ISSN 1979-0880
Jurnal Nanosains & Nanoteknologi Vol. 1 No.1, Februari 2008
Sintesis dan Pengujian Katalis Nanokristallin Cu/ZnO/Al2O3 Dengan Metode Pemanasan Dalam Larutan Polimer Untuk Aplikasi Konversi Metanol Menjadi Hidrogen Mikrajuddin Abdullah(a), Khairurrijal, Ahmad Rifqy Maruly, Liherlinah, dan Muhammad Sanny Laboratorium Sintesis dan Fungsionalisasi Nanomaterial KK Fisika Material Elektronik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha 10 Bandung 40132 (a) E-mail:
[email protected] Diterima Editor : 1 Februari 2008 Diputuskan Publikasi : 8 Februari 2008
Abstrak Dalam paper ini dilaporkan pembuatan katalis Cu/Zn/Al2O3 dengan metode pemanasan dalam larutan polimer. Tiga buah sample disintesis masing-masing pada suhu 600 oC (nano 1), 800 oC (nano 2), dan 1000 oC (nano 3). Pengukuran dengan metode BET menunjukkan bahwa luas permukaan spesifik nano 1 adalah 4.5294 m2/g, nano 2 1.2269 m2/g, dan nano 3 0.4008 m2/g. Hasil karakterisasi SEM menunjukan bahwa ukuran partikel nano 1 < nano 2 < nano 3. Peningkatan temperatur pembuatan hingga temperatur optimal akan meningkatkan kristalinitas. Namun peningkatan temperatur lebih lanjut diatas temperatur optimal tersebut tidak meningkatkan kristalinitas yang berarti. Diperoleh temperatur optimum pembuatan katalis ini adalah 800 oC. Diamati efisiensi konversi metanol yang cukup tinggi pada jangkauan suhu antara 400 – 500 oC. Kata kunci: fuel cell, katalis, luas permukaan spesifik, konversi metanol 1. Pendahuluan Fuel cell pertama kali diperkenalkan oleh William Grove pada tahun 1839. Proses yang terjadi pada fuel cell adalah kebalikan dari proses elektrolisis. Dalam fuel cell terjadi penggabungan H2 dan O2 untuk membentuk H2O sedangkan elektrolisis adalah preoses pemisahan H2O menjadi H2 dan O2. Dalam fuel cell, suplai H2 dan O2 (biasanya diambil dari udara bebas) berlangsung secara bersamaan. Ketika H2 yang disuplai menyentuh anoda maka akan terjadi reaksi 2H2 → 4H+ + 4e-. Ion H+ yang terbentuk pada reaksi di atas akan mengalir melalui elektrolit, sedangkan elektron akan mengalir melalu rangkaian luar karena elektrolit tidak bersifat konduktif bagi elektron. Aliran elektron inilah yang dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik. Ion H+ dan elektron kemudian bertemu kembali pada katoda. Pada saat bersamaan, ketika O2 bersinggungan dengan katoda terjadi reaksi antara O2, edan H+. Persamaan reaksinya adalah O2 + 4H+ + 4e- → 2H2O. Dengan demikian reaksi total yang terjadi dalam fuel cell adalah 2H2 + O2 → 2H2O. Proses yang terjadi dalam fuel cell berbeda dengan proses yang terjadi dalam motor bakar. Efisiensi motor bakar dibatasi oleh limitasi efisiensi siklus Carnot, sedang fuel cell sama sekali tidak. Dengan demikian efisiensi fuel cell lebih tinggi daripada motor bakar. Selain itu fuel cell juga sangat ramah lingkungan. Pada beberapa tipe fuel cell, emisi yang dihasilkan hanyalah air. Reaksi dalam fuel cell juga tidak mengeluarkan bunyi apapun. Kelebihan lain fuel cell adalah apabila dijadikan pembangkit listrik yang tetap maka fuel cell dapat bersifat modular yang sangat fleksibel. Hampir seluruh produsen outomotif dunia telah membuat prototipe mobil fuel cell. Daimler-Chrysler
memperkenalkan NECAR 5 pada tahun 2000, GM membuat GMC S-10 pada 2001, sedangkan Ford mengeluarkan Fords Adavanced Focus FCV pada 2002. Trend ini menunjukkan bahwa komersialisasi fuel cell tinggal menunggu waktu. Akan tetapi, sebagai konsekuensi teknologi berbahan bakar hidrogen, fuel cell memiliki masalah dalam penyimpanan hidrogen yang dikenal sangat reaktif. Ada dua pendekatan penyimpanan hidrogen yang dipertimbangkan orang, yaitu menyimpan hidrogen dalam bentuk metal hidrida dan menyimpan dalam tabung bertekanan. Untuk saat ini, penyimpanan dalam tabung bertekanan masih sangat berbahaya sehingga perlu kajian lebih lanjut untuk mencapai tingkat keamanan yang diharapkan. Pendekatan ini juga masih dipersulit oleh ketiadaan stasiun pengisian hidrogen di jalan-jalan umum. Sebaliknya, penyimpanan dalam bentuk metal hidrida berimplikasi pada peningkatan biaya. Kenyataan tersebut menjadi salah satu penghambat yang berarti bagi komersialisasi fuel cell ke masyarakat. Skema alternatif yang diharapkan mampu menjawab permasalahan di atas adalah penggunaan reformer hidrokarbon cair secara in-situ pada fuel cell. Salah satu kandidat hidrokarbon adalah metanol. Pemilihan metanol dilatarbelakangi oleh tingkat konversinya ke hidrogen cukup tinggi (80%) pada temperatur rendah. Kelebihan lain metanol adalah reaksi dapat belangsung pada tekanan atmosfer, tidak mengemisi polutan seperti NOx, SOx, hanya memerlukan sedikit adaptasi pada stasiun pengisian bahan bakar (dari bensin atau solar), dan banyak sumber untuk memproduksi metanol, seperti gas alam, minyak bumi, batu bara dan biomassa. Di samping semua kelebihan tersebut, metanol juga merupakan komoditas kimia terbanyak ketiga (di 1
