JURNAL ILMIAH
LEX PUBLICA ASOSIASI PIMPINAN PENDIDIKAN TINGGI HUKUM INDONESIA
DAFTAR ISI
Vol. III. No. 2, Mei 2017 PENGANTAR REDAKSI KEPEMIMPINAN BERJATI DIRI PANCASILA UNTUK MENJAGA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA Oleh : Ade Saptomo ............ hal. 507 - 514 PANCASILA SEBAGAI “DAS SOLLEN” dan “VOLKGEIST” DALAM PEMBAHARUAN HUKUM INDONESIA YANG MAJEMUK Oleh : Eman Suparman ............ hal. 515 - 524 SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA DALAM BINGKAI KONSTITUSI Oleh: Dewi Astutty Mochtar ............ hal. 525 - 534 NEGARA HUKUM YANG BERKE-TUHANAN DAN PLURALISME (SISTEM) HUKUM DI INDONESIA Oleh: Tristam P. Moeliono ............ hal. 535 - 554 PANCASILA SEBAGAI PEREKAT KEMAJEMUKAN BANGSA Oleh : Zainal Arifin Hoesein ............ hal. 555 - 566 PERAN EMPAT PILAR KEBANGSAAN DALAM MEMBENTUK KARAKTER INDIVIDUAL DALAM KESEIMBANGAN BERUSAHA Oleh: Hj. Azizah ............ hal. 567 - 576 SINERGITAS PRINSIP BHINEKA TUNGGAL IKA DENGAN PRINSIP PLURALISME HUKUM Oleh: Anak Agung Sagung Ngurah Indradewi ............ hal. 577 - 582 URGENSI SOSIALISASI EMPAT PILAR BAGI KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA Oleh : Hj. Fatria Khairo ............ hal. 583 - 598 URGENSI MENGHIDUPKAN KEMBALI GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA DALAM KONSTITUSI oleh: Rahmat Muhajir Nugroho ............ hal. 599 - 606 MAHASISWA DAN NASIONALISME MENUJU PENGABDIAN MASYARAKAT BERLANDASKAN PANCASILA Oleh : H.A Dardiri Hasyim ............ hal. 607 - 618 PETUNJUK PENULISAN ............ hal. 619 - 622
505i
Lex Publica
Pengantar Redaksi...... Mewujudkan sebuah Negara yang merdeka dan berdaulat seperti Negara kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia, memerlukan perjalanan panjang, yang pada akhirnya melalui Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 negara ini menyatakan keMerdeka-annya. Demikian juga, mewujudkan cita-cita Negara yang ideal sebagai tujuan Negara, yang pencapaiannya dituangkan melalui konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar 1945, perjalanan bangsa mengalami berbagai fluktuatif peristiwa bersejarah yang meliputi perilaku politik, ekonomi, hukum dan keamanan, yang keseluruhannya berintikan demi mewujudkan tujuan dan cita Negara yakni masyarakat yang ADIL dan MAKMUR bagi SELURUH rakyat Indonesia tanpa kecuali. Alhasil, menjadi catatan sejarah, bahwa sejak Negara ini ada, kita mengalami dekade periode rezim politik pemegang kekuasaan, yaitu yang disebut dengan era rezim orde lama ( 1945-1966), rezim orde baru (1966-1998), serta rezim orde reformasi (1998 - hingga saat ini). Pada era reformasi ini, penyelenggara Negara yang bernaung pada lembaga tinggi Negara melakukan upaya yang bersifat filosofis ataupun bersifat sosiologis agar penyelenggaran ketatanegaraan maupun pemerintahan berkemampuan tepat dan berdaya guna dalam rangka mewujudkan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu gagasan ideal yang tepat tersebut yakni mengangkat tematik Empat Pilar Kebangsaan dan Bernegara yang meliputi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika. Ke-Empat Pilar tersebut perlu difahami secara memadai, sehingga kita dapat memberikan penilaian secara tepat, arif dan bijaksana, dan dapat menempatkan secara akurat dan proporsional dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, terutama terkait peran dan fungsi empat pilar dimaksud dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara singkat, Pilar (soko, bahasa Jawa) dapat dimaknai sebagai tiang penyangga suatu bangunan. Pilar memiliki peran yang sangat sentral dan menentukan. Jika pilar ini tidak kokoh atau rapuh akan berakibat robohnya bangunan yang disangganya. Pilar bagi suatu negara-bangsa berupa sistem keyakinan atau belief system, atau philosophische grondslag, yang berisi konsep, prinsip dan nilai yang dianut oleh rakyat negara-bangsa yang bersangkutan yang diyakini memiliki kekuatan untuk dipergunakan sebagai landasan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pilar yang berupa belief system suatu negara-bangsa harus menjamin kokoh berdirinya negara-bangsa, menjamin terwujudnya ketertiban, keamanan, dan kenyamanan, serta mampu mengantar terwujudnya kesejahteraan dan keadilan yang menjadi dambaan warga bangsa. Tema besar dari isi Jurnal kali ini, merupakan refleksi dari makna Empat Pilar Kebangsaan, yang kemudian dijadikan dasar pengembangan pemikiran dalam melakukan kajian ilmiah terkait peristiwa hukum tertentu. Mudah-mudahan tulisan-tulisan ini menambah wawasan dalam perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara, serta bermanfaat bagi yang hendak mendiskusikannya.
Selamat Membaca dan Salam Redaksi.
Laksanto Utomo ii 506
KEPEMIMPINAN BERJATI DIRI PANCASILA UNTUK MENJAGA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA Oleh : Ade Saptomo Ketua Pembina Asosiasi Pimpinan Perguruan Hukum Indonesia, Dekan dan Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila
[email protected] Abstrak Tulisan ini menggambarkan telah tercipta situasi perilaku sebagian warga masyarakat elit setelah era reformasi 1998 yang sehari-hari cenderung meminggirkan, mengabaikan, menjauhkan, menanggalkan, dan meninggalkan nilai-nilai Pancasila. Jika kondisi demikian dibiarkan dan terus menerus terjadi, maka taruhannya adalah eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia dimasa mendatang, sebuah bentuk negara yang telah dipilih secara tepat oleh the founding fathers sesuai kondisi geo-politik dan geo-sosial-budaya Bagsa Indonesia. Untuk itu, pertanyaannya, konsep solutif apa yang perlu dikemukakan untuk menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam tulisan dipastikan lagi, konsepnya adalah faham asli masyarakat Indonesia, yaitu gotongroyong, kebersamaan, yang kini disebut Pancasila. Agar tidak tercerabut dari jati diri bangsa berupa Pancasila, maka gerakan perilaku semua lini elit dan pemimpin pusat dan daerah sesuai nilai dan faham asli dimaksud. Yang dibutuhkan selanjutnya adalah suri tauladan kepemimpinan berjadi diri bangsa Indonesia, sekaligus merupakan salah satu model untuk menjaga eksistensi Negara Kesatuan Repubik Indonesia. Kata kunci: Kepemimpinan Berjati Diri Pancasila Abstract This paper describes the situation has created an elite part of the society's behavior after the 1998 reform era which daily tends to marginalize, ignore, keep, remove, and leave the values of Pancasila. If this condition is left and continue to happen, then the bet is esskistensi the Unitary Republic of Indonesia in the future, a form of state that have been appropriately by the founding fathers, according to the conditions geo-political and geo-cultural social bagsa Indonesia. To that question, the concept of solution-what needs to be raised to maintain the existence of the Unitary Republic of Indonesia. In certain writing again, the concept is original ideology of Indonesian society, mutual assistance, solidarity, now called Pancasila. In order not to cut off from the national identity in the form of Pancasila, the movement behavior of all the elite lines and corresponding central and local leaders and understand the value of the original question. What is needed next is a role model of leadership berjadi Indonesian nation, as well as one of the models to maintain the existence of the Unitary Republic of Indonesia. Keyword : Self identity Pancasila leadership A. Pengantar Akhir-akhir ini, bahkan telah dimulai awal lengsernya Era Orde Baru 1998, Pancasila sebagai ideologi/falsafah bangsa Indonesia terke-
san, dalam beberapa hal, ditanggalkan, ditinggalkan, dipinggirkan dalam kehidupan seharihari oleh elit politik, bahkan dari praktik ke-Tata-Negara-an dan ke-Tata Pemerintahan sekali507
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 507 - 514
pun. Seolah risih dan malu menyebutkan nilainilai Pancasila sebagai pedoman bertindak politik, sosial, ekonomi, dan hukum. Padahal jika direnungkan secara mendalam, the virtual of Pancasila adalah kebersamaan, sebuah nilai budaya yang ada di seluruh penjuru Nusantara Indonesia dan masih dipraktikkan oleh warga bangsa dalam kehidupan sehari-hari. Namun dalam kehidupan ketatanegaraan dan ketatapemerintahan, justru hal itu mulai mengering karena terkesan tidak dijadikan roh perundang-undangan. Untuk itu, tulisan ini mencoba mundur sedikit ke belakang untuk melacak darimana titik pembiasan-pembiasan dimulai. Hal ini menjadi penting mengingat dengan menguraikan dan menjelaskan Pantjasila agak surut ke belakang, dengan sedikit banyak memasuki wilayah ilmu filsafat mengingat Pancasila itu sendiri sebagai suatu “Weltanschauung”, yaitu sebagai pandangan hidup termasuk alam cita-cita, yaitu sebagian dari ilmu filsafat. Sarjana bernama Soenarko telah menyusun buku yang mengurai dengan apik tentang susunan negara kita sesuai roh Pancasila.1 Pantjasila adalah sikap hidup, yang menjadi pedoman dalam susunan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan paham ini diambil dari mukaddimah Undang-undang Dasar Republik. Ketika Pantjasila dijadikan dasar atau basis idiologis dari penyusunan praktik ke- Tata Negara-an sebagaimana negara-negara lain, mestinya struktur ketatanegaraan dimaksud harus berisikan nilainilai Pancasila. Pancasila sebagai kristalisasi nilai-nilai nusantara atau nilai-nilai budaya nusantara harus diwujudkan ke dalam Struktur Negara mengingat setiap struktur Negara berbasis hukum dan peraturan, tidak lain ia merupakan perwujudan idiologi yang tesembunyi di belakangnya. Sebenarnya tata negara itu sendiri merupakan bentuk lahir dari sesuati cita-cita yang dikandung oleh rakyat. Susunan Tata Negara dimaksud dapat dibagaikan kulit dari suatu buah yang meliputi isinya, atau tiap-tiap susunan keTata Negara-an harus didukung oleh keinginan, hasrat dan sikap rakyat yang hidup dalam masyarakat. Hasrat dari cita-cita rakyat itulah yang memberi isi dan jiwa pada susunan Tata Negara, sehingga Tata Negara itu tentu akan menjadi 1
Tulisan diwarnai pandangan Mr. Soenarko, 1950. Susunan Negara Kita, Djakarta: Djambatan
508
lapuk jika tidak bersandarkan atau sesuai dengan alam pikiran rakyat yang menghendakinya.2 Karena itu, ilmu Tata Negara erat sekali hubungannya dengan ilmu yang menetapkan sikap hidup, yaitu ilmu filsafat seumumnya. Salah satu pujangga di Yunani kuno bernama Plato, pernah mengatakan demikian: “Seyogyanya Negara itu dipimpin oleh seorang filsuf dan seorang filsuf seyogyanya menjadi penguasa Negara”. Dalam filsud yang banyak dikenal, terutama di pulau jawa, maka ada peribahasa “Satria Pendita” yaitu tiap “Satria” atau ahli pemerintahan hendaknya mempunyai sifat “Kependitaan” atau kefilsafatan pula, agar supaya Negara itu dapat dipimpin dan diatur sebaik-baiknya, karena seorang “Pendita”, ahli filsafat, ialah orang yang dapat memeahami sedalam-dalamnya tentang cita-cita seluhurnya mengenai cara mengemudikan sesuatu Negara. Darimanakah sumber cita-cita Pantjasila itu? Dalam buku “Pantjasila” yang berisi pidato dari Presiden Sukarno, waktu beliau menjelaskan soal itu dalam siding pembentukan Undangundang Dasar Republik Indonesia di Jakarta pada bulan Agustus 1945, dapatlah kita menarik kesimpulan bahwa Pantjasila, atau Lima Dasar itu sesungguhnya berasal dari dua alam fikiran, yang digabungkan menjadi satu fikiran yang bulat. Pertama, bersumber dari arus perjuangan kemerdekaan selama berpuluh-puluh tahun dimana bangsa Indonesia memperjuangkan hakhaknya. Bangsa Indonesia, yang ingin menjadi bangsa yang bernegara, dalam perjuangan itu menghadapi sesuatu susunan penjajahan yang didasarkan pada paham imperialism dari barat, maka disusunlah faham-faham yang dapat me2
Alam fikiran rakyat ialah dasar Negara. Susunan Tata Negara Perancis didasarkan pada cita-cita luhur “Egalite Fraternite-Liberte”, yaitu cita-cita persamaan, persaudaraan dan kemerdekaan, cita-cita mana telah dilahirkan dalam arus revolusi Perancis dalam abad ke-18. Susunan Undang-undang dasar Tiongkok Nasional ialah berdasar pada prinsip San Min Chu I, yaitu dasar Sosialisme, Nasionalisme, dan demokrasi seperti yang diikrarkan oleh marhum Sun Yat Sen. Tata Negara Soviet didasarkan atas paham idiologis marxisme dengan diktatur prolertanya, yaitu cita-cita mengadakan masyarakat komunistis melalui jalan dan tingkatan diktatur kaum buruh dulu. Susunan masing-masing negara itu adalah merupakan persesuaian dengan cita-cita yang dikandung oleh rakyatnya yang memberi jiwa pada Tata Negara itu.
Kepemimpinan Berjati Diri Pancasila …
Ade Saptomo
ngimbangi, menandingi, dan melawan faham imperialism itu. Dalam perjuangan kemerdekaan maka beberapa faham barat yang merupakan faham yang berisi corak anti-imperialisme, yaitu faham-faham Sosialisme, Demokrasi dan Nasionalisme, dijadikan pedoman oleh beberapa partai-partai untuk melawan imperialism. Ada partai yang lebih cenderung pada faham sosialisme, ada yang lebih menyukai faham Nasionalisme, ada yang lebih banyak menggunakan senjata fikiran Demokrasi. Aliran-aliran ini, yang juga mempengaruhi gerakan-gerakan yang melulu bersifat ke-agamaan ataupun bersifat ke-sosialan dan perikemanusian, nyatanyata telah menjadi sumber yang melahirkan susunan Pantjasila seperti yang termaktub dalam Mukaddimah itu. Pimpinan-pimpinan yang berkumpul dalam rapat-rapat penyusunan Undangundang Dasar itu, sedikit banyak membawa aliran-aliran sosialisme, nasionalisme, dan demokrasi itu, meskipun pada waktu itu mereka tidak bekerja sebagia wakil salah satu partai. Pengaruh aliran-aliran modern kebaratan ini nyatanyata diterima, oleh karena faham-faham itu dapat disesuaikan pula dengan faham-faham dan hasrat yang hidup dalam kalangan rakyat sedari dulu kala. B. Faham Asli Faham rakyat yang asli merupakan sumber bagi Pantjasila. Pergaulan hidup dari rakyat yang bersifat desa, itulah sumber yang primair, yang jadi pokok pangkal kelahiran Pantjasila. Menurut perkataan Bung Karno, maka Pantjasila itu jika di-“peras” hinga pati-sarinya, maka akan tinggal dasar pemulaannya, yaitu biji embrionya Pantjasila yang bersifat Gotong-royong. Faham gotong-royong dimaksud adalah faham Indonesia asli, yang dirasakan sungguh-sungguh sebagai pedoman hidup dari bangsa Indonesia
yang terbanyak. Di dalam pergaulan hidup masyarakat desa secara gotong-royong, cukup kuat anasir-anasir Pantjasila itu, yang sudah tentu tidak berkedudukan terminologi modern sebagai sosialisme, demokrasi, dan sebagainya, tetapi terlihat dalam bentuknya asli. Desa dalam segala tingkatan di seluruh Indonesia ialah masyarakat asli Indonesia, dimana bangsa Indonesia dari bermacam-macam suku hidup bersama dalam sesuatu lingkungan kecil. Dilihat dari sudut ilmu sosiologi, yaitu ilmu masyarakat, maka desa itu menurut sarjana Ferdinand Tonnies, ialah tergolong masyarakat yang bersifat gemeinschaft dimana para warga desa saling terkaitan oleh perasaan persatuan yang erat. Dilihat dari sudut ilmu adat, maka Profesor Ter Haar dalam bukunya Inleiding tot Adatrecht yang terkenal menamakan desa itu sebagai “Gerombolan manusia yang tetap dan teratur dengan pemerintahan dan kejayaan materiel dan imateriel sendiri”, dan Professor Boeke dalam bukunya De Theorie der Indonesische Economie yang melihat desa itu dengan kacamata ekonomi, memberikan definisi sebagai berikut: “Desa itu ialah suatu masyarakat religious yang diikat oleh tradisi bersama dari warga penanam bahan makanan yang sedikit banyak mempunya hubungan kebangsaan”. Professor Kleintjes, ahli Tata Negara, mendefinieer desa sebagai berikut: “Desa itu ialah badan hukum Indonesia asli yang berdiri sendiri dan terikat pada suatu daerah kecil”. Desa ada beragam sifatnya, yaitu di Aceh dinamakan Gampong, di Batak disebut Kuria, di Minangkabau Nagari, di Palembang dinamakan Marga, di Ambon Negory dan sebagainya, tetapi mereka senuanya terbentuk atas dua dasar yaitu dasar kedarahaan atau keturunan para warga desa dan dasar kedaerahan atau kediaman para warga desa.
Daftar Sebutan Masyarakat Hukum Adat Nusantara No 1 2 3.
Propinsi/Daerah Aceh Sumut a. Sumatera Timur b.Tapanuli Sumatera Barat
Nama Kesatuan Masyarakat Menurut Bahasa Setempat Kampung, Mukim, Gampong, Jurang, Kute Marga, Kuria, Kampung, (Lorong/Wek), Huta Negeri Nagari Kampung, Dusun 509
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 507 - 514
4 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Riau Sumatera Selatan Jambi DKI Jakarta Raya Jawa Barat Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimanatan Tengah Kalimanatan Selatan Kalimanatan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku a. Maluku Tengah dan Tenggara b.Maluku Utara Irian barat
Marga Marga, Kemedapaan, Dusun Kelurahan. Wijk Desa, kampung Desa, Dukuh Desa Desa, Kampung, Dukuh Kampung Kampung,Kademangan Kampung, kademanagan Kampung Desa, Kampung Kampung, Woma Desa Gabungan Kampung, Desa Gaya baru, Bua Desa, Perbekel, Banjar Desa a.
Desa Gaya Baru Gam, Negeri b.Kampung Kampng, Karet
B.Surianingrat, BPHN, 1981. Desa selalu mengandung dasar stam, dasar keturunan atau ikatan darah dan juga mengandung dasar territoir, dasar kediaman atau ikatan daerah. Dalam desa di Jawa anasir “darah” sudah tipis dan lebih dirasakan anasir kedaerahan, tetapi dalam Gampong Gajo Aceh, lebih terasa pengaruh keturunan atau kewargaan (stamverband) itu. Desa di Jawa, Pasundan, Madura, dan Bali lebih merupakan suatu kediaman bersama, dimana rasa kekeluargaan sudah agak menipis, tetapi dalam Gampong, Marga dan sebagainya itu lebih dirasakan pengaruh kekeluargaan sebagai pengikat bersama. Lebih dari 90% dari bangsa Indonesia hidup dalam ikatan-ikatan tradisional yang demikian itu seluruh Nusantara. Di situ rasa gotong-royong masih hidup subur. Kerukunan dibawah pemerintahan desa terasa betul, rapat-rapat desa selalu diadakan untuk mengambil keputusan-keputusan bersama, sedang mereka erat hubungannya denga Ketuhanan masing-masing dan tolong menolong ialah dasar hidup mereka. Benih-benih murni dari Pantjasila terdapat 510
hidup dalam masyarakat ini. Dengan Pantjasila, maka faham-faham kedesaan itu terangkat menjadi faham dan idiologi Negara yang bersifat politis. Pantjasila ialah bentuk modern, sifat politisnya dari faham-faham asli yang hidup dalam kalangan rakyat, atau pendek kata: gotong-royong adalah patisati Pantjasila, karena faham itu telah mengandung benih kebangsaan, demokrasi, keadilan soaial, ke-Tuhan-an dan peri-kemanusiaan. Pantjasila merupakan semen bagi negara, yang menghubungkan negara dengan rakyat, dank arena itu menjamin hubungan dan tujuan persatuan yang erat antara pihak yang memerintah dengan yang diperintah. Kedua pihak pemerintah dan rakyat, harus bersama melakukan, mempraktekkan Pancasila ini dan kedua pihak wajib mempert6ahankan dan tunduk pada azasazas ini. Dalam hal ini maka Pancjasila merupakan perjanjian mutlak antara Negara dan warga negara, suatu perjanjian yang tak tertulis dan lebih bersifat persetujuan batin antara kedua pihak. Seolah hubungan “kedaulatan Negara”
Kepemimpinan Berjati Diri Pancasila …
dan “kedaulatran pribadi” dari tiap warga negara, memang merupakan soal yang amat sulit dalam ilmu Tata Negara yang sejak dahulu menjadi persoalan yang hangat dalam kalangan para sarjana. Sarjana Hobbes menggambarkan pemulaan atau masyaraklat asal itu sebagai gerombolan manusia yang karena mereka berdaulat sendiri-sendiri, saling bunuh-membunuh, bakarmembakar dan sebagainya, sehingga terus menerus mereka mengalami kerusakan dan kerusuhan. Mungkin karena terdorong oleh ketakutan, maka mereka yang ketinggalan, menyusun kekuasaan ketiga yang terdiri di atas segala-galanya. Kekuasaan tak terbatas jadi dapat berbuat apapun jika dipandang perlu, tidak usah memperhatikan kepentingan dan hak-hak seseorang. Dalam teori Hobbes, maka Warga Negara tak mempunyai hak apa-apa yang perlu dijamin oleh Negara, semuanya terserah pada kebijaksanaan pemerintah sendiri. Pemerintah bersifat absolute dan autokratis. John Locke menerangkan bahwa negara itu terjadi karena ratio, fikiran sehat, yaitu terdorong oleh hasrat para manusia untuk membentuk kekuasaan yang secara efektif dapat menjamin hak-hak dasar peri kemanusiaan. Negara harus menghormati hak dasar para rakyatnya, tak boleh sewenang-wenang karena dalam lingkungan hak-hak dasar, tiap-tiap manusia ialah tetap berdaulat. Hak untuk hidup bebas, hak atas milik, hak atas perumahan dan sebagainya tak boleh dialnggar oleh pemerintah dengan sesukasukanya. Manusia dilahirkan bebas dan berhak. Jean-Jacques Rousseau, ahli pemikir dalam revolusi Perancis, melangkah lebih jauh lagi dari John Locke. Manusia mengadakan “contact social” untuk menetapkan kedaulatannya, sedang pemerintah itu berszifat mandor atau kuasa belaka dari rakyat yang berdaulat. Pemerintah tidak mempunyai hak sendiri untuk mengatur sesuatu jika ia mengadakan peraturan-peraturan, ini selalu boleh dicabut oelh rakyat. Pemerintah saban waktu boleh diganti oleh rakyat, sebab rakyat lah yang berdaulat buat 100% dan hak ini tak boleh dikurangi sedikitpun. Segala teori-teori tersebut di atas itu mencoba memberi batas-batas kekuasaan pemerintah, yaitu sampai manakah sesuatu hal itu dapat diatur oleh Negara dan dimanakah lingkungan yang tak boleh diaturnya, karena disitulah mulai
Ade Saptomo
berlakunya hak pribadi dari seseorang. Dapatkah misalnya Negara menetapkan agama apa si Nojo harus peluk? Dapatkah Negara degan semaunya memindahkan orang-orang dari rumah kediamannya, dapatkah keluarga si Nojo diperintahkan untuk bubar? Tentu tidak dapat, dijawab locke, sebab tiap warga Negara mempunyai hak dasar agama, rumah, keluarga dan sebagainya. Menurut teori hobbes, pemerintah berhak atas segalanya ini, sebab pemerintah berdaulat 100%, bebas dalam segala langkahnya dan tidak terbatas oleh hak-hak dasar. Menurut Rousseau, pemerintah sama sekali tidak berhak dan jika ia toh melakukannya, peraturan itu tak sah dan pemerintah dapat dienyahkan seketika itu juga. C. Kepemimpinan Berjati Diri Pancasila Masih dalam hitungan tiga tahun, 2014 lalu rakyat Indonesia baru saja disuguhi tontonan politik berupa pemilihan calon anggota dewan baik calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat pusat, Daerah tingkat I, dan tingkat II, termasuk Dewan Perwakilan Daerah. Usai pemilihan legislatif, disusul pemilihan calon Presiden dan Wakil Presdien. Namun, satu hal yang harus diingat dalam proses pemilu itu adalah proses melahirkan seorang pemimpin bangsa. Dalam konteks bangsa Indonesia, diharapkan proses produksi pemimpin dalam setiap Pemilu melahirkan seorang pemimpin yang percaya diri bukan karena legalitas suara terbanyak, tetapi juga percaya diri karena berkarakter jati diri bangsa Indonesia. Tentu yang dibutuhkan bukan pemimpin yang dalam proses kelahirannya sekedar mendasarkan jumlah angka, tetapi pemimpin yang kepemimpinannya mampu menjadikan jati diri bangsa sebagai pedoman bertindak. Untuk itu, kepemimpinan yang dibutuhkan dari hasil pemilu 2009 adalah pemimpin yang dalam kepemimpinannya mengetahui, mengerti, memahami, menghayati jati diri bangsa dan menjadikan pedoman bertindak dalam proses pengambilan keputusan sosial, ekonomi, hukum, dan politik. Secara kuantitas, bangsa Indonesia memang terkesan tidak akan kekurangan calon pemimpin bangsa sebagaimana kita lihat bersama pada pilpres, ada dua atau tiga calon presiden dan wakil presiden. Namun pemimpim yang kepemimpinannya berkarakter/berjati diri bangsa merupa511
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 507 - 514
kan pertanyaan menarik untuk dijawab. Di berbagai tempat dan kesempatan saya berkali-kali katakan apa itu Jati Diri Bangsa Indonesia, bahkan telah saya bukukan agar mudah orang membaca, mengerti, memahami, menghayati, dan mempraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itulah, tak henti-hentinya saya ”lantangkan” apa itu Jati Diri Bangsa. Mengapa terus menerus saya sampaikan ? Tentu, itu berkaitan dengan kondisi bangsa Indonesia dewasa ini, kalau tidak salah semenjak reformasi bergulir 1998. Bukan reformasinya, tetapi semenjak itu perilaku sebagian warga bangsa, bahkan yang mengaku sebagai pemimpin Indonesia di berbagai lini kehidupan, terkesan aneh-aneh dan nganeh-nganehi. Indikasi awalnya, dapat dilihat dari gagasan-gagasan, tindakan, perilaku, ucapannya yang aneh dan nganeh-nganehi. Bahkan, terkesan bermuatan prasangka buruk, suka mencela, mudah marah, menyalahkan sana-menyalahkan sini, sentil sana sentil sini, olok sana olok sini, dan asal beda pendapat terhadap lawan-lawan politik internal partai maupun eksternal partai, kelompok lain. Jika itu masih menonjol, tentu perlu dipertanyakan kemampuan mewujudkan kepemimpinan berjati diri bangsa, yaitu kebersamaan dan kerja sama ketika memimpin bangsa Indonesia yang berpenduduk lebih 250 jutaan. Rakyat sudah tidak ingin mendengar hal itu lagi, rakyat membutuhkan pemimpin yang mampu membawa bangsa Indonesia ini kearah terwujudnya tujuan mulia didirikannya Pemerintah Negara Indonesia sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Pembukaan UUD 1945, dengan damai, guyup rukun, dan holobis kontol baris, tetap berjalan di atas Jati Diri Bangsa Indonesia (keep on the track of Indonesian cultural) mengingat warga bangsa Indonesia telah melahirkan nilai bersama (common value), sebuah nilai yang diyakini benar dan dijadikan pedoman bertindak oleh masyarakat atau bangsa yang telah melahirkan apa yang sebut sebagai Jati Diri Bangsa. Untuk mengetahui hal itu, perlu pembayangan sementara jauh ke belakang, yaitu sebuah proses kelahiran entitas sosiologis yang disebut masyarakat. Proses kelahirannya, diawali dengan fenomena kedatangan orang-perorang atau kelompok orang ke satu wilayah yang sama dan dalam wilayah sama dimaksud mereka saling 512
kontak, dalam kontak kehidupan sehari-hari mereka mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan dalam dirinya masing-masing, sekaligus mengidentikasi kelemahan dan kekuatan diri orang kepada siapa orang dimaksud berinteraksi. Setelah mengenali dan menyadari kelemahan dan kekurangan di satu pihak, kekuatan dan kelebihan di pihak lain, mereka terdorong mencoba mengisi kekurangan yang ada dalam dirinya sendiri dengan kelebihan yang ada dalam diri orang lain, dan sebaliknya. Kondisi demikian ini menjadikan mereka terus menerus berinteraksi membentuk pola kehidupan sosial dan budaya. Dalam konteks masyarakat Indonesia (Jawa misalnya), nilai budaya bersama dimaksud dapat dilihat secara kasad inderawi dalam kegiatan-kegiatan gotong-royong dan sambatan. Hasil kontemplasi nilai budaya yang ada di balik gotong-royong itu adalah kebersamaan dan di balik sambatan itu adalah tolong menolong tanpa pamrih atau kemanusiaan. Di dalam setiap desa dan sejenisnya itu, secara horisontal ada dinamika sosial yang menunjukan kebersamaan dan secara vertikal menunjukan kerukunan yang didasari ke-Tuhan-an (kemanusiaan). Dengan demikian, kebersamaan, kerukunan, berembug (musyawarah), kemanusiaan, ke-Tuhan-an telah menjadi dasar hidup dan dan sebagai Jati Diri Bangsa Indonesia. Itulah benih-benih nilai kedesaan yang oleh the founding fathers disusun ke dalam Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maknanya, faham-faham kedesaan itu telah terangkat secara politis menjadi faham ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan secara filosofis menjadi payung perjalanan bangsa Indonesia, yang kini saya sebut sebagai Jati Diri Bangsa Indonesia. Namun, jika praktik kepemimpinan menampilkan serangkaian kegiatan pengambilan keputusan cenderung menonjolkan prinsip yang bukan terkandung dalam Sila ke-4 bahwa Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah/kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, maka kepemimpinannya dapat dimaknai semakin jauh dari Jati Diri Bangsa Indonesia. Terangnya, pemimpin yang tidak tercerabut dari Jati Diri Bangsa adalah pemimpin yang dalam kepemimpinan kesehariannya mewujudkan: pertama, nilai kebersamaan. Dengan keber-
Kepemimpinan Berjati Diri Pancasila …
samaan, ia akan melampui batas-batas identitas formal dan situasional, bukan terhenti pada identitas orang perorangan/kelompoknya; kedua, berfikir universal. Meski bersumber dari lokal atau nusantara namun berfikir melingkar keluar sehingga berdaya jangkau global, bukan melingkar kedalam sehingga berjangkau semakin menyempit, sekular dan parsial; ketiga, idealis. Memiliki idealisme tinggi untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, bukan jangkauan yang terhenti oleh godaan materialistik; dan keempat, toleran/empati. Bertoleransi dan berempati tinggi untuk mengiringi setiap proses pengambilan keputusan baik keputusan legislatif maupun eksekutif terhadap penderitaan semua lapisan
Ade Saptomo
masyarakat. Pemimpin demikian ini yang dibutuhkan karena a leader is not separated from and as apart of its cultural and social where such leader existences. Singkatnya, mudah-mudahan pemimpinpemimpin kita yang terpilih ini melalui proses pemilu legislatif dan Presiden/Wakil Presiden merupakan Pemimpin Bangsa dan pemimpinpemimpin lainnya yang dalam kepemimpinannya Tidak Tercerabut Dari Jati Diri Bangsa Indonesia, PANCASILA. Inilah, kepemimpinan berjati diri bangsa Pancasila yang dimaksud dalam tulisan ini sekaligus merupakan salah satu model untuk menjaga eksistensi Negara Kesatuan Repubik Indonesia.
513
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 507 - 514
514
PANCASILA SEBAGAI “DAS SOLLEN” dan “VOLKGEIST” DALAM PEMBAHARUAN HUKUM INDONESIA YANG MAJEMUK Oleh: Eman Suparman*) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung; Email:
[email protected] Abstrak Sistem hukum setiap negara bangsa yang merdeka serta berdaulat di dunia, lazimnya akan ditentukan atau dipengaruhi oleh ideologi yang dianut oleh bangsa tersebut. Tidak terkecuali Sistem Hukum yang berlaku di Indonesia. Republik Indonesia yang sejak dikumandangkannnya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai sekarang, secara tegas maupun diam-diam; disadari maupun tidak telah mewarisi sisa-sisa tertib hukum kolonial yang terdiri atas struktur (termasuk segala bentuk prosesnya) serta substansinya, juga terus menerus berupaya untuk menyelaraskan sistem serta struktur, dan substansi hukum yang diwarisi itu dengan sistem yang hidup dalam masyarakat yakni menggunakan hukum adat yang bermuatan tradisi bangsa dengan “local characteristic”-nya. Bagi Indonesia, idealnya untuk membangun suatu sistem hukum nasional yang modern dalam era globalisasi di samping mengandung “local characteristic” seperti Ideologi bangsa Pancasila, kondisi-kondisi manusia, alam, dan tradisi bangsa, juga harus mengandung kecenderungan-kecenderungan internasional (international trends) yang diakui oleh masyarakat dunia yang beradab. Tanpa melakukan upaya penyelarasan semacam itu, maka Indonesia sebagai suatu negara bangsa akan terombang-ambing dalam menghadapi persoalan yang timbul, baik dalam menangani persoalan internal masyarakatnya sendiri maupun dalam menangani persoalan-persoalan yang melibatkan masyarakat bangsa-bangsa di dunia. Oleh karena itu, peranan ideologi Pancasila menjadi sangat penting sebagai sumber jatidiri, kepribadian, moralitas, dan haluan kehidupan bangsa, sekaligus landasan ideal bagi pembentukan sistem hukum Indonesia yang akan dibangun pada masa yang akan datang. Kata kuci: Sistem Hukum, Pancasila, karakter lokal Abstract The legal system of each nation states around the world is typically influenced and determined by its own national ideology. The condition, without exceptional also happens in Indonesia. The Republic of Indonesia, since its proclamation of independence 17 August 1945, has inherited the remaining colonial legal order such as legal structure (including all form and process) and the legal substance. The assimilation has happened both tacitly and expressly, consciously and unconsciously. Indonesia also continues to put an effort to synchronize its inherited legal system, structure and substance with the genuine system that life among its society; the Adat Law contains national tradition with its very own local characteristic. Ideally, for Indonesia in this globalization era, the development of the modern national legal system has to take into account the local characteristic (such as Indonesian ideology “Pancasila”, human conditions, nature, and national tradition), as well as international trends recognized by international civiled/modern community. *)
Guru Besar Hukum Acara Perdata Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung; Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia; Former: Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Januari 2011- Juni 2013; Ketua Bidang Pengawasan Perilaku Hakim & Investigasi Komisi Yudisial RI, Juli 2013-Desember 2015.
515
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 515 - 524
Without such synchronization, Indonesia as a nation-state would oscillate dealing with issues, both municipal issues, and international issues among nation states over the world. Therefore, the role of “Pancasila” as national ideology appear to be a very vital. The ideology is a source to identify the national identity, personality, morality, and the direction for Indonesia, that become an ideal foundation for the making of Indonesian legal system in the future. Keywords: Legal System, Pancasila, Local character A. Pendahuluan Tidak berlebihan ungkapan Daniel S. 1 Lev, bahwa “negara-negara baru mewarisi banyak hal dari pendahulunya di masa kolonial, karena berbagai revolusi yang dibarengi dengan penghancuran total sekalipun, yang jarang terjadi pada negara-negara baru, tidak dapat menyapu bersih bekas-bekas masa silam.” Gambaran tersebut sangat tepat ditujukan pada kondisi Republik Indonesia yang sejak dikumandangkannnya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai sekarang, secara tegas maupun diam-diam; disadari maupun tidak telah terus mewarisi sisa-sisa tertib hukum kolonial yang terdiri atas struktur (termasuk segala bentuk prosesnya) serta substansinya. Proses meneruskan segala bentuk sisa-sisa tertib hukum masa lalu di Indonesia hingga dewasa ini sangat sulit dihindari karena lebih dari satu abad tatkala Indonesia ini masih disebut Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda) “telah berlangsung proses introduksi dan proses perkembangan suatu sistem hukum asing ke/di dalam suatu tata kehidupan dan tata hukum masyarakat pribumi yang otohton.”2 Sistem hukum asing yang dimaksud tidak lain adalah sistem 1
Daniel S. Lev., “Hukum Kolonial dan Asal-usul Pembentukan Negara Indonesia” dalam Hukum dan Politik di Indonesia-Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta: LP3ES, 1990, h. 438. 2 Soetandyo Wignjosoebroto boleh disebut sebagai satusatunya Guru Besar (bukan Ilmu Hukum) di Indonesia namun secara konsisten dan rinci melalui beberapa bukunya mencoba mengintroduksikan dengan cara mengelaborasi kembali kondisi Indonesia di masa lalu termasuk proses pemberlakuan hukum asing kepada rakyat jajahan kala itu, sehingga generasi bangsa Indonesia dewasa ini diharapkan mendapatkan panduan yang jelas mengenai hal tersebut. Untuk lebih lengkapnya paparan itu dapat dibaca pada bukunya. Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional – Dinamika SosialPolitik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994, h. 1.
516
hukum Eropa (khususnya Belanda) yang berakar pada tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan Romawi-Kristiani, dan yang dimutakhirkan lewat berbagai revolusi, mulai dari „Papal Revolution‟ hingga Revolusi kaum borjuis-liberal di Perancis pada akhir abad 19. Sejalan dengan alur sejarah hukum Hindia Belanda yang banyak dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di masa VOC, Daendels, dan Raffles, berbagai perbaikan penting diperkenalkan sesudah tahun 1848. Sejenis konstitusi, kitab-kitab hukum baru, reorganisasi peradilan - sebagai akibat gelombang liberalisme yang berasal dari Belanda. Di masa itu bahkan sempat diintroduksikan oleh pemerintah jajahan bahwa penduduk Hindia Belanda dikelompokan ke dalam tiga golongan penduduk. Ketiga golongan dimaksud seperti dapat dibaca pada Indische Staatsregeling3 yaitu: (1) Golongan Eropa (Europeanen) dan mereka yang dipersamakan dengannya; (2) Golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen); dan (3) Golongan Bumi Putera (Inlanders). Untuk tiap golongan penduduk tersebut berlaku hukumnya sendiri-sendiri. Asas utamanya adalah hukum adat bagi orang Indonesia (Bumi Putera) dan orang-orang yang digolongkan sama dengan pribumi, sedangkan hukum Belanda bagi orang-orang Eropa. Namun demikian karena sebab-sebab yang jelas dan masuk akal asas tersebut benar-benar tidak berlaku. Seperti yang dikemukakan Lev3 berikutnya, bahwa “perlakuan terhadap hukum adat setempat adalah salah satu tema yang paling mem3
Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan ini bermula pada tahun 1844 menurut Pasal 109 Regeringsreglement 1854 tetap saja berlaku dan diteruskan sebagai Pasal 163 Indische Staatsregeling 1925 yang berlaku sejak tahun 1925 sebagai pengganti Regeringsreglement 1854. Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, Op. Cit., h. 177. Lihat pula Pasal 131 ayat (2) jo Pasal 163 Wet op de Staatsinrichting van Ned.-Indie, S. 1855 – 2. 3 Daniel S. Lev, Op. Cit., h. 448.
Pancasila Sebagai “Das Sollen” dan “Volkgeist” Dalam …
bingungkan dan bermakna ganda dalam sejarah kolonial Indonesia.” Bahkan menurut Soetandyo, penggolongan rakyat yang tetap dipertahankan sampai berakhirnya kekuasaan kolonial itu mengisyaratkan tetap akan dikukuhkannya dualisme dan pluralisme hukum kolonial di Indonesia.4 B. Tradisi hukum yang dipilih setelah Kemerdekaan Pasca Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia memiliki dua tradisi hukum yang masingmasing terbuka untuk dipilih, yaitu sistem hukum kolonial dengan segala seluk beluknya serta sistem hukum rakyat dengan segala keanekaragamannya. Pada dasarnya dan pada awalnya pemuka-pemuka nasional mencoba membangun hukum Indonesia dengan mencoba sedapat-dapatnya melepaskan diri dari ide-ide hukum kolonial, yang tidak mudah. Inilah periode awal dengan keyakinan bahwa substansi hukum rakyat yang selama ini terjajah akan dapat diangkat dan dikembangkan secara penuh menjadi substansi hukum nasional. Akan tetapi dalam kenyataannya berakhir dengan pengakuan bahwa proses realisasinya ternyata tidak sesederhana model-model strategiknya dalam doktrin.5 Menurut Lev, para advokat Indonesia ketika itu dan juga sejumlah besar cendekiawan lainnya menginginkan negara yang terutama bersistem hukum corak Eropa yang berlaku di masa kolonial. Hal itu agaknya terjadi karena berbagai kesulitan yang diduga oleh Soetandyo telah timbul bukan hanya karena keragaman hukum rakyat yang umumnya tak terumus secara eksplisit itu, akan tetapi juga karena sistem pengelolaannya sebagai suatu tata hukum yang modern (melihat tata organisasi, prosedur-prosedur, dan asas-asas doktrinal pengadaan dan penegakannya, serta pula profesionalisasi penyelenggaraannya) telah terlanjur tercipta sepenuhnya sebagai warisan kolonial yang tak akan mudah dirombak atau digantikan begitu saja dalam waktu singkat. Pernyataan di atas tentu saja bukanlah alasan pembenar untuk berlangsungnya keadaan serta proses pewarisan sistem hukum kolonial di Indonesia pasca kemerdekaan. Akan tetapi fak4 5
Soetandyo Wignjosoebroto, Op. Cit., h. 177. Soetandyo Wignyosoebroto, Op. Cit., h. 13.
Eman Suparman
tanya memang terdapat faktor yang sulit dinafikan dalam kerangka membangun sistem hukum nasional Indonesia yang benar-benar terlepas dari tradisi sistem hukum kolonial. Faktor dimaksud sekali lagi bukan hanya karena keragaman hukum rakyat yang umumnya tak terumus secara eksplisit, akan tetapi juga terdapatnya kondisi yang tidak mudah dirombak. Kondisi dimaksud adalah “seluruh alur perkembangan sistem hukum di Indonesia sesungguhnya telah banyak terbangun dan tergariskan secara pasti berdasarkan konfigurasi asas-asas yang telah diletakan sejak lama sebelum kekuasaan pemerintahan kolonial tumbang”.6 Terlanjur memilih dan meyakini bahwa akan lebih praktis jika melanjutkan tradisi sistem hukum kolonial yang dianggap telah lebih dipahami serta memiliki struktur yang lebih pasti, ternyata bukan tanpa masalah dalam perjalanan selanjutnya. Mengesampingkan pilihan terhadap pemakaian hukum rakyat yang beragam dan tidak terumus secara eksplisit, dengan memilih pola hukum Eropa yang menganut asas ketunggalan melalui cara kodifikasi bukan tanpa konsekuensi. Problema yang kemudian muncul adalah masalah fleksibilitas norma tertulis dalam implementasinya pada lembaga pengadilan. Rumusan norma hukum yang eksplisit dalam wujud perundang-undangan tidak jarang malah terkesan kaku dan limitatif, meski dalam pengimplementasiannya masih terbuka peluang bagi hakim untuk melakukan interpretasi, mengingat kodifikasi norma hukum apa pun memang tercipta dengan kondisi yang tidak selalu lengkap. Di samping aspek norma, faktor lembaga pengadilan juga merupakan problema tersendiri, karena lembaga tersebut keberadaannya juga merupakan hasil introduksi pemerintah kolonial ke dalam sistem hukum rakyat jajahan. Oleh karena itu, dalam penerapannya untuk kasus-kasus konkrit di pengadilan, norma atau kaidah hukum itu tidak jarang juga memunculkan pelbagai persoalan yang bermuara pada sulitnya mewujudkan keadilan substansial bagi para pencarinya. Betapa tidak, cara pandang hakim terhadap hukum seringkali amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. 6
Ibid., h. 15.
517
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 515 - 524
Hakim hanya menangkap apa yang disebut “keadilan hukum” (legal justice), tetapi gagal menangkap “keadilan masyarakat” (social justice). Hakim telah meninggalkan pertimbangan hukum yang berkeadilan dalam putusan-putusannya. Akibatnya, kinerja pengadilan sering disoroti karena sebagian besar dari putusan-putusan pengadilan masih menunjukkan lebih kental “bau formalisme-prosedural” ketimbang kedekatan pada “rasa keadilan warga masyarakat.” Dalam kaitannya dengan uraian di muka, benar apa yang diutarakan Esmi Warassih dalam pidato pengukuhan beliau sebagai guru besar bahwa; “Penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan masyarakat merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah karena terjadi ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara lain dengan nilai-nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri.”7 Meskipun hal tersebut di atas juga disadari, akan tetapi tampaknya untuk membangun hukum nasional dengan bermula dari titik nol, apalagi bertolak dari suatu konfigurasi baru yang masih harus ditemukan terlebih dahulu, jelaslah kalau tidak mungkin. Ditambah pula oleh budaya hukum para yuris yang mendukung beban kewajiban membangun hukum nasional amat sulit untuk menemukan pemikiran-pemikiran yang lateral dan menerobos. Berguru kepada guru-guru Belanda dalam situasi kolonial, pemikiran para yuris nasional pun mau tidak mau telah diprakondisi oleh doktrin-doktrin yang telah ada. Demikian pula para perencana dan para pembina hukum nasional, meskipun mereka mengaku bersitegak sebagai eksponen hukum adat8 dan hukum Islam9 ada7
Lihat Esmi Warassih Pujirahayu, “Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudkan Tujuan Hukum (Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan)”; Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Undip, Semarang, 14 April 2001, h. 12. 8 Adalah Djojodigoeno seorang guru besar dari Universitas Gadjah Mada, didikan Rechtsschool dan Rechtshogeschool, dan berpengalaman lama sebagai hakim Ketua Landraad pada masa pemerintahan kolonial – adalah seorang tokoh yang meyakini perlunya masyarakat plural seperti di Indonesia ini memiliki hukum yang seharusnya plural pula. Dikatakan olehnya, “you cannot alter social conditions by making laws…. Law has to adjust itself to social conditions. You cannot unify law where social con-
518
lah sesungguhnya merupakan pakar-pakar yang terlanjur terdidik dalam tradisi hukum Belanda. Oleh karena itu, mereka sedikit banyak ikut dicondongkan untuk berpikir dan bertindak menurut alur tradisi ini dan bergerak dengan modal sistem hukum positif peninggalan hukum Hindia Belanda (yang tetap dinyatakan berlaku berdasarkan aturan peralihan). Namun demikian, juga tidak benar bila dikatakan bahwa para pemuka hukum Indonesia tidak memiliki ide-ide baru untuk melepaskan diri dari pasungan hukum kolonial.10 Berkenaan dengan persoalan di atas, Lev menyatakan bahwa perhatian para pemimpin republik pada waktu itu banyak tersita untuk upaya-upaya merealisasikan kesatuan dan persatuan nasional saja, sehingga sedikit banyak mengabaikan inovasi-inovasi pranata dan kelembagaan masyarakat dan negara. Para pemimpin Republik ini banyak berbicara soal cita-cita, akan tetapi ketika tiba pada keharusan untuk merealisasikannya ternyata banyak yang tidak siap dengan rencana strategik untuk menuntun perubahan-perubahan. Ketika dihadapkan pada persoalan-persoalan dan realita-realita yang ada, para elit Republik ini cenderung untuk mencari pemecahan dengan merujuk pada petunjukpetunjuk lama yang pernah mereka kenal pada masa lalu. Usul-usul inovatif untuk membuat terobosan, seperti yang pernah diusulkan Muhammad Yamin untuk memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung guna melakukan peninjauan dan penilaian terhadap seluruh produk perundang-undangan yang ada terbentur pada keberatan-keberatan Soepomo11 yang lebih meditions do the converse;” Lihat dalam M.M. Djojodigoeno, Adat Law in Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1952. Mengenai hal ini lihat dalam Soetandyo Wignyosoebroto, Dari Hukum…Op. Cit., h. 201. Lihat juga, Sunarjati Hartono, Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat. Bandung: Alumni, 1971, h. 30-32. 9 John Ball menguraikan di dalam bukunya The Struggle for National Law in Indonesia. Sydney: Faculty of Law University of Sydney, 1986, p. 204; sebagaimana dikutip Soetandyo Wignyosoebroto, Op. Cit., h. 206. 10 Soetandyo Wignyosoebroto, Loc. Cit., h. 189. 11 Seperti diketahui Soepomo adalah salah seorang ahli hukum Indonesia, tokoh yang sangat banyak perannya dalam penyusunan UUD 1945, adalah alumnus Rijksuniversiteit Leiden. Dia menulis Disertasi Doktor bidang Hukum tentang “De reorganisatie van het agrarisch stelsel in het gewest Soerakarta. Leiden, 8 juli 1927. Lihat dalam
Pancasila Sebagai “Das Sollen” dan “Volkgeist” Dalam …
nyukai model-model kelembagaan ketatanegaraan yang selama ini sudah dikenal dengan baik oleh pakar-pakar hukum Indonesia.12 Oleh karena itu, pilihan untuk meneruskan berlakunya kaidah hukum lama dengan aturan Peralihan Pasal II Undang-Undang Dasar 1945 yang dirancang berdasarkan arahan Soepomo “was not merely a matter of convenience … nor was it simply because no one had any ideas” akan tetapi juga karena “…the colonial law provided an available and appropriate framework”; dan lagi pula hukum kolonial ini “…was a … secular neutrality between conflicting religious and social groups, … that also kept the existing dominant elite in control of national institutions.”13 Keinginan membangun tata hukum yang lebih bercirikan Indonesia dengan segala atribut keasliannya memang merupakan harapan (das sollen). Oleh karena mewarisi sejumlah peraturan serta lembaga hukum dari masa kolonial sesungguhnya berarti mempertahankan cara-cara berpikir serta landasan bertindak yang berasal dari paham individualistis. Hal itu tentu saja tidak sejalan dengan alam pikiran masyarakat Indonesia yang berlandaskan paham kolektivistis. Dalam kaitan itu, Sunarjati Hartono,14 merekomendasikan beberapa hal dalam rangka pembentukan dan pengembangan hukum nasional Indonesia harus memperhatikan hal-hal berikut ini: 1) Hukum Nasional harus merupakan lanjutan (inklusif modernisasi) dari hukum adat, dengan pengertian bahwa hukum nasional itu harus berjiwa Pancasila. Maknanya, jiwa dari kelima sila Pancasila harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia di masa sekarang dan sedapat-dapatnya juga di masa yang akan datang; 2) Hukum Nasional Indonesia bukan hanya akan berkisar pada persoalan pemilihan bagian-bagian antara hukum adat dan IDC (Inter Documentation Company) on microfiche Van Vollenhoven Institute, Leiden University, Dissertation on Netherlands Indies Law 1850-1945. 12 Pernyataan Lev ini dapat dijumpai dalam buku Soetandyo Wignyosoebroto, Loc.Cit. 13 Daniel S. Lev sebagaimana dikutip Soetandyo Wignyosoebroto, Op. Cit., h. 190. 14 Sunarjati Hartono, Dari Hukum…Op. Cit., h. 31.
Eman Suparman
hukum barat, melainkan harus terdiri atas kaidah-kaidah ciptaan yang baru sesuai dengan kebutuhan dalam menyelesaikan persoalan yang baru pula; 3) Pembentukan peraturan hukum nasional hendaknya ditentukan secara fungsional. Maksudnya, aturan hukum yang baru itu secara substansial harus benar-benar memenuhi kebutuhan masyarakat. Selanjutnya, hak atau kewajiban yang hendak diciptakan itu juga sesuai dengan tujuan kita untuk mencapai masyarakat yang adil dalam kemakmuran serta makmur dalam keadilan. C. Hukum Tertulis dianggap Futuristik dan Berkepastian Seperti dikemukakan Satjipto Rahardjo, bahwa “hukum sebagaimana diterima dan dijalankan di negara-negara di dunia sekarang ini, pada umumnya termasuk ke dalam kategori hukum yang modern.”15 Memiliki ciri: (1) bentuknya yang tertulis, (2) berlaku untuk seluruh wilayah negara, dan (3) sebagai instrumen yang secara sadar dipakai untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya. Ketiga ciri hukum modern tersebut memang secara eksplisit melekat pada sistem hukum yang berasal dari Eropa daratan yang diwarisi Indonesia setelah merdeka. Oleh karena itu, pertimbangan untuk memilih hukum yang bentuknya tertulis dianggap lebih berorientasi ke masa depan. Kemudian masalah uniformitas dalam keberlakuannya juga menjadi pertimbangan penting lainnya seiring dengan cita-cita pendirian negara bangsa ini dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sementara itu apabila pilihan dijatuhkan pada hukum adat, dianggap akan menuai sejumlah masalah di kemudian hari, karena keragaman hukum adat sebagai sistem hukum rakyat yang umumnya tak terumus secara eksplisit. Di samping itu juga sistem hukum adat keberlakuannya bersifat lokal yang beragam pada budaya yang berlain-lainan. Keadaan yang digambarkan di atas, kalau ditengok jauh ke belakang, sesungguhnya akibat kuatnya pengaruh konsep adatrechtpolitiek-nya 15
Lihat Satjipto Rahardjo, “Hukum dalam Perspektif Perkembangan”, dalam Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 1986, h. 178.
