akibatnya, upaya untuk mencari sistem pemilu selain PR kurang berkembang, bahkan nyaris tidak menjadi pertimbangan dalam reformasi sistem pemilu di Indonesia. Reformasi sistem pemilu lebih diarahkan untuk memperbaiki Sistem Pemilu Paralel (SPP) secara tambal sulam dari satu periode ke periode waktu lainnya. Kritik atas kelemahan PR telah banyak dikemukakan oleh berbagai kajian dan diskusi para penggiat pemilu yang demokratis. Dalam rentang waktu yang cukup lama, sejak pemilu pertama tahun 1955, praktik PR dalam sistem politik di Indonesia telah menimbulkan sejumlah paradoks. Di antara paradoks itu misalnya, kualitas anggota legislatif terpilih yang rendah dan anggota legislatif yang tidak akuntabel. Di era transisi demokrasi, kombinasi antara PR dengan sistem multipartai menimbulkan gejala laten, tidak adanya partai mayoritas di parlemen dan pemilu melahirkan konvergensi, kerentanan, dan kerapuhan sistem politik, di mana PR gagal melahirkan partai mayoritas untuk memerintah. PR juga tidak berhasil mendorong lahirnya komposisi multipartai moderat yang ideal bagi Indonesia. Yang terjadi sebaliknya, pemilu di era reformasi justru menghasilkan partai tanpa dukungan yang besar di parlemen untuk membangun pemerintahan. Lebih dari itu semua, kombinasi PR dengan sistem multipartai yang meluas telah mendorong menjamurnya politik transaksional, sebuah hubungan calon-calon anggota legislatif dengan konstituen yang didominasi oleh pola barter, vote-buying, electoral fraud, dan semua cara jalan pintas lainnya agar dapat terpilih sebagai anggota legislatif. Oleh karena itu, proses pemilu di era transisi, masih belum sepenuhnya terhindar dari kompleksitas masalah utama sistem proporsional. Sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 2009, 2 kombinasi sistem pemilu proporsional dengan sistem multipartai, tidak melahirkan kekuatan Kecuali pemilu-pemilu yang berlangsung di era Orde Baru sejak Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997. 2
mayoritas yang memudahkan untuk dapat menyusun pemerintahan. Kesulitan itu sebagai dampak dari tidak adanya partai yang memperoleh suara mayoritas. Hasil pemilu proporsional yang dikombinasikan dengan multipartai justru sebaliknya, cenderung menghasilkan kekuatan politik yang menyebar (divergen). Menurut Jean Blondel sistem multipartai dapat menghasilkan dominasi partai (mayoritas pemenang) apabila ada partai yang menguasai kurang lebih 45 persen suara di parlemen, sementara jika perolehan suaranya hanya 25 persen dan/atau di bawahnya, sistem proporsional-multipartai akan menghasilkan partai minoritas.3 Sebaran kursi itu menyulitkan partai pemenang pemilu dalam membentuk pemerintahan yang kuat. Implikasinya, pemilu gagal melahirkan satu kekuatan mayoritas yang berfungsi sebagai instalasi demokrasi (democratic installation), sebuah proses pembentukan lembaga-lembaga demokrasi yang memperkuat sistem presidensial dan mendorong pemerintahan yang bekerja (governable). Situasi seperti itu telah banyak disinggung oleh berbagai studi sebelumnya. Mainwaring dan Scully menyebut bahwa ketiga kombinasi sistem proporsional, multipartai dan presidensial bukanlah sesuatu yang mudah. Salah satu masalahnya, pemilu tidak menghasilkan kekuatan mayoritas, bahkan partai minoritas berpeluang atau dapat memenangkan pilihan presiden.4 Juga terdapat kesulitan-kesulitan dalam membentuk pemerintahan yang kuat atau efektif, karena kesulitan dalam membangun koalisi.5 Salah satu kesulitan itu disebutkan oleh Linz dan Stepan bahwa watak koalisi sebenarnya hanya lazim dianut pada sistem parlementer,6 namun demikian karena kombinasi sistem multipartai dengan sistem presidensial akhirnya ada suatu Arend Lijpart, Patterns of Democracy Goverment: Forms and Performance in Thirty Six Countries, (New Haven and London, Yel University, 1999), hlm. 67. 3
Jose Antonio Cheibub, Presidentialism, Parliamentarism, and Democracy, (New York: Cambridge, 2007), hlm. 7-8. 4
5
Ibid., hlm. 8.
Ibid., hlm.8. Mengenai hal ini juga dapat dilihat pada Juan J. Linz, “Defining and Crafting Democratic Transition, Constitutions, and Consolidation,” dalam R. William Liddle, ed., Crafting Indonesian Democracy, (Bandung: Mizan, 2001). 6
150 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 149–166
keharusan untuk membangun koalisi mana kala ingin membentuk sebuah pemerintahan yang kuat. Kajian tim tahun 2012 juga menyimpulkan hal yang mirip, kombinasi ketiganya sebagai kombinasi yang rumit, kompleks dan mengandung kerapuhan (fragile). Di antara kerapuhan itu adalah koalisi yang tidak solid, pemerintahan presidensial yang “terkontaminasi” oleh kekuatan partai politik, dorongan pelemahan dari parlemen atas kebijakan presiden akibat lemahnya dukungan pemerintahan. Melemahnya fungsi presiden setelah amandemen UUD 1945 merupakan salah satu faktor penyebabnya. Ciri lain dari sulitnya kombinasi sistem pemilu proporsional, multipartai juga disebut oleh Cheibub, di mana kekuatan politik yang terpecah-pecah, terjadinya pemisahan kekuasaan (separation of power) yang dikombinasi oleh rapuhnya koalisi, pemerintahan minoritas dan ketidakefektifan legislatif, berpotensi menimbulkan jalan buntu (deadlock), sehingga dapat menimbulkan kerusakan demokrasi (breakdown of democracy).7 Bagaimana membenahi watak rapuh ketiga kombinasi mendasar di atas?. Kajian tim pemilu P2P LIPI 2012 di antaranya merekomendasikan perlunya pembenahan terhadap efektivitas sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem pemilu proporsional dan multipartai. Rumus efektivitas sistem presidensial diantaranya bahwa sistem presidensial yang kuat dipengaruhi oleh penggunaan sistem pemilu, sistem kepartaian yang sederhana (moderat), purifikasi demokrasi presidensial, kewenangan presiden yang kuat dalam konstitusi, dan koalisi permanen serta kepemimpinan politik.8 Masalahnya, bagaimana mendesain sistem pemilu yang dapat melahirkan kepartaian yang moderat, sekaligus adanya kekuatan pemenang minimal di DPR sebagai salah satu rumus efektivitas pemerintahan presidensial. Untuk menjawab hal itu, tim telah menghasilkan kajian pada 2013 tentang fisibilitas atau tingkat 7
Ibid., hlm. 8.
Mengenai hal ini dapat dilihat pada laporan penelitian tim tahun 2012 yang berjudul Sistem Pemilu yang Memperkokoh Demokrasi Presidensial, (Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI, 2012). 8
kecocokan Sistem Pemilu Campuran (khususnya Mixed Member Majoritarian) sebagai pengganti sistem proporsional yang dalam praktiknya, hasilnya tidak pernah mengalami perubahan sejak Pemilu 1999, 2004, 2009, dan 2014. Adapun metode pencarian data yang digunakan pada kajian ini meliputi beberapa hal, pertama, kajian pustaka yang dikhususkan untuk mempelajari beberapa negara yang melakukan perubahan sistem pemilu ke sistem pemilu campuran; kedua, review terhadap hasil-hasil penelitian sejumlah pihak di Indonesia juga dilakukan dalam rangka memetakan kelemahan sistem proporsional yang dipraktikkan di Indonesia. Dan ketiga, melakukan focus group discussion (FGD) dengan sejumlah narasumber dari akademisi, partai politik, wartawan dan NGO kepemiluan di Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta.
Peta Jalan Perubahan Sistem Pemilu di Indonesia Kajian tentang pemilu, kepartaian, perwakilan dalam rangka penguatan demokrasi presidensial yang terkonsolidasi adalah kajian yang berkesinambungan (multi years). Pusat Penelitian Politik selama tiga tahun telah melakukan suatu proses pencarian sistem pemilu yang cocok bagi Indonesia. Tujuannya jelas yaitu untuk mencari format ideal sistem pemilu yang memperkuat demokrasi presidensial agar tercipta suatu pemerintahan yang efektif, dan stabilitas politik serta demokrasi presidensial yang kuat. Dalam menjawab tantangan dan kebutuhan terhadap kecocokan sistem pemilu yang dibutuhkan oleh Indonesia, tim Pemilu P2P LIPI melakukan proses pencarian antara lain mencari sistem pemilu yang dapat mendorong munculnya partai pemenang pemilu mayoritas minimal di parlemen (DPR), mencari sistem pemilu yang dapat membenahi kelemahan utama sistem pemilu proporsional dan mencari sistem pemilu yang dapat menyederhanakan partai politik secara alamiah. Untuk menjawab kebutuhan itu, tim pemilu P2P LIPI melakukan serangkaian riset sejak 2012 hingga 2014 dalam rangka menyiapkan alternatif sistem pemilu yang cocok bagi Indonesia. Tahun 2012 riset tentang Sistem Pemilu dan Kepartaian yang Memperkuat Demokrasi Presidensial telah
Fisibilitas Sistem Pemilu Campuran ... | Moch. Nurhasim | 151
dilakukan. Kajian tahun 2012 merekomendasikan bahwa untuk mewujudkan sistem presidensial yang efektif, dibutuhkan beberapa faktor. Rumus efektivitas sistem presidensial: sistem presidensial yang kuat dipengaruhi oleh penggunaan sistem pemilu, sistem kepartaian yang sederhana (moderat), purifikasi demokrasi presidensial, kewenangan presiden yang kuat dalam konstitusi, dan koalisi permanen serta kepemimpinan politik. Hasil kajian pertama telah memetakan kelemahan-kelemahan sistem proporsional yang telah dipraktikkan oleh Indonesia sejak Pemilu 1955, 1999, 2004, 2009, dan 2014, di antaranya tidak menghasilkan partai yang moderat dan tidak adanya pemenang pemilu mayoritas minimal di DPR. Selain itu, kajian itu juga telah memetakan kelemahan utama sistem pemilu proporsional (PR) dari segi kajian sistem kepemiluan.
governments; 4) victory of the “Condorcet winner”; (5) interethnic and interreligious conciliation; and (6) minority officeholding.9 Berdasarkan pertimbangan itu, perbaikan sistem pemilu di Indonesia harus diarahkan agar tidak memunculkan partai-partai politik atas dasar etnik, agar tidak tercipta replikasi etnik di parlemen. Karena itu, perbaikan juga diarahkan agar tercipta partai politik yang terbuka, menghindarkan pada basis kultural dan mendorong adanya kerja sama lintas batas identitas dalam membangun partai politik. Selain itu, perbaikan juga dimaksudkan agar terwujud pemerintahan yang efektif. Perbaikan ini bukan semata-mata untuk menghindari kelemahankelemahan utama praktik pemilu proporsional yang terjadi sejak 1999, 2004 dan 2009 semata, tetapi jauh dari itu memiliki tujuan yang paling
Sumber : Diolah oleh Tim Peneliti Gambar 1. Bagan Adaptasi Sistem Pemilu Pararel bagi Indonesia
Dalam konteks yang lebih besar, proses pencarian sistem pemilu yang cocok bagi Indonesia dimaksudkan untuk sekurangkurangnya dapat menjawab problematika pemberlakuan sebuah sistem pemilu, antara lain: (1) proportionality of seats to votes; (2) accountability to constituents; (3) durable
utama yakni bagaimana sebuah sistem pemilu yang diterapkan dapat menciptakan efektivitas sistem presidensial, konsolidasi demokrasi Larry Diamond and Marc F. Plattner (Eds.), Electoral Systems and Democracy, (Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 2006), hlm. 4. 9
152 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 149–166
menuju pada demokrasi yang dewasa (mature of democracy) serta stabilitas pemerintahan.
dan adanya akuntabilitas anggota DPR terhadap konstituennya.
Kebutuhan itu dilakukan untuk menjawab pertanyaan mendasar, sampai kapan situasi politik yang dihasilkan oleh Sistem Pemilu Proporsional akan terus berlangsung?. Bukankah selama empat kali pemilu proporsional dengan sistem multipartai di era reformasi telah tampak nyata bahwa PR tidak pernah melahirkan partai mayoritas sebagai pemenang pemilu di atas 25 persen suara dan/atau kursi di DPR? Dalam empat kali pemilu di era reformasi juga tampak jelas kecenderungan yang kuat akan menyebarnya kursi-kursi partai, sebuah fenomena sistem multipartai tanpa partai mayoritas untuk memerintah.
Selain itu dari segi sistem, perubahan sistem pemilu proporsional di Indonesia sebenarnya sudah bersifat “gado-gado,” yang mengalami b e r b a g a i p e n y i m p a n g a n . A rg u m e n t a s i representasi di satu sisi menjadi paradoks multikompleks dari sistem pemilu proporsional itu sendiri. Paradoks itu terletak pada, jika sistem proporsional bekerja secara murni, di satu sisi tingkat representasinya sangat tinggi; tetapi di sisi lainnya juga melahirkan derajat fragmentasi politik yang tinggi di parlemen akibat partai politik yang memperoleh kursi jumlahnya terlalu banyak.
Mengapa Memilih Pemilu Campuran Secara umum variasi sistem pemilu dikembangkan dari polarisasi dua tipe sistem pemilu yang sudah lama dikenal, yakni proportional representative (PR) dan plurality (distrik). Dari varian itu, sejumlah negara menerapkan sistem pemilu atas dasar kepentingan dan kecocokan dengan kondisinya. Pilihan sistem pemilu selain tergantung pada kondisi negara, juga tergantung pada pilihan, dan arah reformasi politik yang sedang dibangun. Pilihan atas format dan sistem pemilu semestinya bertolak dari kesepakatan tentang tujuan berpemilu itu sendiri, apakah lebih pada tujuan pertama yakni representativeness atau keterwakilan politik semua unsur, kelompok, dan golongan dalam masyarakat, atau lebih pada tujuan kedua ingin menghasilkan pemerintah yang bisa memerintah (governable) atau yang populer disebut sebagai pemerintahan yang efektif. Salah satu alasan mengapa Indonesia perlu memilih sistem campuran karena kegagalan sistem proporsional dalam menjawab masalah utamanya yaitu seberapa besar tingkat kemungkinan sistem pemilu yang diterapkan menghasilkan kekuatan mayoritas di parlemen dan adalah jaminan bahwa penerapan sistem pemilu dapat menyederhanakan partai secara alamiah. Hasil pemilu sejak 1955, 1999, 2004, dan 2009 telah menunjukkan kegagalan itu. Sistem PR gagal mengantarkan adanya partai pemenang mayoritas di parlemen
Paradoks seperti itu adalah warisan utama dari sistem proporsional. Untuk membenahi itu, sejumlah praktisi dan akademisi di Indonesia yang concern pada reformasi kepemiluan kemudian menyarankan agar kelemahan itu disempurnakan. Rumus penyempurnaannya dilakukan melalui dua cara yaitu pada Pemilu 2004-2009 diterapkan electoral threshold (ET) dan pascaPemilu 2009 diterapkanlah Parliamentary Threshold (PT). Penerapan PT dalam praktiknya justru membuang sekian juta suara akibat sebuah partai politik tidak berhasil memenuhi ambang batas parlemen tidak disertakan pada proses konversi suara partai menjadi kursi. Pada Pemilu 2009 misalnya, diberlakukan PT sebesar 2,5 persen. Penerapan PT tersebut sebanding dengan 19.045.481 suara pemilih atau sekitar 18,30 persen. Jumlah suara yang hilang ini hampir setara dengan hasil perolehan suara Partai Demokrat yang menjadi pemenang pemilu dengan meraih 21.655.295 suara atau 20,81 persen. Suara yang hilang itu juga sebanding dengan perolehan suara Golkar pada Pemilu 2009. Sementara pada Pemilu 2014, dengan PT sebesar 3,5 persen justru suara yang hilang akan lebih besar lagi. Bukankah jalan pintas itu justru merupakan paradoks atas argumentasi kelebihan utama sistem proporsional yaitu representasinya tinggi; tidak ada suara yang terbuang; memberikan peluang kepada semua golongan dalam masyarakat (termasuk golongan minoritas) untuk mendudukkan wakilnya di parlemen; memberikan kesempatan kepada partai kecil
Fisibilitas Sistem Pemilu Campuran ... | Moch. Nurhasim | 153
untuk masuk ke parlemen, dan lain-lain. Tetapi di sisi lain, kekuatan itu tidak dipertahankan, melainkan dipangkas dengan cara lain yang justru merusak bekerjanya sistem proporsional itu sendiri. Penggunaan PT pada kenyataannya justru menyingkirkan kebaikan-kebaikan utama dari sistem pemilu proporsional yang selama ini menjadi argumentasi utama mengapa sistem ini harus dipilih oleh sebuah negara. Penggunaan PT yang tinggi justru mengacaukan bekerjanya sistem pemilu proporsional. Bahkan pada tataran tertentu, penggunaan PT justru menjadikan sistem pemilu proporsional bukan sebagai sistem pemilu proporsional. Penjelasan itu perlu digarisbawahi karena secara konseptual sistem pemilu proporsional bukan diperuntukkan untuk membatasi jumlah partai di parlemen. Tetapi mendorong pada bekerjanya sistem untuk memberikan kesempatan kepada setiap partai peserta pemilu memperoleh kursi secara proporsional. Hakikat ini sesungguhnya telah “tiada,” dan dihilangkan bahkan ditinggalkan dalam proses-proses reformasi sistem kepemiluan di Indonesia. Rekayasa akademik atas sistem proporsional melalui pemberlakuan PT seperti itu telah memporak-porandakan hakikat utama dari cara bekerjanya sistem pemilu proporsional. Dalam konteks akademik, rekayasa melalui penerapan pembatasan partai melalui PT ternyata juga tidak mampu mendorong kekuatan mayoritas di parlemen. Ini adalah sebuah harga yang mahal dari proses rekayasa sistem pemilu proporsional. Kalau penghitungan teknis dengan formula Rein Taagepera dilakukan, dengan jumlah kursi DPR 560, besaran daerah pemilihan (dapil) 3-10 kursi, dan jumlah dapil sebanyak 77 daerah pemilihan, maka ambang batas perwakilan optimal untuk pemilu DPR yang sebenarnya hanya 1,03 persen. Secara matematik, ambang batas 2,5 persen pada Pemilu 2009 dan 3,5 persen pada Pemilu 2014 merusak sifat alamiah dari sistem pemilu proporsional itu sendiri. Pertanyaan lebih lanjut, mengapa reformasi sistem pemilu proporsional justru menjauhkan kemurnian sistem proporsional?. Besarnya suara pemilih yang hilang akibat penerapan PT, sebagai jalan pintas untuk menyederhanakan partai politik justru telah merusak kekuatan utama sistem
proporsional. Membayangi sistem proporsional dengan penerapan PT adalah sesuatu yang naif pada satu sisi dan pada sisi yang lain dapat disebut sebagai kegagalan untuk memberikan formulasi sistem pemilu lain yang lebih memungkinkan untuk kebutuhan penyederhanaan partai dan mendorong pemenang pemilu adalah partai mayoritas. Terhadap alternatif itu, secara akademik pilihannya dapat menoleh ke sistem mayoritarian. Sejumlah kalangan yang menjadi narasumber dari riset ini melihat bahwa sistem mayoritarian kemungkinan cocok diterapkan di Indonesia, ketimbang harus selalu terpaku pada sistem proporsional. Mereka menganggap kemampuan sistem mayoritarian di dalam dua hal penting: penyederhanaan partai (karena sistem ini secara alamiah akan mendorong ke sistem dua partai) serta dalam hal peningkatan akuntabilitas calon terpilih. Akan tetapi kita tetap mesti berhati-hati bila hendak mengadopsi begitu saja sistem mayoritas ini. Menyangkut kemampuan penyederhanaan partai, kita tentu hampir sepakat untuk tidak meragukannya lagi, akan tetapi penyederhanaan partai secara alamiah yang diakibatkan dari penerapan sistem mayoritarian akan berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan, mengingat Indonesia merupakan negara yang amat heterogen, baik secara etnik maupun ikatan primordial lainnya. Hal mana akan berpotensi menimbulkan kekecewaan di kalangan minoritas etnik-etnik dan ikatan-ikatan primordial yang tersingkir. Kalau secara sistem sudah tidak ada keraguan lagi bahwa sistem mayoritarian akan menyederhanakan partai, mengapa tidak langsung merekomendasikan sistem mayoritarian untuk diterapkan di Indonesia?. Kajian P2P LIPI sejak tahun 2012 menekankan bahwa perubahan dari sistem proporsional ke sistem yang lain tidak boleh terlalu ekstrim, berpindah dengan sistem yang sama sekali bertolak belakang. Alasannya agar tidak terjadi kegoncangan sistem, dan perubahan reformasi kepemiluan masih mempertimbangkan kesinambungan cara kerja sistem sebelumnya. Belajar dari negara-negara lain, reformasi sistem pemilu yang diarahkan pada tujuan seperti menyederhanakan partai, adanya pemenang
154 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 149–166
mayoritas pemilu, misalnya, kebanyakan justru berpindah ke sistem pemilu campuran. Negara-negara yang menganut sistem proporsional seperti Belanda misalnya akhirnya juga memilih sistem campuran. Sementara Israel yang awalnya menggunakan sistem distrik justru meninggalkannya dan beralih ke sistem campuran. Kedua hal itu hanyalah contoh. Penggunaan sistem campuran sebenarnya dari segi cara kerja sistemnya menguntungkan, karena sistem campuran masih menggunakan sebagian cara kerja sistem lama yakni sistem proporsional yang berfungsi untuk melengkapi kelemahan sistem mayoritarian dalam mencoba mengisi ruang representasi politik di parlemen. Dengan kata lain, perubahan itu tidak serta merta menghilangkan tata cara sistem proporsional sama sekali, tetapi menambah mekanisme baru yang dapat menjadi cara untuk mengimbangi kekuatan oligarki partai dalam menentukan perwakilan politik di parlemen. Mengombinasikan keunggulan keduanya adalah sebuah pilihan yang lebih rasional yang tidak begitu saja melakukan perubahan yang sifatnya drastis. Sistem pemilu campuran sebenarnya mencoba menjembatani dua kutub ini dengan mengambil sebanyak-banyaknya kebaikan dari sistem proporsional dan mayoritarian sekaligus. Shugart dan Wattenberg menyebut sistem pemilu campuran sebagai “the best of both worlds”. Sistem pemilu campuran ditandai oleh beberapa hal, pertama, daerah pemilihan terbagi atas daerah pemilihan berdasarkan sistem mayoritarian dan daerah pemilihan berdasarkan sistem proporsional. Kedua, kartu suara terdiri atas kandidat perorangan (nominal seat) bagi penggunan sistem mayoritarian dan daftar partai. Ketiga, ada dua calon, yaitu calon yang bertarung di sistem mayoritarian secara langsung dan calon daftar tertutup melalui sistem proporsional. Sistem pemilu campuran akan memaksa setiap partai politik untuk mencari strategi pemenangan di dua ruang sekaligus (proporsional dan mayoritarian/distrik) dengan calon legislatif yang terbatas. Dengan demikian partai tidak lagi sembarangan mencalonkan orangnya di setiap daerah pemilihan. Sistem ini secara alamiah akan mengeliminasi pencalonan orang di dapil di mana orang tersebut tidak tinggal atau tidak cukup dikenal.