J. Nano Saintek. Vol. 1 No. 1, Feb 2008
2
atas 25 juta ton) yang diproduksi setelah ammonia dan etilen. Penggunaan metanol juga akan mempermudah penyimpanan bahan bakar dalam kendaraan dibanding gas hidrogen. Selain itu, infrastruktur stasiun pengisian metanol bisa diadaptasi dari infratruktur untuk bensin atau solar yang sudah banyak tersedia. Peluang penggunakan metanol semakin besar karena adanya kemungkinan produksi metanol dari bahan yang terbarukan. Pada steam reforming methanol, uap air dan methanol direaksikan sesuai dengan persamaan reaksi CH3OH + H2O → CO2 + 3H2 , ∆Hro = 50 kJ mol-1. Reaksi berlangsung pada tekanan 1 atm dan rasio molar optimum untuk metanol:air adalah 1:1 atau 1:1,3. Konsentrasi Gas H2 yang dihasilkan sekitar 75% sedangkan konsentrasi CO yang terbentuk relatif rendah. Reaksi ini dapat dipercepat dengan bantuan katalis. Karena reaksi berlangsung secara endotermik, maka pembakaran katalitik harus dilakukan. Reaksi konversi berlangsung optimum pada suhu sekitar 400 oC seperti diperlihatkan oleh Gbr 1.
Konversi [%]
100 80 60 40 20
larutan polimer. Metoda ini adalah metoda yang relatif baru untuk sintesis katalis. Sepanjang pengetahuan kami belum ada laporan yang menjelaskan penggunaan metoda ini untuk pembuatan katalis. Metode ini adalah salah satu metoda sintesis nanopartikel menggunakan media kontinu. Akar pemikiran metoda ini adalah nanopartikel yang tidak menggumpal dapat disintesis melalui reaksi kimia pada fasa kedua dari media kontinu, selama kehadiran media kontinu tersebut dapat dipertahankan hingga akhir proses. Dengan demikian, nanopartikel dapat diperoleh ketika media kontinu tersebut dihilangkan di ujung proses sintesis. Pada metoda ini, larutan polimer (pada penelitian ini digunakan polietilen glikol) digunakan sebagai medium kontinu. Untuk mensintesis katalis, seluruh prekursor katalis dicampur dan direaksikan dengan larutan polimer tersebut. Kemudian untuk mendekomposisi polimer, seluruh larutan tersebut dipanaskan hingga suhu tertentu. Setelah polimer dihilangkan, maka nanopartikel yang terpisahkan akan terbentuk. Metoda ini baik untuk membentuk nanopartikel oksida berukuran antara 20-100 nm dengan kristalisnitas yang baik [2-4]. Kelebihan dari metoda ini adalah singkatnya durasi waktu yang dibutuhkan, yaitu kuran dari satu jam. Dengan tidak diperlukannya proses ageing lebih lanjut. Metode ini memiliki potensi besar untuk dikembangkan pada skala industri. Proses yang sangat sederhana ini akan memudahkan produksi skala besar dalam industri katalis. 2. Perhitungan Termodinamika Konversi Metanol
0 290
390
490 Suhu [K]
590
690
Gambar 1 Kebergantungan persentase konversi hidrogen terhadap suhu. Data diambil dari [1] kemudian grafik dibuat ulang dari data tersebut Katalis yang umumnya digunakan berbasis Cu, seperti CuO/ZnO/Al2O3. Namun penggunaan katalis jenis ini memunculkan dua masalah, yaitu tingginya gas CO yang terbentuk dan rendahnya stabilitas pada pemakaian jangka panjang. Jika yang digunakan adalah fuel cell berjenis PEMFC, maka kehadiran CO memunculkan masalah lain. Gas CO yang mengenai anoda akan meracuni Pt yang digunakan sebagai elektrokatalis pada anoda, yang pada akhirnya menurunkan unjuk kerja fuel cell Salah satu cara untuk meminimalisir kehadiran CO adalah dengan mengoptimasi katalis yang digunakan pada reformer. Untuk menyelesaikan permasalahan ini banyak cara digunakan. Diantaranya adalah mengganti komponen aktif Cu dengan Pd, mensintesis katalis berbasis Cu namun dengan promotor oksida metal yang berbeda, atau bahkan mensintesis katalis berbasis Cu dengan cara yang berbeda. Cara terakhir inilah yang akan dilaporkan dalam paper ini. Pada paper ini akan disintesis katalis Cu/ZnO/Al2O3 dengan pemanasan sederhana dalam
Reformasi kukus metanol berlangsung sesuai dengan persamaan berikut.