519
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 515 - 524
Van Vollenhoven yang sangat ironi dan memutarbalikkan fakta. Betapa tidak, bahwa adatrechtpolitiek yang dimaksudkan untuk melestarikan hukum lokal tetap di tangan rakyat setempat sebenarnya mengukuhkan kekuasaan lembaga-lembaga yang diawasi oleh Belanda atas hukum adat. Bahwa hukum adat adalah hasil karya penguasa Belanda terbukti dengan pembentukan pengadilan adat oleh pemerintah kolonial dengan pemeriksaan keputusan pengadilan adat oleh Landraad dengan pemberian keputusan persoalan adat oleh hakim Landraad yang berkebangsaan Belanda. Di samping itu para pejabat Belanda senantiasa hadir dalam sidang-sidang pengadilan adat, para pakar Belanda dan Indonesia didikan guru-guru Belanda yang melakukan penelitian adat secara besar-besaran yang laporannya ditulis dalam Bahasa Belanda. Itu semua telah cukup membuktikan bahwa penelitian adat yang telah dilakukan nyata-nyata telah melanggar asas utama teori hukum adat, bahwa hukum adat itu hidup dalam tradisi lokal. Kini setelah ditulis, hukum adat hidup dalam buku, oleh para hakim Belanda digunakan seolah-olah buku-buku tersebut adalah kitab Undang-Undang.16 Akibat keadaan tersebut, kemudian terjadi anggapan keliru dari orang-orang Indonesia yang berkedudukan tinggi yang beranggapan bahwa diri mereka bebas dari adat, walaupun penggolongan hukumnya adalah sebaliknya. Seringkali dalam pandangan mereka adat adalah hukum bagi desa-desa yang terbelakang, bukan hukum pusat-pusat perkotaan tempat mereka tinggal. Sedangkan bagi rakyat di desa-desa yang hukum adatnya dianggap berlaku, tatkala pecah revolusi di beberapa tempat mereka berprakarsa menghapuskan pengadilan adat.17 Sementara itu, kebanyakan ahli hukum yang bekerja pada pemerintah dan berpraktik swasta beranggapan bahwa Indonesia sebagai sebuah negara modern, pada akhirnya harus menciptakan sistem hukum baru berdasarkan “Kitab Undang-Undang yang modern.” Sedangkan sejumlah kecil sarjana hukum adat menghendaki hukum adat sebagai dasar. Di antara orang dalam kelompok yang belakangan itu 16
Lihat Daniel S. Lev, Hukum dan …. Op. Cit., h. 454 455. 17 Daniel S. Lev, Loc. Cit.,
520
yang paling terkemuka adalah almarhum Djojodigoeno18 dari Universitas Gadjah Mada. Berkenaan dengan hal itu Lev memberikan komentar, bahwa penyatuan hukum rasanya seperti keharusan membuat pilihan yang pahit antara kitab undang-undang dan adat sebagai landasan konseptual. Kitab undang-undang memang berdaya tarik karena “modern” tetapi secara simbolis adalah “bersifat Eropa”, dan mungkin masih akan tetap menguntungkan perdagangan orang-orang dari golongan Eropa dan keturunan Cina. Sementara itu, adat yang selama ini digunakan untuk mengungkung orang Indonesia agar tetap di tempat mereka yang semula, dengan sedikit perubahan dan sentuhan imajinasi dapat dijadikan simbol nasional yang membedakannya dari bangsa-bangsa lain, tetapi adat lazim dianggap terlalu primitif sebagai hukum sebuah negara modern.19 Berdasarkan realita di atas, sesungguhnya para penanggung jawab pembangunan hukum di Indonesia di awal-awal kemerdekaan memang dihadapkan pada kondisi yang amat sulit tentang bagaimana menciptakan suatu sistem hukum untuk suatu bangsa yang telah bernegara, merdeka, dengan semangat yang besar untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan. Akan tetapi dalam kenyataannya terpilah-pilah dalam ihwal kesukuan, kebudayaan, dan keagamaan yang tentu saja terpilah-pilah pula dlam ihwal kebutuhan hukumnya. Sesungguhnya arah penyatuan bangsa dengan menundukkan seluruh warga bangsa ke satu sistem hukum modern yang berorientasi ke tradisi hukum Eropa yang sangat mendahulukan nilai kepastian, bukannya tidak rasional.20 Namun demikian, meneruskan berlakunya hukum barat yang dahulu hanya berlaku untuk orang Eropa dan sebagian untuk golongan Cina terhadap orang Indonesia asli yang dahulu disebut golongan rakyat pribumi, sangat tidak disukai. Padahal negara-negara di dunia yang mengkualifikasikan diri sebagai negara modern seperti telah diutarakan di muka menjalankan 18
Sebagai contoh dapat diperiksa dari buku Djojodigoeno yang berjudul “Reorientasi Hukum dan Hukum Adat.” Yogyakarta: Penerbitan Universitas, 1961. 19 Ibid., 20 Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum…Op. Cit., h. 202-203.
Pancasila Sebagai “Das Sollen” dan “Volkgeist” Dalam …
konsep hukum modern dengan segala ciri dan atributnya. Terlebih lagi negara-negara modern pada milenia ketiga ini yang menetapkan ciriciri hukum modern yang digunakannya pun yang harus lebih mampu mengakomodasi kondisi global yang melanda masyarakat di planet bumi ini. Ciri-ciri serta karakteristik hukum modern di abad ini harus terdiri atas: (a) uniform and unvarying in their application; (b) transactional; (c) universalistic; (d) hierarchical; (e) organized bureaucratically; (f) rational; (g) run by professional; (h) lawyers replace general agents; (i) amandable; (j) political; (k) legislative, judicial, and executive are separate and distinct.21 Kristalisasi dari ciri-ciri di atas, idealnya untuk suatu hukum nasional yang modern dalam era globalisasi di samping mengandung “local characteristic” seperti Ideologi bangsa Pancasila, kondisi-kondisi manusia, alam, dan tradisi bangsa, juga harus mengandung kecenderungankecenderungan (international trends) yang diakui oleh masyarakat dunia yang beradab.22 Oleh karena itu, sebagai suatu negara bangsa yang merdeka, Indonesia yang berdaulat, serta merupakan bagian dari masyarakat bangsabangsa yang beradab lainnya, untuk menggunakan hukum adat yang bermuatan tradisi bangsa dengan “local characteristic”-nya, sebenarnya juga tidak cukup memadai. Oleh sebab hukum adat sesungguhnya hanya relevan untuk menata kehidupan penduduk pribumi di desa-desa dan kampung-kampung. Sedangkan dalam rangka mengakomodasi berlangsungnya interaksi yang semakin kompleks antar masyarakat bangsabangsa beradab dalam berbagai bentuknya, baik kerjasama investasi maupun perniagaan yang berlangsung di pusat-pusat perkotaan, maka untuk kepentingan tersebut diperlukan kaidah hukum yang lebih berkepastian dan berlaku untuk semua warga masyarakat tanpa kecualinya. Di samping itu juga, dalam era globalisasi orang tidak mungkin lagi hanya mengoperasionalkan nilai-nilai domestik.23 Untuk itu maka 21
Lihat Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Undip, 1997, h. 64. 22 Ibid., h. 63. 23 Muladi, Hak Asasi… Op. Cit., h. 65.
Eman Suparman
hukum Barat yang tidak selalu berlawanan dengan hakikat nasionalisme modern, tidak perlu dinilai secara berlebihan sebagai hukum yang akan merusak kepribadian bangsa.24 Bahkan Soetandyo berkenaan dengan hal tersebut menyarankan bahwa: “…hukum Barat yang telah dengan cukup baik dikembangkan pada masa kolonial sesungguhnya dapat saja diteruskan dan didayagunakan untuk menyatukan bangsa, menjaga stabilitas politik, mengefisienkan jalannya administrasi pemerintahan, dan melancarkan pertumbuhan ekonomi.”25 Menilik saran tersebut tampak kepada kita bahwa, pada prinsipnya Soetandyo tidak terlalu keberatan apabila Indonesia setelah merdeka mengoper sejumlah pranata dan lembaga hukum, sejauh memiliki daya serta nilai guna bagi pencapaian kesejahteraan bangsa di masa-masa mendatang. Oleh karena dalam pandangannya kaidah maupun lembaga hukum itu pun “telah dengan cukup baik dikembangkan pada masa kolonial.” D. Indonesia Bersatu Pasca Reformasi Bangsa Indonesia pasca reformasi mengalami perubahan yang signifikan dalam memahami ideologi bangsa Pancasila. Pancasila jarang disebut-sebut dan dikumandangkan dalam percakapan resmi sehari-hari di lingkungan birokrasi, demikian pula di lingkungan lembaga pendidikan. Berbeda halnya dengan ketika masa orde baru, Pancasila bahkan menjadi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan mata kuliah di perguruan tinggi. Bahkan ada penataran khusus berjenjang atau yang kita kenal dengan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang diberikan saat siswa/siswi SD, SLTP dan SLTA awal masuk sekolah. Akan tetapi sekarang tidak ada lagi. Bukankah sebagai sebuah ideologi, pemahaman terhadap Pancasila itu seharusnya diingatkan secara terus-menerus. Demikian halnya tentang pengamalannya atas ideologi Pancasila tersebut, ketika hal itu tidak lagi disosialisasikan kepada khalayak terutama para generasi muda maka lambat laun ideologi yang menjadi landasan berbangsa dan bernegara itu akan memudar, perlahan tapi pasti, masyarakat akan melupakan 24
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum…Op. Cit., h. 205. 25 Ibid.
521
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 515 - 524
bahwa sesungguhnya nilai-nilai luhur yang terkandung pada ideologi Pancasila itu semakin dilupakan generasi bangsa ini. Oleh sebab itu, menjadi conditio sine qua non untuk merealisasikan penjiwaan, pemahaman, serta pengamalan, akan nilai-nlai luhur Pancasila tersebut dalam kehidupan sehar-hari. Dengan demikian Pancasila sungguh akan kembali menjadi Volkgeist (jiwa bangsa) Indonesia yang majemuk ini. E. Pancasila sebagai Philosofische Grondslag bangsa Indonesia Secara etimologi Istilah ideologi berasal dari kata idea yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita, buah pikiran dan logos yang berarti ilmu. Maka secara harfiah ideologi berarti ilmu pengertian-pengertian dasar. Dalam pengertian sehari-hari idea disamakan artinya dengan cita-cita. Cita-cita yang dimaksud adalah cita-cita yang bersifat tetap yang harus dicapai, sehingga cita-cita yang bersifat tetap itu sekaligus merupakan dasar, pandangan atau faham. Dengan demikian ideologi mencakup pengertian tentang idea-idea, pengertian dasar, gagasan dan cita-cita. Secara terminologi ideologi adalah suatu kumpulan gagasan, ide, keyakinan serta kepercayaan yang bersifat sistematis yang mengarahkan tingkah laku seseorang dalam berbagai bidang kehidupan baik politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, hukum, dan lain-lain. Kedudukan Pancasila adalah sebagai philosofische grondslag (dasar filosofis) atau weltanschauung (pandangan hidup) bagi bangsa Indonesia, yang di dalamya mengajarkan tentang pentingnya nilai-nilai “Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, Kebijaksanaan, serta Keadilan”. Di samping itu Pancasila merupakan sebuah identitas atau jati diri kebangsaan Indonesia. Pancasila adalah wujud kepribadian serta karakter bangsa Indonesia atau dengan kata lain sebagai corak peradaban bangsa Indonesia. Peranan ideologi Pancasila menjadi sangat penting karena sejatinya Pancasila merupakan sumber jatidiri, kepribadian, moralitas, dan haluan kehidupan bangsa. Indonesia akan berwujud bangsa yang memiliki peradaban agung jika segenap masyarakat bangsanya bersedia dengan rela berkorban untuk mengamalkan Pancasila dalam setiap sendi kehidupan. Ideologi Panca522
sila akan terpenuhi arti dan maknanya jika nilainilai agung Pancasila teraplikasi dan terimplementasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara segenap rakyat Indonesia. F. Pengamalan Pancasila dalam Kehidupan Masyarakat Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa; mengandung makna bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beragama dan berketuhanan; Artinya Ideaologi Bangsa Indonesia sudah tidak bisa ditawar lagi akan sangat menolak segala macam ideologi yang tidak mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa. Berikutnya, sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; mempunyai makna menghargai orang lain, tidak egois atau mau menang sendiri, melainkan lebih toleran. Toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di dalam NKRI menjadi sebuah keniscayaan yang sudah given sejak bengsa ini lahir sebagai bangsa yang merdeka, bersatu, dan berdaulat. Sila ketiga, Persatuan Indonesia; yaitu bahwa masyarakat Indonesia harus bersatu agar tercipta suasana aman, damai, dan tentram, tidak ada konflik vertikal maupun horizontal di antara sesama warga bangsa. Oleh karena itu, tawuran antar pelajar dan tawuran antar warga masyarakat, sudah pasti tidak mencerminkan pengamalan sila ketiga Pancasila. Dewasa ini terjadinya pertikaian dalam masyarakat kita seolah sudah menyiratkan sudah demikan terkikisnya rasa kebersatuan kita sebagai warga bangsa. Kita merindukan negeri yang damai dan aman, karena yang sering kita saksikan sekarang sedikit saja berbuat salah bisa menyulut emosi. Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; Terhadap sila keempat ini pun tampaknya harus dilakukan pemaknaan kembali, karena boleh jadi makna demokrasi ala Indonesia berdasarkan sila keempat menurut kehendak the founding father bangsa Indonesia itu berbeda dengan yang kita amalkan sekarang. Apabila dibaca dengan saksama bunyi sila keempat Pancasila adalah: “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; Makna “… hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” menunjukkan bahwa para pendiri
Pancasila Sebagai “Das Sollen” dan “Volkgeist” Dalam …
Republik Indonesia mengarahkan kita bahwa “kedaulatan memang di tangan rakyat” akan tetapi perwujudannya dilakukan melalui “permusyawaratan atau bermusyawarah” dalam bimbingan “hikmah kebijaksanaan” oleh para wakil rakyat di parlemen. Oleh karena itu, menurut pemahaman penulis, demokrasi yang sekarang diamalkan di negeri kita dengan cara melibatkan setiap individu rakyat dalam proses pemilihan langsung atau dikenal dengan one share one vote dalam setiap proses memilih, apakah itu pemilihan eksekutif maupun legislatif, merupakan pemahaman yang bias dari kalimat “Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”. Hal itu disebabkan memilih pemimpin secara langsung dengan tidak lagi melalui permusyawaratan perwakilan, saya khawatir menjadi tidak sejalan dengan makna sila keempat sebagaimana yang dikehendaki oleh para pendiri bangsa ini yang merumuskan ideologi Pancasila itu sendiri. Rasa khawatir yang sangat mendalam jika kelak falsafah Pancasila sebagai dasar negara itu tidak diajarkan dan disosialisasikan sejak di bangku sekolah hingga di Perguruan Tinggi kepada generasi muda calon penerus bangsa. Maka anak-anak yang lahir semenjak reformasi dikhawatirkan mereka tidak lagi bisa memahami dan menerapkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ideologi bangsanya dengan baik. Tentu saja itu akan menyebabkan terjadinya krisis pemahaman ideologi bangsa yang sebenarnya. Oleh sebab itu, hendaknya kita tidak menyalahkan masyarakat kalau mereka tidak memahami jatidiri bangsanya, karena ideologi bangsanya pun sekarang sudah tidak diajarkan secara intensif seperti dulu. Memaknai kondisi bangsa dewasa ini, sudah seyogianya jika Pancasila yang merupakan ideologi bangsa Indonesia kembali diajarkan secara terus-menerus, sehingga masyarakat bisa memahami hakikat keberadaannya di dalam negara bangsa yang majemuk serta bagaimana mereka harus hidup dalam keberagaman namun tetap rukun serta damai. Oleh karena hidup dalam kebhinekaan itu sesungguhnya merupakan keniscayaan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia; Apabila dalam konteks kehidupan
Eman Suparman
berbangsa dan bernegara masyarakat Indonesia tidak lagi berpedoman pada sila kesatu, kedua, ketiga, dan keempat maka akibatnya sila kelima, juga akan secara otomatis tergeser keberadaannya oleh paham kapitalisme. Sistem ekonomi kapitalis yang orientasinya adalah keuntungan semata-mata, dampaknya akan sangat dirasakan oleh rakyat kecil, karena praktik perekonomian semacam itu sama sekali tidak pro rakyat, sehingga tidak heran jika dewasa ini kita menyaksikan “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.” Seperti halnya negara-negara berkembang lainnya, Indonesia kini juga sudah menyatakan komitmennya pada modernisasi. Modernisasi diharapkan akan menjadi jembatan yang mengantarkan rakyat dan bangsa Indonesia kepada kehidupan yang makmur dan sejahtera. Akan tetapi komitmen pada modernisasi itu cepat atau lambat pada gilirannya akan membawa pengaruh pula terhadap bidang hukum. G. Penutup Sebagai penutup paparan ini, dapatlah dikemukakan bahwa Pancasila sebagai ideologi hasil pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia telah terbukti dipercaya dan diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai) yang paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi bangsa Indonesia. Maka fungsi utama Pancasila bagi bangsa dan negara Indonesia ini adalah: a) Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia; b) Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia; dan c) Pancasila sebagai jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Dengan demikian agar semangat pembentukan serta pengembangan sistem hukum Indonesia ke depan tidak tercerabut dari akar budayanya, maka cita-cita Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia harus menjadi modal utamanya. Pada gilirannya, Pancasila harus dijadikan “das sollen” dan sekaligus menjadi “Volkgeist” atau jiwa bangsa Indonesia dalam rangka melakukan pembentukan serta pengembangan sistem hukum Indonesia sekarang maupun di masa yang akan datang.*** 523
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 515 - 524
DAFTAR PUSTAKA Esmi Warassih Pujirahayu, “Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudkan Tujuan Hukum (Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan)”; Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Undip, Semarang, 14 April 2001. Daniel S. Lev. 1990, “Hukum Kolonial dan Asal-usul Pembentukan Negara Indonesia” dalam Hukum dan Politik di Indonesia-Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta: LP3ES. Djojodigoeno. 1952, Adat Law in Indonesia. Jakarta: Djambatan. -----------------, 1961, Reorientasi Hukum dan Hukum Adat. Yogyakarta: Penerbitan Universitas. H. Burhanuddin, 1998. Filsafat Pancasilaisme. Jakarta: Rineka Cipta. Koentjaraningrat. 1980. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. Muladi. 1997, Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Undip. Nopirin. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Cet. ke 9. Jakarta: Pancuran Tujuh. Notonagoro. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Cet. Ke 9, Jakarta: Pantjuran Tujuh. Satjipto Rahardjo. 1986,“Hukum dalam Perspektif Perkembangan”, dalam Ilmu Hukum. Bandung: Alumni. Soetandyo Wignjosoebroto. 1994, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional – Dinamika SosialPolitik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Sunarjati Hartono. 1971, Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat. Bandung: Alumni.
524
SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA DALAM BINGKAI KONSTITUSI Oleh : Dewi Astutty Mochtar Program Magister Ilmu Hukum Universitas Merdeka Malang
[email protected] Abstrak Pembangunan ekonomi dalam suatu negara tentu memerlukan dukungan dari hukum yang memiliki peran sebagai pengatur dan pengarah setiap kebijakan ekonomi. Konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi dan menjadi pijakan dari peraturan-peraturan di bawahnya, konstitusi yang memuat tentang sistem perekonomian dapat disebut konstitusi ekonomi, konstitusi ekonomi menjadi sarana untuk mempertegas sistem perekonomian nasional, oleh karena itu setiap kebijakan ekonomi yang dibuat oleh penyelenggara negara harus berdasar pada konstitusi ekonomi, yang tujuan nya adalah untuk memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat dan tercapainya negara kesejahteraan. Kata kunci: Sistem Perekonomian Nasional, Konstitusi Ekonomi, Negara Kesejateraan. Abstract Economic development in a country would require the support of the law has a role as a regulator and steering any economic policy. Constitution as the law of the highest and to be the basis of the regulations under it, the constitution contains about economic system can be called a constitution economics, constitutional economics becomes a means to reinforce the national economic system, therefore any economic policy made by the organizers of the state should be based the economic constitution, whose goal it is to provide the maximum prosperity for the people and the achievement of the welfare state. Keywords: System of National Economy, Constitutional Economics, Welfare State. A. Pendahuluan Ekonomi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari masyarakat dalam upaya untuk memenuhi kebutuhannya baik berupa barang dan jasa guna mencapai kemakmuran. Kemakmuran merupakan indikator penting dalam ekonomi karena kemakmuran itu sendiri merupakan suatu keadaan di mana manusia dapat memenuhi kebutuhannya, baik barang-barang maupun jasa. Hal ini sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang telah dirumuskan oleh founding fathers dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia ke dua yang berbunyi “Dan perjuangan pergerakan kemerde-
kaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagiadengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Dengan rumusan tersebut dapat di interpretasikan bahwa keberhasilan negara Indonesia dalam mengatasi permasalahan ekonomi dan setiap kebijakan ekonomi yang dibuat oleh penyelenggara negara diharapkan dapat membawa kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Ekonomi selain menjadi indikator terpenting dalam kemakmuran rakyat pada suatu negara juga menjadi tolak ukur dan istrumen dalam 525
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 525 - 534
menilai kestabilan setiap negara, oleh karena itu setiap negara memiliki kebijakan atau arah ekonomi yang dirumuskan dalam konstitusi yang dijadikan sebagai dasar dan kerangka ekonomi yang dianut oleh suatu negara, dimana setiap kebijakan ekonomi yang dibuat oleh penyelenggara negara berpijak pada rumusan konstitusi ekonomi tersebut. Konstitusi sendiri dianggap sebagai hukum paling tinggi tingkatannya memiliki tujuan untuk keadilan, ketertiban, dan perwujudan nilai-nilai ideal seperti kemerdekaan atau kebebasan dan kemakmuran serta kesejahteraan, sedangkan kontitusi ekonomi merupakan istilah yang digunakan dalam mendasarkan sebuah sistem ekonomi yang memuat kebijakan atau arah ekonomi. Konstitusi yang mengatur tentang ekonomi tentu berbeda dengan konstitusi dari paham demokrasi liberal (libertarian constitution). Sebagai contoh, konstitusi AS, tidak memuat sama sekali ketentuan mengenai cita-cita ekonomi atau ketentuan mengenai sistem ekonomi dan kegiatan. Alasannya jelas, yaitu soal-soal yang berkenaan dengan perekonomian tidaklah menyangkut urusan kenegaraan, melainkan termasuk ke dalam wilayah urusan pasar yang mempunyai mekanismenya tersendiri sesuai dengan prinsip free market liberalism yang dianggap sebagai pilar penting dalam sistem kapitalisme.1 Negara yang pertama kali memasukkan kebijakan arah ekonomi ke dalam konstitusinya ialah Rusia yang pada saat itu bernama (The Russian Soviet Federative Socialist RepublicSFSR) Soviet-Russia di tahun 1918. Konstitusi ekonomi di Rusia pada saat itu termasuk ke dalam sebuah konstitusi yang sangat berjiwa idealisme. Rusia yang baru saja mengalami revolusi di tahun 1917, menentukan arah ekonomi negaranya dengan semangat anti-imprealisme dan pro-buruh, sehingga kepemilikan tanah menjadi hal yang sangat penting dalam kebijakan ekonomi di Rusia pada saat itu.2 Sebagai negara hukum sistem perekonomian Indonesia dalam kerangka ketatanegaraan
tertulis dalam Pasal 33 UUD 1945 yang berisi tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Jika kita lihat isi dari Pasal 33 UUD 1945 menunjukkan bahwa ekonomi pasar tidak boleh berjalan sendiri artinya bahwa berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 perekonomian Indonesia tidak dibiarkan sesuai dengan kehendak pasar tapi diperlukan peran Negara dalam menata dan menstruktur sistem ekonomi guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 33 UUD 1945 ini menolak paham fundamentalisme pasar. Pasar adalah ekspresi selera dan kehendak si kaya yang memiliki tenaga beli. Oleh karena itu dalam sistem ekonomi yang pro-pasar maka pola produksi (dan selanjutnya pola-konsumsi) akan dibentuk sesuai dengan kehendak si kaya dan oleh perhitungan untung-rugi ekonomi.3 Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya pasar bebas dan demi terwujudnya kemakmuran rakyat, maka sistem ekonomi dirumuskan dalam konstitusi sebagai grundnorm atau hukum yang paling tinggi. Pada dasarnya hukum dengan ekonomi saling mempengaruhi, Setiap negara di dunia menjadikan hukum sebagai alat untuk mengatur dan membatasi kegiatan-kegiatan ekonomi, dengan tujuan agar perkembangan perekonomian tersebut tidak merugikan hak-hak dan kepentingan masyarakat. Dengan demikian hukum tidak hanya berupa pengaturan terhadap aktivitas ekonomi, tetapi juga bagaimana pengaruh ekonomi terhadap hukum. Sifat esensial dari hukum adalah memberikan prediktabilitas kepada para pelaku ekonomi, artinya bahwa dengan adanya hukum akan memberikan kepastian hukum dalam rangka menjalankan usahanya melalui lembaga-lembaga, seperti kontrak dan hak milik individual. Jean Jacques Rousseau pada tahun 1975, dalam bukunya A Discourse on Political Economy sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie4 bahwa antara hukum dengan ekonomi memiliki keterkaitan. Kata ekonomi itu sendiri berasal dari “oikos” yang berarti rumah tangga, dan “nomos” yang berarti hukum. Dari pengertian etimologi tersebut dapat disimpulkan bahwa
1
Jimly Ashiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Bhuana Ilmu, Jakarta, 2009, hal. 30 2 Agnes Harvelian, Constitutional Court and The Enforcement of Indonesia Economics Constitution, Far Eastern Federal University, Rusia, 2016, hal. 3
526
3
Sri Edi Swasono, Kebangsaan Kerakyatan dan Kebudayaan, (Yogyakarta: UST-Press, 2014), hal. 22 4 Jimly Ashiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Kompas, 2016), hal. 11
Sistem Perekonomian Indonesia …
terdapat keterkaitan yang erat dalam pertumbuhan ekonomi dengan hukum. Suatu perkembangan ekonomi akan mempengaruhi peta hukum sebaliknya perubahan hukum juga akan memberikan dampak yang luas terhadap ekonomi. Tugas hukum dalam sistem perekonomian adalah menjaga dan membuat kaidah-kaidah pengaman, agar pelaksanaan pembangunan ekonomi tidak mengorbankan hak-hak dan kepentingan dari pihak yang lemah. Kegiatan ekonomi yang tidak didukung oleh hukum akan mengakibatkan terjadi kekacauan, sebab apabila para pelaku ekonomi dalam mengejar keuntungan tidak dilandasi dengan norma hukum, maka akan menimbulkan kerugian diantara salah satu pihak dalam melakukan kegiatan ekonomi. Hukum yang mengikuti kegiatan ekonomi ini merupakan seperangkat norma yang mengatur hubungan kegiatan ekonomi dan ini selalu dipengaruhi oleh sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara. Hukum tidak dapat berkembang tanpa dukungan ekonomi yang tumbuh. Tetapi, perekonomian tidak akan tumbuh dan berkembang jika hukum tidak mampu menjamin keadilan yang pasti dan kepastian yang adil. Dengan demikian hukum juga dapat difungsikan dan berfungsi sebagai sarana penggerak dan pengarah guna mencapai tujuan-tujuan suatu masyarakat di bidang perekonomian.5 B. Kedudukan Ekonomi Dalam Konstitusi Indonesia Undang-undang Dasar 1945 merupakan konstitusi tertulis yang dimiliki Indonesia. Dalam perjalanan sejarah sistem ketatanegaraan bangsa ini, tercatat telah di lakukan perubahan amandemen dalam empat tahap mulai tahun 1999 hingga 2002. Konstitusi dapat diartikan peraturan dasar dan yang memuat ketentuan – ketentuan pokok dan menjadi satu sumber perundang- undangan. Berawal dari adanya tuntutan reformasi yang berujung pada terjadinya perubahan amandemen UUD 1945 yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Konstitusi telah mengatur keberbagai aspek, politik, keamanan, budaya, hukum dan ekonomi. Namun sei-
Dewi Astutty Mochtar
ring perkembangan keilmuan, konstitusi ekonomi menjadi gagasan baru secara implementatif. Ekonomi menjadi basic problem yang dijadikan kajian dari berbagai ilmu namun belum memiliki kejelasan dalam konstitusi. Perkembangan pemikiran hingga aplikasi dari kebijakan ekonomi dalam konstitusi perlu menjadi fokus dalam pembangunan ekonomi nasional. Istilah konstitusi ekonomi (economic constitution) relatife baru dikenal dalam pemikiran tentang hukum konstitusi, hukum ekonomi, dan ilmu ekonomi pada umumnya. James M. Buchanan menjelaskan masalah ekonomi yang timbul dalam konstitusi sebagai sebuah kontrak sosial untuk semua orang bukan satu orang. Penelitian inipun masih belum bisa dikatakan bahwa konstitusi ekonomi dapat dijadikan sebagai objek kajian hukum tata negara atau sebagai objek kajian konstitusi.6 Bahkan, di Amerika Serikat sendiri diskusi-diskusi tentang kontitusionalisasi kebijakan ekonomi ini juga sangat berkembang. Pentingnya peran dan intervensi negara ke dalam mekanisme pasar terus meningkat dari waktu ke waktu. Apalagi, di tengah krisis keuangan Amerika Serikat sekarang dan kebijakan “bail-out” yang diterapkan untuk mengatasinya sekarang justru menambah bukti mengenai pentingnya peranan negara dalam perekonomian masa kini.7 Konstitusi dapat disebut dengan konstitusi ekonomi apabila didalam nya memuat kebijakan ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebutlah yang akan menjadi payung hukum dan pijakan dalam suatu arah ekonomi pada setiap negara. Sedangkan ekonomi konstitusi adalah perekonomian berdasarkan konstitusi atau disebut juga sebagai constitutional market economy. Negara Soviet-Rusia merupakan negara pertama yang menggunakan istilah konstitusi ekonomi dengan merumuskan prinsip-prinsip dasar kebijakan ekonomi ke dalam konstitusi pada tahun 1918. Selanjutnya, pada tahun 1919 konstitusi ekonomi dibuat oleh Republik Weimar Jerman sebagai salah satu negara di Eropa Barat yang menganut sosialis democrat dengan menghubungkan ide-ide ekonomi dalam konstitusi. 6
Agnes Harvelian, op.cit, hal. 6 Ishariyanto, Hukum Kebijakan Ekonomi Publik, Thafa Media, Yogyakarta, 2016, hal. 81
7 5
Ibid, hal. 16
527
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 525 - 534
Istilah konstitusi ekonomi sendiri telah dikembangkan oleh Rittner menjadi empat konteks pengertian, yaitu (1) sebagai kondisi actual perekonomian nasional (actual state of national economy); (2) model-model ekonomi; (3) tiaptiap norma hukum yang mengatur perekonomian; (4) sebagai kalimat-kalimat pernyataan hukum yang dituangkan dalam rumusan undangundang suatu negara. Kebijakan-kebijakan ekonomi dalam konstitusi tersebut, baik yang dimuat secara eksplisit ataupun implisit, dijabarkan dalam bentuk kebijakan yang lebih operasional yang biasanya dituangkan dalam bentuk hukum tertentu, seperti undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya. Semua peraturan ini berfungsi sebagai instrumen yang memacu laju perkembangan ekonomi ataupun sebaliknya membuat perekonomian menjadi mandek.8 Perumusan kebijakan ekonomi ke dalam konstitusi bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial melalui sistem ekonomi yang sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia. Perumusan sistem perekonomian nasional ke dalam konstitusi akan memberikan kepastian hukum yang adil bagi dan menjamin kebebasan para pelaku ekonomi yang pada waktunya juga akan memberikan kesejahteraan, serta memberikan jaminan atas kebebasan individu sekaligus menentukan batasan-batasan atas kebebasan tersebut dalam bidang ekonomi, karena tanpa kepastian hukum perekonomian tidak dapat berkembang, sedangkan tanpa keadilan perekonomian tidak akan menumbuhkan kebebasan yang sehat, sehingga perekonomian tidak akan membawa kesejahteraan. Konstitusi sebagai hukum tertinggi di dalam suatu negara (the supreme law of the land) yang merupakan landasan fundamental terhadap segala bentuk hukum atau peraturan perundangundangan. Oleh karena itu segala kebijakan ekonomi yang dibuat harus mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Seringkali para pembuat kebijakan ekonomi tidak merasa perlu mendasarkan diri pada ketentuan konstitusi. Pada dasarnya kebijakan ekonomi merupakan keputusan politik karena kebijakan eko-
nomi mempengaruhi distribusi kekayaan dan pendapatan dalam masyarakat. Golongan yang memerintah akan menentukan kebijakan ekonomi dan akan mengambil keputusan dari berbagai alternatif yang tersedia dalam pemecahan masalah-masalah ekonomi.9 Sedangkan kebijakan ekonomi menurut sistem ekonomi politik secara konvensional berdiri pada dua kutub yakni, pertama sistem kapitalisme dimana peran pasar dan swasta lebih dominan. Kedua sistem sosialisme yang lebih didominasi oleh peran negara. Merujuk pada pendapat Didik J. Rachbini, bahwa inti dari disain besar suatu kebijakan ekonomi bermuara kepada 2 (dua) pilar yaitu bobot institusi negara dan bobot institusi pasar. Kesalahan dalam meramu keduanya akan menimbulkan kerancuan atau bahkan kesalahan dalam disain besar sistem ekonomi-poltik. Misalnya, jika sistem ekonomi terlalu liberal dengan menyerahkan segalanya kepada mekanisme pasar dan hukum persaingan, maka tujuan untuk mensejahterakan rakyat banyak tidak akan pernah terwujud selamanya.10 Sedangkan kebijakan ekonomi dalam konstitusi di Indonesia sendiri merujuk pada Pasal 27 UUD 1945 yang berisi “(1) segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya; (2) Tiap-tiap warga Negara berhak atas pejkerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Serta dalam Pasal 33 UUD 1945 yang berisi “(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumu dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar demokrasi eknomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional; (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur dalam 9
8
Jimly Asshiddiqie, op.cit, hal. 68
528
Ishariyanto, op.cit, hal. 92-93 Ibid
10
Sistem Perekonomian Indonesia …
undang-undang”. Pasal 33 UUD 1945 ini telah menimbulkan berbagai pendapat dan penafsiran bahwa sistem ekonomi menganut sistem sosialisme yang berpengaruh pada pribadi Moh. Hatta dan menolak adanya sistem kapitalisme. Pendapat Moh. Hatta terkait Pasal 33 UUD 1945 mengandung perintah dengan menerapkan sistem ekonomi yang berasas kekeluargaan. Dalam upayanya untuk meningkatkan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya bagi semua orang. Bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam dan di luar bumi adalah pokok-pokok untuk menunjang kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat lebih utama dari ekonomi, keuangan, atau kesejahteraan sosial. Melihat adanya berbagai pendapat, selanjutnya kita telaah dari pengertian ekonomi sendiri, ekonomi secara jamak merupakan ilmu tentang usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas. Sedangkan dalam sistem ekonomi kapitalis, ilmu ekonomi adalah studi mengenai manusia, terutama manusia sebagai homo economicus, dengan perilaku yang didorong oleh kelangkaan sumber daya untuk mencapai tujuan tertentu.11 Manusia ekonomi dalam kapitalisme merupakan manusia yang bersifat egois yang berupaya untuk mencapai utilitas secara maksimum dimana perilakunya dimotivasi semata-mata oleh kepentingan diri pribadi. Menurut Gregory dan Stuart sebagaimana dikutip oleh Ishariyanto, sistem ekonomi kapitalis ditandai antara lain penguasaan atau kepemilikkan factor-faktor produksi oleh swasta, sedangkan pembuatan keputusan apa yang ingin diproduksikan berada di tangan siapa yang memiliki faktor produksi tersebut. Keputusan yang dibuat, dipandu oleh mekanisme pasar yang menyediakan informasi yang diperlukan sementara insentif kebendaan (material incentives) menjadi motivator utama bagi para pelaku ekonomi.12 Konteks pengertian ekonomi menurut sistem kapitalisme tentu bertentangan dengan legal culture bangsa Indonesia. Sesuai dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bah-
Dewi Astutty Mochtar
wa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” berdasar pasal tersebut dimaknai bahwa perekonomian Indonesia dilakukan atas dasar kehendak bersama dalam kegotongroyongan sebagai wujud tanggung jawab untuk menjamin kepentingan bersama dan kemakmuran bersama untuk masyarakat luas bukan untuk kepentingan perseorangan, artinya bahwa perekonomian di Indonesia dilaksankan berdasarkan moral dan kebersamaan sebagai refleksi dari tanggung jawab sosial. Disisi lain bahwa Indonesia memiliki kesan menganut sistem sosialisme, ini ditunjukkan dengan adanya kata “dikuasai” yang disebutkan 2 kali pada ayat (2) dan ayat (3), namun secara eksplisit ayat (1) mengandung pengertian dari sistem ekonomi yang digunakan oleh Indonesia. Jika ayat 1 Pasal 33 jelas-jelas menggambarkan sistem yang demokratis (demokrasi ekonomi) maka tentunya sistem ini bukan sistem komando yang segala-galanya diatur oleh negara. Setelah ayat 1 Pasal 33 menggambarkan berlakunya sistem ekonomi yang demokratis (berasas kekeluargaan), maka barulah ayat 2 dan 3 mengatur mekanisme operasionalnya yaitu bagaimana pokok-pokok kemakmuran rakyat yaitu bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, diatur pemanfaatannya.13 Dengan kata lain berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tersebut bahwa sistem ekonomi Indonesia berdasar pada demokrasi ekonomi yang dipertegas dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945 dimana kemakmuran rakyat yang sebesarbesarnya merupakan tujuan utama dalam pembangunan ekonomi nasional. Hal ini sejalan dengan pemikiran Soepomo sebagai salah satu founding father yang mengatakan bahwa “Kemakmuran adalah untuk seluruh rakyat Indonesia tidak untuk salah satu golongan. Negara tidak boleh berpihak pada kelompok terkuat atau kelompok tertentu, apalagi membela segelintir orang”.14 Tentu kemakmuran yang diciptakan juga harus memuat adanya keadilan untuk setiap rakyat. 13
11
Manuati Dewi, Studi Ilmu Ekonomi Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Tinjauan Dari Sudut Manajemen, Udayana University Press, Bali, 2012, hal. 41 12 Ishariyanto, op.cit, hal. 40
Mubyarto, op.cit, hal. 11 Jimly Asshidique, dkk, Soepomo Pergulatan Tafsir Negara Integralistik, Biografi Intelektual, Pemikiran Hukum adat, dan Konstitualisme, Thafa Media, Yogyakarta, 2015, hal. 167 14
529
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 525 - 534
Dengan sistem demokrasi ekonomi tentunya sistem ini segala produksi dikerjakan dari rakyat dan untuk rakyat dan tentunya dibawah kepemilikkan rakyat, artinya dalam pemegang kekuasaan tertinggi di Indonesia adalah rakyat, baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Seluruh sumber daya dikuasai oleh rakyat yang berdaulat, dimana sistem ekonomi seperti ini tidak diatur atau dikomando oleh negara, hal ini dapat dilihat dari sistem ekonomi Indonesia yang berasas kekeluargaan. Senada dengan pendapat dari Sri-Edi Swasono15 bahwa bangsa Indonesia menganut paham kebersamaan (mutualism, ke-jemaah-an) dalam asas kekeluargaan (brotherhood, ke-ukhuwah-an) dan menentang paham liberilsme dan individualisme yang menampilkan self-interest yang menjadi dasar dari competitive economics ke arah pencapaian maximum satisfaction principle dan maximum profit and gain priciple berdasar individualisme, yang tidak selalu bersambung dengan manfaat sosial dan kepentingan sosial seluruh masyarakat. Sistem hukum ekonomi yang bersifat kekeluargaan atau kerakyatan, ini sebenarnya juga merupakan sistem hukum yang tidak sekedar mengandalkan pada rule of law, tetapi lebih menaruh perhatian pada rule of moral atau rule of justice. Sistem hukum ini kemudian diintegrasikan secara timbal balik dengan sistem ekonomi Pancasila.16 Dengan demikian sudah jelas bahwa sistem ekonomi yang dirumuskan dalam konstitusi bukanlah sistem ekonomi pasar dimana segalanya diatur oleh negara. Dengan menggunakan sistem demokrasi ekonomi yang tidak lain adalah paham kedaulatan rakyat di bidang ekonomi dengan rencana bahwa kemiskinan, kebodohan dan ketergantungan terlepas dari kehidupan rakyat, sehingga sistem demokrasi ekonomi juga pro pada kemiskinan, pertumbuhan dan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 34, sistem ekonomi Indonesia diarahkan untuk dapat mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan yang adil dan merata di seluruh wilayah Indonesia, melalui ekonomi kerakyatan 15
Sri-Edi Swasono, op.cit, hal. 23 Adi Sulistiyono, Muhammad Rustamdji, Hukum Ekonomi sebagai Panglima, Masmedia Buana Pustaka, Sidoarjo, 2009, hal. 73-74 16
530
serta menjamin kesinambungan pembangunan nasional dan kelangsungan hidup bangsa dan negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Berjalannya sistem perekonomian dalam suatu negara diperlukan adanya peran dari negara, negara sebagai organisasi tertinggi yang memiliki kewenangan untuk mengatur perihal yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat luas serta memiliki kewajiban untuk mensejahterakan dan melindungi masyarakatnya, harus turut terlibat dalam dalam mendorong dinamika pembangunan ekonomi. Peran negara yang diwakili oleh seperangkat norma sangat menentukan arah kebijakan dalam pembangunan ekonomi. C. Peran Negara Dalam Ekonomi Peran Negara dalam mewujudkan Negara kesejahteraan bertindak sebagai regulator, penyedia atau provider dari berbagai keperluan para warga negaranya yang dapat berupa pemberian tunjangan sosial, dan Negara bertindak sebagai entrepreneur dengan membentuk badan-badan usaha milik Negara disamping melaksanakan fungsi sebagai agent of development juga harus mampu untuk membiayai usahanya secara mandiri. Konsep peran negara yang terlibat dalam bidang ekonomi secara riil pertama kali dikemukakan oleh Beveridge, seorang anggota Parlemen Inggris dimana dalam laporannya dan mengandung suatu program sosial, yaitu: pemerataan pendapatan masyarakat, kesejahteraan sosial sejak manusia lahir sampai meninggal dunia, penyediaan lapangan kerja, pengawasan atas upah oleh pemerintah, dan usaha dalam bidang bidang pendidikan. Berdasarkan laporan Beveridge tersebut terkandung konsep negara kesejahteraan, yang selanjutnya berkembang dan diterima oleh beberapa pihak, selanjutnya negara yang mengikuti konsep tersebut adalah jerman dengan konsep asuransi sosial yang dibiayai oleh pemerintah dan Amerika oleh Presiden F.D. Roosovelt yang mempertegas dan mempopulerkan konsep negara kesejahteraan dengan program New Deals Social Secyrity Acts 1935. Pada dasarnya tidak ada satu negarapun di dunia ini yang tidak melibatkan peran pemerin-
Sistem Perekonomian Indonesia …
tah dalam sistem perekonomiannya. Tidak juga di negara yang menganut sistem kapitalis yang mengkehendaki peran swasta lebih dominan dalam mengelola perekonomiannya. Karena tidak ada satupun negara kapitalis di dunia ini yang menganut sistem kapitalis murni. Menurut Adam Smith, ahli ekonomi kapitalis, mengemukakan teorinya bahwa dalam perekonomian segala sesuatunya akan berjalan sendiri-sendiri menyesuaikan diri menuju kepada keseimbangan menurut mekanisme pasar. Tarik-menarik kekuatan dalam sistem perekonomian itu seperti dikendalikan oleh “the invisible hand”, sehingga dengan demikian tidak memerlukan begitu banyak campur tangan pemerintah. Peran Negara sendiri dalam ekonomi dapat dilihat melalui 4 (empat) aliran, yakni: Pertama. Aliran laissez faire, dalam aliran laissez faire menghendaki campur tangan pemerintah pemerintah sekecil mungkin dibidang ekonomi, aliran dimana peran swasta lebih dominan. Menurut aliran ini kegiatan perseorangan ataupun kegiatan satuan-satuan usaha harus diberikan kebebasan untuk mengurus kepentingannya sendiri, karena kegiatan ekonomi yang dilakukan dalam persaingan bebas akan jauh lebih bermanfaat dan masyarakat akan mencapai efisiensi secara maksimal, karena masyarakat didiorong dengan tangan tak terlihat (the invisible hand) untuk bekerja secara maksimal untuk mencapai hasil yang memuaskan daripada apabila kegiatan ekonomi segalanya diatur oleh negara. Aliran laissez faire adalah idelogi politik yang sepenuhnya bersandar pada kapitalisme, yang dalam perkembangannya mereka selalu berusaha agar kapitalisme itu sendiri menjadi sebuah sistem ekonomi.17 Dalam sistem kapitalisme peranan pemerintah hanya terbatas untuk melakukan kontrol dan mengikuti perkembangannya agar tidak terjadi kegagalan pasar. Pada dasarnya, kegiatan ekonomi adalah pasar dengan sedikit atau bahkan tanpa intervensi pemerintah. Sementara itu, di dalam transaksi pasar berlaku juga kompetisi di antara pelaku-pelaku usaha, yang dijaga agar tidak terdistorsi.18 17
Ishariyanto, op.cit, hal 85 Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik Paradigma dan Teori Pilihan Publik, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 17
Dewi Astutty Mochtar
Kedua, Aliran sosialisme, dalam aliran sosialisme negara harus mengambil peran secara maksimal, negara harus bertindak nyata menguasai segala aspek kehidupan ekonomi negara. Karena kebebasan dan persaingan dalam masyarakat akan memberikan ketidakadilan, dengan campur tangan dari pemerintah akan membawa keadilan dan kesejahteraan bersama. Peran negara dalam aliran sosialis merupakan organisasi yang paling representatif, sehingga konsep penguasaan kepemilikan dan operasionalisasi berada di tangan pemerintah atau negara. Namun negara yang menganut aliran sosialisme justru mengalami keterpurukan ekonomi karena keterlibatan negara secara berlebihan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya peran masyarakat untuk berkembang dan berkreasi, karena segala sesuatnya serba diatur dan dikontrol oleh negara dan hasilnya pun untuk komunal. Ketiga, Aliran liberalisme modern, aliran liberalisme modern awal mulanya dicetuskan oleh Thomas Green pada tahun 1880, jika pada aliran liberalisme klasik pasar bebas dari campur tangan negara, sebaliknya pada liberalism modern memasukkan kembali peran negara ke dalam pasar agar setiap orang mendapat perlindungan dari sistem ekonomi liberalism klasik yang adakalanya berlaku tidak adil. Keempat, Aliran konservatif modern, aliran konservatisme pada dasarnya berurusan dengan upaya pelestarian nilai-nilai dan institusi tradisional. Penganut aliran konservatisme berkeyakinan bahwa masyarakat harus tetap berjalan sebagaimana adanya. Akan tetapi pemegang kekuasaan adalah kaum bangsawan. Di bidang kegiatan ekonomi, pemerintah harus menegaskan aturan-aturan dasar persaingan bebas dengan memperkuat kontrak dan melindungi hak milik pribadi. Dalam hal ini, pemerintah tidak boleh membatasi keuntungan si pemenang dan tidak boleh pula mengatasi kerugian pihak yang kalah.19 Pada hakikatnya keterlibatan negara juga dibutuhkan dalam sistem perekonomian suatu negara untuk memberikan keadilan bagi masyarakat dengan membuat peraturan sebagai alat untuk melindungi dan memberikan kepastian
18
19
Ishariyanto, op.cit, hal. 88-90
531
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 525 - 534
hukum pada masyarakat. Artinya, kegiatan ekonomi tidak terlepas dari rambu-rambu norma hukum, dengan catatan kegiatan ekonomi tidak dibelenggu dengan peraturan yang pada akhirnya akan menghacurkan sistem perekonomian itu sendiri. Disisi lain, peran negara juga dibutuhkan untuk terwujudnya pembangunan ekonomi suatu negara guna tercapainya kesejahteraan rakyat. Pembangunan ekonomi yang dilakukan pada setiap negara selalu membutuhkan hukum sebagai sistem dan norma yang mengatur dan mengarahkan kebijakan ekonomi dengan tujuan kesejahteraan bagi setiap rakyat. Oleh karena itu, sistem ekonomi beserta arah kebijakan perekonomian di Indonesia tunduk pada UUD 1945 sebagai grand design dari hukum konstitusi yang menjadi pijakan dari setiap kebijakan ekonomi. UUD 1945 merupakan konstitusi ekonomi karena di dalam nya memuat tentang sistem perekonomian nasional yang mengarah pada negara kesejahteraan yang dapat dilihat dari rumusan Pasal 27 dan Pasal 33 UUD 1945 dimana konstitusi ekonomi Indonesia tidak hanya berpihak pada pengusaha tetapi juga pada pekerja yang didasarkan pada kebersamaan. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah Konstitusi Negara Kesejahteraan atau Welfare Constitution. Undang-Undang Dasar ini merupakan konstitusi pembebas (liberating constitution) dan sekaligus pemersatu (integrating constitution) untuk keadilan dan kemakmuran atau kesejahteraan yang adil. Ia adalah konstitusi yang membebaskan rakyat Indonesia dari segala bentuk penjajahan dan mempersatukan bangsa Indonesia dari segala bentuk penjajahan mempersatukan bangsa Indonesia dalam ikatan persatuan dalam keragaman.20 Konstitusi Indonesia dikatakan sebagai konstitusi negara kesejahteraan karena di dalam nya mengatur terkait sistem perkonomian yang tujuan nya adalah untuk kemakmuran rakyat. Merujuk pada pendapat Esping Andersen bahwa negara kesejahteraan menunjukkan peran negara yang aktif dalam mengelola dan mengorganisasi perekonomian yang di dalamnya mencakup tanggung jawab negara untuk menjamin keterse20
Jimly Asshiddiqie, op.cit, hal. 1
532
diaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya. Dengan dirumuskannya sistem perekonomian dalam konstitusi yang mencerminkan bahwa Indonesia menganut konsep negara kesejahteraan. Negara kesejahteraan berusaha membebaskan warganya dari ketergantungan pada mekanisme pasar untuk mendapatkan kesejahteraan (dekomodifikasi) dengan menjadikannya sebagai hak setiap warga yang dapat diperoleh melalui perangkat kebijakan sosial yang disediakan oleh negara.21 Selain ketentuan Pasal 33 UUD 1945 dan merujuk pada Pasal 27 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa pemerintah mempunyai kewajiban sosial menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyat. Jika menurut Mubyarto22 ketentuan ini memperkuat kesan bahwa sistem ekonomi Indonesia adalah sosialisme. Tetapi bahwa penguasaan cabang-cabang produksi hanya meliputi cabang-cabang produksi yang penting saja bagi negara, dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, harus diartikan bahwa cabang-cabang produksi lain di luar itu, yang tidak penting bagi negara dan tidak menguasai hajat hidup orang banyak, tidak perlu dikuasai negara. Ini menunjukkan bahwa negara Indonesia memang mendekati sistem negara kesejahteraan tetapi bukan penganut paham sosialisme. Kebijakan sosial pada dasarnya tidak berimplikasi dengan negara kesejahteraan, karena kebijakan sosial dapat diterapkan tanpa adanya negara kesejahteraan, tetapi sebaliknya negara kesejahteraan membutuhkan kebijakan sosial untuk mendukung dan mewujudkan negara kesejahteraan itu sendiri. Adanya konsep negara kesejahteraan akan menciptakan efisiensi dalam sistem perekonomian yang disebabkan terjaminnya pemenuhan kebutuhan dasar setiap rakyat. Pendapat yang
21
Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan Peran Negara dalam Produksi dan Alokasi Kesejahteraan Sosial, Pustaka LP3ES, Jakarta, 2006, hal. 9 22 Mubyarto, Amandemen Konstitusi & Pergulatan Pakar Ekonomi, Aditya Media, Yogyakarta, 2001, hal. 39
Sistem Perekonomian Indonesia …
sama juga disamapaikan oleh Godin23 bahwa negara kesejahteraan dengan efisiensi perekonomian memiliki keterkaitan, yakni: (i) negara kesejahteraan memberikan kontribusi positif bagi efisiensi perekonomian dengan memastikan bahwa sumber daya manusia warga bisa dimanfaatkan secara optimal dan produktif dengan terjaminnya kebutuhan dasar mereka (investment on human capital); (ii) kebijakan-kebijakan sosial dalam negara kesejahteraan tidak terbukti secara nyata menghambat tercapainya efisiensi perekonomian, baik dalam konteks partisipasi dalam pasar tenaga kerja maupun insentif bagi aktivitas investasi dan menabung (investment and saving). Oleh karena itu, perlulah suatu sarana hukum sebagai sarana yang mengatur dan mengarahkan perekonomian agar kesejahteraan dapat tercapai. Untuk mencapai negara kesejahteraan maka diperlukan campur tangan pemerintah sebagai unsur yang mengatur dan mengendalikan jalannya perekonomian dan penggerak pembangunan ekonomi. Indonesia sendiri telah membuat aturan terkait perekonomian nasional dengan merumuskannnya ke dalam konstitusi. Selain itu dalam GBHN juga disebutkan bahwa pemerintah mempunyai andil dalam pembangunan ekonomi “Pembangunan ekonomi yang didasarkan pada demokrasi ekonomi menentukan bahwa masyarakat harus memegang peranan aktif dalam kegiatan pembangunan. Oleh karenanya maka pemerintah berkewajiban memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan ekonomi serta menciptakan iklim yang sehat bagi perkembangan usaha; sebaliknya dunia usaha perlu pula memberikan tanggapan terhadap pengarahan dan bimbingan serta penciptaan iklim tersebut dengan kegiatan-kegiatan nyata”. Negara kesejahteraan, pada dasarnya, mengacu pada “peran negara yang aktif dalam mengelola dan mengorganisasi perekonomian” yang di dalamnya mencakup tanggung jawab negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya.24
Dewi Astutty Mochtar
D. Penutup Konstitusi sebagai hukum tertinggi pada setiap negara merupakan landasan fundamental dari segala bentuk hukum atau peraturan perundang-undangan. Konstitusi disebut dengan konstitusi ekonomi apabila di dalamnya memuat sistem perekonomian sebagai dasar arah kebijakan ekonomi. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi ekonomi di Indonesia menjadi tolak ukur dari setiap kebijakan ekonomi yang akan dibuat. Konstitusi ekonomi itulah yang nantinya akan menjadi payung hukum dari setiap kebijakan ekonomi. Tujuannya tidak lain untuk meningkatkan kemakmuran untuk setiap rakyat bukan hanya untuk golongan pribadi. Jaminan peningkatan kemakmuran tersebut diberikan dengan memastikan pengakuan dan jaminan hak ekonomi dalam rumusan pada konstitusi. Perumusan sistem perekonomian nasional dalam konstitusi juga menjadi batasan-batasan serta penentu dari arah kebijakan ekonomi. Selain itu konstitusi ekonomi juga memberikan kepastian hukum bagi para pelaku ekonomi, disisi lain dimuatnya sistem perekonomian nasional ke dalam konstitusi juga sebagai sarana untuk terwujudnya negara kesejahteraan. Untuk mewujudkan negara kesejahteraan diperlukan adanya keterlibatan negara dalam bidang ekonomi sebagai unsur yang mengatur dan mengendalikan jalannya perekonomian dan penggerak pembangunan ekonomi. Di indonesia peran negara dalam mewujudkan negara kesejahteraan tunduk pada UUD 1945 sebagai grand design dari hukum konstitusi yang menjadi pijakan dari setiap kebijakan ekonomi.