Penggunaan mixed system ini juga tergantung dari kebutuhan yang akan dipilih oleh Indonesia, khususnya kelebihan-kelebihan sistem mayoritarian dan sistem proporsional mana yang akan diterapkan. Kalau belajar dari pengalaman sejumlah negara yang melakukan perbahan sistem pemilu dengan menggunakan sistem pemilu campuran, ada sejumlah dampak perubahan yang dapat dicatat. Perubahan sistem pemilu menyebabkan perubahan struktur partai yang tidak lagi oligarkis. Perubahan sistem juga mendorong parubahan cara kerja partai dalam proses nominasi atau kandidasi, partai dalam menentukan calon-calon yang akan dipilih (rekrutmen politik) tidak lagi sembarangan. Dari negara-negara yang menerapkan sistem campuran, baik Mixed Member Majoritarian (MMM) atau Mixed Member Proportional (MMP), sebagian besar mampu melakukan beberapa perbaikan dari dua varian pemberlakuan sistem pemilu sebelumnya (baik proporsional maupun distrik). Sebagai contoh, di Bolivia dua pemilu yang dilakukan yakni Pemilu 1985 dan 1997 mendorong terjadinya penyederhanaan partai secara alamiah, dan lahirnya sebuah partai baru yang didukung oleh publik. Dalam konteks tertentu, ada pengaruh dari penggunaan sistem pemilu campuran dengan dimensi hubungan antarpartai yaitu partai cenderung akan memperkuat posisi keterbukaan partai. Sebagai contoh kasus partai Movimiento de la Izquierda Revolucionaria (MIR) dan Movimiento Bolivia Libre (MBL) yang fokus dengan gagasan bahwa partai harus mentransformasikan dirinya ke dalam gerakan warga (citizen movement) dan mencoba memperbaiki diri terhadap kritikan sentimen antipartai dengan membujuk secara persuasif pihak luar yang tidak bersimpati tersebut. Pada saat masa kampanye, partai melibatkan orang-orang atau aktor yang mempunyai reputasi nasional (national theater actor), menggunakan pemusik daerah (folk-music) dan lebih dari semua itu pengaruh media. Dari cara kerja sistem, pilihan terhadap MMM dan bukan MMP disebabkan oleh kesulitan penerapan MMP, yang mensyaratkan adanya transferable suara pada partai tertentu jika memenuhi prinsip tertentu yang diterapkan. Transferable ini dapat memicu ketegangan
Fisibilitas Sistem Pemilu Campuran ... | Moch. Nurhasim | 155
bahkan konflik dan pada sisi yang lain selain rumit, juga memerlukan kesadaran politik yang tinggi dalam proses kompensasi kursi. Sebenarnya dari segi sistem, cara kerja keduanya tidak akan menimbulkan shock, baik bagi kalangan partai (calon anggota legislatif) maupun untuk pemilih. Bagi partai atau calon anggota legislatif tinggal menentukan apakah kader-kadernya dicalonkan melalui jalur party list atau jalur mayoritarian (distrik). Jika ada kader yang potensial tetapi kurang dikenal di masyarakat, mereka bisa dicalonkan lewat jalur party list, sedang kader yang berkualitas dan populer lewat jalur sistem distrik. Sementara bagi masyarakat atau pemilih sendiri, dengan pengalaman pernah memilih kandidat langsung pada pemilu sebelumnya, dengan menerapkan sistem MMM juga tidak akan bingung atau shock. Sementara dari segi praksis, penggunaan MMM dan bukan MMP dimungkinkan akan terciptanya mayoritarian di parlemen, karena dengan tidak adanya hubungan antara proportional list dengan member of district memungkinkan peluang terciptanya partai mayoritas lebih terbuka ketimbang dengan menggunakan MMP. Dengan kata lain, konseptualisasi perbaikan kualitas sistem proporsional sebagaimana telah disinggung pada opsi pertama seiring dan sejalan dengan gagasan praktik MMM yang lebih berpotensi menghasilkan kekuatan mayoritas di parlemen. Kecocokan sistem campuran (mixed system), mixed member proportional (MMP) atau mixed member mayoritarian (MMM), bagi Indonesia, ditelaah dari beberapa aspek, yaitu: pertama, kemungkinan mudah diterapkan di Indonesia; kedua mampu membenahi kelemahan utama sistem proporsional secara alamiah; ketiga, dapat mencapai tujuan dari rekayasa sistem pemilu, khususnya menciptakan partai mayoritas minimal di parlemen; dan keempat, memperbaiki akuntabilitas anggota parlemen kepada konstituennya. Memadukan kekuatan dua varian sistem pemilu yang paling utama yakni Proporsional dan Mayoritarian melalui cara kerja sistem secara otonom akan melahirkan banyak manfaat. Manfaat utamanya ialah akan ada paduan dua kebaikan langsung dari kedua sistem (PR dan
Mayoritarian) secara sinergis dan saling mengisi. Kebaikan itu misalnya, adanya akuntabilitas wakil rakyat kepada konstituennya yang diterapkan dari kebaikan sistem mayoritarian. Sedangkan kelemahan mayoritarian—the winner takes all—ditutupi oleh proporsionalitas yang digunakan dalam suatu sistem pemilu yang bekerja dan saling memperbaiki. Pembelajaran atas kebaikan dan keburukan yang saling mengisi dari dua varian sistem pemilu tersebut akan membuka manfaat baru bagi bekerjanya sistem pemilu campuran dalam memperbaiki situasisituasi politik yang tidak ideal. Dari perbandingan hal-hal yang buruk dan yang baik, perpaduan bekerjanya dua sistem pemilu secara bersamaa, yang dalam hal ini otonomi masing-masing sistem pemilu dijamin diyakini akan memperbaiki beberapa keadaan “buruk” yang ditinggalkan oleh sistem pemilu proporsional. Paduan ini antara lain akan melahirkan keuntungan: 1) Derajat proporsionalitas Mendorong partai minoritas. 2) Mendorong pembuatan secara konsensus.
tinggi; kebijakan
3) Turn-outs-nya tinggi. 4) Mempertahankan wakil.
satu
distrik
satu
5) Partai dapat menunjuk perempuan, ahli, atau kaum minoritas sebagai calegnya. 6) Fleksibel. 7) Sedikit suara terbuang (wasted votes). 8) Dapat mempertahankan kandidat yang mumpuni meskipun kalah dalam pemilihan distrik, melalui sistem daftar PR. 9) Memberi kesempatan bagi partai untuk tetap memiliki wakil meskipun di dapil tersebut gagal memenangkan kursi distrik. 10) Jumlah parpol yang moderat (termasuk pilihan koalisinya) menciptakan stabilitas dan mendorong lahirnya kebijakan.
156 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 149–166
Tabel 1. Kebaikan dan Kelemahan Distrik dan Proporsional Sistem Pemilihan Distrik
Kebaikan
Kelemahan
mendorong ke arah integrasi parpol.
tidak memperhatikan kepentingan partai kecil.
terbentuknya relasi yang erat antara
tidak mengakomodir kelompok minoritas.
anggota legislatif dengan konstituen memudahkan parpol untuk memperoleh suara mayoritas di parlemen.
tidak memperhatikan keterwakilan perempuan. mendorong perkembangan partai berdasarkan klan, etnisitas, atau wilayah.
terciptanya stabilitas pemerintahan. sederhana dan murah.
menciptakan wilayah- yang dikuasai satu partai. melahirkan penguasa yang tidak tanggap terhadap perubahan opini publik. memberi peluang kepada partai tertentu untuk melakukan kecurangan melalui pembagian distrik.
Proporsional
representatif.
mempertajam perbedaan diantara parpol.
tidak ada suara terbuang (wasted
partai baru bermunculan dan fragmentasi
votes).
partai tidak dapat dihindari.
tingkat proporsionalitasnya tinggi. memberikan peluang kepada semua golongan dalam masyarakat, termasuk golongan minoritas, untuk mendudukkan wakilnya di parlemen. meningkatkan partisipasi masyarakat karena para pemilih merasa lebih
menghambat proses integrasi diantara berbagai kelompok di masyarakat. tidak mudah bagi parpol untuk mencapai kursi mayoritas di parlemen. pemerintahan yang stabil cenderung sulit dicapai. Anggota parlemen cenderung lebih dekat
percaya bahwa suara mereka, sekecil
dengan pimpinan partai dan lebih
apapun, akan berpengaruh pada hasil
mengutamakan kepentingan partai politiknya
pemilu.
dari pada konstituennya.
memberikan kesempatan kepada partai kecil untuk masuk ke parlemen. memungkinkan perempuan untuk terpilih. pembagian kekuasaan semakin merata
Fisibilitas Sistem Pemilu Campuran ... | Moch. Nurhasim | 157
Selain beberapa keuntungan tersebut, pilihan terhadap sistem pemilu campuran, khususnya Pemilu Paralel bagi Indonesia akan memiliki beberapa keuntungan ganda. Pertama, pilihan MMM sebagai jalan tengah dari sistem mayoritarian. Sistem MMM diterapkan di Indonesia sebagai jalan tengah dari titik ekstrem sistem mayoritarian karena, di satu sisi dalam upaya untuk menyederhanakan sistem kepartaian dan sisi lain untuk tetap mengakomodir kelompok-kelompok minoritas. Selain itu, hasil proses pemilihan dengan sistem ini akan cenderung menyederhanakan partai dengan jumlah yang masih moderat secara alamiah. Perubahan yang dihasilkannya akan cukup penting, dari yang begitu banyak (di atas 10) jumlah parpol yang ikut pemilu, dengan aturan main sistem campuran MMM hasilnya akan terseleksi jumlah partai sederhana atau ‘mayoritas yang moderat’ di parlemen, yaitu berkisar sekitar 6-7 partai tergantung pada formula besaran kursi PR dan Mayoritarian yang digunakan. Semakin berimbang penggunaannya (PR dan Mayoritarian) tingkat kemungkinan penyederhanaan partai secara alamiah yang menuju partai moderat akan diperoleh. Kedua, penggunaan MMM akan mengakomodir kelompok minoritas dan perempuan. Sistem MMM akan tetap mengakomodir kelompok minoritas dan kalangan perempuan apalagi komposisi untuk party list lebih besar dari sistem mayoritarian. Dengan komposisi untuk party list besar dengan menggunakan sistem proporsional daftar tertutup, maka kelompok-kelompok minoritas dan kalangan perempuan dapat dicalonkan dalam daftar nomor urut teratas atau dengan zipper system. Bila mereka terdaftar sebagai calon dengan nomor urut atas (kerap disebut daftar calon jadi) maka probabilitas atau peluang untuk terpilih kemunginan besar. Ketiga, sistem MMM tidak memberlakukan kompensasi atau transferable vote, suatu penghitungan yang rumit dan diduga dalam beberapa kasus di lapangan dapat memicu keretakan dan konflik antarpartai dan antar kandidat yang dapat melibatkan pemilih sehingga relatif dapat mencegah pecahnya konflik horizontal.
Keempat, akibat jumlah partai sederhana atau ‘mayoritas yang moderat’ dalam sistem politik maka ada peluang untuk menurunkan biaya pengeluaran untuk anggaran publik dan biaya politik oleh pihak negara dan swasta serta perorangan kandidat pada saat pemilu dan pascapemilu. Kelima, sistem pemilu campuran MMM ini diduga akan menurunkan tingkat Golput pemilih ideologis. Kemunculan kandidat dalan mekanisme pencalonan distrik MMM memberi peluang bagi pemilih kalkulatif dan ideologis, menaruh harapan akan terjadinya perubahan politik yang lebih sehat. Hal ini tidak mungkin dapat dijamin pada sistem pemilu proporsional.
Desain Pemilu Paralel yang Ditawarkan 1. Pengertian Mixed Member Mayoritarian atau sistem pemilu paralel adalah sebuah pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengombinasikan sebagian prinsip pemilu proporsional dan distrik secara bersamaan. Sistem proporsional yang dimaksud adalah suatu proses pemilihan untuk memilih beberapa orang calon anggota DPR (multi member constituency) pada suatu daerah pemilihan tertentu oleh para konstituen atas dasar pilihan terhadap partai politik dan bukan calon (daftar tertutup). Sementara sistem distrik adalah suatu proses pemilihan untuk menentukan satu orang calon anggota DPR pada suatu daerah pemilihan (single member constituency) yang telah ditentukan oleh KPU atas dasar UU Pemilihan Umum. Cara kerja MMM, dalam setiap kertas suara (ballot) akan ada dua kolom dalam satu kertas suara (sebelah kiri untuk PR dan sebelah kanan untuk distrik), yaitu suara dengan daftar partai dan suara nominal perseorangan dengan daftar nama pada distrik. Seorang pemilih akan melakukan dua pilihan secara bersamaan terhadap calon-calon anggota DPR dari daftar tertutup (PR) dan calon anggota DPR dari distrik. Pilihan terhadap daftar tertutup (PR) harus paralel dengan calon anggota DPR di distrik dari partai yang sama. Sebagai ilustrasi, pemilih memilih Partai A pada daftar tertutup proporsional yang harus paralel dengan daftar calon distrik dari Partai A. Jika pemilih memilih pada daftar PR
158 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 149–166
calon Partai A dan pada daftar calon distrik Partai B, maka suaranya dianggap tidak sah.