CH3 OH (g) + H 2 O(g) → CO2(g) + 3H 2(g)
(1)
Untuk menentukan persentase metanol yang diubah menjadi hidrogen kita dapat menghitung secara termodinamik berdasarkan persamaan di atas. Misalkan sebelum reaksi jumlah mol metanol dan air yang dicampurkan masing-masing satu. Misalkan jumlah mol metanol dan air yang mengalami reaksi masing-masing X. Dalam keseimbangan, jumlah mol masing-masing komponen adalah: (1-X) untuk metanol , (1-X) untuk air, X untuk karbondioksida, dan 2X untuk hidrogen. Dengan demikian, jumlah mol total komponen setelah tercapai keseimbangan adalah (1-X) + (1-X) + X + 3X = 2 + 2X. Fraksi mol masing-masing komponen dalam keadaan seimbang adalah: fraksi mol metanol (1 − X ) (2 + 2 X ) , fraksi mol air (1 − X ) (2 + 2 X ) , fraksi mol karbon dioksida X (2 + 2 X ) , dan fraksi mol hidrogen 3 X (2 + 2 X ) . Tetapan keseimbangan reaksi dihitung dari fraksi mol tersebut memenuhi persamaan
J. Nano Saintek. Vol. 1 No. 1, Feb 2008
Ky =
3
[fraksi mol CO 2 ][fraksi mol H 2 ]3 [fraksi mol CH3 OH][fraksi mol H 2 O]
K a (T ) = K y ( Kf / p ) P Δn
⎡⎣ X ( 2 + 2 X ) ⎤⎦ ⎡⎣3 X ( 2 + 2 X ) ⎤⎦ ⎡⎣(1 − X ) ( 2 + 2 X ) ⎤⎦ ⎡⎣(1 − X ) ( 2 + 2 X ) ⎤⎦ 3
= =
27 X 4
(1 − X ) ( 2 + 2 X ) 2
dengan K a (T ) adalah tetapan keseimbangan pada suhu
Kf / p adalah tetapan keseimbangan fugasitas, P adalah tekanan, dan Δn adalah selisih koefisian reaksi.
T, (2)
2
Tetapan keseimbangan fugasitas memenuhi hubungan Kf / p =
Berdasarkan persamaan (2), kita dapat menentukan X pada berbagai suhu jika mengetahui nilai K y pada berbagai suhu. Nilai K y dideduksi dari persamaan
( f / p CO2 )( f / p H 2 )3
(4)
( f / p CH 3 OH )( f / p H 2 O)
di mana f / p disebut koefisien fugasitas yang memenuhi hubungan
berikut ini T
(3)
f / p = θ o (θ 1 ) ω θ0
(5)
Tabel 1. Koefisien fugasitas CH3OH, H2O, H2, dan CO2 pada suhu antara 298 – 700 K θ1 θ0 θ1 ω f/p T ω CH3OH
f/p
H2
298
0,1897
0,0166
0,564
0,0188
298
1,0326
0,9924
-0,216
1,0343
400
0,9016
0,8697
0,564
0,8333
400
1,0472
0,9657
-0,216
1,0551
500
0,9552
0,9886
0,564
0,9490
500
1,0651
0,9396
-0,216
1,0795
600
0,9753
1,0038
0,564
0,9774
600
1,0759
0,9155
-0,216
1,0966
700
0,9847
1,0084
0,564
0,9894
700
1,0902
0,8987
-0,216
1,1156
488
0,9312
0,9797
0,564
0,9205
488
1,0732
0,9237
-0,216
1,0918
523
0,9620
0,9932
0,564
0,9583
523
1,0541
0,9360
-0,216
1,0693
573
0,9720
0,9982
0,564
0,9710
573
1,0591
0,9260
-0,216
1,0768
H2O
CO2
298
0,0610
0,0005
0,345
0,0044
298
0,9939
0,9984
0,224
0,9935
400
0,7214
0,5432
0,345
0,5844
400
0,9997
1,0087
0,224
1,0016
500
0,9682
0,9751
0,345
0,9598
500
0,9926
1,0101
0,224
0,9948
600
0,9813
0,9935
0,345
0,9791
600
0,9963
1,0077
0,224
0,9980
700
0,9890
0,9993
0,345
0,9888
700
0,9985
1,0094
0,224
1,0006
488
0,9542
0,914
0,345
0,9251
488
0,99394
1,0079
0,224
0,9957
523
0,9694
0,969
0,345
0,9589
523
0,99379
1,0091
0,224
0,9958
573
0,9744
0,974
0,345
0,9656
573
0,99529
1,0089
0,224
0,9973
Tabel 2. Konversi metanol pada rentang suhu 298 – 700 K dan tekanan 1 atm Ky Ka Kf / p δ G (J) T (K) X (%) 298 400 488 500 523 573 600 700
-3,0 -22,4 -39,5 -41,8 -46,4 -56,4 -61,8 -82,4
3,4 831,7 16766,5 23445,3 42913,6 137849,1 241400,0 1397911,2
13196,2 2,4 1,5 1,4 1,3 1,3 1,4 1,4
0,0003 344,2802 11018,3167 17063,6751 32392,7534 103791,0199 175522,0842 984227,8750
3,6 93,7 98,8 99,0 99,3 99,6 99,7 99,9
J. Nano Saintek. Vol. 1 No. 1, Feb 2008
4
Tabel 3. Komposisi prekursor yang digunakan dalam pembuatan katalis Cu(NO3)2.3H2O 32.48 g 19.48 g 32.48 g
nano 1 nano 2 nano 3
Zn(NO3)2.4H2O 20 g 12 g 20 g
Nilai koefisien θ , θ , dan ω serta perhitungan koefisien fugasitas pada berbagai suhu untuk masingmasing molekul tampak dalam Tabel 1. Parameter K a (T ) dapat ditentukan dari o
1
perubahan energi Gibbs setelah dan sesudah reaksi, yaitu (6) δG = − RT ln K a (T ) dengan
δ G = ΔG ( H 2 ) + ΔG (CO2 ) − ΔG (CH 3COOH ) − ΔG ( H 2 O) (7) dan ΔG untuk masing-masing komponen memenuhi persaman aproksimasi beikut ini
ΔG = A + BT + CT 2
Al(NO3)3.9H2O 2.52 g 1.51 g 2.52 g
PEG 160 g 96 g 160 g
H2O 209.65 g 125.79 g 209.65 g
PEG dalam jumlah yang sesuai dimasukkan ke dalam larutan. Campuran kemudian diaduk sambil dipanaskan pada suhu kira-kira 100o C. Pengadukan dilakuakan hingga seluruh PEG terlarut dan menghasilkan sedikit uap air. Hasilnya dituang ke cawan crus, yang selanjutnya dipanaskan hingga temperatur yang diinginkan. Temperatur pemanasan harus di atas temperatur dekomposisi PEG, yaitu di atas 500 oC. Diagram alir proses fabrikasi katalis dilukiskan dalam Gbr. 2. Cu(NO3)2•3H2O + H2O Zn(NO3)2•3H2O + H2O
PEG, Mw = 20 000
Al(NO3)3•3H2O + H2O
(8)
Nilai parameter A, B, dan C untuk masing-masing komponen adalah –201.86, 0.2542, dan 2.3 × 10-5 untuk CH3OH, -241.74, 4.17 × 10-2, 7.3 × 10-5 untuk H2O, 0, 0, dan 0 umtuk H2, dan –393.36, -3.82 × 10-3, dan 1.3 × 10-6 untuk CO2. Tabel 2 adalah hasil perhitungan beberapa parameter dan nilai teoretik konversi metanol menjadi hidrogen. Tampak bahwa konversi di atas 90% dapat dicapai pada suhu di atas 400 oC.