23
Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, op.cit, hal. 21 24 Ibid, hal. 9
533
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 525 - 534
DAFTAR PUSTAKA Ashiddiqie, Jimly. 2009. Menuju Negara Hukum Yang Demokratis. Bhuana Ilmu. Jakarta. Asshidique, Jimly. dkk. 2015. Soepomo Pergulatan Tafsir Negara Integralistik, Biografi Intelektual, Pemikiran Hukum adat, dan Konstitualisme. Thafa Media. Yogyakarta. Ashiddiqie, Jimly. 2016. Konstitusi Ekonomi. Kompas. Jakarta. Dewi, Manuati. 2012. Studi Ilmu Ekonomi Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Tinjauan Dari Sudut Manajemen. Udayana University Press. Bali. Edi Swasono, Sri. 2014. Kebangsaan Kerakyatan dan Kebudayaan. Yogyakarta: UST-Press. Harvelian, Agnes. 2016. Constitutional Court and The Enforcement of Indonesia Economics Constitution. Far Eastern Federal University. Rusia. Ishariyanto. 2016. Hukum Kebijakan Ekonomi Publik. Thafa Media. Yogyakarta. Mubyarto. 2001. Amandemen Konstitusi & Pergulatan Pakar Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta. Rachbini, Didik J. 2002. Ekonomi Politik Paradigma dan Teori Pilihan Publik. Ghalia Indonesia. Jakarta Sulistiyono, Adi. Muhammad Rustamdji. 2009. Hukum Ekonomi sebagai Panglima. Masmedia Buana Pustaka. Sidoarjo. Triwibowo, Darmawan dan Sugeng Bahagijo. 2006. Mimpi Negara Kesejahteraan Peran Negara dalam Produksi dan Alokasi Kesejahteraan Sosial. Pustaka LP3ES. Jakarta.
534
NEGARA HUKUM YANG BERKE-TUHANAN DAN PLURALISME (SISTEM) HUKUM DI INDONESIA Oleh : Tristam P. Moeliono*)
[email protected] Abstrak Hukum dan Negara Indonesia dibangun dan dilandaskan pada nilai-nilai luhur butir-butir Pancasila dan satu yang terpenting adalah sila Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Persoalannya adalah apakah yang sebenarnya kita maksud ketika menyebut Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa sebagai landasan berhukum dan bernegara. Tulisan ini menyoal pertanyaan ini dari sudut pandang filsafat hukum dengan menelusuri pandangan-pandangan pemikir hukum Indonesia dan membenturkannya dengan kontestasi identitas politik dalam kehidupan keberagaman di Indonesia. Sejumlah konsekuensi logis yang muncul dari pilihan Pancasila sebagai landasan berhukum dan bernegara adalah penolakan gagasan Negara sekuler maupun Negara agama. Kata kunci: Pluralisme hukum di Indonesia Abstract Indonesian law and state should be developed on the basis of the basic values encapsulated in the State ideology Pancasila, most notably the belief in the One God. The issue to be discussed here is how the concept of One God Almighty should be understood in the context of law and state building. This article intents to explore this problem from a legal philosophical perspective, i.e. by following how Indonesian legal scholars discuss this topic and by confronting it with the political contestation of the nation‟s identity. A number of logical consequence can be drawn from the conscious choice of referring to Pancasila, i.e. the rejection of both a secular or theological state. Keyword: Legal pluralism in Indonesia A. Pendahuluan Konstitusi Indonesia (UUD 1945) menyebut dengan tegas: Indonesia adalah negara kesatuan, negara hukum (yang demokratis) sekaligus negara berke-Tuhan-an.1 Secara ringkas kedau*)
Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan. Bidang kajian ilmu hukum yang diampu: Fillsafat Hukum dan Perbandingan Hukum. Anggota APPTHIAPSI sejak 2015. Tulisan ini merupakan pengembangan dari beberapa tulisan lain yang diunggah di laman academia.edu. 1 Pasal 1 UUD 45 menegaskan Indonesia adalah negara demokrasi konstitusional dan negara hukum, prinsip-prinsip yang sebenarnya telah cukup kuat untuk menegakkan negara demokrasi di mana mekanisme mayoritas dan minoritas dalam pengambilan keputusan dilaksanakan seiring dengan penghargaan pada prinsip penghargaan hakhak asasi manusia. Dengan perkataan lain, demokrasi (ke-
latan (kekuasaan tertinggi) negara atas rakyat dan wilayah (territorial) dikaitkan pada keberlakukan hukum, prinsip demokrasi dan kekuasaan Tuhan (Yang Maha Esa). Bagaimana pernyataan ini harus diterjemahkan ke dalam pemberlakuan dan keberlakuan satu sistem hukum nasional di negara hukum demokratis (di-) Indonesia? Apakah di wilayah kedaulatan Negara Indonesia artinya juga harus berlaku satu sistem daulatan rakyat) harus berjalan seiring dengan nomokrasi (supremasi hukum). Perhatikan pula bunyi ketentuan Pasal 29(1) UUD 1945: negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan ini harus dibaca pula dalam kaitan dengan ayat(2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
535
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 535 - 554
hukum nasional (terikat ruang-waktu; relatif dan temporer) dan pada saat bersamaan juga sekian banyak hukum agama/keyakinan yang masingmasing menyatakan bahwa sumber hukum hanyalah (perintah) Tuhan (kekal-abadi dan pasti benar) dari agama mereka sendiri? Bagaimana kemudian seharusnya wujud negara dan hukum berkeTuhanan di Indonesia? Ketentuan Pasal 27 UUD 1945 jelas menuntut adanya satu negara/pemerintahan yang memberlakukan sistem hukum bagi semua warga Indonesia. Kesamaan perlakuan di hadapan hukum dan pemerintahan (prinsip non-diskriminasi dalam negara hukum) seyogianya diberikan kepada semua warganegara tanpa kecuali, terlepas dari identitas suku, ras dan agama.2 Dalam artian itu hubungan Negara (pemerintah) dengan orang-perorangan seyogianya hanya dikaitkan pada konsep warga-negara (citizenship) atau keanggotaan pada komunitas politik yang bernama negara.3 Tuntutan atau pengharapan serupa muncul bahkan jauh sebelum Indonesia menjadi fakta empirik dalam pergaulan masyarakat internasional, yaitu ketika pada 1928 para pemoeda di Hindia Belanda menyatakan kesatuan bangsa, bahasa dan negara Indonesia (dan sama sekali tidak menyebutkan “keniscayaan” satu agama/ keyakinan). Kesemua itu mengindikasikan adanya cita-cita memberlakukan satu pemerintahan dan satu sistem hukum bagi (ragam suku-) bangsa di Hindia Belanda yang bersama-sama menderita di bawah “penjajahan” pemerintah kolonial. Dengan kata lain, solidaritas kebangsaan tumbuh kembang di bawah pemerintahan kolonial Hindia Belanda dan mendahului berdirinya NKRI secara yuridis-formal. Benedict R.O.G. Anderson di sini berbicara tentang imagined solidarity4 yang mem2
Pasal 27 (1) segala warganegara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 3 Lihat lebih lanjut: Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2011. hal. 33. hal 241 et seq. 4 Benedict Anderson mendefinisikan nation as "an imagined political community - and imagined as both inherently limited and sovereign". Lebih lanjut ia menyatakan bahwa nation "is imagined because the members of even the smallest nation will never know most of their fellowmembers, meet them, or even hear of them, yet in the minds of each lives the image of their communion”. An-
536
bentuk nation Indonesia yang menuntut kemerdekaan pada 1945. Apakah mitos tentang penjajahan 350 tahun di bawah Belanda5 dan 3.5 tahun di bawah Jepang cukup untuk mempertahankan solidaritas sebagai kesatuan masyarakat Indonesia dalam NKRI? Sejalan dengan itu Ernest Renan menyatakan bahwa a nation is a daily refendum (just as the continuing existence of an individual is an affirmation of life) dan rasa kebangsaan (nasionalisme) dibentuk oleh apa yang secara koletif sengaja diingat maupun dilupakan.6 Artinya ingatan kolektif dan begitu pula gagasan yang melandasi nasionalisme atau ikatan solidaritas lainnya (kesamaan agama, suku atau ras bahkan pengalaman bersama mengalami kolonialisme Belanda maupun Jepang) terbentuk dengan sangat selektif (dalam lintasan waktu dan pengalaman keseharian) dan tidak mutlak dilandaskan pada sejarah faktual.7 Di dalam dunia nyata, baik (alm.) M.Hatta (sebagai mahasiswa di Rotterdam) maupun Soekarno (di Hindia Belanda) bereaksi keras terhadap “ketidakadilan struktural” dalam bentuk diskriminasi/ketidaksamaan dihadapan hukum dan pemerintahan yang dilestarikan sistem hukum (pluralistik) Hindia Belanda saat itu. Namun ketika dunia berubah begitu jauh dan cepat, apakah semangat menentang ketidakadilan (sistem) hukum pemerintahan kolonial (kolonialisme-imperialisme) masih menggugah dan mempersatukan masyarakat Indonesia yang de facto dikarakteristikan oleh perbedaan (suku, agama/keyakinan dan ras) dalam satu semangat derson, Benedict R. O'G. Imagined Communities: reflections on the origins and spread of nationalism (Revised and extended. ed.). London: Verso: 1991. p. 224. 5 G.J. Ressink, Bukan 350 Tahun Dijajah, Jakarta: Komunitas Bambu, 2012. Lihat Marieke Blombergen (2011), Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Keperdulian dan Ketakutan, Jakarta: Kompas. 6 Renan, Ernest. "What is a Nation?" in Eley, Geoff and Suny, Ronald Grigor, (ed.) Becoming National: A Reader. New York and Oxford: Oxford University Press, 1996: pp. 41-55. 7 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, edisi terjemahan, Jakarta: PT. Ikrar Mandiriabadi, 2009. Tulisan ini dapat dikontraskan pada Paul Michel Munoz, Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula, Singapore: Mainland Press, 2006. Baca lebih lanjut: Suryadi, “Buku „Greget Tuanku Rao‟ dan Kontroversi Kepahlawanan Tuanku Tambusai”, (Padang. Kinicom; 19/10/2008).
Negara Hukum Yang Berke-Tuhanan dan …
kebangsaan (nasionalisme atau imagined solidarity)? Jawaban atas pertanyaan ini terkait dengan bayangan kolektif kita tentang cita negarahukum (recht/staats-idee) serta tantangan hari ini dan masa depan yang dihadapi bangsa Indonesia. Dengan kata lain, pada tingkat lebih abstrak, kita setiap kali dipaksa untuk mempertanyakan kembali landasan keabsahan eksistensi Negara Indonesia, kekuasaan pemerintahan dan keberlakuan sistem hukum (nasional) dalam negara kesatuan Indonesia yang berdaulat. Pertanyaan-pertanyaan di atas dalam ragam prakarsa pembaharuan hukum nasional jarang - bila tidak hendak dikatakan tidak pernah - dipikirkan kritis dan terbuka serta dalam suasana dialog/debat yang ditujukan pada pengembangan humanitas expleta et elequens. Jarang atau tidak pernah ada tulisan yang mengaitkan negara hukum demokratis secara serius pada pandangan keTuhanan (dalam konteks keberagaman suku, ras, agama/keyakinan yang dianut) dan menelusuri konsekuensi dari itu pada landasan legitimasi kekuasaan politik dan keberlakuan (sistem) hukum nasional (yang niscaya dibuat demokratis dan sebab itu dapat dianggap) berlaku tanpa kecuali bagi setiap warga-negara. Terlalu cepat kita mengandaikan bahwa sejarah sudah selesai, NKRI sudah berdiri sejak 1945 dan nasionalisme (kebangkitan nasional) cukup dibuktikan dengan adanya Soempah Pemoeda pada 1928 atau pernyataan setia pada (asas tunggal) Pancasila. Juga tidak cukup pernyataan sikap atau politik dari partai politik atau unsurunsur masyarakat lain bahwa NKRI untuk masyarakat bhineka tidak dapat ditawar-tawar.8 Sebaliknya banyak dan mudah ditemukan tulisan-tulisan pada zaman Orde Baru tentang P4, dan penegasan bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum (dan sebab itu juga legitimasi kekuasaan negara/pemerintah). Sementara itu buku-buku tentang „ilmu negara‟ dan „filsafat hukum‟ (di-Indonesia)9 yang dipergunakan sebagai bahan ajar di fakultas hu8
Dalam amandemen UUD 1945 keempat pada tahun 2002, MPR berkomitmen terhadap bentuk negara kesatuan dengan menyepakati bahwa bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan. 9 Soehino SH., 1985, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty yang menginspirasi banyak pengajar ilmu negara di fakultas hukum di Indonesia lainnya untuk menulis hal yang sama. Lihat antara lain: I Gde Pantja Astawa & Suprin
Tristan P. Moeliono
kum banyak merujuk teori-teori besar tentang legitimasi kekuasaan negara (demokrasi, kedaulatan negara-hukum) dan hukum (positivismenaturalisme) namun tidak atau belum membumikannya ke dalam situasi Indonesia riil. Sebagai bandingan yang banyak muncul adalah tulisan tentang bagaimana seharusnya Islam berperan dalam kehidupan Negara.10 Dapat dibayangkan dalam diskusi seperti ini, fakta empirik perihal keberagaman budaya/ agama dalam masyarakat Indonesia dan masalah-masalah yang muncul dari itu akan dinegasikan atau setidak-tidaknya dikecilkan. Persoalan dan bentrokan antar kelompok masyarakat, perebutan kekuasaan politik-ekonomi di tingkat lokal maupun nasional yang berasal dari fakta keragaman agama dan hubungan lintas agama dalam masyarakat pluralistik negara berkeTuhanan, seringkali dianggap tabu untuk dibicangkan dan diperdebatkan terbuka karena dianggap terlalu sensitif dan mudah menyulut emosi masyarakat.11 Demi menjaga keamanan dan ketertiban kita seringkali memilih untuk tidak mengkonfrontasi akar persoalan. Tampak nyata kita, setidak-tidaknya di ruang publik, secara sukarela melakukan self-censorship. Padahal bagaimanapun juga teori-teori besar tersebut sebagaimana layaknya teori harus dibenturkan pada realitas masyarakat, bangsa-negara dan hukum Indonesia. Dengan kata lain, harus dilakukan reality check dalam rangka verifikasi atau falsifikasi bahkan mungkin pencarian paradigma baru. Upaya ke arah ini sudah dan masih dilakukan secara dominan oleh peneliti asing. Penelitian besar yang dikoordinasikan Tim Lindsey (Australia)12 atau Henk Schulte Noordhold (Belanda)13 misalnya memprakarsai studi empiri Na‟a, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara: Jakarta, Refika Aditama, 2009. 10 Birgit Krawietz & Helmut Reifeld (Hrsg.) (eds.), Islam dan the Rule of Law: Between Sharia and Secularization Berlin: Konrad-Adeneur-Stiftung, 2008. Bdgkan juga dengan KH. Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: the Wahid Institute, Gerakan Bhineka Tunggal Ika & Maarif Institute, 2009. 11 Agita Sukma Listyanti, “Polisi Akui Bubarkan Paksa Dialog Lintas Agama” (Tempo.co.id; 12 juni 2013). 12 Tim Lindsey (ed.), Indonesia: Law and Society, 2nd edition, the Federation Press, 2008. 13 Henk Schulte Nordholt and Gerry van Klinken (ed.), Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post-Suharto
537
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 535 - 554
tentang perkembangan pemikiran negara, masyarakat dan sistem hukum Indonesia dari sejak kemerdekaan sampai dengan pasca reformasi. Salah satu hal yang diangkat ialah tentang perdebatan old state-new society atau new state-old society, landasan legitimitas kekuasaan pemerintahan Orde Baru: apakah sebagai beambtenstaat, negara korporasi, dan seberapa terkonsolidasinya kekuataan politik dan kedaulatan negara Indonesia.14 Juga dipersoalkan seberapa jauh pemerintahan pasca Orde Baru telah berubah dan mengubah tatanan negara dan hukum. Tulisan-tulisan tersebut namun demikian belum atau tidak menyentuh peran dan dampak keberagaman agama dalam kehidupan politik hukum Indonesia. Ihtiar ke arah itu sebaliknya dapat ditemukan dalam dissertasi (yang kemudian dibukukan) dari Denny Indrayana perihal amandemen UUD 1945 pasca reformasi15 serta ulasan Yudi Latif tentang negara paripurna yang berupaya menemukan dan mengaitkan kembali Pancasila sebagai dasar negara hukum Indonesia.16 Namun juga tulisan mereka tidak secara khusus menyoal keberagaman agama/keyakinan serta dampaknya terhadap pemikiran dan pengembangan sistem hukum dan politik (negara). Hanya sejumlah kecil penulis lain Indonesia, Leiden: KILTV Press, 2007. Di bagian Introduction, kedua editor menelaah perkembangan pemikiran tentang negara Indonesia dalam perspektif perdebatan old state-new society atau new state-old society dan upaya mencari terobosan baru (rethinking analytical categories) dalam rangka memahami perkembangan terkini dari negara, masyarakat dan sistem hukum di Indonesia. Bdgkan juga dengan: Edward Aspinall & Gerry van Klinken (ed.), The State and Illegality in Indonesia, Leiden: KITLV Press, 2011. Pokok bahasan dalam buku ini adalah pemilihan kabur antara negara/hukum formal-legal dengan yang informal dan illegal. 14 Lihat B.R.O‟G Anderson, Old Society, New State: Indonesia‟s New Order in Comparative Perspective, Journal of Asian Studies 42:3 (mei 1983). Bdgkan juga dengan Ruth McVey, The Beamtenstaat in Indonesia dalam B.R.O‟G Anderson & Audrey Kahin (ed.) Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate. Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1982. 15 Denny Indrayana, UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, diterjemahkan dari Indonesian Constitutional Reform 1999-2002: An Evaluation of Constitution-Making in Transition, penerjemah E. Setiyawati A, cetakan pertama, Bandung: Mizan, 2007. 16 Yudi Latif, Negara Paripurna: historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011.
538
yang sudah mulai mengangkat persoalan keberagaman (dalam masyarakat Indonesia) dalam kaitan dengan demokrasi serta pengembangan sistem hukum nasional.17 Djiwandono, misalnya, menyatakan bahwa:18 “(...) jelas bahwa ideologi Pancasila itu tidak dipahami secara sama oleh berbagai golongan agama di Indonesia, khususnya menyangkut sila pertama, yaitu Kepercayaan kepada Tuhan YME. Perbedaan, kerancuan atau ambivalensi pemahaman tentang makna sila pertama itu, meskipun tidak pernah secara terbuka diungkapkan, apalagi didiskusikan dan diperdebatkan -kecuali di dalam Badan Konstituante sebelum pemungutan suara -- telah selalu mengancam persatuan bangsa dan keutuhan negara. Hal itu lebih lanjut mengakibatkan kerancuan identitas negara Indonesia, yang "bukan negara sekuler", tetapi juga "bukan negara agama". Tulisan ini akan sekalipun mengikuti ikhtiar para pendahulu di atas, secara tegas hendak menelusuri persoalan berbeda: wujud dan legitimasi negara Indonesia yang demokratis, berkeTuhanan dan dilandaskan pada hukum dalam masyarakat yang dicirikan kebhinekaan. Untuk mengulas persoalan di atas, maka akan ditelaah secara umum konsep sekuler(isasi atau -isme) yang umumnya dikaitkan pada pembentukan Negara (hukum) modern (sekuler) atau justru ditolak negara berkembang (non-sekuler). Hal ini dianggap penting karena pandangan tentang kedudukan agama (sistem kepercayaan/keyakinan) dalam kehidupan bermasyarakat-bernegara jelas akan berpengaruh terhadap penerimaan atau penolakan terhadap keberagaman agama/ keyakinan (dan keberlakuan ragam sistem hu17
Periksa Felix Baghi SVD, Pluralisme, Demokrasi dan Toleransi, Cet-I, Maumere: Ledalero, 2012. Dari kalangan Islam dapat disebut, Ratno Lukito: Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, cet-1, Tanggerang: Pustaka Alvabet, 2008. Dalam bukunya yang lain (Legal Pluralism in Indonesia (Routledge, 2012) ia menelusuri kebijakan pemerintah terhadap (sub-) sistem hukum agama dan hukum adat dalam pengembangan hukum nasional. 18 J. Soedjati Djiwandono, “Mukadimah UUD 1945 Tidak Sakral, Perlu Diganti”, SUARA PEMBARUAN DAILY 9/2/04.
Negara Hukum Yang Berke-Tuhanan dan …
kum) dalam suatu negara. Dalam hal ini akan ditelaah sikap dan pandangan umum terhadap gagasan pemisahan negara dengan agama di dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Ini akan menjadi landasan bagi diskusi perihal pilihan sadar Indonesia untuk menjadi negara berkeTuhanan. Dalam hal ini pertanyaan pokok adalah negara hukum seperti apakah yang muncul dari negara modern berkeTuhanan? Lantas apa pengaruhnya terhadap legitimasi kekuasaan politik negara dan hukum negara? Pada bagian akhir akan diberikan sejumlah simpulan umum. B. Sekularisme/Sekularisasi: persoalan Pemisahan Agama Dari Ranah Penyelenggaraan Kehidupan Publik Demi kemudahan pembahasan sejak awal perlu dibedakan dua konsep: sekularisme dengan sekularisasi. Keduanya berakar dari kata saeculum (dunia yang ada sekarang; temporer (di sini-saat ini) yang dikontraskan dengan realita yang abadi-kekal dan sebab itu tidak berubah). Untuk yang pertama, sekular(-isme) sudah mengindikasikan pandangan ideologis atau posisi politik tertentu. Pandangan yang dilandaskan –isme, sepanjang berkaitan dengan ihwal hukum dan negara, memandang pemisahan kehidupan politik (publicum) dari kehidupan keagamaan (privatum) sebagai keniscayaan. Negara dan hukum, dalam pandangan ini tidak boleh dilandaskan dan berpihak pada ajaran agama tertentu. Maka hukum negara dipandang terpisah tegas dari norma agama dan sebab itu sertamerta dianggap anti Tuhan. Kemungkinan besar kecondongan ini diakibatkan pencampuran sekularisme dengan pandangan (anti religi yang dikumandangkan) Karl Marx.19 19
Pandangan Marx perihal agama dapat ditemukan dalam tulisannya yang merupakan kritik terhadap tulisan Hegel, Philosophy of Law. Ia menulis: “Religious distress is at the same time the expression of real distress and the protest against real distress. Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, just as it is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the people. The abolition of religion as the illusory happiness of the people is required for their real happiness. The demand to give up the illusion about its condition is the demand to give up a condition which needs illusions.” Dikutip dari Austin Cline, Why Does Religion Exist?: Karl Marx's Analysis of Religion (http://atheism.about. com, last visited 1 juli 2013).
Tristan P. Moeliono
Sedangkan yang dimaksud dengan sekularisasi (setidaknya dalam tulisan ini) harus dipahami sebagai murni gejala social (empiri) yang lagipula sifatnya tidak deterministik.20 Sebab itu berbeda dengan sekularisme, sekularisasi tidak dipahami sebagai suatu preskripsi normatif (yang lagipula kerap begitu saja dipandang sebagai anti-agama dan anti Tuhan). Gejala mundurnya peran institusi agama dan norma-norma agama dalam kehidupan sosial-politik masyarakat modern (khususnya negara-negara maju) adalah fenomena empiri dan bukan suatu keniscayaan (prescription) yang harus ditempuh negara berkembang untuk menjadi maju. Selain itu, gejala itupun bukan kata akhir. Masih terbuka kemungkinan terjadi pembalikan: masyarakat kembali menjadi ultra-religius. Pada saat sama harus dicermati bahwa ilmu pengetahuan modern justru berkembang ketika “(K)ebenaran” yang kekal-abadi (dan sebab itu diletakan di luar jangkauan pemikiran dan batas cakrawala kemampuan manusia) dibedakan dari “(k)ebenaran sekuler” (temporerspatial) dan (sebab itu) dapat diungkap oleh akal (nalar; ratio) manusia yang serba terbatas. Dalam hal ini perlu ditegaskan pembedaan antara Tuhan Yang Maha Kuasa sumber (K)ebenaran dengan manusia (tidak sempurna-hidup dalam ketidakpastian dan kesementaraan) yang berjuang keras mengungkap rahasia alam semesta. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan terbukanya akses pendidikan (formal) tidak hanya pada biarawan di Eropa abad pertengahan mendorong pemikiran bahwa “kebenaran” ilmiah yang berbeda (rasionalisme/empirisme) dari kebenaran Ilahi bisa tumbuh kembang di luar Gereja dan ajaran agama (yang cenderung bersifat dogmatis). Lebih jauh berkembang pula pandangan bahwa kebenaran ilmiah yang dilandaskan pada pengamatan (observasi), pengujian (verifikasi/falsifikasi) pola dan kausalitas gejala alam/sosial justru, bahkan niscaya, jauh lebih unggul dari kebenaran Ilahi yang meski absolut dianggap semata-mata bersifat spekulatif dan sebab itu pula tidak „rational‟. Adalah perkembangan “kebenaran ilmiah” di luar Gereja yang 20
Sebagaimana menjadi titik tolak penelitian yang melandasi tulisan Pippa Norris & Ronald Inglehart, Sacred and Secular: Religion and Politics Worldwide, 2nd ed., Cambridge University Press, 2011.
539
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 535 - 554
mendorong sekularisasi dunia dan sekaligus keyakinan (sekalipun masih dapat diperdebatkan) bahwa pandangan sekuler niscaya lebih unggul daripada yang non-sekuler.21 Maka gejala alam maupun sosial (baik pada tingkat personal atau kelompok) yang dahulu diterangkan sebagai bukti kecintaan/kepedulian Tuhan atau sebaliknya - bilamana muncul sebagai “bencana” - adalahi wujud kemarahan Tuhan terhadap pendosa (individual atau kolektif), dianggap dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan (manusia) sebagai sekadar gejala alamiah (yang tidak membutuhkan intervensi –maupun perkenan Tuhan). Keberaturan (order) atau sebaliknya keteracakan sistematis (systematic chaos) yang muncul dalam alam semesta maupun dunia manusia (Makro-mikro Cosmos), dengan demikian, di demistifikasi atau desakralisasi. Apa yang dahulu dianggap sacrum-sacral (berada di ranah Ilahi) dan sepenuhnya diterangkan sebagai anugerah atau wujud amarah Ilahi sekarang menjadi sepenuhnya gejala profan yang dapat dijelaskan oleh “ilmuwan” secara masuk akal (rasional-logis). Pandangan religious-magis-mistikal digantikan (sekalipun tidak (mungkin) sepenuhnya) oleh pandangan rational-empirik. Sebaliknya juga teramati gejala social berbeda, yaitu munculnya gejala de-sekularisasi, (di-)kembali(kan)-nya peran agama dan nilai-nilai keagamaan ke dalam kehidupan sosial-politik manusia dan hukum. Untuk yang pertama, dapat dicermati bahwa dunia-modern dan postmodern ternyata tidak berhasil menyingkirkan peran agama dalam kehidupan sosial politik (banyak negara berkembang). Seperti yang dapat dicermati terjadi di Indonesia sekarang ini, masyarakat menuntut agar pemerintah dan hukum lebih peduli dan mengadopsi nilai-nilai religius, terutama nilai-nilai yang mengatur kehidupan kemasyarakatan, bukan sekadar aturan yang mengatur tata cara ibadah (ritual). Keyakinan yang kiranya melandasi gerakan di atas ialah bahwa norma etis hanya dapat ditemukan di dalam agama dan sebaliknya tidak (mungkin) dapat ditemukan di dalam norma-norma hukum formal.
Selain itu ditengarai, sekularisasi (dan demistifikasi/desakralisasi realita) justru meninggalkan kekosongan spritiual. Manusia (perorangan) dan masyarakat tidak akan puas dengan pencapaian kebahagiaan atau kesejahteraan materiil saja. Lagipula teknologi modern ternyata belum juga berhasil menjawab banyak persoalan mendasar manusia. Berhadapan dengan kesementaraan dan rapuhnya kebahagiaan duniawi, bahkan penderitaan serta kematian, manusia (baik sebagai individu atau sebagai bagian dari masyarakat) akan mencari makna kehidupan di luar dan di atas dunia materiil. Dinyatakan bahwa sebagai homo religiousus, manusia akan terus mencari makna lebih dalam (di balik dan melampaui kenyataan keseharian). Dengan itu pula dunia dan kehidupan sehari-hari manusia (temporal) kembali dikonstruksikan sebagai kehadiran dan campurtangan yang sakral. Dengan kata lain, re-introduksi agama/ kepercayaan ke dalam kehidupan modern/post modern juga dipicu oleh kebutuhan manusia dan masyarakat akan kepastian hidup penuh makna (yang tidak temporer dan rambang) di bawah the sacred canopy (universum symbolicum). Kebutuhan yang meningkat seiring ketidakpastian masa depan dan keterasingan personal yang dirasakan akut oleh banyak masyarakat negara berkembang berhadapan dengan misalnya modernisasi-globalisasi yang tidak selamanya perlu dan mutlak dialami sebagai berkah. Sebagai reaksi balik, muncul pandangan bahwa kepastian makna dan tujuan hidup bermasyarakat maupun sebagai individu hanya dapat diberikan ajaran-ajaran agama/kepercayaan. Sesuatu hal yang tidak mungkin ditawarkan pandangan hidup (modern) yang sepenuhnya sekuler dan cenderung relativistik, bahkan cenderung nihilistik.22 Sebagai gejala social, maka sekularisasi dan de-sekuralisasi tidak muncul serupa dan sama di semua masyarakat. Di sini kita harus berbicara tentang derajat atau spektrum. Di Eropa dan masyarakat barat (modern dan post modern) lainnya, sekularisasi dianggap sebagai kenyataan dan muncul dalam berkurangnya ketergantungan masyarakat pada institusi Gereja
21
Baca lebih lanjut perdebatan antara Leonard Mlodinow (ilmuwan-ateis) dengan Deepak Chopra (spiritualis) yang dibukukan dalam “Is God an Illusion? The Great Debate Between Science and Sprituality, London: Rider, 2011.
540
22
Sebagaimana muncul dalam filsafat existensialisme yang dikembangkan Nietzsche, Sartre dan kemudian juga Albert Camus.
Negara Hukum Yang Berke-Tuhanan dan …
maupun agama. Sekalipun tidak perlu langsung disimpulkan bahwa masyarakat (atau individu di masyarakat barat) otomatis menolak keberadaan Tuhan dan sepenuhnya menjadi ateis. Di beberapa negara, Inggris misalnya Anglican masih menjadi agama negara dan Ratu/Raja dipandang berkuasa dengan seizin dan berkat dari Uskup Agung Canterburry. Ilustrasi lain ialah Iran pasca Revolusi yang berubah dari negara sekuler menjadi sepenuhnya negara berlandaskan agama Islam (Syiah; setidaknya semasa pemerintahan Imam Khomeini). Masyarakat Iran dalam derajat tinggi mengalami de-sekularisasi dunia sosial-politik. Begitu pula di negara-negara berkembang (non-barat) kita dapat amati gejala sekularisasi dan de-sekularisasi dalam derajat yang berbeda-beda. Lantas bagaimana di Indonesia? Sebelum menjawab soal ini kita bahas terlebih dahulu bagaimana sekularisasi (kehidupan politik dan hukum) muncul dalam lintasan sejarah kemunculan negara bangsa di Eropa dan menyebar keseluruh dunia. C. Sekularisasi dan De-Sekularisasi Kekuasaan Politik Sebagai Proses Dan Pilihan Sadar Dalam Sejarah Revolusi Perancis tegas membuktikan dengan guillotine bahwa Raja Absolut yang mengklaim diri sendiri sebagai putera matahari dan wujud negara (l‟Etat c‟est moi) serta juga permaisurinya hanyalah manusia biasa. Revolusi Perancis juga berhasil membuktikan bahwa sumber kekuasaan (untuk memerintah dan membentuk hukum) pada analisis terakhir adalah kehendak rakyat (nation atau people). Pemerintahan (revolusioner) dibentuk oleh rakyat, untuk rakyat dan bertanggungjawab juga sepenuhnya pada rakyat yang membentuknya. Gagasan serupa melandasi pemikiran tentang hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri (people‟s right of self determination). Dalam kerangka ini hak membentuk negara merdeka dan berdaulat (termasuk pemerintahan dan sistem hukum dalam wilayah negara) harus dipahami sebagai hak yang melekat pada bangsa sebagai suatu hal yang alamiah (tidak niscaya karena anugerah Tuhan), hal mana ditegaskan American Declaration of Independence. Dapat dikatakan bahwa konsekuensi logis
Tristan P. Moeliono
dari gejala sekularisasi (di bidang social-politikhukum) adalah diterimanya pandangan bahwa Negara dan/atau hukum (Negara) tidak mesti berwujud perintah Tuhan (bersifat kekal-abadi dan memuat kebenaran Ilahi). Sebaliknya, hukum (positif) niscaya dipandang sebagai sepenuhnya buatan manusia (dan sebab itu bersifat sementara dan tidak sempurna). Alhasil ketidaktaatan pada negara dan/atau hukum (buatan Negara) bukan urusan dosa yang harus diganjar dengan api neraka atau nestapa di bumi. Pada saat sama adalah juga keliru untuk kemudian menganggap hukum sebagai nir-susila. Bagaimanapun juga sebagai gantinya, Negara melalui hukum mengadopsi konsep salah ke dalam hukum pidana/perdata dan mengaitkanya dengan pertanggungjawaban hukum (liability based on fault) dan di dalam hukum pidana mengembangkan gradasi tingkat kebersalahan (dengan rencana, dengan maksud, karena salahnya, karena kelalaian) serta ancaman pidana yang berbeda-beda tergantung tingkat/derajat kesalahan tersebut. Dengan cara serupa, hukum perikatan, khususnya kontrak, selalu mengandaikan bahwa manusia harus dapat dipegang kata-katanya dan perjanjian sepatutnya dibuat dan dilaksanakan dengan itikad baik. Ini mengandaikan adanya manusia (dengan atau tanpa agama) yang bermoral atau setidak-tidaknya beradab. Keberlakuan (sistem) hukum Negara (atau dalam masyarakat) dengan demikian tidak perlu dan niscaya dikaitkan pada perintah Tuhan (yang karena kekal-abadi berada di luar keniscayaan kehidupan manusia yang justru dibatasi ruang-waktu). Kedua-duanya dianggap sematamata produk (karsa) manusia dan ketidaksempurnaan di dalamnya adalah karena manusia (dan masyarakat) de facto tidak (pernah) sempurna. Justru ketidaksempurnaan dalam hukum itulah yang setiap kali harus dikoreksi dan disesuaikan dengan kebutuhan manusia dan/atau masyarakat yang terus berubah. Sebab itu pula, peraturan perundang-undangan (hukum) dapat dikritik, diuji, dicabut atau diubah setiap saat bilamana dipandang perlu. Singkat kata ketidaksempurnaan negara/pemerintahan dan hukum justru memberi ruang bagi koreksi, perbaikan dan pengembangan oleh masyarakat dan individu yang juga tidak pernah/mungkin sempurna. Dalam artian inipun (sistem) hukum yang di541
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 535 - 554
kembangkan negara, khususnya, tidak niscaya dilandaskan pada moral (yang berlaku pada suatu saat dalam masyarakat tertentu apapun sumbernya), namun (dapat) dilepas dari (keberagaman) moralitas-kesusilaan (individual-masyarakat) yang terus berubah. Bahkan melalui hukum, negara dapat membentuk, mengarahkan atau membiarkan munculnya moralitas baru dalam masyarakat. Misalnya berkenaan dengan penolakan terhadap praktik perbudakan, diskriminasi rasial, atau penerimaan praktik monogami-poligami yang pada suatu masa dipandang wajar, namun sekarang ini sulit diselaraskan dengan pandangan manusia dan masyarakat yang beradab. Urusan menjalankan ibadah (ritual keagamaan) sebab itu pula sepenuhnya dianggap masuk ranah privat yang tidak akan, bahkan boleh, dicampuri oleh negara dan hukum. Sebagaimana di-idealisasikan oleh Komaruddin Hidayat:23 “Domain agama yang primer adalah di wilayah individu, keluarga, dan komunitas, sedangkan negara dibentuk untuk mengatur, melindungi, dan melayani warga negara dan masyarakat secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan identitas dan komunitas agama. Jadi negara hanya satu, sedangkan agama dan komunitasnya bisa beragam”. Pandangan kenegaraan tentang bagaimana mengatur hubungan antara dan menata kekuasaan sekuler dengan “agama” bukanlah khas budaya barat. Pandangan serupa juga muncul dalam sejarah kekaisaran Cina maupun Jepang, atau kekuasaan Faraoh atas Mesir selama ribuan tahun sebelum abad masehi. Solusi yang dijalankan sangat sederhana: Kaisar berkuasa karena memegang mandat langit atau sebagai turunan langsung dewa tertinggi dan sekaligus menjadi pimpinan agama atau setidak-tidaknya berkedudukan di atas pemimpin agama/keyakinan dominan saat itu.24 Pola pikir serupa misalnya muncul dalam kerajaan-kerajaan tradisional di nusantara. Ra23
Komaruddin Hidayat, “Agama, Parpol dan Negara” (Kompas 15 juli 2013): 6. 24 Baca misalnya Francis Fukuyama, The Origins of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution. New York: Farrar, Straus and Giroux, 2012.
542
ja-raja Hindu Budha di candi-candi yang tersebar di Jawa Tengah-Timur digambarkan sebagai titisan Dewa. Sebagai bandingan Sultan (kerajaan Islam tradisional, setidaknya di Jawa) adalah pemangku bumi (hamengkubuwana/mangkubumi), pusat jagat raya (pakubuwana) dan berkuasa karena memegang “pulung” atau “wangsit” dari langit.25 Dalam posisi ini pula Sultan berkedudukan sebagai penatagama, yaitu pimpinan tertinggi umat religius. Pola pikir yang melandasi kerajaan Hindu-Budha dan Islam pra modern ini setidaknya di Nusantara dilandaskan pada pemahaman mandala (pusat lingkaran kekuasaan: negara dan semakin jauh: mancanegara). Raja/Sultan merupakan pusat keadaban-ketertiban dan di luar itu adalah manca-negara yang asing (yang tidak teratur, kacau dan tidak beradab). Lebih jauh lagi diandaikan bahwa masyarakat bersatu dan tidak terpisah dengan pemegang kekuasaan (manunggaling lan kawula gusti).26 Dengan kata lain, tidak ada pemisahan antara state (government) dengan society yang juga dipersamakan begitu saja dengan community. Kekuasaan politik karena itu bukan titipan kepercayaan (amanah) dari rakyat jelata, melainkan kodrat atau anugerah yang dititipkan Yang Maha Kuasa. Pandangan di atas juga mengandaikan tidak mungkin terbagi (terpisah-pisahkannya) kekuasaan. Kedaulatan yang diperoleh dari atas tidak mungkin dibagi dan terbagi. Pemisahan kekuasaan dari sudut pandang ini tidak masuk akal. Tuhan hanya akan memberikan “wahyu/pulung” pada satu orang (dalam satu waktu) dan tidak pada orang-orang lain untuk memerintah dan berkuasa. Singkat kata, jika kekuasaan sepenuhnya berasal dan harus dikembalikan pada Tuhan Yang Maha Kuasa, pertanggungjawaban politik dan hukum penguasa hanyalah pada sumber kedaulatannya di muka bumi. Bilapun ia jatuh dari tampuk kekuasaan (karena pemberontakan, misalnya), hal itu cukup dijelaskan dengan merujuk pada kenyataan penguasa telah berdosa 25
Untuk ulasan sejarah kerajaan tradisional di Indonesia dan semenanjung Malaya baca: Paul Michael Munoz, op. cit dan M.C. Ricklefs, op.cit. 26 Namun bdgkan juga dengan ulasan PJ. Zoetmoelder, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, diterjemahkan Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia, 1991.
Negara Hukum Yang Berke-Tuhanan dan …
(melanggar perintah Tuhan) dan sebagai hukuman anugerah atau pulung bisa direbut atau dialihkan pada yang lebih pantas. Kisah klasik pengambilalihan kekuasaan oleh Ken Arok dari Tunggul Ametung (penguasa sebelumnya) dari zaman Jawa kuno adalah ilustrasi dari hal di atas. Tidak mengherankan bila penguasa sekuler berupaya menyingkirkan pesaing mereka dari panggung politik atau mengkooptasi kekuasaan religius (solusi Cina, Jepang dan kerajaan tradisional di Indonesia atau mendorong sinkretisme adat/agama). Namun hal ini tidak terjadi dan dapat dilakukan sekaligus dan tidak selalu dilakukan melalui sekularisasi. Alternatif lain, seperti juga telah diindikasikan di atas, adalah mengadopsi agama/keyakinan berbeda dari yang diajarkan kelompok penguasa religius. Misalnya terjadi ketika penguasa Mesir yang bersaing dengan pendeta Ammon Re, mengangkat diri sendiri sebagai Akhenaton (imam tertinggi ajaran yang berbeda/menyimpang). Pola serupa, dengan akhir berbeda, mungkin melandasi pula legenda adu kesaktian antara Kian Santang (Islam) dengan Prabu Siliwangi dari kerajaan Padjadjaran yang berakhir dengan mengilangnya (ngahiyang) yang disebut terakhir. Sebagaimana muncul dalam sejarah Eropa, sekularisasi dalam artian penyingkiran alimulama (gereja) dari panggung politik terjadi bertahap. Pecahnya Gereja Anglican dari lingkup kekuasaan Gereja di Roma didorong oleh dan memberi peluang bagi raja Inggris (Henry keVIII) untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya dan sekaligus mengendalikan kekuasaan Gereja Anglican yang tidak lagi mendapat dukungan Paus di Roma. Begitu pula schism (perpecahan Gereja) akibat pembangkangan Martin Luther memungkinkan raja-raja lainnya di daratan Eropa lainnya (seperti Belanda) melepas diri dari jangkauan kekuasaan politik Gereja (Katolik Roma) dan memisahkan diri dari siapapun yang pada waktu itu didukung oleh pimpinan tertinggi agama. Perang (antar institusi politik sekuler pendukung institusi agama yang berpisah) yang kemudian berkecamuk di daratan Eropa pada abad pertengahan perlahan memunculkan keyakinan bahwa sudah sepatutnya keyakinan dan kepercayaan (agama) berada di ranah privat dan tidak
Tristan P. Moeliono
perlu menjadi urusan public. Sebaliknya, negara cq. pemerintah (dan itu artinya birokrasi pemerintahan) harus memajukan bonum commune: kebaikan bersama-kepentingan umum. Penyelenggaraan kekuasaan politik harus disterilkan dari urusan personal memenuhi kewajiban beribadah menurut agama/kepercayaan bahkan urusan percaya/tidak percaya pada Tuhan. Politik di sekularisasi atau di desakralisasi. Konsekuensi dari itu ialah dasar dari perolehan kekuasaan politik dapat langsung dikaitkan pada perolehan kekuatan (ekonomi-militer) dan dibenarkan oleh teori politik yang dikembangkan Thomas Hobbes (negara leviathan atau totaliter) dan perolehan/perebutan kekuasaan dilakukan sangat pragmatic (Machiavelli).26 Dasar penyelenggaraan negara (hidup bersama) dipandang sangat suram: keterpaksaan menghindari kehancuran bersama karena manusia adalah serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Urusan perolehan dan mempertahankan kekuasaan politik diperkenankan dengan menghalalkan segala cara. Maka itu pula, hukum dalam negara leviathan adalah perintah dari yang berdaulat (dan artinya juga dihalalkan oleh tujuan Negara), yakni sebagaimana dibayangkan Jean Bodin. Masyarakat tidak punya pilihan lain terkecuali patuh pada negara (pemerintahan) dan hukum negara karena itu satu-satunya cara untuk hidup damai dan tertib. Paksaan dan penundukkan diri (dari yang lemah) pada yang lebih kuat (elite politik/militer/ekonomi) adalah alamiah. Hukum dengan demikian adalah (salah satu) alat yang dimiliki penguasa untuk memaksakan kehendak (John Austin).27 Konsekuensi dari pemikian ini ialah bahwa landasan (kekuatan/keberlakuan) hukum (formal) pada akhirnya adalah kemampuan negara untuk memaksakan kehendak, hal mana dapat diukur dari rentang kendali negara terhadap masyarakat. 26
Reza A. Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, Locke-Rousseau-Habermas, Jakarta: Kanisius, 2007. 27 Austin‟s particular theory of law is often called the “command theory of law” because the concept of command lies at its core: law is the command of the sovereign, backed by a threat of sanction in the event of noncompliance. Legality, on this account, is determined by the source of a norm, not the merit of its substance (i.e. it embodies a moral rule). Lihat lebih lanjut “Summary of John Austin‟s Legal Positivism: (www2.law.columbia. edu; accessed 20/07/2013).
543
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 535 - 554
Pemikiran tandingan dari itu menyatakan bahwa kekuasaan politik bersumber pada kesepakatan (serupa dengan pemikiran Hobbes), namun bahwa kekuasaan tidak berpindah total pada negara. Pandangan yang diusung J.J. Rousseau dan John Locke mengandaikan adanya masyarakat yang cukup beradab (civilized society) dan mereka itulah yang bersepakat membentuk organisasi kekuasaan politik (state and government) yang dapat membentuk hukum (untuk mengatur/menata kehidupan bersama). Dalam pandangan ini lagipula, masyarakat tetap memiliki hak yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara (hak asasi manusia). Negara tidak lagi berkuasa total dan dibatasi oleh kewajibannya melindungi warga. Lebih jauh lagi, kedaulatan tertinggi negara, dengan tujuan pengendalian dan pencegahan penyalahgunaan kekuasaan, oleh Locke dan kemudian disempurnakan oleh Montesquieu dipecah dan dipisah ke dalam tiga wujud kekuasaan sekuler yang berbeda: legislative, eksekutif dan yudikatif. Singkat kata: kemunculan negara nasional modern (nation-state-sekuler) dan seiring dengan itu sistem hukum yang sepenuhnya sekuler setidaknya di benua Eropa pasca perjanjian Westphalia (1848) dilatarbelakangi banyak faktor. Ditengarai berubahnya perimbangan kekuatan antara penguasa politik sekuler (bangsawan) dan Gereja, kejenuhan dan kelelahan akibat perang agama di daratan Eropa yang terpicu perpecahan dalam Gereja (Katolik-Protestan) dan pengembangan ilmu pengetahuan di dalam dan di luar Gereja. Kesemua itu pada akhirnya, memunculkan keputusan politik untuk memisahkan tegas penyelenggaraan kekuasaan duniawi (kehidupan profan/bersama yang dipercayakan kepada institusi negara) dengan penyelenggaraan kehidupan keagamaan (bukan lagi urusan negara melainkan sepenuhnya diserahkan pada masyarakat, bahkan individu). Dalam artian itu sekularisasi/sekularisme menjadi landasan awal terbentuknya negara bangsa (masyarakat) modern yang bersifat teritorial. D. Negara Bangsa Modern dan Pengembangan Sistem Hukum (di-) Indonesia yang (pasti) sekuler? Seberapa jauh sebenarnya ide negara (dan sistem hukum) modern sekuler (yang berkem544
bang di dunia barat atas dasar pengalaman sejarah yang berbeda) diterima dan diadopsi oleh negara-negara berkembang, terutama negara Asia-Afrika dan Amerika Latin yang mengalami kolonialisasi-imperialisasi? Apakah penolakan terhadap landasan hukum yang membenarkan kolonialisme-imperialisme sekaligus mengindikasikan penolakan terhadap gagasan negara modern-sekuler?28 Ini dikatakan dengan mencermati bahwa pada titik paling ekstrim, dalam dunia (termasuk dunia hukum) yang sepenuhnya sekuler, rasionalisme politik (dan juga pragmatisme yang mengiringinya) memunculkan peluang “kekuasaan dan hukum“ digunakan sebagai pembenaran dari kekejaman manusia terhadap sesama (pelanggaran berat ham) yang terjadi pada perang dunia I dan II (atau ditempat-tempat lain sesudahnya). Persoalannya apakah konsep negara modern sekuler relevan bagi Indonesia? Apalagi ditengarai bahwa:29 “Hubungan negara dan agama begitu melekat dalam akar sejarah bangsa ini. Relasi ini khususnya tercatat ketika bangsa ini merumuskan dasar negaranya. Terjadi ketegangan dan pergulatan batin antara kekuatan nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Keduanya „bertarung‟ dalam menentukan dasar negara, apakah akan bertumpu pada aspek kebangsaan atau menjadikan agama (Islam) sebagai dasar negara.” Dua gagasan tentang Negara yang diajukan nasionalis sekuler dan nasionalis Islam di atas beranjak dari pemahaman berbeda tentang mengapa kita sebagai satu komunitas (bangsa) kemudian membentuk Negara. Artinya kita harus terima konsekuensi, mereka yang berkeyakinan berbeda, bukan “warga” Negara atau seti28
Pembukaan UUD 1945: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. 29 Yohan Wahyu, “Merunut Relasi Negara dan Agama: Jajak Pendapat Kompas” (Kompas 15 juli 2013): 5.
Negara Hukum Yang Berke-Tuhanan dan …
dak-tidaknya bukan “warga” Negara yang berkedudukan setara, sesuai ketentuan Pasal 27 dan 29 UUD 1945. Sejumlah faktor harus dipertimbangkan. Pertama dan terutama adalah pencitraan diri Indonesia ke luar (kehadapan masyarakat internasional) sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim (moderat-toleran?) terbesar. Bahkan dengan kualifikasi itu menjadi negara anggota OKI dan pada 2013 menjadi tuan rumah dari semacam Olimpiade yang sejatinya dilandaskan pada persaudaran dan kompetisi sehat (sportivitas) di antara para olahragawan, namun dalam hal ini bersifat eksklusif untuk atlit muslim dari negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI).30 Tidak mengherankan pula bilamana pencitraan keluar tersebut turut melestarikan gagasan (setidaknya ke dalam negeri) perlu dan mutlaknya pendirian negara Indonesia yang berlandaskan syariah Islam. Perjuangan yang dilakukan di forum politik (perdebatan di PPKI pra kemerdekaan sampai era tahun 2000‟an di MPR yang membahas perubahan UUD 1945, bahkan diperjuangkan dengan senjata (DI/TII pada 1960‟an, gerakan NII pada 1990 akhir dan gerakan-gerakan terorisme lainnya yang muncul di Indonesia). Dari sudut pandang ini juga penting untuk menyoal pengaruh pandangan ini terhadap tujuan Negara yang dianggap sudah selayaknya memajukan kepentingan umum. Apakah dalam Negara (Islam atau agama manapun juga) atau sekurang-kurangnya berlandaskan syariah tujuan utama dan landasan pembenaran negara adalah memuliakan (atau menjaga kehormatan) Tuhan dari agama mayoritas? Dalam konteks ini kita tidak lagi dapat berbicara tentang adanya tujuan penyelenggaraan Negara (mencerdaskan kehidupan bangsa dll.) dalam kaitan dengan kepentingan umum. Negara ada semata-mata agar ummat dapat hidup melayani Tuhan sesuai aturan-aturan yang tidak dibuat Negara. Sekalipun demikian, dalam banyak kesempatan lain - setidaknya ke dalam - karakteristik kebhinekaan (suku, ras, agama/kepercayaan) yang lebih ditonjolkan, terutama berhadapan 30
“Indonesia Tuan Rumah Olimpiade Negara-Negara Islam”, 29 februari 2012 (http://republika.co.id, accessed 09/07/2013.