2. Unsur Sistem Pemilu Paralel yang Harus Dipenuhi Sistem pemilu paralel ini dapat diimplementasikan, apabila ada pengaturan mengenai beberapa hal. Pertama, adanya penetapan komposisi kursi parlemen (DPR) yang akan dipilih berdasarkan sistem pemilu proporsional dan dipilih melalui sistem pemilu mayoritarian. Kedua, adanya besaran daerah pemilihan (district magnitude) yang diterapkan atau digunakan khususnya untuk PR dan Mayoritarian. Ketiga, adanya pengaturan penyebaran kursi yang akan dipilih (dalam hal ini pengaturan penyebaran kursi DPR) ke setiap provinsi dan daerah pemilihan proporsional dan mayoritarian. Keempat, bentuk kertas suara dan cara pemilihan (ballot); dan kelima adanya metode konversi suara partai menjadi kursi. Atas dasar itu, tahapan bekerjanya Sistem Pemilu Paralel adalah sebagai berikut: Penentuan perbandingan jumlah kursi PR dan Majoritarian
Penentuan besaran daerah pemilihan (district magnitude) Proporsional
Pemungutan suara dan penghitungan suara
Sebaran kursi PR dan Majoritarian ke sejumlah Provinsi
Konversi Suara Partai (PR) menjadi kursi
Penetapan Daerah Pemilihan dan jumlah kursi Proporsional dan Majoritarian
Konversi Suara Calon (Majoritarian) menjadi kursi
Gambar 2. Bagan Sistem Pemilu Pararel
3. Komposisi Kursi Distrik dan Proporsional DPR Pembagian kursi DPR antara distrik dan proporsional dalam sistem pemilu campuran tergantung pada pilihan politik setiap negara. Tidak ada rumus baku dalam pembagian jumlah kursi DPR yang akan dipilih secara proporsional dan yang akan dipilih secara distrik. Pembagian kursi DPR yang akan dipilih secara proporsional dan distrik juga tergantung pada pilihan elit politik dan konsensus politik. Walau demikian, dalam menentukan kompoisi
kursi DPR perlu memperhatikan alasan dan titik berat penggunaan sistem campuran. Di antara pertimbangan itu adalah upaya untuk memperbaiki kualitas rekrutmen pencalonan oleh partai politik, mempererat hubungan calon dengan konstituen, atau menumbuhkan pertanggungjawaban politik calon terhadap konstituen. Upaya perbaikan semacam itu juga dimaksudkan bukan semata-mata mencoba sistem pemilu yang baru, tetapi memiliki tujuantujuan tertentu. Dalam kasus Indonesia, tujuan itu dapat diarahkan untuk membenahi kualitas rekrutmen calon, akuntabilitas keterwakilan, pertanggungajwaban anggota DPR terpilih kepada konstituen dan mengarahkan agar ada partai pemenang pemilu serta pembatasan partai politik secara alamiah. Selain itu, alasan lainnya untuk menghindari disporposionalitas akibat lompatan perubahan sistem pemilu yang drastis. Oleh karena itu, tujuan yang paling utama penggunaan MMM adalah untuk menjawab persoalan fragmentasi politik yang diakibatkan oleh sistem proporsional sebagai dampak tidak adanya partai yang menjadi pemenang pemilu secara mayoritas. Kesulitan yang disebabkan oleh itu antara lain fragmentasi politik di parlemen yang terlalu tajam, dan dukungan partai yang memerintah di parlemen tidak kuat sehingga menyebabkan rapuhnya sistem presidensial. Pengalaman pemilu-pemilu selama era Reformasi (1999, 2004, dan 2009) memperlihatkan bahwa sistem PR yang digunakan tidak berhasil mendorong munculnya partai pemenang pemilu di atas 25%. Kecenderungan rata-rata partai politik yang menjadi pemenang pemilu hanya memperoleh suara antara 19 hingga 21 persen. Secara transisional dan gradual, komposisi kursi DPR atas dasar PR dan distrik perubahannya tidak dilakukan secara dramatis dan ekstrim. Titik berat MMM masih pada komposisi kursi proporsional yang lebih besar sekitar 70 persen, dan sisanya, 30 persen dipilih secara distrik. Transisi perubahan yang tidak ekstrem ini dimaksudkan agar tidak terjadi kegoncangan politik dan pertentangan politik dalam proses perubahan sistem.
Fisibilitas Sistem Pemilu Campuran ... | Moch. Nurhasim | 159
Tabel 2. Komposisi Kursi DPR (Proporsional dan Distrik) Jumlah Kursi DPR
560
Komposisi Transisi Tahap Pertama 70:30 Kursi dipilih melalui Kursi dipilih melalui Proporsional Distrik 392 168
Sumber: Disain yang disusun oleh kajian ini.
Melalui perubahan komposisi tersebut, diharapkan kurangnya akuntabilitas wakil rakyat pada kursi proporsional akan ditutupi oleh akuntabilitas wakil-wakil yang dipilih melalui jalur distrik. Asumsinya, wakil yang terpilih pada distrik memiliki kedekatan yang kuat antara anggota legislatif dengan konstituennya. Sebaliknya, kekurangan dari distrik juga akan ditutupi oleh kelebihan dari proporsional.
4. Besaran Daerah Pemilihan (District magnitude) District Magnitude (besaran daerah pemilihan) adalah jumlah wakil yang akan dipilih dari satu daerah pemilihan. Besaran daerah pemilihan adalah jumlah alokasi kursi buat satu daerah pemilihan, atau dengan kata lain, penetapan jumlah wakil rakyat untuk mewakili sejumlah penduduk/pemilih dalam satu daerah pemilihan. District magnitude juga menyangkut bukan berapa banyak pemilih tinggal di suatu daerah pemilihan, melainkan berapa banyak wakil yang dicalonkan untuk dipilih di suatu daerah pemilihan. Dengan demikian, district magnitude mengacu pada jumlah wakil yang akan dipilih dari suatu daerah pemilihan (number of representatives elected from the district). Wakil yang akan dipilih tersebut dapat berjumlah tunggal/ satu (single member constituency) atau berjumlah banyak (multimember constituency). Tingginya sebaran kursi bagaimanapun akan memengaruhi pada bentuk pluralitas partai yang dihasilkan pada Sistem Pemilu Proporsional. Pada Dapil yang luas dengan kuota kursi yang cenderung besar (10-12 kursi) tingkat kemungkinan pluralitas meluas akan terjadi, ketimbang dengan dapil yang sempit dengan kuota kursi yang kecil (2-5 kursi), yang cenderung mendorong tumbuhnya pluralitas terbatas. Untuk kebutuhan percepatan dalam mendorong multipartai yang moderat, selain
dapat didorong melalui prinsip distrik yang diterapkan dalam sistem campuran, pembatasan besaran daerah pemilihan proporsional juga perlu dilakukan. Besaran daerah pemilihan PR harus memiliki nilai yang setara dan konsisten antara daerah pemilihan yang satu dengan daerah pemilihan yang lain. Dalam konteks Indonesia, besaran daerah pemilihan PR yang diterapkan sejak Pemilu 1999, 2004, 2009, dan 2014 cenderung tidak setara dan tidak konsisten, karena untuk provinsi tertentu di luar Pulau Jawa seperti Papua Barat, Papua, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Kepulauan Bangka Belitung, Bengkulu, Kalimantan Tengah dan Riau, justru berlaku district magnitude yang kecil (sama dengan 3 dan antara 3-5). Sementara untuk wilayah Pulau Jawa seperti Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DIY, justru berlaku district magnitude yang besar. Sisanya, berlaku prinsip district magnitude yang sedang.10 Maknanya, kompetisi yang berat justru terjadi di daerah luar Pulau Jawa dibandingkan dengan sejumlah daerah di Pulau Jawa. Padahal dari segi infrastruktur partai, tingkat pendidikan, dan kepadatan jumlah pemilu amat berbeda. Secara konseptual district magnitude yang digunakan adalah besar (3-10), pada kenyataannya besaran daerah pemilihan itu hanya dapat berlaku di wilayah Jawa. Sementara di luar Pulau Jawa justru berlaku daerah pemilihan yang kecil (3 dan antara 3-5). Ketidakadilan ini harus dibenahi dengan menggunakan prinsip district magnitude yang setara dan konsisten. Kajian ini menilai bahwa dengan komposisi kursi DPR 70% (PR), selain untuk membenahi kesetaraan besaran daerah pemilihan, dan agar kursi tidak mengalami penyebaran ke partaipartai secara ekstrem, pilihan penggunaan besaran kursi daerah pemilihan proporsional harus ditentukan. Dalam simulasi yang dilakukan oleh kajian ini, district magnitude PR diarahkan pada tipe yang kecil (2-5) kursi. Selain dapat membenahi prinsip pembagian district magnitude yang setara, penggunaan district magnitude PR juga dimaksudkan untuk mendorong kompetisi Untuk hal ini dapat dilihat pada tabel 6 khususnya pembagian jumlah dapil dan jumlah kursi DPR pada Pemilu 2014 yang akan berlangsung pada 9 April 2014. 10
160 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 149–166
yang sama antara calon-calon anggota legislatif di Pulau Jawa dan Pulau Luar Jawa yang selama ini tidak terjadi. Sebab persaingan di daerah pemilihan Pulau Jawa justru lebih longgar ketimbang di sejumlah daerah di luar Pulau Jawa yang kursinya lebih kecil. Konsekuensi lain dari penggunaan Sistem Pemilu MMM di antaranya juga berupaya mendekatkan besaran daerah pemilihan PR dengan distrik. Dengan besaran daerah pemilihan PR yang kecil akan mendorong partai-partai politik melakukan proses rekrutmen secara ketat, matang, dan berkualitas. Dengan district magnitude PR (2-5) kursi, artinya, setiap daerah pemilihan minimal memiliki dua (2) kursi dan maksimal lima (5) kursi. Selain dapat melakukan pembenahan tersebut, keuntungan lainnya adalah adanya kompetisi yang tinggi dengan preferensi pemilih yang kecil, sehingga pemilih (konstituen) dapat mempertimbangkan kualitas calon-calon yang akan dipilihnya. Perubahan besaran daerah pemilihan PR (2-5) juga akan mendorong terciptanya multipartai yang moderat. Kompetisi yang ketat secara alamiah dapat memperkecil jumlah partai politik yang duduk di parlemen. Mengapa secara alamiah, karena dalam penggunaan MMM ini tidak berlaku ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Pembatasan secara alamiah dilakukan melalui penggunaan distrik dan daerah pemilihan PR yang dipersempit yang setara antara satu daerah pemilihan dengan daerah pemilihan lainnya. Sementara itu, penerapan distrik dalam MMM suka atau tidak suka akan mendorong partai-partai politik untuk mencalonkan caloncalon anggota legislatif yang berkualitas, dikenal dan telah memiliki basis dukungan dari konstituen. Peluang tokoh-tokoh lokal yang sudah dikenal oleh konstituen sangat besar jika partai tersebut ingin memenangkan pertarungan pada suatu distrik. Hal ini yang terabaikan pada praktik PR yang selama ini diterapkan oleh Indonesia. Tokoh-tokoh lokal hanya difungsikan sebagai “vote getter,” kurang diberi kesempatan utama dan pertama sebagai calon yang akan terpilih. Praktik dominasi orang-orang dari pusat dan pengurus partai dalam praktik PR beberapa kali pemilu tentu akan dapat dibenahi. Dengan kata lain, penerapan distrik sangat
memungkinkan calon-calon dari daerah untuk tampil sebagai wakil dari distrik tersebut. Daerah pemilihan untuk proporsional dan distrik anggota DPR adalah provinsi dan/atau gabungan dari kabupaten dan/atau kota di provinsi tersebut dengan rumus M=1. Dari pembagian daerah pemilihan ini, konsekuensinya ada satu provinsi yang memiliki lebih dari satu daerah pemilihan proporsional dan lebih dari satu daerah pemilihan distrik.
5. Penyebaran Jumlah Kursi DPR Proporsional dan Distrik Setelah adanya besaran daerah pemilihan (district magnitude) langkah berikutnya adalah penyebaran kursi dari 560 kursi DPR sesuai dengan perbandingan 70:30 ke setiap provinsi untuk menentukan berapa jumlah kursi yang diperoleh oleh tiap-tiap provinsi. Sebab tanpa ada proses ini, tidak akan dapat ditentukan daerah pemilihan (Dapil) Pemilu Proporsional dan Distrik Mayoritariannya sebagaimana yang telah dijelaskan pada tahapan di atas. Penentuan besaran daerah pemilihan proporsional (PR) dan Mayoritarian (M) harus menganut prinsip berkeadilan (equality). Prinsip ini pada dasarnya adalah sebuah proses pengaturan penyebaran jumlah kursi DPR untuk dipilih melalui PR dan M di setiap daerah pemilihan PR dan M secara adil, dengan konstanta yang tetap diberlakukan dalam proses penyebaran jumlah kursi parlemen yang akan dipilih. Atas dasar prinsip itu, metode yang digunakan dalam Sistem Pemilu Paralel ini adalah metode kombinasi antara kuota minimal dan rumus d’Hondt Divisor.11 Mengapa dua kombinasi, karena pertama sesuai dengan besaran daerah pemilihan PR yang telah ditetapkan (2-5) itu berarti pertama-tama setiap provinsi harus diberikan kuota minimal 2 kursi. Kursi sisanya akan diterapkan dengan prinsip rumus d’Hondt Divisor. Demikian pula dengan penyebaran untuk kursi yang akan dipilih melalui Mayoritarian di Dalam pembagian kursi proporsional dan distrik, tim menggunakan rumus d’Hond Divisor (1,2,3.....dst) dengan alasan penggunaan sistem d’Hond divisor lebih mendorong ke arah terbentuknya multipartai yang moderat. Penggunaan rumus ini secara konsisten digunakan pada tahap pembagian kursi DPR Proporsional dan Distrik, serta pada tahap konversi suara menjadi kursi partai pada daftar PR. 11
Fisibilitas Sistem Pemilu Campuran ... | Moch. Nurhasim | 161
setiap daerah pemilihan. Karena besaran district magnitude mayoritarian adalah M=1, maka pada tahap pertama, masing-masing provinsi diberikan kuota 1 kursi. Sisanya ditentukan dengan menggunakan rumus d’Hondt Divisor. Tabel 3. Tahapan penyebaran jumlah kursi DPR (PR dan M) di Setiap Provinsi/Daerah Pemilihan Sistem PR
Jumlah Mayoritarian
Jumlah
Tahap 1 Masing-masing provinsi memperoleh kuota awal 2 kursi 66 kursi (33 provinsi) Masing-masing provinsi memperoleh kuota awal 1 kursi 33 kursi (33 provinsi)
Tahap 2 Penentuan kursi selebihnya (326 kursi) melalui rumus d’Hond Divisor 326 kursi Penentuan kursi selebihnya (135) kursi melalui rumus d’Hond Divisor
Sumber: Tabel dibuat oleh tim kajian
Adapun tahapan-tahapan sebagai berikut: A. Pembagian Kuota PR Anggota DPR (70%) atau setara dengan 392 kursi. 1. Tahap 1: tentukan nilai 1 kursi anggota DPR, dengan rumus jumlah penduduk/kursi proporsional anggota DPR. 2. Tahap 2: memberikan 2 kursi untuk masing-masing provinsi (karena penentuan daerah pemilihan telah ditetapkan 2-5 kursi. Yang berarti setiap daerah pemilihan minimal memperoleh dua kursi dan maksimal lima kursi). Jumlah kursi yang sudah dibagi pada tahap ini sebanyak 66 kursi (masih sisa 326 kursi). 3. Tahap 3: Menentukan jumlah penduduk baru dengan cara: mengurangi jumlah penduduk awal dengan nilai 2 kursi. 4. Tahap 4: Membagi jumlah penduduk baru dengan rumus d’Hondt Divisor (1,2,3.........dst sampai habis). 5. Tahap 5: Menentukan peringkat hasil penghitungan d’Hondt Divisor. Peringkat 1-326 itulah yang memperoleh kuota kursi untuk masing-masing provinsi. B. Pembagian Kuota Distrik Anggota DPR (30%) atau setara dengan 168 kursi.
1. Tahap 1: tentukan nilai 1 kursi anggota DPR, dengan rumus jumlah penduduk/kursi distrik anggota DPR. 2. Tahap 2: memberikan 1 kursi untuk masing-masing provinsi (karena pada prinsipnya setiap provinsi menerima kuota 1 kursi). Sehingga pada tahap ini kuota kursi distrik yang telah dibagi sebanyak 33 kursi (sisa 138 kursi). 3. Tahap 3: Menentukan jumlah penduduk baru dengan cara: mengurangi jumlah penduduk awal dengan nilai 1 kursi distrik. 4. Tahap 4: Membagi jumlah penduduk baru dengan rumus d’Hondt Divisor (1,2,3.........dst sampai habis). 5. Tahap 5: Penentuan peringkat hasil penghitungan D’Hondt Divisor. Peringkat 1-135 itulah yang memperoleh kuota kursi untuk masing-masing provinsi.
6. Penentuan Jumlah Daerah Pemilihan Proporsional dan Distrik Jumlah dapil Proporsional ditentukan atas dasar prinsip kisaran kursi besaran daerah pemilihan yang telah ditetapkan. Kisaran kursinya adalah 2-5, artinya setiap daerah pemilihan secara konsisten diberlakukan masing-masing daerah pemilihan maksimal 5 kursi. Sehingga diperoleh rumus: jumlah kuota kursi provinsi dibagi kisaran kursi maksimal dari pemilihan (jumlah kuota kursi provinsi/5 kursi). Hasilnya adalah jumlah daerah pemilihan di setiap provinsi. Sementara itu, jumlah daerah pemilihan distrik karena dalam MMM ini mengunakan single member constituency, maka jumlah sebaran kuota kursi setiap provinsi sekaligus menunjukkan jumlah distriknya (atau terdapat 168 distrik). Hasil simulasi pembagian kuota kursi 70% PR dan 30% Mayoritarian yang telah dilakukan oleh tim, secara garis besar dapat dibandingkan perbedaannya dengan kuota kursi Pemilu 2014 sebagai berikut:
162 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 149–166
Tabel 4. Perbandingan pembagian Dapil Pemilu 2014 dengan Dapil Campuran Hasil Simulasi Tim Keterangan: Jumlah Anggota DPR 2014: 560 (Sistem Proporsional) Simulasi TIM: Proporsional (392) dan Distrik (168) Pemilu 2014
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Kep. Bangka Belitung Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Jumlah
Jumlah Dapil
Jumlah Kursi
Jumlah Kursi PR
2 3 2 2 1 1 2 1 1 2 3 11 3 10 1 11 1 1 2 1 1 2 1 1 1 1 3 1 1 1 1 1 1 77
13 30 14 11 3 7 17 3 4 18 21 91 22 77 8 87 9 10 13 10 6 11 8 6 3 6 24 5 3 4 3 10 3 560
8 24 9 10 2 5 13 2 3 15 15 64 16 52 5 60 6 8 8 8 4 6 6 4 2 4 15 4 2 2 2 6 2 392
Simulasi TIM dengan komposisi 70:30 Jumlah Jumlah Dapil PR* Dapil Distrik 2 5 2 2 1 1 2 1 1 3 3 12 3 10 1 12 2 2 2 2 1 2 2 1 1 1 3 1 1 1 1 1 1 85
4 10 4 4 3 6 2 6 1 2 6 24 20 3 23 6 3 4 4 4 2 3 3 2 2 5 2 1 2 2 1 3 1 168
Jumlah Kursi Distrik 4 10 4 4 3 6 2 6 1 2 6 24 20 3 23 6 3 4 4 4 2 3 3 2 2 5 2 1 2 2 1 3 1 168
* Jumlah dapil Proporsional ditentukan atas dasar prinsip kisaran kursi besaran daerah pemilihan yang telah ditetapkan. Kisaran kursinya adalah 2-5, artinya setiap daerah pemilihan secara konsisten diberlakukan masingmasing daerah pemilihan maksimal 5 kursi. Sehingga diperoleh rumus: jumlah kuota kursi provinsi dibagi kisaran kursi maksimal dari pemilihan (jumlah kuota kursi provinsi/5 kursi). Hasilnya adalah jumlah daerah pemilihan di setiap provinsi.
Dari simulasi yang dilakukan oleh kajian ini, terlihat bahwa ada perbedaan yang signifikan antara distribusi kursi PR dan Distrik dan daerah pemilihan untuk setiap provinsi dengan pembagian kuota dan distribusi kursi pada Pemilu 2014. Besaran daerah pemilihan (2-5) melahirkan 85 daerah pemilihan dengan jumlah kursi sebanyak 392 dan 168 distrik. Dari segi proporsi antara Pulau Jawa dan Luar Jawa relatif seimbang, untuk PR proporsinya 54,33 % wilayah
Pulau Jawa, dan 45,66% wilayah Pulau Luar Jawa. Sementara untuk pembagian distriknya kebalikannya, untuk distribusi kursi DPR distrik di Luar Pulau Jawa sebanyak 55,95% dan Pulau Jawa sebanyak 44%. Hal ini disebabkan karena besaran wilayah Pulau Luar Jawa lebih banyak dan lebih luas dibandingkan dengan Pulau Jawa. Dari simulai perbandingan dapil pada tabel 2 dan tabel 8 di atas, hasil simulasi yang dilakukan oleh tim lebih menunjukkan nilai yang setara dalam
Fisibilitas Sistem Pemilu Campuran ... | Moch. Nurhasim | 163
besaran daerah pemilihan (district magnitude) dibandingkan dengan besaran daerah pemilihan pada Pemilu 2014.