Campur, Suhu 100 oC
Pemanasan pada suhu yang diinginkan (> 500 oC)
3. Eksperimen
Rancangan penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu : 1. Pembuatan katalis dengan metoda pemanasan dalam larutan polimer. Pada penelitian ini akan dibuat tiga sampel katalis dengan variasi suhu pembuatan. Kita beri nama nano 1 untuk sampel yang dibuat pada temperatur 600 oC, nano 2 pada 800 oC dan nano 3 pada 1000 oC. 2. Setiap sampel akan dikarakterisasi luas permukaannya menggunakan metode BET, ukuran partikel dikarakterisasi menggunakan SEM, kristalinitas dikarakterisasi menggunakan XRD, dan komposisi unsur-unsur penyusun sampel dikarakterisasi menggunakan EDX. 3. Uji konversi katalis menggunakan reaktor kukus metanol. Prekursor yang digunakan untuk membuat katalis adalah Cu(NO3)2.3H2O, Zn(NO3)2.4H2O, Al(NO3)3.9H2O, PEG (polyethylene glycol dengan berat molekul rata-rata 20 000). Pada penelitian ini akan dibuat tiga sampel katalis dengan perbandingan mol Cu:Zn:Al = 2:1:0.1 untuk semua sampel. Perbandingan tersebut diterapkan untuk membandingkan hasil dari Firmansyah [1] yang menggunakan perbandingan mol yang sama namun metoda pembuatan katalisnya berbeda dengan penelitian ini. Garam-garam tersebut dilarutkan dalam aquades dengan komposisi seperti pada Tabel 3. Lalu
Nanopartikel
Gambar 2. Diagram alir pembuatan katalis dengan metode pemanasan prekursor di dalam larutan polimer
Waktu yang dibutuhkan untuk pemanasan untuk semua sampel adalah 2 jam. Grafik suhu pemanasan terhadap waktu ditunjukkan dalam Gbr. 3. Mula-mula suhu naik secara linier sampai nilai yang dinginkan selama setengah jam, kemudian dipertahankan pada suhu tersebut selama satu jam. Kemudian suhu ditutunkan kembali ke suhu kamar dalam waktu setengah jam. Grafik kebergantungan suhu pemanasan terhadap suhu untuk tiga sampel ditunjukkan dalam Gbr. 3. BET (Brunauer-Emmet-Teller) adalah salah satu metoda untuk mengukur luas permukaan zat padat dari adsorpi suatu gas pada permukaan zat padat tersebut. Gas yang teradsorpsi akan membentuk lapisan pada permukaan sampel yang akan menimbulkan perbedaan tekanan. Perbedaan tekanan inilah yang diukur sebagai representasi luas permukaan zat yang diadsorpsi oleh gas. Dalam pengukuran ini, instrumen yang digunakan adalah NOVA 1000 Gas Sorption Analyzer Quantachrome Version 3.7 sedangkan gas yang digunakan adalah nitrogen. Prosedur pengukuran ini sebagai berikut. Sampel katalis yang akan diuji dimasukkan ke dalam sel sampel lalu ditimbang untuk mendapatkan massa katalis
J. Nano Saintek. Vol. 1 No. 1, Feb 2008
5
yang akan diuji. Setelah itu, sel sampel yang sudah berisi katalis dioutgassing secara isotermal pada suhu 250 oC selama 2 jam. Proses ini dilakukan untuk membersihkan sampel katalis dari molekul air dan gas-gas pengotor. Setelah didiamkan (untuk menurunkan suhunya), selanjutnya sel sampel dipindahkan ke Gas Sorption Analyzer, untuk dilakukan pengadsorpsian gas nitrogen dan analisis luas permukaan. 1200 nano 3
Suku [oC]
1000
nano 2
800
nano 1
600 400 200 0 0
0,5
1,5 1,0 Waktu [jam]
2,0
2,5
Gambar 3. Kebergantunagn suhu pemanasan terhadap waktu pada proses pembuatan sampel nano 1, nano 2, dan nano 3.