Tristan P. Moeliono
dengan tuntutan masyarakat (hukum) adat untuk mendapat pengakuan dari negara perihal keberlakuan sistem kepercayaan (kesederajatan dengan agama resmi) dan sistem hukum lokal (hukum adat) atau sekadar hak mereka atas sumberdaya tanah/air. Hal yang sama juga ditonjolkan, yaitu perlunya persatuan/kesatuan dalam perbedaan, ketika pemerintah menghadapi “perang saudara” antar suku di Sampit (Dayak versus Madura)31, perang antar pendukung (sekalipun secara kategorikal tidak dapat sertamerta dianggap penganut ajaran) agama (IslamKristen) di Ambon-Maluku atau Poso (Sulawesi)32, atau ketika menghadapi riak-riak serupa dalam skala lebih terbatas di banyak tempat lain di Indonesia.33 Secara resmi pemerintah kemudian menghimbau masyarakat (yang sudah mengalami konflik horizontal dan terfragmentasi) untuk mengupayakan kembali hidup rukun-damai dengan memajukan sikap saling menghargai serta toleransi (akan perbedaan dan/atau keragaman). Sekalipun juga hal ini tidak mencegah tetap muncul dan berkembangnya (sebagaimana telah diuraikan di atas) wacana Indonesia harus menjadi negara berasaskan syariat Islam. Dapat ditengarai bahwa kebijakan pemerintah yang ambigu di atas tidak menjawab persoalan konkrit ada dan banyaknya persinggungan bahkan konflik dalam lalulintas pergaulan hidup dari ragam kelompok yang dicirikan perbedaan suku, ras maupun agama/kepercayaan. Persoalan yang muncul, misalnya pada tataran pengembangan sistem hukum (nasional), misalnya, apakah sistem kepercayaan Kaharingan di Kalimantan, Sunda Wiwitan di Jawa Barat, Samin atau Kejawen di Jawa Tengah/Timur (dan 31
International Crisis Group. “Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan”, 27 juni 2001 (laporan ICG Asia no. 19, Jakarta/Brussel). 32 Perang saudara yang untuk sebahagian juga dipengaruhi oleh persaingan di bidang ekonomi antara masyarakat asli dengan masyarakat pendatang (di Ambon: suku Bugis Buton Makasar); sedangkan di Sampit antara suku dayak (penduduk asili) dengan Madura (pendatang). 33 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Current Asia dan the Centre for Humanitarian Dialague, “Pengelolaan Konflik di Indonesia – Sebuah Analisis Konflik di Maluku, Papua dan Poso”, (Centre for Humanitarian Dialogue: Geneva, 2011). Lihat juga International Crisis Group, “Melemahkan Jaringan Kelompok Mujahidin di Indonesia: Pelajaran dari Maluku dan Poso”, (Asia Report no. 103- 13 oktober 2005)
545
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 535 - 554
lebih banyak lagi di luar Jawa-Madura) harus diakui dan disandingkan oleh negara (kementerian agama) setara dengan agama-agama samawi + konghucu yang sudah terlebih dahulu diakui sebagai agama resmi. Pentingnya persoalan ini harus dilihat dalam kerangka klaim masyarakat hukum adat untuk tidak diganggu oleh negara (termasuk oleh Kementerian Agama serta masyarakat pada umumnya - yang hanya mengakui 6 agama resmi). Tuntutan yang muncul misalnya dalam kehendak masyarakat Kanekes (di wilayah Banten-Jawa Barat) untuk dikecualikan dari keriuhan politik di Jakarta dan tidak diganggu klaim kepemilikannya atas lahan pertanian dan permukiman yang digunakannya from time immemorial. Hal serupa dituntut misal suku anak dalam (sekalipun dengan tingkat keberhasilan lebih rendah), yaitu agar hutan rimba tempat tinggal mereka tidak dijarah atau dijadikan area pengusahaan hutan atas dasar izin bupati atau penguasa pusat di Jakarta. Singkat kata, klaim yang dilandaskan pada indigenous people‟s right of self determination yang kerap diterjemahkan sebagai hak mempertahankan budaya, bahasa dan sebab itu juga cara pandang atas dunia yang berbeda dari negara (dengan atau tanpa menuntut pemisahan diri). Sayangnnya persoalan pluralisme hukum dan konflik antara hukum negara dengan hukum (masyarakat) adat seperti ini tidak pernah diangkat dalam pembelajaran hukum adat di fakultas hukum di Indonesia. Padahal di luar dunia kampus sudah banyak bermunculan tulisan yang membahas persoalan ini. Antara lain, telaahan Ratna Lukito perihal pertemuan dan perbenturan hukum adat dan hukum Islam di Indonesia.34 Tulisan lain lebih terfokus pada hak masyarakat adat atas sumberdaya alam yang ditemukan dalam wilayah hak ulayat: persoalan penting di sini ialah apakah dan bagaimana kemudian negara dapat memberlakukan hak menguasai negara yang diatur dalam ketentuan Pasal 33(3) UUD 1945 serta seberapa jauh hak34
Ratna Lukito, Pergumulan antara hukum Islam dan adat di Indonesia. Jakarta: INIS, 1998 & Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2008. Lihat juga dissertasinya: Islamic Law and Adat Encounter: the Experience of Indonesia (thesis submitted to the Faculty of Graduate Studies and Research; Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal-Canada, 1997).
546
hak tradisional masyarakat (hukum) adat dianggap (dan diakui oleh Negara sebagai) masih hidup dan dianggap selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban? Pada saat sama dapat dipertanyakan seberapa jauhkah studi-studi seperti ini betul mencerminkan keberagaman the living law masyarakat Indonesia sekaligus penghormatan atas keyakinan hidup mereka sebagai masyarakat otonom (dengan struktur dan sistem penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat yang berbeda) dalam NKRI yang (setidak-tidaknya yuridis formal) mengakui kebhinekaan? Kedua tulisan yang dirujuk di atas tidak menyinggung soal eksistensi agama/keyakinan tradisional dihadapan negara (kementerian agama) serta apa/bagaimana pengaruhnya terhadap penghormatan/pengakuan keragaman hukum (masyarakat adat). Lagipula, sekalipun ketentuan Pasal 29 (2) UUD 1945 menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk (bukan kelompok masyarakat) untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, jaminan demikian bersifat terbatas. Hanya sejumlah agama diakui sebagai agama resmi. Di luar itu, berkenaan dengan agama asli (dari masyarakat hukum adat), ketentuan Pasal 28I ayat (3) hanya menjamin bahwa: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Fakta lain yang sama pentingnya ialah kewenangan pemerintah daerah otonomi (kota-kabupaten dan dalam derajat tertentu desa) untuk memberlakukan kebijakan (policy) maupun peraturan daerah (legislasi) yang bernuansa sangat lokal dan kadang merupakan penegasan diamdiam atau terus terang akan keberlakuan “Piagam Jakarta”. Kasus khusus di sini adalah Nangroe Aceh Darussalam yang dalam wilayahnya berwenang menerapkan syariat Islam dan siapapun yang berada di wilayahnya (muslim atau non-muslim) diwajibkan tunduk pada ‟hukum Islam‟ versi NAD. Hukum yang juga ditegakkan melalui sarana polisi agama dan pengadilan yang berwenang menjatuhkan pidana badan menurut (hukum) agama. Fakta lain adalah kebangkitan (sistem hukum) ekonomi Islam dan
Negara Hukum Yang Berke-Tuhanan dan …
perluasan yurisdiksi pengadilan agama (Islam).35 Namun dalam kaitan itu, M.B. Hooker mencermati:36 “(...) we should bear in mind that the past century has demonstrated the fragile nature of the Syariah in Indonesia. This is by no means a special case: the whole Muslim world has seen the reformulation of Syariah in Western terms, whether imposed by colonial rule or adopted as part of „reforms‟ aimed at modernization. The „Syariah‟ is now but a shadow of the classical jurisprudence and a travesty of the figh literature. There is no room for creativity, even in the weakest sense. The Western derived state is everwhere dominant.” Hal mana mengindikasikan bahwa Negara (sebagai konsep dunia modern yang sekuler) berhasil (dan akan terus berupaya) mengkooptasi hukum Islam dan perda-perda syariah seringkali muncul terutama sebagai kalkulasi politik untuk mendapatkan dukungan masyarakat pemilih yang cenderung “religius” (dengan collateral damage: kelompok minoritas). Pengamatan kedua yang muncul ialah bahwa di panggung kehidupan sosial-politik suara yang muncul dominan adalah suara agama mayoritas. Tenggelam dalam hiruk pikuk itu ialah persoalan pengakuan atas kehidupan keagamaan/keyakinan dari masyarakat (hukum) adat serta hak masyarakat hukum adat untuk mengatur perikehidupan mereka atas dasar sistem keyakinan/ agama mereka sendiri. 35
UU 50/2009 tentang perubahan kedua atas UU 7/1989 tentang peradilan agama(diubah pertama kali oleh 3/ 2006). Berdasarkan UU ini peradilan agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam (khusus di Aceh disebut peradilan syari‟ah Islam), dan berdasarkan ketentuan Pasal 49 berwenang memeriksa perkara ekonomi syariah di samping hukum keluarga-kebendaan (perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf) dan sengketa lain yang berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban agama (zakat, infaq dan shadaqah). 36 M.B. Hooker, Indonesian Islam: Social Change through Contemporary Fatwa. NSW: Allen & Unwin, 2003. p. 228. Sekalipun juga dinyatakan bahwa “these remarks do not apply to the fatwa: the strength of a fatwa lies in its distance from the institutions of the state, although some states, including Malaysia and Indonesia, do attempt to control it”.
Tristan P. Moeliono
Persoalannya ialah seberapa jauh semua faktor di atas berpengaruh terhadap penegasan satu bangsa (bangsa Indonesia) dan pemberlakuan sistem hukum nasional yang berkeadilan dan tidak diskriminatif? Faktor-faktor di atas memaksa kita menelaah ulang konsep negara hukum Indonesia untuk masyarakat yang bhineka. Negara yang dijalankan bukan atas dasar kekuasaan semata (dari siapa: negara, kabupaten/kota otonom, masyarakat hukum adat dan bagaimana sumber kekuasaan dimaknai: religius /sekular?) namun juga atas dasar hukum (hukum siapa dan apakah hukum ini bersifat sekuler atau sakral?) E. Membangun Sistem Hukum Nasional yang non-Sekuler, non-Unifikasi (Fragmentaris) Upaya membentuk satu hukum nasional, setidak-tidaknya pada era 1970-1980 diprakarsai oleh Mochtar Kusumaatmadja37 dan Soenaryati Hartono.38 Dengan pengembangan teori/pandangan hukum nasional (peraturan perundang-undangan) sebagai sarana pembaharu masyarakat (instrumentalis) diupayakan pembentukan satu sistem hukum nasional modern yang melingkup dan melebur keanekaragaman hukum (adat, agama, colonial). Sebagai alat bantu dirujuk pula pemahaman sistem hukum Indonesia (TAP MPRS XX/1966) sebagai piramida. Dalam bangunan hukum ini keseluruhan sistem aturan formal (buatan negara) harus selaras dan bersumber pada sumber-segala sumber hukum Pancasila (dan tentunya keTuhanan Yang Maha Esa) atau pasca Orde Baru cukup pada UUD 1945 yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila. Inilah landasan hukum dari judicial review oleh Mahkamah Agung39, administrative review oleh 37
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Penerbit Binacipta, Bandung, 1986; Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional, Penerbit Binacipta, Bandung, 1995 dan Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Penerbit Bina Cipta, Bandung, tanpa tahun 38 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1991. 39 Dasar hukum hak uji materiil Mahkamah Agung adalah PerMA 1/1999. Disebutkan bahwa hak uji materiil adalah hak MA untuk menguji secara materiil terhadap peraturan perundang-undangna, sehubungan dengan adanya gugatan atau permohonan keberatan (Pasal 1(1)).. Untuk komentar baca pula: Tubagus Haryo Karbyanto, “Judicial Review:
547
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 535 - 554
Departmen/Kementerian Dalam Negeri dan sekarang ini juga constitutional review oleh Mahkamah Konstitusi.40 Dapat dibayangkan bahwa dengan itu hendak dibangun dan dijaga keutuhan satu sistem hukum nasional yang dilandaskan pandangan hidup masyarakat Indonesia (kekeluargaan-magis/religius atau berkeTuhanan). Pengembangan sistem hukum nasional atas dasar pemikiran berbeda di atas sejak awal sudah terhambat ketentuan peralihan. Dinyatakan bahwa sebelum ada gantinya, sistem hukum (aturan hukum colonial) tetap diberlakuan. Tujuannya jelas praktis: mengisi kekosongan hukum dan ketidakmungkinan memberlakukan hukum adat atau salah satu sistem hukum pemerintahan swapraja/swatantra yang tersisa. Akan tetapi pengalihan ini ternyata juga tidak dilakukan total. IS/RR (konstitusi pemerintah colonial) tidak diambilalih, namun dimodifikasi ke dalam UUD 1945. Sebaliknya hukum perdata dan pidana material dari pemerintahan kolonial diberlakukan, dengan mengenyampingkan keberagaman hukum lokal dan agama dari masyarakat hukum adat atau pemerintahan swapraja. Namun juga karena alasan praktis, hukum acara yang diberlakukan bukanlah Rv. atau Sv. Melainkan HIR/RbG yang dahulu diperuntukan untuk menjalankan kekuasaan kehakiman khusus bagi golongan bumiputera.41 Artinya diam-diam, pemerintah Indonesia secara sadar (atau justru tidak?) memberlakukan (kembali) cara pandang liberal-individualis (dan sekuler) yang dianggap melekat pada sistem hukum materiil-formil negara kolonial. Tidak jelas betul bagaimana dalam praktik, perangkat huantara trend dan keampuhan bagi strategi advokasi”, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk pengacara X tahun 2005 (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta). Pemberian hak uji terbatas ini dilandaskan pada TAP MPR III/1978, UU 14/1970, UU 14/1985. 40 Dasar hukum pendirian Mahkamah Konstitusi di Indonesia adalah Pasal 24c UUD (hasil amandemen) dan UU 24/2003 tentang MK (terakhir di amandemen dengan UU 8/2011). 41 Untuk ulasan lebih komprehensif tentang keterjalinan dan perbedaan antara hukum colonial dengan hukum nasional Indonesia baca: Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional. HuMa-KITLVVVI dan Epistema Institute, Jakarta: 2014. Bdgkan pula dengan Daniel S. Lev, Legal Evolution and Political Authority in Indonesia: selected essays, Kluwer Law Internasional, 2000.
548
kum kolonial dapat tetap berjalan dengan baik, yakni dilandaskan pada semangat dan cara pandang kekeluargaan (dan struktur-organisasi negara dan kekuasaan kehakiman yang berbeda) atau dijalankan secara konsisten sambil tetap menolak pandangan liberal-individual yang termuat di dalamnya. Kemungkinan ini semua hanya menyebabkan para penegak hukum termasuk ahli hukum di Indonesia mengalami cognitive dissonance, karena mempelajari dan mempraktikan hukum barat yang pada saat sama secara prinsipiil menolak dasar keberlakuannya. Baru kemudian dalam perjalanan waktu sistem hukum ini dibongkar pasang secara fragmentaris. Sistem kodifikasi yang dibangun pemerintah Belanda dan diadopsi oleh koloni (BW, WvK, Rv; WvS(Sr)-Sv.) dibongkar dengan memberlakukan peraturan perundang-undangan sektoral (yang berdiri sendiri dan terlepas satu sama lain). Pendekatan fragmentaris dan sektoral yang dijalankan sampai dengan sekarang dengan segala akibatnya pada ikhtiar menjaga kesatuan sistem hukum dan keselarasan antar aturan yang niscaya dijaga. Di samping itu program unifikasi dan modernisasi (diam-diam melalui instrumentalisme hukum) juga sekularisasi di atas dari sistem hukum nasional Indonesia terbentur penolakan politik (sejumlah kecil atau justru mayoritas) kelompok Islam tatkala pemerintah berupaya membentuk satu hukum perkawinan bagi semua golongan penduduk. Ihwalnya sangat sederhana perbedaan pandangan tentang keabsahan perkawinan. Negara hendak mempertahankan konsep keabsahan perkawinan dari semua golongan penduduk (suku-ras-agama) digantungkan hanya pada pencatatan oleh catatan sipil (dinas kependudukan). Upacara agama dapat dilakukan sesudah atau sebelum pencatatan sipil. Namun yang berlaku dan mengikat dihadapan hukum negara hanyalah (upacara) pencatatan pernikahan oleh negara. Perkawinan (dan juga karena itu perceraian) dipandang sekadar sebagai hubungan keperdataan bukan sesuatu jalinan hubungan yang sakral dan perlu perkenan Tuhan. Kelompok (masyarakat Islam) menolak tegas pandangan sekuler ini dan menyatakan bahwa ikatan perkawinan harus disahkan menurut ketentuan agama terlebih dahulu dan pencatatan (untuk urusan
Negara Hukum Yang Berke-Tuhanan dan …
administrasi kependudukan) adalah hal sekunder. Dengan demikian, perkawinan wajib dimaknai sebagai ikatan suci (bukan perjanjian) dan artinya pasangan dipersatukan (dalam nama) Tuhan sebagai suami-istri dengan segala hak dan kewajiban yang diuraikan oleh hukum agama. Pencatatan oleh Negara (direpresentasikan oleh Kantor Urusan Agama untuk mereka yang beragama Islam) menjadi de facto optional. Kompromi yang muncul ialah pemberlakuan hukum keluarga Islam untuk golongan penduduk yang beragama Islam. Maka berlakukah sistem hukum nasional (yang sekalipun prescriptif berketuhanan, namun faktual sangat sekuler) di samping sistem hukum Islam yang menyatakan bahwa sumber kekuatan keberlakuan hukum sepenuhnya kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Perintah Tuhan lagipula sudah sempurna termaktub dalam kitab suci dan (sekalipun tetap diperdebatkan) pintu ijtihad telah tertutup. Apa yang dapat dilakukan manusia (dan masyarakat muslim: ummah) pada akhirnya hanya dalam kepasrahan menaati perintah Tuhan sebagaimana sudah lengkap dan sempurna diungkap melalui wahyu (Q‟uran yang namun demikian oleh para pemeluk dilengkapi oleh Hadits). Pada lain pihak, pemerintah juga tidak mengalah begitu saja. Pemerintah Indonesia memilih untuk memberlakukan tidak seluruh „sistem hukum Islam‟ untuk golongan penduduk beragama Islam, namun bagian-bagian dari sistem hukum ini yang terkait dengan hukum keluarga. Artinya yang berlaku dan diberlakukan di pengadilan agama bukanlah hukum Islam sebagaimana bebas dikembangkan oleh kelompok -kelompok masyarakat sendiri, namun hukum Islam sesuai tafsiran resmi pemerintah (MA). Kompilasi inilah yang digunakan dalam perkara sengketa nikah talak rujuk (dan pewarisan) yang diajukan kehadapan pengadilan agama (Islam). Situasi yang berubah ketika pemerintah Indonesia pada 1990‟an juga menerima keberatan masyarakat muslim akan keabsahan „bunga perbankan‟. Bilamanana terminologi bunga dalam KUHPerdata dibedakan antara yang diperbolehkan dengan usury (di atas 6%; bunga berbunga) yang diancam dengan pidana oleh KUH Pidana, juga bila menyangkut penjeratan utang,
Tristan P. Moeliono
sebaliknya dari sudut pandang berbeda (hukum Islam) pembedaan itu tidak dianggap penting. Bunga (dari hutang) apapun itu dan dalam konteks apapun dianggap haram. Lepas dari persoalan apakah betul praktik simpan-pinjam perbankan dengan bunga (umum-sekuler) dapat dipersamakan dengan usury (penghisapan melalui pemberlakuan bunga berbunga di atas kewajaran yang juga dilarang oleh KUHPerdata/KUH Pidana), kompromi dari perbenturan tahap kedua antara hukum nasional dengan hukum agama (Islam) muncul dalam pembukaan bank, asuransi dan lembaga-lembaga keuangan syariah. Maka selanjutnya juga perjanjian tidak hanya mengikat dan menjadi hukum atas dasar consensus (kesepakatan bertimbalbalik; akad), namun atas dasar keselarasannya dengan perintah Tuhan. Selain itu seluruh sektor perekonomian (dari kelompok masyarakat Muslim) wajib diselenggarakan atas dasar hukum agama. Dampak lainnya adalah perluasan kompetensi pengadilan agama, tidak lagi sekadar mengurus urusan cerai, namun semua sengketa keperdataan atas dasar yurisdiksi personal (Muslim) atau berdasarkan rationae materiae. Dalam kasus ekstrim lain bahkan negara (dengan sistem hukum nasional) harus menyingkir dan merelakan satu wilayah di dalam lingkup NKRI memberlakukan hukum syariah. Maka di dalam negara kesatuan kita menerima adanya nanggroë (otonom: Aceh Darussalam) yang memberlakukan sistem hukum dengan asas dan landasan yang berbeda dengan sistem hukum nasional (sekalipun berkeTuhanan). Apa yang terjadi di NAD adalah dipenuhinya tuntutan yang termuat dalam Piagam Jakarta dan lebih dari itu. Namun juga pemerintah daerah otonom (kabupaten/kota) sejak 2004 memberlakukan perda-perda yang bernuansa syariah. Ini dapat dimulai dari kewajiban, misalnya berpakaian Muslim bagi pejabat pemerintahan atau larangan bepergian/ keluar rumah di malam hari bagi perempuan. Menarik bahwa sistem pemerintahan (pusat maupun daerah) tetap dilandaskan pada asas demokrasi. Itu berarti bahwa baik quanun maupun perda syariah dasar keberlakuannya tidak langsung „kewajiban untuk taat pada perintah Yang Maha Kuasa‟ melainkan kesepakatan yang terwujud dalam proses pembentukan perundang-undangan. Perintah Tuhan bukan lagi 549
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 535 - 554
langsung tertuang dalam kitab suci dan itupun langsung tertuju pada manusia (dan masyarakat) melainkan harus diturunkan dan dirumuskan lebih lanjut dalam hukum yang diberlakukan secara “demokratis‟. Artinya dasar keberlakuan perintah Tuhan (ditafsirkan sebagai hukum atau bukan) pertama dilandaskan penerimaan atas dasar keyakinan pribadi dan kedua perintah Tuhan yang diterjemahkan ke dalam perda/quanun berlaku sebagai ketentuan yang keberlakuannya didukung dan dijaga oleh kekuasaan sekuler negara (baik dalam wujud satpol PP atau polisi agama). Sebagai perbandingan, menarik dicermati bagaimana unifikasi hukum di bidang keagrariaan juga mendapat tentangan dari masyarakat hukum adat. UUPA 5/1960 adalah upaya unifikasi hukum tanah.42 Klaim negara sebagai satusatunya kekuasaan politik yang legitim untuk mengatur mengelola sumberdaya alam dilandaskan pada pemikiran hak menguasai negara. Hak ulayat bukan lagi ada pada kelompok-kelompok masyarakat namun melekat pada negara sebagai hak publik. Lagipula karena kemerdekaan adalah anugerah, maka sumberdaya alam beserta segala isinya juga dimaknai sebagai anugerah Tuhan yang maha kuasa. Kekuasaan negara atas sumberdaya dapat dimaknai sebagai sesuatu yang meta iuris bukan sekadar karena tercantum dalam ketentuan Pasal 33 UUD 1945 atau UUPA. Dalam perjalanan waktu klaim monopolistik ini ditentang oleh masyarakat hukum adat bahkan oleh kelompok-kelompok masyarakat lain (urban poor). Mereka inilah yang karena eksploitasi sumberdaya terancam kehilangan lebensraum mereka atau tergusur dari tanah tempat tinggal – semua demi kepentingan negara atau pembangunan (yang tidak otomatis harus punya nilai religius). Ketika wibawa dan kekuatan politik pemerintahan NKRI tidak lagi sekuat pada zaman Orde Baru, khususnya perjuangan masyarakat hukum adat dengan bantuan Aliansi Masyarakat Adat berhasil membuahkan hasil, setidak-tidaknya di atas kertas. Klaim yang diajukan melawan monopoli kekuasaan negara adalah jika negara tidak mengakui (keabsahan 42
St. Remy Sjahdeini, “Hak Tanggungan; Asas-asas dan permasalahan yang dihadapi perbankan”, (Jurnal Hukum Bisnis, Vol. I, 1997):5-36.
550
klaim) masyarakat adat, maka masyarakat adat tidak akan mengakui (legitimasi negara). Dapat dibayangkan bahwa yang diperjuangkan masyarakat hukum adat bukan hanya penguasaan atas sumberdaya alam yang berada dalam wilayah teritorial yang diklaimnya diperoleh secara turun temurun sebelum Indonesia ada (1945), melainkan juga „kebebasan‟ untuk mengatur perikehidupan berdasarkan nilai-nilai budaya dan kepercayaan lokal - yang tidak terangkum hanya dalam konsep hukum adat. Dengan itu pula sistem hukum nasional (dan landasan kekuasaan politik dari negara) dihadapkan dan dibenturkan pada sistem hukum lokal (masyarakat hukum adat) yang dibangun atas nilai-nilai budaya partikular. F. Penutup Kesemua ini memaksa kita memikirkan kembali landasan pembenaran adanya kekuasaan politik (duniawi) yang terpusat (atau justru tersebar), dan kemanfaatan memperjuangkan dan mempertahankan sistem hukum nasional modern-post modern (yang mau tidak mau pasti bersifat demokratis dan sebab itu sekuler) yang terunifikasi di Indonesia. Pertanyaan tersulit adalah di mana dan bagaimana kita harus menempatkan Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan sosial-politik-ekonomi-budaya yang faktual dicirikan oleh kebhinekaan? Atau juga di mana Tuhan (dari agama dan keyakinan manakah?) harus ditempatkan dalam kerangka nation-state building? Satu pertanyaan keras yang dapat dijadikan panduan untuk menjawab persoalan di atas ialah: ketika pemerintahan membiarkan dan menenggang praktik korupsi-kolusi-nepostisme secara masif apakah itu semua terjadi atas perkenan Tuhan (baik karena semua sudah ditentukan jalannya oleh Tuhan atau karena manusia diberkahi kebebasan untuk memilih) atau sebagai dampak dari penyelenggaraan negara yang berketuhanan? Pertanyaan sama relevan juga ketika kita berhadapan dengan fakta pembangunan (nasional: sebagai upaya mewujudkan tujuan bernegara) ternyata dijalankan dengan melanggar banyak hak asasi manusia baik pada tataran individual maupun komunal. Bagaimana Negara (ataukah pejabat negara?) harus mempertanggungjawabkan itu semua dihadapan Tuhan (di
Negara Hukum Yang Berke-Tuhanan dan …
akhirat?) dan apakah itu berarti tidak perlu dipertanggungjawabkan perbuatan serupa dihadapan hukum dan masyarakat (di dunia, dihadapan pengadilan buatan manusia?). Diyakini pula bahwa kenyataan masyarakat Indonesia sedang disesah Tuhan (sebagai akibat dosa kolektif?) terbukti dari banyak dan meningkatnya angka kejahatan maupun bencana alam/lingkungan. Angka kriminalitas tinggi maupun bencana alam adalah juga bukti Tuhan memalingkan wajahnya dari bangsa Indonesia. Apakah pertobatan massal merupakan jalan keluar? Bagaimana hal itu harus dikaitkan dengan ihtiar tidak pernah selesai mengembangkan pemerintahan yang bersih dari praktik korupsi-kolusi dan nepotisme? Pertanyaan sulit lainnya berkenaan dengan pemikiran tandingan dari kelompok Islam yang terus berjuang untuk menegakan syariah dan/ atau negara Islam. Sebagaimana juga dinyatakan Hooker:43 “For Muslims, the authority of Islam is an alternative to the authority of the state, regardless of that state‟s particular ideological persuasion (...) The ideal for some Muslim activist is the “Islamic state”. However, this in itself is a contradiction. Authority can have only one locus. The issue is always who has the power to exercise authority, and how this power is to be divided, controlled and transferred.” Ada alasan lain mengapa kembali beragama menjadi sangat menarik dan dianggap penting. Sebagaimana kerap dikeluhkan oleh banyak tokoh di Indonesia masyarakat (negara) Indonesia tidak saja mengalami krisis kepemimpinan namun lebih dari itu krisis moral.44 Solusi mudah (untuk menyelamatkan generasi muda dan bangsa) adalah perkuat dan perbanyak pembelajaran agama di sekolah-sekolah formal. Seiring dengan itu, anak didik dinyatakan berhak (bahkan wajib hukumnya) mendapatkan pembelajaran agama disekolah formal sesuai dengan 43
MB Hooker, “The State and Syariah in Indonesia: 1945-1995”, dalam T. Lindsey (eds.), Indonesia, Law and Society (Sidney: The Federation Press, 1999. 44 Hartono Harimurti, “Empat Tanda Krisis Moral Bangsa” (suaramerdeka.com, 21 maret 2012); Zakiya Rahmi Lubis, “Krisis Moral dan Keteladanan”, (republikaonline, 20 juni 2011).
Tristan P. Moeliono
agama/keyakinan orang tua. Juga penyelenggaraan pemerintahan di daerah banyak menggunakan simbol-simbol (dalam perumusan visi-misi): kota [...] bersih, beriman dan bertakwa. Apakah ada jawaban selain bertobat dan lebih rajin beribadah? Teori-teori tentang negara dan landasan kekuatan hukum (positivis atau natural) yang ada (dan berkembang dalam sejarah peradaban dunia barat) tidaklah dapat begitu saja dipergunakan di Indonesia. Ketika muncul kecenderungan mencampuradukan atau mengkombinasikan hukum negara (formal) dan artinya landasan keberlakuannya murni karena proses demokrasi atau kesepakatan dengan yang sakral (berlaku atas dasar kepercayaan akan Tuhan): positivism dicampuradukan dengan naturalism. Hasil akhirnya adalah positivism yang sangat pragmatik dan nama Tuhan Yang Maha Kuasa (dan juga Maha Adil dan Maha Penyayang) kerapkali dengan mudah disalahgunakan. Setelah mengungkap ini semua lantas bagaimana kita harus memaknai negara hukum Indonesia yang demokratis dan berketuhanan? Apa dan bagaimana melegitimasi kekuasaan politik negara yang begitu terfragmentasi karena bukan dipecah melainkan dipencarkan? Sistem hukum seperti apakah yang akan muncul dari situasi sosial-politik seperti ini? Ketika begitu banyak pilihan terbuka - fragmentasi kekuasaan politik juga memunculkan pluralisme hukum (yang mengakomodasi keberagaman) dan pintupintu lain tertutup (karena setiap sistem hukum agama atau lokal dalam dirinya sendiri membenarkan pemilahan kita (inklusif) dengan mereka (ekslusivitas) – maka teori-teori besar tentang dasar kekuasaan dan keberlakuan hukum tidak lagi memadai untuk menjelaskan mengapa kita harus patuh pada negara, pemerintah dan hukum negara yang harus dianggap berwibawa. Kalaupun dasar kekuasaan dan hukum adalah kesepakatan (positivism), maka solidaritas tersebut bisa berubah setiap waktu. Pilihan lain terhadap keterbukaan dan kelenturan ini tampaknya adalah menolak sama sekali „modernisme-post modernisme‟ dengan segala relatiivisme-nihilisme nilai dan dengan itu menarik dan menutup diri dengan secara sadar memilih untuk “retreatism”, melarikan diri pada dan ke dalam masa lalu yang gemilang dan mencoba menciptakan ulang kepastian masa la551
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 535 - 554
lu (ketika dunia tampak lebih sederhana dan hanya ada satu kebenaran absolut). Ataukah kita harus kembali mencari kebenaran absolut dan kekal dalam wujud ideologi negara: Pancasila dan sila-sila di dalamnya sebagai pilar negara yang diletakkan di luar lingkaran tempat dan waktu sebagaimana dilakukan Orde Baru dahulu
melalui program ekaprasetia pancakarsa? Pada akhirnya tulisan ini ditutup dengan sejumlah pertanyaan yang tidak selesai. Apakah ini memuaskan. Jawabnya tentu tidak. Namun tetap saja pertanyaan-pertanyaan tersebut harus diajukan untuk dipikirkan bersama.
DAFTAR PUSTAKA Agita Sukma Listyanti, “Polisi Akui Bubarkan Paksa Dialog Lintas Agama” (Tempo.co.id; 12 juni 2013) Benedict Anderson mendefinisikan nation as "an imagined political community - and imagined as both inherently limited and sovereign". Lebih lanjut ia menyatakan bahwa nation "is imagined because the members of even the smallest nation will never know most of their fellowmembers, meet them, or even hear of them, yet in the minds of each lives the image of their communion”. Anderson, Benedict R. O'G. Imagined Communities: reflections on the origins and spread of nationalism (Revised and extended. ed.). London: Verso: 1991. Birgit Krawietz & Helmut Reifeld (Hrsg.) (eds.), Islam dan the Rule of Law: Between Sharia and Secularization Berlin: Konrad-Adeneur-Stiftung, 2008. Bdgkan juga dengan KH. Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: the Wahid Institute, Gerakan Bhineka Tunggal Ika & Maarif Institute, 2009. B.R.O‟G Anderson, Old Society, New State: Indonesia‟s New Order in Comparative Perspective, Journal of Asian Studies 42:3 (mei 1983). Bdgkan juga dengan Ruth McVey, The Beamtenstaat in Indonesia dalam B.R.O‟G Anderson & Audrey Kahin (ed.) Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate. Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1982. Denny Indrayana, UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, diterjemahkan dari Indonesian Constitutional Reform 1999-2002: An Evaluation of Constitution-Making in Transition, penerjemah E. Setiyawati A, cetakan pertama, Bandung: Mizan, 2007. Edward Aspinall & Gerry van Klinken (ed.), The State and Illegality in Indonesia, Leiden: KITLV Press, 2011. Pokok bahasan dalam buku ini adalah pemilhan kabur antara negara/hukum formal-legal dengan yang informal dan illegal. Felix Baghi SVD, Pluralisme, Demokrasi dan Toleransi, Cet-I, Maumere: Ledalero, 2012. Francis Fukuyama, The Origins of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution. New York: Farrar, Straus and Giroux, 2012. G.J. Ressink, Bukan 350 Tahun Dijajah, Jakarta: Komunitas Bambu, 2012. Lihat Marieke Blombergen (2011), Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Keperdulian dan Ketakutan, Jakarta: Kompas. Hartono Harimurti, “Empat Tanda Krisis Moral Bangsa” (suaramerdeka.com, 21 maret 2012); Zakiya Rahmi Lubis, “Krisis Moral dan Keteladanan”, (republikaonline, 20 juni 2011). Henk Schulte Nordholt and Gerry van Klinken (ed.), Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post-Suharto Indonesia, Leiden: KILTV Press, 2007. Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2011. hal. 33. hal 241 et seq. J. Soedjati Djiwandono, “Mukadimah UUD 1945 Tidak Sakral, Perlu Diganti”, SUARA PEMBARUAN DAILY 9/2/04. Komaruddin Hidayat, “Agama, Parpol dan Negara” (Kompas 15 juli 2013): 6. 552
Negara Hukum Yang Berke-Tuhanan dan …
Tristan P. Moeliono
Leonard Mlodinow (ilmuwan-ateis) dengan Deepak Chopra (spiritualis) yang dibukukan dalam “Is God an Illusion? The Great Debate Between Science and Sprituality, London: Rider, 2011. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, edisi terjemahan, Jakarta: PT. Ikrar Mandiriabadi, 2009 M.B. Hooker, Indonesian Islam: Social Change through Contemporary Fatwa. NSW: Allen & Unwin, 2003. p. 228. MB Hooker, “The State and Syariah in Indonesia: 1945-1995”, dalam T. Lindsey (eds.), Indonesia, Law and Society (Sidney: The Federation Press, 1999. Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Penerbit Binacipta, Bandung, 1986; Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional, Penerbit Binacipta, Bandung, 1995 dan Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Penerbit Bina Cipta, Bandung, tanpa tahun Pippa Norris & Ronald Inglehart, Sacred and Secular: Religion and Politics Worldwide, 2nd ed., Cambridge University Press, 2011. Paul Michael Munoz, op.cit dan M.C. Ricklefs, op.cit. PJ. Zoetmoelder, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, diterjemahkan Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia, 1991. Ratna Lukito, Pergumulan antara hukum Islam dan adat di Indonesia. Jakarta: INIS, 1998 & Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2008. Ratno Lukito: Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, cet-1, Tanggerang: Pustaka Alvabet, 2008. Renan, Ernest. "What is a Nation?" in Eley, Geoff and Suny, Ronald Grigor, (ed.) Becoming National: A Reader. New York and Oxford: Oxford University Press, 1996: pp. 41-55. Reza A. Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, Locke-Rousseau-Habermas, Jakarta: Kanisius, 2007. Suryadi, “Buku „Greget Tuanku Rao‟ dan Kontroversi Kepahlawanan Tuanku Tambusai”, (Padang. Kinicom; 19/10/2008). Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1991. Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional. HuMa-KITLV-VVI dan Epistema Institute, Jakarta: 2014. Bdgkan pula dengan Daniel S. Lev, Legal Evolution and Political Authority in Indonesia: selected essays, Kluwer Law Internasional, 2000. St. Remy Sjahdeini, “Hak Tanggungan; Asas-asas dan permasalahan yang dihadapi perbankan”, (Jurnal Hukum Bisnis, Vol. I, 1997):5-36. Soehino SH., 1985, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty yang menginspirasi banyak pengajar ilmu negara di fakultas hukum di Indonesia lainnya untuk menulis hal yang sama. Lihat antara lain: I Gde Pantja Astawa & Suprin Na‟a, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara: Jakarta, Refika Aditama, 2009. Tubagus Haryo Karbyanto, “Judicial Review: antara trend dan keampuhan bagi strategi advokasi”, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk pengacara X tahun 2005 (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta). Pemberian hak uji terbatas ini dilandaskan pada TAP MPR III/1978, UU 14/1970, UU 14/1985. Tim Lindsey (ed.), Indonesia: Law and Society, 2nd edition, the Federation Press, 2008. Yudi Latif, Negara Paripurna: historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011. Austin Cline, Why Does Religion Exist?: Karl Marx's Analysis of Religion (http://atheism.about. com, last visited 1 juli 2013). Yohan Wahyu, “Merunut Relasi Negara dan Agama: Jajak Pendapat Kompas” (Kompas 15 juli 2013): 5. International Crisis Group. “Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan”, 27 juni 2001 (laporan ICG Asia no. 19, Jakarta/Brussel). 553
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 535 - 554
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Current Asia dan the Centre for Humanitarian Dialague, “Pengelolaan Konflik di Indonesia – Sebuah Analisis Konflik di Maluku, Papua dan Poso”, (Centre for Humanitarian Dialogue: Geneva, 2011). International Crisis Group, “Melemahkan Jaringan Kelompok Mujahidin di Indonesia: Pelajaran dari Maluku dan Poso”, (Asia Report no. 103- 13 oktober 2005) Dissertasinya: Islamic Law and Adat Encounter: the Experience of Indonesia (thesis submitted to the Faculty of Graduate Studies and Research; Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal-Canada, 1997). Peraturan Perundang-undangan UUD 45 UU 24/2003 tentang MK (terakhir di amandemen dengan UU 8/2011). UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (13 September 2007) Penjelasan UUD 1945: Sistem Pemerintahan Negara. TAP MPRS XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum RI dan tata urutan peraturan perundang-undangan RI. TAP MPR III/1978 (kedudukan dan hubungan tata kerja lembaga tertinggi negara dengan/atau antar lembaga-lembaga tinggi negara) TAP MPR III/2000 (sumber hukum dan tata peraturan perundang-undangan) UU 14/1970 (ketentuan pokok kekuasaan kehakiman), UU 14/1985 (mahkamah agung). UU 7/1989 tentang Peradilan Agama, diubah oleh UU 3/2006. UU 24/2003 tentang MK (terakhir di amandemen dengan UU 8/2011). UU 10/2004 (pembentukan peraturan perundang-undangan) UU 12/2011 (pembentukan peraturan perundang-undangan) UU 50/2009 tentang perubahan kedua atas UU 7/1989 tentang peradilan agama(diubah pertama kali oleh 3/2006). Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Buku I: Hukum Perkawinan + Buku II: Hukum Kewarisan dan buku III tentang Kewakafan. Kompilasi tersebut telah diterima baik oleh alim ulama Indonesia dalam LokaKarya di Jakarta pada 2-5 febuari 1988. Lihat InPres 1/1991: penyebarluasan kompilasi hukum Islam. Peraturan Menteri Agama 9/1952(tentang aliran kepercayaan) PMA (peraturan menteri agama) 10/2008, yakni pelayanan keagamaan, aliran, faham dan gerakan keagamaan serta hubungan antar umat beragama. Keputusan Fatwa MUI no. 7/MUNAS VII/MUI-II/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama. Putusan MK no. 35/PUU-X/2012 membatalkan sebahagian pasal dalam UU Kehutanan (41/1999) PerMA 1/1999 (hak uji materiil MA) RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat versi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
554
PANCASILA SEBAGAI PEREKAT KEMAJEMUKAN BANGSA Oleh: Zainal Arifin Hoesein*) Email :
[email protected] Abstrak Kemajemukan merupakan sunatullah bangsa Indonesia, sehingga menjadi kekayaan yang terhingga dari bangsa Indonesia. Rumusan perdebatan akademik tentang dasar Negara tanggal 29, 30 Mei dan 1 Juni 1945 oleh Panitia 9 BPUPKI disetujui pada sidang BPUPKI tanggal 22 Juni 1945 sebagai “gentlemen‟s agreement” yang dikenal dengan Piagama Jakarta dan dikukuhkan sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 setelah mengubah rumusan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya… menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, dan belakangan dikenal dengan nama Pancasila. Dalam tataran ini, maka Pancasila telah menempatkan agama dalam posisi yang terhormat dan bahkan menjadi salah satu sumber pembentukan norma hokum sebagai bagian dari perekatan nilai-nilai kemajemukan dalam bingkai bhineka tunggal ika. Konsekuensinya adalah kebijakan publik yang dirumuskan dalam undang-undang harus sejalan dengan nilai Pancasila yang bersumber pada ruh ilahiyah. Kata Kunci: Pancasila, Kemajemukan, ruh Ketuhanan Yang Maha Esa Abstract Pluralism is sunatullah Indonesian people, thus becoming the infinite richness of the Indonesian nation. The formulation of the academic debate on the basis of the State on 29, May 30 and June 1, 1945 by the Committee 9 BPUPKI approved on BPUPKI dated June 22, 1945 as a "gentlemen's agreement" known as the Charter of Jakarta and confirmed as the Opening Act of 1945 on August 18 1945 after changing the formulation of the Deity with the obligation to enforce sharia law for adherents ... be on God, and later known as Pancasila. In this level, the Pancasila has put religion in a position of honor, and even become a source of formation of legal norms as part of the adhesion values of pluralism within the framework of culturally diverse. The consequence is that public policy is formulated in the law should be in line with Pancasila values rooted in the divine spirit. Keywords: Pancasila, plurality, the spirit of Almighty God A. Pendahuluan Indonesia ditakdirkan sebagai suatu bangsa yang memiliki keragaman etnis atau suku bangsa, sehingga bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk terbesar di dunia.1 Suku bangsa adalah golongan manusia yang terikat *)
Dosen Dpk di Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‟iyah, dan dosen tidak tetap di Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Nasional Jakarta, dan beberapa perguruan tinggi swasta lainnya.
oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan. Orang-orang yang tergolong dalam satu suku bangsa tertentu, pastilah mempunyai kesadaran dan identitas diri terhadap kebudaya1
Menurut hasil sensus BPS tahun 2010 suku bangsa Indonesia berjumlah 1.340 dan 1210 bahasa (daerah) dan terbesar adalah suku Jawa (41%), suku Sunda, suku Melayu, dan suku Madura adalah kelompok terbesar berikutnya. Banyak suku-suku terpencil, terutama di Kalimantan dan Papua, memiliki populasi kecil yang hanya beranggotakan ratusan orang.
555
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 555 - 566
an suku bangsanya, misalnya dalam penggunaan bahasa daerah serta mencintai kesenian dan adat istiadat. Suku-suku bangsa yang tersebar di Indonesia merupakan warisan sejarah bangsa, persebaran suku bangsa dipengaruhi oleh faktor geografis, perdagangan laut, dan kedatangan para penjajah di Indonesia. Kemajemukan yang ada terdiri atas keragaman suku bangsa, budaya, agama, ras, dan bahasa. Adat istiadat, kesenian, kekerabatan, bahasa, dan bentuk fisik yang dimiliki oleh suku-suku bangsa yang ada di Indonesia memang berbeda, namun selain perbedaan suku-suku itu juga memiliki persamaan antara lain hukum, hak milik tanah, persekutuan, dan kehidupan sosialnya yang berasaskan kekeluargaan. Dalam perspektif historis, oleh pemerintah Hindia Belanda kelompok masyarakat asli di Hindia Belanda disebut Masyarakat Hukum Adat. Istilah Masyarakat Hukum Adat secara ilmiah digunakan oleh banyak pakar diantaranya Hazairin, Busar Muhammad, Soerjono Soekanto. sementara Ter Harr menyebut beberapa istilah antara lain dusun dan marga. Dusun sebagai masyarakat dusun (de dorpsgemeenschap) sedangkan marga sebagai masyarakat wilayah (de streekgemeenschap); dusun dicirikan oleh sekelompok orang berdiam di satu tempat yang terpencil memiliki pemimpin (penghulu) dan pejabat lainnya yang bertempat tinggal di situ dan menjadi satu. Marga dicirikan oleh kumpulan dusun-dusun yang sedikit banyak masingmasing memiliki kedaulatan dan pemerintahan sendiri tetapi merupakan bagian dari suatu masyarakat yang meliputi keseluruhannya yang memiliki batas sendiri, pemerintahan sendiri, hak pertuanan (beschikingsrecht) atas tanah yang belum dibuka sejak dulu kala. Dalam lingkungan itu dusun-dusun berdiri sendiri, mempunyai kedudukan dalam organisasi seluruhnya yang salah satunya menjadi induk dusun, sedangkan dusun-dusun lainnya sebagai dusun bawahan. MHA menurut G.J. Wolhoff, diakui dengan peraturan pemerintah Hindia Belanda dan diatur susunan pemerintahan otonomi serta medebewind-nya, sekedar belum diatur oleh hukum adatnya sendiri. Sedangkan desa-desa di Jawa dan Madura serta di luarnya di berbagai Gewest diakui sebagai persekutuan hukum adat yang otonom atau memiliki pemerintahan de556
ngan alat perlengkapannya sendiri. Sebagai kesatuan hukum publik desa ini meyelenggarakan kepentingan publik sendiri dengan kewenangan pemerintahan seperti dikemukakan Van Vollenhoven, meliputi bestuur, politie, justitie, dan regeling. Unsur pertalian darah atau berasal dari keturunan yang sama (geneologis) adalah ciri pertama masyarakat okum adat, sedangkan unsur wilayah kediaman bersama ciri kedua yang lebih dikenal sebagai unsur pertalian territorial atau wilayah. Wilayah ditempati sejak pertama kali nenek moyang masyarakat okum adat yang bersangkutan membuka lahan, beranak pinak dan selanjutnya terbentuk keluarga-keluarga batih seterusnya berkembang diikuti oleh perluasan wilayah dengan membuka lahan baru dan terus meluas. Perluasan wilayah masyarakat okum adat berhenti ketika bertemu dengan batas wilayah masyarakat okum adat yang lain. Proses demikian meyakinkan untuk memastikan bahwa faktor geneologis dan territorial sebenarnya seperti dua sisi mata uang tidak dipisahkan, satu sama lain saling melengkapi. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa masayarakat hukum adat “Suatu komunitas antropologis yang bersifat homogen dan secara berkelanjutan mendiami wilayah tertentu, mempunyai hubungan historis dan mistis dengan sejarah masa lampau mereka, merasa dirinya dan dipandang oleh pihak luar sebagai berasal dari satu nenek moyang yang sama, dan mempunyai identitas dan budaya yang khas yang ingin mereka pelihara dan lestarikan untuk kurun sejarah selanjutnya, serta tidak mempunyai posisi yang dominan dalam struktur dan sistem politik yang ada.” Kondisi kemajemukan inilah yang menjadi modal dasar semangat persatuan yang dicetuskan pada 28 Oktober 1928, walaupun ide dasar ini telah tumbuh dan berkembang secara kelembagaan sejak zaman kerajaan dan kesultanan dan zaman diperkenalkan organ kemasyarakatan dan politik sejak tahun 1905, 1908, 1912, 1926 dan seterusnya. Keragaman suku, budaya, bahasa dan agama serta kewilayahan inilah yang menjadi pemicu munculnya bhineka tunggal ika, karena perasaan dan tekanan yang sama sebagai anak bangsa yang tertindas, sehingga dalam rumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar dinyatakan, “Bahwa sesungguhnya kemer-
Pancasila Sebagai Perekat Kemajemukan Bangsa
dekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Semangat menemukan jati diri sebagai entitas bangsa yang majemuk inilah yang memberikan inspirasi bertemuanya ide-ide besar dalam mengelola bangsa yang majemuk dan besar dan bertemulah pikiran-pikiran cerdas yang diperdebatkan tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, dan dirumuskan hasil perdebatan tersebut pada tanggal 22 Juni 1945 sebagai “gentlemen‟s agreement” yang dikenal dengan Piagama Jakarta yang dikukuhkan sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 setelah mengubah rumusan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya… menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, dan belakangan dikenal dengan nama Pancasila. B. Kemajemukan dalam Perspektif Sosiologis dan Hukum Kemajemukan masyarakat Indonesia dicerminkan oleh baik kondisi goegrafis, etnis, budaya maupun agama, tetapi dari segi politis ia merupakan kesatuan yang saling melengkapi sebagaimana yang disimbulkan dalam lambang negara” Bhinneka Tunggal Ika “Kemajemukan etnis, budaya dan agama dapat diartikan sebagai fenomena sosial budaya. Adanya kemajemukan etnis, budaya dan agama berpengaruh terhadap persoalan hukum terutama yang berkaitan dengan persoalan kodifikasi dan unifikasi hukum. Sebab kemajemukan etnis, budaya dan agama mengandung juga kemajemukan nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini serta ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan. Perdebatan mengenai kemajemukan hukum di Indonesia sudah berjalan cukup lama yakni sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda. Masalah pokok yang diperdebatkan adalah pilihan yang harus dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda yaitu, masyarakat kolonial yang terpadu ataukah terpisah-pisah. Dalam kerangka hukum, satu hukum untuk semua golongan penduduk; ataukah hukum yang majemuk untuk golongan yang majemuk pula. Pandangan pertama cenderung menciptakan sejenis negara koloni, dan pandangan kedua cenderung hanya menciptakan
Zainal Arifin Hoesein
sistem adminsitrasi di wilayah jajahan.2 Kedua pilihan tersebut memiliki konsekuensi hukum. Pandangan pertama menunjukkan bahwa hukum cenderung kepada pendekatan unifikasi hukum, karena kekuasaan negara memerlukan pengabsahan hukum. Sedangkan pandangan kedua tidak perlu melakukan pendekatan unifikasi hukum, tetapi hanya memerlukan manajemen wilayah jajahan (sistem administrasi). Wilayah Hindia Belanda bukan sebuah negara tetapi wilayah adminsitrasi di bawah kekuasaan negara induknya (Belanda). Pilihan terhadap pandangan kedua ini berakibat terhadap pilihan hukum yang majemuk dan pandangan yang kedua inilah yang dipilih oleh pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena Hindia Belanda (Indonesia) hanya wilayah adminsitratif dari negara Belanda, maka penguasa yang ditunjuk di wilayah Hindia Belanda tidak memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan perundangundangan. Konsekuensi dari sisi hukum, kemajemukan hukum diterapkan dengan menggolongkan penduduk Hindia Belanda dengan tunduk kepada hukum sesuai dengan golongannya (IS Pasal 131 dan 163). Kemajemukan hukum ini dapat dipahami, karena memang sulit untuk menciptakan unifikasi hukum pada masyarakat yang majemuk. Jika hal ini tidak dilakukan, akan membawa dampak terhadap timbulnya gejolak masyarakat yang mempertahankan nilai normatif mereka. Berdasarkan pilihan yang kedua, maka Pemerintah Kolonial Belanda menetapkan Reglement op het beleid der Regeering van Nederlands Indie, disingkat Regeering Reglement (RR) yang diundangkan dalam Staatsblad 1882/152.3 Pasal 75 ayat (3) RR menegaskan 2
Daniel S Lev, Hukum dan Politik di Indonesia –Kesinambungan dan Perubahan (Jakarta: LP3ES, 1990), hal. 440. 3 R. Soepomo, Sejarah Politik Hukum Adat, Jilid I (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hal. 30. Lihat Soepomo dalam Moh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959), hal. 109 yang dalam Sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 menyatakan bahwa Indische Staatsregeling pengganti RR sebagai Undang-Undang Dasar Belanda. Pasal 75 ayat (3) RR menjelaskan bahwa Oleh Hakim Indonesia itu hendaklah diperlakukan undang-undang agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia itu. Pasal 78 ayat (2) RR menegaskan bahwa "Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia itu, atau dengan mereka yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka
557
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 555 - 566
bahwa bagi Bumi putera diberlakukan hukum agama. Keputusan politik (politik hukum) yang dianut itu merupakan pengaruh teori yang dikembangkan oleh Lodewijk Willem Chritian van den Berg yaitu, teori reception in complex. Teori ini berpendirian bahwa norma hukum didasarkan pada norma agama.4 Dalam perkembangan politik hukum, teori receptio in complexu oleh Snouck Hurgrounye dan van Vollehhoven dianggap tidak tepat di samping tidak menguntungkan pemerintah kolonial. Sebagai antinomi teori receptio in complexu dikembangkan teori receptie. Teori ini menyatakan bahwa hukum yang berlaku pada masyarakat bumiputera adalah hukum adat bukan hukum agama. Hukum Agama dapat berlaku jika telah diterima (diresipir) oleh hukum adat. Pendapat Snouck maupun van Vollenhoven dijadikan dasar perumusan politik hukum pemerintah kolonial yang dituangkan dalam Wet op de Staatsinrechting van Nederlandsch Indie atau Indische Staatsregeling (IS) Stbl. 1929:212. Persoalan kemajemukan hukum dengan menempatkan agama sebagai dasar perumusan hukum di Indonesia juga berkembang saat sidang BPUPKI. Hasil rumusan BPUPKI dikenal dengan Piagam Jakarta yang menempatkan agama sebagai dasar berpijak dalam menata kehidupan masyarakat terutama masyarakat yang bergama Islam. Dalam kerangka teoritis, kemajemukan hukum pembahasannya dapat didekati dari sudut aliran hukum alam. Hukum alam sebagai salah satu aliran dalam filtunduk kepada putusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka menurut undang-undang agama (godsdientige wetten) atau ketentuan-ketentuan lama mereka". Bandingkan Sayuti Thalib yang berpendapat bahwa kemajemukan hukum maupun kelembagaan hukum yang dipilih oleh pemerintah kolonial Belanda bukan kemajemukan dalam arti pembidangan hukum, akan tetapi dalam arti politik hukum yakni menyangkut substansi hukum yang membedakan derajat hukum yang satu dengan lainnya. Pembedaan derajat yang menempatkan hukum Eropa (Belanda) lebih tinggi derajatnya dibanding dengan hukum lokal (pribumi) menunjukkan sifat arogan pemerintahan Belanda yang menempatkan masyarakat Belanda derajatnya lebih tinggi dari masyarakat Indonesia (pribumi). Sayuti Thalib, Politik Hukum Baru - Mengenai Kedudu-kan dan Peranan Hukum Adat dan Hukum Islam da-lam Pembinaan Hukum Nasional, Cet.Pertama (Ban-dung : Binacipta, 1987), hal. 63 4 Sayuti Thalib, Receptio A Contrario-Hubungan Hu-kum Adat dengan Hukum Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hal. 7.