7. Konversi Suara Partai menjadi Kursi Ada dua jenis konversi suara dalam sistem pemilu paralel (MMM) yakni suara distrik dan suara proporsional (suara partai). Oleh karena itu, dalam desain ini juga ada dua jenis konversi suara pemilih baik ke partai (list tier) maupun ke daftar orang (nominal tier) pada distrik.
A. Nominal Tier pada Distrik Dalam desain ini untuk nominal tier dianut prinsip single member constituency atau berwakil tunggal. Oleh karena itu, anggota DPR yang menjadi pemenang pada nominal tier berlaku prinsip electoral system first past the post (FPTP) calon di distrik yang memperoleh suara terbanyak adalah calon yang terpilih sebagai anggota DPR yang mewakili distrik tersebut. Satu distrik adalah satu orang yang terpilih.
Tabel 5. Simulasi Konversi Perolehan Suara Partai dengan rumus D’Hondt Divisor untuk PR Nama Partai Partai A Partai B Partai C Partai D Partai E Partai F
Perolehan Suara 48 25 13 9 4 1
Pembagian dengan rumus d’Hondt Divisor 1 2 3 4 5 48 24 16 12 9,6 25 12,5 8,33 6,25 5 13 6,5 4,33 3,25 2,6 9 4,5 3 2,25 1,8 4 2 1,33 1 0,8 1 0,5 0,33 0,25 0,2
Jumlah Perolehan Suara : 100 persen Kursi : 6
Hasil peringkatan (terbesar ke terkecil) pembagian dengan d’Hondt Divisor untuk memperoleh 6 kursi adalah (urutan tertinggi 1-6). Tabel 6. Ranking dan Perolehan Kursi No. Kursi 1 2 3 4 5 6
Ranking hasil pembagaian d’Hond Formula 48 25 24 16 13 12,5
Partai
Perolehan Kursi
Jumlah
Partai A Partai B Partai A Partai A Partai C Partai B
Partai A Partai B Partai C
3 2 1
6
B. List Tier pada Proporsional Sementara itu untuk calon yang terpilih pada PR, tahapannya adalah pertama-tama dilakukan konversi suara menjadi kursi partai; dan kedua, dari kursi partai itulah akan ditentukan siapa yang akan menduduki kursi yang diperoleh oleh partai politik di suatu daerah pemilihan sesuai dengan daftar tertutup yang telah disusun oleh partai. Proses konversi suara menjadi kursi partai digunakan model rumus d’Hondt Divisor (dengan bilangan pembagi 1,2,3....dst).12 Tahapan konversi suara menjadi kursi partai (Proporsional) adalah sebagai berikut:
a. Masing-masing perolehan suara partai politik dijumlahkan.
b. Tahap berikutnya: bagi masing-masing perolehan suara partai tersebut dengan rumus d’Hondt Divisor (1,2,3....dst).
c. Tahap berikutnya adalah melakukan peringkatan hasil pembagian perolehan suara partai dengan rumus d’Hondt Divisor (1,2,3....dst).
12
8. Tata Cara/Teknik Penghitungan dan Penentuan Calon Teknik penghitungan, pada daerah dengan single member distrik (daftar nominal), tentu berlaku prinsip distrik (pemenang akan mengambil kursi dengan mekanisme sistem ranking), sedangkan untuk sistem proporsionalnya dapat menggunakan rumusan d’Hondt Divisor. Sementara itu, untuk penentuan calon yang paling mendasar terletak pada daftar proporsional tertutup, bagaimana sebenarnya partai politik memperoleh kursi yang akan ditransformasikan menjadi miliki calon tertentu pada sebuah partai politik. Mekanisme ini ditentukan pada tingkat internal partai, karena partailah yang berhak menentukan suara partai tersebut yang akan jatuh pada uratan kursi pertama, kedua, dan seterusnya. Sedangkan yang menang pada distrik secara otomatis akan menjadi calon terpilih. Dalam menjaga kualitas demokrasi dan kejujuran serta keadilan pemilu MMM, basis penghitungan suara didasarkan pada basis data TPS dan tidak didasarkan pada basis data pemilihan yang sifatnya berjenjang.
Ibid., hlm. 29-32.
164 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 149–166
9. Kertas Suara dan Pemberian Suara Kertas suara (ballot) dalam sistem pemilu paralel hanya menggunakan satu jenis kertas suara. Hal ini berkaitan dengan sah tidaknya pemberian suara oleh pemilih. Dalam MMM, suara dianggap sah apabila ada hubungan dalam memilih oleh seorang pemilih antara daftar proporsional (partai) dengan calon distrik dari partai yang bersangkutan. Sebagai contoh, jika seorang memilih partai A (pada daftar proporsionalnya) maka calon distrik yang harus dipilih adalah calon dari partai A. Jika pada calon distrik pemilih tersebut memilih calon dari partai lain (Partai B, C atau D) maka suara tersebut dinyatakan tidak sah.
Penutup: Beranikah Indonesia Beralih ke Sistem Pemilu Paralel Sebagaimana diuraikan sebelumnya redesign sistem pemilu dari proporsional menjadi sistem MMM pada dasarnya bertujuan untuk melakukan penyederhanaan partai, terciptanya akuntabilitas, representasi keterwakilan politik hasil pemilu, dan mendorong efektivitas pemerintahan. Keberhasilan penerapan sistem MMM sebagai pengganti sistem proporsional hanya akan berjalan dengan baik di Indonesia manakala ada good will dari DPR dan pemerintah untuk secara sungguh-sungguh mengkaji sistem pemilu yang terbaik yang cocok bagi Indonesia dengan parameter tujuan yang ingin dikehendaki. Dalam konteks ini, tim P2P LIPI memandang bahwa Sistem Pemilu Paralel dapat menjawab sejumlah kebutuhan seperti yang telah disampaikan di atas yaitu, membenahi kelemahan mendasar sistem pemilu proporsional, menciptakan pemenang mayoritas minimal di DPR, menyederhanakan partai secara alamiah, yang pada akhirnya akan memperkuat sistem presidensial. Pembuktian atas bekerjanya Sistem Pemilu Paralel di atas telah diuji coba oleh tim peneliti dengan melakukan simulasi menggunakan data Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 yang hasilnya antara lain sesuai dengan asumsi awal pada saat proses pencarian, bahwa Sistem Pemilu Paralel dapat menciptakan pemenang pemilu mayoritas minimal di parlemen. Hasil simulasi dengan data Pemilu 2009 menunjukkan pemenang pemilu memperoleh 36% suara, sedangkan hasil simulasi
dengan data Pemilu 2014 menggambarkan pemenang pemilu memperoleh 26% suara. Dalam konteks mencari jalan keluar untuk membenahi kelemahan sistem pemilu di Indonesia, tim kajian pemilu P2P LIPI bukan saja telah menghasilkan kajian akademik dan teoretis sejak 2012. Pada kajian 2013 dan 2014 tim juga telah mengaplikasikan cara kerja Sistem Pemilu Paralel yang dibuktikan dengan simulai dengan menggunakan data Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 untuk menjawab keragu-raguan pelbagai pihak bahwa Sistem Pemilu Paralel tidak cocok bagi Indonesia.
Daftar Pustaka Buku Asfar, Muhammad (Ed.). 2002. Model-model Sistem Pemilihan di Indonesia. Surabaya: Pusat Studi Demokrasi dan HAM bekerja sama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia. Basyar, M. Hamdan dan Freddy L Tobing (Eds.). 2010. Kepemimpinan Nasional, Demokrasi dan Tantangan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bhakti, Ikrar Nusa dan Riza Sihbudi (Eds.). 2001. Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat. Bandung: Mizan. Cheibub, Jose Antonio. 2007. Presidentialism, Parliamentarism, and Democracy. New York: Cambridge. Colomer, Josep M. (Ed.). 2004. Handbook of Electoral System Choice. New York: Palgrave Macmillan. Diamond, Larry dan Marc F Plattner (Eds.). 2006. Electoral Systems and Democracy. Baltimore: The Johns Hopkins University Press. Ferrara, Federico, Erik S. Herron, dan Misa Nishikawa. 2005. Mixed Electoral Systems Contamination and Its Consequences. New York: Palgrav Macmillian. Gallagher, Michale dan Mitchell, Palu. 2005. The Politics of Electoral System. New York: Oxford University Press. Haris, Syamsuddin (Ed.). 2005. Pemilu Langsung di Tengah Oligarkhi Partai: Proses Nominasi dan Seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004. Jakarta: Gramedia. IDEA. 2005. Electoral System Design: An Overview of the New International IDEA Handbook. Sweden: The International IDEA.
Fisibilitas Sistem Pemilu Campuran ... | Moch. Nurhasim | 165
Lijphart, Arend (Ed.). 1995. Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial. Terjemahan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Linz, Juan dan Velensuela, Arturo (Eds.). 1994. The Failure of Presidensial Demokracy: The Case of Latin America. Jilid 2. Baltimore, MD: The John Hopkins University Press. Linz, Juan J. et.al. 2001. Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan Negaranegara Lain. Bandung: Mizan. Pamungkas, Sigit. 2011. Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism. Renwick, Alan. 2010. the Politics of Electoral Reform: Changging the Rule of Democracy. New York: Cambridge. Shugart, Matthew Soberg dan Martin P Wattenberg (Eds.). 2001. Mixed-Member Electoral Systems The Best of Both Worlds?. New York: Oxford University Press.
Jurnal Partnership Policy Paper No. 3/2011. Membangun Pemerintahan Presidensial yang Efektif Melalui Desain Sistem Pemilihan Umum.
166 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 149–166
MEMAHAMI PERSPEKTIF TIONGKOK DALAM UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA LAUT CINA SELATAN UNDERSTANDING THE CHINESE PERSPECTIVE ON SOLVING DISPUTES IN THE SOUTH CHINA SEA Faudzan Farhana Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 26 Februari 2014; direvisi: 25 Mei 2014; disetujui: 25 Juni 2014 Judul Buku Pengarang Penerbit Tahun Terbit Tebal
: Solving Disputes for Regional Cooperation and Development in the South China Sea: A Chinese Perspective : Wu Sichun : Chandos Publishing : 2013 : xxii + 211 halaman Abstract
This review is about a Chinese perspective towards development of territorial disputes in the South China Sea (SCS). As one of the key actor in the disputes, it is very important to understand China’s perspective in order to predict its policies, regarding to the effort of disputes settlement and development of cooperation in the region. From this book we can concluded that China claims its sovereignty over four group of islands in SCS and sea around it based on three reason: (1) historical rights that consist of discovery, naming, continuous act of using the name, and protest and fight towards foreign invasion, (2) continuous application of administrative authority, and (3) recognition of China’s sovereignty from international community and even from some of the claimant states. Further more in the efforts of disputes settlement, China adviced that all of the parties should work together towards a peaceful resolution based on four principles: (1) peaceful uses of the sea, (2) step-by-step efforts, (3) equal sharing of benefits, and (4) environmentally friendly exploration. Keywords: Chinese perspective, South China Sea, territorial disputes, regional cooperation. Abstrak Ulasan buku ini adalah tentang sudut pandang Tiongkok terhadap perkembangan isu sengketa kewilayahan di Laut Cina Selatan (LCS). Sebagai salah satu aktor kunci dalam sengketa ini, sangatlah penting untuk memahami pandangan Tiongkok agar dapat memprediksi kebijakan politiknya terkait dengan upaya penyelesaian sengketa secara damai dan pengembangan kerja sama di kawasan. Tiongkok mengklaim kedaulatannya atas keempat grup kepulauan di LCS dan lautan di sekelilingnya berdasarkan tiga hal: (1) hak-hak historis yang mencakup penemuan, penamaan, penggunaan nama yang berkelanjutan, dan tindakan protes dan perlawanan terhadap invasi asing, (2) penyelenggaraan kekuasaan administratif yang berkelanjutan, serta (3) adanya pengakuan atas kedaulatan Tiongkok dari komunitas internasional dan bahkan juga dari beberapa negara pengklaim lainnya. Sementara itu, dalam upaya penyelesaian sengketa ini disarankan agar seluruh pihak dapat bekerjasama dalam menemukan resolusi damai berdasarkan empat prinsip: (1) pengelolaan laut secara damai, (2) upaya selangkah-demi-selangkah, (3) pembagian keuntungan yang adil dan seimbang, serta (4) pengeksplorasian yang ramah lingkungan. Kata Kunci: perspektif Tiongkok, Laut Cina Selatan, sengketa wilayah, kerja sama regional.
Memahami Perspektif Tiongkok ... | Faudzan Farhana | 167
Pendahuluan Dalam menyelesaikan sebuah sengketa, yang menjadi prioritas adalah menyelesaikan sengketa itu, bukan memberikan penghakiman.1 Berbagai pihak, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung, dalam sengketa wilayah di Laut Cina Selatan (LCS) selama beberapa dekade ini terus berproses dalam mencari bentuk penyelesaian sengketa yang paling baik untuk keamanan dan stabilitas kawasan. Republik Rakyat Tiongkok (RRT) adalah negara pertama yang mengklaim wilayah perairan di dalam ‘sembilan garis putus-putus’2 (nine-dashed line) yang tercantum pada peta yang diproduksi oleh Departemen Geografi Kementerian Dalam Negeri Republik Tiongkok pada tahun 1947.3 Setelah itu, pada tahun 1951, di dalam Konferensi Perdamaian San Fransisco, Perdana Menteri Vietnam Selatan mengeluarkan pernyataan tentang kepemilikan Vietnam terhadap Kepulauan Spratly dan Paracel. Dan di tahun 1970an, Brunei dan Malaysia turut serta dalam pertikaian dengan mengklaim Landas Kontinen di LCS berdasarkan Hukum Laut Internasional (United Nation Convention on the Law of the Sea –UNCLOS).4 Melihat potensi terjadinya konflik di kawasan, berbagai upaya dilakukan untuk mengelola konflik dan penyelesaian sengketa secara damai terhadap isu ini. Usaha untuk mengembangkan kerja sama keamanan regional, penyelesaian sengketa, dan pengelolaan konflik serta pengembangan di LCS selama ini terbagi atas: pendekatan formal melalui forum ASEAN, pendekatan informal melalui institusi akademik, World Trade Organization, Chapter 3: Settling Disputes, http:// www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/utw_chap3_e. pdf, diakses pada tanggal 19 Mei 2014. 1
Masih ada ketidakseragaman penggunaan istilah antara nine-dash lines, nine-dotted lines, dan U-shaped line dalam berbagai tulisan tentang batas wilayah RRT di wilayah Laut Cina Selatan. Dalam buku ini juga Prof. Wu Sichun tidak menegaskan penggunaan istilah yang mana yang lebih benar, akan tetapi agar tidak membingungkan pembaca maka istilah yang digunakan dalam ulasan ini adalah nine-dashed lines yang merupakan terjemahan langsung dari jiu duan xian yang berarti sembilan garis putus-putus. 2
Li Jinming dan Li Dexia, “The Dotted Line on the Chinese Map of the South China Sea: A Note,” Ocean Development and International Law 34, 2003, http://www.tandfonline.com/doi/ pdf/10.1080/00908320390221821. 3
4
Ibid.
dan pendekatan tidak resmi melalui pejabatpejabat resmi namun dalam kapasitas personal masing-masing.5 Pendekatan formal ini telah menghasilkan “Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea” (DoC) yang ditandatangani oleh Menteri-Menteri Luar Negeri ASEAN dan Tiongkok pada tahun 2002.6 Pada bulan Juli 2011 dalam ASEAN Regional Forum (ARF) kemudian lalu dikeluarkan pula “Guidelines for the Implementation of DoC.”7 Selain itu, ada kesepakatan antara Tiongkok dan Filipina (1995), dan Filipina dengan Vietnam (1996) dalam pembentukan Confidence Building Measures, kode etik di antara mereka.8 Pendekatan informal telah diinisiasi oleh Indonesia melalui Workshop Process on Managing Potential Conflict in the South China Sea sejak tahun 1989.9 Akan tetapi, meskipun upaya-upaya tersebut terus berjalan, potensi konflik terbuka terus mengancam kedamaian di kawasan LCS. Ketegangan kembali muncul ketika pertama kalinya Tiongkok mempublikasikan peta wilayahnya yang mencakup empat gugus kepulauan di LCS. Peta ini diperlihatkan ke publik internasional dengan cara dilampirkan di dalam Nota Verbal kepada United Nations Commission on the Limits of the Continental Shelf sebagai aksi protes terhadap misi kerja sama antara Vietnam dan Malaysia yang dilakukan di batas terluar landas kontinen mereka di Laut Cina Selatan (LCS).10 Aksi Tiongkok ini dilanjutkan Hasjim Djalal, “Dispute Settlement and Management Conflict in the South China Sea”, http://www.sr-indonesia.com/in-thejournal/view/dispute-settlement-and-conflict-management-inthe-south-china-sea, diakses pada tanggal 23 Mei 2014. 5
Carlyle A. Thayer, “ASEAN and China Consultations on a Code of Conduct of South China Sea: Prospects and Obstacles”, http://www.iacspsea.com/wp-content/uploads/2013/10/ThayerRussian-Academy-of-Sciences-SCS-Paper.pdf, diakses pada tanggal 23 Mei 2014. 6
Claire Taylor, “Military Balance in South East Asia”, www. parliament.uk/briefing-papers/rp11-79.pdf, diakses pada tanggal 24 Mei 2014. 7
8
Djalal, op.cit.
Hasjim Djalal dan Ian Townsend-Gault, “South China Sea Cooperation”, http://www.nst.com.my/opinion/columnist/ south-china-sea-cooperation-1.569022, diakses pada tanggal 23 Mei 2014. 9
Tran Truong Thuy, “China’s U-shaped Line in the South China Sea: Interpretations, Asserting Activities, and Reactions from Outside”, http://www.nghiencuubiendong.vn/trung-tam10
168 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 167–180
dengan adanya peningkatan aktivitas penggunaan militer dan kapal-kapal penjaga, kapal-kapal sipil, dan perahu nelayan untuk memperluas kehadirannya di dalam wilayah ini dan berusaha mengubah perairan di dalam garis tersebut menjadi Zona Maritim Tiongkok.11 Tindakan-tindakan dari Tiongkok ini menimbulkan beragam reaksi dari para pengamat, akademisi, dan ahli yang mengikuti perkembangan isu ini. Banyak yang menyayangkan tindakan yang seolah kontraproduktif dengan upayaupaya yang selama ini tengah dilakukan. Tentu saja hampir keseluruhan pihak yang menyayangkan aksi Tiongkok ini berasal dari luar Tiongkok yang sebagai negara berdaulat mempunyai pertimbangan dan perspektifnya sendiri. Buku berjudul “Solving Disputes for Regional Development and Cooperation in the South China Sea” ini ditulis oleh Wu Sichun dengan harapan dapat merepresentasikan sudut pandang Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mengenai permasalahan di LCS tersebut. Para pembaca yang tertarik pada isu ini pada umumnya bergantung pada literatur yang ditulis oleh para akademisi dari luar Tiongkok yang mungkin tidak benar-benar memahami perspektif Tiongkok sehingga kemudian akan menimbulkan pandangan yang bias atau bahkan menyesatkan. Sementara itu, sebagian besar literatur kebijakan politik Tiongkok dan perspektifnya dituliskan dalam bahasa Tionghoa. Akibatnya, terjadi kekosongan sudut pandang yang merepresentasikan kebijakan politik Tiongkok dalam literatur-literatur internasional. Kehadiran buku ini tidak lain adalah untuk mengisi kekosongan tersebut dalam literatur berbahasa Inggris yang telah ada. Buku ini sendiri berfokus pada pembentukan mekanisme pengelolaan konflik dan penyelesaian sengketa. Oleh Dr. Wu, buku ini diharapkan dapat dijadikan referensi oleh para politisi dan pejabat yang
du-lieu-bien-dong/doc_download/596-tran-truong-thuy-chinasu-shaped-line-in-the-south-china-sea-possible-interpretationsasserting-activities-and-reactions-from-outside, diakses pada tanggal 20 Mei 2014. Jerry Bonkowski, “China Ciptakan Zona Maritim untuk Membatasi Nelayan Asing di Propinsi Hainan”, http://apdforum. com/id/article/rmiap/articles/online/features/2013/12/18/chinafishing-zone, diakses pada tanggal 23 Mei 2014. 11
berwenang dalam pembentukan mekanisme tersebut.