Karakterisasi dengan SEM bertujuan untuk melihat ukuran partikel pada katalis. Karakterisasi dilakukan menggunakan SEM JEOL, JSM-6360 LA. Instrumen yang sama dengan SEM kembali digunakan untuk menguji EDX. Karakterisasi menggunakan EDX bertujuan untuk mengetahui komposisi CuO, ZnO dan Al2O3 yang terdapat dalam katalis. Karakterisasi XRD ini dilakukan menggunakan PW1710 Philips Analytical X-Ray B.V. Interpretasi hasil difraktogram dilakuakan dengan cara membandingkan hasil yang didapat dengan difraktogarm dalam database pdf (powder diffraction file). Setelah seluruh sampel katalis dikarakterisasi, selanjutnya akan dilakukan uji aktifitas. Pengujian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara aktifitas katalis dan temperatur pembuatan katalis. Uji aktifitas menngunakan reaktor kukus metanol di Labolatorium Teknik Reaksi dan Katalis, Programm Studi Teknik Kimia, ITB. Komponen penyusun reaktor adalah syringe pump, syringe metanol/H2O, pemanas nikelin, tubular furnace, tabung gas N2 dan H2. Semua komponen tersebut tersusun menjadi rangkaian seperti yang ditunjukan oleh Gbr 4. Kondisi keseluruhan komponen ketika reaksi berlangsung di tunjukan oleh Tabel 4. Reaktor ini didisain untuk mereaksikan campuran uap air dan metanol pada permukaan katalis pada temperatur tertentu dalam keadaan inert. Untuk mengatur temperatur reaksi, reaktor ditempatkan dalam tubular furnace. Uap campuran air metanol dipanaskan menggunakan nikelin sebelum masuk ke dalam reaktor. Sedangkan untuk membuat suasana menjadi inert, dialirkan gas nitrogen dengan laju alir 76.6 ml/menit.
Kronologis uji aktifitas dimulai dengan memasukkan katalis sebanyak 1 g ke dalam reaktor yang sudah dipasang glass wool. Setelah itu reaktor dimasukkan ke dalam furnace dengan bagian atasnya dihubungkan dengan pipa yang terlilit pemanas nikelin dan bagian bawahnya dihubungkan ke kondensor. Pada pipa yang terlilit nikelin, terdapat injektor untuk memasukkan syringe metanol + air dari syringe pump. Syringe ini sekaligus berfungsi untuk mengatur laju aliran metanol + air. Setelah reaktor terpasang, gas N2 dialirkan. Namun sebelumnya, laju alir masukkan N2 harus dipastikan 76,6 ml/menit. Selama menunggu suasana inert, furnace diset temperatur oprasinya. Set temperatur pada 100 oC yang kemudian terus dinaikan setiap 20 oC hingga mencapai suhu 300 oC. Temperatur ini adalah temperatur reduksi katalis, sehingga apabila keadaan innert telah tercapai gas H2 harus dialirkan untuk mereduksi katalis. Reduksi bertujuan untuk mengubah CuO menjadi Cu yang merupakan fasa aktif dari katalis ini. Reaksi yang terjadi adalah : CuO(s) + H2(g) → Cu(s) + H2O(g) ΔHo = -87,7 kJ mol-1
(9)
Lamanya proses reduksi sekitar 2 jam. Setelah itu supply H2 dihentikan. Kemudian dilakukan pembilasan H2 sisa dalam reaktor. Pembilasan ini selesai apabila konsentrasi H2 berdasarkan catatan GC sudah mencapai 0.07. Selesai pembilasan, tahap selanjutnya adalah tahap reaksi. Tahap ini dimulai dengan menginjeksikan campuran metanol + air ke injektor pada bagian atas reaktor. Setelah pembilasan dilakukan, suhu reaktor diturunkan hingga 100 oC. Setealah dicapai kondisi stabil, metanol+air diinjeksikan melalui syringe. Pengambilan data dilakukan setelah proses berlangsung setengah jam. Jeda waktu setengah jam dimaksudkan untuk memastikan bahwa kondisi reaktor telah tunak. Seperti telah disinggung sebelumnya, temperatur reaktor akan dinaikan hingga 150 oC lalu setelah setengah jam dilakukan pengambilan data kembali. Kegiatan ini terus diulang hingga temperatur reaksi 300 oC. Data yang diambil selanjutnya akan digunakan untuk menghitung aktifitas katalis. Aktivitas katalis Cu/ZnO/Al2O3 dapat dinyatakan sebagai persentasi konversi metanol menjadi H2 dalam reaksi SRM. Perhitungan konversi ini berdasarkan stoikiometri reaksi berikut ini. CH3OH + H2O → CO2 + 3H2 ∆Hro = 50 kJ mol-1 (10)
J. Nano Saintek. Vol. 1 No. 1, Feb 2008
6
Gas output H2, CO2, CO, N2
Syringe pump
Furnace
Flow meter
Cu/Zn/Al2O3
Heater nikelin
air
Gas chromatography H2
N2 air
Gambar 4 Skema steam reforming metanol yang diguanakan dalam eksperimen Tabel 4. Kondisi seluruh komponene pada reaktor SRM ketika sedang reaksi No.
1. 2.
Komponen Reaktor dan Umpan Syringe Pump Syringe metanol/air
3.
Pemanas
4.
Metanol/air
5.
Pipa Reaktor
6.
Penyangga katalis/Katalis
7. 8. 9. 10.