558
safat hukum yang lahir didasarkan pada gagasan universalitas dan moralitas. Gagasan universalitas memberikan dasar pembenar bagi berlakunya kebebasan manusia dan pengakuan hakhak dasar manusia dalam kehidupan negara. Demikian pula gagasan moralitas merupakan prinsip-prinsip moral yang bersifat umum dan dapat ditelaah oleh akal manusia. Kedua gagasan tersebut merupakan esensi yang tetap yang dijadikan ide dasar tentang perumusan hakekat hukum dan keadilan sebagai tujuan hukum. Mencermati kedua gagasan tersebut berarti nilai moral dan etika merupakan dasar pembentukan hukum untuk mewujudkan keadilan sebagai ide yang bersifat abadi.Konsep keadilan tidaklah dibentuk, melainkan sebagai hasil dari cara kerja alam yang merupakan puncak tertinggi dari hukum. Tetapi keadilan kemungkinan dapat terwujud atau tidak dapat diwujudkan oleh manusia, juga tergantung bagaimana hukum dirumuskan dan diaplikasikan. Dengan demikian isi hukum dalam aliran hukum alam adalah keadilan dan moral.5 Secara historis aliran hukum alam berkembang sejak abad ke 6 merupakan warisan zaman Romawi sebagai penerusan dari buku hukum Justinianus yang merupakan penulisan hukum pertama zaman Romawi. Isinya digali dari doktrin hukum zaman Yunani yang digali dari pemikiran Cicero. Menurut Ci5
A.P. d'Entreves, Natural Law - An Introduction to Legal Philosophy, (London:Hutchinson & Co, 1970), p. 13. Dalam halaman 14 A.P. d'Entreves menyatakan bahwa The origin of the idea of natural law may be ascribed to an old and indefeasible movement of the human mind (we may trace it already in the Antigone of sophocles) wich impels it to wards the nation of an eternal and immutable; a justice which human authority expresses, or ought to express - but does not make; a justice which human authority may fail to express - and must pay the penalty for failing to express by the diminution, or even the forfeiture, of its power to command. This justice is conceived as being the higher or ultimate law, proceeding from the nature of the universe - from the being of God and the reason of man. It follows that law - in the sense of the law of the last resort - is somehow above law-making. It follows that lawmakers, after all, are somehow under and subject to law. Pengertian yang sama juga dapat ditelaah dalam W. Friedman, Legal Theory, Fifth Edition (London: Stevens & Sons Limited, 1967) p. 114 - 116. Hal senada juga dapat ditelaah tentang pemahaman hukum alam oleh Heinrich A. Rommen dalam, The Natural Law - A Study in Legal and Social History and Philosophy, (Indianapolis: Liberty Fund, 1998), p. 4 – 6.
Pancasila Sebagai Perekat Kemajemukan Bangsa
cero manusia merupakan masyarakat alam raya. Hukum hakekatnya merupakan ekspresi dari hakekat umum manusia yang bersifat universal. Dalam perkembangannya pemikiran ini oleh Immanual Kant dirumuskan bahwa hukum alam sebagai hukum yang bersumber pada katagorische imperative. Konsep dasar dari pemikiran Kant adalah bahwa hukum merupakan motivasi tindakan manusia. Motif tindakan manusia dibedakan dalam dua hal yaitu, jika motif tindakan manusia bersifat intern (untuk dirinya sendiri) dikatagorikan moral, tetapi jika bersifat ekstern dikatagorikan hukum. Tindakan bersifat ekstern dikatagorikan sebagai hukum karena tindakan tersebut dapat berpengaruh atau diikuti oleh orang lain. Dalam hubungannya dengan agama, maka prinsip agama sarat dengan nilai moral dan keadilan dapat dipahami sebagai prinsip-prinsip yang bersesuaian dengan asas dan isi hukum alam. Oleh karena itu, pluralisme hukum sangat dimungkinkan dalam masyarakat yang bercorak majemuk seperti Indonesia, dan agama dapat ditempatkan sebagai sumber atau norma dasar yang menjadi rujukan dalam perumusan hukum. Secara politis dan normatif hal tersebut pernah diberlakukan di Indonesia yaitu, pertama pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dan yang kedua pada masa pemerintahan negara kesatuan RI yang tertuang baik dalam Piagam Jakarta maupun dalam Pasal 29 UUD 1945. Dalam persepktif historis dan politik, pluralisme hukum di Indonesia menjadi nampak ketika Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Indische Staatsregeling (Pasal 131 dan 163) yang merupakan dasar pengelompokan penduduk dan hukum yang berlaku pada kelompokkelompok masyarakat Indonesia (Hindia Belanda).6 Oleh karena itu, perdebatan mengenai kemajemukan hukum di Indonesia sudah berjalan cukup lama yakni sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda. Masalah pokok yang diperdebatkan adalah pilihan yang harus dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda yaitu, masyarakat kolonial yang terpadu ataukah terpisah-pisah.7 6
Sayuti Thalib, Politik Hukum Baru - Mengenai Kedudukan dan Peranan Hukum Adat dan Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung:Binacipta, 1987), hal. 63 7 Ibid, hal. 6
Zainal Arifin Hoesein
Dalam kerangka hukum, satu hukum untuk semua golongan penduduk ataukah hukum yang majemuk untuk golongan yang majemuk pula. Pandangan pertama cenderung menciptakan sejenis negara koloni, dan pandangan kedua cenderung hanya menciptakan sistem adminsitrasi di wilayah jajahan. Kedua pilihan tersebut memiliki konsekuensi hukum. Pandangan pertama cenderung kepada pendekatan unifikasi hukum, karena kekuasaan negara memerlukan pengabsahan hukum. Sedangkan pandangan kedua tidak perlu melakukan pendekatan unifikasi hukum, tetapi hanya memerlukan manajemen wilayah jajahan (sistem adminsitrasi). Wilayah Hindia Belanda bukan sebuah negara tetapi wilayah adminsitrasi di bawah kekuasaan negara induknya (Belanda). Pilihan terhadap pandangan kedua ini berakibat terhadap pilihan hukum yang majemuk dan pandangan yang kedua inilah yang dipilih oleh pemerintah kolonial Belanda.8 Oleh karena Hindia Belanda (Indone-sia) hanya wilayah adminsitratif dari negara Belanda, maka penguasa yang ditunjuk di wilayah Hindia Belanda tidak memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan. Dalam perspektif ketatanegaraan Indonesia, dapat ditelusuri pada gagasan yang terkandung dalam konstitusi negara yang yaitu, staatsidee dan rechtsidee. Di samping keduanya juga terkandung norma fundamental negara (staatsfundamental-norm) dan aturan dasar negara (staatsgrundgesetz). Konstitusi dipahami sebagai suatu hasil kontrak sosial yang dituangkan dalam suatu naskah tertulis (di samping terdapat pula naskah tidak tertulis – seperti di Inggris), maka staatsidee merupakan gagasan dasar yang melatarbelakangi pendirian suatu negara. Sedangkan reshtsidee merupakan gagasan normatif yang dirumuskan sebagai landasan hukum bagi penyelenggaraan suatu negara, sehingga organisasi negara sebagai organisasi kekuasaan dijalankan berdasarkan hukum yang bersumber pada nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat/ 8
Moh. Koesnoe, Pokok Permasalahan Hukum kita Dewasa ini, dalam Artidjo Alkotsar dan M. Sholeh Amin, Perkembangan Hukum Dalam Perspektif Hukum Nasional, LBH Yogjakarta dan Rajawali, Jakarta 1989, hal 106. Bandingkan Daniel S Lev, Hukum dan Politik di Indonesia-Kesinambungan dan Perubahan (Jakarta: LP3ES, 1990), hal. 440.
559
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 555 - 566
warga dari negara yang bersangkutan (rechtsidee).9 Oleh karena itu rechtsidee, digali dari nilai-nilai yang ada dan berkembang serta diyakini oleh masyarakat yang selanjutnya menjadi norma dasar/ fundamental negara dan secara teknis akan dituangkan dalam batang tubuh konstitusi dan secara operasional dapat berbentuk dalam berbagai hukum tertulis (undang-undang).10 Kondisi hubungan antara hukum dan kekuasaan di Indonesia dalam perspektif historis, terdapat tarik menarik. Perkembangan hukum di Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari bentuk-bentuk kekuasaan yang muncul dengan berbagai kepentingan politik saat itu. Perkembangan hukum terutama dalam hal ini hukum keluarga termasuk hukum waris cukup menarik, karena sejak itu nilai-nilai normatif yang diyakini masyarakat dihadapkan pada nilai-nilai keagamaan. Secara sosiologis, masyarakat Indonesia menggali nilai-nilai normatif hukum mendasarkan pada nilai-nilai dari agama yang diyakini terutama masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Hal ini akibat pengaruh dari kekuasaan yang dikendalikan oleh kaum pemeluk Islam (kesultanan). Para penasehat hukum Belanda banyak bersilang pendapat dalam hal ini dan muncul beberapa teori dalam perumusan hukum 9
Roscoe pound, An Introduction to the Philosophy of Law - with a new introduction by Marshal L. De Rosa, (New Brunswick (USA) and London (UK), 1999 – Originally published in 1922 by Yale University Press), hal.4. Lihat Rifyal Ka'bah, dalam Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, Universitas Yarsi, 1999), hal 27 yang menguraikan bahwa hukum menurut Qur'an adalah ketetapan, keputusan dan perintah yang berasal dari Allah dan legislasi manusia yang bertujuan untuk menegakkan keadilan dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara. Sebagai ketetapan yang berasal dari Allah, hukum Ilahi berisikan keadilan seluruhnya. Sebagai ketetapan yang berasal dari legislasi manusia, hukum manusia harus berdasarkan kepada hukum Ilahi dan rasa keadilan yang paling tinggi. Bandingkan pendapat David N. Schiff, Hukum Sebagai Suatu Fenomena Sosial, dalam Adam Podgorecki dan Christopher J. Welan(editor), Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, terj. dari Sociological Approaches To Law, ( Jakarta: Bina Aksara, 1999), hal. 252-254. 10 Ismail Sunny, Konstitusionalisme Indonesia - Prinsipprinsip Dasar dan Perdebatan Kontemporer, makalah yang disampaikan pada seminar sehari Tiga Dasa Warsa Kembali ke UUD 1945 oleh Pusat Studi Hukum Tata Negara - Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tanggal 3 Juli 1989, hal. 1
560
adat (hukum masyarakat pribumi). Salah satu teori yang muncul adalah teori receptio in complexu yang dilakukakan oleh LWC Van den Berg yang mendasarkan agama menjadi sumber nilai dalam perumusan hukum. Secara substantif teori ini menggariskan bahwa hukum yang berlaku bagi pribumi adalah hukum agamanya. Implikasi dari pemahaman teori Receptio in Complexu ini, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatblad No. 1882 No. 152 mengenai pengaturan untuk menyelesaikan sengketa hukum keluarga, perkawinan, kewarisan bagi masyarakat pribumi (yang beragama Islam) untuk daerah Jawa dan Madura dan selanjutnya stb. 1937 No.638 dan 639 untuk daerah Kalimantan. Dari sisi kelembagaan, maka dengan adanya kedua Staatblad tersebut, berdiri Raad Agama disamping Raad van Justitie yang seterusnya dikenal dengan Pengadilan Agama. Walaupun demikian, politik hukum Pemerintahan Hindia Belanda mengenai pemberlakuan hukum yang dianut oleh masyarakat (pribumi) bukanlah berarti keseluruhan hukum yang ada, tetapi dibatasi hanya pada aspek keperdataan dan itu pun menyangkut hukum kekeluargaan, perkawinan dan kewarisan. Dalam perspektif konstitusi negara RI (UUD 1945), agama mendapatkan posisi yang terhormat, karena secara tegas diatur baik dalam Pembukaan UUD maupun dalam batang tubuh (Pasal 29). Oleh karena itu, dalam konstalasi politis dan normatif, agama telah ditempatkan pada posisi sebagai bagian dari landasan pembentukan hukum. Hal ini dapat ditelusuri pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan padat ayat (2) ditegaskan pula bahwa negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Implikasi terhadap pemahaman cita hukum, maka rumusan Pasal 29 UUD 1945 dapat dilihat dari dua sisi yaitu persuasive source dan authoritative source. Persuasive source, diartikan sebagai sumber yang orang harus diyakinkan untuk menerimanya dan authoritative source, diartikan sebagai sumber yang otoritatif yaitu sumber yang mem-
Pancasila Sebagai Perekat Kemajemukan Bangsa
punyai kekuasaan (authority).11 Gambaran di atas menunjukkan bahwa baik segi sosiologis, politis, maupun normatif di Indonesia menunjukkan bahwa kemajemukan hukum tidak dapat dihindarkan, karena faktor kemajemukan masyarakat, keyakinan, budaya dan lingkungan politik. Dalam perspektif kemajemukan hukum, maka pembentukan suatu hukum selain mengacu pada hukum tertulis, juga harus menggali nilai-nilai yang diyakini masyarakat. Keterkaitan masyarakat dengan seperangkat nilai dan norma yang diyakini dalam pembentukan hukum (rechtsvinding) akan mencerminkan nilai dan kekuatan hukum itu sendiri. Pembentukan hukum dapat dilakukan oleh suatu organ kekuasaan yang diberikan kewenangan untuk membentuk hukum, juga oleh suatu jabatan tertentu yang diberikan otoritas untuk membentuk suatu hukum melalui suatu keputusan hukum (Hakim) dalam lembaga peradilan. Dalam hubungan ini, posisi, fungsi dan peran Hakim sangat penting, karena melalui suatu keputusan hakim, suatu norma hukum akan dapat dijalankan, bahkan ditemukan. Oleh karena itu, dalam perspektif lembaga peradilan di Indonesia sebagai lembaga yang memiliki fungsi penegakan hukum dan penemuan hukum, maka lembaga ini juga tetap akan berhadapan dengan kemajemukan hukum. Lembaga peradilan di Indonesia memiliki keunikan di banding dengan lembaga peradilan di negara-negara lainnya. Keunikan tersebut ditandai dengan munculnya lembaga peradilan agama yang tidak dikenal di negara-negara di dunia. Kondisi ini, secara institusional menunjukkan pengakuan terhadap adanya kemajemukan hukum. Dunia peradilan di Indonesia telah mengalami masa formatifnya sampai dibukanya empat pintu peradilan dalam tata hukum nasional di Indonesia dengan adanya UU No. 14/1970 sebagaimana diubah dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Salah satu dari lembaga peradilan dalam sistem dimaksud adalah lembaga peradilan agama yang dituangkan dalam UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan telah dubah dengan UU No. 50 Tahun 2009. Dalam masyarakat pluralis seperti Indonesia reformasi tata peradilan di Indonesia merupakan 11
Ibid
Zainal Arifin Hoesein
lompatan besar yang secara spesifik mengakomodir hukum Islam dalam tata hukum nasional. Dalam perspektif sejarah, realitas yang mencerminkan praktek hukum Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak berjalan sebagaimana yang pernah dipraktekan dimasa awal perkembangan Islam. Hal ini karena sifat pluralisme masyarakat seiring dengan perkembangan demokrasi di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim sedikit banyak telah menjadi factor betapa sulitnya hukum Islam memperoleh legitimasi sebagai hukum positif dalam suatu negara. Dalam situasi yang demikian telah banyak diskusi dan kajian bagaimana agar hukum Islam mengalami transformasi ke dalam hukum nasional dalam suatu negara demokratis dan pluralistis. Di Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim mestinya akan memiliki representasi politik secara nasional yang mendukung diberlakukannya hukum Islam dalam tata hukum nasional. Namun pluralisme pemahaman dan penghayatan Islam dikalangan kaum Muslimin serta tidak meratanya informasi mengenai hukum Islam telah menghantarkan masyarakat yang meyakini Islam tetapi secara cultural hanya sebagaian kecil yang menerima syari‟ah sebagai hukum Islam yang harus diterapkan dalam tata hukum nasional. Demikian juga halnya di kalangan perpolitikan nasional hanya sebagaian kecil yang dapat memiliki kesinambungan keyakinan, pemikiran dan aksi perpolitikan yang mendukung diberlakukannya syari‟ah Islam. Pada situasi keyakinan masyarakat dan apresiasinya terhadap Hukum Islam ternyata tidak menampak pada budaya dan lingkungan perpolitikan nasional sehingga melahirkan situasi yang hampir beku mengenai eksistensi hukum Islam dalam tata hukum nasional. C. Posisi Agama dalam Pancasila sebagai Sumber Perekat Kebhinekaan Dalam konstalasi politis dan normatif, agama telah ditempatkan pada posisi sebagai bagian dari landasan perekat kebhinekaan. Hal ini dapat ditelusuri pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan ayat (2) ditegaskan pula bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk 561
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 555 - 566
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Memahami UUD 1945 terutama ketentuan Pasal 29 tidak terlepas dari perdebatan yang muncul pada masa perumusannya yang diawali dengan perumusan Piagam Jakarta. Piagam Jakarta merupakan konsensus nasional yang lahir sebagai antisipasi klimaks dari perjuangan panjang bangsa Indonesia. Dikatakan konsensus nasional, karena Piagam Jakarta dilahirkan oleh lembaga yang dibentuk pada zaman penjajahan Jepang (oleh Dai Nippon) yaitu Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyooskai). Dalam sidangnya yang dimulai tanggal 29 Mei 1945 yang membahas tentang UUD, timbul pertanyaan yang mendasar tentang Dasar Negara (weltanschaung). BPUPKI yang beranggotakan 62 orang dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) golongan yakni nasionalis sekuler dan nasionalis Islami.12 Kedua kelompok ini memiliki perbedaan sangat tajam mengenai dasar negara yaitu satu pihak menghendaki Islam sebagai dasar negara dan di lain pihak adalah kebangsaan. Pada sidang tanggal 1 Juni 1945, Soekarno tampil dengan gagasannya tentang dasar negara yang akan didirikannya yang saat ini dikenal sebagai Pancasila. Di samping pidato Soekarno, sebelumnya tampil anggota lainnya mengemukakan gagasan tentang dasar negara baik Soepomo, Muhammad Yamin dan anggota lainnya. Untuk merumuskan gagasan yang berkembang, maka dibentuk Tim Perumus yang beranggota 9 orang (Panitia 9) yang melahirkan rumusan Piagam Jakarta (Jakarta Charter ) yang juga merupakan gentlemen‟s agreement.13 Rumusan Piagam Jakarta muatannya mengandung aspek politik, hak asasi manusia, staatidee dan 12
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Bandung : Pustaka - Perpustakaan Salman ITB, 1981), hal. 26. Bandingkan William G. Andrew, Constitutions and Constitutionalism, Van Nostrand, New Jersey, 3 rd edition, 1968, yang menyatakan bahwa Konsensus bersandar pada 3 (tiga) elemen pokok; (1) The general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government (Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama); (2) The basis of government (Kesempatan tentang the rule of law sebagai landasan penyelenggaraan organ); dan (3), The form of institutions and prosedures (Kesepakatan tentang bentuk lembaga-lembaga dan prosedur-prosedur) 13 Ibid., hal. 27
562
rechsidee. Terdapat lima rumusan dasar yang menjadi inti dari Piagam Jakarta yang bermaktub dalam alinea 4 yaitu : “ ... Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari‟at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Rumusan Panitia 9 (sembilan) mendapat reaksi keras dari anggota BPUPKI terutama mengenai rumusan Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Reaksi keras ini menimbulkan perdebatan sengit bagi golongan nasionalis sekuler mau pun beberapa anggota nasionalis Islam. Rumusan tersebut menimbulkan implikasi politik dan dikhawatirkan terjadi perpecahan bangsa. Setelah mendapat beberapa penjelasan panjang lebar dari golongan nasionalis Islami yang duduk dalam Panitia 9, maka tanggal 14 Juli 1945 disetujui secara bulat Piagam Jakarta sebagai mukaddimah (Preambule) UUD.14 Dilihat dari sisi ketatanegaraan, bagaimanakah implikasi dari rumusan (kelima rumusan) Piagam Jakarta tersebut ? Dalam kaitan ini, dapat dilihat dari dua sisi yaitu implikasi politik dan cita hukum. Pertama, implikasi politik artinya bahwa rumusan tersebut bukan berarti dengan sendirinya negara berdasarkan Islam atau 14
Ibid, halaman 31
Pancasila Sebagai Perekat Kemajemukan Bangsa
negara yang akan didirikan adalah negara Islam. Oleh karena itu, 7 (tujuh) kata tersebut harus diartikan sebagai suatu penegasan bahwa ummat Islam perlu mengatur atau dipayungi kebebasannya dalam menjalankan syari‟at agamanya. Hukum Islam tidak harus diresipir ke dalam hukum Adat, tetapi hukum Islam berdiri sendiri dan hanya untuk mengatur bagi pemeluk-pemeluk agama Islam. Rumusan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi pemelukpemeluknya memiliki implikasi terhadap negara dalam arti materiil. Jika ia menjadi bagian dari hukum dasar bagi negara secara otomatis harus berdiri negara Islam. Pandangan tersebut keliru, karena menurut Sunny,15 rumusan tersebut didahului oleh rumusan staatsidee yaitu suatu hukum dasar negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Negara yang akan didirikan menurut Piagam Jakarta adalah negara kesatuan yang berkedaulatan rakyat dan bukan negara Islam. Negara yang berkedaulatan rakyat itu, harus didasarkan pada 5 asas yang tercantum dalam rumusan Piagam Jakarta sebagaimana yang dikutip diatas. Selanjutnya Sunny berpendapat bahwa rumusan Piagam Jakarta tersebut sebenarnya tidak perlu diperdebatkan secara panjang lebar, sehingga timbul kesalahpahaman dan tidak perlu menghapuskan 7 kata di belakang Ketuhanan, tetapi cukup dengan mengubah 7 kata yang baru, sehingga berbunyi : “dengan kewajiban menjalankan ketentuan agama bagi pemeluk-pemeluknya.”16 Dengan perumusan baru itu berarti bagi pemeluk agama Islam wajib menjalankan hukum Islam, bagi pemeluk agama Kristen wajib menjalankan hukum agama Kristen dan begitu seterusnya. Kedua, implikasi terhadap pemahaman cita hukum, maka rumusan Piagam Jakarta 15
Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dalam Pengurus Pusat Ikatan Hakim Peradilan Agama, Prospek Hukum Islam dalam rangka Pembangunan Hukum di Indonesia - Sebuah kenangan 65 tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH, (Jakarta : PP - IKAHA, 1994), hal.195. 16 Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dalam Pengurus Pusat Ikatan Hakim Peradilan Agama, Prospek Hukum Islam dalam rangka Pembangunan Hukum di Indonesia - Sebuah kenangan 65 tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH, (Jakarta : PP - IKAHA, 1994), halaman 195.
Zainal Arifin Hoesein
dapat dilihat dari dua sisi yaitu persuasive source dan authoritative source. Persuasive source, diartikan sebagai sumber yang orang harus diyakinkan untuk menerimanya dan authoritative source, diartikan sebagai sumber yang otoritatif yaitu sumber yang mempunyai kekuasaan (authority).17 Piagam Jakarta sejak ditandatangani dan disahkan dalam sidang BPUPKI sampai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah termasuk persuasive source sehingga kedudukan 7 kata yang dihapus tersebut juga dalam persuasive source. Setelah Piagam Jakarta ditempatkan sebagai rangkaian kesatuan dari UUD 1945, maka Piagam Jakarta telah menjadi authoritative source. Hal ini berarti, Hukum Islam yang dicerminkan dalam 7 kata yang dicabut tersebut memiliki kekuatan mengikat bagi pemeluk-pemeluknya atau menjadi sumber otoritatif dalam hukum tata negara Indonesia. Dengan demikian kedudukan hukum Islam, tidak lagi harus diresipir ke dalam hukum Adat sebagaimana yang diatur oleh Indische Staatsregeling (IS), tetapi ia berdiri sendiri dan dapat diberlakukan oleh negara kepada pemeluk-pemeluknya. D. Penutup Kemajemukan merupakan sunatullah bangsa Indonesia, sehingga menjadi kekayaan yang terhingga dari bangsa Indonesia. Rumusan perdebatan akademik tentang dasar Negara tanggal 29, 30 Mei dan 1 Juni 1945 oleh Panitia 9 BPUPKI disetujui pada sidang BPUPKI tanggal 22 Juni 1945 sebagai “gentlemen‟s agreement” yang dikenal dengan Piagama Jakarta dan dikukuhkan sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 setelah mengubah rumusan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya… menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, dan belakangan dikenal dengan nama Pancasila. Dalam tataran ini, maka Pancasila telah menempatkan agama dalam posisi yang terhormat dan bahkan menjadi salah satu sumber pembentukan norma hokum sebagai bagian dari perekatan nilai-nilai kemajemukan dalam bingkai bhineka tunggal ika. Konsekuensinya adalah kebijakan publik yang dirumuskan dalam 17
Ibid, halaman 197.
563
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 555 - 566
undang-undang harus sejalan dengan nilai Pan-
casila yang bersumber pada ruh ilahiyah.
DAFTAR PUSATAKA Arifin, Bustanul, Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, sebuah kenangan 65 tahun Prof.Dr. H. Bustanul Arifin, SH, (Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Hakim Peradilan Agama, 1994). Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Mahmakah Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, 2004. Aulawi, A. Wasit , Sejarah Perkembangan Hukum Islam, dalam Bustanul Arifin, Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, sebuah kenangan 65 tahun Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, SH, (Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Hakim Peradilan Agama, 1994). Chand, Hari, Modern Jurisprudence, (Kuala Limpur: International Law Book Services, 1994). Cotterell, Roger, The Sociology of Law: An Introduction, London: Butterworths, 1992 d'Entreves, A.P., Natural Law - An Introduction to Legal Philosophy, (London: Hutchinson & Co, 1970). Friedman, W., Legal Theory, Fifth Edition, (New York: Columbia University Press, 1967). Hoesein, Zainal Arifin, Yudicial Review di Mahkamah Agung, Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009. Ka‟bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia – Perspektif Muhammadiyah dan NU (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999). Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, translated by: Anders Wedberg, (New York; Russell & Russell, 1961. Koesnoe, Moh. Pokok Permasalahan Hukum kita Dewasa ini, dalam Artidjo Alkotsar dan M. Sholeh Amin, Perkembangan Hukum Dalam Perspektif Hukum Nasional, LBH Yogjakarta dan Rajawali, Jakarta 1989. Lev, Daniel S., Hukum dan Politik di Indonesia -Kesinambungan dan Perubahan (Jakarta: LP3ES, 1990). Manan, Bagir, Menegakkan Hukum Suatu Pencarian, Cetakan Pertama, Jakarta: Asosiasi Advokat Indonesia, 2009. Martosoewignjo, Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Ed. Kedua, Jakarta: CV Rajawali, 1981. Noer, Deliar, Partisipasi Dalam Pembangunan, Kuala Lumpur: Angkatan Belia Islam Malaysia, 1977. N. Schiff, David, Hukum Sebagai Suatu Fenomena Sosial, dalam Adam Podgorecki dan Christopher J. Welan(editor), Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, terj. dari Sociological Approaches To Law, Jakarta: Bina Aksara, 1999. Pound, Roscoe, An Introduction to the Philosophy of Law - with a new introduction by Marshal L. De Rosa, New Brunswick (USA) and London (UK), 1999 - Originally published in 1922 by Yale University Press. Rasjidi, Lili dan IB Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Cet. Pertama (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1993. Rawl, John, Teori Keadilan, Dasar-DasarFilsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, terjemahan A Theory of Justice, Cumbridge, Massachusett: Harvard University Press, 1995. Seno Adji, Oemar, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta : Erlangga, 1980. Soepomo, R., Sejarah Politik Hukum Adat, Jilid I (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982). 564
Pancasila Sebagai Perekat Kemajemukan Bangsa
Zaina l Arifin Hoesein
Strong, CF. , Modern Political Constitutions - An Introduction to the Comparative Study of their History and Existing Forms, 8th revised and enlarged edition London: Sidgwick & Jackson Limited, 1972. Sunny, Ismail, Konstitusionalisme Indonesia - Prinsip-prinsip Dasar dan Perdebatan Kontemporer, makalah yang disampaikan pada seminar sehari Tiga Dasa Warsa Kembali ke UUD 1945 oleh Pusat Studi Hukum Tata Negara - Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tanggal 3 Juli 1989, hal. 1. Ter Haar, B., dalam, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, terj. Begisnselen en Stelsel van het Adatrecht, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987). Thalib, Sayuti, Politik Hukum Baru - Mengenai Kedudukan dan Peranan Hukum Adat dan Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional, Cet.Pertama (Bandung : Binacipta, 1987), hal. 63. van Vollenhoven, C0rnellis, dalam, Penemuan Hukum Adat, terj. De ontdekking het adatrecht, (Jakarta: PT. Djambatan, 1987) dan Het Adatrecht van Nederlands Indie I, (Leiden, E.J. Brill, 1933). Yamin, Moh., Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,(Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959).
565
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 555 - 566
566
PERAN EMPAT PILAR KEBANGSAAN DALAM MEMBENTUK KARAKTER INDIVIDUAL DALAM KESEIMBANGAN BERUSAHA Oleh : Hj. Azizah Fakultas Hukum Universitas Islam OKI (Uniski) Kayuagung Sumsel Email:
[email protected] Abstrak Empat pilar kebangsaan sangat perlu dipahami, dikaji dan diterapkan sebagai etika bermasyarakat dan bernegara. Dalam kaitannya dengan keseimbangan berusaha, peran empat pilar menjadi basis utama dalam membentuk karakter individual pelaku usaha, keseimbangan ini bermuara pada keadilan bagi masyarakat dan pelaku usaha. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat juga mengatur tentang keseimbangan. Namun makna keseimbangan yang berbasis empat pilar perlu diteliti lebih lanjut dan dikembangkan, sehingga keseimbangan antara pelaku usaha yang berbasis moral dan karakter individual dapat terwujud. Kata Kunci: Empat Pilar Kebangsaan, etika individual, keseimbangan Abstract The four pillars of nationality so it should be understood, assessed and applied as a society and a state ethics. In relation to the balance sought, the role of the four pillars become the main base in shaping the character of individual businesses, this balance leads to justice for communities and businesses. Law No. 5 of 1999 on the Prohibition of the Antimonopoly and unfair competition also regulates the balance. But the meaning is based on four pillars balance needs to be further investigated and developed, so that the balance between businesses that based on moral and individual character can be realized. Keywords: Four Pillars of Nationality, Ethical Individual, Balance A. Latar Belakang Empat pilar (Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika) merupakan pilar dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara bagi rakyat Indonesia. Sehingga diperlukan landasan riil dan konkrit yang dapat dimanfaatkan dalam persaingan menghadapi globalisasi. Untuk itulah perlu difahami secara memadai makna empat pilar tersebut, sehingga dapat memberikan penilaian secara tepat, arif dan bijaksana terhadap empat pilar dimaksud, dan dapat menempatkan secara akurat dan proporsional dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Nilai-nilai pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia, pada hakikatnya merupakan suatu sumber dari segala sumber hukum dalam negara Indonesia. Sebagai suatu sumber dari segala sumber hukum secara objektif merupakan suatu pandangan hidup, kesadaran, cita hukum serta cita moral yang luhur yang meliputi suasana kejiwaan serta watak bangsa Indonesia, yang pada tanggal 18 Agustus 1945 telah dipadatkan dan diabstraksikan oleh para pendiri negara menjadi lima sila dan ditetapkan secara yuridis formal menjadi dasar falsafah negara Indonesia.1 Lima nilai dimaksud dapat mengeja1
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2010, hal. 77.
567
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 567 - 576
wantah dalam salah satu sisi kegiatan perekonomian. Kegiatan ekonomi merupakan aktifitas yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia, bahkan kegiatan ekonomi telah ada sejak manusia mengenal kebudayaan. Kegiatan ekonomi merupakan salah satu pilar penting dalam dinamika kehidupan manusia, karena manusia selalu mempunyai kebutuhan hidup baik primer, sekunder maupun tertier, sehingga semakin kompleks kebutuhan manusia akan semakin meningkat pula kegiatan ekonominya. Dalam kegiatan ekonomi, tidak terlepas dari terjadinya persaingan antara pelaku usaha, hal mana merupakan persyaratan bagi terselenggaranya ekonomi pasar, terlebih lagi dalam era global yang menuntut sistem ekonomi pasar bebas, sehingga persaingan antar pelaku usaha akan lebih terbuka. Adakalanya persaingan usaha tersebut merupakan persaingan yang sehat (fair competition), namun dapat juga terjadi pelaku usaha demi untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya melakukan persaingan tidak sehat (unfair competition). Untuk mencegah timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat, maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur secara jelas dan terstruktur tentang perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang dan posisi dominan. Sehubungan dengan 3 (tiga) hal tersebut, maka secara substansial berpotensi membuka peluang besar untuk terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat, apalagi sebagian besar transaksi bisnis memang berdasarkan perjanjian antara pelaku usaha. Terdapat beberapa contoh kasus terkait yang berhubungan dengan monopoli dan persaingan usaha di Indonesia yang diputus oleh KPPU. Misalnya: Putusan Perkara Nomor 03/ KPPU-L-I/2000 tentang Retail Indomaret, dalam hal ini PT. Indomarco Prismatama dalam menjalankan usahanya berupa pendirian minimarket bernama Indomaret telah mengakibatkan tersingkirnya warung tradisional di sekitar lokasi dimana minimarket Indomaret berada. Oleh karena itu, keberadaan Indomaret harus ditinjau kembali. Dalam pandangan Majelis Komisi, PT. Indomarco Prismatama dipandang telah mengabaikan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5/1999 tentang Asas dan Tujuan, yaitu bah568
wa PT. Indomarco Prismatama dalam menjalankan kegiatan usahanya kurang memperhatikan asas demokrasi ekonomi dan kurang memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dengan kepentingan umum. Oleh karena itu, perlu dipahami tentang empat pilar dalam kaitan penerapannya dengan keseimbangan berusaha dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Hal ini harus mendasari karakter masyarakat dalam kehidupan perekonomian, yakni dalam hal kesempatan dan keseimbangan berusaha. Berangkat dari latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: a. Bagaimana peran empat pilar kebangsaan dalam membentuk karakter keseimbangan dalam berusaha? b. Bagaimana perspektif penerapan empat pilar kebangsaan dalam kaitannya dengan etika individual pelaku usaha? B. Pembahasan 1. Nilai Idiil dan Riil yang Mendasari Pemaknaan Keseimbangan Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia, pada hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis. Oleh karena itu sebagai suatu dasar filsafat, maka silai-sila pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat, hirarkhis dan sistematis. Dalam pengertian ini lah, maka sila-sila pancasila merupakan suatu sistem filsafat. Dikarenakan merupakan suatu sistem filsafat, maka kelima sila bukan dimaknai terpisah dan memiliki makna sendiri-sendiri, melainkan memiliki esensi makna yang utuh.2 Dengan kata lain, Pancasila tersusun secara hirarkhis3 dan berbentuk piramidal.4 2
Kaelan, Ibid., hal. 75. Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma Yogyakarta, 2010, hal. 10. 4 Kaelan dalam Ibid., hal.10-11, bahwa pengertian piramidal di sini digunakan untuk menggambarkan hubungan hirarkhi sila-sila dari pancasila dalam urut-urutan luas dan juga dalam hal sifatnya. Kalau dilihat dari intinya, uruturutan lima sila menunjukkan suatu rangkaian tingkat dalam luas dan isi sifatnya, merupakan pengkhususan dari sila-sila yang di mukanya. Jika urut-urutan lima sila dianggap demikian, maka diantara lima sila ada hubungan yang mengikat yang satu kepada yang lainnya, sehingga 3
Peran Empat Pilar Kebangsaan Dalam …
Secara kausalitas, nilai-nilai pancasila bersifat objektif dan subjektif. Artinya, esensi nilainilai pancasila adalah bersifat universal, yaitu ke-Tuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Nilai-nilai pancasila yang bersifat objektif, yakni: a. Rumusan dari sila-sila pancasila itu sendiri sebenarnya hakikat maknanya yang terdalam menunjukkan adanya sifat-sifat yang umum universal dan abstrak, karena merupakan suatu nilai. b. Inti dari nilai-nilai pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehidupan bangsa Indonesia. c. Pancasila yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, menurut ilmu hukum memenuhi syarat sebagai pokok kaidah yang fundamental, sehingga merupakan suatu sumber hukum positif di Indonesia. Oleh karena itu, dlam hirarkhi suatu tertib hukum Indonesia, pancasila berkedudukan sebagai tertib hukum yang tertinggi.5 Nilai-nilai subjektif Pancasila dapat diartikan bahwa keberadaan nilai-nilai pancasila melekat pada bangsa Indonesia sendiri, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Nilai-nilai pancasila timbul dari bangsa Indonesia, sehingga bangsa Indonesia sebagai kausa materialis. Nilai-nilai tersebut sebagai hasil pemikiran, penilaian kritis serta hasil refleksi filosofis bangsa Indonesia. b. Nilai-nilai pancasila merupakan filsafat bangsa Indonesia, sehingga merupakan jati diri bagi bangsa Indonesia, yang diyakini sebagai sumber nilai atas kebenaran, kebaikan, keadilan dan kebijaksanaan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. c. Menurut Darji Darmodihardjo, Nilai-nilai pancasila di dalamnya terkandung tuPancasila merpakan suatu kesatuan keseluruhan yang bulat. Dalam susunan hirarkhis dn piramidal, maka Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis Kemanusiaan, Persatuan Indonesia, Kerakyatan dan Keadilan sosial. Dengan demikian, dimungkinkan penyesuaian dengan keperluan dan kepentingan keadaan, tempat dan waktu, artinya sesuai dengan keperluan dan kepentingan keadaan, tempat dan waktunya. 5 Kaelan, Op-Cit., hal. 76.
Hj. Azizah
juh nilai-nilai kerokhanian, yakni nilai kebenaran, keadilan, kebaikan, kebijaksanaan, etis, estetis dan nilai religius, yang manifestasinya sesuai dengan budi nurani bangsa Indonesia, hal ini dikarenakan bersumber pada kepribadian bangsa.6 Jika dikaji lebih lanjut tentang makna keseimbangan, maka dapat dikatakan bahwa keseimbangan menuju dan bermuara pada keadilan. Landasan idiil yakni pancasila yang mendasari keseimbangan berusaha, harus dimaknai sebagai satu kesatuan dari semua sila dari pancasila yang menjadi basis asas keseimbangan. Secara konstitusional mengenai penegasan kebijakan ekonomi di Indonesia pasca perubahan ke-empat UUD 1945 tahun 2002 dalam Bab XIV ditegaskan bahwa yang semula hanya berjudul ”Kesejahteraan Sosial” menjadi ”Perekonomian Nasional Dan Kesejahteraan Sosial”. Sebenarnya sebelum perubahan ke-empat pada tahun 2002, UUD 1945 sudah merupakan konstitusional ekonomi (the Constitution of economic policy atau Economis constitution) disamping fungsinya sebagai konstitusi politik (political constitution). Pasal 33 dan pasal 34 telah menyebankan UUD 1945 disebut sebagai konstitusi yang berfungsi sebagai sumber nilai dan norma serta referensi tertinggi dalam rangka kebijakan pemerintah dan pembangunan di bidang ekonomi. Ketentuan Pasal 33 dan Pasal 34 yang sebelumnya hanya berisi empat butir ketentuan dengan rumusan yang samar-samar dan bersifat multi-interpretasi, sekarang sejak perubahan keempat pada 2002 Pasal 33 tersebut dilengkapi. Oleh karena itu, semua kebijakan-kebijakan ekonomi yang dikembangkan haruslah mengacu dan/atau tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam UUD 1945. Sekarang masalahnya bukan lagi persoalan setuju atau tidak setuju dengan ketentuan konstitusional semacam ini. UUD 1945 sebagai hukum tertinggi merupakan kesepakatan kewarganegaraan dan konsensus kebangsaan yang tertinggi yang harus dijadikan pegangan bersama dalam segenap aktivitas penyelenggaraan negara. Jika kesepakatan ini dilanggar, kebijakan yang melang6
Kaelan, Ibid., hal. 77.
569
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 567 - 576
gar dapat dibatalkan melalui proses peradilan.7 Secara normatif, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 sering dipahami sebagai sistem ekonomi yang layak dipakai oleh bangsa Indonesia. Pada Pasal 33 Ayat (1), misalnya menyebutkan bahwa perekonomian nasional disusun sebagi usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Asas ini dapat dipandang sebagai asas bersama (kolektif) yang bermakna dalam konteks sekarang, yaitu persaudaraan, humanisme dan kemanusiaan. Dengan demikian, ekonomi tidak dipandang sebagai wujud sistem persaingan liberal ala barat, tetapi ada nuansa moral dan kebersamaannya, sebagai refleksi dari tanggung jawab sosial.8 Pasal ini pun menurut Didik J. Rachbini dianggap sebagai dasar ekonomi kerakyatan.9 Berkaitan dengan ketentuan Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945, M. Dawam Rahardjo, berpendapat bahwa negara mempunyai peranan dalam perekonomian. Peranan yang dimaksud, yaitu peranan sebagai regulator dan sebagai aktor. Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, menekankan bahwa peranan negara sebagai aktor yang berupa Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sedangkan peranan negara sebagai regulator tidak dijelaskan dalam rumusan yang ada, kecuali jika istilah “dikuasai” diinterpretasikan sebagai “diatur”. Namun, yang diatur di sini adalah sumber daya alam yang dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Hal yang kontroversial muncul dalam ketentuan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Ketentuan ini seharusnya menekankan dipakainya asas “pasar” atau “pasar yang berkeadilan”.10 Hatta berpendapat bahwa ketentuan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 tersebut menganut prinsip demokrasi ekonomi yang bertujuan mewujudkan kemakmuran rakyat dan bukan kemakmuran individu sebagaimana yang diperbolehkan dalam sistem ekonomi kapitalis. Dengan demikian, Hatta mengidentikkan demokrasi eko7
Jimly Asshiddiqie, Green Constitution. Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hal. 83. 8 Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, Mas media Buana Pustaka, Sidoarjo, 2009, hal. 38. 9 Didik J. Rachbini dalam Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Ibid. 10 M. Dawam Rahardjo, dalam Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Ibid., hal. 38-39.
570
nomi dengan kemakmuran rakyat. Dengan kata lain, demokrasi ekonomi sama dengan tidak adanya kesenjangan ekonomi atau terwujudnya keadilan ekonomi dalam masyarakat.11 Mubyarto berpendapat bahwa ketentuan Pasal 33 UUD 1945 merupakan pengejawantahan pengertian demokrasi ekonomi yang mampu memberikan pembagian kerja, pendapatan dan kekayaan yang adil dalam masyarakat, dan hal ini hanya bisa dijamin jika semua masyarakat menyadarinya. Di lain sisi, semua orang mempunyai hak yang sama, yaitu yang diperlukan bagi kehidupan manusia yang penuh, berari dan mandiri. Hak yang sama bagi semua orang, meskipun mempunyai kekayaan atau modal yang berbeda.12 Dalam hubungan dengan sistem ekonomi, dapat disimpulkan bahwa sistem ekonomi Pancasila merupakan sistem ekonomi yang mampu menjamin keadilan ekonomi dan sekaligus menjamin pembagian (distribusi) yang adil setelah setiap proses produksi terselesaikan. Adanya tiga bangun usaha dalam perekonomian, tidaklah menghambat suatu perwujudan keadilan ekonomi dan keadilan sosial.13 Menurut Mubyarto, ciri-ciri sistem ekonomi pancasila, adalah: 1. Roda kegiatan ekonomi digerakkan oleh rangsangan-rangsangan ekonomi, sosial dan moral. 2. Ada tekad kuat seluruh bangsa Indonesia untuk mewujudkan kemerataan sosial. 3. Ada nasionalisme ekonomi. 4. Koperasi merupakan sokoguru ekonomi nasional. 5. Ada keseimbangan yang selaras, serasi dan seimbang dari perencanaan ekonomi dengan pelaksanaannya di daerah-daerah.14 Bertolak dari uraian tentang asas demokrasi di atas, maka dapat dipahami bahwa setiap warga negara diberi kesempatan yang sama untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan 11
Zulfikri Suleman, Demokrasi Untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010, hal. 216. 12 Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1987, hal. 34. 13 Mubyarto, Ibid., hal. 36. 14 Mubyarto, dalam Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Op-Cit., hal. 40.
Peran Empat Pilar Kebangsaan Dalam …
pemasaran barang dan atau jasa, sehingga dapat aktif dalam percepatan pertumbuhan ekonomi melalui persaingan usaha yang sehat, efektif dan efisien dengan tanpa pembedaan perlakuan terhadap pelaku usaha. Di dalam konsideran menimbang huruf (a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terdapat kata ”bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”. Makna yang didapat dari konsideran menimbang ini, bahwa untuk mencapai keserasian, pemerintah merumuskan peraturan tentang larangan monopoli dan persaingan tidak sehat terhadap rakyat atau pelaku usaha kedalam bentuk undang-undang. Adanya undang-undang ini diperuntukkan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap pelaku usaha, seperti makna yang tertera dalam konsideran menimbang huruf (c) yaitu: ”bahwa setiap setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar”. Makna yang didapat dari konsideran menimbang huruf (a) dan (c) tersebut, berupa perlindungan hukum yang diberikan terhadap masyarakat khususnya pelaku usaha. Menurut Rudolf von Jhering, hak adalah sesuatu yang penting bagi seseorang, hak diakui dan dilindungi oleh hukum. Oleh karena itu, hak adalah kepentingan yang terlindungi, memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan yang berhak.15 Sedangkan Von Savigny dan Berhnhard Winchheid menyatakan bahwa ”hak adalah suatu kehendak yang dilengkapi dengan kekuatan. Atas dasar kekuatan ini, maka seseorang berhak atas sesuatu”.16 Kewajiban adalah perbuatan yang seseorang harus melakukannya; perbuatan yang bertentangan dengan hal tersebut adalah kesalahan. Menyuruh melakukan suatu kewajiban pada seseorang, berarti mengklaim bahwa orang tersebut harus melakukan suatu perbuatan tertentu.17 Kewajiban dalam hal ini terdiri dari dua bentuk, yaitu kewajiban atas moral dan kewajiban atas hukum yang dapat dilakukan bersamaan atau berbeda. A.K. Sarkar berpendapat memberikan 15
Lily Rasjidi, Filsafat Hukum, Alumni, Bandung, 1988, hal. 83. 16 Ibid. 17 Ibid., hal. 82.
Hj. Azizah
contoh: ”Adulterated milk may not be sold whether knowingly or otherwise it is a legal duty. But surely it is not a moral duty if the selling takes place without the owner knowing that it is adulterated”.18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 secara tegas tidak mengatur tentang hak dan kewajiban dari pelaku usaha dan negara. Dari penjelasan undang-undang ini terlihat bahwa undang-undang ini terlahir untuk menanggulangi adanya perkembangan usaha swasta yang dalam kenyataannya menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat serta pasar cendrung terdistorsi. Oleh karena itu, negara berkewajiban melindungi pelaku usaha agar memperoleh kesempatan berusaha secara sehat dengan prinsip keseimbangan. Sebaliknya hak pelaku usaha berupa kepentingan untuk berusaha didalam wilayah negara Republik Indonesia yang diatur oleh hukum, hak disini terlindungi oleh kekuatan kebijakan pemerintah dalam bentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Sebaliknya, pelaku usaha berkewajiban untuk menjaga agar dalam menjalankan hak untuk berusaha tersebut tidak menimbulkan persaingan antar pelaku usaha. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa “pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum”. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, diuraikan bahwa undang-undang ini disusun berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum dengan tujuan untuk menjaga kepentingan umum dan melindungi konsumen, menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya persaingan usaha yang sehat, dan menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang, mencegah praktek-praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha, serta menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan 18
A.K. Sarkar dalam Lily Rasjidi, Ibid., hal 83.
571
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 567 - 576
kesejahteraan rakyat. Di dalam konsideran menimbang huruf (a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terdapat kata ”bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”. Makna yang didapat dari konsideran menimbang ini, bahwa untuk mencapai keserasian, pemerintah merumuskan peraturan tentang larangan monopoli dan persaingan tidak sehat terhadap rakyat atau pelaku usaha kedalam bentuk undang-undang. Adanya undang-undang ini diperuntukkan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap pelaku usaha, seperti makna yang tertera dalam konsideran menimbang huruf (c) yaitu: ”bahwa setiap setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar”. Makna yang didapat dari konsideran menimbang huruf (a) dan (c) tersebut, berupa perlindungan hukum yang diberikan terhadap masyarakat khususnya pelaku usaha. Kewajiban adalah perbuatan yang seseorang harus melakukannya; perbuatan yang bertentangan dengan hal tersebut adalah kesalahan. Menyuruh melakukan suatu kewajiban pada seseorang, berarti mengklaim bahwa orang tersebut harus melakukan suatu perbuatan tertentu.19 Kewajiban dalam hal ini terdiri dari dua bentuk, yaitu kewajiban atas moral dan kewajiban atas hukum yang dapat dilakukan bersamaan atau berbeda. A.K. Sarkar berpendapat memberikan contoh: ”Adulterated milk may not be sold whether knowingly or otherwise it is a legal duty. But surely it is not a moral duty if the selling takes place without the owner knowing that it is adulterated”.20 Terdapat beberapa contoh kasus terkait yang berhubungan dengan monopoli dan persaingan usaha di Indonesia yang diputus oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Misalnya: Putusan perkara nomor 08/KPP-1/ 2005; Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan nomor 01/KPPU2006/PN. Jak-Sel; Putusan Mahkamah Agung Nomor 03 K/KPPU/2006 tentang Penyediaan Jasa Survei Gula Impor, bahwa PT. Surveyor Indonesia (Persero) dan PT Superintending Company of Indonesia (Persero) telah bersepakat atau mengikatkan diri dalam 19 20
Ibid., hal. 82. A.K. Sarkar dalam Lily Rasjidi, Ibid., hal 83.
572
suatu Memorandum of Understanding membentuk KSO untuk pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis impor gula. putusan perkara Nomor 10/KPPU-L/2005 tentang Kartel Perdagangan Garam ke Sumatera Utara; Putusan KPPU Nomor 25/KPPU-L/2009; Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 02/KPPU/ 2010/PN-Jak-Pus; Putusan Mahkamah Agung Nomor 613K/PDT.SUS/2011 Penetapan Harga Fuel Surcharge. Berkaitan dengan hal ini, Rawls dalam teori keadilan distributif menyatakan bahwa, pasar memberi kebebasan dan peluang yang sama bagi semua pelaku ekonomi. Kebebasan adalah nilai dan salah satu hak asasi paling penting yang dimiliki oleh manusia, dan ini dijamin oleh sistem ekonomi pasar. Pasar memberi peluang bagi penentuan diri manusia sebagai makhluk yang bebas, Ekonomi pasar menjamin kebebasan yang sama dan kesempatan yang fair.21 Oleh karena itu, keterkaitan faktor idiil dan riil dalam pemaknaan keseimbangan tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, faktor idiil telah mendasari pengaturan keseimbangan dalam berusaha, dan faktor riil dapat terlihat dari beberapa putusan KPPU dalam hal pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. 2. Peran Empat Pilar Kebangsaan dalam Membentuk Karakter Keseimbangan dalam Berusaha Karakter adalah nilai-nilai yang khas-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpateri dalam diri dan terjawantahkan dalam perilaku. Karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah raga, serta olah rasa dan karsa seseorang atau sekelompok orang. Karakter merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan. Karakter bangsa adalah kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang khas-baik yang tecermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, 21
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia: Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 13.