Memahami Perspektif Tiongkok dalam Upaya Penyelesaian Sengketa LCS Secara garis besar penulis buku ini membagi bukunya ke dalam tujuh bab yang akan sangat menarik bagi siapa saja yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai perspektif Tiongkok dalam sengketa di LCS. Diawali dengan bab pengantar yang menekankan pentingnya memahami perspektif Tiongkok terhadap sengketa LCS, dan juga untuk mempelajari bagaimana Tiongkok melakukan pendekatan terhadap masalah dan negara-negara tetangganya untuk memprediksi langkah dan kebijakannya di masa depan. Buku ini mendiskusikan tentang sengketa LCS dari perspektif Tiongkok dalam berbagai dimensi yakni dimensi sejarah, hukum, politik internasional, ekonomi, diplomasi, dan hubungan militer. Penulis buku ini berharap tidak hanya mendemonstrasikan posisi resmi Tiongkok mengenai kedaulatan dan sengketa maritimnya melainkan juga menganalisa faktor-faktor yang memunculkan peningkatan sengketa di LCS. Ketika merujuk pada berbagai formasi daratan di Laut Cina Selatan, kebanyakan literatur akan menyebutkan tiga gugusan kepulauan dan satu sungai di bawah laut, yakni Kepulauan Paracel (Xisha Qundao), Kepulauan Spratly (Nansha Qundao), Kepulauan Pratas (Dongsha Qundao), dan Macclesfield Bank (Zhongsa Qundao). Sebenarnya ada empat gugusan kepulauan lainnya yang terletak di sebelah barat daya LCS, yakni Kepulauan Anambas, Badas, Natuna, dan Tambelan. Akan tetapi, keempat gugusan ini tidak begitu menarik perhatian sebab secara umum keempatnya dikenal sebagai wilayah kedaulatan Indonesia, sehingga tidak dibahas secara lebih khusus dalam buku ini.12 Menurut Dr. Wu, Kepulauan Spratly (dalam bahasa Tionghoa: Nansha Qundao) merupakan pokok inti persoalan di LCS. Setidaknya ada lima negara yang mengklaim wilayah Kepulauan Spratly ini, Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam. Kelima negara di atas, kecuali Brunei Darussalam mempunyai klaim 12
Pernyataan ini tertulis di halaman 3 buku ini.
Memahami Perspektif Tiongkok ... | Faudzan Farhana | 169
dan pemberian nama terhadap pulau-pulau di kepulauan Spratly, sementara Brunei Darussalam hanya mengklaim wilayah laut di Kepulauan Spratly sebagai bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negaranya.13 Pembahasan di buku ini fokus pada sengketa di kepulauan ini. Selain itu, klaim maritim dianggap sangat relevan dengan sengketa terhadap kepulauan Spratly, sehingga klaim tumpang tindih terhadap zona maritim tersebut dideskripsikan dan dieksplorasi lebih jauh. Buku ini memaparkan secara cukup terperinci sejarah sengketa atas Kepulauan Spratly di antara Tiongkok dan negara-negara lainnya dengan harapan dapat menolong pembaca dalam memahami lebih baik perspektif Tiongkok terhadap kompleksitas LCS, termasuk kompetisi memperebutkan kedaulatan di atas pulau-pulau kecil, rezim kepulauan dan dampaknya terhadap penetapan batas maritim, tumpang tindih klaim maritim dan bagaimana negara-negara yang berdekatan dapat bekerjasama untuk mengeksploitasi sumber daya yang terdapat di LCS. Berdasarkan paparan mengenai sejarah dalam buku ini, dapat diketahui bahwa sebelum akhir tahun 1960an belum ada ketegangan yang mengemuka tentang Kepulauan Spratly, meskipun kepemilikannya telah diklaim oleh berbagai dinasti dan pemerintahan yang berbeda-beda baik dari pihak Tiongkok maupun Vietnam. Di antara tahun 1930an dan 1950an kepemilikannya sering beralih kepada negaranegara yang lainnya, seperti Prancis, Jepang, dan bahkan pihak swasta dari Filipina. Sejak tahun 1970an, Filipina dan Malaysia juga ikut serta dalam pertikaian ini. Sengketa dari berbagai negara kemudian semakin diperumit dengan adanya hak Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil berdasarkan United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Brunei pun menerbitkan peta dari landas kontinennya pada tahun 1988 untuk mengklaim 200 mil ZEE ini, sehingga mengakibatkan adanya tuntutan atas Karang Louisa (Nantong Jiao) dan Rifleman Bank (Nanwei Tan) dari Kepulauan Spratly. Sengketa mengenai yurisdiksi politik Tkr, “Sengketa Kepulauan Spratly, Potensi Konflik di Asia Tenggara”, http://militaryanalysisonline.blogspot.com/2013/09/ sengketa-kepulauan-spratly-potensi.html, diakses pada tanggal 23 Mei 2014. 13
dari Kepulauan Spratly pun meningkat, ketika Tiongkok, Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Taiwan masing-masing mulai mengadakan kehadiran manusia yang berkelanjutan di pulaupulau dan beberapa karang besar yang berbeda. Pos-pos penjagaan militer dan fasilitas-fasilitas lain menunjukkan keseriusan terhadap klaim kedaulatan mereka. Kepulauan ini sendiri sebenarnya bukan merupakan pulau yang layak huni, akan tetapi pulau ini memiliki banyak potensi sumber daya alam dan letak geografis yang sangat strategis. Kekayaan alam yang dimiliki membuat beberapa negara bersikeras untuk mengakui dan mengklaim wilayah tersebut. Selain itu, kawasan ini merupakan kawasan lintas laut yang sangat strategis sehingga mampu mendukung perekonomian negara. Merupakan pengetahuan umum bahwa LCS terletak pada posisi geostrategis yang penting. Sebagai leher dari Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, perairannya menghubungkan perdagangan negara-negara paling penting di Asia, Amerika, dan Eropa. Singapura dan Hong Kong, dua kota pelabuhan paling utama di dunia terletak di bagian utara dan selatannya. Fitur-fitur daratannya membentang sekitar 1.000 kilometer dari tenggara ke barat daya di LCS. 14 Pada hakikatnya, semua pelayaran penting dan jalur lalu lintas udara yang melewati LCS akan melalui atau mendekati atol-atol Kepulauan Spratly. Kedekatan kepulauan ini dengan wilayah pantai dari negara-negara pantai, dimana pelabuhan, kota, dan zona industri berkumpul, semakin menunjukkan kepentingan strategis kepulauan ini. Secara teoritis, kepemilikan atas Kepulauan Spratly akan berujung pada kontrol yang menyeluruh baik secara langsung maupun tidak langsung dari kebanyakan perlintasan dari Selat Malaka ke Jepang, dari Singapura ke Hong Kong, dan dari Guangzhou ke Manila, oleh karena itu fitur-fitur dari kepulauan ini memiliki andil yang sangat strategis di seluruh wilayah LCS. Selain posisinya yang sangat strategis, perairan ini juga berisi ekosistem laut dengan keanekaragaman hayati yang menakjubkan. Keanekaragaman ini mendukung industri 14
Ibid.
170 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 167–180
penangkapan ikan yang, sebagai timbal baliknya, bertanggungjawab dalam memenuhi kebutuhan jutaan orang. Lebih jauh lagi, wilayah ini disinyalir mengandung cadangan sumber daya energi dasar laut yang sangat besar. Kemungkinan ini menjadi daya tarik utama di era peningkatan kebutuhan energi seperti saat ini. Sementara cadangan energi dasar laut telah lama ditemukan dan masih dalam proses pengembangan di batas luar Laut Cina Timur, Laut Cina Selatan, dan Teluk Thailand, potensi keseluruhannya masih belum bisa dipastikan dan belum disadari sebagai konsekuensi dari sengketa yurisdiksi teritorial dan maritim yang secara terus menerus menjadi bagian dari perairan ini. Tentu saja, ruang maritim selalu dikarakteristikkan dengan banyaknya sengketa kedaulatan atas pulau-pulau kecil dan terpencil, bebatuan, dan karang-karang, dan lebar yang meskipun tidak selalu jelas, tumpang tindih klaim yurisdiksinya.15
Di dalam buku ini juga dipaparkan bahwa disepakatinya UNCLOS pada tahun 1982 juga merupakan faktor yang memperumit sengketa wilayah di LCS. UNCLOS mengkodifikasikan ‘sejumlah hak’ yang ditambahkan kepada negara yang memiliki kedaulatan wilayah atas pulau atau kepulauan. Yang paling penting adalah hak eksklusif untuk mengekploitasi sumber daya yang ada di dasar laut atau kepulauan. Berdasarkan UNCLOS negara yang memiliki kedaulatan wilayah atas pulau diperbolehkan untuk memiliki 12 mil laut wilayah dan 200 mil ZEE di sekitar pulau. Jika negara memiliki kedaulatan atas keseluruhan kepulauan dan menjadi negara kepulauan, maka negara tersebut mempunyai hak untuk menarik garis pangkal lurus di antara pulau-pulau terluar dan akan mempunyai kedaulatan atas sumber daya alam di dasar laut yang terletak di dalam garis pangkal lurus tersebut (Pasal 47 dan 49).
Di sisi lain, faktor lingkungan geopolitik kawasan juga menjadi faktor utama yang mempengaruhi proses sengketa atas LCS mulai dari tahun 1950an ke atas. Isu geopolitik meliputi kekuasaan politik di antara negara-negara pelaku utama –Tiongkok, Amerika Serikat, dan Uni Soviet (sekarang Rusia) – dan pengembangan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) sebagai organisasi kawasan. Setelah Perang Dunia II, secara ideologis dunia terbagi menjadi dua: dunia komunis, yang dipimpin oleh Uni Soviet, dan dunia non-komunis yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Pemulihan kembali pascaperang ini sangat mempengaruhi sengketa di Kepulauan Spratly. Meskipun Amerika Serikat dan Uni Soviet, tidak menduduki fitur apapun di kepulauan tersebut, mereka turut campur dalam sengketa ini sampai batas-batas tertentu. Keseimbangan kekuatan di wilayah LCS dapat secara langsung mempengaruhi keseimbangan kekuatan di kawasan Asia Pasifik dan keseluruhan tata kelola politik internasional.16
Implikasi dari kedaulatan wilayah atas pulau berdasarkan ayat 121 UNCLOS sangat jelas, keuntungan potensial dari minyak dan sumber daya gas akan cenderung menimbulkan sengketa wilayah ketika setiap negara kemudian berlomba untuk menguasai fitur-fitur daratan di lautan; dalam hal ini Kepulauan Spratly. Selain permasalahan tentang klaim tumpang tindih antar negara-negara yang bertetangga atau bersebelahan pantai di mana ZEE dan landas kontinennya akan terpengaruh, ada beberapa kelemahan lain dari UNCLOS yang berakibat pada ketidakcocokan pada praktik-praktik negara kapanpun peraturan-peraturan tersebut diberlakukan.
Hasjim Djalal dkk, “From Disputed Waters to Seas of Opportunity”, The National Bureau of Asian Research, NBR Special Report #30, Juli 2011. 15
Anu Krishnan, “South China Sea: Revival of the Cold War and Balace of Power?”, http://www.ipcs.org/article/china/ south-china-sea-revival-of-the-cold-war-and-balance-3809. html, diakses pada tanggal 24 Mei 2014. 16
Pertama, untuk mengakomodasi perhatian yang berbeda-beda dari seluruh negara peserta diskusi pada waktu pengkodifikasian UNCLOS, dibuatlah kompromi yang menghasilkan kalimatkalimat ambigu di dalam beberapa pasal. Negara-negara kemudian menerjermahkan dan mengejawantahkan pasal-pasal ini sesuai dengan kepentingan utama mereka masing-masing, dan inilah yang mengakibatkan ketidakcocokan atau bahkan konflik dalam penerjemahan atau pelaksanaan pasal. Kedua, terkait dengan penyelesaian sengketa terkait dengan penerjemahan dan pengaplikasian UNCLOS, Bab XV hanya menyediakan prinsip-prinsip umum,
Memahami Perspektif Tiongkok ... | Faudzan Farhana | 171
dan para pihak yang bersengketa dipersilakan untuk menerjemahkannya sesuai kebutuhan mereka. Ketidakseragaman penerjemahan dan pengaplikasian ini menimbulkan kontradiksi dalam hal pengaplikasiannya. Ketiga, UNCLOS tidak mengatur tentang “perairan historis” atau “hak historis”. Kurangnya pertimbangan tentang bukti-bukti historis dalam penentuan yurisdiksi maritim akan mengakibatkan kontradiksi antara UNCLOS dan prinsip-prinsip hukum internasional yang lain. Sebagai contohnya adalah kasus Kepulauan Spratly yang akan dibahas lebih lanjut di dalam bab 2. Bab 2 dari buku ini akan mengelaborasi argumen-argumen Tiongkok dalam klaimnya terhadap Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly. Tiongkok mengklaim kedaulatannya atas keempat grup kepulauan di LCS dan lautan di sekelilingnya berdasarkan tiga hal: (1) hak historis, (2) penyelenggaraan kekuasaan administratif yang berkelanjutan, serta (3) adanya pengakuan atas kedaulatan Tiongkok dari komunitas internasional dan bahkan juga dari beberapa negara pengklaim lainnya. UNCLOS tidak berisi ketentuan yang mengatur tentang pendefinisian hak-hak historis dan rezim yang terkait dalam hal penentuan kedaulatan atas sengketa wilayah. Meskipun demikian, menurut penulis buku ini, sejarah tidak dapat diabaikan, dan negara tidak dapat diharapkan untuk mengabaikan begitu saja hakhak tersebut ketika meratifikasi UNCLOS. “Hak Harus Didahulukan” berdasarkan preseden kasus seperti Libya-Tunisia 17 dan Eritrea-Yaman 18 menunjukkan bahwa meskipun rezim terkait masih baru, hak historis harus tetap dihormati dan
Untuk memahami lebih lanjut tentang kasus ini sebaiknya baca tulisan International Court of Justice, “Case Concerning Continental Shelf (Tunisia/Libyan Arab Jamahiriyah)”, http:// www.icj-cij.org/docket/index.php?sum=330&p1=3&p2=3&ca se=63&p3=5, diakses pada tanggal 24 Mei 2014. 17
Untuk memahami lebih lanjut tentang kasus lihat tulisan Barbara Kwiatkowska, “the Eritrea/Yemen Arbitration: Landmark Progress in the Acquisition of Territorial Sovereigntyand Equitable Maritime Boundary Delimitation”, IBRU Boundary and Security Bulletin 2000, https://www.dur. ac.uk/ibru/publications/download/%3Fid%3D164&sa=U&ei =a7t_U63nKcH5rAeoqYDQCg&ved=0CCwQFjAG&sig2=n MMGBHLBy_Nosn_-gZvv_w&usg=AFQjCNHUiMlA7oV N0K65ri5ZbLpT-42gbA, diakses pada tanggal 24 Mei 2014. 18
dipertimbangkan.19 Dari perspektif Tiongkok, faktor-faktor historis seperti penemuan, penamaan dan penggunaan nama secara berkelanjutan, dan praktik penyelenggaraan kekuasaan negara semuanya membentuk kedaulatan dan hak berdaulatnya atas keempat gugus kepulauan yang terdapat di dalam sembilan garis putus-putus di LCS. Bab ini bertujuan untuk menunjukkan bukti-bukti sejarah yang menjadi pokok dari klaim Tiongkok, dan juga mendiskusikan perbedaan antara konsep kewilayahan pramodern Tiongkok dan Barat. Klaim kedaulatan Tiongkok terhadap keempat gugus kepulauan di LCS atas hak historis berdasarkan faktor penemuan, penamaan, dan sejarah penyelenggaraan kekuasaan pemerintah yang telah berlangsung selama lebih dari 2.000 tahun. Menurut penulis buku ini, tidak akan ada negara pantai di sekitar wilayah LCS yang dapat menyediakan bukti lebih banyak dari Tiongkok untuk mendukung klaim kedaulatannya atas kepulauan tersebut. Dalam buku ini disebutkan bahwa negara-negara pengklaim lainnya tidak dapat diharapkan untuk menemukan catatan tertulis atau penemuan arkeologis dengan jumlah yang sebanding tentang LCS seperti yang dimiliki oleh kawasan kontinental Tiongkok karena bahkan ketika masih dalam penguasaan dinastidinasti Tiongkok, LCS selalu menjadi wilayah yang paling terpencil dan tidak berpenghuni di dalam peta kedaulatan Tiongkok. Hal yang menarik untuk diperhatikan di dalam bab ini adalah, meskipun para pakar Tiongkok telah sepakat bahwa Tiongkok merupakan negara pertama yang menemukan kepulauan-kepulauan di LCS, mereka belum sepakat tentang waktu pasti penemuannya. Catatan sejarah Tiongkok dikritisi karena tidak cukup persuasif dalam mendukung klaimnya atas ‘okupasi rutin, penyelenggaraan administrasi Untuk memahami lebih lanjut tentang “Hak Harus Didahulukan” ini lihat tulisan Clive R Symmons, “Rights and Jurisdiction Over Resources and Obligations of Coastal States: Validity of Historic Rights Claims”, http://nghiencuubiendong. vn/trung-tam-du-lieu-bien-dong/doc_download/876-clivesymmons-rights-and-jurisdiction-over-resources-andobligations-of-coastal-states-validity-of-historic-rightsclaims&sa=U&ei=Jr5_U_qzN8blrAej4CACw&ved=0CBsQ FjAA&sig2=f8vu3949YXT8B13TTJdMxg&usg=AFQjCN F8gbF1skOdp02DuWirZMHMxI6q7g, diakses pada tanggal 24 Mei 2014. 19
172 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 167–180
yang efektif atau penegasan kontrol kedaulatan’ atas Kepulauan Spratly.20 Akan tetapi, menurut buku ini, harus dipahami bahwa penyebab utama kelemahan dari bukti tersebut adalah karena konsep kewilayahan Tiongkok yang sangat kuno. Kedaulatan, menurut konsep kuno ini adalah berdasarkan loyalitas dari masyarakat yang dipimpin bukan sekedar batas nasional yang jelas sebagaimana yang diterapkan dalam sistem Westphalia. Konsep ini secara intrisik berhubungan dengan dimensi politik sistem pemberian upeti Tiongkok (China’s ancient tributary system)21, yang dihasilkan dari persetujuan, atau bahkan kehendak bebas, dari negara-negara taklukan. Sistem ini diperluas sampai ke pantai-pantai LCS ketika pengadilan kekaisaran Tiongkok menganugerahi gelar kepada raja-raja di negara taklukan tersebut dan negara-negara ini memberikan pengakuan atas kedaulatan Tiongkok. Melihat bahwa Sistem Pemberian Upeti Sinosentris adalah aturan internasional yang dominan di Asia Timur kuno pada waktu itu, Tiongkok tidak perlu menunjukkan praktikpraktik kedaulatannya berdasarkan kriteria sistem hukum internasional modern yang berkembang di belahan dunia bagian barat.22 Kelemahan lain dari argumen Tiongkok yang dipaparkan oleh buku ini, terdapat pada pengaturan hukum laut di bawah konsep kewilayahan kunonya. Pada masa-masa jayanya, penguasa Tiongkok percaya bahwa hanya mereka lah pemilik dari wilayah daratan dan lautan. LCS dan negara-negara barbar di sekelilingnya berada di bawah pengaturan dari Putra Langit23 Mohan Malik, “History the Weak Link in Beijing’s Maritime Claims”, http://thediplomat.com/2013/08/history-the-weaklink-in-beijings-maritime-claims/, diakses pada tanggal 24 Mei 2014. 20