Furnace Tekanan Nitrogen hidrogen (pereduksi)
Spesifikasi
M362 ORION SageTM Turmo, 35 mL Saluran-3 stainless steell, nikeline wire, isolator asbes p.a/dm Stainless Steel (diameter internal 8 mm) Glass Wool/ Katalis CuO/ZnO/Al2O3 21100 Tube Furnace Teknis High Purity
Pada saat reaksi tersebut, satu mol metanol dan satu mol air (keduanya berfasa gas) dalam aliran gas nitrogen bereaksi di permukaan katalis menghasilkan tiga mol gas hidrogen dan satu mol gas karbondioksida. Konversi metanol dapat dihitung dari persamaan berikut ini. 1 mol Hidrogen Konversi Metanol = 3 × 100% mol Metanol
(11)
Data yang dibutuhkan untuk menghitung prosentse konversi adalah luas area gas produk pada
Kondisi Operasional
0,067 mL/menit Volume pengisian 35 mL Voltase 5-10 V, suhu pemanasan 150 – 250 oC 24,3 mL/13 mL Rasio mol 1:1,2 Berat katalis 1 gram 200 – 400 oC atmosferik 77 mL/menit 88 mL/menit
kromatogram dan laju alir gas produk. Komponen gas produk yang dianalisis dalam GC dibedakan berdasarkan waktu retensinya. Waktu retensi adalah waktu yang dibutuhkan sampel untuk terdeteksi oleh detektor (ditandai dengan puncak pita elusi). Komponen yang berbeda memiliki waktu retensi yang berbeda akibat perbedaan interaksi dengan fasa stasioner. Waktu retensi, tR, masing-masing gas adalah 0,9 – 1,1 mnt untuk gas H2, 1,5 – 1,6 mnt untuk gas O2, 2,3 mnt untuk gas N2, dan 5,8 – 6,5 mnt untuk gas CO.
J. Nano Saintek. Vol. 1 No. 1, Feb 2008
7
4. Hasil dan Diskusi
BET adalah metoda pengukuran luas permukaan yang menggunakan gas sebagai instrumennya. Gas yang digunakan pada penelitian ini adalah nitrogen. Metoda ini mengunakan perbandingan dari volume gas yang teradsorpsi dengan volume gas teradsorpsi yang membentuk lapisan tunggal seperti diberikan oleh persamaan V CX = Vm (1 − X )(1 − X + CX )
a
(12)
dengan X = P / Po ,
P tekanan gas yang teradsorpsi, Po tekanan gas yang membentuk lapisan tunggal, dan C konstanta adsorpsi-desorpsi ( C = K ads / K des ). Luas
b
permukaan dapat diperoleh dari persamaan
S =
Vm * NA * SN 2 V
(13)
dengan Vm volume N2 yang akan membentuk 1apisan tunggal, NA bilangan Avogadro sebesar 6,02 x 1023 partikel mol-1, V volume gas pada STP sebesar 22400 mL mol-1, dan SN2 luas permukaan 1 molekul N2 sebesar 16,2 x 10-20 m2 . Tabel 5. hasil karakterisasi dengan BET Sampel
nano 1 nano 2 nano 3
Luas Permukaan spesifik (m2/g) 4.5294 1.2269 0.4008
Jari-jari pori rata-rata (Å) 11.101 11.032 10.917
Tabel 5 adalah hasil karakterisasi dengan metode BET untuk tiga sampel yang dibuat. Tampak bahwa luas permukaan spesifik menurun jika temperatur pembuatan naik. Dengan membandingkan luas dan temperatur pembuatan dapat kesimpulan bahwa setiap kenaikan 200 o C luas permukaan akan berkurang 3-4 kali. Penyebab berkurangnya luas permukaan ini adalah sintering yang terjadi setelah PEG terdekomposisi. Sintering akan mengakibatkan nanopartikel yang awalnya terpisah menjadi bergabung. Ukuran partikel juga akan semakin besar dengan naiknya temperatur sintesis. Hasil ini juga dikonfirmasi oleh foto SEM seperti ditunjukan pada Gbr 5. Makin tinggi suhu sintesis maka makin besar ukuran partikel.
c
Gambar 5. (a) Foto SEM untuk sampel nano 1, (b) nano 2, dan (c) nano 3. Panjang bar skala adalah 1 μm.
Hasil XRD untuk semua sampel cocok dengan data base pada pdf (powder diffraction file). Kandungan CuO dalam katalis sesuai dengan pdf # 801916. Pdf # 750788 juga sesuai untuk menganalisis kandungan ZnO dalam sampel. Sedangkan pdf # 832080 cocok untuk menganalisis kandungan Al2O3. Difraktogram untuk tiga sampel diperlihatkan pada Gbr. 6. Pada sampel nano 3 dominasi CuO sangat tinggi. Puncak-puncak ZnO terlihat sangat lemah dan tidak terlihat adanya puncak untuk Al2O3. Intensitas tertinggi untuk CuO mencapai 795. Pada difraktogram nano 2, puncak Al2O3 sudah mulai terlihat, namun masih sangat lemah. Puncak ZnO semakin menguat. Ini menunjukan konsentrasi ZnO dan Al2O3 yang lebih banyak dari pada nano 3. Puncak CuO tertinggi pada
J. Nano Saintek. Vol. 1 No. 1, Feb 2008
nano 2 mencapai 795, sama dengan nano 3. Hal ini menandakan bahwa kristalinitas nano 3 dan nano 2 tidak berbeda jauh. Hasil yang berbeda ditunjukan oleh nano 1. Kristalinitas CuO pada sampel ini menurun. Ini ditunjukkan dengan intensitas tertinggi CuO yang hanya 654. Akan tetapi puncak Al2O3 dan ZnO tampak menguat dibanding dengan dua difraktogram sebelumnya. Dari hasil XRD diatas dapat ditarik hubungan antara kristalinitas dan konsentrasi dengan temperatur pembuatan. Meningkatnya kristalinitas dari nano 1 ke nano 2 menunjukkan bahwa perubahan temperatur dari 600 oC ke 800 oC menyebabkan kristalinitas menjadi semakin baik. Namun, merujuk pada kemiripan kristalinitas nano 2 dan nano 3, perubahan temperatur pembuatan dari 800 oC ke 1000 oC tidak menunjukkan peningkatan kristalinitas yang berarti.