Peran Empat Pilar Kebangsaan Dalam …
dan perilaku berbangsa dan bernegara sebagai hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau sekelompok orang. Karakter bangsa Indonesia akan menentukan perilaku kolektif kebangsaan Indonesia yang khas-baik yang tecermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara Indonesia yang berdasarkan nilainilai Pancasila, norma UUD 1945, keberagaman dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen terhadap NKRI. Pembangunan Karakter Bangsa adalah upaya kolektif-sistemik suatu negara kebangsaan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan dasar dan ideologi, konstitusi, haluan negara, serta potensi kolektifnya dalam konteks kehidupan nasional, regional, dan global yang berkeadaban untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis, berbudaya, dan berorientasi Ipteks berdasarkan Pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pembangunan karakter bangsa dilakukan secara koheren melalui proses sosialisasi, pendidikan dan pembelajaran, pemberdayaan, pembudayaan, dan kerja sama seluruh komponen bangsa dan negara. Berikut ini merupakan beberapa sikap yang mencerminkan karakter bangsa, diantaranya: a. Saling menghormati dan menghargai; b. Rasa kebersamaan dan tolong menolong; c. Rasa kesatuan dan persatuan; d. Rasa peduli dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; e. Adanya moral dan akhlak yang dilandasi nilai-nilai agama; f. Perilaku dan sifat-sifat kejiwaan serta saling menghormati; g. Tingkah laku menggambarkan nilai-nilai agama, hukum dan budaya; h. Sikap dan perilaku yang menggambarkan nilai-nilai kebangsaan dan sebagainya. Selain itu pula, untuk membangun karakter bangsa diperlukan sikap menjunjung tinggi beberapa nilai, seperti: a. Nilai kejuangan; b. Nilai semangat;
Hj. Azizah
c. d. e. f. g. h.
Nilai kebersamaam atau gotong royong; Nilai kepedulian; Nilai sopan santun; Nilai persatuan dan kesatuan; Nilai kekeluargaan; Nilai tanggung jawab. Sedangkan faktor membangun karakter bangsa, diantaranya agama; peraturan; idiologi; kepemimpinan; lingkungan; politik; ekonomi dan sosial budaya.22 Dalam kaitannya dengan karakter keseimbangan berusaha, maka basis empat pilar wajib dimiliki oleh pelaku usaha agar dapat menimbulkan karakter berusaha yang berbasis keseimbangan yang bermuara pada keadilan. 3. Perspektif Penerapan Empat Pilar Kebangsaan dalam Kaitannya dengan Etika Individual Pelaku Usaha Istilah “etika” berasal dari bahasa latin “ethic”, yang berarti kebiasaan, habit, custom. Dalam pengertian aslinya, apa yang disebutkan “baik”, adalah yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat (pada masanya). Lambat laun pengertian etika berubah, yaitu sebagai suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, manayang dapat dinilai baik dan mana yang buruk (ethics, the study and philosophy of human conduct, with emphasis on the detemination of right and wrong; one of the normative sciences). Etika23 sebagai suatu ilmu yang normatif, dengan sendirinya berisi norma dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahap ini, kita dapat memaknai istilah etika sebagai nilai-nilai yang filosofis.24 Etika sebagai suatu ilmu, merupakan salah satu cabang dari filsafat. Sifatnya praktis, normatif dan fungsional, sehingga dengan demikian merupakan suatu ilmu yang langsung berguna 22
Bimo Seno, 4 Pilar NKRI, http://makalahtugasmu.blog spot.co.id/2015/09/makalah-4-pilar-nkri.html, diakses 21 Maret 2017. 23 Menurut Kamus Bahasa Indonesia, etika adalah: pertama, ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), kedua: kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, ketiga: nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. 24 Burhanuddin Salam, Etika Individual; Pola Dasar Filsafat Moral, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal. 3-4.
573
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 567 - 576
dalam pergaulan hidup sehari-hari. Dalam hubungannya dengan sikap, menurut psikologi, hal ini dibentuk oleh pengaruh: a. Kebiasaan b. Pendidikan c. Agama d. Kesadaran. Suatu kebiasaan yang sudah terpola, dibentuk oleh lingkungan di sekitarnya, oleh kebutuhan ataupun oleh kehendak meniru, kepatuhan untuk mengikuti, biasanya sukar untuk dilakukan perubahan, hal ini dikarenakan kebiasaan ini telah menghilangkan pengaruh dari kewibawaan diri sendiri. Pada prinsipnya, pendidikan akan membawa dan membina mental seseorang untuk semakin baik, dalam arti bahwa menjadikan seseorang itu lebih cerdas, lebih bermoral, tegasnya lebih maju dari sebelum menerima pendidikan. Pendidikan yang baik tercermin pada sikap, cara berfikir, cara berbicara. Pendidikan sebenarnya tidak hanya menata pakaian lahir, tetapi terutama pakaian jiwa (budi pekerti). Merupakan hal yang keliru jika orang hanya mementingkan pendidikan lahir saja tanpa membentuk budi pekerti. Ajaran agama dapat diperoleh dengan jalan mempelajari pendidikan agama itu sendiri. Pengaruh agama (misalnya agama Islam), dengan sendirinya akan membina dua sektor pada diri seseorang, yaitu: a. Membina budi pekerti. b. Membina otak. Hal mana dikarenakan orang yang beragama menurut ajaran agama Islam adalah orang yang mementingkan rohaniah, harus tinggi budi pekertinya dan menggunakan otaknya untuk kecerdasan berfikir. Terhadap orang yang sama sekali tidak pernah mendapatkan didikan dan ajaran agama ataupun tidak pernah mempelajari agama itu sendiri, maka langkah-langkah dan kebiasaan hidupnya dengan sendirinya tidak dilandasi oleh ajaran agamanya. Kesadaran jiwa timbul sebagai akibat atau hasil dari pengalaman, pertimbangan akal atau fikir dan dikuatkan oleh kemauan. Seseorang yang selalu ingin memeriksa dirinya, mengoreksi dan menyeleksi perbuatannya, maka akan memiliki kesadaran jiwa yang peka. Kesadaran 574
jiwa dalam hal ini dapat disertai dengan kemauan untuk merombak dan mengubah semua perilaku25 yang dalam hal ini kedudukan seseorang tersebut sebagai makhluk yang berfikir.26 Etika juga dapat diartikan sebagai nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya: jika orang berbicara tentang etika suku-suku indian, etika agama Budha, etika agama Protestan. Dalam hal ini, nilai berfungsi dalam hidup manusia perseorangan maupun pada taraf sosial.27 Menurut Hans Jonas (filsuf Jerman-Amerika), nilai adalah “the addresse of a yes”. Nilai selalu mempunyai konotasi positif. Sebaliknya, sesuatu yang kita jauhi, sesuatu yang membuat kita melarikan diri, sperti penderitaan, penyakit atau kematian, adalah lawan dari nilai (non nilai/disvalue). Nilai sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri, seperti berikut: a. Nilai berkaitan dengan subjek, dalam kaitannya dengan subjek sebagai penilai. b. Nilai tampil dalam konteks praktis, dimana subjek ingin membuat sesuatu. c. Nilai berkaitan dengan sifat-sifat yang “ditambah” oleh subjek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh objek.28 Dalam kaitannya dengan moral, maka setiap nilai dapat memperoleh suatu bobot moral, bila diikutsertakan dalam tingkah laku moral. Kejujuran misalnya, merupakan suatu nilai moral, tetapi kejujuran itu sendiri akan kosong dan tidak bermakna, jika tidak diterapkan pada nilai lain misalnya nilai kehidupan bermasyarakat, pemerintahan dan kepemimpinan. Nilai moral mempunyai ciri-ciri berikut: a. Berkaitan dengan tanggung jawab. b. Berkaitan dengan hati nurani. c. Mewajibkan. d. Bersifat formal.29 Dalam kaitannya dengan etika individual yang wajib dimiliki oleh pelaku usaha, maka diupayakan para pelaku usaha yang akan atau te25
Ibid., hal. 17-20. Soetriono dan Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, andi, yogyakarta, 1991, hal. 5. 27 K. Bertens, Etika, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hal. 6. 28 Ibid., hal. 139-141. 29 Ibid., hal. 143-147. 26
Peran Empat Pilar Kebangsaan Dalam …
Hj. Azizah
lah menjalankan kegiatan usaha di Indonesia tetap berperilaku dan berkarakter yang bermoral dan bersendikan empat pilar kebangsaan, sehingga dapat mencerminkan kecerdasan dalam berfikir dan berperilaku. C. Kesimpulan 1. Peran empat pilar kebangsaan (Pancasila; Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika) sangat diperlukan sebagai basis dalam membentuk ka-
rakter pelaku usaha. Berbekal karakter dimaksud, maka diharapkan dapat membentuk karakter yang bercirikan keseimbangan dalam berusaha. 2. Dalam kaitannya dengan Perspektif penerapan empat pilar kebangsaan, maka pelaku usaha di Indonesia diharapkan memiliki moral sebagai basis etika individual dalam berusaha dan tetap mengedepankan karakter, sehingga karakter keseimbangan yang bermuara pada keadilan akan terwujud.
DAFTAR PUSTAKA Buku Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, 2009, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, Mas media Buana Pustaka, Sidoarjo. Burhanuddin Salam, 2000, Etika Individual; Pola Dasar Filsafat Moral, Rineka Cipta, Jakarta. Herlien Budiono, 2006, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia: Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Jimly Asshiddiqie, 2009, Green Constitution. Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Rajawali Pers, Jakarta. Kaelan, 2010, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta. ............, 2010, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma, Yogyakarta. K. Bertens, 2007, Etika, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Lily Rasjidi, 1988, Filsafat Hukum, Alumni, Bandung. Mubyarto, 1987, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia, LP3ES, Jakarta. Soetriono dan Rita Hanafie, 1991, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, andi, Yogyakarta. Suleman, Zulfikri, 2010 Demokrasi Untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta. Artikel Internet Bimo Seno, 4 Pilar NKRI, http://makalahtugasmu.blogspot.co.id/2015/09/makalah-4-pilar-nkri. html.
575
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 567 - 576
576
SINERGITAS PRINSIP BHINEKA TUNGGAL IKA DENGAN PRINSIP PLURALISME HUKUM Oleh : Anak Agung Sagung Ngurah Indradewi
[email protected] Abstrak Prinsip Bhineka Tunggal Ika dapat diajdikan sebagai dasar dalam penghapusan diskriminasi terkait Suku Agama dan Ras (SARA). Secara mendalam Bhineka Tunggal Ika memiliki makna walaupun di Indonesia terdapat banyak suku, agama, ras, kesenian, adat, bahasa, dan lain sebagainya namun tetap satu kesatuan yang sebangsa dan setanah air. Pluralisme artinya beragam, beraneka macam, bermacam rupa dan beraneka ragam, sedangkan “isme” berarti paham, memahami atau pemahaman, jadi pluralisme adalah kesediaan untuk menerima kenyataan bahwa dalam masyarakat ada cara hidup beragama dan cara hidup berbudaya yang berbeda, serta kesediaan untuk hidup, bergaul dan bekerja bersama serta membangun negara bersama, singkatnya sikap positif terhadap kemajemukan. Bhineka Tunggal Ika bila direnumgkan secara mendalam dapat disimpulkan merupakan substansi dari pluralisme skala nasional. Bhineka berarti berbagai macam perbedaanperbedaan Tunggal Ika berarti bersatu dalam kesatuan, merupakan usaha antisipasi guna mengindari pertumbuhan fanatisme sempit (yaitu, fanatisme yang tidak dibarengi dengan pemahaman agama yang mendalam) yang berbuahkan kekerasan atas nama agama yang sering terjadi dan dilakukan oleh sejumlah kelompok, untuk itu pluralisme berusaha menetralisir atau meretas konflik sosial yang bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan). Seperti halnya pada pluralisme hukum yang berkembang walau berbeda disetiap daerah. Kata Kunci : Bhineka Tunggal Ika Pluralisme Hukum Abstract The principle of 'unity in diversity can diajdikan as a basis for the elimination of discrimination related Tribe Religion and Race (SARA). In depth national unity has meaning in Indonesia although there are a lot of ethnicity, religion, race, art, customs, language, and so forth, but remains a single entity and compatriots. Pluralism means variety, assortment, various shapes and diverse, while the "ism" means understanding, understanding or comprehension, so pluralism is the willingness to accept the fact that in society there are ways of religious life and a way of life culture is different, and a willingness to live, get along and work together and build the country together, in short a positive attitude toward pluralism. Unity in Diversity when direnumgkan in depth can be concluded is the substance of pluralism national scale. Bhineka means a wide range of differences Tunggal Ika means united in communion, is an effort of anticipation in order to avoid the growth of narrow fanaticism (ie, fanaticism which is not accompanied by the understanding of deep religious) are the fruit of violence in the name of religion that often happens and is done by a number of groups, for it sought to neutralize or hacking pluralism social conflicts SARA (Tribe, Religion, Race and Intergroup). As well as on developing legal pluralism though different in each area. Keywords: Unity in Diversity Legal Pluralism
577
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 577 - 582
A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah Bahwa ada masa ketika istilah Suku Agama dan Ras (SARA) demikian popular dalam hal ini ada masa dimana terjadi diskriminasi rasetnik di negeri ini. Dalam praktik, pemenuhan hak-hak sipil yang merupakan bagian masyarakat ditandai dengan keturunan Tionghoa, bahkan sampai detik inipun masih terjadi diskriminasi. Pembedaan perlakuan ketika mengurus dokumen paspor, dengan keharusan melampirkan Surat Bukti Kewarganegaraan, merupakan salah satu contoh praktik diskriminasi ras. Diskriminasi ras-etnik, khususnya terhadap orang-orang Indonesia suku Tionghoa sudah menjadi kisah panjang, termasuk dalam lingkup adanya orang Indonesia suku Tionghoa yang masuk ke dunia politik dalam hal ini banyak mengalami diskriminasi terkait SARA. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Prinsip Bhineka Tunggal Ika dapat dijadikan sebagai dasar dalam penghapusan diskriminasi terkait SARA. Secara mendalam Bhineka Tunggal Ika memiliki makna walaupun di Indonesia terdapat banyak suku, agama, ras, kesenian, adat, bahasa, dan lain sebagainya namun tetap satu kesatuan yang sebangsa dan setanah air. Dipersatukan dengan bendera, lagu kebangsaan, mata uang, bahasa dan lain-lain yang sama. Kata-kata Bhinneka Tunggal Ika juga terdapat pada lambang negara Republik Indonesia yaitu Burung Garuda Pancasila. Di kaki Burung Garuda Pancasila mencengkram sebuah pita yang bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika. Katakata tersebut dapat pula diartikan : Berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Bhineka Tunggal Ika dapat bersinergi de578
ngan Prinsip Legal Puralisme. Plularisme hukum adalah merupakan suatu kondisi yang terjadi di wilayah sosial mana pun, di mana seluruh tindakan komunitas di wilayah tersebut diatur oleh lebih dari satu tertib hukum.1 Konflik yang dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya dapat dinetralkan dengan memahami Prinsip Bhineka Tunggal Ika dan Prinsip Legal Puralisme. 2. Rumusan Masalah Bagaimana konsep Prinsip Bhineka Tunggal Ika bersinergi dengan Prinsip Legal Puralisme dalam penyelesaian diskriminasi Suku Agama dan Ras (SARA) ? B. Pembahasan Konsep Prinsip Bhineka Tunggal Ika bersinergi dengan Prinsip Legal Puralisme da-lam penyelesaian diskriminasi Suku Agama dan Ras (SARA) Bahwa walaupun bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang memiliki kebudayaan dan adat-istiadat yang beraneka ragam namun keseluruhannya merupakan suatu persatuan. Adanya keanekaragaman hukum di setiap suku ras kebudayaan dan adat-istiadat di Negara Indonesia membuktikan Prinsip Bhineka Tunggal Ika bersinergi dengan Prinsip Legal Pluralisme. Pluralisme berasal dari kata “Plural” yang artinya beragam, beraneka macam, bermacam rupa dan beraneka ragam, sedangkan “isme” berarti paham, memahami atau pemahaman, jadi pluralisme adalah kesediaan untuk menerima kenyataan bahwa dalam masyarakat ada cara hidup beragama dan cara hidup berbudaya yang berbeda, serta kesediaan untuk hidup, bergaul dan bekerja bersama serta membangun negara bersama, singkatnya sikap positif terhadap kemajemukan. Prinsip pluralisme hukum yaitu adanya sistem-sistem atau kultur hukum yang berbeda
1
Jhon Grifftiths, 2005, “Memahami plirarisme Hukum, Sebuah deskripsi konseptual” dalam plurarisme hukum Sebuah pendekatan Interdisipliner, penerjemahan Andri Akbar dkk, HUMA, Jakarta, hal 69-71.
Sinergitas Prinsip Bhineka Tunggal Ika Dengan …
dalam sebuah komunitas politik tunggal.2 Dalam lingkup Negara Kesatuan, “dimana masyarakat Indonesia telah menjadi kenyataan memiliki berbagai ragam hukum, baik disebut hukum adat, hukum lokal (sosial and cultural plurality), atau hukum kebiasaan yang ditandai sebagai hukum yang hidup dan bekerja dalam kenyataan empiris sesuai dengan perkembangan yang ada di dalam masing-masing lingkup masyarakat.3 Bahwa pada kultur hukum menekankan bahwa hukum tidak berlaku universal, setiap bangsa memiliki kesadaran hukum, kebiasaan, budaya yang berbeda dengan bangsa lain yang dapat ditemukan dalam jiwa bangsa. Hukum dapat dikenali dalam ciri khas sebuah bangsa, seperti bahasa, tata krama dan konstitusi. Hukum tumbuh melalui sebuah perkembangan dan menguat dengan kekuatan rakyat dan akhirnya lenyap sebagaimana kehilangan rasa kebangsaannya.”4 Penyeragaman hukum (unifikasi hukum) pada masyarakat yang majemuk/beragam seperti di Indonesia, akan menimbulkan ketidakadilan. Sama tidak adilnya dengan menerapkan hukum yang beragam (pluraisme hukum) pada masyarakat yang seragam. Keanekaragaman masyarakat Indonesia tersebut tercermin pada semboyan Negara yang terkenal, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya bermacam-macam tapi satu jua. Di Indonesia terdapat bermacammacam suku, ras, agama, kebudayaan,, hukum, dan lain-lain, namun merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipecah”.5 Pandangan ini secara jelas bersifat plural karena adanya bermacam-macam suku, ras, agama dan kebudayaan. Dengan adanya prinsip pluralisme hukum tersebut dapat dijadikan dasar suatu pemahaman bagi oknum-oknum individu masyarakat yang masih melakukan diskriminasi SARA, bahwasannya suatu hukum saja yang tidak berbentuk 2
Lawrence M. Friedman, 2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (A Legal Sistem A Sosial Science Perspective), diterjemahkan oleh M. Khozim, Nusa Media, Bandung, Hal 257. 3 Yanis Maladi, 2008, Pendaftaran Tanah Nasional Dan Kehidupan Hukum Masyarakat (Perspektif teori-teori Sosial), Mahkota Kata, Yogyakarta, Hal 77. 4 Ibid., 5 Muhamad Bakrie, 2008, Unifikasi dalam pluralismee hukum tanah di Indonesia, Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari, hal. 1.
A.A. Sagung Ngurah Indradewi
fisik bisa lahir dan berkembang beranekaragam di setiap daerah di Negara Indonesia dan dapat diterima dari sebelum Negara Indonesia lahir hingga sampai saat ini, maka jelas masyarakat minoritas yang serta merta telah ada sejak dahulu dari sebelum Negara Indonesia lahir hingga sampai saat ini merupakan bagian dari Negara Indonesia berhak secara konstitusi mendapat kesetaraan di segala aspek baik politik maupun hak-hak sipil. Bhinneka Tunggal Ika memiliki konsep sebagai landasan multikulturalisme. Multikulturalisme secara sederhana dapat dikatakan pengakuan atas pluralisme. Pluralisme bukanlah suatu yang given tetapi merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai didalam suatu komunitas.6 Makna Bhineka Tunggal Ika yaitu meskipun bangsa dan negara Indonesia terdiri atas beraneka ragam suku bangsa yang memiliki kebudayaan dan adat-istiadat yang bermacam-macam serta beraneka ragam kepulauan wilayah negara Indonesia namun keseluruhannya itu merupakan suatu persatuan yaitu bangsa dan negara Indonesia. Keanekaragaman tersebut bukanlah merupakan perbedaan yang bertentangan namun justru keanekaragaman itu bersatu dalam satu sintesa yang pada gilirannya justru memperkaya sifat dan makna persatuan bangsa dan negara Indonesia. Prinsip Bhineka Tunggal Ika dapat diajdikan sebagai dasar dalam penghapusan diskriminasi terkait Suku Agama dan Ras (SARA). Secara mendalam Bhineka Tunggal Ika memiliki makna walaupun di Indonesia terdapat banyak suku, agama, ras, kesenian, adat, bahasa, dan lain sebagainya namun tetap satu kesatuan yang sebangsa dan setanah air. Pluralisme artinya beragam, beraneka macam, bermacam rupa dan beraneka ragam, sedangkan “isme” berarti paham, memahami atau pemahaman, jadi pluralisme adalah kesediaan untuk menerima kenyataan bahwa dalam masyarakat ada cara hidup beragama dan cara hidup berbudaya yang berbeda, serta kesediaan untuk hidup, bergaul dan bekerja bersama serta membangun negara bersama, singkatnya sikap positif terhadap kemajemukan. Oleh karena itu pluralisme tak lebih hanya sebagai sikap saja bukanlah Relativisme (semua 6
H.A.R Tilaar, 2004, Kekuatan dan Pendidikan, Grasindo, Jakarta, hal 20.
579
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 577 - 582
agama sama) dimana seseorang harus komitmen yang kokoh terhadap agama yang dianutnya, tetapi jangan sampai terjebak kepada fanatisme sempit. Bhineka Tunggal Ika bila direnumgkan secara mendalam dapat disimpulkan merupakan substansi dari pluralisme skala nasional. Bhineka berarti berbagai macam perbedaan-perbedaan Tunggal Ika berarti bersatu dalam kesatuan, merupakan usaha antisipasi guna mengindari pertumbuhan fanatisme sempit (yaitu, fanatisme yang tidak dibarengi dengan pemahaman agama yang mendalam) yang berbuahkan kekerasan atas nama agama yang sering terjadi dan dilakukan oleh sejumlah kelompok, untuk itu pluralisme berusaha menetralisir atau meretas konflik sosial yang bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan), guna menciptakan perdamaian, kerukunan, kehidupan yang harmonis dan tidak memakai sistem yang hanya baik untuk suatu kelompok tetapi sistem yang juga akan membawa kebaikan untuk semua anggota masyarakat. Bhineka Tunggal Ika juga berusaha menciptakan legitimasi yang setara kepada semua agama (semua aliran dan idiologi) yang ada, agar dapat hidup berdampingan bersama secara damai, aman, penuh tenggang rasa, toleransi dan saling menghargai. Sejak awal berdirinya negara indonesia, para pendiri negara menghendaki persatuan di negara ini diwujudkan dengan menghargai terdapatnya perbedaan di dalamnya. Artinya bahwa upaya mewujudkan integrasi nasional Indonesia dilakukan dengan tetap memberi kesempatan kepada unsur-unsur perbedaan yang ada untuk dapat tumbuh dan berkembang secara bersama-sama yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. C. Penutup 1. Kesimpulan Bhineka Tunggal Ika dapat bersinergi dengan Prinsip Legal Puralisme dalam penyelesaian diskriminasi Suku Agama dan Ras (SARA). Prinsip pluralisme hukum yaitu adanya sistemsistem atau kultur hukum yang berbeda dalam sebuah komunitas politik tunggal. Dalam lingkup Negara Kesatuan, “dimana masyarakat In580
donesia telah menjadi kenyataan memiliki berbagai ragam hukum, baik disebut hukum adat, hukum lokal (sosial and cultural plurality), atau hukum kebiasaan yang ditandai sebagai hukum yang hidup dan bekerja dalam kenyataan empiris sesuai dengan perkembangan yang ada di dalam masing-masing lingkup masyarakat. Penyeragaman hukum (unifikasi hukum) pada masyarakat yang majemuk/ beragam seperti di Indonesia, akan menimbulkan ketidakadilan. Sama tidak adilnya dengan menerapkan hukum yang beragam (pluraisme hukum) pada masyarakat yang seragam. Keanekaragaman masyarakat Indonesia tersebut tercermin pada semboyan Negara yang terkenal, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya bermacam-macam tapi satu jua. Di Indonesia terdapat bermacam-macam suku, ras, agama, kebudayaan,, hukum, dan lainlain, namun merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipecah”. Pandangan ini secara jelas bersifat plural karena adanya bermacam-macam suku, ras, agama dan kebudayaan. Dengan adanya prinsip pluralisme hukum tersebut dapat dijadikan dasar suatu pemahaman bagi oknum-oknum individu masyarakat yang masih melakukan diskriminasi SARA, bahwasannya suatu hukum saja yang tidak berbentuk fisik bisa lahir dan berkembang beranekaragam disetiap daerah di Negara Indonesia dan dapat diterima dari sebelum Negara Indonesia lahir hingga sampai saat ini, maka jelas masyarakat minoritas yang serta merta telah ada sejak dahulu dari sebelum Negara Indonesia lahir hingga sampai saat ini merupakan bagian dari Negara Indonesia berhak secara konstitusi mendapat kesetaraan di segala aspek baik politik maupun hak-hak sipil. 2. Saran Sikap toleransi, saling hormat menghormati, mendudukkan masing-masing pihak sesuai dengan peran, harkat dan martabatnya secara tepat, tidak memandang remeh pada pihak lain, apalagi menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan bersama, merupakan syarat bagi lestarinya negara-bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Kerukunan hidup perlu dikembangkan dengan sebaik-baiknya, agar mewujudkan kedamaian dan rasa aman. Bila setiap warga negara memahami makna Bhinneka Tunggal Ika dan Pluralisme, maka diyakini akan ketepatannya bagi lan-
Sinergitas Prinsip Bhineka Tunggal Ika Dengan …
dasan kehidupan berbangsa dan bernegara yang multikulturalisme, serta mau dan mampu mengimplementasikan secara tepat dan benar, maka
A.A. Sagung Ngurah Indradewi
Negara Indonesia akan tetap kokoh dan bersatu selamanya. Seperti pepatah yang mengatakan bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.
DAFTAR PUSTAKA H.A.R Tilaar, 2004, Kekuatan dan Pendidikan, Grasindo, Jakarta. Jhon Grifftiths,2005, Memahami plirarisme Hukum, Sebuah deskripsi konseptual dalam plurarisme hukum Sebuah pendekatan Interdisipliner, penerjemahan Andri Akbar dkk, HUMA, Jakarta. Lawrence M. Friedman, 2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (A Legal Sistem A Sosial Science Perspective), diterjemahkan oleh M. Khozim , Nusa Media, Bandung. Muhamad Bakrie,2008, Unifikasi dalam pluralismee hukum tanah di Indonesia, Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari, Jakarta. Yanis Maladi, 2008, Pendaftaran Tanah Nasional Dan Kehidupan Hukum Masyarakat (Perspektif teori-teori Sosial), Mahkota Kata, Yogyakarta.
581
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 577 - 582
582
URGENSI SOSIALISASI EMPAT PILAR BAGI KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA Oleh: Hj. Fatria Khairo (Dosen Tetap STIH-Sumpah Pemuda) Abstrak Konsepsi Empat pilar kebangsan meliputi: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila. Empat Pilar kehidupan Berbangsa dan Bernegara dipandang sebagai sesuatu yang harus dipahami oleh para penyelenggara negara bersama seluruh masyarakat dan menjadi panduan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, menjalankan pemerintahan, menegakkan hukum, mengatur perekonomian negara, interaksi sosial kemasyarakatan , dan berbagai dimensi kehidupan bernegara dan berbangsa lainnya. Dengan pengamalan prinsip Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, diyakini oleh bangsa Indonesia akan mampu mewujudkan diri sebagai bangsa yang adil makmur, sejahtera dan bermartabat. Kata kunci : Empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara Abstract The four pillars of national conception include: Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945, the Unitary Republic of Indonesia, national unity and ideology. The four pillars of national and state are seen as something to be understood by the government with the whole community and to guide the life of the nation, running the government, upholding the law, regulate the country's economy, social interaction, community, and various dimensions of life and the nation more , With the adoption of the principle of Four Pillars of Life Nation and State, is believed by the people of Indonesia will be able to establish itself as a prosperous nation that is fair, prosperous and dignified. Keyword: The four pillars of the nation and state A. PENDAHULUAN Indonesia adalah satu negara yang memiliki potensi menjadi negara besar. Cita-cita kemerdekaan serta upaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur mengalami pasang surut yang luar biasa. Konsep-konsep baru dalam negara, baik konsep ekonomi, politik, tatanan negara, serta tatanan nilai-nilai kemasyarakatan yang tertuang dalam undang-undang dasar, telah tampil di permukaan, semuanya menunjukkan upaya pencapaian dan perbaikan dari masa sebelum reformasi bergulir. Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan republik Indonesia, para pendiri negara menyadari bahwa keberadaan masyarakat yang majemuk merupakan kekayaan bangsa In-
donesia yang harus diakui, diterima, dan dihormati, kemudian diwujudkan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Namun tanpa disadari, ketidakmampuan mengelola kemajemukan dan ketidaksiapan sebagian masyarakat menerima kemajemukan tersebut serta pengaruh berkelanjutan politik kolonial devide et impera telah mengakibatkan terjadinya berbagai gejolak yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Hal tersebut berpotensi melahirkan ketidakadilan, konflik vertikal antara pusat dan daerah maupun konflik horizontal antar berbagai unsur masysarakat, pertentangan, ideologi, agama, kemiskinan struktural, kesenjangan sosial dan lain-lain.Oleh 583
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 583 - 598
karena itu, bagi Negara Indonesia yang mempunyai heterogenitas demikian kompleks dengan potensi disintegrasi yang tinggi, mengharuskan setiap langkah dan kebijakannya diarahkan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan serta memperkukuh komitmen kebangsaan dengan memandang bahwa keanekaragaman ras, suku, agama dan bahasa daerah merupakan khasanah budaya yang justru dapat menjadi unsur pemersatu bangsa. Jadi, komitmen kebangsaan pada hakikatnya adalah usaha mningkatkan nasionalisme dan rasa kebangsaan sebagai satu bangsa yang bersatu dan berdaulat dalam wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia.1 B. PERMASALAHAN Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah: 1. Bagaimanakah Konsepsi Empat Pilar dalam Hidup berbangsa dan Bernegara ? 2. Bagaimanakah Urgensi Sosialisasi Empat Pilar bagi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara ? C. PEMBAHASAN 1. Konsepsi Empat Pilar dalam Hidup Berbangsa dan Bernegara Setiap bangsa harus memiliki suatu konsepsi dan konsensus bersama menyangkut halhal fundamental bagi keberlangsungan, keutuhan dan kejayaan bangsa. Dalam pidato di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 30 September 1960 yang memperkenalkan Pancasila kepada dunia, Presiden Soekarno mengingatkan pentingnya konsepsin dan cita-cita bagi suatu bangsa “arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita–cita. Jika mereka tak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya “Setiap bangsa memiliki konsepsi dan cita-citanya masing-masing sesuai dengan kondisi tantangan dan karakteristik bangsa yang bersangkutan. Pada hakikatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian sendiri. Kepri1
H. A. W. Widjaja, Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Pancasila Pada Perguruan Tinggi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 3.
584
badian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya dalam perekonomiannya dalam wataknya dan lain-lain sebagainya. Bangsa Indinesia memiliki suatu Konsep di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dikenal dengan Konsepsi empat Pilar. Pilar menurut Kamus Besar bahasa Insdonesia adalah tiang penguat, dasar, yang pokok, atau induk. Penyebutan empat pilar kehidupan berbangsa bernegara tidaklah dimaksudkan bahwa keempat pilar tersebut memiliki kedudukan yang sederajat. Setiap pilar memiliki tingkat fungsi dan konteks yang berbeda.2 Konsepsi Empat pilar kebangsan meliputi: Undang-Undang dasar negara republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan republiik Indonesia, Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila. Empat pilar dari konsepsi kenegaraan Indonesia tersebut merupakan prasayarat minimal, di samping pilar-pilar lain, bagi bangsa ini untuk bisa berdiri kukuh dan meraih kemajuan berlandaskan karakter kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Setiap penyelenggara negara dan segenap warga negara Indonesia harus memiliki keyakinan, bahwa itulah prinsip-prinsip moral keindonesiaan yang memandu tercapainya perikehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur :3 a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UUD 1945 adalah konstitusi negara sebagai landasan konstitusional bangsa Indonesia yang menjadi hukum dasar bagi setiap peraturan perundang-undangan di bawahnya. Oleh karena itu, dalam negara yang menagut paham konstitusional tidak ada dsatu pun perilaku penyelenggaraa negara dan masyarakat yang tidak berlandaskan konstitusi.4 Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara, Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang dasar, dan dapat pula tidak 2
Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 33. 3 Ibid, hal. 54. 4 Dahlan Thaib, dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2006, hal. 7.
Urgensi Sosialisasi Empat Pilar Bagi …
Hj. F atria Khairo
tertulis. Undang-Undang dasar menempati tata urutan peraturan perundang-undangan tertinggi dalam negara. Dalam konteks institusi negara, monstitusi bermakna pemakluman tertinggi yang menetapkan antara lain pemegang kedaulatan tertinggi, struktur negra, bentuk negara, bentuk pemerintahan, kekuasan legislatif kekuasaan peradilan dan berbagai lembaga negara serta hak-hak rakyat. Konstitusi dalam sejarah perkembangannya membawa pengakuan akan keberadaan pemerintahan rakyat. Konstitusi merupakan naskah legitimasi paham kedaulatan rakyat. Naskah dimaksud merupakan kontrak sosial yang mengikat setiap warga dalam membangun paham kedaulatan rakyat.
tular pada abad XIV di masa Kerjaan Majapahit. Dalam kitab tersebut Mpu Tantular menulis “Rwaneka dhatu winuwus Budhha Wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” (Bahwa agama Budha dan Siwa (Hindu) merupakan zat yang berbeda, tetapi nilai-nilai kebenaran Jina (Budha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecah belah tetapi satu jua, artinya tak ada dharma yang mendua). Nama Mpu Tantular sendiri terdiri dari tan (tidak) dan tular (terpengaruh) dengan demikian, Mpu Tantular adalah seorang Mpu (cendekiawan, pemikir) yang berpendirian teguh, tidak mudah terpengaruh oleh siapa pun.5 Ungkapan dalam bahasa Jawa Kuno tersebut secara harfiah mengandung arti bhinneka (beragam), tunggal (satu), ika (itu) yaitu beragam satu itu. Doktrin yang bercorak teologis ini semua dimaksudkan agar antara agama Buddha (Jina) dan agama Hindu (Siwa) dapat hidup berdampingan dengan damai dan harmonis, sebab hakikat kebenaran yang terkandung dalam ajaran keduanya adalah tunggal (satu). Mpu Tantular sendiri adalah penganut Buddha Tantrayana, tetapi merasa aman hidup dalam kerajaan Majapahit yang lebih bercorak Hindu. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika mulai menjadi pembicaraan terbatas antara Muhammad Yamin, Bung Karno, I Gusti Bagus Sugriwa dalam sidang-sidang BPUPKI sekitar dua setengah bulan sebelum Proklamasi. Bahkan Bung Hatta sendiri mengatakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno setelah Indonesia merdeka. Setelah beberapa tahun kemudian ketika merancang Lambang Negara Republik Indonesia dalam bentuk Garuda Pancasila, semboyan Bhinneka Tunggal Ika dimasukkan ke dalamnya. Secara resmi lambang tersebut dipakai dalam Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat yang dipimpin Bung Hatta pada 11
b. Negara Kesatuan Republik Indonesia Negara Kesatuan republik Indonesia merupakan bentuk negara yang dipilih sebagai komitmen bersama. Negara kesatuan republik Indonesia adalah pilihan yang tepat untuk mewadahi kemajemukan bangsa. Oleh karena itu komitmen kebangsaan akan keutuhan negara Kesatuan republik Indonesia menjadi suatu “keniscayaan” yang harus dipahami oleh seluruh komponen bangsa. Dalam Pasal 37 ayat (5) secara tegas menyatakan bahwa khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan karena merupakan landasan hukum yang kuat bahwa Negara Kesatuan republik Indonesia tidak dapat diganggu gugat. c. Bhineka Tunggal Ika Adalah semboyan negara sebagai modal untuk bersatu. Kemajemukan bangsa merupakan kekayaan kita, kekuatan kita, yang sekaligus juga menjadi tantangan bagi kita bangsa Indonesia., baik kini maupun yang akan datang. Oleh karena itu kemajemukan itun harus kita hargai, kita junjung tinggi, kita terima dan kita hormati serta kita wujudkan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Bunyi lengkap dari ungkapan Bhinneka Tunggal Ika dapat ditemukan dalam Kita Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tan-
5
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegaara, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta, 2012, hal. 181.
585
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 583 - 598
Februari 1950 berdasarkan rancangan yang dibuat oleh Sultan Hamid II (1913-1978). Dalam sidang tersebut muncul beberapa usulan rancangan lambang Negara, kemudian yang dipilih adalah usulan yang dibuat Sultan Hamid II dan Muhammad Yamin dan rancangan dari Sultan Hamid yang kemudian ditetapkan. Tulisan Mpu Tantular tersebut oleh para pendiri bangsa diberikan penafsiran baru karena dinilai relevan dengan keperluan strategis bangunan Indonesia merdeka yang terdiri dari beragam agama, kepercayaan, ideology politik, etnis, bahasa dan budaya. Dasar pemikiran tersebut yang menjadikan semboyan “keramat” ini terpampang melengkung dalam cengkeraman kedua kaki Burung Garuda. Burung Garuda dalam mitologi Hindu adalah kendaraan (wahana) Dewa Wishnu. Terkait dengan semboyan yang ditulis Mpu Tantular dapat diketahui bahwa wawasan pemikiran pujangga besar yang hidup di zaman kejayaan Majapahit ini, terbukti telah melompat jauh ke depan. Nyata semboyan tersebut hingga sekarang masih relevan terhadap perkembang bangsa, Negara dan bahkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global dan kekawin Sutasoma yang semula dipersembangkan kepada Raja Rajasanagara (Hayam Wuruk) adalah hasil perenungan dan kristalisasi pemikiran yang panjang setidaknya membutuhkan waktu satu dasawarsa (sepuluh tahun) sedangkan Kekawin maksudnya adalah pembacaan ayat-ayat suci dalam agama Hindu-Budha. Kitab yang ditulis Mpu Tantular sekitar 1350-an, tujuh abad yang silam, ternyata di antara isi pesannya bergulir dalam proses membingkai Negara baru Indonesia. Dalam proses perumusan konstitusi Indonesia, jasa Muh. Yamin harus dicatat sebagai tokoh yang pertama kali mengusulkan kepada Bung Karno agar Bhinneka Tunggal Ika dijadikan semboyan sesanti Negara. Muh. Yamin sebagai tokoh kebudayaan dan bahasa memang dikenal sudah lama bersentuhan dengan segala hal yang berkenaan dengan kebesaran Majapahit. Konon di sela-sela Sidang BPUPKI antara Mei-Juni 586
1945, Muh. Yamin menyebut-nyebut ungkapan Bhinneka Tunggal Ika itu sendirian. Meskipun Kitab Sutasoma ditulis oleh seorang sastrawan Buddha, pengaruhnya cukup besar di lingkungan masyarakat intelektual Hindu Bali. Para pendiri bangsa Indonesia yang sebagian besar beragama Islam tampaknya cukup toleran untuk menerima warisan Mpu Tantular tersebut. Sikap toleran ini merupakan watak dasar suku-suku bangsa di Indonesia yang telah mengenai beragam agama, berlapis-lapis kepercayaan dan tradisi, jauh sebelum Islam datang ke Nusantara. Sekalipun dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit abad XV, pengaruh Hindu-Budha secara politik sudah sangat melemah, secara kultural pengaruh tersebut tetap lestari sampai hari ini. Dalam mengelola kemajemukan masyarakat, Indonesia memiliki pengalaman sejarah yang cukup panjang bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Negara Barat relatif masih baru mewacanakan hal ini, sebelum dikenal apa yang disebut dengan multikulturalisme di Barat, jauh berabadabad yang lalu bangsa Indonesia sudah memiliki falsafah “Bhinneka Tunggal Ika”. Sejarah juga membuktikan bahwa semakin banyak suatu bangsa menerima warisan kemajemukan, maka semakin toleran bangsa tersebut terhadap kehadiran “yang lain”. Sebagai contoh Negara-negara Islam di wilayah Asia dan Timur Tengah, seperti Mesir, Palestina, dan Lebanon yang sejak awal menerima warisan kemajemukan masyarakatnya yang lebih heterogen, jauh lebih toleran dan ramah sikap keagamaannya bila dibandingkan dengan Arab Saudi, Yaman dan Pakistan yang masyarakatnya sangat homogen dalam bidang agama. Di pulau-pulau tersebut berdiam penduduk dengan ragam suku bangsa, bahasa, budaya, agama, adat istiadat dan beragaman lainnya ditinjau dari berbagai aspek. Secara keseluruhan, pulau-pulau di Indonesia berjumlah 17.508 buah pulau besar dan kecil. Keberagaman yang menjadi ciri bangsa Indonesia ditambah letak posisi geografis yang sangat strategis. Kepulauan Indonesia
Urgensi Sosialisasi Empat Pilar Bagi …
berada di antara dua benua yautu benua Asia dan benua Australia, diapit dua samudera yaitu samudera Pasifik dan samudera Hindia dan terletak ditengah garis khatulistiwa, sehingga pergantian siang dan malam berjalan sesuai dengan siklus yang seimbangan. Budaya luhur bangsa Indonesia tidak terlepas cari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang yang menjadi warisan dari jaman kerajaan Nusantara seperti Sriwijaya, Majapahit, Mataram Islam dan kerajaan-kerajaan lain yang juga melahirkan budaya tradisional yang telah berurat dan berakar sampai saat ini. Hal ini juga didukung antara lain dengan ditemukannya prasasti-prasasti bersejarah yang menggambarkan dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Sejak Indonesia merdeka, para pendiri bangsa dengan dukungan penuh seluruh rakyat Indonesia bersepakat mencantumkan kalimat Bhinneka Tunggal Ika pada lambing Negara Garuda Pancasila yang ditulis dengan huruf latin pada pita putih yang dicengkeram burung garuda. Semboyan tersebut berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Kalimat itu sendiri diambil dari falsafah Nusantara yang sejak jaman Kerajaan Majapahit sudah dipakai sebagai semboyan pemersatu wilayah Nusantara. Dengan demikian kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat anak-anak bangsa, jauh sebelum zaman modern. Realitas kehidupan berbangsa dan bernegara tidak terlepas dari sejarah masa lalu. Realita yang terjadi saat ini merupakan kelanjutan dari sejarah masa lalu dan yang akan terjadi di masa mendatang merupakan kelanjutan dari apa yang terjadi saat ini. Bangsa Indonesia sudah berabad-abad hidup dalam kebersamaan dengan keberagaman dan perbedaan. Perbedaan warna kulit, bahasa, adat istiadat, agama dan berbagai perbedaan lainnya. Perbedaan tersebut dijadikan para leluhur sebagai modal untuk membangun bangsa ini menjadi sebuah bangsa yang besar. Sejarah mencatat bahwa seluruh anak bangsa yang berasal dari berbagai suku semua terlibat dalam memperju-
Hj. Fatria Khairo
angkan kemerdekaan Indonesia. Semua ikut berjuang dengan mengambil peran masingmasing. Ketika Sumpah Pemuda diikrarkan pada 28 Oktober 1928, di Gedung Indonesische Clubgebouw, Weltevreden (kini Gedung Sumpah Pemuda, Jalan Kramat 106 Jakarta) milik seorang Tionghoa bernama Sie Kok Liong, para tokoh pemuda dari berbagai etnik dan daerah menyadari sepenuhnya kekuatan yang dapat dibangun dari persatuan dan kesatuan nasional. Dengan Sumpah Pemuda mereka bersatu dan menegaskan persatuan dengan satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa persatuan yaitu Indonesia. Dari sumpah tersebut tampak sekali bahwa mereka sendiri menyadari adanya perbedaan dari segi bahasa, namun kesepakatan tersebut merupakan capaian yang luar biasa dalam suasana penjajahan untuk membangun kesadaran untuk melepaskan egosentris kedaerahan dan bahasa daerah masing-masing. Semangat dan gerakan untuk bersatu tersebut menjadi sumber inspirasi bagi munculnya gerakan yang terkonsolidasi untuk membebaskan diri dari penjajahan. Bangsa Indonesia kemudian memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan adalah ikrar untuk bersatu padu mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi wilayah dari Sabang sampai Merauke yang merdeka, bersatu dan berdaulat untuk mewujudkan citacita dan tujuan nasional dan dengan disepakatinya Pancasila sebagai dasar Negara, semakin mengukuhkan komitmen pendiri Negara dalam membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesadaran terhadap tantangan dan cita-cita untuk membangun sebuah bangsa telah dipikirkan secara mendalam oleh para pendiri bangsa Indonesia. Keberagaman dan kekhasan sebagai sebuah realitas masyarakat dan lingkungan serta cita-cita untuk membangun bangsa dirumuskan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Ke-bhinneka-an merupakan realitas sosial, sedangkan ke-tunggal-ika-an adalah sebuah cita-cita kebangsaan. Wahana yang digegas sebagai “jembatan 587
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 583 - 598
emas” untuk menuju pembentukan sebuah ikatan yang merangkul keberagamaan dalam sebuah bangsa adalah sebuah Negara yang merdeka dan berdaulat. Negara yang menjadi wahana menuju cita-cita kebangsaan memerlukan dasar yang dapat mempertemukan berbagai kekhasan masyarakat Indonesia. Sementara Pancasila merupakan rumusan saripati seluruh filsafat kebangsaan yang mendasari pembangunan Negara. Pancasila adalah kekayaan bangsa Indonesia yang tidak ternilai harganya dan merupakan rangkuman dari nilai-nilai luhur serta akar budaya bangsa Indonesia yang mencakup seluruh kebutuhan maupun hakhak dasar manusia secara universal. Pancasila mampu menjadi landasan dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang majemuk baik dari segi agama, etnis, ras, bahasa, golongan dan kepentingan. Pancasila mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan bangsa Indonesia yang sangat majemuk. Oleh karena itu upaya untuk terus mempertebal keyakinan terhadap pentingnya Pancasila bagi kehidupan bangsa Indonesia harus menjadi keyakinan dari setiap manusia Indonesia. Sebagai nilai dasar yang diyakini oleh bangsanya, Pancasila merupakan ideologi Negara dan menajdi sumber kaidah hukum yang mengatur Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diubah, pengakuan atas keberagaman dicantumkan pada Pasal 18 yang menyatakan bahwa Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam siding pemerintahan Negara dan hakhak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Penjelasan dari Pasal 18 menyatakan bahwa “Dalam territory” Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat 588
dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut. Seluruh kandungan Pasal 18 dan Penjelasannya merupakan sebuah prakondisi yang harus dipenuhi oleh Negara Republik Indonesia dalam menata hubungannya dengan berbagai kelompok masyarakat di Indonesia yang memiliki keistimewaan agar cita-cita membangun ke-tunggal-ika-an sebagai sebuah bangsa dapat tercapai. Kesadaran akan kebhinnekaan tersebut, juga mewarnai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah diubah. Bahkan dalam rumusan undang-undang dasar tersebut, banyak sekali pengaturan tentang semangat kebhinnekaan dalam pasal-pasal. Rumusan Pasal 6A ayat (3) yang menetapkan bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di leih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.‟ Pertimbangan adanya ketentuan ini adalah untuk menyesuaikan dengan realitas bangsa Indonesia yang sangat majemuk,baik dari segi suku, agama, ras, budaya, maupun domisili karena persebaran penduduk tidak merata di seluruh wilayah Negara yang terdiri atas pulau-pulau. Dengan demikian Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia adalah pilihan mayoritas rakyat Indonesia yang secara relative tersebar di hamper semua wilayah. Hal itu sebagai wujud bahwa figure Presiden dan Wakil Presiden selain sebagai pimpinan penyelenggara pemerintahan, juga merupakan simbol persatuan nasional. Selanjutnya dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B merupakan suatu pendekatan baru dalam mengelola Negara. Di situ pihak ditegaskan
Urgensi Sosialisasi Empat Pilar Bagi …
tentang bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dan di pihak lain ditampung kemajemukan bangsa sesuai dengan sasanti Bhinneka Tunggal Ika. Pencantuman tentang pemerintah daerah di dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilatarbelakangi oleh kehendak untuk menampung semangat otonomi daerah dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat daerah. Hal itu dilakukan setelah belajar dari praktik ketatanegaraan pada era sebelumnya yang cenderung sentralisasi, adanya penyeragaman sistem pemerintahan seperti dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, serta mengabaikan kepentingan daerah. Akibat kebijakan yang cenderung sentralisasi itu pemerintah pusat menjadi sangat dominan dalam mengatur dan mengendalikan daerah sehingga daerah diperlukan sebagai objek, bukan sebagai subjek yang mengatur dan mengurus daerahnya sendiri sesuai dengan potensi dan kondisi objektif yang dimilikinya. Kesadaran akan kebhinnekaan juga dimuat dalam rumusan Pasal 25A UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menetapkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Adanya ketentuan ini dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dimaksudkan untuk mengukuhkan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini penting dirumuskan agar ada penegasan secara konstitusional batas wilayah Indonesia di tengah potensi perubahan batas geografis sebuah Negara akibat gerakan separatism, sengketa perbatasan antarnegara atau penduduk oleh Negara asing. Pengakuan akan keberagamaan, juga tercantum pada Pasal 26 Ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia
Hj. Fatria Khairo
Tahun 1945 yang menetapkan bahwa Yang menjadi warga Negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga Negara. Dengan masuknya rumusan orang asing yang tinggal di Indonesia sebagai penduduk Indonesia, orang asing yang menetap di wilayah Indonesia mempunyai status hukum sebagai penduduk Indonesia. Sebagai penduduk, pada diri orang asing itu melekat hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (berdasarkan prinsip yurisdiksi territorial) sekaligus tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku umum. Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 ditetapkan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan tersebut menggambarkan keanekaragaman agama di Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 32 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga diatur berdasarkan pada keanekaragaman budaya di Indonesia. Pasal ini merupakan landasan juridis bagi pengakuan atas keberadaan masyarakat adat. Yang pertama menegaskan tentang penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional oleh Negara sedangkan yang kedua mengenai tugas Negara untuk menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya di tengah upaya Negara untuk memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia. Pentingnya keberagaman dalam pembangunan selanjutnya diperkukuh dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 36A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Saat ini semangat Bhinneka Tunggal Ika terasa luntur, banyak generasi muda 589
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 583 - 598
yang tidak mengenai semboyan ini, bahkan banyak kalangan melupakan kata-kata ini, sehingga ikrar yang ditanamkan jauh sebelum Indonesia merdeka memudar, seperti pelita kehabisan minyak. Selain karena lunturnya semangat tersebut adanya disparitas sosial ekonomi sebagai dampak dari pengaruh demokrasi. Akibat dari keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan fanatisme asal daerah. Dengan kembali menggelorakan semangat kebhinnekaan, perbedaan dipandang sebagai suatu kekuatan yang bisa mempersatukan bangsa dan Negara dalam upaya mewujudkan cita-cita Negara. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika menunjukan bahwa bangsa Indonesia sangat heterogen dan karenanya toleransi menjadi kebutuhan mutlak. Di era modern ini, di ruang-ruang publik yang manakah homogenitas absolute dapat kita temukan? Tidak ada. Sebab heterogenitas sudah merupakan keniscayaan hidup modern. Karena itulah tak bisa tidak, kita harus belajar menerima dan menghargai pelbagai perbedaan. Dewasa ini banyak faktor yang menyebabkan toleransi kian memudar dari kehidupan masyarakat. Di era globalisasi ini banyak kecenderungan antar individu bersikap saling curiga yang apabila hal ini dibiarkan akan memecah persatuan dan kesatuan bangsa. Itulah artinya toleransi yang berasal dari kata “tollere” (bahasa latin) yang berarti mengangkat, sikap yang memperlihatkan kesediaan tulus untuk mengangkat, memikul menopang bersama perbedaan yang ada. Dengan demikian toleransi meniscayakan sikap menghargai harus aktif dan dimulai dari diri sendiri. Jadi dengan toleransi bukan orang lain yang terlebih dulu harus menghargai kita, melainkan kita sendirilah yang harus memulai untuk menghargai orang lain. Akan tetapi tidak berhenti di situ saja sebab toleransi akan menjadi bermakna jika ia diikuti juga oleh pihak lain, sehingga sifatnya menjadi dua arah dan timbal balik. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk karena terdiri atas berbagai suku bangsa, adat istiadat, bahasa daerah, 590
serta agama yang berbeda-beda. Keanekaragaman tersebut terdapat di berbagai wilayah yang terbesar dari Sabang sampai Merauke. Kenyataan yang tak dapat ditolak bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat yang beragam budaya. d. Pancasila Pancasila di dalamnya mengandung nilai-nilai universal (umum) yang dikembangkan dan berkembang dalam pribadi manusia-manusia sesuai dengan kodratnya, sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial. Sebagai suatu sistem nilai Pancasila bagi bangsa Indonesia memiliki keunikan/kekhasan, karena nlai-nilai pancasila mempunyai kedudukan/status yang tetap dan berangkai. Keunikan ini disebabkan, karena masing-masing sila tidak dapat dipisahkan dengan sila lainnya. Kekhusussan ini mrupakan identitas bagi bangsa Indonesia. Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara harus menjadi jiwa yang menginspirasi seluruh pengaturan kehidupan bermasyarakat, bernbangsa dan bernegara. Nilainilai Pancasila baik sebagai ideologi dan dasar negara sampai hari ini tetap kokoh menjadi landasan dalam bernegara. Pancasila juga tetap tercantum dalam konstitusi negara kita meskipun beberapa kali mengalami pergantian dan perubahan konstitusi. Ini menunjukkan bahwa pancasila merupakan konsensus nasional dan dapat diterima oleh semua kelompok masysrakat Indonesia. Pancasila terbukti mampu memberi kekuatan kepada bangsa Indonesia, sehingga perlu dimaknai, direnungkan, dan diingat oleh seluruh komponen bangsa. Dalam pertumbuhan dan perkembangan kebangsaan Indonesia, dinamika rumusan kepenting hidup bersama di wilayah nusantara diuji dan didewasakan sejak dimulainya sejarah kebangsaan Indonesia. Pendewasaan kebangsaan Indonesia memuncak ketika mulai dijajah dan dihadapkan pada perbedaan kepentingan ideologi (awal Abad XIX) antara Liberalisme, Nasionalisme, Islamisme, Sosialisme Indonesia dan Komunisme yang diakhiri secara yuridis ketatane-
Urgensi Sosialisasi Empat Pilar Bagi …
Hj. Fatria Khairo
garaan tanggal 18 Agustus 1945 bertepatan dengan ditetapkannya Pancasila oleh PPKI sebagai Dasar Negarfa Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat terdapat rumusan Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia. Rumusan Pancasila itulah dalam hukum positif Indonesia secara yuridis konstitusional sah, berlaku dan mengikat seluruh lembaga Negara, Lembaga masyarakat dan setiap warga Negara, tanpa kecuali. Rumusan Pancasila secara imperative harus dilaksanakan oleh rakyat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap sila Pancasila merupakan satu kesatuan yang integral yang saling mengandaikan dan saling mengunci. Ketuhanan dijunjung tinggi dalam kehidupan bernegara, tetapi diletakkan dalam konteks Negara kekeluargaan yang egaliter yang mengatasi paham perseorangan dan golongan, selaras dengan visi kemanusian yang adil dan beradab, persatuan kebangsaan, demokrasi permusyawaratan yang menekankan konsensus, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rumusan Pancasila yang terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana Pembukaan tersebut sebagai hukum derajat tinggi yang tidak dapat diubah secara hukum positif, maka Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia bersifat final dan mengikat bagi seluruh warga Negara Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, Pancasila dalam tataran penerapannya dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan masih kerap diuji. Ujian ini berlangsung sejak ditetapkannya hingga di era reformasi sekarang ini. Dengan berbagai pengalaman yang dihadapi selama ini, penerapan Pancasila perlu diaktualisasikan dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan mengingat Pancasila sebagai ideologi Negara yang merupakan visi kebangsaan Indonesia yang dipandang sebagai sumber demokrasi yang
baik di masa depan dan yang lahir dari sejarah kebangsaan Indonesia.6 Secara yuridis ketatanegaraan, Pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia sebagaimana terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kelahirannya ditempa dalam proses perjuangan kebangsaan Indonesia sehingga perlu dipertahankan dan diaktualisasikan. Di samping itu Pancasila perlu memayungi proses reformasi untuk diarahkan pada “reinventing and rebuilding” Indonesia dengan berpegangan pada perundang-undangan yang juga berlandaskan Pancasila sebagai dasar Negara. Melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai paying hukum, Pancasila perlu diaktualisasikan agar dalam praktik berdemokrasinya tidak kehilangan arah dan dapat meredam konflik yang tidak produktif. Rumusan lengkap sila dalam Pancasila telah dimuat dalam instruksi Presiden RI Nomor 12 Tahun 1968 tanggal 13 April 1968 tentang tata urutan dan rumusan dalam penulisan/pembacaan/ pengucapan sila-sila Pancasila, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Prof. Dr. Drs. Notonagoro, SH (1967) mengatakan, “Lima unsur yang terdapat pada Pancasila bukanlah hal yang baru pada pembentukan Negara Indonesia, tetapi sebelumnya dan selama-lamanya telah dimiliki oleh rakyat bangsa Indonesia yang nyata ada dan hidup dalam jiwa masyarakat”. Peneguhan Pancasila sebagai Dasar Negara sebagaimana terdapat pada Pembukaan, juga dimuat dalam Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara. Walaupun status ketetapan MPR tersebut saat ini sudah masuk dalam katagori Ketetapan MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, 6
Ibid, hal. 89.