Untuk memahami lebih lanjut tentang sistem ini lihat Roland L. Higgins, EAH, “The Tributary System”, http://www.olemiss. edu/courses/pol337/tributar.pdf, diakses pada tanggal 22 Mei 2014. 21
Untuk memahami lebih lanjut tentang pertimbangan keadilan sistem ini lihat Zhou Fangyin, “Equilibrium Analysis of Tributary System”, The Chinese Journal of International Politics, Vol. 4, 2011, hlm. 147-148, http://cjip.oxfordjournals. org/, diakses pada tanggal 26 Februari 2014. 22
Yang dimaksud dengan Putra Langit adalah Kaisar yang berkuasa pada saat itu. Ini mengacu pada sebutan kaisar dalam bahasa Tionghoa yakni Thian Zi. 23
(Son of Heaven). Ketika kekaisaran melemah dan menjadi tidak stabil, ikatan pemberian upeti akan terputus dan LCS akan menjadi batas wilayah negara. Ancaman yang terdapat di LCS, seperti ombak yang ganas dan karang serta beting yang berbahaya, akan mengamankan negara tersebut dari ancaman luar. Sebagai konsekuensinya, Tiongkok kuno tidak menyadari kebutuhan akan kontrol yang dominan atas LCS (yang berfungsi seperti benteng pengamanan kerajaan). Pada akhir Dinasti Qing, ketika Tiongkok telah membuka diri terhadap sistem internasional dan sistem hukum modern, barulah Tiongkok menjadi lebih sadar akan konsep kedaulatan modern. Sejak itu, Tiongkok secara konsisten terus memprotes pelanggaran batas terhadap fiturfitur LCS yang dilakukan oleh Inggris, Jerman, Prancis, dan Jepang. Traktat PascaPerang Dunia II yang ditandatangani oleh Tiongkok dengan Jepang dan negara-negara lainnya kemudian menegaskan kedaulatan Tiongkok atas keempat gugus kepulauan LCS. Lebih lanjut pada bab ketiga, Dr. Wu melakukan penilaian terhadap sengketa LCS dari perspektif hukum internasional, berdasarkan prinsip dan norma-norma hukum internasional yang berlaku. Penilaian ini termasuk penghargaan terhadap hak atas penemuan, penyelenggaraan administrasi berkelanjutan, dan pengakuan dari komunitas internasional dan beberapa negara pengklaim terhadap kedaulatan Tiongkok atas pulau-pulau yang dipersengketakan. Juga melihat gabungan klaim Tiongkok berdasarkan berbagai protes dan tindakan-tindakan, tanggal-tanggal penting, klaim maritim Tiongkok terhadap wilayah tambahan dan permasalahan terhadap tantangan mengenai klaim Tiongkok. Prinsip hukum Roma res nullius naturaliter fit primi occupantis24 digunakan sebagai dasar awal argumen Tiongkok akan kedaulatannya di Res nullius naturaliter fit primi occupantis adalah salah satu dari Hukum Roma yang secara harfiah berarti “penguasa pertama suatu hal/benda adalah pemilik berdasarkan hak okupasi”. Okupasi sendiri didefinisikan sebagai seseorang/ subjek yang secara fisik menguasai sesuatu hal/benda pada waktu ketika hal/benda tersebut belum menjadi milik siapaun (res nullius), dengan maksud untuk memperoleh hal/benda tersebut. Lebih lanjut lihat Bruno de Vuyst dan Alea M. Fairchild, “Rights, Resource Allocation, and Ethical Usefulness”, Infomation Ethics: Privacy and Intellectual Property, Infomation and Sciences Publishing 2005. 24
Memahami Perspektif Tiongkok ... | Faudzan Farhana | 173
LCS. Sebagaimana yang telah dijelaskan secara detil di dalam bab kedua, Tiongkok pertama kali menemukan Kepulauan Spratly pada tahun 1500 SM. Namun, pada abad ke delapan belas, hukum internasional lebih mengutamakan okupasi efektif dibandingkan sekedar penemuan. Oleh karena itu, di dalam buku ini penulis memasukkan yurisprudensi dari Kasus Palmas Island pada tahun 1928 yang mana pertama kali membahas konsep hukum inter-temporal.25 Konsep hukum inter-temporal mengatakan bahwa ada tiga periode pengunaan hukum: ketika fakta-fakta hukum seputar obyek sengketa muncul, ketika sengketa muncul, dan ketika sengketa dibawa ke lembaga penyelesaian sengketa. Hakim Huber mengatakan bahwa fakta-fakta hukum harus dinilai berdasarkan hukum yang berlaku pada periode yang sama dengan obyek sengketa, bukan berdasarkan ketika sengketa terjadi atau ketika dibawa untuk diselesaikan secara hukum. Oleh karena itu, penggunaan prinsip hukum Roma dapat diterapkan dalam kasus ini. Bentuk-bentuk penyelenggaraan administrasi negara sejak zaman Dinasti Qing sampai setelah Perang Dunia II diterangkan dengan sangat terperinci di dalam bab ini pada halaman 50-52. Menarik untuk ditelusuri lebih lanjut mengenai sumber dari fakta-fakta pengalihan kekuasaan administratif tersebut, apakah berdasarkan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan hukum?. Apakah cerita rakyat ataupun puisi yang terdapat pada periode waktu tersebut dapat dijadikan dasar pertimbangan pembuktian?. Sementara itu, di dalam penjelasan mengenai pengaturan hukum maritim dipaparkan tentang banyaknya peraturan dan produk hukum yang dikeluarkan oleh Pemerintah Tiongkok untuk menjaga kedaulatannya di LCS. Tetapi, perkembangan hukum maritimnya ini tidak sepesat penyelenggaraan administrasi pemerintah. Menurut buku ini, ada beberapa faktor yang menyebabkannya yakni: perbedaan kebudayaan antara Timur dan Barat; status Tiongkok yang unik di Asia Timur atau bahkan di seluruh Asia; kebijakan perdagangan maritim yang ketat Penjelasan lebih lanjut baca di J. Ashley Roach, “International Legal Rules for Deciding Sovereignty Disputes”, http://cil.nus. edu.sg/wp/wp-content/uploads/2011/01/Working-Paper-by-JAshley-Roach.pdf, diakses pada tanggal 24 Mei 2014. 25
selama Dinasti Ming dan Qing; dan lemahnya kesadaran maritim di dalam dinasti feodal. Pada masa yang lebih modern, Dinasti Qing yang korup juga terus mengabaikan kedaulatan dan hak maritim Tiongkok atas fitur-fitur di LCS. Bila pembaca mencermati kondisi dibalik paparan-paparan penulis di dalam bab ini, sebenarnya penjelasan di atas justru menunjukkan bahwa ada ketidakberlanjutan dalam hal penegakan kedaulatan Tiongkok di wilayah LCS. Tidak menutup kemungkinan bahwa pada masa-masa Dinasti Ming dan Qing penegakan kedaulatan di Kepulauan Spratly beralih kepada negara-negara lainnya. Sehingga penentuan ‘critical date’26 berdasarkan hukum internasional dapat dilihat pada masa ini. Namun, dalam bab ini pula Dr. Wu menjelaskan bahwa berdasarkan kasus ‘the Palmas Island’27 dan ‘the Eastern Greenland’28, ‘critical date’ untuk sengketa Spratly adalah pada tanggal 25 Juli 1933 (tanggal ketika Prancis mengumumkan bahwa ia telah mengokupasi sembilan pulau di grup Kepulauan Spratly berdasarkan terra nullius) dan 9 April 1939 (tanggal ketika Jepang secara resmi mendeklarasikan bahwa mereka telah mengokupasi Kepulauan Spratly dan mengganti namanya menjadi Xinnan Qundao). Jika ada yang dapat membuktikan bahwa tindakan yang dilakukan baik oleh Prancis maupun Jepang terhadap kedaulatan Tiongkok di Kepulauan Spratly adalah ilegal dan tidak valid, hal ini dapat menguatkan sudut pandang lain bahwa Menurut hukum internasional, critical date adalah periode akhir waktu dimana fakta-fakta material dari sebuah sengketa diperkirakan terjadi dan juga ketika tindakan dari para pihak yang bersengketa tidak lagi dapat mempengaruhi permasalahan yang sedang berlangsung. Dalam sengketa wilayah, critical date juga diartikan sebagai waktu dimana pihak dapat menunjukkan pemenuhan dan pencapaian atas segala persyaratan kepemilikan berdasarkan doktin okupasi. Lebih lanjut lihat L.F.E. Goldie, “the Critical Date”, http://journals.cambridge.org/action/dis playAbstract?fromPage=online&aid=1477352, diakses pada tanggal 24 Mei 2014. 26
Untuk memahami lebih lanjut tentang kasus ini lihat United Nations, “Reports of International Arbitration Awards”, http:// legal.un.org/riaa/cases/vol_II/829-871.pdf, diakses pada tanggal 24 Mei 2014. 27
Untuk memahami lebih lanjut tentang kasus ini lihat International Court of Justice, “Case Concerning Maritime Deimitation in the Area Between Greenland and Jan Mayen (Denmark vs Norway)”, http:// http://www.icj-cij.org/docket/ index.php?sum=401&p1=3&p2=3&case=78&p3=5, diakses pada tanggal 24 Mei 2014. 28
174 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 167–180
kedaulatan Tiongkok atas kepulauan-kepulauan ini adalah sudah tidak dapat diperdebatkan lagi. Di dalam bab keempat, buku ini memaparkan tentang sengketa antara Tiongkok dengan Vietnam terhadap Kepulauan Spratly. Setelah melihat secara umum dasar dari klaim tersebut, bab ini kemudian menganalisa kelemahankelemahannya dari sisi sejarah dan perspektif hukum. Sejarah sengketa Tiongkok dan Vietnam akan dilanjutkan dengan pengenalan tentang upaya bilateral mereka dalam mengelola konflik dan menyelesaikan sengketa. Upaya yang lebih lagi dibutuhkan dari kedua belah pihak untuk mengubah LCS dari daerah berkonflik menjadi laut perdamaian dan kerjasama. Berdasarkan berbagai dokumen resmi yang dipaparkan dalam buku ini, posisi Vietnam dibagi ke dalam dua periode: sebelum dan setelah Vietnam Utara (Democratic Republic of Vietnam) bergabung dengan Vietnam Selatan (Republic of Vietnam) dan membentuk Republik Sosialis Vietnam pada April 1975. Pada periode pertama Vietnam Utara sangat mendukung kedaulatan Tiongkok atas Kepulauan Spratly dan Paracel sedangkan Vietnam Selatan mulai mengeluarkan klaim terhadap kedua kepulauan tersebut berdasarkan Konferensi Damai di San Fransisco pada tahun 1951. Pada tahun 1956 pemerintah Vietnam Selatan mengeluarkan komunike yang menegaskan kedaulatannya atas Kepulauan Spratly dan Paracel berdasarkan pernyataan San Fransisco tersebut. Pada bulan Februari tahun 1975 pemerintah Vietnam Selatan mengeluarkan ‘Kertas Putih tentang Kepulauan Hong Sa (Paracel) dan Truong Sa (Spratly)’ yang menyatakan suksesi dari Prancis merupakan alasan dari klaim yang diajukan oleh Vietnam Selatan. Kertas putih ini adalah dokumen resmi pertama dimana Vietnam Selatan dan kemudian Republik Sosialis Vietnam daftarkan sebagai bukti sejarah yang menghubungkannya dengan Kepulauan Paracel. Selama periode kedua, Vietnam membuat klaim mutlak tentang kedaulatannya atas Kepulauan Spratly yang mencakup laut teritorial, zona tambahan, Zona Ekonomi Ekslusif, dan landas kontinen pada tanggal 12 Mei 1977. Pernyataan ini didukung pula dengan pernyataan bahwa ‘Pulau-pulau dan kepulauan, membentuk
bagian yang saling melengkapi wilayah teritorial Vietnam dan demikian pula dengan laut teritorial Vietnam sebagaimana yang telah disebutkan pada paragraf 1’. Mencermati klaim ini, Dr. Wu menekankan bahwa peta yang digunakan dalam banyak naskah akademik yang menunjukkan klaim maritim Vietnam dan mencakup wilayah selatan dan tengah LCS sebenarnya adalah peta konsesi blok minyak Vietnam yang diterbitkan pada tahun 1980an. Sehubungan dengan kasus pada tahun 1887 tentang garis batas Tiongkok-Prancis, peta ini secara resmi belum ‘diingkari’ oleh Vietnam. Bukti sejarah Vietnam mengungkapkan tiga hal. Yang pertama, bangsa Vietnam tidak sendirian dalam mengekploitasi Kepulauan Paracel. Nelayan Tiongkok dan krunya juga terlibat ketika memulai aktivitas di sana. Kedua, aktivitas Vietnam yang terbukti baru di awal abad kesembilan belas. Ketiga, validitas identifikasi Vietnam mengenai Van-ly Truong Sa dengan Kepulauan Spratly sangat patut dipertanyakan. Menurut penulis buku ini, kelemahan dari klaim Vietnam antara lain: kurangnya tingkat akurasi terhadap penerjemahan bukti-bukti historis, ketidakjelasan atas lokasi yang diatur oleh ‘detasemen/pasukan Hong Sa’, Ketidakberlakuan suksesi dari Prancis, kurangnya interpretasi yang komprehensif terhadap traktat perjanjian yang berhubungan, tidak adanya penghormatan terhadap prinsip estoppel.29 Kemudian dalam bab kelima buku ini membahas tentang klaim Filipina terhadap LCS. Klaim terbaru Filipina didasarkan pada kedekatan geografis, keamanan nasional, okupasi efektif, dan kontrol serta ketentuan hukum dari ZEE, dan tidak ada yang didukung dengan bukti solid dan hukum internasional. Kedekatan geografis telah sejak lama dihapuskan dalam aturan dan kebiasaan hukum internasional. Protes berkelanjutan dari Tiongkok dan pihak lainnya Prinsip estoppel merupakan salah satu prinsip hukum internasional yang intinya adalah mencegah perbuatan suatu negara dari tindakan yang tidak konsisten dan dapat merugikan pihak lain. Lebih lanjut lihat Aini Nurul Iman, “Perkembangan Prinsip Estoppel dalam Hukum Perjanjian Internasional dihubungkan dengan Kepemilikan Status Pulau Palmas di Indonesia”, http://fh.unpad.ac.id/repo/2014/02/perkembanganprinsip-estoppel-dalam-hukum-perjanjian-internasionaldihubungkan-dengan-kepemilikan-status-pulau-palmas-diindonesia/, diakses pada tanggal 24 Mei 2014. 29
Memahami Perspektif Tiongkok ... | Faudzan Farhana | 175
telah menggagalkan kemungkinan bagi Filipina untuk mengklaim Kepulauan Spratly berdasarkan res nullius. Prinsip ‘daratan mendominasi lautan’30 menolak penambahan yurisdiksi dari air ke fitur daratan. Filipina telah giat mengundang kekuatan eksternal, termasuk Amerika Serikat dan perusahaan-perusahaan minyak asing, untuk mengukuhkan keberadaannya di wilayah yang dipersengketakan. Dasar klaim Filipina adalah Treaty of Paris. Filipina bergantung pada dua sumber utama untuk mendukung klaimnya atas okupasi dan kontrol efektif, ‘penemuan’ oleh Thomas A. Cloma31, dan okupasi sah setelah Konferensi San Fransisco. Sengketa terbaru antara Tiongkok dan Filipina sebagian besar adalah tentang Mischief Reef, Scarborough Shoal, dan Reed Bank. Pada akhir Januari 1995, militer Filipina awalnya mengabaikan laporan dari nelayan Filipina bahwa Tiongkok telah membangun empat kelompok bangunan dengan tiang-tiang baja di atas Mischief Reef sebagai tempat perlindungan bagi nelayan, ketika anggaran belanja keamanan Filipina meningkat, pesawat pengintai tiba-tiba mengonfirmasi keberadaan empat bangunan dan kapal militer Tiongkok di beberapa titik di Mischief Reef.32
30 Prinsip ‘Land Dominates the Sea’ berasal dari peraturan yang tertulis di UNCLOS paragraf 1 Pasal 2 yang mengatakan bahwa hak-hak maritim merupakan turunan dari kedaulatan negara pantai atas wilayah daratannya. Lebih lanjut lihat Prof. Dr. Nele Matz-Luck, “International Law of the Sea”, http:// www.wsi.uni-kiel.de/de/lehre/vorlesungen/archiv/ss-2013/ matz-lueck/seerecht/materialien/int.-law-of-the-sea-ii, diakses pada tanggal 24 Mei 2014. Thomas A. Cloma adalah seorang nelayan Filipina yang pada tahun 1956 menyerahkan sebuah laporan kepada pemerintah yang menyatakan bahwa ia sudah menemukan sebuah kepulauan dengan luas sekitar 64.976 mil laut persegi yang kemudian diberi nama Freedom Land atau Kalayan. Jadi klaim Filipina ini didasarkan pada prinsip discovery and proximity atau karena penemuan serta kedekatan lokasi dan karena tidak ada yang memiliki (belongs to no one). Lebih lanjut lihat Willy F. Sumakul, “Potensi Konflik di Laut Cina Selatan (Bagian-1)”, http://www.fkpmaritim.org/potensi-konflik-di-laut-cinaselatan-bagian-1/, diakses pada tanggal 24 Mei. 31
Daniel J. Dzurek, “Chinese Occupies Mischief Reef in Latest Spratly Gambit”, http://www.google.com/ url?q=https://www.dur.ac.uk/ibru/publications/downlo ad/%3Fid%3D58&sa=U&ei=lY2AU5rnJsLTrQe4hY CQBQ&ved=0CBsQFjAA&sig2=-K3sGpZqlQyOFGFG79GmQ&usg=AFQjCNHahwHQkXtcRCcRfYwoOBuU4TFQA, diakses pada tanggal 24 Mei 2014. 32