Gambar 6. Difraktogram untuk tiga sampel: (a) nano 1, (b) nano 2, dan (c) nano 3.
Hasil ini menuntun pada kesimpulan adanya temperatur pembuatan optimal. Peningkatan temperatur hingga temperatur optimal akan meningkatkan kristalinitas. Namun peningkatan temperatur di atas temperatur optimal tidak terlalu mempengaruhi kristalinitas. Dengan demikian temperatur optimal adalah temperatur pembuatan terendah untuk mendapatkan kristalinitas yang baik. Temperatur optimal dalam pembuatan katalis ini sekitar pada 800 oC. Hasil XRD ini juga menunjukan adanya hubungan antara konsentrasi komponen sampel dengan temperatur pembuatan. Lemahnya puncak ZnO dan hilangnya puncak Al2O3 pada nano 3 menunjukan bahwa semakin tinggi temperatur akan menghilangkan sebagian komponen penyusun sampel. Kesimpulan yang sama juga
8
dapat ditarik dari puncak ZnO dan Al2O3 yang menguat pada nano 1, padahal sebelumnya sangat lemah pada nano 2. Adanya temperatur optimal untuk mengasilkan kristalinitas terbaik cocok dengan dengan yang dilaporkan Mikrajuddin [4]. Katalis yang ideal memiliki aktifitas yang baik, selektifitas yang tinggi dan life time yang panjang. Aktifitas katalis didefinisikan sebagai kemampuannya untuk mengubah reaktan menjadi beberapa produk tertentu . Satuan aktifitas yang dipakai adalah persentasi. Dengan demikian, aktifitas Cu/Zn/Al2O3 akan dinilai berdasarkan persentasi konversi metanol menjadi hidrogen. Sesuai dengan prosedur uji aktifitas yang dijelaskan sebelumnya, hasil akhir yang akan didapat adalah hubungan antara persentasi konversi dengan temperatur reaksi. Perhitungan dan data untuk mendapatkan hubungan ini sebagai berikut. Perhitungan persentasi aktifitas didasari oleh dua jenis data. Data pertama adalah luas area gas produk dari GC dan yang kedua adalah laju alir gas produk dari reaktor. Langkah pertama adalah menerjemahkan luas area pada kromatografi menjadi mol dengan menggunakan persamaan Mol H 2 =
Area H 2 - 105893 3 × 1011
(14)
Mol N 2 =
Area N 2 - 1588 4 × 1010
(15)
Setelah mol H2 dan N2 diperoleh maka langkah selanjutnya adalah mencari jumlah mol seluruh gas produk. Jumlah mol CO2 dan (CO, kalau ada) dicari mengunakan stoikiometri sederhana pada reaksi CH3OH + H2O → CO2 + 3H2 dan 2CH3OH + H2O → CO2 + 5H2 + CO. Setelah semua mol gas produk didapat selanjutnya adalah mencari fraksi mol H2 (XH2) dengan membagi mol H2 dengan mol total semua gas produk. XH2 ini diperlukan untuk menghitung laju alir mol H2 denga cara mengalikannya dengan laju alir mol gas produk. Laju alir mol gas produk didapat dari laju alir yang diamati pada buble flow pada output reaktor. Dengan didapatnya laju alir mol H2, maka dengan kembali menggunakan stoikiometri sederhana di atas maka didapat laju alir mol metanol yang bereaksi. Terakhir adalah membandingkan metanol yang bereaksi dengan laju alir mol metanol umpan yang akan menghasilkan persentasi konversi metanol. Hasil uji aktifitas ditunjukan oleh Gbr 7. Terlihat bahwa persentasi konversi pada temperatur di bawah 176 o C tidak menunjukan nilai yang berarti. Harga konversi mulai merangkak naik pada temperatur sekitar 250 oC. Setelah temperatur ini, konversi untuk masing masing katalis mulai bervariasi. Konversi nano 3 naik secara monoton dan mencapai sekitar 20% pada suhu 500oC. Gas CO pada nano 3 mulai terdeteksi pada temperatur 280oC. Untuk sampel nano 2, koversi tmendekati 100% pada suhu
9
J. Nano Saintek. Vol. 1 No. 1, Feb 2008
500oC. Suhu di mana gas CO mulai tefdeteksi adalah 245 o C, lebih rendah daripada yang dihasilkan oleh nano 1. Hal ini menunjukan bahwa selektifitas nano 2 terhadap CO2 dan H2 lebih rendah daripada nano 3.