591
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 583 - 598
baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. Selain itu juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum Negara. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum Negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pancasila ditempatkan sebagai dasar dan ideologi Negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan Negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sila pertama dan utama yang menerangi keempat sila lainnya. Paham Ketuhanan itu diwujudkan dalam paham kemanusiaan yang adil dan beradab. Dorongan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu menentukan kualitas dan derajat kemanusiaan seseorang di antara sesama manusia, sehingga perikehidupan bermasyarakat dan bernegara dapat tumbuh sehat dalam struktur kehidupan yang adil dan dengan demikian kualitas peradaban bangsa dapat berkembang secara terhormat di antara bangsa-bangsa. Semangat Ketuhanan Yang Maha Esa itu hendaklah pula meyakinkan segenap bangsa Indonesia untuk bersatu pada di bawah tali Tuhan Yang Maha Esa. Perbedaanperbedaan diantara sesame warga Negara Indonesia tidak perlu diseragamkan, melainkan dihayati sebagai kekayaan bersama yang wajib disyukuri dan dipersatukan dalam wadah Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Dalam wadah Negara, rakyatnya adalah warga Negara. Oleh karena itu dalam kerangka kewarganegaraan, tidak perlu dipersoalkan mengenai etnisitas, anutan agama warna kulit dan bahkan status sosial seseorang yang penting dilihat adalah status kewarganegaraan seseorang dalam wadah Negara. Semua orang memiliki kedudukan yang sama sebagai warga Negara. Setiap warga Negara adalah rakyat dan rakyat itu592
lah yang berdaulat dalam Negara Indonesia di mana kedaulatannya diwujudkan melalui mekanisme atau dasar bagi seluruh rakyat Indonesia. Sesuai dengan pengertian sila Ketuhanan Yang Maha Esa, setiap manusia Indonesia sebagai rakyat dan warga Negara Indonesia, diakui sebagai insane beragama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Paham Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan pandangan dasar dan bersifat primer yang secara substansial menjiwai keseluruhan wawasan kenegaraan bangsa Indonesia. Oleh karena itu nilai-nilai luhur keberagaman menjadi jiwa yang tertanam jauh dalam kesadaran, kepribadian dan kebudayaan bangsa Indonesia. Jiwa keberagaman dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa itu juga diwujudkan dalam kerangka kehidupan bernegara yang tersusun dalam undang-undang dasar. Keyakinan akan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa harus diwujudkan dalam sila kedua Pancasila dalam bentuk kemanusiaan yang menjamin perikehidupan yang adil dan dengan keadilan itu kualitas peradaban bangsa dapat terus meningkat dengan sebaik-baiknya. Karena itu prinsip keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menjadi prasyarat utama untuk terciptanya keadilan dan perikehidupan yang berkeadilan itu menjadi prasyarat bagi pertumbuhan dan perkembangan peradaban bangsa Indonesia di masa depan. Dalam kehidupan bernegara prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa diwujudkan dalam paham kedaulatan rakyat dan sekaligus dalam paham kedaulatan hukum yang saling berjalin satu sama lain. Sebagai konsekuensi prinsip Ketuhanan Yang Masa Esa, tidak boleh ada materi konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan bahkan hukum dan konstitusi merupakan pengejawantahan nilai-nilai luhur ajaran agama yang diyakini oleh warga Negara. Semua ini dimaksudkan agar Negara Indonesia dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Pokok-pokok pikiran tersebut menca-
Urgensi Sosialisasi Empat Pilar Bagi …
kup suasana kebatinan yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar. Pokok-pokok pikiran itu mencerminkan falsafah hidup dan pandangan bangsa Indonesia serta cita-cita hukum yang menguasai dan menjiwai hukum dasar baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, Undang-Undang Dasar mewujudkan pokok-pokok pikiran itu dalam perumusan pasal-pasalnya yang secara umum mencakup prinsip-prinsip pemikiran dalam garis besarnya. Dalam konteks ideologi Negara, Pancasila dapat dimaknai sebagai sistem kehidupan nasional yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan dalam rangka pencapaian cita-cita dan tujuan bangsa yang berlandaskan dasar Negara. Sejak disahkan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945, Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar Negara, pandangan hidup, ideologi Negara dan ligature (pemersatu) dalam perikehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Soekarno melukiskan urgensi Pancasila bagi bangsa Indonesia secara ringkas namun meyakinkan “Pancasila adalah satu Weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu bangsa yang juga pada hakekatnya satu alat mempersatu dalam perjuangan melenyapkan segala penyakit yang telah dilawan berpuluhpuluh tahun yaitu terutama, Imperialisme. Perjuangan suatu bangsa, perjuangan melawan imperialism, perjuangan mencapai kemerdekaan, perjuangan sesuatu bangsa yang membawa corak sendiri-sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mempunyai keperibadian sendiri. Keperibadian yang terwujud dalam berbagai hal, kebudayaannya, perekonomiannya, wataknya dan lain-lain sebagainya.” (Soekarno, 1958). Sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan, Pancasila memiliki landasan ontologism, epistemologis dan aksiologis yang kuat. Setiap sila memiliki justifikasi historisitas, rasionalitas dan aktuali-
Hj. Fatria Khairo
tasnya yang jika dipahami, dihayati, dipercayai dan diamalkan secara konsisten dapat menopang pencapain-pencapaian agung peradaban bangsa. Rasionalitas dari alam pemikiran Pancasila seperti itu mendapatkan pembenaran teoritik dan komparatifnya dalam teori-teori kontemporer tentang “public religion” yang menolak tesis “separation” dan “privatization” dan mendukung tesis “differention”. Dalam teori ini peran agam dan Negara tidak perlu dipisahkan, melainkan dibedakan. Dengan sytarat bahwa keduanya saling mengerti batas otoritasnya masing-masing yang disebut dengan istilah “toleransi kembar” (twin tolerations). Kedua menurut alam pemikiran Pancasila nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam dan sifat-sifat sosial dari hukum Tuhan, hukum alam dan sifat-sifat sosial manusia (yang bersifat horizontal) dianggap penting sebagai fundamen etika-etika kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. prinsip kebangsaan yang luas yang mengarah pada persaudaraan dunia itu dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi. Secara eksternalisasi bangsa Indonesia menggunakan segenap daya dan khazanah yang dimilikinya untuk secara bebas aktif ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial dan secara internalisasi bangsa Indonesia mengakui dan memulaikan hak-hak dasar warga dan penduduk negeri. Landasan etik sebagai prayarat persaudaraan universal ini adalah “adil” dan “beradab”. Komitmen bangsa Indonesia dalam memuliakan nilai-nilai kemanusiaan itu sangat visioner, mendahului “Universal Delclaration of Human Rights” yang baru dideklarasikan pada 1948. Secara teoretik komparatif, jalan eksternalisasi dan internalisasi dalam mengembangkan kemanusiaan secara adil dan beradab itu menempatkan visi Indonesia dalam perpaduan antara perspektif teori “idealism politik” (political idealism) dan “realism politik” (political realism) yang berorientasi kepentingan nasional dalam hubungan internasional. 593
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 583 - 598
Ketiga menurut alam pemikiran Pancasila, aktualisasi nilai-nilai etis kemanusiaan itu terlebih dahulu harus mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum menjangkau pergaulan dunia yang lebih jauh. Dalam internalisasi nilai-nilai persaudaraan kemanusiaan ini Indonesia adalah Negara persatuan kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Persatuan dari kebhinnekaan masyarakat Indonesia dikelola berdasarkan konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman dan keragaman dalam persatuan yang dalam slogan Negara dinyatakan dengan ungkapan “bhinneka tunggal ika”. Di satu sisi ada wawasan kosmopolitanisme yang berusaha mencari titik temu dari segala kebhinnekaan yang terkristalisasikan dalam dasar Negara (Pancasila), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan segala turunan perundang-undangannya, Negara persatuan, bahasa persatuan dan symbol-simbol kenegaraan lainnya. Di sisi lain ada wawasan pluralism yang menerima dan memberi ruang hidup bagi aneka perbedaan, seperti aneka agama/ keyakinan, budaya dan bahasa daerah dan unit-unit politik tertentu sebagai warisan tradisi budaya. Dengan demikian Indonesia memiliki prinsip dan visi kebangsaan yang kuat yang bukan saja dapat mempertemukan kemajemukan masyarakat dalam kebaruan komunitas politik bersama, tetapi juga mampu memberi kemungkinan bagi keragaman komunitas untuk tidak tercerabut dari akar tradisi dan kesejarahannya masing-masing. Dalam khazanah teori tentang kebangsaan, konsepsi kebangsaan Indonesia menyerupai perprektif “etnosimbolis” (ethnosymbolist) yang memadukan antara perspektif “modernis” (modernist) yang menekankan unsureunsur kebaruan dalam kebangsaan dengan perspektif “primordialis” (primordialist) dan “perenialis” (perennialist) yang melihat keberlangsungan unsure-unsur lam dalam kebangsaan. Keempat menurut alam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, nilai kemanusia594
an dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam visi demokrasi permusyawaratan, demokrasi memperoleh kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan politik berkeadilan dengan kesetaraan ekonomi yang menghidupkan semangat persaudaraan dalam kerangka musyawarah mufakat. Dalam prinsip musyawarah mufakat, keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas atau kekuatan minoritas elit politik dan pengusaha, melainkan dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas deliberative dan kearifan setiap warga tanpa pandang bulu. Gagasan demokrasi permusyawaratan yang merupakan cirri khas bangsa Indonesia yang menekankan konsensus dan menyelaraskan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi itu sangat visioner. Gagasan demokrasi seperti itu mendahului apa yang kemudian disebut sebagai model “demokrasi deliberative” (deliberative democracy) yang diperkenalkan oleh Joseph M. Bessette pada 1980 dan juga ada kesejajarannya dengan konsep “sosial demokrasi”. Kelima menurut alam Pemikiran Pancasila nilai Ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai dan cita kebangsaan, serta demokrasi permusyawaratan itu memperoleh kepenuhan artinya sejauh dapat mewujudkan keadilan sosial, di satu sisi, perwujudan keadilan sosial itu harus mencerminkan imperatif etis keempat sila lainnya. Di sisi lain otentisitas pengalaman sila-sila Pancasila dapat diukur dari perwujudan keadilan sosial dalam perikehidupan kebangsaan. Dalam visi keadilan sosial menurut Pancasila yang dikehendaki adalah keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani keseimbangan antara peran manusia sebagai mahkluk individu dan peran manusia sebagai makhluk sosial, juga keseimbangan antara pemenuhan hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial dan budaya. Dalam suasana kehidupan sosial-perekomian yang ditandai oleh aneka kesenja-
Urgensi Sosialisasi Empat Pilar Bagi …
ngan sosial kompetisi ekonomi diletakkan dalam kompetisi yang kooperatif (coopetition) berlandaskan asas kekeluaragaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara : bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negfara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam mewujudkan keadilan sosial, masing-masing yang secara keseluruhan mengembangkan semangat kekeluargaan. Peran masyarakat diberdayakan dengan tetap menempatkan Negara dalam posisi yang penting dalam menyediakan kerangka hukum dan regulasi, fasilitasi, penyediaan dan rekayasa sosial, serta penyediaan jaminan sosial. Jika diletakkan dalam perspektif teoritis komparatif, gagasan keadilan sosial menurut Pancasila merekonsiliasikan prinsipprinsip etik dalam keadilan ekonomi baik yang bersumber dari hukum alam, hukum Tuhan dan sifat-sifat sosial manusia yang dikonseptualisasikan sejak pemikiran para filosof Yunani, pemikiran-pemikiran keagamaan, teori-teori ekonomi merkantilis, ekonomi liberalism klasik dan neo-klasik, teoriteori Marxisme-Sosialisme, sosial demokrasi hingga Jalan Ketiga. Gagasan keadilan ekonomi menurut sosialisme Pancasila mempunyai kesejajarannya dengan diskursus sosial demokrasi di Eropa, tetapi juga memiliki akar kesejarahannya dalam tradisi sosialisme desa dan sosialisme religius masyarakat Indonesia. Demikianlah para pendiri bangsa ini telah mewariskan kepada kita suatu dasar falsafah dan pandangan hidup Negara yang menjiwai penyusunan Undang-Undang Dasar yang begitu visioner dan tahan uji. Suatu dasar falsafah yang memiliki landasan ontologism, epistemologis dan aksiologis yang kuat yang dapat membimbing bangsa Indonesia dalam meraih cita-cita kemerdekaan dan tujuan nasionalnya. Menjelaskan adanya landasan ideologi dan dasar negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu pancasila, yang menjadi pedoman penuntun
Hj. Fatria Khairo
bagi pilar-pilar kebangsan dan kenegaraan lainnya. 2. Urgensi Sosialisasi Empat Pilar bagi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Pemahaman Empat pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara merupakan suatu keharusan bagi bangsa Indonesia, karena berbagai persoalan kebangsaan dan kenegaraan yang terjadi di Indonesia saat ini. Konflik horizontal terjadi karena kita lalai dalam mengamalkan nilainilai yang terdapat di dalam Empat Pilar kebangsaan. Pemilihan nilai-nilai Empat Pilar tersebut tidak lain adalah untuk mengingatkan kembali kepada seluruh komponen bangsa agar pelaksanaan dan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara terus dijalankan dengan tetap mengacu kepada tujuan negara yang dicita-citakan, serta bersatu padu mengisi pembangunan, agar bangsa ini dapat lebih maju dan sejahtera.7 Empat Pilar kehidupan Berbangsa dan Bernegara dipandang sebagai sesuatu yang harus dipahami oleh para penyelenggara negara bersama seluruh masyarakat dan menjadi panduan dalam kehidupan berpoitik, menjalankan pemerintahan, menegakkan hukum, mengatur perekonomian negara, interaksi sosial kemasyarakatan, dan berbagai dimensi kehidupan bernegara dan berbangsa lainnya. Dengan pengamalan prinsip Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, diyakini oleh bangsa Indonesia akan mampu mewujudkan diri sebagai bangsa yang adil makmur, sejahtera dan bermartabat. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan bernegara dapat menjadi panduan yang efektif dan nyata, apabila semua pihak, segenap elemen bangsa para penyelenggara negara baik di pusat maupun di daerah dan seluruh masyarakat konsisten mengamalkan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Kehidupan bangsa Indonesia akan semakin kukuh, apabila segenap komponen bangsa di samping memahami dan melaksanakan Pancasila juga secara konsekuen menjaga sendi-sendi utama lainnya, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Ttahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka 7
Ibid, hal. 11.
595
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 583 - 598
Tunggal Ika sebagai Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Empat Pilar kehidupan Berbangsa dan Bernegara tersebut patut disyukuri dengan cara menghargai kemajemukan yang hingga saat ini tetap dapat terus dipertahankan, dipelihara dan dikembangkan. Semua agama turut memperkukuh integrasi nasional melalui ajaran-ajaran yang menekankan rasa adil kasih sayang, persatuan, persaudaraan, hormat, menghormati dan kebersamaan. Selain itu, nilai-nilai luhur budaya bangsa yang dimanifestasikan melalui adat istiadat juga berperan dalam mengikat hubungan batin setiap warga negara. Sosialisasi Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara dapat dilaksanakan dengan berbagai metode serta melalui praktek dilingkungan instansi-instansi di setiap tingkatan pemerintahan, perusahaan negara dan swasta, organisasi kemasyarakatan, partai politik dan kelompok masyarakat lainnya sehingga pemasyarakatan dapat menjadi gerakan nasional dari, oleh dan untuk setiap warga negara Indonesia. Tanpa gerakan nasional Empat pilar Kehidupan Bernbangsa dan Bernegara eksistensi dan peranannya dari waktu ke waktu akan memudar dan pada gilirannya akan mempengaruhi penyelenggaraan negara. Dengan demikian sosialisasi Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara tidak hanya dilakukan secara teoritik tetapi juga lebih penting secara praktik baik oleh penyelenggara negara maupun seluruh masysrakat Indonesia. Pada saat ini bangsa Indonesia sedang menghadapi berbagai masalah yang telah menyebabkan terjadinya krisis yang sangat luas. Nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya bangsa belum sepenuhnya dijadikan sumber etika dalam berbangsa dan bernegara oleh sebagian masyarakat. Hal itu kemudian melahirkan krisis akhlak dan moral yang berupa ketidakadilan, pelanggaran hukum, dan pelanggaran hak asasi manusia. Dalam kerangka itu, diperlukan upaya mewujudkan nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya bangsa sebagai sumber etika dan moral untuk berbuat baik dan menghindari perbuatan tercela, serta perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan hak asasi manusia. Nilai nilai agama dan nilai-nilai budaya bangsa selalu berpihak kepada kebenaran dan menganjurkan untuk memberi maaf kepada orang yang telah ber596
tobat dari kesalahannya. Konflik sosial budaya terjadi karena kemajemukan suku, budaya dan agama tidak teratasi dengan baik dan adil oleh penyelenggara negara maupun masysrakat. Dalam kerangka itu diperlukan penyelenggaraaan negara yang mampu memahami dan mengelola kemajemukan bangsa secara baik dan adil sehingga dapat terwujud toleransi kerukunan sosial, kebersamaandan kesetaraan berbangsa. Globalisasi dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya dapat memberikan keuntungan bagi bangsa Indonesia, tetapi jika tidak diwaspadai, dapat memberi dampak negatif terhadap kehidupan berbangsa, Dalam kerangka itu, diperlukan adanya sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu bekerjasama serta berdaya saing untuk memperoleh manfaat positif dari globalisasi dengan tetap berwawasan pada persatuan dan kesatuan nasional. D. Kesimpulan 1. Konsepsi Empat Pilar dalam Hidup Berbangsa dan Bernegara Konsepsi Empat pilar kebangsan meliputi: Undang-Undang dasar negara republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan republiik Indonesia, Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila. Empat pilar dari konsepsi kenegaraan Indonesia tersebut merupakan prasayarat minimal, di samping pilar-pilar lain, bagi bangsa ini untuk bisa berdiri kukuh dan meraih kemajuan berlandaskan karakter kepribadian bangsa Indonesia sendiri yang bertujuan untuk tercapainya perikehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur. 2. Urgensi Sosialisasi Empat Pilar bagi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Empat Pilar kehidupan Berbangsa dan Bernegara dipandang sebagai sesuatu yang harus dipahami oleh para penyelenggara negara bersama seluruh masyarakat dan menjadi panduan dalam kehidupan berpolitik, menjalankan pemerintahan, menegakkan hukum, mengatur perekonomian negara, interaksi sosial kemasyarakatan, dan berbagai dimensi kehidupan bernegara dan berbangsa lainnya. Dengan pengamalan prinsip Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, diyakini oleh bangsa Indonesia
Urgensi Sosialisasi Empat Pilar Bagi …
Hj. Fatria Khairo
akan mampu mewujudkan diri sebagai bangsa yang adil makmur, sejahtera dan bermartabat. E. Saran Sosialisasi Empat Pilar Kehidupan Ber-
bangsa dan Bernegara harus dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa agar selalu dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Dahlan Thaib, dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2006. H. A. W. Widjaja, Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Pancasila Pada Perguruan Tinggi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002 Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegaara, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta, 2012.
597
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 583 - 598
598
URGENSI MENGHIDUPKAN KEMBALI GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA DALAM KONSTITUSI Oleh : Rahmat Muhajir Nugroho Dosen dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta Email :
[email protected] Abstrak Garis-garis besar haluan negara yang diusulkan oleh penulis adalah GBHN yang dapat memberikan arah dan pedoman bagi pembangunan nasional secara holistik, berjangka panjang dan sistematis. Semacam blue print Negara Indonesia, yang disepakati oleh seluruh elemen bangsa untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. GBHN merupakan penjabaran dari cita-cita dan tujuan nasional dan menjadi ruh, kaidah serta guidence bagi setiap pemimpin agar pembangunan nasional di Negara Indonesia tetap berjalan secara berkesinambungan dan tidak berbelok arah mengikuti hasrat dan selera pemimpin pada setiap periode kepemimpinannya. Dititik inilah urgensi merumuskan kembali GBHN menemukan relevansinya. Kata Kunci : urgensi, garis-garis besar haluan negara, konstitusi Abstract The outlines of state policy proposed by the authors are the guidelines to provide direction and guidance to national development in a holistic, long-term and systematic. A kind of blueprint for the State of Indonesia, which was agreed by all elements of the nation to achieve the goals and national objectives as stated in the preamble of the Constitution 1945. GBHN are the elaboration of goals and national objectives and the spirit, rules and guidence for every leader that national development The State of Indonesia continues to run continuously and do not turn directions to follow the desires and tastes of leaders at every period of his leadership. Keywords: urgency, the outlines of state policy, constitution A. Latar Belakang Wacana untuk menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) muncul dalam ranah publik. Beberapa tokoh nasional menyampaikan gagasan untuk mengangkat kembali GBHN sebagai haluan atau panduan dalam bernegara, agar pembangunan Negara Republik Indonesia memiliki arah yang jelas, terpadu dan konsisten. Dalam perhelatan nasional Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Megawati Soekarnoputri menilai buruk sistem pembangunan negara yang semakin tak padu dan cenderung berjangka pendek. Penyebabnya, begitu
terjadi pergantian pemimpin, terjadi pula pergantian visi-misi dan program pembangunan. Oleh karena itu, Ketua Umum PDI-P tersebut menyampaikan bahwa di masa depan, program pembangunan harus bersumber dari GBHN yang ditetapkan MPR.1 Sejalan dengan pandangan tersebut, Presiden Joko Widodo juga menghendaki haluan yang jelas tentang pembangunan Indonesia. Presiden Jokowi mengatakan, Indonesia harus memiliki haluan yang jelas tentang ke mana arah Indonesia. Pembangunan Nasional Semesta Be1
Saldi Isra, 2016, Wacana Menghidupkan GBHN, Kompas.com, diakses 7 September 2016
599
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 599 - 606
rencana menjadi pekerjaan rumah yang harus dirumuskan sejak sekarang untuk memperjelas pembangunan ke depan.2 Begitu pula pendapat dari Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, yang menyatakan bahwa langkah untuk memunculkan kembali GBHN, bertujuan menguatkan peran MPR. Selain itu, perumusan kembali GBHN sebagai blueprint sistem pembangunan nasional dinilai akan menjadi jalan bagi Golkar untuk mendorong perubahan ke-5 UUD 1945. Lewat perubahan ke-5 dari Undang-Undang Dasar 1945, Partai Golkar ingin menyempurnakan konstitusi agar menjadi instrumen utana pencapaian tujuan besar kita.3 Sejak terjadinya amandemen konstitusi, GBHN sudah tidak tercantum lagi dalam Undang-Undang Dasar 1945, tepatnya pada amandemen ketiga dan keempat (2001-2002). Hasil perubahan tersebut telah mereduksi sejumlah kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Semula MPR berwenang untuk, 1). menetapkan UUD dan garisgaris besar daripada haluan negara (Pasal 3 UUD 1945 sebelum amandemen) ; 2). Memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6 UUD 1945 sebelum amandemen). Pasca amandemen, MPR tidak lagi berwenang menetapkan GBHN dan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Selanjutnya kewenangan MPR berubah sebagaimana tercantum pada Pasal 3 UUD 1945 (hasil amandemen) yaitu : 1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan UUD; 2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; 3)Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar. Dengan terjadinya perubahan pada kewenangan MPR, berakibat pula terhadap kedudukan MPR dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Semula MPR merupakan lembaga tertinggi negara, kemudian turun derajatnya menjadi lembaga negara “biasa” yang sejajar dengan lemba2
Ibid http://nasional.kompas.com/read/2016/01/24/04570071/ Golkar.Ingin.Hidupkan.Kembali.GBHN.sebagai.Blueprint .Sistem.Pembangunan.Nasional, diakses tanggal 22 Maret 2017
ga-lembaga negara yang lain, yaitu Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Badan Pemeriksa Keuangan. Hubungan antara MPR dengan lembaga-lembaga negara yang semula bersifat hierarkhis vertikal menjadi hubungan fungsional horizontal. Mahfud MD mengatakan, MPR saat ini bukan lembaga tertinggi negara yang dulu dilekatkan kepadanya karena MPR melakukan sepenuhnya kedaulatan rakyat sesuai dengan ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang asli.4 Penyebutan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dimasa lalu didasarkan juga pada bunyi penjelasan, Bagian Sistem Pemerintahan Negara butir III, yang menggariskan bahwa “Majelis inilah yang memegang kekuasaan Negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan Negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis”. Setelah amandemen, MPR bukan lagi pemegang tunggal kedaulatan rakyat sebagaimana pernah disebutkan pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen, “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Sebab Pasal tersebut telah diubah kalimatnya dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen, menjadi “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Sepintas kalimat ini tidak begitu jelas dan seringkali menimbulkan pertanyaan, siapa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat tersebut. Kalimat tersebut dapat ditafsirkan bahwa pelaksana kedaulatan rakyat saat ini tidak lagi melembaga dalam satu wadah lembaga yang bernama MPR, tetapi tersebar ke lembaga-lembaga negara lainnya. Kedaulatan rakyat mewujud dalam kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga negara sebagaimana kewenangan yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar dan sebagian pelaksanaan kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh rakyat sendiri, melalui hak-hak politiknya, yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang. Dengan demikian pelaksana kedaulatan rakyat tidak lagi sepenuhnya berada di tangan MPR, meskipun
3
600
4
Moh.Mahfud MD, 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta : LP3ES, hlm. 31.
Urgensi Menghidupkan Kembali GBHN Dalam Konstitusi
masih ada beberapa kewenangan yang melekat pada MPR. Mahfud MD mengatakan, meskipun MPR masih berwenang menetapkan dan mengubah UUD serta melakukan impeachment (pemberhentian dalam masa jabatan) terhadap Presiden, ia bukan lembaga tertinggi negara sebab wewenang itu hanya pemberian fungsi sebagai bagian dari proses-proses di lembaga negara yang lainnya.5 Kemudian hal lain yang menjadi konsekuensi dari amandemen UUD 1945, yaitu tentang status dan kedudukan ketetapan MPR (TAP MPR) sebagai peraturan perundang-undangan. TAP MPR sebagai peraturan perundangundangan sebenarnya merupakan tafsir MPR sendiri sebagai turunan dari ketentuan Pasal 3 yang menyatakan bahwa MPR menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara (GBHN). Undang-Undang Dasar tidak menyebutkan bahwa TAP MPR itu merupakan peraturan yang sifatnya mengatur (regeling). Menetapkan itu sebenarnya dapat hanya diartikan sebagai penetapan (beschikking) yang bersifat konkret, individual.6 Pasca amandemen UUD 1945 pada tahun 2002 hingga saat ini, arah pembangunan Indonesia tidak lagi dipandu dengan GBHN, sebab Presiden bukan lagi mandataris MPR yang bertugas melaksanakan GBHN. Presiden dipilih langsung oleh rakyat (Pasal 6 A UUD 1945) dan melaksanakan program kerjanya berdasarkan visi, misi yang ditawarkan Presiden pada saat kampanye. Selain itu, untuk mengawal pembangunan yang berkelanjutan terdapat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. RPJPN merupakan dokumen perencanaan pembangunan nasional periode 20 tahunan terhitung sejak tahun 2005 sampai 2025. Menurut Sulardi, mesti dipahami bahwa visi pembanguan nasional 20052025 adalah Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur. Visi itulah yang hingga saat ini belum ditemukan wujudnya. Alih-alih terwujud, keresahan dan ketidakpastian masa depan bangsa justru ada di depan mata dan bahkan menjauh
Rahmat Muhajir Nugroho
dari nilai-nilai Pancasila.7 Ketidakjelasan arah pembangunan dan kecendrungan pergantian pemimpin selalu diikuti dengan berubahnya arah kebijakan pembangunan nasional memicu pemikiran untuk menghadirkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman yang disepakati bersama seluruh elemen bangsa tentang ke arah mana pembangunan Negara Indonesia akan dilakukan. Pola pembangunan berjangka ini pernah dilaksanakan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dan Presiden Soekarno. Pentingnya menghidupkan kembali GBHN atau Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) untuk memberikan arah dan pedoman bagi setiap pemimpin dalam melaksanakan kewenangannya sehingga pembangunan yang dilakukan dapat berkesinambungan dari pemimpin satu ke pemimpin berikutnya. GBHN yang dibuat semestinya bukan hanya menjadi pedoman bagi eksekutif (Presiden) tetapi juga berlaku bagi lembaga-lembaga negara yang lain, serta bagi pembangunan di pusat maupun daerah. B. PEMBAHASAN 1. Kedudukan MPR dan Ketetapan MPR Sebelum amandemen UUD 1945, kedudukan MPR memang yang tertinggi, hal tersebut tercermin dalam berbagai pasal di dalam batang tubuh dan bagian penjelasan UUD 1945. MPR merupakan lembaga pelaksana tunggal kedaulatan rakyat, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. MPR memiliki wewenang antara lain, mengubah dan menetapkan UUD, memilih Presiden dan Wakil Presiden, menetapkan GBHN (Pasal 3) dan lainlain. Kedudukan MPR juga disebutkan dalam penjelasan UUD 1945 dalam sistem pemerintahan negara, bagian ke III tentang Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (die gesamte Staatsgewalt liegt allein ber der Majelis). 7
5
Ibid, hlm. 32 6 Ibid
Sulardi, 2016, https://www.tempo.co/read/kolom/ 2016/ 08/31/2380/gbhn-dan-sistem-presidensial, diakses 7 September 2016.
601
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 599 - 606
Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu Badan bernama "Majelis Permusyawaratan Rakyat", sebagai penjelmaan seluruh Rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatvolkes). Majelis ini menetapkan Undang-undang Dasar dan menetapkan garis-garis besat haluan Negara. Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan wakil Kepala Negara (Wakil Presiden).8 Majelis inilah yang memegang kekuasaan Negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan Negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia ialah "mandataris" dari Majelis, ia berwajib menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak "neben", akan tetapi "untergeordnet kepada Majelis.9 Dengan demikian dapat dipahami bahwa bagian penjelasan UUD 1945 memberikan kedudukan kepada MPR secara jelas dan tegas sebagai lembaga tertinggi negara dan menyatakan bahwa Presiden adalah mandataris MPR yang bertugas menjalankan pemerintahan sesuai dengan haluan negara (GBHN) yang ditetapkan oleh MPR. Ketika terjadi amandemen konstitusi, kewenangan MPR yang semula besar “dipreteli” (dikurangi) satu persatu, sehingga kewenangan MPR saat ini menjadi sangat sedikit. Kewenangan yang “tersisa” antara lain : mengubah dan menetapkan UUD; melantik Presiden dan Wakil Presiden; serta memberhentikan Presiden dan /atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya,10 dan berbagai kewenangan lainnya yang diatur di dalam UUD 1945. Selain kewenangan tersebut, dengan perubahan Pasal 3 itu, maka MPR tidak berwenang lagi memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden, karena pemilihan Presiden diserahkan langsung kepada rakyat Indonesia melalui Pemilihan Umum. Selain itu, dengan dihapuskannya bagian penjelasan dalam UUD 1945 semakin mengecilkan peran MPR sebagai penjelmaan/pengejawantahan seluruh rakyat Indonesia. MPR juga
tidak bisa mengklaim bahwa Presiden adalah mandataris MPR, karena Presiden tidak bertanggungjawab lagi kepada MPR tapi langsung kepada rakyat. Ditambah dengan hasil amandemen UUD 1945 terhadap Pasal 1 ayat (2) yang semula berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” berubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” semakin melemahkan posisi MPR. Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen tersebut, menjelaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan pelaksanaan kedaulatan rakyat tersebut tidak lagi berada sepenuhnya di tangan MPR, namun terbagibagi ke lembaga-lembaga negara sesuai dengan kewenangannya masing-masing, sebagaimana UUD 1945 menyebutkannya. Dengan demikian MPR bukan lagi pemegang tunggal kedaulatan rakyat, MPR hanya merupakan salah satu lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat disamping lembaga negara lainnya yaitu Presiden, DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Badan Pemeriksa Keuangan yang juga memiliki mandat melaksanakan kedaulatan rakyat sesuai bunyi dari UUD 1945. Menurut Bagir Manan, Gagasan meniadakan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara secara konseptual ingin menegaskan, MPR bukan satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Setiap lembaga yang mengemban tugas-tugas politik negara dan pemerintahan (tidak termasuk kekuasaan kehakiman) adalah pelaksana kedaulatan rakyat dan harus tunduk dan bertanggungjawab kepada rakyat.11 Kedaulatan rakyat tidak lagi melembaga dalam satu lembaga, pun kedaulatan rakyat tidak berada pada satu tangan, namun kedaulatan rakyat terdistribusi ke pelbagai lembaga negara, bahkan sebagian dikembalikan ke tangan rakyat melalui hak-hak politiknya, dalam pemilihan umum, misalnya. Rakyat berhak melaksanakan sendiri kedaulatannya dengan memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum
8
Penjelasan UUD 1945 Penjelasan UUD 1945 10 Pasal 3 UUD 1945. 9
602
11
Ni‟matul Huda, (2009) Hukum Tata Negara Indonesia, PT Rajawaligrafindo, Jakarta, hlm. 155.
Urgensi Menghidupkan Kembali GBHN Dalam Konstitusi
Presiden, yang semula merupakan kewenangan MPR. Hubungan antar lembaga negara yang asalnya bersifat hierarkhis vertiklal, menjadi horizontal fungsional. Tak ada lagi penyebutan lembaga tertinggi negara dengan lembaga tinggi negara. Seluruh lembaga negara (utama) disebut sebagai lembaga negara. Hal tersebut sekali lagi menegaskan bahwa MPR bukanlah lembaga tertinggi negara, tetapi (hanya) merupakan lembaga negara (biasa) saja yang kedudukannya sejajar dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Namun penulis memiliki sudut pandang yang berbeda melihat kedudukan MPR saat ini. Menurut penulis kedudukan MPR sekarang ini sesungguhnya (diam-diam) lebih tinggi dibandingkan dengan lembaga negara yang lain. Namun ketinggian kedudukan MPR saat ini berbeda dengan ketika di zaman sebelum amandemen UUD 1945, dimana MPR secara eksplisit tertera dalam penjelasan UUD 1945 sebagai lembaga tertinggi negara, sedangkan yang lain disebut sebagai lembaga tinggi negara. Alasan penulis mengatakan bahwa MPR memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada lembaga yang lain, yaitu, pertama, MPR memiliki kewenangan untuk mengubah dan menetapkan UUD 1945, yang merupakan sumber hukum tertinggi di Negara Republik Indonesia. Kewenangan tersebut tidak dimiliki lembaga negara yang lain, termasuk DPR, yang hanya berwenang membentuk Undang-Undang, bukan Undang-Undang Dasar. Kemudian jika dibandingkan dengan Presiden, kedudukan MPR lebih tinggi dibanding Presiden, sebab MPR berhak untuk mengimpeach/memakzulkan Presiden dan /atau Wakil Presiden jika terbukti melakukan pelanggaran hukum, sedangkan Presiden tidak memiliki kewenangan untuk membubarkan MPR. Berbeda dengan di Inggris, parlemen bisa menjatuhkan Perdana Menteri, tetapi sebaliknya Parlemen juga dapat dibubarkan oleh Raja, atas permintaan Perdana Menteri, dengan konsekuensi Perdana Menteri harus menyiapkan pemilu berikutnya untuk membentuk parlemen baru. Arend Lijphart mengatakan bahwa, dalam monarki pra-parlementer di Eropa, jika tidak puas dengan majelisnya, raja dapat membubarkan salah satu atau kedua badan legislatif dalam maksud untuk mengamankan pemilihan para wakil yang lebih ber-
Rahma t Muhajir Nugroho
tanggungjawab setelah pemilihan baru. Saat ini pun, dimana pemerintahan dibagi dua, kepala negara tetap membubarkan parlemen, tetapi ia melakukannya hanya atas permintaan kepala pemerintahan.12 Kedua, dari sisi hierarkhi perundang-undangan, MPR memiliki produk hukum yang kedudukannya lebih tinggi dibandingkan dengan produk hukum yang dibuat oleh lembaga negara lainnya. Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa jenis dan hierarkhi perundang-undangan terdiri atas : 1. UUD NRI Tahun 1945 2. Ketetapan MPR 3. UU/Perpu 4. Peraturan Pemerintah 5. Peraturan Presiden 6. Perda Provinsi 7. Perda Kabupaten/Kota Berdasarkan tingkatan perundang-undangan tersebut, MPR memiliki dua kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yaitu UUD 1945 dan Ketetapan MPR.13 Dengan demikian dari sisi heararkhi perundang-undangan kedudukan MPR lebih tinggi bila dibandingkan dengan lembaga negara lainnya. Hal ini selaras dengan azas “Lex Superiore derogat legi inferiori”. Menurut Hartono Hadisuprapto,14 azas tersebut mengandung 3 konsekuensi hukum : 1. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi kedudukannya, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula. 2. Undang-undang yang lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan undang-un12
Arend Lijphart,(1995), Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, PT Rajagrafindo, Jakarta, hlm. 40. 13 Meskipun TAP MPR tersebut terbatas pada TAP MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI tahun 1960 sampai dengan tahun 2002 sebagaimana disebutkan pada bagian penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 14 Hartono Hadisuprapto,2001, Pengantar Hukum Indonesia, Edisi keempat, Cetakan Kelima, Yogyakarta : Liberty, hlm. 26.
603
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 599 - 606
dang yang lebih tinggi tingkatannya. 3. Undang-undang yang lebih tinggi, tidak dapat dirubah/dihapuskan oleh undangundang/peraturan yang lebih rendah kedudukannya. Dengan mengambil konsekuensi yang pertama, dapat disimpulkan bahwa lembaga yang membuat produk hukum yang lebih tinggi memiliki kedudukan yang lebih tinggi pula. Oleh karenanya, MPR memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan lembaga negara lainnya, karena memproduksi UUD dan Tap MPR, meskipun TAP MPR yang bisa lagi menerbitkan TAP yang baru, karena tidak ada satupun kewenangan MPR yang dapat berwujud TAP ketika MPR membuat keputusan. Ketiga, dari sisi kelembagaan, MPR merupakan lembaga tersendiri, yang keanggotaannya terdiri dari anggota DPR dan DPD. Menurut Jimly Asshiddiqie, meskipun telah direformasi, MPR tetap saja dapat dipahami sebagai satu institusi, yaitu sebagai nama dari Lembaga parlemen Indonesia, dan sekaligus sebagai institusi tersendiri disamping DPR dan DPD.15 MPR bukan merupakan forum (join session) seperti halnya congres di Amerika Serikat, sebagai tempat bertemunya House of representatif dan senate. Menurut penulis, tidak semestinya MPR difungsikan secara ad-hoc, yang tidak memiliki pekerjaan rutin dan terus-menerus. Sebagai lembaga negara yang terhormat, dimana anggotanya merupakan perwakilan dari partai politik berbasis daerah pemilihan dan perseorangan berbasis pada daerah administratif, maka MPR perlu diberikan kewenangan yang lebih baik dan mempengaruhi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Lalu apa korelasinya antara kedudukan MPR tersebut dengan GBHN. Dengan mendudukkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara berdasarkan kriteria argumentasi diatas, maka MPR sebenarnya masih memiliki kewenangan untuk menyusun Garis-garis besar haluan negara (GBHN). Tentu dengan pemahaman baru, yang berbeda dengan pada masa orde lama dan orde baru. GBHN yang dipikirkan saat ini adalah GBHN yang dapat memberikan arah dan
pedoman bagi pembangunan nasional secara holistik, berjangka panjang dan sistematis. Semacam blue print Negara Indonesia, yang disepakati oleh seluruh elemen bangsa untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. GBHN merupakan penjabaran dari cita-cita dan tujuan nasional dan menjadi ruh, kaidah serta guidence bagi setiap pemimpin agar pembangunan nasional di Negara Indonesia tetap berjalan secara berkesinambungan dan tidak berbelok arah mengikuti hasrat dan selera pemimpin pada setiap periode kepemimpinannya. Dititik inilah urgensi merumuskan kembali GBHN menemukan relevansinya. GBHN bukan hanya menjadi pedoman bagi pembangunan di tingkat nasional dalam arti Presiden dan kementriannya, tetapi juga dapat diimplementasikan di daerah-daerah, baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota sehingga pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dapat seiring dan sejalan. Tidak terkesan, berjalan masing-masing, tanpa ada panduan yang jelas dan sistematis. Dari sisi yuridis konstitusional tidak ada masalah ketika MPR kembali diberikan kewenangan untuk merumuskan GBHN, sebab Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat itu tergantung pada bunyi Undang-Undang Dasar. Sebagai contoh, DPR memiliki kedaulatan dalam hal membentuk Undang-Undang (Legislatif).16 Kemudian Presiden memiliki kedaulatan di bidang pemerintahan (eksekutif)17 dan MA dan MK memiliki kedaulatan di bidang kekuasaan kehakiman (yudikatif).18 Demikian pula bagi MPR berhak melaksanakan kedaulatan rakyat, melalui kewenangan menetapkan GBHN sebagaimana nantinya dirumuskan dalam UUD 1945. 2. Mekanisme pengaturan kembali GBHN Mekanisme yang dapat ditempuh untuk memasukkan kembali GBHN menjadi bagian dari kewenangan MPR, adalah melalui amandemen UUD 1945. Sebab dasar hukum yang paling kuat untuk menambah kewenangan MPR 16
15
Jimly Asehiddiqie, (2005), Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 173.
604
Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Pasal 10-17 UUD 1945. 18 Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. 17
Urgensi Menghidupkan Kembali GBHN Dalam Konstitusi
hanya melalui perubahan konstitusi, sehingga kelak MPR akan memiliki kewajiban untuk menyusun GBHN secara periodik. Prosedur perubahan konstitusi mengikuti ketentuan pada Pasal 37 UUD 1945 sebagi berikut : (1) Usul perubahan pasal-pasal UndangUndang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyarawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. (2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. (3) Untuk mengubah pasal-pasal UndangUndang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. (4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Agar MPR memiliki kewenangan untuk menyusun dan menetapkan GBHN diperlukan amandemen konstitusi, yakni dengan menambah kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN
Rahma t Muhajir Nugroho
pada Pasal 3 UUD 1945. Jika jalan tersebut sulit ditempuh, maka bisa dengan cara mereivisi Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, khususnya pada bagian penjelasan Pasal 7 ayat (1), yang membatasi isi Tap MPR hanya mengatur Tap MPR Nomor I/MPR/2003. MPR dapat mengeluarkan Tap MPR baru yang sifatnya mengatur (regeling) bukan menetapkan (beschikking). Sehingga pintu masuk ini dapat digunakan untuk merumuskan GBHN oleh MPR. C. Kesimpulan Pada intinya penulis setuju GBHN dihidupkan kembali tetapi dengan formulasi yang berbeda dengan zaman orde lama maupun orde baru. GBHN yang dirumuskan kedepan merupakan hasil kajian yang mendalam dari seluruh elemen bangsa dengan mengedepankan pikiran yang jernih, jujur dan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Proses perumusan GBHN sebaiknya melibatkan partisipasi aktif dari berbagai pihak, tidak hanya terbatas lembaga negara, tetapi juga organisasi massa, tokohtokoh masyarakat, tokoh agama, para cendekiawan dan negarawan dari seluruh penjuru tanah air. Kemudian hasil masukan dari berbagai pihak tersebut, dikompilasi, dikaji, dibahas dan akhirnya disahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai dokumen resmi negara tentang haluan negara untuk Pembangunan Indonesia jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA Arend Lijphart, (1995), Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Jakarta : PT Rajagrafindo. Hartono Hadisuprapto, (2001), Pengantar Hukum Indonesia, Edisi keempat, Cetakan Kelima, Yogyakarta : Liberty. Jimly Asshiddiqie, (2005), Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta : Konstitusi Press. Moh.Mahfud MD, (2007), Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta : LP3ES Ni‟matul Huda, (2009), Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : PT Rajagrafindo Persada. Internet SaldiIsra, (2016), http://nasional.kompas.com/read/2016/01/12/15320071/Wacana.Menghidupkan. GBHN?, diakses 7 September 2016.
605
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 599 - 606
Sulardi, 2016, www.tempo.co/read/kolom/2016/08/31/2380/gbhn-dan-sistem-presidensial, diakses 7 September 2016 http://nasional.kompas.com/read/2016/01/24/04570071/Golkar.Ingin.Hidupkan.Kembali.GBHN.seb agai.Blueprint.Sistem.Pembangunan.Nasional, diakses tanggal 22 Maret 2017 Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum dan sesudah amandemen) Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI tahun 1960 sampai dengan tahun 2002 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
606
MAHASISWA DAN NASIONALISME MENUJU PENGABDIAN MASYARAKAT BERLANDASKAN PANCASILA Oleh : H.A Dardiri Hasyim Fakultas Hukum Universitas Islam Batik (UNIBA) Surakarta Email:
[email protected] Abstrak Tulisan ini berupaya untuk menjelaskan peran mahasiswa dalam penguatan nasionalisme dan Pancasila dalam Perguruan Tinggi dan masyarakat. Peran mahasiswa dalam menguatkan nasionalisme melalui pengembangan suasana pendidikan yang multikultural dapat dilakukan dengan menggali dan memahami berbagai konsep, teori, dan nilai-nilai multikulturalisme yang relevan untuk penguatan nasionalisme; mengimplementasikan konsep, teori, dan nilai-nilai multikulturalisme dalam realitas keseharian; serta melakukan refleksi bersama atas kegiatankegiatan kongkret tersebut. Sedangkan peran yang dapat dilakukan mahasiswa dalam konteks tanggung jawabnya terhadap deseminasi nilai-nilai Pancasila di antaranya adalah memperdalam dan mengembangkan diri di dalam keilmuan Pancasila; membumikan nilai-nilai dasar Pancasila dalam kehidupan sehari-hari; serta melakukan kontrol terhadap pelaksanaan nilai-nilai dasar Pancasila oleh para penyelenggara Negara. Kata kunci : Nasionalisme, Pancasila, Mahasiswa, Perguruan Tinggi, Masyarakat Abstract This paper seeks to explain the student's role in the strengthening of nationalism and Pancasila in universities and society. Strengthen the role of students in an atmosphere of nationalism through the development of multicultural education can be done to explore and understand the various concepts, theories, and values of multiculturalism that are relevant to the strengthening of nationalism; implement the concept, theory, and the values of multiculturalism in daily reality; and reflected together on the concrete activities. While the role that can be performed by students in the context of their responsibility for the Dissemination of Pancasila values of which is to deepen and develop themselves in the science of Pancasila; ground the basic values of Pancasila in daily life; and monitoring of the implementation of the basic values of Pancasila by the organizers of the State. Keywords: Nationalism, Pancasila, Students, Universities, Community A. Pendahuluan Mahasiswa merupakan sosok intelektual muda yang sedang menapaki jenjang pendidikan tinggi. Mereka diharapkan dapat menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau ke-
senian.1 Para mahasiswa dididik dan dilatih sehingga memiliki sikap ilmiah, seperti hasrat ingin tahu dan belajar terus menerus; daya analisis yang kritis dan tajam; jujur; rasa tanggung jawab yang tinggi; terbuka terhadap pendapat baru, pendapat yang berbeda dan kritik; sikap bebas dari prasangka; berorientasi ke masa de1
PP No. 30 Tentang Pendidikan Tinggi Bab II Pasal 1 butir (1).