Dibandingkan dengan Tiongkok dan Vietnam, Filipina baru saja mengeluarkan klaimnya atas LCS dan tanpa bukti-bukti historis yang mendukung. Selama bertahun-tahun Filipina semakin memperkuat klaim tersebut dengan mencoba meningkatkan okupasi dan keberadaannya di daerah sengketa, bahkan tanpa kapasitas militer yang kuat. Untuk memprediksi langkah-langkah Filipina selanjutnya, ada dua elemen yang harus diperhatikan menurut Dr. Wu. Pertama, isu LCS telah digunakan sebagai alat dalam politik domestik, meningkatkan ketidakpastiannya. Pemerintahan yang sedang berjalan sekarang di Filipina sedang menghadapi berbagai permasalahan domestik seperti depresi ekonomi, korupsi, dan kompetisi di antara kekuatan politik yang berbeda. Isu LCS memberikan pengalihan untuk meledakkan ketegangan domestik. Kedua, penguatan ikatan militer antara Filipina dan Amerika akan menggerakkan insiden-insiden yang lebih keras lagi. Strategi ‘rebalance’ Amerika telah mengubah Asia Tenggara menjadi arena pertarungan bagi kekuatan-kekuatan besar. Aliansi Filipina dengan Amerika akan memungkinkan Filipina untuk mendapatkan keuntungan dari peningkatan kehadiran Amerika di wilayah LCS. Permasalahan LCS telah berevolusi dari sengketa kawasan menjadi sesuatu yang menimbulkan kecemburuan dan menarik perhatian dunia. Bagi Filipina, dengan menginternasionalkan sengketa akan menguntungkan bagi negaranya. Dengan kombinasi dari tuntutan AS dan ekspektasi Filipina, dapat dirasakan bahwa kebijakan politik Filipina akan menjadi lebih aktif dan akan ada langkah-langkah tegas dari Filipina di masa yang akan datang. Bab keenam di dalam buku ini memaparkan tentang sengketa antara Tiongkok dengan Brunei dan Malaysia. Malaysia mengklaim kedaulatannya atas 12 fitur dari Kepulauan Spratly, dan 5 di antaranya telah didiami, yakni Ardasier Reef (Guangxingzai Jiao), Erica Reef (Boji Jiao), Investigator Shoal (Yuya Ansha), Mariveles Reef (Nanhai Jiao), dan Swallow Reef (Danwan Jiao). Fitur-fitur lain yang diklaim oleh Malaysia adalah Royal Charlotte Reef (Huanglu Jiao), Louisa Reef (Nantong Jiao), Dallas Reef (Guangxing Jiao), Luconia Reef (Lukang Ansha),
176 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 167–180
Commodore Reef (Siling Jiao), Amboyna Cay (Anbo Shazhou), dan Barque Canada Reef (Bo Jiao), di mana Amboyna Cay dan Barque Canada Reef saat ini diduduki oleh Vietnam dan Commodore Reef diduduki oleh Filipina. Selain kedaulatan atas pulau-pulau dan karang, Malaysia juga mengklaim 200 mil ZEE dari garis pantainya. 33 Seperti Malaysia, Brunei mengklaim wilayah paling selatan dari Kepulauan Spratly, termasuk Luconia Reef dan Rifleman Bank (Nanwei Tan) dan lebih dari 200 mil zona maritim berdasarkan ketentuan landas kontinental di UNCLOS 1982. Tidak seperti negara-negara pengklaim lainnya, Brunei tidak menduduki fitur apapun di Kepulauan Spratly. Peraturan tentang perpanjangan landas kontinen di UNCLOS membentuk dasar hukum atas klaim Malaysia dan Brunei. Malaysia adalah produsen dan eksportir minyak yang penting di antara negara-negara ASEAN. Hampir keseluruhan sumber daya minyak dan gas alamnya berasal dari wilayah yang dipersengketakan di LCS. Menurut buku ini, karena kesalahan dalam menafsirkan ketentuan-ketentuan tentang landas kontinen di dalam UNCLOS, Malaysia dan Brunei kemudian mengklaim beberapa fitur di wilayah paling selatan Kepulauan Spratly. Klaim mereka relatif lebih ringan dibandingkan negara-negara pengklaim lainnya, dan sejauh ini tidak ada konfrontasi militer yang terjadi. Baik Malaysia maupun Brunei telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui negosiasi bilateral dan multilateral. Dalam bab ketujuh yang sekaligus merupakan bab penutup dalam buku ini, penulis buku menggambarkan perkembangan terkini dan kerja sama kawasan di LCS. Bila ditinjau kembali, ada masa-masa yang sangat damai di kawasan dari tahun 2002 sampai tahun 2009, utamanya disebabkan oleh kerangka politis yang ada di DoC antara Tiongkok dan ASEAN. Meskipun karakteristik “soft law” membuatnya menjadi rezim yang tidak efektif dalam hal penyelesaian sengketa, keberadaan DOC jelas sangat penting Robert C Beckam dan Tara Davenport, “CLCS Submission and Claims in the South China Sea”, http://cil.nus.edu.sg/wp/ wp-content/uploads/2009/09/Beckman-Davenport-CLCSHCMC-10-12Nov2010-1.pdf, diakses pada tanggal 24 Mei 2014. 33
sebagai langkah maju apabila ada hal genting terkait pembangunan rasa saling percaya dalam kerjasama lebih lanjut. Empat pemain kunci dalam penyelesaian sengketa yang berulang sejak tahun 2009 adalah Tiongkok, Filipina, Vietnam, dan AS. Di dalam bab ini, daripada membahas lima tahun yang penuh dengan kejadian-kejadian, penulis membahas satu per satu sejumlah isu kunci: penentuan batas maritim, pembuatan perundang-undangan nasional, dan keikutsertaan negara-negara bukan pengklaim. Tahun 2009 merupakan titik balik dari babak baru meningkatnya kembali sengketa di LCS. Ditandai dengan adanya kesepakatan bersama antara Malaysia dan Vietnam terkait batas terluar dari landas kontinen yang melebihi 200 mil dan pernyataan nasional Vietnam terkait penetapan batas landas kontinennya yang lebih dari 200 mil dihitung dari garis pangkalnya. Tiongkok keberatan dengan kedua pernyataan tersebut dan menganggap bahwa kedua negara tersebut telah melanggar kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksinya di LCS. Untuk mendukung keberatannya tersebut, Tiongkok kemudian melampirkan peta yang kemudian didiskusikan oleh berbagai pihak secara intensif dan kritis setelahnya, dengan fokus terhadap legalitas dari ‘sembilan garis putus-putus’nya. Filipina dan Vietnam juga mengukuhkan klaim mereka dengan memasukkannya ke dalam perundang-undangan nasional mereka. Menanggapi hal ini, Tiongkok merespon dengan mendirikan Kota Sansha, mengumumkan penawaran tentang sembilan blok minyak, dan merevisi peraturan daerahnya dengan melegalkan aktivitas kapal asing di dalam wilayah laut teritorialnya. Lebih lanjut dalam buku ini juga ditekankan bahwa insiden maritim terjadi tidak hanya antara negara-negara pengklaim tapi juga dengan bangsa dari luar kawasan, terutama dengan AS. Meskipun tidak ada hal serius yang terjadi sejak kasus EP-3 yang berujung pada kematian seorang pilot, konflik kepentingan dari negara-negara pantai dan pemegang kekuasaan maritim terus berlanjut dan mengakibatkan berbagai insiden di laut. Khususnya kasus Impeccable34 di LCS sekitar 120 km di sebelah Jonathan G. Odom, “The True ‘Lies’ of the Impeccable Incident: What Really Happen, Who Disregarded International 34
Memahami Perspektif Tiongkok ... | Faudzan Farhana | 177
selatan Hainan pada tahun 2009, dan kasus sister-shipnya USNS Victorious di Laut Kuning. Insiden ini merefleksikan tidak hanya interpretasi yang berbeda dari penerapan hukum laut internasional, namun juga konflik kepentingan yang fundamental di antara negara-negara pantai dan pemegang kekuasaan maritim. Posisi Tiongkok dan AS terbagi khususnya berkenaan dengan arti penelitian ilmiah kelautan dan aktivitas survei, hak untuk melakukan aktivitas pengumpulan-intelijen dan latihan militer di ZEE, prinsip penggunaan samudera yang damai dan beberapa aspek perlindungan ekosistem laut di ZEE. Meskipun AS sangat menentang beroperasinya Impeccable di bawah kebebasan navigasi dan mencoba untuk memberikan dasar menggunakan UNCLOS, akan tetapi melalui buku ini penulisnya kemudian mempertanyakan hak AS sebagai negara yang bukan pihak dalam konvensi untuk menerjemahkan UNCLOS berdasarkan kepentingannya sendiri terhadap isu yang kontroversial. D i a k h i r b u k u D r. Wu k e m u d i a n menyimpulkan bahwa dalam mengatasi tantangan ini, negara-negara yang bersengketa harus menciptakan atmosfir yang lebih kondusif dalam upaya penyelesaian sengketa dan juga lebih proaktif dalam kerja sama kawasan sehingga perdamaian dan keamanan di LCS dapat terjaga. Sementara itu, dalam upaya penyelesaian sengketa ini disarankan agar seluruh pihak dapat bekerjasama dalam menemukan resolusi damai berdasarkan empat prinsip: (1) pengelolaan laut secara damai, (2) upaya selangkah-demiselangkah, (3) pembagian keuntungan yang adil dan seimbang, serta (4) pengeksplorasian yang ramah lingkungan.
Penutup Meskipun buku ini belum menunjukkan solusi konstruktif dari Tiongkok yang dapat segera diterapkan terhadap upaya penyelesaian sengketa LCS, membaca buku ini dapat memberikan gambaran yang cukup komprehensif mengenai Law, and Why Every Nation (Outside of China) Should be Concerned”, Michigan State Journal of International Law, Vol. 18, No. 3, 2010, http://jnslp.files.wordpress.com/2010/06/thetrue-lies-of-the-impeccable-incident-odom-msujil-may-2010. pdf, diakses pada tanggal 24 Mei 2014.
perspektif Tiongkok dalam hal sengketa wilayah dan maritim di LCS. Dengan penggunaan bahasa Inggris yang cukup mudah dipahami dan penyusunan bab yang saling berkaitan, buku ini dapat menjadi referensi yang sangat baik bagi orang awam, pengamat politik, akademisi dan bahkan pejabat yang berwenang. Tidak menutup kemungkinan, dengan adanya pemahaman perspektif Tiongkok sebagai salah satu aktor kunci dalam sengketa ini, suatu saat nanti akan ada solusi terbaik yang dapat segera mengakhiri sengketa wilayah teritorial dan maritim ini. Semoga!
Daftar Pustaka Buku Djalal, Hasjim dan Ian Townsend-Gault. 1999. Preventive Diplomacy: Managing Potential Conflicts in the South China Sea. Washington D.C: United Stated Institute of Peace Press. Sichun, Wu. 2013. Solving Disputes for Regional Cooperation and Development in the South China Sea: A Chinese Perspective. Oxford, UK: Chandos Publishing.
Jurnal Djalal, Hasjim, dkk. 2011. “From Disputed Waters to Seas of Opportunity”. The National Bureau of Asian Research, NBR Special Report #30. July 2011. Fangyin, Zhou. 2011. “Equilibrium Analysis of Tributary System”. The Chinese Journal of International Politics. Vol. 4. http://cjip.oxfordjournals.org/. Goldie, L.F.E. 2008. “The Critical Date”. International and Comparative Law Quarterly. Volume 12 / Issue 04/1963. http://journals.cambridge.org/ action/displayAbstract?fromPage=online&a id=1477352. Jinming, Li dan Li Dexia. 2003. “The Dotted Line on the Chinese Map of the South China Sea: A Note”. Ocean Development and International Law. 34 (online version). http://www.tandfonline.com/ doi/pdf/10.1080/00908320390221821. Kwiatkowska, Barbara. 2000. “The Eritrea/Yemen Arbitration: Landmark Progress in the Acquisition of Territorial Sovereigntyand Equitable Maritime Boundary Delimitation”. IBRU Boundary and Security Bulletin 2000. https://www. dur.ac.uk/ibru/publications/download/%3Fid %3D164&sa=U&ei=a7t_U63nKcH5rAeoqY
178 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 167–180
DQCg&ved=0CCwQFjAG&sig2=nMMGBH LBy_Nosn_-gZvv_w&usg=AFQjCNHUiMl A7oVN0K65ri5ZbLpT-42gbA. Odom, Jonathan G. 2010. “The True ‘Lies’ of the Impeccable Incident: What Really Happen, Who Disregarded International Law,and Why Every Nation (Outside of China) Should be Concerned”. Michigan State Journal of International Law 18(3), http://jnslp.files.wordpress. com/2010/06/the-true-lies-of-the-impeccableincident-odom-msujil-may-2010.pdf. Vuyst, Bruno de dan Alea M. Fairchild. 2005. “Rights, Resource Allocation, and Ethical Usefulness”. Infomation Ethics: Privacy and Intellectual Property. Infomation and Sciences Publishing.
Surat Kabar dan Website Beckam, Robert C dan Tara Davenport. 2010. “CLCS Submission and Claims in the South China Sea”. http://cil.nus.edu.sg/wp/wp-content/uploads/2009/09/Beckman-Davenport-CLCSHCMC-10-12Nov2010-1.pdf. Daniel J. Dzurek, “Chinese Occupies Mischief Reef in Latest Spratly Gambit”. http://www.google. com/url?q=https://www.dur.ac.uk/ibru/publications/download/%3Fid%3D58&sa=U&ei=lY2AU5rnJsLTrQe4hYCQBQ&ved=0CBs QFjAA&sig2=-K3sGpZqlQyOFG-FG79GmQ &usg=AFQjCNHahwHQkXtcRCc-RfYwoOB uU4TFQA. Bonkowski, Jerry. 2013. “China Ciptakan Zona Maritim untuk Membatasi Nelayan Asing di Propinsi Hainan”. http://apdforum.com/id/article/rmiap/ articles/online/features/2013/12/18/china-fishing-zone. Djalal, Hasjim dan Ian Townsend-Gault. 16 April 2014. “South China Sea Cooperation”. http:// www.nst.com.my/opinion/columnist/south-china-sea-cooperation-1.569022. Djalal, Hasjim. 2012. “The South China Sea in Legal Perspective”. www.nghiencuubiendong.vn/trung-tam-du-lieu-bien-dong/doc_ download/698-hasjim-djalal-the-south-chinasea-in-legal-perspective. Djalal, Hasjim. 2012. “Dispute Settlement and Management Conflict in the South China Sea”. http://www.sr-indonesia.com/in-the-journal/ view/dispute-settlement-and-conflict-management-in-the-south-china-sea. Higgins, Roland L, EAH. 2014. “The Tributary System”. http://www.olemiss.edu/courses/pol337/ tributar.pdf.
International Court of Justice. 1982. Case Concerning Continental Shelf: Tunisia/Libyan Arab Jamahiriyah. http://www.icj-cij.org/docket/index. php?sum=330&p1=3&p2=3&case=63&p3=5. International Court of Justice. 14 Juni 1993. Case Concerning Maritime Deimitation in the Area Between Greenland and Jan Mayen (Denmark vs Norway). http:// http://www.icj-cij.org/docket/index.php?sum=401&p1=3&p2=3&case= 78&p3=5. Krishnan, Anu. 2013. “South China Sea: Revival of the Cold War and Balace of Power?”, dalam http://www.ipcs.org/article/china/south-chinasea-revival-of-the-cold-war-and-balance-3809. html, diakses pada 24 Mei 2014. Malik, Mohan. 2013. “History the Weak Link in Beijing’s Maritime Claims”. http://thediplomat. com/2013/08/history-the-weak-link-in-beijings-maritime-claims/. Matz-Luck, Prof. Dr. Nele. 2012. “International Law of the Sea”. http://www.wsi.uni-kiel.de/de/ lehre/vorlesungen/archiv/ss-2013/matz-lueck/ seerecht/materialien/int.-law-of-the-sea-ii. Symmons, Clive R. 2013. “Rights and Jurisdiction Over Resources and Obligations of Coastal States: Validity of Historic Rights Claims”. http://nghiencuubiendong.vn/trung-tam-du-lieu-bien-dong/ doc_download/876-clive-symmons-rights-andjurisdiction-over-resources-and-obligationsof-coastal-states-validity-of-historic-rightsclaims&sa=U&ei=Jr5_U_qzN8blrAe_j4CACw&ved=0CBsQFjAA&sig2=f8vu3949YXT 8B13TTJdMxg&usg=AFQjCNF8gbF1skOdp 02DuWirZMHMxI6q7g. Sumakul, Willy F. 2010. “Potensi Konflik di Laut Cina Selatan (Bagian-1)”. http://www.fkpmaritim.org/potensi-konflik-di-laut-cina-selatanbagian-1/. Thuy,Tran Truong. 2012. “China’s U-shaped Line in the South China Sea: Interpretations, Asserting Activities, and Reactions from Outside”. http://www.nghiencuubiendong.vn/trung-tam-du-lieu-bien-dong/ doc_download/596-tran-truong-thuy-chinasu-shaped-line-in-the-south-china-sea-possibleinterpretations-asserting-activities-and-reactions-from-outside. Tkr. 2013. “Sengketa Kepulauan Spratly, Potensi Konflik di Asia Tenggara”. http://militaryanal-
ysisonline.blogspot.com/2013/09/sengketa-kepulauan-spratly-potensi.html.
Memahami Perspektif Tiongkok ... | Faudzan Farhana | 179
Taylor, Claire. 2011. “Military Balance in South East Asia”. www.parliament.uk/briefing-papers/ rp11-79.pdf. Thayer, Carlyle A. 2013. “ASEAN and China Consultations on a Code of Conduct of South China Sea: Prospects and Obstacles”. http://www. iacspsea.com/wp-content/uploads/2013/10/ Thayer-Russian-Academy-of-Sciences-SCSPaper.pdf.
United Nations. 2006. “Reports of International Arbitration Awards”. http://legal.un.org/riaa/cases/ vol_II/829-871.pdf. World Trade Organization. 2008. “Chapter 3: Settling Disputes”. http://www.wto.org/english/ thewto_e/whatis_e/tif_e/utw_chap3_e.pdf.
180 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 167–180
TENTANG PENULIS
Awani Irewati Penulis adalah peneliti di bidang Perkembangan Politik Internasional, Pusat Penelitian PolitikLIPI. S1 ilmu Hubungan Internasional diselesaikan di FISIP Universitas Airlangga, Surabaya. Gelar S2 diperoleh dari Asia and International Studies di Griffith University, Brisbane, Australia. Ia menekuni kajian utama tentang perbatasan antarnegara, khususnya perbatasan laut Indonesia dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Selain itu juga melakukan kajian perbatasan antara Thailand dengan negara-negara tetangganya, serta mengkaji pendekatan konsep connectivity maupun interconnectivity di wilayah ASEAN dan sekitarnya. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected].
Ganewati Wuryandari Saat ini tercatat sebagai Ahli Peneliti Utama di Pusat Penelitian Politik (P2P LIPI). Mendapatkan gelar Dra. Dari Fisipol, UGM tahun 1987, MA. Dalam bidang International Relations, di Department of Politics, Monash University tahun 1994, dan PhD Discipline of Asian Studies, the University of Western Australia, tahun 2006. Ia juga aktif sebagai mitra bestari di Jurnal Politica dan Anggota Pengurus Pusat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Fokus kajiannya adalah Asia Pasifik, Australia-Indonesia, Timor Leste, Perbatasan, Politik Luar Negeri Indonesia, dan isu-isu kontemporer dalam hubungan internasional. Penulis dapat dihubungi melalui email: ndari_
[email protected].