Konversi [%]
100 80
nano 1 nano 2
60
nano 3
40 20 0 100
200
300 Suhu [oC]
400
500
Gambar 7 Hubungan proesentase konversi setiap sampel katalis terhadap temperatur reaksi
Pada uji selektifitas untuk nano 1, konversi sekitar 50% dimatai pada suhu 500 oC. Namun demikian nano 1 memiliki tren naik yang relatif lebih baik dari pada nano 3. Nilai konversi nano 1 selalu meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur. Gas CO mulai terdeteksi pada temperatur 220 oC. Dengan demikian, peringkat konversi terendah dimiliki oleh nano 3, disusul oleh nano 1 dan yang paling tinggi adalah nano 2. Kecenderungan persentasi konversi untuk semua katalis meningkat kecuali untuk nano 3. Konversi nano 3 menurun pada suhu diatas 500 oC. Analisis untuk seluruh hasil ini adalah sebagai berikut. Kenyataan bahwa konversi yang rendah secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh luas permukaan yang sangat kecil. Seperti yang ditunjukan oleh hasil karakterisasi BET, luas permukaan spesifik nano 3 hanya 0,4008 m2/g, sedangkan nano 2 dan nano 1 adalah 1.2269 m2/g dan 4.5294 m2/g. Luas permukan tersebut sangat kecil dibanding dengan katalis Cu/Zn/Al2O3 yang dihasilkan oleh berbagai pelitian. Sebagai ilustrasi, katalis Cu/Zn/Al2O3 dengan (perbandinagn mol Cu:Zn:Al2O3 = 2:1:0.1) yang disintesis Firmansyah [1] memiliki luas permukaan 43,2 m2/g. Namun, analisis di atas benar pada rentang 100 oC sampai 245 oC. Pada rentang ini konversi nano 1 > nano 2 > nano 3 yang membuktikan semakin luas permukaan katalis semakin tinggi pula konversinya. Namun, pada temperatur di atas 245 oC analisis tersebut tampak kurang relevan. Hal ini diperlihatkan oleh persentase konversi nano 2 yang meningkat jauh mendahului nano 1. Masalah ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan jumlah Zn pada kedua katalis. Pada hasil uji komposisi oksida dengan EDX (Gbr 8), nano 2 memiliki jumlah ZnO lebih banyak daripada nano 1, walaupun tidak signifikan (nano 2 = 33.62 % dan nano 1 = 32.52 %). Kehadiran Zn pada katalis mempengaruhi
aktifitas katalis tersebut, sesuai dengan yang dilaporkan Agarwal [5]. Kemungkinan lainnya adalah proses terbentuknya uap metanol yang tidak kontinu. Ketidakkontinuan ini akan membuat laju alir output tidak konsisten, kadang cepat dan kadang lambat. Karena laju alir menunjukan banyaknya mol yang mengalir terhadap waktu, maka kesalahan yang terjadi pada laju alir keluaran akan mempengaruhi perhitungan aktifitas katalis. Kenyataan ini diperkuat dengan hasil perhitungan konversi nano 2 yang mencapai 140 % di atas 500oC. Kecenderungan konversi yang menurun pada nano 3 (>300 oC) disebabkan oleh deaktifasi katalis. Deaktifasi kemungkinan terjadi karena pengaruh sintering. Sintering Cu akan semakin cepat terjadi dengan kadar penyangga dan promotor yang sedikit. Hasil analisis EDX untuk nano 3 menunjukan kadar ZnO hanya 1.68 % dan Al2O3 = 1.89 %. Kemungkinan lain penyebab deaktifasi ini adalah terbentuknya coke yang akan menutupi poripori katalis sehingga mengurangi luas. Analisis ini sesuai dengan yang diporkan oleh Agarwal [4]. Penuruanan aktifitas ini teramati juga oleh Firmansyah [1]. 5. Kesimpulan dan Saran
Katalis Cu/Zn/Al2O3 untuk steam reforming metanol telah dibuat menggunakan metoda pemanasan sederhana dalam larutan polimer. Hasil BET menggambarkan luas permukaan spesifik sampel yang dibuat pada suhu 600oC, 800oC dan 1000oC masing-masing 4.5294 m2/g, 1.2269 m2/g, dan 0.4008 m2/g. Hasil ini cocok dengan foto SEM yang memperlihatkan bahwa ukuran partikel makin besar dengan naiknya suhu pembuatan. Karakterisasi menggunkan XRD menandakan kristalinitas sampel yang dibuat pada suhu 800oC dan 1000oC tidak jauh berbeda. Namun kristalinitas sampel yang dibuat pada suhu 600oC jauh lebih rendah. Dengan demikian peningkatan temperatur pembuatan hingga 800oC meningkatkan kristalinitas sampel, namun peningkatan suhu lebih lanjut diatas 800oC tidak mengubah kristalinitas secara berarti. Suhu 800oC dapat dianggap sebagai suhu sintesis maksimum, yaitu suhu sintesis terendah untuk mendapatkan kristalinitas yang baik. Hasil uji aktifitas katalis menunjukan bahwa sampel yang dibuat pada suhu 800oC memiliki aktifitas yang lebih baik dari sampel lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh persentasi Zn dalam sampel tersebut lebih banyak daripada yang berada dalam sampel lainyya seperti ditunjukkan oleg data EDX. Pada suhu reforming 500oC, konversi metanol menjadi hidrogen mendekati 100% menggunakan katalis sampel yang dibuat pada suhu 800oC.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih kepada ITB atas bantuan dana melaui riset KK ITB 2007.
10
Count
J. Nano Saintek. Vol. 1 No. 1, Feb 2008
keV Gambar 8. Hasil EDX untuk nano 2 dan nano 1. Persentase ZnO dalam (A) nano 2 =33.62 % dan dalam (B) nano 1 = 32.52 %. Daftar Pustaka
[1] D. Firmansyah, Sintesa dan Uji Aktifitas Katalis CuZnAl2O3 pada Reaksi Reformasi Kukus Metanol. Tesis Magister, Institut Teknologi Bandung (2006). [2] M. Abdullah, I.W. Lenggoro, B. Xia, and K. Okuyama, J. Ceram. Soc. Jpn. 113, 97 (2005). [3] M. Abdullah, K.Okuyama L.W Lenggoro, and S.Taya, J. Non-Crystalline Solids 351, 697 (2005) [4] M. Abdullah and K. Okuyama. Proc. ITB Eng. Sci 36B, 140 (2004). [5] V. Agarwal, S. Patel, and K.K. Pant, App. Cat. 279, 155 (2004).