607
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 607 - 618
pan; sikap menghargai nilai, norma, kaidah dan tradisi keilmuan. Para mahasiswa juga didorong untuk memiliki sikap profesional, seperti keinginan untuk mencapai tingkat keahlian yang lebih tinggi; kemandirian dan kemahiran sesuai minat ilmu, bakat dan kemampuan serta arah profesi; etika profesi yang tinggi; dan kesejawatan yang tinggi. Dengan begitu mereka diharapkan menjadi sosok individu yang matang dalam teori dan praktek. Mahasiswa merupakan jembatan antara dunia teoritis dan dunia empiris dalam arti pemetaan dan pemecahan masalah-masalah kehidupan sesuai dengan bidangnya. Mahasiwa juga merupakan dinamisator perubahan masyarakat menuju perkembangan yang lebih baik, sekaligus melakukan kontrol terhadap perubahan sosial yang sedang dan akan berlangsung. Mahasiswa sebagai generasi muda harapkan dapat menjadi kader pemimpin bangsa yang berjiwa Pancasila. Dalam Perspektif psikologi, masa mahasiswa menurut Hurlock merupakan masa dewasa dini, yaitu dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif.2 Sedangkan menurut Papalia, Olds dan Feldman3 golongan dewasa muda berkisar antara 21-40 tahun. Masa ini dianggap sebagai rentang yang cukup panjang, yaitu dua puluh tahun. Santrock mengatakan bahwa orang dewasa muda termasuk dalam masa transisi, baik transisi secara fisik (physically trantition), intelektual (cognitive trantition), maupun peran sosial (social role trantition).4 Hurlock5 (1992) menguraikan secara ringkas ciri-ciri yang menonjol dalam tahuntahun masa dewasa dini, sebagai berikut : 1. Masa Dewasa Dini sebagai “Masa Pengaturan” Masa dewasa dini merupakan masa “pengaturan” (settle down), di mana hal ini juga berkaitan dengan panda2
E.B. Hurlock, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, terj. Isti Widiyati (Jakarta: Erlangga, 1996), hlm. 246. 3 Agus Dariyo, Psikologi Perkembangan Dewasa Muda (Jakarta: Grasindo-Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003), hlm. 106. 4 Ibid., hlm. 3-4. 5 E.B. Hurlock, Psikologi…, hlm. 247-252.
608
ngan generasi-generasi terdahulu yang menganggap bahwa jika anak laki-laki dan wanita mencapai usia dewasa yang syah maka hari-hari kebebasan mereka telah berakhir dan saatnya telah tiba menerima tanggungjawab sebagai orang dewasa. Tanggungjawab ini mencakup tanggungjawab baik dalam membentuk bidang pekerjaan yang akan ditangani sebagai kariernya pada pria muda, maupun tanggungjawab sebagai ibu dan pengurus rumah tangga bagi wanita muda 2. Masa Dewasa Dini sebagai “Usia Reproduktif”. Salah satu peran baru yang diharapkan pada masa dewasa muda adalah peran sebagai orang tua (parenthood). Bahkan hal ini merupakan salah satu peran yang paling penting dalam hidup orang dewasa. Oleh sebab itu maka dewasa muda juga dikatakan sebagai “usia reproduktif”. 3. Masa Dewasa Dini sebagai “Masa Bermasalah”. Dalam tahun-tahun awal masa dewasa banyak masalah baru yang harus dihadapi seseorang. Masalah-masalah baru ini dari segi utamanya berbeda dari masalah-masalah yang sudah dialami sebelumnya. Umumnya hal ini terjadi karena beberapa alasan. Tiga diantaranya khususnya bersifat umum sekali. Pertama, sedikit sekali orang muda yang mempunyai persiapan untuk menghadapi jenis-jenis masalah yang perlu diatasi sebagai orang dewasa. Kedua, mencoba menguasai dua atau lebih ketrampilan serempak biasanya menyebabkan keduaduanya kurang berhasil. Oleh sebab itu mencoba menyesuaikan diri pada dua peran secara serempak juga tidak memberikan hasil yang baik dalam upaya penyesuaian diri. Ketiga, dan mungkin paling berat dari semuanya, orang-orang muda itu tidak memperoleh bantuan dalam menghadapi dan memecahkan masalah-masalah mereka; tidak seperti sewaktu mereka dianggap belum dewasa. 4. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Ketegangan Emosional. Sekitar awal atau pertengahan umur tiga puluhan, kebanyakan orang muda telah mampu meme-
Mahasiswa dan Nasionalisme Menuju Pengabdian Masyarakat …
cahkan masalah-masalah mereka dengan cukup baik sehingga menjadi stabil dan tenang secara emosional. Apabila emosi yang menggelora yang merupakan ciri tahun-tahun awal kedewasaan masih tetap kuat pada usia tiga puluhan, maka hal ini merupakan tanda bahwa penyesuaian diri pada kehidupan orang-orang dewasa belum terlaksana secara memuaskan. 5. Masa Dewasa Dini sebagai “Masa Keterasingan Sosial”. Dengan berakhirnya pendidikan formal dan terjunnya seseorang ke dalam pola kehidupan orang dewasa, yaitu karir, perkawinan dan rumah tangga, hubungan dengan teman-teman kelompok sebaya masa remaja menjadi renggang, dan berbarengan dengan itu keterlibatan dalam kegiatan kelompok di luar rumah akan terus berkurang. Sebagai akibatnya, untuk pertama kali sejak bayi semua orang muda, bahkan yang populer pun, akan mengalami keterpencilan sosial. 6. Masa Dewasa Dini sebagai “Masa Komitmen”. Sewaktu menjadi orang dewasa orang-orang muda mengalami perubahan tanggungjawab dari seorang pelajar yang sepenuhnya tergantung pada orang tua menjadi orang dewasa mandiri, maka mereka menentukan pola hidup baru, memikul tanggung jawab baru dan membuat komitmen-komitmen baru. Meskipun pola-pola hidup, tanggungjawab dan komitmen-komitmen baru ini mungkin akan berubah juga, pola-pola ini menjadi landasan yang akan membentuk pola hidup, tanggung jawab, dan komitmenkomitmen di kemudian hari. 7. Masa Dewasa Dini sering sebagai Masa Ketergantungan. Meskipun telah resmi mencapai status dewasa pada usia 18 tahun, dan status ini memberikan kebebasan untuk mandiri, banyak orang muda yang masih agak tergantung atau bahkan sangat tergantung pada orang-orang lain selama jangka waktu yang berbeda-beda. Ketergantungan ini mungkin pada orang tua, lembaga pendidikan yang memberikan beasiswa sebagian atau penuh atau
H. A. Dardiri Hasyim
pada pemerintah karena mereka memperoleh pinjaman untuk membiayai pendidikan mereka. 8. Masa Dewasa Dini sebagai “Masa Perubahan Nilai” Banyak nilai masa kanakkanak dan remaja berubah karena pengalaman dan hubungan sosial yang lebih luas dengan orang-orang yang berbeda usia dan karena nilai- nilai itu kini dilihat dari kaca mata orang dewasa. Ada beberapa alasan yang menyebabkan perubahan nilai pada masa dewasa dini, diantaranya yang sangat umum adalah : pertama, jika orang muda dewasa ingin diterima oleh anggota-anggota kelompok orang dewasa, mereka harus menerima nilai-nilai kelompok ini, seperti juga sewaktu kanak-kanak dan remaja mereka harus menerima nilai-nilai kelompok teman sebaya. Kedua, orang-orang muda itu segera menyadari bahwa kebanyakan kelompok social berpedoman pada nilainilai konvensional dalam hal keyakinankeyakinan dan perilaku seperti juga halnya dalam hal penampilan. Ketiga, orang-orang muda yang menjadi bapakibu tidak hanya cenderung mengubah nilai-nilai mereka lebih cepat daripada mereka yang tidak kawin atau tidak punya anak, tetapi mereka juga bergeser kepada nilai-nilai yang lebih konservatif dan lebih tradisional. 9. Masa Dewasa Dini sebagai “Masa Penyesuaian Diri dengan Cara Hidup Baru”. Di antara berbagai penyesuaian diri yang harus dilakukan orang muda terhadap gaya hidup baru, yang paling umum adalah penyesuaian diri pada pola peran seks atas dasar persamaan derajat yang menggantikan pembedaan pola peran seks tradisional, serta pola-pola baru bagi kehidupan keluarga, termasuk perceraian, keluarga berorangtua tunggal, dan berbagai pola baru di tempat pekerjaan khususnya pada unit-unit kerja yang besar dan impersonal di bidang bisnis dan industri. 10. Masa Dewasa Dini sebagai “Masa Kreatif”. Orang muda banyak yang bangga karena lain dari yang umum dan tidak 609
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 607 - 618
menganggap hal ini sebagai suatu tanda kekurangan, tidak seperti anak atau remaja yang selalu ingin sama dengan teman sebaya baik dalam hal berpakaian, gaya bahasa dan tingkah laku karena mereka takut dianggap inferior. Hal ini disebabkan karena sebagai orang yang telah dewasa ia tidak terikat lagi oleh ketentuan dan aturan yang ada selama ini. Bentuk kreatifitas yang akan terlihat sesudah ia dewasa akan tergantung pada minat dan kemampuan individual, mewujudkan keinginan dan kegiatan-kegiatan yang memberikan kepuasan sebesarbesarnya. Ada yang menyalurkan kreatifitasnya ini melalui hobi, ada yang menyalurkannya melalui pekerjaan yang memungkinkan ekspresi kreativitas. Bangsa Indonesia saat ini sedang dihadapkan pada berbagai tantangan kebangsaan yang cukup berat. Berbagai konflik horizontal yang terjadi dalam dekade terakhir memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia sedang menghadapi masalah kebangsaan. Ikatan-ikatan yang sebelumnya terpatri kuat dalam sebuah titik pandang sama dalam sebuah nation, kini berkembang dalam kesadaran sempit yang terus meningkat dan merongrong wibawa kebangsaan yang telah dibangun lebih dari enam puluh tahun yang lalu. Para pendiri bangsa memang telah berhasil membangun bangsa (nation building), namun untuk membangun karakter kebangsaan yang kuat masih memerlukan waktu yang panjang. Upaya membangun karakter kebangsaaan mengalami pasang surut sejalan dengan pergulatan bangsa dalam menentukan arah perjuangan dan juga arah pembangunan. Pada era pasca kemerdekaan, sebagai negara baru Indonesia diwarnai oleh pergulatan politik, terutama menyangkut persoalan ideologi negara yang akan menentukan wujud dan jati diri bangsa di masa depan. Mekanisme melalui Konstituante mengalami jalan buntu sehingga kemudian ditempuh jalan Dekrit Presiden 1959 untuk kembali ke UUD 1945 dan ideologi Pancasila. Sejak saat itu, semangat untuk membangun kultur dan jatidiri berbasis Pancasila semakin menguat, namun dalam perjalanannya pembangunan yang terlampau berorientasi pada materi telah menumbuhkan kultur yang tidak seja610
lan dengan kultur yang ingin dikembangkan, yaitu kultur Pancasila. Keberhasilan pembangunan ekonomi yang kurang diimbangi dengan pembangunan karakter bangsa. Keberhasilan pembangunan ekonomi yang kurang diimbangi dengan pembangunan karakter bangsa telah mengakibatkan goncangan dan krisis budaya, yang kemudian berakibat pada lemahnya ketahanan budaya bangsa. Lemahnya ketahanan budaya tersebut tercermin antara lain dari lemahnya kemampuan dalam menyikapi dinamika perubahan sebagai akibat dari tuntutan zaman yang diwarnai oleh derasnya silang budaya global. Lemahnya ketahanan budaya juga ditunjukkan oleh terjadinya gejala krisis identitas. Norma-norma lama semakin melemah, sementara norma baru belum terkonsolidasi dengan baik sehingga terjadi sikap ambivalensi dan disorientasi tata nilai. Disorientasi tata nilai yang terjadi bersamaan dengan tumbuhnya semangat kebebasan mengakibatkan pandangan permisif atau serba boleh. Hal tersebut berkembang secara berlebihan sehingga memicu konflik di berbagai daerah yang dapat menjadi indikasi semakin melemahnya tatanan kehidupan yang berPancasila. Masyarakat Indonesia dihadapkan pada tantangan yang sebagian mengarah kepada disintegrasi bangsa yang ditandai oleh menguatnya primordialisme. Sartono Kartodirdjo (1999) mencatat persoalan tersebut berkisar pada masalah prasangka religius, sentimen antaretnik, eksklusivisme, sektarianisme, dan komunalisme yang bermuara pada transformasi struktural masyarakat Indonesia dalam segala dimensinya.6 Pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasan yang pada masa orde baru memaksakan monokulturalisme yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Bersamaan dengan proses otonomisasi dan dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala provinsialisme yang hampir tumpang tindih dengan etnisitas. Kecenderungan ini, jika tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio6
Sartono Kartodirdjo, Ideologi dan Teknologi dalam Pembangunan Bangsa: Eksplorasi Dimensi Historis dan Sosio-Kultural (Jakarta: Pabelan Jayakarta, 1999), h. 290.
Mahasiswa dan Nasionalisme Menuju Pengabdian Masyarakat …
kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi politik.7 Havinghurst8 mengemukakan tugas-tugas perkembangan dewasa muda, diantaranya adalah menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Warga negara yang baik adalah dambaan bagi setiap orang yang ingin hidup tenang, damai, dan bahagia di tengah-tengah masyarakat. Warga negara yang baik adalah warga negara yang taat dan patuh pada tata aturan perundangundangan yang berlaku. Hal ini diwujudkan dengan cara-cara seperti mengurus dan memiliki surat-surat kewarganegaraan, membayar pajak, menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat, serta mampu menyesuaiakan diri dalam pergaulan sosial di masyarakat. Tugas-tugas perkembangan tersebut merupakan tuntutan yang harus dipenuhi seseorang, sesuai dengan norma sosialbudaya yang berlaku di masyarakat. Meskipun ada kasus-kasus tertentu (seperti orang yang memutuskan untuk selibat), baik disadari atau tidak setiap orang dewasa muda akan melakukan tugas perkembangan tersebut dengan baik.9 Seseorang akan dapat belajar dan mencapai tujuan yang dikehendakinya jika memiliki suatu motivasi belajar, baik yang berasal dari dalam dirinya maupun yang berasal dari luar diri individu tersebut, yang akan menggerakkan, mengarahkan dan menjaga tingkah lakunya dalam belajar.10 Melemahnya nasionalisme Indonesia saat ini disebabkan oleh beberapa permasalahan antara lain: kualitas SDM masih rendah, militansi bangsa yang mendekati titik kritis, dan jati diri bangsa Indonesia yang sudah luntur.11 Dihadapkan pada berbagai tantangan tersebut, mahasiswa harus terpanggil untuk terus melanjutkan tugas kesejarahannya dalam memperkuat nasiona7
Azyumardi Azra. Pendidikan Multikultural, Membangun Kembali Indonesia Bhinneka Tunggal Ika dalam dalam Tsaqofah, “Menggagas Pendidikan Multikultural”, vol. I, nomor 2, Tahun 2003. 8 Agus Dariyo, Psikologi…, hlm. 105-108. 9 Ibid., hlm, 108. 10 M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999), hlm. 72. 11 Djoko Santoso, “Ketahanan Negara dan Wawasan kebangsaan Menghadapi Tantangan Global,” Makalah disampaikan pada Simposium Nasional Peringatan Satu Abad Kebangkitan Nasional, 19 Mei 2008, Yogyakarta: UGM, Pemda DIY, Kagama, h. 6-7.
H. A. Dardiri Hasyim
lisme, menjaga dan memelihara eksistensi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara. Mahasiswa merupakan individu dengan status masa dewasa awal dimana secara psikologis ia sedang melalui proses penyesuaian diri terhadap pola kehidupan dan harapan sosial yang baru, sehingga mahasiswa diharapkan mampu menjadi individu yang mampu memainkan peran baru dalam lingkungan, baik itu di dalam maupun di luar perkuliahan. Dengan demikian secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa adanya identifikasi kebutuhan mahasiswa sebagai dasar dalam aplikasi pengajaran diharapkan dapat membawa dampak positif dalam membentuk mental positif mahasiswa dalam menerima materi dalam menjalani aktifitas perkuliahan. Identifikasi inipula berfungsi untuk memahami sesuatu yang dialami atau mencari jalan keluar dari persoalan yang sedang dihadapi. B. Peran Mahasiwa Dalam Penguatan Nasionalisme di Perguruan Tinggi dan Masyarakat Nasionalisme sebagai ideologi dapat memerankan tiga fungsi, yaitu mengikat semua kelas, menyatukan mentalitas mereka, dan membangun atau memperkokoh pengaruh terhadap kebijakan yang ada di dalam ideologi nasional. Kecuali itu nasionalisme melalui fasisme di Italia dan Jerman menentang liberalisme pada tahun 1930-an, walaupun dikalahkan oleh liberalisme pada Perang Dunia II. Fasisme sendiri gagal bertahan karena tidak mempunyai doktrin universal seperti liberalisme dan komunisme. Fasisme menolak keberadaan kemanusiaan bersama atau persamaan hak-hak manusia, dan juga terlalu mengagungkan ras dan bangsa sebagai sumber legimitasi untuk memerintah rakyat.12 Nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme seperti halnya fasisme, melainkan nasionalisme yang bersendikan pada nilai-nilai Pancasila. Melemahnya semangat nasionalisme atau wawasan kebangsaan Indonesia dewasa ini menurut Santoso (2008) dapat diatasi dengan meningkatkan kualitas kepemimpinan; merevitalisasi/mereaktualisasi nasionalisme; meningkatkan militansi bangsa; dan meneguhkan jati diri 12
Fukuyama dalam R. Karim, “Nasionalisme Arti dan Sejarahnya,” Analisis CSIS, Tahun XXV Tahun 2, 1996, h. 101.
611
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 607 - 618
bangsa sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa. Selanjutnya yang perlu dilakukan adalah meneguhkan dan mengaktualisasikan kembali nilainilai budaya bangsa yang diyakini mampu meningkatkan semangat kebangsaan, dan menetralisis nilai-nilai budaya yang kurang mendukung semangat kebangsaan.13 Diperlukan sejumlah langkah-langkah strategis yang dapat mendorong berbagai macam bentuk perbedaan bangsa ini untuk untuk saling berdialog dan berdampingan hidup secara harmonis. Salah satunya adalah dengan mulai menghentikan penggunaan klasifikasi seperti mayoritas-minoritas, penduduk asli-pendatang, pribumi-non pribumi, lebih-lebih yang dimaksudkan untuk tujuan dan kepentingan politis. Semua istilah ini hanya memupuk subur sikap dan perilaku kelompok-kelompok masyarakat untuk tidak berusaha saling memahami latar belakang budaya dan kultur mereka masing-masing, sehingga berbagai prasangka dan stereotip yang ada justru dibiarkan tumbuh dan bahkan terkesan dipelihara oleh masing-masing kelompok.14 Pelanggaran terhadap nilai-nilai kebangsaan merupakan salah satu fenomena patologi sosial yang tersisa dari proses transisi saat ini. Segala macam patologi sosial dapat dengan mudah dicegah dan diatasi dengan pendidikan yang baik dan berkualitas.15 Pendidikan yang tepat untuk menguatkan bangunan nasionalisme keIndonesia-an pada era global adalah pendidikan multikultural, karena pendidikan multicultural memiliki nilai inti (core value) dalam perspektif lokal maupun global yakni: (1) ketakwaan terhadap tuhan Yang Maha Esa; (2) tanggung jawab terhadap negara kesatuan; (3) penghargaan, pengakuan, dan penerimaan keragaman budaya; (4) menjunjung tinggi supremasi hukum; dan (5) penghargaan martabat manusia dan hak asasi yang universal.16
13
Djoko Santoso, op.cit. A. Ubaidillah, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani (Jakarta : IAIN Jakarta Press, 2000), h. 27. 15 Suyanto, ”Profesionalisasi dan Sertifikasi Guru,” Makalah dalam Seminar PGRI di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Desember 2005, h. 1. 16 I. Moeis. ”Pendidikan Multikultural Transformatif dalam PIPS Sebuah Sarana Alternatif Menuju Masyarakat Madani,” Makalah disampaikan pada Seminar Nasional 14
612
Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab dan peran penting untuk memelihara dan usaha terus menerus mendidik mahasiswa dan masyarakat untuk mampu hidup bersama dalam keanekaragaman. Praktek kehidupan di perguruan tinggi memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh warga negara untuk mengembangkan budaya mereka, dan juga adanya upaya perguruan tinggi untuk menanamkan rasa saling menghormati dan menghargai budaya yang ada di wilayah nusantara. Peran pergurun tinggi sangat strategis dan krusial. Fungsi perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan tidak saja terfokus hanya pada aspek ekonomi atau politik saja, tetapi tidak kalah pentingnya adalah peran sosio kulturalnya. Perguruan tinggi dituntut tanggung jawab untuk menjalankan peran sebagai agen integrasi sosial, yaitu menciptakan identitas budaya bersama, mengarahkan secara bersama-sama individu-individu di kampus dari berbagai kelas sosial, etnik, budaya, kepercayaan, agama dan menghubungkannya ke dalam masyarakat yang lebih luas. Perguruan tinggi harus harus dapat menjadi perekat bangsa, terlebih dalam situasi seperti sekarang ini. Dalam konteks tersebut, peran mahasiswa dalam menguatkan nasionalisme melalui pengembangan suasana pendidikan yang multikultural dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: pertama, menggali dan memahami berbagai konsep, teori, dan nilai-nilai multikulturalisme yang relevan untuk penguatan nasionalisme, baik yang telah terumuskan oleh para ahli maupun penggalian dari kearifan budaya lokal melalui kegiatan penelitian dan kegiatan keilmuan lain. Kedua, mengimplementasikan konsep, teori, dan nilai-nilai multikulturalisme dalam realitas keseharian baik di lingkungan perguruan tinggi maupun di masyarakat luas yang dapat memperkuat nasionalisme. Hal ini dapat diwujudkan dalam bentuk kegiatan kemahasiswaan baik intra maupun ekstra kampus. Kegiatan-kegiatan tersebut senantiasa diusahakan agar selalu bernuansakan nilai-nilai kebangsaan. Ketiga, melakukan refleksi bersama atas kegiatan-kegiatan kongkret tersebut sehingga akan diperoleh kerangka rumusan tindakan yang lebih relevan dengan situasi dan perkembangan Pendidikan IPS 05 Agustus 2006, Bandung : Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, h. 9.
Mahasiswa dan Nasionalisme Menuju Pengabdian Masyarakat …
di masyarakat yang terus berubah. Refleksi akan semakin mengantarkan mahasiswa pada kesadaran akan nilai-nilai kebangsaaan yang harus terus diperjuangkan. C. Peran Mahasiwa Dalam Penguatan Pancasila di Perguruan Tinggi dan Masyarakat Pancasila sebagai dasar filsafat serta ideologi bangsa dan negara Indonesia tidak terbentuk secara mendadak serta ciptaan seseorang, melainkan ditempa oleh sejarah panjang Indonesia menjadi suatu bangsa. Menurut sejarawan Sartono Kartodirjo (1999), proses menjadi Indonesia dapat dilacak jauh ke masa lampau, tidak saja ke zaman Sriwijaya dan Majapahit, melainkan juga ke zaman pra sejarah. Proses itu disimpulkan dari distribusi nekara (moko), bahasa Melayu, rute perdagangan dan navigasi. Kesemuanya ini telah menunjukkan adanya pengalaman bersama proses integrasi bangsa Indonesia.17 Jauh di masa lampau, masyarakat Indonesia yang majemuk telah menunjukkan kemampuannya saling beradaptasi sehingga dapat memperkecil perbedaan-perbedaan. Dari proses tersebut tumbuh sifat dan karakteristik umum masyarakat Indonesia.18 Semboyan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa adalah gambaran kehidupan bangsa Indonesia di masa lampau yang penuh dengan kearifan hidup bersama dalam keragaman. Meskipun konsep negara hukum di Indonesia merupakan cita-cita bangsa Indonesia dan juga telah di atur dalam setiap UUD dan Konstitusi namun konsep negara hukum itu sendiri bukanlah asli dari bangsa Indonesia. Konsep negara hukum merupakan produk yang di import atau suatu bangunan yang dipaksakan dari luar (imposed from outside) yang di adopsi dan di transplantasi lewat politik konkordansi kolonial 17
Sartono Kartodirdjo, Ideologi dan Teknologi dalam Pembangunan Bangsa: Eksplorasi Dimensi Historis dan Sosio-Kultural (Jakarta: Pabelan Jayakarta, 1999) h. 82. 18 Hildred Geertz dalam Suyatno Kartodirdjo, “Revitalisasi Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa dalam Rangka Menuju Indonesia Baru”, Makalah, disampaikan dalam Sarasehan Membangun Wawasan Kebangsaan Melalui Revitalisasi Budaya, diselenggarakan oleh Keraton Kasunanan Surakarta, Pura Mangkunegaran, PII dan HKMN Suryasumirat di Surakarta, 2 Agustus 2000, h. 2.
H.A. Dardiri Hasyim
Belanda.19 Timbul konsep negara konstitusional (the constitutional state), dimana UUD di anggap sebagai institusi yang paling efektif untuk melindungi warganya melalui konsep rule of law atau rechtsstaat.20 Istilah Pancasila sendiri telah dikenal sejak zaman Majapahit pada abad XIV, yaitu terdapat di dalam buku Negarakertagama karangan Prapanca dan buku Sutasoma karangan Tantular. Dalam buku Nagarakertagama terdapat ketentuan bagi raja yang berbunyi, “yatnaggegwani pancasyiila kertasangkarbhisekaka krama,” yang artinya raja menjalankan dengan setia kelima pantangan (Pancasila), begitu pula upacaraupacara ibadat dan penobatan-penobatan. Dalam buku Sutasoma, istilah Pancasila disamping memiliki arti “berbatu sendi yang lima”, juga memiliki arti “pelaksanaan kesusilaan yang lima” (Pancasila Krama), yaitu: tidak boleh melakukan kekerasan, mencuri, berjiwa dengki, berbohong, dan mabuk minuman keras.21 Secara etimologis istilah "Pancasila" berasal dari bahasa Sansekerta dari India (bahasa kasta Brahmana) adapun bahasa rakyat biasa adalah bahasa Prakerta. Menurut Muhammad Yamin (1960) dalam bahasa Sansekerta perkataan Pancasila memiliki dua macam arti secara leksikal yaitu: “panca "artinya "lima" dan “syila" vokal i pendek artinya "batu sendi ","alas", atau dasar". Sedangkan “Syiila” vokal i panjang artinya "peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh. Kata-kata tersebut kemudian dalam bahasa Indonesia terutama bahasa Jawa diartikan “susila“ yang memiliki hubungan dengan moralitas. Oleh karena itu kata "Pancasila” yang dimaksudkan adalah istilah "Panca Syiila” dengan vokal i pendek yang memiliki makna leksikal "berbatu sendi lima “ atau secara harfiah “dasar yang memiliki lima unsur ". Koento Wibisono menyebut perkembangan pembudayaan Pancasila dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebagai sebuah ideologi murni, ideologi praktis. Kemudian dalam konteks yang lain, Koento Wibisono juga mengem19
Satjipto Rahardjo, Negara Hukum Yang Membahagiakan, Yogyakarta: Publishing, 2009, h. Vii. 20 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta: Gramedia, 2009, h. 171. 21 Dardji Darmodiharjo dkk, Santiaji Pancasila (Surabaya: Usaha Nasional, 1991) h. 15.
613
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 607 - 618
bangkan ideologi sebagai ilmu. Dengan kata lain, dari sisi sosio-politik perkembangan pemikiran, dapat dikemukakan bahwa Pancasila mengalami berbagai perubahan makna dan pemposisian (positioning) dalam konteks perubahan sosial politik Indonesia.22 Dalam sejarah Indonesia, Pancasila lahir sebagai sebuah ideologi murni. Sebagai sebuah ideologi murni, maka Pancasila cenderung berada dalam dunia ide (istilah Plato) atau pemikiran teoritik. Pada dekade berikutnya, muncul gejala memposisikan Pancasila sebagai ideologi politik. Memposisikan Pancasila sebagai ideologi politik ini berbeda makna dan imbasnya dengan memposisikan Pancasila sebagai mitos. Pancasila sebagai ideologi politik muncul dalam bentuk polarisasi struktur dan sosial politik kemasyarakatan. Contoh nyata dan berdampak nyata dalam menerapkan Pancasila sebagai ideologi politik, yaitu terjadi di era Orde Baru. Pancasila dijadikan sebagai pemisahan kelompok kepentingan. Pada saat itu, penguasa Orde Baru dimaknai sebagai pro Pancasila, dan penentangnya disebut sebagai kelompok anti-Pancasila. Belajar dari perkembangan ideologi yang lain seperti kapitalisme dan sosialisme, dapat dikemukakan bahwa Pancasila perlu ditransformasikan ke dalam bentuk dan model-model yang lain. Pancasila tidak bisa hanya dijadikan ideologi yang berwajah mitos atau politis. Pancasila harus diajak ke dalam bentuk wajah keilmuan. Menurunkan Pancasila sebagai sebuah ilmu ini, maka dibutuhkan adanya pekerjaan ekstra dari kalangan pencinta dan penggali nilainilai Pancasila, yaitu: pertama, dibutuhkan adanya satu model narasi akademik yang memperkuat dan memperkokoh ontologi ke-Pancasilaan. Jika Soekarno di jamannya, mampu menyakinkan bahwa Pancasila adalah ideologi yang nyata atau riil dan berkesesuaian dengan kebutuhan jaman untuk membangun kesadaran nasionalisme, maka bangsa Indonesia saat ini pun perlu disadarkan dan ditumbuhkan keyakinan bahwa Pancasila memiliki landasan empirik dan landasan ontologis yang nyata bagi bangsa Indonesia. Kedua, Pancasila perlu dikembangkan sebagai metodologi hidup, atau dijadikan seba22
Koento Wibisono Siswomihardjo, Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Jakarta, 2000.
614
gai ideologi praktis. Dalam konteks ini, kita semua memiliki tanggung jawab untuk menerjemahkan Pancasila sebagai ontologi berbangsa menjadi metode hidup. Ketiga, menjadikan Pancasila sebagai sebuah aksiologi. Para pembina, penatar, pendidik, dan komunikator mengenai nilai-nilai Pancasila perlu memiliki argumentasi yang utuh dan lengkap mengenai makna dan manfaat dari penerapan nilai Pancasila. Dalam tataran filsafat, apakah manfaatnya bagi orang banyak atau masyarakat. Menurut Mochtar Kusumaatmadja tujuan hukum berdasarkan Pancasila adalah untuk memberikan pengayoman kepada manusia, yaitu melindungi manusia secara pasif (negatif) dengan mencegah tindakan sewenang-wenang dan secara aktif (positif) dengan menciptakan kondisi kemasyarakatan berlangsung secara wajar sehingga secara adil tiap manusia memperoleh kesempatan secara luas dan sama untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara utuh.23 Menurut Aristoteles negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.24 Jimly Asshiddiqie menegaskan senada dengan mengatakan bahwa kekuasaan yang jika tidak dikendalikan dan dibatasi menurut prosedur konstitusional, dapat menjadi sumber malapetaka.25 Mahasiswa sebagai intelektual muda berperang penting dalam perkembangan pembudayaan Pancasila. Peran yang dapat dilakukan mahasiswa dalam konteks tanggung jawabnya terhadap deseminasi nilai-nilai Pancasila diantaranya adalah memperdalam dan mengembangkan diri di dalam keilmuan Pancasila sehingga dapat memiliki kemampuan untuk memikul tanggung jawab intelektualnya dalam mendeseminasikan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dimensi ini sering disebut dengan dimensi penghayatan. Pancasila sebagai paradigma ilmu perlu dipaha23
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian Tentang Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional, Bandung: Mandar Maju, 2000, h. 190. 24 Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Press, 2000, h. 2. 25 Jimly Asshiddiqqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Kedua, Cet. Pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, h. 138.
Mahasiswa dan Nasionalisme Menuju Pengabdian Masyarakat …
mi dasar dan arah penerapannya, yaitu pada aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya. Pada ontologisnya berarti hakikat ilmu pengetahuan merupakan aktivitas manusia Indonesia yang tidak mengenal titik henti dalam upaya mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan yang utuh dalam dimensinya sebagai masyarakat, sebagai proses, dan sebagai produk. Sebagai masyarakat berarti mewujud dalam academic community; sebagai proses berarti mewujud dalam scientific activity; sebagai produk berarti mewujud dalam scientific product beserta aplikasinya.Pada epistemologisnya berarti Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandungnya dijadikan metode berpikir (dijadikan dasar dan arah berpikir) dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, yang parameternya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri. Pada aksiologisnya berarti bahwa dengan menggunakan epistemologi tersebut, kemanfaatan dan efek pengembangan ilmu pengetahuan secara negatif tidak bertentangan dengan ideal Pancasila dan secara positif mendukung atau mewujudkan nilai-nilai ideal Pancasila.26 Peran tersebut dapat dilakukan dengan terus membekali diri melalui kajian-kajian ilmiah di perguruan tinggi. Hal ini penting terus dilakukan agar tidak terjadi pemahaman yang keliru tentang Pancasila. Menurut Midian Sirait (2008) setidaknya ada empat pemahaman yang keliru tentang Pancasila sebagai berikut: pertama, kekeliruan dalam melihat hubungan antara nilai dan praksis Pancasila dalam masyarakat. Pelaksanaan Pancasila tidak memberikan solusi atas persoalan objektif bangsa yang sangat mendesak, seperti kesejahteraan dan keadilan sosial. Kedua, kekeliruan dalam melihat sejarah politik Indonesia pada umumnya. Kekeliruan ini berpangkal pada kesalahan pemahaman konteks politik Indonesia yang telah berlangsung. Dalam pemahaman ini terjadi akibat penyamaan nilainilai Pancasila dengan suatu rezim politik atau pemerintahan. Sebagai contoh nilai-nilai Pancasila diidentikkan dengan pemerintahan orde ba26
Pipin Hanapiah, “Pancasila Sebagai Paradigma,” Makalah, disajikan pada kegiatan “Deseminasi MKPK Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan” bagi para Dosen Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di Lingkungan Universitas Padjadjaran Bandung, 24 November 2000, h. 2-3.
H.A. Dardiri Hasyim
ru dengan segenap kekuasaan Presiden Soeharto dan juga segala jenis indoktrinasinya. Ketiga, kekeliruan penyamaan ideologi sebagai suatu madzab atau varian pemikiran seperti setingkat agama. Dengan demikian muncul pemahaman yang salah bahwa seolah-olah agama berhadaphadapan dengan Pancasila. Hal ini juga mungkin timbul sebagai akibat dari upaya “sakralisasi” Pancasila. Pancasila dimaknai sebagai ideologi tertutup dan kebenaran tafsir yang berlaku hanyalah tafsir yang mendapat legitimasi dari pemerintah atau kekuasaan. Keempat, kekeliruan pemahaman yang melihat Pancasila tidak lagi relevan dalam membantun integrasi bangsa. Perpecahan masyarakat disertai kekerasan masif yang pernah terjadi di Aceh, Ambon, Poso, Kalimantan, dianggap sebagai bukti bahwa Pancasila tidak lagi mempunyai daya rekat dan daya ikat kebangsaan Indonesia. Secara perlahan kemudian dimasukkan cara pandang bahwa integrasi dapat dihidupi atau ditopang oleh kesamaan agama atau sosial masyarakat saja. Kesamaan agama dan sosial budaya dianggap lebih kuat dibandingkan dengan kesamaan masyarakat sebagai suatu bangsa dan negara Indonesia.27 Mahasiswa harus dapat memahami dan mengerti Pancasila yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan, baik secara yuridis-konstitusional, objektif-ilmiah, filosofis-religius maupun secara etis dan moral.28 Kebenaran Pancasila harus dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis-konstitusional, karena Pancasila adalah dasar negara yang merupakan pokok kaidah negara yang fundamental. Oleh karena itu, tidak setiap orang boleh memberikan pengertian atau tafsiran menurut pendapatnya sendiri. Kebenaran Pancasila secara yuridis dapat diterangkan dengan empat tiang penyangga ilmu sebagai berikut: 1. Objeknya adalah naskah resmi negara yang mempunyai sifat imperatif yuridis, misalnya UUD 1945, Ketetapan MPR, dan peraturan perundangan lainnya beserta fakta-fakta historis yang telah diakui kebenarannya secara resmi oleh negara, yang kesemuanya terkait dengan 27
Midian Sirait, Revitalisasi Pancasila, Jakarta: Kasta Hasta Pustaka, h . 193-194. 28 H.A.M. Effendi, Falsafah Negara Pancasila (Semarang: Duta Grafika, 1993) h. 5.
615
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 607 - 618
ketatanegaraan dan hukum Republik Indonesia; 2. Memiliki metode ilmiah dalam pendekatannya. Objeknya, yaitu naskah-naskah resmi negara atau fakta historis lainnya yang sudah diakui kebenarannya secara resmi diteliti atau dipelajari dengan menggunakan metode dan teknik yang bersifat ilmiah. Metode itu dipilih agar dapat memahami objeknya secara lebih berhasil sehingga diperoleh pengetahuan yang benar tentang objek tersebut; 3. Bersistem, artinya bahwa keseluruhan proses dan hasil berpikirnya disusun dalam satu kesatuan yang utuh, terdapat saling hubungan antara bagian-bagian dalam keutuhan itu sehingga diperoleh keutuhan yang organis, harmonis, dan dinamis; dan 4. Menyediakan argumentasi/bukti yang mendukung kebenaran atas kesimpulankesimpulan dan pernyataan-pernyataan atau proposisinya.29 Kebenaran Pancasila juga harus dapat dipertanggungjawabkan secara objektif-ilmiah, karena Pancasila merupakan suatu sistem filsafat sehingga harus dapat terjamin objektivitas dalam pelaksanaanya, uraiannya harus logis dan dapat diterima oleh akal sehat. Secara filosofisreligius, Pancasila juga harus dapat dipertanggungjawabkan karena Pancasila merupakan falsafah yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Pancasila harus dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan moral, karena Pancasila merupakan falsafah hidup bangsa Indonesia yang dipergunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari. Peran yang dapat dilakukan mahasiswa dalam konteks tanggung jawabnya terhadap deseminasi nilai-nilai Pancasila selanjutnya adalah membumikan nilai-nilai dasar Pancasila dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi ideologi praktis yang dapat mewujud dalam kenyataan kehidupan dirinya dan masyarakat. Mahasiswa harus dapat menjembatani nilai-nilai dasar Pancasila dengan kenyataan hidup seharihari, baik di lingkungan perguruan tinggi mau-
pun di masyarakat luas. Mahasiswa dapat melakukan pemetaan dan pemecahan masalah-masalah kehidupan sesuai dengan bidangnya dengan berlandaskan nilai-nilai dasar Pancasila. Dimensi ini sering disebut dengan dimensi pengamalan. Pancasila diterapkan dalam kasus-kasus kehidupan atau peristiwa-peristiwa kongkret pada keadaan, waktu, dan tempat tertentu, sehingga akan tercipta manusia Indonesia yang berkebudayaan Pancasila.30 Dengan cara demikian, mahasiswa akan dapat menjadi role model (model peran) bagi masyarakat dalam pengamalan dan pemasyarakatan Pancasila. Mahasiwa dapat terus menjadi pelaku sejarah yang membuktikan bahwa manusia Indonesia adalah manusia yang berkarakter Pancasila, yang saat sedang dihadapkan pada tantangan yang cukup berat. Selanjutnya peran mahasiswa dalam konteks tanggung jawabnya terhadap deseminasi nilai-nilai Pancasila adalah melakukan kontrol terhadap pelaksanaan nilai-nilai dasar Pancasila oleh para penyelenggara negara agar tidak menyimpang dari nilai-nilai dasar Pancasila serta mendorong perubahan-perubahan dalam praktek penyelenggaran negara ke arah lebih baik sesuai dengan nilai-nilai dasar Pancasila. Hakikat Pancasila dalam implementasinya pernah “disalahtafsirkan” di masa Orde Lama berupa Trisila dan kemudian Ekasila, dan di masa Orde Baru “ditafsirkan sepihak” melalui P-4, asas tunggal Pancasila, dan massa mengambang. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, Pancasila disosialisasikan secara sistematis dengan menempatkannya sebagai dasar negara yang harus dipahami dan dijadikan sebagai pegangan dalam menjalankan pemerintahan sekaligus juga untuk menjadi acuan hidup bangsa Indonesia secara pribadi, masyarakat dan seluruh bangsa Indonesia. Namun demikian, penempatan dan penjunjungan Pancasila pada kedua masa pemerintahan tersebut hanyalah bersifat retorik dan sangat berbeda dengan kenyataan prakteknya, baik dalam pemerintahan maupun dalam praktek bermasyarakat. Presiden Soekarno ditetapkan menjadi Presiden seumur hidup yang tidak sejalan dengan demokrasi yang sebenarnya; Presiden Soeharto dengan Golkar dan Dwifungsinya.31 Para penyelenggaran negara harus menjadikan
29
Sunarjo, Sunarjo Wreksosuhardjo, Ilmu Pancasila Yuridis Kenegaraan dan Ilmu Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Andi Offset, 2005, h. 3.
616
30
Ibid., h. 52.
Mahasiswa dan Nasionalisme Menuju Pengabdian Masyarakat …
hukum sebagai landasan dan pedoman serta kekuasaannya dibatasi oleh hukum. Peraturan atau ketentuan hukum dalam semua tingkatannya harus memenuhi syarat sebagai hukum yang memancarkan nilai-nilai luhur Pancasila. Dengan cara begitu, Pancasila akan tetap menjalankan fungsi dan peranannya dalam mencapai tujuan bangsa dan negara.32 Peran tersebut dapat dilakukan dengan menjalin aliansi-aliansi, baik dengan kalangan civitas akademika perguruan tinggi sendiri maupun dengan kelompok-kelompok civil society di masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara dan terhadap upaya-upaya merubah dan menyelewengkan Pancasila. Dimensi ini sering disebut di-
H.A. Dardiri Hasyim
mensi pengamanan. Mengamankan Pancasila berarti menyelamatkan, mempertahankan, dan menegakkan Pancasila yang benar agar tidak diubah, dihapus, atau diganti dengan yang lain. D. Penutup Gejala melemahnya nasionalisme dan perikehidupan ber-Pancasila dewasa ini menjadi panggilan bagi mahasiswa untuk terus melanjutkan tugas kesejarahannya dalam memperkuat nasionalisme, menjaga dan memelihara eksistensi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara. Berbagai atribut yang melekat pada diri mahasiswa menjadikannya memiliki peran strategis untuk memperkuat nasionalisme dan Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA Agus Dariyo, 2003. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda, Jakarta: Grasindo-Gramedia Widiasarana Indonesia. Azyumardi Azra. 2008. “Pendidikan Multikultural, Membangun Kembali Indonesia Bhinneka Tunggal Ika” dalam Tsaqofah, “Menggagas Pendidikan Multikultural”, Vol. I Nomor 2 Tahun 2003. Bernard Arief Sidharta, 2000. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian Tentang Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional, Bandung: Mandar Maju. Dardji Darmodiharjo dkk. 1991. Santiaji Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional. Djoko Santoso. “Ketahanan Negara dan Wawasan kebangsaan Menghadapi Tantangan Global,” Makalah disampaiakan pada Simposium Nasional Peringatan Satu Abad Kebangkitan Nasional, 19 Mei 2008, Yogyakarta: UGM, Pemda DIY, Kagama. E.B. Hurlock, 1996. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, terj. Isti Widiyati, Jakarta: Erlangga. H.A.M. Effendi. 1993. Falsafah Negara Pancasila. Semarang: Duta Grafika. Jimly Asshiddiqqie, 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Kedua, Cet. Pertama, Jakarta: Sinar Grafika. M. Ngalim Purwanto, 1999. Psikologi Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Miriam Budiardjo, 2009. Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta: Gramedia. Moeis. 2006. ”Pendidikan Multikultural Transformatif dalam PIPS Sebuah Sarana Alternatif Menuju Masyarakat Madani,” Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS 05 Agustus 2006, Bandung : Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Sirait, Midian. 2008. Revitalisasi Pancasila, Jakarta: Kasta Hasta Pustaka. Pipin Hanapiah. 2000. “Pancasila Sebagai Paradigma,” Makalah, disajikan pada kegiatan “Deseminasi MKPK Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan” bagi para Dosen Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di Lingkungan Universitas Padjadjaran 31
Anhar Gonggong, Pancasila Dasar Filsafat Negara: Terabaikan di Tengah Penjunjungan Retorik, dalam Mi-dian Sirait, op.cit. h. 26-27. 32 Rozikin Daman, Pancasila Dasar Falsafah Negara, Semarang: IAIN Walisongo Press, 1992, h. 177.
617
Jurnal Lex Publica, Vol. III, No. 2, Mei 2017, hal. 607 - 618
Bandung, 24 November 2000. _______. 2002. “Pendidikan Pancasila.” Makalah. Disajikan pada Kegiatan Pemadatan Mata Kuliah Pendidikan Pancasila Bagi Mahasiwa Peserta Ujian Persamaan Mutu (UPM) pada STISIP Tasikmalaya, 22 Juli 2002. PP No. 30 Tentang Pendidikan Tinggi. R. Karim. 1996 “Nasionalisme Arti dan Sejarahnya,” Analisis CSIS, Tahun XXV Tahun 2, 1996. Ridwan HR., 2000. Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Press. Rozikin Daman. 1992. Pancasila Dasar Falsafah Negara. Semarang: IAIN Walisongo Press. Sartono Kartodirdjo. 1999. Ideologi dan Teknologi dalam Pembangunan Bangsa: Eksplorasi Dimensi Historis dan Sosio-Kultural. Jakarta: Pabelan Jayakarta. Satjipto Rahardjo, 2009. Negara Hukum Yang Membahagiakan, Yogyakarta: Publishing. Sunarjo Wreksosuhardjo. 2005. Ilmu Pancasila Yuridis Kenegaraan dan Ilmu Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Andi Offset. Suyanto. 2005. ”Profesionalisasi dan Sertifikasi Guru,” Makalah dalam Seminar PGRI di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Desember 2005. Suyatno Kartodirdjo. 2000. “Revitalisasi Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa dalam Rangka Menuju Indonesia Baru”, Makalah, disampaikan dalam Sarasehan Membangun Wawasan Kebangsaan Melalui Revitalisasi Budaya, diselenggarakan oleh Keraton Kasunanan Surakarta, Pura Mangkunegaran, PII dan HKMN Suryasumirat di Surakarta, 2 Agustus 2000. Ubaidillah. 2000. Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. Jakarta : IAIN Jakarta Press.
618
Petunjuk Penulisan
Jurnal Ilmu Hukum Lex Publica Asosiasi Pimpinan Pendidikan Tinggi Hukum Indonesia PETUNJUK PENULISAN 1. Naskah yang diterima adalah artikel yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya. naskah dapat berupa jurnal laporan hasil suatu penelitian atau artikel ulasan (review). Naskah ditulis dengan Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. 2. Naskah diketik pada kertas ukuran A4 (210 x 297 mm) dengan jarak antar baris 1 spasi. Batas pengetikan dari tepi kertas diatur sebagai berikut: - Tepi atas : 3 cm - Tepi bawah : 2.5 cm - Tepi kiri : 3 cm - Tepi kanan : 2.5 cm 3. Naskah diketik dengan mempergunakan jenis huruf Times New Roman dengan spesifikasi ukuran huruf sebagai berikut: - Judul naskah : ukuran huruf 14 point - Nama penulis, keterangan lembaga penulis, abstrak dan kata kunci: ukuran huruf 12 point - Isi naskah : ukuran huruf 12 point - footnote : ukuran huruf 10 point - Daftar pustaka : ukuran huruf 12 point 4. Format penulisan mempergunakan format satu kolom. Naskah setiap halaman diberi nomor berurutan, minimal 20 halaman dan maksima130 halaman. Naskah dikirim melalui email atau file dalam CD ke: Redaksi Jurnal Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi Hukum. Jl. Raya Kalimalang No. 1, Jakarta Timur Email:
[email protected] 5. Naskah disusun secara berurutan terdiri atas: - Judul artikel - Nama lengkap penulis (tidak disingkat) - Afiliasi penulis (instansi tempat penulis bekerja dan alamat email untuk korespondensi) - Abstrak dan kata kunci (dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris) - Latar belakang - Pembahasan - Kesimpulan - Daftar pustaka - Tabel dan gambar apabila ada 6. Deskripsi bagian naskah a. Judul dicetak tebal (bola) dengan huruf kapital. Judul maksimum terdiri dari 12 kata untuk Bahasa Indonesia dan 10 kata untuk Bahasa Inggris. Nama penulis ditulis lengkap tanpa gelar, lembaga tempat penulis bekerja, dan alamat email. Contoh: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENCIPTA BERKAITAN DENGAN KARYA ILMIAH DI INDONESIA Azis Budianto, SH. MS Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya Email:
[email protected] 619
Petunjuk Penulisan
b. Setiap artikel harus disertai satu paragraf abstrak (bukan ringkasan yang terdiri atas beberapa paragraf) dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris yang secara gamblang, utuh, dan lengkap menggambarkan esensi isi keseluruhan tulisan. c. Materi muatan artikel terdiri dari latar belakang (berisi tentang permasalahan dan metode penelitian jika tulisan merupakan hasil penelitian), pembahasan, dan kesimpulan. d. Contoh tata aturan penulisan footnote sebagai berikut: 1. Buku Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit INDHILL.CO, Jakarta, 1992, hlm. 3. C. De Rover, To Serve and To Protect (Acuan Universal Penegakan HAM), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 51. 2. Buku karya terjemahan Scholten, Paul, De Structuur Dere Rechtswetenschap, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan oleh Arief Sidharta, Bandung, Alumni, 2011, hlm. 7. 3. Buku yang berisi kumpulan artikel Mahmod Thoha (Ed), Dampak Persetujuan Putaran Uruguay-GATT Terhadap Industri Kecil, UI Press, Jakarta, 1998, hlm. 89. 4. Skripsi, tesis atau disertasi Jazim Hamidi, Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2005, Tidak dipublikasikan, hlm. 2. 5. Artikel dalam buku kumpulan artikel Moh Fadli, Nondelegationdoctrine dan Peraturan Delegasi di Indonesia, Susi Dwi Harijanti (Eds), Negara Hukum yang Berkeadilan Kumpulan Pemikiran dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr H. Bagir Manan, Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (PSKN FH UNPAD), Bandung, 2011, h1m. 33. 6. Artikel dalam jurnal Moh. Fadli, Program Legislasi Nasional (Prolegnas): Ketersiapan Data dan Optimalisasi Kinerja DPR, Jurnal Konstitusi, Volume IV No. 1, Juni 2011, PPK Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2011, hlm. 20. 7. Artikel dalam majalah atau koran Bartens, K., 11 Agustus 2003, Aborsi Di Tengah Polarisasi "Pro Life "-"Pro Choice", Kompas, hlm. 89. 8. Artikel dalam majalah atau koran tanpa penulis Jawa Pos, 22 April 1995, Wanita Kelas Bawah Lebih Mandiri, hlm. 4. 9. Makalah Ni'matul Huda, Penulisan Laporan Penelitian untuk Jurnal, makalah disajikan dalam Lokakarya Penelitian Tingkat Dasar Bagi Dosen PTN dan PTS di Malang Angkatan XIV, Pusat Penelitian IKIP Malang, Malang, 12 Juli 2004, hlm. 53. 10. Artikel internet Ali Safaat, Penafsiran Konstitusi (online), http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/11/ Penafsiran-Konstitusi.pdf, diakses 3 Februari 2013. Kennedy, DC., In Search of Balance Between Police Power and Privacy in The Cybercrime Treaty (online), The Richmond Journal Law and Technology, http:// www. richmond. jlt.htmU185.htm, diakses 12 Januari 2003. 11. Dokumen resmi pemerintah Arsip dan Dokumentasi, Risalah Rapat Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undangundang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tanggal 23 Februari 2011, Jakarta, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2011, hlm. 7. 620
Petunjuk Penulisan
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Pedoman Penulisan Laporan Penelitian, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978, hlm. 88. 12. Peraturan Perundang-undangan Pasa15 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 7. Contoh tata aturan penulisan daftar pustaka sebagai berikut: Buku Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit IND-HILL. CO, Jakarta. C. De Rover, 2000, To Serve and To Protect (Acuan Universal Penegakan HAM), Raja Grafindo Persada, Jakarta. Jazim Hamidi, 2005, Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi program Doktor Ilmu Hu kum pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Tidak dipublikasikan. Mahmod Thoha (Ed), 1998, Dampak Persetujuan Putaran Uruguay-GATT Terhadap Industri Kecil, UI Press, Jakarta. Moh. Fadli, 2011, Nondelegationdoctrine dan Peraturan Delegasi di Indonesia, Susi Dwi Harijanti (Eds), Negara Hukum yang Berkeadilan Kumpulan Pemikiran dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. H. Bagir Manan, Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (PSKN FH UNPAD), Bandung. Scholten, Paul, 2011, De Structuur Dere Rechtswetenschap, Struktur IImu Hukum, Terjemahan oleh Arief Sidharta, Bandung, Alumni. Jurnal dan Artikel Bartens, K., 11 Agustus 2003, Aborsi Di Tengah Polarisasi "Pro Life"-"Pro Choice", Kompas. Jawa Pos, 22 April 1995, Wanita Kelas Bawah Lebih Mandiri. Moh. Fadli, 2011, Program Legislasi Nasional (Prolegnas): Ketersiapan Data dan Optimalisasi Kinerja DPR, Jurnal konstitusi, Volume IV No. 1, Juni 2011, PPK Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Makalah Arsip dan Dokumentasi, 2011, Risalah Rapat Panitia ysus (Pansus) Rancangan Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tanggal 23 Februari 2011, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta. Ni'matul Huda, 2004, Penulisan Laporan Penelitian untuk Jurnal, makalah disajikan dalam Lokakarya Penelitian Tingkat Dasar Bagi Dosen PTN dan PTS di Malang Angkatan XIV, Pusat Penelitian IKIP Malang, Malang. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1978, Pedoman Penulisan Laporan Penelitian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perindangundangan. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. 621
Petunjuk Penulisan
Artikel Internet Ali Safaat, Penafsiran konstitusi (online), http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/11/ Penafsiran-Konstitusi.pdf. Kennedy, DC., In Search of Balance Between Police Power and Privacy in The Cybercrime Treaty (online), The Richmond Journal Law and Technology, http:// www. richmond.jlt.htm185.htm. 8. Redaksi berhak melakukan penyuntingan melalui Dewan Penyunting tanpa mengubah isi dan makna redaksi. Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap isi naskah.
622