Faudzan Farhana Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI. Minat kajian antara lain: Hukum Organisasi Internasional dan Hukum Laut Internasional. Memperolehgelar Sarjana Hukumnya dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dengan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Skripsi tentang Implikasi Piagam ASEAN terhadap Perubahan Struktur Kelembagaan dan Kewenangan Membuat Perjanjian Sekretaris Jenderal ASEAN.Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected].
Moch. Nurhasim Peneliti Pusat Penelitian Politik-LIPI. Dia menyelesaikan studi S1 jurusan Politik di Universitas Airlangga dan S2 bidang Politik di Universitas Indonesia dengan tesis masalah perdamaian di Aceh. Penelitian yang pernah ditekuni adalah kaitannya dengan konflik di berbagai daerah, masalah pedesaan, pemilihan umum, dan masalah kemiliteran. Selain itu, dia juga aktif sebagai Pengurus Pusat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Jakarta. Penulis dapat dihubungi melalui email: hasim_nur@yahoo. com.
Frassminggi Kamasa Penulis adalah staf di Direktorat Jenderal Amerika dan Eropa, Kementerian Luar Negeri. Menyelesaikan S2 Hubungan Internasional di Victoria University of Wellington, Selandia Baru. Pernah bekerja sebagai pedagang uang di salah satu perusahaan forex di Jakarta. Artikel di jurnal ini merupakan pendapat pribadi penulis. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected].
Mutti Anggitta Penulis adalah pengajar di Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara. Gelar sarjana di bidang ilmu Hubungan Internasional diperoleh dari Universitas Indonesia, dan menyelesaikan program Master dalam bidang Science and Security di King’s College London pada tahun 2013. Pernah bekerja sebagai peneliti di Kantor Atase Pertahanan, Kedutaan Besar Republik
Tentang Penulis | 181
Indonesia di London pada tahun 2012-2013. Penulis dapat dihubungi melalui email: mutti.
[email protected]. Poltak Partogi Nainggolan Penulis adalah peneliti masalah-masalah hubungan internasional di Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR. Pemerhati masalahmasalah keamanan tradisional dan nontradisional, terutama yang dihadapi di kawasan perbatasan Indonesia. Penulis dapat dihubungi melaui email:
[email protected]. Sarah Nuraini Siregar Sejak tahun 2004 sampai sekarang menjadi salah satu peneliti bidang perkembangan politik nasional di Pusat Penelitian Politik LIPI dengan fokus studi tentang Reformasi Sektor Keamanan dan Perbandingan Politik. Gelar Sarjana dan Master Ilmu Politik diraih dari FISIP UI. Ia juga aktif sebagai salah satu staf pengajar di jurusan Ilmu Politik FISIP UI sejak tahun 2002 hingga sekarang. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected].
Syafuan Rozi Peneliti perkembangan politik nasional Pusat Penelitian Politik (P2P), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini adalah alumnus S1 dan S2 dari Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Indonesia. Minat kajiannya antara lain studi tentang: politik identitas, resolusi konflik dan studi perdamaian, birokrasi dan politik kebijakan publik, dinamika kepartaian, sistem perwakilan, parlemen dan Pemilu, Cyberclash dan hubungan IndonesiaMalaysia, politik lingkungan. Penulis dapat dihubungi melalui email: syafuanrozi@yahoo. com.sg
182 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014 | 181–182
INDEKS Indeks Kata Kunci ASEAN i, iii, viii, xii, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 57, 58, 168, 171, 177, 180, 181 Australia i, iii, vii, viii, xi, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 25, 28, 38, 59, 60, 61, 62, 66, 68, 69, 70, 71, 72, 74, 75, 76, 77, 103, 181 Diplomasi perbatasan iii, vii, 21, 22, 24, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37 Humanis iv, ix, 109, 131, 132, 136 Indonesia a, i, iii, iv, v, vii, viii, ix, x, xi, xii, xiii, xiv, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 32, 33, 34, 35, 36, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 46, 50, 51, 52, 53, 55, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 79, 83, 89, 92, 96, 97, 98, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 136, 137, 139, 140, 143, 144, 145, 146, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 158, 159, 160, 161, 165, 166, 167, 168, 169, 175, 181, 182, 185, 186, 188, 189 Kamboja iii, viii, xii, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 46, 51, 53, 54, 55, 56, 57, 58 Kebangsaan i, iv, 109, 110, 114, 118, 127 Laos iii, viii, xii, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 46, 51, 53, 55, 56, 57, 58, 59 Laut China Selatan i, 50 Malaysia i, iii, iv, viii, xii, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 46, 50, 51, 52, 53, 57, 58, 59, 95, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 168, 169, 170, 176, 177, 181, 182 Migran ilegal viii, 59, 69 MoU Box vii, xi, 1, 2, 4, 5, 10, 11, 13, 14, 15, 16, 18, 19, 20 Nelayan tradisional iii, vii, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 10, 11, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 68, 69 Perbatasan iii, iv, v, vii, viii, ix, 7, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 46, 47, 51, 52, 53, 54,
55, 56, 57, 58, 60, 63, 66, 69, 73, 74, 75, 86, 94, 99, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 181, 182 Perdagangan manusia viii, 59, 70, 71, 138 Piagam ASEAN viii, 39, 47, 48, 50, 181 Polisi iv, ix, 28, 70, 71, 86, 121, 122, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 140, 142, 145, 147 Polri i, iv, ix, xiii, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148 Pulau terluar viii, 59, 60, 61, 66, 73, 74, 75, 171 RDTL vii, xi, 21, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37 Referendum iv, ix, xiii, 60, 79, 80, 91, 92, 94, 96, 97, 98, 99, 101, 102, 105 Reformasi budaya 145 Rote Ndao i, iv, viii, xii, 2, 10, 16, 19, 20, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76 Sengketa iii, v, viii, x, 7, 17, 22, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 93, 102, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 180 Sipil iv, ix, 67, 91, 95, 122, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 139, 140, 141, 143, 145, 147, 169 Sistem Pemilu i, iv, x, 149, 150, 151, 152, 153, 159, 160, 161, 165 Sistem Pemilu Campuran i, iv, x, 149, 151 Sistem Presidensial iv, x, 149 TAC viii, xii, 39, 47, 48, 50, 51, 52, 53, 54, 57 Thailand iii, viii, xii, 12, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 46, 51, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 171, 181 Tiongkok i, v, x, 3, 12, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178 Ukraina i, iv, viii, ix, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108 UNCLOS vii, xi, 1, 2, 8, 15, 16, 24, 168, 170, 171, 172, 176, 177, 178
Indeks | 183
Key Words Index ASEAN i, iii, viii, xii, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 57, 58, 168, 171, 177, 180, 181 ASEAN Charter viii, xii, 39, 48, 57 Australia i, iii, vii, viii, xi, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 25, 28, 38, 59, 60, 61, 62, 66, 68, 69, 70, 71, 72, 74, 75, 76, 77, 103, 181 Border vii, xi, xiii, 6, 21, 22, 23, 24, 25, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 38, 41, 42, 46, 54, 55, 57, 109 Border Diplomacy xi, 21 Cambodia xii, 39, 41, 42, 54, 55, 58 China i, iv, xiv, 50, 88, 107, 167, 168, 169, 171, 173, 177, 178, 179, 180 Civilian xiii, 131 Cultural reform xiii, 131 Dispute 41, 42, 44, 47, 59, 168, 179 Electoral System xiii, 149 Human trafficking xii, 59, 68 Humanist xiii, 109, 131 Indonesia a, i, iii, iv, v, vii, viii, ix, x, xi, xii, xiii, xiv, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 32, 33, 34, 35, 36, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 46, 50, 51, 52, 53, 55, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 79, 83, 89, 92, 96, 97, 98, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 136, 137, 139, 140, 143, 144, 145, 146, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 158, 159, 160, 161, 165, 166, 167, 168, 169, 175, 181, 182, 185, 186, 188, 189 Laos iii, viii, xii, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 46, 51, 53, 55, 56, 57, 58, 59
Malaysia i, iii, iv, viii, xii, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 46, 50, 51, 52, 53, 57, 58, 59, 95, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 168, 169, 170, 176, 177, 181, 182 Mixed Electoral System xiv, 149 MoU Box vii, xi, 1, 2, 4, 5, 10, 11, 13, 14, 15, 16, 18, 19, 20 Nationhood xiii, 109 Outmost islands xii, 59 Police xiii, 131 Indonesian Police xiii, 131 Presidential System xiii, 149 RDTL vii, xi, 21, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37 Referendum iv, ix, xiii, 60, 79, 80, 91, 92, 94, 96, 97, 98, 99, 101, 102, 105 Rote Ndao i, iv, viii, xii, 2, 10, 16, 19, 20, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76 South China Sea iv, xiv, 167, 168, 169, 171, 177, 178, 179, 180 TAC viii, xii, 39, 47, 48, 50, 51, 52, 53, 54, 57 Thailand iii, viii, xii, 12, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 46, 51, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 171, 181 Traditional Fishermen xi, 1 Ukraine xii, xiii, 79, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 92, 95, 96, 99, 106, 107, 108 UNCLOS vii, xi, 1, 2, 8, 15, 16, 24, 168, 170, 171, 172, 176, 177, 178
184 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014
PEDOMAN PENULISAN 1. Tulisan yang dimuat harus merupakan kajian ilmiah atas isu dan peristiwa yang berkaitan dengan politik dalam negeri dan internasional, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. 2. Tulisan merupakan karya sendiri, bukan saduran atau terjemahan dan belum pernah dipublikasikan dalam bentuk dan bahasa apa pun. 3. Tulisan mengandung data atau pemikiran yang baru dan orisinal. 4. Tulisan yang dimuat sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi penulis yang bersangkutan. 5. Panjang naskah untuk artikel, 20–25 halaman A4, spasi 1,5; book review, 10–15 halaman A4, spasi 1,5. 6. Sistematika artikel hasil pemikiran/telaahan adalah judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi; alamat e-mail penulis; riwayat naskah; abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 25 kata dalam bahasa Indonesia); kata kunci (4–5 kata kunci); pendahuluan; pembahasan (terbagi dalam beberapa subjudul); penutup; daftar pustaka. JUDUL Penulis Nama Instansi Alamat lengkap instansi penulis Email penulis Riwayat naskah Abstract: Abstract in English (max. 150 words) Keywords: 4–5 words/ phrase Abstrak: Abstrak dalam bahasan Indonesia (maks. 250 kata) Kata Kunci: 4–5 kata/ frasa Pendahuluan Pembahasan Penutup Daftar Pustaka 7. Sistematika artikel review buku (book review) adalah judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi; alamat e-mail penulis; riwayat naskah; judul buku; pengarang; penerbit; cetakan; tebal; abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 25 kata dalam bahasa Indonesia); kata kunci (4–5 kata kunci); pendahuluan; pembahasan (terbagi dalam beberapa subjudul); penutup; daftar pustaka.
Pedoman Penulisan | 185
JUDUL Penulis Nama Instansi Alamat lengkap instansi penulis Email penulis Riwayat naskah Judul Buku Pengarang Penerbit Tahun Terbit Tebal Abstract: Abstract in English (max. 150 words) Keywords: 4–5 words/ phrase Abstrak: Abstrak dalam bahasan Indonesia (maks. 250 kata) Kata Kunci: 4–5 kata/ frasa Pendahuluan Pembahasan Penutup Daftar Pustaka 1. Tabel dan gambar, untuk tabel dan gambar (grafik) di dalam naskah harus diberi nomor urut. a. Tabel atau gambar harus disertai judul. Judul tabel diletakkan di atas tabel, sedangkan judul gambar diletakkan di bawah gambar. b. Sumber acuan tabel atau gambar dicantumkan di bawah tabel atau gambar. c. Garis tabel yang dimunculkan hanya pada bagian header dan garis paling bawah tabel, sedangkan untuk garis vertikal pemisah kolom tidak dimunculkan. Contoh penyajian Tabel: Tabel 1. Agenda-agenda Besar Konsolidasi Domain Internal
Eksternal
Vertikal Pemantapan kepengurusan partai hingga level terendah Sosialisasi agenda politik
Horizontal Pemantapan soliditas elite partai pada level DPP Pemantapan agenda politik menyambut pemilu Pembangunan, pemeliharaan dan peman- Penjajagan koalisi dengan partai-partai tapan dukungan masyarakat lain dan kalangan institusi-institusi nonpolitik
186 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014
Contoh penyajian Gambar/Grafik: 100 90
93.3 84.9 79.76
80
70.99
70
DPR Presiden
60 50 1999
2004
2009
Sumber: Komisi Pemilihan Umum (KPU) Grafik 2. Tren Partisipasi dalam Pemilu
9. Perujukan sumber acuan menggunakan footnotes, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Format rujukan dari buku: nama penulis, judul buku (italic), kurung buka, kota penerbitan, titik dua, nama penerbit, tahun terbit, kurung tutup, nomor halaman, titik. Contoh: Denny J.A., Partai Politik Pun Berguguran, (Yogyakarta: LKIS, 2006), hlm. v. b. Format rujukan dari buku (bunga rampai): nama penulis artikel, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik”, dalam, nama editor buku, judul buku (italic), kurung buka, kota penerbitan, titik dua, nama penerbit, tahun terbit, kurung tutup, nomor halaman, titik. Contoh: Leonardo Morlino, “Political Parties and Democratic Consolidation in Southern Europe,” dalam Richard Gunther, P. Nikiforos Diamandouros dan Hans Jurgen Puhle (eds.), The Politics of Democratic Consolidation: Southern Europe in Comparative Perspective, (Baltimore MD: Johns Hopkins University Press, 1995), hlm. 315−388. c. Format rujukan dari jurnal: nama penulis, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik,” sumber artikel (italic), nomor atau edisi, tahun, h., nomor halaman, titik. Contoh: Lili Romli, “Peta Kekuatan Politik Setelah Reformasi dan Kecenderungan Koalisi Parpol,” Jurnal Demokrasi dan HAM, 2000, hlm. 124-125. d. Format rujukan dari makalah seminar/konferensi: nama penulis, “judul makalah ditulis tegak dalam dua tanda petik,” makalah, nama/tema seminar, tempat pelaksanaan seminar, waktu, nomor halaman, titik. Contoh: Andrea Ceron dan Alessandra Caterina Cremonesi, “Politicians Go Social: Estimating IntraParty Heterogeneity (and its Effect) through the Analysis of Social Media,” makalah disampaikan pada NYU La Pietra Dialogues on Social Media and Political Participation, Florence, 10-11 Mei 2013, hlm. 3.
Pedoman Penulisan | 187
e. Format rujukan dari media online: nama penulis, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik,” nama situs, tanggal akses situs. Contoh: Berita8, “Media Sosial bisa Perkuat Fungsi Partai Politik”, 18 April 2013, http://www.berita8. com/berita/2013/04/MediaSosial-bisa-perkuat-fungsi-partai-politik, diakses pada tanggal 18 Juni 2013. f. Format rujukan dari media massa: nama penulis, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik,” sumber media (italic), tanggal terbit, nomor halaman, titik. Contoh: Degung Santikarma, “Monumen, Dokumen dan Kekerasan Massal,” Kompas, 1 Agustus 2003, hlm. 12. 10. Penulisan sumber Daftar Pustaka dibedakan menjadi: buku; jurnal; laporan dan makalah; surat kabar dan website. Daftar Pustaka dituliskan dengan urutan abjad nama belakang (family name). Format penulisan sebagai berikut: a. Format rujukan dari buku Buku dengan satu pengarang: nama penulis; tahun terbit; judul buku; tempat terbit; nama penerbit. Contoh: Caplan, Bryan. 2007. The Myth of the Rational Voter: Why Democracies Choose Bad Policies. New Jersey: Princeton University Press.
Buku dengan dua pengarang: nama penulis (dua orang); tahun terbit; judul buku; tempat terbit; nama penerbit. Contoh: Aspinall, E. dan M. Mietzner. 2010. Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society. Singapore: ISEAS Publishing. Buku dengan lebih dari dua pengarang: nama penulis (et al.); tahun terbit; judul buku; tempat terbit; nama penerbit. Contoh: Ananta, Aris et al. 2004. Indonesian Electoral Behaviour: A Statistical Perspective. Singapore: ISEAS Publishing. Artikel/tulisan dalam buku: nama penulis; tahun terbit; judul tulisan; dalam nama editor; judul buku; tahun terbit; tempat penerbit; nama penerbit. Contoh: Qodari, M. 2010. “The Professionalisation of Politics: The Growing Role of Polling Organisation and Political Consultants”, dalam Aspinall, E. dan M. Mietzner (eds.). Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society. Singapore: ISEAS Publishing.
b. Format rujukan dari jurnal: nama penulis; tahun; judul artikel; nama jurnal; volume jurnal; nomor jurnal; nomor halaman. Contoh: Ufen, A. 2008. “From Aliran to Dealignment: Political Parties in post-Suharto Indonesia”. South East Asia Research, 16 (1): 5–41. c. Format rujukan dari laporan dan makalah: Laporan penelitian: nama penulis; tahun terbit; judul laporan; tempat penerbit; nama penerbit. Contoh:
188 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 1 Juni 2014
Mainwaring, Scott, 1998. “Rethinking Party Systems Theory in The Third Wave of Democratization: The Importance of Party System Institutionalization.” Working Paper #260 - October 1998, Kellogg Institute.
Makalah seminar: nama penulis; tahun terbit; judul makalah; nama kegiatan seminar; waktu pelaksanaan kegiatan seminar; tempat penerbit; nama penerbit. Contoh: Ceron, Andrea dan Alessandra Caterina Cremonesi. 2013. “Politicians Go Social: Estimating IntraParty Heterogeneity (and its Effect) through the Analysis of Social Media”. Paper disampaikan pada NYU La Pietra Dialogues on Social Media and Political Participation, Florence, 10–11 Mei 2013.
d. Format rujukan dari surat kabar dan website Artikel media massa: nama penulis; tahun terbit; judul artikel; nama media massa; tanggal terbit; nomor halaman. Contoh: Wahid, Sholahuddin. 1998. “Di Balik Berdirinya Partai-Partai di Kalangan NU”, Republika, 3 Oktober.
Artikel online: nama penulis/institusi; tahun terbit; judul artikel, alamat websites; waktu unduh. Contoh: Aspinall, Edward, “The Taming of Ethnic Conflict in Indonesia”, http://www.eastasiaforum. org/2010/08/05/the-taming-of-ethnic-conflict.
11. Pengiriman Artikel: »» Naskah dikirim dalam bentuk printout sebanyak 2 eksemplar beserta softcopy ke alamat redaksi atau dapat dikirimkan melalui email redaksi (
[email protected]). »» Redaksi memberikan honorarium untuk setiap artikel yang dimuat. »» Artikel yang diterima setelah deadline akan dipertimbangkan untuk dimuat pada edisi berikutnya. 12. Alamat Jurnal Penelitian Politik: P2P-LIPI, Widya Graha LIPI, Lantai III & XI Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10 Jakarta Selatan 12710 Telp/Faks. (021) 520 7118 13. Langganan: Harga pengganti ongkos cetak Rp. 75.000,- per eksemplar sudah termasuk ongkos kirim biasa. Untuk berlangganan dan surat-menyurat langsung hubungi bagian sirkulasi Redaksi Jurnal Penelitian Politik.
Pedoman Penulisan | 189